Pencarian

Tapak Tangan Hantu 10

Tapak Tangan Hantu Karya Batara Bagian 10


(pelajar). Tapi melihat bedak dan sedikit gincu di situ, juga anting-anting di sepasang telinga indah maka
orangpun tersenyum geli.
Akan tetapi tak ada yang tertawa. Sikap seperti siucai yang halus dan hormat membuat orang enggan
tertawa juga. Ada semacam rasa menghargai di situ, oleh sikap dan pandang mata pemuda ini. Lalu ketika
dia duduk dan sengaja memilih di tengah, jadi leluasalah para tamu mengamatinya dari segala penjuru maka
pelayan datang dan pemuda ini mengeluarkan suaranya yang merdu halus, benar-benar mirip wanita.
"Pelayan, sediakan bubur ayam dan sepoci arak hangat untukku, juga kuah sayur asin. Tolong
sediakan garpu dan sendok makan, jangan sumpit."
Pelayan terheran. Dia mengangguk dan tersenyum memutar tubuh melayani permintaan itu. Hanya
orang-orang luar Tiong-goan yang biasanya makan dengan sendok garpu. Tapi karena tamu adalah raja dan
tentu saja tak boleh dia berayal maka pelayanpun masuk dan tak lama kemudian sudah kembali dengan
semangkok bubur ayam dan sepoci arak hangat, juga kuah sayur asin.
"Nona, eh kongcu rupanya tak biasa dengan sumpit. Ini sendok garpunya dan silakan makan!"
Para tamu geli. Akhirnya pelayan salah ucap juga melihat wajah dan sikap pemuda aneh itu, yang
kewanita-wanitaan. Dan ketika pemuda itu melerok dan tersenyum genit, para tamu meledak maka seorang
di antaranya berseru,
"Heii, jaga mulutmu, A-song. Kongcu itu bukan nona. Jangan keliru!"
"Maaf..... maaf....." sang pelayan surut, menahan tawa. "Aku salah, kongcu. Silakan makan dan
panggil aku kalau butuh ini-itu lagi."
Pemuda itu tak marah. Justeru ada tamu berteriak padanya ia menjadi senang, terbukti ia melerok pada
laki-laki di sudut meja itu dengan senyum mengembang, hal yang membuat tamu itu tertawa bergelak dan
geli. Tapi ketika dari luar masuk enam penunggang kuda, berhenti dan turun di halaman rumah makan itu
maka para tamupun tiba-tiba terkejut dan wajah mereka tampak berubah.
"Pengawal-pengawal We-taijin..!"
Semua tiba-tiba bergerak dari kursinya. Enam laki-laki berpakaian pengawal dengan topi besi sudah
masuk ke dalam. Mereka gagah dan rata-rata tinggi besar, sorot mata mereka tajam dan garang menyapu
semua orang. Dan ketika pelayan dan pemilik restoran tergopoh-gopoh menyambut, jelas mereka merasa
takut maka pengawal di depan yang goloknya berada di pinggang berseru,
"Heii, siapkan meja untuk We-taijin dan rombongan. Satu jam lagi kami akan memborong tempatmu,
Lo-haiya. Suruh tamu-tamumu pergi dan biarkan kami bebas di sini!"
Pemilik restoran mengangguk-angguk. Ia terbata menjawab berulang-ulang sementara para tamu
sudah menyingkir satu persatu. Rupanya mereka sudah hapal dengan gerak-gerik dan sikap para pengawal
itu, jagoan We-taijin sang wali kota. Dan ketika semua menyingkir kecuali pemuda aneh itu, yang berdandan
seperti wanita maka kepala pengawal tampak melotot dan tak senang, membentak pada pemilik rumah
makan.
"Siapa dia itu. Kami akan mengatur tempat ini dan tak boleh seekor tikuspun berada di sini. We-taijin
akan menyambut Gubernur Hong-sang!"
"Dia..... dia, ah...!" pemilik restoran terbata dan berlari-lari kecil menghadapi tamunya yang tinggal
satu-satunya ini. "Harap pergi keluar, kongcu. Segala makan minummu tak usah bayar. We-taijin akan
datang, rupanya menyambut tamu agung. Silakan pergi dan besok boleh kembali lagi!"
"Hm, aku di sini sejak tadi, makanpun belum habis. Kenapa diusir? Tidak, aku pergi kalau sudah
selesai, loya. Biarpun anjing menggonggong tak sudi aku angkat kaki."
Pemilik restoran pucat. Ia melihat kepala pengawal yang garang dan melotot itu tiba-tiba bergerak.
Golok di pinggang sudah dicekal dan jelas mengancam, mulutpun mengeluarkan geraman. Lalu ketika laki-
laki itu berada di depan pemuda ini dan membentak, marah tapi setengah geli mendengar suara kewanita-
wanitaan tadi maka ia langsung menggebrak meja dengan tangan kirinya.Kolektor E-Book
TAPAK TANGAN HANTU
BATARA
243 "Hei, banci! Apa kau bilang tadi. Berani kau mengatai anjing menggonggong. Siapa yang kau maksud
dan beranikah kau menghina Pengawal Garuda dari We-taijin!"
"Hm," pemuda itu tiba-tiba tertawa, akan tetapi sepasang matanya berkilat. "Aku mengatai kau yang
menggonggong seperti anjing, laki-laki busuk. Biarpun kau Pengawal Garuda atau Pengawal Kecoa aku
tidak takut. Kau menumpahkan kuah sayur asinku, ganti!"
Kepala pengawal itu terbelalak. Ia pemimpin teman-temannya tapi bukan komandan Pengawal
Garuda, hanya merupakan orang ketiga dari barisan pengawal We-taijin itu. Tapi mendengar kata-kata ini
dan rambut serta kumisnya tentu saja berdiri, bukan main marahnya maka tiba-tiba kuah sayur asin di
mangkok yang tadi terpental kena gebrak sekonyong-konyong menyambar mukanya dan tanpa ampun lagi
menyiram wajahnya.
"Crott!"
Pengawal itu berteriak. Ia kaget dan tak sempat mengelak saking cepatnya semua ini, juga siapa
mengira pemuda itu berani menyiramnya dengan kuah, padahal ia adalah Pengawal Garuda yang ditakuti
semua orang. Maka ketika dia menjerit dan mendekap mukanya, kuah panas dan asin itu mengenai mata dan
hidung kontan saja ia kalang-kabut dan pemuda itu terkekeh merdu. Sayur yang ada di kuah menempel di
pipi dan rambut.
"Hi-hik, kau lucu, tikus besar. Kalau begini bukan Pengawal Garuda lagi, kau Pengawal Gila, ha-ha!"
Kepala pengawal itu merenggut taplak meja di sebelah, memaki-maki dan membersihkan mukanya
dengan ini. Ia bagai mendidih mendengar ejekan dan kata-kata itu, lima temannya sudah bergerak dan maju
pula, mengancam. Tapi ketika ia mencabut golok dan menerjang pemuda di depan meja itu, yang masih
duduk tenang tiba-tiba pemuda ini menjentikkan kuku jarinya dan tahu-tahu sebuah benda putih menyambar
dan mendahului menuju dada kepala pengawal itu.
"Crep!"
Garpu tiba-tiba menembus dan menancap dalam. Golok yang sudah diangkat tiba-tiba berhenti di
tengah jalan, kepala pengawal itu melotot tapi mengeluh roboh. Dan ketika ia menimpa meja pemuda itu dan
tewas dengan tubuh menelungkup, lima temannya kaget maka mereka itu berteriak dan tentu saja marah
bukan main. Pemilik restoran berteriak dan lari menjerit-jerit.
"Kau banci jahanam. Keparat, kau membunuh pemimpin kami!"
"Hm," pemuda itu tertawa, tak mengelak. "Kalianpun akan mati seperti itu, tikus-tikus busuk, kecuali
satu harus hidup untuk memberi laporan.... siutt-plak-plak-plak!" entah apa yang terjadi tahu-tahu empat dari
lima orang itu menjerit, roboh dan dada berlubang sementara orang terakhir mencelat dan terbanting.
Pemuda itu mempergunakan taplak meja dan mengebut, ujung taplak tiba-tiba menjadi lancip dan
menghantam empat pengawal itu. Lalu ketika mereka roboh dan tentu saja tewas, gemparlah rumah makan
itu maka pelayan berteriak dan berhamburan keluar.
"Tolong.... toloong..... ada pembunuhan!"
Kota menjadi ribut. Mereka berlarian dan malah menjauhi rumah makan itu. Tapi ketika terdengar
derap dan belasan kuda berhenti di depan rumah makan itu maka pengawal terakhir yang dibiarkan hidup
dan tertatih keluar ruangan sudah disambar temannya. Tujuh belas Pengawal Garuda datang lagi di situ,
belum melihat lima tubuh yang bergeletakan mandi darah, terhalang meja dan kursi.
"Apa yang terjadi. Siapa yang membunuh. Mana Gu-twako!"
"Dia.... dia..." pengawal itu pucat. "Gu-twako tewas, ciangbu (kapten). Dia dibunuh pemuda kejam!"
"Mana pemuda itu!"
"Duduk di situ !" namun ketika ia menoleh dan tak melihat siapa-siapa, pemuda itu lenyap maka
ciangbu atau sang kapten sudah meloncat ke tempat yang dituding anak buahnya ini. Dan di situ baru
tamplaklah lima mayat itu, dada berlubang.
"Keji, keparat jahanam. Mana pemuda itu!"
Semua terbelalak. Mereka ngeri oleh garpu yang menancap itu dan juga luka di dada kiri. Tak ada
yang tahu dengan apa luka di dada itu dibuat, tentu tak bakal menyangka bahwa itu hanya oleh sebuah ujung
taplak meja. Dan ketika semua berlompatan dan mencari-cari, pemuda itu tak ada maka sang kaptenKolektor E-Book
TAPAK TANGAN HANTU
BATARA
244 membentak dan menyuruh mencari di luar. Dia sendiri dan dua pembantunya mengurus mayat-mayat itu.
"Cari di luar, awas! Jangan biarkan ia lari!"
Namun pemuda itu benar-benar menghilang. Entah di mana dan kapan ia pergi akan tetapi
bayangannya benar-benar tak kelihatan lagi. Ia lenyap seperti siluman. Dan ketika sang kapten bertanya
tentang ciri-ciri pemuda itu maka pengawal ini gemetaran.
"Dia.... dia banci yang menghina Gu-twako. Kami menyuruhnya pergi tapi tiba-tiba ia menyerang. Oh,
ia lihai sekali, ciangbu. Hati-hati kalau ketemu!"
"Hm, siapa namanya, atau nama julukannya."
"Kami tak tahu. Dia.... dia kusangka banci biasa. Dia iblis!"
Sang kapten mendorong. Anak buahnya itu sudah ketakutan dan roboh dibentak, ia tak suka ada
musuh terlalu dipuji-puji. Dan ketika ia sendiri meloncat dan keluar mencari, tak ada dan kembali ke markas
maka We-taijin terkejut mendengar laporan itu.
"Rumah makan Lo-haiya ada penjahat? Gu Mo dan empat pembantunya tewas? Ah, siapa jahanam itu,
Te-ciangbu, cari dan tangkap ia sampai dapat. Tapi bagaimana ini, Gubernur hampir datang!"
"Taijin tak usah panik. Kita dapat mencari rumah makan yang lain, tapi memang tak ada yang
selengkap Lo-haiya. Bagaimana kalau seadanya dulu?"
"Bodoh. Menjamu Gubernur harus baik dan lengkap, ciangbu. Mana komandan. Ui, suruh ia datang!"
"Hamba sudah di sini," seorang laki-laki tinggi kurus berkelebat dan masuk. Inilah Ui Kam komandan
Pengawal Garuda. "Hamba sudah menyuruh mengepung dan menjaga seluruh kota, taijin, tapi tugas kita
terpecah dengan akan datangnya Gubernur. Apa perintah taijin tapi hamba percaya akan menemukan
penjahat itu."
"Jamuan di Lo-haiya gagal, bagaimana ini. Dapatkah kau mencarikan yang lain tapi selengkap rumah
makan itu!"
"Hamba akan menyiapkan di sana saja, restoran Lo-haiya paling baik. Tak mungkin penjahat berani
datang kalau kami menyiapkan seluruh kekuatan."
"Jadi tetap di sana saja?"
"Ya, dan Te-ciangbu biar memimpin duluan, taijin. Agaknya utusan sudah datang, Gubernur tiba!"
Sang wali kota benar-benar panik. Pengawal berlarian masuk dan memberi tahu bahwa kereta
Gubernur datang. Tuan rumah tak seharusnya masih di dalam dan membiarkan Gubernur turun dari kereta.
Maka ketika We-taijin tergopoh dan lari tersaruk-saruk, hampir terjatuh namun disambar Ui-ciangkun maka
komandannya itulah yang membimbing dan menyambut Gubernur yang sudah memasuki regol. Dan wajah
Gubernur tampak gelap melihat bawahannya menyambut terlambat. We-taijin buru-buru mengucap maaf dan
terbata menceritakan peristiwa buruk, tersandung dan hampir jatuh dan kesibukan luar biasa tampak di situ.
Bayangan-bayangan hitam berkelebatan dan itulah pasukan Pengawal Garuda, berjaga dan melirik sana-sini
mencari pemuda yang kewanita-wanitaan itu. Dan ketika akhirnya Gubernur dapat menerima dan
mengangguk-angguk, dua pemuda gagah di sampingnya berbisik perlahan maka Gubernur masuk sementara
satu di antara dua pemuda itu menyelinap dan menghilang di luar.
We-taijin bingung dan gugup. Ini adalah peninjauan rutin dari atasan, seharusnya semua yang serba
baik ditonjolkan. Maka ketika tiba-tiba di tempatnya ada penjahat berseliweran, membunuh lima dari
Pengawal Garuda yang andalan maka pembesar itu tak tenang namun Gubernur menepuk-nepuk pundaknya.
Pemeriksaan ketata-pemerintahan dilakukan, We-taijin menunjukkan ini-itu yang layak diperlihatkannya,
berkas atau bukti-bukti yang diminta atasan. Lalu ketika semua selesai dan tiba untuk jamuan maka
Gubernur diajak untuk santap siang, Dan restoran Lo-haiya tentu saja menjadi satu-satunya pilihan karena
itulah yang terbaik dan terlengkap.
Tapi apa yang terjadi? Hal yang membuat semua orang gempar. Karena ketika semua sudah duduk
dan Gubernur didampingi We-taijin mendadak pengawal menuding bangku di belakang We-taijin yang
diduduki pemuda pembunuh itu, si perlente yang tersenyum-senyum dan oleh semua Pengawal Garuda
disangka rombongan Gubernur, sementara Gubernur sendiri menganggap pemuda itu sebagai rombongan
We-taijin!Kolektor E-Book
TAPAK TANGAN HANTU
BATARA
245 "He, itu dia. Itu pemuda itu! Dia si banci itu!"
Mencelatlah We-taijin dari tempat duduknya. Ia begitu kaget duduk di depan penjahat sementara yang
berteriak adalah pengawal yang masih hidup. Ini adalah satu-satunya saksi mata yang tahu pemuda itu, di
samping Lo-haiya dan para pelayannya yang ada di belakang. Pemilik restoran tentu saja tak berani
berkeliaran di depan kalau We-taijin dan para pembesar duduk bersantap, begitu juga pelayannya yang
memberikan makan minum lewat bagian dalam pintu, jadi tak melihat pemuda pesolek itu. Maka ketika
pengawal berteriak dan menuding, semua bergerak ke arah si banci itu maka Ui-ciangkun yang duduk tak
jauh dari atasannya cepat meloncat dan menyambar pemuda itu, membentak.
"Minggir, taijin. Penjahat ini rupanya di sini!"
