Pencarian

Di Tepi Jeram 4

Di Tepi Jeram Karya Mira W Bagian 4


Rianti memang begitu terkesan melihat hubung-
an Awan dengan ayahnya. Mereka bermain berdua
252 seperti dua orang anak kecil yang sudah lama ber-
sahabat akrab. Belum pernah Rianti melihat Mas
Ario seriang dan sebebas itu. Seperti anak kecil dia
bersorak-sorak mengumbar perasaan girangnya bila
memenangkan game.
Keriangannya ditingkahi oleh lagak lagu dan
pekikan-pekikan Awan yang meledak-ledak menya-
lurkan ketegangannya. Bila dia merasa dicurangi
ayahnya, dia akan menubruk Mas Ario. Dan me-
reka akan bergulat sambil berguling-guling di lantai
dengan tertawa-tawa.
Tak sadar Rianti tersenyum sambil menggeleng-
gelengkan kepalanya melihat tingkah mreka. Ah,
Mas Ario begitu mendambakan seorang anak. Dia
dapat bermain begitu riangnya dengan anaknya.
Seandainya saja mereka juga dikaruniai seorang
anak Tak terasa air mata menggenangi mata Rianti.
Buru-buru dia pergi ke dapur dengan alasan ingin
melihat masakannya, padahal dia hanya ingin meng-
hindari mereka. Mencegah mereka melihat air mata-
nya. Di dapur sambil membuat bumbu gado-gado,
Rianti masih mendengar tawa dan celoteh mereka
dari ruang tengah. Dan Rianti merasa hatinya tam-
bah pedih. Dia tidak sampai hati memisahkan me-
reka.
Mas Ario begitu berbahagia di sisi anaknya. Be-
lum pernah Rianti melihatnya secerah itu. Dan
253 Awan demikian gembira dapat bermain dengan
ayahnya. Mereka berhak memperoleh kebahagiaan
itu. Tak seorang pun berhak memisahkan mereka!
Tidak juga Rianti!
* * *
Ketika akan pulang sore itu, Pak Ario masih menyu-
ruh Awan pamit pada neneknya. Dia menyuruh
anaknya mengetuk pintu kamar Bu Danu sambil
mengajarkan pada Awan apa yang harus diucapkan-
nya. Dan Awan meniru perintah ayahnya dengan
patuh, walaupun dia belum pernah melihat seperti
apa wanita yang harus dipanggilnya nenek itu.
"Nenek!" teriaknya meniru kata-kata ayahnya.
"Nenek!"
Ketika tidak ada jawaban juga dari dalam, Pak
Ario menyuruh anaknya berteriak lebih keras lagi.
"Nek! Awan mau pulang!"
"Mungkin Nenek tidur." Pak Ario menghela na-
pas kesal.
Sudah empat kali Awan berteriak di depan pintu.
Tetapi tak ada jawaban dari dalam. Rianti yang
mengawasi mereka dari belakang ikut merasa tre-
nyuh. Mengapa Ibu begitu keras kepala? Awan
tidak tahu apa-apa. Dia tidak bersalah.
"Bilang sama Tante Rian, Awan mau pulang,"
kata Pak Ario akhirnya.
Awan menghampiri Rianti dengan patuh.
254 "Tante, Awan mau pulang," katanya dalam ba-
hasa Indonesia yang kaku.
"Lain kali main lagi ya," sahut Rianti tulus.
"Bilang terima kasih pada Tante, Awan."
"Terima kasih."
"Kembali." Rianti tersenyum sambil menjabat
tangan anak itu.
"Kembali," Awan menirukan ucapan Rianti. "Tan-
te enak sekali."
"Hush!" Pak Ario mau tak mau terpaksa ter-
senyum geli. Rianti juga. "Masa Tante dibilang
enak! Cuma makanan yang boleh disebut enak!
Tante cantik!"
"Cantik." Awan menirukannya dengan lucunya.
"Cantik sekali."
"Pintar." Rianti membelai rambut anak itu. "Lain
kali main di sini lagi ya. Nanti Tante buatkan ma-
kanan yang enak."
Pak Ario menatap istrinya antara terkejut dan
terharu. Ibu benar. Rianti perempuan paling baik
yang pernah ditemuinya. Tak habis-habisnya dia
menyalahkan diri sendiri mengapa tak dapat puas
dengan seorang wanita saja. Mengapa harus menya-
kiti istri yang sebaik Rianti? Mengapa dia tidak
dapat membahagiakannya?
Tetapi begitu bertemu dengan Karin, Rianti pun
lenyap sama sekali dari benaknya. Karin demikian
pandai mengenyahkan semua akal sehat dari kepala-
nya. Melenyapkan dendam yang membakar hati
255 Pak Ario selama enam tahun setelah istri pertama-
nya meminta cerai.
"Kamu bukan laki-laki." Sisa-sisa umpatan Karin
yang bertahun-tahun lamanya membatu di hatinya
kini berserakan diterbangkan angin. Pak Ario telah
memaafkannya. Walaupun belum melupakannya.
"Kamu cuma anak laki-laki! Kamu masih perlu ibu
untuk menyusuimu!"
Ibu memang terlalu dekat dengannya. Tetapi dia
harus bagaimana lagi? Dia anak tunggal. Ayah telah
meninggal. Haruskah dia meninggalkan ibu seorang
diri menganyam kesepian di hari tuanya?
Hampir tiap hari Karin bertengkar dengan Ibu.
Ada-ada saja persoalan remeh yang dapat meletup-
kan pertikaian. Akhirnya Karin menyodorkan ulti-
matum.
"Pilih ibumu atau anak-istrimu!" geramnya ma-
lam itu, setelah pertengkaran yang kesekian kalinya
dengan Ibu.
Setelah Awan lahir, Karin yakin dia sudah me-
menangkan suaminya. Tetapi dia keliru. Indonesia
bukan Jerman. Di sini, ikatan tali kekeluargaan
mempunyai simpul yang kuat sekali. Apalagi Ario
anak tunggal. Ada hubungan batin yang tak mung-
kin terputuskan antara mereka.
Lagi pula Ario tidak mudah digertak. Bagi laki-
laki Indonesia, bagaimanapun tingginya derajat se-
orang istri, kedudukannya masih tetap di bawah
suami. Dia malah merasa tersinggung diultimatum
seperti itu.
256 Pak Ario tidak dapat digertak. Tidak dapat di-
ancam. Tak pernah terlintas dalam pikirannya,
Karin akan serius dengan ancamannya. Perempuan
itu toh sudah menjadi istrinya. Dan mereka sudah
punya anak!
Tetapi dalam hal ini Pak Ario pun keliru. Setelah
melalui perselisihan yang cukup keras, mereka ber-
pisah. Karin menuntut perceraian.
Dan bukan itu saja. Karin seorang wanita yang
tahu hak-haknya sebagai seorang istri. Dia bukan
hanya menuntut perceraian. Dia juga menuntut
separuh harta Pak Ario. Demi anaknya, Pak Ario
meluluskan tuntutan Karin. Meskipun Bu Danu
menentangnya.
Karin kembali ke Jerman bersama bayinya se-
bagai seorang janda kaya. Dan selama dua tahun di
sana, dia tinggal bersama seorang mahasiswa Indo-
nesia yang pernah menjadi kekasihnya sebelum Pak
Ario muncul. Lalu Budiman harus kembali ke Indo-
nesia setelah lulus. Dan Karin terlibat affair dengan
seorang laki-laki Jerman yang telah beristri.
"Memikirkan apa, Sayang?"
Karin merangkul Pak Ario dari belakang. Meng-
ambil rokok yang terselip di bibirnya dan meng-
hirupnya dalam-dalam. Diembuskannya asap rokok
itu dengan nikmat. Kemudian dikembalikannya ke
celah-celah bibir Pak Ario. Digelitikinya bulu di
dada laki-laki itu dengan jari-jemarinya. Sementara
bibirnya menelusuri telinga dan sisi leher kekasih-
nya dengan mesra dari belakang.
257 Pak Ario meletakkan rokoknya yang tinggal
separuh itu di tepi asbak. Dan membalas ciuman-
ciuman Karin dengan sama hangatnya.
Karin memang ahli memanfaatkan situasi. Dia
pandai memanaskan suasana santai mereka. Dia
memiliki berbagai cara mujarab untuk menghidup-
kan kembali gairah Pak Ario yang mengendur bila
dia sudah lelah. Atau bila laki-laki itu sedang kalut
memikirkan istrinya.
Bila bibir mereka telah saling bertaut, tubuh me-
reka pun akan saling menyatu tak kenal waktu.
Karin akan menghirup isi gelas sampanyenya jika
Pak Ario sudah terkapar kelelahan di sisinya. Men-
dekatkan bibirnya ke bibir laki-laki itu. Dan men-
curahkan sebagian sampanye di mulutnya ke dalam
mulut Pak Ario. Mereka akan sama-sama menelan
sampanye itu tanpa saling melepaskan bibir me-
reka.
Lalu Karin akan memagut bibir kekasihnya de-
ngan mesra. Mengulumnya sedemikian rupa dengan
bibir dan lidahnya sampai Pak Ario tak mempunyai
kesempatan lagi untuk melepaskan lelah.
Mereka akan saling berdekapan seolah-olah kerin-
duan mereka takkan pernah berakhir. Gairah cinta
yang menggebu-gebu meluap tak ada habis-habis-
nya. Dan Pak Ario pun melupakan istrinya yang
sedang menunggu dengan setia di rumah.
Hampir pukul satu malam baru Pak Ario kem-
bali ke rumahnya. Dengan mulut penuh busa
258 alkohol dan tubuh yang letih lesu. Begitu sampai
di kamar, dia langsung menjatuhkan dirinya di tem-
pat tidur. Dan dia sudah terlelap sebelum Rianti
sempat membukakan sepatunya.
* * *
"Bagaimana pendapatmu tentang Awan, Rian?"
tanya Pak Ario ketika mereka sedang sarapan pagi.
Seluruh tubuhnya terasa pegal. Tetapi dipaksakannya
juga untuk tetap terlihat segar di depan istrinya.
"Anak yang cerdas," sahut Rianti terus terang;
tanpa mengangkat kepalanya. Diletakkannya roti
yang sudah dipanggang di atas piring suaminya.
"Pintar dan berani." Pak Ario tersenyum bangga.
"Lucu pula."
Ketika Rianti tidak menyahut, Pak Ario me-
noleh. Rianti sedang meletakkan potongan roti
yang kedua di atas piringnya. Pak Ario menangkap
tangan istrinya sesaat sebelum Rianti menariknya.
"Kamu menyukainya?"
"Ya," sahut Rianti datar. Ditariknya tangannya
selembut mungkin.
"Kamu juga tidak tega memisahkan kami, bu-
kan?"
"Tentu saja tidak. Dia anakmu, Mas."
"Terima kasih, Rian." Pak Ario meletakkan ta-
ngannya di atas tangan istrinya. "Pengertianmulah
yang saya harapkan."
259 "Butter-nya, Mas."
Rianti menarik tangannya sekali lagi. Mengambil
tempat butter dan mendorongnya ke dekat piring
suaminya. Sekadar menutupi kepedihan yang me-
nyengat hatinya.
"Karin tidak minta saya nikahi," kata Pak Ario
terus terang. "Dia tidak minta terlalu banyak. Dia
hanya minta kemurahan hatimu untuk tidak me-
misahkan Awan dari ayahnya."
Rianti menggigit bibirnya menahan tangis. Tiba-
tiba saja matanya terasa panas. Didorongnya tempat
marmalade ke dekat piring suaminya. Dan dia tidak
mampu lagi mengucapkan sepatah kata pun. Ka-
rena begitu dia membuka mulutnya, tangisnya pasti
pecah.
Inikah laki-laki yang diharapkannya dapat men-
jadi suami yang harus dijunjungnya seumur hidup?
Dia tidak lebih dari seorang laki-laki egois yang
hanya memikirkan dirinya sendiri.
"Rian." Kini Pak Ario benar-benar menggenggam
tangan istrinya dan tidak mau melepaskannya lagi.
"Maafkan saya. Saya tahu saya telah menyakiti hati-
mu."
Kamu menyakiti hati saya dalam setiap helaan
napasmu, pekik Rianti dalam hati. Inikah cinta?
Inikah kebahagiaan yang Mas janjikan?
"Tapi cobalah mengerti keadaan saya, Rian."
Mengapa harus saya yang selalu memahamimu,
Mas? Mengapa Mas Ario sendiri tak pernah dapat
260 memahami perasaan saya? Di mana ada perempuan
yang rela berbagi kasih dengan perempuan lain?
"Awan anak saya. Dia membutuhkan saya."
