Pencarian

Tapak Tangan Hantu 12

Tapak Tangan Hantu Karya Batara Bagian 12


"Brett!"
Ujung baju kakek ini sobek. Kutu Peniru Suara mengeluarkan keringat dingin dan lawan melayang ke
bawah. Sekali lagi ia berseru agar kakek itu mundur. Tapi ketika kakek ini meloncat bangun dan mencabut
senjatanya, ruyung berlekuk delapan maka senjata itu menderu menyambar si banci lagi. Jing-ji-mi-to masih
terbelalak memandang rekannya.
"Mampuslah, atau aku merasakan kelihaianmu!"
"Hm!" si banci mengelak dan bergerak sana-sini, langkahnya ringan. "Sekali lagi mundur dan jangan
ikut campur, Eng-seng-thiong. Atau aku menghajarmu."
"Hajarlah, siapa takut. Kau banci busuk yang merendahkan Pengawal Bayangan, bocah setan. Kalau
aku tak membunuhmu tentu kesombonganmu semakin besar...... wut-blarr!" ruyung menghantam lantai
sampai berlubang, luput dan menyambar lagi dan si banci tiba-tiba berubah dingin. Telah tiga kali ia
memperingatkan kakek ini. Maka ketika ruyung menyambar dahsyat dan kali ini menghantam kepalanya,Kolektor E-Book
TAPAK TANGAN HANTU
BATARA
290 masih disusul oleh tangan kiri kakek itu yang bergerak ke bawah maka si banci mendengus dan tiba-tiba
tangannya menangkap sementara lutut kiri diangkat menerima cengkeraman kakek itu. Eng-seng-thiong
mencengkeram bawah pusarnya.
"Plak-dukk!"
Eng-seng-tniong berteriak. Ruyung tertangkap dan secepat itu pula ditarik dan dibetot, tenaga raksasa
membuat kakek ini terbawa ke depan, Eng-seng-thiong kaget sekali. Dan ketika ia tak mampu menahan diri
sementara cengkeramannya ditangkis lutut, telapaknya seakan pecah bertemu bagian itu maka kakek ini
menjerit dan ruyungnya terampas!
"Aughh!"
Eng-seng-thiong bergulingan dan meringis kesakitan. Ia memegangi telapaknya yang seakan pecah-
pecah itu, kiut-miut dan meloncat bangun sampai jatuh lagi. Namun ketika ia berdiri lagi dan pucat
memandang lawan. ruyung itu ditekuk dan patah-patah maka teringatlah kakek akan temannya yang sama
sekali belum bergerak, menoleh dan mendesis.
"Mi-to, kau jahanam keparat. Masa menonton saja dan berdiri di situ. Ayo. hadapi banci ini dan kita
keroyok dia, atau aku meninggalkanmu!"
Hwesio gemuk itu berubah. Sesungguhnya ia ingin tahu berapa lama rekannya ini mampu bertahan. Ia
melihat gerakan cepat si banci itu, juga sinkangnya yang kuat yang membuat rekannya berkali-kali menjerit.
Tapi mendengar bentakan itu dan Eng-seng-thiong akan meninggalkannya kalau tak mau maju, ia berkelebat
dan mengibaskan ujung lengan baju maka hwesio ini berseru menerjang lawan, mencoba membesarkan hati
sendiri karena toh tak sendirian di situ.
"Baik, maju dan keroyok si sombong Seng-thiong. Aku menonton karena mencoba mencari
kelemahannya. Ayo, sekarang kita berdua!"
Kutu Peniru Suara itu mendengus. Ia sudah kehilangan senjatanya namun bukan berarti kehilangan
keberanian. Mereka masih berdua di situ. Maka ketika rekannya bergerak dan ia masih penasaran dan marah
oleh kekalahannya tadi tiba-tiba kakek ini meloncat lagi dan gerak kakinya yang gesit maju mundur sudah
diiringi kedua lengannya yang menyambar-nyambar. Pukulan-pukulan sinkang meluncur dari tangannya.
"Bagus, kau hampir membuat aku marah, Mi-to, tapi sekarang sikapmu benar. Robohkan banci ini dan
jangan biarkan ia menghina kita!"
Dua orang itu berkelebatan dan pukulan serta tamparan silih berganti. Jing-ji-mi-to telah
mengeluarkan ilmunya Seribu Tangan itu dan hwesio ini masih menambahi dengan kedua lengan bajunya
yang lebar gerombyongan. Ujung lengan baju itu juga meledak-ledak dan kepala seekor kerbaupun bakal
hancur. Tapi ketika lawan mengelak sana-sini dan masih tertawa dingin, seakan serangan-serangan dua orang
itu tak ada artinya maka pemuda baju biru ini berseru, mencabut kipasnya.
"Mi-to, kau babi gemuk yang tak tahu diri. Kalau sekarang aku tak membuatmu cedera kau selamanya
bakal mengganggu aku. Nah, terimalah ini dan lihat Tangan Seribumu kuhancurkan..... plak-plak!" kipas
bergerak dan tahu-tahu menyambut Seribu Tangan si hwesio gemuk, meledak dan mengeluarkan suara keras
dan Jing-ji-mi-to terlambat menarik mundur. Ia sudah berkali-kali merasakan tenaga yang hebat dan kali
itupun tak mau beradu keras, hendak menarik namun kipas mengurung jalan keluarnya. Maka ketika
lengannya beradu jari-jari kipas dan dari situ meluncur tenaga panas yang membuat lengannya seakan
terbakar, kipas membeset dan menetak kuat tahu-tahu sepasang lengan hwesio ini putus sebatas siku, bagai
dibabat pedang.
"Aduh!"
Teriakan itu membuat temannya terkejut. Eng-seng-thiong juga sedang melakukan serangan dengan
pukulan bertubi-tubi, kebetulan dari belakang hingga mampu membokong. Tapi ketika punggung lawan
dihantam dan ia terpekik, tangannya tak dapat ditarik maka lengketlah sepasang tangan kakek itu bagai kena
getah.
"Heiii..!"
Namun secepat itu si banci membalik. Ia telah merobohkan Jing-ji-mi-to dan kini tinggal Eng-seng-
thiong seorang. Kakek tinggi kurus itu sedang terkejut. Maka ketika ia membalik dan ujung kakinya
menyambar bawah pusar, kedua lengan bergerak untuk menangkap dan melempar kakek itu tak ayal lagiKolektor E-Book
TAPAK TANGAN HANTU
BATARA
291 Kutu Peniru Suara ini terbanting dan menjerit pucat.
"Bluk!"
Eng-seng-thiong terguling-guling dan sejenak tak mampu bangkit berdiri. Jangankan berdiri, duduk
saja tak mampu. Tapi ketika kakek itu berhenti menabrak dinding dan mengeluh dengan kepala berputar,
jerih dan ngeri maka di sana roboh dan pingsan. Dua sikunya berubah kehitaman dengan darah kental
kehitaman pula. Si banci tertawa dan mengejek di depan Kutu Peniru Suara ini.
"Nah," katanya, "berani kau maju lagi, Eng-seng-thiong. Atau kuampuni dan pergi serta bawa keledai
gundul ini!"
Kakek itu tentu saja mengangguk. Setelah ia dikalahkan begitu pasti dan lawan tak melukainya seperti
rekannya kontan si Kutu Peniru Suara ini girang. Tadinya ia sudah gentar menghadapi lawan, takut
pembalasan atau hukuman yang tentu mengerikan. Tapi dibebaskan dan disuruh pergi membuat ia akhirnya
melompat bangun, girang.
"Terima kasih," serunya. "Kau baik, anak muda. Dan maafkan aku yang hanya ikut-ikutan saja!"
"Hm, aku tahu. Kalau tidak tak mungkin kau selamat, Eng-seng-thiong. Pergilah dan bawa keledai
gundul itu!"
Eng-seng-thiong tak menunggu kedua kalinya lagi. Ia menyambar dan berkelebat pergi membawa
rekannya itu, Jing-ji-mi-to luka parah. Dan ketika si banci itu tertawa dan mengeluarkan suaranya dari
hidung maka iapun lenyap melalui pintu lain.
Habiskah persoalan ini di situ saja? Kalau tak ada tiga orang lain dari lima Pengawal Bayangan
mungkin persoalan itu memang habis. Akan tetapi lukanya hwesio ini diketahui Siang-buang Thai-swe
(Sepasang Datuk Kembar) dan Siau-hun Mo-li (Iblis Betina Pembetot Sukma), tiga rekan hwesio itu yang
tentu saja tak tinggal diam. Jing-ji-mi-to akhirnya susah payah ditolong mereka dan tiga orang ini kaget
melihat racun di siku yang buntung itu, racun amat ganas dari sejenis ular welang. Maka ketika mereka
menolong hwesio itu dan tiga orang menggabungkan sinkang untuk mengusir sisa racun maka Jing-ji-mi-to
menangis membuka mata. Sepasang sikunya dibalut dan hwesio ini mengeluh tak mempunyai tangan lagi,
tersedu-sedu.
"Keparat, aduh..... jahanam keparat. Ooh, kenapa kau tak membiarkan aku mati, Eng-seng-thiong.
Kenapa kau membiarkan aku hidup. Kau sahabat tak kenal belas kasihan yang senang melihat aku hidup
menderita!"
"Hm, tenanglah, jangan memaki-maki teman sendiri," Siau-hun Mo-li berkata dan melepaskan
tangannya dari pundak hwesio itu. Jing-ji-mi-to telah sadar dan mereka bertiga mandi keringat. Bukan luka
di siku itu yang berat diatasi melainkan darah hitam kental yang terkena racun itu. Mereka bertanya apa yang
membacok lengan hwesio itu dan dijawab bahwa Jing-ji-mi-to dikepras sebatang kipas. Eng-seng-thiong
melihat itu dan menceritakan penyebabnya. Dan ketika mereka tertegun hanya dengan sebatang kipas rekan
mereka dikutungi, dan kipas itu mengandung racun maka diam-diam mereka kaget dan ingin tahu siapakah si
banci yang lihai namun kejam itu.
"Kami mendengar tentang dirinya, namun kami acuh. Tak kami sangka kalau Jing-ji-mi-to mencari
perkara, Eng-seng-thiong. Dan meskipun ini urusan pribadi namun kalau dia menyinggung-nyinggung lima
Pengawal Bayangan maka sama saja dengan menantang kita. Ini tak boleh dibiarkan. Meskipun ia diangkat
saudara oleh Hui-ongya namun kami tak perlu takut. Jing-ji-mi-to telah menjadi bagian dari kita!"
"Benar, dan sombong sekali anak itu. Hm. apa katanya Eng-seng-thiong. Sampai sejauh mana ia
menghina kita!"
Satu di antara Datuk Kembar bertanya. Ia adalah kakek hitam bermata bulat, hidungnya besar dan ada
tahi lalat di situ. Inilah. orang kedua dari Siang-buang Thai-swe itu, ahli lweekeh dan kedua kakinya yang
pendek buntek mahir mainkan Ban-kin-kang (Tenaga Selaksa Kati). Sekali ia menancapkan kaki gajahpun
tak mampu mendorong. apalagi manusia. Dan karena ia tak sesabar kakaknya yang suka mengangguk-
angguk. Siang-buang Thai-swe yang satu ini memang agak berangasan maka cerita si Kutu Peniru Suara itu
membangkitkan rasa marahnya. Eng-seng-thiong membumbui cerita agar tak disangka kelewat takut.
"Hm, ia lebih banyak mengejek Jing-ji-mi-to ini, bukan kita berempat. Tapi ketika ia merobohkan
Jing-ji-mi-to dan aku terpaksa berhenti menolong rekan maka kudengar ia mengejek kita sebagai Pengawal
Bayangan yang kepandaiannya tak seberapa. Dan kabarnya ia menghina kita di depan Hui-ongya bahwa kita
orang-orang tak berguna yang bisanya meminta upah melulu. Kepandaiannya memang hebat tapi kalau Mi-Kolektor E-Book
TAPAK TANGAN HANTU
BATARA
292 to ini tak luka parah tentu aku akan mencobanya habis-habisan dan kujajal sampai di mana kelihaiannya itu!"
"Bagaimana sampai terluka, bukankah kau mengeroyoknya!"
"Nanti dulu. Jing-ji-mi-to ini melabrak tanpa perhitungan, Siau-hun Mo-li. Ia langsung terjang begitu
saja tanpa mau menunggu aku. Aku menyambar tapi terlambat, kipas itu menangkis dan kudengar jeritan
rekan kita ini. Ia roboh dan segera kuhentikan serangan, monolong dia dulu!"
Siau-hun Mo-li mengangguk-angguk. Nenek berwajah dingin ini bersinar-sinar dengan mata marah. Ia
tak tahu bahwa Eng-seng-thiong telah membual, yakni tak menceritakan kekalahan sendiri dan menceritakan
seolah ia meninggalkan pertempuran untuk monolong temannya itu. Dan ketika Siang-buang Thai-swe juga
mengangguk-angguk dan merasa marah, nama mereka bisa direndahkan kalau tidak berbuat sesuatu maka
hwesio itu sadar dan menangis menahan sakit serta dendam tak terbalaskan, tentu saja tak mendengar kata-
kata rekannya tadi, yang menyalahkan dirinya.
"Hm, kau gegabah menjalankan itu tanpa kami, Jing-ji-mi-to, tapi kau selamat telah kami buang
racunnya. Tenanglah, kami di sini membalaskan sakit hatimu!"
"Dia, uhh.... keparat jahanam itu, uhh..... aku tak dapat menandinginya, Mo-li. Tapi kalau Eng-seng-
thiong ini mau membantuku sungguh-sungguh mungkin aku tak perlu kehilangan tanganku. Sekarang aku
cacat, Kutu Busuk ini tak bisa diharap!"
"Hm, aku menolongmu sampai sini. Kalau tak ada aku apakah dirimu masih hidup, Jing-ji-mi-to.
Susah payah kubawa kau lari tapi sekarang enak saja kau memaki-maki aku. Apa artinya ini!"
"Sudahlah," Siang-buong Thai-swe melerai, bangkit berdiri. "Kami telah mengerahkan sinkang untuk
mengeluarkan racun dari tubuhmu, Mi-to. Kalau Song-thiong tok membawamu ke sini mungkin kau mati.
Tak perlu bertengkar sesama teman karena Seng-thiong sudah menolongmu!"
"Tapi aku cacat, jahanam itu membuntungiku!"
"Masih untung, kau tetap hidup. Hm, tak perlu mencari-cari kesalahan orang lain, Mi-to. Kaupun salah
karena gegabah tak membawa serta kami. Kalau kami berempat tentu lain, tapi kau sendiri, hanya ditemani
Eng-seng-thiong ini!"
Hwesio itu tersedu-sedu. Ia bangun duduk namun berteriak, nyeri di siku menggigit. Dan ketika Siau-
hun mendudukkannya dan menyuruhnya tenang maka nenek itu berkata bahwa mereka akan membuat
perhitungan.
"Ia telah menyinggung-nyinggung Pengawal Bayangan, berarti menantang kami pula. Tenanglah di
sini dan biar kami balas!"
Hwesio itu menghentikan tangis. Ia membelalakkan mata namun pandangannya berseri, ternyata Siau-
hun Mo-li dan rekan-rekannya ini tak tinggal diam. Maka ketika ia menjadi girang namun merintih
kesakitan, luka itu lagi-lagi mengganggu maka yang dapat dilakukan hanya mengangguk dan mendesis.
"Terima kasih, kalian sahabat yang tahu kesusahan orang, Mo-li. Tapi hati-hatilah karena ia benar-
benar lihai!"
