Pencarian

Salah Kaprah 2

Girl Talk 11 Salah Kaprah Bagian 2


tengah memandangiku. Aneh. Kugoyangkan kepalaku untuk
mengenyahkan pikiran yang bukan-bukan, sebelum turun ke
gelanggang es. Kupejamkan mata beberapa detik, mengenang nasihat
Ayah. Menurut beliau, apa pun yang kukerjakan akan sukses jika aku
berusaha dengan sungguh-sungguh. Bagi Ayah, yang terpenting
adalah motivasi dan tekad yang bulat. Menurutku aku sudah memilikitekad yang kuat tersebut. Bahkan Ayah pun tahu, jika menginginkan
sesuatu, aku amat bersungguh-sungguh dalam meraihnya.
Peluit wasit membuyarkan lamunanku. Pertandingan sudah
dimulai. Dan aku merasa benar-benar siap.
"Musuh kita besar-besar badannya!" seru Flip waktu melihat
tim Mongols turun ke arena. "Masa sih mereka murid Junior High
seperti kita? Rasanya nggak mungkin!"
"Flip!" teriak Pak Budd. "Hentikan perkataanmu! Mereka sama
seperti kalian! Dan tak ada yang istimewa dari mereka! Camkan itu!"
"Yah...kecuali kenyataan bahwa mereka adalah juara bertahan,"
gumam Flip seraya mengenakan helm hoki untuk melindungi
kepalanya.
"Yeah...," timpal Brian terengah-engah, "lihat saja helm
penjaga gawang mereka!" Penjaga gawang tim Mongols mengenakan
helm yang yang dicat warna-warni sehingga wajahnya mirip monster.
Kelihatannya benar-benar menyeramkan. Mereka benar-benar siap
bertarung!
"Ayo mulai dan sikat habis mereka!" seru Pak Budd memberi
semangat.
Kukencangkan ikatan helmku dan meluncur perlahan menuju
posisiku di sayap kiri.
"Semoga sukses, KC!" teriak Michel yang berada tepat di
belakangku. "Bonne chance!"
"Merci," kuucapkan terima kasih dalam bahasa Perancis sambil
nyengir. Michel membalas senyumku sambil mengedipkan sebelah
mata padaku.Kubalikkan tubuhku ke arah lawan dan kulihat Scottie tengah
menatap ke arah kami berdua sambil menyeringai sinis. Seharusnya
Scottie kan menghadap ke arah lawan yang mulai memenuhi
lapangan?
Tim Mongols memberi kesan amat profesional dengan seragam
merah, biru, putihnya. Karena warna yang dipakai adalah warna
bendera Amerika, mereka seolah tampil sebagai tim nasional saja.
Pemain sayap kanan Mongols meluncur cepat dan berhenti kira-
kira tiga kaki di hadapanku. Dengan bibir berkerut, ia menatapku
dengan tatapan bengis. Kelihatannya ingin membuat mentalku ciut.
Tapi kubalas tatapannya dengan tajam tanpa berkedip. Seperti halnya
Ayah, tak akan kubiarkan seorang pun mencoba menakut-nakutiku
saat berlaga di lapangan.
Tiba-tiba saja para penonton mulai bersorak-sorak. Wasit akan
segera meletakkan bola dan memulai pertandingan. Kuedarkan
pandang ke sekeliling lapangan, berusaha mencari tempat duduk Ibu
dan teman-temanku. Tapi karena begitu banyaknya penonton, aku tak
dapat menemukan mereka.
Kemudian pertandingan pun dimulai. Scottie mengoper bola
pada Flip dan kami mendominasi posisi garis tengah, bersiap
melakukan serangan ke gawang lawan. Kuyakini diriku bahwa tim
Mongols sebetulnya tidaklah sehebat yang kami perkirakan
sebelumnya. Tiba-tiba saja Flip mengoper bola ke arahku, tapi
lantaran sedang melamun, aku tak sempat menerimanya. Bola dicuri
oleh barisan pertahanan Mongols. Aku berusaha mengejar bola tapi
malah jatuh terhuyung-huyung keatas es.Babak pertama berlangsung dengan permainan keras. Tim
Mongols benar-benar mengandalkan kekuatan fisiknya. Di setiap
sudut mereka merebut bola dengan sedikit kekerasan. Kami sama
sekali tidak memperoleh kesempatan untuk menyusun penyerangan.
Banyak di antara mereka yang juga jatuh ke es atau membentur
dinding pembatas lapangan. Tapi tentu saja lebih banyak anggota tim
kami yang jadi korban keganasan gaya main mereka.
Tembok pertahanan tim Mongols benar-benar tangguh dan
sukar ditembus. Jangankan ditembus oleh pemain kami, bola yang
kecil itu pun rasanya tak dapat melewati mereka.
Tapi sejauh ini mereka pun belum mencetak angka. Michel
tampil memukau! Dengan lincah ia berkelit di antara pemain,
mendominasi seluruh lapangan. Luncuran yang cepat sehingga
kehadirannya sama sekali tidak diduga oleh pemain Mongols. Aku
ingat, Michel bernah bercerita tentang tim hokinya di Canada.
Menurutnya, tim hoki Canada lebih mengandalkan kekuatan fisik
daripada strategi. Mungkin karena itu ia dapat mengimbangi gaya
permainan tim Mongols yang juga mengandalkan kekuatan fisik. Aku
sendiri kaget dengan gaya tim Mongols sini. Rasanya babak belur
seluruh tubuhku!
Saat istirahat pertama, suasana di tim kami terasa hening. Kami
semua meneguk minuman penambah energi dengan nafas terengah-
engah.
"Mereka benar-benar luar biasa tangguh!" seru Scottie sambil
menggeleng kepala.
"Tak ada yang dapat menembus pertahanan mereka!" tambah
Flip sambil menyeka keringat yang bercucuran di keningnya."Kalian tak boleh menyerah begitu saja!" seru Pak Budd.
"Tapi Anda kan lihat sendiri," bantah Brian, "mereka siap
menghabisi tim kita di lapangan tadi!"
"Jangan panik!" Pak Budd memberi pengarahan, "Kalau kalian
panik, mereka akan lebih mudah mengacaubalaukan pertahanan kita."
"Tapi...," gumam Flip tertahan.
"Ayyyy..." seru Michel tiba-tiba dengan suara keras. "Kalian
harus percaya diri dong! Sejauh ini mereka juga belum bisa mencetak
gol. Kedudukan kita masih sama!"
Kami semua langsung terdiam mendengar perkataan Michel.
Michel benar. Kami masih punya kesempatan yang sama.
Terdengar peluit tanda pertandingan dimulai kembali. Babak
kedua mulai. Kami berdiri dan bersiap turun ke arena.
"Sekarang tunjukkan kebolehan kita pada mereka!" teriak Pak
Budd seraya menepuk bahu anggota timnya dengan penuh semangat.
Tim Mongols menguasai bola. Dua di antara mereka mengapit
Michel untuk melindungi temannya yang menggiring bola ke arah
gawang kami dari serangan Michel. Begitu ketatnya penjagaan,
Michel sampai terhimpit di dinding. Pemain tengah Mongols
membidikkan bola ke gawang dari jarak lima belas kaki. Bola
melayang ke kiri atas penjaga gawang kami Peter Mullins dan tak
dapat ditahan.
Supporter tim Mongols bersorak-sorak gembira menyambut gol
pertama itu. Begitu pula para pemain Mongols di lapangan. Michel
berusaha berdiri setelah dijatuhkan oleh para pemain Mongols
barusan. Aku meluncur dan membantunya berdiri. Tiba-tiba saja
kurasakan bajuku ditarik seseorang. Kubalikkan tubuhku."Ada apa?" tanya Scottie sinis, "Pacarmu butuh pertolongan?"
Kutepis tangannya dengan marah dan kembali ke posisiku.
Michel bukan pacarku! Kenapa sih Scottie mengira kami berdua
pacaran? Kemarahanku pada Scottie kupancarkan juga pada lawan
kami. Sayap kanan Mongols kembali menatapku sambil menyeringai
lebar, tapi pasti wajahku kelihatan dingin dan ganas sehingga perlahan
senyum lebarnya lenyap. Scottie harus mempertanggungjawabkan
tingkahnya yang menyebalkan ini, bisikku dalam hati. Dan tim
Mongols juga akan menerima pembalasanku! Tekadku.
Tim Mongols menguasai bola lagi. Pemain tengah mengoper
bola pada sayap kanan. Ia berusaha menembus pertahananku, tapi aku
terus menahannya. Kurebut bola dan kuoperkan pada Scottie. Scottie
kelihatan kaget menerima bola dariku. Posisinya kira-kira lima belas
kaki dari penjaga gawang Mongols.
Untunglah Scottie cepat bereaksi. Ia segera menyambar bola
dan pura-pura akan membidikkan bola ke gawang. Padahal ia
memutar badan menembus barisan pertahanan yang tertipu, lalu
meluncur mendekati gawang dan menembakkan bola secara diagonal
ke gawang. Penjaga gawang berusaha menahannya tapi bola melayang
keras, masuk!
"Yaaa!" seru Flip senang, "Operan bagus, KC!"
"Tembakan bagus, Scottie!" teriak penjaga gawang kami, Peter.
Scottie meluncur mendekatiku dengan senyum lebar. Tapi tiba-
tiba ia menghentikan gerakannya dan mencibir pada seseorang di
belakangku.
"Ayyy..." seru Michel sambil menepuk bahuku dari belakang,
"gerakan hebat KC!"Kubalas senyumnya dan kembali memandang Scottie. Tapi
Scottie sudah kembali ke posisinya dan tengah bersorak sorai dengan
Flip. Sebelum sempat memikirkan soal reaksi Scottie yang aneh itu,
kami sudah harus mengatur posisi lagi. Bel peringatan tanda babak
kedua akan berakhir sudah berbunyi, namun tak satupun dari kami
yang berhasil menambah angka. Tim Mongols masih bertahan dengan
gaya ?duel?nya, dan kami mulai terbiasa menghadapinya. Kami tak
lagi babak belur seperti babak pertama. Aku langsung mempersipkan
diri jika salah satu dari tim lawan mendekatiku.
Dengan perasaan emosional dan lelah, aku duduk di tepi
lapangan saat istirahat kedua. Sambil meneguk minuman penambah
energi, kuabaikan Scottie yang duduk tepat di sampingku. Ia pun
kelihatan mengabaikanku. Kubenahi nafasku yang terengah-engah.
Waktu istirahat berlangsung amat singkat. Wasit sudah
membunyikan peluit babak ketiga. Babak terakhir yang amat
menentukan. Kukerahkan seluruh energi yang tersisa dan kembali
turun ke arena. Aku telah berhasil melewati dua babak sebelumnya,
ujarku membesarkan hati. Aku harus main sebaik dua babak
sebelumnya. Tapi aku merasa benar-benar lelah. Semangatku tak lagi
sekuat awal pertandingan tadi.
