Pencarian

Kolusi Bursa 4

Kolusi Bursa Free To Trade Karya Michael Ridpath Bagian 4


sangat menyenangkan bagi kami."
"Sejauh ini ma.ih lancar," komentarku.
Rob tersenyum sendiri sembari meneguk birnya.
"Kami baru saja menghabiskan puding summer yang
lezat, dan tengah duduk?duduk dengan perut penuh, ke
tika Cathy berkata ia senang Curtis tidak datang. Kami
setuju malam itu sangat menyenangkan. Dan lalu..."
"Jangan katakan," ujarku, mencari perlindungan
dalam minuman. Tapi aku tidak mungkin menghindar.
230 "Lalu kukatakan padanya bahwa aku telah mengatur
semuanya. Pamanku takkan datang. Curtis dan kole-
ganya juga takkan datang."
"Dan ia tidak senang?"
"Ia tidak senang," Rob mengakui. "Ia sama sekali
tidak senang."
"Apa yang ia lakukan?"
"la mengamuk," ujar Rob. "Mukanya merah padam.
la bilang ia tidak pernah dibodohi seperti itu. Ia
bilang aku ini licik dan sama sekali tidak dapat
dipercaya." Rob berhenti, sangat tidak enak mengenang
kembali kejadian itu. "Kukatakan padanya aku men-
cintainya, dan aku tahu ia mencintaiku."
"Apa yang ia katakan?" tanyaku.
"Ia bilang sebaiknya aku mati saja," sahut Rob
dengan sedih. "Ia bilang aku ini idiot, dan katanya
sebaiknya aku tidak pernah mengganggunya lagi. Lalu
ia berdiri, dan pergi."
':Bgeridum, eh? Pasti kau mengeluarkan banyak
uang, ujarku.
"Memang. Akan setimpal kalau saja ia tidak pergi.
Aku tidak mengerti mengapa ia marah. Maksudku
hubungan kami berjalan begitu baik. Kami mengalami
saat indah bersama, ia harus mengakui hal itu."
Aku mengangkat bahu "Yah tak banyak yang
dapat kaulakukan sekarang "
"Aku tak yakin," ujar Rob. "Mungkin kalau aku
melakukan sesuatu yang dramatis Kau tahu, yang
benar?benar romantis. Sesuatu yang akan membuatnya
sadar betapa pentingnya ia bagiku. Perempuan suka
hal seperti itu, kau tahu."
Aku mengangkat alisku, tapi tidak berkata sepatah
231 , pun. Aku takut membayangkan apa yang diklasifikasikan Rob sebagai "dramatis". Aku bermaksud menasihatinya sedikit, kutahu akan membuang waktu saja.
Kalau Rob sudah bertekad, maka tak ada yang bisa
mengubahnya.
Caranya memindahkan perhatian dari satu wanita ke
wanita lain sangat mengherankan, dan dalam waktu seminggu atau lebih ia bisa tergila-gila pada seseorang
yang sama sekali baru. Hampir seratus persen berla-
wanan dengan diriku sendiri. Aku ingat ucapan Debbie
yang mendorongku berhubungan kembali dengan wanita.
Aku tak bisa membayangkan Debbie berdampingan
dengan Rob. Ucapan-ucapan Debbie yang keluar be-
gitu saja, dan pernyataan pengabdian cinta Rob yang
penuh emosi, menurutku sama sekali tidak cocok.
Mungkin itu sebabnya hubungan mereka tidak ber-
langsung terlalu lama.
Hampir tanpa berpikir aku berkata, "Aku rindu
pada Debbie." *
Rob memandangku. "Ya," ujamya, suaranya datar
dan wajar.
"Kau pernah dekat dengannya, kan?" tanyaku.
"Ya, memang," sahut Rob. Ia mencengkeram gelas
di tangannya. Wajahnya memerah.
"Aneh, aku tidak pernah menduganya," kataku.
"Kami menjalaninya dengan sangat profesional sehingga tidak pemah mengganggu pekerjaan. Bagaima-
napun, kalau sudah usai, ya berarti sudah berakhir."
Ucapannya tidak sama dengan cerita Felicity. Menurutnya Rob terus mengganggu Debbie sesaat se-
belum gadis itu meninggal, meminta Debbie menikah
dengannya. Aku perlu tahu apa yang telah terjadi.
232 ., ': "Aku bertemu Felicity beberapa hari lalu. Kau
tahu, rekan satu apartemen Debbie."
Rob tidak berkata apa?apa, dan aku melanjutkan,
"Ia bilang kau meminta Debbie menikahimu seminggu
sebelum Debbie meninggal."
Rob berubah tegang, dan menatapku tajam. Mukanya merah padam, darah mengalir dari pipi ke telinga
dan ke leher. Napasnya berat, selumh tubuhnya dikuasai emosi. Dagunya bergetar, dan matanya berkedip?kedip. Waktu berlalu, lama dan menyakitkan,
ia tidak mampu mengucapkan sepatah kata pun.
Aku telah bertindak terlalu jauh, dan aku
menyesalinya, tapi aku tak mungkin menarik kembali
kata-kataku.
Akhirnya semua emosinya terlontar dalam semburan
kata-kata. "Gadis tolol, tolol, tolol. Aku cinta padanya.
Mengapa ia tidak menerima lamaranku? Kalau saja
mengatakan ya, ia..."
la berhenti dan menatapku dengan mata berkacakaca. la menggigit bibirnya, dengan sekuat tenaga
membanting gelas ke meja sehingga aku heran benda
itu tidak retak, memalingkan wajahnya dariku, lalu
pergi meninggalkan pub itu.
Aku duduk di sana selama beberapa menit, terkejut
oleh ledakan amarah Rob. Aku tidak pernah melihat
seseorang demikian emosional, campuran dari amarah
dan penyesalan dengan kesengsaraan terpendam yang
menyiksa. Aku menyesal dan merasa bertanggung
jawab atas kejadian itu. Aku tidak pernah menganggap
serius kecanduan Rob terhadap wanita, aku tidak
pernah sungguh?sungguh mempercayainya. Kini aku
tahu semua itu memang benar. Aku harus lebih
menghargai perasaannya.
233 Kuhabiskan minumanku dan kutinggalkan pub itu.
Aku mulai mengerti apa yang dimaksud Claire saat
ia berkata ada sesuatu yang aneh pada diri Rob.
Tidak ada orang normal yang akan berlaku seperti
itu. Ledakan amarahnya menakutkanku. Kubayangkan
perasaan Debbie waktu menerima teleponnya. Tidak
heran Debbie ketakutan.
Dan sekarang, kurang dari sebulan kemudian, per-
hatian Rob berpindah pada Cathy. Walau demikian,
wanita itu tampaknya dapat mengurus dirinya sendiri.
Mungkin mereka cocok satu sama lainnya.
Malam itu hangat menyenangkan, dan panasnya
bir perlahan membangkitkan kembali semangatku. Tadi
hujan turun dengan deras, dan lampu sorot kendaraan
yang lewat menari?nari dengan sinar lampu jalan di
atas genangan air, terkadang menyatu dengan kelip
kuning sinyal kendaraan yang berbelok. Sekelompok
anak muda berteriak-teriak tidak jelas di luar pub, di
seberang jalan. Aku berbalik memandang mereka ke-
tika gerombolan itu memulai langkah mereka yang
terhuyung?huyung menyusuri jalan. Ketika berpaling
kembali, aku melihat sesuatu dengan sudut mataku.
Joe. Ia ada di sana, duduk di jendela pub, mengawasiku
Benarkah?
Aku mengamati lebih teliti, dan melihat sesosok
tubuh ramping di dalam pub berdiri dan menjauhi
jendela. Ukurannya sama dengan Joe, tapi aku tidak
yakin. Aku hanya menangkap sekilas gerakan saja.
Mungkin aku hanya berkhayal. Atau mungkin...
Tergesa aku melangkah ke jalan dan mendadak
berbelok ke kanan, ke sebuah lorong. Di sana gelap.
234 Terlalu gelap. Kakiku tercebur dalam genangan air
yang tak terlihat di pinggir jalan.
Aku berhenti sesaat. Perasaanku mengatakan ada
suara gemerisik di belakangku. Aku juga merasakan
ada suara langkah kaki, tapi aku tidak dapat berhenti
untuk memeriksa apakah ada seseorang di sana. Beberapa ratus meter di depan, ada sebuah boks telepon
dengan lampu menyala, tepat di muka sebuah bar
anggur.
Aku melangkah cepat menuju sumber cahaya itu,
bayang?bayangku memantul jelas di genangan air di
jalan dan di daun pagar hidup yang berjajar di kedua
sisi jalan. Bulu kudukku meremang, dapat kubayangkan setiap saat ada tangan mencekikku atau sebatang
besi menghantam belakang kepalaku.
Aku melompat kaget ketika sepasang muda-mudi
mendadak keluar dari bar anggur tepat di mukaku.
Aku berhenti, menunggu mereka lewat sambil tertawa
dan melenggang serta berjalan menuju Gloucester
Road. '
Aku berhasil mencapai boks telepon itu. Kudorong
pintunya dan aku menyelinap masuk ke dalam. Sepanjang yang dapat kulihat, tak ada seorang pun di
lorong itu. Akan tetapi bagian dalam boks telepon itu
terang, sehingga sangat sukar melihat bagian luar.
Kuangkat gagang telepon dekat ke wajahku, siap
menekan 999 kalau ada tanda bahaya.
Tidak ada sama sekali.
Konyol. Setelah beberapa menit kutaruh kembali
gagang telepon dan kutinggalkan boks telepon itu.
Aku berjalan cepat di trotoar sempit,la1u menyusuri
jalan di samping gereja. Aku mengambil jalan melalui
235 halaman gereja yang merupakan jalan pintas menuju
apartemenku. '
Aku baru berjalan beberapa meter ketika seolah
terdengar dentaman pelan di belakang kiriku. Wa1au
aku berada di tengah-tengah kota, halaman gereja itu
sunyi menyeramkan. Suara-suara kehidupan kota yang
biasa terdengar kini berkurang menjadi desau di kejauhan
karena terhalang tembok dan bangunan gereja. Aku
menanti, mata dan telinga siap menangkap tiap suara
atau gerakan. Lalu rasanya mataku melihat sesosok
bayangan melayang di balik sebuah nisan kuburan.
Aku langsung lari.
Aku berlari secepat?cepatnya melewati halaman ge-
reja, melesat melampaui nisan-nisan dan bayangan
sinar bulan, berkonsenu'asi pada pintu gerbang hala-
man gereja. Aku berhasil mencapainya tanpa cedera,
dan walau tingginya hampir satu setengah meter, aku
meloncatinya tanpa memperlambat lariku. Aku berlari
terus melalui lorong lain dan menuju jalan utama,
tidak berhenti berlari sampai mencapai apartemenku.
Aku masuk ke dalam, menuang segelas besar wiski,
dan melemparkan tubuhku ke atas sofa, napasku masih
terengah-engah.
Setelah detak jantung dan tarikan napasku mulai
mereda, pikiranku juga mulai tenang. Aku" gugup.
Sangat gugup. Aku tidak pernah melihat Joe dengan
jelas. Kukira aku telah melihat dan mendengar seseorang mengikutiku, tapi apakah aku benar?benar yakin?
Apakah mulai sekarang setiap hari aku harus hidup
dengan terus-menenis menoleh ke belakang, berlari
dikejar bayangan? Aku agak mabuk dan sedang ke-
takutan.
236 Kukuasai diriku kembali. Ya, aku terlibat dengan
beberapa orang yang tak menyenangkan. Mereka tidak
dapat diduga dan mungkin berbahaya. Joe, khususnya,
tampaknya tidak menyukaiku. Tapi tidak ada yang
dapat kulakukan tentang itu. Aku tidak akan mem-
biarkannya merusak hidupku. Kalau berhati?hati dan
tetap menjaga akal sehatku, aku akan baik?baik saja.
Paling tidak itulah yang kukatakan pada diriku sendiri
sambil meneguk wiski lagi.
237 > > >BAB
"
SANGAT melegakan dapat keluar dari negara ini.
Telah dua hari aku terus-menerus menoleh ke
belakang, ke mana pun aku pergi. Aku tidak tahu
apakah ketakutanku beralasan. Segera setelah berada
di atas pesawat, aku merasa sebuah beban berat
terlepas dari bahuku. Entah bagaimana, aku ragu Joe
akan memburuku di New York.
Aku bersyukur Cathy dan Cash tidak ada di pesawat yang sama. Rencana perjalanan mereka" kurang
lebih sama denganku. Terlebih dahulu mereka beberapa
hari berada di kantor pusat Bloomfield Weiss di New
York, lalu berangkat ke Phoenix untuk mengikuti
konferensi, dan akhirnya bergabung bersama klien
mereka untuk kunjungan ke Tahiti. Aku khususnya
tidak ingin bertemu Cash. Perasaanku tak enak men-
duga ia bertanggung jawab atas kasus penipuan Tremont Capital. Yang lebih mengusik lagi adalah teka-
teki apakah ia terlibat dalam kematian Debbie. Aku
masih tidak tahu siapa yang membunuhnya. Aku
bahkan tidak tahu mengapa ia dibunuh.
239 Akan sulit berbincang?hincang dengan Cash dalam
perjalanan ini, tapi aku harus melakukannya. Aku
punya banyak pertanyaan untuknya dan aku harus
berhati-hati. Aku juga harus menyelidiki Dick Waigel,
dan melacak jejak Tremont Capital di kantor Bloom-
f1e1d Weiss di New York. Menurut rencana aku akan
berada di sana sepanjang hari pertama, dan Cash
sudah mengatur banyak orang untuk kutemui, maka
aku berharap dapat menemukan sesuatu. Aku masih
belum yakin bagaimana caranya.
Walaupun demikian, tugas ini menarik bagiku. Sebuah tantangan dengan taruhan besar: 20 juta dolar
dan reputasi De Jong & Co. Hamilton akan makan
malam denganku di New York, sekembalinya dari
Netherlands Antilles. Aku harus sudah mendapatkan
?sesuatu untuk dilaporkan kepadanya.
Kedatanganku di New York, seperti biasanya,
mengesalkan. Meski waktu lokal menunjukkan pukul
setengah delapan ketika aku meninggalkan bandara,
menurut jam hiologisku sendiri sudah lewat tengah


Kolusi Bursa Free To Trade Karya Michael Ridpath di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

malam. Bukan saat yang tepat untuk menghadapi
penyambutan ala New York yang membuat orang
stres.
Ketika keluar dari terminal, aku menolak seorang
sopir yang menawarkan mengantarku dalam limuusin
bosnya dengan bayaran 100 dolar. Kupanggil sebuah
taksi kuning. Sopimya, yang menurut surat lZln yang
tertempel di dashboard bernama Diran Gregorian,
tampaknya tidak bisa berbahasa Inggris. Ia bahkan
tidak mengerti kata Wesrbury Hotel. Tapi ia menyalakan mesin taksinya dan meluncur ke arah kota
dengan kecepatan tinggi.
240 Untung sekali, perjalanan kebut?kebutan itu terhalang oleh kemacetan di Long Island. Kami menye-
berangi Triboro Bridge, disambut pencakar langit New
York di sebelah kiri. Aku berusaha mengenali seba-
nyak mungkin gedung, di antaranya yang paling me-
nonjol adalah Empire State Building, tampak tidak
lengkap tanpa sosok King Kong yang sedang memanjatnya. Di depan tampak Chrysler Building yang le-
bih kecil dan lebih elegan, yang puncaknya menjulang
bagai menara, memanggil para pencetak uang yang
setia untuk kembali bekerja setiap pagi. Kukenali
Citicorp Building, sudut kanan atas atapnya'datar,
dan di kejauhan tampak sosok persegi hijau United
Nations Building menjulang dari East River. Beberapa
struktur bangunan yang lebih kecil bertebaran di
sekitarnya, di tengah-tengah Manhattan. Lalu, di sebelah kiri menghampar daerah bangunan petak kecokelatan yang rendah di Soho, East Village, dan Bowery, sampai ke gedung kembar raksasa World Trade
Center yang mengerdilkan blok?blok perkantoran Wall
Street yang mengitarinya di pusat kota. Jantungku
berdetak lebih cepat walau aku merasa lelah. Di
sekitar gedung?gedung ini tampak cahaya lampu?lampu.
keramaian, lalu lintas, dan riuh?rendah manusia. Jutaan
manusia bekerja dan bermain. Mereka mengundang
para pengelana, bahkan yang paling lelah sekalipun,
untuk bergabung dengan mereka.
