Pencarian

Paku Maut 1

Jaksa Pao Dalam Paku Maut Bagian 1


Paku Maut
dalam Serial
Jaksa Pao
Koleksi Buku dari : Aditya Indra Jaya
Juru Potret : Awie Dermawan
Edit teks dan Pdf : Saiful Bahri Situbondo
Selesai edit : 20 Oktober 2018,Situbondo
Selamat Membaca !!!
******
JAKSA PAO
Dalam
PAKU MAUT
Diceritakan kembali Oleh : MARCUS A.S
******
Judul : Paku Maut
Diceritakan Kembali Oleh : Marcus A.S.
Editor : Winarti
Penerbit : UP. MARWIN
Cetakan Pertama : 1994
Hak Cipta Dilindungi Oleh Undang-undang
All Right Reserved
*****
DAFTAR ISI
Kata Pengantar .......
Pendahuluan ...............
*****
Daftar Isi :
Bab I Pao Kong Dibuang ke Dalam Rimba Pao Kong Mengusir Setan .....
Bab II Pao Kong Berhadapan Dengan Pang Ip.....
Bab III Gara Gara Salah Tarik.........
Bab IV Sepasang Kasut Curian .......
Bab V Paku Maut ..................
Bab VI Kelenteng di Tepi Sungai .......
Bab VII Gara-gara Leontin ...........
Bab VIII Mimpi Jaksa Pao ................
Bab IX Orang Tak Berbudi ......................
*****
KATA PENGANTAR
Kisah Jaksa Pao (Pao Kong) yang cerdas dan bijaksana, seperti juga kisah-kisah klasik Tiongkok lainnya seperti Legenda Ular Putih (Ouw Pe Coa), Sie Jin Kwie. Sam Kok, Hong Sin (yang akan segera kami terbitkan) dll. sangatlah terkenal dikalangan Bangsa Cina. Kisah Jaksa Pao ini sangat sering dipentaskan di panggung sandiwara Peking, didengar melalui dongeng-dongeng rakyat secara lisan atau dijadikan thema film.
Sebenarnya Pao Kong adalah seorang hakim namun karena sejak dulu selalu diterjemahan dengan judul Jaksa Pao, maka di Indonesia Pao Kong lebih dikenal sebagai jaksa. Tapi pada zaman itu jabatan hakim, jaksa ataupun bupati biasanya memang dipegang oleh orang yang sama.
Pada abad ke 11 keterampilan Pao Kong sangat terkenaL .Kepandaian Pao Kong dalam memecahkan masalah (kasus) menyerupai tokoh-tokoh detektif di Eropa, seperti Sherlock Holmes karya Sir Arthur Conan Doyle, Perry Mason karya Erle Stanley Gardner, maupun karya-karya Agatha Cristie dll. Hanya bedanya tokoh Pao Kong ini benar-benar ada dan bukan khayalan seperti detektif Sherlock Holmes ataupun Perry Mason.
Pao Kong memang pernah hidup pada masa pemerintahan Kaisar Song Jin Cong dari Dinasti Song (Sung) tepatnya Pao Kong hidup pada tahun 999-1062. Riwayat Jaksa Pao terdapat dalam kisah Trilogi Ban Hoa Lauw (Paseban Seribu Bunga); Tek Ceng Pa Lam Ban dan Tek Ceng Pa See Liauw.
Sebagai seorang Jaksa (Hakim), Pao Kong telah menjadi semacam semboyan dari keadilan. Karena dalam memecahkan berbagai kasus Pao Kong tidak gentar menghadapi ancaman
maut yang menghadangnya. Pao Kong tokoh penentang perbuatan-perbuatan jahat, korupsi dan ketidakadilan serta kesewenang-wenangan. Terutama berbagai kejahatan, ketidakadilan dan kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh para pejabat yang berpengaruh di istana pada masa itu.
Banyak contoh pemeriksaan dan pembongkaran berbagai kasus yang unik dan tak masuk akal bisa dipecahkannya. Karena sikap Pao Kong yang tak mau menyerah begitu saja, dia dianggap sebagai pahlawan rakyat.
Kisah Jaksa Pao juga terdapat dalam banyak versi, jadi antara terbitan yang satu dengan terbitan yang lain belum tentu punya kesamaan. Sebenarnya dalam kisah Jaksa Pao terdapat 72 kasus, tapi karena terbatasnya halaman pada buku terbitan kami maka dalam buku ini hanya terdapat beberapa kasus saja. Kasus-kasus yang lain dapat Anda baca pada terbitan kami selanjutnya.
Tokoh Pao Kong yang menjadi idola dan lambang keadilan bagi Bangsa Tionghoa, ternyata punya duplikat yang hampir mirip dengannya. Baik dalam bentuk tubuh, sifat, sikap serta ketegasannya. Yang berbeda hanyalah zamannya saja. Tokoh yang hampir mirip dengan Pao Kong adalah Tek Jin Kiat (Jaksa Dee), dia hidup di Zaman Tang. Dalam menangani perkara, dia pun seperti Pao Kong, tegas, berani dan tak takut menantang bahaya. Di barat tokoh ini dikenal dengan nama Judge Dee. Karena kemiripan itu maka orang sering salah membedakan mana Jaksa Pao dan mana Jaksa Dee.
Kembali mengenai kepribadian Pao Kong, tokoh ini pada saat menangani sesuatu kasus, dia sama sekali tak mempedulikan bahaya. Walaupun perkara yang dia tangani ternyata menyangkut keluarga istana, bahkan perkara yang menyangkut keluarganya sendiri, Pao Kong tak segan-segan menghukum yang bersalah sekalipun orang yang bersalah itu adalah anak kakak iparnya. Padahal kakak iparnya itulah yang telah merawat dan mendidiknya, bahkan Pao Kong pernah berhutang nyawa kepadanya. Begitu menariknya, sehingga Jaksa Pao bukan saja merupakan bacaan hiburan, tapi juga merupakan contoh yang baik dalam kehidupan kita.
Akhir kata kami ingin mengucapkan terimakasih atas perhatian para pembaca terhadap buku-buku terbitan kami.
Penerbit
*****
PENDAHULUAN PAO KONG
SETELAH lulus ujian negara Pao Kong akan dilantik menjadi seorang jaksa di gedung pengadilan. Walaupun usianya masih relatif muda namun kecerdikan Pao Kong dalam memecahkan suatu masalah sudah terlihat. Salah satunya ketika dia memecahkan masalah pencurian telur di rumah kakak iparnya.
Sebelum Pao Kong diangkat menjadi jaksa, kakak ipar Pao Kong yang bernama Ong-si merasa kuatir kalau Pao Kong akan melakukan kesalahan saat dia bertugas nanti. Karena hal itu maka kakak ipar Pao Kong ingin menguji kecerdasan Pao Kong dalam memecahkan masalah.
Suatu hari ketika Pao Kong datang mengunjunginya, dia menceritakan masalah yang sedang dihadapinya
"Adikku, aku sedang menghadapi sebuah kasus yang sangat rumit." kata Ong-si.
"Apakah barang yang dicuri itu sangat berharga. Kak?" tanya Pao Kong.
"Tidak, tidak ! barang yang dicuri itu bukanlah barang berharga tapi hanya sebutir telur. Tapi aku merasa penasaran siapa yang telah mencuri telur itu dari lemari makanan?" jawab Ong-si.
"Bagaimana kejadiannya, Kak?" tanya Pao Kong lagi.
"Tadi pagi aku merebus sebutir telur ayam, setelah telur itu matang aku menyimpannya dalam lemari makan. Aku bermaksud memakannya setelah semua pekerjaanku selesai.
Setelah semua pekerjaanku beres aku berniat memakan telur itu, tapi alangkah kagetnya aku ternyata telur itu telah hilang. Setelah kucari cari aku menemukan kulit telur itu ada di halaman belakang. Aku tidak berani menuduh sembarang orang, jadi aku ingin meminta tolong padamu untuk memecahkan masalah ini!" kata Ong-si pada Pao Kong.
Mendengar keterangan itu, Pao Kong terdiam sejenak. Dia berpikir keras untuk memecahkan masalah ini. Tiba-tiba dia bertanya kepada kakak iparnya,
"Kak, siapa pelayan yang sering keluar-masuk dan sering menyimpan makanan di lemari makan?"
"Hampir semua pelayan sering keluar-masuk dan hampir semua pelayan sering kusuruh menyimpan makanan di lemari itu karena itu aku lupa siapa yang paling sering menaruh makanan di lemari itu." kata Ong-si sambil memperhatikan sikap adik iparnya yang sangat teliti itu.
"Kalau begitu baiklah, sekarang tolong Kakak kumpulkan semua pelayan yang bekerja di rumah ini! Aku akan memeriksa mereka satu-persatu." kata Pao Kong.
Sang kakak ipar segera memerintahkan semua pelayan berkumpul di ruangan itu. Tidak lama kemudian semua pelayan datang menghadap sidang kecil yang diadakan Pao Kong.
Namun setelah semua pelayan berkumpul Pao Kong tidak mengucapkan sepatah kata pun, dia hanya memandangi sikap pelayan-pelayan itu. Saat itu Pao Kong hanya manggut-manggut sambil terus memperhatikan pelayan-pelayan itu. Tak lama seperti telah menemukan cara untuk memecahkan kasus itu, Pao Kong tampak gembira.
"Coba kau ambil air dan dua buah mangkuk, lalu letakkan di meja ini!" kata Pao Kong sambil menunjuk salah seorang pelayan rumah itu.
Pelayan yang ditunjuk segera masuk dan mengmbil air dan dua buah mangkuk seperti yang diperintahkan Pab Kong. Sementara itu kakak ipar Pao Kong yan ejak awal memandangi adik iparnya itu menjadi heran.
Tak lama pelayan yang disuruh oleh Pao Kong sudah kembali. Setelah meletakkan semua pesanan Pao Kong, dia segera kembali ke barisan pelayan yang ada di depan Pao Kong.
Setelah semuanya dirasa cukup, kemudian Pao Kong memulai sidang itu.
"Kalian dengar, aku mengumpulkan kalian di sini karena ada sebuah kasus pencurian di rumah ini. Barang yang dicuri itu memang tidak berharga yaitu hanya sebutir telur. Tapi karena kakakku ingin mengetahui siapa pelakunya, maka aku akan membuktikannya dalam sidang ini! Sekarang satu-persatu dari kalian maju dan berkumur dengan air ini setelah itu kalian harus memuntahkannya dalam mangkuk ini! Apakah kalian mengerti?" tanya Pao Kong.
"Mengerti!" jawab pelayan itu serempak.
Sesudah itu satu-persatu pelayan itu melakukan apa yang diperintahkan oleh Pao Kong. Pertama seorang pelayan maju dan berkumur, setelah itu dia membuang air kumuran itu ke dalam mangkuk. Kemudian Pao Kong melihat kumuran itu, tak lama Pao Kong menyuruh pelayan itu untuk membersihkan mangkuk itu. Setelah itu Pao Kong menyuruh pelayan yang kedua untuk melakukan hal yang sama. Kembali Pao Kong melihat air kumuran itu, lalu ia memerintahkan pelayan itu membersihkan mangkuk itu.
Pelayan ketiga yang bernama Chun Hiang juga disuruh melakukan hal yang sama seperti dua pelayan sebelumnya. Ketika pelayan itu membuang kumuran itu ke dalam mangkuk, Pao Kong kembali melihat kumuran dalam mangkuk itu.
Setelah melihat kumuran dalam mangkuk itu, tiba-tiba Pao Kong membentak.
"Kau yang telah mencuri telur ini!"
"Tidak, saya tidak mencuri telur itu!" kata Chun Hiang.
Mendengar bantahan itu, Pao Kong tersenyum. Dia lalu memanggil pelayan itu agar mendekat. Kemudian sambil menunjuk ke air kumuran dalam mangkuk itu tiba-tiba Pao Kong membentak,
"Aku tidak akan pernah menuduh orang tanpa bukti yang kuat, lihat itu bukankah itu sisa merah telur yang kau makan!"
Mendengar tuduhan Pao Kong yang kuat, pelayan itu menjadi pucat. Akhirnya dia pun mengaku.
"Ya memang akulah yang mengmbil dan memakan telur itu, tapi semua itu atas perintah Nyonya." kata Chun Hiang.
Mendengar pengakuan pelayan itu, Pao Kong baru sadar bahwa dia sedang diuji oleh kakak iparnya.
Kakak iparnya segera menjelaskan maksudnya menguji Pao Kong
"Aku ingin tahu sejauh mana kemampuanmu dalam memecahkan masalah!" _
Setelah mendapat keterangan itu, Pao Kong segera mengucapkan terima kasih karena dia merasa bahwa kakak iparnya sangat memperhatikan dirinya.
**** BAB 1 PAO KONG DIBUANG KE DALAM RIMBA, PAO KONG MENGUSIR SETAN
Dikisahkan ada seorang kepala kampung bernama Pao Hoai yang tinggal di Desa Hap-hui. Dia memiliki dua orang putera, Anaknya yang sulung bernama Pao San, sedangkan anak yang kedua bernama Pao Hai. Kedua anak Pao Hoai sudah berkeluarga.
Hari itu udara cukup panas. Karena angin bertiup perlahan-lahan, akhirnya Pao Hoai tertidur. Ketika Pao Hoai tertidur dengan nyenyak, dia bermimpi, Dalam mimpinya Pao Hoai melihat seekor makhluk aneh yang turun dati langit. Kemudian secara tiba-tiba makhluk aneh itu menyerang ke arah Pao Hoai. Melihat keadaan makhluk aneh yang berwarna hijau dan buas itu, tentu saja Pao Hoai kaget. Apalagi ketika binatang itu menerkam sambil mengeluarkan suara yang menyeramkan. Pao Hoai mencoba melompat menghindari serangan makhluk aneh itu. Karena kaget hampir saja Pao Hoai terjatuh dari kursinya. Dia pun terbangun dari tidurnya dengan tubuh mandi keringat. sedangkan rasa kagetnya juga belum hilang.
"Oh sial, kiranya aku telah bermimpi buruk! Huh untung ini cuma mimpi." kata Pao Hoai.
Pao Hoai mencoba menenangkan jantungnya yang berdebar keras. Sedangkan sekujur tubuh Pao Hoai masih gemetar dan berkeringat dingin. Untuk beberapa saat Pao Hoai termenung memikirkan mimpi yang menakutkan itu.