Tim Mongols melakukan pembalasan besar-besaran.
Kelihatannya mereka jengkel atas gol balasan kami. Terutama karena
aku mencuri bola secara tiba-tiba. Mereka semua menjaga posisiku
dengan ketat. Tiap kali berusaha bergerak, mereka menghimpit dan
menjepitku ke dinding. Yang dapat kulihat cuma seragam biru-merah-
putih mereka.Michel kelihatan berusaha menolongku dari penjagaan lawan.
Tapi tentu saja ia tak boleh meninggalkan posisinya. Bisa-bisa tim
lawan mencetak gol lagi jika Michel lengah. Tiap kali tatapan kami
bertemu ia hanya nyengir pasrah.
Sayap kanan Mongols mendapat operan bola lagi. Aku bergerak
untuk mencurinya. Kami tak dapat melakukan penyerangan, maka
mereka pun tak boleh mendapat kesempatan itu! Pemain sayap kanan
kelihatan kehilangan kontrol dan kurasa inilah saat yang tepat untuk
mencurinya. Stik hoki kuarahkan untuk mengambil alih bola, tapi
akupun kehilangan keseimbangan. Aku terlalu berkonsentrasi pada
perebutan bola sehingga tak menyadari kehadiran pemain tengah yang
siap menabrakku.
Pemain tengah itu mendorong dan menghimpitku ke tembok.
Aku membentur tembok pembatas lapangan dengan keras lalu jatuh
terkulai. Pemain tengah itu mundur setelah menabrakku, sehingga aku
jatuh ke atas es. Semua berlangsung dengan amat cepat, sebelum aku
sempat melakukan gerakan perlindungan, wajahku jatuh membentur
es yang keras.
Untuk beberapa saat barangkali aku pingsan. Sebab, saat
tersadar, yang kurasakan hanya nyeri di sekujur wajah dan tubuhku.
Aku berusaha bangkit tapi tak ada daya sama sekali.
"Katie?" bisik seseorang di telingaku. Kulirikkan mataku dan
tampaklah Scottie menatap cemas dengan mata hijaunya. Wajah kami
berdekatan, "Kau nggak apa-apa kan?"
Kucoba mengangguk tapi urat-uratku terasa kaku.
"Campbell?" tanya Pak Budd agak panik.Sambil menarik nafas panjang, aku berusaha duduk bersandar.
Pak Budd berhasil menembus kerumunan dan menghampiriku. Beliau
berlutut di sampingku.
"Berbaring saja Campbell," perintah Pak Budd. Ia memanggil
tim P3K, "Kurt, kau cari dokter."
Pasti keadaanku lumayan parah. Dari cara Pak Budd mengatasi
situasi, aku dapat menduganya. "Jangan khawatir Campbell. Kau
baik-baik saja. Ini cuma tindakan pencegahan," beliau berusaha
menenangkanku.
"Wah...," teriak Flip bersamaan dengan seruan Michel; "Mon
Dieu!"
Sambil menggerakkan kepala, aku berusaha membuka helmku.
Scottie membantuku melepaskan pelindung kepala itu. Kusentuh kulit
wajahku. Rasanya nyeri sekali.
"Apa yang terjadi?" tanyaku dengan kepala pusing, "Rasanya
seperti habis ditabrak truk!"
Flip tertawa. "Kelihatannya sih begitu...."
Tim dokter tiba. Menurut dokter, aku harus diangkat keluar dari
lapangan untuk pemeriksaan lebih teliti. Sebetulnya aku ingin tetap
menyaksikan jalannya pertandingan. Tapi kelihatannya dokter amat
bersungguh-sungguh sehingga tak ada gunanya membantah.
"Kau baik-baik saja kan?" tanya pak pelatih sambil
membantuku berdiri.
Kuanggukkan kepala dan kudengar sorak-sorai saat aku bangkit
berdiri. Pak Budd memberikan handuk untuk menyeka bibirku."Bibirmu kelihatannya pecah," ujar dokter sambil menatap
wajahku dengan tajam, "dan tulang pipimu bengkak. Dan dagumu
sedikit sobek. Tuh lihat, berdarah pula."
Kusentuh wajahku dengan tanganku. Wajah yang memar itu
mulai membengkak dan rasa nyeri semakin terasa. Saat aku
meninggalkan arena, pertandingan dilanjutkan lagi. Brian
menggantikan posisiku. Kulihat Scottie bermain lebih bersemangat
dan lincah dari sebelumnya.
Aku amat terkejut melihat kehadiran Ibu dan Emily di kamar
ganti. Mereka berdua kelihatan amat prihatin dengan keadaanku.
"Aku baik-baik saja kok Bu," gumamku dengan bibir yang
perih. "Jangan khawatir."
Ibu menghela nafas lega mendengar keteranganku. Menurut
dokter, aku harus dijahit sedikit pada dagu yang sobek itu. Ibu
kelihatan agak terkejut. Waktu masih kanak-kanak mungkin ini hal
yang biasa. Tapi setelah menjelang remaja mestinya aku tak lagi
berurusan dengan luka-luka dan jahitan.
Setelah dokter selesai menjahit kulit dagu yang sobek, aku
merasa sedikit ngantuk. Sebab sebelum melakukan jahitan, dokter
memberi suntikan kekebalan.
Selanjutnya aku tak ingat apa-apa lagi. Saat tersadar, hari sudah
malam dan aku sudah berada di tempat tidur dalam kamarku. Pakaian
seragamku pun telah diganti dengan piyama. Sambil menggeliat, aku
mengerang kesakitan. Rasanya seperti benar-benar habis ditabrak
truk! Aku yakin, besok pagi rasa sakit dan nyeri itu pasti semakin
menjadi-jadi.Kulirik jam weker yang ternyata menunjukkan pukul sepuluh
malam. Astaga! Sudah selarut ini dan aku belum tahu siapa yang
akhirnya memenangkan pertandingan?! Bagaimana mungkin aku
tertidur lelap sementara timku bertanding?
Bagaimana mungkin aku belum tahu hasil pertandingan!
Aku harus bangun dan mencari tahu! Kucoba untuk
menggerakkan kakiku, tapi rasanya nyeri sekali. Kucoba membuka
mulut untuk memanggil Ibu, namun bibirku terasa perih dan jahitan di
daguku pun sakit bila digerakkan sedikit saja. Lebih-lebih aku merasa
amat lelah. Seluruh otot dan persendian menegang bila coba
kugerakkan. Aku menyerah. Kubiarkan tubuhku tetap terbaring dan
tak lama kemudian aku kembali jatuh tertidur.BAGIAN TUJUH
Hari Minggu pagi, cahaya matahari membangunkanku dari tidur
yang lelap. Lagi-lagi kucoba untuk merentangkan urat-uratku.
Hasilnya, aku mengerang kesakitan. Semua bagian tubuhku terasa
nyeri. Kemudian, kuingat kembali kejadian yang menimpaku dalam
pertandingan kemarin. Pertandingan yang keras. Scottie dan tim


Girl Talk 11 Salah Kaprah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mongols yang menumbangkan pertahananku. Juga jahitan di
daguku....kusentuh dagu yang terbalut plester.
Tapi siapa yang memenangkan pertandingan? Aku sama sekali
belum tahu hasil akhir pertandingan! Aku harus berusaha bangun dari
tempat tidur ini, dan mencari tahu! Sambil mengerang kesakitan,
kuturunkan kedua kakiku ke bawah lalu kucoba berdiri. Mataku
berkunang-kunang. Terhuyung-huyung kucoba duduk di tepi tempat
tidur dan berkonsentrasi menyeimbangkan tubuh. Setelah kunang-
kunang di mataku lenyap, aku berdiri. Kesalahan besar! Urat-uratku
meregang nyeri memerintahkanku untuk kembali duduk. Tapi
keinginanku begitu kuat. Kuambil mantel dan kupaksakan diri untuk
turun ke bawah.
Agaknya Ibu dan Emily belum bangun. Jam baru menunjukkan
pukul setengah delapan pagi. Sepagi ini siapa yang dapat kutelepon
untuk menanyakan hasil pertandingan? Kalaupun ada, apakah aku bisa
berbicara dengan kondisi bibir dan dagu yang sobek seperti ini? Didalam cermin di ruang bawah, kutatap bayangan wajahku dengan rasa
terkejut. Tulang pipi kiriku membengkak. Memar kebiruan. Bibirku
pecah dan di bagian dagu terbalut plester putih yang besar. Kelihatan
seperti korban kecelakaan yang parah!
Tiba-tiba terdengar suara lemparan di pintu depan. Aku
melonjak menghampiri pintu. Koran pagi! Seruku riang. Pasti hasil
pertandingan kemarin diumumkan di koran hari ini. Aku tersenyum
senang. Tapi dalam pantulan cermin, senyumku lebih mirip seringai
monster! Sama sekali tidak seperti senyum manusia! Ih...tampangku
menyeramkan sekali. Yah...mau apa lagi. Inilah risiko menjadi pemain
olah raga keras semacam hoki.
Kubuka pintu dan kupungut koran pagi yang tergeletak di
karpet depan. Sambil melangkah ke dapur, aku mencari-cari bagian
berita olah raga dengan rasa tak sabar. Sampai-sampai kakiku
tersandung-sandung lantaran tidak memperhatikan jalan.
Kuhempaskan diri di kursi meja makan sambil terus mencari
halaman olah raga dengan bersemangat. Dan kulihat dengan mata
kepala sendiri angka 2-1 untuk kemenangan tim Bradley! Kami
menang! Aku tak percaya! Aku hanya duduk terpaku sambil senyum-
senyum sendiri macam orang dungu. Kehadiran Ibu sama sekali tak
kusadari.
"Katie!" seru Ibu kaget, "Kau seharusnya tetap berada di tempat
tidur!"
"Oh. Selamat pagi Bu," sahutku ikut kaget, "aku ingin
mengetahui hasil pertandingan.""Katie, kau harus kembali ke kamarmu," perintah ibu sambil
melangkah ke lemari es. "Akan Ibu bawakan koran dan sarapan
pagimu ke atas. Kau ingin makan apa?"
"Kami menang Bu!" seruku tanpa bergeser dari tempat duduk.
Rasanya segala rasa sakit dan nyeri mendadak hilang sesaat setelah
membaca hasil pertandingan. Kami lolos ke babak selanjutnya! Luar
biasa sekali! Ayah pasti bangga terhadapku!
"Ibu tahu sayang," sahut Ibu, "semua teman-temanmu menilpon
dan memberi ucapan selamat padamu semalam. Mereka semua
gembira atas kemenangan kalian, sekaligus khawatir atas
keadaanmu."
