Pencarian

Prahara Akhir Pekan 1

Merivale Mall 06 Prahara Akhir Pekan Bagian 1


Satu "Aku nggak cinta Don James!"
Danielle Sharp, gadis berusia enam belas tahun itu mengibaskan
rambut merahnya yang sepanjang bahu sambil melotot pada kedua
sahabatnya. "Aku cuma bertemu beberapa kali, itu aja kebetulan!"
Tawa Heather Baron dan Teresa Woods menjadi-jadi.
"Sudahlah, Dani!" gumam Heather sambil mengamati kuku-kukunya
yang habis dikikir. "Jangan pura-pura, ah."
"Iya," Teresa setuju. "Kami kan sudah lihat foto kalian sedang
berpandangan mesra. Romantis banget," katanya sambil mengerjap-
ngerjapkan mata.
"Ngaku aja deh. Kalian memang sedang kasmaran!" suara
Heather seakan mengisi seluruh pelosok mall.
Teresa menyeringai seperti kucing. Tawa mereka kembali
meledak seketika. Mereka lalu duduk di sebuah kursi kayu panjang.
Wajah Danielle merah padam. Sejak Teresa dan Heather
menemukan fotonya bersama Don, mereka terus-menerus meledeknya
tanpa ampun. Lebih-lebih kalau bertemu di kantin Atwood, salah
seorang dari mereka pasti berteriak agar penghuni meja sebelah bisa
mendengarnya dengan jelas, "Dan, gimana kabar Don?" Lengkapsudah, cinta monyet Danielle dan Don menjadi berita hangat di SMA
Atwood.
Dasar gosip murahan! Padahal dia cuma sekali saja berkencan
dengan Don. Tapi Teresa dan Heather terus memojokkannya!
Dengan perasaan meledak-ledak Danielle menjilat yoghurt-nya
pelan-pelan tanpa mempedulikan teman-temannya. Tapi percuma,
mereka terus tertawa. "Sudahlah," kata Danielle akhirnya. "Apa nggak
ada bahan omongan lain?" Mata hijaunya menyipit menatap mereka.
"Misalnya kehidupan cinta kalian sendiri?"
Tawa Heather langsung terhenti, mereka mendadak asyik
menikmati yoghurt-nya masing-masing. Nilai satu untukku, batin
Danielle merasa menang. Pasalnya baik Heather maupun Teresa
sampai sekarang belum punya pacar, mungkin belum laku.
Danielle mengakui, Don merupakan bahan pembicaraan yang
menarik ? karena ia merupakan jenis langka di antara kebanyakan
cowok Atwood. Wajahnya memperlihatkan garis-garis kejantanan ?
kuat, pendiam ? dan pemberani. Tapi kelembutan dan kebijakannya
nyaris membuat Danielle terbengong-bengong. Don tampak lebih
dewasa dari umurnya yang baru tujuh belas tahun, mungkin karena ia
terbiasa hidup mandiri. Terlepas dari sikapnya yang serba masa
bodoh, kesan gantengnya sangat menonjol.
Ketika membayangkan ketampanan Don, Danielle merasa
menyesal karena mereka tak mungkin bisa menjalin hubungan.
Danielle Sharp adalah penghuni Wood Hollow Hills, kawasan elit di
Merivale, dan termasuk anak baru terpopuler di SMA Atwood.
Hidupnya bergelimang kemewahan sejak ayahnya sukses merancang
dan mengelola Merivale Mall. Pakaian Danielle bermerk, sekolahnyabergengsi ... dan teman-teman kencannya termasuk anak orang
terpandang.
Sedangkan Don James? Dia hidup di pertanian kumuh, bergaul
dengan gerombolan pemuda berjaket kulit hitam lusuh yang suka
kebut-kebutan sepeda motor. Don sekolah di SMA Negeri Merivale
? ikut kursus montir dan sejenisnya. Dengan kata lain, Don berasal
dari kalangan rendah! Tapi dia keren, pintar, dan tergila-gila pada
Danielle. Mereka punya begitu banyak perbedaan. Tak dapat
disangkal, Danielle pun menyukai Don. Walaupun begitu ia tak sudi
kalau Teresa dan Heather mengetahui hal itu. Jangan sampai terjadi!
Kalau sampai mereka tahu, tercorenglah reputasi hebat yang selama
ini disandangnya ? untuk selamanya!
Tapi tampaknya mereka belum jera memojokkan Danielle.
"Nggak apa-apa, Dan," Heather mengangkat bahu. "Kami ngerti, kok.
Kamu memang suka sama cowok yang kukunya kotor penuh oli."
Danielle menggigit lidahnya agar sumpah serapahnya tidak
tumpah. Ia menjaga, jangan sampai mereka ngamuk. Bagaimana pun
Danielle hanya murid pindahan dari Merivale High ke Atwood,
sedangkan mereka termasuk cewek-cewek populer yang mau
berteman dengannya. Karena mereka Danielle jadi ikut populer. Dia
takut, kalau mereka sampai berang maka popularitasnya ikut lenyap.
Danielle memeras otak untuk mengganti topik pembicaraan,
tapi gagal.
"Hei!" seru Heather tiba-tiba sambil duduk tegak memandang
salah satu sisi mal. "Lihat cowok-cowok itu," katanya sambil memberi
isyarat dengan ayunan kepala.Danielle dan Teresa langsung menoleh ke plaza. Benar! Ada
tiga pemuda tampan keluar dari Aunti Pasta's. Jaket putih mereka
bergambar kepala anjing bulldog dengan tulisan Yale berukuran besar
di punggung.
"Mahasiswa," kata Teresa menahan napas.
"Aku pilih yang sebelah kanan," timpal Heather. "Ganteng sih."
"Keren banget," tambah Danielle. "Yang lain juga lumayan.
Wah, bisa dapat satu-satu, nih," komentar mereka berbarengan.
"Kayaknya mereka pendatang," kata Teresa. "Bukan anak sini
? kita belum pernah lihat. Menginap di rumah siapa ya ? "
"Sayang bukan di rumahku," keluh Heather.
"Minggu ini aku dapat tamu mahasiswa," goda Danielle,
dibuangnya gelas yoghurt kosong ke tempat sampah di dekatnya.
"Mahasiswa tingkat dua."
Alis Teresa naik, diliriknya Danielle. "Oh?"
"Tapi sayang, dia itu kakak perempuanku," kata Danielle sambil
cekikikan. "Dia pulang untuk berakhir pekan."
"Lucu, aku selalu lupa terus bahwa kamu punya kakak," kata
Heather.
Heather dan Teresa belum pernah bertemu Christine karena ia
lulusan SMA Merivale. Sebenarnya Christine bisa pindah ke SMA
Atwood begitu usaha ayahnya naik daun. Tapi Christine tidak
berminat, ia ingin menyelesaikan sekolah bersama teman-teman
sekelasnya. Danielle tak begitu mengerti alasannya dan terlalu rumit
untuk menjelaskan kepada teman-teman Atwoodnya mengapa
Christine betah di sekolah negeri. Itu sebabnya Danielle enggan
menyinggung tentang Christine."Kakakmu sudah punya pacar, Dan?" Teresa penasaran.
Dikunyahnya contong kue yoghurt sambil melirik para mahasiswa
Yale tadi.
Danielle juga melirik sekilas, "Katanya dia sibuk belajar, nggak
punya waktu untuk soal begituan. Gila!"
Heather dan Teresa mulai cekikikan, Danielle memandang
mereka dengan sebal. Walau tak mengerti sikap kakaknya, Danielle
mengaguminya dan tak senang melihat kakaknya ditertawakan.
Christine adalah seorang pekerja keras, cerdas, dan penyayang. Di atas
segalanya, dia benar-benar cantik ? mewarisi tulang pipi yang tinggi
serta bulu mata lentik milik ibunya.
Danielle kecil dulu sering melamunkan dirinya bisa secantik
Christine. Syukurlah doanya terkabul ? ia tak perlu cemas lagi.
"Coba kalau aku punya kakak supaya bisa kenalan sama
mahasiswa," kata Teresa melihat para pemuda Yale itu berjalan
dengan santai menyusuri plaza kemudian berhenti melihat-lihat
jendela pajang toko Hobart Electronics.
"Aku juga," sahut Heather. "Mereka keren, ya?" Ditatapnya
ketiga pemuda itu.
"Benar-benar canggih," lanjut Teresa sambil mengangguk-
angguk setuju.
"Dewasa lagi ? " timpal Heather.
"Ah, sudahlah ? jangan kebanyakan berkhayal," kata Danielle.
"Kita sudah terjerat sama cowok Atwood. Mendingan kita ke
Facades!"
Belanja kecil-kecilan di butik termahal Merivale Mall itu
memang bagus untuk kepuasan jiwa. Lagipula Danielle akan membelipakaian baru yang berkesan mewah, pokoknya yang menarik ? ia tak
mau kalah dengan kakaknya.
Setelah melirik para pemuda Yale sekali lagi, mereka langsung
berangkat ke Facades.
***********
Lori Randall mencari Patsy Donovan di tengah keramaian orang
yang bergerombol di depan bioskop sixplex. Patsy akan mudah
ditemukan karena topi berbentuk cokelat raksasanya yang menjulang.
Kasihan Patsy! batin Lori sambil menahan tawa. Kenapa
Cookie Connection memberi seragam sekonyol itu untuk
karyawannya?
Tapi waktu melirik seragamnya sendiri yang berwarna oranye
bercelemek kuning menyala, ternyata Tio's Tacos pun sama
konyolnya. Lebih-lebih ia harus memakai sejenis jala hitam di atas
rambut pirangnya selama jam kerja. Oh, ini memang resiko pekerjaan!
"Hai, Lor. Ada apa?" Wajah Patsy berseri-seri waktu
menghampiri Lori. "Ann nggak bisa ke sini, masih sibuk ber-sit up."
Sahabat mereka Ann Larson, bekerja sebagai instruktur aerobik di
Body Shoppe. Mereka berjanji bertemu di plaza utama saat istirahat.
Waktu sepuluh menit memang tidak cukup untuk mengobrol, tapi
daripada tidak sama sekali, pikir Lori.
"Nggak ada apa-apa," kata Lori. "Minggu ini kerjaanku
bertumpuk."
"Aku sedang menduga-duga, gimana tanggapan Profesor
Mortenson terhadap rancanganmu tempo hari?" Dosen terkenal dari
Fashion Institute itu adalah juri kontes kecantikan Miss Merivale Mall
? kontes yang dimenangkan Patsy! ? dan Lori memanfaatkankesempatan itu untuk memamerkan hasil karyanya pada Pak
Mortenson. Lori memang punya hobi merancang pakaian. Tapi akhir-
akhir ini dia mulai sadar bahwa bidang ini bisa menjadi karir baginya.
Lori dan Patsy mulai berjalan menyusuri mall, mereka agak
menepi menghindari keramaian pengunjung. "Mula-mula dia bilang
banyak ide orisinal dalam rancanganku, lalu katanya Fashion Institute
adalah sekolah yang cocok untukku ? "
"Asyik!" seru Patsy, mata cokelatnya bersinar.
"Tegang juga sih," kata Lori. "Hampir satu jam dia bicara ?
membahas sekolah busana jurusan-jurusan yang bisa kuikuti."
"Jadi kamu mau belajar di Fashion Institute atau gimana?"
Lori mengangkat bahu. "Ia nggak menjanjikan apa-apa, tapi
paling enggak aku dapat kesempatan emas. Pak Mortenson juga
memberi pandangan tentang beberapa akademi dan universitas lain,
soalnya bidang rancang-merancang punya banyak jurusan. Bukan
cuma busana saja."
"Misalnya?" tanya Patsy.
"Penata niaga, penata cahaya, atau pendekor ruang. Menarik
lho, Pats. Aku sudah nggak sabar pingin kuliah!"
Patsy menyentuh lengan Lori. "Dia menyinggung soal beasiswa
nggak?" tanya Patsy. "Tapi yang jelas bukan soal penjualan tacos
lho!" candanya.
Lori tertawa. "Katanya aku punya kesempatan untuk itu ?
bahkan aku dikasih formulirnya!" Ditariknya selembar kertas yang
terlipat dari kantong celemeknya. "Voila!"
"Aduh, senang deh, Lor!" kata Patsy nyengir."Sedihnya aku bakalan berpisah sama Nick," renung Lori. "Aku
sudah punya pacar setia, tapi, bum! ? kutinggal pergi begitu saja."
"Jangan takut. Kan cuma satu setengah tahun," tukas Patsy
sambil memberi isyarat tangan.
"Memang konyol. Tapi kalau memang terjadi seperti itu aku
pasti kangen setengah mati."
Pikiran itu membuat Lori menggigil. Baru membayangkan saja
sudah membuatnya ingin menyerbu toko milik ayah Nick, Hobart
Electronics dan langsung memeluk Nick erat-erat. Setiap kali Nick
memeluk Lori dengan tangannya yang kuat dan berotot, Lori harus
mencubit dirinya agar yakin bahwa ia tidak sedang, bermimpi. Nick
Hobart ? pemuda terbaik, terganteng, terlembut di seluruh dunia ?
telah memilihnya di antara sekian banyak gadis cantik di Merivale.
