Pencarian

Misteri Dua Cinta 3

Misteri Dua Cinta Dalam Satu Karya V Lestari Bagian 3


kehidupan malah melecehkan. Tutup mulut memang paling
baik. Gelap... gelap... gelap."136
"Tadi dia masih merasa belum jelas tentang ka-sus yang
dialaminya. Nanti saja kalau sudah tenang baru Ibu
ceritakan."
"Ya. Saya kira dia akan bertanya."
"Ibu bisa tolong memberi tahu saya, kapan saya bisa
berbincang dengan Pak Arie? Enaknya sih kalau sudah di
rumah, ya? Kapan Ibu berencana membawanya pulang?"
"Besok," jawab Susan tegas. "Saya nggak mau ditahan-
tahan lagi oleh dokter."
"Ibu bisa beritahu saya, ya? Inginnya sih Pak Arie
sudah siap mental kalau nanti saya ajak omong. Takutnya
nanti dia kaget."
"Pasti saya kasih tahu."
"Terima kasih, Bu."
Martin sudah akan pamitan ketika dia melihat Erwina
mendatangi dengan langkah cepat. Martin membatalkan
niatnya. Dia ingin melihat pertemuan Erwina dengan Arie.
Susan memeluk Erwina, lalu mengajaknya masuk.
Tanpa sungkan Martin mengikuti dari belakang, meskipun
dia merasakan lirikan tajam Erwina.
Di dalam Arie sudah selesai makan dengan ditemani
Katrin. Mata mereka berdua segera terarah kepada Erwina.
Katrin berdebar cemas, sedangkan Arie seperti terpesona.
"Arie!" Erwina berseru. Suaranya bergetar.
"Wina?"
Wajah Arie berubah ceria. Ia tertawa. Ia merentangkan
kedua tangannya. Erwina tidak tampak ragu-ragu ketika
masuk dalam pelukannya. Arie mencium pipinya, lalu
mencari bibirnya. Dengan halus Erwina mengelak.
"Apa mulutku masih bau? Sudah sikat gigi intensif
kok," kata Arie.
Susan tertawa. Demikian pula Martin. Sedangkan
Katrin tersenyum lega. Erwina sudah bersikap seperti
seharusnya. Martin tidak sampai melihat kejanggalan.137
Tiba saatnya Martin merasa dirinya adalah orang luar,
bukan bagian dari keluarga. Ia segera pamit setelah sekali
lagi mengucapkan selamat kepada semua orang.
"Dia itu intel," kata Erwina, beberapa saat setelah
Martin pergi.
"Intel?" tegas Arie.
"Itu istilah Wina untuk petugas polisi," kata Katrin.
Erwina menatap Susan. Ia tak bisa bercerita karena
mengkhawatirkan emosinya.
"Oke. Aku akan cerita," kata Susan.
Arie menarik tangan Erwina. Terpaksa Erwina duduk di
ranjang di sebelah Arie. Tangan Arie merangkulnya.
Mereka harus berdempetan karena ranjangnya kecil.
Kentara sekali Arie merindukan istrinya. Erwina berdebar.
Bukan karena takut kepada Arie sebagai zombie, tetapi
untuk sesuatu yang lain.
Katrin bisa menangkap keseganan di wajah Erwina. Ia
sadar kelegaannya tadi cuma sekejap.
*** Martin mampir di showroom Arie. Ia tahu dirinya tidak
diterima dengan senang oleh Benny, meskipun Benny
bersikap ramah. Ia berpura-pura tidak menyadari hal itu.
Saat itu, hanya ada satu-dua pelanggan yang datang
melihat-lihat hingga Benny terpaksa menemani Martin
duduk di kantor. Ia memerintahkan karyawan
mengambilkan segelas aqua.
"Anda tidak menjenguk Pak Arie?" tanya Martin.
"Maunya sih begitu, tetapi nanti saja kalau sudah tutup.
Apakah Anda melihatnya pada saat itu?" Benny jadi
terpancing keingintahuannya.
"Sayang sekali, momennya nggak dapat. Untung saya
belum pulang. Baru turun dari lift."138
Martin bercerita tentang kejadian tadi. "Pak Arie seperti
orang bangun tidur yang panjaaang. Dia kelihatan sehat.
Mudah-mudahan mentalnya juga."
"Apakah dia ingat semua dengan jelas?"
"Kayaknya sih butuh waktu, yang penting dia nggak
kena amnesia. Wah, bisa celaka deh."
"Mengapa begitu?"
"Nanti dia nggak bisa ditanyai."
Benny manggut-manggut. Sebenarnya, dia berharap
Arie terkena amnesia untuk jangka waktu yang panjang.
Kalau bisa sepanjang sisa usianya. Ia memang percaya diri
bahwa Arie tidak mungkin bisa mengetahui siapa yang telah
mencelakainya. Bukan soal itu yang jadi pemikirannya,
tetapi amnesia bisa membuat Arie tidak ingat kepada Erwina
dan juga bisnisnya hingga dirinya bisa tetap punya peran.
"Tentunya Anda juga berharap pelaku kejahatan itu bisa
ditemukan," kata Martin, sambil mengamati wajah Benny
yang tatapannya menerawang jauh.
"Oh, ya. Tentu saja. Arie kan sahabat saya."
"Sebagai sahabat Anda juga nggak tahu banyak tentang
dirinya. Misalnya, ke mana saja dia pergi di malam hari
seperti malam kejadian itu. Siapa yang ditemuinya, dan apa
yang dilakukannya. Seperti kata Bu Wina, dia selalu
membawa kunci, siap untuk pulang larut malam."
Pertanyaan itu hanya pengulangan. Benny sudah siap
dengan jawaban yang sama. Apakah Martin berharap ia
lupa?
"Kalau istrinya saja tak diberitahu, apalagi saya, Pak.
Tak semua orang mau membuka diri sampai telanjang.
Setelah dewasa kami nggak lagi sedekat dulu."
"Anda memang bukan teman curhatnya."
"Dia suka curhat, tetapi yang pasti nggak semua isi
hatinya dikeluarkan. Saya juga begitu kok. Sama-
sama."
"Anda punya saham dalam bisnis ini?"139
"Nggak. Saya punya pekerjaan sendiri, tetapi nggak
terikat. Jadi, bisa bantu-bantu. Mudah-mudahan Arie cepat
pulih hingga bisa kembali ke sini."
"Anda memang sahabat yang baik. Mau membantu
tanpa pamrih."
Benny merasa tersindir. Wajahnya terasa panas, tetapi
ia bisa menjawab dengan tenang, "Sebenarnya nggak juga.
Saya dapat komisi dari mobil yang berhasil saya jual. Hari
ini saya berhasil menjual dua mobil."
"Wow! Hebat juga, ya. Anda memang ahli di bidang
pemasaran, bukan?"
Benny hanya tersenyum. Lama-lama ia tak lagi merasa
terganggu oleh kehadiran Martin. Ia juga menggunakan
ilmunya untuk menenangkan diri sendiri. Tak ada alasan
untuk merasa takut. Jangan biarkan diri terpancing.
Ketenangan akan membawa kemenangan.
"Saya sempat bertemu Bu Wina sebelum pulang tadi.
Sungguh mengharukan pertemuan Pak Arie dan istrinya.
Mesra sekali. Pasangan yang serasi. Pak Arie tampak
kangen banget kepada istrinya, kayak pelaut yang berbulan-
bulan nggak pulang. Pergi berbulan-bulan bahkan bertahun-
tahun kan nggak bisa disamakan dengan pergi ke alam baka,
biarpun cuma sebentar."
Martin mengoceh sambil mempelajari wajah Benny.
Tak hanya wajah Benny yang terlihat tegang dengan otot
menonjol di keningnya, tangannya pun mengepal. Namun,
itu tidak berlangsung lama. Benny tersenyum dengan sikap
yang kembali rileks.
"Itu wajar saja dong, Pak," kata Benny tenang.
"Ya. Tentu wajar."
Martin menunjuk ke sebuah mobil tak jauh darinya.
"Mobil bagus," katanya.
"Ya, Harganya juga bagus. Itu Audi."
"Saya tahu. Biar menabung bertahun-tahun pun saya
nggak bakal bisa beli. Biar bisa beli pun pakainya sayang."140
Benny tertawa.
"Apakah Anda pernah membeli mobil di sini?" tanya
Martin.
Benny terkejut. Apakah Kadir yang memberitahu orang
ini karena ditanyai? la sadar tak bisa berbohong.
"Oh, ya. Mobil yang saya pakai itu beli di sini. Mobil
bekas, tetapi nggak pernah ngadat tuh."
"Mobil yang bagus. Mahal?"
"Lumayan. Mencicil kok."
"Pak Arie sahabat yang baik rupanya."
"Memang."
Dia penuh percaya diri, pikir Martin. Sesekali gugup
juga sih. Ia tahu kelemahan Benny.
"Kalau melihat Pak Arie dan Bu Wina tadi, rasanya
saya jadi ingin menikah juga, deh. Iri rasanya. Begitu rukun
dan mesra," Martin mulai.
Biarpun sudah membentengi diri, tak urung Benny jadi
panas juga.
"Kalau begitu, cepatlah menikah, Pak. Calonnya sudah
ada?"
"Justru itu, calon belum ada. Bagaimana mau cepat
menikah? Anda sendiri bagaimana, apakah sudah punya
calon? Orang seganteng Anda, bonafid lagi, masa sih nggak
ada cewek yang menaksir. Kebanyakan cewek lebih suka
punya pacar peng-usaha. Orang macam saya mah nggak
laku."
"Saya juga begitu," sahut Benny dingin. Ia sudah tahu
ke mana arah percakapan Martin. Jadi, bisa bersiaga.
"Ah, masa begitu sih, Pak. Penampilan dan mobil yang
Anda kendarai itu sudah jadi modal utama. Cewek
bcrkerumun. Pilihan banyak."
"Buat apa kalau yang dipilih cuma materi. Cewek
matre itu paling menyebalkan. Maunya mengajak jalan ke
mal dan restoran mahal. Belanja dan makan."141
"Susah juga, ya. Mungkin Anda juga yang terlalu
pemilih. Perempuan sempurna nggak ada. Kita sebagai
lelaki juga begitu, yang penting kita jangan sampai salah
pilih. Bisa menyesal seumur hidup."
Benny mengerutkan kening. Apakah dirinya sedang
dinasihati?
"Nanti akan menengok Pak Arie?" Martin mengakhiri
topik tadi.
"Ya. Mesti dong."
"Kalau sahabat nggak muncul, orang akan bertanya-
tanya, bukan?"
Benny tidak menyahut. Bingung menentukan, apakah
kalimat itu serius atau sindiran.
"Apakah Anda akan datang juga?" tanya Benny,
sebelum berpisah.
"Kayaknya nggak. Tadi sudah. Saya akan menunggu
sampai Pak Arie ingat semuanya."
Benny hanya diam. Perlu energi lagi untuk me-
nenangkan diri. Lama setelah Martin pergi, ia merasa lesu
dan kehilangan semangat. Ia tak ingin pergi ke rumah sakit
karena takut di sana akan melihat adegan mesra antara
Erwina dan Arie. a sudah menyuruh Erwina untuk berpura-
pura. Pasti Erwina akan bersikap sebagai seorang istri yang
baik. Bagaimana dengan Arie? Pastilah dia akan menubruk
Erwina seperti lelaki kelaparan. Tadi Martin sudah bersaksi.
Apalagi sebelum peristiwa percobaan pembunuhan itu Arie
ingin memperbaiki hubungannya dengan Erwina bahkan
menghadiahinya kalung. Hanya berpikir ke situ saja sudah
membuatnya resah.
Kalau ia tidak datang, orang pasti akan bertanya-tanya.
Terutama keluarga Arie. Apalagi Katrin pernah mem-
berinya peringatan. Dari situ sudah jelas Katrin mencurigai
hubungannya dengan Erwina.
Ia merasa serba salah.142
* * *
"Setelah ada Wina sekarang," Susan menarik napas lega.
"Baiknya kita pulang saja ya, Kat?"
Susan berkata begitu sambil mengedipkan sebelah
matanya kepada Katrin. Jelas bagi Katrin bahwa Susan
bermaksud membiarkan kedua orang itu leluasa dalam
menyalurkan kerinduan mereka. Terutama Arie. Ia
membenarkan, tetapi dengan tatap-an tak lepas dari Erwina.
la bisa melihat kekagetan di wajah Erwina. Katrin
disadarkan bahwa sikap Erwina barusan hanyalah
kamuflase.
"Ma... kan Dian belum datang," kata Erwina, setengah
memprotes.
"Biar saja toh?" bantah Arie. "Dian bukan anak kecil.
Biar Mama istirahat di rumah."
"Jadi, Mama nggak balik lagi ke sini? Nggak
menginap?" Erwina semakin kentara menampakkan ke-
khawatirannya.
"Kamu saja yang menginap," kata Katrin. "Gantian
dong."
"Ya, Win. Kita bisa mengobrol banyak deh. Kapan lagi
bisa berduaan di rumah sakit?" bujuk Arie.
"Aku... tidur di sofa?" Tatap Erwina tertuju ke sofa.
"Kalau kau nggak mau tidur di situ, biar aku saja. Kau
di sini," Arie menepuk ranjangnya.
Katrin dan Susan tertawa, tetapi Erwina merengut. Ia
tahu sulit membantah lagi.143
"Sambil pulang Mama akan mampir di kantor rumah
sakit untuk minta pulang besok. Sekalian tanya berapa
biayanya," kata Susan.
Kedua perempuan tua itu berlalu setelah mencium pipi
Arie. Katrin tak berani mengamati wajah putrinya.
Begitu keduanya berlalu Arie merengkuh Erwina, lalu
mencium bibirnya. Ciuman yang hangat dan mesra, tetapi
tidak mengekspresikan "kelaparan". Hal itu meredakan
ketakutan Erwina. Sebelumnya, ia sudah membayangkan
dirinya akan "dimakan hidup-hidup". Satu-satunya cara
adalah membiarkan dirinya larut dalam kemesraan yang
disodorkan. Ia masih ingat pada instruksi Benny. Ia pun
belum dalam situasi panik hingga perlu mencari ponsel agar
bisa menghubungi Benny. Bagaimanapun, dalam situasi
seperti itu tak mungkin ia menelepon Benny.
Suara berdeham memisahkan keduanya. Seorang


Misteri Dua Cinta Dalam Satu Karya V Lestari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

perawat muncul sambil tersipu malu. Erwina segera
menjauh karena perawat perlu memeriksa tensi Arie,
padahal sejam yang lalu baru saja diperiksa. Tiba-tiba
Erwina dirasuki perasaan sebenarnya ia pun menyukai
ciuman itu! Apakah karena ia semata-mata merindukan
sentuhan biologis, yang tak bisa diperolehnya dari Benny
selama bcberapa hari ini? Hitungan hari bagai hitungan
tahun, yang membara tiba-tiba harus dipadamkan seketika.
"Rasanya sudah nyaman, Pak?" tanya perawat.
"Oh... sudah, Sus. Biasa-biasa saja. Normal."
"Kayak apa kemarin-kemarin?"
"Seperti tidur saja," Arie ingat pengarahan ibunya.
"Nggak ada mimpi?"
"Nggak. Tidurnya lelap benar."
"Cuma begitu saja? Nggak bertemu malaikat?"
Arie tertawa. "Sayang sekali nggak tuh, Sus."
"Sayang sekali," keluh perawat itu kecewa.144
Perawat itu pergi dengan membawa berita kepada
rekan-rekannya. Bangga bisa mendapat info, biarpun tak ada
sensasinya.
"Dia sudah bisa berciuman lho," katanya.
"Dengan kamu?"
"Gila loe! Dengan istrinya dong!"
Sementara itu, Erwina mengingatkan Arie, "Jangan
begitu lagi ah. Malu, kan? Memang di rumah sendiri? Di
sini kan suster dan dokter keluar-masuk."
"Ya, ya. Tunggulah sampai di rumah."
