Pencarian

Iblis Dari Gunung Wilis 6

Iblis Dari Gunung Wilis Karya Widi Widayat Bagian 6



Namun sebaliknya apabila dirinya harus melawan, apakah yang diandalkan bisa menang

melawan Klenting Mungil? Maka Fajar Legawa menekan perasaan dan jantungnya yang

berdebar tegang. Kemudian ia mencoba untuk bertanya. "Paman, apa sajakah maksud

paman menghadang aku?"

Pertanyaan ini disambut oleh ketawa Klenting Mungil yang melengking dan

menyakitkan anak telinga. Kemudian kakek berkepala gede ini memalingkan muka

kearah Singomurdo, seraya bertanya. "Murdo, apakah yang engkau kehendaki sekarang?"

Singomurdo ketawa bergelak-gelak, kemudian jawabnya. "Guru, Singawarih dan

Singawana telah dibunuh oleh pemuda ini. Karena itu murid menuntut agar pemuda itu

guru tangkap, dan terpikir oleh murid untuk membalaskan sakit hati dua orang adikku itu

dengan cara yang murid pilih sendiri. Bolehkah, guru?"

"Heh-heh-heh, boleh, boleh!" sahut Klenting Mungil. "Engkau boleh

membalaskan sakit hati dua orang saudara seperguruanmu itu dengan caramu sendiri.

Siapakah yang melarang?"

Berdebar jantung Fajar Legawa. Sadarlah pemuda ini, bahwa dirinya sekarang

berhadapan dengan bahaya. Jelas sekarang keadaan yang dihadapi. Kenting Mungil

menghadang perjalanannya, dalam usahanya untuk membalaskan sakit hati dan kematian

Singawarih dan Singawana. Jadi, empat orang saudara yang jahat dan sarangnya berhasil

ia obrak-abrik bersama Tumpak Denta itu, kiranya murid-murid Klenting Mungil?

Akan tetapi walaupun sadar berhadapan dengan bahaya, Fajar Legawa tidak

menjadi kecil hati. Katanya mengejek. "Hemm, apakah paman tidak malu mengeroyok

aku yang jauh lebih muda?"

"Heh-heh-heh, engkau sombong sekali bocah!" ejek Klenting Mungil sambil

ketawa terkekeh-kekeh. "Siapa yang akan mengeroyok engkau? Huh, apakah sulitnya

seorang diri aku membunuhmu? Sekarang masih banyak kesempatan, maka

sebelum engkau mampus, mintalah pamit kepada ayah dan bundamu. Heh-heh-heh,

agar engkau tidak mati penasaran dan menjadi setan gentayangan."

"Hemmm, siapa takut?" sahut Fajar Legawa sekalipun jantungnya berdebar

tegang, "Tetapi, perkenankanlah aku bertanya kepada engkau. Apakah paman tidak

malu sebagai orang tua, sampai hati menghina orang muda?"

Lamdahur meloncat dari tempatnya tersembunyi dan membentak lantang.

"Bangsat. Jangan banyak mulut! Engkau sudah membunuh dua orang kakak

seperguruanku, maka apa salahnya kalau hari ini guru datang untuk membalaskan sakit

hati itu? Pilihlah satu diantara dua. Engkau menyerah baik-baik, ataukah engkau

melawan guru, kemudian engkau menghadapi siksaan kami?"

Fajar Legawa menyungging senyum, walaupun sadar bahwa ancaman Lamdahur

itu bukanlah ancaman kosong. Namun demikian sebagai seorang yang tidak merasahttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

bersalah, ia berusaha pula untuk membela diri. "Paman, kiranya aku perlu memberi

penjelasan sebabnya terjadi pembunuhan itu. Paman, apa yang sudah terjadi dan aku

lakukan semata-mata dalam usahaku membela nama baik paman sebagai guru

mereka, Apakah paman tidak merasa ternoda dan malu, oleh perbuatan para murid yang

terkutuk itu?"

"Heh-heh-heh!" Klenting Mungil terkekeh mendengar ucapan

FajarLegawa. Beberapa saat kemudian kakek ini menjawab. "Bagus, memang engkau

anak yang baik. Tentu saja atas kebaikanmu itu,sudah pada tempatnya aku mengucapkan

terima kasih. Aih, aih, sekararg sebagai balas jasa atas kebaikan hatimu itu, kiranya cukup

pantas apabila aku memberi hadiah barang sepuluh jurus. Heh-heh-heh, bersiaplah anak

muda, dan sambutlah apabila engkau memang mampu."

"Bagus!" sambut Singomurdo dengan wajah gembira. "Kepada orang yang sudah

memberikan jasa baiknya, guru memang sepantasnya memberi tanda mata. Guru,

memang sudah cukup adil kiranya apabila guru memberi hadiah sebanyak itu."

Fajar Legawa mengerti maksud kakek berkepala gede ini. Selaras dengan

kedudukannya Klenting Mungil menetapkan batas sepuluh jurus, maka kakek itu takkan

lagi mau memaksa dan menganggap persoalan ini selesai. Akan tetapi mungkinkah

dirinya sanggup menghadapi tokoh tua ini dalam sepuluh jurus? Rasanya tidak mampu,

namun demikian jalan lain tiada lagi.

"Baik," sahutnya kemudian. "Aku terima syarat itu."

Fajar Legawa sudah akan berkata lagi dalam usaha mencari alasan, agar orang tua

ini merasa malu, menantang seorang muda. Tetapi celaka! Sebelum ia sempat membuka

mulut, ternyata Klenting Mungil sudah menerjang maju sambil berteriak.

"Awas! Serangan pertama!"

Sepasang tangan Klenting Mungil yang kecil tetapi panjang itu, dan dengan jari-

jari tangannya yang kecil, sudah bergerak seperti kilat cepatnya. Jari yang hanya seperti

tulang dibungkus kulit itu terbuka setengah melengkung, tetapi karena kuku-kuku

jarinya panjang dan runcing, hingga jari tangan itu seperti cakar garuda yang mengerikan.

Sekali serang dengan kuku yang tajam itu berusaha mencengkeram leher dan kepala.

Fajar Legawa tercekat atas serangan ini. Mimpipun tidak bahwa sekali serang

Klenting Mungil akan sanggup melakukan serangan sedemikian keji. Dengan agak gugup

pemuda ini terpaksa menggunakan tongkatnya untuk menangkis dan melindungi diri dari

bahaya sambil pula melompat ke samping.

Klenting Mungil ketawa mengejek. Apakah artinya sebatang tongkat kayu yang

kecil itu? Pedang yang tajam sekalipun ia tidak takut menghadapi. Dan tongkat seperti ini,

sekali remas saja akan hancur menjadi debu.

Akan tetapi tiba-tiba kakek ini terkejut, melompat ke samping sambil berteriak.

"Aihh....... berbahaya .........!"

Dan kemudian kakek ini melompat, berdiri tegak sambil mengamati Fajar

Legawa penuh curiga. Kakek kurus berkepala gede ini menjadi heran berbareng kaget.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Sebab ketika jari tangannya bermaksud menangkap tongkat itu, kemudian akan

mencengkeram, tiba-tiba ia merasakan sambaran hawa yang amat dingin. Akibatnya ia

mengurungkan maksudnya, justeru sebagai seorang kakek yang yang sudah luas

pengalaman, ia menjadi amat curiga. Kayu apakah tongkat itu, sehingga dapat

menyebarkan hawa sedingin itu?

Namun sejenak kemudian kakek ini segera sadar, bahwa di dunia ini tak ada

sebatangpun pohon yang dapat mengeluarkan tenaga mujijat seperti tongkat pemuda itu.

Dengan demikian jelas, bahwa di dalam tongkat itu tentu tersimpan sesuatu benda pusaka

yang amat ampuh.

Setelah sejenak mengerutkan alis, kemudian Klenting Mungil ingat akan sebuah

benda pusaka yang banyak disebut dan dicari orang. Benda pusaka itu adalah keris

bernama "Tilam Upih" milik Dipati Ukur. Kemudian timbul dugaan kakek ini,

mungkinkah keris yang memancing perhatian ribuan orang itu, tersimpan di dalam

tongkat pemuda ini? Benarkah?

"Bagus," katanya dalam hati, "Apabila benar keris Tilam Upih itu di da1am

tongkat pemuda ini, ahh sungguh menggembirakan. Heh-heh-heh, tanpa dicari benda itu

datang sendiri."

Tentu saja kalau dugaannya benar kakek ini gembira sekali. Dengan demikian ia

dapat mendahului orang lain. Dan dengan demikian pula berarti cita-citanya sejak lama

ini akan terkabul. Sesudah memiliki keris pusaka Tilam Upih, dirinya akan disegani

kawan dn ditakuti lawan. Namanya akan makin menanjak tinggi, sehingga dirinya

menjadi orang tersakti pada jaman ini. Oleh pengaruh kesaktiannya dan pengaruh benda

pusaka itu, semua perintahnya akan diturut orang, dan tidak seorangpun berani

membantah lagi.

Teringat akan benda pusaka berwujud keris "Tilam Upih" ini, kemudian Klenting

Mungil teringat pula kepada benda pusaka lain yang juga banyak diingini orang. Ialah

sebatang pedang pusaka bernama "Sokayana". Pedang itu berhulu emas, dan tajamnya

bukan main. Semua orang menghendaki, akan tetapi walaupun orang berusaha mencari

dan berlomba, benda-benda itu tidak diketahui rimbanya.

"Bagus!" katanya kemudian. "Agaknya engkau memang seorang pemuda ahli

senjata tongkat. Hemm, mari aku layani bermain-main."

Secepat kilat kakek berkepala gede ini telah menerjang maju lagi. Sambaran tangan

yang kecil itu ternyata menerbitkan angin yang dahsyat. Dan serangannyapun disamping

cepat, arah sasarannya bagian tubuh berbahaya.

Fajar Legawa terkesiap. Serangkum angin pukulan yang dahsyat menyentuh

beberapa bagian tubuhnya. Akan tetapi walaupun demikian pemuda ini tidak cepat

gugup. Sekalipun serangan itu cepat dan ganas, namun berkat perlindungan tongkat, ia

tetap dapat melindungi diri.