Semua geger dan terkejut. Gubernur sendiri yang tak menyangka dan menoleh ke belakang melihat
pemuda itu tertawa. Anting-anting di telinganya bergoyang. Dan ketika ia tertegun namun disambar pemuda
di sampingnya, yang bukan lain pengawal pribadi maka Ui-ciangkun melayang dan menubruk pemuda itu.
"Dukk!"
Si pemuda menangkis dan Ui-ciangkun terbanting. Segebrakan itu saja pemuda ini sudah membuat
kejutan, tangkisannya juga membuat komandan Pengawal Garuda itu berteriak. Dan ketika Ui-ciangkun
bergulingan dan menendang We-taijin, menjauh dari pemuda itu maka semua pasukan bergerak tapi anehnya
pemuda itu masih tetap senyum-senyum tenang di tempat duduknya, bahkan tertawa, merdu bagai wanita.
Jilid XVII
"HEH-HEH, apa yang akan kalian lakukan, ciangkun? Kenapa demikian gugup dan panik seperti
kambing kebakaran jenggot? Aku senang duduk di sini, diamlah dan lanjutkan pesta."
Akan tetapi mana mungkin komandan itu dapat tenang dan diam dalam saat seperti itu. Si banci yang
ternyata pembunuh ini kiranya berada di situ di tempat pesta. Keberaniannya benar-benar luar biasa, orang
lain tentu kagum. Tapi karena bagi Ui-ciangkun ini adalah penghinaan, ia seakan ditantang oleh kehadiran
pemuda itu maka komandan yang sudah bergerak dan maju lagi itu membentak dan menyerang lawan. Ia
penasaran oleh benturan tadi dan marah sekali. Di situ banyak para tamu, terutama Gubernur yang tentu tak
akan senang bila ia tak mampu menangkap penjahat. Tapi ketika ia menyerang dan menggerakkan lengannya
dengan amat cepat, mencengkeram dan siap membanting lawannya itu mendadak si banci lenyap dan kursi
yang menjadi sasaran hancur berantakan terkena cengkeramannya.
"Kratak!"
Kursi roboh dan terguling. Ui-ciangkun terkejut dan saat itu terdengar tawa aneh dari atas. Ia tak tahu
betapa dengan lebih cepat lagi si banci mencelat meninggalkan kursinya, tinggi hingga nyaris menyentuh
langit-langit ruangan dan kini turun lagi ke bawah. Saat ia mencelat kursi itu hancur, saat ia turun Ui-
ciangkun melengak. Maka ketika ia meluncur dan sang komandan kaget maka saat itulah ujung sepatunya
menyambar dan tepat bagai disentak tangan raksasa dagu perwira ini tersentak oleh ujung sepatu lawan.
"Duk!"
Perwira itu berteriak dan terbanting roboh. Ujung sepatu yang menyentuh perlahan ternyata seakan
lontaran palu martil, komandan ini menjerit dan terguling-guling. Tapi karena ia adalah komandan Pasukan
Garuda dan betapapun cukup kuat, bangun dan terhuyung lalu berteriak memberi aba-aba maka pasukannya,
yang berjumlah hampir seratus orang menerjang dan menyerbu pemuda itu.
"Hi-hik, tak tahu malu. Disuruh mundur malah maju. Eh, aku tak berniat buruk, tikus-tikus bau. Aku
hanya ingin menikmati santap bersama dengan seorang pembesar. Minggirlah, dan biarkan aku di sini!"
Pemuda itu mendorong dan menggoyang-goyang kipasnya akan tetapi yang terjadi sungguh hebat.
Pasukan Garuda tertiup dan terlempar, mereka bagai diserang angin ribut. Lalu ketika semua menjerit dan
roboh satu demi satu, Ui-ciangkun terbelalak maka pemuda itu menarik kursi lain dan duduk sambil
tersenyum ke arah Gubernur, menutup kipasnya membungkuk memberi salam.
"Paduka Gubernur, mari lanjutkan makan. Mudah-mudahan paduka tak memberi kesan jelek seperti
tikus-tikus ini."
Gubernur kagum. Akhirnya dia terkejut dan heran akan tetapi juga kagum akan kelihaian danKolektor E-Book
TAPAK TANGAN HANTU
BATARA
246 kehebatan pemuda itu. Jelas ia hanya menggoyang dan menggerak-gerakkan kipas namun semua Pasukan
Garuda terlempar. Ui-ciangkun sendiri begitu mudahnya terbanting, itu untuk yang kedua kali. Tapi karena
lawan adalah penjahat sementara Ui-ciangkun sebagai komandan keamanan menjadi marah luar biasa,
pembantu We-taijin itu memekik dan mencabut senjatanya berupa golok sirip hiu maka perwira itu sudah
menerjang dan kali ini berhati-hati terhadap lawan, anak buahnya sudah bangun lagi dan bergerak
membantu. Golok sirip hiu bergagang panjang itu menderu dan mendesing menyambar pemuda itu.
"Ha-ha, tidak kapok. Baik, kau boleh serang aku sampai sepuluh jurus, Ui-ciangkun. Tapi setelah itu
kau harus mundur atau mampus!" si banci mengelak dan tertawa dan semua serangan luput. Ia seakan main-
main saja tetapi kata-kata terakhirnya tadi penuh ancaman. Sorot matanya juga lain ketika memandang
perwira itu, berkilat dan penuh bahaya. Dan ketika pengawal juga bergerak dan maju lagi, terpaksa pemuda
itu meninggalkan kursinya maka ia meloncat dan berpindah-pindah namun tetap melayani Ui-ciangkun.
"Suruh anak buahmu minggir, biar kau dan aku saja. Heh, jangan campuri urusan ini, tikus-tikus
busuk. Minggir atau kalian mampus!"
Pasukan Garuda tak menghiraukan. Mereka melihat komandan mereka menyerang mati-matian dan
tentu saja mereka tak mau mundur. Pemuda itu mengelak dan berpindah-pindah dari kursi satu ke kursi lain,
terhadap mereka pemuda ini seolah takut. Tapi ketika mereka tetap menyerang dan pemuda itu menghitung
jurus demi jurus yang dilancarkan Ui-ciangkun mendadak kipas itu dicabut lagi dan tepat pada jurus
kesepuluh pemuda itu membentak menangkis senjata di tangan Ui-ciangkun, sekaligus juga senjata di tangan
Pasukan Garuda.
"Cukup!"
Jerit dan senjata terlempar mengejutkan siapa saja. Pasukan Garuda, yang tadi menyerang dan tak
menghiraukan seruan pemuda itu mendadak mencelat dan terbanting roboh. Senjata mereka bertemu dengan
kipas di tangan pemuda itu dan bagai bertemu aliran listrik mereka berteriak kaget. Kipas di tangan pemuda,
itu mengeluarkan getaran yang amat menyengat, tajam sampai menuju ketiak dan jantung. Dan karena
getaran ini amat hebatnya dan rasa terbakar juga membuat semua mengaduh, terlempar dan terbanting maka
dua puluh di antaranya langsung tewas dengan dada kebiruan!
Ui-ciangkun sendiri mengeluh dan terlempar akan tetapi perwira itu tidak tewas. Golok sirip hiunya,
yang pipih dan bergagang panjang terdengar berkeratak bertemu kipas lebar itu, patah dihantam jari-jari
kipas dan perwira ini kaget sekali akan rasa panas yang membakar telapak tangannya. Secepat itu juga ia
melepas senjatanya dan selamat, terlempar tapi tidak tewas karena ia membuang goloknya itu. Dan ketika
perwira ini melompat bangun dengan tubuh gemetar, pucat pasi maka pemuda itu tertawa menyimpan
kipasnya.
"Nah, apa kubilang. Salah kalian sendiri. Kalau kalian tidak menyerangku tentu aku tak akan
membalas kalian, Ui-ciangkun. Sekarang terserah apakah mau cukup di sini atau dilanjutkan." Pemuda itu
duduk lagi dengan sikap tenang, kipas dimasukkan saku baju sementara We-taijin dan lain-lain terbelalak.
Wajah walikota itu merah padam, marah dan malu tapi juga gentar menghadapi si banci itu. Perwira
andalannya tak dapat diandalkan! Tapi ketika pemuda di samping Gubernur bergerak dan tahu-tahu
melayang ke tempat pemuda ini, yang masih duduk dan mengebut-ngebutkan ujung bajunya maka pemuda
baju putih itu membentak.
"Sobat, kau rupanya lihai sekali. Tapi jangan sombong, aku ada di sini dan mari kita main-main
sebentar!"
Si banci mengangkat mukanya. Sejak tadi sesungguhnya ia memperhatikan pemuda ini, pemuda
tampan gagah yang selalu tak jauh dari Gubernur. Melihat gerak-geriknya tentu pengawal pribadi dan hal itu
memang benar. Pemuda ini adalah keponakan Gubernur sendiri, dua bersaudara bernama Sia Teng Bu dan
Sia Teng Seng di mana satu di antara mereka menyelinap keluar ketika memasuki gedung We-taijin, yakni


Tapak Tangan Hantu Karya Batara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ketika mendengar bahwa di kota itu terdapat penjahat. Maka ketika Teng Bu, pemuda ini ditinggal kakaknya
untuk mengawal paman mereka, mereka adalah murid-murid Bu-tong yang sudah memiliki kepandaian
tinggi maka pemuda itu diam-diam terkejut melihat kepandaian si banci yang amat luar biasa ini. Teng Bu
sudah mengamati sejak tadi dan pemuda tampan berbaju putih ini merasa gatal. Dia melihat betapa Pasukan
Garuda dirobohkan begitu mudah oleh si banci itu, termasuk akhirnya Ui-ciangkun yang menjadi
komandannya. Dan ketika dia berbisik dan mendapat ijin pamannya, maju dan tak menunda waktu lagi maka
murid Bu-tong yang gagah perkasa ini marah namun lawan justeru tersenyum dan berseri-seri
menyambutnya. Si banci itu bangkit dan wajah itu tampak lembut dan ayu seperti wanita, mata itu bersinar-
sinar, mencorong, setengah redup!
"Hi-hik, kongcu akhirnya maju juga. Bagus, sudah kutunggu! Eh, siapa namamu, kongcu yang mulia,Kolektor E-Book
TAPAK TANGAN HANTU
BATARA
247 dan bolehkah kutahu apa hubunganmu dengan Pasukan Garuda itu. Kuharap kau bukan satu di antara mereka
dan jangan salahkan aku dengan semua akibat ini."
Teng Bu merasa seram. Setelah dia berhadapan dan si banci itu terkekeh seperti wanita, wajah yang
berbedak dan bergincu itu tampak cantik tapi juga tampan pemuda ini malah ngeri. Dia melihat sesuatu yang
menyeramkan meskipun tawa dan pertanyaan lawan lembut, tidak, kasar apalagi menyakitkan. Namun
karena semua pertanyaan itu diucapkan dengan sikap genit dan anting-anting di bawah telinga itu juga
bergoyang digerak-gerakkan secara kemayu, dia muak namun juga marah maka pemuda ini menjawab
dengan bentakan keras.
"Iblis kejam, kau telah membunuh anak buah We-taijin. Kau tak berperasaan. Menyerahlah atau kau
mampus!"
Lawan terkekeh. Teng Bu telah membarengi bentakannya itu dengan lompatan ke depan, tangan kiri
bergerak sementara tangan kanan siap menyusul, kalau lawan mengelak atau menangkis. Dan ketika benar
saja banci itu mengelak dan tangan Teng Bu luput, secepat kilat tangan kanan menyambar maka tinju atau
kepalan lima jari mencegat dari luar ke dalam.
"Plak!"
Si banci menangkis dan Teng Bu terpental. Pemuda itu berteriak perlahan karena sama seperti Ui-
ciangkun tadi iapun menerima sengatan tajam, rasa panas membakar namun pemuda ini sudah membuang
lengannya itu berputar setengah langkah. Lenyaplah sengatan tajam bertenaga panas itu. Dan ketika pemuda
ini terbelalak namun menyerang lagi, kaki bergerak membantu sepasang lengan yang sudah naik turun
menyambar-nyambar maka si banci itu tertawa dan ringan namun cepat ia mengelak dan maju mundur
membuat serangan-serangan pemuda itu luput.
"Hi-hik, kurang cepat, kongcu, tapi cukup bertenaga. Aih, gaya pukulanmu seperti Hang-houw-ciang
(Silat Penakluk Harimau). Ah, benar, gerakan kakimu menunjukkan bhesi (pasangan kuda-kuda) Bu-tong.
Ha-ha, kiranya kau murid Bu-tong!" dan si banci yang berkelebat dan akhirnya lenyap dikejar Teng Bu
membuat pemuda itu terkejut dan membelalakkan mata. Teng Bu terkesiap bahwa demikian cepat lawan
mengetahui asal-usul ilmu silatnya, ia kagum tapi juga kaget. Dan ketika ia memekik dan mempercepat
gerakan namun lawan lenyap beterbangan di sekeliling dirinya maka pemuda gagah ini benar-benar
mencelos karena tak satu pun serangannya menyentuh tubuh lawan. Jangankan tubuhnya, bajunya saja tidak!
"Keparat, kau jangan hanya menghindar saja. Tangkis dan balas pukulanku, iblis kejam. Atau aku
menganggapmu pengecut!"
"Ha-ha, kau murid Bu-tong, dan aku tak pernah bermusuhan dengan Bu-tong. Eh, tak perlu aku
membalasmu, kongcu. Sekali balas kau bakal roboh. Menyerahlah saja, atau aku akan membuatmu
kehabisan napas!"
Teng Bu pucat. Akhirnya ia sadar bahwa lawan berada di atas tingkatnya. Sekarang lawan bergerak
lebih cepat daripada ketika menghadapi Pasukan Garuda atau Ui-ciangkun tadi, berarti banci ini masih
menyimpan kepandaiannya yang entah sampai di mana lagi. Dan ketika ia mempercepat gerakan namun
kalah cepat, lawan selalu lenyap setiap dipukul maka tak ampun lagi napasnya memburu dan Teng Bu
menjadi penasaran serta marah di samping gugup.
Ia adalah murid Hak Cin Hosiang tokoh nomor dua. Di Bu-tong kepandaiannya sudah termasuk tinggi,
untuk kalangan muda bahkan yang paling tinggi. Maka ketika di sini ia seakan menjadi barang mainan lawan
dan lawan terkekeh-kekeh setiap pukulannya luput maka hal yang lebih mengejutkan lagi terjadi pada
dirinya. Si banci mulai mengusap dan mengelus pipinya!
"Hi-hik, sudahlah, kongcu. Kau tak akan menang melawanku. Kita bersahabat saja, berteman. Aku
kagum kepadamu dan tak ingin menanam permusuhan pula dengan Bu-tong. Sudahlah, berhenti dan kita
bersahabat."
Teng Bu meremang. Aneh sekali nafsunya tiba-tiba bangkit diusap dan dielus seperti itu. Ada bau
harum di jari-jari lawan ketika menyambar mukanya. Dan ketika ia merasa pening tak mampu mengejar
lawan, usapan dan elusan itu kian sering menjamah dirinya maka bukan hanya muka atau wajah melainkan
Juga perut dan pundaknya. Dan terakhir adalah bawah pusarnya! Teng Bu tak tahu bahwa bau memabokkan
dilepas si banci itu. Bau itu adalah bubuk perangsang yang dikebutkan tipis-tipis, muncul dari dalam ujung
lengan baju dan sedikit tetapi pasti membangkitkan gairah pemuda ini. Namun ketika Teng Bu mulai
terhuyung-huyung dan bingung serta malu, entah bagaimana ia seakan digosok bisikan-bisikan mesra yang
membuat tubuhnya panas dingin maka saat itulah muncul kakaknya yang berkelebat dengan sepasang golokKolektor E-Book
TAPAK TANGAN HANTU
BATARA
248 di tangan.