Dari ruang dalam Li-si (isteri Pao Hai) ke luar dengan tergesa-gesa. Kemudian dengan cepat Li-si menghampiri Pao Hoai yang sedang tidur di ruang tamu. Dia ingin memberitahukan bahwa mertua perempuannya sudah melahirkan seorang anak laki-laki yang sehat.
Pao Hoai yang sedang santai sebenarnya sedang menantikan kelahiran anaknya yang ketiga. Karena tidak berani menunggui isterinya melahirkan, dia tidur-tiduran di ruangan depan. Sampai di ruang tengah isteri Pao Hai bertemu dengan suaminya
"Eh ada apa? Kenapa kau kelihatan tergesa-gesa dan sangat gugup?" tanya Pao Hai.
"Ibumu baru saja melahirkan anak laki-laki," jawab Li-si.
"Apa?" tanya suaminya kaget.
"Ibumu melahirkan seorang anak laki-laki." jawab isterinya.
"Lalu kenapa kau jadi tergesa-gesa dan tampak cemas?" tanya suaminya.
"Dasar tolol! Dengan sendirinya jika ibumu melahirkan anak laki-laki lagi, maka harta warisan ayahmu tidak lagi dibagi dua, tapi harus dibagi tiga dengan adikmu yang baru lahir ini." kata Li-si.
Mendengar keterangan itu, Pao Hai jadi kaget. Sesudah berkata begitu, Li-si akan segera meninggalkan suaminya.
"Hai, sekarang kau mau ke mana?" tanya suaminya.
"Aku mau mencari Ayahmu. Apakah kau mau memberitahukan hal ini padanya? Tadi kulihat ayahmu ada di ruang tamu sedang tidur siang." jawab Li-si.
"Sial, sungguh sial." gerutu Pao Hai.
Mendengar suaminya menggerutu, Li-si mengerti bahwa suaminya pun kurang setuju kalau ayahnya mempunyai anak lagi. Itu sebabnya sebelum suaminya pergi, Li-si membisikkan sesuatu di telinga suaminya. Mendengar bisikan istrinya, Pao
Hai mengangguk. Kemudian Pao Hai bergegas ke ruang tamu untuk menemui ayahnya. Setiba di ruang tamu dia melihat ayahnya sedang termenung seolah sedang berduka. Pao Hai segera menghampiri ayahnya, lalu dia berkata,
"Ayah, ibu baru saja melahirkan seorang anak laki-laki."
"Oh celaka! Berarti malapetaka itu telah tiba!" kata sang ayah sambil membanting-banting kakinya ke lantai.
Sekarang wajahnya semakin bertambah murung.
"Ayah, mengapa kau tampak murung?" tanya Pao Hai.
"Tadi ketika aku sedang tidur siang, aku telah bermimpi diserang oleh makhluk aneh yang amat menakutkan. Wajah makhluk itu hijau dan menyeramkan. Anehnya mimpiku itu justru bersamaan dengan kelahiran adikmu. Bukankah hal itu menandakan bahwa adikmu penjelmaan siluman jahat yang ada dalam mimpiku?"
Mendengar keterangan ayahnya Pao Hai diam saja. Sedang sang ayah melanjutkan kata-katanya.
"Oh celaka, mengapa makhluk aneh yang menakutkan itu justru menyerangku pada saat ibumu melahirkan? Kukira ini suatu pertanda buruk. Yang kukuatirkan adikmu itu adalah siluman jahat yang ada dalam mimpiku itu!" kata Pao Hoai.
Mendengar ucapan ayahnya begitu, Pao Hai teringat katakata isterinya sebelum dia menemui sang ayah
"Ah ini kesempatan baik bagiku," pikir Pao Hai.
Sesudah berpikir demikian Pao Hai lalu berkata pada ayahnya '
"Ayah aku punya akal," kata Pao Hai.
"Apa akalmu, ayo lekas katakan!" kata sang ayah
"Ayah, jika bayi itu penjelmaan siluman, lebih baik bayi itu kita buang saja! Kukira itu lebih baik daripada nantinya dia akan menyusahkan kita" jawab Pao Hai.
Mendengar usul Pao Hai sang ayah berpikir sejenak Sesudah itu dengan suara perlahan sang ayah berkata,
'Kupikir usulmu itu tepat sekali. Baiklah, kalau begitu lekas kau buang bayi itu!"
Tanpa banyak bicara lagi, Pao Hai bergegas menuju ke kamar _ibunya. Setiba di sana, dia segera membekap mulut bayi itu dengan tangannya, sebelum ibunya melihat kedatangannya.
Kemudian kepada ibunya Pao Hai berkata,
"Oh sungguh sayang, Bu. Kiranya adik yang baru lahir langsung meninggal!"
Dukun beranak yang ada di kamar itu tak berani berkata apa-apa sebab selain diancam, dukun beranak itu juga sudah disuap oleh Pao Hai.
Ketika mendengar bahwa anak yang baru dilahirkan langsung meninggal, ibu Pao Hai menjerit histeris lalu dia jatuh pingsan.
Melihat ibunya pingsan, Pao Hai diam-diam membawa adiknya yang baru lahir itu menuju ke belakang rumahnya. Kemudian dia membawa bayi itu ke gunung dengan maksud membuang adiknya itu. Dia rela berbuat kejam karena berpikir bila adiknya mati maka harta warisan ayahnya hanya akan dibagi dua dengan Pao San, kakaknya.
Dengan bergegas Pao Hai naik ke puncak gunung. Tapi di tengah perjalanan, tiba-tiba Pao Hai bertemu dengan seekor harimau besar. Ketika harimau itu mengaum dengan suara keras, Pao Hai kaget bukan main. Karena gugup, maka bayi yang ada di dalam pelukannya dilemparkan ke arah harimau. Sedang Pao Hai sendiri terpeleset dan jatuh ke jurang. Untung dia masih sempat meraih akar-akar pohon sehingga tubuhnya tidak hancur oleh batu jurang yang terjal. Sedangkan bungkusan bayi yang dia bawa pun telah jatuh entah ke mana.
Walau pun nyawanya selamat, Pao Hai juga mengalami luka-luka karena terkena batu padas. Sambil meringis menahan
sakit, Pao Hai berusaha naik. Sesudah berhasil naik sekarang dia sudah tak melihat harimau maupun bungkusan bayi. Akhirnya karena takut pada harimau yang menyeramkan itu, Pao Hai bergegas pulang ke rumahnya .Setiba di rumah isterinya Li-si menyambutnya.
"Eh apa yang terjadi? Kenapa kau terluka?" tanya Li-si.
"Ketika aku sedang menggendong adikku yang akan kubuang, tiba-tiba muncul seekor harimau hendak menyerangku. Karena kaget, bungkusan bayi yang sedang kupeluk itu, kubuang. Sedangkan aku sendiri terjatuh ke dalam jurang sehingga terluka begini. Mungkin bayi itu sudah mati diterkam harimau, masih untung aku masih bisa pulang dengan selamat," kata Pao Hai.
Ketika mereka sedang asyik berbincang, secara kebetulan Pao San datang. Tadinya Pao San akan mengajak sang adik menjenguk ibunya yang baru melahirkan. Mendengar pembicaraan adik dan isterinya, Pao San kaget.
"Syukurlah Kanda, kalau bayi itu sudah mati diterkam harimau, dengan demikian harta warisan itu hanya akan dibagi dua dengan kakakmu." kata Li-si.
Mendengar pembicaraan itu Pao San marah bukan main, tapi dia berusaha menahan kemarahannya. Diam-diam dia pun meninggalkan rumah adiknya. Pao San bergegas menuju ke gunung karena dia ingin menyelidiki keadaan adiknya.
"Siapa tahu adikku masih hidup dan selamat dari terkaman harimau!" pikir Pao San
Tak lama Pao San sudah sampai ke gunung tempat Pao Hai membuang adiknya. Kemudian Pao San berusaha mencari adiknya. Beruntung dia berhasil menemukan bungkusan bayi itu. Ternyata bayi itu masih tergeletak di rumpun-rumpun. Dengan cepat Pao San mengangkat bungkusan bayi itu. Sungguh ajaib. bayi itu tersenyum kepadanya. Ternyata bayi itu tak
terluka sedikit pun. Dengan penuh kasih sayang Pao san menggendong bayi itu, lalu membawanya pulang ke rumahnya. Hal ini karena dia tahu ayah dan adiknya tak menyukai bayi itu. Setiba di rumah, isteri Pao San sangat kaget melihat suaminya datang sambil membawa bungkusan bayi. Pao San lalu memberi penjelasan apa yang sebenarnya telah terjadi. Mendengar hal itu, Ong-si (isteri Pao San) kaget sekali. Dia tidak menyangka kalau adik ipar dan isteri adik iparnya begitu sadis.
Saat itu kebetulan dia juga baru melahirkan. Kemudian Pao San dan isterinya berunding.
"Bagaimana cara menyelamatkan bayi ini?" tanya Pao San pada isterinya
. "Sebaiknya bayi ini kita pelihara seperti anak kita." jawab isterinya. '
"Bagaimana dengan bayimu? Mana mungkin kau merawat dua bayi bersama-sama." kata Pao San.
"Bagaimana kalau bayi kita yang diserahkan kepada orang agar dirawat?" tanya isteri Pao San.
"Kalau kau setuju aku tidak keberatan," jawab suaminya.
Sesudah ada kata sepakat, maka anak kandung mereka diserahkan pada orang lain. Sedangkan bayi yang sebenarnya adik kandung Pao San, dirawat sebagai anak kandung mereka. Kebetulan saat itu pun anak mereka belum berumur satu bulan. Setelah segalanya mereka atur dengan baik dan anak mereka sudah dititipkan pada orang lain, maka adik Pao San itu mereka beri nama Pao Bun Cin alias Pao Hek atau si Pao Hitam. Hal ini karena anak itu berkulit hitam.
*****
Sang waktu berjalan dengan cepat, tanpa terasa enam tahun telah berlalu. Sekarang Pao Bun Cin telah berumur 6 tahun dan dia sangat cerdas. Pao San amat senang atas kecerdasan adiknya.
Pada suatu hari Pao San bersama Ong-si berkunjung ke rumah ayah Pao San sambil membawa Pao Bun Cin. Begitu sampai Pao San mengucapkan selamat pada ayah dan ibunya. Tapi anehnya ketika sang "nenek" bertemu dengan "cucunya' ada perasaan aneh yang menyelinap dalam hati ibu Pao San. Maka menangislah isteri Pao Hoai. Melihat ibunya menangis Pao San tak tega.
"Ibu, maafkan aku, sebenarnya Pao Bun Cin adalah anak Ibu yang dilahirkan 6 tahun yang lalu." kata Pao San.
Ketika mendengar penjelasan anaknya, ibu Pao San jadi kaget. Namun karena Pao San orang yang bijaksana, dia tak menceritakan hal yang sebenarnya. Namun ketika Pao Hoai mendengar bahwa Pao Bun Cin adalah anaknya, tampak dia sangat kaget. Dalam sekejap wajah Pao Hoai kelihatan amat kecewa, padahal isterinya justru amat gembira. Pao Hoai sedikit pun tak merasa senang atas kehadiran Pao Bun Cin ini. Saat itu secara kebetulan Pao Hai pun datang. Dia sangat kaget setelah diberi tahu bahwa anak Pao San adalah adiknya yang dia buang tempo hari.
Ketika Pao San akan membawa Pao Bun Cin pulang, ibunya meminta agar Pao Bun Cin jangan dibawa pulang karena dia masih kangen pada anaknya itu. Dengan terpaksa Pao San pulang tanpa membawa Pao Bun Cin. Ketika Pao San dan isterinya telah pergi, Pao Hai dan ayahnya berunding. ' '
"Daripada anak itu menganggur tak ada pekerjaannya, lebih baik dia menggembalakan kerbau saja!" kata Pao Hai pada ayahnya.
Ayahnya yang memang kurang suka dengan anak bungsunya itu hanya menyetujui saja.
"Ah itu usul yang bagus Anakku." kata Pao Hoai
Sedangkan isteri Pao Hoai yang mengira anaknya akan dididik dengan baik tidak keberatan. Die malah membiarkan
anak ketiganya belajar menggembalakan kerbau. Sejak saat itu tiap hari Pao Bun Cin pergi ke padang rumput untuk menggembalakan kerbau. Di tempat penggembalaan kerbau ini Pao Bun Cin berkenalan dengan Tiang Po. Dia anak Bapak Tiang Kang, tetangga Pao Hoai. Sejak mempunyai teman bermain, Pao Bun Cin bertambah senang menggembalakan kerbau.
Suatu hari ketika dia sedang menggembalakan kerbau, tiba-tiba saja langit yang tadinya cerah berubah menjadi gelap. Melihat perubahan itu tentu saja Pao Bun Cin jadi kaget dan ketakutan, dia segera mencari tempat untuk berlindung. Kebetulan tak jauh dari tempat dia menggembalakan kerbau itu ada sebuah kelenteng. Maka pergilah Pao Bun Cin ke kelenteng itu. Tiang Po pun berlindung di kelenteng itu, hanya tempatnya agak terpisah dengan tempat Pao Bun Cin. Tak lama kemudian terdengar guntur bersahut-sahutan, kilat menyambar-nyambar dan sangat menakutkan. Dalam keadaan gelap, Pao Bun Cin kaget karena tiba-tiba ada yang memeluknya. Ketika kilat menyambar kembali Pao Bun Cin bisa melihat dengan tegas, ternyata yang memeluk dia seorang anak perempuan. Melihat anak perempuan itu ketakutan, Pao Bun Cin segera menyelimuti anak perempuan itu dengan bajunya. Kemudian Pao Bun Cin pun bersembunyi tak jauh dari tempat anak perempuan itu. Setelah kilat dan guntur berhenti Pao Bun Cin baru teringat pada anak perempuan yang dia selimuti tadi. Namun betapa kagetnya Pao Bun Cin ternyata anak itu sudah tak ada di tempatnya. Akhirnya karena hari mulai senja maka dengan terpaksa Bun Cin ke luar dari kelenteng, kemudian dia menuntun kerbaunya pulang. Tiang Po pun ikut pulang bersama.