Arie tersenyum. Erwina berdebar. Arie tampak tampan
dalam keadaan kusut seperti itu. Arie kemudian mengajak
Erwina duduk di sofa untuk mengobrol.
"Apakah benar yang kaukatakan kepada suster tadi
bahwa kau nggak ingat apa-apa?"
"Benar. Aku cuma tidur."
"Kau sudah mati, Ar. Sembilan jam lho. Kau sudah
dibaringkan di rumah duka untuk dikuburkan. Tiba-tiba
badanmu yang sudah dingin jadi hangat. Kau bernapas lagi.
Aku sampai pingsan karena kaget."
"Begitu, ya? Ceritakan dong."
Sebenarnya, Arie sudah mendengar ceritanya dari ibu
dan mertuanya, tetapi ia senang mendengar cerita dari mulut
Erwina. Ia senang mengamati wajahnya yang cantik. Wajah
itu memunculkan kembali ingatan demi ingatan di dalam
memorinya.
"Kau tahu, orang-orang penasaran sekali ingin
mendengar ceritamu. Aku yakin sekarang pun beritanya
sudah tersebar. Mereka pasti menyerbu ke sini kalau nggak
dijaga di luar. Mereka ingin dapat cerita eksklusif. Ada yang
berani bayar mahal."
"Bagaimana kalau aku bohong saja? Mengarang-
ngarang cerita, begitu," Arie tertawa nakal.
"Memang akan mengarang cerita apa?"
"Bertemu malaikat seperti kata suster tadi."145
"Ah, jangan. Nanti malah ketahuan bohongnya."
"Memang mereka bisa buktikan?"
"Eh, kau serius?"
"Aduh, untuk apa cari penyakit? Makin sensasional
ceritaku, makin penasaran mereka. Orang tak henti-hentinya
mengejarku."
"Jadi, memang nggak ada cerita apa-apa?" tegas
Erwina.
"Sementara ini nggak ada."
"Sementara?"
"Sekarang sih masih gelap. Siapa tahu nanti ber-
munculan di sini." Arie menunjuk dahinya.
"Kalau muncul aku diceritakan, ya?"
"Ya, tetapi kalau dibohongi juga kau nggak akan tahu."
Erwina mencubit Arie, lalu mereka tertawa.
Tiba-tiba muncullah Benny. Serta-merta tawa Erwina
hilang. Arie mengamati Benny sejenak, tampak mengingat-
ingat. Tiba-tiba ia melompat bangun dan menghampiri
Benny. Gerakannya ringan. Mereka berpelukan.
"Kau sudah sembuh total, Kawan?" tanya Benny.
Di balik punggung Arie, Benny beradu pandang dengan
Erwina. Tidak ada ekspresi yang ditunjukkan Erwina.
"Aku merasa dilahirkan kembali, Ben!" seru Arie.
"Kau memang kelihatan segar sekali, Ar," komentar
Benny.
Arie mengangguk dengan tertawa. Ia menggeser
duduknya, dan mengajak Benny duduk di sebelahnya. Dia di
tengah.
Menggunakan kesempatan itu, Erwina bangkit. Arie
menyambar tangannya. "Mau ke mana?"
"Ke kantin dulu, ya? Aku lapar. Kau mau kubelikan
sesuatu? Kau juga, Ben?"
"Nggak ah, sebentar lagi juga aku dapat makanan. Tuh
Benny kali mau."
"Nggak juga. Trims," sahut Benny.146
Erwina bergegas pergi. Di luar kamar ia merasa lega.
Tadi tanpa Benny ia sudah merasa nyaman bersama Arie.
Semakin lama Arie tampak semakin biasa. Sisi-sisi
menakutkan, yang tadinya terbayang dalam khayalan
semakin memudar dan kemudian lenyap. Bahkan Arie
seperti kembali ke masa lalu ketika hubungan mereka masih
hangat dan mesra. Dengan kemunculan Benny, ia menjadi
canggung. Ia khawatir Benny akan merasa tak senang.
Sebenarnya, Benny pun merasa lega dengan kepergian
Erwina. Ia tak perlu melihat adegan mesra antara Arie dan
Erwina.
"Apa saja pengalamanmu selama ini, Ar?" Benny
segera mengungkap keingintahuannya.
"Tidur."
"Ah, bukan itu. Rohmu pergi ke mana? Lewat lorong
panjang terus masuk surga atau neraka?"
"Entah surga atau neraka, tetapi di sana namaku nggak
ada. Jadi, disuruh pulang lagi."
Mereka berdua saling pandang, lalu tertawa. Sadar
bahwa masing-masing hanya bercanda.
"Jadi, nggak ada pengalaman apa-apa?" tegas Benny
lebih serius.
"Nggak ada tuh. Gelap. Seperti orang bangun tidur saja.
Tanpa mimpi," Arie berkata dengan lancar. Hafal sekali.
Sudah terlalu sering berkata begitu.
"Mungkin kau belum ingat saja, Ar. Suatu waktu
ingatan itu akan datang."
"Mungkin juga. Kalau ingatan itu datang, aku kasih
tahu."
"Betul, ya? Kasusmu luar biasa sekali. Ajaib malah.
Apakah kau sekarang nggak merasa beda dibandingkan
sebelumnya?"
Arie menggeleng. Serius, tetapi kemudian ia ter-
senyum.
"Ada bedanya, Ben."147
"Apa itu?"
"Perasaanku kepada Wina. Tambah cinta deh!" seru
Arie, dengan riang.
Benny mengalihkan mukanya sejenak untuk
menyembunyikan ekspresi kesalnya.
Arie merasa masih belum cukup. Ia mendekatkan
mulutnya ke telinga Benny, lalu berbisik. Serta-merta wajah
Benny memerah. Ia merasa panas. Ingin sekali ia menghajar
Arie, melumatnya sampai hancur hingga tak mungkin bisa
hidup lagi. Ia menyesal setengah mati, mengapa dulu tidak
memberinya lagi satu atau dua pukulan keras hingga
tempurung kepala Arie tak bisa menahan. Namun, ia cukup
sadar dulu dan sekarang berbeda. Sekarang Arie punya
kekuatan yang cukup untuk melawan, bahkan mengalah-
kannya. Semak?n lama semakin kuat.
Ia hanya bisa mengalahkan Arie dengan tipu daya, dan
tentu saja dengan bantuan Erwina.
Benny mengulurkan tangan ke belakang kepala Arie,
merabanya di situ. Tak terasa ada benjolan. Plester sudah
diangkat. Kebotakan di sekitar luka sudah ditumbuhi
rambut.
"Masih sakit?" tanya Benny.
"Nggak. Paling kalau ditekan ada rasa ngilu."
"Kau ingat bagaimana sampai dapat pukulan itu?"
Arie diam sejenak untuk berpikir keras hingga otot di
keningnya menonjol, lalu ia menggeleng dengan ekspresi
kecewa.
"Sudahlah!" Benny menepuk paha Arie. "Kasihan
otakmu. Istirahatkan dulu!"
"Ya," sahut Arie lirih hingga mengherankan Benny.
Begitu kecewanyakah Arie karena tak bisa mengingat
semua?
Benny tak tahan untuk tidak bertanya, "Kau kecewa
karena nggak bisa ingat?"148
"Tentu. Begitu aku ingat, aku akan segera tahu siapa
bandit itu."
Benny menyembunyikan senyumnya. Mana mungkin
Arie bisa tahu kalau dia dipukul sudah dalam keadaan teler?
"Sabarlah! Perlu waktu."
Arie tidak berkomentar, tetapi tatapan matanya
membara. Tampak dendam di situ. Benny merasa tak
nyaman melihatnya. Ia senang melihat kemunculan Dian
dan David. Ia jadi punya alasan untuk pamitan. Ia bergegas
ke kantin. Mudah-mudahan Erwina masih di sana.
Harapannya terkabul.149
8 "BEGITU ingatannya pulih," kata Benny, setelah
menceritakan pembicaraannya dengan Arie kepada Erwina
di kantin. "Dia akan ingat bahwa saat itu sebenarnya ia tidak
ke mana-mana. Ia ada di rumah bersamamu, Win."
Rona khawatir membayangi wajah Erwina.
"Aku mesti bagaimana?"
Erwina dijalari kepanikan. Ia sama sekali tidak berpikir
ke situ. Benny tidak pernah berkata begitu sebelumnya.
"Apa kaupikir dia akan secermat itu mengingat
detailnya?"
Erwina berkeringat dingin. Kalau henar, Arie akan ingat
bahwa dia roboh saat sedang bercinta dengannya bahkan
belum selesai. Kalau dia bisa telusuri maka itu terjadi
setelah dia menghabiskan minumannya.
"Tenanglah, Win! Dia nggak akan menyangka buruk
tentang dirimu kalau saja kau pintar berpura-pura. Kalaupun
terpikir ke situ, dia akan menyimpulkan ada bagian yang
hilang dari memorinya. Itu kan bisa saja. Dia toh bukan
superman," bujuk Benny.
Erwina tidak bisa ditenangkan sepenuhnya. Ba-
gaimanapun, ia harus menghadapi Arie sendiri. Tak ada
Benny di sampingnya. Mustahil bisa menelepon setiap saat.
"Aku yakin kau bisa mengatasi dia, Win. Aku omong
begitu bukan untuk menakuti, tetapi supaya kau bisa siaga."
Erwina termenung. Aduh, foto-foto di dinding itu. Arie
akan pulang besok Dia terikat harus tetap di situ. Tak ada
waktu untuk mengetnbalikan foto-foto itu ke tempatnya.
Ada satu yang pecah. Bagaimana menjelaskannya?150
"Ada apa? Masih belum yakin?" tanya Benny iba.
Masih ada hal lain yang menakutkan bagi Erwina.
Bukan lagi masalah zombie karena Arie sekarang sudah
tampil sebagai sosok yang riil.
"Kau percaya dengan roh, Ben? Aku takut rohnya bisa
melihat perbuatanmu waktu memukul kepalanya. Nyatanya,
rohnya itu bisa jalan-jalan, bahkan balik lagi ke tubuhnya."
Benny tertawa. "Jangan melantur, Win. Waktu di
rumahmu dia kan belum mati. Jadi, rohnya masih ada di
tubuhnya. Mana mungkin roh bisa keluar kalau ia masih
hidup?"
Jawaban itu bisa menenangkan Erwina. Cukup logis.
"Dia omong apa kepada kau waktu aku nggak ada?"
Benny tidak mau menceritakan apa yang dibisikkan
Arie. Bagi dirinya yang sudah merasa memiliki Erwina,
ucapan Arie itu terlalu vulgar. Bagaimana mungkin
mengulangnya, bila mengingatnya saja sudah membuat
hatinya panas?
"Dia bilang tambah cinta kepada kamu."
"Ah," Erwina tersipu.
"Jangan lupakan aku, Win, kalau nanti dia merayumu."
"Tentu saja, tetapi kau mesti ikhlas, Ben."
"Ikhlas bagaimana?" tanya Benny cemas. Dikiranya dia
harus melepaskan dan melupakan Erwina.
Erwina tersenyum. Dia merasa senang melihat
kecemasan Benny. Itu jelas sebagai pertanda cinta.
"Bukankah kau sendiri yang mengajari supaya aku
berpura-pura? Jadi, kalau dia merayuku aku nggak boleh
menolak, kan?"
"Oh, ya," keluh Benny. Tentu dia tidak melupakan hal
itu, tetapi setelah diingatkan perasaannya jadi terpukul.
Hari-hari ini ia terpaksa membayangkan Erwina bermesraan
dengan Arie.
"Apakah kau akan menikmatinya, Win?" tanya Benny,
sangat tidak re?a.151
"Aku akan membayangkan dia sebagai kau. Kalau
nggak begitu, bagaimana aku bisa berpura-pura dengan
baik? Nanti aku akan merasa diperkosa. Dia pasti akan
menyadarinya juga."
Sesaat Benny menatap Erwina lurus-lurus, menyelidik
dan mengusut. Bisakah hal seperti itu di-lakukan Erwina? Ia
sendiri tak pernah mengajari Erwina agar berbuat begitu.
Apakah berpura-pura hanya bisa dilakukan dengan
membayangkan seperti itu? Memang ada perasaan terhibur
bahwa dirinyalah yang dijadikan sosok bayangan itu, tetapi
makna baginya hampir tak ada. Sebagai sosok bayangan ia
tidak bisa ikut merasakan, baik secara fisik maupun psikis.
la tidak pernah bisa tahu kapan Erwina membayangkan
dirinya. Kalaupun Erwina memberitahu, ia malah akan
tersiksa dengan membayangkan macam-macam. Masih ada
lagi yang lebih penting. Bisakah Erwina bertahan dengan
cara seperti itu? Mungkin saja suatu saat Erwina tidak akan
lagi membayangkan dirinya saat bercinta dengan Arie
karena dia sudah menerima Arie sepenuhnya. Arie ganteng


Misteri Dua Cinta Dalam Satu Karya V Lestari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan pintar bercinta. Bila dibandingkan dengan dirinya
mungkin mereka berdua setara. Tak lebih tak kurang.
"Kau masih meragukan aku, ya?" tegas Erwina.
"Bukan meragukan kau, tetapi keikhlasanku belum
ada."
"Kalau kau percaya kepadaku, pasti kau ikhlas."
Benny sadar, ucapan Erwina benar. Ia memang kurang
memercayai Erwina. Ia selalu berpikir Erwina mesti
dipengaruhi dulu supaya patuh kepadanya. Pada suatu saat
itu memang benar. Ia yakin Erwina berhasil dimilikinya
karena kekuatan pikirannya. Untuk seterusnya, kekuatan itu
pula yang mengendalikan Erwina. Bisakah Erwina diajak
membunuh Arie bila tidak dipengaruhi?
Sekarang Benny mulai menyadari ada sesuatu yang
berbeda pada diri Erwina. Ada kekuatan lain yang ikut
mempengaruhi Erwina. Bukan semata-mata kekuatan152
pikiran Benny, tetapi kekuatan cinta! Erwina benar-benar
mencintainya.
Ada getar rasa senang, tetapi juga risau. Ia menyadari,
ada perasaan yang tumbuh dalam dirinya terhadap Erwina.
Sesuatu yang pada awainya tak ada. Ia pun mencintai
Erwina. Inilah yang merisaukan. Cinta Erwina merupakan
kekuatan karena tak perlu lagi dipengaruhi, tetapi cinta
dirinya terhadap Erwina adalah kelemahan!
Entah kapan cinta itu muncul. Ia tak tahu persisnya.
Pada awainya, ia hanya ingin memanfaatkan Erwina saja.
Dalam situasi demikian, ia memiliki kendali penuh terhadap
Erwina. Ia tak perlu dilemahkan oleh emosi. Sekarang cinta
itu ikut mengendalikan dirinya. Ada kecemasan dan
keresahan. Tanpa adanya cinta itu, ia bisa tak peduli akan
apa saja yang dilakukan Erwina dengan Arie.
Erwina tidak memahami jalan pikiran Benny.
Melihatnya lama termangu ia merasa iba.
"Kita kan nggak perlu lama-lama dalam situasi seperti
ini, Ben. Sabar saja," hibur Erwina.
"Maksudmu?"
Erwina menatap heran.
"Kok tanya lagi? Kau sendiri kan yang bilang, kita
harus jalani dulu sambil lihat situasi."
Benny seperti orang linglung.
"Oh, ya... ya. Tentu saja."
Erwina tambah iba, dan tambah cinta.
"Dari tadi aku sudah memikirkan bagaimana
menghadapi Arie. Aku memang akan berpura-pura sesuai
kesepakatan kita, tetapi aku juga belum tahu seperti apa sih
dia sekarang. Masih sama kayak dulu atau berubah. Ngeri
juga sih kalau dia berubah, jadi aneh misalnya. Namun, kan
belum tahu."
"Kau benar, Win. Aku cuma memikirkan diri sendiri.
Nggak ingat kepada kau yang langsung mengalami."
"Aku maklum. Kau lagi resah, ya?"153
Benny tertegun. Sekarang giliran dirinya yang
dinasihati dan dimaklumi.