Selama bersamanya Lori merasa bahagia tiada tara. Bagaimana
jadinya kalau mereka harus berpisah? Dihelanya nafas panjang.
Patsy memandangnya penuh simpati. "Hei, nanti mampir ke
rumahku yuk, kamu ada kencan sama Nick nggak?"
"Nggak," jawab Lori sambil merapikan seragamnya, siap
bekerja lagi. "Kamu pasti kaget, aku mau main ke rumah Danielle."
Patsy mengernyit dan memandang seolah Lori sudah
kehilangan akal sehatnya. "Sepupumu si sombong itu?" tanyanya.
"Ada acara apaan? Tumben Tuan Putri Dani mengundangmu ke istana
Windsor-nya? Kirain cuma para bangsawan saja yang boleh datang."
Lori tersenyum. Sebenarnya, Danielle tak sesombong yang
disangka Patsy, tapi memang tak bisa disalahkan. Danielle dan geng-
nya tak pernah bersikap manis pada Patsy, apalagi waktu Patsy masih
gendut dan belum mendapat gelar Miss Merivale Mall."Memang bukan Danielle yang mengundangku," sangkal Lori.
"Ibunya mengundang seluruh keluarga besar. Sepupuku, Christine,
pulang dari Kensington College, jadi Bibi Teresa bikin acara ramah
tamah."
"Masa? Aku nggak kenal Christine, tapi pernah melihatnya ?
dia lebih cantik dari Danielle. Sayang kalau kelakuannya persis
Danielle."
Lori tertawa. "Yang mirip cuma wajahnya, sifatnya seperti
bumi dan langit. Kamu pasti suka sama dia."
"Mungkin," jawab Patsy. "Aku pergi dulu, jangan sampai telat.
Senang-senang ya nanti malam ? kalau bisa. Jangan sampaikan
salamku buat si Danielle." Patsy melambai lalu berbaur dengan para
pengunjung Mall.
Ketika melangkah memasuki Tio's Lori memutuskan akan
menyimpan komentar Patsy. Ia sayang pada Danielle, meski
sepupunya itu sulit didekati ? walau tidak sedang marah. Ia tak ingin
menyiramkan minyak ke atas api yang sedang berkobar.Dua
Sambil membelokkan BMW putihnya di bundaran, Danielle
berharap Christine sudah sampai lebih dulu. Dengan begitu dia tidak
usah menghadapi ibunya sendirian. Tapi satu-satunya mobil yang ada
di di tempat parkir hanya mobil van katering Premier. Ibunya tak suka
memasak tapi suka sekali membuat jamuan makan malam ? katering
Premier membuatnya seolah-olah seorang koki yang sempurna. Kalau
ada tamu yang menanyakan resepnya, Bu Sharp akan tersenyum
manis sambil mengatakan bahwa itu rahasia perusahaan.
Danielle memarkir mobil lalu melangkah keluar. Mungkin
Christine naik kereta api, katanya dalam hati.
Sebenarnya Danielle tak ingin mengakui bahwa sejak kakaknya
pindah ke Kensington dia merasa kesepian. Ibunya tak pernah
mengajaknya bertukar pikiran. Yang dibicarakan hanya tentang
keinginannya pindah ke New York atau Philadelphia supaya bisa
bergaul dengan "orang sederajat". Ayahnya berkeras tinggal di
Merivale dan bekerja sekian ratus jam seminggu supaya tidak
mendengar segala macam protes istrinya.
Kalau pun ayahnya ada di rumah, yang ada cuma pertengkaran
antara kedua orang tuanya. Selama bertahun-tahun Danielle danChristine selalu mencuri dengar bersama-sama. Tapi sejak kakaknya
pergi, Danielle harus menghadapinya sendirian.
Waktu Danielle memasuki ruang tamu, terlihat Christine sedang
santai mengobrol dengan ibunya. Bagaimana pun inilah penampilan
tersantai Bu Serena Sharp. Bahkan walau hanya di rumah, beliau
memakai setelan sutra beige lengkap. Beliau sedang menuangkan teh
ke cangkir perak antik untuk mereka berdua.
Christine kelihatan cantik sekali walau hanya memakai celana
jeans belel dipadu kaos butut. "Hei, Christine!" pekik Danielle.
"Dani!" teriak Christine. Dia melompat dari sofa dan memeluk
adiknya erat-erat. "Gimana kabarmu? Kamu cantik deh!"
"Ibu heran kenapa dia hobby banget pakai jumpsuit," komentar
ibunya datar. "Kurang pantas untuk anak SMA."
Siapa yang tanya? Danielle mengerutkan hidungnya diam-diam
waktu menghampiri sofa bersama kakaknya.


Merivale Mall 06 Prahara Akhir Pekan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bu Sharp mengulurkan secangkir teh kepada Christine.
"Gulanya di sini, sayang. Kakakmu cantik ya, Dan?" tanya ibunya
sambil tersenyum.
"Memang," seloroh Danielle. Dengan rambut kemerahan dan
mata birunya yang menawan Christine bisa menjadi gadis sampul
majalah mode mana pun.
"Keren lagi," tambah ibunya. "Mungkin karena pengaruh dunia
kampus, Christ. Gimana, sudah punya pacar?"
"Ah, Ibu," keluh Christine. Pandangannya beralih kepada
Danielle seakan berkata, mulai lagi deh!
"Hmm," kata Bu Sharp, "Jangan biarkan masa remajamu berlalu
begitu saja.""Umur saya kan baru sembilan belas tahun!" protes Christine.
"Masih banyak waktu untuk cari pacar."
Danielle menyayangi Christine, tapi ada rasa senang waktu
mendengar kakak dan ibunya berdebat. Dia sendiri bosan dengan
ibunya yang selalu mengatakan, "Christine itu pelajar teladan. Dia
penuh tanggung jawab. Mobilnya dirawat sendiri. Semua yang
dikerjakan selalu rapi."
Danielle sadar kakaknya lebih pandai dan luwes bergaul. Tapi
siapa yang tak kesal kalau selalu dipojokkan?
"Kamu sudah bawa perlengkapan untuk menginap beberapa
hari?" tanya Bu Sharp.
"Besok saya pulang kok, Bu. Saya menumpang teman yang
pulang berakhir pekan juga. Kebetulan dia lewat Merivale."
"Siapa? Pacar?" Bu Sharp tersenyum menggoda.
"Cuma teman, Bu. Kami satu tim penelitian di kelas psikologi.
Dia mau mampir ke sini, tapi sekarang sedang mengisi bensin. Kalau
boleh saya pingin mengajak makan malam sebelum dia meneruskan
perjalanan."
Mengundang mahasiswa makan malam? Wah asyik banget,
kata Danielle dalam hati. Ayo dong, Bu. Bilang boleh, pintanya dalam
hati.
Tapi sebaliknya, Bu Sharp malah menggigit bibir lalu
mengernyit. "Entahlah, sayang. Ibu cuma pesan makanan tujuh porsi.
Lagipula kalau cuma sekedar teman ?"
"Terserah Ibu saja." Christine berbalik kepada Danielle. Ibunya
memang kolot. Danielle tersenyum melihat mimik kakaknya yang
jengkel. Enak rasanya bisa berbagi duka lagi."Gimana kabar Atwood?" tanya Christine sambil bergeser
mendekati Danielle.
"Lumayan. Cuma sayang cowok-cowoknya nggak ada yang
menarik ?" jawab Danielle. Belum habis keluhannya, tiba-tiba
terdengar bunyi bel.
"Mungkin itu cowok yang kubicarakan tadi," kata Christine.
Dia bangkit dan bergegas ke pintu depan.
Ini dia, batin Danielle. Kesempatan pamer pada Teresa dan
Heather. Kalau teman Christine memang sekeren cowok-cowok Yale
yang dilihatnya tadi siang, pasti Teresa dan Heather iri setengah mati.
Semoga bukan jenis kutu buku, Danielle berdoa.
"Oh, hei, Jack! Ayo masuk." Danielle mendengar suara
kakaknya.
Mata Danielle terus terpaku ke pintu masuk, jantungnya
berdetak tiga kali lipat lebih cepat. Christine muncul lebih dulu. Di
belakangnya ada cowok yang cuma bisa disebut dengan ? keren yang
sebenar-benarnya!
"Bu, ini Jack Aldrich. Jack, ini ibuku ?" Christine
memperkenalkan. Danielle berkejap-kejap dan berusaha tenang.
Tingginya sekitar enam kaki, rambutnya hitam bergelombang,
wajahnya keren banget! Mata cokelatnya menawan di antara tulang
pipinya yang tinggi. Hidungnya terpahat sempurna. Dan body-nya!
Berotot, sehat, dan seksi. Jaket abu-abunya dari bahan wol ? dari
jenis mahal, Danielle mencatat ? sangat modis dan cocok dengan
bahunya yang bidang.
"Apa kabar, Bu Sharp?"Jack mengulurkan tangannya dengan sopan kepada ibu
Danielle. Mata cokelatnya memancarkan rasa percaya diri.
Bu Sharp berdiri dan menjabat tangan Jack. "Senang bertemu
kamu, Jack," sapa beliau hangat. Ibunya tampak sangat terkesan pada
Jack.
"Ini adikku, Danielle," kata Christine. "Masih SMA."
Kenapa, oh, kenapa Christine bilang begitu? Pasti Jack
menganggapnya anak kecil!
Tapi tak ada nada aneh dalam sapaan Jack. "Hei. Christine
sering cerita tentang kamu."
"Semoga bukan yang jelek-jelek," sahut Danielle sangat ramah.
Dia menatap kakaknya dengan cemas.
"Oh, enggak dong!" jawab Jack cepat. Danielle menatap
matanya lekat-lekat. Tatapan Jack seakan mengisyaratkan, kenapa
baru sekarang kita ketemu? Bisa saja, kata Danielle dalam hati. Dia
toh sama cantiknya dengan mahasiswi ? termasuk Christine.
"Silakan duduk, Jack," kata Christine menyilakan Jack duduk di
kursi antik yang nyaman.
"Oh, silakan! Omong-omong dari mana asalmu, Jack?" tanya
Bu Sharp penasaran setelah Jack duduk.
"Philadelphia. Main Line," jawabnya santai menyebut sebuah
kawasan elit di Philadelphia.
Jack Aldrich ... Main Line ? Danielle pelan-pelan
menghubung-hubungkan sesuatu yang terlintas dalam benak Danielle.
Jack Aldrich ... the Aldrich Corporation... kalau benar, berarti dia anak
jutawan!Tampaknya Bu Sharp juga berpikiran sama. "Ah, apa pekerjaan
orang tuamu?" Rupanya Ibu sangat tertarik.
"Pengusaha," kata Jack. "The Aldrich Corporation," lanjutnya
sopan.
Sinar serakah melintas di wajah Bu Sharp. "Kamu pasti lapar
sesudah perjalanan jauh!" kata beliau tiba-tiba langsung menjadi tuan
rumah yang sempurna. "Nanti kusuruh Grace bikin hors d?oeuvres."
"Jangan repot-repot, Bu Sharp. Saya makan malam di coffee
shop saja."
"Coffee shop?" Bu Sharp memandang Jack dan Christine
bergantian dengan bingung. "Kamu harus makan malam di sini!"
"Saya nggak mau mengganggu. Kan Christine jarang pulang ke
rumah ?"
"Jangan begitu," tukas Bu Sharp. "Kita kan bisa ngobrol
bersama. Jangan sampai melewatkan menu Brie dan Pate demi
cheeseburger dan onion rings."
Christine tersenyum pada Jack. "Kami serius."
Astaga, sungguh? kata Danielle pada dirinya sendiri.
"Benar!" Ibunya setuju. "Pokoknya harus!"
"Kalau begitu," jawab Jack. "Saya bersedia. Rasanya senang
sekali."
Bukan main! batin Danielle. Seumur-umur, baru kali ini ibunya
membuatnya senang.
"Coba kalau aku nggak ada janji," keluh Christine. "Aku sudah
janji mampir ke rumah Kate.""Bagus, kamu masih ingat sama teman lama," komentar Jack
sambil tersenyum sopan. Kemudian menghadapi Danielle. "Sama
pentingnya dengan mendapat teman baru."
Danielle merasa hampir meledak. Yang dimaksud Jack adalah
dirinya. Si ganteng-keren, mahasiswa kaya ternyata tertarik padanya!
Untung dia tadi cepat pulang.
"Aku mau memberi tahu Grace supaya menambah satu piring
lagi," kata Bu Sharp sambil berdiri. "Omong-omong Jack, ada
keluarga kami yang datang nanti. Mudah-mudahan kamu nggak
keberatan. Christ, setahuku Bibi Cynthia dan Paman George pingin
ketemu kamu."
"Nggak apa-apa. Makin banyak orang makin meriah, kan?" kata
Jack.
Nggak asyik kalau ada keluarga Randall, batin Danielle.
Keluarga Randall memang baik ? tapi bukan itu masalahnya. Lori
juga sering membantu Danielle dalam keadaan darurat. Misalnya
waktu uang saku bulanannya habis, Lori meminjamkan uang
tabungannya. Tapi sebenarnya keluarga Randall memang
membosankan. Bukan mereka yang diharapkan berada di dekatnya
selagi dia mempunyai kesempatan besar berdampingan dengan Jack
Aldrich.