Akhirnya kami mencapai hotel. Aku melemparkan
tasku tanpa membongkar isinya, dan meloncat ke
tempat tidur. Aku langsung terlelap.
Karena dijadwalkan muncul di Bloomfield Weiss
241 pada pukul sepuluh, maka aku sempat bersantai makan
pagi ala Westbury yang lezat. Salah satu kenikmatan
besar pergi jauh dari kantor adalah kesempatan untuk
makan pagi dengan santai serta berlama?lama, dan
bukan sekadar menjejalkan roti basi di meja kantor
pada pukul setengah delapan pagi. Westbury adalah
hotel gaya "Inggris" di Manhattan. Aku menginap di
sana karena itu adalah hotel yang biasa dipakai
Hamilton kalau ia berada di New York. Tempat itu
mempunyai keanggunan tersendiri tanpa kemewahan
berlebihan. Dilengkapi permadani di lobi, perabotan
Regency, dan taman gaya abad kesembilan belas
yang hampir seratus persen berkesan hotel pedesaan
di Inggris, bukan bangunan beton delapan tingkat di
tengah?tengah Manhattan.
Setelah kenyang, kupanggil taksi. Kali ini sopirnya
seorang Haiti, dan selama perjalanan menuju Wall
Street, stasiun radio lokal berbahasa Prancis berbunyi
nyaring di telingaku.
Aku datang lebih awal beberapa menit, maka ku?
minta sopir taksi untuk berhenti di ujung Wall Street
sehingga aku dapat berjalan beberapa blok menuju
kantor Bloomfield Weiss. Berjalan di Wall Street
bagaikan menuruni lembah, dengan tembok?temhok
tinggi menjulang di kedua sisi. Walau hari itu cerah,
gedung?gedung raksasa membayangi jalanan, dan pukul
sepuluh pagi pun hawa masih terasa dingin. Setelah
menyusuri separo jalan aku berbelok ke kiri lalu ke
kanan, turun ke jalan yang lebih sempit, gedung-
gedung menjadi semakin berdekatan, bayang?bayang
menjadi semakin gelap. Akhirnya aku sampai di me-
nara hitam lima puluh tingkat, yang terlihat lebih
242 angkuh daripada gedung?"gedung di sekitarnya. Tulisan
Blnnmfeld Weiss tercetak dalam huruf emas kecil di
atas pintu masuk.
Aku diminta menuju lantai 46 untuk benemu dengan
Lloyd Harbin, kepala penjualan obligasi ber-yield
tinggi. Aku menunggu di ruang tunggu beberapa menit,
sebelum ia datang menyambut. Tingginya sedang tapi
potongan tubuhnya sangat kekar. Bahunya lebar, dan
lehernya berotot kuat. la beijalan menyeberangi ruangan, mengulurkan tangan dan berkata keras, "Hai
Paul, apa kabar? Lloyd Harbin."
Aku bersiap-siap menyambut jabat tangan sekeras
besi. Akutelah belajar tekniknya di sekolah: dorong
tanganmu keras-keras ke sendi antara ibu jari dan
telunjuk orang yang tangannya kaujabat, maka ia
tidak mungkin menggenggam tanganmu dengan erat.
Aku telah mengembangkan teknik ini sehingga tidak
mencolok tapi masih sangat efektif terhadap orang
bertipe marinir Amerika. Sesaat teknik ini menghenti-
kan serbuan Lloyd Harbin.
Tapi Lloyd tidak ingin dipermalukan oleh seorang
pemuda Inggris yang lemah dan segera menguasai
dirinya kembali. "Kau pernah melihat ruang transaksi
Wall Street?" tanyanya.
Aku menggeleng.
"Kalau begitu, selamat datang dan mari lihat tempat
kami."
Aku mengikutinya melalui beberapa pintu ganda
abu?abu. Ruang transaksi Bloomfield Weiss bukanlah
yang terbesar di Wall Street dan pasti bukan yang
paling modern, tapi merupakan yang paling aktif. Di
sepanjang sisinya ada ratusan meja transaksi. Papan
243 elektronik besar menunjukkan berita dan harga saham
terakhir serta waktu di seluruh dunia. Di antara
meja?meja itu berseliweran sepasukan pria berkemeja
putih ala Brooks Brothers, diselingi beberapa wanitakebanyakan mengenakan pakaian ketat, makeup tebal,
dan tata rambut yang rumit. Kaum pria masih men-
dominasi ruang transaksi, wanita?wanita itu hampir
semuanya bekerja sebagai asisten dan sekretaris.
Ruangan itu ramai dengan dengungan suara?komu-
nikasi infomasi, perdebatan, sumpah serapah, perintah.
Saat berdiri di pojok mangan, kusadari aku berada di
jantung kapitalisme Amerika yang berdetak keras?di
mana semua uang dipompa ke seluruh sistem.
"Mari ke mejaku, dan akan kutunjukkan cara kami
beroperasi," ujar Lloyd.
Aku mengikutinya memasuki ruangan transaksi itu,
mencari jalan di antara tumpukan kursi, kertas, dan
keranjang sampah. Meja Lloyd berada di tengah kelompok pria berkemeja putih yang tampak bekerja
sama dengan erat. Aku merasa mencolok sebagai
satu-satunya pria dalam ruangan itu yang mengenakan
jas, maka kulepaskan jaketku. Aku masih merasa
mencolok sebagai satu?satunya pria dalam ruangan
itu yang memakai kemeja bergaris?garis, tapi tidak
ada lagi yang dapat kulakukan.
Lloyd menunjuk pada dua kelompok orang yang
sedang terlibat dalam perdagangan junk bund, pihak
salesman dan pihak trader. Salesman bertugas ber-
bicara dengan, dan berusaha membujuk, klien untuk
menjual atau membeli obligasi. Dan trader bertugas
menentukan pada harga berapa obligasi akan diperjualbelikan. Trader bertanggung jawab mengelola penem
244 patan obligasi yang dimiliki perusahaan. Trader mem?
beli dan menjual _baik dari klien maupun dari trader
pemsahaan lain?semuanya dikenal sebagai Street.
Secara umum lebih menguntungkan bertransaksi de-
ngan klien, dan hanya melalui klien para trader
dapat mengetahui informasi apa yang sedang terjadi
di pasar, yang sangat penting untuk menjalankan
posm yang menguntungkan. Maka salesman membutuhkan trader dan trader membutuhkan salesman.
Akan tetapi, hubungan simbiosis ini tetap mempunyai sisi buruknya.
Sebuah perdebatan tengah terjadi.
"Dengar Chris, kau bisa tawar lebih dari delapan
puluh delapan. Klienku harus menjual. Alasannya
menyuruhnya menjual hari ini juga. Kita yang memak-
sanya membeli obligasi ini, jadi kita harus menolong-
nya." Yang berbicara adalah seorang pria berambut
pirang dengan wajah awet muda, ramah, dan berpenampilan rapi. Suaranya tenang namun tegas. Seorang
salesman.
la tengah berbicara dengan seorang pria pendek
hiperaktif yang mulutnya hampir berbusa. "Hei, ini si
brengsek yang membuatku kekurangan obligasi Krogers
minggu lalu, kemudian ia pergi berkeliaran dan mencuri
seluruh Street," teriaknya. "Aku masih belum dapat
membayar balik obligasi itu. Biarkan dia sengsara.
Sudah tiba giliran kita memeras uangnya."
Salesman itu menoleh pada Lloyd. "Lakukan sesuatu pada si tolol ini, oke?" katanya tenang.
Lloyd menghampiri si trader yang siap berkelahi.
"Pagi ini berapa kau tentukan harga obligasi itu?"
tanyanya kepada pria itu.
245 "Sembilan puluh sampai sembilan puluh dua, tapi
pasar sedang turun."
"Baik, kita akan tawarkan si pembeli delapan
puluh sembilan."
Segera muncul erangan protes si trader dan gelengan kepala kecewa si salesman. Suara Lloyd naik
satu oktaf. "Kubilang kita akan membayar delapan
puluh sembilan. Sekarang lakukan."
Mereka melakukannya. .
Lloyd kembali ke mejanya. Selama beberapa menit
ia menjelaskan cara kelompoknya bekerja. Ia lalu
mengenalkanku kepada para trader. Ada lima orang,
dan semua tegang. Walau semua bersikap sopan,
mereka tidak dapat memberi terlalu lama perhatian
padaku. Setelah tiga puluh detik berbasa?basi, mata
mereka kembali menatap layar monitor atau kertas
laporan harga. Lalu selama beberapa menit mereka
terpaksa berbasa?basi mengatakan bahwa mereka suka
berbisnis dengan klien, khususnya yang bermarkas di
London. Lloyd mendorongku ke meja lain.
"Kau bisa duduk bersama Tommy di sini. Tommy
Masterson, ini Paul Murray dari De Jong."
Tommy Masterson adalah salesman yang tadi ku-
lihat berdebat. Walau demikian, tingkah lakunya jauh
lebih tenang daripada orang?orang di sekitarnya.
"Ambillah kursi," ujamya. "Jadi kau dari London?"
Aku mengangguk.
"Berani bertaruh, tidak banyak orang membeli junk
band di sana."
"Memang tidak banyak," aku setuju. "Kenyataannya
kami baru saja mulai. Para trader Bloomfreld Weiss
246 tampaknya sangat bersemangat membantu kami memasuki pasar." _
Tommy tertawa. "Jelas mereka bersemangat. Mereka
sudah tidak sabar lagi. Kalian akan ditipu habishabisan."
"Bagaimana cara mereka melakukannya?" tanyaku.
"Oh, dengan menyebutkan harga rendah pada pen?
jual dan harga tinggi pada pembeli. Berusaha mem-
buang obligasi terburuk mereka pada kalian dengan
bujukan manis tentang betapa hebatnya obligasi itu.
Mereka sulit mempraktekkannya pada pemsahaan besar Amerika. Tapi pada perusahaan asing kecil? Semudah menggiring domba ke pejagalan."
"Yah, terima kasih atas peringatannya." Aku sudah
tahu aku harus hati?hati bertransaksi dalam bursa
junk bond, tapi aku tak sadar risikonya sedemikian
besar.
"Kalau punya salesman bagus, kau pasti dilin-
dungi," ujar Tommy. "Siapa salesman?mu?"
"Cash Callaghan," ujarku.
"Wah, dia licik. Tapi kau pasti sudah tahu."
"Aku sudah pernah melihatnya bekerja," ujarku.
"Tapi, ceritakan padaku bagaimana reputasinya di
New York. Kudengar ia seorang salesman top di
perusahaan ini"
"Memang. Tapi tidak berarti ia salesman paling
jujur. Ia seperti seorang macan judi. Awalnya ia akan
membiarkan seorang penjudi mendapat beberapa transaksi sukses, menghasilkan sedikit uang, membuat
orang itu mempercayainya. Lalu ia akan membujuk
mereka melakukan transaksi yang sangat besar, yang
memberi Cash rejeki besar dari komisi penjualan.
247 Pelanggannya rugi besar. Ia bisa mengakali pelanggan
yang terpintar sekalipun. Biasanya mereka; bahkan
tidak sadar telah dikelabui dan malah kembali lagi.
Aku ingat Hamilton. Cash bahkan berhasrl meng-
akalinya.
"Apakah hal seperti itu sah?" tanyaku.
"Setahuku sah?sah saja. Tidak etis? Ya. Ilegal?
Tidak."
"Apakah kau akan terkejut kalau Cash melakukan
sesuatu yang ilegal?" . "
"Ya, jelas. Cash terlalu cerdik untuk rtu. Tommy
duduk tegak di kursinya dan tersenyum. ' Apakah kau
mengacu pada sesuatu yang spesifik?" _
"Tidak." ujarku, walau kulihat Tommy tidak puas.
Aku mengganti subyek pembicaraan. "Cash mas1h
melakukan banyak bisnis dengan satu pelanggan Amerika, pemsahaan simpan?pinjam Arizona."
"ltu pasti Phoenix Prosperity," Ujar Tommy. Aku
bersyukur atas kejujurannya. _ "
"Oh, ya? Apakah ia menipu mereka juga?
"Aku tak tahu. Kukira tidak. Mereka selalu mela-
kukan banyak bisnis dengannya. Sebenarnya hal itu
sangat mengagumkan, institusi yang begitu kecrl me-
lakukan begitu banyak bisnis. Mereka lumayan agresif.
Mereka biasa ditangani seseorang bernama Dick
Waigel. la mengembangkan mereka menjadr klien
terbesarnya, lalu Cash mengambil alih saat D1_ck
' pindah ke bagian keuangan perusahaan.". " A
"Aku pernah dengar tentang Drck Waigel, Ujarku.


Kolusi Bursa Free To Trade Karya Michael Ridpath di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Seperti apa dia?"
"'la betul?betul brengsek," tukas Tommy sungguhsungguh. "Dia kira dialah yang terpandai dr muka
248 bumi. Kalau mendengar omongannya, orang akan
mengira dialah yang bertanggung jawab atas setengah
penghasilan perusahaan ini. Tapi dia dan Cash adalah
kawan dekat. Sejak dulu. Lloyd sangat memujanya."
"Oh ya? Aku tidak tahu kalau Lloyd gampang
ditipu," ujarku.
"Memang tidak. Tapi ia tidak terlalu cerdas, jadi
dia tidak selalu menyadarinya. Tapi dia tangguh. Dia
bisa bersikap sangat brengsek. la terus?menerus naik
pangkat di pemsahaan ini, setelah membabat habis
setiap orang yang menghalanginya. Itu bukan bakat.
Manajemen berdasarkan rasa takut adalah gayanya.
Kadang?kadang ia akan memecat seseorang, hanya
untuk menyemangati yang lain."
"Tapi kan tidak dipecat."
"Tidak, aku tidak,"? Tommy tersenyum. "la akan
senang melakukannya. Ia tidak suka sikapku. Terlalu
California. Tidak cukup agresif. Tapi dia tidak bisa
memecatku. Entah mengapa, aku adalah salesman top
di meja transaksi. Dan aku bahkan tidak perlu ber-
bohong atau menipu untuk mencapainya."
Aku memandang Tommy dan mempercayainya. Aku
yakin pembawaannya yang ramah dan terbuka men-
dorong orang menjadi kliennya. Dan. tidak seperti
Cash, aku yakin ia takkan mengkhianati kepercayaan
para kliennya.
"Kita tidak bisa duduk ngobrol di sini sepanjang
hari," ujar Tommy. "Kau akan makan siang bersama
Lloyd pukul satu, ya kan?"
"Ya, benar," sahutku.
"Oke, sekarang sudah setengah satu. Begini saja.
Ini hari pelelangan obligasi sepuluh tahunan. Depar
249 temen Keuangan AS melelang sembilan miliar dolar
obligasi pemerintah sepuluh tahunan yang baru pada
pukul satu nanti. Apakah kau mau melihat mesin
Bloomfield Weiss beraksi?"
Aku pasti mau. Bloomfreld Weiss terkenal dengan
ketangguhannya dalam jual?beli obligasi pemerintah.
Tommy mengajakku ke seberang ruangan dan memper-
kenalkanku pada seorang pria berambut abu-abu ber-
uban yang berusia sekitar lima puluhan.