"Mereka menilpon tadi malam?" tanyaku bingung, "Kok aku
tak mendengar dering tilpon sama sekali?"
Ibu tertawa kecil, "Kau tidur lelap sekali Katie," sahut Ibu,
"setelah Sabs, Randy dan Allison, Ibu rasa semua anggota tim hoki
menilpon, termasuk Pak Budd pelatihmu!"
"Wah...hebat sekali Bu!" seruku dengan senyum selebar
mungkin, "Dan yang paling hebat adalah kemenangan kami!" Aku
kembali membaca berita laporan pertandingan dengan serius.
"Katie, menurut dokter kau harus istirahat total hari ini," kata
Ibu menghampiriku, "kalau kau bosan di kamar, Ibu akan siapkan sofa
di ruang tamu agar kau dapat berbaring dan sarapan di situ. Hm?"
Ibu terus mendesakku untuk beristirahat. Aku mengangguk
perlahan seraya membawa koran ke ruang tamu. Ibu membawakan
beberapa buah bantal dan sebuah selimut.
"Kau merasa baik-baik saja?" tanya Ibu sambil mengelus
rambutku yang berantakan.Kuanggukkan kepala. Padahal sebetulnya sih tulang-tulangku
serasa hampir rontok! "Nggak apa-apa kok Bu," ujarku meyakinkan
beliau.
"Baguslah kalau begitu," kata Ibu. "Sama seperti Ayahmu, kau
benar-benar keras kepala. Sehingga kepalamu yang keras itu nggak
mudah retak!" goda Ibu.
Ibu berdiri dan menatapku agak lama, seolah-olah ada yang
ingin diutarakannya, tapi akhirnya Ibu hanya menawarkan makan
pagi.
Setelah Ibu kembali ke dapur, aku kembali menekuni berita di
surat kabar dengan antusias untuk mencari tahu lebih banyak tentang
jalannya babak terakhir pertandingan kemarin. Michel membuat gol
kedua, tujuh menit sebelum babak ketiga berakhir. Menurut laporan,
Scottie dikeluarkan dari lapangan permainan tak lama sesudah aku
mengalami kecelakaan, lantaran ia bermain terlalu keras dan kasar.
Kebetulan Scottie tidak mempunyai cadangan, sehingga regu kami
kekurangan satu orang! Keuntungan untuk pihak lawan. Sayangnya
tim Mongols tak dapat mempergunakan kesempatan itu dengan baik
karena Michel bermain dengan gaya yang amat profesional. Ia
menggantikan posisi Scottie sampai Scottie diperbolehkan kembali ke
arena pertandingan, sepuluh menit sebelum pertandingan berakhir.
Dan kehadiran Scottie membantu Michel mencetak gol! Sayang sekali
aku tak ikut menyaksikan jalannya pertandingan kemarin.
Kelihatannya amat seru dan menegangkan sekali.
Emily turun tak lama kemudian dan menemaniku makan pagi di
ruang tamu. Ibu tak pernah mengijinkan kami sarapan di ruang tamu.
Tapi kali ini, Ibu membiarkan kami berdua makan di situ. Kurasa Ibubenar-benar iba melihat keadaanku. Kemudian Ibu dan Emily pergi ke
gereja. Tak dapat kupercaya, aku jatuh tertidur lagi! Padahal tadi
malam aku telah menghabiskan waktu berjam-jam untuk tidur. Kurasa
aku masih lelah dan kecapean.
Sabrina ikut bersama Ibu dan Emily. Mereka bertemu di gereja.
Perasaanku menjadi lebih enak setelah Sabs datang.
"Katie!" seru Sabs begitu muncul di hadapanku, "Kau kelihatan
parah sekali!"
"Trims atas pujianmu Sabs," gumamku pura-pura ngambek.
"Oh...sorry...," ujar Sabs salah tingkah sambil duduk di kursi di
depanku, "apakah bekas jahitan itu bisa hilang?"
"Kata dokter sih akan hilang dalam beberapa tahun," jelasku
cepat, "ceritakan padaku tentang pertandingan kemarin dong. Apa
yang terjadi setelah aku keluar dari lapangan?"
"Gimana ya? Mh...gini...pertama-tama lapangan es di mana
kaujatuh penuh oleh percikan darah," ujar Sabs sambil meringis
membayangkannya. "Mengerikan sekali menurutku. Tapi kata
Randy...."
"Sabs!" tukasku memotong ceritanya, "Aku nggak nanya itu!
Aku nanya soal pertandingan!"
"Oh ya," sahut Sabs cepat, "kau betul, soal pertandingan ya?"
"Ya," sahutku sambil membetulkan posisi. Aku ingin
mendengarkan cerita seru itu sambil duduk.
"Setelah kau keluar dari lapangan," Sabs mulai bercerita sambil
bersandar di kursi, "Scottie jadi amat liar. Ia menabrak setiap pemain
Mongols yang menghalanginya. Mungkin karena itu wasit
memberinya peringatan.""O ya?" tanyaku takjub. Aku tahu, Scottie kadang-kadang
tingkahnya menyebalkan, tapi selama ini ia belum pernah mendapat
penalti dalam pertandingan. Di lapangan, Scottie biasanya dapat
mengendalikan diri.
Sabs menganggukkan kepalanya. "Ya betul. Scottie mendapat
peringatan kedua setelah mendorong keras seorang lawan yang
melukaimu!" ujarnya dramatis. Setiap kali bercerita, Sabs memang
selalu penuh perasaan. Menurutnya, itu adalah latihan yang baik demi
karir sebagai pemain film!
"Tahu nggak," lanjut Sabs, "menurutku Scottie amat
menyayangimu sehingga ia merasa sedih melihatmu mengalami
kecelakaan. Kau tahu kan, dia adalah orang pertama yang
menghampirimu setelah kaujatuh. Baru kemudian Pak Budd dan yang
lain-lain ikut mengerumuni. Scottie juga yang berteriak-teriak panik
memanggil dokter. Kemudian kau dikeluarkan dari lapangan. Kurasa,
Scottie amat mencemaskan keadaanmu sehingga mempengaruhi
permainannya. Seolah ia ingin membalas dendam pada orang yang
melukaimu itu."
Kuhela nafas panjang sambil mencibir, "Jangan ngaco deh
Sabs," gumamku sambil menggeleng-gelengkan kepala tak percaya,
"kau tahu nggak, menurutku Scottie malah membenciku. Sejak
minggu lalu, ia bersikap amat kasar padaku dan ia menuduhku
pacaran sama Michel!"
"Apa?" tanya Sabs kaget, "Kau pacaran sama Michel?"
"Iya. Bahkan ia mengira sepatu skating-ku yang baru itu hadiah
dari Michel!" lanjutku sambil tertawa. Mulanya aku tak menyadari
ekspresi Sabs mendengar perkataanku. Setelah tawaku terhenti, barukulihat bagaimana kecewanya Sabrina. Aku lupa kalau Sabs naksir
Michel. Segera kuralat kata-kataku, "Jangan takut Sabs, tuduhan
Scottie sama sekali nggak benar. Aku dan Michel cuma teman biasa.
Sungguh deh!"
Wajah Sabs kembali cerah. "Aku tahu kok. Lagipula kalau
kalian pacaran, kau pasti memberitahukannya padaku kan?"
Aku mengangguk. "Lantas apa yang terjadi selanjutnya?"
desakku mengalihkan pembicaraan. "Kemudian Michel mendominasi
pertandingan. Seperti pemain hoki profesional Wayne Gretzky saja
gayanya," lanjut Sabs dengan wajah ceria menceritakan kehebatan
Michel, "ia seperti main sendirian. Meskipun pemain lawan tubuhnya
jauh lebih besar, mereka tak dapat mengatasi Michel."
"Aku beryukur Michel bergabung bersama kami," gumamku
lega.
"Aku juga senang ia pindah ke Acorn Falls," Sabs setuju.
"Tanpa dia, kita pasti kalah," lanjutku tanpa terlalu
memperhatikan perkataannya.
"Ya..." Sabs menganggukkan kepalanya, "lantas, Scottie
diijinkan kembali ke arena menjelang sepuluh menit terakhir. Tiga
menit kemudian, Scottie berhasil mencuri bola dan melemparkannya
pada Michel. Michel membidik ke gawang lawan dan gol! Bola
meluncur tepat di antara kaki penjaga gawang. Penjaga gawang itu
kelihatan kaget sekali."
"Wah wah, sayang sekali aku tidak ikut menyaksikannya,"
gumamku sedikit menyesal. Pertandingan terbesar tahun ini, malah
kulewatkan begitu saja. Babak terakhir yang menentukan kulalui dikamar ganti untuk menjalani sebuah operasi kecil. Rasanya nggak
adil!
Sekitar sepuluh menit kemudian, Randy dan Allison tiba di
rumahku. Randy membawakan sebuah video kaset. Judulnya Hide and
Go Shriek. Tentu saja film horor. Sabs kelihatan tak begitu tertarik,
tapi toh ia ikut nonton juga bersama kami. Anehnya, Sabs begitu
tegang dan ketakutan melihat adegan-adegan menyeramkan yang
jelas-jelas hanya tipuan itu. Ibu amat berbaik hati membuatkan pop
corn dan kue-kue lain untuk kami. Perasaanku benar-benar enak siang
ini. Kecelakaan itu tidak membuatku menderita sama sekali.
Sekitar jam setengah lima sore, teman-temanku pulang. Tiba-
tiba aku ingat pada rencana Ibu mengundang ?laki-laki? yang baru
dikenalnya itu untuk makan malam bersama di rumah. Akhirnya luka-
lukaku ini membawa keberuntungan juga, ujarku lega. Mana mungkin
tamu itu datang sementara aku terbaring kesakitan di sofa ruang tamu
ini? Kusandarkan tubuh dengan pikiran santai dan lega.
"O ya," ujar Ibu dari dapur, "tamu kita akan segera datang.
Sebaiknya kau pindah ke kamarmu dan tiduran di atas. Ibu harus
merapihkan ruang tamu."
"Apa?" tanyaku kaget.
"Ibu telah mengundang tamu untuk makam malam jam enam,
Katie," lanjut Ibu sambil menyembulkan kepalanya dari pintu dapur,
"kalau kau bisa ikut hadir, Ibu akan senang sekali. Tapi kalau kau
ingin istirahat di kamarmu, tidak apa-apa."
Astaga! Ternyata Ibu masih tetap dengan rencananya semula!
Ibu tidak membatalkan acara makan malam itu! Bahkan Ibu tak
perduli, apakah aku bisa ikut bersama mereka atau tidak. Jika akuingin istirahat, nggak apa-apa! Rasanya aku tak percaya pada
pendengaranku. Ibu macam apa yang tak memperhatikan keadaan
anaknya yang sedang sakit?
