Pencarian

Misteri Dua Cinta 4

Misteri Dua Cinta Dalam Satu Karya V Lestari Bagian 4


bangunkan, apalagi menyuruhnya pulang. Tidak ingatkah
kau kepada istrimu? Tidak rindu?
* * *
"Mengapa Arie belum pulang juga, ya?" tanya Katrin.
"Jangan tanya aku," sahut Erwina.
"Kau nggak telepon dia? Bagaimana kalau ada apa-apa
di jalan?"
"Dia bukan anak kecil lagi, Ma. Mungkin lagi
keasyikan mengobrol sampai lupa pulang."
Sebenarnya, Erwina kecewa juga, meskipun juga
bersyukur. Mengapa sekarang Arie kehilangan gairah justru
setelah tiba di rumah, padahal di rumah sakit dia kelihatan
begitu bernafsu?
Akhirnya, Katrin menelepon Susan. Setelah mendapat
jawaban dia memandang Erwina dengan tatapan aneh.203
"Katanya dia ketiduran. Ibunya nggak tega membangunkan.
Biar sajalah dia menginap. Di sana dia aman."
"Ketiduran?" ulang Erwina. Kekecewaannya menjadi
kemarahan. Kalau begitu, dia dianggap tak berarti sebagai
istri! Harusnya ia senang karena terhindar dari "perkosaan",
tetapi egonya tidak suka diperlakukan begitu.
Diam-diam Katrin mengamati ekspresi Erwina. Ia bisa
melihat dengan jelas kemarahannya.
"Bersyukurlah. Kau nggak akan terbelah dua malam
ini," kata Katrin.
Erwina merasa disindir. Siap membalas dengan kata-
kata pedas, tetapi Katrin sudah pergi ke kamarnya sendiri
dan menguncinya. Ia tak lagi bisa menumpang tidur di sana,
tetapi tidur sendiri!
* * *
Susan masih duduk di samping Arie. Kakinya yang semula
tergantung ia naikkan hingga duduknya sejajar dengan
tubuh Arie. Kalau Katrin menginap mereka tidur seranjang,
tetapi tidak terasa sempit seperti sekarang. Tentu karena
Katrin bertubuh kecil, sedangkan Arie lebih besar dan
posisinya pun lebih ke tengah, menyisakan sedikit ruang.
Ia mengamati wajah Arie dengan perasaan sendu.
Beberapa waktu yang lalu ia merasa begitu bahagia karena
Arie sudah kembali, tetapi lama kelamaan kebahagiaan itu
menyurut seiring dengan munculnya kecemasan. Berapa
lama Arie bisa menikmati hidupnya? Apakah pembunuh itu
akan mengulangi perbuatannya, seperti peringatan yang
disampaikan Martin? Ternyata, kebahagiaan memang cuma
sementara saja. Tak ada kebahagiaan yang abadi.
Ia mendengar ketukan pada pintu samping. Ia
menggeser tubuh pelan-pelan supaya tidak menyentuh
Arie. Ia membuka pintu. Dian ada di sana. Tanpa berkata
apa-apa, Susan menunjuk ranjang.204
"Oh!" pekik pelan keluar dari mulut Dian, lalu buru-
buru menutupnya dengan tangan.
Susan mengajak Dian keluar menuju ruang duduk
rumah besar. Di sana ada David sedang menunggu sendiri.
David bangkit memandang kepada keduanya dengan tatap
bertanya. Semula Dian dan David menunggu keluarnya Arie
bersama Susan untuk mendengarkan cerita. Kedua anak
mereka sudah tidur. Ternyata, orang-orang yang ditunggu
tak kunjung muncul.
"Dia terlalu capek," kata Dian.
"Mestinya hari ini dia jangan ke mana-mana dulu.
Istirahat saja," sambung David.
"Mama juga bilang begitu, tetapi katanya dia justru
capek kalau disuruh tidur. Dia sangat ingin tahu tentang
kasusnya maka dia minta bertemu dengan Martin."
Susan menyampaikan pembicaraannya dengan Arie.
Mereka bertiga sempat merenung.
"Dia harus berhati-hati," kata Dian. "Erwina harus
diberi tahu supaya membantu menjaga suaminya. Paling
nggak diingatkan."
"Aneh juga. Justru bagian paling akhir itu dia nggak
ingat," komentar David. "Ke mana dia pergi? Ada di mana
ketika itu? Mau ke mana?"
"Menurut Mama sih, sebaiknya dia jangan dipaksa
mengingat," kata Susan. "Suatu waktu bisa ingat dengan
sendirinya."
"Mudah-mudahan bisa," Dian dan David berharap.
"Mama balik ke paviliun, ya?" Susan bangkit, siap
kembali ke paviliunnya.
"Ma, kalau dia bangun jangan kasih dia pulang. Sudah
malam," kata Dian.
"Tentu saja."
"Oh... ya, Ma. Apakah Erwina sudah tahu Arie
menginap di sini?"
"Ya dong," sahut Susan, sambil berjalan cepat-cepat.205
"Ternyata, Arie lebih kangen kepada mamanya
daripada istrinya," bisik Dian kepada David.
Ucapan itu masih bisa tertangkap telinga Susan. Ia
tersenyum.
Di kamar ia melihat Arie masih tidur nyenyak. Kini
posisinya sudah berubah, lebih menggeser hingga bisa
memberi ruang lebih banyak di sampingnya. Setelah
menimbang-nimbang, ia merebahkan tubuhnya pelan-pelan
di sebelah Arie. Kapan lagi ia bisa tidur bersama Arie?
Ia ingin membelai kepala Arie, tetapi takut mem-
bangunkan. Nanti dia berkeras ingin pulang. Bagaimana
mungkin ia bisa melarang? Ia cuma tidur miring sambil
mengamati wajah Arie, yang miring ke arahnya. Ia bisa
mengamati dengan leluasa. Sambil berbuat begitu, ia
mengenang kembali masa lalu. Satu hal yang masih
membuatnya sedih adalah ia tidak sempat bercengkerama
dengan Alex sebelum meninggal. Alex tidak sempat
memenuhi janjinya.
Susan terkejut karena melihat bibir Arie mengembang.
Ada senyum di situ. Tatapan Susan ditajamkan. Takut salah
lihat. Ternyata, bibir itu bergerak-gerak.
"Ma, aku Alex!" kata Arie, dengan suara lirih. Matanya
tetap terpejam.
Jantung Susan serasa mau melompat. Ia membe-
lalakkan mata dan memasang telinga. Menunggu kata-kata
berikutnya. Ternyata, hanya itu saja. Senyum pun lenyap
dari bibir Arie. Tampaknya tidurnya begitu lelap, tak bisa
dibangunkan oleh apa pun.
Pelan-pelan Susan bangkit, lalu pindah ke sofa. Ia harus
mengekang keinginannya membangunkan Arie untuk
menanyainya. Apa yang dimaksud Arie dengan kata-kata
tadi? Ada kesadaran bahwa ia takkan mendapat jawaban.
Masa orang bicara sambil tidur kalau bukan karena
mengigau? Dari alam bawah sadar dia bicara. Itu bukan
main-main!206
"Alex, Aaa... lex, Aaa... lex, oh... Alex," Susan meratap
pelan. "Siapa sebenarnya kau? Arie atau Alex?Atau... dua-
duanya?"
Arie bergeming dari posisinya.
Susan teringat pada saat awal Arie bangun di rumah
sakit. Begitu melihat Katrin ia menyebutnya "Tante",
padahal sebagai Arie seharusnya ia menyebut "Mama".
Memang hanya itu "kekeliruan" yang dilakukannya.
Selebihnya ia adalah Arie yang sudah Susan kenal secara
mendalam sejak dilahirkan.
Susan perlu menenangkan jantungnya yang masih
berdebar kencang. Masih ada banyak waktu untuk
mengetahui kebenaran. Ia memutuskan tidak akan
menanyakannya kepada Arie kalau dia terbangun nanti. Ia
pun tidak akan membaginya dengan orang lain. Hal itu akan
disimpannya sendiri.207
11 HARI Rabu.
Arie terbangun sekitar pukul lima pagi. Ia terkejut
memandang ke sekitarnya. Tak segera ingat di mana dirinya
berada. Tatapannya kemudian tertuju pada sosok ibunya di
sofa. Barulah semua yang terjadi semalam teringat kembali.
Dengan terkejut ia teringat kepada Erwina. Buru-buru ia
meraih ponselnya, tetapi ponsel Erwina dimatikan. Pasti
masih tidur.
Di ponselnya sendiri tidak ada pesan dari Erwina. Ia
khawatir Erwina marah. Cepat ia mengalihkan telepon ke
ponsel Katrin. Biasanya Katrin bangun pagi-pagi. Dengan
lega ia mendengar sahutan.
"Maaf, Ma. Mengganggu pagi-pagi. Aku ketiduran
semalam di paviliun. Wina masih tidur, Ma?"
"Ya, masih. Nggak apa-apa, Ar, yang penting kau bisa
istirahat. Pasti kecapekan, ya. Kapan pu-ang?"
"Sekarang juga. Begitu bangun aku kaget. Kok ada di
sini. Sepertinya aneh, begitu."
"Aneh bagaimana?"
"Ah, nggak apa-apa, Ma. Mungkin masih bingung."
"Mama maklum. Kalau masih mengantuk, nanti saja
pulangnya kalau sudah terang. Nggak usah buru-buru."
"Wina marah nggak, Ma?"
"Sedikit kesal, tuh."
"Wah... kasih tahu aku menelepon ya, Ma? Nanti aku
menelepon dia lagi sebelum pulang. Sekarang mau mandi
dulu."
"Sudahlah, nggak usah buru-buru."208
Suara Katrin mengandung empati yang dalam. Arie
merasa bersyukur punya mertua yang baik. Kalau tidak, tadi
dia tentu sudah diomeli atau paling tidak ditegur. Kata
Katrin, Erwina "sedikit kesal". Arie tahu, pasti lebih dari itu.
Katrin cuma memperhalus saja.
Susan terbangun, lalu duduk menatap Arie.
"Mama nggak mau membangunkanmu, Ar. Kau
tidurnya nyenyak sekali. Mama nggak tega. Kan nggak apa-
apa. Wina pasti maklum."
"Sekarang mau mandi dulu saja, Ma. Pinjam handuk,
ya. Punya sikat gigi nggak, Ma?"
"Ada. Sebentar Mama ambilkan."
Usai mandi, Arie terpaksa mengenakan lagi pakaiannya
yang sama semalam. Tak ada ganti, padahal sesudah mandi
terasa baunya tak sesuai dengan kebersihan tubuhnya. Di
rumah ia harus segera ganti baju.
"Aku nggak pamitan kepada Dian dan David ya, Ma?
Kasih tahu saja."
Teringat pada janjinya, Arie kembali menelepon
Erwina. Ponsel Erwina masih belum aktif. Ia menelepon
Katrin.
"Aku pulang ya, Ma? Wina sudah bangun?"
"Dia lagi mandi. Ayo pulang saja. Nanti Bi Iyah
menunggu di pintu."
Setelah menutup telepon, Arie berpandangan dengan
Susan.
"Ada apa dengan Wina?" Susan ingin tahu.
"Dia lagi mandi."
"Oh."
Susan tak mengerti, mengapa pemilik rumah yang mau
pulang harus menelepon dulu? Arie khawatir Erwina marah.
Pada saat seperti ini sungguh tidak pantas bila Erwina
marah. Seharusnya, Erwina merasa bersyukur.
"Baik-baik di jalan ya, Ar. Nanti kabari Mama kalau
kau sampai rumah."209
"Ya, Ma."
"Sering ke sini ya, Ar? Mama senang sekali kau
menginap di sini. Sudah begitu lama."
"Aku juga senang, Ma. Tahu mengapa aku begitu
mengantuk sampai bisa ketiduran kayak begitu. Mungkin
dihipnotis Mama, ya?" gurau Arie.
Susan tertawa. "Bisa saja kau," katanya, sambil
menepuk pipi Arie.
"Nanti kalau mau ke sini kabari dulu, Ar. Mama masaki
sayur lodeh pakai rebung."
"Ah, Mama. Itu kan kesukaan Alex. Aku maunya sayur
asam dan sambal terasi."
Setelah Arie berlalu, Susan bersandar lemas. Per-
tanyaan yang mengganggunya semalam sudah terjawab. Ia
tidak hanya mendapatkan Arie kembali, tetapi juga Alex! Ia
tidak tahu apakah sepatutnya merasa gembira atau tidak.
* * *
Ternyata, Erwina menyambut Arie dengan baik. Ia hanya
merajuk sebentar.
"Aku kan takut kau kenapa-kenapa."
"Sori. Trims untuk perhatianmu, ya." Arie mencium
pipi Erwina. Ia melakukannya dengan lembut. Tak terlihat
nafsu membara seperti saat di rumah sakit. Erwina merasa
lega.
Hal paling dulu yang dilakukan Arie adalah mengganti
pakaiannya. Ia takut dikatai bau oleh Erwina dan Katrin.
Sesudah itu, mereka sarapan bertiga. Biasanya tak selalu
Katrin ikut serta, tetapi kali itu ia ingin mendengar juga
cerita Arie.
Kembali Arie menceritakan hal yang sama. Ia
melakukannya dengan bersemangat. Sama sekali tidak
membosankan.210
"Jadi, begitulah. Sebelum berpisah, Martin meng-
ingatkan agar aku jaga diri baik-baik karena musuh yang
nggak kelihatan itu bisa mengulang perbuatannya."
"Betul sekali, Ar," kata Katrin. "Mulai sekarang kau
harus mengingat-ingat, siapa saja orang yang nggak suka
kepada kamu? Pernah bertengkar dengan siapa? Apakah
pernah ada yang mengancam-ancam?"
"Kayaknya nggak ada, Ma. Yah, mesti diingat-ingat
lagi. Mungkin nanti bisa ingat."
"Mangan memaksa diri," kata Erwina. "Waktumu kan
banyak."
"Menakutkan juga kalau nggak tahu punya musuh
bahkan sampai berusaha membunuh," kata Katrin, dengan
ekspresi takut. "Mengapa sampai begitu, ya? Kayaknya kau
harus berusaha meng-ingat, Ar. Memang sebaiknya nggak
memaksa diri, tetapi ini penting. Nggak boleh buang waktu.
Berlama-lama bisa membuat musuh punya waktu untuk
mengatur strategi lain. Kau nggak tahu siapa dia, kan? Itulah
keuntungannya. Siapa pun orang itu, pasti sekarang dia akan


Misteri Dua Cinta Dalam Satu Karya V Lestari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berbaik-baik kepadamu."
"Ya, Ma. Nasihat Mama bermanfaat sekali."
"Aku heran juga, mengapa penjahat itu bisa memilih
waktu yang baik, ya,"' kata Katrin, dengan tatapan
merenung.
"Maksud Mama?" tanya Arie. Erwina mengangkat
kepala, dan memandang ibunya dengan tatapan tajam.
"Kok kejadiannya justru pada saat Mama nggak ada,
dan Bi lyah juga nggak ada. Jadi, nggak ada saksi lain
kecuali Wina."
Erwina melotot. Ketika beradu pandang dengan Katrin,
ia buru-buru menunduk. Kekagetan Erwina masih bisa
ditangkap Katrin. Tiba-tiba ia jadi lesu dan sedih.
"Entahlah apa itu penting, Ma. Aku benar-benar nggak
ingat, apakah aku pergi atau nggak?! Perasaanku sih yakin
benar bahwa aku nggak ke mana-mana. Aku tidur."211
"Ya, ya. Sudahlah. Is?irahat dulu."
Katrin tak ingin lagi meneruskan diskusi itu.
Semangatnya sudah hilang.
"Aku akan ke showroom. Kau akan ikut atau ke butik?"
tanya Arie kepada Erwina.
"Butik saja. Nggak mungkin kutinggalkan, Ar. Kau
nggak butuh aku di showroom, kan? Ada Kadir yang lebih
pintar dan berpengalaman."
Katrin melirik. Ia tak setuju dengan keputusan Erwina,
tetapi ia merasa tak pantas ikut campur terang-terangan.
"Bukan masalah itu sih. Aku senang kalau ditemani,"
kata Arie.
