Pencarian

Salah Kaprah 1

Girl Talk 11 Salah Kaprah Bagian 1


YANG DIOBROLIN KALI INI....
SABRINA : Anggota baru tim hoki sekolah kita keren juga lho.
Apalagi aksen Perancisnya... wow....
KATIE : Ya. Permainannya boleh juga lho. Tahun lalu dia
adalah pemain terbaik dalam tim hoki di sekolah lamanya.
SABRINA : Hmmm...kira-kira dia udah punya cewek belum
ya? KATIE : Sabrina, kayaknya kamu naksir doi deh!
SABRINA : Kayaknya kamu juga deh!BAGIAN SATU
"Sukar dipercaya bahwa kau dulu adalah anggota pom-pom
giri, Katie Campbell," ujarku pada bayanganku sendiri dalam cermin,
di ruang ganti pakaian yang remang-remang. Karena aku satu-satunya
cewek dalam tim hoki sekolah Bradley Junior High ini, aku terpaksa
ganti pakaian di tempat tersendiri. Selama masa latihan, aku berganti
pakaian di ruang ganti untuk tim lawan. Tapi kalau ada pertandingan
sungguhan, dan ruang ganti tamu dipergunakan oleh tim lawan, maka
aku memakai kamar kecil cewek di lantai atas. Tempatnya kecil dan
nggak enak sama sekali. Baru beberapa bulan aku bergabung dengan
tim hoki ini, namun rasanya sudah bertahun-tahun kutinggalkan
kelompok pom-pom dan bergabung dengan tim hoki.
Kukenakan seragam tim hoki dan secepat kilat kusisir dan
kukepang rambutku ala Perancis yang rapih. Aku selalu mengepang
rambutku sebelum memakai helm hoki. Soalnya kalau kubiarkan
tergerai, bisa-bisa anak-anak jahil menariknya di tengah permainan.
Hoki memang bisa berlangsung keras, cukup kasar, kadang-kadang.
Kutatap lagi bayanganku dalam cermin dan tersenyum. Aku
kelihatan persis seperti cowok dengan seragam yang berbahu amat
lebar ini.Begitu selesai berpakaian, kukenakan sepatu skating-ku. Tiba-
tiba kudengar suara berbisik-bisik di belakangku. Aku berbalik
secepat mungkin, tapi tak kulihat seorang pun di sana. Lalu terdengar
suara cekikikan.
Ruang ganti tamu dan ruang ganti tim hoki sekolah hanya
dibatasi oleh sebuah dinding. Saat kuperhatikan, ternyata ada bagian
tembok yang bolong bekas paku. Lubang yang lumayan untuk
mengintip. Terdengar lagi suara cekikikan. Kuambil botol minumku
dan kuisi dengan air dari wastafel. Setelah itu kudekati tembok
pemisah seraya berbisik, "Awas, akan kubalas kalian."
Aku lantas berbalik, berlagak seolah hendak kembali ke tempat
duduk untuk mengenakan sepatu skating-ku. Padahal, diam-diam aku
naik ke atas kursi dan kusiramkan air dari botol minum melampaui
tembok pembatas.
"Aaahhhh!" terdengar seseorang berteriak dari balik tembok.
Aku tertawa geli. Setengah berlari, kusambar sepatu skating dan
tongkat hokiku. Saat itu terdengar pelatih kami Pak Budd meniup
peluitnya. Dengan masih mengenakan kaus kaki aku berlari menuju
lapangan es. Ternyata akulah orang pertama yang tiba di lapangan.
Sambil menghela nafas, kukenakan helm hoki pada kepalaku dan
kuletakkan sepatu dan tongkat skating yang berat itu ke lantai.
Sebetulnya aku sudah bosan memakai sepatu skating coklat yang
sudah agak butut ini. Sabrina meminjamkannya padaku. Sebenarnya
sepatu ini milik Mark, kakaknya yang sudah duduk di kelas delapan
dan ukuran kakinya kini sudah kebesaran. Aku sendiri membutuhkan
sepatu yang baru, tapi harga sepatu skating cukup mahal. Meskipun
begitu, aku sudah mengincar sepasang sepatu skating di sebuah tokoolah raga tiap kali aku jalan-jalan cuci mata ke pertokoan. Ulang
tahunku tak lama lagi tiba. Dan sudah kuceritakan keinginanku itu
pada Ibuku. Tapi menurut Ibu aku lebih membutuhkan seprai baru
daripada sepatu skating! Bayangin, sebuah seprai sebagai hadiah
ulang tahun! Mudah-mudahan Ibu cuma bercanda!
Tak lama kemudian, begitu selesai kuikat tali sepatuku, anak-
anak cowok ke luar dari kamar ganti. Lucu juga ya. Cowok-cowok
sering mengeluh bahwa cewek membutuhkan waktu lama sekali untuk
dandan atau ganti pakaian. Tapi nyatanya, aku jauh lebih dulu siap di
lapangan dibandingkan para cowok!
"Tembakan jitu!" seru Flip Walsh sambil menepuk
punggungku. Pukulannya agak keras juga. Sampai-sampai aku
kehilangan keseimbangan dan hampir jatuh. Kadang-kadang anak-
anak cowok itu lupa bahwa aku ini cewek. Harus kuakui, dengan
penampilan macam ini, penampilanku tak ada bedanya dengan mereka
yang lain.
"Lucu sekali deh...," seru Brian Williams seraya duduk di
sampingku, di tepi lapangan es. "Aku tertawa sampai mengeluarkan
air mata saking gelinya."
"Lucu sekali deh," gumam Scottie Silver dengan nada jengkel
sambil duduk di samping Brian. Sekilas kulirik Scottie diam-diam dan
langsung melengos begitu ia melirikku. Aku pura-pura cuek menahan
tawa. Scottie basah kuyup! Hi..hi...
"Kehujanan mas?" tanya Jeff Atkins sambil tertawa.
"Orang-orang sih mandi sesudah latihan, eh kamu malah mandi
dulu sebelum latihan...," olok Flip."Ha, ha," gumam Scottie datar, masih dengan nada jengkel, lalu
berpaling menatapku, "awas pembalasanku KC." Anak-anak dalam
tim hoki memanggilku KC, singkatan dari Katie Campbell. Bahkan
pelatih kami pun memanggil kami dengan nama julukan. Menurut
Scottie, kapten tim hoki kami, namaku terlalu feminin di lapangan
hoki yang penuh kekerasan ini.
Kubalas tatapan Scottie dengan gaya ?tak berdosa?. Bertepatan
dengan itu, kulihat Pak Budd menghampiri kami ke tepi lapangan.
Lagipula, aku ?kan tidak bersalah! Mereka duluan yang jahil,
mengintipku. Scottie pantas menerima balasanku!
Begitu Pak Budd mulai berbicara, ingatanku melayang ke masa-
masa awal aku bergabung dengan tim hoki ini. Bagaimana cowok-
cowok ini memperlakukanku dengan kasar dan tidak adil. Mereka
berusaha membuatku kapok dan mengundurkan diri dari tim hoki ini.
Bahkan Pak Budd juga mendukung usaha mereka untuk membuatku
jera dan mengundurkan diri. Padahal aku sudah mengenal mereka
sejak lama. Tiap kali mereka bertanding, aku dan kelompok pom-pom
girl selalu mendampingi dan memberi semangat. Barangkali mereka
enggan menerima kehadiran cewek karena takut merusak harga diri
dan kejantanan mereka sebagai cowok, karena aku mampu bermain
hoki sebagus mereka. Tapi semua rintangan berhasil kuatasi dan telah
kubuktikan kemampuanku sebagai pemain sayap kiri yang dapat
diandalkan.TEENLITLAWAS.BLOGSPOT.COM
"Pak Pelatih ngaco deh," gumam Peter Mullins, penjaga
gawang kami, di telingaku. Membuyarkan lamunanku.
"Apa?" aku balas bertanya."Akhir tahun ajaran hampir tiba," lanjut Peter, "mana mungkin
kita menerima pemain baru?"
Pemain baru? Apa yang terjadi sebenarnya? Pikirku bingung.
Tiba-tiba seorang cowok berambut coklat yang wajahnya sama
sekali asing bagiku, menghampiri bangku kami.
"Siapa dia sih?" tanya Scottie.
"Anak-anak...," Pak Budd memulai pidatonya, "Inilah anggota
baru tim hoki kita. Namanya Michel Beauvais. Ia pindahan dari
Kanada. Ia juga pemain terbaik dalam kompetisi hoki antar sekolah di
Kanada tahun lalu. Saya senang sekali ia dapat bergabung dalam tim
kita."
Seseorang tertawa geli, dan berbisik, "Namanya nggak salah
tuh? Michel?" Entah suara siapa.
"Michel bagi orang Perancis adalah nama cowok. Sama seperti
Michael, misalnya," lanjut Pak Budd. "Dan saya yakin kalian pun
akan menyambut kehadirannya dalam tim hoki Bradley Junior ini
dengan tangan terbuka seperti saya," Pak Budd berhenti sebentar. Tak
seorang anak pun menanggapi ajakannya untuk menerima kehadiran
Michel. "Bagaimana?" tanya Pak Budd agak jengkel.
Anak-anak pun serempak mengeluarkan suara, "Yaaa...," yang
sumbang dan tidak bersemangat. Sejenak kuamati si pendatang baru
itu. Michel bertubuh amat tinggi, rambut coklat tuanya dipangkas
pendek. Matanya juga berwarna coklat gelap. Kalau saja Sabs
melihatnya, pasti ia akan tergila-gila dan histeris! Di samping pemikat
ramalan bintang, majalah remaja dan ber?diet?, hobby Sabs yang lain
adalah: Cowok!Michel hanya terpaku di tempatnya sambil menatap kami seolah
khawatir kami akan mengolok-olok namanya lagi. Tiba-tiba saja
terlintas sebuah pikiran dalam benakku: jangan-jangan ia Cuma bisa
berbahasa Perancis dan nggak ngerti apa yang sejak tadi kami
bicarakan!
"Biasanya pemain baru harus diuji dulu," ujar Flip dengan nada
heran.
Pak Budd menatap Flip sambil menyipitkan matanya. "Sudah
tak ada waktu lagi. Lagipula catatan prestasi Michel sudah
membuktikan kemampuannya," sahut Pak Budd.
Agak terkejut juga aku mendengarnya. Soalnya, aku sendiri
seperti anggota-anggota lainnya, harus mengikuti ujian masuk yang
keras dan penuh persaingan sebelum bergabung dalam tim. Tiap
malam aku harus berendam di air hangat untuk melemaskan otot-otot
yang kaku akibat berlatih terlalu keras. Rasanya nggak adil kalau
Michel bergabung begitu saja, walaupun menurut catatan dia adalah
pemain terbaik.
"Baiklah," seru Pak Budd sambil membunyikan peluitnya lagi,
"akhir minggu ini kita akan menghadapi pertandingan besar. Jika kita
dapat mengalahkan tim Minneapolis Mongols, kita akan maju ke
babak final tingkat negara bagian. Michel adalah nilai tambah bagi tim
kita," beliau berhenti sejenak sambil menatap kami satu persatu. "Ayo
kita mulai latihan hari ini!"
