Pencarian

Sayap Sayap Cinta 2

Sayap Sayap Cinta Karya Maria A. Sardjono Bagian 2


toh masih ada waktu yang lebih longgar. Sebentar
lagi pertokoan ini akan tutup." Sambil berkata se-
perti itu, Yulia melangkah menuju pintu utama.
"Jadi, kau mau ke mana sekarang?" Gatot meng-
ekor di belakang Yulia.
"Pulang."
"Naik apa?"
"Yang jelas bukan naik sedan. Sedanku masih
ada di toko," jawab Yulia sambil tertawa.
"Jadi, naik kendaraan umum?"
"Ya, memangnya mau naik pesawat?"
"Bagaimana kalau kuantar. Kebetulan aku mem-
bawa mobil kantor. Sudah malam lho."
"Aku sering pulang lebih malam. Sudah pernah
kukatakan kepadamu kan, aku ini ahli karate biar-
pun baru ban kuning. Aku biasa pulang sendiri
kok." Yulia tersenyum lagi. "Jadi, terima kasih un-
tuk tawaranmu."
"Daripada naik kendaraan umum, kan lebih ce-
pat bila kuantar pulang," kata Gatot lagi.
"Aku akan naik taksi. Aku baru menerima honor-
ku mengajar privat piano. Jadi, tak usah repot-repot
mengantarkanku. Terima kasih."
"Aku tidak merasa kaurepotkan."
"Aku tahu. Sebaiknya tidak usah mengantarkan-
ku. Lain kali saja kalau kita ketemu lagi di sini,"
pustaka-indo.blogspot.com
79 senyum Yulia. "Kalau butuh sesuatu, aku paling
suka membelinya di pertokoan ini. Komplet dan
suasananya menyenangkan."
"Ya, memang. Jadi, betul nih tidak mau kuan-
tar?"
"Betul."
Gatot menurut. Tidak enak memaksakan kehen-
dak, meskipun ia ingin sekali mengantarkan Yulia
pulang. Walaupun jalan raya masih ramai, tetapi
hari sudah malam. Ia tidak tega melihat Yulia pu-
lang dengan kendaraan umum sendirian saja.
Mereka berpisah setelah Yulia mendapat taksi.
Begitu taksi yang ditumpanginya bergerak pergi,
tangan mereka saling melambai. Tak seorang pun
yang sadar bahwa sepasang mata tajam laki-laki
yang sedang berdiri di depan salah satu toko mem-
perhatikan mereka dengan cermat. Sejak tadi mata
Hendra mengikuti gerak-gerik pasangan yang baru
saja berpisah tersebut. Ia melihat keduanya tampak
akrab, berjalan dengan santai sambil sesekali tertawa
atau tersenyum. Mereka tampak serasi. Yang laki-
laki ganteng, yang perempuan jelita.
Seketika itu juga hati Hendra hangus oleh api
cemburu. Tersulut oleh itu, cepat-cepat ia menuju
tempat parkir dan dengan gesit segera memacu
mobil barunya menuju rumah Yulia, berharap lebih
dulu tiba di sana. Ia berhasil sampai lebih dulu.
Yulia yang turun dari taksi tak lama kemudian,
merasa heran ada mobil bagus terparkir di halaman
rumahnya. Karena tidak tahu siapa tamunya, Yulia
pustaka-indo.blogspot.com
80 masuk ke rumah melalui pintu belakang. Dilihatnya
ibunya sedang membuat secangkir kopi di dapur.
"Kau sudah pulang, Yulia. Di depan, Hendra
menunggumu!"
Darah Yulia seperti membeku demi mendengar
orang yang paling tak disukainya itu datang. Ma-
lam-malam pula.
"Sudah agak lama ia tidak datang. Kenapa tiba-
tiba saja ia muncul lagi?" tanyanya dalam hati,
tanpa menutupi perasaan tak senangnya. "Mau apa
sih ia malam-malam begini?"
"Entahlah, Ibu juga tidak tahu."
"Sudah lama ia di sini?"
"Sekitar sepuluh menit," jawab ibunya. "Kelihat-
annya ia mengalami kemajuan dalam kariernya.
Kau sudah melihat mobilnya di depan?"
"Ya," Yulia menanggapi berita itu dengan acuh
tak acuh. Biarpun Hendra sesukses pengusaha kelas
kakap sekalipun, ia sama sekali tidak tertarik.
"Lekas temui dia, Yulia. Biarpun tidak menyukai
kedatangannya, tetapi sebagai nyonya rumah yang
baik kau harus menemuinya."
Suara ibunya memang terdengar lembut, tetapi
Yulia mendengar nada perintah yang sukar diban-
tah, sehingga mau tak mau ia terpaksa pergi ke
ruang tamu. Saat itu Hendra ditemani Oom Hardi.
Ketika melihat Yulia memasuki ruang tamu, ayah
tirinya segera bangkit dari tempat duduknya. Yulia
cepat-cepat mencegahnya.
"Biar saja Bapak ikut duduk di sini," katanya
pustaka-indo.blogspot.com
81 buru-buru. Sikapnya begitu kentara tidak ingin me-
nemui tamunya sendirian.
"Bapak harus menyelesaikan pekerjaaan kantor
yang Bapak bawa pulang, Yulia. Komputernya juga
belum Bapak matikan." Entah betul atau cuma
alasan saja apa yang dikatakan Oom Hardi, Yulia
tidak tahu. Namun, ia tak bisa mencegahnya pergi.
Terpaksalah ia menghadapi Hendra sendirian saja.
"Kelihatannya kau tidak senang melihat kedatang-
anku," kata Hendra begitu Oom Hardi telah me-
ninggalkan mereka. "Padahal, aku kangen sekali
padamu. Sudah lama kita tidak bertemu."
"Apakah karena itu kau datang bertamu malam-
malam, saat orang mau beristirahat?"
"Menemui istri sendiri apakah harus memakai
aturan jam kunjungan? Dari mana aturan seperti
itu?" Hendra menjawab dengan suara lembut yang
dibuat-buat. "Suami kangen pada istri yang dinikahi-
nya secara sah kan kapan saja boleh menemuinya!"
Mendengar perkataan itu, Yulia menatap Hendra
dengan tajam. Ia bisa melihat bahwa dibanding ke-
tika terakhir kali mereka bertemu, kini laki-laki itu
tampak perlente. Pakaiannya terbuat dari bahan pi-
lihan. Arlojinya baru, kelihatannya merek terkenal
yang harganya pasti mahal. Melihat penampilan
Hendra, tiba-tiba saja ia merasa asing terhadap laki-
laki yang statusnya masih sebagai suaminya itu.
"Kebetulan kau telah menyinggung masalah sta-
tusku. Apakah kau lupa bahwa aku hanya istri ke-
dua?" katanya, menatap Hendra dengan tajam.
pustaka-indo.blogspot.com
82 "Jangan sinis, Yulia."
"Aku mengatakan yang sebenarnya. Sama sekali
aku tidak bermaksud berkata sinis. Karena kau tadi
telah menyinggung statusku sebagai istrimu, maka
dalam kesempatan ini aku ingin mengatakan sesua-
tu yang seharusnya sudah kita bahas setahun yang
lalu, yaitu aku ingin melepaskan statusku sebagai
istrimu."
"Maksudmu apa?"
"Apakah kurang jelas apa yang kukatakan kepa-
damu tadi? Aku ingin kita bercerai atau mengakhiri
perkawinan kita."
Mendengar perkataan Yulia, Hendra tampak ka-
get. Ia langsung teringat apa yang tadi dilihatnya di
pertokoan.
"Ada laki-laki lain, rupanya."
"Ada ataupun tidak, bukan itu masalahnya,"
Yulia menukas dengan sengit. "Aku hanya ingin
kita meluruskan apa yang sudah salah sejak semula
dengan perceraian secara baik-baik. Kau telah meng-
khianati istrimu dengan menikahi perempuan lain.
Kau juga tidak jujur, tidak berterus terang kepada-
ku bahwa kau telah menikah saat menjalin hubung-
an denganku. Sekaranglah kesempatan bagi kita
memperbaiki apa yang sudah telanjur salah demi
kebaikan kita maupun keluarga masing-masing. Su-
dah saatnya pula bagi kita, terutama bagiku, mena-
ta kehidupan yang lebih bersih dan lebih pantas
dijalani demi..."
"Tampaknya memang ada orang ketiga." Hendra
pustaka-indo.blogspot.com
83 ganti memotong dengan tidak sabar. Suaranya tak
enak didengar.
"Kalau ada orang ketiga, itu adalah aku. Karena
akulah yang menyela di antara kau dan istrimu.
Padahal hal itu sangat bertolak belakang dengan
prinsip hidupku."
"Selama ini kau tenang-tenang saja, tidak pernah
menyinggung masalah perceraian. Kenapa sekarang
tiba-tiba saja kau menyampaikan keinginan ini?"
"Ini bukan keinginan yang tiba-tiba, karena aku
sudah memikirkannya sejak kita menikah setahun
yang lalu. Aku masih memiliki tenggang rasa dan
tidak ingin membuat keluargaku malu. Bagi keluar-
gaku, bila bukan alasan yang sangat mendasar seper-
ti kasus kita, menempuh perceraian adalah cara
yang sangat tidak bertanggung jawab, karena me-
nandakan ketidakmampuan memenuhi komitmen,
dan itu memalukan."
"Bagaimana bila aku tidak mau bercerai darimu,
karena prinsip yang sama bahwa perceraian adalah
memalukan."
"Kasus kita sangat berbeda. Ada perasaan orang-
orang terdekatmu yang harus lebih diperhitungkan.
Lagi pula, kau berada dalam posisi yang kalah kare-
na telah setahun lebih lamanya kita tidak pernah
hidup sebagai suami-istri. Kau tak pernah memberi-
ku nafkah lahir dan batin."
"Itu kan karena kau menolaknya. Jadi, jangan
salahkan aku. Selama ini, apa saja yang kuberikan
kepadamu kaukembalikan dengan paksa. Kalau aku
pustaka-indo.blogspot.com
84 ingin menginap di sini, kau langsung kabur ke ru-
mah kakakmu."
"Karena aku tak berhak menerimanya," jawab
Yulia.
"Kau berhak sepenuhnya atas diriku dan harta
milikku."
"Tidak. Hak itu hanya ada pada istrimu. Bukan
padaku." Yulia menukas lagi dengan suara tegas.
"Sudahlah, jangan berpanjang-panjang kata. Peratur-
an di kantormu juga memberikan pelbagai fasilitas
dan jaminan sosial hanya untuk istri pertama, kan?
Aku sama sekali tak menginginkan pemberianmu
dalam bentuk apa pun. Jadi, sekali lagi aku kata-
kan, aku ingin kita mengakhiri perkawinan yang
tidak sehat ini demi kebaikan semua pihak."
"Aku tidak ingin bercerai darimu, Yulia," Hendra
juga berkata tegas.
"Aku punya alasan kuat. Pengaduan perceraianku
pasti diterima pengadilan agama tanpa kesulitan
apa pun. Apalagi saksiku banyak. Oleh karena itu,
biarkan aku menata hidup dan masa depanku."
"Dengan laki-laki yang berjalan bersamamu di
kompleks pertokoan tadi?" Hendra mulai menying-
gung tentang Gatot.
Yulia tertegun. Sekarang ia tahu, kenapa Hendra
datang malam-malam menemuinya. Rupanya, laki-
laki itu telah melihatnya berduaan dengan Gatot.
Aduh, apa yang harus dikatakannya? Mengatakan
tidak ada apa-apa di antara dirinya dengan Gatot?
Wah, bisa-bisa usul perceraiannya tidak akan digu-
pustaka-indo.blogspot.com
85 bris Hendra. Dengan tetap mempertahankan perka-
winan, laki-laki itu berharap hubungan mereka bisa
diperbaiki. Namun, kalau ia menjawab bahwa
Gatot memang kekasihnya, repot juga nantinya.
Bukankah lelaki itu hanya teman lamanya?
"Dugaanku benar, bukan? Laki-laki yang berjalan
bersamamu tadi kekasihmu?" Hendra berkata lagi.
Perkataan yang diucapkan dengan suara tak enak
didengar itu menyebabkan Yulia memutuskan un-
tuk berbohong. Kalau tidak begitu, hubungannya
dengan Hendra akan berlarut-larut tak menentu.
"Ya. Ia memang kekasihku." Di dalam hatinya
Yulia berjanji pada diri sendiri akan segera menga-
takan kepada Gatot mengenai kebohongannya ini.
Mudah-mudahan laki-laki itu bisa memahami
posisinya yang sulit malam ini.
Mendengar jawaban Yulia, Hendra mengertakkan
gerahamnya. Api cemburu semakin menghanguskan
hatinya. Saat ini Yulia masih istrinya. Tak semesti-
nya ia menjalin hubungan dengan laki-laki lain.
"Hmm apakah ia mengetahui bahwa statusmu
masih sebagai istriku?" tanyanya kemudian.
"Tentu saja," jawab Yulia melengkapi kebohong-
annya. "Aku tidak sepertimu, menutupi kenyataan
hanya demi memenuhi keinginan yang tidak semes-
tinya!"
"Itu kan berarti kalian berselingkuh. Sudah tahu
statusmu, tetap saja kalian menjalin hubungan cin-
ta."


Sayap Sayap Cinta Karya Maria A. Sardjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Perkawinan kita cuma di atas kertas saja. Jangan
pustaka-indo.blogspot.com
86 lupa itu! Bahkan pada malam pengantin kita, aku
bersembunyi di rumah Mbak Tiwi. Sesudah itu,
aku gonti-ganti menginap di rumah Mbak Ratna,
lalu di tempat Mas Rudi, di rumah Ibu, atau di
tempat sepupu-sepupuku sampai akhirnya kau mera-
sa bosan melacak keberadaanku. Jadi, perkawinan
kita sudah amburadul sejak awal. Bahkan boleh
dibilang, sudah bubar sejak kemarin-kemarin. Ja-
ngan seenaknya saja mengatakan bahwa aku dan
kekasihku berselingkuh. Apa kau tidak sadar bah-
wa kau sendiri pun telah melakukan perselingkuhan
dengan menikah lagi tanpa sepengetahuan istri-
mu?"
"Sudahlah jangan mencelaku terus. Intinya kan
kau ingin segera bebas dariku supaya bisa menikah
dengan kekasihmu itu. Begitu?"
"Ya."
"Kau serius berhubungan dengan dia?"
"Aku bukan orang yang suka main-main," untuk
kesekian kalinya Yulia berbohong lagi. "Jadi, ke-
inginanku bercerai denganmu juga serius."
"Sebelum membahas perceraian lebih jauh, aku
ingin berkenalan lebih dulu dengan kekasihmu. Se-
riuskah ia dengan seorang janda?"
"Untuk apa sih kau ingin berkenalan dengan
dia?"
"Kan sudah kukatakan, untuk melihat sejauh
mana keseriusan kalian."
Yulia menahan napasnya sejenak. Gawat, pikir-
nya. Ini sudah tidak cukup berbohong dalam kata-
pustaka-indo.blogspot.com
87 kata saja, tetapi juga harus memasuki kebohongan
dalam perbuatan. Ia merasa kesal sekali karenanya.