"Bu-te (adik Bu), lawan kita. ini berbahaya. Cabut golokmu dan mainkan. tong Siang-to (Sepasang
Golok Bu-tong) untuk mengalahkannya!"
Si banci terkejut dan mengelak. Teng Bu hampir roboh ketika tiba-tiba muncul pemuda kedua, gagah
dan juga tampan namun berwajah lebih keras. Pemuda yang baru muncul ini mengelebatkan sepasang
goloknya dengan tusukan dan bacokan, dua gerakan yang berbeda satu sama lain. Dan ketika golok lewat
dan membacok angin kosong, gerakan golok itu menghalau bau harum yang memabokkan Teng Bu maka
bagai disiram air dingin pemuda ini meloncat jauh dan menarik napas dalam-dalam. Teng Seng, kakaknya
telah menyerang hebat lawannya itu.
"Hm, apa yang kualami," pemuda ini berpikir, wajahpun merah padam. "Kenapa tubuhku tiba-tiba
panas dan bergairah seperti layaknya melihat wanita cantik. Keparat, kau rupanya melepas guna-guna, banci
busuk. Kau membuat aku hanyut dalam pengaruh iblis!"
Teng Bu lalu menyerbu lagi membantu kakaknya. Keberaniannya bangkit lagi setelah kakaknya
muncul, mencabut golok dan kini dengan senjata di tangan ia menyerang lawannya itu. Tapi ketika lawan
mengelak dan luput, golok mengenai angin kosong maka si banci itu mengerling padanya, genit.
"Hi-hik, kalian rupanya bersaudara, jiwi kongcu. Bagus sekali dan menyenangkan. Aih, kalian gagah
dan sama-sama hebat, tapi masih bukan tandinganku. Berhenti dan kita bersahabat!"
"Hidungmu!" Teng Bu memaki. "Iblis macam kau tak layak bersahabat dengan kami, keparat busuk.
Kami Sia-hengte (dua bersaudara Sia) bukan orang-orang yang mudah bergaul dengan manusia siluman!"
"Aih, kalian Sia-hengte kiranya. Kalau begitu kalian yang berjuluk Sepasang Harimau Dari Kwang-
tung. Bagus, aku akan memperlihatkan kepada kalian betapa lima jurus kalian roboh dan sebagai orang
gagah kalian harus tahu diri!"
Teng Bu dan kakaknya marah. Teng Seng, sang kakak, sudah menyerang gencar lawan mereka ini
namun si banci begitu mudah menghindar dan berkelit. Sepasang goloknya menusuk dan membacok akan
tetapi semuanya itu mengenai angin kosong belaka, hal yang mengejutkan pemuda ini sementara sisa-sisa
Pasukan Garuda dan pengawal Gubernur akan maju. Mereka mendapat isyarat dari Ui-ciangkun tapi
Gubernur tiba-tiba mengangkat tangan. Dengan isyarat Gubernur itu mencegah mereka, tak memperbolehkan
maju atau membantu dua bersaudara Sia. Dan ketika pertempuran berjalan semakin sengit sementara Teng
Bu juga kian penasaran betapa goloknya tak mengenai tubuh lawan, bajupun tidak, maka sang kakak tiba-
tiba melengking dan berseru keras melihat lawan berkelebat dan mendorongkan tangannya ke wajah.
"Bu-te, lakukan Siang-houw-tiauw-wi (Sepasang Harimau Sabetkan Ekor). Lihat ekor di depan
kepala!"
Si banci melengak. Saat itu dia terkekeh menyambarkan telapak ke muka lawan, mengebut dengan
gerakan tak kentara bubuk putih berbau harum. Dan ketika dia disambut dan dipapak sepasang golok, heran
mana mungkin ada ekor di depan kepala maka saat itu Teng Bu membabatnya dari belakang dengan gaya
menyabet dengan satu kaki diangkat ke atas. Ini adalah jurus terlihai dari simpanan ilmu silat Bu-tong yang
biasanya dimainkan berdua, kakak beradik Sia-hengte itu memang telah menguasainya. Dan karena kata-kata
itu memang merupakan kata-kata sandi (rahasia) maka saat itulah Teng Bu tak menyia-nyiakan kesempatan
ketika kakaknya memapak telapak lawan yang mendorong ke depan. Teng Seng sang kakak pasti
melanjutkan dengan tendangan cepat, sementara dia akan menyabetkan golok dengan kaki siap menendang
pula. Dari belakang dia akan menghantam lutut lawan, biasanya kalau berhasil tentu lawan roboh, meskipun
mungkin dapat mengelak dari sabetan goloknya. Tapi karena mereka tak tahu siapa lawan mereka ini, si
banci tertawa aneh maka begitu golok memapak tangan secepat itu pula terjadi hentakan. Teng Seng terkejut
ketika telapak lawan yang dibacok goloknya mencengkeram cepat, tangan atau telapak itu tak apa-apa dan
saat itu golok langsung dibetot. Golok ke dua patah bertemu punggung telapak lawan. Dan ketika ia
meneruskan tendangan namun bau harum menyambar hidung, mendadak pemuda itu pening maka Teng Bu
yang ada di belakang dan sedang menyabetkan golok tepat sekali menghajar punggung lawan namun golok
di tangan patah-patah.
"Krak-krakk!"
Dua bersaudara ini kaget. Mereka berteriak dan sama-sama pucat namun lawan tertawa merampas
golok Teng Seng. Golok ini adalah golok yang dicengkeram tadi, dibetot dan sudah berpindah tangan
sementara bau harum menyambar hidung pemuda itu. Teng Seng pening dan ujung sepatu lawan menyentuh
lututnya, roboh dan saat itu si banci membalik menotok Teng Bu. Golok diputar dan gagangnya menotokKolektor E-Book
TAPAK TANGAN HANTU
BATARA
249 pundak pemuda itu. Dan ketika Teng Bu mengeluh dan roboh menyusul kakaknya, dua Sia-hengte itu roboh
hampir berbareng maka selesailah pertandingan dan si banci tertawa membalik lagi gagang golok.
"Ha-ha, bagaimana, apakah kalian berdua tak mau menyerah. Lihat, aku dapat membunuh kalian
berdua bila aku mau, jiwi-kongcu, tapi aku tak melakukan karena sesungguhnya aku tak berjiwa kejam.
Hanya bila orang kelewatan kepadaku maka terpaksa aku bersikap bengis, tapi kalau orang tahu diri akupun
bermurah hati dan tak mungkin kejam!"
Ui-ciangkun dan We-taijin terbelalak tapi Gubernur berseri mengangguk-angguk di sana. Gubernur
tampak gembira melihat kelihaian si banci ini, tiba-tiba bertepuk tangan dan maju mengejutkan Pasukan
Garuda, yang tentu saja cepat bergerak tapi dikibas Gubernur, disuruh minggir. Dan ketika semua orang
tertegun dan amat khawatir, si banci menoleh maka Gubernur mengangkat tangan berseru nyaring.
"Sicu (orang gagah), kau mengagumkan. Hebat dan tinggi kepandaianmu. Ha-ha, kau benar, kau
ternyata tidak berwatak kejam. Bebaskanlah keponakanku dan bagaimana jika sekarang kau menjadi
pembantuku!"
"Heh-heh., taijin bicara apa?"
"Hm, aku ingin memberimu kedudukan tinggi, sicu. Menjadi pembantu nomor satuku dan apa saja
yang kau minta bakal kuberikan. Kutawarkan sekarang juga maksud baikku ini dan apakah kau menerima!"
Si banci tertawa, melirik dua bersaudara gagah perkasa itu. "Taijin mau menyuruhku tinggal di gedung
taijin? Berkumpul dengan Sia-hengte ini? Ah, janji yang menyenangkan, taijin, tentu saja kuterima. Tapi
apakah mereka ini betul-betul mau tunduk kepadaku."
"Siapapun akan tunduk kepadamu, termasuk dua keponakanku itu. Kau kuangkat menjadi pengawal
nomor satu dan berhak membawahi siapapun!" Banci itu tertawa. Ia berseri dan mengeluarkan sorot aneh
memandang dua kakak beradik itu. Cahaya matanya lebih berbinar-binar. Dan ketika ia membebaskan dua
bersaudara itu dan Teng Bu serta kakaknya meloncat bangun, tawaran diterima maka hari itu juga banci yang
aneh namun amat lihai ini menjadi pembantu Gubernur.
Ui-ciangkun dan pasukannya segera menyibak setelah bekas lawan yang kini menjadi kawan itu
diambil sendiri oleh Gubernur. We-taijin, sang bawahan tentu saja tak berani berkutik setelah atasannya
mengangkat banci itu sebagai pengawal nomor satu. Kedudukannya bahkan jauh di atas walikota itu. Dan
ketika perjamuan kembali dilanjutkan dan kini banci itu makan minum bersama Gubernur maka dia
menyatakan bahwa dirinya bernama Mo Kiem, seorang pengembara atau perantau yang tak tetap arah
tujuannya.
Gubernur mengangguk-angguk sementara Teng Bu mulai kagum. Kekalahan mereka yang demikian
telak dan harus di akui membuat pemuda itu menaruh hormat, apalagi karena banci ini tak membunuh
mereka, hal yang mulai menumbuhkan kesan baik dan hormat di hati pemuda itu. Dan ketika siang itu
Gubernur langsung pulang dan meninggalkan walikota, berderap dengan keretanya maka si banci
diperkenankan duduk dan bersama di dalam kereta. Satu penghormatan tinggi yang begitu cepatnya
diperoleh Mo Kiem!
Akan tetapi banci itu pandai menjaga perasaan. Sia-hengte, dua bersaudara Teng Bu dan Teng Seng
yang semula di dalam kereta dan kini memberikan tempat duduk bagi si banci ternyata diundang pula ke
dalam. Mo Kiem menyatakan tak enak bila dua bersaudara itu harus di luar, sementara dia duduk bersama
Gubernur di dalam kereta. Maka ketika dua bersaudara itu dipanggil dan diajak duduk bersama, Gubernur
menjadi senang maka Sia-hengte menyatakan terima kasih sementara Teng Bu diam-diam semakin kagum
dan hormat kepada bekas lawannya ini.
Di dalam kereta terjadi pembicaraan menyenangkan di mana si banci itu menunjukkan kelemahan-
kelemahan mereka dalam hal silat. Dan karena hal ini tentu saja menggembirakan mereka, tak ada orang
kang-ouw yang tak suka berbicara tentang ilmu kepandaian maka sesampainya di tempat Gubernur
pembicaraan itu menjadi kian hangat dan akhirnya si banci ini mulai memberi petunjuk-petunjuk.
"Kelemahanmu dalam hal tenaga, dan kau kecepatan ynng bertumpu pada sepasang kaki yang
terlampau kaku menancap di tanah. Kalau kau menambah tenaga dan gerakan kakimu ringan menapak tentu
tak mudah orang merobohkanmu, Teng Bu, kecuali tentu saja mereka yang kepandaiannya sudah jauh di atas
kalian. Kalau kalian tak merasa malu aku senang menambah kepandaian kalian agar lebih lihai!"
Teng Bu dan kakaknya mengangguk-angguk. Diam-diam mereka kagum karena guru mereka juga
pernah bicara begitu. Teng Bu pada kaki yang terlalu kaku sementara Teng Seng pada tenaga yang kurang.
Kalau si banci ini mau memberi petunjuk dan tambahan ilmu, hal yang menyenangkan tentu saja mereka takKolektor E-Book
TAPAK TANGAN HANTU
BATARA
250 menolak, apalagi Teng Bu. Pemuda ini sudah semakin tertarik dan kagum kepada bekas lawan ini. Hanya
kakaknya yang masih ragu dan enggan terlalu rapat. Teng Seng, sang kakak masih tak dapat menghilangkan
rasa tak sedapnya terhadap wajah kewanita-wanitaan itu. Ada semacam perasaan muak. Tapi karena banci ini
telah mengalahkan mereka dan betapapun mereka harus tahu diri, Teng Seng menyimpan perasaannya itu
maka pada hari-hari berikut adiknyalah yang dekat dan akrab dengan si banci. Dan Teng Bupun akhirnya
terjerumus!
Empat hari saja setelah itu, setelah mereka berada di tempat Gubernur dan sama-sama bergaul satu
sama lain maka pemuda ini tak dapat mengelak lagi dari rayuan si banci. Pagi itu Teng Bu sedang diberi
petunjuk dengan langkah-langkah kaki yang benar, ringan dan hanya menapak tanah di mana tentu saja si
banci harus memegang dan menyentuh kakinya. Lutut atau sendi-sendi yang dibengkokkan diberi contohnya.
Dan ketika kebetulan Teng Bu harus dipegang pahanya, kaki pemuda itu diluruskan benar maka seperti tak
sengaja siku si banci ini menyentuh bawah pusar Teng Bu.
"Lihat, kau lagi-lagi terlampau kaku. Pahamu jangan terlampau dikencangkan, Teng Bu, otot di bagian
ini terlalu meregang. Kendorkan sedikit, dan tekuk sedikit lututmu ke bawah. Ih...!" siku itu menyentuh
bagian rahasia dan Teng Bu semburat melihat si banci terkekeh. Gerakan itu seperti tak sengaja namun Teng
Bu bagai disengat listrik. Dia tersentak, kaget. Dan ketika darahnya berdesir dan si banci meremas lengannya
tiba-tiba banci itu berbisik,
"Teng Bu, kau rupanya harus belajar mengendorkan syaraf, pikiranmu terlalu tegang. Marilah kita ke
kamarmu dan kutunjukkan kepadamu bagaimana mengendorkan syaraf."
Aneh, Teng Bu mengangguk dan seperti tersihir. Sejak tersenggol tadi ia merasa gemetar, apalagi
ketika lengannya diremas si banci itu. Jari-jari si banci demikian lembut dan hangat. persis jari wanita. Dan
ketika ia dituntun dan diajak ke kamarnya, masuk dan bengong saja maka si banci tahu-tahu sudah membuka
bajunya mengusap dada yang bidang.
"Nah, di sini aku akan mengajarimu mengendorkan syaraf. Buka baju dalammu Teng Bu, biar yang
luar ini kukerjakan."
Teng Bu menggigil. Bagai ular yang lincah jari-jari si banci itu sudah melepas kancingnya, satu demi
satu dibuka dan ia jengah. Dan ketika si banci tertawa aneh mengusap puting dadanya, ia tersentak maka
Teng Bu terkejut dan sadar, melompat mundur.
"A... aku, eh, biar saja begini. Cukup baju luar itu saja, Kiem-ko, tak usah baju dalam. Aku malu!"
"Hi-hik, sama-sama lelaki kok malu. Bodoh, justeru kau menegangkan syarafmu, Teng Bu, padahal
aku hendak mengendorkannya. Bukalah, aku akan mengusap dan memijit beberapa bagian dadamu agar
terasa nikmat."
"Tapi..... tapi aku...."
"Tunggu apalagi? Aku tak melakukan apa-apa, Teng Bu, hanya ingin mengendorkan syarafmu dalam
rangka menambah kepandaian. Masa kau menolak!"
Teng Bu tersudut. Ia membuang malunya dan melepas baju dalam, perlahan-lahan tapi tak sabar
ditarik si banci. Dan ketika si banci terkekeh kagum, sepasang matanya berbinar maka Teng Bu didorong
dan jari-jari itu sudah mengusap dadanya, meremas dan memijat.
"Hm, kau memiliki dada yang bidang, jantan! Hi-hik, kau benar-benar tampan dan gagah, Teng Bu.
Wanita mana tak akan jatuh cinta kepadamu. Lepaslah celanamu sekalian!"
"Apa?"
