Pencarian

Di Tepi Jeram 3

Di Tepi Jeram Karya Mira W Bagian 3


kepadamu."
Si tunggul jatuh hati padanya? Rianti hampir
pingsan mendengarnya. Mungkinkah di balik sikap
acuh tak acuhnya yang menjengkelkan itu dia...
dia Ah.
"Tapi kuperingatkan kamu, Nak. Jangan lekas
tergoda oleh penampilan yang gagah, titel yang
mentereng, atau harta yang melimpah. Aku pernah
menjadi remaja seumurmu juga. Pangeran Tampan
dari Negeri Dongeng tidak datang semudah dalam
mimpi!"
Aku tidak peduli, teriak Rianti dalam hati. Kalau
benar dia mencintaiku, aku tidak peduli apa pun
yang akan menghalangiku, aku akan berjuang un-
tuk mempertahankannya!
pustaka-indo.blogspot.com
168 * * *
Rianti pulang dengan wajah berseri-seri. Bukan
hanya Bu Danu yang merasa tidak enak melihat
mata Rianti yang berbinar-binar itu. Ayahnya juga.
Tidak biasanya Rianti segembira ini. Pasti ada apa-
apa. "Tentu saja." Rianti menyodorkan amplop gaji-
nya kepada Ayah. "Ini gaji saya yang pertama,
Ayah! Masa saya tidak boleh senang?"
Sesudah mengucapkan kata-kata itu, Rianti baru
tertegun. Bagaimana dia dapat berdusta selancar
ini? Tentu saja dia gembira menerima gajinya yang
pertama. Tapi bukan itu sebabnya yang utama!
Keriangan yang dibawa Rianti menular ke se-
luruh rumah. Uang seolah-olah menyembuhkan
kembali rumah mereka yang sakit. Ayah menjadi
lebih ramah. Adik-adiknya yang menuntut minta
ditraktir oleh Rianti tidak dimarahi. Mereka malah
pergi bersama-sama menjemput Ibu. Dan makan di
luar.
Malam itu semua bergembira. Ibu yang terlihat
amat berbahagia menyembunyikan linangan air ma-
ta keharuannya di balik senyumnya yang terus-
menerus merekah.
Ayah sudah mulai mau bergurau dengan Yan.
Yos bisa makan sepuas-puasnya tanpa harus dipe-
lototi karena mencuri jatah saudara-saudaranya.
Lestari tidak takut lagi merengek minta dibelikan
pustaka-indo.blogspot.com
169 sepatu baru. Hesti pun tidak tanggung-tanggung
minta dua gelas es krim.
Di balik kegembiraan yang mewarnai suasana
malam itu, cuma Ibu yang cukup arif untuk me-
lihat kegembiraan Rianti yang berlebihan. Dan Ibu
menyelidikinya dengan caranya sendiri.
Malam itu, sesudah semua orang tidur, Ibu men-
dekati Rianti. Kebetulan Rianti masih duduk di
meja makan. Menyelesaikan surat yang belum se-
lesai juga. Mesin tik portabel yang dipinjamnya
dari kantor bertengger di atas meja di hadapan-
nya. Rianti memang sering menyelesaikan pekerjaan
yang belum rampung di rumah. Karena itu dia da-
pat menyelesaikan pekerjaan lebih banyak daripada
rekan-rekannya.
Tidak heran kalau Pak Ariffin menjadi lebih se-
ring menugaskannya membuat sesuatu. Lebih ba-
nyak pekerjaan yang dilimpahkan kepada gadis itu.
Tetapi Rianti tidak pernah mengeluh. Semua pe-
kerjaan selalu beres. Yang mengeluh justru rekan-
rekannya di kantor. Mereka merasa tersisih karena
tak ada lagi pekerjaan yang harus dirampungkan.
Semua telah diselesaikan oleh Rianti.
"Masih banyak pekerjaan?" tanya Ibu sambil du-
duk di samping Rianti.
"Ah, tinggal sedikit, Bu. Sebentar juga selesai."
"Bagaimana di kantor?"
"Semua baik-baik saja, Bu."
pustaka-indo.blogspot.com
170 "Teman-temanmu tidak iri lagi?"
"Rianti tidak pedulikan. Sesuai dengan saran Ibu.
Pokoknya pekerjaan Rianti beres. Dan Rianti selalu
baik pada mereka."
"Itu bagus, Nak. Bagaimana dengan direktur-
mu?"
"Pak Ariffin?" dahi Rianti langsung berkerut. Dia
teringat kata-kata Pak Ariffin siang tadi. Tentang
Pak Ario. Dan Ibu cukup jeli untuk melihatnya.
"Ada apa?" tanya Ibu hati-hati. "Dia mencela
pekerjaanmu?"
"Dia mencela orang yang Rianti kagumi, Bu.
Rianti kesal. Dan kehilangan respek padanya."
"Laki-laki yang datang kemari mengantarkanmu
itu?" desak Ibu lebih hati-hati lagi. "Yang memin-
jamkan uang pada Ayah?"
Rianti menatap ibunya dengan heran bercampur
kagum.
"Dari mana Ibu tahu?"
"Pengalaman."
"Pak Ario itu teman baik Pak Ariffin, Bu. Me-
reka partner kerja pula. Sudah lama berteman. Ma-
sa Pak Ariffin masih sampai hati memburuk-buruk-
kannya di depan saya!"
"Barangkali dia hanya ingin memberitahukan se-
suatu kepadamu. Supaya kamu hati-hati."
Sekali lagi Rianti terperangah heran.
"Bagaimana Ibu tahu?"
Ibu cuma tersenyum.
pustaka-indo.blogspot.com
171 "Ibu kan sudah bilang. Pengalaman."
"Pak Ariffin itu sebenarnya orangnya baik, Bu.
Dia selalu memerhatikan saya. Selalu ingin mem-
bantu."
"Kamu masih muda, Rianti. Semua orang tam-
pak baik di matamu."
"Dia memang baik kok, Bu! Dia memindah-
tugaskan sekretarisnya ke Surabaya supaya dapat
mempekerjakan saya! Padahal apa kelebihan saya?
Saya belum punya pengalaman apa-apa!"
"Oh, Ibu tidak mengatakan bosmu itu jahat!
Tapi hati-hatilah, Rianti. Banyak orang yang tam-
paknya baik. Tapi di balik kebaikan itu, tersem-
bunyi niat yang kurang baik. Mereka merencanakan
sesuatu untuk menjebakmu dengan kebaikan-kebaik-
an mereka."
Tiba-tiba Rianti tertegun. Mengapa kata-kata Ibu
sama persis dengan kata-kata Pak Ariffin? Apakah
memang demikian pendapat orang-orang yang su-
dah berpengalaman? Tak ada lagi kepercayaan yang
tulus kepada sesama manusia?
"Pak Ras belum membayarmu, kan?" Ibu mem-
belokkan percakapan ketika melihat perubahan air
muka Rianti.
"Saya tidak berani menemuinya lagi, Bu. Malu."
"Lalu dari mana kamu memperoleh uang untuk
mengganti pinjamanmu pada Pak Ario?"
"Pak Ariffin menyuruh saya meminjam di kas,
Bu. Bisa dicicil setiap bulan."
pustaka-indo.blogspot.com
172 Ibu menghela napas.
"Kamu jadi terlibat utang."
"Jangan kuatir, Bu. Bisa saya ganti kok. Minggu
depan ada tugas ke Surabaya. Uang sakunya cukup
besar. Pak Ariffin itu orangnya royal."
"Dengan siapa kamu ke sana?"
"Dengan Pak Ariffin. Dia punya proyek baru di
sana. Perumahan sederhana untuk karyawan salah
satu instansi. Minggu depan proyek itu diresmi-
kan."
"Cuma berdua?" tanya Ibu sambil menjaga suara-
nya terdengar tetap wajar.
"Pejabat yang akan meresmikannya ikut bersama
istrinya."
"Pak Ariffin sendiri tidak disertai oleh istrinya?"
"Wah, saya kurang tahu, Bu. Saya malah belum
pernah melihat istrinya!"
"Tidak ada karyawan lain yang ikut?"
"Di sana sudah ada kantor cabang, Bu."
"Lalu untuk apa kamu ikut?"
"Tentu saja saya harus ikut, Bu. Saya kan sekre-
taris Pak Ariffin. Saya membereskan semua keperlu-
annya, mengatur jadwal kesibukannya"
Ibu menghela napas panjang.
"Hati-hatilah, Rian. Apa pun yang akan kamu
lakukan di sana, ingatlah, kamu mempunyai se-
orang ibu yang sedang menunggu dengan gelisah
di rumah."
"Jangan kuatir, Bu. Rianti kan sudah besar. Su-
pustaka-indo.blogspot.com
173 dah pandai menjaga diri. Ibu jangan terlalu banyak
pikiran. Kalau Rianti dapat uang saku nanti, akan
Rianti belikan Ibu baju ya?"
"Lho." Ibu tersenyum menahan haru. "Baru lima
menit yang lalu kamu bilang, uang saku itu akan
kamu pakai untuk mencicil utangmu!"
"Ah, Ibu!" Rianti merangkul ibunya dengan
manja. "Rianti ingin membelikan Ibu sesuatu! De-
ngan gaji Rianti sendiri!"
Ibu membalas rangkulan anaknya dengan lem-
but. Dipejamkannya matanya. Dibiarkannya dua
tetes air mata mengalir ke pipinya.
Kamu anak baik, Rian, bisiknya dalam hati. Se-
moga Tuhan melindungimu. Kamu masih terlalu
muda. Belum tahu apa-apa. Belum tahu jahatnya
dunia! Di matamu, semua orang sebaik dirimu!
* * *
Tentu saja Rianti melihat perubahan air muka Pak
Ario ketika Pak Ariffin memaparkan rencana peres-
mian proyek itu dalam suatu pertemuan di kantor-
nya. "Pak Ario tidak perlu hadir jika berhalangan," ujar
Pak Ariffin. "Yang penting, pihak subkontraktor me-
ngirimkan wakil untuk hadir dalam upacara itu. Ya,
untuk formalitas saja. Saya tahu Pak Ario repot."
Pak Ario mengatupkan rahangnya rapat-rapat se-
belum menjawab.
pustaka-indo.blogspot.com
174 "Saya pasti hadir. Tolong booking-kan tiket pe-
sawat untuk saya. Saya pasti ikut bersama rom-
bongan Pak Ariffin."
Tentu saja Rianti gembira. Perjalanan menjadi
lain jika si tunggul ikut. Tetapi mengapa Pak Ario
tidak mau melepaskannya pergi berdua saja dengan
Pak Ariffin? Apakah dia juga menguatirkan ke-
selamatan Rianti?
"Dia sedang jatuh hati padamu" terngiang lagi
kata-kata Bu Danu di telinga Rianti. Tidak sadar,
parasnya langsung memerah. Dan matanya berbinar
memendam kebahagiaan.
"Padahal saya tahu sekali, minggu depan dia ha-
rus mengadakan pembicaraan penting dengan per-
usahaan asing," gerutu Pak Ariffin. Tentu saja se-
telah Pak Ario pergi. "Heran. Biasanya dia paling
malas ikut upacara."
Mengapa Pak Ariffin juga kesal kalau Pak Ario
ikut? Benarkah kedua pria itu mempunyai maksud-
maksud tertentu di balik kebaikan mereka? Yang
mana sebenarnya di antara mereka berdua yang
benar-benar ingin menolongnya?
* * *
Selesai upacara yang melelahkan itu, Pak Ariffin
sebetulnya bermaksud mengajak Rianti makan
malam di luar. Tiba-tiba saja pejabat itu membatal-
kan niatnya untuk pulang ke Jakarta seusai upacara
pustaka-indo.blogspot.com
175 peresmian. Istrinya masih ingin bermalam di Sura-
baya. Terpaksa malam itu Pak Ariffin menemani
mereka.
"Ikut, Pak Ario?" tanya Pak Ariffin dalam mobil
yang membawa mereka pulang ke hotel selesai
upacara. "Cuma makan malam. Tidak resmi."
"Saya malas," sahut Pak Ario sambil menguap.
"Lebih baik saya tidur."
"Kamu ikut, Rianti?" Pak Ariffin berpaling pada
Rianti yang duduk di sebelahnya. "Santai saja. Per-
temuan tidak resmi kok."
"Rianti sudah janji akan pergi makan malam ber-
sama saya," cetus Pak Ario, datar saja suaranya, se-
olah-olah dia cuma mengatakan sesuatu yang
biasa.
Padahal di telinga Rianti, kata-kata itu terdengar
seperti ledakan meriam. Ditatapnya Pak Ario antara
terkejut dan bingung. Main-mainkah dia?
Tetapi laki-laki itu menoleh pun tidak. Dia
duduk di muka, di samping pengemudi. Karena dia


