Pencarian

Kolusi Bursa 3

Kolusi Bursa Free To Trade Karya Michael Ridpath Bagian 3


berkencan dengan Debbie selama beberapa minggu,
satu atau dua tahun yang lalu. Tapi kukiia Debbie
menyuruhnya pergi. Mungkin itu sebabnya ia m'aSih
kesal pada Debbie." Cash menyentuh lenganku. Dengar, lupakan saja apa yang ia katakan. Debbie anak
yang baik." .
"Ya," ujarku ketika taksi berhenti dl depan apartemenku.
" 154
> > >BAB
7 ATIKU masih terasa panas keesokan harinya.
Aku melihat bajingan itu di lokasi kematian;
Debbie. Jelas ia adalah pria kasar yang dimaksud
Felicity. Orang yang menyuruh?nyuruh Debbie dan
yang memukulinya ketika ia menanyakan tentang perkawinannya.
Makin kupikirkan semakin aku kesal karena semalam pergi tanpa memukulnya. Aku memutuskan ke
rumahnya malam ini dan mencari tahu apa yang
sebenarnya terjadi. Aku tahu itu tindakan bodoh, tapi
aku bertekad untuk melakukannya.
Aku menelepon Cash menanyakan alamat Joe. Ia
tidak mau memberikannya padaku, tapi aku memaksa.
Aku menunggu hingga pukul tujuh, saat kuperkiiakan
Joe sudah sampai di rumah, dan pergi ke rumahnya
di Wandsworth.
Ia tinggal di jalan buntu. Jalan kecil itu diapit
rumah?rumah besar era Edward berwarna merah yang
dihuni kalangan bankir kelas menengah pada awal
abad ini.
155 Hari itu sangat panas, dan udara terasa menyesakkan dada. Jalan kecil itu sangat sunyi. Kondisi rumahrumah di sana tidak bagus, jendelanya sudah kotor
berdebu dan ada beberapa yang retak, cat pintu dan
rangkanya sudah mengelupas. Kebanyakan telah dlubah
menjadi apartemen untuk satu orang atau pasangan
yang belum menikah yang bekerja di kota. Aku
dikejutkan oleh sosok kecil yang melesat di antara
tong sampah. Kucing? Rubah kota? _ _
Hatiku mulai tidak enak. Aku sama sekali tidak
tahu apa reaksi Joe saat melihatku nanti. Semua yang
kutahu tentang orang itu adalah bahwa perangainya
berubah?ubah, dan terkadang penuh kekerasan. Sepanjang hari aku telah merancang kata?kata yang akan
kugunakan untuk menanyainya, tapi mendadak semua
terasa tidak meyakinkan. Aku berhenti di tengah
jalan sunyi itu. Lalu terbayang Debbie yang sedang
bersandar di kursinya, The Mail berserakan di hadapannya, matanya bersinar?sinar dan senyum lebarnya
menggodaku. Amarahku kembali muncul.
Aku melangkah terus di jalan itu. Rumah Joe
berada paling ujung. Tinggi, ramping, dan merahrumah itu seolah berdiri sendirian, dihiasi dua menara
miniatur gaya Victorian?Gothic. Aku melintasi'jalan
masuk yang pendek dan langsung tersembunyi dari
pandangan orang di jalan oleh kerimbunan semak
rhudodendmn, daun?daunnya yang hijau gelap mengilat memberiku sebuah tabir. '
Samar kudengar suara bayi menangis, mungkin
dari arah belakang rumah. Aku membunyikan bel.
Tidak ada jawaban. Meskipun demikian, tampaknya
bayi itu mendengarnya karena kini jerit tangisnya
156 bertambah keras. Serak dan marah?suaranya membelah keheningan suasana yang menyesakkan itu.
Apakah Joe meninggalkan anaknya menangis seorang diri di dalam rumah? Mungkin, tapi bagaimana
dengan istrinya? Aku mencari jalan melalui_.kebun di
muka rumah untuk melihat ke jendela. Aku melihat
dapur yang besar dengan tumpukan makanan setengah
'jadi berserakan di meja. Di lantai berserakan pula
potongan bawang dan sebuah pisau dapur. lsi sebuah
penggorengan yang sudah mendidih tumpah ke atas
kompor, meneteskan daging dan kuah ke dalam api.
Aku melangkah ke jendela berikutnya. Lalu tampaklah sosok itu, duduk meringkuk di sofa ruang tamu,
seorang wanita yang sedang terisak?isak perlahan.
Lututnya terlipat menyentuh dagu, dan aku tidak dapat
melihat wajahnya, namunbahunya terguncang?guncang.
Aku mengetuk jendela itu. Tidak ada reaksi. Aku
mengetuk kembali, dengan keras, menggetarkan kaca.
Seraut wajah kurus, penuh noda air mata, muncul
dari balik untaian rambut cokelat muda. Matanya
berusaha memusatkan pandangan padaku, lalu ia membiarkan kepalanya terkulai kembali ke bantal.
Aku melihat jendela panjang di bagian belakang
mangan itu, terbuka menghadap sebuah kebun kecil.
Aku berjalan mengitari sisi rumah dan memanjat
gerbang samping yang terkunci dan memasuki kebun.
Aku berdiri di ambang jendela itu, matahari sore
melintas melalui bahuku menerangi ruang duduk yang
tertata cantik. Dari tempatku berdiri terlihat kaki si
wanita yang mengenakan sandal. Si bayi terdiam
beberapa saat, tak diragukan ia tengah mendengarkan
tanda?tanda kehadiran orang dewasa. Aku dapat men
157 dengar perempuan itu terisak?isak, dalam, perlahan.
Aku berdeham, "Halo?"
Tiada jawaban. la pasti mendengarnya, tapi ia
tidak mengacuhkan aku.
Aku berjalan ke depan sofa itu. "Apakah Anda
baik?baik saja?" tanyaku, menyentuh bahunya lembut.
Ia mengangkat tubuhnya dengan canggung, duduk _
tegak di sofa, tangannya masih terlipat di atas lutut.
la menarik napas panjang beberapa kali dan isakannya
terhenti. "Siapa kau?"
Ia mempunyai wajah kurus yang sebenarnya cantik
namun tampak pucat dan lelah. Sebuah wajah yang
telah sering dibasahi air mata. Kini air mata itu
membasahi pipinya, tercurah bagai aliran air dari
matanya yang bengkak dan memerah, turun sampai
ke bibirnya yang gemetar. Perempuan itu menggoyanggoyangkan tubuhnya ke depan dan ke belakang. Aku
dapat melihat tangannya yang sedang mencengkeram
lengan atas dan yang satu lagi memegangi di iganya.
Ia sedang kesakitan.
"Namaku Paul Murray. Apakah Anda terluka?"
la memandangku ragu?ragu, jelas sedang mempertimbangkan apakah akan menyuruhku pergi atau tidak.
Ia mulai terisak kembali dan memegangi sisi tubuhnya.
Aku melintasi mangan menghampiri sofa itu. "Apakah Anda terluka?" kuulangi dengan lembut. Hening.
"Siapa nama Anda?"
"Sally," ucapnya. la membersihkan hidung dan
mengusapnya, berusaha duduk tegak. "Sekarang pergilah! Aku baik?baik saja. Tinggalkan aku sendiri!"
Saat itulah aku mendengar langkah ringan menuruni
tangga.
158 Joe! Ia pasti telah mendengar bel pintu dan memutuskan untuk tidak mengacuhkannya. Rasa takut terlintas di wajah Sally Finlay. Aku berdiri tegak, siap
siaga.
Laki?laki itu terkejut melihatku, namun hanya sesaat. Matanya bergerak cepat dari wajahku ke wajah
Sally dan kemudian kembali menatapku. Suatu tatapan
dingin, kaku, tanpa kehidupan.
Joe menyunggingkan senyum tipisnya. "Rupanya
kita kedatangan tamu. Boleh kubawakan bir untukmu?
Sebentar, aku taruh ini di lemari es." Ia menunjukkan
padaku satu pak bir enam kaleng di tangannya kemudian menyelinap ke dapur.
Sally dan aku menunggu, tak bergerak.
Dalam sekejap ia sudah kembali dengan sebilah
pisau, yang tadi jatuh di "lantai dapur. Pisau itu kecil,
namun kulihat ujungnya tajam. Dua potongan bawang
menempel di bagian bawah pisau itu.
"Mengapa kau tidak tidur saja, Sayang? Kau keli?
hatan lela ," ujarnya.
Sally berdiri dengan gemetar, memandangku dengan
campuran rasa takut dan kasihan, kemudian menghilang menuju koridor. Aku mendengar langkah kakinya
berlari ke atas.
Joe memegang sebilah pisau, dan kemungkinan ia
berniat menggunakannya. Aku tidak bisa pura?pura
dapat menyelamatkan istrinya, dan sekarang bukan
waktunya mengajukan pertanyaan sukar.
Tetap tenang dan cepat ke luar.
Joe menghalangi jalanku menuju jendela panjang
itu. Mataku melirik ke atas bahunya. Tiga langkah
cukup bagiku untuk mencapai koridor. Aku melangkah
159 dua kali, namun Joe melihat gerakan mataku. Aku
menghentikan langkahku menuju pintu tepat sesaat
sebelum tertikam ujung pisaunya.
Perlahan Joe mengayunkan pisau itu di mukaku,
memaksaku kembali ke sudut. Sinar matahari bersinar
masuk ke dalam mangan, menerangi wajah Joe dengan
sinar kuning. Matanya menyipit, dan biji matanya
mengecil menjadi setitik bintik hitam. Pisau itu bersinar putih dalam cahaya mentari,
Suara nyanyian malam bumng blackbird terdengar
dari kebun. Aku dapat merasakan permukaan kain
kemeja katun putihku yang berat, menempel basah di
dalam jas. Sebuah rak buku tertabrak kakiku. Dan
mataku tetap mengikuti pisau itu.
Sergap tangan yang memegang pisau itu. Benda
itu hanya sebuah pisau kecil, tidak akan terlalu menyakitkan kalau menggoresku, kan? Buat ia kehilangan
keseimbangan lalu lari. Cepat.
Sosoknya yang kurus bertumpu kuat pada kedua
tumit kakinya. Tangan kanannya menggenggam longgar
pisau itu. Rileks, namun siap bergerak dalam sekejap.
Joe tahu cara berkelahi dengan pisau.
Aku menatap mata Joe. la menantangku. Ia ingin
aku melompat menyerangnya.
Jadi, kubiarkan tanganku menggantung di sisiku.
"Biarkan aku pergi," kataku dengan suara setenang
mungkin, "Aku tidak akan menceritakan tentang Sally
kepada siapa pun."
"Kau membuatku kesal, Murray," desis Joe. "Buat
apa kau datang kemari?"
"Untuk berbicara denganmu tentang kematian
Debbie," ujarku.
160 "Dan mengapa aku harus tahu soal itu?"
"Aku sedang bersamanya ketika kau berjalan ke
arahnya di kapal. Malam ia mati."
Joe berdecak. "Sudah kukira aku mengenalimu.
Jadi kau pikir aku membunuhnya, kan? Yah, kalau
kau ingin tahu apakah aku membunuhnya, tanyakan
saja." Ia sekarang tersenyum. Menikmati dirinya.
Aku tidak berkata apa?apa.
"Kenapa? Apa kau takut kalau aku memang membunuh pelacur itu, maka aku akan membunuhmu
juga? Mungkin kau benar. Ayo. Tanya aku. Tanya
aku!" teriaknya.
Aku merasa takut. Benar?benar takut. Tapi kukira
lebih baik aku menurut. Aku menelan ludah. "Apakah
kau membunuhnya?"
] "Maaf, tidak kedengaran. Apa kaubilang?" ujar
oe. Aku menegakkan tubuh. "Apa kau membunuhnya?"
la tersenyum. Lama suasana hening. Ia benarbenar menikmatinya. "Mungkin." ujarnya, 'dan berde-
cak pada diri sendiri. "Tapi mari berbicara tentang
dirimu. Aku tidak terlalu suka padamu, Murray. Aku
tidak suka kau mengintip-intip di sini, berbicara de-
ngan istriku. Kurasa aku akan memberimu sesuatu,
untuk mengingatkanmu agar jangan pemah menggangguku lagi."
Ia melangkah mendekat ke arahku. Aku tetap diam.
Perlahan ia mengangkat pisau kecil itu ke leherku.
Ujung pisau itu berkilau abu-abu keputihan, kilau
besi yang sangat tajam. Aku dapat mencium bau
potongan bawang beberapa inci dari hidungku.
Aku tetap tidak bergerak.
161 Panik. Tetap tenang. Jangan, kan harus panik!
Jangan hanya berdiri di sana sementara ia memotong
lehennu. Bergerak!
Aku menyambar pisau itu. Saat aku mengangkat
tangan, ia menangkapnya dengan tangan kirinya yang
bebas, memutarnya, dan menarikku ke atas bahunya.
Aku jatuh terimpit ke lantai. .
la merenggut jari kelingking kiriku. "Buka jarimu,"
petintahnya. Aku berusaha mengeraskan kepalanku,
tapi ia kembali menarik jari kelingkingku. "Buka
jarimu atau kupatahkan ini!"
Kubuka kepalan tanganku. "Kau tidak terlalu membutuhkan jari kelingking ini, kan?" Joe berdecak.
"Kau tidak bisa menggunakannya untuk apa?apa. Kau
tidak akan merasa kehilangan. Aku ingin memberimu
sebuah peringatan supaya menjauh dariku."
Aku berusaha menggerakkan tanganku, tapi le-
nganku ten'mpit erat ke lantai, tepat di depan wajahku.
Aku melihat mata pisau meluncur turun hingga per-
lahan menggores kulit di bawah buku jari tanganku.
Aku merasa sentakan tajam rasa perih ketika kulitku
tergores sedikit. Segaris tetesan darah mengalir di
punggung tanganku.
Lalu ia menekan pisau itu, dan dengan sangat
perlahan menggerakkannya ke depan dan ke belakang,
menggoreskannya di kulit. Rasa sakit menyentak
tanganku. Aku mengertakkan gigi dan mendorong
daguku ke karpet, menguatkan hati supaya tidak menjerit. Mataku masih terus terpaku pada pisau 1tu. Aku
berusaha berontak, tapi Joe telah mengimpitku ke
lantai. Kakiku bebas, dan aku menendangmendang
dengan sia-sia.
162 Tidak ada yang dapat kulakukan selain melihat Joe
memotong jariku.
Tiba?tiba ia mengangkat pisau itu dan tertawa,
"Pergilah, enyah dari sini," ujarnya, berdiri tegak.
Rasa lega mengalir dalam diriku. Aku melakukan
tepat seperti yang dikatakannya, mengangkat tubuhku
dari lantai, dan berlari ke pintu, menggenggam jariku
yang berdarah dengan tangan kanan. Kutinggalkan
isak Sally di belakangku ketika aku melesat keluar
dari rumah itu, berlari ke ujung jalan menuju jalan
besar
Setelah sampai di deretan toko, aku berhenti berlari.
Ya Tuhan, orang itu psikopat, pikirku sambil mene-
nangkan diri. Dan ia juga kuat. Aku dapat merasakan
darah di jariku menetes sampai ke lengan. Lukanya
dalam dan terasa sakit. Kulihat toko obat di seberang


Kolusi Bursa Free To Trade Karya Michael Ridpath di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jalan. Dalam beberapa menit jariku sudah bersih dan
terbalut rapi.
Aku duduk di sebuah tembok rendah untuk mene-
nangkan diri. Jariku terasa berdenyut?denyut oleh rasa
sakit, tapi paling tidak belum putus. Jantungku ber-
debar keras, dan bukan hanya karena berlari. Sepuluh
menit kemudian baru tanganku berhenti gemetar dan
detak jantungku kembali normal.
