Pencarian

Paku Maut 2

Jaksa Pao Dalam Paku Maut Bagian 2


Malam itu seperti biasa Siauw Giok Mei menjuntaikan tambang yang terbuat dari seprei lewat jendela kamarnya, namun secara kebetulan seorang biksu lewat di depan rumahnya.
Sebenarnya tiap malam biksu ini memang sering lewat sambil membacakan doa dan memuja Budha serta membunyikan alat tok-tok kecil. Malam itu udara terasa amat dingin. Ketika biksu itu sampai di depan rumah tukang daging, ia jadi heran melihat seutas tali besar terjuntai dari atas.
"Eh. jemuran siapa ini? Akh kebetulan. udara sangat dingin. Ini pasti jemuran orang yang lupa diangkat, jadi apa salahnya kalau malam ini kupakai kain ini sebagai alas tidurku?" pikir biksu itu.
Sesudah itu dia pun menghentikan doanya, lalu mencoba untuk menarik kain itu. Tapi ternyata kain itu cukup kuat Ketika sang Biksu mencoba menggelantung di tali tersebut, ia sempat
melihat bayangan seorang wanita yang sedang menarik tali itu. Akhirnya karena tarikan itu, tubuh si biksu ikut tertarik. Melihat hal itu dalam sekejap biksu yang bernama Beng Siu ini berpikir
"Akh, pasti kain ini dipakai untuk mengangkat seseorang dari bawah. Sedangkan gadis yang menarik tali itu, pasti gadis yang selama ini menjadi pergunjingan setiap orang di kota ini .Mungkin dia sengaja menjuntaikan kain seprei ini agar kekasihnya bisa naik dan masuk ke dalam kamarnya!" pikir Si biksu.
Setelah berpikir demikian, Beng Siu lalu mengambil kesempatan baik itu untuk dimanfaatkan. Dia membiarkan dirinya ditarik ke atas sambil berusaha memanjat pada tiang tembok. Tak lama maka ia sudah sampai di hadapan Siauw Giok Mei. Betapa girangnya Beng Siu setelah melihat kecmtikan si gadis. Dengan segera Beng Siu memberi hormat. Namun si gadis menjadi kaget sebab yang ia tarik bukan kekasihnya melainkan seorang biksu berkepala gundul.
"Maaf Nona manis, saya memang hanya seorang biksu hina, tapi anehnya malam ini kita bisa bertemu. Kurasa nasib yang telah mempertemukan kita. Sekarang karena saya telah telanjur ada di hadapanmu, setidaknya kau harus mengizinkan aku bermalam di kamarmu ini! Bukankah ada pribahasa yang mengatakan. bahwa tak ada buaya yang akan menolak bangkai'"
"Hai Biksu, kurang ajar benar kau ini! Apa kau pikir aku seorang pelacur yang mau tidur dengan laki-laki rendah sepertimu? Pergi kau dari sini, aku tak sudi tidur dengan keledai gundul! Pergi dari sini! Aku tak sudi melihat wajahmu lagi! kalau kau tak mau pergi, aku akan berteriak supaya penduduk dan ayahku bangun! Atau kau akan kutusuk dengan tusuk kondeku yang tajam ini'"
Demikianlah si gadis mengancam sambil mengacungkan tusuk kondenya yang tajam. Namun dengan sikap tenang dan
tak bergerak sedikitpun, Beng Siu berkata,
"Bukankah kau yng telah menarikku? Dengan demikian aku tak akan pergi, sebelum kan penuhi permintaanku!"
Karena tak mampu menahan hawa nafsunya lagi, Beng Siu berusaha merangkul gadis itu.
Namun Siauw Giok Mei yang kaget segera menjerit,
"Tolong! Perampok! Tolong!"
Dengan cepat Beng Siu menyumpal mulut gadis itu dengan kain jubahnya sambil memaksakan kehendaknya. Ketika dia mencoba merobek baju Giok Mei, si gadis tak henti-hentinya meronta. Akhirnya karena tak dapat melampiaskan nafsunya, Beng Siu menjadi marah. Dengan segera dia mencabut sebilah pisau dari pinggangnya, lalu menikam gadis itu sampai mati. Sesudah mengambil barang-barang dan perhiasan si gadis, dia pun segera kabur.
*** Esok paginya karena Giok Mei tak turun-turun dari kamarnya, ayahnya yang merasa kuatir kalau Giok Mei sakit segera menyuruh seorang pegawainya untuk memanggil puterinya makan.
Setelah sekian lama memanggil-manggil dan tidak ada jaeaban dari dalam maka pegawai itu berusaha membuka pintu kamar itu dengan paksa. Ketika ia berhasil membuka kamar puteri majikannya, ia jadi kaget dan langsung berteriak.
"Tolong Nona Siauw Giok Mei telah dibunuh!"
Mendengar teriakan itu, Siauw Hok Han naik. Ketika dia menyaksikan mayat puterinya. ia jadi kaget. Lalu ia pun menduga-duga, siapa pelaku pembunuhan kejam itu.
Ternyata kegemparan di rumah tukang daging telah menarik perhatian para tetangganya. Ketika mereka mendengar puteri tukang daging itu terbunuh, mereka segera menduga-duga. Karena di antara tetangganya banyak yang tahu, bahwa si gadis
berhubungan akrab dengan Khouw Sin Tiong, mereka langsung menuduh Khouw Sin Tiong sebagai pembunuhnya:
"Kami memang sudah mengetahui, bahwa sejak enam bulan terakhir ini puterimu berhubungan dengan pemuda itu. Kemarin malam aku melihat pemuda itu pergi ke pesta. Mungkin dalam keadaan mabuk ia telah membunuh puterimu!" kata salah seorang tetangganya.
Mendengar keterangan itu Siauw Hok Han jadi sangat marah. Tapi untuk menuduh pemuda itu rasanya tidak mungkin tanpa bukti-bukti yang kuat. Dan sebagai penduduk di kota itu, sudah tentu Siauw Hok Han pernah mendengar kepandaian Jaksa Pao dalam menyelesaikan berbagai perkara yang sulit
Sesudah pikirannya bulat, ia pun segera membuat pengaduan kepada Jaksa Pao.
Dalam pengaduannya Siauw mengatakan bahwa anaknya telah diperkosa dan dibunuh oleh Khouw Sin Tiong. Dikatakan juga bahwa si pemuda yang tinggal di depan rumahnya sering datang menemui puterinya. Ketika pemuda itu berhasil masuk ke kamar puterinya, pemuda itu berniat memperkosanya. Namun oleh karena puterinya berontak dan melawan maka pemuda itu jadi khilaf dan membunuh puterinya. Selain itu si pemuda itu pun dikatakan telah mencuri perhiasan puterinya. Untuk itu ia memohon agar Jaksa Pao mau menyelidiki kasus itu.
Setelah membaca pengaduan dari Siauw Hok Han, Jaksa Pao segera mengeluarkan perintah. Ia minta Thio Liong dan Tio Houw agar menangkap Khouw Sin Tiong dan memanggil pari saksi. Tak lama mereka satu persatu ditanya dengan teliti. Para saksi lalu mengisahkan apa yang mereka ketahui tentang hubungan gelap puteri si tukang daging dengan Khouw Sin Tiong yang telah menjadi buah bibir masyarakat di sekitarnya. Sampai akhirnya terjadi pembunuhan pada malam yang naas itu
"Kami kira pembunuhan itu bukan suatu perkosaan belaka
tapi itu dilakukan karena hawa nafsu si pemuda" kata mereka
Sesudah para saksi dihadapkan, sekarang giliran Khouw Sin Tiong diajukan ke depan meja hijau.
"Apa betul kau telah membunuh Siauw Giok Mei?" tanya Jaksa Pao. .
'Tidak Yang Mulia, sebagaimana diketahui umum, kami memang telah melakukan hubungan gelap. Bahkan hubungan kami telah berjalan sekitar enam bulan lamanya. Saya benar benar mencintainya jadi bagaimana mungkin saya tega membunuhnya? Sungguh Tuan, karena itu saya menolak tuduhan itu! Saya mohon keadilan dari Tuanku!"
Mendengar pembelaan dari Khouw Sin Tiong, ayah si gadis kurang senang. Dia pun segera maju ke depan.
"Yang Mulia, saya yakin Yang Mulia pasti dapat memutuskan hukuman apa yang pantas bagi pemuda ini. Karena itu saya tak akan memaksa Yang Mulia, tapi yang jelas pemuda inilah pelakunya. Dialah yang masuk ke kamar puteriku. Jika bukan dia, siapa lagi yang membunuh puteriku itu? Mungkin karena puteri saya melarangnya datang lagi, ia jadi khilaf dan membunuh puteriku. Sekarang semua perkara itu saya serahkan pada Yang Mulia, sebenarnya saya juga tak suka penyiksaan sehingga jadi saya berharap dia mau mengakui kesalahannya tanpa disiksa!" kata ayah si gadis dengan lantang.
Mendengar hal itu Jaksa Pao hanya diam sambil memperhatikan Khouw Sin Tiong. Rupanya dia tak yakin pemuda itu pelaku pembunuhan itu.
"Baiklah kalau begitu. sekarang coba kau katakan kepadaku apakah selama enam bulan kau berhubungan intim dengan puteri Tuan Siauw Hok Han, kau pernah melihat ada orang lain yang lewat di depan rumah kekasihmu itu?" tanya Jaksa Pao.
"Pada bulan-bulan pertama kami mengadakan hubungan. memang kami tak pernah mendengar atau melihat ada orang
yang lewat di depan rumah itu! Tapi akhir-akhir ini, kami sering melihat dan mendengar seorang biksu lewat sambil berdoa dan membunyikan alat sembahyang, di malam hari!" jawab khouw Sin Tiong.
Mendengar keterangan itu Jaksa Pao agak lega.Namun demikian ia tak mau memperlihatkan rasa puasnya di hadapan sidang. Bahkan dia seolah menekan Khouw Sin Tiong sebagai pelaku pembunuhan itu.
"Jangan bohong' Apakah kau hendak mengalihkan tuduhan dan mencari-cari alasan? Aku yakin kaulah pelaku pembunuhan ini! Akulah orang yang berhak menuduh dan menghukummu, sekarang katakan apa yang hendak kau katakan lagi?"
Karena sangat ketakutan Khouw Sin Tiong hanya diam. Namun setelah pertanyaan Jaksa Pao itu diulangi, barulah dia menjawab,
"Tak ada yang dapat saya katakan. selain kesaksian saya tadi, Yang Mulia!"
Jaksa Pao segera memerintahkan anak buahnya agar pemuda itu dihukum cambuk 20 kali. Kemudian sesudah itu Khouw Sin Tiong dimasukkan ke dalam kamar tahanan menunggu sidang berikutnya. Sesudah sidang ditutup. Jaksa Pao segera masuk ke kamar kerjanya, lalu memanggil Ong Tiong dan Li l. Sesudah kedua orang itu menghadap, Pao Kong bertanya,
"Tahukah kalian, dimana tempat tinggal biksu-biksu itu?"
"Hamba tahu. Tuanku!" jawab Ong Tiong.
"Bagus, kalau begitu kalian awasi dan selidiki siapa biksu yang sering lewat di muka rumah si korban!" kata Pao Kong
"Baik, Tuanku!" jawab Ong Tiong dan Li l.
Selama berhari-hari tiap malam kedua pembantu Pao Kong mengadakan penyelidikan di tempat tinggal para paderi.Hasilnya memang belum memuaskan karena paderi yang sering berkeliling sambil membaca doa, tak ada di tempat. menurut keterangan yang mereka kumpulkan, paderi itu sedang
pergi ke luar kota. Mendengar keterangan itu kedua pembantu Pao Kong kembali ke rumahnya masing-masing. Mereka akan melanjutkan penyelidikan itu sampai orang yang dicurigainya itu tertangkap.
*****
Pada suatu hari Beng Siu pulang dari perjalanannya. Ketika ia melewati sebuah jembatan, tiba-tiba ia menjadi kaget mendengar suara-suara aneh. Kebetulan Beng Siu seorang paderi yang percaya pada takhyul. Dia memasang telinganya, ingin menyelidiki suara apakah yang didengarnya itu.
Namun tiba-tiba suara itu terdengar lagi. Karena takut, Beng Siu segera berlutut sambil mulutnya komat-kamit.
"0 mi tabha!"
Sesudah itu, Biksu Beng membaca mantera untuk mengusir setan.
Tapi tak lama terdengar lagi suara perempuan merintih sambil memanggil-manggil namanya.
"Biksu Beng! Biksu Beng!"
"Wah! Suara siapa itu?" kata Biksu Beng.
"Biksu Beng, apakah kau lupa padaku? Akulah gadis yang hendak kau perkosa hingga kau bunuh karena aku memberontak' Aku pun sudah melaporkanmu pada Dewa Kematian. Sebentar lagi Giam Lo Ong akan datang untuk menghukummu. Apalagi selain akan memperkosaku, kau telah mencuri barang-barangku. Saat ini rohku sedang mengembara karena dilarang istirahat. sebelum aku berhasil mencabut nyawa orang yang membunuhku! Kurasa doa-doamu itu percuma saja sebab tak bisa menolong jiwamu!" kata perempuan itu.
Mendengar ancaman itu, Biksu Beng Siu bertambah takut, ditambah lagi ia sangat percaya pada hantu-hantu dan setan setan. Dengan cepat ia berlutut dan menghitung tasbihnya sambil berdoa. Akhirnya karena tak tahan godaan suara-suara itu, ia berkata;
"Ya, aku memang biksu yang bermoral rendah. Tapi
karena kau tak mau melayani nafsu birahiku, aku terpaksa membunuhmu. Apalagi aku pun takut kalau orang akan mendengar jeritanmu. Mengenai semua perhiasanmu, kau jangan takut sebab perhiasan itu masih ada padaku. Besok barang barang itu akan kukembalikan kepadamu. Selain itu aku juga berjanji akan mendoakanmu agar tidak disiksa di alam baka. Tolong jangan laporkan aku pada Giam Lo Ong, ampunilah dosa-dosaku!"
Sesudah mendengar pengakuan Beng Siu,
wanita tadi menangis. Biksu Beng lalu membacakan manteranya untuk memohon agar Budha mau melepaskan roh gadis malang yang dibunuhnya itu. Saat itu tubuh Biksu Beng menggigil karena ketakutan. Namun betapa kagetnya Biksu Beng ketika tiba-tiba muncul dua sosok manusia di hadapannya. Ia menjerit karena mengira utusan Giam Lo Ong telah datang
"Ampun! Oh ampuni jiwaku!" keluh Biksu Beng.