"Kami bukan anak kecil," nenek itu mendengus. "Kami membelamu semata menyelamatkan diri kami
juga, Mi-to. Kalau bocah itu merajalela di sini kedudukan kami tentu terancam. Kau tak perlu berterima
kasih karena ini menyangkut kepentingan kami juga!"
Eng-seng-thiong menyeringai. Sebagai tokoh-tokoh yang dipuja dan diandalkan istana tentu saja
kedudukan mereka bisa goyah kalau si banci itu didiamkan. Sepak terjangnya bisa membahayakan mereka
paling tidak membuat goyah. Mereka yang sudah terbiasa hidup tenang bisa terancam. Maka ketika Siau-hun
Mo-li berkata seperti itu sementara temannya tertegun, kaget dan kecewa maka kakek tinggi kurus ini
terkekeh.
"Mi-to, kau dan kita di sini bukanlah orang-orang yang dianggap bersih oleh beberapa kalangan. Lihat
sepak terjangmu sendiri, juga kebiasaan jelek kita di luar. Adakah terima kasih dan rasa sesal? Ha-ha, tak
ada, sobat. Sudahlah tak perlu kecewa kata-kata Siau-hun karena kita sesungguhnya membela kepentingan
kita sendiri!"
Hwesio itu menarik napas dalam. Mukanya masih kecewa namun ia mengangguk-angguk, begitulah
sesungguhnya mereka. Maka ketika malam itu Siau-hun Mo-li dan Siang-buang Thai-swe hendak membuatKolektor E-Book
TAPAK TANGAN HANTU
BATARA
293 perhitungan, terutama untuk mempertahankan kedudukan yang sudah mapan mendadak keesokannya mereka
semua mendapat undangan dari si banci itu, lewat kurir Hui-ongya!
"Tak usah mencari aku secara sembunyi-sembunyi, datang dan temui aku di taman Hui-ongya. Kalian
berempat boleh mengeroyokku semua, Siau-hun Mo-li. Kalau aku roboh itu keberuntungan kalian, Hui-
ongya tak ada sangkut-pautnya. Tapi kalau kalian kalah harap tak mencari persoalan, cukup di sini saja.
Silakan datang nanti malam dan aku orang she Mo tak akan lari!"
Wajah nenek ini merah padam. Surat undangan hampir dirobek akan tetapi orang kedua dari Siang-
buang Thai-swe merampasnya. Datuk muka hitam ini membaca dan semakin gelap saja, matanya melotot.
Tapi ketika kakaknya meminta dan mengangguk-angguk, kakek ini ternyata lebih tenang maka dia berkata,
"Orang ini benar-benar berani, berarti kepandaiannya tentu hebat. Hm, justeru kita harus waspada
akan tantangannya ini, sute. Tak sembarang orang berani menantang kita kalau tidak benar-benar merasa
yakin. Sudahlah nanti malam kita datang dan langsung menuju taman. Persiapkan tenaga kita."
Eng-seng-thiong mengangguk-angguk. Hanya dialah ynng tahu benar kelihaian si banci itu, juga Mi-
to. Tapi karena hwesio itu terluka dan tentu tak dapat datang, ia heran bagaimana si banci itu tahu maksud
mereka maka kakek tinggi kurus ini mengangguk-angguk namun diam-diam hatinya berdebar.
"Hm, sombong bukan main, tapi betul-betul berani, Kau mungkin dapat mengalahkan aku dan Mi-to,
anak muda. Tapi menghadapi empat orang sekaligus agaknya terlalu sombong, nekat. Lihat saja malam nanti
mampukah kau menyelamatkan diri!"
Ternyata Kutu Peniru Suara ini masih ragu. Ia memang telah membuktikan bahwa dikeroyok dua
lawannya itu masih menang. Tapi menghadapi Siang-buang Thai-swe dan Siau-hun Mo-li? Ah, rasanya
terlalu congkak! Maka ketika ia menggumam sendirian namun malam itu dilewatkannya dengan penuh
tegang akhirnya masing-masing berkelebat sendiri meninggalkan pertemuan. Eng-seng-thiong mencari akal
bagaimana nanti, siapa yang akan diikuti nenek itu ataukah Siang-buang Thai-swe. Dan ketika ia tentu saja
mendekati dua kakek kembar ini, bukan Siau-hun Mo-li yang hanya sendiri maka malam itu ia bergerak di
belakang kakak beradik ini, begitu melihat mereka berkelebat keluar kamar.
"Heh-heh, sudah kutunggu. Mari bersama, Siang-buang Thai-swe, mana Siau-hun Mo-li nenek
berangasan itu!"
Dua kakek kembar ini tertawa. Mereka tak menyangka diintai Kutu Peniru Suara ini yang tahu-tahu
menyusul ketika mereka berkelebat, agaknya memang sudah ditunggu. Tapi kakek pertama yang
berpembawaan tenang diam saja, tidak seperti adiknya yang langsung menegur.
"Heh, ada apa menunggu kami. Takutkah kau sendirian, Eng-seng-thiong. Masa seperti anak kecil
yang menunggu ibunya!"
"Heh-heh, bukan begitu. Aku merasa lebih tenang kalau bersama kalian di sini, mencari nenek itu tapi
tak ketemu. Bukankah lebih baik berhati-hati daripada gegabah dan main serobot dulu."
"Hm, mari, dan mungkin Siau-hun Mo-li sudah ada di sana!"
Kakek itu terkekeh. Tentu saja dua temannya tak tahu bahwa sesungguhnya ia gentar menghadapi si
banci itu. Setelah Jing-ji-mi-to maka dialah satu-satunya yang sudah merasakan. Kutu Peniru Suara ini tak
berani main cepat agar tak celaka diri sendiri. Maka ketika ia berkelebat dan mengikuti dua temannya ini,
sengaja di belakang untuk berlindung maka benar saja Siau-hun Mo-li ada di sana, duduk dan berkutat
dengan si banci yang minum arak membelakanginya!
"Haiitttt....!" nenek itu berseru keras mencabut dua telunjuknya, tegang, dijepit sepasang cawan di
tangan si banci yang memberikan punggung, tertawa dan rupanya diserang secara gelap tapi cepat
menangkis. Siang-buang Thai-swe terkejut dan membelalakkan mata melihat ini dan tentu saja berhenti.
Mereka telah melompati tembok pagar dan kini berada di taman itu, melihat sebuah meja bundar
dipersiapkan dan beberapa botol arak. Agaknya si banci sedang minum arak ketika tahu-tahu diserang nenek
itu, menangkis dan membuat Siau-hun Mo-li terkejut karena tak mampu menarik dua telunjuknya lagi.
Cawan itu demikian kuat mencengkeram. Tapi ketika nenek itu membentak dan mengibaskan rambutnya
yang panjang, si banci tertawa dan memutar tubuh tahu-tahu jepitan dilepas dan Siau-hun Mo-li yang
membetot jarinya terjengkang ke belakang.
"Ha-ha, kebiasann buruk dari orang-orang yang suka berbuat kecurangan. Eh, kau kuundang baik-baik
ke sini untuk bertanding secara ksatria, Siau-hun bukan segala macam kecurangan yang tak patut kauKolektor E-Book
TAPAK TANGAN HANTU
BATARA
294 lakukan. Temanmu yang lain sudah datang, pergi dan duduklah baik-baik dan cari kursimu yang enak!"
Nenek itu bergulingan meloncat bangun. Ia melengking dan merah padam dan malu sekali akan
kekalahannya itu. Ia memang datang lebih dulu dan menyerang secara gelap, menusuk tengkuk lawan yang
duduk menikmati arak. Tapi ketika dua jarinya tahu-tahu ditangkis dan "ditangkap" sepasang cawan, terjepit
dan tak mampu dilepaskan maka nenek ini kaget sekali dan kesudahannya ia terjengkang bergulingan ketika
lawannya itu melepaskan cawannya tepat di saat teman-temannya datang.
"Ha-ha, duduklah, selamat malam. Aku kesunyian dan sengaja mengundang kalian. Hm, duduk dan
pilih kursi kalian masing-masing, Siang-buang Thai-swe. Selamat datang dan kita hangati tubuh dengan
arak!"
Dua kakek kembar terbelalak. Sekarang mereka berhadapan dengan pemuda yang diceritakan Eng-
seng-thiong ini, pemuda aneh yang lebih tepat disebut banci daripada wanita atau pria. Anting-anting di
sepasang telinga itu bergoyang dan kalau saja dadanya membusung tentu orang akan menyangka wanita
daripada pria. Pemuda kewanita-wanitaan ini aneh sekali, suaranya merdu namun sesekali serak basah, mirip
pria yang pita suaranya rusak. Tapi melihat betapa rekan mereka terjengkang bergulingan, cepat dan cerdik
sekali pemuda itu menghindari sambaran cambuk Siau-hun Mo-li maka Datuk Pertama, yang lebih tenang
dan penyabar itu kagum dan memuji, tidak seperti adiknya yang tiba-tiba bergerak ke depan dan langsung
membungkukkan tubuhnya seperti seekor banteng siap menanduk.
"Heh, kau kiranya anak muda yang sombong dan telah melukai Jing-ji-mi-to itu. Bagus, undanganmu
jantan dan ksatria, anak muda. Tapi kami lima Pengawal Bayangan tak dapat menerima perbuatanmu ini.
Terimalah pukulanku dan coba kulihat tenagamu!"


Tapak Tangan Hantu Karya Batara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kakek itu sudah bergerak dan mendorongkan kedua tangannya. Dari kedua tangannya itu bersiut angin
dingin dan kaki yang menancap kokoh terisi penuh tenaga Ban-kin-kang. Kalau kakek ini sudah bergerak
seperti ini biasanya seekor gajahpun bakal terjengkang, paling tidak terdorong dan terhuyung-huyung. Tapi
ketika si banci itu tertawa aneh dan mengebutkan lengan bajunya maka kakek itu yang terdorong dan
terhuyung-huyung.
"Plakk!"
Kakek ini terkejut dan kaget sekali. Dorongan kedua tangannya bertemu tenaga yang amat dahsyat
dari kebutan lengan baju, begitu dahsyat hingga ia tak mampu bertahan. Kaki yang penuh terisi Ban-kin-
kang terseret, tanah di tempat itu tergores semeter lebih! Dan ketika ia pucat membelalakkan mata, hampir
tak percaya maka lawannya itu bangkit melambaikan tangan sambil tertawa.
"Duduklah, silakan semua duduk. Kita dapat bercakap-cakap sambil duduk!"
Bukan hanya Siang-buang Thai-swe yang kaget. Siau-hun Mo-li, dan juga Eng-seng-thiong berteriak
tertahan ketika tubuh mereka tiba-tiba tertarik ke depan oleh lambaian tangan itu. Tenaga sedot luar biasa
menyambar mereka, mendorong dan tanpa ampun lagi keempatnya tiba-tiba roboh di kursi. Dan ketika
semua tersentak namun si banci itu terkekeh, duduk dan menghadapi mereka semua maka ia mengangkat
satu di antara botol arak berseru nyaring.
"Kalian berempat telah datang ke sini, bagus. Sebelum menginjak acara puncak mari menghangatkan
tubuh dulu dengan secawan arak. Terimalah!" empat cawan tiba-tiba beterbangan. Cepat dan luar biasa si
banci ini telah menjentikkan kukunya ke arah cawan-cawan di atas meja, memberikannya kepada tamu-
tamunya dan Eng-seng-thiong serta yang lain-lain tentu saja kaget sekali. Kalau mereka tidak menangkap
tentu cawan akan menghantam hidung, begitu cepat benda itu menyambar. Dan ketika mereka bergerak dan
masing-masing menangkap cepat, terdorong dan kursi berderit ke belakang maka sadarlah mereka bahwa
semacam "ujian" sinkang telah berjalan.
"Plak-plak-plak-plak!" Empat orang itu menangkap cepat dan masing-masing berseru tertahan. Cawan
yang di tangan membuat telapak pedas dan hampir mereka menjerit. Telapak itu seakan dibeset! Tapi ketika
mereka mengerahkan sinkang dan pucat memandang si banci, lawan telah mendemonstrasikan
kepandaiannya maka botol arak dibuka dan, bagai tukang sulap saja botol itu dilempar ke atas dan isinya
meluncur turun diterima cawan kecil. Tangan kiri si banci bergerak dan botol itu berhenti di udara, seakan
ditahan.
"Nah, sekarang kita mulai minum. Aku tuan rumah, biar aku dulu, lalu kalian dan jaga jangan sampai
arak tumpah!" bagai disihir botol melesat ke kiri, cawan telah penuh tapi karena masih terus mengucur maka
giliran Siau-hun Mo-li mendapat bagian. Nenek itu terkejut karena botol arak menyambar cepat, kalau ia tak
menghentikan gerakannya tentu menyambar muka. Maka ketika ia membentak dan tangan lain menamparKolektor E-Book
TAPAK TANGAN HANTU
BATARA
295 perlahan, botol berhenti dan arak mengucur cawannya maka botol berpindah ke arah Siang-buang Thai-swe
untuk kemudian berhenti di depan si Kutu Peniru Suara. Semua terkejut dan berseru keras melakukan seperti
apa yang dilakukan Siau-hun Mo-li dan hanya dengan susah payah mereka mampu mengisi cawan, hanya
Eng-seng-thiong yang muncrat sedikit, itupun karena kakek tinggi kurus ini terlanjur gugup dan gentar
menghadapi lawannya. Dan ketika kakek itu mengebutkan botol arak yang kembali ke tuannya, jatuh dan
habis isinya maka si banci terkekeh-kekeh memandangi orang-orang itu.
"Hi-hik, heh-heh-heh....! Kalian berhasil menuangkan arak sendiri, Siau-hun Mo-li. Bagus! Maaf
tindakanku barangkali tak berkenan di hati kalian tapi mari minum. Ini permulaan kita berkenalan!"
Siau-hun Mo-li dan Siang-buang Thai-swe merah padam. Mereka hampir gagal menuangkan arak
dengan tamparan sinkang mereka, botol meluncur begitu cepat seakan dituntun tangan setan saja. Tapi ketika
pemuda itu minum dan menggelogok isinya, habis sementara mereka diam saja maka si banci itu tertegun
dan berseru,
"Eh, kenapa tak mau minum. Apakah kalian takut!"
"Hm!" nenek itu menggebrak meja, bangkit berdiri. "Kami datang bukan untuk menerima arakmu,
orang she Mo, melainkan bertanding dan menghajarmu. Kau sombong menantang kami, untuk apa minum
arak kalau sifatnya hanya bersenang-senang!"
"Heh-heh, hi-hik.... kau betul, tapi keliru. Hm, inipun pertandingan yang sudah mulai berjalan, Siau-
hun Mo-li. Siapa mengajakmu bersenang-senang dengan nenek buruk sepertimu itu. Lihat arakmu apa yang
terjadi!"
Nenek itu terkejut. Ia memandang dan kaget serta mundur berseru tertahan. Araknya berbuih,
warnanya yang kekuningan sudah berubah hitam. Lalu ketika ia tertegun dan yang lain kaget, semuanya juga
begitu maka Eng-seng-thiong dan Siang-huang Thai-swe sudah membuang araknya yang mengandung
racun!
"Keparat!" orang kedua dari Siang-buang Thai-swe berseru. "Apa yang kau lakukan ini, bocah busuk.
Kau meracun kami. Kau curang!"
"Heh-heh, ini pertandingan. Kalian datang bukan untuk bersenang-senang. Siapa curang kalau aku
sendiri minum arak yang sama, Siang-buang 'Thai-swe. Lihat aku memuntahkan arakku..... prot!" si banci
mengeluarkan suara aneh dan arak di dalam perut tiba-tiba menyembur keluar. Arak itu juga mendidih dan
berwarna hitam. Jelas arak beracun! Lalu ketika semua tertegun dan membelalakkan mata, maka pemuda itu
bangkit berdiri menepuk pinggiran meja.