Aku sangat ingin segera pulang dan melupakan
Joe. Tapi aku masih dapat mendengarlisak kesakitan
Sally Finlay dan melihat wajahnya yang rusak oleh
tangis kesengsaraan. Wajah Joe membuatku mual. la
benar?benar kejam. Aku tidak bisa membiarkannya
begitu saja memukuli istrinya, kapan saja ia mau.
Hanya Tuhan yang tahu apa yang ia lakukan pada
anaknya Suka atau tidak, akulah satu-satunya yang
163 dapat melakukan sesuatu untuk menghentikannya, dan
jika aku tidak melakukannya, maka hati kecilku yang
akan menderita. Jadi kuputuskan 'untuk memberitahu
polisi. Kuharap ia takkan tahu siapa yang memberitahu
polisi, tapi aku sadar aku hanya membohongi diri.
Apa pun yang terjadi, aku bertekad tidak akan lagi
' berada berduaan dengan Joe.
Kutanyakan pada seorang wanita tua arah menuju
kantor polisi lokal. Kantor terdekat hanya seperempat
mil jauhnya.
Kuceritakan pada sersan jaga bagaimana kudapati
Sally telah dianiaya. Aku tidak menceritakan perkela-
hianku dengan Joe. Ia tampak efisien dan menaruh
perhatian, sehingga sangat melegakanku. Semula aku
menduga akan diabaikan. Sersan itu mengatakan kasus
ini agak sulit dibuktikan. kecuali kalau sang istri
bersedia bersaksi. Kantor polisi itu telah mendirikan
Unit Kekerasan Rumah Tangga, dan ia akan mene?
ruskan laporanku ke sana. la meyakinkanku bahwa
mereka akan mengirim petugas ke rumah Finlay ma-
lam itu juga.
Lalu kutanyakan padanya apakah aku dapat menelepon Inspektur Powell, karena aku mempunyai infomasi
sehubungan-dengan penyelidikan kasus pembunuhan.
Sersan jaga itu agak tersentak, namun setelah memutuskan bahwa aku tidak gila, ia menunjukkan sebuah
ruang kecil berisi telepon. Setelah beberapa menit
aku berhasil bicara dengan Powell.
"Halo, ini Paul Murray. Aku menelepon sehubungan
dengan kematian Debbie Chater."
"Ya, Mr. Murray. Aku ingat Anda. Apa yang ingin
Anda katakan?" suara Powell terdengar tidak sabar.
164 "Anda ingat laki-laki yang kuceritakan, yang meraba Debbie di malam ia meninggal?"
"Ya?"
"Yah, aku bertemu dengan orangnya beberapa hari
lalu. Namanya Joe Finlay. la trader di bank investasi
Bloomfield Weiss. Ia pernah berkencan dengan Debbie
sekitar setahun yang lalu." Aku memberi Powell
alamat Joe di Wandsworth.
"Terima kasih banyak, Mr. Murray. Kanti akan
menyelidiki petunjuk ini. Tetapi sepertinya ini kasus
kecelakaan, atau mungkin bunuh diri. Aku akan meng-
hubungi Anda dalam beberapa hari," nada kesal dalam
suara Powell terdengar jelas. Mungkin selama ini ia
melupakan keteranganku mengenai Joe karena diang?
gap tidak penting, 'dan mungkin ia telah memutuskan
kematian Debbie adalah ?kasus bunuh diri. Sekarang
ia punya pekerjaan tambahan.
"Aku bersedia membantu kapan saja," ujarku, dan
menaruh kembali telepon.
Ketika meninggalkan kantor polisi dan pulang, aku
menduga?duga apa reaksi Joe saat ditanyai polisi. Ia
takkan suka padaku, aku yakin. Walau demikian,
kuharap mereka akan menangkap bajingan itu.
165 > > > BAB
8 Aku datang tepat pada waktunya untuk bertemu
dengan Robert Denny. Kantor Denny Clark berada di Essex Street, jalan kecil yang berkelok?kelok
dari arah Strand menuju sungai. Kantor itu berada di
gedung bata merah tua gaya George, hanya ditandai
papan nama kecil dari kuningan di depannya. Sang
resepsionis, seorang gadis pirang dengan suara merdu,
-mengambi1 mantelku dan mempersilakan aku duduk.
Aku melihat sebuah kursi kulit yang nyaman dan
duduk di sana.
Aku memandang ke sekjtarku. Buku berjajar dari
atas ke bawah, buku-buku tua berjilid kulit. Di hadapanku di meja mahoni, di samping vas bunga lili
oranye, terdapat edisi Country Life, The Field, Inves-
tors Chronicle, Economist, dan Times. Jelas klien
macam apa yang dilayani Denny Clark. Aku tidak
heran Irwin Piper menggunakan jasa perusahaan ini.
Aku agak terkejut mereka bersedia menerima Irwin
Piper, tapi honor adalah honor.
Lima menit kemudian aku diantar ke ruang kantor
167 Mr. Denny oleh sekretaris efisien yang menjawab tele-
ponku. Letaknya di lantai dua, luas dan terbuka, dengan
pemandangan ke arah jalan yang tenang di bawah.
Kembali terdapat rak-rak dengan jajaran buku-buku
bersampul kulit, yang kelihatannya telah sering dipergunakan dari waktu ke waktu. Di sebuah dinding, di
atas meja rapat, tergantung potret seorang pria dari era
Victoria yang berwajah mengesankan dan sedang menggenggam pena bulu. Seorang leluhur Denny,kukira.
Denny yang sekarang sedang duduk di belakang
meja besar, menyelesaikan sebuah catatan. Setelah
beberapa detik, ia mengangkat wajah, melihatku, tersenyum, dan berdiri di balik mejanya untuk menyambutku. Ia seorang pria rapi, berambut abu?abu, dan
bertubuh agak kecil. Walau jelas ia sudah berusia
enam puluhan, tidak ada gaya bijaksana seorang
partner senibr pada dirinya. Gerakannya sigap, mata-
nya tangkas, tingkah lakunya meyakinkan. Seorang
pengacara kompeten di puncak kariernya.
la mengulurkan tangannya padaku. "Paul Murray,
suatu kehormatan bertemu Anda."
Sedikit bingung mendengar sambutannya, aku beruv
jar agak ragu-ragu, "Aku juga senang dapat bertemu
Anda."
Denny tertawa, matanya bersinar. "Aku suka me-
nonton atletik di TV. Aku selalu mengagumi lari
Anda. Sungguh hari yang menyedihkan saat Anda
pensiun. Aku yakin Anda akan dapat meraih emas
dalam waktu dua tahun. Apakah Anda sepenuhnya
meninggalkan dunia atletik?"
"Oh, aku masih lari dengan teratur, tapi hanya
agar tetap sehat. Namun aku tidak lagi berlomba."
168 "Sayang. Apakah Anda mau teh? Kopi mungkin?"
tanyanya.
"Teh saja, terima kasih," sahutku.
Denny mengangkat alis ke arah sekretarisnya, yang
langsung menyelinap keluar dari ruangan dan segera
kembali dengan nampan, teh, cangkir, dan kue. Kami
duduk di kursi di samping meja yang rendah. Aku
duduk bersandar rileks. Denny adalah salah satu
orang yang percaya akan kemampuan mereka sendiri,
yang menggunakan kepandaian dan karisma mereka
untuk membuat orang merasa nyaman, tidak merasa
tertekan. Aku menyukainya.
Denny menghirup tehnya. "Felicity memberitahu
bahwa Anda adalah kawan Debbie Chater," katanya,
melihatku dari balik cangkir.
"Ya, benar," ujarku. "Atau paling tidak aku rekan
kerjanya. Kami hanya bekerja bersama selama dua
bulan, tapi kami bersahabat baik."
"Di De Jong and Company?"
"Ya, benar."
"Aku yakin Debbie adalah aset yang hebat bagi
kalian," ujar Denny jujur. "Aku sangat menyesal
ketika ia berhenti, Ia seorang pengacara yang brilian."
la pasti melihat sedikit rasa terkejut di wajahku.
i'Oh, ya," lanjutnya. "Ia mungkin kurang tekun tapi
ia selalu mampu memahami inti persoalan dengan
sangat cepat, untuk seseorang dengan pengalaman
seperti dia. Dan ia selalu mengerti semuanya. Sayang
sekali ia meninggalkan bidang hukum." la terbatuk,
tak meneruskan ucapannya yang juga ada di benakku.
Lagi pula sekarang sudah tidak penting lagi. "Apa
yang ingin Anda ketahui?"
169 "Aku ingin bertanya tentang sesuatu yang tengah
dikerjakan Debbie sebelum ia meninggal dunia," kata-
ku. "Sesuatu yang agak aneh. Mungkin tidak penting.
Tapi bisa juga sebaliknya."
"Apakah berhubungan dengan kematiannya?"
"Oh tidak, aku yakin tidak," ujarku cepat.
"Tapi menurut Anda ada kemungkinan?" Denny
duduk di kursinya mendengarkan, menyimak bukan
saja apa yang kukatakan tapi juga bagaimana caraku
mengatakannya. Ada sesuatu dalam diri orang ini
yang membuatku berani berbicara.
"Yah, aku mungkin hanya berkhayal tapi ya, kemungkinan itu memang ada. Aku benar?benar belum
tahu. ltulah sebabnya aku datang kemari."
"Begitu," ujar Denny. "Silakan."
"Ini berhubungan dengan seorang Amerika bernama
lrwin Piper. Felicity menceritakan bahwa Anda pernah
menangani kasus yang melibatkan Piper. Debbie be-
kerja dengan Anda dalam kasus itu."
"Piper adalah klien firma ini. Debbie dan aku
memang pernah mewakilinya dalam sebuah kasus,"
ujar Denny.
"Aku tengah memeriksa obligasi baru untuk sebuah
kasino di Amerika," lanjutku. "Pemilik kasino itu ada-
lah Irwin Piper. Aku meminta Debbie memeriksa seluruh memorandum informasinya. Setelah ia meninggal,
aku memeriksa sendiri dokumen itu. Debbie menandai
satu atau dua kalimat, khususnya kalimat yang me?
nyatakan bahwa izin perjudian tidak akan diberikan ke-
pada seseorang yang mempunyai catatan kriminal."
Aku memandang Denny, yang tetap mendengarkan
penuh perhatian,
170 "Apakah Piper mempunyai catatan kriminal?" tanya-
ku. "Tidak sepanjang yang kutahu," sahut Denny.
"Dapatkah Anda memberitahu kasus apa yang dulu
Anda dan Debbie tangani dalam kaitannya dengan
Piper?" tanyaku.
Denny terdiam beberapa saat, berpikir. "Ini agak
sulit. Piper adalah klienku. Aku tidak ingin merusak
reputasinya atau mengungkapkan masalah pribadinya."
"Tapi 'Anda harus menolongku," kataku tegas, "Tidak ada waktu untuk basa?basi hukum."
"Selalu ada waktu untuk menghormati hukum, anak
muda," ujar Denny. Tapi ia tersenyum. "Aku akan
berbuat sebisaku untuk membantu Anda. Sebagian
besar kasus itu sudah dipublikasikan. Akan kuceritakan
selengkap mungkin.
"Irwin Piper membeli sebuah rumah pedesaan besar
di Surrey dengan seorang partner?seorang developer
properti Inggris. Nama tempat itu Bladenham Hall.
Mereka mengubah rumah itu dan membuat Bladenham
Hall Clinic, klinik eksklusif untuk para eksekutif
yang mengalami stres. Tempat itu tidak pernah berisi
lebih dari sekitar selusin "penghuni". Bagaikan sebuah
tempat kebugaran, klinik itu menyediakan peristirahat-
an dan tempat bersantai bagi kalangan usahawan
yang stres. Tak perlu dikatakan lagi, tempat itu sangat
mahal dan tertutup untuk orang luar.
"Yah, setelah setahun lebih, pihak kepolisian menggerebek lokasi itu dan menangkap sang manajer serta
sejumlah staf wanita dengan tuduhan menyelenggarakan tempat pelacuran. Di persidangan, tuduhan ini
tak pernah terbukti. Tuduhan jaksa ternyata tidak
konsisten dan pembuktiannya tidak dapat diterima."
171 "Berkat usaha Anda," aku menyela.
Denny tersenyum. "Yah, kami tidak biasa mena-
ngani hukum pidana, maka aku menyerahkan kasus
ini kepada sebuah firma yang biasa mengerjakannya.
Tapi aku tetap mengawasi penanganan kasus ini, dan
aku berhasil menemukan dakwaan yang tidak jelas
dan tidak konsisten. Meskipun harus kuakui beberapa
dakwaan itu ditemukan oleh Debbie."
"Jadi Piper bebas?" tanyaku.
"la dinyatakan tak bersalah," sahut Denny. "Ia
lalu menjual mmah itu. Kalau tidak salah sekarang
menjadi hotel?hotel yang sangat bagus."
"Dan apakah polisi benar? Apa klinik itu memang
tempat pelacuran?"
Denny ragm-ragu. ""Buku-bukti yang diberikan polisi
membenarkan tuduhan itu, namun bukti-bukti itu tidak
dapat diterima di pengadilan."
"Jadi klinik itu memang tempat pelacuran," ujarku.
"Apakah Piper tahu apa yang terjadi?"
"la jarang berada di sini. Seandainya polisi dapat
membuktikan Bladenham Hall adalah tempat pela-
curan, aku akan menunjukkan bahwa klienku sama
sekali tidak tahu apa?apa." "
Suasana menjadi kurang enak. Sikap Denny yang
terus menghindar memaksaku berterus terang. "Apakah
Piper seorang penjahat?"
"Dari apa yang kupelajari selama persidangan, aku
tidak akan menerimanya sebagai klien lagi," ujar
Denny. Jawaban terkerasnya sejauh ini.
Aku berpikir sesaat. "Kalau kasus ini diketahui
Komisi Perjudian Nevada, apa Piper bisa kehilangan
izinnya?" Dan juga Tahiti, pikirku.
172 Denny menyatukan ujung jari dan mengetuk-ngetuk


Kolusi Bursa Free To Trade Karya Michael Ridpath di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dagunya. "Sulit dikatakan. Aku tidak tahu banyak
hukum Nevada. Piper tidak pemah terbukti bersalah
Jadi ia tidak secara otomatis didiskualifikasi. Ter;
gantung pada ukuran yang dipakai Komisi untuk
menilai suatu karakter, dan bagaimana cara mereka
menggunakannya. Tapi jelas hal ini tidak membantu
permohonan izin batunya."
Aku bangkit dari tempat dudukku. "Terima kasih
Mr. Denny. Anda telah banyak membantu." ,
. "Sama?sama." Kami berjabat tangan dan aku berjalan menuju pintu.
Sebelum aku sampai ke pintu, Denny memanggilku
"Oh, Paul." .
Aku berbalik.
"Aku tidak tahu maksud Anda dengan mengatakan
bahwa kasus ini mungkin ada hubungannya dengan
kematian Debbie," lanjutnya. "Aku melihat sekilas
bagaimana gaya Piper beroperasi. Di balik semua
gaya gentleman-nya, ia seorang yang berbahaya. Aku
menyukai Debbie. Aku sangat sedih ia meningual
Jika Anda memerlukan bantuan lain, hubungi aku : .
"Terima kasih," ujarku. D '
"Berhati?hatilah."
Kata?kata Denny terngiang di kepalaku ketika aku
meninggalkan ruangan itu.
Sore itu hujan turun, namun aku tetap pergi berlari.
Dalam sore bulan Juli yang hangat, hujan membuatku
tetap dingin ketika air membasahi kaus lari dan
celanaku. Aku kembali ke apartemenku dalam keadaan
basah, lelah namun segar.
173 Setelah efek endorphins habis, jariku mulai berde-
nyuti Dengan hati?hati kubuka perban dan kulihat
lukanya. Walaupun dalam, karena ujung pisau sangat
tajam, goresan lukanya kecil dan kelihatannya mulai
menutup. Aku melompat ke dalam bak mandi sebelum
terserang flu, merendam jariku dan melemaskan otototot.