"Fred, ada waktu sebentar?"
"Buatmu, Tommy, selalu ada waktu," Fred menyeringai.
"Ini Paul Murray, salah satu klien kita dari seberang
lautan. Paul, ini Fred Flecker, kepala salesman obligasi pemerintah yang menangani daerah New York.
Ia sudah banyak makan asam garam di dunia bursa.
Aku yakin obligasi jangka panjang yang pertama
kaujual sudah jatuh tempo sejak lama, betul Fred?"
"Begitulah," timpal Fred. Ia mengulurkan tangan
dan aku menjabatnya. "Silakan duduk," ujarnya. Aku
duduk di bangku kecil di antara Fred dan seorang
pria lain yang sedang sibuk menjawab telepon di
sekitarnya. Aku merasa seperti keranjang sampah
saja, bertengger di sana mengganggu mereka. "Kau
mengerti apa yang sedang terjadi?"
"Tidak," sahutku. "Ceritakan."
"Oke. Pada pukul satu perusahaan kami, bersama
semua bank investasi lain di Wall Street, akan memberikan penawaran untuk sejumlah obligasi departemen
keuangan sepuluh tahunan dengan yield tertentu. Obligasi yang dijual seharga sembilan miliar dolar. Penawar yang menawar dengan yield terendah akan
250 terlebih dahulu mendapat obligasi, lalu penawar terendah kedua, dan seterusnya.
"Kami akan menawar untuk kami sendiri dan atas
nama klien kami. Jelas, makin banyak pemtintaan
untuk obligasi itu, maka makin banyak kita tawar
untuk diri sendiri. Tugasku berbicara dengan klien
utama New York dan mewakili penawaran mereka
kepada kepala trader obligasi pemerintah, John Saun-
ders. Dia duduk di sana." Ia menunjuk seorang pria
kurus yang sedang mengerutkan kening berkonsentrasi
di meja. sekitar sepuluh meter dari tempatku. Orang
terus?menerus bergegas mendekatinya, menyampaikan
pesan, lalu bergegas kembali.
Saat itu interkom di mejanya berbunyi parau. "Fred,
apa yang kaudengar?"
"ltu John," ujar Fred padaku, lalu menjawab inter-
kom, "Kelihatannya bagus. Dari New York saja kita
mendapat penawaran enam ratus juta. Masyarakat
kelihatannya menyukai pasar ini."
"Ya, aku dengar di Chicago dan Boston juga,"
suara John nyaring.
"Kau akan ambil yang ini?" tanya Fred.
"Memang sedang kupertimbangkan."
Aku mengamati dan mendengarkan Fred menerima
telepon dari beberapa klien lagi, yang umumnya memesan obligasi itu. Mengingat jumlah yang diperta-
ruhkan, aku kagum pada ketenangan suara Fred. Tenang dan teratur, membangkitkan keyakinan dan kepercayaan. .
Pukul 1255, hanya lima menit sebelum pelelangan,
John menghampiri Fred dan membisikkan sesuatu di
telinganya. la tersenyum. Ia memandangku dan ber-
251 kata, "Apa yang kaulihat sekarang jangan diceritakan
pada orang lain, mengerti?"
Aku mengangguk. "Apa yang sedang terjadi?"
tanyaku.
"Kami akan membuat penawaran shut out," ujar
Fred. "Kami akan menawar sebagian besar obligasi
dengan yield sangat rendah sehingga tak ada dealer
lain mau membelinya. Sebagian besar dealer sudah
menjual obligasi sepuluh tahunan dengan harapan
dapat membelinya kembali dalam pelelangan ini. Tapi
mereka takkan mendapatkannya, karena kamilah yang
akan memilikinya. Saat mereka jungkir balik menutupi
kekurangan penempatan mereka, dan saat pelanggan
lain menyadari pesanan mereka takkan terpenuhi, semua akan berusaha membeli obligasi itu. Pasar akan
meningkat dan Bloomfreld Weiss akan menyikat habis
semua keuntungan. Sekarang, aku harus menelepon
beberapa orang. Kami ingin mengajak beberapa
teman."
Yang pertama adalah salah satu korporasi terbesar
di Amerika.
"Halo, Steve, ini Fred," ujarnya. "Kau memesan
seratus juta untuk pelelangan sepuluh tahunan ini.
Menurutku kau harus menaikkan jumlahnya."
"Mengapa?" tanya suara di seberang.
"Kau tahu aku tidak dapat memberitahumu," sahut
Fred.
Hening sesaat; Lalu, "Oke, aku ikut main. Taruh
untukku lima ratus juta."
"Terima kasih." ujar Fred dan menutup telepon.
Mereka jelas sudah sering melakukannya.
Kemudian ia menelepon institusi besar lain yang
252 ., . setuju meningkatkan pesanannya menjadi 300 juta
dolar.
Aku tertarik melihat Cash mendatangi meja John
Saunders. Ia pasti telah mendengar sesuatu; karena
kemudian ia berlari ke sebuah meja kosong dan
menelepon. Aku dapat menebak siapa yang ia telepon.
Dua menit sebelum pelelangan Fred mendapat telepon
dari sebuah pemsahaan bernama Bunker Hill Mutual.
"Hai, Fred, apa kabar?"
"Aku baik?baik saja, Peter. Tapi tidak untuk pelelangan ini. Tak ada pelangganku yang tertarik."
"Menurutmu apa yang akan dilakukan Bloomfreld
Weiss?" orang yang bernama Peter itu bertanya.
"Tentu saja aku tidak tahu. Tapi kukira kanti akan
menawar sampai kalah saja."
Peter menggumamkan terima kasih lalu menaruh
telepon.
"Mengapa kau berkata begitu padanya?" tanyaku.
Fred berdecak. "Oh, dia selalu menelepon semua
bank investasi sesaat sebelum pelelangan. Mulutnya
bocor seperti saringan. Kalau kukatakan rencana kami
yang sebenarnya, pasti akan segera menyebar ke
seluruh Street."
Seluruh ruang transaksi hening saat waktu me?
nunjukkan pukul satu tepat. Hasil pelelangan dapat
diketahui sepuluh menit kemudian.
Sepuluh menit berjalan.
Lalu interkom berbunyi lagi. "Oke, kelihatannya
' Bloomfield Weiss memiliki sembilan miliar obligasi
ini! Segera?telepon dan beritahu klien kalian apa
yang terjadi Ayo, buat kalang kabut mereka yang
tidak punya persediaan."
253 Aku mengamati sekitarku. Senyum merebak di seputar ruangan ketika para sales dengan bersemangat
menelepon pelanggan mereka untuk memberitahukan
hasil pelelangan. Dalam beberapa detik angka hijau
pada layar di meja Fred mulai berkedip bersamaan
dengan angka pasar yang mulai bergerak naik.
Bloomlield Weiss, dan para pelanggan kesayangan
mereka, mencetak banyak uang hari itu.
Aku terlambat beberapa menit untuk makan siang,
yang bertempat di salah satu ruang makan Bloomfield
Weiss. Ruang itu sangat mengagumkan. Karena lokasinya yang terletak di lantai 47, ruang makan itu
cukup tinggi untuk dapat melihat gedung?gedung yang
menghampar sampai pelabuhan. Aku tak pernah meli-
hat pemandangan pelabuhan New York seperti itu.
Matahari bersinar menghampar di laut biru keperakan,
kapal feri hilir?mudik di antara Staten Island dan
temiinalnya. Statue of Liberty mengacungkan obomya
dengan gagah ke arah kami, tanpa memedulikan dua
helikopter yang mendengung di samping telinganya.
Di kejauhan, lekukan anggun Verrazano Bridge menggantung di cakrawala, menjadi titik pusat selusin
lebih kapal yang berlayar menuju samudra.
"Di tempat lain, kau harus membayar beberapa
ratus dolar untuk makan dengan pemandangan seperti
ini," kata Lloyd saat menghampiriku.
Bodohnya aku. Sesaat aku tidak menyadari nilai
dolar pemandangan ini.
Cash ada di belakang Lloyd, dan di sampingnya
berdiri seorang pria pendek agak botak berusia sekitar
35 tahun dengan kacamata tebal.
254 Sosok Cash membuatku muak. Aku marah pada
diriku sendiri karena bisa diperdaya oleh semua canda
dan keramahannya. Tapi aku harus berbicara de?
ngannya seperti biasa, melupakan apa yang telah ia
lakukan terhadap De Jong, apa yang mungkin telah
ia lakukan terhadap Debbie.
"Hai Paul, apa kabar?" gelegamya sambil menjulurkan tangan.
Aku ragu-ragu sesaat sebelum menjabatnya. Lalu
aku menguasai diri kembali dan menyahut, "Oh, aku
baik?baik saja. Rekan?rekanmu di sini sangat baik
mengantarku berkeliling."
"Bagus, bagus," ujar Cash. "Kau sudah bertemu
Lloyd tadi pagi, tapi kukira kau belum bertemu
kawan lamaku, Dick Waigel."
Pria pendek botakxitu menjabat tanganku dengan
keras, dan memberikan senyum palsu yang licik
"Senang bertemu denganmu," kataku. "Setiap klien
Cash adalah kawanku."
"Nah, mari kita semua duduk," ujar Lloyd. "Kau
mau minum apa, Paul. teh es?"
Aku lupa bahwa makan siang di bank investasi
Wall Street tidak beralkohol. Sukar bagiku menerima
kebiasaan Amerika minum teh dingin saat makan
siang, tapi kukira mereka juga pasti bingung dengan
bir hangat gaya Inggris. Kukira aku harus menyesuaikan diri. "Ya, teh es saja, terima kasih," ujarku.
Untuk sesaat pembicaraan terasa membosankan:
diskusi mengenai cuaca di Inggris, maskapai penerbangan terbaik saat ini, bursa yang sepi dan betapa
sukamya menghasilkan laba.
Aku memandang ke sekeliling restoran itu.
255 Pengunjungnya tidak sepadan dengan pemandangan
memesona di sekitar mereka. Entah mereka bertubuh
besar dan gemuk, atau pendek dan kurus, semua
menyantap makanan dengan cepat, memotong steak
dengan garpu lalu menjejalkannya ke dalam mulut
yang begitu dekat ke meja. Mereka sama sekali tidak
tampak santai dalam suasana mewah ini. Perbincangan
tidak berupa bisik?bisik rileks seperti di restoran
biasa, melainkan berupa rentetan bisikan pendek tersendat-sendat. Aku mengerti sejumlah klien lain di
antara eksekutif Bloomtield Weiss; sikap mereka jelas
lebih tenang dibanding sang tuan rumah.
Ketika sedang mengamati mangan itu, mataku me?
nangkap sesosok pria di meja kecil di sudut seberang.
la memunggungiku, namun tengah menoleh ke kiri,
berbicara dengan pria di sebelahnya. Aku kenal profil
itu. Joe Finlay.
Salah seorang di mejanya pasti melihatku menatap
mereka, karena Joe lalu berbalik dan balas menatapku.
Ia mengangkat sudut mulutnya ke atas, membentuk
senyum palsu yang berkelebat cepat seperti ketika di
atas kapal, lalu kembali menghadap makanannya.
Untuk apa Joe ada di sini? Sudah cukup sial
berurusan dengan Cash di New York, apalagi dengan
Joe. Aku menjulurkan badan ke arah Cash. "Apa itu
Joe Finlay?"
"Ya, itu dia," sahut Cash.
"Apa yang ia lakukan di sini?"
"Sama seperti kita semua. Beberapa hari di New
York lalu menghadiri konferensi di Arizona."
"Tapi kau tak bilang ia ikut," ujarku.
256 Cash tampak heran. Lalu ia tertawa. "Hei, Paul,


Kolusi Bursa Free To Trade Karya Michael Ridpath di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

aku tidak bisa memberitahumu nama semua orang
yang ikut konferensi sial ini. Ada aku dan Cathy
yang akan menjagamu. Mau apa lagi?"
Cash benar, tentu saja. Tapi kehadiran Joe masih
saja membuatku gelisah.
Waigel melihat ke arah meja Joe. "Orang itu
benar?benar trader hebat. Atau paling tidak reputasinya benar-benar luar biasa. Ngomong?ngomong
soal itu, bagaimana kabar bosmu, Hamilton McKenzie? Aku sudah bertahun?tahun tidak bertemu dengannya."
Kupindahkan pandanganku dari sosok tegang Joe
ke wajah bulat berminyak Dick Waigel. "Sangat
baik. 'Ia berhasil baik di De Jong. Klien kami menyukainya. Uang mengalir masuk dari investor yang
terpesona atas hasil kerjanya."
"Dia memang selalu cemerlang," ujar Waigel.
"Kami sama?sarna kuliah di Harvard Business School.
Saat ia bergabung dengan De Jong, aku bergabung
dengan Bloomfield Weiss."
"Dan apa yang kaukerjakan di sini?" tanyaku.
Waigel menarik napas dalam?dalam, tampak jelas
senang mendapat kesempatan berbicara tentang subyek
kesukaannya. "Yah, semula aku salesman yang menangani rekening wilayah Barat Daya. Aku berhasil
baik, tapi pekerjaan itu tidak cukup menantang bagi
bakatku. Kau tahu, menjual adalah kegiatan yang
agak monoton." Mendengar kalimat itu, dua sales-.
man yang duduk di meja kami menjadi kaku. Tapi
Waigel melanjutkan.
"Maka kuambil pekerjaan di bagian keuangan peru?
257 sahaan, bertanggung jawab atas private placement.
Kami kemudian melihat bahwa terkadang investor
menginginkan sebuah emisi obligasi diatur sesuai kebu-
tuhannya. Maka kucari sebuah pemsahaan untuk me-
nerbitkan obligasi yang diinginkan dan menutupnya
secara pribadi bersama orang tadi dan mungkin ber-
sama satu atau dua investor lain. ltulah asal mula
aku bekerja sama dengan Cash, karena ia punya
hubungan yang sangat baik dengan pelanggannya.
Kami banyak bekerja sama, berusaha mengatur tran-
saksi sesuai kebutuhan mereka."
Jadi begitu hubungan Waigel dengan Cash dalam
Tremont Capital, yang merupakan sebuah private
placement.
"Aku kurang memahami private placement," ujarku.
"Tapi apakah benar obligasi semacam itu kurang
memberi perlindungan kepada para investornya? Emisi
obligasi normal di Amerika Serikat harus diteliti oleh
Komisi Sekuritas dan Valas. Siapa yang bertanggung
jawab atas private placement?"
"Oh, kami, Bisa kukatakan para investor mendapat
perlindungan lebih baik melalui private placement
Bloomfreld Weiss. Kami mempunyai standar yang
sangat tinggi, Paul, yang tertinggi di Wall Street.
Aku jamin setiap transaksi kami bersih." Sambil
mengucapkannya, Waigel memandangku dari balik
kacamatanya yang tebal, dan melemparkan senyumnya
yang licik.
. "Setahuku, sejak aku berada di De Jong, kami
tidak pernah membeli private placement darimu,"
ujarku. "Apakah kami pemah membeli sesuatu sebelum
ada aku?"
258 Waigel membuka mulut, lalu menutupnya kembali.
Tak biasanya, sesaat ia tampak kehilangan kata?kata.
Akhirnya ia berkata, "Tidak, kukira tidak pernah."
Cash menyela, "Ayolah, Dick. Apakah kau tidak
ingat transaksi Tremont Capital dulu? Obligasi triple
A dengan yield besar. Transaksi besar. Aku menjual
setengahnya ke De Jong."
"Oh ya, aku ingat," ujar Waigel. "Ya, itu transaksi
yang bagus. Apakah kau pernah melihatnya, Paul?"
"Aku pernah melihat obligasi itu dalam portfolio
kami," ujarku, "tapi aku kurang memahami perinciannya. Bisakah kau terangkan lebih jauh?"