"Sudah kau tak perlu gemetar seperti itu! Kami bukan hantu tapi petugas dari kejaksaan. Atas perintah Jaksa Pao, kau kami tangkap." kata Ong Tiong.
"Apa menangkapku?"
"Ya!" jawab Li l.
"Apa kesalahanku'!"
"Bukankah tadi kau telah mengaku membunuh Siauw Giok Mei? Karena kesalahanmu itu maka kau ditangkap dengan tuduhan sebagai pembunuh!" kata Ong Tiong.
Mendengar keterangan Ong Tiong. Beng Siu tak bisa berkata apa-apa lagi. Dia pun terdiam dan tubuhnya gemetar.
"Baiklah. tapi sebelum kalian membawaku, izinkanlah aku berdoa untuk memohon ampun pada sang Budha!" kata Beng Siu
"Baiklah Kusangka kau orang alim, tapi nyatanya kau setan cabul!" kata Ong Tiong.
Sesudah Biksu Beng berdoa, lalu ia digiring ke gedung Jaksa Pao. Saat itu Biksu Beng berjalan sambil membawa tikar dan mangkuk yang biasa dipakai untuk meminta sedekah, sedangkan kedua tangannya dirantai dengan kencang. Rupanya Jaksa Pao yang cerdik telah menyewa gadis penyanyi. Kemudian dia bersama Ong Tiong dan Li I bersembunyi di bawah jembatan. Ketika Biksu Beng baru pulang dari luar kota hendak kembali ke kelentengnya, penyanyi itu menirukan suara Siauw Giok Mei. Akhirnya karena ketakutan, Biksu Beng mengakui dosanya.
******
Esok harinya.
Pagi-pagi sekali Ong Tiong dan Li i telah menghadapkan Biksu Beng ke pengadilan., Kemudian kamar Biksu Beng di kelenteng digeledah. Sesudah semua perhiasan milik puteri tukang 'daging ditemukan, barang-barang itu dibawa ke persidangan. Ternyata barang-barang itu disembunyikan di sepatu Biksu Beng. Hari itu persidangan cukup ramai. Para saksi dan Siauw Hok Han dipanggil. Dalam persidangan Jaksa Pao menunjukkan barang-barang yang disita dari Biksu Beng.
"Apakah Anda kenal, siapa pemilik barang ini?" tanya Pao Kong.
"Oh. Yang Mulia. itu adalah perhiasan puteri saya!" jawab Siauw Hok Han.
"Benarkah ini milik puterimu'?"
"Benar Yang Mulia!"
"Baiklah, sekarang hadapkan Biksu Beng ke mari!" kata Jaksa Pao.
Tak lama biksu cabul itu dihadapkan pada Jaksa Pao. Karena barang bukti serta saksi sudah lengkap, Biksu Beng tak bisa menyangkal lagi. Ia pun langsung mengakui perbuatannya.
'Hambalah yang telah membunuh gadis itu, Yang Mulia!" kata Biksu Beng jujur.
Kemudian sesudah semua pengakuan Biksu Beng ditandatangani, Jaksa Pao lalu berkata,
" Ternyata si keledai gundul inilah pembunuhnya. Dengan demikian dia harus membayar semua kejahatannya dengan nyawanya. Sekarang bawa Khouw Sin Tiong ke mari!"
Ketika Khouw Sin Tiong menghadap, Jaksa Pao segera berkata,
"Pembunuh kekasihnya telah tertangkap. Ia sudah mengaku dan akan dihukum mati. Tapi kau juga bersalah Sebagai orang terpelajar, kau telah menggoda gadis orang dengan diam-diam. Bahkan kau telah mengadakan hubungan gelap dengan gadis itu padahal dia dari keluarga baik-baik .Akhirnya karena percintaan gelapmu itu, kalian telah melakukan hubungan suami-isteri. Untuk kaulah, gadis itu menggantungkan seprei tempat tidurnya, agar bisa bertemu dengan kau. Dan pada malam yang naas itu, tali kain seprei itu telah dipanjat oleh Biksu Beng, sampai akhirnya gadismu tewas. Itu sebabnya kau pun harus ikut bertanggung jawab atas kematiannya. Kau juga harus bangga mengakuinya sebagai isteri sahmu. Sebagai hukuman atas perbuatanmu itu seharusnya kau tak punya hak untuk melanjutkan pelajaranmu. Tapi sudahlah, mulai saat ini kau harus memusatkan perhatianmu pada pelajaran agar kau bisa ikut ujian dan memperoleh gelar sarjana .Sementara belajar kau kularang untuk beristeri. Kau paham?"
"Yang Mulia, terima kasih atas kebijaksanaanmu. Karena saya sangat mencintai kekasih saya, maka saya berjanji akan bertanggung jawab atas kejadian ini. Sebenarnya pada saat kami mengadakan hubungan gelap, kekasih saya sudah sering menganjurkan agar kami kawin. Namun karena saya belum memperoleh gelar sarjana, rencana itu selalu saya tangguhkan. Sungguh saya tak menduga, hari naas itu akan datang, hingga ' kekasih saya tewas di tangan Biksu Beng yang berhati kotor itu!
Saya bersumpah sejak saat ini saya tak akan berhubungan dengan gadis lain dan akan mengakui Siauw Giok Mei sebagai isteri saya yang sah. Dan untuk biaya pemakaman mayatnya, biarlah saya yang akan menanggungnya. Saya tahu isteri saya sangat setia, dia menjaga kehormatannya walaupun harus mati. Tentang Yang Mulia akan mencabut hak saya sebagai mahasiswa atau tidak, itu terserah pada kebijaksanaan Yang Mulia!" kata Khouw Sin Tiong.
Mendengar ketulusan hati pemuda itu, Jaksa Pao tersenyum. Dia sangat bangga pada pemuda itu. Lalu dia berkata,
"Ucapanmu menunjukkan bahwa kau menyesali perbuatanmu. Karena itu kau kubebaskan, tapi kuminta kau harus merubah kelakuanmu dan bertingkah lakulah yang baik! "
Sesudah sidang ditutup, Biksu Beng menjalani hukumannya. Sebaliknya Khouw Sin Tiong segera memenuhi janjinya. Sejak saat itu ia rajin belajar dan tak menaruh perhatian lagi pada wanita lain. Dia hanya mengenang pengalaman pahit yang dialami isterinya yang cantik itu.
Akhirnya ujian untuk mendapatkan gelar sarjana telah dilalui. Tak lama hasil ujian diumumkan dan namanya tercantum dalam daftar mahasiswa yang lulus sebagai sarjana. Ia bangga karena berhasil lulus. Seperti lazimnya pada zaman itu, Khouw Sin Tiong pun di angkat menjadi pegawai Kerajaan Song. Sebelum ia memangku jabatannya, ia singgah dahulu ke kantor Jaksa Pao. Maksud kunjungan Khouw Sin Tiong untuk mengucapkan terima kasih, serta mohon nasihat-nasihat dari jaksa yang bijaksana itu. '
"Jika bukan karena kebaikan hati Yang Mulia, hari ini saya sudah tak bisa menemui Tuanku lagi. Mungkin waktu itu saya sudah dihukum mati. Tapi sekarang saya sudah mencapai cita-cita saya sebagai sarjana, maka izinkanlah saya mengucapkan terima kasih!" kata Khouw Sin Tiong.
Mendengar ketulusan pemuda itu, Jaksa Pao sangat terharu
"Hai anak muda, kuucapkan selamat atas suksesmu itu. Hasil ujian yang kan capai benar-benar mengagumkan. Kurasa roh kekasihmu ikut membantu kesuksesanmu itu. Tapi kalau boleh aku mengutip kata-kata bijak dari Kitab Beng-cu, yang berbunyi: Hal yang dianggap paling tidak menunjukkan bakti seorang anak pada orang tua adalah kalau ia tidak mempunyai keturunan. Kata lain, ialah : Bila kita tidak memuliakan orang tua dan tidak merawatnya di hari tua itu namanya Put-hauw (tidak berbaktij."
Mendengar kata-kata Pao Kong, maka mengerti Khouw Sin Tiong maksud dan arah pembicaraan Pao Kong. Pao Kong bermaksud menganjurkan agar Khouw Sin Tiong menikahi seorang gadis.
"Maaf Yang Mulia, saya telah bersumpah tidak akan mengawini wanita lain. Biarlah saya terpaksa harus menjadi anak tak berbakti karena saya harus mempertahankan pendirian saya!" kata Khouw Sin Tiong.
"Kukira sekarang tak ada salahnya kalau kau kawin. Kukira kekasihmu itu seorang wanita bijaksana, apalagi sekarang kau telah menjadi sarjana. Aku yakin dia tak keberatan kalau kau menikahi gadis lain!" kata Jaksa Pao.
Akhirnya karena desakan Jaksa Pao, Sin Tiong mau juga menikah. Namun setiap tahun ia tetap merawat kuburan kekasihnya. sedangkan isterinya tak keberatan. Sebab ia tahu suaminya seorang yang bijaksana. Melihat kerukunan suami isteri tersebut, Jaksa Pao merasa senang.
Sejak saat itu Jaksa Pao makin terkenal karena kepandaian dan kebijaksanaannya.
*****
BAB IV SEPASANG SANDAL CURIAN
Dl IBU KOTA Ciang-ciu tinggal seorang kaya yang bernama Thio Tek Hoa. Dia mempunyai seorang isteri bernama Han Mei Lan. Han Mei Lan adalah puteri Han Eng Hoa yang berasal dari Desa Lam.
Walau mereka sudah menikah sekian lama namun mereka belum juga dikaruniai seorang anak. Melihat keadaan itu Thio Tek Hoa cemas kalau isterinya mandul. Dengan demikian mereka tidak akan memperoleh anak.
Han Mei Lan pun demikian, dia sangat gelisah dan takut tak memperoleh keturunan. Sebab di kalangan Bangsa Tionghoa bila seorang isteri tidak dapat memberikan keturunan, dia harus merelakan suaminya kawin lagi atau memelihara gundik.
Tapi karena Thio Tek Hoa seorang yang baik hati, dia tak melakukan hal itu. Dia hanya mengajak iserinya datang ke Kelenteng Tong Yong Leng. untuk bersembahyang pada Budha .Setiap tahun suami-isteri itu datang bersembahyang, terutama pada saat penyembahan tiga unsur bumi yang utama, yaitu surga, bumi dan air. Keduanya rajin berdoa dan memohon agar mereka drberkahi anak. Dan untuk memperkuat doa-doa mereka, tiap awal bulan mereka meminta salah seorang biksu dari kelenteng itu supaya datang ke rumah mereka untuk membacakan doa-doa serta membacakan kitab suci Budha
Kebetulan biksu yang mendapat tugas untuk datang ke rumah mereka adalah Biksu Gouw Wan Ceng. Namun ketika mereka mengunjungi kelenteng. maupun pada saat Biksu Gouw
datang ke rumah suami-isteri ini, di hati Biksu Gouw ada perasaan yang mengganjal. Hal ini terjadi karena Biksu Gnuw, melihat kecantikan isteri Thio Tek Hoa. Rupanya kecantikan wanita ini telah meruntuhkan iman Biksu Gouw.
Setiap kali ia diundang datang ke rumah Thio Tek Hoa, dia mencari kesempatan untuk mencuri pandang dengan isteri Thio Tek Hoa. Walaupun Thio Tek Hoa banyak menyumbang untuk kesejahteraan kelentengnya. Pada saat berdoa Biksu Gouw pun tak bisa memusatkan pikirannya. Karena selalu melirik ke arah Mei Lan yang cantik, kadang-kadang doa-doanya pun agak ngawur.
Biksu Gouw memang terkenal gila perempuan. Bahkan sebelum menjadi biksu dia orang yang jahat. Secara diam-diam Biksu Gouw mencari akal untuk mendapatkan isteri Thio Tek Hoa yang cantik itu.
Akhirnya sesudah ia berpikir keras, dia memperoleh sebuah akal dan tinggal menunggu kesempatan untuk melaksanakan rencananya itu.
Pada suatu hari karena ada keperluan penting, Thio Tek Hor harus pergi ke kota lain. Kabar kepergian Thio Tek Hoa terdengar oleh Biksu Gouw. Akhirnya dengan alasan hendak meminta sumbangan, Biksu Gouw datang ke rumah Thio Tek Hoa. Kemudian dengan cerdik Biksu Gouw menyuap pelayan keluarga Thio yang ditemuinya. Ketika mendapat uang sogokan. tentu saja pelayan yang mata duitan itu menerimanya.
"Apa maksud Tuan memberi uang padaku?" tanya pelayan
"Sebenarnya aku ingin minta bantuanmu." kata Biksu Gouw.
"Bantuan apa yang dapat saya berikan?" tanya pelayan itu.
"Aku hanya minta agar kau mencuri sepasang sandal milik nyonyamu!" kata Biksu Gouw sambil berbisik.
'Oh, kalau hanya itu baiklah, sandal itu akan kuserahkan
beberapa hari lagi!" kata si pelayan menyanggupinya. Rupanya pelayan itu berpikir apalah artinya sepasang sandal bagi sang nyonya kaya itu, sedangkan dia memperoleh uang banyak.
Setelah mendapat kesanggupan dari pelayan itu, Biksu Gouw segera kembali ke kelentengnya.
Beberapa hari kemudian ketika Biksu Gouw datang lagi ke rumah keluarga Thio, pelayan itu segera menyerahkan sepasang sandal bersulam yang bagus dan selalu ada di kamar nyonyanya itu. Sedang sang biksu yang menerima sepasang sandal itu, merasa sangat senang. Kemudian dengan langkah ringan ia kembali ke kelenteng, sedang otaknya terus bekerja membuat rencana yang akan dijalankannya.
Sesudah berhasil mencuri sepasang sandal dari rumah keluarga Thio, tiap hari biksu ini selalu menunjukkan sandal itu pada biksu-biksu lain yang ikut bersembahyang. Melihat tingkah laku Biksu Gouw tentu saja para biksu itu merasa heran.
