Pencarian

Pedang Teratai Merah 1

Putri Bong Mini 03 Pedang Teratai Merah Bagian 1


PEDANG TERATAI MERAH oleh D. Mahardhika
Cetakan pertama
Penerbit Alam Budaya, Jakarta
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
D. Mahardhika Serial Silat Putri Bong Mini dalam episode:
Pedang Teratai Merah 160 hal.
1 Pagi itu, matahari muda memancar dalam sapuan
warna yang megah. Menyegarkan rumput-rumput sete-
lah semalaman suntuk didera kabut dingin yang me-
nyelimutinya. Kabut tebal yang sejak kemarin sore turun, perlahan-lahan pergi,
meninggalkan butiran-
butiran embun yang bergelayut di ujung dedaunan dan rerumputan.
Di ujung selatan negeri Selat Malaka, tampak se-
buah gunung berdiri dengan angkuh. Orang menyebut
bukit tersebut Gunung Muda. Gunung itu dikelilingi jurang-jurang yang amat curam
serta pepohonan yang tinggi besar dan rimbun, sehingga memberikan kesan angker.
Gunung Muda tak pernah dijamah oleh penduduk
setempat. Karena selain dikepung oleh pepohonan besar, juga disebabkan banyaknya
jurang-jurang curam yang siap menelan siapa pun. Sehingga mereka tidak menyadari
kalau di bukit yang berkesan angker itu
berdiri sebuah gubuk yang dihuni lelaki tua.
Kanjeng Rahmat Suci, nama lelaki tua itu. Ia telah berumur sekitar enam puluh
tahun. Namun begitu, ia masih memiliki tenaga yang cukup kuat. Hal ini bukan
saja karena pengaruh dari ilmu kesaktian yang dimilikinya, tetapi juga karena
sikapnya yang selalu tenang dan tak pernah bermuram durja, walau bagaimanapun
sulitnya kehidupan yang dia hadapi.
Sebenarnya, Kanjeng Rahmat Suci bukanlah pen-
duduk asli Gunung Muda, melainkan berasal dari De-
sa Larangan. Karena ada satu peristiwa yang me-
nyakitkan hatinya, maka ia meninggalkan desa asal-
nya menuju Gunung Muda.
Saat tinggal di Desa Larangan, beliau bernama
Sunggih. Ia hidup bahagia bersama istri tercintanya yang bernama Kemuning.
Perkawinan mereka dikaru-niai seorang anak laki-laki bernama Gumilang. Nama itu
diberikan karena pada saat anaknya lahir, kehidupan mereka sangat tenteram
bahagia dan segala kebutuhan terpenuhi.
Di saat mereka mereguk kebahagiaan, tiba-tiba da-
tang prahara yang menimpa Sunggih atau Kanjeng
Rahmat Suci. Prahara ini terjadi karena laporan dari para tetangga yang
mengatakan bahwa Kemuning sering berduaan di dalam kamar dengan seorang lelaki
bernama Brata. Brata adalah seorang tetangga yang rumahnya seki-
tar lima ratus meter dari tempat tinggal Sunggih. Sifatnya pun diam dan tak
banyak bergaul. Namun di
balik sifatnya itu, terselip sifat liar terhadap wanita.
Sebagai seorang suami yang sangat mencintai dan
menyayangi istrinya, tentu saja Sunggih tidak mem-
percayai laporan para tetangganya itu. Malah ia berbalik prasangka kalau ucapan
tetangganya itu terlalu mengada-ada karena ingin merusak kebahagiaannya.
Namun ketika mendapat laporan dari anaknya yang
mengatakan bahwa ibunya sering berangkulan dengan
lelaki bernama Brata itu, hati Sunggih mulai panas.
Seolah-olah ada bara api yang membakar hatinya.
Apalagi saat membayangkan bagaimana lelahnya ia
bekerja di ladang untuk menghidupi istri dan anaknya tercinta. Sedangkan
istrinya yang selama ini dia baha-giakan justru bersenang-senang dengan lelaki
lain saat ia menggarap sawah.
Berarti selama aku menggarap sawah di ladang, 'la-
dang'ku di rumah pun digarap pula oleh lelaki berna-ma Brata! Geram Sunggih,
dilanda badai kegusaran
dalam dirinya. Walaupun hatinya sudah panas terbakar oleh cerita
para tetangga dan anaknya Gumilang, Sunggih tetap
mencoba bersikap sabar. Ia tidak langsung menegur istrinya. Percuma saja
menegur, pikirnya. Sebab kalaupun benar laporan tetangga dan anaknya, pasti akan
disangkal oleh Kemuning. Mana ada maling yang mengaku perbuatannya" Atas
pemikiran itu ia ingin membuktikan ucapan para tetangga dan anaknya lewat
penglihatannya sendiri.
Suatu pagi, sebagaimana biasanya, Sunggih berang-
kat ke sawah dengan membawa cangkul dan perleng-
kapan lain. Namun dua jam kemudian, ia kembali lagi ke rumahnya karena hendak
membuktikan perbuatan
istrinya. Ketika sampai di depan rumah, ia melihat putranya, Gumilang tengah
duduk di muka pintu.
"Kok, main sendirian" Ibumu mana?" tanya Sung-
gih. "Saya disuruh Ibu menunggu di sini. Bila ada orang yang mencarinya, Ibu menyuruh
saya untuk mengatakan tidak ada," kata Gumilang polos.
"Lalu, di mana ibumu berada?" tanya Sunggih mulai
curiga. "Ibu ada di kamar."
"Sendirian?" desak Sunggih.
"Berdua dengan lelaki yang sering ke sini!" sahut
Gumilang menjelaskan.
Mendengar keterangan putranya itu, hati Sunggih
mendadak panas, disertai jantung yang berdetak tak menentu. Sedangkan amarahnya
naik ke ubun-ubun,
siap untuk diledakkan.
Dengan langkah yang penuh nafsu, Sunggih menu-
ju kamar di mana istrinya berada. Betapa terkesiap ia ketika membuka daun pintu
kamar. Karena di sana, di
atas pembaringan yang biasa ia tiduri bersama is-
trinya, terlihat pemandangan yang amat menjijikkan dan menggetarkan seluruh
tubuhnya. Apa yang dikatakan para tetangga dan putranya telah terbukti di depan
matanya sendiri. Istrinya tengah asyik bercengkerama dengan seorang lelaki
bernama Brata, hingga mereka tidak menyadari kehadiran Sunggih yang me-
nyaksikan adegan itu.
"Dasar binatang!" maki Sunggih dengan kedua mata
merah menyala. Membuat dua insan yang berlainan
jenis itu tersentak. Lalu keduanya bergegas bangkit untuk mengenakan pakaian
kembali. "Sungguh tidak kuduga bila kalian melakukan
pengkhianatan seperti ini!" pekik Sunggih lagi dengan nada yang makin geram.
Sedangkan tangan kanannya
memegang golok dan siap mengarahkannya kepada
Brata. Ketika Sunggih menyerang, dengan cepat lelaki di hadapannya itu
mengelakkan serangannya. Sedangkan tangan Brata dengan cepat menyambar golok
yang ia letakkan di atas ranjang dan langsung diarahkan pada Sunggih.
Bet! "Aaakh!"
Gumilang yang membuntuti langkah bapaknya dan
berdiri di ambang pintu berteriak tertahan. Karena golok yang ada di tangan
Brata bukan mengenai Sunggih tetapi melayang ke leher anaknya. Pada detik itu
pula, Gumilang roboh dengan tubuh berlumur darah.
Melihat anaknya yang tewas dengan cara menge-
naskan, Sunggih bertambah kalap. Untung pada saat
itu para tetangga sudah berdatangan ke tempat kejadian. Mereka datang setelah
mendengar teriakan Gu-
milang yang menyayat hati. Dan ketika melihat mayat Gumilang dengan leher hampir
putus serta tahu siapa
pembunuhnya, orang-orang yang datang cepat meng-
amankan Sunggih agar tidak terjadi pembunuhan be-
rikutnya. Sedangkan Brata dan Kemuning diarak keliling kampung tanpa sehelai
benang pun di tubuh me-
reka. Sejak peristiwa itu, Brata dan Kemuning tidak lagi tinggal di Desa Larangan.
Keduanya pergi menuju Goa Bukit Setan dan melakukan tapa selama bertahun-tahun.
Sedangkan Sunggih segera pergi ke Gunung
Muda karena merasa malu dengan perbuatan istrinya
serta untuk melupakan putranya yang mati oleh golok Brata. Di sana, ia
mengasingkan diri agar tidak tergiur lagi oleh kenikmatan dunia yang semu.
Selama di Gunung Muda, namanya diganti dengan sebutan Kanjeng
Rahmat Suci. *** Setelah mengalami pingsan satu hari satu malam
(akibat pengaruh totokan Ketua Pasukan Perguruan
Topeng Hitam), Bong Mini kembali tersadar. Dengan
tubuh yang masih lemah, ia menyebarkan pandangan-
nya ke sekeliling ruangan yang sempit di mana ia berada.
"Lepaskan aku!" teriak Bong Mini tiba-tiba, ketika menyadari kamar yang ia
tempati sangat asing bagi dirinya.