Ketika hampir sampai ke rumah, tiba-tiba kakak ipar Bun Cin mencegatnya. Kemudian Bun Cin diberinya sepotong kue. Sebenarnya waktu itu Bun Cin sudah kelaparan, tapi karena tugasnya memasukkan kerbaunya ke kandang, dia tak segera memakan kue pemberian isteri Pao Hai itu. Sesudah
memasukkan kerbau-kerbaunya ke kandang, barulah Bun Cin akan menikmati kue pemberian isteri Pao Hai. Namun, ketika kue itu hampir dia masukkan ke dalam mulutnya, tangan Bun Cin seolah ada yang menampar. Maka tak ampun lagi kue yang ada di tangannya jatuh ke tanah. Ketika Bun Cin akan mengmbil kue itu kembali, kebetulan ada seekor anjing menyerobot kue itu lalu melahapnya. Tak lama anjing itu menggelepar-gelepar, kemudian mati. Dari hidung dan mulut anjing itu mengeluarkan darah. Tiang Kang dan Tiang Po yang masih ada di situ menjadi kaget bukan main:
"Bun Cin, dari mana kau peroleh kue itu?" tanya Tiang Kang.
"Dari Ji-so (Kakak ipar kedua)," jawab Bun Cin.
Mendengar jawaban Bun Cin tentu saja Tiang Kang jadi kaget, dia segera tahu kalau isteri Pao Hai ternyata jahat dan berniat menyingkirkan Bun Cin. Dengan rasa haru Tiang Kang menasihati Bun Cin.
"Bun Cin, mulai hari ini jika .Ji-somu memberi harus waspada." kata Tiang Kang.
"Baik, Paman." kata Bun Cin.
Sedangkan Li-si yang gagal meracuni Bun Cin merasa kurang puas. Kemudian dia berusaha mencari akal lain untuk menyingkirkan Bun Cin agar tidak menjadi penghadang atas warisan dari mertuanya.
Pada suatu hari....
Ketika Bun Cin akan pergi menggembalakan kerbau, Li-si memanggilnya. Dengan patuh Bun Cin menghampiri kakak iparnya ini. '
"Ada apa, Ji-so?" tanya Bun Cin,
"Bun Cin, tusuk kondeku terjatuh ke dalam sumur. Tolong
kau ambilkan tusuk kondeku itu." kita Li-si.
'Bagaimana aku bisa turun?" kata Bun Cin.
"Jangan takut nanti Ji-so yang mengerekmu turun." kata Li-si.
Karena tak berani membantah maka dengan terpaksa Bun Cin menuruti kehendak kakak iparnya. Dengan sebuah keranjang yang sudah diikat, Bun Cin diturunkan ke dalam sumur. Namun saat tubuh Bun Cin berada di tengah sumur sang kakak ipar berteriak,
"Bun Cin, oh aku sudah tak tahan lagi menahan tubuhmu yang berat!" ,
Setelah berkata begitu, Li-si segera melepaskan tambang yang dipegangnya sehingga keranjang yang berisi tubuh Bu Cin meluncur dengan cepat ke bawah. Tak ampun lagi keranjang yang berisi Bun Cin jatuh ke dasar sumur. Untung sumur itu tak berair, kalau tidak Bun Cin pasti sudah mati tenggelam. Ketika rasa kagetnya hilang, Bun Cin segera turun dari keranjang. Tapi karena keadaan sumur itu sangat gelap, dia terpaksa meraba-raba seperti orang buta. Dengan tangannya Bun Cin berusaha mencari jalan untuk bisa naik ke atas sumur. Tapi tiba-tiba dia melihat seberkas cahaya dalam sumur itu. Ternyata dalam sumur itu terdapat sebuah lorong, Melihat hal itu, dengan perlahan-lahan Bun Cin berjalan ke arah cahaya yang dilihatnya itu. Setelah berjalan sekitar satu li jauhnya, Bun Cin menemukan sebuah cermin kuno. Cermin itu lalu diambilnya, lalu dia berjalan lagi. Tak berapa lama dia sampai di mulut terowongan, rupanya itu merupakan sebuah mulut goa .Sesudah menyelidik agak lama, akhirnya Bun Cin mengetahui bahwa dia sekarang sudah berada di luar kampung orang tuanya. Tadinya Bun Cin berniat pulang, namun hatinya mulai ragu.
"Aku rasa ketika Ji-so menyuruhku mengambil tusuk konde itu hanyalah sebuah tipuan untuk mencelakakan diriku." pikir Bun Cin.
Saat Bun Cin kebingungan, tiba-tiba Pao San muncul.
"Eh sedang apa kau di sini?" tanya Pao San.
"Tadi aku disuruh oleh Ji-so untuk mengambil tusuk kondenya di dalam sumur. Tapi sebelum sampai ke dasar sumur, dia sudah melepaskan tali keranjang yang berisi tubuhku. Akhirnya aku berada di sini." kata Bun Cin.
"Hm kenapa dia tega berbuat itu padamu?"
"Entahlah, belum lama ini dia juga memberiku kue. Tapi tanpa sengaja aku telah menjatuhkan kue itu, dan seekor anjing menyerobot dan memakan kue itu. Tapi anehnya setelah memakan kue itu anjing itu langsung mati. Untung bukan aku yang memakan kue itu." cerita Pao Bun Cin.
"Oh sungguh terlalu Ji-somu itu, mengapa dia begitu kejam kepadamu? Memang apa salahmu?" kata Pao San marah.
Karena takut adiknya akan dicelakakan kembali oleh adik iparnya, Pao San melarang sang adik pulang ke rumah ayahnya. Kemudian kepada ayahnya, Pao San mengusulkan agar Pao Bun Cin disekolahkan, tapi ayahnya tak setuju. Karena Pao San sangat sayang pada adiknya itu, dia lalu memanggil guru yang pandai. Untuk menemani Pao Bun Cin, Pao San menyuruh anaknya Pao Heng belajar bersama. Akhirnya di bawah pengawasan seorang guru bernama Leng Lo Su, Pao Bun Cin belajar membaca dan menulis. Tapi karena Pao Bun Cin anak yang cerdas, dia selalu sudah dapat mengerti bagian berikutnya bila diajari bagian awal. Pada mulanya Leng Lo Su mengira Bun Cin hanya hafal saja, tapi setelah kejadian itu berlangsung berulang-ulang, maka tahulah sang guru bahwa Bun Cin memang anak yang cerdas dan mempunyai masa depan yang gemilang. Selang beberapa tahun Bun Cin benar-benar telah menguasai ilmu surat. Dan pada usia enam belas tahun, guru Bun Cin memberikan "nama Pao Hek pada muridnya itu. Akhirnya ketika akan menempuh ujian negara pada tingkat
kabupaten, Pao San mengantarkan adiknya ke kabupaten .Ternyata tiga tahap ujian akhir diikutinya dengan baik oleh Bun Cin. Ketika juru warta memberitahukan hasil ujiannya, ternyata Bun Cin berhasil menjadi Siucay (gelar bagi pelajar yang lulus ujian tingkat kabupaten). Ibu dan keluarga Pao San bergembira sekali, hanya ayahnya yang kurang senang, bahkan terus berkata dengan suara perlahan.
"Celaka, ini malapetaka!" bisiknya.
Pao San menyiapkan suatu jamuan untuk menghormati guru Pao Hek. Ketika Pao Hoai diundang, dia tidak mau menghadiri pesta itu. Tapi setelah beberapa kali diundang barulah Pao Hoai mau menghadiri pesta itu. Waktu Pao San membicarakan niatnya agar Pao Hek menempuh ujian negara, tampaknya sang ayah kurang setuju bahkan menentang usul putera sulungnya itu. Melihat hal itu maka terpaksa guru Pao Heklah yang membiayai ujian muridnya itu.
Pada saat ujian tingkat propinsi diselenggarakan, ternyata Pao Hek dapat menyelesaikan ujian tersebut dengan baik sehingga dia mendapat gelar Kheng-kue (gelar sarjana tingkat akademi).
Setelah muridnya lulus, guru Pao Hek dan Pao San merencanakan agar Pao Hek meneruskan ujian negara di ibu kota kerajaan. Ketika rencana untuk menempuh ujian negara itu disampaikan kepada ayahnya, sang ayah kembali menentang. Tapi karena guru Pao Hek memaksa, akhirnya dengan terpaksa Pao Hoai mengizinkan putera ketiganya untuk menempuh ujian negara di ibu kota.
Pada hari yang sudah ditentukan, maka berangkatlah Pao Hek ditemani Pao Heng ke ibu kota untuk mengikuti ujian negara. Pao Hek sangat senang karena dia diperbolehkan ikut ujian. Dalam perjalanan Pao Hek dan Pao Heng kemalaman di tengah jalan hingga mereka terpaksa bermalam di sebuah
kelenteng. Ketika keduanya dibawa menemui hweeshio yang menjaga kelenteng itu, ternyata hweeshio itu beralis tebal dan bermata besar. Pendeta itu segera memanggil muridnya lalu memerintahkan muridnya menyediakan kamar bagi kedua tamunya. Selain itu mereka juga disediakan makanan sederhana. Pao Heng merasakan sambutan para hweeshio itu sangat baik karena itu dia tak mau menyusahkan para hweeshio di kelenteng itu. Maka selesai makan dia segera membawa bekas piring kotor itu ke dapur. Maksud Pao Heng ingin membantu para hweeshio di situ, namun karena Pao Heng masih asing di tempat itu, dia tak menemukan letak dapur kelenteng tersebut. Ketika dia sedang melewati sebuah kamar, tiba-tiba dia mendengar ada orang yang sedang berbicara '
"Nanti tepat jam tiga pagi, kalian pergi ke kamar tamu itu. Kemudian kalian bunuh saudagar-saudagar itu, mengerti!" kata suara tersebut.
Mendengar kata-kata itu, Pao Heng sangat terkejut. Kini tahulah dia bahwa di kelenteng tersebut terdapat hweeshio yang jahat. Pao Heng segera bergegas ke kamarnya, lalu menemui Pao Hek.
"Celaka! Celaka!" kata Pao Heng.
"Ada apa?" tanya Pao Hek.
"Jam tiga pagi nanti, mereka merencanakan akan membunuh kita. Mari kita segera pergi dari tempat inil" kata Pao Heng.
Mendengar berita itu Pao Hek juga kaget, mereka pun bergegas meninggalkan kelenteng tersebut secara diam-diam. Dengan tak menghiraukan barang bawaannya, mereka segera kabur. Pada tengah hari, mereka tiba di Kecamatan Sam-kwan. Namun karena melakukan perjalanan dengan tergesa-gesa akhirnya keduanya merasakan kecapaian sekali. Untuk melepaskan lelah mereka lalu pergi ke sebuah rumah makan. Begitu masuk Pao Heng sudah memanggil pelayan.
"Pelayan!" teriak Pao Heng.
Tak lama pelayan rumah makan menghampiri meja yan diduduki oleh mereka. Kemudian dengan ramah pelayan itu bertanya pada tamunya
"Pesan makanan apa, Tuan?"
"Bawakan nasi, daging dan arak untuk kami!" kata Pao Heng.
"Baik Tuan muda!" kata pelayan itu.
Sesudah mereka menunggu, tak lama makanan yang sudah siap dihidangkan di meja mereka. Begitu makanan tersedia mereka yang memang sudah kelaparan segera melahapnya .Selesai makan mereka baru sadar bahwa mereka tak membawa uang seperser pun karena tas mereka tertinggal di kelenteng.
"Pao Heng bagaimana akal kita, uang kita semua tertinggal di kelenteng?" tanya Pao Hek.
"Jangan gugup, aku akan meminjam uang pada adik ibuku. Salah seorang adik ibuku tinggal di kota ini!" kata Pao Heng.
"Oh syukurlah, sekarang lekas kau pergi ke sana. Biar aku menunggumu di sini!"
"Baik. baik! kau tunggu aku di sini!" jawab Pao Heng yang segera meninggalkan rumah makan itu akan meminjam uang pada pamannya.
Tapi di tengah jalan, Pao Heng bukan ke rumah pamannya tapi dia pergi ke rumah pegadaian. Ternyata Pao Heng berbohong pada Pao Hek padahal dia tak mempunyai saudara di tempat itu. Rupanya dia berniat menggadaikan pakaiannya untuk membayar uang makanan yang mereka makan tadi. Ketika Pao Heng tiba di depan rumah pegadaian, ternyata rumah pegadaian itu sudah tutup .Melihat kenyataan itu maka tak terasa keringat dingin membasahi seluruh tubuh Pao Heng.
Pada saat Pao Heng sedang gelisah, tiba-tiba dia melihat
banyak orang yang sedang mengerumuni sebuah plakat. Pao Heng yang tertarik segera mendekati kerumunan orang tersebut. Pao Heng mencoba menerobos kerumunan orang-orang itu. Setelah dia berhasil menerobos kerumunan itu, ternyata dia melihat ada sebuah pengumuman yang tertempel di tembok.
Dalam pengumuman itu dikatakan bagi siapa yang bisa mengobati penyakit puteri keluarga Li yang diganggu siluman di Desa Un-ek, orang tersebut akan diberi hadiah sebesar 300 tail perak. Melihat pengumuman itu maka timbullah niat Pao Heng untuk mengikuti sayembara itu. Kemudian dengan segera Pao Heng menemui pemasang pengumuman.
"Tuan, saudara saya bisa menyembuhkan orang kerasukan setan!" kata Pao Heng.
"Betulkah?" tanya pegawai keluarga Li.
"Sungguh, mari kita cari dia!"
"Baiklah, ayo kita cari saudaramu itu!" kata pegawai keluarga Li.
Rupanya mereka merasa senang karena ada orang yang sanggup mengobati puteri majikan mereka. Di tengah jalan Pao Heng mencari akal, dia tahu Pao Hek pasti akan menolak permintaan Pao Heng, apalagi saudaranya itu belum diberitahu siasatnya. Maka dengan cerdik Pao Heng mengakali pegawai keluarga Li tersebut. '
"Bila nanti kau bertemu dengan saudaraku. kau harus paksa dia. Aku yakin dia akan mengatakan tidak bisa menyembuhkan orang kerasukan setan. Karena itu kau harus memaksanya! Kalau dia tetap menolak kau harus mendesaknya. Apakah kau mengerti?" kata Pao Heng.
"Baiklah kalau begitu'" kata pegawai keluarga Li.
Akhirnya setiba di rumah makan, orang itu segera berlutut di hadapan Pao Hek. Melihat tingkah laku orang itu Pao Hek jadi heran dan kebingungan.
"Tolong Tuan, puteri Tuan kami diganggu siluman. Hamba rasa hanya Tuan yang dapat menyembuhkannya!" kata pegawai keluarga Li tersebut.
