Iblis Dari Gunung Wilis 6
Iblis Dari Gunung Wilis Karya Widi Widayat Bagian 6
Namun sebaliknya apabila dirinya harus melawan, apakah yang diandalkan bisa menang
melawan Klenting Mungil? Maka Fajar Legawa menekan perasaan dan jantungnya yang
berdebar tegang. Kemudian ia mencoba untuk bertanya. "Paman, apa sajakah maksud
paman menghadang aku?"
Pertanyaan ini disambut oleh ketawa Klenting Mungil yang melengking dan
menyakitkan anak telinga. Kemudian kakek berkepala gede ini memalingkan muka
kearah Singomurdo, seraya bertanya. "Murdo, apakah yang engkau kehendaki sekarang?"
Singomurdo ketawa bergelak-gelak, kemudian jawabnya. "Guru, Singawarih dan
Singawana telah dibunuh oleh pemuda ini. Karena itu murid menuntut agar pemuda itu
guru tangkap, dan terpikir oleh murid untuk membalaskan sakit hati dua orang adikku itu
dengan cara yang murid pilih sendiri. Bolehkah, guru?"
"Heh-heh-heh, boleh, boleh!" sahut Klenting Mungil. "Engkau boleh
membalaskan sakit hati dua orang saudara seperguruanmu itu dengan caramu sendiri.
Siapakah yang melarang?"
Berdebar jantung Fajar Legawa. Sadarlah pemuda ini, bahwa dirinya sekarang
berhadapan dengan bahaya. Jelas sekarang keadaan yang dihadapi. Kenting Mungil
menghadang perjalanannya, dalam usahanya untuk membalaskan sakit hati dan kematian
Singawarih dan Singawana. Jadi, empat orang saudara yang jahat dan sarangnya berhasil
ia obrak-abrik bersama Tumpak Denta itu, kiranya murid-murid Klenting Mungil?
Akan tetapi walaupun sadar berhadapan dengan bahaya, Fajar Legawa tidak
menjadi kecil hati. Katanya mengejek. "Hemm, apakah paman tidak malu mengeroyok
aku yang jauh lebih muda?"
"Heh-heh-heh, engkau sombong sekali bocah!" ejek Klenting Mungil sambil
ketawa terkekeh-kekeh. "Siapa yang akan mengeroyok engkau? Huh, apakah sulitnya
seorang diri aku membunuhmu? Sekarang masih banyak kesempatan, maka
sebelum engkau mampus, mintalah pamit kepada ayah dan bundamu. Heh-heh-heh,
agar engkau tidak mati penasaran dan menjadi setan gentayangan."
"Hemmm, siapa takut?" sahut Fajar Legawa sekalipun jantungnya berdebar
tegang, "Tetapi, perkenankanlah aku bertanya kepada engkau. Apakah paman tidak
malu sebagai orang tua, sampai hati menghina orang muda?"
Lamdahur meloncat dari tempatnya tersembunyi dan membentak lantang.
"Bangsat. Jangan banyak mulut! Engkau sudah membunuh dua orang kakak
seperguruanku, maka apa salahnya kalau hari ini guru datang untuk membalaskan sakit
hati itu? Pilihlah satu diantara dua. Engkau menyerah baik-baik, ataukah engkau
melawan guru, kemudian engkau menghadapi siksaan kami?"
Fajar Legawa menyungging senyum, walaupun sadar bahwa ancaman Lamdahur
itu bukanlah ancaman kosong. Namun demikian sebagai seorang yang tidak merasahttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
bersalah, ia berusaha pula untuk membela diri. "Paman, kiranya aku perlu memberi
penjelasan sebabnya terjadi pembunuhan itu. Paman, apa yang sudah terjadi dan aku
lakukan semata-mata dalam usahaku membela nama baik paman sebagai guru
mereka, Apakah paman tidak merasa ternoda dan malu, oleh perbuatan para murid yang
terkutuk itu?"
"Heh-heh-heh!" Klenting Mungil terkekeh mendengar ucapan
FajarLegawa. Beberapa saat kemudian kakek ini menjawab. "Bagus, memang engkau
anak yang baik. Tentu saja atas kebaikanmu itu,sudah pada tempatnya aku mengucapkan
terima kasih. Aih, aih, sekararg sebagai balas jasa atas kebaikan hatimu itu, kiranya cukup
pantas apabila aku memberi hadiah barang sepuluh jurus. Heh-heh-heh, bersiaplah anak
muda, dan sambutlah apabila engkau memang mampu."
"Bagus!" sambut Singomurdo dengan wajah gembira. "Kepada orang yang sudah
memberikan jasa baiknya, guru memang sepantasnya memberi tanda mata. Guru,
memang sudah cukup adil kiranya apabila guru memberi hadiah sebanyak itu."
Fajar Legawa mengerti maksud kakek berkepala gede ini. Selaras dengan
kedudukannya Klenting Mungil menetapkan batas sepuluh jurus, maka kakek itu takkan
lagi mau memaksa dan menganggap persoalan ini selesai. Akan tetapi mungkinkah
dirinya sanggup menghadapi tokoh tua ini dalam sepuluh jurus? Rasanya tidak mampu,
namun demikian jalan lain tiada lagi.
"Baik," sahutnya kemudian. "Aku terima syarat itu."
Fajar Legawa sudah akan berkata lagi dalam usaha mencari alasan, agar orang tua
ini merasa malu, menantang seorang muda. Tetapi celaka! Sebelum ia sempat membuka
mulut, ternyata Klenting Mungil sudah menerjang maju sambil berteriak.
"Awas! Serangan pertama!"
Sepasang tangan Klenting Mungil yang kecil tetapi panjang itu, dan dengan jari-
jari tangannya yang kecil, sudah bergerak seperti kilat cepatnya. Jari yang hanya seperti
tulang dibungkus kulit itu terbuka setengah melengkung, tetapi karena kuku-kuku
jarinya panjang dan runcing, hingga jari tangan itu seperti cakar garuda yang mengerikan.
Sekali serang dengan kuku yang tajam itu berusaha mencengkeram leher dan kepala.
Fajar Legawa tercekat atas serangan ini. Mimpipun tidak bahwa sekali serang
Klenting Mungil akan sanggup melakukan serangan sedemikian keji. Dengan agak gugup
pemuda ini terpaksa menggunakan tongkatnya untuk menangkis dan melindungi diri dari
bahaya sambil pula melompat ke samping.
Klenting Mungil ketawa mengejek. Apakah artinya sebatang tongkat kayu yang
kecil itu? Pedang yang tajam sekalipun ia tidak takut menghadapi. Dan tongkat seperti ini,
sekali remas saja akan hancur menjadi debu.
Akan tetapi tiba-tiba kakek ini terkejut, melompat ke samping sambil berteriak.
"Aihh....... berbahaya .........!"
Dan kemudian kakek ini melompat, berdiri tegak sambil mengamati Fajar
Legawa penuh curiga. Kakek kurus berkepala gede ini menjadi heran berbareng kaget.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Sebab ketika jari tangannya bermaksud menangkap tongkat itu, kemudian akan
mencengkeram, tiba-tiba ia merasakan sambaran hawa yang amat dingin. Akibatnya ia
mengurungkan maksudnya, justeru sebagai seorang kakek yang yang sudah luas
pengalaman, ia menjadi amat curiga. Kayu apakah tongkat itu, sehingga dapat
menyebarkan hawa sedingin itu?
Namun sejenak kemudian kakek ini segera sadar, bahwa di dunia ini tak ada
sebatangpun pohon yang dapat mengeluarkan tenaga mujijat seperti tongkat pemuda itu.
Dengan demikian jelas, bahwa di dalam tongkat itu tentu tersimpan sesuatu benda pusaka
yang amat ampuh.
Setelah sejenak mengerutkan alis, kemudian Klenting Mungil ingat akan sebuah
benda pusaka yang banyak disebut dan dicari orang. Benda pusaka itu adalah keris
bernama "Tilam Upih" milik Dipati Ukur. Kemudian timbul dugaan kakek ini,
mungkinkah keris yang memancing perhatian ribuan orang itu, tersimpan di dalam
tongkat pemuda ini? Benarkah?
"Bagus," katanya dalam hati, "Apabila benar keris Tilam Upih itu di da1am
tongkat pemuda ini, ahh sungguh menggembirakan. Heh-heh-heh, tanpa dicari benda itu
datang sendiri."
Tentu saja kalau dugaannya benar kakek ini gembira sekali. Dengan demikian ia
dapat mendahului orang lain. Dan dengan demikian pula berarti cita-citanya sejak lama
ini akan terkabul. Sesudah memiliki keris pusaka Tilam Upih, dirinya akan disegani
kawan dn ditakuti lawan. Namanya akan makin menanjak tinggi, sehingga dirinya
menjadi orang tersakti pada jaman ini. Oleh pengaruh kesaktiannya dan pengaruh benda
pusaka itu, semua perintahnya akan diturut orang, dan tidak seorangpun berani
membantah lagi.
Teringat akan benda pusaka berwujud keris "Tilam Upih" ini, kemudian Klenting
Mungil teringat pula kepada benda pusaka lain yang juga banyak diingini orang. Ialah
sebatang pedang pusaka bernama "Sokayana". Pedang itu berhulu emas, dan tajamnya
bukan main. Semua orang menghendaki, akan tetapi walaupun orang berusaha mencari
dan berlomba, benda-benda itu tidak diketahui rimbanya.
"Bagus!" katanya kemudian. "Agaknya engkau memang seorang pemuda ahli
senjata tongkat. Hemm, mari aku layani bermain-main."
Secepat kilat kakek berkepala gede ini telah menerjang maju lagi. Sambaran tangan
yang kecil itu ternyata menerbitkan angin yang dahsyat. Dan serangannyapun disamping
cepat, arah sasarannya bagian tubuh berbahaya.
Fajar Legawa terkesiap. Serangkum angin pukulan yang dahsyat menyentuh
beberapa bagian tubuhnya. Akan tetapi walaupun demikian pemuda ini tidak cepat
gugup. Sekalipun serangan itu cepat dan ganas, namun berkat perlindungan tongkat, ia
tetap dapat melindungi diri.
Dalam usahanya menyelamatkan diri dan membalas serangan lawan, hampir saja
tongkat itu dicengkeram lawan. Sadar bahwa dalam tongkatnya ini terdapat keris pusaka
yang menjadi tanggung jawabnya, ia mengurungkan serangannya dan melompat kehttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
samping. Akan tetapi justeru perbuatannya ini hampir saja Fajar Legawa celaka. Sebab
dengan gerakannya yang tidak terduga cepatnya, hampir saja jari tangan yang berkuku
tajam itu bernasil mencengkeram kepalanya.
Namun Klenting Mungil ini memang seorang sakti mandraguna, yang tingkatnya
sejajar dengan gurunya, Wukirsari maupun Gadung Melati. Maka diam-diam ia
mengeluh, justeru makin lama gerakan Klenting Mungil itu makin cepat dan hampir tak
dapat diikuti pandang matanya.
Dan kalau semula Klenting Mungil sikapnya mengejek dan merendahkan lawan,
sekarang kakek ini tampak memusatkan perhatian. Sebab ternyata lawan yang muda ini
tidak gampang dirobohkan. Janji sepuluh jurus telah berlalu, namun Klenting Mungil
tidak menghentikan serangan-serangannya, dan malah tambah ganas. Sebaliknya Fajar
Legawa juga tidak butuh memperingatkan janji kakek itu, toh tiada gunanya. Yang
penting sekarang ini ia harus mengerahkan kemampuannya untuk dapat menyelamatkan
diri. Dan syukur pula, apabila Tuhan mengulurkan tangan-Nya, dapat mengatasi
keadaan.
Keadaan yang sekarang ini memang tidak menguntungkan Fajar Legawa. Ia lebih
banyak menghadapi serangan-serangan ganas dari Klenting Mungil daripada membalas
dan menyerang. Dan hanya berkat keuletan dan gerakannya yang cukup gesit saja, setiap
kali ia masih dapat menghindarkan diri dari bahaya.
Dan Lamdahur maupun Singomurdo berseri-seri wajahnya melihat lawan yang
muda itu tampak repot memberi perlawanan, mereka percaya bahwa tidak urung, pemuda
itu akan dapat dirobohkan guru mereka, dan berarti pula sakit hati mereka terbalas impas.
Jelas sekali bahwa pemuda itu lebih banyak membela diri daripada membalas meuyerang.
Akan tetapi yang membuat kakak beradik perguruan ini heran, mengapa gurunya belum
juga berhasil mengatasi?
Mendadak saja Lamdahur menduga bahwa gurunya sekarang ini bermain-main.
Gurunya mengalah, dan menganggap pula gurunya tidak tega kepada lawan yang muda
itu. Buktinya setiap sudah hampir berhasil mencengkeram tongkat itu, kemudian
diurungkan. Saking tidak kuasa menahan hati, tiba-tiba saja ia berteriak. "Guru! Lekas
bunuh pemuda itu. Mengapa guru memberi hati dan mengalah? Bukankah apabila guru
tidak dapat membalaskan hati semua murid, guru akan ditertawakan orang banyak?"
Memang Lamdahur seorang yang tidak pandai menyusun kalimat. Hingga kata-
kata yang diucapkan kasar, sekalipun kepada gurunya. Dan mendengar ucapan muridnya
itu, Klenting Mungil tidak senang. Bentaknya. "Tutup mulutmu! siapakah yamg memberi
hati kepada orang? Huh!"
Memang pada nyatanya Klenting Mungil tidak pernah mengalah dan memberi
hati kepada lawan. Kalau sekarang sudah membuang waktu cukup banyak belum juga
dapat mengalahkan pemuda ini, adalah di luar kehendaknya dan memang tidak terduga-
duga, sebab apabila ia berusaha mencengkeram dan merebut tongkat itu, hawa yang amat
dingin menyambar, kemudian jari tangannya terasa sakit seperti ditusuk ribuan jarum.
Diam-diam kakek inipun heran sendiri. Mengapa bisa terjadi demikian? Kulit
tubuhnya sudah amat terlatih dan tidak sembarang senjata tajam sanggup melukai.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Namun mengapa sekarang berhadapan dengan senjata tumpul saja, kulitnya terasa amat
sakit? Mungkinkah pada tongkat itu memang dipasang ribuan jarum yang tajam? Dan
justeru ia menghadapi kenyataan tidak terduga ini, maka berkali-kali Klenting Mungil
urung mencengkeram tongkat lawan. Hingga tampaknya Klenting Mungil bermain-main
dan tidak tega kepada lawan. Dan akibatnya pula, Lamdahur salah duga
Semua itu tidak lain adalah pengaruh keris pusaka "Tilam Upih" yang tersimpan
di dalamnya. Keris yang tajam luar biasa, sehingga senjata biasa yang berani berbenturan
dengan tongkat Fajar Legawa akan segera patah. Maka walaupun Klenting Mungil sudah
melatih diri demikian rupa sehingga kulit tubuhnya alot, namun berhadapan dengan
tongkat Fajar Legawa tidak berani gegabah.
Sungguh sayang bahwa Fajar Legawa tidak mengetahui persoalan ini, Fajar
Legawa yang terdesak itu tidak sempat berpikir bahwa tongkatnya sanggup menghadapi
senjata orang. Fajar Legawa lupa bahwa apabila Klenting Mungil berani mencengkeram
tongkatnya akan celaka, dan salah-salah jari maupun telapak tangannya akan terluka. Dan
justeru tidak menyadari akan keadaan ini, Fajar Legawa selalu menjaga agar tongkatnya
tidak bisa direbut lawan. Hingga pemuda ini menjadi sibuk sendiri, ia tetap terdesak.
Tanpa terasa perkelahian yang tidak seimbang itu telah berlangsung puluhan jurus.
Namun Klenting Mungil belum juga dapat menundukkan lawannya yang masih muda
itu. Setiap sambaran cengkeraman maupun pukulannya selalu dapat dihindari Fajar
Legawa dengan baik, dan berkat perlindungan senjata tongkatnya itu pula.
Hanya sungguh sayang bahwa pemuda yang belum banyak pengalamannya ini,
Iblis Dari Gunung Wilis Karya Widi Widayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
belum juga sadar bahwa tongkatnya ditakuti oleh Klenting Mungil. Dan walaupun
Klenting Mungil selalu menghindar kalau diserang dengan tongkat, namun pemuda ini
hanya mengira bahwa Klenting Murgil terlalu angkuh. Dalam kedudukannya sebagai
orang yang tingkatnya jauh lebih tua, ia menduga bahwa Klenting Mungil malu kalau
sampai dapat disentuh oleh tongkat orang yang jauh lebih muda.
Demikianlah, perkelahian ini terus berlangsung sengit, cepat lawan cepat.
Membanggakan pengalaman, kecepatannya bergerak dan lebih kuat, Klenting Mungil
menggunakan dua tangannya untuk mencengkeram, mencakar dan juga memukul,
diseling pula dengan tendangan kakinya. Sebaliknya Fajar Legawapun mengerahkan
kekuatan dan kepandaiannya, untuk dapat menyelamatkan diri dari bahaya.
Akan tetapi setelah cukup lama tak juga berhasil menundukkan lawan muda itu,
diam-diam Klenting Mungil menjadi marah dan penasaran. Pendeknya sebagai orang tua
ia amat malu sekali apabila tidak segera dapat mengatasi. Walaupun sekarang ini tiada
orang lain yang hadir dan menyaksikan perkelahian ini, namun ia akan merasa malu
kepada dua orang muridnya. Dan khawatir pula apabila kepercayaan muridnya itu kepada
dirinya luntur. Kemudian menganggap dirinya sebagai guru yang hanya bermulut besar,
tetapi menghadapi seorang muda saja tidak mampu.
Justeru oleh perasaannya ini kemudian Klenting Mungil makin memperhebat
serangannya. Tetapi yang menjadikan kesulitannya, adalah pengaruh mujijat dari tongkat
itu. Sambaran hawa yang dingin amat mengerikan, dan setiap kali berusaha
mencengkeram maupun menangkappun selalu urung. Karena baik jari tangan maupun
telapak tangannya menjadi panas tidak tertahanhttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Pada suatu ketika yang tak terduga, Fajar Legawa berusaha menghindari
cengkeraman Klenting Mungil yang menyambar pundaknya. Untuk menghindari
serangan ini Fajar Legawa menghindar ke samping sambil menyodokkan tongkat ke dada
lawan.
AKAN tetapi sungguh celaka! Klenting Mungil tidak bisa terpancing oleh lawan
yang muda itu. Kakek itu dengan kecepatan yang tidak terduga telah berhasil menghindar
ke samping dan berbareng itu kakinya yang kecil dan kurus telah berhasil menendang
lengan Fajar Legawa. Tangan pemuda ini kesemutan dan seperti lumpuh mendadak,
sehingga tongkatnya lepas dan terpental.
Masih beruntung Fajar Legawa seorang pemuda tangkas dan tidak gampang
menyerah, dengan gerakannya yang gesit pemuda ini menjejakkan kakinya, sehingga
tongkat itu dapat disambar dengan tangan kiri. Ketika itu justeru Lamdahur dan
Singomurdo telah menyerbu maju dengan maksud menangkap tongkatFajar Legawa yang
melayang. Maka kakak-beradik ini kaget dan berlompatan mundur, ketika tongkat di
tangan kiri Fajar Legawa menyambar kearah mereka.
"Heh-heh-heh!"Klenting Mungil tertawa terkekeh. Semangat kakek ini pulih
kembali setelah berhasil menendang lengan pemuda itu justeru dengan peristiwa ini harga
dirinya tidak turun di mata dua orang muridnya."Aku masih berlaku murah padamu,
hayo, menyerahlah engkau sebelum aku marah dan tidak memberiampun!"
Lamdahur cepat menyambut dengan teriakannya. "Guru! Dia terlalu jahat apabila
dibiarkan hidup. Maka murid mohon hendaknya guru dapat membalaskan sakit hati
kakang Singowono dan Singowarih dalam waktu singkat!"
"Heh-heh-heh, jangan khawatir!"sahutKlenting Mungil. "Apakah sulitnya
membunuh bocah itu? Hemm, gampangnya seperti membalik tanganku sendiri. Kalau
sekarang aku masih bertanya kepada dia, bukan lain agar dia menyadari keadaannya."
Fajar Legawa tidak membuka mulut, akan tetapi diam-diam pemuda ini mengatur
pernapasan sambil menyalurkan hawa sakti, untuk memulihkan lengannya yang
kesemutan akibat tendangan Klenting Mungil. Apapun yang terjadi, tidak mungkin ia
sedia menyerah kepada kakek ganas ini. Ia harus melawan terus sampai dirinya roboh di
atas tanah dan nyawa melayang pergi.
Bukannya Klenting Mungil tidak tahu, bahwa lawannya yang muda itu sedang
berusaha memulihkan lengan kanan yang hampir lumpuh, akan tetapi Klenting Mungil
memang sengaja membiarkan Fajar Legawa berusaha memulihkan lengannya. Ia
memang sengaja memberi kesempatan dan berlaku murah sebagai seorang yang
tingkatnya lebih tua. Maksudnya, dengan tindakannya ini untuk mengalah barang sedikit.
"Lekas katakan!" bentak Klenting Mungil sambil mendelik kearah Fajar
Legawa. "Engkau mau menyerah atau tidak?"
"Hemm," Fajar Legawa geram. Jawabnya lantang. "Siapakah yang takut
padamu, dan siapa pula yang mengaku kalah? Huh, sebelum aku berkalang tanah tidak
mungkin mau mengaku kalah dengan engkau."https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
"Bagus, ha-ha-ha!" Singomurdo menyambut kata-kata pemuda ini dengan
ketawanya yang bekakakan. "Aku ingin melihat dapat berbuat apakah kepada guruku,
apabila guru melawan engkau sungguh-sungguh? Huh, dalam dua gebrakan lagi engkau
akan sudah roboh di atas tanah dan tidak dapat berkutik lagi."
Bukan main marah Fajar Legawa mendengar ucapan Singomurdo itu. Ia
memalingkan muka dan mendelik kearah Singomurdo. Kemudian, "Jangan hanya pandai
membuka mulut dan menonton. Jika engkau memang laki-laki sejati, majulah bersama
Lamdahur dan keroyoklah aku."
"Heh-heh-heh, engkau menantang untuk dikeroyok," sahut Singomurdo. "Huh,
mulut besar tetapi tenaga kurang. Baru menghadapi guruku seorang saja engkau tidak
mampu, masih berani menantang supaya dikeroyok tiga orang? Ha-ha-ha,apakahengkau
memang sudah bosan hidup dan ingin selekasnya masuk ke neraka?"
Dan Lamdahur menjadi terbakar kemarahannya oleh tantangan Fajar Legawa.
Teriaknya. "Guru! Mulut pemuda itu terlalu lancang. Apakah guru mengijinkan kalau
murid berdua ikut maju untuk menghajar mulut besar itu?"
Akan tetapi tentu saja Klenting Mungil tidak dapat menyetujui permintaan
Lamdahur itu. Baru seorang lawan seorang saja melawan pemuda ini, sesungguhnya telah
menurunkan derajatnya sebagai seorang tua. Apalagi kalau sampai mengeroyok. Lebih
lagi seorang diri ia dapat mendesak pemuda itu, untuk apa harus mengeroyok?
"Sudahlah, jangan kamu mengacau!" bentak Klenting Mungil. "Mundurlah dan
serahkan bocah itu padaku. Hmmmm, lihat saja, aku dapat merobohkan dia atau tidak?"
Dua orang murid itupuntidak berani membantah lagi, kemudian mundur kembali
untuk menonton di pinggir.
Sulit dibayangkan betapa perasaan Fajar Legawa saat sekarang ini. Ia benar-benar
marah menghadapi guru dan murid yang tidak tahu adat ini. Namun demikian ia sadar,
dirinya akan menderita rugi apabila harus menurutkan kemarahan. Karena apabila
marah, kewaspadaannya akan berkurang. Untuk itu sedapat bisa ia harus menekan
perasaan dan ia berjanji kepada dirinya sendiri akan melawan kakek berkepala gede ini
dengan hati-hati.
Dan Klenting Mungil ketawa terkekeh-kekeh. Belum juga suara ketawanya
menghilang, tiba-tiba saja tubuh kakek itu bergerak dan menerjang, untuk memulai
serangannya lagi. Dua tangannya yang kecil dengan jari-jari berkuku panjang dan tajam
itu menyambar cepat sekali. Sedang angin pukulannya menyambar amat dahsyat.
Tetapi sebaliknya hati Fajar Legawa semakin mantap. Dengan tenang ia melayani
serangan kakek itu, melindungi tubuh dengan tongkat dan gerakannya yang cukup gesit.
Sebagai akibatnya, dua orang itu kembali berkelahi sengit.
Akan tetapi bagaimanapun Klenting Mungil adalah seorang tokoh tua, sudah luas
pengalaman dan termasuk tokoh sakti mandraguna pula. Maka setelah memperhatikan
gerak-gerik pemuda itu beberapa lama, kemudian kakek ini melompat mundur danhttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
membentak,"Hai bocah! Katakanlah siapa gurumu?"
Kalau pertanyaan ini dikemukakan sebelum berkelahi, mungkin sekali Fajar
Legawa akan berterusterang menyebut nama gurunya. Akan tetapi karena perkelahian
sudah cukup lama terjadi, dan malah dirinya pada pihak yang terdesak, maka pemuda ini
merasa tidak rela apabila guru yang dihormati itu namanya ternoda oleh kekalahannya.
Dalam pada itu pemuda inipun berpendapat pula, bahwa sekalipun dirinya
memperkenalkan nama gurunya, tidakjuga akan menolong. Klenting Mungil seorang
tokoh tua dari golongan sesat, sedang gurunya seorang tokoh tua darigolongan bersih.
Kemungkinan Klenting Mungil kenal dengan gurunya, akan tetapi tentu bukan
sahabatnya.Kemudian malah timbul kekhawatirannya pula, siapa tahu kalau antara
gurunya dengan Klenting Mungil ini pernah bermusuhan?
"Hemm, tiada harganya engkau mengetahui guruku!" sahut Fajar Legawa dingin.
"Kenalkah engkau dengan Suria Kencana? Atau pula dia itu gurumu?" desak
kakek kepala gede itu.
Tercekat juga Fajar Legawa mendengar pertanyaan itu. Mengapa tepat juga
dugaan kakek ini? Namun karena tidak ingin kehormatan gurunya ternoda oleh
kekalahannya, maka pemuda ini tetap berdusta. "Hemm, aku tidak kenal dengan
orangyang engkau sebut itu!"
"Heh-heh-heh, jadi engkau bukan murid Suria ini?"Tak mengherankan apabila
Klenting Mungil kurang percaya akan jawaban Fajar Legawa itu. Sebagai seorang tua
yang luas pengalamannya, ia tahu benar bahwa tentu pemuda ini mempunyai
hubungan dengan Suria Kencana. Gerak gerikpemuda ini tidak banyak perbedaan
dengan Suria Kencana. Dan iapun masih ingat pengalamannya lebih duapuluh tahun
yang lalu. Ketika ia berkelahi sengit dengan Suria Kencana sampai setengah hari lamanya.
Namun sungguh sayang bahwa ketika itu dirinya menderita kekalahan dan terluka cukup
berat, Sehingga dirinya harus istirahat berbulan-bulan lamanya.
Sudah sejak lama Klenting Mungil selalu mencari Suria Kencana untuk menuntut
balas. Akan tetapi sayang sekali bahwa usahanya itu tidak pernah berhasil. Sekarang ia
merasa bahwa dirinya telah cukup kuat, setelah melatih diri dengan tekun puluhan tahun
lamanya. Namun kehendaknya tidak pernah terkabul karena ia kehilangan Suria
Kencana.
Dan sekarang ia dapat memastikan bahwa sedikitnya pemuda ini tentu
mempunyai hubungan dengan Suria Kencana. Malah kemungkinan besar pemuda ini
muridnya, sekalipun tidak mau mengaku. Maka apa salahnya kalau dendam dan sakit
hatinya itu sekarang ditimpakan kepada pemuda ini?
"Baiklah jika engkau tak mengakui" kata Klenting Mungil, "Tapi baik engkau
murid Suria Kencana atau bukan, ilmu tatakelahimu mirip sekali dengan dia. Huh,
engkau tidakbolehhidup lagi!"
Sambil mengakhiri kata-katanya ini, Klenting Mungil telah melompat dan
menerjang lagi. Maka dua orang itu kembali berkelahi sengit. Tongkat Fajar Legawa
menyambar-nyambar untuk melindungi tubuh sambil berusaha membalas serangan. Akanhttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
tetapi sungguh sayang, tongkatnya tak pernah berhasil menyentuh tubuh Klenting
Mungil.
Tetapi sungguh sayang. Ibarat seekor domba melawan kerbau. Walaupun Fajar
Legawa telah berusaha keras umuk mengatasi lawan, usahanya tetap gagal. Tendangan
Kleating Mungil yang datang secara tidak terduga-duga berhasil membuat lengan pemuda
itu seperti lumpuh mendadak, dan tongkatnya terlempar. Namun dengan terjadinya
peristiwa ini tidak segera menyebabkan Fajar Legawa menyerah kalah. Dengan bekal
keberanian pemuda ini menjadi nekat. Menggunakan tangan kiri yang tidak lumpuh
pemuda ini menghantam dada lawan. Tetapi serangan ini disambut oleh ketawa Klenting
Mungil yang mengejek.
"Heh-heh-heh, dapat berbuat apakah engkau tanpa senjata?" kata kakek itu.
Memang, cukup beralasan apabila kakek ini mengejek seperti itu. Dengan senjata
saja, Fajar Legawa tidak sanggup menghadapi dirinya. Apa pula sekarang, tanpa senjata
akan dapat berbuat apa? Maka ketika melihat tangan Fajar Legawa menyelonong, kakek
itu tidak berusaha mengelak dan malah pura-pura tidak melihat.
"Buk!" pukulan Fajar Legawa mengenakan tepat pada dada kakek itu. Akan tetapi
apa yang terjadi kemudian? Klenting Mungil tidak menderita sesuatu, tubuhnya tak
bergoyang. Sebaliknya pukulan itu malah menyebabkan tubuh Fajar Legawa terlempar
lebih dua meter jauh-nya, terhuyung-huyung dan tangan kiri dirasakan sakit sekali untuk
digerakan.
Namun pemuda ini sudah nekat. Sekalipun dua tangannya sulit digerakkan, ia tak
mau menyerah apabila masih bisa bergerak. Dua kakinya masih dapat bergerak.
Bukankah dengan dua kaki itu, dirinya masih dapat melawan?
"Heh-heh-heh-heh," kakek kepala gede itu terkekeh"Apakah engkau ingin
mampus?"