Waigel tampak gelisah, tapi Cash menolongnya.
Dengan penuh semangat ia bercerita tentang transaksi
itu, betapa jaminan Honshu Bank membuat transaksi
itu berharga tinggi "Salah satu transaksi terbaik
yang pernah kujual," Cash mengakhiri ceritanya,
"Sangat menarik," ujarku. Aku berbalik kepada
Waigel. "Bagaimana cara membuat transaksi seperti
itu?"
Waigel semakin tampak gelisah. "Salah satu aturan
dalam bagian keuangan perusahaan adalah aku wajib
merahasiakan semuanya. Kami dilarang mendiskusikan
perincian transaksi, bahkan setelah transaksi itu se-
lesai."
"Omong kosong, Dick," ujar Cash. "Tidak ada
yang lebih ingin kauceritakan daripada transaksimu
sendiri."
Waigel tidak senang. "Cash, kau boleh saja bicara
sesukamu, namun menurutku itu tidak profesional.
Pendahuluku mungkin tidak profesional, tapi aku tidak
mau mengikuti langkahnya."
259 Lloyd menyela, mendadak menemukan pokok pem-
bicaraan yang disukainya. "Ah, Greg Shoffman bu-
kannya tidak profesional, ia hanya tidak berani. Tidak
punya nyali. Kami mempunyai beberapa transaksi junk
band yang hebat, namun ia tolak karena menurutnya
tidak etis. Tidak etis! Dia pikir apa yang ia kelola,
yayasan amal?" Lloyd menahan diri ketika menyadari
kehadiranku. "Nah, Paul, jangan salah paham, semua
transaksi yang dilakukan Bloomlield Weiss bersih.
Tapi, dalam bursa zaman sekarang, kau harus menjadi
pesaing yang tangguh untuk dapat bertahan hidup, dan
si Shoffman ini tidak cukup tangguh."
Shoffman! Aku pernah "mendengar nama itu sebelumnya. Kucari?cari dalam ingatanku. ltu dia. Pria
dari Honshu Bank berkata seseorang bernama Mr.
Shoffman meneleponnya beberapa bulan ' sebelum
Debbie.
"Apakah Mr. Shoffman pendahulumu?" tanyaku
pada Waigel. '
"Ya," sahutnya. "la cukup baik. Tapi seperti kata
Lloyd, ia tidak berani mengambil risiko. Kau harus
punya insting pembunuh kalau mau berhasil, khususnya
melawan kompetisi di luar sana. Aku memilikinya,
Shoffman tidak."
Entah mengapa, aku percaya Waigel memang punya
insting pembunuh. "Jadi, apa yang terjadi padanya?"
tanyaku.
"Sekitar dua tahun yang lalu ia dipindahkan ke
departemen dokumentasi, dan Dick mengambil alih
tempatnya," ujar Lloyd.
"Apakah ia masih bekerja untuk Bloomfreld Weiss?"
tanyaku.
260 ' Hening sesaat. Semua menatap Lloyd, mengharap-
kannya memecah keheningan. Akhirnya, ia menuruti
mereka. "Tidak," ujar Lloyd. "Suatu hari beberapa
bulan yang lalu, ia tidak datang bekerja. Ia menghilang
begitu saja. Polisi tidak dapat menemukan jejaknya.
Nyawanya mungkin melayang di salah satu gang
kumuh, entah di mana. Kau tahu bagaimana situasi
kota akhirAakhir ini."
"Apakah mereka tahu siapa yang melakukannya?"
tanyaku lagi.
"Mereka bahkan tidak yakin apakah ia sudah tewas.
Polisi menduga kemungkinan besar ia telah dibunuh
di jalan oleh orang yang ingin merampok dompetnya."
Polisi mungkin menduga begitu. Menurutku sangat
aneh, dua orang yang menelepon Honshu Bank menanyakan jaminan Tremont Capital kr'ni telah tewas.
Dengan terkejut aku sadar ada orang ketiga yang
juga mengetahui hal itu. Aku.
"Itulah yang kau dapat kalau tinggal di kota ini,"
ujar Waigel, melambaikan jarinya ke arahku. "Dulu
aku tinggal di dalam kota, sampai kurasakan sudah
terlalu berbahaya. Sekarang aku tinggal di pinggir
kota. Montclair, New Jersey. Hidup jauh lebih aman
di sana. Tapi, perlu waktu jauh lebih lama untuk
sampai ke tempat kerja akhir?akhir ini."
Perbincangan beralih ke topik itu?lamanya per-
jalanan menuju kantor??-dan lalu kembali lagi mem?
bicarakan betapa berbakatnya Waigel. Setelah makan
siang selesai, aku kembali bersama Lloyd ke ruang
transaksi. Aku berjalan menuju meja Tommy.
"Enak makan siangnya?" seringai Tommy.
Aku meringis.
261 "Kau tidak mungkin mendapatkan sekumpulan orang
yang lebih menyenangkan daripada mereka," ujar
Tommy. "Lloyd Harbin, Cash Callaghan, dan Dick
Waigel yang menjijikkan."
"Harus kuakui ia sangat tidak menyenangkan,"
ujarku.
"Salah ?satu produk terbaik Bloomfreld Weiss,"
timpal Tommy.
Aku tersenyum. Aku menunjuk telepon Tommy.
"Boleh aku melihat kau bekerja?" tanyaku.
"Tentu." la mengangkat telepon dan mempersilakanku mengangkat telepon kedua.
Kudengarkan beberapa pembicaraannya. Tommy punya hubungan baik dengan para kliennya. Ia terdengar
ramah dan sangat membantu, tapi dengan halus ia
mengubah sikapnya kepada masing?masing klien, ramah pada yang satu, singkat dengan yang lain. Ia
memberikan banyak informasi kepada kliennya dengan
cepat dan efisien, tampaknya ia tahu persis obligasi
apa yang sedang mereka pegang saat itu meski beberapa berusaha keras merahasiakannya. Dan ia sama
sekali tidak bemsaha menjual posisi Macy yang keliru
diambil Bloomfreld Weiss?yang sedang mati-matian
berusaha menjualnya. Salesman yang bagus.
Setelah satu jam lebih, Lloyd menyela dengan
menepuk bahu Tommy. "Bisa kita bicara sebentar?"
tanyanya.
"Tentu," ujar Tommy dan mereka menghilang di
balik sudut tembok. Aku mondar-mandir selama satudua menit, lalu duduk di kursi Tommy untuk meng<
amati apa yang tengah terjadi di sekitarku.
Setelah beberapa menit Lloyd datang kembali. Aku
262 " T
( ' hendak bangkit, namun Lloyd memberi tanda agar
aku tetap duduk.
"Duduk sajalah, Paul," ujarnya. "Gunakan meja
itu sepanjang sore ini sebagai tempatmu jika kau
mau. Kepala kelompok riset kami akan menemuimu
beberapa menit lagi."
Aku ingin bertanya di mana Tommy, tapi sesuatu
menghentikanku. Para salesman yang duduk di dekat
meja Tommy memandangku sembunyi?sembunyi. Aku
merasa mereka bukan memandangku, melainkan kursi
yang kududuki. Kursi Tommy.
Aku merasa seakan menduduki sebuah kuburan
Aku meloncat berdiri dari kursi itu. Aku seperti
orang bodoh, mondar?mandir tak keruan, diabaikan
semua orang. Aku ingin memberitahu mereka bukan
salahku Tommy pergi.
Aku tahu apa yang mereka pikirkan. Tommy tidak
beruntung, dan kesialan itu bisa saja menimpa salah
satu dari mereka. Dalam lima menit Tommy berubah
drastis dari seorang salesman sukses menjadi manusia
gagal. Mereka tidak mau terlihat berhubungan dengan
kegagalan itu. Mereka tidak ingin berurusan dengan
hal seperti itu, setidaknya tidak di muka umum.
Seorang laki?laki berseragam overall abu?abu dengan dos biru besar berjalan menghampiri. "Apakah
ini meja Mr. Masterson?" tanyanya.
Aku mengangguk. Dengan hati?hati ia menaruh
semua benda yang tampak seperti milik pribadi ke
dalam kotak itu. Setelah ia pergi, dengan menyeret
kotak itu di belakangnya, aku melihat jas Tommy di
sandaran kursi. "Hei!" aku berseru, tapi ia tidak
mendengar. Aksen Inggrisku terdengar aneh di ruang
263 transaksi Amerika yang besar itu. dan beberapa orang
menoleh, walau yang duduk di dekatku tetap tidak
memedulikan kehadiranku.
Akhirnya aku diselamatkan oleh kepala riset yang
datang untuk mengantarku. Aku menghabiskan sore
hari bersama sejumlah analis, berbicara tentang pro
dan kontra berbagai junk band. Menurutku subyek
pembicaraan itu menarik. Memilah?milah perusahaan
menjadi dua, yang akan sukses dan yang akan gagal,
adalah tantangan sekaligus seni dan ilmu pengetahuan.
Aku belajar banyak dari para analis Bloomfreld Weiss,
pengetahuan yang dapat kumanfaatkan kelak.
Sekitar 17.30 kunjunganku berakhir. Aku kembali
ke ruang transaksi untuk mengucapkan selamat tinggal
kepada Lloyd. Ia tidak menyebut soal Tommy, maka
kukatakan, "Kalau kau bertemu Tommy, sampaikan
salam sukses untuknya."
"Pasti," ujar Lloyd, "ia orang baik."
Aku berjalan bersamanya ke lift, berusaha meredam
kemarahanku. Bloomfreld Weiss melahirkan karakter-
karakter yang sangat tidak menyenangkan: Cash
Callaghan, Dick Waigel, dan Lloyd l-larbin. Aku tahu
kadang?kadang orang terpaksa harus dipecat. Tapi
kuragukan apakah Tommy yang ramah dan sukses
layak bernasib seperti orangorang itu. Dan ia bukan
sekadar dipecat. Kenangan dan peninggalannya telah
dimusnahkan dari Bloomf'reld Weiss bahkan sebelum
sore itu berakhir.
Ketika mengucapkan selamat tinggal kepada Lloyd,
aku kembali berhasil menggagalkan jabat tangan peremuk tulangnya?yang memberiku sedikit kepuasan.


Kolusi Bursa Free To Trade Karya Michael Ridpath di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lift dalam keadaan kosong saat aku masuk, dan
264 aku menghela napas dalam?dalam ketika pintunya
menutup. Cukup sudah aku bertemu bajingan kejam
seharian.
Lift itu turun satu lantai lalu berhenti. Pintu terbuka
dan masuklah sosok tinggi Cathy. la kelihatan sedang
kesal. Pipinya memerah, dan bibir bawahnya gemetar.
"Hari buruk?" ujarku.
"Hari sial," sahutnya.
"Tempat ini menjengkelkan."
"Mengerikan."
"Ada beberapa bajingan tulen yang bekerja di
Sini."
"Bajingan tulen," ujarnya. Gadis itu lalu menatapku
dan tersenyum kecil.
"Mau minum?" tanyaku, terlontar begitu saja.
Ia ragu?ragu sejenak. "Oh, mengapa tidak? Kau
kenal daerah sekitar sini?"
Kami pergi ke Fraunces Tavern, sebuah bangunan
tua rendah berbata merah, berdiri di antara pencakar
langit Broad Street, dengan interior hangat dan berA
nuansa gelap. Kami duduk dan memesan dua gelas
bir. "Ada apa?" tanyaku.
Cathy mengemyit. "Anggap saja ada ketidakcocokan
kepribadian."
"Dan kau menjadi kesal?"
Cathy menghela napas, .lalu bersandar ke tempat
duduknya. "Aku baru ribut besar dengan Cash," kata
Cathy. "Di balik semua citra baiknya, pria itu sangat
susah dimengerti."
"Apa yang ia lakukan?"
"Hal yang biasa. Cash berusaha menipu salah
265 seorang klien kami. Meja transaksi di New York
kelebihan lima puluh juta obligasi sebuah perusahaan
asuransi yang bereputasi buruk. The Wall Street Journal pagi ini memuat beberapa kabar buruk tentang
pemsahaan itu, lalu harganya turun dan trader kami
tidak dapat menjualnya." .
Jari?jari ramping gadis itu bermain?main dengan
tatakan gelas di hadapannya. "Yah, ini adalah ke-
sempatan Cash untuk tampil baik di mata para bos di
New York. Ia lalu menelepon salah satu klien kami
di London, mengumbar kisah gombal bahwa artikel
surat kabar itu keliru dan bahwa kredibilitas perusahaan asuransi _itu sebenarnya jauh lebih baik daripada dugaan semua orang. Mereka mempercayainya
dan berebut membeli obligasi itu. Mereka akan segera
menyadari kesalahan itu, saat berusaha menjualnya
kembali."
Cathy mengeluh. "Mereka bahkan sebenarnya bukan
klien Cash, melainkan salah satu relasiku yang telah
berbulan-bulan kudekati untuk mengembangkan hubungan bisnis. Mereka baru mulai percaya padaku.
Setelah kejadian ini, mereka takkan sudi berbicara
denganku lagi. Cash akan menjadi pahlawan, dan aku
akan kehilangan klien." Ia memandangku. "Seharusnya
aku tidak menceritakan semua ini padamu, kan? Hanya
terkadang aku menjadi sangat muak dengan semua
ini hingga rasanya aku bisa meledak. Menyenangkan
dapat menceritakannya pada seseorang."
"Jangan kuatir," kataku. "Aku sendiri telah menge-
tahui bahwa Cash tidak seratus persen bisa dipercaya.
Apakah hal seperti ini sering terjadi?"
"Selalu," timpal Cathy. "(Aku benci berbohong.
266 Aku bukan pembohong hebat. Aku yakin satu-satunya
jalan untuk membina hubungan baik adalah dengan
membangun kepercayaan." la memandang melalui
gelasnya. "Kita mungkin mempunyai perbedaan pendapat di masa lalu, tapi aku selalu jujur kepadamu,
kan?" Matanya mencari dukungan dan semangat
dariku.
Kupikirkan kembali hal itu. Ia benar. Dan ia telah
sangat berterus terang mengenai pertengkarannya de?
ngan Cash. Aku mengangguk. "Seingatku kau selalu
jujur."
Cathy tampak senang dengan jawabku. "Ini sangat
membuatku frustrasi. Aku berusaha jujur kepada
pelangganku, tapi mereka tidak mau berurusan denganku. Cash menipu mereka habis?habisan, dan mereka
melakukan setumpuk bisnis dengannya. Begitu juga
situasi di De Jong, kan?"
"Aku tidak pernah memikirkannya. Tapi rasanya
kau benar," aku mengakui.
la memandang murung tatakan gelasnya. ""Tapi aku
tidak boleh terus-menerus membicarakan masalahku.
Bagaimana dengan kau? Kau sendiri tidak kelihatan
senang di lift tadi, Apakah hatimu juga buruk?"
Kuceritakan padanya tentang Tommy yang menghilang, juga tentang makan siangku dengan Waigel
yang menjengkelkan.
"Oh, dia. Dia dikenal sebagai "katak beracun.
Aku tertawa. Kedengarannya itu gambaran yang
tepat.
"Ada banyak orang seperti Dick Waigel dan Lloyd
Harbin di Bloornfreld Weiss," ujarnya. "Bahkan me-
reka mendapat dukungan aktif. Sama seperti keba-
267 nyakan perusahaan di Wall Street. Sifat bersaing dan
agresif dipuji sebagai nilai luhur. Hanya yang paling
kuat yang dapat hidup. Semua ini membuatku mual."
Menurutku ia berlebihan. "Kau tidak selalu menunjukkan kesan seperti itu."
Ia memandangku dengan sorot bertanya-tanya, lalu
menghela napas. "Ya, kau benar, aku tahu aku bisa
bersikap agresif. Kukira itulah sebabnya mereka memberiku pekerjaan. Dan aku ikut bermain. Mereka
menyukainya, meski mungkin pelangganku tidak.