"Apa katamu? Aku bisa menyembuhkan puteri majikanmu? Oh maaf kau salah memilih orang! Aku sama sekali tidak bisa menyembuhkan orang sakit!" jawab Pao Hek.
Namun sesuai nasihat Pao Heng, ketika Pao Hek menolak dan mengatakan tidak bisa, orang itu semakin memohon dan mendesaknya.
"Tolonglah kami Tuan, aku yakin Tuan bisa menolong kami. Selamatkan puteri majikan kami, oh tolonglah!" ratap orang itu.
Pao Hek tetap menolak, sebaliknya pegawai keluarga Li itu mendesaknya. Karena Pao Hek tetap berkeras menolak, akhirnya Pao Heng mendekatinya, Pao Heng lalu berbisik.
"Kita dalam kesulitan, aku tak menemukan rumah pamanku. Kenapa kau tidak mencobanya saja. Siapa tahu kita beruntung?" kata Pao Heng.
Oleh karena didesak terus-menerus, akhirnya Pao Hek setuju juga untuk mencoba. Kemudian setelah pegawai keluarga Li membayar semua yang mereka makan, lalu mereka berangkat ke rumah keluarga Li. Setiba di rumah hartawan Li, mereka dipersilakan masuk.
"silakan.-Tuan." kata pegawai keluarga Li.
Hartawan Li sangat senang karena ada orang yang bersedia mengobati puterinya. Setelah dijamu dengan baik oleh tuan rumah, Pao Heng pura-pura meminta perlengkapan untuk mengobati puteri Hartawan Li tersebut.
Pada tengah malam Hartawan Li meminta agar Pao Hek pergi ke kamar puterinya, dengan maksud agar sang tamu bisa segera mengobati puterinya yang kerasukan setan itu. Tapi sebelum Pao Hek masuk ke kamar si sakit, Pao Heng yang
cerdik menasehati keluarga Li dan para pegawainya.
"Di antara kalian tak diizinkan mendekati kamar puteri Hartawan Li. Selain itu tak seorang pun boleh mengintai saudaraku saat dia mengobati puteri Tuan Li. Jika kalian melanggar aturan ini, maka kami tidak menjamin puteri Tuan Li akan sembuh, mengerti?" kata Pao Heng.
"Ya, kami mengerti!" jawab Hartawan Li.
Sesudah itu dengan cepat Hartawan Li memanggil semua keluarga dan pegawainya. Kemudian kepada para pegawainya, Hartawan Li memberi perintah agar tak seorang pun dari mereka melanggar permintaan Pao Heng tersebut.
Setelah mereka tinggal berdua di dalam kamar, Pao Hek menyesali kecerobohan saudaranya yang keterlaluan itu.
"Padahal sudah jelas kau tahu bahwa aku tidak mempunyai kepandaian untuk mengusir setan. Tapi mengapa kau mendesakku dengan mengatakan aku dapat mengusir setan?" kata Pao Hek marah.
Mendengar perkataan Pao Hek. Pao Heng diam saja. Tapi tak lama dia berusaha membujuk agar Pao Hek naik ke atas panggung yang disediakan.
Namun walau sudah didesak, Pao Hek tak mau naik ke panggung itu. Akhirnya dengan terpaksa Pao Heng yang naik ke panggung yang sudah disediakan. Kemudian sambil memegang sebilah pedang di tangan kiri dan memegang pit (alat tulis bangsa Tionghoa) di tangan kanannya. Pao Heng pura-pura membuat Hu (surat Jimat) untuk mengusir setan.
Ketika Pao Heng sedang bertingkah seperti dukun pengusir setan, tiba-tiba muncul api yang menyambar ke arahnya. Saking kaget Pao Heng terjungkal dari atas panggung sambil berteriak. Melihat hal itu Pao Hek menolong saudaranya itu.
"Ada apa?" tanya Pao Hek.
"Entahlah, tiba-tiba ada api menyambar ke arahku" jawab Pao Heng.
Ketika mendengar jeritan dari dalam, Hartawan Li bersama para pegawainya berdatangan. Kemudian dengan cepat Hartawan Li menerobos memasuki ke kamar puterinya
"Apa yang terjadi?" tanya Hartawan Li.
Pao Heng cepat-cepat menghampiri tuan rumah sambil berkata,
"Tadi saudaraku sedang berusaha mengusir setan, tapi ketika setan itu terdesak dia mencoba kabur. Aku berusaha menangkapnya, tapi siluman itu malah mendorong tubuhku hingga aku terjatuh!"
Setelah mendengar siluman yang mengganggu rumahnya telah diusir pergi, Hartawan Li sangat senang. Hartawan Li lalu memerintahkan agar Li Seng membereskan meja bekas sembahyang. Ketika Li Seng membereskan meja itu, ia menemukan selembar surat. Li Seng yang mengira surat itu sebuah Hu, lalu dia menyerahkan surat itu pada majikannya. Oleh karena tak mengerti maksudnya, Hartawan Li memerintahkan Li Seng untuk menanyakan isi surat itu pada Pao Heng.
Pao Heng menerangkan bahwa isi surat itu memuat riwayat hidup singkat Pao Hek semasa kecilnya.
Hartawan Li yang mendengar hal itu merasa kagum. Setelah itu Hartawan Li segera menemui isterinya untuk berunding
"Siluman itu sudah diusir, sedangkan pemuda yang bernama Pao Hek itu cukup tampan, jadi bagaimana kalau kita jodohkan puteri kita dengannya? Aku rasa Dewa telah mengirim anak muda ini untuk bertemu puteri kita." kata Hartawan Li.
"Aku setuju saja jika hal itu baik menurut Kanda." jawab isterinya.


Jaksa Pao Dalam Paku Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jadi kau juga setuju?" tanya suaminya.
"Ya, kalau kan sudah setuju" jawab isterinya
Sesudah mengmbil keputusan, lalu Pao Heng dan Pao Hek dipanggil. Kemudian mereka diajak berunding untuk membicarakan perjodohan Pao Hek dengan puteri mereka.
"Bagi saya jika Tuan setuju saya tak keberatan. Hanya saja saya harap Tuan mau bersabar sebab saya harus minta izin dahulu pada kedua orang tua dan kakak tertua saya." kata Pao Hek.
"Bagus, aku setuju pada pendapatmu"
"Nanti setelah kedua orang tua dan kakak saya' setuju, saya akan meminta mereka datang untuk melamar puteri Tuan." kata Pao Hek.
"Bagus, bagus!" kata Hartawan Li gembira sekali.
Setelah beberapa hari tinggal di rumah keluarga Hartanan Li dan tidak terjadi sesuatu lagi, Pao Hek lalu berunding dengan Pao Heng untuk melanjutkan perjalanan mereka. Pao Heng setuju, karena itu mereka lalu menemui Hartawan Li.
"Kami harus segera pergi untuk ikut ujian negara di ibu kota." kata Pao Hek.
"Baiklah, kapan kalian akan berangkat?" tanya Hartawan Li.
"Besok pagi, Tuan!" jawab Pao Hek.
"Bagus!" kata Hartawan Li.
"Nanti akan kusiapkan segala keperluan kalian."
Kemudian dengan cepat Hartawan Li menyiapkan segala keperluan untuk Pao Hek dan Pao Heng dalam perjalanannya. Sesudah semuanya siap Hartawan Li menyuruh Li Po untuk mengantarkan mereka. Akhirnya dengan tak membuang-buang waktu Pao Hek, Pao 'Heng dan Li Po berangkat ke ibu kota.
Setiba di ibu kota kerajaan mereka segera mencari tempat untuk bermalam.
Paginya mereka mencari tempat pendaftaran ujian .Setelah
semuanya diurus, Pao Hek merasa lega. Esok harinya ketika ujian dimulai, Pao Hek dapat mengikuti ujian itu dengan baik, Setelah menyelesaikan ujian tiga bagian, Pao Hek kembali ke penginapan untuk menunggu pengumuman hasil ujian. Selang beberapa hari pengumuman itu disampaikan oleh panitia ujian. Mereka berjalan sepanjang kota sambil mengumumkan orang yang lulus. Dari 23 peserta, Pao Hek termasuk orang yang lulus dengan nilai terbaik dan menjadi Cin Su. Selang beberapa hari Pao Hek mendapat panggilan dari pemerintah. Ternyata Pao Hek telah diangkat menjadi Ti-koan (Bupati) di Teng-wan yang terletak di Propinsi Hong Yang-hu.
Setelah menyiapkan semua keperluan, Pao Hek pulang dahulu ke rumah Hartawan Li untuk memberi kabar tentang keberhasilannya diangkat menjadi Bupati Teng-wan.
*****
Tak lama setelah itu Pao Hek meminta izin untuk pulang ke kampung. Setelah pamit, maka pulanglah Pao Hek ke kampung halamannya.
Setiba di rumah orang tuanya, Pao Hek disambut dengan gembira, kemudian keluarganya mengadakan sembahyang sebagai syukuran kepada leluhurnya. Tak lama sanak keluarga Pao Hek berdatangan untuk mengucapkan selamat atas keberhasilan Pao Hek diangkat menjadi bupati. Sedangkan Pao Hoai yang melihat anak ketiganya berhasil menjadi bupati tidak berduka dan mengeluh lagi. Malah Pao Hoai bangga pada puteranya yang telah berhasil menjadi Ti-koan. Setelah puas berkumpul dengan keluarganya, pada suatu hari Pao Hek teringat akan tugasnya. .
"Aku harus segera berangkat ke Kabupaten Teng-wan untuk menduduki jabatan sebagai bupati baru di sana." pikir Pao Hek
Sesudah menyampaikan niatnya pada kedua orang tuanya dan sanak keluarganya, dia pun lalu pamit untuk menunaikan
tugas negara yang dibebankan pada pundaknya.
Dengan diantar oleh Pao Heng dan Li Po, dia berangkat ke Kabupaten Teng-wan. Di sepanjang jalan Pao Hek mengadakan peninjauan atas penduduk sekitar Kabupaten Teng-wan sambil tak henti-hentinya menanyakan tentang penghidupan rakyat.
Dengan demikian Pao Hek telah bertindak bijaksana dalam melaksanakan tugasnya sebagai Bupati Teng-wan. Apalagi dia pun sangat pandai dan banyak membantu rakyat kecil. Banyak perkara yang aneh dan sulit dapat diselesaikannya dengan baik dan adil. Karena kebijaksanaannya itu Pao Hek jadi terkenal dan sangat disayang oleh rakyat setempat. Rakyat sangat hormat kepadanya, demikian pula para penjahat, mereka merasa takut dan hormat kepadanya.
Selang beberapa tahun setelah Pao Hek menjadi bupati di Kabupaten Teng-kwan, Daerah Kabupaten Teng-wan menjadi aman dan makmur. Hal ini terdengar sampai ke ibu kota kerajaan.
Pada suatu hari Pang Tay Su mengirim orangnya ke Kabupaten Teng-wan dan beberapa daerah lain, maksudnya untuk minta pungli atau sogokan. Beberapa bupati yang takut pada Pang Tay Su segera memberinya uang sogokan, tapi Pao Hek yang jujur tak mau memberi uang suap. Ketika penolakan Pao Hek disampaikan kepada Pang Tay Su, dia sangat gusar.
"Kurang ajar si Pao Hek ini, dia harus segera disingkirkan dari jabatan sebagai bupati!" kata Pang Tay Su.
Setelah itu berhari-hari dia mencari akal untuk dapat memecat Pao Hek dari jabatannya. Setelah mendapat akal Pang Tay Su datang menghadap pada Kaisar Song Jin Cong Kemudian di hadapan Kaisar Song Jin Cong, Pang Tay Su memfitnah Pao Hek.
"Tuanku, Pao Hek telah melakukan tindak korupsi. Karena itu sebaiknya Pao Hek dipecat dan dihukum." kata Pang Tay Su. _
Mendengar laporan itu, tentu saja Kaisar Song Jin Cong marah.
Hari itu juga dikeluarkan perintah supaya Pao Hek dipecat dari jabatannya. Akhirnya karena Pao Hek tak berdaya serta tak ada yang membelanya di istana, terpaksa dia menerima saja putusan itu walaupun dia anggap tidak adil. Hari itu juga Pao
Hek mengadakan serah terima jabatan. Kemudian bersama Pao Heng dan Li Po dia berangkat ke ibu kota. Di sepanjang jalan dia berpikir keras dan mencari jalan untuk bisa memperbaiki nasibnya.
Pada suatu hari di tengah jalan mereka dihadang ole penjahat.
"Berhenti, serahkan hartamu atau nyawamu melayang!" kata penyamun itu.
Pao Hek yang melihat para penyamun itu berjumlah empat orang, dengan sabar segera turun dari kudanya. Setelah turun dengan berani dia memperkenalkan diri.
"Aku bernama Pao Hek, bekas seorang bupati yang baru dipecat. Aku heran, padahal kalian masih muda, tapi mengapa kalian menjadi perampok? Bukankah masa depan kalian masih panjang? Lagi pula kesempatan kalian juga masih banyak?" kata Pao Hek.
"Diam, jika kau mau selamat serahkan barang-barangmu' kata Thio Liong salah seorang dari para perampok ini.
Namun dengan sabar Pao Hek menasehatinya lagi.
"Melihat usia dan kegagahan kalian, aku rasa alangkah baiknya kalian mengabdi pada negara. Dengan menjadi perampok, kalian telah menyia-nyiakan harapan kedua orang tua kalian. Apakah memang begitu cara kalian berbakti pada kedua orang tuamu?" kata Pao Hek.
Mendengar teguran Pao Hek yang keras tapi bijaksana itu, kawanan perampok jadi luluh hatinya. Mereka segera minta maaf lalu memberi hormat pada Pao Hek.
"Sudahlah, asal kalian mau merubah sikapmu aku sudah gembira!" kata Pao Hek.
"Jika boleh, bawalah kami ke ibu kota!" kata Tio Houw.
"Benar Tuan Pao, ajak kami ke ibu kota!" kata Ma Han.
"Jangan, sebaiknya kalian jangan ikut aku sekarang. Nanti setelah aku bekerja lagi, kalian pasti akan kuajak bekerja denganku." janji Pao Hek.
Mulanya mereka tetap memaksa hendak ikut, tapi setelah Pao Hek menasehati agar mereka mau bersabar, akhirnya mereka mau mengerti.