Pada suatu hari menjelang Hari Raya Cap Go Meh (Hari Raya Lentera yakni tanggal 15 bulan satu), Thio Tek Hoa datang ke kelenteng untuk mengundang Biksu Gouw dalam upacara pembacaan doa sehubungan dengan pesta Cap Go Meh. Namun baru saja Thio Tek Hoa sampai diundakan tangga biara, ia sudah dihadang oleh seorang calon biksu. Rupanya biksu muda ini ingin mendapat hadiah besar dari Thio Tek Hoa.
Apalagi biksu kecil itu telah mengetahui tentang sepasang sandal milik isteri Thio Tek Hoa yang ada di tangan Biksu Gouw. Itu sebabnya dia menghadang Thio Tek Hoa hendak menceritakan hal itu dengan harapan akan mendapat hadiah.
"Tuan Thio, Biksu Gouw yang sering datang ke rumah Tuan, Sekarang sering menunjukkan sepasang sandal pada kami. Saya kira sandal itu milik isteri Tuan!" kata biksu muda itu.
"Ah mana mungkin" kata Thio Tek Hoa tidak percaya.
"Benar Tuan. bahkan aku dapat menunjukkan tempat sandal
itu disembunyikan!" kata biksu kecil itu berusaha meyakinkan
"Baiklah, kalau begitu sekarang lekas kau tunjukkan di mana Biksu Gouw menyimpan sandal itu!"
Sesudah itu Thio segera mengikuti biksu itu ke sebuah kamar. Setelah sampai di sana, betapa kagetnya Thio ketikb menyaksikan sepasang sandal milik isterinya berada di situ, Padahal sandal itu yang selalu disimpan di bawah tempat tidur mereka.
Karena Thio Tek Hoa seorang pencemburu, sudah tentu dia sangat marah. Kemudian dengan amarah yang meluap-luap, dia segera mencari Biksu Gouw. Ketika Biksu Gouw ditemukan, Thio Tek Hoa segera membentak,
"Hai Biksu Gouw, apakah kau mencuri sandal milik isteriku!"
Ketika mendengar tuduhan itu biksu malah menggoda Thio Tek Hoa sambil tertawa.
Akhirnya dengan marah Thio Tek Hoa lalu pulang dan melupakan tujuannya datang ke kelenteng itu. Sampai di rumahnya dia langsung menemui isterinya.
"Mei Lan, mengapa sandal milikmu ada di kamar Biksu Gouw?" bentak Thio Tek Hoa.
Namun karena isteri yang malang itu tak berdaya, dia hanya diam tak bisa membantah. Padahal dia sudah lama mencari sandalnya yang hilang entah ke mana. Dia juga yakin tak seorang laki-laki pun pernah memasuki kamarnya. Tapi karena ia tak sanggup membela diri dari tuduhan suaminya itu, maka dia diam saja. Apalagi dia tak bisa menjelaskan, mengapa sandal miliknya bisa jatuh ke tangan Biksu Gouw. Akhirnya karena isterinya diam saja, Thio Tek Hoa lalu mengambil kesimpulan. bahwa isterinya telah berbuat serong. Kemudian tanpa mengenal belas kasihan lagi dia segera menceraikan dan mengirim isterinya ke kampung halamannya di Lam-cung atau di Desa Lam. Setelah sang isteri dikembalikan kepada kedua orang tuanya, Thio Tek Hoa bersumpah tak akan menikah lagi dan pergi dari keramaian untuk mengasingkan diri.
Sementara itu Biksu Gouw yang telah mendengar kabar bahwa Mei Lan diceraikan oleh suaminya menjadi sangat senang.
"Aku harus meninggalkan biara dan kembali memasuki kehidupan duniawi." pikir Biksu Gouw.
Setelah meninggalkan biara, dia memelihara rambutnya agar tanda kebiksuannya lenyap. Setelah itu dia mengganti namanya menjadi Peng Jin, kemudian tinggal di Tai Peng-wan sebagai seorang peramal.
Dia menunggu sampai ada kesempatan yang baik untuk mengawini Mei Lan. Selama menunggu, dia terkadang bermain cinta dengan wanita lain.
Tanpa terasa dua tahun telah berlalu, namun dia tetap mencari tahu tentang keadaan Mei Lan. Sampai pada suatu hari dia mendengar kabar bahwa kedua orang tua Mei Lan berniat mengawinkan Mei Lan. Hal ini dikarenakan puteri mereka itu masih muda.
Kemudian diam-diam kedua orang tua itu mencarikan seorang comblang untuk mencarikan-jodoh bagi puterinya itu. Mendengar hal itu Biksu Gouw segera mengutus seorang wanita yang pandai bicara untuk melamar puteri Han Eng Hoa. Akhirnya karena kepandaian mak comblang yang dikirim oleh Biksu Gouw, ia dapat meyakinkan kedua orang tua Mei Lan. Apalagi mak comblang itu mengatakan bahwa Peng Jin seorang pemuda yang baik dan berpenghasilan cukup. Karena kepandaian perempuan itu, akhirnya kedua orang tua Mei Lan tertarik.
"Tapi anak kami bukan gadis lagi sebab dia sudah pernah menikah. Jika Tuanmu mau menikah dengan seorang janda, kami mau menerimanya!" kata ayah Mei Lan dengan halus.
"Kurasa Tuanku tak akan keberatan." kata mak comblang.
"Baiklah, asalkan bintang dan shio mereka cocok aku tak keberatan! " kata ibu Mei Lan.
"Sekarang aku akan pulang dulu untuk mengabarkan hal ini pada Tuanku." kata Mak Comblang itu.
Mak comblang itu segera pulang untuk melaporkan hasil kerjanya pada Peng Jin.
Setibanya di rumah majikannya, mak comblang itu segera menyampaikan apa yang dikatakan oleh orang tua Mei Lan. Setelah mendengar kabar itu, Biksu Gouw alias Peng Jin merasa sangat senang. Dengan segera dia menyuruh mak comblang itu mencari peramal. Peramal itu telah disuap oleh Peng Jin lewat mak comblangnya untuk mengatakan bahwa nama dan bintang kedua calon mempelai sangat cocok.
Setelah ada persetujuan, maka dicarilah hari dan bulan yang baik untuk melangsungkan perkawinan itu. Sebenarnya Mei Lan merasa curiga, karena dia seperti mengenal calon suaminya itu namun ia lupa dimana ia pernah berkenalan dengannya. Ketika ia teringat pada Biksu Gouw, ia tak berani memastikannya apalagi nama dan tempat tinggalnya berlainan. Lagi pula Biksu Gouw gundul, sedang calon suaminya tidak. Maka terlaksanalah perkawinan antara Mei Lan dan Peng Jin.
Malam itu malam bahagia bagi Peng Jin atau Biksu Gouw sebab cita-cita yang ditunggu selama dua tahun dapat terlaksana dengan sempurna. Malam itu ia pun bisa tidur dengan Mei Lan yang cantik. Semua itu terlaksana berkat kesabaran dan kecerdikannya.
*** Tak terasa sang waktu berjalan dengan cepat hingga tiba pada hari pesta pertengahan musim rontok, yang jatuh pada tanggal 15 bulan delapan imlek, Malam itu udaranya sangat
cerah dan nyaman, sedang rembulan memancarkan sinarnya yang indah. Di toko kue banyak dijajakan kue Tiong Ciu Pia (kue rembulan) yaitu kue yang khusus dibuat untuk menyambut musim panen.
Peng Jin dan Mei Lan sedang duduk bercengkrama sambil menikmati sinar rembulan. Mereka duduk di kebun sambil minum-minum dan mendengarkan nyanyian yang dinyanyikan oleh para pemusik di luar rumah mereka.
Namun karena sangat gembira, Peng Jin kebanyakan minum arak hingga ia jadi setengah mabuk. Dalam keadaan mabuk, Peng Jin tak bisa mengendalikan diri. Sambil mendekati isterinya, ia berkata,
"Aku yakin kau tak sadar dan tak mengetahui siapa aku ini? Andai kata aku tak menggunakan kepandaianku, kita tentu tak akan bisa bersenang-senang seperti sekarang!"
"Hai apa maksud kata-katamu itu?" tanya Mei Lan minta penjelasan.
Peng Jin yang tak bisa menahan diri Segera bercerita,
"Sebenarnya aku dibantu oleh pelayanmu yang telah kusuap untuk mengambil sepasang sandal milikmu. Saat itu kau masih menjadi isteri Thio Tek Hoa. Setelah kau diceraikan, aku masih menunggu sampai dua tahun. Hingga akhirnya kita dapat menikah!"
Mendengar keterangan suaminya, tentu saja Mei Lan kaget. Namun sekarang dia sadar, kenapa ketika pertama kali ia dipertemukan dengan calon suami ini dia begitu curiga. Kini semua telah terjawab bahwa Peng Jin adalah Biksu Gouw yang telah memperdaya suami pertamanya . Pantas ia merasa bahwa ia pernah mengenali wajah calon suaminya itu. Pada mulanya dia juga kurang suka, tapi karena harus menurut kehendak orang tuanya terpaksa Mei Lan berusaha untuk menjadi isteri yang baik dan patuh. Sekarang ia tahu bahwa suaminya ini adalah
manusia jahat yang pernah memfitnah dirinya hingga dia harus menanggung malu. Akhirnya Mei Lan bertambah jijik pada suaminya ini. Saat itu ia tak ingin lagi hidup bersama suaminya yang jahat. Dalam hati Mei Lan memutuskan untuk membalas dendam dan sekaligus akan mencelakakan suaminya yang jahat ini.
Sesudah menceritakan semua perbuatan kejinya, Peng Jin minum-minum sampai akhirnya ia tertidur lelap. Ketika esok harinya ketika ia bangun. betapa kagetnya dia sebab dalam kamarnya Mei Lan telah tergantung mati. Tubuh isterinya sedang terayun-ayun pada ikat pinggangnya dengan leher terikat. Badannya sudah dingin dan tak bernyawa lagi. Kematian isterinya telah membuat Peng Jin panik. Apalagi dalam sekejap kabar kematian Mei Lan telah tersebar luas .Tak lama ayah dan ibu Mei Lan datang menjenguk.
******
"Mengapa isterimu sampai bunuh diri?" tanya mereka.
"Entahlah aku juga tidak tahu mengapa dia sampai bunuh diri?" jawab Peng Jin berbohong.
Rupanya Peng Jin tak mau rahasianya terbongkar. Namun dari para tetangga Peng Jin, ayah dan ibu Mei Lan mengetahui bahwa sejak menikah Mei Lan tampak kurang bahagia. Di kalangan bangsa Tionghoa hal itu sudah umum, bila seorang sudah tak dapat menanggung perasaan dukanya lagi, ia akan mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri.
' Sedangkan umum beranggapan, tak mungkin seorang akan bunuh diri tanpa alasan yang kuat. Dengan demikian mereka menganggap bahwa Mei Lan bunuh diri karena kurang bahagia dalam perkawinannya. Sedang dari tetangganya, ayah Mei Lan tahu bahwa Peng Jin bukan seorang laki-laki yang baik, dia gemar minum-minum dan foya-foya. Terakhir ayah Mei Lan mendapat keterangan bahwa Peng Jin ternyata bekas seorang pendeta di Kelenteng Tong Yong Leng. Bahkan dia dikabarkan sebagai orang yang paling bertanggung jawab atas keretakan
rumah tangga puterinya .Mendengar berbagai keterangan yang bisa dikumpulkan, akhirnya ayah Mei Lan mengadukan nasib buruk puterinya itu pada Jaksa Pao. Sesudah dipertimbangkannya masak-masak, pada suatu hari ia menulis surat pengaduan pada Jaksa Pao.
Yang Mulia Jaksa Pao,
Untuk melindungi nama baik puteri kami dari aib dan cemar, maka dengan terpaksa perkara kematiannya saya adukan pada Yang Mulia. Kami yakin kematian puteri kami suatu usaha pembunuhan. Karena terpaksa, ia mengambil jalan yang sesat. Mungkin ia sudah tak sanggup lagi menanggung derita dalam hidupnya. Sebelumnya ia memang pernah menikah dengan Thio Tek Hoa, namun karena tuduhan berbuat serong, puteri kami diceraikan oleh suaminya yang pertama. Kemudian ia menikah lagi dengan Peng Jin, yang kemudian kami ketahui bahwa namanya itu nama palsu. Sebenarnya ia bernama Gouw Wan Ceng dan menurut keterangan yang hamba dapat dia juga ikut andil dalam peristiwa percerajan puteri kami dengan suaminya yang pertama. Dialah yang menyebarkan kabar bohong bahwa puteri kami telah berbuat serong dengannya. Sebagai bukti perbuatan serong itu dia menunjukan sepasang sandal puteri kami yang dicurinya. Suami puteri kami yang pencemburu langsung menceraikan puteri kami dengan tuduhan puteri kami telah berzinah. Itu sebabnya kami terpaksa menerima nasib dan menerima puteri kami pulang. Dua tahun kemudian puteri kami menikah lagi dengan Peng Jin yang ternyata orang yang memfitnahnya. Selain itu Peng Jin juga seorang pemabuk. Karena tidak tahan akhirnya puteri kami mengambil jalan pintas itu. Maka kami memberanikan diri untuk mengadukan soal ini pada Yang Mulia. Kami mohon Yang Mulia mau memperhatikan keluhan kami ini sebab kami yakin kematian puteri kami itu tidak wajar, ia merasa diperlakukan dengan sewenang-wenang sehingga ia mengambil jalan sesat menggantung diri. Sekarang
ia telah tiada, tapi jika penjahat yang menyebabkan kematian puteri kami masih bebas, saya yakin roh puteri kami tak akan tenang. Semoga Yang Mulia menaruh perhatian pada laporan kami dan dapat menjatuhkan hukuman yang setimpal pada pelaku pembunuhan puteri kami. Dengan ini tak lupa kami ucapkan terima kasih pada Yang Mulia.
Tertanda Han Eng Hoa
******
Setelah membaca surat pengaduan tersebut, Pao Kong kaget .Dia sangat menaruh perhatian pada peristiwa itu, lalu dengan cepat memerintahkan Thio Liong dan Tio Houw untuk mengadakan penyelidikan. Tapi semua itu dilakukannya dengan cara diam-diam dan di tempat-tempat tertentu. Sedangkan Pao Kong bergegas ke rumah Peng Jin untuk memeriksa mayat Mei Lan. Ketika Pao Kong tiba, Peng Jin sedang membuat sajak pujian sebagai tanda belasungkawa serta pernyataan cintanya pada sang isteri. Namun ketika rumahnya didatangi Jaksa Pao, dia jadi kaget sekali. Dia tidak mengira kalau Jaksa Pao akan datang ke rumahnya begitu cepat. Dengan cepat ia segera bangkit dari meja tulisnya, lalu memberi hormat kepada Jaksa Pao.