"Ada apa?" tiba-tiba terdengar suara lunak dari
arah pintu. Ketika Bong Mini menoleh, dilihatnya seorang lelaki tua yang
berjubah putih. Wajahnya tampak lembut dan bersih dengan kening seolah
memancarkan sinar. Sedangkan jemari tangannya yang agak panjang tampak bergerak
memilah-milah biji tasbih yang bu-latnya sebesar kelereng berwarna hitam.
"Kau..." Kaukah Ketua Perguruan Topeng Hitam
itu?" tanya Bong Mini dengan tercengang. Seolah-olah dia tidak percaya kalau
lelaki berwajah lembut yang keningnya memancarkan sinar itu menjadi Ketua
Perguruan Topeng Hitam.
Lelaki tua yang tadi berdiri di ambang pintu tersenyum lembut. Kakinya melangkah
pelan ke arah Bong
Mini dan duduk di tepi dipan.
"Apakah aku yang tua renta ini cocok untuk menja-
di Ketua Perguruan Topeng Hitam yang gagah dan be-
ringas itu?" kata lelaki tua itu balik bertanya. Sedangkan jemari tangannya
terus memilah-milah biji tasbih hitam.
"Siapa namamu?" tanya lelaki tua itu lembut serta
sinar mata yang memancarkan kasih sayang.
"Namaku Bong Mini!" sahut Bong Mini. "Bapak sen-
diri siapa?"
"Namaku Kanjeng Rahmat Suci. Tapi kau boleh me-
manggilku dengan sebutan kanjeng saja!" sahut Kan-
jeng Rahmat Suci.
Bong Mini mengangguk-angguk. Kemudian ia meng-
geser tubuhnya agar dapat duduk berhadapan dengan
Kanjeng Rahmat Suci. Perasaan takut yang tadi me-
nyelimuti hatinya langsung sirna setelah merasa dirinya berada di tempat yang
aman. "Bagaimana Bapak bisa menyelamatkan diriku yang
sudah berada dalam kekuasaan Ketua Perguruan To-
peng Hitam?" tanya Bong Mini lagi dengan wajah me-
nunjukkan rasa heran.
Lagi-lagi lelaki tua itu mengembangkan senyum
lembutnya. Dia maklum akan keheranan gadis kecil
yang tengah berbaring di atas dipan itu.
"Aku melihat ketua pasukan itu sedang repot men-
jinakkan kudanya yang mendadak liar di Hutan Sa-
ngiang. Nah, pada kesempatan itulah aku membawa
dirimu yang terbaring di rerumputan dan membawa ke sini!" sahut lelaki tua itu
menjelaskan. Bong Mini tergugah mendengar penjelasan lelaki
tua itu. Ia merasa yakin bahwa kuda Ketua Perguruan Topeng Hitam yang mendadak
mengamuk itu bukan
hal yang wajar. Pasti lelaki tua di hadapannya yang membuat ulah, hingga bisa
menyelamatkan dirinya da-ri cengkeraman Ketua Perguruan Topeng Hitam. Dan
keyakinannya ini diperkuat deh penampilan lelaki tua itu yang mengenakan jubah
putih. Sebab, setiap ia dalam keadaan bahaya, selalu ditolong oleh lelaki
berjubah putih. Sekarang ini, lelaki berjubah putih itu tidak mengenakan topeng
penutup wajahnya.
"Aku merasa yakin sekarang kalau Bapak adalah le-
laki bertopeng putih yang selama ini selalu menyelamatkan diriku dari
cengkeraman orang-orang berto-
peng!" cetus Bong Mini menyatakan dugaannya.
"Aku tidak merasa menolong siapa-siapa. Memba-
wamu ke sini saja karena kebetulan belaka!" sahut
Kanjeng Rahmat Suci seolah-olah menyembunyikan
budi baiknya. Oh..., betapa mulianya orang ini. Dia selalu merendah dan menutupi kebaikannya,
ucap hati Bong Mini
terkagum-kagum.
"Apakah Kanjeng sudah lama tinggal di sini?" tanya Bong Mini lagi.
"Aku tinggal di sini kurang lebih sekitar dua puluh lima tahun. Sejak aku
berumur tiga puluh lima tahun," sahut Kanjeng Rahmat Suci.
"Berarti sekarang Kanjeng berumur enam puluh ta-
hun?" tanya Bong Mini mengira-ngira.
"Begitulah kurang lebih."
Bong Mini mengangguk-angguk. Hatinya heran. Da-
lam umur yang demikian tua, wajah Kanjeng Rahmat
Suci masih terlihat segar, bersih, dan bercahaya.
"Bila menilik kulit serta matamu yang sipit, aku merasa yakin bahwa kau bukan
penduduk asli sini," tebak Kanjeng Rahmat Suci saat memperhatikan Bong
Mini. "Benar, Kanjeng," sahut Bong Mini cepat.
Kanjeng Rahmat Suci mengangguk-angguk seraya
memandangi terus wajah Bong Mini yang semungil tu-
buhnya. "Memangnya kenapa, Kanjeng?"
"Tidak apa-apa. Hanya ingin membuktikan kebena-
ran dugaanku saja!" sahut Kanjeng Rahmat Suci datar.
Kemudian tangannya yang sejak tadi memilah-milah
biji tasbih beralih menyentuh pundak gadis kecil itu.
"Sekarang, Nak Mini mandi dulu agar segar. Setelah itu kita makan dan kembali
melanjutkan percakapan."
"Baik, Kanjeng!" sahut Bong Mini seraya mengang-
guk sopan. Setelah itu ia pun bangkit dari atas dipan dan melangkah keluar.
Kanjeng Rahmat Suci mengiringi kepergian Putri
Bong Mini dengan pandangan mata yang terkagum-
kagum. Calon pendekar! Gumam Kanjeng Rahmat Suci
sambil terus melangkah menuju kamarnya yang terle-
tak di seberang kamar Bong Mini.
*** Matahari yang tadi mengintip di ufuk timur, kini te-
lah berdiri tegak lurus di cakrawala. Sinarnya yang semula hangat menyentuh
kulit, kini berubah menjadi panas menyengat Bumi kini dikepung oleh gencarnya
sorotan mentari, membuat hembusan angin pun men-
jadi terasa panas.
Dalam suasana terik seperti itu, Kanjeng Rahmat
Suci dan Bong Mini tampak tengah duduk di atas di-
pan yang letaknya di halaman gubuk Kanjeng Rahmat
Suci. Mereka baru saja selesai makan dan duduk-


Putri Bong Mini 03 Pedang Teratai Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

duduk sejenak untuk menurunkan nasi agar sampai
ke pencernaan. Setelah merasa cukup duduk beristirahat, Kanjeng Rahmat Suci
segera mengajak Bong
Mini untuk berjalan-jalan di sekitar Gunung Muda.
Di saat melakukan perjalanan di sekitar gunung itu, tiba-tiba Bong Mini tersadar
kalau sesungguhnya sekarang ini ia berada di tempat yang sangat jauh dan asing
bagi dirinya. Kesadaran itu berubah menjadi heran ketika mengetahui tempat
tinggal Kanjeng Rahmat Su-ci dikelilingi sungai yang berarus deras. Sedangkan di
antara sungai itu matanya tidak melihat sebuah jembatan pun yang dapat dijadikan
alat menyeberang.
"Kanjeng," desah Bong Mini.
"Hm...?"
"Apa di sekitar sungai ini tidak ada jembatan penye-berangan?"
Kanjeng Rahmat Suci menggelengkan kepalanya.
"Mana ada orang yang mau membuat jembatan di
sekitar sungai ini" Sedangkan datang ke sini pun mereka tidak pernah," sahut
Kanjeng Rahmat Suci menjelaskan.
"Lalu bagaimana cara melintasi sungai ini agar da-
pat sampai ke perkampungan?" tanya Bong Mini lagi, agak heran.
"Melompat!" sahut Kanjeng Rahmat Suci singkat.
"Melompati sungai ini?" tanya Bong Mini terce-
ngang. "Ya, kenapa?"
"Bagaimana mungkin, Kanjeng?"
Kanjeng Rahmat Suci tersenyum.
"Ketahuilah Nak Mini, bahwa di dunia ini tidak ada
yang tak mungkin terjadi jika Tuhan berkehendak!"
kata Kanjeng Rahmat Suci.
"Tuhan?" ulang Bong Mini seperti bertanya pada diri sendiri.
"Ya, kenapa?"
Bong Mini mendesah berat.
"Ucapan Kanjeng tadi mengingatkanku pada papa.
Papa selalu menyebut kata Tuhan setiap memberikan
nasihat!" jawab Bong Mini yang tiba-tiba teringat pada papanya. Dia tidak tahu,
bagaimana nasib papanya
sekarang ini. Sebab, saat ia diculik ketua pasukan bertopeng, papa dan para
pengikutnya sedang berjuang
menghadapi serangan orang-orang bertopeng.
Mengingat diri papanya itu, tiba-tiba air mata Bong Mini meleleh turun lewat
celah-celah bulu matanya, lalu meliuk-liuk di pipi seperti anak sungai yang
mencari lautan bebas.
Kanjeng Rahmat Suci melirik Bong Mini yang se-
dang terdiam sedih. Kemudian ia memeluk bahu gadis kecil yang ada di sampingnya
itu. "Kau tidak perlu mengkhawatirkan keadaan papa-
mu. Dia seorang lelaki sejati yang perkasa dan pantang menyerah," hibur Kanjeng
Rahmat Suci. Bong Mini mengangkat mukanya dan menatap wa-
jah lelaki tua itu dengan tatapan mata sendu.