"Asyik! Aku juga pingin ketemu mereka," seru Christine. "Lori
dan adiknya ikutan nggak?"
"Lori ikut. Tapi adik-adiknya ada acara rapat pramuka," jawab
Bu Sharp. "Sampai nanti ya? Saya mau menyiapkan makanan di
dapur," katanya memberitahu sambil tersenyum pada Jack ketika
meninggalkan ruangan.Menyiapkan? Setahu Danielle ibunya tinggal memesan
makanan jadi delapan porsi pada katering Premier.
"Aku juga mau pergi sekarang." Christine berdiri lalu
menyangkutkan sweater Fair Isle di bahunya. "Mungkin aku pulang
pas makan malam." dia menghela nafas. "Maaf, aku nggak bisa
menemani kamu, Jack. Tolong ajak Jack keliling, Dan."
"Beres, Christ," jawab Danielle waktu kakaknya bersiap pergi.
Akan kurebut Jack dengan senang hati! tambahnya dalam hati.
"Sampai nanti, Christ," teriak Jack. Lalu dia beralih ke Danielle.
"Siap jadi pemandu?"
Pasti! batin Danielle. Untung sekali kakaknya punya teman
sekeren Jack. Apalagi Christine dan Jack cuma berteman! Berarti dia
masih bebas dan disediakan untuk Danielle.
"Ayo, Jack," Danielle meringis sambil menggandengnya.
"Kuantar keliling rumah."Tiga
Jack melangkah kembali ke ruang beratap kaca dan Danielle
mendahuluinya menuju sofa. "Inilah ? rumah kami," katanya sambil
mengangkat bahu. Danielle menggeser duduknya mendekati Jack.
"Rencananya ayah mau membangun ruang bilyar di ruang bawah
tanah."
"Rumahmu bagus sekali," kata Jack sambil memandang
hamparan rumput yang subur lewat jendela.
"Biasa aja kok. Masih ada rumah yang lebih bagus di seberang
sana." Rumah ini mungkin lebih mirip pondok dibanding kediaman
keluarga Aldrich, batin Danielle malu.
"Belum tentu lebih bagus," Jack tersenyum memikat. "Lagipula,
inilah rumah yang sebenarnya, tahu? Rasanya sepi tinggal di rumah
besar. Aku lebih cocok dengan rumah seperti ini."
Jack sangat bijaksana. Kepribadiannya sebaik penampilannya
? matanya, wajahnya, tubuhnya, kepandaiannya, uangnya ....
"Aku senang diundang ibumu makan malam." Ditaruhnya gelas
ginger ale yang sudah kosong di tepi meja lalu menatap lurus kepada
Danielle.
Danielle merinding. Gila! Tatapannya maut! "Mau tambah
ginger ale-nya?" gumamnya. "Kuambilkan ya ?""Nggak usah repot," cegah Jack. "Sudah cukup kok."
"Nggak apa-apa. Lagipula ?" singgungnya, "teman Christine
kan ... temanku juga." Danielle tersenyum hangat.
Danielle merasa melayang. Si Jack yang keren telah memasuki
kehidupannya ? ada dalam genggamannya! Jack naksir dia! Ia yakin
sekali!
"Untung sekali aku bertemu kakakmu," kata Jack sambil
mendekat dan menatap lurus ke mata Danielle. "Kalian mirip sekali."
Jack berhenti sejenak, tersipu-sipu. Danielle tidak berkutik. Ia
menahan nafas. Akan terjadi sesuatu ? ia dapat merasakannya! Jack
akan mengatakan betapa ia menyukai Danielle, atau akan
menciumnya .... "Aku mau tanya ?" Jack memulai.
Asyik, asyik, asyik. Suara deru mobil memasuki tempat parkir
keluarga Sharp yang berkerikil langsung merobek suasana yang
sedang hangat. Tanpa sadar, Jack langsung bergeser menjauh.
Danielle mengernyit sebal. "Mungkin itu bibi dan pamanku," katanya
pura-pura gembira. "Mereka selalu datang lebih awal."
Mengganggu sekali, tepat di saat adegan tegang.
Mungkin mereka mau memamerkan mobil Dodge Dart tuanya.
Kapan sih mereka beli mobil baru, omel Danielle dalam hati ? abad
ini, atau abad berikutnya? Memalukan kalau Jack sampai melihat.
Danielle bersandar di sofa dan melihat ke luar jendela waktu
mobil itu berhenti tepat di depan tangga masuk. Bibinya turun lebih
dulu, disusul Lori, kemudian pamannya. Danielle mengakui Lori
tampak cantik memakai rok panjang hitam ketat dan sweater merah
sebatas pinggang.Cantik tapi ? agak membosankan. Danielle berniat memikat
Jack dengan rok mini yang baru dibelinya di butik Facades. Tapi akan
tetap tak menyenangkan karena harus berbasa-basi dengan keluarga
Randall. Masih lebih enak menyendiri saja.
"Sepupumu kuliah juga?" tanya Jack, menatap ke luar jendela.
Danielle geram. "Nggak, ia seumurku kok. Kami jarang
bertemu. Dia bukan murid SMA Atwood, dia di sekolah negeri."
Danielle pura-pura melambai. "Dulu kami sempat akrab, tapi sekarang
enggak lagi."
"Sayang," kata Jack. "Aku tahu seperti apa rasanya. Seharusnya
dipertahankan."
Walaupun sebal dengan kehadiran keluarga Randall, Danielle
hanya bisa tersenyum. Jack terus menghiburnya! Ia begitu baik ?
cepat tanggap dan penuh pengertian. Luar biasa sekali, semua perilaku
dan tampangnya sangat manis. Para pemuda yang dikenalnya
kebanyakan hanya dari dua jenis: kutu buku yang perasa atau playboy
kampungan. Begitulah keadaannya di SMA. Tapi Jack mahasiswa
tingkat dua. Jelas sekali bedanya.
Danielle tersenyum memikat. Jack benar ? kamu harus
mempertahankan sebuah persahabatan. Itulah yang akan dilakukannya
terhadap Jack... dengan cara yang sangat halus.
*************
Danielle melirik Jack dengan ujung matanya sambil mengiris
iga sapi di piringnya dengan ogah-ogahan. Jack asyik menikmati
makanan ? dan suasana di meja makan. Danielle sengaja berusaha
duduk bersebelahan dengan Jack, dan berhasil. Sejauh itu perhatian
Jack tetap kepada Danielle.Di ujung meja yang lain Christine asyik mengobrol dengan
Lori. Mereka memang cocok, batin Danielle. Christine tipe
penyayang, seperti Lori. Itu yang membuat mereka berdua menjadi
begitu menjengkelkan.
"Wow, beasiswa!" Danielle mendengar seruan kakaknya.
"Hebat, Lor!"
Danielle menahan erangannya. Dia berharap orang tuanya tak
menaruh perhatian pada topik itu. Danielle tak ingin Lori jadi pusat
perhatian. Jangan sekarang. Jangan pada saat ada Jack di sini.
"Nggak kebayang, kamu tertarik merancang baju," lanjut
Christine. "Aku pingin lihat hasil rancanganmu."
Lori memang merancang gaun-gaun anggun, itu benar. Tapi
Danielle akan menambah label Calvin Clein di atas label Randall
suatu hari nanti.
"Boleh!" Lori senang. "Datang aja kalau sempat. Nanti
kubuatkan gaun," katanya sambil membubuhkan merica di atas irisan
dagingnya.
Danielle gelisah di kursinya dan melirik Jack yang sedang
menggigit daging. Ia sebal karena Lori pamer seperti itu. Lagipula
Jack tak tertarik pada masalah jahitan dan rajutan. Mungkin dia punya
penjahit pribadi!
"Kuharap bosku di Tio's Tacos memberi ijin merancang
seragam baru untuk pegawainya," lanjut Lori. "Masa kami harus pakai
setelan oranye konyol itu. Mungkin gara-gara dia terlalu sering
melihat keju seharian!"
Ini seperti mengangkat kenyataan bahwa Lori hidup dengan
berjualan taco. Diliriknya Jack kemudian bergeser mendekat. "Maaf,"bisiknya di telinga Jack. "Seharusnya kami membicarakanmu, bukan
membahas soal keripik dan keju."


Merivale Mall 06 Prahara Akhir Pekan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jangan minta maaf," kata Jack sambil tertawa kecil. "Christine
sering cerita tentang kalian ? aku suka jadi pendengar."
Bijak sekali! Tapi itulah Jack ? sopan sampai ke ujung-
ujungnya.
"Kayaknya kamu memang mujur, Lor," kata Christine
bercanda.
Mujur? Tunggu dulu! Danielle langsung tersedak. Upahnya saja
kecil.
"Ah, enggak juga." kata Lori malu. "Bagaimana pun, aku mati-
matian menabung sampai ke setiap penny untuk biaya kuliah. Ayahmu
donaturnya. Setiap kutabung satu dolar, ia tambah sedolar lagi."
Ayah Danielle tertawa lalu mengangkat gelas anggurnya
mengajak bersulang. "Ayo minum untuk biaya kuliah Lori! Bekerjalah
dengan giat sampai bisa membiayai kuliah sendiri. Untuk Danielle
juga. Taruhan, dia pasti belum punya tabungan." Beliau tersenyum
menggoda anaknya. "Ia lebih suka memboroskannya. Tinggal
menunggu tagihan credit card setiap bulan."
Punggung Danielle terasa kaku dan pipinya memerah. Kenapa
ayah mempermalukannya di depan Jack? Danielle tidak jauh berbeda
dengan Lori ? lebih boros, mungkin. Untung Jack tak banyak
komentar.
Diliriknya Jack dari samping. Ia ganteng dan keren sekali!
Sama seksinya dengan Don James, tapi Jack kaya raya. Kalau saja ada
cara untuk bertemu lagi dengan Don ... akan ia tunjukkan betapa
serasinya ia dengan Jack.Tapi sesudah makan malam ini, Jack akan langsung memasuki
Mercedesnya, pulang, dan lenyap dari kehidupan Danielle selamanya.
Kecuali... kecuali kalau Danielle pergi menengok kakaknya
yang satu kampus dengan Jack. Lagipula Kensington tak begitu jauh
... apalagi sejak ada Jack Aldrich.
Kemungkinan berkunjung ke tempat Christine muncul di benak
Danielle. Christine pernah mengatakan sebentar lagi akan ada acara
besar di kampusnya. Danielle ingin mengetahuinya, sekarang! Waktu
terus berjalan!
"Christine," kata Danielle, ia berusaha supaya suaranya
terdengar biasa dan spontan. "Minggu depan ada acara khusus di
kampus kan?"
Christine berpikir sejenak. "Oh, maksudmu pasti Junior
Weekend."
Danielle menghirup air mineralnya. "Junior Weekend?"
ulangnya pura-pura lugu. "Apa itu?"
"Kesempatan berkunjung ke Kensington untuk anak-anak
SMU," jawab Jack. "Itu waktu yang tepat kalau ingin mendaftar
kuliah lebih awal. Banyak kegiatan dan wawancara. Pesertanya
banyak. Kamu pasti suka." Dia memandang Christine. "Iya kan,
Christ?"
Danielle tak menunggu reaksi Christine. Jack jelas-jelas
mengisyaratkan ingin bertemu Danielle lagi! Dipandangnya Jack
dengan gembira. "Asyik. Aku pingin ke Kensington."
Danielle membayangkan dirinya berjalan-jalan di kampus
bersama Jack di sampingnya. Menyenangkan sekali bisa berakhir
pekan di kampus ditemani pemuda sekeren Jack."Christine juga mendatangi beberapa universitas sebelum
kuliah," ayah Danielle angkat bicara. "Anak-anak harus merasakan
airnya dulu sebelum nyemplung. Betul Dan, itu ide bagus."
Danielle meringis. Akhirnya ayahnya memperbaiki suasana dan
tidak memojokkannya lagi. Semua lancar. Lancar sekali. Nyaris
sempurna.
"Kamu mau ke Kensington juga, Lor?" tanya ayah Danielle.
Tapi beliau tak menunggu jawaban. "Ini sekolah hebat. Berangkatlah
berdua dengan Danielle."
Seketika itu juga punggung Danielle terasa kaku. Apa kemauan
ayahnya? Merusak rencana malam Minggunya? Seperti biasa. Kalau
ada Lori, semua jadi kacau. Ia selalu membatasi kebebasan Danielle.
Bisa-bisa ia merusak semuanya! Danielle harus bertindak cepat.
"Tapi, Yah, Lori pasti nggak tertarik pada sekolah seperti
Kensington," bantahnya. "Jurusannya tata busana ? bukan perguruan
tinggi yang berbobot. Kayak Fashion Institute dan sejenisnya. Iya kan,
Lor?"
"Saya baru tahu sekarang," komentar bu Sharp. "Kamu benar-
benar akan meneruskan belajar ke Fashion Institute?"
