Pencarian

Tapak Tangan Hantu 13

Tapak Tangan Hantu Karya Batara Bagian 13


merangsek terus dan putaran toyanya menghalau semua panah, dialah lawan si nenek bengis. Maka melihat
si nenek bergerak dan siap memutar tubuh toya di tangan itupun mengejar, menghantam dari belakang.
"Siau-hun, jangan licik. Pertempuran belum usai!"
Nenek ini marah. Ia meledakkan rambutnya tak jadi pergi, lawan bagai bayangan menempelnya saja.
Dan ketika mereka sama-sama terpental dan bertempur lagi maka Eng-seng-thiong juga siap
menyembunyikan diri namun Beng Cit Ho-siang tak membiarkannya, mendesak dan toya maupun kebutanKolektor E-Book
TAPAK TANGAN HANTU
BATARA
313 ujung baju menghalau semua anak-anak panah.
Bingunglah Kutu Peniru Suara ini. Tak disangkanya ketua Bu-tong dan orang-orangnya itu begitu
nekat, ini merupakan tanda betapa Beng Cit Ho-siang dan lain-lain memang tak akan sudah kalau Te-gak
Mo-ki belum keluar. Dan mendongkol serta marah si banci itu membiarkan mereka menjadi ujung tombak
akhirnya apa boleh buat kakek tinggi kurus ini melayani lawannya.
"Baik, sampai matipun aku tak akan mundur, keledai gundul. Kau atau aku mampus!"
Ketua Bu-tong tertawa mengejek. Memang ia tak pernah jauh dari lawannya ini, menempel dan
membayangi sementara hujan anak panah dihalau kebutan ujung jubahnya. Eng-seng-thiong juga mendapat
serangan panah yang nyasar, memaki dan membentak dan serulah pertandingan ini. Dan ketika di sana
Siang-buang Thai-swe juga bertempur sengit dengan tokoh-tokoh Hoa-san maka It-thai maupun Ji-thai
menggeram tak dapat mundur.
Seperti rekannya ketua Hoa-san Mo Mo Cinjin berkelebatan dan merangsek lawan. Dia berhadapan
dengan It-thai sementara sutenya menghadapi Ji-thai. Ce Han Tojin atau sute dari Mo Mo Cinjin ini juga tak
mau melepas kesempatan. Dengan kecepatan dan permainan pedangnya yang cepat ia mendesak lawan. Dan
karena lawan sudah terpengarnh oleh bayangan-bayangan di luar mereka, murid atau pengikut dari Bu-tong
dan Hoa-san ini maka secara mental mereka sudah tertekan.
Ji-thai yang berangasan akhirnya memukul dan mendorong tak banyak bergerak. Ce Han Tojin itulah
yang aktif bergerak, mengelilingi dan menyerang lawan dengan cepat, mengandalkan ilmunya meringankan
tubuh. Dan ketika, perlahan tetapi pasti lawan mulai kewalahan, mundur dan mandi keringat maka bantuan
Wang-busu sejenak melegakan empat orang ini akan tetapi perlawanan para murid di luar menggoyahkan
lagi harapan mereka.
Tak kurang dari lima puluh orang menghadapi Pasukan Rompi Merah itu. Wang-busu sendiri terkejut
melihat banyaknya pengikut Mo Mo Cinjin dan Beng Cit Ho-siang itu. Dan ketika iapun menyadari betapa
seriusnya orang-orang kang-ouw ini mencari Te-gak Mo-ki, diapun sudah mendengar berita tentang
perbuatan si banci itu akhirnya komandan pasukan yang bergerak dari jauh ini kehabisan akal, hujan panah
hampir tak berarti bagi orang-orang kang-ouw itu.
Akan tetapi semuanya tiba-tiba cepat berubah. Bayangan biru menyambar dari istana dan terdengar
tawa aneh. Tawa ini tak begitu keras namun gemanya menggetarkan jantung, menusuk dan membuat orang
menjerit dan tiba-tiba semua terpelanting. Telinga mereka seakan ditusuk-tusuk jarum. Dan ketika pengawal
roboh menutupi telinga sementara yang lain terhuyung dan mendekap dada, bagian kiri mereka itu seakan
dihantam benda berat maka Te-gak Mo-ki muncul di situ, berseru,
"Tahan, semua berhenti. Aku di sini dan yang lain menyingkir!"
Hebat pengaruh kata-kata ini. Wang-busu yang bertemu pandang tiba-tiba menunduk, tergetar dan
surut dan ia sendiri melepaskan tangannya dari telinga. Orang yang berkepentingan ternyata muncul, tentu
saja ia lega. Dan ketika ia menyuruh orang-orangnya mundur, Pasukan Rompi Merah bergerak menghilang
maka tinggallah di situ Mo Mo Cinjin dan para pengikutnya, yang cepat bergerak dan mengepung.
"Hm, aku ada di sini, mau apa sekarang. Kau dan Beng Cit Ho-siang benar-benar mencari penyakit,
Mo Mo Cinjin. Jawablah kematian macam apa yang kalian inginkan!"
Mo Mo Cinjin bergerak, maju ke depan. Sekarang ia berhadapan dengan lawannya ini dan tampak
gemetar. Namun sebelum ia bicara tiba-tiba Beng Cit Ho-siang menggamit lengannya.
"Omitohud, urusan kami adalah urusan pribadi, Te-gak Mo-ki, menuntut tanggung jawabmu yang
membunuh-bunuhi murid-murid kami. Kalau kau tak berlindung di balik nama istana dan melepaskan baju
kekuasaanmu marilah keluar dan kita selesaikan di sana. Kami datang untuk menuntut tanggung jawab!"
"Benar," Mo Mo Cinjin sadar. "Urusan kami adalah urusan pribadi, Te-gak Mo-ki, tak ada sangkut-
pautnya dengan istana. Kita selesaikan di luar kalau kau berani menerima kami!"
Te-gak Mo-ki tertawa. Ia memandang dua ketua Hoa-san dan Bu-tong ini dengan sinar mata dingin,
sama sekali tak acuh dengan lima puluh yang lain yang dianggapnya batang-batang pohon belaka. Dan
ketika ia mengangguk dan berkelebat pergi mendadak ia sudah melewati kepala semua orang dan berseru,
"Hoa-san-paicu, jangan kira aku takut. Marilah, aku melayani permintaan kalian secara pribadi!"
Giranglah Mo Mo Cinjin dan Beng Cit Ho-siang. Kalau Te-gak Mo-ki berani seperti itu danKolektor E-Book
TAPAK TANGAN HANTU
BATARA
314 meninggalkan istana berarti urusan benar-benar sebagai pribadi, istana dan lain-lain tak ada sangkut-pautnya.
Maka ketika mereka berkelebat tapi terkejut bahwa lawan tiba-tiba menghilang, khawatir dibohongi maka
Mo Mo Cinjin berseru, "Te-gak Mo-ki, di mana kau. Jangan bersembunyi!"
"Heh-heh, aku di depan. Jangan berkaok-kaok seperti ayam takut disembelih, Mo Mo Cinjin. Lihat
aku di sini dan semua ikuti aku!"
Ketua Hoa-san terkejut dan memandang. Lawan ternyata merupakan titik hitam di sebelah kiri namun
suara dan kata-katanya begitu dekat. Secepat iblis menyambar Te-gak Mo-ki itu sudah di luar tembok istana,
hampir tujuh atau delapan ratus meter. Dan ketika ia terbelalak sementara Beng Cit juga terkejut dan melesat
ke depan iapun mengerahkan ginkangnya dan mengejar. Lawan tampak sebagai titik hitam yang bergerak di
antara lampu-lampu buram.
"Lihai, hebat sekali. Hati-hati dan awas jangan gegabah, anak-anak. Mari kejar dan ikut di belakang
kami!"
Beng Cit mengerahkan ilmunya dan coba mengejar. Ia sudah melesat sepenuh tenaganya namun lawan
semakin jauh, tentu saja ia pucat. Namun karena terlanjur menantang dan kedatangan mereka memang
hendak menuntut tanggung jawab, betapapun lihainya lawan tak perlu ia mundur maka hwesio ini berlumba
dengan rekannya dari Hoa-san menyusul dan mengikuti Te-gak Mo-ki itu, pengikut atau anak buah mereka
di belakang jatuh bangun mengejar sang ketua.
"Tunggu, jangan cepat-cepat, suheng, anak-anak kewalahan!"
"Kau pimpin mereka. Susul dan kejar kami di luar hutan, sute. Lawan menuju arah utara!"
Kong Tek Hwesio bingung. Ia di belakang suhengnya ini ketika melihat murid-murid tertinggal, mau
memperlambat tapi khawatir kepada ketuanya ini. Dan ketika ia menyuruh sutenya yang lain menjaga dan
menjadi petunjuk jalan akhirnya hwesio Bu-tong ini bergerak di samping ketuanya lebih mengutamakan
yang penting.
"Kenapa di sini, kau menjaga anak-anak."
"Tidak, mereka sudah kuserahkan kepada Ong Ciu-sute, suheng. Aku menjagamu karena lebih
penting!"
"Hm!" Beng Cit tak bicara lagi dan hampir kehilangan jejak. Di luar pintu gerbang Te-gak Mo-ki itu
melayang bagai garuda menyambar, lenyap dan sudah di luar dan cepat ia menyusul bersama ketua Hoa-san.
Serentak mereka ini menjejakkan kaki dan Beng Cit mempergunakan toyanya menotol, bantu mengangkat
tubuhnya dan terlihatlah lawan melesat di depan, terkekeh. Lalu ketika semua juga mengejar dan susul-
menyusul melayang di atas gerbang yang tinggi itu, bagai burung atau kelelawar-kelelawar hitam maka
penjaga atau yang bertugas di pintu melongo.
"Iblis! Apa yang kulihat ini, hantu atau bukan!"
Para pendekar itu lenyap. Mereka sudah tak ada di situ dan penjaga membelalakkan mata. Tapi ketika
satu di antaranya berlari dan mengintai dari lubang kunci, melihat bayangan berkelebatan di padang ilalang
maka yang ini berseru mengundang rekannya.
"Manusia! Mereka manusia! Ah, itu para hwesio dan tosu-tosu!"
Tertegunlah yang lain. Mereka berebut ingin tahu dan mengintai dengan mendorong yang lain. Dan
ketika di bawah cahaya bulan tampak kepala-kepala gundul dan rambut yang digelung di atas kepala, itulah
tosu dan para hwesio maka mereka mengangguk dan terheran-heran.
"Benar, siapa mereka. Seperti setan terburu-buru!"
Jawaban ini tak didapat. Tosu dan hwesio Bu-tong lenyap sekejap kemudian di balik kegelapan
malam, penjaga pucat. Namun karena bayangan itu tak mengganggu mereka dan pintu gerbang tetap aman
maka Beng Cit dan Mo Mo Cinjin telah tiba di luar hutan di mana lawan menunggu. Dengan tenang dan
senyum dingin si banci lebih dulu di situ, tidak tampak berkeringat dan berdiri sombong, lain dengan Mo Mo
Cinjin maupun Beng Cit Ho-siang yang wajahnya merah, keringat membasahi tubuh. Dan ketika dua orang
ini di situ dan Beng Cit melompat di sebelah kanan, Mo Mo di sebelah kiri maka kakek ini menyimpan
pedangnya mengganti dengan sebatang tongkat panjang di tangan, tangan yang lain menuding dan
menunjuk,Kolektor E-Book
TAPAK TANGAN HANTU
BATARA
315 "Te-gak Mo-ki, kau telah bersikap jantan dan menunggu kami di sini. Bagus, sekarang berlutut dan
menyerahlah atau kami memaksamu!"
"Hm, hi-hikk !" tawa itu seperti wanita, namun bercampur pria dan serak-serak mengejek. "Tak usah
macam-macam menakut-nakuti aku, Mo Mo Cinjin. Kalau kita sudah di sini dan ingin bertempur majulah.
Aku akan membunuh kalian dan membasmi Hoa-san maupun Bu-tong!"
"Keparat!" Ce Han tak tahan dan maju di depan suhengnya itu, langsung menusukkan pedang.
"Daripada bicara yang membuang-buang waktu sebaiknya kau dibunuh, banci jahanam. Pinto menagih
hutang jiwa para saudara dan menghancurkan kesombonganmu!"
Akan tetapi lawan mengelak. Tenang dan tidak memandang sebelah mata si banci ini tetap
memandang Mo Mo Cinjin, ketua itu terbelalak kepadanya. Dan ketika Ce Han membalik dan
menyerangnya lagi tiba-tiba ia mengibas dan tosu itu mencelat terbanting.
"Bresss!"
Ce Han terkejut dan bergulingan mengeluh. Ia tak menyangka sekali kibas saja dirinya roboh. Tapi
ketika ia meloncat bangun dan hendak menerjang lagi mendadak ketuanya mencegah.
"Sute, jangan sembrono. Lawan menunggu pinto!"
"Benar, aku menunggu jawabanmu untuk mati macam apa, Mo Mo Cinjin, perlahan-lahan atau cepat.
Disiksa atau langsung ke akherat. Nah, jangan buang waktu lagi karena akupun mulai tak sabar!"
Ketua Hoa-san ini mendelik. Ia bertukar isyarat dengan Beng Cit Ho-siang dan tiba-tiba bergerak,
tongkat menyodok dengan cepat dan tahu-tahu mendekati ulu hati lawan. Dan ketika lawan mengelak akan
tetapi dari kanan ketua Bu-tong itu menggerakkan toyanya maka gerakan lelaki ini dipotong dan tak
mungkin lagi mengelak.
"Crang-crangg!"
Tapi yang terjadi sungguh mengejutkan. Seperti siluman atau iblis saja tahu-tahu si banci itu lenyap,
entah ke mana. Dan ketika dua orang ini beradu senjata mendadak yang lain berteriak, kaget karena tahu-
tahu dari atas si banci itu menampar Hoa-san-paicu dan Bu-tong-paicu.
"Awas, suheng!"
Dua orang ini menggerakkan lengan kiri. Mereka kaget oleh serangan itu dan baru tahu bahwa lawan
kiranya mencelat ke atas. Begitu cepatnya gerakan itu hingga mereka sebagai ketua-ketua Bu-tong dan Hoa-
san tak mampu, mengikuti, betapa hebatnya. Tapi ketika mereka menangkis dan mencelat terbanting maka
Mo Mo Cinjin maupun Beng Cit Ho-siang mengeluh.
"Serbu!"
Yang lain tak menunggu waktu lagi perintah ketuanya. Ce Han Tojin yang, lebih dulu memberi aba-
aba dan melindungi ketuanya sudah memutar pedang dan menusuk, ia tak mau ketuanya dikejar si banci itu
dan kaget bahwa segebrakan saja suhengnya terbanting. Begitu lihainya lawan. Dan karena Kong Tek
Hwesio juga harus menjaga ketuanya yang mengeluh tertahan, membentak dan menyambar lawan dengan
toyanya maka berturut-turut dengan gerakan cepat lima puluh orang ini maju bergelombang dengan serangan
marah menerjang si banci itu.
Akan tetapi si banci tertawa dingin. Hujan senjata yang begitu banyak disampok, lawan terpekik dan
terbanting. Dan ketika semua bergulingan dan senjata patah-patah maka Ce Han Tojin melengkung
pedangnya dikibas angin pukulan lawan.
"Plak!" tosu ini terhuyung dan terbelalak. Ia pucat memandang senjatanya namun membentak lagi.
Mo Mo Cinjin dan Beng Cit Ho-siang sudah maju berseru dengan suara marah, ketua Hoa-san mencabut
pedangnya. Lalu ketika dengan dua senjata di tangan kiri dan kanan menerjang laki-laki itu, si banci
mengelak dan mundur maka toya di tangan Beng Cit mengenai punggungnya.