"Bodoh, lihat hasil pijatanku, Teng Bu. Tidakkah kau merasa segar dan nikmat sekarang. Syarafmu
harus dikendorkan semua, bukan hanya bagian atas. Lepaslah celanamu dan biar kupijit juga!"
Teng Bu meremang. Ia mendengar tawa yang aneh dan decak-decak kagum. Jari yang memijat atau
meremas dadanya menimbulkan nikmat-nikmat panjang, tak dapat ia sangkal. Dan ketika ia merinding
namun rasa nikmat itu menjalar ke seluruh tubuh, kepalanya seakan dimasuki hawa hangat mendadak tanpa
sadar ia melepas celananya. Gerakan itu dibantu si banci dan akhirnya tinggallah pemuda ini mengenakan
celana dalam saja, bagian yang lain telanjang. Dan ketika pijatan atau remasan melompat ke bawah, tepat
mengenai pangkal pahanya muka Teng Bu terpekik ketika tiba-tiba saja si banci itu menerkam dan mencium
bibirnya, penuh nafsu!Kolektor E-Book
TAPAK TANGAN HANTU
BATARA
251 "Hi-hik, kau menggemaskan hatiku. Teng Bu. Kau gagah dan semakin jantan saja. Aih, sekarang
pelajaran kedua untuk benar-benar mengendorkan syaraf!"
Teng Bu terkejut bukan main. Nikmat yang aneh menjalar namun segera hancur oleh ciuman dan
terkaman itu. Seumur hidupnya belum pernah ia dicium laki-laki, lelaki dengan lelaki. Namun ketika si banci
menotok dan menekan punggungnya, gairah itu membakar lagi maka Teng Bu tak kuasa melepaskan diri
dilumat lawannya ini. Sekejap itu pemuda ini sudah memasuki alam yang aneh, terbang di tempat yang
ganjil namun memabokkan. Dan pemuda itu akhirnya tenggelam oleh bisikan atau kata-kata panas
membakar si banci.
"Anggap aku wanita anggap aku kekasih yang pernah kau cintai. Aiihhh, kau tampan dan gagah. Teng
Bu. Kau benar-benar pemuda jantan. Lihat aku akan membawamu ke sorga!"
Pemuda itu terlempar dalam dunia asing yang penuh nafsu dan memabokkan. Mula-mula ia merasa
sukar menerima semuanya ini, tapi ketika ia teringat Hong Lan puteri Gubernur, betapa ia mencinta gadis itu
namun tak mungkin menikahinya maka jadilah si banci ini dianggap gadis itu dan Teng Bu hanyut!
Pagi itu Teng Bu menerima kenangan yang tak mungkin dilupa seumur hidup. Ia dininabobokkan oleh
si banci ini. Betapa pandai lawannya itu memabokkan dirinya. Dan ketika dua jam kemudian Teng Bu
mendesah kelelahan, lawan tergolek dan terkekeh di sisinya maka Mo Kiem mencumbunya dan menutup


Tapak Tangan Hantu Karya Batara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan ciuman-ciuman kecil.
"Bagus, kau sekarang sudah dewasa.
Hi-hik, kuat benar kau ini, Teng Bu. Kau jejaka tulen. Aihh, kewalahan aku melayanimu!"
Teng Bu tak malu-malu lagi. Setelah mereka berdua telanjang dan pelajaran cinta yang aneh diberikan
si banci, ia terseret maka Teng Bu tak malu-malu mencium si banci ini. Ia sudah membalas dan si banci
terkekeh. Dan ketika siang itu mereka sudah saling memberi dan menerima, Teng Bu merasa kepuasan luar
biasa maka hari-hari berikut pemuda ini tak malu-malu menyambut lawannya. bahkan kalau perlu dia yang
mulai dulu!
Akan tetapi hubungan ini tercium kakaknya. Teng Seng, yang melihat betapa adiknya intim luar biasa
dengan si banci akhirnya menangkap juga ketidakwajaran itu. Teng Bu sering menggandeng dan memeluk
erat si banci, bukan sebagai lelaki dengan lelaki melainkan seperti lelaki dengan perempuan. Dan ketika
pemuda itu mengerutkan alis memanggil adiknya maka Teng Bu tertegun mendengarkan kata-kata kakaknya.
"Tak pantas runtang-runtung seperti itu. Kau dan Kiem-twako tampaknya terlibat dalam sesuatu yang
tidak wajar, Bu-te, jauhi dan jangan bersikap seperti itu. Ingatlah bahwa kau adalah murid yang baik dari
Hak Cin Hosiang. Apa kata suhu kalau mendengar laporan orang. Hati-hatilah, betapapun aku agak tak suka
kepada Kiem-twako itu. Ia bukan manusia wajar!"
Teng Bu semburat merah. Ia tak menjawab maupun membantah kata-kata kakaknya itu. Sekilas ada
kesadaran tinggi, jengah dan merasa betapa hubungannya dengan si banci itu tak wajar. Tapi ketika ia
bertemu dan masuk lagi dalam cumbu rayu aneh, si banci pandai membangkitkan berahinya maka lupalah
sudah pemuda ini. Teng Bu melanjutkan lagi dan sesekali menghindar jika bertemu kakaknya. Dan ketika
sang kakak kembali mengerutkan kening dan memanggilnya, untuk kedua kali menegur maka pemuda itu
berkata menjawab.
"Aku dan Kiem-twako tak ada apa-apa, biasa-biasa saja. Kau yang agaknya terlalu curiga, Seng-ko.
Kami berdua akrab karena ia mengajari aku meningkatkan ilmu silat. Kau sendiri tahu itu!"
"Hm, tapi tidak menggandeng atau merangkulnya demikian mesra. Akhir-akhir ini aku melihat
hubunganmu tidak beres, Bu-te, dan kemarin sehari penuh kau di kamar bersamanya. Apa yang kau
lakukan!"
"Aku.... aku berlatih samadhi!"
"Tapi aku mendengar desah-desah Kau bohong!"
Teng Bu pucat. Dibentak dan dipandang kakaknya seperti itu iapun menjadi kecut juga. Akhirnya ia
sadar bahwa dirinya terlalu menyolok. Dan ketika kakaknya mulai marah dan berang memandangnya maka
iapun memutar tubuh dan melompat pergi. Bingung dan gugup membuat ia marah juga.
"Seng-ko, kau tak layak mencampuri urusan pribadiku terlalu dalam. Aku bukan anak kecil lagi. TakKolektor E-Book
TAPAK TANGAN HANTU
BATARA
252 usah kau menasihati aku karena aku dapat mengatur jalan hidupku sendiri!"
Sang kakak terbelalak. Adiknya kini mulai membantah dan berani padanya. Tapi karena urusan
menyangkut si banci itu, betapapun pemuda ini harus berhati-hati maka Teng Seng tak memanggil adiknya
lagi dan mencari akal bagaimana menyadarkan adiknya itu. Kalau perlu dia akan ke Bu-tong dan melapor
gurunya!
Akan tetapi sesuatu yang di luar dugaan terjadi. Teng Seng tak menduga bahwa adiknya bakal melapor
kejadian itu kepada si banci. Teng Bu, yang merasa bingung dan gugup oleh teguran kakaknya suatu malam
bicara dengan si banci ini. Maksud pemuda itu adalah agar Mo Kiem mengendalikan perasaannya pula,
terutama bila bertemu kakaknya itu. Tapi ketika malam itu si banci malah terkekeh dan mengangguk-angguk
maka Teng Bu terkejut mendengar jawabannya.
"Begitu? Hm, jangan khawatir. Bagaimana kalau aku merobohkan kakakmu pula, Teng Bu, bertiga
menikmati cinta indah ini!"
"Apa?"
"Tak ada jalan lain. Ia harus diseret ke sini pula dan biarkan ia menjadi kekasihku!"
"Tidak, gila itu!" Teng Bu berteriak. "Masa kami harus bergaul seperti itu, Kiem-ko. Jangan, aku tak
setuju!"
"Kalau begitu bagaimana lagi, apakah ada jalan lain."
Teng Bu tertegun. Ia tersentak oleh pernyataan lawan bahwa kakaknyapun akan digulung di situ,
dijadikan kekasih. Dan ketika ia merasa betapa ide ini benar-benar gila, masa kakak beradik sama-sama
mencintai seorang banci maka pemuda itu tak dapat menjawab ketika ditanya. Dan banci itu terkekeh.
"Teng Bu, tak usah cemburu. Kau dan aku sama-sama menerima dan memberi, kita bukan mencinta
seperti layaknya orang-orang lain. Kalau kau bingung oleh ulah kakakmu dan aku ingin membantu dengan
caraku masa kau berpikiran yang tidak-tidak? Cinta adalah sesuatu yang indah, Teng Bu, cinta menyatukan
manusia. Kalau aku menyatukan kakakmu dan kita bertiga berkumpul menjadi satu maka itu tak ada
salahnya."
"Tapi.... tapi..." pemuda ini merasa seram, kata-kata itu tak dapat diterimanya juga, hati nuraninya
memberontak. "Masa aku harus melayani kakakku juga, Kiem-ko, menjadikannya sebagai kekasih. Apa kata
orang nanti!"
"Ah, kenapa mendengarkan kata orang? Menuruti pembicaraan orang membuat kita sendiri bingung,
Teng Bu, salah-salah gila. Kata orang tak usah diperdulikan!"
"Tapi aku dan kakakku...."
"Apa salahnya? Aku dapat melayani kalian berdua, Teng Bu, tak perlu kau melayani kakakmu. Biarlah
aku wanitanya dan kalian berdua pejantan-pejantan yang baik. Atau, heh-heh..... bunuh saja kakakmu itu
agar tak menyebalkan telingamu!"
Teng Bu bagai disambar petir. Ia terbelalak dan pucat tapi jari-jari kekasihnya menyelinap lembut. Jari
itu mengusap perutnya lalu ke bawah, merayap dan menuju ke tempat yang membuat dia paling meremang.
Dan ketika banci itu menunduk dan mengecup pusarnya, ia menggelinjang maka Teng Bu terbakar berahinya
tak dapat konsentrasi diri lagi. Kekasihnya ini merayunya dengan tawa merdu.
"Teng Bu, aku hanya ingin menolongmu. Aku hanya ingin memberimu jalan keluar. Kalau kau tak
tega membunuh kakakmu itu maka biarkanlah aku merobohkannya. Kita tak perlu bertiga dulu, biarlah
masing-masing di kamarnya dan aku ke sini kalau bagianmu datang."
Pemuda ini mengerang. Diusap dan di pijat seperti itu membuat Teng Bu hilang sadar. Ia mengangguk
saja ketika si banci bertindak lebih jauh. Dan ketika pakaian pemuda itu dilepas dan si banci menerkam
terkekeh, dibalas dan saling tindih maka Teng Bu tak ingat apa-apa lagi dan tak memikirkan kakaknya itu.
Berahi telah disulut dan ia terbakar. Ada semacam cinta aneh terhadap si banci ini. Dan ketika malam itu
mereka memuaskan diri dan Teng Bu tak mau bicara tentang kakaknya, semua diserahkan si banci maka
keesokannya si banci meminta barang-barang aneh seperti bulu ayam jago dan darah anjing.
"Siapkan itu dan letakkan di piring bersih. Aku akan menyuruh kakakmu datang dan tidak
mengganggumu lagi, Teng Bu. Kau boleh lihat kalau mau, tapi awas, jangan cemburu!"Kolektor E-Book
TAPAK TANGAN HANTU
BATARA
253 "Kau.... kau tak menyakitinya, bukan?
"Bodoh, mana mungkin itu, Teng Bu. Aku tahu kau mencintai kakakmu. Sudahlah siapkan itu dan
lihat pagi ini kakakmu akan tunduk!"
Teng Bu gemetar keluar kamar. Ia mencari bulu ayam jago tapi agak bingung mencari darah anjing.
Anjing siapa yang harus ditangkap? Tapi ketika ia berkelebat dan suara menguik terdengar sebentar, lenyap
dan pemuda itu kembali maka Teng Bu telah membunuh seekor anjing pamannya yang kebetulan lewat!
Dan pagi itu si banci telah duduk di tengah kamarnya dengan senyum ganjil. Sesungguhnya kamarnya
dengan kamar Teng Bu tidak berjauhan karena masing-masing mendapat kamar di belakang. Hanya kamar
Teng Seng yang di depan, jauh dan memang disengaja agar tidak berdekatan dengan mereka, mengganggu.
Dan ketika Teng Bu meletakkan darah anjing dan bulu ayam jago itu, si banci terkekeh maka pemuda itu
disilahkan keluar kalau takut atau bersembunyi di belakang tempat tidur jika ingin menonton.
"Aku tak akan mencelakai kakakmu, bahkan memberinya kesenangan. Tonton dan bersembunyilah di
situ, Teng Bu, atau keluar jika kau takut."
Teng Bu berkejap sejenak. Ia memandang meja kecil di depan si banci itu, berkerut kening. Tapi
ketika ia ragu untuk pergi atau tidak tiba-tiba ia menarik napas dalam dan melompat keluar.
"Baiklah, aku di luar saja, Kiem-ko. Hanya tepatilah janjimu dan jangan menyakiti kakakku.
Betapapun aku mencintainya, cinta saudara!"
"Hi-hik, jangan khawatir. Kau lihat saja, Teng Bu, tapi jangan cemburu!"
Pemuda itu lenyap. Teng Bu berkelebat tapi memutar kamar, berindap dan akhirnya mengintai di
jendela. Dan ketika Teng Bu mencium asap dupa dan melihat kekasihnya tertawa maka darah anjing dan
bulu ayam jago yang diletakkan di meja itu bergerak-gerak bersama piringnya. Dan si banci tiba-tiba
bersikap serius dan berkemak-kemik.
Aneh, sebuah benda tiba-tiba berkelinting, jatuh memasuki piring dan tenggelam dalam darah anjing.
Dan ketika Teng Bu terbelalak menajamkan pandangan, bulu ayam jago meloncat dan menari-nari maka luar
biasa sekali terdengar semacam bunyi tak-tik-tak-tik di mana bunyi itu tiba-tiba bergerak dan keluar pintu
kamar.
Teng Bu melihat segumpal asap keluar dari dalam piring, bersatu dan menyebar bersama asap dupa
lalu melayang-layang di sekeliling kamar. Lalu ketika asap itu berhembus dan melewati lubang kunci maka
pintupun terbuka dan.... tak lama kemudian datanglah kakaknya terhuyung-huyung.
"Heh-heh, bagus.... heh-heh, ke sinilah. Ah, kau patuh dan anak yang baik Teng Seng. Berlutut dan
jawablah pertanyaan-pertanyaanku!"
Teng Bu terkejut. Kakaknya datang dan tiba-tiba memasuki kamar dengan mata setengah terpejam,
terhuyung dan jatuh berlutut di depan meja kecil itu, meja di mana darah anjing dan bulu ayam jago menari-
nari, bergerak dan terus berputar sementara suara tak-tik-tak-tik masih terus terdengar. Suara itu ternyata
berasal dari dalam di mana benda di dalam piring berbunyi terus-menerus, menghantam atau berloncatan
menimbulkan bunyi yang aneh itu. Dan ketika kakaknya berlutut dan si banci menyambar bulu ayam
mendadak bulu itu dicelupkan ke dalam darah anjing dan dicipratkan ke dahi kakaknya.
"Heh, jawablah pertanyaanku, dan katakan dengan benar. Siapakah yang kau hadapi sekarang ini,
Teng Seng. Dan benarkah kau memarahi adikmu tentang hubungannya dengan Mo Kiem!"
"Aku.... aku berhadapan dengan seorang Dewi. Ampun, aku.... aku tak mengerti ke mana maksud
tujuanmu, Dewi. Dan kenapa tiba-tiba kau membawaku ke sini."
"Kau tak usah tahu. Jawab pertanyaanku benarkah kau memarahi adikmu, Teng Seng, dan kenapa kau
tak suka kepada Mo Kiem, saudaraku!"