"Lihat, siapa berbuat curang. Bukankah arak yang kuminum sama. Hm, kalian bermaksud
membalaskan sakit hati Siau-hun dan aku tak menunggu tantangan kalian. Aku mengundang kalian, ksatria.
Ini juga adu kepandaian karena siapa di antara kalian, berani menelan racun!"
Empat orang itu tertegun. Barulah mereka sadar bahwa pertandingan sesungguhnya telah dimulai.
Lawan telah mengajak menelan racun. Tapi bergidik bahwa racun itu bukan racun biasa, tanah yang tersiram
segera terbakar dan hangus maka Siau-hun Mo-li dan lain-lain ngeri.
"Bagaimana, siapa berani. Mari minum secawan lagi dan kita sama-sama melihat siapa yang roboh!"
Siau-hun Mo-li akhirnya marah. Ia membentak dan maju lagi menuangkan arak. Dengan sinkangnya
ia dapat menahan racun di perut, nanti dimuntahkan lagi seperti apa yang telah diperlihatkan si banci itu. Dan
karena ia merasa mampu dan kini tak ragu menenggak arak itu maka nenek ini berseru pada ketiga
temannya.
"Seng-thiong, Siang-buang Thai-swe, agaknya kita bukan orang-orang penakut yang harus jerih
menelan racun. Ayo perlihatkan kepada lawan bahwa kita lima Pengawal Bayangan tak hanya pandai
menerima gaji buta!"
Siang-buang Thai-swe akhirnya mengangguk. Mereka juga telah berpikir seperti nenek itu dan akan
menahan racun di perut. Dengan mengerahkan sinkang mereka dapat melakukan itu. Maka ketika nenek itu
menenggak habis sementara mereka juga bergerak dan meminun secawan, hanya Eng-seng-thiong yang
tampak ragu dan pucat mukanya maka si banci itu terkekeh.
"Hi-hik, yang tiga sudah minum. Kau! Hayo, Eng-seng-thiong, minum juga kalau berani!"
Kakek itu masih ragu. Tapi ketika Siau-hun Mo-li membentak padanya dan mengingatkannya akanKolektor E-Book
TAPAK TANGAN HANTU
BATARA
296 bualannya sendiri, betapa ia sesungguhnya tak takut menghadapi lawannya ini maka apa boleh buat kakek
tinggi kurus itu menenggak dan sekali telan menghabiskan arak beracun.
"Glek!"
Kakek ini merasakan lidahnya panas. Arak itu seperti api yang menyengat tajam, amblas ke perut dan
tiba-tiba perutpun mendidih. Arak itu bergolak! Tapi ketika ia mengerahkan sinkang dan melakukan seperti
temannya, menahan atau memaksa racun berhenti di situ maka si banci terkekeh dan duduk lagi, berseri-seri.
"Bagus, kalian pemberani. Bagaimana kalau kita lanjutkan lagi sampai masing-masing menghabiskan
sebotol!"
"Apa? Kau gila?" Siau-hun berseru.
"Hm, tidak, kalau kalian masih berani menerima tantanganku. Bagaimana, Siau-hun Mo-li. Beranikah
kalian berempat minum lagi atau sekarang saja mengaku kalah."
Nenek itu bangkit. Namun belum ia melepas marah tiba-tiba Siang-buang Thai-swe, orang pertama
dari dua kakek kembar menekan lengannya. "Mo-li, agaknya tak apa kita menerima tantangan aneh ini.
Siapa takut segala macam racun. Bagaimana kalau dia selalu minum lebih dulu?"
"Ha-ha, boleh, tentu saja. Aku selalu mendahului kalian, Siang-buang Thai-swe, aku tuan rumah. Aku
siap lebih dulu minum kemudian kalian mengikuti!" si banci memotong.
Kakek muka hitam itu tersenyum mengejek. Sesungguhnya ia punya maksud dengan kata-katanya itu,
yakni bila lawan tak tahan tentu si banci itu roboh. Ia membisiki rekannya tentang ini. Dan ketika nenek itu
terbelalak tapi kemudian berseri, Eng-seng-thiong satu-satunya yang terkejut mengerutkan kening maka
nenek itu akhirnya terkekeh dan mengangguk.
"Bagus, boleh juga. Aku menerimamu asal kau lebih dulu niinum!"
"Hm, bagaimana Eng-seng-thiong."
"Dia tentu ikut!"
"Begitukah?"
"Aku, heh-heh.....!" kakek ini tertawa menghilangkan kaget, bingung tapi harus berani menerima
tantangan."Kalau Mo-li menyatakan begitu tentu tak mungkin aku menolak, anak muda. Asal kau minum
dulu aku turut belakangan!"
"Tapi sebotol harus habis!"
"Tentu, dan setelah itu kita mengadu kepandaian!" Siau-hun Mo-li melengking dan tak kuat menahan
gusar. "Kau cerewet dan banyak omong, bocah sombong. Mulailah dan kami menyusul!"
Si banci mengangguk-angguk. Dia menyambar botol yang lain dan membuka arak kedua, siap minum.
Tapi ketika Siang-buang Thai-swe berseru mengangkat tangan dan berkata bahwa arak harus bergantian
diminum, tak akan membuka yang lain kalau pertama belum habis maka si banci tertegun namun Siau-hun
Mo-li terkekeh.
"Ada lima botol di sini, jelas kau telah menyiapkannya. Kalau botol pertama belum habis untuk apa
membuka botol ke dua? Tidak, kau tak boleh menang sendiri, anak muda. Siapa tahu arak yang kau minum
tak ada racunnya!"
"Benar, heh-heh. Kita hampir tertipu!" Siau-hun Mo-li berseru. "Kau cerdik dan mengingatkan kita
semua, Thai-swe. Aku sependapat dan setuju untuk minum apa yang diminum anak muda ini, tak mau botol
lain!"
"Hm, kalian terlalu curiga," si banci tertawa, akhirnya mengerti. "Tak ada kecurangan seperti yang
kalian sangka, Mo-li. Lihat arak inipun sama beracunnya dengan tadi!" botol dibuka dan dituangkan isinya,
mendidih dan bergolak dan warnapun berubah hitam. Mo-li terkejut dan membelalakkan mata. Dan ketika
Eng-seng-thiong meleletkan lidah merasa ngeri, memandangi lima botol arak di atas meja si banci
menenggak dan menghabiskan araknya.
"Semua sama-sama berseru, mari sama-sama minum dan siapa tak kuat boleh menyatakan kalah!"Kolektor E-Book
TAPAK TANGAN HANTU
BATARA
297 Arak habis memasuki perut. Siau-hun Mo-li menjadi pucat namun ia tak mungkin mundur. Tadi
gilirannya setelah si banci, baru berturut-turut Siang-buang Thai-swe dan Eng-seng-thiong itu. Maka ketika
nenek ini menerima arak yang sama dan menenggak habis maka sepasang Datuk Kembar juga melakukan itu
dan menghabiskan masing-masing secawan arak. Eng-seng-thiong belakangan dan kakek ini mulai gemetar.
Apa-apaan ini, masa orang meminum racun! Tapi ketika ia terpaksa menenggak dan perut serasa mendidih,
sinkang dikerahkan untuk menahan itu maka lawan tertawa merdu dan menenggak cawan ketiga. Yang lain
menyusul dan tampaklah pemandangan gila-gilaan itu. Siau-hun Mo-li merah mukanya sementara Siang-
buang Thai-swe menjadi lebih hitam. Eng-seng-thiong pucat dan merah berganti-ganti namun dia terus
minum. Tokoh ini tak berani mundur atau tiga temannya bakal memaki-maki. Dan ketika cawan demi cawan
digelogok habis, botol kedua dilempar untuk mengambil botol ketiga maka sampai di sini empat orang tokoh
itu mulai bergoyang-goyang. Kepala mereka pening sementara isi perut seakan mau pecah. Perut mereka itu
seolah gunung yang siap meletus, gemuruh!
"Ha-ha, siapa tak kuat boleh berhenti, Siau-hun Mo-li. Nyatakan kalah dan tunduk kepadaku!"
"Aku masih kuat!" si nenek membentak. "Minumlah lagi, anak sombong. Mungkin kali ini kau
roboh!"
Siang-buang Thai-swe diam-diam kagum. Mereka terbelalak melihat betapa lawan sama sekali
agaknya tak terpengaruh. Wajah si banci itu sehat-sehat saja padahal mereka semakin hitam. Matapun
berkunang-kunang dan tubuh seakan tak tetap lagi. Gila! Dan ketika botol keempat dibuka dan Kutu Peniru
Suara pucat pasi, tiga temannya mulai terhuyung dan ia merasa pening maka kakek ini berseru keras dan
tiba-tiba memuntahkan semua isi perutnya.
"Aku tak mau meneruskan lagi, lawan kita ini gila.... huaakk!" arak menyembur dan keluar dari perut
si Kutu Peniru Suara ini. Ia telah menahan racun cukup lama namun hawa panas dan mendidih itu tak kuat
ditahannya lagi. Kepalapun pening dan bumi rasanya berputar. Dan ketika kakek itu menyemburkan araknya
sementara tiga temannya kaget, mereka sesungguhnya juga tak kuat maka orang kedua dari Siang-buang
Thai-swe tiba-tiba juga memuntahkan arak beracunnya di susul oleh Siau-hun Mo-li dan kakaknya.
"Huaakkk!"
"Proottt!"
Ledakan terakhir ini adalah bunyi kentut yang amat nyaring. Orang pertama dari Siang-buang Thai-
swe itu kiranya mengeluarkan arak dengan cara aneh, melalui bawah perutnya dan terciumlah bau busuk dan
anyir. Bau ini adalah bau arak bercampur kentut, tak keruan rasanya. Dan ketika si banci terkekeh-kekeh
melihat empat orang itu muntah-muntah, mereka terhuyung dan jatuh terduduk maka ia meneruskan
minumnya dan botol itu ditenggaknya sendirian, habis dan diambilnya botol kelima lalu diminum sekaligus.
Dan ketika ia terbahak-bahak dan bangkit dari kursinya maka Eng-seng thiong kaget sekali karena celana
dan baju si banci itu dari pinggang ke bawah basah kuyup.
"Sin-can-po-he (Ilmu Keringat Sakti)!"
Siau-hun Mo-li dan Siang-buang Thai-swe terbelalak. Mereka tiba-tiba juga melihat itu dan kaget serta
pucat. Pantas kalau lawan tak apa-apa karena dengan Sin-can-po-he itu arak segera menguap, keluar melalui
tubuh dalam bentuk keringat sebesar jagung. Dan ketika semua terkejut dan kaget serta mundur, ilmu itu
hanya dapat diwarisi oleh seseorang yang sudah amat tinggi sinkangnya maka si banci berkelebat dan tiba-
tiba empat orang itu ditotoknya roboh. Gerakannya cepat dan luar biasa.
"Ha-ha, benar. Matamu awas, Eng-seng-thiong. Aku tak jadi membunuhmu untuk kepintaranmu
ini...... tuk-tuk-tuk!" empat orang itu roboh dan tak sempat mengelak. Mereka hanya melihat bayangan biru
dan tahu-tahu tertotok. Siang-buang Thai-swe dan Siau-hun Mo-li tentu saja kaget bukan main. Tapi ketika
nenek itu memaki-maki bahwa lawan curang, mereka masih pening oleh pengaruh arak maka si banci
berkelebat dan ujung bajunya membebaskan totokan itu. Si nenek dan lain-lain melompat bangun.
"Ha, masih penasaran. Boleh! Kau tak puas oleh kepandaianku, Siau-hun Mo-li rupanya ingin benar-
benar bertanding secara keras. Majulah, dan aku akan merobohkan kalian tak lebih dari duapuluh jurus!"
Siang-buang Thai-swe dan nenek itu kaget sekali. Mereka tak menyangka sementara si Kutu Peniru
Suara sudah maklum. Tokoh tinggi kurus ini memang sebelumnya jerih. Maka ketika tiga temannya
melompat bangun dan menampar kepala menghilangkan sisa pening, pengaruh arak akhirnya lenyap maka
nenek itu tiba-tiba memekik dan menerjang.
"Bocah sombong, kau lihai tapi jahat, curang. Siapa mengira kau mengeluarkan arakmu melaluiKolektor E-Book
TAPAK TANGAN HANTU
BATARA
298 keringat!"
"Heh-heh, kau nenek tak tahu diri. Justeru itu harus membuat matamu terbuka, Siau-hun Mo-li, bahwa
kepandaianku masih jauh di atas kalian. Robohlah, dan bangun serta serang aku lagi..... plak-plak!" lengan si
nenek ditangkis dan nenek itu terjengkang. Ia merasa linu dan kesakitan tapi marah meloncat bangun, Siang-
buang Thai-swe diteriakinya agar maju membantu. Dan ketika dua kakek kembar itu juga sadar dan
mengangguk, sudah waktunya untuk mengadu ilmu silat maka Ji-thai, Datuk Nomor Dua membentak dan
menerjang pula, maju berkelebat.
"Toa-ko (kakak), bocah ini benar-benar sombong. Mari kita bekuk dan robohkan dia..... wherrr!"
sepasang lengan kakek pendek itu menyambar, mengeluarkan deru angin dahsyat Hek-thau-ciang alias
Pukulan Gajah Hitam. Ini adalah kepandaian khas mereka, gajahpun bisa terpelanting kalau dipukul. Tapi
ketika si banci mengelak dan luput, pukulan itu menghantam tanah hingga berlubang maka It-thai alias sang
kakak maju menggempur pula.
"Anak muda, kau hebat, tapi terimalah pukulan kami..... dess!" pukulan ini juga luput karena lawan
tiba-tiba berkelebat menghilang. Si banci itu memiliki kecepatan seperti setan, lenyap dan menghilang begitu
cepatnya. Dan ketika dua kakek itu terkejut tak tahu lawan di mana mendadak telinga mereka dijewer dan si
pemuda terkekeh di belakang mereka.
"Aku di sini, jangan melihat ke mana-mana!"
Bukan main panasnya dua datuk ini. Mereka bukan orang-orang sembarangan namun berhadapan
dengan pemuda baju biru ini mereka seakan anak kecil yang tidak bisa apa-apa. Ji-thai membentak dan
meraung gusar. Dan ketika ia melepas pukulan lagi dan kali ini ditangkis, girang dan berseru keras ternyata
diri sendiri yang terpelanting dan terjengkang.
"Heh-heh, jangan berkaok-kaok. Pukulan gajahmu itu tak ada artinya bagiku, Siang-buang Thai-swe.
Lihat aku menangkismu...... dess!" Ji-thai terjengkang dan bergulingan. Ia benar-benar kaget tapi sang kakak
menolong, Siau-hun Mo-li juga membentak dan Eng-seng-thiong yang ragu-ragu akhirnya menyerang pula.
Kutu Peniru Suara ini pucat. Dan ketika mereka semua berkelebatan tapi lawan lagi-lagi menghilang, mereka
sebagai tokoh-tokoh berkepandaian tinggi tak mampu menangkap bayangannya maka bahu atau pundak
mereka ditepuk lawan.
"Aku di sini, heii.... jangan meleng! Plak-plak...!" tiga orang itu terpelanting dan kaget serta gusar.
Siang-buang Thai-swe akhirnya menggeram dan mengeluarkan sepasang gada mereka, bulat dan kokoh dan
lucu melihat kakek-kakek pendek macam mereka mengeluarkan gada seseram itu, panjangnya hampir sama
dengan tubuh mereka! Dan ketika dua orang itu bergerak dan gada menderu menyambar kepala, disusul
pukulan Gajah Hitam di tangan kiri maka nenek Siau-hun Mo-li tak mau kalah dan mengibaskan rambutnya
yang panjang hitam seperti ular memagut.