Mengapa baru sekarang anak itu membutuhkan
ayahnya? Mengapa tidak sejak dulu, sebelum Mas
menikahi saya?
"Saya pun menyayanginya. Dia tanggung jawab
saya. Masa depan saya. Saya ingin mendidiknya.


Di Tepi Jeram Karya Mira W di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Menyekolahkannya. Membahagiakannya. Kamu
tidak keberatan bukan, Rian?"
Rianti menggelengkan kepalanya sambil menun-
duk. "Terima kasih, Rian."
Pak Ario menghela tubuh Rianti ke dalam peluk-
annya. Walaupun tidak menolak, Rianti juga tidak
membalas. Sudah tak ada lagi gairah di hatinya.
Pelukan itu terasa hambar! Ciuman bibirnya pun
terasa menyakitkan. Ciuman Yudas. Ciuman se-
orang pengkhianat.
"Kita tidak akan berpisah bukan, Rian?" bisik
Pak Ario lembut. Didekapnya istrinya dengan ha-
ngat. "Kamu bisa memahami perasaan saya?"
"Saya bisa memahami perasaanmu, Mas," sahut
Rianti dengan getir. Suaranya basah didera tangis.
"Saya pun bisa memahami perasaan bekas istri Mas
Ario. Kami sama-sama perempuan."
"Rian" Pak Ario memeluk istrinya lebih erat
lagi. "Kita akan tetap seperti ini. Seperti sekarang.
Tidak ada yang dapat memisahkan kita!?
261 "Tapi saya tidak dapat, Mas." Tangis Rianti me-
ledak tanpa dapat ditahan-tahan lagi. "Ceraikanlah
saya."
"Rianti!" cetus Pak Ario kaget. Kecewa. Direng-
gangkannya pelukannya. Ditatapnya isrtinya yang
sedang menangis sambil menunduk.
"Kembalilah pada keluargamu, Mas," tangis Rianti
lirih. "Awan membutuhkanmu."
"Tapi saya tidak dapat menceraikanmu, Rianti!"
"Demi anakmu, Mas. Dia tidak bersalah. Dan
dia memerlukan seorang ayah. Awan membutuhkan
dirimu lebih daripada saya."
"Saya mencintaimu, Rianti! Saya tidak dapat ber-
pisah denganmu!?
"Saya pun mencintaimu, Mas! Tapi kalau cinta
itu menghancurkan kebahagiaan dan masa depan
seorang anak kecil, saya tidak dapat! Saya rela me-
ngalah! Rela berkorban!"
* * *
"Ada apa, Rian?" tanya Ibu begitu Rianti muncul
di rumah orangtuanya.
Awal bulan Rianti selalu pulang untuk men-
jenguk keluarganya. Sekaligus memberikan uang
gajinya kepada Ayah. Sejak dia menikah dengan
Pak Ario, kehidupan ekonomi keluarga mereka me-
mang menjadi jauh lebih baik.
Pak Ario memberikan tunjangan yang cukup
262 kepada keluarga Rianti, walaupun mula-mula dulu
ibunya menentang. Gaji Rianti sendiri pun semakin
lama semakin bertambah. Tak ada kesulitan keuang-
an lagi dalam keluarga mereka.
Sejak Ayah bekerja di perusahaan Pak Ario, mes-
kipun hanya sebagai pengawas, sikapnya pun sudah
banyak berubah. Apalagi Ibu yang sudah berhenti
bekerja atas permintaan Rianti, dapat berada di ru-
mah setiap hari.
Pelangi kebahagiaan yang sudah menaungi ke-
luarga mereka selama beberapa bulan nyaris sirna
oleh keputusan Rianti untuk bercerai. Dan Ibu
yang arif sudah langsung melihat perubahan wajah
putrinya begitu dia muncul di rumah.
"Kamu sakit, Rian?" desak Ibu cemas. "Mukamu
pucat sekali."
"Ah, cuma masuk angin sedikit, Bu."
"Haidmu masih teratur?"
Tiba-tiba saja Rianti tertegun. Pertanyaan Ibu
menyentakkan kesadarannya. Haidnya memang be-
lum muncul juga. Karena keruwetan pikirannya
akhir-akhir ini, Rianti tidak pernah menggubrisnya.
Kalau orang sedang banyak pikiran, kadang-kadang
haid pun dapat terlambat, bukan?
"Jangan-jangan kamu hamil, Rian?" kata Ibu seri-
us. "Periksalah ke dokter."
Rianti tidak menjawab. Dia cuma menghela
napas. Terlalu keras untuk luput dari telinga Ibu.
Dan Ibu semakin curiga.
263 "Ada apa?" desak Ibu hati-hati. Diawasinya wa-
jah putrinya yang murung itu dengan cermat. "Ber-
tengkar dengan suamimu?"
Rianti menggeleng. Dijatuhkannya dirinya ke
kursi. Dicobanya untuk bersikap sewajar mungkin
di depan Ibu. Tetapi Ibu terlalu sulit untuk di-
bohongi, seolah-olah dia memiliki indra keenam.
"Bagaimana Yos, Bu? Lulus sipenmarunya?"
Sengaja Rianti mengalihkan perhatian Ibu.
"Gagal." Sekarang Ibulah yang menghela napas.
Berat. Getir. "Dia ingin bicara denganmu."
"Dia ingin mencoba di PTS?"
"Biayanya berat. Uang pendaftaran tiga puluh
ribu. Uang sumbangan dua-tiga juta. Belum lagi
uang kuliah, uang praktikum bisa sampai ratusan
ribu setahun."
"Dia mau mencoba melamar pekerjaan?"
"Itu pula yang ingin dirundingkannya dengan-
mu."
Diam-diam Rianti mengeluh. Tentu saja dia
ingin adiknya melanjutkan pelajarannya. Masuk
universitas. Kuliah. Mencapai gelar sarjana. Kalau
saja tidak ada persoalan dalam rumah tangganya,
tak ada yang perlu dibingungkan.
Mas Ario sudah berjanji untuk membiayai Yos
sampai selesai. Tetapi kini? Mereka sudah di am-
bang perceraian! Masih beranikah Rianti meng-
harapkan tunjangan dari bekas suaminya? Dan Ibu
seperti dapat membaca perasaannya.
264 "Ada apa, Rian? Ibu mertuamu lagi?" desak Ibu
hati-hati.
"Oh, ibu Mas Ario sangat baik pada saya, Bu.
Kami tak pernah berselisih."
"Pandai-pandailah membawa diri, Rian. Kalau
kamu dapat membuat ibu mertuamu menganggap-
mu sebagai anak sendiri, dia takkan merasa disaingi
lagi dalam mencintai anaknya."
"Saya selalu ingat nasihat Ibu. Antara kami su-
dah tidak ada persoalan lagi."
"Jadi apa yang membuatmu murung? Suami-
mu?"
Rianti menggeleng sambil menggigit bibir me-
nahan tangis. Dia tidak ingin menceritakan kesusah-
annya kepada Ibu. Membuat Ibu sedih saja. Tetapi
bagaimana mendustai mata Ibu? Firasat Ibu sangat
tajam.
"Ada perempuan lain?" desak Ibu lembut.
Kata-kata Ibu demikian perlahan. Demikian
halus. Tetapi di telinga Rianti, kata-kata itu bagai
ledakan bom. Ledakan yang mengoyakkan pertahan-
annya. Mencabik-cabik perasaannya sampai ber-
keping-keping.
Akhirnya tak tahan lagi Rianti menyembunyikan
kesedihannya seorang diri. Dirangkulnya Ibu sambil
menangis. Dan Ibu telah menemukan jawaban per-
tanyaannya dalam tangis itu.
"Sabarlah, Nak," bisik Ibu terharu. "Laki-laki
seperti suamimu memang selalu mendapat godaan
265 dari kaum kita. Cobalah lihat bagaimana menarik-
nya dia. Tampan. Gagah. Dewasa. Matang dalam
pengalaman. Kaya. Sarjana pula. Direktur perusaha-
an Nah, siapa yang tidak tergiur? Laki-laki mana
yang tahan kalau digoda terus-menerus? Suamimu
kan manusia biasa, Rian. Bukan dewa. Tidak luput
dari kesalahan. Tidak lekang dari kekurangan. Maaf-
kanlah kekhilafannya. Jangan marahi dia. Nanti dia
pergi makin jauh dari rumah."
"Saya sudah minta cerai, Bu!" tangis Rianti lirih.
Terus terang Ibu tersentak juga. Tidak menyang-
ka persoalan mereka sudah sampai sejauh itu.
"Mengapa mengambil jalan pintas seperti itu,
Rian? Keretakan rumah tangga kalian masih dapat
diperbaiki, bukan? Memang sakit rasanya men-
dengar suami kita terpikat pada perempuan lain.
Tapi mengapa harus buru-buru menyerahkannya
begitu saja kepada perempuan itu? Kamu harus
memperjuangkan keutuhan rumah tanggamu, Rian!
Kamu harus berjuang untuk kebahagiaanmu sendiri!
Bukan lantas meminta cerai! Pikirkanlah dulu baik-
baik. Jangan turuti hati yang panas. Nanti kamu
menyesal. Ibu percaya Ario laki-laki yang setia.
Hanya dia tergoda rayuan seorang perempuan."
"Perempuan itu bekas istrinya, Bu! Mereka sudah
punya anak!"
Sekarang Ibu tak mampu membuka mulutnya
lagi. Kalau benar perempuan itu bekas istri Ario,
persoalan mereka benar-benar serius!
266 "Mas Ario sudah membelikan mereka rumah,"
kata Rianti lirih. "Perempuan itu tidak minta di-
nikahi. Tapi dia minta agar saya tidak memisahkan
Mas Ario dari anaknya."
"Jadi perempuan itu rela menjadi simpanan sua-
mimu?"
"Mas Ario tidak ingin menceraikan saya. Tapi
dia juga tidak dapat berpisah dengan anaknya.
Anak itu sudah besar, Bu. Sudah enam tahun umur-
nya."
"Dan anak itu tahu siapa ayahnya?"
Rianti mengangguk getir.
"Saya pun tidak sampai hati memisahkan me-
reka, Bu. Anak itu tidak bersalah. Mengapa dia
harus kehilangan ayahnya karena saya?"
"Bukan salahmu, Rian. Mereka sudah bercerai
sebelum kamu muncul!"
"Tapi sekarang mereka telah kembali berkumpul,
Bu. Saya tidak dapat memisahkan mereka kembali.
Saya tidak sampai hati!"
"Dan kamu mengorbankan kebahagiaanmu sen-
diri?"
"Haruskah saya menganyam kebahagiaan saya di
atas penderitaan seorang anak kecil?"
"Rian." Ibu mendekap putrinya erat-erat. Air
matanya meleleh ke pipi. Satu-satu menetes mem-
basahi bahu Rianti. "Mengapa penderitaan seperti
tak pernah mau jauh dari orang sebaik kamu?"
267 * * *
"Sudah tiga kali laki-laki itu datang kemari me-
nanyakanmu, Rian." Bu Danu memecahkan ke-
sunyian di ruang makan. Pak Ario yang sedang
makan cepat-cepat sambil menunduk mengangkat
mukanya. Tapi dia tidak bertanya apa-apa.
Rianti-lah yang bertanya, "Siapa, Bu?"
"Katanya namanya Rasid." Bu Danu sengaja me-
narik muka masam. "Kalau urusan bisnis, mengapa
tidak diselesaikan di kantor saja?"
"Kemarin dia sudah menemui saya di kantor,
Bu."
"Lalu mau apa lagi dia datang ke rumah?"
Rianti menggeleng bingung.
"Saya juga tidak tahu, Bu."
"Hhh!"
Sengaja Bu Danu mendengus agak keras. Sudah
dilihatnya bagaimana anaknya meneguk air minum-
nya dengan sedikit terburu-buru. Pasti nasinya sulit
masuk.
Ada seorang laki-laki yang sudah tiga kali datang
ke rumah untuk menemui istrinya. Hah. Padahal
cuma Bu Danu yang tahu, laki-laki itu baru sekali
muncul. Dia memang sengaja memanas-manasi hati
anaknya.
Ario memang tidak bertanya apa-apa. Tetapi dia
pasti merasa tidak enak. Kelihatannya dia juga
kenal laki-laki itu. Belum terlalu tua. Tampan pula.
268 Menarik. Rapi. Hm, Ario pasti menganggapnya
saingan yang cukup berat.
Tentu saja Rianti tidak mengira itu siasat ibu
mertuanya. Dia hanya merasa terkejut ketika keesok-
an harinya, tiba-tiba saja suaminya muncul di kan-
tor. Padahal sejak pemutusan hubungan kerja sama
mereka, Mas Ario tak pernah datang lagi ke kantor
Pak Ariffin.