Bukk!" Toya meleset menghantam punggung yang licin. Ketua Bu-tong itu berseru keras dan heran
serta kaget. Itulah Hek-be-kang yang dipunyai si banci, Belut Hitam yang hebat. Dan ketika senjata yang lain
menyambar lagi namun meleset atau terpental, seruan kaget terdengar di sana-sini maka si banci tertawa
menggerakkan tubuh mencabut kipasnya.Kolektor E-Book
TAPAK TANGAN HANTU
BATARA
316 "Sekarang kalian roboh!"
Hebat pembalasan si banci ini. Pertama kali yang terdengar adalah pekik murid Bu-tong, seorang
hwesio muda yang tadi menusuk pinggang si banci dari samping. roboh dan menggelepar dengan kepala
retak. Lalu ketika disusul oleh jerit atau pekik murid Hoa-san yang dikepret jeruji kipas maka tak lama
kemudian berturut-turut delapan yang lain roboh dengan kepala pecah!
"Prak-prakk!"
Cepat sekali gerakan itu. Bayangan biru menyambar ke sana-sini dan tubuh-tubuh segera
bergelimpangan. Ce Han Tojin sendiri terbanting dan bergulingan, nyaris diketuk ujung kipas yang
menyambar dahinya. Dan ketika Kong Tek Hwesio juga tertolak senjatanya menghantam kepala sendiri,
benjut maka hwesio itu bergulingan melempar tubuh.
"Awas, jangan terlampau dekat!" Beng Cit Ho-siang berteriak dan mundur dengan muka pucat. Tiga
kali toyanya menghantam namun tiga kali pula mental, bahkan semakin keras ia menggebuk semakin keras
pula daya tolaknya. Hampir saja ia sendiri seperti Kong Tek, dihajar dahinya. Dan ketika ia berhati-hati
mengelak sambaran kipas, bayangan biru itu bagai walet beterbangan maka Mo Mo Cinjin sendiri juga
menjauhkan diri karena tongkat di tangan kirinya patah, tinggal separoh.
"Ha-ha, ayo maju, jangan takut. Dewa Kematian menyongsong kalian!"
Semua terbelalak pucat. Kepungan yang ketat tiba-tiba melebar, mayat di dalam pertempuran sudah
berjumlah empat belas. Namun ketika Mo Mo Cinjin membentak dan maju lagi, berkelebat disusul Beng Cit
Ho-siang maka yang lain maju pula mengikuti.
Akan tetapi yang repot adalah ilmu belut yang dimiliki lawan itu. Pedangpun tak mampu membacok,
toya atau senjata lain terpental semua. Dan karena si banci juga memiliki gerakan cepat bagai kilat
menyambar, hampir tak ada yang dapat mengikuti maka semua menjadi jerih dan gentar.
Mo Mo Cinjin sendiri akhirnya mengakui bahwa Te-gak Mo-ki benar-benar orang luar biasa. Pukulan
atau hantaman mereka tak ada yang kuat, tubuh itu dilindungi sinkang aneh dan licin pula seperti belut. Dan
ketika ia bingung harus melakukan apa, Beng Cit Ho-siang juga terbelalak dan toyanya melengkung tiba-tiba
lawan mengeluarkan tawa aneh dan menyimpan kipasnya.
"Nah, cukup. Sekarang rasakan kelihaianku yang lain!"
Orang menjadi girang. Tadinya kipas membuat takut bagai momok saja, setiap bergerak tentu seorang
di antara mereka roboh. Maka ketika mereka berseru keras dan maju lagi, berani maka Mo Mo Cinjin sendiri
menjadi heran dan Beng Cit Ho-siang memandang curiga.
Betul saja, kejadian mengerikan malah terjadi lebih hebat. Ta Peh Hwesio yang berada di belakang
lawan dan membentak mengemplangkan toyanya tiba-tiba ditangkap, lawan membalik dan secepat kilat
menerima hantaman itu. Dan ketika sang hwesio berkutat menarik senjatanya tahu-tahu lawan bergeser maju
dan kuku kirinya menggurat pelipis hwesio itu. Sang hwesio tak mampu berkelit tapi tiba-tiba berteriak.
Ang-su-giat (Racun Semut Api) membakarnya. Dan ketika pedih dan panas serta gatal menyerang hwesio
ini, sute Beng Cit Ho-siang itu melempar tubuh bergulingan maka ia mencakar pipinya sendiri yang robek
dan pecah!
Kejadian ini tak berhenti di situ saja karena Te-gak Mo-ki membalik dan menghadapi yang lain.
Musuh yang girang melihat ia tak bersenjata sudah merangsek lagi, tak tahu bahwa bahaya mengancam
mereka. Dan ketika Ce Han ditangkap pedangnya lalu ditarik mendekati si banci maka laki-laki ini telah
mengguratkan kukunya lagi ke pundak si tosu.
"Rrt-rrt!"
Dua luka kecil mendarat di pundak, tidak merobohkan tosu itu namun akibatnya mengerikan. Sama
seperti Ta Peh Hwesio tosu ini merasa disengat api yang tajam, bukan sekedar tajam namun panas
membakar. Dan ketika ia berteriak dan melempar tubuh bergulingan maka tosu ini merobek pundaknya
mencakari seperti gila.
"Aduh..... augh, aduh...!"
Mo Mo Cinjin terbelalak. Ia melihat sutenya bergulingan dan berteriak menjerit-jerit. Pundak itu robek
disusul daging dan darah. Dan ketika sekujur tubuh lalu digaruk dan dicakar seperti gila maka sadarlah kakekKolektor E-Book
TAPAK TANGAN HANTU
BATARA
317 ini bahwa racun yang jahat mengamuk di tubuh sutenya itu.
"Te-gak Mo-ki, kau benar-benar iblis keji!"
Beng Cit Ho-siang juga terbelalak. Ia melihat sutenya nomor dua, Ta Peh, bergulingan dan sama
seperti sute Mo Mo Cinjin itu. Maklumlah dia bahwa racun yang amat ganas menyerang sutenya itu. Maka
ketika ia membentak dan marah menerjang maju tiba-tiba hwesio ini mengeretakkan gerahamnya membuang
toya mengganti dengan sepasang golok.
Akan tetapi si banci tertawa terkekeh. Ia mengibaskan tubuhnya, dua kali. Lalu ketika golok menusuk
jantungnya iapun menerima tenang dan...... bles, golok lewat begitu saja seakan menusuk roh halus!
Pucatlah Beng Cit Ho-siang melihat ini. Ia menarik senjatanya lagi dan mengamuk, lawan berkelebat
dan terkekeh-kekeh. Lalu ketika di sana pedang Mo Mo Cinjin juga seakan menusuk badan hantu, lewat dan
mundur berteriak maka semua kaget dan berteriak ngeri.
Sekarang Te-gak Mo-ki ini mengeluarkan ilmu hitamnya yang dahsyat. Ia bergerak dan maju mundur
menerima tikaman dan bacokan. Hek-be-kang tak dipakainya lagi karena ilmu belut itu sudah ganti. Ia
memperlihatkan kesaktiannya. Dan ketika lawan menjadi pucat dan gentar maka bergeraklah kukunya
menusuk sana-sini.
Murid-murid Bu-tong dan Hoa-san menjerit. Mereka bergulingan mengaduh-aduh. Dan ketika Mo Mo
Cinjin maupun Beng Cit Ho-siang membelalakkan mata maka bergeraklah iblis itu mengguratkan kukunya.
"Kau, sekarang giliranmu, Mo Mo Cinjin, dan kau juga si hwesio bau!"
Mo Mo dan Beng Cit mengelak namun gagal. Telinga dan lengan mereka tergurat. Dan ketika senjata
di tangan jatuh terlepas maka dua tokoh Bu-tong dan Hoa-san ini mengeluh roboh. Beng Cit terbakar
telinganya sementara Mo Mo Cinjin terserang lengannya. Mereka sudah mengerahkan sinkang namun racun
itu menerobos juga, pucatlah dua ketua partai ini. Dan karena pembantu yang lain sudah roboh bergulingan
tersiksa racun, beberapa di antaranya melarikan diri bersembunyi menjauhi si banci maka Te-gak Mo-ki
berkelebat pergi terkekeh-kekeh.
"Heh-heh, selamat menikmati kematian. Itulah hukumannya bagi yang berani melawan aku!"
Bu-tong-paicu dan Hoa-san-paicu merintih ngeri. Lawan lenyap meninggalkan mereka namun Mo Mo
Cinjin tiba-tiba menyambar sebatang pedang. Ketua Hoa-san ini sudah coba mendorong racun namun gagal.
Dan ketika ia menggerakkan pedang membacok lengannya, putuslah lengan itu maka tosu ini roboh terguling
pingsan.
Beng Cit melihat perbuatan rekannya dan tiba-tiba menggigit bibir. Iapun harus menyelamatkan diri.
Dan ketika ia mengambil pedang itu dan membacok telinganya maka hwesio inipun roboh dengan telinga
buntung!


Tapak Tangan Hantu Karya Batara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Habislah pertempuran itu. Bu-tong dan Hoa-san sama-sama sial, yang tersiksa akhirnya roboh dan
tewas. Dan ketika darah membasahi tempat itu sementara bulan menyembunyikan diri di balik awan hitam
maka perlahan-lahan angin bertiup dingin mengusir sisa-sisa panas dari marahan dan kebencian.
Te-gak Mo-ki telah membantai sebagian besar dari dua perkumpulan ini. Kalaupun ada yang hidup
maka mereka cacat, seperti halnya Mo Mo Cinjin dan Beng Cit Ho-siang itu. Dan ketika srigala melolong
dari jauh, beberapa hewan malam juga bergerak mencium bau darah akhirnya muncullah moncong-moncong
liar menjilat tubuh-tubuh yang bergelimpangan itu. Anjing dan tikus liar berpesta, beruntung bahwa tak lama
kemudian Mo Mo Cinjin maupun Beng Cit sadar, tak jadi sasaran hewan-hewan menjijikkan ini. Dan ketika
mereka menangis melihat kekejaman itu, mengusir dan melindungi para sute yang sudah menjadi mayat
maka malam itu dua ketua ini bekerja keras mengubur yang tewas.
Mo Mo Cinjin hampir gila. Beng Cit juga gemetar dan beberapa kali muntah. Tapi ketika pekerjaan
mereka selesai dan dua ketua ini meninggalkan hutan maka Beng maupun Mo Mo tak kembali lagi ke tempat
mereka. "Pinceng bersumpah akan mencari sahabat yang dapat menandingi iblis itu, tak kembali ke Bu-tong
kalau Te-gak Mo-ki masih hidup. Selamat berpisah, Hoa-san-paicu, kita mencari jalan sendiri-sendiri saja
mengobati kedukaan ini."
"Pinto juga tak kembali ke Hoa-san. Pinto akan mencari orang sakti yang dapat mengatasi kekejaman
iblis itu, Beng Cit lo-suhu. Pinto tak mau pulang kalau sakit hati ini belum terbalas!"Kolektor E-Book
TAPAK TANGAN HANTU
BATARA
318 "Selamat berpisah!"
Dua orang itu berangkulan lalu terhuyung pergi. Masing-masing membalik dan mencari jalan lain dan
sunyilah hutan yang menjadi kenangan buruk bagi dua tokoh ini. Mereka terpukul hebat. Dan ketika pagi
menjelang tiba sementara tempat itu menjadi bersih maka tampak dua gundukan tanah besar di kiri kanan
jalan. Kuburan para tosu dan hwesio yang telah dimakamkan Mo Mo Cinjin dan rekannya!
* * * Kakek muka merah itu berkerut kening. Tubuh Cia-taijin di pembaringan dipandangnya terkejut,
sementara Swi-goanswe dan Cia Sun serta ibunya menangis terisak-isak. Tapi ketika ia menarik napas
dalam-dalam dan mengangguk perlahan maka ia menyuruh yang lain keluar, kecuali Cia Sun dan Swi-
goanswe. "Ini racun yang memasuki minuman, bagaimana Cia-taijin sampai bisa begini!"
"Di istana ada seorang iblis. Kuat dugaan kami bahwa dialah biang keladinya, lo-enghiong. Kami tak
tahu asal mulanya tapi terdapat perselisihan antara Cia-taijin dengan manusia iblis itu. Mohon
pertolonganmu karena tabib tak dapat menyembuhkannya!" Swi-goanswe bicara dan jenderal tinggi besar ini
mengepal tinju. Akhirnya dia dan keluarga Cia-taijin ini tiba di tapal batas, selamat dan cepat menemui
kakek itu untuk minta pertolongan. Kakek ini berada di sebuah lembah di tengah padang rumput, tinggal di
sebuah gubuk kecil di mana di depan gubuknya itu berdiri kokoh sebuah pohon pek besar. Pohon itulah yang
menjadi tanda dari kejauhan. Maka ketika ia datang ke sini dan bertemu, girang maka kakek itu menerima
kedatangannya dan membawa Cia-taijin masuk ke dalam.
Swi-goanswe sendiri tak tahu siapa sebenarnya kakek muka merah ini. Tapi karena kakek itu selalu
berpakaian putih seperti orang berkabung, juga di dadanya terdapat gambar sepasang naga melingkar maka
ia menyebutnya Song-lo-enghiong (orang tua gagah Song), karena si kakek juga pernah menyebut-nyebut
dirinya sebagai "orang she Song" selain Liong-eng-hiong (orang tua Naga).
"Hm, kalian datang pada waktu yang tepat. Baiklah, dua jam lagi terlambat maka Cia-taijin tak dapat
kutolong lagi, goanswe. Carikan katak hijau dan ambil kencingnya, bawa enam ekor!"
Swi-goanswe terkejut. "Kencing katak hijau, lo-enghiong?"
"Benar, enam ekor. Dan kau, anak muda, bawa ke sini enam batang jarum dinding itu. Cepat!"
Cia Sun bergerak dan mengambil yang diminta. Ia sendiri terkejut dan heran oleh permintaan pertama
namun Swi-goanswe tak mau buang-buang waktu. Cepat jenderal ini keluar dan memerintahkan anak
buahnya mencari katak hijau. Beruntung waktu itu musim hujan, katak dapat dicari dengan cepat. Dan ketika
ia menjepit katak itu di bagian perutnya maka si kakek berseru bahwa perutnya harus di pencet, kencingnya
diminumkan ke mulut Cia-taijin.
"Jangan buang-buang waktu lagi, minumkan kencingnya sebanyak tiga gelas. Kau bantu ayahmu
membuka mulutnya, anak muda. Aku akan menggetarkan enam batang jarum ini di tubuhnya!"
Swi-goanswe terbelalak. Ia sudah menduga bahwa kencing katak pasti menjadi obat Cia-taijin, hanya
yang tak diduga adalah kencing itu harus diminum! Tapi karena perintah harus dijalankan sementara enam
batang jarum ditancap-tancapkan cepat, Cia Sun kagum betapa si kakek melempar-lemparkan begitu saja
enam jarum itu di tubuh ayahnya maka enam ekor katak rmulai dipenceti dan keluarlah cairan kuning
menuju mulut Cia-taijin.
"Crut-crut!"
Kencing katak meluncur masuk. Bau pesing menusuk hidung, Cia Sun berbangkis. Tapi ketika Swi-
goanswe menginjak kakinya agar menahan diri, kakek itu berkerut kening maka Cia Sun merah mukanya
mendengar dengus pendek.
"Huh, bocah lemah hati!"
Pemuda ini menahan diri. Lima katak dibuang Swi-goanswe dan katak keenam dipencet perutnya.
Tapi ketika kencing muncrat ke wajah pemuda ini maka Cia Sun muntah dan terbatuk kaget.
"Ah," Swi-goanswe terkejut. "Sembrono kau, Cia Sun. Jangan tutup mulut ayahmu!"Kolektor E-Book
TAPAK TANGAN HANTU
BATARA
319 "Aku jijik," pemuda itu gemetar. "Baunya memuakkan, paman, keras sekali. Aku..... aku tak tahan!"