"Plak-plak!"
Nenek itu terhuyung dan berseru kecewa. Untuk kesekian kalinya lagi ia dibuat mundur dan terkejut,
tenaga lawan membuat rambutnya mental dan kulit kepalapun pedas, rasanya seakan ditarik! Dan ketika
Eng-seng-thiong akhirnya mengeluarkan senjatanya pula, sebuah jepitan pencari kutu maka rambutnya
dikibas-kibaskan dan ribuan binatang kecil-kecil berhamburan menyambar si banci itu, kelap-kelip ditimpa
cahaya lampu.
"Ha-ha, komplit, bagus sekali. Ah, maju dan keluarkan semua kepandaian kalian, Siau-hun Mo-li, dan
hamburkan Siau-hun-sanmu (Bubuk Pembuyar Sukma) bersama kutu-kutu Eng-seng-thiong ini, ha-ha!"
Nenek itu terkejut. Ia sudah menyerang tapi dikelit dan lawan berseru menyebut bubuk rahasianya itu,
Siau-hun-san yang tak akan dikeluarkan kalau tidak betul-betul terpaksa. Maka ketika lawan mengenal
segalanya dan jelas tak memandang mata, semua dianggap enteng maka Hek-thau-ciang sepasang Datuk
Kembar juga berdentum dan saling pukul sendiri. Dua kakek itu terhuyung mundur.
"Ha-ha, dan kalian..... eh! Gunakan gada secara baik dan benar, Siang-buang Thai-swe. Sekali dapat
menyentuh ujung bajuku saja biarlah kunyatakan kalah!"
Dua kakek itu terbakar. It-thai yang biasanya tenang dan tidak sepemarah adiknya akhirnya meledak
juga. Empat kali senjatanya luput sementara dua kali pukulannya dibuat mental. Ia terdorong dan marah serta
kaget. Dan ketika ia menyerang lagi dan adiknya disuruh bergerak dari kiri, ia dari kanan maka kakek itu
berseru agar dua temannya yang lain menyerang dari muka dan belakang.
"Mo-li biar dari depan, Eng-seng-thiong dari belakang. Keparat, bocah ini benar-benar sombong, Ji-te,Kolektor E-Book
TAPAK TANGAN HANTU
BATARA
299 tapi ia lihai. Hati-hati dan jangan sampai terpukul!"
Sang adik mengangguk dan berseru menuruti omongan sang kakak. Mereka menyerang dari kiri kanan


Tapak Tangan Hantu Karya Batara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tapi si banci berkelebat ke atas, lawan menghilang dan saat itu rambut serta jepitan si Kutu Peniru Suara
beradu, tentu saja ramai dan nenek itu memaki-maki. Lalu ketika mereka terhuyung saling pukul sendiri, si
banci turun maka kedua lengannya mengibas empat orang itu yang kontan terpelanting lagi, tertawa-tawa.
"Hi-hik, tak becus. Terlalu rendah. Orang macam kalian tak pantas bekerja di istana, Siau-hun Mo-li,
hanya menggerogoti uang negara saja. Ayo kalian tunduk dan berada di bawah pimpinanku!"
"Keparat, sombong jahanam. Kau belum membalas dan mengeluarkan kepandaianmu, bocah busuk.
Robohkan kami dan buktikan omongan. Hayo berapa jurus pertandingan ini!"
"Ha, ingat aku sekarang. Delapan jurus! Ha-ha, delapan jurus, nenek bau, dan dua belas jurus lagi
kalian berempat roboh. Awas....!" si banci berkelit dan membiarkan sepasang gada lewat, menderu dan
menghantam tanah lalu disusul pukulan Hek-thau-ciang. Tangan kiri dua datuk itu menyambar namun
dengan telapaknya si banci ini menyambut. Lalu ketika terdengar suara mendesis dan dua orang berteriak,
mereka bertemu hawa panas yang membakar tulang maka keduanya menarik serangan dan melempar tubuh
bergulingan. Siau-hun Mo-li meledakkan rambutnya sementara Eng-seng-thiong menggerakkan jepitan
kutunya menusuk ujung hidung lawan.
Tapi itupun tak banyak artinya. Si banci meniup dan jepitan itu melenceng, tepat menangkis rambut si
nenek hingga Siau-hun Mo-li memaki-maki. Dan ketika ribuan kutu kembali menyambar namun dihalau
kebutan ujung baju maka binatang kecil-kecil itu justeru terdorong dan berhamburan di tubuh Siang-buang
Thai-swe dan nenek Siau-hun Mo-li.
"Keparat, kenapa kau arahkan ke sini. He, buka matamu baik-baik, Eng-seng-thiong. Masa teman
sendiri kau serang!"
"Terkutuk, bukan aku. Bocah ini yang menghembusnya, Mo-li, jangan bercuap-cuap karena
rambutmupun mengeluarkan bau tak sedap. Hayo bangun dan serang lagi!"
Dua orang itu bertikai sendiri. Mereka saling maki dan menyumpah namun Siang-buang Thai-swe
membentak. Lawan yang mereka hadapi benar-benar luar biasa. Dan ketika semuanya bangun kembali dan
mengeroyok maju, si nenek mulai merogoh Siau-hun-sannya maka menyambarlah bubuk-bubuk halus ke
wajah lawan.
Jilid XXI
"WUT-WUT!"
Alangkah heran dan terkejutnya nenek. ini. Bubuk Pembuyar Sukmanya, Siau-hun-san terkibas ke
delapan penjuru ketika lawan mengebut dan menghilang. Bubuk Pembuyar Sukmanya itu terdorong dan
terpental untuk kemudian tiba-tiba membalik. Dan ketika ia kaget dan berseru keras maka ketiga temannya
juga berteriak karena bubuk-bubuk yang halus harum itu menyambar muka dan tahu-tahu sudah siap
tersedot!
"Haiyaaa.....!"
Eng-seng-thiong memaki dan melempar tubuh bergulingan. Kakek itu mengumpat Siau-hun Mo-li
sementara nenek itu sendiri juga membentak dan membanting tubuh menyelamatkan muka. Bubuk Siau-hun-
san amat berbahaya kalau tersedot. Dan ketika Siang-buang Thai-swe juga membentak dan melempar tubuh
bergulingan, deru gada tak mungkin menghalau bubuk-bubuk halus itu maka lawan berkelebat muncul dan
terkekeh nyaring.
''Hi-hik, lima belas jurus. Eh, ingat dan hitung baik-baik, Siau-hun Mo-li. Pertandingan sudah berjalan
lima belas jurus, kurang lima lagi!"
Empat orang itu bergulingan meloncat bangun dengan muka pucat. Mereka telah menghitung jalannya
pertandingan dan memang benar lima belas jurus. Dan selama itu mereka belum mampu merobohkan lawan.
Jangankan merobohkan, mendesak mundur saja tak dapat, bahkan mereka yang terdesak dan berkali-kali
harus menyelamatkan diri. Dan ketika semua merah padam sementara pemuda itu muncul di depan lagi,
gerakannya tadi benar-benar luar biasa cepat maka keempatnya terutama Siau-hun Mo-li dan Siang-buangKolektor E-Book
TAPAK TANGAN HANTU
BATARA
300 Thai-swe memberi isyarat untuk mengadu jiwa!
"Mo-li, rupanya kita harus mengeluarkan semua kepandaian kita. Bunuh si banci ini atau kita roboh!"
"Benar, lawan telah menghina kita, Ji-thai, mempermalukan kita. Mari kita bunuh dan mengadu jiwa!"
Nenek itu melengking dan sudah menerjang lagi. Kini rambut menjeletar hingga tampak kilatan api.
Suaranya saja cukup membuat keder lawan yang nyalinya lemah. Dan ketika nenek itu meraup lagi bubuk-
bubuk berbahayanya, siap di kedua tangan untuk sewaktu-waktu dihamburkan ke depan maka Ji-thai, Datuk
Nomor Dua menggedruk bumi dan gada menyambar serta kepala tiba-tiba menumbuk dan menerjang bagai
gajah menabrak gunung.
"Ji-te!"
Teriakan itu percuma. Sang kakak yang amat berhati-hati dan kaget melihat saudaranya mengeluarkan
Hek-thau-kang (Tenaga Gajah Murka) sudah tak dapat mencegah kemarahan adiknya ini. Ji-thai telah
melompat dan siap dengan kepala di depan. Batok kepala itu tiba-tiba tampak berkilat dan mengepulkan
asap, bukan main, itulah tanda kemarahan sangat yang tak dapat ditahan lagi oleh Datuk Nomor Dua ini. Dan
ketika sang kakak terpaksa mengikuti karena si banci tiba-tiba mengeluarkan kipasnya, harum cendana
menyambar disusul gerakan tangan kiri yang mendorong dengan jari-jari terbuka maka serudukan atau
tumbukan Ji-thai itu diterima dan lima kuku berkilat yang mengeluarkan cahaya merah menyambut serangan
dahsyat ini, juga rambut dan bubuk Siau-hun-san yang tiba-tiba dikebutkan Siau-hun Mo-li.
"Wherrr-dessss!"
Dahsyat sekali pertemuan kepala dengan telapak kiri pemuda baju biru itu. Gada di tangan kanan Ji-
thai menghantam pundak lawan namun meleset. Ada semacam lendir licin melindungi pundak itu, Hek-be-
kang (Tenaga Belut Hitam). Lalu ketika Ji-thai terbelalak dan tampak tertegun, kepalanya ditahan tak dapat
maju tiba-tiba ia merasa sengatan kecil yang amat panas di kulit kepalanya. itu. Demikian panas hingga
tokoh ini menjerit. Itulah Ang-su-giat atau Racun Semut Api yang ada di kuku si banci, dijentikkan dan cepat
sekali kepala si botak terbakar. Dan ketika Ji-thai terbanting dan seketika bergulingan, meraung dan
menggaruk-garuk kepalanya sendiri maka Siau-hun Mo-li memekik dan rambut kepalanya diterima kipas,
dibelit dan ditarik dan terbawalah nenek ini ke depan. Ia kaget dan pucat namun semua itu berjalan amat
cepat. Siau-hun-sannya ditiup dan balik menyambar wajahnya sendiri. Dan ketika nenek itu batuk-batuk dan
tercekik bubuk beracunnya, sesaat ia mendelik tak dapat melakukan apa-apa maka kaki lawan bergerak dan
tepat sekali mengenai lutut nenek ini, terlempar dan terbanting sementara rambutnya berodol. Nenek itu
mengeluh dan menabrak meja arak, berhenti di sana. Lalu sementara dua yang lain terkejut dan
membelalakkan mata maka gada It-thai menghantam kepala lawannya ini tapi seperti adiknya tadi gada itu
mental bertemu kulit licin seperti belut.
"Dukk!"
Gada meleset dan bertemu jepitan kutu si Peniru Suara. Kakek tinggi kurus Eng-seng-thiong ini
sebenarnya sudah lebih dulu gentar dan ragu-ragu menyerang lawan, kalaupun menyerang tenaganya
separoh-separoh. Maka ketika ia dihantam gada dan otomatis terpelanting, berteriak adalah temannya itu
disambar totokan ujung kipas dan Datuk Nomor Satu inipun terbanting dan mengeluh pucat.
"Bluk!"
Selesailah pertandingan cepat itu. It-thai terbelalak di sana sementara adiknya masih menjerit dan
berteriak-teriak tak keruan. Kepala yang digaruk dan ditampar. Tapi ketika si banci tertawa mengejek dan
berkelebat menotok punggung Ji-thai maka Datuk Nomor Dua itu mengeluh perlahan dan roboh tenang,
matanya berkejap-kejap dan gatal serta panas yang menyiksa lenyap. Hanya Siau-hun Mo-li yang merintih
dan kesakitan di bawah meja karena rambutnya yang berodol menusuk permukaan kulit kepala seperti
ratusan jarum menusuk-nusuk, pengaruh Siau-hun-san cepat ditangkal dengan sebutir obat penawar.
"Nah, bagaimana sekarang." pemuda itu tertawa. "Masihkah kalian tak menghargai diriku, Siau-hun
Mo-li. Apakah perlu semuanya kusiksa dan kubuat seperti Ji-thai tadi. Katakan bahwa kalian minta ampun
atau boleh terus berkeras kepala dan rasakan akibatnya!"
"Ampun, aku sudah mengaku kalah," Eng-seng-thiong buru-buru maju dan dia inilah yang paling
selamat. Hajaran gada tak seberapa dibanding hajaran si banci itu, yang mengakibatkan teman-temannya
menderita. "Aku hanya memenuhi undanganmu, anak muda, memenuhi permintaanmu. Ampunkan aku dan
kawan-kawanku ini!"
Sekilas tersirat mata benci Siau-hun Mo-li. Nenek ini marah memandang temannya namun ketikaKolektor E-Book
TAPAK TANGAN HANTU
BATARA
301 dipandang lawannya mendadak ia menunduk. Mata si banci itu tiba-tlba lebih berkilat lagi, mencorong dan
seperti api, menjilat hangus tubuhnya. Dan ketika nenek itu mengeluh dan menunduk, rasa gentar merayap
datang akhirnya ia berlutut dan menggigil.
"Aku mengaku kalah," katanya lirih. "Kau benar, anak muda. Kami benar-benar bukan tandinganmu
dan ampunkan keberanianku tadi."
"Bagus, dan kau," telunjuk itu menuding Ji-thai. "Kau masih ingin merasakan kelihaianku lagi atau
tidak, Ji-thai. Tak perlu menaruh dendam karena kalian tak tahu siapa adanya aku!"
"Ampun, maafkan aku !" kakek gundul itu merangkak dan gentar serta pucat, berlutut, mengangguk-
angguk. "Aku sekarang tahu diri, anak muda. Kau benar-benar bukan tandingan kami dan ampunilah aku!"
"Dan kami siap menjadi bawahanmu," It-thai tahu diri dan mengikuti adiknya itu, gentar. Betapapun
sebelumnya dia sudah berhati-hati dan untung tidak seberangasan adiknya. "Kau hebat dan amat lihai, anak
muda. Bolehkah kami tahu siapa diri atau julukanmu. Biarlah mata kami terbuka hingga hilang penasaran
ini!"
"Benar," Eng-seng-thiong berseru dan menyambung girang. "Perkenalkanlah dirimu kepada kami,
siauw-ongya (Pangeran Muda). Kau tentu bukan manusia biasa karena kepandaianmu seperti malaikat!"
Si banci tertawa dan terkekeh-kekeh. Sebutan siauw-ongya yang menunjukkan dirinya begitu tinggi
membuat pemuda aneh ini senang sekali. Ia tertawa dan menepuk-nepuk bahu si Kutu Peniru Suara itu. Tapi
ketika tawanya lenyap terganti sikap bengis dan dingin, ia memandang empat orang itu satu persatu akhirnya
ia melepaskan cincin di jari manisnya dan melempar itu kepada Eng-seng-thiong dan kawan-kawan.
"Barangkali kalian kenal ini, lihatlah!"
Hampir berbareng empat orang itu menyambar. Mereka melihat sebuah cincin hitam berbatu
mengkilat. Tertimpa sinar lampu cincin itu malah seperti mata seekor naga, atau mungkin siluman. Dan
ketika semuanya memandang tajam dan penuh perhatian mendadak keempatnya berubah dan serentak
membungkuk dan mencium tanah.
''Kami kiranya berhadapan dengan Siluman Akherat Te-gak Mo-ki yang mulia!"
"Hm, kalian tahu?" si banci menyambar dan menyimpan kembali cincinnya "Bagus, benar aku, Siang-
buang Thai-swe. Agaknya sekarang kalian tak perlu penasaran lagi dan tunduklah baik-baik!"