Kebetulan Pak Ariffin sedang mendiktekan surat
kepada Rianti. Mereka hanya berdua saja di dalam
ruangan tertutup yang sejuk itu. Dalam jarak yang
cukup dekat pula.
Rianti duduk di balik meja tulisnya. Pak Ariffin
berjuntai di tepi meja itu. Kalau dia mau, ujung
jarinya dapat mencolek dagu Rianti.
"Pak Ario?" desis Pak Ariffin keheran-heranan
mendengar suara Wati melalui airphone. "Suruh
masuk saja."
Pak Ariffin tidak mengubah posisi duduknya.
Tidak mencoba berpura-pura menjauhi Rianti. Ke-
tika Pak Ario masuk, dia cuma menatapnya dengan
tenang.


Di Tepi Jeram Karya Mira W di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Selamat pagi! Mau bertemu saya atau Rianti?"
Pak Ario menatap istrinya sekilas. Tepat pada
saat Rianti sedang memandangnya dengan heran.
Sekilas mata mereka bertemu. Dan Rianti menang-
kap sorot cemburu dalam mata yang dingin itu.
"Saya ingin membawa Rianti pulang," kata Pak
Ario pada Pak Ariffin. "Ada yang harus kami bicara-
kan."
269 "Sepenting itu?" tanya Pak Ariffin kurang senang.
"Saya sedang mendiktekan surat penting untuk di-
kerjakan hari ini. Tak dapat ditunda sampai nanti
siang?"
"Mau minum apa, Mas?"
Rianti buru-buru bangkit untuk mengambilkan
minuman ketika merasakan suasana yang kurang
menyenangkan itu.
"Tidak usah." Suara Pak Ario sedingin tatapan-
nya. "Saya hanya ingin bicara denganmu."
"Nanti siang saja ya, Mas? Biar saya selesaikan
surat ini dulu."
Pak Ario mengatupkan rahangnya menahan
marah. Bahkan membawa pulang istri sendiri pun
dia tidak mampu!
"Baik," katanya menahan geram. "Saya jemput
kamu pukul dua belas!"
"Lebih baik setengah satu," sambar Pak Ariffin
sebelum Pak Ario melangkah pergi. "Hari ini ada
rapat staf. Nanti Pak Ario menunggu terlalu lama!"
Pak Ario melangkah geram tanpa menoleh lagi.
Setelah tubuhnya lenyap di balik pintu, Pak Ariffin
menoleh ke arah Rianti.
"Ada apa? Kalian bertengkar?"
Rianti menggeleng muram. Mengapa suaminya
bersikap seperti itu?
"Hm." Pak Ariffin tersenyum sinis. "Dia mencem-
buruiku! Padahal dia sendiri menyeleweng dengan
perempuan lain! Hhh, laki-laki memang begitu,
270 Rianti! Dia boleh memiliki seratus perempuan, tapi
istrinya sendiri harus menjadi miliknya seratus per-
sen!"
"Tolong dilanjutkan suratnya, Pak," sela Rianti
dengan perasaan tidak enak.
* * *
Sepanjang perjalanan pulang Pak Ario membisu.
Rianti pun tidak dapat menemukan kata-kata un-
tuk memulai pembicaraan. Keheningan menyekap
mobil mereka selama hampir satu jam.
Ibulah yang memecahkan kebisuan itu begitu
mereka tiba di rumah.
"Lelaki itu menelepon lagi, Rian," katanya de-
ngan wajah berang. "Apa sebenarnya yang dia ingin-
kan?"
"Saya belum pernah bertemu lagi dengan dia,
Bu," sahut Rianti gugup. Terlalu gugup sehingga
membangkitkan kejengkelan Pak Ario.
"Dia sering datang ke kantor?"
"Siapa, Mas?"
"Siapa lagi! Tentu si Rasid itu! Apa lagi yang di-
kehendakinya? Uang lagi?"
Rianti tercengang. Tidak menyangka suaminya
akan semarah itu.
"Kata Dila dia telah bercerai. Dan dia sering
mengajakmu makan siang di warung tegal. Apa se-
benarnya maunya?"
271 Sekali lagi Rianti terperangah. Suaminya sampai
menanyakan hal-hal seperti itu kepada Dila? Astaga!
Dan Dila! Mengapa dia membalas budi Rianti
dengan memfitnah dirinya? Lupakah dia siapa yang
telah memberikan pekerjaan itu kepadanya?
"Punya hubungan apa dia denganmu, Rian?" Ibu
menambah keruh suasana dengan pertanyaan yang
bernada curiga. "Orangnya masih muda. Ganteng
pula. Rapi. Pesolek. Tipe pria perayu. Kamu harus
hati-hati menghadapinya, Rian! Jangan-jangan dia
punya maksud tertentu padamu! Pakai tulis surat
segala macam!"
"Pak Rasid bekas guru saya, Bu," sahut Rianti
dengan perasaan serbasalah.
"Ah, itu tidak menjamin keamanan hubungan
kalian!"
Sementara itu Pak Ario telah masuk ke kamar.
Rianti mendengar suara pintu dibanting. Lalu
barang-barang berjatuhan di dalam kamar.
Bergegas Rianti memburu ke sana. Dan tertegun
di ambang pintu.
Suaminya sedang mengaduk-aduk isi lemari.
Entah apa yang dicarinya. Baju-baju berserakan di
lantai. Dompet dan tas berjatuhan saling tumpuk.
Kotak perhiasan Rianti pun jatuh dengan menerbit-
kan suara berisik.
"Mas!" sergah Rianti bingung. "Mas cari apa?"
Pak Ario tidak menjawab. Setelah mengosongkan
272 isi lemari, dia pindah ke meja hias. Semua barang
di atasnya disapunya dengan tangan.
Rianti menutup mulutnya menahan pekikan
yang hampir terlepas melihat botol-botol minyak
wangi, tempat bedak, kotak alat-alat make-up, dan
kotak perhiasan berhamburan ke lantai. Botol-botol
pecah berderai. Isinya muncrat ke sana kemari.
Belum puas dengan amukannya, Pak Ario masih
menyapu bersih semua benda di atas meja dekat
tempat tidur. Jambangan bunga, jam meja, radio
kecil, asbak semua terpental untuk hancur ber-
derai di lantai.
Ketika Pak Ario hendak merenggut foto perkawin-
an mereka yang tergantung di dinding dan mem-
bantingnya pula, Rianti lari mencegahnya. Tetapi
laki-laki itu malah mendorongnya dengan kasar.
Tubuh Rianti terempas keras ke dinding. Dan
Pak Ario tidak membiarkan istrinya tepekur terlalu
lama di sana. Dengan kasar diseretnya tubuh Rian-
ti. Didorongnya ke tempat tidur.
Rianti tersungkur separuh terbanting. Dan Pak
Ario tidak memberikan kesempatan padanya untuk
menarik napas. Direnggutnya pakaian istrinya sam-
pai koyak. Dipaksanya Rianti melayani keinginan-
nya. Ketika Rianti mencoba menolak, dia malah
mendapat perlakuan yang lebih kasar lagi.
"Kamu yang minta diperlakukan seperti ini!"
geramnya setelah selesai. "Kamu yang minta diper-
lakukan seperti pelacur!"
273 Rianti menelungkup sambil menangis. Dia tidak
tahu apa kesalahannya. Tetapi hatinya sudah terlalu
remuk untuk bertanya.
"Kamu tolak suamimu yang menginginkan istri-
nya sendiri," geram Pak Ario sengit, "Tapi kamu
serahkan dirimu kepada segala macam lelaki! Bekas
gurumu. Majikanmu"
"Mas!" pekik Rianti tak tahan lagi. "Apa sebenar-
nya kesalahan saya?"
"Tanya pada dirimu sendiri!"
Dengan sengit Pak Ario bangkit dari tempat
tidur. Merapikan pakaiannya. Mengambil sebuah
sampul surat dari sakunya. Dan melemparkan isi-
nya ke atas tubuh Rianti.
Lembaran uang puluhan ribu rupiah bertebaran
di sana. Sebagian di atas tempat tidur. Sebagian
lagi jatuh di atas tubuh Rianti. Di antara lembaran-
lembaran uang itu terselip sehelai kertas.
"Katakan pada gigolomu itu, dia akan kubunuh
kalau berani menyentuh istriku lagi!"
Dengan membanting pintu, Pak Ario meninggal-
kan kamarnya. Ibu yang sedang menunggu di luar
langsung menyambutnya.
"Mengapa kau marah-marah begitu?!" tegurnya
marah. "Apa yang kaulakukan terhadap istrimu
lebih buruk lagi daripada apa yang dilakukannya
sekarang!"
"Ibu!" Pak Ario menatap ibunya dengan geram.
"Jangan ikut campur urusan rumah tangga saya!?
274 "Ibu hanya mengingatkanmu! Kalian akan ber-
cerai, bukan? Nah, mengapa mesti marah kalau
Rianti menjalin hubungan dengan pria lain?!"
Pak Ario tidak menjawab. Karena dia memang
tidak mampu menjawab. Ditinggalkannya ibunya
dengan sengit. Tetapi ketika sedang mengemudikan
mobil ke rumah Karin, kata-kata Ibu terus-menerus
mengganggu pikirannya.
Apa sebenarnya kesalahan Rianti? Mereka sudah
hampir bercerai. Rianti sudah memintanya meski-
pun dia sendiri keberatan. Tidak adil memperlaku-
kan istrinya seperti itu. Kalau dia sendiri boleh hi-
dup bersama Karin dua bulan lebih, mengapa
istrinya tidak boleh berkencan dengan seorang pria
sekali saja?
"Apa yang kaulakukan terhadap istrimu lebih
buruk lagi daripada apa yang dilakukannya seka-
rang!"
Terngiang lagi suara ibunya. Tegas. Ketus. Tajam.
Khas Ibu. Siapa lagi yang dapat menegurnya seka-
rang kecuali Ibu? Cuma Ibu yang dapat memaksa-
nya melihat kebenaran. Menghadapi kenyataan.
"Kalian akan bercerai, bukan? Nah, mengapa
mesti marah kalau Rianti menjalin hubungan de-
ngan pria lain?"
"Tidak!!" Pak Ario memukul kemudi mobilnya
dengan sengit. "Aku tidak akan menceraikannya!
Dia milikku!"
"Tapi saya tidak dapat, Mas," tangis Rianti kem-
bali melanda telinganya. "Ceraikanlah saya!"
275 "Tidak!" geram Pak Ario lagi. Getir. "Aku men-
cintaimu, Rian! Aku tidak sanggup menceraikan-
mu!"
Tapi bukankah serakah namanya ingin memiliki
dua wanita sekaligus? Mengapa dia hanya memikir-
kan dirinya sendiri?
"Kamu dapat memahami saya bukan, Rian? Saya
tidak dapat berpisah dengan Awan!"
"Saya dapat memahami perasaanmu, Mas," sahut
Rianti lugu. Begitu tulus. Begitu penuh pengerti-
an. Mengapa dia tidak dapat melihat betapa hancur
hati istrinya? Betapa berat penderitaannya ketika
mengetahui suaminya mempunyai simpanan?
Istrinya dapat mengerti alasan penyelewengannya.
Dengan besar hati dia memaafkannya. Mengapa dia
sendiri tidak dapat mengerti alasan istrinya berhu-
bungan dengan laki-laki itu?
Terbayang kembali isi surat Pak Rasid yang di-
serahkan Ibu kepadanya itu. Isinya demikian ku-
rang ajar. Membuat hatinya panas. Mendidih di-
jerang di atas api cemburu.
"Karena kamu tidak muncul di tempat yang kita
janjikan, terpaksa surat ini saya antar ke rumah,
Rian. Uang ini merupakan sebagian dari uang yang
kamu berikan juga. Saya kembalikan sebagai pem-
bayaran utang di masa lalu. Besok siang saya tung-
gu di tempat biasa. Ada yang ingin saya bicarakan
denganmu. Penting. Rasid."
276 Pak Ario ingin sekali mencekik leher laki-laki
itu. Melumatkannya. Berani benar dia mengganggu
istrinya!
Uang apa yang diberikan Rianti kepadanya? Meng-
apa dia memberikan uang lagi kepada laki-laki itu?
Utangnya dulu saja belum dibayar!
Laki-laki itukah yang menyebabkan Rianti selalu
menolak kalau suaminya ingin menidurinya?
Atau laki-laki keparat yang ada di kantornya?!
Majikannya sendiri?!
Sebenarnya kalau tidak ada surat itu, Pak Ario
lebih mencemburui Pak Ariffin daripada Pak Rasid.