"Suruh bocah itu mencari lagi," si kakek berseru, melotot. "Kau harus mencarinya dua ekor, anak
muda. Cepat atau pengobatan sia-sia!"
Cia Sun bingung. Ia hanya bertugas memegangi mulut ayahnya dan bukan mencari katak, yang
mencari adalah anak buah Swi-goanswe. Tapi ketika kakek itu menendangnya dan ia mencelat terlempar
maka pemuda ini mengaduh di luar pondok mendengar bentakan marah.
"Cari atau ayahmu mampus. Aku tak mau orang lain dan harus kau sendiri!"
Terpaksa pemuda ini terhuyung bangun. Ia merah padam dan muncullah bayangan Swi Pang, sang
kekasih. Dan ketika gadis itu terkejut menolongnya ia buru-buru melepaskan diri.
"Tak apa-apa, aku tak apa-apa. Sudahlah kau tunggu di sini aku menjalankan tugasku."
Cia Sun meloncat pergi. Alangkah malu dan mendongkolnya hati ini, baru pertama itu si kakek
menendangnya. Tapi karena keselamatan ayahnya benar-benar terancam dan ia menaruh harapan pada kakek
itu maka ia mencari katak hijau namun dua kali terjungkal masuk lumpur!
Hampir Swi-goanswe tertawa melihat ini. Wajah pemuda itu berlepotan, dua ekor katak berada di
tangan. Dan ketika kakek itu geli dan tersenyum mengangguk-angguk maka kencing katak harus cepat
diminumkan.
"Kau bantu pamanmu seperti tadi, atau kau harus minum kencing itu sendiri!"
Cia Sun kecut. Ia membuka mulut ayahnya lagi dan Swi-goanswe memencet perut katak, cairan
kuning kembali muncrat. Dan ketika tepat sekali mulut Cia-taijin akhirnya pengobatan ini selesai. Si kakek
menyuruh semuanya keluar.
"Cukup, sekarang aku tak mau diganggu. Keluarlah dan biarkan aku sendiri!"
Cia Sun memandang ayahnya dengan hati berdebar. Ia belum melihat perobahan apa-apa dan diam-
diam gelisah. Berhasilkah kakek itu menolong ayahnya? Mampukah menyembuhkan?
Tapi Swi-goanswe sudah menarik tangannya. Kalau dia khawatir adalah jenderal itu bersikap tenang,
gembira. Mata Swi-goanswe melihat perobahan kecil pada diri Cia-taijin itu, wajah yang mulai memerah.
Dan ketika ia menarik tangan pemuda itu diajak keluar maka di sana puterinya dan Cia-hujin menyambut.
"Bagaimana? Selesai?"
"Sabar, hujin tak usah khawatir. Aku percaya kepada kakek itu, Cia-taijin pasti sembuh!"
Nyonya ini bersinar. Ia menaruh harapan dan sudah mendengar tentang kepandaian Song-lo-enghiong
ini. Konon orang sekaratpun bisa sembuh! Maka ketika ia terisak dan mengangguk menaruh kepercayaan
maka Cia Sun menarik napas dalam dipandang kekasihnya dengan geli.
"Kau berlepotan, sebaiknya cuci muka dulu."
Pemuda ini sadar. Ia bergerak dan menuju belakang sementara ibunya dan Swi-goanswe tersenyum.
Lumpur yang melekat di wajahnya masih menempel, itulah gara-gara mencari katak hijau. Dan ketika semua
menunggu di ruang depan maka setengah jam kemudian terdengar keluhan Cia-taijin.
"Suamiku sadar!" Cia-hujin bangkit dan berlari masuk. "Ah, mari kita lihat, goanswe. Kakek itu
rupanya berhasil!"
Swi-goanswe meloncat dan mengejar pula. Pintu yang tak dikunci mudah saja dibuka, dua orang ini
sudah di dalam. Dan ketika Cia-taijin tampak duduk di pembaringan dengan muka kemerah-merahan, kakek
itu di belakang menahan punggungnya maka berteriaklah Cia-hujin menubruk suaminya itu. Cia-taijin
tampak sembuh dan sehat, meskipun kurus dan lelah.
"Suamiku...!"
Sang menteri tampak bingung. Ia memang telah sadar dan sembuh dari pengaruh racun tapi pikirannya
masih melayang-layang. Ia heran berada di gubuk sederhana, bersama seorang kakek tak dikenal. Dan ketika
ia terbatuk dan dapat bertanya, itulah suara pertama kali sejak ia menderita maka kehadiran isteri dan Swi-Kolektor E-Book
TAPAK TANGAN HANTU
BATARA
320 goanswe membuat ia heran, terkejut.
"Kau...... kau di sini? Di mana kita?"
"Ah, hu-hukk...... ! Kau sembuh, suamiku, syukur dan puji kepada Thian Yang Agung. Goanswe yang
membawamu ke sini, kita di utara tapal batas tembok besar!"
Cia-taijin terbelalak dan terguncang-guncang ditubruk isterinya ini. Sang isteri menangis dan
menciuminya berulang-ulang tapi tiba-tiba lelaki ini roboh. Ia lapar, lemas. Dan ketika Cia-hujin menjerit
tapi lega melihat suaminya tak apa-apa maka kakek itu tertawa berkata pada Swi-goanswe.
"Buatkan bubur untuknya, berikan daging katak hijau!"
Swi-goanswe mengangguk dan kebetulan dua anak muda masuk. Cia Sun mendengar suara ayahnya
ini dan Swi Pang menyusul ayahnya. Bukan main girangnya mereka melihat betapa si sakit sudah sehat. Tapi
ketika Swi-goanswe berseru pada puterinya untuk membuat bubur bagi Cia-taijin, juga mengolah tujuh katak
yang terengah-engah di lantai tiba-tiba gadis ini tertegun merasa jijik, geli.
"Song-lo-enghiong menyuruh itu, dagingnya harus dimasak pula. Siapkan bubur dan ambil katak-
katak itu."
"Aku geli, ih, jijik! Sebaiknya kau bunuh dulu mereka, ayah. Aku geli melihat perutnya yang besar
bulat itu!"
Swi-goanswe tertawa. Ia mencabut pedang dan tiba-tiba sinar putih berkelebat, tujuh katak terpotong
dua. Lalu ketika ia tertawa dan pedang telah lenyap lagi di sarungnya maka ia berseru pada puterinya untuk
tidak berayal lagi.
"Cepat, taijin lapar. Ia lemah dan lemas. Siapkan bubur paling enak dan kita rayakan kegembiraan
ini!"
"Tapi mana kakek itu?" gadis ini bertanya dan mengejutkan ayahnya. "Ia tak ada, ayah. Heran, tadi
masih di sini!"
"Hm, mungkin di luar. Sudahlah siapkan makanan itu dan kucari kakek ini!"
Swi-goanswe bergerak dan mencari kakek itu. Aneh, ia tak menemukan. Dan ketika mengira kakek itu
bepergian sebentar, mungkin satu dua jam lagi kembali ternyata hingga sore kakek ini tak muncul juga. Cia-
taijin sudah semakin sehat dan kuat, banyaklah cerita anak isterinya didengar. Dan ketika ia juga ingin
mengucap terima kasih kepada kakek itu ternyata Swi-goanswe tercenung di luar, maka bersinar kosong
memandang ke depan.
"Ia tak ada, tak mau menemui kita. Hm, inilah sepak terjang kakek itu, taijin, aneh dan tak suka
banyak peradatan. Kita agaknya tak mungkin bertemu lagi!"
"Bagaimana kau tahu?"
"Kamar pribadinya kosong, ia telah mengambil buntalannya pula!"
Lalu ketika Cia-taijin tertegun dan duduk bengong iapun termangu-mangu merasa menyesal juga. Ia
kelewat gembira bersama anak isterinya tadi, bubur telah memasuki perutnya pula dan perlahan-lahan
kekuatanpun timbul. Ia telah dapat berdiri dan berjalan sendiri, mula-mula gemetar dan hampir jatuh tapi
selanjutnya sang isteri tak usah menolong. Ia benar-benar merasa sehat, sembuh. Maka ketika tiba-tiba ia tak
melihat tuan penolongnya dan Swi-goanswe juga tampak kecewa maka tiga hari kemudian jenderal ini
menerima laporan bahwa di kota raja terjadi sesuatu yang mengguncangkan rakyat, suara bak halilintar
menyambar-nyambar disertai guruh dan badai.
"Dewa Kegelapan mengamuk. Istana dan seluruh rumah penduduk gelap gulita. Celaka, dunia seolah
hendak kiamat, goanswe. Lampu dan semua penerangan padam diserang angin ribut ini. Jendela dan pintu-
pintu penduduk beterbangan. Gerbang di kota raja juga ambruk!"
Swi-goanswe terbelalak. "Apa yang terjadi?"
"Kami tak tahu, tapi goanswe diminta datang ke sana. Separuh dari pasukan di sini mohon dibawa, sri
baginda ketakutan!"
Terkejutlah semua orang. Cia-taijin yang mendengar itu mengerutkan kening, Swi-goanswe sudahKolektor E-Book
TAPAK TANGAN HANTU
BATARA
321 berkelebat dan menyiapkan pasukan untuk dibawa ke kota raja. Tiga hari ini ia sudah tinggal di tempat
jenderal itu meninggalkan gubuk kosong, berdebarlah ia teringat kakek itu. Dan ketika Swi-goanswe muncul
dan buru-buru berpamit pergi maka ia yang selama ini tak diperbolehkan ke kota raja tiba-tiba menahan
lengan jenderal itu.
"Goanswe, aku ingin ikut. Rasanya sudah waktunya aku pulang!"
"Jangan!" sang jenderal kaget. "Musuhmu masih ada di sana, taijin. Te-gak Mo-ki dapat
mengancammu lagi. Biar aku ke sana dulu melihat keadaan, kau tinggal bersama anak isteriku!"
"Tidak, kita sama-sama mengabdi pada sri baginda. Kalau kau tak mau mengajakku aku dapat pergi
sendiri, goanswe. Betapapun aku ingin pulang!"
Terpaksa jenderal ini mengalah. Ia mengangguk dan menyiapkan kereta dengan pengawal, menyuruh
orang menjaga pembesar itu. Lalu ketika ia berangkat dan pamit bersama anak isterinya, Cia Sun dan ibunya
tinggal di situ maka benar saja suasana kota raja menggemparkan, gelap gulita!
Yang pertama ditemui jenderal itu adalah keanehan yang membuat ia dan seluruh rombongannya
tertegun. Awan gelap gulita di atas rumah-rumah penduduk, sementara di luar kota raja, di luar pintu gerbang
yang roboh matahari masih bersinar dengan cahayanya yang redup. Tapi ketika terdengar suara menggelegar
dan petir menyambar mereka, mencuat dari awan hitam maka rombongan terpelanting dan kuda meringkik
kaget. Kereta yang ditunggangi Cia-taijin kabur!
"Heii, jaga! Tangkap kereta itu!"
Swi-goanswe terkejut. Ia masih merasa aneh dan terheran-heran oleh kejadian yang tidak masuk akal
ini. Kota raja benar-benar gelap gulita sementara di luar, di empat penjuru hari masih cukup terang.
Meskipun redup namun matahari dapat menyinari tempat itu, sinarnya menembus lemah kekuning-kuningan.
Saat itu paling tidak masih sekitar jam empat sore. Dan ketika kilat kembali menyambar dan kali ini
membuat kuda sang jenderal tersentak kaget maka kuda itu meringkik dan memutar tubuhnya lari menggila,
ketakutan!
"Keparat!" Swi-goanswe menahan tali kekang kuat-kuat. "Berhenti, kuda jahanam. Berhenti!"
Akan tetapi yang terjadi sebaliknya. Kilat kembali menyambar dan para perajuritnya berteriak, kuda
tunggangan lari ke delapan penjuru dan kacaulah keadaan. Tak ada lagi yang mampu menguasai hewan
tunggangannya. Dan ketika kuda menggigit putus tali yang ditarik kuat-kuat akhirnya Swi-goanswe
terpelanting dan jatuh dari kudanya. Guntur dan kilat yang menyambar-nyambar itu membuat semua
ketakutan.
Namun jenderal ini mampu menguasai diri. Ia berseru melempar tubuh tiga kali dan selamat ke tanah,
terhuyung. Dan ketika pengawalnya juga melakukan hal yang sama dan melempar tubuh dari atas kuda yang
gila akhirnya masing-masing mengeluarkan keringat dingin dan saat itulah Swi-goanswe mendengar suara
sayup-sayup sampai.
"Swi-goanswe, jangan masuk ke dalam, berbahaya. Tetap saja di situ dan sebaiknya kalian berlindung
di dalam hutan!"
"Song-lo-enghiong!" sang jenderal berseru dengan suara kaget. "Ah, kau di mana, lo-enghiong. Apa
yang terjadi dan bagaimana tiba-tiba begini, bagaimana nasib sri baginda!"
"Beliau selamat, bersembunyi. Jangan bertanya dan bawa pasukanmu ke dalam hutan, goanswe. Aku
sedang bertanding dengan saudara-saudaraku dan hari ini penyelesaian...... blaarr!" bunga api membuncah di
angkasa, sedetik menciptakan sinar terang-benderang dan Swi-goanswe melihat lima orang bertempur hebat
di sana, beterbangan dan menyambar bagai naga mengamuk dan satu di antaranya seorang wanita baju
hitam, melengking dan memekik-mekik dan suara itulah yang mirip halilintar atau petir yang marah, disusul
atau ditumpuk oleh geram dan bentakan gusar empat orang yang lain. Tapi ketika sinar di angkasa itu
menghilang terganti suasana gelap kembali maka jenderal ini tak tahu apa lagi yang terjadi namun
pasukannya dan semua orang terbelalak menyangka sedang terjadi pertarungan antara iblis dan para
pendekar.
Kiranya kakek muka merah itu telah berada di kota raja. Ia meninggalkan gubuknya di utara dan juga
Cia-taijin dan Swi-goanswe. Orang tak tahu ia ke mana tapi yang paling kaget adalah Te-gak Mo-ki. Inilah
Song-bun-liong kakak seperguruannya. Kakek itu langsung mendatangi istana setelah melihat penyakit Cia-
taijin, marah dan hendak menegur tapi Te-gak Mo-ki malah menantangnya. Dan ketika ribut-ribut di antara
mereka tak dapat dihindarkan akhirnya Te-gak Mo-ki menyerang suhengnya itu dan terjadilah pertempuranKolektor E-Book
TAPAK TANGAN HANTU
BATARA
322 hebat.
Mula-mula kakek ini menemui sutenya secara baik-baik. Keterangan Swi-goanswe bahwa di istana
terdapat iblis jahat telah membuat kakek ini maklum. Sekali lihat tahulah ia perbuatan siapa itu. Maka ketika
ia datang dan sutenya terkejut, waktu itu si banci ini sedang bermain cinta dengan seorang pemuda. maka
Song bun-liong, si Naga Berkabung itu memerah mukanya. Di sudut kamar itu menggeletak dua pemuda lain
yang rupanya juga baru bermain cinta, menjijikkan.
"Hm!" kakek ini datang mengerahkan ilmunya. "Selamat malam, sute, tak kunyana seperti ini sepak
terjangmu. Kau mempengaruhi mereka dengan Toat-seng-hoat-sut. Keji, tak berperasaan!"