"Sayang," Ibu duduk di ujung sofa dekat kakiku, "Ibu maklum
jika kau merasa kurang enak badan dan tidak dapat ikut makan
malam. Tapi kalau kau mau, Ibu akan senang sekali. Ibu amat ingin
memperkenalkannya padamu."
Harus kuakui, Ibu kelihatan amat cantik malam ini. Lagi-lagi
beliau mengenakan baju baru. Kali ini gaun terusan warna hitam,
terbuat dari sutra. Bagian depan dihiasi kancing mutiara yang anggun.
Dengan tatanan rambut yang baru, Ibu kelihatan luar biasa. Apalagi
wajahnya nampak berseri-seri, pasti Ibu sedang gembira.
Bagaimanapun buruknya perasaanku, tak pantas aku menghancurkan
kegembiraan itu. Tidak adil untuk Ibu. Jarang kulihat Ibu sebahagia
ini. "Saya akan membersihkan diri dan memilih pakaian," ujarku
dengan hati agak kecewa.
"Pakailah pakaian yang kau sukai," usul Ibu penuh perhatian,
"bagaimana kalau gaun hijau pemberian nenek? Kau masih ingat kan?
Gaun yang bagian atasnya dihiasi sulaman?"
Aku menganggguk setuju. Ibu memelukku dengan bahagia.
Aku melangkah menaiki tangga untuk mandi dan berganti pakaian.
Ternyata Emily sudah menungguku di kamar mandi. Ia telah
menyiapkan air hangat dan busa-sabun untukku di bak mandi.
"Hai Katie," tegurnya, "mudah-mudahan kau senang mandi di
bak penuh busa sabun.""Wah tentu saja, Emily! Kau baik sekali mau menyiapkan
semua ini untukku!" seruku senang. "Trims banget!" Kadang-kadang
Emily suka memberi kejutan yang menyenangkan bagiku.
"Ah...biasa saja kok," ia beranjak meninggalkan kamar mandi.
Di ambang pintu, langkahnya terhenti sesaat. "Kau tahu Katie,"
ujarnya ragu, "selama ini mungkin kau mengira aku tak mendukung
hobby-mu, terutama soal main hoki es itu. Tapi...mh...aku ingin kau
tahu bahwa aku kagum melihat permainanmu kemarin. Jika Ayah
masih ada, beliau pasti bangga padamu," Emily melanjutkan
langkahnya ke luar ruangan dan menutup pintu.
Begitu menceburkan diri ke bak mandi, aku merasa amat
nyaman. Kenapa tidak dari tadi ya, aku mandi? Otot-otot yang
menegang jadi sedikit lemas terkena air hangat. Ucapan Emily
terngiang lagi di telingaku. Ayah pasti bangga terhadapku. Entah
kenapa, perasaanku menjadi semakin enak membayangkan Ayah.
Segala rasa nyeri dan sakit, rasanya setimpal dengan kepuasan yang
juga kurasakan saat ini.BAGIAN DELAPAN
Lima menit kemudian, aku tengah menuruni tangga. Kudengar
dering bel pintu. Jam menunjukkan pukul enam kurang lima belas
menit. Rupanya tamu Ibu datang lebih awal.
"Katie, dapatkah kau tolong bukakan pintu?" teriak Ibu dari
dapur. Kuhampiri pintu depan sambil menarik nafas panjang. Inilah
saatnya. Pintu kubuka dan aku begitu terkejut melihat siapa yang ada
di hadapanku!
"Michel!" desisku.
"Hallo KC," sapanya sambil tersenyum padaku, "bagaimana
keadaanmu?"
"Aku baik-baik saja Michel," sahutku dengan bingung,
"ngapain kamu datang ke sini?"
"Aku diundang makan malam," sahutnya sambil menunggu
dipersilahkan masuk.


Girl Talk 11 Salah Kaprah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kamu ngomong apa sih?" tanyaku. Kali ini aku benar-benar
bingung. Apa yang tengah terjadi sebenarnya? "Ibu memang
mengundang seseorang malam ini. Tapi jelas bukan kamu, melainkan
salah satu nasabahnya," aku mencoba menjelaskan, "Ibu bahkan
mungkin belum mengenalmu." Kubiarkan Michel masuk dan
kugantungkan mantelnya di gantungan dekat pintu masuk.Bagaimanapun aku tak mungkin membiarkannya berdiri di luar
di tengah udara sedingin ini.
"Memang Ibumu belum pernah bertemu denganku," jawab
Michel sambil celingukan, "tapi Ibumu mengenal Ayahku. Ngomong-
ngomong rumahmu bagus juga lho Katie."
"Makasih," sahutku segera, "apa maksudmu dengan Ayahmu?"
"Jadi kau belum tahu?" tanya Michel. Senyumnya memudar
sedikit.
"Tidak. Aku sama sekali belum tahu," desisku perlahan.
Kudengar langkah kaki Ibu ke luar dari dapur. "Sejak kapan kau tahu
hal ini?"
"Michel!" sambut Ibu gembira, "Apa khabar? Selamat ya!
Kalian bermain amat cemerlang kemarin!"
"Merci, terima kasih," sahut Michel sambil melirik sedikit ke
arahku. Aku berusaha menatapnya dengan tajam dan ?dingin?, tapi
wajahku terlalu nyeri untuk digerakkan. Kurasa ekspresi ?sinis?ku tak
terlihat olehnya. "KC juga main bagus. Saya rasa, kami semua jadi
lebih bersemangat setelah Katie mengalami kecelakaan."
Mereka berusaha memenangkan pertandingan demi aku? Tanpa
sadar aku jadi tersenyum, tapi segera kuhentikan senyumku itu.
Barangkali Michel hanya mengada-ada untuk menghiburku. Ia pasti
merasakan sambutanku yang tidak hangat dan penuh kecurigaan tadi.
"Tentu saja Katie bermain bagus," Ibu setuju dan mengelus
rambutku, "mana Ayahmu?"
Michel tertawa kecil, "Oh, Ayah lupa membeli bunga, maka ia
mampir sebentar ke toko bunga setelah menurunkanku tadi.""O ya? Ah...sebetulnya Ayahmu tak perlu melakukan hal itu!"
seru Ibu senang dan merasa tersanjung. Lalu Ibu menatap wajahku
yang jengkel kemudian beralih pada Michel yang kelihatan agak
tegang. "Bagaimana kalau kalian berdua duduk di ruang tamu dulu?
Saya harus memeriksa panggang ayam di dapur."
Tanpa banyak cingcong, kulangkahkan kaki ke ruang tamu dan
duduk di ujung sofa. Michel duduk di kursi lain dekat meja.
"Kukira kau sudah tahu," Michel mulai bicara, "kami
berkenalan dengan Ibumu saat mengurus penggadaian rumah kami
yang lama di Kanada. Ibumu banyak menolong kami."
Rasanya aku tak percaya. Seharusnya Ibu tahu kalau Michel
seregu hoki denganku. Kenapa ia merahasiakannya? Kenapa Ibu tidak
menceritakan hal ini padaku sama sekali?
"Bagaimana wajahmu KC?" tanya Michel setelah agak lama
berdiam diri, "Berapa jahitan yang kau dapat?"
"Delapan," sahutku pendek. "Wajahku baik-baik saja."
"Aku senang kita berhasil memenangkan pertandingan
kemarin," lanjut Michel mencoba mengabaikan sikapku yang malas-
malasan menemaninya ngobrol, "kau benar-benar tahan banting di
lapangan."
Kuanggukkan kepala menerima pujiannya. Bersamaan dengan
itu bel pintu berbunyi lagi.
"Biar Ibu yang buka!" cegah Ibu sebelum aku sempat bangun.
Secepat kilat Ibu berlari ke pintu. Sesaat ia mematut diri di cermin
dekat pintu.
"Hai Jean Paul," kudengar Ibu menyapa tamunya."Kau kelihatan cantik sekali, Eileen," suara yang berat berlogat
Perancis itu membalas sapaan Ibu.
Begitu Pak Beauvais muncul di ruang tamu, kucoba untuk
bersikap obyektif. Ia kelihatan mirip sekali dengan Michel. Jika
Michel sudah dewasa pasti mirip. Kira-kira seperti apa ya wajah Ibu
Michel? Bahkan, jika aku berpapasan dengan Pak Beauvais di jalanan,
aku langsung bisa menduga beliau adalah Ayah Michel. Wajah
mereka seperti pinang dibelah dua!
"Jean Paul, ini anak bungsuku, Katie," Ibu memperkenalkan
kami.
"Senang berkenalan dengan Anda," sapaku sopan.
"Katie, saya sudah mendengar banyak tentangmu," sahut Pak
Beauvais sambil menjabat tanganku, "rasanya seperti sudah
mengenalmu. Ibumu banyak bercerita tentang kau dan kakakmu. Dan
tentu saja, Michel sering sekali menceritakan tentang dirimu dan
teman-temanmu, terutama... yang paling lucu, Sabrina. Betul nggak
Michel?"
Apa? Menurut Michel, Sabs yang paling lucu? Kutatap Michel
dan kulihat ia tersipu sambil melirik ayahnya dengan nada protes. Jika
Sabs mengetahui hal ini ia pasti pingsan!
"Sayang sekali saya tak bisa menyaksikan pertandingan kalian
kemarin," lanjut Pak Beauvais, "tapi saya dengar kau bermain amat
cemerlang."
"Terima kasih," sahutku sambil melirik ke arah Michel lagi.
Pertandingan hoki pertamanya di Acorn Falls, dan ayahnya tak sempat
hadir. Kasihan sekali Michel. Meskipun aku sedang jengkel
terhadapnya, tetap saja aku merasa kasihan."Mudah-mudahan saya bisa ikut menyaksikan pertandingan
yang akan datang," lanjut Pak Beauvais lagi.
Ck...ck...ck... Seharusnya ia berjanji akan menyaksikan
pertandingan anaknya, bukan ?mudah-mudahan?. Soalnya
pertandingan yang akan datang adalah pertandingan yang lebih besar
lagi. Pertandingan antar negara bagian! Pak Beauvais melepaskan
genggaman tanganku saat melihat Emily memasuki ruang tamu.
"Dan ini pasti Emily," ujarnya seraya mengambil tangan Emily
dan mencium punggung tangannya, "menurut saya, pada saat
seusiamu Ibu tentu mirip seperti kamu."
"Hello," tegur Emily berbasa-basi. Sama seperti reaksiku.
"Senang berkenalan dengan Anda."
"Sebaiknya saya memeriksa ayam panggang dulu," tukas Ibu
seraya berbalik kembali ke dapur.