Sesudah itu barulah Pao Hek melanjutkan perjalanannya ke ibu kota. Setelah dengan susah payah akhirnya mereka sampai di ibu kota
Pao Hek yang merasa penasaran atas pemecatannya yang kurang adil, kemudian mendekati pintu gerbang istana untuk menghadap kaisar. Namun sebelum dia berhasil memasuki istana, Pao Hek ditahan oleh para 'Thay-kam (Kaum Keberi). Walau Pao Hek telah memberitahu maksud dan tujuannya, tapi para Thay-kam itu tetap menangkapnya.
Ketika Pao Hek dibawa, Pao Heng terkejut. Tapi karena dia
pun tak berdaya mencegah para Thay-kam yang menangkap saudaranya, terpaksa dia berdiam diri. Karena Pao Heng kebingungan, ia terpaksa mencari penginapan sambil memikirkan untuk menolong saudaranya.
Tak lama Pao Hek dibawa ke istana dan dihadapkan kepada Kaisar Song Jin Cong. Ketika Pao Hek sudah berhadapan dengan Kaisar Song Jin Cong, dia segera berkata.
"Maaf Tuanku, kalau boleh hamba tahu mengapa hamba dipecat dan diperlakukan dengan tak adil?"
Kemudian Pao Hek segera menceritakan kejadian yang sebenarnya. Setelah mendengar penjelasan Pao Hek, kaisar sangat menyesal telah mengambil keputusan yang salah.
Dan untuk menebus kesalahannya, Kaisar Song Jin Cong mengembalikan kedudukan Pao Hek.
*******
BAB II PAO KONG BERHADAPAN DENGAN PANG IP
******
PADA masa Dinasti Song Utara berkuasa, tepatnya ketika Kaisar Song Jin Cong berkuasa keadaan rakyat sangat tertindas. Hal ini semakin terasa karena Pang Ip yang merupakan anak seorang penasihat kaisar yang bernama Pang Tay-Su sering melakukan penindasan terhadap rakyat yang lemah.
Dengan mengandalkan pengaruh sang ayah, Pang Ip bisa jadi Raja Muda An Lok. Selain kejam, Pang Ip yang bertubuh gemuk gempal ini juga sangat gemar pada wanita cantik.
Pada suatu hari Pang Ip bersama anak buahnya berangkat ke Tan-ciu untuk memungut pajak dari rakyat. Begitu sampai di sana, Pang Ip memerintahkan pada anak buahnya untuk memdirikan taman atas biaya rakyat. Bahkan para pegawai yang membangun taman itu diambil dari rakyat yang sudah sangat menderita itu. Sesudah taman yang dimintanya selesai, Pang Ip merasa senang sebab ia bisa memiliki sebuah rumah dengan taman yang bagus.
Pada suatu hari dengan naik joli (Tandu) Pang Ip dan beberapa anak buahnya berangkat ke Po Tee Si yaitu sebuah kelenteng tempat pemujaan Budha.
Ketika sampai di sana, Pang Ip segera turun dari joli. Sewaktu dia memasuki pintu gerbang, tiba-tiba matanya yang Sipit bagai mata tikus itu melihat ada seorang wanita muda yang sedang memasang hio. Pang Ip memang terkenal buaya wanita, maka tak heran kalau Pang Ip terus mengawasi wanita muda itu.Semakin lama dia semakin tertarik oleh kecantikan wanita itu.
Pang Ip segera memanggil penasihatnya yang sangat dipercaya untuk mengadakan penyelidikan.
"Lekas kau cari tahu, anak siapa wanita cantik itu! Dan jangan lupa siapa namanya dan di mana dia tinggal!" kata Pang Ip pada Pang Tiong.
"Baik, Tuan." kata Pang Tiong.
Orang itu segera pergi untuk mencari infomasi tentang gadis itu. Untuk pekerjaan seperti itu, ternyata Pang Tiong sudah sangat berpengalaman. Tidak lama ia sudah kembali menemui Pang Ip.
"Katakan siapa namanya?" tanya Pang Ip ketika melihat anak buahnya itu datang menghadap.
"Nama wanita itu Kim Giok Sian, tapi sayang wanita itu sudah menikah. Suami wanita itu bernama Tian Ki Goan. Menurut keterangan yang saya peroleh, dia datang bersembahyang ke kelenteng ini untuk memohon pada Sang Budha agar mertuanya yang sakit keras dapat disembuhkan." jawab Pang Tiong.
Mendengar keterangan itu sepertinya Pang Ip sangat senang. Lalu dia bertanya lagi,
"Siapa Tian Ki Goan itu? Apakah di seorang pejabat atau seorang hartawan?"
"Dia hanya seorang petani yang tidak begitu kaya." jawa anak buahnya.
"Hm, bagus kalau begitu!" kata Pang Ip
Alis Pang lp berkerut sebab ia sedang memutar otak. Biji matanya tak henti-hentinya berputar karena ia gembira mendengar wanita cantik itu hanya isteri seorang petani miskin. Sesudah berpikir sejenak, akhirnya Pang Ip sudah mendapati: akal bagus. Kemudian dia segera memanggil anak buahnya.
Dengan suara perlahan ia berkata pada anak buahnya,
"Kalian culik wanita cantik itu! Bawa wanita itu ke tempat kita, tapi ingat jangan sampai gagal!" '
"Baik, Tuan!" jawab anak buahnya.
Tak lama dua orang penggotong joli dengan dibantu seorang penasihat Pang Ip segera melaksanakan tugas yang diminta sang majikan.
Diam-diam mereka mulai mendekati wanita cantik yang sedang bersembahyang itu. Ternyata wanita itu tidak datang sendirian, ia datang bersama seorang lelaki tua. Dengan tak menghiraukan orang-orang yang ada di sekitar kelenteng itu, anak buah Pang Ip segera bekerja. Dengan cepat mereka menangkap wanita itu, sedang lelaki tua yang mengantarnya mereka dorong hingga terjatuh. Kemudian wanita itu mereka paksa agar naik ke atas joli.
Mendapat perlakuan yang kasar itu, Kim Giok Sian jadi kaget. Dia segera menjerit ketika ada tiga lelaki menyergapnya. Tapi karena dia cuma seorang wanita, tentu saja ia tak akan dapat melawan ketiga anak buah Pang Ip tersebut. Sedangkan orang-orang yang menyaksikan penculikan di siang hari itu tak berdaya sebab mereka tahu siapa yang melakukannya. Itu sebabnya mereka hanya bisa melihat dari jauh saja tanpa seorang pun yang berani ikut campur.
Di dalam joli walau wanita itu meronta-ronta. tapi tak ada gunanya. Sebab joli itu sudah dilarikan dengan cepat oleh ketiga anak buah Pang Ip. Akhirnya Kim Giok Sian yang ada di dalam joli hanya dapat mencaci-maki dan berteriak-teriak minta tolong. Tapi semua usahanya itu_sia-sia saja sebab tak ada seorang pun yang berani menolongnya. Rupanya mereka semua takut pada kekuasaan Pang Ip.
Ternyata orang tua yang menyertai Kim Giok Sian adalah pembantu suaminya. dia bernama Tian Hok. Melihat nyonyanya
dilarikan oleh anak buah Pang Ip, orang tua itu bergegas pulang untuk melapor.
Sesampai di rumah majikannya ia langsung menemui Tian Ki Goan. Melihat pembantunya kelihatan sangat cemas dan ' pulang sendiri dengan tergopoh-gopoh, Tian Ki Goan jadi kaget
"Celaka! Celaka Tuan!" kata Tian Hok.
"Ada apa? Mana isteriku?" tanya Tian Ki Goan.
"Isteri Tuan dilarikan oleh anak buah Pang Ip! Mereka membawa isteri Tuan ke gedung Pang Ip!" kata Tian Hok sesudah agak tenang.
Mendengar keterangan dari Tian Hok, Tian Ki Goan kaget. Hal ini karena ia tahu apa yang bakal terjadi atas diri isterinya. Dalam sekejap Tian Ki Goan jadi sangat marah.
Kemudian dengan tak menghiraukan bahaya lagi ia bergegas ke gedung Pang Ip. Namun sesampai di muka pintu gedung raja muda yang jahat itu, Tian Ki Goan langsung dihadang oleh para penjaga pintu. Karena Tian Ki Goan hendak menolong isterinya dia tak menghiraukan bahaya lagi.
Dengan suara keras ia minta agar isterinya dikembalikan.
"Hai bajingan tengik, kembalikan isteriku!"
Suara Tian Ki Goan yang keras terus memaki-maki ke arah gedung Pang Ip. Mendengar makian itu, Pang Ip menjadi marah
"Penjaga, usir dia dari sini!" teriaknya.
Mendapat perintah dari majikannya, para penjaga itu mencoba mengusir Tian Ki Goan, namun Ki Goan bertambah marah. Dia terus mencaci-maki, hingga akhirnya hilanglah kesabaran Pang Ip. .
"Pengawal tangkap dia dan segera penjarakan dia dalam penjara kabupaten!" perintah Pang Ip.
Dengan sigap anak buah Pang Ip menangkap Tian Ki Goan yang terus memaki-maki. Tapi karena Tian Ki Goan hanya
sendirian, maka dengan mudah anak buah Pang Ip dapat menangkapnya Kemudian Tian Ki Goan dibawa ke penjara kabupaten. Sedangkan Tian Hok yang ikut dengan Tian Ki Goan tak berdaya menolong majikannya
Sesudah melihat dengan jelas majikannya ditangkap dan isteri majikannya diculik, Tian Hok sangat sedih. Setelah berdiam sejenak, ia langsung pergi ke suatu tempat hendak minta bantuan.
Namun karena hari mulai gelap. Tian Hok tak bisa melanjutkan pejalanan. Karena itu dia jadi kebingungan. Tiba-tiba ia melihat sebuah kelenteng yang bernama Tiat Sian Koan. Tian Hok segera menghampiri kelenteng itu dan mengetuk pintu kelenteng.
Tak lama seorang to-su (Pendeta To) pengurus kelenteng ke luar. .
"Ada apa malam-malam begini Tuan datang ke mari?" kata to-su itu.
"Namaku' Tian Hok, kalau boleh aku ingin bermalam di sini." jawab Tian Hok.
Kemudian Tian Hok menceritakan maksudnya.
"Majikanku ditahan oleh Pang Ip. Karena itu aku ingin _mencari bantuan." katanya.
Mendengar keterangan Tian Hok, to-su itu mengizinkan pembantu Tian Ki Goan itu bermalam. Sesudah berbincang bincang sebentar, Tian Hok lalu diantar ke kamarnya.
Ternyata Tian Hok kurang waspada hingga dia telah membuka rahasianya sendiri. Sebenarnya to-su yang ada ditempat itu bukanlah to-su asli, mereka adalah anak buah Pang Ip yang menyamar.
Pada waktu Tian Hok sedang tidur, para to-su gadungan itu segera menyergapnya. Mulut Tian Hok disumpal serta tangan
dan kakinya diikat. Kemudian anak buah Pang Ip menyekap
Tian Hok dibawah sebuah lonceng besar yang terbuat dari
tembaga. Sesudah ada di bawah genta Tian-Hok menangis, menyesali dirinya yang kurang hati-hati.
"Ah. celaka, dalam sehari majikanku bisa ditangkap sedangkan isterinya diculik oleh Pang Ip. Jadi bila aku mati maka habislah sudah saksi yang bisa mengadukan nasib buruk majikanku!"
Akhirnya karena putus asa Tian Hok terus menangis. Secara kebetulan hari itu Kelenteng Tiat Sian Koan telah kedatang beberapa orang tamu. Rupanya mereka pun hendak bermalam di kelenteng itu. Ketika mereka mendengar suara orang menangis sambil merintih dari balik genta itu, dua orang tamu itu segera mengangkat genta berat itu.
"Hai Anda siapa?" tanya mereka saat genta berhasil diangkat.
"Aku Tian Hok," jawab orang tua itu.
Ketika kedua orang itu menanyakan kenapa Tian Ho sampai ditahan di bawah genta, dengan berani Tian_Hok yang sudah putus asa menceritakan hal yang sebenarnya..
"Oh begitu! Kenalkan aku Thio Liong dan ini temanku Tio Houw. Kami hendak mencari Jaksa Pao untuk mengabdikan diri."
Setelah mendengar bahwa orang yang mengaku bernama Thio Liong dan Tio Houw akan mencari Pao Kong yang terkenal bijaksana, Tian Hok merasa lega.
Sesudah berbincang-bincang sebentar, Thio Liong dan Tio Houw menyuruh Tian Hok bersembunyi di dalam kelenteng.
Setelah itu Thio Liong dan Tio Houw memanggil dua rekannya yang lain untuk berunding. Ternyata kedua rekan Thio Liong dan Tio Houw adalah Ma Han dan Ong Tiao. Mereka semua bekas kawanan perampok Touw Liong-san yang telah
insaf karena mereka kagum pada kepribadian Pao Kong. Mereka semua hendak pergi ke Kai-hong-hu untuk mengabdi pada Pao Kong.
Akhirnya karena Thio Liong, Tio Houw, dan dua temannya merasa kesal dengan tindakan anak buah Pang Ip, mereka sepakat untuk menghajar dan menangkap para to-su gadungan yang ada di kelenteng itu.
Dengan sigap Thio Liong, Tio Houw, Ma Han dan Ong Tiao segera menghajar para to-su gadungan itu.
Ketika Tian Hok mendengar suara perkelahian di luar, dia jadi ketakutan. Tapi Thio Liong, Tio Houw dan dua rekannya tetap saja menghunuskan senjata mereka tanpa menghiraukan Tian Hok ,yang ketakutan. Dengan ganas mereka terus melabrak enam to-su gadungan itu. Dalam waktu yang singkat keenam to-su gadungan itu'berhasil diringkus.
Sesudah berhasil menangkap keenam to-su gadungan itu, mereka segera mengikatnya. Kemudian mereka menyuruh Tian Hok ke luar dari persembunyiannya.
Setelah Tian Hok ke luar, Thio Liong segera berkata,
"Saudara Tian, lebih baik perkara majikanmu kau adukan saja pada Jaksa Pao!" '
"Aku pun bermaksud begitu sebab tak akan ada yang sanggup menghadapi Raja Muda An Lok yang jahat itu." jawab Tian Hok.
"Baik, kalau begitu besok pagi kita jalan bersama-sama!" kata Tio Houw
Malam itu mereka pun bermalam di kelenteng itu, sedang anak buah Pang Ip yang sudah mereka ikat dimasukkan ke dalam sebuah kamar yang kosong.