Telepon berdering. Aku mengumpat pelan dan tetap
berbaring dalam bak. Deringnya tidak berhenti. De-
ngan segan aku ke luar dari bak mandi dan berjalan
ke kamar tidur. "Halo."
"Sudah kubilang jangan ikut campur." Tetesan air
panas mendadak terasa dingin di kulitku. Suara dingin
Joe Finlay.
Aku berusaha bicara. Dia benar. Ia telah menyuruhku agar tidak ikut campur. Mengapa aku tidak
mematuhinya? Pikiranku buntu. Akhirnya aku berkata,
"Bagaimana kau dapat nomor teleponku?"
"Bagaimana kau dapat nomorku?"
Pertanyaan bagus. Mudah baginya mendapat nomor
teleponku dari Cash, seperti caraku mendapatkannya.
Jadi ia mungkin telah mempunyai alamatku juga.
Kulitku terasa lebih dingin. Aku mengambil selimut
dari tempat tidur dan melilitkannya di tubuhku.
"Sudah kukatakan jangan ikut campur," ulang Joe.
"Aku kedatangan dua rombongan polisi selama dua
puluh empat jam terakhir. Pertama, ada polisi wanita
yang menanyakan tentang aku dan Sally. Sally tidak
menceritakan apa-apa. Dan ia tidak akan mau. Ia
tahu apa yang bisa terjadi padanya." Kata?kata ancam
an disampaikannya dengan noda datar. "Lalu ada
detektif keras kepala yang menanyaiku tentang kema-
174 '
tian. pelacur itu. Yah, ia juga tidak dapat apa?apa.
Tapi itu membuatku kesal. Sangat kesal. Kau ber-
untung tidak kehilangan jarimu. Kau akan kehilangan
lebih banyak lagi kalau terus menggangguku. Kau
mengerti?"
Aku menjadi takut. Mengapa aku berurusan denGan?
nya? Karena menurutku ia telah membunuh Debbbie
aku mengingatkan diri sendiri. Yah, jika polisi sudali
berbicara dengannya, kuserahkan saja semuanya pada
mereka. "Aku mengerti." ujarku.
Suara Joe merendah satu oktaf, yang entah bagai-
mana membuatnya terdengar semakin mengancam.
"Dengar, Murray, aku tidak mau mendengar apa pun
lagi tentang pelacur itu. Dan kalau kau mendekati
istnku lagi, atau bercerita tentang dia pada oranu
lain, kau akan mati." _ 5
Aku takut, tapi aku tak mau ia mengetahuinya.
Aku bertekad melepaskan diri dari tekanannya. "Kalau
kau memperlakukannya dengan baik, tak ada yano
akan mengganggumu," kataku. "Tak ada gunany:
mengancamku." Lalu aku langsung menutup telepon.
Aku mengeringkan tubuh dan menelepon Powell di
nomor rumah yang ia berikan padaku. Aku ingin tahu
apa yang dikatakan Joe kepadanya tentang Debbie.
"Powell," suaranya kasar, kesal karena teroancgu.
"Di sini Paul Murray." D 0
"Ya, Mr. Murray?"
"Joe Finlay baru saja menelepon. Dia berkata kau
sudah menghubunginya."
"Ya, itu benar. Kami menanyainya hari ini."
"Bagaimana?"
"Jalan buntul Finlay berkata ia naik taksi bersama
175 dua orang yang pergi minum dengannya, langsung
setelah mereka semua meninggalkan kapal. Kedua
orang itu mendukung ceritanya. Tak seorang pun
melihat Debbie setelah mereka meninggalkannya ber-
sama Anda."
Aku protes. "Itu tidak benar. Sudah kautemukan
sopir taksinya?"
Desah Powel bergema di telepon. "Belum, Mr.
Murray, kami belum menemukannya Tidak akan
mungkin tanpa publisitas besar?besaran. Kecuali jika
Anda berpikir mereka bertiga melakukannya bersamasama, maka kita dapat mencoret Finlay."
"Tidak bisa! Coba kalau kau saat itu melihatnya.
Aku yakin ia pasti telah membunuhnya. Apakah kau
sudah memeriksa hubungannya dengan Debbie?"
"Kami sudah berbicara dengan Felicity Wilson.
Sudah jelas Finlay orang brengsek, tapi sama sekali
tidak ada bukti bahwa ia membunuh Debbie Chater.
Bahkan sama sekali tidak ada bukti bahwa teman
Anda telah dibunuh. Dan jika memang ia dibunuh,
Andalah orang terakhir yang terlihat bersamanya sebelum ia meninggal."
"Kau kan tidak berpikir aku membunuhnya?"
_ "Tidak, Mr. Murray, aku juga tidak berpikir Anda
membunuhnya," ujar Powell kesal. "Menurutku ini
kasus bunuh diri, tapi itu pun tidak memiliki cukup
bukti. Pemeriksaan dilangsungkan besok dan aku tak-
' kan terkejut jika mereka tak bisa memutuskan. Mereka
tidak mau mengklasifikasikannya sebagai sebuah kasus
kematian bunuh diri kalau tidak benar-benar yakin,
karena akan menyebabkan keluarga korban semakin
sedih. Nah, terima kasih atas semua bantuan Anda
dalam penyelidikan ini, Mr. Murray. Selamat malam."
176 "Selamat malam," ujarku, dan aku menaruh gagang
telepon. Jadi Joe berhasil lolos dari incaran polisi.
Aku tak percaya. Aku tak percaya sedikit pun.
Kutuang segelas besar wiski, lalu aku meneguknya
dan kemudian berusaha tidur. Lagu anak?anak Tiga
Tikus Buta temgiangvngiang di telingaku saat aku
akhimya terlelap. Aku bermimpi seorang istri petani
berlari-lari mengacungkan pisau daging.
Cash menjemputku Sabtu pagi. la berpakaian gaya
Henley: jas; celana panjang putih; dan dasi bergaris-
garis ungu, emas, serta perak berkilauan. la mengendarai Aston Martin abu?abu tahun 1960. Aku bukan
ahli mobil sport klasik, tapi menurutku modelnya
sama dengan mobil di film James Bond. Aku tidak
dapat menyembunyikan kekagumanku pada kendaraan
itu. Aku bahkan menduga akan melihat alat kontrol
senapan mesin dan pelontar kursi di dalamnya.
Cash melihat reaksiku dan tersenyum menyeringai.
"Suka?" tanyanya. "Aku tergila?gila pada mobil antik.
Aku punya Mercedes antik dan dua Jaguar di Ame-
rika. Aku suka naik Mercedes-ku tiap akhir pekan
musim panas dengan atap terbuka."
4 _"Pasti lain dengan suasana di London yang suram
im," ujarku.
"Oh ya. Tapi aku suka di sini. Memang membu-
tuhkan waktu untuk terbiasa dengan orang?orang
Eropa, terutama orang Inggris."
"Maksudmu?"
"Ketika pertama kali bertemu, kalian semua tampak
kurang bersahabat. Aku merasa seakan melanggar
sopan santun pergaulan hanya dengan mengatakan
177 halo. Namun setelah kenal, kalian ternyata orangorang yang baik. Aku tidak bermaksud mencela
kalian." "
"Tidak apa?apa. Aku mengerti apa maksudmu.
Orang-orang di sini agak canggung berurusan dengan
orang yang tidak mereka kenal." Aku dapat mem?
bayangkan klien?klien Cash yang paling angkuh pasti
terkejut dengan gaya pria itu saat pertama kali bertemu
dengannya, dan perlahan?lahun terpesona pada daya
tariknya.
"Kau benar. Pertama?tama mereka akan mengoceh
omong kosong tentang betapa hati-hati dan konserva-
tifnya mereka, seakan membeli obligast pemerintah
adalah petualangan paling besar yang pernah mereka
lakukan seumur hidup. Tapi setelah dibujuk sedikit,
mereka akan melahap semua obligasi itu. Aku sudah
setahun di sini, dan aku telah melakukan transaksi-
transaksi yang sangat menguntungkan." _
Kami berhenti di sebuah lampu merah. la berhenti
bicara, siap menginjak pedal gas secepat mungkin,
meninggalkan Porsche di lajur sebelah. Saat mobil
berkeloklkelok di jalan raya, ia melanjutkan, "Di
London ini ada orang yang tidak tahu arti menjual
obligasi. Mereka pikir mereka telah menjual obl1ga51
kalau ada bankir Swiss yang membeli beberapa juta
dolar dari mereka. Mereka tidak tahu apa?apa. Menjual
obligasi berarti memindahkan bongkahan besar uang
ke sekeliling dunia?membuat satu negara mendanai
yang lain. Mengerti maksudku?" _ '
Aku mengangguk, terjajar di kursiku ketika_kami
melesat ke sisi jalan yang salah untuk menghindari
kemacetan.
178 Cash tidak memedulikan suara klakson di sekitar?
nya. "Kueeritakan sesuatu tentang bisnis memindahkan
uang ini. Aku pernah bertemu seseorang di Boston
yang ingin menaruh lima ratus juta dolar dalam
bur'sa eurobona'. Oleh karena itu kami menerbitkan
tiga emisi baru, dan memberinya setengah dari setiap
emisi Tiga bulan kemudian kami memiliki lima'ratus
juta obligasi berjaminan hipotek yang tidak dapat
kami jual, padahal nilai kredit penjualannya tiga kali
lipat. Jadi, kuyakinkan si Boston itu bahwa akan
lebih menguntungkan baginya kalau ia membeli obli-
gasi berjaminan hipotek kami dan menjual eurobondnya.
"Perusahaan telah menyelesaikan satu problem. Tapi
sekarang kami mempunyai lima ratus juta eumbond
yang tidak diminati siapa pun. Jadi aku menunggu
satu minggu. Trader?nya putus asa, ia tidak dapat
menjual eurobond itu. Lalu mereka menaikkan kredit
nilai penjualannya jadi tiga kali lipat lagi. Maka aku
memutuskan menghubungi temanku di perusahaan asu-
ransi California, yang ingin menginvestasikan satu
miliar dolar tunai tapi tidak tahu apa yang harus
dibeli. Kukatakan bahwa kebetulan sekali aku mempunyai investasi ideal baginya." Cash tertawa.
"Kau tahu mengapa mereka memanggilku Cash?
Pernah dengar ungkapan 'Uang 'Cash itu Raja"? Yah,
aku adalah raja uang cash. Aku mengontrolnya. Para
manajer portfolio mengira mereka yang mengontrol
uang tunai dalam dana mereka. Tapi sebenarnya tidak,
akulah yang mengatur. Dalam sistem ini, orang?orang
seperti akulah yang memutar uang tunai, dan akulah
yang terbaik. Dan setiap kali sistem ini berputar,
179 beberapa uang'tunai menempel padaku. Kau tahu
berapa komisi transaksi sebesar lima ratus juta dolar
dengan nilai kredit penjualan sebanyak tiga kali lipat?
Bayangkan."
Aku sudah membayangkannya. Lain pemsahaan
lain formula, tapi menurut kalkulasiku sedikit di bawah
satu juta dolar. Sekarang aku tahu mengapa Cash
memiliki barangbarang mewah.
"Tapi aku lihat kau beda dengan yang lain, kiri,"
lanjutnya. "Kau berani mengambil risiko. Kau Siap
mempertaruhkan uang besar kalau ada kesempatan.
Rasanya kita bisa berbisnis bersama."
Inilah pria yang benar?benar berada di pusat bursa.
lnilah dunia yang ingin kulihat sehingga kutinggalkan
bank tuaku yang mapan. Jelas aku dapat menjadi
pemain besar di pasar ini. Cash dari aku?bersamasama kami dapat mengalahkan semua pemain lain.
Lalu aku membuang pikiran itu. Cash mungkin
berkata seperti itu kepada semua pelanggannya: Bukan
berani ia membual. Reputasi Cash membuktikannya.
Tapi aku bertanya dalam hati, apakah, saat mengantar
si pelanggan Boston dengan Mercedes convertibeli
nya, Cash tidak mengejek kamiwpara klien?nya di
London?
"Kau masih sering berbincang-bincang dengan pelanggamnu di Amerika?" .
"Hanya satu orang. Aku mempunyai apa yang
mungkin kausebut sebagai "hubungan khusus" dengan?
nya. Tapi bila aku ingin memperbarui hubungan de-
ngan yang lain, yang aku perlukan hanya mengangkat
telepon. Orang tidak akan lupa padaku."
Kami menelusuri jalur landai menuju M4. Di sana


Kolusi Bursa Free To Trade Karya Michael Ridpath di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

180 juga penuh kendaraan, namun masih bergerak lancar.
Cash memindahkan Aston Martin?nya ke jalur luar,
dari mencari jalan melampaui kendaraan?kendaraan di
depan, menyalakan lampu besar untuk mengusir mereka ke pinggir.
"Bagaimana caramu memasuki bisnis ini'?" tanyaku.
"Aku bertemu seorang pria di bar, orang Irlandia.
Kami datang dari daerah Bronx yang sama, hanya
aku belum pernah bertemu dengannya. Kami berteman
baik. Mabuk bersama. Satu?satunya perbedaan di an-
tara kami adalah aku berusia dua puluh tahun dalam
pakaian jeans dan ia lima puluh tahun dalam pakaian
mewah. la baru saja mengalami kesialan. Aku merasa
kasihan. Ia bertanya apa pekerjaanku. Kuceritakan
bahwa aku bekerja di toko besi. Ia tanya apakah
untuk sementara aku mau bekerja di tokonya Jadi
kulakukan hal itu. Aku mulai dari bagian suratmenyurat dari karierku terus meningkat dari sana.
Semuanya menyenangkan."
"Bagaimana keadaan di Bronx waktu itu? Bukankah
berbahaya?" tanyaku.
"Memang berbahaya, tapi hanya bagi orang luar.
Di daerahmu sendiri kan aman. Semua orang melindungimu. Tentu saja, sekarang semua sudah berbeda,
semua jalan penuh ganja. Dulu memang ada kekerasan,
namun selalu ada alasan di baliknya. Sekarang kekerasan berlangsung tanpa alasan. Membuat aku ke-
sal." Kupandang Cash. Kulihat rahangnya mengeras
serta pipinya memerah. Ia mulai marah.
"Beberapa orang terhebat di dunia hidup di dae-
rahku," lanjut Cash. "Tapi kami diabaikan oleh negara.
Aku tidak pernah lupa apa yang dilakukan orang di
181 bar itu padaku. Sudah kuceritakan bahwa aku membeli
bar sendiri?"
"Belum," jawabku.
"Yeah. Bar itu merupakan tempat kecil yang hebat
di daerahku. Aku harus menutupnya beberapa tahan
yang lalu. Dengan beredarnya ganja, wilayah itu
menjadi terlalu liar. Tapi aku menaruh tiga puluh
anak asuh di Wall Street. Beberapa dari mereka
berhasil sangat baik." _
Cash melihat padaku dan tersenyum. Tidak diragukan ia bangga akan apa yang telah dicapainya,
juga akan apa yang dicapai orang?orang yang dibantunya. Dan menurutku ia memang berhak bangga.
Henley seburuk yang kutakutkan. Hari itu khas
hari bulan Juli di Inggris. Angin kencang dan hujan
hampir terus?menerus turun. Semua kepura?puraan un-
tuk menonton lomba dayung terlupakan. Sekitar seratus
orang, pegawai Bloomfreld Weiss dan para klien
mereka, berdesakkan di dalam tenda, melahap salmon
dingin dan champagne. Udara terasa pengap dan
lembap; sulit bernapas di dalam suasana penuh sesak
it'u. Deru hujan terus?menerus terdengar di atap tenda,
petugas makanan mendentingkan piring, dan lima puluh
orang berbicara bersamaan, diseling jerit histeris tawa
akibat mabuk champagne. Hari libur yang hebat.