Te-gak Mo-ki terkejut. Ia baru saja mempermainkan korbannya seorang pemuda petani, berkulit hitam
namun tegap dan berotot. Sekarang si banci ini telah bosan dengan pemuda-pemuda istana, terlalu halus
mereka itu. Maka ketika siang tadi ia menemukan pemuda berkulit hitam ini, langsung menusukkan pandang
matanya dan kagum oleh tubuh berotot itu segera ia membawa korbannya ini ke tempatnya dan malam itu ia
membuat lawan terengah-engah kehabisan tenaga. Pemuda itu telah diperas dan dipaksa pula melayani dua
pemuda di sudut kamar itu, yang kini tertidur setengah pingsan dengan tubuh telanjang bulat.
"Suheng!" Te-gak Mo-ki menyambar pakaiannya dan terkejut. "Ah, mau apa kau di sini, suheng.
Kenapa mengganggu aku!" lalu berkelebat dan menghilang meninggalkan kamar si banci ini telah berada di
wuwungan bersama suhengnya itu. Kakek muka merah itu memperlihatkan diri dari jauh dan tak dilihat
pemuda-pemuda di dalam itu, kini berdiri saling berhadapan.
"Hm!" kakek itu menegur. "Kau melanggar larangan, sute. Kau membuat dosa. Kita Ngo-cia Thian-it
(Lima Nabi Langit Tunggal) tercemar oleh perbuatanmu. Kau harus menghentikan itu!"
"Ha-ha.... hi-hik! Kau lucu, suheng, kenapa menggurui aku. Semua sepak terjangku adalah tanggung
jawabku juga, kenapa ikut campur. Justeru kau melanggar larangan dengan berani mengganggu dan menegur
aku. Ingat bahwa kita tak boleh menyinggung yang lain. Aku tak pernah mengganggumu!"
"Benar, tapi.... hmm, perbuatanmu keji, sute. Tak kusangka sedemikian jauh langkahmu. Kau
menyiksa Cia-taijin, kau mempermainkan puteranya pula. Dan karena kulihat pemuda-pemuda lain di sini
maka kupercaya keterangan di luar bahwa kau berobah. Kau tak patut bergelar Cia-jin (Nabi)!"
"Hi-hik, heh-heh, kau lucu. Ah, kau termakan omongan orang, suheng, sejak kapan mulai terpengaruh.


Tapak Tangan Hantu Karya Batara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Gelar itu bukan kita yang minta, apa perdulinya. Nabi atau bukan hanya sebutan saja. Aku ingin bebas!"
"Dan kau membunuh-bunuhi orang-orang Bu-tong dan Hoa-san, kau semakin melenceng dari
kebenaran. Sute, aku tak dapat menerima perbuatanmu ini dan sadarlah, buang sikap itu dan pertahankan
gelar kita. Atau aku membawamu ke saudara-saudara yang lain dan menghukummu di sana!"
"Heh, sombong. Dua kali kau menyinggung aku. Eh, ingat janji dan sumpah kita, suheng. Kita Ngo-
cia Thian-it tak akan bercekcok satu sama lain, tak saling mengganggu. Jaga mulutmu dan jangan membuat
aku marah!"
"Tindakanmu melenceng," kakek itu membentak. "Apa kata orang kalau sepak terjangmu teramat
buruk, sute. Sebagai saudara tua aku berhak menegur. Kembali dan buang watakmu yang jahat ini ke dalam
kebenaran. Sejak kapan kau menjadi sesat!"
"Heh-heh, hi-hik! Kau yang sesat dan melanggar kebenaran, suheng. Kau yang buruk dan bertindak
tak semestinya. Sejak kapan seorang di antara kita diperbolehkan menegur yang lain, sejak kapan kau
dianggap hakim meskipun saudara tua. Hm, kepandaian kita tak berbeda jauh, suheng, yang tua dan yang
muda hanya karena usia. Aku tak pernah mengganggu dan menegurmu dan tak layak kalau tiba-tiba
sekarang kau mengganggu dan menegurku. Urusanku adalah tanggung jawabku sendiri, bukan urusanmu.
Pergilah dan jangan ribut di sini atau aku menghadapimu sebagai lawan!"
Marahlah kakek ini. Memang di antara mereka bersaudara terdapat semacam perjanjian atau sumpah
bahwa satu sama lain tak boleh mengganggu atau menegur. Sumpah itu ditaati bersama dan harus di
laksanakan. Tapi karena sutenya ini melenceng dari kebenaran dan ia tak dapat membiarkan itu, korban-
korban berjatuhan maka ia semakin marah oleh tantangan ini.
"Kau!" bentaknya. "Tak patut kurang ajar kepada yang tua, sute. Aku datang bukan untuk mencari
pertikaian tapi sekedar mengingatkanmu. Hentikan itu atau aku menyeretmu ke saudara-saudara yang lain!"
"Heh-heh, tiga kali. Keparat, tiga kali kau melukai perasaanku. Jangan sombong dan semena-mena,
suheng, jangan mengagulkan diri sebagai saudara tua. Aku tak takut kepadamu dan justeru aku yang akanKolektor E-Book
TAPAK TANGAN HANTU
BATARA
323 melapor bahwa kau melanggar ketertiban!" si banci merogoh sakunya dan secepat kilat paku-paku beracun
menyambar suhengnya itu. Song-bun-liong si kakek merah berseru marah, ia waspada dan mengebut semua
paku-paku ini. Tapi ketika sutenya berkelebat dan mendorong dadanya maka ia berkelit dan menggerakkan
lengan ke atas menangkis pukulan sutenya itu.
"Dukk!"
Dua-duanya terpental dan terpelanting ke bawah. Te-gak Mo-ki yang gagal mendorong suhengnya
menjadi marah, berjungkir balik dan membentak serta menyerang lagi ketika masing-masing sudah di atas
tanah. Dan ketika di belakang gedung itu terjadi pertandingan cepat maka angin berkesiur menderu-deru dan
pohon-pohon bergoyang seakan diterpa angin ribut.
"Sute, sadarlah. Hentikan perbuatanmu dan pergi dari sini dan akupun akan pergi!"
"Heh-heh, terlambat. Kaulah yang pergi dan jangan mengganggu aku, suheng. Enyahlah atau aku
membunuhmu..... dess!
Sang kakek berseru marah dan menangkis menambah tenaganya. Tak disangka sang sute secara licik
mencabut kipas dan menotok dengan cepat. Te-gak Mo-ki menyembunyikan gerakan itu di balik lengan baju
yang lebar, totokan ujung kipas langsung ke urat leher. Dan ketika Si Naga Berkabung terhuyung dan
mengeluh tertahan, serangan itu benar-benar menghendaki kematiannya maka kakek ini roboh dan terguling,
uratnya putus!
Te-gak Mo-ki terkekeh dan berkelebat maju. Ia girang melihat lawannya roboh dan bermaksud
menusuk sekali lagi, ujung kipas meruncing dan kali ini menuju jantung. Sekali coblos tentu pecah. Tapi
ketika terdengar geraman dan kakek itu bangkit lagi, tubuhnya menggelembung tiba-tiba ia mengibas dan
kipas serta pemiliknya terbanting.
"Sute, kau keji. Kau benar-benar hendak membunuhku. Heh, terimalah dan jangan sombong!"
Si banci menjerit dan bergulingan. Ia kaget lawan tak apa-apa, bangkit dan sudah biasa lagi dengan
tubuh menggelembung. Itulah Kim-kong-ciok (Ilmu Arca Emas). Dan ketika ia meloncat bangun dan
menyerang namun tubuh suhengnya sudah seperti arca batu, kipas tak ada gunanya menotok atau menampar
akhirnya ia terdesak dan marahlah pemuda ini mengeluarkan Hek-be-kangnya.
"Duk-plak!"
Pukulan si kakek melenceng membentur tubuh yang licin. Bagai belut atau ular menggeliat akhirnya
pukulan atau balasan si kakek tak menghasilkan apa-apa. Kim-kong-ciok bertemu Hek-be-kang! Dan ketika
si banci terkekeh dan kakek itu marah akhirnya masing-masing bergerak lebih cepat dan tak ampun lagi
dinding rumah tergetar dan pohon-pohon di sekeliling tumbang!
Nyata bahwa Ilmu Belut benar-benar efektif melindungi diri. Te-gak Mo-ki berkelebatan menyambar-
nyambar dan pukulan lawan meleset mengenai tubuhnya. Tapi karena iapun tak mampu merobohkan
suhengnya yang sudah sekeras arca emas, mata dan telingapun tak dapat ditusuk kipas maka dua orang ini
benar-benar berimbang dan masing-masing menaruh kekaguman.
"Bagus, kau semakin hebat, tapi juga sombong. Hm, jangan tertawa senang dulu, sute. Lihat seberapa
lama kau dapat bertahan!"
"Heh-heh, kaupun mengagumkan. Jangan ngimpi untuk mengalahkan aku, suheng. Boleh jadi
tenagaku habis untuk bermain cinta namun kaupun sudah tua. Hi-hik, kita berimbang!"
Kakek ini menggeram. Memang harus diakui bahwa ia mengharap kejadian itu, lelahnya sang sute
dalam pertandingan yang lama. Tapi karena iapun sudah tua dan tenaga juga berkurang, hasil mereka tentu
berimbang maka kakek ini meledakkan tangannya dan tiba-tiba segulung asap putih menyambar sutenya itu.
Kakek ini menghilang dan tiba-tiba berubah bentuk, ujudnya menjadi naga!
"Sute, aku akan menangkapmu. Menyerahlah, dan kita pergi dari sini!"
Te-gak Mo-ki berteriak. Ia kehilangan lawan dan sebagai gantinya disambar asap putih tebal itu, tentu
saja terkejut. Dan ketika ia melempar tubuh namun naga di balik asap itu menyambar, kedua kaki depannya
mencengkeram dadanya tiba-tiba si banci ini melengking dan keluarlah jeritannya yang panjang
menggetarkan. Istana bagai roboh oleh suaranya yang dahsyat ini.
"Aarrgggghhhhhh!"Kolektor E-Book
TAPAK TANGAN HANTU
BATARA
324 Lenyaplah si banci menjadi harimau raksasa. Harimau ini menangkis cengkeraman naga dan balas
menggigit. Tapi ketika naga mengelak dan membelit tubuhnya maka harimau melonjak dan terbanting lagi
ke tanah.
"Bummm!"
Dua mahluk dahsyat itu bergulingan. Naga membelit harimau namun harimau menggigit dan
mencakar. Dan ketika masing-masing sama terluka dan kesakitan akhirnya naga lenyap berubah menjadi
rajawali, didahului ledakan.
"Blarr!"
Harimau kebingungan namun tiba-tiba terangkat naik. Rajawali datang menerkamnya dan meronta-
rontalah dia, dijatuhkan dan ditangkap lagi empat lima kali. Tapi ketika harimau meraung berubah ujud,
lenyap ketika terbanting ke tanah maka muncullah seekor garuda raksasa yang menerkam dan menyerang
rajawali itu.
Terjadilah pertarungan sengit di udara. Rajawali kalah besar lalu mencipta diri lebih besar lagi, sebukit
tingginya. Dan ketika garuda menjadi kecil dan kalah perkasa akhirnya garuda memperbesar diri hingga
sama seperti lawannya, menyambar dan beterbangan dan hiruk-pikuklah suasana di angkass. Udara menjadi
gelap oleh sayap sepasang burung raksasa ini, istana gempar. Dan ketika penduduk juga ketakutan dan
matahari tertutup oleh tubuh dua ekor burung ini maka gelap gulitalah seluruh kota raja sementara angin
kibasan atau deru sepasang burung itu memadamkan semua lampu-lampu dan penerangan yang ada.
Pertandingan ternyata berjalan lama sehari semalam. Penduduk benar-benar panik dan pintu serta
jendela roboh. Dan ketika pertandingan berjalan pada hari ke dua mendadak muncullah seorang wanita baju
hitam yang terbang ke angkasa.
"Heii, suheng berdua. Apa yang kalian lakukan ini hingga tempat pertapaanku tergetar. Berhenti,
bagaimana bertanding mati hidup. Apa yang terjadi!"
"Heh-heh, sumoi kiranya. Bagus, twa-suheng mengganggu dan memaki-maki aku, sumoi. Pantaskah
itu dilakukannya kepada sesama saudara."
"Tutup mulutmu! Aku datang hanya untuk menasihati dan menyuruhmiu berjalan di atas kebenaran,
sute, bukan mengajakmu bertikai. Siapa menyerang dulu!"
"Bagus, tapi siapa menyakiti perasaan terlebih dahulu. Heh, seranganku karena perbuatanmu, suheng.
Kau melanggar pantangan di antara kita!"
"Tapi perbuatanku karena perbuatanmu juga. Kalau kau tidak bercinta dengan sesama lelaki dan
membunuh-bunuhi orang Bu-tong atau Hoa-san tak mungkin aku datang. Sute, kau melenceng dari gelar
Nabi, kau Iblis!"
Lalu ketika keduanya bertempur hebat dan wanita baju hitam tampak tertegun, bingung maka rajawali
dan garuda itu sama-sama mengelepakkan sayapnya, saling hantam.
Bresss!"
Dua-duanya terpental dan terbanting. Udara semakin gelap oleh debu yang tertimpa tubuh mereka,
wanita baju hitam masih terbelalak. Tapi ketika menyambar sesosok bayangan lain bertubuh tinggi besar,
bertaring dan menyeringai maka terdengarlah suara menggelegar,
"Sute, suheng, apa yang kalian lakukan ini. Kenapa membuat samadhiku batal!"
Dua orang itu terkejut. Mereka telah melompat bangun dan serang-menyerang lagi tak perduli yang
lain, masing-masing masih tetap sebagai rajawali dan garuda raksasa. Tapi ketika raksasa tinggi besar itu
melompat dan menghantam rajawali, pukulannya mengenai punggung maka rajawali terhempas dan menjadi
kaget.
"Heii!" wanita baju hitam melompat. "Kau curang, suheng. Kenapa menyerang!
"Aku tidak menyerang," raksasa itu berseru, "aku melerai, sumoi, mencegah mereka. Guha
pertapaanku roboh dan samadhiku gagal. Tak sepatutnya yang tua menyerang yang muda, yang tua harus
mengalah!" dan mendorong serta melepas pukulan lagi raksasa ini menghantam rajawali hingga memekik-
mekik, terbang dan dikejar garuda dan marahlah wanita baju hitam itu. Ia bukan lain Hek-i Hong-li adanya,
sementara raksasa itu adalah Mo-bin-jin. Dan ketika wanita ini berkelebat dan menangkis pukulan si raksasa,Kolektor E-Book
TAPAK TANGAN HANTU
BATARA
325 Mo-bin-jin marah maka raksasa itu membalik dan akhirnya menghantam sumoinya ini.
"Desss!"
Sang sumoi terhuyung dan melotot. Ia memaki suhengnya itu dan membalas. Lalu ketika mereka
bertempur dan udara semakin pekat maka terjadilah pertandingan seru di antara empat orang itu, ganti-
berganti melawan yang lain sampai akhirnya Hek-i Hong-li terang-terangan membela Song-bun-liong. Setiap
pukulan Te-gak Mo-ki atau Mo-bin-jin yang diarahkan ke kakek muka merah itu selalu ditangkis. Dan
karena kakek ini juga selalu menangkis pukulan-pukulan yang diarahkan ke sumoinya maka tiba-tiba mereka
sudah saling membentuk kelompok sendiri menyerang yang lain.
"Bagus, twa-suheng memang licik. Ia tua bangka tak tahu malu, ji-suheng (kakak kedua). Arif di luar
tapi kotor di dalam. Lihat, ia masih mencintai sumoi!"
"Heh, memang begitu. Twa-heng Song-bun-liong memang tak tahu malu, sute. Setua ini masih juga
mencinta wanita muda. Ah, untung tak diterima sumoi!"
"Tutup mulutmu!" Hek-i Hong-li melengking-lengking. "Jangan menggosok atau membakar hatiku,
ji-heng. Twa-heng orang baik-baik dan kalau bukan karena suheng (kakak keempat) tentu kuterima cintanya.