"Tapi, Kanjeng," lirih Bong Mini mengusap air ma-
tanya. "Papa akan merasa kehilangan aku. Karena selama ini aku dengan papa
begitu dekat dan tak pernah berpisah walau sekejap!"
"Kau benar, Anakku. Tapi untuk sementara waktu
hilangkanlah kesedihanmu demi kesejahteraan orang
banyak!" nasihat Kanjeng Rahmat Suci.
Bong Mini terdiam. Ia mengerti arah ucapan Kan-
jeng Rahmat Suci. Oleh karena itu segera dihapus si-
sa-sisa air matanya, mencoba memaksa diri untuk
bersikap tegar kembali.
"Sejak tadi sebenarnya aku ingin mengetahui asal-
usulmu datang ke negeri ini!" cetus Kanjeng Rahmat Suci setelah suasana hening
beberapa saat. "Aku dan papa datang ke sini karena melakukan
pemberontakan terhadap Raja Manchuria!" sahut Bong Mini. Kemudian ia pun
menceritakan bagaimana tindakan papanya sebagai panglima kerajaan yang me-
nentang sikap raja yang sewenang-wenang dalam me-
mungut upeti rakyat. Tidak lupa pula ia ceritakan nasib mamanya yang mati ketika
terjadi pertempuran
melawan pasukan Kerajaan Manchuria.
"Mama mati karena mempertahankan kehormatan-
nya, Kanjeng," desah Bong Mini menghentikan ceritanya. Sementara telaga bening
yang sempat mengering telah banjir kembali membasahi pipinya karena teringat
nasib tragis yang menimpa mamanya.
Kanjeng Rahmat Suci terenyuh bercampur kagum
mendengar cerita tentang Bongkap yang dipaparkan
oleh Bong Mini. Jarang sekali ada orang yang me-
ngorbankan jabatannya demi kepentingan rakyat kecil.
Malah tidak sedikit orang yang melakukan peninda-
san, penipuan, agar tercapai ambisinya. Tapi Bongkap lain. Dia berani melepaskan
jabatan demi kepentingan rakyat. Watak itu pun mengalir pula pada darah pu-
trinya, Bong Mini. Sehingga dalam usianya yang masih belia, ia terjun ke dunia
yang keras demi kedamaian dan kesejahteraan rakyat. Walaupun untuk itu ia harus
berkorban, berpisah dengan papanya.
"Kanjeng," desah Bong Mini setelah beberapa saat
keduanya terdiam.
Kanjeng Rahmat Suci menoleh sekilas pada gadis
kecil di sampingnya.
"Apakah Kanjeng juga punya pengalaman menarik
yang boleh aku dengar?" tanya Bong Mini, ingin me-
ngetahui. Kanjeng Rahmat Suci terdiam beberapa saat. Ma-
tanya yang teduh diarahkan pada air sungai yang
mengalir meliuk-liuk dengan kecepatan yang sangat
deras. "Pengalamanku sangat pahit. Bahkan jika aku men-
gingatnya, perasaan ini seperti kembali tercabik-
cabik," kata Kanjeng Rahmat Suci tanpa perubahan di wajahnya.
"Maafkan atas pertanyaanku tadi, Kanjeng!" ucap
Bong Mini merasa bersalah karena telah lancang hendak mengetahui perjalanan
hidup orang yang berumur lebih tua darinya.
"Tidak apa-apa," jawab Kanjeng Rahmat Suci seraya
memandang Bong Mini. "Karena apa yang akan kuceri-
takan ini masih ada hubungannya dengan Ketua Per-
guruan Topeng Hitam!"
Bong Mini tersentak kaget, matanya menatap wajah
Kanjeng Rahmat Suci penuh tanda tanya.
"Kalau begitu, Kanjeng telah mengenal dua tokoh
Perguruan Topeng Hitam itu?"
"Begitulah. Malah aku mengenalnya sejak puluhan
tahun yang silam, sebelum mereka melakukan huru-
hara," jelas Kanjeng Rahmat Suci.
Bong Mini mengangguk dalam ketertegunan. Se-
dangkan matanya tak berkedip memandang wajah le-
laki tua di hadapannya. Ia ingin sekali mendengar ki-sah yang akan diceritakan
oleh Kanjeng Rahmat Suci.
"Dulu ketika berumur sekitar dua puluh lima ta-
hun, aku menikah dengan seorang gadis yang menjadi kembang di Desa Larangan.
Dari hasil perkawinan itu, istriku mengandung dan melahirkan seorang bayi lela-
ki tampan yang aku beri nama Gumilang," jabar Kan-
jeng Rahmat Suci memulai ceritanya.
"Siapa nama istri Kanjeng itu?" potong Bong Mini.
"Kemuning."
"Wah, indah sekali namanya!" puji Bong Mini.
"Ya. Sesuai dengan parasnya yang cantik dan kulit
kuning langsat," sambung Kanjeng Rahmat Suci, mem-
benarkan pujian Bong Mini.
"Selanjutnya bagaimana, Kanjeng?" ceriwis Bong
Mini tidak sabar.
Kanjeng Rahmat Suci tersenyum sejenak pada Bong
Mini. Namun di balik senyumnya itu ia telah membaca watak dan sikap yang
dimiliki Bong Mini. Sebuah watak keras, berani, pandai dan lincah, demikian hati
Kanjeng Rahmat Suci menebak pribadi gadis kecil di depannya.
"Setelah putra ku Gumilang berumur tujuh tahun,
tiba-tiba cobaan datang menimpa rumah tangga ku.
Istriku yang selama ini kuanggap setia dan jujur, ternyata melakukan
penyelewengan dengan sahabatku
sendiri saat aku pergi berladang. Sampai akhirnya aku memergoki langsung
hubungan mereka. Melihat kenyataan itu, aku langsung menghujamkan golok ke
arah temanku yang menggauli istriku itu. Namun dia mengelak dan membalas
seranganku dengan goloknya
sendiri. Tapi golok yang diarahkan itu meleset dan mengenai leher putra ku
hingga tewas."
"Astaga! Benar-benar setan!" geram Bong Mini sete-
lah mendengar cerita Kanjeng Rahmat Suci yang me-
ngerikan itu. Sedangkan Kanjeng Rahmat Suci tidak
mempedulikan kegeraman Bong Mini. Dilanjutkan ceritanya.
"Melihat kenyataan tersebut darahku terasa panas
dan hendak menuntut balas terhadap lelaki itu. Tapi
para tetangga berdatangan dan mengamankan diriku
yang tengah di rasuki nafsu amarah. Sedangkan istri-ku dan lelaki itu digiring
keluar dan diarak keliling kampung tanpa busana," Kanjeng Rahmat Suci
menghentikan ceritanya.
"Siapa lelaki yang mengkhianati Kanjeng itu?" tanya Bong Mini.
"Dia bernama Brata. Tinggal tidak jauh dari rumah-
ku." "Lalu apa hubungannya antara peristiwa itu dengan
Ketua Perguruan Topeng Hitam?" tanya Bong Mini,
makin penasaran.
"Tentu saja hubungannya erat, Anakku. Sebab dua
tokoh Perguruan Topeng Hitam dipimpin oleh suami
istri yang tidak lain Brata dan Kemuning. Mereka berdua meninggalkan Desa
Larangan karena merasa di-
permalukan oleh penduduk kampung," tutur Kanjeng
Rahmat Suci, menceritakan siapa sebenarnya kedua
tokoh Perguruan Topeng Hitam.
Bong Mini mengangguk-angguk setengah kagum.
Kanjeng Rahmat Suci tersenyum bijak.
"Di dunia ini pada hakikatnya tidak ada seorang
pun yang hebat, Anakku. Sebab bagaimanapun hebat-
nya ilmu seseorang, dia akan hancur oleh Yang Me-
nguasai dirinya sendiri!"
Bong Mini termangu mendengar ucapan Kanjeng
Rahmat Suci. Karena kata-kata terakhir yang melun-
cur dari mulut lelaki tua itu sering didengarnya mana-kala mendapat pertolongan
dari lelaki berjubah putih yang mengenakan topeng putih di wajahnya. Dari ucapan
itu, Bong Mini bertambah yakin kalau lelaki di hadapannya itu tidak lain lelaki
bertopeng putih yang rupanya bernama Kanjeng Rahmat Suci.
"Siapa sebenarnya Yang Menguasai diri kita, Kan-
jeng" Sebab kata-kata itu sering aku dengar dari lelaki bertopeng yang kerap
menyelamatkan diriku!" kata
Bong Mini. Kanjeng Rahmat Suci kembali tersenyum agung.
Dia maklum dengan pertanyaan Bong Mini.
"Kelak kau akan mengetahuinya sendiri," kata Kan-
jeng Rahmat Suci sambil menepuk bahu gadis kecil
itu. "Nah, sekarang, mari kita bersiap-siap untuk berlatih silat. Sekaligus akan
kuberikan ilmu-ilmu kesaktian kepadamu!"
"Benarkah itu, Kanjeng?" Bong Mini melonjak gi-
rang. Karena selama ini ia memang sangat mendamba-
kan ilmu-ilmu baru sebagai tambahan untuk menum-
pas kejahatan yang terjadi di depan matanya.
