Pencarian

Sang Idola 1

Merivale Mall 01 Sang Idola Bagian 1


teenlitlawas.blogspot.comSatu
"Hei! Awas!"
Lori Randall, cewek enam belas tahun yang sedang menatap ke
pancuran Merivale Mall itu mengangkat wajahnya, dan tercekat.
Seorang anak di atas skate-board meluncur ke arahnya! Mata birunya
terbelalak panik. Anak itu mau menabraknya!
Tapi untunglah. Pada saat-saat yang tepat sepasang tangan yang
kokoh merenggut Lori dari belakang dan menyeretnya menepi. Anak
itu menderu lewat dan lenyap di lantai bawah Mall yang penuh
pengunjung. Hanya kesiur anginnya yang membuat rambut Lori yang
lurus blond berantakan. Buku yang sedang dibacanya terlempar ?
dan jatuh tepat di tengah kolam pancuran.
"Ya ampun! Bukuku!" Lori terbelalak tak berdaya menyaksikan
bukunya tenggelam.
"Aduh, sayang sekali," terdengar sebuah suara lembut dan
dalam dari belakangnya. Ia terjingkat berbalik dan menatap
penolongnya tadi. Dan saat itu juga berubahlah kehidupan Lori
Randall.
Yang di depannya adalah seorang cowok setinggi seratus
delapan puluhan, bermata biru laut, rambut ikal coklat keemasan, danlengan yang tampak bertenaga. Cakep sekali, hingga Lori nyaris tak
mampu menatap matanya.
"Kamu nggak apa-apa?"
"Semoga," jawab Lori tertahan.
"Mestinya ada yang ngasih tahu anak itu bahwa ini bukan trek
balap," kata si cowok sambil tersenyum.
"Ah, dasar anak-anak kecil," jawab Lori, sudah kembali
menemukan dirinya lagi. "Adik-adikku yang cowok juga sebandel
itu."
"Kayanya kamu suka pada mereka, ya? Benar, kamu nggak apa-
apa?" Suaranya yang maskulin terdengar prihatin dan matanya
menatap meminta jawaban sejujurnya.
"Iya, bener?trims. Aku baru melihatnya sesudah dekat banget.
Eh, aku Lori. Lori Randall."
"Hai Lori. Aku Nick. Nick Hobart."
Blaar! Sebuah bom meledak di kepala Lori. Nick Hobart! Si
bintang lapangan tengah The Cougar, tim rugby Akademi Atwood.
Atlit terbaik di sekolah swasta paling bergengsi di daerah ini! Cowok
yang ribuan cewek Merivale mati pun mau asal bisa berkenalan
dengannya. Dan dia ada di sini, berbincang dengannya!
Lori kalang kabut mencari bahan omongan, tapi lidahnya kelu
tiba-tiba.
"Aku bekerja di Mall ini," akhirnya itu yang terucap olehnya.
Kenapa aku kok jadi nggak bisa ngomong yang bener, sih!
"Kelihatannya begitu. Aku tak mungkin salah. 'Tio'sTacos!
Muchos Buenos!'" Nick terkekeh sambil membaca tulisan berhuruf
hitam mencolok di apron kuning metalik Lori.Lori mencungirkan hidungnya. Dari sejak awal memakai
seragam Tio ini ia sudah merasa dirinya tak lebih dari halaman iklan
majalah. Repotnya, dia benar-benar butuh pekerjaan ini untuk
membiayai sekolahnya nanti. Dia ingin sekali masuk sekolah disain!
"Aku kaya iklan berjalan, ya?" Lori tersipu-sipu sambil
membesut apronnya.
"Tapi kamu memang berhasil menarik perhatian, kok," jawab
Nick sambil tersenyum. "Aku juga bekerja di sini. Di toko elektronik
ayahku ? itu lho, toko Hobart, 'High Tech at Low Price"'
Oh, Hobart Electronics! Itu sih persis di seberang Tio. Pada
malam-malam sepi tamu di Tio's?umumnya sih begitu ? Lori dan
teman-teman sekerjanya sering menyaksikan pengunjung keluar
masuk toko itu.
Namun Lori merasa belum pernah melihat Nick. Ia pasti ingat,
kalau pernah.
"Ehem," Nick membersihkan tenggorokan untuk memecahkan
kekikukan suasana. "Biar kuambilkan bukumu."
Setelah menggulung lengan baju rugbynya yang bergaris biru
putih, Nick menjangkau ke dalam air buku saku itu. "Wah, 'The Old
Man nd The Sea'! Pas benar," komentarnya lucu.
"Iya, akhirnya tenggelam juga si Old Man-nya," Lori tertawa
kecut sambil menerima bukunya dan membuangnya ke tong sampah
di dekatnya. "Padahal Senin depan aku mau ujian. Mana bisa dapat A
untuk Bahasa Inggris, kalau begini."
Dan terdengar bunyi lonceng tak jauh dari mereka. "Astaga!
Aku harus masuk lagi, nih!" seru Lori."Emm, aku juga mau lewat sana, kok. Yuk sama-sama?" usul
Nick. "Setahuku, toko buku 'Rama' dan 'Golden' tutup hari Minggu.
Lalu gimana ujianmu nanti?"
"Oh, iya. Aku harus cari akal dulu, nih," jawab Lori sekenanya.
Pada saat itu pelajaran Bahasa Inggris adalah hal yang terjauh dari
benaknya.
Sambil bergegas menuju Mall bersama Nick, Lori merasakan
suatu gelenyar asing di pembuluh darahnya. Untuk cowok yang
sedemikian kece dan ngetop, Nick benar-benar sederhana dan ramah.
Dan ia juga menikmati lirikan curi-curi Nick sesekali ke
arahnya. Mungkinkah dia menyukaiku ? sedikiiit saja? Ataukah
kebaikannya itu memang selalu dilakukannya pada siapa saja?
Dengan sedikit dorongan lengannya yang kekar, Nick
membukakan pintu Tio's untuknya. "Nah, silakan, Lori. Lain kali hati-
hatilah terhadap anak-anak berskate-board."
"So pasti." Mereka berdua tegak sambil saling beradu tatapan
cukup lama, keduanya amat menikmatinya.
"Eh, anu? eh, sampai jumpa."
"Oke. Trims lagi."
Sambil memandangnya memintas Mall, Lori tak bisa
mengenyahkan perasaan bahwa akhirnya tibalah juga kesatria
pangeran yang diimpikannya selama ini.
Bahkan aroma burrito hangus dan taco hambar pun tak bisa
menghapuskan kenangan tentang Nick di benak Lori sore itu. Sambil
menyendok saus panas dari wadah plastik, Lori terus menerus
memutar kembali peristiwa penyelamatan dirinya tadi. Cekaman Nick
tadi terasa begitu teguh, dan tatapannya begitu teduh. Dan selamamereka bersama tadi, ia tak bisa memungkiri bahwa ia merasa cowok
itu suka padanya.
"Masa dari tadi cuma sepuluh tamu saja yang masuk kemari?"
Ernie Goldbloom, pemilik restoran Tio's, menyeduh kopi untuk
dirinya sendiri. Ia tampak masygul.
"Sabar dong, Ernie." Lori mulai membereskan rak alat di bawah
meja kasir. "Ini memang lagi musim sepi."
"Hemh. Itu pula katamu bulan lalu."
Dagangan mereka memang belum pernah laku keras. Dan
mereka yang pernah mampir ke sana tahu penyebabnya. 'Hidangan
Meksiko asli'-nya nyaris tak ada bedanya dengan air teh tawar belaka.
Namun Lori tetap setia pada Ernie dan juga pada teman-teman
sekerjanya. Bisa gawat kalau sampai Tio's ini bangkrut. Ernie bakal
berubah ? dan Lori harus mencari pekerjaan lagi. Berarti harus jauh
dari Hobart Electronic, dan dari cowok terunggul di dunia!
Lori mencuci alat perajang sawi sambil tersenyum lembut.
Segala bencana yang nyaris menimpanya tadi berbalik menjadi
sebegitu indahnya?segalanya, kecuali bukunya yang tercebur.
Di ujung senja itu, dunia nyata kembali menyapanya.
Bagaimana caranya agar bisa lolos ujian Bahasa Inggris besok? Tak
mungkin meminjam dari teman sekelas. Semua temannya pasti juga
butuh, seperti dirinya. Dia harus melakukan sesuatu ? tapi apa?
Ketika akhirnya Tio's tutup, Lori bergegas hendak menjumpai
Ann Larson dan Patsy Donovan, dua sahabatnya di SMA Merivale.
Kedua gadis itu juga bekerja di Mall ini. Ann, si cantik
berambut panjang cokelat dan bermata kelabu indah, bekerja sebagai
instruktur aerobic di Body Shoppe, klub eksklusif di Mall ini.Pekerjaan Patsy, sebaliknya, tidak terlalu bergengsi. Dia bekerja
di Cookie Connection. Pekerjaan ini kurang menguntungkan bagi
Patsy, karena setiap saat ia harus berusaha mati-matian untuk tidak
melahap barang dagangannya sendiri.
Lori bergegas keluar ke tengah Mall dengan terus tersenyum
sendiri. Ia memandang berkeliling, seolah kemegahan Mall itu baru
kali ini disaksikannya. Merivale Mall adalah kompleks bangunan baru
yang seluruhnya modern. Dengan bangunannya yang empat lantai,
elevatornya yang terpoles mengkilat apik, bangku-bangku betonnya,
serta pohon-pohonnya yang rimbun, Mall itu terasa bagai taman yang
bersih dan asri.
"Hei, Lori!"
Lori terlonjak mendengar suara merdu di belakangnya itu.
Ketika berbalik, tahu-tahu ia sudah berhadapan dengan wajah Nick
Hobart lagi. Kali ini ia membawa sebuah buku The Old Man and The
Sea. Memandang cowok itu, Lori sampai nyaris lupa bernafas.
"Kurasa kau bisa pakai ini," katanya seraya mengulurkan buku
itu. "Ya ampun, makasih banget ya!" jawab Lori penuh terima
kasih. "Darimana kau mendapatkannya?"
"Rahasia."
"Dua kali sudah, kau selamatkan aku hari ini," kata Lori.
"Wah, gawat," jawab Nick sambil tersenyum. "Bakalan bisa
jadi kebiasaan, nih!"
"Anu, eh?" Lagi-lagi Lori tertegun dan kehilangan kata-kata.
"Trims. Aku pergi dulu, ya. Aku mau ketemu teman-temanku.""Oke, deh?sampai jumpa lagi." Diiringi senyum hangat, Nick
membenamkan tangannya ke saku jaket wol birunya yang berlengan
kulit putih, lalu beranjak ke arah yang berlawanan.
Tunggu! seru Lori dalam hati ketika cowok itu lenyap dari
pandangan. Enak saja! Kamu kan belum minta nomor teleponku!
***********
"Ya, cuman begitulah," kata Lori, dua minggu berikutnya dari
balik gelas es krim sundae-nya di The Big Scoop. "Dia takkan
mungkin akan mengajakku keluar bersama."
"Pokoknya kau tunggu sajalah," sahut Ann Larson sambil mata
kelabunya yang kocak menatap Lori lurus-lurus. "Nick Hobart ikut
berlatih di Body Shoppe musim panas lalu, dan orangnya memang
asyik ? tapi dia bukan serigala. Tahu maksudku, kan? Dia memang
agak lamban dalam urusan beginian. Banyak kan, cowok yang kayak
begitu?"
"Betul!" timpal si Patsy Donovan yang berwajah penuh bintik.
"Mungkin dia tipe cowok yang kalem tapi romantis. Mungkin dia lagi
nunggu saat-saat yang tepat dan ? 'kudus' ?" Lanjutnya sambil
tersenyum penuh arti sambil menyendok sesendok besar es krim
Cokelat Teler-nya. Sebenarnya hal itu tak dibutuhkannya. Patsy
memang cantik, tapi berat badannya sudah agak kelebihan, sampai
sepuluh kilo!
"Kalian memang nyebelin, deh," Lori menyisir rambutnya yang
terang dan sehalus sutera dengan tangannya. "Nick Hobart lagi
menunggu saat-saat 'kudus' untuk mengajakku keluar. Konyol, ah!"
Namun Lori tidak tertawa.Ann dan Patsy saling bertukar pandang prihatin. Mereka bertiga
sudah bersahabat sejak tahun pertama di SMA Merivale. Dan di tahun
kedua ini, saling membantu sudah menjadi kebiasaan mereka.
"Cuma gara-gara dia anak sekolah swasta kan bukan berarti dia
tak ingin mengajakmu keluar!" Patsy ngotot. "Dan kau sendiri cukup
kece dan anggun, Lor, kalau menurutku."
"Iya, dong," jawab Lori sambil mengguwil-guwil sapu
tangannya salah tingkah.
"Aku baru baca hasil survei di salah satu majalah, bahwa enam
puluh lima persen cowok lebih suka kalau ceweknya yang ngajak
keluar." Ann Larson mencocokkan kembali sehelai serat rami yang
lepas ke anyaman tasnya. Agaknya dia memang tahu segala sumber
info. "Gimana kalau kau yang mengajak dia keluar?"
"Nggak usah, ya. Gimana kalau Nick termasuk yang tiga puluh
lima persen? Begitu dia bilang 'nggak', habislah aku. Lagian, mana
aku berani bertindak begitu."
"Cuma ada satu cewek yang aku tahu bisa," Patsy menyela,
dengan tatapan penuh arti ke arah Lori. "Si Danielle, sepupumu. Dia
nggak pernah sungkan meminta apa pun yang dimauinya."
"Danielle? Mana pernah dia begitu, Patsy ? cowok-cowok
itulah yang menguber-uber dia."
"Hei!" sela Ann tiba-tiba. "Aku punya ide maut. Biar Danielle
yang meminta Nick mengajakmu!"
"APA?" Lori terbelalak.
"Asyik, tuh!" Ann berkukuh. "Dia kan juga anak Atwood.
Mungkin saja mereka kenal dekat. Nah, tinggal sodok sedikit di sini,
pancing sedikit di sana..."Patsy mengernyitkan hidungnya. "Mana pernah Danielle Sharp
bisa secanggih itu?"
"Kurasa dia akan mau membantuku, kalau dia bisa..." Lori
tercenung.
"Danielle? Membantu orang? Yang kalian omongin ini Danielle
Sharp yang aku kenal?" kata Patsy agak kurang yakin.
"Oh, ayolah, Patsy," Lori menengahi, "Danielle tidak sejahat
itu. Dia cuma?"
"Egois? Mau menang sendiri? Asosial? Adakah salah satu sifat
itu yang bisa bunyi sendiri?" tukas Patsy.