*****
Esok harinya....
Pagi-pagi sekali mereka sudah berangkat sambil menggiring keenam to-su gadungan itu. Karena mereka melakukan perjalanan dengan cepat, maka dalam waktu yang relatif singkat mereka sampai di Kai Hong-hu. Begitu sampai mereka berusaha, mencari tempat tinggal Pao Kong.
"Pak, apakah kau tahu di mana rumah Jaksa Pao?" tanya mereka pada salah seorang penduduk di sana.
"Oh di sana!" kata orang itu sambil menunjuk sebuah gedung.
"Terima kasih Pak!"
Setelah orang itu pergi, mereka segera menuju ke gedung yang ditunjukkan orang itu. Sesampai di gedung Jaksa Pao
mereka segera menemui penjaga lalu menyampaikan maksud kedatangan mereka. Penjaga itu segera masuk untuk melaporkan hal itu pada Pao Kong.
Tak lama Pao Kong ke luar untuk menerima dan menyambut kedatangan mereka. Sedang para to-su gadungan yang merek hawa segera dimasukkan ke dalam penjara '
Pao Kong sangat gembira bisa bertemu kembali dengan Tio Houw, Thio Liong, Ma Han dan Ong Tiao. Setelah Pao Kong banyak berjasa dalam menegakkan hukum, kaisar memberikan pangkat tinggi sebagai jaksa. Karena sering mendapat laporan tentang ketidakberesan di Kota Tan-ciu, kaisar mengutus Pao Kong untuk mengadakan penyelidikan di kota itu. _
Saat itu Pao Kong sangat gembira karena ia mendapat empat orang pembantu yang gagah dan cekatan. Sedangkan Tian Hok diminta oleh Pao Kong ikut bersamanya sambil menunggu hasil penyelidikan yang akan dilakukan oleh Pao Kong.
*****
Dikisahkan di Tan-ciu....
Di gedung Pang Ip yang megah, Kim Giok Sian selalu
berduka, setiap saat dia selalu menolak keinginan Pang Ip yang jahat.
Karena kesal, Pang Ip lalu memerintahkan seorang perempuan tua untuk membujuk Giok Sian. Walaupun perempuan tua itu terkenal sangat pandai membujuk wanita-wanita cantik agar mau menuruti keinginan Pang Ip, tapi Giok Sian tak pernah berubah.
Apabila Pang lp mendatangi kamarnya dan hendak melampiaskan nafsu binatangnya, Giok Sian selalu melawan bahkan ia berani memukul Pang Ip.
Pada suatu hari Pang Ip memanggil Pang Tiong, penasihatnya itu.
"Sejak wanita itu ditangkap dan dibawa ke sini, dia selalu menolak bila kuajak tidur bersama. Ah aku jadi kewalahan, sedang si nenek yang membujuknya juga tak berhasil!" kata Pang Ip.
Mendengar keterangan dari majikannya, Pang Tiong yang terkenal banyak akalnya lalu memutar otaknya. Tak lama ia sudah tertawa gembira,
"Jangan cemas Tuan, aku punya ide baru." .
"Katakan, apa itu?" kata Pang Ip.
"Saya kenal dengan seorang guru bernama Thio Leng, dia sangat pandai meramu arak dengan obat bius. Arak buatannya juga bagus dan wangi. Bila wanita itu meminumnya, pasti dia akan tertidur dan tak berdaya." kata Pang Tiong.
"Ah bagus, bagus! Aku akan membayarnya 300 tail perak. Sekarang coba kau minta supaya dia membuatkan arak campuran itu." kata Pang Ip yang sangat gembira mendengar keterangan Pang Tiong.
"Baik, Tuan!" kata Pang Tiong.
Sesudah itu Pang Tiong bergegas ke rumah Thio Leng. Tak
lama Pang Tiong sudah sampai di rumah guru sekolah ini .Begitu sampai ia disambut gembira oleh Thio Leng.
"Tumben kau datang, memang ada urusan apa?" tanya Thio Leng.
"Aku perlu bantuanmu, Tuan Thio."
"Bantuan apa, aku inikan seorang bodoh." Thio Leng merendah.
Pang Tiong lalu menceritakan bahwa majikannya perlu arak yang dicampur obat bius.
"Akh mana aku bisa?" kata Thio Leng pura-pura.
Saat itu isteri Thio Leng sedang mendengarkan pembicaraan suaminya dengan Pang Tiong. Rupanya dia yakin kalau suaminya bakal mendapatkan rejeki besar karena pembicaraan yang dilakukan oleh suaminya sambil bisik-bisik.
"Jangan begitu Tuan, aku sudah tahu Tuan pandai sekali dalam soal itu." kata Pang Tiong.
Mula-mula Thio Leng tetap pura-pura menolak, padahal itu hanya salah satu siasatnya untuk menaikkan harga arak buatannya. Sesudah tawar-menawar, maka harga pun disepakati.
"Kapan akan kau ambil arak itu?" tanya Thio Leng. .
"Kalau bisa selekas mungkin!"
"Mana bisa!" jawab Thio Leng.
"Jadi kapan?" tanya Pang Tiong.
"Bagaimana tiga hari lagi?"
"Baiklah aku setuju!" kata Pang Tiong.
Sesudah ada kata sepakat Pang Tiong pulang dengan diantar oleh Thio Leng sampai ke pintu halaman rumahnya. Sedikitpun mereka tidak merasa curiga kalau pembicaraan mereka telah di sadap oleh Pendekar Selatan yang bernama Tian Ciao.
Setelah tamunya pergi, Thio Leng segera menemui istrinya.
"Isteriku, kita bakal mendapat rejeki besar!" kata Thio Leng.
"Hah, rejeki dari mana?" tanya isterinya.
"Majikan Pang Tiong ingin dibuatkan arak bercampur obat bius dan atas bantuannya itu, Pang Ip bersedia membayarku 300 tail. Bukankah itu hebat? Padahal obat dan arak yang kuramu itu modalnya paling besar hanya satu tail perak. Tapi anehnya ada orang yang akan membelinya 300 tail." kata suaminya.
"Aku tak setuju!" kata isterinya.
Mendengar jawaban isterinya, Thio Leng jadi heran. Lalu dia bertanya,
"Memang kenapa?"
"Itu bukan rejeki halal tapi uang haram. Apakah kau lupa akibat perbuatanmu itu akan menyebabkan orang menderita kerugian. Dengan demikian kau menikmati kesenangan di atas penderitaan orang lain. Ingat itu!" kata isterinya.
"Akh persetan semua itu!" kata Thio Leng.
Sesudah ini tanpa menghiraukan kata-kata isterinya, dengan gembira Thio Leng pergi ke ruang kerjanya. Ia lalu mulai meramu obat bius untuk dicampur dengan arak. Dalam waktu singkat pekerjaan Thio Leng pun selesai.
*** Pada hari yang sudah ditentukan, Thio Leng meletakkan arak yang bercampur obat bius di meja makan dekat jendela taman. Kemudian dia bersama isterinya duduk dan makan. Malam itu udara sejuk, mereka makan dengan gembira.
Arak obat itu sengaja diletakkan di atas meja sebab apabila Pang Tiong datang, Thio Leng akan mengantarkan arak itu sekalian mengambil uangnya.
Tak lama ketika Thio Leng dan isterinya sedang asyik makan, tiba-tiba pintu rumahnya diketuk orang. Thio Leng merasa yakin itu pasti Pang Tiong yang akan mengambil arak pesanannya. Thio Leng segera bangun dari kursinya untuk
menemui tamunya. Sedangkan isterinya ditinggal sendiri di meja makan.
Pada saat itu sesosok bayangan melompat turun dengan amat ringannya. Rupanya orang itu memiliki kepandaian silat yang tinggi. Gerakannya sangat halus hingga tak terdengar oleh Thio Leng. .
Dengan cepat bayangan itu mendekati meja makan yang dihadapi isteri Thio Leng, lalu meniup lilin sehingga ruang makan menjadi gelap. Pada saat yang bersamaan bayangan itu telah menukar tempat arak yang berisi obat bius dengan arak yang sedang mereka hadapi. Isteri Thio Leng yang kaget cepat-cepat menyalakan lilin lagi.
Sebelum lilin menyala, bayangan itu sudah melompat dan pergi menuju ke rumah Pang lp. Ternyata orang itu Kam Hiap Tian Ciao atau Pendekar Selatan Tian Ciao. Saat itu dia baru pulang dari pengembaraannya ke Sauw-ciu dan Hang_ciu.
Namun begitu sampai di Tan-ciu, ia sempat mendengar kejahatan Pang Ip. Bahkan dia pun mengetahui peristiwa penculikan Kim Giok Sian. Itu sebabnya dengan hati-hati dan rajin ia mengutit Pang Tiong.
Sementara itu Thio Leng yang ke luar hendak menemui tamunya, segera bertemu dengan Pang Tiong.
"Oh Tuan Pang, harap tunggu sebentar aku akan mengambilkan arak pesananmu!" kata Thio Leng.
Pang Tiong mengangguk karena itu ia terpaksa menunggu di luar. Thio Leng bergegas masuk karena tempat arak itu sama tanpa meneliti lagi dia segera mengambil arak itu untuk diserahkan pada Pang Tiong. Thio Leng tak sadar kalau arak itu sudah ditukar oleh Tian Ciao.
Dengan cepat guci arak itu diraihnya, lalu dibawa ke luar.
"Kau tunggu saja, aku akan mengambil uang itu." pesan Thio Leng pada isterinya yang tak acuh.
Sesampai di luar arak itu diserahkan pada Pang Tiong. Ketika menerima arak itu, Pang Tiong tampak sangat gembira. Sesudah menutup dan mengunci pintu luar Thio Leng dan Pang Tiong bergegas ke rumah Pang Ip. Hati Thio Leng sangat gembira sebab sebentar lagi ia akan menerima 300 tail perak dari hasil kerjanya.
Isteri Thio Leng sudah tak sabar menunggu suaminya pulang. Sampai jam dua malam Thio Leng masih belum pulang. Karena kesal. ia lalu makan sendirian. Selesai makan dia lalu menuangkan arak yang dicampur obat bius ke dalam cangkirnya. Setelah meminum beberapa teguk, dalam sekejap isteri Thio Leng sudah tertidur di atas meja.
Ketika Thio Leng pulang, tadinya ia mengira isterinya tak sabar menunggu hingga tertidur di situ. Tapi ketika isterinya tak bangun-bangun, Thio Leng jadi curiga. Kemudian dia segera memeriksa poci arak yang telah diminum isterinya. Betapa terkejutnya dia ketika mengetahui bahwa poci arak yang diminum isterinya itu adalah poci arak yang telah dicampur obat bius.
Dengan cepat Thio Leng mengambil obat pemunah, lalu meminumkannya pada isterinya. Sesudah itu isterinya diberi air putih. Setelah agak lama isteri Thio Leng mulai sadar
"Celaka!" keluh Thio Leng,
"Pasti Pang Ip akan marah sekali sebab merasa kutipu! Tapi jika aku kembali ke tempat Pang Ip untuk mengantarkan arak yang dicampur obat bius, aku tak berani. Sebab arak tadi aku antarkan, pasti sudah dicobanya! Karena gagal Pang Ip pasti marah dan tak akan mengampuni kesalahanku"
Sadar akan bahaya yang mengancam dirinya serta isterinya. Thio Leng segera berunding dengan isterinya. Tak lama mereka sudah mengambil keputusan untuk melarikan diri dari kota itu .
Subuh itu juga. Mereka akan melarikan diri ke tempat jauh.
*****
Dikisahkan di gedung Pang Ip ...
Pang Ip sangat senang mendapat arak yang katanya manjur itu. Kemudian malam itu juga ia naik ke loteng tempat Kim Giok Sian di tahan. Setelah Pang Ip masuk ke kamar wanita cantik itu, dia kembali membujuk wanita itu agar makan. Dengan lirikan matanya ia meminta supaya pelayannya menyediakan arak dan makanan yang sudah dicampur dengan obat bius itu.
Sedangkan Kim Giok Sian yang melihat kedatangan Pang Ip amat gusar. Tapi Pang Ip tak menghiraukannya sebab ia yakin malam ini ia pasti berhasil.
Dengan suara yang diusahakan semerdu mungkin ia berkata,
"Manis, jika kau masih marah padaku, tak apa. Tapi mari kita makan dan minum!"
Pang Ip lalu menuang arak ke sebuah cangkir. Sesudah itu dia mendekati Kim Giok Sian dan menyodorkan arak itu.
"Silakan kau minum, manis! Apa salahnya kau meminum secangkir arak ini!" katanya.
Kim Giok Sian yang sangat sedih memikirkan suaminya, semakin muak melihat tingkah laku Pang Ip. Tiba-tiba Kim Giok Sian menghempaskan arak yang disodorkan ke hadapannya hingga arak itu menghambur ke muka Pang Ip. Sedang cairan araknya jatuh dan hancur di lantai. Melihat hal itu Pang Ip jadi marah bukan main. Ia akan menampar Kim Giok Sian, tapi tak jadi.
Mendengar suara ribut-ribut, isteri Pang Ip segera datang.
Masih dalam keadaan marah Pang Ip berkata,
"Isteriku, hajar dia!"
Pada saat keadaan Pang Ip masih gusar ada pelayan yang
menemuinya .Pelayan itu berlutut di hadapan Pang Ip.
''Ada apa?" tanya Pang Ip.
"Maaf Tuan, Ciang Tay-su datang hendak bertemu Tuan .Katanya ada kabar penting yang akan dibicarakan dengan Tuan." kata pelayan itu
"Hm, ada-ada saja' Isteriku, jaga Giok Sian. Awas jangan sampai dia kabur! " kata Pang Ip.
Sesudah itu ia bergegas akan menemui Ciang Tay-su. Sesampai di Leng Ang-tong, Pang Ip langsung menemui orang itu.
"Ada urusan apa?" tanya Pang Ip.
"Maaf Tuan, Pao Hak-su akan datang, kabarnya dia akan mengadakan pemeriksaan pembukuan. Kudengar kedatangan Jaksa Pao kali ini dengan membawa firman dari kaisar. Malah kudengar dia pun telah menyiapkan alat pemotong leher! Oleh karena itu kuharap Yang Mulia berhati-hati. Siapa tahu Jaksa Pao akan jadi bahaya besar!" kata Ciang Tay-su.