Kami pun segera meluncur mengelilingi lapangan es sambil
membawa stik hoki masing-masing. Gerakan ini sekedar melemaskan
otot saja. Menurut pelatih kami, latihan pemanasan tak boleh
dilewatkan begitu saja, dan aku setuju pada pendapat beliau.Michel meluncur sendirian sepanjang latihan pemanasan. Tak
seorang pun mau menemaninya. Aku merasa sedikit kasihan
melihatnya. Soalnya aku pernah mengalami nasib yang sama. Waktu
itu tak seorang pun mau menemaniku, karena aku seorang cewek. Jadi
aku tahu persis bagaimana rasanya diabaikan. Tapi karena masih
jengkel pada pengecualian yang diberikan Pak Budd pada sang
pemain terbaik itu, kubiarkan saja Michel tetap sendirian.
Aku mengerti, pindah ke tempat yang baru tidaklah mudah.
Salah satu sahabatku, Randy Zak, juga pindahan dari New York tahun
lalu. Setelah bercerai dengan ayahnya, Ibu Randy pindah ke Acorn
Falls. Awalnya Randy tidak betah tinggal di Acorn Falls. Ia rindu
pada sekolahnya yang lama, teman-temannya, dan Ayahnya di New
York. Pasti keadaannya lebih sulit lagi bagi Michel, sebab ia pindah di
pertengahan tahun ajaran.
Pak Budd membunyikan peluitnya lagi. Beliau membagi kami
dalam tiga kelompok. Kelompokku dipersilahkan duduk di pinggir
lapangan dulu, sementara dua kelompok lainnya bertanding.
Michel menempati posisi barisan pertahanan kiri. Walau tak
seorang anak pun mengoper bola padanya, aku dapat melihat
kehebatannya di lapangan. Ia menjaga wilayah pertahanannya dengan
amat profesional. Tak seorang pun dapat melampauinya.
Scottie, bermain sebagai kelompok lawan. Ia mengoper bola
pada Brian. Brian kebetulan berada di belakang Michel dan sedang
lengah. Melihat kelengahan Brian, Michel langsung merebut bola dan
menggiringnya ke tengah lapangan. Flip yang sekelompok dengan
Michel malah pura-pura cuek sehingga Michel kebingungan mencari
kawan untuk mengoper bola. Tak seorangpun anggota regunya maumenolongnya. Maka Michel terpaksa mengoper bola itu pada dirinya
sendiri. Di pukulnya bola ke arah Flip sambil meluncur mengejar bola
itu kembali. Michel menggiring bola mendekati gawang dan
mengarahkannya ke samping kanan Peter. Bola melejit melampaui
bahu Peter. Penjaga gawang kami yang hebat itu bahkan tak sempat
menggerakkan stiknya untuk menangkis bola! Tembakan Michel amat
cepat dan keras!
Sesaat arena terasa hening. Anak baru ini ternyata boleh juga!
Kurasa, tak seorang pun dari kami yang rela menerima kenyataan ini.
Michel meluncur perlahan ke pinggir lapangan dengan kalem. Seolah-
olah pukulannya tadi biasa saja dan sama sekali tak istimewa. Seolah-
olah ia biasa melakukan hal semacam itu tiap hari.
Meskipun menurutku Michel kelihatan sedikit ?sombong? dan
bangga dengan permainannya sendiri, lucu juga melihat ekspresi kaget
di wajah Scottie. Kapten Scottie Silver, kini bukan lagi pemain terbaik
dalam timnya. Pasti itu yang menghantui pikirannya saat ini.
Setelah lima belas menit, kelompok Scottie beristirahat dan
kelompokku turun ke lapangan menghadapi Michel CS. Karena
Michel begitu tangguh menjaga sayap kiri, maka kami memutuskan
untuk menyerang sayap kanan kelompok Michel. Berarti, barusan
sayap kiri kamilah yang harus menyerang, dan aku termasuk dalam
barisan sayap kiri itu!
"KC!" teriak Brett Hall dari belakang penjaga gawang kami. Ia
mengoperkan bola padaku. Bola membentur tongkat hokiku. Posisiku
leluasa. Sambil bertahan, kugiring bola perlahan, mencari teman yang
bebas untuk mengoper bola. Tapi tiba-tiba Michel sudah berada di
dekatku. Cepat kulempar bola pada Eamon Daniels, pemain tengahkami. Ia segera menggiring bola ke gawang, melakukan gerakan
tipuan ke kanan lantas membidikkan bola ke kiri gawang. GOL!
"Bagus sekali KC," teriak Brett senang sambil meluncur
mendekatiku. Ditepuknya helmku dengan senang. "Lemparan yang
bagus KC!"
Kelompok Michel kini mendapat giliran duduk di pinggir
lapangan. Sementara kelompok Scottie kembali turun ke arena untuk
bertanding dengan kelompokku. Barangkali Scottie merasa perlu
menunjukkan kebolehannya. Ia bermain bagai kesetanan untuk
membalas dendam!
Akhirnya kami menyelesaikan pertandingan yang keras itu
dengan susah payah dan amat melelahkan. Pak Budd menyuruh kami
segera berganti pakaian dan kembali berkumpul di tepi lapangan.
Aku segera masuk ke kamar ganti, dan melepaskan sepatu
skating yang berat serta sepasang kaus kaki yang basah kuyup itu.
Sungguh nyaman rasanya, menggerak-gerakkan jari-jari kaki dengan
leluasa tanpa bungkusan kaus yang dingin dan sepatu yang sempit itu.
Aku segera mandi, berganti pakaian dan lagi-lagi menjadi orang
pertama yang tiba di lapangan.
"Katie!" terdengar seseorang memanggil dari barisan kursi
penonton. Kutolehkan kepalaku dan kulihat Sabrina melambaikan
tangan ke arahku. Kami merencanakan untuk mampir ke rumah Sabs
setelah aku selesai latihan. Aku senang sekali berkunjung ke rumah
Sabs. Rumahnya selalu meriah dengan begitu banyaknya saudaranya.
Ia punya empat kakak cowok termasuk kakak kembarnya, Sam.
Suasananya sungguh berbeda dengan rumahku, di mana aku tinggal
hanya bersama Ibu dan kakakku, Emily.Kubalas lambaiannya dan duduk menunggu anak-anak yang
lain. Michel adalah anak pertama yang ke luar dari kamar ganti
cowok. Ia melangkah ke tepi lapangan dan menatapku ragu-ragu.
"Hai," sapaku. Biar bagaimanapun ia akan bergabung dalam tim
hoki kami, maka aku harus berusaha berkawan dengannya. Lagipula
bukan salahnya jika Pak Budd mengijinkannya bergabung tanpa
melewati seleksi lebih dahulu. Mungkin di sekolah lamanya dulu ia
sudah pernah mengikuti test seleksi. Sebelum aku sempat membuka
mulut untuk menyapanya lagi, Scottie dan Flip keluar dari kamar ganti
dan bergabung dengan kami.
"Permainanmu hebat," puji Flip, "apakah semua pemain hoki
dari Canada sehebat kamu?"
"Ya," tambah Scottie, "golmu tadi luar biasa sekali."
Michel hanya menganggukkan tanda berterima kasih atas pujian
itu. Rupanya anak-anak telah memutuskan untuk menerima kehadiran
Michel dengan damai tanpa permusuhan. Aku yakin, sulit bagi Scottie
untuk mengakui keunggulan Michel. Bagi cowok, umumnya sulit


Girl Talk 11 Salah Kaprah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

untuk mengakui bahwa ada orang lain yang lebih hebat dari mereka.
"Menurutmu gimana?" tanya Flip padaku.
"Oh...kau menonton latihan kami?" tanya Michel heran,
"Biasanya pelatih tidak mengijinkan orang luar menyaksikan jalannya
latihan. Tapi ide Pak Budd bagus juga," ia menatapku seraya
tersenyum. Matanya berkerut saat bibirnya membentuk senyum.
Flip dan Scottie tertawa mendengarnya. Michel menatap
mereka dengan heran dan penuh tanda tanya. Matanya menyipit,
keningnya berkerut hingga alisnya yang tebal nyaris bertaut. Mungkin
ia pikir Scottie dan Flip sedang mengolok-oloknya."KC bukan penonton yang baik," ujar Flip disela tawanya. "Ia
adalah pemain sayap kiri andalan kami yang barusan bertanding
melawanmu!"
Michel ternganga kaget. Akupun mulai tertawa melihatnya
keheranan. Ia menatapku dengan rasa tak percaya.
"Kau...yang namanya KC itu?" tanyanya keheranan.
"Yap!" sahut Scottie mendahuluiku. Ia kelihatan amat
menikmati keterkejutan Michel itu. "Ia baru bergabung dalam tim
kami dan merupakan pemain unggulan kedua dalam pertandingan
awal tahun ini. Satu nomor di bawahku!"
Beberapa saat mulut Michel ternganga. Sampai-sampai aku
khawatir dagunya akan jatuh ke lantai. Hi...hi.... "Ta...tapi kau kan
cewek," ujarnya masih heran, "menurutku KC adalah nama cowok...."
"KC itu singkatan dari Katie Campbell," sahutku sambil
menjaga agar nada suaraku terdengar berwibawa. Aku sudah terbiasa
dengan keadaan macam ini sejak awal tahun. Memang banyak orang
menganggap hoki adalah permainan cowok, dan cewek tak pantas
bermain hoki. Kadang-kadang pendapat yang meremehkan cewek ini
membuatku jengkel juga.
"Oh...," angguk Michel. Seluruh anggota tim hoki sudah
berkumpul di tepi lapangan. Baru saja ia hendak mengucapkan
sesuatu, Pak Budd membunyikan peluitnya.
Kucoba untuk memusatkan perhatian pada Pak Budd yang
tengah membicarakan strategi menghadapi tim Minneapolis Mongols.
Namun tanpa sadar, lamunanku melayang sendiri. Semoga aku tak
perlu membuktikan kemampuanku sebagai pemain hoki lagi, hanya
karena kehadiran Michel. Melihat kekagetannya tadi, terus terang akumerasa agak diremehkan. Memangnya cewek nggak bisa main hoki
sehebat cowok? Tapi kalau Scottie Silver dan anak-anak lain akan
menerima kehadiran Michel dan mencoba bersahabat dengannya, aku
pun harus demikian. Setidaknya hal itu baik untuk kekompakan tim
kami!BAGIAN DUA
"Ya ampun Katie!" seru Sabs begitu kami berdua melangkah
menuju rumahnya. "Lucu amat cowok itu! Apalagi aksen
Perancisnya... uh..."
Kutarik resliting jaketku tanpa menjawab perkataannya. Udara
amat dingin menggigit.
"Menurutmu gimana Katie?" tanya Sabs cuek, "Kau beruntung
sekali, berada dalam satu tim dengannya. Jadi kalian bisa ketemu tiap
hari!"
"O ya?" gumamku perlahan. Apa hebatnya satu tim bersama
anak baru? Seorang cowok yang akan mempersulit hari-hariku.
"Kau benar-benar beruntung!" ulang Sabs.
"Ngapain sih ngomongin dia terus?" tanyaku menyela seruan
Sabs.
"KC!" tiba-tiba terdengar suara Michel memanggil dari arah
belakang.
Aku terus melangkah, pura-pura nggak denger.
"Hei...itu dia!" seru Sabs sambil menggandeng lenganku.
"Katie! Tunggu dong!"
Kutolehkan kepala dan kulihat Michel berlari kecil ke arah
kami sambil menjinjing tas besarnya. Kutarik nafas panjang.Kuingatkan diriku berkali-kali: kami adalah satu tim! Jadi harus
kompak!