Lori jadi tidak enak sendiri. "Aku kenal dia lebih lama darimu,
Patsy, dan terus terang saja, Danielle punya sisi baik juga."
Sambil menggeleng Patsy menyucukkan sendoknya ke es
krimnya lagi. "Kamu selalu cuma melihat kebaikan orang saja, Lor."
"Tapi benar, kok, Pats," Lori menerangkan. "Kami berdua
memang dibesarkan bersama. Dia mengajarku menyelam dan
memakai eye shadow. Baru semenjak dia pindah ke Wood Hollow
Hills dan paman Mike berhasil dalam bisnisnya membangun Merivale
Mall, dia jadi agak? Tapi pokoknya walau dia kaya tidak berarti dia
tidak punya kesulitan lagi."
"Oh, si malang Danielle. Kasihan dia, kaya sekali. Sengsara
benar dia, nyetir BMW putihnya, sekolah di Atwood, dengan rambut
merahnya yang anggun?"
Lori bangkit. "Ya, itu kan cuma salah satu sisi dari sifat
Danielle. Masa gitu saja marah?"
"Iya lah," kata Patsy mengalah. "Dia punya sifat baik dan
busuk. Mungkin saja dia malah lagi ngincer Nick untuknya sendiri.""Oh, ayo lah, Patsy. Kurasa Danielle sudah nggak butuh lagi
buat nambah koleksi cowoknya. Aku nggak akan pernah minta
bantuan siapa pun untuk meminta cowok mengajakku keluar. Tapi
kalau pun aku minta tolong Dani, aku yakin dia takkan
mengkhianatiku seperti itu." Benarkah?
Ann melihat ke jamnya. "Sudah hampir jam enam!" serunya
sambil bangkit dan menyambar jaketnya. "Sampai nanti, deh!"
"Aku juga, ah, Lori," kata Patsy. "Huh! Topi kue cokelatku ini
bener-bener malu-maluin, deh. Dibandingin ini masalahmu jadi kecil
banget, ya?"
"Kalau saja dia mau mengajakku keluar," gumam Lori pada
kawan-kawannya, setengah bercanda, "maka lengkaplah sudah
hidupku."
"Jangan menyerah, Lori!" ujar Ann sebelum bangkit menuju
eskalator untuk ke tokonya yang terletak di lantai tiga. "Kurasa dia
juga menyukaimu, kok."
"Ya," timpal Patsy. "Kulihat kemarin dia melihatmu seperti
orang kelaparan yang melihat bakso ngepul!"
"Ah, dasar kalian!" kata Lori sambil tertawa. "Konyol semua!"
Namun jauh di dalam hatinya, ia berharap itu semua benar. Oh, kalau
saja dia menyukaiku?maka jadilah aku cewek paling bahagia di
muka bumi ini!Dua
Tak seperti biasanya, Kamis sore berikutnya pengunjung Tio's
agak banyak. Lori segera melupakan Danielle, Nick, atau apa pun
selain taco, Coca Cola, dan 7-Up. Begitu kesibukan mereda, Ernie


Merivale Mall 01 Sang Idola di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sebegitu girangnya sampai memberi kelonggaran pada semua
karyawan pramusaji boleh istirahat selama sepuluh menit.
Dengan menenteng buku sejarahnya, Lori duduk di bangku
beton di luar Tio's, tepat di seberang toko Hobart. Namun tak satu kata
pun terbaca di benaknya karena dia terus menatap ke seberang Mall,
berharap bisa melihat Nick barang sekilas.
"Hei, Lori! Apa kabar?" Lori memandang ke kanan dan
tampaklah Danielle, sepupunya. Dia tampak amat menawan dengan
jumpsuit biru menyalanya yang tertutup ritsleting. Pas benar dengan
sepatu but hitamnya yang dari kulit empuk. Lori jadi segan sendiri
menyadari seragamnya yang norak.
Seolah bisa membaca isi benak Lori, Danielle berkicau, "Kamu
sudah terlihat dari jarak satu kilometer. Warnanya kilau amat! Di
tempat gelap kamu juga bersinar, ya?"
"Belum." Lori tertawa. "Kamu keren amat, Dan!""Terus terang saja, aku heran kamu kok tahan, sih? kata
Danielle. "Sayang sekali kamu nggak bekerja di tempat yang lebih
asyik."
"Di salah satu butik, gitu?" timpal Lori, sambil membayangkan
dirinya di tengah rak-rak pakaian ber-merk bergengsi.
"Kalau pun harus bekerja, aku sih pilih di toko elektronik.
Macam toko Hobart itu, misalnya." Tatapan Danielle melayang ke
kaca toko Hobart.
Ada sesuatu yang menyengat di hati Lori. "Baru tahu aku kalau
kau suka elektronik, Dan," katanya hati-hati.
"Oh, sebenarnya nggak juga, sih,?" jawab Danielle, seraya
memeriksa kukunya yang panjang dan terawat. "Ah, apa bedanya.
Kurasa kau boleh tahu juga. Ada seorang cowok Atwood yang imut-
imut yang bekerja di sana. Itu toko milik ayahnya."
"Nick Hobart?" tanya Lori tanpa sadar.
Danielle menatap Lori dengan tatapan meremehkan. "Kamu
kenal Nick Hobart?"
"Ah, eh, dia kan bekerja di seberang tokoku. Mana bisa tidak
mengenalnya." Naluri Lori memekikkan sinyal bahwa kalau dia
terlalu polos bakalan bisa jadi kacau semuanya.
"Dia duduk di sebelahku, di kelas bahasa Perancis," aku
Danielle dengan mata menerawang. "Kami kebanyakan ngobrol
sendiri sampai gurunya mengancam mau mengusir kami keluar.
Buatku sih itu malah kebetulan. Aku memang pingin berduaan sama si
Nick seharian."Inilah berita terburuk yang pernah didengar Lori. Belum pernah
ada cowok incaran Danielle yang bisa menolaknya. Habis, Danielle
begitu cantik, kaya, dan periangnya!
"Dia memang belum ngomong apa-apa, tapi kurasa dia juga
suka padaku," lanjut Danielle, menoreh lukanya semakin dalam.
"Kalau tak ada aral, kurasa sebentar lagi kamilah pasangan baru di
kelas dua."
"Wow?" ucap Lori datar, semangatnya hancur berkeping-
keping.
Tiba-tiba terdengar sebuah teriakan memanggil dari seberang
mall. "Danielle! Lagi apa kamu?" Suara ayah Danielle terdengar
jengkel ketika ia menghampiri setelah menyibakkan segerombol
pembelanja.
Mike Sharp, kakak ibu Lori, adalah contoh seorang bisnismen
yang berhasil. Ia selalu berpakaian necis, dan serat-serat kelabu di
rambut hitamnya yang tebal semakin menampilkan tingkat sosialnya.
Mata hitamnya yang berkilat menunjukkan kecerdikannya?dan
menambah kegantengannya. Tapi kini dia kelihatan amat gusar.
"Alhamdulillah, akhirnya ketemu juga kau! Aku sudah
menunggumu di tempat parkir setengah jam lebih."
"Lho, Yah, katanya jam setengah enam." Danielle melirik jam
emasnya yang bertatah permata. "Sekarang baru jam lima."
"Jam setengah lima, Danielle. Yah, ayolah, nggak usah berdebat
lagi. Mana, kau bawa nggak surat-surat pentingku itu?"
"Jangan takut, Yah." Sejenak ia mencari-cari di tas kulitnya,
lalu mengeluarkan sebuah amplop."Bagus! Lain kali dengar baik-baik kalau aku menyebutkan
jam, ya!" Ia mendesah lalu berpaling ke Lori, dan tersenyum ramah
kembali. "Bagaimana kabarmu, Lor? Kerja keras, ya?"
Lori tersenyum. "Oh, Ernie memang keras, tapi dia baik, kok.
Tapi jangan bilang ini kepadanya, ya."
Pamannya tertawa. "Wah, bagus juga kau sudah belajar
tanggungjawab dan menabung untuk masuk perguruan tinggi." Lalu ia
melirik Danielle dan tersenyum maklum. "Menabung bukanlah
prestasi terbaik Danielle. Semoga sikapmu bisa menular padanya."
"Ah, Ayah." Danielle mendengus sambil mendelikkan matanya
ke atas langit.
"Ah, Paman Mike, ini kan cuma kerja-kerjaan," kata Lori.
"Tak perlu malu pada kami, Lori. Kita kan famili. Dan kami
semua bangga terhadapmu. Terus terang saja, aku pernah memikirkan
kamu dan keadaanmu, dan aku punya tawaran?berapa pun
tabunganmu pada hari ulang tahunmu nanti, akan kutambah sebesar
itu pula, sebagai hadiah. Tapi dari sekarang sampai saat itu, kamu
harus bisa menambah paling sedikit sebesar dua ratus dolar.
Bagaimana, berani?" Ia berkata pada Lori tapi matanya melirik
Danielle, yang terbelalak tak percaya.
"Oh, Paman Mike, jangan gitu ah. Itu sih bukan main-main!"
"Jangan anggap itu sebagai hadiah, Lori," kata paman Mike.
"Bukan. Itu adalah investasi untuk masa depan famili kita. Dan kau
harus menjadi contoh nyata tentang arti dari kerja keras. Nah,
bagaimana?" Lalu ia menyeringai ke arah Danielle.
"Gila-gilaan!" Lori tak tahu harus berkata apa. Melipat duakan
tabunganku! Benaknya segera berputar cepat menghitung jumlah jamlembur yang harus dikejarnya sampai hari ulang tahunnya nanti, untuk
memperoleh uang sebanyak mungkin. Rasanya tiba-tiba saja bangku
perguruan tinggi sudah dalam jangkauan.
"Nah?artinya kau setuju!" Mike Sharp mengacungkan
tangannya, dan bersalamanlah mereka berdua.
Danielle menatap ayahnya dengan kesal. Mata hijaunya
menyipit dan terasa mengancam. "Ayah nggak telat rapat, nih?"
tanyanya dingin.
Ayahnya menatap jam tangannya. "Betul juga. Nah, aku pergi
dulu ya. Sampai jumpa, anak-anak," katanya sambil berbalik menuju
ke eskalator.
"Daah,Lori," kata Danielle masam. "Jangan terlalu keras
bekerja," tambahnya sembari melangkah ke toko Hobart.
Begitu sampai di toko Tio lagi, Lori segera masuk ke ruang
Ernie untuk mendaftar untuk kerja lembur. Untung ada seorang
karyawan yang hendak cuti akhir minggu depan, maka ia segera
memasang namanya untuk menggantikannya.
Tak banyak tamu yang datang untuk makan siang hari itu, maka
Ernie meminta Lori membantu Stu Henderson, koki, untuk mencatat
persediaan bahan. Dengan senang Lori mematuhinya, walaupun itu
berarti harus menghitung tomat di dalam ruang pendingin. Namun
belum lagi beberapa menit, giginya sudah gemeletuk kedinginan.
Stu mendongak dari map-nya. "Lho, kok ada suara kelutuk-
kelutuk?" katanya.
"Ehm, anu, gigiku. Dingin banget, ya?" jawab Lori. Lalu bersin."Kasihan." Stu tampak cemas. "Sana, cari teh atau kopi hangat.
Biar aku yang bilang sama Ernie. Dia pasti juga nggak mau kamu mati
beku di sini."
"Trims, Stu." Dia sama sekali tak ingin sakit. Apalagi di saat
sedang butuh banyak jam lembur seperti sekarang.
Dengan gelas styrofoam isi teh di tangan, Lori berjalan ke
tengah Mall. Dengan cepat melewati beberapa toko, sampailah dia di
depan sebuah pintu yang biasanya tak diperhatikan para pembelanja.
Dibukanya sedikit dan masuklah ia. Itu adalah pintu ke tangga menuju
bagian bawah Merivale Mall. Asyik juga buat duduk dan merenung
sendiri.
Di lantai terbawah adalah jalur bongkar muat truk-truk pengirim
barang dagangan. Lori sering merasa seperti berada di balik sebuah
panggung pertunjukan, setiap kali ia berada di sini. Suatu tempat
tertutup dan misterius yang tak pernah diketahui para pembelanja,
namun tanpa itu semua Mall ini takkan berfungsi. Ia menuju ke antara
tumpukan peti lalu duduk.
"Hei, non! Ngapain di situ?" terdengar suara di belakangnya.
"Itu bukan kursi tamu. Isinya barang elektronik mahal, tahu?!"
Lori terlompat seketika, mengira itu adalah Satpam. Ternyata
tampak wajah Nick yang tersenyum padanya.
"Ah, kamu rupanya!" Lori tertawa lega. Campur senang. "Aku
tak menduduki barang ringkih, kan?"
Nick menggelang sambil tersenyum. "Itu kosong, kok." Lalu ia
bergeser dan duduk sambil menyilakan Lori duduk di dekatnya.
"Istirahat?" tanyanya."Aku lagi ngitung tomat di kamar pendingin, dan tahu-tahu?"
tanpa terduga Lori kembali bersin-bersin hebat.
"Nah, lu," kata Nick. "Nih, pakai saja jaketku dulu, sampai
kamu agak hangat."
"Nggak apa-apa, kok. Bener." Memang benar. Tatapan lembut
Nick telah menghangatkan tubuh Lori sepuluh derajat, paling tidak.
"Iya lah." Nick melepas jaketnya dan melibatkannya ke bahu
Lori. "'Tanganmu sampai keriput gitu! Nah, gimana? Mendingan,
kan?"
Lori mengangguk. Jaket Nick masih hangat dan samar-samar
tercium aroma after-shavenya.
"Thanks." Dipegangnya gelas tehnya dengan kedua tangan,
karena tiba-tiba dia malu sendiri. Kenapa dalam lamunanku aku bisa
ngobrol asyik sama Nick, padahal kalau ketemu malah jadi bungkam
gini?
"Gimana kabarnya tim rugby Atwood?" tanyanya, sekedar
mencari bahan pembicaraan. Sebenarnya dia sudah membaca koran
dan tahu pasti bagaimana prestasi terakhir regu Nick.
"Lumayan," kata Nick merendah. "Tapi pertandingan terberat
kami masih Sabtu depan. Kalau menang di sana, besar peluang kami
jadi juara musim ini."
"Selamat, deh," kata Lori. Dia tak tahu apa-apa soal bola, tapi
begitu kenal Nick dia sudah minta kursus kilat pada ayah dan
kakaknya. "Scrambling terus sajalah, Nick," katanya.
Nick tersenyum dan mengangkat alisnya. "Baik, coach,"'
katanya berolok-olok. "Kalau bisa ngalahin Viking Sabtu depan, akankusebarkan bahwa itu karena aku terus scrambling, sesuai perintah
pelatih Lori."