Dalam usahanya menyelamatkan diri dan membalas serangan lawan, hampir saja

tongkat itu dicengkeram lawan. Sadar bahwa dalam tongkatnya ini terdapat keris pusaka

yang menjadi tanggung jawabnya, ia mengurungkan serangannya dan melompat kehttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

samping. Akan tetapi justeru perbuatannya ini hampir saja Fajar Legawa celaka. Sebab

dengan gerakannya yang tidak terduga cepatnya, hampir saja jari tangan yang berkuku

tajam itu bernasil mencengkeram kepalanya.

Namun Klenting Mungil ini memang seorang sakti mandraguna, yang tingkatnya

sejajar dengan gurunya, Wukirsari maupun Gadung Melati. Maka diam-diam ia

mengeluh, justeru makin lama gerakan Klenting Mungil itu makin cepat dan hampir tak

dapat diikuti pandang matanya.

Dan kalau semula Klenting Mungil sikapnya mengejek dan merendahkan lawan,

sekarang kakek ini tampak memusatkan perhatian. Sebab ternyata lawan yang muda ini

tidak gampang dirobohkan. Janji sepuluh jurus telah berlalu, namun Klenting Mungil

tidak menghentikan serangan-serangannya, dan malah tambah ganas. Sebaliknya Fajar

Legawa juga tidak butuh memperingatkan janji kakek itu, toh tiada gunanya. Yang

penting sekarang ini ia harus mengerahkan kemampuannya untuk dapat menyelamatkan

diri. Dan syukur pula, apabila Tuhan mengulurkan tangan-Nya, dapat mengatasi

keadaan.

Keadaan yang sekarang ini memang tidak menguntungkan Fajar Legawa. Ia lebih

banyak menghadapi serangan-serangan ganas dari Klenting Mungil daripada membalas

dan menyerang. Dan hanya berkat keuletan dan gerakannya yang cukup gesit saja, setiap

kali ia masih dapat menghindarkan diri dari bahaya.

Dan Lamdahur maupun Singomurdo berseri-seri wajahnya melihat lawan yang

muda itu tampak repot memberi perlawanan, mereka percaya bahwa tidak urung, pemuda

itu akan dapat dirobohkan guru mereka, dan berarti pula sakit hati mereka terbalas impas.

Jelas sekali bahwa pemuda itu lebih banyak membela diri daripada membalas meuyerang.

Akan tetapi yang membuat kakak beradik perguruan ini heran, mengapa gurunya belum

juga berhasil mengatasi?

Mendadak saja Lamdahur menduga bahwa gurunya sekarang ini bermain-main.

Gurunya mengalah, dan menganggap pula gurunya tidak tega kepada lawan yang muda

itu. Buktinya setiap sudah hampir berhasil mencengkeram tongkat itu, kemudian

diurungkan. Saking tidak kuasa menahan hati, tiba-tiba saja ia berteriak. "Guru! Lekas

bunuh pemuda itu. Mengapa guru memberi hati dan mengalah? Bukankah apabila guru

tidak dapat membalaskan hati semua murid, guru akan ditertawakan orang banyak?"

Memang Lamdahur seorang yang tidak pandai menyusun kalimat. Hingga kata-

kata yang diucapkan kasar, sekalipun kepada gurunya. Dan mendengar ucapan muridnya

itu, Klenting Mungil tidak senang. Bentaknya. "Tutup mulutmu! siapakah yamg memberi

hati kepada orang? Huh!"

Memang pada nyatanya Klenting Mungil tidak pernah mengalah dan memberi

hati kepada lawan. Kalau sekarang sudah membuang waktu cukup banyak belum juga

dapat mengalahkan pemuda ini, adalah di luar kehendaknya dan memang tidak terduga-

duga, sebab apabila ia berusaha mencengkeram dan merebut tongkat itu, hawa yang amat

dingin menyambar, kemudian jari tangannya terasa sakit seperti ditusuk ribuan jarum.

Diam-diam kakek inipun heran sendiri. Mengapa bisa terjadi demikian? Kulit

tubuhnya sudah amat terlatih dan tidak sembarang senjata tajam sanggup melukai.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Namun mengapa sekarang berhadapan dengan senjata tumpul saja, kulitnya terasa amat

sakit? Mungkinkah pada tongkat itu memang dipasang ribuan jarum yang tajam? Dan

justeru ia menghadapi kenyataan tidak terduga ini, maka berkali-kali Klenting Mungil

urung mencengkeram tongkat lawan. Hingga tampaknya Klenting Mungil bermain-main

dan tidak tega kepada lawan. Dan akibatnya pula, Lamdahur salah duga

Semua itu tidak lain adalah pengaruh keris pusaka "Tilam Upih" yang tersimpan

di dalamnya. Keris yang tajam luar biasa, sehingga senjata biasa yang berani berbenturan

dengan tongkat Fajar Legawa akan segera patah. Maka walaupun Klenting Mungil sudah

melatih diri demikian rupa sehingga kulit tubuhnya alot, namun berhadapan dengan

tongkat Fajar Legawa tidak berani gegabah.

Sungguh sayang bahwa Fajar Legawa tidak mengetahui persoalan ini, Fajar

Legawa yang terdesak itu tidak sempat berpikir bahwa tongkatnya sanggup menghadapi

senjata orang. Fajar Legawa lupa bahwa apabila Klenting Mungil berani mencengkeram

tongkatnya akan celaka, dan salah-salah jari maupun telapak tangannya akan terluka. Dan

justeru tidak menyadari akan keadaan ini, Fajar Legawa selalu menjaga agar tongkatnya

tidak bisa direbut lawan. Hingga pemuda ini menjadi sibuk sendiri, ia tetap terdesak.

Tanpa terasa perkelahian yang tidak seimbang itu telah berlangsung puluhan jurus.

Namun Klenting Mungil belum juga dapat menundukkan lawannya yang masih muda

itu. Setiap sambaran cengkeraman maupun pukulannya selalu dapat dihindari Fajar

Legawa dengan baik, dan berkat perlindungan senjata tongkatnya itu pula.

Hanya sungguh sayang bahwa pemuda yang belum banyak pengalamannya ini,
Iblis Dari Gunung Wilis Karya Widi Widayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

belum juga sadar bahwa tongkatnya ditakuti oleh Klenting Mungil. Dan walaupun

Klenting Mungil selalu menghindar kalau diserang dengan tongkat, namun pemuda ini

hanya mengira bahwa Klenting Murgil terlalu angkuh. Dalam kedudukannya sebagai

orang yang tingkatnya jauh lebih tua, ia menduga bahwa Klenting Mungil malu kalau

sampai dapat disentuh oleh tongkat orang yang jauh lebih muda.

Demikianlah, perkelahian ini terus berlangsung sengit, cepat lawan cepat.

Membanggakan pengalaman, kecepatannya bergerak dan lebih kuat, Klenting Mungil

menggunakan dua tangannya untuk mencengkeram, mencakar dan juga memukul,

diseling pula dengan tendangan kakinya. Sebaliknya Fajar Legawapun mengerahkan

kekuatan dan kepandaiannya, untuk dapat menyelamatkan diri dari bahaya.

Akan tetapi setelah cukup lama tak juga berhasil menundukkan lawan muda itu,

diam-diam Klenting Mungil menjadi marah dan penasaran. Pendeknya sebagai orang tua

ia amat malu sekali apabila tidak segera dapat mengatasi. Walaupun sekarang ini tiada

orang lain yang hadir dan menyaksikan perkelahian ini, namun ia akan merasa malu

kepada dua orang muridnya. Dan khawatir pula apabila kepercayaan muridnya itu kepada

dirinya luntur. Kemudian menganggap dirinya sebagai guru yang hanya bermulut besar,

tetapi menghadapi seorang muda saja tidak mampu.

Justeru oleh perasaannya ini kemudian Klenting Mungil makin memperhebat

serangannya. Tetapi yang menjadikan kesulitannya, adalah pengaruh mujijat dari tongkat

itu. Sambaran hawa yang dingin amat mengerikan, dan setiap kali berusaha

mencengkeram maupun menangkappun selalu urung. Karena baik jari tangan maupun

telapak tangannya menjadi panas tidak tertahanhttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Pada suatu ketika yang tak terduga, Fajar Legawa berusaha menghindari

cengkeraman Klenting Mungil yang menyambar pundaknya. Untuk menghindari

serangan ini Fajar Legawa menghindar ke samping sambil menyodokkan tongkat ke dada

lawan.

AKAN tetapi sungguh celaka! Klenting Mungil tidak bisa terpancing oleh lawan

yang muda itu. Kakek itu dengan kecepatan yang tidak terduga telah berhasil menghindar

ke samping dan berbareng itu kakinya yang kecil dan kurus telah berhasil menendang

lengan Fajar Legawa. Tangan pemuda ini kesemutan dan seperti lumpuh mendadak,

sehingga tongkatnya lepas dan terpental.

Masih beruntung Fajar Legawa seorang pemuda tangkas dan tidak gampang

menyerah, dengan gerakannya yang gesit pemuda ini menjejakkan kakinya, sehingga

tongkat itu dapat disambar dengan tangan kiri. Ketika itu justeru Lamdahur dan

Singomurdo telah menyerbu maju dengan maksud menangkap tongkatFajar Legawa yang

melayang. Maka kakak-beradik ini kaget dan berlompatan mundur, ketika tongkat di

tangan kiri Fajar Legawa menyambar kearah mereka.

"Heh-heh-heh!"Klenting Mungil tertawa terkekeh. Semangat kakek ini pulih

kembali setelah berhasil menendang lengan pemuda itu justeru dengan peristiwa ini harga

dirinya tidak turun di mata dua orang muridnya."Aku masih berlaku murah padamu,

hayo, menyerahlah engkau sebelum aku marah dan tidak memberiampun!"

Lamdahur cepat menyambut dengan teriakannya. "Guru! Dia terlalu jahat apabila

dibiarkan hidup. Maka murid mohon hendaknya guru dapat membalaskan sakit hati

kakang Singowono dan Singowarih dalam waktu singkat!"

"Heh-heh-heh, jangan khawatir!"sahutKlenting Mungil. "Apakah sulitnya

membunuh bocah itu? Hemm, gampangnya seperti membalik tanganku sendiri. Kalau

sekarang aku masih bertanya kepada dia, bukan lain agar dia menyadari keadaannya."