"Kau harus yakin saja, Ben. Cintaku hanya untukmu."
Benny tambah tertegun.
"Hei, kok bengong melulu sih?!"
Erwina menepuk tangan Benny.
"Oh! Apa, ya? Cintamu hanya untukku?"
"Ya. Kurang dengar atau kurang yakin?"
"Dua-duanya," Benny tertawa.
"Aku akan menelepon nanti, Ben."
"Ya, tentu saja. Kita harus terus berhubungan."
"Sekarang aku akan kembali ke kamar. Dia akan ber-
tanya-tanya mengapa aku begitu lama."
"Baik. Pergilah! Dia nggak sendirian kok. Ada Dian
dan David. Aku juga mau pergi."
Sesaat mereka berpandangan. Ingin sekali berciuman,
tetapi itu tentu tidak mungkin. Jadi, hanya mulut mereka
saja sama-sama dimonyongkan.
Benny berlalu lebih dulu. Erwina tak segera pergi. Ia
mengambil ponselnya, lalu menghubungi ibunya.
"Ma? Mama di rumah, ya? Bisa tolong, Ma? Foto-foto
yang kutaruh di gudang tolong pasang lagi di kamar, ya?"
"Wah, aku kan nggak tahu urut-urutan memasangnya."
"Yang pasti, foto paling besar letaknya di belakang
tempat tidur. Minta bantuan Bibi saja, Ma."
"Tentu. Sendiri mana kuat? Heran juga kamu kok bisa
melakukannya sendirian. Mengapa sih sampai dikeluarkan?"
"Sudah, Ma. Nggak ada waktu untuk menerang-
kannya."
"Lalu, yang pecah bagaimana?"
"Yang itu...." Erwina berpikir sejenak. "Biarkan saja di
gudang. Kalau nanti dia tanya, bilang saja jatuh waktu ada
gempa. Mana dia tahu ada gempa atau nggak."
"Ya, deh. Dia besok jadi pulang?"154
"Kayaknya sih jadi. Paling nanti berobat jalan saja.
Tolong soal foto tadi ya, Ma?"
"Ya, aku tolong, tetapi kau harus janji dulu."
"Janji apa, Ma?" tanya Erwina, dengan kening berkerut.
la tak suka dengan permintaan ibunya itu, seolah-olah
pemerasan.
"Jangan judes dan kasar lagi terhadap aku."
"Oh, maaf deh, Ma. Aku lagi mumet. Maklumi saja ya,
Ma," bujuk Erwina. Permintaan seperti itu hanya masalah
kecil.
"Ya, baiklah. Sekarang kau di mana?"
"Di kantin. Sekarang akan balik lagi ke kamar. Di sana
ada Dian dan David."
"Ya, baliklah ke sana. Kau menginap?"
"Nggak tahu, Ma. Arie sih maunya begitu, tetapi aku
nggak bawa baju. Tadi kan langsung dari showroom."
"Ya, mestinya sih begitu. Kau kan istrinya. Begini saja,
nanti aku ke sana deh untuk membawakan baju dan yang
lain. Pesan apa lagi?"
"Itu saja, Ma. Bawa baju dua, ya. Satu baju ti-dur, satu
baju pergi. Jangan lupa sandal."
Setelah menelepon, Erwina kembali ke kamar Arie
dengan senyum di bibirnya. Ia percaya diri. Rasa takut
mengenai isu zombie sudah menguap sepenuhnya. Ia sudah
bisa menerima kenyataan yang ada. Arie sudah kembali,
utuh dan manusiawi. Tak ada gunanya mempertanyakan
mengapa bisa begitu. Memang semula rasa gentar itu masih
ada, bahkan sebelum bertemu Benny di kantin. Namun, info
dari Benny yang mengatakan bahwa Arie semakin
mencintainya memberinya kekuatan. Ia akan mampu
menghadapi Arie dengan baik.
* * *155
Menjelang malam, diam-diam Erwina berpesan kepada
perawat supaya Arie diberi obat tidur. Alasannya ia
khawatir Arie akan menderita insomnia karena sudah
kebanyakan "tidur". Perawat berjanji akan menanyakannya
dulu kepada dokter karena tak berani memutuskan sendiri.
Tak lama kemudian, ia sudah membawakan sebutir pil dan
menyodorkannya kepada Arie.
"Buat apa?" Arie heran.
"Dokter yang menyuruh, Pak."
Ucapan itu ampuh. Kalau diberitahu terus terang, pasti
Arie akan menolak. Ada banyak yang ingin dibicarakannya
dengan Erwina, dan tentu saja juga bermesraan. Jadi,
ditelannya pil itu.
Mereka duduk di sofa berdempetan. Tangan Arie
melingkari bahu Erwina.
"Jangan macam-macam, Ar. Malu dengan suster. Ingat,
ini bukan rumah kita. Setiap saat mereka bisa masuk ke
sini." Erwina mengingatkan.
"Ya, ya. Aku ingat. Kalau cuma begini saja kan nggak
apa-apa. Sebelum ada yang masuk, boleh dong minta cium
lagi?"
"Aduh, kau ini. Barusan kan sudah?!" Pipi Erwina jadi
memerah. Bibirnya masih terasa berdenyut-denyut. Maut
benar ciuman Arie. Luar biasa liar. Jadinya aneh dan asing.
"Sekali lagi saja, yang terakhir malam ini sebelum aku
jatuh tertidur. Boleh ya, Say?" rayu Arie, dengan mala
berbinar dan ekspresi memohon seperti anak kecil minta
mainan.
Ada rasa ngeri di hati Erwina. Apakah Arie jadi gila
seks atau hanya lapar seks? la tak berdaya menolak.
Bibirnya kembali dilumat habis. Lidah Arie terasa seperti
ular yang menyusup ke sana-sini. Kenikmatan berbarengan
dengan kengerian. Usai berciuman, ia merasa bibir dan
mulutnya mati rasa, la perlu meraba dulu bibirnya untuk156
mengecek apakah masih utuh. Dalam hati ia mengeluh, hari-
hari ke depan ia bisa kehilangan bibir.
"Ada apa?" Arie ingin tahu. "Apakah aku
menyakitimu?"
Arie mengusap bibir Erwina dengan lembut.
Erwina merasa terhibur. Setidaknya ada perhatian dari
Arie. Ia menggeleng. "Bukan sakit, tapi mati rasa. Habis
kau..."
"Maafkan aku, Win. Kayak orang kelaparan, ya?
Mungkin memang ya. Jadi malu, nih," Arie mengakui.
"Sudahlah. Aku maklum. Kau pergi lama, sih."
"Nggak lama, tetapi jauh."
"Oh, ya? Jauh ke mana?" Erwina punya alasan untuk
berganti topik dan mengulur waktu.
Wajah Arie berubah serius. Ia menggeleng. "Justru
karena nggak merasa apa-apa itulah jadi terasa jauh. Orang
tidur saja ada mimpinya. Ini kok nggak."
"Jadi, memang seperti itu yang kaualami?"
"Lho? Nggak percaya?"
"Bukan begitu. Aku ingat pesan Mama supaya kau
menjawab seperti itu kalau ditanya orang. Aku mengerti,
maksudnya supaya kau nggak dikejar-kejar orang media.
Kalau terhadap aku mestinya kan jangan disamakan dong."
"Eh, benar kok, Win. Sampai saat ini ingatanku
memang segitu. Kalau nanti ada perubahan, tentunya aku
akan cerita kepada kau dan Mama."
"Benar, ya?" Erwina tersenyum gembira.
"Asal saja kau nggak menjual ceritaku."
Erwina cemberut.
"Hei, aku bercanda kok. Sini!" Arie menarik bahu
Erwina.
Erwina menahan tubuhnya supaya tidak jatuh dalam
pelukan Arie. "Ssst... jangan nakal, Ar. Nanti kau nggak
bisa menahan diri. Ini kan rumah sakit."157
Arie tertawa. "Berdempetan begini bagaimana aku bisa
tahan."
Ia meniup telinga Erwina, yang menggelinjang
kegelian. Erwina mendorong pelan tubuh Arie.
"Mendingan kau pindah saja ke tempatmu sendiri.
Kalau kau ketiduran, aku nggak susah. Nanti aku nggak bisa
memindahkan kau. Masa aku yang tidur di sana. Pasiennya
kan bukan aku."
"Ya, deh. Aku pindah."
Sambil tertawa Arie menggeliatkan tubuh. Segan dan
berlama-lama. Erwina mendorongnya terus menuju ranjang.
Setelah Arie naik, Erwina mendorongnya lagi supaya rebah
dan menyelimutinya rapat-rapat. Arie tertawa geli.
"Memang aku bayi?" serunya.
"Kau bayi besar." Erwina menggelitik pinggang Arie,
yang kemudian terpingkat-pingkal.
Pada saat itu mereka terlalu ribut untuk menyadari
kehadiran dua orang perawat, yang baru saja masuk dengan
langkah perlahan. Keduanya menahan langkah, tak jadi
mendekat. Mereka adalah perawat jaga malam yang
bermaksud menyapa para pasien.
Kedua perawat itu, yang satu gemuk berusia sekitar
empat puluhan dan satunya lagi tinggi langsing berusia dua
puluhan, saling berpandangan dan tersenyum. Perawat yang
lebih tua, Suster Hani, menarik rekannya, Suster Tiara,
keluar ruangan. Untuk sesaat Tiara menahan tubuhnya dari
tarikan, tak ingin buru-buru keluar. Ia masih ingin meng-
amati pemandangan itu, terutama sosok Arie. Semua orang
sudah mendengar perihal Arie, tetapi ia baru melihatnya saat
itu. Tarikan Hani yang bertubuh dan bertenaga lebih besar
tak bisa ditahannya.
"Oh, aku masih ingin melihatnya. Tadi nggak jelas,"
keluh Tiara, setibanya di luar.
"Besok pagi masih bisa. Sekarang kan mengganggu.
Mana enak dilihati."158
"Besok katanya pulang."
"Pulangnya kan siang. Pagi-pagi kau masih bisa
melihatnya."
"Nanti aku yang memeriksa tensi dan suhunya, ya?"
kata Tiara, dengan nada memohon.
"Ya," sahut Hani ter?awa. Ia melirik Tiara, yang
berjalan di sampingnya dengan wajah serius. Gadis ini
cantik, dengan kulit putih mulus dan pipi merona.
"Ada apa, Tia? Tertarik kepada dia, ya? Ingat lho, dia
sudah ada yang punya," gurau Hani, setengah serius.
Tiara memonyongkan mulutnya.
"Aku tertarik pada pengalamannya, tahu? Semua orang
tertarik kepada dia. Bukan cuma aku. Memang Mbak
nggak?"
"Ah, aku sih biasa-biasa saja. Tertarik sih tertarik, tetapi
mau apa? Kita kan perawat. Bukan wartawan. Kalau ingin
tahu lebih banyak tunggu saja nanti beritanya."
"Ini beda, Mbak. Kita bisa lebih dekat bahkan
menyentuhnya."
"Ya, ya. Jangan lupa minta tanda tangannya."
"Ih, Mbak. Meledek."
"Dia sudah kayak selebriti saja. Dia memang cakep sih.
Kalau dipikir-pikir, seandainya dia jelek apakah dikerubuti
juga nggak, ya?"
Tiara tertawa tanpa menyahut. Dia ingin mengatakan
kayaknya dia pernah melihat Arie, tetapi tidak ingat di
mana. Wajah itu terkesan familiar baginya, padahal yang
pasti Arie bukan pemain film. Dia urung mengatakannya.
Nanti malah diejek dan dianggap mengada-ada.
Di sela-sela pekerjaannya, Tiara masih suka mengingat-


Misteri Dua Cinta Dalam Satu Karya V Lestari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ingat hal itu. Ada rasa penasaran. Kalau pikirannya
menemui kebuntuan, ia akan memarahi diri sendiri. Buat
apa buang waktu dan melelahkan pikiran?
* * *159
Sesaat lewat tengah malam, Arie terbangun. Ia ter-
sentak dan langsung duduk seperti mengalami kejutan
karena dibangunkan dengan keras dan mendadak. Matanya
membelalak lebar dan memandang ber-keliling. Perlu waktu
untuk mengingat kembali apa yang telah terjadi. Begitu
matanya menatap sosok Erwina yang terbaring di sofa, baru
ekspresinya memperlihatkan pemahaman. Wajah yang
semula tegang jadi melembut, lalu menyunggingkan se-
nyum.
Ia turun dari tempat tidurnya, lalu menghampiri sofa. la
duduk di samping Erwina, dan memandangi wajahnya yang
lelap dengan nyaman.
"Istriku yang cantik," katanya pelan. Ia membungkuk
untuk mencium, tetapi kemudian tak jadi. Ia merasa iba
untuk membangunkan. Seharusnya ia bisa lebih menahan
diri. Bila tiba di rumah nanti, ia bisa melakukan apa saja.
Sambil memandangi wajah Erwina, pikiran Arie terus
bekerja. Ia mencoba mengingat kembali apa saja yang
terjadi menjelang "kematiannya". Memorinya bagai
serpihan jigsaw puzzle, yang perlu disambung dan
dicocokkan. Ternyata, tidak berlangsung mulus. Ada
serpihan hilang, yang tak mau kembali. a sudah berusaha
mencocokkan dengan cerita ibunya, tetapi tampaknya tidak
lengkap. Mestinya ia juga memperoleh cerita dari Erwina.
Bukankah ia berada bersama Erwina sebelum katanya ia
keluar dari rumah? Mau ke manakah dia? Punya rencana
apa dia di luar rumah?
Sesaat ada kekalutan dalam menyusun serpihan itu.
Kembali pada masa yang sudah lewat. Apakah dia keiuar
rumah untuk memberikan tempatnya kepada Alex? Itu tidak
mungkin. Alex sudah meninggal. Dan... ah, waktu itu ia
sedang... sedang.... Matanya mengamati Erwina lebih tajam.
Ah, ya. Ia sedang bercinta dengan Erwina, tetapi... ada
serpihan besar yang hilang. Kebingungan menguasainya.160
Semakin dipikir, semakin membingungkan. Wajah Erwina
yang dipandangi tampak kabur dan jadi memusingkan.
Arie memejamkan mata. Mungkin sebaiknya ia tidak
memaksakan diri. Takut juga kalau-kalau kepalanya pecah.
Nanti ia bisa mati lagi, dan kali ini mati sungguhan.
Akhirnya, ia keluar dan membuka pintu menuju leras
yang menghadap taman. Di situ tenang dan sepi. Perawat
dan orang lain berlalu-lalang di lorong depan pintu satunya
lagi. Ia duduk dan melonjorkan kakinya di atas meja.
Kepalanya disandarkan ke belakang kursi. Nyaman dan
hening. Demikian pula perasaannya.
Situasi itu membuat ia tersentak oleh kesadaran. Ada
satu hal yang ia lupakan. Sesuatu yang seharusnya ia
lakukan sejak tadi-tadi. la menarik kakinya yang panjang
dari meja dan berdiri, lalu menjatuhkan diri ke lantai untuk
berlutut. la membuat tanda salib, berdoa, lalu mencium
lantai. Ia bersikap begitu selama beberapa saat. la bukan
orang religius, tetapi kesadaran memenuhi dirinya bahwa ia
se-patutnya bersyukur kepada Yang Mahakuasa. Bagai-
mana mungkin ia bisa bersikap seakan semua itu terjadi
dengan sendirinya atau karena memang sudah menjadi
haknya?
Dalam keadaan seperti itu, gorden jendela terkuak.
Wajah Tiara muncul di situ, mengintip ke luar. Dia bernapas
lega setelah melihat Arie. Tadi dia terkejut sekali ketika
melihat ranjang Arie kosong, dan di kamar mandi pun tak
ada. Hanya Erwina yang sedang lelap di sofa. Setelah itu, ia
buru-buru keluar untuk menemui Hani. Pada saat itu mereka
sedang santai. Tak ada pasien serius. Mereka hanya perlu
mengontrol sesekali, dan menjawab panggilan bel dari
pasien yang perlu bantuan.