Lori tertawa. "Ah, aku sih nggak ngerti apa-apa soal bola,"
katanya mengaku dengan malu-malu.
"Nggak apa-apa. Kapan-kapan kuajari kamu." Duduknya sangat
dekat dengan Lori, dan matanya menatap dengan tatapan yang
membuat jantung Lori lupa berdetak. Kesunyian terus menggumpal,
dan Lori menduga Nick ingin mendengar jawabannya.
Lori segera memecah kesunyian. "Eh, kamu kenal sepupuku?
Danielle Sharp?"
"Si Danielle itu sepupumu? Dia teman sekelasku di Bahasa
Perancis." Di matanya tak tergurat kesan apa pun dan sesaat ia seperti
hendak mengatakan sesuatu. Namun ternyata ia malah melirik sekilas
ke arlojinya.
"Lori," katanya. "Aku harus segera bekerja lagi. Tapi aku mau
nanya sedikit. Kamu ada acara, Sabtu depan? Maksudku, gimana
kalau kita nonton, atau kemana, gitu?"
Ini dia! Inilah saat yang ditunggu-tunggunya! Akhirnya cowok
ini mengajakku keluar juga! Lori merasa jantungnya berdetak amat
cepat sehingga rasanya ia melayang dari peti yang didudukinya.
Dengan sedikit menegakkan duduknya, ditahannya jaket di
bahunya sambil tersenyum. Bagaimana komentar Patsy dan Ann kalau
mendengar ini!teenlitlawas.blogspot.com
"Waduh, Nick. Kayanya boleh juga tuh," jawabnya girang. Lalu
tiba-tiba sesuatu merayapi benaknya. Dia baru saja mendaftar untuk
kerja lembur Sabtu malam nanti! Tak mungkin lagi mengelak.Dengan terbata-bata Lori berbalik menatap Nick. "Aduh, aku
lupa! Aku baru ingat kalau harus lembur, malam Minggu nanti."
"Oh, ya?" Nick tampak kecewa.
"Kalau bisa sih aku ingin mengubahnya," kata Lori cepat. "Tapi
rasanya nggak mungkin."
Nick mengangkat bahu. "Yah, sudahlah. Aku ngerti, kok.
Gimana kalau?"
"Hei, Nick! Dipanggil ayahmu, tuh! Pronto!" terdengar seruan
seorang karyawan Nick dari atas tangga.
"Bilangin aku segera ke sana," seru Nick kembali. Lalu berbalik
menatap Lori dan mendesah. "Rasanya aku mesti segera kerja lagi,
nih. Semoga kita ketemu lagi, kapan-kapan," katanya, dan melompat
turun dari peti dengan enteng.
Ah, kalau saja tadi nggak kepotong! Tadi Lori amat berharap
Nick mengusulkan hari lainnya. Namun sekarang terlambat sudah.
"Ini, kamu kelupaan." Ia ikut turun di sisinya dan melepas jaket dari
pundak-nya.
"Pakai saja dulu, kalau masih kedinginan."
Lori tergoda. Apa kata Danielle nanti kalau melihatku memakai
jaket Cougar si Nick? tanyanya ke dirinya sendiri. Mungkin akan
dibunuhnya aku, pikirnya sambil tersenyum hambar. Tapi rasanya
pantaslah, asal bisa melihat ekspresi mukanya. "Enggak ah. Bawalah
saja. Aku juga belum tahu apa kita masih bisa ketemu lagi," katanya
terus terang.
Nick menatapnya beberapa saat. "Yang itu sih kayanya harus
dibuktikan dulu," katanya.Diterimanya jaketnya, lalu melambai singkat, dan pergi dengan
melompati dua anak tangga sekaligus. Lori menyaksikannya
menghilang ke dalam kegelapan. Sekonyong-konyong ia menggigil
lagi, tapi bukan karena melepas jaket tadi. Sesuatu menyengat di
benaknya.
Dia telah menolak ajakan Nick bermalam Minggu. Mungkinkah
ini akan menjadi peluang bagi Danielle? Akankah Nick mengajak
Danielle?
Tak ada lagi yang bisa dilakukannya selain menunggu.
Menunggu dan berharap semoga Nick kembali mengajaknya sebelum
jatuh ke pelukan Danielle yang cantik dan aduhai!Tiga
"Gimana menurutmu?" tanya Danielle sambil lalu. Ia tahu
dirinya tampak menawan di dalam cermin tiga sisi di toko Facades.
Rok kuning kecoklatan dan blus bersabuk itu benar-benar anggun.
Suede-nya semakin membuat tubuhnya semakin sempurna. Senyum
menawan Danielle semakin melebar menyaksikan bayangan iri di
wajah Teresa Wood.
"Suede-nya memang pas," gumam Teresa. "Membuatku tak
tahan ingin membelainya."
"Memang itulah tujuannya," kata Danielle sambil tersenyum
cerdik.
"Oke, Danielle, ceritain dong ada apa sebenarnya?" kata Teresa
dengan alis terjungkit ketika mereka kembali ke kamar pas. "Kamu
terus-terusan belanja sejak Kamis sore yang lalu. Jangan ngaku
ngamuk sama ayahmu lagi."
Teresa mengeluarkan sisir dan menyisiri rambut coklatnya yang
tebal dan panjang sebahu. Poninya seolah memperkuat bola matanya
yang cokelat. Beberapa bintik kecil menghiasi hidungnya yang
mendongak, yang sering jadi bahan olokan Danielle. Walaupun
berambut merah, Danielle tak punya bintik setitik pun, seperti yang
sangat menjengkelkan Teresa ini."Ah, urusan sama Ayah itu sih soal kecil," jawab Danielle.
"Aku begitu kekinya sampai beli-beli baju segini banyak biar
gondokku agak berkurang." Danielle masih uring-uringan bila ingat
betapa ayahnya telah mempermalukannya di depan Lori. Kenapa sih
ayah selalu membawa-bawa nama sepupunya itu sebagai contoh?
Lagian, Lori kan terpaksa bekerja, sementara dia tidak. Cuma itu. Tapi
memang Ayahlah yang mencari uang.


Merivale Mall 01 Sang Idola di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sejak hari dia ketemu sepupunya itu, Danielle tak bisa
mengelak bahwa dia curiga Lori juga naksir Nick Hobart. Cewek
mana sih yang enggak? Tapi dia kan nggak perlu terlalu cemas. Dia
kan Danielle Sharp ? yang selalu tampil anggun, menawan, dan bisa
menaklukkan cowok mana pun. Nick Hobart hanyalah satu dari
cowok yang ada di daftarnya. Itulah sebabnya kenapa dia habiskan
akhir minggu ini untuk belanja. Ia sedang menumpuk gaun sebagai
senjata. Dan suede adalah bom-nya.
"Ayolah, Danielle. Siapa sih cowok beruntung itu?" desak
Teresa. "Ngaku saja deh. Aku kan kenal kamu banget."
"Iya deh, ini ciri-cirinya: bodinya kekar, dan pemain terbaik
Cougar."
"Ben Frye?" tanya Teresa terkejut. Ben adalah gelandang kanan
Cougar dan adalah kecengan Teresa sejak seabad yang lalu! "Kalau
benar dia, kau bakal kehilangan sahabat, deh, Dan."
Ketika Danielle pindah ke Atwood dari sekolah negeri, Teresa
Woods dan Heather Barron lah dua orang pertama yang mau
menerimanya sebagai teman. Tak mungkin ia akan menyakiti mereka.
Mereka akan bisa menyisihkannya dari pergaulan di Atwood."Lho, aku kan menyebut yang terbaik. Siapa pun akan tahu
bahwa maksudku adalah penyerang tengah, dong!"
"Sejak kapan kamu jadi pecinta bola, Dan?" tanya Teresa. "Biar
kutebak, deh. Sejak kamu nguber Nick Hobart?" Tampak jelas sekali
kelegaan di wajah Teresa.
"Gol, non Woods." Danielle menatap Teresa dengan mata
membesar sambil menyisir rambutnya. "Ternyata anda tidak sedungu
kelihatannya," katanya mengolok.
"Dan kamu ternyata nggak sepintar yang kau kira," balas Teresa
dengan suara semanis madu. "Semoga kau cukup pintar untuk bisa
menggaet Nick Hobart."
************
"Lori? Masa nggak dengar sih?" Pak Randal memandang anak
gadisnya sambil tersenyum menggoda. 'Tolong ambilkan
kentangnya."
Dengan terkejut Lori segera mengangsurkan piring kentang ke
ujung meja. "Eh, maaf, Yah."
"Alhamdulilah, kamu sadar lagi. Tadi sepertinya kamu di
awang-awang," olok ayahnya. Dia memang tetap suka bercanda
dengan anaknya ini, walaupun sudah menjadi pimpinan di SD
Merivale.
"Lori lagi melayang-layang," kata Theodore, si badut keluarga
yang baru berusia sebelas tahun. "Kasus taco tumpah lagi, 'kali?"
"Hayo, Teddy." Ibu Lori menghentikannya dengan senyuman.
Rambut Bu Hobart, yang bekerja sebagai perawat, tak kalah indah
dengan Lori. Ia jarang memakai make up, namun matanya yang biru
kelabu seolah memancarkan energi yang tak habis-habisnya."Kakakmu lagi punya banyak tugas, belakangan ini," kata ibu
Lori. "Sekolah dan pekerjaan, dan sekarang masih ditambah dari
Paman Mike. Itukah yang membebanimu, Lori?"
"Ibu bicara padaku?" Lori memang jadi agak telmi, telat mikir,
belakangan ini. Kecuali tentang urusan Nick Hobart. Ia tak hentinya
berharap akankah cowok itu mengajaknya kencan lagi, dan
mencemaskan Danielle yang terus memburunya sementara Lori tak
berdaya karena disibukkan oleh taco dagangannya. Seragam oranye
mana bisa menandingi gaun-gaun mewah dan BMW Danielle ?
Di kamarnya seusai makan malam, Lori mengambil sebuah
sampul piringan hitam dan menuju ke meja gambarnya. Hanya tugas
desain-lah yang bisa mengusir pikiran tentang Nick di kepalanya. Ia
sedang merancang sampul album untuk tugas kursus seni-nya di SMA
Merivale, dan sekarang sudah hampir selesai.
Diamatinya dengan bangga. Bu Cavanaugh, gurunya, selalu
memuji karya-karyanya dan menyatakan bahwa Lori memang punya
bakat desain, mengingat kepekaannya terhadap warna dan perspektif
serta cara berpikirnya yang runtut. Lori juga berbakat dalam urusan
jahit menjahit. Dia mampu membuat sendiri gaunnya sedemikian
sehingga Danielle bisa bertanya dengan iri, "Kamu njahitin baju di
mana, sih?"
Lori tahu bahwa dirinya tidak memukau semua orang seperti
karya-karya desainnya. Hanya teman-teman dekatnya, dan guru-
gurunya yang tahu cita-citanya: menjadi perancang pakaian. Di saat
sedang merancang gaun atau menciptakan sebuah perhiasan di
bengkel logam, ia bisa terbenam dalam dunia terpencil yang tak akanbisa dibukanya kepada siapa pun. Di sanalah dia bisa melepaskan diri
dari kecemasannya tentang sekolah, pekerjaan, atau segala apa pun.
Eh, hampir segalanya, pikirnya sambil mengamati sampul
album itu lebih teliti. Penyanyi utama di lukisan pastelnya itu
mengingatkannya pada seseorang. Agaknya tak mungkin menghindar
dari Nick Hobart.
***********
Pikiran yang sama muncul lagi di benaknya esok harinya ketika
makan siang bersama Ann dan Patsy.
"Aku sama sekali nggak dengar berita tentang dia seminggu ini.
Mungkin dia nggak biasa ditolak. Mungkin dia langsung jatuh ke
pelukan Danielle. Dengan adanya Danielle, apa dayaku?" Lori
mendesah dan menyisihkan setumpuk makaroni dan keju ke tepi
piringnya.
"Dia pasti akan mengajakmu lagi." Ann mencoba membesarkan
hatinya. "Kurasa dia benar-benar menyukaimu."
"Kalau memang menyukaiku, caranya menunjukkan benar-
benar aneh. Kenapa dia sama sekali tak pernah menjenguk barang
sekejap ke toko Tio? Mungkin dia terlalu sibuk ngajarin Danielle
parler francaise."
"Hei, kalem dong," sela Patsy. "Biarpun sepupumu satu sekolah
dengannya, tidak berarti kamu harus nyerah gitu saja, dong."
"Patsy benar, Lori. Ingat, dia mengajak kamu, bukan Danielle,"
kata Ann mengingatkan.
"Ya, tapi itu kan Kamis yang lalu. Lalu aku mesti ngapain dong,
sekarang?" erang Lori. "Aku nggak pernah melihat dia kalau nggak
kebetulan ketemu di Mall. Itupun nggak sering. Kali lain ketemu dia,mungkin saja dia sudah bersama Danielle masuk ke Tio memesan dua
tostadas. Habislah selera makanmu." Lori menjatuhkan garpunya ke
piring.
"Cari akal dong Lor," kata Patsy sambil mengunyah sesuap
kentang goreng. "Mungkin kau bisa berlagak tak sengaja
menubruknya, misalnya? Apa sih kesukaan dia? Kemana saja dia
selain ke sekolah atau bekerja?"
"Biasanya dia di lapangan bola. Latihan. Syukurlah sekarang
bukan waktunya penerimaan anggota baru cheerleaders. Jadi Danielle
nggak bisa masuk," jawab Lori.
Mata abu-abu Ann tiba-tiba bersinar. "Tapi belum terlambat
buatmu untuk jadi suporter, Lori. Terutama buat si penyerang tengah
Cougar. Mereka mau main melawan Viking hari Sabtu depan di
Atwood. Kesempatan buatmu ketemu Nick."
"Hmmm ? kau benar," gumam Lori penuh perasaan. "Aku
tahu ini pertandingan penting. Mungkin kalau melihatku, dia akan
tahu kalau aku menyukainya."
"Kamu juga harus bicara dengannya juga sehabis pertandingan,
tolol," kata Patsy. "Itu yang terpenting. Kau buat dia terpesona.
Pikirkan apa yang akan diperbuat Danielle. Lawan api dengan api."
"Hei, hei! Masa aku nggak boleh ngomong sih, sekarang ini?"
protes Lori sambil tertawa.
"Nggak!" kata Patsy tegas. "Jangan takut. Terima kasihnya
belakangan saja."
"Kalian mau menemaniku, kan?"