"Ah, saya belum memutuskan," jawab Lori. Danielle
memotongnya dengan tatapan bingung. Selama ini ia dapat
mengatakan sesuatu pada sepupunya. Baca pikiranku, Danielle
mencoba mengirimkan pesannya.
"Saya suka merancang, menggambar, menjahit," lalu diliriknya
Danielle. "Kayaknya saya memang lebih tertarik pada tata busana."
"Lor, Kensington juga punya jurusan disain yang bagus!"
potong Christine. "Kudengar begitu.""Betul. Aku punya teman di program itu," tambah Jack.
"Jangan membatasi diri sebelum betul-betul kuliah," lanjut
Christine. "Siapa tahu kamu nanti menemukan jurusan lain di bagian
disain ? bidang yang lebih menarik dari tata busana. Misalnya arsitek
gitu!"
Pak Sharp meringis mendengar komentar Christine.
"Betul," timpalnya. Ayah Danielle ingin salah satu anaknya
mengikuti jejaknya mempelajari ilmu arsitektur. Danielle sama sekali
tak tertarik pada bidang itu walaupun telah melihat keberhasilan
ayahnya dalam merancang Merivale Mall. Ayahnya bangga pada Lori
seakan sedang menawarkan pekerjaan di perusahaannya. Semua gara-
gara komentar gombal Christine tadi. Sungguh! Keterlaluan. Danielle
tak berselera lagi menyantap sisa aragula salad-nya.
"Lor, Kensington itu sekolah hebat. Gedungnya lumayan besar,
kita bisa beraktivitas dengan bermacam-macam orang. Tapi areanya
cukup kecil sehingga kamu bisa berteman dan mempelajari karakter
mereka."
"Bodoh sekali kalau aku sampai nggak ikut," Lori setuju.
"Pasti kamu betah, Lor," kata Bu Sharp. Hati Danielle hancur
berkeping-keping ? sekarang ibunya tak menghargainya satu sen
pun! "Kalian boleh menginap di tempatku," kata Christine. "Teman-
teman sekamarku pergi berkemah akhir pekan, jadi aku sendirian!"
"Ongkos pesawat biar kutanggung, George," kata Pak Sharp
kepada ayah Lori. "Jangan sampai mereka naik mobil sejauh itu. Toh,
nanti di sana nggak perlu mobil. Kampusnya kecil? lebih enak jalan
kaki.""Nanti aku minta cuti kerja," kata Lori. "Pasti asyik." Ia
tersenyum penuh harap pada Danielle.
Danielle tak membalas senyum lemah Lori. Bagus. Bagus
sekali. Ia mengacak-acak rambut merahnya dengan gelisah. Sekarang
bagaimana menyingkirkan Lori dari acara akhir pekan romantisnya
bersama Jack?
Ayahnya memukul meja. "Beres!" kata beliau. "Walau nantinya
kamu nggak sekolah di Kensington, ini bagus untuk menambah
wawasanmu, Lori."
"Wah, menyenangkan," kata Bu Sharp. "Nanti saya telepon
koordinator acaranya dan kasih tahu bahwa Lori dan Danielle ikut
acara akhir pekan!"
Danielle hampir tak percaya. Benar-benar acara makan malam
paling sial. Ditatapnya ayah dan ibunya bergantian. Baru kali ini
mereka sepakat pada satu hal yang sama.
Tidakkah mereka sadar bahwa mereka telah menghancurkan
impian akhir pekan anaknya? Tidakkah mereka lihat mereka telah
menghancurkan hidupnya?Empat
"Bukan masalah pribadi, Don. Kayaknya kita nggak bisa
kencan lagi." Danielle berbicara selembut mungkin agar tak
menyinggung perasaannya. Tangannya mengupas label botol saus
yang ada di atas meja dengan gugup.
"Bukan masalah pribadi, hah? Maksudmu nggak ada
hubungannya dengan aku?" Don James bersandar di meja di sudut
O'Burgers dan meraih tangan Danielle dari botol itu. Ia meremas
tangan itu. "Susah kupercaya." Ditatapnya tangan Danielle yang
berada dalam genggamannya sambil menggeleng-gelengkan
kepalanya perlahan.
"Jangan bikin susah ?" Danielle bergeser sambil pelan-pelan
menarik tangannya kembali.
"Ah, ayolah. Kasih aku gambaran, Red. Aku tahu itu bukan
kemauanmu. Itu gara-gara teman-temanmu yang sombong dan selalu
meremehkanku," kata Don geram. Ditatapnya Danielle dalam-dalam,
dia memaksa Danielle agar menatapnya juga.
"Jangan konyol," gumam Danielle. Sebagian tuduhan Don
memang benar. Tapi ada yang lebih hebat lagi. Seorang mahasiswa
telah menawan hatinya, dan ia tak sudi berkencan dengan anak SMA
lagi. "Ini karena, mmm ? dunia kita berbeda, itu saja," jelasnya."Apa-apaan ini? Drama bersambung? Kamu memang kaya, aku
enggak. Kasih tahu yang aku belum tahu." Don melipat tangannya di
meja, ia membungkuk dan setengah berbisik. "Kita pasangan serasi,
kamu juga tahu." Ditunjuknya bayangan mereka pada cermin di
samping meja. "Kurang apa lagi?"
Danielle mengakui bahwa mereka memang pasangan yang
serasi. Tapi mereka tak pantas berpacaran ? Jack Aldrich punya
segalanya.
Danielle membuang mukanya dari cermin. "Begini, Don,
kuharap kita tetap berteman ?"
"Betul," potong Don. "Aku tahu arah pembicaraanmu. Aku juga
tahu maksudmu sebenarnya. Kamu terlalu bagus buatku. Oke, tapi
kalau kamu kesepian, jangan panggil aku lagi karena aku nggak
bakalan datang."
Don diam sejenak menunggu jawaban Danielle. Ini kesempatan
terakhir untuk Danielle. Ia menekan matanya kuat-kuat, menekan rasa
sakit yang tiba-tiba muncul di hatinya. Selamat tinggal, Don, batinnya.
Kemudian membuka mata kembali.
"Jadi ? kamu siap berangkat?" tanya Don berusaha tak peduli.
Bagaimanapun, Danielle mendengar getaran lemah pada suaranya.
Kemudian Don bangkit sambil menggantungkan jaket kulitnya di
bahu.
"Kuantar kamu kalau mau," kata Danielle sambil berdiri di
samping Don. Ia memaksa diri memandang Don walau merasa sedih.
Don harus tahu bahwa keputusannya sudah bulat.
Don memberinya kesempatan terakhir, kemudian berbalik dan
berjalan gontai ke kasir. Ia membayar dengan uang sepuluh dolarkumal lalu melenggang ke pintu. Ia berhenti sejenak dan memandang
Danielle dengan sayu.
"Nggak usah repot-repot, aku bisa pulang sendiri. Ini pesan
terakhirku sebagai teman, kamu terlalu sombong?kamu kira aku
nggak sesuai untuk kamu? Oke. Kita lihat saja apa kamu bisa dapat
yang lebih baik."
Don menyusupkan tangannya yang berotot ke dalam jaket dan
melangkah keluar dari restoran. Meninggalkan Danielle sendirian
menatap kepergiannya.
Hati Danielle berontak. Lalu, ketika wajah Jack terlintas di
benaknya, ia segera mengibaskan rambut merahnya yang menawan
dengan angkuh.TEENLITLAWAS.BLOGSPOT.COM
Yang lebih baik? batinnya. Don yang malang. Aku memang
sudah dapat.
**************
"Ingat sama Mike Bryer nggak, bintang andalan Atwood? Dia
kan kuliah di Kensington," kata Nick pada Lori dalam perjalanan ke
bandar udara. "Dia betah di sana."
Nick memandangnya sambil tersenyum dan Lori berusaha
membalasnya. Percuma berpura-pura ? mereka berdua sedih karena
harus berpisah. Nick dan Lori biasa menghabiskan akhir pekan
bersama; sepanjang minggu mereka telah sibuk dengan hobi masing-
masing, Nick sibuk dengan football-nya sedangkan Lori dengan
rancangannya, mereka jadi jarang bertemu. Kalau Lori pergi berarti
mereka tak bisa berakhir pekan minggu ini.
"Mudah-mudahan aku bisa senang di sana," ujar Lori.
"Christine bilang kami bisa pakai fasilitas kampus. Boleh keperpustakaan, ngobrol sama anak senat ? atau datang ke pesta
mereka." Ia memandang ke luar jendela ketika mereka meninggalkan
jalan raya.
"Hei," Nick tertawa gugup. "Jangan terlalu banyak senang-
senang. Aku nggak keberatan kamu pergi berakhir pekan, tapi jangan
sampai ada cowok menggaetmu selagi aku nggak sama kamu."
"Oh, Nick." Lori tertawa. "Nggak bakalan, deh." Diraihnya tas
untuk melihat tiket pesawatnya untuk terakhir kali. "Lagipula cuma
akhir pekan. Nggak akan ada apa-apa dalam dua hari."
Nick mengarahkan mobil ke depan terminal lalu mematikan
mesin. Dipandangnya wajah Lori sambil menarik tangannya. "Aku
percaya. Aku cinta berat sama kamu ? kadang-kadang aku jadi
takut."
Lori merasakan desiran kegembiraan di ujung-ujung jarinya. Ia
tahu betapa besar cinta Nick padanya. Tapi setelah sekian lama, bila
Nick mengucapkannya, selalu terasa seolah ucapan itu baru pertama
kali didengarnya. "Nick," katanya lembut. "Jangan cemas, oke? Kamu
tahu aku juga cinta berat sama kamu."
Secara naluriah mereka bersandar dan saling berciuman. Setelah
memisahkan diri Nick mengacak-acak rambut pirang Lori dengan
penuh kasih sayang.
"Oke, Randall, berangkat sana. Tapi janji telepon begitu kamu
sampai!"
Lori memeluk Nick untuk terakhir kali lalu turun sambil
menjinjing tasnya. Ia melambai ketika mobil Nick menjauh. Ciuman
Nick masih terasa hangat di bibirnya, kenangan manis. Kemudian iamengangkat tas dan kumpulan berkasnya lalu berjalan menuju counter
tiket.
Ternyata antriannya panjang sekali. Dengan gelisah ia melirik
arlojinya. Jam penerbangan tinggal lima belas menit lagi. Kalau ia
menunggu antrian bisa-bisa ketinggalan pesawat! Untung dia tak perlu
periksa kopor. Dia hanya membawa satu tas dan kumpulan berkas. Ia
dapat langsung membawanya ke pesawat. Sekarang tinggal mencari
Danielle dan menuju pintu keberangkatan.
Ditelitinya antrian orang-orang yang tak sabar menuju check-in
counter. Ternyata Danielle sedang repot dengan kedua kopornya yang
super besar. Pasti. Danielle selalu kebanyakan bawa barang. Ayahnya
pernah mengeluh ketika Lori dan Danielle pergi kemping musim
panas, beliau mengatakan lebih mudah membawa ? kuda dan
perlengkapannya ? daripada membawa Danielle. "Oh, ijinkan saya
masuk," pinta Danielle pada pengusaha setengah baya di antrian
paling depan. "Pesawat saya berangkat lima menit lagi!"
Lori memperhatikan laki-laki itu menggerutu tapi memberikan
tempatnya pada Danielle. Lori salut pada sepupunya, ia selalu
memperoleh apa pun yang diinginkannya!
Beberapa menit kemudian, kopor-kopor besar Danielle selamat.
"Dani!" panggil Lori sambil berlari-lari kecil. Tasnya menyilang di
bahu dan ia mengepit kumpulan berkas.
"Oh, hai, Lori," sapa Danielle datar.
Lori mengigit bibirnya. Belakangan ini Danielle uring-uringan.
Sulit dipercaya mereka pernah akrab. Tapi mau apa lagi? Dia sudah
berusaha mendekat, tapi Danielle tak menanggapi ? kecuali, tentu
saja, kalau Danielle sedang membutuhkan bantuannya."Kamu cuma bawa itu?" tanya Danielle kaget.
Lori mengangkat bahu sambil terburu-buru ke pintu enam.
"Kita di Kensington cuma sampai hari Minggu kan?"
"Memang," jawab Danielle malas. "Lalu kenapa?"
"Hmm, emm, kok bawa bajunya banyak banget. Mana mungkin
dipakai semua dalam dua hari."
Danielle mendengus. "Aku bawa macam-macam model, untuk
kencan dan sejenisnya-lah."


Merivale Mall 06 Prahara Akhir Pekan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kencan dan sejenisnya? Lori menduga-duga alasan Danielle
sebenarnya datang ke Kensington. Tapi itu bukan urusannya. Ia
berjalan menuju counter enam, Danielle menyusul di belakangnya.
"Hei, saya perlu boarding pass," kata Lori pada wanita di
belakang meja. "Kalau boleh, saya ingin duduk di sebelah sepupu
saya." Ditariknya tiket pesawat dari tas dan mengulurkannya.
"Boleh. Kamu duduk di nomor berapa?" tanya petugas itu pada
Danielle.
"Enam belas B." Danielle cuek mengamati kuku-kukunya yang
terkikir rapi begitu wanita itu memeriksa tiket Lori di komputer. "Hei,
Lor, ngapain kamu bawa-bawa itu?" tanya Danielle tiba-tiba sambil
menunjuk kumpulan berkas yang dikepit Lori.