Kanjeng Rahmat Suci mengangguk seraya terse-
nyum. Kemudian ia segera mengajak Putri Bong Mini
untuk berlatih di suatu tempat
*** 2 Kanjeng Rahmat Suci mengajak Bong Mini ke se-
buah tempat yang cukup luas. Sebuah tempat yang
banyak tonggak-tonggak kayu. Itulah tempat di mana Kanjeng Rahmat Suci melatih
seorang muridnya yang
sekarang tengah turun ke kampung untuk membeli
kebutuhan makan sehari-hari mereka.
"Mulailah, Nak. Perlihatkan semua jurus yang su-
dah kau miliki," ujar Kanjeng Rahmat Suci. Lalu ia melangkah dan berdiri
beberapa meter menghadap Putri Bong Mini.
Bong Mini yang sudah berdiri gagah menghadap
Kanjeng Rahmat Suci segera bersiap-siap membuka
serangan dengan jurus-jurus yang sudah ia kuasai.
Ketika melihat lelaki tua itu sudah berdiri tegak, siap menghadapi serangan,
maka Bong Mini segera menju-ra ke depan. Setelah itu digempurnya pertahanan
Kanjeng Rahmat Suci.
"Hiaaat!"
Bong Mini menyerang Kanjeng Rahmat Suci dengan
penuh semangat. Tangan dan kakinya bergerak-gerak
menyerang tubuh Kanjeng Rahmat Suci. Namun de-
ngan mudah lelaki tua itu mengelakkan serangannya
dengan sedikit menundukkan badan. Serangan Bong
Mini yang demikian gencar hanya menerobos angin.
Akibatnya, ia harus bersalto di belakang lelaki tua itu, karena tubuhnya terbawa
oleh tenaga pukulan sendiri yang demikian kuat. Kemudian ia kembali berdiri
tegak untuk membuka serangan berikutnya.
"Hiaaat!"
Tanpa memberi kesempatan lagi, Bong Mini segera
menyerang dengan dahsyat. Ia menggunakan kedua
kakinya dengan gerakan menendang yang susul-me-
nyusul. Begitu gencar dan cepat tendangannya datang.
Bahkan tendangan itu mengandung tenaga yang amat
kuat dan bertubi-tubi. Sepasang kakinya seperti kincir angin yang berputar
menyambar bergantian.
"Ilmu tendangan yang sangat hebat!" seru Kanjeng
Rahmat Suci terkagum-kagum.
"Hiaaat!"
Wut wut wuttt! Bong Mini kembali melompat seraya melakukan
tendangan kaki kanan ke dada lawan dengan gerakan
menjejak. Belum lagi kaki kanannya menjejak, dalam waktu sekejap Bong Mini
melancarkan serangan lagi
dengan kaki kiri. Namun sejauh itu belum juga berha-
sil mengenai tubuh lawannya.
Menyadari jurus tendangannya tidak memberikan
hasil apa-apa terhadap lawan berlatihnya, Bong Mini segera mengganti dengan
jurus 'Tendangan Berantai'.
Wut! Wut! Bong Mini mencecar tubuh lawannya dengan kece-
patan lebih tinggi dan dahsyat Disusul dengan kaki melipat yang membentuk
gerakan mencekik.
"Hiyaaat!"
"Huppp...! Hiyaaah!"
Kanjeng Rahmat Suci segera menyambar kedua ka-
ki Bong Mini dengan kedua tangannya. Dilanjutkan


Putri Bong Mini 03 Pedang Teratai Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan gerakan mendorong ke atas, sehingga tubuh
gadis yang mungil itu melayang cukup tinggi di udara.
Bong Mini segera menggunakan ilmu peringan tu-
buh agar dapat menjejakkan kaki di tanah tanpa kehilangan keseimbangan. Ketika
turun, Bong Mini segera melakukan serbuan kakinya lagi.
Singngng...! Sepasang kaki Bong Mini yang lurus bagai tombak
menghujam ke arah kepala orang tua itu. Tapi dengan tenang, Kanjeng Rahmat Suci
menyambut serangan itu dengan mengarahkan kedua tangannya ke depan.
Jleggg! Kedua kaki Bong Mini yang lurus ke arah kepala
orang tua itu mendarat di ujung jemari tangan Kanjeng Rahmat Suci.
Bong Mini menyadari dirinya berdiri di atas jemari tangan orang tua itu.
Kemudian dibungkukkan badannya untuk memukul wajah Kanjeng Rahmat Suci.
"Hi hi hi...!" Bong Mini mendadak tertawa geli dan membatalkan niat untuk
memukul. Karena pada saat
itu, kedua kakinya yang tanpa sepatu terasa digelitiki.
Ternyata jari telunjuk orang tua itu menggelitik telapak
kakinya hingga gadis mungil itu kegelian.
"Hup...! Ah...!"
Kanjeng Rahmat Suci menurunkan tubuh Bong
Mini dengan melepaskan sanggahan jemari tangannya.
"Masih ada jurus lain?" tanya Kanjeng Rahmat Suci
di sela senyumnya.
"Aku akan menyerang Kanjeng sekali lagi dengan
jurus 'Pedang Samber Nyawa'!" sahut Bong Mini penasaran.
"Silakan!" tantang Kanjeng Rahmat Suci. Kemudian
Bong Mini pun mundur beberapa langkah untuk
membagi jarak. Dalam serangan ini ia menggunakan
dua jurus sekaligus yaitu jurus 'Tanpa Bayangan' dan Jurus 'Pedang Samber
Nyawa'. "Hiaaat!"
Bong Mini berseru sambil melancarkan serangan
dengan gencar. Tendangan kaki dan sabetan pedang di kedua tangannya begitu cepat
menyambar ke arah
Kanjeng Rahmat Suci. Namun bagaimanapun hebat
dan gencarnya serangan yang dilakukan Bong Mini,
tetap tidak menggoyahkan kuda-kuda orang tua yang
menjadi lawan tandingnya itu. Dia dengan tenang menangkis dan mengelak serangan
Bong Mini dengan
tangkas. Malah pada kesempatan lain, Kanjeng Rah-
mat Suci berhasil menyambar kedua ujung pedang
yang mengarah padanya tanpa mengalami luka sedikit pun. Melalui tenaga dalamnya,
orang tua itu memukul tubuh Bong Mini hanya dengan menghentakkan perutnya tanpa
bernapas. "Hekkk!"
Tubuh Bong Mini terpental jauh. Tapi untunglah ia
memiliki ilmu peringan tubuh yang hampir sempurna, hingga pada saat tubuhnya
jatuh di tanah ia dapat
berguling-guling dan berdiri kembali dengan napas te-
rengah-engah. Semua jurus telah diperagakan dan dilancarkan ke
arah Kanjeng Rahmat Suci, namun sampai jurus te-
rakhir yang dimilikinya, Bong Mini tidak juga dapat menggoyahkan kuda-kuda
Kanjeng Rahmat Suci.
Orang tua itu tetap berdiri kokoh di tempatnya seakan terpaku ke bumi.
"Aku menyerah, Kanjeng!" ucap Bong Mini dengan
napas yang masih terengah-engah.
"Tidak ada lagi jurusmu yang lain?"
Bong Mini menggeleng dengan tubuh yang lemas
kehabisan tenaga.
"Permainan pedang tadi merupakan jurus terakhir
yang aku miliki!" kata Bong Mini.
Bibir Kanjeng Rahmat Suci tersenyum. Dihampiri-
nya Bong Mini yang kini tengah duduk lemas di tanah.
"Ilmu silat yang kau miliki masih jauh di bawah kepandaian orang-orang Perguruan
Topeng Hitam," ujar Kanjeng Rahmat Suci setelah dekat.
"Lalu bagaimana cara menumpas orang-orang Per-
guruan Topeng Hitam itu, Kanjeng?" tanya Bong Mini.
"Kau harus berlatih mempertajam panca inderamu.
Mata kita dapat melihat. Tapi harus dipertajam lagi agar dapat melihat sesuatu
di balik dinding dan di balik hati manusia itu sendiri. Telinga kita yang dapat
mendengar pun harus dipertajam lagi agar mampu
mendengar suara yang jaraknya jauh sekalipun. Nah, lewat ketajaman-ketajaman itu
dan lewat bantuan
Yang Menguasai diri, kita baru dapat menangkal segala macam kesesatan yang
ditebarkan oleh manusia-manusia penyembah iblis seperti dua tokoh Perguruan
Topeng Hitam."
Bong Mini mengangguk-angguk. Wajahnya tampak
sungguh-sungguh mendengarkan apa yang dikatakan
orang tua yang memancarkan cahaya pada wajahnya
itu. "Tapi untuk mendapatkan ilmu itu tidak semudah kita membalikkan telapak
tangan. Ada syarat-syarat tertentu untuk mencapai maksud itu. Di antaranya harus
suci lahir batin. Termasuk tidak suka mencela, sombong, dan mengumbar nafsu
amarah yang sifatnya
merusak dan merugikan orang lain. Juga memelihara
mata dan telinga dari hal yang kurang bermanfaat serta menjaga batin dari
prasangka buruk terhadap orang lain!" urai Kanjeng Rahmat Suci, menjelaskan
persyaratan-persyaratan untuk memiliki ilmu kesaktian itu.
"Apakah aku bisa mempelajarinya, Kanjeng?"
Kanjeng Rahmat Suci terdiam sambil menatap wa-
jah Bong Mini sungguh-sungguh. Membuat jantung
Bong Mini berdetak. Khawatir pertanyaan tadi dianggap lancang oleh orang tua
itu. "Kau sungguh-sungguh ingin mempelajari ilmu ke-
saktian?" Kanjeng Rahmat Suci balik bertanya.