Katrin mendengarkan dengan tegang. Ia mengeluh
dalam hati karena tak ada sikap spontan dari Erwina. Tak
ada jawaban dari Erwina. Ia melirik. Erwina sedang
menunduk. Tampaknya Arie pun tidak membutuhkan
jawaban.
"Kalau kau mau ke butik, boleh aku ikut ke sana?
Sudah lama banget. Ingin lihat, Win."
Erwina tidak begitu senang, tetapi kemudian melihat
tatapan ibunya.
"Oke saja. Di showroom bagaimana?"
"Kan di sana ada Kadir," sahut Arie ringan.
Sebelum berangkat, Arie memberikan kunci mobil
kepada Erwina. "Kau saja yang bawa mobil, ya? Taruh di
butik. Aku pakai taksi nanti."
"Mengapa?"
"Aku belum berani bawa mobil. Kelihatannya daya
refleksku kurang. Lambat, begitu. Aku khawatir saja."
Katrin setuju. "Kau harus bisa memahami keku-
ranganmu sebelum terjadi sesuatu. Jangan ambil risiko."
Dalam perjalanan menuju butik Erwina, Arie bnyak
diam. Seolah-olah merenung.
"Apa yang kaupikirkan?" tanya Erwina, setelah
beberapa kali melirik.212
"Oh..." Arie tersadar. "Sori. Banyak banget pikiranku.
Penuh rasanya."
"Sudah. Rileks sedikit."
"Maunya sih begitu, tetapi begitu saja bermunculan
tanpa bisa kuhindari."
"Kau mencurigai sesuatu atau seseorang? Jangan curhat
kepada Mama saja dong. Kepada aku juga."
"Ah, aku nggak mungkin bisa mencurigai siapa-siapa.
Nggak ada petunjuk ke mana-mana."
"Martin juga nggak punya?"
"Kalau punya pun dia nggak bakal bilang."
"Mengapa kau nggak tanya?"
"Hari ini aku janji mau bertemu dia lagi."
"Mau apa lagi? Nggak kecepatan?"
"Kemarin bicaranya belum beres. Sudah kemalaman.
Dia nggak mau memforsir."
"Kalau memang begitu, untuk apa bertemu lagi hari ini?
Besok-besok saja," kata Erwina, dengan suara meninggi.
Arie terkejut mendengar nada suara Erwina. Ia
mengamati wajah Erwina.
"Kau kesal kepada Martin ya, Win?"
"Nggak pada orangnya, tetapi pada cara dia
menginterogasi."
"Kau diinterogasi olehnya?"
"Oh, ya. Semuanya ditanya."
"Itu kan sudah tugasnya."
"Caranya itu, lho. Seolah-olah mau menjebak. Tanya
mutar-mutar, seakan-akan kita ini sudah jadi tersangka."
"Maklumi saja, Win. Kita jawab saja apa adanya.
Tujuannya ingin mencari kebenaran."
"Aku pikir sih dia mau cari gampangnya saja."
"Oh, ya? Menurutku sih nggak begitu. Omongnya enak.
Aku sendiri nggak merasa diforsir. Justru aku ingin
semuanya cepat selesai. Siapa pelakunya dan mengapa dia
ingin membunuhku?"213
"Memang kau yakin orang itu ingin membunuhmu?
Kalau memang ya, pasti kau sudah ditemukan mati, dong.
Orang itu cuma ingin merampokmu. Memukulnya juga
cuma bikin benjol doang. Kalau aku jadi orang itu dan
memang berniat membunuhmu, pasti kubuat kepalamu
retak."
Arie terkejut mendengar ketegasan dalam suara Erwina.
Selama ini, ia tak pernah mendengar Erwina mengajukan
komentar atau berteori mengenai kasusnya. Ia tertarik.
"Ayo, apa lagi pendapatmu, Win?"
"Kalau cuma perampok kroco yang sempat mengambil
uang logam segala, pasti dia gelandangan atau pemulung.
Cari orang seperti itu susah. Motivasinya cuma uang, sedikit
pun diambil. Coba tanya Martin, orang seperti itu kan
banyak. Berjubel di mana-mana. Apakah bisa dia temukan?
Bagaimana buktinya? Arloji dan ponselmu pasti sudah
dijual."
Arie terperangah. Ia harus menyampaikan teori Erwina
itu kepada Martin.
"Menurutmu sebaiknya bagaimana, Win? Perlu nggak
kasus ini terus diselidiki? Kan itu namanya kejahatan."
"Menurutku, sudah saja dilepas. Kau kan nggak mati.
Nggak ada kasus lagi dong. Buang-buang energi saja. Kau
pun jadi terlepas dari beban pikiran. Dia pun bisa fokus pada
tugas lain. Memang nggak ada peristiwa kriminal lain? Ada
begitu banyak, tetapi dia malah berkutat dengan kasusmu.
Jangan-jangan..."
Erwina tak melanjutkan ucapannya. Sengaja.
"Jangan-jangan apa, Win?" Arie penasaran.
"Ada maunya, begitu."
"Maksudmu, duit? Ah, aku nggak percaya. Pokoknya,
kita lihat saja nanti."
Arie tak begitu menyukai tuduhan Erwina itu. Mungkin
juga karena dia sudah telanjur menyukai Martin. Dia tidak214
percaya sebelum menemukan sendiri ada tanda-tanda ke
arah itu.
"Terserah kau, mau percaya atau nggak."
"Ya... ya, trims untuk pendapatmu itu."
"Masuk akal, nggak?"
"Oh, ya. Pantas dipertimbangkan."
Erwina merasa puas mendengar keseriusan suara Arie.
Dia bangga akan dirinya sendiri. Dia sudah berhasil
rnenyimpulkan teorinya untuk memengaruhi Arie. Kalau
Arie menyampaikannya kepada Martin, mungkin bisa juga
memengaruhinya biarpun sedikit. Paling tidak, bisa jadi
bahan pertimbangan. Ada banyak teori, tetapi tak ada bukti
konkret. Ada dugaan, tetapi tanpa bukti tak ada gunanya.
"Selama ini kau diam saja, Win. Mengapa nggak
omong juga?"
"Buat apa? Nanti dianggap sok pintar. Martin suka
menatapku dengan sorot mata mengejek."
"Ah, masa? Mungkin cuma perasaanmu saja."
"Jangan meremehkan perasaan."
"Mungkin dia tipe lelaki yang tak begitu menyukai
perempuan. Atau lelaki yang merasa perempuan nggak level
dengannya. Dia lebih pintar, begitu. Ada tuh yang seperti
itu."
"Mungkin juga."
"Cueki saja. Jangan ambil di hati, Win. Bagaimanapun,
dia petugas yang harus kita hormati. Nggak semuanya
jelek."
"Enak bisa omong denganmu. Jadi, nanti kau nggak
heran kalau aku suka menghindar darinya."
"Lain kali kalau ada apa-apa yang mengganggu
pcrasaanmu kasih tahu aku saja, Win. Jangan segan terhadap
aku. Kita bisa bicarakan bersama."
Erwina merasa senang. Perasaannya sekarang jauh
berbeda dibandingkan saat meninggalkan rumah, apalagi
ketika mendengar ibunya berkata, "Heran. Mengapa215
kejadiannya justru di saat Erwina tengah sendirian...." Dia
sangat marah kepada ibunya. Dengan berkata begitu, sama
saja dengan menyudutkan dirinya. Namun, ia sadar
kemarahan justru bisa menimbulkan kecurigaan, apalagi
ibunya mengetahui beberapa fakta yang bisa mengarah ke
sana. Misalnya, ibunya mengendus hubungannya dengan
Benny, meskipun tak pernah menanyakannya. Ibunya pun
mengetahui perbuatannya memindahkan semua foto dari
kamar, dan merusak satu di antaranya. Ia memang heran
mengapa ibunya tidak menanyakan motif perbuatannya itu.
la sempat khawatir, jangan-jangan ibunya memang
mencurigai sesuatu, tetapi tak berani menanyakan. Pantas
saja ia suka memergoki tatapan ibunya yang tajam
menyelidik. Ia harus berhati-hati. Faktor yang meng-
untungkan baginya adalah hubungan mereka. Seorang ibu
tak mungkin menjerumuskan anaknya sendiri. Jadi, sepatut-
nya ia bersikap baik kepada ibunya. la menyesali
kejudesannya selama ini, tetapi masih ada waktu untuk
memperbaiki.
Di butik, Arie mengadakan inspeksi. Awalnya, Erwina
membuka butik itu dengan bantuannya. Modal Erwina
hanya sedikit di situ. Sekitar sepuluh persen saja. Arie tidak
ikut campur dalam pengelolaannya ataupun merasa
memiliki. Sepenuhnya ia serahkan kepada Erwina. Ketika
itu hubungan mereka sedang mesra-mesranya karena masih
di awal perkawinan.
"Kok jualanmu nggak banyak, Win? Kayak toko mau
tutup saja," komentar Arie.
"Aku malu bilangnya, Ar. Aku membuat kesalahan.
Miss manajemen, kali. Jadinya merugi, dan malah berutang.
Kalau saja ada tambahan modal..."
"Berapa yang kauperlukan?"
Erwina menimbang-nimbang. Apakah pemberian Arie
tidak akan mengikat dirinya nanti? Jadi budak seks,
misalnya?216
Arie menyebut suatu jumlah. "Apakah segitu cukup?"
Erwina terperangah. Tentu saja cukup. Malah rasanya
lebih.
"Oh... ya, tentu saja cukup. Terima kasih, Ar," kata
Erwina senang. Mengapa harus dikhawatirkan? Tidak ada
hitam di atas putih.
"Nanti kutransfer ke rekeningmu."
"Terima kasih."
Di dalam ruang kantor Erwina, Arie menciumnya.
Mula-mula lembut, tetapi kemudian panas dan agresif.
Tangannya pun liar meremas pinggul Erwina. Erwina tidak
menolak. ia membiarkan dan cenderung menyambut,
meskipun tidak seagresif Arie. Ada kekhawatiran kalau-
kalau Arie mengajak bercinta di situ. Cuma ada sofa kecil.
Alangkah tidak nyaman kalau di situ, apalagi di atas meja.
Arie menarik dirinya, lalu membelai kepala Erwina.
"Aku harus buru-buru pergi sebelum lupa diri. Jangan
sampai seperti anjing dan kucing. Di mana pun jadi."
Mereka tertawa. Erwina merasa lega.
"Nanti malam aku pasti nggak ke mana-mana, Win,"
ka?a Arie, setelah mengecup Erwina di pipi-nya.
Ucapan itu membuat Erwina berdebar. Ada rasa tegang
dan sensasi. Arie cukup menyenangkan, apa-lagi mengingat
suntikan modal yang diperolehnya. Hal ini tidak akan
diberitahukannya kepada Benny.
*** Katrin sedang termenung memikirkan kasus Arie ketika
mendapat telepon dari Susan.
"Apakah Wina marah karena Arie nggak pulang, Kat?"
Suara Susan terdengar khawatir.
"Cuma ngambek sedikit, tetapi sudah itu beres. Nggak
ada masalah."217
"Syukurlah. Aku nggak tega membangunkan dia, Kat.
Lagi asyik mengobrol tahu-tahu dia mendengkur di
sebelahku. Aku sempat omong sendiri jadinya."
"Kau tidur di mana?"
"Di sofa. Arie tidur lelap banget. Aku jadi ingat waktu
dia koma. Sempat takut kalau-kalau dia kayak begitu lagi.
Apakah dia bercerita kepada kalian berdua?"
"Oh, ya. Katanya, hari ini ia mau bertemu Martin lagi.
Apakah Martin belum dapat apa-apa?"
"Kayaknya sih belum. Susah juga ya, cari petunjuknya
di mana. Cuma teori melulu. Bukti dan saksi nggak ada."
"Aku pikir, Sus, kalau penjahat itu cuma perampok
biasa yang kebetulan melihat Arie dan punya kesempatan,
pastilah dia nggak punya motif pribadi. Kenal juga nggak.
Arie nggak perlu takut ada kemungkinan percobaan
pembunuhan lagi. Penjahat itu cuma perlu uang untuk
makan atau kebutuhan mendesak. Kelasnya teri."
"Kalau begitu sih, aku bersyukur, Kat. Nggak berhasil
tertangkap pun nggak apa-apa. Toh Arie nggak sampai mati.
Dia memukulnya nggak sampai mati, kan? Hal yang
menjadi ganjalan, Arie nggak ingat pergi ke mana bahkan
kelihatannya ia yakin memang nggak ke mana-mana. Saat
terakhir yang dia ingat adalah bersama Erwina. Dia berdua
Erwina. Itu yang nggak ketemu. Ada yang missing"
"Ya, sih. Banyak yang gelap dalam ingatannya."
"Oh... ya, ada teori lain, Kat, yakni Arie dianiaya di
suatu tempat, kemudian dibuang di selokan tempat ia
ditemukan. Sebelumnya dipereteli dulu, seolah-olah itu


Misteri Dua Cinta Dalam Satu Karya V Lestari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

perampokan."
Katrin terkejut sampai ponselnya lepas dari pegangan.
Untung jatuh ke sofa tempat ia duduk.
"Bunyi apa itu, Kat?"
"Oh, HP-ku jatuh ke sofa."
"Tanganmu licin, ya?" Susan tertawa. "Nah, teori tadi
itu yang menakutkan. Itu artinya, Arie punya musuh."218
"Ya," kata Katrin lemas.
"Cuma teori, lho. Kita lihat saja perkembangannya.
Sudah dulu, ya. Aku senang Wina nggak marah."
Setelah itu, Katrin merebahkan dirinya di sofa. Lemas
dan berdebar-debar. Jantungnya seolah mendapat pukulan.
Tadi Susan bilang, "Arie dianiaya di suatu tempat,
kemudian dibuang di selokan...." Di mana tempat Arie
dianiaya? Kalau benar ingatan Arie bahwa dia tidak ke
mana-mana malam itu dan terakhir berada bersama Erwina,
juga keheranannya sendiri mengapa hal itu terjadi justru
pada saat Erwina cuma berduaan di rumah tanpa dirinya dan
Bi Iyah, siapa pun bisa menyimpulkan di mana tempat Arie
dianiaya, yaitu rumahnya sendiri! Cuma Erwina seorang
yang mengatakan bahwa Arie pergi malam itu.
Kecemasan Katrin membubung. Erwina bisa dalam
kesulitan besar.
Erwina tidak mungkin bisa melakukannya sendiri,
andaikata kecurigaan itu benar. Apakah Benny?
Nama itu langsung muncul dalam pikiran Katrin. Ia
tahu tidak boleh menduga-duga sembarangan, tanpa bukti
apa-apa. Namun, motivasi kelihatannya ada. Bukan tanpa
sebab Erwina menyingkirkan foto-foto dari kamar dan
menghancurkan salah satunya kalau bukan karena ketidak-
sukaannya kepada Arie. Hal itu dilakukannya justru pada
hari Jumat malam, setelah "perginya" Arie. Tak mungkin
pada saat lain. Sebelum Arie pergi, ia tak bisa me-
lakukannya. Sedangkan hari Sabtu pagi mereka beramai-
ramai sudah pergi ke rumah sakit, lalu ke rumah duka. Dia
kemudian menemukan foto-foto itu di gudang pada saat
Erwina masih di rumah sakit. Tak ada waktu bagi Erwina di
antara saat-saat itu untuk melakukannya. Setelah Arie sadar
dan bersiap untuk pulang ke rumah, Erwina meminta tolong
kepadanya untuk mengembalikan foto-foto itu ke tempat
semula.219
Kelihatannya Erwina menyingkirkan foto-foto itu
karena yakin Arie tidak akan kembali pulang!
Katrin menangis. Anakku, aku tidak melahirkan dan
membesarkan kau untuk menjadi seorang penjahat!
* * *
Kadir sudah memutuskan. Ia memberi tahu Arie tentang
hilangnya data cicilan mobil Benny, baik yang ada di
komputer maupun yang tertulis.
"Oh, ya? Aku sendiri nggak ingat, tuh. Kau ingat, sudah
berapa banyak ia mencicil?"