Di antara kerumunan kulihat sosok tinggi Cathy
tengah berbicara dengan sekelompok eksekutif Jepang.
Ia melihat pandanganku, minta diri, dan perlahan
menerobos kerumunan menuju tempatku. Oh Tuhan,
ini dia.
"Kuharap kau suka di sini," ujarnya.
182 Aku bergumam tentang betapa baik Bloomfield
Weiss menyelenggarakan acara yang bagus seperti ini.
la menatapku lalu tertawa. "Memang mengerikan,
ya? Aku tidak tahu untuk apa kami melakukannya.
Meski kukira selalu ada orang?orang yang mencari
alasan untuk mabuk di Sabtu sore. Tapi aku harus
datang kemari. Apa yang memaksamu datang?"
Aku tak pernah melihat ia tertawa sebelumnya.
Suaranya sangat rileks, polos, sama sekali tidak mirip
ringkikan pemabuk di sekitar kami. Kukira lebih baik
aku tidak menceritakan permohonan Rob, jadi kuka-
takan saja, "Cash sangat pandai membujuk, kau tahu."
"Aku sangat tahu," ujarnya, tersenyum. "Aku bekerja dengannya sepanjang hari."
"Pasti merupakan kebahagiaan," kataku.
Cathy meringis dan tersenyum padaku dari balik
gelas champagne?nya. "Tak ada komentar," ujarnya.
"Jadi, siapa klien Amerika yang mempunyai 'hu?
bungan khusus' dengan Cash? Apakah bank simpan-
pinjam di Arizona yang membeli lima puluh juta
Swedia itu?"
Senyum Cathy lenyap. Aku telah melanggar batas.
"Aku sama sekali tidak bisa berkomentar," tandasnya,
kembali menjadi saleswoman yang tegas. "Aku tidak
dapat membicarakan klien di depan klien lain." Ia
ingat teguran Cash padanya waktu itu. Keingintahuanku tidak dapat dipuaskan.
Aku jadi lebih berhati?hati dan sedang mencari
topik pembicaraan yang tak terlalu kontroversial ketika
Rob muncul ,di sampingku.
"Halo, Paul," kataku. Lalu ia memandang Cathy
tajam. "Halo."
183 "Halo," sahut Cathy dingin.
"Bagaimana kabarmu?"
"Baik."
"Mengapa kau tidak menjawab teleponku?"
"Oh, aku tidak tahu kau menelepon," jawab wanita
itu. "Aku menelepon empat kali semalam, dan enam
kali kemarin malam. Teman sekamarmu yang me-
nerima pesan. la pasti sudah memberitahumui Apa
kau belum menerima memo dengan bungaku'?"
"Oh, dia itu memang sangat pelupa." ujar Cathy,
memandang sekeliling dengan wajah putus asa.
"Jadi, apa rencanamu nanti malam? Mungkin kita
bisa pergi makan bersama."
Cathy melihat seseorang di ujung lain tenda itu,
lalu berbalik menghadap Rob dan aku. "Maaf sekali.
Ada seorang klienku di sana yang harus kutemui.
Bye."
Dan ia pun menghilang.
"Kau tahu, kurasa ia berusaha menghindar dariku,"
Rob kelihatan heran saat mengucapkannya.
Aku tidak dapat menahan senyumku. "Kau benarbenar menduga begitu?"
"Tapi kau tidak mengerti. Aku tidak mengerti. Ia
seorang wanita yang luar biasa. Kami sudah pergi
bersama tiga kali. Ia tidak seperti gadis lain yang
pernah kutemui. Ada sesuatu yang khusus di antara
kami. Aku yakin soal itu."
"Kau belum melamarnya, kan?" Biasanya itulah
alasan mengapa kawan wanita Rob kabur darinya,
tapi menurutku mengajukan lamaran di kencan ketiga
terlalu cepat, bahkan untuk ukuran Rob.
184 "Tidak, kanti belum sejauh itu," sahutnya. Bisa
,kptebali, ROE tidak punya banyak kesempatan lagi.
api a n su ah men anak' ' '
; dirinya bagiku." g an kepadanya betapa penting
"Rob, kan sudah kuberitahu sebelumnya, jangan
terlalu terbuni?buru," ujarku, jengkel. "Dia gadis ketiga
_yang kau buat ketakutan seperti itu."
"keempat," Rob mengoreksi.
Biasanya aku mempunyai tenaga untuk menghibur
Rob. Tapi aku baru mengalami minggu yang brengsek
cuaca yang menyebalkan, dan aku hanya ingin cepat:
cepat pergr.
Aku tahu Cash baru akan pergi beberapa jam 1an
dan aku tidak tahan menghadapi keceriaannya wakbtri
pulanglnanti. Jadi aku menyelinap keluar dari tenda
mencari bis menuju stasiun, kemudian pulan" naik
kereta. Sembari memandang ke luar jendela5 yang
memperlihatkan sungai Thames yang meluap karena
h_u_|an, pikiranku melayang pada Cathy. Tadi sesaat
Sikapnya terasa hangat, dan aku suka pada apa yang
kulihat. Mungkin penilaian Rob tidak terlalu sinting.
185 9 > > >BAB
9 A GUSTUS selalu merupakan bulan mati bagi bursa
eurobond. Ada banyak alasan untuk itu. Semua
orang di daratan Eropa pergi berlibur, demikian juga
para birokrat pegawai negeri yang menerbitkan
eurobond. Terik musim panas di Bahrain dan Jeddah
menumpulkan semangat berjudi bangsa Arab, bahkan
yang paling gila judi sekalipun, mereka kebanyakan
pergi ke London, Paris serta Monte Carlo, untuk
bermain dengan keping judi sebagai ganti obligasi.
Memang banyak trader dan salesman di London
yang masih bujangan, atau paling tidak belum mempunyai anak. Dan dalam bulan Agustus mereka sama
sekali tidak tertarik untuk bergabung dengan para
keluarga yang hiruk?pikuk di pantai. Tapi bulan ini
saat yang baik untuk beristirahat. Ada perjanjian tak
tertulis untuk tidak merusak pasar, tidak menciptakan.
kekacauan yang dapat mengakibatkan semua orang
menghabiskan bulan itu dengan berpikir keras tentang
pekerjaan. Pasar memulihkan kondisi, dan semua orang
membuat rencana apa yang akan dilakukan di minggu
pertama September.
187 Biasanya pola rutin ini membuatku kesal. Tapi kali
ini pikiranku dipenuhi hal lain, jadi aku bersyukur
atas perlindungan yang dibawa bulan Agustus. .
Secara spesifik, aku tengah berpikir tentang Debbie.
Dan Joe. .
Bagiku jelas bahwa Joe telah menunggu Debbie
malam itu dan melemparkannya ke dalam sungai. Ia
berada di sana, dan ia jelas mempunyai kemampuan
membunuh. Tapi mengapa ia melakukannya? Bahkan
seseorang seperti Joe tidak akan bergentayangan di
London membunuhi pacar lamanya begitu saja. Ia
pasti mempunyai alasan. Apakah itu'.7
Dan mengenai taksi yang dipakai Joe bersama dua
temannya sesaat setelah aku melihatnya meninggalkan
kapal. Ada kemungkinan teman?temannya melindungi-
nya, tapi polisi percaya mereka mengatakan'yang
sebenarnya. Kalau pihak polisi benar, maka bagaimana
cara Debbie meninggal?
Aku tidak percaya ia jatuh begitu saja ke dalam
sungai karena ceroboh. Dan aku tidak percaya ia
bunuh diri. Aku tak mau mempercayainya. Jadi, Siapa
lagi yang menginginkan kematian Debbie?
Saat merenungkan masalah ini, aku teringat pada
Piper. Pengetahuan Debbie tentang kasus Bladenham
Hall cukup mencemaskan Piper. Ia tampaknya. bukan
warga bereputasi baik. Jika ia kehilangan izm _dari
komisi perjudian, maka rencananya menjalankan bisnis
Tahiti harus dibatalkan. Paling?paling ia hanya bisa
menjualnya; pasti sukar menutup sebagian besar biaya
yang telah dikeluarkan. Satu lagi musuh Debbie yang
berbahaya.
Lalu ada pula penyelidikan terhadap harga saham
188 Gypsum Company. Apakah hal itu juga berhubungan
dengan kematian?Debbie?
Aku perlu tahu lebih banyak.
Kucari tumpukan prospektus yang memuat memo?
randum informasi tentang Tahiti. Sebelum menemukannya, aku melihat prospektus Tremont Capital. Kuhentikan pencarianku dan kuambil berkas itu. Tipis
dan tampak biasa. Tanpa logo, tanpa gambar. Aku
mulai membacanya. Dengan saksama.
Tremont Capital NV adalah perusahaan investasi
perahu dayung yang didirikan di kepulauan Netherlands Antilles?perlindungan bagi para orang kaya
yang menghindari pajak. Perusahaan itu berinvestasi
dalam sekuritas, namun perinciannya tidak dimuat
dalam prospektus. Perusahaan itu telah menerbitkan
40 juta dolar private placement dalam bentuk obligasi
melalui Bloomfreld Weiss. De Jong & Co. telah
membeli senilai 20 juta dolar. Investasi dalam obligasi
perusahaan yang aneh ini menjadi menarik karena
jaminan yang diberikan Honshu Bank, Ltd. Honshu
adalah salah satu bank terbesar di Jepang, mendapat
penilaian puncak AAA oleh pemsahaan penilai. Para
investor tidak perlu mencemaskan perincian strukturnya, atau dalam bentuk apa Tremont Capital ber-
investasi, sepanjang mereka mendapat jaminan itu.
Tapi Debbie mempertanyakan perinciannya.
Aku membaca seluruh prospektus itu dengan saksama. Banyak terdapat bahasa hukum yang membo?
sankan, tapi tidak ada yang aneh. Pemegang saham
tunggal perusahaan itu terdaftar sebagai Tremont Holdings NV. Tidak berarti apa-apa bagiku, dan kuduga,
di bawah hukum kerahasiaan Netherlands Antilles,
189 hanya itulah yang dapat kuketahui tentang struktur
kepemilikannya.
Masih tidak ada yang aneh. .
Lalu kuperhatikan nomor telepon yang ditulis dengan pensil di tepi bawah bagian berjudul "Penncian
Penjamin". Kukenali kode areanya, Tokyo. Pasti nomor
telepon Honshu Bank. Aku melihat arlojiku. Sekarang
sudah malam di Tokyo, tapi mungkin aku maSih bisa
menghubungi seseorang. Aku mencoba nomor itu tanpa
mengetahui apa yang akan kukamkan. .
Setelah mengalami beberapa hambatan, akhirnya
aku disambungkan kepada seseorang yang bisa bahasa
Inggris.
"Hakata di sini." :
"Selamat sore, Mr. l-lakata. Di sini Paul Murray
dari De Jong and Company di London. Aku harap
Anda bisa membantuku. Aku telah memeriksa private
placement yang Anda jarninkan terhadap Tremont
Capital."
"Maaf," ujar Mr. Hakata.
Sial, pikirku. Pas pada saat aku butuh seseorang
yang dapat membantu. "Aku akan sangat berterima


Kolusi Bursa Free To Trade Karya Michael Ridpath di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kasih untuk informasi ini, Mr. Hakata. Kami adalah
investor utama dalam penempatan pribadi ini."
"Aku ingin dapat membantu, Mr. Murray, tapi
kami tidak pernah memberikan jaminan itu."
"Tidak, Anda salah mengerti. Prospektusnya ada
padaku. Dan seseorang dari bank Anda telah berbicara
dengan salah seorang rekanku, Miss Chater, nunggu
lalu."
"Akulah yang berbicara dengan Miss Chater. Dan '
aku juga berbicara dengan Mr. Shoffman beberapa
190 bulan yang lalu. Kami yakin kami tidak pernah
memberi jaminan pada Tremont Capital. Kami memang
tidak mempunyai catatan tentang adanya perjanjian
itu. Jika Anda mempunyai informasi tentang peru-
sahaan ini, kami bersedia menangani lebih lanjut.
Kami tidak suka orang menyalahgunakan nama bank
kami."
"Terima kasih banyak, Mr. Hakata. Jika ada berita,
aku akan mengirimkannya pada Anda. Selamat malam."
Tidak masuk akal. Bagaimana mungkin Honshu
Bank tidak mengetahui jaminan yang mereka berikan?
Hakata jelas telah memeriksa catatannya dengan teliti.
Walau demikian, Honshu Bank adalah bank yang
sangat besar. Mungkin, entah bagaimana jaminan itu
terselip. Hampir tidak mungkin, namun kukira bisa
saja.
Jika Honshu Bank tidak pernah mendengar emisi
ini, maka Bloomfield Weiss pasti pernah. Kuputuskan
untuk menghubungi mereka. Aku tidak menelepon
Cash. Kalau Debbie ternyata benar, dan memang ada
sesuatu yang salah dengan emisi ini. aku tidak ingin
membuat Cash waspada sekarang. Maka kuhubungi
pusat data Bloomfield Weiss, yang tentunya mempunyai informasi lengkap tentang setiap emisi obligasi
yang mereka kelola.
Suara wanita muda menjawab teleponku. "Perpus-
takaan."
"Selamat pagi. Di sini Paul Murray dari De Jong.
Bisakah Anda mengirimkan semua perincian mengenai
private placement bagi Tremont Capital NV, kirakira setahun yang lalu."
"Kami tidak mempunyai perincian emisi itu," sahut
191 si pustakawan cepat. Tidak berhenti sejenak pun untuk
memeriksa file atau kartu.
"Tapi pasti Anda punya. Bisakah Anda periksa?"
"Aku sudah periksa. Rekan Anda, Miss Chater,
telah menelepon beberapa minggu yang lalu. Kami
tidak punya perincian emisi itu. Dan alasannya adalah
karena emisi obligasi itu tidak ada."
"Pasti Anda keliru. Anda tidak bisa begitu yakin.
Mohon periksa kembali."
"Mr. Murray, aku sudah memeriksa semuanya,"
suara si pustakawan meninggi. Jelas ia tidak suka
profesionalismenya dipertanyakan. "Miss Chater juga
sama memaksanya seperti Anda. Emisi itu tidak ada.
Entah catatan kami yang salah, atau catatan Anda
yang keliru. Dan kami telah membayar ratusan ribu
pound untuk memasang sistem pencarian relational
database modern. Tidak diketemukan Tremont Capi-
tal di mana pun. Kalau Anda sudah mendapat nama
obligasi yang benar, silakan telepon kembali. Kami
akan senang membantu." Setelah itu sang pustakawan
menutup telepon, kedengarannya sama sekali tidak
senang membantu. .
Aku bersandar di kursiku, tertegun. Bagaimana
mungkin lead manager dan penjamin tidak tahu?
menahu mengenai obligasi ini? Apakah obligasi ini
benar?benar ada? Aku memikirkannya beberapa saat.
Karena merupakan private placement. maka transaksi
ini tidak perlu didaftarkan dalam bursa saham apa pun.
Tapi selalu ada pengacara hukum yang terlibat dalam
transaksi jenis ini. Aku 'meraih prospektus itu dan
membolak?baliknya, mencari nama firma hukum yang
telah mengurus transaksi ini. Dengan segera aku
192 menemukannya. Van Kreef?Heerlen, di Curagao. Aneh.
Tadinya kukira firma London atau New York. Setelah
beberapa menit memeriksa lebih lanjut, kutemukan apa
yang kucari. "Perjanjian ini akan ditafsirkan di bawah
hukum Netherlands Antilles." Tidak disebut?sehut
tentang hukum Inggris atau New York seperti biasanya.
Mengapa hal ini tidak diketahui sebelumnya? Ku-
kira jika semua sedang sibuk, dokumentasi ini mungkin
tidak dibaca dengan saksama seperti seharusnya. Bagaimanapun, jaminan Honshu Bank mungkin membuat
prospektus ini tidak perlu diperiksa lagi.