Tangan kiri Klenting Mungil bergerak. Kaki Fajar Legawa yang menyerang itu
dengan gampang ia tangkap, kemudian ia dorong kemuka. Dorongan kakek itu amat kuat
sehingga tak tercegah lagi tubuh Fajar Legawa terdorong kemudian roboh di atas tanah,
dan tidak dapat bergerak lagi. Dorongan itu sedemikian juga, sehingga pemuda ini
merasakan tubuhnya sakit semua, tulang-tulangnya linu seperti mau copot.
"Heh-heh-heh, apakah engkau masih tetap bandel?" ejek Klenting Mungil.
"Bunuhlah aku!" tantang Fajar Legawa yang sudah tak berdaya.
"Guru, berikan kepada murid!" teriak Lamdahur sambil melompat maju.
"Berikan kepada saya," teriak pula Singomurdo sambil maju.
Dan orang ini seperti berlomba setelah menyaksikan Fajar Legawa tidak dapat
berkutik lagi.
Dan atas permintaan dua orang muridnya itu, ia tidak menjawab tetapi juga tidakhttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
melarang. Kakek kepala gede ini malah ketawa bekakakan. Apakah salahnya dua orang
muridnya itu sekarang melakukan pembalasan? Pemuda itu tak mungkin dapat melawan
Iblis Dari Gunung Wilis Karya Widi Widayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lagi. Maka biarlah dua orang muridnya itu melaksanakan niatnya dengan sepuas hati,
menyiksa pemuda itu.
Gada berduri senjata Lamdahur sudah melayang ke depan untuk memukul. Dan
apabila gada yang besar dan berat itu berhasil memukul tubuh Fajar Legawa, niscaya
tubuh pemuda itu akan remuk hancur. Sebaliknya Singomurdo tak mau kalah cepat
dengan Lamdahur. Ia sudah pula menyabet dengan pedangnya, dengan maksud sekali
penggal membuat kepala pemuda itu terpisah dengan tubuh.
Fajar Legawa yang tak dapat berdaya itu, sudah memejamkan mata dan pasrah
kepada kehendak Tuhan. Akan tetapi sekalipun menyerah untuk mati, namun diam-diam
pemuda ini masygul dan penasaran. Ia masih mempunyai dua tugasyang amat penting.
Yang pertama mencari adik perempuannya, Irma Sulastri, yang diculik oleh penjahat.
Adapun yang kedua, tugasnya yanglebih penting lagi justeru harus selalu melindungi keris
pusaka "Tilam Upih" dari tangan jahat.
Namun tiba-tiba terdengarlah pekik nyaring dari mulut Lamdahur dan
Singomurdo. Mendengar teriakan dua orarg muridnyaitu Klenting Munsil amat terkejut.
Dan ketika melihat ke sana, kakek ini berjingkrak. Dua orang muridnya itu sekarang
mengerang-erang kesakitan sambil memegang tangannya dan senjata mereka terlempar di
atas tanah.
Peristiwa itu menyebabkan Klenting Mungil terbelalak di samping heran. Namun
rasa herannya itu hanya sebentar, kemudian terkekeh mengejek. "Heh-heh-heh kurang
ajar! Siapa berani main sembunyi di depanku?"
Setelah berkata kakek kepala gede ini sudah menggerakkan tangan memukul ke
depan kearah pohon rindang. Angin pukulan yang dahsyat segera menyambar dari
tangan, dan kemudian berhamburanlah daun rontok dari ranting dan dahan pohon.
Namun setelah pohon yang semula rindang itu menjadi gundul, diam-diam kakek kepala
gede ini tercekat. Pada sebatang dahan yang sudah tidak berdaun lagi, tampak duduk
seorang tua bertubuh kurus. Kakek itu tidak bergerak. Rambut kepalanya, alis, kumis dan
jenggotnya semua sudah putih. Dan kakek itu oleh angin pukulannya itu,bukannya
jatuh terjungkal. Tetapi seperti seorang yang sedang terbang, jubahnya berkibaran tertiup
angin, kemudian kakek tua pikun ini meniup turun didepan Klenting Mungil antara dua
tombak, tanpa menimbulkan suara sedikitpun.
Kakek tua pikun ini berdiri berhadapan dengan Klenting Mungil. Tasbihnya masih
bergantungan di tangan kanan, sedang tongkat Fajar Legawa sekarang diselipkan pada
pinggang. Kakek tua ini memandang Klenting Mungil dengan sepasang mata yang redup,
akan tetapi tajam sekali seperti dapat menembus dada.
Tercekat juga Klenting Mungil melihat sinar mata kakek itu, yang seakan dapat
menjenguk isi dada.
"Klenting Mungil," tegur kakek-tua itu halus. "Mengapa sebabnya engkau
memukul aku? Apakah salahku?"https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Klenting Mungil mendelik. Kemudian ia ketawa terkekeh. Sambil menuding kakek
tua renta itu, kemudian ia membentak. "Engkau curang! Huh, tidak malukah engkau
dengan perbuatan curangmu itu?"
"Heh-heh-heh," ketawa kakek itu halus. Beberapa saat kemudian, baru
terdengarlah jawabah kakek ini yang halus pula. "Apakah bukan engkau sendiri yang
curang itu? Hayo, katakanlah berapa juruskah janjimu tadi, yang menguji pemuda itu?"
Dan sesudah berkata, kakek ini menuding kearah Fajar Legawa yang belum
dapat bangkitberdiri dan hanya duduk diatas tanah.
"Kurang ajar! Itu bukan urusanmu. Tahu!" damprat Klenting Mungil marah
sekali. "Engkau sudah menyerang dua orang muridku. Huh, perbuatanmu itu tidak
patut!"
"Hemmm," kakek ini mendengus sambil mengurut-urut jenggotnya yang
panjangmenjuntai sebatas dada."Engkau jangan terburu nafsu sahabat, karena apa yang
aku lakukan hanyalah sekedar berusaha menginsyafkan engkau. Dia sudah tidak berdaya
akibat keganasan tanganmu. Akan tetapi mengapa engkau membiarkan dua orang
muridmu mencelakai dia?"
Tetapi walaupun kata-kata kakek pikun itu halus dan penuh nada memberi
nasehat, Klenting. Mungil tidak mau menyadari kesalahannya, malah tambah marah.
Bentaknya. "Hai kekek pikun! Apakah engkau datang sengaja menantang. Klenting
Mungil?"
Dan kakek itu menggelengkan kepalanya. Sahutnya. "Tidak! Aku tidak biasa
mengganggu orang lain.Akan tetapi sebaliknya aku takkan dapat membiarkan orang
berbuat sewenang-wenang."
"Bagus!" sambut Klenting Mungil. "Sambut seranganku!"
Klenting Mungil sudah tidak mau berpanjangmulut lagi. Ia tidak dapat sabar lagi
menghadapi kakek ini, sebab tidak mungkin bisa sefaham. Kakek kepala besar ini telah
menerjang dan sesepasang tangannya yang kurus kecil itu membagi tugas. Tangan kiri
mencengkeram, sedang tangan kanan sudah memukul.
Akan tetapi anehnya kakek pikun itu tidak bergerak maupun berusaha
menghindar. Ia hanya mengangkat dua belah tangannya untuk menangkis. Gerakannya
hanya lambat saja. Akan tetapi akibatnya sungguh mengejutkan.
"Plak plak........!" dua pasang tangan bertemu dan menerbitkan suara cukup
nyaring. Disusul oleh tubuh Klenting Mungil yang terlempar ke belakang dua tombak
lebih, terhuyung-huyung hampir roboh. Sebaliknya kakek tuarenta itu tubuhnya hanya
bergoyang-goyang seperti pohon padi tertiup angin.
Dalam gebrakan yang pertama ini jelas terbukti bahwa Klenting Mungil kalah
tenaga. Namun demikian sebagai seorang yang merasa dirinya kuat dan sakti
mandraguna, ia tidak mau tahu. Kemarahannya makin memuncak, dan ingin mengatasi
dengan jalan lain. Dalam hai tenaga ia memang mengaku kalah. Tetapi apabila
mengadu kecepatannya bergerak dan ilmu kesihii-an yang lain, Klenting Mungil tidakhttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
mau kalah.
Klenting Mungil sudah menyerang lagi. Ketika tangan kakek itu bergerak untuk
membentur ia menarik tangannya cepat-cepat. Kemudian menyerang bagian tubuh lain.
Kakek pikun itu tampak tersenyum. Ia sudah memaklumi maksud lawan. Maka
kemudian kakek itupun mengimbangi lawan dengan bergerak cepat. Jubahnya berkibaran
tertiup angin, dan dalam waktu singkat dua orang kakek itu sudah berkelahi sengit. Saking
cepatnya mereka bergerak, kemudian tubuh mereka lenyap dan yang tampak sekarang
tinggal segulung warna pakaian masing-masing yang berpindah-pindah hampir tak dapat
diikuti pandangan mata.
Fajar Legawa yang masih merasakan kakinya sakit dan lumpuh, duduk tidak
bergerak akan tetapi sepasang matanya mengamati perkelahian itu penuh perhatian.
Diam-diam pemuda ini kagum. Sekalipun kakek itu sudah amat tua sekali, dan mungkin
tidak kurang dari delapan puluh tahun, namun tingginya usia tidak mempengaruhi
kecepatannya bergerak. Di samping kagum pemuda itu bersyukur. Bahwa dalam bahaya
Tuhan bersedia mengulurkan tangan-Nya, sehingga dirinya urung mati. Namun di
samping itu pikiran pemuda ini juga sibuk menebak-nebak. Siapakah sesungguhnya
kakektuarenta ini?
Sementara itu Singomurdo dan Larndahur berdiri di pinggir gelanggang dengan
hati yang cemas dan penasaran, mereka belum juga dapat menggerakkan tangan kanan
masing-masing, justeru tangan itu masih lumpuh. Mereka cemas karena khawatir kalau
guru mereka sampai menderita kekalahan. Dan mereka penasaran karena maksudnya
untuk menyiksa dan membunuh Fajar Legawa menjadi gagal.
Tiba-tiba timbullah pikiran Singomurdo yang dianggap bagus. Ia melihat bahwa
kakek tua pikun itu sekarang sedang sibuk melayani gurunya. Bukankah hal itu
merupakan kesempatan yang amat bagus untuk melaksanakan maksudnya membunuh
pemuda itu? Mendapat pikiran yang dianggapnya bagus ini, kemudian ia menggerakkan
tangan kiri memberi isyarat kepadaLamdahur. Walaupun tangan kanan dirasakan masih
lumpuh tetapi dengan tangan kiri masihdapatmemegang pedang,sedang Lamdahur
masih mampu pula menggunakan penggadanya. Lamdahur maklum akan maksud
kakakseperguruannya itu, kemudian mata mereka saling berkedip.Hampir berbareng
dengan tangan kiri dua orang itu sudah memungut senjata masing-masing. Kemudian
mereka melompat kearah Fajar Legawa untuk melaksanakan pembunuhan.
Ketika itu Fajar Legawa masih belum dapat bangkit berdiri, sedang dua tangannya
masih terasa lumpuh pula. Maka pemuda ini tetap duduk, sedang perhatiannya
dicurahkan mengikuti perkelahian yang terjadi amat sengit itu. Dan justeru perhatiannya
ditumpahkan kepada perkelahian itu, maka pemuda ini tidak menyadari diancam oleh
bahaya maut.
Pedang Singomurdo dan penggada berduri Lamdahur menyambar hampir
berbareng. Akan tetapi, tiba-tiba menyambarlah angin yang tajam dan dahsyat. Kakak-
beradik seperguruan itu memekik nyaring saking terkejut, karena tiba-tiba saja tubuh
mereka terangkat tinggi seperti segumpal kapas tertiup lesus. Di udara tubuh dua orang
ini berputaran beberapa saat, kemudian tubuh mereka terbanting di atas tanah cukup keras
dan bersuara gedebukan.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Beberapa saat lamanya dua orang muda merintih-rintih. Tubuhnya terasa amat
sakit. Tulang-tulangnya seperti remuk. Kemudian dua orang ini merangkak bangun
dengan sulit, seperti bayi yang sedang belajar merangkak.
Fajar Legawa kaget. Ia yang hampir menjadi korban, karenamembelakangi tempat
Singomurdo dan Lamdahur, sampai tidak tahu. Peristiwa yang baru terjadi ini menambah
rasa takjub dan hormatnya kepada kakek itu. Membuktikan bahwa kakek yang sudah
amat tua ini, seorang sakti mandraguna pilih tanding.
Di pihak lain Klenting Mungil yang sedang berkelahi sangat terkejut. Diam-diam
kakek ini menyadari bahwa tingkat ilmunya masih agak di bawah lawannya. Ia menjadi
heran! Usianya sendiri sudah hampir enampuluh tahun. Akan tetapi mengapa tidak kenal
kakek ini? Sambil berkelahi dan mengerahkan kepandaiannya, Klenting Mungil mencoba
mengingat-ingat. Beberapa orang tokoh sakti berkelebat dalam ingatannya.
"Ahhh........!" tanpa sesadarnya KlenMng Mungil mengeluh setelah teringat,
siapakah tokoh sakti yang sedang dihadapi ini.
Teringatlah Klenting Mungil sekarang tentang seorang tokoh sakti mandraguna,
bernama Menak Singgih.
Mendadak saja ia menjadi gentar, semangatnya hancur. Ia ketakutan setengah
mati, kemudian melengking nyaring, lalu lari secepat terbang meninggalkan lawan.
Singomurdo dan Lamdahur kaget setengah mati melihat gurunya lari. Dengan
susahpayah dua orang ini bangkit, kemudian mereka berusaha menyelamatkan diri
mengikuti Klenting Mungil.
Orang berjubah abu-abu itu hanya tersenyum dan tidak berusaha mengejar.
Kemudian melangkah lambat menghampiri Fajar Legawa yang masih duduk di atas tanah
dengan kaki dan tangan masih lumpuh.
"Terima kasih atas pertolongan bapa," kata pemuda ini, "Bapa telah
menyelamatkan saya dari ancaman maut........."
Seraya mengusap jenggotnya yang putih seperti perak dan panjang sebatas dada
itu si kakek berjubah ketawa sejuk. Sesaat kemudian terdengarlah kata kakek ini halus.
"Anak, sesungguhnya hanya Allah yang menolong engkau darimalapetakayang
mengancam kau. Maka bersyukur dan berterima kasihlah engkau pada Dia."
"Bapa benar!" kata Fajar Legawa, "Namun demikian, bapa telah berhasil
mengusir Klenting Mungil yang jahat itu."
"Hemmm, diamemang amat kejam dan ganas sejak muda," kata kakek itudengan
halus. "Tetapi agaknya dia sudah lupa padaku.Ya, agaknya dia takkan dapat berobah
sampai nyawa lepas dari tubuh. Ahhh, sayang........mengapa manusia di dunia ini harus
mendekatkan diri dengan perbuatan jahat?Manusia hidup di dunia ini ibarat singgah
minum dalam perjalanan jauh menuju tempat langgeng, setelah kita ini dipanggil
Tuhan.Nah, kalauhanya singgah minum, mengapa manusia harus mengotori hidupnyahttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
denganperbuatan perbuatan tidakbaik?Apakah manusia ini bisa hidupmulia, apabila
menjadi kaya sebagai hasil memeras dan berbuat kejahatan yang lain? Anakku, aku
harapkan agar engkau selalu menyadari hidup ini.Jangan engkau mendekatkan
diridengan perbuatan tidak baik, terpengaruh oleh nafsu."
"Terima kasih atas petunjuk bapa."
"Anak, siapakah sesungguhnya engkau ini, dan siapa pulakah gurumu?"
"Saya bernama Fajar Legawa, dan guru saya bapa Suria Kencana."
"Heh-heh-heh, engkau murid Suria Kencana?" kakek ini ketawa halus. Kemudian
terusnya. "Gurumu akan merasa bahagia sekali mempunyai murid seperti engkau ini.
Engkau seorangpemuda yang tabah dan berani. Ya, semoga Allah selalu menolong dan
membimbingmu, sehingga kelak kemudian hari engkau akan menjadi seorang laki laki
sejati yang berguna bagi nusa dan bangsamu."
"Terima kasih bapa, akan tetapi perkenankanlah hamba mohonperkenan bapa,"
"Tentang apa?"
"Hamba mohon keterangan, siapakah sesungguhnya bapa ini?"
"Heh-heh-heh," kakek tua renta ini hanya ketawa sejuk, tetapi tidak memberi
jawaban. Tiba-tiba tangan kakek itu bergerakmengebas. Serangkum angin pukulan yang
tajam menyambar ketubuh Fajar Legawa, hingga pemuda ini amat terkejut. Ia ingin
menghindar, akan tetapi kaki dan tangannyi inisih lumpuh sehingji sama sekali
tidakdapHYPERLINK "http://dap.it/".itbergerak. Sebagai akibatnya, pemuda ini
kemudrin hanya memejamkan mata dan paserah kepada ituhan.
Iblis Dari Gunung Wilis Karya Widi Widayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Namun denrKan diam-diam pemuda ini heran. Mengapa kakek tuarenta yang
telah menolong dirinya dari bahayaini, dan tampaknya welasasihdan halus gerakgeriknya,
tidak bedanya dengan Klenting Mungil? Ternyata pertolongannya bukan pertolongan
yang tulus, melainkan mempunyai maksud tersembunyi. Ternyata kakek itu mengusir
Klenting Mungil, karena si kakek ini juga ingin membunuh dirinya.
Namun kemudian ternyata bahwa dugaannya ini keliru. Memang benar
serangkum angin yang tajam itu memukul dirinya. Tetapipukulan yang menyentuh
tubuhnya itu tidak menyebabkan dirinya mati. Akan tetapi secara ajaib malah sudah
berhasil menyembuhkan kelumpuhan kaki dan tangannya. Malah serasa ada hawa hangat
yang mengalir dalam tubuhnya, sehingga tubuh yang semula letih itu sekarang kembali
segar.
Sadarlah pemuda ini sekarang, bahwa dirinya berhadapan dengan seorang sakti
yang tidak mau memperkenalkan diri. Ia membuka mata, kemudian terbelalak. Sebab
kakek itu sekarang sudah tidak tampak lagi, sedang tongkat pusakanya sudah menggeletak
tidak jauh dari tempatnya duduk.
Fajar Legawa menghela napas lega, tetapi juga getun. Sebelum ia dapat
mengucapkan terima kasih, ternyata kakek itu sudah pergi,https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
"Sayang............" desisnya perlahan.
Mendadak teringatlah pemuda ini akan maksud tujuannya yang semula. Ia harus
dapat memberi pembuktian kebenaran tentang keterangannya perihal Pertiwi Dewi.
Teringat akan Pertiwi Dewi, tiba-tiba saja jantung pemuda ini berdebar tegang. Ia
menjadi khawatir apabila Wukirsari dan Gadung Melati telah lebih dahulu datang di sana.
Dan akibatnya, dirinya tentu dituduh sebagai seorang muda yang selewengan.
Akan tetapi sebelum pemuda ini sempat bangkit dan pergi ke tempat kudanya
ditambatkan, tiba-tiba ia mendengar suara teguran seseorang. "Hai! Mengapa engkau
malah malas-malasan di tempat ini?"
FajarLegawa kaget dan cepat meloncat berdiri, tetapi hatinya agak mendongkol
juga. Ia cukup kenal suara itu, suara Gadung Melati.
Namun ketika dua orang kakek itu muncul dan melihat bekas-bekas perkelahian,
dua orang kakek ini terbelalak. Tegur Wukirsari gugup. "Apakah engkau terluka?"
Fajar Legawa menggelengkan kepalanya. "Tidak paman, tetapi hampir celaka.
Untung seorang kakek yang tidak mau memperkenalkan diri, telah menolong saya."
Wukirsari dan Gadung Melati menebarkan pandang matanya sekeliling.
Kemudian Gadung Melati mendesis. "Hebat! Sungguh sayang sekali aku tidak
memperoleh kesempatan menyaksikan perkelahian sehebat ini. Aihh kakang,
bagaimanakah pendapatmu?"
Wukirsari mengangguk. Kemudian. "Engkau benar. Apa yang baru terjadi jelas
amat hebat.
"Paman, seorang diantaranya Klenting Mungil." Fajar Legawa memberi
keterangan. "Klenting Mungil merobohkan saya hingga tidak berdaya. Namun seorang
kakek telah datang dan menolong, sehingga Klenting Mungil melarikan diri."
Gadung Melati dan Wukirsari tercekat mendengar penuturan Fajar Legawa. Sebab
dua orang kakek ini cukup kenal siapakah Klenting Mungil, dan sepak terjangnya yang
ganas pula. Maka baik Wukirsari maupun Gadung Melati merasa bersyukur bahwa Fajar
Legawa terhindar dari bahaya. Sebab apabila sampai terjadi, tentu keris pusaka "Tilam
Upih" yang tersimpan di dalam tongkat itu, akan jatuh ke tangan Klenting Mungil yang
amat jahat.
"Kakang, siapakah kakek itu menurut dugaanmu?" tanya Gadung Melati.
Wukirsari tidak cepat menjawab, tetapi tampak mengerutkan alis dan
mengumpulkan ingatannya. Jawabnya setelah beberapa saat mengingat-ingat.
"Mungkinkah kakek itu paman Menak Singgih?"
"Ahhh....... agaknya benar, kakang," sahut Gadung Melati yang menyokong.
"Bukankah dia seorang yang suka mengenakan jubah abu-abu, dan disamping itu seorang
ahli pengobatan yang aneh? Dalam mengobati orang tidak usah menyentuh tubuh. Aihhh,
sayang juga kita datang terlambat kakang, hingga tak dapat berjumpa."https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
"Fajar, tahukah engkau bahwa paman Menak Singgih itu, merupakan sahabat
guruku, guru Gadung Melati, dan berarti guru ayahmupula?" kata Wukirsari kemudian.
"Tiada bedanya gurumu Suria Kencana. Maka paman Menak Singgihpun seorang
pengabdi kemanusiaan yangsepi ing pamrih. Beliau amat benci pula terhadap orang-orang
yang suka melakukan perbuatan jahat. Dan untunglah bagi Klenting Mungil, masih diberi
kesempatan hidup. Karena Klenting Mungil tidak mungkin mampu melawan paman
Menak Singgih."
Fajar Legawa amat tertarik. Oleh karena itu kemudian bertanya. "Dimanakah
beliau bertempat tinggal?"
Wukirsari menggelengkan kepala. Kemudian jawabnya. "Entahlah sekarang
beliau bermukim. Telah lebih duapuluh tahun lamanya beliau tidak pernah
menampakkan diri lagi. Tetapi entah mengapa sebabnya secara tiba-tiba muncul dan
menolongmu."
"Mungkin beliau tertarik akan kesibukan orang-orang sekarang, yang sedang
berlomba memperebutkan keris pusaka "Tilam Upih" dan pedang pusaka "Sokayana","
kata Gadung Melati.
Fajar Legawa merasa heran. Bertanyalah ia kemudian. "Paman, mungkinkah
beliau ikut serta berlomba?"
Gadung Melati dan Wukirsari tertawa. Fajar Legawa melengak heran. Mengapa
sebabnya orang-orang tua itu ketawa?
"Engkau jangan cepat salah sangka, Fajar," kata Gadung Melati kemudian.
"Bukan paman Menak Singgih akan ikut berlomba memperebutkan pusaka-pusaka itu.
Aku percaya bahwa munculnya beliau, dalam usahanya untuk mencegah pusaka-pusaka
itu jatuh ketangan orang jahat. Karena apabila beliau menghendaki, tentunya tongkatmu
sudah diambilnya."
Tanpa sesadarnya Fajar Legawa meraba tongkat pada pinggangnya. Dalam
hatinya membenarkan pendapat Gadung Melati ini, bahwa apabila orang tuaitu
menginginkan pusakanya, tentu sudah diambil.
Wukirsari mengamati Fajar Legawa, kemudian katanya mengandung
nasihat,"Fajar munculnya Klenting Mungil menuntut padamu harus lebih hati-hati lagi
dalam segala tindak dan langkahmu. Kau telah melawan orangtua itu dengan tongkatmu,
maka aku percaya bahwa Klenting Mungil menjadi curiga. Karena bagi seorang yang
memiliki ilmu kesaktian yang cukup tinggi, dia cepat bisa membedakan mana benda
pusaka dan mana bukan."
Wukirsari berhenti, mengamati Fajar Legawa seperti mencari kesan. Sesaat
kemudian kakek ini meneruskan. "Namun demikian engkau tidak perlucemas dan
khawatir. Percaya dan yakinlah bahwaAllahakan selalu melindungimu. Akan selalu
membimbingmu supaya tidak terpedaya oleh tipu muslihat dan akal penjahat. Ingatlah
engkau akan Firman Tuhan yang antara lain "Dan sesungguhnya Allah itu Maha
Mendengar dan Maha Mengetahui. Oleh sebab itu pasrahkanlah seluruhnya kepadahttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Tuhan, dan janganlah engkau bimbang dalam mengemban tugas yang mulia itu."
Atas peringatan dan nasihat Wukirsari itu, hati Fajar Legawa tergetar. Meskipun
ia berusaha meyakinkan hati bahwa Tuhan akan selalu melindungi dan menolong, dalam
hati masih juga merasa khawatir. Ia merasa bahwa kepandaiannya masih amat rendah,
sedang orang-orang yang berlomba tidak terhitung banyaknya memiliki kepandaian amat
tinggi.
"Nasihat paman akan selalu saya indahkan," jawab Fajar Legawa.
Wukirsari menganggukkan kepala dan tersenyum. Kemudian. "Aku gembira
mendengar kesanggupanmu itu. Namun kiranya aku perlu mengutip nasihat para
cendekia yang antara lain "Apabila engkau berhati-hati menjaga diri, segala kebaikan
akan datang sendiri kepadamu. Kebaikan sama dengan air, senantiasa mencari tempat
untuk mengalir. Dan kemenangan selalu menjadi balasan orang yang hati-hati segala
kelakuannya. Orang pemalas yangselalu ragu, sekali-kali tiada akan mencapai
kemenangan. Harta bagi orang yang berakal, ialah akalnya dan perbuatan baik yang telah
diperbuatnya. Orang yang berakal tiada pernah khawatir, bahwa perbuatannya yang baik
akan hilang percuma, atau ia akan menerima hukuman karena kesalahan yang tiada
dikerjakannya. Seiring dengan itu ia tiada pernah lengah akan keperluan akhiratnya,
karena ia tahu, ajal tiada tertentu waktu datangnya. Demikianlah Fajar, hendaknya
engkau dapat memahami nasihat ini baik-baik untuk bekalmu mengemban tugas yang
suci itu."
Fajar Legawa berdiam diri dan berusaha menyimpan nasihat-nasihat berharga itu
dalam sanubarinya. Karena ia menginsyafi, bahwa nasihat-nasihat berharga itu
diberikan dengan maksud baik dan suci.
"Fajar," kata Wukirsari lagi, agaknya kakek ini belum juga puas bicara.
"Mengingat akan beban yang kau emban dalam tugasmu. Maka perlu aku peringatkan
jangan gampang-gampang terpengaruh oleh ucapan sahabat. Mengapa? Karena
ketahuilah bahwa sahabat ada dua macam. Ialah setulus hati dan sahabatberpura-pura.
Untuk sahabat yang setulus hati, patutlah engkau dekati. Akan tetapi sahabat yang
berpura-pura, akan menimbulkan bahaya bagi dirimu sendiri. Karena persahabatan yang
lahir itu sendiri sudah menganduug permusuhan yang tersembunyi di dalamnya."
Fajar Legawa mengangkat kepalanya, mengamati Wukirsari denganwajah heran
mendengar itu Tanyanyakemudian. "Paman, adakah orang yang disebut sahabat masih
juga sampai hati untuk diam-diam mencelakakan sahabatnya?"
"Heh-heh-heh," Wukirsari ketawa terkekeh. "Tentu saja bisa terjadi demikian.
Bukankah banyak terjadi pula peristiwa yangbisadisebut menohok kawanseiring?
Nahkarena itulah, mencari sahabat tidak mudah. Kalau mendapatkan sahabat yangbenar-
benar setulushati, tentu sahabat itu takkan tega menohok kawan seiring. Akan
tetapisebaliknya sahabat berpura-pura, akan menimbulkan permusuhan, yang selalu
berusaha ditutup dan disembunyikan. Padahal permusuhanyang tersembunyi itu
lebihjahat dari pada yang nyata. Orang yang tidak pandai menjaga diri dari
permusuhanyang demikian, sama kedaannya dengan orang yang naik ke atas leher seekor
gajah yang sedang marah. Kemudian datanglah kantuk menyerang, ia tertidur di situ
dan barulahsadar ketika dirinya telah di bawah telapak kaki gajah."https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Wukirsari berhenti sebentar, ia memandang Fajar Legawa yang tampak amat
memperhatikan, kemudian tersenyum. Sesaat kemudian barulah kakek inimeneruskan.
"Fajar, mengingat akan beban yang sedang engkau pikul, maka hendaknya engkau pandai
menjaga dirimu, di samping pula paudai menyimpan rahasia............"
"Kakang, aku mengerti bahwa nasihat-nasihatitu memang amat berguna bagi
Fajar Legawa!" potong Gadung Melati tiba-tiba, dengan paras wajah yang kurangsenang,
karena hati kakek ini memang gelisah."Tetapi kakang, Fajar Legawa masih
mempunyaikewajiban yang lebihpenting. Adalah membuang-buang waktu tak
bergunaapabilakita lama-lamaberhentidisini. Karena itu kakang, maafkanlah aku.
Sekarang ini juga Fajar Legawa harus cepat-cepat menunjukkan di mana Pertiwi Dewi
dikatakan membunuh diri, sebagai pembuktianakan keterangannya."
Wukirsari ketawa perlahan atas teguran adik seperguruannya ini. Kemudian
katanya sambil tersenyum. "Baiklahadi, marilah kita segera membuktikan kebenaran
akan keterangan Fajar Legawa. Dan semoga Fajar Legawa memang tidak berdosa dalam
peristiwa ini."
Fajar Legawa mengamati Gadung Melati dan Wukirsari bergantian. Kemudian.
"Paman, saya percaya bahwaAllah mengulurkan tangan untuk menolong saya."
"Yaya," sahut Wukirsari. "Semoga engkau tidak menyia-nyiakan kepercayaan
pamanmu Gadung Melati."
Mereka kemudian meninggalkan tempat ini menuju gunung Ungaran. Fajar
Legawa melarikan kudanya lagi, sedang Gadung Melati dan Wukirsari menggunakan
kepandaiannya lagi untuk mengejar Fajar Legawa yang mengendarai kuda.
Dalam perjalanan menuju gunung Ungaran ini, benak Fajar Legawa masih
disibuki tentang Menak Singgih yang sakti mandraguna dan sudah menolong dirinya dari
ancaman Klenting Mungil. Dalam hatinya timbul rasa heran, mengapa gurunya tidak
pernah menyebut-nyebut tentang orang sakti yang tua itu?