"Ingat sih, Pak. Cuma nggak terlalu persis. Baru juga
mencicil dua kali. Sudah lama juga. Rasanya Bapak pernah
menanyakan tentang itu dulu."
"Oh, ya?" Arie mengerutkan kening. "Ternyata, aku
nggak begitu ingat, Dir. Untung ada kamu. Apa jawaban
Pak Benny waktu itu?"
"Katanya minta waktu. Lagi seret."
"Ya, ya. Rasanya sih ingat juga, tetapi samar."
"Bagaimana ya, Pak, kalau datanya hilang begitu."
"Biar nanti aku konfirmasi kepada Pak Benny."
Sebelum menelepon Benny, Arie termenung. Ia merasa
kurang enak menagih pada saat itu ketika kondisinya masih
penuh tanda tanya. Bukankah pada saat ia "meninggal"
Benny banyak membantu? Benny sering dan selalu mem-
bantu keluarganya. Walaupun begitu, mestinya juga bukan
berarti ia bisa menunggak sesukanya. Siapa pula yang
menghapus data? Pada hari Selasa, Benny datang bersama
Erwina. Tidak mungkin Erwina yang melakukannya. Erwina
tidak tahu hal itu.
Setelah beberapa kali ragu-ragu, akhirnya Arie
menelepon juga.
"Halo, Ben. Aku mau tanya, cicilan mobilmu masih sisa
berapa, ya?" tanya Arie, tanpa basa-basi.220
Tidak ada jawaban untuk sesaat.
"Oh... itu, mengapa kau nggak lihat saja datanya. Aku
nggak ingat."
"Datanya hilang, Ben."
"Lho, kok bisa begitu? Tunggu. Aku pikir dulu.
Rasanya sudah cukup banyak yang kubayar."
"Kau transfer, kan? Ada bukti transfernya, nggak?"
"Wah, aku paling sembrono kalau soal menyimpan
kertas. Kayaknya sudah nggak ada. Aku bergantung pada
datamu saja. Tanya Kadir, deh."
"Nanti kutanyakan."
Arie menutup telepon sejenak, lalu berpaling kepada
Kadir. "Katanya dia nggak menyimpan bukti transfernya.
Dia merasa sudah bayar banyak."
Kadir mengerutkan kening, tak percaya. Masa barang
bukti tidak disimpan?
"Seingat saya sih baru dua kali mencicilnya. Bagaimana
juga ya, kan datanya nggak ada?"
Arie termangu lagi. Biarpun Benny sahabatnya, tetapi ia
harus menyelesaikan urusan itu supaya tak ada ganjalan di
antara mereka. Ia menghubungi Benny lagi.
"Ben, begini saja. Waktu hari Selasa kau berhasil men-
jual mobil, kan? Anggap saja komisinya untuk membayar
sisa cicilanmu itu. Biar gampang saja, meskipun nggak pas.
Setuju?"
"Oh, begitu ya? Setuju saja deh. Trims."
Arie mendengar suara Benny yang riang. Ia menarik
napas. Tidak lega, tetapi terpaksa. Ia melihat wajah Kadir
yang keheranan.
"Ada apa, Dir?"
"Kayaknya jauh banget, Pak. Komisi jual mobil paling
berapa dibandingkan sisa cicilan mobilnya."
"Sudahlah, nggak apa-apa, Dir. Jangan bilang-bilang
kepada yang lain, ya. Dia sudah banyak membantuku.221
Anggap saja sebagai ekses dari kondisiku. Uang kan nggak
ada artinya dibandingkan kehidupan."
Kadir manggut-manggut. "Benar sekali, Pak," katanya
kagum.
Sebenarnya aku tidak sebijak itu, pikir Arie malu. Dia
hanya merasa serbasalah terhadap Benny. Di satu pihak ia
kesal karena merasa dipermainkan, di pihak lain ia juga
merasa berutang budi. Mungkin ia memang harus belajar
untuk tidak mementingkan materi. Ada hal lain yang harus
diutamakan. Bolak-balik antara mati dan hidup, tak ada
materi yang bisa dibawa.
* * *
Usai menelepon, Benny tertawa senang.
"Kau sudah menjadi milikku seutuhnya," katanya,
sambil menepuk mobilnya. "Sebentar lagi istrinya akan
menjadi milikku juga. Kau belum menang, Arie. Belum
menang!"
Benny kemudian menelepon Erwina.
"Kau di mana, Say? Jawab saja tanpa menyebut nama."
"Di butik. Tenang saja. Aku sendiri kok. Eh, kapan kita
bertemu, nih?"
"Nanti dulu. Aku ingin tahu, tadi pergi dengan dia, ya?"
"Ya. Dia menawari aku ke showroom bersamanya,
tetapi aku memilih ke butik saja."
"Kau nggak omong soal tambahan modal itu?"
"Nggak."
"Lho, mengapa? Kan lumayan kalau dapat. Duitnya
banyak."
"Aku takut dia minta imbalan."
"Imbalan? Oh, ya. Betul juga. Mentang-mentang, begitu
ya. Sebetulnya sih, sebagai suami dia berhak. Nggak perlu
imbalan."222
Benny menyembunyikan kejengkelan dari suaranya.
Erwina kurang cerdik, pikirnya. Bukankah wajar saja minta
uang dari suami yang uangnya banyak?
"Bukankah kau berjanji mau membantu?"
Benny memonyongkan mulutnya, tetapi ia berkata
manis, "Maksudku, kau harus berusaha minta dulu kepada-
nya. Kalau dia nggak kasih, baru aku bantu."
"Ah, kamu kok begitu. Plin-plan, ya?" Erwina merajuk.
"Bukan begitu, Win. Jangan salah paham. Aku cuma
ingin dia mengeluarkan duit buat kau."
"Ya, ya. Aku mengerti."
"Eh, dia pulang pagi, ya?"
"Ya. Tidurnya lelap banget, katanya."
"Mending jangan bangun saja."
"Eh, mau bertemu, nggak?" Erwina mendesak.
"Hari ini?"
"Memang mau kapan lagi? Nanti malam dia..."
"Ya, ya. Kalau begitu hari ini," kata Benny cepat. "Di
tempat biasa saja, ya. Kabari aku begitu ada waktu, tetapi
harus hati-hati lho."
"Hari ini dia janji bertemu dengan si intel. Jadi, dia
nggak mungkin menguntit."
"Bagus, kalau begitu. Waktunya terserah kau."
"Memang kau nggak ada pekerjaan?"
"Ada sih, tetapi nggak mengikat."
"Baik. Sampai nanti."
Benny mengepalkan tinjunya. Sebenarnya, dia bukan
tidak rindu kepada Erwina bahkan sekarang juga dia ingin
terbang menemuinya, tetapi dia selalu mengingatkan diri
untuk waspada. Dia terus mengekang keinginan dan
kerinduan itu, padahal godaan itu kuat sekali. Mustahil
bertemu sebentar bisa ketahuan? Asalkan yang penting tidak
jalan bareng. Tidak masuk bersama-sama, dan tidak pula
keluar bersama-sama. Cinta dan nafsu menggapai-gapai,
tetapi dia bisa mengatasi. Pikiran waras masih ada.223
Tambahan lagi, ada kesadaran bahwa dia lebih kuat
daripada Erwina. Dialah yang lebih mampu membimbing
dan mengingatkan.
Semua itu berantakan oleh ucapan Erwina, "Nanti
malam dia..." Biarpun kalimatnya terputus, ia paham
maksudnya. Nanti malam Erwina dan Arie akan bercinta.
Sesuatu yang sah karena ikatan hubungan mereka sebagai
suami-istri. Berbeda dengan dirinya yang harus backstreet,
bahkan bertindak kriminal.
Ia memperkirakan, pastilah kejadiannya akan ber-
langsung dengan penuh gelora. Membayangkannya saja
sudah membuatnya cemburu tak kepalang. Kalaupun
sesudah itu, entah besok atau lusa, ia punya kesempatan
untuk bercinta pula dengan Erwina maka kelihatannya ia
akan mendapat "sisa". Berbeda halnya kalau ia bisa
mendahului maka Arie-lah yang akan mendapat "sisa".
Godaan itu terlalu besar.
Tak lama setelah tiba di showroom, Arie segera
menghubungi Martin.
"Kebetulan. Saya baru saja mau nelepon Anda. Kita
teruskan yang kemarin, ya?" kata Martin.
"Tadinya saya takut kepagian."
"Ini sudah siang kok. Apakah Bu Wina ada bersama
Anda?"
"Dia di butik. Maunya di sana sih. Sudah diajak ke sini
nggak mau."
"Begitu, ya? Saya kira dia senang jualan mobil. Waktu
hari Selasa ketika Anda masih di rumah sakit, saya sempat
melihat dia bersama Pak Benny di situ. Kelihatannya
bersemangat."
"Anda datang ke sini juga?" tanya Arie.
"Saya kebetulan lewat saja. Lihatnya dari jalan."
"Mengapa Anda tertarik melihatnya?"
Martin tertawa. "Saya ini cepat tertarik melihat apa saja,
apalagi yang ada hubungannya dengan Anda."224
"Cuma itu saja?"
"Nantilah, Pak. Saya harus pergi cepat-cepat. Nanti
dikasih pekerjaan lain."
"Baik. Di tempat biasa?"
"Ya."
Sebelum Arie berangkat, Erwina menelepon.
"Kau masih di sana?" tanya Erwina.
"Baru mau jalan. Ada apa?"
"Kau jadi kan mau kasih modal?"
"Tentu saja jadi. Masa bohong sih."
"Mau kepastian saja, Ar. Sebentar lagi aku akan
melakukan pembelian. Lihat barang dulu. Kalau bagus aku
beli. Bisa bayar dua minggu lagi."
"Bagus. Mudah-mudahan sukses, ya."
"Trims, Ar. Kau hati-hati."
"Ya. Mau titip salam buat Martin?"
"Ih, nggak. Untuk apa?"
Arie tidak tertawa. Semangatnya agak mengendur.
Ia berangkat cepat-cepat, khawatir Martin menunggu.
Ternyata, kebalikannya. Dialah yang menunggu sampai
sekitar setengah jam. Ia sudah menghabiskan secangkir
kopi, yang dihirup pelan-pelan dan membuatnya kenyang.
Martin datang tergopoh-gopoh.
"Maaf, Pak Arie. Saya dikasih pekerjaan oleh bos tadi."
"Nggak apa-apa. Salah satu dari kita memang harus
menunggu. Nggak mungkin tiba bareng-bareng."
Mereka pindah duduk ke sudut. Arie memesankan kopi
dan makanan kecil untuk Martin dan dirinya sendiri. Martin
terlihat lapar. Arie membiarkan Martin mengisi perutnya
dulu sebelum mcmulai pembicaraan.
"Menyambung yang di telepon tadi, Pak," kata Arie.
"Oh, yang mana, ya?"
"Masa lupa sih. Saya malas mengulang."
Martin tertawa. "Ya, ingat kok. Soal Bu Wina yang
terlihat bersemangat di showroom, kan? Saya lihat dia225
melayani calon pembeli dengan ramah dan sigap. Pak
Benny juga."
"Itu saja?"
"Ya. Saya kan melihatnya dari jalan, sambil masih
duduk di atas motor. Itu pun hanya sebentar. Mungkin


Misteri Dua Cinta Dalam Satu Karya V Lestari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

karena dia menjadi wakil Anda. Beda kalau dengan Anda
yang jadi bos. Dia jadi nggak punya inisiatif."
Arie mengangguk. Tampak lega.
Martin mengamati ekspresi Arie. Ia memahami rasa
penasaran, baik yang terlihat tadi maupun yang terdengar di
telepon. Jelas Arie merisaukan sikap istrinya, meskipun
tidak terang-terangan. Ia tidak mungkin menanyakan karena
itu masalah pribadi. Ia sengaja memancing untuk
mengetahui reaksinya. Ada rasa iba dan empati yang
mendalam. Ia tentu berharap bahwa kecurigaannya tidak
beralasan atau tidak benar.
Tadi ia datang terlambat bukan karena disuruh
atasannya, tetapi ia mencari anak buahnya untuk mengawasi
butik milik Erwina. Hal itu ia lakukan setelah pembicaraan
telepon dengan Arie. Jadi, Erwina lebih suka berada di
butiknya daripada mendampingi Arie, padahal di hari
pertama ia melakukannya. Mungkin ada perbedaan. Pada
hari pertama ia merasa berkewajiban mendampingi Arie
karena berada di bawah tatapan anggota keluarga. Sekarang
ia bebas melakukan apa pun sesuka sendiri. Kalau ia
memang senang di samping Arie, mengapa tidak
mendampinginya di showroom? Saat ini, Arie baru saja
memperoleh kembali hidupnya. Sepatutnya ada rasa
khawatir akan terjadi sesuatu, misalnya anjloknya kondisi
Arie karena dia memang sulit diprediksi. Apakah Erwina
tidak memikirkan hal itu?
Suryo, anak buah Martin, disuruh mengawasi dan
mengamati situasi di butik Erwina. Sebelumnya Suryo
sudah diperlihatkan foto-foto Erwina dan Benny, yang
pernah diambil oleh Martin lewat ponselnya. Bahkan supaya226
jelas, foto-foto itu ditransfer ke ponsel Suryo sehingga
gampang dicocokkan.
"Anda nggak bawa mobil?" tanya Martin.
"Nggak. Daya refleks saya kurang dan lambat. Mobil
dibawa Erwina. Lebih aman naik taksi."
"Betul. Cuma Anda yang bisa memahami kelemahan
fisik Anda sendiri. Baiklah. Sekarang kita lanjutkan topik
yang kemarin."
"Bagaimana dengan penyelidikan Anda sendiri, sudah
dapat sesuatu?"
"Saya sudah menyebar anak buah untuk cari info. Kami
punya cukup banyak informan di dunia hitam. Jadi, saya
sendiri bebas ke sana kemari. Sementara ini, saya masih
fokus dengan keterangan-keterangan dari Anda dan orang-
orang sekitar Anda."
Arie teringat pada percakapannya dengan Erwina. Ia
menyampaikan teori Erwina bahwa ada kemungkinan kasus
itu cuma perampokan biasa, dan bila demikian maka
pelakunya pasti tidak mengenal Arie hingga tak ada motif
lain. Dalam hal itu, tidak perlu dikhawatirkan akan terjadi
ancaman lagi terhadap keselamatan Arie.
"Katanya, pelaku pasti orang lapar yang sangat
membutuhkan uang. Menurut dia ikhlaskan saja, yang
penting nyawa saya sudah kembali."
"Menurut Bu Wina kasus ini nggak perlu diselidiki
lagi?"
"Ya, kalau teorinya itu benar."
"Ya, kalau memang benar, tetapi kalau nggak?"
"Ibu saya bilang, bisa saja saya dikerjai di tempat lain,
lalu dibuang di situ."
"Nah, teori lain lagi. Ibu Anda kritis lho. Dia sangat
serius memikirkan kasus itu sehingga hasilnya bisa bagus."
"Anda percaya yang mana?"
Martin tersenyum. "Ini bukan masalah percaya atau
nggak."227
"Saya mengerti. Anda nggak bisa cerita, kan?"
Ponsel Martin berbunyi. Ia melihat siapa yang
menelepon. Suryo.
"Maaf, Pak," katanya, sambil berdiri. "Saya mau
menelepon dulu."
Martin menjauh. Ia khawatir percakapannya dengan
Suryo ada yang tertangkap oleh Arie. "Ada apa, Sur?"
"Dia keluar dan butik, tetapi nggak bawa mobil.
Kayaknya menunggu taksi di pinggir jalan."
"Ikuti dia! Pergi ke mana dan bertemu siapa."
"Baik, Pak."
Martin kembali ke kursinya.
"Ada masalah?" tanya Arie.
"Dari anak buah, yang sedang melakukan pengamatan."
Arie tak menanyakan lebih jauh. "Pak, saya teringat
pada alat pemukul kepala saya. Apakah sudah ditemukan?"
"Belum. Kok tumben tanya itu?"
"Bukankah itu penting, Pak?"
"Tentu saja penting. Kok baru sekarang tanya?"
"Sebetulnya sudah terpikir, tetapi saking banyaknya
masalah jadi kelupaan."
"Bagi Anda pentingnya bagaimana?"