"Ah," elak Lori. Danielle selalu mencemoohkan kegemaran
Lori ? seperti merancang busana atau pekerjaannya di Tio's ? jadi ia
malas bersikap jujur. Ia berharap pewawancaranya tertarik pada
rancangannya. Kalau si pewawancara itu juga sama terkesannya
dengan Profesor Mortenson dari Fashion Institute pada rancangan
Lori, pasti ada kesempatan emas untuk kuliah di Kensington. Di akhir
pekan ini ia tak mau memusingkan ayahnya yang tak mampumembiayai kuliahnya. Tapi ia pasti bingung kalau diterima.
Seandainya diterima.
"Jadi? Untuk apa berkas-berkas ini?" tanya Danielle kedua
kalinya.
"PR kesenianku," katanya berbohong. Tak enak rasanya
berbohong begitu, tapi tak ada pilihan lain. "Harus diselesaikan akhir
pekan ini."
Lori lega ketika seorang petugas datang memotong percakapan
yang menjengkelkan itu. "Nomor enam belas C di sebelah sana.
Pemeriksaan lima menit lagi."
"Terima kasih," kata Lori mengambil tiket dan boarding pass-
nya. "Seharusnya aku belajar bahasa Perancis, tapi aku malas,"
umum Danielle ketika menghempaskan diri di kursi yang menghadap
ke jendela.
"Kayaknya kita nggak bakalan sempat belajar. Ada tes
orientasi, wawancara, dan tour begitu kita sampai di sana," Lori
mengingatkan Danielle.
"Kamu main-main ? masa harus kita ikuti semua?"
"Itu kan baru sebagian dari semua acara," kata Lori sambil
bertanya-tanya apakah Danielle sudah membaca brosur Junior
Weekend-nya. "Wawancara itu acara utama Junior Weekend ini ?
jadi mereka bisa menilai kita. Kamu mau baca brosurku?"
"Nggak, trims, aku sudah baca. Cuma lupa sedikit," kata
Danielle. Ia menggeliat dan menguap. "Semoga nggak
membosankan!" Kemudian ia membelakangi Lori sambil duduk
bersila, menikmati perjalanan.Lori menggigit bibirnya. Sikap Danielle sudah jelas ? ia sama
sekali tak tertarik pada acara Junior Weekend. Atau mungkin Lori-lah
yang membuatnya bosan. Lori menggeleng lalu menarik buku
sketsanya. Kalau Danielle tak mempedulikannya, maka ia tak bisa
apa-apa lagi.
Satu jam lagi perjalanan akan berakhir. Lori menegakkan
kursinya dan memandang ke luar jendela ketika pesawat mulai turun.
Sudah satu setengah jam Danielle membisu. Lori kehilangan selera
untuk memulai percakapan. Satu menit berlalu, Danielle
mengeluarkan sejumlah majalah mode dan berlagak seolah-olah Lori
tak ada di sampingnya. Sikapnya seolah memberi tanda Lenyaplah,
Lori. Danielle memang sering bersikap seperti itu.
Lori menghela nafas panjang. Ia merasa sedih, tapi ia harus
menghadapinya. Setelah paman Mike sukses dalam bisnisnya,
Danielle jadi berubah. Ia seolah tak membutuhkan Lori lagi. Ia malu
berteman dengan Lori. Danielle hanya datang kalau sedang terdesak,
tapi sehari-harinya, sepanjang hidupnya ? Danielle memang bisa
dibilang ? sombong.
Ini mungkin karena pengaruh lingkungannya di SMA Atwood.
Tapi rasanya tak enak kalau Danielle bersikap tak peduli pada Lori ?
seperti akhir-akhir ini. Danielle tak mau bicara pada Lori ? tentang
apa saja.
Baiklah. Walaupun Lori berpura-pura tak merasa sakit hati, toh
tak akan mengubah suasana. Dibuangnya pikiran itu. Tujuan akhir
pekan ini untuk masa depan, bukan mengenang masa lalu. Apa pun
yang dikatakan atau dilakukan, Danielle tetap sepupunya, selamanya.Kadang-kadang, di dasar hatinya Lori merasa bahwa sebenarnya
Danielle pun menyayanginya.
Bagaimanapun, tak ada manfaat apa-apa saat ini. Ketika roda-
roda pesawat menyentuh landasan, Lori dijalari rasa bahagia yang
amat sangat. Ia akan berakhir pekan di salah satu perguruan tinggi
terkenal di negaranya! Pasti asyik! Lori bertekad. Tak ada yang boleh
merusak hari-harinya. Termasuk Danielle.Lima
"Aku suka kampus ini!" pekik Lori sambil memandang ke
sekeliling kampus Kensington. Taksi dari bandara menurunkan
mereka tepat di depan asrama Christine, dan setelah memasukkan
barang, kedua gadis itu langsung berjalan-jalan ke kampus Kensington
College yang cantik itu.
Dalam hati Danielle menyetujui pendapat Lori. Kampus itu
memang indah. Tanaman rambat menutupi bangunan berbatu bata tua
itu. Lapangan rumput hijau terhampar indah di depan mereka seperti
mengundang untuk duduk dan bersantai. Itulah yang dilakukan para
mahasisiwa sekarang ini. Ada yang belajar di atas rumput. Ada yang
hanya duduk-duduk sambil mengobrol.
Mata Danielle menerawang ke deretan pohon oak besar yang
memagari lapangan. Beberapa mahasiswa lewat di depan mereka
sambil menendangi tebaran daun-daun merah dan kuning yang
berjatuhan di musim gugur ini. Tempat ini cocok untukku, pikir
Danielle. Begitu berbau Inggris, dan begitu... mewah.
"Dani, akhir pekan ini menyenangkan sekali." Lori menghela
napas penuh impian, mata birunya bersinar penuh semangat.Lori mewakili perasaan Danielle. Tapi Danielle tak mau
mengakuinya. Takut ada yang mendengar mereka ? dan ketahuan
bahwa mereka masih anak SMA yang belum pantas berada di situ.
"Kampusnya lumayan," jawab Danielle santai, "tapi kudengar
Princeton lebih bagus lagi." Andai saja Lori mau berhenti bertingkah
seperti turis!
"Ini pasti lapangan utamanya." Dengan peta di tangan, Lori
menunjuk tempat terbuka yang dikelilingi pohon rindang berdaun
merah. "Perpustakaannya di sebelah sini. Berarti gedung senat
mahasiswanya pasti ?"
Danielle tak tahan lagi. "Lor, ngapain sih bawa-bawa peta
segala?" tanyanya setengah berbisik. "Kayak nggak pernah lihat
kampus saja!"
"Memang belum," jawab Lori agak geli dan membuat Danielle
menjadi sangat jengkel. "Lagipula kita pasti terlambat kalau nggak
buru-buru ke bagian penerimaan Junior Weekend."
Sambil memandang sekeliling, Danielle berjalan dengan lincah
ke lapangan itu sambil menghirup nafas panjang. Berdiri di kampus
sesungguhnya dengan para mahasiswa di sekeliling... membuatnya
merasa seperti seorang mahasiswi. Semua mahasiswa kelihatan
menarik ? dan keren-keren. Seperti Danielle.
Seorang cowok yang sangat menarik berlari-lari menjinjing
tongkat lacrosse. Seketika mata abu-abunya terpaut pada mata hijau
Danielle, kemudian dia tersenyum. Belum sempat Danielle
membalasnya, cowok itu sudah pergi.
Danielle tersenyum puas. Di sini banyak cowok keren,
batinnya. Serasa di surga. Apalagi setelah ia ketemu cowok yangpaling oke di sini. John Adams Aldrich III, yang lebih dikenal sebagai
Jack ...
Danielle meneliti lapangan, mengenali suasana kampus.
Mungkin Jack sedang berada di asramanya sekarang. Bahkan
mungkin sedang menunggunya. Dan apa yang dilakukan Danielle?
Mengunjungi pertemuan untuk anak SMA yang membosankan
bersama Lori! Berani taruhan Jack pasti nggak sabar pingin ketemu,
batin Danielle. Sekarang tinggal menghindari Lori lalu mencari
telepon.
"Coba lihat," kata Lori sambil lagi-lagi membentangkan
petanya yang membuat Danielle malu setengah mati, "gedung senat
mahasiswa ada di seberang perpustakaan ? ah! Itu dia!" ditunjuknya
bangunan berbentuk U di depan mereka.
Danielle menyukai pemandangan di depannya. Siapapun yang
merancang gedung senat ini pasti orang pintar yang memusatkan
alasan sebenarnya mengapa orang kuliah ? untuk bergaul. Pelataran
depannya dipenuhi bangku-bangku panjang dan taman bunga tempat
para mahasiswa duduk-duduk dan mengamati orang yang keluar
masuk gedung. Beberapa pasangan duduk dengan mesra. Bayangan
Jack melintas di otaknya dan membuat jantung
Danielle berdebar penuh semangat.
"Kita harus ke ruang dua-eh-tiga," Lori memberi tahu, langsung
menuju ruang senat.
Mereka segera menyusuri sebuah jalan setapak berbatu bata,
Danielle mengambil jarak di belakang Lori supaya disangka tidak
bersama-sama. Tapi ia pun tak mau kehilangan jejak sepupunya yangjadi penunjuk jalan. Kalau sampai tersesat rasanya lebih baik mati
daripada harus membuka peta!
Begitu Lori mendorong pintu senat mahasiswa, Danielle
melihat tulisan tangan di dinding. JUNIOR WEEKEND ? TEMPAT
PENERIMAAN DI LANTAI ATAS, dengan tanda panah mengarah
ke tangga ber-karpet biru. Untunglah Lori tak menunjuk-nunjuk tanda
itu dan mereka buru-buru ke ruang penerimaan.
Di depan pintu seorang gadis gendut memberikan tanda
pengenal yang dibubuhi cap masing-masing satu.
"Masa bodoh, deh," gerutu Danielle ketika Lori menuliskan
namanya di atas tanda pengenal dengan patuh. "Aku nggak bakal pake
barang beginian!" Ia tak sudi menyematkan sesuatu di blusnya yang
akan menandakan ia adalah anak SMA yang sedang berkunjung.
Sambil tersenyum manis pada sang gadis penjaga, Danielle
pura-pura menuliskan namanya. Kemudian, secepat kilat ia berbalik
hingga gadis tadi tidak dapat melihatnya memasukkan tanda pengenal
ke kantong jaket lalu berkeliling ruangan. Beberapa mahasiswa
Kensington berjajar menyediakan kopi dan kue donat, sedangkan yang
lainnya mondar mandir mengobrol dengan para peserta. Seorang
petugas suka rela lainnya menghampiri Danielle.
"Hai, perlu bantuan? Ada yang mau ditanyakan?" tanya gadis
itu. Danielle baru akan mengatakan tidak ketika tiba-tiba Lori
menyerobot.
"Hei, namaku Lori," katanya sambil menunjuk stiker merah
terang di sweater-nya. "Aku tertarik pada bidang rancang. Apa itu
termasuk fakultas seni di sini, atau berdiri sendiri?""Uh, permisi," potong Danielle. "Aku mau ke kamar mandi.
Sebentar, kok." Sambil menyusup Danielle menarik nafas lega. Ia tak
punya rencana terperangkap di sarang petugas suka rela dan
sekumpulan anak SMA bertanda pengenal.
Danielle menyusuri koridor utama mencari-cari kamar kecil.
Ketika segerombolan cowok lewat, ia menatap cowok yang tadi
menjinjing tongkat lacrosse lalu tersenyum. Mereka berbalas senyum.
Danielle seakan melayang di awang-awang.
Ia meneruskan berjalan ke aula lain sampai akhirnya
menemukan pintu bertulisan WANITA. Kalau ia bisa menemukan
ruangan itu tanpa harus bertanya, maka jelas ia tak memerlukan peta
apapun di antara gedung-gedung ini. Ia juga tak perlu mengikuti tour
konyol di dalam bus sekolah yang kuning norak itu. Gimana kalau
Jack melihatnya? Memalukan sekali ? dan kalau pun itu harus terjadi
ia harus menyusun strategi lebih dulu.
Di kamar mandi, diambilnya eyeliner warna biru kehijauan dari
tasnya dan menggaris bawah kelopak matanya. Hasilnya sangat
menakjubkan. Danielle tersenyum, Jack pasti tergila-gila setengah
mati kalau melihat mata hijaunya yang menawan.
Punya pacar mahasiswa memang asyik! Teresa dan Heather
pasti sangat iri. Ia menyisir rambut merahnya yang berkilau lalu
kembali ke ruang penerimaan sambil menyapa beberapa cowok yang
berpapasan dengannya.
Begitu memasuki ruangan, ia melihat Jack berdiri di dekat meja
sedang mengobrol dengan sekelompok peserta. Danielle melihat mata
Jack bersinar ketika ia mendekat."Danielle!" pekik Jack sambil tersenyum hangat. "Wah, senang
deh ketemu kamu."
Ketika Danielle mendekat ia melihat bayangan seorang gadis
yang sudah tak asing lagi di belakang Jack ? Christine. "Hei, adik
kecil!" sapa Christine bersemangat. "Gimana, lancar?"