Masalahnya, aku membencinya."
"Lalu, mengapa kau lakukan?"
"Aku ingin sukses. Aku ingin sukses mencetak
uang di Bloomfield Weiss."
"Mengapa?"
"Mengapa? Bukankah sudah jelas?"
"Tidak juga."
"Mm. Tidak, kau benar. Memang belum jelas." la
berhenti sejenak, berpikir. "Kedua orangtuaku adalah
profesor universitas, dan mereka selalu mempunyai
ambisi besar untukku. Kakak laki?lakiku adalah direktur termuda di salah satu bank perdagangan di
Londonf Ia mendapat beasiswa ke Oxford, maka aku
juga harus mendapat beasiswa ke Oxford. Sekarang
aku harus sukses di City. Sebenamya konyol, kan?"
Aku mengangguk Memang konyol. Tapi harus kuakui, itu adalah motivasi yang ada di hati banyak
orang yang membanting tulang di bank-bank dan
pemsahaan broker. Kejujuran ucapan Cathy membuatku terkesan.
"Apakah kau menikmatinya?" tanyaku, berusaha
membuat suaraku terdengar lebih ramah.
268 "Ya, dalam banyak hal aku menikmatinya," jawab
Cathy. "Aku suka situasi ramai bursa. Aku suka
bertransaksi dengan orang?orang. Dan menurutku aku
cukup baik bertransaksi. Yang tidak kusukai adalah
kebohongannya, kepura?puraan, politiknya, keinginan
uituk memamerkan bahwa kau lebih kuat dari orang
lain."
"Yah, mengapa tidak kaulepaskan citra perkasa
itu?" tanyaku
"Tidak," sahutnya. "Bloomfreld Weiss akan mela-
hapku hidup-hidup. Kau harus bertahan dengan cara
itu." Ia tertawa, sama sekali tidak. tampak seperti
wanita bisnis penakluk.
Kenyataannya, di balik rasa percaya dirinya, ia
tampak seperti wanita cerdas yang normal, dengan
mata indah dan senyum menawan. Beberapa saat
suasana hening, kanti berdua mencoba menilai kecocokan di antara kami.
"Ceritakan tentang Rob," ujarku.
Ia tersenyum. "Kau dulu yang cerita tentang Rob."
ujarnya.
"Tidak, aku yang tanya lebih dulu." ,
"Oke." ujarnya. "Ia cowok yang lumayan baik.
Sebenarnya cukup manis. Kami pergi beberapa kali
dan bersenangsenang. Lalu mendadak ia jadi serius.
Sangat serius. Jadi menakutkan. Ia mau menikahiku
padahal kami hampir tidak saling mengenal. Aku
merasa tidak enak, karena kukira tanpa sadar aku
pasti telah membuatnya salah duga, meski aku tak
ingat apa. salahku.
"Jadi, menurutku yang terbaik berusaha menghindarinya. Aku tidak mau ia terus salah duga. Tapi ia lalu
269 menjebakku ke sebuah restoran, berpura?pura menjadi
salah seorang klienku. Aku merasa sangat bodoh. Aku
marah. Aku tidak mendengar kabarnya lagi sejak itu,
syukurlah." la berhenti. "Apa ia selalu seperti itu?"
"Cukup sering, " ujarku. "Terutama terhadapmu, ia
sangat serius. Kuduga kau masih akan diganggunya?"
"Oh ampun," ujarnya. "Kalau ada yang dapat kauka-
takan pada Rob untuk meredakan perasaannya, tolong
lakukan. Aku sudah melakukan segala cara. Ia orang
baik, tapi aku sudah tak mau lagi berurusan dengannya."
Aku ingat apa yang dikatakan Felicity tentang
telepon?telepon Rob kepada Debbie, tentang perasaan
Claire bahwa ada sesuatu yang aneh pada diri laki<
laki itu, dan bagaimana aku sendiri telah melihat
tindakannya malam itu di Gloucester Arms. "Hati-
hatilah," ujarku.
Cathy mengangkat alisnya mendengar ucapanku, tapi
aku menolak bercerita lebih lanjut. Kami meneruskan
perbincangan hingga satu jam lebih, kembali memesan
bir. Cathy membujukku menceritakan tentang keluargaku,
sesuatu yang biasanya segan kubicarakan dengan orang
asing. Kuceritakan padanya tentang kematian ayahku,
tentang sakitnya ibuku, dan tentang bagaimana aku
telah menghancurkan harapan Ibu yang ingin aku
menjadi petani. la bersimpati. Aku terkejut karena
ternyata simpatinya tidak membuatku malu, juga tidak
membuatku getir, seperti kalau merasakan simpati yang
tidak tulus. Simpatinya terasa menghibur.
"Apakah Hamilton McKenzie benar?benar sedingin
es seperti kelihatannya?" tanya Cathy; "Pasti sulit
bekerja padanya."
"Ia bukan orang yang mudah dimengerti," aku
270 mengakui, "dan ia kadang?kadang bersikap seperti
tuan. Ia sangat pelit dengan pujian."
"Tapi kau menyukainya?"
"Aku tidak akan memakai istilah itu. Tapi aku
memang mengaguminya. Ia sangat hebat dalam peker-
jaannya, salah satu yang terbaik dalam bursa. Ia guru
yang baik. Dan ia tahu cara membuatku bekerja
keras untuknya, mendorongku mengeluarkan seluruh
kemampuan terbaikku. Sejujumya, aku akan melakukan
apa saja baginya"
"Pasti menyenangkan bekerja untuk seseorang se<
perti itu."
"Ya, memang."
"Seperti mendapat seorang ayah?"
Aku menggeliat canggung. "Aku tidak pernah memikirkannya seperti itu. Tapi kukira kau benar."
Cathy menjulurkan tangannya menyeberangi meja,
menyentuh tanganku. "Maaf, seharusnya aku tidak
berkata begitu," ujarnya.
"Tidak, tidak, tidak apa?apa. Lega dapat mengobrol
seperti ini. Dengan seseorang yang bisa mengerti. Salah
satu hal terburuk akibat kehilangan orangtua adalah pe-
rasaan sepi dalam diriku. Salah satu perasaan terpenting
dalam hidup yang tidak dapat kubagi dengan orang lain."
Cathy tersenyum. Kami .berdiam diri beberapa saat.
Lalu ia melihat ke arlojinya. "Sudah selarut ini? Aku
harus pergi. Terima kasih atas minumannya. Aku
merasa jauh lebih baik sekarang." Ia beranjak bangkit.
Aku merasa enggan melepaskannya. "Aku juga."
ujarku. Jauh lebih baik.
Kami berpisah, menuju stasiun bawah tanah masing-
masrng.
271 > > >BAB
"12
EESOKAN paginya aku membatalkan semua acara
ku hari itu. Ada urusan mendadak, ujarku. Aku
ingin menghabiskan waktuku di New York melacak
cerita yang kudengar kemarin.
Dua pertanyaan mengusikku. Pertama, apa yang
terjadi dengan Shoffman, dan kedua, apakah aku
dapat mengetahui lebih jauh tentang cara Waigel
melaksanakan transaksi Tremont Capital?
Aku berusaha mengurus yang pertama terlebih da?
hulu. Kutelepon bagian informasi menanyakan di mana
kantor polisi terdekat dari Bloomfield Weiss. Kuduga
ke sanalah pihak perusahaan melaporkan lenyapnya
Shoffman. Kuhubungi nomor yang diberitahu padaku
dari kamar hotel.
Setelah dipindahApindah beberapa kali, akhirnya
seorang wanita ramah mengatakan bahwa kasus
hilangnya Soffman memang telah dilaporkan ke kantor
polisi ini, tapi pengusutannya dilakukan oleh seksi
lain di West llOth Street, dekat kediaman Shoffman.
Aku berterima kasih, meninggalkan kamar hotel, lalu
naik taksi menuju Upper West Side.
273 Untungnya kantor polisi itu lumayan sepi. Lebih
beruntung lagi, sersan yang bertugas jaga ternyata
merupakan seorang pencinta bangsa Inggris yang jarang ditemukan di Amerika.
"Hei, Anda orang Inggris?" tanyanya setelah mendengar salamku.
"Ya, benar," ujarku.
"Selamat datang di New York. Senang di sini?"
"Oh, ini kota yang bagus. Aku selalu senang
datang kemari."


Kolusi Bursa Free To Trade Karya Michael Ridpath di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jadi Anda dari Inggris, ya? [buku juga dari Inggris. Pengantin GI. Anda dari kota mana?"
"London."
"Oh ya? Ibuku juga dari sana. Mungkin Anda
kenal keluarganya. Namanya Robinson."
"Ada banyak Robinson di London," sahutku.
"Ya, kurasa juga begitu. Aku berkunjung ke sana
beberapa tahun lalu. Sangat menyenangkan. Omongomong, apa yang dapat kubantu?"
Polisi yang berdiri di sampingnya bertubuh tinggi
besar, dan di dadanya tertulis Murphy. 'Dahinya semakin berkernyit saat ia mendengar pembicaraan kami.
"Begini, aku sedang mencari bekas teman kuliahku,
Greg Sholtman."la dilaporkan hilang' empat bulan
yang lalu, dan aku ingin tahu apa yang terjadi padanya." '
"Tentu. Tunggu sebentar, akan kucari filenya."
Aku menunggu sekitar lima menit, kemudian si
sersan kembali dengan membaWa file yang sangat
tipis di tangannya.
'Tidak banyak keterangan tentang dirinya. Ia dilaporkan hilang tanggal dua puluh April. Jejaknya sama
274 sekali tidak diketemukan. Tidak ada mayat, tidak ada
dompet kosong, tidak ada SIM. Kartu kreditnya tetap
tak ada yang memakai. Penyelidikan sudah ditutup."
"Tapi bagaimana mungkin seseorang menghilang
begitu saja tanpa jejak?" tanyaku.
"Ini New York. Di sini terjadi enam pembunuhan
dalam sehari. Memang sebagian besar mayatnya dapat
ditemukan. Tapi tidak semuanya."
"Di mana ia terakhir terlihat?"
Polisi itu kembali melihat file-nya. "Ia terakhir
terlihat saat meninggalkan kantornya pada tanggal
sembilan belas pukul tujuh. Baik penjaga pintu maupun
tetangganya menyatakan tidak melihatnya pulang ke
apartemen. Ia tinggal sendirian. Tanpa istri, tanpa
kekasih, sejauh yang kami tahu."
"Di mana alamatnya?"
Sersan itu melirikku, matanya menyipit. "Anda
bilang kalian teman lama," ujarnya.
"Ya, maaf. Kutinggalkan alamatnya 'di Inggris.
Aku mempunyai nomor telepon kantornya. Ketika
datang kemari, aku meneleponnya di kantor, ingin
mengajaknya makan malam. Lalu mereka memberitahukan ia telah menghilang. Sangat mengejutkan. Aku
sangat ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi."
Wajah si sersan melunak. la memberiku sebuah
alamat, hanya dua blok jauhnya dari kantor polisi itu.
Lalu ia berkata, "Dengar, Mister. Anda takkan mene-
mukan apa?apa, sekeras apa pun mencarinya. Aku
sudah melihat lusinan kasus seperti ini. Kecuali bila
tubuh korban atau barang miliknya ditemukan dan
dilaporkan ke polisi, Anda tidak akan menemukan
apaAapa. Memang benar, jika kami mempunyai lebih
275 banyak personel, dan kasus pembunuhan di sini lebih
sedikit, mungkin kami akan dapat lebih memperhatikan
kasus ini, tapi aku ragu apakah kami akan dapat
memecahkannya."
Aku memikirkan hal itu. Mungkin ia benar. Aku
menghela napas dan berterima kasih atas bantuannya.
"Tidak apa?apa. Senang dapat membantu. Dan minumlah segelas bir pahit untukku kalau Anda kembali
ke Inggris."
Aku berjanji melakukannya lalu beranjak pergi,
sambil berpikir betapa beruntungnya aku bertemu
polisi New York yang sangat membantu itu. Tatapan
tak suka rekan Irlandia?nya mengikutiku sampai aku
keluar dari kantor polisi itu.
Aku berjalan dua blok menuju gedung apartemen
Shoffman. Bangunan itu terletak di daerah perbatasan,
tempat para profesional muda berpetualang menjelajahi
pedalaman distrik Harlem. BangunanAbangunan cokelat
yang rapi, dibangun menjelang akhir abad kesembilan
belas dan direnovasi menjelang akhir abad kedua
puluh, berdempetan dengan gudang-gudang kosong
dan toko alat bangunan. Sebuah toko buah dan sayuran
Korea berdiri di pojok jalan, rapi dan bersih, siap
menjual dagangannya kepada para pekerja kantor yang
berjalan pulang. Saat itu jalan hampir lengang. Seorang pria kulit hitam tua berjalan di trotoar, bergumam
sendiri.
Sulit bagi orang Inggris memahami suasana permu-
kiman seperti ini. Karena kami terbiasa menonton
acara TV tentang polisi dan berita?berita seram, sangat
mudah menganggap New York sebagai medan perang
antara kelompok profesional kulit putih dengan kelas
276 bawah kulit hitam. Shoffman tinggal tepat di tengah-
tengah medan perang itu. Realitas situasi ini mungkin
sebenarnya jauh lebih kompleks, tapi sebagai orang
Inggris berjas yang berjalan di pinggiran Harlem
yang terkenal rawan, aku jadi dengan mudah percaya
bahwa Shoffman telah menjadi korban perang antar-
kelompok. _
Lobi gedung apartemennya berperabot rapi, dan
seorang penjaga pintu duduk di belakang meja, menjaga jalan masuk ke lift. Kutanyakan padanya tentang
Shoffman, kembali memberikan kisah yang sama seperti di kantor polisi.
Ya, ia ingat Mr. Shoffman. Ya, ia tengah bertugas
pada malam sembilan belas April. Tidak, ia tidak
melihat Mr. Shoffman pulang, demikian juga penjaga
pintu yang menggantikannya dinas malam. Ya, ia
pasti ingat, karena ia telah mencari Shoffman untuk
menyerahkan sebuah paket. Tidak, paket itu tidak
istimewa, hanya beberapa buku dari klub buku. Tidak,
ia.tidak dapat memperlihatkan apartemen Shoffman
padaku, karena sudah ada pemilik baru.
Aku menyerah pergi, memanggil taksi, dan kembali
ke hotel.
Setelah kembali berada di kamar, aku meloncat ke
tempat tidur, menatap nanar ke langit?langit, dan
berpikir. '
Tampaknya aku mendapat jalan buntu atas jawaban
pertanyaan pertamaku. Aku hanya"punya satu hari
lagi di New York. Aku yakin polisi itu benar. Kesem-
patanku untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi
pada Shoffman sangat kecil. Tapi aku masih yakin
bahwa menghilangnya Shoffman, segera setelah ia
277 menelepon ke Honshu Bank, bukanlah suatu kebetulan.
Seseorang mengetahui bahwa ia telah membongkar
penipuan Tremont Capital, dan sekarang ia tewas.
Tinggal pertanyaan kedua. Bagaimana cara Waigel
melaksanakan transaksi Tremont Capital itu? Dengan
siapa ia berhubungan? Kemana uang hasil . private
placement itu dibayarkan?
Pasti ada berkas-berkas yang berkaitan dengan
transaksi ini. Hamilton akan segera melacak jejaknya
di Curagao. Tapi pasti ada beberapa di Bloomtield
Weiss. Si pustakawan di London sangat yakin bahwa
informasi tentang hal itu sama sekali tak ada di
sistem pusat data. Tentu saja, mungkin semuanya
sudah dibuang. Tapi di pihak lain, perusahaan perahu
dayung itu.masih ada, masih terus membayar bunga-
nya. Ya, ada kemungkinan Waigel mempunyai bebe<
rapa catatan tentang transaksi itu di file pribadinya.