Empat orang itu mengangguk dan pucat. Tentu saja mereka tak menduga bahwa laki-laki di depan
mereka ini ternyata Te-gak Mo-ki yang luar biasa. Sepak terjang pemuda ini telah membuat gempar dunia
kang-ouw dengan pembunuhan terhadap tokoh-tokoh Bu-tong dan Hoa-san itu, mereka telah dengar itu.
Maka ketika semuanya menjadi berdebar dan gentar, baru sekaranglah mereka bertemu dan merasakan
kelihaian pemuda ini maka tunduklah keempat orang itu tanpa banyak peradatan lagi.
Sikap galak Siau-hun Mo-li berubah total. Sikap berangasan Ji-thai juga lenyap terganti rasa takut dan
gentar. Dan ketika malam itu empat tokoh ini menyatakan tunduk di bawah Te-gak Mo-ki, Siluman Akherat
berada di istana maka Siau-hun Mo-li dan kawan-kawan diberi tahu bahwa urusan dihadapi mereka itu.
"Karena kalian tunduk kepadaku maka urusanku urusan kalian pula. Kepemimpinan di sini kuambil
alih, kalau ada yang mencari aku harap kalian yang memberesi dulu. Baru kalau tidak terselesaikan kalian
memanggil aku. Mengerti?"
"Kami mengerti," empat orang itu mengangguk. Lalu ketika malam itu semua kembali ke tempat
masing-masing maka Te-gak Mo-ki alias si banci ini menjadi orang paling ditakuti di istana, bukan lagi
karena di belakangnya ada Hui-ongya melainkan karena ia benar-benar seorang yang amat lihai. Tokoh
Bayangan saja dibuatnya bertekuk lutut. Dan ketika malam itu ia telah menundukkan semuanya maka Siau-
hun dan kawan-kawannya ini seperti seekor anjing jinak yang penurut di kaki tuannya yang kadang-kadang
dapat bersikap manis namun tak jarang berubah menjadi bengis dan kejam, seperti sikapnya kepada Jing-ji-
mi-to yang akhirnya tak ada di istana lagi melarikan diri entah ke mana.
-0- Te-gak Mo-ki benar-benar bergelimang kesenangan. Betapa tidak, sejak kemenangannya terhadap
Siau-hun Mo-li dan ketiga kawannya yang merupakan tokoh-tokoh andalan maka praktis kekuasaan di
tangan laki-laki aneh ini. Segala yang bersangkut-paut masalah keamanan ada di tangan pemuda ini. IstanaKolektor E-Book
TAPAK TANGAN HANTU
BATARA
302 bukan lagi dilindungi Lima Pengawal Bayangan melainkan di tangan si banci ini. Kabar kekalahan Siau-hun
Mo-li menyebar cepat, meskipun hanya lewat bisik-bisik dari mulut ke mulut. Dan karena pemuda itu juga
menjadi sahabat dekat Hui-ongya, juga saudara sekaligus kekasihnya maka bukan rahasia lagi kalau ke
manapun pangeran itu pergi di situ pula Te-gak Mo-ki ini berada.
Dua orang ini sudah seperti suami isteri saja. Hui-ongya sudah tidak lagi menghiraukan para selirnya
karena yang penting adalah si banci. Tanpa si banci seolah ia tak dapat hidup. Demikian hebat cengkeraman
ilmu hitam yang digunanakan si banci ini mempengaruhi Hui-ongya. Segala-galapun akan diberikan
pangeran itu kepada pemuda ini. Tapi ketika suatu malam si banci minta menyingkirkan kaisar, ingin
merebut. kekuasaan dan menjadi yang dipertuan di situ maka pangeran ini tersentak dan ilmu hitam yang
dipergunakan rupanya tak mampu menembus. Terlalu hebat permintaan itu, tak mungkin!
"Apa..... apa, Kiem-te (adik Kiem)? Kau.... kau hendak membunuh sri baginda? Kau hendak
menyingkirkannya?"
"Hm, aku hanya ingin menaikkan derajatku. Sekarang aku memang telah menjadi Pangeran Muda,
kakak Hui, tapi rasanya masih di bawah kedudukanmu. Aku ingin merasakan yang lebih tinggi, dan kau tak
mampu menjadikan aku pangeran penuh!"
"Itu kekuasaan sri baginda, derajat dan pangkat hanya wewenang kaisar!"
"Itulah, aku sebal. Kalau si tua itu tak ada di sini tentu mudah aku menaikkan diriku, kanda Hui, dan
kaulah satu-satunya orang yang sebenarnya paling kuharap. Tapi kau terbentur si tua bangka itu, mana
janjimu yang katanya siap memberikan segala-galanya padaku!"
Hui-ongya pucat. Dari pembicaraan ini saja dapat ditarik kesimpulan betapa akrab dan dekatnya
mereka itu. Sejak Eng-seng-thiong menyebutnya Pangeran Muda maka lelaki ini minta pada Hui-ongya agar
dia benar-benar dapat menjadi itu, pangeran. Kemudian atas bujukan dan usaha Hui-ongya akhirnya si banci
mendapat gelar Siauw-ong. Kaisar juga terheran-heran dan terkejut ketika diperkenalkan pada pemuda aneh
ini. Namun ketika Siau-hun Mo-li dan kawan-kawan tampak berlutut di belakang si banci itu, mengangguk
dan mengiyakan bahwa kedudukan mereka di bawah si banci itu maka kaisar terbelalak dan minta bukti
bahwa empat tokoh andalan itu bukan tandingan. Dan mudah bagi si banci ini mendapatkan kepercayaan
kaisar. Dia menyuruh maju empat orang itu, mengalahkannya dan kaisar mengangguk-angguk kagum. Lalu
ketika dia menjadi girang bahwa di istana ada pemuda sehebat ini maka Te-gak Mo-ki menjadi tokoh
andalan dan segala urusan, yang menyangkut keamanan diserahkan pemuda itu.
Si banci yang aneh ini mendapat gelar baru, Pangeran Muda. Dan ketika semua pejabat dan kerabat
istana jerih kepadanya, bahkan Hui-ongya membiarkan si banci itu mencari pasangan lain maka Te-gak Mo-
ki yang lihai ini terang-terangan mencumbu pemuda-pemuda lain di istana untuk menjadi pasangannya pula,
dengan Hui-ongya yang paling utama.
"Tak usah kanda khawatir. Kekasihku adalah kau seorang, kanda, lainnya itu hanya selingan. Aku
mencari kesenangan baru saja sebagai pencegah kejenuhan. Kaupun boleh bermain cinta dengan mereka
kalau kau suka."
Begitu si banci ini berkata ketika mula-mula Hui-ongya tentu saja mengerutkan alis. Bagi pangeran ini
Te-gak Mo-ki adalah pasangannya. Tapi ketika dengan kepandaiannya si banci itu menekan jiwa Hui-ongya,
sihir atau pengaruh guna-guna itu diperkuat hingga sang pangeran tak dapat berbuat apa-apa asal jangan
ditinggal maka Hui-ongya justeru mendapat "mainan" baru ketika disodorkan kepadanya pasangan lain,
pemuda atau pangeran-pangeran tampan istana.
"Kaupun boleh membuang kejenuhan seperti caraku. Kita boleh bermain dengan siapa saja asal ingat
bahwa kita berdua adalah yang resmi. Nah, aku tak melarangmu seperti kau juga tak boleh melarangku,
kanda. Masing-masing boleh berganti pasangan asal kita tetap satu. Cobalah!"
Canggung juga rasanya bagi pangeran ini untuk ketika mula-mula mendapat pasangan baru. Yang
mereka dapatkan adalah putera Ta-ciangkun, putera seorang perwira yang lebih dulu dipakai si banci ini.
Tapi ketika ia merasakan kegembiraan baru dan semangat yang lain, Te-gak Mo-ki terkekeh membantunya
maka Hui-ongya tiba-tiba tenggelam dan mabok bersama Ta-kongcu ini, bahkan mereka bertiga sama-sama
bermain cinta!
"Hi-hik, bagaimana, kanda? Puas?"
"Ah, heh-heh..... ah, aku puas, Kiem-te. Pengalaman baru ini membuatku benar-benar gembira. Kau
pandai menyuguhkan yang baru. Ta-kongcu itu kuat sekali!"Kolektor E-Book
TAPAK TANGAN HANTU
BATARA
303 "Hi-hik, tak aneh. Ia masih baru dan segar. Tapi seminggu kemudian harus kita campakkan cari yang
baru lagi. Aku masih mempunyai beberapa yang lain lagi dari pemuda-pemuda istana ini. Kanda tentu puas!"
Hui-ongya tertawa dan gembira tenggelam dalam kesenangan barunya ini. Betul seperti kata
kekasihnya maka seminggu kemudian iapun mulai bosan kepada putera Ta-ciangkun itu, mendapat yang lain
dan berturut-turut tiga pangeran muda datang ke kamarnya. Mereka itupun yang sudah dikuasai si banci satu
di antaranya bahkan putera Cia-taijin, penasihat kaisar yang cukup berpengaruh dan Hui-ongyapun menaruh
segan. Maka ketika semua berjalan diam-diam dan masing-masing tentu saja menyembunyikan itu. gedung
Hui-ongya penuh dengan pemuda-pemuda cakap maka di antara pemuda-pemuda itupun terjadi permainan
cinta tiada ubahnya para selir dengan junjungannya!
Te-gak Mo-ki itulah rajanya. Dialah pemimpin, penguasa. Tapi ketika Cia-taijin mendengar kelakuan
puteranya, serapat-rapatnya kebusukan itu disimpan tetap juga terdengar akhirnya pembesar ini marah sekali
dan puteranya ditarik serta tidak diperbolehkan lagi ke gedung Hui-ongya.
"Memalukan, gila, tidak waras! Ah, apa yang kau lakukan ini, Cia Sun. Betapa bobroknya
hubunganmu dengan sesama laki-laki itu. Apa kata orang kalau kau menjadi pemuda seperti ini, bencong!
Bagaimana nama baik orang tuamu. Ah, banci gila itu rupanya menyeretmu sehingga seperti ini!"
Lelaki tua itu marah-marah dan membentak puteranya. Kabar itu akhirnya masuk juga dan Cia Sun
puteranya tampak pucat, lemah. Tak aneh karena sebulan ini diperas habis-habisan. Dia pemuda yang paling
tampan dan halus pula, penurut tapi celakanya malah dipermainkan orang. Dan ketika sejak itu puteranya tak
boleh bermain-main di gedung Hui-ongya lagi, dia tahu Te-gak Mo-ki adalah biang keladinya maka
pembesar ini mulai menaruh kebencian kepada si banci itu.
Bukan tidak didengarnya hubungan tidak wajar antara Hui-ongya dan si banci itu. Bukan tidak
didengarnya pula betapa Hui-ongya kini mempunyai kebiasaan aneh mengumpulkan pemuda-pemuda
tampan. Tapi ketika puteranya malah terseret dan itu gara-gara si banci baju biru, orang yang telah mendapat
gelar dari kaisar maka lelaki ini merah mukanya namun memendam marah karena ia tahu lihainya si banci
itu. Dan kemarahan Cia-taijin ini akhirnya dilepaskan di hadapan kaisar. secara hati-hati. Dia memberi
tahu kebobrokan di tempat Hui-ongya itu dengan biang keladi si banci. Dan ketika kaisar terkejut dan
membelalakkan mata, heran namun mengangguk-angguk maka tiba-tiba berkatalah Kwa-taijin (Menteri
Kwa) bahwa persoalan seperti itu tak perlu diperpanjang lebar.
"Ini adalah kesenangan anak-anak muda, tak mengganggu ketenangan rakyat. Kupikir Cia-taijin tak
perlu mengusik kegembiraan baginda yang sedang menikmati minum teh!"
Pembesar itu terbelalak. Ia terkejut oleh kata-kata Kwa-taijin ini dan kaisar terpengaruh, mengangguk-
anggukkan kepalanya membenarkan Menteri Kwa itu. Dan ketika ia tak jadi menceritakan lebih jauh karena
Kwa-taijin tampak mengerdip dengan tanda-tanda rahasia maka sri baginda berkata bahwa urusan seperti itu
memang tidak membahayakan negara, tak perlu lapor.
"Benar, Kwa-taijin benar. Urusan seperti ini adalah urusan anak-anak muda, paman Cia, kesenangan
mereka. Asal tidak mengganggu orang lain dan istana kupikir tak perlu dipersoalkan. Hal ini urusan kecil
yang hanya mengganggu kenikmatanku minum teh!"
Lelaki tua itu surut. Di belakang Menteri Kwa terdapat beberapa perwira dan pembantu yang


Tapak Tangan Hantu Karya Batara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengangguk-angguk. Mereka rupanya setuju dengan kata-kata Kwa-taijin itu dan membuat ia terpaksa
bungkam. Cia-taijin tak tahu betapa Te-gak Mo-ki melalui Hui-ongya telah menanamkan orang-orangnya di
sekitar sri baginda, bukan apa-apa melainkan berjaga jangan-jangan persoalan itu dilaporkan kaisar,
menghasut dan mempengaruhi sri baginda yang akibatnya hanya merepotkan mereka nanti, mengganggu
kesenangan. Dan ketika benar saja lelaki tua itu bicara di saat kaisar menikmati teh harum, dikelilingi Kwa-
taijin dan pembantu-pembantu lain maka cepat saja menteri yang mendapatkan jabatannya atas bantuan Hui-
ongya itu bertindak dan menangkal laporan Cia-taijin ini. Mengatakan bahwa itu urusan kecil yang hanya
mengganggu kegembiraan kaisar!
Lelaki ini tertegun. Dia tahu siapa Kwa-taijin itu, menteri yang menjadi pembantu Hui-ongya. Maka
sadar bahwa di tempat itu tak baik dia melanjutkan laporannya maka pembesar ini diam saja sampai akhirnya
dia mengundurkan diri, ketika kaisar dijemput tujuh selir cantik untuk masuk ke dalam.
"Hm, awas kau. Kiranya kau membela pangeranmu itu. Baik, di saat yang lain aku pasti datang
melapor lagi, Kwa-taijin. Tunggulah saat aku berdua saja dengan sri baginda!"
Lelaki itu tak menyerah dan melihat bahwa kaisar harus dibangkitkan perhatiannya. KemarahannyaKolektor E-Book
TAPAK TANGAN HANTU
BATARA
304 ditunda lagi tapi hari-hari berikut merupakan hari yang penuh kesukaran baginya, kaisar tak pernah sendiri,
selalu ada Kwa-taijin atau para pembantunya. Dan ketika lelaki ini menjadi marah dan berang, suatu hari
dibuatnya surat agar dirinya diperkenankan berdua dengan sri baginda, tak ada orang di situ maka dalam
surat ini penasihat kaisar itu berkata bahwa ada sesuatu yang amat penting untuk disampaikan.
"Hamba melihat bahwa paduka tak pernah. sendiri, selalu dikelilingi Kwa-taijin atau orang-orang lain.
Mohon paduka memberi waktu untuk hamba, sri baginda. Ada sesuatu yang amat penting yang ingin hamba
sampaikan. Hamba ingin hanya paduka yang mendengar ini. Maaf!"
Kaisar tertegun. Ia memandang penasihatnya itu dan berdebar tak senang. Kalau saja lelaki ini bukan
penasihatnya tentu ia marah dan menolak. Ada bisikan dari Kwa-taijin bahwa lelaki itu hanya akan melapor
ini-itu yang sifatnya mengganggu sri baginda saja, padahal istana dan rakyat tenang-tenang saja. Tapi karena
pembesar itu tampak serius dan ia menarik napas dalam akhirnya kaisar berkata bahwa sore nanti Cia-taijin
boleh menemuinya berdua, di ruang dalam.