"Saya bantu Bu," ujarku menawarkan jasa dengan segera. Tak
dapat kubayangkan, bagaimana rasanya duduk menemani Michel dan
Ayahnya di ruang tamu dengan obrolan basa-basi. Situasi ini membuat
perasaanku tidak enak. Sejak...sejak Ayah meninggal belum pernah
kualami suasana seperti ini. Ibu berkencan dengan laki-laki lain? Ah...
Tiba-tiba saja aku merasa pusing. Demikian pusingnya sampai-sampai
tak menemukan kata- kata yang tepat untuk mengungkapkan
perasaanku. Kuhembuskan nafas berat.
"Kau tahu Katie," ujar Ibu saat kami berdua telah berada di
dapur, "baru kemarin Ibu tahu bahwa anak Jean Paul juga tergabung
dalam tim hoki bersamamu. Padahal jika Ibu tahu sejak awal, semua
akan berjalan lebih lancar. Kau dan Michel adalah teman baik kan?"Lebih lancar? Lebih lancar untuk apa? Apakah Ibu bermaksud
menikah dengan Pak Beauvais?
"Ah...syukurlah, ayam panggangnya telah siap!" seru Ibu
sambil mematikan oven, "Dapatkah kau bantu Ibu mengupas kentang
rebus?"
Sepuluh menit kemudian, kami berlima duduk mengelilingi
meja makan. Aku duduk di sebelah Emily dan Michel di seberangku.
Ibu duduk di kursinya seperti biasa, sedangkan Pak Beauvais
menempati kursi yang biasa diduduki Ayah.
Pak Beauvais memotongkan daging dan membagikannya pada
kami semua. Acara makan malam berjalan dengan tenang dan hening.
"Toast!" seru Pak Beauvais sambil mengangkat gelasnya agak
tinggi, "Untuk wanita-wanita keluarga Campbell. Terima kasih atas
sambutannya yang ramah pada kami."
Kami semua meneguk minuman masing-masing. Kemudian
melanjutkan acara makan malam. Untunglah Ibu dan Pak Beauvais
asyik ngobrol berdua, soalnya aku, Emily dan Michel sama sekali tak
mengeluarkan sepatah kata pun.
Aku hanya berharap agar malam ini segera berakhir. Daguku
terasa nyeri, tulang pipiku yang memar pun ngilu, dan bibirku yang
pecah terasa perih. Belum lagi otot-ototku yang masih menegang.
Akhirnya selesailah kami menikmati hidangan penutup. Pak
Beauvais pamit dengan alasan besok Michel harus masuk sekolah.
Dan sebelum kusadari, mereka berdua sudah pulang. Aku bahkan
lupa, apakah sempat mengucapkan selamat malam pada mereka
berdua.Aku segera meringkuk di kamarku dan mengganti pakaian. Aku
merasa jenuh dan lelah. Mengangkat kepala pun rasanya tak sanggup
lagi.
"Katie?" panggil Emily sambil mengetuk pintu kamarku,
"Boleh aku masuk?"
Aku berbaring dan menganggukkan kepala sedikit sebelum
akhirnya kusadari Emily tidak dapat melihatku. Untunglah Emily cuek
dan tetap masuk sebelum mendengar jawabanku.
"Aku tahu kau sudah ingin tidur, tapi ada yang perlu
kubicarakan denganmu," ujarnya ragu-ragu. Emily menghampiriku
dan duduk di ujung tempat tidur, di dekat kakiku. "Kenapa kau tidak
menceritakan tentang Michel padaku?"
"Aku nggak tahu bahwa Michel adalah anak Pak Beauvais,"
sahutku berusaha menahan kantuk.
"Oh," cuma itu komentar Emily. Sesaat ia terdiam.
Ketika ia mulai bicara lagi, aku sudah setengah tidur. "Kau
menyukainya?"
Dengan sedikit grogi, kupikirkan hal itu beberapa detik. Ya,
kurasa aku agak menyukai mereka. Dan secara jujur harus kuakui
bahwa aku menyukai Pak Beauvais. Ia ramah dan suka berkelakar,
seperti Michel. Kutatap Emily sambil mengangguk.
"Aku juga," Emily setuju, "jadi apa yang harus kita lakukan
sekarang?"
"Apa maksudmu?" aku balik bertanya.
"Yah...meskipun kita menyukainya kan nggak berarti kita setuju
Ibu berkencan dengannya?" ujar Emily sambil menggerak-gerakkankepalanya hingga rambut pirangnya yang panjang ikut bergoyang-
goyang. Hal itu terjadi tiap kali ia merasa panik.
"Oh," gumamku.
"Maksudku, Pak Beauvais adalah laki-laki pertama yang
berkencan dengan Ibu sejak Ayah...," Emily membiarkan kalimatnya
tergantung, "apakah menurutmu tidak terlalu cepat?"
"Yah..." sahutku sambil menarik selimut lebih tinggi. Tapi
menurutku Ibu kelihatan amat ceria malam ini. Apalagi saat
memotong kue keju, tampak wajah Ibu berbinar-binar. Dan sepanjang
malam Ibu terus menebar senyumnya. Sejak Ayah meninggal, jarang
kudengar tawa Ibu. Aku benar-benar pusing. Di satu pihak, aku ingin
Ibu bahagia apa pun yang terjadi. Namun di lain pihak, aku
menganggap Ibu mengkhianati Ayah dengan berkencan bersama laki-
laki lain. Kuhela nafas panjang sambil membalikkan tubuh.
"Kelihatannya kau sudah benar-benar ngantuk, Katie," Emily
berdiri, "selamat malam, tidur yang nyenyak ya!"
"Selamat malam," sahutku. Samar-samar kudengar Emily
menutup pintu kamarku. Aku benar-benar lelah, tapi bayangan Ibu
dan Jean Paul tak dapat kusingkirkan dari benakku. Biasanya Ibu
bersikap tegas pada kami. Dan aku tahu, beliau melakukan itu karena
menyayangi kami. Dan kulihat, Ibu sendiri belum menentukan sikap
terhadap Jean Paul. Lucu juga ya. Seolah-olah Ibu meminta
persetujuan lebih dulu dari kami, anak-anaknya, padahal biasanya
kamilah yang meminta persetujuan Ibu sebelum melakukan sesuatu.
Tapi sebelum tidur, akhirnya aku telah memutuskan untuk tidak ikut
campur. Apa pun yang terjadi antara Ibu dan Jean Paul, sebaiknya akudan Emily tidak perlu ikut campur. Kita lihat saja apa yang akan
terjadi nanti. Betul nggak?BAGIAN SEMBILAN
"Lho Katie?" seru Sabs terkejut saat melihatku berdiri di depan
loker, "Kok kamu masuk sekolah? Kukira kau masih harus istirahat di
rumah?"
Kuambil buku matematikaku dan menatapnya. "Selamat pagi
Sabs," sahutku berusaha berbicara tanpa menggerakkan otot-otot
wajahku terlalu banyak. Sebetulnya, nyeri yang kurasakan hari ini
lebih gawat dari kemarin. "Aku bosan berbaring terus di rumah.
Menurut Ibu sebaiknya aku nggak masuk sekolah hari ini, tapi aku
benar-benar bosan," pernyataanku itu sebetulnya hanya separuh jujur.
Sebetulnya aku tak ingin tinggal di rumah karena sendirian di rumah
akan membuatku kembali memikirkan soal Ibu, Michel dan Jean Paul.
"Lagipula," ujarku lagi, "aku sudah merasa baikan kok."
"Kelihatannya malah tambah parah tuh," ujar Sabrina yang
lantas menutup mulutnya dengan tangan.
Aku tersenyum geli. "Aku tahu, kau benar. Memar di wajahku
semakin hitam, kan?" lanjutku sebelum Sabs meminta maaf atas
spontanitasnya barusan. "Tapi itu artinya hampir sembuh. Juga rasa
perih di bibirku agak berkurang."
"Ya, bibirmu kelihatan membaik," ujar Sabs mencoba
memperbaiki kesalahan kata-katanya sebelumnya.Tiba-tiba Randy berlari menghampiri Sabs, "Hai Sabs,"
serunya, "denger nih, aku...."
Sabs hanya diam saja. Ia hanya menggerak-gerakkan wajahnya
dengan aneh. Gerakan misterius yang belakangan ini sering
dilakukannya. Membuka matanya lebar-lebar, mengangkat alis tinggi-
tinggi. Sehingga Randy menghentikan kalimatnya.
"Lihat siapa ini...," tukas Sabs memotong dengan segera, "Katie
masuk sekolah hari ini!"
Randy menatapku dengan terkejut. Beberapa kali ia membuka
dan menutup mulutnya tanpa mengeluarkan kata-kata. Apa yang
tengah terjadi? Rasanya mereka sudah keterlaluan, membuatku
bingung dengan tingkah yang aneh-aneh.
"Katie!" seru Randy akhirnya dengan nada suara aneh,
"Ngapain kamu sekolah hari ini?"
"Aku merasa agak baikan," sahutku singkat, "dan ingin masuk
sekolah. Apa ada yang salah?" tanyaku. Sebenarnya yang ingin
kutanyakan adalah tentang rahasia-rahasia di antara mereka bertiga
belakangan ini. Rahasia yang tak kuketahui.
Kututup pintu loker dengan agak keras, aku lupa bahwa Sabs
juga masih harus mengambil barang-barangnya dari dalam loker.
"Sampai ketemu nanti," lanjutku sambil memutar tubuh dan
meninggalkan Sabs dan Randy berdua, menyusuri koridor. Bukan
maksudku ingin mencampuri urusan mereka, tapi apa salahnya
mereka menceritakan rahasia itu padaku? Aku tak suka main rahasia-
rahasiaan. Aku jadi terkenang saat aku berteman dengan Stacy dan
badut-badutnya tahun lalu. Mereka masing-masing saling menyimpan
rahasia. Jika kita merahasiakan sesuatu terhadap seseorang, orang itupasti merasa tidak nyaman berada di dekat kita, dan saat itu, kadang-
kadang aku merasa tak tahu apa-apa dan akhirnya memutuskan untuk
keluar dari kelompok Stacy. Jadi aku tahu persis bagaimana rasanya
jadi orang dungu yang tak tahu apa-apa. Aku maklum kalau orang
macam Stacy bersikap begitu, tapi sahabat-sahabatku? Sabs, Randy
dan Allison? Apalagi saat ini aku benar-benar sedang kalut.
Kecelakaan itu membuat sekujur tubuhku sakit. Belum lagi soal
kencan Ibu dengan Jean Paul.
"Wah wah...kenapa sih dia?" kudengar Randy bertanya heran
pada Sabrina saat melihatku melangkah secepat kilat meninggalkan
mereka. Entah bagaimana caranya kuhadapi hari ini. Aku merasa
salah tingkah sekaligus marah. Pertama, aku merasa tak seorang pun
mengharapkan kehadiranku di sekolah hari ini. Meskipun Allison,
Randy dan Sabs berusaha bersikap ramah padaku, aku tetap merasa
ada sesuatu yang mereka rahasiakan dariku. Saat makan siang, mereka
langsung menghentikan percakapan yang seru begitu melihatku
datang bergabung. Semua itu membuatku makin galau. Sepanjang hari
tak lebih dari dua kata yang kuucapkan. Ya atau tidak. Itu saja.