Wajah Danielle merah padam. Kenapa Christine selalu
menyebutnya kecil di depan Jack! Mau apa dia di sini? Merusak acara
Danielle lagi? Kalau memang begitu, Christine berhasil!
"Selamat datang di Kensington! Sori aku nggak ada di kamar
waktu kalian datang." Dipeluknya Danielle. "Aku harus membantu
teman-teman sekamarku membawakan barang-barangnya ke stadion
? mereka kemping bersama Outdoor Club."
"Oh, nggak apa-apa, kok." Danielle mengangkat bahu. "Barang-
barang kami sudah dititipkan di tetangga sebelah." Kenapa Christine
selalu memperlakukannya seperti anak bayi, seolah-olah ia tak bisa
mengurus diri sendiri, apa maksud sebenarnya? Apalagi Jack berdiri
di sampingnya, mencerna setiap kata.
"Ngapain saja kalian sepagian ini?" tanya Jack.
Mencari kamu, Danielle ingin mengatakan itu. Tapi mustahil.
Itu bukan strategi yang tepat dalam mengejar cowok impian. "Nggak
banyak sih," jawabnya. "Kami langsung kemari. Sekarang aku nggak
tahu Lori di mana. Mungkin nyasar." Semoga saja, tambah Danielle
dalam hati.
"Oh, kami sudah bertemu. Sekarang dia di meja informasi,
ngobrol sama penasehat," Christine tersenyum. "Aku senang kalian di
sini."
"Sama," kata Jack sambil mengangguk pada Danielle.Aku juga, batin Danielle.
"Sayang, aku harus pergi sekarang," kata Jack, ia mengeluh
ringan. "Ada tugas penelitian. Aku cuma mau lihat apa semua beres.
Sampai nanti ? mungkin di Sigma!" Ia melambai dan pergi.
Danielle menahan diri agar tak mengejarnya. Santai saja,
batinnya. Boleh saja tergila-gila sama cowok ? tapi jangan sampai
kelihatan!
Bagaimanapun, Danielle masih perlu banyak informasi. "Sigma
itu nama asrama Jack, ya?" tanyanya pada Christine, ia berusaha
bersikap tak peduli.
"Betul, Sigma Epsilon Tau. Besok malam mereka bikin pesta.
Jack mengundangmu kalau kamu tertarik."
Hati Danielle berbunga-bunga. Tertarik? Pasti dong. Dengan
senang hati! Jack mengundangnya ke pesta! Ini berbau romantis
tingkat tinggi. Cepat sekali!
"Uh, maaf." Sebuah suara menyebalkan membuyarkan lamunan
Danielle. Ia segera berbalik dan melihat lelaki gendut berkepala botak
menghampiri Christine. "Namamu Danielle Sharp?" tanyanya pada
kakaknya. Begitu Christine berbalik, lelaki itu langsung tersipu-sipu.
"Oh, maaf. Masa aku ngak mengenalimu, Christine. Informasinya
Danielle Sharp berambut merah, dan ... tinggal dia yang belum
kuperiksa tanda pengenalnya."
"Jangan cemas. Yang Anda cari adikku, Pak Tuttle. Ini
Danielle," kata Christine bangga. "Danielle, ini Pak Tuttle."
Danielle melangkah maju pada sang dosen. "Selamat pagi,"
sapanya. Ia tak berselera bicara dengan lelaki ini, tapi dia dosen di
sini. Tak mungkin dihindari.Pak dosen menaikkan kacamatanya dan tersenyum malas.
"Akhirnya ketemu juga orang terakhir yang harus saya wawancarai.
Biasanya saya nggak memburu siswa seperti ini tapi saya mau
mengurus resital flute dan oboe, jadi sebaiknya kita mulai


Merivale Mall 06 Prahara Akhir Pekan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

wawancaranya lebih awal."
"Oh?" desah Danielle kaget. Lori sudah menyinggung soal
wawancara ? pasti ini yang dimaksudkannya. "Maksudku, oh, pasti.
Boleh saja."
"Sebentar, gimana kalau kita cari tempat yang agak sepi supaya
bisa mulai wawancara?" Pak Dosen melihat ke sekeliling ruangan
dengan bingung. "Gimana kalau di sana?" Ditunjuknya meja kecil di
ujung ruangan.
"Semoga berhasil," bisik Christine begitu Danielle mengikuti
Pak Dosen. Pak Dosen duduk lalu mengamati mapnya. "Silakan
duduk Danielle."
"Terima kasih." Danielle duduk sambil membentangkan rok
mininya yang lebar berlipit-lipit.
"Mungkin saya nggak perlu mengatakan bahwa kakakmu,
Christine, adalah mahasiswa teladan di sini."
Memang, nggak perlu dikasih tahu, batin Danielle sebal. Aku
sudah bosan mendengarnya di rumah.
"Sekarang, kita lihat," gumam Pak Dosen. "Kamu murid SMA
Atwood. Atwood memang sekolah terkenal, banyak lulusannya yang
kuliah di Kensington. Mungkin ada yang kamu kenal?"
"Mungkin enggak," jawab Danielle sambil mengangkat bahu. Ia
tidak ingin mengatakan bahwa sebenarnya ia murid pindahan dari
sekolah negeri."Memang kita nggak bisa mengenal semua orang, saya selalu
mengatakan begitu," ia tertawa kecil. Kemudian dipandangnya
Danielle dengan senyum ramah dan melanjutkan, "Apa alasanmu
datang ke sini? Apa yang kamu suka dari Kensington College?" ia
menarik bolpen dari map sambil memainkannya, siap menulis.
Ah-ah. Danielle berkeringat dingin. Ia harus mengemukakan
alasan yang tepat. Tapi pikirannya mendadak buntu. Yang ada di
otaknya hanya aku di sini karena Jack Aldrich!
"Jangan gugup, Danielle. Ini cuma wawancara santai kok," kata
pak Tuttle meyakinkannya. Beliau melipat tangannya di atas meja dan
dengan sabar menunggu jawaban Danielle.
"Saya suka kampus ini," jawab Danielle agak ragu. "Bagus ?
dan kesannya tradisional. Kayaknya sangat ... sangat bersejarah dan
? ah ? hmm ? setahu saya ini perguruan tinggi terkenal ? kakak
saya sering cerita." Rasanya Danielle ingin menendang dirinya sendiri
? mengapa ia tak mendengarkan nasehat Lori di bandara tadi?
"Oh, begitu," kata Pak Dosen sambil menulis sesuatu di kertas.
"Jurusan apa yang kamu incar?"
Mata Danielle terbelalak panik. Dia sendiri ingin tahu apa
tujuan hidupnya. Danielle bungkam karena ia sendiri tak mengerti
siapa dirinya! Itu selalu menjadi masalah baginya. Ayahnya selalu
mengomel karena soal itu, juga guru-gurunya. Dan sekarang Dosen ini
memancing-mancing masalah itu.
"Dengan kata lain," Dosen tua itu mencoba tetap sabar, tapi
Danielle mendengar nada kesal pada suaranya, "apa yang ingin kamu
pelajari di Kensington ? kalau diterima."Ia harus mengatakan sesuatu. Apa saja! "Oh! Saya belum tahu
pasti. Belum saya pikir matang-matang." Jawabannya ini tak akan
memberinya nilai apa-apa.
Ia ingin sekali bisa menjawabnya dengan tepat! Mungkin
Christine-lah yang bisa menjawab.
"Ada pertanyaan tentang Kensington?"
"Mmm ? kayaknya nggak ada. Saya cuma suka tempat ini." Ia
menggigit bibir dan melirik sekeliling ruangan, berharap bisa
melarikan diri. Wawancara ini benar-benar menyiksa. Ia baru bisa
melupakan bahwa ini benar-benar terjadi kalau memang sudah
berakhir.
Ia bisa melihat bahwa perbincangan ini juga tak memuaskan
sang Dosen. "Baiklah," kata pak Tuttle sambil mendorong kursi dan
berdiri. "Mungkin kamu terlalu gugup bicara di depan umum,"
sambungnya sambil menunjuk lusinan peserta Junior Weekend yang
bercakap-cakap dengan sejumlah mahasiswa di dalam ruangan.
"Kalau kamu serius ingin kuliah di Kensington, kamu bisa ikut
wawancara selanjutnya tahun ini." Ia tersenyum malas.
"Ya, saya... saya mau ikut," kata Danielle. Resmilah sudah. Ia
telah menghancurkan wawancaranya dengan sukses.
"Cukup sekian, Danielle." Sang Dosen berbalik sambil
menggelengkan kepalanya sekilas, kemudian pergi.
Oh, peduli amat, batin Danielle. Aku juga nggak mau kuliah di
sini. Aku cuma mau kencan sama orang sini.
Jauh di lubuk hatinya, ia merasa sakit ditolak seperti itu. Dan
kali ini ia tak dapat menyalahkan siapapun kecuali dirinya sendiri.
*************Danielle berdiri di koridor ruang 314, menunggu wawancara
Lori selesai. Ia menggoyang-goyangkan kakinya di lantai berkarpet
dengan tidak sabar. Serasa berjam-jam. Tapi ia yakin nasib Lori sama
dengan nasibnya. Lagipula, kalau gadis sehebat Danielle pun tak bisa
menaklukkan Kensington, apalagi gadis kampungan macam Lori.
Tapi waktu pintu terbuka dan Lori keluar, perkiraan Danielle
ternyata salah. Hasil wawancara bisa terbaca dari senyum cerah Lori.
"Danielle," pekik Lori sambil memeluk sepupunya. "Dia bilang
aku bisa masuk ke Kensington!"
Dilepaskannya pelukan Lori, Danielle setengah tak percaya.
Bagaimana mungkin Lori bisa lulus wawancara sedangkan dia sendiri
gagal total? Ironisnya, Lori tak akan kuliah di Kensington, selamanya.
Keluarga Randall terlalu miskin untuk membiayainya. Itulah
masalahnya.
"Katanya aku dapat beasiswa kalau memang aku butuh," Lori
terus mengoceh sambil menuruni tangga. "Senang sekali!"
Mata hijau Danielle menyipit. Kelewatan. "Hip, hip, hore,"
katanya kering. Semua pendaftaran dan wawancara ini jadi
penghalang. "Kapan sih waktu santainya? Aku mau nelepon."
"Ada tour dulu, sesudah itu kita bebas," kata Lori. "Sekarang
kita harus berkumpul di bangku panjang di depan gedung senat."
Bagus, batin Danielle. Ia tak tahan lagi ingin menghindari Lori,
segala tetek bengek acara Junior Weekend dan semua yang berbau
SMA. Kedua gadis itu langsung menuju pintu depan dan menghampiri
sekelompok kecil anak-anak SMA yang matanya jelalatan. Kumpulankutu buku, batin Danielle. Sesudah tour norak ini ia akan menelepon
Jack.
Mungkin Jack akan mengajaknya ke sebuah tempat romantis di
kampus ini. Danielle langsung merasa gembira ketika memikirkan hal
itu. Gimana nggak asyik membayangkan pacar keren, bahagia berjalan
di kampus ... berciuman di bawah menara lonceng tua....
"Halo, semuanya, selamat datang di kampus Kensington."
Khayalan Danielle langsung musnah begitu suara pemandu tour
kembali membawanya ke alam nyata. Tanpa menara lonceng. Tanpa
Jack. Yang ada hanya lusinan anak SMA yang berdiri kaku seperti
orang bodoh. "Nama saya Paul Peterson, saya yang memimpin tour
kampus ini."
Danielle segera mengamati si pemandu. Rambut pirangnya
berwarna pasir ditambah mata biru yang cerah, hidung tinggi
berbintik, lumayan keren ? tapi tak secanggih Jack.
"Saya harap wawancara kalian lancar," ujarnya sambil
tersenyum ramah dan memandu mereka ke mobil van kuning. "Nah,
ini dia ? limousine kalian sudah menunggu."
"Kita pulang, 'pir," canda Lori. Semuanya tertawa.
Tapi Danielle tidak menganggapnya sebagai lelucon. Cekikikan
Lori berkesan genit ? yang artinya, aku naksir kamu. Awal sebuah
cinta monyet...mungkin Lori tidak bermaksud bersuara seperti itu, tapi
itu tak luput dari pendengaran Danielle.
Ditatapnya si pemandu dengan seksama. Tatapan mata biru
cerahnya memberi perhatian yang lebih pada Lori. Jadi dia juga suka
Lori .... Danielle tersenyum sinis. Mungkin Lori sedang terbakar apiasmara. Sedangkan Nick di rumah menunggunya dengan tidak sabar,
itu artinya main api.
Hmm, batin Danielle. Kayaknya acara Junior Weekend Lori
yang sempurna bakalan hancur. Ia puas. Sekarang tinggal mengatur
supaya akhir pekannya berakhir sukses ? dalam pelukan Jack
Aldrich.Enam
Lori menghempaskan diri di kursi berwarna pastel sambil
memandang keluar jendela, ia berusaha menenangkan diri. Ia tadi tak
bermaksud melawak ? cuma keceplosan, tapi mendadak jadi pusat
perhatian.