Bagaimana caranya aku dapat melihatnya?
Aku menelepon Lloyd Harbin.
"l-lalo. Ini Paul Murray. Aku menelepon untuk
berterima kasih atas pelayananmu kemarin," aku ben?
saha agar suaraku tetap polos.
"Oh tentu, dengan senang hati," ujar Lloyd dengan
nada tak sabar.
"Bisakah kau memberikan nomor telepon rumah
Tommy Masterson?" tanyaku.
"Tommy sudah diberhentikanna tidak lagi bekerja
di sini."
"Walaupun demikian, aku akan sangat berterima
kasih kalau kau dapat membantuku. Begini, aku meminjamkan penaku padanya, dan ia tidak sempat mengembalikannya. Aku sudah bertahun?tahun merniliki-
nya dan pena itu sangat berarti bagiku."
278 "Maaf, Paul. Aku tidak dapat memberikan infomasi
tentang pegawai lama."
Aku seharusnya sudah tahu pendekatan sentimental
tidak akan mempan untuk Lloyd Harbin. Aku harus
berbicara dengan bahasanya sendiri. "Lloyd, dengar
baik?baik. De Jong? and Company akan segera memulai
program pembelian junk bond. Total akan mencapai
dua ratus juta dolar. [Aku bohong, tapi siapa peduli?]
Nah, kami dapat membelinya dari Bloomfield Weiss
atau dari Harrison Brothers. Kau tinggal pilih "
Berhasil. "Eh, tunggu dulu, jangan terburu buru
begitu. Akan kucarikan untukmu " Kurang dari se-
tengah menit ia sudah kembali. "Tiga empat dua,
enam enam nol tujuh."
"Terima kasih. Sangat menyenangkan berbisnis de-
nganmu, " aku berbohong, lalu menutup telepon.
Kudapati Tommy di rumahnya dan kutanyakan apa-
kah ia bersedia bertemu denganku untuk makan siang.
Kami sepakat bertemu di sebuah restoran Italia, Cafe
Alfredo, dekat tempat tinggalnya di Greenwich Vil-
lage.
Tommy yang pengangguran sama saja dengan
Tommy si salesman. Ia tetap santai, tetap ramah.
"Aku menyesal melihatmu pergi kemarin," ujarku,
menggunakan eufemisme standar menggantikan kata
"dipecat".
""Terima kasih," sahut Tommy. "Cukup mengejut-
"Aku heran melihat cara mereka melakukannya.
Apakah itu biasa terjadi? Langsung digiring ke suatu
tempat, dan bahkan tidak diberi kesempatan kembali
ke mejamu?"
279 "Memang seperti itulah yang terjadi," jawab
Tommy, "walau biasanya kami mendapat sedikit peringatan terlebih dulu."
"Mengapa Lloyd melakukannya?" tanyaku.
"Ia tidak suka padaku," sahut Tommy. "Tingkah
lakuku tidak sesuai dengan budaya Bloomfield Weiss".
Dan aku "melampaui wewenangnya'. Mereka tidak
terlalu suka pendapat bebas di Bloomfreld Weiss.
Mereka tidak suka orang memakai istilah "penipuan',
mereka lebih suka istilah "kesempatan investasi unik"
sebagai gantinya. Meski demikian, tanpa aku, mereka
akan menjual lebih sedikit obligasi dan menghasilkan
lebih sedikit uang, jadi masih ada sesuatu untuk
disyukuri."
"Kau pasti marah," ujarku.
"Oh, aku akan baik?baik saja. Mungkin ini malah
bagus, memaksaku pergi dan menemukan tempat kerja
lain yang lebih baik, yang mempekerjakan manusia,
bukan robot. Aku bahkan mungkin akan kembali ke
California dan membiarkan Bad Apple ini membusuk."
Di balik semua kesan berani di wajahnya, Tommy
tidak mampu menyembunyikan kepahitan dalam suaranya. Bagus pikirku.
"Bolehkah aku meminta beberapa saran?" tanyaku.
"Tentu."
"Perusahaanku adalah pemilik salah satu 'kesempatan investasi unik" yang kaubicarakan tadi. Begitu
uniknya sehingga aku yakin hal ini ilegal. Aku tidak
dapat melakukan apa-apa sampai mendapatkan bukti
kuat."
"Apa transaksinya?" tanya Tommy.
"Sebuah privat placement bemama Tremont Capi?
280 tal yang dilakukan delapan belas bulan lalu. Dick
Waigel yang merancang transaksi ini. "
"Aku belum pernah dengar. Kurasa aku tidak dapat
memberi saran dalam hal ll'll. "
"Aku tidak perlu saran mengenai transaksi itu
sendiri," lanjutku. "Tapi aku perlu saran mengenai
cara mendapat akses ke file Waigel."
Aku menatap Tommy dalam?da'lam, berharap tidak
melangkah terlalu jauh.
la balas menatap. "Aku tidak dapat melakukan
itu," ujarnya. "Bagaimana kalau mereka tahu aku
membantumu?"
"Mereka tidak dapat memecatmu," kilahku.
"Betul," Tommy tersenyum. "Tapi kalau mereka
menangkapku, pengacara mereka akan membantaiku."
"Maaf, Tommy," ujarku. "Aku tidak punya hak
memintamu melakukan ini. Tolong lupakan saja per?
bincangan ini.
Hening beberapa saat. Lalu Tommy rileks kembali
dan tersenyum. "Ah, mengapa tidak? Aku tidak berutang apa?apa pada mereka, dan kedengarannya mereka_
berutang banyak padamu. Aku akan menolong."
"Bagus!"
"Waigel memimpin departemen yang terdiri dari
lima atau enam personel. Mereka semua bekerja dalam
satu mangan tapi ia punya kantor sendiri. Kantornya
mengambil tempat setengah mangan dan dipasangi
tirai untuk menjaga privasinya. "
Khas Waigel, pikirku. Egonya membutuhkan ruang?
an sebesar tempat kerja keenam orang bawahannya.
"Aku cukup akrab dengan sekretaris Waigel, Jean.
Ia wanita baik, tapi ia tidak tahan dengan kelakuan
281 Waigel. Ia sudah berniat berhenti. Mungkin ia dapat
membantu kita, apalagi kalau ia dengar apa yang
terjadi padaku. Ia bisa memberitahu kita kapan Waigel
tidak di tempat. Kita ke sana, lalu ia menunjukkan
kantor Waigel, seolah kita mempunyai janji dengan
Waigel. Muda ."
"Bagus." ujarku: "Tapi bagaimana cara kita masuk
ke dalam gedung? Bukankah mereka telah mengambil
tanda masukmu?"
"Ya, memang, tapi aku yakin Jean dapat mengurusnyat"
"Kau tidak perlu ikut," ujarku. "Aku bisa pergi
sendiri."


Kolusi Bursa Free To Trade Karya Michael Ridpath di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Oh, aku harus ikut. Jean takkan mau memasukkan
kau ke kantor Waigel kalau aku tidak berada di
sana."
"Apa ada sesuatu antara kau dengan Jean?" tanyaku, tersenyum.
Tommy tertawa. "Oh, tidak, tidak ada apa?apa,
kujamin."
Kami menyelesaikan makan siang, setelah kubayar,
kami pergi ke apartemen Tommy untuk menelepon
Jean. Aku harus masuk ke kantor Waigel sore itu
juga.
Apartemen Tommy ada di tingkat tiga sebuah bangunan cokelat di Barrow Street. Kami menaiki tangga. Tommy mencaricari kunci dan ragu?ragu sejenak,
"Oh, aku tinggal di sini dengan seorang teman pria.
Ia kerja malam, jadi mungkin sekarang ia ada."
Ia membuka pintu, dan aku mengikutinya melalui
lorong kecil menuju ruang tamu yang ditata indah.
Sebuah karpet oriental mahal terhampar di lantai, dan
282 satu lagi terpampang di dinding. Sejumlah lukisan
abstrak yang menarik menghiasi dinding satunya. Gary
sedang duduk di sebuah kursi lengan kulit. la menyerukan selamat datang ketika kami masuk.
Gary berkumis tebal, berambut cepak, dan mengenakan jeans biru muda ketat?seragam laki-laki
gay New York. Jadi ini sebabnya Tommy tertawa
saat kusebut kemungkinan adanya hubungan antara
dia dengan sekretaris Waigel. Aku kembali melihat
Tommy. Dari luar tidak ada tanda?tanda yang menun-
jukkan perilaku seksualnya.
Tommy menangkap pandangan mataku. "Oke, aku
gay. Apa ini mengejutkanmu?" ujamya.
"Sedikit mengejutkan," sahutku. "Tapi aku akan
terbiasa." Aku tidak dapat menahan tawaku.
"Apa yang kautertavyakan?" tanya Tommy, me?
natapku curiga.
"Oh, aku hanya membayangkan wajah Lloyd
Harbin kalau ia mengetahuinya."
Tommy tertawa. "Ya, aku mengerti maksudmu.
Tapi aku pernah melihatnya di bar di Christopher
Street beberapa bulan lalu dengan beberapa orang
yang tampaknya tidak baik. Kau mau kopi?"
Tommy membuat kopi lalu menelepon sekretaris
Waigel. Sementara ia menelepon, aku menikmati kopiku dan mengobrol dengan Gary
Setelah tiga atau empat menit Tommy menaruh
telepon. "Waigel sekarang sedang keluar, dan baru
kembali satu jam lagi. Kalau cepat?cepat ke sana,
kita akan dapat menemukan yang kita cari sebelum
ia kembali. Tunggu sebentar, aku akan ganti pakaian."
Semenit kemudian Tommy muncul dari kamar
283 tidurnya dengan mengenakan jas. Aku menaruh cangkir
kopi, mengucapkan selamat tinggal pada Gary, dan
mengikuti Tommy keluar pintu. Kanti segera mendapat ,,
taksi, dan langsung menuju Wall Street.
Kami berhenti di depan bangunan hitam, besar
membayang, milik Bloomfield Weiss. Kami naik lift
ke daerah resepsionis di lantai 47, tempat bagian
keuangan perusahaan.
Tommy berjalan menuju resepsionis dan berkata,
"Tommy Masterson dan James Smith hendak bertemu
Mr. Waigel."
Sang resepsionis memandang Tommy dan berujar,
"Bukankah Anda bekerja di sini, Mr. Masterson?
Kukira Anda bekerja di lantai transaksi." Tommy
tersenyum ramah kepada gadis itu. "Aku memang
pernah bekerja di sini, tapi sekarang sudah tidak
lagi," ujarnya. '
Sang resepsionis melihat ke bukunya. "Yah, jika
Anda mempunyai janji, boleh saja."-Ia menekan beberapa tombol di teleponnya. "Jean? Tamu Mr. Waigel
sudah damng." Ia menaruh telepon itu. "Silakan tunggu
di sini, gentlemen."
Jean muncul dalam sekejap. Ia seorang wanita tinggi
berkacamata bulat ala Lennon dan berambut cokelat
panjang yang dikepang di punggungnya. Ia mengenakan
blus longgar dan rok panjang, mirip kaum hippie di
Wall Street, yang tidak banyak jumlahnya. Wanita itu
tidak menunjukkan tanda?tanda mengenal Tommy. la
mengantar kami melewati koridor menuju sebuah ruang
kantor yang terbuka. Enam meja berjejalan dalam
mangan kecil itu. Lima di antaranya diduduki orang
yang _sedang bekerja. Satu orang lagi menjaga kantor
284 berdinding kaca di salah satu sisi mangan. Tirai
menutupi bagian dalam kantor itu, sehingga yang di
luar tidak mungkin melihat ke dalam.
"Aku kuatir Mr. Waigel baru akan kembali setengah
jam lagi," ujar Jean. "Aku mohon maaf atas kesalahan
waktu perjanjian ini. Aku tidak mengerti bagaimana
ini bisa terjadi. Apakah Anda hendak menunggu atau
akan kembali nanti?"
"Kalau boleh kami ingin menunggu," sahut Tommy.
"Yah, silakan menunggu di dalam kantor Mr.
Waigel sampai ia kembali," ujar Jean.
Saat ia mempersilakan kami masuk ke dalam kantor
itu, Tommy mengedipkan mata kepadanya. Jean membalasnya dengan senyuman dan menutup pintu di
belakang kami.
Kantor itu cukup luas, dengan sebuah meja besar,
dua kursi, sofa, dan meja tamu. Ruangan itu penuh
"batu nisan"?-iklan?iklan transaksi masa lalu yang
ditempatkan dalam kotak plastik jernih. Waigel telah
melakukan banyak transaksi, dan ia ingin semua
orang mengetahuinya. Dua foto berbingkai tergantung
di dinding, satu memperlihatkan Waigel tengah berjabatan dengan Lee lacocca, dan satu lagi dengan
Mayor Ed Koch. Foto dengan Koch ini akan membuat
semua restoran Cina di New York bangga.
Di dinding terdapat sebaris file cabinet dari kayu.
Dua kabinet yang sudah penuh diberi tanda "transaksi
selesai". Aku mencoba membukanya. Ternyata ter-
kunci.
Tommy ke luar, pura?pura minta kopi, kemudian ia
kembali dengan sebuah kunci dari Jean. Lalu ia
membuka kabinet itu.
285 Di dalam terdapat sederetan file yang diatur berdasar abjad. Cepat aku mencari di huruf T. Tidak
ada Tremont Capital. Sial. Aku mulai mencari lagi di
beberapa file. Kuperhatikan banyak judul yang berupa
kata sandi.
"Apa yang harus kita lakukan sekarang?" tanya
Tommy.
"Tidak ada, selain memeriksa satu persatu," balasku.
"Tapi paling tidak ada seratus file. Perlu waktu
satu jam! Kita hanya punya dua puluh menit."
"Kita tidak punya pilihan. Aku mulai dari A dan
kau dari 2."
"Tunggu sebentar. Coba kulihat apakah aku me?
ngenali beberapa kata sandinya," ujar Tommy.
Aku tengah mencari?cari file kedua, yang berisi
pengambilalihan perusahaan produk kecantikan dengan
kode Adonis, ketika Tommy berbisik, "Hei, aku
dapat!" Ia mengangkat sebuah file bertuliskan, "Graha
Musik."
"Bagaimana caramu mengetahuinya?" tanyaku.
"Tremont Capital mengingatkanku pada Tremont
Avenue di Bronx. Di sana ada graha musik yang
dulu sangat populer."
"Hebat!" ujarku, dan meraih file itu. Aku tidak
dapat menghubungkan kata Tremont dengan Bronx.
Menarik.
Kukeluarkan semua dokumen dalam file itu ke atas
meja dan mulai mencari. Ada rancangan prospektus,
lalu versi akhirnya yang telah kulihat di London, dan
korespondensi dengan pihak pengacara Van Kreefl?leerlen membicarakan sejumlah masalah hukum. Satu
surat membicarakan cara?cara menjaga kerahasiaan
286 status kepemilikan Tremont Capital. Tidak perlu dikatakan lagi, pihak pemilik tidak disebut?sebut di sini,
Lalu kutemukan sepucuk surat dengan kepala surat
Harzweiger Bank. Dikirim oleh Hans Dietweiler. lsinya menetapkan nomor rekening dana yang dikumpulkan melalui penawaran obligasi Tremont Capital.
Sial.. Kalau uang yang dibayar De Jong untuk
private placement ini telah lenyap ke Swiss, maka
tidak mungkin lagi melacaknya. &
Aku terus mencari. Lalu akhimya kutemukan yang
?kucari. Hanya berupa secarik kertas nota. Di atas
tertulis STRUKTUR. Di bawahnya ada sederetan
kotak. Kertas itu berisi struktur lengkap proyek penipuan ini.
Aku mengambil secarik kertas dari meja Waigel
dan menyalin diagram itu. Aku terhenti oleh ketukan
di pintu. Temyata Jean. "Kalian lebih baik bergegas.