Hani senior Tiara. Jadi, perlu dimintai pendapat dan
persetujuan.
"Ada apa?" tanya Hani, sambil menengadahkan kepala
dari majalah yang sedang dibacanya.161
"Mbak, sekarang kan lagi santai. Boleh nggak aku
mengajak Pak Arie berbincang sebentar?"
"Apa?" Hani membelalakkan matanya. "Memang dia
nggak tidur? Istrinya?"
"Istrinya tidur. Pak Arie ada di teras. Sebentar saja,
Mbak."
Hani menggeleng-geleng melihat wajah Tiara, yang tak
menyembunyikan keinginannya.
"Sana pergi. Asal jangan lupa waktu."
"Ya, Mbak. Terima kasih."
Dalam sekejap Tiara menghilang. Ia setengah berlari
menuju kamar Arie. Ia tidak melalui lorong yang biasa
karena masuk dari pintu depan berarti ia bisa mengganggu
tidur Erwina. Ia bisa langsung ke taman yang berhadapan
dengan teras masing-masing kamar. Pintunya terkunci,
tetapi ia sudah menyiapkan kuncinya di tangan. Setelah
membuka pintu dan masuk ia menguncinya lagi. Tak mau
ambil risiko ada orang tak berkepentingan ikut masuk.
Ia menjumpai Arie sudah duduk di kursi dengan kaki
berselonjor di atas meja. Acara doanya sudah selesai. Ia
terkejut melihat Tiara, lalu tersenyum malu. Kemudian,
keheranan melihat Tiara seperti terpaku mengamatinya
lama-lama. Apakah ada yang salah dengan dirinya?
"Ada apa, Sus?"
Tiara terkejut, tersadar dari pesonanya. Pipinya semakin
memerah. Malu sekali.
"Oh... eh... lagi apa, Pak? Kok nggak tidur?"
"Nggak bisa tidur lagi, Sus. Sudah habis pengaruh
obatnya. Enakan di sini. Udaranya segar."
"Nggak banyak nyamuk?"
"Nggak tuh. Biar digigit juga nggak apa-apa."
"Boleh saya temani sebentar, Pak?"
Arie bersikap siaga. Ia mengamati wajah Tiara lebih
cermat. Dari tadi suster dan dokter berupaya mengajaknya
bicara tentang masalah yang sama, yang satu ini pasti tak162
jauh berbeda. Suster yang satu ini cantik, wajahnya berbinar
oleh rasa takjub dan kagum. Sepasang matanya yang indah
berkilau mengekspresikan permohonan yang sulit ditolak.
Dia datang di saat Arie merasa sendiri dan kesepian. Jelas
berbeda. Jadi, biarkan saja dia bertanya karena jawabannya
pasti sama saja.
"Ayo duduklah, Sus. Lagi senggang, ya?"
"Ya, tentu. Kalau nggak, mana berani? Tadi saya
kebetulan mengontrol, dan kaget melihat Bapak nggak
ada. Di kamar mandi juga nggak ada. Tahunya di sini. Kalau
Bapak lagi ingin sendiri..."
"Ah, nggak. Saya senang ada yang menemani, apalagi
besok pulang."
"Senang sekali ya, Pak? Diberi kesempatan oleh Yang
Di Atas."
"Ya, tentu. Oleh sebab itu, tadi saya bersujud syukur.
Saya cuma bisa menerima kehendak-Nya. Nggak punya
kuasa apa-apa."
"Betul sekali, Pak. Kita cuma manusia. Disuruh mati,
ya mati. Disuruh hidup lagi, ya hidup."
Tiara bicara dengan penuh keseriusan hingga Arie
menatapnya heran. Tiara bicara seolah senasib dengannya.
Atau pernah senasib.
"Apa maksud Suster dengan 'kita'?"
Tiara tersenyum malu, tetapi ia merasa terdesak oleh
waktu. Jadi, tak bisa berpanjang-panjang.
"Saya pernah mati suri juga, Pak. Nggak lama sih.
Paling juga setengah jam atau kurang. Nggak tahulah
persisnya."
Arie duduk lebih tegak. Perhatiannya jadi lebih fokus.
"Oh, ya? Kapan terjadinya, Sus?"
Tiara berpikir sejenak. Benaknya menghitung-hitung. la
menyebut sebuah tanggal. "Ya, setahun lebih begitu, Pak.
Saya sudah di sini. Sakit demam berdarah, lalu dirawat.
Waktu itu teman-teman bilang, saya sudah mengalami syok,163
lalu koma. Katanya napas sudah putus, detak jantung sudah
hilang. Dikira mati. Mereka berusaha dengan segala cara.
Hitungan waktunya juga teman-teman yang bilang. Tahu-
tahu semua jalan lagi. Saya bangun, dan melihat mereka
sudah menangis-nangis. Entahlah apa itu yang namanya
mati suri. Ada yang bilang ya, ada yang bilang bukan."
Arie termenung.
"Waktunya memang terlalu singkat dibandingkan
pengalaman Bapak, ya?" Tiara melanjutkan. "Mungkin juga
bukan mati suri. Kalau Bapak sih sudah jelas banget. Luar
biasa!"
Sekarang, Arie menilai Tiara dengan sikap yang
berbeda.
"Apa pengalaman Suster waktu pergi ke alam sana?"
"Saya merasa berada di suatu tempat yang serba-putih,
melayang ke sana kemari. Kalau orang lain katanya lewat
lorong panjang, begitu. Saya kok nggak. Mungkin lewat
juga, tetapi nggak merasa. Ada sosok-sosok lain, yang juga
melayang-layang. Saya bingung di mana dan sedang apa.
Cuma itu saja."
"Terlalu singkat," komentar Arie.
"Ya, beda dengan Bapak. Sampai sembilan jam. Pasti
banyak yang Bapak alami. Apakah Bapak melewati lorong
juga?"
Arie menatap Tiara dengan curiga. Jangan-jangan gadis
ini cuma mengarang saja untuk memancing ceritanya, tetapi
kelihatannya terlalu tulus untuk berbuat begitu.
"Sayang sekali. Sampai sekarang saya belum ingat apa-
apa."
"Memang perlu waktu, Pak. Jangan dipaksakan. Nanti
jadi sakit kepala. Dulu saya juga begitu."
Arie menyesali kecurigaannya. Ia mengangguk. "Ya,
memang begitu. Saya sudah mencoba, tetapi nggak berhasil
ingat apa-apa."164
Tiara berdiri. Ia merasa sudah terlalu lama di situ. Hani
bisa marah.
"Sudah ya, Pak. Terima kasih. Saya senang bisa sharing
dengan Bapak. Maksud saya, Bapak nggak usah terlalu
banyak memikirkan soal itu. Bukan Bapak saja yang
mengalami. Ada orang lain juga. Cuma beda waktunya
saja."
"Saya juga terima kasih, Sus."
Waktu Tiara akan melangkah pergi, Arie mengejarnya.
"Sus, boleh minta nomor HP-nya? Kita tukaran, yuk? Siapa
tahu nanti ada hal-hal yang bisa kita diskusikan."
Tiara setuju dengan senang hati. Ia merogoh sakunya.
Ada buku notes berikut pulpen. Ia menulis, lalu menyobek
Iembarannya dan diberikan kepada Arie. Arie melakukan
hal yang sama. la sudah me-miliki ponsel baru dengan
nomor baru karena yang lama sudah lenyap. Dian yang
memberikan.
"Oh, Suster nggak bawa HP?"
"Kalau lagi tugas nggak bawa. Takut mengganggu."
Tiara mengamati wajah Arie agak lama sebelum
berlalu.
"Ada apa?" tanya Arie.
"Saya yakin pernah melihat Bapak di suatu tempat,
tetapi lupa."
"Oh... ya, mungkin Suster pernah beli mobil di tcmpat
saya."
Tiara tertawa. "Wah, nggaklah. Saya nggak punya
mobil. Sudahlah. Nggak apa-apa."
Tiara berlalu dengan tergesa-gesa. la tak mendengar
Arie bicara, "Mungkin yang kaulihat itu saudara kembarku."
Arie duduk kembali seperti semula. Perasaannya jadi
beda setelah berbincang dengan Tiara. Kekhawatirannya
lenyap sebagian. Dia bukanlah orang aneh seperti sangkaan-
nya semula. Dia kembali merenungkan cerita Tiara tadi, lalu
tersentak dengan mendadak. Tanggal yang disebutkan Tiara165
tadi! Bukankah tanggal "kematian" Tiara sama dengan
tanggal kematian Alex? Tadi ia tidak sempat meng-
hubungkan.
Dulu Alex dibawa ke rumah sakit ini, dan kemudian
meninggal di sini juga. Sementara itu, Tiara juga dirawat di
sini sampai sempat "meninggal". Mungkinkah Tiara melihat
Alex pada saat itu, ketika keduanya terbebas dari tubuh yang
membelenggu? Bisa dimaklumi kalau Tiara tidak mema-
haminya, dan hanya mengatakan "pernah melihat".
Mungkin di alam sana dia melihat banyak wajah, dan wajah
Alex hanya salah satu hingga tak ingat di mana pernah
melihatnya.
Arie menjadi tegang dan gelisah. Kalau mengikuti
nalurinya, ia akan mengikuti ajakan kakinya untuk segera
berlari mencari Tiara dan bicara lebih jauh dengannya
mengenai hal itu. Namun, ia bisa menahan diri. Ini bukan
saat yang tepat. Masih ada saat lain. Ia sudah mengantongi
nomor telepon Tiara, dan tahu di mana sehari-hari gadis itu
berada. Takkan ke mana-mana. Pikiran itu menenangkan. Ia
akan menjadikan pertemuan dengan Tiara sebagai salah satu
prioritas utama dalam rencananya.
Arie kembali masuk ke dalam kamar, ingin ke kamar
mandi. Ketika melewati sofa tempat Erwina masih terbujur
lelap, ia berhenti sejenak. Memandangi diam-diam. Tiba-
tiba muncul dorongan ingin memeluk dan mencium Erwina.
Ia harus bergulat untuk mengatasi keinginan itu. Tidak
boleh. Ia sampai berkeringat dingin dalam usahanya itu.
Akhir-nya, ia berhasil juga. Dengan mengentakkan
kakinya ia berjalan menuju kamar mandi. Di situ ia ber-
sandar sebentar ke dinding. Lelah dan bingung. Ada apa
dengan diriku? Aku seperti seorang maniak seks yang tak
bisa menahan nafsu.
Ketika keluar dari kamar mandi ia sudah kembali
tenang dan terkendali. Ia memutuskan tidak kembali ke166
ranjangnya. Ada kekhawatiran kalau-kalau dorongan tadi
muncul lagi bila yang bisa dipandangi hanya Erwina.
Ia keluar dari pintu, yang menuju lorong. Berjalan
pelan-pelan, menengok kanan-kiri. Ada orang-orang,


Misteri Dua Cinta Dalam Satu Karya V Lestari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

keluarga pasien yang menunggu, dengan wajah lelah dan
mengantuk. Tidak ada keriangan di wajah-wajah itu.
Barangkali cuma dirinya yang tengah bergembira dan
optimis. Ia masih ingat ketika menunggui Alex, yang
terkapar sakit di rumah sakit yang sama tetapi beda bagian.
Dia juga seperti itu. Takut akan maut, yang tampaknya terus
mengintai di tiap sudut. Alangkah tipisnya beda antara
hidup dan mati. Alangkah berharganya hidup. Tiba-tiba rasa
takut menyergapnya. Bagaimana kalau hidupnya ini hanya
sementara saja? Besok lusa mati lagi untuk seterusnya? Juga
muncul kesadaran bahwa si pembunuh masih ada di suatu
tempat. Pasti orang itu marah dan penasaran karena ia hidup
lagi. Bukankah itu bisa membuat ia mengulang per-
buatannya? Dirinya tidak tahu siapa orang itu. Ia tidak tahu
harus waspada dan berjaga dari siapa dan bagaimana.
Baru sekarang pikiran itu menguasainya. Tadinya ia
seolah kehilangan logika dan kekritisan terhadap situasi.
Cuma takjub semata. Dengan rasa malu ia harus mengakui
bahwa ia terlalu dikuasai hasrat seksual, seolah tak ada hal
lain yang lebih penting dalam hidup ini.
Ia melihat Tiara keluar dari kantor perawat dengan
langkah buru-buru. Jalannya ke arah dirinya. Tiara ter-
senyum. Arie membungkuk sedikit dengan senyum juga.
Rasanya tenteram melihat gadis itu. Beban takut tadi hilang
sebagian.
Ketika berpapasan, Tiara mengatakan, "Jangan lama-
lama di luar, Pak. Sebentar lagi akan ditensi."
"Sekarang juga saya kembali ke kamar."
Arie segera membalik tubuh karena arah kamarnya
sesuai dengan arah yang dituju langkah Tiara. Menggunakan167
kesempatan itu, Arie berkata, "Nanti saya telepon ya, Sus.
Atau SMS saja dulu?"
"Boleh. Soalnya saya nggak tahu kapan bebas tugas
atau dapat tugas apa."
"Baik. Terima kasih."
Tiara mengangkat tangannya ketika Arie tiba di depan
pintu kamarnya. Tiara berjalan terus. Arie masih mengamati
sampai Tiara menghilang di balik sebuah pintu. la memang
ingin berbincang lagi dengan Tiara, tetapi sekarang hal itu
tidak lagi menjadi prioritas utama. Prioritas utama adalah
bicara dengan detektif itu, Martin!168
9 SELASA menjelang siang, barulah prosedur kepulangan
Arie selesai. Masih ada pemeriksaan ini-itu dan urusan
administrasi yang perlu diselesaikan dulu. Juga masih ada
hal lainnya yang tidak lazim. Para dokter dan perawat ingin
foto bersama. Belum lagi yang memotret sendiri dengan
ponsel mereka. Masih ada yang meminta tanda tangan.
Hiruk-pikuk itu belum cukup. Wartawan berdatangan, baik
dari media cetak maupun dari media elektronik. Mereka
menjepret-jepret dan mengerubuti Arie.
Arie tak bisa menghindar. Mau tak mau ia harus
melayani mereka. Kalau tidak dihadapi ia akan terus dikejar
karena mereka benar-benar gigih. Itulah sebabnya, ia
terpaksa menjawab pertanyaan sambil membiarkan dirinya
disorot kamera.
"Sayang sekali. Saya tidak punya pengalaman apa-apa
selama berada dalam kondisi tak sadar. Baik selama
sembilan jam dalam keadaan yang disebut mati maupun
selama dua hari dalam kondisi koma saya merasa seperti
tidur saja. Tidur yang lelap tanpa mimpi. Hanya itu saja," ia
berkata dengan mantap. Ekspresinya tanpa keraguan karena
memang itu yang sebenarnya.
Komentar dan reaksi kecewa bermunculan. Mereka
menginginkan cerita yang sensasional dan bisa
membangunkan bulu roma orang. Tak mungkin me-
maksakan cerita kalau memang tak ada. Terpaksa mereka
bubar.169
Arie mencari-cari dengan matanya, tetapi tidak melihat
Tiara. Mungkin masih istirahat. Dia habis jaga malam, dan
nanti malam masih harus berjaga. Tadi pagi sebelum pulang
Tiara sempat menemuinya di kamar untuk mengucapkan
selamat jalan. Kembali Arie berjanji menelepon setelah
pulang nanti.
Martin datang terburu-buru. Ia sudah dikirimi SMS oleh
Susan, yang memberi tahu bahwa Arie akan segera pulang.
Ia ingin melihat suasana pelepasan Arie, yang sudah
diduganya akan berlangsung meriah. Arie tercatat sebagai
pasien luar biasa, dan tak ada duanya dalam sejarah rumah
sakit itu.
Martin menyalami Arie.
"Pak Martin, senang melihat Anda," kata Arie spontan.
Ia teringat akan pemikirannya semalam.