Terutama karena cara bicara Hendra jelas memper-
lihatkan bahwa ia menganggap Yulia bukan hanya
sekadar istrinya yang sah, tetapi juga sebagai milik-
nya. "Baik. Nanti kukenalkan kau dengannya, meski-
pun aku tidak melihat apa relevansinya." Usai ber-
kata seperti itu, Yulia langsung merencanakan berte-
mu Gatot secepatnya. Ia ingin menceritakan semua
yang terjadi malam ini kepadanya, dan berharap
dapat bekerja sama menghadapi Hendra sampai
perceraiannya dengan laki-laki itu terlaksana.
"Tentu saja ada," Hendra menjawab dengan air
muka kaku. "Sebagai suami, aku ingin tahu dengan
siapa istriku berselingkuh."
Yulia tidak ingin menanggapi perkataan yang tak
enak didengar itu. Bahkan tanpa merasa perlu me-
nutupinya, ia melihat arlojinya dan langsung menga-
takan keberatannya menemani Hendra.
"Sekarang sudah malam, sudah saatnya beristira-
hat. Aku juga sudah mengantuk dan ingin segera
tidur," katanya tanpa basa-basi. Kemudian, ia segera
berdiri sehingga mau tak mau Hendra terpaksa
bangkit dari duduknya.
"Baiklah, aku pulang dulu. Antar aku sampai ke
halaman depan," kata laki-laki itu.
Yulia menurut. Begitu melihat gaya Hendra saat
memijit remote control mobilnya yang mewah, dan
caranya berjalan menuju kendaraan itu, Yulia tahu
pustaka-indo.blogspot.com
88 bahwa laki-laki itu sedang pamer. Pikirnya, jangan-
kan mobil biasa, mobil yang seluruhnya terbuat
dari emas murni sekalipun ia tidak akan silau ka-
renanya. Dengan mulut terkatup rapat dan sikap
acuh tak acuh, dibiarkannya Hendra masuk ke da-
lam mobilnya. Namun, tampaknya laki-laki itu
masih ingin mengambil hati Yulia.
"Bila kapan-kapan aku mengajakmu ke luar kota,
kau mau ya? Aku baru saja membeli bungalo di
Puncak, meskipun tidak besar," katanya dengan
nada merayu.
"Jangan macam-macam, kita kan akan bercerai,"
tegur Yulia. "Lagi pula, aku tidak tertarik pada apa
pun yang bukan hak milikku."
"Oke," wajah Hendra tampak kelam dan tak
enak dilihat. "Kalau kau mau mengajak kekasihmu
menemuiku, sebaiknya di kantorku saja."
"Tidak. Yang ingin bertemu dengannya kan kau."
Yulia menjawab cepat. "Lagi pula, kalau aku datang
ke kantormu, pasti akan menimbulkan banyak per-
tanyaan dan kasak-kusuk lagi. Sekarang aku sudah
tidak setolol dulu, yang menyangka kasak-kusuk di
antara teman-temanmu sebagai sesuatu yang biasa.
Pasti mereka menganggapku perempuan murahan,
yang tega merebut suami orang. Jadi, cukup sekali
saja aku jadi orang tolol di kantormu."
"Kalau begitu, terserah kita mau ketemuan di
mana, aku menurut saja," Hendra menjawab sekena-
nya, tanpa menyinggung sindiran Yulia.
"Sebaiknya aku tanya kepada kekasihku dulu,"
pustaka-indo.blogspot.com
89 sahut Yulia. "Nanti kuhubungi. Berikan nomor tele-
ponmu."
"Nomor HP-ku masih nomor yang lama."
"Aku tak pernah menyimpannya. Ingat saja pun
tidak."
Hendra bersungut-sungut. Dari dompetnya ia
mencabut kartu nama yang langsung diberikannya
kepada Yulia.
"Kau benar-benar memandangku sebelah mata,"
gerutunya.
"Memangnya kau tidak begitu terhadapku?" Yulia
membalas. "Apakah membohongi seorang gadis dan
menjadikannya sebagai istri kedua tanpa sepengeta-
huannya merupakan perbuatan yang penuh penghar-
gaan?"
"Selalu saja larinya ke situ!" Hendra menggerutu
lagi.
"Tentu saja. Itu adalah peristiwa paling memalu-
kan sepanjang sejarah hidupku!"
"Sepertinya kau tak pernah mau mendengar ala-
san yang sudah berulang kali kukatakan kepadamu.
Aku sangat mencintaimu, Yulia. Kalau aku menga-
takan terus terang bahwa aku sudah menikah, kau
pasti akan menolak pendekatanku."
"Itu alasan klise. Padahal, pada dasarnya tak lain
dan tak bukan adalah egoisme belaka," Yulia ganti
menggerutu.
"Kau keliru. Aku benar-benar mencintaimu,
Yulia. Bahkan sampai sekarang tidak pernah beru-
pustaka-indo.blogspot.com
90 bah. Malam ini aku datang karena rasa rindu kepa-
damu yang tak tertahankan lagi," kata Hendra.
Mendengar itu Yulia malah tertawa.
"Mungkin kalau ada orang yang mendengar per-
kataanmu langsung akan percaya," katanya. "Aku ti-
dak percaya sama sekali. Kau tiba-tiba datang mene-
muiku kan karena melihatku berjalan dengan laki-laki
lain. Kalau tidak, belum tentu kau datang ke sini."
Hendra agak tersipu dibantah seperti itu.
"Yah, kuakui... kau benar. Kau juga harus me-
ngerti, Yulia. Justru karena rasa cintaku kepadamu-
lah, maka aku langsung datang ke sini begitu meli-
hatmu jalan bersama laki-laki lain. Cemburu erat
hubungannya dengan cinta, bukan?"
"Mungkin yang ada di hatimu bukan itu. Kau
merasa salah satu harta yang kaumiliki, yaitu istri
keduamu ini, jalan bersama laki-laki lain." Yulia
menangkis cepat.
"Lidahmu sangat tajam, Yulia!"
Yulia tidak mau mengomentari perkataan Hendra.
Sebagai gantinya, ia melangkah mundur.
"Pulanglah! Aku tak bisa lama-lama menemanimu
di sini. Besok pagi-pagi sekali aku harus berangkat
kerja."
"Kau tidak perlu bekerja keras bila mau hidup
sebagai istriku dan mau menerima uang dariku.
Kujamin hidupmu pasti akan senang. Tidak perlu
bangun pagi untuk mengajar, dan pulang malam
setelah memberi les piano," Hendra menjawab
dengan penuh percaya diri.
pustaka-indo.blogspot.com
91 "Terima kasih atas kebaikanmu yang luar biasa,"
Yulia menjawab sambil mengertakkan gerahamnya,
menahan rasa sebal. Tawaran Hendra sungguh men-
jijikkan, karena hanya materi yang menjadi tolok
ukurnya. "Maaf, kau harus paham bahwa aku bekerja
bukan untuk mencari uang semata, melainkan karena
memenuhi panggilan jiwaku, memberi ilmu yang ku-
miliki kepada murid-muridku. Juga perlu kaucam-
kan, aku sama sekali tidak tertarik berbagi suami."
"Lidahmu sekarang memang benar-benar semakin
tajam. Apa kau tidak ingat, aku pernah berjanji ke-
padamu akan menceraikan istriku bila kau mau
hidup sebagai istri yang sesungguhnya. Aku tidak
pernah mencintainya, Yulia."
"Apa kau lupa, ketika kau mengatakan itu aku
sudah menjawab secara tegas dan jelas bahwa aku
tidak termasuk orang yang bisa hidup dengan te-
nang di atas penderitaan orang lain. Dalam hal ini,
istri dan anakmu yang tiga orang itu ah mung-
kin sudah jadi empat, sekarang ini."
Ada semburat rona merah di pipi Hendra ketika
mendengar perkataan itu, sehingga Yulia yakin bahwa
anak Hendra dengan istri pertamanya telah bertam-
bah seorang lagi. Itukah laki-laki yang mau mence-
raikan perempuan yang telah melahirkan empat anak
demi memenuhi kewajibannya sebagai istri?
Memikirkan hal itu, dengan seketika rasa muak
menyesaki dada Yulia. Sudah jelas, Hendra tidak
bersungguh-sungguh ketika mengatakan hendak
menceraikan istrinya. Untung saja, begitu menge-
pustaka-indo.blogspot.com
92 tahui Hendra telah mempunyai istri, ia tidak ingin
melanjutkan hubungannya dengan laki-laki itu.
Hubungan dalam bentuk apa pun.
"Sudahlah, aku tidak suka mengobrol terlalu
lama di sini. Jadi, pulanglah! Aku mau tidur cepat,"
kata Yulia dengan tegas. Sebelum Hendra menya-
lakan mesin mobilnya, ia sudah masuk ke rumah.
Tak peduli laki-laki itu akan marah. Tak peduli
pintu pagar belum ditutup olehnya.
Di atas tempat tidurnya, setelah akhirnya sempat
menggembok pintu pagar dan membersihkan diri
di kamar mandi, Yulia mulai memikirkan Gatot.
Laki-laki itu bukan kekasihnya. Laki-laki itu malah
sudah bertunangan dengan Nuning. Bagaimana
mungkin ia bisa mengajaknya bertemu Hendra?
Kalau tidak, bagaimana ia bisa mengurus perceraian-
nya dengan lancar?
Karena belum bisa memutuskan apa yang harus
dilakukannya, Yulia terpaksa membiarkan masalah
itu terkatung-katung sampai akhirnya Hendra mene-
lepon dan menagih janjinya mempertemukan dia
dengan sang kekasih. Karena bingung, Yulia ter-
paksa berbohong lagi.
"Ia keberatan bertemu denganmu. Alasannya, ia
merasa tak perlu bertemu karena tak ada urusannya
denganmu," kata Yulia berdalih.
"Merebut istri orang kok bisa bilang tidak ada
urusan denganku," sahut Hendra sengit.
"Jangan memakai ungkapan kata seperti itu. Kau
pustaka-indo.blogspot.com
93 bisa malu bila perkataanmu kukembalikan kepada-
mu!"
"Apakah laki-laki itu benar-benar mau menikah
denganmu?" Hendra tidak mau menanggapi perka-
taan Yulia yang tajam.
"Tentu saja." Yulia berharap kegugupannya tidak
tertangkap oleh telinga Hendra.
"Aku kok sangsi. Jangan-jangan laki-laki itu
cuma mau mempermainkan dirimu."
"Jangan menyamakan orang lain seperti dirimu."
Dengan tajam Yulia menyindir Hendra lagi.
"Jangan-jangan laki-laki yang kulihat di kompleks
pertokoan bersamamu bukan kekasihmu?"
"Ia kekasihku." Yulia merasa kesal pada dirinya
sendiri, karena terpaksa berbohong dan berbohong
lagi. "Sudahlah, kalau kau menganggap penting ber-
temu kekasihku, nanti akan kita atur waktu-
nya."
"Tentu saja aku menganggap pertemuan itu pen-
ting. Pertama, aku ingin melihat seperti apa laki-
laki yang menyebabkan istriku berniat meninggal-
kanku. Kedua, aku ingin melihat sejauh mana
keseriusan niatnya menikah dengan seorang jan-
da."
"Omonganmu tak enak didengar!"


Sayap Sayap Cinta Karya Maria A. Sardjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sama, Yulia. Omonganmu juga tidak enak dide-
ngar," balas Hendra. "Nah, kutunggu kau mengatur
waktu pertemuan. Kecuali kalau sebenarnya kau
belum punya kekasih dan..."
"Sudah sudah aku tak mau berdebat lagi
pustaka-indo.blogspot.com
94 denganmu. Secepatnya aku akan mengabari kapan
kekasihku bersedia bertemu denganmu." Usai
berkata, Yulia menghentikan pembicaraan mereka
dan langsung mematikan HP-nya.
Karena telepon Hendra itulah akhirnya dengan
perasaan sangat terpaksa, Yulia menelepon Gatot
begitu ia selesai mengajar.
"Aku ingin minta bantuanmu." Begitu katanya
kepada laki-laki itu.
"Wah, kedengarannya serius. Bantuan apa?"
"Aku tidak bisa membicarakannya di telepon.
Maukah kau datang ke rumahku sore nanti sepu-
langmu dari kantor?"
"Penting sekali ya?"
"Kalau tidak, pasti aku tidak akan minta ban-
tuanmu."
"Baiklah. Kalau masalahnya serius, sebaiknya kita
bicarakan di luar rumah saja. Bukan di rumahmu.
Bagaimana?"
"Di mana kalau begitu?" tanya Yulia, mulai mera-
sa lega.
"Di rumah makan. Aku punya langganan rumah
makan yang masakannya enak. Bagaimana, mau?"
"Baiklah. Tidak merepotkanmu, kan?"
"Kalau aku sudah bilang oke, ya artinya aku ti-
dak merasa direpotkan," sahut Gatot sambil terta-
wa. "Akan kujemput kau nanti sekitar pukul enam.
Setuju, Yulia?"
"Setuju."
pustaka-indo.blogspot.com
95 Senja itu Gatot sampai di rumah Yulia dengan
mengendarai motornya yang lumayan besar dan
suaranya terdengar mantap itu.
"Kau tidak keberatan naik motor dengan mem-
bonceng di belakangku, Yulia?" tanyanya ketika
mereka sudah bersiap-siap berangkat. "Kalau kebe-
ratan, kita naik taksi saja. Motor ini kutitipkan di
sini."
Yulia agak tertegun mendengar pertanyaan Gatot.
"Kenapa kau berpikir aku merasa keberatan naik
motor?" tanyanya.
Gatot ganti tertegun. Sadar bahwa pertanyaannya
tadi agak tendensius. Ia tersenyum canggung kare-
nanya.
"Maaf aku terbiasa berteman dengan gadis-ga-
dis yang merasa agak keberatan dibonceng motor.
Mereka lebih suka naik taksi atau mobil, karena
rambut bisa tetap rapi dan tidak dipenjara oleh
helm. Tentu saja juga lebih bergengsi," katanya.
"Aku lupa, kau berbeda."
"Rupanya pengalamanmu begitu ya?" Yulia terse-
nyum maklum.
"Yah, begitulah. Nuning pun tak mau duduk di
belakangku," jawab Gatot terus terang. "Padahal,
menjelajah jalan raya dengan motor menyenangkan
lho."
Karena nama Nuning disebut dalam pembicaraan
mereka, Yulia tidak mau mengomentari perkataan
Gatot. Takut salah kata. Lagi pula, itu bukan urus-
annya. Sebenarnya dengan mudah ia bisa memba-
pustaka-indo.blogspot.com
96 yangkan mimik muka Nuning saat mengatakan
ketidaksediaannya naik motor. Hidungnya mengerut
dan bibirnya cemberut. Tentu saja itu mimik muka
Nuning kecil yang masih bisa diingatnya. Bagaima-
na Nuning yang sekarang, ia tidak tahu. Sejak me-
ninggalkan Jalan Mahoni belasan tahun yang lalu,
Yulia tak pernah bertemu dengannya.