"Benar, Kanjeng!" sahut Bong Mini dengan wajah
sungguh-sungguh. Hatinya lega karena Kanjeng Rah-
mat Suci tidak marah.
"Untuk apa ilmu kesaktian yang akan kau peroleh
nanti?" pancing Kanjeng Rahmat Suci.
"Maaf, Kanjeng. Tak sedikit pun terbersit dalam pi-kiranku untuk mempergunakan
ilmu kesaktian itu da-
lam tindakan kekerasan dan kesewenang-wenangan,
kecuali bila berhadapan dengan orang-orang sesat seperti Perguruan Topeng Hitam.
Lagi pula, lewat ilmu yang ada pada diriku, aku bisa membantu rakyat yang
tertindas seperti yang terjadi di Kerajaan Selat Malaka ini. Tidak seperti
sekarang ini, aku hanya dapat geram dan mengeluh melihat perbuatan orang-orang
bertopeng yang biadab. Karena kepandaian yang kumiliki
sekarang ini jauh di bawah orang-orang Perguruan Topeng Hitam!" sahut Bong Mini
menuturkan alasan ke-
napa ia ingin mempelajari ilmu kesaktian.
"Kau siap menghadapi kesulitan?" pancing Kanjeng
Rahmat Suci lagi.
"Siap, Kanjeng!" sahut Bong Mini cepat.
Kanjeng Rahmat Suci tersenyum. Sejak semula ia
memang sudah tertarik pada gadis mungil ini. Ia sama sekali tidak
mengkhawatirkan dirinya sendiri. Belajar silat dan ilmu kesaktian tidak sekadar
untuk menjaga diri sendiri, tetapi juga untuk menjaga keselamatan orang lain
yang lemah dan perlu bantuan: Seperti ma-lapetaka yang kini menimpa rakyat
negeri Selat Mala-ka. Selain itu, yang membuat Kanjeng Rahmat Suci
tertarik dan kagum karena gadis mungil di hadapan-
nya itu memiliki ketajaman otak dan pandangan yang luar biasa. Bakat yang
dimilikinya mungkin malah lebih tinggi dari dirinya sendiri.
*** Waktu terus berputar. Matahari telah berdiri tegak
lurus di cakrawala. Sinarnya yang terik terasa menyengat sampai ke kulit kepala.
Seorang gadis mungil berwajah cantik tampak te-
ngah melangkah menyusuri Gunung Muda, sambil
menikmati pemandangan alam yang pertama kali dike-
nalnya. Suatu pemandangan sejuk yang mengandung
udara segar. Karena di sekitar bukit itu masih banyak dirimbuni oleh pepohonan
besar dengan jarak yang
berdekatan. Sehingga cahaya matahari yang menye-
ngat dapat terendam oleh rimbunnya dedaunan.
Apa nama gunung ini, ya" Gumam gadis bertubuh
mungil yang tidak lain Putri Bong Mini. Sedangkan
pandangannya mengedar ke sekeliling. Tidak tampak
satu rumah pun di sekitar tempat ini, kecuali gubuk Kanjeng, gumam Bong Mini
lagi. Lalu ia melanjutkan perjalanannya kembali menuju utara. Di sana, ia
menemukan sebuah sungai berikut air terjunnya.
"Hm..., dalam udara seperti ini akan terasa segar ji-ka merendam badan di sungai
jernih!" usai berkata begitu, Bong Mini langsung melepaskan pakaiannya yang
berwarna merah tanpa melihat lagi kanan kiri. Ia merasa yakin bahwa di sekitar
sungai itu tidak ada orang lain kecuali dirinya. Sehingga dengan tenang ia
merendam tubuhnya sampai sebatas bahu dengan tangan
menggosok-gosok badannya.
Di saat asyik menggosok kulit tubuhnya yang halus
dan putih itu, tanpa ia sadari, seorang pemuda me-
langkah di sepanjang sungai dengan membawa bunta-
lan kain di bahunya. Kemudian langkahnya terhenti
saat pandangannya tertuju pada seorang gadis cantik yang sedang mandi di sungai.
Wah..., jangan-jangan siluman sungai yang mandi
itu, gumam hati pemuda itu ketika sepasang matanya memandang lama pada gadis
mungil yang sedang be-rendam di air sungai. Dia heran, karena menurut se-
pengetahuannya tidak ada orang lain di daerah itu kecuali dirinya. Apalagi
wanita cantik. "Heh, lelaki mata keranjang! Lancang benar kau
mengintip orang yang sedang mandi!" bentak Bong
Mini dengan wajah memerah, setelah menyadari ada
sepasang mata yang mengawasinya. Kemudian ia ce-
pat-cepat menarik bajunya yang ditaruh di atas se-
buah batu lalu bergegas mengenakannya. Sedangkan
pemuda yang mendapat bentakan tadi langsung geme-
tar dan gugup. Cepat-cepat kakinya melangkah me-
ninggalkan tempat itu.
"Heh, tunggu! Kau harus bertanggung jawab atas
kelancanganmu!" panggil Bong Mini dengan suara
nyaring, disertai tubuhnya yang melompat cepat mem-buru pemuda itu. Dalam waktu
sekejap ia dapat
menghadang langkah pengintipnya.
"Dasar mata bandit! Tidak boleh melihat wanita
mandi!" geram Bong Mini dengan wajah merah mena-
han marah dan malu, karena tubuhnya yang polos ke-
tika mandi tadi sempat dilihat oleh pemuda yang kini di depannya.
"Ma..., maaf Nona. Aku tidak sengaja!" sahut pemu-
da itu gugup. Sesungguhnya ia sendiri malu telah dituduh mengintip. Padahal ia
tak sengaja ada di sana.
"Tidak sengaja"!" bentak Bong Mini. Matanya men-
delik sebesar-besarnya. "Dengan cara kau berdiri la-ma-lama sambil memelototkan
mata menatap tubuh-
ku, kau bilang tidak sengaja?" lanjut Bong Mini dengan berkacak pinggang.
"Sungguh, Nona! Aku tidak sengaja. Tadi aku hanya
meyakinkan penglihatanku, apakah yang kulihat itu
benar-benar manusia atau siluman sungai!" sangkal
pemuda itu dengan sikap yang masih canggung.
"Setan! Jadi kau pikir aku ini dedemit?" Bong Mini marah ketika dicurigai
sebagai wanita siluman.
"Jadi..., Nona benar-benar bukan wanita siluman"
Ah..., maafkan aku yang telah salah duga ini, Nona!"
hatur pemuda itu meminta maaf. Setelah itu ia hendak melanjutkan langkahnya
kembali. "Heh! Kau pikir semudah itu meminta maaf?" ben-
tak Bong Mini. "Habis bagaimana lagi, Nona?" tanya pemuda itu
dengan kening berkerut, heran.
"Kau harus bertanggung jawab terhadap kelanca-
ngan matamu itu!" ketus Bong Mini dengan sikap yang masih menahan langkah pemuda
itu. "Apakah perbuatan yang tak kusengaja tadi merugi-
kan Nona?" tanya pemuda itu seperti tak mengerti.
"Bedebah! Kau masih juga berpura-pura!" dengus
Bong Mini. Kedua matanya semakin indah ketika men-
delik ke arah pemuda itu.
"Aku tidak berpura-pura, Nona. Aku hanya ber-
tanya, apakah tindakanku yang tidak disengaja itu merugikan?" ulangnya.
Sedangkan hatinya mulai berdesir hebat ketika matanya menangkap kecantikan Bong
Mini. Dan perasaan itu semakin membengkak ketika
kedua biji matanya saling bertabrakan dengan mata
gadis mungil yang berdiri di depannya.
"Hih! Beraninya kau bersilat lidah!" ketus Bong Mini sambil memperlihatkan
pedang yang sejak tadi diba-wanya.
"Wah, Nona membawa pedang" Untuk apa?" tanya
pemuda itu dengan sikap terkejut.
"Untuk membunuhmu, tahu!" hardik Bong Mini. Ia
heran ada lelaki bermulut rewel seperti pemuda yang baru dihadapinya itu.
"Andai aku bersalah, silakan Nona bunuh! Tapi aku
tidak bersalah. Kejadian tadi hanya kebetulan belaka!"
"Menurut hukum kau bersalah!"
"Hukum yang mana, Nona?"
"Hukum yang kuberlakukan sendiri. Sebab kau
mengintip tanpa seizinku!"
Pemuda itu tersenyum.
"Kalau minta izin terlebih dahulu namanya bukan
ngintip, Nona!" kalem pemuda itu.
"Nah, betul kan, tadi kau memang sengaja mengin-
tip?" kata Bong Mini merasa pancingannya mengena.
Merasa terjebak dengan ucapan Bong Mini tadi,
pemuda itu segera menyahut "Benar, Nona. Aku tidak sengaja. Tadi aku hanya
terpaku melihat kecantikan
Nona." "Ah, aku tidak butuh sanjunganmu!" ujar Bong Mini
tanpa peduli dengan sanjungan pemuda itu. Malah
dengan sikap gagah ia mencabut pedang dari sarung-
nya. Sreset! Pedang tanggung itu berkilauan saat terlepas dari
sarungnya karena tertimpa sinar matahari.
"Sekarang, bersiaplah kau untuk mati!" kata Bong
Mini lagi dengan sikap tubuh hendak menyerang pe-
muda di hadapannya.