Pak Ariffin lebih mempunyai peluang untuk meng-
gantikan kedudukannya setelah mereka bercerai
nanti.
Hampir tiap hari mereka berada berdua di dalam
ruangan tertutup itu. Dalam keadaan bahagia,
Rianti mungkin masih dapat mengusir godaan yang
datang dari majikannya.
Tetapi dalam keadaan rumah tangganya kacau
seperti ini? Tidak mungkinkah Rianti memakai
kesempatan itu untuk menghibur diri atau malah
untuk membalas dendam kepada suaminya?
Barangkali aku sudah gila, pikir Pak Ario sengit.
Mengapa aku dilanda cemburu buta seperti remaja
lagi?! Rianti belum tentu melakukan sesuatu yang
salah. Mengapa sudah diperlakukannya dia seperti
itu? 277 * * *
Rianti menangis tersedu-sedu. Hatinya sekarang
bukan cuma sakit. Lebih dari itu. Sakitnya sudah
hampir tak terkatakan lagi. Hancur. Remuk. Lumat.


Di Tepi Jeram Karya Mira W di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Larut dalam kehinaan.
Belum pernah suaminya memperlakukan dirinya
serendah ini. Mas Ario bukan hanya menyakiti tu-
buhnya. Memaksanya menuruti kehendaknya. Dia
melakukannya dengan kasar. Amat kasar. Seolah-
olah Rianti bukan istrinya. Seolah-olah dia ini cu-
ma perempuan jalanan yang patut diperlakukan se-
perti itu.
Tidak dihiraukannya rintih kesakitan istrinya.
Tidak diacuhkannya permintaan Rianti untuk me-
nyudahinya. Mas Ario sudah kalap. Dirampasnya
miliknya sendiri dengan brutal.
Belum merasa cukup menyakiti istrinya, dia ma-
sih melemparkan uang ke atas tubuh Rianti. Se-
olah-olah dia pelacur yang dibayar sesudah melayani
laki-laki!
O, cukuplah sudah penghinaan itu! Rianti tak
sanggup lagi meneguk racun berikutnya. Dia sudah
lebur dalam kepahitan empedu yang melumatkan
harga dirinya.
Ke mana perginya cinta? Begitu cepatkah cinta
berlalu? Mas Ario yang demikian mengasihinya
Dia berubah begitu cepat setelah cinta pertamanya
kembali!
278 Cintanya kepada Rianti hilang tanpa bekas. Dia
sampai hati memperlakukan istrinya seperti ini.
Seperti seorang wanita tuna susila! Perempuan yang
tidak berharga!
"Rianti"
Suara Bu Danu begitu lembut membelai-belai
telinga Rianti. Entah sudah berapa lama Ibu berada
di dalam kamar. Di sisi pembaringannya.
Rianti merasa malu Ibu mengetahui pertengkaran-
nya. Tetapi dia tidak mempunyai pilihan lain. Ibu
telah melihat tangisnya. Tak ada lagi yang dapat
disembunyikan.
Rianti hanya mampu menggeliat bangun untuk
merangkul ibu mertuanya. Memindahkan tangisnya
ke pelukan perempuan tua itu. Dan dia harus
mengaduh kesakitan.
Ada rasa nyeri menikam bagian bawah perutnya.
Di ujung sekali. Agak ke kiri. Dan bukan itu saja.
Dia juga merasa pedih di bawah sini. Amat pe-
dih. Seluruh tubuhnya terasa sakit. Digigitnya bibir-
nya menahan nyeri. Dan desah terperanjat me-
luncur dari celah-celah bibir Bu Danu yang sedang
merangkulnya.
"Rian!" cetusnya kaget. Matanya terbelalak me-
natap seprai! "Darah!"
* * *
279 "Apa yang terjadi, Dokter?" desah Bu Danu
gugup. "Apa yang terjadi dengan menantu saya?"
"Dia keguguran," sahut Dokter Bahrum hati-
hati.
"Ya Tuhan!" Bu Danu menebah dadanya. Mata-
nya terbeliak antara terkejut dan kecewa.
"Ibu tidak tahu dia hamil?"
Bu Danu hanya mampu menggeleng. Mulutnya
masih separuh terbuka tak mampu digerakkannya
lagi. Rahangnya mengejang dalam kekecewaan.
Telah datang cucu yang diharapkannya! Tetapi
dia telah pergi lagi sebelum sempat memanggilnya
Nenek! Bahkan sebelum sempat memberitahukan
kedatangannya! Diam-diam dia telah hadir di
antara mereka! Diam-diam pula dia telah kembali
ke tangan Pencipta-nya!
"Kandungannya tidak dapat diselamatkan lagi.
Terpaksa dikuret."
Tak terasa berlinang air mata Bu Danu. Padahal
dia seorang perempuan yang tabah.
"Bolehkah saya menemuinya, Dokter?" desis Bu
Danu sedih.
"Dia belum sadar. Masih dalam pengaruh obat
bius. Tapi sementara itu, ada yang ingin saya tanya-
kan pada Ibu."
"Soal apa, Dokter?"
"Bolehkah saya tahu ke mana suaminya?"
"Ke kantor," sahut Bu Danu spontan. "Saya te-
lah menelepon sekretarisnya. Dia dalam perjalanan
menuju kemari sekarang."
280 Bu Danu sendiri heran bagaimana dia dapat ber-
dusta selancar itu. Dia memang telah menelepon
kantor anaknya. Tetapi Ario tidak ada di sana.
Sekretarisnya telah berjanji untuk mencarinya.
Ario mempunyai starco yang selalu dibawanya ke-
mana-mana. Dengan alat itu dia dapat dihubungi
di mana pun dia berada.
"Kalau begitu saya ingin bicara dengan suaminya
kalau dia datang nanti."
"Soal apa, Dokter?" tanya Bu Danu dengan dada
berdebar-debar. "Bolehkah saya tahu? Saya ibu-
nya."
"Nanti saja, Bu. Soal ini sangat pribadi sifatnya.
Lebih baik saya tanyakan langsung pada suami-
nya."
* * *
Pak Ario muncul sejam kemudian. Saat itu Rianti
telah sadar. Bu Danu sudah boleh menjenguknya.
Tetapi Pak Ario langsung dipanggil ke kamar kerja
Dokter Bahrum.
"Apakah Bapak tahu istri Bapak sedang hamil?"
tanya Dokter Bahrum hati-hati.
"Hamil?" Pak Ario hampir berteriak. Rianti ha-
mil? "Saya belum bicara dengan istri Bapak. Dia baru
saja siuman. Perdarahannya cukup banyak. Kan-
dungannya tidak dapat dipertahankan lagi. Karena
281 itu terpaksa dikuret untuk menghentikan perdarah-
an itu"
Wajah Pak Ario yang sudah pucat semakin me-
mutih.
"Rianti Rianti keguguran?" desahnya ge-
metar.
"Sekarang masa kritisnya telah lewat," hibur Dok-
ter Bahrum. "Cuma ada yang ingin saya tanyakan.
Dengan siapa lagi istri Bapak tinggal selain dengan
Ibu?"
"Dengan saya," sahut Pak Ario bingung. "Ada
apa?"
"Terus terang saya menemukan tanda-tanda per-
kosaan pada tubuh istri Bapak. Demi kepentingan
hukum, saya harus membuat visum. Seandainya
kelak istri Bapak hendak menuntut seseorang, tu-
buhnya saat ini merupakan barang bukti."
Selama beberapa detik Pak Ario tidak mampu
mengucapkan sepatah kata pun. Dia benar-benar
shock.
"Sayalah yang memerkosanya," katanya akhirnya,
setelah mampu menggerakkan lidahnya lagi. "Kami
baru saja bertengkar."
"Suami tidak dapat dituntut memerkosa istri
sendiri." Dokter Bahrum menyembunyikan perasaan
muaknya. "Tapi Bapak dapat dituduh menganiaya
istri Bapak."
* * *
282 Ketika Pak Ario keluar dari kamar kerja Dokter
Bahrum dengan kepala tertunduk, seseorang me-
manggilnya. Dia menoleh. Dan melihat Karin mun-
cul seorang diri.
"Bagaimana istrimu?" tanyanya serius.
"Keguguran," sahut Pak Ario dengan perasaan
bersalah. Dia terus berjalan menuju ke kamar Rianti.
Karin mengikutinya. "Aku yang menyebabkan dia
kehilangan anaknya. Kami baru saja bertengkar."
"Karena aku?"
Pak Ario menggeleng.
"Bukan salahmu. Dia baru saja menerima surat
dari seorang laki-laki. Aku cemburu. Dan khilaf.
Aku yang mengasarinya. Aku yang membunuh
anak itu! Aku tidak tahu dia hamil. Dia tidak per-
nah mengatakannya padaku."
"Rianti tak pernah menerima surat dari laki-
laki," sambar Bu Danu dari depan pintu kamar
Rianti. "Ibulah yang menulis surat itu."
Sekejap pun Bu Danu tidak memandang Karin
meskipun dia telah memberi salam lebih dulu.
"Ibu!" sergah Pak Ario kaget. "Mengapa Ibu ber-
buat begitu? Belum cukupkah penderitaan Rianti
karena saya?"
"Laki-laki itu hanya datang memberikan uang
yang dipinjamnya dari Rianti. Istrimu tidak mau
menemuinya lagi. Di rumah maupun di kantor.
Terpaksa dia memberikannya kepada Ibu. Ibulah
yang membuat surat itu. Supaya kau cemburu."
283 "Dan Ibulah yang membuat saya menjadi pem-
bunuh!" geram Pak Ario menahan marah. "Saya
telah membunuh anak saya sendiri!"
"Ibu hanya tidak ingin kau menceraikan Rianti."
Dengan takjub Karin melihat bagaimana perem-
puan yang keras hati itu, perempuan jahat yang
selalu hendak memisahkan anak laki-lakinya dari
istrinya, menyusut air matanya. Perempuan yang
tegar hati itu kini menangis! Dia menangisi istri
anaknya! O, seperti apakah perempuan yang men-
jadi istri Ario itu, sampai seorang wanita sejudes
Bu Danu menangis untuknya?
"Saya tidak pernah berpikir untuk menceraikan
Rianti!" desah Pak Ario dengan perasaan tertekan.
"Ibu juga tahu saya tidak mungkin melakukan-
nya!"
"Tapi Rianti tidak mau memisahkanmu dari
anakmu! Dia wanita paling luhur yang pernah Ibu
temui. Dia mengatakan pada Ibu, jika kebahagiaan-
nya harus ditukar dengan penderitaan seorang anak
kecil, dia rela memilih untuk bercerai saja"
Diam-diam keharuan menyelinap ke hati kecil
Karin. Selama ini dia tidak pernah memikirkan pe-
rasaan istri Ario. Dia malah tidak ingin melihatnya.
Tidak peduli seperti apa perempuan yang menjadi
saingannya itu.
Karin orang yang tahu sekali kelebihannya. Per-
caya kepada diri sendiri. Dan tidak pernah memikir-
kan orang lain.
284 Karin tidak peduli perempuan itu akan minta
cerai atau tidak. Dia toh tidak minta dinikahi. Bagi-
nya, hidup bersama sudah cukup. Dan dia sudah
pernah hidup bersama suami orang sebelum kem-
bali ke Jakarta.
Selama ini Karin tidak pernah memikirkan bagai-
mana perasaan istri laki-laki itu. Tetapi kini, dia
dipaksa untuk mendengarkan naluri kewanitaannya
sendiri.
Istri Ario seorang perempuan yang sangat isti-
mewa. Bukan cuma Ario yang tidak ingin men-
ceraikannya. Ibunya pun keberatan. Bukan main.
"Dia wanita paling luhur yang pernah Ibu te-
mui."
Kalau perempuan sebengis Bu Danu yang me-
ngatakannya, istri Ario pasti seorang wanita yang
luar biasa! Dan memang. Tidak luar biasakah se-
orang wanita yang mendahulukan kepentingan
orang yang telah merampas kebahagiaannya? Dia
rela mengalah. Rela berkorban untuk orang yang
telah membuatnya menderita lahir-batin!
"Jika kebahagiaan saya harus ditukar dengan pen-
deritaan seorang anak kecil"
Karin pulang dengan kata-kata itu terus-menerus
mendengung di telinganya. Ario sudah masuk ke
dalam kamar Rianti tanpa menoleh lagi kepadanya.
Mungkin dia juga sudah lupa ada Karin di sana.
Ketika Bu Danu juga bergerak masuk ke dalam,
Karin sudah ikut melangkah. Dia ingin menemui
285 perempuan itu. Ingin melihat seperti apa perempu-
an yang menjadi istri Ario. Tetapi Bu Danu sudah
menutup pintu. Dan Karin terpaksa membatalkan
langkahnya.