Mendengar keterangan itu bukan takut Pang Ip malah tertawa terbahak-bahak. Rupanya dia memandang rendah pada Jaksa Pao sebab dia adalah anak seorang penasihat Kerajaan Song. Pang Ip merasa kebal hukum karena itu dia tak merasa takut pada pada Pao Kong.
Tapi dengan cemas Ciang Tay-su menasihatinya.
"Harap Yang Mulia menyadari bahwa Pao Hak-su tak gentar pada kekuasaan. Bahkan kalau keluarga kaisar memang bersalah dia pun akan menghukumnya. Oleh karena itu kuharap Yang Mulia menaruh perhatian dan waspada terhadapnya!"
Namun Pang Ip tetap tertawa,
"Apalah artinya Pao Kong bagiku! Biar jika dia coba menggangguku, akan kusingkirkan dia!"
Pang Ip lalu memanggil seorang pengawal.
"Pengawal lekas kau panggil Hang Hok ke mari!"
Pengawal itu segera menjalankan tugas yang diperintahkan majikannya. Tak lama Hang Hok sudah muncul, ternyata orang itu bertubuh tinggi besar. Pang Ip lalu memperkenalkan Hang Hok pada Ciang Tay-su.
"Dia orang kepercayaanku. Malam ini juga kau harus berangkat bersama Tuan ini untuk membunuh Pao Kong! Bagaimana apakah kau sanggup?" tanya Pang Ip pada Hang Hok.
"Jangan takut Yang Mulia, jangankan cuma membunuh Pao Kong. masuk ke lautan api pun aku bersedia!" jawab Hang Hok
"Nah kalau begitu kau ikut dengan Ciang Tay-su malam ini juga" kata Pang Ip lagi.
"Baiklah, Yang Mulia." kata Hang Hok.
Ciang Tay-su segera memohon diri. Kemudian dia yang berjalan di depan dengan diikuti oleh Hang Hok. Saat itu Ciang Tay-su berjalan sambil membawa lampion.
Saat itu karena keadaan sangat gelap sehingga mereka tidak tahu kalau diikuti oleh Tian Ciao secara diam-diam. Tian Ciao yang baru saja melompat dari wuwungan Leng Ang-tong segera mengikuti mereka dari belakang.
Karena iseng, Tian Ciao mencoba mengganggu Hang Hok yang mengaku jagoan. Dengan kecepatan tinggi ia menggaet topi yang dikenakan oleh Hang Hok. Kemudian dengan segera dia bersembunyi di balik pohon obat yang ada di taman milik Pang Ip.
Hang Hok jadi kaget ketika topinya hilang. Dia semakin kaget ketika melihat topinya ada di sebuah ranting pohon obat. Dalam sekejap bulu kuduk Hang Hok berdiri, mungkin dia mengira bahwa topinya diambil setan. Dengan cepat ia ambil topi itu. lalu mengenakannya kembali .
"Hm heran, kenapa topiku ada di ranting itu? Apakah topiku tersangkut ketika aku sedang berjalan terburu-buru. 'Tapi aku yakin topiku diambil dari kepalaku." pikir Hang Hok.
Namun baru saja Hang Hok melangkahkan kakinya, tiba-tiba topinya sudah lenyap kembali .Menyaksikan hal itu dia kaget bukan main. Apalagi ketika dia menoleh, dilihatnya topi itu ada pada pohon obat lain.
"Aneh? Aneh sekali." keluhnya.
Topi Hang Hok yang tersangkut pada ranting pohon, terayun-ayun ditiup angin.
Melihat Hang Hok kebingungan, Tian Ciao yang menggodanya hampir saja tertawa geli. Tapi ia mencoba menahan tawanya.
Hang Hok kembali meraih topinya yang tersangkut. Sambil mengenakan kembali topinya ia bergumam,
"Aneh, memang aneh sekali!"
Karena berulang kali Hang Hok mengeluarkan kata aneh, Ciang Tay-su menoleh,
"Hai ada apa? Kudengar dari tadi kau berkata aneh saja?"
"Topiku telah dua kali menghilang dari kepalaku secara tiba-tiba. Ketika aku menoleh, ternyata berulang kali topi itu sudah tergantung pada pohon obat! " kata Hang Hok.
"Akh apa yang aneh? Mungkin saja topimu itu tersangkut ranting!" kata Ciang Tay-su.


Jaksa Pao Dalam Paku Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tapi Hang Hok tetap merasa bimbang sebab dia yakin pasti ada yang mengambil topinya. Hanya saja dia tidak tahu siapa Yang mengambil topinya sebab tidak ada orang di sekitar tempat itu.
"Apakah hantu yang mengambil topiku?" pikir Hang Hok.
Karena tak bisa mengungkap misteri tersebut, terpaksa Hang HOk mengikuti Ciang Tay-su.
Sesampainya di suatu tempat, Hang Hok disuruh menunggu di sebuah rumah.
"Sekarang kau tunggu sampai Pao Kong dan rombongan tiba. Nanti bila mereka datang, kau akan kuberi kabar!" kata Ciang Tay-su.
Setelah Ciang Tay-su pergi, Hang Hok tampak tidak sabar. Akhirnya ketika Hang Hok mendengar Pao Kong dan rombongannya telah sampai di Tian-Ciang, Hang Hok langsung bersiap-siap. Dengan segera dia berangkat ke Tian-ciang untuk membunuh Pao Kong.
*****
Di gedungnya, Pang Ip agak gelisah juga. Sekalipun ia sudah mengirim Hang Hok untuk membunuh Pao Kong, tapi setelah dia mendapat penjelasan dari Pang Tiong bahwa Pao Kong amat berbahaya dia sangat gelisah.
Pang Ip segera berunding, lalu mengatur siasat untuk meninggalkan Tan-ciu. Rupanya dia sadar kalau dia telah berlaku sewenang-wenang. Nanti apabila dia harus berhadapan dengan Pao Kong dinnya akan sangat berbahaya. Diam-diam Pang Ip mengatur siasat, lalu memberi perintah pada Pang Tiong.
"Kita harus segera meninggalkan Tan-ciu. Lekas kau atur orang-orang kita untuk membawa Kim Giok Sian ke ibu kota" kata Pang Ip.
"Baik , Yang Mulia." jawab Pang Tiong.
Sesudah itu dengan cepat Pang Tiong mengatur anak buahnya, lalu menaikkan Kim Giok Sian ke atas Joli. Tepat jam tiga pagi Pang Ip dan keluarganya berangkat sambil mengangkut semua hartanya. Sedang joli yang membawa Kim Giok Sial mengambil jalan lain menuju ke ibu kota. Dengan menyamar Pang Ip diam-diam masuk ke ibu kota.
Pikir Pang Ip apabila ia bisa sampai ke ibu kota, ia pasti akan aman sebab di ibu kota ayahnya cukup berpengaruh. Dengan demikian Pao Kong akan sulit menangkapnya.
******
Sementara itu dikisahkan Pao Kong bersama rombongannya bergerak dengan cepat. Tak lama ia sudah tiba di Tian-ciang, kemudian tinggal di Wisma Negara.
Di sepanjang jalan Pao Kong sudah banyak menerima laporan dari rakyat bahwa Pang Ip telah bertindak sewenang wenang. Mendengar laporan itu Pao Kong marah bukan main. Tapi ia tak bisa berbuat apa-apa sebelum bukti-bukti untuk menangkap Pang Ip lengkap seluruhnya.
Sehabis makan malam Pao Kong duduk di kantor sambil membaca. Tapi Pao Kong merasa tak tenang sebab ia selalu teringat akan kejahatan Pang Ip yang sudah melewati batas.
*****
Malam berjalan dengan cepat.
Pada jam tiga pagi saat Tio Houw bersama anak buahnya sedang meronda di sekeliling gedung tinggi, tiba-tiba rombongan Tio Houw mendengar desiran angin di bawah sebatang pohon besar. Daun-daun di pohon itu bergoyang. Karena merasa curiga, Tio Houw melihat ke atas pohon. Dia sangat kaget ketika melihat ada bayangan orang di atas pohon. Tio Houw yang beradat keras dan pemarah itu tanpa pikir panjang ia berteriak
"Siap! Ada orang di atas pohon!"
Mendengar teriakan Tio Houw, Ma Han dan Ong Tiao yang juga sedang melakukan penjagaan di tempat lain jadi kaget. Mereka segera menuju ke tempat Tio Houw sambil mencabut golok mereka. Pada saat itu di luar tembok terdengar ada orang berteriak.
"Hati-hati penjahatnya sudah melompat dari pohon!"
Ketika mereka mengawasi ke atas pohon, benar saja bayangan itu sudah tak ada lagi.
Tio Houw berlari mengejar sambil berteriak,
"Penjahatnya ada di kamar barat!"
Namun baru saja Tio Houw berhenti berteriak, sebuah genting melayang ke arahnya. Tio Houw memang cukup jeli, begitu dilihatnya ada genting menyambar ke arahnya, dia segera berkelit sambil menundukkan kepalanya. Akhirnya genting yang menyambar tubuhnya terjatuh dan mengeluarkan suara gaduh.
Anak buah Tio Houw terkejut.
"Tuan, apa Tuan terluka?" tanya mereka.
"Tidak! Tak apa-apa!" jawab Tio Houw.
Tak lama menyusul suara jeritan,
"Aduh!"
"Buk!" sesosok tubuh jatuh dari atas wuwungan. Orang itu mengenakan pakaian malam serba hitam. _
Melihat ada orang jatuh, Tio Houw dan anak buahnya segera memburu dan menangkap orang itu. Karena dikeroyok, orang itu tak berdaya, ditambah lagi kakinya telah pincang karena jatuh.
Dengan cepat orang itu digiring dan dibawa ke hadapan Pao Kong. Pao Kong yang sudah diberitahu sedang menunggu sambil duduk di kursinya.
"Lepaskan ikatannya!" kata Pao Kong ketika melihat orang itu dibawa masuk.
Setelah ikatan orang itu dilepaskan. orang itu dipersilakan duduk. Namun ketika ia berjalan dengan pincang, Ma Han melihat ada senjata rahasia yang berupa jarum menancap di kaki orang itu.
"Pantas orang itu pincang." pikir Ma Han.
Sesudah jarum dicabut, dari lukanya ke luar darah Kemudian Ma Han membantu mengobati dan membalut luka
orang itu.
"Senjata apa yang melukai orang itu?" tanya Pao Kong.
Ma Han menghampiri atasannya, lalu menyerahkan jarum yang melukai orang itu. Pao Kong terkejut, ternyata jarum itu milik Lam Hiap Tian Ciao. Rupanya pendekar dari selatan itu selalu membantu dan melindungi Pao Kong. Melihat hal itu tentu saja Pao Kong amat berterima kasih pada pendekar tersebut. Kemudian sesudah meletakkan jarum rahasia itu di atas mejanya, Pao Kong mulai memeriksa orang itu.
"Siapa namamu?"
"Saya Hang Hok." jawab Hang Hok
"Apa maksudmu malam-malam begini datang ke Wisma Negara?" tanya Pao Kong.
"Saya datang atas perintah Pang Ip untuk membunuh Yang Mulia Jaksa Pao!" kata Hang Hok.
"Hm bagus, jadi kau bermaksud membunuhku?"
"Benar Yang Mulia. Ketika saya ketahuan, saya akan kabur. Namun sebelum saya sempat begerak, tiba-tiba saja kaki saya diserang oleh jarum rahasia itu hingga akhirnya saya jatuh ke tanah!" jawab Hang Hok.
"Hm. Jadi kau suruhan Pang Ip'
"Benar Yang Mulia. Maafkan saya, jangan hukum saya!" ratap Hang Hok.
Mendengar permohonan Hang Hok, Pao Kong yang bijaksana manggut-manggut.
"Baiklah, kau kuampuni. Tapi untuk sementara'sampai lukamu sembuh, kau tinggal di sini. Nanti, apabila Pang Ip sudah kutangkap kan harus mau menjadi saksi!"
"Terima kasih Yang Mulia. Saya bersedia jadi saksi!" jawab Hang Hok sambil berlutut memberi hormat.
Ong Tiao dan Ma Han mengantarkan Hang Hok ke tempat
istirahatnya. Di sana Hang Hok diperlakukan dengan baik oleh Pao Kong dan anak buahnya.
Sebenarnya ketika teraadi percobaan pembunuhan atas dirinya, Pao Kong tidak kaget. Sebab ketika ia baru tiba pun, ia sudah menerima surat dari Tian Ciao bahwa malam itu seorang penjahat akan datang untuk membunuhnya. Namun Tian Ciao meminta Pao Kong agar tetap tenang sebab penjahat itu ada dalam pengawasan Tian Ciao. Itu sebabnya ketika penjahat itu benar-benar datang, Tio Houw, Thio Liong, Ma Han dan Ong Tiao sudah siap.
Dengan berbisik Pao Kong memberi perintah pada Ong Tiao, Ma Han, Thio Liong dan Tio Houw agar bersiap. Ternyata dalam surat itu juga Tian Ciao menyatakan bahwa dia sudah berhasil menolong Kim Giok Sian. Ia minta agar besok paginya Pao Kong mengirim anak buahnya untuk menerima Giok Siau di Kelenteng Koan Im.
"Thio Liong, Tio Houw! Pergilah kalian ke Tang Kok-lun untuk menangkap Pang Ip! Menurut Tian Ciao. dia akan lewat di hutan tersebut!" kata Pao Kong.
"Baik Tajin!" jawab keduanya. __
Tak lama keduanya lalu berangkat.
"Ma Han, Ong Tiao! Pergilah kalian ke Kelenteng Koan Im Am. ajak Tian Hok untuk menjemput Kim Giok Sian." kata Pao Kong.
"Baik, Taijin!" kata keduanya lalu berangkat.
******
Dikisahkan Ma Han dan Ong Tiao mengajak Tian Hok ke Kelenteng Koan Im Am. Sampai di kelenteng tersebut mereka harus menunggu sebab Tian Ciao belum tiba. Ketika merekb asyik menunggu dan mengawasi ke arah jalan setapak. mereka melihat ada joli yang digotong menuju ke arah kelenteng. Mereka menduga pasti itulah Giok Sian yang sudah dibebaskan
oleh Tian Ciao.
Pada saat kedua anak buah Pao Kong sedang asyik mengawasi, tiba-tiba mereka dikagetkan oleh seseorang yang menepuk pundak mereka. Ketika mereka membalik ke belakang, ternyata ada Lam Hiap Tian Ciao. Kemudian pendekar itu mengisahkan pengalamannya ketika menghadang anak buah Pang Ip yang sedang membawa Kim Giok Sian.