"Selamat bergabung dalam tim kami," ujarku, "kau adalah
pemain yang baik." Ungkapan jujur, bukan basa-basi, gumamku
dalam hati.
"Merci, terima kasih," sahut Michel, "aku senang sekali dapat
bergabung dan tidak melewatkan pertandingan hoki tahun ini."
Angin tiba-tiba bertiup. Kurapatkan scarf di leherku hingga
menutupi daguku. Udara benar-benar dingin.
"Hai, aku Sabrina," sela Sabs sambil mengajukan lengannya
yang berkaus tangan merah pada Michel.
Michel nyengir dan menyambut uluran tangan Sabs, "Bonjour,
apa khabar Sabrina? Senang berkenalan denganmu."
"Aku juga senang berkenalan denganmu," sahut Sabs dengan
tersipu-sipu.
"Kau juga murid Bradley Junior High?" tanya Michel sambil
membetulkan tas yang disandangnya di bahu.
"Kami berdua duduk di kelas tujuh,"jawabku mewakili Sabs.
"Bien! Kebetulan sekali!" tukas Michel, "Aku juga kelas tujuh.
Barangkali nanti kita bisa ketemu di kelas-kelas mata pelajaran
tertentu!"
"Yah...." Sabs menarik nafas, "Kau pasti kerasan tinggal di
sini."
"Mudah-mudahan," sahut Michel. Sudut matanya berkerut
begitu ia tersenyum. Harus kuakui, Michel memang kelihatan ganteng
banget. Apalagi kalau sedang tersenyum macam ini. Imut-imut sekalitampangnya. "Ah...aku harus berbelok di sini," katanya seraya
menunjuk arah Maple Street.
"O ya?" ujar Sabs dengan nada kecewa, "Di jalan itu tinggal
seorang teman kami. Namanya Randy," kata Sabs sambil menunjuk
ke sebuah bangunan besar seperti lumbung di pojok antara jalan
Maple dan jalan utama. Disitulah Randy dan Ibunya tinggal.
"Jadi aku punya tetangga baru nih?" tanya Michel seraya
menghentikan langkahnya di kelokan jalan.
"Tentu saja," sahut Sabs meyakinkan, "akan kuperkenalkan kau
pada teman-temanku di sekolah besok."
"Wah, trim?s banget. Merci," sahut Michel yang mulai
melangkah ke Maple Street. "Sampai ketemu besok di sekolah," ia
melambai padaku, "KC, permainan hokimu bagus sekali. Dan kau
adalah pemain penting dalam tim kita. Sampai ketemu. Au Revoir!"
Michel lalu menghilang di tikungan.
Sepanjang jalan ke rumah, Sabs terus membicarakan Michel.
Sebetulnya sih aku juga mulai menyukainya. Akupun merasa lega
karena sekarang tidak lagi merasa terancam dengan kehadiran Michel.
Michel agaknya sudah mengakui kemampuanku di lapangan hoki, jadi
aku tak perlu kerja keras membuktikan kehebatanku yang tak kalah
dengan cowok.
Begitu tiba di rumah Sabs, kami menyelinap lewat pintu
belakang dan kulihat Randy serta Allison sudah ada di dapur rumah
Sabrina.
"Lho...kok kalian ada di sini?" tanyaku heran. Sabs sama sekali
tidak mengatakan padaku bahwa mereka juga akan datang.Randy hanya mengangkat bahu sambil menatap Sabs. Aku pun
ikut menatapnya, menunggu jawaban. Sabs hanya mengerutkan
kening dan membesarkan matanya. Aneh sekali.
"Kamu kenapa sih Sabs?" tanyaku langsung.
"Uh..nggak...nggak apa-apa...," gumam Sabs, "aku...mh...."
"Kita...mh...," Allison ikut tergagap melanjutkan kalimat Sabs
yang tak terselesaikan. Mata coklat Allison melotot ke arah Sabs dan
dengan salah tingkah ia mengusap rok kuningnya.
"Kalian kenapa sih?" tanyaku dengan sedikit curiga. Pasti ada
yang mereka rahasiakan dariku.
"Gimana latihanmu?" tanya Randy mengalihkan pembicaraan
sambil melipat lengan switer hitamnya. Randy memang trendy. Lihat
saja gaya pakaiannya yang ?berani tampil beda?. Tak heran, sebab ia
berasal dari kota besar, New York. Hari ini ia mengenakan switer
rajutan ungu tua di atas t-shirt hitamnya.
"O ya...," seru Sabs setelah menggantungkan jaketnya ke
gantungan baju di balik pintu. Ia duduk dan membuka sepatu butnya.
"Tahu nggak, ada cowok baru di tim hoki sekolah kita tadi. Namanya
Michel Beauvais. Ia berasal dari Kanada dan ia bicaranya beraksen
Perancis yang kental. Dia juga duduk di kelas tujuh seperti kita. Dan
ngomong-ngomong soal tampang, cowok ini kereeeen....banget!
Rambutnya lebat, kehitaman, matanya coklat dan senyumnya bisa
bikin mabok. Pokoknya keren deh. Kira-kira apa ya bintangnya?
Cocok nggak ya sama bintangku?"
"Lho? Pemain baru? Ini kan pertengahan tahun. Apa nggak
terlalu mepet untuk menerima pemain hoki baru?" tanya Allisonsambil mengibaskan rambut hitamnya yang panjang dan tebal ke
belakang.
"Ya...," aku menghela nafas. "Lagipula dia bergabung tanpa
lewat test seleksi. Kedengarannya nggak adil kan? Tapi menurut
pelatih kami, Michel adalah pemain terbaik di sekolahnya dulu."
"Barangkali ia sudah ikut seleksi di sekolahnya yang dulu. Pasti
sama susahnya dengan seleksi di sekolah kita," ujar Randy.
"Kau benar Randy," timpal Allison setuju. Lucu juga ya melihat
mereka bisa bersahabat. Padahal karakter mereka masing-masing amat
bertolak belakang. Randy seperti api yang cepat memanasi situasi dan
bicaranya ceplas-ceplos. Sedangkan Allison lebih kalem dan tenang
seperti genangan air. Ia selalu berpikir masak-masak sebelum
mengemukakan pendapatnya. Menurut Randy, perbedaan yang ada
malah mempererat persahabatan mereka, karena mereka jadi saling
melengkapi.
Kadang-kadang aku dan Sabrina pun demikian. Sabs punya
begitu banyak teman dan ia amat populer di sekolah. Aku juga punya
banyak teman, tapi aku lebih tertutup dibanding Sabrina. Dengan
demikian kami berdua saling melengkapi kekurangan masing-masing.
"Ngomong-ngomong kalian kok datang ke sini sih? Ada apa?"
tanyaku kembali ke pokok pembicaraan.
"Oh...kita cuma...cuma...mh...." Randy kembali tergagap.
Tiba-tiba saja Bu Wells, Ibu Sabrina, masuk ke dapur
membawa selembar kertas. "Akhirnya ketemu juga resep makanan ini.
Pasti ketemu sih, cuma lupa saja di mana menyimpannya," tapi begitu
melihatku, Bu Wells langsung menghentikan kalimat dan langkahnya
dengan seketika. "Oh...," serunya seraya menatap Sabrina dengan carayang sama seperti Randy dan Allison tadi. "Kau rupanya sudah pulang
bersama Katie, Sabs," Bu Wells langsung melipat kertas yang
dipegangnya agar tidak terlihat olehku, dan memasukkannya ke dalam
saku bajunya. Beliau berdiri terpaku dengan ekspresi bingung.
Sabs menatap pasrah ke arah Randy dan Allison. Mereka
berdua juga tengah bertukar pandang dengan Bu Wells. Apa sih yang
tengah terjadi sebenarnya? Aku jadi semakin curiga dan penasaran.
"Kau mau kue Katie?" tanya Bu Wells akhirnya.
Disodorkannya sekaleng kue coklat buatannya sendiri kepadaku.
"Wah, sebetulnya sudah hampir waktu makan malam nih,"
ujarku. Tapi kuambil juga sepotong kue. Aku sama sekali tidak bisa
menolak setiap ditawari kue yang manis-manis.
"Bu!" seru Sabs tiba-tiba, "Tahu nggak? Ada cowok baru di
sekolah. Ia dari Kanada tapi bicaranya beraksen Perancis yang lucu.
Namanya Michel Beauvais dan tampangnya keren banget deh!"
"O ya?" sambut Bu Wells sambil ikut duduk mengelilingi meja
makan bersama kami. "Ibu jadi ingat masa-masa sekolah dulu. Ada
seorang murid pindahan dari Canada. Namanya Pierre Montclair dan
wajahnya juga ganteeeng sekali...," Bu Wells nampak melamun
membayangkan masa-masa sekolahnya dulu.
"Tapi nggak usah sampe ngelamun gitu dong Bu...," ujar Sabs
yang duduk di samping Ibunya sambil melirik ke arahku. Aku
menahan tawa yang hampir meledak melihat kelakuan anak dan ibu
yang konyol ini.
"Yah...itu kan sebelum ibu kenal Ayahmu...," lanjut Bu Wells,
"cowok itu juga berbicara dengan logat Perancis yang amat menarik.Bahkan cara dia menyebutkan nama Ibu saja sudah membuat lutut Ibu
gemetar."
"Lalu?" tanya Randy penasaran.
Mata Bu Wells agak meredup sejenak sebelum melanjutkan
memorinya.
"Yah...," beliau bangkit dari tempat duduknya dan merapihkan
bajunya, "akhirnya ia kembali ke Kanada. Kemudian Ibu bertemu
dengan Ayahmu. Selebihnya kalian bisa menebak sendiri kan? Nah,
ngomong-ngomong ada yang mau ikut makan malam?"
Ibuku selalu ingin makan malam bersama, terutama di akhir
minggu. Tapi malam ini rasanya aku belum ingin meninggalkan
rumah Sabrina. Terutama karena masih penasaran dengan teka-teki
yang belum terpecahkan. Maka kutelpon ibu untuk mengabari bahwa
aku akan makan malam bersama keluarga Sabrina. Ibu belum pulang
dari tempat kerjanya, maka kutinggalkan pesan pada mesin penerima
telepon.
"Aneh deh...," gumamku pada teman-temanku begitu kututup
gagang telepon.
"Ada apa?" tanya Sabs sambil mengeluarkan sendok garpu dari
laci.
"Tak ada yang mengangkat telepon di rumahku," sahutku
sambil duduk, "sudah tiga kali dalam seminggu ini Ibu bekerja hingga
larut malam."
"Yah...Ibuku juga lagi enggak ada di rumah," sambung Randy
sambil membantu mengangkat lima buah gelas ke dalam ruang
makan. "Dia lagi sibuk di sebuah galeri seni di Minneapolis.""Ups...aku harus pulang nih," tukas Allison perlahan sambil
mengambil jaketnya dari gantungan, "malam ini Ayahku ulang tahun,
jadi aku nggak bisa ikut makan malam bersama kalian."
"Oke Al," lambaiku, "Sampai besok!"
"Daahhh," lambai Sabs.
Randy menemani Allison ke luar. Di pintu ia membisikkan
sesuatu pada Allison, kemudian melirikku was-was. Seolah takut aku
mendengar apa yang dibisikkannya. Kemudian Randy menyelipkan
sebuah lipatan kertas ke tangan Allison.
"Ciao Allison!" lambai Randy dengan keras, "Sampai ketemu
besok!"