"Jadi, kau mau duduk di belakangku?" Gatot
bertanya lagi.
"Tentu saja. Aku naik apa saja, oke kok. Tak per-
nah pilih-pilih. Yang penting aman."
"Soal keamanan, kujamin. Aku tidak suka ngebut
dan caraku mengemudi mantap. Lihat saja, nanti.
Ayo, naiklah."
"Oke."
Gatot membawa Yulia menuju rumah makan
yang tempatnya menyenangkan. Pengunjung bisa
menikmati musik di dalam atau duduk di luar di
bawah lampu remang-remang sambil menikmati
semilir angin malam dan gemercik air di kolam-
kolam penuh ikan yang hilir-mudik.
Sambil menunggu pesanan makanan mereka da-
tang, Gatot dan Yulia yang memilih duduk di tepi
kolam memulai percakapan.
"Bantuan apa yang kauminta dariku, Yulia?" ta-
nya Gatot, sambil menatap mata Yulia. "Aku siap
membantumu."
"Kau baik sekali," sahut Yulia, sambil tersenyum
lembut.
"Itu bila dibandingkan dengan perlakuanku pada-
pustaka-indo.blogspot.com
97 mu ketika kita masih tinggal di Jalan Mahoni,
kan?" Gatot tertawa geli.
"Betul." Yulia tersenyum lagi. "Kau dulu tidak
sebaik sekarang."
"Kau juga tidak sekalem sekarang. Dulu, kau
benar-benar bandel dan menjengkelkan. Sekarang,
kau jauh lebih menyenangkan. Enak bicara bersama-
mu. Waktu bisa terbang tanpa terasa, mengobrol
bersamamu. Wawasanmu luas dan..."
"Kita di sini tidak untuk saling melemparkan
pujian, kan?" Yulia memotong dengan agak tersipu.
Gatot tertawa. Melihat itu, Yulia segera melanjut-
kan bicaranya lagi.
"Sekarang mari kita kembali pada tujuan perte-
muan ini," katanya. "Mudah-mudahan, kau mau
memahami perasaanku dan tidak marah bila per-
mintaanku nanti menyinggung perasaanmu."
"Tentang apa?"
"Tentang kebersamaan kita di kompleks pertoko-
an beberapa hari yang lalu. Kebetulan Hendra sua-
miku juga sedang ada di sana. Dia melihat kita
jalan berdua," sahut Yulia.
"Begitu? Lalu apa masalahnya?"
"Dia merasa cemburu. Begitu melihat kita,
malam itu juga dia langsung datang ke rumah,"
sahut Yulia. Kemudian tanpa ada yang disembunyi-
kan ia menceritakan apa yang terjadi dalam perte-
muannya dengan Hendra malam itu. Diceritakannya
juga bagaimana ia terpaksa berbohong mengatakan
pustaka-indo.blogspot.com
98 bahwa Gatot adalah kekasihnya agar ada alasan un-
tuk mengurus perceraiannya.
"Hm begitu rupanya."
"Ya. Jadi, maaf lho, aku terpaksa berbohong begi-
tu karena yang dilihat Hendra jalan bersamaku
adalah kau. Jangan marah ya?" Yulia melanjutkan
bicaranya. "Kalau yang jalan bersamaku laki-laki
lain, pasti kepadanyalah aku akan minta bantuan.
Bukan kau."
Gatot tertawa lembut, kemudian menggeleng.
"Aku tidak marah, Yulia. Kau tidak usah merasa
bersalah. Aku bersedia membantu melancarkan san-
diwaramu supaya suamimu mau memikirkan perce-
raian. Menurutku, perkawinan kalian yang tidak
sehat itu harus diselesaikan. Kalau mau terus, ya
perbaikilah secepatnya. Kalau tidak, ya harus di-
akhiri. Kau ingin memikirkan masa depanmu,
kan?" sahutnya.
Wajah Yulia tampak cerah.
"Tentu saja. Aduh, betapa lega hatiku. Beberapa
hari lamanya aku gelisah dan pikiranku sangat ka-
cau sampai susah tidur. Tidak enak minta bantuan
kepada laki-laki yang sudah bertunangan, walaupun
hanya untuk bersandiwara," katanya. "Oleh sebab
itu, atas kesediaanmu membantuku aku mengucap-
kan terima kasih."
"Wah, formal sekali kau. Ini bukan Yulia yang
kukenal," gumam Gatot, sambil tersenyum lembut.
"Masalah seperti ini kan bisa diatasi tanpa harus
dipikir seberat itu."
pustaka-indo.blogspot.com
99 "Memang bukan kebiasaanku memikirkan sesua-
tu yang tidak menentukan mati hidup sedemikian
mendalamnya. Apalagi sampai susah tidur, seolah
tidak ada jalan keluarnya sama sekali. Dalam kasus
ini, hatiku benar-benar terbebani. Kenapa? Karena
ada kebohongan dan ketidakjujuran di dalamnya.
Sudah begitu, membawa-bawa orang lain pula...
dalam hal ini dirimu, masuk ke lingkaran kebo-
hongan yang sudah telanjur kusuguhkan kepada
Hendra."
"Ah, aku mulai memahami persoalannya."
"Pasti tidak terpikir olehmu bahwa kebohongan
yang dilakukan Hendra terhadap keluargaku menja-
di penyebab utama tertekannya perasaanku. Bisa-
bisanya ia bilang masih bujangan, padahal sudah
beristri dan punya tiga orang anak. Kebohongannya
juga meninggalkan luka batin dan rasa malu yang
berkepanjangan dalam keluargaku. Karena penga-
laman pahit itulah aku tidak ingin menyeret siapa
pun ke dalam kebohongan yang kubuat."
"Kan tadi sudah kubilang, aku akan membantu-
mu mengatasi masalah yang sedang kauhadapi. Itu
artinya, aku sudah siap dengan segala risikonya.
Lagi pula, apa sih susahnya main sandiwara. Dulu
di SMA, aku sering main drama lho." Gatot tertawa
lagi.
Percakapan mereka terhenti karena datangnya
pesanan makanan yang langsung diletakkan di atas
meja oleh pelayan. Aromanya menerbitkan rasa la-
par, sehingga untuk sementara pembicaraan serius
pustaka-indo.blogspot.com
100 itu agak terabaikan dan baru kemudian dilanjutkan
sesudah hidangan di atas meja nyaris habis dan pe-
rut mereka kenyang. Setelah minum jus mangganya,
Gatot mulai menyinggung lagi masalah yang sedang
dihadapi Yulia.
"Bagaimana bila untuk melengkapi sandiwara
yang akan kita mainkan, pertemuan ini kita lanjut-
kan dengan nonton film?"
"Apa pulangnya tidak terlalu malam?"
Gatot melihat arlojinya. Sekarang sudah hampir
pukul setengah delapan.
"Kurasa paling lambat pukul sebelas kau sudah
akan sampai di rumah kembali. Atau kau sudah
mengantuk?"
"Tidak. Aku biasa tidur malam. Apalagi bila se-
dang mengoreksi ulangan murid-muridku," jawab
Yulia.
"Jadi, mau kan kuajak nonton film? Ada film
bagus yang sedang diputar. Temanku yang jarang
memuji kali ini berulang kali mengatakan padaku
bahwa film itu betul-betul bagus."
"Baiklah. Iklanmu mengena juga ke hatiku."
"Sekali-sekali menghibur diri kan baik, Yulia. Ja-
ngan bergulat dengan pekerjaan saja," kata Gatot.
"Kok tahu?"
"Kira-kira saja. Mengingat masa kecilmu yang
penuh dengan variasi kegiatan, sepertinya sekarang
kau tampak lebih serius karena tenggelam dalam
rutinitas pekerjaanmu dari hari ke hari."
"Kok tahu?"
pustaka-indo.blogspot.com
101 "Ya tahu, dong. Lidahmu sekarang kan tidak seta-
jam ketika masih kecil," sahut Gatot.
Yulia tertawa mendengar perkataan Gatot.
"Baru beberapa malam yang lalu Hendra ber-
ulang kali mengatakan bahwa lidahku sekarang ini
sangat tajam dan pandai memojokkan orang," kata-
nya kemudian. "Sekarang kaubilang sebaliknya.
Mana yang betul?"
"Dua-duanya betul," Gatot ikut tertawa. "Arti-
nya, lidahmu akan tajam dengan seketika bila ada
orang yang menyinggungmu."
"Kok tahu?" Yulia menelengkan kepalanya.
Gatot tertawa lagi.
"Kok tahu kok tahu," katanya kemudian. "Apa
tidak ada kalimat tanya yang lebih baik?"
"Oke, aku tidak akan bertanya seperti itu lagi,"
Yulia tersenyum. "Kembali ke soal semula, kuakui
aku memang kurang menghibur diri karena sibuk
dengan pekerjaanku. Terus-terang saja, aku sengaja
bekerja keras mengumpulkan uang muka untuk
membeli kendaraan."


Sayap Sayap Cinta Karya Maria A. Sardjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Untuk?"
"Untuk kendaraan keluarga. Waktu Mas Rudi
menikah, mobil kami satu-satunya terpaksa kami jual
untuk membiayai pernikahannya. Aku kasihan pada
Ibu, ke mana-mana naik kendaraan umum padahal
kakinya pernah patah. Itu juga gara-gara sepatu tinggi-
nya tersangkut waktu mengejar kendaraan umum."
"Ibumu bisa menyopir?"
"Bisa. Aku yang mengajarinya. Bapak yang me-
pustaka-indo.blogspot.com
102 nyuruhnya belajar supaya tidak menggantungkan
diri pada anak-anak dan suami."
"Tampaknya Oom Hardi bisa membahagiakan
ibumu."
"Kelihatannya begitu." Yulia mengangguk.
Setelah membayar makanan yang mereka santap,
Gatot dan Yulia berjalan bersisian menuju tempat
parkir. Motor Gatot tampak paling keren. Baik ben-
tuk maupun besarnya. Dari bagasi mininya, Gatot
mengeluarkan jaket dan mengenakannya. Yulia
meliriknya. Tubuh laki-laki itu tampak tinggi dan
gagah. Pantas sekali ia mengenakan jaket kulit itu.
"Aku sengaja membawa dua jaket. Pikirku, jaga-
jaga bila yang membonceng memerlukannya," kata-
nya sambil mengeluarkan sehelai jaket lagi. Jaket
yang dipakainya berwarna hitam, yang baru dike-
luarkannya berwarna cokelat tua. "Ini bersih. Tidak
berbau badan lelaki."
"Aku sudah terbiasa bau badan lelaki," sahut
Yulia, sambil tertawa.
"Aku lupa bahwa kau pernah bersuami."
Tawa Yulia lenyap seketika begitu mendengar ko-
mentar Gatot.
"Bukan itu yang kumaksud," katanya, sedikit ke-
tus. "Kau kan tahu, aku punya kakak lelaki. Dua
adikku juga laki-laki. Tambah seorang adik laki-laki
lagi dari Bapak yang sekarang. Jadi, bagaimana aku
tidak terbiasa bau badan laki-laki?"
"Maaf aku tidak bermaksud menyinggung pera-
saanmu."
pustaka-indo.blogspot.com
103 "Aku tahu. Lupakan saja."
"Pakailah jaket ini, biar tidak kena angin ma-
lam," kata Gatot mengubah topik pembicaraan.
"Lalu, naiklah."
"Aku tidak terbiasa memakai jaket. Kau tahu
kan, tubuhku terbuat dari bahan-bahan yang tak
mudah lapuk kena hujan dan tak lekang kena pa-
nas. Jangankan cuma angin biasa, kena hujan saja
tidak apa-apa," Yulia menjawab, sambil mulai du-
duk di atas motor. Jaket yang diulurkan Gatot di-
kembalikan pada pemiliknya. Sebagai gantinya, ia
mengenakan helm di kepalanya. "Simpan sajalah.
Aku tak membutuhkan."
"Waktu kita bertemu pertama kali di emperan
toko, kau sembunyi dari air hujan, kan?" Laki-laki
itu mengingatkan sambil tertawa.
"Kalau yang itu sih lain soal. Aku aku tidak
ingin orang melihat pakaianku melekat ketat ke
tubuhku... karena basah," jawab Yulia agak tersipu.
"Memalukan."
Gatot tersenyum maklum sambil mulai menyala-
kan mesin motornya. Motor besar itu meninggalkan
halaman rumah makan melaju ke jalan raya dan
membelah lalu lintas menuju bioskop. Angin ma-
lam membelai dan mengembus rambut Yulia yang
tak tertutup helm. Namun, ia tak peduli. Hatinya
sangat lega karena bisa mempertemukan Gatot de-
ngan Hendra sewaktu-waktu.
Di tengah jalan, Gatot melihat arlojinya. Pertun-
jukan akan diputar sebentar lagi.
pustaka-indo.blogspot.com
104 "Karena memburu waktu, bolehkah aku memper-
cepat laju motor ini?" tanyanya. "Kalau kau tidak
setuju, katakan saja."
"Aku tidak apa-apa. Kalau mau sedikit ngebut,
silakan saja."
"Kau tidak takut?"
"Kalau aku takut, aku akan mengatakannya nan-
ti. Kau tadi kan bilang padaku, soal keamanan aku
tak perlu khawatir. Cara mengemudimu mantap,"
jawab Yulia. "Aku percaya itu."
"Kau memang orang yang sangat menyenangkan,
Yulia."
"Jangan memuji seperti itu, seakan kau tidak per-
nah mengejekku saja." Yulia tertawa lembut. "Apa-
kah kau tidak ingat bagaimana pandanganmu terha-
dapku dulu?"
"Ah jangan mengungkit masa lalu," sahut
Gatot agak tersipu. "Dulu aku kan masih hijau.
Kubiarkan diriku dipengaruhi Nuning, karena wak-
tu itu ia kuanggap seperti adikku sendiri. Apa saja
yang dikatakannya langsung masuk ke pikiranku
tanpa kusaring."
Yulia tidak menjawab. Gatot sedang mempercepat
laju kendaraannya dan menyalip bus besar, nyaris
menyenggol sebuah taksi yang sama-sama sedang
ngebut. Gatot segera mengalihkan kendaraannya ke
jalur lain yang tak terlalu padat dengan gesit.
"Hati-hati!" Yulia mengingatkan sambil mengem-
buskan napas lega. "Hampir saja."
"Takut?"
pustaka-indo.blogspot.com
105 "Bukan begitu," jawab Yulia. "Cuma agak kaget
saja, karena pegangan tanganku di tepi sadel tadi
nyaris terlepas."
"Kalau begitu lingkarkan tanganmu ke pinggang-
ku. Lebih aman."
"Ah, kau gila. Terlalu intim!"
"Lho, kita kan kenalan lama. Masa kau merasa
sungkan kepadaku sih," jawab Gatot. "Anggap saja
aku sama seperti Bambang, Nanang, Andi, Fajar,
atau teman-teman bermainmu. Terhadap mereka
kau bisa bebas bergaul. Aku pernah melihat kalian
rebutan bola sampai berguling-guling."
"Waktu itu aku kan masih kecil. Kalau sekarang
aku disuruh memeluk perut mereka, aku pasti tidak
mau."