Tapi ternyata tidak ada jaminan Honshu Bank. De
Jong & Co. telah memberi pinjaman kepada perusahaan yang sama sekali tidak kami ketahui. Kami
tidak tahu siapa yang memilikinya. Kami tidak tahu
apa yang dilakukan dengan uang kami. Jelas kami
tidak tahu apakah akan mendapat kembali uang itu.
Dokumentasi hukumnya mungkin penuh kelemahan.
Aku segera menelepon ke atas untuk memeriksa
apakah kanti sudah menerima pembayaran coupon
bunga pertama kami. Ternyata sudah. Paling tidak
sampai sekarang kami belum kehilangan uang. Siapa
pun yang mendirikan perusahaan ini setidaknya akan
membayar beberapa kali untuk menghindari kecurigaan. Kemungkinan besar kami telah menjadi korban
penipuan besarbesaran yang rumit.
Aku tidak dapat langsung bertanya pada Cash.
Jika terlibat, maka ia akan jadi waspada, dan aku
tidak dapat mengambil risiko itu. Tapi aku perlu
mengetahui lebih banyak tentang keterlibatan Bloomfield Weiss. Aku mendapat ide. Kuangkat telepon dan
menekan sederetan nomor.
193 "Allo. Banque de Lausanne et Geneve."
"Claire, ini Paul. Kau tidak ada rencana makan
siang hari ini'?"
"Oh, kejutan yang manis. Tentu saja, aku senang
sekali dapat makan siang denganmu."
"Bagus. Kutemui kan di Luc's jam dua belas lebih
seperempat."
Claire bekerja di Bloomfield Weiss sampai enam
bulan yang lalu. Ia pasti dapat memberitahu sesuatu
tentang Tremont Capital dan keterlibatan Cash di
dalamnya. Lagi pula rasanya menyenangkan punya
alasan mengajaknya makan siang.
Aku sampai di Luc"s Brasserie lebih awal dan
dipersilakan ke meja dekat jendela. Restoran itu terletak di lantai tiga sebuah gedung di tengah-tengah
Leadenhall Market. Matahari menembus masuk melalui
jendela yang terbuka, membawa suara ramai orang
berbelanja di bawah. Restoran itu hanya setengah
penuh; biasanya baru sekitar pukul satu dipenuhi
para pegawai asuransi Lloyds yang kantornya di
dekat situ.
Aku baru beberapa menit menunggu ketika Claire
datang. Detak sepatunya di lantai bermarmer hitam?
putih, rok mini ketat yang membalut pahanya, dan
aroma parfumnya yang mahal namun lembut menarik
perhatian setiap laki?laki dalam ruangan itu Ketika
sampai di mejaku, ia mengulurkan tangan, tersenyum,
dan duduk di hadapanku. Mau tak mau aku merasa
bangga terhadap lirikan iri ke arahku. Claire tidak
cantik?jelita, tapi ia sangat seksi.
Kami memesan makanan dan saling mengeluh tentang sepinya perdagangan saat ini. Setelah beberapa
194 menit, aku mulai membicarakan pokok persoalannya.
"Claire, sebenarnya ada sesuatu yang ingin kubica-
rakan denganmui Tapi situasinya sangat sulit, dan
aku akan sangat berterima kasih jika kau tidak menceritakannya pada orang lain."
Claire tertawa. "Oh Paul! Seru sekali! Sebuah
rahasia! Jangan kuatir, aku tidak akan menceritakan
pada siapa pun."
"Ini tentang Cash."
Semua jejak tawa lenyap dari wajahnya. "Oh,
Cash. Bajingan itu!"
"Mengapa kau sebut dia begitu? Apa yang telah ia
perbuat?" tanyaku.
"Terlebih dahulu akan kuceritakan sebuah rahasia."
la menunduk ke arah meja, meraih sebuah pisau, dan
mulai memainkannya. "Seperti kau ketahui, aku bekerja di Bloomfield Weiss selama dua tahun sebelum
pindah ke BLG," katanya. "Yah, setelah setahun
lebih, aku berhasil mengumpulkan sekelompok klien
yang bagus. Aku berhasil melakukan banyak transaksi.
Aku senang, para klien senang, Bloomfreld Weiss-
pun senang. Lalu Cash Callaghan datang dari New
York, ia mempunyai reputasi dari gaji besar yang
harus dipertahankan, dan ia tidak punya klien di
Eropa. Jadi dia mencurinya."
"Bagaimana caranya?" tanyaku.
"Pertama?tama secara halus. la mencari klien besar
yang tidak terurus dengan baik oleh salesman-nya. la
lalu "membantu mereka". Pada akhirnya, klien itu
jadi lebih suka berbicara dengan Cash daripada dengan
salesman mereka yang pertama. Menurutku hal itu
. tidak terlalu buruk, klien mendapat pengelolaan lebih
195 baik dan perusahaan mendapat untung lebih banyak,
Namun Cash mulai menggunakan metode yang lebih
drastis. -
"la mengincar dua atau tiga pelanggan terbesarku.
Setiap aku keluar kantor, ia menghubungi mereka.
Namun mereka setia, mereka tetap ingin bersamaku.
Jadi ia mulai menyebar isu tentangku dengan seorang
klien. Tapi aku tak dapat menyebutkan namanya."
"lsu apa?"
"Ia berkata bahwa aku tidur dengan klien ini, dan
bahwa si klien mempercayakan semua bisnisnya padaku karena hal itu," ujar Claire, suaranya terbakar
amarah. "Konyol. Sama sekali tidak benar. Klienku
melakukan sebagian besar bisnisnya denganku karena
aku memberinya ide-ide bagus yang menghasilkan
banyak uang untuknya. Aku tidak pernah punya affair
dengan klien. Tidak pernah. Itu sangat tidak profesional."
la mengangkat wajahnya dan memandangku, matanya menyala?nyala marah. Lalu ia tertawa, "Oh,
Paul, jangan kelihatan begitu kecewa."
Aku dapat merasakan wajahku memerah karena
malu. Pemyataannya tentang tingkah laku profesional
dengan klien telah merobek setengah harapan yang
ada di pikiran bawah sadarku. Aku sama sekali tidak
sadar kekecewaanku tampak.
Ia melanjutkan ke ceritanya. "Aku sama sekali
'tidak tahu tentang isu ini. Juga klienku. Tapi semua
orang membicarakannya, begitu yang diceritakan orang
kepadaku. Isu ini berputar?putar terus sehingga, setelah
satu?dua bulan, orang mendengarnya dari berbagai
sumber yang berbeda dari mempercayainya. Aku yakin
bosku pasti telah mendengarnya, tapi mungkin hanya
196 berupa gunjingan keeil. Tentu saja aku tak dapat
menyangkalnya. Aku tidak tahu bahwa ada sesuatu
yang harus disangkal.
"Suatu hari Cash menemui bosku. Ia berkata bahwa
ajfair?ku membuat Bloomfield Weiss jadi bahan tertawaan di kotaini. Ia mempunyai angka?angka?menu-
rutnya bersumber dari perusahaan klienku?yang me-
nunjukkan bahwa klienku melakukan sembilan puluh
lima persen bisnisnya melalui aku. Cash pasti telah
merekayasa angka?angka itu. Aku tahu klienku melakukan banyak bisnis dengan broker lain.
"Jadi bos memanggilku dan memberi pilihan: aku
mengundurkan diri atau diskors sampai diadakan
penyelidikan resmi. Ia berkata bahwa hal ini mungkin
akan merusak nama baik klienku juga. Aku ter-
guncang. Lalu aku kehilangan kesabaranku. Aku ber-
teriak dan mengumpatnya, memakinya dengan semua
makian kotor yang bisa kuingat. BLG telah berusaha
mempekerjakanku selama berbulan?bulan. maka seminggu kemudian aku memulai pekerjaan baruku di
sana."
"Tapi bukankah lebih baik kalau kau sedikit lebih
tenang'.7 Kau akan dapat membersihkan namamu. Cash
takkan dapat membuktikan apa pun."
"Namaku sudah telanjur rusak. Aku tidak siap
integritasku dipertanyakan di depan umum, dan hidup
pribadiku diperiksa di bawah mikroskop, hanya untuk
dapat terus bekerja dengan bajingan seperti dia."
"Aku mengerti," ujarku, hatiku mulai ikut panas.
"Kau benar. Benar?benar bajingan. Bisnis ini kotor.
Begitu banyak orang berkeliaran mencetak uang banyak. Mereka kira mereka jenius, padahal setengahnya
197 mungkin didapat dari mencuri. Kalau saja mereka
semua bekerja di dalam jalur, menuruti prinsip, masih
banyak yang tersisa untuk kita semua." Aku tidak
dapat menahan nada kesal dalam suaraku, dan aku
merasa kata?kata semakin cepat dan keras meluncur
dari mulutku.
Claire tertawa. "Oh, Paul! Kau manis sekali. Begitu
penuh perhatian. Begitu idealis. Tapi dunia tidak
berjalan sesuai keinginanmu. Kau harus kuat agar
bisa berhasil baik. Bajingan yang terbesarlah yang
berhasil mencetak uang terbanyak. Aku baik-baik
saja, kok. Aku sekarang bekerja dalam bidang yang
sama, untuk orang yang lebih baik, dengan gaji yang
lebih tinggi." Matanya yang besar dan bercahaya
tersenyum padaku dari balik bulu matanya yang lentik.
"Tapi tadi kau bermaksud menceritakan rahasiamu
padaku."
Aku menenangkan diri. "Aku belum bisa bercerita
banyak, sebagian karena aku sendiri belum menge?-
tahuinya. Namun, tidak boleh ada yang tahu apa
yang akan kutanyakan." Aku merendahkan suaraku.
"Tahun lalu De Jong membeli private placement dari
Bloomfreld Weiss yang diterbitkan oleh Tremont Capital. Cash?lah yang menjualnya pada kami. Kau tahu
tentang itu?"


Kolusi Bursa Free To Trade Karya Michael Ridpath di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tremont. Tremont Capital," gumam Claire, kening-
nya berkerut berkonsentrasi. "Namanya pernah kude-
ngar tapi aku tidak... Tunggu sebentar! Aku tahu!
Bukankah perjanjian itu dijamin oleh Industrial Bank
of Japan?"
"Bukan, oleh Honshu Bank. Tapi kau sudah hampir
benar," sahutku.
198 "Ya, samar-samar aku dapat mengingatnya. Hanya
transaksi kecil, kan?"
"Empat puluh juta dolar," aku mengangguk. "Apa-
kah kau menjualnya?"
"Tidak ltu salah satu 'transaksi khusus' Cash.
Kukira ia sendiri yang mempersiapkannya. Tidak ada
yang boleh melihat atau menjualnya. Semua komisi
diambil Cash."
Transaksi khusus. Pelanggan khusus. Cash banyak
melakukan bisnis khusus. "Apakah kau tahu sesuatu
tentang perusahaan itu?"
"Tremont Capital? Sama sekali tidak. Aku tak
pernah mendengar nama itu baik sebelum maupun
sesudahnya."
"Yang lain?"
"Juga tidak. Kalau mengerjakan suatu transaksi, ia
merahasiakannya sampai selesai supaya setelah itu
bisa mengumumkannya dengan penuh kesombongan."
"Ia pasti mendapat bantuan orang dalam untuk
membuat dokumentasinya, atau untuk merancang perjanjian itu," kataku. "Apakah ada orang di bagian
keuangan pemsahaan yang biasa berhubungan dengan
Cash?"
"Tidak di London. Tapi ia memang berbicara de-
ngan seseorang di New York dalam beberapa transaksi
khususnya. Aku pernah sekali bertemu dengannya
ketika ia datang ke London. Laki-laki gemuk?pendek.
Waigel. Dick Waigel, seingatku itu namanya."
"Kau ingat siapa yang membeli sisa obligasi itu?"
"Aku mendengar Cash menjualnya kepada De Jong.
la melakukannya dalam waktu singkat. Lalu ia mene-
lepon sekali lagi dan berhasil menutup semua transaksi
199 itu. Aku ingat saat itu aku berpikir betapa hebatnya
dia dapat menjual seluruh transaksi hanya dengan
dua kali telepon. Aku benci Cash. Tapi harus kuakui
ia salesman yang hebat." '
"Siapa pembeli yang lain itu?"
"Aku. tahu kau akan menanyakannya," ujarnya.
"Coba kuingat?ingat... Aku tahu! Hanweiger Bank."
"Harzweiger Bank? ltu sebuah bank Swiss kecil,
kan?"
"Sebenarnya tidak kecil. Hanya tidak menonjolkan
diri. Tapi mereka diam?diam mengelola sejumlah besar
uang. Cash sering bekerja sama dengan mereka."
"Dengan siapa ia bicara di sana?" tanyaku.
"Seorang bernama Hans Dietweiler. Tak terlalu
baik. Aku pernah berbicara dengannya beberapa kali."
Aku telah berhasil mengetahui semua yang ingin
kuketahui dari Claire. Paling tidak tentang Tremont
Capital.
"Satu pertanyaan lagi," pintaku.
"Ya?" .
"Siapa Gaston itu?"
"Gaston? Aku tidak kenal Gaston," lalu ia berde-
cak, "Oh, maksudmu Gaston pacarku di Paris? Itu
hanya karangan untuk Rob."
"Jahat sekali. Rob sangat kesal."
"Ia sangat keras kepala. Aku harus mencari cara
menghentikan penderitaannya. Dan Gaston sepertinya
cara terbaik. Dia itu aneh, ya."
"Aneh?"
"Ya. Rasanya ada sesuatu tentang dia. la begitu
menggebu?gebu, seperti tidak stabil. Aku tak pernah
tahu apa yang akan ia lakukan."
, 200
"Oh, Rob memang begitu," ujarku, "Ia tidak berbahaya."
"Aku tidak yakin," ujar Claire. "Aku senang sudah
bebas daii'nya." la menggigil. "Di samping itu, kan
sudah kubilang, aku tidak pernah tidur dengan klien."
Sambil berkata demikian, ia menyesap anggurnya
dan memandangku dari balik tepi gelas. Tatapannya
membara, bibirnya sangat merah, matanya sangat
dalam. Leherku terasa kering.
"Tidak pemah?" tanyaku.
Ia menatap mataku beberapa detik, mengirim sinyal
dengan arti yang tidak dapat seratus persen kume-
ngerti.
"Hampir tidak pernah," sahutnya.
Setelah makan siang itu, aku hampir tak bisa
memusatkan perhatian pada pekerjaan. Setelah bemsaha keras akhirnya aku berhasil menyingkirkan pi?
kiran bagaimana rasanya bercinta dengan Claire, walau
pikiran itu terus berusaha muncul kembali. Aku harus
menelepon Herr Dietweiler.
Aku mencari Haizweiger Bank dalarn Association
of International Bond Dealers Handbook dan mendapatkan nomor teleponnya yang ternyata mempunyai
kode area Zurich.
Seorang wanita menjawab.
"Bisakah aku bicara dengan Herr Dietweiler?"
pintaku. "
"Maaf, ia sedang tidak ada di tempat. Mungkin
aku bisa membantu Anda?" bahasa Inggris wanita itu
sempurna. .
"Ya, mungkin Anda bisa," sahutku. "Namaku Paul
201 Murray, dan aku bekerja pada De Jong and Company
di London. Kami punya private placement yang aku
percaya juga Anda beli. Tremont Capital delapan
persen tahun dua ribu satu. Kami ingin membeli lagi
dan ingin menanyakan apakah Anda berminat merta
jualnya."
"Oh, Tremont Capital! Akhirnya ada yang mau
beli. Aku tidak tahu untuk apa kami membelinya.
Jaminan Honshu Bank sangat baik, dan yieldanya
juga bagus, tapi tidak ada yang memperdagangkannya.
Kami seharusnya mempunyai portfolio yang likuid,
bukan sampah seperti ini. Berapa penawaran Anda?"