Pemuda itu menggaruk-garuk kepalanya yang tidak
gatal. Wah, gadis ini benar-benar ceriwis! Bisik hati pe-
muda itu. Namun dengan sikap tenang dan sabar, ia
berkata lembut pada gadis mungil yang tengah berdiri gagah itu.
"Sudahlah, Nona. Tidak ada gunanya kita berkelahi.
Lagi pula, aku kan tadi sudah minta maaf!"
"Baik kalau memang kau tidak ingin berkelahi. Tapi ada sesuatu yang harus kau
lakukan!"

Putri Bong Mini 03 Pedang Teratai Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apa yang harus aku lakukan?" tanya pemuda itu.
Dia merasa girang karena gadis itu membatalkan niatnya untuk berkelahi.
"Bersujudlah di dekat telapak kakiku!" tegas gadis mungil berumur enam belas
tahun itu sambil menu-dingkan ujung pedang ke arah kakinya.
Telinga pemuda itu langsung panas ketika mende-
ngar ucapan Bong Mini. Secara tidak langsung, dirinya telah diremehkan sebagai
seorang lelaki.
Wanita ini benar-benar minta pelajaran, ucap hati
pemuda itu sambil menatap tajam wajah Bong Mini.
"Bila memang harus bersujud di telapak kakimu,
lebih baik aku menerima tawaranmu yang pertama,"
kata pemuda itu, terpaksa menantang.
"Heh, punya nyali juga rupanya!" Bong Mini menci-
bir. Pemuda itu hanya tersenyum sambil terus memandang wajah Bong Mini.
"Nah sekarang, bersiaplah menerima seranganku!"
selesai berkata begitu, Bong Mini langsung melakukan gebrakan pembuka.
"Hiaaat...! Huhhh!"
Bong Mini melompat ke arah pemuda itu dengan ge-
rakan menendang. Tapi dengan cepat pula lawannya
menggeser sedikit tubuhnya ke samping, hingga luput-lah serangan Bong Mini.
Melihat cara mengelak pemuda itu, Bong Mini mulai
sadar kalau pemuda yang dihadapinya memiliki ke-
pandaian yang tidak bisa dianggap remeh.
Gadis bertubuh mungil itu segera menghunus pe-
dangnya. Kemudian dia langsung menyerang dengan
gerakan menusuk.
Wuttt! Ujung pedang yang ditusukkan ke tubuh pemuda
itu gagal mengenai sasaran. Dengan mudahnya pemu-
da itu memiringkan badan ke samping tanpa mengge-
rakkan kakinya.
Bong Mini semakin penasaran dan marah melihat
pemuda itu meremehkannya. Dengan gerakan-gerakan
cepat ia mengayunkan pedangnya kian kemari.
Wut wut wuttt! Pemuda yang tadi hanya mengelak saja, kini menja-
di kewalahan menghadapi serangan pedang Bong Mini
yang demikian cepat dan gencar. Sehingga ia terpaksa bergulingan tanpa mendapat
kesempatan untuk melakukan serangan balik. Tapi tidak adanya serangan balasan
lawan, justru dianggap Bong Mini telah mere-
mehkan kepandaiannya.
"Heh! Kenapa kau hanya menghindar" Apakah cu-
ma itu kepandaian yang kau miliki!" bentak Bong Mini di tengah serangannya yang
deras. "Di antara kita tidak ada permusuhan, Nona!" sahut pemuda itu tenang.
"Tapi kau telah berlaku kurang ajar padaku!" geram Bong Mini sambil menerjang
pemuda itu. Sret! Ujung pedang Bong Mini menggores bahu pemuda
itu, hingga bagian baju yang tergores itu robek dan mengalir darah dari lukanya.
"Gadis ini benar-benar hendak melukaiku!" gumam
pemuda yang umurnya tidak berbeda dengan gadis
yang dihadapinya. Sehingga pada saat Bong Mini me-
lakukan serangan kembali, pemuda tadi segera mengelak dan memukul tangan Bong
Mini. Plakkk! Pedang yang digenggam Bong Mini terjatuh.
"Maaf, Nona! Aku benar-benar tak ingin berkelahi
denganmu!" ucap pemuda itu sambil melesat, mening-
galkan Bong Mini yang berdiri termangu-mangu.
Melihat pemuda yang pergi meninggalkannya itu,
hati Bong Mini semakin panas dan geram. Pemuda itu benar-benar telah meremehkan
kepandaian ilmu silat-nya. Maka ketika pedang yang terjatuh tadi diambilnya,
gadis itu langsung melesat menuju arah pemuda tadi. Tapi pemuda itu telah
menghilang entah ke mana.
Bong Mini benar-benar malu, kesal dan jengkel. Ba-
ru kali ini ia dipermainkan oleh seorang lawan.
"Awas kau! Suatu saat nanti akan kulacak jejak-
mu!" geram gadis mungil itu dengan wajah memerah.
Kemudian ia memasukkan kembali pedangnya dan
melangkah pulang dengan membawa sejuta kekecewa-
an terhadap pemuda yang baru dihadapinya tadi.
*** 3 Senja mulai temaram. Kabut yang sejak siang tadi
menyingkir, kini telah turun perlahan-lahan, menutupi sebagian pemandangan alam.
Sehingga banyak pepohonan yang tumbuh di sekitar pegunungan tak terlihat lagi
bentuknya karena tertelan gumpalan kabut. Sedangkan matahari yang sejak tadi
memancarkan sinar dengan terang telah beringsut ke arah barat. Membuat alam
bertambah suram.
Dalam suasana yang mulai gelap itu, Bong Mini ba-
ru sampai di pekarangan gubuk Kanjeng Rahmat Suci.
Di sana, ia melihat orang tua itu sedang duduk di atas dipan sambil menikmati
secangkir kopi dan sepiring singkong rebus.
"Dari mana saja senja begini baru pulang?" sapa
Kanjeng Rahmat Suci ketika melihat kehadiran gadis mungil itu.
"Maafkan, Kanjeng. Aku terlalu asyik menikmati
pemandangan, hingga tak sadar bila sudah berjalan
jauh," ucap Bong Mini.
"Hm, duduklah. Kopi yang sudah kusediakan sejak
tadi sudah dingin."
"Wah, Kanjeng terlalu merepotkan. Aku jadi tidak
enak!" kata Bong Mini, malu hati terhadap kebaikan yang diberikan orang tua itu.
"Tidak apa-apa. Lagi pula kurang enak kalau aku
ngopi sendirian sedangkan kau hanya minum air pu-
tih," kilahnya tenang sebagaimana kebanyakan orang
yang sudah berumur lanjut.
Bong Mini tersenyum manis. Lalu ia duduk meng-
hadap orang tua itu. Sedangkan dua buah pedang
yang sejak tadi tersandang di punggungnya ia letakkan di atas dipan.
"Senang dengan suasana di sini?" tanya Kanjeng
Rahmat Suci lagi setelah beberapa saat suasana he-
ning. "Wah, senang sekali, Kanjeng. Tempat ini sejuk dan bersih. Air sungainya pun
jernih dan menyegarkan!"
sahut Bong Mini cepat, memuji keindahan alam Gu-
nung Muda. "Apa yang kau katakan tadi memang benar. Karena
itu aku betah tinggal di sini berlama-lama!" timpal Kanjeng Rahmat Suci atas
pendapat Bong Mini.
Bong Mini mengangguk-angguk, sambil menggigit
kecil sepotong singkong rebus yang tergenggam di tangannya.
Pada saat itu, sebenarnya ia hendak menanyakan
mengenai pemuda yang ditemuinya tadi di sungai.
Namun sisi lain hati kecilnya yang merasa keberatan karena malu, hingga ia
membatalkan niatnya itu. Biar-lah nanti ia sendiri yang mencari jejak pemuda
itu, pikirnya. "Sebenarnya sejak tadi aku ingin menanyakan se-
suatu kepadamu," ungkap Kanjeng Rahmat Suci.
"Tentang apa, Kanjeng?" tanya Bong Mini dengan
memasang wajahnya sungguh-sungguh.
"Begini...," kata Kanjeng Rahmat Suci sambil mem-
benarkan letak duduknya dengan bersila. "Bila kulihat dari penampilan pakaian
yang kau kenakan itu, aku
merasa yakin bahwa kau hidup senang di negeri ini.
Paling tidak, orangtuamu seorang saudagar."
"Bukankah sudah dijelaskan, Kanjeng?" tanya Bong
Mini. Ia merasa bahwa pertanyaan orang tua itu telah dijawab ketika menceritakan
tentang liku-liku perjalanan keluarganya hingga sampai ke negeri ini.
"Tadi pagi kau baru menceritakan tentang papamu
yang menentang kehendak Raja Manchuria dan mela-
rikan diri ke negeri ini bersama beberapa orang rakyat yang mengikutinya.
Sedangkan tentang keberadaan
papamu di sini belum kau jelaskan," sahut orang tua itu. Bong Mini mengangguk
lamat. Hatinya kagum terhadap daya ingat orang tua itu. Sedang ia sendiri yang
masih muda belia sudah tidak ingat lagi tentang ceritanya kepada Kanjeng Rahmat
Suci tadi pagi. Ketika
mendengar keterangan orang tua itu, baru ia ingat.
"Maafkan aku, Kanjeng. Ternyata aku yang lupa
menceritakan!" ucap Bong Mini tersenyum malu.