Namun hari itu tak cukup mencapai gunung Ungaran, karena waktu yang
dipergunakan berkelahi dengan Klenting Mungil tadi cukup banyak. Dan kalautoh harus
nekad mendaki gunungitu di waktu malam, kurang pula kegunaannya.
Ia menginap dalam sebuah desa. Dan sungguh beruntung bahwa seorang desa
yang baik hati, dengan ramah menerima kedatangan pemuda itu. Dan walaupun hanya
penduduk desa, namun pemilik rumah berusuha membuat tamunya senang, sehingga ibu
rumah malam itu juga menangkap ayam,kemudian disembelih untuk lauk. Atas sikap dan
keramahan pemilik rumah ini, mau tidak mau membuat Fajar Legawa merasa kikuk juga.
Ketika tabuh sembilan Fajar Legawa telah di persilahkan tidur oleh pemilik rumah.
Iapun segera masuk tidur ke tempat yang telah ditunjuk. Iapun segera berusahauntuk
tidur, namun matanya tak juga mau dipejamkan. Sekarang ini benaknya dipenuhi oleh
keraguan tentang usahanya membuktikan kebenaran keterangannya.FajarLegawa merasa
sulit untuk menunjukkan pembuktian, karena ia tidak mempunyai seorang saksipun
dalamperkara ini. Modal satu-satunya yang dimilikihanyalah kepercayaan, bahwa ia tidakhttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
bersalah dalam persoalan ini.
Sampai lewat tengah malam, mata Fajar Legawa masih juga belum terpejam.
Sesungguhnya ia penat sekali, setelah melakukan perjalanan dan harus berkelahi melawan
Iblis Dari Gunung Wilis Karya Widi Widayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Klenting Mungil.
Akan tetapi kemulian disaat Fajar Legawa hampir tertidur, ia menjadi terkejut.
Telinga pemuda ini menangkap suara yang mencurigakan di bagan atas atap. Cepat-cepat
pelita dipadamkan, sehingga ruangan itu gelap. Dan setelah pelitapadam, kemudian
pemuda ini berjaga diri menjaga segala kemungkinan. Akan tetapi kemudian terpikir oleh
pemuda ini, akan tidak menguntungkan apabila sampai terjadi berkelahi di dalam rumah.
Di samping ruangan itu sempit, juga akan menganggu pemilik rumah.
Dengan hati-hati dan berjingkat-jingkat kemudian pemuda ini keluar lewat pintu.
Setelah tiba di luar rumah ia cepat berlindung sambil menebarkan matanya kesekeliling.
Tetapi anehnyatidak tampak sesuatu yang mencurigakan, dan tidak pula terdengar suara
apa-apa. Malam sepi dan hening, dan hanya binatang malam merajai kesunyian malam.
Diam-diam pemuda ini merasa heran. Ia merasa pasti seseorang telah hinggap diatas atap.
Namun mengapa tidaknampak sesuatu yang mencurigakan?
Akan tetapi kemudian Fajar Legtwa amat terkejut. Entah kapan orang itu hadir,
tahu-tahu ia melihat seseorang telah meloncat ke atas atap. Dan disaat ia akan menyusul,
seorang yang lain telah menyusul mendahului. Kemudian dua orang itu berkejaran.
Terdoroag oleh rasa curiga. Fajar Legawa cepat-cepat meloncat pula ke atas atap,
kemudian pemuda ini membayangi.
Tak lama kemudian tibalah mereka pada suatu tanah lapang. Fajar Legawa tidak
berani gegabah.Namun dengan jelas dilihatnya, dua orang itu sekarang berkelahi sengit
dan gerakan mereka juga cepat, angin pukulan menyambar ke sekitarnya.
Tetapi sesudah agak lama mengikuti mereka yang sedangberkelahi itu, ia kaget!
Gerakan orang yang tidak bersenjata itu, mirip sekali dengan gerakannya sendiri apabila
berkelahi. Dan malah bisa dikatakan merupakan ciri khusus dari perguruannya. Padahal
gurunya hanya mempunyai dua orang murid saja, dirinya sendiri dan Tumpak Denta.
Maka setelah memperhatikan seksama, tidak terlukiskan betapa gembira pemuda ini
tanpa sengaja dapat bertemu dengan kakak seperguruannya. Sebab dirinya sekarang ini
justeru sedang menghadapi tuntutan Gadung Melati yang cukup membuat hatinya gelisah
bukan main. Otaknya terasa kurang mampu untuk meyakinkan Gadung Melati, bahwa
dirinya tidak bersalah. Maka dengan hadirnya kakak seperguruannya ini, setidak-tidaknya
akan dapat meringankan kesulitannya.
Hampir saja Fajar Legawa berteriak memanggil. Untunglah bahwa otaknya sepera
dapat bekerja, bahwa perbuatannya bisa menggangguperlawanan Tumpak Denta. Oleh
sebab itu ia tidak jadi berteriak, lalu iasendiri mendekati gelanggangperkelahian. Tanpa
sesadarnya ia telah meraba tongkat pusakanya.
Pertempuran makin lama tambah sengit. Dan apabila pada mulanya Tumpak
Denta melawan dengan tangan kosong sekarang telah mencabut senjatanya. Sebatang
pedang panjangterpegang tangan kanan.Kemudian dengan pedang itu Tumpak Denta
berusaha mendesak lawan. Namun ternyata lawan yang dihadapi sekarang ini bukanhttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
lawan empuk. Dengan tongkatnya lawan itu memberikan perlawanan yang amat hebat.
Hingga sekalipun telah cukup lama, belum juga Tumpak Denta berhasil menundukkan
lawan.
Melihat itu Fajar Legawa terkejut berbareng heran. Tumpak Denta memiliki ilmu
kepandaian yang lebih tinggi dibanding dirinya. Tetapi mengapa sudah banyak waktu
dibuang, belum pula dapat menundukkan lawan?
Dalam hati timbul keinginannya untuk segera melibatkan diri dalam perkelahian
untuk membantu saudara tua perguruannya. Namun sebelum dilakukan, Fajar Legawa
sadar, bahwa bantuannya itu bisa menyinggung perasaan kakak seperguruannya. Tumpak
Denta tidak terdesak dan dalam bahaya. Mengapa harus mengeroyok?
Akan tetapi tambah lama Fajar Legawa menjadi gembira, ketika melihat kakak
seperguruannya itu dapat mengatasi lawan. Makin lama dengan tongkatnya, lawan itu
melawan dengan repot. Namun rasa gembiranya ini tidak lama menghuni dalam dada,
karena terjadi perobahan tiba-tiba. Ia melihat bahwa Tumpak Denta selalu
menghindarkan diri dari benturan senjata. Dan kemudian terdengar pula suara ketawa
orang itu yang mengejek. "Ha-ha-ha, kerahkanlah seluruh kepandaianmu. Huh, engkau
takkan dapat menang melawan aku."
"Bangsat!" teriak Tumpak Denta. "Siapa takut padamu?"
Laki-laki itu ketawa mengejek.Kemudian iamenggerakkan tongkat untuk
menangkis tikaman Tumpak Denta, katanya lagi."Beginikah ilmu pedang perguruan
Galunggung? Huh tidak cocok dengan kesombonganmu!"
Jantung Fajar Legawa berdesir hebat mendengar ejekan orang yang merendahkan
perguruannya itu. Mendadak saja dadanya seperti meledak, dan tidak tercegah
lagipemuda ini sudah melompat keluar dari tempatnya sembunyi sambil berteriak.
"Kakang! Berikanlah lawan yang sombong ini padaku."
Dengan kemarahan meluap-luap Fajar Legawa menerjang dengan tongkatnya.
Sambaran hawa yang amat dingin memancar dari tongkat, sehingga membuat orang
bertongkat itu terkejut. Orang itu menggerakkan tongkat untuk menangkis. Dan
munculnya Fajar Legawa yang langsung melibat dan menyerang lawan itu membuat
Tumpak Denta sendiri harus melompat mundur kemudian menonton.
"Adi! Berhati-hatilah engkau." Tumpak Denta berteriak memperingatkan adik
seperguruannya. "Dialah penjahat keji Putut Jantoko. Dan tongkat itu amat berbahaya
karena berisi racun yang jahat."
"Apa?" Fajar Legawa kaget. "Laki-laki ini Putut Jantoko?"
Mendadak saja darah Fajar Legawa mendidih. Jika benar orang ini Putut Jantoko.
ia harus dapat membunuhnya. Ia harus dapat membalaskan sakit hati Pertiwi Dewi dan
keluarganya.
Dan teringat akan nasib Pertiwi Dewi dan keluarganya ini, akibat sepak terjang
Putut Jantoko ini, ia merasa memikul tanggung jawab untuk membalaskannya. Apapunhttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
akibatnya.
Memang Fajar Legawa juga menyadari bahwa penjahat ini berilmu tinggi. Akan
tetapi teringat akan nasib Pertiwi Dewi dan keluarganya, ia tidak dapat memberi maaf. Ia
bersedia mati untuk membalaskan sakit hati gadis itu;
"Bagus, heh-heh-heh!" Putut Jantoko ketawa mengejek, "Majulah bersama-sama,
agar aku tidak terlalu banyak membuang waktu."
"Tutup mulutmu!" teriak Fajar Legawa marah.
Dengan tongkat pusakanya dan dengan gerakannya yang cepat sekali FajarLegawa
telah menyerang tiga bagian tubuh yang berbahaya sekaligus. Ialah pusar, uluhati dan
leher. Akantetapi Putut Jantoko cepat melompat kesamping sambil memukulkan
tongkatnya, dan diteruskan pula untuk menyerampang.
"Trang .........!" benturan tongkat tidak dapat dihindari, sehingga terdengar suara
amat nyaring, dan pijar api beterbangan di sekitarnya.
Fajar Legawa terbelalak heran. Mengapa tongkat lawan itu tidak segera patah
menjadi dua? Peristiwa yang baru saja terjadi ini merupakan hal baru bagi Fajar Legawa.
Biasanya senjata lawan akan segera patah apabila berbenturan dengan tongkatnya. Apa
sebabnya?
Tetapi sebaliknya Putut Jantoko sendiri terkejut berbareng heran. Baru kali ini
sajalah tongkat yang amat dibanggakan itu gagal mematahkan senjata lawan. Sejak
pertama kali ia menerima tongkat itu dari gurunya, tongkatnya itu merupakan senjata
yang amat ia banggakan. Sudah tidak terhitung jumlahnya senjata lawan yang dapat
dipatahkan atau dirusakkan olehtongkatnya itu. Namun mengapa tongkat pemuda ini
tidak menjadi patah?
Tiba-tiba Putut Janloko ingat akan senjata pusaka yang dewasa ini ramai
dibicarakan dan diperebutkan orang. Sebatang keris pusaka dan sebatang pedang pusaka.
Mungkinkah di dalam tongkat pemuda itu tersimpan pula senjata pusaka yang menarik
perhatian orang itu? Maka Putut Jantoko menjadi tertarik di samping
penasaran.Pendeknya malam iniia harus dapat mengalahkan lawan yang muda ini,
kemudian merebut senjatanya.Maka kemudian ia memutarkan tongkatnya lebih cepat,
sehingga merupakan benteng tongkat yang sulit ditembus.
Fajar Legawa terkejut juga ketika merasakan sambaran hawa panas dari tongkat.
Ia mengerutkan alis kemudian timbul dugaannya bahwa tongkat Putut Jantoko ini berisi
senjata pusaka, seperti tongkatnya. Dan sekarang sadar pula pemuda ini akan sebabnya
TumpakDenta tadi selalu berusaha menghindari benturan senjata. Agaknya Tumpak
Denta sudah tahu, bahwa benturan akan merugikan diri sendiri, senjatanya bisa patah.
Perkelahian antara Putut Jantoko dengan Fajar Legawa ini makin lama menjadi
semakin sengit. Tongkat mereka menyambar-nyambardengan dahsyat, akan tetapi
memancarkan hawa yang berlainan. Kalau dari tongkat Putut Jantoko menyambar hawa
yang panas membara, sebaliknya tongkat Fajar Legawa menyebarkan hawa yang amat
dingin.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Tumpak Denta yang menonton perkelahian itu diam-diam jantungnya tegang dan
tidak tenang. Ia memang cukup percaya akan kepandaian adik seperguruannya. Namun
ia mengenal pula bahwa Fajar Legawa seorang pemuda jujur. Dia belum kaya
pengalaman, dan bisa terjebak oleh tipu muslihat lawan yang keji.
"Adi!" teriak Tumpak Denta. "Engkau harus ingat bahwa setiap penjahat tidak
segan untuk melakukan perbuatan keji dan licik."
"Terimakasih," sahut Fajar Legawa. "Aku akan selalu dapat menjaga diri dengan
baik."
Cepat lawan cepat. Dua orang muda ini mengerahkan kepandaian dan mengincar
sasaran bagian tubuh yang mematikan. Pendeknya malam ini Fajar Legawa tidak akan
main kasihan kepada lawan. Orang ini terlalu jahat dan apabila dibiarkan hidup hanya
akan mengganggu ketenteraman umum.
Tiba-tiba terdengarlah suara ketawa perempuanyang nyaring, memecah kesepian
malam.
"Heh-heh-heh, malam ini akan tibalah saat kematianmu!"
Mereka kaet dan heran. Tumpak Denta segera memalingkan muka kearah
datangnya suara. Sebaliknya Putut Jantoko mendadak tampak terkejut, gelisah disamping
gugup. Mengapa? Ia cukup kenal akan suara perempuan itu, yang selalu membuatnya
takut. Maka dengan serangan gertakan untuk memancing Fajar Legawa menangkis, tiba-
tiba Putut Jantoko melompat ke belakang, kemudian lari terbirit-birit menerobos gelap
malam.
"Bagus!" suara perempuan itu terdengar lagi. "Kau sangka aku tidak dapat
mengejarmu?"
Kemudian berkelebatlah bayangan orang yang gesit dan seperti terbang, kearah
Putut Jantoko tadi melarikan diri.
Tumptak Denta dan Fajar Legawa terpaku di tempatnya. Timbullah pertanyaan di
dalam hati masing-masing, siapakah perempuan yang memiliki ilmu tinggi dan amat
ditakuti oleh Putut Jantoko itu?
"Kakang, mari kita kejar!" ajak Fajar Legawa yang masih pensaran, karena
belum dapat membalaskan sakit hati Pertiwi Dewi dan keluarganya.
"Jangan!" cegah Tumpak Denta. "Menurutkan amarah berdekatan dengan
bahaya. Maka kiranya lebih baik apabila sekarang kita pulang dan bertemu dengan guru."
"Apa?" Fajar Legawa tampak terkejut. "Guru memanggil aku?"
"Kepergianku bukan lain melaksanakan amanat guru yang mengharapkan
kedatanganmu. Maka merupakan hal yang amat menggembirakan bahwa malam ini aku
bisa bertemu dengan engkau."
Fajar Legawa menghela napas pendek, dan tiba-tiba saja hatinya sedih danhttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
masygul, ia harus memenuhi panggilan gurunya, akan tetapi sebaliknya iapun tidak dapat
lari dari tanggungjawab dari tuntutan Gadung Melati.
"Kakang, ahhh ............" Fajar Legawa mengeluh, "Maafkan aku. Saat ini aku
dalam kesulitan, dan sulitlah bagiku untuk memenuhi panggilan guru."
Tumpak Denta kaget dan heran. "Apa yang sudah terjadi?"
"Ceritanya agak panjang ," sahut Fajar Legawa tetap mengeluh.
Kemudian Tumpak Denta membimbing Fajar Legawa menuju sebuah batu.
Mereka kcmudian duduk, dan mulailah Fajar Legawa menceritakan apa yang terjadi dan
dialami. Tumpak Denta menghela napas dalam, dan diam-diam pemuda ini memeras
otaknya guna mencari jalan selamat bagi Fajar Legawa.
"Tuntutan itu amat menyedihkan hatiku, kakang," Fajar Legawa mengeluh.
"Aku tidak mempunyai seorang saksipun disaat Pertiwi Dewi membunuh diri. Maka
tipislah harapanku untuk dapat melepaskan diri dari hukuman paman Gadung Melati."
Berdesir jantung Tumpak Denta mendengar keluhan Fajar Legawa ini. Ia dapat
membayangkan betapa bingung dan sedih adik seperguruannya ini, akan tetapi ia sendiri
juga tidak menemukan jalan untuk menolong Fajar Legawa.
Lama sekali mereka berdiam diri tanpa dapat menemukan keputusan, dan tiada
pula sinar harapan sedikitpun. mereka merasa dalam kegelapan, meraba-raba dan tiada
pegangan apapun.
Setelah beberapa saat lamanya mereka berdiam diri, tiba-tiba terdengarlah Tumpak
Denta berkata halus. "Adi! Persoalanmu ini cukup berat dan berbahaya. Setujukah engkau
apabila hal ini aku laporkan saja kepada guru, agar beliau bisa membantu?"
Fajar Legawa menghela napas. Terasa berat juga untuk minta bantuan gurunya.
Suria Kencana telah amat lama menyepikan diri di lembah Galunggung. Dan di sampigg
itu jaraknyapun cukup jauh. Manakah mungkin gurunya dapat mengatasi?
"Kakang," kata Fajar Legawa perlahan, "Terima kasih atas bantuan dan
Iblis Dari Gunung Wilis Karya Widi Widayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
perhatianmu. Akan tetapi untuk minta campur tangan guru,sulit dapat terlaksana.
Dalam pada ituguru sudah amat tua, sampai hatikah aku merepotkan beliau? Maka
kakang, biarlah aku sendiri yang akan mempertanggungjawabkan soal ini."
Tumpak Denta menghela napas berat. Ia sudah cukup paham akan watak adik
seperguruannya ini yangtidak pernah mau merobah pendiriannya, dan apa yang sudah
diucapkannyapun sudah merupakan ketetapan hati. Oleh karena itu Tumpak Denta
tidak mendesak, kemudian berdiam diri.
Untuk beberapa saat lamanya mereka tidak membuka mulut dan keadaan hening
kembali. Baru kemudian terdengar Fajar Legawa bertanya. "Tahukah engkau akan
maksud guru memanggil aku?"
Dan Tumpak Denta menggelengkan kepalanya. Dan baru beberapa saat lamanya,https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Tumpak Denta membuka mulut. "Aku tidak tahu akan maksud guru. Akan tetapi aku
dapat menduga bahwa panggilan itu amat penting."
"Hemm," Fajar Legawa menghela napas lagi, "Akupun menyadari pula tentang
itu kakang. Namun sebaliknya apakah daya? Sulitlah bagiku untuk dapat memenuhi
panggilan guru itu, sebelum persoalan ini selesai. Maka aku mohon agar kakang pulang
dahulu saja menghadap guru, sambil memberitahukan kesulitan ini."
"Tak mungkin aku kembali menghadap guru tanpa engkau ikut serta. Aku tidak
mempunyai alasanyang cukup untuk membiarkan engkau dalam bahaya. Dan aku harus
menyertai engkau menyelesaikan soal gawat itu. Dan apapun yang harus kau hadapi,
merupakan tanggung jawabku pula. Huh, aku tidak rela engkau dihina orang!"
"Kakang, bukan maksud paman Gadung Melati menghina aku," sahutFajar
Legawa. "Tuntutan paman Gadung Melati adalah wajar, sebagai seorang guru yang
bertanggung jawab terhadap muridnya. Maka aku mohon agar kakang pulang ke
Galunggung lebih dahulu dan relakanlah aku menyelesaikan soal ini seorang diri."
"Tidak!Apapunyang terjadi,aku akan menyertaimu dan berusaha membelamu!"
Terharu Fajar Legawa mendengar ini. Jawaban itumembuktikan bahwa Tumpak
Denta amat kasih kepada dirinya. Mendadak ia memeluk Tumpak Denta erat sekali,
kemudian terdengarlah kata pemuda ini yang tidak lancar. "Kakang, terimakasih.
Bantuan dan pembelaanmu berarti meringankan beban yang sedang menghimpit dan
menindih diriku. Dan dengan hadirnya kakang di sampingku merupakan suatu kekuatan
dan tiang penyanggah dari keruntuhanku. Kakang, semoga Allah memberi petunjuk
padaku dalam usahaku membuktikan kenyataan, bahwa benar-benar Pertiwi Dewi
membunuh diri dan bukan karena aku bunuh."
"Ya, semoga."
"Tetapi kakang, mengapa engkau tadi berkelahi dengan Putut Jantoko?" tanya
Fajar Legawa tiba-tiba.
"Adi," sahut Tumpak Denta, "Dalam usahaku mencari engkau sesuai dengan
amanat guru, mendorong pada diriku harus dapat menemukan engkau dalam waktu
singkat. Itulah sebabnya aku sedikit sekali melepaskan lelah dalam perjalanan. Dua hari
yang lalu aku berkelahi dengan Putut Jantoko di selatan Batang, dalam usahaku menolong
orang. Akan tetapi sayang sekali bahwa usahaku itu sia-sia belaka. Orang yang kutolong
itu akhirnya harus mati karena terluka dan keracunan. Hemmmm ........."
Tumpak Denta menghela napas berat. Sesaat kemudian barulah ia meneruskan.
"Disaat mendekati ajal itu, dia sempat memberitahukan nama dan gurunya. Dia
bernamaYusuf muridAbdulrajak, pendekar dari Madura. Dan perkelahian antara Yusuf
dengan Putut Jantoko itu bukan lain akibat perbuatan Putut Jantoko yang terkutuk, dan
Yusuf berusaha memberantas penjahat itu."
Tumpak Denta berhenti lagi. Kemudian. "Putut Jantoko amat berbahaya. Sebab
di samping mempunyai senjata beracun, tongkatnya itupun hebat sekali. Senjata yang
berbenturan akan patah ........."https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
"Ahhh ......" seru Fajar Legawa. "Memang aku tadi juga merasa heran ketika
kakang selalu menghindari benturan senjata. Kemudian setelah aku mencoba dan
senjatanya tidak patah oleh tongkatku, aku menjadi kaget dan heran. Ahh, tongkatnya
tadi menebarkan hawa panas."
"Benar, akupun merasakan udara panas itu sewaktu berkelahi melawan dia.
Mungkinkah di dalam tongkat Putut Jantoko itu tersimpan pula senjata ampuh?"
"Mungkinkah pedang pusaka Sokayana yang banyak dipercakapkan orang itu?
Aih, kalau benar sungguh menyedihkan."
"Tidak! Tongkat itu terlalu kecil untuk tempat sebatang pedang. Dalam pada itur
tongkat tadi memancarkan hawa panas, maka tentu bukan pedang pusaka Sokayana."
"Apakah pedang Sokayana tidak memancarkan hawa panas?"
"Menurut keterangan guru, pedang Sokayana itu berhulu emas. Pedang itu tajam
sekali, akan tetapi tidak memancarkan hawa panas, melainkan dingin seperti pengaruh
keris pusaka dalam tongkatmu."
Tanpa terasa ketika itu hari hampir pagi. Fajar Legawa harus meneruskan
perjalanan kegunung Ungaran untuk memberi pembuktian. Maka kemudian Fajar
Legawa mengajak Tumpak Denta ke desa tempatnya menginap. Sekalian akan minta
diri untuk melanjutkan perjalanan.
Pagi itu kakak beradik perguruan iui memacu kuda menuju gunung Ungaran yang
sudah tampak di depan mata. Ketika matahari sudah sepenggalah tingginya, dua orang
muda ini sudah memacu kuda lewat jalan sempit pegunungan yang berliku seperti ular.
Kemudian pada saat dua orang muda ini mendaki, menikung, sempit dan berbahaya,
mendadak dua orang muda ini kaget. Hati tiba-tiba tegang dan mata mereka menyelidik.
"Kakang," kata Fajar Legawa. "Agakaya sedang terjadi perkelahian cukup sengit
di sana."
"Ya, agaknya di balik hutan itu," sahut Tumpak Denta. "Mungkinkah penghuni
gunung Ungaran yang bernama Jalu Gigis dan Dyah Raseksi itu?"
"Entahlah, tetapi juga mungkin. Mari kita lihat."
Tumpak Denta mengangguk. Mereka kemudian meloncat turun dari kuda masing-
masing. Kemudian kuda mereka tambatkan pada pohon di tengah semak yang terlindung.
Dan sesudah itu dua orang muda ini bergerak dengan hati-hati.
Tidak lama kemudian tibalah mereka pada sebuah hutan yang tidak begitu luas,
sedang tak jauhdari situ, tampak jurang lebar yang amat dalam.
Bentakan perempuan yang nyaring terdengar jelas terbawa angin. Mendengar
suara perempuan in tiba-tiba jantung Fajar Legawa tergoncangdan wajahnya berubah
merah. Teringatlah pemuda ini akan pengalamannya ketika ditawan. Ia terpaksahttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
berpura-pura mengimbangi cinta Dyah Raseksi, dan terpaksa harus mencium. Teringatlah
pengalaman yang memalukan dan memuakkan itu tiba-tiba saja kaki Fajar Legawa terasa
berat untuk melangkah.
"Adi, mengapa engkau?" tanya Tumpak Denta dengan heran.
"Entahlah. Tiba-tiba saja kakiku terasa berat untuk melangkah," sahutnya hambar.
"Engkau takut?"
Fajar Legawa menggeleng.
Tumpak Denta tersenyum, kemudian katanya. "Mengapa sebabnya kakimu terasa
berat? Hanya seorang yang sedang ketakutan sajalah kaki terasa berat untuk diangkat."
Fajar Legawa merasa malu juga disebut takut itu. Kenyataannya ia memang tidak
takut. Ia tergoda oleh pengalamannya berhadapan dengan Dyah Raseksi. Maka pemuda
ini tersenyum dalam usahanya menutupi perasaannya, dan kemudian menetapkan hati
untuk meneruskan perjalanan.
Mereka kemudian terbelalak. Kegelisahan Fajar Legawa tiba-tiba saja terhapus.
Perempuan yang sekarang berkelahi itu mengenakan baju biru dengan sepasang pedang.
Wanita berusia kira-kira setengah abad, akan tetapi nampak gagah menonton perkelahian
itu. Diam-diam Fajar Legawa sudah meraba tongkatnya melihat perkelahian itu.
"Engkau mau apa?" tanya Tumpak Denta.
Untuk sejenak pemuda ini gelagapan. Tetapi kemudian tersenyum sambil
menjawab. "Kakang, kita bertemu lagi dengan Putut Jantoko. "
"Ya, akupun tahu."
"Dan aku akan membantu perempuan itu. Aku pernah berhutang budi kepada
mereka."
"Siapakah mereka?"
"Gadis itu bernama Nawang Wulan dan wanita setengah tua itu ibunya,
Dewayani." Fajar Legawa menerangkan. "Aku pernah bertemu dengan mereka disaat
masuk kesarang Juru Demung."
"Tetapi adi," kata Tumpak Denta. "Lupakah engkau bahwa gadis itu belum kalah
dan ibunya itupun belum membantu? Apakah dengan tindakanmu itu tidak akan
menyinggung kehormatan mereka?"
Fajar Legawa terdiam mendengar itu. Kata-kata kakak seperguruannya itu tepat
dan benar. Apabila ia harus ikut campur dan membantu, dapat dianggap merendahkan
ibu dan anak itu. Maka Fajar Legawa tidak berani menurutkan hati, dan hanya menonton.
Perkelahian yang terjadi antara Putut Jantoko dengan Nawang Wulan itu memang
berlangsung sengit sekali. Akan tetapi baik Fajar Legawa maupun Tumpak Dentahttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
menyadari bahwa Putut Jantoko tidak berkelahi sungguh-sungguh. Dia tidak
menggunakan tongkatnya, sedang pedang yang sekarang dipergunakan itupun banyak
kali melepaskan kesempatan yang amat baik. Tampak bahwa Nawang Wulan masih agak
jauh di bawah tingkat Putut Jantoko, dan mungkin karena tertarik kecantikan gadis itu,
penjahat tersebut merasa sayang melukainya.
Fajar Legawa gelisah sendiri melihat itu. Tangannya kembali meraba tongkat, dan
tampak pemuda ini ingin sekali menggantikan kedudukan gadis itu.
Tiba-tiba terdengarlah bentakan nyaring. Dewayani yang semula berdiri dan
menonton itu sudah melompat dan langsung menyerang kepada Putut Jantoko. Agaknya
ibu ini tidak kuasa lagi menahan sabarnya melihat puterinya tidak dapat mengimbangi
lawan.
Fajar Legawa gembira melihat perobahan itu. Sekarang pemuda ini merasa yakin
bahwa Putut Jantoko akan segera dapat dihajar setengah mampus oleh perempuan sakti
itu.
Akan tetapi mendadak terdengarlah suara melenting nyaring. Dan hampir
berbareng telah meluncur seseorang dari sebatang pohon tinggi, seakan seorang yang
terjatuh dari pohon.
"Klenting Mungil!" desis Fajar Legawa kaget.
Tumpak Dentapun melihat meluncurnya orang itu dari pohon yang cukup tinggi.
Ia bergidik ngeri, karena kepala orang itu meluncur lebih dahulu. Dan apabila kepala itu
terbentur dengan batu di bawahnya niscaya kepala itu akan hancur berantakan.
Namun dugaan Tumpak Denta itu keliru. Benar kepala itu kemudian berbenturan
dengan batu sebesar kambing yang bercokol di atas tanah, akan tetapi bukan kepala itu
yang hancur berantakan, malah batu sebesar kambing itu yang hancur berantakan.
Kemudian dengan ketawanya yang nyaring, Klenting Mungil sudah bergerak seperti kilat
cepatnya menyambut gerakan Dewayani sambil membentak. "Ha jangan usil. Yang tua
sama tua, dan yang muda sama muda. Heh-heh-heh, bukankah itu cocok?"
Dewayani melompat ke samping menghindari serangan Klenting Mungil.
"Gila! Apanya yang cocok?" damprat Dewayani.
"Heh-heh-heh!" sambut Klenting Mungil dengan terkekeh, "Bukan sekalipun
engkau sudah tua tetapi masih tetap cantik? Dan bukankah sudah sepantasnya pula
apabila muridku itu berjodoh dengan puterimu?"
Sulit dilukiskan betapa marah Dewayani mendengar ucapan Klenting Mungil ini.
Tentu saja Dewayani menjadi marah dan malu, karena tahu apakah maksud Klenting
Mungil yang mengatakan "tua sama tua" itu. Tanpa membuka mulut Dewayani telah
menggerakkan dua tangannya untuk mencakar leher dan memukul kepala yang gundul
itu.
Terkejut juga Klenting Mungil atas serangan itu. Namun ia seorang saktihttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
mandraguna. Ia tidak menjadi gugup, dan dengan gerakan tangan melintang ia
membentur tangan lawan. Dalam waktu singkat dua orang tua inipun telah terlibat dalam
perkelahian yang amat sengit.