"Jelas. Kami nggak mau kamu ngibrit kabur begitu
pertandingan selesai," kata Ann."Kami tunggu besok sore untuk menemanimu belanja pakaian
baru."
"Nggak usah yang terlalu nyolok," kata Ann hati-hati. "Kurasa
Nick bukan tipe cowok seperti itu. Biar saja Danielle yang begitu.
Kamu tetap tampil apa adanya. Nanti biar kubawakan peralatan
makeup-ku yang baru. Untuk menonjolkan matamu. Dan sedikit
pemerah pipi."
"Lho?! Katanya aku harus tampil apa adanya?"
"Tenang." Patsy menepuk lengannya. "Sesudah kami selesai,
bersikaplah apa adanya ? tapi betul-betul mempesona."Empat
"Gila! Masa dia menolakku?" Danielle menginjak habis pedal
remnya dan membelokkan mobilnya ke tempat parkir siswa Akademi
Atwood. Dia, Teresa, dan Heather barusan menyelinap ke luar untuk
makan siang dan baru kembali untuk ikut pelajaran berikutnya.
"Lihat gaun ini." Danielle menunjuk bahan kasmir aprikot
mahal yang tampak seolah memang dibuat khusus untuknya. "Todd
Schaeffer sampai harus lembur mengerjakannya. Kalau belahan
lehernya lebih rendah lagi, bisa-bisa aku sekarang ini sudah dipanggil
ke ruang guru."
Sepanjang waktu makan siang, Teresa dan Heather hanya
mendengar uneg-uneg Danielle tentang Nick. Agaknya baru kali ini
dia kepentok cowok yang bisa menolaknya. Kedua temannya itu
mendengarkan dengan sabar, namun sesekali terlihat olehnya mereka
menertawakannya. Pokoknya, pikir Danielle, akan kubuktikan.
"Sayang nggak ada pesta apa pun, akhir minggu ini," kata
Heather sambil memainkan sebelah anting peraknya. "Kau takkan bisa
memikat Nick di sekolah. Kamu harus ajak dia menyendiri ke suatu
tempat yang lebih santai dan romantis. Lampu redup, dansa ?"
Danielle menatap Heather, sebuah senyuman cerdik
menggantikan kemuraman wajahnya. "Ya, betul, Pesta! Ngeceng dikelas sih kuno," katanya samb mencebik. "Di pesta, segalanya bisa
dibuat memanas."
"Ya, memang," kata Teresa. "Tapi ada masalah. Dalam waktu
dekat ini belum ada yang punya rencana buat bikin pesta."
"Ah, ada kok," tangkis Danielle cepat. "Cewek penjamu terbaik
di Akademi Atwood mau mengadakan pesta Sabtu depan sehabis
pertandingan bola. Cougar sudah pasti akan menang lawan Viking,
dan Nick pasti akan mau ikut merayakannya, rumahku."
"Dan cowok waras macam apa yang bisa menolak seorang
cewek keren, mau, dan mampu membantunya?" tambah Heather
dengan suaranya yang serak serak basah.
"Tepat sekali. Sabtu pagi pertandingan. Sabtu siang pesta. Lalu
Sabtu malamnya, siapa yang tahu?'
"Minggu paginya pasti sudah bakalan tersebar bahwa kamu
pacaran sama Nick," kata Teresa riang "Tapi ? kuharap kamu undang
Ben Frye juga."
"Iya. Juga Rob Matthews!" kata Heather. Dia memang sudah
lama mengincar Rob, yang pindah k Atwood September lalu.
Keluarganya pindah dari California dan anak itu terus-terusan
mengeluh tentang Merivale, yang dianggapnya cuma sebuah kota
kecil. Cita-citanya menjadi bintang film dan tinggal di Beverly Hills.
Sudah tentu hal itu membuatnya cocok dengan Heather. Heather yang
berambut hitam mengkilat dan bermata biru adalah yang terkaya dan
paling 'wah' dari ketiga sahabat itu.
"Undangan pertama adalah Nick," kata Danielle. "Akan
kutemui dia di kelas nanti.""Waduh, nggak enak juga nih, ngomongnya, Dan, tapi gimana
kalau Mister Keren itu menolakmu? Gimana kalau dia ada acara lain,
misalnya?" tanya Teresa.
Danielle merengut. Kadang-kadang Teresa memang
menyebalkan. "Oh, dia pasti akan mau," katanya dengan yakin sambil
menghaluskan rambutnya yang panjang dan tebal. "Lihat saja nanti."
Mereka bertiga segera keluar dari mobil Danielle dan masuk ke
sekolah yang tertata rapih. Di depan bangunan abad sembilan belas
berdinding dirambati tanaman dan berjendela tinggi itu terdapat tiang-
tiang putih. Atwood sangat menyadari status dan prestisenya dan
Danielle amat mengagumi setiap detailnya.
Sudah waktunya ngeceng sungguhan! Pada jam pelajaran
bahasa Perancis Danielle menduduki kursi di sebelah yang biasa
diduduki Nick. Sayang cowok itu terlambat dan duduk di kursi yang
terdekat dengan pintu. Bu DuChamps mengoceh tentang kata kerja
atau entah apa, sementara Danielle terus memandangi Nick. Jaraknya
terlalu jauh dari Danielle, sehingga untuk melempar kertas pun tak
akan sampai.
Begitu pelajaran selesai, Danielle segera memintas jalan Nick.
"Hai Nick. Sayang kamu terlambat. Aku sudah siapkan kursi buat
kamu. Ada apa?"
"Oh, hai, Danielle," jawabnya dengan nada tak acuh. "Terus
terang saja aku lagi ketiban problem. Mobilku mogok tadi pagi begitu
aku masuk ke tempat parkir, dan tetap nggak mau jalan walaupun
sudah kubetulkan sampai jam makan siang. Sekarang aku harus
ngabarin ayahku bahwa aku bakalan telat masuk kerja. Lihat saja
tanganku!" katanya sambil tertawa. "Aku jadi kaya habis mandi oli!""Kasihan," kata Danielle bersimpati. "Mobil kadang-kadang
memang suka ngaco. Tapi nanti aku kebetulan juga mau ke Mall.
Kalau mau ikutan sih boleh-boleh saja."
"Bolehlah. Kalau tidak merepotkanmu."
"Nggak apa-apa kok, Nick." Sambil berkata demikian, dia
menembakkan senyumnya yang paling sexy. Pucuk dicinta ulam tiba,
pikirnya. "Kita ketemu di tempat parkir ya, sehabis jam terakhir?
Kamu tahu mobilku, kan?"
"BMW putih yang nomernya SHARP-1, kan?"
"Betul," Danielle tersenyum. Puas bahwa dia pun
memperhatikan. "Sampai nanti."
Seperti biasa, Sejarah selalu membuatnya bosan. Siapa peduli
tentang masa lalu, sementara masa sekarang sebegini asyiknya! Begitu
bel terakhir berbunyi, Danielle segera keluar ke kamar kecil.
Disisirnya rambutnya, dibetulkannya eye-liner dan lipgloss-nya, dan
disemprotnya pergelangan dan lehernya dengan Fallen Angel.
Ayahnya mencak-mencak waktu tahu dia membeli parfum mahal itu,
tapi mana dia tahu bahwa ini adalah investasi terbaik untuk menggaet
cowok!
Nick sudah menyandar di mobilnya dengan tangan terlipat di
dada ketika Danielle muncul. Nick melambai, dan dia mempercepat
langkahnya menapaki tangga. Bukan main! Sekarang semua orang
melihat bahwa mereka berdua jalan bersama. Lamunan itu
membuatnya menggigil sendiri.
"Hai! Masuklah, pintunya nggak dikunci, kok," kata Danielle
sambil masuk ke mobil. "Bagaimana Kimia-nya tadi?""Biasa." Nick tertawa sambil melipat tubuhnya yang jangkung
dan ramping agar bisa muat ke tempat duduk. "Rob Matthew
menjatuhkan kompor Bunzen dan nyaris membakar lab."
Jadi cowok idaman si Heather adalah mahluk konyol. "Dan
kurasa Mister California itu tak akan ambil peduli," kata Danielle
sambil menyalakan mesin. "Si Rob benar-benar gila. Hutan terbakar
pun tak akan membuatnya kagum."
"Oh, dia akan bisa mengatasi sikapnya itu," kata Nick.
"Memang susah, jadi anak baru. Mungkin dia masih kangen sama San
Diego."
Manis benar! Serahkan saja pada Nick, yang akan tetap ramah
walau terhadap kunyuk sekalipun. "Oh, iya. Pasti. Aku tahu," kata
Danielle. "Tapi dia terlalu suka omong tinggi. Dan aku suka nggak
sabar sama orang sok."
Sekilas lirikan Nick seolah bertanya-tanya, namun segera
hilang. "Trima kasih ya. Kalau nggak nebeng kamu, aku bakalan naik
bis, deh."
"Wah! Mana bisa kami membiarkanmu seperti itu?!" Danielle
tak bisa membayangkan terakhir kalinya dia naik bis kota. Rasanya
sudah lama sekali, semenjak usaha ayahnya sesukses ini. Kini dia
nyaris tak bisa membayangkan ? apa jadinya kalau dia terlihat naik
bis kota!
"Aku heran sepupuku, si Lori. Dia nggak punya mobil, jadi naik
bis setiap hari. Kok bisa tahan, ya?"


Merivale Mall 01 Sang Idola di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kurasa dia tak hendak membuatmu mencemaskannya," kata
Nick, matanya menatap ke luar jendela.Danielle mengertakkan giginya. Ngapain aku ngomongin Lori?
Bego bener! "Lalu, Nick," katanya, berusaha mengubah pembicaraan,
"apa kegiatanmu nanti sesudah selesai musim pertandingan ini?"
"Kurasa sebentar lagi sudah suasana Natal, berarti toko bakalan
sibuk. Bener-bener sibuk. Untung ayahku cukup punya pengertian
untuk membolehkan aku latihan. Kurasa dia benar-benar fans Cougar
yang fanatik, ya?"
"Bukannya semua orang begitu?" tanya balik Danielle sambil
melebarkan matanya yang indah. "Ngomong-ngomong, aku mau bikin
pesta kemenangan terbesar bagi Atwood, sehabis pertandingan Sabtu
nanti. Kuundang seluruh tim!"
Nick kaget mendengar Danielle yang begitu bersemangat.
"Bagus."
"Bintang timnya mau datang nggak, ya?" kembali Danielle
mengajuknya dengan senyuman ribuan watt.
Nick tersipu oleh sanjungan itu. "Semua anggota tim ikut
bekerja keras."
"Ah, ayolah. Nggak usah merendah, Nick," kata Danielle
sambil melipatnya dalam senyumnya. "Mau sajalah. Pestanya seru
kok. Aku jamin."
"Oke. Mana bisa aku menolak fans sehebat ini? Semoga kita
menang."
"Mana bisa Cougar kalah kalau Nick ikut turun?" tanya
Danielle sambil tersenyum lagi. "Nah, kita sampai. Kamu turun di sini
saja biar nggak terlambat, baru aku parkir nanti."
Nick menggeleng malu-malu sambil meraih handel pintu.
"Trims atas tebengannya, Danielle.""Sama-sama," jawabnya renyah. "Sampai besok." Sambil
melambai dan mengedipkan matanya, Danielle melaju meninggalkan
tikungan. Dari kaca spion dilihatnya cowok itu masih berdiri
memandang ke arahnya menuju tempat parkir. Hal itu membuat
kemenangan ini terasa lebih manis lagi.Lima
"Aduh, nggak kelihatan nih!" keluh Lori sambil menutup
matanya. "Tolong ceritain, dong."
Cerahnya cuaca amat mendukung suasana pertandingan, dan
semua tempat duduk di tepi lapangan Akademi Atwood terisi penuh.
Sambil bersorak riuh, para penonton berdiri memberi semangat tim
Cougar yang unggul lima angka, sementara waktunya tinggal tersisa
dua menit lagi.
"Nick merebut bola," kata Patsy. "Ia bergerak mundur. Tak ada
teman yang bisa membantu. Aduh, dia di-tackle lagi."
"Aduh, jangan dong!" erang Lori. Matanya membuka seketika
dan ia mencari-cari ke lapangan. Ketika terlihat bayangan Nick, ia
mendesah lega. "Tuh, dia lolos. Dia berhasil lewat!"
"Indah sekali," seru Patsy ketika bola itu terlempar melengkung
melintasi lapangan. Jatuh tepat ke pelukan penerimanya, yang segera
membawanya ke garis gawang untuk membukukan touchdown, dan
melolonglah penonton dengan riuhnya.
"Gila!" seru Ann mengatasi keramaian ketika nilai bertambah.
"Nick barusan memenangkan pertandingan ini!"
Ketiga gadis itu melonjak-lonjak di tempat duduk mereka
sambil bersorak sampai serak. Lori mencari-cari sang bintanglapangan. Tampak dia sedang melonjak-lonjak di lapangan, dipeluk
oleh semua teman seregunya.
"Sikat terus, Hobart!" seru Lori, walau tahu Nick takkan bisa
mendengarnya.
Beberapa detik kemudian terdengar tembakan tanda akhir
pertandingan. Semua orang turun ke lapangan dan ke bangku tim
Cougar untuk mengelu-elukan.
Lori mengenakan sweater katun bergaris-garis pink-putih,
celana pendek pink baru, dan jaket ungu. Scarf ungu-pink membelit
lehernya dan kacamata pink tersangkut di kepalanya. "Rupanya
kamulah cewek favorit si penyerang tengah," kata Patsy ketika mereka
meninggalkan bangku penonton.
"Itu dia di sana!" kata Ann sambil berlari ke lapangan.
"Sekarang giliranmu, Lor."
"Cepetan, deh," kata Patsy sambil mendesaknya maju. "Cewek-
cewek Atwood itu merubung dia seperti piranha kelaparan."
Memang. Nick dirubung para pengagumnya. Kebanyakan, catat
Lori dengan hati koyak, adalah cewek-cewek keren Atwood. Danielle
yang paling depan, memeluk Nick dan mencium pipinya. Lori tak
tahan lagi. Ia berbalik. Hatinya kandas.
"Rasanya aku nggak sanggup mendekati bahkan sampai sejauh
lima meter pun ? dengan segitu banyaknya cewek bodyguard-nya,"
katanya pada kawan-kawannya. "Mungkin sebaiknya kucari saja dia
di Mall akhir pekan nanti. Waktu itu saja aku memberinya selamat."
Ann dan Patsy saling bertukar pandangan. "Percuma saja dong
kamu kemari, kalau ternyata cuma mau ngasih selamatnya di Mall
juga?" bisik Patsy kalang kabut."Dengar, aku tahu kalian mau nyari perkara, dan kalian pikir
aku takut?"