Fajar Legawa tidak membuka mulut, akan tetapi diam-diam pemuda ini mengatur

pernapasan sambil menyalurkan hawa sakti, untuk memulihkan lengannya yang

kesemutan akibat tendangan Klenting Mungil. Apapun yang terjadi, tidak mungkin ia

sedia menyerah kepada kakek ganas ini. Ia harus melawan terus sampai dirinya roboh di

atas tanah dan nyawa melayang pergi.

Bukannya Klenting Mungil tidak tahu, bahwa lawannya yang muda itu sedang

berusaha memulihkan lengan kanan yang hampir lumpuh, akan tetapi Klenting Mungil

memang sengaja membiarkan Fajar Legawa berusaha memulihkan lengannya. Ia

memang sengaja memberi kesempatan dan berlaku murah sebagai seorang yang

tingkatnya lebih tua. Maksudnya, dengan tindakannya ini untuk mengalah barang sedikit.

"Lekas katakan!" bentak Klenting Mungil sambil mendelik kearah Fajar

Legawa. "Engkau mau menyerah atau tidak?"

"Hemm," Fajar Legawa geram. Jawabnya lantang. "Siapakah yang takut

padamu, dan siapa pula yang mengaku kalah? Huh, sebelum aku berkalang tanah tidak

mungkin mau mengaku kalah dengan engkau."https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

"Bagus, ha-ha-ha!" Singomurdo menyambut kata-kata pemuda ini dengan

ketawanya yang bekakakan. "Aku ingin melihat dapat berbuat apakah kepada guruku,

apabila guru melawan engkau sungguh-sungguh? Huh, dalam dua gebrakan lagi engkau

akan sudah roboh di atas tanah dan tidak dapat berkutik lagi."

Bukan main marah Fajar Legawa mendengar ucapan Singomurdo itu. Ia

memalingkan muka dan mendelik kearah Singomurdo. Kemudian, "Jangan hanya pandai

membuka mulut dan menonton. Jika engkau memang laki-laki sejati, majulah bersama

Lamdahur dan keroyoklah aku."

"Heh-heh-heh, engkau menantang untuk dikeroyok," sahut Singomurdo. "Huh,

mulut besar tetapi tenaga kurang. Baru menghadapi guruku seorang saja engkau tidak

mampu, masih berani menantang supaya dikeroyok tiga orang? Ha-ha-ha,apakahengkau

memang sudah bosan hidup dan ingin selekasnya masuk ke neraka?"

Dan Lamdahur menjadi terbakar kemarahannya oleh tantangan Fajar Legawa.

Teriaknya. "Guru! Mulut pemuda itu terlalu lancang. Apakah guru mengijinkan kalau

murid berdua ikut maju untuk menghajar mulut besar itu?"

Akan tetapi tentu saja Klenting Mungil tidak dapat menyetujui permintaan

Lamdahur itu. Baru seorang lawan seorang saja melawan pemuda ini, sesungguhnya telah

menurunkan derajatnya sebagai seorang tua. Apalagi kalau sampai mengeroyok. Lebih

lagi seorang diri ia dapat mendesak pemuda itu, untuk apa harus mengeroyok?

"Sudahlah, jangan kamu mengacau!" bentak Klenting Mungil. "Mundurlah dan

serahkan bocah itu padaku. Hmmmm, lihat saja, aku dapat merobohkan dia atau tidak?"

Dua orang murid itupuntidak berani membantah lagi, kemudian mundur kembali

untuk menonton di pinggir.

Sulit dibayangkan betapa perasaan Fajar Legawa saat sekarang ini. Ia benar-benar

marah menghadapi guru dan murid yang tidak tahu adat ini. Namun demikian ia sadar,

dirinya akan menderita rugi apabila harus menurutkan kemarahan. Karena apabila

marah, kewaspadaannya akan berkurang. Untuk itu sedapat bisa ia harus menekan

perasaan dan ia berjanji kepada dirinya sendiri akan melawan kakek berkepala gede ini

dengan hati-hati.

Dan Klenting Mungil ketawa terkekeh-kekeh. Belum juga suara ketawanya

menghilang, tiba-tiba saja tubuh kakek itu bergerak dan menerjang, untuk memulai

serangannya lagi. Dua tangannya yang kecil dengan jari-jari berkuku panjang dan tajam

itu menyambar cepat sekali. Sedang angin pukulannya menyambar amat dahsyat.

Tetapi sebaliknya hati Fajar Legawa semakin mantap. Dengan tenang ia melayani

serangan kakek itu, melindungi tubuh dengan tongkat dan gerakannya yang cukup gesit.

Sebagai akibatnya, dua orang itu kembali berkelahi sengit.

Akan tetapi bagaimanapun Klenting Mungil adalah seorang tokoh tua, sudah luas

pengalaman dan termasuk tokoh sakti mandraguna pula. Maka setelah memperhatikan

gerak-gerik pemuda itu beberapa lama, kemudian kakek ini melompat mundur danhttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

membentak,"Hai bocah! Katakanlah siapa gurumu?"

Kalau pertanyaan ini dikemukakan sebelum berkelahi, mungkin sekali Fajar

Legawa akan berterusterang menyebut nama gurunya. Akan tetapi karena perkelahian

sudah cukup lama terjadi, dan malah dirinya pada pihak yang terdesak, maka pemuda ini

merasa tidak rela apabila guru yang dihormati itu namanya ternoda oleh kekalahannya.

Dalam pada itu pemuda inipun berpendapat pula, bahwa sekalipun dirinya

memperkenalkan nama gurunya, tidakjuga akan menolong. Klenting Mungil seorang

tokoh tua dari golongan sesat, sedang gurunya seorang tokoh tua darigolongan bersih.

Kemungkinan Klenting Mungil kenal dengan gurunya, akan tetapi tentu bukan

sahabatnya.Kemudian malah timbul kekhawatirannya pula, siapa tahu kalau antara

gurunya dengan Klenting Mungil ini pernah bermusuhan?

"Hemm, tiada harganya engkau mengetahui guruku!" sahut Fajar Legawa dingin.

"Kenalkah engkau dengan Suria Kencana? Atau pula dia itu gurumu?" desak

kakek kepala gede itu.

Tercekat juga Fajar Legawa mendengar pertanyaan itu. Mengapa tepat juga

dugaan kakek ini? Namun karena tidak ingin kehormatan gurunya ternoda oleh

kekalahannya, maka pemuda ini tetap berdusta. "Hemm, aku tidak kenal dengan

orangyang engkau sebut itu!"

"Heh-heh-heh, jadi engkau bukan murid Suria ini?"Tak mengherankan apabila

Klenting Mungil kurang percaya akan jawaban Fajar Legawa itu. Sebagai seorang tua

yang luas pengalamannya, ia tahu benar bahwa tentu pemuda ini mempunyai

hubungan dengan Suria Kencana. Gerak gerikpemuda ini tidak banyak perbedaan

dengan Suria Kencana. Dan iapun masih ingat pengalamannya lebih duapuluh tahun

yang lalu. Ketika ia berkelahi sengit dengan Suria Kencana sampai setengah hari lamanya.

Namun sungguh sayang bahwa ketika itu dirinya menderita kekalahan dan terluka cukup

berat, Sehingga dirinya harus istirahat berbulan-bulan lamanya.

Sudah sejak lama Klenting Mungil selalu mencari Suria Kencana untuk menuntut

balas. Akan tetapi sayang sekali bahwa usahanya itu tidak pernah berhasil. Sekarang ia

merasa bahwa dirinya telah cukup kuat, setelah melatih diri dengan tekun puluhan tahun

lamanya. Namun kehendaknya tidak pernah terkabul karena ia kehilangan Suria

Kencana.

Dan sekarang ia dapat memastikan bahwa sedikitnya pemuda ini tentu

mempunyai hubungan dengan Suria Kencana. Malah kemungkinan besar pemuda ini

muridnya, sekalipun tidak mau mengaku. Maka apa salahnya kalau dendam dan sakit

hatinya itu sekarang ditimpakan kepada pemuda ini?

"Baiklah jika engkau tak mengakui" kata Klenting Mungil, "Tapi baik engkau

murid Suria Kencana atau bukan, ilmu tatakelahimu mirip sekali dengan dia. Huh,

engkau tidakbolehhidup lagi!"

Sambil mengakhiri kata-katanya ini, Klenting Mungil telah melompat dan

menerjang lagi. Maka dua orang itu kembali berkelahi sengit. Tongkat Fajar Legawa

menyambar-nyambar untuk melindungi tubuh sambil berusaha membalas serangan. Akanhttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

tetapi sungguh sayang, tongkatnya tak pernah berhasil menyentuh tubuh Klenting

Mungil.

Tetapi sungguh sayang. Ibarat seekor domba melawan kerbau. Walaupun Fajar

Legawa telah berusaha keras umuk mengatasi lawan, usahanya tetap gagal. Tendangan

Kleating Mungil yang datang secara tidak terduga-duga berhasil membuat lengan pemuda

itu seperti lumpuh mendadak, dan tongkatnya terlempar. Namun dengan terjadinya

peristiwa ini tidak segera menyebabkan Fajar Legawa menyerah kalah. Dengan bekal

keberanian pemuda ini menjadi nekat. Menggunakan tangan kiri yang tidak lumpuh

pemuda ini menghantam dada lawan. Tetapi serangan ini disambut oleh ketawa Klenting

Mungil yang mengejek.

"Heh-heh-heh, dapat berbuat apakah engkau tanpa senjata?" kata kakek itu.

Memang, cukup beralasan apabila kakek ini mengejek seperti itu. Dengan senjata

saja, Fajar Legawa tidak sanggup menghadapi dirinya. Apa pula sekarang, tanpa senjata

akan dapat berbuat apa? Maka ketika melihat tangan Fajar Legawa menyelonong, kakek

itu tidak berusaha mengelak dan malah pura-pura tidak melihat.

"Buk!" pukulan Fajar Legawa mengenakan tepat pada dada kakek itu. Akan tetapi

apa yang terjadi kemudian? Klenting Mungil tidak menderita sesuatu, tubuhnya tak

bergoyang. Sebaliknya pukulan itu malah menyebabkan tubuh Fajar Legawa terlempar

lebih dua meter jauh-nya, terhuyung-huyung dan tangan kiri dirasakan sakit sekali untuk

digerakan.

Namun pemuda ini sudah nekat. Sekalipun dua tangannya sulit digerakkan, ia tak

mau menyerah apabila masih bisa bergerak. Dua kakinya masih dapat bergerak.