Kalian tak usah membakar, dari dulu sampai sekarang kalian memang jahat!" dan marah memaki-maki Hek-i
Hong-li yang memang cantik ini menyerang dan menangkis lawannya membela twa-suheng (kakak
pertama).
Kiranya memang terjadi kasih asmara di antara orang-orang ini. Song-bun-liong, si Naga Berkabung
diam-diam ternyata mencinta sumoinya ini. Hek-i Hong-li adalah saudara termuda tapi masih ada saudara
mereka yang lain, yakni orang nomor empat dari Ngo-cia Thian-it. Orang ini bukan lain adalah Sian-eng-jin
yang belum datang, mungkin belum tahu. Dan karena saudara nomor empat itu juga mencinta wanita ini,
timbullah semacam persaingan di antara dua lelaki itu maka Naga Berkabung yang merasa sebagai yang
tertua mengalah, pergi menyingkir.
Tapi Sian-eng-jin merasa malu. Sesungguhnya ia tahu bahwa sumoinya itu lebih condong kepada
kakak seperguruannya itu daripada dia. Aneh bahwa Hek-i Hong-li mencinta kakek yang tua itu, bukan lelaki
lain yang lebih muda. Dan ketika wanita atau gadis itu menangis ditinggal twa-hengnya, diam-diam Sian-
eng-jin melihat itu dari jauh maka lelaki ini terpukul dan akhirnya pergi juga. Hek-i Hong-li sendiri.
Namun akhirnya Hek-i Hong-li dapat menemukan twa-hengnya itu. Ada sesuatu yang menarik dari
diri kakak seperguruannya tertua ini, yakni kepribadiannya yang matang dan tindak-tanduknya yang bijak.
Maka ketika ia dinasihati agar pulang dan mencari kakaknya nomor empat, Sian-eng-jin maka twa-
suhengnya itu berkata bahwa yang lebih tepat mendampingi gadis itu adalah saudaranya itu.
"Aku sudah tua, tak pantas untukmu. Aku pergi sengaja memberi kesempatan kepada kalian, sumoi,
agar sute (adik ke empat) dapat bersama denganmu. Pulanglah, aku lebih tepat bertapa dan merantau.
Binalah hubungan rumah tangga yang harmonis dan aku turut bahagia kalau kalian bahagia."
"Tapi suheng sombong!" Hek-i Hong-li tersedu. "Ia selalu tak mau kalah denganku, twa-heng. Watak
itulah yang kubenci biarpun untuk yang lain-lain suheng memang baik!"
"Hm, kesombongan tak akan lama. Ia tak mau dikalahkan karena sute merasa sebagai lelaki, sumoi,
tak mau kalah dengan wanita. Ia tak bermaksud menyakiti hatimu selain terbatas karena itu saja."
"Namun kepandaian kami setingkat!"
"Benar, kaupun tak jauh dariku. Tapi itu bukan masalah, sumoi. Asal kau dapat mengalah dan biarkan
saja begitu lama-lama watak sutepun dapat berubah. Sudahlah, aku sudah tua dan cukup mencintaimu begini
saja. Kau akan hidup lebih berbahagia dengan yang sebaya denganmu."
Hek-i Hong-li tersedu-sedu. Justeru kelembutan seperti inilah yang tak ada pada diri kakaknya nomor
empat. Suhengnya itu selalu mau di atas dan ia anggap setingkat di bawah, padahal twa-suhengnya ini tak
pernah merendahkan dan menganggap dia sederajat. Sikap dan perbuatan twa-hengnya ini memang selalu
menyentuh, banyak mengalah. Dan ketika ia bangkit berdiri dan berlari pulang, bingung dan gregeten maka
sejak itu ia masih mengenang twa-hengnya ini dengan penuh kemesraan, kagum. Apalagi ketika ia tahu
betapa twa-hengnya itu mendekati dan menasihati suhengnya itu, kakak nomor empat.
"Kau tak boleh merasa lebih tinggi, kalian setingkat. Lembut dan bersikaplah lunak kepada sumoi,
sute. Binalah rumah tangga dan kuserahkan ia kepadamu. Jagalah baik-baik, buang kesombonganmu."Kolektor E-Book
TAPAK TANGAN HANTU
BATARA
326 "Suheng...... suheng menyerahkan ia kepadaku?"
"Benar, kau lebih tepat. Aku sudah tua, sute, harus tahu diri. Orang setua aku tak pantas untuk yang
muda. Ambillah dan bujuk sumoi tapi buang sikapmu yang sombong itu. Ia tak berada di bawahmu."
"Tapi sumoi wanita, harus tunduk kepada laki-laki!"
"Hm, kalau begini caramu kau tak dapat merengkuh sumoi, sute. Kau tak akan berhasil. Sekali lagi
buang pendapat itu karena kau dan sumoi setingkat."
"Namun aku laki-laki!"
"Baiklah, aku sudah memberi nasihat," lalu ketika kakek itu pergi dan Hek-i Hong-li kembali tersedu,
kebetulan waktu ia mengintai di balik batu besar maka wanita ini tiba-tiba menerjang kakaknya nomor empat
itu, penuh kemarahan.
"Suheng, kau tak tahu malu kepada twa-heng. Sedemikian rupa ia membujuk dirimu. Cih, kau benar-
benar sombong dan tak tahu diri. Lihatkah dapatkah kau merobohkan aku dan siapa yang seharusnya di
atas!" dan ketika sang suheng terkejut tapi menangkis, bertanding namun tak ada yang kalah atau menang
akhirnya Sian-eng-jin merasa malu dan melompat pergi.
Hek-i Hong-li dibuat bimbang oleh dua laki-laki ini namun akhirnya bersumpah tak mau menikah. Ia
benci kepada kakaknya nomor empat itu, juga kadang-kadang kepada twa-hengnya yang lembut namun
mengalah untuk menyingkir, hal yang justeru membuat ia merana! Maka ketika bertahun-tahun mereka tak
bertemu lagi dan hari itu terjadi pertandingan seru maka wanita ini tentu saja membela kakek itu karena. si
Naga Berkabung dikeroyok!
Jilid XXIII
"AKU akan membela twa-heng mati-matian. Kalian atau aku yang mampus!" wanita ini menerjang
dengan pukulan-pukulan maut namun lawan berkelit dan menangkis. Kalau Mo-bin-jin yang menangkis
maka Hek-i Hong-li selalu terhuyung. Hanya terhadap Te-gak Mo-ki ia tergetar sedikit. Dan ketika lawan
membalas dan pukulan-pukulan juga semakin berat akhirnya pada hari ketiga dua pasangan ini sudah
menghabiskan ribuan jurus. Kota raja gelap gulita dan rakyat semakin panik.
"Sute, kalian tak tahu diri. Lihat sepak terjang kita membuat orang-orang di bawah ketakutan!"
"Ha-ha, perduli orang lain, suheng. Kau mundur atau menyerah kalah!" Te-gak Mo-ki bertanding
mulai lamban namun deru pukulannya kian berat. Mereka sudah berganti rupa ratusan kali, terakhir
menghentikan semua sihir karena percuma ditolak lawan. Sekarang masing-masing menjadi manusia biasa
akan tetapi dapat terbang. Ini karena kesaktian mereka yang sudah demikian luar biasa, mampu membuat
tubuh tak berbobot dan melayang-layang di udara. Raksasa Mo-bin-jin juga berkelebatan tak menginjak
tanah dan tubuhnya yang tinggi besar itu seakan kapas ringan saja. Raksasa itupun seakan tanpa bobot. Tapi
ketika pertandingan berjalan terus dan gunung-gunung berguguran, dalam jarak seribu tombak semua
tanaman roboh maka muncullah orang ke empat yang berjuluk Sian-eng-jin (Bayangan Dewa) itu.
"Hm, suheng dan sumoi berempat. Apa yang kalian lakukan ini dan gilakah bertempur mati hidup.
Kenapa kalian mengguncangkan Sian-thian-san (Gunung Para Dewa) yang menjadi tempat tinggalku. Tidak
tahukah kalian samadhiku menjadi berantakan!"
"Bagus, kenapa baru datang. Heii, sam-suheng ini menyerang twa-heng, suheng (kakak nomor empat).
Hayo bantu dan bunuh mereka ini!"
"Bagus, tiga lawan dua. Ha-ha, majulah sute. Ayo keroyok kami dan rebut kegagahan itu sebagai
milik kalian!" Te-gak Mo-ki, yang terkejut dan diam-diam berubah wajahnya buru-buru berseru dan
memerahkan telinga. Kalau saudara nomor empat itu maju dan mengeroyok mereka tentulah celakalah dia.
Sekuat-kuatnya berdua tentu lebih kuat tiga orang. Dan ketika Sian-eng-jin tertegun dan diam terbelalak, tak
maju menyerang adalah ji-suhengnya tertawa bergelak dengan suaranya yang gemuruh.
"Sian-eng-jin, tak perlu ragu-ragu. Maju dan mari sekalian ramai-ramai. Ayo keroyoklah kami dan
lihat apakah kegagahanmu masih seperti dulu!"
"Hm, ji-heng menantang. Aku datang bukan untuk berkelahi, ji-heng, melainkan bertanya danKolektor E-Book
TAPAK TANGAN HANTU
BATARA
327 mencegah kalian. Masa kita berlima harus saling pukul dan bunuh!"
"Cerewet, seperti nenek-nenek. Kalau kau tak mau membantu mereka hayo kau bantu kami, sute.
Mereka melanggar janji dengan menghina sam-te (saudara nomor tiga)!"
"Bohong, ji-heng dusta. Adalah sam-heng (kakak nomor tiga) yang menyerang twa-heng, suheng.
Sam-heng keparat itu membunuh orang-orang Hoa-san dan Bu-tong dan mempermainkan pemuda-pemuda
gagah sebagai teman bercintanya. Apakah pantas itu dilakukan oleh orang seperti kita!" Hek-i Hong-li
melengking, mendahului kakaknya dan Sian-eng-jin saudara nomor empat tentu saja terkejut. Ia tak tahu
sepak terjang Te-gak Mo-ki tapi berkerut mendengar laporan ini. Sumoinya bukanlah orang yang suka dusta.
Maka ketika ia menjadi merah karena itu memalukan Ngo-cia Thian-it (Lima Nabi Langit Tunggal) maka
tiba-tiba ia disambar sebatang paku beracun yang menyambar lehernya.
"Sute, kekasihmu sudah bercuap-cuap. Daripada twa-heng merampas sumoi lebih baik cepat saja
bantu kami. Atau kau kalah cepat dan seumur hidup gigit jari!"
Pria ini semburat. Ia paling tak senang kalau orang menyebut-nyebut kegagalannya dengan Hek-i
Hong-li, cepat naik darah. Maka ketika ia berkelit tapi ji-suhengnya tertawa bergelak, tiba-tiba
menyerangnya dengan pukulan dahsyat maka Sian-eng-jin berkelebat dan menangkis amat gusar.
"Ji-suheng, kau dan sam-heng selamanya curang. Jangan kira aku takut dan tak tahu siapa salah siapa


Tapak Tangan Hantu Karya Batara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

benar...... dess!" bunga api meledak, dentum pukulan mengguncangkan bumi dan terpentallah keduanya oleh
adu pukulan itu. Mo-bin-jin tampak terbelalak tapi marah kepada sutenya itu. Sian-eng-jin berani melawan!
Maka ketika ia memekik dan mencabut sebuah gada besar, taringnya mencuat enam inci maka dengan gada
itu ia menghantam dan memukul sutenya.
"Bress!" Sian-eng-jin menghilang dan lenyap menyelamatkan diri. Dari taring suhengnya menyambar
pula dua cahaya berkilat karena Mo-bin-jin mengeluarkan Sengatan Taring Sakti (Sin-ci-beng). Sekali
cahaya ini mengenai sasarannya maka bajapun bakal berlubang, hangus. Maka ketika pria itu melesat dengan
kecepatannya yang luar biasa dan ia menyelamatkan diri, cahaya dari ujung taring itu, menghajar tanah maka
terdapat lubang sedalam belasan meter selebar telunjuk orang dewasa. Bumipun tak kuat menahan.
"Bagus, ha-ha. Ke mana kau, sute. Ayo tampakkan dirimu dan lihat kesaktianku!"
Mo-bin-jin berseru akan tetapi lawan sudah berada di belakang punggungnya. Sian-eng-jin atau
Bayangan Dewa ini melompat dan membalik dengan cepat. Ia marah oleh serangan tadi dan membalas. Dan
ketika telapaknya menjadi benda keras berhawa dingin, menghantam tengkuk suhengnya itu maka raksasa
ini terdorong namun tidak apa-apa.
"Nguk!"
Hanya suara itu yang keluar dari tenggorokannya. Pukulan amat keras dan batupun hancur. Sian-eng-
jin mengerahkan Pek-mo-in-kangnya pada pukulannya tadi, tidak main-main. Akan tetapi ketika suhengnya
hanya terangguk sedikit dan tidak apa-apa, tubuh raksasa itu seakan gunung saja maka raksasa itu tertawa
bergelak mengejek sutenya.
"Ha-ha, terlalu empuk. Hayo, lebih keras lagi, sute. Pukulanmu terlalu empuk!"
Pria ini marah. Ia ditantang dan menyambar lagi dan ternyata kecepatannya bergerak sungguh luar
biasa, lawan lagi-lagi tak mampu mengikuti. Dan ketika kali ini pukulannya membuat si raksasa bergoyang,
terhuyung maka Mo-bin-jin membalik dan tepat satu saat ia menghantam sutenya itu. Telapaknya yang lebar
bercuit mengeluarkan angin dahsyat.
"Plak!" Sian-eng-jin terhuyung tapi tidak apa-apa. Laki-laki ini balas mengejek dan marahlah raksasa
itu. Lalu ketika ia menerjang dan menggigit dengan taringnya, Sin-ci-beng menyengat dahsyat segera kakak
beradik itu bertanding dengan amat hebatnya dan beberapa kali pula Sian-eng-jin atau si Bayangan Dewa ini
mampu menahan pukulan ji-suhengnya.
"Kurang kuat, terlalu lunak. Hayo kau pukul lebih keras lagi, suheng. Aku masih dapat menahan
pukulanmu!"
Raksasa itu memekik dua melengking-lengking. Akhirnya tampak bahwa lawanpun mampu menahan
pukulannya. Dengan Pek-mo-sin-kang yang dimiliki ternyata saudara nomor empat itu mampu menandingi
Mo-bin-jin. Tapi karena Mo-bin-jin juga mampu menahan pukulan Pek-mo-in-kang maka pertempuran di
sini berjalan seru dan imbang tapi di pihak Te-gak Mo-ki justeru kedodoran!Kolektor E-Book
TAPAK TANGAN HANTU
BATARA
328 Hek-i Hong-li akhirnya membantu twa-hengnya menghadapi si banci ini. Kebencian dan
kemarahannya ditumpahkan semua. Dan ketika si banci terdesak dan akhirnya berteriak maka tak ada jalan
lain bagi Te-gak Mo-ki kecuali berlindung dan lari kepada ji-suhengnya, menghantam dan menyerang Sian-
eng-jin.
"Ji-heng, tolong. Mereka mengeroyokku!"
Mo-bin-jin terbelalak. Tak dapat disangkal bahwa sutenya ini adalah orang yang paling dekat
dengannya, mereka sama-sama suka kejahatan dan robohnya sang sute bakal melemahkan kedudukannya.
Maka ketika membentak dan menyerang sumoinya, sayang ditangkis suhengnya maka raksasa itu berteriak
karena Song-bun-liong selalu menghalang.
"Keparat!" akibatnya iapun terdesak. "Kalian curang, suheng. Tak tahu malu. Mana kejantanan dan
kegagahan kalian mengeroyok kami berdua!"