Bukan cuma itu. Yang membuat jantungnya berdetak keras
adalah si pemandu tour itu sendiri! Lori merasa pasti mata Paul selalu
mencarinya. Senyumnya, kelembutannya, benar-benar membuatnya
gila. Paul benar-benar memperhatikan Lori. Dan Lori mengakui
bahwa ia pun merasa senang diperhatikan seperti itu.
"Sedikit ulasan sejarah Kensington sebelum kita berangkat,"
kata Paul, tersenyum lagi pada Lori. "Kensington berdiri pada tahun
1823. Yang di sebelah kiri kalian adalah gedung rektor, itu bangunan
pertama di kampus ini."
Ketika sopir menghidupkan mesin, Paul membelakangi para
peserta, siap berangkat. Suara Paul terdengar jelas dan lembut lewat
pengeras suara. Lori menyimak tanpa berani menatapnya. Tapi susah
sekali menganggapnya tidak ada. Mata birunya yang dalam
memberikan kesan hangat dan cerdas. Lori serasa menyentuh
kelembutan rambut Paul ketika yang bersangkutan merapikannya
dengan tangan."Di sebelah kanan kalian adalah North Hall. Sebelum asrama
ini dibangun, banyak sapi yang berkeliaran di situ. Para mahasiswa
malas menempati karena harumnya aroma sapi yang menusuk ..."
Semuanya tertawa, begitu juga Lori. Paul termasuk pemuda
yang ramah, pintar, lucu, dan imut-imut ?
Berhenti, Lori memperingatkan diri sendiri. Kamu kan sudah
punya pacar keren!
Tapi mata Paul seakan terus mengejar dan memerahkan
wajahnya. Sesuatu yang ada di mata birunya yang jernih seakan
langsung melihat pikiran Lori. Dengan gelisah Lori memelintir rambut
pirangnya dengan jari. Kayaknya dia bisa baca pikiranku. Kalau iya
? berarti, renungnya, dia tahu kalau aku naksir.
Dengan gugup diamatinya isi van mencari Danielle yang
ternyata duduk di belakang. Ia membutuhkan sepupunya itu untuk
mengalihkan perhatian. Tapi Danielle asyik mengamati kuku-kukunya
seakan tour kampus ini lebih membosankan dibanding kencan dengan
Keith Canfield, kolektor serangga terkenal di SMA Atwood. Danielle
tak sadar kalau sedang diperhatikan Lori.
"Di sebelah kanan kita adalah gedung kesenian yang beken.
Mungkin kalian sudah dengar tentang program rancang, lukis, dan
pahat di Kensington ? program ini sudah beken duluan dibanding di
sekolah lain. Saya sering menghabiskan waktu di gedung itu,"
komentar Paul sambil melirik Lori lalu tersenyum.
Dia juga tertarik pada bidang seni dan rancang, pikir Lori.
Seperti aku. Ia mulai membalas senyum Paul, kemudian menggigit
bibirnya dan kembali memandang ke luar jendela. Rasanya aneh. Dulucuma Nick yang membuatnya berdebar-debar. Nick pun sama
kerennya dengan Paul ?
Matanya terbelalak ketika sadar bahwa lamunannya sudah
terlalu jauh. Tahan dirimu, nasehatnya sendiri. Jangan melihat dia
lagi!
Tapi sekeras apapun usahanya, tatapan Lori tetap terpaku pada
si ganteng Paul. Pemuda itu pun melirik Lori. Hatinya diliputi rasa
bahagia melihat gedung di sebelahnya.
Rasanya cepat sekali van itu berhenti di depan gedung senat
mahasiswa. Lori berusaha meyakinkan diri bahwa ia merasa lega.
Tour selesai dan ia tak akan bertemu Paul lagi ? itu yang terbaik.
Ia bangkit dan menunggu antrian turun. Tapi waktu sampai di
tangga terakhir, lututnya mendadak kram dan ia hampir jatuh.
Paul yang berdiri di dekat pintu segera menahan Lori dengan
tangannya yang kuat. Dibantunya Lori berdiri dan waktu itulah
mereka bertatapan. Lori tak dapat menahan diri memandangi mata
biru yang berhiaskan titik-titik kecil keemasan. Tiba-tiba ia merasa
sesak nafas. Tangan Paul melingkar di bahunya!
"Hati-hati, Lori," katanya sambil membiarkan Lori pergi
walaupun tampak tak rela.
"Aku nggak apa-apa kok. Maaf. Mmm, trims!" suaranya
terdengar bodoh dan kaku seakan ia tak pernah bicara dengan cowok.
"Tahu namaku dari mana?" tanyanya.
"Pakai telepati," katanya bangga. Lori kaget. Paul mengedipkan
matanya. "Itu, tanda pengenalmu."
"Oh!" Lori tersentak. "Oh, iya!""Mungkin kakimu kesemutan, kelamaan duduk ? ditambah
kebanyakan dengerin ocehanku tentang Kensington sampai bosan,"
candanya. "Oke deh," kata Paul sambil merapikan rambut di
keningnya. "Selamat berakhir pekan, Lor. Mungkin kita bertemu lagi."
"Yah, mungkin ?" gumam Lori. Dia tak dapat memikirkan
kata-kata lain. Paul meringis kemudian berbalik meninggalkannya.
Bodoh sekali aku hari ini, pikirnya sedih. Jatuh dari van, lalu
lidahku jadi kaku ? dia nggak bakalan pingin menemuiku lagi!
Kemudian ia bertanya pada diri sendiri. Apakah dia ingin
bertemu Paul lagi? Tiba-tiba ia merasa takut. Ia berjanji pada Nick tak
akan tergaet cowok Kensington?tapi nyatanya Paul hampir
melumpuhkannya!
***********
"Awas, makanan di sini nggak kayak bikinan katering Premier
lho," kata Christine cekikikan. Diraihnya sebuah baki dan satu set alat
makan perak lalu mulai ikut antri makanan. Danielle dan Lori
menyusul di belakangnya sambil membawa baki masing-masing.
"Idih!" komentar Christine begitu melihat piring besar bertanda tuna
surprise. "Itu yang paling nggak enak. Sudah waktunya aku
membongkar kiriman dari rumah. Ibu mengirim cokelat Belgia, Dani.
Cokelatnya terasa sekali dan kusimpan untuk acara khusus. Coba
tebak? Acara kalian!"
Lucu, Ibu sempat ngirim cokelat buat Christine, pikir Danielle
iri. Tapi Ibu nggak pemah bersikap manis padaku!
"Malam ini acaranya prasmanan, jadi layani diri kalian sendiri,"
kata Christine sambil mendorong bakinya di atas terali besi. "Tunasurprise-nya beracun, tapi chicken cacciatore-nya lumayan ? kalau
masih baru."
Danielle mengikuti saran Christine, diambilnya sendok sayur
dan mengipas uap cacciatore yang panas di piring plastik hijaunya.
"Kalau panas, berarti rasanya enak," katanya pada Lori yang sibuk
mengipas juga.
"Itu Jack!" seru Christine ketika menghampiri mesin penjual
soda. Danielle celingukan, menjulurkan lehernya mencari Jack. Aha!
Jack melambai dan memanggil namanya! "Sini!" teriak Jack
sambil membuat corong dengan tangannya di depan mulut.
"Oh, hei, Jack!" Danielle balas berteriak. Dia berbalik pada
Christine dan Lori dengan riang. "Tolong ambilkan soda ya? Aku mau
duduk sama Jack." Tanpa menunggu jawaban ia langsung menerobos
di antara meja-meja dan keramaian orang.
"Ini dia!" kata Jack begitu Danielle sampai. Ia tampak tampan
dengan sweater wol hijau lumutnya; mungkin harganya semahal tiket
pesawat ke Eropa. Danielle menatapnya dengan seksama sambil
menaruh bakinya di meja ? saking seksamanya sampai cacciatore-
nya hampir mendarat di puding tapioka. Untung Jack cuma menatap
ke matanya saja, bukan ke piringnya. Danielle tersenyum cerah dan
duduk di samping Jack.
"Gimana Dani, betah di sini?" tanya Jack. Tampaknya ia begitu
senang bertemu Danielle dan gadis itu mengira Jack akan
menciumnya. Tapi ternyata tidak. Sayang sekali, pikir Danielle sambil
tersenyum misterius.Ia memperhatikan Jack mengajak Lori dan Christine bergabung.
"Sini ? kursinya cukup kok," katanya sambil mengangkat kursi dari
meja sebelah.


Merivale Mall 06 Prahara Akhir Pekan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Oh, kenapa dia begitu sopan, keluh Danielle dalam hati. Sikap
itu memang bagus, tapi waktunya tidak tepat. Dasar pengganggu!
"Hei, Jack!" sapa Lori sambil duduk tepat di depan Danielle.
Christine menaruh bakinya berseberangan dengan Jack. "Hei!
Ini sodamu, Dani. Omong-omong Jack, aku bawa buku yang dulu
kupinjam." Christine mengeluarkan buku dari tas dan mengulurkannya
pada Jack.
"Pakai saja kalau masih perlu," Jack menawarkan.
"Trims," jawab Christine, "tapi aku lagi nggak konsentrasi.
Percaya nggak makalahku yang berjudul Revolusi Industri berjumlah
tiga puluh halaman harus dikumpulkan hari Senin. Padahal hari Selasa
ada ujian statistik!"
"Percaya," kata Jack. Ia mengambil ranselnya dari belakang
kursi dan membuka salah satu kantongnya. "Bisa ditebak, kamu jadi
sering nongkrong di perpustakaan." Setelah memasukkan buku ke
ransel yang sudah penuh itu Jack menaruhnya kembali ke tempat
semula. "Lihat sendiri, hidup di Kensington bukan cuma untuk main-
main dan senang-senang. Makanya kita bikin jadwal kapan berhenti
belajar dan mulai bersantai."
"Oh, Jack, kamu lucu!" kotek Danielle. "Tapi nggak separah itu
kan?" Ia memainkan garpunya. Dia tak ingin makan sepiring penuh
masakan ayam bersaus tomat dalam pengamatan Jack. Ia bisa salting,
salah tingkah, dan makannya berantakan, seperti campuran roti bakardan sup. Tapi Lori dan Christine menyuap cacciatore itu dengan
tenang. Jelas, mereka tidak peduli seperti apa tampang mereka.
Jack menghirup susu cokelatnya. "Kuharap kalian bisa datang
ke pesta Sigma besok malam. Anak-anak sudah menyiapkannya
seminggu penuh, aku sudah bilang mungkin kalian mau datang." Ia
menatap Christine.
Apa Jack sudah membicarakan aku dengan Christine, Danielle
menduga-duga ketika melihat tatapan Jack yang penuh arti pada
Christine. Jack pasti naksir aku! Hatinya berbunga-bunga. "Aku pasti
datang," janjinya.
Lori mengernyit. "Nggak tahu ya," katanya. "Aku cuma bisa
datang satu jam aja. Ada PR yang harus dikerjakan malam Minggu
nanti!"
Danielle tahu; Lori takut pada sesuatu ? ia menduga 'si
pemandu tour yang menggoda' ? siap merusak acara akhir pekan
Lori. Danielle senang. Jadi waktu bermesraannya dengan Jack lebih
banyak!
"Kamu gimana Christ?" tanya Jack. Danielle menebak
pandangan Jack yang seolah takut kakaknya akan mengatakan tidak
bisa. Tapi dia memang harus mengundang Christine, sekedar basa
basi.
Syukurlah, Christine tampaknya agak segan. "Kalau makalahku
selesai, aku pasti datang. Tapi nggak janji lho."
Bagus! Batin Danielle. Besok ia akan berduaan saja dengan
Jack!Tapi tunggu ? itu kan malam Minggu ? dan malam Minggu
masih lama. Sedang Minggu siangnya ia sudah di pesawat yang
membawanya pulang!
"Biasanya Jumat malam ada acara apa di sini?" tanya Danielle.
Ia membuka mata hijaunya lebar-lebar, pura-pura lugu. "Maksudku,
ada kegiatan ekstra kurikuler?"
"Ada," kata Jack sambil mengunyah kue cokelatnya. "Ada
pemutaran film gratis."
"O ya?" tanya Danielle. "Film apa?"
"Mungkin kamu nggak suka. Judulnya The Blender. Yang
ngadain Fakultas Psikologi."
"Apaan tuh? Kayak film horor!" Danielle merinding, berharap
Jack mengajak dan nanti akan menggenggam tangannya.
"Yah, sejenis film sadis. Pokoknya jijik deh."
Jack memang menyenangkan! Mungkin dia menilai Christine
gadis membosankan ? maunya belajar melulu.
"Nggak kepikir nonton segala," kata Christine. "Tugasku
numpuk."
"Menjijikkan, hah? Aku suka film sadis. Tapi takut nonton
sendirian," pancing Danielle, "aku pasti gemetar ketakutan!"
"Astaga Danielle, kalau saja aku bisa menemani." Christine
tampak agak kuatir. "Kasihan kamu sampai sendirian di malam
pertamamu di sini."
"Kalau begitu," Jack menawarkan diri, "aku sudah nggak punya
kerjaan malam ini. Mau kutemani, Dan?"