Arie merasa sedang diuji. "Pertama, saya ingin tahu
benda macam apa yang digunakan untuk memukul kepala
saya. Kedua, kalau barang itu nggak ditemukan artinya si
pelaku membawa serta barang itu atau... atau..."
"Atau apa?" Martin tampak tertarik.
"Saya dipukul di tempat lain, lalu dibuang di situ.
Benda pemukulnya tentu ada di tempat itu atau dibuang di
sekitarnya."
"Betul sekali. Menurut Anda, yang paling pas yang
mana?"
"Wah, nggak tahu, Pak. Semuanya mungkin."
"Masalahnya memang hanya satu. Anda nggak ingat
pergi ke mana waktu itu dan bertemu dengan siapa."228
"Betul, yang itu gelap. Mengapa justru yang itu, ya?"
Arie bertanya sendiri. Pertanyaan yang sudah berulang kali
diajukan.
"Anda nggak mau dihipnotis supaya bisa me-nelusuri
sisi gelap itu?"
Arie menggeleng pasti. "Sisi gelapnya bukan hanya itu,
Pak. Saya nggak mau membuka rahasia alam. Saya hidup
lagi. Ya, sudah. Terima kasih sekali. Mengapa harus
mengorek?"
"Anda memang berbeda dengan kebanyakan orang,
yang justru ingin sekali tahu. Misalnya saya."
"Barangkali Anda berniat menulis buku?" tanya Arie,
setengah bergurau.
Martin tertawa. "Saya nggak berminat. Keingintahuan
saya hanya untuk diri sendiri."
"Jadi, untuk memahami saja?"
"Ya."
"Wah, Anda bisa jadi orang bijak nanti. Apakah nanti
bisa cocok dengan profesi Anda sekarang?"
"Profesi kan tidak selalu abadi, Pak. Ah, kita jadi
melantur. Ayo balik lagi!" Martin tertawa geli. "Melantur
sedikit nggak ada salahnya. Siapa tahu bisa mengembalikan
ingatan Anda. Sedikit-sedikit menjadi bukit."
"Saya mengibaratkannya sebagai jigsaw puzzle.
Potongan yang pas belum ketemu untuk membuat jadi
utuh."
"Apakah sudah biasa kalau Anda pergi malam Anda
pamit dulu kepada istri?"
"Waktu hubungan kami masih baik, tentu ya."
"Nggak bilang ke mana?"
"Saya bilang ke rumah teman. Apakah Erwina bilang
begitu juga?"
"Ya. Dia nggak ingin tahu teman yang mana? Nggak
curiga Anda punya selingkuhan?"
"Saya bisa meyakinkan dia, Pak."229
"Kelihatannya Anda tahu betul isi hatinya."
Arie tersipu. "Tahu betul sih nggak. Feeling saja."
"Nyatanya hubungan Anda dengan dia sempat retak.
Mengapa?"
"Saya melakukan kesalahan."
"Selingkuh?"
"Bukan. Pokoknya, kesalahan. Saya lebih salah lagi
karena nggak minta maaf bahkan bersikap dingin dan cuek.
Saya kemudian sadar dan ingin memperbaiki hubungan.
Saya minta maaf. Dia menerima."
"Kalau begitu, sudah baikan lagi? Kapan itu? Cerita
dong. Jangan sepotong-sepotong. Nggak usah malu-malu.
Kita kan sama-sama dewasa."
Arie hanya sejenak ragu-ragu. Terasa bedanya bercerita
kepada Martin dibandingkan seorang teman, bahkan ibunya
sendiri sekalipun.
"Saya mendekati dan memesrainya hari Kamis malam.
Dia menyambut. Rasanya seperti berbulan madu. Jumat
pagi, saya mengantarkan dia ke butik. Sesuatu yang sudah
lama nggak saya lakukan. Saya ingat, saya mengajaknya
makan malam di luar pada hari Jumat itu. Dia ingin makan
di rumah saja. Saya menghadiahinya sebuah kalung. Dia
kelihatan senang. Lalu kami makan..."
"Tunggu dulu. Saya sedikit bingung. Sebelum diterus-
kan, jelaskan dulu hari-hari yang Anda maksud itu. Kamis
kapan dan Jumat kapan."
"Itu minggu yang lalu. Baru saja."
Martin terkejut. "Jadi, hari Jumatnya sama dengan hari
di mana Anda ditemukan di selokan?"
"Ya. Anda kelihatan kaget."
"Oh, nggak apa-apa. Ayo, teruskan! Selesai makan
kalian melakukan apa?"
"Kami minum-minum. Eh, bukan minuman keras Iho,
tetapi softdrink biasa. Kami kemudian bermesraan.
Kayaknya sesudah itu saya tertidur, lalu nggak ingat apa-apa230
lagi. Pada akhirnya, saya mati tentunya. Waktu selang di
antaranya saya nggak ingat."
"Teorinya, Anda pergi sesudah itu sampai waktu
kejadian?"
"Ya. Istri saya juga bilang begitu. Rada aneh memang.
Saya kan lemas."
"Kayaknya ada urusan penting. Janji dengan klien atau
pelanggan? Barangkali ada datanya di showroom Anda."
"Itu saya nggak ingat. Itulah yang hilang dari memori
saya. Data pun nggak ada. Bahkan ada data yang hilang."
"Data apa itu? Kok Anda tahu ada yang hilang?"
"Kadir, karyawan saya, yang memberi tahu. Sekarang
sih itu sudah beres."
Tiba-tiba ponsel Martin berbunyi. Dari Suryo. Seperti
sebelumnya, Martin permisi dulu kepada Arie untuk
menelepon. Ia keluar dari kafe.
"Ada perkembangan, Sur?"
"Ada, Pak. Sasaran satu ke Hotel Mutiara. Di lobi ada
sasaran dua lagi menunggu. Mereka tidak saling tegur
seperti tidak kenal. Sasaran dua masuk ke dalam lift.
Sasaran satu mengikuti, masuk juga. Saya ikut masuk. Di
dalam lift mereka diam-diaman. Di lantai tiga mereka
keluar. Sasaran dua masuk ke dalam kamar, diikuti sasaran
satu. Pintu ditutup. Apakah saya menunggu di lobi atau saya
tinggal saja, Pak?"
"Tinggal saja, Sur. Itu sudah cukup. Trims, ya."
Sekembalinya Martin ke samping Arie, perasaannya
jadi haru-biru. Suami yang malang, pikirnya. Dia merasa
khawatir, apakah informasi itu tidak akan membuat Arie
syok dengan akibat yang parah?
Tidak ada yang rela Arie mati lagi, kecuali orang-orang
yang berniat melenyapkannya.
Usai pembicaraan, Martin mengantarkan Arie kembali
ke showroom. Di sana Arie mengajaknya masuk untuk
melihat-lihat. Martin memuji bisnis Arie. Ia juga dikenalkan231
kepada Kadir, yang semula mengira Martin sebagai calon
pembeli. Arie terus terang memberi tahu siapa Martin. Kadir
tersenyum segan, dan tak menemani lama-lama.
"Begitulah biasanya sikap orang kalau tahu siapa saya,"
kata Martin, tanpa tersinggung.
"Risiko profesi," komentar Arie tertawa.
Mereka berjanji bertemu lagi esok hari. Setiap hari
membawa perkembangan baru.232
12 ERWINA merasa senang bukan hanya karena ia telah
menikmati kemesraan yang sudah dirindukannya bersama
Benny, tetapi juga karena merasa telah berhasil "mengecoh"
Martin. Pada saat Martin sibuk mencari info dengan bicara
bersama Arie, ternyata orang yang suka dikuntitnya berhasil
lepas dari pengawasan. Berkali-kali ia tertawa geli. Hari itu
ia puas sekali.
Ia tidak tahu bagaimana berat hati Benny melepasnya
pergi. Hanya sesaat kepuasan itu didapat, lalu lenyap. Entah
kapan bisa didapat lagi. Biarpun ia bisa mendahului Arie
dalam menguasai Erwina, tetapi sebentar lagi tiba giliran
Arie. Arie pun bisa melakukannya dengan bebas dan legal.
Tak harus sembunyi-sembunyi seperti dirinya. Betapa
singkatnya perasaan menang yang tadi dirasakan. Ia meng-
inginkan Erwina untuk dirinya sendiri. Sungguh tak rela
membaginya dengan orang lain, biarpun itu suami Erwina
sendiri. Tiba-tiba ada kecemasan. Bagaimana bila Arie bisa
memberi kepuasan seks yang lebih hebat daripada dirinya?
Sesungguhnya, Erwina merasa begitu gembira hingga
segera menelepon Arie menjelang tokonya tutup.
"Masih bersama intel itu, Ar?"
"Oh, nggak. Aku sudah di showroom lagi."
"Nanti jangan pulang sendiri, ya. Aku jemput."
"Baik. Trims."
Erwina merasa tak ada semangat dalam suara Arie.
"Ada masalah, Ar? Kedengaran lesu."
"Rasanya capek dan mengantuk saja."233
"Mau pulang? Aku ke sana, ya?"
"Ya, ya. Datanglah!"
Pada saat menyetir mobil menuju showroom, Erwina
berharap Arie sebegitu capek dan mengantuknya sehingga
nanti malam ia tidak lagi punya energi yang banyak. Ia
sendiri merasa energinya banyak terkuras sewaktu bersama
Benny tadi. Mereka bercinta habis-habisan, seolah tak ada
hari esok.
Arie sudah menutup toko. Ia menunggu di depan


Misteri Dua Cinta Dalam Satu Karya V Lestari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan ditemani Kadir, yang siap pulang dengan motornya.
Kadir ingin mengantarkan Arie pulang, tetapi Arie
mengatakan akan dijemput.
Erwina tidak begitu senang melihat kedekatan kedua
orang itu. Dari kejauhan ia melihat bagaimana keduanya
berbincang dengan serius dan akrab. Ketidaksukaannya
kepada Kadir disebabkan Benny juga tidak menyukai orang
itu, padahal penyebabnya ia juga tidak tahu.
"Tumben menjemput," kata Arie.
Erwina tersenyum manis. Sedikit banyak ada juga rasa
bersalahnya karena ia telah mengkhianati Arie. Untuk itu, ia
akan membayarnya dengan perlakuan yang bisa menghibur
Arie.
"Aku takut kau akan kesasar."
"Kesasar?" Arie tak mengerti.
"Ke rumah Mama Susan seperti kemarin, lalu kau tidur
di sana. Pulang pagi lagi."
Wajah Arie menjadi cerah oleh senyum senang. "Aku
nggak akan begitu lagi, Win. Kemarin itu, entah mengapa
dorongannya ingin bertemu Mama."
"Kayak sudah lama nggak bertemu saja."
"Bukan begitu. Aku ingin mengobrol dan dekat. Di
rumah sakit beda. Maaf ya, Win. Kau merasa dilupakan,
ya?"
"Ya," suara Erwina merajuk.234
"Maksud hati sih mau pulang sesudah mengobrol, tetapi
kok ketiduran. Lelap banget. Kayak orang nggak tidur
berhari-hari."
"Sebelumnya kau kan sudah tidur terus."
"Heran juga, ya? Kayaknya kita harus memaklumi
kondisiku yang aneh-aneh."
Dalam hati Erwina berkata, Asal jangan yang seram-
seram saja, ya?
Ia malah tersenyum dan mengatakan, "Aku akan siap
menerimamu apa adanya, yang penting kau sehat."
Arie mengulurkan tangan, dan membelai paha Erwina.
"Trims," katanya, dengan terharu.
Kembali Erwina merasa bersalah. Tak enak juga
rasanya berbohong terus-menerus. Kata Benny, lama-
kelamaan akan terbiasa. Kalau mau survive, orang harus
pintar berbohong. Sesaat pikirannya melayang kepada
Benny. Ia tak bisa menahan senyumnya ketika teringat pada
pernyataan Benny bahwa ia akan terbakar oleh api cemburu
selama dirinya berada bersama Arie.
"Mengapa tersenyum?" tanya Arie.
"Karena senang, dong. Siapa sangka aku bisa berada di
sampingmu lagi."
"Kaupikir ini perlu dirayakan?"
"Pesta-pesta, begitu?"
"Kira-kira begitu."
"Ah, nggak. Buat apa? Kalau mau bersyukur dalam hati
saja."
"Aku sepakat. Oh... ya, tadi jadi beli barang?"
"Belum. Masih nego harga."
"Tadi aku sudah transfer. Nanti kau cek rekeningmu."
"Ya, trims," Erwina senang. Mau tak mau ia berpikir,
Arie lebih bisa menepati janji dibandingkan Benny. Ia telah
bertekad tidak akan memberi tahu Benny soal uang itu. Ia
ingin tahu, apakah Benny benar-benar akan memberi
bantuan bila ia mengatakan Arie tak mau membantu.235
"Suami-istri sudah sepantasnya saling membantu," kata
Arie.
Wajah Erwina memerah. Ia berharap tidak terlihat.
Tidak seperti biasanya, yang membukakan pintu pagar
adalah Katrin. Tampaknya Katrin memang sudah
menunggu-nunggu di halaman.
"Tadi Mama menelepon tanya kapan kamu pulang ya,
Ar?" tanya Erwina, sewaktu masih di dalam mobil.
"Ya. Waktu aku masih menunggu kau."
Erwina merasa kurang nyaman, apalagi melihat tatapan
selidik ibunya ke arah dirinya berdua Arie. Ia menenangkan
diri. Teringat ucapan Benny, "Kita harus bersikap percaya
diri. Apa pun teori orang-orang, apalagi sampai mengarah
kepada kita, mereka nggak punya bukti. Ingatlah itu!"
Bukan hanya pengaruh ucapan Benny itu, ia pun memiliki
keyakinan sendiri. Ia harus pandai-pandai mengikat Arie
dengan cinta. Tentu saja ia pun harus melunakkan hati
ibunya.
Erwina pun tersenyum manis kepada ibunya.
"Sore, Ma."
Arie pun menimpali, "Sore, Ma."
Bahkan Erwina turun dari mobil dan membantu Katrin
menutup pintu pagar, sementara Arie mengambil alih mobil
dan meluncurkannya masuk garasi. Sesudah itu, Erwina
menggandeng Katrin, berjalan masuk. Arie bergabung
dengan keduanya. Erwina menggandeng Arie juga. Dia di
tengah-tengah.
Katrin tidak merasa heran. Sedangkan Arie merasa
senang. Sedikit beban yang menggelayut serta-merta hilang.
Motivasi hidupnya sekarang adalah membentuk keluarga
bahagia.
Biarpun tidak merasa heran dan menganggap sikap
Erwina merupakan bagian dari upaya menyembunyikan
kesalahan, Katrin juga merasa semakin sedih. Barangkali
lebih baik kalau Erwina tetap judes dan jutek. Ia sudah236
memutuskan akan membiarkan waktu memperlihatkan
kebenaran. Sesungguhnya, waktu tidak lewat begitu saja.
Waktu tidaklah kosong. Ada banyak hal yang bergerak
dinamis di dalamnya.
Melihat Arie, ia merasa iba. Menantunya itu selalu
bersikap santun dan baik kepadanya. Walaupun Arie tampak
sedang konflik dengan Erwina, kepadanya Arie tetap baik.
Sebenarnya, ia merasa beruntung punya menantu seperti
Arie. Harusnya Erwina juga mensyukuri hal itu. Namun, ia
sendiri harus mengakui dirinya tidak tahu banyak apa yang
telah terjadi antara keduanya, terutama di saat-saat murung
sebelum kematian Arie. Ia sudah menduga ada sesuatu,
apalagi ia suka memergoki Erwina menangis. Ia tidak tahu
siapa di antara kedua orang itu yang merasa sakit atau
disakiti. Arie atau Erwina?
Sekarang, Arie sudah kembali. Apakah Erwina
menyadari dan menyesali kesalahannya, apa pun itu?
Sebaiknya, Erwina membina hubungan dengan Arie seperti
dulu. Lupakan saja semuanya, dan perbaiki kesalahan
dengan mengubah sikap. Bagaimana kalau Arie tahu dan tak
bisa memaafkan Erwina? Masih ada Benny di luar sana.