Bukankah dengan dua kaki itu, dirinya masih dapat melawan?

"Heh-heh-heh-heh," kakek kepala gede itu terkekeh"Apakah engkau ingin

mampus?"

Tangan kiri Klenting Mungil bergerak. Kaki Fajar Legawa yang menyerang itu

dengan gampang ia tangkap, kemudian ia dorong kemuka. Dorongan kakek itu amat kuat

sehingga tak tercegah lagi tubuh Fajar Legawa terdorong kemudian roboh di atas tanah,

dan tidak dapat bergerak lagi. Dorongan itu sedemikian juga, sehingga pemuda ini

merasakan tubuhnya sakit semua, tulang-tulangnya linu seperti mau copot.

"Heh-heh-heh, apakah engkau masih tetap bandel?" ejek Klenting Mungil.

"Bunuhlah aku!" tantang Fajar Legawa yang sudah tak berdaya.

"Guru, berikan kepada murid!" teriak Lamdahur sambil melompat maju.

"Berikan kepada saya," teriak pula Singomurdo sambil maju.

Dan orang ini seperti berlomba setelah menyaksikan Fajar Legawa tidak dapat

berkutik lagi.

Dan atas permintaan dua orang muridnya itu, ia tidak menjawab tetapi juga tidakhttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

melarang. Kakek kepala gede ini malah ketawa bekakakan. Apakah salahnya dua orang

muridnya itu sekarang melakukan pembalasan? Pemuda itu tak mungkin dapat melawan
Iblis Dari Gunung Wilis Karya Widi Widayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lagi. Maka biarlah dua orang muridnya itu melaksanakan niatnya dengan sepuas hati,

menyiksa pemuda itu.

Gada berduri senjata Lamdahur sudah melayang ke depan untuk memukul. Dan

apabila gada yang besar dan berat itu berhasil memukul tubuh Fajar Legawa, niscaya

tubuh pemuda itu akan remuk hancur. Sebaliknya Singomurdo tak mau kalah cepat

dengan Lamdahur. Ia sudah pula menyabet dengan pedangnya, dengan maksud sekali

penggal membuat kepala pemuda itu terpisah dengan tubuh.

Fajar Legawa yang tak dapat berdaya itu, sudah memejamkan mata dan pasrah

kepada kehendak Tuhan. Akan tetapi sekalipun menyerah untuk mati, namun diam-diam

pemuda ini masygul dan penasaran. Ia masih mempunyai dua tugasyang amat penting.

Yang pertama mencari adik perempuannya, Irma Sulastri, yang diculik oleh penjahat.

Adapun yang kedua, tugasnya yanglebih penting lagi justeru harus selalu melindungi keris

pusaka "Tilam Upih" dari tangan jahat.

Namun tiba-tiba terdengarlah pekik nyaring dari mulut Lamdahur dan

Singomurdo. Mendengar teriakan dua orarg muridnyaitu Klenting Munsil amat terkejut.

Dan ketika melihat ke sana, kakek ini berjingkrak. Dua orang muridnya itu sekarang

mengerang-erang kesakitan sambil memegang tangannya dan senjata mereka terlempar di

atas tanah.

Peristiwa itu menyebabkan Klenting Mungil terbelalak di samping heran. Namun

rasa herannya itu hanya sebentar, kemudian terkekeh mengejek. "Heh-heh-heh kurang

ajar! Siapa berani main sembunyi di depanku?"

Setelah berkata kakek kepala gede ini sudah menggerakkan tangan memukul ke

depan kearah pohon rindang. Angin pukulan yang dahsyat segera menyambar dari

tangan, dan kemudian berhamburanlah daun rontok dari ranting dan dahan pohon.

Namun setelah pohon yang semula rindang itu menjadi gundul, diam-diam kakek kepala

gede ini tercekat. Pada sebatang dahan yang sudah tidak berdaun lagi, tampak duduk

seorang tua bertubuh kurus. Kakek itu tidak bergerak. Rambut kepalanya, alis, kumis dan

jenggotnya semua sudah putih. Dan kakek itu oleh angin pukulannya itu,bukannya

jatuh terjungkal. Tetapi seperti seorang yang sedang terbang, jubahnya berkibaran tertiup

angin, kemudian kakek tua pikun ini meniup turun didepan Klenting Mungil antara dua

tombak, tanpa menimbulkan suara sedikitpun.

Kakek tua pikun ini berdiri berhadapan dengan Klenting Mungil. Tasbihnya masih

bergantungan di tangan kanan, sedang tongkat Fajar Legawa sekarang diselipkan pada

pinggang. Kakek tua ini memandang Klenting Mungil dengan sepasang mata yang redup,

akan tetapi tajam sekali seperti dapat menembus dada.

Tercekat juga Klenting Mungil melihat sinar mata kakek itu, yang seakan dapat

menjenguk isi dada.

"Klenting Mungil," tegur kakek-tua itu halus. "Mengapa sebabnya engkau

memukul aku? Apakah salahku?"https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Klenting Mungil mendelik. Kemudian ia ketawa terkekeh. Sambil menuding kakek

tua renta itu, kemudian ia membentak. "Engkau curang! Huh, tidak malukah engkau

dengan perbuatan curangmu itu?"

"Heh-heh-heh," ketawa kakek itu halus. Beberapa saat kemudian, baru

terdengarlah jawabah kakek ini yang halus pula. "Apakah bukan engkau sendiri yang

curang itu? Hayo, katakanlah berapa juruskah janjimu tadi, yang menguji pemuda itu?"

Dan sesudah berkata, kakek ini menuding kearah Fajar Legawa yang belum

dapat bangkitberdiri dan hanya duduk diatas tanah.

"Kurang ajar! Itu bukan urusanmu. Tahu!" damprat Klenting Mungil marah

sekali. "Engkau sudah menyerang dua orang muridku. Huh, perbuatanmu itu tidak

patut!"

"Hemmm," kakek ini mendengus sambil mengurut-urut jenggotnya yang

panjangmenjuntai sebatas dada."Engkau jangan terburu nafsu sahabat, karena apa yang

aku lakukan hanyalah sekedar berusaha menginsyafkan engkau. Dia sudah tidak berdaya

akibat keganasan tanganmu. Akan tetapi mengapa engkau membiarkan dua orang

muridmu mencelakai dia?"

Tetapi walaupun kata-kata kakek pikun itu halus dan penuh nada memberi

nasehat, Klenting. Mungil tidak mau menyadari kesalahannya, malah tambah marah.

Bentaknya. "Hai kekek pikun! Apakah engkau datang sengaja menantang. Klenting

Mungil?"

Dan kakek itu menggelengkan kepalanya. Sahutnya. "Tidak! Aku tidak biasa

mengganggu orang lain.Akan tetapi sebaliknya aku takkan dapat membiarkan orang

berbuat sewenang-wenang."

"Bagus!" sambut Klenting Mungil. "Sambut seranganku!"

Klenting Mungil sudah tidak mau berpanjangmulut lagi. Ia tidak dapat sabar lagi

menghadapi kakek ini, sebab tidak mungkin bisa sefaham. Kakek kepala besar ini telah

menerjang dan sesepasang tangannya yang kurus kecil itu membagi tugas. Tangan kiri

mencengkeram, sedang tangan kanan sudah memukul.

Akan tetapi anehnya kakek pikun itu tidak bergerak maupun berusaha

menghindar. Ia hanya mengangkat dua belah tangannya untuk menangkis. Gerakannya

hanya lambat saja. Akan tetapi akibatnya sungguh mengejutkan.

"Plak plak........!" dua pasang tangan bertemu dan menerbitkan suara cukup

nyaring. Disusul oleh tubuh Klenting Mungil yang terlempar ke belakang dua tombak

lebih, terhuyung-huyung hampir roboh. Sebaliknya kakek tuarenta itu tubuhnya hanya

bergoyang-goyang seperti pohon padi tertiup angin.

Dalam gebrakan yang pertama ini jelas terbukti bahwa Klenting Mungil kalah

tenaga. Namun demikian sebagai seorang yang merasa dirinya kuat dan sakti

mandraguna, ia tidak mau tahu. Kemarahannya makin memuncak, dan ingin mengatasi

dengan jalan lain. Dalam hai tenaga ia memang mengaku kalah. Tetapi apabila

mengadu kecepatannya bergerak dan ilmu kesihii-an yang lain, Klenting Mungil tidakhttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

mau kalah.

Klenting Mungil sudah menyerang lagi. Ketika tangan kakek itu bergerak untuk

membentur ia menarik tangannya cepat-cepat. Kemudian menyerang bagian tubuh lain.

Kakek pikun itu tampak tersenyum. Ia sudah memaklumi maksud lawan. Maka

kemudian kakek itupun mengimbangi lawan dengan bergerak cepat. Jubahnya berkibaran

tertiup angin, dan dalam waktu singkat dua orang kakek itu sudah berkelahi sengit. Saking

cepatnya mereka bergerak, kemudian tubuh mereka lenyap dan yang tampak sekarang

tinggal segulung warna pakaian masing-masing yang berpindah-pindah hampir tak dapat

diikuti pandangan mata.

Fajar Legawa yang masih merasakan kakinya sakit dan lumpuh, duduk tidak

bergerak akan tetapi sepasang matanya mengamati perkelahian itu penuh perhatian.

Diam-diam pemuda ini kagum. Sekalipun kakek itu sudah amat tua sekali, dan mungkin

tidak kurang dari delapan puluh tahun, namun tingginya usia tidak mempengaruhi

kecepatannya bergerak. Di samping kagum pemuda itu bersyukur. Bahwa dalam bahaya

Tuhan bersedia mengulurkan tangan-Nya, sehingga dirinya urung mati. Namun di

samping itu pikiran pemuda ini juga sibuk menebak-nebak. Siapakah sesungguhnya

kakektuarenta ini?

Sementara itu Singomurdo dan Larndahur berdiri di pinggir gelanggang dengan

hati yang cemas dan penasaran, mereka belum juga dapat menggerakkan tangan kanan

masing-masing, justeru tangan itu masih lumpuh. Mereka cemas karena khawatir kalau

guru mereka sampai menderita kekalahan. Dan mereka penasaran karena maksudnya

untuk menyiksa dan membunuh Fajar Legawa menjadi gagal.