"Untung juga engkau tadi tidak gegabah, adi," bisik Tumpak Denta.
Fajar Legawa hanya menghela napas dan tidak menjawab. Meskipun dalam hati
tidak setuju dengan pendapat kakak seperguruannya, akan tetapi ia tidak ingin
berbantahan. Sebab seorang pengabdi kemanusiaan tidak sepatutnya mementingkan diri
sendiri, dan matipun bukan apa-apa untuk membela keadilan dan kebenaran. Dan
apapula penjahat ini telah merusakkan kebahagiaan keluarga Pertiwi Dewi.
Teringat akan malapetaka yang menimpa keluarga Pertiwi Dewi itu, darah muda
Fajar Legawa menggelegak. Tiba-tiba saja pemuda ini melompat, namun untung Tumpak
Denta tidak lengah dan cepat mencegah sambil membujuk. "Adi, sabarlah! Kita harus
pandai mengenal gelagat dan memperhitungkan keadaan."
"Tetapi ............... Putut Jantoko merupakan biang keladi kesulitanku, kakang!"
bantah Fajar Legawa.
Tumpak Denta heran. Tanyanya. "Kesulitan yang mana?"
"Bukankah sudah aku ceritakan tentang keluarga Pertiwi Dewi yang berantakan?"
"Tenangkan hatimu adi, jangan mengumbar nafsu amarah. Ingatlah bahwa
peristiwa-peristiwa di dunia ini mempunyai pertalian erat dengan yang lain." Tumpak
Denta memberi nasihat. "Ya, aku memang tidak dapat membantah bahwa Putut Jantoko
yang menjadi sumber kesulitanmu. Namun demikian kau jangan berusaha menambah
Iblis Dari Gunung Wilis Karya Widi Widayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kesulitanmu itu dengan tindakan yang kurang perhitungan."
"Mengapa demikian?" Fajar Legawa heran dan mengamati Tumpak Denta.
"Urusanmu dengan urusan mereka berlainan. Biarlah mereka menyelesaikan
urusan itu dahulu. Apabila ternyata kemudian ibu dan anak itu memerlukan bantuan kita,
belum terlambat kita membantu atau melawan mereka Bukankah ini lebih baik?"
Mereda juga kemarahan Fajar Legawa mendengar nasihat kakak seperguruannya
ini. Kemudian mereka kembali memperhatikan perkelahian yang masih berlangsung
sengit Tampak bahwa serangan Nawang Wulan itu datang bertubi-tubi, akan tetapi
dengan gampang Putut Jantoko selalu dapat menggagalkan.
Putut Jantoko masih tetap bertangan kosong. Penjahat ini sekarang tampaknya
seperti seorang ksatrya sejati, dan seakan mengalah kepada perempuan. Namun
sesungguhnya bukan demikian. Bukan karena dalam waktu singkat watak penjahat itu
berubah menjadi baik. Yang benar Putut Jantoko sekarang ini merasa sayang untuk
melukai gadis cantik itu. Dan dalam perlawanan ini pula Putut Jantoko berusaha
menangkap gadis itu tanpa luka.
Memang sesungguhnya saja telah berhari-hari lamanya Putut Jantoko berusaha
mengejar dan menangkap Nawang Wulan. Akan tetapi maksudnya itu selalu gagal olehhttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Dewayani. Dalam usaha ini Putut Jantoko telah berusaha mengalahkan Dewayani, akan
tetapi tidak mampu.
Semalam disaat sedang berkelahi melawan Fajar Legawa, penjahat itu terpaksa
melarikan diri bukan lain akibat takut Dewayani. Namun keadaannya sekarang segera
berobah, sesudah Putut Jantoko dapat bertemu dengan gurunya.
Tetapi sebaliknya Nawang Wulan yang marah dan muak atas sikap Putut Jantoko
itu, setiap serangannya tidak tanggung-tanggung. Ia selalu berusaha menyerang bagian
tubuh yang mematikan. Akan tetapi sungguh sayang bahwa usahanya itu selalu gagal.
Malah karena cukup lama berkelahi, akibatnya gadis itu payah sendiri. Walaupun
demikian gadis ini tidak mengeluh dan terus melawan dengan garang.
Di pihak lain, sulit bagi Dewayani untuk memecah perhatian membantu kesulitan
anaknya. Ia sendiri melawan penjahat tua yang sakti mandraguna. Apabila perhatiannya
terpecah akan berakibat dirinya menderita rugi.
Akan tetapi mengapa Klenting Mungil mengucapkan kata-kata yang kuasa
menyinggung perasaan Dewayani? Soalnya walaupun sudah setengah tua, kecantikan
Dewayani masih amat menonjol. Dan diam-diam menimbulkan gairah bagi Klenting
Mungil, sehingga menimbulkan perasaan sayang pula. Hanya sayang bahwa Dewayani
ini jauh bedanya dengan Nawang Wulan. Walaupun perempuan, Dewayani seorang sakti
mandraguna dan karena itu Klenting Mungil tidak berani sembrono. Ia melawan dengan
hati-hati, dan jari-jari tangannya yang berkuku panjang dan tajam itu selalu menyambar-
nyambar berbahaya untuk bisa mencengkram atau mencakar.
Sungguh tidak terduga sama sekali, tiba-tiba terdengarlah jerit Nawang Wulan.
Pedang gadis itu yang sebelah telah terlempar jatuh di tanah, terpental oleh pukulan Putut
Jantoko yang jitu.
Namun justeru jeritan dari mulut Nawang Wulan ini menimbulkan akibat tidak
terduga-duga. Sebagai seorang ibu yang kasih kepada anaknya, jeritan itu membuat hati
perempuan ini tergetar. sehingga memaksa diri memalingkan muka. Wajah perempuan
ini tiba-tiba pucat, tetapi kemarahannya makin meledak. Akan tetapi belum juga
perempuan tua ini dapat melaksanakan maksudnya menghajar lawan, waktu yang hanya
beberapa detik terpecah perhatiannya itu telah menimbulkan kesulitan. Ia telah berusaha
membuang diri untuk menghindari pukulan Klenting Mungil. Sayang usahanya
terlambat, pundak terpukul sehingga tubuh pendekar wanita itu terlempar lebih satu
tombak.
Sekalpun pundaknya sakit, tulang pundaknya patah dan sebelah tangannya
lumpuh, Dewayani tidak merintih dan mengeluh. Kemudian dengan lengkingan yang
nyaring dan geram, ia sudah melompat maju dan menerjang dengan pukulannya.
Klenting Mungil tidak menduga sama sekali perempuan itu masih sanggup
melancarkan serangan sedahsyat itu, sehingga agak gugup juga. Klenting Mungil berhasil
menghindarkan diri dari pukulan tangan Dewayani, akan tetapi tendangan susulan
bersarang ke lambung. Akibatnya penjahat tua itu terhuyung mundur. Disaat tubuh
penjahat tua ini sempoyongan, Dewayani masih dapat menyusuli serangan berbahaya.
Dan masih untung Klenting Mungil dapat membuang diri, kemudian bergulingan di atashttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
tanah.
Tetapi apa yang baru terjadi tadi, menimbulkan kemarahan Klenting Mungil yang
menggelegak dalam dada. Maka sambil menggeram nyaring, Klenting Mungil berobah
menjadi ganas. Kalau sejak tadi ia masih menahan diri untuk tidak menggunakan Aji
"Pengracutan", sekarang adalah lain. Dalam marahnya Klenting Mungil menjadi lupa,
bahwa sekarang ini sedang menghadapi perempuan. Hebatnya aji kesaktian tersebut akan
dapat membuat jari-jari tangan dan telapakannya sekeras baja. Jangankan tubuh manusia,
walaupun batu gunung yang keras akan hancur apabila dapat dicengkeram atau diremas
dengan tangannya. Dan mendadak saja Klenting Mungil sudah menggerakkan dua buah
tangannya seraya meloncat. Tangan kiri bersasaran pada leher, sedang tangan kanan
memilih sasaran kepala lawan. Gerakannya sedemikian cepat dan apabila leher dan
kepala lawan dapat terenggut, niscaya saat itu juga akan menemui ajalnya.
Namun Dewayani seorang pendekar wanita yang sudah banyak pengalaman
berkelahi. Ia tidak mudah menyerah untuk dibunuh. Dengan gerakan yang amat manis
Dewayani meloncat ke samping seraya mengirimkan tendangan untuk membendung
serangan lawan. Dan ketika tangan Klenting Mungil berusaha menangkap kakinya,
Dewayani cepat menarik kaki dan sasarannya beralih kepada lambung.
Sayang bahwa tangan kanan Dewayani masih terasa amat sakit akibat pukulan
Klenting Mungil. Akibatnya tangan kanan itu tidak banyak berarti dalam setiap gerakan
dan pukulannya.
Tumpak Denta dan Fajar Legawa melihat perkelahian yang seru itu. Mereka
mengerti jelas sekali bahwa Dewayani telah menderita luka, dan melakukan perlawanan
tidak sempurna. Namun setiap Fajar Legawa ingin bergerak maju, Tumpak Denta
selalu mencegahnya. Tumpak Denta justeru mengakui bahwa tingkat Dewayani masih
berada diatas dirinya. Maka apabila Dewayani sendiri tidak mampu melawan Klenting
Mungil, apakah artinya dirinya sendiri dengan Fajar Legawa maju dan berusaha
menolong?
Disamping khawatir akan keadaan Dewayani, merekapun khawatir akan Nawang
Wulan, yang jelas bukan lawan Putut Jantoko. Tingkah laku penjahat itu memuakkan
sekali, sebab sambil berkelahi selalu bersikap menghina dan juga selalu berusaha
membujuk. Apa yang dilakukan Putut Jantoko itu, menyebabkan Nawang Wulan
marah bukan main disamping amat malu. Dan dalam marah serta malu itu, kemudian
gadis itu menyerang dan berkelahi seperti nekat. Tentu saja hal ini malah menimbulkan
Nawang Wulan menderita rugi sendiri.
"Wulan, bukankah percobaan ini sudah lebih dari cukup?" kata Putut Jantoko
sambil menyeringai. "Aku cinta padamu manis, mengapa engkau masih membandel?
Adikku cantik, percayalah bahwa aku akan dapat membahagiakan dirimu. Engkau akan
menjadi isteriku tersayang. Maka marilah kita hentikan perkelahian tak berguna ini."
"Tutup mulutmu!" damprat Nawang Wulan sambil menyerang dengan
pedangnya. Wajah gadis itu nampak merah karena malu, sedang mata gadis itu seperti
menyala.
Putut Jantoko menyeringai. Kalau berkelahi benar-benar, jelas tidak sulit Pututhttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Jantoko mengalahkan Nawang Wulan. Akan tetapi tujuan Putut Jantoko sekarang ini
bukannya melukai dan lebih-lebih membunuh. Ia ingin sekali dapat menangkap Nawang
Wulan yang cantik itu dalam keadaannya yang seperti sekarang.
Kemudian pada suatu kesempatan Putut Jantoko berhasil menyambar dagu
Nawang Wulan yang kuning dan halus itu. Yang membuat Nawang Wulan kaget di
samping amat malu. Bukan main malu dan marah gadis itu. Dan kuasa pula memancing
kemarahan Nawang Wulan sehingga gadis ini melancarkan serangannya lebih nekat.
Sayang juga bahwa sebatang pedangnya telah runtuh. Maka walaupun serangan itu
dilancarkan cepat sekali, serangan itu dengan mudah selalu dipunahkan oleh Putut
Jantoko.
"Heh-heh-heh, engkau jangan nekad adikku, jangan nekat!" goda Putut Jantoko
dengan gerakan yang gesit menghindari terjangan Nawang Wulan itu, "Lebih baik engkau
menyerah saja, dan marilah kita pulang membentuk bebrayan bahagia."
"Mampuslah!" teriak Nawang Wulan yang tambah marah.
Kata-kata itu didengar oleh Dewayani yang sedang berkelahi sengit dengan
Klenting Mungil. Sebagai seorang tua berpengalaman, sekalipun tidak melihat tahu juga
apa yang sedang dialami puterinya. Jelas bahwa anaknya itu terdesak dan menderita
kesulitan, dan terancam pula bahaya mengerikan. Tetapi juteru berkelahi sambil
memikirkan anaknya, berarti perhatiannya terpecah itu, menyebabkan gerakan
perempuan tua ini sedikit lambat.
Akan tetapi walaupun hanya sedikit lambat, harus ditebus oleh Dewayani amat
mahal. Sebuah pikulan Klenting Mungil yang keras bersarang ke pundak. Walaupun
pukulan itu tidak tepat, menyebabkan tulang pundak remuk dan tubuh Dewayani
terpelanting. Klenting Mungil menyusuli dengan tendangan keras dan akibatnya, tubuh
Dewayani terlempar lebih tiga tombak. Perempuan itu jatuh terbanting keras sekali, dan
tidak dapat bangun lagi.
Peristiwa tak terduga itu sempat pula dilihat oleh Nawang Wulan. Tiba-tiba saja
gadis ini menjerit, melompat dan kemudian menubruk ibunya yang roboh di atas tanah.
Gadis itu sudah tak perduli lagi menghadapi ancaman bahaya dari lawan, dan sekarang
menjerit-jerit memanggil nama ibunya sambil pula menggoncang-goncang tubuh. Sama
sekali tidak disadari oleh gadis itu bahwa dengan perbuatannya, menyebabkan derita
ibunya yang terluka dalam itu makin bertambah.
Putut Jantoko dan Klenting Mungil ketawa terkekeh-kekeh gembira. Klenting
Mungil berdiri tegak sambil mengawasi Nawang Wulan yang menjerit-jerit sambil
mengoncang-goncang tubuh ibunya. Sedang Putut Jantoko dengan mulut menyeringai
sudah bergerak menghampiri Nawang Wulan,
Sekarang tak kuasa lagi Fajar Legawa dan Tumpak Denta berdiam diri. Dua
orang muda ini melompat hampir berbareng dengan senjata siap di tangan. Fajar Legawa
langsung menyerang Pulut Jantoko sedang Tumpak Denta langsung menyerang Klenting
Mungil. Serangan tak terduga ini sudah tentu mengejutkan guru dan murid itu.
Putut Jantoko menggerakkan pedang rampasannya untuk menangkishttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
"Krak!" patahlah pedang Nawang Wulan yang diambil oleh Putut Jantoko itu.
Penjahat ini terbelalak heran. Sebab tidak pernah diduganya sama sekali bahwa
pedangnya akan patah oleh benturan itu. Akan tetapi walaupun demikian Putut Jantoko
tidak gugup, seperti kilat cepatnya telah mencabut tongkatnya dari pinggangnya,
kemudian tongkat yang dibanggakan itu dipergunakan melayani Fajar Legawa.
Dua-duanya bersenjata tongkat dan dalam waktu singkat mereka telah berkelahi
sengit. Hawa udara yang bertentangan segera memancar keluar dari tongkat masing-
masing, memenuhi sekitarnya. Tongkat Putut Jantoko memancarkan hawa yang panas
membara, sedang tongkat Fajar Legawa memancarkan hawa yang amat dingin.
DUA-DUANYA melancarkan serangan amat cepat, justeru masing-masing
dikuasai nafsu untuk membunuh. Putut Jantoko marah dan ingin membunuh karena
kecewa, maksudnya menangkap dan menawan Nawang Wulan terhalang. Sebaliknya
Fajar Legawa dikuasai nafsu membunuh pula, karena marah menyaksikan tingkah laku
Putut Jantoko yang memuakkan.
Di pihak lain Klenting Mungil dan Tumpak Denta sudah berkelahi pula. Tetapi
sambil melayani ini, Klenting Mungil selalu ketawa terkekeh mengejek. Apakah artinya
seorang pemuda ingusan ini melawan dirinya? Dengan tangan Icosong ia melayani
Tumpak Denta. Kadang menghindar, dan kadang menangkis atau menyentil pedang
Tumpak Denta yang datang menyambar.
"Heh-heh-bch, siapakah engkau?" hardik Klentfog Mungil sambil terkekeh.
Tumpak Denta tidak membuka mulut dan terus melancarkan serangannya.
Pedangnya menyambar dengan cepat, dengan gerak perobahannya yang sulit diduga.
Hanya sayang bahwa yang dihadapi sekarang ini Klenting Mungil, seorang kakek sakti
mandraguna. Maka walaupun pemuda ini sudah berusaha sekuat kemampuannya,
pedangnya tak juga pernah berhasil menyentuh kulit tubuh lawan.
"Bocah tak tahu adat!" bentak Klenting Mungil sesudah menyentil batang pedang
Tumpak Denta yang melayang datang. "Apakah engkau sudah bosan hidup?"
Lengan Tumpak Denta tergetar hebat oleh sentilan jari tangan itu, sedang
pedangnya menyeleweng. Akan tetapi sambil menahan rasa kesemutan pada lengannya,
pemuda ini terus menghujani serangan bertubi-tubi.
"Kurang ajar!" bentak Klenting Mungil lagi. "Jika engkau tak juga mau enyah dari
smi, aku takkan main kasihan lagi."
Namun Tumpak Denta tetap saja melancarkah serangannya, tidak perduli akan
ancaman Klenting Mungil.
"Hai, apakah hubunganmu dengan Suria Kencana?" bentak Klenting Mungil lagi,
setelah memperhatikan gerak-gerik Tumpak Denta dalam menyerang dirinya.
Akan tetapi lagi-lagi Tumpak Denta tidak menjawab. Pemuda ini merasa tiada
perlunya menjawab pertanyaan itu. Yang penting sekarang ini dirinya harus dapat
mengalahkan kakek berkepala gede ini.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Iblis Dari Gunung Wilis Karya Widi Widayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kurang ajar. Apakah engkau tuli? Apakah engkau bisu?" teriak Klenting Mungil
yang menjadi penasaran, karena lawan yang muda itu tidak juga membuka mulut. "Huh,
mempunyai hubungan atau tidak dengan Suria Kencana, hari ini kau harus mampus!"
Benar saja, sesudah mengucapkan kata-kata ini, gerakan Klenting Mungil sudah
berobah. Kakek berkepala gede ini gerakannya sekarang tambah cepat, dua tangannya
mencakar dan mencengkeram serta menerbitkan angin cukup dahsyat. Tiba-tiba saja
Tumpak Denta merasakan tekanan yang hebat sekali. Angin yang dansyat itu
menyambar-nyambar dan menyebabkan dada terasa sesak. Akan tetapi walaupun
demikian Tumpak Denta mengerahkan semangat dan kepandaiannya untuk mengatasi
keadaan. Pedangnya menyambar terus tak pernah berhenti sambil pula berusaha
menerobos lingkaran angin yang membuat dadanya sesak.
Tetapi walaupun Tumpak Denta melawan sambil mengerahkan seluruh
kemampuannya, secara pasti ia terus didesak oleh kakek kepala gede itu. Sambaran angin
yang keluar dari telapak tangan itu terus menyambar, menekan ruang geraknya, hingga
bagaimanapun makin lama pemuda itu kesulitan.
Kalau makin lama Tumpak Denta kesulitan dalam menghadapi Klenting Mungil
ini sebaliknya Fajar Legawa lain. Dari sedikit Fajar Legawa dapat mengatasi Putut
Jantoko. Memang sekarang ini Putut Jantoko yang selalu membanggakan tongkatnya itu
mendapat tanding. Berkali-kali dua tongkat itu berbenturan dan menerbitkan suara
nyaring. Namun Putut Jantoko tidak berhasil mematahkan senjata lawan, dan sebaliknya
tongkat Fajar Legawa juga tidak berhasil membuat senjata lawan patah.
Akan tetapi justeru kegagalannya menyebabkan Putut Jantoko penasaran. Ia
bermaksud dapat menawan Nawang Wulan secepatnya, namun dihalangi pemuda ini.
Rasa penasaran ditambah rasa kecewa dan masygul ini membuat Putut Jantoko tidak
telaten lagi. Dan untuk mengatasi lawan yang sanggup menandingi tongkatnya itu, tiada
jalan lain 1agi kecuali harus menggunakan senjatanya yang ampuh sekarang juga. Senjata
beracun yang telah berkali-kali merenggut nyawa manusia lain, tersimpan dalam jarum.
Fajar Legawa yang polos tidak menyadari rencana lawan yang amat curang. Ia
terus menggerakkan tongkatnya dalam usahanya mendesak lawan. Kemudian terjadilah
benturan yang cukup keras antara tongkat dengan tongkat. Masing-masing terhuyung
mundur satu langkah, dan telapak tangan masing-masing terasa panas seperti terbakar.
Namun kemudian Fajar Legawa amat heran. Ia tidak metasa terkena pukulan
lawan. Akan tetapi mengapa secara tiba-tiba puncaknya dirasakan nyeri dan sakit? Seakan
ada sesuatu yang menancap pada pundaknya, tetapi benda apakah itu? Fajar Legawa tidak
memperdulikan rasa sakit dan nyeri pada pundaknya, dan pemuda itu berusaha
menghujani serangan-serangan berbahaya kepada lawan..
Apa yang telah terjadi memang tidak disadari dan diduga oleh Fajar Legawa. Dan
bukan hanya pemuda ini, tetapi juga orang- orang lain yang melawan Putut Jantoko.
Sesungguhnya sekarang ini Fajar Legawa telah menderita luka. Dan luka itu hanya kecil
saja, namun dapat membahayakan jiwa manusia. Luka tersebut akibat menancapnya dua
batang jarum yang beracun jahat, telah menancap pada pundak.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Klenting, Mungil memang tidak tanggung-tanggung dalam melengkapi senjata
muridnya. Dalam tongkat itu tersimpan ratusan jarum halus yang jahat sekali, karena
sudah direndam oleh racun. Dan jarum itupun dapat menyerang lawan tidak terduga-
duga dan tidak akan diketahui. Sebab jarum itu menyerang lawan digerakan oleh alat
rahasia pada tongkat itu sendiri. Ketika dua tongkat tadi berbenturan, Putut Jantoko telah
menekan alat penyebar jarum, akibatnya pundak Fajar Legawa terluka tanpa disadari, dan
dua batang jarum telah menancap pada pundak.
Ketika itu Nawang Wulan sudah siuman dari pingsannya. Gadis ini segera
menyadari bahwa ibunya menderita hebat sekali. Wajah ibunya pucat seperti kapas dan
napasnya tinggal satu-satu. Maka gadis ini dengan hati yang amat khawatir dan air mata
yang bercucuran, segera berusaha menolong ibunya yang menderita itu. Hingga gadis ini
seperti tidak mau perduli akan kehadiran Tumpak Denta dan Fajar Legawa, dan yang
sekarang menghadapi guru dan murid itu, dan justeru dalam usaha mereka menolong
dirinya.
Sementara itu perkelahian masih terus berlangsung sengit sekali. Walaupun
pundak dirasakan nyeri, nanaun Fajar Legawa terus menyerang dengan hebat. Akan
tetapi justeru gerakan-gerakan Fajar Legawa yang memberi perlawanan ini, pengaruhnya
racun pada jarum itu bekerja tambah cepat. Rasa nyeri pada pundaknya itu tambah lama
menjadi panas, dan di samping itu lengan dirasakan makin menjadi kejang. Merasakan
perobahan pada pundaknya ini, Fajar Legawa terkesiap. Baru teringatlah ia sekarang akan
penuturan Tumpak Denta. Bahwa Putut Jantoo memiliki senjata sangat berbahaya dan
beracun.
"Ahhh.........Fajar Legawa mengeluh dalam hati. Sadarlah pemuda ini bahwa
senjata beracun yang dimaksud, adalah jarum. Namun demikian timbul rasa heran dalam
hatinya, mengapa ia tidak melihat tangan Putut Jantoko tadi bergerak dan menyerang
dengan jarum itu? Lalu bagaimanakah cara penjahat itu melepaskan jarum?
Akan tetapi ia tidak dapat berpikir panjang. Pundaknya makin lama makin kaku
dan sulit digerakkan. Maka sebelum racun itu bekerja lebih lanjut, dan tubuhnya
keracunan, ia harus dapat membunuh lawan lebih dahulu. Sambil membentak dan
menggeram keras Fajar Legawa melancarkan serangannya lebih hebat. Sebaliknya Putut
Juioko menyeringai mengejek, ia merasa pasti bahwa tidak lama lagi lawannya akan
segera roboh oleh pengaruh racun. Maka ia sengaja membenturkan tongkatnya lagi untuk
melukai lawan lagi dengan jarum beracun yang tersimpan dalam tongkatnya.
Jarum beracun yang tersimpan dalam tongkat itu justeru halus, sedang racun
ampuh hasil Klenting Mungil itupun tidak berbau. Segera saja Fajar Legawa nerasakan
dada dan pundak kiri nyeri dan panas. Dua batang jarum yang halus lagi-lagi menancap
dan melukai pemuda itu. Namun Fajar Legawa terus mengamuk sambil mengerahkan
tenaganya yang masih ada.
Justeru Fajar Legawa marah dan mengerahkan tenaganya ini, racun jahat itu
bekerja lebih cepat. Dada pemuda ini kemudian sesak, kepala pening dan pandang mata
menjadi kabur, sedang tangan yang memegang tongkat itupun makin tambah kaku sulit
digerakkan. Fajar Legawa masih berusaha mempertahankan diri, akan tetapi celaka.
Tongkat Putut Jantoko menyambar secara dahsyat membentur tongkatnya. Akibatnya
tongkat pemuda ini terpental jatuh, disusul oleh tubuh Fajar Legawa yang terpental robohhttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
akibat tendangan Putut Jantoko.
Peristiwa ini mengejutkan Tumpak Denta, tetapi juga kemarahannya meledak.
Sambil menggeram keras nemuda ini menghujani serangan kepada Klenting Mungil.
Namun kakek kepala gede itu dengan terkekeh mengejek, tanpa kesulitan dapat
menghindari. "Heh-heh-heh, kawanmu sudah roboh, dan mampus. Huh, sebentar lagi
engkaupun akan segera roboh dan mampus pula!"
Sementara itu, setelah berhasil merobohkan lawan dengan jarum beracun, Putut
Jantoko menjadi tambah buas. Maka meskipun ia sadar gurunya sanggup mengalahkan
lawan, tetapi ia merasa tidak sabar untuk menunggu terlalu lama. Oleh karena itu dengan
gerakannya yang cepat ia sudah menerjang dengan tongkatnya yang berisi jarum beracun.
Tumpak Denta sadar akan bahaya dan berusaha menghindar, meloncat ke samping
sambil menyapu dengan pedangnya.
Akan tetapi justeru jarum beracun Putut Jantoko itu dapat menyambar tanpa
diketahui lawan. Yang dirasakan kemudian oleh Tumpak Denta, tiba-tiba pundak nyeri,
panas di samping gatal. Dadapun tidak mau ketinggalan, mengamuk rasa nyeri dan panas.
Tumpak Denta mengalihkan sasaran, menyerang Putut Jantoko dengan pedangnya.
Sebab ia sadar bahwa penjahat muda itulah tentu yang telah menyerang dirinya dengan
jarum beracun.
Sayang Tumpak Denta lupa bahwa Klenting Mungil hadir. Melihat pemuda itu
menghujani serangan kepada muridnya, kakek kepala gede ini tidak tinggal diam, ia
melompat dan melepaskan tendangan geledeknya.
"Buk!" dan tubuh Tumpak Denta terpental lebih dua tombak jauhnya, kemudian
jatuh kantap dan tidak berkutik lagi.
Nawang Wulan terbelalak kaget menyaksikan peristiwa itu, dua orang pemuda
yang membelanya, sekarang sudah roboh tak berkutik. Ia sadar bahwa dirinya sekarang
ini terjepit dalam kesulitan. Tiba-tiba saja gadis ini menjadi nekat, ia memungut
pedangnya sendiri dan pedang ibunya. Kemudian sambil melengking nyaring gadis ini
sudah melompat dan menerjang ke arah Putut Jantoko.
"Heh-heh-heh, mengapa engkau nekat adikku," kata Putut Jantoko sambil
menyeringai, karena diam-diam nafsu binatang penjahat ini merangsang perasaan. "Lepas
pedangmu, dan marilah kita pulang untuk membangun bebrayan yang bahagia........."
"Mampuslah!" potong Nawang Wulan yang amat marah, sambil terus menghujani
serangan.
Putut Jantoko tidak menghendaki keadaan ini terus berlarut. Dan iapun tidak
tahan terlalu lama melihat wajah cantik dengan tubuh montok itu. Untuk menundukkan
gadis ini tidak ada jalan lain kecuali harus menggunakan kekerasan, maka tiba-tiba saja
Putut Jantoko menyambut serangan gadis itu dengan tongkatnya.
"Trang trang.........aihh ............!" Nawang Wulan kaget dan berteriak nyaring,
ketika sepasang pedangnya patah oleh benturan itu. Mimpipun tidak bahwa tongkat itu
sangat tajam dan kalau tahu tentu ia tadi berusaha menghindari benturan.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Akan tetapi apa harus dikata kalau semuanya sudah terlanjur? Menyesal tiada
guna, dan jalan satu-satunya harus bertahan sebisanya. Maka sambil melengking nyaring
gadis ini sudah menyambitkan sepasang pedang yang telah patah itu. Kemudian dengan
tangan kosong, gadis inipun menerjang penjahat itu.
Dengan mudah sambitan itu dihindari oleh Putut Jantoko. Sambil melompat
pemuda ini menyimpan kembali tongkatnya. Kemudian iapun melayani serangan
Nawang Wulan dengan tangan kosong.
Namun apalah arti dari perlawanan Nawang Wulan yang tanpa senjata itu?
Bersenjata saja gadis ini tak kuasa mengalahkan Putut Jantoko, apa pula sekarang. Ibarat
seekor tikus berani melawan kucing. Walaupun berusaha melawan sekuatnya, tidak urung
hanya dipermainkan saja. Kadang pula Putut Jantoko malah menunjukkan sikapnya yang
kurang ajar. Ketika pukulan Nawang Wulan menyambar tiba-tiba, ia sengaja tidak
menghindar, dan hanya menggerakan tangan mencengkeram dada. Nawang Wulan kaget
setengah mati, dan tentu saja takkan membiarkan dadanya disentuh orang. Maka sambil
memekik kaget, gadis ini menarik kembali serangannya, kemudian menggunakan
kelincahannya bergerak, tubuhnya berkelebat cepat ke sana dan kemari.
Semua itu disaksikan oleh Klenting Mungil, tetapi kakek kepala gede ini malah
ketawa terkekeh-kekeh senang sekali. Agaknya apa yang dilakukan muridnya itu malah
membuat kakek ini senang. Dan kemudian tanpa malu kakek ini malah menganjurkan
yang tidak patut.