* * *
Ketika Pak Ario masuk, Rianti sudah sadar. Dia
pun sudah tidak menangis lagi. Tetapi dia tidak
menoleh. Dia malah memalingkan wajahnya ke din-
ding.
Lambat-lambat Pak Ario menghampiri pembaring-
an istrinya. Digenggamnya tangan istrinya dengan
penuh penyesalan. Rianti tidak menarik tangannya.
Tetapi dia juga tidak memberikan reaksi. Dia hanya
mematung.
"Maafkan saya, Rian," desah Pak Ario dengan
perasaan bersalah. "Saya tidak tahu kamu hamil.
Sayalah yang telah membunuh anak kita. Saya ter-
buru nafsu menuduhmu."
Tidak ada jawaban. Tidak ada reaksi. Rianti


Di Tepi Jeram Karya Mira W di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tidak menoleh. Dia malah memejamkan matanya.
Membiarkan dua tetes air mata merembes melalui
celah-celah bulu matanya.
"Kamu berhak menghukum saya, Rian." Pak
Ario meremas tangan istrinya dengan lembut. "Tapi
jika kamu memberikan kesempatan sekali lagi pada
saya saya berjanji pengorbanan anak kita tidak
akan sia-sia."
286 "Sudah tidak ada apa-apa lagi di antara kita,
Mas." Suara Rianti begitu berbeda. Begitu lain. Be-
gitu dalam dan tertekan. Nadanya pahit. Getir.
"Sudah luruh buah cinta kasih kita. Kembalilah
pada keluargamu. Jangan biarkan anakmu tak mem-
punyai ayah."
"Jika kamu minta, saya tidak akan menemui me-
reka lagi, Rian."
Rianti menggeleng lirih.
"Ada simpul yang tidak dapat terurai di antara
kalian. Anak itulah pengikatnya, Mas. Barangkali
sudah kehendak Tuhan, hanya sampai di sini kisah
cinta kita."
287 Rianti tidak kembali ke rumah suaminya sepulang-
nya dari rumah sakit. Dia langsung pulang ke ru-
mah orangtuanya. Tak kurang dari Bu Danu dan
orangtua Rianti sendiri yang mencoba membujuk-
nya. Tetapi Rianti tidak dapat dihalangi lagi. Dia
tetap minta cerai.
"Mereka punya anak," katanya pada setiap orang
yang mencoba membujuknya. "Saya tidak punya
apa-apa lagi."
"Tapi kamu dapat mencoba sekali lagi, Rian,"
bujuk Ibu sedih. "Maafkanlah suamimu. Memang
sakit rasanya. Tapi jika Tuhan saja mau meng-
ampuni umat-Nya yang bertobat, mengapa kamu
tak dapat memaafkan suami sendiri?"
"Saya dapat memaafkannya, Bu. Tapi saya tidak
dapat melupakannya."
BAB IX
288 "Kamu tidak usah melupakannya. Tapi kamu
juga tidak perlu bercerai!"
"Bagaimana saya dapat menyerahkan diri lagi ke-
padanya kalau saya tidak dapat melupakan apa
yang telah dilakukannya terhadap saya?"
"Perceraian bukan jalan yang direstui Tuhan,
Rianti."
"Memisahkan seorang anak dari ayahnya juga
bukan perbuatan yang disukai Tuhan, Bu."
Akhirnya Ibu menyerah juga. Sambil menghela
napas, disusutnya air matanya.
"Mengapa kebahagiaan kita tidak berumur pan-
jang, Rian?"
"Kebahagiaan harus diperjuangkan, Bu." Rianti
merangkul Ibunya dengan terharu. "Bukan untuk
ditangisi. Minggu depan saya sudah mulai masuk
kerja kembali. Pak Ariffin akan menaikkan gaji saya
dua kali lipat kalau saya bersedia ditempatkan di
Surabaya. Agatha akan menikah. Dan hanya saya
yang dapat dipercaya menggantikan Agatha. Saya
akan diberi rumah dan mobil. Kalau Ibu dan Ayah
tidak keberatan, kita semua akan pindah ke Sura-
baya. Mencoba hidup baru di sana."
* * *
Untuk pertama kalinya Pak Ario melangkah tanpa
gairah memasuki rumah Karin. Sudah seminggu
lebih dia tidak mengunjungi rumah ini.
289 Karin menyambutnya seperti biasa. Tetapi sekali
lihat saja, Pak Ario sudah dapat mencium ada se-
suatu yang berubah.
"Ada apa?" tanyanya begitu melangkah masuk.
"Besok aku dan Awan pulang ke Jerman," sahut
Karin tenang, seolah-olah dia cuma mengatakan
akan pergi ke Bogor.
Sekejap Pak Ario tertegun. Tapi di detik lain ke-
marahannya sudah meledak tanpa dapat ditahan-
tahan lagi.
"Inikah hadiah untuk perceraianku?!"
"Jangan marah, Sayang." Karin mencium Pak
Ario dengan mesra. "Liburan Awan telah berakhir.
Dia harus sekolah lagi."
"Jangan membuat alasan yang konyol!" Pak Ario
mendorong tubuh Karin dengan sengit. "Kamu
cuma ingin meninggalkanku."
"Tiga bulan aku telah hidup di sini," sahut Karin
santai. "Rasanya aku belum sanggup juga menyesuai-
kan diri. Aku mencintai kehidupanku di Jerman."
"Kau boleh pergi ke mana saja kau suka. Tapi
tinggalkan Awan di sini."
"Sudah kutanyakan kepadanya tadi malam. Dia
memilih ikut bersamaku pulang ke Jerman."
"Mustahil! Dia anakku!"
"Dia anak Budiman. Ketika menikah denganmu,
aku telah hamil."
Sekujur tubuh Pak Ario menahan marah. Dia
merasa dipermainkan. Karena Karin-lah Rianti me-
290 minta cerai. Karena mereka telah mempunyai anak,
istrinya yang setia itu rela mengundurkan diri.
Tetapi sekarang Karin malah mau membawa
Awan kembali ke Jerman! Dan dia mengemukakan
alasan yang menjijikkan itu. Awan bukan anaknya!
Dia anak Budiman!
Pak Ario telah mengangkat tangannya dengan
geram. Mengikuti nalurinya, ingin dihancurkannya
semua barang di rumah itu. Ingin ditamparnya
Karin kuat-kuat. Supaya dia sadar. Dan membatal-
kan niatnya.
Tetapi apa yang telah terjadi pada Rianti tiba-
tiba menyadarkannya. Dia tidak boleh bertindak
sewenang-wenang. Hanya mengikuti hawa nafsu.
Tekanan darahnya memang tinggi. Dia cepat
marah. Mudah meledak. Tetapi perasaan bersalah
karena telah berlaku kasar pada Rianti mengekang
amarahnya. Pada saat terakhir dia ingat anaknya.
Yang telah gugur sebelum lahir. Anak itu pergi
karena kesalahannya! Karena kekasarannya
Setelah sia-sia membatalkan niat Karin, Pak Ario
membawa Awan ke Ancol. Berdua saja mereka me-
nikmati permainan-permainan di Dunia Fantasi.
Untuk terakhir kali.
Tiga bulan yang lalu Pak Ario pernah membawa
Awan kemari juga. Tetapi pada saat itu, keceriaan
menyelubungi mereka. Awan tertawa gembira. Pak
Ario tersenyum bahagia.
Kini Roda Raksasa masih tetap berputar. Kuda-
291 kuda permainan masih tetap naik-turun mengikuti
irama lagu. Perahu oleng masih tetap terayun-ayun
memancing jeritan penumpangnya.
Tetapi tak ada lagi desah kegembiraan yang me-
luncur dari celah-celah bibir Awan. Wajahnya
suram. Sesuram wajah ayahnya. Yang duduk di sam-
pingnya sambil melingkarkan lengan di bahunya.
Kebetulan Roda Raksasa sedang separuh kosong.
Pak Ario hanya berdua saja dalam kereta gantung
mereka. Sesaat kereta mereka terhenti di puncak
roda tatkala penumpang-penumpang yang lain se-
dang mengisi kereta-kereta gantung yang di ba-
wah. Dari atas ketinggian di puncak roda, mereka da-
pat menatap Teluk Jakarta. Laut yang biru berkilat-
kilat menyilaukan mata ditimpa sinar matahari
pukul sebelas siang.
Dulu Awan begitu gembira menyaksikannya. Be-
gitu banyak pertanyaan yang mengalir dari mulut-
nya. Namun kini tak ada yang bicara di antara
mereka. Keheningan yang mengharukan meronai
suasana perpisahan.
Pak Ario telah menanyakan sendiri keinginan
Awan. Dia memang tidak ingin berpisah dengan
ayahnya. Tetapi jika dia harus memilih, dia me-
milih Mama.
Dan Pak Ario menghormati pilihan anaknya. Ka-
rena itu dia mengajak Awan ke tempat-tempat yang
berkesan untuk mereka. Untuk terakhir kali. Lain
292 kali jika dia kemari lagi, Awan sudah tidak ada di
sisinya.
"Papa nanti sering ke sini lagi?" tanya Awan ke-
tika mereka sedang sama-sama termenung dibuai
perasaan mereka masing-masing.
Pak Ario menggeleng.
"Nanti ingat Awan."
"Tapi Papa mesti kemari."
"Mengapa?"
"Supaya ingat Awan terus!"
"Papa tidak mungkin melupakan Awan."
"Juga kalau sudah ada adik kecil?"
"Tidak ada adik kecil."
"Nanti ada."
"Kata siapa?"
"Mama."
Tiba-tiba saja kesadaran itu melecut hati Pak
Ario yang sedang gundah. Adik kecil. Apakah ka-
rena itu Karin sengaja mengalah? Menyingkirkan
diri untuk memberikan kesempatan kepadanya dan
Rianti supaya mereka dapat memiliki anak lagi?
Karin memang tidak seluhur Rianti. Kebebasan-
nya tidak dapat dipahami kalau dilihat dengan
kacamata orang Timur. Tetapi satu hal Pak Ario
yakin. Dia benar-benar mencintainya.
Dan Karin orang yang konsekuen. Kalau dia me-
mutuskan untuk tinggal di sini, dia akan menepati
kata-katanya. Mengapa sekarang tiba-tiba saja dia
293 ingin pulang? Karena Awan anak Budiman? Itu cu-
ma alasan yang dicari-cari!
Cuma kepada anaknyalah Karin mengemukakan
alasan yang sebenarnya. Meskipun Awan masih
kecil, Karin selalu mengajaknya berdialog seperti
orang dewasa. Sikap mereka selalu terbuka. Tidak
ada yang disembunyikan. Adik kecil. Mungkin
cuma itu yang dapat ditangkap oleh area pengertian
Awan yang masih sempit.
"Laut dan bukit akan memisahkan kita, Awan,"
kata Pak Ario sambil merangkul bahu anaknya. Ber-
sama-sama mereka menatap kaki langit di kejauhan.
"Tapi hati kita takkan terpisahkan. Suatu hari nan-
ti, Awan harus datang untuk menjenguk Papa."
"Awan akan menyetir kapal sendiri untuk mem-
bawa Papa!" sahut Awan bersemangat.
Dengan penuh haru Pak Ario merangkul anak-
nya. Awan membalas pelukannya. Dan Pak Ario
merasakan tubuh anak itu bergetar diguncang
tangis.
"Jangan menangis," bisik Pak Ario terharu. "Pilot
tidak boleh cengeng! Nanti kapalnya oleng!"
Awan tertawa. Pak Ario merenggangkan pelukan-
nya. Dan menatap anaknya sambil tersenyum. Air
mata berlinang-linang di mata Awan. Tapi bibirnya
tersenyum.
Hari sudah gelap ketika Pak Ario tiba kembali di
rumah Karin. Awan sudah tertidur di mobil karena
kecapekan. Dia tidak terjaga sekalipun mobil me-
294 reka telah memasuki halaman dan ayahnya telah
mematikan mesin.
Hati-hati Pak Ario mendukung Awan ke kamar-
nya. Karin yang menyambut di ruang tengah lang-
sung mengikuti mereka dari belakang.
Pak Ario meletakkan tubuh Awan dengan penuh
kasih sayang di atas tempat tidurnya. Dua bulan
yang lalu dia sendiri yang merancang tempat tidur
ini bersama Awan. Tempat tidur yang sesuai dengan
fantasi anaknya. Mirip sebuah pesawat terbang.
Lengkap dengan gambar kemudi dan instrumen-
instrumennya.
Pak Ario menyelimuti tubuh anaknya. Mengecup
dahinya. Dan membelai pipinya dengan lembut.