"Aku akan memeriksa mayat isterimu." kata Jaksa Pao kepada Peng Jin
"Silakan Yang Mulia!'. kata Peng Jin yang segera mengantarkan Jaksa Pao ke kamarnya.
Jaksa Pao segera memperhatikan mayat Mei Lan yang dibaringkan di atas tempat tidur. Saat itu wajah Mei Lan tampak biru kehitaman, mungkin karena darahnya yang tertahan. Namun sesudah diperiksa tak ada tanda-tanda penganiayaan lain, kecuali bekas tali ikat pinggang Mei Lan yang membekas pada lehernya.
"Anda adalah seorang warga negara yang patuh pada
undang-undang. Kukira kematian isterimu merupakan sebuah cobaan yang berat bagi Anda. Tentunya saudara sedih kehilangan isterimu yang tercinta! Oleh sebab itu saya harap Anda tak terlalu berduka, dan terimalah tanda belasungkawa dariku padamu. Sebenarnya aku tak ingin menambah duka citamu, namun karena sudah kewajibanku dengan terpaksa aku harus memeriksa jenazah isterimu. Tapi maaf aku harus memeriksa seluruh tubuh isterimu demi untuk kepentingan negara. Kalau mungkin ada hal-hal yang kurang menyenangkan aku minta maaf. Hal ini terpaksa kulakukan. Mungkin saja ini suatu peristiwa bunuh diri biasa, tapi yang kuperiksa bukan bagaimana cara meninggalnya, tapi kenapa dia sampai bunuh diri?" kata Jaksa Pao kepada Peng Jin.
Sesudah Jaksa Pao memeriksa dengan teliti, ia lalu berkata lagi,
"Kukiranya tak ada hal yang mencurigakan pada mayat isterimu. Dengan demikian sekarang mayat ini sudah boleh dimasukkan ke dalam peti mati. Namun aku harap besok Anda mau datang ke kantorku, ada hal yang ingin kutanyakan pada Anda!"
"Baik, Yang Mulia. Tapi apa yang akan Yang Mulia tanyakan?" kata Peng Jin.
"Ah cuma pertanyaan rutin, tapi itu sudah menjadi suatu keharusan!" jawab Jaksa Pao.
"Baiklah!" kata Peng Jin.
Walau mulutnya mengatakan baik, tapi sebenarnya hatinya tak senang karena diharuskan datang ke kantor kejaksaan. Tapi dia terpaksa harus mentaatinya. karena sudah menjadi kewajibannya unutk menjawab semua pertanyaan Jaksa Pao di kantor pengadilan.
Ketika Jaksa Pao mendapat laporan dari anak buahnya tentang hasil penyelidikan mereka, Jaksa Pao segera memanggil bekas suami Mei Lan. Hal ini disebabkan bekas suami Mei Lan
ini akan dijadikan saksi utama. Ternyata Pao kong sangat teliti melakukan penyelidikan. Kalau Peng Jin memiliki ilmu gaib sehingga dia dapat menghilang, mungkin barulah dia bisa lolos dari jebakan Pao Kong.
Esok harinya, sesuai panggilan Peng Jin datang ke pengadilan. Namun betapa kagetnya Peng Jin, ketika ia lihat Thio Tek Hoa ada di antara orang yang hadir di pengadilan itu. Ketika dia mencoba hendak kabur, Thio Liong dan Tio Houw segera menghadang dan menangkapnya. Kemudian dengan cepat Peng Jin diborgol, lalu di dadanya diletakkan sebuah papan dengan tulisan "Pembunuh".
Tak lama Jaksa Pao menghampiri Peng Jin. _
"Jangan kaget, kau tentu tahu apa yang telah kau lakukan .Katakanlah dengan jujur! Jangan bermimpi kau bisa meloloskan diri, Bung! Kukira kau harus bertanggung jawab atas kematian isterimu, sebab kaulah yang telah membunuhannya! Sekarang apa yang hendak kau katakan?" kata Pao Kong.
Mendengar tuduhan Pao Kong, Peng Jin kelihatan sangat gugup.
"Aku bersumpah, aku tidak membunuh isteriku! Hubungan kami sangat baik!" bantah Peng Jin.
"Betulkah begitu? Aku harap Anda tidak mempersulit proses pengadilan. Sekarang aku ingin bertanya, apakah benar dulu kau bernama Gouw Wan Ceng?"
"Bukan! Namaku Peng Jin!" katanya menyangkal.
Sekalipun Pao Kong telah berulang kali mendesaknya, ia tetap bertahan dan menyangkal, bahwa namanya bukan Gouw Wan Ceng tapi Peng Jin.
Tak lama Jaksa Pao memanggil Thio Tek Hoa. Setelah Thio Tek Hoa datang. Jaksa Pao negera bertanya pada Peng Jin,
"Apakah kau mengenal dia?"
"Tidak Yang Mulia, aku tidak kenal!" tangkal Peng Jin.
"Bagus," kata Pao Kong, tak lama dia bertanya pada Thio Tek Hoa,
"Apakah Tuan Thio kenal padanya?"
"Ya Yang Mulia, tentu saja saya kenal dengan terdakwa ini. Dia adalah Biksu Gouw yang telah menyebabkan perceraian kami Yang Mulia!"
Kemudian dengan hati-hati Thio Tek Hoa menceritakan semua yang terjadi.
Sesudah Thio Tek Hoa selesai bicara, Peng Jin lalu berkata,
"Yang Mulia, maaf saya kira dia salah! Saya bukan Biksu Gouw tapi Peng Jin. Saya belum pernah ditahbiskan menjadi Biksu Budha, sungguh Yang Mulia!"
"Benar begitu?"
"Sungguh Yang Mulia!" jawab Peng Jin.
"Jawab yang benar, kalau kau tak mau kusiksa!" kata Jaksa Pao.
Namun Peng Jin alias Biksu Gouw tetap saja menolak tuduhan itu. Akhirnya Pao Kong segera memerintahkan orang orangnya untuk mengambil penjepit. Ketika penjepit itu dipasang di kaki Peng Jin, alat itu lalu dikeraskan hingga Peng Jin tampak kesakitan. Walaupun demikian dia tetap bertahan dan menyangkal semua tuduhan.
"Yang Mulia, saya bukan Biksu Gouw. Saya bukan pembunuh isteri saya! Saya berani bersumpah, itu sungguh bukan kesalahan saya!" kata Peng Jin tetap bandel.
Jaksa Pao tampak hampir kehabisan akal, ia segera berpikir keras. Tiba-tiba Pao Kong teringat sesuatu.
"Coba kalian cukur rambutnya!" perintah Pao Kong pada anak buahnya.
Mendengar perintah itu Peng Jin jadi kaget sebab ia takut rahasianya akan terbongkar. Rupanya Pao Kong ingat, kalau
seorang biksu pada ditahbiskan maka pada kepalanya akan diberi tanda dengan bio. Dengan demikan kulit kepala yang terbakar itu akan meninggalkan tanda bekas api. Cara pentahbisan ini untuk membuktikan bahwa calon biksu itu tahan menderita dan dia mau menjalankan penderitaan itu untuk orang lain.
Ketika pegawai pengadilan hendak mencukurnya, Peng Jin mencoba berontak. Tapi usahanya itu sia-sia sebab penjepit pada tangan dan kakinya diperkeras sehingga ia menjerit-jerit kesakitan. Seorang pegawai pengadilan segera mencukur rambut Peng Jin. Akhirnya Peng Jin terpaksa membiarkan dirinya digunduli. Sesudah rambutnya bersih maka terlihat bekas kulit terbakar di kepalanya. Itu suatu bukti yang tak dapat disangkal lagi. Sedangkan orang-orang yang hadir mengikuti pengadilan itu memekik keheranan. Akhirnya Peng Jin tak bisa menyangkal lagi. dia segera mengakui semua perbuatannya. Setelah berkas pengakuan Peng Jin ditandatangani, Jaksa Pao kemudian menjatuhkan hukumannya.
"Atas perbuatanmu yang keji, maka kau kuhukum sama dengan hukuman seorang pembunuh. Dalam kitab undang undang, hukuman yang harus kau jalankan adalah hukuman picis sampai mati dan semua bartamu disita untuk negara!" kata Jaksa Pao.
Mendengar putusan Jaksa Pao, Peng Jin alias Gouw Wan Ceng diam bagai orang linglung. Sesudah itu ia menunduk sambil membaca doa. Rupanya ia sadar kalau perbuatanmu sangat jahat. Tiba-tiba ia teringat kembali pada panggilan hati sebagai seorang biksu. Ia pun memuji-muji nama Budha Yang Maha Pengasih Dan Penyayang itu.
Untung Jaksa Pao bisa membuktikan kesalahannya. kalau tidak orang tak akan percaya Biksu Gouw itu seorang yang jahat
******
BAB V PAKU MAUT
SUATU hari Pao Kong yang selalu dikawal oleh Thio Liong dan Tio Houw sampai di suatu daerah pegunungan yang sangat sepi. Pemandangan di sekitar pegunungan itu sangatlah indah. Tak jauh dari pegunungan itu terdapat sebuah tanah pekuburan.
Ketika Pao Kong sedang asyik mengawasi indahnya pemandangan di tempat itu, Pao Kong melihat ada rombongan orang yang sedang mengantar peti jenazah yang akan dikuburkan.
Barisan yang berjalan paling depan adalah para penggotong peti jenazah, sedangkan barisan di belakangnya adalah pengiring jenazah terdiri dari keluarga yang ditinggal mati. Di antara para pengiring jenazah tampak seorang wanita sedang berjalan mengikuti jenazah sambil menangis di sepanjang jalan. Jika dilihat dari pakaian berkabung yang dikenakan, jelas bahwa wanita itu seorang anggota keluarga yang ditinggalkan.
Namun sedikit pun Pao Kong tidak tertarik pada iring iringan orang yang akan mengubur jenazah tersebut sebab dia pikir tidak ada yang aneh dari iring-iringan jenazah itu. Biasanya dalam rombongan itu paling-paling dia akan menyaksikan orang yang berduka karena ditinggalkan oleh salah seorang keluarganya. Ketika rombongan itu akan lewat di depan mereka, Pao Kong memerintahkan Thio Liong dan Tio Houw supaya memberi jalan pada rombongan para pengubur itu.
Tiba-tiba saja angin bertiup amat kencang hingga menyebabkan daun-daun berguguran dan tersingkapnya pakaian
berkabung wanita yang sedang menangis dengan sedih itu.
Seperti ditarik besi berani, Pao Kong jadi tertarik dan menaruh perhatian pada wanita itu. Pao Kong yang kebetulan berada di samping wanita itu jadi keheranan.
"Ah mengapa wanita yang sedang berkabung ini memakai pakaian dalam berwarna merah?" pikir Pao Kong.
Wanita itu pun kaget ketika beradu pandang dengan Pao Kong yang mengawasi ke arahnya. Dengan agak tersipu wanita itu segera memperbaiki pakaian luarnya dan menghentikan sejenak tangisannya.
Sesudah menyaksikan kejadian yang ganjil itu, Pao Kong yang terkenal teliti terus memperhatikan pakaian dan wajah wanita itu. Dari hasil pengamatannya Pao Kong dapat mengetahui bahwa walaupun wanita itu menangis tapi dia tidak mengeluarkan air mata.
"Hm jangan-jangan wanita ini hanya pura-pura menangis." pikir Pao Kong.
Karena tertarik Pao Kong lalu mengikuti iring-iringan jenazah dari jarak yang agak jauh.
Sesampainya rombongan itu di tempat pemakaman, seorang yang bertubuh tinggi besar mulai menggali lubang kubur. Sedangkan batu nisan sudah ada di dekat peti mati. Pao Kong menghampiri batu nisan itu, lalu membaca tulisan yang tertera di situ.
"Oh, yang meninggal Lauw Sip Ji...!"
Setelah membaca batu nisan itu Pao Kong segera ' menghampiri penggali kubur.
"Tuan, apakah kau tahu Lauw Sip Ji berasal dari kampung mana?" tanya Pao Kong.
Penggali kubur itu memandangi Pao Kong, lalu menjawab,
"Lauw Sip Ji berasal dari Kampung Marga Lauw! Ada apa, Tuan?"
"Akh sayang...aku terlambat! Ternyata dia sudah meninggal..." kata Pao Kong.
"Memang Tuan apanya?" tanya orang itu.
"Aku sahabatnya, beberapa hari yang lalu aku berjanji akan menemuinya, tapi sayang dia sudah meninggal!" kata Pao Kong.
Melihat Pao Kong sedang asyik berbicara dengan penggali kubur itu, wanita yang menangis tadi menghentikan tangisannya lalu menghampiri Pao Kong sambil berkata,
"Jadi Anda sahabat suami saya? Kenalkan saya isterinya..Tapi heran, saya belum pernah melihat Tuan?"
Dengan cepat Pao Kong menyahut,
"Oh maaf So, sudah berapa lama Soso kawin dengan dia?"
"Sudah lima tahun, memang kenapa?" tanya wanita itu.
"Oh pantas kita tidak saling kenal, sudah belasan tahun aku tak pernah bertemu dengan suamimu...ah sayang. Kalau boleh aku tahu, apa penyebab kematian suamimu? Apakah dia sakit?" tanya Pao Kong.
"Bukan! Dia bukan meninggal karena sakit!" jawab wanita itu.
"Lalu apa yang menyebabkan dia meninggal?" tanya Pao Kong penasaran.


Jaksa Pao Dalam Paku Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Seperti sukar untuk menjawab pertanyaan Pao Kong, wanita itu malah menangis sedih sekali.
Sesudah agak lama baru ia berkata lagi,
"ia meninggal karena terlalu banyak minum. Dalam rangka merayakan hari ulang tahunnya. kemarin dia minum sampai mabuk. Esok
paginya dia meninggal."
Pao Kong hanya manggut-manggut, tapi otaknya bekerja keras. Dia tidak percaya pada keterangan wanita itu.
Tak lama wanita itu melanjutkan keterangannya,
"Ia minum bersama orang-orang yang mengantarkan jenazahnya sekarang!"