"Sudahlah jangan berpikir panjang lagi. Memeluk
perutku pasti lebih aman daripada berpegang pada
boncengan. Kita kan berteman, masa sungkan. Ayo-
lah, ini kan demi keamanan."
Apa boleh buat. Tangan Yulia terpaksa mengunci
perut Gatot, sebab sebenarnya ia merasa agak ngeri
duduk di atas motor ngebut dengan tangan hanya
berpegang pada boncengan. Biasanya bila duduk di
boncengan adik-adiknya, tangannya memeluk bahu
atau perut mereka.
Namun, sekarang pinggang yang dipeluk Yulia
bukan milik Ardi atau Dedi. Akan tetapi, pinggang
lelaki lain yang gagah dan menarik. Pinggang Gatot
yang semasa mereka kecil dulu menjadi musuh be-
buyutannya. Tak pernah terbayang sekilas pun ia
pustaka-indo.blogspot.com
106 akan duduk di belakang laki-laki itu dengan me-
meluk pinggangnya erat-erat. Pikiran itu menyebab-
kan jantung Yulia berdebar aneh. Apalagi setiap kali
Gatot mengerem motornya, terjadi persentuhan an-
tara dadanya dengan punggung laki-laki itu. Tak
enak hatinya. Ingin sekali ia menarik lengannya
dari perut Gatot. Namun, sudah terlambat.
Yulia tidak tahu bagaimana perasaan Gatot me-
nanggapi keintiman fisik yang tiba-tiba terjadi di
antara mereka, sebab laki-laki itu tidak berkata apa-
apa. Bahkan, ketika mereka telah tiba di halaman
bioskop tangannya menepuk-nepuk lembut pung-
gung telapak tangan Yulia yang masih berada di
atas perutnya begitu motornya berhenti.
"Sudah sampai ya?" Merasa risi, Yulia bertanya,
sambil melepaskan lengannya dari pinggang
Gatot.
"Ya, sudah sampai ke tempat yang kita tuju. Ce-
pat, ya?" Gatot menjawab sambil membuka helm-
nya. "Eh, kelihatannya kita tampak mesra, ya? Bila
Hendra melihat kita tadi, pasti langsung percaya
bahwa kita pacaran."
Yulia tertawa sambil berusaha tidak tersipu-sipu.
Karenanya, ia segera turun dari boncengan sambil
melepas helmnya.
"Sayangnya ia tidak melihat kita?" sahutnya.
"Jangan khawatir. Dalam kesempatan berikutnya,
bila kita berhadapan dengan dia, aku akan memper-
lihatkan kemesraan kita. Hanya sandiwara memang,
tetapi akan sangat meyakinkan. Percayalah."
pustaka-indo.blogspot.com
107 Aneh rasanya. Mendengar janji itu, dada Yulia
mulai berdegup kencang lagi. Sesuatu yang sebenar-
nya sudah lama sekali tidak pernah dirasakannya.
Padahal, janji yang diucapkan Gatot hanyalah janji
bersandiwara di depan Hendra. Bukan karena alasan
lain. Oleh karena itu, lekas-lekas ia mengalihkan pera-
saannya dengan menatap gedung yang ada di hadap-
annya dan memperhatikan orang-orang yang lalu-
lalang di sana. Ia mengira dengan begitu ia bisa
melupakan debar-debar dadanya yang aneh tadi. Na-
mun, ternyata tidak. Melihat beberapa pasangan yang
berpelukan masuk atau keluar gedung, debar tadi ma-
lah datang lagi. Ia jadi teringat pada kedekatan fisik
yang baru saja terjadi antara dirinya dengan Gatot.
Terlebih lagi ketika mereka sudah duduk bersisian di
dalam remangnya gedung bioskop, lengan mereka
yang bertumpu pada lengan kursi bersentuhan dan
saling menebarkan kehangatan tubuh masing-masing.
Begitu pula, debar jantung itu datang lagi di dada
Yulia ketika dua jam kemudian mereka telah berada
di jalan raya kembali dan lengannya melingkari perut
Gatot. Laki-laki itu yang menyuruhnya. Yulia juga
dipaksa memakai jaketnya.
"Pakailah. Angin malam terasa tajam hari ini,"
begitu kata Gatot tadi. "Meskipun cuaca terang,
siapa tahu tiba-tiba turun hujan. Musim hujan ma-
sih belum selesai."
Karena malam itu angin memang terasa lebih
tajam daripada biasanya, Yulia terpaksa menurut.
Jantungnya jadi semakin berdebar-debar, sebab mes-
pustaka-indo.blogspot.com
108 kipun Gatot mengatakan bahwa jaketnya bersih
dan tidak berbau badan laki-laki, namun Yulia ma-
sih bisa mencium bau khas laki-laki. Campuran
aroma minyak wangi dan bau tembakau. Suka atau-
pun tidak, Yulia seperti diingatkan bahwa jaket
yang dikenakannya milik laki-laki yang tak ada kait-
an darah dengan dirinya. Bukan Ardi, bukan Dedy.
Namun, Gatot.
Sungguh, pengalamannya bersama Gatot selama
berjam-jam malam itu seperti membangunkan sesua-
tu yang selama bertahun-tahun telah mati dalam
dirinya. Seperti seekor singa yang lama tertidur dan
tiba-tiba dibangunkan, Yulia merasakan adanya sema-
cam kelaparan yang merayapi hatinya. Kelaparan
untuk mengikatkan hatinya pada seorang laki-laki.
Yah, ia memang termasuk perempuan yang tang-
guh, tegar, berani, dan tahan uji. Ia juga termasuk
perempuan liar, dalam arti tiadanya keinginan men-
jalin ikatan yang bisa menjadi belenggu baginya. Ia
tidak ingin menikah bila hatinya belum yakin bahwa
itulah jalan yang sungguh-sungguh diinginkannya.
Ketika menjalin hubungan dengan Hendra hampir
dua tahun yang lalu, ia merasa itulah jalan yang tepat
untuknya. Namun, ketika sehari sebelum pernikahan
Yulia mengetahui bahwa ternyata Hendra sudah
berkeluarga, seluruh perasaannya hancur luluh seperti
debu. Ia tak hanya merasa dipermainkan oleh Hendra
si pembohong, tetapi juga merasa dipermainkan oleh
nasib. Pintu hatinya yang sebelum berhubungan
dengan Hendra sulit dibuka oleh siapa pun, sejak
pustaka-indo.blogspot.com
109 kejadian itu langsung tertutup kembali. Lebih rapat
dan lebih terkunci daripada sebelumnya. Sekarang,
tiba-tiba saja rasa lapar untuk dicintai dan mencintai,
untuk dihangati hatinya dan dilindungi seperti dulu
almarhum ayahnya melindunginya mulai menggang-
gu batinnya lagi. Ulu hatinya terasa sakit merindukan
sesuatu, entah apa itu. Ia tidak tahu persis siapa atau
apa yang ia rindukan. Namun, apa pun itu telah me-
nimbulkan pengertian pada diri Yulia bahwa jauh di
relung hatinya sebenarnya ia merasa kesepian. Amat
kesepian.
Tanpa disadari, pipinya tiba-tiba saja sudah ba-
sah. Ah, ternyata ia sama seperti perempuan lain.
Ada kelembutan hati yang mengait perasaan untuk
mengasihani diri sendiri. Ada kerinduan untuk


Sayap Sayap Cinta Karya Maria A. Sardjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dipeluk, dilindungi, dihangati, dan dicintai seorang
laki-laki. Kemandirian jiwanya seperti dilecehkan.
Sambil memeluk guling dan menyentuhkan
ujungnya ke pipinya yang basah, Yulia mencoba
mengibaskan perasaan yang menyebabkan hatinya
menjadi lemah. Kemudian, dipejamkan matanya
dan berusaha segera terlelap tidur. Namun, lama
sekali setelah kantuk itu datang dan nyaris mengan-
tarkannya ke dunia mimpi, tiba-tiba saja terlintas
rasa iri hati yang ditujukannya pada Nuning. Pera-
saan yang baru kali ini dialaminya. Pikirnya, apa
saja yang diinginkan Nuning selalu tercapai. Terma-
suk menjadi kekasih laki-laki bernama Gatot.
pustaka-indo.blogspot.com
110 Yulia langsung berdiri dari tempat duduknya di
teras begitu melihat Gatot masuk ke halaman
dengan motor besarnya. Dirapikannya lipit gaun-
nya. Sore itu ia tampak cantik sekali. Dengan gaun
berbunga-bunga warna lembut dan kalung etnik
yang senada, ia tampak anggun dan feminin. Kulit-
nya yang kuning bersih seperti bercahaya tertimpa
sinar matahari sore yang masih menyisakan kemilau
cahayanya.
Ibunya yang sejak tadi duduk menemani,
mengangkat wajah dari majalah yang terbentang di
tangannya. Melalui kacamata bacanya yang melorot,
perempuan paru baya yang masih rupawan itu
menatap Yulia.
"Ia sudah datang...," gumamnya entah pada
siapa. Pada Yulia ataukah pada diri sendiri.
"Ya."
Empat
pustaka-indo.blogspot.com
111 "Sebenarnya kalian mau ke mana?"
"Mau jalan-jalan, Bu." Yulia menjawab sekena-
nya. Bukan seperti itu yang sebenarnya. Tadi siang
Hendra meneleponnya, mengajak makan malam.
"Malam ini aku sengaja menyediakan waktu un-
tuk bertemu denganmu, Yulia. Bersama kekasihmu,
tentu saja." Begitu Hendra berkata kepadanya tadi.
"To-long katakan kepadanya."
"Oke. Nanti aku akan mengabarimu mengenai
bisa atau tidaknya," sahut Yulia agak kesal. Bila se-
dang ada maunya, Hendra sering tidak melihat
waktu dan kurang memikirkan apakah orang lain
sudah punya acara sendiri atau tidak. Tahu-tahu
saja sudah menentukan waktu sendiri.
Untung saja Gatot tidak punya acara apa-apa
sehingga mereka bisa memenuhi undangan Hendra
malam itu juga. Sekarang mereka siap meluncur ke
rumah makan yang telah ditentukan Hendra. Meli-
hat itu, ibu Yulia merasa kurang senang.
"Yulia, beberapa waktu lalu Ibu pernah bilang
kepadamu, sayang Gatot sudah bertunangan," kata-
nya dengan berbisik. Saat itu Gatot sedang melepas
helmnya. "Jadi, Ibu harap kau akan terus meng-
ingat hal itu."
"Ya, Bu. Aku pasti ingat hal itu. Ibu tidak usah
khawatir."
"Sulit bagi Ibu tidak merasa khawatir. Ibu kenal
betul dirimu. Selama ini susah sekali kau diajak
pergi laki-laki. Tetapi, sejak bertemu kembali de-
ngan Gatot sudah beberapa kali kau pergi bersama-
pustaka-indo.blogspot.com
112 nya. Ingat, Yulia, ia sudah bertunangan. Jangan
sampai sejarah terulang lagi."
"Pasti, Bu. Sudah kukatakan, aku ingat hal itu,"
bisik Yulia semakin pelan, karena langkah kaki
Gatot sudah menuju arah mereka. Namun, perka-
taan yang diucapkan dengan pelan itu gaungnya
masuk ke dalam batinnya dan mengganggu ke-
damaian hatinya. Menyesakkan dada rasanya.
Setelah berbasa-basi sebentar dengan ibunya,
Gatot segera mengajak Yulia pergi. Jam pertemuan
yang sudah direncanakan Hendra, semakin dekat
waktunya. Yulia berusaha menghilangkan perasaan
tak enak tadi. Bagaimanapun, ibunya betul. Ia ha-
rus ingat bahwa Gatot sudah mempunyai tunangan.
Tidak baik bila ia dan Gatot sering pergi berdua-
dua saja.
Gatot yang tidak mengetahui apa yang sedang
membebani perasaan Yulia, menoleh ke arahnya.
"Kita naik taksi saja ya," kata laki-laki itu, begitu
mereka turun dari teras. "Aku tidak ingin rambut-
mu yang tak tertutup helm kusut masai dipermain-
kan angin. Aku juga tidak ingin melihatmu ribet
duduk di boncengan karena memakai gaun. Kita
akan menghadapi situasi yang sedikit formal malam
ini."
"Jadi, motormu akan kau tinggal di sini?"
"Ya."
"Kalau begitu, izinkan aku yang membayar ong-
kos taksinya. Ini kan untuk kepentinganku. Kau
sudah terlalu banyak mengeluarkan uang untuk se-
pustaka-indo.blogspot.com
113 suatu yang bukan urusanmu. Jadi, sekarang giliran-
ku yang membayar. Jangan kaubantah ya," kata
Yulia.
Gatot tertawa.
"Jangan mempersoalkan hal yang tak penting.
Aku senang kok menraktirmu. Aku punya uang
untuk itu," katanya kemudian. "Aku pasti akan
mengatakan kepadamu bila dompetku kosong atau
sedang tidak punya uang. Aku bukan orang yang
suka jaga gengsi. Jadi, biarlah aku yang nanti
membayar ongkos taksinya."
"Selalu saja kau mau menangnya sendiri. Lalu,
kapan aku ganti mengeluarkan uang dari dompet-
ku?" Yulia menggerutu.
"Pasti akan ada saatnya, mengingat sandiwara
kita belum tamat." Gatot tertawa. Lagi pula, kalau
kau yang membayar taksi, apa nanti kata suamimu?
Dikiranya kau sedang berpacaran dengan lelaki
pengangguran."
Mau tak mau Yulia tertawa mendengar perkataan
Gatot. Tangannya melambai ke udara.
"Sudahlah, aku mengalah. Tetapi ingat, hanya
untuk kali ini. Aku tidak suka terlalu banyak
berutang. Sudah utang budi, utang uang pula,"
katanya.
"Aku tak pernah memberimu piutang," Gatot
menukas.
"Sudahlah, sudah. Bicara denganmu hanya akan
menghabiskan napasku." Yulia memukul pelan
lengan Gatot.
pustaka-indo.blogspot.com
114 "Tuhan Mahaadil."
"Apa kaitannya dengan urusan kita?" Yulia meli-
rik Gatot sambil menelengkan kepalanya. Gerakan
itu memesona laki-laki yang sedang diliriknya. Pikir
Gatot, belum tentu perempuan lain akan semenarik
itu apabila melakukan hal yang sama.
"Dulu, aku sering merasa kewalahan bila sudah
berbantah kata denganmu. Lidahmu tajam sekali,
sehingga aku sering pulang ke rumah dengan pera-
saan dongkol," jawab laki-laki itu, sambil mengusir
daya pesona tadi dari kepalanya. "Sekarang, aku
mempunyai kesempatan membalasmu. Maka kataku
tadi, Tuhan itu adil."
Begitulah saling menukas, saling mengejek, dan
saling melempar senyum serta kerlingan mewarnai
sepanjang perjalanan mereka. Orang yang melihat
kelakuan keduanya pasti akan mengira mereka ada-
lah sepasang kekasih yang saling mencinta. Kedua-
nya tampak mesra. Itulah yang terlihat oleh Hendra
ketika mereka jalan beriringan masuk ke rumah
makan sambil mencari-cari di mana meja yang te-
lah dipesan Hendra. Pasangan yang tampak serasi
itu jalan berdampingan, sesekali tangan Yulia menin-
ju lembut lengan Gatot, dan keduanya tertawa
mesra.