Karin yang menyaksikan dari ambang pintu
kamar diam-diam merasa terharu. Tak terasa air
mata meleleh ke pipinya. Dan dia tidak sempat
menghapus air mata itu. Pak Ario keburu berbalik.
Sekejap mereka saling tatap. Sama-sama membisu
dibuai perasaan masing-masing. Tak ada yang dapat
diucapkan. Tak perlu lagi kata-kata. Tatapan mereka
telah berbicara dengan sendirinya. Dan air mata
yang membasahi mata Karin yang tak pernah me-
nangis itu tambah mengharubirukan perasaan Pak
Ario.
"Jangan katakan lagi dia bukan anakku," katanya
dengan suara basah.
Tanpa dapat menahan perasaannya lagi, Karin
melemparkan tubuhnya ke dalam pelukan Pak Ario.
295 Mereka saling dekap dengan erat. Membiarkan pe-
rasaan mereka saling tercurah melalui lengan-lengan


Di Tepi Jeram Karya Mira W di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang berangkulan dan tubuh yang melekat rapat.
"Aku mencintaimu," bisik Karin lirih. "Karena
itu aku harus pergi."
"Tak perlu kaujelaskan lagi." Pak Ario memejam-
kan matanya dan mencari mulut wanita itu dengan
bibirnya. "Aku tahu apa yang kaulakukan dan
mengapa engkau melakukannya."
Untuk sesaat suasana menjadi hening. Bibir me-
reka saling pagut. Mengalirkan kata-kata yang tak
terucapkan.
"Kembalilah pada istrimu. Aku belum pernah
menjumpainya. Tapi aku kenal ibumu. Jika orang
seperti dia menginginkan perempuan itu kembali
menjadi istrimu, dia pasti seorang perempuan yang
istimewa."
"Rianti memang istimewa. Perempuan paling
baik yang pernah kukenal. Istri yang paling setia
pula. Tapi dia telah kusakiti. Dan hatinya terlalu
halus untuk menahan penderitaan itu. Dia telah
minta cerai."
Dengan lesu Pak Ario melepaskan pelukannya.
Dia melangkah ke luar dengan gontai. Karin meng-
ikutinya dari belakang.
"Cinta tidak akan mati dalam sehari, Ario. Aku
yakin dia masih mencintaimu. Dan selama cinta
masih berbicara, tak ada tempat lagi untuk den-
dam. Selalu ada kesempatan untuk kembali."
296 "Aku mencintai Rianti. Tapi aku pun mencintai-
mu. Mencintai Awan. Mengapa aku tidak boleh
mencintai ketiga-tiganya?"
"Kau boleh mencintai ketiga-tiganya, Ario. Ka-
rena tidak seorang pun bisa melarangmu mencintai
seseorang. Tapi kau tidak dapat memiliki ketiga-
tiganya. Kau harus memilih."
"Aku tidak dapat memilih lagi. Rianti telah min-
ta cerai. Kau pun telah memutuskan untuk mening-
galkan aku. Apa lagi yang harus kupilih?"
"Jangan kaukira aku meninggalkanmu karena
istrimu semata-mata. Aku orang yang egois. Tak
pernah memikirkan orang lain."
"Tapi kali ini Rianti telah memaksamu untuk
mengikuti perasaanmu. Kau tidak sampai hati me-
misahkan kami."
"Itu alasan pertama. Ada alasan yang kedua."
"Jangan katakan lagi Awan bukan anakku."
"Dia memang bukan anakmu. Aku merasa ber-
salah padamu jika karena anak orang lain kau ter-
paksa bercerai dengan istrimu. Dan melenyapkan
kesempatanmu untuk mempunyai anak sendiri."
"Mengapa baru kaukatakan sekarang?"
"Supaya kau bisa berpisah dengan Awan."
"Juga setelah istriku meminta cerai?"
"Aku seorang pembosan, Ario. Sekarang, pada
saat cinta sedang menyala di hatiku, aku mungkin
masih dapat mengatasi kebosananku tinggal di
negeri ini. Tapi beberapa tahun lagi, kalau cintaku
297 telah meredup, siapa dapat menahanku di sini? Aku
memang orang Indonesia. Darah Indonesia meng-
alir di tubuhku. Tapi badan dan pikiranku milik
Jerman."
"Seharusnya kau mengatakannya tiga bulan yang
lalu!"
"Bagaimana mungkin? Aku sendiri baru menya-
darinya beberapa hari yang lalu. Ketika tahu seperti
apa perempuan yang menjadi istrimu! Kata-kata
ibumu memaksaku untuk berpikir. Dialah perem-
puan yang paling tepat untuk menjadi istrimu.
Kalau aku mencintaimu, aku harus meninggalkanmu
sekarang, sebelum kalian bercerai! Jika aku me-
ninggalkanmu beberapa tahun lagi, sudah terlambat
bagimu untuk kembali pada istrimu!"
"Sekarang pun sudah terlambat," sahut Pak Ario
lesu. "Rianti tidak mau memaafkanku lagi."
Tanpa menoleh lagi, Pak Ario berjalan ke luar.
Di ambang pintu, Karin masih memanggilnya se-
kali lagi. Pak Ario menoleh. Dan dia melihat Karin
menatapnya dengan tatapan yang belum pernah
dilihatnya bersorot di mata yang indah itu.
"Maafkan aku, Ario," desahnya separuh ber-
bisik.
"Jaga dirimu baik-baik," kata Pak Ario sesaat se-
belum memutar tubuhnya dan melangkah gontai
ke sisi mobilnya. "Tolong bahagiakan Awan. Anak
siapa pun dia, aku tetap menyayanginya seperti
anakku sendiri."
298 * * *
Ketika menjabat tangan Awan di Bandara Soe-
karno-Hatta, Pak Ario masih belum yakin anak ini
bukan anaknya. Mungkinkah Karin cuma berdus-
ta? Lama dijabatnya tangan anak itu. Rasanya Pak
Ario lebih berat berpisah dengan Awan daripada
dengan Karin. Dalam waktu setengah bulan saja,
dia telah kehilangan kedua orang anaknya. Sekali-
gus kehilangan kedua orang wanita yang paling di-
cintainya.
Pak Ario masih termenung di sana. Sikunya ber-
telekan pada pagar besi pemisah di hadapannya.
Karin dan Awan sudah tidak kelihatan lagi. Tetapi
dia masih tepekur di sana. Bertopang dagu sambil
melamun.
Apa sebenarnya yang terjadi pada dirinya? Meng-
apa dia masih memikirkan hari kemarin padahal
hari esok sudah di ambang pintu?
Pernah ada suatu masa dulu, Karin dan Awan
memang menjadi miliknya. Tapi masa itu telah
lewat. Mengapa dia masih juga mengejar-ngejar me-
reka? Memburu masa lalu?
Dia telah menemukan Rianti. Memilikinya. Istri-
nya bahkan telah mengandung anaknya. Mengapa
harus disakitinya istrinya yang setia itu?
Rianti mungkin tidak seromantis Karin. Tidak
dapat menggairahkan kejantanannya sampai sede-
299 mikian menggelora. Tetapi Pak Ario mencintainya
pula. Dia istri yang baik. Menantu yang berbakti.
Jika Ibu saja dapat mengasihinya, mengapa dia jus-
tru menyia-nyiakannya?
Pengadilan masih memberi mereka kesempatan
untuk berpikir sebelum memutuskan perceraian.
Pak Ario masih memiliki harapan meskipun sangat
kecil. Jika Rianti tahu Karin dan Awan telah kem-
bali ke Jerman, masih maukah dia kembali kepada
suaminya? Dapatkah dia melupakan sakit hatinya?
"Akan kucoba meraih kembali cinta dan ke-
percayaan Rianti," cetus Pak Ario mantap. "Kami
tidak akan bercerai!"
* * *
Pak Ariffin tidak menyangka akan melihat Pak Ario
muncul lagi di kantornya.
"Rianti?" tanyanya tanpa bersedia menyembunyi-
kan ketidaksenangannya. "Dia sedang mengurus
keberangkatannya ke Surabaya."
"Surabaya?"
"Agatha menikah. Dia mengundurkan diri."
"Rianti yang akan menggantikan tugasnya?"
"Ya. Dia berangkat dengan keluarganya ke
sana."
"Pak Ariffin." Pak Ario membungkukkan badan-
nya di depan meja tulis laki-laki itu. Buku-buku
jarinya sampai memutih karena terlalu keras me-
300 nekan meja. "Saya harus memperoleh Rianti kem-
bali! Berikan pekerjaan kepada saya di Surabaya!"
Pak Ariffin mengawasi rivalnya dengan tatapan
jengkel.
"Jangan menyusahkan dia lagi! Kata Rianti kalian
telah bercerai!"
"Sampai saat ini, dia masih istri saya!"
"Dia hanya tinggal menunggu surat ceraimu!"
"Saya tidak akan menceraikannya!"
"Tapi dia sudah tidak ingin menjadi istrimu
lagi!"
"Dia tetap milik saya! Saya tidak akan melepas-
kannya!"
"Pikirkanlah dulu baik-baik." Pak Ariffin meno-
pangkan kakinya dengan santai di atas kakinya
yang lain. Disulutnya sebatang rokok. Diembuskan-
nya asapnya dengan gaya separuh mengejek. "Apa
artinya memiliki seorang wanita yang sudah tidak
ingin menjadi istrimu lagi?"
* * *
Tetapi Pak Ario bukan laki-laki yang mudah di-
taklukkan. Bukan orang yang mudah putus asa.
Kebetulan pekerjaan di Jakarta sedang sepi. Belum
ada kontrak lagi. Dia bisa meninggalkannya se-
bentar untuk mengejar Rianti ke Surabaya. Apalagi
Ibu juga merestui niatnya.
Ibu malah ingin ikut ke Surabaya. Tetapi Pak
301 Ario mencegahnya. Dia merasa harus dapat melaku-
kannya seorang diri. Tanpa bantuan siapa pun. Dia
yang telah membuat Rianti berpaling. Dia pula
yang harus memaksanya menoleh kembali.
Rianti terkejut sekali ketika melihat suaminya
muncul di kantornya di Surabaya. Sekejap dia sam-
pai tidak dapat membuka mulutnya.
Sudah dua minggu lebih Rianti tidak melihat
Mas Ario. Rasanya laki-laki itu bertambah kurus
dan tua. Wajahnya tampak letih. Matanya juga. Te-
tapi di dalam mata itu Rianti masih melihat se-
percik harapan.
"Maaf mengganggumu di kantor." Pak Ario-lah
yang lebih dulu membuyarkan kesunyian yang me-
nyelimuti pertemuan mereka. "Saya belum tahu di
mana kamu tinggal."
"Ada apa, Mas?" Rianti berusaha untuk tidak
membalas tatapan laki-laki itu terlalu lama. Sakit
rasanya melihat mata yang pernah menjadi miliknya
itu. Mata yang suatu waktu dulu pernah menatap-
nya dengan penuh cinta! "Ibu sakit?"
Ibu! Ada pukulan yang tidak kelihatan meng-
hantam dada Pak Ario. Bahkan dalam keadaan se-
perti ini pun Rianti masih memikirkan ibu mertua-
nya! Begitu besar perhatiannya. Malah lebih besar
daripada perhatiannya terhadap suaminya sen-
diri Pak Ario merasa terharu. Sekaligus kecewa. Benar-
kah kini cuma Ibu yang dipikirkannya?
302 "Ibu baik-baik saja."
Pak Ario mencoba menyembunyikan kegetiran
dalam suaranya. Dan karena dia menekan perasaan-
nya sedemikian rupa, suara itu jadi terdengar di-
ngin di telinga Rianti.
"Saya pasti hadir di pengadilan minggu depan,
Mas," kata Rianti dengan perasaan tidak enak.
"Saya akan mengambil cuti dua hari untuk pulang
ke Jakarta. Sekalian menengok Ibu."
Ibu lagi. Benar-benar cuma Ibu yang dipikirkan-
nya! Pak Ario jadi menyesal tidak membawa ibunya
kemari! Dan Pak Ariffin muncul pada saat yang
paling tidak diinginkan. Begitu melihat siapa yang
hadir di kamar kerjanya, wajahnya langsung ber-
ubah.
"Pak Ario!" cetusnya tanpa mengulurkan tangan-
nya. Dia langsung duduk di balik meja tulisnya.
Kemenakan Pak Ariffin yang menjadi direktur
kantor cabang Bumi Makmur di Surabaya menjadi
salah tingkah. Dia tidak tahu harus menjabat ta-
ngan Pak Ario atau mengikuti jejak pamannya.
"Apa kabar, Pak Ario?" sambung Pak Ariffin sam-
bil berpura-pura sibuk mencari sesuatu di laci meja
tulisnya.