Ann tidak mendengarnya. Tiba-tiba ia mendorong Lori mundur,
hingga menabrak seseorang.
"Sori?" Lori minta maaf sebelum melihat siapa yang
ditabraknya.
"Lori," terdengar suara Nick yang tersenyum sambil
membantunya tegak kembali. "Lho, kok kamu ikut nonton tim
Cougar, sih?" Rambutnya tampak lembab dan keritng, sedang kulitnya
tampak mengkilat oleh keringat.
Lori sekilas melirik Ann ketika menyadari apa yang terjadi.
Lalu ia berusaha menenangkan diri. "Aku, eh, ikutan teman?"
Namun ketika ia berpaling lagi, Patsy dan Ann sudah lenyap
entah kemana. Lori kembali memandang Nick dan menghela nafas.
Nick masih memegangi lengannya dan menatapnya dengan
lembut. "Terima kasih kamu mau datang, Lori," gumamnya. "Aku
senang sekali, kamu ikut nonton." Tiba-tiba nafas Lori sesak. Ini baru
surga, terdengar suara di dalam hatinya.
"Mainmu hebat banget, tadi," akhirnya ia mampu kembali
menapak bumi. "Operan terakhir tadi benar-benar indah."
Nick tersenyum sungkan. "Untung-untungan saja," katanya
merendah. "Aku nyaris bisa mereka jegal, kalau nggak mendadak
ingat pesanmu dulu."
"Pesanku?" jawabnya sambil tersenyum. "Pesan apa?"
"Masa lupa?" kata Nick. "Tentang scrambling?"
Lori tersipu. Itulah terakhir kalinya dia mengucapkan sesuatu
yang tak dimengertinya artinya, sekedar untuk memikat seseorang!"Itukah yang tadi kau lakukan?" tanyanya. "Satu-satunya scrambling
yang aku tahu hanyalah bikin telur dadar!"
"Memang, barisan belakang Viking memang terkenal pintar
menahan penyerang lawannya jadi rajangan kentang," jawab Nick
sambil tertawa. "Regu itu memang benar-benar tangguh."
"Iya, aku lihat," jawab Lori hati-hati. "Tapi kamu nggak
kenapa-napa, kan?"
Cowok itu menatapnya dengan hangat, tersentuh oleh
kecemasannya. "Tidak sedikitpun. Padding-ku setebal badak, kok,"
katanya seraya menepuk pundaknya sampai berbunyi twakk! nyaring.
"Terus terang saja, hampir sejam habis waktuku untuk keluar dan
masuk ke bungkusan ini."
Melirik ke sekeliling, Lori menyadari bahwa kini tinggal
mereka berdua yang masih berada di lapangan. "Aku nggak ingin
menahanmu, Nick. Maksudku, mungkin kamu pengin segera mandi
dan lain-lain."
Nick menjentik noda lumpur dan rumput di seragamnya yang
sudah koyak. "Lho, kenapa? Kamu malu bersamaku?"
Lori tak sanggup mengakui bahwa tak ada cowok yang lebih
disukainya dibanding penyerang tengah Cougar yang lusuh tapi
tangguh ini. Dijentiknya segumpal lumpur lepas dari seragam Nick.
"Aku malah nggak suka sama cowok yang terlalu repot dengan
pakaiannya."
Nick tertawa. "Nah, maukah kamu datang ke pesta bersama
tumpukan lumpur ini sore nanti?"
"Pesta?" Mata biru Lori bersinar oleh kebahagiaan. Nick
kembali mengajaknya keluar! Ia tak mau lagi kehilangan kesempatan."Mau, dong!" jawabnya, sambil diam-diam berterima kasih pada Patsy
dan Ann.
"Bagus. Aku mandi dan ganti pakaian dulu. Tunggulah di sini."
Digenggamnya kedua tangan Lori. "Oke?!"
Untuk sesaat Lori tak mampu berpikir jernih. Segalanya
berlangsung demikian cepat. Dan semuanya serba indah. "Aku tunggu
di sini," jawabnya. Dengan segera Nick melepas tangannya dan
menuju ke kamar salin.
"Eh, tunggu! Pestanya di mana?" seru Lori tiba-tiba ketika ia
hampir sampai di depan pintu.
Nick berbalik dan menatapnya keheranan. "Masa kamu nggak
tahu?" katanya. "Di rumah sepupumu, Danielle!" Lalu ia melambai
dan menghilang.
Di rumah Danielle! Lori menggigit bibirnya. Tentu Danielle
akan kurang senang.
Tahu-tahu muncullah kembali Patsy dan Ann di sisinya. "Ada
apa?" tanya Patsy seketika. "Lama amat ngobrolnya!"
"Dia mengajakku ke pesta," kata Lori sambil seperti tergugu.
"Asyiiik!" seru Ann.
"Di rumah Danielle," tambah Lori.
"Waduh!" pekik Ann. "Semoga kamu bisa menjinakkan macan
betina!"
Patsy mengangkat bahu. "Dia nggak bisa apa-apa di depan
Nick." Bisakah?
************
"Oh, hai Nick! Selamat ya!" ucap Ann keras-keras. Lori
berbalik, dan tampaklah Nick di belakangnya. Dia sudah berganticelana jins belel, kemeja flanel merah, dan jaket denim. Semakin
keren saja.
"Hai, Ann. Trims ya, kalian mau nonton."
"Pertandingannya seru, deh. Saya Patsy Donovan ? teman
Lori," Patsy memperkenalkan diri. Nick tersenyum dan mengangguk.
"Tim Merivale musti siap nih, bulan depan."
Tim bola Merivale dan Atwood adalah musuh bebuyutan sejak
dulu.
"Kami sudah lama memperingatkan, kok," kata Nick santai.
"Tapi ngomong-ngomong, saya mau pinjam teman kalian ini untuk
beberapa jam. Boleh kan?" lanjutnya seraya tersenyum pada Lori.
Tatapan mereka beradu sesaat, namun Lori segera berpaling ke arah
lain.
"Silakan saja," jawab Patsy dengan nada yang membuat wajah
Lori memerah dadu seketika.
"Oke deh, kita pulang duluan, ya," Ann pamit seraya
menggamit lengan Patsy. "Selamat berpesta."
"Ayuk, daaah," kata Patsy, memahami isyarat Ann.
Begitu kedua gadis itu menjauh, Nick menggandeng Lori.
"Ayo," katanya. "Pesta tak akan mulai sebelum kita datang."
Jalan bergandengan dengan Nick, membuat Lori tak bisa
menahan senyumnya. Angin musim gugur menerbangkan rambutnya
ketika ia bergegas mengikuti langkah lebar Nick. Gandengannya
terasa begitu kukuh ? tak pernah Lori merasa seaman dan senyaman
sekarang.
Kini barulah aku merasa jadi pacar si penyerang tengah, ucap
Lori dalam hati dengan bahagia. Namun di jalan menuju rumahDanielle, perutnya serasa melilit membayangkan bagaimana ia nanti
akan menghadapi sepupunya itu. Tak gampang menghadapi Danielle
yang lagi sewot.
"Pintu masuknya di sebelah kiri," katanya, mengarahkan Nick
ketika mereka meluncur memasuki jalan buntu ke rumah Danielle.
Rumah-rumah di daerah Wood Hollow Hills ini tidak kelihatan dari
jalan, namun di arah telunjuk Lori terlihat sebuah gerbang besi
bertuliskan THE SHARPS.
Nick membelok ke sebuah jalan yang teduh, dan tampaklah
sebuah rumah raksasa. Desain modernnya memperkuat kesan ringan
kayu alam dan jendela kaca setinggi tiga lantai. Sebuah panggung
lebar membentang di depan rumah itu.
Ketika memutari sebuah pemutaran, Nick bersiul kagum.
"Wow! Mewah amat! Kaya yang di majalah, ya?"
"Memang pernah," kata Lori ringan. "Di majalah Beautiful
Houses, tahun lalu. Paman sangat membanggakan rumahnya ini. Ada
panggung bertingkat di belakang, menuju ke teras kebun, ke lapangan
tenis, dan ke kolam renang."
"Terang saja dia bangga," kata Nick, yang betul-betul terkesan.
Mungkinkah dia akan terpikat pada Danielle di sarangnya ini?
Lori cemas. Nick kan anak Atwood. Dia akan lebih cocok dengan
tempat seperti ini, dibanding di rumah Lori yang sederhana.
"Agaknya kita sudah terlambat," kata Nick sambil
menggandeng tangannya menuju ke rumah induk. "Semoga kamu
nggak sungkan masuk bersamaku.""Entahlah?" jawab Lori sambil tersenyum yakin sebisanya.
"Aku belum pernah, sih. Tapi kurasa segala hal selalu ada mulainya
..."Enam
"Halo semuanya. Kenalkan, ini Lori Randall," Nick
mengenalkan pada semua teman se-timnya ketika ia bersama Lori
menapak ke atas panggung. "Karena takut kehabisan bahan omongan
sama kalian, maka kuculik Lori kemari."
"Hai, Lori," terdengar serempak suara-suara parau.
"Senang kenal sama kamu, Lori," sapa Ben Frye, seorang anak
bertubuh kekar berambut gelap. "Kalau nanti kau bosan sama lelucon
jorok anak ini, cukup menjeritlah saja."
Lori tertawa. Mungkin tak semua anak Atwood seperti si
Danielle. "Wah, entahlah. Kayanya leluconnya nggak sejorok itu,
kok." Lori sekilas melirik nakal ke arah Nick.
Nick segera memeluknya. Kehangatannya segera melarutkan
semua kecemasan di hatinya, walau ia tak bisa menahan diri untuk
mencari-cari Danielle. Jangan kemana-mana dong, Nick, pintanya
dalam hati.
"Agaknya kau dapat mangsa bagus di sini, Lori," terdengar
bisikan sengit dari belakangnya.
Tersentak, Lori berbalik dan menemukan senyuman licik
Heather Barron. Siapa lagi yang bakal berani ngomong begitu
kepadaku, pikir Lori."Sori?" tanya Lori dengan manis.
"Ah, nggak usah sori-sorian," desis Heather. "Bersenang-
senanglah sesukamu selagi bisa. Itu nona rumahnya datang, dan
kurasa dia akan kaget melihatmu datang bersama cowoknya."
Danielle baru saja muncul dari balik pintu geser kaca. Gaunnya
benar-benar memabukkan ? blus suede dan rok ketat yang bagaikan
kulit keduanya. Lori pernah melihatnya di Facades, dan tahu bahwa
harganya selangit.
Dengan rambut merahnya yang anggun tergerai di bahu, tak
pelak lagi Danielle memang sangat menawan. Binar di matanya yang
bagai pualam hanya menambah pesonanya belaka.
Lori menatap lurus ke depan sementara perutnya terasa melilit.
Nick sedang ngobrol santai dengan Heather tentang pertandingan tadi,
sementara Lori memandangi Danielle mendekat seolah menunggu
sebuah bom hampir meledak.
"Halo Nicky!" Dia menyapa Nick dengan senyum lebar, dan
Lori sama sekali terabaikan. "Kukira kamu nggak mau datang.
Sesudah janjimu untuk hadir, dan semuanya dulu." Nadanya seolah
menekankan bahwa bukan hanya itu yang dijanjikan Nick.
"Yah, pokoknya aku sudah datang, kan?" jawab Nick sambil
mengangkat bahu dengan santai. Lori mencatat bahwa walau masih di
dekatnya, tangan Nick sudah lepas dari pundaknya begitu Danielle
muncul. "Aku bersama seseorang yang juga kamu kenal."


Merivale Mall 01 Sang Idola di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ya ? halo Lori," sapa Danielle dengan suara penuh madu.
"Kamu enggak bekerja, hari ini? Uangnya kan sudah harus terkumpul
saat ulang tahunmu, kan? Ayah ikut membantu Lori menabung untuk
biaya kuliahnya nanti," tambah Danielle pada Nick.Lori merasa pipinya memerah dan terasa panas. Tak perlu dia
ceritakan soal perjanjian dengan pamannya itu. Dan cara Danielle
mengungkapkannya, seolah Lori tak lebih dari pengemis cilik!
Namun ketika Lori memandangnya, Nick tersenyum bangga
kepadanya. "Pamanmu mau melipat duakan tabunganmu? Hebat!
Tentu dia benar-benar mempercayaimu!"
Hampir seketika bola mata Danielle membelalak habis. "Oh,
iya!" katanya. "Ayah bangga sekali kepadanya. Boleh dikata dia
sendiri lah yang mengelola rumah makan tortila itu!"
Lori berusaha tertawa untuk menangkis serangan halus
sepupunya itu. "Jangan takut, Danielle. Tio nggak akan langsung
bangkrut gara-gara aku tinggal beberapa jam. Yang sehebat itu
mungkin terjadi pada tempat lain."
"Oh, Lori." Danielle tertawa tinggi dan hampa. "Selera
humormu memang selalu tinggi, Iya kan, Nick?"
"Iya, kali?" jawab Nick.
"Nah, kurasa kamu cocok bekerja di Taco-land itu." Danielle
melenguh. "Makanan di sana juga tacau. Tapi aku memesan makanan
ini dari Rio Grande, kok," katanya, menyebut sebuah restauran mahal
di dekat Wood Hollow Hills. "Itu ada guacamole dan tamales udang.
Cobalah, Lori. Mungkin kamu bisa menyarankan sesuatu pada Ernie."
"Boleh juga. Akan kucoba."
Danielle sepertinya mendukung aku, pikir Lori lega.
"Semua makanan ada di dalam. Dan sementara Lori makan,
kukenalkan kamu sama teman-temanku, Nick." Danielle menyelipkan
tangannya ke lengan Nick dan membawanya menjauh. "Mereka temanseperjalananku ke Eropa yang lalu, dan semuanya ingin banget kenal
kamu."
"Oh, ya? Boleh juga, Danielle," sahut Nick. Habislah jantung
Lori. "Tapi aku juga lapar, nih. Biar aku temani Lori makan dulu, ya?"
Ia melirik ke arah Lori di belakangnya, yang bersikap tidak seagresif
Danielle.
"Oh, nggak apa-apa kok. Silakan. Aku juga mau melepas
jaketku sekalian," kata Lori sambil memaksa diri tersenyum sementara
Danielle membawa Nick menjauh. Lalu Lori segera berbalik dan
masuk ke rumah dengan hati berdebar. Mungkin lebih baik menyerah
sekarang, daripada jadi kacau nantinya.
Meja buffet penuh dengan berbagai hidangan lezat, namun tak
ada yang memancing selera Lori.