Tiba-tiba timbullah pikiran Singomurdo yang dianggap bagus. Ia melihat bahwa

kakek tua pikun itu sekarang sedang sibuk melayani gurunya. Bukankah hal itu

merupakan kesempatan yang amat bagus untuk melaksanakan maksudnya membunuh

pemuda itu? Mendapat pikiran yang dianggapnya bagus ini, kemudian ia menggerakkan

tangan kiri memberi isyarat kepadaLamdahur. Walaupun tangan kanan dirasakan masih

lumpuh tetapi dengan tangan kiri masihdapatmemegang pedang,sedang Lamdahur

masih mampu pula menggunakan penggadanya. Lamdahur maklum akan maksud

kakakseperguruannya itu, kemudian mata mereka saling berkedip.Hampir berbareng

dengan tangan kiri dua orang itu sudah memungut senjata masing-masing. Kemudian

mereka melompat kearah Fajar Legawa untuk melaksanakan pembunuhan.

Ketika itu Fajar Legawa masih belum dapat bangkit berdiri, sedang dua tangannya

masih terasa lumpuh pula. Maka pemuda ini tetap duduk, sedang perhatiannya

dicurahkan mengikuti perkelahian yang terjadi amat sengit itu. Dan justeru perhatiannya

ditumpahkan kepada perkelahian itu, maka pemuda ini tidak menyadari diancam oleh

bahaya maut.

Pedang Singomurdo dan penggada berduri Lamdahur menyambar hampir

berbareng. Akan tetapi, tiba-tiba menyambarlah angin yang tajam dan dahsyat. Kakak-

beradik seperguruan itu memekik nyaring saking terkejut, karena tiba-tiba saja tubuh

mereka terangkat tinggi seperti segumpal kapas tertiup lesus. Di udara tubuh dua orang

ini berputaran beberapa saat, kemudian tubuh mereka terbanting di atas tanah cukup keras

dan bersuara gedebukan.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Beberapa saat lamanya dua orang muda merintih-rintih. Tubuhnya terasa amat

sakit. Tulang-tulangnya seperti remuk. Kemudian dua orang ini merangkak bangun

dengan sulit, seperti bayi yang sedang belajar merangkak.

Fajar Legawa kaget. Ia yang hampir menjadi korban, karenamembelakangi tempat

Singomurdo dan Lamdahur, sampai tidak tahu. Peristiwa yang baru terjadi ini menambah

rasa takjub dan hormatnya kepada kakek itu. Membuktikan bahwa kakek yang sudah

amat tua ini, seorang sakti mandraguna pilih tanding.

Di pihak lain Klenting Mungil yang sedang berkelahi sangat terkejut. Diam-diam

kakek ini menyadari bahwa tingkat ilmunya masih agak di bawah lawannya. Ia menjadi

heran! Usianya sendiri sudah hampir enampuluh tahun. Akan tetapi mengapa tidak kenal

kakek ini? Sambil berkelahi dan mengerahkan kepandaiannya, Klenting Mungil mencoba

mengingat-ingat. Beberapa orang tokoh sakti berkelebat dalam ingatannya.

"Ahhh........!" tanpa sesadarnya KlenMng Mungil mengeluh setelah teringat,

siapakah tokoh sakti yang sedang dihadapi ini.

Teringatlah Klenting Mungil sekarang tentang seorang tokoh sakti mandraguna,

bernama Menak Singgih.

Mendadak saja ia menjadi gentar, semangatnya hancur. Ia ketakutan setengah

mati, kemudian melengking nyaring, lalu lari secepat terbang meninggalkan lawan.

Singomurdo dan Lamdahur kaget setengah mati melihat gurunya lari. Dengan

susahpayah dua orang ini bangkit, kemudian mereka berusaha menyelamatkan diri

mengikuti Klenting Mungil.

Orang berjubah abu-abu itu hanya tersenyum dan tidak berusaha mengejar.

Kemudian melangkah lambat menghampiri Fajar Legawa yang masih duduk di atas tanah

dengan kaki dan tangan masih lumpuh.

"Terima kasih atas pertolongan bapa," kata pemuda ini, "Bapa telah

menyelamatkan saya dari ancaman maut........."

Seraya mengusap jenggotnya yang putih seperti perak dan panjang sebatas dada

itu si kakek berjubah ketawa sejuk. Sesaat kemudian terdengarlah kata kakek ini halus.

"Anak, sesungguhnya hanya Allah yang menolong engkau darimalapetakayang

mengancam kau. Maka bersyukur dan berterima kasihlah engkau pada Dia."

"Bapa benar!" kata Fajar Legawa, "Namun demikian, bapa telah berhasil

mengusir Klenting Mungil yang jahat itu."

"Hemmm, diamemang amat kejam dan ganas sejak muda," kata kakek itudengan

halus. "Tetapi agaknya dia sudah lupa padaku.Ya, agaknya dia takkan dapat berobah

sampai nyawa lepas dari tubuh. Ahhh, sayang........mengapa manusia di dunia ini harus

mendekatkan diri dengan perbuatan jahat?Manusia hidup di dunia ini ibarat singgah

minum dalam perjalanan jauh menuju tempat langgeng, setelah kita ini dipanggil

Tuhan.Nah, kalauhanya singgah minum, mengapa manusia harus mengotori hidupnyahttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

denganperbuatan perbuatan tidakbaik?Apakah manusia ini bisa hidupmulia, apabila

menjadi kaya sebagai hasil memeras dan berbuat kejahatan yang lain? Anakku, aku

harapkan agar engkau selalu menyadari hidup ini.Jangan engkau mendekatkan

diridengan perbuatan tidak baik, terpengaruh oleh nafsu."

"Terima kasih atas petunjuk bapa."

"Anak, siapakah sesungguhnya engkau ini, dan siapa pulakah gurumu?"

"Saya bernama Fajar Legawa, dan guru saya bapa Suria Kencana."

"Heh-heh-heh, engkau murid Suria Kencana?" kakek ini ketawa halus. Kemudian

terusnya. "Gurumu akan merasa bahagia sekali mempunyai murid seperti engkau ini.

Engkau seorangpemuda yang tabah dan berani. Ya, semoga Allah selalu menolong dan

membimbingmu, sehingga kelak kemudian hari engkau akan menjadi seorang laki laki

sejati yang berguna bagi nusa dan bangsamu."

"Terima kasih bapa, akan tetapi perkenankanlah hamba mohonperkenan bapa,"

"Tentang apa?"

"Hamba mohon keterangan, siapakah sesungguhnya bapa ini?"

"Heh-heh-heh," kakek tua renta ini hanya ketawa sejuk, tetapi tidak memberi

jawaban. Tiba-tiba tangan kakek itu bergerakmengebas. Serangkum angin pukulan yang

tajam menyambar ketubuh Fajar Legawa, hingga pemuda ini amat terkejut. Ia ingin

menghindar, akan tetapi kaki dan tangannyi inisih lumpuh sehingji sama sekali

tidakdapHYPERLINK "http://dap.it/".itbergerak. Sebagai akibatnya, pemuda ini

kemudrin hanya memejamkan mata dan paserah kepada ituhan.
Iblis Dari Gunung Wilis Karya Widi Widayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Namun denrKan diam-diam pemuda ini heran. Mengapa kakek tuarenta yang

telah menolong dirinya dari bahayaini, dan tampaknya welasasihdan halus gerakgeriknya,

tidak bedanya dengan Klenting Mungil? Ternyata pertolongannya bukan pertolongan

yang tulus, melainkan mempunyai maksud tersembunyi. Ternyata kakek itu mengusir

Klenting Mungil, karena si kakek ini juga ingin membunuh dirinya.

Namun kemudian ternyata bahwa dugaannya ini keliru. Memang benar

serangkum angin yang tajam itu memukul dirinya. Tetapipukulan yang menyentuh

tubuhnya itu tidak menyebabkan dirinya mati. Akan tetapi secara ajaib malah sudah

berhasil menyembuhkan kelumpuhan kaki dan tangannya. Malah serasa ada hawa hangat

yang mengalir dalam tubuhnya, sehingga tubuh yang semula letih itu sekarang kembali

segar.

Sadarlah pemuda ini sekarang, bahwa dirinya berhadapan dengan seorang sakti

yang tidak mau memperkenalkan diri. Ia membuka mata, kemudian terbelalak. Sebab

kakek itu sekarang sudah tidak tampak lagi, sedang tongkat pusakanya sudah menggeletak

tidak jauh dari tempatnya duduk.

Fajar Legawa menghela napas lega, tetapi juga getun. Sebelum ia dapat

mengucapkan terima kasih, ternyata kakek itu sudah pergi,https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

"Sayang............" desisnya perlahan.

Mendadak teringatlah pemuda ini akan maksud tujuannya yang semula. Ia harus

dapat memberi pembuktian kebenaran tentang keterangannya perihal Pertiwi Dewi.

Teringat akan Pertiwi Dewi, tiba-tiba saja jantung pemuda ini berdebar tegang. Ia

menjadi khawatir apabila Wukirsari dan Gadung Melati telah lebih dahulu datang di sana.

Dan akibatnya, dirinya tentu dituduh sebagai seorang muda yang selewengan.

Akan tetapi sebelum pemuda ini sempat bangkit dan pergi ke tempat kudanya

ditambatkan, tiba-tiba ia mendengar suara teguran seseorang. "Hai! Mengapa engkau

malah malas-malasan di tempat ini?"

FajarLegawa kaget dan cepat meloncat berdiri, tetapi hatinya agak mendongkol

juga. Ia cukup kenal suara itu, suara Gadung Melati.

Namun ketika dua orang kakek itu muncul dan melihat bekas-bekas perkelahian,

dua orang kakek ini terbelalak. Tegur Wukirsari gugup. "Apakah engkau terluka?"

Fajar Legawa menggelengkan kepalanya. "Tidak paman, tetapi hampir celaka.

Untung seorang kakek yang tidak mau memperkenalkan diri, telah menolong saya."

Wukirsari dan Gadung Melati menebarkan pandang matanya sekeliling.

Kemudian Gadung Melati mendesis. "Hebat! Sungguh sayang sekali aku tidak

memperoleh kesempatan menyaksikan perkelahian sehebat ini. Aihh kakang,

bagaimanakah pendapatmu?"

Wukirsari mengangguk. Kemudian. "Engkau benar. Apa yang baru terjadi jelas

amat hebat.