Kanjeng Rahmat Suci mengangguk kagum. Karena
gadis kecil yang berada di hadapannya itu mau mengakui kealpaannya.
"Tidak apa-apa. Nah, sekarang coba jelaskan ten-
tang keadaan papamu di negeri ini!" pinta Kanjeng
Rahmat Suci. "Apa yang Kanjeng duga memang benar. Karena se-
tibanya di sini, papa langsung mengangkat dirinya sebagai raja bagi para
pengikutnya. Dan hanya sebagian saja penduduk asli di sini yang mengetahuinya."
"Kenapa begitu?" tanya orang tua itu ingin tahu.
"Papa merasa belum mampu untuk menjadi raja
yang resmi di negeri ini. Oleh karena itu papa kurang dikenal sebagai raja,
kecuali beberapa penduduk yang berdekatan dengan tempat tinggal papa!" urai Bong
Mini, lalu menghentikan ceritanya sejenak.
Kanjeng Rahmat Suci mengangguk-angguk.
"Setelah beberapa bulan papa menobatkan dirinya
sebagai raja, tiba-tiba datang prahara menimpa penduduk berupa kelaparan karena
musim kemarau yang
berkepanjangan. Sehingga sawah dan ladang mereka
mati kekeringan dan tidak menghasilkan apa-apa. Melihat kenyataan penduduk
seperti itu, papa jadi tidak sampai hati. Ingin membantu, ia tidak punya uang
untuk diberikan kepada mereka. Akhirnya papa melaku-
kan perampokan tanpa sepengetahuanku. Hasil dari
rampokan itu papa bagikan kepada mereka yang men-
derita kelaparan!" kata Bong Mini.
"Apakah papamu masih melakukan perampokan?"
potong Kanjeng Rahmat Suci.
"Tidak, Kanjeng. Saat papa melakukan perampokan
untuk kedua kalinya, aku sempat memergoki dan pergi meninggalkan papa. Aku
merasa tertipu dengan sikap papa. Papa yang begitu baik dan sayang kepadaku
ternyata hanya seorang perampok. Namun belum jauh
aku meninggalkan rumah, papa datang menyusul dan
menjelaskan kepadaku kenapa ia sampai melakukan
perampokan. Tidak lain karena kasihan melihat rakyat yang menderita. Dan secara
kebetulan pemilik harta itu pun seorang perampok pula. Dari situ aku meminta
papa untuk menghentikan kegiatannya. Ternyata papa menuruti permintaanku untuk
tidak merampok lagi
sampai sekarang," tutur Bong Mini menghentikan ceritanya.
Kanjeng Rahmat Suci tampak-tersenyum kagum
mendengar cerita tentang perjuangan Bongkap.
"Sungguh aku kagum terhadap perjuangan papamu
yang mengandung risiko itu!" puji Kanjeng Rahmat
Suci. "Kenapa harus kagum, Kanjeng" Bukankah meram-
pok merupakan perbuatan yang tercela?" tanya Bong
Mini heran. "Itu betul. Tapi yang mendorong papamu untuk me-
lakukan perampokan, itu yang aku kagumi. Dia rela
namanya rusak demi kebahagiaan rakyat!" kata Kan-
jeng Rahmat Suci memberikan alasan tentang kekagu-
mannya. Bong Mini mengangguk mengerti.
Di balik dinding bilik, seorang pemuda tampak ber-
jalan mengendap-ngendap ke arah mereka dengan
maksud hendak mencuri percakapan antara Bong Mini
dan Kanjeng Rahmat Suci. Tapi untunglah saat pemu-
da itu mendekati tempat mereka, Bong Mini telah menyelesaikan ceritanya.
Sehingga pemuda itu tidak
sempat mendengar.
Pemuda itu melongokkan kepalanya sedikit untuk
dapat melihat siapa wanita yang bercakap-cakap de-
ngan Kanjeng Rahmat Suci. Dan, tersentaklah wajah-
nya ketika melihat wanita yang bercakap-cakap de-
ngan Kanjeng Rahmat Suci. Wanita itu pernah dite-
muinya ketika berada di sungai siang tadi. Malah mengajaknya bertanding karena
dituduh mengintip.
Memang benar kalau pemuda yang menguping pem-
bicaraan antara Bong Mini dan Kanjeng Rahmat Suci
adalah orang yang telah berhadapan dengan Bong Mini siang tadi. Dan dia
merupakan murid tunggal Kanjeng Rahmat Suci yang bernama Baladewa, putra Prabu
Jalatunda dan Rayi Ningrum. Saat itu ia baru saja pulang dari kampung membawa
kebutuhan makanan,
sesuai dengan pesanan Kanjeng Rahmat Suci. Dalam
perjalanan ia melihat Bong Mini yang tengah mandi di sungai.
Setelah berdiri beberapa saat di balik bilik gubuk Kanjeng Rahmat Suci, Baladewa
membatalkan niat untuk mengantarkan bahan makanan yang dipesan gu-
runya. Ia berbalik arah lalu melangkah menuju gubuk-
nya yang hanya beberapa meter dari gubuk Kanjeng
Rahmat Suci. Di sana, ia langsung merebahkan badannya di atas dipan. Sedangkan
matanya menatap langit-langit kamar yang terbuat dari rumbia. Tatapan ma-
tanya kosong. Karena pikirannya mengawang pada ga-
dis yang dilihatnya tadi.
Siapa gadis itu dan mengapa berada di gubuk Kan-
jeng Rahmat Suci" Tanya batin pemuda itu sambil
membayangkan keceriwisan dan kecantikan gadis yang baru pertama kali dilihatnya
itu. Apa mungkin dia cu-cu atau murid kanjeng" Lanjut hati pemuda itu lagi.
Ah..., tidak mungkin! Kanjeng tidak mempunyai seo-
rang cucu atau keluarga. Untuk dikatakan muridnya
pun jelas mustahil. Karena menurut pengakuan Kan-
jeng sendiri, dia tidak mempunyai murid lain kecuali diriku. Lalu siapa
sebenarnya gadis itu" Batin pemuda itu terus bertanya jawab.
Wah...! Kok jadi memikirkan gadis itu" Gumam pe-
muda itu lagi sambil tersenyum malu. Malu terhadap dirinya sendiri yang selalu
membayangkan gadis yang dijumpainya tadi. Kemudian ia membalikkan tubuhnya.
Berusaha menghilangkan bayangan wajah gadis
itu. Namun usahanya sia-sia belaka. Semakin ia berusaha menghilangkan, semakin
kuat wajah gadis itu
membayanginya. Apa saja yang dilihatnya selalu ter-bayang wajah gadis bertubuh
mungil yang dilihatnya di sungai tadi.
Wah, kacau nih! Bisa tidak tidur kalau begini! Bisik hati pemuda itu seraya
bangkit hendak menemui gurunya.
*** Bong Mini dan Kanjeng Rahmat Suci masih asyik
bercakap-cakap. Namun demikian, pikiran Bong Mini
terkadang terusik oleh pemuda yang siang tadi mem-
buat dirinya malu.
"Kanjeng!" ujar Bong Mini.
Kanjeng Rahmat Suci menoleh sejenak dan ber-
tanya, "Ada apa?"
"Apakah selama ini Kanjeng tinggal sendirian?"
tanya Bong Mini. Dan pertanyaan itu sebenarnya su-


Putri Bong Mini 03 Pedang Teratai Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dah lama menggayuti hatinya. Sebab ia heran, dalam suasana bukit yang sunyi dan
jauh dari perkampungan serta dikelilingi jurang dan sungai, Kanjeng
Rahmat Suci tampak begitu betah.
"Hm..., ya. Aku lupa menceritakan tentang murid-
ku!" ungkap Kanjeng Rahmat Suci, seolah baru sadar dari keasyikannya.
"Jadi, Kanjeng punya seorang murid?" tanya Bong
Mini. "Benar, Anakku!"
"Tapi aku sejak tadi tidak melihatnya, Kanjeng!"
"Sejak kemarin sore muridku itu pergi ke kampung
untuk membeli persediaan makanan," Kanjeng Rahmat
Suci menjelaskan.
Bong Mini mengangguk-angguk paham.
"Sejak berumur sebelas tahun hingga sekarang ini
dia belajar di sini," kata Kanjeng Rahmat Suci lagi.
"Apakah dia tidak punya orangtua, Kanjeng?" tanya
Bong Mini ingin tahu.
"Kedua orangtuanya masih ada. Malah ia hidup da-
lam lingkungan keluarga yang berkecukupan. Tapi
hanya beberapa kali mereka datang ke sini."
"Kenapa begitu, Kanjeng" Apakah mereka tidak
kangen" Atau memang karena anaknya nakal?" tanya
Bong Mini beruntun.
Kanjeng Rahmat Suci tersenyum mendapat perta-
nyaan gencar Putri Bong Mini.
"Sebagai orangtua tentu saja mereka kangen, begitu pula dengan anaknya.
Sebagaimana kau kangen pada
papamu sekarang ini. Ia juga seorang anak yang baik dan penurut," ucap Kanjeng
Rahmat Suci menjelaskan.
Bong Mini kembali mengangguk-angguk.