"Hai Putut!" teriak kakek kepala gede ini, "Aku ingin menggunakan gadis itu
Dewi Ular Karya Kho Ping Hoo Pendekar Rajawali Sakti 85 Penghianatan Jodoh Si Mata Keranjang Karya Kho Ping
Namun sebaliknya apabila dirinya harus melawan, apakah yang diandalkan bisa menang
melawan Klenting Mungil? Maka Fajar Legawa menekan perasaan dan jantungnya yang
berdebar tegang. Kemudian ia mencoba untuk bertanya. "Paman, apa sajakah maksud
paman menghadang aku?"
Pertanyaan ini disambut oleh ketawa Klenting Mungil yang melengking dan
menyakitkan anak telinga. Kemudian kakek berkepala gede ini memalingkan muka
kearah Singomurdo, seraya bertanya. "Murdo, apakah yang engkau kehendaki sekarang?"
Singomurdo ketawa bergelak-gelak, kemudian jawabnya. "Guru, Singawarih dan
Singawana telah dibunuh oleh pemuda ini. Karena itu murid menuntut agar pemuda itu
guru tangkap, dan terpikir oleh murid untuk membalaskan sakit hati dua orang adikku itu
dengan cara yang murid pilih sendiri. Bolehkah, guru?"
"Heh-heh-heh, boleh, boleh!" sahut Klenting Mungil. "Engkau boleh
membalaskan sakit hati dua orang saudara seperguruanmu itu dengan caramu sendiri.
Siapakah yang melarang?"
Berdebar jantung Fajar Legawa. Sadarlah pemuda ini, bahwa dirinya sekarang
berhadapan dengan bahaya. Jelas sekarang keadaan yang dihadapi. Kenting Mungil
menghadang perjalanannya, dalam usahanya untuk membalaskan sakit hati dan kematian
Singawarih dan Singawana. Jadi, empat orang saudara yang jahat dan sarangnya berhasil
ia obrak-abrik bersama Tumpak Denta itu, kiranya murid-murid Klenting Mungil?
Akan tetapi walaupun sadar berhadapan dengan bahaya, Fajar Legawa tidak
menjadi kecil hati. Katanya mengejek. "Hemm, apakah paman tidak malu mengeroyok
aku yang jauh lebih muda?"
"Heh-heh-heh, engkau sombong sekali bocah!" ejek Klenting Mungil sambil
ketawa terkekeh-kekeh. "Siapa yang akan mengeroyok engkau? Huh, apakah sulitnya
seorang diri aku membunuhmu? Sekarang masih banyak kesempatan, maka
sebelum engkau mampus, mintalah pamit kepada ayah dan bundamu. Heh-heh-heh,
agar engkau tidak mati penasaran dan menjadi setan gentayangan."
"Hemmm, siapa takut?" sahut Fajar Legawa sekalipun jantungnya berdebar
tegang, "Tetapi, perkenankanlah aku bertanya kepada engkau. Apakah paman tidak
malu sebagai orang tua, sampai hati menghina orang muda?"
Lamdahur meloncat dari tempatnya tersembunyi dan membentak lantang.
"Bangsat. Jangan banyak mulut! Engkau sudah membunuh dua orang kakak
seperguruanku, maka apa salahnya kalau hari ini guru datang untuk membalaskan sakit
hati itu? Pilihlah satu diantara dua. Engkau menyerah baik-baik, ataukah engkau
melawan guru, kemudian engkau menghadapi siksaan kami?"
Fajar Legawa menyungging senyum, walaupun sadar bahwa ancaman Lamdahur
itu bukanlah ancaman kosong. Namun demikian sebagai seorang yang tidak merasahttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
bersalah, ia berusaha pula untuk membela diri. "Paman, kiranya aku perlu memberi
penjelasan sebabnya terjadi pembunuhan itu. Paman, apa yang sudah terjadi dan aku
lakukan semata-mata dalam usahaku membela nama baik paman sebagai guru
mereka, Apakah paman tidak merasa ternoda dan malu, oleh perbuatan para murid yang
terkutuk itu?"
"Heh-heh-heh!" Klenting Mungil terkekeh mendengar ucapan
FajarLegawa. Beberapa saat kemudian kakek ini menjawab. "Bagus, memang engkau
anak yang baik. Tentu saja atas kebaikanmu itu,sudah pada tempatnya aku mengucapkan
terima kasih. Aih, aih, sekararg sebagai balas jasa atas kebaikan hatimu itu, kiranya cukup
pantas apabila aku memberi hadiah barang sepuluh jurus. Heh-heh-heh, bersiaplah anak
muda, dan sambutlah apabila engkau memang mampu."
"Bagus!" sambut Singomurdo dengan wajah gembira. "Kepada orang yang sudah
memberikan jasa baiknya, guru memang sepantasnya memberi tanda mata. Guru,
memang sudah cukup adil kiranya apabila guru memberi hadiah sebanyak itu."
Fajar Legawa mengerti maksud kakek berkepala gede ini. Selaras dengan
kedudukannya Klenting Mungil menetapkan batas sepuluh jurus, maka kakek itu takkan
lagi mau memaksa dan menganggap persoalan ini selesai. Akan tetapi mungkinkah
dirinya sanggup menghadapi tokoh tua ini dalam sepuluh jurus? Rasanya tidak mampu,
namun demikian jalan lain tiada lagi.
"Baik," sahutnya kemudian. "Aku terima syarat itu."
Fajar Legawa sudah akan berkata lagi dalam usaha mencari alasan, agar orang tua
ini merasa malu, menantang seorang muda. Tetapi celaka! Sebelum ia sempat membuka
mulut, ternyata Klenting Mungil sudah menerjang maju sambil berteriak.
"Awas! Serangan pertama!"
Sepasang tangan Klenting Mungil yang kecil tetapi panjang itu, dan dengan jari-
jari tangannya yang kecil, sudah bergerak seperti kilat cepatnya. Jari yang hanya seperti
tulang dibungkus kulit itu terbuka setengah melengkung, tetapi karena kuku-kuku
jarinya panjang dan runcing, hingga jari tangan itu seperti cakar garuda yang mengerikan.
Sekali serang dengan kuku yang tajam itu berusaha mencengkeram leher dan kepala.
Fajar Legawa tercekat atas serangan ini. Mimpipun tidak bahwa sekali serang
Klenting Mungil akan sanggup melakukan serangan sedemikian keji. Dengan agak gugup
pemuda ini terpaksa menggunakan tongkatnya untuk menangkis dan melindungi diri dari
bahaya sambil pula melompat ke samping.
Klenting Mungil ketawa mengejek. Apakah artinya sebatang tongkat kayu yang
kecil itu? Pedang yang tajam sekalipun ia tidak takut menghadapi. Dan tongkat seperti ini,
sekali remas saja akan hancur menjadi debu.
Akan tetapi tiba-tiba kakek ini terkejut, melompat ke samping sambil berteriak.
"Aihh....... berbahaya .........!"
Dan kemudian kakek ini melompat, berdiri tegak sambil mengamati Fajar
Legawa penuh curiga. Kakek kurus berkepala gede ini menjadi heran berbareng kaget.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Sebab ketika jari tangannya bermaksud menangkap tongkat itu, kemudian akan
mencengkeram, tiba-tiba ia merasakan sambaran hawa yang amat dingin. Akibatnya ia
mengurungkan maksudnya, justeru sebagai seorang kakek yang yang sudah luas
pengalaman, ia menjadi amat curiga. Kayu apakah tongkat itu, sehingga dapat
menyebarkan hawa sedingin itu?
Namun sejenak kemudian kakek ini segera sadar, bahwa di dunia ini tak ada
sebatangpun pohon yang dapat mengeluarkan tenaga mujijat seperti tongkat pemuda itu.
Dengan demikian jelas, bahwa di dalam tongkat itu tentu tersimpan sesuatu benda pusaka
yang amat ampuh.
Setelah sejenak mengerutkan alis, kemudian Klenting Mungil ingat akan sebuah
benda pusaka yang banyak disebut dan dicari orang. Benda pusaka itu adalah keris
bernama "Tilam Upih" milik Dipati Ukur. Kemudian timbul dugaan kakek ini,
mungkinkah keris yang memancing perhatian ribuan orang itu, tersimpan di dalam
tongkat pemuda ini? Benarkah?
"Bagus," katanya dalam hati, "Apabila benar keris Tilam Upih itu di da1am
tongkat pemuda ini, ahh sungguh menggembirakan. Heh-heh-heh, tanpa dicari benda itu
datang sendiri."
Tentu saja kalau dugaannya benar kakek ini gembira sekali. Dengan demikian ia
dapat mendahului orang lain. Dan dengan demikian pula berarti cita-citanya sejak lama
ini akan terkabul. Sesudah memiliki keris pusaka Tilam Upih, dirinya akan disegani
kawan dn ditakuti lawan. Namanya akan makin menanjak tinggi, sehingga dirinya
menjadi orang tersakti pada jaman ini. Oleh pengaruh kesaktiannya dan pengaruh benda
pusaka itu, semua perintahnya akan diturut orang, dan tidak seorangpun berani
membantah lagi.
Teringat akan benda pusaka berwujud keris "Tilam Upih" ini, kemudian Klenting
Mungil teringat pula kepada benda pusaka lain yang juga banyak diingini orang. Ialah
sebatang pedang pusaka bernama "Sokayana". Pedang itu berhulu emas, dan tajamnya
bukan main. Semua orang menghendaki, akan tetapi walaupun orang berusaha mencari
dan berlomba, benda-benda itu tidak diketahui rimbanya.
"Bagus!" katanya kemudian. "Agaknya engkau memang seorang pemuda ahli
senjata tongkat. Hemm, mari aku layani bermain-main."
Secepat kilat kakek berkepala gede ini telah menerjang maju lagi. Sambaran tangan
yang kecil itu ternyata menerbitkan angin yang dahsyat. Dan serangannyapun disamping
cepat, arah sasarannya bagian tubuh berbahaya.
Fajar Legawa terkesiap. Serangkum angin pukulan yang dahsyat menyentuh
beberapa bagian tubuhnya. Akan tetapi walaupun demikian pemuda ini tidak cepat
gugup. Sekalipun serangan itu cepat dan ganas, namun berkat perlindungan tongkat, ia
tetap dapat melindungi diri.
Dalam usahanya menyelamatkan diri dan membalas serangan lawan, hampir saja
tongkat itu dicengkeram lawan. Sadar bahwa dalam tongkatnya ini terdapat keris pusaka
yang menjadi tanggung jawabnya, ia mengurungkan serangannya dan melompat kehttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
samping. Akan tetapi justeru perbuatannya ini hampir saja Fajar Legawa celaka. Sebab
dengan gerakannya yang tidak terduga cepatnya, hampir saja jari tangan yang berkuku
tajam itu bernasil mencengkeram kepalanya.
Namun Klenting Mungil ini memang seorang sakti mandraguna, yang tingkatnya
sejajar dengan gurunya, Wukirsari maupun Gadung Melati. Maka diam-diam ia
mengeluh, justeru makin lama gerakan Klenting Mungil itu makin cepat dan hampir tak
dapat diikuti pandang matanya.
Dan kalau semula Klenting Mungil sikapnya mengejek dan merendahkan lawan,
sekarang kakek ini tampak memusatkan perhatian. Sebab ternyata lawan yang muda ini
tidak gampang dirobohkan. Janji sepuluh jurus telah berlalu, namun Klenting Mungil
tidak menghentikan serangan-serangannya, dan malah tambah ganas. Sebaliknya Fajar
Legawa juga tidak butuh memperingatkan janji kakek itu, toh tiada gunanya. Yang
penting sekarang ini ia harus mengerahkan kemampuannya untuk dapat menyelamatkan
diri. Dan syukur pula, apabila Tuhan mengulurkan tangan-Nya, dapat mengatasi
keadaan.
Keadaan yang sekarang ini memang tidak menguntungkan Fajar Legawa. Ia lebih
banyak menghadapi serangan-serangan ganas dari Klenting Mungil daripada membalas
dan menyerang. Dan hanya berkat keuletan dan gerakannya yang cukup gesit saja, setiap
kali ia masih dapat menghindarkan diri dari bahaya.
Dan Lamdahur maupun Singomurdo berseri-seri wajahnya melihat lawan yang
muda itu tampak repot memberi perlawanan, mereka percaya bahwa tidak urung, pemuda
itu akan dapat dirobohkan guru mereka, dan berarti pula sakit hati mereka terbalas impas.
Jelas sekali bahwa pemuda itu lebih banyak membela diri daripada membalas meuyerang.
Akan tetapi yang membuat kakak beradik perguruan ini heran, mengapa gurunya belum
juga berhasil mengatasi?
Mendadak saja Lamdahur menduga bahwa gurunya sekarang ini bermain-main.
Gurunya mengalah, dan menganggap pula gurunya tidak tega kepada lawan yang muda
itu. Buktinya setiap sudah hampir berhasil mencengkeram tongkat itu, kemudian
diurungkan. Saking tidak kuasa menahan hati, tiba-tiba saja ia berteriak. "Guru! Lekas
bunuh pemuda itu. Mengapa guru memberi hati dan mengalah? Bukankah apabila guru
tidak dapat membalaskan hati semua murid, guru akan ditertawakan orang banyak?"
Memang Lamdahur seorang yang tidak pandai menyusun kalimat. Hingga kata-
kata yang diucapkan kasar, sekalipun kepada gurunya. Dan mendengar ucapan muridnya
itu, Klenting Mungil tidak senang. Bentaknya. "Tutup mulutmu! siapakah yamg memberi
hati kepada orang? Huh!"
Memang pada nyatanya Klenting Mungil tidak pernah mengalah dan memberi
hati kepada lawan. Kalau sekarang sudah membuang waktu cukup banyak belum juga
dapat mengalahkan pemuda ini, adalah di luar kehendaknya dan memang tidak terduga-
duga, sebab apabila ia berusaha mencengkeram dan merebut tongkat itu, hawa yang amat
dingin menyambar, kemudian jari tangannya terasa sakit seperti ditusuk ribuan jarum.
Diam-diam kakek inipun heran sendiri. Mengapa bisa terjadi demikian? Kulit
tubuhnya sudah amat terlatih dan tidak sembarang senjata tajam sanggup melukai.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Namun mengapa sekarang berhadapan dengan senjata tumpul saja, kulitnya terasa amat
sakit? Mungkinkah pada tongkat itu memang dipasang ribuan jarum yang tajam? Dan
justeru ia menghadapi kenyataan tidak terduga ini, maka berkali-kali Klenting Mungil
urung mencengkeram tongkat lawan. Hingga tampaknya Klenting Mungil bermain-main
dan tidak tega kepada lawan. Dan akibatnya pula, Lamdahur salah duga
Semua itu tidak lain adalah pengaruh keris pusaka "Tilam Upih" yang tersimpan
di dalamnya. Keris yang tajam luar biasa, sehingga senjata biasa yang berani berbenturan
dengan tongkat Fajar Legawa akan segera patah. Maka walaupun Klenting Mungil sudah
melatih diri demikian rupa sehingga kulit tubuhnya alot, namun berhadapan dengan
tongkat Fajar Legawa tidak berani gegabah.
Sungguh sayang bahwa Fajar Legawa tidak mengetahui persoalan ini, Fajar
Legawa yang terdesak itu tidak sempat berpikir bahwa tongkatnya sanggup menghadapi
senjata orang. Fajar Legawa lupa bahwa apabila Klenting Mungil berani mencengkeram
tongkatnya akan celaka, dan salah-salah jari maupun telapak tangannya akan terluka. Dan
justeru tidak menyadari akan keadaan ini, Fajar Legawa selalu menjaga agar tongkatnya
tidak bisa direbut lawan. Hingga pemuda ini menjadi sibuk sendiri, ia tetap terdesak.
Tanpa terasa perkelahian yang tidak seimbang itu telah berlangsung puluhan jurus.
Namun Klenting Mungil belum juga dapat menundukkan lawannya yang masih muda
itu. Setiap sambaran cengkeraman maupun pukulannya selalu dapat dihindari Fajar
Legawa dengan baik, dan berkat perlindungan senjata tongkatnya itu pula.
Hanya sungguh sayang bahwa pemuda yang belum banyak pengalamannya ini,
Iblis Dari Gunung Wilis Karya Widi Widayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
belum juga sadar bahwa tongkatnya ditakuti oleh Klenting Mungil. Dan walaupun
Klenting Mungil selalu menghindar kalau diserang dengan tongkat, namun pemuda ini
hanya mengira bahwa Klenting Murgil terlalu angkuh. Dalam kedudukannya sebagai
orang yang tingkatnya jauh lebih tua, ia menduga bahwa Klenting Mungil malu kalau
sampai dapat disentuh oleh tongkat orang yang jauh lebih muda.
Demikianlah, perkelahian ini terus berlangsung sengit, cepat lawan cepat.
Membanggakan pengalaman, kecepatannya bergerak dan lebih kuat, Klenting Mungil
menggunakan dua tangannya untuk mencengkeram, mencakar dan juga memukul,
diseling pula dengan tendangan kakinya. Sebaliknya Fajar Legawapun mengerahkan
kekuatan dan kepandaiannya, untuk dapat menyelamatkan diri dari bahaya.
Akan tetapi setelah cukup lama tak juga berhasil menundukkan lawan muda itu,
diam-diam Klenting Mungil menjadi marah dan penasaran. Pendeknya sebagai orang tua
ia amat malu sekali apabila tidak segera dapat mengatasi. Walaupun sekarang ini tiada
orang lain yang hadir dan menyaksikan perkelahian ini, namun ia akan merasa malu
kepada dua orang muridnya. Dan khawatir pula apabila kepercayaan muridnya itu kepada
dirinya luntur. Kemudian menganggap dirinya sebagai guru yang hanya bermulut besar,
tetapi menghadapi seorang muda saja tidak mampu.
Justeru oleh perasaannya ini kemudian Klenting Mungil makin memperhebat
serangannya. Tetapi yang menjadikan kesulitannya, adalah pengaruh mujijat dari tongkat
itu. Sambaran hawa yang dingin amat mengerikan, dan setiap kali berusaha
mencengkeram maupun menangkappun selalu urung. Karena baik jari tangan maupun
telapak tangannya menjadi panas tidak tertahanhttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Pada suatu ketika yang tak terduga, Fajar Legawa berusaha menghindari
cengkeraman Klenting Mungil yang menyambar pundaknya. Untuk menghindari
serangan ini Fajar Legawa menghindar ke samping sambil menyodokkan tongkat ke dada
lawan.
AKAN tetapi sungguh celaka! Klenting Mungil tidak bisa terpancing oleh lawan
yang muda itu. Kakek itu dengan kecepatan yang tidak terduga telah berhasil menghindar
ke samping dan berbareng itu kakinya yang kecil dan kurus telah berhasil menendang
lengan Fajar Legawa. Tangan pemuda ini kesemutan dan seperti lumpuh mendadak,
sehingga tongkatnya lepas dan terpental.
Masih beruntung Fajar Legawa seorang pemuda tangkas dan tidak gampang
menyerah, dengan gerakannya yang gesit pemuda ini menjejakkan kakinya, sehingga
tongkat itu dapat disambar dengan tangan kiri. Ketika itu justeru Lamdahur dan
Singomurdo telah menyerbu maju dengan maksud menangkap tongkatFajar Legawa yang
melayang. Maka kakak-beradik ini kaget dan berlompatan mundur, ketika tongkat di
tangan kiri Fajar Legawa menyambar kearah mereka.
"Heh-heh-heh!"Klenting Mungil tertawa terkekeh. Semangat kakek ini pulih
kembali setelah berhasil menendang lengan pemuda itu justeru dengan peristiwa ini harga
dirinya tidak turun di mata dua orang muridnya."Aku masih berlaku murah padamu,
hayo, menyerahlah engkau sebelum aku marah dan tidak memberiampun!"
Lamdahur cepat menyambut dengan teriakannya. "Guru! Dia terlalu jahat apabila
dibiarkan hidup. Maka murid mohon hendaknya guru dapat membalaskan sakit hati
kakang Singowono dan Singowarih dalam waktu singkat!"
"Heh-heh-heh, jangan khawatir!"sahutKlenting Mungil. "Apakah sulitnya
membunuh bocah itu? Hemm, gampangnya seperti membalik tanganku sendiri. Kalau
sekarang aku masih bertanya kepada dia, bukan lain agar dia menyadari keadaannya."
Fajar Legawa tidak membuka mulut, akan tetapi diam-diam pemuda ini mengatur
pernapasan sambil menyalurkan hawa sakti, untuk memulihkan lengannya yang
kesemutan akibat tendangan Klenting Mungil. Apapun yang terjadi, tidak mungkin ia
sedia menyerah kepada kakek ganas ini. Ia harus melawan terus sampai dirinya roboh di
atas tanah dan nyawa melayang pergi.
Bukannya Klenting Mungil tidak tahu, bahwa lawannya yang muda itu sedang
berusaha memulihkan lengan kanan yang hampir lumpuh, akan tetapi Klenting Mungil
memang sengaja membiarkan Fajar Legawa berusaha memulihkan lengannya. Ia
memang sengaja memberi kesempatan dan berlaku murah sebagai seorang yang
tingkatnya lebih tua. Maksudnya, dengan tindakannya ini untuk mengalah barang sedikit.
"Lekas katakan!" bentak Klenting Mungil sambil mendelik kearah Fajar
Legawa. "Engkau mau menyerah atau tidak?"
"Hemm," Fajar Legawa geram. Jawabnya lantang. "Siapakah yang takut
padamu, dan siapa pula yang mengaku kalah? Huh, sebelum aku berkalang tanah tidak
mungkin mau mengaku kalah dengan engkau."https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
"Bagus, ha-ha-ha!" Singomurdo menyambut kata-kata pemuda ini dengan
ketawanya yang bekakakan. "Aku ingin melihat dapat berbuat apakah kepada guruku,
apabila guru melawan engkau sungguh-sungguh? Huh, dalam dua gebrakan lagi engkau
akan sudah roboh di atas tanah dan tidak dapat berkutik lagi."
Bukan main marah Fajar Legawa mendengar ucapan Singomurdo itu. Ia
memalingkan muka dan mendelik kearah Singomurdo. Kemudian, "Jangan hanya pandai
membuka mulut dan menonton. Jika engkau memang laki-laki sejati, majulah bersama
Lamdahur dan keroyoklah aku."
"Heh-heh-heh, engkau menantang untuk dikeroyok," sahut Singomurdo. "Huh,
mulut besar tetapi tenaga kurang. Baru menghadapi guruku seorang saja engkau tidak
mampu, masih berani menantang supaya dikeroyok tiga orang? Ha-ha-ha,apakahengkau
memang sudah bosan hidup dan ingin selekasnya masuk ke neraka?"
Dan Lamdahur menjadi terbakar kemarahannya oleh tantangan Fajar Legawa.
Teriaknya. "Guru! Mulut pemuda itu terlalu lancang. Apakah guru mengijinkan kalau
murid berdua ikut maju untuk menghajar mulut besar itu?"
Akan tetapi tentu saja Klenting Mungil tidak dapat menyetujui permintaan
Lamdahur itu. Baru seorang lawan seorang saja melawan pemuda ini, sesungguhnya telah
menurunkan derajatnya sebagai seorang tua. Apalagi kalau sampai mengeroyok. Lebih
lagi seorang diri ia dapat mendesak pemuda itu, untuk apa harus mengeroyok?
"Sudahlah, jangan kamu mengacau!" bentak Klenting Mungil. "Mundurlah dan
serahkan bocah itu padaku. Hmmmm, lihat saja, aku dapat merobohkan dia atau tidak?"
Dua orang murid itupuntidak berani membantah lagi, kemudian mundur kembali
untuk menonton di pinggir.
Sulit dibayangkan betapa perasaan Fajar Legawa saat sekarang ini. Ia benar-benar
marah menghadapi guru dan murid yang tidak tahu adat ini. Namun demikian ia sadar,
dirinya akan menderita rugi apabila harus menurutkan kemarahan. Karena apabila
marah, kewaspadaannya akan berkurang. Untuk itu sedapat bisa ia harus menekan
perasaan dan ia berjanji kepada dirinya sendiri akan melawan kakek berkepala gede ini
dengan hati-hati.
Dan Klenting Mungil ketawa terkekeh-kekeh. Belum juga suara ketawanya
menghilang, tiba-tiba saja tubuh kakek itu bergerak dan menerjang, untuk memulai
serangannya lagi. Dua tangannya yang kecil dengan jari-jari berkuku panjang dan tajam
itu menyambar cepat sekali. Sedang angin pukulannya menyambar amat dahsyat.
Tetapi sebaliknya hati Fajar Legawa semakin mantap. Dengan tenang ia melayani
serangan kakek itu, melindungi tubuh dengan tongkat dan gerakannya yang cukup gesit.
Sebagai akibatnya, dua orang itu kembali berkelahi sengit.
Akan tetapi bagaimanapun Klenting Mungil adalah seorang tokoh tua, sudah luas
pengalaman dan termasuk tokoh sakti mandraguna pula. Maka setelah memperhatikan
gerak-gerik pemuda itu beberapa lama, kemudian kakek ini melompat mundur danhttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
membentak,"Hai bocah! Katakanlah siapa gurumu?"
Kalau pertanyaan ini dikemukakan sebelum berkelahi, mungkin sekali Fajar
Legawa akan berterusterang menyebut nama gurunya. Akan tetapi karena perkelahian
sudah cukup lama terjadi, dan malah dirinya pada pihak yang terdesak, maka pemuda ini
merasa tidak rela apabila guru yang dihormati itu namanya ternoda oleh kekalahannya.
Dalam pada itu pemuda inipun berpendapat pula, bahwa sekalipun dirinya
memperkenalkan nama gurunya, tidakjuga akan menolong. Klenting Mungil seorang
tokoh tua dari golongan sesat, sedang gurunya seorang tokoh tua darigolongan bersih.
Kemungkinan Klenting Mungil kenal dengan gurunya, akan tetapi tentu bukan
sahabatnya.Kemudian malah timbul kekhawatirannya pula, siapa tahu kalau antara
gurunya dengan Klenting Mungil ini pernah bermusuhan?
"Hemm, tiada harganya engkau mengetahui guruku!" sahut Fajar Legawa dingin.
"Kenalkah engkau dengan Suria Kencana? Atau pula dia itu gurumu?" desak
kakek kepala gede itu.
Tercekat juga Fajar Legawa mendengar pertanyaan itu. Mengapa tepat juga
dugaan kakek ini? Namun karena tidak ingin kehormatan gurunya ternoda oleh
kekalahannya, maka pemuda ini tetap berdusta. "Hemm, aku tidak kenal dengan
orangyang engkau sebut itu!"
"Heh-heh-heh, jadi engkau bukan murid Suria ini?"Tak mengherankan apabila
Klenting Mungil kurang percaya akan jawaban Fajar Legawa itu. Sebagai seorang tua
yang luas pengalamannya, ia tahu benar bahwa tentu pemuda ini mempunyai
hubungan dengan Suria Kencana. Gerak gerikpemuda ini tidak banyak perbedaan
dengan Suria Kencana. Dan iapun masih ingat pengalamannya lebih duapuluh tahun
yang lalu. Ketika ia berkelahi sengit dengan Suria Kencana sampai setengah hari lamanya.
Namun sungguh sayang bahwa ketika itu dirinya menderita kekalahan dan terluka cukup
berat, Sehingga dirinya harus istirahat berbulan-bulan lamanya.
Sudah sejak lama Klenting Mungil selalu mencari Suria Kencana untuk menuntut
balas. Akan tetapi sayang sekali bahwa usahanya itu tidak pernah berhasil. Sekarang ia
merasa bahwa dirinya telah cukup kuat, setelah melatih diri dengan tekun puluhan tahun
lamanya. Namun kehendaknya tidak pernah terkabul karena ia kehilangan Suria
Kencana.
Dan sekarang ia dapat memastikan bahwa sedikitnya pemuda ini tentu
mempunyai hubungan dengan Suria Kencana. Malah kemungkinan besar pemuda ini
muridnya, sekalipun tidak mau mengaku. Maka apa salahnya kalau dendam dan sakit
hatinya itu sekarang ditimpakan kepada pemuda ini?
"Baiklah jika engkau tak mengakui" kata Klenting Mungil, "Tapi baik engkau
murid Suria Kencana atau bukan, ilmu tatakelahimu mirip sekali dengan dia. Huh,
engkau tidakbolehhidup lagi!"
Sambil mengakhiri kata-katanya ini, Klenting Mungil telah melompat dan
menerjang lagi. Maka dua orang itu kembali berkelahi sengit. Tongkat Fajar Legawa
menyambar-nyambar untuk melindungi tubuh sambil berusaha membalas serangan. Akanhttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
tetapi sungguh sayang, tongkatnya tak pernah berhasil menyentuh tubuh Klenting
Mungil.
Tetapi sungguh sayang. Ibarat seekor domba melawan kerbau. Walaupun Fajar
Legawa telah berusaha keras umuk mengatasi lawan, usahanya tetap gagal. Tendangan
Kleating Mungil yang datang secara tidak terduga-duga berhasil membuat lengan pemuda
itu seperti lumpuh mendadak, dan tongkatnya terlempar. Namun dengan terjadinya
peristiwa ini tidak segera menyebabkan Fajar Legawa menyerah kalah. Dengan bekal
keberanian pemuda ini menjadi nekat. Menggunakan tangan kiri yang tidak lumpuh
pemuda ini menghantam dada lawan. Tetapi serangan ini disambut oleh ketawa Klenting
Mungil yang mengejek.
"Heh-heh-heh, dapat berbuat apakah engkau tanpa senjata?" kata kakek itu.
Memang, cukup beralasan apabila kakek ini mengejek seperti itu. Dengan senjata
saja, Fajar Legawa tidak sanggup menghadapi dirinya. Apa pula sekarang, tanpa senjata
akan dapat berbuat apa? Maka ketika melihat tangan Fajar Legawa menyelonong, kakek
itu tidak berusaha mengelak dan malah pura-pura tidak melihat.
"Buk!" pukulan Fajar Legawa mengenakan tepat pada dada kakek itu. Akan tetapi
apa yang terjadi kemudian? Klenting Mungil tidak menderita sesuatu, tubuhnya tak
bergoyang. Sebaliknya pukulan itu malah menyebabkan tubuh Fajar Legawa terlempar
lebih dua meter jauh-nya, terhuyung-huyung dan tangan kiri dirasakan sakit sekali untuk
digerakan.
Namun pemuda ini sudah nekat. Sekalipun dua tangannya sulit digerakkan, ia tak
mau menyerah apabila masih bisa bergerak. Dua kakinya masih dapat bergerak.
Bukankah dengan dua kaki itu, dirinya masih dapat melawan?
"Heh-heh-heh-heh," kakek kepala gede itu terkekeh"Apakah engkau ingin
mampus?"