"Paman, seorang diantaranya Klenting Mungil." Fajar Legawa memberi

keterangan. "Klenting Mungil merobohkan saya hingga tidak berdaya. Namun seorang

kakek telah datang dan menolong, sehingga Klenting Mungil melarikan diri."

Gadung Melati dan Wukirsari tercekat mendengar penuturan Fajar Legawa. Sebab

dua orang kakek ini cukup kenal siapakah Klenting Mungil, dan sepak terjangnya yang

ganas pula. Maka baik Wukirsari maupun Gadung Melati merasa bersyukur bahwa Fajar

Legawa terhindar dari bahaya. Sebab apabila sampai terjadi, tentu keris pusaka "Tilam

Upih" yang tersimpan di dalam tongkat itu, akan jatuh ke tangan Klenting Mungil yang

amat jahat.

"Kakang, siapakah kakek itu menurut dugaanmu?" tanya Gadung Melati.

Wukirsari tidak cepat menjawab, tetapi tampak mengerutkan alis dan

mengumpulkan ingatannya. Jawabnya setelah beberapa saat mengingat-ingat.

"Mungkinkah kakek itu paman Menak Singgih?"

"Ahhh....... agaknya benar, kakang," sahut Gadung Melati yang menyokong.

"Bukankah dia seorang yang suka mengenakan jubah abu-abu, dan disamping itu seorang

ahli pengobatan yang aneh? Dalam mengobati orang tidak usah menyentuh tubuh. Aihhh,

sayang juga kita datang terlambat kakang, hingga tak dapat berjumpa."https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

"Fajar, tahukah engkau bahwa paman Menak Singgih itu, merupakan sahabat

guruku, guru Gadung Melati, dan berarti guru ayahmupula?" kata Wukirsari kemudian.

"Tiada bedanya gurumu Suria Kencana. Maka paman Menak Singgihpun seorang

pengabdi kemanusiaan yangsepi ing pamrih. Beliau amat benci pula terhadap orang-orang

yang suka melakukan perbuatan jahat. Dan untunglah bagi Klenting Mungil, masih diberi

kesempatan hidup. Karena Klenting Mungil tidak mungkin mampu melawan paman

Menak Singgih."

Fajar Legawa amat tertarik. Oleh karena itu kemudian bertanya. "Dimanakah

beliau bertempat tinggal?"

Wukirsari menggelengkan kepala. Kemudian jawabnya. "Entahlah sekarang

beliau bermukim. Telah lebih duapuluh tahun lamanya beliau tidak pernah

menampakkan diri lagi. Tetapi entah mengapa sebabnya secara tiba-tiba muncul dan

menolongmu."

"Mungkin beliau tertarik akan kesibukan orang-orang sekarang, yang sedang

berlomba memperebutkan keris pusaka "Tilam Upih" dan pedang pusaka "Sokayana","

kata Gadung Melati.

Fajar Legawa merasa heran. Bertanyalah ia kemudian. "Paman, mungkinkah

beliau ikut serta berlomba?"

Gadung Melati dan Wukirsari tertawa. Fajar Legawa melengak heran. Mengapa

sebabnya orang-orang tua itu ketawa?

"Engkau jangan cepat salah sangka, Fajar," kata Gadung Melati kemudian.

"Bukan paman Menak Singgih akan ikut berlomba memperebutkan pusaka-pusaka itu.

Aku percaya bahwa munculnya beliau, dalam usahanya untuk mencegah pusaka-pusaka

itu jatuh ketangan orang jahat. Karena apabila beliau menghendaki, tentunya tongkatmu

sudah diambilnya."

Tanpa sesadarnya Fajar Legawa meraba tongkat pada pinggangnya. Dalam

hatinya membenarkan pendapat Gadung Melati ini, bahwa apabila orang tuaitu

menginginkan pusakanya, tentu sudah diambil.

Wukirsari mengamati Fajar Legawa, kemudian katanya mengandung

nasihat,"Fajar munculnya Klenting Mungil menuntut padamu harus lebih hati-hati lagi

dalam segala tindak dan langkahmu. Kau telah melawan orangtua itu dengan tongkatmu,

maka aku percaya bahwa Klenting Mungil menjadi curiga. Karena bagi seorang yang

memiliki ilmu kesaktian yang cukup tinggi, dia cepat bisa membedakan mana benda

pusaka dan mana bukan."

Wukirsari berhenti, mengamati Fajar Legawa seperti mencari kesan. Sesaat

kemudian kakek ini meneruskan. "Namun demikian engkau tidak perlucemas dan

khawatir. Percaya dan yakinlah bahwaAllahakan selalu melindungimu. Akan selalu

membimbingmu supaya tidak terpedaya oleh tipu muslihat dan akal penjahat. Ingatlah

engkau akan Firman Tuhan yang antara lain "Dan sesungguhnya Allah itu Maha

Mendengar dan Maha Mengetahui. Oleh sebab itu pasrahkanlah seluruhnya kepadahttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Tuhan, dan janganlah engkau bimbang dalam mengemban tugas yang mulia itu."

Atas peringatan dan nasihat Wukirsari itu, hati Fajar Legawa tergetar. Meskipun

ia berusaha meyakinkan hati bahwa Tuhan akan selalu melindungi dan menolong, dalam

hati masih juga merasa khawatir. Ia merasa bahwa kepandaiannya masih amat rendah,

sedang orang-orang yang berlomba tidak terhitung banyaknya memiliki kepandaian amat

tinggi.

"Nasihat paman akan selalu saya indahkan," jawab Fajar Legawa.

Wukirsari menganggukkan kepala dan tersenyum. Kemudian. "Aku gembira

mendengar kesanggupanmu itu. Namun kiranya aku perlu mengutip nasihat para

cendekia yang antara lain "Apabila engkau berhati-hati menjaga diri, segala kebaikan

akan datang sendiri kepadamu. Kebaikan sama dengan air, senantiasa mencari tempat

untuk mengalir. Dan kemenangan selalu menjadi balasan orang yang hati-hati segala

kelakuannya. Orang pemalas yangselalu ragu, sekali-kali tiada akan mencapai

kemenangan. Harta bagi orang yang berakal, ialah akalnya dan perbuatan baik yang telah

diperbuatnya. Orang yang berakal tiada pernah khawatir, bahwa perbuatannya yang baik

akan hilang percuma, atau ia akan menerima hukuman karena kesalahan yang tiada

dikerjakannya. Seiring dengan itu ia tiada pernah lengah akan keperluan akhiratnya,

karena ia tahu, ajal tiada tertentu waktu datangnya. Demikianlah Fajar, hendaknya

engkau dapat memahami nasihat ini baik-baik untuk bekalmu mengemban tugas yang

suci itu."

Fajar Legawa berdiam diri dan berusaha menyimpan nasihat-nasihat berharga itu

dalam sanubarinya. Karena ia menginsyafi, bahwa nasihat-nasihat berharga itu

diberikan dengan maksud baik dan suci.

"Fajar," kata Wukirsari lagi, agaknya kakek ini belum juga puas bicara.

"Mengingat akan beban yang kau emban dalam tugasmu. Maka perlu aku peringatkan

jangan gampang-gampang terpengaruh oleh ucapan sahabat. Mengapa? Karena

ketahuilah bahwa sahabat ada dua macam. Ialah setulus hati dan sahabatberpura-pura.

Untuk sahabat yang setulus hati, patutlah engkau dekati. Akan tetapi sahabat yang

berpura-pura, akan menimbulkan bahaya bagi dirimu sendiri. Karena persahabatan yang

lahir itu sendiri sudah menganduug permusuhan yang tersembunyi di dalamnya."

Fajar Legawa mengangkat kepalanya, mengamati Wukirsari denganwajah heran

mendengar itu Tanyanyakemudian. "Paman, adakah orang yang disebut sahabat masih

juga sampai hati untuk diam-diam mencelakakan sahabatnya?"

"Heh-heh-heh," Wukirsari ketawa terkekeh. "Tentu saja bisa terjadi demikian.

Bukankah banyak terjadi pula peristiwa yangbisadisebut menohok kawanseiring?

Nahkarena itulah, mencari sahabat tidak mudah. Kalau mendapatkan sahabat yangbenar-

benar setulushati, tentu sahabat itu takkan tega menohok kawan seiring. Akan

tetapisebaliknya sahabat berpura-pura, akan menimbulkan permusuhan, yang selalu

berusaha ditutup dan disembunyikan. Padahal permusuhanyang tersembunyi itu

lebihjahat dari pada yang nyata. Orang yang tidak pandai menjaga diri dari

permusuhanyang demikian, sama kedaannya dengan orang yang naik ke atas leher seekor

gajah yang sedang marah. Kemudian datanglah kantuk menyerang, ia tertidur di situ

dan barulahsadar ketika dirinya telah di bawah telapak kaki gajah."https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Wukirsari berhenti sebentar, ia memandang Fajar Legawa yang tampak amat

memperhatikan, kemudian tersenyum. Sesaat kemudian barulah kakek inimeneruskan.

"Fajar, mengingat akan beban yang sedang engkau pikul, maka hendaknya engkau pandai

menjaga dirimu, di samping pula paudai menyimpan rahasia............"

"Kakang, aku mengerti bahwa nasihat-nasihatitu memang amat berguna bagi

Fajar Legawa!" potong Gadung Melati tiba-tiba, dengan paras wajah yang kurangsenang,

karena hati kakek ini memang gelisah."Tetapi kakang, Fajar Legawa masih

mempunyaikewajiban yang lebihpenting. Adalah membuang-buang waktu tak

bergunaapabilakita lama-lamaberhentidisini. Karena itu kakang, maafkanlah aku.

Sekarang ini juga Fajar Legawa harus cepat-cepat menunjukkan di mana Pertiwi Dewi

dikatakan membunuh diri, sebagai pembuktianakan keterangannya."

Wukirsari ketawa perlahan atas teguran adik seperguruannya ini. Kemudian

katanya sambil tersenyum. "Baiklahadi, marilah kita segera membuktikan kebenaran

akan keterangan Fajar Legawa. Dan semoga Fajar Legawa memang tidak berdosa dalam

peristiwa ini."

Fajar Legawa mengamati Gadung Melati dan Wukirsari bergantian. Kemudian.

"Paman, saya percaya bahwaAllah mengulurkan tangan untuk menolong saya."

"Yaya," sahut Wukirsari. "Semoga engkau tidak menyia-nyiakan kepercayaan

pamanmu Gadung Melati."