Martin tersenyum, dan merasa surprise melihat sikap
Arie. Ia tahu itu bukan basa-basi. Tentu saja dia juga senang
mendengarnya. Ada sesuatu yang positif dari sikap Arie.
"Kita semua di sini merasa senang melihat Anda begitu
sehat dan bersemangat," sahut Martin.
Melalui sudut matanya ia menangkap gerakan menjauh
Erwina, yang semula berada di samping Arie. Tidak ada
Benny di antara orang-orang di situ.
"Saya perlu bicara dengan Anda nanti, Pak," kata Arie.
"Oh, ya. Saya juga ingin bicara dengan Bapak. Kapan
saja Anda inginkan, saya bersedia. Nomor HP saya sudah
ada pada Bu Susan," sahut Martin, lebih senang lagi. Ini
pertanda positif lain.
"Baiklah. Secepatnya saja, ya? Saya ingin masalah ini
cepat clear."
"Saya juga. Ini kasus saya, Pak."
Martin mengangguk kepada Susan dan Katrin. Erwina
melengos, pura-pura tak melihat dan berbincang dengan
perawat di sebelahnya.170
Keluarga Arie lengkap menjemput. Dian dan David
minta izin dari kantor mereka. Pastinya juga ada Erwina,
Susan, dan Katrin. Mereka akan berangkat dengan dua
mobil, yang satu mobil David dan satunya lagi mobil Arie.
Waktu datang mobil itu dikemudikan Susan karena Erwina
tak sempat pulang. Mereka memang membutuhkan dua
mobil.
Sebelum mereka memasuki mobil, Benny datang.
Melihatnya, Martin menyusup di antara orang-orang yang
masih berkerumun supaya tidak terlihat jelas. Dengan
demikian, ia bisa mengamati dengan leluasa. Ia mengamati
ekspresi Erwina. Tampak Erwina tersenyum dan
melambai. Wajar-wajar saja. Bahkan ia tidak mendekat.
Demikian pula Benny bersikap biasa. Hal itu tentu wajar
karena mereka berada di tengah orang banyak.
Benny berpelukan dengan Arie, saling menepuk
punggung. Terlihat erat dan dekat. Tatapan Martin tidak
fokus kepada kedua orang itu, melainkan kepada Erwina.
Nalurinya menangkap tatapan yang intens dan ekspresi
mencemooh lewat gerakan bibir yang setengah senyum.
Sinis!
Pada saat berikut, Erwina berpaling dan matanya
bertemu dengan tatapan Martin! Erwina tampak kaget
karena tak menyangka akan bertemu pandang dengan
Martin. Ketika Martin tersenyum sambil menganggukkan
kepala, Erwina melengos. Sebelumnya ia sempat melempar
tatapan geram. Mau apa lihat-lihat?
Sebenarnya, Martin ingin ikut serta dalam iring-iringan
keluarga Arie. Ia ingin tahu lebih banyak, apa yang akan
terjadi di rumah Arie nanti. Kalau dia minta kepada Susan
pasti diajak, tetapi rasanya dia harus tahu diri. Dia bukan
anggota keluarga atau sahabat keluarga.
Martin tetap mengikuti iring-iringan itu dari belakang
dengan motornya. Kendaraan itu membuat ia lebih leluasa
karena tak begitu kentara di antara begitu banyak171
pengendara motor lainnya. Ia melihat Benny mengikuti
dalam iringan paling belakang. Erwina mengendarai mobil
Arie, sedangkan Arie duduk di sebelahnya.
Martin terus mengikuti sampai iring-iringan tiba di
rumah Arie. Ketika tiga buah mobil memasuki halaman
rumah, Martin berhenti di seberang. Ia berjongkok di sisi
motornya, dan membuka helmnya yang terasa panas.
Dengan begitu, ia bisa berlindung di balik motor dan
berbuat seakan ada yang tidak beres dengan motornya. Ia
menjalani pekerjaannya sebagai mata-mata.
Sekitar seperempat jam kemudian, ia melihat mobil
pertama keluar, yaitu mobil Benny. Disusul mobil David. Di
dalam mobil kedua ini terdapat Dian dan ibunya, Susan.
Bila mobil Benny langsung meluncur pergi, mobil David
berhenti sejenak di mulut pintu pagar yang terpentang lebar.
Rupanya mereka merubungi mobil sejenak. Tampak Susan
mencium Arie dan membelai-belai kepalanya, lalu Susan
mencium Katrin. Arie mencium pipi Dian dan menyalami
David, begitu juga Erwina. Mereka saling mencium dan
menyalami. Setelah itu, ketiga orang itu menjauh dari mobil,
yang meluncur pergi dengan iringan lambaian tangan. Pintu
pagar ditutup. Tak ada lagi yang bisa terlihat.
Martin pun pergi. Ia menuju showroom Arie, ingin tahu
apakah Benny berada di situ. Ternyata, dugaannya benar.
Benny tampak sibuk mengatur ini-itu. Mungkin tempat itu
sudah buka sejak tadi pagi, lalu ditinggal Benny sebentar
untuk ikut menjemput Arie. Ada yang berbeda di tempat itu.
Suasananya tampak semarak dengan karangan bunga dan
pita warna-warni, yang disilang-silangkan di atas plafon
kantor. Jelas mereka bersiap menyambut kedatangan Arie.
Martin tahu, sebentar lagi Arie akan datang maka ia
memutuskan untuk menunggu. Salah satu pekerjaannya
adalah mengintai sambil menunggu. Pekerjaan yang melatih
kesabaran dan kecermatan. Kadang-kadang tidak mendapat
hasil apa-apa, tetapi tak boleh kecewa.172
Ia tidak perlu menunggu terlalu lama. Sekitar setengah
jam kemudian ia melihat mobil Arie memasuki halaman
showroom. Arie tampak bersama Erwina. Rupanya Arie
tidak ingin berlama-lama di rumah. Tampak karyawan
hiruk-pikuk berlarian menyambut bos mereka. Sosok-sosok
berseragam oranye berbaris berjajar dengan Benny di depan.
Martin tidak mau mengamati lebih jauh lagi. Baginya
itu sudah cukup. Rupanya Benny berupaya menyenangkan
hati Arie.
Dengan terharu Arie menyalami para karyawannya,
yang menyambutnya dengan ucapan selamat. Lucu,
pikirnya. Selamat untuk apa? 'Selamat datang kembali ke
dunia' atau 'Selamat karena berhasil lepas dari neraka'?
Ada dua karangan bunga di kiri dan kanan pintu masuk,
yang satu bertuliskan "Selamat kembali!" Itu dari para
karyawan. Karangan bunga yang lain khusus dari Benny,
dengan tulisan satu kata "Selamat!" Mungkin Benny
bingung juga akan menulis apa, pikir Arie dengan perasaan
geli.
Setelah hiruk-pikuk usai, barulah ia leluasa me-
mandang ke sekitarnya. Hanya dalam hitungan hari ia
"pergi", tetapi perlu waktu untuk mengenali dan mengakrabi
kembali. Otaknya harus bekerja ekstra keras dulu untuk
mengembalikan memorinya. Begitu memorinya kembali
maka selanjutnya akan lancar saja. Meskipun khawatir akan
kondisi otak-nya, ia merasa harus bersyukur karena masih
bisa mengatasi. Ia harus menerima kenyataan memang tak
ada yang sempurna, termasuk sesuatu bernama "keajaiban".
Ketika proses pengenalannya usai, barulah ia menyadari
bahwa Benny dan Erwina tengah meng-amatinya dengan
tatapan ingin tahu. Ia tersenyum.
"Bagaimana rasanya?" tanya Benny.
"Wah, takjub!" seru Arie.
"Nggak lupa, kan?" tegas Erwina.173
"Nggak sih, hanya perlu waktu untuk ingat lagi," Arie
menunjuk dahinya.
"Kalau begitu, kau nggak kena amnesia dong."
"Kayaknya nggak. Kalau amnesia tentu namaku sendiri
nggak kuingat."
Selama berada di situ, Arie memanfaatkan waktunya
untuk mempelajari lagi bisnisnya. Kadir yang men-
dampinginya. Ketika Erwina dan Benny mengajaknya
makan siang di luar, Arie menolak. Ia amat bersemangat
untuk mengingat dan mengetahui kembali semua yang telah
ia tinggalkan.
"Pergilah kalian makan! Aku akan pesan makanan saja
untuk dimakan di sini. Kita makan sama-sama ya, Dir?"
Kadir setuju saja. la senang, dan merasa dihargai.
Bersama-sama mereka kembali mengamati data-data di
komputer dan catatan tertulis. Arie tak mau bergantung
sepenuhnya pada komputer.
Arie bagai mengulang pelajaran, yang sudah di-
hafalnya sebelumnya. Tinggal mengingat saja lagi. Tak ada
yang hilang dari memorinya. Cuma perlu penyegaran saja.
Tiba-tiba Kadir tersentak ketika mereka menelusuri data
pembayaran cicilan kredit mobil pelanggan. Tak semua
orang diberi fasilitas itu. Hanya mereka yang diyakini bisa
dipercaya. Ia tidak menemukan data atas nama Benny, yang
belum melunasi pembayaran mobilnya. Baik di dalam
komputer maupun catatan tertulis data itu tidak ada.
"Kau cari apa, Dir?"
"Oh... eh...." Kadir ragu-ragu. Ia khawatir mengata-
kannya. Benny teman baik Arie dan Erwina, sedangkan dia
hanya karyawan. Tanpa bukti berupa data-data itu, apakah
Arie masih ingat transaksi kredit mobil Benny? Nyatanya,
sekarang saja dia perlu mengulangi lagi semuanya ber-
dasarkan data yang ada. Tanpa data bisakah dia ingat dan
percaya? Hal yang penting bagi Kadir adalah kepercayaan.174
Ia tidak ingin kehilangan pekerjaan. Ia punya keluarga yang
harus dinafkahi.
"Nggak apa-apa, Pak. Saya cuma lupa. Mungkin perlu
waktu untuk mengingatnya lagi," kata Kadir, tertunduk
malu.
Arie tertawa geli. "Kamu ini lucu, Dir. Jangan-jangan
ketularan aku, ya?"
Kadir tertawa juga. Ia menyukai bosnya, dan tulus
berharap bos tidak mati lagi.
Erwina dan Benny merasa sangat lega bisa berdua lagi.


Misteri Dua Cinta Dalam Satu Karya V Lestari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Saat-saat seperti itu kehhatannya akan jarang mereka
dapatkan.
"Dia percaya kepada kita," kata Erwina.
"Untuk sementara. Aku sarankan, kau harus me-
mikirkan jawaban apa yang akan kauberikan kalau ditanya
soal malam terakhir dia di rumah sebelum kita kerjai dia.
Kelihatannya dia memang perlu waktu untuk mengingat
lagi. Kelihatannya dia nggak amnesia."
Erwina tampak panik. "Tentu aku sudah berpikir ke
situ, tetapi belum menemukan jawabannya. Bantu aku dong,
Ben."
"Terus terang aku juga bingung."
"Aduh, bagaimana sih kau?!"
Erwina kehilangan selera makannya. Sejauh ini, yang
dilihatnya dari Arie hanyalah nafsu seksnya. Dia merasa
aman dalam hal yang satu itu. Bila hasrat itu sudah
terpenuhi, pikiran rasional Arie akan kembali. Arie sudah
mendengar cerita tentang kasusnya. Malam itu dia keluar
dari rumah. Ia pamit pergi ke rumah teman, tetapi kemudian
tak kembali sampai ditemukan di selokan dalam keadaan
sekarat. Sebenarnya, dia tidak ke mana-mana, malah sedang
bercinta. Ia diberi minuman, yang kemudian membuatnya
teler hingga gairahnya terputus.175
"Saat terakhir yang dia ingat mestinya saat minum itu,
bukan? Setelah minum dia teler," kata Benny, sambil
merenung.
"Bagaimana kalau dia curiga minuman itulah yang
membuatnya teler?"
Erwina menatap Benny dengan cemas.
"Gampang. Bilang saja setelah minum dia pergi. Kalau
dia bersikeras nggak ingat, bertahan saja dengan cerita itu.
Memang itu kan ceritamu kepada polisi? Bilang kepadanya,
mungkin ada bagian memorinya yang hilang. Nggak semua
bisa kembali."
Erwina mengangguk-angguk. Masuk akalkah bila orang
setelah bercinta dengan mengeluarkan energi cukup besar
masih punya keinginan keluar rumah untuk hal yang tidak
penting? Inginnya tentu tidur bahkan sering kali orang
malah jatuh tertidur karena kehabisan energi. Pemikiran ini
sudah tentu tak bisa ia sampaikan kepada Benny.
Tampaknya ia harus mencari upaya sendiri.
"Kau nggak kelihatan puas, Win. Jangan takut-takut
begitu. Percaya diri dong."
Erwina cemberut.
"Ayolah, optimis dong," bujuk Benny. "Sampai saat ini
kau sudah bersikap tabah dan berani. Masa sekarang takut
lagi."
Erwina memperlihatkan senyumnya.
"Nah, begitu dong, Say."
"Selanjutnya bagaimana, Ben?"
"Sebaiknya jangan berpikir terlalu jauh ke depan. Jalani
yang sekarang dulu. Kita harus mempelajari perkembangan
Arie. Siapa tahu..." Benny merenung.
"Kau berharap dia mati lagi, kan?"
"Ya, secara wajar tentunya," Benny mengakui.
"Dengan demikian, kita nggak perlu capek-capek lagi"
Perasaan Erwina tersentak, tetapi ia tak mau mem-
perlihatkan. Ia mulai tak menyukai perbincangan itu.176
"Setelah Arie kembali ke showroom, kau akan
melakukan apa?" tanya Erwina.
"Tentu saja aku mundur. Aku akan kembali pada
pekerjaanku."
"Aku pun akan kembali ke butikku."
"Bagaimana kalau dia memintamu untuk men-
dampinginya? Kau kelihatannya senang di showroom."
"Lihat saja nanti. Tergantung mengajaknya bagai-
mana."
"Bagaimana apa?" Benny mengerutkan kening.
"Sungguh-sungguh atau hanya basa-basi. Dulu kan dia
nggak pernah mengajak. Boro-boro disuruh membantu,
sekadar menjenguk atau lihat-lihat saja juga nggak."
"Kalau kau jadi di sana, butikmu bagaimana?"
"Tutup saja, atau kucari orang yang mau membeli."
Benny tampak kecewa. "Sebenarnya, kalau kau punya
usaha sendiri itu namanya mandiri. Di showroom kau
bergantung kepada dia. Nggak beda dengan karyawan."
"Beda dong. Aku pemilik juga."
Benny terdiam. Kekecewaan menjadi kejengkelan. Dia
memutar-mutar gelasnya. Tak mau menatap Erwina.
"Hei, ngambek ya? Jangan sensi begitu, dong," bujuk
Erwina. "Aku tersinggung dibilang sama kayak karyawan.
Itulah sebabnya, aku jawab begitu. Memang sih omongan-
mu itu benar. Di butikku aku jadi bos, tetapi di showroom
aku hanya istri bos. Paling jadi kasir atau pemanis ruangan."
"Nah, pertimbangkan itu dong."
"Butikku merugi terus, Ben. Punya utang lagi, padahal
karyawan harus dibayar. Mau promosi perlu modal."
"Minta kepada Arie. Mumpung dia lagi baik."
Erwina termenung sejenak. Ia tak ingin mengecewakan
Benny pada saat seperti itu. Masalah satu belum selesai, ada
lagi yang lain.
"Baiklah. Akan kucoba. Kapan ya omongnya?"177
"Besok seperti biasa kau bersiap pergi ke butik. Dia
tentu juga akan ke showroom. Pasti dia akan tanya-tanya.
Saat itulah kau omong."
"Kalau dia nggak tanya?"
Benny menyembunyikan kekesalannya. Ia tak mengerti
mengapa Erwina jadi cerewet seperti itu. Bersikap bodoh
pula.
"Sudahlah. Kau akan menemukan sendiri saat yang
tepat. Kalau dia nggak mau membantu, aku mau kok."