Seseorang menghampiri mereka.
"Aku adalah paman Lauw. Dia adalah Ho Eng, isteri Lauw Sip sedangkan si penggali kubur tadi bernama Gouw In." kata orang Itu.
Pao Kong mengucapkan terima kasih atas keterangan itu.
"Kudengar Tuan tadi mengaku sahabat almarhum Lauw Sip Ji, benar begitu?" tanya paman Lauw.
"Ya." jawab Pao Kong sambil mengangguk.
"Karena Anda sahabatnya, sebaiknya kau datang ke rumahnya malam ini. Kuminta Tuan mau membantu mengurus sesuatu di sana!" kata Paman Lauw.
"Sahabatku sudah mati, apa lagi yang harus kuurus?" kata Pao Kong.
"Banyak. Ada sesuatu yang perlu dibereskan!" jawab Ho
Eng. Pao Kong berpikir sejenak, sesudah itu lalu menyahut,
"Baiklah kalau begitu, nanti aku datang!"
"Selesai pemakaman, kau boleh pulang bersama-sama kami!" kata paman Lauw.
Pao Kong mengangguk, ia lalu menyaksikan pemakaman sampai selesai. Ketika rombongan pulang, Pao Kong bersama dua orang anak buahnya ikut ke rumah keluarga Lauw. Malam harinya banyak orang berkumpul di ruang tamu, terutama para keluarga yang ditinggalkan. Karena banyaknya orang yang datang, banyak tamu tak kebagian tempat duduk sehingga terpaksa harus berdiri. Ma Ho Eng (isteri Lauw Siu Ji) masih
menangis dengan sedih.
Sesudah orang makan dan minum, tiba-tiba paman Lauw berdiri di tengah-tengah para tamu, lalu dia berpidato,
"Aku adalah paman dari Lauw Sip Ji...Karena almarhum tidak mempunyai anak dan hanya meninggalkan seorang isteri maka kita harus memperhatikan masa depan wanita ini...."
Belum habis ucapan paman Lauw tersebut, Gouw In sudah menyambung kata-kata tuan rumah,
"Tepat sekali! Aku sahabat almarhum, sedangkan Kanda ini pun mengaku sahabatnya,
" katanya sambil menunjuk ke arah Pao Kong,
"Oleh karena itu kita harus bersamasama memikirkan nasib janda almarhum agar ia tak sampai terlantar hidupnya...."
"Kurasa itu tak mudah, bahkan sulit sebab janda almarhum masih muda..." kata Pao Kong.
"Maksud Tuan, Anda kurang yakin kalau janda almarhum akan tetap setia pada almarhum suaminya, begitu?" tanya paman Lauw.
"Ya, bagaimana maksudmu? Kurasa dia sangat berduka atas kematian suaminya, lalu kenapa Tuan berkata begitu?" kata Gouw ln.
"Maaf bukan aku lancang. Tadi siang di tanah pekuburan aku sempat melihat pakaian dalam wanita itu berwama merah..." kata Pao Kong.
"Jadi Tuan kira ia tak akan bisa tetap menjanda, begitu?" kata paman Lauw.
"Aku pribadi berpendapat demikian, entahlah Tuan-Tuan sekalian?" jawab Pao Kong.
"Menurut peraturan di desa kami, kepala kampung yang sekaligus pimpinan Marga Lauw adalah orang yang berhak menentukan apakah seorang janda yang ditinggal mati oleh suaminya yang berasal dari Marga Lauw boleh kawin lagi atau tidak!" kata paman Lauw
uouw ia ikut bicara,
"Anda adalah kepala kampung di Sini! jadi Andalah yang berhak menentukan hal itu!"
"Sesudah kupikirkan dan kupertimbangkan, aku berpendapat tak baik Ma Ho Eng terus menjanda .Alasanku karena Ma Ho Eng masih muda!" kata paman Lauw.
"Jadi maksudmu sebaiknya janda itu menikah lagi?" tanya Gouw In.
"Cuma itu cara yang terbaik," kata paman Lauw tanpa berpikir lagi.
Mendengar keputusan paman Lauw demikian, Ma Ho Eng yang sedang duduk, bangun dan menghampiri meja sembahyang. Dia lalu menangis meraung-raung,
"Oh suamiku, para kerabat dan sahabatmu telah memaksaku supaya kawin lagi! Sungguh kejam mereka!"
Melihat wanita itu menangis Pao Kong mendekati sambil berkata,
"Jadi kau tak bersedia kawin lagi?"
Mendengar teguran Pao Kong, Ho Eng melirik dengan sudut matanya, tapi kemudian menangis lagi. Maksud dia untuk menunjukkan betapa sedihnya dia karena dipaksa kawin lagi
Sambil menangis wanita itu lalu berkata,
"Jika seluruh keluarga Lauw menghendakinya demikian, apa boleh buat aku menurut saja."
Ucapan Ho Eng dilanjutkan dengan tangisan yang memilukan.
"Aku kira itu suatu keputusan yang tepat dan sangat baik .Mulai hari ini, barang-barang almarhum di rumah ini menjadi milik keluarga besar marga Lauw. Jadi sekarang kau boleh pergi dari sini tanpa membawa sepotong barang milik suamimu! Kau harus pergi dari sini seperti ketika kau datang tak membumi apa-apa!" kata paman Lauw.
Mendengar kata-kata itu Ho Eng menjerit kaget.
"Apa? Aku tak mendapat sedikit harta pun dari mendiang suamiku? Oh itu tidak adil! Kejam! Kejam!" jeritnya.
"Maaf, semua itu sudah menjadi peraturan keluarga besar Marga Lauw sejak dahulu!" kata paman Lauw.
Ma Ho Eng meraung-raung lebih sedih dari sebelum ada keputusan itu. Rupanya ia bertambah sedih meratapi harta bekas suaminya yang harus jatuh ke tangan keluarga besar Marga Lauw. Ia mencoba lari dan berkata akan mengadukan hal itu ke pusara suaminya. Gouw In mencoba menghalanginya, tapi tak berhasil sebab Ho Eng sudah lari ke luar, Terpaksa Gouw ln mengejar janda sahabatnya itu. Melihat janda bekas keponakannya lari, paman Lauw tak memperdulikannya sama sekali. Malah ia tertawa dingin, dan berpesan pada pemuda Marga Lauw,
"Mulai malam ini, kalian harus menjaga barang-barang di rumah ini. Ingat usahakan jangan sampai wanita itu mengambil sepotong pun dari barang yang ada di rumah ini!"
"Kukira kalian terlalu ketat berpegang pada tradisi marga ini, aku kira barang milik almarhum sangat banyak!" kata Pao Kong.
Mendengar kata-kata Pao Kong, paman Lauw tampak sangat marah. Ia benci pada Pao Kong yang terlalu ikut campur dalam urusan Marga Lauw. .
Kemudian paman Lauw berkata dengan ketus,
"Ya. kami berpegang teguh pada adat kami, kau pun jangan mengharap dapat bagian. Lebih baik kau pergi cari dia. Lekas pergi dari sini!"
Pao Kong panas hatinya tapi ia mencoba menyabarkan hatinya, lalu berkata,
"Baik, akan kucari dia!"
Pao Kong lalu mengajak Tio Houw dan Thio Liong untuk menyusul wanita itu ke kuburan suaminya pada malam itu juga.
Sementara itu Ho Eng yang berlari sambil menangis, dlkejar oleh Gouw In sambil memanggil-manggil namanya. Namun Ho Eng yang tak peduli dengan panggilan itu terus berlari ke arah kuburan suaminya. Sesampai di depan nisan suaminya, wanita malang ini menjatuhkan diri, lalu menangis. Sedangkan Pao Kong hanya mengikutinya dari jarak jauh saja .Mereka berdua seperti sedang membicarakan 'sesuatu. Pao Kong tidak tahu apa yang mereka bicarakan sebab jarak mereka terlalu jauh.
Pao Kong segera memberi perintah kepada kedua anak buahnya sambil berbisik. Kemudian dia segera menghampiri kedua orang yang ada di depan kuburan Lauw Sip Ji itu.
Ketika dua orang itu mendengar ada langkah orang, tiba-tiba Ho Eng hendak membenturkan kepalanya ke batu nisan .Untung Gouw In segera menghalanginya, kalau tidak wanita malang itu pasti mati. Sesudah usahanya gagal, Ho Eng lalu menangis dan lari. Tio Houw dan Thio Liong mencoba menghadang wanita itu. Melihat ia dihadang, tiba-tiba wanita itu menjatuhkan diri di tepi jalan.
Pao Kong yang merasa kasihan lalu menghampirinya .Ia menghiburnya sambil berkata,
"Harap Enso jangan berduka. mari kita pulang."
"Oh, terima kasih atas pertolonganmu, Tuan. Jika Tuan mau mengantarkan saya, saya tenang!" kata perempuan itu,
"Ya, sebaiknya Tuan antarkan dia. Maaf saya akan pulang dahulu!" kata Thio Liong yang segera meninggalkan mereka.
Gouw In yang dapat menyusul segera memberi hormat pada Pao Kong,
"Terima kasih Tuan, jika Tuan mau mengantarkan dia pulang. Sekarang aku akan pulang dulu!" katanya.
Gouw In lalu pergi meninggalkan mereka hendak pulang ke rumahnya.
Setelah Gouw In pulang, Pao Kong segera mengajak Ho Eng pulang. Perlahan-lahan wanita itu bangun, lalu berjalan
sambil menangis diiring oleh Pao Kong dan Tio Houw.
"Kiranya keluarga besar-mu telah memaksaku kawin lagi Sip Ji," ratap Ho Eng.
"Mereka sungguh kejam, aku tak diperbolehkan membawa apa-apa dari rumahmu! Lalu bagaimana nasibku kelak, kepada siapa aku harus bergantung?"
"Sudahlah, So! Kuharap kau jangan cemas," kata Pao Kong,
'Jika Enso tak menampik, kebetulan isteri saudara Tio Houw pun baru saja meninggal. Aku mau jadi perantaramu jika kan mau menerima dia!"
"Tuan ini benar! Sekali pun aku bukan orang kaya, tapi untuk biaya hidup sehari-hari aku punya. Ditambah pula saudara misanku juga kerja di kantor wedana. Jika perlu dia bisa membantumu mengurus warisan suamimu almarhum!" kata Tio Houw.
Mendengar bujuk rayu Tio Houw, Ho Eng rupanya tertarik. Dia segera mempertimbangkan usul Tio Houw itu.
Kemudian ia berkata,
"Oh terima kasih atas perhatianmu, Tuan Tio. Jika kau mau memperisteri saya, saya senang. Sekali pun warisan itu tidak bisa kita kuasai, namun aku masih mempunyai harta hadiah suamiku almarhum. Jika kau sungguh-sungguh, maukah nanti malam jam tiga kau datang ke kamarku. Barang-barang itu akan kutitipkan padamu!"
"Aku setuju!" jawab Tio Houw.
Sesampai di rumah keluarga Lauw, Ho Eng masuk ke kamar tidurnya. Tamu-tamu pun sudah pulang semua, sedang Pao Kong dan Tio Houw tidur di luar, di kursi tamu. Selain Pao Kong dan Tio Houw, beberapa pemuda Marga Lauw pun tidur di situ.
Jam berjalan dengan cepat, belum ada jam tiga keadaan sudah sunyi. Pao Kong yang pura-pura tidur segera bangun dengan perlahan-lahan. Kebetulan Tio Houw pun sudah bangun. Dengan satu isyarat dari Pao Kong, Tio Houw lalu berjalan menuju ke ruang dalam.
Kemudian dengan hati-hati dia menghampiri kamar Ho Eng lalu mengintai ke dalam kamar. Dari sebuah celah Tio Houw dapat melihat di pembaringan Ho Eng ada dua bungkusan besar, Sudah pasti bungkusan itu berisi barang-barang berharga. San itu Ho Eng tampak sangat gelisah di tepi pembaringan. Tio Houw yakin wanita itu sedang menunggu seseorang tapi yang pasti bukan dia sebab ia dijanjikan datang tepat jam tiga pagi.
Ketika Ho Eng mendengar sebuah suara, ia bangkit dari pembaringannya, lalu membuka pintu. Kemudian mengawasi ke arah taman. Karena tak melihat siapa pun ada di sana, ia menutup kembali pintu kamarnya. Lalu dengan wajah gelisah ia hilir mudik di dalam kamarnya. Karena Tio Houw mengira Ho Eng sedang menanti kedatangannya, Tio Houw bermaksud masuk ke kamar janda itu, Tapi baru saja ia mau mengetuk pintu, ia melihat di taman belakang ada bayangan yang melintas. Tio Houw memperhatikan bayangan orang itu, ternyata orang itu mengenakan topeng sehingga dia tak dapat mengenali bayangan itu. Tio Houw segera bersembunyi sambil mengawasi gerak gerik orang itu.
Orang itu langsung ke kamar Ho Eng, lalu mengetuk pintu dengan perlahan. Sesudah pintu dibuka ia masuk ke dalam kamar Ho Eng. Tapi tak lama sesudah bayangan itu ada di dalam, Tio Houw yang penasaran melangkah hendak mengintai. Namun gerakannya terdengar oleh Ho Eng yang segera memberi tanda pada orang bertopeng itu. Dengan cepat orang itu meraih kedua bungkusan yang ada di atas pembaringan Ho Eng. seolah-olah bayangan itu akan mengambil kedua bungkusan milik Ho Eng. Sedangkan Ho Eng berusaha mempertahankan kedua bungkusaan itu. Ho Eng didorong oleh orang itu hingga ia jatuh terguling di lantai kamarnya. Ketika orang itu melompat ke luar, ia dihadang oleh Tio Houw. Sesudah berkelahi beberapi jurus, ia segera melompat ke atas tembok, kemudian melemparkan bungkusan yang dibawanya ke arah 'Tio Houw. Tio Houw
yang kaget segera menyambut datangnya bungkusan itu. ketika ia mencoba mengejarnya, bayangan itu sudah lenyap dari pandangannya.
Tak lama terdengar teriakan di kamar Ho Eng,
"Maling! Tolong ada maling! "
Ternyata teriakan wanita itu membuat seisi rumah itu terbangun. Mereka segera memburu ke arah kamar Ho Eng. Melihat 'Tio Houw sedang memegangi bantalan, orang-orang mengira Tio Houw malingnya. Kemudian beramai-ramai mereka memukuli Tio Houw yang berteriak-teriak sambil membela diri.