Mereka kemudian meninggalkan tempat ini menuju gunung Ungaran. Fajar

Legawa melarikan kudanya lagi, sedang Gadung Melati dan Wukirsari menggunakan

kepandaiannya lagi untuk mengejar Fajar Legawa yang mengendarai kuda.

Dalam perjalanan menuju gunung Ungaran ini, benak Fajar Legawa masih

disibuki tentang Menak Singgih yang sakti mandraguna dan sudah menolong dirinya dari

ancaman Klenting Mungil. Dalam hatinya timbul rasa heran, mengapa gurunya tidak

pernah menyebut-nyebut tentang orang sakti yang tua itu?

Namun hari itu tak cukup mencapai gunung Ungaran, karena waktu yang

dipergunakan berkelahi dengan Klenting Mungil tadi cukup banyak. Dan kalautoh harus

nekad mendaki gunungitu di waktu malam, kurang pula kegunaannya.

Ia menginap dalam sebuah desa. Dan sungguh beruntung bahwa seorang desa

yang baik hati, dengan ramah menerima kedatangan pemuda itu. Dan walaupun hanya

penduduk desa, namun pemilik rumah berusuha membuat tamunya senang, sehingga ibu

rumah malam itu juga menangkap ayam,kemudian disembelih untuk lauk. Atas sikap dan

keramahan pemilik rumah ini, mau tidak mau membuat Fajar Legawa merasa kikuk juga.

Ketika tabuh sembilan Fajar Legawa telah di persilahkan tidur oleh pemilik rumah.

Iapun segera masuk tidur ke tempat yang telah ditunjuk. Iapun segera berusahauntuk

tidur, namun matanya tak juga mau dipejamkan. Sekarang ini benaknya dipenuhi oleh

keraguan tentang usahanya membuktikan kebenaran keterangannya.FajarLegawa merasa

sulit untuk menunjukkan pembuktian, karena ia tidak mempunyai seorang saksipun

dalamperkara ini. Modal satu-satunya yang dimilikihanyalah kepercayaan, bahwa ia tidakhttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

bersalah dalam persoalan ini.

Sampai lewat tengah malam, mata Fajar Legawa masih juga belum terpejam.

Sesungguhnya ia penat sekali, setelah melakukan perjalanan dan harus berkelahi melawan
Iblis Dari Gunung Wilis Karya Widi Widayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Klenting Mungil.

Akan tetapi kemulian disaat Fajar Legawa hampir tertidur, ia menjadi terkejut.

Telinga pemuda ini menangkap suara yang mencurigakan di bagan atas atap. Cepat-cepat

pelita dipadamkan, sehingga ruangan itu gelap. Dan setelah pelitapadam, kemudian

pemuda ini berjaga diri menjaga segala kemungkinan. Akan tetapi kemudian terpikir oleh

pemuda ini, akan tidak menguntungkan apabila sampai terjadi berkelahi di dalam rumah.

Di samping ruangan itu sempit, juga akan menganggu pemilik rumah.

Dengan hati-hati dan berjingkat-jingkat kemudian pemuda ini keluar lewat pintu.

Setelah tiba di luar rumah ia cepat berlindung sambil menebarkan matanya kesekeliling.

Tetapi anehnyatidak tampak sesuatu yang mencurigakan, dan tidak pula terdengar suara

apa-apa. Malam sepi dan hening, dan hanya binatang malam merajai kesunyian malam.

Diam-diam pemuda ini merasa heran. Ia merasa pasti seseorang telah hinggap diatas atap.

Namun mengapa tidaknampak sesuatu yang mencurigakan?

Akan tetapi kemudian Fajar Legtwa amat terkejut. Entah kapan orang itu hadir,

tahu-tahu ia melihat seseorang telah meloncat ke atas atap. Dan disaat ia akan menyusul,

seorang yang lain telah menyusul mendahului. Kemudian dua orang itu berkejaran.

Terdoroag oleh rasa curiga. Fajar Legawa cepat-cepat meloncat pula ke atas atap,

kemudian pemuda ini membayangi.

Tak lama kemudian tibalah mereka pada suatu tanah lapang. Fajar Legawa tidak

berani gegabah.Namun dengan jelas dilihatnya, dua orang itu sekarang berkelahi sengit

dan gerakan mereka juga cepat, angin pukulan menyambar ke sekitarnya.

Tetapi sesudah agak lama mengikuti mereka yang sedangberkelahi itu, ia kaget!

Gerakan orang yang tidak bersenjata itu, mirip sekali dengan gerakannya sendiri apabila

berkelahi. Dan malah bisa dikatakan merupakan ciri khusus dari perguruannya. Padahal

gurunya hanya mempunyai dua orang murid saja, dirinya sendiri dan Tumpak Denta.

Maka setelah memperhatikan seksama, tidak terlukiskan betapa gembira pemuda ini

tanpa sengaja dapat bertemu dengan kakak seperguruannya. Sebab dirinya sekarang ini

justeru sedang menghadapi tuntutan Gadung Melati yang cukup membuat hatinya gelisah

bukan main. Otaknya terasa kurang mampu untuk meyakinkan Gadung Melati, bahwa

dirinya tidak bersalah. Maka dengan hadirnya kakak seperguruannya ini, setidak-tidaknya

akan dapat meringankan kesulitannya.

Hampir saja Fajar Legawa berteriak memanggil. Untunglah bahwa otaknya sepera

dapat bekerja, bahwa perbuatannya bisa menggangguperlawanan Tumpak Denta. Oleh

sebab itu ia tidak jadi berteriak, lalu iasendiri mendekati gelanggangperkelahian. Tanpa

sesadarnya ia telah meraba tongkat pusakanya.

Pertempuran makin lama tambah sengit. Dan apabila pada mulanya Tumpak

Denta melawan dengan tangan kosong sekarang telah mencabut senjatanya. Sebatang

pedang panjangterpegang tangan kanan.Kemudian dengan pedang itu Tumpak Denta

berusaha mendesak lawan. Namun ternyata lawan yang dihadapi sekarang ini bukanhttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

lawan empuk. Dengan tongkatnya lawan itu memberikan perlawanan yang amat hebat.

Hingga sekalipun telah cukup lama, belum juga Tumpak Denta berhasil menundukkan

lawan.

Melihat itu Fajar Legawa terkejut berbareng heran. Tumpak Denta memiliki ilmu

kepandaian yang lebih tinggi dibanding dirinya. Tetapi mengapa sudah banyak waktu

dibuang, belum pula dapat menundukkan lawan?

Dalam hati timbul keinginannya untuk segera melibatkan diri dalam perkelahian

untuk membantu saudara tua perguruannya. Namun sebelum dilakukan, Fajar Legawa

sadar, bahwa bantuannya itu bisa menyinggung perasaan kakak seperguruannya. Tumpak

Denta tidak terdesak dan dalam bahaya. Mengapa harus mengeroyok?

Akan tetapi tambah lama Fajar Legawa menjadi gembira, ketika melihat kakak

seperguruannya itu dapat mengatasi lawan. Makin lama dengan tongkatnya, lawan itu

melawan dengan repot. Namun rasa gembiranya ini tidak lama menghuni dalam dada,

karena terjadi perobahan tiba-tiba. Ia melihat bahwa Tumpak Denta selalu

menghindarkan diri dari benturan senjata. Dan kemudian terdengar pula suara ketawa

orang itu yang mengejek. "Ha-ha-ha, kerahkanlah seluruh kepandaianmu. Huh, engkau

takkan dapat menang melawan aku."

"Bangsat!" teriak Tumpak Denta. "Siapa takut padamu?"

Laki-laki itu ketawa mengejek.Kemudian iamenggerakkan tongkat untuk

menangkis tikaman Tumpak Denta, katanya lagi."Beginikah ilmu pedang perguruan

Galunggung? Huh tidak cocok dengan kesombonganmu!"

Jantung Fajar Legawa berdesir hebat mendengar ejekan orang yang merendahkan

perguruannya itu. Mendadak saja dadanya seperti meledak, dan tidak tercegah

lagipemuda ini sudah melompat keluar dari tempatnya sembunyi sambil berteriak.

"Kakang! Berikanlah lawan yang sombong ini padaku."

Dengan kemarahan meluap-luap Fajar Legawa menerjang dengan tongkatnya.

Sambaran hawa yang amat dingin memancar dari tongkat, sehingga membuat orang

bertongkat itu terkejut. Orang itu menggerakkan tongkat untuk menangkis. Dan

munculnya Fajar Legawa yang langsung melibat dan menyerang lawan itu membuat

Tumpak Denta sendiri harus melompat mundur kemudian menonton.

"Adi! Berhati-hatilah engkau." Tumpak Denta berteriak memperingatkan adik

seperguruannya. "Dialah penjahat keji Putut Jantoko. Dan tongkat itu amat berbahaya

karena berisi racun yang jahat."

"Apa?" Fajar Legawa kaget. "Laki-laki ini Putut Jantoko?"

Mendadak saja darah Fajar Legawa mendidih. Jika benar orang ini Putut Jantoko.

ia harus dapat membunuhnya. Ia harus dapat membalaskan sakit hati Pertiwi Dewi dan

keluarganya.

Dan teringat akan nasib Pertiwi Dewi dan keluarganya ini, akibat sepak terjang

Putut Jantoko ini, ia merasa memikul tanggung jawab untuk membalaskannya. Apapunhttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

akibatnya.

Memang Fajar Legawa juga menyadari bahwa penjahat ini berilmu tinggi. Akan

tetapi teringat akan nasib Pertiwi Dewi dan keluarganya, ia tidak dapat memberi maaf. Ia

bersedia mati untuk membalaskan sakit hati gadis itu;

"Bagus, heh-heh-heh!" Putut Jantoko ketawa mengejek, "Majulah bersama-sama,

agar aku tidak terlalu banyak membuang waktu."

"Tutup mulutmu!" teriak Fajar Legawa marah.

Dengan tongkat pusakanya dan dengan gerakannya yang cepat sekali FajarLegawa

telah menyerang tiga bagian tubuh yang berbahaya sekaligus. Ialah pusar, uluhati dan

leher. Akantetapi Putut Jantoko cepat melompat kesamping sambil memukulkan

tongkatnya, dan diteruskan pula untuk menyerampang.

"Trang .........!" benturan tongkat tidak dapat dihindari, sehingga terdengar suara

amat nyaring, dan pijar api beterbangan di sekitarnya.