Di Tepi Jeram Karya Mira W di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tidak berpaling ke belakang, Rianti yang duduk
tepat di belakangnya tak dapat melihat wajahnya.
Yang terkejut ternyata bukan hanya Rianti. Pak
Ariffin juga. Bedanya dia terkejut bercampur kesal.
"Katanya Pak Ario mau tidur!"
"Oh, saya kira saya tidak harus melaporkan apa
yang akan saya lakukan sebelum tidur," kilah Pak
Ario tenang-tenang saja. "Boleh kan mengajak sekre-
taris Pak Ariffin pergi di luar jam dinas?"
pustaka-indo.blogspot.com
176 * * *
Masih ada waktu beberapa jam sebelum makan
malam. Tetapi Rianti sudah tak dapat tidur. Benar-
kah si tunggul mengajaknya makan? Atau dia
cuma tidak ingin Rianti pergi dengan Pak Ariffin?
Heran. Mengapa kedua lelaki itu sama-sama ingin
menyingkirkan dia dari sisi yang lain?
Pukul enam Rianti sudah selesai mandi. Sudah
rapi berdandan. Dia tidak tahu lagi harus melaku-
kan apa. Surat kabar pagi sudah habis dibaca. Sam-
pai ke hal yang sekecil-kecilnya. Sekarang dia ter-
paksa menelusuri iklan pula. Hanya untuk mengisi
waktu.
TV memang ada. Ada siaran pula. Tetapi me-
nunggu setengah tujuh masih lama. Sebelum itu,
televisi hanya dapat menghibur anak-anak kecil.
Program video belum muncul pula. Padahal film
mungkin dapat menghibur hati Rianti yang gun-
dah. Meredakan ketegangan sarafnya.
Dan pukul enam lewat dua puluh menit, telepon
di samping tempat tidurnya berdering. Tidak terlalu
nyaring sebenarnya. Tetapi untuk Rianti yang saraf-
nya tegang, dering telepon itu hampir merontokkan
jantungnya.
Refleks tangannya menyambar tangkai telepon.
Dan tanpa menyebutkan nama pun Rianti sudah
dapat mengenali suara di ujung sana.
"Sudah bangun, Rianti?"
pustaka-indo.blogspot.com
177 "Baru saja, Pak."
Wah, mengapa dia kini jadi pandai berdusta?
"Enak tidurnya??
"Lumayan, Pak."
Dusta lagi. Dia tidak tidur sekejap pun!
"Saya berangkat sekarang."
"O"
Kosong. Rianti tidak tahu harus memberi komen-
tar apa.
"Jadi pergi makan dengan Pak Ario nanti?"
"Belum tahu, Pak. Mungkin jadi. Pak Ario be-
lum menghubungi saya lagi."
"Benar kalian sudah berjanji makan malam ber-
sama?"
"Benar, Pak."
Aduh, mengapa harus berdusta lagi? Tidak pantas
mendustai orang sebaik Pak Ariffin! Tetapi Rianti
harus bagaimana lagi?
"Saya kira Pak Ario bohong."
"Tentu saja tidak, Pak."
"Hati-hati, Rianti."
"Terima kasih, Pak. Saya dapat menjaga diri."
"Selesai menemani mereka makan, saya akan
langsung pulang."
Tak ada komentar. Habis Rianti harus memberi
komentar apa? Laki-laki itu bukan suaminya. Bu-
kan pula ayahnya. Dia tidak berhak mengatur wak-
tunya di luar jam dinas.
"Baiklah, Rianti, saya pergi sekarang."
pustaka-indo.blogspot.com
178 "Terima kasih, Pak. Selamat sore."
Rianti meletakkan telepon dengan perasaan ber-
salah. Mengapa harus mendustai orang sebaik Pak
Ariffin? Dia memang segan makan malam bersama
mereka. Sudah seharian ini dia harus tersenyum
terus kepada mereka. Sampai pegal bibirnya. Tentu
saja dia lebih suka pergi dengan Pak Ario. Te-
tapi Dering telepon menyentakkannya lagi. Langsung
dijawabnya sebelum telepon itu sempat berdering
untuk kedua kalinya. Dan mendengar suara di
ujung sana, Rianti menyesal telah mengangkat tele-
pon secepat itu. Pak Ario bisa salah sangka! Dikira-
nya Rianti sudah berjam-jam duduk menunggu di
samping telepon! Ah.
"Tidak keberatan pergi makan malam bersama
saya?" suara Pak Ario terdengar amat resmi.
"Tentu saja tidak," Rianti berusaha menjawab
seresmi mungkin pula. Disembunyikannya kegugup-
annya. Suaranya sama sekali tidak boleh terdengar
gemetar. "Bukankah kita sudah berjanji?"
Untuk pertama kalinya Pak Ario tertawa per-
lahan. Rianti demikian bahagia mendengarnya. Ke-
bekuan suasana di antara mereka perlahan-lahan
mencair dengan sendirinya.
"Kita akan makan di warung yang dulu juga,"
kata Pak Ario sebelum menutup pembicaraan. "Ka-
mu boleh pakai sandal. Saya jemput pukul tujuh.
Oke?"
pustaka-indo.blogspot.com
179 Tentu saja Rianti tidak mau memakai sandal.
Dia mengenakan sepatu. Yang bertumit tinggi pula
supaya Pak Ario tidak tampak terlalu menjulang di
sampingnya. Dia sudah berdandan secantik-cantik-
nya. Sudah mengenakan pakaian yang terbaik pula
untuk makan malam yang istimewa ini. Tetapi ke-
tika Pak Ario muncul di ambang pintu, mereka
berdua sama-sama tertegun.
Laki-laki itu cuma mengenakan kaus biru tua
dengan gambar seekor buaya kecil berwarna hijau
di dada sebelah kiri. Celananya putih. Demikian
pula sepatu ketsnya. Dia tampak santai. Segar. Dan
bertambah muda lima tahun.
Rianti sebaliknya. Dia tampak anggun dalam
gaun terusan dengan rok overslag-nya yang berwarna
gelap. Sepatunya yang bertumit tinggi sewarna de-
ngan tas bertali yang tergantung di bahunya. Make-
up tipis yang menghiasi wajahnya membuat parasnya
lebih semarak.
Sekejap Pak Ario sampai lupa berpura-pura tak
acuh. Dia tertegun mengagumi kecantikan gadis
itu. Rasanya dalam beberapa jam saja, gadis yang
baru lulus sekolah ini sudah menjelma menjadi se-
orang wanita dewasa yang tahu sekali bagaimana
harus memamerkan daya tariknya.
Melihat sinar kekaguman yang bersorot di mata
Pak Ario, tiba-tiba saja pipi Rianti terasa panas.
Tak sadar dia menunduk sedikit.
"Sudah siap?" Pak Ario lekas-lekas memperbaiki
pustaka-indo.blogspot.com
180 sikapnya melihat wajah gadis itu berubah kemerah-
merahan.
Rianti cuma mengangguk sedikit.
"Tidak lelah memakai sepatu bertumit tinggi be-
gitu? Saya ingin mengajakmu berjalan kaki mum-
pung udara cerah."
"Saya memakainya juga ketika di padang pasir
dulu."
"Asal jangan dijinjing saja kalau kakimu lecet
nanti."
"Jangan kuatir. Saya tidak akan merepotkan Ba-
pak lagi seperti dulu."
"Seharusnya saya mengajakmu makan di tempat
yang lebih sesuai dengan pakaianmu."
"Saya bisa makan di mana saja dengan pakaian
ini."
* * *
Seperti dulu juga, Rianti memesan soto sulung, se-
mentara Pak Ario menikmati nasi rawon. Hanya
saja kali ini mereka bersikap lebih santai. Dan
Rianti dapat menikmati sotonya dengan lebih ber-
selera.
"Saya harap Ibu tidak bersikap kasar ketika kamu
datang ke rumah," kata Pak Ario ketika mereka se-
dang menelusuri kaki lima menuju ke hotel setelah
makan.
Lampu-lampu mobil yang datang dari arah de-
pustaka-indo.blogspot.com
181 pan sekali-sekali menerangi wajah Rianti. Tetapi ti-
dak ada perubahan di wajah itu.
"Oh, ibu Pak Ario baik sekali." Suaranya sewajar
sikapnya. "Saya malah diajak masuk, minum teh,"
"Ibu pasti banyak bercerita. Banyak bertanya
pula."
"Kami ngobrol cukup lama."
"Ibu cerita tentang bekas istri saya?"
"Ya."
"Apa katanya?"
"Istri Pak Ario sekarang tinggal di Jerman. Ber-
sama anak Pak Ario."
"Cuma itu?"
"Ibunya wanita Jerman. Ayahnya Indonesia. Dia
tinggal di sana sejak kecil."
"Cuma itu?"
"Pak Ario bertemu dengan dia ketika mengikuti
suatu kongres di Jerman. Kebetulan dia menjadi
guide rombongan Indonesia."
"Cuma itu?"
Sekarang Rianti berpaling. Tetapi paras Pak Ario
terlalu gelap untuk dianalisis. Apalagi dia tidak me-
noleh. Hanya memandangi debu di bawah kaki-
nya. "Apa lagi yang Pak Ario harapkan? Ibu Pak Ario
tidak menjelek-jelekkan siapa pun. Beliau hanya
bercerita."
Pak Ario menghela napas panjang. Terlalu keras
untuk luput dari telinga Rianti yang berjalan begitu
dekat di sisinya.
pustaka-indo.blogspot.com
182 "Mari kita menyeberang," katanya akhirnya.
"Di sini?" ulang Rianti ngeri.
"Di sana ada zebra cross."
"Tapi mobil di sini sama galaknya dengan di Ja-
karta!?
"Mereka harus memperlambat kecepatan bila ada
zebra cross."
"Tapi apakah mereka melihat kita? Pakaian kita
sama gelapnya!"
"Jangan kuatir. Saya akan melindungimu."
Pak Ario mengambil tangan Rianti. Membimbing-
nya di sebelah yang aman. Dan membawanya ke
seberang. Walaupun bukan untuk pertama kalinya
tangan mereka bersentuhan, Rianti merasa dadanya
berdebar-debar. Lebih-lebih ketika sesampainya di-
seberang pun Pak Ario belum mau melepaskan ta-
ngannya. Dibimbingnya tangan Rianti sepanjang
jalan. Dan Rianti tidak berusaha untuk menariknya.
Dia sedang sibuk berusaha menenangkan debar jan-
tungnya sendiri.
"Dingin?" tanya Pak Ario, ketika dirasanya ta-
ngan mungil di dalam genggamannya itu bergetar
sedikit.
Rianti langsung menggeleng. Dia memang bukan
kedinginan! Tetapi setelah menggeleng, dia baru
menyesal. Bukankah lebih baik jika Pak Ario me-
ngira dia gemetar karena kedinginan?
"Kita sudah hampir sampai."
"Ya," sahut Rianti meskipun dia mengharapkan
pustaka-indo.blogspot.com
183 sebaliknya. Mengapa hotel mereka begitu dekat?
Dia masih ingin menikmati saat-saat yang indah ini
lebih lama lagi! Dibimbing oleh laki-laki yang dika-
guminya. Menikmati malam penuh kesan yang be-
lum pernah hadir dalam hidupnya selama ini
"Capek?" Untuk pertama kalinya suara lelaki itu
terdengar lembut. Amat lembut. Rianti sendiri sam-
pai takjub mendengarnya. Benarkah si tunggul yang
bersuara? Bagaimana orang seperti dia dapat
bersuara selembut itu? "Kakimu tidak lecet?"
Sekali lagi Rianti menggeleng. Cuma itu yang
dapat dilakukannya. Menggeleng. Mengangguk.
Menggeleng lagi. Entah pergi ke mana suaranya.
"Saya ingin mengajakmu makan es krim di coffee
shop," kata Pak Ario begitu hotel mereka telah tam-
pak di depan mata. "Masih takut gemuk?"
"Tidak," sahut Rianti mantap. Seandainya kau-
ajak aku makan di luar sekali lagi pun aku tak
akan menolak! Tambah gemuk dua kilo pun aku
tak peduli! Aku tidak ingin malam yang indah ini
cepat-cepat berakhir!
"Bagus," Pak Ario tidak berusaha menyembunyi-
kan nada gembira dalam suaranya. Padahal biasanya
dia selalu dingin. "Mudah-mudahan Pak Ariffin ti-