*** Setelah Arie dan Erwina berlalu dari showroom, barulah
Kadir mengambil motornya untuk pulang juga. Belum
sempat ia duduk di atas motornya, seseorang bergegas
menghampiri. Dia adalah Martin. Segera Kadir merasa tak
nyaman. Dulu ia pernah berurusan dengan polisi, dan
menjadi trauma karenanya.
"Boleh saya bertanya sedikit, Mas Kadir?" tanya
Martin.
"Boleh," sahut Kadir, tak bisa lain.237
"Langsung saja. Tadi saya dikasih tahu Pak Arie bahwa
sekembalinya dia ke sini ternyata Anda bilang ada data yang
hilang atau terhapus. Data apa itu, ya?"
Kadir tak segera menjawab. Pikirannya bekerja. Pasti
bukan tanpa alasan Martin bertanya kepadanya, dan bukan
langsung kepada Arie saja.
"Mestinya tanya kepada Pak Arie saja, Pak. Saya cuma
karyawan. Nanti kalau salah omong, bisa dimarahi."
"Tadi saya sudah tanya kepada Pak Arie, tetapi dia
bilang yang tahu Anda karena Anda yang pertama
memberitahu. Dia memberi apresiasi kepada Anda. Jadi,
saya pikir mendingan tanya kepada Anda saja. Lebih jelas.
Kasihan kalau Pak Arie ditanya terlalu banyak. Pikirannya
jadi capek. Pasti dia nggak keberatan kalau Anda cerita
kepada saya. Kan itu bukan rahasia. Saya juga bukan orang
pajak."
"Bagaimana kalau saya telepon Pak Arie dulu?"
"Wah, jangan ganggu dia. Lagi sama istrinya, kan? Lagi
kangen-kangenan kok diganggu. Saya perlu info itu
sekarang juga untuk proses pemeriksaan. Baiknya Anda
jangan menghambat."
Nyali Kadir menjadi ciut.
"Nanti Bapak bilang juga kepada Pak Arie, ya?"
"Ya. Tentu saja kalau perlu."
Kadir sudah bisa berpikir lebih jernih. Info yang
diminta itu tidak merugikan Arie, melainkan Benny.
Sedangkan ia juga tidak suka kepada Benny. Ia pun tak
segan lagi menceritakan perihal data yang terhapus dan yang
hilang. Masih pula ditambah dengan penghapusan sisa
cicilan pembayaran mobil, yang diperhitungkan dengan
komisi penjualan mobil yang bedanya terlalu jauh.
"Oh... begitu, ya? Saya mengerti kalau Pak Arie segan
bercerita. Pak Benny itu sahabatnya," komentar Martin.238
Kadir terperangah. Jadi, Arie sebenarnya segan
bercerita mengenai Benny? Ia jadi berkeringat dingin.
Merasa diperdaya.
Martin menyadari perasaan Kadir. Ia segera berkata,
"Jangan khawatir, Mas. Saya nggak akan bilang-bilang
kepada Pak Arie. Anda juga nggak perlu bilang-bilang. Ini
di antara kita saja. Seharusnya Pak Arie nggak perlu segan.
Saya nggak ingin mendesak. Kasihan. Saya terpaksa tanya
Anda. Maaf, ya?"
Kadir merasa lega. Ia mengangguk. "Ya, Pak. Nggak
apa-apa."
"Pak Benny sering ke sini?"
"Dulu sering membantu. Belakangan nggak lagi.
Paling-paling mampir."
"Kapan dia terakhir membantu?"
"Kira-kira beberapa bulan. Kayaknya setelah beli
mobil."
"Pak Benny pintar menjual rupanya. Baru sehari buka
sudah berhasil jual mobil."
"Orangnya luwes. Pintar omong."
"Baiklah. Cuma itu saja kok. Terima kasih, ya. Besok
nggak usah omong soal pembicaraan kita ini kepada Pak
Arie."
"Ya."
Kadir tak sepenuhnya merasa lega. Kalau nanti ada apa-
apa, namanya akan disebut. Ia cuma bisa berharap semoga
itu tidak terjadi.
Martin merasa cukup puas hari itu.
* * *
Arie duduk di ranjangnya, lalu memandang berkeliling
kamar tidurnya. Kemarin malam ia tidak tidur di situ, dan
tadi pagi hanya mengambil pakai-an ganti. Baru sekarang ia
bisa rileks di situ. Ia mengamati foto-foto yang terpajang di239
dinding. Tiba-tiba ia merasa ada yang berubah. Penempatan
foto-foto itu berubah dari biasanya. Ia masih ingat.
Terutama foto dirinya bersama Alex yang mengapit
Erwina letaknya tak sama lagi dengan sebelumnya. Hanya
satu yang tepat, yaitu foto paling besar, foto perkawinan,
tergantung di belakang tempat tidur.
Erwina mengintip. Ia tidak suka melihat Arie termangu-
mangu. Baginya, itu berarti Arie sedang mengingat-ingat.
Kemungkinan ingatannya itu akan kembali seutuhnya.
Lebih baik bila segalanya tetap kabur. Boleh saja ingat
sedikit-sedikit, asal jangan semuanya.
Erwina cepat menghampiri, lalu duduk di samping Arie.
Satu tangannya memeluk pinggang Arie.
"Memikirkan apa, Say?" la bertanya. "Sudah! Jangan
terlalu banyak berpikir! Biarkan otakmu istirahat!"
"Aku sedang mengamati foto-foto itu. Kok beberapa
berubah tempat. Memang bisa pindah sendiri?"
Erwina tertawa. Ia sudah mempersiapkan jawaban. Ia
juga disadarkan bahwa ingatan Arie cukup tajam.
"Tentu saja nggak, Say. Dinding habis dicat ulang.
Semua foto diturunkan. Jadi, waktu dipasang lagi tempatnya
beda."
"Oh, begitu!"
"Mau dipindah lagi? Nanti aku bantu."
"Biar sajalah. Nggak usah."
Dalam hati Erwina berterima kasih kepada ibunya
karena telah memperbaiki foto berikut bingkainya yang
rusak. Kalau Arie sampai bertanya ia tidak tahu harus
menjawab apa, apalagi Arie tampaknya sangat menyayangi
foto yang satu itu. Justru karena itulah maka ia memilih foto
itu untuk dirusak.
Arie menoleh, menatap Erwina, lalu menciumnya.
Erwina berdebar. Ciuman itu ringan, hanya lima detik
bibirnya melekat. Sesudah itu menjauh lagi.240
"Aku haus banget. Maukah kau mengambilkan aku
minuman? Ah, mestinya di sini kita taruh kulkas. Jadi
gampang, ya."
"Kau mau minuman apa?"
Arie menyebut minuman ringan, yang membuat jantung
Erwina berdebar lagi. Itu minuman yang sama dengan yang
diminumnya sebelum kejadian! Untuk menutupi kejutan di
wajahnya, ia buru-buru keluar. Untunglah ibunya sudah
berada di kamar.
Di dapur ia perlu menenangkan diri dulu. Tangannya
gemetar. Mengambil gelas harus dengan dua tangan. Waktu
mengambil es batu, pegangan lepas dan es berjatuhan. Ia
harus memungutinya dulu. Sesudah itu, ia terpeleset karena
lantai yang basah. Untung tangannya tidak memegang apa-
apa. Setelah merasa lebih tenang, ia membawa botol
minuman yang belum dibuka dengan gelas berisi es. Ia akan
membuat berbeda dibandingkan tempo hari. Ketika ia tiba
di kamar jantungnya serasa berhenti berdetak. Arie
berbaring di ranjang dengan hanya mengenakan celana
dalam! Itu sama dengan saat kejadian. Ia mencengkeram
gelas dan botol kuat-kuat. Kalau tidak, ia bisa
menjatuhkannya.
"Kok lama?" tanya Arie.


Misteri Dua Cinta Dalam Satu Karya V Lestari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku terpeleset di dapur. Ada es jatuh."
"Aduh, kasihan. Sakit?"
"Nggak sih. Ayolah minum!"
Arie membuka botol. "Kau nggak mau?"
"Nggak. Kau saja."
Arie menuang isi botol ke dalam gelas, lalu me-
minumnya dengan cepat. Habis dalam waktu singkat.
Sesudah itu, ia merengkuh Erwina ke dalam pelukannya.
Gairah tampak di wajahnya, yang jadi kemerah-merahan
seperti orang mabuk. Perlakuannya terhadap Erwina sama
seperti yang dilakukannya tempo hari. Kalau Erwina tidak241
membantu membuka pakaiannya scndiri, pasti Arie sudah
menyobeknya sampai hancur.
Mereka bercinta dengan gairah yang meledak-ledak.
Arie yang berinisiatif, sedangkan Erwina mencoba
mengimbangi. Erwina berhasil karena masih terpengaruh
permainan cintanya dengan Benny tadi. Tinggal menirukan
saja. Biarpun begitu, perasaannya terbawa juga. Lama-lama
ia tak bisa lagi berpura-pura. Ia menikmati.
Setelah selesai, mereka sama-sama terbaring lemas.
Capek, tetapi puas. Keduanya telentang.
"Bagian akhir inilah yang hilang dari memoriku," kata
Arie.
"Apa maksudmu?"
"Tadi aku melakukan rekonstruksi kejadian Jumat
malam itu, yang kuingat tak sampai tuntas bahkan
klimaksnya pun aku tak ingat. Entah aku memang tertidur,
atau gelapnya mulai dari situ."
Perasaan Erwina seperti diguyur air dingin. Sungguh
tak nyaman. la gelisah. Ia tak mengomentari ucapan Arie
itu, dan pura-pura tertidur. Matanya terpejam, tetapi hatinya
gemuruh. Rekonstruksi? Mana mungkin bisa sempurna
kalau Arie hanya melakukannya dari sisinya sendiri saja?
Mana mungkin pula Erwina ikut serta dengan melakukan
sesuai apa yang ia lakukan tempo hari? Hal yang hilang dari
rekonstruksi itu adalah penyiapan minuman, dan bagaimana
Erwina membuang sisa kapsul ke dalam lubang
pembuangan.
Tenang, kata hatinya. Arie tidak memintanya ikut serta
dalam rekonstruksi itu karena ia tidak menyangka buruk
tentang dirinya. Sama sekali tak terpikir oleh Arie
minumannya sudah dimasukkan obat bius. Arie tak akan
berhasil mendapat pencerahan dari upayanya ini.
Ketika Arie masih terbawa oleh pikirannya, Erwina
mulai mengantuk. Ia sudah merasa tenang dan tubuhnya242
benar-benar capek. Dua kali bercinta hari itu cukup
melelahkan.
Erwina tidak bisa melanjutkan kantuknya menjadi tidur
yang lelap. Tiba-tiba Arie menariknya dengan rengkuhan
yang kuat. Begitu kuatnya hingga ia terangkat dan
menimpa tubuh Arie, yang kemudian menjepitnya kuat-
kuat. Erwina terkejut sekali, hampir berteriak. Arie mem-
balik tubuhnya hingga posisinya sekarang di atas. Arie
menciumnya, ganas dan bernafsu, seolah sudah lama sekali
tak berciuman. Erwina terlalu kaget hingga tak bisa segera
bereaksi. Pikirannya masih gelagapan mencerna aksi Arie
yang tak diduganya. Tubuhnya yang masih lemas tak bisa
mendapat tambahan energi karena tak ada rangsangan. Jadi,
ia pasif dan menerima saja.
Ia merasa diperkosa. Tak ada yang menyenangkan dari
perlakuan kedua kali itu. Terlalu mendadak, di luar
persangkaan, dan sama sekali tanpa kelembutan permainan
awal.
Ia berusaha keras tidak menangis. Apakah ini
pembalasan Arie?
* * *
Malam itu Martin mengirim SMS kepada Susan.
"Bu Susan, maaf mengganggu malam-malam begini.
Saya ingin bicara dengan Ibu. Bisakah besok? Di mana dan
pukul berapa? Kalau bisa, tanpa gangguan."
Setelah berpikir, Susan membalas, "Besok di
paviliunku, Pak. Pukul sepuluh. Aman."
Susan tak bertanya apa kira-kira materi pembicaraan,
padahal sebenarnya ia ingin tahu sebelum saat pertemuan.
Setidaknya, supaya ia bisa memikirkannya lebih dulu. Siapa
tahu dari sana bisa muncul ide yang berguna. Ia yakin tidak
mungkin Martin mengajak bertemu hanya untuk sekadar
basa-basi, apalagi ajakan itu datang malam-malam seolah243
ada sesuatu yang mendesak untuk dilakukan. Atau tak bisa
menunggu lama-lama. Pertanyaan itulah yang membuatnya
gelisah.
Ia ingin curhat kepada seseorang, tetapi tak tahu siapa
yang pantas ia hubungi. Semua tentunya sudah tidur. la juga
tak ingin mengganggu Arie dan Erwina. Apakah Katrin?
Biasanya ia tak pernah ragu-ragu untuk menelepon Katrin,
biarpun malam sudah larut. Demikian pula sebaliknya.
Sejak kasus Arie mereka memang tak melakukan itu,
padahal sudah jelas masalahnya banyak sekali. Apakah
Katrin tidak merasa ada masalah setelah Arie kembali?
Susan merasa ada sesuatu yang hilang dari Katrin. Dia
banyak diam dalam perbincangan mengenai kasus Arie. Tak
ada teori yang diajukannya, ataupun komentar. Hal itu
membuat ia segan menghubungi Katrin.
Tak ada orang lain. Ia harus mengatasi dan meng-
hadapinya sendiri. Kelihatannya malam itu akan panjang.
* * *
Sebenarnya, Katrin belum tidur. la tak bisa tidur dengan
pikiran-pikiran buruk yang mengganggunya.
Ia membayangkan apa saja yang terjadi antara Arie dan
Erwina. Ia mendengar hiruk-pikuk di dapur. Apa yang
sedang dikerjakan Erwina di sana? Biarpun tak melihat, ia
yakin itu Erwina. Samar-samar ia mendengar pekikan pelan
Erwina. Ia ingin keluar untuk mengetahui apa yang terjadi,
tetapi ia menahan diri. Ia tak mau melihat. Ia tak berani
melihat. Mungkin juga Erwina tidak senang melihatnya.
Lebih baik ia diam saja, tak ikut campur.
Lama sekali waktu berlalu tanpa dirinya bisa tertidur.
Suasananya sepi dan sunyi. Tak ada suara-suara Arie dan
Erwina. Tentu mereka sudah tidur. Tinggal dirinya yang
tersiksa oleh pemahaman yang tak bisa dibaginya dengan
orang lain.244
Bagaimana dengan Susan? Dulu mereka selalu berbagi,
dalam suka dan duka. Sekarang lain. Arie adalah putra
Susan, sedangkan Erwina putrinya. Bukankah Susan akan
marah dan sakit hati kalau tahu tentang apa yang
diketahuinya?
Katrin teringat pada ikrar mereka bersama, "Apa pun
yang terjadi pada anak-anak kita, kita tetap bersahabat!"
Bila nanti terbuka semuanya, masihkah ikrar itu
berlaku?245
13 HARI Kamis.
Masih subuh ketika Arie terbangun dari tidurnya yang
lelap. Hal yang pertama dilakukannya adalah menoleh ke
sisinya. Erwina tergolek di sana, diam tak bergerak. Masih
dalam keadaan telanjang. Rasa haru menyumbat
kerongkongan Arie. Ia menarik selimut untuk menutupi
tubuh Erwina. Pelan-pelan supaya tidak sampai terbangun.
Tiba-tiba muncul keinginan untuk mengecupnya, tetapi Arie
bisa menahan keinginan itu. Ada kekhawatiran kalau
sentuhan itu bisa merangsangnya untuk berbuat lebih.
Ia membalik tubuh dan menggeser ke pinggir, lebih
menjauh. Ia tak bisa tidur lagi. Kantuk sudah hilang. la
telentang dengan mata terbuka. Pikirannya kembali ke saat-
saat sebelumnya. Kenangan akan kenikmatan bercinta
semalam muncul kembali dengan kuatnya. Seluruh tubuh
dan indranya terasa hangat dan bergelora seakan mengalami
kembali. Ia memejamkan mata supaya bisa lebih merasakan-
nya. Tiba-tiba, begitu saja matanya terbelalak. Ah, dua kali?