Akhirnya, tibalah saatnya latihan hoki. Sebetulnya, kami hanya
mengadakan pertemuan saja. Pak Budd memberi libur satu hari karena
kami baru saja bertanding habis-habisan melawan Mineapolis
Mongols.


Girl Talk 11 Salah Kaprah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"KC!" lambai Flip begitu melihatku masuk ke gelanggang. Aku
terlambat beberapa menit sebab harus menemani Sabs ke loker seusai
sekolah tadi. Aku tak ingin merasa disisihkan. "Duduklah di sini!"
panggilnya seraya menunjuk tempat kosong di sampingnya.Kuhampiri Flip dan duduk di sebelahnya. "Gimana khabarmu?"
tanya Brian yang duduk di sebelah Flip. "Di detik-detik terakhir
kemarin, kami semua merasa kehilangan."
"Aku baik-baik saja sekarang," sahutku sambil mencoba
menghindari tatapan Michel yang duduk di sebelah Brian. Michel
berusaha menatapku dan tersenyum ke arahku. Aku hanya melengos,
"Sayang sekali aku tak menyaksikan kemenangan kalian," lanjutku
tanpa mengacuhkan Michel, "kudengar pertandingan berlangsung
amat seru!"
"Memang!" tukas Flip, "Permainan Michel luar biasa hebat!"
"Ya!" Brian menyetujui ucapan Flip, "Dan kau tak sempat
melihat si manusia es, Scottie Silver, bermain gila-gilaan kemarin!"
Ah. Aku hampir saja melupakan soal Scottie. Terlalu banyak
yang mengusik pikiranku. Kulihat Scottie sedang menatap lurus ke
arah hamparan es di depan kami.
"Berapa jahitan yang kau dapat?" tanya Flip sambil membuka
retsliting jaketnya.
"Delapan," sahutku, tepat pada saat Pak Budd melintasi
lapangan ke arah kami. Seperti biasa, aku senang melihat Pak Budd
melangkah di atas es. Perutnya yang gendut membuatnya seperti
sebuah bola yang menggelinding. Kadang-kadang ia kehilangan
keseimbangan dan hampir terpeleset. Tapi kali ini aku tak begitu
bersemangat untuk tertawa.
"Baiklah anak-anak!" serunya setelah berdiri di hadapan kami,
"Saya ingin memberi selamat sekali lagi atas kemenangan kalian."
Seluruh anggota tim bersorak sorai. Begitu sorak-sorai mereda,
Pak Budd kelihatan sudah siap dengan kalimat selanjutnya."Tapi ada beberapa hal yang menurut saya tak perlu terjadi di
pertandingan berikutnya," lanjut Pak Budd seraya menatap ke arah
Scottie, "salah satunya adalah kamu, Scottie Silver. Apa yang ada di
benakmu saat kau melakukan permainan gila-gilaan kemarin?"
Scottie diam saja. Ia terus menatap ke arah hamparan es di
hadapannya dengan hampa.
"Scottie?" desak Pak Budd dengan tak sabar, "Kau lagi
melamun atau ngapain sih? Scottie?"
Scottie tetap diam.
"Excusez moi, permisi," tukas Michel menyela perkataan Pak
Budd, "menurut saya, saat itu kami semua merasa jengkel atas
kejadian yang menimpa KC."
"Oh ya, Campbell," seru Pak Budd sambil menoleh ke arahku.
"Bagaimana khabarmu? Sekarang kau benar-benar menjadi seorang
pemain hoki sejati. Berapa jahitan di dagumu?"
"Delapan," sahutku perlahan dengan perasaan agak bangga.
Pak Budd menganggukkan kepala sambil tersenyum kecil.
"Nah...," beliau beralih lagi pada Scottie, "apakah sikapmu itu
ada hubungannya dengan Campbell?"
Tapi nyatanya Scottie lebih sibuk menatap Michel daripada
memperhatikan pertanyaan Pak Budd. Tatapan Scottie begitu tajam
seolah-olah ia ingin membunuh Michel. Kebencian tersirat di sana.
"Sama sekali nggak ada hubungannya dengan KC," sahut
Scottie sambil mengatupkan rahang sampai giginya gemeretuk.
"Apa pun alasannya," lanjut Pak Budd kehabisan akal untuk
memancing jawaban Scottie, "jangan biarkan hal itu terjadi lagi! Kitatidak boleh membuat suasana pertandingan menjadi panas dan keras.
Kalau saja tidak ada Beauvais...."
Scottie melirik tajam ke arah Michel lagi sambil menyeringai
sinis, "Ya...."
"Wah..wah...," bisik Flip padaku, "lihat, apa yang terjadi pada
si manusia es itu? Seharusnya ia bersyukur Michel bergabung dalam
tim kita."
Aku mengangguk setuju. Sementara Pak Budd membicarakan
soal pertandingan yang akan datang, aku asyik melamun sendiri. Aku
ingin segera pulang dan tidur. Meskipun kukatakan pada semua orang,
keadaanku mulai membaik. Sebetulnya sih enggak juga. Sekujur
tubuh dan wajahku kadang masih terasa nyeri bila digerakkan.
Lagipula aku merasa semua orang bertingkah aneh hari ini. Scottie,
teman-temanku, Michel, semuanya....BAGIAN SEPULUH
Michel menilpon Sabrina.
MICHEL : Bonjour. Hallo. Bisa bicara dengan Sabrina?
SAM : Sebentar. Hei, ini Michel ya?
MICHEL:Oui. Benar.
SAM : Tembakanmu hari Sabtu kemarin bagus sekali! Kau
bermain seperti pemain terkenal Gretzky.
MICHEL : Merci. Thanks. Bukan cuma aku yang hebat, tapi
Bradley memang punya tim yang tangguh. KC dan Scottie juga
bermain bagus.
SAM : Ya, aku tahu. Tapi kau luar biasa sekali! Oh ya, akan
kupanggilkan Blabs, eh...maksudku Sabs.
MICHEL: Merci.
SABS: Michel?
MICHEL : Sabrina? Hallo?
SABS: Ada apa?Tumben menilponku. Eh...maksudku...hallo
juga....
MICHEL : Hallo Sabrina. Apa khabar?
SABS : Baik. Ada yang bisa kubantu?MICHEL : Aku ingin...mh...maksudku kau dan KC adalah
sahabat karib bukan?
SABS : Betul.
MICHEL : Kalau begitu mungkin kau tahu apa yang
mengganggu pikirannya belakangan ini. Sejak hari Senin ia bersikap
aneh dan....
SABS : Aku benar-benar nggak tahu soal itu. Kurasa kalau kau
benar-benar memperhatikan dan menyukai Katie, kau harus
menanyakannya sendiri.
MICHEL : Aku menyukai KC?
SABS : Aku maklum Michel. Menurutku Katie punya
kepribadian yang baik dan menarik. Lagipula ia sahabatku. Ia juga
pemain hoki yang baik.
MICEHL : Aku sama sekali tidak menyukai KC.
Eh...maksudku, aku senang berteman dengan KC tapi tidak seperti
yang kau duga.
SABS : Betul? Kau tidak....
MICHEL : (Tertawa kecil) Sungguh....
SABS : Untunglah. Ups...maksudku...uh....
MICHEL : Aku tahu maksudmu. Ngomong-ngomong soal KC,
sejak Minggu malam ia sama sekali tidak menegurku.
SABS : Apa yang terjadi Minggu malam itu?
MICHEL : Aku dan Ayahku makan malam di rumahnya.
SABS : Kau dan Ayahmu makan malam di rumahnya?
MICHEL : Ya. Ayahku akhir-akhir ini sering bertemu dengan
Ibunya.SABS : APA? Aku nggak percaya! Masa Katie nggak pernah
menceritakan hal ini padaku? Apakah itu sebabnya ia tak mau lagi
bicara denganmu?
MICHEL : Mungkin, Tapi aku tak mengerti. Kukira ia senang.
Sebab Ayahku benar-benar menyukai Bu Campbell. Kebetulan aku
dan KC sudah saling mengenal, kan semua harusnya berjalan lebih
lancar. Sebelumnya, aku selalu jengkel tiap kali Ayahku kencan
dengan wanita yang sudah punya anak. Soalnya aku tak suka
berteman. Tapi aku menyukai KC dan teman-temannya. Kalau ia
mengatakan sesuatu padamu, maukah kau menceritakannya padaku?
SABS : Tentu saja. Tak ada masalah, kok! Aku masih belum
percaya kalau Ayahmu berkencan dengan Bu Campbell!
MICHEL : Ngomong-ngomong, apakah kau akan menyaksikan
pertandingan yang akan datang? Kuharap kau bisa datang.
SABS : Kau mengharapkan kedatanganku? Tentu saja aku tak
akan melewatkannya.
MICHEL : Bon. Baguslah. Udah dulu ya. Sampai ketemu di
sekolah besok. Oke?
SABS : Oke.
MICHEL : Merci. Thanks untuk semuanya, Sabrina.
SABS : Ah, itu bukan apa-apa.
MICHEL : Au revoir. Selamat malam.
SABS : Air river...eh...maksudku selamat malam juga....
Sabs menilpon Allison.
SABS : Al, ini Sabs, lagi ngapain?ALLISON : Oh, hai Sabs. Kamu sendiri lagi ngapain?
SABS : Baik baik saja. Denger deh, aku mau tanya, kira-kira
kamu tahu nggak kenapa Katie belakangan ini kelihatan pusing?
Barusan Michel menilponku, menurut dia sudah dua hari Katie tak
bicara dengannya.
ALLISON : O ya? Dan Michel tak tahu sebabnya?
SABS : Kata Michel, Ayahnya berkencan dengan Ibu Katie,
dan Ayahnya amat menyukai Ibu Katie. Barangkali mereka akan
menikah ya? Tapi aku pun merasakan, ada yang mengganggu pikiran
Katie belakangan ini. Kok dia nggak menceritakannya pada kita ya?
Kita kan bersahabat. Perasaanku jadi nggak enak Al!
ALLISON : Barangkali Katie juga merasa nggak enak. Aku
yakin, sebetulnya Katie ingin menceritakannya pada kita, tapi ia tak
tahu caranya. Mungkin sulit bagi Katie untuk menceritakan kencan
Ibunya. Sejak Ayahnya meninggal ?kan Ibunya belum pernah kencan
dengan orang lain.
SABS : Kau benar, tapi, kok Katie sama sekali nggak cerita
apa-apa padaku?