Aku membuka mulut, ingin menanyakan sesuatu, tapi Sabs
mendahuluiku, "Emangnya kenapa sih? Ibumu kerja lembur kan
wajar...," tanyanya. "Barangkali sepulang kerja Ibumu ingin
berbelanja sebentar," lanjutnya sambil duduk di hadapanku.
Bu Wells kembali ke dapur dan meletakkan sebotol air di
tengah meja. "Menu malam ini, spagetti. Gimana?" tanyanya.
"Wah! Saya suka sekali!" teriak Randy senang. Ibu Randy lebih
suka membeli makanan di restoran. Tak heran jika Randy amat
merindukan makanan buatan rumah.
"Heran, kenapa ya Ibu pulang terlambat lagi," gumamku masih
bingung.
"Tak ada salahnya kan, sesekali lembur?" sahut Randy,
"Mungkin pekerjaannya bertambah atau jabatannya naik?"
"Mudah-mudahan...," sahutku perlahan, "cuma rasanya aneh
saja. Selama ini Ibuku tak pernah bekerja segiat ini."Tiba-tiba Sam dan sahabat-sahabatnya, Nick dan Jason, masuk
ke ruang makan.
"Spagetti! Ih...," seru Sam dengan ekspresi tidak suka.
"Kenapa sih? Aku sih suka apa aja kalau lagi laper...," ujar Nick
yang langsung duduk di sampingku. "Hai Katie! Sudah siapkah tim
hokimu menghadapi tim Mongols?" tanyanya.
"O ya...pertandingan besar-besaran!" timpal Sam sambil
menoleh ke arahku, "Apakah latihanmu juga gila-gilaan?"
"Pokoknya kami pasti siap," jawabku mantap, "dan hari ini
kami mendapat anggota baru, pindahan dari Kanada."
"Kanada?" tanya Jason sambil sedikit menggeser Sabs sehingga
mereka duduk berdua di satu kursi. "Pasti mainnya hebat!"
"Memang," jawabku. Harus kuakui, Michel adalah pemain yang
dapat diandalkan. "Dan jika tim Minneapolis Mongols tidak
mengetahui kehadiran Michel, pasti lebih baik lagi keadaannya."


Girl Talk 11 Salah Kaprah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Wah...wah...," gumam Sam sambil mencomot sebuah kue
coklat.
"Sam!" pekik Sabs sambil menepis tangan kakaknya, "Sudah
mau makan malam kok malah nyemil!"
"Cerewet, kayak ibu-ibu saja!" balas Sam cuek sambil terus
mencomot kue dan melahapnya sekali suap ke mulut.
Sabs menjulurkan lidahnya jengkel ke arah kembarannya. Aku
tertawa melihatnya. Mereka berdua konyol sekali. Sabs dan Sam
sering bertengkar, namun jika ada yang mengganggu Sabs, Sam pasti
langsung turun tangan membela adik kembarnya. Dan kadang-kadang
mereka seolah dapat saling membaca pikiran masing-masing.
Barangkali karena mereka berdua anak kembar, ya?"Lantas, anak baru itu kelas berapa?" tanya Jason seraya
mengibaskan rambut yang menutupi mata dan keningnya.
"Kelas tujuh, sama seperti kita," sahut Sabs mendahuluiku.
"Dan asal tahu saja, dia ganteng lho!"
"Perduli amat...," tukas Nick sambil mencibir. Menurutku, sejak
lama Nick naksir Sabrina. Meskipun Nick nggak pernah mau
mengakuinya. Awal tahun ajaran lalu, Nick mengajak Sabs berdansa
di pesta penyambutan murid-murid baru. Dan kalau Sabs ngomongin
soal cowok, Nick kelihatan geram.
Kami terus membicarakan soal pertandingan yang akan
berlangsung antara tim hoki Bradley Junior High, sekolah kami dan
tim Minneapolis Mongols sampai makan malam siap di atas meja.
Kemudian Pak Wells pulang dari kantor dan bergabung bersama kami
di meja makan. Makan malam bersama keluarga Wells benar-benar
menyenangkan. Soalnya suasana meriah sekali dengan begitu banyak
orang. Bicara harus keras supaya terdengar. Suasana makan malam di
rumahku sama sekali berbeda. Ibu selalu bertanya soal sekolah kami.
Tapi karena hanya ada tiga orang di rumah, obrolan terasa kurang
seru.
Bahkan sampai makan malam selesai dan aku tengah berada
dalam perjalanan pulang, pikiran itu masih menggangguku. Kenapa
sih akhir-akhir ini Ibu selalu kerja lembur dan pulang terlambat?
Memang tak ada salahnya sih, tapi rasanya aneh. Biasanya, Ibu sudah
ada di rumah setiap kali aku pulang latihan. Tapi belakangan ini....
Kemudian aku juga teringat bagaimana anehnya sikap teman-
temanku di rumah Sabrina tadi. Begitu anak-anak cowok ikut masuk
ke dapur, aku sama sekali kehilangan kesempatan untuk menanyakankecurigaanku pada Sabrina. Sampai saat ini aku masih belum tahu
rahasia apa yang disimpan Randy, Sabs dan Allison. Aku yakin, ada
sesuatu yang tak kuketahui dan besok aku harus menemukan
jawabannya!BAGIAN TIGA
"Mana nih cowok Perancis idola kita?" tanya Randy pada Sabs
hari berikutnya. Kami bertiga tengah berkumpul di depan lokerku dan
Sabrina. Aku menempati bagian atas sedangkan Sabs bagian bawah
loker.
"Nggak tahu nih," gumam Sabs berharap cemas, "hari ini aku
belum melihatnya, tapi setidaknya kami pasti bertemu di salah satu
mata pelajaran. Menurut kalian, mungkinkah dia absen hari ini?"
Aku menggeleng, "Mana mungkin," sahutku seraya mengambil
buku-bukuku dan menutup pintu loker, "soalnya siang nanti ada
latihan, jadi dia pasti datang."
"Hai Al!" panggil Randy saat melihat Allison melangkah
menghampiri kami. "Cepat! Nanti telat lho!"
"Hallo semua," sapa Allison. "Sorry ya, tadi aku harus
mengembalikan buku ke perpustakaan dulu."
"Ayo cepat...cepat...," ajak Sabs sambil melangkah mendahului
kami, "mungkin kita ketemu di kelas bahasa Inggris!"
"Mungkin dia sudah kembali ke Kanada," goda Randy sambil
meringis.
"Oh...masa sih? Tak mungkin, ah!" seru Sabs menanggapi
Randy dengan serius. "Aku bisa pingsan!""Jangan ngaco ah, Sabs," tukasku, "dia cuma seorang cowok
biasa. Ngapain pingsan segala?" Sabs cenderung mendramatisir segala
sesuatu. Soalnya dia bercita-cita menjadi bintang film. Bertolak
belakang dengan aku. Aku selalu ingat Ayah memuji ketenanganku
dalam menghadapi segala sesuatu.
"Gaya bicaranya itu lho...mh...menggemaskan!" kudengar Stacy
Hansen berseru memutus lamunanku.
Stacy adalah salah satu cewek yang ngetop di sekolah kami.
Kebetulan Ayahnya adalah kepala sekolah Bradley. Dulu aku dan
Stacy sempat berteman. Tepatnya tahun lalu, sebelum sahabat karibku
Erica pindah ke California, dan sebelum aku berteman dengan Randy,
Sabs dan Al. Sebetulnya aku sama sekali tidak menyukai Stacy yang
suka berpura-pura dan sirik.
"Dia benar-benar luar biasa!" seru Eva Malone, salah satu
pengikut setia Stacy. Seperti biasa, ia senantiasa mengekor pendapat
Stacy.
"Kurasa si jantung hatimu ada di sekolah Sabs," ujar Randy
sambil tersenyum pada Sabs. "Di sekolah ini cuma ada satu cowok
beraksen Perancis, kan? Jadi pasti yang dibicarakan Stacy adalah
Michel," kata Randy seraya meniru gerakan Stacy, mengibaskan
rambut ke punggung dengan centil. Kami bertiga tertawa melihatnya.
Terus terang saja, Randy dan Stacy memang musuh bebuyutan.
Tiap kali bertemu mereka pasti bertengkar seperti anjing dan kucing.
Stacy selalu sok jago dan tentu saja Randy tak mau kalah.
"Oh...," keluh Sabs begitu terdengar bel berbunyi, "Cepetan
yuk. Kita terlambat nih!"Kami masuk ke kelas tepat sebelum bel terakhir berbunyi.
Untunglah guru bahasa Inggris kami, Bu Staats belum hadir.
Kubuka buku catatan dan kukeluarkan pinsilku.
"Selamat pagi anak-anak," sapa Bu Staats begitu beliau masuk
ke kelas. Penampilan dan gayanya mengajar, tidak sama dengan
kebanyakan guru-guru lain di Bradley ini. Ia mengenakan kaca mata
ala kucing dan menurut Randy, Bu Staats memperlakukan murid-
muridnya seperti ?manusia?.
Setelah meletakkan tasnya di meja, Bu Staats menyuruh kami
untuk tenang. Kemudian terdengar suara Pak Hansen, kepala sekolah
kami, pengeras suara, seperti biasanya memberikan pengarahan awal
pelajaran. Harus kuakui, aku tak begitu menaruh perhatian pada
pengumuman yang dibacakan Pak Hansen, sampai beliau menyebut-
nyebut soal pertandingan hoki yang akan datang. Kami harus
memenangkannya. Ini adalah pertandingan yang menentukan.
Ngomong-ngomong soal hoki, aku jadi ingat pada Michel.
Kugelengkan kepalaku untuk mengenyahkan bayangannya dari
benakku. Memang dia keren dan logatnya menggemaskan. Lalu
kenapa? Bagiku tak ada yang istimewa dari anak baru itu. Lagipula
aku masih ragu atas sikapnya tentang keberadaanku dalam tim hoki
putra.
"Baiklah anak-anak," ujar Bu Staats sambil membuka buku
yang baru dikeluarkannya dari tas kerjanya, "saya harap kalian telah
selesai membaca A Separate Peace."
Anak-anak menggumam sambil mengeluarkan buku masing-
masing. Untunglah aku telah menyelesaikannya di akhir minggu.
Melihat reaksi Sabs, aku yakin ia belum menyelesaikan tugasmembaca itu. Mulutnya bergerak-gerak mengucapkan sesuatu padaku
tanpa suara.
"Bagus!" lanjut Bu Staats mengabaikan gerutuan anak-anak.
"Hari ini kita bisa membahasnya. Jadi, Minggu depan kita bisa
ulangan."
Anak-anak menggerutu lagi.
"Menurutmu, bagaimana akhir ceritanya Sabrina?" tanya Bu
Staats seraya tersenyum ke arah Sabs.
Kulihat Sabs tergagap. "Uh...menurut saya... mh...."
Tiba-tiba terdengar ketukan di pintu. Sabs menghela nafas lega.
Ia terselamatkan oleh tamu yang mengetuk pintu. Bu Staats beranjak
membuka pintu dan Sabs memutar tubuhnya menatapku dengan
perasaan lega.
"Katie!"bisiknya memanggil, "Gimana akhir ceritanya?"
Aku tertawa mendengarnya. Bu Staats kan menanyakan
pendapatnya, kok ia malah menanyakan pendapatku? Aneh.
"Wah...ia benar-benar keren!" seru Randy terkejut dari barisan
belakang.