Di Tepi Jeram Karya Mira W di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dak sedang menunggu kita di sana! Saya bosan
melihatnya!"
"Bagaimana kalau Pak Ariffin ada di sana?" tanya
Rianti penasaran.
pustaka-indo.blogspot.com
184 "Lebih baik saya intip dulu. Kalau dia ada di
sana, kita kabur!"
"Kenapa?" potong Rianti, garang seperti harimau
yang diusik. "Saya memang karyawatinya. Tapi ini
bukan jam dinas!"
Pak Ario menoleh dengan takjub. Matanya ber-
sorot gembira.
"Seperti bukan kamu yang mengatakannya."
"Kata Pak Ario, diri saya adalah milik saya, bu-
kan?"
"Saya senang mendengarnya. Tetapi kalau maji-
kanmu di sana, dia bisa merusak suasana. Saya le-
bih suka menghabiskan malam ini berdua saja. Le-
bih baik, kita cari tempat lain!"
* * *
Untung Pak Ariffin belum pulang. Mereka dapat
menyelinap ke coffee shop dengan aman. Tanpa di-
kenali siapa pun.
Coffee shop itu tidak terlalu ramai lagi. Mungkin
karena hari telah malam. Hampir pukul sepuluh.
Waktu makan malam sudah lewat. Hanya tinggal
satu-dua pasangan lagi yang sedang menikmati san-
tapan malamnya. Pasangan lain telah berpindah ke
bar. Atau ke diskotek.
Pak Ario memilih tempat di sudut. Di sana sua-
sananya amat nyaman. Agak tersembunyi. Dan pe-
nerangannya pun tidak terlalu terang.
pustaka-indo.blogspot.com
185 "Mau es krim apa?" tanya Pak Ario begitu pe-
layan datang.
Rianti memilih banana split. Pak Ario minta
peach melba.
"Pak Ario tidak kangen pada anak Pak Ario?"
cetus Rianti sesaat sebelum es krimnya datang.
Pak Ario seperti terpukul mendengar pertanyaan
itu. Rianti menyesal sekali telah menanyakannya.
Mengapa harus merusak suasana malam yang se-
indah itu?
"Maaf jika pertanyaan saya terlalu lancang," sam-
bung Rianti penuh penyesalan.
"Saya hanya kaget kamu berani menanyakan-
nya."
"Sejak ibu Pak Ario bercerita tentang anak itu,
saya selalu memikirkannya. Saya juga telah kehilang-
an ayah waktu masih anak-anak"
"Jadi?" Pak Ario menatap Rianti dengan terkejut.
"Ayahmu"
"Ayah tiri." Rianti mengangguk lirih. "Saya telah
merasakan pahitnya hidup bersama ayah tiri. Jadi
maafkan kalau saya begitu tertarik ingin mengetahui
tentang anak Pak Ario."
"Anak laki-laki yang cakap." Pak Ario merenungi
es krimnya yang baru saja datang. Seolah-olah mem-
bayangkan seorang bayi di atas potongan peach-nya
yang berwarna kuning tua itu. "Waktu itu umurnya
baru enam bulan. Bayi yang montok dan lucu."
pustaka-indo.blogspot.com
186 "Mengapa Pak Ario sampai hati melepaskan-
nya?"
"Kami sama-sama menginginkan anak itu. Tetapi
akhirnya saya mengalah. Seorang anak lebih mem-
butuhkan ibunya, bukan?"
"Seorang anak membutuhkan kedua orangtuanya,
Pak Ario."
"Tapi perceraian kami tak dapat dihindarkan
lagi." Pak Ario menyendok es krimnya dengan lesu.
"Begitu banyak perbedaan pendapat. Ketika cinta
masih membakar sukma, perbedaan-perbedaan itu
tidak tampak. Larut dalam manisnya madu cinta.
Tetapi begitu mulai berumah tangga, saya baru
merasakan betapa sulitnya mengawini seorang pe-
rempuan yang dibesarkan di belahan dunia yang
berbeda dengan kita."
"Perbedaan itu harus dijembatani dengan cinta,
Pak Ario! Bukankah cinta dapat mengalahkan
segala-galanya? Berapa banyak pasangan campuran
yang dapat hidup bahagia sampai tua dalam biduk
perkawinan mereka?"
"Sudah kami coba. Tapi perbedaan itu kian hari
kian mencolok. Lebih-lebih dengan adanya Ibu di
antara kami."
"Ibu Pak Ario?"
"Saya anak tunggal. Ibu sangat dekat dengan
saya. Lebih-lebih setelah Ayah meninggal. Kadang-
kadang Ibu tak dapat mengatasi emosinya sendiri.
Dia tak dapat menerima anak laki-lakinya harus
pustaka-indo.blogspot.com
187 membagi cintanya dengan perempuan lain. Di pi-
hak lain, istri saya tidak dapat mengerti mengapa
seorang laki-laki yang telah menikah masih tinggal
bersama ibunya. Mengapa dia masih harus mem-
bagi cinta suaminya dengan perempuan lain, meski-
pun perempuan itulah yang melahirkan suaminya.
Sekarang kamu mengerti mengapa kami bercerai?
Dan mengapa sampai sekarang saya masih men-
duda? Saya tidak berani membawa seorang perem-
puan lagi ke hadapan ibu saya. Sebelum saya yakin
tak akan menyakiti hati dua orang wanita yang
saya cintai."
"Saya yakin suatu hari kelak Pak Ario akan me-
nemukan perempuan itu."
"Saya harap sekarang saya telah menemukannya."
Pak Ario menatap Rianti dengan tatapan yang sulit
dilukiskan. Membuat yang ditatap menjadi salah
tingkah. "Ketika pertama kali saya melihatmu, sebe-
narnya saya telah tahu, saya telah menemukan pe-
rempuan yang saya cari. Tetapi baru sekarang saya
berani menanyakannya padamu. Beranikah kamu
mencoba menjinakkan ibu saya, merebut kasihnya
pula seperti kamu telah merampas hati saya?"
* * *
Rianti tidak tahu dengan cara bagaimana dia naik
ke atas. Bagaimana dia dapat sampai di depan ka-
pustaka-indo.blogspot.com
188 marnya. Semuanya seperti terjadi dalam mimpi.
Dia bagaikan melayang di udara. Di antara gumpal-
an-gumpalan awan kebahagiaan.
Pak Ario mengantarkannya sampai di depan ka-
marnya. Tetapi sesaat sebelum dia menutup pintu,
Pak Ario memanggilnya. Untuk pertama kalinya
dia menyebut nama Rianti.
Bergetar hati Rianti mendengar suara yang amat
lembut itu. Lebih-lebih melihat tatapan matanya
ketika mereka bertemu pandang. Lalu semuanya
terjadi dengan sendirinya. Terlalu cepat untuk di-
ceritakan. Terlalu indah untuk dilukiskan.
Tiba-tiba saja Rianti merasa dirinya telah berada
dalam pelukan laki-laki itu. Tubuhnya didekapkan
hangat ke dadanya. Dan bibir Pak Ario menyentuh
lembut bibirnya.
Rianti memejamkan matanya rapat-rapat. Agar
dapat menikmati saat yang paling indah itu. Suk-
manya serasa tidak berada lagi dalam tubuhnya.
Sudah melayang-layang ke angkasa. Menggelepar-
gelepar menggapai kemesraan. Menggeliat nikmat
di sela-sela tebaran mega impian.
Tak terasa kedua belah lengannya naik merangkul
leher laki-laki itu. Dan desah tertahan meluncur
dari celah-celah bibirnya. Merangsang Pak Ario un-
tuk mengulum bibir Rianti lebih mesra lagi. Mem-
biarkan cinta yang terpenjara selama ini lepas bebas
merentangkan sayap. Tak ada lagi kepura-puraan.
Tak ada lagi sikap acuh tak acuh yang palsu itu!
pustaka-indo.blogspot.com
189 Dia tak dapat lagi membohongi dirinya sendiri!
Dia menginginkan gadis ini. Mencintainya!
"Selamat malam," bisik Pak Ario, terengah-engah
menahan gejolak perasaannya sendiri. Dilepaskannya
dekapannya. Ditatapnya gadis itu dengan hangat.
"Tidur yang nyenyak."
Rianti masih bersandar di dinding. Lemas dan
separuh sadar. Dia harus mengumpulkan semangat-
nya dulu sebelum menemukan dirinya kembali.
Pak Ario mendorongnya lembut ke dalam kamar.
Dan menutupkan pintu itu. Lalu dia kembali ke
kamarnya sendiri. Dengan dada yang masih meng-
gelegak menyimpan kemesraan.
Beberapa saat lamanya Rianti masih bersandar
lemas di balik pintu. Seluruh tubuhnya terasa aneh.
Terasa asing bagi dirinya sendiri. Segenap jaringan
saraf di tubuhnya berpijar, menimbulkan sensasi
aneh yang belum pernah dirasakannya.
Kedua lututnya terasa lemas. Jari-jarinya mati
rasa. Tangannya lumpuh, tak mampu digerakkan
lagi. Seluruh rambut di tubuhnya meremang.
Tetapi dadanya terasa penuh. Sesak. Hangat. Ber-
gelora oleh suatu perasaan nikmat yang meng-
gelegak mendambakan pelepasan.
Sekarang Rianti baru dapat mengerti, baru dapat
merasakan sendiri, betapa mudahnya seorang gadis
tergelincir menyerahkan dirinya dalam keadaan se-
perti itu.
Untung Pak Ario tidak menghendakinya. Kalau
pustaka-indo.blogspot.com
190 dia mau, masih mampukah Rianti menolak? Masih
sanggupkah dia melawan keinginannya sendiri?
Tiba-tiba saja Rianti teringat Ibu. Hampir saja
dia mengecewakan Ibu. Menyia-nyiakan pesannya.
Dan dia bersyukur kepada Tuhan yang telah men-
cegah mereka berdua melakukan perbuatan yang
melampui batas itu.
Tanpa dapat menahan dirinya lagi, Rianti meng-
hambur ke tempat tidur. Melemparkan dirinya be-
gitu saja. Dan membiarkan tetes-tetes kebahagiaan
mengalir dari matanya. Biar seluruh dunia tahu,
betapa bahagianya dia saat ini!
Ternyata cintanya tidak bertepuk sebelah tangan!
Si tunggul diam-diam mencintainya pula. Dia ha-
nya tidak berani mengumbarnya akibat trauma
perkawinannya yang lalu. Dan dia serius. Terlalu
serius malah. Dia telah melamarnya!
"Oh, Ibu!" pekik Rianti sambil memeluk bantal-
nya erat-erat. "Tahukah Ibu betapa bahagianya
Rianti malam ini?"
* * *
Pagi itu, Rianti terlambat bangun. Tidurnya terlalu
lelap. Mimpinya terlampau indah. Sarat dengan ke-
bahagiaan.
Dia terlonjak kaget ketika mendengar dering bel.
Mula-mula dikiranya dering telepon. Refleks tangan-
nya menggapai telepon itu. Kosong. Diliriknya jam
tangannya. Astaga! Hampir pukul delapan!
pustaka-indo.blogspot.com
191 Cahaya terang dari luar membayang di balik tirai
tebal yang menutupi jendela kamarnya. Musik lem-
but mengalun halus dari radio yang lupa dimatikan
di samping tempat tidur. Selain itu, semua sepi.
Hanya dengung pendingin ruangan yang terdengar.
Bunyi apa yang didengarnya tadi? Mimpikah dia?
Lalu pintu diketuk dua kali. Tidak terlalu keras.
Tetapi cukup untuk menyentakkan Rianti. Sekarang
dia sadar. Ada seseorang sedang menunggu di de-
pan pintu kamarnya!
Aduh! Mudah-mudahan bukan salah satu dari
kedua orang laki-laki itu Betapa malunya
Buru-buru Rianti menyibakkan selimutnya. Me-
lompat dari ranjang. Dan bergegas ke depan pintu.
Dibukanya pintu itu sedikit. Tanpa melepaskan
rantai pengamannya.
"Selamat pagi," sapa roomboy itu sopan. "Ada
kiriman bunga dari tuan di kamar sebelah."
Rianti melepaskan rantai pengaman. Melebarkan
pintu. Dan menerima bunga itu. Sebuah buket
bunga mawar yang indah. Warnanya yang merah
menyegarkan mata Rianti yang masih mengantuk.
"Terima kasih," sahutnya gugup, masih terpesona
oleh kejutan yang tidak disangka-sangka itu. Dia
sampai lupa memberikan tip. Ditandatanganinya
saja tanda terima yang disodorkan laki-laki itu.
Seumur hidup dia belum pernah dikirimi bunga.
Apalagi oleh seorang laki-laki. Mawar merah pula
Dibacanya kartu kecil yang terselip di antara kun-
tum-kuntum mawar yang semarak itu.
pustaka-indo.blogspot.com
192 "Selamat pagi."
Cuma itu. Rianti tersenyum sendiri. Si tunggul


Di Tepi Jeram Karya Mira W di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

masih tetap pelit dengan kata-kata. Tetapi betapa
uniknya caranya mengucapkan selamat pagi! Betapa
mahalnya harga salam selamat pagi itu!
Rianti menutup pintu dengan kakinya. Didekap-
nya bunga itu erat-erat ke dadanya. Dibawanya ke
tempat tidur. Dipandanginya dengan mesra. Seolah-
olah si tunggullah yang kini berbaring di sisinya.
Cinta, pikirnya sambil menelungkup menatap
bunga yang teronggok di hadapannya. Begitu ba-
nyak keindahan yang engkau miliki! Hal-hal yang
sederhana pun tampak memikat bila engkau sudah
datang!
* * *
Pagi itu Rianti bukan saja terlambat bangun. Dia
juga terlambat mandi. Terlambat sarapan. Dan ter-
lambat berkumpul di lobi. Pak Ariffin sampai me-
nyusul ke kamarnya.
"Astaga, kukira kamu diculik Pak Ario!" gerutu
Pak Ariffin separuh bergurau. "Semua sudah
kumpul di lobi. Kita ke kantor dulu. Siang baru ke
airport."
"Maaf, Pak. Saya terlambat!" cetus Rianti ke-
malu-maluan. "Kesiangan bangun!"
"Pasti karena pulang terlalu malam," gerutu Pak
pustaka-indo.blogspot.com
193 Ariffin sambil mengambil koper kecil yang dijinjing
Rianti. "Mari saya bawakan."
Di lobi, Agatha sedang duduk mengobrol ber-
sama Pak Ario. Mereka langsung bangkit melihat
Pak Ariffin datang dengan Rianti. Seorang pelayan
langsung mengambil koper kecil yang dibawa Pak
Ariffin. Dan membawanya ke mobil yang sedang
menunggu di depan pintu.
"Selamat pagi," sapa Pak Ario kepada Rianti.
Suara dan sikapnya wajar saja. Tidak terlalu formal.
Tapi juga tidak sehangat tadi malam. "Nyenyak ti-
durnya?"
"Terima kasih bunganya, Pak," sahut Rianti ter-
sipu-sipu.
"Kamu masih memanggil ?Bapak? pada orang
yang telah menciummu?" gurau Pak Ario per-
lahan.
Saat itu Agatha telah berjalan ke depan untuk
menanyakan kepada sopir kantornya apakah semua
barang mereka telah masuk ke dalam bagasi mobil.
Tetapi Pak Ariffin masih berada cukup dekat untuk
mendengar pembicaraan mereka. Tidak terlalu jelas
untuk menangkap semuanya. Tetapi cukup terang
mendengar kata "bunga".
"Bukan main," cetusnya separuh menggoda, se-
paruhnya lagi kurang senang, entah karena apa.
"Romantis amat Pak Ario sekarang! Mengirim bu-
nga segala!"
"Wanita senang diperhatikan, Pak Ariffin." Di
pustaka-indo.blogspot.com
194 luar dugaan Pak Ario menanggapi kelakar rekannya.
"Apalagi oleh hal-hal yang romantis. Mereka umum-
nya perasa."
"Asal jangan tiap hari mengirim bunga ke kan-
tor," sambung Pak Ariffin sambil berjalan bersama-
sama mereka ke depan. "Alergi lho saya!"
"Jangan kuatir, Pak Ariffin. Rianti tidak lama
lagi menjadi sekretaris di sana."
Yang terkejut bukan cuma Pak Ariffin. Rianti
juga. Dia sampai hampir terjerembap. Langkahnya
terhenti dengan sendirinya. Napasnya juga. Ter-
tahan tegang menanti kelanjutan kata-kata laki-laki
itu. "Saya telah melamarnya," sambung Pak Ario
tenang-tenang. Seolah-olah dia cuma mengucapkan
kata-kata yang tidak penting. "Tentu saja saya tak
akan mengizinkan istri saya menjadi sekretaris di
perusahaan orang lain."
Sekarang Pak Ariffin benar-benar tertegun. Di-
tatapnya Pak Ario dengan tatapan tak percaya. Te-
tapi Pak Ario tidak menghiraukannya. Ditepuknya
bahu Pak Ariffin dengan tenang.
"Ini bukan April Mop," bisiknya sambil ter-
senyum.
Dibukakannya pintu untuk Rianti.
pustaka-indo.blogspot.com
195 Ibu Rianti tidak terkejut ketika mendengar ada se-
orang laki-laki yang akan datang melamar putri
sulungnya. Sejak dia menemukan sebuah buket bu-
nga dalam koper Rianti sepulangnya gadis itu dari
Surabaya, dia telah menduga, seorang laki-laki se-
dang menunggu di depan pintu. Siap untuk masuk
ke dalam kehidupan mereka.
Ibu menerimanya dengan pasrah. Separuh ter-
haru. Separuh bahagia. Dia hanya merasa cemas
ketika mendengar laki-laki itu seorang duda cerai.
Istrinya masih hidup. Dan mereka sudah punya
anak. Lebih kuatir lagi ketika mengetahui Rianti
akan tinggal bersama ibu mertuanya. Dan suaminya
anak tunggal.
Naluri tajam seorang ibu membisikkan firasat
yang kurang baik. Tetapi melihat betapa besarnya
BAB VI
pustaka-indo.blogspot.com
196 cinta Rianti kepada laki-laki itu, Ibu hanya dapat
berdoa dan menasihati.
"Perkawinan tidak seindah cinta yang kamu lihat
dan rasakan waktu pacaran, Rianti. Tapi sekali
kamu sudah memilihnya sebagai suamimu, pelihara-
lah perkawinan kalian sebaik-baiknya. Tabahlah
menghadapi badai apa pun yang mencoba meneng-
gelamkan bahtera kalian."
Mula-mula Ayah pun menentang. Rianti baru
saja bekerja. Baru saja mendapat gaji untuk me-
ringankan hidup mereka. Masa sekarang sudah mau
menikah?
"Dia masih terlalu muda," kilahnya tanpa tahu
berapa sebenarnya umur Rianti.
Tetapi ketika didengarnya calon menantunya itu
direktur PT Buana Kencana, dia malah menganjur-
kan agar Rianti cepat-cepat menikah. Barangkali
menantunya dapat memberikan lapangan kerja baru
untuknya. Akan ditinggalkannya usaha jahitnya
yang selalu gagal sampai menimbulkan utang yang
bertumpuk itu. Dia sudah bosan ditagih melulu.
Tiap hari ada saja orang yang datang marah-marah
ke rumahnya. Huh.
Cuma ibu Pak Ario yang tetap tidak setuju.
"Katamu dulu umur kalian berbeda dua puluh
tahun!"
"Sampai sekarang pun begitu," sahut Pak Ario
acuh tak acuh. Dia sudah merasa cukup matang
untuk menentukan sendiri persoalan pribadinya.
pustaka-indo.blogspot.com
197 "Ibu sendiri yang bilang, umur tidak menjadi peng-
halang!"
"Mentalnya belum matang untuk berumah
tangga!"
"Ibu yang bilang begitu."
"Bagaimana kau bisa mengharapkan perkawinan
yang langgeng dengan perempuan yang belum ma-
tang!"
"Saya pernah menikah dengan perempuan yang
sudah matang, tapi perkawinan saya gagal pula."
"Semuanya kesalahan perempuan itu!"
"Kesalahan Ibu juga. Dan kesalahan saya pula.
Kita semua terlalu egois. Sekarang saya sudah siap
untuk mencoba lagi. Saya akan belajar dari peng-
alaman yang lalu."
"Tapi gadis itu masih anak-anak!"
"Cuma anak-anak yang dapat menyelip di antara
kita, Bu," sahut Pak Ario tenang tapi mantap. "Ka-
rena kita berdiri terlalu dekat!"
* * *
"Jadi kamu akan berhenti kerja, Rian?" tanya Dila
bersemangat.
Mereka kebetulan bertemu di kantor Pak Ras
ketika Rianti membagikan undangan pernikahannya
kepada Bu Titi. Sudah hampir setahun sejak mereka
bertemu di sini terakhir kali ketika sama-sama men-
cari pekerjaan. Saat itu, hanya ada satu lowongan
pustaka-indo.blogspot.com
198 ke Kairo. Dan Rianti yang memperolehnya. Sampai
sekarang, Dila belum juga mendapat pekerjaan.
Tentu saja Rianti ikut prihatin mendengar nasib
temannya.
"Sebenarnya aku ingin terus bekerja, Dila," sahut
Rianti terus terang. "Kalau suamiku mengizin-
kan."
"Buat apa? Suamimu kan kaya?" Harapan yang
telah mengedip di depan mata itu padam kembali.
Dan Dila merasa kecewa. Akibatnya kata-katanya
menjadi sinis. "Berikanlah kesempatan pada yang
masih memerlukannya!"
"Aku bekerja karena tidak ingin tergantung pada
suami, Dila. Dan karena aku ingin punya karier
sendiri."
Diam-diam Bu Titi menatap Rianti dengan ka-
gum. Dalam setahun saja gadis itu telah banyak
berubah. Dia telah bertambah dewasa. Kepribadian-
nya semakin memukau. Rianti bukan lagi remaja
pemalu yang serbacanggung kalau berhadapan de-
ngan orang lain.
"Suamimu kan direktur. Kalau ada lowongan di
kantornya, ingat aku ya, Rian!"
"Aku berjanji akan minta pada Mas Ario untuk
mencarikan pekerjaan untukmu, Dila. Percayalah."
"Selamat pagi," sapa seseorang di ambang pin-
tu. Rianti tidak perlu memalingkan mukanya untuk
melihat siapa yang datang. Setahun yang lalu, suara
pustaka-indo.blogspot.com
199 itu adalah suara dewa yang berkuasa menentukan
hitam-putih hidupnya.
"Rianti?" tegur Pak Ras antara terkejut dan he-
ran. "Tumben kamu masih ingat kemari!"
Tentu saja dia masih ingat, gerutu Bu Titi dalam
hati. Uangnya masih ada padamu!
"Apa kabar?" Pak Ras menjabat tangan Rianti
dengan keramahan berlebihan, seakan-akan dia
sudah sepuluh tahun menantikan pertemuan ini.
"Maaf, belum sempat mengembalikan uangmu.
Saya tidak tahu rumahmu. Dan kamu sendiri tidak
pernah muncul lagi."
Tapi Bu Titi tahu sekali di mana rumahku, ge-
ram Rianti dalam hati. Dia hanya tidak tahu kamu
mau membayar atau tidak!
"Rianti tidak memerlukannya lagi, Pak," seperti
hendak melampiaskan kejengkelannya yang telah
lama terpendam, Bu Titi mengibaskan kartu un-
dangan di tangannya. "Suaminya direktur!"
Pak Ras meraih undangan itu. Dan langsung
membacanya.
"Ir. R.M. Ario Sugiharto" Dia mengerutkan
dahinya dengan rasa tidak percaya. "Direktur P.T.
Buana Kencana?"
"Betul," Bu Titi pula yang menyahut. Yang lain
seperti sudah kehilangan suara. "Langganan kita
juga, Pak. Tapi entah mengapa sudah hampir se-
tahun ini Buana Kencana tak pernah minta jasa
business service kita lagi!"
200 "Nanti tentu akan banyak permintaan," kata Pak
Ras seperti tidak merasakan sindiran dalam suara Bu
Titi. "Rianti akan memiliki Buana Kencana. Tentu
dia akan ingat kita. Banyak temannya yang masih
mencari pekerjaan di sini. O ya, saya dengar kamu
juga bekerja pada Bumi Makmur kan, Rian? Nah,
itu perusahaan besar! Langganan kita juga."
"Saya permisi pulang dulu, Pak," cetus Rianti
serbasalah. "Mau membagikan undangan lainnya.
Kalau Bapak dapat hadir, tentu merupakan suatu
kehormatan bagi saya."
"Lho, kok buru-buru? Baru saja bertemu! Sudah
berapa lama kita tidak saling bersua? Setahun ya?
Nah, ngobrollah dulu! Saya ingin mentraktirmu di
warteg di seberang! Hitung-hitung mengucapkan
selamat!"
"Terima kasih, Pak. Maaf, saya sedang buru-
buru."
Cukup sekali saja aku dimaki-maki istrimu, ge-
rutu Rianti dalam hati. Dihampirinya Bu Titi. Di-
genggamnya tangannya penuh permohonan. "Betul
ya, Bu. Datang sama Bapak, ya?" pintanya sung-
guh-sungguh.
"Insya Allah, Rian."
"Saya akan kecewa sekali kalau Bu Titi tidak
hadir pada pernikahan saya." Lalu sambil berpaling