Mungkin ia salah telah menjauh dari Nick seperti itu. Tapi apa
lagi yang bisa diperbuatnya? Menarik sebelah tangannya? Tak
mungkin mengharapkan bantuan dari semua cewek Atwood di sini.
Tampak jelas di wajah mereka gadis mana yang lebih pantas di sisi
Nick. Dan mereka semua sudah kenal Nick jauh sebelum aku, ia
membatin.
Lori melangkah ke panggung dan mempelajari suasana.
Danielle di tengah teman-temannya, dengan tangan masih terkait di
lengan Nick. Semua orang mengikuti ucapannya ? termasuk Nick,
agaknya.
Dan Danielle amat menyukai semua itu. Ia tertawa,
mengibaskan rambutnya berkali-kali, seperti model di iklan shampo.Aku tak selayaknya di sini, pikir Lori. Nick pantas ? dia cocok
di sini ? tapi aku tidak. Ia sudah hendak melangkah ke taman, ketika
terasa sebuah tepukan di pundaknya.
"Hai, Steve!" kata Lori senang setelah ia berbalik. Steve
Freeman bekerja di Mall juga. Di Shoe Hut. Walaupun tak begitu
mengenalnya, ia sangat senang bertemu wajah yang dikenal.
"Ternyata kamu di situ, Lori? Hai Steve." Nick muncul di
sisinya begitu ia hendak mengucapkan 'Apa kabar'. "Aku mencari-
carimu. Kamu sudah makan?"
"Aku nggak lapar, kok," jawabnya sambil menghindari tatapan
Nick.
"Aku lapar. Yuk, kita cari sisa-sisa," katanya, menggandeng
Lori menjauhi Steve sambil mengangguk ramah. "Lalu kita cari
tempat yang enak dan tenang ? yang nggak akan diganggu siapa
pun."
"Itu ada dua kursi kosong di sana," jawab Lori.
Jadi dia merasa Danielle membosankan! Pertanda baik buatku.
Setelah merasa lebih santai. Lori bahkan bisa tersenyum pada Heather,
yang melangkah menuju ke arahnya membawa nampan besar berisi
tambahan kambing guling. Tapi Heather sepertinya meleng ?
"Masya alah! Aduh, sori!" Heather terpekik begitu mereka
berdua bertabrakan. Sejenak Lori tergugu, tak percaya atas apa yang
telah menimpanya. Begitu menunduk, tahulah ia bahwa inilah bagian
yang terburuk. Bumbu pekat kambing guling tertumpah ke baju dan
badannya. Terdengar suara cekikik dan gumaman di sekitarnya.
"Lori! Kamu nggak apa-apa?" tanya Nick. Matanya terbelalak
cemas.Nada cemas itu membuat Lori tak tahan lagi. "Nggak apa-apa
kok," gumamnya sambil dengan sia-sia mengusap blusnya dengan
kertas tissue.
"Aku nggak sengaja," erang Heather sambil memegang
kepalanya.
"Nggak sengajanya pas banget, ya?" cetus Nick dengan
geraham kaku.
"Aduuh, rupanya ada kecelakaan, nih!" Terdengar ocehan kenes
Teresa Woods, dan muncullah dia di sisi Heather. "Heather, jahat
benar sih kamu! Itulah jadinya kalau keluar dari kursus balet."
"Biar kucarikan sesuatu untuk menghilangkannya, Lori," kata
Nick sambil mendelik ke arah kedua cewek Atwood itu.
"Mandiin saja, Nick," olok Teresa.
Heather terkikik. "Atau digoreng saja sekalian."
"Lucu ya!" kata Lori, matanya menatap celana barunya.
Sekonyong-konyong terasa air matanya membanjir. Ia segera berbalik
dan lari menuruni tangga. Ada jalan setapak di antara pepohonan yang
menuju ke kolam renang dan cabana. Sewaktu berlari di sepanjang
jalan kerikil, suara pesta semakin samar. Akhirnya sampailah dia di
cabana, yang dipakai sebagai apartment tamu oleh Paman dan
Bibinya. Pintunya tidak terkunci. Dia masuk. Dengan handuk
disekanya celana barunya.
Sweater barunya betul-betul tamat. Dilepasnya dan dicobanya
membersihkannya, namun kotorannya malah melebar. Matanya sudah
penuh oleh air mata. Akhirnya ia menyerah, dan dimasukkannya
semuanya ke dalam tasnya. Di ruang ganti biasanya ada persediaan
sweater bersih; Lori segera memakainya.Lalu diambilnya telepon dan diputarnya nomor Ann Larson.
Untung, Ann dan Patsy ada di sana.
"Aku di rumah Danielle. Bisakah kalian jemput aku?"
"Lori, ada apa? Kamu kenapa? Nick nggak apa-apa, kan?
Lori menarik nafas dalam dan menahan isaknya. "Aku nggak
apa-apa ? cuma ? oh Ann, aku nggak tahan di sini. Aku mau
pulang."
"Tahanlah," kata Ann. "Kami segera ke sana. Bisakah kita
ketemu di sana?"
"Jangan!" Lori tercekat membayangkan seluruh undangan
menyaksikannya menyingkir dengan malu. "Kutunggu kalian di
pertemuan jalan ke rumah Danielle dengan jalan Wood Hollow."
"Oke!" tutup Ann.
Lori meninggalkan cabana itu dengan sweatemya masih di
dalam tas. Ia memotong jalan lewat pepohonan, sambil sedapat
mungkin menjauhi rumah itu. Disapunya air mata di pipinya.
Kok bisa jadi begini? Kenapa dari hari terindah dalam hidupnya
bisa berubah menjadi hari terburuk?Tujuh
"Regang! Putar! Tendang! Lagi! Ayoh, ibu-ibu, gerakkan otot!"
Ann menggebah murid-muridnya yang terdiri dari ibu-ibu dan
beberapa gadis. Musik dari kaset mengejar mereka dengan iramanya
yang menghentak.
"Oke, terakhir! Regang! Putar! Tendang! Bagus!" Ann
melangkah dan mematikan tape-nya, yang segera diikuti raung lega
murid-muridnya.
"Minggu depan kita masuk ke tingkat advance. Siap-siap saja."
"Sudah waktunya. Kayanya caraku belanja lebih berhasil dari
pada gojlokanmu ini, deh," protes Danielle ketika semuanya sudah
meninggalkan ruangan.
"Nenekku bisa mengajar senam lebih hebat dari yang barusan,"
tambah Teresa.
"Boleh," jawab Ann kalem. "Kalau kalian masih mau yang agak
beratan lagi, saya bisa melayani."
Sesudah perlakuan mereka terhadap Lori di pesta kemenangan
Cougar tempo hari, Ann amat sangat mau menghajar mereka dengan
senamnya. "Bagaimana kalau kita mulai dengan pinggul? Agaknya itu
daerah yang paling rawan pada kalian," gumamnya lembut.Sementara Danielle, Teresa, dan Heather kalang kabut
memeriksa bayangan mereka di cermin, Ann melangkah ke tape-nya
dan memilih yang berlabel 'Level V, Intensive Jazz.'
Ketika sedang membungkuk untuk memasang kaset itu, terasa
sebuah tepukan di pundaknya. Ia berbalik, ternyata Isabel Vasquez,
temannya sesama kelas tiga di SMA Merivale ? SMA Merivale
mengenal empat tingkat kelas, bukan tiga seperti di Indonesia.
Isabel pindahan dari Texas sejak akhir kelas dua lalu. Matanya
yang coklat besar, dibingkai oleh bulu mata yang panjang dan tebal.
Rambutnya yang hitam panjang diekor kuda terjelai di punggungnya.
Dia memenangkan undian promosi, selama setahun boleh ikut senam
gratis di Body Shoppe.
"Maaf, Ann," suaranya empuk, dengan logat khas. "Boleh aku
ikutan juga?"
"Silakan, Isabel," jawab Ann. Lalu memelankan suaranya. "Kau
bisa membantuku meyakinkan mereka betapa kacaunya lemak di
tubuh mereka."
"Trims. Aku lagi frustrasi nyari kerjaan, nih. Aku sudah keliling
Mall, tapi di mana-mana nggak ada lowongan."
"Emmmh," Ann bersungguh-sungguh, "Kalau kau mau, kau
ambil saja tiga siswa-ku aerobic itu untuk kau latih."
"Huh, nggak usah yaaa!" kata Isabel sambil berbalik mencari
tempat untuk senam lantai.
"Siap?" tanya Ann sesudah berdiri di hadapan mereka bertiga,
sambil mengedip pada Isabel. Musik segera meningkatkan tempo dan
volumenya. "Ikuti dan tirukan persis semua gerakan saya."Selama sepuluh menit berikutnya Ann menghajar ketiga siswa
khususnya dengan aneka gerakan yang takkan pernah bisa mereka
lupakan. Tubuhnya yang liat melompat, menyepak, dan memutar
dalam kecepatan tinggi, dari satu rangkaian ke rangkaian lainnya
tanpa jeda.
Danielle yang pertama menyerah. Terbungkus baju senam putih
dan legging pink, ia terjelepak di karpet bagaikan patahan boneka.
"Cukup!" serunya tersengal. Heather dan Teresa mengangguk.
"Masa baru segini udah k-o?" tanya Ann sok polos. "Jangan
nanti dibilang kami di Body Shoppe nggak benar-benar melatih
senam."
"Hebat, memang," kata Danielle. "Tapi aku kan nggak ingin
jadi berotot!"
Ann menggerakkan bola matanya. Danielle memang pintar
ngomong.
"Lagian, aku mau menghemat tenaga buat acara lain, hari ini,"
lanjut Danielle. "Antara lain nyobain peralatan Nautilus. Iya kan,
Heather?"
Heather melirik ke bagian lain ruangan. Ron Taylor, instruktur
Nautilus yang keren itu, tampak lagi menyetel beban mesin
pembentuk otot kaki.
"Oh, iya dong. Jangan sampai kita nggak latihan Nautilus hari
ini. Iya, kan?" tanya Heather, sambil memeriksa make up dan
sisirannya di dinding cermin.
"Aku yang duluan di mesin pembentuk kaki," cetus Teresa.
Mendadak ia pulih kembali, dan melompat bangkit lalu menghampiri
Ron."Dasar...!" gumam Ann.
Isabel tertawa sambil melangkah pergi. "Aku duluan, ya,"
katanya seraya memasuki ruang salin.
***********
"Hai, Ron," Teresa mengerling pada instruktur kekar berambut
gelap itu. "Tolong pegangin kakiku dong, aku mau sit-up nih."
"Kalau mau melatih otot perut," jawab Ron tanpa tersenyum,
"Aku punya mesinnya. Itu, yang di sana." Tangannya menunjuk ke
sebuah alat yang terlihat kosong. "Mulai saja dulu, beberapa menit
lagi kulihat."
"Tolong bantuin ngeset bebannya, dong."
"Caranya seperti mesin yang lain, kok." Ia terus melanjutkan
mencatat sesuatu di map-nya. Namun Teresa tahu bahwa perhatiannya
sebenarnya tertuju ke bagian aerobic. Ann sudah mulai melatih
kelompok berikutnya.
"Aku ikut kelas advance-nya Ann," kata Teresa, ngotot.
Tiba-tiba Ron tampak bersemangat. "Kamu dihajar habis-
habisan, ya?"
"Oh, ah, iya," jawab Teresa tanpa semangat.
"Lho?! Kalau baru habis latihan aerobic, sebaiknya jangan
latihan dengan mesin. Terlalu berat."
Saat itulah Heather maju. "Aku pernah lihat Ann Larson
memakai Nautilus sehabis ngajar dua atau tiga rombongan berturut-
turut," sanggahnya.
"Si Ann sih, lain!" kata Ron sambil lagi-lagi melirik instruktur
cewek berambut cokelat itu. "Jangan menyamakan dirimu dengan dia.
Dia sih, eh ? otot kawat." Sambil tersipu ia kembali memandangHeather dan Teresa. "Jangan berlatih terlalu berat, selagi masih
pemula."
Kedua gadis itu saling bertukar pandang, jengkel. "Iya, deh!
Yuk ke kamar mandi!" Teresa mengajak Heather sambil meraih
handuknya.
"Pemula, katanya! Brengsek!" sergah Heather ketika menuju
kamar ganti.
"Ah, sudahlah! Yuk kita ke Cookie Connection," ajak Danielle.
"Aku butuh tambahan gula, nih!"
Kemudian mereka bertiga sudah duduk di sebuah meja
berpayung di depan Cookie Connection, yang hendak menciptakan
suasana outdoor cafe. Di seberang sana terdapat Video Arcade, lalu di
sebelahnya ada Merivale Drugs. Tapi yang terpenting, dari meja
mereka terlihat jelas toko Hobart, agak menyudut di seberang.
"Asyik banget di sini. Bisa ngeceng dan dikeceng," komentar
Heather begitu mereka duduk setelah meletakkan tas masing-masing.
***************
Di meja belakang Cookie Connection, Lori memandangi Patsy
yang sibuk menghabiskan setumpuk kue cokelat pada jam istirahat.
Kalau terus makan seperti itu, Lori cemas Patsy akan tumbuh menjadi
sebesar gajah bengkak!
"Langsung saja, deh. Kau tak pernah ketemu atau bicara
dengannya lagi sejak pesta hari Sabtu itu?" tanya Patsy dengan mulut
penuh.
"Beberapa kali dia menelpon ke rumah," jawab Lori. "Tapi aku
yang segan bicara dengannya." Ia masih kecut setiap mengingat saat
dia berlumur bumbu, dan tatapan iba Nick waktu itu. "Akumembuatnya malu di depan teman-temannya, Patsy. Aku yakin dia
cuma nelpon untuk meyakinkan bahwa aku tidak mati oleh malu.
Tentu dia pun sadar bahwa aku nggak pas untuk mendampinginya di
pesta semacam itu."
"Lalu, menurutmu, kenapa dia menelpon kamu? Karena tak
ingin terlihat berdua denganmu? Begitu?"
"Dia cuma mau menyatakan ikut prihatin, Patsy. Paling cuma


Merivale Mall 01 Sang Idola di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu." Lori mengaduk sisa es krim di dasar gelasnya dengan sedotan.
"Lagian, aku yakin Danielle tak akan lepas dari sisinya sepanjang
pesta itu. Mereka terus bersama, waktu itu. Walaupun ada aku." Lori
menggeleng. "Aku jadi kayak rusa masuk kampung, di mata teman-
temannya. Danielle-lah yang pas untuknya."
"Ah, masa segitu gawatnya, sih, Lor?" Patsy coba
menyabarkannya.
"Kenapa tidak? Kalau ada yang mem-filmkan, kencan pertama
dan terakhirku dengan Nick Hobart itu pasti jadi film bencana
terhebat, deh."