Dick bisa setiap saat datang."
Segera kuselesaikan diagram itu, lalu dengan hatihati kususun kembali file Graha Musik dan kukembalikan ke file cabinet. Tommy dan aku memeriksa
kembali kantor itu- untuk memastikan semua dalam
keadaan seperti semula. Mataku melihat agenda meja
Waigel. Cepat kuperiksa minggu saat Debbie terbunuh.
Ternyata dipenuhi perjanjian, semua di New York.
Tidak ada tanda?tanda pembatalan rapat atau penerbangan ke London.
"Ayo," ujar Tommy,_ dan aku mengikutinya keluar.
Dengan mimik kesal, Tommy berhenti di meja Jean
dan berkata, "Katakan pada Dick kami sudah menunggunya. Mr. Smith ada janji lain, dan kanti sudah
terlambat. Tolong minta ia meneleponku."
287 "Aku tidak tahu apa yang terjadi padanya." sahut
Jean. "Aku minta maaf karena Anda dan Mr. Smith
telah menunggu demikian lama. Aku yakin ia akan
kembali beberapa menit lagi." _
"Kami tidak dapat menunggu lebih lama lagi. Selamat siang." Tommy dan aku bergegas keluar dari
departemen Waigel menuju koridor. Tindak?tanduk
kami menimbulkan reaksi satu?dua lirikan bosan dari
orang yang bekerja di kantor luar. Akting kami cukup
meyakinkan, namun tidak berlebihan.
Kami lama sekali menunggu lift. Akhirnya ada
satu yang datang. Penuh berisi usahawan Jepang,
klien Bloomfield Weiss. Mereka saling berebut mem?
beri jalan. Di belakang orangorang Jepang itu, mempersilakan mereka keluar, tampak sosok pendek botak
Dick Waigel. Aku melihatnya sebelum ia melihatku.
"Cepat, Tommy. Pintu darurat!" ujarku.
Tanpa membantah, Tommy melesat ke tangga darurat. Aku tidak dapat mengikutinya karena tertahan
rombongan eksekutif Jepang itu. Waigel melihatku.
"Paul, sedang apa di sini?" tanya Waigel, matanya
curiga.
"Oh, aku kebetulan sedang di gedung ini dan ingin
mampir untuk membicarakan beberapa komentarmu
saat makan siang kemarin," jawabku. "Menurutku
pendapatmu sangat menarik."
"Oh bagus," ujar Waigel, menatapku dalam?dalam,
berusaha memutuskan apakah aku mengatakan yang
sebenarnya.
Rombongan usahawan Jepang itu menatap Waigel,
menunggu. Aku berdeham gelisah dan berkata, "Yah,
kelihatannya sekarang bukan saat yang tepat bagimu.
288 Kalau kau juga pergi ke konferensi di Phoenix, kita
(bisa mengobrol di sana."
Aku tahu aktingku tidak meyakinkan. Tatapan mata
Waigel menajam. Aku balas menatapnya. Ada sesuatu
yang tidak beres. Ia tidak tahu apa, tapi ia jadi tidak
tenang. la ragu?ragu sejenak, tapi para tamunya sedang
menunggu. "Sampai ketemu," gumamnya.
Aku masuk ke dalam lift dan menghela napas
keras?keras ketika pintu tertutup. Jantungku berdetak
keras, dan aku dapat merasakan darah mengalir deras
sampai ke telinga. Kuharap Jean dapat menjawab
pertanyaan-pertanyaan Waigel dengan baik. Tapi paling tidak aku mendapat diagram ini.
Aku bertemu Tommy di lobi. Ia jelas menikmati
pengalamannya tadi. "Wow, hampir saja!" ujarnya
dengan mata bersinar?sinar. "Aku sempat melihat kilau
botak kepalanya, jadi aku kabur. Apakah kau bicara
padanya? Apakah ia curiga?"
"Aku tidak tahu," ujarku. Aku menggigil. "Pria
kecil yang jahat!"
Tommy tertawa, "Salah satu andalan Bloomfield
Weiss."
"Kuharap Jean baik?baik saja," ujarku.
"Jangan kuatir. Paling?paling Waigel memecatnya,
dan ia memang sudah berniat keluar. Jadi apa yang
kita dapat? Apakah misi ini berhasil?"
"Memang berhasil." sahutku, menepuk kantong.
"Kuharap diagram ini akan menjelaskan banyak hal."
"Yah, keluarkanlah dan mari kita lihat."
"Maaf. Aku tidak dapat menunjukkannya padamu."
"Kenapa tidak?" Tommy tampak kesal. "Aku baru
mengambil risiko dipecat dua kali dalam seminggu.
289 Aku punya hak untuk tahu. Ayolah, kita minum kopi
dan kau dapat ceritakan semua tentang ini." _
"Aku mau, tapi..."
"Ya?"
"Aku tahu mungkin ini kedengaran tidak masuk
akal, tapi aku tidak mau membuatmu terancam bahaya." '
Tommy menggamit lenganku dan menatapku luruslurus. "Kau benar, ini memang kedengaran tidak
masuk akal. Dengar, kalau kau benar dalam bahaya,
mungkin aku dapat membantumu. Tak ada gunanya
kau menutup?nutupi hal ini. Aku sudah telanjur
terlibat. Aku dapat mengatasi risikonya. Ayo kita
minum kopi."
"Oke, terserah."
Karni memasuki sebuah kedai kopi Yunani dan
memesan dua cangkir, lalu aku mulai menjelaskan.
"Sekitar setahun yang lalu, Bloomfield Weiss menjual pada kami dua puluh juta dolar private placement untuk sebuah pemsahaan bemama Tremont Capi?
ta1 NV. Tremont seharusnya dijamin oleh Honshu
Bank. Ternyata jaminan ini tidak pernah ada. Baik
Honshu Bank maupun Bloomfield Weiss tidak punya
catatan tentang jaminan itu. Satu?satunya pengaman
yang kami miliki dalam investasi ini adalah sebuah
pemsahaan perahu dayung."


Kolusi Bursa Free To Trade Karya Michael Ridpath di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Wah, itu buruk," ujar Tommy.
"Yang lebih buruk lagi adalah dua orang yang
mengetahui hal ini telah tewas."
"Wow," Tommy bersiul. "Apakah salah satunya
Greg Shoffman?"
"Ya," sahutku. "Seorang lagi adalah wanita ber
290 nama Debbie Chater yang bekerja untuk kami di
London."
"Apakah kau tahu siapa yang melakukannya?" tanya
Tommy.
"Tidak. Debbie jatuh ke dalam sungai Thames.
Menurutku ia didorong. Oleh siapa, aku tidak tahu.
Tapi aku akan cari tahu."
"Jadi, siapa di belakang Tremont Capital?" tanya
Tommy.
"Aku hanya dapat menerka," sahutku.
"Siapa yang menjual transaksi ini padamu?" tanya
Tommy.
"Cash Callaghan."
"Dan Dick Waigel yang merancangnya?"
"Benar sekali."
"Ya ampun," ujar Tommy sambil bersandar di
kursinya. "Yah, aku tidak kaget dengan si ular Waigel
itu. Tapi Cash? Aku dapat bayangkan Cash melanggar
aturan, tapi aku tidak mengira ia akan bertindak
sejauh itu. Bajingan!"
Tommy meneguk kopinya, berpikir masak?masak.
"Jadi Shoffman dan Debbie Chater?mu sudah tewas?
Siapa orang ketiga?" Tommy berhenti dan bersiul
lagi. "Kau. Man, sebaiknya kaujaga diri."
"Aku tahu," sahutku, "dan kau bisa mengerti mengapa aku enggan membuatmu menjadi yang keempat."
Tommy tertawa. "Jangan kuatir. Mereka tidak tahu
keterlibatanku. Aku akan baik?baik saja. Jadi apa
yang terjadi dengan uang itu?" tanyanya.
"Aku tidak tahu," sahutku. "Itulah sebabnya aku
ingin melihat file Waigel. Mari lihat diagram ini."
Aku mengeluarkannya dari dalam kantong dan
menaruhnya di atas meja.
291 Diagram itu terdiri dari sederetan kotak, satu di
bawah yang lain, dihubungkan dengan panah yang
mengarah ke bawah?menunjukkan arah aliran dana
dalam transaksi itu.
Kotak pertama bertuliskan "2 investor". Mungkin
ini berani De Jong and C0. dan Harzweiger. Bank.
Ada sebuah panah dengan tulisan "$40 juta" menunjuk kotak di bawahnya yang bertuliskan "ATK".
lni pasti berarti "alat tujuan khusus" yaitu Tremont
Capital, menunjukkan 40 juta dolar yang diterbitkan
Tremont dati private placement itu.
Kotak berikutnya bertuliskan "Swiss bank afc". Ini
adalah nomor rekening yang dirujuk dalam surat
Dietweiler.
Berikut terdapat kotak yang makin membingungkan:
"Mesin Uang Uncle Sam." Aku tidak tahu apa mak?
sudnya. Di bawahnya ada sederetan kotak bertanda
"investasi dengan perolehan tinggi." Pada tanda panahnya tercantum angka "$150 dolar sampai $200
mm" Aku mengerti kekuatan Mesin Uang Uncle Sam
itu. Sejumlah 40 juta dolar masuk, dan keluar 150
sampai 200 juta dolar. Betu1?betu1 sebuah mesin uang.
Di bawah diagram itu terdapat beberapa penjelasan.
"8?10 th jual investasi. Jual atau bongkar mesin
uang. Ambil keuntungan dari ATK dalam dividen.
Perkiraan dividen 50 juta dolar. Saham dibayar kembali bila mungkin."
"Kau mengerti?" tanya Tommy.
Aku berpikir sebentar. "Yah, aku tidak tahu apa
itu Mesin Uang Uncle Sam, tapi kukira aku mengerti
sebagian besar yang lainnya.
"Empat puluh juta yang diambil Tremont Capital
292 dari private placement didepositokan dalam sebuah
rekening bank Swiss. Dari sana digunakan untuk
membeli, mungkin membangun, mesin uang yang misterius ini. Lalu, entah bagaimana, uang itu? menjadi
dua ratus juta. Uang ini ditaruh dalam investasi
dengan perolehan tinggi. Setelah delapan tahun atau
lebih semua ini dijual. Hasil ini, yang saat itu diduga
akan menjadi cukup besar, mengalir kembali ke Tremont Capital. Empat puluh jutanya kemudian dikembalikan. Setiap keuntungan investasi di atas biaya
bunga private placement dibayar Tremont Capital
dalam bentuk dividen. Waigel .memperkirakan jum?
lahnya sekitar lima puluh juta. Jadi, Waigel dan kaki
tangannya meminjam empat puluh juta, menggunakan
uang ini untuk mengeruk keuntungan lima puluh juta
lagi bagi mereka sendiri, lalu mengembalikan empat
puluh juta yang pertama, tanpa ada yang tahu."
"Mengapa mereka melakukan itu?" tanya Tommy.
"Mengapa tidak ambil saja yang empat puluh juta*
"ltu taktik cerdik mereka. Dengan mengembalikan
uang itu, tidak ada yang tahu bahwa sebuah kejahatan
telah dilakukan. Mereka dapat terus hidup normal
dan mungkin melakukan tipuan yang sama lagibenambah kaya lima puluh juta dolar. Kalau mereka
serakah dan tidak mengembalikan yang empat puluh
juta, maka akan ada pengusutan, dan mereka berisiko
tertangkap."
"Mereka mengambil dua puluh juta dari De Jong.
Dari mana mereka mendapat dua puluh juta yang
lain?" tanya Tommy.
"Dari Harzweiger Bank di Zurich," sahutku. "Aku
telah berbicara dengan Herr Dietweiler di sana, ia
293 .
pura-pura tidak pemah membeli obligasi ini. Ia pasti
dapat bagian sebagai imbalan. Pasti itu sebabnya
mereka menggunakan rekening koran di Harzweiger
Bank, agar l-lerr Dietweiler dapat mengawasi dana
|."
"Oke. Jadi, bagaimana cara mereka menghasilkan
semua uang ini dari meminjam empat puluh juta
dolar? Apa arti Mesin Uang Uncle Sam itu?"
Aku menggelengkan kepala "Aku tidak tahu. Tampaknya mesin inilah kuncinya. Aku sama sekali tidak
tahu apa maksudnya."
"Mungkin sebuah agen pemerintah?" usul Tommy.
"Mungkin," sahutku. "Tapi aku tidak mengerti
bagaimana orang bisa menjadi kaya dengan memberikan uang pada agen pemerintah."
"Uncle Sam mungkin merujuk pada angkatan bersenjata," ujar Tommy. "Banyak orang menghasilkan
uang dari sana. Para kontraktor pertahanan dan sema?
"inya."
"Mungkin saja" sahutku. Kami membicarakan kemungkinan? k?emungkinan itu namun tidak mendapat
kesimpulan yang memuaskan
"Jadi, bagaimana aku dapat membantu?" tanya
Tommy.
"Apakah kau y..kin mau membantu?" tanyaku. "Kau
tahu apa yang terjadi pada Debbie Chater dan Greg
Shoffman."
"Hei, aku tidak punya pekerjaan, dan aku perlu
sesuatu untuk dikerjakan. Ini lebih hebat daripada
menjual obligasi. Dan semakin aku dapat mengguncangkan Bloomfield Weiss, semakin baik."
"Yah, kau? bisa mencoba melacak kasus hilangnya
294 Greg Shoffman." ujarku. Kuceritakan padanya tentang
usahaku mencari lebih banyak keterangan tentang
kasus menghilangnya Shoffman. "Aku ingin tahu siapa
yang membunuhnya. Dan sama pentingnya, aku ingin
tahu apa yang ia ketahui sebelum tewas. Ia mungkin
mengetahui beberapa bukti manipulasi Cash dan Waigel. Aku dapat melakukannya sendiri, tapi aku tidak
akan lama berada di New York. Kalau kau mendapat
sesuatu, hubungi aku di konferensi di Phoenix."
Tommy berkata ia akan melakukan sebisanya. Kami
membayar kopi lalu beranjak pergi.
Aku suka Tommy. Sesaat aku kuatir telah membahayakan jiwanya dengan menceritakan apa yang
kutahu padanya. Tidak, itu konyol. Aku tahu lebih
banyak daripada Tommy. Dan tidak ada bahaya yang
tampak mengancamku. t
Aku kembali ke kamar hotel, tubuhku panas dan
berkeringat. Lampu merah di telepon menyala. Kubiarkan. Dan aku langsung meloncat ke bawah pancuran, membiarkan sejuknya air menurunkan tekanan
darahku. Dengan perasaan jauh lebih baik, aku menuju
telepon dan menghubungi operator. Ada pesan dari
Hamilton, besok ia akan datang ke New York. Ia
ingin bertemu aku untuk makan siang di restoram
Italia terkenal di Upper East Side. Menyenangkan
bisa bertemu dia. Semua kacau?balau dalam kepalaku.
Kalau membicarakannya dengan Hamilton. aku tahu
semua akan beres.
Keesokan harinya adalah hari terakhirku di New
York sebelum terbang ke Phoenix. Aku punya janji
mengunjungi beberapa bank investasi pada pagi hari?
295 nya. Di salah satu bank aku bertemu pria kecil
bemama Kettering yang bersikeras mengajariku tentang
kesempatan investasi dalam utang Amerika Selatan,
walaupun aku tidak berininat. Ia menyuguhiku campuran caci maki dan umpatan. Ia berhasil membuatku
merasa bodoh karena tidak sependapat dengannya
tentang keajaiban finansial dari benua itu. Ia juga
berhasil membuatku sangat kesal.
Dalam keadaan kecapekan akibat kegiatan pagi
itu, aku memutuskan berjalan dari kantor bank inves-
tasi ke restoran. Aku perlu udara segar. meski yang
ada hanya udara panas New York, yang juga sangat
lembap dan berdebu. Aku berjalan memotong melalui
jalan samping menuju jalan besar, lalu memperlambat
kecepatan untuk melihat?lihat.