Di Tepi Jeram Karya Mira W di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pada Dila, katanya, "Kamu juga ya, Dila?"
"Asal kamu janji akan memberikan pekerjaan!"
jawab Dila tegas, entah bergurau, entah tidak.
201 "Tentu. Percayalah padaku. Akan kuusahakan se-
bisanya."
* * *
"Kamu ini aneh!" Pak Ario menggeleng-gelengkan
kepalanya. "Orang lain kamu masukkan di perusaha-
an kita. Kamu sendiri masih bekerja di perusahaan
orang lain!"
"Dila orangnya baik, Mas," kata Rianti sambil
meletakkan kue sus yang baru saja dibuatnya sen-
diri di atas meja di depan Pak Ario. "Dia teman
baik saya."
"Saya percaya." Pak Ario mengambil kue itu dan
mencicipinya sedikit.
"Enak?" tanya Rianti harap-harap cemas.
Sudah dua kali calon suaminya datang ke rumah.
Sudah dua kali pula Rianti menyuguhinya dengan
kue-kue buatannya sendiri. Tetapi yang lalu, kue
susnya bantat. Vlanya terlalu manis pula. Terpaksa
Rianti belajar lagi baik-baik dari Ibu, seolah-olah
dia akan maju ujian. Membaca resep-resep dari
majalah wanita saja rupanya belum cukup.
"Nah, yang ini baru laku kalau dijual!" Cuma
itu komentar Pak Ario. Tapi dia memang begitu!
Rianti sudah hafal sekali sifatnya. Itu berarti kue-
nya enak. Dan dia menyukainya.
Pak Ario sudah mengambil satu lagi walaupun
mulutnya masih penuh. Dan Rianti menghela na-
pas lega. Duh, sulitnya menjadi calon istri.
202 "Cobalah satu." Pak Ario menyodorkan sebuah
kue ke mulut Rianti. "Hasil karyamu sendiri."
"Sudah bosan." Rianti memiringkan wajahnya,
mengelakkan kue itu. "Sudah mencicipi terus dari
tadi di dapur."
"Cobalah sedikit!" Sekarang Pak Ario berdiri. Di-
pegangnya dagu Rianti dengan lembut. Disodorkan-
nya kue itu ke mulutnya. "Enak kok."
Terpaksa Rianti membuka mulutnya. Dan meng-
gigitnya sedikit walaupun tak ingin. Mas Ario me-
mang sulit dibantah. Kemauannya harus selalu di-
turuti.
Hesti dan Lestari yang sedang mengintai di balik
pintu tertawa cekikikan sambil menutup mulut me-
reka dengan tangan.
"Kok belum jadi pengantin sudah main suap-
suapan ya?" bisik Hesti geli.
"Hus, anak kecil! Tahu apa sih kamu?!" Lestari
memukul bahu adiknya, menyuruhnya diam. Takut
ketahuan mengintip.
"Dila diterima ya, Mas?" Rianti merengek manja.
"Kasihan dia. Anaknya tidak bodoh kok. Rajin.
Baik pula. Cuma penampilannya kurang."
"Mengapa tidak ditukar saja? Dia bekerja pada
Pak Ariffin. Kamu jadi sekretaris saya!"
"Lho, nanti Mas bilang cepat bosan! Di kantor
di rumah sama saja yang dilihat!"
"Pantas kamu kirim temanmu untuk mematai-
matai saya di kantor." Pak Ario menggigit lagi kue
203 susnya yang ketiga. "Yang istimewa pula supaya ti-
dak perlu dicurigai menggoda suamimu."
"Ah, Mas ini!" Rianti memukul bahu Pak Ario
yang sudah duduk di kursi kembali. "Serius nih,
Mas! Beri Dila pekerjaan ya? Apa saja. Asal kerja."
"Suruh saja menggantikanmu. Kamu tidak usah
kerja lagi."
"Pak Ariffin bisa ngamuk, Mas! Pekerjaan sedang
banyak-banyaknya!"
"Kalau perlu dia bisa menarik Agatha kembali.
Tahap ketiga sudah hampir selesai kok."
"Kan masih ada tahap keempat, Mas. Masih
lima puluh rumah lagi yang harus diselesaikan."
"Masih lama. Teken kontrak saja belum.
Tanahnya belum dibebaskan. Masih ada yang harus
diselesaikan dengan Pemda."
"Tapi akad kredit sudah ditandatangani, Mas.
Pak Ariffin bisa mengambil tanah yang di seberang
kali itu dulu. Lagi pula saya masih ingin kerja,
Mas. Meniti karier. Masa sekolah bertahun-tahun
hanya boleh dicicipi hasilnya dalam sepuluh bulan?"
dengan manja Rianti merangkul leher calon suami-
nya dari belakang. "Boleh ya, Mas? Kita kan tidak
langsung punya anak. Rianti janji begitu hamil,
Rianti akan langsung berhenti kerja!"
Tiba-tiba saja Rianti merasakan tubuh calon
suaminya mengejang dalam pelukannya.
"Mengapa, Mas?" cetus Rianti heran. "Mas Ario
tidak setuju?"
204 "Nantilah kita pikirkan lagi." Dengan dingin Pak
Ario melepaskan rangkulan calon istrinya di leher-
nya. Dia langsung bangkit. Mengambil rokoknya.
Dan menyulutnya. Padahal kue sus keempat baru
saja dipegangnya.
"Kalau Mas tidak setuju Rianti bekerja sesudah
menikah, Rianti akan berhenti," ujar Rianti man-
tap. "Rianti tidak akan bekerja tanpa seizin Mas
Ario."
"Yang penting ambillah cuti dulu." Pak Ario
mengembuskan asap rokoknya tanpa menoleh ke-
pada Rianti. "Saya tidak ingin bulan madu kita
terganggu oleh tugasmu di kantor."
"Tentu saja, Mas." Rianti menghambur ke dalam
pelukan calon suaminya. "Rianti sudah mengajukan
surat cuti kok. Tiga minggu. Cukup?"
Pak Ario menerima tubuh calon istrinya dalam
rangkulannya.
"Nanti kita lihat cukup tidak. Yang penting, saya
tidak ingin kamu mimpi sedang mengetik dalam
pelukan saya!"
"Tentu saja tidak. Mas ini ada-ada saja!"
"Pak Ariffin mengizinkan sekretaris kesayangannya
cuti sampai tiga minggu?" tanya Pak Ario sambil
melepaskan pelukannya. Dia langsung berbalik se-
hingga Rianti tidak dapat melihat air mukanya.
"Mula-mula sih hanya diberi dua minggu.
Maklum Mas, di kantor sedang repot-repotnya."
"Minta berhenti saja kalau tidak diizinkan!"
205 "Jangan begitu, Mas. Sekarang Pak Ariffin sangat
membutuhkan tenaga saya."
"Dia bisa mencari orang lain."
"Pekerjaan bisa terbengkalai bila ditinggalkan be-
gitu saja."
"Mengapa kamu begitu memerhatikan dia?"
"Saya tak dapat melupakan budinya, Mas. Pada
saat tidak ada orang yang mau menolong saya,
hanya Pak Ariffin yang mengulurkan tangan untuk
membantu saya."
"Saya juga bisa menolongmu kalau kamu
minta!"
"Bagaimana mungkin saya berani memintanya?
Saat itu, Mas tidak pernah mengacuhkan saya!"
"Saya sudah tertarik padamu sejak pertama kali
melihatmu. Saya hanya tidak ingin terpikat. Saya
belum siap untuk berumah tangga lagi. Pak Ariffin
selalu membuat saya cemburu."
Rianti tersenyum. Dirangkulnya pinggang calon
suaminya dari belakang. "Sekarang tidak lagi kan,
Mas? Sebentar lagi, saya akan menjadi milikmu."
* * *
"Huh, sekarang untuk teman baiknya," komentar
Bu Danu setelah mencuri dengar pembicaraan Pak
Ario melalui telepon kepada Bagian Personalia
Buana Kencana. "Nanti tinggal bapaknya! Calon
mertuamu itu juga tidak ada kerjaan, kan? Anaknya
206 banyak. Pasti dia juga bakal minta pekerjaan di
kantormu!"
"Biar saja," sahut Pak Ario acuh tak acuh. "Dia
tidak minta jadi direktur kok."
"Setiap bulan kita pasti terpaksa menyumbang
uang untuk mereka."
"Itu memang kewajiban saya sebagai menantu."
"Jumlahnya pasti besar. Cuma ibu mereka yang
bekerja, kan? Padahal keempat adik calon istrimu
masih sekolah. Hm, lihat saja nanti! Pasti banyak
permintaan. Uang bangku. Uang sekolah. Uang
gedung"
"Rianti masih ingin bekerja. Dia tidak ingin ter-
gantung pada saya."
"Pasti ada alasan lain. Dia ingin bebas. Mana
ada perempuan zaman sekarang yang mau ter-
kurung di rumah tiap hari? Bosan kan mengurus
rumah tangga terus!"
"Ibu," Pak Ario menatap ibunya dengan serius,
"Ibu tahu saya tak dapat berpisah dengan Ibu. Tapi
jangan memakai alasan itu untuk meneror per-
kawinan saya. Saya tidak mau bercerai lagi. Apalagi
gara-gara Ibu."
"Ibu cuma tidak ingin kamu jadi sapi perahan!
Tidak rela!"
"Ibu cuma tidak ingin saya menikah."
"Siapa bilang? Ibu rela kamu menikah, tapi
jangan dengan perempuan pemeras begitu! Keluarga-
nya akan jadi benalu bagimu!"
207 "Buang jauh-jauh pikiran itu dari kepala Ibu!
Cuma akan menyakiti diri sendiri saja. Dan mem-
buat posisi saya jadi sulit!"
208 Seusai upacara perkawinan, kedua mempelai lang-
sung menuju Bandar Udara Soekarno-Hatta. Pak
Ario menginginkan bulan madu mereka di Kairo.
Di tempat yang penuh kenangan untuk mereka
berdua.
Perjalanan dalam pesawat yang dulu terasa men-
jengkelkan bagi Rianti, kini manis penuh madu.
Dia masih duduk di samping jendela seperti dulu.
Pak Ario duduk di sampingnya. Tetapi sekarang,
tidak ada orang ketiga. Dan Pak Ario tidak tidur
lagi. Tungkainya yang panjang masih tetap meng-
halangi jalan. Namun kini Rianti tidak perlu lagi
melompatinya bila ingin keluar.
Dia tidak perlu bingung bagaimana harus mem-
bangunkan si tunggul bila ingin ke belakang.
Suaminya malah ikut mengantarkan ke sana, se-
olah-olah dia kuatir pesawat mereka akan terbelah
BAB VII
209 dua sebelum Rianti kembali dan mereka terpaksa
berpisah.
Mereka bercengkerama terus sepanjang perjalanan
sehingga perjalanan yang meletihkan itu menjadi
tak terasa. Pak Ario begitu lengket pada istrinya
sampai dia terpaksa minta tukar tempat. Pinggang-
nya sakit akibat duduk miring terus ke arah Rian-
ti. Ketika Rianti tidak dapat menyantap makanan
yang terlalu berlemak untuknya, Pak Ario menyuap-
kan bagiannya ke mulut Rianti. Terpaksa Rianti
membuka mulutnya. Hanya supaya tidak menge-
cewakan suaminya.
"Kamu harus makan," kata Pak Ario seperti ke-
pada anak berumur lima tahun. Dipecahkannya
sebuah roti. Disuapkannya ke mulut istrinya. "Masa
baru sampai sudah sakit? Bukan bulan madu lagi
namanya kalau sakit. Ini makan rotinya sedikit.
Supaya tidak terlalu berminyak."
"Saya tidak bisa makan lagi. Sudah muak," keluh
Rianti.
"Paksakan sedikit." Pak Ario mengerat daging
dari piringnya. Dengan garpu dibawanya potongan
daging itu ke mulut istrinya. "Itu tandanya perut-
mu sudah penuh angin. Kalau tidak diisi makanan,
kamu bisa sakit."
Terpaksa Rianti membuka mulutnya pula. Dan
aneh. Sampai habis seperempat porsi, dia tidak
muntah. Padahal kalau makan sendiri, pasti dia su-
210 dah berhenti sejak tadi. Rupanya perutnya pun
mengerti, apa artinya dimanjakan oleh suami.
Pak Ario dengan telaten menyuapi istrinya.
Mulai dari roti, daging, kentang, sampai puding
dan buah. Rasanya seumur hidup, belum pernah
Rianti makan sebanyak itu.
Tengah malam, ketika lampu-lampu dalam pe-
sawat telah dipadamkan dan sebagian penumpang
sedang asyik menonton film sementara yang lain
sudah tidur nyenyak, Pak Ario masih sibuk mencari
pramugari minta secangkir teh panas untuk Rianti.
"Supaya perutmu hangat," katanya sambil me-
rangkul leher istrinya dan membantunya minum,
seolah-olah Rianti baru saja sembuh dari sakit tifus
dan tidak boleh banyak bergerak.
Walaupun tidak ingin minum, Rianti terpaksa