Penelusuran kenangan mengenai kejadian semalam ternyata
menyadarkannya bahwa akitivitasnya berkelanjutan. Ada
yang kedua. Sayangnya, yang kedua itu tidak terasa kuat
dalam ingatannya, apalagi sampai menggelorakan setiap sel
tubuhnya. Ia sedikit bingung. Mengapa ia masih terangsang
untuk melakukannya lagi, padahal ia sudah merasa puas dan
juga lelah? Rasanya tidak ada alasan. Ia pun bukan
tergolong lelaki yang memiliki libido tinggi.246
Ia tersentak duduk dan berkeringat dingin. Hampir ia
berteriak, "Alex!" tetapi sosok di sebelahnya bisa
membuatnya menahan diri. Jangan sampai Erwina
terbangun. Suara yang keluar dari mulutnya hanya desis
pelan. Sejenak kepanikan menguasainya. Suatu perasaan tak
berdaya. Sesuatu yang membuatnya kelu dan kaku. Dia
bukanlah dirinya, tetapi dia memang dirinya. Ia memahami,
tetapi sulit menerima. Dua orang tidaklah sama dengan satu
orang. Apalagi dua di dalam satu. Ia pernah mengucapkan
kalimat itu kepada Martin, tetapi bukan dalam pemahaman
yang nyata bahkan ia cenderung bergurau.
la duduk bersila, meditasi untuk menenangkan diri.
Keringat dinginnya menguap. Tubuhnya kering. Jantungnya
tak lagi berdebar kencang. Pikirannya berkonsentrasi.
Alex! Kau ikut bersamaku, ya?
Betul, Rie. Apa kau nggak senang? Kita bisa bersama
lagi kayak dulul
Kau ikut pula bercinta dengan Erwina?
Ya. Kayak dulu lagi! Eh, jangan bilang kau mau
menguasainya sendiri saja.
Tentu saja nggak, Lex. Aku sayang kepada kamu. Aku
senang kau ada bersamaku, tetapi aku minta kau nggak
sembarangan. Ingat! Tubuh kita satu sekarang maka harus
mengatur dengan baik. Kayak dulu. Satu hari giliranku.
Esoknya baru giliranmu. Kasihan Erwina juga, kan?
Jangan sampai dia auriga. Nanti kita malah kehilangan d?a.
Paling-paling dia menyangka kau jadi maniak seks. Ha-
ha-ha!
Jangan begitu. Dia bukan mainan. Memang kau nggak
cinta dia?
Tentu saja aku cinta dia. Kalau nggak, buat apa aku
ikut kau kembali?
Ah, jadi kaulah yang membuat gelap memoriku!247
Bukan, Rie. Aku nggak tahu soal itu. Buat apa pula aku
tahu? Nggak ada gunanya.
Siapa yang mengirimmu ikut bersamaku?
Nggak tahu.
Bohong! Kau nggak mau bilang atau nggak boleh
bilang?
Tenang, Rie. Jangan marah-marah. Terima saja
keadaan ini sebagai yang terbaik. Selama ini kau sudah
menerima semuanya dengan ikhlas, bukan?
Oh, Lex. Aku masih merasa syok. Sungguh-sungguh
nggak logis. Kita ini monster atau alien, ya?
Ha-ha-ha. Tahulah. Itu kan istilah duniawi.
Kita kan ada di dunia, Rie. Bukan di alam lain.
Ya, ya. Tentu saja. Buat apa dipersoalkan. Kita nikmati
saja hidup yang diberikan ini. Terima dan jalani.
Ini anugerah ya, Lex?
Kaupikir apa? Hukuman?
Bukan begitu, Lex. Aku pikir, kita harus memanfaatkan
hidup ini untuk memperbaiki yang salah dulunya. Jangan
diulang lagi.
Maksudmu, terhadap Wina?
Terhadap semuanya dong.
Aku juga ingin memperbaiki kesalahanku terhadap
Wina. Dulu aku pergi dengan memhawa beban kesalahan
itu. Jangan-jangan kau nggak rela aku kembali sendiri dan
memiliki Wina sendiri pula.
Ah, nggak begitu. Aku nggak sejelek itu.
Sebenarnya, kau memang mencintai dia atau nafsu
saja? Aku nggak menger? bagaimana kau sebagai roh
masih punya ikatan kuat dengan keduniawian.
Aku sungguh mencintai dia. Nafsu adalah cara
mengekspresikannya. Jangan bicara tentang roh segala
karena kau batal menjadi roh.248
Kalau kau memang sungguh mencintai dia,
jangan perlakukan dia dengan kasar Dia senang
diperlakukan dengan lembut. Ingat?
Ya, ya. Aku memang sudah kelewatan.
Lain kali jangan begitu lagi, Lex.
Yes, brother.
Aku takut kalau ketahuan bisa kayak dulu lagi, Lex. Dia
bisa pergi, dan kita sama-sama akan kehilangan.
Jangan takut begitu. Jalani sajalah. Dulu dan sekarang
beda.
Baiklah. Ingat! Tujuan kita bukan cama untuk kepuasan
sendiri, tetapi kepuasan Wina juga. Kita mencintai dia maka
harus berupaya mempertahankan dia juga. Ingat ya, Lex?
Yes, brother. I lave yon.
Lave you too, brother.
Percakapan batiniah itu berakhir setelah Erwina
menggeliat. Arie kembali merebahkan tubuhnya pelan-pelan
di samping Erwina. Ia memiringkan tubuh, mengamati
wajah Erwina. Perasaan haru menguasainya. Aku, eh, kami,
akan berusaha membaha-giakanmu.
Erwina membuka matanya. Terkejut melihat tatapan
Arie.
"Ada apa?" tanyanya waswas.
"Nggak apa-apa. Kau sangat cantik."
"Huuu...." Erwina bergerak, membalik tubuh dengan
mempertahankan selimut di atas tubuhnya.
Arie mengulurkan tangan menahan pundak Erwina.
"Jangan, Win! Tetaplah memandangku!"
"Apaan sih, Ar? Kau mimpi apa?"
Erwina merasa waswas kalau-kalau Arie terangsang
lagi. Ia tidak akan tahan karena peristiwa semalam saja
sudah membuat tubuhnya ngilu. Kalau sampai terjadi lagi
dengan cara yang sama ia bisa remuk.249
"Bukan mimpi. Ingin omong saja," kata Arie lembut. Ia
bisa menduga prasangka Erwina.


Misteri Dua Cinta Dalam Satu Karya V Lestari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ada apa memang?"
"Maafkan aku yang semalam itu, ya? Yang kedua kali
maksudku. Itu nggak akan terjadi lagi."
Erwina merasa lega. "Kau membuat tubuhku sakit-
sakit. Aku merasa diperkosa, tahu?"
"Maaf, Win. Aku lupa diri."
"Kalau nanti lupa diri lagi, bagaimana? Masa maaf,
maaf melulu."
"Aku sudah janji, nggak akan terjadi lagi."
"Apakah janjimu bisa dipegang?"
"Bisa. Kau bisa bantu menyadarkan aku kalau sampai
kejadian."
"Caranya?"
"Lawan dan tentang aku. Simpel saja. Aku jamin, aku
nggak akan menyentuhmu kalau kau nggak mau. Lain
halnya kalau kau sendiri yang mau."
Erwina ingat niatnya untuk berbaik-baik kepada Arie. la
harus mengikat Arie. Cinta Arie kepadanya bisa
dimanfaatkan.
"Baik. Aku percaya dengan janjimu."
"Terima kasih, Win. Kau memang baik sekali," kata
Arie girang. Ia mendekat untuk mencium Erwina, tetapi
Erwina mengelak.
"Hei, jangan sentuh lagi, ah. Nanti keterusan," katanya
bercanda.
"Ya deh," Arie tertawa lega.
Kebekuan di antara mereka mencair sebagian. Mereka
menghabiskan waktu sebelum bangun dan memulai aktivitas
rutin dengan mengobrol sejenak. Sebenarnya, Arie tidak
begitu yakin apakah Erwina sudah sungguh-sungguh
memaafkan. Tentang peristiwa semalam ia tak terlalu risau.
Hal yang masih terasa mengganjal adalah perbuatannya ber-
sama Alex terhadap Erwina di waktu yang lalu. Erwina250
memberinya maaf hanya beberapa saat sebelum dirinya
"meninggal". Tuluskah maaf Erwina itu? Ia sendiri tidak
tahu apa bedanya maaf yang tulus dan yang tidak. Waktunya
terlalu singkat untuk mencari tahu.
Pertanyaan Erwina kemudian mengejutkan Arie.
"Kau nggak bertemu Alex di sana?"
Arie tak segera bisa menjawab. Tak menyangka Erwina
akan bertanya tentang Alex.
"Nggak. Aku nggak ingat apa-apa. Mengapa kau
bertanya tentang dia?"
"Ingin tahu saja."
"Kau masih ingat seperti apa dia?"
"Tentu saja. Seperti kau," Erwina tertawa, lalu tawanya
hilang ketika menyambung, "dan napasnya yang... yang..."
Wajah Erwina tampak murung. Buru-buru Arie
merangkulnya. Semula ragu-ragu, tetapi setelah merasa
Erwina tidak menolaknya, ia mengetatkan rangkulan.
"Kau masih trauma, Sayang? Maafkan aku. Maafkan
kami berdua."
Erwina diam saja. Tak mendorong atau membalas
rangkulan. Ia merasa nyaman di dada telanjang Arie.
"Ada satu hal yang mestinya kusampaikan kepadamu
waktu hari Jumat lalu itu, tetapi terlewatkan karena aku
keburu mati. Ketika Alex menjelang ajal, ia sempat omong
kepadaku. Ia minta aku menyampaikan maaf kepadamu.
Sudah lama memang. Saat itu, aku nggak berani
menyampaikan karena aku takut terhadap reaksimu. Aku
takut kau mengamuk. Sudah tentu aku juga malu. Aku
nggak berani berhadapan denganmu."
"Apakah dia cuma minta maaf? Nggak omong yang
lain?"
"Oh... ya, dia bilang kau sudah tahu karena napasnya
beda. Dia juga sangat mencintaimu. Alasan perbuatannya
adalah cinta. Aku sendiri juga menyayanginya."
"Dia cuma menginginkan tubuhku. Bukan cinta."251
"Nggak begitu, Win."
"Buktinya dia hanya datang di malam hari untuk
melampiaskan nafsunya."
"Kau salah. Dia pernah mengambil alih posisiku pada
beberapa hari libur. Jalan-jalan bersamamu dan kegiatan
lain, sementara aku kesepian sendiri."
Erwina terperangah. Ia tak menyangka sampai ke sana.
Ia melepaskan rangkulan. Lama-lama jadi panas.
"Kalau begitu, aku punya dua suami?"
"Maafkan kami, Win."
"Kalian membuat perjanjian sebelum menikah ya, yaitu
membagiku bersama-sama? Itu sebabnya dia re?a mundur
dari persaingan?"
"Maafkan kami, Win."
Tatapan Erwina tertuju ke foto si kembar di dinding.
Kebetulan letaknya berseberangan. Dalam keremangan
lampu kecil tampaknya wajah keduanya tak lagi terlihat
penuh senyum, melainkan murung. Sekarang ia bisa
menatapnya tanpa keinginan memalingkan mata.
"Itu sebabnya dia tidak mau punya kekasih biarpun
Mama sudah membujuk," lanjut Arie.
Apa pun reaksi Erwina, ia sudah siap menerimanya.
Perasaannya pun lega karena sudah menceritakannya.
"Masih marah, Win?" tanya Arie pelan. Biarpun sudah
siap, ia khawatir juga.
"Yah, semua sudah terjadi, Ar. Aku mau bilang apa?"
jawab Erwina akhirnya. "Api kemarahan yang dulu sudah
padam sekarang. Apalagi Alex sudah nggak ada. Marah
kepada kau seorang tentu nggak adil. Kalian kembar yang
benar-benar sehati sejiwa."
"Ya," kata Arie lirih.
Lama keduanya diam. Arie berpikir, bagaimana kalau
Erwina sampai tahu apa yang sebenarnya terjadi sekarang
bahwa Alex ada di dalam dirinya?
"Kau mau memaafkan kami, Win?"252
"Ya."
"Terima kasih," kata Arie, lalu kembali merangkul
Erwina dan mencium bibirnya. Sebentar saja.
Erwina berpikir, memang hanya itu jawaban yang bisa
ia berikan. Bukankah dirinya juga melakukan kesalahan?
Bila ditimbang, belum tentu kesalahannya lebih ringan
dibandingkan apa yang telah diperbuat Arie dan Alex.
Bahkan bisa jadi lebih berat.
Pada saat sarapan, Katrin tercengang melihat putri dan
menantunya itu tampak mesra. Lebih mesra daripada
kemarin. Dalam hati ia bertanya-tanya, apakah Erwina
sedang bersandiwara atau sungguh-sungguh. Mungkinkah
Erwina menyesali perbuatannya, dan ingin memperbaiki
kesalahannya? Hal yang pasti, Arie tidak tahu apa-apa.
Apa pun yang dilihat Katrin tidak bisa mengurangi
kecemasannya.
* * *
Sebelum pukul sepuluh pagi itu, Susan sudah
menunggu di halaman depan paviliun. Ia berdiri di balik
pagar memandangi lalu-lintas di jalan raya. Ia tidak
mengamati para pengendara motor yang lewat untuk
mengenali Martin karena pikirannya melayang ke masalah
Arie. Ia pun merasa tegang mengenai materi apa yang akan
disampaikan Martin sampai harus bertemu dalam suasana
empat mata.
"Selamat pagi, Bu Susan!"
Sapaan Martin dekat di sisinya mengejutkan Susan. Ia
begitu intens dalam pemikirannya hingga tak menyadari
kehadiran Martin, yang duduk di atas motornya.
"Oh, selamat pagi, Pak Martin! Ayo, masuk!"
Susan buru-buru membuka pintu pagar, menyilakan
Martin masuk halaman dengan motornya.253
Martin memandang berkeliling. Satu kebiasaannya yang
khas. Selalu mengamati lingkungan barunya kalau-kalau ada
yang janggal atau menarik.
"Halamannya asri, Bu. Menyejukkan mata dan hati," ia
memuji.
Susan tertawa. "Terima kasih, Pak. Saya punya banyak
waktu luang untuk memeliharanya."
"Tadi lagi menunggu, Bu? Kok nggak lihat saya?"
"Menunggu sih ya, tetapi pikiran saya ke mana-mana."
Martin memilih duduk di teras, yang merangkap ruang
tamu. Dari pintu yang terbuka sedikit ia bisa melihat tempat
tidur. Jelas di dalam tak ada ruang tamu. Paviliun itu tak
terlalu luas, tetapi terlihat nyaman dan rapi. Persesuaian
yang serasi antara bagian depan dan bagian dalam.
Semuanya berkat sentuhan tangan seorang perempuan
bernama Susan.
"Setiap hari Iibur Bu Katrin menginap di sini ya, Bu?"
"Ya. Dia sahabat saya sejak sekolah. Sekarang
berbesan."
"Direncanakan?"
"Diarahkan saja kok," Susan tertawa. "Ternyata,
mereka saling tertarik. Ya, kebetulan deh. Sekarang sih
bukan zamannya menikah karena dijodohkan."
"Akhirnya, yang mendapat Bu Erwina adalah Pak Arie.
Apakah Pak Alex nggak tertarik juga kepada Bu Wina?"
"Wah, mereka bersaingan tuh. Dua-duanya sama-sama
jatuh hati," Susan tidak keberatan menceritakan.
"Bagaimana dengan Pak Benny? Katanya, dia sahabat
sejak kecil. Pasti Pak Benny kenal juga dengan Bu Erwina."
"Tentu saja kenal. Waktu upacara perkawinan Benny
jadi pendamping Arie."
"Bukan Pak Alex?"
Susan tertawa. "Nanti nggak bisa dibedakan dong.
Semua orang bingung."
"Termasuk pengantin perempuan."254
"Wina memang bingung membedakan mereka. Dulu
dia sampai meminta mereka nggak berpenampilan sama.
Salah satu di antara mereka disuruh pakai kacamata, bahkan
pakai poni juga."