Aku berjalan sepanjang trotoar yang sepi, dengan
gedung-gedung tinggi di kedua sisinya. Alunan samar
musik menyeramkan bergema di dinding lembah beton
itu. Sekelompok orang bertubuh pendek kekar, mengenakan sesuatu yang tampak seperti syal dan topi
peboling, berkumpul mengelilingi beberapa karpet,
peralatan akustik, dan-satu set genderang primitif.
Mereka berkulit gelap, kasar, dan bertulang pipi tinggi
dan keras. Hanya ada aku dan mereka saja di jalan
kosong itu. Aku berhenti untuk mendengarkan. Musik
mereka mempunyai kualitas magis, membangkitkan
kenangan akan jurang?jurang pegunungan terjal, tikaman burung?burung predator. kesunyian bertahuntahun di daratan tinggi Andes. Aku tidak tahu berapa
lama berdiri di sana, tersihir irama musik itu. Akhirnya mereka berhenti, dan barulah mereka menyadari
kehadiranku. sambil tersenyum malu?malu. Aku mem-
296 beli sebuah kaset yang mereka gelar di,tepi jalan.
Sampulnya bergambar kelompok musik itu dalam "sikap
sangat serius, dengan tulisan Laa Incar. Aku berjalan
terus, musik itu masih mengalun di kepalaku. Beberapa
menit kemudian aku kembali berada di tengah kera?
maian Third Avenue.
Restoran itu terang dan segar. Atap kaca dan meja
logam menampilkan suasana taman terbuka seperti di
Italia. Pakaian pengunjung lain yang berupa jas atau
gaun mahal langsung menunjukkan jenis tempat itu:
sebuah restoran mewah New York yang sedang populer.
Aku melihat Hamilton sedang sibuk memeriksa
seberkas kertas. Ia tampak berbeda dibanding pengun-
jung lain yang berpakaiadelegan. Setelah aku menarik
kursi, ia melirik arlojinya dan sedikit mengerutkan
kening. Aku juga melihat jamku dan melihat sekarang
pukul 12.33. Terlambat tiga menit. Hanya Hamilton
yang peduli pada hal semacam itu.
Ia menaruh berkasnya ke dalam tas, lalu bertanya,
"Bagaimana New York menurutmu?"
"Oh, aku menyukainya," ujarku. "Sangat"?aku
berhenti?"tak terduga". Kuceritakan padanya tentang
kelompok musik Peru yang kulihat di jalan tadi.
Hamilton memandangku, sedikit heran. "Ya, aku me?
ngerti," ujarnya. Lalu, dengan suara agak jengkel, "Kau
sudah mengunjungi beberapa bank investasi, kan?"
Seperti biasa kalau berhadapan dengan Hamilton,
aku merasa sedikit bodoh. Tentu saja Hamilton tidak
tertarik pada pandanganku terhadap New York sebagai
sebuah kota, ia ingin tahu apa yang terjadi di Wall
Street.
297 Secara garis besar kuceritakan padanya apa yang
kudengar. la menanyakan secara mendalam tentang
satu?dua pembicaraan yang menurutku sama sekali
tidak penting. la mendesakku dengan pertanyaan yang
kusadari seharusnya kuajukan pada pihak bank namun
tidak kulakukan, ia terus mengorek informasi tentang
transaksi yang terjadi. Kepercayaan diriku mulai me?
nyusut saat kusadari bahwa, menurut standar Hamilton,
penyelidikanku baru kulitnya saja. Seorang pelayan
terus menunggu selama interogasi berlangsung, takut
menyela pembicaraan Hamilton. Akhirnya, ia melihat
kesempamn dan, setelah memaksa kami melihat menu,
meminta kami memesan. Hamilton memesan Caesar
salad, yang menurutku agak terlalu sederhana, setelah
melihat menu lain yang lebih eksotik dan menarik.
Aku terpaksa tidak pesan appetizer, dan setelah satu
lirikan cepat ke menu, kupesan masakan daging yang
tampak rumit. Hamilton memesan sebotol besar air
mineral. Aku dengan iri melihat meja sebelah, di
mana sepasang pria dan wanita tengah menikmati
makanan dengan santai, dan sudah minum isi botol
Montrachet yang kedua. Buat apa datang ke restoran
seperti ini kalau hanya untuk cepat?cepat menyantap
beberapa helai daun selada dan minum satu?dua gelas
air putih? Yah, apa mau dikata.
"Bagaimana penyelidikanmu yang lain?" tanya 1-la-
milton.
Aku ceritakan semua yang kuketahui: tentang
Waigel yang menyangkal keterlibatannya dalam transaksi awal, tentang Shoffman yang lenyap, dan tentang
diagram yang kutemukan dalam kantor Waigel.
Hamilton mendengarkan dengan teliti tiap kata.
298 yang kuucapkan. Setelah selesai, aku menunggu reaksinya. Ia terdiam sesaat, bagiku terasa setahun, sambil
perlahan mengelus janggutnya. Lalu ia tersenyum,
"Kerjamu bagus. Paul. Sangat menarik. Benar?benar


Kolusi Bursa Free To Trade Karya Michael Ridpath di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sangat menarik."
Setelah laporanku yang buruk tadi, kini aku merasa
senang. "Jadi, menurut Anda, apa arti Mesin Uang
Uncle Sam itu?" tanyaku.
"Apa menurutmu?"
Aku terus?menerus memikirkannya selama 24 jam
terakhir, tapi tidak dapat ide apa pun. "Agen pertahanan pemerintah? Semacam komputer? Semacam
penipuan obligasi pemerintah?" kataku asal tebak,
memandang Hamilton menunggu reaksinya. la tam?
paknya tidak terlalu terkesan dengan ide?ideku.
Aku mengangkat bahu. "Aku tidak tahu. Apa me?
nurut Anda?"
Hamilton terdiam sejenak. "Kita tidak akan tahu.
Kita belum punya cukup banyak keterangan untuk
mengetahuinya, tapi ini suatu permulaan. Kerja yang
bagus." Ia menyuap sedikit salad. "Walau begitu,
kukira kau benar. mesin uang ini adalah kunci untuk
mendapatkan uang kita kembali."
"Apa yang Anda dapat dari Netherlands Antilles?"
tanyaku.
"Agak sulit, karena aku tidak mau Van KreefHeerlen menyadari kecurigaan kita. Rudy Geer sangat
menolong. Alasanku adalah kita harus mencari ke-
mungkinan meminta perubahan domisili Tremont Capital dengan adanya reformasi pajak terbaru. Dengan
demikian Geer harus memeriksa semua dokumentasi."
"Apakah ia menemukan sesuatu?"
299 e "Sangat menarik. Van Kreef?Heerlen menyatakan
mereka melihat jaminan Honshu Bank. Saat Geer
meminta mereka memberikannya, mereka mengatakan
tidak dapat menemukannya dalam file. Hal.ini, tentu
saja, tidak akan pernah diakui kantor pengacara mana
pun kecuali kalau benar, maka menurut Geer hal ini
pastilah benar."
"Bagaimana menurut Anda?" tanyaku.
"Aku tidak tahu. Kukira, kemungkinan paling besar,
jaminan itu adalah dokumen palsu yang, entah bagaimana, telah diambil dan' file Van Kreef?Heerlen,
mungkin oleh salah seorang oknum pengacara mereka
sendiri. Sulit melakukan penyelidikan tanpa menimbul-
kan kecurigaan pemilik Tremont Capital."
"Sangat menarik," ujarku. "Ada lagi?"
"Yah, kita mungkin bisa mendapat perintah penga-
dilan untuk memaksa auditor Tremont Capital menunjukkan salinan rekening mereka. Kuharap itu dapat
memberi kita beberapa petunjuk tentang ke mana
uang itu pergi. Perintah pengadilan tidak akan turun
sebelum awal minggu depan, dan mereka diberi waktu
beberapa minggu untuk melaksanakannya. Tidak banyak yang dapat kulakukan sampai aku kembali men-
dengar kabar dari Geer dan melihat sendiri laporan
rekening-rekening itu."
"Jadi, sekarang apa?" tanyaku. "Apakah menurut
Anda kita sudah memiliki cukup banyak bukti untuk
melapor ke polisi?"
Hamilton menjulurkan badan, mata bimnya menatap
tajam mataku. "Kita harus memperoleh uang itu kem-
bali," ujarnya. Suaranya tenang, nadanya datar, namun
tegas. "Kau ingat apa yang kukatakan tentang calon
300 klien di Tokyo? Nah, kukira kita benar?benar akan
mendapatkannya. Dan mereka menyebut?nyebut jumlah
sebesar lima ratus juta dolar. Itu akan dapat mengubah
De Jong." la meneguk air mineral, tidak melepaskan
pandangan matanya dariku. "Kalau mereka dengar
kita tertipu sebanyak dua puluh juta dolar, kredibilitas
kita akan hancur, dan tidak ada lagi seorang pun
yang akan memberikan uangnya pada kita untuk dike-
lola. Meski ini bukan kesalahan kita."
Ini kesalahan kita, pikirku. Atau paling tidak kesa-
lahan Hamilton. la ceroboh sewaktu memeriksa doku-
mentasinya. Sebuah kesalahan yang langka, namun aku
tidak akan berusaha membuatnya mengakui hal itu.
"Tapi kalau kita lapor ke pihak berwenang. bukankah mereka akan membantu kita mendapatkan
uang itu kembali?" _
Hamilton menggelengkan kepalanya. "Prioritas utama polisi adalah menangkap si penjahat, bukan harta
karunnya. Itu sebabnya mengapa sebagian besar kasus
penipuan tidak pernah sampai ke polisi atau umum.
Kalau dapat menyelesaikannya sendiri, lebih besar
kemungkinan kita mendapat kembali semuanya." Ada
senyum tipis di bibirnya, menertawakan kenaifanku.
"Baiklah," ujarku, meski tidak setujp dengannya,
"jadi apa yang kita lakukan selanjutnya?"
"Yah, sejauh ini kau telah melakukan pekerjaan
yang bagus. Tetap cari informasi, ajukan pertanyaanpertanyaan. Akan ada banyak orang dari Bloomfield
Weiss di konferensi Arizona. Cari tahu apa yang bisa
kaudapatkan di sana. Terutama mengenai Mesin Uang
ini. Aku akan melakukan sebisanya di London, sambil
menunggu kabar dari Curagao."
301 Hamilton melihat pandangan prihatin dalam wajahku. "Jangan kuatir, kita akan dapat kembali uang
itu."
Hamilton menolak tawaran pelayan yang membawa
kereta dessert penuh berisi godaan, lalu membayar
bon. Kami berjalan ke arah yang berlainan, aku naik
taksi menuju pusat kota ke Harrison Brothers.
Sore terus merayap. Aku sudah lelah, kesal, dan
sulit berkonsentrasi. Aku mencemaskan rencana Hamilton. Aku merasa tak tahu harus berbuat apa, dan
walau biasanya aku percaya pada Hamilton dalam
segala hal, kali ini aku merasaia juga tak tahu harus
berbuat apa. .
Akhirnya pukul lima sore tiba, dan aku pergi pada
jam pulang kantor. Aku'merencanakan bertemu dengan
salah satu salesman obligasi pemerintah Han'ison
pada pukul delapan untuk makan malam. Masih ada
tiga jam, maka kuputuskan kembali ke Westbury.
Aku berjalan di stasiun bawah tanah Fulton dan
menaiki kereta Lexington Line Express menuju utara.
Aku pindah di Grand Central untuk naik kereta lokal.
Saat itu jam sibuk dan kereta penuh sesak. New
York di awal September sangat panas 'dan lembap.
Kereta itu salah satu kereta sistem bawah tanah yang
tidak mempuiryai penyejuk ruangan. Aku merasakan
keringat menetes dari tubuhku, membasahi kemeja
dan bahkan celanaku. Dasiku seolah mengerut karena
kepanasan.
Kereta itu berhenti seakan seabad lamanya. Penumpang berjejalan. Darah jadi mudah bergolak.
Orang?orang menggumam, mengumpati sistem bawah
tanah brengsek itu. Bahkan dalam kondisi seperti itu,
302 semua orang mengikuti aturan utama kereta bawah
tanah New York?jangan, jangan pernah menatap
mata orang lain. Dia mungkin saja seorang pemadat,
pemerkosa, pembunuh berantai, penganut Jehova.
Aku memandang iklan?iklan di sana. Ada Walter
Henson, seorang arsitek yang terkenal di seluruh
New York City karena penyakit wasimya. Ada pula
kecoak?kecoak jelek bertubuh hitam besar, merayap
masuk ke dalam sebuah Roach Motel dengan tulisan
"Las Cucarachas enrran pero no puede". ralin "
Kereta itu melonjak maju. Pandanganku menerawang'ke sekitar kereta. Lalu aku tersentak.
Di sana, di ujung kereta, berdiri .loe.
Ia memandangku, tanpa ekspresi. Wa1au aku melihat
lurus padanya, ia tidak menunjukkan tanda-tanda mengenalku. Aku berusaha menenangkan diri, namun
aku yakin ia pasti melihat ketakutanku padanya.
Kupalingkan mataku darinya dan melihat ke arah
lain. Sejak aku melihat Joe di ruang makan Bloomfreld
Weiss, kami selalu saling menghindar, membuatku
merasa lega. Tapi sekarang ia tepat berada di sana.
di kereta bawah tanah yang sama denganku. lni pasti
suatu kebetulan, kan? Pasti begitu.
Aku berusaha menenangkan diri di pojok lain kereta. Aku jadi salah tingkah, dan menginjak kaki
seorang pria berwajah lembut yang mengenakan pakaian bisnis dan tengah membaca The Wall Street
Journal. Aku menginjaknya sekuat tenaga.
"Setan, apa yang kaulakukan, tolol!" teriaknya
padaku. "Angkat kakimu atau kuhajar muka jelekmu !"
Aku hanya sekilas melirik laki?laki yang menyumpah serapah itu. Aku terus berjalan pergi.
303 "Brengsek!" gumamnya padaku dan pada setiap
orang yang berdiri di sekitar kami.
Aku bersyukur mendapat perhatian orang banyak.
Tidak mungkin .loe melakukan sesuatu padaku dalam
kereta bawah tanah yang penuh sesak itu, dan akan
ada banyak orang saat kami sampai di Sixty?eighth
Street.
Aku benar. Segerombol pegawai kantor menghambur
keluar kereta. Aku beriringan dengan sekelompok
bankir muda yang menuju arah yang sama dengan
hotelku. Saat melirik ke belakang, kulihat .loe meng-
ikuti sejauh satu blok.
Aku memisahkan diri di Park Avenue dan secepat
mungkin berjalan mengitari blok menuju Westbury.
Aku berhenti di muka hotel dan dapat melihat sosok
Joe berdiri di pojok jalan, masih berjarak satu blok
jauhnya.
Kukatakan pada petugas resepsionis bahwa aku
tidak ingin diganggu siapa pun. la memandangku
dengan agak heran namun berjanji akan melakukan
permintaanku. Aku pergi ke kamar, mengunci pintu,
dan berbaring di ranjang.
Kalau Joe mengikutiku, mungkin itu hanya karena
ia ingin membalas dendam. Mungkin polisi datang
lagi ke rumahnya. Atau mungkin, tanpa sadar, aku
telah membangkitkan perhatian dengan pertanyaan-
pertanyaanku tentang Greg Shoffman dan Tremont
Capital. Tapi mengapa hal itu mengganggunya? Mung-
The Heike Story Karya Eiji Yoshikawa Cinta Bernoda Darah Serial Bu Kek Sian Su 3 Karya Kho Ping Hoo Pendekar Bayangan Sukma 6 Kakek Sakti Dari Gunung Muria
^