Tangan kiri Klenting Mungil bergerak. Kaki Fajar Legawa yang menyerang itu
dengan gampang ia tangkap, kemudian ia dorong kemuka. Dorongan kakek itu amat kuat
sehingga tak tercegah lagi tubuh Fajar Legawa terdorong kemudian roboh di atas tanah,
dan tidak dapat bergerak lagi. Dorongan itu sedemikian juga, sehingga pemuda ini
merasakan tubuhnya sakit semua, tulang-tulangnya linu seperti mau copot.
"Heh-heh-heh, apakah engkau masih tetap bandel?" ejek Klenting Mungil.
"Bunuhlah aku!" tantang Fajar Legawa yang sudah tak berdaya.
"Guru, berikan kepada murid!" teriak Lamdahur sambil melompat maju.
"Berikan kepada saya," teriak pula Singomurdo sambil maju.
Dan orang ini seperti berlomba setelah menyaksikan Fajar Legawa tidak dapat
berkutik lagi.
Dan atas permintaan dua orang muridnya itu, ia tidak menjawab tetapi juga tidakhttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
melarang. Kakek kepala gede ini malah ketawa bekakakan. Apakah salahnya dua orang
muridnya itu sekarang melakukan pembalasan? Pemuda itu tak mungkin dapat melawan
Iblis Dari Gunung Wilis Karya Widi Widayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lagi. Maka biarlah dua orang muridnya itu melaksanakan niatnya dengan sepuas hati,
menyiksa pemuda itu.
Gada berduri senjata Lamdahur sudah melayang ke depan untuk memukul. Dan
apabila gada yang besar dan berat itu berhasil memukul tubuh Fajar Legawa, niscaya
tubuh pemuda itu akan remuk hancur. Sebaliknya Singomurdo tak mau kalah cepat
dengan Lamdahur. Ia sudah pula menyabet dengan pedangnya, dengan maksud sekali
penggal membuat kepala pemuda itu terpisah dengan tubuh.
Fajar Legawa yang tak dapat berdaya itu, sudah memejamkan mata dan pasrah
kepada kehendak Tuhan. Akan tetapi sekalipun menyerah untuk mati, namun diam-diam
pemuda ini masygul dan penasaran. Ia masih mempunyai dua tugasyang amat penting.
Yang pertama mencari adik perempuannya, Irma Sulastri, yang diculik oleh penjahat.
Adapun yang kedua, tugasnya yanglebih penting lagi justeru harus selalu melindungi keris
pusaka "Tilam Upih" dari tangan jahat.
Namun tiba-tiba terdengarlah pekik nyaring dari mulut Lamdahur dan
Singomurdo. Mendengar teriakan dua orarg muridnyaitu Klenting Munsil amat terkejut.
Dan ketika melihat ke sana, kakek ini berjingkrak. Dua orang muridnya itu sekarang
mengerang-erang kesakitan sambil memegang tangannya dan senjata mereka terlempar di
atas tanah.
Peristiwa itu menyebabkan Klenting Mungil terbelalak di samping heran. Namun
rasa herannya itu hanya sebentar, kemudian terkekeh mengejek. "Heh-heh-heh kurang
ajar! Siapa berani main sembunyi di depanku?"
Setelah berkata kakek kepala gede ini sudah menggerakkan tangan memukul ke
depan kearah pohon rindang. Angin pukulan yang dahsyat segera menyambar dari
tangan, dan kemudian berhamburanlah daun rontok dari ranting dan dahan pohon.
Namun setelah pohon yang semula rindang itu menjadi gundul, diam-diam kakek kepala
gede ini tercekat. Pada sebatang dahan yang sudah tidak berdaun lagi, tampak duduk
seorang tua bertubuh kurus. Kakek itu tidak bergerak. Rambut kepalanya, alis, kumis dan
jenggotnya semua sudah putih. Dan kakek itu oleh angin pukulannya itu,bukannya
jatuh terjungkal. Tetapi seperti seorang yang sedang terbang, jubahnya berkibaran tertiup
angin, kemudian kakek tua pikun ini meniup turun didepan Klenting Mungil antara dua
tombak, tanpa menimbulkan suara sedikitpun.
Kakek tua pikun ini berdiri berhadapan dengan Klenting Mungil. Tasbihnya masih
bergantungan di tangan kanan, sedang tongkat Fajar Legawa sekarang diselipkan pada
pinggang. Kakek tua ini memandang Klenting Mungil dengan sepasang mata yang redup,
akan tetapi tajam sekali seperti dapat menembus dada.
Tercekat juga Klenting Mungil melihat sinar mata kakek itu, yang seakan dapat
menjenguk isi dada.
"Klenting Mungil," tegur kakek-tua itu halus. "Mengapa sebabnya engkau
memukul aku? Apakah salahku?"https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Klenting Mungil mendelik. Kemudian ia ketawa terkekeh. Sambil menuding kakek
tua renta itu, kemudian ia membentak. "Engkau curang! Huh, tidak malukah engkau
dengan perbuatan curangmu itu?"
"Heh-heh-heh," ketawa kakek itu halus. Beberapa saat kemudian, baru
terdengarlah jawabah kakek ini yang halus pula. "Apakah bukan engkau sendiri yang
curang itu? Hayo, katakanlah berapa juruskah janjimu tadi, yang menguji pemuda itu?"
Dan sesudah berkata, kakek ini menuding kearah Fajar Legawa yang belum
dapat bangkitberdiri dan hanya duduk diatas tanah.
"Kurang ajar! Itu bukan urusanmu. Tahu!" damprat Klenting Mungil marah
sekali. "Engkau sudah menyerang dua orang muridku. Huh, perbuatanmu itu tidak
patut!"
"Hemmm," kakek ini mendengus sambil mengurut-urut jenggotnya yang
panjangmenjuntai sebatas dada."Engkau jangan terburu nafsu sahabat, karena apa yang
aku lakukan hanyalah sekedar berusaha menginsyafkan engkau. Dia sudah tidak berdaya
akibat keganasan tanganmu. Akan tetapi mengapa engkau membiarkan dua orang
muridmu mencelakai dia?"
Tetapi walaupun kata-kata kakek pikun itu halus dan penuh nada memberi
nasehat, Klenting. Mungil tidak mau menyadari kesalahannya, malah tambah marah.
Bentaknya. "Hai kekek pikun! Apakah engkau datang sengaja menantang. Klenting
Mungil?"
Dan kakek itu menggelengkan kepalanya. Sahutnya. "Tidak! Aku tidak biasa
mengganggu orang lain.Akan tetapi sebaliknya aku takkan dapat membiarkan orang
berbuat sewenang-wenang."
"Bagus!" sambut Klenting Mungil. "Sambut seranganku!"
Klenting Mungil sudah tidak mau berpanjangmulut lagi. Ia tidak dapat sabar lagi
menghadapi kakek ini, sebab tidak mungkin bisa sefaham. Kakek kepala besar ini telah
menerjang dan sesepasang tangannya yang kurus kecil itu membagi tugas. Tangan kiri
mencengkeram, sedang tangan kanan sudah memukul.
Akan tetapi anehnya kakek pikun itu tidak bergerak maupun berusaha
menghindar. Ia hanya mengangkat dua belah tangannya untuk menangkis. Gerakannya
hanya lambat saja. Akan tetapi akibatnya sungguh mengejutkan.
"Plak plak........!" dua pasang tangan bertemu dan menerbitkan suara cukup
nyaring. Disusul oleh tubuh Klenting Mungil yang terlempar ke belakang dua tombak
lebih, terhuyung-huyung hampir roboh. Sebaliknya kakek tuarenta itu tubuhnya hanya
bergoyang-goyang seperti pohon padi tertiup angin.
Dalam gebrakan yang pertama ini jelas terbukti bahwa Klenting Mungil kalah
tenaga. Namun demikian sebagai seorang yang merasa dirinya kuat dan sakti
mandraguna, ia tidak mau tahu. Kemarahannya makin memuncak, dan ingin mengatasi
dengan jalan lain. Dalam hai tenaga ia memang mengaku kalah. Tetapi apabila
mengadu kecepatannya bergerak dan ilmu kesihii-an yang lain, Klenting Mungil tidakhttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
mau kalah.
Klenting Mungil sudah menyerang lagi. Ketika tangan kakek itu bergerak untuk
membentur ia menarik tangannya cepat-cepat. Kemudian menyerang bagian tubuh lain.
Kakek pikun itu tampak tersenyum. Ia sudah memaklumi maksud lawan. Maka
kemudian kakek itupun mengimbangi lawan dengan bergerak cepat. Jubahnya berkibaran
tertiup angin, dan dalam waktu singkat dua orang kakek itu sudah berkelahi sengit. Saking
cepatnya mereka bergerak, kemudian tubuh mereka lenyap dan yang tampak sekarang
tinggal segulung warna pakaian masing-masing yang berpindah-pindah hampir tak dapat
diikuti pandangan mata.
Fajar Legawa yang masih merasakan kakinya sakit dan lumpuh, duduk tidak
bergerak akan tetapi sepasang matanya mengamati perkelahian itu penuh perhatian.
Diam-diam pemuda ini kagum. Sekalipun kakek itu sudah amat tua sekali, dan mungkin
tidak kurang dari delapan puluh tahun, namun tingginya usia tidak mempengaruhi
kecepatannya bergerak. Di samping kagum pemuda itu bersyukur. Bahwa dalam bahaya
Tuhan bersedia mengulurkan tangan-Nya, sehingga dirinya urung mati. Namun di
samping itu pikiran pemuda ini juga sibuk menebak-nebak. Siapakah sesungguhnya
kakektuarenta ini?
Sementara itu Singomurdo dan Larndahur berdiri di pinggir gelanggang dengan
hati yang cemas dan penasaran, mereka belum juga dapat menggerakkan tangan kanan
masing-masing, justeru tangan itu masih lumpuh. Mereka cemas karena khawatir kalau
guru mereka sampai menderita kekalahan. Dan mereka penasaran karena maksudnya
untuk menyiksa dan membunuh Fajar Legawa menjadi gagal.
Tiba-tiba timbullah pikiran Singomurdo yang dianggap bagus. Ia melihat bahwa
kakek tua pikun itu sekarang sedang sibuk melayani gurunya. Bukankah hal itu
merupakan kesempatan yang amat bagus untuk melaksanakan maksudnya membunuh
pemuda itu? Mendapat pikiran yang dianggapnya bagus ini, kemudian ia menggerakkan
tangan kiri memberi isyarat kepadaLamdahur. Walaupun tangan kanan dirasakan masih
lumpuh tetapi dengan tangan kiri masihdapatmemegang pedang,sedang Lamdahur
masih mampu pula menggunakan penggadanya. Lamdahur maklum akan maksud
kakakseperguruannya itu, kemudian mata mereka saling berkedip.Hampir berbareng
dengan tangan kiri dua orang itu sudah memungut senjata masing-masing. Kemudian
mereka melompat kearah Fajar Legawa untuk melaksanakan pembunuhan.
Ketika itu Fajar Legawa masih belum dapat bangkit berdiri, sedang dua tangannya
masih terasa lumpuh pula. Maka pemuda ini tetap duduk, sedang perhatiannya
dicurahkan mengikuti perkelahian yang terjadi amat sengit itu. Dan justeru perhatiannya
ditumpahkan kepada perkelahian itu, maka pemuda ini tidak menyadari diancam oleh
bahaya maut.
Pedang Singomurdo dan penggada berduri Lamdahur menyambar hampir
berbareng. Akan tetapi, tiba-tiba menyambarlah angin yang tajam dan dahsyat. Kakak-
beradik seperguruan itu memekik nyaring saking terkejut, karena tiba-tiba saja tubuh
mereka terangkat tinggi seperti segumpal kapas tertiup lesus. Di udara tubuh dua orang
ini berputaran beberapa saat, kemudian tubuh mereka terbanting di atas tanah cukup keras
dan bersuara gedebukan.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Beberapa saat lamanya dua orang muda merintih-rintih. Tubuhnya terasa amat
sakit. Tulang-tulangnya seperti remuk. Kemudian dua orang ini merangkak bangun
dengan sulit, seperti bayi yang sedang belajar merangkak.
Fajar Legawa kaget. Ia yang hampir menjadi korban, karenamembelakangi tempat
Singomurdo dan Lamdahur, sampai tidak tahu. Peristiwa yang baru terjadi ini menambah
rasa takjub dan hormatnya kepada kakek itu. Membuktikan bahwa kakek yang sudah
amat tua ini, seorang sakti mandraguna pilih tanding.
Di pihak lain Klenting Mungil yang sedang berkelahi sangat terkejut. Diam-diam
kakek ini menyadari bahwa tingkat ilmunya masih agak di bawah lawannya. Ia menjadi
heran! Usianya sendiri sudah hampir enampuluh tahun. Akan tetapi mengapa tidak kenal
kakek ini? Sambil berkelahi dan mengerahkan kepandaiannya, Klenting Mungil mencoba
mengingat-ingat. Beberapa orang tokoh sakti berkelebat dalam ingatannya.
"Ahhh........!" tanpa sesadarnya KlenMng Mungil mengeluh setelah teringat,
siapakah tokoh sakti yang sedang dihadapi ini.
Teringatlah Klenting Mungil sekarang tentang seorang tokoh sakti mandraguna,
bernama Menak Singgih.
Mendadak saja ia menjadi gentar, semangatnya hancur. Ia ketakutan setengah
mati, kemudian melengking nyaring, lalu lari secepat terbang meninggalkan lawan.
Singomurdo dan Lamdahur kaget setengah mati melihat gurunya lari. Dengan
susahpayah dua orang ini bangkit, kemudian mereka berusaha menyelamatkan diri
mengikuti Klenting Mungil.
Orang berjubah abu-abu itu hanya tersenyum dan tidak berusaha mengejar.
Kemudian melangkah lambat menghampiri Fajar Legawa yang masih duduk di atas tanah
dengan kaki dan tangan masih lumpuh.
"Terima kasih atas pertolongan bapa," kata pemuda ini, "Bapa telah
menyelamatkan saya dari ancaman maut........."
Seraya mengusap jenggotnya yang putih seperti perak dan panjang sebatas dada
itu si kakek berjubah ketawa sejuk. Sesaat kemudian terdengarlah kata kakek ini halus.
"Anak, sesungguhnya hanya Allah yang menolong engkau darimalapetakayang
mengancam kau. Maka bersyukur dan berterima kasihlah engkau pada Dia."
"Bapa benar!" kata Fajar Legawa, "Namun demikian, bapa telah berhasil
mengusir Klenting Mungil yang jahat itu."
"Hemmm, diamemang amat kejam dan ganas sejak muda," kata kakek itudengan
halus. "Tetapi agaknya dia sudah lupa padaku.Ya, agaknya dia takkan dapat berobah
sampai nyawa lepas dari tubuh. Ahhh, sayang........mengapa manusia di dunia ini harus
mendekatkan diri dengan perbuatan jahat?Manusia hidup di dunia ini ibarat singgah
minum dalam perjalanan jauh menuju tempat langgeng, setelah kita ini dipanggil
Tuhan.Nah, kalauhanya singgah minum, mengapa manusia harus mengotori hidupnyahttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
denganperbuatan perbuatan tidakbaik?Apakah manusia ini bisa hidupmulia, apabila
menjadi kaya sebagai hasil memeras dan berbuat kejahatan yang lain? Anakku, aku
harapkan agar engkau selalu menyadari hidup ini.Jangan engkau mendekatkan
diridengan perbuatan tidak baik, terpengaruh oleh nafsu."
"Terima kasih atas petunjuk bapa."
"Anak, siapakah sesungguhnya engkau ini, dan siapa pulakah gurumu?"
"Saya bernama Fajar Legawa, dan guru saya bapa Suria Kencana."
"Heh-heh-heh, engkau murid Suria Kencana?" kakek ini ketawa halus. Kemudian
terusnya. "Gurumu akan merasa bahagia sekali mempunyai murid seperti engkau ini.
Engkau seorangpemuda yang tabah dan berani. Ya, semoga Allah selalu menolong dan
membimbingmu, sehingga kelak kemudian hari engkau akan menjadi seorang laki laki
sejati yang berguna bagi nusa dan bangsamu."
"Terima kasih bapa, akan tetapi perkenankanlah hamba mohonperkenan bapa,"
"Tentang apa?"
"Hamba mohon keterangan, siapakah sesungguhnya bapa ini?"
"Heh-heh-heh," kakek tua renta ini hanya ketawa sejuk, tetapi tidak memberi
jawaban. Tiba-tiba tangan kakek itu bergerakmengebas. Serangkum angin pukulan yang
tajam menyambar ketubuh Fajar Legawa, hingga pemuda ini amat terkejut. Ia ingin
menghindar, akan tetapi kaki dan tangannyi inisih lumpuh sehingji sama sekali
tidakdapHYPERLINK "http://dap.it/".itbergerak. Sebagai akibatnya, pemuda ini
kemudrin hanya memejamkan mata dan paserah kepada ituhan.
Iblis Dari Gunung Wilis Karya Widi Widayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Namun denrKan diam-diam pemuda ini heran. Mengapa kakek tuarenta yang
telah menolong dirinya dari bahayaini, dan tampaknya welasasihdan halus gerakgeriknya,
tidak bedanya dengan Klenting Mungil? Ternyata pertolongannya bukan pertolongan
yang tulus, melainkan mempunyai maksud tersembunyi. Ternyata kakek itu mengusir
Klenting Mungil, karena si kakek ini juga ingin membunuh dirinya.
Namun kemudian ternyata bahwa dugaannya ini keliru. Memang benar
serangkum angin yang tajam itu memukul dirinya. Tetapipukulan yang menyentuh
tubuhnya itu tidak menyebabkan dirinya mati. Akan tetapi secara ajaib malah sudah
berhasil menyembuhkan kelumpuhan kaki dan tangannya. Malah serasa ada hawa hangat
yang mengalir dalam tubuhnya, sehingga tubuh yang semula letih itu sekarang kembali
segar.
Sadarlah pemuda ini sekarang, bahwa dirinya berhadapan dengan seorang sakti
yang tidak mau memperkenalkan diri. Ia membuka mata, kemudian terbelalak. Sebab
kakek itu sekarang sudah tidak tampak lagi, sedang tongkat pusakanya sudah menggeletak
tidak jauh dari tempatnya duduk.
Fajar Legawa menghela napas lega, tetapi juga getun. Sebelum ia dapat
mengucapkan terima kasih, ternyata kakek itu sudah pergi,https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
"Sayang............" desisnya perlahan.
Mendadak teringatlah pemuda ini akan maksud tujuannya yang semula. Ia harus
dapat memberi pembuktian kebenaran tentang keterangannya perihal Pertiwi Dewi.
Teringat akan Pertiwi Dewi, tiba-tiba saja jantung pemuda ini berdebar tegang. Ia
menjadi khawatir apabila Wukirsari dan Gadung Melati telah lebih dahulu datang di sana.
Dan akibatnya, dirinya tentu dituduh sebagai seorang muda yang selewengan.
Akan tetapi sebelum pemuda ini sempat bangkit dan pergi ke tempat kudanya
ditambatkan, tiba-tiba ia mendengar suara teguran seseorang. "Hai! Mengapa engkau
malah malas-malasan di tempat ini?"
FajarLegawa kaget dan cepat meloncat berdiri, tetapi hatinya agak mendongkol
juga. Ia cukup kenal suara itu, suara Gadung Melati.
Namun ketika dua orang kakek itu muncul dan melihat bekas-bekas perkelahian,
dua orang kakek ini terbelalak. Tegur Wukirsari gugup. "Apakah engkau terluka?"
Fajar Legawa menggelengkan kepalanya. "Tidak paman, tetapi hampir celaka.
Untung seorang kakek yang tidak mau memperkenalkan diri, telah menolong saya."
Wukirsari dan Gadung Melati menebarkan pandang matanya sekeliling.
Kemudian Gadung Melati mendesis. "Hebat! Sungguh sayang sekali aku tidak
memperoleh kesempatan menyaksikan perkelahian sehebat ini. Aihh kakang,
bagaimanakah pendapatmu?"
Wukirsari mengangguk. Kemudian. "Engkau benar. Apa yang baru terjadi jelas
amat hebat.
"Paman, seorang diantaranya Klenting Mungil." Fajar Legawa memberi
keterangan. "Klenting Mungil merobohkan saya hingga tidak berdaya. Namun seorang
kakek telah datang dan menolong, sehingga Klenting Mungil melarikan diri."
Gadung Melati dan Wukirsari tercekat mendengar penuturan Fajar Legawa. Sebab
dua orang kakek ini cukup kenal siapakah Klenting Mungil, dan sepak terjangnya yang
ganas pula. Maka baik Wukirsari maupun Gadung Melati merasa bersyukur bahwa Fajar
Legawa terhindar dari bahaya. Sebab apabila sampai terjadi, tentu keris pusaka "Tilam
Upih" yang tersimpan di dalam tongkat itu, akan jatuh ke tangan Klenting Mungil yang
amat jahat.
"Kakang, siapakah kakek itu menurut dugaanmu?" tanya Gadung Melati.
Wukirsari tidak cepat menjawab, tetapi tampak mengerutkan alis dan
mengumpulkan ingatannya. Jawabnya setelah beberapa saat mengingat-ingat.
"Mungkinkah kakek itu paman Menak Singgih?"
"Ahhh....... agaknya benar, kakang," sahut Gadung Melati yang menyokong.
"Bukankah dia seorang yang suka mengenakan jubah abu-abu, dan disamping itu seorang
ahli pengobatan yang aneh? Dalam mengobati orang tidak usah menyentuh tubuh. Aihhh,
sayang juga kita datang terlambat kakang, hingga tak dapat berjumpa."https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
"Fajar, tahukah engkau bahwa paman Menak Singgih itu, merupakan sahabat
guruku, guru Gadung Melati, dan berarti guru ayahmupula?" kata Wukirsari kemudian.
"Tiada bedanya gurumu Suria Kencana. Maka paman Menak Singgihpun seorang
pengabdi kemanusiaan yangsepi ing pamrih. Beliau amat benci pula terhadap orang-orang
yang suka melakukan perbuatan jahat. Dan untunglah bagi Klenting Mungil, masih diberi
kesempatan hidup. Karena Klenting Mungil tidak mungkin mampu melawan paman
Menak Singgih."
Fajar Legawa amat tertarik. Oleh karena itu kemudian bertanya. "Dimanakah
beliau bertempat tinggal?"
Wukirsari menggelengkan kepala. Kemudian jawabnya. "Entahlah sekarang
beliau bermukim. Telah lebih duapuluh tahun lamanya beliau tidak pernah
menampakkan diri lagi. Tetapi entah mengapa sebabnya secara tiba-tiba muncul dan
menolongmu."
"Mungkin beliau tertarik akan kesibukan orang-orang sekarang, yang sedang
berlomba memperebutkan keris pusaka "Tilam Upih" dan pedang pusaka "Sokayana","
kata Gadung Melati.
Fajar Legawa merasa heran. Bertanyalah ia kemudian. "Paman, mungkinkah
beliau ikut serta berlomba?"
Gadung Melati dan Wukirsari tertawa. Fajar Legawa melengak heran. Mengapa
sebabnya orang-orang tua itu ketawa?
"Engkau jangan cepat salah sangka, Fajar," kata Gadung Melati kemudian.
"Bukan paman Menak Singgih akan ikut berlomba memperebutkan pusaka-pusaka itu.
Aku percaya bahwa munculnya beliau, dalam usahanya untuk mencegah pusaka-pusaka
itu jatuh ketangan orang jahat. Karena apabila beliau menghendaki, tentunya tongkatmu
sudah diambilnya."
Tanpa sesadarnya Fajar Legawa meraba tongkat pada pinggangnya. Dalam
hatinya membenarkan pendapat Gadung Melati ini, bahwa apabila orang tuaitu
menginginkan pusakanya, tentu sudah diambil.
Wukirsari mengamati Fajar Legawa, kemudian katanya mengandung
nasihat,"Fajar munculnya Klenting Mungil menuntut padamu harus lebih hati-hati lagi
dalam segala tindak dan langkahmu. Kau telah melawan orangtua itu dengan tongkatmu,
maka aku percaya bahwa Klenting Mungil menjadi curiga. Karena bagi seorang yang
memiliki ilmu kesaktian yang cukup tinggi, dia cepat bisa membedakan mana benda
pusaka dan mana bukan."
Wukirsari berhenti, mengamati Fajar Legawa seperti mencari kesan. Sesaat
kemudian kakek ini meneruskan. "Namun demikian engkau tidak perlucemas dan
khawatir. Percaya dan yakinlah bahwaAllahakan selalu melindungimu. Akan selalu
membimbingmu supaya tidak terpedaya oleh tipu muslihat dan akal penjahat. Ingatlah
engkau akan Firman Tuhan yang antara lain "Dan sesungguhnya Allah itu Maha
Mendengar dan Maha Mengetahui. Oleh sebab itu pasrahkanlah seluruhnya kepadahttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Tuhan, dan janganlah engkau bimbang dalam mengemban tugas yang mulia itu."
Atas peringatan dan nasihat Wukirsari itu, hati Fajar Legawa tergetar. Meskipun
ia berusaha meyakinkan hati bahwa Tuhan akan selalu melindungi dan menolong, dalam
hati masih juga merasa khawatir. Ia merasa bahwa kepandaiannya masih amat rendah,
sedang orang-orang yang berlomba tidak terhitung banyaknya memiliki kepandaian amat
tinggi.
"Nasihat paman akan selalu saya indahkan," jawab Fajar Legawa.
Wukirsari menganggukkan kepala dan tersenyum. Kemudian. "Aku gembira
mendengar kesanggupanmu itu. Namun kiranya aku perlu mengutip nasihat para
cendekia yang antara lain "Apabila engkau berhati-hati menjaga diri, segala kebaikan
akan datang sendiri kepadamu. Kebaikan sama dengan air, senantiasa mencari tempat
untuk mengalir. Dan kemenangan selalu menjadi balasan orang yang hati-hati segala
kelakuannya. Orang pemalas yangselalu ragu, sekali-kali tiada akan mencapai
kemenangan. Harta bagi orang yang berakal, ialah akalnya dan perbuatan baik yang telah
diperbuatnya. Orang yang berakal tiada pernah khawatir, bahwa perbuatannya yang baik
akan hilang percuma, atau ia akan menerima hukuman karena kesalahan yang tiada
dikerjakannya. Seiring dengan itu ia tiada pernah lengah akan keperluan akhiratnya,
karena ia tahu, ajal tiada tertentu waktu datangnya. Demikianlah Fajar, hendaknya
engkau dapat memahami nasihat ini baik-baik untuk bekalmu mengemban tugas yang
suci itu."
Fajar Legawa berdiam diri dan berusaha menyimpan nasihat-nasihat berharga itu
dalam sanubarinya. Karena ia menginsyafi, bahwa nasihat-nasihat berharga itu
diberikan dengan maksud baik dan suci.
"Fajar," kata Wukirsari lagi, agaknya kakek ini belum juga puas bicara.
"Mengingat akan beban yang kau emban dalam tugasmu. Maka perlu aku peringatkan
jangan gampang-gampang terpengaruh oleh ucapan sahabat. Mengapa? Karena
ketahuilah bahwa sahabat ada dua macam. Ialah setulus hati dan sahabatberpura-pura.
Untuk sahabat yang setulus hati, patutlah engkau dekati. Akan tetapi sahabat yang
berpura-pura, akan menimbulkan bahaya bagi dirimu sendiri. Karena persahabatan yang
lahir itu sendiri sudah menganduug permusuhan yang tersembunyi di dalamnya."
Fajar Legawa mengangkat kepalanya, mengamati Wukirsari denganwajah heran
mendengar itu Tanyanyakemudian. "Paman, adakah orang yang disebut sahabat masih
juga sampai hati untuk diam-diam mencelakakan sahabatnya?"
"Heh-heh-heh," Wukirsari ketawa terkekeh. "Tentu saja bisa terjadi demikian.
Bukankah banyak terjadi pula peristiwa yangbisadisebut menohok kawanseiring?
Nahkarena itulah, mencari sahabat tidak mudah. Kalau mendapatkan sahabat yangbenar-
benar setulushati, tentu sahabat itu takkan tega menohok kawan seiring. Akan
tetapisebaliknya sahabat berpura-pura, akan menimbulkan permusuhan, yang selalu
berusaha ditutup dan disembunyikan. Padahal permusuhanyang tersembunyi itu
lebihjahat dari pada yang nyata. Orang yang tidak pandai menjaga diri dari
permusuhanyang demikian, sama kedaannya dengan orang yang naik ke atas leher seekor
gajah yang sedang marah. Kemudian datanglah kantuk menyerang, ia tertidur di situ
dan barulahsadar ketika dirinya telah di bawah telapak kaki gajah."https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Wukirsari berhenti sebentar, ia memandang Fajar Legawa yang tampak amat
memperhatikan, kemudian tersenyum. Sesaat kemudian barulah kakek inimeneruskan.
"Fajar, mengingat akan beban yang sedang engkau pikul, maka hendaknya engkau pandai
menjaga dirimu, di samping pula paudai menyimpan rahasia............"
"Kakang, aku mengerti bahwa nasihat-nasihatitu memang amat berguna bagi
Fajar Legawa!" potong Gadung Melati tiba-tiba, dengan paras wajah yang kurangsenang,
karena hati kakek ini memang gelisah."Tetapi kakang, Fajar Legawa masih
mempunyaikewajiban yang lebihpenting. Adalah membuang-buang waktu tak
bergunaapabilakita lama-lamaberhentidisini. Karena itu kakang, maafkanlah aku.
Sekarang ini juga Fajar Legawa harus cepat-cepat menunjukkan di mana Pertiwi Dewi
dikatakan membunuh diri, sebagai pembuktianakan keterangannya."
Wukirsari ketawa perlahan atas teguran adik seperguruannya ini. Kemudian
katanya sambil tersenyum. "Baiklahadi, marilah kita segera membuktikan kebenaran
akan keterangan Fajar Legawa. Dan semoga Fajar Legawa memang tidak berdosa dalam
peristiwa ini."
Fajar Legawa mengamati Gadung Melati dan Wukirsari bergantian. Kemudian.
"Paman, saya percaya bahwaAllah mengulurkan tangan untuk menolong saya."
"Yaya," sahut Wukirsari. "Semoga engkau tidak menyia-nyiakan kepercayaan
pamanmu Gadung Melati."
Mereka kemudian meninggalkan tempat ini menuju gunung Ungaran. Fajar
Legawa melarikan kudanya lagi, sedang Gadung Melati dan Wukirsari menggunakan
kepandaiannya lagi untuk mengejar Fajar Legawa yang mengendarai kuda.
Dalam perjalanan menuju gunung Ungaran ini, benak Fajar Legawa masih
disibuki tentang Menak Singgih yang sakti mandraguna dan sudah menolong dirinya dari
ancaman Klenting Mungil. Dalam hatinya timbul rasa heran, mengapa gurunya tidak
pernah menyebut-nyebut tentang orang sakti yang tua itu?