Erwina tersenyum senang. Sebenarnya, tawaran seperti
itulah yang ia tunggu. Memang belum pasti ia terima, tetapi
itu tanda perhatian dan kesungguhan.
"Baiklah. Sementara ini seperti biasa saja dulu, ya?"
"Ya. Ingatlah! Bila kau di butik aku bisa lebih leluasa
menemuimu, kalau di showroom nggak bisa."
"Betul juga," Erwina baru menyadari hal itu.
"Oh... ya, aku perlu kasih tahu, Win. Hapus semua SMS
antara kita! Jaga-jaga saja."
Erwina mengambil ponselnya, lalu mengerjakan
instruksi itu di depan Benny. "Kalau ditunda bisa lupa,"
katanya.
Sebelum kembali ke showroom mereka saling mem-
berikan pernyataan cinta. Terasa perlu untuk mengatakan-
nya sebagai penguatan.
"Jangan tinggalkan aku, Win."
Erwina agak surprise mendengar kata-kata Benny.
Nadanya kedengaran tulus dan serius. Mengingatkan, tetapi
juga memohon. Kelihatannya bukan kebiasaan Benny.
Di bawah meja tangan keduanya bertemu, lalu
berpegangan erat. Jari-jemari saling berkaitan, membelai
dan meremas. Aliran darah dari tangan mengalir ke mana-
mana. Panas dan gairah menjalari sekujur tubuh. Rasanya
bisa gila menahan diri dari keinginan dan gejolak yang
muncul. Perlu kekuatan untuk menarik tangan masing-
masing.178
Setibanya di showroom, Benny hanya menurunkan
Erwina. Ia sendiri pergi.
"Ke mana Benny?" tanya Arie.
"Katanya, ada urusan."
"Tadinya aku mau minta tolong jaga di sini sebentar.
Kukira kau sendiri juga bisa, ya? Aku perlu pergi sebentar
saja."
"Kau mau ke mana?"
"Ada janji dengan klien. Kau bisa, kan? Ada Kadir
yang bisa membantu."
"Aku bisa," Erwina percaya diri. Dia sudah belajar
untuk tampil anggun sebagai pemilik.
Arie tersenyum, dan mengangguk dengan puas. Semula
bermaksud mencium pipi Erwina sebelum pergi, tetapi
merasa kurang nyaman dilihat orang. a hanya menepuk
lengan Erwina.
Erwina sudah berdebar ketika menyangka Arie akan
memeluknya, tetapi merasa lega kemudian. Arie sudah tidak
bertingkah gila lagi seperti di rumah sakit. Dia sudah
berangsur-angsur normal.
"Mau ke mana sih Pak Arie?" Ia bertanya kepada Kadir.
"Nggak tahu, Bu. Tadi teleponan, tetapi nggak tahu
dengan siapa."
Saat-saat berikutnya, Erwina tak punya waktu lagi
untuk merenung. Dengan Kadir di sampingnya, ia sudah
tenggelam dalam kesibukan melayani pelanggan. Terasa
menyenangkan hingga ia jadi bersemangat. Memang terasa
sekali bedanya dengan melayani calon pembeli baju di
butiknya. Ia segera melupakan pembicaraannya dengan
Benny tadi.
* * *179
Arie tidak menggunakan mobil karena kafe tempat
janjiannya dengan Martin tidak terialu jauh. Cukup berjalan
kaki.
Martin sudah menunggu di tempat parkir motor. Begitu
melihat Arie, barulah ia buru-buru mendekat. Ia merasa
kurang nyaman menunggu di dalam mangan kafe karena
khawatir kalau-kalau Arie datang terlambat. Nanti dikira
hanya menumpang duduk saja.
"Ayo!" ajak Arie, sambil memegang lengan Martin.
Bagi Martin, sentuhan itu berarti keakraban. Ia
menyukai awal yang bagus. Biasanya, sesuatu yang berawal
baik akan berakhir baik pula.
Mereka memilih tempat di sudut setelah memesan kopi
dan makanan kecil. Ketika Arie mengambil dompetnya
untuk membayar, Martin melirik mengamati.
"Dompetnya baru, ya?" tanya Martin.
Arie menyodorkan dompetnya untuk diamati lebih
jelas. Martin hanya melihat sepintas. Itu memang tidak
perlu.
"Ini bukan baru, Pak. Saya punya beberapa. Kadang-
kadang suka tertarik melihat dompet di toko, lalu saya beli,
padahal yang dipakai masih yang lama."
"Dompet yang jadi barang bukti itu, kan? Bu Susan
bilang dompet itu sudah lama sekali, tetapi masih bagus.
Anda suka menyimpan uang logam di bagian pinggir yang
ada ritsluiting-nya. Sampai sekarang masih seperti itu?"
Arie tertawa. Ia memperlihatkan isi dompetnya, yang
berisi beberapa lembar uang kertas. Bagian yang tertutup
ritshiiting kempes.
"Sekarang nggak ada logamnya karena saya baru hari
ini keluar rumah. Belum belanja ini-itu. Jadi, belum dapat
uang kembalian."
"Waktu itu ada, kan? Banyak?"180
Arie berpikir sejenak. "Memang ada. Kayaknya selalu
ada. Mustahil uang kembalian dibuang, biarpun hanya
seratus rupiah. Saya nggak ingat banyaknya."
"Pokoknya ada, kan?"
"Apa itu penting?"
"Artinya, perampok itu juga mengambil uang logam.
Kata Bu Susan, dia rakus. Dompet Anda ditemukan masih
dalam saku celana, tetapi kosong melompong."
"Kalau begitu, dapat duitnya sedikit."
"Anda ingat bawa duit berapa?"
Arie menggeleng. Tampak bingung.
"Kartu-kartu masih ada?" Martin menunjuk dompet di
meja.
"Oh, ya. Kartu-kartu nggak pernah saya bawa kalau
pergi malam. Saya taruh di laci sehingga nggak repot kalau
ada kejadian seperti itu. Mesti diblokir tentunya, tetapi..."
Arie tak meneruskan ucapannya. Ia menggaruk
kepalanya. Dahinya berkerut dalam.
"Tetapi apa?" tanya Martin.
"Saya bahkan nggak ingat pergi ke mana."
"Itulah pertanyaan paling penting yang akan saya
tanyakan. Ke mana Anda berniat pergi, dan siapa nama
teman Anda yang akan Anda datangi?"
"Sudah saya katakan, saya nggak ingat pergi ke mana."
"Niatnya mau apa juga nggak ingat?"
"Nggak. Ibu saya juga sudah menanyakan hal yang
sama. Saya sudah memikirkannya sampai ke-pala serasa
mau pecah. Betul-betul nggak bisa ingat."
"Apa saja yang Anda lakukan pada hari Jumat malam
sebelum kepergian Anda yang misterius itu? Bisa ingat dan
ceritakan?"
Arie menghirup kopinya dulu.
"Saya bisa cerita lancar karena sudah mengingat-ingat.
Berulang-ulang sampai mentok. Dimulai dari saya pulang
kerja, lalu bertemu istri. Usai makan bincang-bincang181
sejenak, lalu... ehm, ehm... (Arie diam sejenak, tersipu. Tak
mungkin terus terang.) Martin memaklumi. "Cerita yang
penting saja. Nggak usah detail."
"Saya membawa hadiah untuk Erwina. Sebuah kalung
yang saya pakaikan ke lehernya. Saya mengajaknya
mengobrol di... ehm... di ranjang. Istri saya mengambil
minuman. Kami minum bersama, lalu... ya... lalu..." Arie
tersendat lagi. Katanya tak usah detail, tetapi kelihatannya
penting juga.
"Saya mengerti. Kalian bercinta," kata Martin serius.
"Betul, Pak. Itulah yang terakhir. Kelihatannya saya
tertidur sesudah itu. Nggak ingat lagi. Mungkinkah sesudah
itu saya bangun, kemudian pergi?" Arie menatap Martin
dengan pertanyaan dalam hati. Kau masih lajang, tetapi
mustahil kalau belum pernah bercinta? Tahu kan
sesudahnya kayak apa? Lemas kan? Inginnya tidur?
Pertanyaan itu tak is ucapkan. Mestinya tahu sendiri.
"Mungkin saja kalau saat itu Anda dapat telepon
penting yang memanggil Anda."
"Wah, nggak ingat tuh."
"Erwina nggak ditanya?"
"Dia nggak cerita soal telepon. Kayaknya sih nggak
ada. Anda menanyainya? Apakah dia cerita tentang apa
yang kami lakukan?"


Misteri Dua Cinta Dalam Satu Karya V Lestari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tentu saja nggak. Anda saja malu-malu, apalagi dia."
"Nah, seperti itu saja, Pak. Cuma sampai di situ ingatan
saya. Boro-boro ingat bawa dompet isi uang berapa dan apa
saja di kantong, bagaimana saya bisa pergi dari rumah pun
saya bingung."
"Katanya, Anda biasa pakai taksi kalau keluar malam."
"Kata Erwina? Ya, memang begitu."
"Ke mana saja Anda suka pergi? Benarkah ke rumah
teman untuk main catur? Siapakah nama teman itu, dan di
mana tinggalnya? Masa yang dulu-dulu pun nggak ingat."182
Arie termangu. Sebenarnya, ia sudah menyadari suatu
saat akan dihadapkan pada pertanyaan seperti itu. Mana
mungkin ia bisa bercerita kepada orang lain, polisi
sekalipun, bahwa ketika Alex masih hidup ia suka bertukar
tempat dengannya untuk bercinta dengan Erwina? Hanya
ada satu jawaban yang masuk akal dan bisa diterima.
"Dulu saya suka ke apartemen Alex, kembaran saya,
untuk mengobrol dan sedikit minum. Itulah sebabnya, saya
nggak mau menyetir. Takut mabuk. Setelah Alex
meninggal, saya kehilangan. Saya nggak lagi suka pergi
malam seperti itu. Kalau pulang malam sih ya. Waktu itu
hubungan saya dengan Erwina lagi retak."
"Ada orang ketiga?"
Arie terkejut. "Orang ketiga siapa?"
"Dari Anda atau dari istri Anda?"
"Saya sih nggak. Swear, Pak."
Arie mengangkat jarinya. Martin tertawa.
"Saya percaya. Kalau bohong pun bisa ketahuan kok."
"Anda boleh selidiki, Pak. Silakan saja."
"Istri Anda bagaimana?"
"Wah, saya nggak tahu. Silakan Anda selidiki juga, lalu
kasih tahu saya," Arie tertawa.
"Bagaimana hubungan Anda dengan Benny?"
"Baik-baik saja. Dia teman main saya dan Alex sejak
kecil."
"Sampai sekarang masih akrab?"
"Oh, ya."
"Ketika Anda meninggal dan terbaring di rumah duka,
tampak dialah yang banyak memberi support kepada Bu
Wina. Mereka duduk berduaan terus."
Tiba-tiba Arie jadi tergelitik ingin tahu. "Anda juga ada
di rumah duka? Bagaimana Erwina? Apakah dia menangisi
saya?"
"Saya sendiri nggak melihatnya menangis. Mungkin di
rumah, ya. Ibu Susan-lah yang terus-terusan menangis.183
Dialah yang pertama kali menemukan tanda kehidupan pada
diri Anda. Kalau dia nggak terus berada di samping Anda,
mengusap-usap dan membelai, pasti nggak ada yang tahu."
"Mama memang hebat. Setelah kehilangan Alex,
sayangnya kepada saya jadi berlipat ganda."
"Itu bisa dimaklumi. Dalam diri Anda dia melihat dua
orang."
Arie tertegun mendengar kata-kata itu.
"Ada apa? Saya salah omong?" tanya Martin heran.
"Nggak. Justru Anda bicara benar. Dalam diri saya ada
dua orang."
Sebenarnya, Arie hanya bercanda, tetapi Martin
tertegun.
"Maksud Anda?" Martin bertanya serius.
"Lho, kan tadi Anda sendiri yang memulai omong
begitu. Ya, seperti itulah." Arie tertawa.
"Saya kan mengumpamakan. Bukan arti senyatanya."
"Itu terserah penilaian Anda saja. Dalam sebuah kata,
apalagi kalimat, bisa terdapat lebih dari satu makna."
"Aduh, bicara Anda mendalam amat, ya. Apakah sejak
dulu Anda begitu?" tanya Martin.
"Nggak tahu juga. Saya nggak bisa menilai diri
sendiri."
"Ceritakan tentang saudara kembar Anda." Martin jadi
terdorong ingin tahu, padahal masih banyak hal yang lebih
relevan dengan kasus Arie.
"Fisik kami sama persis, tetapi watak berbeda. Menurut
saya, dengan perbedaan itu justru kami saling mengisi. Hal
yang nggak ada pada saya, ada padanya. Demikian pula
sebaliknya. Hal itu nggak kelihatan di luar. Orang lain
melihat kami sama saja, sulit membedakan. Sebenarnya,
kalau mau diamati lebih saksama nggak sulit kok. Mereka
cuma lihat fisik semata."
"Apakah istri Anda bisa membedakan?"
Arie tertawa. Ia menggeleng.184
"Benny? Dia teman sejak kecil, kan?"
"Sekali waktu dia bisa membedakan. Lain kali dia
keliru juga. Kami suka memperdaya dia."
"Ibu Susan pasti bisa, kan?"
"Saya kira begitu. Hanya di depan Mama kami nggak
pernah pura-pura sama terus."
Martin geleng-geleng. "Wah, repot juga menghadapi
kalian."
Arie menatap arlojinya. Tatapan Martin juga ke situ.
"Arloji baru?"
"Bukan, yang lama. Arloji yang baru itulah yang
diambil penjahat. Sekarang sudah menjelang sore, Pak. Mau
diteruskan? Sebaiknya pindah tempat saja. Kelamaan di
sini."
"Saya pikir nggak cukup waktu hari ini untuk mem-
bicarakan semuanya. Saya masih ingin mengajak Anda ke
tempat kejadian perkara. Bersedia sekarang atau besok saja?
Nggak perlu memaksa diri. Anda kan baru pulang dari
rumah sakit. Jangan sampai kelelahan."
Martin pantas merasa cemas. Kalau Arie sampai
terkapar lagi maka itu tentu salahnya.
Arie berpikir sejenak. Ia bersemangat dan tidak merasa
lelah.
"Saya mau, Pak. Apakah saya kembali dulu ke
showroom untuk ambil mobil?"
"Nggak usah. Saya boncengi motor saja, Pak. Saya
bawa helm cadangan kok. Kalau disangka ojek saya terima.
Lumayan buat tambahan."
Arie tertawa. Semakin lama dia semakin menyukai
Martin. Gaya interogasinya seperti dialog. Orang tak akan
takut bicara. Hal yang akan dirahasiakan bisa jadi malah
keluar sendiri.
Ia menelepon Erwina dulu.
"Win, kayaknya aku nggak kembali deh. Nanti kalau
saatnya tutup, tutup saja, ya? Kau pulang sendiri, bisa kan?"185
"Memang kau mau apa? Jangan capek-capek."
"Terus terang aku bertemu Pak Martin. Bincang-
bincang tentang kasusku. Sekarang dia mengajak aku ke
TKP. Ingin lihat selokan di mana aku ditemukan."
Erwina tak segera bicara.
"Win? Masih di situ? Aku pergi, ya?"
"Naik apa? Kan mobil di sini."
"Aku dibonceng motor. Mobil kau saja yang pakai."
"Baik. Hati-hati!"
Motor yang membawa Martin dan Arie meluncur pergi.
* * *
Erwina berdiri mematung sejenak. Ponsel masih di
tangannya. Ia memandang berkeliling sejenak. Hanya ada
satu-dua orang, yang tengah melihat-lihat. Kadir dan
karyawan lain bisa menangani. Begitu sampai pada
negosiasi harga, baru dia turun tangan.
Ia menghubungi Benny.
"Ada apa? Ada apa menelepon?" Suara Benny
kedengaran khawatir.
"Tenang. Dia nggak ada."