"Tutup mulutmu!" Sian-eng-jin membentak dan menangkis pukulan Te-gak Mo-ki, si banci ini curang
menyerangnya tadi. "Kau sendiri yang minta dikeroyok, ji-heng, kenapa sekarang memaki-maki kami. Mana
kegagahanmu sendiri dengan menjilat ludah kembali!"
"Ha-ha, kalau begitu baiklah. Para dewa akan kuprotes kalau tidak mencaci kalian!" dan kembali
menghadapi tiga lawan berganti-ganti pasangan akhirnya Mo-bin-jin dan Te-gak Mo-ki beradu punggung,
menyatukan tenaga dan kepandaian namun betapapun beratlah menghadapi keroyokan itu. Song-bun-liong
sebagai saudara tertua mendiamkan ini untuk memberi pelajaran kepada sutenya itu. Biarlah sutenya dihajar
dan babak-belur. Dan ketika benar saja dua orang itu terdesak dan menjadi pucat, pukulan mendarat dan
membuat tubuh terhuyung akhirnya si banci menjadi khawatir dan gelisah.
"Ji-heng, kita agaknya harus mengadu jiwa. Kita akan roboh. Tapi sebaiknya merekapun mengiringi
kita!"
"Benar, kita tak mau roboh begitu saja, sute. Kita roboh merekapun harus roboh!" raksasa itu
menggerakkan gadanya dan Naga Berkabung kali ini menerima. Senjata di tangan raksasa itu menyambar
dahsyat namun saudara tertua ini menggerakkan tangan kanannya. Tenaga Arca Emas menyambut gada itu.
Dan ketika gada akhirnya hancur sementara kakek ini terhuyung, menahan sakit maka raksasa itu menerkam
dengan kedua lengannya melancarkan pukulan maut.
"Mo-hiat-hu-kut-tai-hoat (Pukulan Darah Iblis Pembusuk Tulang)!" Si Naga Berkabung berseru keras
dan tentu saja terbelalak. Ini adalah ilmu simpanan sutenya dan sekali dikeluarkan tak dapat dielak. Ini
adalah pukulan adu jiwa yang benar-benar menghendaki kematian. Bau amis disertai cahaya merah
menyambar dari sepasang lengan raksasa itu, dahsyat menderu. Dan ketika Song-bun-liong cepat menangkis
dnn menggerakkan kedua lengannya pula, melepas Kian-kun-siu atau Lengan Baju Sapu Jagad akhirnya
terdengarlah suara dahsyat dari pukulan dua orang sakti ini.
"Dessss!"
Kim-kong-ciok atau Ilmu Arca Emas tak dapat bertahan menghadapi pukulan Mo-hiat-hu-kut-tai-hoat
itu. Naga Berkabung telah menjaga dirinya dengan Ilmu andalannya itu akan tetapi dia tetap terlempar, jatuh
terduduk. Tanpa dapat dicegah lagi mulutnya melontakkan darah segar, jago ini terluka! Tapi ketika di sana
raksasa itu juga serasa dihempas tenaga amat dahsyat, pukulan Kian-kun-siu andalan lawan membuat ia
tertahan dan sesak napasnya maka raksasa inipun mencelat dan terbanting dan melontakkan darah segar.
"Huaakk!"
Dua jago itu sama-sama roboh. Entah siapa yang lebih hebat karena buktinya masing-masing sama
terluka. Hek-i Hong-li menjerit melihat suhengnya roboh .di sana, melengking dan menghantam Te-gak Mo-
ki dengan pukulan Siau-hun-bi-kiong-hoat (Pukulan Penggetar Sukma). Dan karena pukulan ini dilancarkan
sekuat tenaga dengan penuh kemarahan, Te-gak Mo-ki terkejut dan mengelak tapi kalah cepat akhirnya ia
menggerakkan kipasnya tapi senjata itu hancur berantakan.
"Bresss!"
Kipas di tangan banci tak dapat di pergunakan. Siau-hun-bi-kiong-hoat masih terus menyambar dan
Te-gak Mo-ki pucat. Kalau saja tak ada Sian-eng-jin di situ tentu ia tak perlu gugup, tapi celakanya sutenya
itu menghadang dan mencegat, terpaksa ia membentak dan menyambut. Lalu ketika tangan kanannya di
buka telapaknya dan telapak itu tiba-tiba sudah menghitam pekat, inilah Mo-seng-ciang atau Pukulan Tangan
Hantu maka Sian-eng-jin berteriak memperingatkan sumoinya dan secepat kilat melepas Pek-mo-in-kangKolektor E-Book
TAPAK TANGAN HANTU
BATARA
329 menghantam punggung lawannya itu.
"Bresss!"
Sesosok bayangan melesat bagai kilat menyambar. Dari luar pertandingan, tak disangka-sangka
mendadak muncul orang ketiga yang membantu Te-gak Mo-ki. Sesosok bayangan hitam melesat diiringi
cahaya berkeredep yang putih menyilaukan, panjang membabat kepala Bayangan Dewa ini hingga laki-laki
itu terkejut bukan main. Ia mengelak namun pundaknya kena, terpapas dan darah memuncrat disertai
keluhan tertahan. Pendekar itu terkejut bahwa kekebalannya tak mampu menahan senjata maut itu, golok
menyilaukan penghisap darah. Dan ketika ia terhuyung dan terbelalak marah, sumoi dan suhengnya
terlempar bergulingan maka di situ berdiri sesosok tubuh angker dengan wajah hitam mata membelalak tak
berkedip, tinggi besar persis Mo-bin-jin, bertaring!
"Mo-bin-lo!"
Terdengar tawa pendek menggetarkan perasaan. Raksasa ini, yang bukan lain saudara Mo-bin-jin
memandang tak berkedip si Bayangan Dewa itu. Di tangannya memancar golok maut yang baru saja
mencium pundak lawan, segar dan berkilau-kilauan seakan anak gadis bermandi air bunga. Lalu ketika tiba-
tiba itu tertawa bergelak dan suaranya menggetarkan jantung, persis Mo-bin-jin sang adik yang masih
terkapar maka Sian-eng-jin mendengar kata-katanya yang dahsyat memekakkan.
"Sian-eng-jin, kalian berempat manusia-manusia tak tahu malu. Kalian mengeroyok saudaraku. Bagus,
sekarang aku datang dan aku tak dapat membiarkan ini. Ayo, maju dan kita bertempur mati hidup. Ha-ha-
ha!"
Bayangan Dewa mendesis. Ia merasa pundaknya perih dan marah memandang lawannya itu. Lalu
ketika ia membabat luka dan maju penuh marah iapun tak gentar dan berkata,
"Mo-bin-lo, bukan tempatmu di sini untuk bertanding. Kau telah diasingkan para dewa tak boleh
bergaul dengan sesama. Majulah, atau kau mundur biarkan kami berlima menyelesaikan urusan kami sendiri
yang merupakan urusan Ngo-cia Thian-it!"
"Ha-ha, persetan. Kalian mengeroyok adikku, Sian-eng-jin membuatnya luka. Kebetulan aku baru
keluar pertapaan dan mencipta golokku ini. Ha-ha, ampuh. Kau tak mampu menahannya!"
"Jangan sombong!" pendekar itu membentak. "Kau menyerangku secara curang, Mo-bin-lo, dari
belakang. Kau tak malu membokong lawan!"
"Ha-ha, jangan banyak omong. Kalianpun curang dan tak malu mengeroyok saudaraku. Majulah, aku
ingin mencoba sekali lagi golok mautku ini, Golok Penghisap Darah!"
Sian-eng-jin berkelebet dan membentak marah. Ia tak sabar lagi melihat kesombongan lawan dan
lawanpun menyambut, langsung menggerakkan goloknya itu hingga Sian-eng-jin merobah serangan. Angin
dingin mendesir dari badan golok itu, belum mengenai saja hawanya sudah mengiris kulit. Dan, ketika ia
mengerahkan sinkang namun terasa perih, terkejutlah ia oleh kehebatan golok maka Bayangan Dewa ini tak
mau menangkis dan akhirnya berkelebatan mengadu cepat. Ia unggul dalam ilmu meringankan tubuh dan
Mo-bin-lo harus berputar-putar. Raksasa tinggi besar itu bergerak lamban. Dan ketika satu dua pukulan
membuatnya terhuyung, raksasa ini marah maka ia memekik dan meloncat serta memutar goloknya dengan
buas!
"Sian-eng-jin, kau licik seperti siluman. Beranimu hanya beterbangan saja. Hayo sambut golokku dan
lihat di mana kegagahanmu!"
Dua orang ini segera bertanding. Mo-bin-lo hebat dalam pukulan tapi bukan dalam kecepatan.
Menghadapi Sian-eng-jin yang memiliki ginkang luar biasa ternyata raksasa itu berteriak-teriak, ia selalu
kehilangan lawan. Namun ketika semua pukulan hanya membuat tubuhnya sedikit tergetar, maju dan
menggerakkan goloknya itu maka senjata di tangan inilah yang membuat Sian-eng-jin harus berhati-hati
karena desing dari angin golok itu membuat pohon-pohon tumbang. Gunung di bawah merekapun terpenggal
bagai agar-agar, bukan main ampuhnya!
"Cras-crass!"
Sian-eng-jin berhati-hati dan tak mau disentuh golok. Ia sudah terluka dan harus waspada, ke manapun
senjata menyambar secepat itu juga ia menjauh. Dan karena sikapnya ini membuat lawan berkaok-kaok
akhirnya pertandingan berjalan, alot dan lama.Kolektor E-Book
TAPAK TANGAN HANTU
BATARA
330 "Heh-heh, sekarang kau dan, aku," Te-gak Mo-ki bangkit memandang sumoinya. "Sekarang kita
berdua, sumoi. Ayo lanjutkan dan kau atau aku roboh!" Hek-i Hong-li membalas berapi. Gadis cantik ini
meloncat bangun dan memandang suhengnya itu. Biarpun ia sumoi namun kepandaian mereka tak berbeda
jauh, kesaktian mereka hampir sama. Maka ketika ia mengangguk dan menerjang lawan merekapun sudah
bertanding dan kembali pertempuran pecah dua.
Akan tetapi kali ini ada perobahan. Dari bawah bukit, tak diketahui yang sedang bertempur muncullah
seorang kakek meniup seruling. Kakek itu tak dapat dilihat wajahnya karena tertutup halimun. Suling di
tangannya ditiup lembut dan mula-mula tak terdengar, suaranya halus-halus saja. Tapi ketika nada suling
mulai meninggi dan melengking-lengking, tajam membelah semua suara pertandingan maka barulah yang
bertempur itu kaget.
Mereka sekarang merasa betapa telinga seakan digosok-gosok rumput nakal, rumput itu membuat
telinga gatal dan konsentrasi pukulanpun menjadi terganggu. Dan ketika mereka melotot dan memandang ke
bawah maka barulah tampak si peniup suling itu, kakek yang duduk tenang di atas batu hitam.
"Heii, bedebah. Hentikan sulingmu, tua bangka. Jangan ganggu kami yang sedang bertempur.
Berhenti!"
Akan tetapi kakek itu tetap meniup sulingnya. Jarak di antara mereka ada empat ribu kaki namun suara
suling masih melengking-lengking, kakek itu tak menghiraukan bentakan Mo-bin-lo, atau mungkin tak
mendengar. Dan ketika raksasa itu menjadi marah dan melontar daun hitam yang berobah seperti meteor ke
arah kakek ini, yang terus meniupkan seruling dan seolah tak tahu serangan itu mendadak aneh bin ajaib
daun itu tertahan di tengah jalan dan terdorong lalu membalik ke arah Mo-bin-lo sendiri, tak kuat atau
ditolak oleh getar suara suling yang memenuhi udara!
"Plak!"
Mo-bin-lo berteriak kaget dan terjengkang bergulingan. Ia tak menyangka daun keringnya itu
memukul dan menghantam dirinya sendiri, mengenai pangkal lengan hingga golok di tangan hampir terlepas.
Kaget sekali raksasa ini. Namun karena lawan mengejar dan ia meloncat bangun, membentak dan menyerang
lagi akhirnya ia meninggalkan kakek di sana itu tak memperdulikan suara suling yang melengking-lengking.
Namun suara suling kini berubah. Kalau tadi tajam dan menusuk-nusuk kini tiba-tiba lembut dan
manis mengalun, begitu menina-bobok hingga raksasa ini dan Sian-eng-jin tersenyum. Suling itu menyajikan
lagu gembira. Dan ketika di sana Hek-i Hong-li dan Te-gak Mo-ki juga tersenyum-senyum, kaki
berjingkrak-jingkrak dan tiba-tiba mengikuti alunan lagu gembira itu mendadak mereka tertawa-tawa dan
seranganpun menjadi seadanya saja. Mereka terhanyut dan masuk ke suasana hangat yang manis
menyejukkan.
"Heii!"
Empat orang ini tiba-tiba sadar. Sebagai orang-orang berkepandaian tinggi dan mampu menguasai diri
lagi tentu saja mereka terkejut setelah kaki berjingkrak-jingkrak sendiri. Untuk sedetik dua mereka terbawa.
Tapi begitu sadar dan kaget serta marah, Mo-bin-lo memekik maka raksasa ini tiba-tiba mencabut sebatang
pohon dan melontarkannya ke kakek peniup suling itu, tenaganya dahsyat dan sungguh luar biasa.
"Keparat, diam kau, kakek jahanam. Kenapa kau mempengaruhi kami!"
Pohon sebesar tubuh anak dewasa itu melayang dengan cepat. Si raksasa mencabutnya begitu saja
hingga akar-akarnyapun terbawa, tanah dan kerikil ikut menyambar. Tapi ketika di tengah jalan lalu tiba-tiba
terhenti, tertahan suara suling yang meliuk gembira mendadak pohon itu terputar dan...... menari-nari
mengikuti suara suling itu.
"Arrgghhhhh!" Mo-bin-lo terpecah perhatiannya dan terbelalak lebar. Ia melihat pohonnya tak mau
maju malah sekarang melenggak-lenggok, ranting dan cabangnya meliuk naik turun bagai tangan gadis-gadis
remaja. Dan ketika ia membentak dan menambah tenaganya mendadak ia mendorong namun pohon itu
melesat dan menyambar dirinya sendiri.
"Wheeerrrrrr...... siuttt-blarrr!" pohon itu akhirnya dikelit dan dipukul hancur. Mo-bin-lo kaget bukan
main dan ikut terdorong. Bukan hanya dia, Sian-eng-jin juga terbawa dan miring tubuhnya, berteriak. Dan
ketika mereka akhirnya bergulingan melempar tubuh, marahlah raksasa ini maka Song-bun-liong di sana
tiba-tiba membuka mata dan berdiri perlahan-lahan. Mo-bin-jin juga bergerak dan telah sama-sama
mengobati luka dalamnya.Kolektor E-Book
TAPAK TANGAN HANTU
BATARA
331 "Thian Yang Agung, bukankah itu sahabat dari Guha Malaikat.....!"
Semua terbelalak. Mo-bin-lo merah padam sementara Sian-eng-jin tergetar. Suara suling berobah lagi
meremas-remas, kini seakan sedih merana-rana, berbisik dan saling tegur kenapa masing-masing harus
berhantam. Dan ketika suara itu kian menyedihkan hingga membuat orang menangis, Hek-i Hong-li lebih
dulu mengguguk maka tiba-tiba semua mencucurkan air mata dan pertandinganpun, otomatis berhenti.
Akan tetapi hal ini tidak lama. Mo-bin-lo, yang memegang golok maut tiba-tiba meraung. Suaranya
dahsyat menggetarkan gunung hingga suara suling lenyap tertindih. Begitu dahsyat suara ini hingga yang
lain sadar. Lalu ketika yang lain mendongak dan raksasa itu menggerakkan kakinya, meloncat panjang tahu-
tahu menyambar dan telah menyerang kakek di kejauhan itu.