"Nanti kusediakan waktu untukmu, apa yang hendak kau katakan. Nah, pergilah atau tinggal di sini
bersama yang lain, paman. Kuharap kau tidak menggangguku dengan laporan-laporan yang tidak penting.
Aku tak mau diberatkan persoalan-persoalan sepele!"
"Terima kasih," pembesar itu beringsut mundur, girang bahwa maksudnya akan kesampaian, tak sudi
di situ dengan Kwa-taijin dan lain-lain. "Hamba nanti datang lagi, sri baginda. Tentu saja hamba ingin bicara
yang betul-betul penting. Terima kasih atas kesediaan paduka!"
Namun bersamaan dengan mundurnya lelaki itu mundur pula dua orang pembantu Kwa-taijin. Mereka
ini telah mendapat kedipan rahasia dan mendengar semua itu pula, tentu saja tahu bahwa Cia-taijin lagi-lagi
akan melapor masalah Hui-ongya, rupanya tak puas dan masih penasaran akan gagalnya yang lalu. Maka
ketika mereka mundur dan gerak-gerik pembesar ini tentu saja diikuti Hui-ongya, juga Te-gak Mo-ki maka si
banci itu tertawa mengeluarkan sesuatu dari balik bajunya.
"Tak usah khawatir, menyebalkan juga. Hm, kalau aku membunuhnya tentu kau tak setuju, kanda.
Baiklah suruh orang memasukkan ini ke minuman Cia-taijin dan ia akan tersiksa selama sebulan, tak dapat
menemui kaisar!"
Hui-ongya berseri. Memang ia tak setuju kalau penasihat itu dibunuh, terlalu kentara. Maklum
betapapun Cia-taijin juga mernpunyai orang-orangnya yang setia. Maka ketika Te-gak Mo-ki mengeluarkan
sebotol cairan tak berwarna dan juga tak berbau, menyerahkan itu kepada pembantu mereka maka lewat
pelayan yang mereka susupkan di tempat pembesar itu maka sore harinya pembesar ini menderita sakit!
Pertemuannya dengan kaisar tentu saja batal dan sri baginda menggeleng-geleng kepala, menyuruh
tabib istana menemui penasihatnya itu tapi di tengah jalan tabib ini dihadang orang-orangnya Kwa-taijin.
Tapi ketika Te-gak Mo-ki tiba-tiba muncul dan menyuruh orang-orang itu mundur, tertawa dan membiarkan
tabib menuju gedung Cia-taijin maka si tabib tertegun dan jerih melihat si banci yang baru kali itu dijumpai.
"Tak usah dicegah, biar saja. Jangan menimbulkan kecurigaan seolah-olah kita menghalangi
kesembuhan orang. Pergi dan kalian semua kembali!"
Tabib itupun dipersilakan jalan lagi. Mula-mula ia merasa heran dan kaget oleh semua ini, tak
mengerti. Tapi ketika ia memeriksa Cia-taijin dan melihat lelaki itu merintih dan mengaduh-aduh
memegangi perutnya, racun aneh membuat perut pembesar itu seolah diaduk-aduk maka sang tabib pucat
karena seketika tahu bahwa obat apapun tak dapat menyembuhkan lelaki itu kecuali penawar dari si pemilik
racun.
"Aku.... aku hanya dapat meringankan penderitaanmu. Ah, kau menelan racun penyiksa, taijin. Kau
terkena Bo-heng-jit-gu (Perut Sakit Tak Dapat Bersuara). Aku tak dapat berbuat jauh kecuali meringankan
rasa sakit!"
Benar saja, lelaki tua ini tak dapat bersuara. Ia hanya ah-uh-ah-uh dengan kesakitan sementara kedua
tangan memegangi perut yang serasa terbakar dan melilit. Minuman beracun yang tak diketahuinya membuat
lelaki itu menangis. Ia tak dapat bicara! Dan ketika tabib hanya dapat meringankan sakitnya, bukan
menyembuhkan atau menghilangkan biang keladinya maka untuk hari-hari berikut lelaki ini ah-uh-ah-uh tak
dapat bicara apa-apa. Anak isterinya tentu saja menangis.
"Ha-ha, tahu rasa. Sekarang kita aman dan Cia-taijin tak dapat mengganggu kita. Ha, lanjutkan
kesenanganmu, kanda, tak usah takut karena tanpa obat dariku lelaki itu tak akan sembuh!"
Hui-ongya gembira dan kagum bukan main. Kwa-taijin dan lain-lain meleletkan lidah dan merekaKolektor E-Book
TAPAK TANGAN HANTU
BATARA
305 gentar. Kalau mereka yang disiksa alangkah ngerinya! Maka ketika si banci ini semakin ditakuti dan orang-
orang jerih, Siau-hun Mo-li dan teman-teman hanya tersenyum kecut saja mendengar semua itu maka untuk
sementara Kwa-taijin itulah yang menggantikan pekerjaan Cia-taijin, jadi penasihat!
"Kedudukanmu naik lagi. Nah, ingat dan setia kepada kami baik-baik, orang she Kwa. Jangan main-
main atau kau seperti Cia-taijin nanti!"
Ancaman Te-gak Mo-ki membuat Kwa-taijin mengangguk-angguk dan tentu saja diikuti gumam
gemetar, gumam mengiyakan. Tak usah diancam ini saja menteri itu sudah takut. Kepandaian dan wajah si
banci cukup membuat semangatnya kuncup dan mengkerut. Maka ketika kaisar sudah dikelilingi orang-
orang seperti Kwa-taijin ini, juga pembantu-pembantunya yang lain yang rata-rata merupakan antek Hui-
ongya maka Te-gak Mo-ki akhirnya menghendaki membunuh kaisar dan merebut kekuasaan.
"Jangan, kau tak dapat melakukan itu. Menjadi kaisar harus orang-orang berdarah bangsawan, Kiem-
te. Orang biasa tak mungkin menjadi kaisar. Rakyat tak akan menerima dan kau sia-sia!"
"Hm, aku tahu. Tapi yang menjadi kaisar adalah kau, kanda. Aku cukup penasihat atau Koksu (Guru
Negara). Di sini belum ada Koksu dan kau dapat menaikkan derajatku. Aku tak puas hanya dengan Pangeran
Muda!"
Hui-ongya tertegun dan terkejut. Usul untuk membunuh kaisar sesungguhnya membuat terguncang
juga. Sebenarnya mudah bagi mereka namun ekor dari semua ini bakal panjang, apalagi kalau Te-gak Mo-ki
ingin berkuasa! Tiba-tiba dia merasa tak enak dan ada semacam ganjalan mengganggunya. Apakah yang
diingini kekasihnya ini? Kekuasaan menguasai negara? Ia tak nyaman.
Harus diketahui bahwa pada saat-saat tertentu pangeran ini terlepas dari pengaruh hitam Te-gak Mo-
ki, yakni ketika kekuatan hitam itu mengendor dan belum diisi lagi. Biasanya sekitar empatpuluh hari. Pada
saat-saat seperti itu semua kesadaran pangeran ini datang. Ia terheran-heran dan juga kaget oleh sepak
terjangnya. Siapakah Te-gak Mo-ki itu? Bukankah orang luar dan hanya bertemu ketika di telaga? Dan ia
pucat melihat perobahan pada dirinya sekarang, betapa tak ada lagi selir di situ melainkan pemuda-pemuda
tampan melulu. Bahkan ada pangeran yang masih keponakannya pula dijadikan kekasih, seorang pangeran
belia yang usianya baru empat belas tahun! Ngeri dia membayangkan ini karena ibu dari pangeran itu masih
kakak perempuannya sendiri. Bagaimana dia melakukan itu! Dan ketika kesadaran serta pikiran waras itu
muncul, mengusir semua sisa-sisa gelap dari pikirannya yang lain maka Hui-ongya ini tiba-tiba merasa
betapa keji dan sesat sebenarnya Te-gak Mo-ki itu.
Ia harus bertindak! Begitu ia mengepalkan tinju. Tapi ketika keesokannya matanya menjadi bengong
melihat mata Te-gak Mo-ki yang mencorong penuh daya aneh, masuk dan menembus sukmanya secara kuat
maka tanpa disadari lagi iapun tertegun dan masuk dalam pengaruh ilmu hitam si banci.
Agaknya Te-gak Mo-ki lupa bahwa ilmunya harus diperkuat. Ada tanda-tanda Hui-ongya mau sadar.
Maka ketika ia menusukkan ilmunya lewat pandang mata, lunglailah pangeran itu oleh segala daya hisap dan
pengaruh guna-guna maka pangeran ini kembali seperti dulu-dulu lagi untuk tetap dalam cengkeraman Te-
gak Mo-ki. Dan merekapun bicara tanpa rahasia-rahasia lagi untuk rencana pembunuhan kaisar. Namun
sampai di sini kekuatan sihir itu rupanya terbentur, karena kesadaran yang paling dalam dan jauh di batin
Hui-ongya itu masih belum terjangkau. Hui-ongya menggeleng dan menyatakan keberatannya.
"Hm, aku tak ingin menjadi kaisar, kau saja. Aku hanya ingin menaikkan derajatku dari Pangeran
Muda menjadi pangeran penuh, kanda, juga jabatan Koksu untuk memperkuat kedudukanku. Kaisar dapat
kulenyapkan!"
"Tidak, negara bisa gempar. Rakyat bakal terguncang dan kita semua repot, Kiem-te, tidak baik itu.
Biarkan sri baginda di tempatnya dan nanti perlahan-lahan kubujuk agar menaikkan derajatmu!"
"Tapi tak mungkin kudapat. Gelar pangeran muda adalah gelar paling tinggi bagi orang biasa, kanda,
kau tak mungkin berhasil. Kecuali kalau kau menduduki tahta dan peraturan istana ini kau robah!"
"Aku tak berani...."
"Kau harus berani, aku di belakangmu. Aku dapat membunuh baginda perlahan-lahan seperti yang
kulakukan terhadap Cia-taijin!"
Hui-ongya pucat. Mata mencorong itu memaksanya tunduk dengan jiwa terguncang. Mata itu seperti
mata seekor harimau haus darah, ia tergetar. Tapi karena pengaruh ilmu hitam tak menerobosnya sampai di
relungnya yang paling dalam, betapapun pangeran ini tak mempunyai niatan memberontak akhirnya ia tetapKolektor E-Book
TAPAK TANGAN HANTU
BATARA
306 menggeleng dan Te-gak Mo-ki mulai marah.
"Kiem-te, akalmu memang bagus, kematian sri baginda memang dapat dibuat secara tak kentara. Tapi
di istana masih terdapat orang-orang yang setia kepadanya, Kiem-te, dan kalau aku naik tahta tanpa
persetujuan mereka akibatnya bisa tak enak. Ada peraturan bahwa pengganti kaisar harus ditunjuk oleh
kaisar yang terdahulu, atau kalau kaisar tiba-tiba meninggal dunia maka ada surat wasiat yang sudah terisi
nama penggantinya, dan ini merepotkan kita!"
"Hm, begitu? Jadi sri baginda sudah membuat surat wasiat itu?"
"Benar, dan kalau surat itu bukan berisi namaku maka keinginanku ditolak, bisa terjadi perang
saudara!"
"Baik, kalau begitu kapan sri baginda membuatnya. Di mana surat itu dan siapa yang memegang!"
"Tentu saja Cia-taijin."
"Apa?"
"Benar, dia orang yang paling dekat dengan kaisar, Kiem-te, dan di tangannyalah surat itu ada.
Kalaupun dia meninggal mendahului kaisar maka surat itu diberikannya kepada orang kepercayaannya yang
ditunjuk."
"Bagus, siapa orang itu!"
"Aku tak tahu, yang tahu hanya Cia-taijin."
Te-gak Mo-ki tertegun. Ternyata dia tak tahu lika-liku istana ini, tak diduganya bahwa hal itu memang
tak gampang. Maka ketika dia terkejut dan mengerutkan kening, percuma membunuh kaisar kalau tak dapat
menduduki singgasananya akhirya si banci ini memukul permukaan meja dan melesaklah keempat kaki meja
sampai setengah lebih.
"Hm, tak kusangka, repot juga. Kalau begitu rupanya harus dimulai dari Cia-taijin itu, kanda. Biar
kusembuhkan dia dan kutanya tentang surat wasiat!"
Hui-ongya berdebar. "Kalau kau yang menyembuhkan maka segera diketahui pula bahwa kau yang
mencelakainya. Lagi pula tak mungkin Cia-taijin mau bicara, Kiem-te. Kau akan gagal!"
"Dia dapat kupengaruhi, kutekan jiwanya!"
"Hm, kalau begitu terserah. Tapi ini dapat membahayakan rencanamu, orang lain akan mencium!"
Si banci menjadi marah. Ia merasa Hui-ongya ini selalu menakut-nakutinya, membuatnya bingung.
Maka ketika bergerak dan tiba-tiba menangkap pangeran itu, hampir saja membantingnya mendadak ia
teringat bahwa tanpa pangeran ia tak dapat maju ke depan.
"Kanda, kau selalu mengecilkan hatiku saja, menyebalkan. Kalau bukan kau tentu kuhancurkan
kepalamu. Jangan selalu menakut-nakuti dan justeru bantulah aku mencari jalan keluar..... brakk!" Te-gak
Mo-ki hanya melempar temannya ke meja itu dan Hui-ongya mengaduh. Ia kesakitan tapi si banci lenyap,
Te-gak Mo-ki mendongkol. Dan ketika hari itu si banci merasa ragu namun meneruskan niatnya, ia
mendatangi gedung Cia-taijin untuk menyembuhkan tiba-tiba ia terkejut karena lelaki tua itu tak ada lagi di
sana, pergi entah ke mana, bersama Cia-hujin (nyonya Cia) dan puteranya, Cia Sun.
"Hm, kapan ia pergi, ke mana dan naik apa. Kenapa tak memberi tahu aku!"
"Ampun...!" pelayan merintih dan ketakutan, wajah Te-gak Mo-ki tampak bengis, menghitam.
".....hamba.... hamba tak tahu ke mana, kongcu. Keberangkatannya sudah tiga hari yang lalu!"
"Hm, kau memanggilku apa? Kongcu? Aku Siauw-ong (Pangeran Muda), dengar dan buka matamu
baik-baik. Bersama siapa Cia-taijin pergi dan naik apa!"
"Mereka..... mereka naik kuda.... kereta.... Cia-hujin dan Cia-kongcu, mereka...... mereka ikut semua!"
Si banci mengerutkan alisnya semakin dalam. Ia telah mencari-cari pembesar itu tapi pantas tak
ketemu, begitu juga Cia Sun bekas kekasihnya. Untuk pemuda ini ia tak mempengaruhi dengan ilmu hitam
lagi karena putera Cia-taijin itu bukan orang penting. Itulah sebabnya Cia Sun lalu sadar lagi dan ngeri oleh
sepak terjangnya, menurut dan tunduk kepada ayahnya dan pemuda ini tak lagi teringat si banci. Hui-ongyaKolektor E-Book
TAPAK TANGAN HANTU
BATARA
307 maupun yang lain malah dilupakan. Dan ketika ayahnya malah mengikat perjodohannya dengan puteri Swi-
goanswe, Swi Pang yang cantik manis akhirnya pemuda ini normal kembali namun sayang ayahnya tiba-tiba
sakit seperti itu.
Tabib istana telah memberi tahu dirinya tentang pertemuannya dengan si banci yang lihai itu, ketika
mencegah orang-orangnya Kwa-taijin menghadang si tabib. Maka ketika Cia Sun mengerti bahwa sakit
ayahnya kiranya dilakukan si banci itu, karena ayahnya didengar akan melapor pada sri baginda maka
pemuda ini menjadi keder namun juga marah.