Pemuda itu terkejut. Ia mengangkat mukanya namun sebuah cahaya menyambar dari telapak lawan.
Cahaya itu menyilaukan dan ia mengeluh. Dalam pandangan Teng Seng yang ada di depannya ini adalah
seorang dewi, wanita cantik luar biasa yang membuatnya bingung dan gugup serta gentar. Ia dibawa oleh
asap dupa dan sihir yang disangkanya kuda terbang. Berkali-kali ia harus memegang kendali dengan kuat,
takut jatuh. Dan ketika ia merasa melayang-layang dan berada di tempat ketinggian, tertegun bertemu dewi
itu maka ia berdetak bahwa dewi ini adalah saudara Mo Kiem. Dan ia tak dapat menjawab karena cahaya
yang menyambar dari telapak lawannya itu tiba-tiba membuat ia pening dan gemetar panas dingin disusulKolektor E-Book
TAPAK TANGAN HANTU
BATARA
254 bau harum yang membuat ia terbakar berahinya.
"Hi-hik, bagaimana, Teng Seng. Beranikah kau mengganggu saudaraku dan saudaramu sendiri.
Tidakkah kau lihat bahwa mereka saling cinta dan suka satu sama lain. Maukah kau menghancurkan
kebahagiaan adikmu sendiri!"
"Aku... aku tidak bermaksud begitu."
"Kalau begitu biarkan mereka berdua dan aku akan memberimu kehangatan cinta!"
Teng Seng tersentak. Sang dewi, yang menunduk dan tertawa senang mendaratkan ciuman. Bau harum
semakin memabokkan dan robohlah pemuda itu di terkam sepasang tangan lembut. Lalu ketika pemuda ini
berada dalam keadaan ingat dan tidak mendadak ledakan terjadi di kamar itu dan Teng Bu terkejut.
Pemuda yang mengintai di luar ini tak melihat apa-apa lagi karena seluruh kamar penuh asap tebal.
Sekilas ia melihat kakaknya terguling. Tapi ketika asap menipis dan penglihatannya terang lagi maka Teng
Bu tertegun melihat betapa kakaknya telah bergulingan dengan "sang dewi" itu, mendesah dan mendengus
dan selanjutnya ia memejamkan mata. Ada rasa berontak dan ingin menerjang masuk mendobrak pintu
kamar itu. Ada rasa tak rela. Ada rasa sakit! Tapi ketika yang di lakukan pemuda itu adalah melompat pergi
dan menekan perasaan dalam-dalam maka di sana murid Hak Cin Hosiang satunya itu telah terperangkap
dalam kekuatan keji dari sebuah ilmu hitam. Ilmu yang amat dahsyat yang membuat jiwa dan semangatnya
terbang di tangan sang pemilik, tak sadar dan tak tahu apa yang terjadi sampai akhirnya siang itu si pemuda
terhempas kelelahan. Teng Seng tertidur dan berada di kamar ini sampai malam. Dan ketika tengah malam ia
terbangun kaget, sepasang lengan lembut melingkar di lehernya maka pemuda itu meloncat bangun dan
alangkah pucatnya ia melihat Mo Kiem berada dalam satu pembaringan dan masing-masing tak berpakaian
sama sekali!
"Ah, ap.... apa ini. Ah, apa yang kita lakukan, Kiem-twako. Mana dewi itu!"
"Hm, enciku telah kembali. Kau diserahkannya kepadaku. Duduklah, Seng-te. Kita telah diresmikan
sebagai pasangan baru!" Pemuda itu melotot dan menyambar pakaiannya. Tentu saja ia merasa malu hebat
tapi lawan terkekeh genit, bergerak dan tahu-tahu menotok tengkuknya. Dan ketika ia terkulai dan menjadi
lemas, si banci mencium pipinya maka tanpa malu-malu lawan berkata bahwa mereka telah melewatkan
malam pengantin yang indah. Indah dan penuh kesan.
"Kau telah berjanji untuk tunduk dan patuh kepadaku. Aku adalah atasanmu pula. Jangan berbuat yang
macam-macam, Seng-te. Kau dan aku telah terikat dalam cinta yang sejati dan lupakanlah yang serba
buruk!"
Pemuda itu memaki. Ia lemas tapi dapat mengumpat-caci dan segala sumpah serapah segera
berhamburan. Ia sekarang merasa tertipu dan tentu saja malu dan marah bukan main. Tapi ketika lawan
menekan dan menotok urat gagunya, si banci berkilat maka laki-laki itu menjadi marah dan berseru.
"Teng Seng, yang sudah terjadi tak mungkin ditarik lagi. Kau telah menikmati kesenangan dariku, tak
mungkin kau bayar. Tunduk dan patuh kepadaku atau benakmu kupecahkan!"
"Jangan...!" Teng Bu tiba-tiba berkelebat, muncul. "Jangan bunuh dia, Kiem-ko. Jangan bunuh
kakakku, ingat janjimu!"
"Hm, bagus, kau datang," si banci berseri dan tertawa. "Mudah bagiku untuk membunuh kakakmu,
Teng Bu, tapi makian dan sumpah serapahnya tadi harus dibayar. Aku tak ingin mendengarnya lagi.
Minumkan darah anjing itu dan buat sampai habis!"
Teng Bu terkejut. Kakaknya berapi-api namun ia tak dapat berbuat lain. Banci ini amat lihai dan yang
lebih penting lagi adalah bahwa dia telah jatuh cinta! Tak akan didapatnya wanita yang mampu memabokkan
dirinya seperti si banci ini. Maka ketika ia menyambar darah anjing di atas piring itu, tanpa banyak bicara
mencekokkan ke mulut kakaknya maka cairan itu habis dan sebuah kancing baju tampak di dalam piring ini.
Kiranya benda yang jatuh dan berkelitikan di dalam piring itu adalah kancing baju ini, milik kakaknya!
Dan selanjutnya Teng Bu melihat suatu yang luar biasa sekali. Wajah kakaknya tampak pucat namun
sinar mata yang semula ganas dan berapi-api itu redup, kian lama kian kehilangan sinarnya dan mata itu
kuyu! Lalu ketika kakaknya seperti patung hidup, mengangguk dan mengiyakan semua kata-kata si banci
maka hari-hari berikut merupakan pukulan bagi Teng Bu.
Betapa tidak. Sang kakak telah menjadi robot dan dipermainkan sesukanya. Mo Kiem si banci
terkekeh-kekeh dan mencekoki obat perangsang kalau kakaknya tak bangkit gairahnya. Dan ketika kian hariKolektor E-Book
TAPAK TANGAN HANTU
BATARA
255 tubuh kakaknya kian kurus, tak bergairah ataupun memiliki semangat hidup lagi maka Teng Bu akhirnya
mengepal tinju meminta agar kesehatan kakaknya dipulihkan.
"Aku tak dapat melihat keadaan kakakku seperti itu. Maaf, kau harus menyembuhkannya kembali,
Kiem-ko, atau biar aku yang menggantikannya dan kau hidupkanlah dia!"
"Hi-hik, aneh. Kakakmu ini tidak seperti dirimu, Teng Bu, keras dan diam-diam membuat aku heran.
Kalau dia disembuhkan lagi maka dia bakal menyusahkan kita, terutama kau. Untuk apa disembuhkan dan
biarkan begitu."
"Tidak, aku tak dapat menerimanya, Kiem-ko. Sembuhkan atau kau bunuh aku!"
"Hm, serius," si banci menyeringai, menyipitkan matanya. "Kau tampaknya sungguh-sungguh, Teng
Bu, baiklah tapi tunggu tiga hari lagi."
"Tiga hari lagi?"
"Ya, biarkan pengaruh gaib darah anjing lenyap. Nanti setelah tiga hari aku akan memulihkan
semuanya."
"Terima kasih!"
"Tunggu...!" Teng Bu sudah melompat. "Jangan tergesa-gesa dulu, Teng Bu. Bagaimana
pertanggungjawabanmu kalau nanti kakakmu meliar!"
"Ini, hmm...!" pemuda itu tertegun. "Biarlah aku bicara baik-baik padanya, Kiem-ko. Aku akan
menyadarkannya."
"Kalau gagal?"
Pemuda itu pucat.
"Kau atau aku yang membunuhnya, Teng Bu. Aku tak suka kita diganggu hanya gara-gara ini!"
Pemuda itu berkelebat. Teng Bu memutar tubuhnya dan tak menjawab sementara si banci
mengeluarkan tawa aneh. Tawa itu telah memberi tanda kepada Teng Bu agar berhati-hati, ancaman itu tak
main-main. Tapi ketika pada hari ke dua Teng Bu menunggu pulihnya sang kakak, besok baru berakhir
mendadak seorang gadis gagah berkelebat di depannya. Gadis cantik berpedang di punggung yang kontan
mengejutkan pemuda ini.
"Teng Bu, mana Seng-ko (kanda Seng). Kenapa hampir sebulan tak pernah menengokku!"
"Kau....?" pemuda ini meloncat bangun, berubah. "Ah, kakakku ada di sini, Cui Ling. Tapi.... tapi...."
Gadis itu berdiri tegak, bersinar-sinar. Teng Bu tak melanjutkan kata-katanya dan kelihatan bingung
sementara gadis itu kian tajam menatap wajahnya. Cui Ling, gadis ini adalah kekasih Teng Seng dan dia
adalah murid Hoa-san yang menjalin cinta dengan pemuda itu. Kedua guru merekapun tahu dan masing-
masing memberi restu. Dan karena si pemuda biasanya menengok kekasihnya seminggu sekali, kini sudah
lebih dari empat minggu Teng Seng tak berkunjung kepadanya maka tentu saja gadis itu datang dan ingin
mengetahui sebabnya. Dan Teng Bu tiba-tiba menampakkan wajah mencurigakan seperti orang bingung atau
apa. "Hm, mana kakakmu, Teng Bu. Ada apa kau gugup. Kalau dia ada di sini antarkan aku kepadanya!"
"Tidak.... tidak bisa. Dia, eh...!" pemuda itu gelisah, bingung dan semakin gugup saja karena kakaknya
ada di kamar si banci. Kalau dia membawa gadis itu ke sana tentu bakal terjadi keributan, apalagi kalau gadis
ini melihat perubahan besar pada kakaknya, wajah dan tubuh yang kurus! Dan ketika pemuda itu bingung
untuk meneruskan kata maka Cui Ling mencabut pedang membentak marah.
"Teng Bu, aku ingin menengok kekasihku sendiri, ada apa kau menyembunyikan. Apakah ada yang
tak beres dan betulkah kudengar bahwa ada siluman di tempat ini. Seorang banci gila!"
"Cui Ling......!"
"Tidak, tak perlu sembunyi-sembunyi, Teng Bu. Kakakmu pernah bercerita kepadaku dan tunjukkan
di mana dia sekarang. Kau katanya kena pengaruh jahatnya!"Kolektor E-Book
TAPAK TANGAN HANTU
BATARA
256 Pemuda ini pucat. Setelah si gadis membentak dan marah-marah seperti itu maka dia khawatir
suaranya terdengar si banci. Alangkah berbahayanya kalau si banci itu marah, dia tentu tak dapat berbuat
apa-apa. Tapi teringat bahwa dua tiga hari lagi kakaknya disembuhkan, ia harus mencegah gadis ini maka
Teng Bu menyambar lengan gadis itu dan berkata sambil mendesis.
"Cui Ling, jangan kau macam-macam di sini. Kakakku selamat, tak ada apa-apa. Kau kembalilah
beberapa hari lagi dan akan kupertemukan dia denganmu!"
"Hm, aneh. Ganjil benar!" gadis itu tertawa mengejek. "Sudah di sini kenapa disuruh kembali lagi,


Tapak Tangan Hantu Karya Batara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Teng Bu. Kalau kakakmu pergi tentu aku mau, tapi tidak, kakakmu di sini. Kenapa harus pulang dan kembali
beberapa hari lagi? Kau menyembunyikan rahasia, Teng Bu. Aku justeru curiga. Aku akan ke kamarnya atau
mencari di kamar lain!"
"Cui Ling!"
Gadis itu berkelebat. Ia sudah meninggalkan Teng Bu dan pemuda ini pucat melihat gadis itu menuju
ke kamar kakaknya. Memang gadis ini sudah sering mendatangi tempat Gubernur. Tapi ketika Teng Bu
berkelebat dan berjungkir balik di depan, menghadang maka gadis itu tertegun berhenti dengan muka merah.
"Jangan, dengar dan patuhi kata-kataku. Aku tak melarangmu menengok kakakku, Cui Ling, tapi
jangan sekarang. Kembalilah tiga empat hari lagi atau aku mengusirmu!"
"Kau.... kau berani mengusir aku? Kau berani bicara seperti itu? Eh, aku tak takut padamu, Teng Bu.
Boleh kau mengusir tapi lihat kau mampu atau tidak, wut..!" gadis ini berkelebat, menyambar di sebelah kiri
lawan dan tahu-tahu meluncur lagi. Ia sudah meninggalkan pemuda itu sementara gagang pedang dicekal
erat-erat. Kalau Teng Bu mengejar tentu akan disabet, dia menjadi marah. Dan ketika benar saja pemuda itu
berkelebat dan menyusulnya, membentak maka Teng Bu berjungkir balik melewati kepalanya dan gadis
Hoa-san ini tak ragu-ragu mencabut pedang dan langsung menyabet pemuda itu.
"Cui Ling, kau tak boleh masuk ke sana!"
Akan tetapi pedang sudah bicara dan mendesing. Gadis ini membentak dan lawan yang baru turun
sudah dibabat pinggangnya, Teng Bu mengelak dan selanjutnya diserang lagi. Dan ketika pemuda itu
bergerak ke kiri kanan dan tertegun bahwa semua serangan-serangan itu dapat dielaknya dengan mudah,
padahal gadis ini dulu setingkat dengannya maka Teng Bu merasa girang karena itulah kemajuannya yang
diperoleh dari Mo Kiem, kekasihnya. Dan Cui Ling gadis Hoa-san itupun juga terkejut. Dulu mereka sama-
sama setingkat dan Teng Bu tak mungkin berani melayaninya dengan tangan kosong begitu. Hanya Teng
Seng yang sedikit lebih tinggi. Maka ketika kini semua serangannya begitu mudah dielakkan lawan dan
betapa Teng Bu memiliki gerakan yang jauh lebih cepat, itulah berkat petunjuk-petunjuk si banci maka gadis
ini terbelalak dan berseru nyaring memperhebat serangannya.
"Teng Bu, kiranya kau sudah memiliki kemajuan juga, pantas kalau kau sombong Tapi jangan kira
aku takut dan lihat Hoa-san Kiam-sut yang kumainkan ini haiittt!" Cui Ling mempercepat gerakannya dan
tiba-tiba tubuhnya lenyap beterbangan. Bagai walet menyambar-nyambar ia sudah menyerang lawannya itu,
pedang menusuk dan membacok diselingi bentakan-bentakan tinggi. Dan ketika Teng Bu kewalahan dan
harus menangkis, apa boleh buat harus menundukkan gadis ini maka pedang terpental bertemu telapak
pemuda itu.
"Plak!"
Cui Ling terkejut. Pedangnya terpukul miring dan hampir menyambar dirinya sendiri. Teng Bu juga
terkejut tapi girang oleh hasil sampokannya ini. Dulu ia dan Cui Ling pasti sama-sama terhuyung. Dan ketika
gadis itu terhuyung sementara dia tidak, ini menunjukkan bahwa ia benar-benar sudah memiliki kemajuan
berarti maka gadis itu memekik dan mulai menangkis. Cui Ling kesal dan penasaran.
"Teng Bu, aku akan membunuhmu. Kau sombong, ah.... aku akan membunuhmu!"