"Bu-beng Sian-su, kau kiranya. Bagus, mampuslah!"
Kakek itu tiba-tiba berhenti. Suling di lepaskan dari bibirnya dan mendadak kakek ini menoleh.
Desing golok yang mengancam dirinya dipandang tenang, lembut. Ia seakan tak tahu akan adanya bahaya
atau mungkin tak memperdulikan bahaya itu, buktinya kakek ini tetap lembut dan tenang memandang ke
depan. Namun ketika dari sepasang matanya tiba-tiba timbul dua cahaya terang melebihi terangnya golok,
menyilaukan dan membuat Mo-bin-lo terkejut maka raksasa itu tiba-tiba berteriak karena sekejap matanya
buta, silau.
"Heiii....!"
Golok mendesing dan tetap menyambar. Raksasa itu terkejut karena sedetik kehilangan lawannya,
semuanya putih menyilaukan mata namun sebagai orang berkepandaian tinggi ia yakin arah goloknya tetap
sama, dan golok memang tetap menuju ke depan. Namun ketika terdengar suara keras dan golok memasuki
sesuatu, terhisap maka terdengar helaan napas panjang dan bersamaan dengan itu lenyaplah cahaya dari sorot
sepasang mata itu terganti sebuah benda yang menangkap atau menerima golok maut.
"Cepp!"
Raksasa tinggi besar ini terbelalak. Sebuah guci, lembut warnanya menangkap, goloknya itu. Guci ini
aneh karena bentuknya seperti sarung pedang, melengkung dan melebar bagian bawah sementara badannya
ramping tipis. Golok maut melekat dan menancap di situ. Mo-bin-lo terkejut bukan oleh ini melainkan oleh
daya sedot yang menangkap gucinya. Ia tak dapat menarik senjatanya lagi dan melotot. Guci itu hanya
dipegang lawan dengan dua jari telunjuk dan tengah, tidak lebih! Dan ketika ia membentak dan menarik
kuat-kuat, gagal maka mendadak kakek itu tersenyum dan berkata,
"Mo-bin-lo, guci ini adalah Guci Penghisap Roh, siapapun tak dapat keluar lagi kalau sudah
tertangkap. Baiklah kita buang dua benda ini dan biarkan mereka bersatu atau berpisah!" kakek itu
menghentak, Mo-bin-lo terbawa ke depan dan raksasa ini kaget sekali. Ia telah menahan dengan tenaganya
namun gagal. Kakek itu lebih hebat lagi darinya. Dan ketika ia terangkat dan terbawa naik, tak mau
melepaskan goloknya maka mencelatlah raksasa itu tinggi ke angkasa, menembus langit lapis demi lapis.
"Heiiiiiii......!"
Teriakan kaget raksasa tinggi besar ini menggetarkan bumi. Kesaktiannya membuat laut bergolak,
bumi rekah-rekah tapi kakek berwajah halimun itu mengayun sulingnya. Dari ayunan ini timbul angin
lembut yang menerpa semua buih, tanah rekahpun tertutup dan rapat kembali. Dan ketika sejak itu raksasa
itu lenyap di luar jagad raya, Mo-bin-jin terbeliak dan kaget serta marah tiba-tiba raksasa itu juga menerjang
dan menghantam kakek itu membela kakaknya yang dibuang ke alam maha luas.
"Bu-beng Sian-su. kau jahanam terkutuk. Terimalah gadaku!"
Raksasa ini sudah mengambil gadanya yang baru. Ia menyimpan itu di balik bajunya yang lain setelah
gadanya pertama hancur. Tangan kirinya bergerak pula melepas Mo-hiat-hu-kut-tai-hoat. Biarpun lukanya
belum sembuh namun serangan raksasa ini amat dahsyat, angin serangannya saja sudah membuat pohon-
pohon roboh, gunung Mahameru berderak dan konon miring. Tapi ketika Bu-beng Sian-su diam saja
menerima serangan itu, hanya sepasang matanya kembali menyorot dan mengeluarkan cahaya menyilaukan
mendadak raksasa ini kehilangan sasaran karena sedetik pandangannya buta.
"Desss!" Tapi seperti kakaknya raksasa inipun tepat menghantam sasaran. Gada tetap menuju arah
yang sama dan menimpa kepala. Kesaktian raksasa itu menembus lingkaran sakti di wajah Bu-beng Sian-su,
wajah yang tertutup halimun itu, Tapi ketika Bu-beng Sian-su hanya terdorong dan tidak apa-apa, marahlah
raksasa itu maka mulutnya dibuka lebar-lebar dan taringnya yang panjang runcing menusuk danKolektor E-Book
TAPAK TANGAN HANTU


Tapak Tangan Hantu Karya Batara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

BATARA
332 menghunjam ke depan. Sin-ci-beng!
"Arrgghhhhh!"
Cahaya berkilat menyambar dari ujung taring itu. Sin-ci-beng yang dikeluarkan raksasa ini menyerang
kakek itu, bajapun bakal hangus dan berlubang. Tapi ketika taring itu mengenai bahu lawan, menancap dan
bertemu kulit dingin maka raksasa itu berteriak karena seakan bertemu bongkahan kutub, luar biasa dingin!
Mo-bin-jin mendorong dan menampar kakek itu namun celakanya gadanya tak dapat dicabut. Gada itu
menempel dan melekat di kepala, atau lebih tepat "terbenam" di balik sinar gaib yang melindungi wajah
lawan. Dan karena pukulan Mo-hiat-hu-kut-tai-hoatnya juga tak membawa hasil, tangan kirinya bertemu
daging lunak seperti karet, membal dan menolak tenaganya maka dengan luar biasa kaget raksasa ini
menjejakkan kaki kuat-kuat untuk menarik dan membuang tubuhnya. Dan celakanya saat itu Bu-beng Sian-
su membuang semua kesaktiannya membiarkan lawannya terlepas. Bagai dilontar martil raksasa Mo-bin-jin
mencelat terlempar ke atas. Jejakan yang amat kuat membuat raksasa ini terbang begitu hebatnya, kaki di
bawah dengan tubuh di atas menembus awan-awan hitam. Raksasa itu melesat melewati batas langit dan
bumi. Dan ketika ia juga lenyap dan hilang di jagad luas, berteriak dengan amat hebatnya maka selama tujuh
hari tujuh malam gaung teriakan raksasa ini masih berputaran di bumi. Alangkah hebatnya!
Semua terbelalak. Mo-bin-jin dan Mo-bin-lo sama-sama menghilang di alam jagad luas. Mereka jatuh
atau terbanting di mana tak ada yang tahu. Dan karena di situ tinggal si banci yang menjadi pucat, dialah
satu-satunya orang yang tinggal sebagai musuh maka Te-gak Mo-ki tiba-tiba memutar tubuhnya dan lari.
Namun Hek-i Hong-li melihat itu. Gadis ini melihat gerakan suhengnya, membentak dan mengejar
dan ikat pinggangnya tiba-tiba dilolos. Dengan meledakkannya bagai petir menyambar senjata itu menuju
punggung. Tapi karena Te-gak Mo-ki juga bukan laki-laki sembarangan dan selama ini selalu imbang, ia
menggerakkan kukunya ke belakang maka ikat pinggang itu putus namun kukunya juga patah.
"Ke mana kau lari..... plak-bret!"
Bukan main marahnya wanita ini. Ikat pinggangnya putus ditangkis kuku panjang, menyerang dan
membentak lagi namun si Naga Berkabung Song-bun-liong tiba-tiba berseru mencegah. Ia menyuruh
sumoinya mundur dan membiarkan lawannya pergi. Namun ketika Bayangan Dewa berkelebat dan
menghadang di depan maka Hek-i Hong-li tak jadi melepaskan musuhnya mendengar kata-kata suhengnya
nomor empat ini.
"Percuma diberi ampun. Sekali dia lolos seumur hidup bakal menyusahkan lagi, sumoi. Bunuh dan
robohkan saja"
Wanita itu mengangguk. Akhirnya ia menerjang dan Te-gak Mo-ki dikeroyok. Sebagai orang nomor
tiga sesungguhnya kedudukan si banci ini lebih tinggi, namun karena kepandaian mereka hampir berimbang
dan dikeroyok dua tentu saja dia berat maka Siau-hun-bi-kiong-hoat atau Ilmu Penggetar Sukma yang
dimiliki sumoinya menghantam membuat ia terhuyung dan saat itu pukulan Pek-mo-in-kang milik Sian-eng-
jin mengenainya juga. Si banci berteriak dan terbanting. Dan ketika ia bergulingan dan terdesak hebat,
berkerutlah kening si Naga Berkabung maka pria ini berkelebat dan tiba-tiba membantu si banci.
"Sute, sumoi, berhenti atau aku terpaksa membela lawan kita. Biarkan ia pergi karena tak mungkin ia
berbuat onar lagi..... des-desss!" Hek-i Hong-li dan Sian-eng-jin ditangkis dan terkejutlah dua orang itu.
Bukan hanya mereka ini yang terbelalak melainkan Te-gak Mo-ki sendiri. Ia tak menyangka bahwa dirinya
dibela! Tapi ketika semua orang tertegun dan menghentikan gerakan mendadak banci ini melepaskan Mo-
seng-ciangnya, menghantam punggung sang suheng.
"Plak!"
Si Naga Berkabung terkejut. Ia tak mengerahkan Arca Emasnya karena tak menduga, roboh dan
terbanting dan Te-gak Mo-ki ternyata belum puas. Ang-su-giatnya, Racun Semut Api di kuku jarinya
digerakkan. Lawan benar-benar sedang kosong oleh kaget dan heran. Maka ketika ia menggurat twa-
suhengnya dan Song-bun-liong mengeluh, tersentak maka si banci ini tertawa bergelak merobohkan satu di
antara tiga lawan.
"Ha-ha, sekarang siapa mengejar aku. Mari, kulayani!"
Menjeritlah Hek-i Hong-li. Kakak seperguruannya roboh sementara mukanya pucat kehijauan. Itulah
racun dan akibat pukulan Tapak Hantu. Dan ketika ia tiba-tiba melompat dan menubruk suhengnya ini, Sian-
eng-jin tertegun dengan muka merah maka si banci sudah kabur dan pemandangan yang menusuk mata
menyayat-nyayat perasaan Bayangan Dewa ini.Kolektor E-Book
TAPAK TANGAN HANTU
BATARA
333 Ia melihat sumoinya mengguguk menubruk tubuh itu, menciumi dan menotok sana-sini. Tapi ketika ia
sadar dan membuang muka, kepedihannya dibuang kepada lawan maka Bayangan Dewa berkelebat dan
mengejar saudaranya nomor tiga itu.
"Sam-suheng, kau curang dan licik. Berhenti!"
Akan tetapi Te-gak Mo-ki lenyap. Akal curangnya berjalan bagus dan ia sudah melarikan diri. Takut
dilihat bayangannya si banci ini sudah merobah ujud, dia mempergunakan Jin-seng-sut dan menjadi semut
kecil, masuk dan menelusup bumi. Maka ketika sutenya itu mengejar dan lewat di atas, si banci tertawa
maka ia semakin jauh ke dalam bumi dan benar-benar hilang.
Sian-eng-jin tak menemukan lawannya itu namun tiba-tiba ia teringat sesuatu. Jin-seng-sut adalah
ilmu yang dimiliki mereka berlima dan bukan satu-satunya milik Te-gak Mo-ki. Maka ketika ia merapalkan
mantra dan berseru keras hilanglah pendekar ini terganti seekor rajawali, yang mengelepakkan sayap ke
angkasa.
Dengan begitu laki-laki ini hendak menemukan suhengnya. Dia terbang dan berputar-putar
mengelilingi tempat itu, bukan sekali melainkan belasan kali. Akan tetapi karena si banci menjadi semut
kecil, lenyap dan memasuki bumi maka ia tak menemukan lawannya dan bebaslah Te-gak Mo-ki seumur
hidupnya.
Kata-kata si Naga Berkabung memang benar. Setelah Mo-bin-jin dan Mo-bin-lo terlempar tak pernah
kembali maka banci ini tak mungkin berani berkutik. tinggal sendiri, dua rekannya tak ada lagi. Dan ketika
pertandingan itu usai sementara Hek-i Hong-li masih menangisi suhengnya. menolong dan merawat luka
maka wanita itu tak ingat lagi kepada Bu-beng Sian-su yang secara tidak langsung telah menolong mereka.
Kakek itu tak ada lagi di situ entah ke mana, datang dan perginya benar-benar tak diketahui. Dan ketika
perlahan-lahan udara di atas kota raja merekah, awan hitam terusir secara halus maka tinggallah puing-puing
dan bekas kerusakan yang ditimbulkan oleh pertandingan amat hebat ini.
Gerbang kota raja copot semua dan pintu-pintu rumah penduduk berantakan. Ada di antara mereka
yang bahkan tersangkut di kawat jemuran, tak berani berkutik dan tetap di situ karena menganggap iblis
bekasakan sedang mengamuk di kota raja. Lampu-lampu dapat dinyalakan kembali tapi bersamaan dengan
itu mayat-mayat terdapat di gedung istana, khususnya di tempat tinggal Hui-ongya. Dan ketika semua itu
disambut dengan muka muram, Hui-ongya sendiri tewas dengan belati di dada kirinya maka rencana
persekongkolan lenyap sudah dan bahaya yang tak banyak diketahui orang ini padam dengan sendirinya.
Orang tak banyak tahu tentang apa yang terjadi itu. Swi-goanswe sendiripun tidak. Dan ketika semua
orang berdebar-debar masih membicarakan kedahsyatan itu maka di sana, di guha pertapaan sunyi duduklah
Hek-i Hong-li menjaga suhengnya.
Si Naga Berkabung sudah sembuh dan ini berkat sumoinya yang mati-matian. Untunglah karena Kim-
kong-ciok sudah mendarah daging maka luka pukulan atau racun tak menembus jauh ke dalam. Semua itu
hanya sebatas kulit. Namun karena Te-gak Mo-ki adalah iblis amat berbahaya dan sedikit serangannya sudah
cukup membunuh lawan, biarpun jago kelas atas maka pertolongan Hek-i Hong-li membuat Naga Berkabung
berhutang budi.
Pagi itu pria berusia limapuluhan tahun ini menghela napas. Dia bertanya tentang saudaranya nomor
empat dan juga Te-gak Mo-ki. Tapi ketika semua dijawab tak tahu dan pendekar ini mengerutkan kening
maka dia teringat Bu-beng Sian-su dan bertanya tentang kakek dewa itu.
"Aku tak tahu, semuanya tak tahu. Aku hanya mengurus dirimu, suheng, menjagamu. Aku tak
menghiraukan yang lain-lain dan tak tahu mereka!"
"Jadi kau juga tak tahu akan kakek ini?"
"Aku tak mernperdulikannya, aku tak menghiraukan. Bagiku kau adalah segala-galanya dan aku tak
perduli yang lain!"
Pendekar itu berdetak. Sumoinya itu memandangnya tak malu-malu dan sepasang mata itu bersinar-
sinar. Ada bahagia dan rindu di situ. ada harap dan cemas. Dan ketika ia tergetar dan menenangkan
guncangan perasaan dengan menggerakkan kepala menengok keluar guha maka pendekar ini berdebar-debar
dan takut tinggal di situ, bangkit dan tiba-tiba menggigil.
"Sumoi, aku tak dapat melupakan budimu. Hidupku adalah karena kau. Terima kasih dan selamat
tinggal, sumoi, agaknya aku harus mencari dua saudaraku yang lain dan menemukan mereka!"Kolektor E-Book
TAPAK TANGAN HANTU
BATARA
334 Hek-i Hong-li meloncat. Gerakan ini mengejutkan pendekar itu karena gadis ini tahu-tahu telah
berkacak pinggang di depannya. Mata yang semula bersinar-sinar penuh rindu dan bahagia mendadak
lenyap, terganti dengan pandangan beringas dan dingin. Lalu ketika gadis itu mencabut pedang pendek dan
menyerahkan itu kepada sang suheng maka bibir yang mungil setengah terkatup itu mendesis.