ALLISON : Kau kan tahu sendiri. Katie lebih suka
menyelesaikan masalahnya sendiri, sebelum membicarakannya
dengan orang lain. Tenang aja Sabs, kalau udah siap pasti ia akan
menceritakan semuanya.
SABS : Begitukah menurutmu?
ALLISON : Ya. Pasti. Apalagi yang dikatakan Michel?
SABS : Maksudmu?
ALLISON : Apa dia bilang kalau ia menyukaimu?SABS: ALLISON!
ALLISON : Dia bilang nggak?
SABS: Dia cuma bilang menyukai teman-teman Katie.
ALLISON : Tuh, bener kan.
(Sabs tertawa kecil)
SABS: Kok kamu bisa menebaknya sih?
ALLISON : Nggak tahu ya. Kayaknya aku bisa membaca
perasaan orang deh. O ya, apakah kau akan menilpon Katie?
SABS: Rasanya iya.
ALLISON : Menurutku memang kau perlu menilponnya. Kalau
ada apa-apa cerita ya?
SABS: Oke. Sampai ketemu di sekolah besok.
ALLISON : Selamat malam, Sabrina.
SABS: Daaahhh.
Allison menilpon Randy
RANDY : Yo!
ALLISON : Hai Randy, ini aku, Allison.
RANDY : Al, ada apa?
ALLISON : Barusan Sabrina menilponku. Ia mengkhawatirkan
Katie.
RANDY : Kenapa?
ALLISON : Katanya, Michel bilang Ayahnya berkencan
dengan Ibu Katie.
RANDY : Waaah!ALLISON : Iya. Bener deh. Dan sejak itu Katie nggak mau
bicara lagi sama Michel. Sabs sedih sebab Katie tidak menceritakan
hal itu padanya.
RANDY : Yah, Sabs dan Katie kan kawan karib. Aku mengerti
kalau Sabs merasa sedih. Tapi aku pun akan melakukan hal yang sama
seperti Katie jika Ibuku juga berkencan dengan laki-laki yang bukan
Ayahku. Apalagi, aku sudah mengalami sendiri, betapa nggak
enaknya melihat Ayah kencan dengan wanita lain.
ALLISON : Aku mengerti sekarang. Katie mungkin kurang
setuju atas kencan Ibunya. Mungkin karena itu ia menjadi lebih
pendiam belakangan ini. Menurut Sabs, Ayah Michel cukup serius
menyukai Bu Campbell. Bahkan menurut Sabs mereka akan segera
menikah.
RANDY : Menikah? Apa nggak terlalu cepat?
ALLISON : Kau tahu sendiri kan, Sabrina....
RANDY : Jadi, sekarang Sabs sedang berusaha menghubungi
Katie?
ALLISON : Ya. Dan ia berjanji menceritakan apa yang terjadi
besok di sekolah. Dan...o ya, dugaanku.tentang Sabs dan Michel tidak
meleset.
RANDY : Seperti biasanya, kau selalu tepat. Kurasa setelah
hari Sabtu Katie akan merasa jauh lebih baik.
ALLISON : Kau benar.
RANDY :Tak ada yang lebih menggembirakan daripada sebuah
kejutan! Ngomong-ngomong aku harus pergi nih. Ibu sedang
menyelesaikan lukisan potret berseri untuk pameran yang akan
datang. Tebak, siapa yangjadi model lukisannya?ALLISON : Wah, kalau begitu semoga sukses dan sampai
ketemu besok. Selamat malam Randy.
RANDY: Ciao....
Sabs menilpon Katie
SABS:Hai, bisa bicara dengan Katie?
KATIE: Hai Sabs.
SABS : Katie? Ada apa? Gimana khabarmu sekarang? Apakah
tubuhmu masih sakit bila digerakkan?
KATIE : Yah...sedikit. Tapi keadaanku mulai membaik kok.
SABS : Yah. Aku cuma ingin tahu keadaanmu saja. Pulang
sekolah tadi aku menunggumu di loker. Tapi kurasa kau sudah
meninggalkanku duluan.
KATIE : Ya. Aku harus segera menghadiri pertemuan tim hoki.
Sesudah itu, aku merasa amat lelah dan segera pulang ke rumah.
SABS : Yah. Aku ingin kau tahu, jika ada yang ingin kau
katakan padaku, kau bisa menghubungiku. Siang atau malam nggak
ada masalah. Kita kan sahabat yang amat dekat. Dan kau harus tahu
bahwa aku selalu siap membantumu. Nah, kalau ada apa-apa
ngomong dong Katie. Ada apa sih? Apa khabar Ibu dan kakakmu
Emily?
KATIE : Semua baik-baik saja kok Sabs.
SABS : Oh. Oya, tadi Michel menilponku dan tahu nggak,
ternyata dia menyukaiku! Kau benar! Aku senang sekali. Selain keren,
aksen Perancisnya juga menggemaskan sekali. Suaranya kedengaran
seperti...seperti orang Perancis. Romantis sekali. Katanya ia menyukai
teman-temanmu. Dan menurut Al, yang dimaksudnya adalah aku.Rasanya aku nggak percaya deh. Kamu percaya nggak sih? Katie?
Apa kamu masih mendengarkan?
KATIE : Ya, ya...aku dengar. Mengasyikkan sekali ya? Benar
kan apa kataku? O ya Sabs, aku masih harus mengerjakan beberapa
tugas pekerjaan rumah. Ngobrolnya kita terusin besok saja ya?
SABS : Uh...ya...kalau begitu. Katie, kau baik-baik saja kan?
Ingat ya, kalau ada yang ingin kau katakan, aku siap mendengarnya.
Kapan saja!
KATIE : Akan kuingat-ingat. Dan Sabs, kau tak usah terlalu
mencemaskan hal itu. Oke? Aku baik-baik saja kok!
SABS: Ya. Tapi kau mengerti kan maksudku? Aku siap
mendengar apa pun yang ingin kau sampaikan.
KATIE : Thanks Sabs. Tapi sekarang aku betul-betul harus
mengerjakan pekerjaan rumahku sebelum tidur. Sampai ketemu
besok. Oke?
SABS: Oke.Daahh....BAGIAN SEBELAS
Aku tak percaya. Ibu melupakan hari ulang tahunku!


Girl Talk 11 Salah Kaprah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Yah...sebetulnya sih beliau nggak benar-benar melupakannya, soalnya
beberapa hari sebelum hari jadiku, Ibu sudah membelikan hadiah
ulang tahun. Itu lho, sepasang sepatu skating baru. Dan ketika aku
turun untuk sarapan, Ibu juga mengucapkan selamat ulang tahun. Tapi
masa cuma segitu aja sih? Biasanya kami membuat rencana-rencana.
Misalnya, aku harus langsung pulang dari sekolah karena Ibu akan
mengundang kakek dan nenek merayakan pesta ulang tahunku di
rumah. Tapi hari ini, Ibu cuma mengucapkan: Selamat Ulang Tahun.
Titik. Itu saja. Apa yang tengah terjadi pada semua orang belakangan
ini? Bagaimanapun, aku tidak betah tinggal di rumah lebih lama lagi
dengan suasana dan perasaan seperti itu. Maka kulangkahkan kaki ke
Taman Elm. Rasanya dadaku sedikit lega setelah menghirup udara
luar yang bersih dan segar dengan sedikit latihan. Dan anehnya, hari
Sabtu ini lapangan es sama sekali sepi. Biasanya lumayan banyak
orang yang datang untuk main seluncur es di hari libur. Untunglah,
akhirnya akhir minggu tiba juga. Sepanjang minggu ini aku telah lelah
menghadapi kejadian-kejadian yang aneh-aneh.Setidaknya, tak kulihat Michel di Taman Elm pagi ini. Rasanya
aku enggan bertemu dengannya dalam keadaan macam ini. Sepanjang
minggu ia berusaha mengajakku berbicara. Dan aku selalu
menghindarinya. Aku yakin ia merasakan hal yang sama seperti yang
kurasakan saat mencoba menjalin percakapan dengan Scottie hari
Rabu, seusai latihan hoki kemarin. Scottie mengelak, dengan alasan
harus segera mengerjakan sesuatu. Entah kenapa Scottie begitu
memusuhiku belakangan ini.
Aku pun mulai meluncur di atas hamparan es, mencoba
mengenyahkan segala pikiran yang ada di benakku. Sekitar jam dua
belas siang, tiba-tiba Allison datang ke Taman Elm.
"Katie!" panggilnya dari tepi.
Kuhentikan luncuranku dan menatapnya dengan rasa terkejut.
"Kata Ibumu, mungkin aku bisa menemuimu di sini," lanjut
Allison begitu aku menepi mendekatinya.
Setelah tiba di pinggir lapangan, aku pun ikut duduk di
sampingnya.
"Ada apa Al?" tanyaku dengan suara lembut. Kebetulan kakiku
mulai pegal. Maka aku pun melepaskan tali sepatu skating-ku.
"Aku khawatir terhadapmu Katie," ujar Al sambil menatapku
dengan tajam. Seolah tatapannya mampu menembus ke dalam hatiku.
"Nggak perlu khawatir," sahutku cepat.
"Ayolah Katie," lanjut Allison seraya membetulkan letak topi
rajutan hijau yang menutupi rambut hitam lebatnya. "Kami kan
teman-temanmu. Michel sudah menceritakan kejadian hari Minggu
malam di rumahmu.""Ia menceritakannya padamu?" pekikku tertahan dengan rasa
marah, "Dia nggak berhak untuk menyebarluaskan cerita itu!"
"Dia juga khawatir terhadapmu," sahut Allison perlahan dan
sabar, "dia kan juga kawanmu."
Aku diam saja sambil menatap tajam ke arah hamparan es.
"Aku mengerti, kau tidak suka Ibumu berkencan dengan Ayah
Michel, Katie," lanjut Allison. "Aku dapat membayangkan gimana
perasaanmu."
"Kau tidak bisa!" seruku membantah. Tak seorang pun dapat
mengerti apa yang kurasakan.
"Setidaknya Randy bisa," Al melanjutkan nasehatnya, "katanya
ia merasa terancam."
Kutengadahkan kepalaku dengan agak terkejut. Allison benar!
Randy pasti mengerti perasaanku. Barangkali Al dan Sabs juga dapat
memakluminya. Sebab mereka semua tahu, bagaimana aku amat
merasa kehilangan dan selalu merindukan almarhum Ayah.
"Bolehkah aku bertanya padamu Katie," lanjut Allison lagi,
"jangan marah ya, aku cuma ingin tahu, apakah Ayahmu tidak
mengijinkan Ibumu melakukan apa saja yang dapat membuat Ibumu
merasa bahagia?"
Aku benar-benar tak menduga Al akan menanyakan pertanyaan
macam itu.