Di Tepi Jeram Karya Mira W di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

meneguknya juga. Rupanya sesudah menikah, perut
pun bukan miliknya lagi. Sebagian sudah menjadi
milik suami.
"Enak?" bisik Pak Ario, begitu dekat di telinga
Rianti, sampai seluruh rambut di tubuhnya me-
remang. Darahnya mendesir lebih cepat. Dan dia
terpaksa buru-buru mengangguk. Takut tersedak
kalau menjawab.
"Mau lagi?"
Rianti cuma menggeleng seperti tiba-tiba saja dia
kena penyakit bisu. Pak Ario meletakkan cangkir
itu di meja kecil di depannya dengan sebelah ta-
ngan. Tangannya yang lain masih merangkul leher
211 Rianti. Kemudian dia menunduk sedikit. Mengecup
bibir istrinya sambil memadamkan lampu kecil di
atas kepala mereka.
* * *
Saat itu, hujan tidak turun lagi di Kairo. Seluruh
kota panas terik dan berdebu. Lalu lintas masih
tetap macet dan semrawut. Manusia-manusia ber-
jubah tradisonal bercampur baur dengan saudara-
saudaranya yang berpakaian modern, berdesak-desak-
kan di terminal bus. Semuanya masih tetap seperti
dulu. Kecuali Rianti dan Pak Ario.
Bagi mereka, Kairo hari ini tersenyum manis,
menjanjikan bulan madu yang indah. Pak Ario me-
milih hotel yang sama. Minta tingkat yang sama
pula. Sayang, tidak dapat memperoleh kamar yang
sama. Kamar mereka mempunyai balkon yang
menghadap ke Sungai Nil.
Tetapi kini, Rianti tidak tegak seorang diri lagi
di antara langit dan bumi, di ketinggian kamarnya
yang berada di tingkat dua puluh satu. Dia berada
dalam pelukan suaminya, menikmati malam-malam
yang penuh bintang.
Suasana begitu damai. Sepi. Cerah. Keramaian
lalu lintas nun jauh di bawah sana tidak terdengar
lagi walaupun mobil masih terlihat antre seperti
ular. Kelap-kelip lampu dari restoran terapung di
punggung Sungai Nil ibarat lirikan mata Cleopatra
212 yang iri melihat kemesraan dua makhluk yang te-
ngah memadu cinta di atas sana.
Rianti sudah memasrahkan dirinya ketika suami-
nya yang masih merangkulnya dari belakang mulai
meraba-raba daerah-daerah yang paling sensitif di
tubuhnya. Dibiarkannya bibir dan tangan suaminya
membangkitkan respons dari ujung-ujung sarafnya
yang mulai berpijar menantang rangsangan yang
lebih hebat lagi.
Ketika kakinya mulai terasa lemas menyangga
tubuh yang telah panas membara, suaminya men-
dukungnya ke dalam kamar. Membaringkannya di
tempat tidur. Dan membimbingnya ke puncak ke-
nikmatan yang belum pernah dicicipinya selama
ini. Erang tertahan yang lepas dari celah-celah bibir
Rianti ketika puncak itu telah sama-sama mereka
raih berakhir dalam desah kelegaan dua bibir yang
berpaut dan tangan-tangan terentang saling remas.
Ibarat cinta mereka yang merentangkan sayap ter-
bang lepas bebas ke angkasa sementara hati mereka
saling berpaut di dasar samudra yang paling da-
lam. Di luar, biduk-biduk kecil masih melayari Sungai
Nil. Membawa semua hambatan hanyut ke laut le-
pas. Tetapi masih adakah kiambang bertaut me-
nanti di Jakarta?
* * *
213 Sekarang Pak Ario tidak usah malu-malu lagi kalau
hendak mengabadikan istrinya di depan sphinx atau
piramida. Dia dapat memerintahkan Rianti berdiri
di mana saja supaya mendapat objek foto yang se-
baik-baiknya.
Setelah bosan mengurung diri di kamar selama
dua hari dua malam sehingga sarapan pun harus
diantar ke kamar, mereka bernostalgia ke Luxor.
Kali ini mereka bermalam di sana. Dan mengun-
jungi Kuil Karnak tatkala subuh baru saja merang-
kul bumi.
"Di sinilah pertama kali saya merangkulmu,"
bisik Pak Ario. Saat itu mereka sedang duduk ber-
sandar ke tiang-tiang raksasa yang menciptakan
bayang-bayang yang memesona di ambang fajar.
"Ketika tubuhmu terkulai lemah dalam pelukan
saya, matamu terpejam pasrah seperti Putri Aurora
dalam dongeng Sleeping Beauty, saya ingin sekali
mengecup bibirmu. Sayang, di sana terlalu banyak
orang. Dan godfather-mu yang tidak tahu diri itu
tidak pernah mau jauh dari sisimu. Dia selalu mem-
buat saya cemburu. Dari semula saya benci melihat
perhatiannya yang berlebihan padamu."
"Ah, Pak Ariffin hanya ingin menolong. Jangan
merusak suasana, Mas! Nanti Mas Ario jadi uring-
uringan lagi!"
Pak Ario meraih istrinya ke dalam pelukannya
ketika dilihatnya Rianti bergetar sedikit.
"Dingin?"
214 Rianti cuma mengangguk sambil mengerutkan
tubuhnya dalam dekapan suaminya. Ada perasaan
hangat dan aman yang sulit dilukiskan setiap kali
dia berada dalam pelukan Mas Ario. Dan perasaan
takut kehilangan apa yang telah dimilikinya itu se-
lalu timbul setiap kali dia merasakan kehangatan
cinta suaminya.
"Kok malah melamun?" bisik Pak Ario di telinga
istrinya. Dikecupnya bibir Rianti dengan mesra.
"Enak?" bisik Pak Ario lembut. Digelitiknya bi-
bir istrinya dengan ujung bibirnya.
"Mmm," Rianti menggumam sambil memejam-
kan matanya.
"Ngng nanti ketagihan."
"Biar. Dari suami sendiri, kan?"
"Nanti cepat bosan."
"Bisa bosan?" Rianti membuka matanya dengan
terkejut. Ditatapnya suaminya dengan serius.
Tetapi Pak Ario cuma tersenyum. Membuat Rian-
ti tambah penasaran.
"Betul bisa bosan, Mas?"
"Kalau keseringan."
"Tidak, selama kita saling mencintai, kan?"
"Lama-lama cinta kan tidak menyengat lagi. Se-
muanya akan menjadi rutin. Itu kan hukum alam
yang tak dapat dihindari. Mana ada makanan yang
panas terus?"
"Mas Ario pembosan?"
"Usahakanlah supaya Mas-mu ini tidak sampai
bosan!"
215 "Ah!" Rianti pura-pura merajuk. Didorongnya
dada suaminya. Dan dia pura-pura hendak melepas-
kan diri dari dekapan laki-laki itu. Tetapi Pak Ario
malah merangkulnya lebih erat lagi.
Memang kelihatannya dia cuma main-main. Te-
tapi bagaimanapun Rianti mencoba menenangkan
hatinya, kerisauan ini selalu kembali lagi meng-
goda.
Sebelum ini, dia belum pernah bercinta. Mas
Ario adalah cintanya yang pertama. Mudah-mudah-
an yang terakhir pula. Dia belum pernah mencicipi
kenikmatan dari laki-laki lain. Yang diperolehnya
dari Mas Ario adalah yang terbaik dan satu-satunya
pula.
Tetapi suaminya sudah duda. Dia pernah men-
cicipi kenikmatan dari perempuan lain. Pernah
merasakan cinta seorang istri. Dia dapat memban-
dingkan apa yang diperolehnya dari Rianti. Dia
dapat merasa kurang. Dapat merasa bosan. Dan
mencari yang lain!
* * *
Giza merupakan bekas pemakaman kuno di luar
kota Kairo. Pada dataran seluas kurang-lebih dua
ribu meter itu terdapat sphinx dan tiga piramida
raksasa. Di sana mereka mencoba naik unta meski-
pun mula-mula Rianti menolak.
Dia berteriak-teriak ketakutan ketika unta yang
216 ditungganginya bangkit berdiri setelah dia naik ke
atas punggungnya. Terpaksa Pak Ario ikut naik ke
belakang. Dan memeluk istrinya.
"Pegang punuknya itu erat-erat!" perintah Pak
Ario kepada istrinya, sesaat sebelum unta itu ber-
gerak bangun. "Jangan membungkuk. Miringkan
tubuhmu ke belakang. Tidak usah takut. Pasti tidak
jatuh. Kan ada saya."
Tetapi ketika unta yang tinggi besar itu bergerak
bangkit, tak urung Rianti mendesah ketakutan
juga. Tubuhnya terasa terdorong ke depan. Hampir
tersungkur kalau dia tidak buru-buru menegakkan-
nya kembali. Dipegangnya erat-erat punuk unta itu
dengan kedua belah tangannya.
Pak Ario tertawa geli melihat tingkah istrinya.
Tetapi Rianti tidak peduli. Dia memang takut kok!
Sesudah unta itu berjalan, baru Rianti dapat me-
narik napas lega. Binatang itu berjalan tenang. Se-
tindak demi setindak. Nyaman rasanya terangguk-
angguk di punggung yang kokoh itu. Menikmati
piramida raksasa yang menjulang di sebelah kanan-
nya, dan bus-bus turis yang meluncur di sebelah
kirinya.
"Lambaikan sebelah tanganmu, Rianti!" pinta
Pak Ario tiba-tiba. "Kameraku sudah kuberikan ke-
pada tukang unta itu. Sekarang dia akan memotret
kita."
"Tidak ah, takut jatuh!" sahut Rianti ngeri. Se-
baliknya dari melepaskan tangannya untuk me-
217 lambai, dia malah memegangi punuk unta itu lebih
erat lagi. Sampai sakit rasanya tangannya. Apalagi
saat itu sang unta sedang meniti jalan yang agak
menurun. Bagaimanapun suaminya memaksanya,
Rianti tetap tak mau melepaskan pegangannya.
"Rianti, Rianti!" keluh Pak Ario kecewa. "Kapan
kamu baru mau memercayai suamimu?"
* * *
Namun beberapa bulan setelah masa bulan madu
mereka lewat, ternyata ketidakpercayaan Rianti ter-
hadap suaminya memang beralasan. Sudah dua kali
Rianti menelepon suaminya di kantor. Tetapi laki-
laki itu tidak berada di tempat.
"Menjemput temannya dari luar negeri," jawab
Dila di ujung telepon. "Ke airport."
"Tolong sampaikan kalau dia kembali, Dila,"
pinta Rianti sungguh-sungguh. "Ibu jatuh. Sudah
dirontgen. Kata dokter, tulangnya patah. Harus di-
gips."
Rianti memang sedang kebingungan. Pembantu-
nya menelepon dari rumah tadi. Ibu jatuh ter-
peleset di kamar mandi. Kakinya bengkak. Tidak
bisa jalan. Terpaksa Rianti meninggalkan tugasnya.
Dan terburu-buru pulang dari kantor.
Ibu sudah berbaring di tempat tidur. Si Romah
sedang mengurut-urut kaki Ibu dengan beras ken-
cur yang dicampur minyak kayu putih.
218 "Ibu!" sergah Rianti iba. "Aduh! Kenapa bisa
jatuh?"
"Orang jatuh kok malah ditanya kenapa jatuh,"
gerutu Ibu kesal.
Yang sakit rupanya hanya kakinya. Mulutnya
tidak. Ibu masih dapat mengomel sepintar biasa. Si
Romah sudah bising mendengar omelan-omelannya.
Apa pun yang dikerjakannya pasti salah. Tapi Ibu
masih menyuruhnya juga mengurut-urut mata kaki-
nya yang bengkak.
"Jangan diurut, Bu."
Rianti pura-pura tidak mendengar gerutuan ibu
mertuanya. Enam bulan hidup bersama perempuan
ini, dia telah terlatih mengganti gelombang bila da-
tang angin kencang. Sekarang dia bukan saja sudah
terbiasa untuk tidak melayani gerutuan Ibu. Dia
pun sudah mahir menulikan telinga seolah-olah ti-
dak mendengar apa-apa. Semua yang tidak enak
didengar lewat begitu saja. masuk telinga kiri keluar
telinga kanan. Saraf pendengarannya telah terlatih
untuk menyaring bunyi yang merdu saja untuk di-
salurkan ke otak.
"Biar bengkaknya hilang. Ini kan pengobatan
tradisional."
"Tapi bengkaknya besar sekali, Bu. Jangan-jangan
ada yang patah. Kalau diurut bisa makin beng-
kak."
"Ah, sok tahu kamu. Seperti dokter saja."
"Lebih baik kita ke rumah sakit, Bu. Biar diperik-
219 sa dokter. Difoto rontgen seperti adik saya dulu.
Waktu jatuh dari sepeda."