Tapi semua itu hanya ancaman kosong belaka. Teng Bu bergerak dan menampar dan semua serangan
pedang terpental. Pemuda itu menambah tenaga hingga gadis Hoa-san itu terpelanting. Dan ketika semua
serangan tak ada artinya padahal pemuda itu belum mengeluarkan senjatanya, gadis ini melengking akhirnya
Cui Ling memutar tubuhnya dan berkelebat pergi, menangis.
"Teng Bu, kau jahat dan menipu aku. Awas, beberapa hari lagi aku datang dan jangan harap
kesombonganmu tetap ada!"
Pemuda itu menarik napas dalam-dalam. Setelah Cui Ling pergi dan tak memaksa kakaknya makaKolektor E-Book
TAPAK TANGAN HANTU
BATARA
257 pemuda ini lega. Kalau empat lima hari lagi gadis itu datang maka kakaknya sudah sembuh, tidak seperti
patung hidup begitu. Dan ketika ia masuk .dan termenung di kamarnya, hari itu pemuda ini .tak gembira
mendadak keesokannya gadis itu muncul. Dan kedatangannyapun bersama seorang tosu pendek gemuk yang
matanya bagai harimau tua!
Waktu itu Teng Bu sedang duduk di kamarnya. Ia murung dan masih sedih, maklum kejadian
semalam itu membuatnya tak enak juga. Dia tak berpikir bahwa Cui Ling bakal datang bersama orang lain,
mengira gadis itu datang sendiri. Maka ketika tiba-tiba ia mendengar gerakan orang dan pintu kamarnya
dibuka, gadis itu muncul maka Teng Bu yang sejenak tertegun dan heran ini segera berubah kaget melihat
betapa di belakang gadis itu berdiri seorang tosu gemuk yang bukan lain adalah Bun Tek Tojin, guru gadis
itu! "Hm, maaf mengganggu. Kebetulan saja aku ke sini, Teng Bu, mengantar muridku untuk bertemu
kakakmu. Siancai, bolehkah kami masuk dan bicara baik-baik."
Teng Bu melompat bangun. Ia melihat senyum mengejek di mulut Cui Ling, tersentak oleh
kedatangan tosu itu. Dan ketika ia meninggalkan tempat duduknya dan buru-buru menghampiri tosu ini, tosu
itu setingkat gurunya maka Teng Bu pucat memberi hormat, gugup dan bingung.
"Ah-ah, Bun Tek locianpwe kiranya. Mari masuk, silakan duduk. Aku, eh........ Cui Ling semalam
telah menemuiku, locianpwe, dan kami ribut-ribut sedikit. Tapi tak ada ganjalan di hati. Kakakku, eh....... dia
sebenarnya sakit. Aku, eh...... mari masuk dan silakan duduk dulu!"
Teng Bu benar-benar gugup dan pucat melihat kedatangan tosu itu. Ia tak merasa gentar terhadap Cui
Ling namun kalau gurunya datang tentu saja keadaan menjadi lain. Ia tak boleh main-main terhadap tosu ini,
gurunyapun bisa marah kalau ia bersikap kurang ajar. Maka ketika cepat-cepat ia mempersilakan tamunya
dan tosu itu tersenyum, masuk dan menutup pintu kamar maka Teng Bu dag-dig-dug tak keruan karena
kamar si banci sesungguhnya tak jauh di situ, hanya selisih satu tikungan ruang dalam!
Dan gerak-gerik serta ketenangan tosu ini justeru membuat Teng Bu panik. Ia gugup bukan main,
terbata-bata. Tapi ketika tosu itu tertawa dan menepuk-nepuk pundaknya, senyum mengejek Cui Ling
membuat Teng Bu sadar maka ia menetapkan hatinya dan menindas semua perasaan takut. Dan tamupun
segera bicara tentang kakaknya.
"Hm, aku mewakili muridku bertanya tentang kakakmu. Pagi tadi kebetulan aku menemui muridku,
Cui Ling menceritakan tentang keributan kalian. Maaf, bolehkah pinto tahu kenapa kau menyembunyikan
kakakmu, Teng Bu. Bukankah Cui Ling berhak menemuinya karena mereka calon suami isteri. Heran bahwa
hampir sebulan kakakmu tak pernah menengoknya, dan kaupun tak memberi tahu!"
"Ini, eh..... kakakku sakit, locianpwe. Seng-ko masih dalam taraf pengobatan. Aku.... aku tak
memperbolehkan Cui Ling karena biar kakakku sembuh dulu!"
"Aneh, justeru kalau begitu kami ingin menengok. Eh, sakit apakah kakakmu itu, Teng Bu. Kenapa
kau diam-diam saja dan justeru menyembunyikan. Apakah pinto tak boleh melihatnya atau harus melapor
pada gurumu."
"Jangan! Seng-ko, eh.... Seng-ko tak apa-apa, locianpwe, hanya sedikit meriang. Ia tak enak badan tapi
beberapa hari lagi sembuh. Aku, eh.... aku mohon kalian tak usah menengoknya dulu agar tidak
mengganggu!"
"Heh-heh, luar biasa sekali. Ganjil! Hm, ada apa semuanya ini, Teng Bu. Kenapa kau begitu gugup
dan takut kalau sekarang juga kami ingin menengok kakakmu. Katakan, apa sebabnya kau begitu gugup dan
ketakutan seperti ini!"
Teng Bu tersentak. Sepasang mata kakek itu memandangnya bersinar-sinar dan pandang mata itu
menembus ulu hatinya sampai ke yang paling dalam. Ia seakan ditusuk dan dikorek mata itu, mata seorang
tua yang tak dapat dibohongi. Dan ketika ia menunduk dan tak mampu menjawab, bingung maka tosu itu
tiba-tiba bergerak dan mencengkeram pundaknya.
"Teng Bu, pinto melihat sesuatu yang ganjil menguasai dirimu. Gerak-gerikmu tidak wajar. Benarkah
kau telah bercintaan dengan seorang banci dan menjadi kekasihnya!"
"Locianpwe.....!"
"Dengar, dan tunggu dulu. Kau adalah murid sahabat pinto Hak Cin Hosiang, Teng Bu. Ada apa-apa
yang mengganggu dirimu tentu pinto harus menolong. Nah, benarkah berita itu dan sehebat itukah si banciKolektor E-Book
TAPAK TANGAN HANTU
BATARA
258 hingga ia menguasai dirimu!"
Pemuda ini menggigil. Ia pucat dan terbelalak memandang tosu itu dan kalau bukan tosu ini tentu
sudah dihantam dan diserangnya. Ia begitu kaget dan marah oleh todongan kata-kata ini. Tapi karena Bun
Tek Tojin adalah. sahabat gurunya dan tentu saja ia tak berani gegabah, persoalan bisa bertambah panjang
mendadak terdengar kekeh dan tawa merdu, tawa genit.
"Teng Bu, untuk apa takut menghadapi seekor keledai tua. Aih, dengan kepandaianmu sekarang kau
sudah mampu menandinginya, Teng Bu. Pergunakan Hek-be-kang dan lepaskan dirimu!"
Teng Bu terkesiap. Hek-be-kang adalah Tenaga Belut Hitam yang telah diajarkan si banci kepadanya.
Kini ia dicengkeram pundaknya dan tiba-tiba otomatis ia mengerahkan tenaga itu, bergerak dan tiba-tiba
pundaknya menjadi licin hingga terlepas dari tangan si tosu. Dan ketika Bun Tek Tojin terkejut karena Teng
Bu menarik diri demikian mudah, ia terbelalak maka Teng Bu tak dapat berpura-pura lagi dan berseru,
"Locianpwe, untuk kebaikan bersama janganlah kau terlalu mendesakku. Pergilah, dan empat lima
hari lagi silakan kalian ke mari!"
"Heh-heh, itu kekasihmu?" si tosu hilang kagetnya, tertawa tapi sepasang matanya berkilat. "Bagus,
benar kata Cui Ling bahwa kepandaianmu meningkat pesat, Teng Bu, kiranya kau telah belajar ilmu lain
lagi. Pinto justeru ingin bertemu kekasihmu itu dan biar pinto datang, wut....!" si tosu berkelebat dan lenyap
meninggalkan kamar, disusul oleh Cui Ling dan pemuda ini pucat melihat kedua tamunya menuju asal suara.
Di tikungan kamar itu Bun Tek Tojin mendengar asal tawa. Dan ketika tosu ini tiba dan menendang pintu
kamar, seseorang berada di situ maka Bun Tek terkejut melihat Teng Seng di atas pembaringan dengan tubuh
kurus dan pucat, membuka mata memandang langit-langit kamar dan bagaikan seorang kehilangan
semangat.
"Teng Seng....!"
Pemuda itu tak menoleh. Cui Ling berkelebat masuk dan terlihatlah kekasihnya itu. Dan ketika ia
menjerit dan otomatis menghambur tiba-tiba orang di dalam kamar dan memberikan punggungnya itu
menggerakkan tangan ke belakang dan........ bress, gadis Hoa-san itu mencelat dan menabrak dinding.
Kagetlah Bun Tek Tojin. Ia tak melihat siapa orang ini namun dapat menduga bahwa dialah yang
tertawa tadi. Tawanya merdu, nyaring. Dan karena rambutnya juga sebatas pundak dan hampir dia mengira
bahwa orang ini wanita, terbukti sepasang anting-anting itu juga melekat di telinganya maka Cui Ling yang
cemburu dan juga mengira seperti gurunya sudah meloncat dan hendak menerjang akan tetapi orang itu
mengibas dan gadis ini mencelat menabrak dinding. Dan Bun Tek Tojin tentu saja buru-buru menolong
muridnya.
"Aduh..... dadaku, ouh..... sesak, suhu. Jahanam itu.... siluman betina itu.... dia kejam!"
Jilid XVIII
"DIA bukan seorang wanita," tosu ini mengurut dan memulihkan muridnya. "Dia. itulah banci yang
kita cari, Cui Ling. Hati-hati dan jangan sembrono!" lalu mendorong muridnya meloncat bangun tosu ini
menghadapi si banci itu, yang sudah berdiri dan tertawa mengejek.
"Kau... hm, kau guru gadis itu? Kau Bun Tek Tojin? Ha-ha, kau dan muridmu mencari penyakit, Bun
Tek Tojin, sayang sekali aku harus melenyapkanmu, kecuali kau mau pergi dan tidak banyak bertanya lagi.
Nah, mana yang kau pilih ingin mati ataukah selamat."
Kakek ini terbelalak. Ia tak tahu dan tak mengenal lawannya ini tapi sikap dan kata-kata lawannya ini
membuatnya merah padam. Baru kali ini ia bertemu lawan seperti itu, banci yang aneh namun memiliki
sepasang mata mengerikan. Dari balik mata itu ia melihat nafsu membunuh yang amat jahat, juga mata yang
gelap dari seorang laki-laki tidak normal. Mata itu membayangkan kecerdikan dan kekejaman. Tapi karena
ia seorang tokoh Hoa-san dan tak perlu kiranya merasa takut, ia mengeluarkan tasbehnya tiba-tiba tosu itu
membentak dan menggoyang lengan.
"Manusia busuk, kau rupanya membuat penderitaan bagi calon menantuku Sia Teng Seng. Kau telah
menjadikan Teng Bu sebagai .seorang pemuda yang tidak waras juga. Siancai, pinto akan mencobamu dan
lihat serangan!" tasbeh berketrik dan tiba-tiba menyambar ke depan. tosu ini tidak melangkah maju namun
lengan dan tasbehnya cukup panjang, menjangkau dan mampu menghantam lawan dari jarak tiga meter,
angin dahsyat juga menderu. Namun ketika si banci itu menyambut dan menangkis, lengan bajunya balikKolektor E-Book
TAPAK TANGAN HANTU
BATARA
259 menyambar maka tosu itu berteriak mencelat ke luar kamar, berdebuk.
"Aiihhhhhh.....!" Bun Tek Tojin kaget bukan main. Tosu ini merasa tenaga yang amat dahsyat
menerima pukulannya tadi. menolak dan membuat dia terlempar. Dan ketika dia bergulingan namun selamat
membuang sisa pukulan, hal itu benar-benar berbahaya sekali maka di luar pintu kamar tosu ini berseru
tertahan dan pucat membelalakkan mata. Muridnya mengikuti dan Cui Ling menjerit melihat gurunya
terlempar tadi.
"Tidak apa-apa...... aku tidak apa-apa. Ah, menjauh dan jangan dekat-dekat ke sini, Cui Ling. Musuh
benar-benar berbahaya dan pinto (aku) menghadapi lawan berat!"
Cui Ling melepaskan tangan gurunya. Ia tadi memang mengejar dan lega melihat gurunya meloncat
bangun, bertanya dan memegang lengannya namun sang guru menyuruhnya minggir. Dan ketika si banci itu
melangkah keluar dengan kaki perlahan, Teng Bu menyusul di belakangnya dan tampak gelisah maka banci
itu tertawa mengebutkan lengan bajunya.
"Bagus, kau menentukan kematianmu sendiri. Hi-hik, maju dan coba lagi, Bun Tek Tojin. Aku akan
menerima dan tak membalasmu selama tiga jurus'"
Tosu ini pucat. Ia terkejut dan ngeri bukan main bahwa dalam gebrakan pertama itu saja ia mencelat
dan terlempar. Pukulannya membalik. Namun karena ia seorang tokoh dan malu untuk mundur, tosu ini
membentak maka ia pasang kuda-kuda dan berseru lantang, gemetar.
"Orang muda, siapa namamu. Malu rasanya bertanding dengan seorang tak dikenal. Nah, katakan dan
sebut namamu, anak muda. Pinto Bun Tek Tojin tak akan penasaran kalau mati membela kebenaran!"
"Hm, terlalu tinggi untuk menyebutkan namaku. Ketuamu Mo Mo Cinjin masih tak layak
mendengarnya, Bun Tek Tojin. Tapi untuk membuang penasaranmu baiklah kuperlihatkan ini. Mengenal
atau tidak terserah dirimu..... cring!" sebuah cincin berbatu hitam meluncur dari jari laki-laki ini, menyambar
atau menghantam tiang belandar untuk kemudian menggelinding di depan kakek itu, cepat dan kembali d?
kaki si banci ini untuk kemudian disontek dan diterima tangannya lagi. Dan ketika tosu itu melihat dan
berseru tertahan, muka yang sudah pucat menjadi seperti kertas medadak kakek ini menyambar muridnya
dan memutar tubuh, lari terbang.
"Kau Siluman Akherat'?
Teng Bu tertegun, Bun Tek Tojin, guru Cui Ling yang semula gagah dan siap mati itu mendadak
kuncup semangatnya dan padam. Kakek itu melarikan diri. Dan ketika ia dan Cui Ling sama-sama terkejut,
nama itu tak mereka kenal maka si banci ini tertawa, renyah.
"Bun Tek. kau sudah mengenal aku, bagus. Tapi kematianmu tak boleh ditunda. Biar Teng Bu
menghadapimu dan aku menjadi juri."
Teng Bu kaget. Tosu yang berkelebat dan sudah meloncat di luar tembok itu tiba-tiba menjerit. Kaki
yang melayang di atas tembok dan siap turun ke bawah tiba-tiba tertekuk. menghadap ke dalam dan otomatis
posisi kakek ini berputar arah. Dan ketika kakek itu meluncur ke bawah dan jatuh berdebuk, tak dapat keluar
lagi maka Teng Bu didorong dan tahu-tahu melayang menabrak kakek ini.
"Heiii...!"
Otomatis pemuda itu menggerakkan lengan. Teng Bu hendak menahan lajunya tubuh tapi dorongan itu
terlampau kuat. Kedua lengannya menjadi mencengkeram si tosu, baik Teng Bu maupun kakek itu tentu saja
menjadi kaget. Dan ketika kakek ini berseru keras dan menggerakkan tasbehnya, Teng Bu ditangkis maka
pemuda itu terlempar namun si kakek juga terhuyung.