"Kalau begitu, ada apa?"
"Dia menemui si intel," kata Erwina, dengan me-
rendahkan suaranya.
"Cepat atau lambat pasti itu akan terjadi."
"Mereka mau ke TKP."
"Oh, ya? Biar saja. Memang ada apa?"
"Ya, nggak apa-apa, tetapi..."
"Kau panik, ya? Tenang saja, Win."
"Rasanya nggak enak saja, begitu."
"Kau mau aku ke situ? Dia kembali lagi, nggak?"
"Katanya sih nggak. Aku disuruh pulang sendiri."
"Kalau begitu, nggak usah panik. Tenang."186
"Aku takut tempat itu bisa menggugah pikirannya.
Nanti dia..."
"Nggak mungkin, Win. Dia sudah nggak sadar. Nggak
mungkin dia bisa tahu."
"Rohnya..."
"Duh, Win. Rohnya kan belum keluar. Sudah! Tenang
saja, ya!"
Pembicaraan berakhir tanpa Erwina merasa lebih
tenang. Sebaliknya, ia jadi tambah gelisah, padahal tadi ia
begitu percaya diri. Ia tahu apa yang dikatakan Benny benar,
tetapi ia tetap merasa tak nyaman. Ia juga tahu pikirannya
suka mengada-ada, tetapi sulit melepaskan diri dari pikiran-
pikiran itu. Datang seolah menghantui, tetapi tak bisa diusir.
Memang benar ketakutannya tidak logis. Dia sadar benar hal
itu. Namun, bukankah kembalinya Arie dari kematian juga
merupakan sesuatu yang tidak logis?187
10 MARTIN menjalankan motornya perlahan-lahan menyusun
bagian depan area permukiman, yang bentuk rumahnya
hampir sama. Sebuah permukiman kelas menengah. Begitu
tiba di tujuan, ia meng-hentikan motornya. Arie turun dari
boncengan, lalu memandang ke sekitarnya.
"Ini lokasinya?"
"Ya. Ada yang teringat?"
Arie berpikir cukup lama, lalu dia menggeleng dengan
ekspresi kecewa.
"Saya belum pernah ke sini."
"Oh, ya? Memang belum pernah atau nggak ingat? Itu
beda lho."
"Tentu salah satu dari keduanya. Di selokan sebelah
mana saya ditemukan?"
Martin membiarkan motornya di tepi jalan, lalu dia
menyusuri selokan yang tampak bersih dari sampah.
Lebarnya sekitar satu meter. Ada rumah yang menutupnya
dengan beton. Ada pula yang ditutupi bambu, kemudian di
atasnya ditaruh pot-pot tanam-an hias. Dia agak lupa lokasi
persisnya, yang pasti bukan di selokan yang tertutup.
"Di mana?!" teriak Arie karena Martin sudah berjalan
cukup jauh.
Martin mengangkat tangannya, menyuruh tunggu. Ia
berjalan lagi. Tempo hari, saat kejadian, cuaca gelap karena
malam hari. Sekarang juga menjelang gelap.
"Lagi cari apa, Pak?"188
Ia mendengar suara teguran di sampingnya. Seorang
pria setengah tua mengawasinya dengan tatap curiga.
"Saya mencari lokasi di mana korban pembunuhan
ditemukan pada hari Jumat malam lalu. Oh... ya, saya
reserse. Di sana rekan saya."
Martin menunjuk Arie, lalu menggapai. Dengan sigap
Arie menjalankan motor mendekati Martin.
Sikap pria setengah tua itu berubah segan.
"Adanya di seberang sana, Pak. Mari saya tunjukkan."
"Terima kasih."
Mereka menyeberang jalan. Arie menuntun motor
Martin. Berkali-kali ia berupaya melindungi wajahnya dari
tatapan pria penunjuk jalan itu. Ia merasa dikenali, dan jadi
khawatir akan menghadapi pertanyaan-pertanyaan yang
membosankannya.
"Nah, di sini."
Si penunjuk jalan menunjuk selokan, lalu kembali
mengamati Arie. Saat itu, Arie tidak lagi memedulikan
tatapan pria itu. Ia mengamati selokan, yang airnya mengalir
pelan. Jadi, di situ aku berbaring. Kasihan sekali kuyup dan
bau tentunya.
Kehadiran seorang warga di dekat kedua orang itu jadi
mengganggu komunikasi, apalagi pria itu tampaknya tidak
bermaksud pergi buru-buru bahkan ia mulai mengoceh.
"Beritanya ramai ya, Pak? Tadi saya lihat di teve.
Ternyata, si korban hidup lagi setelah mati sembilan jam.
Bayangkan! Korban itu kok mirip dengan Bapak ini, ya?"
Pria setengah tua itu menunjuk Arie.
Arie tersenyum. "Tentu saja bukan."
"Maaf, ya," kata pria itu, meskipun tampaknya kurang
percaya. Matanya masih menelusuri tubuh dan wajah Arie.
Akhirnya, Martin memutuskan segera berlalu setelah
melihat ada warga lain yang mendekati. Mereka mengucap-
kan terima kasih, lalu cepat-cepat pergi.189
Di sebuah restoran mereka mampir untuk memesan
minuman.
"Anda bisa lupa juga rupanya, ya," kata Arie, sambil
tertawa.
"Untung ada yang menunjukkan. Nah, bagaimana kesan
Anda melihat lokasi itu?"
"Kesan? Hal yang terpikir adalah rasa kasihan pada
tubuh saya. Sudah dipukul dari belakang, lalu dijoroki ke
got."
"Anda pikir begitu? Dijoroki atau didorong? Bisa saja
dipukul sampai terjatuh masuk got."
"Bisa saja begitu. Bagaimana sih tepatnya posisi saya
waktu itu? Telentang, tengkurap, atau menyungsep?"
Martin berpikir, mengingat-ingat. "Ketika saya ke sini,
warga sudah memindahkan Anda ke tepi jalan. Itu memang
harus. Katanya, kepala Anda menyungsep ke air dan satu
kaki Anda di pinggir jalan. Kalau nggak diangkat Anda bisa
banyak kemasukan air. Saat itu, Anda masih hidup. Kalau
dibiarkan lama-lama bisa mati di situ. Anda kan matinya di
rumah sakit."
Arie termangu, kembali merasakan keanehan menjalari
dirinya. Mungkin sebenarnya dirinya tidak sama sekali
normal. Ada yang berbeda, walaupun dia sudah menjalani
berbagai pemeriksaan dan testes yang kesemuanya tidak
memperlihatkan kelainan. Apakah itu terletak pada salah
satu atau beberapa indranya? Perasaannya memang berbeda.


Misteri Dua Cinta Dalam Satu Karya V Lestari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Apakah itu psikis, bukan fisik?
Martin mengamatinya. "Ada apa? Ada yang nggak
beres?" ia bertanya dengan cemas. Dalam hati berharap,
Arie baik-baik saja. Jangan sampai dia mati lagi.
Tanpa segan, Arie menceritakan perasaannya.
"Pernah sesekali muncul rasa takut, bagaimana kalau
saya jadi monster atau alien!" katanya, di akhir cerita.
"Wah, jangan sejauh itu, Pak. Jangan sampai diri Anda
dikuasai pikiran-pikiran negatif. Anda harus melawan dan190
menentang kalau muncul pikiran begitu. Justru Anda harus
bersyukur. Bukankah banyak orang yang memohon-mohon
agar nyawanya nggak dicabut sehingga mendapat
kesempatan memperbaiki kesalahan? Anda mendapat
kesempatan itu. Anda bisa memperbaiki hubungan dengan
siapa saja yang tadinya nggak baik."
"Betul sekali, Pak. Mungkin juga perasaan ini muncul
karena masih baru. Lama-lama bisa hilang."
"Mudah-mudahan saja begitu. Kembali pada kasus
Anda, sungguhkah Anda nggak ingat lokasi itu barang
sedikit atau sekilas saja?"
"Nggak ingat."
"Jadi, tetap mentok pada saat Anda usai bercinta, lalu
nggak ada lagi ingatan sesudah itu?"
"Betul. Cuma sampai di situ."
"Saya optimis ingatan itu akan kembali. Cuma perlu
waktu saja. Anda kan sudah bilang, semuanya perlu waktu."
"Mudah-mudahan saja begitu, Pak."
"Jangan dipaksakan. Biarkan saja muncul sendiri. Itu
bisa terjadi lho."
Arie mengangguk. Tiba-tiba merasa lelah karena
pikirannya serasa tersumbat. Ia harus berhenti memikirkan
soal itu.
"Kelihatannya Anda sudah capek. Mau pulang, Pak?"
tanya Martin simpati.
:Sebentar lagi saja, Pak. Enak berdiskusi begini.
Dengan Erwina atau Mama nggak bisa."
"Omongnya santai saja, Pak. Jangan jadi beban."
"Oke. Banyak orang tanya, apa saja pengalaman saya
selama mati. Anda tentu sudah tahu jawaban yang saya
berikan."
"Oh, ya. Itu sudah tersebar ke mana-mana. Benarkah
begitu?"
"Sebelumnya, saya diajari Mama agar memberi
jawaban seperti itu sehingga nggak susah nanti. Saya setuju.191
Saya bukan semata-mata setuju dengan pendapat Mama,
tetapi memang demikian adanya."
Martin menatap kecewa. Dia justru sangat ingin tahu
tentang bagian yang satu itu.
"Semua gelap saja ya, Pak Arie?"
"Betul. Setelah saya pikir-pikir, seolah-olah kegelapan
itu bukan terjadi dengan sendirinya."
Martin tertegun. "Maksud Anda?"
"Ada yang memblok memori saya di situ."
Martin sempat ternganga sejenak. Merinding.
"Siapa?" tanyanya, dengan suara lirih.
Arie mengangkat bahu. "Mana saya tahu. Ada satu
kesadaran yang muncul begitu saja, entah dari mana
datangnya, bahwa itu demi kebaikan saya sendiri. Lebih
baik saya tidak punya beban tentang itu. Lebih baik tidak
tahu. Ambil saja manfaat yang saya dapat, dan jangan ber-
harap lebih."
"Wah, itu bagus, Pak. Saya salut dan setuju. Positif
sekali pemikiran Anda ilu. Kalau misalnya saya ajak Anda
ke ahli hipnotis untuk membangkit-kan kenangan yang
hilang, maukah Anda?"
"Tanpa ragu-ragu saya bilang, nggak mau!" kata Arie
tegas.
"Pernahkah Anda membaca cerita tentang orang-orang
yang mengalami mati suri seperti Anda, meskipun hitungan
waktunya tak terlalu lama?"
"Katanya, mereka melewati lorong cahaya dan bertemu
malaikat."
"Maukah Anda mendengar cerita tentang pengalaman
saya? Sebenarnya, saya bukan mati suri, tetapi kata dokter
tiga perempat mati."
"Mau sekali," sahut Arie tertarik.
Setelah Martin selesai bercerita tentang pengalamannya,
berikut kunjungannya ke psikiater yang menghipnotisnya,192
Arie berkata, "Menarik sekali, Pak. Jadi, Anda terobsesi
juga, ya. Apakah itu bukan beban?"
"Entah. Mungkin bisa juga dibilang begitu."
"Kalau begitu, apa tujuannya dengan mengumpulkan
cerita-cerita seperti itu?"
"Kepuasan batin saja, Pak."
"Kalau dibohongi bagaimana?"
"Itu sih nasib. Saya berharap nggak. Kalaupun memang
bohong, ya sudah. Hal yang benar kan mati surinya. Bisa
dicek. Mungkin juga saya akan mendirikan komunitas mati
suri."
Arie tertawa. "Anda nggak mengalami itu. Baru melihat
mata kucing saja kok."
Martin tertawa juga.
"Oh, ya. Di rumah sakit ada perawat, yang pernah
mengalami mati suri juga. Kami sempat berbincang
sebentar. Saya dikasih nomor HP-nya. Sudah janji mau
bicarakan lagi hal itu, padahal saya nggak bisa cerita apa-
apa."
Martin tertarik. "Nanti kenalkan dong, Pak, kalau
janjian dengan dia. Saya ingin dengar juga ceritanya."
"Nanti Bapak saya kabari kalau saya bikin janji dengan
dia. Kemarin sih semangat, tetapi sekarang nggak yakin
lagi."
"Ah, mengapa?" Martin khawatir.
"Soalnya dia cantik. Kalau istri tahu bisa cemburu."
Info itu membuat Martin semakin bersemangat.
"Ayolah! Anda nggak boleh melanggar janji."
"Jangan khawatir. Kasus saya diprioritaskan, ya?" Arie
mengingatkan.
"Tentu."
"Biarpun kasusnya jadi bukan pembunuhan lagi?"
"Kasusnya memang jadi penganiayaan berat, yang
tujuannya membunuh. Kalau Anda nggak sampai mati tentu
bukan berkat jasa si pelaku, tetapi diri Anda sendiri."193
"Bukan saya, tetapi Yang Di Atas."
"Ya, begitulah," Martin tak mau mendebat.
Mereka berjalan ke tempat parkir. Masih berbincang.
Sama-sama enggan berpisah karena ada begitu banyak hal
yang belum tuntas dibicarakan. Mereka berjanji akan
bertemu lagi besok.
"Jaga diri baik-baik, Pak Arie."
"Tentu saja. Hidup ini berharga sekali. Orang selalu
bilang, hidup hanya sekali. Saya malah dikasih dua kali.
Anugerah yang nggak boleh disia-siakan."
"Tahukah Anda apa yang saya maksud dengan jaga diri,
Pak Arie?" tanya Martin, dengan menatap wajah Arie.
"Tentunya hidup sehat dan jangan menempuh risiko
bahaya."
"Bukan hanya itu. Ada yang jauh lebih penting. Bisa
jadi Anda punya musuh yang nggak kelihatan. Dia pernah
berusaha membunuh, tetapi nggak ber-hasil. Bukan nggak
mungkin dia akan mencoba lagi."
"Ya, ya. Tentu saja. Walaupun sulit ya, Pak. Karena dia
nggak kelihatan."
"Selama ini Anda punya musuh? Saingan bisnis atau
orang sakit hati?"
"Rasanya nggak."
"Pikir pelan-pelan saja. Mungkin ada, tetapi belum
terpikir."
Pesan Martin itu yang diingat Arie sepanjang perjalanan
pulang. Ia memanggil taksi, dan menyebut alamat
rumahnya. Beberapa saat kemudian ia mengubah tujuannya.
la ingin bertemu ibunya dulu. Semata-mata dorongan naluri.
Seorang ibu, apalagi ibu yang penuh kasih seperti Susan,
adalah tempat yang paling aman di dunia. Pada saat itu
dambaan akan rasa aman seolah-olah penuh menyesaki
dirinya.
* * *194
Katrin menyambut kedatangan Erwina.
"Lho, kok sendirian? Ke mana Arie?"
"Dia menemui si intel," Erwina tak mau menyebut
nama Martin. Sebal.
"Oh, Martin. Bagaimana sih polisi itu. Tunggu besok
lusa atau kapan-kapan kek. Arie kan perlu istirahat. Otaknya
bisa capek kalau dicecar pertanyaan. Kan yang trauma
otaknya. Bagaimana kalau..."
"Aku pikir Arie baik-baik saja, Ma," Erwina memotong
ucapan ibunya.
"Dari luar kelihatannya begitu. Kita nggak tahu
dalamnya," Katrin menunjuk dahinya.
"Jangan menakuti, Ma. Tadi sih dia bisa ingat lagi
semuanya setelah belajar kembali sebentar."
Erwina masuk ke kamarnya. Tadi, sepulangnya dari
rumah sakit, dia belum sempat mengamati situasi kamarnya.
Ia melihat foto yang kacanya pecah sudah terpajang lagi.
Kacanya sudah diganti. Ia mendekat dan mengamati dengan
saksama. Sama sekali tak kentara ada kerusakan pada foto
itu. Ia memang tak menyobeknya, hanya mengotorinya.
Sekarang dua wajah penuh senyum menatapnya. Terasa
mengejek. Ia cepat berpaling.