Namun hari itu tak cukup mencapai gunung Ungaran, karena waktu yang
dipergunakan berkelahi dengan Klenting Mungil tadi cukup banyak. Dan kalautoh harus
nekad mendaki gunungitu di waktu malam, kurang pula kegunaannya.
Ia menginap dalam sebuah desa. Dan sungguh beruntung bahwa seorang desa
yang baik hati, dengan ramah menerima kedatangan pemuda itu. Dan walaupun hanya
penduduk desa, namun pemilik rumah berusuha membuat tamunya senang, sehingga ibu
rumah malam itu juga menangkap ayam,kemudian disembelih untuk lauk. Atas sikap dan
keramahan pemilik rumah ini, mau tidak mau membuat Fajar Legawa merasa kikuk juga.
Ketika tabuh sembilan Fajar Legawa telah di persilahkan tidur oleh pemilik rumah.
Iapun segera masuk tidur ke tempat yang telah ditunjuk. Iapun segera berusahauntuk
tidur, namun matanya tak juga mau dipejamkan. Sekarang ini benaknya dipenuhi oleh
keraguan tentang usahanya membuktikan kebenaran keterangannya.FajarLegawa merasa
sulit untuk menunjukkan pembuktian, karena ia tidak mempunyai seorang saksipun
dalamperkara ini. Modal satu-satunya yang dimilikihanyalah kepercayaan, bahwa ia tidakhttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
bersalah dalam persoalan ini.
Sampai lewat tengah malam, mata Fajar Legawa masih juga belum terpejam.
Sesungguhnya ia penat sekali, setelah melakukan perjalanan dan harus berkelahi melawan
Iblis Dari Gunung Wilis Karya Widi Widayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Klenting Mungil.
Akan tetapi kemulian disaat Fajar Legawa hampir tertidur, ia menjadi terkejut.
Telinga pemuda ini menangkap suara yang mencurigakan di bagan atas atap. Cepat-cepat
pelita dipadamkan, sehingga ruangan itu gelap. Dan setelah pelitapadam, kemudian
pemuda ini berjaga diri menjaga segala kemungkinan. Akan tetapi kemudian terpikir oleh
pemuda ini, akan tidak menguntungkan apabila sampai terjadi berkelahi di dalam rumah.
Di samping ruangan itu sempit, juga akan menganggu pemilik rumah.
Dengan hati-hati dan berjingkat-jingkat kemudian pemuda ini keluar lewat pintu.
Setelah tiba di luar rumah ia cepat berlindung sambil menebarkan matanya kesekeliling.
Tetapi anehnyatidak tampak sesuatu yang mencurigakan, dan tidak pula terdengar suara
apa-apa. Malam sepi dan hening, dan hanya binatang malam merajai kesunyian malam.
Diam-diam pemuda ini merasa heran. Ia merasa pasti seseorang telah hinggap diatas atap.
Namun mengapa tidaknampak sesuatu yang mencurigakan?
Akan tetapi kemudian Fajar Legtwa amat terkejut. Entah kapan orang itu hadir,
tahu-tahu ia melihat seseorang telah meloncat ke atas atap. Dan disaat ia akan menyusul,
seorang yang lain telah menyusul mendahului. Kemudian dua orang itu berkejaran.
Terdoroag oleh rasa curiga. Fajar Legawa cepat-cepat meloncat pula ke atas atap,
kemudian pemuda ini membayangi.
Tak lama kemudian tibalah mereka pada suatu tanah lapang. Fajar Legawa tidak
berani gegabah.Namun dengan jelas dilihatnya, dua orang itu sekarang berkelahi sengit
dan gerakan mereka juga cepat, angin pukulan menyambar ke sekitarnya.
Tetapi sesudah agak lama mengikuti mereka yang sedangberkelahi itu, ia kaget!
Gerakan orang yang tidak bersenjata itu, mirip sekali dengan gerakannya sendiri apabila
berkelahi. Dan malah bisa dikatakan merupakan ciri khusus dari perguruannya. Padahal
gurunya hanya mempunyai dua orang murid saja, dirinya sendiri dan Tumpak Denta.
Maka setelah memperhatikan seksama, tidak terlukiskan betapa gembira pemuda ini
tanpa sengaja dapat bertemu dengan kakak seperguruannya. Sebab dirinya sekarang ini
justeru sedang menghadapi tuntutan Gadung Melati yang cukup membuat hatinya gelisah
bukan main. Otaknya terasa kurang mampu untuk meyakinkan Gadung Melati, bahwa
dirinya tidak bersalah. Maka dengan hadirnya kakak seperguruannya ini, setidak-tidaknya
akan dapat meringankan kesulitannya.
Hampir saja Fajar Legawa berteriak memanggil. Untunglah bahwa otaknya sepera
dapat bekerja, bahwa perbuatannya bisa menggangguperlawanan Tumpak Denta. Oleh
sebab itu ia tidak jadi berteriak, lalu iasendiri mendekati gelanggangperkelahian. Tanpa
sesadarnya ia telah meraba tongkat pusakanya.
Pertempuran makin lama tambah sengit. Dan apabila pada mulanya Tumpak
Denta melawan dengan tangan kosong sekarang telah mencabut senjatanya. Sebatang
pedang panjangterpegang tangan kanan.Kemudian dengan pedang itu Tumpak Denta
berusaha mendesak lawan. Namun ternyata lawan yang dihadapi sekarang ini bukanhttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
lawan empuk. Dengan tongkatnya lawan itu memberikan perlawanan yang amat hebat.
Hingga sekalipun telah cukup lama, belum juga Tumpak Denta berhasil menundukkan
lawan.
Melihat itu Fajar Legawa terkejut berbareng heran. Tumpak Denta memiliki ilmu
kepandaian yang lebih tinggi dibanding dirinya. Tetapi mengapa sudah banyak waktu
dibuang, belum pula dapat menundukkan lawan?
Dalam hati timbul keinginannya untuk segera melibatkan diri dalam perkelahian
untuk membantu saudara tua perguruannya. Namun sebelum dilakukan, Fajar Legawa
sadar, bahwa bantuannya itu bisa menyinggung perasaan kakak seperguruannya. Tumpak
Denta tidak terdesak dan dalam bahaya. Mengapa harus mengeroyok?
Akan tetapi tambah lama Fajar Legawa menjadi gembira, ketika melihat kakak
seperguruannya itu dapat mengatasi lawan. Makin lama dengan tongkatnya, lawan itu
melawan dengan repot. Namun rasa gembiranya ini tidak lama menghuni dalam dada,
karena terjadi perobahan tiba-tiba. Ia melihat bahwa Tumpak Denta selalu
menghindarkan diri dari benturan senjata. Dan kemudian terdengar pula suara ketawa
orang itu yang mengejek. "Ha-ha-ha, kerahkanlah seluruh kepandaianmu. Huh, engkau
takkan dapat menang melawan aku."
"Bangsat!" teriak Tumpak Denta. "Siapa takut padamu?"
Laki-laki itu ketawa mengejek.Kemudian iamenggerakkan tongkat untuk
menangkis tikaman Tumpak Denta, katanya lagi."Beginikah ilmu pedang perguruan
Galunggung? Huh tidak cocok dengan kesombonganmu!"
Jantung Fajar Legawa berdesir hebat mendengar ejekan orang yang merendahkan
perguruannya itu. Mendadak saja dadanya seperti meledak, dan tidak tercegah
lagipemuda ini sudah melompat keluar dari tempatnya sembunyi sambil berteriak.
"Kakang! Berikanlah lawan yang sombong ini padaku."
Dengan kemarahan meluap-luap Fajar Legawa menerjang dengan tongkatnya.
Sambaran hawa yang amat dingin memancar dari tongkat, sehingga membuat orang
bertongkat itu terkejut. Orang itu menggerakkan tongkat untuk menangkis. Dan
munculnya Fajar Legawa yang langsung melibat dan menyerang lawan itu membuat
Tumpak Denta sendiri harus melompat mundur kemudian menonton.
"Adi! Berhati-hatilah engkau." Tumpak Denta berteriak memperingatkan adik
seperguruannya. "Dialah penjahat keji Putut Jantoko. Dan tongkat itu amat berbahaya
karena berisi racun yang jahat."
"Apa?" Fajar Legawa kaget. "Laki-laki ini Putut Jantoko?"
Mendadak saja darah Fajar Legawa mendidih. Jika benar orang ini Putut Jantoko.
ia harus dapat membunuhnya. Ia harus dapat membalaskan sakit hati Pertiwi Dewi dan
keluarganya.
Dan teringat akan nasib Pertiwi Dewi dan keluarganya ini, akibat sepak terjang
Putut Jantoko ini, ia merasa memikul tanggung jawab untuk membalaskannya. Apapunhttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
akibatnya.
Memang Fajar Legawa juga menyadari bahwa penjahat ini berilmu tinggi. Akan
tetapi teringat akan nasib Pertiwi Dewi dan keluarganya, ia tidak dapat memberi maaf. Ia
bersedia mati untuk membalaskan sakit hati gadis itu;
"Bagus, heh-heh-heh!" Putut Jantoko ketawa mengejek, "Majulah bersama-sama,
agar aku tidak terlalu banyak membuang waktu."
"Tutup mulutmu!" teriak Fajar Legawa marah.
Dengan tongkat pusakanya dan dengan gerakannya yang cepat sekali FajarLegawa
telah menyerang tiga bagian tubuh yang berbahaya sekaligus. Ialah pusar, uluhati dan
leher. Akantetapi Putut Jantoko cepat melompat kesamping sambil memukulkan
tongkatnya, dan diteruskan pula untuk menyerampang.
"Trang .........!" benturan tongkat tidak dapat dihindari, sehingga terdengar suara
amat nyaring, dan pijar api beterbangan di sekitarnya.
Fajar Legawa terbelalak heran. Mengapa tongkat lawan itu tidak segera patah
menjadi dua? Peristiwa yang baru saja terjadi ini merupakan hal baru bagi Fajar Legawa.
Biasanya senjata lawan akan segera patah apabila berbenturan dengan tongkatnya. Apa
sebabnya?
Tetapi sebaliknya Putut Jantoko sendiri terkejut berbareng heran. Baru kali ini
sajalah tongkat yang amat dibanggakan itu gagal mematahkan senjata lawan. Sejak
pertama kali ia menerima tongkat itu dari gurunya, tongkatnya itu merupakan senjata
yang amat ia banggakan. Sudah tidak terhitung jumlahnya senjata lawan yang dapat
dipatahkan atau dirusakkan olehtongkatnya itu. Namun mengapa tongkat pemuda ini
tidak menjadi patah?
Tiba-tiba Putut Janloko ingat akan senjata pusaka yang dewasa ini ramai
dibicarakan dan diperebutkan orang. Sebatang keris pusaka dan sebatang pedang pusaka.
Mungkinkah di dalam tongkat pemuda itu tersimpan pula senjata pusaka yang menarik
perhatian orang itu? Maka Putut Jantoko menjadi tertarik di samping
penasaran.Pendeknya malam iniia harus dapat mengalahkan lawan yang muda ini,
kemudian merebut senjatanya.Maka kemudian ia memutarkan tongkatnya lebih cepat,
sehingga merupakan benteng tongkat yang sulit ditembus.
Fajar Legawa terkejut juga ketika merasakan sambaran hawa panas dari tongkat.
Ia mengerutkan alis kemudian timbul dugaannya bahwa tongkat Putut Jantoko ini berisi
senjata pusaka, seperti tongkatnya. Dan sekarang sadar pula pemuda ini akan sebabnya
TumpakDenta tadi selalu berusaha menghindari benturan senjata. Agaknya Tumpak
Denta sudah tahu, bahwa benturan akan merugikan diri sendiri, senjatanya bisa patah.
Perkelahian antara Putut Jantoko dengan Fajar Legawa ini makin lama menjadi
semakin sengit. Tongkat mereka menyambar-nyambardengan dahsyat, akan tetapi
memancarkan hawa yang berlainan. Kalau dari tongkat Putut Jantoko menyambar hawa
yang panas membara, sebaliknya tongkat Fajar Legawa menyebarkan hawa yang amat
dingin.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Tumpak Denta yang menonton perkelahian itu diam-diam jantungnya tegang dan
tidak tenang. Ia memang cukup percaya akan kepandaian adik seperguruannya. Namun
ia mengenal pula bahwa Fajar Legawa seorang pemuda jujur. Dia belum kaya
pengalaman, dan bisa terjebak oleh tipu muslihat lawan yang keji.
"Adi!" teriak Tumpak Denta. "Engkau harus ingat bahwa setiap penjahat tidak
segan untuk melakukan perbuatan keji dan licik."
"Terimakasih," sahut Fajar Legawa. "Aku akan selalu dapat menjaga diri dengan
baik."
Cepat lawan cepat. Dua orang muda ini mengerahkan kepandaian dan mengincar
sasaran bagian tubuh yang mematikan. Pendeknya malam ini Fajar Legawa tidak akan
main kasihan kepada lawan. Orang ini terlalu jahat dan apabila dibiarkan hidup hanya
akan mengganggu ketenteraman umum.
Tiba-tiba terdengarlah suara ketawa perempuanyang nyaring, memecah kesepian
malam.
"Heh-heh-heh, malam ini akan tibalah saat kematianmu!"
Mereka kaet dan heran. Tumpak Denta segera memalingkan muka kearah
datangnya suara. Sebaliknya Putut Jantoko mendadak tampak terkejut, gelisah disamping
gugup. Mengapa? Ia cukup kenal akan suara perempuan itu, yang selalu membuatnya
takut. Maka dengan serangan gertakan untuk memancing Fajar Legawa menangkis, tiba-
tiba Putut Jantoko melompat ke belakang, kemudian lari terbirit-birit menerobos gelap
malam.
"Bagus!" suara perempuan itu terdengar lagi. "Kau sangka aku tidak dapat
mengejarmu?"
Kemudian berkelebatlah bayangan orang yang gesit dan seperti terbang, kearah
Putut Jantoko tadi melarikan diri.
Tumptak Denta dan Fajar Legawa terpaku di tempatnya. Timbullah pertanyaan di
dalam hati masing-masing, siapakah perempuan yang memiliki ilmu tinggi dan amat
ditakuti oleh Putut Jantoko itu?
"Kakang, mari kita kejar!" ajak Fajar Legawa yang masih pensaran, karena
belum dapat membalaskan sakit hati Pertiwi Dewi dan keluarganya.
"Jangan!" cegah Tumpak Denta. "Menurutkan amarah berdekatan dengan
bahaya. Maka kiranya lebih baik apabila sekarang kita pulang dan bertemu dengan guru."
"Apa?" Fajar Legawa tampak terkejut. "Guru memanggil aku?"
"Kepergianku bukan lain melaksanakan amanat guru yang mengharapkan
kedatanganmu. Maka merupakan hal yang amat menggembirakan bahwa malam ini aku
bisa bertemu dengan engkau."
Fajar Legawa menghela napas pendek, dan tiba-tiba saja hatinya sedih danhttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
masygul, ia harus memenuhi panggilan gurunya, akan tetapi sebaliknya iapun tidak dapat
lari dari tanggungjawab dari tuntutan Gadung Melati.
"Kakang, ahhh ............" Fajar Legawa mengeluh, "Maafkan aku. Saat ini aku
dalam kesulitan, dan sulitlah bagiku untuk memenuhi panggilan guru."
Tumpak Denta kaget dan heran. "Apa yang sudah terjadi?"
"Ceritanya agak panjang ," sahut Fajar Legawa tetap mengeluh.
Kemudian Tumpak Denta membimbing Fajar Legawa menuju sebuah batu.
Mereka kcmudian duduk, dan mulailah Fajar Legawa menceritakan apa yang terjadi dan
dialami. Tumpak Denta menghela napas dalam, dan diam-diam pemuda ini memeras
otaknya guna mencari jalan selamat bagi Fajar Legawa.
"Tuntutan itu amat menyedihkan hatiku, kakang," Fajar Legawa mengeluh.
"Aku tidak mempunyai seorang saksipun disaat Pertiwi Dewi membunuh diri. Maka
tipislah harapanku untuk dapat melepaskan diri dari hukuman paman Gadung Melati."
Berdesir jantung Tumpak Denta mendengar keluhan Fajar Legawa ini. Ia dapat
membayangkan betapa bingung dan sedih adik seperguruannya ini, akan tetapi ia sendiri
juga tidak menemukan jalan untuk menolong Fajar Legawa.
Lama sekali mereka berdiam diri tanpa dapat menemukan keputusan, dan tiada
pula sinar harapan sedikitpun. mereka merasa dalam kegelapan, meraba-raba dan tiada
pegangan apapun.
Setelah beberapa saat lamanya mereka berdiam diri, tiba-tiba terdengarlah Tumpak
Denta berkata halus. "Adi! Persoalanmu ini cukup berat dan berbahaya. Setujukah engkau
apabila hal ini aku laporkan saja kepada guru, agar beliau bisa membantu?"
Fajar Legawa menghela napas. Terasa berat juga untuk minta bantuan gurunya.
Suria Kencana telah amat lama menyepikan diri di lembah Galunggung. Dan di sampigg
itu jaraknyapun cukup jauh. Manakah mungkin gurunya dapat mengatasi?
"Kakang," kata Fajar Legawa perlahan, "Terima kasih atas bantuan dan
Iblis Dari Gunung Wilis Karya Widi Widayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
perhatianmu. Akan tetapi untuk minta campur tangan guru,sulit dapat terlaksana.
Dalam pada ituguru sudah amat tua, sampai hatikah aku merepotkan beliau? Maka
kakang, biarlah aku sendiri yang akan mempertanggungjawabkan soal ini."
Tumpak Denta menghela napas berat. Ia sudah cukup paham akan watak adik
seperguruannya ini yangtidak pernah mau merobah pendiriannya, dan apa yang sudah
diucapkannyapun sudah merupakan ketetapan hati. Oleh karena itu Tumpak Denta
tidak mendesak, kemudian berdiam diri.
Untuk beberapa saat lamanya mereka tidak membuka mulut dan keadaan hening
kembali. Baru kemudian terdengar Fajar Legawa bertanya. "Tahukah engkau akan
maksud guru memanggil aku?"
Dan Tumpak Denta menggelengkan kepalanya. Dan baru beberapa saat lamanya,https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Tumpak Denta membuka mulut. "Aku tidak tahu akan maksud guru. Akan tetapi aku
dapat menduga bahwa panggilan itu amat penting."
"Hemm," Fajar Legawa menghela napas lagi, "Akupun menyadari pula tentang
itu kakang. Namun sebaliknya apakah daya? Sulitlah bagiku untuk dapat memenuhi
panggilan guru itu, sebelum persoalan ini selesai. Maka aku mohon agar kakang pulang
dahulu saja menghadap guru, sambil memberitahukan kesulitan ini."
"Tak mungkin aku kembali menghadap guru tanpa engkau ikut serta. Aku tidak
mempunyai alasanyang cukup untuk membiarkan engkau dalam bahaya. Dan aku harus
menyertai engkau menyelesaikan soal gawat itu. Dan apapun yang harus kau hadapi,
merupakan tanggung jawabku pula. Huh, aku tidak rela engkau dihina orang!"
"Kakang, bukan maksud paman Gadung Melati menghina aku," sahutFajar
Legawa. "Tuntutan paman Gadung Melati adalah wajar, sebagai seorang guru yang
bertanggung jawab terhadap muridnya. Maka aku mohon agar kakang pulang ke
Galunggung lebih dahulu dan relakanlah aku menyelesaikan soal ini seorang diri."
"Tidak!Apapunyang terjadi,aku akan menyertaimu dan berusaha membelamu!"
Terharu Fajar Legawa mendengar ini. Jawaban itumembuktikan bahwa Tumpak
Denta amat kasih kepada dirinya. Mendadak ia memeluk Tumpak Denta erat sekali,
kemudian terdengarlah kata pemuda ini yang tidak lancar. "Kakang, terimakasih.
Bantuan dan pembelaanmu berarti meringankan beban yang sedang menghimpit dan
menindih diriku. Dan dengan hadirnya kakang di sampingku merupakan suatu kekuatan
dan tiang penyanggah dari keruntuhanku. Kakang, semoga Allah memberi petunjuk
padaku dalam usahaku membuktikan kenyataan, bahwa benar-benar Pertiwi Dewi
membunuh diri dan bukan karena aku bunuh."
"Ya, semoga."
"Tetapi kakang, mengapa engkau tadi berkelahi dengan Putut Jantoko?" tanya
Fajar Legawa tiba-tiba.
"Adi," sahut Tumpak Denta, "Dalam usahaku mencari engkau sesuai dengan
amanat guru, mendorong pada diriku harus dapat menemukan engkau dalam waktu
singkat. Itulah sebabnya aku sedikit sekali melepaskan lelah dalam perjalanan. Dua hari
yang lalu aku berkelahi dengan Putut Jantoko di selatan Batang, dalam usahaku menolong
orang. Akan tetapi sayang sekali bahwa usahaku itu sia-sia belaka. Orang yang kutolong
itu akhirnya harus mati karena terluka dan keracunan. Hemmmm ........."
Tumpak Denta menghela napas berat. Sesaat kemudian barulah ia meneruskan.
"Disaat mendekati ajal itu, dia sempat memberitahukan nama dan gurunya. Dia
bernamaYusuf muridAbdulrajak, pendekar dari Madura. Dan perkelahian antara Yusuf
dengan Putut Jantoko itu bukan lain akibat perbuatan Putut Jantoko yang terkutuk, dan
Yusuf berusaha memberantas penjahat itu."
Tumpak Denta berhenti lagi. Kemudian. "Putut Jantoko amat berbahaya. Sebab
di samping mempunyai senjata beracun, tongkatnya itupun hebat sekali. Senjata yang
berbenturan akan patah ........."https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
"Ahhh ......" seru Fajar Legawa. "Memang aku tadi juga merasa heran ketika
kakang selalu menghindari benturan senjata. Kemudian setelah aku mencoba dan
senjatanya tidak patah oleh tongkatku, aku menjadi kaget dan heran. Ahh, tongkatnya
tadi menebarkan hawa panas."
"Benar, akupun merasakan udara panas itu sewaktu berkelahi melawan dia.
Mungkinkah di dalam tongkat Putut Jantoko itu tersimpan pula senjata ampuh?"
"Mungkinkah pedang pusaka Sokayana yang banyak dipercakapkan orang itu?
Aih, kalau benar sungguh menyedihkan."
"Tidak! Tongkat itu terlalu kecil untuk tempat sebatang pedang. Dalam pada itur
tongkat tadi memancarkan hawa panas, maka tentu bukan pedang pusaka Sokayana."
"Apakah pedang Sokayana tidak memancarkan hawa panas?"
"Menurut keterangan guru, pedang Sokayana itu berhulu emas. Pedang itu tajam
sekali, akan tetapi tidak memancarkan hawa panas, melainkan dingin seperti pengaruh
keris pusaka dalam tongkatmu."
Tanpa terasa ketika itu hari hampir pagi. Fajar Legawa harus meneruskan
perjalanan kegunung Ungaran untuk memberi pembuktian. Maka kemudian Fajar
Legawa mengajak Tumpak Denta ke desa tempatnya menginap. Sekalian akan minta
diri untuk melanjutkan perjalanan.
Pagi itu kakak beradik perguruan iui memacu kuda menuju gunung Ungaran yang
sudah tampak di depan mata. Ketika matahari sudah sepenggalah tingginya, dua orang
muda ini sudah memacu kuda lewat jalan sempit pegunungan yang berliku seperti ular.
Kemudian pada saat dua orang muda ini mendaki, menikung, sempit dan berbahaya,
mendadak dua orang muda ini kaget. Hati tiba-tiba tegang dan mata mereka menyelidik.
"Kakang," kata Fajar Legawa. "Agakaya sedang terjadi perkelahian cukup sengit
di sana."
"Ya, agaknya di balik hutan itu," sahut Tumpak Denta. "Mungkinkah penghuni
gunung Ungaran yang bernama Jalu Gigis dan Dyah Raseksi itu?"
"Entahlah, tetapi juga mungkin. Mari kita lihat."
Tumpak Denta mengangguk. Mereka kemudian meloncat turun dari kuda masing-
masing. Kemudian kuda mereka tambatkan pada pohon di tengah semak yang terlindung.
Dan sesudah itu dua orang muda ini bergerak dengan hati-hati.
Tidak lama kemudian tibalah mereka pada sebuah hutan yang tidak begitu luas,
sedang tak jauhdari situ, tampak jurang lebar yang amat dalam.
Bentakan perempuan yang nyaring terdengar jelas terbawa angin. Mendengar
suara perempuan in tiba-tiba jantung Fajar Legawa tergoncangdan wajahnya berubah
merah. Teringatlah pemuda ini akan pengalamannya ketika ditawan. Ia terpaksahttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
berpura-pura mengimbangi cinta Dyah Raseksi, dan terpaksa harus mencium. Teringatlah
pengalaman yang memalukan dan memuakkan itu tiba-tiba saja kaki Fajar Legawa terasa
berat untuk melangkah.
"Adi, mengapa engkau?" tanya Tumpak Denta dengan heran.
"Entahlah. Tiba-tiba saja kakiku terasa berat untuk melangkah," sahutnya hambar.
"Engkau takut?"
Fajar Legawa menggeleng.
Tumpak Denta tersenyum, kemudian katanya. "Mengapa sebabnya kakimu terasa
berat? Hanya seorang yang sedang ketakutan sajalah kaki terasa berat untuk diangkat."
Fajar Legawa merasa malu juga disebut takut itu. Kenyataannya ia memang tidak
takut. Ia tergoda oleh pengalamannya berhadapan dengan Dyah Raseksi. Maka pemuda
ini tersenyum dalam usahanya menutupi perasaannya, dan kemudian menetapkan hati
untuk meneruskan perjalanan.
Mereka kemudian terbelalak. Kegelisahan Fajar Legawa tiba-tiba saja terhapus.
Perempuan yang sekarang berkelahi itu mengenakan baju biru dengan sepasang pedang.
Wanita berusia kira-kira setengah abad, akan tetapi nampak gagah menonton perkelahian
itu. Diam-diam Fajar Legawa sudah meraba tongkatnya melihat perkelahian itu.
"Engkau mau apa?" tanya Tumpak Denta.
Untuk sejenak pemuda ini gelagapan. Tetapi kemudian tersenyum sambil
menjawab. "Kakang, kita bertemu lagi dengan Putut Jantoko. "
"Ya, akupun tahu."
"Dan aku akan membantu perempuan itu. Aku pernah berhutang budi kepada
mereka."
"Siapakah mereka?"
"Gadis itu bernama Nawang Wulan dan wanita setengah tua itu ibunya,
Dewayani." Fajar Legawa menerangkan. "Aku pernah bertemu dengan mereka disaat
masuk kesarang Juru Demung."
"Tetapi adi," kata Tumpak Denta. "Lupakah engkau bahwa gadis itu belum kalah
dan ibunya itupun belum membantu? Apakah dengan tindakanmu itu tidak akan
menyinggung kehormatan mereka?"
Fajar Legawa terdiam mendengar itu. Kata-kata kakak seperguruannya itu tepat
dan benar. Apabila ia harus ikut campur dan membantu, dapat dianggap merendahkan
ibu dan anak itu. Maka Fajar Legawa tidak berani menurutkan hati, dan hanya menonton.
Perkelahian yang terjadi antara Putut Jantoko dengan Nawang Wulan itu memang
berlangsung sengit sekali. Akan tetapi baik Fajar Legawa maupun Tumpak Dentahttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
menyadari bahwa Putut Jantoko tidak berkelahi sungguh-sungguh. Dia tidak
menggunakan tongkatnya, sedang pedang yang sekarang dipergunakan itupun banyak
kali melepaskan kesempatan yang amat baik. Tampak bahwa Nawang Wulan masih agak
jauh di bawah tingkat Putut Jantoko, dan mungkin karena tertarik kecantikan gadis itu,
penjahat tersebut merasa sayang melukainya.
Fajar Legawa gelisah sendiri melihat itu. Tangannya kembali meraba tongkat, dan
tampak pemuda ini ingin sekali menggantikan kedudukan gadis itu.
Tiba-tiba terdengarlah bentakan nyaring. Dewayani yang semula berdiri dan
menonton itu sudah melompat dan langsung menyerang kepada Putut Jantoko. Agaknya
ibu ini tidak kuasa lagi menahan sabarnya melihat puterinya tidak dapat mengimbangi
lawan.
Fajar Legawa gembira melihat perobahan itu. Sekarang pemuda ini merasa yakin
bahwa Putut Jantoko akan segera dapat dihajar setengah mampus oleh perempuan sakti
itu.
Akan tetapi mendadak terdengarlah suara melenting nyaring. Dan hampir
berbareng telah meluncur seseorang dari sebatang pohon tinggi, seakan seorang yang
terjatuh dari pohon.
"Klenting Mungil!" desis Fajar Legawa kaget.
Tumpak Dentapun melihat meluncurnya orang itu dari pohon yang cukup tinggi.
Ia bergidik ngeri, karena kepala orang itu meluncur lebih dahulu. Dan apabila kepala itu
terbentur dengan batu di bawahnya niscaya kepala itu akan hancur berantakan.
Namun dugaan Tumpak Denta itu keliru. Benar kepala itu kemudian berbenturan
dengan batu sebesar kambing yang bercokol di atas tanah, akan tetapi bukan kepala itu
yang hancur berantakan, malah batu sebesar kambing itu yang hancur berantakan.
Kemudian dengan ketawanya yang nyaring, Klenting Mungil sudah bergerak seperti kilat
cepatnya menyambut gerakan Dewayani sambil membentak. "Ha jangan usil. Yang tua
sama tua, dan yang muda sama muda. Heh-heh-heh, bukankah itu cocok?"
Dewayani melompat ke samping menghindari serangan Klenting Mungil.
"Gila! Apanya yang cocok?" damprat Dewayani.
"Heh-heh-heh!" sambut Klenting Mungil dengan terkekeh, "Bukan sekalipun
engkau sudah tua tetapi masih tetap cantik? Dan bukankah sudah sepantasnya pula
apabila muridku itu berjodoh dengan puterimu?"
Sulit dilukiskan betapa marah Dewayani mendengar ucapan Klenting Mungil ini.
Tentu saja Dewayani menjadi marah dan malu, karena tahu apakah maksud Klenting
Mungil yang mengatakan "tua sama tua" itu. Tanpa membuka mulut Dewayani telah
menggerakkan dua tangannya untuk mencakar leher dan memukul kepala yang gundul
itu.
Terkejut juga Klenting Mungil atas serangan itu. Namun ia seorang saktihttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
mandraguna. Ia tidak menjadi gugup, dan dengan gerakan tangan melintang ia
membentur tangan lawan. Dalam waktu singkat dua orang tua inipun telah terlibat dalam
perkelahian yang amat sengit.