"Apakah mereka mau?" Martin tertarik.
"Nggak. Akhirnya, masalah persaingan itu beres setelah
Alex mundur dengan sukarela."
"Bu Erwina pun suka dua-duanya?"
"Bukan begitu. Dia hanya bingung."
"Kalau misalnya Pak Arie yang mundur, apakah dia
mau dengan Pak Alex?"
"Saya kira mau."
Martin garuk-garuk kepala. Susan tertawa. "Anda juga
ikut bingung, kan? Sudahlah. Hidup ini memang suka aneh-
aneh. Lihat saja Arie. Apa nggak aneh tuh?"
Martin mengangguk-angguk. Susan masuk ke dalam
untuk mengambil minuman dan makanan kecil. "Cuma air
putih, Pak. Lebih sehat."
"Betul, Bu. Saya minum ya, Bu? Haus banget."
"Saya juga haus. Banyak minum itu baik."
Setelah mereguk minumannya, Martin menghimpun
kembali tekadnya yang sempat maju-mundur. Semula ia
segan menyampaikan perselingkuhan Erwina dengan Benny
karena seolah-olah ia mencampuri urusan rumah tangga,
padahal itu bukan urusannya. Namun, ada tanggung jawab
moral. Tidak akan ada yang tahu selain dirinya mengenai
perselingkuhan itu. Bila ia diam saja maka akan sama
dengan membiarkan ketidakadilan yang dialami Arie. Ia
tidak mau menyampaikan Iangsung kepada Arie karena
takut akan akibatnya. Arie sangat mencintai Erwina. Lain
hainya bila seorang ibu yang penuh kasih sayang seperti
Susan yang diajak berbagi. Susan bisa mencari jalan yang
bijak karena tak ada orang yang memahami Arie sebaik
dirinya.255
"Bagaimana perkembangan penyelidikannya, Pak?"
tanya Susan. Sebenarnya, ia tak yakin apakah Martin mau
berbagi dengannya tentang hal itu. Ia sendiri memang ingin
bertemu Martin bukan untuk menyampaikan sesuatu yang
baru, tetapi ingin berbincang saja mengenai kasus itu.
"Sudah ada titik terang, Bu, tetapi saya belum bisa
memberi tahu."
"Saya mengerti, Pak. Apakah Anda punya janji dengan
Arie hari ini?"
"Nggak, Bu. Kalau dia ingin bertemu, saya selalu
bersedia."
"Terima kasih ya, Pak. Anda sangat perhatian. Pasti
bukan semata-mata karena ingin membongkar kasus ini."
"Ya, Bu. Karena Pak Arie spesial." Martin mengakui.
"Ya, dia memang spesial. Perlakuan untuknya juga
harus spesial. Tahukah Anda, saya selalu takut kalau-kalau
dia pergi lagi. Pergi untuk selamanya."
Martin terdiam. Ia bisa merasakan ketakutan Susan
karena ia pun suka berpikir seperti itu.
"Ah, Ibu nggak boleh takut. Jangankan Pak Arie, kita-
kita ini pun bisa saja pergi setiap saat. Kita nggak bisa
mencegahnya."
"Benar sekali, Pak. Untuk orang setua saya, rasa-nya
nggak takut lagi pergi. Sudah cukup menikmati hidup.
Kalau bisa barter dengan Arie sih saya mau, Pak."
"Ibu pasti ingin selalu melindungi Pak Arie, ya?"
"Oh, tentu saja."
"Ibu percaya kepada Pak Benny?"
"Benny? Ah, percaya dong."
Untuk sesaat Susan merasa bingung karena perubahan
topik.
"Bagaimana Ibu melihat hubungan Bu Erwina dengan
Pak Arie? Apakah mereka rukun-rukun saja?"
Pertanyaan itu menyentak Susan. Ia menatap Martin
dengan pandang penuh selidik. Pikirannya serentak bekerja.256
"Apakah maksud Anda bertanya begitu? Pasti bukan
tanpa maksud."
"Jawab dulu dong, Bu. Masa dibalas pertanyaan lagi."
"Kayaknya sih mereka baik-baik saja. Kalau memang
ada apa-apa, pasti Katrin sudah memberi tahu. Dia kan
tinggal serumah. Masa nggak lihat."
"Pak Arie bilang kepada saya, hubungannya dengan Bu
Erwina sempat retak setelah kepergian Pak Alex."
"Oh, ya?" Susan tercengang. "Saya nggak tahu. Waktu
itu kami memang jarang bertemu. Dia kelihatannya begitu
sibuk. Mungkin dia sengaja nggak mau bilang supaya saya


Misteri Dua Cinta Dalam Satu Karya V Lestari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nggak resah."
"Bu Katrin juga nggak menyadari hal itu? Bu Erwina
nggak pernah curhat kepadanya?"
"Kalau ya dia pasti cerita. Saya pernah bilang
kepadanya, apa pun yang terjadi di antara anak-anak kami,
hubungan kami berdua harus tetap seperti semula. Sahabat
tetap sahabat."
"Itu bagus sekali."
"Nah, sekarang giliran saya bertanya. Apakah maksud
pertanyaan Anda tadi?"
"Saya tanya dulu ya, Bu. Di mata Ibu, hubungan Bu
Erwina dengan Pak Benny bagaimana? Waktu di rumah
duka, saya amati mereka duduk bersama terus."
Susan mengerutkan kening. Ia mengira Martin
mencurigai hubungan Erwina dengan Benny.
"Anda mengamati mereka, ya? Sudah saya bilang,
Benny sahabat keluarga. Dulu dia sering saya suruh-suruh.
Pantas saja kalau Wina dihibur Benny. Siapa lagi yang bisa
menghiburnya?"
"Ada, Bu Katrin."
"Katrin menghibur saya."
"Sering kali Bu Katrin duduk sendirian ketika Anda
terus berada di samping peti jenazah."257
Susan menggeleng. "Jangan berprasangka, Pak.
Sekarang hubungan mereka sudah baik lagi. Mesra banget.
Mudah-mudahan tak lama lagi mereka bisa punya anak."
Martin tertegun. Bagaimana caranya ia bisa
menyampaikan berita itu? Sangat buruk, dan sangat
mengejutkan. Ia sengaja memutar-mutar supaya Susan bisa
menebak sendiri dan tidak terlalu terkejut karenanya, tetapi
tampaknya sulit.
Sikap Martin membangkitkan was-was di hati Susan. Ia
sadar sekarang. Jadi, masalah ini yang ingin dibicarakan
Martin. Dia datang bukan untuk kunjungan sosial.
"Ayo bilang saja terus terang, Pak. Ada apa dengan
Erwina dan Benny? Kalau cuma prasangka, Anda nggak
perlu omong."
"Baiklah. Tenang dulu, Bu. Saya sengaja bicara mutar-
mutar supaya Anda tabah mendengarnya. Mereka berdua
memang berselingkuh. Kemarin mereka janji bertemu di
hotel. Saya menyuruh anak buah menguntit. Bu Erwina
pergi dari butik sendiri. Pak Benny sudah menunggu di
hotel."
Wajah Susan memucat. la bersandar ke belakang.
Tampak syok.
"Buuu... maaf," Martin melompat dari duduknya untuk
mendekat.
Susan tersenyum lemah. Ia menggoyangkan tangannya.
"Saya nggak apa-apa. Jantung saya masih cukup kuat
untuk mendengarnya. Jadi, kemarin kejadiannya? Berarti
kemesraan yang dia perlihatkan kepada Arie pura-pura
saja?"
Martin diam. Tak ingin menambah panas suasana.
"Mereka memang kelihatan dekat, tetapi saya pikir
mereka bersahabat saja. Kan sudah dari dulu. Sudah lama.
Mengapa baru sekarang?" keluh Susan.
"Kita nggak tahu sejak kapan, Bu."258
"Dasar munafik. Kalau memang sudah nggak suka
kepada Arie, mengapa nggak terus terang saja? Sekarang,
Arie sudah kembali dan nggak kurang apa-apa. Kok masih
diteruskan? Benny itu... oh, kok tega sih. Istri sahabat
sendiri diperlakukan begitu!" Suara Susan geram sekarang.
Martin membiarkan Susan melampiaskan kekesalannya.
"Daripada selingkuh diam-diam kan lebih baik cerai
saja, lalu menikah dengan Benny. Arie masih muda,
ganteng, dan kaya. Masa nggak bisa dapat cewek lain?"
gerutu Susan.
"Ada cinta di situ, Bu."
"Ya, itu yang menyakitkan. Kasihan Arie."
Pandang Susan menerawang sedih. Cobaan lagi buat
Arie. Bisakah rasa sakit Arie diobati dengan rasa syukur
karena diberi hidup kembali? Jangan-jangan dia malah
berharap mati lagi. Atau menyesal bisa hidup kembali.
"Apa rencana Ibu sekarang?" tanya Martin.
"Belum tahu, Pak. Masih bingung. Dikasih tahu takut
dia syok. Kalau nggak dikasih tahu... oh, apa mau Wina
sebenarnya? Apakah nggak cukup satu? Jangan-jangan dia
dapat tekanan dari Benny. Ternyata, yang jahat Benny.
Nggak sangka. Di depan pura-pura baik, tetapi di
belakang..."
"Apakah saya boleh memberi saran, Bu?"
"Tentu saja boleh, Pak. Saran apa?"
"Untuk sementara kita diamkan dulu kasus ini. Pura-
pura nggak tahu."
"Mengapa?"
"Pertama, demi mental Pak Arie sendiri. Kedua, diam-
diam saya bisa menyelidiki Pak Benny dengan lebih leluasa.
Kalau sudah ketahuan pasti dia kabur."
Mata Susan membelalak. "Anda mencurigai dia untuk
sesuatu yang lain?"
Martin mengangguk pelan. "Saya ingin mengajak Ibu
kerja sama. Dalam hal ini saya merasa Ibu harus tahu, tetapi259
saya juga percaya Ibu bisa menyimpan rahasia untuk tujuan
yang lebih baik."
"Saya mau kerja sama, tetapi saya harus tahu dulu
untuk apa dan mengapa."
"Saya curiga Pak Benny ada di balik upaya pem-
bunuhan Pak Arie."
Susan memekik. Tadi selintas sudah ada dugaan, tetapi
setelah diucapkan jadi terasa mengejutkan.
"Aduh, Benny! Mengapa? Dia sudah seperti anak bagi
saya," kata Susan, dengan mata berair.
"Sudah, nggak usah disesali lagi, Bu. Manusia kan bisa
berubah. Kita harus melihat ke depan saja."
"Baik, baik. Saya perlu waktu banyak untuk bisa
menerima semuanya. Saya mesti merenung dan berdoa juga.
Harus ikhlas. Harus sabar. Harus tabah. Terima kasih Anda
sudah memberi info. Biarpun menyakitkan, sudah sepatut-
nya saya dikasih tahu."
Martin mengangguk. "Ibu memang bijak. Tidak salah
saya mengajak Ibu kerja sama."
"Nah, kerja sama itu seperti apa?"
Martin menarik kursinya lebih dekat ke kursi Susan.
Tubuhnya dibungkukkan ke arah Susan. Tak ada orang lain
di sekitarnya, tetapi ia melakukannya spontan saja. Sudah
kebiasaan, dan juga pengalaman bahwa dinding pun kadang-
kadang bisa mendengar.
* * *
Katrin melepas kepergian anak dan menantunya. Ia
membukakan pintu pagar untuk mobil Arie, yang
dikemudikan Erwina. Sebelum meluncur ke jalan, mobil
berhenti di samping Katrin. Erwina menjulurkan kepalanya
ke luar jendela mobil dan mendongakkan muka ke arah
Katrin. Minta cium.260
Katrin mencium pipi Erwina, sedangkan Arie
mengangkat tangannya.
"Hati-hati!" pesan Katrin.
Mobil Arie meluncur pergi. Katrin menutup pintu
pagar, lalu melangkah perlahan-lahan kembali ke dalam
rumah. Sejak pagi melihat Erwina dan Arie, tatapan
matanya hampir tak lepas dari keduanya. Ia ingin mendapat
kepastian dari keraguan dan kecemasannya hanya lewat
pengamatan karena tak mungkin baginya bertanya langsung
kepada Erwina. Bila bertanya langsung, ia bisa dianggap
menuduh sembarangan atau memfitnah. Bisa pula
dipastikan bahwa Erwina tidak akan mau mengaku salah.
Setelah mengamati, ternyata ia tak bisa mendapat suatu
kesimpulan yang pasti. Tampaknya tak ada masalah dengan
hubungan Erwina dan Arie. Tentu Arie sendiri tak mungkin
bersandiwara. Bagaimana dengan Erwina? Apakah Erwina
hanya ingin bermain-main saja dengan Benny, tetapi di
samping itu ingin tetap mempertahankan hubungannya
dengan Arie? Bagi Katrin, itu merupakan perbuatan yang
nista sekali. Kasihan Arie.
Menjelang siang, Susan meneleponnya.
"Bagaimana anak-anak kita?" tanya Susan.
Katrin tak segera menjawab. Mempelajari dulu suara
Susan. Kecemasannya telah memengaruhi dirinya hingga
begitu saja terpikir apakah Susan juga memiliki kecurigaan
yang sama. Suara Susan kedengaran biasa-biasa saja.
"Baik-baik saja tuh."
"Mesra?"
"Oh, ya. Ada apa?"
"Ingin tahu saja. Eh, besok kau ke tempatku, kan?"
"Besok? Ada apa memangnya?"
Susan tertawa. "Lupa, ya? Besok kan Jumat."
"Oh, ya. Lihat besok saja, ya?"
"Kok lihat besok? Kau lagi nggak enak badan ya, Kat?
Suaramu kedengaran lesu."261
"Ah, nggak. Aku cuma kurang tidur."
"Memikirkan apa?"
"Nggak memikirkan apa-apa."
"Ayolah, Kat. Aku punya insting tajam Iho. Aku tahu
kau nggak biasa kurang tidur. Tidurmu selalu nyenyak. Kau
suka tidur. Kalau sampai kurang tidur, berarti nggak bisa
tidur. Itu artinya, ada yang kaupikirkan."
Katrin terdiam. Ia memikirkan alasan untuk menyudahi
pembicaraan. Sekarang, bicara dengan Susan membuatnya
tak nyaman. Ia tahu Susan memang punya insting yang
tajam. Susan juga dekat dengan Martin.
"Hei, Kat, kok diam? Ada apa? Nggak mau curhat
kepada aku lagi?"
"Bukan begitu, Sus. Aku... aku memang kurang enak
badan. Kayaknya aku kena flu. Nanti kita bicara lagi, ya?"
Sebelum Susan menjawab, Katrin buru-buru mematikan
ponselnya. Ia terduduk lemas. Ketika ponselnya kembali
berbunyi, dan ia melihat yang menelepon Susan, ia biarkan
saja. Ia sadar, dengan berbuat demikian berarti semakin jelas
bagi Susan bahwa dirinya memang bermasalah. Masalah itu
tak ingin dibaginya dengan Susan. Ia jadi gelisah, dan
pelampiasan satu-satunya hanyalah menangis. Ia merasa
sendirian dan juga lemah. Ia tak punya siapa-siapa yang bisa
mendukungnya. Biasanya Susan yang selalu siap menolong,
tetapi kali ini Susan adalah orang yang paling dihindarinya.
Tak mungkin Susan mau membantunya kali ini. Kalau ia
minta bantuan Susan, berarti ia mengkhianati Erwina. Hal
itu tak ingin dilakukannya.
Untuk berjaga-jaga ia berpesan kepada Bi lyah agar
tidak membukakan pintu bagi siapa saja yang mau bertemu
dengannya, termasuk Susan.
"Katakan aku nggak ada di rumah. Lagi ke dokter."
"Ya, Bu," Bi Iyah tak ingin bertanya karena tahu takkan
ada gunanya.262
Di rumahnya, Susan tak bermaksud menemui Katrin.
Bila ditelepon saja Katrin tak mau menyahut, apalagi
ditemui. Dari situ saja ia sudah bisa memastikan bahwa
Katrin sedang ada masalah, dan masalah itu tak mau dibagi
dengannya. Harnpir pasti baginya apa masalah itu. Sesuatu
yang berhubungan dengan Erwina dan Arie.