Katrin ada di belakangnya.
"Sudah rapi, kan? Mama yang memasangkan kaca dan
membersihkan foto itu. Cuma kotor dan lecek sedikit. Kau
nggak perlu cari alasan kalau Arie tanya. Soal gempa mana
mungkin kausampaikan. Dia bisa tanya orang. Kapan ada
gempa, masa foto lain nggak berjatuhan juga."
"Terima kasih, Ma," sahut Erwina, lega campur kesal.
"Kau nggak begitu senang kelihatannya. Apa sih yang
kaupikirkan?"
"Ah, Mama mau tahu saja."
Melihat ibunya cemberut, baru Erwina menyadari
kesalahannya. Ia cepat memeluk ibunya.
"Maaf, Ma. Aku memang lagi ingin marah-marah."195
"Mengapa? Mestinya kau senang dong Arie sudah
kembali."
Erwina melepaskan pelukan, lalu duduk di tepi ranjang.
Tiba-tiba melihat ranjang itu ia bergidik. Katrin menubruk
dan merangkulnya. Tubuh Erwina gemetaran dalam
pelukannya.
"Hei, ada apa?" tanya Katrin cemas.
Erwina terisak. Katrin membiarkan dulu. Di satu sisi, ia
senang karena kelihatannya ia telah mendapatkan kembali
putrinya yang hilang. Di sisi lain, ia cemas akan adanya
sesuatu yang mengerikan.
Erwina berhenti terisak, menjadikan baju ibunya
sebagai pengering mata dan hidung.
"Nah, sekarang cerita! Ada apa? Mana Mama."
bisa membantu kalau nggak tahu masalahnya?
KaIaupun Mama nggak bisa membantu, tetapi bisa melega-
kan beban batin."
"Aku takut, Ma."
"Takut yang dulu lagi? Takut Arie jadi zombie?"
"Bukan, Ma. Waktu di rumah sakit dia memeluk dan
menciumku kayak orang keranjingan dan kelaparan, seolah-
olah dia nggak peduli ada orang masuk atau bagaimana.
Aku takut dia mau memerkosaku."
Katrin menatap heran. "Oh, begitu. Itu kan wajar saja,
Win. Itu tanda dia rindu kepadamu. Dia normal sebagai
lelaki. Coba kalau kebalikannya, dia dingin dan nggak
peduli kepadamu, baru kau patut cemas."
"Ah, Ma, dia berlebihan. Dia kayak maniak seks."
Katrin geleng-geleng. Dia menganggap Erwina-lah
yang berlebihan.
"Menurut Mama, mestinya kau senang punya suami
yang memperlakukanmu sebagai perempuan satu-satunya di
dunia, apalagi sikapnya itu pasti hanya sementara. Lama-
lama biasa lagi."196
"Apa ya begitu? Aku takut nanti malam dia akan
berbuat macam-macam kepadaku. Apakah sebaiknya aku
menyediakan pentungan untuk jaga-jaga?"
Katrin tertegun. Tadi cemas sekarang jengkel.
"Apakah kau akan membuatnya mati lagi? Di mana
sikap empatimu kepada suami? Dia membutuhkan
dukunganmu, kasih sayangmu, dan cintamu. Masa kau
tega menyebut dia maniak seks."
Kemarahan ibunya membuat Erwina cemberut.
"Tadi aku disuruh curhat. Sekarang malah dimarahi.
Mendingan diam saja."
Katrin meredakan emosinya. "Habis Mama kaget. Masa
suami mau dipentung hanya karena dia mesra kepadamu."
"Kalau bisa sih aku nggak mau tidur dulu dengannya."
"Apa?! Kau mau mengirimnya kepada perempuan lain?
Dia kan lagi rindu."
"Aku takut dia brutal, Ma. Mencium saja sampai
mulutku sakit. Bagaimana kalau sampai terjadi perdarahan,
lalu aku terbelah jadi dua?"
Katrin ternganga. Ia benar-benar tak mengerti sikap
Erwina.
"Eh, sebenarnya kau cinta nggak kepada Arie?" tanya
Katrin tajam.
Erwina tak segera menyahut. Pertanyaan itu tak
disangkanya.
"Tentu saja, Ma. Itu kan nggak usah ditanya lagi."
"Kalau begitu, sikapmu itu nggak cocok. Bukan begitu
sikap orang yang mencintai."
Sesudah berkata begitu, Katrin bergegas ke luar kamar.
Ia tak mau bertengkar dengan Erwina pada saat seperti itu.
Erwina merebahkan dirinya, memandang langit-langit.
Sebenarnya, tadi ia berbohong. Hal yang di takutkannya
bukan itu. Seks yang panas dan sedikit brutal bisa
ditolerirnya. la juga menyukainya. Ia masih memikirkan


Misteri Dua Cinta Dalam Satu Karya V Lestari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

percakapannya dengan Benny tadi. Apa saja yang197
dibicarakan Arie dengan Martin? Apa hasil pengamatan ke
TKP? Sebagai petugas yang cerdik, mestinya Martin bisa
memancing ingatan Arie. Tidak akan sulit bagi Arie
mengingat kembali saat-saat akhirnya ketika berada di
rumah. Setelah minum mereka bercinta, tetapi tidak sampai
tuntas. Apakah Arie ingat momen-momen akhir itu sebelum
dia jatuh terkulai? Tidakkah dia akan berpikir, mengapa hal
itu bisa terjadi? Masa lelaki normal tak bisa menyelesaikan
permainan cintanya? Tidak akan sulit bagi Arie untuk
menudingnya sebagai orang paling akhir yang ada ber-
samanya. Arie memang tidak akan bisa mengingat ke mana
ia pergi karena memang ia tidak pergi ke mana-mana.
Arie tentu juga akan berpikir, bagaimana caranya dari
rumah ia bisa berada di selokan yang jauh. Dirinya sebagai
perempuan tak mungkin bisa membuangnya di sana. Harus
ada orang lain yang membantu. Dia akan dipaksa mengaku.
Disiksa mungkin, kemudian nama Benny keluar.
Erwina membayangkan sel penjara. Ia berkeringat
dingin. Tatapannya tertuju pada foto si kembar bersama
dirinya di tengah. Mana Arie dan mana Alex, yang di kiri
atau yang di kanan, ia tak ingat lagi. Ia juga tak peduli.
Senyum keduanya terlihat semakin mengejek. Ia jadi
diingatkan pada masa-masa itu, ketika bermesraan dengan
dua orang itu bergantian.
Ah, sebenarnya kedua orang itu punya gaya yang
menyenangkan. Sama-sama memuaskan. Meskipun Alex
bernapas lebih pendek, dengus napasnya punya irama yang
sensual. Bukan dengus pcnderita asma yang mcngerikan.
Bila disuruh memilih, ia akan bingung memilih yang mana.
Sama seperti dulu ketika awal berpacaran. Jadi, secara fisik
tidak ada yang salah. Ia mungkin suka-suka saja, yang tidak
terima adalah harga dirinya!
Kemudian Alex mati. Arie kehilangan gairah. Dua-
duanya pergi darinya. Ia tidak mendapat siapa pun. Ia198
ditinggal sendiri dalam keadaan "lapar". Ia jadi tambah sakit
hati. Serasa dicampakkan begitu saja. Lalu, datanglah
Benny. Bukan salahnya kalau kemudian ia menyambut
Benny dengan tangan terbuka. Sudah mendapat teman
curhat, mendapat cinta pula!
HP-nya berbunyi. Ada pesan dari Arie, yang
mengatakan ia mampir ke rumah Susan sebentar. Ingin
bertemu saja. Kangen. Erwina mengiyakan saja, merasa
senang karena bisa mengulur waktu berduaan dengan Arie.
Tak lama setelah itu kembali HP-nya berbunyi. Kali ini
pesan dari Benny, yang menanyakan apakah Arie sudah
kembali. Erwina menyahut dengan telepon.
"Dia ke rumah ibunya dulu."
"Kau dengan siapa? Ibumu di mana?"
"Aku di kamar. Sendiri. Aku kangen kepadamu."
"Ssst! Pelan-pelan. Nanti kedengaran."
"Dia nggak tahu aku omong dengan siapa," kata Erwina
lebih perlahan.
Di depan pintu kamar Erwina, Katrin diam men-
dengarkan. Tadi dia sempat mendengar bunyi HP yang
pertama. Ia bermaksud mengajak Erwina ma-kan. Jadi, ia
diam dulu tak mau menganggu. Bunyi HP yang kedua ia
masih saja diam. Sampai terdengar suara pembicaraan.
Tadinya ia mau pergi saja, yakin bahwa yang menelepon itu
Arie. Setelah mendengar ucapan, "Dia ke rumah ibunya
dulu", ia tahu yang menelepon itu bukan Arie. Ia jadi
tertarik mendengarkan bahkan menempelkan telinganya
pada daun pintu.
Erwina bicara lagi, "Kita harus bicara lagi. Ya, ya, aku
tahu. Kan bisa diatur. Kalau bisa besok, ya?"
Katrin cepat-cepat pergi dengan tubuh lemas. Ucapan
Erwina, "Aku kangen kepadamu" itulah yang membuatnya
sedih dan kecewa. Dapat dipastikan Erwina bukan kangen
kepada Arie.199
Susan sangat terkejut ketika melihat Arie berdiri di
depan pintu paviliunnya. Menurut logikanya, Arie pasti
lebih suka menghabiskan waktu di rumah bersama Erwina.
Ia masih ingat betapa mesranya sikap Arie kepada Erwina
sewaktu di rumah sakit.
"Ada apa, Ar?" Ia bertanya cemas.
Arie tertawa. "Lho, kok ditanya ada apa? Aku kangen
saja, Ma."
Susan tersenyum lega, meskipun tetap saja merasa
kurang yakin, apalagi setelah Arie memeluknya seolah baru
kali itu mereka bertemu.
"Kau datang sendiri?" tanya Susan, sambil melongok ke
belakang Arie.
"Ya. Tadi aku meninggalkan Wina di showroom.
Sekarang sih dia sudah pulang. Bukan apa-apa lho, Ma. Aku
menemui Martin dan bicara banyak dengannya. Aku juga ke
TKP."
"TKP?" Susan tidak paham.
"Tempat di mana aku ditemukan, Ma. Selokannya
juga."
"Wah, ceritanya nanti saja. Kau sudah makan? Yuk,
kita makan sama-sama!"
Susan mengajak Arie ke rumah besar untuk bergabung
bersama Dian dan keluarganya. Mereka menyambutnya
dengan gembira dan juga sarprise. Kedua keponakan Arie
pun menyambutnya dengan malu-malu. Mereka jarang
bertemu, tetapi saat itu Arie bisa membuat mereka akrab
dengannya.
Mereka makan bersama.
"Coba kalau tahu ada kamu, pasti Mama masak ekstra,"
kata Susan.
"Ini sudah cukup, Ma. Enak. Kangen dengan masakan
Mama."
"Itu ya sebabnya kau datang? Kangen dengan Mama
atau masakannya?" goda Dian.200
Mereka tertawa. Arie menikmati suasana ketika ia
masih tinggal di situ dulu. Bedanya kini ada David dan
kedua keponakannya. Mereka penyemarak suasana.
Terutama kedua anak kecil itu. Melihat mereka, tiba-tiba
muncul keinginan untuk memiliki anak sendiri. Selama ini,
ia hampir tak memikirkan hal itu ataupun peduli. Erwina
pun demikian.
Usai makan, Susan mengajak Arie ke paviliun untuk
berbicara. Di sana lebih tenang. Dian dan David bisa
diceritakan belakangan.
Arie duduk di ranjang berdampingan dengan ibunya. Ia
bercerita tentang pembicaraannya dengan Martin.
"Dia omong soal dompetmu juga, kan? Mamalah yang
pertama menyinggung soal uang logam di dompetmu.
Waktu ditemukan dompet itu kosong melompong di dalam
saku celanamu. Perampok yang rakus."
"Dia memang bilang, Mama yang kasih tahu soal itu."
"Apa yang dia simpulkan dari hasil penyelidikannya?"
"Wah, itu sih dia nggak omong, Ma. Apa pun yang dia
simpulkan, dia nggak bakal kasih tahu. Dia justru yang
bertanya, 'Menurut Anda bagaimana atau apa lagi cerita
Anda?' Kalau kesimpulan sih nggak. Itu kan bukan urusan
kita."
"Dia mengorek sebanyak mungkin, tetapi nggak mau
memberi balik."
"Pekerjaannya memang begitu, Ma. Kalau diskusi biar
antara kita saja."
"Jadi, kau menyungsep di selokan, ya?"
"Katanya begitu. Mukaku masuk ke dalam air selokan.
Pasti masuk hidung dan mulut."
"Ih, jijik," keluh Susan dengan iba.
"Masih untung cepat ditemukan, Ma. Kalau nggak, aku
mati di situ."201
Susan geleng-geleng. Seandainya Arie ditemukan sudah
dalam keadaan mati, masihkah dia bisa hidup lagi seperti
sekarang ini? Siapa pun tak bisa menjawab pertanyaan itu.
"Mama jadi berpikir, Ar. Teorinya kan kamu dipukul
dari belakang, lalu masuk selokan. Barulah si penjahat
menggerayangi kantongmu. Dia ambil arloji dan HP, juga
dompet. Setelah membuka dompet dia ambil semua uang,
lalu memasukkannya lagi ke dalam sakumu. Kalau Mama
jadi dia sih, mending Mama bawa saja dompetnya sekalian
daripada buang waktu lihat isinya kemudian memasukkan
lagi ke dalam saku celana. Nanti di tempat aman baru
dompetnya diperiksa, ambil uangnya, dan buang. Takut kan
tepergok warga?"
"Betul, Ma. Pasti Martin juga berpikir begitu. Dia
nggak bilang saja. Perbuatan penjahat itu membuat
identitasku cepat ketahuan. Kalau nggak..." Arie tak me-
neruskan ucapannya karena ngeri.
"Memang kita harus berterima kasih kepadanya?
Nggaklah. Entah dia goblok atau memang sengaja."
"Sengaja? Jadi, kasihan?"
"Mungkin masih ada hati nuraninya."
Arie merebahkan tubuhnya hingga berada di belakang
tubuh Susan, yang duduk dengan kaki menggantung di tepi
ranjang.
"Eh, kau capek, ya? Sudah deh omongnya. Dari tadi
omong terus."
"Nggak, Ma. Nggak capek. Senang mengobrol dengan
Mama. Ayo sini, Ma!" Arie menepuk bantal di sampingnya.
"Tiduran juga."
"Enakan duduk. Kau saja yang tiduran."
Sebenarnya, Susan merasa berkewajiban menyuruh
Arie pulang, tetapi dia masih ingin bicara banyak.
Semangatnya sedang tinggi, apalagi tampaknya Arie
memang belum ingin pulang.202
"Mama punya teori juga, Ar. Pasti Martin nggak bilang.
Menurut Mama, belum tentu kau dipukul di tempat itu.
Mungkin kau dikerjai di tempat lain, lalu dibuang di situ.
Sebelum dibuang dipereteli dulu supaya dikira korban
perampokan. Itulah sebabnya, kau nggak ingat kau pernah
ke situ."
Arie meletakkan kedua tangannya di bawah kepala.
"Mungkin saja Martin juga berpikir ke situ, tetapi dia
nggak bilang. Kalau begitu, aku dikerjainya di mana? Aku
juga nggak ingat suatu tempat yang lain, yang kuingat cuma
rumah. Aku ada di rumah bersama Erwina."
Susan termenung. "Hmm... rumah, ya?"
Lama dia termenung. Berpikir keras. Maukah Martin
berbincang lagi denganku nanti? Dia pasti tidak
melecehkan aku.
Tiba-tiba dia tersadar. Ada suara dengkur pelan di
dekatnya. Arie sudah tertidur! Ia tidak tega mem-
Komplotan Penculik Karya Enid Blyton Pendekar Mabuk 110 Persekutuan Iblis Fear Street - Sakit Hati Broken Hearts
^