Melihat kemesraan pasangan yang tampak serasi
itu, hati Hendra terasa berdesir. Lebih-lebih ketika
ia melihat beberapa pengunjung rumah makan me-
lemparkan pandang kagum kepada pasangan yang
baru masuk itu. Tak heran, karena keduanya sama-
pustaka-indo.blogspot.com
115 sama tampak menarik. Gatot ganteng dan Yulia
jelita.
Ketika akhirnya Yulia melihat Hendra duduk di
luar dekat kolam hias dengan airnya yang gemercik,
ia segera menggamit Gatot dan mengajaknya ke
sana. Kemudian, ia memperkenalkan kedua laki-laki
itu seperlunya. Sama sekali ia tidak menyadari ba-
gaimana Hendra berulang kali memandang wajah-
nya yang malam itu tampak cerah di matanya.
Bukan keceriaan yang hanya pura-pura belaka, me-
lainkan keluar dari hatinya. Bagaimana tidak? Bisa
membawa "kekasihnya" kepada Hendra adalah
sesuatu yang sebelumnya tak berani ia bayangkan
akan terwujud. Lagi pula, sepanjang pertemuan
mereka Gatot tampak sangat mesra terhadapnya.
Termasuk mengambilkan makanan dan menempat-
kannya di atas piringnya dengan sikap hangat. Keti-
ka Yulia dan Hendra berpacaran, kemesraan sema-
cam itu tak pernah diterimanya dari laki-laki itu.
"Ini enak sekali. Cobalah," begitu antara lain
ucapan Gatot penuh kemesraan, yang membuat
Yulia nyaris terhanyut oleh situasi yang dihidupkan
laki-laki itu. Padahal, ia tahu betul itu hanyalah
bagian dari sandiwara mereka.
Yulia menjadi sulit mengunyah makanan yang
masuk ke dalam mulutnya. Apalagi menelannya.
Namun, ia yakin Hendra pasti mengalami hal yang
sama. Nyatanya begitu selesai makan, laki-laki itu
langsung melontarkan pertanyaan.
pustaka-indo.blogspot.com
116 "Andaikata saya dan Yulia nanti bercerai, kapan
Anda akan menikah dengannya?"
Mendengar pertanyaan itu, dada Yulia langsung
bergetar. Bagaimana mungkin mereka akan meni-
kah? Gatot akan menikah dengan Nuning. Mereka
telah bertunangan. Karena lintasan pikiran itu,
mata Yulia menatap Gatot. Ia ingin tahu apa jawab-
an laki-laki itu.
Akan halnya Gatot, begitu ditanya Hendra, lang-
sung menoleh ke arah Yulia, kemudian tersenyum
manis dan mesra kepadanya.
"Rencana kami, setelah Yulia bercerai dengan
Anda maka enam bulan kemudian kami akan me-
nikah," katanya. "Begitu kan, Sayang?"
"Yyyaa." Yulia nyaris tergagap.
"Begitu cepat?" Hendra berkata lagi.
"Tidak terlalu cepat, bila mengingat kami sudah
lama sekali menantikan saat itu," jawab Gatot, se-
olah memang seperti itu keadaannya. Pikir Yulia,
Gatot memang pandai bersandiwara, persis seperti
yang pernah diakuinya. Yulia menjadi terbawa arus
yang ditimbulkan oleh laki-laki itu.
"Betul begitu, Yulia?" Sekarang Hendra ganti me-
lemparkan pertanyaan kepada Yulia.
"Ya," cepat-cepat Yulia menjawab, nyaris terse-
dak. "Bahkan jika tidak harus mempersiapkan segala
sesuatunya lebih dulu, kami ingin menikah dua bu-
lan mendatang," Gatot menimpali. "Ya kan, Sa-
yang?"
pustaka-indo.blogspot.com
117 Mendengar perkataan Gatot, Yulia menahan na-
pas. Keterlaluan Gatot. Hendra malah bisa curiga
karenanya.
"Yyaa.," dengan terpaksa ia menjawab.
"Itu tidak bisa. Dua bulan belum habis masa
idah bagi Yulia," komentar Hendra cepat-cepat.
Yulia melemparkan pandang matanya kepada
Hendra.
"Untuk apa harus menunggu masa idah," sahut-
nya ketus. Perkataan Hendra tadi membuatnya
merasa kesal dan muak. "Kita toh tak pernah ting-
gal di bawah atap yang sama?"
"Apa pun alasannya, kita harus menaati peratur-
an."
"Sudahlah, masalah itu jangan diperdebatkan,"
Gatot menyela. "Kita sudah menanti lama. Ditam-
bah seratus hari lagi tidak apa-apa, kan? Bersabar-
lah."
Yulia terdiam. Dalam hatinya ia merasa malu.
Sadar bahwa yang mati-matian dipertahankannya
barusan hanyalah bagian dari sandiwara belaka.
Melihat Yulia terdiam, Hendra juga mengunci mu-
lutnya. Keheningan itu terasa menyesakkan dada.
Gatot yang mulai merasa tak enak mencoba mene-


Sayap Sayap Cinta Karya Maria A. Sardjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tralisir dengan mengambil rokoknya.
"Boleh aku merokok?" tanyanya pada Yulia.
"Satu batang saja. Meskipun kita duduk di luar,
tetap saja asapnya ada yang masuk ke paru-paruku."
Yulia menjawab seadanya.
Gatot tersenyum. Kemudian ia menawari rokok-
pustaka-indo.blogspot.com
118 nya pada Hendra yang langsung menerimanya.
Ketika kedua laki-laki itu mulai merokok, Yulia
tahu bahwa Hendra sering mengawasinya lewat
asap rokoknya. Ia mulai gelisah karenanya. Apakah
laki-laki itu mencurigai sandiwaranya? Lagi pula,
sejak tadi belum sepatah kata pun Hendra berbicara
mengenai rencana perceraian mereka. Laki-laki itu
hanya mengatakan ?andaikata saya dan Yulia berce-
rai? kepada Gatot. Andaikata...
"Mas Hendra, hari sudah semakin malam," kata
Yulia pada akhirnya. Kesabarannya mulai habis.
"Kami masih mempunyai acara lain dan aku tidak
ingin pulang terlalu malam."
"Begitu?"
Mendengar jawaban Hendra. Yulia agak marah.
"Kami sudah datang memenuhi undanganmu,"
lanjutnya dengan suara tak sabar. "Aku sudah mem-
perkenalkan padamu laki-laki yang akan menikah
denganku sebagaimana permintaanmu. Sekarang
aku ingin supaya kita mulai membahas perceraian
dan kemudian segera merealisasikannya."
"Kelihatannya kau sudah tidak sabar."
"Bukan hanya kelihatannya, tetapi aku memang
benar-benar sudah tidak sabar lagi. Kurasa sudah
cukup lama aku kelewat sabar. Hampir dua tahun
aku menjadi istri yang bukan istri sebenarnya," kata
Yulia lagi, dengan perasaan kesal yang tak disembu-
nyikannya.
Hendra tidak menjawab, asyik dengan asap ro-
koknya dan sikapnya seolah menyepelekan. Gatot
pustaka-indo.blogspot.com
119 yang selama beberapa waktu lamanya tidak ingin
turut campur, kini mulai merasa kesal juga.
"Sebaiknya kita kembalikan pembicaraan pada
masalah pokok, yaitu mengenai rencana saya meni-
kah dengan Yulia. Jadi, saya harap Mas Hendra
bersama Yulia segera mengurus perceraian. Tidak
ada gunanya mempertahankan pernikahan yang tak
sehat, sebab hanya akan membuang waktu saja,"
katanya. "Yulia berhak mencari kebahagiaannya sen-
diri. Anda toh sudah hidup berbahagia dengan istri
dan anak-anak. Yulia bukan jodoh Anda, Mas. Ada
banyak ketidakcocokan di antara kalian."
"Maaf, jangan ikut campur urusan kami. Anda
hanya orang luar. Ingat, saat ini Yulia masih istri
sah saya."
"Saya bukan orang luar, Mas. Saya calon suami
Yulia," Gatot menjawab tegas. "Jadi, saya berhak
bicara. Lagi pula, saya datang ke sini atas undangan
Anda. Pasti bukan sekadar untuk makan malam
bersama saja, kan? Tetapi, juga untuk bicara hal
penting berkaitan dengan rencana hidup kita ke
depan."
Yulia meliriknya. Sekali lagi Yulia harus meng-
akui betapa hebat sandiwara yang dimainkan Gatot.
Ia sendiri pun semakin terhanyut, seolah dirinya
memang calon istri laki-laki itu. Padahal, calon istri
Gatot bukan dia, tetapi gadis lain.
Hendra mematikan rokoknya yang panjangnya
masih separuh.
"Yulia tidak akan menjadi istri Anda sebelum
pustaka-indo.blogspot.com
120 kami bercerai," jawabnya, tanpa memandang yang
diajaknya bicara.
"Betul sekali. Justru karena itulah Yulia dan saya
datang memenuhi undangan Anda untuk membica-
rakan perceraian. Semakin cepat, akan semakin
baik," sahut Gatot dengan tangkas.
"Gatot benar, Mas Hendra. Sebaiknya perceraian
itu kita urus secepatnya agar urusan ini cepat sele-
sai," Yulia menyela pembicaraan kedua laki-laki
yang duduk di dekatnya.
Hendra terdiam lagi. Dengan sikap acuh tak
acuh ia menatap Yulia lagi. Kedua bola matanya
menyiratkan penentangan sehingga hati Yulia men-
dongkol. Ia mulai bicara lagi.
"Kau jangan terlalu lama menunda-nunda sesua-
tu yang selama ini terkatung-katung tak menentu
begini. Bila kau tidak mau mengurusnya, jangan
marah bila aku akan mengambil jalur hukum."
"Mengancam?" Wajah Hendra mulai memerah.
"Aku tidak mengancammu. Aku cuma ingin me-
nuntut hakku sebagai seorang pribadi," Yulia mem-
bela diri. "Aku kan bukan barang. Aku ini seorang
individu dan warga negara bangsa yang pasti dilin-
dungi undang-undang."
Wajah Hendra langsung berubah begitu mende-
ngar makna di balik perkataan Yulia, yang mengan-
dung peringatan akan haknya sebagai warga negara
yang dilindungi.
"Bilang begitu kok tidak mengakui bila kau
pustaka-indo.blogspot.com
121 mengancam aku!" desisnya kemudian dengan mi-
mik cemberut.
"Sudahlah. Jangan memperpanjang masalah,"
kata Gatot menyela. Ia sudah melihat perubahan
wajah Hendra, dan melihat kilat tajam di matanya.
Bila dibiarkan, bisa-bisa kedua orang itu adu mulut
di rumah makan ini dan akan menjadi tontonan
gratis pengunjung lainnya. "Mas Hendra, memang
sudah saatnya perceraian yang diinginkan Yulia sege-
ra diurus demi kebaikan kita semua. Jangan sampai
Yulia menempuh jalan yang tidak kita inginkan.
Jadi, akan lebih baik dan lebih terhormat apabila
perceraian itu dibahas dan diproses secara baik-baik
serta penuh kekeluargaan."
Hendra menyandarkan punggungnya ke kursi.
Meskipun wajahnya tidak sekeras tadi, tetapi kedua
bola matanya masih tampak berkilat-kilat tersulut
api amarah.
"Jadi, kau betul-betul menginginkan perceraian
itu?" tanyanya, setelah menahan diri tidak melem-
par kedua orang di depannya itu dengan asbak.
"Bila tidak, untuk apa kami ke sini?" Yulia me-
lampiaskan kejengkelan hatinya. "Masih tanya
juga!"
"Sudahlah, Mas. Sekarang sudah malam," Gatot
menyela lagi. "Kami harus segera pergi karena ada
acara lain. Saya harap kita bisa bertemu lagi dalam
waktu dekat ini, saat saya mendampingi Yulia meng-
urus perceraian Anda berdua. Saya tidak ingin Yulia
menempuh jalan lain."
pustaka-indo.blogspot.com
122 Hendra menarik napas panjang. Sungguh menye-
balkan apa yang dikatakan Gatot. Ia tahu betul apa
yang dimaksud laki-laki itu dengan perkataan "me-
nempuh jalan lain". Kata-kata yang tak bisa diang-
gap angin lalu belaka, sebab bila betul-betul Yulia
akan menempuh jalur hukum, celakalah reputasinya
di mata umum. Celaka pulalah kehidupannya ber-
sama Astri yang belakangan ini terasa tenang dan
damai. Bila istrinya tahu ia pernah menikah dengan
perempuan lain hampir dua tahun yang lalu, masih-
kah kedamaian dan ketenangan hidup yang ia rasa-
kan sekarang akan tetap berlangsung?
"Bagaimana, Mas Hendra? Kami masih menung-
gu." Suara Yulia memasuki telinga Hendra lagi, dan
membuyarkan lamunannya.
Hendra mengalihkan perhatiannya dengan mena-
tap Yulia yang malam itu tampak amat cantik. Pe-
rempuan cantik ini adalah istrinya, pikirnya dengan
perasaan resah. Namun, rasanya terlalu jauh jarak
yang terbentang di antara mereka. Sudah sejak awal
pernikahan, Yulia tak menganggapnya sebagai suami
kendati mereka menikah secara sah. Apalagi seka-
rang ada laki-laki lain di sampingnya, dan tak lama
lagi Yulia dan Gatot akan menikah. Jarak yang ter-
bentang di antara mereka akan semakin jauh dan
tak mungkin terjembatani. Rasanya memang tidak
ada manfaatnya mempertahankan perkawinan yang
salah sejak awal. Malah banyak risikonya bila dibiar-
kan terkatung-katung begini.
"Bagaimana, Mas?" Sekarang suara Gatot ganti
pustaka-indo.blogspot.com
123 menyusup ke telinga Hendra. Hatinya menjadi se-
bal, apalagi nadanya terdengar mengandung tuntut-
an untuk segera mendapat jawaban darinya.
Hendra kembali cemberut. Brengsek kekasih
Yulia ini, gerutunya dalam hati. Bisa-bisanya menyu-
dutkan orang.
"Bila niat kalian memang sungguh-sungguh ingin
menikah, aku akan mengurus perceraian," katanya,
mulai mengalah karena lelah.
Yulia menahan napas, berusaha keras jangan sam-
pai berteriak kegirangan. Setelah mengatur napas-
nya, barulah ia menjawab.
"Aku besok hanya mengajar dua jam pelajaran.
Bisakah kita bertemu di pengadilan agama sekitar
pukul setengah sebelas untuk mengurus perceraian
kita?"
"Secepat itu?" Hendra menatap Yulia dengan
mata meredup.
"Apa maksudmu, Mas?"
"Kalian berpacaran sudah berapa lama sih?"
"Ditanya kok malah ganti bertanya. Apa sih rele-
vansinya pertanyaanmu itu?" Yulia berkata dengan
kesal.