"Aku bukan pencuri! Pencuri itu telah kabur!" kata Tio Houw.
Tapi orang-orang itu tetap menyerangnya. Sekali pun Tio Houw pandai silat, namun karena dikepung oleh orang demikian banyak, ia kewalahan juga.
"Hentikan, aku bukan pencuri!" teriak Tio Houw.
Tiba-tiba paman Lauw muncul.
"Bungkusan apa yang kau pegang itu?"
Tiba-tiba Ho Eng muncul dari kamarnya.
"itu bungkusan milik saya." katanya.
Ketika Tio Houw memberi penjelasan, orang-orang dari Marga Lauw tak menghiraukannya. Mereka terus saja meringkus dirinya sehingga Tio Houw tak sempat membela diri lagi.
"Mari kita tangkap temannya!" kata paman Lauw.
Mendapat perintah itu, seperti berlomba para pemuda dari Marga Lauw masuk ke ruang tengah hendak menangkap Jaksa Pao. Namun begitu mereka sampai, dilihatnya Pao Kong sedang duduk dengan tenang, seolah tak takut ditangkap karena merasa tak berdosa. '
"Tangkap dia! Jangan sampai ia lolos dari sini!" kata paman Lauw memberi komando pada anak buahnya.
"Sabar! Sabar, aku tak akan lari percayalah! Kalian harus tenang agar semua persoalan bisa kita urus secara baik-baik. Memang apa yang terjadi Tuan-tuan?" kata Pao Kong dengan sikap tetap tenang.
"Sungguh licik kalian! Apakah kau masih berani berpura. pura? Ingat kau tak bisa lolos dari sini! Lihat siapa dia, bukankah dia temanmu?" kata paman Lauw.
"Benar, ia temanku. Lalu kenapa?" tanya Pao Kong.
"Dia pencuri! Coba kau lihat barang bukti ditangannya itu!" kata paman Lauw sengit.
"Tuan Lauw, kuharap kau bisa tenang! Seandainya temanku ini pencuri, masakan ia hanya mencuri buntalan yang tak berharga ini? Coba saja kalian renungkan sejenak, Tuan-tuan!" kata Pao Kong.
Mendengar kata-kata Pao Kong yang cukup beralasan itu, hati paman Lauw lunak. Ia mengangguk tanda ia bisa bersabar sedikit. Semua diam mengawasi ke arah Pao Kong.
Tapi tak lama Ho Eng berkata lagi,
"Sebuah bungkusanku telah dibawa kabur oleh maling yang seorang lagi. Rupanya ia mengira buntalanku itu berharga, padahal buntalan pakaian itu hendak kubawa pulang ke rumah orang tuaku!"
Namun semua diam tak ada yang menanggapi kata-kata Ho Eng. Akhirnya paman Lauw memperhatikan ke arah Pao Kong, dan dia teringat sesuatu.
"Eh bukankah kalian datang bertiga? Kemana yang seorang lagi?" :
"Ketika selesai penguburan jenazah Lauw Sip Ji, teman kam! pulang dulu!" kata Pao Kong.
"Akh aku tahu sekarang! Kiranya pencuri yang kabur itu temanmu juga, bukan?" kata paman Lauw langsung menuduh.
"Ya, pasti dialah yang membawa bantalan hasil curian yang satunya" kata yang lain.
Namun Tio Houw dan Pao Kong diam tak bisa berkata apa-apa ditambah lagi warga Marga Lauw sudah mengawasi ke arah mereka dengan tajam;
Tak lama dengan sikap dingin Ho Eng berkata,
"Hari sudah siang, sedangkan penjahat pun sudah kabur membawa buntalanku. Sungguh celaka nasibku. Beri jalan, aku hendak pulang ke rumah orang tuaku!"
Sesudah itu ia hendak segera berangkat, tapi paman Lauw menghalanginya.
"Apa maksud Paman menghalangiku? Padahal kan sudah memeriksa isi buntalanku itu. Dengar Paman, sepotong pun aku tak membawa harta keluarga Lauw!" kata Ho Eng sengit.
Akhirnya sekali pun paman Lauw mencurigai Ho Eng, namun karena tak ada barang bukti yang bisa dijadikan alasan untuk menahan wanita itu, paman Lauw jadi tak berdaya. Maka itu ia cuma bisa mengawasi wanita itu pergi dari hadapannya. Sesudah wanita itu pergi rasa marah dan kemendongkolannya dialihkan pada Pao Kong.
"Katakan, di mana kau sembunyikan barang-barang itu? Jika kau tak mau menjawab, kakimu akan kupatahkan semua!"
"Barang apa? Sungguh kami tak tabu-menahu soal barang-barangmu?" kata Pao Kong.
"Sudah jangan banyak bicara, kita hajar saja dia sampai mampus!" kata yang lain,
Paman Lauw lalu mengambil toyanya siap untuk menghajar Pan Kong yang dianggapnya bandel itu. Tapi pada saat toya itu hendak diayunkan, dari luar rumah telah muncul Ti-koan (wedana desa) bersama Thio Liong.
"Tunggu! Jangan pukul dia!" kata wedana. Paman Lauw segera menghentikan pukulannya. Tak lama
wedana itu masuk bersama anak buahnya dan Thio Liana. Melihat Pao Kong sudah tergeletak di lantai siap dipukuli wedana itu terkejut.
Ia segera membangunkan Pao Kong sambil berkata
"Maafkan Pao Tayjin, kami terlambat!"
Sesudah itu Ti-koan dan anak buahnya memberi hormat pada Pao Kong. Melihat hal itu paman Lauw dan anak buahnya kaget bukan main. Semua saling pandang sambil menyebut-nyebut nama Pao Kong. Sesudah mengetahui orang yang ada di hadapan mereka Jaksa Pao yang termasyur itu, dengan beramai ramai mereka berlutut sambil meminta ampun atas sikap kasar mereka tadi.
"Baiklah kali ini kalian kumaafkan. Tapi ingat lain kali bila ada persoalan, jangan bertindak sendiri sebelum menyelidikinya dengan seksama!" kata Pao Kong memberi nasihat. '
Setelah menasihati paman Lauw, Pao Kong memanggil Tio Houw dan Thio Liong, keduanya diberi perintah rahasia.
"Baik Tuan, kami berangkat sekarang!." kata kedua anak buahnya.
"Pak Wedana, mari!" kata Pao Kong.
"Ya Tayjin' "
"Apa kau membawa pemeriksa jenazah!" tanya Pao Kong
"Ya Tayjin, dia kami ajak ke mari!" kata Ti-koan itu.
Pagi itu sang satya telah menampakkan sinarnya, tak lama maka berangkatlah rombongan Ti-koan bersama pemeriksa jenazah dan Pao Kong ke kuburan untuk melakukan pemeriksaan jenazah.
*** Sementara itu Thio Liong dan Tio Houw yang mendapat tugas rahasia dari Pao Kong sedang berlari mengejar ke suatu arah. Tiba-tiba dari jauh mereka melihat orang yang sedang
mereka kejar. Orang yang terus mereka awasi. adalah Ma Ho Eng.
Saat itu Ma Ho Eng sedang masuk ke sebuah rumah kecil yang berbentuk sangat sederhana. Rumah itu letaknya terpencil. Tak lama sesudah janda itu masuk, Thio Liong dan Tio Houw bergegas mendekati rumah tersebut. Dengan cepat Thio Liong dan Tio Houw melompat ke atas rumah, lalu membuka salah satu genteng untuk mengintai. Ketika mereka lihat Gouw ln ada di dalam rumah kecil itu, mereka kaget. Saat itu Gouw ln sedang duduk berhadapan dengan Ma Ho Eng. Rupanya mereka sedang berunding.
Di atas tempat tidur terlihat barang berharga yang terdiri dari uang emas, perak serta batu-batu mulia. Wajah janda itu tampak sangat gembira. Tak lama ia memeluk Gouw In.
Tio Houw dan Thio Liong yang menyaksikan adegan itu dengan jelas dari atas genting, tiba-tiba merasa kaget sebab dengan Gouw ln mengeluarkan sebilah pisau. Rupanya ia hendak menghabisi nyawa janda itu. Namun pada saat ia hendak menusukkan pisaunya, terdengar Ho Eng berbisik.
"Sebenarnya barang-barang yang kita bawa hanya sebagian kecil saja dari milik almarhum suamiku. Barang-barang yang lain masih kusembunyikan di suatu tempat. Ketahuilah Lauw Sip Ji itu sangat kaya, dari hasil usahanya yang bertahun-tahun ia berhasil mengumpulkan harta demikian banyaknya. Apakah kau tak tahu soal itu?"
"Sungguh, aku tidak tahu!" kata Gouw ln yang segera membatalkan niat jahatnya
Dia membatalkan niatnya karena mendengar masih ada harta yang disembunyikan oleh si janda ini.
"Tentu saja kau tak akan tahu. Hanya orang tolollah yang tak mau mempercayainya .Kukira itu salah satu sebab mengapa marga Lanw pun berusaha menguasai harta suamiku. Tapi aku
pun tak sebodoh itu, mau menyerahkan harta itu begitu saja pada mereka!" kata Ho Eng.
Sesudah menaruh pisaunya, Gouw ln segera memeluk tubuh janda itu lebih erat sambil berkata,
"Selain cantik, kau memang seorang wanita yang pandai. Tapi di mana kau sembunyikan harta yang sebagian lagi itu?"
"Jangan kuatir, harta itu kusimpan di tempat aman. Lagi pula harta itu telah dikubur di suatu tempat!" kata Ho Eng dengan sikap manja.
Gouw In tampak agak kecewa ketika Ho Eng tak mau menyebutkan di mana tempat ia menyembunyikan harta itu, Apalagi setiap kali dia desak, Ho Eng selalu mengelak.
"Sudahlah, lain kali saja akan kuajak kau untuk mengambil harta itu!" kata Ho Eng.
Di tempat lain....
Pao Kong bersama Ti-koan yang diantar oleh keluarga Lauw pergi ke kuburan Lauw Sip Ji. Hari itu Pao Kong hendak melakukan pemeriksaan mayat. Pada saat pemeriksaan sedang berlangsung, Tio Houw datang melapor.
Mendapat laporan yang memuaskan itu Pao Kong amat senang.
"Kalau begitu orang yang menyamar jadi maling dan memakai kedok itu adalah Gouw In yang bekerja sama dengan Ma Ho Eng." kata Pao Kong menyimpulkan.
Tak lama Pao Kong bertanya pada Tio Houw,
"Lalu sekarang Thio Liong di mana?"
"Dia masih di sana sedang mengawasi mereka!" jawab Tio Houw.
Pao Kong manggut-manggut tanda setuju.
Tak lama kemudian Tio Houw berkata lagi.
"Kukira mereka
tak akan bisa lolos dari kami! Untuk itu kami menunggu perintah dari Tayjin!"
"Sabar, jangan tergesa-gesa. Bukankah bukti-bukti untuk menangkap mereka supaya bisa diajukan ke pengadilan belum cukup?" kata Pao Kong.
"Tapi jika tak segera kita tangkap, saya kuatir mereka akan kabur, Tayjin." kata Tio Houw.
"Tunggu sebentar, kita harus menunggu hasil pemeriksaan jenazah dulu!" jawab Pao Kong.
Ketika Tio Houw mendesak Pao Kong, dia dinasihati agar mau menunggu sampai pemeriksaan mayat selesai dulu.
Seorang pemeriksa mayat bernama Tan Siang sedang memeriksa seluruh bagian tubuh Lauw Sip Ji dengan teliti. Tapi tampaknya ia belum memperoleh hasil yang memuaskan. Sampai matahari sudah tenggelam, pemeriksaan itu belum menghasilkan apa-apa. Hal itu tentu membuat pemeriksa mayat itu jadi gelisah.
"Baru kali ini aku menghadapi ini kesulitan." katanya mengakui kegagalannya.
Tio Houw menghampiri Pao Kong, lalu ia berbisik.
"Tayjin, bagaimana? Lebih baik kita tangkap mereka dulu sebab sebentar lagi hari akan gelap. Saya kuatir mereka akan kabur..."
"Kalau begitu ajak anak buah Ti-koan, lalu kau awasi mereka jangan sampai mereka lolos. Tapi ingat kalian jangan menangkap mereka dahulu sebab bukti-bukti belum kuat untuk menahan mereka!"
"Baik Tayjin, kami berangkat!" kata Tio Houw.
Tio Houw segera mengajak beberapa orang anak buah Ti-koan, lalu mereka pergi menyusul Thio Liong.
Sedangkan Pao Kong tetap di kuburan menunggui petugas
pemeriksa mayat yang sedang menjalankan tugasnya. Tapi sekalipun sudah diperiksa dengan teliti, tanda-tanda yang mencurigakan dari mayat Lauw Sip Ji belum diketemukan. Tapi Pao Kong tetap yakin kalau Lauw Sip Ji mati tidak wajar. Sesudah dicoba dan dicoba lagi tapi belum juga menemukan sesuatu, akhirnya petugas itu putus asa.
Lalu dia pun menemui Pao Kong sambil berkata,
"Maaf Tayjin, saya sudah meneliti dengan seksama, namun saya gagal menemukan sesuatu yang mencurigakan dari mayat korban. Saya kira Lauw Sip Ji mati wajar!"
Mendengar laporan itu Pao Kong sangat kecewa.
"Jika kau tak berhasil menemukan bukti atas pembunuhan yang kuperkirakan, apakah kau tahu akibatnya?" kata Pao Kong
"Mungkin aku akan dituntut oleh keluarga Lauw sebab berani membongkar kuburan Lauw Sip Ji sekali pun ini tugas rutin dan harus dilakukan dalam memecahkan suatu kasus yang mencurigakan."
"Saya memang sadar akan hal itu 'Tayjin! Tapi saya memang tak berhasil menemukan sesuatu!" kata Tan Siang.
Karena Pao Kong penasaran, ia'pun bertanya,
"Apa benar kau telah menelitinya dengan cara seksama?"
"Sungguh Tayjin, seluruh kemampuan telah saya curahkan untuk itu!" keluh Tan Siang.
Akhirnya Pao Kong merasa kasihan karena orang itu sudah kelihatan lelah.
"Baik kali ini cukup sekian, tapi kuminta kau mengingat ingat lagi, apakah pemeriksaanmu tadi tak ada yang terlewati'
"Baik, Tayjin akan saya usahakan!" kata Tan Siang.