Di Tepi Jeram Karya Mira W di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ibu cuma terpeleset. Bukan jatuh. Ayo, Romah,
urut lagi. Tenagamu ke mana saja? Kok loyo
amat!"
"Jangan, Bu. Jangan diurut lagi, Romah!" Rianti
menarik tangan pembantu yang sudah bersiap-siap
mengerahkan segenap tenaganya itu. "Lebih baik
kita ke dokter dulu. Kamu cari taksi, Romah! Kita
ke rumah sakit."
Bu Danu sendiri sampai heran. Tidak biasanya
menantunya yang penurut ini membantah. Seka-
rang dia malah seperti mengatur ibu mertuanya!
Berani menyuruh pembantu di depannya! Hah.
Tetapi kemarahan Bu Danu surut dengan sendiri-
nya ketika melihat perhatian menantunya. Entah
dia pura-pura atau tidak, dia begitu telaten mela-
yaninya. Menggantikan bajunya. Mengambilkan
syal. Bahkan memapahnya bersama si Romah ke
dalam taksi.
Bu Danu terpaksa melompat-lompat dengan satu
kaki karena kaki kirinya sama sekali tidak bisa di-
gerakkan. Sakitnya bukan main.
* * *
"Ujung tulang panjang di mata kaki yang sebelah
kiri ini patah, Bu," kata Dokter Gunawan sambil
mengawasi foto yang terpampang di hadapannya.
220 "Jadi benar patah, Dok?" sergah Bu Danu kaget.
"Tapi saya cuma terpeleset."
"Tulang pada orang tua lebih rapuh, Bu. Lebih
mudah patah."
"Jadi bagaimana, Dokter?" sela Rianti cemas.
"Harus digips."
"Nanti tulang yang patah itu bisa menyambung
kembali, Dokter?"
"Mudah-mudahan begitu. Karena Ibu sudah ber-
umur, mungkin proses penyambungan kembali tu-
lang tersebut tidak secepat anak-anak muda. Tapi
kita lihat dulu saja dalam sebulan ini. Sekarang Ibu
pergi ke kamar sebelah untuk digips. Ini resep obat-
nya. Kembali kemari bulan depan."
Sementara Ibu digips, Rianti kembali menelepon
suaminya. Tetapi kata Dila, dia belum datang
juga.
Mungkin ada relasi penting yang harus dilayani,
pikir Rianti menghibur diri. Mas Ario memang si-
buk. Ada saja yang harus dikerjakannya.
Terpaksa Rianti mengurus semua keperluan ibu
mertuanya seorang diri. Setelah kakinya digips, Bu
Danu tidak dapat dipapah lagi seperti tadi. Dia
harus didorong dengan kursi roda. Lalu diangkat
ke dalam taksi.
Dengan bantuan sopir taksi itu pula, Ibu berhasil
dipindahkan ke kursi makan di rumah mereka. Dan
didorong ke kamar. Memang bukan pekerjaan yang
mudah. Apalagi mulut Ibu menggerutu terus.
221 "Ada-ada saja," keluhnya penasaran. "Dasar se-
dang sial! Cuma terpeleset saja kok bisa patah tu-
lang! Hhh!"
"Sabarlah, Bu," hibur Rianti sambil menyuguhkan
secangkir teh panas. "Anggap saja cobaan Tuhan."
"Orang kecelakaan kok Tuhan yang disalahkan!"
Tetapi meskipun mulutnya mengomel terus, hati
Bu Danu sudah mulai terjerat oleh sikap dan per-
hatian menantunya. Rianti memang menarik. Sifat
dan penampilannya memaksa orang untuk menyu-
kainya walaupun tidak ingin.
Dalam keadaan tidak berdaya, Bu Danu semakin
tidak dapat menghindari pesona dan daya tarik
yang dipancarkan menantunya. Kalau dulu dia se-
lalu mencari-cari peluang untuk mendiskreditkan
Rianti di depan putranya, kini dia malah merepot-
kan Rianti dengan kemanjaannya.
Sifatnya menjadi persis seperti anak kecil. Rewel-
nya bukan main. Apa-apa mesti Rianti yang me-
ngerjakan untuknya. Kalau menantunya pergi ke
kantor, dia seperti kehilangan kakinya yang sebelah
lagi.
Rianti sendiri heran bagaimana penyakit dapat
membuat seorang tua yang tangguh seperti Bu
Danu kehilangan kepercayaan terhadap dirinya sen-
diri. Dia malah menyuruh Rianti mengambil cuti
supaya dapat melayaninya dengan lebih baik. Pada-
hal Pak Ario sudah mengusulkan untuk mencari
seorang perawat saja.
222 "Kamu terlalu capek," keluh Pak Ario malam itu.
"Ibu kan cerewetnya luar biasa. Tidak sakit saja su-
dah cerewet. Apalagi sakit. Tambah susah diurus."
"Tapi Ibu tidak mau diurus oleh perawat, Mas."
"Mungkin perawatnya juga tidak ada yang ta-
han."
"Biar saya saja yang melayani Ibu. Besok saya
minta cuti dua minggu."
Tetapi sekarang Pak Ariffin-lah yang keberatan.
"Dua minggu?" Dia mengerutkan dahi seperti
orang sakit kepala. "Kamu kan tahu pekerjaan se-
dang begini banyak! Bisa berantakan semua urusan-
ku!"
"Tapi Ibu sedang sakit, Pak. Tidak dapat me-
ninggalkan tempat tidur kalau tidak didorong de-
ngan kursi."
"Pak Ario kan masih sanggup menggaji sepuluh
orang perawat!"
"Tapi Ibu yang tidak mau, Pak!"
"Begini saja." Pak Ariffin menghela napas kesal.
"Tiap hari kamu masuk dua jam. Instruksikan ke-
pada Nur apa yang mesti dikerjakannya hari itu.
Dia tidak punya inisiatif sama sekali. Tinggalkanlah
bayimu di rumah untuk dua jam saja! Masa dia ti-
dak mau?!"
Rianti menjadi serbasalah. Di rumah, suaminya-
lah yang marah-marah mendengar permintaan Pak
Ariffin itu.
"Dia punya dua puluh orang karyawan! Masa
223 tidak ada yang dapat menggantikanmu dua minggu
saja? Keterlaluan! Dia menindasmu."
"Tapi pekerjaan itu tanggung jawab saya, Mas.
Tidak dapat saya tinggalkan begitu saja. Biarlah
saya masuk dua jam tiap hari. Sesudah itu saya
cepat-cepat pulang untuk mengurus Ibu. Pekerjaan
tidak terbengkalai, Ibu pun senang."
"Tapi kamu terlalu capek!?
Rianti memang lelah. Bukan itu saja. Gairahnya
untuk melayani suami pun mau tak mau ber-
kurang. Padahal sebelumnya, dia melayani semua
keperluan suaminya mulai dari meja makan sampai
ke tempat tidur sedemikian rupa sampai Bu Danu
pun tidak mempunyai peluang untuk mencelanya.
Ketika kesibukannya mulai berkurang karena Bu
Danu telah diperbolehkan berjalan dengan tongkat
dua bulan kemudian, Rianti baru menyadari per-
ubahan sikap suaminya. Tetapi ketika itu, dia sudah
terlambat.
* * *
Karin mencium bibir bekas suaminya dengan mes-
ra. Begitu mesranya sampai Pak Ario tak mampu
meninggalkan tempat tidur. Bekas istrinya ini me-
mang pencinta yang ulung. Bercinta dengan dia
selalu membuat Pak Ario ketagihan.
Dia bukan saja memiliki segala teknik yang tak
dimiliki Rianti untuk membangkitkan kejantanan
224 partnernya. Dia pun memiliki sesuatu yang tidak
dipunyai Rianti. Sesosok daging bernyawa seberat
seperempat kwintal. Cerdas. Lucu. Dan darah da-
ging Pak Ario sendiri.
Kini anak itu telah berumur enam tahun. Lebih
tinggi dan lebih besar sedikit dibandingkan anak-
anak Indonesia seumurnya. Lebih pandai bicara
pula. Sayangnya, dia tidak begitu pandai berbahasa
Indonesia.
Dua bulan tinggal di negeri ayahnya, kemajuan
berbahasa Indonesianya memang pesat. Tentu saja
bahasa Indonesia yang patah-patah. Kadang-kadang
tata bahasanya jungkir balik pula.
Dididik sebagai anak Jerman, ibunya lebih ber-
sikap terbuka terhadapnya. Awan tahu orangtuanya
telah bercerai. Dan dia menanggapinya sebagai hal
yang lumrah. Tidak perlu malu. Dan tidak pula
merasa tertekan.
Di kelasnya saja, ada lima orang temannya yang
tidak mempunyai ayah. Beberapa orang lagi tinggal
bersama laki-laki yang bukan ayahnya. Entah be-
rapa orang lagi yang tinggal bersama orangtua yang
tidak pernah menikah.
Ketika ibunya mengatakan mereka akan ke Indo-
nesia untuk menemui ayahnya dalam liburan mu-
sim panas ini, Awan sangat gembira. Bukan karena
ingin melihat ayahnya. Tetapi karena dapat melihat
negeri tropis di garis khatulistiwa yang kabarnya
selalu bermandikan cahaya sang surya itu. Dia men-
225 ceritakan rencana liburannya itu kepada teman-
temannya dengan bangga. Dan anak-anak yang tak
dapat membedakan Indonesia dari Fiji itu mem-
bayangkan pantai bermandikan cahaya matahari
dengan nyiur melambai dan gadis-gadis cantik me-
nari hula-hula seperti di Hawaii.
Awan sendiri heran ketika di lapangan terbang
tidak menjumpai seorang pun gadis berpakaian
tradisional yang mengalungkan bunga lei ke leher
tamu-tamu yang baru datang, seperti yang pernah
dilihatnya di salah satu film di televisi.
Laki-laki yang menyambut mereka itu, kata
Mama itulah ayahnya, hanya menyerahkan sebuah
buket bunga segar yang entah apa namanya kepada
Mama. Laki-laki yang mengecup bibir Mama
itu?sebenarnya Mamalah yang mencium bibir-
nya?langsung menjabat tangannya sambil ter-
senyum. Dia mengucapkan salam dalam bahasa
Jerman yang kaku. Tapi suaranya yang besar itu
cerah dan enak didengar. Ramah. Tapi jantan.
Terus terang Awan sendiri tidak menyangka se-
gagah itulah ayahnya. Tubuhnya tinggi besar. Wajah-
nya tampan. Rambutnya hitam kelam. Kumisnya
yang tipis amat memesona. Kulitnya tidak terlalu
putih. Tetapi pada kulit yang cokelat kemerahan
seperti warna tembaga itu, Awan mengimajinasikan-
nya sebagai Samson, seorang pahlawan dalam Kitab
Suci Perjanjian Lama. Diam-diam dia merasa bang-
226 ga memiliki ayah seperti itu. Apalagi melihat mobil-
nya. Di negerinya pun, mobil seperti ini masih cukup
mahal harganya. Dia lebih takjub lagi melihat
begitu banyak mobil bagus lalu-lalang di Jakarta.
Dan sangat terkesan melihat cara mereka menge-
mudikan mobilnya.
Awan baru merasa pengap ketika lalu lintas yang
macet di mana-mana menyekapnya selama hampir
dua jam di dalam mobil. Dia lebih pusing lagi me-
lihat orang-orang yang menyeberang seenaknya di
jalur cepat. Bukan di zebra cross yang telah disedia-
kan. Ada lagi kendaraan kecil beroda tiga yang me-
motong sana menyikat sini seperti mobil-mobilan
dalam arena bermain anak-anak yang dikenalnya.
Bukan itu saja. Ada pula motor yang melenggang
di tengah jalan dan bus yang berhenti seenaknya,
tak cukup ke pinggir untuk dilewati. Wah, ini pasti
lalu lintas paling semrawut yang pernah dilihat-
nya! Awan berteriak gemas setiap kali ayahnya ter-
paksa menginjak rem karena jalanan mereka dise-
robot begitu saja. Hatinya baru terhibur ketika
sampai di sebuah hotel yang terlalu bagus menurut
bayangannya.
Dia tidak menyangka ada hotel sebagus itu di
sini. Kata teman-temannya, di negeri ini orang ma-
sih harus buang air di kebun atau di sungai. Tapi
227 kenyataannya, dia mendapat sebuah kamar yang
memiliki kamar mandi yang lebih bagus dan lebih
bersih daripada di apartemennya.
Kekuatirannya tentang makanan pun ternyata tak
beralasan. Makanan apa pun yang ada di negerinya
dapat diperolehnya juga di sini. Tak kalah lezatnya
pula.
Pada minggu kedua, Awan malah sudah berani
mencicipi makanan lokal. Mula-mula rasanya me-
mang aneh. Tapi lama-lama enak juga. Dia suka
sekali gado-gado dan sate, asal tidak terlalu pedas
bumbunya.
Awal bulan kedua, ayahnya memboyong mereka
ke sebuah rumah yang sangat besar menurut pen-
dapat Awan. Rumah itu luasnya lebih dari lima ratus
meter. Bertingkat pula. Kamarnya banyak. Kebunnya
luas. Dan perkakasnya lebih modern daripada per-