"Tentu saja Ayah ingin Ibu bahagia!" seruku, "Demikian pula
aku. Tapi rasanya masih terlalu pagi bagi Ibu untuk berkencan dengan
orang lain begitu seriusnya.""Sudah tiga tahun Katie," sahut Allison seraya merangkulku,
"berapa lama lagi Ibumu harus menunggu jika tiga tahun bagimu
masih terlalu cepat?" TEENLITLAWAS.BLOGSPOT.COM
Al kemudian berdiri dan melangkah menyeberangi lapangan es.
Kuperhatikan, bagaimana Al dapat menjaga keseimbangan badannya
melangkah di atas lapangan es yang licin itu. Bahkan Pak Budd,
pelatih hoki kami, kadang-kadang terpeleset sedikit. Allison memang
pandai menasehati orang. Seperti aku misalnya, sekarang tengah
merenungi ucapannya. Tanpa perlu kuucapkan, ia segera mengerti
bahwa aku butuh waktu untuk merenung sendirian. Itu sebabnya ia
pergi meninggalkanku sendirian di Taman Elm ini.
Setelah membuka sepatu skating, kukenakan kembali sepatu
butku. Harus kuakui, semua ucapan Alllison memang benar. Tentu
saja Ayah menginginkan Ibu bahagia. Apa pun yang dilakukan Ibu,
selama itu membuat beliau bahagia, Ayah tentu merestuinya. Dan tiga
tahun sungguh merupakan waktu yang cukup lama. Meskipun Ibu
mulai berkencan dengan laki-laki lain, belum tentu Ibu melupakan
Ayah. Dan sekalipun kelak Ibu dan Pak Beauvais menikah, aku yakin
Ibu tak akan pernah melupakan Ayah.
"Kau baik-baik saja Katie?" tanya Allison memecahkan
lamunanku. Tiba-tiba saja ia sudah berada di sampingku lagi,
"Apakah kau sudah siap untuk pulang ke rumah?"
Kuanggukkan kepala perlahan. Berbicara dengan Allison,
membuat perasaanku terhadap Ibu dan Pak Beauvais menjadi sedikit
lebih enak. Tapi tetap saja masih ada persoalan yang mengganjal
hatiku. Soal rahasia sahabat-sahabatku yang hingga kini masih belum
kuketahui. Tapi aku tak ingin menanyakan hal itu pada Al sekarang.Rasanya tak mungkin mereka akan membuka rahasia itu apa pun yang
kulakukan. Dan aku sendiri enggan memohon-mohon agar mereka
menceritakan rahasia itu.
Sepanjang perjalanan pulang, kusadari bahwa Allison pun
melupakan hari ulang tahunku! Rasanya aku benar-benar tak percaya.
Atau mungkin mereka begitu mengkhawatirkan keadaan emosiku dan
kecelakaan yang menimpaku dalam pertandingan kemarin, sehingga
melupakan sama sekali soal ulang tahunku? Bagaimanapun aku
merasa sedikit kecewa. Usiaku kini tiga belas tahun. Dan aku
memasuki dunia remaja tanpa seorang pun memperhatikan.
Ketika tiba di rumah, kulihat mobil Ibu tak ada di garasi.
Dengan jengkel, kubuka pintu depan dan melangkah masuk perlahan
diikuti Allison..
"KEJUTAN!!!" terdengar teriakan riuh rendah menyambutku
bersamaan.
Dengan bengong, aku mundur selangkah lantaran kaget. Ruang
tamuku kelihatan dipenuhi oleh lebih dari seratus orang! Begitu sesak
dan ramai!
"Selamat Ulang Tahun sayang," Ibu menghampiri dan
memelukku erat-erat.
Aku tak percaya. Sampai-sampai rasanya ingin menangis. Aku
begitu senang dan terharu. Ternyata mereka sama sekali tidak
melupakan hari ulang tahunku!
"Terima kasih Bu," sahutku sambil mengedipkan mata,
mencoba menahan air mata yang akan menitik.
"Ini adalah gagasan teman-temanmu," ujar Ibu seraya
tersenyum.Sabs, Allison dan Randy berdiri berjejer sambil menyeringai
kuda.
"Jadi ini yang kalian rahasiakan selama ini!" seruku menyadari
rahasia yang mereka tutup-tutupi dariku. Mereka tak bermaksud
mengucilkanku, malahan sebaliknya, mereka merencanakan kejutan
besar untuk membuatku gembira! "Kalian benar-benar sahabatku yang
terbaik!"
"Kau terkejut beneran kan?" tanya Sabs. "Tadinya aku khawatir
kalau-kalau aku tak sengaja membocorkan rahasia dan rencana ini."
"Aku benar-benar terkejut!" sahutku jujur, kemudian
mengalihkan perhatian pada orang-orang yang memenuhi ruang tamu.
Semua menghadiri ulang tahunku, anggota tim hoki, termasuk Pak
Budd sang pelatih!
Begitu aku melangkah memasuki ruang tamu, Flip
menyerahkan sebuah kado padaku. Segera kusobek kertas kado yang
membungkusnya dan kuintip apa isinya. Ternyata sebuah jaket
seragam hoki sekolah kami. Jaket berwarna hitam oranye dengan
initial KC di bagian depannya. Aku tak tahan lagi, air mata haru pun
lantas menetes di pipiku.
"Terima kasih teman-teman," ujarku, "hadiah yang luar biasa
sekali. Kalian pun luar biasa sekali!" Lalu kupeluk mereka satu
persatu, termasuk Pak Budd.
Kukenakan jaketku untuk segera kupamerkan pada semua tamu
yang hadir.
"KC, ke sini dong!" panggil Michel tiba-tiba. "Ada hadiah
dariku dan Ayahku nih," serunya sambil menghampiriku.Ia menyerahkan sebuah bingkisan berbentuk panjang dan pipih.
Aku sudah bisa menebak apa isinya; tongkat hoki baru!
"Mudah-mudahan tongkat baru ini memberi keberuntungan
pada pertandingan hoki kalian berikutnya," tambah Pak Beauvais
yang berdiri di samping Ibu.
Setelah tertegun sejenak, kurangkul Pak Beauvais sambil
mendaratkan kecupan di pipinya. "Terima kasih Pak Beauvais,"
ucapku sambil melirik ke arah Ibu yang kelihatan berseri-seri
menyaksikannya. Pak Beauvais merangkul Ibuku. Lalu aku pun
mengecup Michel tanda terima kasih. "Thanks Michel. Maafkan
kelakuanku yang menjengkelkan minggu ini ya?"
"Ne rien. Nggak apa-apa kok KC," sahut Michel tersipu-sipu,
"eh, aku mau ambil minuman dulu. Kamu mau nggak Sabrina?"
Ternyata Sabs berdiri di dekat Michel. Kulemparkan senyum lebar ke
arahnya.
Sabs mengangguk menerima tawaran Michel. Michel pun
beranjak ke dapur.
"Betul kan, dia menyukaimu," aku menggoda Sabrina. Sabs
cekikikan genit.
"Lihat Katie," ujar Allison tiba-tiba, "Scottie sedang
menghampirimu. Kurasa ia mau bicara empat mata denganmu,"
bisiknya.
Scottie? Scottie Silver juga menghadiri pesta ulang tahunku?
"Kukira ia memusuhiku," gumamku terkejut.
"Dugaan yang bertolak belakang Katie," gumam Allison seraya
mengajak Sabs untuk meninggalkanku dan beranjak ke dapur
mengikuti Michel."Selamat Ulang Tahun, Katie," ujar Scottie yang telah berada di
hadapanku.
"Thanks Scottie," sahutku masih dengan rasa takjub. Scottie
Silver yang belakangan ini bersikap memusuhiku dan sama sekali tak
mau bicara denganku kini mengucapkan selamat ulang tahun padaku?
"Katie, sebenarnya...uh...aku...," ia tergagap. Lantas ia
mengajakku pindah ke sebuah sudut yang tak terlalu ramai.
"Katie...," Scottie mendeham dan memulai kalimatnya dari awal
lagi.
"Ya...," aku menunggu.
"Aku ingin minta maaf," gumamnya seraya menundukkan
kepala, "aku tahu, sikapku belakangan ini menyebalkan sekali.
Soalnya, kukira kau menyukai Miche. Tapi kemudian Sabs
menceritakan segalanya. Katanya sepatu skating baru itu bukan dari
Michel melainkan dari ibumu. Sabs juga bilang bahwa Michel
menyukainya. Yah...kurasa aku merasa sedikit...cemburu..."
Cemburu? Scottie cemburu karena mengira aku menyukai
cowok lain?
"Lalu ketika kau mengalami kecelakaan dalam pertandingan
kemarin...akuhmMichel benar," lanjutnya seraya menatapku,
"aku khawatir terhadap luka-lukamu. Karena itu aku main gila-gilaan
di lapangan."
"Renapa begitu?" tanyaku.
"Itu pula sebabnya aku nggak ngajak kamu keluar bersama
lagi," Seottie mencoba menjelaskan. Pasti tampangku kelihatan
bingung, soalnya tanpa kuminta ia melanjutkan penjelasannya, "Sejak
pertama kali kau mengikuti seleksi pemain hoki, aku sudahmenyukaimu. Tapi aku yakin, kalau kita pacaran akan mengacaukan
segalanya. Aku pasti akan mencemaskan dirimu tiap kali kita
bertanding. Kau tahu sendiri, permainan hoki kan cukup keras dan
berbahaya, apalagi buat cewek. Kalau aku punya perasaan begitu,
tentu aku tidak bisa konsentrasi pada permainan dan hal itu merugikan
tim kita. Tapi setelah kecelakaan yang kau alami kemarin, ternyata
perasaan itu masih ada. Permainanku jadi kacau. Ternyata aku masih
menyukaimu Katie."
"Sungguhkah?" tanyaku lembut. Aku sendiri heran, kok bisa-
bisanya berbicara selembut itu.
"Ya," angguknya mengakui sambil menyentuh daguku yang
masih terbalut. "Apakah masih terasa sakit?"
"Tidak," gelengku sambil terus menatap matanya, "malahan
hari Senin besok jahitanku akan dilepas."
"O ya?" tanya Scottie sambil tetap meletakkan tangannya di
daguku. "Bagus sekali," lalu ia mendekatkan wajahnya ke wajahku
dan mendaratkan kecupan sebelum aku sempat melakukan sesuatu.
"Uh...apakah kau keberatan kalau kapan-kapan aku mengajakmu
nonton bersama?" tanyanya.
"Tentu saja tidak," sahutku senang. Sepanjang hari aku tak
dapat menyembunyikan perasaanku. Sepanjang hari aku terus
tersenyum dan tersenyum dan tersenyum! END
Sesajen Atap Langit 3 Pendekar Rajawali Sakti 90 Rajawali Murka Dua Musuh Turunan 18
^