Kualihkan perhatianku ke depan kelas. Michel baru saja
melangkah masuk dan menghampiri meja Bu Staats.
"Anak-anak," Bu Staats mulai memperkenalkan Michel, "ini
kawan baru kita, Michel Beauvais. Saya harap kalian menyambut baik
kedatangannya di Bradley Junior High kita ini. Nah Michel, silahkan
duduk."
Kebetulan, satu-satunya tempat duduk yang masih kosong
adalah di barisanku. Tepat di sampingku."Bonjour, hallo Katie," sapa Michel berbisik sambil duduk di
kursinya. "Aku senang kita sekelas!" Aku hanya mengangguk kecil.
Beruntunglah Sabrina, Bu Staats tidak lagi bertanya padanya,
melainkan melemparkan pertanyaan itu pada Jason. Beberapa saat
kemudian, Bu Staats teringat bahwa Michel belum memiliki buku A
Separate Peace. Dan beliau menyuruh Michel bergabung denganku
untuk sementara.
"Berikutnya pelajaran apa?" tanya Michel lembut sambil
menggeser kursinya mendekatiku.
Harus kuakui, logat Perancisnya benar-benar menggemaskan.
"Makan siang," sahutku ikut berbisik. Kucoba untuk tetap
berkonsentrasi pada pelajaran yang tengah berjalan.
"Bon. Makan," ujarnya, "bagus. Boleh kan, aku makan
bersamamu?"
Kuangkat mukaku dan terlihat dari kejauhan Sabs menggerak-
gerakkan alisnya dengan konyol. Aneh juga. Apakah dia juga
mendengar ajakan Michel; dari jarak sejauh itu? Kelihatannya ia
memberi isyarat agar aku menerima ajakan Michel. Apa yang harus
kukatakan? Kadang-kadang memang Sabs punya indra ke enam soal
cowok! Ia selalu saja tahu gosip-gosip terbaru yang beredar di sekolah
ini. "Boleh saja," sahutku akhirnya. Barangkali tak ada salahnya
berteman dengan Michel. Mungkin perasaanku saja yang berlebihan.
Mungkin Michel sendiri tidak keberatan ada seorang gadis dalam tim
hoki.
Seusai pelajaran, aku dan Michel menunggu Randy, Sabs dan
Allison. Kemudian kuperkenalkan Randy dan Allison padanya."KC, aku harus meletakkan buku-buku di lokerku dulu," ujar
Michel saat kami melangkah menyusuri koridor menuju ruang makan.
"Kita ketemu di kantin saja ya?" ia menunjuk ke arah yang salah.
Sabs tersenyum geli. "Sebetulnya kantin ada di sebelah sini...,"
ujarnya membetulkan arah telunjuk Michel.
"Ayyy..." seru Michel dengan gaya Perancisnya, "kok aku
belum hafal-hafal juga ya? Iya deh, aku pasti ke kantin," setelah itu ia
segera berlari menyusuri koridor ke arah yang berlawanan.
Seperti biasanya kantin penuh sesak pada jam-jam makan siang.
"Tuh ada meja kosong!" seru Randy sambil mengajak kami
bergegas menempati meja itu.
"KC!" seseorang memanggilku saat kami melintasi meja anak-
anak tim hoki. Seperti biasa, mereka mengenakan jaket seragam tim
hoki yang berwarna hitam-oranye. Jaket kebanggaan mereka yang tak
pernah ditanggalkan. Aku sendiri belum memilikinya. Sebab biasanya
jaket itu baru akan diberikan di akhir tahun.
"Apa khabar semua?" sapaku datar.
"Makan yang banyak minggu ini ya!" ujar Scottie sambil
melirik sepotong apel, segelas susu dan yogurt yang ada di nampanku.
Menu makan siangku memang sedikit. Soalnya aku tak suka makan
terlalu kenyang. Bagiku, perut yang kenyang tidak nyaman untuk
belajar.
"Jangan takut," sahutku, "tadi malam aku makan banyak
sekali!"
"Bagus!" seru Flip, "Kita harus siap fisik dan mental
menghadapi tim Mongols!""Mau ikut duduk di sini?" ajak Scottie sambil tersenyum ramah.
Sehelai rambut keemasan menjuntai ke dahinya. Digerakkannya
tangannya untuk mengibaskan rambut itu. Menyadari kegantengan
Scottie, aku jadi tersipu sendiri. Apalagi kalau teringat Scottie pernah
mengecup pipiku saat pertama kali aku bergabung dalam tim hoki.
Sejak itu, kami sempat kencan beberapa kali tapi ia tak pernah
menciumku lagi.
Aku menggeleng dan beijanji menemui mereka di lapangan,
siang nanti. Kemudian aku segera menyusul teman-temanku yang lain.
Mereka bertiga sudah duduk di kursi masing-masing. Mungkin
mereka terlalu asyik membicarakan sesuatu sampai-sampai tidak
menyadari kehadiranku. Begitu melihatku, Allison langsung tersentak
kaget. Dan mereka serempak berhenti ngobrol dan pura-pura
menikmati makan siang dengan lahap. Aneh! Pasti ada apa-apa, nih....
"Ada apa sih?" tanyaku. Pertanyaan yang belum juga terjawab
sejak malam itu. Malam di mana mereka bersikap amat aneh
terhadapku.
"Apa maksudmu?" Randy balas bertanya sambil menunduk dan
tak berani membalas tatapanku.
"Maksudku..."
"Michel!" seru Sabs memotong kalimatku sambil melompat
berdiri. "Kami di sini!" ia melambai-lambai.
Kulihat Michel tersenyum dan mulai melangkah menghampiri
kami.
"Hallo anak baru!" sapa Scottie saat Michel melintasi mejanya,
"Ayo duduk bersama-sama kami!" ajaknya."Je suis de sole" sahut Michel, "sorry, aku udah janji akan
makan siang bersama KC!"
Kulihat Scottie melirik sinis ke arah Michel lalu ke arahku. Ada
apa sih? Kita kan cuma janjian makan siang bersama, bukan kencan.
"Allo...,"sapa Michel sambil mengambil tempat di hadapanku.
Kemudian ia menatap menu makan siangku, "KC, kau harus makan
lebih banyak lagi. Kita akan menghadapi pertandingan berat lho!"
"Aku tahu," sahutku pendek. Menu makan siangku tak pernah
berubah. Paling-paling aku menukar roti isi yogurt-ku dengan
sandwich, agar-agar atau selai kacang.
"Jangan khawatir," Michel menggeleng-geleng prihatin. "Kalau
menurutmu cukup...," desisnya ragu.
"Nah, kau sudah kerasan di Acorn Falls?" tanya Sabs sambil
meneguk segelas lemon-lime-nya. Menurut Sabs, makanan dan
minuman yang asam tak akan membuat tubuh gemuk. Apalagi soda
yang hanya mengandung sedikit kalori tapi memberi rasa kenyang
yang lama, karena itu dalam menu makan siangnya selalu ada soda.
Tak heran kalau Sabs naksir Michel. Kelihatannya Michel juga
menyukai Sabrina. Jadi semuanya akan berjalan lancar.
Tak lama kemudian kami berlima asyik ngobrol dan bercanda.
Aku mulai mengakui, Michel adalah teman yang baik dan
mengasyikkan. Bahkan ia mengakui, memang terkejut ketika tahu aku
anggota tim hoki putra. Baginya, cewek main hoki adalah hal yang
wajar, di Kanada juga ada tim hoki putri. Ia hanya terkejut kok ada
cewek dalam tim hoki putra.Waktu makan siang berlalu tanpa terasa. Dan harus kuakui,
kami berempat amat menikmati acara makan siang bersama Michel.
Terutama aku!BAGIAN EMPAT
Dalam latihan siang ini, Pak Budd menggojlok kami habis-
habisan. Menurutku beliau ingin memastikan tim kami mampu
menghadapi pertandingan besar itu seperti barisan pasukan berani
mati!
Setengah jam pertama kami habiskan untuk latihan wind sprint,
yaitu meluncur secepat mungkin ke satu arah dan berganti arah
secepat mungkin begitu peluit dibunyikan. Kemudian, satu setengah
jam berikutnya kami habiskan untuk latihan merebut bola. Saling
seruduk dan dorong persis seperti main Rugby. Kasar dan keras.
Benar-benar dua jam yang penuh penderitaan....
Setelah latihan, aku berjalan pulang perlahan-lahan. Aku benar-


Girl Talk 11 Salah Kaprah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

benar lelah dan letih. Tas latihanku terasa amat berat seolah-olah
berisi berkilo-kilo batu. Meskipun tangan serasa mau copot, aku tetap
bersemangat menghadapi pertandingan itu. Dan kemudian, tiba-tiba
saja aku teringat almarhum Ayah. Aku rindu pada Ayah.
Ah...seandainya saja Ayah masih hidup dan dapat menyaksikan
pertandinganku. Aku yakin beliau tak kalah bersemangatnya
dibanding aku sendiri. Dan aku juga yakin beliau akan bangga
terhadapku. Aneh juga. Sudah tiga tahun Ayah meninggal, belum
pernah aku begitu merindukannya seperti sekarang ini.Mataku menghangat saat kaki melangkah memasuki halaman
rumah. Kuhentikan langkahku sejenak dan kukedipkan mata dengan
tak percaya. Mobil Ibu sudah ada di garasi dan dari jauh kelihatan
lampu dapur menyala. Aku tak ingin pulang dengan mata berlinang air
mata. Kutarik nafas panjang dan dalam untuk menenangkan diri. Aku
tak ingin seorangpun melihatku menangis, terutama Ibu dan kakakku.
Aku tahu, mereka pun kadang merindukan Ayah. Karena itu rasanya
kurang enak memperlihatkan kesedihanku ini pada mereka, sebab
mereka pasti ikut sedih.
Beberapa menit kemudian, aku telah membuka pintu masuk.
Kucium bau lezat lasagna. Mh...aku suka sekali lasagna. Tapi Ibu
jarang memasak makanan itu. Katanya kurang praktis dan butuh
waktu lama untuk menyiapkannya. Tiba-tiba saja hari ini beliau
memasak lasagna. Kira-kira ada apa ya?
"Bu?" panggilku sambil melangkah ke ruang tamu. Kuletakkan
tas latihanku ke atas karpet berwarna merah jambu. Biasanya Ibu akan
langsung berteriak menyuruhku memasukkan tas ke dalam lemari.
Tapi kali ini cuek saja lah. Aku benar-benar tak sanggup lagi untuk
mengangkat tas itu!
Di atas piano kelihatan seikat bunga segar. Begitu pula di atas
meja ruang tamu dan di kedua sudut yang mengapit sofa. Ketika Ayah
masih ada, Ibu selalu memenuhi seluruh rumah dengan bunga segar.
Menurut Ayah, bunga membawa suasana yang cerah ceria. Tapi
setahun belakangan ini aku jarang melihat bunga segar di rumah ini
lagi. Malam ini, mendadak banyak bunga seperti beberapa tahun
lampau. Ada apa sih?"Bu?" panggilku lagi. Tetap saja tak ada jawaban.
Kulangkahkan kaki ke dapur tapi seketika kuhentikan langkahku di
ambang pintu. Sulit dipercaya! Terdengar alunan lagu dari radio.
Sejak Ayah meninggal, Ibu hanya menyalakan radio saat akan
mendengar warta berita. Tapi malam ini, aku sungguh-sungguh
mendengar suara musik mengalun dari dapur. Kedengarannya seperti
lagu Mozart.