"Bresss!"
Bun Tek dan Cui Ling menjadi marah. Cui Ling mengira Teng Bu menyerang gurunya, sementara
Bun Tek Tojin maklum bahwa pemuda itu diperalat si banci. Dan ketika gadis itu membentak dan
melepaskan gurunya, ia sesungguhnya penasaran kenapa gurunya melarikan diri maka Teng Bu diserang dan
Cui Ling sudah mencabut pedangnya.
"Teng Bu, kekurangajaranmu menjadi-jadi. Berani benar kau menyerang suhu. Mampuslah, dan
jangan kira aku takut!"
Teng Bu terbelalak. Sesungguhnya ia terkejut bahwa tiba-tiba didorong dan dilontarkan ke arah BunKolektor E-Book
TAPAK TANGAN HANTU
BATARA
260 Tek Tojin. Kakek itu sejajar gurunya, menyerang berarti bahaya. Tapi ketika ia terlempar dan diserang gadis
ini, Cui Ling tak perlu ditakuti maka ia membentak dan segera mengelak serangan itu, menangkis dan
mementalkan lawan dan gadis itu marah. Hal ini menimbulkan kebenciannya. Tapi ketika beberapa jurus
kemudian ia dipentalkan lagi dan terpelanting, gadis ini menjerit maka Bun Tek Tojin melihat bahwa
muridnya memang bukan lawan pemuda itu, dan di sana si banci menunggu dengan tawa mengejek.
Kakek ini pucat. Sesungguhnya setelah dia tahu siapa si banci ini maka gentar dan ngeri menghantui
dirinya. Tak disangka bahwa lawan adalah Siluman Akherat, iblis keji yang dapat berbuat apa saja dan bukan
tandingannya. Maka ketika muridnya menyerang Teng Bu dan membentak memaki-maki, pedang akhirnya
terlepas ditangkis si pemuda tiba-tiba kakek ini bergerak dan kembali menyambar muridnya, pedang di udara
itu ditangkap dan dibawa lari.
"Cui Ling, tak guna kita di sini. Musuh terlalu kuat. Mari pergi dan jangan hiraukan Teng Bu!"
"Tidak, aku ingin bertemu Seng-ko. Biarkan dan jangan lari, suhu. Kau belum bertanding apa-apa
dengan si banci itu. Lepaskan, biar kuhadapi Teng Bu!"
Kakek ini tak menghiraukan. Ia tetap membawa muridnya pergi dan Teng Bu di dorong mundur.
Meloncat dan mencoba melewati penjagaan Bun Tek Tojin berjungkir balik di atas pagar tembok. Tapi
ketika terdengar tawa dingin dan serangkum angin pukulan menghantam punggungnya, kakek ini terpekik
maka ia roboh lagi dan jatuh di dalam pagar.
"Keledai gundul, sudah kukatakan tak boleh pergi kalau aku sudah bicara. Kau mencari kematianmu
sendiri. Kembali dan hadapilah Teng Bu dan boleh pergi kalau kau dapat membunuh lawanmu."
Kakek itu berseru terkejut. Ia menangkis dan terpaksa berjungkir balik turun kembali menerima
pukulan jarak jauh itu. Teng Bu juga terkejut karena ia diharuskan melawan kakek itu. Dan ketika ia pucat
memandang kekasihnya, si banci tertawa mengebutkan lengan maka ia didorong dan menyambar lagi ke
depan.
"Teng Bu, tak usah takut. Ini ujian baik untukmu. Hadapi tua bangka itu dan bertandinglah keluarkan
seluruh kepandaianmu."
Pemuda ini berseru keras. Bun Tek Tojin baru saja menginjakkan kakinya di tanah ketika ia tiba-tiba
kembali menyambar, bukan atas kemauan sendiri melainkan dorongan si banci itu. Dan ketika ia menahan
namun kalah kuat, lagi-lagi kakek itu ditabrak maka Bun Tek Tojin marah memukul dirinya.
"Teng Bu, kau sudah berkawan dengan iblis. Menyesal sekali pinto melihat ini. Biarlah pinto
membereskanmu dan kelak akan kupertanggungjawabkan di depan gurumu!"
Pemuda itu kaget. Kalau tadi si tosu menangkis dan hanya mempertahankan diri adalah sekarang
kakek itu menyerangnya dan menghantamnya hebat. Pukulan panas menyambar dari telapak kakek itu, Hoa-
san-ciang atau Pukulan Hoa-san. Dan ketika apa boleh buat dia menerima dan mengerahkan tenaga, tentu
saja tak mau celaka maka Bun Tek Tojin terpental dan roboh terbanting, sama seperti Teng Bu yang juga
terlempar dan menumbuk dinding.
"Bress!"
Marahlah pemuda itu. Teng Bu mengeluh namun menggulingkan diri meloncat bangun, pukulan
lawan membuat dadanya sesak. Dan ketika si kakek tertegun karena pemuda itu tak apa-apa, Teng Bu sendiri
tak menyadari kekuatannya maka tasbeh di tangan kakek itu dilolos lagi dan meledak. Bun Tek Tojin
meloncat dan menyerang pemuda in? lagi.
"Bagus, kau sudah memiliki kemajuan lumayan. Heh, pinto tak segan-segan lagi menghadapimu, Teng
Bu. Terimalah ini dan l?hat seberapa jauh kepandaianmu setelah bergaul dengan iblis itu!"
Teng Bu membentak marah. Iapun mengelak dan menangkis ketika diserang tasbeh, membalas dan
melihat bahwa tenaganya mampu mengimbangi kakek itu. Dan ketika ia menjadi berani dan tiga serangan


Tapak Tangan Hantu Karya Batara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dipentalkan semua, dia dan lawan sama-sama terdorong maka Bun Tek Tojin semakin kaget sementara
pemuda itu hilang keraguannya. Tasbeh menyambar-nyambar tapi Teng Bu mengelak dan menangkis, ini
membuat kepercayaannya tumbuh. Tapi ketika kakek itu berseru keras dan berkelebat mengelilingi dirinya
maka pemuda ini terdesak dan sibuk sekali.
"Teng Bu, pergunakan Hek-be-kang. Cabut pedangmu dan layani kakek itu sama-sama bersenjata!"
Pemuda ini sadar. Segera dia mencabut pedang dan mainkan senjata itu dengan putaran kuat. SekarangKolektor E-Book
TAPAK TANGAN HANTU
BATARA
261 pemuda ini memiliki pedang di samping sepasang goloknya. Dan ketika ia berkelebatan mengimbangi kakek
itu dan lawan terbelalak merah padam, kepandaian pemuda ini melesat luar biasa maka tasbehnya bertemu
pedang dan bunga api berpijar. Tenaga mereka sama keras!
"Keparat, kau benar-benar lain dengan dulu, Teng Bu. Sekarang kau menjadi antek iblis ini. Biarlah
pinto membunuhmu atau kau membunuh pinto!"
Lengking atau pekik kakek ini berubah. Suara putus asa dan marah menjadi satu, tak ada harapan lagi
bagi kakek itu untuk merobohkan Teng Bu dalam waktu cepat. Pemuda yang dulu setingkat muridnya ini
sudah berobah, Teng Bu sudah sejajar dirinya. Dan ketika ia memekik dan merobah gerakan, tasbeh
berpindah ke tangan kiri dan tangan kanan mencabut pedang maka Hoa-san Kiam-sut (Silat Pedang Hoa-san)
sudah bergabung dengan permainan tasbeh dan pukulan-pukulan Hoa-san-ciang. Dan hebat sekali
kemarahan kakek gemuk pendek ini. Gerakannya tak terpengaruh bentuk tubuhnya dan cepat menyambar-
nyambar bagai walet beterbangan. Seluruh kekuatan dan kecepatan dikerahkan kakek ini, Bun Tek Tojin
benar-benar marah. Dan ketika tasbeh dan pedang menjepit Teng Bu, pemuda itu pucat maka babatan miring
mengenai bahu pemuda itu.
"Bret!"
Teng Bu luka. Ia terkejut dan mundur namun tasbeh menyambar. Kakek itu benar-benar marah. Dan
ketika ia menangkis namun pedang kembali bergerak, merobek lengannya maka Teng Bu panik dan si banci
berseru.
"Bodoh, keluarkan Hek-be-kang. Teng Bu. Kenapa tidak. Dan ganti pedangmu dengan siang-to!"
Pemuda ini sadar. Tiba-tiba ia ingat bahwa sejak tadi sebenarnya Hek-be-kang harus dikeluarkan, ia
lupa. Maka ketika ia membentak dan berseru mundur, mengganti pedang dengan golok maka siang-to atau
sepasang golok itu telah berkelebat di kedua tangannya.
"Cring-crangg!" dan pedangpun mental bersama tasbeh. Namun kakek itu bukan orang sembarangan.
Bun tek Tojin adalah tokoh Hoa-san yang sudah banyak asam garam pertandingan. Ia cepat berseru keras
dan berkelebat lagi. Dan ketika tasbeh menyambar sementara pedang siap bersembunyi, inilah tak diketahui
si pemuda maka golok menangkis dan saat itulah seperti kilat menyambar ujung pedang tosu ini menusuk
tenggorokan. Teng Bu terkejut dan mengelak dan pedangpun menusuk pundak. Hampir pemuda itu terbang
semangatnya. Tapi ketika pedang meleset mengenai pundak yang licin, Hek-be-kang melindungi maka Teng
Bu terbahak dan sadar lolos dari bahaya maut.
"Ha-ha, benar. Kau benar, Kiem-twako. Terima kasih!"
Bun Tek Tojin terkesiap. Tosu ini sudah menjadi girang karena pedangnya menusuk tenggorokan.
Siang-to atau sepasang golok menangkis tasbehnya. Tapi ketika pemuda itu mengelak dan ia kagum,
betapapun hal itu menunjukkan kepandaian lawan maka ia menjadi kaget setengah mati karena pedangnya
menusuk pundak dan meleset seperti menusuk karet atau belut yang licin. Dan itulah Hek-be-kang yang
sesungguhnya di awal perjumpaan mereka juga telah digunakan pemuda ini hingga membuatnya kaget.
"Bagus, kau benar-benar luar biasa. Hebat dan mengagumkan gurumu kalau Hak Cin Hosiang tahu,
Teng Bu. Pinto juga bangga tapi sayang kau harus mampus..... trik-crangg!" tasbeh menyambar lagi namun
bertemu golok, mental dan menyerang dari kiri namun siang-to menghadang. Dan ketika kakek itu berseru
keras namun Teng Bu membentak mengimbangi, kata-kata kakek itu membuatnya merah maka Teng Bu
membalas dan Hek-be-kang kembali menunjukkan kehebatannya ditusuk pedang. Dua kali Teng Bu
membiarkan dirinya ditusuk dan dua kali itu pula pedang si tosu mental. Tubuh pemuda ini benar-benar
seperti belut yang licin. Dan ketika Teng Bu membalas dan satu dari sepasang goloknya membabat miring
dari atas maka bahu kakek itu terkena dan Bun Tek Tojin mengeluh. Hal ini menambah semangat pemuda itu
sementara si tosu terbelalak. Teng Bu di atas angin. Lalu ketika pemuda itu mendesak dan goloknya
mendengung-dengung, perlahan tetapi pasti senjata di tangan Bun Tek Tojin terdorong maka sekali lagi
pundak kakek ini terbabat golok.
"Bret!"
Kakek ini juga luka. Rasa panik dan gugup tak dapat disembunyikan lagi, Bun Tek kewalahan karena
lawan tak dapat dilukai. Dan ketika ia mundur dan terhuyung-huyung, Teng Bu meluap semangatnya maka
Cui Ling berseru nyaring dan tak dapat menahan diri lagi.
"Suhu, jahanam ini mendesakmu. Biar kubantu dan kita robohkan dia!"
Teng Bu terkejut. Ia mengelak namun pedang mengejar, dikelit namun saat itu sang tosuKolektor E-Book
TAPAK TANGAN HANTU
BATARA
262 membalasnya. Dan karena serangan tosu ini lebih berbahaya dibanding muridnya maka satu tikaman pedang
dibiarkan Teng Bu menusuk punggungnya.
"Cret!" dan gadis itupun terpekik pedangnya menusuk gumpalan daging licin. Pedangnya meleset dan
Teng Bu menggerakkan kaki, tepat mengenai siku gadis itu. Dan ketika Cui Ling berteriak dan terpelanting,
gadis ini kaget sekali maka si banci tertawa aneh dan berseru datar, tanpa perasaan,
?Teng Bu, bunuh saja kedua-duanya. Habisi dan kita kembali ke kamar."
"Tidak," Teng Bu berubah. "Mereka sahabat guruku, Kiem-twako, dan Cui Ling adalah kekasih
kakakku. Biar kurobohkan mereka saja dan tak usah menumpahkan darah!"
"Hm, bodoh. Itu bakal membuatmu tak tenang, Teng Bu. Mereka akan datang dan mengacaumu lagi.
Bunuh atau nanti aku yang berbuat."
'Tidak, jangan. Biar kunasehati mereka dan aku tak ingin menumpahkan darah!" dan berseru pada Bun
Tek Tojin agar melarikan diri, pemuda ini mendesak dan mementalkan senjata lawan pemuda itu sudah
membujuk agar si tosu pergi. Akan tetapi apa jawaban kakek ini? Tosu itu malah terhina.
"Pinto tak ada muka lagi untuk pulang ke Hoa-san, Teng Bu. Bocah yang dulu pantas menjadi murid
pinto sekarang sudah sombong dan besar kepala. Aku atau kau mampus!" dan tasbeh yang meluncur dan
tiba-tiba menyambar mata Teng Bu membuat si pemuda terkejut dan berteriak keras. Ini serangan nekat yang
tak boleh dibuat main-main. Tak mungkin Hen-bek-kang mampu melindungi mata, sehebat-hebatnya ilmu
itu. Maka ketika Teng Bu menggerakkan siang-tonya dan tasbeh tertangkis pecah, manik-maniknya
berhamburan di depan wajah maka saat itulah si tosu meloncat maju dan pedangnya menyambar lubang
hidung Teng Bu.
Bukan main kagetnya pemuda ini. Segera Teng Bu maklum bahwa nyawanya berada di ujung tanduk.
Ia benar-benar menghadapi bahaya maut karena mata maupun lubang hidung adalah daerah yang tak dapat
dilindungi Hek-be-kang. Ilmu itu hanya mampu melindungi daerah luar badan bukan bagian dalam. Maka
ketika ia terkejut dan satu manik tasbeh menghantam kelopaknya, pemuda ini berteriak maka dalam
kemarahannya ia menggerakkan satu dari goloknya menyambar kakek itu, golok yang lain secepat kilat
diturunkan ke bawah menghajar pedang yang menuju lubang hidung.
"Crat-cringgg!"
Benturan dua senjata memuncratkan bunga api ke udara. Suaranya memekakkan telinga dan terdengar
keluhan Bun Tek Tojin. Tosu itu tak mungkin mangelak lontaran golok yang dilakukan dalam jarak dekat,
juga dia sendiri rupanya sengaja melakukan adu jiwa. Maka ketika pedangnya terlepas oleh hajaran golok,
sementara golok yang satu dilepas menyambar tenggorokannya maka tosu itu mengeluh tersentak ke
belakang. Suara aneh seperti tikus terjepit keluar dari kerongkongan kakek ini. Bun Tek Tojin memegangi
gagang golok yang menembus tenggorokannya, darah memuncrat. Lalu ketika kakek itu mendelik dan Cui
Ling menjerit, meloncat dan menubruk gurunya maka tosu Hoa-san itu roboh dan nyawapun melayang
bersamaan dengan robohnya tubuh tua itu.