Ini rumit. Hal terakhir yang ingin kulakukan adalah
membeli lebih banyak lagi obligasi brengsek ini.
Wanita ini kedengarannya bersedia menjualnya dengan
harga berapa pun!
"Bukan untukku, tapi untuk salah seorang klien
kami," aku berbohong, "la tertarik membeli obligasi
kami, tapi milik kami tidak dijual. Sebelum menghubunginya untuk menanyakan apakah ia mau membeli
dari Anda, aku perlu yakin dahulu bahwa Anda
m&nilikinya."
"Begitu. Yah, sebaiknya kita menunggu Herr Dietweiler. Sebenarnya ia yang membeli obligasi itu. Ia
akan kembali sekitar satu jam lagi. Bisakah Anda
menelepon kembali nanti?"
"Ide yang bagus. Tolong beri tahu dia supaya
menunggu teleponku."
Bagus. Memang Dietweiler yang ingin kutanyai.
Tepat satu jam kemudian aku kembali menghubungi
Harzweiger.
Sebuah suara kasar menjawab telepon itu, "Diet
202 weiler."
"Selamat siang, Herr Dietweiler. Di sini Paul
Murray dari De Jong and Company. Sebelumnya aku
telah berbicara dengan rekan Anda tentang penawaran
untuk Tremont Capital delapan persen tahun dua ribu
satu yang Anda miliki. Aku ingin tahu apakah Anda
berminat menjual?"
"Anda keliru, Mr. Murray." Aksen Swiss kental
itu terdengar tidak ramah. "Aku tidak tahu dari mana
Anda mendapat informasi itu. Kami tidak memiliki
obligasi itu, dan kanti tidak pernah memilikinya."
"Tapi aku telah berbicara dengan rekan Anda tena
tang obligasi itu," ujarku. "Menurutnya obligasi itu
tercantum dalam portfolio Anda."
"la pasti keliru. Mungkin tumpangtindih dengan
obligasi Tremont Capital yang lain. Bagaimanapun
juga, kanti anggap isi porfolio kami adalah infomasi
sangat rahasia yang tidak pernah kami beri tahu pada
orang luar. Aku baru saja mengingatkan rekanku
mengenai hal itu. Nah, selamat sore, Mr. Murray."
Sembari menutup telepon, aku merasa kasihan pada
gadis Swiss yang ramah tadi. Aku yakin ia tidak
akan senang mendapat teguran tentang kewajibannya
dari Herr Dietweiler. Makhluk yang menyebalkan.
Dan bukan seorang pembohong yang baik. Tidak ada
obligasi Tremont Capital yang lain. Harzweiger Bank
memiliki obligasi yang sama dengan yang kami miliki.
Tapi mengapa mereka tidak mengakuinya?
lni serius. Kemungkinan besar De Jong telah kehi-
langan 20 juta dolar itu. Kalau kami tidak mendapat-
kannya kembali, perusahaan ini bisa lumpuh. Secara
hukum kami tidak terikat kepada klien untuk mengem?
203 balikan uang mereka yang kami hilangkan, tapi aku
yakin mereka tidak akan menjadi klien kami lagi.
Aku harus memberitahu Hamilton. Ia tidak ada di
mejanya. Karen berkata ia pergi sepanjang siang dan
tidak akan kembali sampai besok
Ia datang ke kantor saat jam makan siang keesokan
harinya. Aku melihatnya berjalan ke mejanya, melepaskan jas. dan menyalakan layar monitor. la duduk
di muka layar?layar itu dan menatapnya.
Aku melangkah ke mejanya. "Permisi, Hamilton,"
ujarku, "Punya waktu sebentar?"
"Sekarang pukul satu lewat dua puluh tujuh. Angka
pengangguran akan keluar pukul satu tiga puluh. Aku
punya waktu tiga menit. Cukup?" tanyanya.
Aku ragu?ragu. Apa yang hendak kukatakan sangat
penting. Tapi aku tidak mau terburu?buru. Kalau
Hamilton berkaw ia hanya punya waktu tiga menit,
berarti memang hanya tiga menit. "Tidak cukup, aku
perlu waktu lebih lama," ujarku.
"Kalau begitu, duduklah, kau mungkin dapat belajar
sesuatu"
Sambil menahan ketidaksabaranku, aku menuruti
apa yang dikatakannya.
"Sekarang ceritakan apa yang terjadi dengan bursa
departemen keuangan." Maksud Hamilton adalah pasar
obligasi pemerintah Amerika Serikat, bursa obligasi
paling besar, paling likuid, di dunia, dan salah satu
pedoman para investor untuk membuat perkiraan ting-
kat suku bunga jangka panjang.
"Bulan ini turun terus," sahutku. "Masyarakat mencari yield yang makin tinggi." Kalau harga departemen
keuangan turun, yield mereka akan naik, menunjukkan
204 . dugaan akan naiknya tingkat suku bunga di masa
mendatang.
"Mengapa turun?"
"Semua takut tingkat pengangguran Amerika Serikat
terlalu kecil. Angka pengangguran bulan lalu lima
koma dua persen. Sebagian besar ekonom berpendapat
angka pengangguran tidak mungkin lebih rendah dari
lima persen, dan sekali mencapai tingkat itu, tekanan
inflasi akan muncul. Dunia usaha akan sulit mendapat
pekerja, sehingga mereka harus membayar gaji lebih
tinggi. Gaji lebih tinggi berarti inflasi lebih tinggi,
yang berarti tingkat suku bunga juga lebih tinggi.
Jadi harga departemen keuangan tumn."
"Jadi apa yang akan terjadi setelah angkanya keluar?" tanya Hamilton.
"Yah, pasar menduga angka pengangguran akan
turun menjadi lima persen. Jika itu terjadi, pengangguran yang makin rendah berarti inflasi yang lebih
tinggi. Pasar akan jatuh kembali."
Ironis memang, apa yang baik bagi dunia kerja
selalu buruk bagi bursa obligasi. Aku ingat saat
berada di lantai transaksi salah satu broker besar.
Ketika diumumkan bahwa orang yang kehilangan pekerjaan berjumlah beberapa ribu lebih banyak dari
dugaan semula, sambutan meriah meledak di mangan
itu, dan pasar departemen keuangan melonjak. ltulah
dunia menara gading!
"Memang benar hampir semua orang mengira angka
pengangguran akan mencapai lima persen dan pasar
akan jatuh. Jadi apa yang harus aku lakukan?" tanya
Hamilton.
"Yah, jika kita punya sisa obligasi departemen
205 keuangan, kita dapat menjualnya," ujarku. "Tapi karena
kita sudah menjual milik kita sebulan yang lalu,
maka kita hanya dapat duduk dan mengamati."
"Salah," sahut Hamilton. "Kaulah mungkin yang
dapat duduk dan mengamati."
. Layar hijau televisi di depan kami menunjukkan
harga pasar saat itu. Seban'san penuh angka hijau
kecil berkedipkedip kala obligasi diperjualbelikan dan
harga?harga berubah. Obligasi departemen keuangan
yang kami amati adalah obligasi tiga puluh tahun,
yang dikenal dengan "obligasi jangka panjang." Harga
saat ini 99,16 berarti 99 16/32, atau 99 1/2.
Satu menit sebelum keluarnya angka pengangguran,
angka?angka' hijau itu berhenti berkedip. Tidak ada
yang bertransaksi. Semua sedang menunggu.
Menit itu seakan berlangsung lama sekali. Di seluruh dunia, di London, New York, Frankfurt, Paris,
Bahrain, bahkan Tokyo, ratusan pria dan wanita tengah
duduk terpaku di depan layar monitor mereka, menunggu. Gelanggang perdagangan obligasi di lantai
Board of Trade Futures Exchange di Chicago menda-
dak hening, diam menanti.
Bunyi perlahan muncul dari layar Reuters dan
Telerate kami. Sedetik kemudian sebuah tulisan hijau


Kolusi Bursa Free To Trade Karya Michael Ridpath di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kecil muncul, "Tingkat pengangguran Amerika Serikat
untuk bulan Juli tumn menjadi 5,0 persen dibanding
5,2 persen dalam bulan Juni."
Dua detik setelah itu, angka 99,16 pada obligasi
jangka panjang berkedip berganti dengan 99,08, berarti
99 8/32, atau 99 1/4. Aku benar. Angka pengangguran
itu buruk dan pasar merosot.
Dua detik kemudian, lampu panel telepon kami
206 menyala?nyala. Para salesman tidak tahu apa yang
direncanakan Hamilton, tapi mereka tahu ia tengah
merencanakan sesuatu.
Hamilton mengangkat satu saluran. Aku mendengar?
' kan dari sambungan lain. Dari David Barratt.
"Aku hanya ingin memberikan pandangan kami
'dalam..." kata David.
"Tawarkan padaku dua puluh juta obligasi jangka
panjang," potong Hamilton.
"Tapi menurut ekonom kami..."
"Aku senang kau punya ekonom yang bisa berpikir.
Sekarang beri aku penawaran itu!"
David tidak berkata apa?apa lagi, dan menaruh
teleponnya. Ia kembali lima detik kemudian. "Kami
menawarkan sembilan puluh sembilan koma empat.
Awas, Hamilton, pasar ini akan hancur!"
"Aku beli dua puluh seharga sembilan puluh sem?
bilan koma empat per tiga puluh dua. Bye."
Angka hijau pada obligasi jangka panjang di layar
kami terus berkedip?kedip. Kini terbaca 99,00. Aku
tidak tahu apa yang dilakukan Hamilton, tapi aku
yakin ia tahu persis apa yang sedang dilakukannya.
Hamilton mengangkat saluran berikut. Dari Cash.
"Tawarkan aku tiga puluh juta obligasi jangka pan-
jang."
Cash tidak membantah. Ia tak peduli jika ada yang
mau membeli tiga puluh juta obligasi saat pasar
sedang jatuh. "Penawaran kami sembilan puluh sembilan pas." '
"Baik. Aku ambil," sahut Hamilton. la menaruh
telepon dan menatap layar yang berkedip?kedip dengan
penuh konsentrasi. Demikian pula aku.
207 Hargaharga terus berkedip?kedip, tapi tidak lagi
merosot jatuh. Harga itu bergerak naik?turun pada
99,00 dan 99,02. Hamilton dan aku duduk tak bergerak di muka layar. Setiap kali angka 99,00 menyala,
aku menahan napas, menduga berikutnya akan melihat
angka 98,30. Kanti bisa kehilangan banyak uang
dalam posisi 50 juta dolar. Tapi tingkat 99,00 ber?
tahan. Mendadak angka itu berkedip menjadi 99,04,
lalu 99,08. Dalam beberapa detik harga bergerak
naik menjadi 99,20.
Aku menghela napas. Hamilton berhasil melakukannya lagi. Kami telah berhasil membeli lima puluh
juta obligasi jangka panjang pada harga terendah
selama beberapa bulan terakhir. Dan pasar mulai
bergerak naik kembali. Kuperhatikan Hamilton lekatlekat. Ia masih terus me_natap layar. Ekspresi wajahnya
tidak berubah sedikit pun. Ia tidak tersenyum, tapi
kukira aku dapat melihat bahunya yang membungkuk
menjadi lebih rileks.
Harga berkedip naik menjadi 100,00.
"Apakah kita akan menjual sekarang?" tanyaku.
Perlahan Hamilton menggeleng. "Kau tidak mengerti
apa yang sedang terjadi di sini, ya?" ujarnya.
"Tidak, aku tidak mengerti," sahutku. "Tolong jelaskan."
la bersandar di kursinya dan berbalik menghadapku.
"Kau harus selalu selangkah lebih maju daripada apa '
yang dipikirkan pasar," ujarnya. "Harga pasar bergerak
kalau orang mengubah pikiran mereka. Pasar akan
turun jika orang mendadak memutuskan lebih baik
tidak membeli atau menahan obligasi, dan lebih baik
menjualnya. Ini sering terjadi kalau ada sebuah infor
208 masi baru. Itulah sebabnya mengapa pasar sering
bergerak saat ada angka ekonomi yang dikeluarkan.
Apakah kau mengerti?"
"Ya," ujarku.
"Selama beberapa bulan terakhir banyak orang
berubah pikiran, memutuskan untuk menjual. Setiap
kali muncul berita buruk, makin banyak orang yang
hendak menjual, sehingga mengakibatkan harga sema?
kin rendah. Situasi menjadi sedemikian buruk sehingga
sampai minggu ini semua orang menduga akan ada
berita buruk lagi dan pasar semakin jatuh. &
"Lalu berita buruk itu keluar, persis seperti yang
telah diduga orang. Memang para dealer menurunkan
harga, tapi semua penjual sudah menjualnya lebih
dulu. Seperti yang kita lakukan sebulan yang lalu.
Tidak ada lagi penjual.,"
"Oke, itu menjelaskan mengapa pasar tidak lebih
merosot lagi, tapi mengapa pasar lalu naik kembali?"
tanyaku.
( "Yah, kalau pasar sedang jatuh, pembeli biasa
cenderung menahan pembelian mereka sampai mereka
pikir berita buruk itu sudah berlalu," ujar Hamilton.
"Dan ada orangorang seperti aku yang senang mem-
beli obligasi dengan harga rendah." Hamilton berkata
dengan tenang dan hati?hati. Aku menyelami setiap
patah katanya, berusaha menyerap pengetahuan sea
banyakabanyaknya.
"Tapi bagaimana dengan dasar?dasar ekonomi?
Bagaimana dengan ancaman inflasi jika tingkat angka
pengangguran Amerika Serikat terlalu rendah?" tanya?
ku. "Ketakutan akan hal itu sudah ada di pasar, paling
209 o tidak sejak satu bulan lalu. Karena itu harga menurun
terus selama bemiinggu?minggu."
Aku memikirkan kata?kata Hamilton. Memang masuk
akal juga. "Jadi salah satu alasan pasar bergerak naik
kembali adalah karena semua menjadi sangat pesimis?"
"Tepat sekali," sahut Hamilton.
"Satu hal lagi yang tidak aku mengerti," ujarku.
"Jika masalahnya itu, mengapa pasar menunggu hingga
pengumuman angka pengangguran itu sebelum berge?
rak naik kembali?"
"Sebelum mengambil keputusan untuk membeli,
para investor menunggu hingga ketidakpastian utama
yang terakhir sudah hilang. Begitu melihat angka
pengangguran itu?yang ternyata tidak lebih buruk
dari yang diduga?mereka tidak ada alasan untuk
menunda keputusan mereka. Mereka akhirnya mulai
membeli."
Aku berpikir betapa banyak yang masih harus
kupelajari dalam bisnis ini. Aku tahu diperlukan pikiran yang tenang, penuh perhitungan, untuk menjadi
seorang trader yang bank. Tapi Hamilton lebih daripada sekadar ahli dalam menganalisis angka?angka
atau gejolak ekonomi. la menganalisis sifat manusia,
mengukur dengan tepat keseimbangan antara perasaan
takut dan perasaan serakah di antara ribuan individu
yang bersama?sama membentuk "pasar". Dan ia sangat
hebat dalam hal itu. .
"Sekarang kita dapat membiarkan pasar menentukan
keputusannya sendiri," ujar Hamilton. "Tadi kau hendak membicarakan sesuatu denganku."
Aku menceritakan pada Hamilton semua yang dite-
210 mukan Debbie dan aku tentang Tremont Capital. Aku
ceritakan padanya bahwa, menurutku, kami tidak akan
melihat lagi uang 20 juta dolar itu.
Selama bekerja dengan Hamilton, aku tidak pernah
melihatnya kaget. Ia terguncang sekarang. Ia kehi?
langan kontrol?suatu perasaan yang jarang terjadi
pada Hamilton.
"Bagaimana mungkin bisa terjadi? Bukankah kita
sudah memeriksa dokumentasinya?"
Perlahan aku menggeleng.
"Mengapa aku tidak menyuruh Debbie memeriksa
dokumentasinya?" ia bergumam, menggigit bibir bawahnya. "Callaghan bajingan! Ia pasti sudah tahu
sejak dulu!"