"Aku hanya ingin mengingatkan, bahwa lamanya
waktu pacaran seharusnya bisa menjadi bahan per-
timbangan sebelum menentukan keputusan meni-
kah."
"Lalu apa relevansinya? Pertanyaanku tadi belum
kaujawab."
"Aku teringat kisah cinta kita. Pacaran enam bu-
pustaka-indo.blogspot.com
124 lan lalu menikah. Sekarang... mau bubar," sahut
Hendra, sambil menatap tajam mata Yulia. "Bagai-
mana dengan kalian? Sudah cukup mantapkah hu-
bungan kalian, Yulia?"
"Tentu saja!" Yulia menukas.
"Yah, kita lihat saja. Waktulah yang nanti akan
bicara," Hendra bergumam. "Menilik sifatmu, aku
tak yakin fondasi hubungan kalian cukup kuat
mengingat waktu pacaran kalian belum lama."
"Kita tidak sedang membicarakan lama atau ti-
daknya orang pacaran, kan?" Yulia memotong per-
kataan Hendra. "Aku pacaran atau bahkan tidak
sama sekali, tetap saja aku ingin bercerai darimu.
Nah, bagaimana kalau besok kita mulai mengurus-
nya?"
"Kalau besok aku keberatan. Aku sudah telanjur
punya janji pertemuan dengan rekan bisnisku."
"Bagaimana kalau lusa?"
"Tidak bisa juga."
"Lalu kapan?"
"Aku belum bisa menentukan secara pasti. Nanti
kukabari."
Merasa frustrasi mendengar jawaban Hendra,
Yulia segera berdiri dari tempat duduknya. Gatot
yang sejak tadi hanya menjadi pendengar ikut bang-
kit. "Aku ingin perceraian kita diurus secepatnya,
Mas. Jangan ditunda-tunda. Jadi, begitu kau ada
waktu, kabari aku," kata Yulia, sambil mengambil
tasnya.
pustaka-indo.blogspot.com
125 Hendra tidak menjawab. Melihat itu, Gatot me-
megang lengan Yulia.
"Ayo, kita pulang sekarang, Sayang."
Yulia mengangguk. Setelah menatap wajah Gatot
sekilas, ia mengembalikan pandang matanya ke arah
Hendra.
"Aku akan sering mengingatkanmu untuk meme-
nuhi janjimu mengurus perceraian kita," katanya.
Hendra masih belum menjawab. Pura-pura sibuk
dengan minumannya. Melihat itu, tanpa berkata
apa-apa lagi Gatot meraih lengan Yulia dan mem-
bimbingnya menuju pintu keluar. Ia tidak meng-
ucapkan terima kasih meski sudah ditraktir Hendra.
Tanpa sadar, ia pun telah terbawa arus oleh sandi-
waranya sendiri. Ia merasa jengkel, karena ia mera-
sakan betul bahwa Hendra masih belum rela berpi-
sah dengan Yulia.
Setelah berada di luar, Yulia mengembuskan na-
pasnya panjang-panjang.


Sayap Sayap Cinta Karya Maria A. Sardjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sarafku tadi tegang semua," cetusnya kemudian,
sambil mengusap rambutnya sendiri. Di dalam hati-
nya ia melanjutkan perkataannya itu, bahwa perasa-
annya juga tegang karena perlakuan mesra Gatot.
Meskipun tahu perlakuan itu hanya bagian dari
sandiwara mereka, namun rasanya seperti kenyata-
an. Seolah mereka memang sedang menjalin hu-
bungan cinta. Gatot benar-benar pandai mengecoh
orang. Bukan hanya Hendra yang terkecoh, namun
juga dirinya.
"Yang penting ia sudah tahu bahwa kau memang
pustaka-indo.blogspot.com
126 telah mempunyai kekasih," sahut Gatot. "Artinya,
sandiwara kita berhasil"
"Ya." Yulia menjawab sekenanya. Bahkan aku
sampai terhanyut, tambahnya di dalam hati. Sam-
pai-sampai nyaris mengira dirinya memang sedang
berpacaran dengan Gatot. "Untuk itu, aku mengu-
capkan terima kasih yang tak terhingga kepada-
mu."
"Kau tak perlu mengucapkan terima kasih. Aku
tulus kok. Lagi pula, aku senang melakukannya."
"Semestinya kau jadi aktor. Pasti sukses. Sandi-
waramu berhasil," sahut Yulia, sambil mengangkat
jempolnya. Ia bermaksud mencairkan suasana yang
diakibatkan sikap Hendra tadi.
"Aku berpikir yang sama."
"Yang mana?"
"Kau juga pandai bersandiwara, sehingga dengan
mudah aku bisa memainkan bagianku." Gatot terta-
wa pelan. "Kurasa, kau akan lebih sukses menjadi
artis daripada menjadi guru."
"Ah, kau." Yulia tertawa lembut.
"Apa yang kukatakan tidak mengada-ada, meski-
pun tadi kukatakan dengan bercanda. Kau benar-
benar seperti artis saat bersandiwara di hadapan
Hendra. Aku merasa terhanyut, seolah kita benar-
benar akan menikah tetapi dihambat olehnya," kata
Gatot lagi. "Lucu rasanya."
Mendengar perkataan itu, hati Yulia bergetar. Se-
perti itu jugalah yang dirasakannya, dan karenanya
perasaannya yang paling lembut tersentuh. Meski-
pustaka-indo.blogspot.com
127 pun sama-sama merasa bahwa sandiwara itu seperti
sungguhan, tetapi Gatot hanya menganggapnya
sebagai lelucon belaka. Namun, Yulia tidak ingin
memperlihatkan perasaannya yang tersentuh. Ia
mencoba tertawa lagi.
"Sayangnya, menjadi guru adalah pilihan hatiku
yang tak bisa ditawar-tawar lagi. Profesi lain kalau-
pun ada, hanya tambahan saja," katanya.
Pembicaraan mereka terhenti. Ada taksi kosong
lewat di depan mereka. Setelah Gatot menghenti-
kannya, mereka langsung naik.
Ketika sudah berada di dalam taksi, Yulia melem-
parkan pandangannya ke luar jendela, menatap lalu
lintas yang hiruk-pikuk. Namun, pikirannya tak
tertuju pada apa yang sedang dipandangnya. Ia ber-
kutat dengan pikirannya sendiri. Kenapa perasaan-
nya bisa begini kacau? Kenapa hatinya bisa bergetar
hanya karena permainan sandiwaranya bersama
Gatot? Apakah ia benar-benar telah jatuh hati kepa-
da laki-laki itu?
Tiba-tiba ia merasakan cubitan pedih yang menu-
suk hatinya, begitu pertanyaan itu melintas di pikir-
annya. Ada kesadaran yang tiba-tiba juga muncul
mengingatkan dirinya. Andaikata ia sampai jatuh
cinta lagi, maka ia akan kehilangan kebebasan hati-
nya. Hidupnya tidak akan tenang lagi, karena batin-
nya akan terbelenggu. Hatinya akan terbebani oleh
berbagai macam perasaan yang kait-mengait. Pada-
hal, sejak Hendra mulai ketahuan belangnya, Yulia
sudah bertekad tidak akan pernah jatuh cinta lagi.
pustaka-indo.blogspot.com
128 Sebagai manusia biasa, Yulia juga memiliki kebu-
tuhan dicintai dengan cinta yang tulus. Namun,
mengenai hal itu ia tidak mau memikirkannya lagi.
Keberanian untuk menyerahkan hatinya kepada
seseorang, telah hilang sejak lama.
"Kok melamun, Yulia? Apa sih yang sedang kau-
pikirkan?" Gatot yang melihatnya diam saja, mulai
memecah kesunyian.
Lamunan Yulia langsung buyar. Lekas-lekas ia
mengembalikan perhatiannya ke ruang dan waktu
yang sedang dihadapinya.
"Aku tidak memikirkan apa-apa," sahutnya cepat-
cepat.
"Beberapa kali aku mendengar suara helaan na-
pasmu yang berat. Matamu memandang ke satu
titik dengan kepala tak bergerak. Pasti pikiranmu
tidak ada di sini," kata Gatot.
Yulia terpaksa tersenyum untuk menutupi perasa-
an sebenarnya. Ia tahu, Gatot selalu bicara blak-
blakan. Sama seperti dia, sebenarnya. Yulia memang
suka bicara terbuka dan apa adanya. Tidak jarang
malah terlalu terbuka sehingga menyebabkan orang
yang diajaknya bicara terperangah. Sekarang lidah-
nya bagai tertekuk ke dalam dan membuat perasaan-
nya jadi tak enak. Berat rasanya. Ada yang mulai
membelenggu dirinya sehingga tak lagi bisa bicara
terbuka, jujur, dan apa adanya. Namun apa boleh
buat, situasi saat ini mengharuskannya mengingkari
kenyataan sebenarnya.
"Aku... sedang memikirkan pertemuan kita de-
pustaka-indo.blogspot.com
129 ngan Hendra tadi," dalihnya, menjawab pertanyaan
Gatot. Ketidakjujuran juga mulai menjerat dirinya.
Bahkan ia juga sudah mulai menggali dusta.
"Mudah-mudahan suamimu mau menepati janji-
nya untuk segera mengurus perceraian kalian," kata
Gatot menanggapi jawaban Yulia tadi. "Kelihatan-
nya, ia termasuk orang yang ulet."
"Aku lebih melihatnya sebagai orang yang egois.
Untuk apa mengulur-ulur waktu, padahal ia tahu
bahwa aku benar-benar tak mau melanjutkan perni-
kahan kami. Apalagi ia juga tahu bahwa aku sudah
berpacaran denganmu dan akan menikah eh
maksudku ia mengira begitu... karena... sandiwara
kita tadi...." Wajah Yulia menjadi merah padam dan
tampak gugup.
"Ya, aku mengerti apa yang kaumaksud. Kurasa
Hendra pasti akan lebih bersikeras mempertahankan
dirimu andaikata tahu bahwa sesungguhnya kau
belum punya kekasih." Gatot menjawab kalem,
pura-pura tidak melihat Yulia yang tiba-tiba men-
jadi canggung karena terpeleset bicara.
Di dalam hatinya, ia merasa heran melihat sikap
Yulia yang seperti gadis remaja. Wajahnya bisa seme-
rah itu hanya karena terpeleset lidah. Dengan tersi-
pu-sipu pula, seperti anak belasan tahun kepergok
sedang menyimpan foto pemuda yang dicintainya.
Padahal, betapa liar, bandel, dan nakalnya ia di
masa kanak-kanaknya.
"Sudah kukatakan tadi, Hendra itu egois. Aku
kenal betul siapa laki-laki itu. Ia tidak akan rela
pustaka-indo.blogspot.com
130 melihatku menjadi milik laki-laki lain. Menurutnya,
bila ia tidak bisa memiliki aku, laki-laki lain juga
tidak boleh memiliki diriku." Yulia menjawab per-
kataan Gatot. Ia mulai sengit. Suaranya terdengar
berapi-api.
"Sabarlah. Sekarang ini kita toh sudah mendengar
janjinya akan mengurus perceraian kalian," sahut
Gatot.
"Sebelum tanganku memegang surat cerai yang
sah, perasaanku tidak bisa tenang. Seperti yang ku-
katakan tadi, aku kenal siapa Hendra. Bukannya
aku menjelek-jelekkan orang seolah diriku baik tan-
pa cela, tetapi aku tahu betul sifat jelek Hendra. Ia
tidak akan menerima begitu saja kekalahannya."
"Jangan terlalu pesimis, Yulia."
"Aku tidak bisa bersikap optimis. Ia tega melaku-
kan apa pun demi memenuhi egoismenya. Istrinya
yang telah memberinya beberapa orang anak saja
pun akan diceraikan begitu saja andaikata aku me-
mintanya."
"Maksudmu, Hendra bisa saja melupakan janji-
nya tadi?"
"Ya. Ia suka nekat. Apalagi sekarang ini ia sudah
punya uang banyak. Bisa saja ia menyogok atau
membayar orang untuk memata-matai kita. Mudah-
mudahan sih tidak. Tetapi, mengingat sifatnya yang
sudah-sudah, ia bukan tipe orang yang mau me-
nyerah begitu saja. Waktu aku masih pacaran de-
ngan dia dan belum tahu bahwa ia sudah punya
istri, ia pandai sekali membuat dalih. Sayangnya
pustaka-indo.blogspot.com
131 waktu itu aku masih tolol dan tidak berpikir
jauh."
"Dalih apa misalnya?"
"Beberapa kali ia membatalkan janji makan ma-
lam bersamaku. Ada-ada saja alasan yang kedengar-
annya meyakinkan, misalnya tiba-tiba dipanggil
bos. Belakangan baru aku tahu, waktu itu ia harus
mengantarkan anaknya ke dokter. Atau ketika aku
sedang jalan bersamanya tiba-tiba istrinya menele-
pon, mengingatkan undangan kenalan yang harus
mereka hadiri. Waktu itu pandai sekali ia berkelit.
Ketika kutanya siapa yang mengajaknya pergi, ia
bilang adiknya. Anehnya, aku sih percaya saja."
"Kau terlalu polos, Yulia."
"Mungkin. Kejadian seperti itu bukan cuma seka-
li atau dua kali saja, melainkan berulang kali. Teta-
pi toh, aku terlalu tolol untuk mengambil sikap.
Padahal, aku tahu Hendra punya banyak cara me-
menangkan keinginannya sendiri tanpa memikirkan
kebutuhan dan perasaan orang lain."
"Misalnya?"
"Aku pernah mendengar ia menyuruh orang
tentu dengan upah besar... untuk memata-matai
teman bisnisnya. Ia juga bisa berbohong mengata-
kan sedang keluar kota pada seseorang yang ingin
bertemu dengannya hanya karena alasan tidak me-
nyukainya. Padahal, orang itu datang jauh-jauh dari
luar kota dan telah membuang waktu, tenaga, serta
uang."
"Waktu itu kau diam saja?"
pustaka-indo.blogspot.com
132 "Mana bisa sih aku diam saja melihat hal-hal
seperti itu. Tentu saja aku mengatakan dengan terus
terang ketidaksetujuanku mengenai sikapnya itu. Ia
bilang aku ini tidak tahu apa-apa tentang dunia
bisnis, jadi lebih baik tidak usah mengomentari apa
pun," jawab Yulia.
"Lantas, kaubilang apa?"
"Waktu itu aku diam saja, karena memang aku
tidak tahu apa-apa tentang dunia bisnis. Tetapi,
penilaianku terhadapnya mulai merosot. Sayangnya,
aku tidak segera memutuskan hubungan karena le-
bih memikirkan perasaan ibuku. Begitu juga ketika
aku akhirnya tahu bahwa Hendra sudah berkeluar-
ga, aku tetap tidak memutuskan hubungan. Kalau
kupikir-pikir sekarang, mestinya waktu itu rencana
perkawinan dibatalkan saja. Lebih baik malu besar
daripada begini jadinya. Tetapi yah, sesal kemudian
sering tak berguna, bukan?"