Akan tetapi Cia Sun tahu benar siapa Te-gak Mo-ki itu. Dalam cumbu rayu ketika dulu bermain cinta
si banci itu telah menunjukkan ilmu-ilmunya yang aneh, seperti misalnya menghilang dan muncul lagi
seperti iblis. Juga mengunyah sepotong besi untuk akhirnya dilumat habis. Dan karena semua itu dilakukan
tokoh ini untuk menakut-nakuti korbannya, Cia Sun dan para pangeran lain gentar maka pemuda ini tahu
benar betapa si banci yang kadang dapat bersikap kasar dan bengis di pembaringan itu adalah seorang
berbahaya yang berilmu tinggi!
Kini melihat ayahnya sakit dan ah-uh-ah-uh tak dapat bicara sebenarnya timbul jiwa pemberontakan.
Akan tetapi apa yang dapat dilakukan? Pemuda ini tak dapat berbuat apa-apa sampai ketika suatu hari
datanglah Swi-goanswe (Jenderal Swi) itu berkunjung, maklum mereka adalah calon besan yang tak lama
lagi terikat hubungan keluarga.
Swi-goanswe terkejut dan mengerutkan kening. Segera dia mendengar cerita Cia Sun yang
membuatnya merah itu. Dia jarang di kota raja karena jenderal ini lebih sering di tapal batas menghalau
bangsa liar yang ingin memasuki tembok besar. Tapi karena berita-berita kota raja juga selalu diikutinya dan
dia mendengar tentang Te-gak Mo-ki ini, si banci yang lihai akhirnya jenderal tinggi besar bertubuh tegap
dan gagah ini berkata,
"Agaknya ada seseorang yang mampu menyelamatkan ayahmu, seorang sahabatku. Marilah bawa dia
ke sana dan kalian semua ikut ke tapal batas. Suruh ibumu berkemas."
"Paman mau membawa kami ke tempat paman di utara?" Cia Sun masih memanggil paman kepada
calon mertuanya ini, bukan gak-hu (mertua laki-laki), karena belum terikat resmi."Apakah paman yakin
bahwa ayah betul-betul dapat disembuhkan?"
"Hm, semuanya perlu dicoba, Cia Sun, tapi mudah-mudahan sahabatku itu sanggup. Ia telah banyak
membantu anak buahku dari bermacam-macam penyakit, baik luka senjata atau racun. Mari bawa ke sana
dan secepatnya saja, berangkat malam hari!"
Tak ayal lagi pemuda itu tergesa memanggil ibunya. Cia-hujin berurai air mata namun wanita tua ini
mengangguk-angguk. Kalau ada orang yang kepandaiannya melebihi tabib istana dan dapat menyembuhkan
suaminya tentu saja ia girang. Isteri mana tak senang suaminya sembuh. Maka ketika malam itu juga
keluarga Cia-taijin ini meninggalkan istana, Swi-goanswe diam-diam titip pesan untuk disampaikan sri
baginda maka tak ada yang tahu bahwa sebuah kereta dengan empat ekor kuda itu berisi Cia-taijin dan
keluarganya, apalagi karena Swi-goanswe juga jarang tinggal di kota raja karena puteri dan isterinya ikut di
tempat tugas.
"Hm, jadi majikanmu keluar semua?" Te-gak Mo-ki akhirnya mengetahui ini namun terlambat,
matanya berkilat pada pelayan yang ditangkap itu. "Beb.... benar.... ampunkan aku, ongya...... aku tak tahu
apa-apa lagi. Aku....... aku hanya disuruh jaga rumah!"
"Bagus, kalau begitu kau juga patut menjaga neraka, pergilah!" Te-gak Mo-ki mencekik dan tiba-tiba
melempar pelayan itu. Terdengar jerit tertahan namun diam, tubuh si pelayan terlempar dan terbanting di
sudut, tenggorokannya patah! Lalu ketika si banci itu berkelebat dan kembali ke gedung Hui-ongya maka di
sini pangeran itu juga terkejut dan heran.
"Keluar? Ke mana?"
"Aku tak tahu, kalau tahu tentu kubekuk, kanda. Sekarang suruh orangmu mencari Cia-taijin itu dan
cepat lapor kepadaku!"
Hui-ongya berdebar namun mengangguk. Diam-diam ada perasaan lega dan girang Cia-taijin tak ada
di rumah. Sesungguhnya diam-diam ia khawatir kalau surat wasiat itu terampas, Cia-tajin terbunuh. Maka
ketika ia menyuruh orang- orangnya namun tentu saja setengah hati, tak begitu bersungguh-sungguh maka
berdatanganlah orang-orang mencari Te-gak Mo-ki itu, para tokoh dari Bu-tong dan Hoa-san. Dan karena
selama ini si banci selalu marah-marah Cia-taijin belum ditemukan maka pemuda aneh itu membiarkanKolektor E-Book
TAPAK TANGAN HANTU
BATARA
308 rambutnya memanjang untuk akhirnya diikat seperti ekor kuda!
Mula-mula yang berhadapan dengan para tokoh ini tentu saja Siau-hun Mo-li dan kawan-kawan.
Merekalah yang bertugas kalau ada yang mencari si banci. Dan ketika hari itu Mo Mo Cinjin muncul
bersama ketua Bu-tong Beng Cit Ho-siang, menggantikan ketua lama yang sakit dan mengasingkan diri
maka Siau-hun Mo-li yang mula-mula bertemu dengan orang-orang ini dibuat gentar dan terkejut. Tak
kurang dari delapan tokoh berkelebat di situ, sementara di luar tembok tampak bayangan-bayangan lain yang
rupanya murid-murid dua tokoh ini.
"Siancai, selamat malam. Kami ingin bertemu Te-gak Mo-ki pimpinanmu, Siau-hun Mo-li. Pinto ada
perlu dan suruh dia keluar."
"Omitohud, pinceng juga. Kiranya kau di sini, Siau-hun Mo-li, sudah lama bekerja di istana.
Pertemukan kami dengan majikanmu atau pinceng minta kau ikut di rombongan kami sampai dia keluar."
Itulah seruan atau kata-kata ketua Bu-tong dan Hoa-san yang lembut namun menggetarkan jantung.
Siau-hun Mo-li tentu saja mengenal tokoh-tokoh ini karena dulu dia pernah bertemu, menjajal ilmu-ilmu
orang pandai dan pergi setelah tak ada yang kalah atau menang.
Nenek ini memang aneh semasa mudanya karena suka mengajak tanding orang-orang persilatan, kalau
menang malah membunuh! Maka ketika ia melihat tokoh-tokoh itu dan Mo Mo Cinjin yang berjenggot
panjang tampak bersinar-sinar memandangnya, mata kakek itu semakin berkilat sementara Beng Cit Hosiang
di sebelahnya juga memandang tenang namun sorot hwesio itu penuh tekanan dan paksaan maka nenek ini
terkejut karena waktu itu ia sendirian saja berjaga di timur istana. Delapan orang di depannya ini jelas lawan-
lawan berat!


Tapak Tangan Hantu Karya Batara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hm-heh!" nenek itu mendengus, membuang kaget dan gentarnya."Kalian kiranya, Mo Mo Cinjin,
dan kau Beng Cit Ho-siang. Ada apa kalian menemui aku dan menyebut-nyebut orang yang tak kukenal
namanya. Siapa itu orang yang kalian cari dan aku tak tahu-menahu. Pergi dan jangan mencari ribut di sini
atau nanti aku menghajar kalian!"
Mo Mo Cinjin mengetukkan tongkat, sementara Beng Cit tertawa dan tentu saja tahu kepura-puraan
wanita ini, galak di luar tapi sebenarnya gentar di dalam!
"Mo-li, pinceng telah bersusah payah memasuki istana, melacak dan mencari di mana orang yang
pinceng (aku) cari-cari itu. Tak usah berdusta, kudengar kau dikalahkannya dan kini menjadi pembantu
manusia iblis itu. Mana kawan-kawanmu Siang-buang Thai-swe dan Kutu Peniru Suara, atau kami
memaksamu berada di rombongan ini dan sama-sama menemukan manusia jahat itu."
Nenek ini melengking nyaring. Dua kali ketua Bu-tong itu berkata bahwa dia akan dijadikan satu
dengan rombongan itu, berarti menangkap dan akan menawannya. Maka membentak dan mengibaskan
rambutnya tiba-tiba nenek ini menyerang hwesio itu dari jarak dua meter, sambil uji coba.
"Beng Cit keledai gundul, siapa berani memaksaku atau kau yang roboh dan tunduk kepadaku!"
Hwesio itu mengelak. Ia tahu kemarahan orang namun tentu saja tak takut, dikejar dan akhirnya
mengangkat tangan menampar atau memukul balik rambut lawan. Lalu ketika nenek itu tergetar dan masing-
masing terdorong mundur, Beng Cit terkejut dan merangkapkan tangan maka nenek itu berseru,
"Beng Cit, tenagamu semakin kuat, tapi aku juga bukan wanita lemah!"
"Omitohud, benar. Dan pinceng kagum kepadamu, Mo-li, namun kali ini kekaguman itu terpaksa
dipendam. Pinceng datang untuk urusan yang lebih penting dan tak ada maksud untuk main-main
denganmu!"
"Aku tak tahu siapa itu yang kau cari, boleh percaya boleh tidak. Tapi kawan-kawanku memang ada di
sini dan kalian boleh bertemu!" nenek itu bersuit dan inilah isyarat untuk Siang-buang Thai-swe dan Kutu
Peniru Suara. Tiga bayangan berkelebat dan muncullah mereka itu. Dan ketika ketiganya juga terkejut
karena di tempat itu muncul tokoh-tokoh partai, berdebarlah si Kutu Peniru Suara maka kakek ini diam-diam
mencabut jepitan kutunya sementara Mo Mo Cinjin dan lain-lain tak kelihatan kaget melihat mereka itu.
"Hm, benar berita di luar, tinggal empat orang di sini. Siancai, agaknya Jing-ji-mi-to tak lagi bersama
kalian, Siau-hun Mo-li, dan ini kiranya Siang-buang Thai-swe si Datuk Kembar. Ah, kami semakin yakin
dan beritahukan di mana majikan kalian Te-gak Mo-ki!"
"Heh-heh, tidak percaya lagi. Eh, kau lihat di tempat ini hanya ada kami berempat, tosu bau. Kami takKolektor E-Book
TAPAK TANGAN HANTU
BATARA
309 tahu siapa orang yang kalian cari itu. Tanya teman-temanku ini!" Siau-hun Mo-li terkekeh dan besar hati.
Cepat ia memberi kedipan kepada teman-temannya itu dan Siang-buang Thai-swe mengangguk. Kutu Peniru
Suara juga tiba-tiba terkekeh dan membangkitkan keberanian. Lalu ketika nenek itu menuding mereka dan
bertanya apakah ada yang bernama Te-gak Mo-ki di situ maka Kutu Peniru Suara ini berseru,
"Kalian orang-orang kesasar, tak ada yang bernama seperti itu di sini. Pergi atau bicaralah secara baik-
baik agar kami tidak memanggil pengawal!"
"Hm, Eng-seng-thiong sudah berubah banyak. Pinto melihat kau sekarang penakut, Kutu Peniru Suara,
heran sekali bahwa sebelumnya kau adalah orang yang cerdik dan berani. Belum apa-apa kau sudah
mengancam memanggil pengawal seperti takut menghadapi kami. Jangan khawatir, kami hanya berurusan
dengan orang bernama Te-gak Mo-ki itu, majikan kalian. Suruh dia keluar atau kami terpaksa memaksa
kalian untuk tidak berbohong!"
Merah wajah laki-laki ini. Tak dapat disangkal bahwa sesungguhnya diam-diam ia merasa kecut
melihat tokoh-tokoh Bu-tong dan Hoa-san itu. Tentu saja dia tahu dan sudah mendengar akan tewasnya
orang-orang Bu-tong dan Hoa-san di tangan Te-gak Mo-ki. Dan karena khawatir si banci marah, dia dan
kawan-kawannya tak mampu menghadapi delapan orang ini maka secara terang-terangan ia mengancam
untuk memanggil pengawal tapi ancamannya itu malah dijadikan ejekan untuk memukul dirinya.
"Heh!" kakek itu membentak. "Mulutmu lancang, Mo Mo Cinjin, siapa mengancam kalian. Aku
hanya bermaksud baik agar kalian tak dianggap perusuh atau pemberontak-pemberontak di istana. Kalian tak
usah mencari ribut-ribut di sini atau nanti tahu rasa. Jangan lancang mulut!"
"Siancai, galak di luar, gentar di dalam. Kalau kami takut menghadapi ancamanmu tadi tak perlu kami
datang ke sini, Seng-thiong. Kami sudah siap mengambil resiko dan menegaskan lagi bahwa urusan kami
hanya dengan Te-gak Mo-ki, bukan kalian atau istana. Panggil orang itu dan tak usah berpura-pura tak tahu!"
Eng-seng-thiong melotot. Dia sudah siap menggerakkan jepitan kutunya ketika tiba-tiba Ji-thai,
temannya yang berangasan maju mendahului. Datuk nomor dua itu membentak dan tak dapat menahan
kemarahan, kata-kata dan ejekan ketua Hoa-san itu membuatnya gusar. Maka ketika ia berkelebat dan tangan
kanan mendorong, pukulan Hek-thau-ciang menyambar tosu ini maka Mo Mo Cinjin berseru perlahan dan
menggerakkan tangan kiri menangkis.
"Dess!"
Pukulan dua orang itu mengeluarkan getaran kuat di mana keduanya bergoyang-goyang hampir
doyong. Mo Mo Cinjin berseru memuji sementara kakek hitam gundul itu melotot, matanya yang lebar
semakin besar saja seperti ikan emas. Tapi ketika ia maju lagi dan penasaran oleh kekuatan lawan, ketua
Hoa-San itu tangguh dan ingin dijajal maka bergeraklah Ce Han Tojin mendahului ketuanya.
"Pangcu, tak usah diladeni, biar kami yang maju..... dukk!" Ce Han Tojin terpental namun kakek
pendek hitam itu juga terdorong. Selanjutnya orang nomor dua dari Siang-buang Thai-swe ini membentak
lagi, berkelebat dan mendorongkan kedua tangannya dan sang tosu cepat mengelak, dikejar dan menangkis
lagi dan Ce Han Tojin terlempar! Tapi ketika tosu itu berjungkir balik dan membuang tenaga lawan, indah
melayang turun maka wakil Hoa-san ini tak mau main-main lagi dan cepat membalas dan menahan
lawannya.
"Duk-plakk!"
Ce Han menambah tenaga dan lawanpun terdorong. Tosu ini membentak dan berkelebatlah dia dengan
cepat mengelilingi lawannya itu, pukulan dan tamparan silih berganti menerpa Ji-thai. Namun ketika si
kakek hitam mampu bertahan dan Hek-thau-ciangnya menolak balik semua pukulan-pukulan Ce Han Tojin
maka tosu itu tak mau membuang waktu dan mencabut pedangnya.
"Singg-wuuttt!"
Gerakan pedang mendesing dan mengejutkan lawan. Ji-thai berteriak namun kalah cepat, terbabat
ujung bajunya dan segera ia terdesak oleh sinar pedang yang bergulung-gulung. Dan ketika ia menjadi marah
tak ada lain jalan kecuali mengeluarkan senjatanya pula maka gada bulat panjang yang hampir setinggi
tubuhnya itu melesat dan membentur pedang di tangan Ce Han Tojin.
"Crangggg!"
Bunga api berpijar dan memercik indah di udara. Ce Han terpental dan tampak betapa tosu Hoa-san itu
kalah tenaga, hebat memang Hek-thau-ciang milik lawannya. Tapi karena ia menang gesit dan lincahKolektor E-Book
TAPAK TANGAN HANTU
BATARA
310 beterbangan lagi, menyambar bagai walet mengelilingi lawan akhirnya bertandinglah dua orang itu dengan
masing-masing pihak memiliki kelebihan dan kekurangannya.