"Untung juga engkau tadi tidak gegabah, adi," bisik Tumpak Denta.
Fajar Legawa hanya menghela napas dan tidak menjawab. Meskipun dalam hati
tidak setuju dengan pendapat kakak seperguruannya, akan tetapi ia tidak ingin
berbantahan. Sebab seorang pengabdi kemanusiaan tidak sepatutnya mementingkan diri
sendiri, dan matipun bukan apa-apa untuk membela keadilan dan kebenaran. Dan
apapula penjahat ini telah merusakkan kebahagiaan keluarga Pertiwi Dewi.
Teringat akan malapetaka yang menimpa keluarga Pertiwi Dewi itu, darah muda
Fajar Legawa menggelegak. Tiba-tiba saja pemuda ini melompat, namun untung Tumpak
Denta tidak lengah dan cepat mencegah sambil membujuk. "Adi, sabarlah! Kita harus
pandai mengenal gelagat dan memperhitungkan keadaan."
"Tetapi ............... Putut Jantoko merupakan biang keladi kesulitanku, kakang!"
bantah Fajar Legawa.
Tumpak Denta heran. Tanyanya. "Kesulitan yang mana?"
"Bukankah sudah aku ceritakan tentang keluarga Pertiwi Dewi yang berantakan?"
"Tenangkan hatimu adi, jangan mengumbar nafsu amarah. Ingatlah bahwa
peristiwa-peristiwa di dunia ini mempunyai pertalian erat dengan yang lain." Tumpak
Denta memberi nasihat. "Ya, aku memang tidak dapat membantah bahwa Putut Jantoko
yang menjadi sumber kesulitanmu. Namun demikian kau jangan berusaha menambah
Iblis Dari Gunung Wilis Karya Widi Widayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kesulitanmu itu dengan tindakan yang kurang perhitungan."
"Mengapa demikian?" Fajar Legawa heran dan mengamati Tumpak Denta.
"Urusanmu dengan urusan mereka berlainan. Biarlah mereka menyelesaikan
urusan itu dahulu. Apabila ternyata kemudian ibu dan anak itu memerlukan bantuan kita,
belum terlambat kita membantu atau melawan mereka Bukankah ini lebih baik?"
Mereda juga kemarahan Fajar Legawa mendengar nasihat kakak seperguruannya
ini. Kemudian mereka kembali memperhatikan perkelahian yang masih berlangsung
sengit Tampak bahwa serangan Nawang Wulan itu datang bertubi-tubi, akan tetapi
dengan gampang Putut Jantoko selalu dapat menggagalkan.
Putut Jantoko masih tetap bertangan kosong. Penjahat ini sekarang tampaknya
seperti seorang ksatrya sejati, dan seakan mengalah kepada perempuan. Namun
sesungguhnya bukan demikian. Bukan karena dalam waktu singkat watak penjahat itu
berubah menjadi baik. Yang benar Putut Jantoko sekarang ini merasa sayang untuk
melukai gadis cantik itu. Dan dalam perlawanan ini pula Putut Jantoko berusaha
menangkap gadis itu tanpa luka.
Memang sesungguhnya saja telah berhari-hari lamanya Putut Jantoko berusaha
mengejar dan menangkap Nawang Wulan. Akan tetapi maksudnya itu selalu gagal olehhttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Dewayani. Dalam usaha ini Putut Jantoko telah berusaha mengalahkan Dewayani, akan
tetapi tidak mampu.
Semalam disaat sedang berkelahi melawan Fajar Legawa, penjahat itu terpaksa
melarikan diri bukan lain akibat takut Dewayani. Namun keadaannya sekarang segera
berobah, sesudah Putut Jantoko dapat bertemu dengan gurunya.
Tetapi sebaliknya Nawang Wulan yang marah dan muak atas sikap Putut Jantoko
itu, setiap serangannya tidak tanggung-tanggung. Ia selalu berusaha menyerang bagian
tubuh yang mematikan. Akan tetapi sungguh sayang bahwa usahanya itu selalu gagal.
Malah karena cukup lama berkelahi, akibatnya gadis itu payah sendiri. Walaupun
demikian gadis ini tidak mengeluh dan terus melawan dengan garang.
Di pihak lain, sulit bagi Dewayani untuk memecah perhatian membantu kesulitan
anaknya. Ia sendiri melawan penjahat tua yang sakti mandraguna. Apabila perhatiannya
terpecah akan berakibat dirinya menderita rugi.
Akan tetapi mengapa Klenting Mungil mengucapkan kata-kata yang kuasa
menyinggung perasaan Dewayani? Soalnya walaupun sudah setengah tua, kecantikan
Dewayani masih amat menonjol. Dan diam-diam menimbulkan gairah bagi Klenting
Mungil, sehingga menimbulkan perasaan sayang pula. Hanya sayang bahwa Dewayani
ini jauh bedanya dengan Nawang Wulan. Walaupun perempuan, Dewayani seorang sakti
mandraguna dan karena itu Klenting Mungil tidak berani sembrono. Ia melawan dengan
hati-hati, dan jari-jari tangannya yang berkuku panjang dan tajam itu selalu menyambar-
nyambar berbahaya untuk bisa mencengkram atau mencakar.
Sungguh tidak terduga sama sekali, tiba-tiba terdengarlah jerit Nawang Wulan.
Pedang gadis itu yang sebelah telah terlempar jatuh di tanah, terpental oleh pukulan Putut
Jantoko yang jitu.
Namun justeru jeritan dari mulut Nawang Wulan ini menimbulkan akibat tidak
terduga-duga. Sebagai seorang ibu yang kasih kepada anaknya, jeritan itu membuat hati
perempuan ini tergetar. sehingga memaksa diri memalingkan muka. Wajah perempuan
ini tiba-tiba pucat, tetapi kemarahannya makin meledak. Akan tetapi belum juga
perempuan tua ini dapat melaksanakan maksudnya menghajar lawan, waktu yang hanya
beberapa detik terpecah perhatiannya itu telah menimbulkan kesulitan. Ia telah berusaha
membuang diri untuk menghindari pukulan Klenting Mungil. Sayang usahanya
terlambat, pundak terpukul sehingga tubuh pendekar wanita itu terlempar lebih satu
tombak.
Sekalpun pundaknya sakit, tulang pundaknya patah dan sebelah tangannya
lumpuh, Dewayani tidak merintih dan mengeluh. Kemudian dengan lengkingan yang
nyaring dan geram, ia sudah melompat maju dan menerjang dengan pukulannya.
Klenting Mungil tidak menduga sama sekali perempuan itu masih sanggup
melancarkan serangan sedahsyat itu, sehingga agak gugup juga. Klenting Mungil berhasil
menghindarkan diri dari pukulan tangan Dewayani, akan tetapi tendangan susulan
bersarang ke lambung. Akibatnya penjahat tua itu terhuyung mundur. Disaat tubuh
penjahat tua ini sempoyongan, Dewayani masih dapat menyusuli serangan berbahaya.
Dan masih untung Klenting Mungil dapat membuang diri, kemudian bergulingan di atashttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
tanah.
Tetapi apa yang baru terjadi tadi, menimbulkan kemarahan Klenting Mungil yang
menggelegak dalam dada. Maka sambil menggeram nyaring, Klenting Mungil berobah
menjadi ganas. Kalau sejak tadi ia masih menahan diri untuk tidak menggunakan Aji
"Pengracutan", sekarang adalah lain. Dalam marahnya Klenting Mungil menjadi lupa,
bahwa sekarang ini sedang menghadapi perempuan. Hebatnya aji kesaktian tersebut akan
dapat membuat jari-jari tangan dan telapakannya sekeras baja. Jangankan tubuh manusia,
walaupun batu gunung yang keras akan hancur apabila dapat dicengkeram atau diremas
dengan tangannya. Dan mendadak saja Klenting Mungil sudah menggerakkan dua buah
tangannya seraya meloncat. Tangan kiri bersasaran pada leher, sedang tangan kanan
memilih sasaran kepala lawan. Gerakannya sedemikian cepat dan apabila leher dan
kepala lawan dapat terenggut, niscaya saat itu juga akan menemui ajalnya.
Namun Dewayani seorang pendekar wanita yang sudah banyak pengalaman
berkelahi. Ia tidak mudah menyerah untuk dibunuh. Dengan gerakan yang amat manis
Dewayani meloncat ke samping seraya mengirimkan tendangan untuk membendung
serangan lawan. Dan ketika tangan Klenting Mungil berusaha menangkap kakinya,
Dewayani cepat menarik kaki dan sasarannya beralih kepada lambung.
Sayang bahwa tangan kanan Dewayani masih terasa amat sakit akibat pukulan
Klenting Mungil. Akibatnya tangan kanan itu tidak banyak berarti dalam setiap gerakan
dan pukulannya.
Tumpak Denta dan Fajar Legawa melihat perkelahian yang seru itu. Mereka
mengerti jelas sekali bahwa Dewayani telah menderita luka, dan melakukan perlawanan
tidak sempurna. Namun setiap Fajar Legawa ingin bergerak maju, Tumpak Denta
selalu mencegahnya. Tumpak Denta justeru mengakui bahwa tingkat Dewayani masih
berada diatas dirinya. Maka apabila Dewayani sendiri tidak mampu melawan Klenting
Mungil, apakah artinya dirinya sendiri dengan Fajar Legawa maju dan berusaha
menolong?
Disamping khawatir akan keadaan Dewayani, merekapun khawatir akan Nawang
Wulan, yang jelas bukan lawan Putut Jantoko. Tingkah laku penjahat itu memuakkan
sekali, sebab sambil berkelahi selalu bersikap menghina dan juga selalu berusaha
membujuk. Apa yang dilakukan Putut Jantoko itu, menyebabkan Nawang Wulan
marah bukan main disamping amat malu. Dan dalam marah serta malu itu, kemudian
gadis itu menyerang dan berkelahi seperti nekat. Tentu saja hal ini malah menimbulkan
Nawang Wulan menderita rugi sendiri.
"Wulan, bukankah percobaan ini sudah lebih dari cukup?" kata Putut Jantoko
sambil menyeringai. "Aku cinta padamu manis, mengapa engkau masih membandel?
Adikku cantik, percayalah bahwa aku akan dapat membahagiakan dirimu. Engkau akan
menjadi isteriku tersayang. Maka marilah kita hentikan perkelahian tak berguna ini."
"Tutup mulutmu!" damprat Nawang Wulan sambil menyerang dengan
pedangnya. Wajah gadis itu nampak merah karena malu, sedang mata gadis itu seperti
menyala.
Putut Jantoko menyeringai. Kalau berkelahi benar-benar, jelas tidak sulit Pututhttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Jantoko mengalahkan Nawang Wulan. Akan tetapi tujuan Putut Jantoko sekarang ini
bukannya melukai dan lebih-lebih membunuh. Ia ingin sekali dapat menangkap Nawang
Wulan yang cantik itu dalam keadaannya yang seperti sekarang.
Kemudian pada suatu kesempatan Putut Jantoko berhasil menyambar dagu
Nawang Wulan yang kuning dan halus itu. Yang membuat Nawang Wulan kaget di
samping amat malu. Bukan main malu dan marah gadis itu. Dan kuasa pula memancing
kemarahan Nawang Wulan sehingga gadis ini melancarkan serangannya lebih nekat.
Sayang juga bahwa sebatang pedangnya telah runtuh. Maka walaupun serangan itu
dilancarkan cepat sekali, serangan itu dengan mudah selalu dipunahkan oleh Putut
Jantoko.
"Heh-heh-heh, engkau jangan nekad adikku, jangan nekat!" goda Putut Jantoko
dengan gerakan yang gesit menghindari terjangan Nawang Wulan itu, "Lebih baik engkau
menyerah saja, dan marilah kita pulang membentuk bebrayan bahagia."
"Mampuslah!" teriak Nawang Wulan yang tambah marah.
Kata-kata itu didengar oleh Dewayani yang sedang berkelahi sengit dengan
Klenting Mungil. Sebagai seorang tua berpengalaman, sekalipun tidak melihat tahu juga
apa yang sedang dialami puterinya. Jelas bahwa anaknya itu terdesak dan menderita
kesulitan, dan terancam pula bahaya mengerikan. Tetapi juteru berkelahi sambil
memikirkan anaknya, berarti perhatiannya terpecah itu, menyebabkan gerakan
perempuan tua ini sedikit lambat.
Akan tetapi walaupun hanya sedikit lambat, harus ditebus oleh Dewayani amat
mahal. Sebuah pikulan Klenting Mungil yang keras bersarang ke pundak. Walaupun
pukulan itu tidak tepat, menyebabkan tulang pundak remuk dan tubuh Dewayani
terpelanting. Klenting Mungil menyusuli dengan tendangan keras dan akibatnya, tubuh
Dewayani terlempar lebih tiga tombak. Perempuan itu jatuh terbanting keras sekali, dan
tidak dapat bangun lagi.
Peristiwa tak terduga itu sempat pula dilihat oleh Nawang Wulan. Tiba-tiba saja
gadis ini menjerit, melompat dan kemudian menubruk ibunya yang roboh di atas tanah.
Gadis itu sudah tak perduli lagi menghadapi ancaman bahaya dari lawan, dan sekarang
menjerit-jerit memanggil nama ibunya sambil pula menggoncang-goncang tubuh. Sama
sekali tidak disadari oleh gadis itu bahwa dengan perbuatannya, menyebabkan derita
ibunya yang terluka dalam itu makin bertambah.
Putut Jantoko dan Klenting Mungil ketawa terkekeh-kekeh gembira. Klenting
Mungil berdiri tegak sambil mengawasi Nawang Wulan yang menjerit-jerit sambil
mengoncang-goncang tubuh ibunya. Sedang Putut Jantoko dengan mulut menyeringai
sudah bergerak menghampiri Nawang Wulan,
Sekarang tak kuasa lagi Fajar Legawa dan Tumpak Denta berdiam diri. Dua
orang muda ini melompat hampir berbareng dengan senjata siap di tangan. Fajar Legawa
langsung menyerang Pulut Jantoko sedang Tumpak Denta langsung menyerang Klenting
Mungil. Serangan tak terduga ini sudah tentu mengejutkan guru dan murid itu.
Putut Jantoko menggerakkan pedang rampasannya untuk menangkishttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
"Krak!" patahlah pedang Nawang Wulan yang diambil oleh Putut Jantoko itu.
Penjahat ini terbelalak heran. Sebab tidak pernah diduganya sama sekali bahwa
pedangnya akan patah oleh benturan itu. Akan tetapi walaupun demikian Putut Jantoko
tidak gugup, seperti kilat cepatnya telah mencabut tongkatnya dari pinggangnya,
kemudian tongkat yang dibanggakan itu dipergunakan melayani Fajar Legawa.
Dua-duanya bersenjata tongkat dan dalam waktu singkat mereka telah berkelahi
sengit. Hawa udara yang bertentangan segera memancar keluar dari tongkat masing-
masing, memenuhi sekitarnya. Tongkat Putut Jantoko memancarkan hawa yang panas
membara, sedang tongkat Fajar Legawa memancarkan hawa yang amat dingin.
DUA-DUANYA melancarkan serangan amat cepat, justeru masing-masing
dikuasai nafsu untuk membunuh. Putut Jantoko marah dan ingin membunuh karena
kecewa, maksudnya menangkap dan menawan Nawang Wulan terhalang. Sebaliknya
Fajar Legawa dikuasai nafsu membunuh pula, karena marah menyaksikan tingkah laku
Putut Jantoko yang memuakkan.
Di pihak lain Klenting Mungil dan Tumpak Denta sudah berkelahi pula. Tetapi
sambil melayani ini, Klenting Mungil selalu ketawa terkekeh mengejek. Apakah artinya
seorang pemuda ingusan ini melawan dirinya? Dengan tangan Icosong ia melayani
Tumpak Denta. Kadang menghindar, dan kadang menangkis atau menyentil pedang
Tumpak Denta yang datang menyambar.
"Heh-heh-bch, siapakah engkau?" hardik Klentfog Mungil sambil terkekeh.
Tumpak Denta tidak membuka mulut dan terus melancarkan serangannya.
Pedangnya menyambar dengan cepat, dengan gerak perobahannya yang sulit diduga.
Hanya sayang bahwa yang dihadapi sekarang ini Klenting Mungil, seorang kakek sakti
mandraguna. Maka walaupun pemuda ini sudah berusaha sekuat kemampuannya,
pedangnya tak juga pernah berhasil menyentuh kulit tubuh lawan.
"Bocah tak tahu adat!" bentak Klenting Mungil sesudah menyentil batang pedang
Tumpak Denta yang melayang datang. "Apakah engkau sudah bosan hidup?"
Lengan Tumpak Denta tergetar hebat oleh sentilan jari tangan itu, sedang
pedangnya menyeleweng. Akan tetapi sambil menahan rasa kesemutan pada lengannya,
pemuda ini terus menghujani serangan bertubi-tubi.
"Kurang ajar!" bentak Klenting Mungil lagi. "Jika engkau tak juga mau enyah dari
smi, aku takkan main kasihan lagi."
Namun Tumpak Denta tetap saja melancarkah serangannya, tidak perduli akan
ancaman Klenting Mungil.
"Hai, apakah hubunganmu dengan Suria Kencana?" bentak Klenting Mungil lagi,
setelah memperhatikan gerak-gerik Tumpak Denta dalam menyerang dirinya.
Akan tetapi lagi-lagi Tumpak Denta tidak menjawab. Pemuda ini merasa tiada
perlunya menjawab pertanyaan itu. Yang penting sekarang ini dirinya harus dapat
mengalahkan kakek berkepala gede ini.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Iblis Dari Gunung Wilis Karya Widi Widayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kurang ajar. Apakah engkau tuli? Apakah engkau bisu?" teriak Klenting Mungil
yang menjadi penasaran, karena lawan yang muda itu tidak juga membuka mulut. "Huh,
mempunyai hubungan atau tidak dengan Suria Kencana, hari ini kau harus mampus!"
Benar saja, sesudah mengucapkan kata-kata ini, gerakan Klenting Mungil sudah
berobah. Kakek berkepala gede ini gerakannya sekarang tambah cepat, dua tangannya
mencakar dan mencengkeram serta menerbitkan angin cukup dahsyat. Tiba-tiba saja
Tumpak Denta merasakan tekanan yang hebat sekali. Angin yang dansyat itu
menyambar-nyambar dan menyebabkan dada terasa sesak. Akan tetapi walaupun
demikian Tumpak Denta mengerahkan semangat dan kepandaiannya untuk mengatasi
keadaan. Pedangnya menyambar terus tak pernah berhenti sambil pula berusaha
menerobos lingkaran angin yang membuat dadanya sesak.
Tetapi walaupun Tumpak Denta melawan sambil mengerahkan seluruh
kemampuannya, secara pasti ia terus didesak oleh kakek kepala gede itu. Sambaran angin
yang keluar dari telapak tangan itu terus menyambar, menekan ruang geraknya, hingga
bagaimanapun makin lama pemuda itu kesulitan.
Kalau makin lama Tumpak Denta kesulitan dalam menghadapi Klenting Mungil
ini sebaliknya Fajar Legawa lain. Dari sedikit Fajar Legawa dapat mengatasi Putut
Jantoko. Memang sekarang ini Putut Jantoko yang selalu membanggakan tongkatnya itu
mendapat tanding. Berkali-kali dua tongkat itu berbenturan dan menerbitkan suara
nyaring. Namun Putut Jantoko tidak berhasil mematahkan senjata lawan, dan sebaliknya
tongkat Fajar Legawa juga tidak berhasil membuat senjata lawan patah.
Akan tetapi justeru kegagalannya menyebabkan Putut Jantoko penasaran. Ia
bermaksud dapat menawan Nawang Wulan secepatnya, namun dihalangi pemuda ini.
Rasa penasaran ditambah rasa kecewa dan masygul ini membuat Putut Jantoko tidak
telaten lagi. Dan untuk mengatasi lawan yang sanggup menandingi tongkatnya itu, tiada
jalan lain 1agi kecuali harus menggunakan senjatanya yang ampuh sekarang juga. Senjata
beracun yang telah berkali-kali merenggut nyawa manusia lain, tersimpan dalam jarum.
Fajar Legawa yang polos tidak menyadari rencana lawan yang amat curang. Ia
terus menggerakkan tongkatnya dalam usahanya mendesak lawan. Kemudian terjadilah
benturan yang cukup keras antara tongkat dengan tongkat. Masing-masing terhuyung
mundur satu langkah, dan telapak tangan masing-masing terasa panas seperti terbakar.
Namun kemudian Fajar Legawa amat heran. Ia tidak metasa terkena pukulan
lawan. Akan tetapi mengapa secara tiba-tiba puncaknya dirasakan nyeri dan sakit? Seakan
ada sesuatu yang menancap pada pundaknya, tetapi benda apakah itu? Fajar Legawa tidak
memperdulikan rasa sakit dan nyeri pada pundaknya, dan pemuda itu berusaha
menghujani serangan-serangan berbahaya kepada lawan..
Apa yang telah terjadi memang tidak disadari dan diduga oleh Fajar Legawa. Dan
bukan hanya pemuda ini, tetapi juga orang- orang lain yang melawan Putut Jantoko.
Sesungguhnya sekarang ini Fajar Legawa telah menderita luka. Dan luka itu hanya kecil
saja, namun dapat membahayakan jiwa manusia. Luka tersebut akibat menancapnya dua
batang jarum yang beracun jahat, telah menancap pada pundak.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Klenting, Mungil memang tidak tanggung-tanggung dalam melengkapi senjata
muridnya. Dalam tongkat itu tersimpan ratusan jarum halus yang jahat sekali, karena
sudah direndam oleh racun. Dan jarum itupun dapat menyerang lawan tidak terduga-
duga dan tidak akan diketahui. Sebab jarum itu menyerang lawan digerakan oleh alat
rahasia pada tongkat itu sendiri. Ketika dua tongkat tadi berbenturan, Putut Jantoko telah
menekan alat penyebar jarum, akibatnya pundak Fajar Legawa terluka tanpa disadari, dan
dua batang jarum telah menancap pada pundak.
Ketika itu Nawang Wulan sudah siuman dari pingsannya. Gadis ini segera
menyadari bahwa ibunya menderita hebat sekali. Wajah ibunya pucat seperti kapas dan
napasnya tinggal satu-satu. Maka gadis ini dengan hati yang amat khawatir dan air mata
yang bercucuran, segera berusaha menolong ibunya yang menderita itu. Hingga gadis ini
seperti tidak mau perduli akan kehadiran Tumpak Denta dan Fajar Legawa, dan yang
sekarang menghadapi guru dan murid itu, dan justeru dalam usaha mereka menolong
dirinya.
Sementara itu perkelahian masih terus berlangsung sengit sekali. Walaupun
pundak dirasakan nyeri, nanaun Fajar Legawa terus menyerang dengan hebat. Akan
tetapi justeru gerakan-gerakan Fajar Legawa yang memberi perlawanan ini, pengaruhnya
racun pada jarum itu bekerja tambah cepat. Rasa nyeri pada pundaknya itu tambah lama
menjadi panas, dan di samping itu lengan dirasakan makin menjadi kejang. Merasakan
perobahan pada pundaknya ini, Fajar Legawa terkesiap. Baru teringatlah ia sekarang akan
penuturan Tumpak Denta. Bahwa Putut Jantoo memiliki senjata sangat berbahaya dan
beracun.
"Ahhh.........Fajar Legawa mengeluh dalam hati. Sadarlah pemuda ini bahwa
senjata beracun yang dimaksud, adalah jarum. Namun demikian timbul rasa heran dalam
hatinya, mengapa ia tidak melihat tangan Putut Jantoko tadi bergerak dan menyerang
dengan jarum itu? Lalu bagaimanakah cara penjahat itu melepaskan jarum?
Akan tetapi ia tidak dapat berpikir panjang. Pundaknya makin lama makin kaku
dan sulit digerakkan. Maka sebelum racun itu bekerja lebih lanjut, dan tubuhnya
keracunan, ia harus dapat membunuh lawan lebih dahulu. Sambil membentak dan
menggeram keras Fajar Legawa melancarkan serangannya lebih hebat. Sebaliknya Putut
Juioko menyeringai mengejek, ia merasa pasti bahwa tidak lama lagi lawannya akan
segera roboh oleh pengaruh racun. Maka ia sengaja membenturkan tongkatnya lagi untuk
melukai lawan lagi dengan jarum beracun yang tersimpan dalam tongkatnya.
Jarum beracun yang tersimpan dalam tongkat itu justeru halus, sedang racun
ampuh hasil Klenting Mungil itupun tidak berbau. Segera saja Fajar Legawa nerasakan
dada dan pundak kiri nyeri dan panas. Dua batang jarum yang halus lagi-lagi menancap
dan melukai pemuda itu. Namun Fajar Legawa terus mengamuk sambil mengerahkan
tenaganya yang masih ada.
Justeru Fajar Legawa marah dan mengerahkan tenaganya ini, racun jahat itu
bekerja lebih cepat. Dada pemuda ini kemudian sesak, kepala pening dan pandang mata
menjadi kabur, sedang tangan yang memegang tongkat itupun makin tambah kaku sulit
digerakkan. Fajar Legawa masih berusaha mempertahankan diri, akan tetapi celaka.
Tongkat Putut Jantoko menyambar secara dahsyat membentur tongkatnya. Akibatnya
tongkat pemuda ini terpental jatuh, disusul oleh tubuh Fajar Legawa yang terpental robohhttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
akibat tendangan Putut Jantoko.
Peristiwa ini mengejutkan Tumpak Denta, tetapi juga kemarahannya meledak.
Sambil menggeram keras nemuda ini menghujani serangan kepada Klenting Mungil.
Namun kakek kepala gede itu dengan terkekeh mengejek, tanpa kesulitan dapat
menghindari. "Heh-heh-heh, kawanmu sudah roboh, dan mampus. Huh, sebentar lagi
engkaupun akan segera roboh dan mampus pula!"
Sementara itu, setelah berhasil merobohkan lawan dengan jarum beracun, Putut
Jantoko menjadi tambah buas. Maka meskipun ia sadar gurunya sanggup mengalahkan
lawan, tetapi ia merasa tidak sabar untuk menunggu terlalu lama. Oleh karena itu dengan
gerakannya yang cepat ia sudah menerjang dengan tongkatnya yang berisi jarum beracun.
Tumpak Denta sadar akan bahaya dan berusaha menghindar, meloncat ke samping
sambil menyapu dengan pedangnya.
Akan tetapi justeru jarum beracun Putut Jantoko itu dapat menyambar tanpa
diketahui lawan. Yang dirasakan kemudian oleh Tumpak Denta, tiba-tiba pundak nyeri,
panas di samping gatal. Dadapun tidak mau ketinggalan, mengamuk rasa nyeri dan panas.
Tumpak Denta mengalihkan sasaran, menyerang Putut Jantoko dengan pedangnya.
Sebab ia sadar bahwa penjahat muda itulah tentu yang telah menyerang dirinya dengan
jarum beracun.
Sayang Tumpak Denta lupa bahwa Klenting Mungil hadir. Melihat pemuda itu
menghujani serangan kepada muridnya, kakek kepala gede ini tidak tinggal diam, ia
melompat dan melepaskan tendangan geledeknya.
"Buk!" dan tubuh Tumpak Denta terpental lebih dua tombak jauhnya, kemudian
jatuh kantap dan tidak berkutik lagi.
Nawang Wulan terbelalak kaget menyaksikan peristiwa itu, dua orang pemuda
yang membelanya, sekarang sudah roboh tak berkutik. Ia sadar bahwa dirinya sekarang
ini terjepit dalam kesulitan. Tiba-tiba saja gadis ini menjadi nekat, ia memungut
pedangnya sendiri dan pedang ibunya. Kemudian sambil melengking nyaring gadis ini
sudah melompat dan menerjang ke arah Putut Jantoko.
"Heh-heh-heh, mengapa engkau nekat adikku," kata Putut Jantoko sambil
menyeringai, karena diam-diam nafsu binatang penjahat ini merangsang perasaan. "Lepas
pedangmu, dan marilah kita pulang untuk membangun bebrayan yang bahagia........."
"Mampuslah!" potong Nawang Wulan yang amat marah, sambil terus menghujani
serangan.
Putut Jantoko tidak menghendaki keadaan ini terus berlarut. Dan iapun tidak
tahan terlalu lama melihat wajah cantik dengan tubuh montok itu. Untuk menundukkan
gadis ini tidak ada jalan lain kecuali harus menggunakan kekerasan, maka tiba-tiba saja
Putut Jantoko menyambut serangan gadis itu dengan tongkatnya.
"Trang trang.........aihh ............!" Nawang Wulan kaget dan berteriak nyaring,
ketika sepasang pedangnya patah oleh benturan itu. Mimpipun tidak bahwa tongkat itu
sangat tajam dan kalau tahu tentu ia tadi berusaha menghindari benturan.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Akan tetapi apa harus dikata kalau semuanya sudah terlanjur? Menyesal tiada
guna, dan jalan satu-satunya harus bertahan sebisanya. Maka sambil melengking nyaring
gadis ini sudah menyambitkan sepasang pedang yang telah patah itu. Kemudian dengan
tangan kosong, gadis inipun menerjang penjahat itu.
Dengan mudah sambitan itu dihindari oleh Putut Jantoko. Sambil melompat
pemuda ini menyimpan kembali tongkatnya. Kemudian iapun melayani serangan
Nawang Wulan dengan tangan kosong.
Namun apalah arti dari perlawanan Nawang Wulan yang tanpa senjata itu?
Bersenjata saja gadis ini tak kuasa mengalahkan Putut Jantoko, apa pula sekarang. Ibarat
seekor tikus berani melawan kucing. Walaupun berusaha melawan sekuatnya, tidak urung
hanya dipermainkan saja. Kadang pula Putut Jantoko malah menunjukkan sikapnya yang
kurang ajar. Ketika pukulan Nawang Wulan menyambar tiba-tiba, ia sengaja tidak
menghindar, dan hanya menggerakan tangan mencengkeram dada. Nawang Wulan kaget
setengah mati, dan tentu saja takkan membiarkan dadanya disentuh orang. Maka sambil
memekik kaget, gadis ini menarik kembali serangannya, kemudian menggunakan
kelincahannya bergerak, tubuhnya berkelebat cepat ke sana dan kemari.
Semua itu disaksikan oleh Klenting Mungil, tetapi kakek kepala gede ini malah
ketawa terkekeh-kekeh senang sekali. Agaknya apa yang dilakukan muridnya itu malah
membuat kakek ini senang. Dan kemudian tanpa malu kakek ini malah menganjurkan
yang tidak patut.
"Hai Putut!" teriak kakek kepala gede ini, "Aku ingin menggunakan gadis itu
Dewi Ular Karya Kho Ping Hoo Pendekar Rajawali Sakti 85 Penghianatan Jodoh Si Mata Keranjang Karya Kho Ping