"Ibu di dapur ya?" tanyaku sambil mendorong pintu dapur dan
masuk. Melihat apa yang tengah berlangsung di dapur, mulutku
ternganga takjub. Ibu tengah berdansa mengikuti irama waltz sambil
menggenggam sendok kayu di tangannya. Bukan cuma itu. Ibu juga
berdandan rapih dan kelihatan amat cantik.
Ibu mengenakan gaun merah yang masih baru dan sepatu hak
tinggi yang serasi. Jari-jari tangannya pun diwarnai dengan cat kuku
merah menyala! Rambutnya dipotong, dikeriting dan sedikit diberi
warna cerah, sehingga rambut pirangnya kelihatan makin bercahaya.
Dan bibirnya nampak makin merekah dengan warna merah yang
senada dengan gaun, sepatu dan cat kukunya.
"Wah...apa yang terjadi Bu?" tanyaku terkejut.
"Kau menyukainya, sayang?" Ibu meminta pendapatku sambil
mengibaskan rambutnya yang sekarang menjadi ikal. "Ibu rasa,
sekarang waktunya untuk memberi sentuhan baru. Sedikit perubahan
pada penampilan Ibu. Pulang kantor tadi, Ibu pergi ke salon untuk
menata rambut, kemudian belanja sedikit."
Mulutku ternganga makin lebar. Kutatap wanita modis yang
kelihatan jauh lebih muda dari usia yang sebenarnya itu dengan rasa
aneh. Seolah-olah ada wanita yang menyamar jadi ibuku! "Uh...yaBu," gumamku gugup, "Ibu kelihatan... cantik luar biasa!" Kukatakan
yang sejujurnya. Memang Ibu kelihatan cantik, tapi beliau sama sekali
tidak kelihatan seperti seorang ibu. Bukan ibuku! Biasanya Ibu
mengenakan setelan biru atau hijau tua untuk bekerja. Rambutnya
diikat rapih dan digelung kecil di tengkuk. Ibu jarang menggunakan
sepatu bertumit tinggi. Apalagi pergi belanja sepulang dari kantor!
Sambil tersenyum, Ibu mengeluarkan lasagna dari oven.
"Syukurlah kau menyukai penampilan baru Ibu. Masih ada waktu dua
puluh menit sebelum makan malam. Sebaiknya sekarang kau kerjakan
pekerjaan rumah dan tugas-tugas sekolahmu. O ya, tasmu sudah kau
letakkan di lemari?"
Akhirnya Ibu kembali menjadi ?ibu? yang kukenal. Aku
menghela nafas lega. Sambil menggelengkan kepala, kuambil tas
latihan yang tergeletak di lantai dan kumasukkan ke lemari kecil di
bawah tangga. Dengan kepala sedikit pusing, aku naik ke kamarku.
"Katie," bisik Emily dari celah pintu kamarnya yang sedikit
terbuka saat aku melewatinya menuju kamarku. "Sini!" panggilnya.
Aku dapat menduga dari nada suaranya yang panik, tentu Emily
juga sudah melihat perubahan yang terjadi pada Ibu. Kuletakkan
buku-bukuku di kamar lalu beranjak ke kamar Emily. Dengan cepat
Emily menarikku masuk ke kamarnya dan menutup pintu.
"Kau sudah melihat Ibu?" tanyanya dengan nada penuh
kecurigaan.
Kujatuhkan diriku di atas selimut putihnya yang berenda-renda
sambil mengangguk tanpa suara. Emily mondar-mandir di hadapanku.
Aneh. Setahuku Emily bukan tipe orang yang cepat panik. Seumur
hidup belum pernah kulihat Emily mondar-mandir bingung seperti ini.Usianya enam-belas tahun dan dia menjadi kepala regu pom-pom girl
di sekolahnya. Rambutnya pirang dan panjang. Tubuhnya tinggi
semampai dan struktur tulangnya langsing. Apapun yang dimilikinya
selalu sempurna. Kami berdua punya banyak perbedaan, tapi tentu
saja saling memahami. Waktu aku mengundurkan diri dari regu pom-
pom girl dan bergabung dengan tim hoki es, Emily agak heran dan
tidak setuju. Kukira Emily akan benar-benar memojokkanku dan tidak
dapat mengerti mengapa aku memilih tim hoki, bukannya pom-pom
girl seperti dia. Tapi nyatanya lambat laun ia dapat memakluminya.
"Ya...aku telah melihat Ibu," ujarku akhirnya. Entah mengapa,
rasanya tidak enak membicarakan penampilan baru Ibu. Soalnya aku
berharap, apa yang kulihat tadi cuma mimpi, dan waktu makan nanti
Ibu sudah menjelma jadi ibu yang ?dulu? lagi.
"Gimana menurutmu?" tanya Emily tak sabar. Nada suaranya
meninggi sedikit. Ia berbalik menatapku sambil bertolak pinggang.
"Katie, apa pendapatmu?"
"Aku tak pernah menduga Ibu menyukai warna merah,"
sahutku singkat. Aku tak tahu lagi apa yang harus kukatakan.
Sebetulnya aku tidak begitu suka melihat penampilan Ibu yang
terlalu... terlalu. . .muda dan modis. Tapi aku tak dapat
mengatakannya pada Emily. Rasanya kurang baik mencela Ibu
sendiri.
"Cuma itu pendapatmu?" tanya Emily agak mendesak.
Dibetulkannya letak gelang emas hadiah Natal tahun lalu dari Reed,
cowoknya. Mereka berdua adalah pasangan yang serasi. Sang cowok
adalah kapten tim rugbi dan sang cewek adalah ketua pom-pom girl."Sebenarnya kamu ingin aku ngomong apa lagi sih?" aku balas
bertanya dengan bingung.
"Pasti ada yang tengah terjadi," lanjut Emily mengabaikan
pertanyaanku. "Ibu nggak mungkin pergi ke salon dan merubah
penampilannya jika tak ada sesuatu yang istimewa. Dan kau tentunya
juga melihat bunga-bunga segar yang memenuhi ruang tamu kan?
Nah?" tanya Emily kemudian, "Apa nggak aneh?"
Kuanggukkan kepala dengan murung. Jika ada yang akan
terjadi, sebaiknya aku tak perlu mengetahuinya. Tapi Ibu tadi
berdansa di dapur dengan gaun baru dan sepatu bertumit tinggi. Aku
telah melihat dengan mata kepalaku sendiri! Pasti ada apa-apanya nih.
"Kita harus mengetahui apa dan kenapa Ibu mengubah
penampilannya dan membeli baju-baju baru," ujar Emily seraya
duduk di sampingku. "Betul nggak?"
Aku hanya menunduk menatap jari-jari tanganku tanpa
menjawab pertanyaannya. Menurut perasaanku, apapun yang terjadi
dengan Ibu sama sekali bukan urusan anak-anaknya. Tapi tentu saja
aku tak berani mengemukakan pendapatku itu pada Emily.
"Anak-anak!" panggil Ibu, "Makan malam sudah siap!"
"Gimana? Kau setuju nggak?" tanya Emily untuk yang kedua
kalinya dengan nada agak memaksa.
Aku mengangguk sambil menghentakkan kaki ke karpet biru di
lantai kamar Emily.
"Cepatlah!" panggil Ibu lagi.
Aku beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan tubuh
sebelum makan. Ketika turun ke bawah, kulihat Ibu sudah menatameja makan di ruang makan. Biasanya kita makan di dapur. Lagi-lagi
suatu perubahan! Sekarang aku mulai merasa khawatir.
Begitu melihatku turun, Emily langsung membelalakkan
matanya ke arahku dan menaikkan alisnya tinggi-tinggi sambil
mengarahkan tatapannya ke vas bunga besar di tengah meja makan.
"Maukah kau menolong Ibu mengambil salad di dapur, Katie?"
tanya Ibu yang baru saja ke luar dari dapur sambil membawa lasagna
yang masih mengepul. Aku tersentak dan segera beranjak ke dapur.
Kuharap Ibu tak melihat reaksi Emily barusan.
Akhirnya kami bertiga duduk mengelilingi meja dan siap untuk
memulai makan malam.
"Bu," Emily mulai bicara sambil menyendok salad ke
piringnya, "cerita dong. Gimana pengalaman Ibu hari ini," tanyanya
sambil memasukkan salad sesendok penuh ke mulutnya. Emily pasti
benar-benar sedang kacau pikirannya. Biasanya ia makan dengan
rapih dan sopan.
Ibu tersenyum, "Kan sudah Ibu ceritakan tadi, hari ini adalah
hari yang menyenangkan sekali," ujar Ibu dengan nada riang.
Belakangan ini jarang sekali kudengar Ibu bicara seceria ini.
"Bagaimana dengan kau sendiri, sayang?"
"Baik-baik saja," sahut Emily seraya menunduk menatap
piringnya. Dapat kulihat ia sedikit frustasi. Akupun demikian. Kenapa
Ibu merubah penampilannya sebegitu drastis? Ada rahasia apa
sebenarnya? Kelakuan Ibu sama misteriusnya dengan Sabs, Al dan
Randy belakangan ini. Tiba-tiba saja aku jadi teringat akan sahabat-
sahabatku itu. Besok aku harus mendesak mereka untuk menjelaskan
segala bisik-bisik dan rahasia yang mereka tutup-tutupi selama ini."Bagaimana denganmu, Katie?" tanya Ibu seraya menebar
senyum ke arahku.
"Bu," tukasku mengabaikan pertanyaan beliau, "kenapa Ibu
merubah gaya rambut Ibu?"
"Lho...tadi katamu kau menyukainya?" Ibu balik bertanya,
senyumnya memudar sedikit, "Kau betul-betul menyukainya nggak
sih?"
"O tentu saja Bu," kuyakinkan Ibu sambil menendang kaki
Emily di bawah meja. Menurutku, Emily juga harus ikut memuji
penampilan baru Ibu.
"Eh., y a, Ibu kelihatan luar biasa," timpal Emily tanpa
mengalihkan tatapannya dari piring.
"Bagus kalau begitu," senyum Ibu mengembang lagi, "entah
kenapa, tiba-tiba saja Ibu merasa perlu merubah segalanya. Rasanya
sudah lama sekali Ibu tidak pergi ke salon."
"Seingatku setahun sebelum Ayah meninggal," Emily
mengingatkan. "Ibu memotongnya amat pendek sebelum berangkat ke
Jamaica. Ibu masih ingat kan? Ibu tak suka dengan potongan rambut
itu dan bersumpah tidak akan pergi ke salon untuk memotong rambut
lagi."
Kukerutkan keningku cemas sambil melirik Ibu, tapi kulihat Ibu
tenang-tenang saja menikmati lasagnanya. Beliau sama sekali tidak
menanggapi perkataan Emily yang bernada menyindir itu.
"Katie, sudah siapkah kau menghadapi pertandingan besarmu
minggu ini?" tanya Ibu mengalihkan pembicaraan.
Aneh sekali. Mulanya Ibu tak setuju aku bergabung dalam tim
hoki. Tapi setelah aku menjadi anggota tim hoki sekolah, Ibu menjadipendukungku yang paling setia. Ibu selalu menghadiri tiap
pertandingan, sekalipun pertandingan itu diadakan di luar Acorn Falls.
Kurasa, pertandingan hoki es mengingatkan Ibu pada Ayah. Dan
melihatku bertanding, bisa sedikit mengobati kerinduannya. Ayah
adalah pemain hoki es semi profesional. Hoki telah mendarah daging
baginya. Tak heran aku pun merasakan gejolak itu dalam diriku.