Sekonyong-konyong Patsy seperti melihat hantu. "Eh, lihat
siapa yang barusan masuk itu," katanya sambil menatap ke depan
toko.
"Siapa?" Lori hendak berpaling, namun Patsy mencegahnya.
"Jangan! Jangan sampai dia melihat kita! Si Steve Freeman,
anak Atwood yang bekerja di Shoe Hut." Patsy mendesah.
"Tampangnya kayak model, ya?"
"Terus terang saja, Pats, rasanya enggak, tuh?"
"Matanya, lihat, matanya," bisik Patsy dengan tatapan
menerawang. "Ah, jangan pedulikan omonganku, deh." Nadanyaseketika berubah ketika kembali ia menelan sepotong kue. "Cowok
kayak dia melirik pun mana mau ke aku."
"Ah, kenapa kamu meremehkan dirimu sendiri, Pats?!"
Memang Patsy perlu sedikit melangsingkan tubuh. Tapi Lori
menyukai temannya yang pintar, lucu, dan lugu ini. Dan ia tak suka
temannya ini merendahkan diri seperti itu.
"Iya ding. Kalau cuma melirik mana bisa dia melihat seluruh
diriku?"
"Ya, rubahlah, kalau begitu," saran Lori dengan sabar.
"Rambutmu yang keriting itu bagus, matamu juga indah. Dengan
kepribadian seperti kamu, cowok-cowok pasti juga pingin ngajak
kamu kencan."
Kali ini Patsy tak mampu menemukan jawaban yang pas.
"Masa?" gumamnya. "Entahlah. Aku sudah pernah nyoba diet."
"Mungkin kamu belum nemu alasan kuat buat bertahan diet
saja."
"Iya ya. Mungkin si Steve Freeman bisa menjadi alasan yang
cukup kuat buat menguruskan diri, hi hi hii!" tawa Patsy sambil
menyisihkan piring kuenya. "Begitulah. Aku kasmaran, nih: Mulai
sekarang, takkan ada kue lagi yang masuk ke mulutku ini!"
************
Oh, ke kamar kecilnya belakangan saja, deh! pikir Teresa.
Berita ini jauh lebih penting. Ia bergegas keluar dari dalam Cookie
Connection, ke meja luar.
"Gila! Kalian tahu nggak, apa yang barusan kudengar," katanya
pada Heather dan Danielle begitu ia sampai di mejanya. "Si gendut
itu!" Lalu ia tertawa terbahak. "Memelas amat nasibnya!""Si gendut siapa? Kamu ngetawain apaan, sih?" tanya Danielle.
Akhirnya Teresa bisa tenang kembali. "Ada orang di kamar
kecil waktu aku mau ke sana, jadi aku harus menunggu." jelasnya.
"Aku ngumpet di balik tanaman besar itu, lalu aku dengar ada dua
cewek ngomongin si Steve Freeman."
"Siapa mereka?" tanya Heather. Sebuah senyum tipis membersit
di wajah cantik Teresa.
Sesaat kemudian gemparlah mereka bertiga tertawa cekikikan.
"Bayangin!" kata Heather. "Kalau si Patsy Donovan mau nyium dia, si
Steve bakal gepeng tergilas!"
"Steve pasti akan mau kalau Patsy agak kurusan sedikit,"
dengus Teresa. "Pasti deh!"
"Semua bisa saja terjadi," kata Danielle serius. "Kiramu, berapa
lama untuk bisa mengurangi daging sebanyak satu ton?"
"Aku punya ide," cetus Heather dengan licik. Gelang peraknya
bergemerincing terantuk meja. "Kita comblangin saja si gendut Patsy
itu. Kita pasangkan dia sama si Steve. Asyik, nggak?"
'Tapi mana mau si Steve pergi bersamanya?" kata Danielle.
"Memang enggak." Heather menyetujui. "Tapi mungkin dia
akan mau ikutan kencan-buta kalau dia mengira itu adalah cewek yang
disenanginya."
"Ah, Heather, kamu bener-bener bengal, deh!" kata Teresa
sambil terkikik. "Bayangin gimana mukanya setelah dia tahu kalau
kebagian kencan bersama si Patsy Donovan! Horor nggak?!"
Danielle cuma bisa setuju saja, tapi sebenarnya dia tidak terlalu
suka pada olok-olok Heather itu. Memang memalukan punya sepupuyang bersahabat dengan orang semacam Patsy Donovan, tapi buat apa
menambahi kesulitan Patsy lagi.
"Bagaimana kalau Steve nggak mau ikutan kencan buta itu?
Kita kan juga belum tahu siapa yang dia taksir?"
"Aku tahu," cetus Teresa. "Tapi jangan sewot, ya? Kudengar dia
ngomong sama teman-teman cowoknya waktu itu. Katanya Lori
keren."
Lori lagi! Apa sih yang dicari cowok dari cewek biasa-biasa
saja itu? Kayaknya kok semua cowok pada suka sama Lori, ya?
Danielle sudah berharap bisa lancar memikat Nick ketika Lori
tiba-tiba menghilang hari Sabtu itu. Ternyata siasat Heather itu
menjadi senjata makan tuan.
Nick segera menyusul Lori begitu ia tahu Lori pulang duluan.
Tapi dari cowok-cowok lain Danielle mendengar bahwa Nick belum
bicara dengan Lori sejak saat itu. Jadi setidaknya siasat Heather cukup
berhasil sebagian.
Tapi tetap saja. Begitu ingat bahwa Nick menyusul kekasihnya
yang manis, darah Danielle menggelegak seketika. Oh, jadi anak itu
menyukai sepupuku Lori, nih?
Dibayangkannya wajah Steve waktu tahu bahwa pasangan
kencan butanya bukanlah Lori tapi Patsy. Hal itu membuat Danielle
terkikik kesenangan. "Nah, di mana kita pertemukan mereka?"
tanyanya akhirnya.Delapan
"Anak-anak, aku bangkrut, nih!"
Ernie Goldbloom menyandar ke kursinya dan tangannya dengan
gemetar merayapi rambut pirang yang mulai menipis di kepalanya.
"Kalau warung kita ini nggak segera laris, mungkin aku terpaksa
merumahkan beberapa dari kalian."
Semuanya terdiam. "Kapan batas waktunya?" tanya Judy
Barnes, seorang karyawan paruh waktu yang juga sekolah di Sekolah
Umum Merivale.
Ernie melirik tumpukan rekening di mejanya. "Entahlah. Kita
mungkin malah nggak akan sempat ikut merayakan hari Thanksgiving
kalau tamu masih sesepi sekarang." Ia mendesah. "Aku mau bikin
promosi lagi. Mungkin akan berhasil kalau?"
Ernie memejamkan matanya. Pasti membayangkan ada seorang
karyawan berkostum kalkun dan bertopi sombrero, berkeliling Mall
ini. Runtuhlah hati Lori. Dia tahu, memang usaha mereka lagi berat.
Tapi tak menduga bahwa Tio's Tacos sedemikian gawatnya. Dia
benar-benar membutuhkan pekerjaan. Belakangan ini tak ada lagi
iklan lowongan kerja, di Mall. Dan kalau pun nantinya mendapat
pekerjaan baru, dengan Mall seluas ini mungkin dia takkan bisa lagimenjumpai Nick. Tapi apa salahnya? Mungkin malah sebaiknya
begitu. Dengan jauh dari cowok itu, dia tak perlu ingat pada kejadian
di pesta Danielle itu lagi. Dan juga tak perlu menyaksikan Nick
berduaan dengan Danielle di Mall.
Pada jam istirahat, Lori ke lantai bawah Mall lagi. Dilewatinya
tempat dia bertemu Nick tempo hari, menuju ke ujung dok bongkar
muat yang satunya. Takkan ada yang menemukannya di sana?
kecuali Nick, mungkin. Kalau dia mencarinya.
Ternyata Nick menemukannya.
"Ketemu juga, akhirnya," kata Nick dengan sekali bernafas.
"Lori, aku nyari-nyari kamu beberapa hari ini! Kamu kemana saja?"
Lagi berusaha melupakanmu, jawab Lori dalam hati. "Aku ujian
minggu ini, jadi belajar terus-terusan," ucapnya.
"Lor, kenapa waktu hari Sabtu itu kamu tiba-tiba ngilang,"
tanya Nick langsung. "Kenapa nggak nunggu aku?"
"Segitu kotornya bajuku waktu itu! Aku nggak tahan." Dadanya
serasa mau pecah. Ia sadar tangisnya akan segera pecah kalau terus
membicarakan tentang kejadian sore itu. "Tapi sekarang sudah nggak
apa-apa kok."
"Aku yang masih apa-apa. Aku pengin nganter kamu pulang,
waktu itu."
"Aku nggak ingin pestamu kacau gara-gara aku." Atau lebih
mempermalukanmu lagi di depan teman-temanmu dan Danielle,
tambahnya dalam hati. "Itu kan pesta penghormatan untuk regu
Cougar.""Tapi tetap saja aku nggak ikut melanjutkan pesta. Aku pergi
untuk mencarimu." Tatapannya berubah mendadak. "Kalau mau
menjawab telponku, kau akan tahu itu."
"Maaf." Lori mendongak menatapnya. Hatinya hancur berderai.
Kenapa nggak kamu biarkan aku sendirian? Danielle cocok benar
baginya, dan cuma dia yang tak menyadarinya.
"Lori, aku masih belum mengerti." Nick maju selangkah.
"Kamu marah kepadaku, ya?"
"Enggak. Enggak, kok," jawab Lori cepat. "Aku ? aku cuma
lagi banyak pikiran saja. Ernie lagi merencanakan mau merumahkan
beberapa karyawan."
"Wah, gawat juga, ya. Tapi kalau kamu butuh bantuan, kasih
tahu aku, ya," kata Nick.
"Tak ada yang bisa dilakukan," jawab Lori sendu. "Tapi Nick,
aku benar-benar mesti belajar, nih."
Percuma saja menjelaskan apa yang sebenarnya mengganjal di
hatinya. Mendingan dia mengiranya bersikap dingin. Mungkin itu bisa
mempercepat hubungannya dengan Danielle. Lalu Lori bisa kembali
ke sahabat-sahabatnya, sekolahnya, pekerjaannya, dan bisa melupakan
pernah kenal Nick Hobart!
"Oke Lori. Aku tak ingin mengganggumu lagi." Lalu ia berlalu
dengan tatapan terluka.
Sesudah yakin dia telah jauh, Lori menangkupkan tangan ke
wajahnya, dan terisak-isak.
*************
Shoe Hut sudah hampir tutup ketika Danielle, Teresa, dan
Heather masuk. Danielle mengambil sepasang sepatu balet warnapink, lalu meletakkannya lagi sebelum Heather dan Teresa
mengiranya hendak betul-betul membeli. Mereka cuma membeli
sepatu di The Bootery, sebuah toko di lantai tiga yang khusus menjual
merek-merek mahal.
"Ada yang bisa saya bantu?" Steve Freeman menghampiri
dengan sikap profesional.
"Kami cuma mampir, kok," jawab Danielle. Ditembakkannya
senyum ribuan watt-nya. Dia tak begitu menyukai cowok ini, tapi
anak ini cukup imut-imut juga. Lagian, tak ada salahnya untuk selalu
berlatih, kan?
"Oh,Steve," sela Teresa. "Mungkin aku nggak perlu ngomongin
ini, tapi ada yang setengah mati pengin bisa kencan bersamamu."
"Ah, masa? Saya kenal orangnya?" tanya Steve kalem, seolah
itu hal yang biasa terjadi sehari-hari.
Gombal, pikir Danielle. Sok tahu amat, anak ini. Sambil melirik
ke cermin, dia meluruskan dasinya. Steve memakai jaket sport dan
kemeja biru laut, yang semakin mempertajam matanya yang berwarna
gelap. Cukup keren, tapi tetap kampungan.
"Kamu juga kenal dia, kok. Anaknya cukup kece."
Heather mulai tersenyum, tapi terdiam begitu Teresa
menyikutnya.
Umpan sudah mengena. "Cukup kece, eh? Dia bekerja di Mall
juga?"
"He-eh. Tapi aku nggak boleh menyebutkan namanya." Teresa
berlagak tak berdaya. "Tolong jangan paksa aku, ya. Aku sama sekali
nggak boleh menyebutkan namanya.""Tak perlu kau sebut namanya. Tapi tolong jawab
pertanyaanku," kejar Steve. "Mungkin aku bisa menebaknya. Dia anak
SMA Merivale atau Atwood?"
"Merivale. Ah, sudahlah. Jangan nanya terus, dong!"
Steve menahan lengannya. "Hei, tunggu dulu. Inisial namanya
apa?" burunya terus. "L, ya? Namanya pakai 'L'?"
"Ann Larson, maksudmu?" jawab Teresa tangkas.
"Bukan, maksudku Lo?"
"Aduuuh!" Teresa menutup mulut Steve dengan tangannya.
"Aku sudah janji untuk tidak menyebutkan namanya!"
"Iya, deh. Iya. Kurasa aku sudah tahu siapa dia!"
"Gini, deh. Pokoknya dia bekerja di Mall ini juga, anak
Merivale, dan bersahabat dengan Ann Larson. Tapi bukan Ann
Larson," tegas Teresa, lebih memperdalam tusukan pancingnya.
"Ah, pasti dia Lori Randall!" tebak Steve yakin sambil
tersenyum lebar.
Teresa segera menutup telinganya sendiri. "Pokoknya aku
nggak dengar tebakanmu, Steve," katanya dengan nada kaku. "Sudah
kubilang, aku nggak boleh menyebutkan tebakanmu benar atau salah.
Tapi kalau kamu mau mengajaknya keluar, aku bisa mengaturnya."
"Nggak perlu, deh," kata Steve segera. "Aku bisa ngomong
sendiri kepadanya."
"Oh, jangan! Jangan!" seru Teresa buru-buru. "Biar aku yang
ngatur. Dia, eh, pemalu sekali. Kamu juga nggak boleh ngomong apa
pun sama dia sejak saat ini sampai saat hari kencanmu."
"Nggak boleh ngomong?" kata Steve. "Kok aneh?""Percayalah." Teresa menepuk punggungnya dengan wajah
meyakinkan. "Kalau kamu terlalu nafsu, dia malah akan kabur."
"Oke, deh. Terserah kamu saja," Steve mengalah. "Gimana
kalau kita atur harinya? Jumat malam? Bilangin Lo?"
"Steve!" tukas Teresa cepat. "Jangan ceritain ini pada siapa pun.