"Daripada menyesalinya, lebih baik memperbaiki
apa yang masih bisa diperbaiki. Perceraian adalah
satu-satunya jalan demi kebaikan kalian dan juga
demi kebahagiaan istri Hendra," sahut Gatot.
"Bicara sih mudah. Perasaanku masih saja tetap
tak nyaman."
"Yah, melihat sikapnya tadi dan mendengar ceri-
tamu, rasa-rasanya Hendra memang tidak akan rela
melepaskanmu begitu saja. Kekhawatiranmu cukup
beralasan," katanya kemudian.
"Nah, kan?"
Gatot terdiam. Kerut di dahinya menandakan
pustaka-indo.blogspot.com
133 bahwa ia sedang berpikir. Lama kemudian baru ia
mulai bicara lagi.
"Yulia, aku ada usul yang baru saja muncul da-
lam pikiranku," katanya dengan suara hati-hati.
"Apakah boleh kukatakan terus-terang kepada-
mu?"
"Kenapa tidak? Soal aku suka atau tidak, itu
urusan nanti. Kau kan tahu sifatku. Kalau aku ti-
dak suka, aku akan langsung mengatakannya."
"Baik. Nah, begini. Ada dua usul yang bisa kauper-
timbangkan. Pertama, sandiwara kita sebagai sepasang
kekasih harus kita tunjukkan juga kepada orang lain
supaya lebih meyakinkan Hendra, sebab siapa tahu ia


Sayap Sayap Cinta Karya Maria A. Sardjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyuruh orang untuk memata-matai kita."
"Apakah sampai harus seperti itu? Keluargaku
yang tahu bahwa kau sudah bertunangan pasti akan
menghalangi kedekatan kita. Peristiwa yang kualami
dengan Hendra telah membuat mereka ekstra hati-
hati."
"Kepada keluarga dekat, kau boleh berterus te-
rang bahwa hubungan dan kedekatan kita ini hanya
sandiwara saja," jawab Gatot. "Aku hanya ingin
agar Hendra atau orang suruhannya, kalau memang
ia bermaksud memata-matai kita, merasa yakin
pada kesungguhan kita sehingga jalan ke arah per-
ceraian bisa lebih mulus. Bagaimana?"
"Sejauh belum ada cara lain yang lebih baik, aku
setuju. Jadi, untuk sementara sandiwara kita hari
ini bisa dilanjutkan," jawab Yulia. "Lalu, apa usulan-
mu yang kedua?"
pustaka-indo.blogspot.com
134 "Karena sandiwara ini, kita terpaksa harus sering
bertemu dan pergi berduaan."
"Kedua usulmu itu aku setuju. Setidaknya, sebe-
lum kita melihat cara lain yang lebih baik seperti
yang sudah kukatakan tadi. Akan tetapi terus
terang saja, hatiku terasa berat melakukannya. Ada
Nuning yang harus kita pertimbangkan. Bagaimana
kalau ia melihat atau mendengar dari orang menge-
nai kedekatan kita? Sebaiknya, kau memberi tahu
dia mengenai sandiwara kita ini."
"Aku tidak setuju."
"Kenapa? Keterbukaan bagi sepasang kekasih,
apalagi bila mereka sudah bertunangan, sangat perlu.
Ditipu kekasih sangat menyakitkan lho," kata Yulia.
"Aku sependapat denganmu. Namun, aku tak
bisa melakukannya terhadap Nuning. Tanpa bermak-
sud menceritakan kekurangannya, ia termasuk
orang yang sulit diajak bicara baik-baik. Jadi, aku
tak mau berterus terang kepadanya. Apalagi per-
soalanmu kan berada di luar urusanku dengan
Nuning."
Yulia terdiam. Ia teringat masa kecilnya saat ting-
gal di Jalan Mahoni. Nuning memang susah diajak
bicara baik-baik. Anak yang sangat dimanja orang-
tuanya itu keras kepala. Jarang mau mendengarkan
pendapat orang. Rupanya sampai dewasa pun sifat
jeleknya itu tidak berkurang.
"Bagaimana bila ada teman atau keluarga Nuning
kebetulan melihat kita," tanya Yulia. "Repot kan
jadinya."
pustaka-indo.blogspot.com
135 "Jakarta terlalu luas. Masa iya kita akan mudah
dipergoki seseorang yang kita kenal," sanggah
Gatot.
"Kemungkinan seperti itu ada, kan?"
"Betul, tetapi kecil sekali. Jadi ayolah, berpikir
optimis sajalah. Biasanya kau tidak begini."
Yulia tertegun. Apa yang dikatakan Gatot benar.
Belakangan ini memang ada yang berubah pada
dirinya. Perasaannya mudah menjadi resah, mudah
pula putus asa dan pesimis. Kebiasaannya yang pe-
riang, optimis, dan berpikir positif nyaris sirna.
Gatot bisa menduga apa yang sedang dipikirkan
Yulia.
"Sebenarnya apa sih yang membuatmu bingung?
Bila sandiwara kita nanti diketahui Nuning, kita
bisa menjelaskan hal yang sebenarnya dan semuanya
akan menjadi beres, bukan?" katanya kemudian.
"Jadi ayolah, Angsa liar. Jangan jadi itik yang berja-
lan terseok-seok begitu."
Yulia tertegun lagi. Mata bulatnya yang indah
semakin melebar ketika menatap Gatot yang duduk
di sampingnya.
"Angsa liar? Apa maksudmu?" tanyanya kemu-
dian.
Gatot tertawa.
"Dulu, setiap melihat sepak terjangmu, aku selalu
membandingkanmu dengan angsa yang liar. Cantik,
putih, tetapi liar. He, jangan marah dulu. Itu peni-
laian pribadiku. Bukan seperti yang sering dikatakan
orang, yang menilaimu anak liar. Jauh dari itu."
pustaka-indo.blogspot.com
136 Yulia terdiam. Baru kemudian setelah memahami
apa maksud Gatot, ia mengangguk.
"Jadi, menurutmu aku ini angsa liar," gumam-
nya kemudian.
"Ya. Terutama sesudah perjumpaan kita kembali
di emperan toko beberapa waktu yang lalu. Kau
polos, cantik, tidak takut apa pun, dan berani
mengambil sikap."
"Kedengarannya, penilaian itu positif."
"Tentu saja." Gatot tertawa lagi. "Setidaknya,
begitulah penilaianku setelah kita menjadi akrab."
"Aku tak mau mengucapkan terima kasih," sahut
Yulia terus terang. "Aku masih belum yakin apakah
aku memang angsa liar ataukah burung gagak. Kata-
mu, kebiasaan yang dulu melekat pada diriku tak
tampak lagi."
"Ya, memang. Menghadapi persoalanmu dengan
Hendra, kau seperti kehilangan pegangan."
Yulia melirik sekilas ke arah Gatot, tanpa yang
bersangkutan mengetahui. Pikirnya, kali ini peni-
laian laki-laki itu melenceng. Yang membuatnya
kehilangan pegangan bukanlah persoalannya dengan
Hendra, melainkan perasaannya yang aneh terhadap
Gatot sendiri. Ia takut jatuh cinta lagi, sebab tan-
da-tanda ke arah itu mulai terasa. Apalagi perasaan
itu telah mempengaruhi caranya bersikap. Gatot
tidak boleh tahu hal itu.
"Itu menandakan aku masih manusia biasa," be-
gitu akhirnya Yulia menjawab sekenanya, hanya
pustaka-indo.blogspot.com
137 untuk menutupi keresahan hatinya. "Yang namanya
manusia kan tak pernah statis. Ya, kan?"
Untuk kesekian kalinya Gatot tertawa lagi. Ke-
mudian, ia mengalihkan topik pembicaraan.
"Minggu sore nanti kau ada acara atau tidak?"
tanyanya.
"Tidak," jawab Yulia. "Kenapa?"
"Aku ingin mengajakmu jalan-jalan."
"Jalan-jalan ke mana?"
"Ke mana saja. Pokoknya memberi kesan bahwa
kita berpacaran."
"Kenapa bukan malam Minggu saja?" jawab
Yulia.
"Memang akan lebih meyakinkan bila kita jalan
bersama pada malam Minggu. Namun, malam itu
aku sudah punya janji dengan Nuning."
"Oh, maaf aku lupa," sahut Yulia cepat-cepat.
Pipinya agak memerah. Malu berbaur marah pada
diri sendiri, karena melupakan kenyataan bahwa
malam Minggu pastilah malam istimewa bagi Gatot
dan Nuning. Ah, sehanyut itukah dirinya terbawa
sandiwaranya bersama Gatot, sehingga lupa bahwa
laki-laki itu bukan kekasihnya?
"Tidak apa-apa. Minggu sore kau akan kujem-
put. Jangan lupa, ya?"
"Baiklah."
Setiba di rumah Yulia, Gatot langsung pamit.
Yulia mengantarkannya sampai di pintu pagar hing-
ga suara motor laki-laki itu lenyap di kejauhan.
Ketika ia sudah berada di dalam kamarnya, ibunya
pustaka-indo.blogspot.com
138 menyusul masuk. Matanya menatap tajam Yulia.
Dipandangi seperti itu, Yulia tahu bahwa ibunya
tidak memercayai apa yang pernah dikatakannya
perihal pertemanannya dengan Gatot. Merasa kesal
karena hatinya sendiri pun sebenarnya meragukan
perasaannya terhadap Gatot, Yulia ganti menatap
ibunya.
"Mengapa Ibu memandangiku seperti itu?" tanya-
nya. "Karena Ibu melihat perubahan dirimu, Yulia.
Kau belakangan ini tidak terlihat seperti perempuan
yang gesit dan mandiri. Sepertinya kau mulai ter-
gantung pada seseorang."
Ucapan ibunya membuat Yulia terpana. Dirinya
telah berubah? Seperti itukah yang dilihat ibunya?
"Aku tidak pernah mau tergantung pada orang
selain pada diri sendiri, Bu. Ibu tahu itu," sahut-
nya, membela diri.
"Entah apa pun bantahanmu, Ibu melihat dirimu
tidak seperti biasanya."
"Kenapa, Bu?"
"Kau mulai membutuhkan uluran tangan sese-
orang."
"Menurut Ibu dalam hal apa dan pada siapa?"
"Mana Ibu tahu, Yulia. Yang tahu persis kan diri-
mu sendiri," sahut ibunya mengelak. "Perlu kau-
ingat, hendaknya kau tetap mengedepankan akal
sehat seperti biasanya. Jangan terhanyut perasaan,
terutama bila perasaan itu kurang pada tempat-
nya."
pustaka-indo.blogspot.com
139 Begitu rupanya analisa ibunya, pikir Yulia. Seba-
gai seorang ibu, tampaknya beliau khawatir ia jatuh
cinta pada orang yang salah, lalu peristiwa seperti
yang terjadi dengan Hendra hampir dua tahun
yang lalu terulang kembali. Kekhawatiran yang wa-
jar dan dapat dimengerti, sebenarnya. Jadi, sebaik-
nya sekarang ia berterus terang saja pada ibunya
mengenai kenyataan yang sebenarnya. Tidak enak
apabila setiap Gatot datang nanti, ibunya akan me-
nguliahinya lagi. Anak perempuan ibu yang belum
berumah tangga memang tinggal ia sendiri. Perka-
winannya dengan Hendra hanya perkawinan di atas
kertas. Sedangkan Mbak Tiwi dan Mbak Ratna
sudah lama menikah.
"Ibu tidak usah khawatir," kata Yulia, setelah me-
mutuskan untuk bercerita tentang kenyataan yang
sebenarnya. Kemudian, dengan terus terang ia men-
ceritakan apa yang terjadi bersama Gatot tadi.
Laki-laki itu sedang membantunya memperlancar
perceraiannya dengan Hendra, karena suaminya itu
baru mau mengurusnya bila ia sudah mempunyai
pacar. Usai bercerita, Yulia meminta pengertian ibu-
nya agar memahami keadaannya. Bahkan, Yulia
juga memintanya agar ikut mendukung sandiwara-
nya bila sewaktu-waktu Hendra datang ke rumah
saat ia sedang tidak ada di rumah.
"Jadi, tolong Ibu beri kesan kepada Mas Hendra
bahwa aku sudah mempunyai kekasih dan berniat
segera menikah, sehingga membutuhkan surat ce-
rai," kata Yulia setelah mengakhiri ceritanya.
pustaka-indo.blogspot.com
140 Ibunya memahami keadaan yang dihadapi Yulia.
Namun, entah mengapa ia menangkap sesuatu di
mata anak perempuannya. Entah apa pun itu, ia
merasa khawatir karenanya.
"Baiklah, Ibu akan mendukung sandiwara ka-
lian," gumamnya kemudian. Perasaannya tetap tidak
enak. "Mudah-mudahan saja perceraianmu dengan
Hendra bisa cepat terealisasi, dan sandiwaramu ber-
sama Gatot juga bisa segera berakhir. Terus-terang,
Ibu tidak ingin melihat apalagi terlibat sandiwaramu
bersama Gatot terlalu lama."
Yulia mengiyakan. Ia juga tidak ingin terlalu lama
bermain sandiwara dengan Gatot. Seperti perasaan
ibunya yang halus, ia juga dapat merasakan adanya
bahaya apabila sandiwara itu terlalu lama berlangsung.
Telah terbukti, dirinya sering lupa bahwa ia dan
Gatot sedang bersandiwara. Sudah beberapa kali ia
terhanyut dan terbawa masuk dalam sandiwara itu,
dan lupa pada kenyataan sebenarnya.
Kekhawatiran Yulia memang sangat beralasan.
Lebih-lebih ketika ia menyadari betapa tak sabar
hatinya menunggu datangnya hari Minggu, hari
yang telah dijanjikan Gatot. Oleh sebab itu, ia me-
rasa kesal ketika pada Sabtu malam tanpa disangka-
sangka Hendra datang mengunjunginya. Apalagi
laki-laki itu langsung bertanya padanya kenapa ti-
dak pergi bermalam Minggu.
"Punya kekasih kok malam Minggu di rumah
saja sih?" Begitu Hendra berkata, ketika melihat
Yulia keluar menemuinya di ruang tamu.
pustaka-indo.blogspot.com
141 Pertanyaan yang sangat mengena itu nyaris mem-
buat Yulia emosi. Namun, ia tak mau memperlihat-
kannya. Bisa-bisa malah akan menimbulkan tanda
tanya dan kesan seakan ia sedang mempertahankan
diri.
"Kali ini malam Minggunya diganti Minggu ma-
lam. Gatot sedang tugas ke luar kota dan baru be-
sok pagi kembali ke Jakarta," dalih Yulia, hampir-


Sayap Sayap Cinta Karya Maria A. Sardjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hampir merasa telah mengucapkan kebenaran
padahal itu dusta. Bukankah malam ini Gatot se-
dang berduaan dengan Nuning?
"Kau tidak mendampinginya?" Hendra masih
tetap menyelidik.
"Aku belum menjadi istrinya, Mas. Kau kan su-
dah kenal siapa diriku. Berapa kali aku dulu meno-
lak ajakanmu menginap di Puncak atau di Ban-
dung. Kau tidak melupakan hal itu, kan?"