Setelah joli itu tiba, Tian Ciao lalu menyerahkan Kim Giok Sian. Sesudah mendengar cerita Tian Ciao, maka tahulah Ma Han dan Ong Tiao bahwa di sepanjang perjalanan mereka selalu diikuti oleh Tian Ciao. Ma Han dan Ong Tiao mengucapkan terima kasih. Mereka pun amat kagum atas kegagahan Tian Ciao.
"Sampaikan salamku pada Pao Tayjin!" kata Tian Ciao.
Sesudah berkata demikian pendekar itu pamit, lalu menghilang. Pertemuan antara Tian Hok dengan Kim Giok Sian amat mengharukan. Mereka menangis sedih. Walau demikian mereka pun merasa gembira karena masih ada orang yang mau menolong mereka.
Sesudah itu Ma Han dan Ong Tiao berunding, lalu meminta agar Tian Hok dan Kim Giok Sian menunggu mereka di Kelenteng Koan Im Am. Sementara mereka membantu Thio Liong dan Tio Houw menangkap Pang Ip.
*** Dikisahkan Thio Liong dan Tio Houw bersama anak buahnya tiba di Teng Kok-Lim. Tapi mereka merasa heran sebab hutan itu sangat sepi. Di sana mereka tak melihat ada orang Yang akan lewat.
"Ah jangan-jangan perintah Tayjin keliru. Masa sampai saat ini kita belum melihat ada tanda-tanda orang yang akan lewat ke mari?" kata Thio Liong.
"Barangkali kita salah menunggu!" kata Tio Houw.
Namun pada saat mereka masih sedang berunding, salah Seorang anak buahnya memberi isyarat. Tio Houw segera memandang ke arah yang ditunjuk oleh anak buahnya. Dan jarak yang masih jauh, mereka dapat menyaksikan ada rombongan orang yang menuju ke arah mereka. Melihat iring-iringan itu, Thio Liong dan Tio Houw memerintahkan anak buahnya agar bersembunyi. Kemudian mereka menunggu dengan sabar.
Tak lama setelah rombongan itu dekat sekali, ternyata orang yang naik kuda adalah Pang Ip.
Tiba-tiba Tio Houw dan Thio Liong muncul.
"Berhenti!" perintah mereka.
Pang Ip dan para pengewalnya sangat kaget karena mereka mengira dihadang oleh para perampok. Namun setelah melihat pakaian Tio Houw dan Thio Liong maka tahulah mereka bahwa Thio Liong dan Tio Houw golongan pegawai negeri.
Tak lama pengawal Pang Ip maju,
"Kami rombongan Raja Muda An Lok!"
"Tapi kenapa kalian tak tampak seperti rombongan raja muda dan para pengiringnya?" tanya Thio Liong.
"Tuan benar, kami memang sedang menyamar. Sebab perjalanan yang kami tempuh banyak bahayanya!" jawab pengawal itu.
Pengawal yang lain lalu bertanya,
"Siapakah kalian? Berani benar kalian menghadang kami!"
"Hm, diam kau tolol! Apakah kau tak tahu, kami memang sengaja menunggu Raja Muda An Lok!" kata Tio Houw.
"Mau apa kalian menunggu Raja Muda An Lok?" tanya pengawal itu.
"Karena kau sudah memberikan penjelasan pada kami, maka kami tak akan salah tangkap .Apalagi orang yang akan kami
tangkap adalah Raja Muda An Lok alias Pang Ip."
Kemudian baru saja Tio Houw selesai bicara, tiba-tiba dia melontarkan rantai ke arah penunggang kuda yang ia duga adalah Pang Ip.
Dalam sekejap Pang Ip yang sudah tak berdaya dirantai oleh Tio Houw. Melihat atasannya dirantai, anak buah Pang Ip tak berani menolongnya sebab ia lihat Tio Houw dan anak buahnya berseragam tentara Song. Ketika mereka melarikan diri, Thio Liong dan Tio Houw tidak mengejarnya. Rupanya mereka sudah puas karena Pang Ip sudah tertangkap. Pang Ip tak mau melawan atau membantah. Maka dia menurut saja ketika diborgol dan dibawa ke Tian-Ciang.
Saat itu Pang Ip berpikir tak ada gunanya melawan anak buah Pao Kong, lebih baik nanti sesudah berhadapan dengan Pao Kong ia baru akan membela diri.
Rombongan segera bergerak menuju Tian-ciang. Tak lama mereka pun sampai ke Tian-ciang. Begitu sampai Pang Ip langsung dibawa ke pengadilan. Pang Ip yang merasa anak seorang penasihat kerajaan, memandang remeh pada Pao Kong. Rupanya dia menganggap dirinya akan bisa mengatasi Jaksa Pao.
Melihat Pang Ip dibawa dalam keadaan terikat, Pao Kong tersenyum puas .Ia merasa geli melihat sikap Pang Ip yang masih agung-agungan di hadapannya. Namun demikian Pao Kong bersikap ramah dan mempersilakan Pang Ip duduk. Sesudah Pang Ip duduk, lalu borgolnya dibuka. Kemudian dengan sikap halus Pao Kong berkata.
"Aku dan Ayahmu punya hubungan antara guru dan murid. Tapi karena banyak pengaduan yang memburukkan kau, kuminta kau mau berterus terang. Jangan takut, aku akan membantumu!"
Mendengar Pao Kong bersikap baik, Pang Ip mengira Pao
Kong takut kepadanya .Maka itu dia bersikap acuh pada Pao Kong. Tak lama Pao Kong memanggil Kong-sun Sian-seng untuk mencatat pengakuan Pang Ip. Ketika ditegur, Pang Ip tak menghiraukan teguran Pao Kong. Ia malah pura-pura tak mendengar teguran Pao Kong.
Akhirnya Pao Kong membacakan tuduhan terhadap Pang Ip.
Mendengar tuduhan itu Pang Ip menyangkal,
"Aku kira tuduhan yang tadi dibacakan adalah tuduhan palsu. itu cuma fitnah orang jahat terhadapku."
"Hm baiklah, kalau begitu akan kupanggil para pengadu itu!" kata Pao Kong.
Tak lama kemudian orang yang mengadu diajukan. Melihat Pao Kong yang mengadili perkara Pang Ip, mereka pun senang. Namun ketika mereka menyampaikan tuduhan secara serempak. Pang Ip tak mau mengakui tuduhannya. Sekalipun tuduhan itu lengkap dengan bukti-bukti yang kuat. Akhirnya terpaksa Pao Kong menyuruh para pengadu ke luar. '
"Sekarang panggil Hang Hok!" perintah Pao Kong,
Mendengar nama Hang Hok disebut-sebut, Pang Ip kaget. Wajahnya dalam sekejap menjadi pucat pasi. Hang Hok segera masuk ke ruang sidang. Begitu melihat Pang Ip ada di dekat Pao Kong, ia melangkah maju.
"Apa Tuan kenal pada orang. ini?? " tanya Pao Kong pada Pang Ip
Tadinya Pang Ip akan menyangkalnya. Tapi karena Hang Hok langsung melaporkan tentang kegagalannya membunuh Pao Kong sampai ia tertangkap, Pang Ip menjadi kaget bukan main. Rupanya ia seolah mendengar suara guntur. Karena takut, tubuh Pang Ip bergetar.
"Sekarang setelah kau akui surat tuduhan itu, kau harus tanda tangani surat ini' Nanti surat itu akan kukirim ke ibu kota. Di sana kau baru akan diadili seadil-adilnya!" kata Pao Kong
Mendengar Pao Kong mengatakan dia akan diadili di ibu kota, timbul harapan Pang Ip. Pang Ip berpikir kalau di ibu kota ia pasti akan mendapat pembelaan dari ayahnya. Tanpa berpikir panjang lagi, ia segera mengakui dosanya.
Sesudah surat tuduhan itu ditanda tangani, Pao Kong gembira sekali.
"Seharusnya perkaramu ini memang akan diadili di ibu kota tapi mengingat perjalanan ke ibu kota cukup jauh, maka aku kuatir kau akan terlalu menderita di perjalanan. Oleh karena itu rencana pengadilan di ibu kota aku batalkan!"
Mendengar ucapan Pao Kong kelihatan Pang Ip senang. Dia mengira Pao Kong takut pada ayahnya,
"Kalau begitu terserah Tay jin saja!"
Pao Kong tertawa, sesudah itu ia memberi tanda pada Ma Han dan Ong Tiao.
"Segera penggal kepalanya!" perintah Pao Kong.
Tak lama anak buahnya membawa alat pemotong kepala yang berhias kepala harimau dan terbuat dari bahan tembaga. Melihat alat itu Pang Ip gemetar, saat itu nyawanya seolah sudah melayang.
Dengan tak menunggu perintah dua kali, anak buah Pao Kong segera menyeret Pang Ip yang seolah tidak bertenaga lagi. Kemudian kepalanya segera dimasukkan ke dalam alat pemotong. Dalam sekejap kepala Pang Ip sudah terpisah dari tubuhnya. Sedang terdakwa lain. seperti to-su gadungan anak buah Pang Ip untuk sementara ditahan bersama Ciang Tay-su dan Hang Hok. Sesudah itu Pao Kong segera menutup sidang.
Semua yang hadir merasa puas. Demikian pula Kim Giok Sian amat berterima kasih kepada Jaksa Pao .Apalagi sekarang suaminya segera dibebaskan. Sesudah urusan di Tiang-cian selesai. Pao Kong melanjutkan perjalanannya ke Tan-ciu.
Di sepanjang jalan Pao Kong mendapat sambutan hangat karena tindakannya yang adil dan bijaksana.
******
BAB III GARA GARA SALAH TARIK
DI KABUPATEN Siau-kan. propinsi Tek-an ada seorang pedagang daging yang bernama Siauw Hok Han. Dia mempunyai seorang puteri yang bernama Siauw Giok Mei.
Siauw Giok Mei seorang gadis yang sangat cantik dan baru berusia 17 tahun. Giok Mei sering duduk di depan jendela rumahnya sambil menyulam. dan terkadang dia juga suka memperhatikan orang-orang yang lewat di depan rumahnya
Suatu hari ketika Siauw Giok Mei sedang duduk di depan jendela lotengnya, ia melihat seorang pemuda terpelajar sedang melintas di depan rumahnya.
Pemuda itu berwajah tampan, usianya mungkin baru sekitar 18 tahunan. Pemuda itu seorang mahasiswa yang cerdas dan pandai bergaul serta lemah lembut.
Ketika si gadis sedang memperhatikannya, tanpa sengaja pemuda itu juga sedang menengadah ke atas. Dalam Sekejap kedua insan muda ini saling berpandangan. lalu keduanya saling menunduk malu.
Tak lama pemuda itu masuk ke sebuah rumah di seberang rumah si gadis.
Karena dia sering bertatapan muka dengan pemuda itu, lama-lama Siauw Giok Mei tertarik dengan ketampanan si pemuda. Suatu hari ketika Siauw Giok Mei pergi membeli benang sulam, dia berjumpa dengan pemuda itu. Ketika mereka berkenalan. Ternyata pemuda itu mengaku bernama Khouw Sin Tiong.
*****
Sejak itulah persahabatan mereka semakin erat dan berlanjut menjadi hubungan kekasih. Karena Khouw Sin Tiong seorang pemuda tampan yang sopan dan pandai bergaul, maka Siauw Giok Mei mau menerima cintanya. Namun karena Khouw Sin Tiong belum berani berterus-terang kepada ayah si gadis, maka hubungan intim mereka dijalin secara diam-diam.
Mereka pun sering duduk berkasih-kasihan di bawah sinar bulan purnama. Karena sering melakukan hal itu, hubungan mereka semakin intim bahkan si gadis semakin sering mengundang Khouw Sin Tiong ke dalam kamarnya. Di sanalah mereka berkasih-kasihan sambil bercanda dengan mesra. Bahkan hubungan mereka pun sudah pada taraf hubungan suami isteri. Malam hari Khouw Sin Tiong memasuki kamar si gadis, dan paginya sebelum matahari terbit dia bergegas turun dari kamar kekasihnya lalu pulang ke tempat kosnya.
Karena Giok Mei sangat mencintai Khouw Sin Tiong, suatu hari ketika sang kekasih akan pulang Giok Mei berbisik,
"Kanda, nanti malam jika kau datang lagi, sebaiknya kau jangan lewat tangga sebab bisa terlihat orang lain."
"Lalu aku harus lewat jalan mana?" tanya Khouw Sin Tiong heran
"Aku punya akal! Nanti jika kau datang akan kurobek kain sepreiku untuk dijadikan tali. Kemudian tali itu akan kujuntaikan ke bawah jendela loteng. Jika kau akan naik, kau tarik saja tali itu sebagai isyarat. Apa bila kulihat tali itu bergerak, maka aku akan membantumu naik ke kamarku .Dengan demikian kau tidak akan terlalu sulit untuk sampai ke kamarku. Kukira seprei yang kusambung-sambung itu cukup kuat untuk menahan tubuhmu!" kata si gadis itu.
"Baiklah kalau begitu!" kata Khouw Sin Tiong sambil mencium kening kekasihnya.
Kemudian dengan hati-hati dia pun turun lewat tangga dan pulang ke rumahnya.
Demikian asyiknya kedua insan muda itu, hingga mereka pun jadi terbiasa. Tiap malam si pemuda datang ke kamar si gadis yang sudah menunggu di kamarnya. Sesudah pemuda itu memberi tanda, ia segera naik lewat tali yang terbuat dari kain seprei itu. Di kamar itu keduanya lalu saling melepas rindu mereka. Tiap malam si gadis merasakan kehangatan pelukan si pemuda ganteng itu.
Walaupun hubungan gelap itu sudah berlangsung enam bulan lamanya tapi orang tua si gadis belum juga mengetahui hal itu.
Pada suatu hari Khouw Sin Tiong diundang makan oleh sahabatnya. Tapi karena undangan itu disampaikan secara mendadak dan baru sampai pada sore harinya, maka Khouw Sin Tiong tak sempat memberi tahu Siauw Giok Mei bahwa malam itu dia tak bisa datang. Sebenarnya pemuda itu hendak memberitahu, tapi ia takut ketahuan oleh ayah si gadis.
Pedang Naga Kemala 3 Fear Street Cowok Baru New Boy Pendekar Sakti 9
^