Juga jangan sebut namanya sama sekali. Dia mau ini akan jadi rahasia
dan romantis. Cuma antara kalian berdua."
"Cuma antara kami, eh?" tampak mata Steve berbinar-binar.
"Oke. Apapun yang dia mau. Bilangin padanya, kita ketemu di Mall,
di O'Burger, jam enam Jumat depan."
Dengan hebat Teresa bisa tetap memasang wajah teguh.
"Percaya saja deh, padaku," katanya.
***********
"Hai, Patsy. Apa kabar?" tanya Lori berjingkat di tempat
tidurnya dengan gagang telpon terjepit di pundaknya.
"Kamu lagi duduk?" tanya Patsy dengan sekali tarikan nafas.
"Kamu nggak bakal percaya, deh! Teresa Woods barusan nelpon.
Katanya si Steve Freeman mau mengajakku jalan-jalan!"
"Steve Freeman mau ngapain?!" Lori tak bisa menahan
kekagetannya. "Dia mau mengajakmu, dan meminta Teresa
menelponmu?"
"Teresa bilang, Steve-nya malu. Katanya mereka bersahabat,"
Patsy menjelaskan. "Besok Jumat malam. Kita ketemu di O'Burgers.
Kata dia, Steve mau ini jadi acara rahasia dan romantis. Cuma antara
kami berdua. Aku malah nggak boleh ngasih tahu kamu ataupun Ann.
Teresa memintaku berjanji."Setelah kejadian hari Sabtu itu, Lori tak bisa lagi mempercayai
Teresa atau anak Atwood yang mana pun juga. Dia masih curiga, tapi
Patsy agaknya sudah mabuk kepayang. Dia tak ingin jadi orang yang
memecahkan balon impian Patsy itu.
"Kamu harus membantuku, Lori. Bangsanya milihin baju dan
make up. Aku mau kelihatan cantik. Udahan ya! Aku mau senam
sedikit, pakai kaset pinjaman dari Ann. Waktuku cuma sampai Jumat
nanti. Setiap saat berharga, bagiku sekarang."
Setelah menutup telpon, terpikir oleh Lori untuk menelpon
Teresa untuk menanyakan apa yang sebenarnya terjadi. Tapi
bagaimana kalau ternyata semuanya benar? Bisa-bisa dia malah
menggagalkan segalanya. Dan Patsy tak pernah bisa memaafkan
dirinya.


Merivale Mall 01 Sang Idola di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mungkin Steve memang menyukai Patsy, tapi tak mau teman-
temannya tahu karena takut jadi bahan tertawaan. Mungkin. Tapi ia
tak bisa memungkiri perasaannya bahwa Patsy sedang menghadapi
bencana!
**********
Jumat nanti, Patsy sudah bisa mengurangi beratnya satu
setengah kilo. Kamis malam dia belanja sama Ann ke Benson, toserba
terbesar di Mall ini. Atas saran Ann, dia memilih gaun biru hijau dari
bahan sutera yang menonjolkan keindahan matanya yang berwarna
merah tua, untuk menjauhkan kesan gendut tubuhnya.
Sepulang sekolah Ann dan Lori mampir ke rumah Patsy untuk
membantunya menyongsong kencan pertamanya. Mereka memoles
matanya dengan eye shadow kebiruan dan menonjolkan tulang
pipinya dengan warna merah muda. Rambutnya yang merahkecoklatan berkilau keemasan, akibat shampoo khusus. Dengan
sedikit sentuhan pengering rambut dan styling mousse, Lori berhasil
merias Patsy dan merubahnya menjadi lebih memukau.
"Gila betul," kata Patsy sambil mengamati penampilan barunya
di cermin, "selama ini kukira yang kubutuhkan untuk penampilanku
cuma kue coklat melulu!"
"Ini belum selesai. Sana, kau pakai gaunmu, biar bisa kami
pilihkan lipstik yang sesuai," kata Ann.
"Oke. Tunggu bentar, ya." Patsy segera mengambil gaunnya
dan masuk ke kamar mandi.
Selama Patsy berganti pakaian, Lori duduk di ujung dipan dan
membuka-buka halaman majalah.
"Kamu kok diam sekali, Lori. Kamu nggak ikut bahagia untuk
Patsy?" tegur Ann.
"Aku ikut bahagia. Aku cuma ngerasa nggak enak saja." Lori
meletakkan majalahnya. "Aku nggak percaya sama Teresa dan semua
kerahasiaan ini."
"Jangan sampai Patsy mendengar ini," bisik Ann mengingatkan.
"Dia bisa kecewa, nanti."
Lori sudah hendak mengatakan sesuatu lagi, ketika Patsy
berputar-putar memasuki kamar. "Nah, gimana pendapat kalian?"
Dia tampak memukau. Tipuan atau bukan, mungkin begitu
Steve melihatnya, segalanya akan menjadi beres.
"Kok nggak ada yang komentar?" Patsy masih berkeliling
kamar, seperti peragawati. "Keren nggak, sih?"
"Kamu membuat kita nggak bisa ngomong, nona Patsy
Donovan!" Ann menyandar dan memeluknya. "Pokoknya maut lah!"**********
Setelah mengambil nafas panjang, Patsy memasuki O'Burgers.
Ia melangkah di antara meja dengan gamang, tak biasa memakai
sepatu bertumit tinggi. Akhirnya tampak olehnya Steve di meja di
sebelah bar salad.
"Hai, Steve," sapa Patsy ceria. Sambil menahan nafas ia duduk
di sebelahnya. "Sori, aku telat."
"Telat?" Steve ternganga menatapnya. "Kurasa kau salah meja.
Aku lagi nunggu teman kencanku." Ia menyingsingkan lengan baju
untuk melirik jamnya. "Sebentar lagi dia datang."
Patsy tercekat. Perasaan cemas yang menggiriskan mulai
merayapi dirinya. Semoga ia salah dengar. "Maaf?" tegasnya lirih.
Steve mencibir sambil berkata perlahan, seolah menganggap
Patsy tidak mengerti kata-katanya. "Teman kencanku akan segera
datang. Jadi silakan minggir."
Patsy hanya bisa ternganga. Steve menggeram. "Masa perlu
kugambar, sih?"
Patsy berusaha bernafas. "Kamu bercanda, ya?" tanyanya kikuk.
"Aku juga mau nanya begitu."
"Bagaimana dengan kencan kita?" kata Patsy, suaranya
bergetar.
"Kencan? Denganmu?" Ucapan Steve menjadi sedemikian
kerasnya hingga orang-orang di meja lain berpaling ke arah mereka.
"Ini sih gila! Sialan! Teresa dan geng-nya kah yang punya akal ini?"
tanyanya dengan kasar.
"Tidak ada akal-akalan," sergah Patsy. "Teresa menelponku dan
katanya kamu mau ?" Ia tak tahan lagi. Buat apa? Sudah jelas Teresasudah mempermainkan mereka berdua. "Sudahlah." Ia bangkit berdiri
dan mengambil dompetnya dari meja. "Kukira kamu nggak seperti
ini," katanya. Air matanya sudah merebak. "Tapi kamu sungguh
menyebalkan, Steve Freeman!"
"Hei, emangnya kamu ngomong sama siapa?" tantang Steve.
"Masak?"
Masih terdengar dia mengoceh ketika Patsy berbalik dan
menghambur pergi. Pandangannya berkabut oleh air matanya.
***********
Acara Lori di Tio's berjalan seperti biasa. Mall penuh
pengunjung tapi cuma beberapa yang mampir ke restoran Meksiko ini.
Biasanya karyawan Tio's memanfaatkan keadaan sepi ini untuk
ngobrol kanan kiri. Tapi malam ini suasananya sungguh hening. Ernie
baru saja mengistirahatkan Judy Barnes dan mereka semua menduga-
duga siapa lagi berikutnya.
"Lori, aku mau bicara." Lori mengangkat wajahnya, dan
tampaklah Patsy yang basah kuyup di seberang meja.
"Patsy! Ada apa? Lihat tuh, kamu berantakan banget!"
"Di luar hujan. Aku tak ingin ada yang melihatku sesudah ?
sehabis keluar dari O'Burger," isak Patsy. "Aku terus jalan saja."
Begitu melihat keadaan Patsy, lupalah Lori pada segala
masalahnya sendiri. Rambut anak itu kuyup menempel ke kepalanya.
Eye-shadow dan maskaranya meleleh menjadi cemong biru hitam di
pipinya. Gaun barunya kusut kehujanan.
"Ayuk, kita ke sana saja." Lori keluar dari balik mejanya dan
menyeret sahabatnya melalui pintu ayun menuju ke dapur.
Diambilnya sweater dari lokernya dan diberikannya pada Patsy."Steve muncul, kan?" tanyanya, mengharapkan keadaan
terburuk.
"Si brengsek itu memang datang. Masih keren juga. Tapi dia
bukan menunggu aku, dan dia langsung ngomong seperti itu. Semua
ini cuma main-main. Olok-olok kejam. Sialan betul."
"Oh, Patsy, sabar deh." Lori merangkul sahabatnya itu. "Steve
Freeman ternyata sebrengsek itu. Dia nggak pantes menikmati ini."
"Kubilang padanya dia nyebelin," isak Patsy sambil membersit
hidungnya. "Tapi kalau aku nggak sejelek ini mungkin dia tak akan
berlaku seperti itu."
"Kenapa harus menyalahkan diri sendiri? Ini semua gara-gara
Teresa. Aku yakin Heather pun ikutan juga. Mereka memang mahluk
terkejam di dunia ? mungkin juga si Steve."
"Kedua Barbie itu nggak boleh lepas tangan. Akan kubalas
semua ini, walau sampai kapan pun!" tegas Patsy.
Lori tahu betapa hancurnya hati Patsy. Anak ini sudah sebegitu
ketatnya berusaha mengubah penampilannya dan amat berharap bisa
disukai Steve Freeman. Semoga semua harapan dan usaha itu tidak
berbalik menjadi ke arah yang membahayakan.
***********
"Halo?"
Suara Nick terdengar tak sabar dan tersengal, seolah dia harus
berlari untuk menjawab telponnya. Untuk sesaat Lori kehilangan
keberanian.
"Hai. Aku, Lori. Aku, eh, kata Ibuku kamu tadi nelpon?"
"Oh, Lori, syukurlah! Nggak nyangka kamu mau nelpon balik.
Kata ibumu kamu bekerja sampai jam sepuluh?""Aku pulang awal. Nggak banyak orang pengin tacos, malam
ini. Mall sepi banget."
"O ya? Sudah beberapa hari ini aku nggak ke sana. Lagi stock
opname, di gudang kami yang di jalan Tiga-dua. Mbosenin, deh."
Lori mendesah lega. Jadi dia tidak menghindar dariku. Dia
sibuk.
"Kasihan," katanya bersimpati. "Masih lama lagi?"
"Paling seminggu lagi. Nggak terlalu berat kok. Semalaman aku
nyetir forklift. Asyik juga, sih."
Lori tertawa. Lalu hening sejenak.
"Gimana tentang ujianmu?"
"Ujian?" Lori nggak 'ngeh' tentang yang dimaksudnya.
"Iya. Yang kamu cemaskan banget waktu itu."
"Oh, itu. Beres," jawab Lori, seketika ingat pada alasannya
ketika hendak menghindari percakapan dengannya waktu itu.
"Lor," suaranya terdengar berubah serius. "Aku cuma mau
bilang sori bahwa pestanya waktu itu nggak nyenengin kamu. Tapi
aku senang kamu ikut nonton pertandinganku."
"Aku juga senang bisa nonton, waktu itu."
"Kamu mau kan, nonton pertandingan Atwood lagi, kapan-
kapan?"
Nggak! Hati kecilnya menolak. Biar semuanya berjalan
seadanya. Lebih baik begitu, bagi semua orang. Tapi yang terdengar
adalah suara lain. "Asyik juga, sih."
"Kami mau main di sekolah lain, beberapa minggu lagi,"
jelasnya. "Tapi akan kuberitahu setelah kita di Atwood lagi.""Oke. Aku cuma butuh waktu beberapa hari buat minta ijin
cuti."
Setelah meletakkan telpon, Lori berganti piama dan menuju ke
kamar mandi.
Nick masih menyukaiku! Setelah segala kejadian di pesta itu!
Setelah semua ucapannya padanya waktu itu! Mungkin semua
perbedaan di antara mereka memang sama sekali bukan masalah.
Sore tadi Lori tanpa sengaja mendengar obrolan dua orang
cewek tentang acara Pesta Dansa di Atwood. Sebuah pesta dansa awal
tahun di Atwood, yang akan diadakan di Wood Hollow Hills Country
Club.
Sambil menggosok shampo ke rambutnya, Lori membayangkan
dirinya sendiri bergaun sutera anggun dan rambut tersanggul apik,
memasuki ruang pesta dalam gandengan Nick.
"Oh, semoga itu semua terwujud, Tuhan!" serunya dengan mata
terpejam rapat. Kalau saja dia tahu bahwa saat itu Danielle pun
mengucapkan doa yang sama!Sembilan
"Bayangin, kayak apa tampangnya? Kalau saja waktu itu ada
kamera tersembunyi!" Itu hari Selasa, dan Teresa tak habisnya ngoceh
sejak Jumat malam.
Syukurlah nggak ada, batin Danielle. Kalau ada, tentu kita
sudah mengulang-ulang video saat ini.
"Kamu yakin Steve Freeman nggak akan ngamuk sama kamu?"
tanya Danielle sambil menyetir BMW- nya melewati sebuah tikungan.
"Dia bukan model orang yang bisa dipermainkan, lho."
"Oh, Steve nggak marah kepadaku, kok. Nggak lagi," jawab
Teresa seenaknya. "Kita sudah bicara panjang lebar, dan dia sepakat
bahwa itu lelucon bagus."
"Bagaimana dengan Patsy Donovan?" tanya Danielle lagi
dengan lirih. "Kamu juga sudah ngobrol dari hati ke hati dengannya?"
"Jelas enggak, dong. Ngaco kamu, ah!"
Danielle membawa mobilnya ke jalurcepat. Teresa kadang-
kadang membosankan juga. Danielle heran kenapa banyak cewek
yang sebegitu inginnya menyapa mereka. Dan Danielle merasa bahwa
tak ada orang yang mendengar tentang muslihat ini. Terutama bagian
yang ada Teresa-nya.
"Eh, Danielle. Kamu kok ngebut, sih?" tanya Teresa cemas."Itu ada lampu merah," kata Danielle sambil lekas menginjak
rem. "Turun saja dan naiklah bis, kalau mau."
Pelangi Di Langit Singosari 22 Kemelut Di Cakrabuana Karya A Merdeka Permana Song Unbroken Soul 2
^