Lalu ia memasukkan kembali mayat itu ke dalam peti dan bersiap untuk pulang. Pao Kong pun pulang dengan kecewa.
Petugas pemeriksa mayat itu pulang ke rumahnya dengan badan lesu dan pikiran kusut. Begitu sampai selera makannya pun hilang, sebentar-sebentar ia mengeluh seolah sangat kecewa. Apalagi ia terkenal dalam bidang pemeriksaan mayat dan tak pernah gagal. Tapi kali ini seolah-olah kepandaiannya tak berguna lagi. Melihat suaminya begitu murung, isteri petugas pemeriksa mayat yang bernama Song Yang menghampirinya.
"Eh Kanda, kenapa kau kelihatan murung?" tanya isterinya.
"Aku sedang menghadapi persoalan rumit sekali!" kata Tan Siang.
"Serumit apa pun persoalan yang kau hadapi, tapi kau tak boleh melupakan makan. Lagipula kalau dalam keadaan perut kosong mana mungkin kau bisa memecahkan persoalanmu. Mungkin kau malah bisa sakit!" kata Song Yang.
"Karena persoalan yang kuhadapi itu, hilang sudah selera makanku!" jawab suaminya.
"Persoalan apa sih, sampai kau begitu serius?" tanya isterinya.
"Sudah belasan tahun aku menjadi petugas sebagai pemeriksa jenazah, terus terang baru kali ini aku menghadapi persoalan yang sesulit ini!" kata suaminya.
"Sulit bagaimana dan kasus apa yang kau hadapi itu?" tanya isterinya.
"Ada orang meninggal, menurut perkiraan Jaksa Pao orang itu mati tak wajar, maksudku korban pembunuhan! Tapi sesudah kuperiksa, ternyata pada tubuh korban aku tak menemukan tanda-tanda, apakah dia diracun atau dianiaya. Tapi menurut Jaksa Pao, orang itu pasti korban pembunuhan! Sedangkan tanda yang ditemukan hanyalah dia terlalu banyak minum!" jelas suaminya.
isteri Tan Siang merenung sejenak, tapi tak lama kemudian
Ia tersenyum.
"Seandainya aku tak bisa menemukan penyebab kematian nya, maka soal ini pasti akan membahayakan bagi Jaksa Pao. Kemungkinan dia akan dituntut oleh keluarga Marga Lauw karena telah berani membongkar kuburan Lauw Sip Ji. Ah sungguh berbahaya!" kata Suaminya.
"Oh! Kalau begitu kau harus membantu Pao Tayjin!" kata Song Yang.
"Ya tentu saja apalagi ini memang tugasku, tapi apa dayaku! Walau aku sudah berusaha keras, aku belum juga menemukan tanda-tanda yang mencurigakan." kata suaminya.
Thio Song Yang termenung memikirkan persoalan yang dihadapi suaminya. Tapi tiba-tiba ia teringat sesuatu,
"Sudahkah kau periksa bagian-bagian yang kau anggap mencurigakan?"
"Sudah!" jawab suaminya
"Bagaimana hidungnya, sudah kau periksa?"
"Sudah, hampir seluruh organ tubuhnya yang bisa menyebabkan kematian telah kuperiksa, tapi hasilnya nihil" jawab suaminya.
"Pasti hanya bagian hidung luarnya saja yang kau periksa. maka itu kau sulit menemukannya. Apakah lubang hidung korban sudah kau periksa dengan teliti?" kata isterinya.
"Akh, kau benar! Memang aku hanya memeriksa bagian hidung luarnya saja!" kata suaminya.
"Coba kau periksa dengan teliti, siapa tahu di lubang hidung korban tersebut terdapat benda yang mencurigakan!" kata Thio Song Yang.
Mendengar keterangan isterinya, tampak Tan Siang gembira sekali. Malam itu ia bisa tidur nyenyak sebab besok ia akan memeriksa hidung mayat itu sesuai petunjuk isterinya.
Esoknya pagi-pagi ia sudah menghadap Pao Kong untuk minta izin untuk mulai memeriksa mayat itu lagi. Mereka lalu berangkat ke kuburan, kemudian membuka peti mati, serta memeriksanya kembali. Pada saat mengadakan pemeriksaan, Tan Siang didampingi oleh Tio Houw dan beberapa petugas keamanan dari kantor Ti-koan. Dengan teliti petugas pemeriksa mayat itu meneliti hidung korban. Dan betapa gembiranya dia ketika dia menemukan benda yang menutupi salah satu lubang hidung mayat itu. Dengan susah payah akhirnya benda tersebut bisa dicabutnya. Ternyata benda itu sebuah paku panjang yang sangat runcing.
Sesudah nenemukan paku maut itu, Tan Siang segera menemui Pao Kong. Lalu menyerahkan benda itu pada Pao Kong.
"Tayjin, saya menemukan paku ini di hidung korban. Saya kira benda inilah yang menyebabkan kematian korban!" kata Tan Siang.
Pao Kong girang lalu bertanya lagi,
"Apa kau yakin begitu?"
"Ya, saya yakin! Dia mati bukan terlalu banyak minum arak atau karena bengek, tapi karena paku ini. Paku ini saya kira dicocokkan ke hidungnya, pada saat korban sedang mabuk. Itu berarti dia korban pembunuhan keji. Paku itu demikian panjang dan tajam, dengan ditusukkan lewat lubang hidungnya, paku akan tembus sampai ke otak korban. dan ini mengakibatkan kematiannya! Oleh karena kepala paku cukup besar, darah yang mengalir dari lukanya tersumbat oleh kepala paku. Ketika saya periksa kemarin, tentu saja luka itu tak terlihat! Selain itu darah yang ke luar mungkin telah dibersihkan, sedangkan kepala paku bisa menghambat mengalirnya darah korban!" kata petugas itu.
"Sungguh cerdik pelaku pembunuhan itu, pantas kau kemarin begitu bingung dan tak menemukan tanda-tanda atau luka bekas penganiayaan. Tapi aku heran, bagaimana tiba-tiba
kau tertarik dan mau memeriksa ke lubang hidung korban?" kata Pao Kong.
"Kemarin serasa pening kepala saya. Ketika saya pulang. selera makan saya pun hilang. Isteri saya heran melihat say. begitu lesu dan tidak mau makan. Lalu ia menanyakan apa yang menyebabkan saya begitu? Setelah saya terangkan kepadanya apa yang menyebabkan saya merasa pening, tiba-tiba dia menyarankan agar saya memeriksa lubang hidung korban, Katanya saya harus membantu Tayjin. Ternyata dugaan isteri saya tepat sekali!" kata Tan Siang menerangkan.
Pao Kong mengangguk senang, tapi otaknya bekerja keras Setelah berpikir sesuatu, ia berkata
"Ternyata isterimu seorang wanita yang cerdas. Kalau boleh aku ingin sekali berkenalan dengannya!"
"Oh, boleh! Boleh!" kata Tan Siang.
Ketika Pao Kong teringat sesuatu, lalu berkata lagi.
"Kalau aku tak salah ingat, bukankah isterimu sudah meninggal? Lalu kapan kau kawin lagi?"
Mendengar pertanyaan Pao Kong, Tan Siang menjawab sambil tersipu-sipu,
"Setahun yang lalu kami menikah. Tapi karena isteri hamba itu seorang janda, saya pikir pernikahan kami tak perlu dirayakan!"
"Akh, sungguh aku ingin menemui isterimu yang cerdas itu, bolehkan?" kata Pao Kong.
"Tentu! Kapan Tayjin ingin menemuinya?" tanya si petugas
"Dalam waktu dekat ini pun boleh!" jawab Pao Kong.
"Baiklah, saya akan menjemputnya!" kata petugas itu.
Tak lama sesudah pemeriksaan mayat selesai, lalu mayat itu dikuburkan kembali. Ketika Pao Kong kembali ke kantor wedana, ia menyiapkan tuduhan. Tapi tak lama petugas pemeriksa jenazah telah datang bersama isterinya.
Pao Kong
segera menyambutnya dengan senang.
"Nyonya Thio Song Yang, kalau boleh aku ingin menanyakan asal usulmu? Dan siapa suami terakhirmu, sebelum kau menikah dengan Tan Siang itu?" tanya Pao Kong.
"Almarhum suami saya bernama Ma Siauw Kim, ia berasal dari Ma Kee-cun! Setahun sesudah suami saya meninggal, saya menikah lagi! "
"Maaf, kalau aku boleh tahu suamimu meninggal karena apa?"
"Ia mati karena bengek dan terlalu banyak minum arak. Akhirnya karena dia masuk angin, dia lalu meninggal!" jawab Song Yang dengan lancar.
"Lalu pernahkah kau merasa curiga atas kematian suamimu itu?" tanya Pao Kong.
"Maksud Tayjin?" tanya Thio Song Yang.
"Ya, misalnya saja.... Suamimu itu mati karena hidungnya dicocok dengan paku maut, barang kali?" kata Pao Kong.
"Bukankah suamimu yang sekarang seorang petugas pemeriksa mayat,
" kata Pao Kong sambil melirik.
"Oleh sebab itu untuk menegakkan keadilan, aku berniat membongkar kuburan suami pertamamu! Aku ingin tahu, benarkah ia mati wajar atau ia juga korban pembunuhan?"
"Oh terima kasih atas kebaikan Tayjin, tapi kurasa itu tak perlu lagi, Tayjin!" kata Song Yang.
"Kenapa begitu?" tanya Pao Kong.
"Suamiku sudah mati dua tahun yang lalu, mungkin mayatnya pun sekarang sudah hancur!" kata Song Yang.
"Aku tahu itu, tapi bila ia benar dibunuh dengan menggunakan paku maut, aku yakin paku itu masih ada dalam lubang hidung mayat tersebut!" kata Pao Kong seolah memaksa.


Jaksa Pao Dalam Paku Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mendengar Bao Kong berkeras untuk menggali bekas kuburan suaminya, petugas pemeriksa mayat itu ikut bicara
"Kurasa tak perlu Tayjin"
"Tidak bisa! Hari ini juga kuperintahkan kau untuk membongkar kuburan almarhum suami isterimu terdahulu!" kata Pao Kong.
Mendengar perintah Pao Kong, Song Yang lalu berkata
"Maaf Tayjin, kalau boleh saya ingin bertanya, apakah orang yang meninggal itu bernama Lauw Sip Ji?"
"Benar, dari mana kau tahu?" tanya Pao Kong.
Song Yang segera menunduk lesu. Tak lama kemudian dengan suara lirih ia berkata,
"Saya mengaku bersalah!"
Pao Kong manggut, lalu berkata dengan lebih sabar,
"Coba kau jelaskan padaku duduk perkaranya dengan jelas!"
"Dua tahun yang lalu, hamba berkenalan dengan sahabat suami hamba almarhum bernama Gouw In. Oleh karena bujuk rayunya, saya tertarik kepadanya. Pada suatu hari saya diajak melakukan pembunuhan pada suami pertama saya. Mula-mula suami saya diberi minum arak sampai mabuk. Kemudian sesudah mabuk, lubang hidungnya dipantek dengan paku maut yang tajam dan panjang. Dengan matinya suami hamba, kami menguasai hartanya. Tapi sayang karena laki-laki bajingan itu tak kenal puas, ia menghabiskan harta suami pertamaku. Tal lama kemudian saya mengetahui bahwa dia mulai main gila dengan isteri Lauw Sip Ji. Harus saya akui, perempuan itu memang lebih muda dan lebih cantik dari saya. Itu sebabnya saya mulai disingkirkan oleh Gouw In! Namun ketika suami saya pulang dalam keadaan murung, tiba-tiba saya teringat kelakuan saya sendiri atas perintah Gouw ln yaitu membunuh suami saya dengan paku maut. Ternyata sampai sekarang kami lolos dari intaian para petugas. Baru hari ini saya akui dosa saya!" kata Song Yang dengan menangis.
Mendengar cerita Song Yang, Pao Kong segera memberi
perintah pada Tio Houw.
"Lekas tangkap Gouw In dan Ho Eng!"
*****
Dengan cepat Tio Houw melaksanakan tugas dari atasannya. Tio Houw bergegas menuju ke rumah kecil untuk menemui Thio liong. Mereka bersiap untuk menangkap para penjahat itu. Pada saat Tio Houw datang, Gouw In dan Ho Eng sedang membuat rencana untuk kabur. Namun sebelum penangkapan tu dilaksanakan, Thio Liong dan Tio Houw mendengarkan .percakapan kedua penjahat itu. Rupanya karena Gouw in lebih tertarik pada hartanya dari pada Ho Eng, ia terus mendesak agar Ho Eng mau menunjukkan, di mana sisa harta almarhum Lauw Sip Ji.
"Untuk apa tergesa-gesa mengambil harta itu? Kurasa saat ini belum waktunya kita ambil harta itu!" kata Ho Eng.
"Sebelum kejahatan kita tercium oleh petugas, kita harus meninggalkan tempat ini! Karena itu sebaiknya harta itu segera kita ambil!" kata Gouw In.
"Tak perlu tergesa-gesa, lebih baik barang itu kita ambil kalau sudah dibutuhkan!" jawab Ho Eng.
"Hm, kalau begitu kau tak percaya padaku?" desak Gouw In mulai marah.
"Akh sekarang tahulah aku, rupanya sesudah harta itu ada ditanganmu, kau akan meninggalkan aku, bukan?" kata Ho Eng.
Mendengar kata-kata itu Gouw In kaget, lalu ia pura-pura bersikap manis.
"Kau jangan mengadu-ada sayang, aku sangat cinta padamu. masakan aku tega meninggalkan kau?" bujuk Gouw In berusaha membujuk Ho Eng.
"Bohong! Dasar laki-laki buaya!" bentak Ho Eng.
Pada saat Gouw In mengambil pisau dan akan membunuh Ho Eng, Thio Liong dan Tio Houw serta anak buah wedana
segera masuk ke rumah itu.
"Hentikan! Kalian semua kami tangkap!" kata Thio Liong
"Apakah kalian masih kenal padaku?" tanya Tio Houw.
Namun mereka hanya terdiam. Keduanya segera diikat dan dibawa ke kantor wedana untuk dihadapkan pada Pao Kong
"Kalian masih kenal padaku?" tanya Pao Kong.
Mereka mengangguk.