"Kudengar Cash yang menjual obligasi ini pada
Anda." ..
"Memang dia. Waktu itu obligasi ini memberi
yield satu setengah persen lebih tinggi daripada pemerintah Amerika Serikat. Tidak buruk untuk sebuah
obligasi dengan jaminan triple A. Obligasi termurah
pada waktu itu."
"Dan menurut Anda, ia tahu bahwa jaminan itu
tidak ada harganya?"
"la pasti tahu," ujar Hamilton pahit. "Kalau pusat
data Bloomfield Weiss tidak tahu apa?apa tentang
obligasi itu, kau boleh bertamh tidak ada lagi yang
tahu. Ia sendiri pasti telah mengatur hal ini. Aku
sudah lakukan sebisaku untuk tidak bergantung padanya. Tak dapat kubayangkan bagaimana aku dapat
membiarkannya berbuat begitu."
"Mungkinkah Cash memberikan prospektus obligasi
itu dengan niat baik? Mungkin seseorang di bagian
211 keuangan pemsahaan yang ada di belakang semua
ini? Claire menyebut seseorang bemama Dick Waigel."
"Mungkin juga. Tapi menurutku tidak. Pasti ulah
Callaghan."
Aku ragu?ragu. Aku tidak yakin untuk mengutarakan
apa yang ada dalam pikiranku. Perlahan, kukatakan
juga, "Apakah menurut Anda Cash ada hubungannya
dengan kematian Debbie?"
Hamilton memandangku, tidak mengerti. "Itu kan
kecelakaan? Atau bunuh diri? Bukan pembunuhan,
kan?"
"Aku tidak yakin," ujarku. "Ingat waktu kuceritakan
bahwa aku melihat seorang laki?laki sesaat sebelum
kematian Debbie?" Hamilton mengangguk. "Yah, orang
itu temyata Joe Finlay, trader bagian korporasi Ame-
rika Serikat di Bloomfield Weiss. Nah, aku sudah
menceritakan hal ini pada polisi, tapi tampaknya Joe
mempunyai beberapa teman yang mengatakan mereka
bersamanya naik taksi segera setelah meninggalkan
kapal."
"Joe Finlay?" ujar Hamilton. "Aku pernah bertemu
dengannya. Ia bukan trader yang buruk. Tapi dari
apa yang kaukatakan, berarti pihak polisi sudah mencoretnya dari daftar tersangka?"
Aku menghela napas. "Ya, mereka akan menyatakan
kematian Debbie sebagai kecelakaan. Tapi aku tak
dapat menerimanya."
Hamilton memandangku sesaat. "Kukira polisi tahu
apa yang mereka lakukan. Tapi menurutku Cash tidak
berhubungan dengan kasus ini." Ia terdiam, dalam
matanya yang biru dingin tampak nyala yang tidak
biasa. Lalu perlahan ia mulai tenang kembali. Dengan
212 teratur ia mengelus janggutnya. Ia sudah kembali
menguasai diri. Berpikir, menggunakan akal. Memper?
hitungkan semua kemungkinan.
"Apa yang harus kita lakukan?" tanyaku. "Me?
nanyai Cash? "Menghadap presiden Bloomfield Weiss?
Lapor polisi?"
"Jangan lakukan apa?apa," sahut Hamilton. "Paling tidak untuk beberapa saat. Kuduga Tremont Capital akan terus membayar bunga selama beberapa
tahun untuk menghindari timbulnya kecurigaan. Begitu
Cash tahu kita mencurigainya, uang itu akan lenyap
dan kita takkan pernah melihatnya lagi. Jadi kita
akan bertindak seolah?olah tidak ada yang salah."
"Tapi kita tidak mungkin berdiam diri saja!"
"Memang tidak. Kita akan berusaha mendapatkan
kembali uang kita."
"Tapi, bagaimana caranya?"
"Aku akan cari akal." ,
Dan entah mengapa, aku yakin ia akan mendapat.
kannya.
213 dimhader (Maricacd sich
% 5 g % 5 5 % > > >BAB
"10
AKU mempunyai timbunan pekerjaan yang harus
diselesaikan. Ketidakcocokan akuntansi, komentar
penilaian bulanan, setumpuk laporan yang harus dibaca. Aku mengerjakannya sepanjang sore sampai
hari mulai gelap. _
Pukul 19.30 aku meninggalkan kantor dan berjalan
di Gracechurch Street menuju stasiun bawah tanah
Monument. Aku masih belum tahu bagaimana cara
mendapatkan kembali uang Tremont itu. Aku juga
tidak tahu apa yang akan dilakukan Hamilton, meski
ia tampak yakin akan mendapat akal.
Aku dikejutkan oleh suara dari samping dan tangan
yang menyelip masuk di lipatan siku lenganku. "Paul,
mengapa kelihatan begitu bingung?"
Ternyata Claire. Tercium aroma lembut parfum
seperti yang ia pakai di Lucls kemarin.
"Aku tidak bingung, hanya sedang berpikir."
"Pasti soal pekerjaan. Tapi pekerjaan hari ini sudah
selesai! Sekarang saatnya bermain."
Aku tersenyum lemah. Aku tidak dapat mengenyah?
kan bencana Tremont Capital dari pikiranku.
215 x "Dengar, akhir?akhir ini kau terlalu banyak kuatir,"
ujar Claire. "Kau menanggapi semuanya dengan terlalu
serius. Aku akan bertemu dengan beberapa teman
lama malam ini. Mau ikut?"


Kolusi Bursa Free To Trade Karya Michael Ridpath di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku ragu?ragu.
"Oh, ayolah!" ujarnya. Wanita itu melambaikan
tangannya pada sebuah taksi lewat yang lalu berhenti.
Ia mendorongku masuk. Aku tidak membantah. Claire
benar. Semua yang kuketahui dalam beberapa hari
terakhir ini sangat membebani otakku.
Claire menyuruh taksi itu menuju bar anggur kecil
di vaent Garden. Di sana gelap, kaku, dan penuh
sesak. TemanAteman Claire sudah ada di sana: Denis,
Philippe, dan Marie. Mereka berteman sejak kuliah
di Avignon. Denis sedang mengambil Ph.D. dalam
bidang sejarah AngloASaxon di King's College, London. Philippe dan Marie mengajar di Orleans; mereka
berada di Inggris untuk berlibur??dan hanya Denis
yang bisa berbahasa Inggris.
Bahasa Prancisku hanya bisa untuk perbincangan
ringan, tapi aku berusaha sebisanya. Sambutan hangat
mereka membuatku bersemangat, mereka sangat me-
nyenangi aksen' Prancis?ku. Aku cukup baik mengaA
tasinya, walau perbincangan kanti menjadi agak aneh
karena aku hanya melontarkan kata?kata yang kutahu,
yang terkadang tidak masuk akal. Anggur terus mengalir. Volume pembicaraan meningkat, disela derai tawa
histeris. Tidak ada yang menyebut?nyebut soal obligasi,
pasar, suku bunga, Tremont, Joe, atau Debbie.
Kala malam semakin larut aku makin sulit memusatkan perhatian pada apa yang sedang diucapkan
atau ke mana arah pembicaraan berlangsung. Aku
216 hanya duduk bersandar di kursiku dan mengamati
mereka.
Khususnya, aku mengamati Claire. Dia seksi sekali!
Wanita itu duduk bersilang kaki, rok hitamnya yang
_ketat naik ke pahanya yang indah. Blus putihnya
dimasukkan ke dalam rok, membentuk lekukan di
bagian dada saat ia menyorongkan tubuhnya untuk
mengucapkan sesuatu. Bibimya padat dan kerap mencibir saat ia bicara. Agaknya bahasa Prancis dicipta?
kan untuk bibir seperti miliknya.
Mendadak, karena suatu tanda yang tak kudengar,
semua berdiri. Aku melihat arlojiku. Sudah tengah
malam. Kami meninggalkan bar anggur itu dan menghabiskan lima menit di jalan, saling meracau mengucapkan selamat tinggal. Lalu Denis menghilang ke
satu arah; Philippe dan Marie ke arah yang lain,
meninggalkan Claire dan aku berdua.
Claire menyelipkan lengannya di lenganku dan kami
melangkah menuju Strand. Kami berjalan menembus
kerumunan orang yang saling meneriakkan selamat
tinggal, menyetop taksi, dan tertawa gembira. Udara
malam terasa hangat dan santai.
"Aku lupa menanyakan apakah kau dapat berbicara
Prancis," ujar Claire. "Tapi kau cukup bagus."
"Setelah benahun?tahun mempelajarinya di sekolah,
rupanya ada sedikit yang masuk ke otak," ujarku.
"Malam yang indah, kan? Kau suka kan pada
Marie? Dan Denis itu sangat lucu, ya? Oh, kami
semua mengalami saat?saat menyenangkan waktu di
Avignon."
"Aku sangat menikmatinya. Terima kasih telah
mengajakku."
217 "Apakah kita akan naik taksi bersama?" tanya
Claire. "Kau tinggal di mana?"
"Kensington, dan kau?"
"Oh, bagus. Aku tinggal di dekat Sloane Square."
Kami terus berjalan menyusuri Strand, berusaha
mendapat taksi. Akhimya kami dapat satu yang datang
dari arah Waterloo Bridge, dan' sisi selatan sungai.
Kami tidak saling berbicara di dalam taksi, tapi
aku sangat'menyadaxi kehadiran Claire di sampingku.
Dengan lembut ia menyandarkan kepalanya di bahukul
Kami berhenti di muka apanemennya. Claire menggeser tubuhnya melewatiku, mEmbuka pintu, dan turun
ke jalan.
"Selamat malam," ujarku. "Aku senang bertemu
denganmu malam ini."
Taksi itu berhenti tepat di bawah lampu jalan,
sehingga aku dapat melihat wajah Claire dengan
jelas. Matanya membara, dalam dan sensual, seperti
waktu di restoran. Ia tersenyum. "Ayolah," ujarnya.
Aku ragu-ragu sesaat, lalu menelan ludah, meloncat
ke luar taksi, membayar sopir, dan mengikuti Claire
ke dalam gedung. Apartemennya berada di lantai
dua. Suasananya nyaman, ditata penuh gaya, dengan
dua lukisan abstrak besar tergantung pada salah satu
sisi dinding.
Hanya itu yang sempat kuperhatikan. Begitu kami
berada di dalam, Claire berbalik dan menarik kepalaku
ke arahnya. Kami lama berciuman, tubuh kami saling
mendekap, masing?masing merasakan gairah pasangannya. Perlahan Claire menarik bibirnya, mendesah serak, dan berbisik, "Apa yang kauinginkan?"
Aku tidak sempat menjawab. la membimbingku ke
213 dalam kamar tidur. Ia tidak menyalakan lampu, namun
tirai jendelanya terbuka dan temaram cahaya kuning
lampu jalan menerangi kamar itu. Ia melepaskan
dasiku dan membuka kancing atas kemejaku. Aku
membuka jas dan menanggalkan pakaian. Dalam sekejap Claire telah berdiri di depanku, telanjang. Lampu
sorot mobil yang lewat menyinarinya. Tubuhnya padat
dan kencang, berotot. Aku baru membuka kaus kaki
ketika ia menarikku ke ranjang.
Claire bercinta dengan penuh gairah dan energik. .
Seprai segera terjuntai ke lantai. Setelah satu jam
dalam kenikmatan yang *melelahkan, aku lalu berbanng
telentang, terengah?engah, berkeringat, kehabisan tenaga. Claire berbaring di sampingku dan kami mengobrol serta tertawa sementara ia memainkan jarinya
di dada dan perutku. ."
Dalam beberapa menit, rileks dan puas, mataku
terpejam dan aku langsung terlelap.
Aku terbangun oleh kecupan lembut Claire di hidungku. Ia sudah berpakaian lengkap dalam setelan
biru.
' "Aku harus berangkat kerja," ujamya. "Jangan
lupa kunci pintunya." Ia sudah lenyap sebelum aku
sempat menjawab.
Aku memaksa diri turun dari tempat tidur, me?
ngenakan pakaian, pulang naik taksi, dan mandi. Aku
terlambat masuk kerja pagi itu.
Hamilton telah mendapat akal, seperti yang dijanjikannya. Ia memanggilku ke ruang rapat.
"Ini memang tidak akan mudah," katanya. "Kita
perlu cari tahu lebih banyak." Ia mencondongkan
219 tubuh ke atas bloknot putih di mejanya. Penuh tekad
dan semangat. Aku mendengarkan, siap mengikuti
petunjuk.
"Kita dapat menangani masalah ini dari dua sudut.
Sebaiknya kita masing-masing menangani saru."
Aku mengangguk.
"Pertama, masalah Netherlands Antilles. Aku telah
memeriksa prospektus Tremont kata demi kata. Ada
sejumlah persyaratan pendahuluan sebelum uang dapat
ditarik, termasuk tanda tangan dari penjamin, Honshu
Bank. Nah, itu berarti Van Kreef-Heerlen pasti telah
memeriksa dokumennya sebelum uang dibayarkan.
Entah mereka melihat sebuah dokumen palsu, atau
mereka membiarkan uang dilepas tanpa memeriksa
apa?apa.
"Juga ada persyaratan bahwa laporan keuangan
harus diaudit setiap tahun. Auditomya adalah firma
akuntan lokal. Dalam prospektus tidak tercantum hak
kita untuk memeriksa laporan keuangannya, namun
mereka mungkin menyimpannya di suatu tempat.
*Terakhir, uang itu pasti telah diinvestasikan atau
ditransfer entah ke mana dari Netherlands Antilles.
Penasehat profesional mungkin terlibat dalam hal ini."
"Kemungkinan besar ada ahli hukum dan akuntan
yang terlibat dalam semua tahap ini, tapi mereka
tidak akan mengatakan apa?apa pada Anda," kataku.
"Netherlands Antilles mempunyai reputasi tinggi dalam
menjaga kerahasiaannya. Kalau mereka tidak mempertahankan reputasi itu, maka setengah klien mereka
akan langsung kabur."
"ltu benar. Sangat sukar bagiku meneliti semua hal
ini sendirian," ujar Hamilton. "Tapi semalam aku
220 berbicara dengan Rudy Geer, salah satu pengacara
top di pulau itu. Ia bersedia membantuku. Ia tidak
mau pulau itu mendapat reputasi sebagai markas
penipuan. Rupanya, Van Kreef?Heerlen bertindak ter-
lalu gegabah. Kuharap para pengusaha di kepulauan
itu memihak kepada kita. Bagi mereka lebih baik
uangnya dikembalikan secara diam-diam, daripada
menjadi skandal internasional. Aku akan pergi ke
sana esok lusa."
"Oke, lalu apa yang harus aku lakukan?" tanyaku.
"Periksa Cash," ujar Hamilton. "Kau akan pergi
ke New York dalam waktu dekat, bukan?"
"Ya, beberapa hari lagi," sahutku.
"Kau akan pergi ke Bloomfield Weiss?"
"Rencanaku begitu."
"Bagus. Cari apa yang dapat kauketahui tentang
Cash dan perjanjian Tremont itu. Tapi harus dirahasia-
kan. Cash tidak boleh tahu."
_ ;Oke," ujarku. "Bagaimana dengan si Dick Waigel
itu."
"Aku pernah berurusan dengannya dulu," ujar Ha-
milton. "Seorang pria pendek yang jahat. Aku tidak
heran jika ternyata ia terlibat. Ia sangat licik. Cari
tahu tentang dia, namun berhati-hatilah. Kalau dalam
kasus ini ia bekerja sama dengan Cash, maka ia
akan curiga pada orang yang banyak tanya."
"Apa yang harus kucari?" tanyaku.