"Hm, suteku sudah bertempur, agaknya saudara It-thai mau coba-coba. Marilah, kita main-main
sejenak, Siang-buang Thai-swe. Pinto ingin berkenalan denganmu kalau tak mau menunjukkan majikan
kalian!"
Apa boleh buat, kakek yang satu ini maju pula. Dia lebih sabar dibanding adiknya akan tetapi
kepandaiannya tentu saja lebih tinggi. Sekilas melihat pertempuran itu ia maklum bahwa adiknya dan Ce
Han Tojin berimbang, yang satu menang tenaga tapi yang lain menang lincah. Maka ketika ia tak perlu
khawatir dan lawan sudah menantang pula iapun tak segan-segan lagi membungkuk dan menyiapkan Tenaga
Gajahnya, Hek-thau-ciang.
"Hoa-san-paicu (saudara ketua Hoa-san), majulah. Kau tamu dan aku tuan rumah!"
Mo Mo Cinjin tersenyum dan mendorong dua sutenya yang lain yang mau maju. Mereka itu hendak
mendahului ketua akan tetapi kakek ini maklum benar kelihaian Siang-buang Thai-swe. Dalam benturan
dengan Ji-thai tadi ia merasakan kekuatan lawan. Maka ketika ia berseru dan balik menyuruh lawan
menyerang lebih dulu, ia tamu tak diundang maka It-thai kakek itu mendorong dan melepas pukulan dahsyat.
"Mo Mo Cinjin, tahan!"
Tubuh pendek gempal itu mencelat ke depan. Bagai katak atau kerbau melompat Siang-buang Thai-
swe ini menyerang lawan. Ia tak perlu sungkan-sungkan lagi karena lawan adalah ketua Hoa-san terkenal.
Dan ketika Mo Mo juga bergerak dan mendorongkan lengan ke depan, menyambut dua lengan itu maka
terdengar suara "bumm" yang dahsyat sekali. Persis gajah menumbuk bukit! Mo Mo terhuyung dan
membelalakkan matanya sementara It-thai terpental namun maju lagi. Lalu ketika Mo Mo mengelak dan
membalas lawan tak ampun lagi dua orang inipun sudah bertanding dan yang lain mundur.
"Des-desss!"
Getaran suara ini kuat mengguncang jiwa. Yang tak tahan tentu roboh dan pucat. Namun ketika Mo
Mo Cinjin tak mau banyak beradu pukulan, berkelebat dan mainkan ginkangnya untuk menampar dan
memukul maka lawan mengelak dan tiga kali pukulan Mo Mo tertolak bertemu kulit pundak It-thai yang
atos.
Selanjutnya Mo Mo Cinjin juga membiarkan dirinya terpukul dan Hek-thau-ciang itupun dapat
ditahannya. Dengan sinkangnya ketua Hoa-san ini mampu menahan pukulan gajah itu, meskipun agak
terdorong dan terhuyung mundur. Dan ketika masing-masing terbelalak kagum namun si tosu lebih cepat
bergerak, It-thai berpenampilan berat dan kalah ringan maka di sini ketua Hoa-san itu lebih banyak
mengambil inisiatip serangan sementara lawan bertahan dan mempergunakan tubuhnya yang liat dan kebal.
"Omitohud, teman-teman sudah mencari keringat. Ayo, kita main-main pula, Siau-hun Mo-li. Pinceng
gatal tangan kalau hanya menonton saja. Marilah maju dan mudah-mudahan tak perlu memanggil
pengawal!"
Eng-seng-thiong merah dan melotot memandang ketua Bu-tong itu. Beng Cit Hosiang bicara pada
Siau-hun Mo-li namun ejekannya ditujukan kepada dirinya. Akan tetapi ketika nenek itu menjeletarkan
rambut dan siap memenuhi tantangan mendadak hwesio di belakang Beng Cit meloncat dan menyambar
nenek itu.
"Suheng, tak perlu menggebuk anjing memaki tangan sendiri. Biarkan aku yang maju dan lihat
seberapa galak nenek iblis ini!"
Tentu saja si nenek gusar. Ia diterjang dan Kong Tek, hwesio itu menyerangnya tak main-main.
Sebelum tubuhnya tiba toya di tangan kanan itu menyodok mata, tentu saja ia melengking. Dan ketika ia
mengelak dan meledakkan rambutnya, senjata ini tiba-tiba lurus kaku bagai kawat baja maka terdengar suara
"trangg" ketika bertemu toya. Sang hwesio berseru memuji namun tidak berhenti di situ saja, lengannya
kesemutan namun nenek itupun terhuyung. Dan ketika ia melanjutkan serangannya sementara Siau-hun Mo-
li membentak dan membalas maka dua orang ini sudah bertempur dan Eng-seng-thiong terbelalak
memandang Beng Cit Hosiang yang tersenyum padanya, senyum mengejek!
"Marilah, atau kau menonton saja. Pinceng percaya kepada keberanianmu dan tentu tak perlu
memanggil pengawal."
Marahlah kakek tinggi kurus ini. Kalau ia terus-terusan diejek dan tidak membalas, harganya tentuKolektor E-Book
TAPAK TANGAN HANTU
BATARA
311 semakin rendah maka tak ayal lagi Kutu Peniru Suara ini membentak. Ia berkelebat tapi seekor kutu
betinanya dijentik, menyambar dan mendahului hinggap di jubah ketua Bu-tong itu. Lalu ketika ia
menyerang dan lawan mengelak, tak melihat kutunya itu maka Eng-seng-thiong terbahak-bahak tertawa
girang.
"Beng Cit, jangan sombong. Siapa takut padamu dan marilah kita main-main!"
Sang hwesio tersenyum dan tidak tahu kecurangan lawan. Ia menangkis dan mendorong tapi saat
itulah kutu di jubahnya merayap. Kutu Eng-seng-thiong ini adalah kutu betina yang cepat beranak-pinak,
sedetik dua detik saja sudah mampu menciptakan ratusan anak-anak kutu yang bakal membuat gatal sekujur
tubuh. Maka ketika kutu-kutu itu berlarian dan menyelinap ke saku baju, juga celana dan ketiak hwesio ini
tiba-tiba saja Beng Cit Hosiang berteriak kaget dan berubah mukanya.
"Curang!"
Sute dan tosu-tosu Hoa-san tercengang. Mereka tak melihat kutu-kutu itu dan saat itupun Eng-seng-
thiong bertempur dengan cara biasa, mengelak dan membalas dan berlompatan sebagaimana layaknya
musuh. Tapi ketika Beng Cit Hosiang melepas jubahnya dan mengebut sana-sini, kutu-kutu kecil
beterbangan menyambar ke mana-mana maka sadarlah orang-orang itu apa yang kiranya telah terjadi. Dan
merekapun tentu saja marah di samping geli.
"Ha-ha, apa yang curang. Aku tak melakukan apa-apa yang patut disebut curang, Beng Cit Hosiang.
Adalah kutu-kutuku itu beterbangan sendiri dan rupanya kerasan di tempatmu. Aih, jangan memaki dan
menggaruk-garuk!"
Ketua Bu-tong membentak dan gusar. Ia terpaksa membuang jubahnya dan menggaruk serta mencakar
sana-sini. Yang repot adalah kutu-kutu yang masuk celana, merayap di celah pahanya dan menggigit di situ.
Dan ketika lawan terbahak-bahak sementara yang lain tersenyum geli, ketua Bu-tong tampak lucu maka toya
menggebuk pinggang kakek itu tapi bersamaan dengan itu Beng Cit Hosiang melepas celananya.
"Maaf, pinceng mundur dulu nanti maju lagi!"
Tertawalah semua orang melihat Beng Cit Hosiang kedodoran. Hwesio itu meloncat pergi dengan
pantat telanjang di belakang, bersembunyi dan memencet dulu semua kutu-kutu penyakit. Dan ketika sutenya
yang lain maju dan membentak menghentikan tawa-tawa rekannya dari Hoa-san, kejadian itu memang
menggelikan maka si Kutu Peniru Suara ini diserang dan melepas lagi seekor kutu betinanya.
"Wherr!"
Benda kerlip kecil yang memantul oleh sinar lampu itu kebetulan dilihat Ta Peh Hwesio, sute dari
Kong Tek Hwesio yang maju ini. Tentu saja ia mengebut dan kutu itu hancur. Lalu ketika ia membentak dan
Eng-seng-thiong marah, anaknya mati seorang maka iapun mengelak dan membalas hwesio Bu-tong itu.
Akan tetapi Beng Cit Hosiang telah muncul kembali. Hwesio yang marah oleh perbuatan lawannya ini
menghantam dari belakang, sudah mengenakan jubahnya lagi dan menyuruh mundur sang sute. Lalu ketika
Ta Peh Hwesio didorong ke belakang dan mundur melihat ketuanya akhirnya pertandingan dua orang ini
dilanjutkan lagi. Ketua Bu-tong tentu saja tak mau tertipu oleh segala bentuk ke curangan lawan, menekan
dengan toyanya "Seng-thiong, kau benar-benar lelaki curang tak tahu malu. Sekarang pinceng tak akan
mengampunimu dan lihat senjata!" Eng-seng-thiong mengelak dan dikejar. Ia telah menangkis namun
lengannya tergetar, mundur dan melotot namun kepalapun dikibas. Bagai anjing membersihkan bulu
melesatlah ratusan kutu dari kepalanya. Namun karena lawan sudah waspada dan tak mungkin tertipu,
mengebut dan menampar maka semua kutu membalik dan terlempar ke kiri kanan. Eng-seng-thiong marah.
"Baik, kau juga tak tahu malu, Bu-tong-paicu. Dengan toyamu yang panjang kau menghadapi aku yang
bersenjata pendek!"
"Tak usah banyak mulut, kutumu itupun senjata lain yang kau punyai. Robohlah, tak usah banyak
cakap, Eng-seng-thiong. Pinceng akan menangkapmu dan memaksa majikanmu keluar..... trang-trangg!"
toya ditangkis jepitan kutu dan Eng-seng-thiong terpental. Dari tenaga toya itu Eng-seng-thiong terkejut,
telapaknya pedas dan panas. Dan ketika ia menghindar dan tak berani banyak adu tenaga, berkelit dan
berlompatan sambil mengibas kutu-kutunya lagi maka pertandingan berjalan seru sementara di sana tiga
orang yang lain juga sengit dan masih bertempur dengan penuh semangat.
Akan tetapi tampak bahwa perlahan-lahan Siang-buang Thai-swe dan kawan-kawannya ini keteter.
Hoa-san-paicu dan sutenya mengadu kecepatan dan menusuk atau mengancam tubuh lawan dengan
serangan-serangan mereka yang berbahaya. Siau-hun Mo-li menghadapi Kong Tek Hwesio yang tangguh
dan sanggup menghadapi rambutnya. Dan karena di situ masih ada empat musuh lain sementara di luar sanaKolektor E-Book
TAPAK TANGAN HANTU
BATARA
312 beberapa pengawal dirobohkan bayangan-bayangan yang bersembunyi menjaga delapan orang ini, jelas
kedudukan mereka kalah maka empat orang ini gugup dan gelisah yang membuat permainan mereka jadi
kacau. Eng-seng-thiong malah terbanting oleh empat gebukan toya yang membuat ia menjerit!
"Hm, sekarang tak dapat lari. Ayo menyerah atau panggil manusia iblis itu ke mari, Seng-thiong, atau
pinceng membuatmu jatuh bangun tak dapat berdiri!"
Kutu Peniru Suara ini pucat. Memang ia tak mungkin melarikan diri karena empat yang lain
mengepung. Setiap ia bergerak keluar maka empat orang itu menghalau, secara moral tentu saja membuat
kecut Eng-seng-thiong dan kawan-kawan ini. Dan ketika tak ada kemungkinan lagi kecuali memanggil
bantuan, Eng-seng-thiong memekik dan bersuit panjang maka pengawal berdatangan dari delapan penjuru
dipimpin Wang-busu, pasukan atau Pengawal Rompi Merah.
"Wang-busu, tangkap orang-orang ini. Bunuh mereka!"
Istana terkejut. Bentakan dan suara pertempuran itu sebenarnya sudah didengar oleh penjaga. Namun
karena bayangan-bayangan di luar delapan orang itu melindungi yang di dalam, menyerang dan merobohkan
mereka itu maka pengawal terkejut dan jerih. Yang lolos lalu melapor ke dalam dan kebetulan Wang-busu
itulah yang menerima. Suitan atau tanda bahaya dari si Kutu Peniru Suara ini membuat komandan itu berlari-
lari. Jarang kejadian ini mereka alami. Dan ketika ia tiba di situ dan melihat itulah orang-orang kang-ouw
yang bertempur seru, kaget karena segera mengenal Mo Mo Cinjin dan kawan-kawan maka komandan itu
terhenyak namun ketua Hoa-san ini cepat berseru bahwa yang dicari adalah Te-gak Mo-ki.
"Kami bukan memusuhi istana, harap mundur. Yang kami cari adalah Te-gak Mo-ki yang membunuh
orang-orang kami. Harap tidak menyerang karena kami dihalangi empat orang ini!"
Sang komandan bingung. Ia tahu siapa Mo Mo Cinjin dan hwesio-hwesio ini, kaum pendekar atau
orang-orang yang selama ini tak pernah memusuhi istana. Tapi Eng-seng-thiong yang marah melihat
bingungnya perwira itu, yang bengong dan diam di tempat akhirnya membentak dan memaki.
"Wang-busu, siapapun yang datang secara liar adalah musuh. Mereka ini datang mengacau, apakah
kau tetap diam mematung di situ? Lihat nanti kalau Hui-ongya mendengar sikapmu ini, tahu rasa kau!"
Sang komandan terkejut. Hui-ongya adalah orang yang berpengaruh dan dirinya bisa terancam, salah-
salah kedudukannya dicopot! Maka tak ada lain jalan kecuali membentak dan memberi aba-aba akhirnya
iapun maju menyerang menghadapi puluhan orang-orang Hoa-san dan Bu-tong yang kiranya sudah
disiapkan secara besar-besaran oleh Mo Mo Cinjin maupun Beng Cit Ho-siang, tanda betapa seriusnya
tokoh-tokoh ini menghadapi Te-gak Mo-ki!
"Mereka benar, kalian datang secara liar. Maaf kami menganggapmu perusuh, Hoa-san-paicu.
Menyerah atau pergi cepat-cepat dari sini!"
Jilid XXII
KETUA Hoa-san ini terbelalak. pihaknya sudah diserbu dan Eng-seng-thiong serta kawan-kawan
mendapat bantuan. Empat temannya berkelebat ke kiri kanan sementara yang di luar membentak dan
menghadapi Pasukan Rompi Merah itu. Dan ketika terdengar jerit dan senjata beradu, disusul mencelat atau
terlemparnya tubuh maka Wang-busu dan pasukannya terkejut karena pihak mereka terpental.
"Awas, mundur dan serang dengan panah, jangan dekat-dekat!"
Para pendekar menjadi sibuk. Mereka membentak diserang senjata jarak jauh dan Mo Mo Cinjin serta
Beng Cit Ho-siang menggeram marah, mereka diserang dari segala penjuru. Akan tetapi karena Siau-hun
Mo-li dan kawan-kawan juga mendapat bagian, mereka menangkis dan memaki-maki maka nenek itu
meloncat mundur, mau melarikan diri. Namun Kong Tek Hwesio tak mau melepaskan. Hwesio ini
Misteri Santet Iblis 1 Pendekar Naga Putih 42 Terjebak Di Perut Bumi Pisau Terbang Li 1
^