"Bagaimana pekerjaan Ibu?" tanya Emily kembali ke topik
pembicaraan sebelumnya. Kelihatannya Emily akan terus mendesak
dengan pertanyaan-pertanyaan yang mengarah sampai akhirnya Ibu
mau menjelaskan apa penyebab sebenarnya semua perubahan ini.
"Baik," sahut Ibu seraya meneguk air minumnya, "sebetulnya
bukan cuma baik, tapi amat baik. Kelihatannya sekarang sedang
musim jual beli rumah. Ibu berhasil melakukan banyak transaksi
penjualan rumah belakangan ini. Begitu banyak nasabah baru di bank.
Minggu lalu Ibu mengurus penggadaian rumah lama dari seorang
pendatang baru di kota ini. Seorang laki-laki yang amat baik. Kemarin
ia baru saja berhasil menjual rumah lamanya itu."
Emily melirik tajam ke arahku dengan alis mata terangkat.
"Ada yang mau tambah minuman?" tanya Ibu sambil berdiri
dan mengangkat gelasnya yang sudah kosong.
Aku dan Emily serempak mengangguk dan memandangi Ibu
yang menghilang ke dapur untuk mengambil air minum.
"Betul kan!" desis Emily begitu terdengar pintu dapur tertutup.
"Apanya yang betul?" tanyaku heran. Pekerjaan lancar. Lalu
apa? "Jangan terlalu lugu dong, Katie," omel Emily, "Ibu berkenalan
dengan seorang laki-laki!""Ya. Ibu mengurus penggadaian rumahnya. Itu memang
pekerjaan Ibu kan?" ujarku makin tak mengerti.
"Katie!"seru Emily dengan tak sabar, "Selama ini Ibu nggak
pernah membicarakan soal nasabahnya. Ibu biasanya hanya
menyebutkan berapa banyak transaksi yang dilakukannya hari ini."
Tiba-tiba terdengar pintu dapur dibuka dan muncullah Ibu
kembali ke ruang makan. Dalam hati aku merasa sedikit cemas.
Jangan-jangan Ibu mencuri dengar percakapan kami barusan.
Memikirkan ucapan Emily barusan, aku jadi merasa makin
bingung. Emily benar. Ibu telah bertemu dengan seorang laki-laki
yang menarik. Mungkin karena laki-laki itulah sekarang Ibu merubah
gaya dan penampilannya: memenuhi rumah dengan bunga-bunga
segar dan berdansa di dapur....
"O ya, hampir Ibu lupa," ujar Ibu saat kami sibuk membantunya
merapihkan meja, "hari Minggu besok, Ibu harap kalian pulang
secepat mungkin untuk makan malam bersama. Ibu telah mengundang
orang yang Ibu ceritakan tadi, nasabah baru Ibu, untuk makan malam
bersama kita."
Ibu mengucapkan kalimat itu dengan nada datar. Padahal aku
sampai sesak nafas mendengarnya. Tapi Ibu tengah menatapku penuh
harap. Aku hanya bisa menganggukkan kepalaku. Sebetulnya aku
ingin menjerit sekeras mungkin, tapi tentu saja hal itu tak mungkin
kulakukan. Aku, Emily dan Ibu sudah benar-benar terlatih untuk
menjaga emosi dan perasaan, walau dalam suasana yang paling sulit
sekalipun. Tapi kali ini rasanya sudah keterlaluan. Keterlaluan sekali.
Masa Ibu punya pacar baru sih? Rasanya duniaku hampir kiamat!BAGIAN LIMA
Ketika bangun tidur hari Sabtu pagi, kamarku masih kelihatan
gelap. Kutengok jam di samping tempat tidurku. Ternyata baru jam
enam lebih tiga puluh. Aku harus berkumpul jam satu di lapangan es,
berarti, masih banyak waktu untuk tidur dan beristirahat. Tapi
ternyata, aku tak dapat memicingkan mata lagi barang sedetikpun.
Hari ini sebuah pertandingan besar yang amat menentukan akan
berlangsung. Pertandingan terbesar tahun ini. Jika siang nanti kami
berhasil mengalahkan tim Minneapolis Mongols, untuk pertama
kalinya tim Bradley Junior High akan lolos ke babak antar negara
bagian.
Akhirnya aku melompat turun dari tempat tidurku. Hampir saja


Girl Talk 11 Salah Kaprah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

si Pepper, kucing kesayanganku, terinjak dan mengeong kaget. Tiap
malam Pepper tidur dalam kamarku.
Saat melangkah di atas karpet biru yang lunak, kurenggangkan
otot-otot tubuhku sejenak. Apa yang harus kulakukan untuk mengisi
waktu lima setengah jam ini? Kusambar mantelku dan segera turun ke
bawah.
Kubuka pintu dapur dan langkahku terhenti seketika. Kulihat
sebuah bingkisan besar di tengah meja makan. Kuhampiri dan kubaca
sebuah kartu yang bertuliskan namaku di amplopnya.Dear Katie,
Meskipun belum waktunya, Selamat Ulang Tahun!
Semoga kau sukses hari ini.
Ibu bangga padamu, dan Ibu yakin Ayahmu pun demikian.
Salam sayang,
Ibu. Jari-jariku gemetar saat membuka bingkisan itu. Dari
ukurannya, rasanya sih isinya benda yang benar-benar kuharapkan.
Tapi mungkin juga bukan. Aku tak berani membuat kesimpulan
sebelum yakin betul. Dengan begitu aku tak perlu kecewa kan?
Setelah membuka kardusnya, aku terduduk dengan mulut
menganga. Di dalam kardus terdapat sepasang sepatu skating baru,
persis seperti yang kuinginkan! Benar-benar luar biasa! Bahkan Ibu
memasangkan sepatu itu dengan tali oranye yang serasi dengan
seragam hitam-oranye regu kami. Kuambil sebuah sepatu dan kupeluk
erat-erat. Aku ingin segera menilpon Sabs untuk menceritakannya,
tapi aku yakin Sabs belum bangun sepagi ini.
Sambil memeluk sepatu baruku, aku naik ke kamarku untuk
mandi dan berpakaian. Tak berapa lama kemudian aku sudah siap
untuk pergi.
Aku kembali ke dapur untuk mengambil sepatu lainnya dan
menulis surat tanda terima kasih untuk Ibu. Kutuliskan juga ke mana
aku pergi pagi ini. Kulirik jam dinding menunjuk pukul tujuh lewat
lima belas menit. Ibu dan Emily pasti masih tertidur, jadi sebaiknya
aku tidak mengganggu mereka. Setelah mengambil stik hoki dari
lemari, kusadari aku lupa membawa sarung tangan dan harus kembalike kamar mengambilnya. Tak berapa lama kemudian, aku sudah
dalam perjalanan menuju Taman Elm.
Sebelum meninggal, aku dan Ayah selalu bangun pagi di hari
Sabtu dan bersama-sama pergi ke Taman Elm untuk main es skating.
Bagi kami itu adalah kebiasaan yang mutlak. Setelah Ayah meninggal,
aku masih sering meluangkan waktu ke taman Elm, meskipun hanya
mendatangkan kerinduan pada Ayah. Entahlah, menurutku Ayah pasti
senang melihatku masih setia mengunjungi Taman Elm untuk
bersiluncur. Dan kalau Ayah senang, aku pun merasa senang.
Udara dingin membelai wajahku dan aku kembali bersemangat
mengingat pertandingan siang nanti. Begitu mendekati lapangan es,
kulihat sudah ada orang yang hadir di sana. Siapa sih yang bangun
sepagi ini untuk main skating? pikirku heran. Dalam hati aku merasa
agak terganggu, soalnya aku ingin menikmati pagi di Taman Elm ini
sendirian.
Sambil duduk di tepi lapangan, kuperhatikan pemain skating itu
mengenakan scarf bercorak daun khas Canada. Aku merasa pernah
melihat scarf macam itu. Kulepaskan sepatuku dan kuperhatikan
orang itu lebih tajam. Tak heran kalau aku mengenali scarf itu. Dia
adalah Michel!
"Selamat pagi, Bon Matin KC," tegurnya sambil
menghampiriku, "hai teman...kelihatannya sepatu skating-mu baru,
ya?"
"Bagus nggak?" tanyaku sambil menyelesaikan ikatan tali
sepatu skating baruku, "Ini hadiah ulang tahun dari Ibuku," kataku
seraya bangkit berdiri."Lho...setahuku kau baru akan berulang tahun minggu depan?"
tanya Michel sambil meluncur ke belakang.
Keningku berkerut mendengarnya. "Dari mana kau tahu hari
ulang tahunku?" tanyaku agak heran. Kok bisa-bisanya dia tahu? Aku
jadi curiga nih. Aku yakin, selama ini aku tak pernah memberitahukan
tanggal ulang tahunku pada siapa pun.
"Aku...mh...uh...," Michel tak mampu melanjutkan kalimatnya,
"dikasih tahu Sabs."
"Oh," sahutku maklum. Sabs memang biasa mengumumkan
hari ulang tahunnya pada semua murid di sekolah. Bukan tidak
mungkin ia melakukan hal yang sama dengan tanggal ulang tahunku.
Aku meluncur dan berbelok dengan cepat. Sepatu skating baru ini
benar-benar nyaman dipakai. Luncuranku begitu mulus. Tak
seorangpun akan dapat mengejarku hari ini.
"Ngapain kamu bangun pagi-pagi begini?" tanya Michel
mengalihkan pembicaraan. Ia mulai melakukan luncuran angka
delapan dengan sebelah kaki lalu dengan kaki yang lain berganti-
ganti.
"Aku merasa mh...agak tegang," ujarku sedikit gugup.
Sebetulnya aku tak ingin menceritakan perasaanku padanya. Soalnya
kulihat Michel tenang-tenang saja. Malu dong, mengakui
keteganganku! Tapi kata-kata itu keluar begitu saja.
"Aku juga," sahut Michel sambil tersenyum padaku, "lagipula
aku sudah lama nggak meluncur di udara terbuka begini. Di rumahku
yang dulu, kami punya lapangan es pribadi di taman belakang. Jadi
tiap saat aku bisa meluncur sesuka hati.""Wah!" seruku kagum. Luar biasa sekali! Bayangkan, bebas
bermain es skating setiap waktu di lapangan es pribadi! "Pasti kau
kangen pada rumah dan lapangan es pribadimu itu," lanjutku.
Michel mengangguk. "Memang. Di sana aku punya banyak
teman. Dan tim hoki sekolahku dulu juga luar biasa hebat! Delapan
tahun berturut-turut kami menjadi juara bertahan!"
"Tim hoki kami juga hebat lho!" sahutku bernada membela.
Kenyataannya memang begitu kok. Meskipun selama ini tim hoki
Bradley belum pernah menembus babak antar negara bagian, bukan
berarti kami tak mungkin menjuarainya tahun ini.
Michel tertawa. "Oh tentu saja tim hoki Bradley juga hebat
KC," tukasnya cepat, "tapi tetap saja nggak bisa mengalahkan tim
hokiku." TEENLITLAWAS.BLOGSPOT.COM
"Apa katamu?" teriakku agak tersinggung. Tapi tak lama
kemudian kusadari Michel hanya berkelakar. Maka akupun tersenyum
geli. "Jelek-jelek, sekarang kau adalah bagian dari tim Bradley lho!"