"Saya minta izin mengajak Rianti keluar seben-
tar."
Pak Ario mencoba memperlunak nada suaranya
yang kaku. Bahkan untuk mengajak istrinya sendiri
dia harus minta izin pada laki-laki lain!
303 "Oh, tentu saja boleh! Tapi tolong, jangan seka-
rang, Pak Ario! Kami ada meeting. Penting sekali."
Pak Ariffin menyambar sebuah agenda. Dan me-
langkah ke ruang pertemuan.
"Maaf, saya tinggal sebentar, Pak Ario. Ayo,
Rian, Rusli, kita sudah terlambat!"
Terpaksa Rianti bangkit dari balik meja tulis-
nya. "Maaf, Mas," gumamnya dengan perasaan tidak
enak. Diambilnya sebuah file. Didekapnya ke dada-
nya. Kemudian dia melangkah mengikuti majikan-
nya. "Tolong minumannya, El," pintanya kepada salah
seorang pembantunya, "Mau minum apa, Mas?"
"Tidak usah. Terima kasih," sahut Pak Ario me-
nahan marah. Dia langsung keluar. Tetapi tidak
pulang ke hotel. Ditunggunya di luar sampai Rianti


Di Tepi Jeram Karya Mira W di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

muncul kembali bersama Pak Ariffin dan kemena-
kannya.
Pak Ariffin sendiri yang mengantarkan Rianti ke
mobilnya. Dia pula yang membukakan pintu meski-
pun sopir Rianti sudah siap melakukannya. Pak
Ariffin baru melangkah ke mobilnya sendiri setelah
mobil yang membawa Rianti meluncur keluar dari
halaman kantor.
Ketika Pak Ario sedang berdiri di tepi jalan
untuk mencari kendaraan yang dapat ditumpanginya
mengikuti mobil Rianti, sebuah mobil berhenti di
hadapannya. Pintu belakang sebelah kiri langsung
304 terbuka. Pak Ario melongok ke dalam. Dan melihat
Ir. Rusli di bangku belakang.
"Silakan naik, Pak Ario," sapanya ramah. "Boleh
mengantarkan Anda?"
"Terima kasih." Tanpa ragu-ragu Pak Ario me-
langkah masuk ke dalam mobil.
"Ke hotel?"
"Ke rumah Rianti," sahut Pak Ario mantap.
Sedetik Ir. Rusli tertegun. Tetapi pada detik beri-
kutnya dia sudah menginstruksikan sopirnya untuk
meluncurkan mobil mereka ke rumah Rianti.
"Saya tidak ingin mencampuri urusan rumah
tangga Pak Ario," kata Ir. Rusli sambil menawarkan
rokoknya. "Tapi kata Paman, Pak Ario dan Rianti
akan bercerai."
"Rianti yang ingin bercerai." Pak Ario mengambil
sebatang rokok yang ditawarkan dan menyulutnya.
"Saya tidak."
Ir. Rusli mengembuskan asap rokoknya lebih
dulu sebelum membuka mulutnya lagi.
"Pak Ario, apakah Anda sudah tahu, Paman te-
lah menceraikan istrinya?"
Hampir lepas rokok itu dari celah-celah bibir
Pak Ario. Rahangnya langsung mengejang. Dan
tinjunya terkepal erat.
"Maafkan saya, Pak Ario," sambung Ir. Rusli de-
ngan perasaan tidak enak. "Sekali lagi saya ulangi,
saya tidak ingin mencampuri urusan pribadi Anda.
Tapi Paman Ariffin sangat baik pada saya. Walau-
305 pun saya pribadi tidak setuju Paman menikah de-
ngan wanita yang seumur dengan anaknya, saya
tidak ingin Anda mengganggu hubungan Paman
dengan Rianti. Kata Paman, dialah yang lebih dulu
menemukan Rianti. Tapi Paman telah mengalah
pada Anda. Membiarkan Pak Ario memiliki Rianti.
Paman baru mencoba lagi setelah Anda menyia-
nyiakan istri Anda. Paman ingin membahagiakan
Rianti. Sesuatu yang tidak dapat Anda berikan
padanya, Pak Ario."
"Tolong antarkan saya ke lapangan terbang." Pak
Ario memadamkan rokoknya di dasar asbak. "Jika
Rianti memilih menjadi istri Pak Ariffin, saya harus
menghormati pilihannya. Pak Ariffin benar. Saya
telah diberi kesempatan. Dan saya telah menyia-
nyiakan kesempatan itu. Tak pantas saya mencoba
mengambil kesempatan berikutnya. Saya harus
memberikan kesempatan kepada orang lain."
* * *
Rianti merasa heran ketika suaminya tidak mene-
muinya lagi. Di kantor maupun di rumah.
"Tidak ada yang mencari saya, Bu?" tanya Rianti
penasaran setiap pulang dari kantor.
"Tidak ada," sahut Ibu yang sedang menjahit
tirai baru untuk jendela. "Siapa yang kamu tunggu,
Rian?"
"Kemarin Mas Ario datang ke kantor."
306 Rianti memutuskan untuk berterus terang saja.
Percuma membohongi Ibu.
"Kebetulan saya sedang sibuk, Bu. Ada meeting
yang tidak dapat saya tinggalkan."
"Ada apa?" Kentara sekali wajah Ibu langsung
berubah. Dihentikannya kerjanya. Ditatapnya Rianti
dengan sungguh-sungguh. "Mengapa dia mencari-
mu?"
"Saya belum sempat menanyakannya, Bu."
"Seharusnya kamu tanyakan dulu. Jauh-jauh dia
datang mencarimu ke Surabaya. Mungkin ada hal
yang penting yang harus disampaikannya pada-
mu."
"Memang salah saya, Bu. Nanti kalau ketemu
lagi di Jakarta, saya akan minta maaf."
"Kamu tidak ingin rujuk lagi, Rian?" tanya Ibu
sambil menghela napas panjang.
"Jangan bicarakan soal itu lagi, Bu," pinta Rianti
sungguh-sungguh. "Keputusan saya sudah bulat.
Saya akan memberikan kesempatan kepada Mas
Ario untuk membahagiakan anaknya."
"Rian." Ibu meletakkan jahitannya. Dan meng-
hampiri putrinya. "Kamu masih sakit hati pada
suamimu?"
"Sakitnya memang masih terasa, Bu. Tapi Mas
Ario sudah saya maafkan. Saya tidak mendendam
padanya."
"Ibu tidak akan mendesakmu lagi untuk rujuk,
Rian. Tapi kamu masih muda. Jangan sampai per-
307 ceraian ini membuatmu takut mencoba lagi. Jangan
sampai kamu membenci laki-laki. Tidak semua
laki-laki seperti suamimu."
"Saya belum memikirkan perkawinan lagi, Bu."
"Ibu tahu. Ibu hanya tidak ingin kamu begini
terus seumur hidup."
"Apa salahnya hidup menjanda, Bu?" tanya
Rianti lunak. "Rianti masih memiliki orangtua dan
adik-adik. Rianti tidak merasa kesepian."
"Tapi Ibu dan adik-adikmu tidak selamanya
dapat mendampingimu, Rian. Suatu hari kita mesti
berpisah juga."
"Suatu hari semua orang mesti berpisah, Bu.
Tidak ada yang abadi."
"Ibu ingin meninggalkanmu kalau sudah ada
laki-laki yang dapat melindungimu, Rian." Ibu me-
nyusut air mata yang meleleh ke pipinya. "Setiap
malam Ibu selalu berdoa semoga Tuhan menganuge-
rahimu dengan kebahagiaan. Semoga dia memberi-
mu seorang suami yang baik, anak-anak yang ma-
nis"
"Ibu." Rianti merangkul ibunya dengan terharu.
"Sudahlah. Jangan terlalu banyak pikiran. Rianti
sudah menganggap perceraian ini sebagai cobaan
yang harus dihadapi, Bu. Tuhan tidak akan melupa-
kan hamba-Nya yang tawakal."
* * *
308 "Saya jemput kamu nanti malam pukul tujuh,"
kata Pak Ariffin sesaat sebelum menutupkan pintu
mobil Rianti. "Ingat, tidak ada alasan lagi untuk
tidak pergi. Besok saya kembali ke Jakarta. Mung-
kin baru bulan depan saya dapat ke Surabaya
lagi."
"Tapi saya sudah janji akan mengantarkan Ibu
ke dokter gigi, Pak," sanggah Rianti rikuh.
Bukan baru pertama kali ini Pak Ariffin meng-
ajak Rianti pergi makan malam. Tetapi belum per-
nah dia terlihat begitu memaksa seperti sekarang.
Firasat Rianti membisikkan Pak Ariffin akan menge-
mukakan sesuatu yang penting. Dan entah meng-
apa, dia merasa takut.
Rianti sudah mendengar desas-desus perceraian
majikannya itu. Dan dia tidak mau orang-orang
menyalahkannya sebagai sumber perceraian mereka.
Dia tidak pernah memberi harapan kepada Pak
Ariffin. Pergaulan mereka selama ini tidak lebih
dari sekadar hubungan antara karyawan dan maji-
kan. Tak pernah melampui batas.
Rianti memang menghormati Pak Ariffin. Tapi
tidak pernah mencintainya. Dia pernah dibawa
majikannya untuk berkunjung ke rumahnya. Entah
disengaja entah tidak, Pak Ariffin mengajaknya
mampir sepulangnya meninjau salah satu proyeknya
di Jakarta.
Rianti tidak dapat menolak karena kebetulan me-
reka semobil. Dan melihat sikap ketujuh anak Pak
309 Ariffin, Rianti bertekad untuk tidak menikah de-
ngan laki-laki itu sekalipun di dunia ini sudah
tidak ada lagi laki-laki yang mau menikahinya.
Saat itu Pak Ariffin memang belum bercerai.
Meskipun sudah hampir tiga tahun dia berpisah
rumah dengan istrinya. Anak-anaknya tinggal ber-
samanya. Istrinya pulang ke rumah orangtuanya.
Anaknya yang sulung seumur dengan Rianti.
Yang bungsu baru duduk di kelas satu SD. Tetapi
mereka sudah mengerti apa artinya kehadiran se-
orang wanita baru dalam kehidupan ayahnya.
Dan kalau mereka masih boleh memilih, mereka
lebih suka ikut ibu kandung daripada ibu tiri, bagai-
manapun tampak baiknya si calon ibu tiri itu.
"Setengah hari ini kamu tidak usah kembali ke
kantor." Pak Ariffin membuyarkan lamunan Rianti.
"Dari notaris kamu langsung pulang saja. Antarkan
ibumu ke dokter gigi atau ke mana saja!"
"Tapi akte notaris ini dibutuhkan Pak Rusli sore
ini juga, Pak"
"Suruh saja Pak Tejo mengantarkannya ke kan-
tor."
"Dokter giginya baru praktek pukul lima, Pak.
Maksud saya"
"Datanglah pukul empat! Supaya bisa pulang
lebih cepat!"
Pak Ariffin menutupkan pintu mobilnya. Dan
Pak Tejo langsung meluncurkan mobilnya ke pintu
310 keluar halaman kantor setelah menerima isyarat
dari majikannya.
Di pintu, mobil itu hampir melanggar seorang
perempuan tua yang sedang tertatih-tatih melangkah
dengan tongkatnya. Pak Tejo menginjak rem. Dan
membuka kaca jendela mobilnya dengan jengkel.
"Jalannya kurang ke tengah, Bu!" geramnya se-
ngit.
Terkejut karena hampir melanggar mobil, perem-
puan itu tersentak ke samping. Kehilangan keseim-
bangan. Dan hampir jatuh bila seorang petugas
satpam tidak menangkap tubuhnya dengan cekat-
an. "Mau ke mana, Bu?" tegur satpam yang meno-
longnya. "Di sini banyak mobil yang keluar-masuk.
Seharusnya Ibu lewat pintu itu. Khusus untuk pe-
jalan kaki."
"Kasihan," gumam Rianti sambil membuka pintu
mobil. "Ibu itu pasti kaget sekali. Sudah tua, me-
makai tongkat pula" Dan Rianti memekik ter-
tahan, "Ibu!"
"Rianti!" Bu Danu menggapai menantunya de-
ngan lega. "Jadi benar di sini kantormu!"
"Ibu!" Rianti merangkul ibu mertuanya dengan
cemas. "Ibu tidak apa-apa?"
"Cuma kaget."
"Terima kasih, Mas Salam," kata Rianti pada sat-
pam yang masih menopang Bu Danu. "Biar saya
yang memapah Ibu."
311 "Duduk dulu saja di sini, Mbak Rianti. Kelihat-
annya Ibu masih lemas."