"Suheng, untuk kesekian kalinya lagi kau mempermainkan aku. Setelah susah payah aku
menyelamatkanmu maka sekarang dengan enak dan enteng kau meninggalkan aku. Baiklah, aku tak
mengharap lagi setelah begini, suheng, tapi bunuh aku dulu dan tanamkan mayatku di guha ini!"
Si Naga Berkabung tersentak. Ia mundur dan melihat jari-jari menggigil itu dan tubuh tiba-tiba
gemetar. Sumoinya menangis. Lalu ketika ia menolak dan bertanya apa artinya itu tiba-tiba sumoinya
membanting kaki setengah berteriak.
"Suheng, berapa kali kunyatakan aku ingin selalu bersamamu? Berapa kali kunyatakan aku ingin
hidup di sampingmu? Bertahun-tahun aku tak mau mencari yang lain, suheng, bertahun-tahun aku merana.
pupus harapanku dan hatimu rupanya benar-benar batu. Bunuhlah aku dan setelah itu pergilah!"
"Sumoi....."
"Tidak! Atau aku membunuh diri di depanmu, suheng. Lalu tanamkan mayatku di guha ini!"
"Sumoi!"
Akan tetapi gadis itu sudah bergerak. Merasa bahwa suhengnya tak mau menerima pedang pendek itu
mendadak Hek-i Hong-li menikam dadanya sendiri. Ia kalap dan nekat. Tapi ketika pendekar itu membentak
dan menampar maka pedang terlepas dan jatuh di luar guha. Pria ini menyambar dan memeluk sumoinya.
"Kau...... kau masih nekat? Kau tak mau tahu kenapa aku tak bisa menerimamu? Ah, kau gadis kepala
batu, sumoi. Kau melebihi aku. Aku tak mau menikah karena janji dengan seseorang, almarhum isteriku!"
Hek-i Hong-li terkejut, lupa kepada kemarahannya. "Kau...... kau sudah pernah beristeri? Kau tak
pernah menceritakannya?"
"Ah, kau terlampau nekat, sumoi. Kau terlalu mendesak. Baiklah bagaimana kalau kau mendengar
ceritaku dan jangan membuatku bingung!"
Hek-i Hong-li tersenyum. Aneh dan luar biasa tiba-tiba gadis ini tertawa, ia mengangguk dan sang
suhengpun melepasnya. Gadis itu telah merasakan pelukan hangat orang yang dicinta. Ia puas! Lalu ketika
suhengnya duduk dan sepasang mata itupun berkaca-kaca, basah kemudian menangis maka duduklah gadis
ini memegang lengan suhengnya.
"Suheng, kau tak pernah bercerita apa-apa tentang masa silammu kepada kami. Kau selalu tertutup.
Baiklah ceritakan padaku bagaimana kisahmu itu dan aku turut berduka akan kematian isterimu. Tak
kusangka kau pernah beristeri!"
Pria ini menutupi muka. Sejenak dia berguncang-guncang tapi akhirnya reda, sumoinya menunggu.
Maka ketika ia membuka tangannya dan menarik napas dalam-dalam maka dilihatnya sumoinya itu begitu
penuh perhatian kepadanya. Jari gadis itu meremas-remas punggungnya.
"Aku sudah lama kehilangan isteriku, duapuluh tujuh tahun yang lalu. Kami semasa kecil sudah
dijodohkan tapi ia meninggal karena wabah. Sekujur tubuhnya penuh bisul dan gatal-gatal. Ia tersiksa dan
mati di depanku secara mengenaskan!"
Hek-i Hong-li mengerutkan kening, masih meremas-remas punggung suhengnya, diam.
"Lalu tahukah kau apa yang dikatakan isteriku sebelum meninggal, sumoi? Sesuatu yang membuatku
seperti gila!" pria itu menyambung, suaranya serak.
"Aku tak tahu karena itu kisah silammu yang penuh duka. Apa yang dikatakannya, suheng? Kenapa
membuatmu seperti gila?" Hek-i Hong-li menjawab, balik bertanya.
"Ia...... ia menyuruhku kawin lagi. Ia merestui aku untuk mencari pendamping baru, waktu itu
diusulkannya seorang saudaranya sendiri!"
"Ah!" Hek-i Hong-li terkejut. "Begitu, permintaannya, suheng? Penyakit apa gerangan yang
membuatnya celaka seperti itu?"Kolektor E-Book
TAPAK TANGAN HANTU
BATARA
335 "Aku mula-mula tak tahu. Tapi ketika satu demi satu anggota tubuhnya berlepasan maka kutahu ia
ternyata mengidap kusta. Ia meninggal di depanku setelah jari-jari kaki dan tangannya habis, hidungnyapun
growong!"
"Astaga!" kali ini gadis itu bergerak mundur, melepas suhengnya dan menjauh seolah jijik. Ia seakan
berhadapan dengan isteri suhengnya itu yang penuh kusta. "Dia.... dia kena penyakit kutukan itu, suheng?
Kau tak ketularan pula?"
Naga Berkabung ini menghela napas, matanya membasah. "Waktu itu aku ingin ketularan, sumoi, tapi
entahlah kenapa tidak. Kau tampaknya begitu jijik akan kusta, sebaliknya tiap hari aku memegang dan
memeluk tubuhnya."
Gadis ini terkejut. Tiba-tiba ia sadar bahwa sikapnya tadi dapat menyinggung suhengnya, ia seakan
berhadapan dengan si penyakit kusta saja. Maka ketika ia duduk lagi dan memegang lengan suhengnya itu,
semburat maka ia minta maaf dan sedikit terpukul bahwa suhengnya saja tak jijik dengan penyakit itu,
memegang dan bahkan memeluk-meluk.
"Maaf, suheng, aku tak sengaja. Lanjutkanlah ceritamu dan aku turut sedih."
"Tak ada apa-apa lagi setelah itu, ia meninggal. Dan untuk membalas semua kebodohanku yang tak
dapat menyembuhkannya maka aku bersumpah untuk tidak kawin lagi. Aku berkabung!"
Gadis ini memucat. Hek-i Hong-li tiba-tiba melepaskan genggamannya dan sekali lagi ia terpukul.
Begitu hebatnya cerita itu, begitu setianya sang suheng! Tapi kagum dan malah semakin hormat iapun
merasakan betapa cintanya justeru semakin dalam. Suhengnya ini seorang hebat dan setia!
"Suheng, kau..... kau masih teringatnya juga sampai sekarang?" bisikan ini lirih, meluncur tanpa
terasa.
"Ya, aku masih teringatnya, sumoi, terutama di saat-saat terakhirnya itu. Ia sedih memandangku,
matanya menusuk tak dapat kulupakan!"
Hek-i Hong-li tiba-tiba menutupi mukanya. Isak dan tangispun tak dapat ditahan lagi. Ia merasa
kecewa tapi juga kagum. Duapuluh tujuh tahun mengenang isteri dan tetap setia bukanlah gampang
dilakukan lelaki. Suhengnya ini benar-benar hebat luar dalam, barang langka! Maka ketika ia mengguguk
dan akhirnya berdiri tiba-tiba gadis ini meloncat dan keluar guha.
"Suheng, tak kusangka ceritamu begitu sedih. Aku prihatin. Tapi justeru aku semakin mencintaimu
dan kagum akan rasa setiamu yang hebat itu. Selamat tinggal, pergilah dan kita berpisah saja!"
Pria ini terkejut. Ia telah selesai bercerita tapi sang sumoi justeru kagum dan semakin dalam. Tadinya
ia mengharap benci dan marahnya gadis itu, siapa tahu dengan begitu sang sumoi tak suka lagi kepadanya
karena ia begitu mati-matian setia kepada almarhum isterinya. Maka ketika sumoinya malah menyatakan
kagum dan cinta yang semakin hebat, ceritanya malah membuat sang sumoi haru dan simpati tentu saja
pendekar ini terbelalak dan tidak menyangka.
"Sumoi!" ia bergerak dan melompat bangun. "Mau ke mana kau!"
"Aku mau pergi jauh, mungkin menyusul isterimu. Aku ingin memberinya ucapan selamat
mendapatkan suami seperti kau, suheng. Mudah-mudahan ia tak berkhianat di sana. Kalau ia tak
mengimbangimu dan kawin di sana lehernya akan kucekik dan kubunuh!"
"Sumoi.....!"
Namun gadis itu berkelebat cepat. Ia telah meluncur jauh sementara teriakan suhengnya tak digubris.
Diam-diam pedang pendek telah diambil lagi dan gadis ini menuju ke sebuah jurang. Ia akan bunuh diri dan
terjun di sana. Air mata bercucuran tiada henti. Hek-i Hong-li patah hati sekaligus "jatuh cinta" untuk ke dua
kali, cinta yang berat! Tapi ketika si Naga Berkabung berkelebat dan menghadang di depan maka pria ini
terkejut melihat pedang pendek itu. Ia berjungkir balik dan turun di bibir jurang yang amat dalam, hampir
saja terpeleset!
"Sumoi, kau...... kau mau apa?" Gadis itu tersedu, mengguguk. "Aku mau apa tak perlu kau tahu, tahu.
Minggir, kau tak berhak menghalangiku!"
"Tidak, kalau kau mau bunuh diri aku harus mencegahmu. Berikan pedang itu!" sang suheng yang
berkelebat dan cepat merampas pedang tiba-tiba dikelit dan di tendang. Hek-i Hong-li menjadi marah namunKolektor E-Book
TAPAK TANGAN HANTU
BATARA
336 suhengnya juga. Dan sebelum gadis itu bergerak lebih jauh maka batu hitam di tangan pendekar ini telah
menghantam dan membuat pedang itu terlempar, masuk jurang.
Akan tetapi gadis ini tertawa aneh. Marah bahwa pedangnya terlepas dari tangan mendadak ia berseru
keras, tubuh meluncur dan berjungkir balik melewati kepala. Lalu ketika sang suheng terkejut dan berteriak
keras maka Hek-i Hong-li meluncur dan...... terjun ke dalam jurang.
"Selamat tinggal, suheng. Aku mencintaimu!"
Tapi yang dilakukan pendekar ini juga tak kalah mengejutkan. Naga Berkabung membentak dan
menggerakkan kedua kakinya, meloncat dan terjun pula ke jurang. Dan ketika Hek-i Hong-li terkejut melihat
suhengnya meluncur masuk maka dua orang itu tiba-tiba sudah sama-sama beriringan dan saling tangkap,
pendekar itu menyambar sumoinya dan hampir terlambat.
"Kau gila, sumoi!"
"Hi-hik, kau yang membuatku gila. Aku gila karena kau, suheng. Tapi kau juga gila terjun ke jurang
ini!"
"Aku tak dapat membiarkanmu mati, aku menyayangimu!"
"Apa?"
"Kerahkan Bu-bian-kang (Ilmu Tanpa Bobot). Kita bicara lagi dan jangan bunuh diri!"
Aneh, dua orang itu berhenti di tengah udara. Begitu Song-bun-liong menyentakan meminta sumoinya
mengerahkan Ilmu Tanpa Bobot maka gadis itu berseri-seri dan mengangguk. Mereka sudah meluncur cepat
ke dalam jurang namun begitu mengerahkan itu mendadak keduanya kehilangan berat tubuh. Ilmu itu
membuat mereka seakan kapas, hampir berhenti dan perlahan-lahan saja turun. Luar biasa! Lalu ketika lega
sumoinya menuruti perintahnya maka pendekar ini bingung mendapat pertanyaan pertama.
"Suheng, kau benar-benar menyayangiku? Apa bedanya itu dengan cinta?"
Sang suheng semburat.
"Kalau kau tak menerimaku biarkan aku mati, suheng. Kita akan terus ke dasar jurang dan ini
penentuan terakhir. Aku kagum kepadamu, kau benar-benar pria luar biasa. Aku menghormati sumpahmu.
Tapi apa artinya ini kalau kau mencegahku bunuh diri!"
"Aku...... aku tak dapat menjawab. Kita secepatnya menuju pohon di dinding jurang itu, sumoi, lalu
naik dan kembali ke atas!"
"Aku tak mau melakukan itu kalau kau mempermainkan aku!"
"Mempermainkan?"
"Jelas, kau mencintaiku, suheng, sesungguhnya menerima aku. Tapi sumpahmu menjadi batu
penghalang. Kau tak menyebutkan apakah mendiang isterimu menyetujui sumpahmu!"
Pendekar ini bingung. Tiba-tiba ia menjadi ragu dan mereka terus turun perlahan-lahan. Dasar jurang
sudah menanti di bawah dan sekali sumoinya itu melepaskan Ilmu Tanpa Bobot tentu sumoinya akan binasa.
Kini sumoinya memojokkannya sedemikian rupa. Dan karena tak dapat disangkal bahwa sesungguhnya ia
mencintai sumoinya ini, menyayang maka pendekar itu menarik napas dalam namun sumpah yang terlanjur
keluar membuatnya bimbang lagi.


Tapak Tangan Hantu Karya Batara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Cepat, aku tak mau kau permainkan, suheng. Kau menerimaku atau tidak. Jawab apakah mendiang
isterimu juga menerima sumpahmu atau tidak!"
Pendekar ini gugup, masih tak menjawab.
"Kalau begitu aku akan melepaskan Bu-bian-kang, suheng. Aku tak mau kau permainkan dan siap
mati di bawah!"
"Jangan!" pendekar itu berseru. "Aku menerimamu, sumoi. Baiklah kuterima dirimu dan kita
mendarat di pohon itu!" Bukan main girangnya Hek-i Hong-li. Gadis ini melonjak girang dan mencium
suhengnya. Gerakan itu membuat goyang dan lupalah Ilmu Tanpa Bobot. Tapi karena pohon sudah dekat dan
untung Song-bun-liong menarik sumoinya ke sini maka dua orang itu terlempar dan terbanting di puncakKolektor E-Book
TAPAK TANGAN HANTU
BATARA
337 dedaunan.
"Bresss!"
Tanpa ampun keduanya saling tindih. Kebetulan Hek-i Hong-li di bawah dan hidung pendekar ini
menempel di pipi sumoinya. Ciuman tanpa sengajapun terjadi. Dan ketika Hek-i Hong-li terisak dan
menangis penuh bahagia maka pendekar itu memeluk sumoinya dan haru serta cintapun muncul.
Hari itu hari penuh kebahagiaan bagi gadis baju hitam ini. Hek-i Hong-li telah memperoleh apa yang
diidamkan. Bertahun-tahun ia menunggu dan harus menderita. Dan ketika hari itu si Naga Berkabung
menerima gadis ini sebagai isterinya, hubungan suheng dan sumoi semakin dekat maka merekapun tinggal
dan menetap di pertapaan Hek-i Hong-li.
Namun akibat sumpah rupa-rupanya membayangi pria ini. Hidup bertahun-tahun tak membuahkan
keturunan. Dan ketika hal itu membuat Hek-i Hong-li kecewa akhirnya hubungan mereka mulai renggang. Si
Naga Berkabung mulai lagi muram dan sedih.
"Aku rupanya tak dapat membahagiakanmu. Aku tak dapat memberimu keturunan. Ah, rupanya aku
berdosa kepada sute, sumoi. Agaknya dialah yang tepat untukmu bukan aku. Aku tua bangka tak dapat
memberi apa-apa!"
"Tutup mulutmu. Jangan sebut-sebut lagi nama Sian-eng-jin di depanku, suheng. Aku hanya
Pembalesan 1 Animorphs - 27 Menyelamatkan Pesawat Pemalite Petualangan Tom Sawyer 4
^