"Mereka jarang datang ke sini karena aku mela-
rangnya. "
"Kenapa begitu, Kanjeng?" tanya Bong Mini cepat
"Aku ingin mendidik anak itu agar menjadi orang
yang tangguh. Agar ia dapat tabah dalam mengarungi kehidupan dunia yang penuh
dengan berbagai pernik
ini. Apalagi jika hendak mengejar cita-cita. Sebab untuk mengejar cita-cita,
kita seperti berjalan di semak belukar yang penuh dengan tanaman berduri.
Telapak kaki kita sewaktu-waktu berdarah terkena tanaman
berduri!" kata Kanjeng Rahmat Suci dengan suara lunak. Namun apa yang
dikatakannya itu sangat berarti bagi Bong Mini. Tampak tidak menasihati tapi
mengandung makna yang amat dalam. Penuturan baha-
sanya pun penuh dengan bahasa hati. Sehingga lang-
sung menyentuh dinding hati lawan bicaranya.
"Tapi aku heran, sampai gelap seperti ini, dia belum juga pulang!" lanjut
Kanjeng Rahmat Suci dengan wajah yang menunjukkan kecemasan.
"Mungkin main-main dulu, Kanjeng," kata Bong
Mini. "Dia anak penurut. Tak pernah mengabaikan tu-
gasnya sebelum selesai dilaksanakan," ucap Kanjeng Rahmat Suci sambil
menyebarkan pandangannya ke
keremangan malam.
"Siapa nama murid Kanjeng itu?" tanya Bong Mini
ingin tahu. "Baladewa."
Mendengar nama itu, wajah Bong Mini langsung
terkejut. Dia pernah mendengar nama itu ketika bercakap-cakap dengan istrinya
Prabu Jalatunda, Bibi
Ningrum. Pada saat itu malah ia hendak diperkenalkan dengan putranya. Namun
karena terhalang oleh pasukan Perguruan Topeng Hitam, perjalanan itu segera di-
batalkan. "Kanjeng, apakah tempat ini bernama Gunung Mu-
da?" tanya Bong Mini lagi.
"Benar. Memangnya ada apa?" orang tua itu balik
bertanya. "Tidak apa-apa, Kanjeng. Aku pernah mendengar
nama itu!"
"Dan, sekarang kau sudah berada di sini menikma-
tinya!" Bong Mini membalas ucapan orang tua itu dengan
tersenyum manis. Begitu pula dengan Kanjeng Rahmat Suci.
Di saat keduanya tersenyum gembira, tiba-tiba
muncul seorang pemuda yang tidak lain Baladewa. Dia berdiri tegak dengan
buntalan kain di pundaknya.
Mata Kanjeng Rahmat Suci dan Bong Mini serentak
menatap Baladewa yang berdiri di hadapan mereka.
Sedangkan bibir Baladewa nampak tersenyum ke arah
mereka berdua. Bong Mini terkejut melihat kehadiran pemuda itu.
Ia tidak mengira kalau pemuda yang diajaknya ber-
tempur tadi siang justru murid Kanjeng Rahmat Suci dan putranya Prabu Jalatunda.
"Inilah muridku yang bernama Baladewa!" kata
Kanjeng Rahmat Suci memperkenalkan.
Bong Mini mengangguk pelan sambil memaksakan
bibirnya untuk tersenyum. Namun ketika Kanjeng
Rahmat Suci sudah tidak melihatnya, ia segera meng-
ubah wajahnya dengan ketus. Disertai sorotan ma-
tanya yang mengandung kebencian.
"Kanjeng, aku hendak menyalakan lampu kamar
dulu!" ucap Bong Mini buru-buru turun.
"O, ya. Terlalu asyik kita bicara, hingga lupa jika suasana telah gelap,"
Kanjeng Rahmat Suci tersadar dari keasyikannya. Lalu ia pun masuk ke dalam
gubuknya untuk menyalakan lampu tempel. Diikuti oleh Baladewa.
"Siapa gadis itu, Kanjeng?" tanya Baladewa pura-
pura. "Dia murid baruku. Jadi saudara seperguruanmu!"
sahut Kanjeng Rahmat Suci sambil menggantungkan
lampu tempel yang sudah menyala di tiang rumah.
"Nampaknya dia gadis asing," kata Baladewa, me-
nebak. "Ya. Dia berasal dari negeri Tiongkok. Tapi sudah
menetap di sini," sahut Kanjeng Rahmat Suci seraya memandang wajah muridnya.
"Hari ini begitu lama kau berbelanja. Ada apa?"
"Tidak ada apa-apa, Kanjeng. Kebetulan sambil ber-
belanja tadi, aku keliling kampung untuk melihat-lihat suasana," jawab Baladewa
menyembunyikan kejadian
yang sesungguhnya.
Orang tua itu mengangguk-angguk.
"Ya, sudah. Kembalilah ke gubukmu. Nanti kita bin-
cang-bincang lagi," kata orang tua itu.
"Baik, Kanjeng!" sahut Baladewa. Dan setelah me-
naruh buntalan di atas meja, ia segera kembali ke gubuknya untuk menyalakan
lampu tempel di kamarnya.
*** 4 Selama di Gunung Muda, Bong Mini telah mendapat
kemajuan yang amat menakjubkan! Bahkan Kanjeng
Rahmat Suci sendiri merasa heran dan kagum terha-
dap kemajuan Putri Bong Mini. Semua ilmu yang di-
ajarkan oleh orang tua itu selalu dapat dilakukan dengan hampir sempurna.
Sehingga tidak heran, setelah dua tahun berada di Gunung Muda yaitu dalam usia
kedelapan belas tahun, kepandaian ilmu silat Bong
Mini telah jauh meninggalkan saudara seperguruan-
nya, Baladewa. Kemajuan yang diperoleh Bong Mini bukan saja da-
lam hal ilmu silat, tetapi dalam ilmu peringan tubuh dan tenaga dalam ia pun
mengalami kemajuan yang
sangat pesat. Karena secara diam-diam, tanpa diperintah Kanjeng Rahmat Suci,
Bong Mini melakukan lati-
han sendiri di tempat yang agak jauh dari tempat mereka. Malah setiap pagi,
sebelum matahari muncul
memancarkan sinarnya, Bong Mini selalu pergi ke
sungai tempat ia pertama kali mandi untuk merendam dirinya pada air sungai yang
dingin itu sampai beberapa jam. Dari rasa dingin yang ditimbulkan air sungai itu
ia dapat menampung pusat tenaga dalam yang
sangat hebat. Setelah mendapatkan semua pelajaran ilmu silat,
Bong Mini mulai mempelajari ilmu kesaktian dari gurunya.
Pertama-tama yang harus dilakukan Bong Mini da-
lam mempelajari ilmu kesaktian adalah dengan cara
menyekap diri dalam sebuah goa kecil selama tiga hari tiga malam dengan
berpuasa. Sedangkan waktu makannya pada saat matahari terbenam, ia hanya diper-
bolehkan makan segenggam nasi tanpa lauk-pauk dan
segelas air putih. Setelah itu, ia kembali lagi ke dalam goa untuk merenungkan
seluruh ciptaan Tuhan. Mulai dari langit dan bumi, termasuk manusia, hewan, tum-
buhan, bintang, bulan dan ciptaan Tuhan yang lain.
Termasuk merenungkan apa yang ada dalam diri sen-
diri. Inilah yang disebut dengan ilmu Pengenalan Diri.
Pada saat merenungkan diri sendiri, Bong Mini me-
nangis tersedu-sedu sampai air matanya kering terkuras dalam ruang goa yang
gelap. Karena pada saat itu ia merasa, betapa kerdil dirinya di hadapan Tuhan.
Ia merasa tak mampu melakukan apa-apa bila tanpa kehendak Yang Maha Kuasa.
Dari pelajaran pengenalan diri ini, ia dapat menjawab tentang ucapan gurunya
yang mengatakan bahwa
pertolongan itu datang dari Yang Menguasai dirimu. Di sini ia berpendapat bahwa
Yang Menguasai diri manusia adalah Tuhan. Bukankah Yang Maha Kuasa mam-
pu berkehendak apa saja terhadap makhluk ciptaan-
Nya" Bukankah jika Tuhan berkehendak, dia mampu
menenggelamkan ke dalam bumi dan mengubur hi-
dup-hidup manusia yang penuh dengan lumpur dosa
dan maksiat" Tapi Yang Maha Kuasa begitu pemurah.
Dibiarkan manusia bersenang sesuai dengan kehendak nafsunya. Dibiarkan manusia
berbuat sekehendak ha-ti. Namun di akhir hidupnya nanti Yang Maha Kuasa
akan menanyakan segala perbuatan manusia itu sen-
diri dan memberikan imbalannya. Sesuai dengan per-
buatan baik dan perbuatan jahat yang dilakukan se-
lama berada di dunia.
Setelah Bong Mini dapat mengenal diri sendiri lewat pencucian diri, barulah ia
memasuki tahap kedua dengan cara memusatkan hati, pikiran, mata, telinga dan
seluruh anggota tubuhnya pada kekuatan dan keper-
kasaan Tuhan selama empat puluh hari empat puluh
malam dengan tetap berada dalam goa.
Ketika baru seminggu ia melakukan pemusatan pi-
kiran dan seluruh anggota tubuh pada kebesaran, kekuasaan, dan keperkasaan
Tuhan, tiba-tiba Bong Mini melihat secercah cahaya terang berwarna putih.
Kemudian cahaya putih yang berbentuk bulatan itu ma-
Neraka Hitam 8 Kisah Si Naga Langit Karya Kho Ping Hoo Geger Dunia Persilatan 9
^