Mata Danielle berbinar-binar. Bagus! Akhirnya bisa juga
berduaan dengannya, gelap lagi. Sesudah itu mereka bisa pergi ketempat yang ada dentingan piano dan sinar lilin di meja. Kemudian
Jack akan mengantarnya pulang naik Mercedes birunya, semua orang
pasti melirik. Danielle akan merasakan pelukannya. Dan menjelang
malam Jack akan menyanjungnya kemudian mendekat menciumnya....
"Gimana, Lor? Mau ikut ketakutan juga?" tanya Jack.
Lori tertawa. "Oke, pasti. Aku mau," Lori setuju.
"Selama ada kamu yang melindungi kami dari serangan
blender."
Danielle menjejalkan potongan ayamnya langsung ke
kerongkongan supaya tidak menjerit. Nekat sekali Lori ikut nonton.
Kadang anak itu nggak punya otak. Bisa-bisanya dia lulus
wawancara?
"Bagus!" kata Jack. "Kita ketemu di depan gedung senat jam
tujuh lewat empat puluh lima menit. Aku duluan ya? Karena nanti
malam mau nonton, berarti sekarang aku harus belajar. Selamat
makan, deh. Coba aja kuenya, enak!"
"Daah, Jack!" kata Christine. "Trims mau menemani Danielle
dan Lori."
Danielle merasa ingin membunuh Christine. Jack kan teman
kencan, bukan pengasuhnya. Kenapa Christine selalu
memperlakukannya seperti anak ingusan?
Jack segera bangkit dan menyambar jaket kulitnya. "Ciao,
nona-nona!" katanya sambil pergi.
"Sampai nanti, Jack!" Danielle tersenyum manis padanya
sampai Jack hilang dari pandangan. Lalu dibuangnya garpu ke atas
nampannya. "Aku mau dandan dulu," katanya. "Sampai ketemu di
kamar."Danielle tak membereskan nampannya. Ia langsung kabur ke
pintu masuk sambil mengangkat kepalanya setinggi mungkin.
Berani-beraninya Lori merusak acara kencannya dengan Jack
Aldrich! Ia akan mencari jalan supaya bisa menghindari Lori.Tujuh
Danielle meneliti orang-orang yang mondar-mandir di depan
gedung fakultas psikologi. Dia berharap menemukan Jack di teras,
siap menantinya. Ia menghabiskan waktu selama satu setengah jam
untuk memilih pakaian sehingga agak terlambat. Dia ingin membuat
Jack berlutut di hadapannya. Celana jeans ketat membungkus
pinggulnya yang seksi dan menegaskan bentuk kakinya yang bagus. Ia
memakai sweater ski Norwegia berpola biru dan hijau kesayangannya.
Serasi dengan warna matanya.
Ia bergaya sesantai mungkin seperti mahasiswi ? ia tahu
usahanya ini berhasil karena para mahasiswa di luar gedung itu
menatapinya. Mungkin mereka bertanya-tanya siapa mahasiswi baru
yang cantik ini, dan kapan mereka bisa bertemu lagi.
Lori sudah jalan-jalan, itu memberi kesempatan pada Danielle
untuk nampang sendirian, dan Danielle pun lega karena Lori akan
menemuinya di sini, di luar, di tempat gelap. Aku mulai merinding.
Tapi Danielle tak tertarik untuk berkenalan dengan para
mahasiswa yang meliriknya ? hanya Jack yang ingin ditemuinya.
Dimana dia?
Ia mengibaskan rambut merahnya sambil menengok ke arah
lain. Begitu ia maju selangkah, tiba-tiba jalannya terhalang padasebuah dada bidang ? bersweater wol hijau dan dilapis jaket kulit.
Jack!
Danielle tersenyum cerah menyapanya, "Wah, halo."
"Halo Danielle," sapa Jack ramah sambil tersenyum dan
membuat sekujur tubuh Danielle lemah. "Kusangka nggak datang."
"Moga-moga nggak terlalu terlambat." katanya manis. "Sudah
lama ya, nunggunya?"
"Mmm ... lumayan. Masih untung kalau kita kebagian tempat.
Soalnya pemutaran film fakultas psikologi terkenal sukses."
Danielle melihat padatnya mahasiswa yang memasuki gedung.
Tampaknya seisi kampus berkumpul di situ.
Dan, Lori pun tak muncul lagi. Mungkin dia nyasar ? karena
tak bisa melihat petanya dalam gelap.
Jack berjinjit menengok ke tengah keramaian lalu berteriak,
"Lori, sini! Dari tadi dia cari kamu," katanya pada Danielle.
Bagus. Danielle melotot. Habislah malam romantisku. Begitu
melihat Lori, Danielle hampir tak percaya. Sepupunya memakai jaket
merah hitam SMA Merivale. Dia membawa tas, mungkin untuk
menyimpan jaketnya. Danielle menggeleng-geleng. Kenapa Lori tak
mengumumkan sekalian lewat pengeras suara ? "Hei, saya ini anak
SMA!"
"Ini dia Dani! Dari tadi kucari," Lori menyeringai.
"Mm-hmmm! Aku di sini!" jawab Danielle sinis. "Itu kamu, di
situ!" Sayang sekali, kita ada di satu ruangan, tambahnya dalam hati.
"Oke, sekarang sudah kumpul, cepat masuk," usul Jack. Antrian
sudah menyusut, hanya ada beberapa orang di depan mereka.Ketika melihat sekeliling auditorium, Danielle tak dapat
menahan senyumnya. Tidak ada tiga kursi kosong dalam satu baris.
Dia hanya melihat dua kursi. Tampak orang-orang duduk
bergerombol, mengobrol dan memanggil temannya di baris lain.
Jack melambai pada segerombol mahasiswa di baris belakang.
"Nggak ada tempat lagi," katanya. "Cepat, kalian cari tempat duduk.
Aku bisa duduk sendiri."
"Jangan konyol!" cegah Danielle. Dengan cepat ditunjuknya
dua kursi kosong di baris enam, lalu berteriak, "Ada dua di sana,
Jack!" Ditariknya lengan Jack dengan kasar mengajaknya menuruni
tangga, "Biar Lori sendirian ? nggak apa-apa kan Lor?"
Ia melihat wajah Lori kehilangan sinar. Akhirnya dia tahu, batin
Danielle senang. Danielle tersenyum pada sepupunya. Lori tahu
seperti apa rasanya jatuh cinta. Aku yakin dia nggak ngikutin lagi
karena sudah tahu duduk perkaranya.
"Nggak apa-apa," jawab Lori. "Sampai nanti." Lori tersenyum
sebelum melanjutkan menuruni tangga berikutnya.
"Trims, Lor. Kamu baik sekali!" teriak Danielle. Lori sayang, si
pemurah. Danielle menarik lengan Jack menghampiri dua kursi
kosong yang dilihatnya.
"Maaf ?" Ia mengangkat bahu dan tersenyum. "Tadi ada orang
yang mau menempati kursi kita, jadi kita harus buru-buru."
Jack mengangguk dan tersenyum tapi tak berkata sepatah pun.
Bagus, batin Danielle senang. Jack nggak membantah. Mungkin dia
juga senang Lori berhasil disingkirkan.
Sekarang tinggal duduk tenang dan menunggu gelap.
*************Lori terus menuruni tangga sampai baris terdepan, dia merasa
jadi pusat perhatian karena sendirian.
Rasanya bodoh. Seharusnya dia tahu Danielle naksir Jack
Aldrich. Ganteng dan kaya, begitulah pemuda idaman Danielle. Aneh,
menurutnya Jack malah tertarik pada Christine .... Tapi mungkin juga
tidak.
Lagipula, dengan sikap Danielle yang terakhir terhadapnya,
lebih baik ia duduk sendiri. Mungkin lehernya akan pegal karena
duduk di barisan depan, tapi lebih baik begitu daripada menanggung
sakit hati.
Ia melihat beberapa kursi kosong di depan. Ia menghampirinya
dengan hati-hati supaya tidak menginjak kaki orang.
"Permisi, kursi ini kosong?" tanyanya pada gadis keren
berambut pirang yang sedang berbicara dengan pemuda di sebelahnya.
"Pojok sana kosong," jawab gadis itu sambil mendongak
kepada Lori. "Ini untuk teman kami." Ditepuknya kursi di sebelahnya.
Akhirnya Lori duduk di kursi paling pojok. Rasanya aneh
nonton tanpa Nick. Siapa yang akan dipeluknya kalau ketakutan? Ia
kangen pelukan Nick, bersandar di bahu Nick. Padahal baru berpisah
satu hari, rasanya nggak akan berakhir.
Ruangan mulai gelap, pendatang yang terlambat buru-buru
menyerbu kursi kosong.
"Paul ? sini!" gadis berambut pirang tadi memanggil seseorang
yang berdiri di jalur tengah.
Lori melihatnya dan terpaku. Baru mendengar namanya saja
perutnya jadi mulas. Mungkin ada sepuluh Paul di Kensington, pasti
bukan Paul yang ditemuinya siang tadi.Tapi memang dia! Dan Paul melewati beberapa orang
menghampiri kursi di sebelahnya.
"Kamu Lori, cewek yang pakai tanda pengenal?" tanya Paul
sambil membuka lipatan kursi. "Kamu sendirian?"
"Mmm, ya," jawab Lori, untung lampunya sudah dimatikan jadi
perubahan warna mukanya tidak kelihatan.
"Moga-moga kakimu nggak kesemutan lagi. Tapi melihat judul
filmnya, kayaknya nggak bakalan membosankan dibanding tour tadi!"
"Oh, aku nggak bosan kok ? aku suka jalan-jalan," bantah Lori
cepat. Ia merasa cibiran tolol muncul di wajahnya dan rasanya ingin
menendang dirinya sendiri. Kenapa ia tak bisa bersikap wajar di depan
Paul? Kenapa Paul membuatnya pusing dan tak percaya diri?
Lori menekan matanya kuat-kuat dan berusaha tenang.
"Hei, jangan tutup mata sekarang. Simpan untuk bagian seram
nanti!" bisik Paul.
Mata Lori terbuka dan dia tersenyum pada Paul. "Mmm, cuma
latihan, kok."
**********
"Hii, moga-moga filmnya nggak serem-serem amat," bisik
Danielle di telinga Jack sambil menggenggam tangannya.
"Sebenarnya aku lebih suka film-film lama ? klasik. Kesannya
romantis banget. Aku suka Greta Garbo." Mungkin Jack akan terkesan
dengan seleranya yang tinggi. "Tapi karena ada kamu, aku jadi nggak
begitu takut." Ia bersandar manja pada Jack.
Begitu film dimulai, musik yang mencekam memperkuat
suasana tegang. Danielle sengaja memekik pelan ketakutan. Dengan
begitu ia leluasa bersandar lebih dekat pada Jack. Kemudian ketikaorang gila dalam film menyalakan blender untuk menghancurkan
korban, Danielle menyusupkan kepalanya di lengan Jack dan
mengusap ototnya. "Aku nggak tahan!" pekiknya. Suaranya teredam
di sweater Jack yang lembut.
Jack tampaknya asyik menikmati film. Ia sering bergeser seolah
posisi duduknya tidak enak. Mungkin ia sakit punggung, pikir
Danielle. Atau kebanyakan belajar. Seharusnya ia dipijit.
Danielle berharap Jack memeluk, atau setidaknya memegang
tangannya. Tapi rupanya kesibukan di perpustakaan merusak organ
tubuhnya. Jack terlalu lelah dan hanya sanggup menatap lurus ke film.
Baiklah. Kalau dia istirahat sekarang, toh akan segar di pesta dansa
Sigma besok malam.
Akhirnya, Danielle hanya menggenggam tangan Jack.
Meremasnya pelan, lalu kembali menyimak film.
*************
"Aku nggak pernah mencintaimu, tolol! Semua hanya ?"
Musik yang menjengkelkan mendadak berhenti dan layar pun
kosong. Auditorium itu dipenuhi keluhan kecewa penonton ketika
lampu menyala kembali. "Kembalikan uangku!" teriak seseorang,
tawa meledak di auditorium.
Lori berbalik dan melihat ruang proyektor. Kalau film tak
segera dilanjutkan, ia akan bicara pada Paul. Dapatkah masalah
mereka diselesaikan secepatnya?
"Wah," desah Paul sambil tersenyum pada Lori. "Begini juga
asyik kok." Ia pura-pura menguap lalu tertawa kecil.Lori ikut tertawa. Mendadak ia ingin Paul menyukainya. Terus
aja, Lor, batinnya. Apa salahnya ngobrol sedikit. Seluruh tubuhnya


Merivale Mall 06 Prahara Akhir Pekan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menegang.
"Terus terang," lanjut Paul, "duduk nyepi begini lebih asyik dari
pada nonton orang gila yang membunuhi keluarganya, setuju nggak?"
Lori merasa wajahnya memerah. "Kayaknya begitu,"
gumamnya.
"Gimana, betah di kampus ini? Atau kamu baru bisa betah kalau
Perjalanan Yang Berbahaya 2 Pedang Keramat Thian Hong Kiam Karya Kho Ping Hoo Hina Kelana 1
^