Michel mengangguk dengan serius, "Kau benar," sahutnya
perlahan. Kemudian ia tertawa, "Dan hari ini akan kita tunjukkan
kehebatan kita. Oke?"
"Oke!" aku amat gembira mendengarnya. Saat berlatih
memukul bola, aku kembali merasa tegang dan kembali bersemangat.
Sebelumnya sih aku sudah yakin regu kami punya peluang menang,
tapi dengan kehadiran Michel, keyakinan itu bertambah mantap saja!
Kami pasti mengalahkan tim Mongols itu!
Kami berdua berlatih dan meluncur sekitar setengah jam, lantas
aku kembali ke tepi lapangan."Agaknya aku harus pulang sekarang," ujarku, "kalau berlatih
terlalu lama, bisa-bisa tenagaku untuk pertandingan nanti terkuras
habis."
"Gagasan bagus!" Michel setuju, "Lagipula aku merasa agak
lapar!"
"Jam berapa sekarang?" tanyaku tiba-tiba.
"Delapan tiga puluh," sahut Michel seraya ikut duduk di
sampingku dan melepas sepatunya. "Ada janji?" tanyanya.
"Sabrina, Allison dan Randy akan makan siang di rumahku jam
setengah sepuluh nanti," ujarku, "aku harus bersiap-siap nih."
"Aku suka pada teman-temanmu KC," ujar Michel sambil
mengenakan sepatu butnya, "juga padamu. Aku merasa beruntung
sekali dapat mengenal orang-orang yang menyenangkan di tempat
yang baru."
Sesaat aku tersipu mendengar pujiannya. Aku ingat, saat
pertama kali bertemu Michel, aku punya pikiran-pikiran negatif
terhadapnya. Rupanya benar, kesan pertama bukanlah saat yang tepat
untuk mengenal seseorang.
"Kau juga seorang pemain skating yang baik," lanjut Michel.
"Thanks," sahutku sambil merapihkan peralatanku dan berdiri.
Michel yang sudah selesai merapihkan alat-alatnya pun ikut berdiri.
Kami melangkah bersama meninggalkan Taman Elm. "Ayahlah yang
mengajarku main es skating."
"Pasti Ayahmu juga pandai main skating. Apakah beliau juga
pemain hoki es?" tanyanya sambil menggantungkan sepatu skating-
nya di ujung stik hoki yang disandangnya di bahu.Sampai detik ini aku masih belum siap menghadapi pertanyaan
orang tentang Ayahku. Tiap kali pembicaraan menyinggung soal
Ayah, rasanya aku ingin menitikkan air mata. "Ayahku sudah
meninggal tiga tahun lalu," ujarku perlahan.
"Oh...maaf...," ucap Michel cepat, "aku tidak tahu...."
"Tentu saja kau tidak tahu," ujarku maklum. "Nggak apa-apa
kok."
Kami terus melangkah dalam suasana hening. Michel berbelok
ke Jalan Maple sedangkan aku pulang menuju rumah.
"Sampai ketemu jam dua belas di lapangan sekolah!" teriakku
sebelum ia menghilang.
"Tentu!" sahutnya, "Jangan lupa, makan yang banyak ya!"
pesannya.
Sambil tertawa, kupercepat langkahku menuju rumah. Cowok-
cowok tim hoki memang selalu menasehatiku untuk makan lebih
banyak. Bahkan Michel juga mulai ikut-ikutan. Lucu.
Kubuka pintu perlahan-lahan dan kuletakkan peralatanku di
lantai. Mudah-mudahan Ibu dan kakakku sudah bangun.
Saat aku melangkah masuk, tercium aroma daging panggang.
Kutarik nafas panjang. Aku ingat, dulu, sepulang dari lapangan es
bersama Ayah, Ibu memang selalu menyediakan daging panggang
untuk kami. Rasanya nyaman sekali berada di dapur yang hangat
setelah berdingin-dingin ria di luar. Duduk menikmati daging
panggang yang segar bersama keluarga di pagi hari.
Setengah berlari aku masuk ke dapur. Ibu tengah berdiri di
depan panggangan daging sambil memegang spatula di tangankanannya. Beliau mengenakan switer biru muda yang kelihatannya
masih baru. Serasi sekali dengan matanya yang juga kebiru-biruan.
Kupeluk Ibu dari belakang sambil mengucapkan terima kasih,
"Terima kasih Bu! Hadiah yang indah sekali!" seruku penuh haru.
Ibu balas memelukku. Lalu beliau mundur selangkah dan
merapihkan rambutku yang acak-acakan. "Ibu senang kau gembira
menerimanya, sayang," ujar Ibu lembut, "jam berapa teman-temanmu
datang ke mari?"
"Ya ampun! Mereka akan segera tiba Bu! Aku harus segera
membersihkan diri dan bersiap-siap."
"Cepatlah Katie," ujar Ibu yang kembali sibuk dengan
panggangannya. "Tolong bangunkan kakakmu. Jangan sampai
terlambat menyaksikan pertandinganmu!"
Kuhentikan langkahku di ambang pintu. Rasanya tak dapat
kupercaya, hari ini aku merasa betul-betul gembira. Sungguh
mengherankan, tiba-tiba saja Ibu dan kakakku menjadi penggemar
hoki! Aku segera naik ke kamarku dan berganti pakaian.
Kusempatkan untuk mandi sekali lagi dan ketika bel pintu berbunyi,
aku baru saja selesai mengenakan switer biruku.
"Biar saya yang buka pintunya Bu!" seruku sambil menuruni
tangga.
"Hai!" sapa Randy sambil melangkah masuk. "Apa khabar?"
Kugantungkan jaket kulit hitamnya di lemari dekat pintu
masuk. Randy mengenakan legging katun wama-wami dan switer
longgar warna hitam yang sewarna dengan sepatu butnya. Seperti
yang kukatakan sebelumnya, gaya pakaian Randy benar-benar luar
biasa! Maklum ia berasal dari kota besar, New York. Aku menyukaipenampilannya, tapi terus terang saja pakaian Randy tak sesuai
untukku.
"Kau tegang menghadapi pertandingan itu?" tanya Randy yang
mengikutiku ke dapur.
"Sedikit," kuakui, "tapi aku yakin akan bermain baik dalam
pertandingan nanti."
"Aku juga yakin, kalian semua akan tampil menggemparkan,"
ujar Randy penuh keyakinan, "jangan ragu Katie. Oh hai Bu."
"Hai Randy," Ibu menyahut sambil tersenyum, "apa khabarmu
pagi ini?"
"Baik-baik saja," sahut Randy yang sudah duduk di kursi.
Cukup lama juga bagi Ibu untuk memahami Randy, sampai
akhirnya bisa ikut menyayangi Randy.
"Mau kue dadar isi apa Randy?" tanya Ibu menawarkan sambil
tetap menggenggam spatula-nya.
"Adanya apa?" tanya Randy penuh rasa ingin tahu.
"Selai apel, cinnamon, blueberry, strawberry dan coklat," jawab
Ibu sambil menunjuk deretan selai di sudut lemari dapur.
"Tentu saja aku pilih selai coklat!" sahut Randy sambil
bersandar di kursi, "Aku senang sekali sarapan, terutama kalau ada
yang menyiapkannya...."
Ibu melirik ke arahku dengan tatapan penuh pengertian.
Menurut Ibu, Randy akan merasa senang jika Bu Zak, ibunya, mau
meluangkan sedikit waktu untuk memasakkan makanan baginya.
Selama ini Ibu Randy hanya memesan makanan dari restoran dan
tidak pernah memasak sama sekali.Bel pintu berdering lagi. Allison datang. Tak lama kemudian
Sabs muncul.
Setelah menikmati kue dadar buatan Ibu sampai kenyang, kami
berkumpul di ruang tengah sambil ngobrol dan nonton film kartun.
Tanpa terasa, akhirnya tibalah juga waktunya untuk berangkat ke
lapangan es sekolah. Pertandingan besar itu akan segera dimulai! Saat
itu aku kembali tegang. Mudah-mudahan saja ketegangan yang
membuat perutku mulas itu hilang saat bertanding nanti. Tapi
nyatanya, semakin dekat waktunya, aku jadi semakin tegang. Bahkan
terlalu tegang untuk mengikat tali sepatuku sendiri!BAGIAN ENAM
" Sepatumu bagus Katie," puji Flip saat ia mengoperkan bola
padaku sejam kemudian. Seluruh tim berada di lapangan untuk latihan
pemanasan. Setiap anak kelihatan amat bersemangat menghadapi
pertandingan yang sebentar lagi akan dilangsungkan. Termasuk aku
yang sudah tak sabar ingin segera memulai pertandingan.
"Makasih," sahutku seraya melakukan putaran tajam beberapa
kali.
"Apakah itu hadiah dari kawan barumu yang logat bicaranya
kayak kodok?" tanya Scottie dengan sinis, sesudah meluncur cepat
dan berhenti di dekatku dengan tiba-tiba. Percikan es dari sepatu
skating-nya membasahi kakiku.
"Sudahlah Scottie," gumam Flip seolah memperingatkan.
"Kenapa sih? Aku kan ingin tahu?" sergah Scottie seraya
menatapku dengan gaya acuh tak acuh.
Kadang-kadang Scottie bisa begitu menyebalkan tingkahnya.
Aku pernah mengalami kejadian yang tidak menyenangkan
bersamanya di saat-saat pertama aku bergabung dalam tim hoki ini.
Tapi belakangan ini ia tak lagi memusuhiku. Ada apa sih?
"Apa maksudmu?" tanyaku ikut jengkel. Kenapa ia bersikap
sebrengsek ini? Atau mungkin dia lagi tegang? Tapi rasanya nggakmungkin. Scottie tak pernah tegang menjelang pertandingan, aku tahu
pasti soal itu. Pasti ada hal lain yang membuatnya jadi begini.
"Sudah kuduga," ujar Scottie dingin sambil meluncur menjauh.
Ada apa sih? Mana aku bisa konsentrasi pada pertandingan
dengan sikap Scottie yang menjengkelkan dan membingungkan
begini? Kulirik Flip, meminta penjelasan. Tapi ia hanya mengangkat
bahunya. Tak lama kemudian Pak Budd membunyikan peluit, tanda
kami semua harus berkumpul di tepi lapangan, sehingga aku tak
sempat menanyakan apa pun pada Flip. Beberapa menit lagi
pertandingan akan dilangsungkan.
Begitu berkumpul di pinggir lapangan, dapat kurasakan
semangat yang berapi-api dari tim kami. Aku duduk diapit Michel dan


Girl Talk 11 Salah Kaprah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Flip. Mereka semua kelihatan sudah siap untuk turun ke lapangan dan
bertanding. Aku berusaha mengalihkan perhatian dari sikap Scottie
yang menjengkelkan dan berkonsentrasi pada strategi pertandingan
yang tengah didiskusikan oleh Pak Budd. "Anak-anak," ujarnya
memulai, "inilah hari pertandingan besar yang kita tunggu-tunggu.
Tidak lama lagi kalian harus turun ke medan laga. Tapi kalian telah
bekerja keras dan kalian telah siap untuk itu."
Tim kami bersorak-sorai mendengarnya. Kami semua sadar
telah berlatih tekun dan bekerja keras. Kulirik Scottie yang ternyata
Protokol Keempat 1 Maya Karya Ayu Utami Irama Pencabut Nyawa 5
^