Susan merenungkan kembali saat-saat yang sudah
lewat, sejak Arie sadar kembali. Sikap Erwina agak
berubah. Segan menemani di rumah sakit. Tak menampa-
kkan sayang kepada Arie yang masih koma. Selain itu, sikap
Katrin pun terlihat kesal kepada Erwina. Pada saat itu, ia
tidak begitu terkesan atau merasa ada yang kurang beres
karena sedang fokus kepada Arie. Baru sekarang, setelah
mendengar info dari Martin dan sikap Katrin yang terasa
aneh waktu menelepon tadi, ia bisa menyadari adanya
kejanggalan kejadian sebelumnya.
Sebenarnya, Susan tidak hanya yakin Katrin pasti tidak
akan mau menemuinya kalau ia datang ke rumahnya, tetapi
ia sendiri memang segan. Semangatnya seperti terbang
sebagian setelah kunjungan Martin tadi. Ia sedih dan
kecewa, merasa dikhianati dan dibohongi, baik oleh Erwina
maupun Katrin. Kelihatannya sejak awal Katrin sudah
mengetahui ada sesuatu yang kurang beres, tetapi tak mau
memberitahunya. Apa salahnya Katrin memberi tahu supaya
mereka bisa mengatasi bersama-sama? Terlebih-lebih bila
masalahnya menyangkut kedua anak mereka. Mereka sudah
berjanji, apa pun kelak yang terjadi tidak akan memecah
persahabatan mereka.
Kalau saja Martin tidak mengajaknya bekerja sama,
pasti ia sudah melampiaskan emosinya kepada dua orang
itu. Tak ada lagi arti sahabat bila diperlakukan seperti itu,
apalagi soal ini menyangkut Arie, putra kesayangannya. Ia
tidak ingin kehilangan lagi. Bila penyebab kehilangan itu
wajar, misalnya penyakit, kecelakaan, atau kelainan biologis
ia bisa menerima dengan ikhlas. Bila penyebabnya karena263
pengkhianatan, yang membuat Arie trauma Ialu syok
kembali maka sulit baginya untuk menerima. Walaupun ia
sadar, tidak mungkin membujuk Arie untuk berhenti
mencintai Erwina.
Baginya perselingkuhan masih bisa dimaafkan. Masalah
satu itu seolah-olah sudah menjadi wabah bagi banyak
orang. Kesetiaan sudah menjadi barang langka. Mungkin
juga Arie pernah berselingkuh karena lelaki seperti dia pasti
sering mengalami godaan. Bukan hanya lelaki yang suka
mata keranjang, tetapi perempuan pun ada yang seperti itu.
Kalau pembunuhan atau percobaan pembunuhan, tentunya
sulit dimaafkan. Pada saat Arie kehilangan nyawa kasusnya
adalah pembunuhan. Setelah nyawanya kembali, kasusnya
menjadi percobaan pembunuhan atau penganiayaan berat.
Nyawa yang kembali memang merupakan misteri yang sulit
dipahami siapa pun.
Dia dan Martin sepakat, tuduhan terhadap Benny dan
Erwina sebagai pelaku penganiayaan masih terlalu pagi.
Buktinya belum ada, meskipun indikasinya ada. Arie sendiri
tidak bisa memastikan, apakah malam itu dia memang
keluar dari rumah atau tak pernah ke mana-mana. Ia ragu
karena masalah fisiknya, bukan soal logika. Menurut


Misteri Dua Cinta Dalam Satu Karya V Lestari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

logikanya, sesudah bercinta mestinya ia lebih suka tidur saja
daripada pergi ke luar, apalagi hanya untuk main-main.
Menurut Erwina, ia memang pergi sesudah tidur sebentar.
Bisakah kesaksian Erwina diragukan, biarpun ia sendirian?
Kalau begitu, mestinya ada yang kurang beres dengan
ingatannya, yaitu fisik.
Oleh karena itu, mereka lalu sepakat untuk me-
nyembunyikan soal perselingkuhan itu dari orang lain,
terutama Arie. Biarkan kedua orang itu mengira tak ada
yang tahu atau mencurigai. Dari perilaku mereka, jelas
mereka sangat berhati-hati. Dengan membiarkan hal itu,
mereka akan merasa leluasa sampai akhirnya terjeblos
sendiri.264
Awalnya, Susan tidak sepenuhnya sepakat. Daripada
mencari bukti yang susah ditemukan, lebih baik mencari
amannya saja. Tujuannya hanya ingin melindungi Arie.
Bagaimana kalau kedua orang itu mencoba mengulangi
perbuatan jahat mereka, padahal Arie tidak bisa melindungi
diri? Jadi, bukan saja karena perselingkuhan itu, biarpun ada
risikonya bagi Arie, maka sebaiknya mereka diminta
bercerai.
Biar Erwina menikah saja dengan Benny, pergi sejauh
mungkin dari Arie.
Ia menyampaikan idenya itu dalam perbincangannya
dengan Martin.
"Dengan demikian, kasus itu tidak akan terbongkar, Bu.
Mereka akan lepas," kata Martin.
"Biar sajalah. Toh Arie sudah kembali nggak kurang
apa-apa," Susan masih keberatan.
"Kita kan perlu tahu motivasinya apa, Bu. Kalau Bu
Erwina mau bercerai, mengapa nggak dari dulu saja?
Mengapa mesti menyingkirkan Pak Arie?"
"Eh, itu kalau teori Anda benar lho."
"Ya, tentu saja. Teori itu penting untuk menentukan
langkah, Bu."
"Ya, ya. Memang benar. Kalau begitu, apa moti-
vasinya, ya? Kalau hanya ingin main-main saja kok sampai
berniat membunuh segala."
"Maaf, Bu. Sering kali ada motif harta dalam perbuatan
seperti itu."
Susan terkejut. "Oh, harta? Arie hanya memiliki bisnis
jual-beli mobil. Apakah itu yang diincar?"
"Kalau mereka bercerai, Erwina nggak akan mendapat
semuanya."
Susan menggeleng-geleng. Tak habis pikir, mengapa
Erwina sampai hati melakukan hal itu? Apakah Arie pernah
melakukan sesuatu yang membuatnya sakit hati?
"Kok Benny juga tega, ya?"265
"Saya dengar dia mencicil mobil, tetapi belum lunas.
Macet angsurannya, tetapi Pak Arie tak mau menagih lagi.
Menganggap utangnya lunas dengan komisi, yang
seharusnya dia dapat dari penjualan mobil. Kata Kadir,
selisihnya terlalu jauh. Pak Arie sangat dermawan. Kata Pak
Arie, Pak Benny sudah banyak membantu."
"Nah, bukankah Arie sudah baik kepada dia?"
"Memang. Mungkin yang diinginkannya lebih banyak
lagi."
"Dasar serakah."
Susan melontarkan sumpah serapah di dalam hati. Ia
pun setuju bekerja sama, walaupun ia sadar tidak mudah
melakukannya. Biarpun sudah tua, ia masih punya emosi.
Dia hanya diminta membuka mata dan telinga, dan terus
berhubungan dengan Martin. Diam-diam Susan bertekad
tidak akan hanya bersikap pasif. Tak sekadar membuka
mata dan telinga saja.
Sesudah Martin pergi, Susan menelepon Arie.
"Kamu baik-baik saja, Ar?"
"Baik, Ma," Arie tertawa. "Mama juga baik, kan?"
"Ya. Sekarang di mana? Di showroom? Nggak apa-apa
sih. Mama ingin tahu saja, kamu ada janji bertemu Martin
lagi?"
"Ada, Ma. Nanti sesudah makan siang. Sore-sore,
barangkali. Ada apa? Mau titip?"
"Nggak. Nanti nggak pulang bareng Wina?"
"Kayaknya nggak. Kalau jadi bertemu Martin, aku
pulang sendiri. Nggak jelas kapan selesai pem-bicaraannya."
"Sebelum pulang, mampir ke tempat Mama, ya? Kita
makan sama-sama saja. Sayur asam dan sambel, ya?"
"Baik, Ma."
Susan menutup telepon dengan senyum. Ia senang, Arie
tak bertanya mengapa disuruh mampir. Ia juga senang
karena Arie tidak minta sayur lodeh.266
14 MASIH hari Kamis.
Arie ditelepon rumah sakit, yang mengingatkannya agar
melakukan checkup besok pagi. Ia sudah dijadwalkan untuk
menjalani berbagai tes, lalu wawancara dengan kelompok
dokter. Ia berjanji akan datang. Kalau tidak diingatkan, ia
sama sekali lupa. Dirinya memang pasien penting bagi
rumah sakit hingga tak boleh "hilang" begitu saja. Terlalu
berharga untuk dilepas.
Dengan surprise ia juga menerima telepon dari Tiara,
yang mengingatkan hal yang sama.
"Wah, Sus, terima kasih untuk perhatiannya. Di sela
kesibukan masih ingat kepada saya," kata Arie terharu.
"Saya nggak sibuk, Pak. Lagi santai. Selama satu
minggu ini dinas sore. Saya lihat jadwal Bapak."
"Kalau begitu, besok kita bisa bertemu dong, ya. Anda
tentunya belum datang ke rumah sakit kalau saya ke sana."
"Terus terang saya ingin juga bertemu Bapak. Eh,
ingin lihat hasil tesnya."
"Datang saja. Sus. Pukul sembilan saya janji dengan
dokter. Bisa, Sus?"
"Bisa."
Suara Tiara kedengaran gembira. Mungkin dia sengaja
menelepon dengan maksud ingin bertemu, pikir Arie. Tiba-
tiba ia mendapat ide.
"Oh... ya, Sus Tia. Apakah Sus bersedia dikenalkan
dengan teman saya, yang sangat tertarik dengan kasus mati
suri? Namanya Martin. Dia petugas yang menyelidiki kasus267
saya. Dia juga pernah hampir mati, tetapi belum mati benar
sih. Tiga perempat, katanya."
Tiara tertawa. "Boleh saja. Sekalian bertemu."
"Sebelum memastikan, saya akan telepon dia dulu.
Saya pernah ceritakan kasus Suster, lalu dia minta
dikenalkan. Nanti saya telepon Sus lagi untuk konfirmasi."
"Oke."
Buru-buru Arie menghubungi Martin. Ia bersemangat,
tetapi juga tidak begitu yakin apakah Martin punya waktu
untuk pertemuan itu. Kelihatannya Martin sibuk sekali ke
sana ke sini.
Ternyata, Martin menyambut dengan gembira.
"Kalau waktu untuk itu bisa diusahakan, Pak. Pukul
sembilan, ya? Bertemunya di mana?"
"Begini saja, Pak Martin. Sekarang saya hubungi Tiara
dulu untuk konfirmasi. Terus saya minta izin dia untuk
memberi nomor teleponnya kepada Anda. Sesudah itu,
Anda bisa omong sendiri dengan dia. Nggak usah pakai
perantara."
Martin setuju. Arie jadi merasa seperti mak comblang.
Ia tak perlu menunggu lama sampai mendapat telepon
dari Martin, yang suaranya kedengaran girang. "Beres, Pak.
Besok pukul sembilan. Saya kan belum pemah bertemu dia.
Saya nggak tahu orangnya. Saya menunggu Bapak dulu di
tempat parkir. Dia menunggu dekat-dekat situ, katanya."
"Baiklah. Hari ini kita jadi bertemu nggak ya, Pak?
Anda tentu sibuk."
"Tentu saja jadi. Pekerjaan untuk besok kalau bisa
diselesaikan sekarang. Sampai nanti."
Sesudah itu, Arie menelepon ibunya untuk memberi
tahu. Susan menyatakan akan ikut mengantarnya sambil
mengingatkan agar nanti sore tidak lupa mengunjunginya.
Pesan Susan itu membuat Arie bertanya-tanya, apakah ada
sesuatu yang penting yang ingin disampaikan ibunya secara
langsung berdua saja.268
Tiba-tiba ia teringat kepada Erwina. Sebenarnya, tak
perlu menelepon karena nanti bisa dibicarakan di rumah.
Namun, ia sedang bersemangat menelepon, seolah-olah ini
permainan yang menyenangkan.
"Wah, besok ya, Ar?"
"Ya. Mengapa? Apakah kau ada janji atau sibuk?"
"Nggak sih. Apakah perlu aku ikut kalau sudah ada
Mama mendampingi?"
Arie tertegun sejenak. Ia tidak menyangka Erwina
bicara seperti itu. Mungkinkah Erwina alergi terhadap
rumah sakit?
"Nggak perlu sih, Win. Aku dengan Mama sudah cukup
kok bahkan sendiri juga bisa. Lagi pula, ada Martin dan
Suster Tiara."
"Martin? Untuk apa dia ikut-ikutan? Memang masalah
medis juga dia selidiki?" kata Erwina, dengan nada tinggi.
"Bukan begitu. Dia ingin bertemu dan berkenalan
dengan Suster Tiara. Masih ingat suster yang pernah mati
suri itu, kan? Martin tertarik pada kasusnya."
"Oh, begitu. Kalau begitu, buat apa aku ikut-ikut dong
kalau ramai begitu?"
"Ya, sudah. Nggak apa-apa, Win."
Diam sejenak.
"Sori, Ar," lanjut Erwina. "Apa kau ingin aku temani?"
"Ah, nggak. Sudahlah. Nanti sore aku nggak pulang
dulu, ya. Aku dipanggil Mama."
"Mama nggak bilang ada apa?"
"Kayaknya sih ingin mengajak makan saja."
"Pasti nggak cuma itu. Kalau cuma makan-makan kok
aku nggak diajak."
"Nggak tahu, Win."
"Ya, sudah."
Perasaan Arie jadi tak nyaman.269
Lex! Kau dengar itu? Ada apa dengan Wina, ya?
Kedengarannya judes.
Ah, untuk apa dipikirkan? Pergi ke rumah sakit nggak
menyenangkan. Kau kan nggak sakit parah sampai perlu
ditemani banyak orang. Dengan Mama sudah cukup.
Jadi, nggak masalah ya, Lex?
Ya, nggaklah.
Aku sempat khawatit; Lex.
Besok ke rumah sakit, ya. Huu... menyebalkan ya, Rie.
Kau sih nggak perlu sebal, yang menghadapi kan aku.
Kau cuma penonton.
Rasanya sih sama saja, Rie.
Oh, ya? Kau juga merasakan?
Ya, dong. Bukan cuma enaknya saja, yang nggak enak
juga.
Ya, ya. Aku memang harus tahu lebih banyak lagi
tentang kau. Oh... ya, besok kita bertemu Tiara. Dia unik
Dia...
Nggak usah cerita. Aku sudah tahu.
Kau pernah melihatnya? Dia bilang...
Sudahlah. Setiap bagian ada saatnya, Rie.
Sekarang kau nggak mau omong, ya?
Kalau sudah tiba saatnya kau akan tahu juga.
Ya, deh.
Komunikasi berakhir dengan menyisakan rasa
penasaran pada diri Arie. Dalam masalah itu, Alex selalu
jadi pemenang. Bisa seenaknya mengawali dan mengakhiri.
Namun demikian, tetap menyenangkan. Ia merasa punya
tambahan kekuatan.
* * *
Benny sempat tak bisa tidur semalam karena mem-
bayangkan Erwina dan Arie. Ia merasa panas oleh cemburu270
yang membakar. Ia sadar hal itu disebabkan karena ia
semakin dalam mencintai Erwina. Cinta yang menyengsara-
kan. Ketika memperkirakan Erwina sudah berada di
butiknya, ia menelepon. Setelah basa-basi sebentar, ia
langsung ke tujuan.
"Bagaimana semalam?"
"Maksudmu?"
"Kau tahu maksudku. Kau dan Arie."
"Oh, itu! Biasa-biasa saja."
"Biasa-biasa bagaimana?"
"Eh, masa aku harus cerita detail? Malu dong."
Pendekar Rajawali Sakti 158 Pasukan Alis Kuning Dia Tanpa Aku Karya Esti Kinasih 3 Kehidupan 3 Dunia 10 Mil Bunga Persik Three Lives Three Worlds Ten Miles Of Peach Blossoms Karya Tangqi Gongzi
^