"Bagaimana aku bisa melupakan gadis yang hi-
dup di zaman modern tetapi berpikiran kuno!"
Yulia mengertakkan gerahamnya.
"Mau dibilang kuno atau puritan, terserah. Aku
yakin pendirian dan prinsip hidupku benar," jawab-
nya kemudian.
"Ah, sudahlah." Hendra mengibaskan tangannya
ke udara. Yulia sempat melihat cincin kawin berma-
ta berlian melingkari jari manis laki-laki itu. Entah
nama siapa yang tertera di bagian dalam cincin itu.
Nama istrinya ataukah namanya? Atau kedua nama
mereka tertera pada cincin itu. Huh, menjijikkan.
"Mau minum apa?" Yulia mengalihkan pembicara-
pustaka-indo.blogspot.com
142 an. "Nanti kusuruh Bik Dedeh menghidangkan-
nya."
"Kenapa bukan kau sendiri yang membuatkan?"
Yulia menganggap tidak perlu menjawab perta-
nyaan Hendra, jadi ia diam saja. Laki-laki itu mera-
sa tak puas. Ia masih ingin melanjutkan pembicara-
an menyangkut kehidupan mereka.
"Bila waktu itu kau tidak terlalu keras berpegang
pada prinsip kunomu, barangkali kita bisa hidup
lebih berbahagia dan..." belum selesai Hendra bica-
ra, Yulia memotong pembicaraan.
"Hidup lebih berbahagia, Mas? Kata ?lebih? yang
kaupakai bisa ditangkap keliru oleh orang yang
mendengar lho..."
"Maksudmu?" Hendra ganti memotong perkataan
Yulia.
"Orang yang tidak tahu apa-apa akan mengira
seolah kita pernah hidup bahagia. Padahal, itu salah
besar," jelas Yulia serius. "Kita belum pernah hidup
bersama."
"Itu karena kau keras kepala, Yulia." Hendra
mencibir. "Lagi pula, soal sepele kaubuat jadi berat."
Yulia marah sekali mendengar perkataannya itu.
"Bisa-bisanya di saat sudah punya istri dan anak-
anak di tempat lain kaubilang urusan menikahi gadis
yang masih tolol sebagai sesuatu yang sepele. Apa kau
tidak memikirkan perasaan mereka?" jawab Yulia,
sambil melotot. "Kau pun telah merusak nama baik
keluargaku. Tak seorang pun dalam keluargaku me-
nyetujui poligami, apa pun alasannya."
pustaka-indo.blogspot.com
143 "Aku sudah menawarkan kehidupan tanpa poli-
gami padamu, Yulia. Pasti kau tidak lupa itu. Ka-
panpun kau mau, aku bisa menceraikan istri perta-
maku."
Darah Yulia semakin mendidih mendengar kata-
kata yang sering diucapkan Hendra dengan enteng-
nya, seolah bicara mengenai makanan saja.
"Bila ada perceraian dalam hidupmu, itu adalah
perceraian kita," sahutnya, dengan sikap melecehkan
yang berhasil diperlihatkannya. "Bukan dengan istri-
mu yang setia dan baik. Jadi, syukurlah malam ini
kau datang ke sini sehingga aku bisa menagih janji-
mu untuk segera mengurus perceraian kita. Aku
sudah tak sabar lagi bisa terlepas darimu."
"Aku memang datang ke sini untuk melanjutkan
pembicaraan kita di rumah makan beberapa malam
yang lalu. Pikirku, malam Minggu begini pasti
kekasihmu ada di sini. Tetapi, ternyata..."
"Kan sudah kukatakan tadi, Gatot sedang tugas
ke luar kota." Yulia menukas dengan perasaan se-
bal. "Sayang hanya ada kamu sendirian."
"Ada Gatot atau hanya salah seorang dari kami,
tak masalah." Lagi-lagi Yulia menukas perkataan
Hendra. "Kami berdua mempunyai pikiran dan
perasaan yang sama. Satu hati, satu jiwa, dan satu
pandangan."
"Seperti Dewi Ratih dan Dewa Kamajaya?"
Hendra menyindir.
"Tepat sekali." Yulia pura-pura tak tahu disindir.
pustaka-indo.blogspot.com
144 "Terima kasih atas penilaianmu yang akurat. Nanti
akan kuceritakan pada Gatot. Nah, sekarang kata-
kan saja apa yang akan kausampaikan? Aku ingin
cepat-cepat memeriksa ulangan murid-muridku, su-
paya besok malam punya waktu panjang bersama
Gatot."
"Oke." Hendra menyandarkan punggungnya ke
sandaran kursi. Ia tahu, Yulia benar-benar marah
kepadanya. "Apa yang akan kukatakan pada kalian
sebenarnya hanya sebuah pertanyaan. Apakah
keinginanmu cepat-cepat mengurus perceraian kare-
na kau dan Gatot benar-benar akan segera meni-
kah?"
Mendengar perkataan Hendra, Yulia langsung
berdiri dengan wajah memerah dan mata berkilat-
kilat. Kakinya sampai gemetar menahan amarah.
Kedatangan laki-laki ini cuma iseng saja, rupanya.
"Pulanglah, Mas. Aku tak punya waktu untuk
main-main. Pekerjaanku banyak," katanya dengan
suara bergetar. "Senin, pukul sebelas, sesudah meng-
ajar, aku didampingi Gatot akan menunggumu di
pengadilan agama untuk mengurus perceraian kita.
Aku memang kuno seperti katamu. Justru karena
itulah aku ingin kita bercerai secara baik-baik demi
menghargai lembaga perkawinan sebagaimana mes-
tinya. Kurasa bila melihat sejarahnya, tidak sulit
mengurus perceraian kita. Kau tahu sendiri kan apa
alasannya. Sudah sejak awal perkawinan kita tidak
layak disebut sebagai perkawinan."
"Waktu itu meskipun tahu aku sudah beristri,
pustaka-indo.blogspot.com
145 kau masih tetap bersedia melanjutkan perkawinan
kita, kan?"
"Itulah ketololanku yang paling besar. Seharusnya
aku tidak perlu memikirkan nama baik keluarga.
Malu besar yang ditanggung keluarga tak seberapa
dibanding sesal yang kurasakan hingga detik ini.
Keluargaku juga mengatakan hal yang sama."
Usai berkata, Yulia langsung masuk ke dalam. Ia
meminta salah seorang adik lelakinya menemani
tamu tak diundang itu.
"Terserahlah siapa di antara kalian yang mau me-
nolongku. Aku tak sudi menemaninya," katanya
sambil masuk ke kamarnya.
Ketiga orang adiknya yang sedang asyik menon-
ton film di ruang tengah sempat melongo kebi-
ngungan. Namun, karena mereka menyayangi sang
kakak, ketiga-tiganya segera berdiri untuk meme-
nuhi permintaannya. Bersama-sama pula mereka
menemani Hendra, yang tak berapa lama kemudian
pamit karena tahu Yulia tidak mau keluar lagi.
Peristiwa Sabtu malam itu Yulia ceritakan kepada
Gatot, ketika Minggu sore dia datang memenuhi
janji untuk jalan-jalan.
"Kalau begitu kita harus kelihatan lebih meyakin-
kan," Gatot mengomentari cerita Yulia.
"Bagaimana caranya? Ia toh tidak melihat kita."
"Siapa tahu ia membuntuti kita."
pustaka-indo.blogspot.com
146 "Ah, itu kan baru perkiraan saja," jawab Yulia.
Gatot tersenyum.
"Sudahlah, kita lihat saja bagaimana nanti," kata-
nya. "Nah, apa kita bisa berangkat sekarang?"
"Oke. Aku mengambil tasku dulu, ya."
"Tidak keberatan naik motor, kan?"
Dahi Yulia langsung mengerut begitu mendengar
pertanyaan yang sudah beberapa kali dilontarkan
Gatot.
"Kenapa sih pertanyaan seperti itu kauulang-ulang
lagi, seolah naik motor merupakan sesuatu yang tidak
menyenangkan?" tanyanya dengan suara agak kesal.
"Kau tahu kan, aku tak pernah mempersoalkan
kendaraan yang akan kunaiki. Mau naik sedan yang
terbuat dari emas, mau duduk di boncengan sepeda
butut, yang penting selamat tiba di tempat."
"Maaf, aku lupa kau berbeda dengan gadis-gadis
lain yang yang..."
"Yang matre, maksudmu?" Yulia mengambil alih
pembicaraan ketika melihat Gatot tampak salah
tingkah. "Kau itu lucu."
"Lucunya?"
"Caramu berpikir kok seperti orang kaya, yang
takut mendapat teman hanya karena melihat keka-
yaanmu."
"Ya maaf." Gatot semakin tampak salah tingkah
ditegur terang-terangan seperti itu. Ini baru Yulia
yang asli, pikirnya. Selalu bicara blakblakan.
"Jangan hanya bisa bilang maaf. Ubahlah pola
pikirmu. Jangan menilai sifat orang dari materi."
pustaka-indo.blogspot.com
147 "Sudahlah, aku tadi cuma salah omong saja kok.
Ayo, ambil tasmu supaya kita bisa cepat berang-
kat?" Gatot nyengir.
Yulia tertawa. Cepat-cepat ia mengambil tas dan
meraih jaketnya. Ia tampak cantik sekali mengena-
kan celana jeans warna merah bata dan blus putih
lengan tiga perempat. Begitu keluar lagi, ia lang-
sung naik ke boncengan motor Gatot.
"Aku tidak membuang-buang waktu, kan? Ayo
kita berangkat!"
"Hebat. Sekarang, peluklah perutku biar aman."
Yulia menurut. Namun, begitu berada di jalan
raya gadis itu tak bisa menahan diri untuk mena-
nyakan sesuatu berkaitan dengan pembicaraan mere-
ka sebelum pergi tadi.
"Aku boleh bertanya sesuatu padamu?"
"Katakan saja."
"Apakah Nuning pernah naik di atas motor ini?"
"Belum. Mana mau dia."
"Lalu bila kalian pergi berduaan, naik apa?"
"Naik mobil."
"Mobil siapa?"
"Yang paling sering naik mobilnya. Nuning kan
punya mobil bagus, hadiah ulang tahun dari ayah-
nya, tapi ia tidak bisa mengendarainya."
"Kau sendiri punya mobil, kan?"
"Ya." Gatot tampak enggan menjawab pertanyaan
Yulia. "Kenapa sih kau menanyakan hal itu?"
"Tadinya bila kau menjawab tak punya, aku
ingin memberimu saran untuk berhemat dan mena-
pustaka-indo.blogspot.com
148 bung agar bisa membeli mobil. Biar tidak disepele-
kan Nuning."
"Kau baik sekali memikirkan aku."
"Aku cuma ingin supaya Nuning tahu, bahwa
kau seorang pekerja keras, bahwa memiliki barang
dari hasil keringat sendiri dan kerja keras manis
rasanya." Yulia menghentikan bicaranya. Ketika me-
lanjutkan bicaranya lagi, suaranya terdengar malu-
malu. "Aduh, maafkan kelancanganku. Seharusnya
aku tidak boleh ikut campur urusan kalian. Tetapi,
percayalah aku bermaksud baik."
Gatot tertawa mendengar perkataan Yulia.
"Aku tahu kok. Aku juga senang dengan keterbu-
kaanmu. Memang Nuning perlu melihat dunia
yang berbeda dengan dunianya," katanya.
"Mmm kapan-kapan ajaklah ia main ke ru-
mahku," Yulia mengganti topik pembicaraan. "Pin-
tu rumahku selalu terbuka untuknya. Katakan
padanya, ya. Hubungan jelek di masa kecil dulu
tak perlu dibawa-bawa. Kita semua kan sudah
sama-sama dewasa. Aku siap menjadi temannya."
"Ya. Terima kasih atas ketulusan hatimu. Apakah
kalian bisa cocok bergaul, terus terang aku tak ya-
kin." Gatot bicara apa adanya.
"Memangnya kenapa? Apakah Nuning masih se-
perti dulu?"
"Seperti dulu bagaimana maksudmu?" Gatot me-
mancing. Ingin tahu pendapat Yulia mengenai
Nuning.
Yulia tahu itu. Ia tertawa pelan.
pustaka-indo.blogspot.com
149 "Jangan memancingku. Kau pasti tahu apa jawab-
anku. Sebagai tunangan, kau pasti lebih tahu."
"Ya." Gatot menjawab pendek. "Nah, sekarang
ganti aku yang bertanya ya. Boleh?"
"Tentu saja, boleh. Tentang apa?"


Sayap Sayap Cinta Karya Maria A. Sardjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tasmu isinya apa, kok kelihatannya penuh ba-
rang?"
Yulia tertawa.
"Ini isinya jaket, payung lipat dan lampu senter
mini," jawabnya.
"Untuk apa?"
"Yah, siapa tahu aku kehujanan dan terpaksa ber-
teduh di emperan toko lalu listrik mati tiba-tiba.
Cukup sekali tubuhku membentur tubuh laki-laki
di tempat yang gelap. Sejak peristiwa perjumpaan
kita beberapa bulan lalu, ke mana-mana aku selalu
membawa senter."
Gatot tergelak mendengar perkataan Yulia. Ia ter-
ingat peristiwa pertemuan mereka. Tiba-tiba ia
mengubah topik pembicaraan dengan sikap serius,
setelah melihat kaca spion motornya.
"Jangan menoleh ke belakang? Sepertinya kita
diawasi orang. Kau tahu apa warna mobil Hendra?"
"Kalau tidak salah, hitam."
"Sudah kuduga. Lewat kaca spion, aku melihat
sebuah mobil mengikuti kita sejak keluar dari jalan
di depan rumahmu. Mula-mula kusangka hanya
kebetulan saja. Aku mulai curiga ketika sadar mobil
itu tetap ada di belakang kita, padahal kesempatan
menyalip atau mendahului kita banyak sekali."
pustaka-indo.blogspot.com
150 "Mobilnya dekat sekali dengan kita?"
"Sekarang tidak persis di belakang kita. Ada mo-
bil lain yang menyela. Kecepatan mobilnya meng-
imbangi laju motor yang kukendarai."
"Apa yang harus kulakukan?" Yulia bertanya de-
ngan perasaan tegang yang tiba-tiba muncul. Apa
sih maunya Hendra?
"Peluk lebih erat pinggangku dengan mesra. Se-
sekali kepalamu kauletakkan di punggungku. Kau
pasti bisa memainkan sandiwara kita. Yang penting,
kau jangan menoleh ke belakang dan bersikap san-
tai saja. Tak usah tegang."
"Oke. Kita mau ke mana sih sebenarnya?"
"Tadinya aku ingin mengajakmu makan di restor-
an kesukaan keluargaku kemudian nonton film.
Melihat mobil hitam itu, aku mengubah rencanaku.
Kau tidak keberatan kan bila kuajak ke Ancol?"
"Tidak. Apa betul mobil itu mengikuti kita? Ini
kan jalan umum dan mobil hitam seperti milik
Hendra banyak sekali di Jakarta ini."
Bangau Sakti 44 Jiranku Kekasihku Karya Mel Mellisa Pedang Teratai Merah 1
^