Di Tepi Jeram Karya Mira W di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kakas yang ada di apartemen mereka di M?nchen.
Mama begitu gembira. Entah apa yang dikatakan-
nya pada Papa. Mereka bicara dalam bahasa Indo-
nesia yang terlalu cepat untuk dimengerti.
Tetapi satu hal dapat dimengerti oleh Awan.
Mama ingin berdua saja dengan Papa. Karena itu,
dia pergi bermain-main di kebun.
Di negerinya sendiri, cuma orang yang sangat
kaya yang memiliki rumah dengan kebun seluas
ini. Keluarga menengah yang hanya tinggal berdua
saja seperti mereka paling-paling cuma memiliki
sebuah flat dengan dua buah kamar tidur.
228 Awan menikmati kebunnya yang pertama ini de-
ngan sepuas-puasnya. Apalagi ketika Papa meng-
hadiahkan sepeda baru untuknya. Bukan sepeda
yang hanya memiliki sebatang besi dengan dua
buah roda seperti yang dikenalnya selama ini.
Sepeda buatan Jepang ini mempunyai peralatan
seperti sebuah motor. Lengkap dengan accu-nya
segala. Entah mengapa benda ini masih disebut se-
peda. Dia lebih mirip motor. Hanya bentuknya
kecil.
Awan sangat gembira menikmati libur musim
panasnya di negeri ini. Papa sangat ramah. Sangat
baik. Sangat royal. Apa pun permintaannya pasti
dikabulkan. Yang tidak dimintanya pun diberikan
juga.
Awan tidak merasa heran kalau dalam seminggu
hanya semalam saja Papa tinggal di rumah mereka.
Orangtuanya toh sudah bercerai. Sudah seharusnya
mereka berpisah.
Dia malah lebih heran melihat tiga orang wanita
yang ditaruh Papa di rumah mereka. Yang seorang
bertugas membersihkan rumah. Yang seorang lagi
membuat dan menyiapkan makanan. Yang ketiga
dia sendiri tidak tahu apa tugasnya. Mereka bertiga
bisa disuruh-suruh melakukan apa saja. Wah, Awan
merasa sudah menjadi jutawan di sini. Karena di
negerinya, cuma jutawan yang bisa menggaji tiga
orang pembantu.
Pada minggu yang ketiga, Awan sudah lupa
229 bagaimana harus menyiapkan makanan sendiri se-
perti yang sering dilakukannya di negerinya. Mama
pun tidak pernah lagi mencuci piring. Kerjanya
tiap hari hanya bersolek menunggu Papa datang.
Kalau tidak pergi, Papa dan Mama pasti masuk
ke kamar. Lalu tidak keluar-keluar lagi dari sana.
Seperti hari ini.
Awan sedang asyik memainkan Atari-nya ketika
Papa tergesa-gesa keluar dari kamar Mama. Papa
memang selalu begitu. Dia senantiasa tampak ter-
buru-buru.
Awan sudah pernah dibawa Papa ke proyeknya.
Papa membuat banyak rumah. Pantas saja dia selalu
bergegas-gegas.
Diam-diam Awan sangat mengagumi ayahnya.
Papa sangat pandai. Bukan hanya pandai membuat
rumah saja. Papa pandai dalam segala hal. Terma-
suk bermain. Permainan apa pun dikuasainya.
Sayang sekarang Papa tidak ada waktu untuk me-
nemaninya main Atari. Papa cuma mencium kening-
nya dan menjanjikan mainan baru untuknya. Lalu
dia bergegas ke pintu.
Mama menyusul dari belakang. Mereka bercium-
an lama di pintu seolah-olah sudah enam tahun ti-
dak bersua. Mesra sekali.
Awan heran bagaimana pasangan yang demikian
saling mencintai seperti mereka dapat berpisah. Ke-
lihatannya mereka begitu lengket. Akan ditanyakan-
nya pada Mama nanti waktu makan siang.
230 * * *
Pak Ario mengemudikan mobilnya dengan tergesa-
gesa. Pagi ini dia ada janji dengan pimpinan bank
yang akan memberikan kredit kepada perusahaan-
nya. Jangan sampai dia terlambat sehingga sekre-
tarisnya sempat menelepon ke rumah. Wah, bisa
runyam! Kepada Rianti dia mengatakan pergi ke
Surabaya. Urusan proyek. Apa lagi.
Sudah dua bulan dia hidup bersama Karin lagi.
Meskipun dengan melancarkan perang gerilya. Tapi
entah mengapa, bukannya bosan, semakin hari me-
reka malah semakin rapat. Rasanya susah sekali
berpisah dengan Karin. Seperti tadi pagi.
Pak Ario sudah bangun sejam sebelumnya. Tetapi
Karin masih mencumbunya. Akibatnya dia terlam-
bat ke kantor. Sampai tidak sempat sarapan. Barang-
kali yang mencuri-curi itu memang selalu lebih
enak. Rasanya jadi tidak pernah bosan. Padahal di
rumah menunggu istrinya yang cantik. Tetapi
Rianti memang tidak dapat dibandingkan dengan
Karin.
Karin memang masih tetap sepanas dulu. Me-
nurut pendapat Pak Ario, perempuan itu malah
semakin agresif. Semakin terbuka. Apa saja yang
diinginkannya, dimintanya tanpa malu. Dan diam-
bilnya tanpa ragu.
Karin tahu bekas suaminya sudah beristri lagi.
Tetapi dia tidak peduli. Dia hanya memerlukan be-
231 berapa hari saja untuk meruntuhkan kesetiaan laki-
laki itu terhadap istrinya.
Begitu dia berhasil membawa bekas suaminya ke
kamar tidurnya, benang yang telah putus itu pun
tersambung kembali. Apalagi di sana ada Awan.
Seorang anak laki-laki yang terlalu menarik untuk
disepelekan begitu saja oleh ayahnya.
Hari-hari selanjutnya, Karin tak perlu bersusah
payah lagi. Laki-laki itu sendiri yang mengarang
dusta untuk istrinya. Dari satu dusta dia jatuh ke
dusta yang berikutnya.
Dan hari-hari penuh dusta itu berakhir dalam
suatu tabrakan yang membawa Pak Ario ke rumah
sakit. Ketika dia sedang terburu-buru menuju ke
kantor, dia menabrak sebuah bus yang tidak ber-
henti walaupun lampu lalu lintas telah berubah
menjadi merah.
"Pak Ario ke Surabaya." Rianti menjawab telepon
sekretaris suaminya. "Sejak kemarin siang. Katanya
hari ini kembali."
"Ke Surabaya?" Rianti mendengar nada heran
dalam suara sekretaris itu. "Tapi hari ini Pak Ario
ada janji dengan Pak Siregar, Bu. Pukul sembilan.
Penting sekali. Soal penandatanganan akad kre-
dit."
"Mungkin langsung ke kantor, saya kurang ta-
hu." Rianti mengerutkan dahi dengan perasaan ti-
dak enak. "Coba saja minta pada Pak Siregar untuk
menunggu sebentar."
232 Rianti meletakkan telepon itu dengan dahi masih
berkerut. Dan Ibu muncul terlalu cepat walaupun
dia masih menggunakan tongkat untuk membantu-
nya berjalan.
"Siapa, Rian?"
"Dari kantor, Bu. Cari Mas Ario."
"Pulang saja belum. Masa mereka tidak tahu
Ario ke Surabaya?"
Rianti tidak berkata apa-apa. Sudah dua hari dia
merasa tidak enak badan. Karena itu hari ini dia
tidak masuk kerja. Tetapi sekarang yang tidak enak
bukan hanya badannya. Hatinya juga. Sebenarnya
dia menelepon Pak Ariffin hanya untuk minta izin
satu hari saja. Tetapi laki-laki itu malah menanya-
kan suaminya.
"Ke Surabaya," kata Rianti. Tanpa prasangka apa-
apa. "Sejak kemarin."
"Dia sering ke Surabaya?" Suara Pak Ariffin demi-
kian tidak enak didengar. Menambah kerisauan hati
Rianti.
"Hampir tiap minggu," sahut Rianti polos. Ma-
sih tetap tanpa curiga sedikit pun.
"Dia punya proyek apa di sana?"
Sekarang Rianti terdiam. Tertegun. Baru sekarang
terpikir olehnya. Tahap ketiga telah selesai. Tahap
keempat masih menunggu pemasaran tahap-tahap
sebelumnya yang agak tersendat. Jadi untuk apa dia
ke Surabaya?
233 * * *
Rianti masih terbungkuk-bungkuk di kamar mandi
ketika Ibu memergokinya sedang muntah-muntah
di sana.
"Kamu sakit," kata Bu Danu setelah menyuruh
si Romah membuatkan secangkir teh panas untuk
Rianti.
"Ah, paling-paling cuma masuk angin, Bu," sa-
hut Rianti sambil menggosok dadanya dengan mi-
nyak angin.
"Jangan-jangan kamu hamil!"
Hamil. Melintas kata itu di kepala Rianti. Me-
nyentakkan kesadarannya. Benarkah dia hamil? Haid-
nya memang sudah terlambat dua minggu. Tapi se-
jak dulu, haidnya memang sering terlambat
"Kantor sudah menelepon lagi," kata Bu Danu
sambil duduk di tepi pembaringan. "Katanya Ario
belum datang juga."
"Mungkin pesawatnya terlambat, Bu."
"Apa ada pesawat dari Surabaya pagi-pagi be-
gini?"
Telepon sudah berdering sebelum Rianti sempat
menjawab.
"Dari rumah sakit, Bu," lapor Romah dari am-
bang pintu. "Tuan kecelakaan!"
* * *
234 Luka Pak Ario memang tidak parah, walaupun
mobilnya rusak cukup hebat. Yang parah justru
luka di hati Rianti. Sekarang dia tahu, suaminya
berdusta.
Mas Ario tidak ke Surabaya. Dan kalau laki-laki
yang telah beristri mulai berdusta, hanya ada satu
jawabannya. Ada perempuan lain yang disembunyi-
kannya.
"Sebenarnya sudah lama ingin kukatakan pada-
mu," keluh Dila penuh penyesalan. "Tapi Pak Ario
sangat baik padaku. Aku tidak tega mengkhianati-
nya."
"Siapa perempuan itu?" tanya Rianti pedih.
"Temannya dari Jerman. Hans pernah melihat
Pak Ario membawa anak temannya itu ke proyek.
Rum pernah disuruh Pak Ario membayar tagihan
listrik rumahnya yang di Cinere."
Jadi suaminya sudah punya rumah lagi di sana!
Dia sudah punya simpanan, bukan sekadar kekasih!
Sudah sejauh itukah hubungan mereka?
Hari itu Rianti pulang sambil menangis. Ibu me-
ngira dia menangis karena kecelakaan yang me-
nimpa suaminya.
"Parahkah lukanya?" desak Bu Danu cemas.
"Tidak begitu parah, Bu. Kata dokter, besok juga
sudah boleh pulang."
"Kalau begitu, jangan menangis! Ibu sampai ka-
get"
"Saya sedih, Bu" Rianti tidak dapat menahan
air matanya lagi.
235 "Namanya juga kecelakaan. Kita berdoa saja su-
paya suamimu lekas sembuh. Sudahlah."
Seperti seorang anak kecil yang minta pertolong-
an ibunya, Rianti menghambur ke dalam pelukan
mertuanya. Dan aneh. Bu Danu tidak menolaknya.
Dia malah membalas rangkulan Rianti.
Itulah pertama kali mereka saling berpelukan.
Dan Bu Danu belum pernah merasa hatinya se-
dekat ini dengan menantunya. Tembok penghalang
yang selama ini membentenginya telah runtuh sama
sekali.
Bu Danu tidak perlu lagi berpura-pura tidak me-
nyukai Rianti. Dan dia tidak perlu lagi bersaing
dengan perempuan ini untuk memiliki kasih sayang
putranya.
Beberapa bulan tinggal bersama, Bu Danu akhir-
nya menyadari Rianti seorang wanita yang benar-
benar berbudi. Dia membalas perlakuan mertuanya
yang kurang ramah itu dengan perawatan yang te-
laten selama dia sakit.
Rianti juga tidak pernah berusaha memonopoli
suaminya. Ternyata mereka dapat hidup bertiga tan-
pa mengurangi kasih sayang yang telah ada di an-
tara Bu Danu dan anaknya.
Ario benar. Cuma seorang anak yang dapat me-
nyelip ke tengah-tengah mereka. Dan karena Rianti
polos dan murni seperti anak-anak, dia mampu me-
lakukan itu.
Bu Danu hanya belum tahu, tangis Rianti bukan
cuma karena suaminya masuk rumah sakit. Tetapi
236

Di Tepi Jeram Karya Mira W di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

karena ada seorang wanita lain yang telah masuk ke
dalam hati suaminya.
* * *
Rianti tidak menanyakannya sama sekali. Ditunggu-
nya sampai suaminya sendiri yang berterus terang.
Sikapnya memang menjadi lebih dingin. Tetapi pe-
layanannya tidak berkurang.
Rianti menjenguk suaminya di rumah sakit, me-
nanyakan kesehatannya, membawakan buah-buahan,
bahkan mengupaskannya dan menyuapkannya juga.
Ketika suaminya sudah diperbolehkan pulang,
Rianti pula yang menjemputnya. Di rumah pun
dia merawat suaminya dengan baik. Sedikit pun
Rianti tidak menyinggung-nyinggung dusta suami-
nya. Apalagi menanyakan tentang wanita itu.
Bu Danu yang berhidung tajam pun sampai ti-
dak mencium ada yang tidak beres di antara me-
reka. Pak Ario memang agak berubah. Lebih pen-
diam. Lebih tertutup. Seperti memendam sesuatu.
Tetapi Bu Danu mengira hal itu karena kecelaka-
an yang menimpanya. Rianti sebaliknya. Di depan
Bu Danu, dia bersikap sangat wajar, seolah-olah ti-
dak ada apa-apa.
Akhirnya Pak Ario-lah yang tidak tahan. Dia
tahu Rianti sudah mencium perbuatan serongnya.
Tetapi mengapa dia tidak menegur, tidak menying-
gung-nyinggung sama sekali soal itu?
237 Pak Ario merasa berdosa kepada istrinya. Rianti
begitu sabar. Begitu telaten. Begitu baik hati. Be-
gitu setia. Mengapa dia tega mengkhianatinya?
Lebih baik rasanya bagi Pak Ario kalau Rianti
menegurnya sambil marah-marah daripada men-
diamkannya seperti ini. Dia merasa tambah tersiksa.
Tambah merasa berdosa.
"Saya harus mengakui sesuatu padamu, Rianti,"
katanya ketika Rianti memadamkan lampu dan
naik ke tempat tidur. Pak Ario sudah lama ber-
baring di sana. Rianti malah mengira dia sudah ti-
dur. "Tidak perlu, Mas," sahut Rianti lirih. "Saya su-
dah tahu. Dan saya tidak mau mendengarnya
lagi."
"Kamu tahu siapa perempuan itu?"
"Perlukah saya tahu?"
"Kamu tidak peduli siapa dia?"
"Adakah bedanya untuk saya?"
"Tidak ada bedanya kalau kamu tahu dia bekas
istriku sendiri?"
Bayang-bayang belati yang telah lama bermain di
depan mata Rianti kini menikam dalam ke jantung-
nya. Dia merasa pedih. Sakit. Sakit sekali. Dia
ingin menjerit. Ingin berteriak. Ingin menumpahkan
perasaan yang telah lama menyesakkan dadanya.
Tetapi dia tidak dapat.
Di kamar sebelah ada Ibu. Rianti tidak ingin Ibu
mengetahui persoalan mereka. Dia tidak rela kalau
238 Ibu tahu seperti apa sebenarnya putranya. Akan
runtuhkah kebanggaan yang telah dibangunnya se-
lama empat puluh tahun?
Sambil mengatupkan rahangnya erat-erat, Rianti
memalingkan wajahnya ke dinding. Matanya terasa
panas. Tetapi ditahannya air yang hampir mengalir
bergulir di sana. Dia tidak ingin menangis di depan
suaminya.
Tangan Mas Ario terasa hangat melingkari bahu-
nya. Namun tak ada lagi gairah yang meletup se-
perti dulu setiap kali suaminya memeluk dirinya.
Kini yang ada cuma perasaan muak. Dengan ta-
ngan itu pulalah Mas Ario memeluk perempuan
itu. Perempuan yang ternyata masih bertakhta de-
ngan megah di hati suaminya! Ah.
Mas Ario benar. Ada bedanya bila kekasihnya itu
bekas istrinya sendiri. Cintanya yang pertama. Ibu
anaknya. Dan perbedaan itu adalah perbedaan yang
amat buruk!
Rianti tidak menepiskan rangkulan suaminya.
Tidak pula membalasnya. Dia membeku dalam ke-
pahitannya sendiri.
"Maafkan saya, Rianti," bisik Pak Ario, lebih ter-
siksa lagi melihat sikap istrinya. "Saya menyakiti
hatimu."
"Saya hanya tidak menduga secepat ini Mas me-
rasa bosan pada saya." Suara Rianti getir dan ba-
sah. "Ini bukan karena kebosanan, Rianti." Pak Ario
239 melepaskan rangkulannya. Dia berbaring telentang
menatap langit-langit kamarnya. "Ini soal cinta.
Ternyata masih ada cinta di hati saya yang tersisa
untuk Karin. Saya pun tidak dapat melenyapkan
Awan dari hati saya. Dia darah daging saya sendiri.
Masa depan saya. Sekarang dia sudah besar. Dia
tahu saya ayahnya. Dia membangkitkan naluri saya
sebagai seorang ayah! Dan saya melupakanmu"
"Sekarang kita sama-sama belum dapat berpikir,
Mas." Rianti menggigit bibirnya menahan tangis.
"Hati kita masih dipenuhi emosi. Biarlah waktu
yang akan mengambil alih persoalan ini. Kalau kita
telah dapat berpikir lagi, akan kita cari jalan ke-
luarnya. Yang terbaik untuk kita semua."
"Rianti" bisik Pak Ario terharu. "Kamu bijak-
sana dan berbudi luhur. Saya lebih merasa lagi se-
bagai binatang di hadapanmu!"
240 Pak Ario membanting map surat-surat perjanjian-
nya ke atas meja dengan geram.
"Jadi Pak Ariffin akan memakai subkontraktor
lain untuk tahap keempat?"
"Itu hak saya," sahut Pak Ariffin dingin. Dia du-
duk dengan santai di balik meja tulis dalam kamar
kerjanya. "Saya sudah membuat perjanjian kerja
sama dengan CV Alam Semesta. Untuk tahap ke-
empat, merekalah subkontraktor saya."
"Baik." Pak Ario membereskan kertas-kertasnya
dengan marah. "Jika Pak Ariffin sudah tidak memer-
cayai saya lagi, hanya sampai di sini kerja sama
kita."
"Ketidakpercayaan itu muncul dari tindak tanduk
Pak Ario sendiri. Anda tidak dapat dipercaya!"
Pak Ario menatap Pak Ariffin dengan berang.
Matanya berapi-api. Tinjunya terkepal erat. Rahang-
BAB VIII
241 nya terkatup rapat. Menyimpan kemarahan yang
hampir meledak.
"Jangan campuri urusan pribadi saya!" geramnya
sambil menghantam meja dengan tinjunya.
"Jangan siksa Rianti seperti itu!" Pak Ariffin balas
menggebrak meja sambil berdiri. "Dia perempuan
paling baik yang pernah saya temui!"
Sesaat keduanya saling tatap dengan geram. Se-
saat kedua sahabat itu seperti hendak saling me-
mukul. Lalu Pak Ario-lah yang lebih dulu menjatuh-
kan dirinya ke kursi. Ditopangnya dahinya dengan
tangannya. Ditundukkannya kepalanya dengan mu-
rung.
"Semua salah saya," keluhnya getir. "Rianti yang
menceritakannya pada Anda?"
"Rianti tidak pernah menceritakannya pada siapa
pun." Pak Ariffin pun duduk kembali dengan lesu.
"Tapi saya sudah tahu lama sebelum dia menge-
tahuinya."
"Saya tidak tahu harus berbuat apa. Saya merasa
berdosa pada Rianti."
"Jangan bodoh, Pak Ario. Mudah sekali meme-
cahkan masalah ini. Tinggalkanlah perempuan
itu."
"Tapi dia membawa anak saya!"
"Dia telah membawa pergi anak itu enam tahun
yang lalu!"
"Tapi kini mereka telah kembali. Karin telah
insaf. Dan dia ingin hidup bersama saya lagi."
242 "Sudah terlambat! Anda sudah beristri, Pak
Ario!"
"Saya bingung, Pak Ariffin. Benar-benar bi-
ngung!"
"Saya pikir Rianti pasti tidak mau dimadu. Le-
bih baik Anda menceraikannya. Masih banyak laki-
laki yang dapat memberinya kebahagiaan yang ti-
dak dapat lagi Anda berikan. Dia masih muda.
Cantik. Baik hati pula. Saya percaya dia dapat
memperoleh suami yang jauh lebih baik."
Pak Ario mengangkat wajahnya dengan kesal.
Hatinya panas dibakar cemburu.
"Anda bukan sahabat yang baik, Pak Ariffin! Me-
mancing di air keruh!"
"Anda juga bukan suami yang setia, Pak Ario!
Kelak Anda akan menyesal! Pikirkanlah baik-baik
selama masih ada waktu! Jangan salah pilih!"
* * *
Sejak saat itu Rianti tak pernah lagi mau disentuh
oleh suaminya meskipun Pak Ario masih mengingin-
kannya.
"Maaf, Mas." Rianti memiringkan tubuhnya ke
dinding ketika lengan suaminya mulai merangkul-
nya. "Saya tidak dapat."
Keinginan yang dulu selalu menggelora setiap
kali jari-jemari suaminya menyentuh kulitnya kini
padam tanpa bekas. Rianti malah merasa jijik. De-
243 ngan tangan itu pulalah Mas Ario menggeluti pe-
rempuan itu
Pak Ario menarik tangannya dengan jengkel.
"Lebih baik saya tidur di depan," katanya sambil
menggeliat bangkit mengambil rokoknya.
Sudah seminggu lebih Pak Ario tidak menjumpai
Karin. Gairah kelaki-lakiannya yang menggelora
ingin disalurkannya kepada istrinya sendiri. Tetapi
Rianti malah menolaknya mentah-mentah. Dan dia
merasa tersinggung.
Dalam waktu seminggu ini Pak Ario telah men-
coba melupakan Karin. Melupakan Awan. Dia telah
kembali ke rumahnya sendiri. Ingin mencoba hidup
seperti dulu lagi. Sebelum Karin datang.
Tetapi Rianti telah berubah. Tampaknya dia su-
dah tidak ingin bersatu kembali. Sudah termakan-
kah bujuk rayu Pak Ariffin? Sudah lama Pak Ario
mencurigai majikan istrinya itu. Dia pasti menaruh
hati pada Rianti. Dan sekarang dia mempergunakan
kesempatan yang baik untuk merebut istrinya!
Sudah lama Pak Ario tahu, Pak Ariffin berpisah
dengan istrinya walaupun belum bercerai. Tidak
sulit bagi laki-laki itu untuk menceraikan istrinya
dan mengambil Rianti
"Lebih baik jangan, Mas." Rianti mencegah sua-
minya pindah tidur ke kamar tamu. "Nanti Ibu
tahu."
"Persetan!"
"Kasihanilah Ibu, Mas. Beliau tidak tahu apa-
244 apa. Biarkanlah Ibu menikmati hari tuanya dengan
tenang."
"Ibu malah senang kalau kita ribut."
"Mas keliru menilai Ibu."
Kali ini Pak Ario memang keliru menilai ibunya
sendiri. Bu Danu mengernyitkan dahi melihat per-
ubahan sikap anak-menantunya. Sudah beberapa
hari ini dia mengawasi mereka dengan cermat.
Rianti memang selalu berusaha menutup-nutupi
keretakan rumah tangganya. Dia berusaha bersikap
wajar di depan mertuanya. Tetapi Ario tidak. Ken-
tara betul kalau dia sedang kesal. Sarapan paginya
tidak disentuh sama sekali walaupun istrinya sendiri
yang menghidangkannya. Dia hanya minum kopi
sambil merokok dan membaca koran.
"Ada apa?" cetus Ibu tak sabar lagi. "Kalian ber-
tengkar semalam?"
"Ah, cuma sedikit salah paham, Bu," sahut Rianti
yang sedang melayani sarapan pagi mertuanya.
"Biasa kan suami-istri. O ya, hari ini Ibu mesti ke
dokter. Kontrol."
"Mudah-mudahan tulangku sudah menyambung
cukup kuat. Aku sudah bosan pakai tongkat."
"Biar nanti saya antar, Bu," cetus Pak Ario. Kebe-
tulan ada alasan baginya untuk menghindari Karin.
Kalau dia masuk kantor, Karin selalu meneleponnya.
Padahal Pak Ario butuh waktu untuk berpikir.
"Hari ini saya sudah mengambil cuti setengah
hari, Mas," kata Rianti wajar, seolah-olah tidak ada
245 persoalan apa-apa. "Biar saya yang mengantar Ibu.
Barangkali Mas repot."
Sebenarnya Rianti tidak ada maksud menyindir.
Tetapi di telinga Pak Ario yang sedang jengkel,
kata-kata itu terdengar seperti sindiran. Dia lang-
sung meledak.
"Saya tahu kapan saya repot!" geramnya sengit.