"Ya, bukankah kau sahabat Lauw Sip Ji!" jawab Gouw In,
Tak lama ketika Pao Kong menghadapkan Song Yang, Gouw In sangat kaget seperti disambar petir,
"Kau...Kau....?"
"Ya, aku ada di sini!" kata Song Yang.
"Apa...Apa kau tak takut mati?" kata Gouw ln.
Song Yang menggelengkan kepalanya. Tak lama iapun berkata dengan tabah,
"Aku ingin agar kita mati bersama. Bukankah dulu kau pernah bilang, kita dilahirkan pada hari dan tanggal yang berbeda, tapi kita akan mati pada hari dan tanggal yang sama! Apa kau sudah lupa?"
Mendengar kata-kata Song Yang, mata Gouw In jadi terbelalak.
"Eh, ternyata kau ucapkan kata-kata itu bukan hanya padaku saja! Hm rupanya pada wanita lain pun kau berjanji begitu!" kata Ho Eng yang menjerit histeris, ketika mendengar kata kata yang diucapkan Song Yang tadi.
Gouw In tak dapat berkata apa-apa lagi, dia hanya bisa menunduk saja.
'Karena laki-laki ini telah juga berkata begitu kepadaku kalau begitu kita bertiga akan mati bersama-sama. Dengan demikian kita tak akan kesepian di neraka nanti!" kata Ho Eng sambil tertawa sinis.
Dalam sekejap keringat dingin membasahi seluruh wajah
Gouw In, rupanya dia takut mati.
Tak lama Pao Kong segera memutuskan,
"Setelah mendengar pengakuan kalian, maka Gouw In, Ho Eng dan Song Yang yang dianggap bersalah telah melakukan pembunuhan dan pencurian harta korban dijatuhi hukuman mati. Sedangkan semua harta milik korban dikembalikan pada keluarga Marga Lauw."
Gouw In yang mendengar keputusan hukuman mati itu menjadi kaget dan akhirnya dia pingsan. Tapi dia tak bisa membantah lagi.
Dengan demikian kasus Paku Maut itu telah selesai dibongkar oleh Jaksa Pao yang cerdik itu.
*******
BAB VI KELENTENG DI TEPI SUNGAI.
DI KOTA Kai-hong ada seorang gadis cantik yang bernama Hiap. Karena kecantikannya Nona Hiap menjadi rebutan pemuda di kota itu. Kecantikan wanita itu benar-benar memiliki daya tarik yang luar biasa, setiap pria yang melihatnya pasti langsung tertarik hatinya. Banyak lelaki di kota itu yang menginginkan Hiap menjadi isteri mereka.
Tapi dari sekian banyak laki-laki yang tergila-gila pada wanita cantik itu rupanya Gouw Si Jilah yang paling beruntung. Gouw Si Ji adalah seorang saudagar kaya. Walaupun dia seorang yang sangat kaya namun hidupnya tetap sederhana. Gouw pandai bergaul sehingga banyak teman yang menyukainya. Kawan-kawan Gouw bukan hanya dari golongan pedagang tapi banyak dari golongan sarjana yang terkemuka pada masa itu.
Di antara sekian banyak sahabatnya itu, Gouw Si Ji mempunyai seorang sahabat dekat yang bernama Han Boan . Persahabatan mereka tak ubahnya seperti dua orang saudara kandung saja. Han Boan adalah seorang yang berbudi tinggi dan sangat menghargai persahabatan mereka.
Walaupun Gouw belum lama menikah dengan Hiap yang cantik itu tapi karena kesibukannya sebagai pedagang dia jarang tinggal di rumah.
Sikap Gouw ini membuat Hiap sangat kecewa. Mula-mula kekecewaan isterinya itu hanya sedikit tapi semakin lama Hiap semakin tidak puas dengan suaminya. Ketidak puasan nyonya muda ini terutama dalam bidang seks.
Gouw Si Ji terlalu sibuk dengan urusan dagangnya sehingga
dia kurang memperhatikan isterinya yang cantik itu.
Pada akhir musim salju, langit sangat gelap karena tertutup oleh awan tebal. Pemandangan saat itu semuanya putih, pohon Siong yang tumbuh tak jauh dari rumah Gouw pun seperti dicat putih.
Sementara itu Han Boan yang belum berkeluarga tinggal sendirian di rumahnya. Tiba-tiba dia teringat pada sahabatnya Gouw Si Ji. Karena udara sangat dingin dan dia pun tak punya acara, maka dia berniat untuk datang mengunjungi Gouw. Han Boan bermaksud akan mengajak saudaranya jalan-jalan atau duduk-duduk sambil minum arak untuk menghabiskan waktu senggangnya. Pemandangan di musim salju memang cukup indah untuk dinikmati.
Setelah berpikir demikian Han Boan segera mengenakan baju hangatnya dan bergegas pergi ke rumah Gouw yang letaknya tidak berapa jauh dari rumahnya.
Ketika Han Boan sampai di rumah sahabatnya, dia merasa kecewa sebab sahabatnya sedang tak ada di rumah. Han Boan hanya bertemu dengan isteri sahabatnya.
"Saudara Gouw pergi ke mana?" tanya Han Boan.
"Katanya ia hendak pergi ke sebuah desa yang tak jauh dari sini." jawab isteri Gouw.
"Ah sayang dia tak ada di rumah!" keluh Han Boan.
Han Boan tampak sangat kecewa, sebaliknya Hiap malah tampak senang dengan kedatangan Han Boan. Sebenarnya Hiap sudah lama menaruh perhatian pada sahabat suaminya ini. Ketika dia memperhatikan sahabat suaminya, tampak Han Boan bertambah tampan. Tapi di depan suaminya, Hiap tidak berani terang-terangan menaruh hati pada Han Boan.
"Hari ini suamiku tak ada di rumah, tapi apa salahnya kalau dia kurayu dan kuajak berkencan?" pikir Hiap sambil menatap dengan matanya yang sayu.
Melihat sikap isteri sahabatnya yang aneh, Han Boan ingin segera pulang.
"Kalau begitu baiklah aku pulang dulu, nanti kapan-kapan aku akan mampir lagi!" kata Han Boan.
"Loh mengapa terburu-buru, mari masuk dulu! Angin di luar sangat dingin, apa kau mau membiarkan tubuhmu menjadi beku?" kata Hiap sambil tersenyum genit.
Han Boan mencoba menolak, tapi tangannya segera ditarik oleh perempuan itu. Dengan terpaksa ia masuk juga. Han Boan berpikir tak enak menolak permintaan isteri sahabatnya dan siapa tahu tak lama lagi sahabatnya Gouw pulang.
Sesampai di ruang tamu, Hiap menyilakan tamunya duduk. Sedangkan Hiap sendiri bergegas ke dapur. Tak lama Hiap sudah membawa nampan berisi makanan dan arak hangat. Dengan cepat wanita ini menyiapkan semua makanan itu di atas meja.
"Mari cicipi masakanku, siapa tahu makanan ini akan dapat mengusir rasa dingin pada tubuhmu!" kata Hiap melayani sahabat suaminya.
Han Boan terpaksa menerima ajakan isteri sahabatnya, jika tidak ia takut akan membuat isteri sahabatnya itu tersinggung. Hiap melayani tamunya dengan sikap manis dan genit, lama lama Han Boan mulai muak melihat isteri sahabatnya yang bertambah berani itu.
"Rupanya kau tidak tahu nasibku amat buruk..," kata Hiap.
Han Boan sedikit pun tidak bicara dia hanya diam saja.
"Suamiku sering bepergian sehingga aku sering ditinggalkannya seorang diri. Betapa aku sangat kesepian? Jika kau mau kau boleh sering-sering datang berkunjung ke sini!" kata Hiap.
Han Boan tetap tidak menjawab. Hatinya mulai meraba-raba ke mana arah pembicaraan isteri sahabatnya itu.
"Ayo, habiskan makananmu nanti dingin. Habiskan saja sebab Gouw pun tak akan pulang hari ini. Oh ya, sebaiknya kita pindah saja ke sana!" kata Hiap sambil menunjuk ke kursi tamu yang beralaskan bulu dan tampaknya hangat itu.
Sambil berkata wanita itu memandang ke arah Han dengan penuh arti. Kursi tamu itu terhalang oleh muilie, (kain penyekat. atau gordyn), joknya tebal dan pasti empuk sekali. Di situ terdapat bantal yang bersulam indah,
Hiap tak dapat menahan diri karena terlalu banyak minum arak itu. Dia kelihatan mabuk dan wajahnya sudah berubah merah. Diam-diam wanita genit itu membuka kancing baju atasnya, pada waktu ia menuangkan arak lagi ke cangkir Han Boan, sebagian dari payudaranya terlihat jelas.
"Apakah kau mau mencobanya? Aku kira kau menyukainya, bukan?" kata Hiap bertambah bernafsu.
"Kakak, jaga mulutmu. .jika suamimu pulang, pasti dia akan marah sekali. Sudah puluhan tahun aku bersahabat dengan suamimu, sejak kalian belum menikah. Aku tak mau karena sikapmu, sahabatku jadi marah. Aku tak ingin terjadi sesuatu antara aku dengannya!" kata Han Boan sambil bangkit.
Tanpa banyak bicara lagi Han Boan lari ke luar lalu pergi dengan tidak pamit lagi. Di tengah jalan Han Bonn bertemu dengan Gouw Si Ji. Melihat sahabatnya tergesa-gesa, Gouw menegurnya.
"Hai dari mana kau dan kenapa tergesa-gesa?" kata Gouw.
Wajah Han Boan berubah merah ia tak dapat berkata-kata beberapa saat lamanya.
"Ayo ke rumahku, mari kita berbincang-bincang sebentar!" kita Gouw.
Han Boan tampak murung sekali. Gouw maklum mungkin hati sahabatnya ini sedang marah karena ada hal yang kurang menyenangkan hatinya.
"Maafkan aku, aku terburu-buru. Ada hal penting yang harus. kuurus!" kata Han Boan.
Gouw hanya mengangguk.
"Selamat tinggal!" kata Han.
"Selamat jalan!" kata Gouw.
Sambil menggelengkan kepalanya, Gouw bergegas pulang. Di depan pintu ia disambut isterinya yang setengah mabuk itu.
"Apa tadi Han datang ke sini?"
"Ya!"
"Kenapa tidak kau tahan supaya menungguku sampai aku pulang? Tadi sudah kupesan bahwa aku tidak pergi lama!" kata suaminya.
"Dasar maling, apa itu yang kau sebut sahabat sejatimu? Aku harap kau larang dia datang lagi ke rumah ini, mengerti?" kata isterinya dengan marah.
Mendengar ucapan isterinya, Gouw keheranan.
"Apa yang terjadi? Ayo katakan!" desak suaminya.
"Tidak! Lebih baik aku tak akan mengatakannya. Aku heran kenapa hari ini sahabatmu itu benar-benar berubah? Ketika kukatakan kau tidak ada di rumah, dia kelihatan senang sekali. Sama sekali tak kusangka kalau dia akan berbuat kurang ajar, kalau kutahu tak akan kuizinkan masuk ke rumahku. Dia mau main gila dengan isteri sahabatnya, untung aku melawan dan menyadarkannya kalau tidak isterimu sudah dicemarkan orang.Oleh karena malu ia cepat-cepat pulang!" kata isterinya menyebar bisa.
Gouw diam memikirkan cerita isterinya. Ia tak dapat berbuat apa-apa, dia tak percaya pada kata-kata isterinya sebab dia sudah
lama mengenal Han Boan? Mana mungkin Han Boan berani berbuat begitu terhadap isterinya. Tapi karena tak mau persoalan jadi panjang, dia tak mau menghiraukan pengaduan isterinya. ketika ia melirik, kancing baju atas isterinya terbuka. Ia menduga-duga ada sesuatu yang tak beres pada isterinya. Tapi mencoba melupakan kejadian itu.
*** Musim telah berganti, udara saat itu mulai terasa hangat. salju yang beberapa hari memenuhi seluruh jagat, mulai. mencair. Sungai sungai tak beku lagi.
"isteriku, aku harus pergi berbelanja sebab musim telah
berubah." kata Gouw.
Isterinya dengan acuh tak acuh mengiyakannya.
Dalam perjalanannya Gouw Si Ji bertemu dengan Han Boan sahabatnya itu. Melihat Gouw berjalan mendatanginya, Han boan menyapa sahabatnya.
"Oh Kak Gouw sudah lama kita tak bertemu!"
"Ya, bagaimana kabarmu?"
'Baik-baik. Kalau Kakak mau mari singgah di warung arak tu, di sana kita bisa minum-minum dan berbincang-bincang!" ajak Han Boan.
"Aku setuju, mari!"
Keduanya lalu singgah di sebuah warung arak.
Setelah arak dan makanan yang mereka pesan disediakan,
Mereka lalu menikmatinya bersama-sama. Sambil makan mereka berbincang-bincang dengan asyik, seolah tak pernah terjadi apa apa pada mereka. Gouw sendiri tak mau mengusik pengaduan isterinya yang mengatakan Han Boan telah menggodanya. Tapi
tiba tiba malah Han Boan yang memulai.
"Kak, aku harap Kakak tak tersinggung dengan ceritaku ini.
sudah lama kita bersahabat aku selalu menghormati Kakek dan
menjaga persahabatan kita gmg. Dengan berat nian aku terpaksa harus menyampaikan sesuatu pada Kakak!" kata Han Boan.
"Soal apa itu?" tanya Gouw pura-pura tak mengerti.
"Maaf, bukan tidak kangen dan tidak ingin mengunjungimu. Tapi dengan terpaksa aku katakan sebaiknya aku tidak datang lagi ke rumah Kakak!" kata Han Boan.
"Mengapa begitu?" tanya Gouw.
"Maaf, bukan karena hatiku telah berubah sebagai sahabat hanya karena ada suatu hal maka aku terpaksa tak bisa mengunjungimu. Ah...sebaiknya hal ini tidak kukatakan. Tapi kalau kan mau mendengarkan nasihat adikmu ini, aku minta kau mau lebih memperhatikan isterimu. Sebaiknya dia jangan terlalu sering kau tinggalkan sendirian di rumah. Aku takut dia akan jadi.. ah sudahlah!" kata Han Boan tak meneruskan kata-katanya
Misteri Bunga Mawar Kematian 2 Rajawali Emas 27 Misteri Batu Bulan Inferno 8
^