"Sulit dikatakan," ujar Hamilton. "Semua yang
menghubungkan Cash pada Tremont, dm khususnya
semua yang memberi petunjuk apa yang akan dilakukan Tremont dengan uang kita. Prospektus itu hanya
menyebut soal investasi dalam sekuritas, mnpa meme-
221 rinci apa yang dimaksud." Aku tidak punya akal
bagaimana cara menemukan apa yang dicari Hamilton.
Ia melihat keprihatinan di wajahku. "Jangan kuatir,
walau kau tidak berhasil menemukan apa?apa, aku
pasti akan mendapatkan sesuatu di Cura;ao."
Aku merasa tidak enak dengan semua ini. "Tidakkah seharusnya kita memberitahu seseorang?" tanyanya. "Mungkin polisi, atau paling tidak Mr. De
Jong?" ' _
Hamilton duduk kembali. Ia mengembangkan jan
di mukanya dan menghela napas. "Aku juga sudah
berpikir begitu semalam. Kupikir tidak perlu."
"Tapi ini penipuan besar?besaran. Bukankah kita
harus melaporkannya?" aku protes. Perasaahku mengatakan bahwa aku harus ke polisi dan menyerahkan
masalah ini pada mereka.
Hamilton memajukan duduknya. "Ingat saat kuceritakan padamu bahwa kurasa aku telah mendapat
investor baru di Jepang? Fuji Life? Yah, aku cukup
yakin mereka akan memberi kita lima ratus juta
dolar untuk dikelola. Kalau semuanya lancar, kita
akan mendapatkannya bulan depan. Kau tahu bagaimana sifat bangsa Jepang. Jika sebuah grup setingkat
Fuji Life siap memberi kita uang sebanyak itu, yang
lain akan mengikuti." la berbicara makin cepat. "Inilah
tembusan yang diperlukan De Jong. Kita bisa menjadi
salah satu manajer investasi utama di London." Hamilton memandangku lurus-lurus. Aku dapat merasakan
kekuatan keyakinan dan kemauan pria ini. Ia ingin
menjadi manajer investasi terkuat di London; ia bertekad mencapai cita-cita itu. Dan aku harus mendukungnya.
222 Ia kembali tenang. "Kau tahu George. la akan
ingin langsung memberitahu para investor kita. Kita
tidak dapat menghalanginya. Dan sekali ia melakukannya, reputasi perusahaan kita akan rusak parah.
Mungkin tidak akan pernah sembuh. Fuji Life takkan
pernah menjadi klien kita. Dan kalau kita ke polisi,
malah akan semakin parah."
Hamilton dapat melihat bahwa aku tidak terlalu
yakin. "Dengar, kau dan aku mempunyai kesempatan
besar untuk benar?benar menghasilkan sesuatu dari
pemsahaan ini. Bisa aku mengandalkanmu untuk mem-
bantu? Jauh lebih baik bagi perusahaan, dan bagi
George De Jong, kalau kita dapat mengambil kembali
uang itu dalam dua atau tiga bulan mendatang. Kalau
kita masih belum berhasil hingga Natal tiba, barulah
kita memberitahunya. Kau telah melaksanakan kewajibanmu dengan memberitahu aku. Kau aman.
Kekacauan ini adalah tanggung jawabku dan aku
akan membereskannya."
Aku memikirkannya beberapa saat. Dengan 500
juta dolar dari Fuji Life, entah berapa banyak lagi
uang yang akan mengalir dari Jepang. Dengan dukung-
an dana sebesar itu kami bisa melakukan transaksi
hebat. Kami akan menggerakkan pasar, orang akan
harus duduk tegak memperhatikan sepak terjang kami.
Dan tidak diragukan lagi aku akan menjadi bagian
dan' semua itu; Hamilton telah menyebut kanti sebagai
satu tim. Aku menyukainya. Kami punya segalanya
untuk bermain dalam bursa. Aku tahu Hamilton benar
tentang George De Jong; ia pasti akan ingin langsung
memberitahu para investor kami dan merusak semua
nya. 223 Yah, Hamilton telah meminta bantuanku dan ia
akan mendapatkannya. "Oke, Anda benar. Mari kita
cari uang itu."
Aku berjalan kembali ke mejaku dengan perasaan
gembira dan sedikit bingung. Memang menyenangkan
bekerja bersama Hamilton, berusaha mengembalikan
uang itu. Tapi bagaimana caranya? Aku tidak tahu
bagaimana aku bisa mendapat informasi yang diminta
Hamilton. Yang dapat kulakukan hanyalah mencoba
sebisanya. Tapi apa pun yang terjadi, aku tidak ingin
mengecewakannya.
Di mejaku kulihat ada pesan?Claire menelepon.
Aku segera menghubunginya kembali.
"BLG."
"Halo. Ini aku, Paul."
"Ah, selamat pagi. Aku senang kau dapat masuk
kerja. Aku punya beberapa penawaran untukmu."


Kolusi Bursa Free To Trade Karya Michael Ridpath di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Seperti biasanya suara Claire terdengar sensual: SIaat
kudengar lagi pagi ini, kuingat kembali peristiwa
kemarin malam.
"Semalam aku senang," ujarku.
"Aku juga. Menyenangkan."
"Kita harus melakukannya lagi kapan?kapan."
Dia terdiam beberapa saat.
"Kau tahu, Paul, menurutku sebaiknya jangan."
Aku sudah menduga. "Aku pernah mengatakan bahwa
seorang salesperson tidak boleh punya hubungan pribadi dengan klien. Tadi malam memang menyenang-
kan. Kita sama-sama tidak rugi. Sebaiknya kita biarkan seperti itu."
Aku merasa kecewa. Tidak perlu pura-pura. Kalau
profesionalisme sedemikian penting baginya, apa yang
224 ada dalam pikirannya kemarin malam? Tapi... ia benar.
Tidak ada yang rugi. Dan untuk pertama kali, setelah
begitu lama, aku mengalami saat yang benar?benar
indah. Sebaiknya aku taruh saja dalam daftar pengalamanku.
"Nah! sekarang soal penawaran tadi"
Gloucester Arms sesak dan penuh asap seperti
biasanya. Di satu sudut, empat atau lima orang New
Zealand sedang mengobrol dengan sejumlah pelajar
Italia yang terkikik-kikik. Sekelompok laki?laki berbadan besar bersandar di bar, perut buncit penuh bir
mereka menyembul dari balik T-shirt yang kekecilan.
Seorang laki?laki tua yang agak eksentrik menggumam
pada diri sendiri sembari mengepulkan asap pipa dan
tekun membaca Daily" Telegraph. Kedua kursi di
samping orang itu kosong, ia tampak agak kurang
waras sehingga membuat orang enggan mendekatinya.
Gloucester Arms sama sekali bukan pub yang
paling menarik di London. Tapi letaknya di daerahku. '.
Mungkin aku terlalu lama menghabiskan waktu di
sana, membebaskan diri dari ketegangan di kantor,
mengenang transaksi yang bagus dan melupakan yang
bumk. Saat aku duduk di pojok mengamati kerumunan
orang yang tertawa dengan segala tingkah polah mereka, sambil perlahan menghirup segelas Yorkshire
pahit, kawah semangat bersaing yang mendidih di
kepalaku mulai mendingin. Debbie, Joe, Piper, dan
Tremont masih membayang di benakku, tapi aku
akan kembali memikirkan masalah mereka besok.
Aku mengangkat kepala dan melihat wajah tembam
Rob muncul di ujung mangan. Ia menangkap pandang
.225 an mataku dan berjalan di antara para peminum
menuju ke arahku. Kadang-kadang kami memangminum bir di Gloucester Arms. Ia tinggal tidak jauh
dari sini, jadi pub ini cukup nyaman bagi kann
berdua.
"Hai. Boleh kuambilkan lagi untukmu?" tanyanya
Aku mengangguk setuju, dan ia segera kembali dengan
dua gelas Yorkshire.
la menenggak minumannya sekaligus, menutup
mata, dan melemaskan bahunya. "Aku membutuhkannya," keluhnya.
"Hari yang buruk?"
"Bisa dibilang begitu," ujar Rob. Ia menggelengkan
kepalanya. "Ini salahku sendiri. Aku beli setumpuk
obligasi Bund kemarin, karena kukira angka suplai
uang hari ini akan lebih rendah dari yang diduga."
"Jadi, apa masalahnya?" tanyaku. "Kau benar, bukan?"
"Ya. Pasar naik satu poin. Tapi bukannya meng-
- ambil keuntungannya, aku malah membeli lagi."
"Mengapa?"
"Aku tidak tahu, hanya menuruti perasaanku. Lalu
bajingan Poehl itu berkata bahwa Bundesbankv masih
mencemaskan inflasi walaupun angka suplai uang
baik. dan pasar jatuh satu setengah poin."
"Ya ampun," ujarku, sewajar mungkin.
"Tepat," ujar Rob. "Ya ampun. Aku tidak tahu
mengapa aku tidak langsung jual saja setelah angkanya
keluar." _
Rob menatap gelasnya dengan murung. Aku juga
tidak tahu mengapa ia tidak menjualnya. Tapi aku
juga tidak mengerti mengapa ia membelinya. Ia tidak
226. punya alasan kuat untuk menduga angka suplai uang
akan lebih rendah. Ia hanya menumti "firasat". Jelas
itu bukan cara Hamilton, tapi memang lebih banyak
trader yang seperti Rob daripada seperti Hamilton.
Rob mengangkat kepalanya. "Kemarin Hamilton
melakukan transaksi yang cukup hebat, ya?" ujarnya.
"Aku tidak bisa melakukannya. Jeff juga tidak bisa,
dan hal itu membuatnya kesal." Jeff Richards adalah
atasan Rob.
"Apa yang membuatnya kesal?" tanyaku.
"Analisis Hamilton yang selalu benar."
"Yah, Jeff sendiri juga baik, kan?" tanyaku.
"Ya, secara keseluruhan," timpal Rob. "Tapi ia
bisa menghabiskan berhari?hari memelototi riset dan
statistik ekonomi sebelum memutuskan ke arah mana
pasar akan bergerak. Lalu ia harus menunggu berminggu?minggu sampai situasi pasar sesuai dengan
pandangannya. Agaknya melihat Hamilton menebak
situasi pasar dengan tepat, menentang semua analisis
dasar, membuatnya kesal. Bagaimana cara Hamilton
melakukannya?"
"Ia memikirkan segalanya," ujarku. "la membuat
faktor kebetulan sekecil mungkin, dan kalau keadaan
pasar sangat menguntungkan baginya, ia langsung
bertindak. Kau bisa belajar banyak dari dia."
"Aku tahu," ujar Rob. "Tapi dia agak sombong,
ya?"
"Ya, memang," ujarku. "Tapi dia adil. Aku suka
bekerja untuknya. Dia benar-benar mengagumkan ka-
lau seperti kemarin."
Ia guru yang hebat, pikirku. Suatu hari, kalau
mengamati dan mendengarkan dengan saksama, aku
227 akan menjadi sehebat Hamilton. Diam?diam aku me-
rasa bisa lebih baik lagi. Itulah ambisiku. Dan aku
bertekad mewujudkannya.
Rob mengangguk setuju dan menghirup sisa rninum-
annya. "Kau mau buang-buang uang ke luar kota,
ya?" tanyanya.
"Buang?buang uang? Aku akan pergi untuk suatu
urusan bisnis yang melelahkan, kalau itu yang kau
maksud," aku tersenyum padanya.
"Ke Arizona?"
""Ya, ke Arizona. Namun sebelumnya aku akan
tinggal beberapa hari di New York, untuk mengetahui
apa yang sedang terjadi di Wall Street. Dan lalu
tentu saja aku harus tinggal sehari di Las Vegas
untuk memeriksa Tahiti."
"Kalau itu bukan perjalanan buang-buang uang,
aku tidak tahu lagi apa namanya," ujar Rob. "Aku
sendiri punya rencana perjalanan yang seru."
"Oh ya? Jadi Jeff menyetujui biayanya."
"Yah, ia membuat pengecualian khusus. Aku akan
menghadiri seminar dua hari tentang tindakan Central
Bank dalam kontrol kurs mata uang, di Hounslow.
Kau mau ikut? Kudengar Hounslow sangat menye. nangkan pada waktu?waktu sekarang."
"Kau sangat baik, tapi tidak, terima kasih," ujarku,
tersenyum. Entah bagaimana, l-lounslow tidak seban-
ding dengan Phoenix. "Nah, sudah cukup bicara soal
pekerjaan. Bagaimana kehidupan cintamu?"
Wajah Rob langsung murung.
"Tidak terlalu baik?" tanyaku.
"Mengerikan," sahut Rob.
"Kau masih mengejar Cathy Lasenby, kan?"
228 Rob mengangguk sedih. "Beberapa hari lalu aku
dapat ide hebat," ujarnya, "Cathy mem'ang menghin-
dariku, itu jelas sekali. Tapi aku tidak mau melepaskannya, membiarkannya lolos begitu saja. Jadi kupikir
aku harus membuat strategi."
Rob mengambil rokok dan menyalakannya. Aku
jarang melihatnya merokok; tidak pernah di kantor
dan hanya sesekali di luar, kalau ia sedang punya
masalah. "Kukirimi ia sebuah faks," lanjutnya. "Kukatakan bahwa aku terkesan dengan idenya dalam
bursa obligasi departemen keuangan, namun sebelum
melakukan bisnis dengannya, aku dan kolegaku ingin
bertemu dengannya terlebih dahulu. Maka aku menya-
rankan pertemuan makan malam di Bibendum,
Chelsea."
Rob melihat ekspresi wajahku yang bingung, dan
ia tertawa. "Kutandatangani sebagai John Curtis dari
Albion Insurance." .
"Apa yang kaulakukan?" seruku.
"Cathy pernah mengatakan padaku bahwa Albion
Insurance adalah calon pelanggan terbesamyai Ia pasti
datang. Aku berikan nomor faks De Jong and Company padanya, supaya Cunis tidak tahu apa yang
terjadi. Dan ternyata Cathy memang membalasnya.
"Yah, kupesan dua meja untuk delapan orang, satu
atas nama Curtis dan satu atas namaku. Aku tiba
sepuluh menit lebih awal dan duduk di bar. Kau
pernah ke Bibendum?"
Aku menggeleng. "Belum, tapi aku pemah men?
dengar tentang tempat itu."
"Cukup bagus. Berada di Michelin Building lama,
pelayanan hebat, makanan lezat. Pilihan yang bagus.
229 Pokoknya, Cathy tiba sepuluh menit terlambat. Ia
tampil memesona dengan gaun hitam yang memamerkan segalanya. Pelayan mengantarnya duduk ke meja-
nya yang masih kosong, yang terletak tepat- di samping
aku berdiri. Ia berusaha mengabaikanku, tapi tidak
bisa; ia hanya tiga meter dariku.
"Ia menangkap pandangan mataku dan aku meng-
hampiri mejanya. Ternyata kami berdua sama?sama
menunggu seseorang?kukatakan aku sedang menunggu
pamanku. Ia setuju minum?minum denganku di bar.
la gelisah, dan tampaknya ia butuh minuman.
-"Aku memesan sebotol Tuitinger, mengatakan bahwa pamanku selalu meminumnya dan pasti akan
memesannya juga nanti. Kami minum segelas dan
lalu segelas lagi. Setelah beberapa lama Cathy mulai
santai. Ia katakan bahwa ia bemsaha keras memberi
kesan yang bagus kepada Curtis. Setelah beberapa
saat ia makin kehilangan semangat. Pada pukul sembilan, baik pamanku maupun Curtis tidak muncul.
Kusarankan kalau mereka tidak muncul sepuluh menit
lagi, kami sebaiknya makan bersama. la setuju. Tidak
mengherankan, tidak ada yang datang. Makan malamnya hebat. Champagne mengalir lancar. Malam itu
Kisah Si Bangau Putih Bu Kek Sian Su 14 Karya Kho Ping Hoo Going To Heaven Karya Mohammad Ikhsan Pendekar Gila 27 Ular Kobra Dari Utara
^