Di Tepi Jeram Karya Mira W di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tidak usah mengajari saya!"
Yang terperanjat bukan hanya Rianti. Ibu juga.
Dia langsung menoleh sambil mengerutkan dahi.
Ditatapnya anaknya dengan tajam.
"Ario!" tegurnya keheran-heranan. "Kamu ke-
napa?"
"Mengapa saya tidak boleh mengantar Ibu? Saya
kan masih anak Ibu juga!"
"Lho, istrimu kan cuma memikirkan pekerjaan-
mu. Biasanya kau selalu repot!"
"Dia tidak perlu mengatur saya!"
Rianti menggigit bibirnya menahan tangis. Di-
tinggalkannya ruang makan dengan separuh berlari.
Bu Danu menghela napas panjang melihat sikap
mereka.
"Kalian pasti habis bertengkar!"
"Kami hendak bercerai!"
Kalau dulu Bu Danu demikian mengharapkan
kata-kata itu keluar dari mulut anaknya, kini dia
malah menjadi gusar mendengarnya.
"Bercerai lagi?"
"Itu juga yang Ibu harapkan, bukan?"
246 "Tidak kalau dengan Rianti!"
"Ibu tidak peduli siapa istri saya."
"Ibu sudah telanjur menyukai Rianti!"
"Dia akan segera menjadi istri majikannya!"
"Tidak mungkin!" sembur Ibu marah. "Ibu tidak
percaya Rianti mau mengkhianati kita!"
"Bukan dia yang berkhianat." Pak Ario menun-
dukkan kepalanya sambil mengatupkan rahangnya
menahan marah. "Saya!"
Bu Danu mengawasi anaknya dengan sengit.
Matanya menyala di balik kacamatanya.
"Perempuan mana lagi yang menjeratmu?!"
"Karin telah kembali. Kami telah memutuskan
untuk hidup bersama seperti dulu. Awan mem-
butuhkan saya."
"Karin?!" Ibu membanting cangkir kopinya de-
ngan geram. "Jadi dia lagi biang keladinya?!"
"Dia ibu anak saya."
"Bodoh kau, Ario!" geram Ibu gemas. "Kaupikir
perempuan seperti dia mau kembali kepadamu
cuma karena kau ayah anaknya?!"
"Karin memang tidak sebaik Rianti. Tapi dia ibu
anak saya. Dan saya masih mencintainya."
"Jadi kau mau menceraikan Rianti?!"
"Tentu saja tidak!"
Mata Bu Danu lebar membelalak.
"Jadi kau ingin punya dua istri? Atau perem-
puan itu sudah cukup puas menjadi simpanan-
mu?!"
247 "Karin tidak peduli dengan perkawinan. Yang
penting, dia ingin hidup bersama saya lagi"
"Dia memang perempuan tidak bermoral!"
"Cuma alam pikirannya yang berbeda, Bu. Di
Barat sana, orang tidak terlalu menghiraukan per-
kawinan lagi. Jika seorang laki-laki mencintai se-
orang wanita, mereka tidak perlu mengikat diri
dengan sehelai surat kawin. Mereka dapat tinggal
bersama, hanya dengan cinta dan pengertian."
"Tapi kau orang Indonesia, bukan orang Barat!
Aku tidak rela kau tinggal bersama seorang perem-
puan tanpa menikah."
"Bantulah saya, Bu. Jangan membuat saya malah
bertambah bingung."
"Kau bodoh jika menceraikan Rianti!"
"Saya tidak ingin menceraikannya."
"Pikirmu Rianti mau hidup dimadu?"
"Karin hanya minta sebagian waktu saya, Bu.
Dia tidak serakah. Dia orang yang realistis. Dia
tahu saya telah menikah. Tapi dia tidak memaksa
saya untuk bercerai. Dia mau menerima saya seperti
apa adanya."
"Tapi aku tidak mau menerima dia lagi! Jika kau-
bawa perempuan itu masuk kemari, aku akan ke-
luar dari rumah ini!?
"Dia akan tinggal di rumah lain, Bu. Ibu boleh
tetap tinggal di sini bersama Rianti."
"Kaupikir Rianti mau? Enak saja kau memper-
lakukan wanita!"
248 "Habis saya harus bagaimana, Bu? Rianti harus
mengerti kesulitan saya. Saya tidak dapat berpisah
lagi dengan Awan. Dia anak saya!"
"Hhh. Baru sekarang kamu tidak dapat berpisah
dengan anakmu!" cibir Bu Danu sinis. "Entah
racun apa yang dimasukkan perempuan itu ke da-
lam kopimu!"
"Ibu harus melihat Awan."
"Aku tidak ingin melihatnya!"
"Tapi dia cucu Ibu!" Dengan kesal Pak Ario
bangkit dan keluar meninggalkan ibunya.
Rianti yang sedang menangis di dalam kamar
mendengar langkah-langkah sepatu suaminya di
luar. Dia mengira laki-laki itu akan masuk untuk
meminta maaf padanya. Selama ini, Mas Ario be-
lum pernah membentaknya. Rianti merasa hatinya
sakit. Sakit sekali. Dan lebih pedih lagi ketika ter-
nyata suaminya terus pergi tanpa sempat menje-
nguknya.
Bu Danu-lah yang masuk beberapa saat kemu-
dian. Perlahan-lahan dia menghampiri tempat tidur.
Rianti mendengar bunyi tongkatnya memukul-mu-
kul lantai. Kemudian dirasakannya tangan perem-
puan itu menyentuh bahunya.
Rianti segera membalik dan merangkul mertua-
nya. Dipindahkannya tangisnya ke dalam pelukan
perempuan itu. Bu Danu membelai-belai punggung
Rianti sambil menghela napas panjang berulang-
ulang.
249 "Mengapa tidak kaukatakan pada Ibu sejak dulu?
Sebelum racun perempuan itu benar-benar masuk
ke dalam darah Ario!"
"Apa salah saya, Bu?" tangis Rianti lirih.
"Kau terlalu lemah! Jangan mau saja menyerah-
kan suamimu ke tangan perempuan lain! Rampas-
lah Ario kembali!"
"Tapi Mas Ario masih mencintai bekas istrinya,
Bu. Perempuan itu cinta pertamanya. Apalagi me-
reka sudah punya anak."
"Aku tidak percaya dengan segala macam cinta
pertama! Yang penting bagaimana memikat hati
suami!"
"Mengapa Mas Ario begitu cepat bosan pada
saya, Bu? Apakah pelayanan saya kurang baik?
Bagaimana Ibu bisa hidup begitu lama dengan Mas
Ario tanpa dia pernah merasa bosan?"
"Anak bodoh!" Bu Danu menggeleng-gelengkan
kepalanya dengan perasaan iba bercampur haru.
"Dalam hal memikat laki-laki, kamu masih kalah
jauh dengan perempuan itu! Kamu tidak mungkin
memenangi pertempuran ini. Kamu masih anak-
anak. Masih terlalu polos. Tapi Ibu kenal betul sifat
Ario. Kalau Ibu tidak dapat mengembalikan Ario
kepadamu, Ibu tidak ada muka lagi melihat wajah
perempuan itu!?
"Ibu" Rianti merenggangkan pelukannya dan
mengawasi mertuanya dengan bingung. "Apa yang
akan Ibu lakukan?"
250 Bu Danu menatap mata Rianti yang berlinang
air mata dengan sungguh-sungguh.
"Akan kita kalahkan perempuan, Rianti," katanya
tenang tapi mantap. "Enam tahun yang lalu, Ibu
sudah pernah mengalahkannya! Waktu itu mereka
juga sudah punya anak!"
"Tapi saya tidak sampai hati memisahkan me-
reka, Bu." desah Rianti lirih. "Anak itu mem-
butuhkan Mas Ario. Membutuhkan seorang ayah!?
"Dan kau tidak membutuhkan suamimu, anak
bodoh?"
"Tentu saja saya membutuhkan Mas Ario, Bu.
Saya pun tidak dapat berpisah dengan Ibu. Tapi
jika kebahagiaan saya harus ditukar dengan pen-
deritaan seorang anak kecil"
"Rianti," keluh Bu Danu sambil menghela napas
panjang. "Kamu sudah kalah sebelum bertanding!"
"Biarlah saya yang mengalah, Bu. Supaya anak
yang tidak berdosa itu memperoleh ayahnya kem-
bali. Saya akan minta cerai. Tapi saya mohon ke-
pada Ibu, tetaplah menjadi ibu saya yang kedua!
Izinkanlah saya tetap menjadi anak Ibu!"
Dengan pilu Rianti memeluk ibu mertuanya
kembali. Bu Danu menggeleng-gelengkan kepalanya
sambil menghela napas panjang.
* * *
251 Sengaja Pak Ario membawa Awan ke rumah hari
Minggu esoknya. Seharian dia bermain-main de-
ngan anak itu. Sebentar saja Rianti sudah menyukai
Awan. Dia bukan cuma cerdas. Sekaligus lucu. Apa-
lagi kalau dia sudah mempraktekkan bahasa Indo-
nesianya yang kacau-balau. Rianti sampai tersenyum
di tengah-tengah kepedihannya. Padahal sudah se-
minggu lebih dia tidak pernah tersenyum lagi.
Awan dapat bergaul dengan siapa saja. Dia be-
rani. Ramah. Dan memiliki daya tarik untuk me-
mikat hati siapa pun yang bergaul dengan dia.
Termasuk Rianti.
Awan tidak malu-malu berbicara dalam bahasa
Indonesia meskipun banyak salahnya. Dia selalu
meniru apa yang didengarnya. Dan dia mengucap-
kan kata-kata itu dengan lidah Jermannya.
Cuma Bu Danu yang tidak mau keluar dari
kamar. Katanya dia tidak ingin melihat anak itu
meskipun ketika Awan baru turun dari mobil, dia
sudah mengintipnya dari jendela.
Cucunya boleh menarik. Boleh lucu. Boleh
pintar. Tapi Bu Danu telah mengeraskan hatinya
agar tidak terpikat. Cuma menantunya yang bodoh
itu yang sedang sibuk di dapur menyiapkan makan-
an untuk mereka. Entah terbuat dari apa hati pe-
rempuan itu. Mau saja melayani anak perempuan
yang akan merampas suaminya.
Oppa And I 2 Pendekar Naga Putih 36 Misteri Desa Siluman Gadis Dari Alam Kubur 2
^