"Ibu tidak apa-apa. Ibu hanya ingin mengajakmu
pulang, Rian."
"Ibu!" sergah Rianti kuatir. "Mas Ario tidak
apa-apa?"
"Sepulangnya dari Surabaya hampir tiap malam
dia mabuk"
"Rianti!" tegur Pak Ariffin yang segera meng-
hampiri mereka, begitu menyaksikan kejadian itu
dari kejauhan. "Ada apa?"
Tentu saja Bu Danu kenal Pak Ariffin. Lebih
dari itu, dia juga tahu apa artinya ancaman yang
datang dari laki-laki ini. Karena itu, tanpa mema-
lingkan wajahnya dari Rianti, pintanya memelas,
"Pulanglah, Rian. Ario sakit."
Seumur hidup, Bu Danu belum pernah memo-
hon. Tetapi bukan itu yang membuat Rianti memu-
tuskan untuk kembali ke Jakarta saat itu juga.
"Maafkan saya, Pak," cetus Rianti pada Pak
Ariffin. "Saya harus ke Jakarta. Mas Ario sakit"
* * *
Tentu saja Pak Ario tidak sakit. Itu cuma ulah ibu-
nya. Rianti tidak kecewa ketika menemukan suami-
nya tidak ada di rumah sore itu. Dia masih di
kantor.
312 "Kau marah pada Ibu, Rian?" tanya Bu Danu
tanpa perasaan bersalah.
"Tentu saja tidak, Bu. Saya hanya heran"
"Tinggallah di sini malam ini. Dan kau akan
melihat penyakit suamimu. Bukan fisiknya yang


Di Tepi Jeram Karya Mira W di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sakit tapi jiwanya."
"Mas Ario" Rianti memalingkan wajahnya dari
tatapan ibu mertuanya. "Masih tinggal di sini?"
"Di mana lagi?"
"Mas Ario tidak menginap di Cinere?"
"Jadi kau belum tahu!"
Sekarang Ibulah yang menatap Rianti dengan
heran.
Rianti menoleh mendengar nada suara Bu
Danu.
"Ada apa, Bu?" tanyanya dengan dada berdebar-
debar. "Mereka tidak sedang bertengkar lagi,
kan?"
"Karin sudah kembali ke Jerman bersama anak-
nya."
Rianti terenyak kaget. Matanya menatap Bu
Danu dengan nanar.
"Kasihan Mas Ario," bisiknya lirih. "Itu sebabnya
dia kembali lagi pada kebiasaan lamanya. Mabuk-
mabukan."
"Dia baru mabuk setelah kembali dari Surabaya,"
sanggah Bu Danu tegas. "Bukan setelah Karin
pergi."
"Tapi apa yang terjadi di Surabaya?"
313 "Ibulah yang harus bertanya padamu."
"Tapi Mas Ario tidak mengatakan apa-apa pada
saya!"
"Juga tentang kepergian Karin?"
Rianti menggeleng lirih. Mungkinkah Mas Ario
belum sempat mengatakannya?
"Hari itu dia pergi ke Surabaya dengan penuh
semangat. Katanya dia ingin mengajakmu pulang.
Tapi hari itu pula dia kembali ke rumah. Lesu dan
putus asa. Dia tidak mengatakan apa-apa pada Ibu.
Percuma Ibu mendesaknya terus. Dia menumpahkan
perasaannya hanya kepada minuman keras. Mabuk.
Itulah kerjanya setiap malam."
Dan memang itulah yang dilihat Rianti ketika
suaminya pulang pada pukul dua belas malam. Ibu
sudah lama masuk ke kamar. Rianti yang menyuruh-
nya tidur lebih dulu.
"Sudah setiap malam Ibu menunggu Mas Ario
pulang," kata Rianti lembut. Dibantunya Ibu mer-
tuanya masuk ke dalam kamar. "Sekarang lebih
baik Ibu tidur. Biar saya yang menunggu Mas
Ario."
Untuk pertama kalinya Bu Danu tidak mem-
bantah. Tanpa berkata sepatah pun dia naik ke
tempat tidur. Rianti menyandarkan tongkatnya di
sisi pembaringan. Kemudian diselimutinya tubuh
ibu mertuanya baik-baik.
"Selamat tidur, Bu," katanya sambil memadamkan
lampu. "Jangan pikirkan apa-apa lagi."
314 Bu Danu tidak menyahut. Tetapi ketika Rianti
mencapai ambang pintu, dia mendengar namanya
dipanggil. Dia kembali ke sisi tempat tidur. Di-
sentuhnya tangan ibu mertuanya dengan lembut.
Ada seberkas cahaya lemah menerobos melalui
celah pintu yang separuh terbuka. Sebagian cahaya
itu jatuh menyinari wajah Bu Danu. Dan untuk
pertama kalinya Rianti melihat kilatan air yang ber-
kilauan di sudut mata perempuan yang keras hati
ini. "Tahu apa keinginan Ibu yang belum pernah Ibu
katakan pada siapa pun, Rian?" bisik Bu Danu sam-
bil menggenggam tangan Rianti.
Rianti menggeleng dalam gelap. Meskipun Bu
Danu tidak dapat melihatnya, dia bisa merasakan-
nya. "Ibu ingin mempunyai seorang anak perempu-
an."
Kata-katanya demikian sederhana. Tapi kata-kata
yang sederhana itu mampu mengharubirukan perasa-
an Rianti. Dikecupnya pipi Bu Danu dengan air
mata berlinang. Dibisikkannya dengan penuh ke-
haruan di telinga mertuanya.
"Sekarang keinginan Ibu telah dikabulkan Tu-
han."
Lalu Bu Danu melakukan sesuatu yang belum
pernah dilakukannya selama ini. Dia merangkul
Rianti lebih dulu. Dan membiarkan air matanya
membasahi wajah dan leher menantunya.
315 * * *
Pak Ario melangkah masuk dengan terhuyung-
huyung. Dia tidak merasa perlu melihat siapa yang
membukakan pintu untuknya. Siapa lagi. Kalau
bukan Ibu, tentu si Romah.
Tanpa menoleh sekejap pun pada perempuan
yang tegak di balik daun pintu itu, Pak Ario me-
langkah sempoyongan menuju ke kamar tidurnya.
Itulah kebiasaannya setiap malam. Pulang dari kan-
tor dia langsung ke pub. Minum sampai mabuk.
Dan masuk ke kamar tidurnya dalam keadaan sepa-
ruh sadar.
Besok pagi dia akan terjaga dalam keadaan pu-
sing. Merendam tubuhnya dalam bak mandi. Dan
membasahi kepalanya dengan air pancuran.
Lalu Pak Ario akan merasa lebih segar. Bersantap
pagi bersama Ibu dan sehelai koran. Kemudian me-
nuju ke kantor.
Tenggelam dalam kesibukan kerjanya memang
dapat melupakan kesedihan hatinya. Tetapi tatkala
semua kesibukan berakhir, dia harus mencari teman
lain yang dapat mengusir Rianti dari kepalanya.
Dan dia menemukan teman yang dicarinya itu da-
lam busa minuman keras.
Heran. Dia belum pernah merasa kehilangan
Rianti seperti saat ini. Ketika perempuan itu masih
tinggal bersamanya, dia malah belum pernah me-
rasa demikian mencintainya seperti sekarang.
316 Laki-laki memang makhluk yang paling egois.
Ketika miliknya hampir diambil orang, dia baru
menyadari apa artinya kehilangan.
Selangkah lagi sebelum mencapai pintu kamar-
nya, Pak Ario tersandung sesuatu di lantai. Dia
terjerembap. Jatuh tersungkur di depan pintu.
Rianti menutup mulutnya dengan tangan. Men-
cegah jerit kekagetan yang hampir terlompat dari
celah-celah bibirnya.
Pak Ario merangkak bangun dengan limbung.
Menggapai-gapai handel untuk membuka pintu.
Dan tanpa berpikir lagi, Rianti menghambur lari
untuk membantunya.
"Mari saya tolong," katanya sambil membukakan
pintu.
Dan Pak Ario yang sedang separuh bersandar ke
pintu itu langsung terjerembap ke dalam. Tepat
seperti kejadian di Kairo. Hampir dua tahun yang
lalu.
Rianti memekik tertahan. Buru-buru dia berlutut
untuk membangunkan suaminya. Tetapi tubuh Pak
Ario terlalu berat.
Ketika laki-laki itu berbalik dengan tiba-tiba,
Rianti malah ikut tersungkur. Dan Pak Ario yang
sudah separuh mabuk itu kehilangan keseimbangan-
nya. Tubuhnya jatuh menindih Rianti. Dan kepala-
nya membentur kaki tempat tidur.
Sekali lagi Rianti mengaduh kesakitan. Tetapi
Pak Ario seperti baru terjaga dari mimpi yang amat
317 memukau. Rasa sakit di kepalanya yang mengembali-
kan sebagian kesadarannya. Pekikan tertahan Rianti
menyentakkannya dari alam kegelapan yang hampir
menelannya.
Ada seorang wanita dalam dekapannya. Hangat
dan lembut. Aroma keharuman tubuhnya meng-
ingatkannya pada seseorang seseorang yang sekali
waktu dulu pernah berada begitu dekat dengan diri-
nya seseorang yang suaranya demikian dikenal-
nya seseorang yang
"Rianti!" gumamnya tak percaya. "Rianti!"
Dipeluknya wanita itu lebih erat lagi. Diciuminya
dengan penuh kerinduan.
Sia-sia Rianti berusaha menolak. Bukan karena
suaminya terlalu kuat. Tetapi karena tubuhnya sen-
diri tidak ingin dilepaskan. Dia sendiri sia-sia me-
madamkan kerinduan yang bergejolak minta
dipuaskan. Sia-sia dia mengkhayalkan betapa men-
jijikkannya lengan suaminya. Lengan yang pernah
memeluk seorang perempuan lain
Ketika lengan itu memeluk tubuhnya, seluruh
jaringan saraf di tubuhnya malah bersorak seperti
menyambut pemiliknya yang telah lama pergi. Ke-
tika bibir suaminya mengulum bibirnya dengan
penuh kerinduan, percuma saja Rianti mencoba
membayangkan seorang perempuan lain. Dia malah
sudah tak dapat membayangkan apa-apa lagi. Bibir-
nya seperti lepas dari kontrol otaknya. Bibir itu
sendiri yang balas memagut dengan sama mesranya.
318 Rianti bahkan sudah melupakan betapa memuakkan-
nya bau alkohol yang keluar dari mulut suami-
nya Lalu semuanya terjadi dengan sendirinya. Tak
ada kesakitan yang menakutkan Rianti. Tak ada
kekerasan yang mengingatkannya pada kejadian
yang memalukan pada hari dia kehilangan anaknya
itu. Semuanya berlangsung dengan cepat dan mu-
lus. Kekasaran suaminya cuma didorong oleh kerindu-
annya yang sudah lama terpendam. Dan dalam
waktu yang sekejap itu, semuanya terlupakan. Yang
ada dalam hati Rianti hanyalah sebongkah cinta
kasih yang mencair seperti salju yang meleleh me-
nuruni lereng gunung.
Sementara bibir suaminya terus-menerus men-
desahkan namanya, tubuh mereka bersatu dalam
dekapan kebahagiaan.
Tak ada suara apa-apa lagi yang terdengar pada
tengah malam yang sepi itu, kecuali desah napas
mereka yang berpacu dengan detak jarum jam.
Bu Danu menutupkan pintu kamarnya dengan
sepelan mungkin agar tidak terdengar suara yang
ketiga.
Lengkapi Koleksi Anda
GRAMEDIA penerbit buku utama
GRAMEDIA penerbit buku utama
Lengkapi Koleksi Anda
NOVEL DEWASA
Mira W.
Mira W. Di Tepi Jeram Kehancuran
Mira W.
Di Tepi
Jeram
Kehancuran
"Akan kita kalahkan perempuan itu,
Rianti. Enam tahun yang lalu Ibu sudah
pernah mengalahkannya! Waktu itu,
mereka juga sudah punya anak!"
"Tapi saya tidak sampai hati memi-
sahkan mereka, Bu! Anak itu mem-
butuhkan ayah."
"Dan kau tidak membutuhkan
suamimu, anak bodoh?"
"Tentu saja saya membutuhkan
suami saya, Bu. Tapi jika kebahagiaan
saya harus ditukar dengan penderitaan
seorang anak kecil"
Di tepi jeram kehancuran
Yang hampir menjerumuskan bahtera
impian
Rianti dihadapkan pada dua pilihan
Kebahagiaan
Atau Pengorbanan?
Kenangan Kematian 2 Pendekar Rajawali Sakti 211 Harpa Neraka Demon Glass 3
^