"Suhu....... bluk!"
Teng Bu terpaku. Wajah pemuda ini juga pucat melihat tewasnya kakek itu. Dia telah membunuh,
bukan sembarang orang melainkan tokoh Hoa-san. Dan ketika pemuda itu termangu dan nampak tergetar,
peristiwa ini memang hebat maka Cui Ling meloncat bangun dan membalik.
"Teng Bu, kau berhutang satu jiwa!"
Terdengar tawa senang dari mulut si banci. Kekeh yang aneh, terdengar di situ, disusul seruan agar
gadis itupun dibinasakan. Tapi ketika Teng Bu mengelak dan menangkis pergelangan gadis itu, Cui Ling
bukan apa-apa maka gadis ini terpelanting dan menjerit. Cui Ling meloncat dan menyerang lagi namun
lawannya berkelit sana-sini, bingung dan juga gelisah telah membunuh seorang tokoh. Dan ketika akhirnya
si banci berkelebat menotok gadis itu maka Teng Bu kaget berseru keras.
"Jangan bunuh!"
Pemuda inipun terbanting. Si banci terlampau lihai namun Cui Ling selamat. Gadis itu menjerit
diserempet hawa totokan yang amat panas. Dan ketika ia bergulingan di sana dan Teng Bu meloncat bangun,
menghadang dan gagah di depan si banci maka pemuda itu berkata agar gadis ini jangan dibunuh.
"Tidak, cukup! Ia kekasih kakakku. Kiem-twako. Cui Ling calon isteri Seng-ko. Biarkan ia hidup danKolektor E-Book
TAPAK TANGAN HANTU
BATARA
263 membawa mayat gurunya!"
"Heh-heh, kau tak takut akibat belakangan? Jangan bodoh, membasmi rumput harus sampai ke akar-
akarnya, Teng Bu. Gadis ini hanya pengganggu saja. Ia kerikil tajam. Enyahkan dan bunuh!"
"Tidak, aku mohon dengan sangat. Ia kekasih kakakku, Kiem-twako. Kalau kau hendak
membunuhnya biar kau bunuh aku dulu. Aku cukup bersalah, gurunya telah tewas. Biarkan Cui Ling pergi
atau kau bunuh aku saja!"
Si banci terbelalak. Sikap dan suara lawan yang sungguh-sungguh membuat ia terkejut juga, marah.
Namun melihat betapa keberanian terpancar di situ, Teng Bu memang pemuda gagah akhirnya si banci ini
tertawa mengangguk-angguk.
"Baik, baik, kau yang minta, biarlah kululuskan. Heh-heh, penggantinya adalah dirimu, Teng Bu.
Malam ini hangati aku dan kita bersenang-senang. Setuju?"
Teng Bu tak banyak bicara lagi, mengangguk. Lalu ketika di sana gadis Hoa-san itu tersipu jengah dan
menjadi jijik, meludah maka Cui Ling menyambar mayat gurunya tersedu-sedu.
"Teng Bu, kau pemuda jahanam, manusia tidak wajar. Kulaporkan gurumu dan lihat pembalasanku
nanti!"
Pemuda ini termangu diam. Wajahnya pucat dan menahan gemetar. Ancaman itu membuatnya tak
enak namun apa boleh buat. Si banci tertawa dingin. Dan ketika gadis itu berkelebat meninggalkan mereka
berdua, Teng Bu tiba-tiba disentuh maka si banci sudah menggandeng lengannya membawa masuk.
"Hm, kau mencari penyakit sendiri. Gadis itu tak seharusnya dilepas. Ah, itu tanggung jawabmu,
Teng Bu, namun aku tak akan membiarkanmu celaka. Marilah, kita ke dalam dan berikan janjimu!"
Kecupan ringan mendarat di pipi pemuda ini. Cui Ling kebetulan menoleh dan gadis itu membuang
muka. Pertunjukkan itu semakin memuakkannya. Dan ketika ia terbang dan lenyap di luar, si banci tak
menghalang-halangi maka Teng Bu diminta janjinya dan malam itu pemuda ini bercinta dengan perasaan tak
karuan. Hal ini membuat si banci berkerut, tak senang. Dan ketika keesokannya pemuda ini ingin
meninggalkan gedung, meninggalkan tempat itu maka banci ini tertawa mengejek berkata,
"Untuk apa, tak usah menyembunyikan diri. Selama aku di sampingmu tak akan ada yang
mencelakakanmu, Teng Bu, tenang dan tetap saja di sini karena aku mulai kerasan."
"Tapi aku takut guruku. Cui Ling bisa melapor dan semuanya bisa berbahaya!"
"Eh, bukankah sudah resikomu? Kemarin kuberi tahu agar gadis itu dibunuh pula, Teng Bu, akan
tetapi kau menolak. Ini tanggung jawabmu!"
"Benar, karena aku berpikir untuk meninggalkan tempat ini, twako, menghindar dari orang-orang itu.
Aku tak nyaman dan ingin pergi!"
"Dan mampus kalau kau sendirian. Hm, aku tak setuju, Teng Bu. Ada aku di sini. Aku masih ingin
tinggal di sini dan bersenang-senang. Nanti kalau aku bosan boleh kita pergi!"
Teng Bu pucat. Harus diakui bahwa sendirian saja ia gentar. Gurunya tentu datang dan ia tak mungkin
mengelak lagi. Satu-satunya jalan hanya pergi dari tempat itu dan bersembunyi, menunggu waktu tenang dan
kelak muncul lagi. Tapi karena kekasihnya ini menolak dan ia menjadi bimbang, antara pergi dan tidak
akhirnya ia teringat kakaknya itu. Ini hari ketiga di mana kakaknya dinyatakan sembuh.
"Baiklah, nanti kupikir lagi. Sekarang bagaimana dengan Seng-ko, Kiem-twako Apakah ia pulih."
"Tentu, namun sepuluh jam lagi. Menjelang malam ia akan sadar tapi sebulan ini tak mungkin berjalan
sendirian."
"Maksudmu?"
"Hi-hik, kakakmu banyak kehilangan tenaga, Teng Bu, harus beristirahat tiga sampai empat minggu.
Itupun tak boleh mendengar berita berat atau ia tak bakal sembuh. Nah, tergantung dirimu apakah kakakmu
itu sebaiknya tak disembunyikan saja!"
"Jadi ia belum sembuh total?"Kolektor E-Book
TAPAK TANGAN HANTU
BATARA
264 "Benar, tapi inti penyakitnya sudah lenyap. Kau masih harus menjaganya dan jangan biarkan ia
sendiri."
Teng Bu terbelalak. Ia mengeluh karena ini di luar dugaannya lagi. Ia menganggap kakaknya sembuh
dan dapat ditinggal kalau ia pergi. Maka mendengar bahwa kakaknya masih harus menjadi beban, Teng Bu
menggigit bibir maka pemuda ini maklum bahwa ia benar-benar masih terikat dengan si banci ini. Dan Teng
Bu tiba-tiba mulai benci!
"Hm, baiklah. Aku rupanya masih harus di sini, twako, menjaga kakakku. Baiklah kubawa dia ke
kamar belakang dan mohon bantuanmu kalau guruku datang!"
"Hi-hik, tak usah khawatir. Gurumupun dapat kau hadapi, Teng Bu. Kau tak perlu takut dengannya.
Asal kau mainkan siang-tomu dengan baik dan tak lupa Hek-be-kang maka gurumupun dapat kau
robohkan!"
Ada cemas dan gembira di hati pemuda ini. Kalau dia dapat menghadapi gurunya benar-benar ia tak
perlu takut lagi, paling-paling ia hanya merasa segan, berhutang budi dan tak enak atas semua jasa baik
orang tua itu. Dan ketika benar saja kakaknya mulai sadar, dapat mangenali dirinya dan mengerutkan kening
maka malam itu Teng Bu membawa kakaknya ke kamar lain, jauh di belakang.
"Apa yang terjadi, bagaimana tiba-tiba aku di sini. Eh, bukankah ini kamar Kiem-twako, Bu-te. Mana
jahanam keparat itu. Aku merasa dipermainkannya!"
"Sst, tak usah berisik. Orang itu tak ada di sini, Seng-ko, ia telah pergi. Kau baru saja menderita sakit
dan aku menjagamu sampai sembuh. Mari kupindahkan ke belakang dan kubawa ke tempat aman!"
Teng Bu tak banyak cakap memondong kakaknya ini. Ia khawatir kakaknya bicara macam-macam dan
didengar si banci. Sudah ia minta agar si banci tak usah di situ, kakaknya mulai sembuh dan segala ingatan
tentu bekerja, termasuk ketika dipermainkan kekasihnya itu. Dan ketika benar saja Teng Seng bertanya
tentang ini dan tampak beringas, mata yang sadar itu berapi-api maka Teng Bu membawanya ke belakang
dan cepat menutup pintu kamar. Di sini ia membujuk kakaknya agar tidak berpikir yang lain-lain, ia baru
sembuh dari sakit dan kakaknya diminta tenang. Dan ketika kakaknya mengepal tinju menahan marah maka
kakaknya berkata bahwa kelak akan dicari dan dibunuhnya si banci itu.
"Aku merasa seperti mimpi buruk, ia memperkosaku. Kalau jahanam itu tak ada di sini biar lain kali
kita cari, Bu-te. Dan tentunya kau sekarang sudah terlepas dari tangannya dan tak bergaul dengan si gila itu!"
"Hm, aku sudah lepas. Aku juga benci kepadanya, Seng-ko, ia membuatku terikat dan banyak
menimbulkan susah. Kelak kita cari dan bunuh dia!"
Sang kakak mengangguk-angguk. Teng Bu bicara sungguh-sungguh meskipun tentu saja dengan
berbisik. Pemuda ini tak tahu betapa sikap dan kata-katanya tadi dilihat seseorang, yang mengangguk dan
tersenyum dingin mendengar itu. Si banci! Dan ketika Teng Bu berkelebat dan menutup kamar, ia harus
menjaga kakaknya di situ maka selama ini hatinya berdebar menunggu datangnya bahaya. Dan benar saja
delapan hari kemudian berkelebat sesosok hwesio tua di kamarnya, tepat di saat ia baru merebahkan tubuh di
pembaringan.
"Omitohud, berita jelek pinceng dengar, Teng Bu. Benarkah kau membunuh Bun Tek Tojin dan di
manakah temanmu Siluman Akherat itu!"
Teng Bu mencelat dari tidurnya. Meskipun sudah diduga namun kedatangan gurunya ini bagai petir di
siang bolong, ia terkesiap. Dan ketika pemuda itu membelalakkan mata dan masih melihat bayangan-
bayangan lain, tosu dan para hwesio Bu-tong tiba-tiba ia mencelos karena tujuh belas orang ada di situ,
mengepung, bersama Cui Ling yang menuding dan berseru marah,
"Susiok, supek, inilah Teng Bu yang kubicarakan itu. Ia sekarang lihai, sombong. Dialah yang
membunuh suhu dan menyembunyikan kakaknya sendiri. Entah apa maksudnya dan hutang satu jiwa harus
dibayarnya lunas!"
"Siancai, pemuda yang sudah mulai kemasukan iblis jahat. Ah, inikah muridmu Teng Bu, Hak Cin lo-
suhu. Kau tentu dapat menghukumnya tak usah kami turun tangan."
"Benar, dan ini kiranya pemuda itu. Hm, masih muda tapi telah membunuh suheng Bun Tek Tojin.
Bu-tong tentunya tak perlu membela dan melindungi pemuda macam ini!"
Tongkat dan ketukan jari di dinding menggetarkan kamar itu. Teng Bu pucat melihat begituKolektor E-Book
TAPAK TANGAN HANTU
BATARA
265 banyaknya orang di luar, tokoh-tokoh Hoa-san dan Bu-tong. Dan ketika ia melompat dan berlutut di depan
gurunya, betapapun hormat dan aturan masih dipunyai maka pemuda ini menggigil di depan suhunya.
"Suhu, ampunkan teecu. Waktu itu teecu dipaksa, teecu tak berdaya. Bun Tek locianpwe melontarkan
senjatanya mengadu jiwa!"
"Hm, bangkitlah. Mana kakakmu Teng Seng dan mana temanmu itu. Omitohud, perbuatanmu
membahayakan Bu-tong, Teng Bu, dan mengancam hubungan baik antara kami dengan Hoa-san. Kau harus
mempertanggungjawabkan ini dan pinceng datang untuk mencari kebenaran. Ceritakan benarkah semua itu
dan kau sombong menerima kepandaian dari orang lain!"
Teng Bu tak mungkin mengelak lagi. Ia menggigil di depan gurunya dan Cui Ling tiba-tiba
melengking. Gadis yang penuh benci dan marah kepada pemuda ini tiba-tiba menerjang, pedang dicabut dan
sudah menusuk tenggorokan pemuda itu. Dan ketika semua terkejut namun tak ada yang menghalang, Hak
Cin Hosiang juga menyingkir dan rupanya memberi kesempatan maka Teng Bu mengelak dan seketika
menangkis.
"Plak!"
Pedang itu terpental dan Cui Ling seketika terpelanting. Gadis itu menjerit dan para tokoh berseru
terkejut. Gerak dan kecepatan Teng Bu setingkat dengan gerak dan kecepatan seorang di antara mereka.
Pemuda ini benar-benar lihai. Dan ketika Teng Bu sadar bahwa semuanya itu rupanya disengaja, mereka
ingin melihat kepandaiannya maka Hak Cin Hosiang mengangguk-angguk namun wajah kakek itu merah
padam, mata mencorong berkilat.
"Omitohud, benar yang pinto dengar. Hm, kepandaianmu meningkat hebat, Teng Bu, dan ini jelas
bukan karena pinceng. Kau telah bersahabat dengan seorang siluman, dan katakan di mana kawanmu itu atau
Teng Seng!"
"Seng-ko...... Seng-ko tak ada di sini," Teng Bu terpojok tapi coba berbohong. "Teecu tak mengerti
apa yang kau maksudkan, suhu. Dan masalah gadis ini, dia..... dia terlampau mendesak!"
"Jahanam bermulut bohong!" Cui Ling berteriak setengah melengking. "Dulu kau bilang tiga empat
hari lagi kakakmu dapat kutemui, Teng Bu, sekarang bicara lain dan mulut serta pandang matamu tidak
sama. Kau bohong dan sombong!"
"Diamlah," Hak Cin Hosiang tiba-tiba berseru dan mengangkat tangannya. "Sekarang pinceng di sini.
Cui Ling, urusan dapat dilimpahkan pinceng. Pinceng akan menuntut tanggung jawab dan biarkan Teng Bu
berhadapan dengan pinceng!"
Tokoh yang lain mengangguk dan membenarkan. Dua tosu Hoa-san menyambar lengan gadis itu dan


Tapak Tangan Hantu Karya Batara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Cui Ling menangis memandang Teng Bu, pandang matanya penuh kemarahan. Namun ketika Teng Bu
melihat ruangan menjadi penuh, ia gelisah dan merasa gentar maka tiba-tiba pemuda ini meloncat
menendang jendela berseru pada suhunya,
"Suhu, sebaiknya kita bicara di luar saja. Teecu tak takut mempertanggungjawabkan perbuatan teecu
namun teecu minta hak membela diri!"
"Bagus," hwesio itu berkelebat menyusul muridnya, disusul yang lain-lain. "Kalau kau masih
memiliki kegagahan dan tak bermaksud melarikan diri mungkin hukumanmu lebih ringan, Teng Bu. Kau
bebas membela diri namun harus sesuai kenyataan!"
Pemuda itu berhenti di taman belakang. Teng Bu tak bermaksud melarikan diri karena tujuh belas
Bocah Sakti 15 Dewa Arak 05 Banjir Darah Di Bojong Gading Medali Wasiat 9
^