Fajar Legawa terbelalak heran. Mengapa tongkat lawan itu tidak segera patah

menjadi dua? Peristiwa yang baru saja terjadi ini merupakan hal baru bagi Fajar Legawa.

Biasanya senjata lawan akan segera patah apabila berbenturan dengan tongkatnya. Apa

sebabnya?

Tetapi sebaliknya Putut Jantoko sendiri terkejut berbareng heran. Baru kali ini

sajalah tongkat yang amat dibanggakan itu gagal mematahkan senjata lawan. Sejak

pertama kali ia menerima tongkat itu dari gurunya, tongkatnya itu merupakan senjata

yang amat ia banggakan. Sudah tidak terhitung jumlahnya senjata lawan yang dapat

dipatahkan atau dirusakkan olehtongkatnya itu. Namun mengapa tongkat pemuda ini

tidak menjadi patah?

Tiba-tiba Putut Janloko ingat akan senjata pusaka yang dewasa ini ramai

dibicarakan dan diperebutkan orang. Sebatang keris pusaka dan sebatang pedang pusaka.

Mungkinkah di dalam tongkat pemuda itu tersimpan pula senjata pusaka yang menarik

perhatian orang itu? Maka Putut Jantoko menjadi tertarik di samping

penasaran.Pendeknya malam iniia harus dapat mengalahkan lawan yang muda ini,

kemudian merebut senjatanya.Maka kemudian ia memutarkan tongkatnya lebih cepat,

sehingga merupakan benteng tongkat yang sulit ditembus.

Fajar Legawa terkejut juga ketika merasakan sambaran hawa panas dari tongkat.

Ia mengerutkan alis kemudian timbul dugaannya bahwa tongkat Putut Jantoko ini berisi

senjata pusaka, seperti tongkatnya. Dan sekarang sadar pula pemuda ini akan sebabnya

TumpakDenta tadi selalu berusaha menghindari benturan senjata. Agaknya Tumpak

Denta sudah tahu, bahwa benturan akan merugikan diri sendiri, senjatanya bisa patah.

Perkelahian antara Putut Jantoko dengan Fajar Legawa ini makin lama menjadi

semakin sengit. Tongkat mereka menyambar-nyambardengan dahsyat, akan tetapi

memancarkan hawa yang berlainan. Kalau dari tongkat Putut Jantoko menyambar hawa

yang panas membara, sebaliknya tongkat Fajar Legawa menyebarkan hawa yang amat

dingin.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Tumpak Denta yang menonton perkelahian itu diam-diam jantungnya tegang dan

tidak tenang. Ia memang cukup percaya akan kepandaian adik seperguruannya. Namun

ia mengenal pula bahwa Fajar Legawa seorang pemuda jujur. Dia belum kaya

pengalaman, dan bisa terjebak oleh tipu muslihat lawan yang keji.

"Adi!" teriak Tumpak Denta. "Engkau harus ingat bahwa setiap penjahat tidak

segan untuk melakukan perbuatan keji dan licik."

"Terimakasih," sahut Fajar Legawa. "Aku akan selalu dapat menjaga diri dengan

baik."

Cepat lawan cepat. Dua orang muda ini mengerahkan kepandaian dan mengincar

sasaran bagian tubuh yang mematikan. Pendeknya malam ini Fajar Legawa tidak akan

main kasihan kepada lawan. Orang ini terlalu jahat dan apabila dibiarkan hidup hanya

akan mengganggu ketenteraman umum.

Tiba-tiba terdengarlah suara ketawa perempuanyang nyaring, memecah kesepian

malam.

"Heh-heh-heh, malam ini akan tibalah saat kematianmu!"

Mereka kaet dan heran. Tumpak Denta segera memalingkan muka kearah

datangnya suara. Sebaliknya Putut Jantoko mendadak tampak terkejut, gelisah disamping

gugup. Mengapa? Ia cukup kenal akan suara perempuan itu, yang selalu membuatnya

takut. Maka dengan serangan gertakan untuk memancing Fajar Legawa menangkis, tiba-

tiba Putut Jantoko melompat ke belakang, kemudian lari terbirit-birit menerobos gelap

malam.

"Bagus!" suara perempuan itu terdengar lagi. "Kau sangka aku tidak dapat

mengejarmu?"

Kemudian berkelebatlah bayangan orang yang gesit dan seperti terbang, kearah

Putut Jantoko tadi melarikan diri.

Tumptak Denta dan Fajar Legawa terpaku di tempatnya. Timbullah pertanyaan di

dalam hati masing-masing, siapakah perempuan yang memiliki ilmu tinggi dan amat

ditakuti oleh Putut Jantoko itu?

"Kakang, mari kita kejar!" ajak Fajar Legawa yang masih pensaran, karena

belum dapat membalaskan sakit hati Pertiwi Dewi dan keluarganya.

"Jangan!" cegah Tumpak Denta. "Menurutkan amarah berdekatan dengan

bahaya. Maka kiranya lebih baik apabila sekarang kita pulang dan bertemu dengan guru."

"Apa?" Fajar Legawa tampak terkejut. "Guru memanggil aku?"

"Kepergianku bukan lain melaksanakan amanat guru yang mengharapkan

kedatanganmu. Maka merupakan hal yang amat menggembirakan bahwa malam ini aku

bisa bertemu dengan engkau."

Fajar Legawa menghela napas pendek, dan tiba-tiba saja hatinya sedih danhttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

masygul, ia harus memenuhi panggilan gurunya, akan tetapi sebaliknya iapun tidak dapat

lari dari tanggungjawab dari tuntutan Gadung Melati.

"Kakang, ahhh ............" Fajar Legawa mengeluh, "Maafkan aku. Saat ini aku

dalam kesulitan, dan sulitlah bagiku untuk memenuhi panggilan guru."

Tumpak Denta kaget dan heran. "Apa yang sudah terjadi?"

"Ceritanya agak panjang ," sahut Fajar Legawa tetap mengeluh.

Kemudian Tumpak Denta membimbing Fajar Legawa menuju sebuah batu.

Mereka kcmudian duduk, dan mulailah Fajar Legawa menceritakan apa yang terjadi dan

dialami. Tumpak Denta menghela napas dalam, dan diam-diam pemuda ini memeras

otaknya guna mencari jalan selamat bagi Fajar Legawa.

"Tuntutan itu amat menyedihkan hatiku, kakang," Fajar Legawa mengeluh.

"Aku tidak mempunyai seorang saksipun disaat Pertiwi Dewi membunuh diri. Maka

tipislah harapanku untuk dapat melepaskan diri dari hukuman paman Gadung Melati."

Berdesir jantung Tumpak Denta mendengar keluhan Fajar Legawa ini. Ia dapat

membayangkan betapa bingung dan sedih adik seperguruannya ini, akan tetapi ia sendiri

juga tidak menemukan jalan untuk menolong Fajar Legawa.

Lama sekali mereka berdiam diri tanpa dapat menemukan keputusan, dan tiada

pula sinar harapan sedikitpun. mereka merasa dalam kegelapan, meraba-raba dan tiada

pegangan apapun.

Setelah beberapa saat lamanya mereka berdiam diri, tiba-tiba terdengarlah Tumpak

Denta berkata halus. "Adi! Persoalanmu ini cukup berat dan berbahaya. Setujukah engkau

apabila hal ini aku laporkan saja kepada guru, agar beliau bisa membantu?"

Fajar Legawa menghela napas. Terasa berat juga untuk minta bantuan gurunya.

Suria Kencana telah amat lama menyepikan diri di lembah Galunggung. Dan di sampigg

itu jaraknyapun cukup jauh. Manakah mungkin gurunya dapat mengatasi?

"Kakang," kata Fajar Legawa perlahan, "Terima kasih atas bantuan dan
Iblis Dari Gunung Wilis Karya Widi Widayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

perhatianmu. Akan tetapi untuk minta campur tangan guru,sulit dapat terlaksana.

Dalam pada ituguru sudah amat tua, sampai hatikah aku merepotkan beliau? Maka

kakang, biarlah aku sendiri yang akan mempertanggungjawabkan soal ini."

Tumpak Denta menghela napas berat. Ia sudah cukup paham akan watak adik

seperguruannya ini yangtidak pernah mau merobah pendiriannya, dan apa yang sudah

diucapkannyapun sudah merupakan ketetapan hati. Oleh karena itu Tumpak Denta

tidak mendesak, kemudian berdiam diri.

Untuk beberapa saat lamanya mereka tidak membuka mulut dan keadaan hening

kembali. Baru kemudian terdengar Fajar Legawa bertanya. "Tahukah engkau akan

maksud guru memanggil aku?"

Dan Tumpak Denta menggelengkan kepalanya. Dan baru beberapa saat lamanya,https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Tumpak Denta membuka mulut. "Aku tidak tahu akan maksud guru. Akan tetapi aku

dapat menduga bahwa panggilan itu amat penting."

"Hemm," Fajar Legawa menghela napas lagi, "Akupun menyadari pula tentang

itu kakang. Namun sebaliknya apakah daya? Sulitlah bagiku untuk dapat memenuhi

panggilan guru itu, sebelum persoalan ini selesai. Maka aku mohon agar kakang pulang

dahulu saja menghadap guru, sambil memberitahukan kesulitan ini."

"Tak mungkin aku kembali menghadap guru tanpa engkau ikut serta. Aku tidak

mempunyai alasanyang cukup untuk membiarkan engkau dalam bahaya. Dan aku harus

menyertai engkau menyelesaikan soal gawat itu. Dan apapun yang harus kau hadapi,

merupakan tanggung jawabku pula. Huh, aku tidak rela engkau dihina orang!"

"Kakang, bukan maksud paman Gadung Melati menghina aku," sahutFajar

Legawa. "Tuntutan paman Gadung Melati adalah wajar, sebagai seorang guru yang

bertanggung jawab terhadap muridnya. Maka aku mohon agar kakang pulang ke

Galunggung lebih dahulu dan relakanlah aku menyelesaikan soal ini seorang diri."

"Tidak!Apapunyang terjadi,aku akan menyertaimu dan berusaha membelamu!"

Terharu Fajar Legawa mendengar ini. Jawaban itumembuktikan bahwa Tumpak

Denta amat kasih kepada dirinya. Mendadak ia memeluk Tumpak Denta erat sekali,

kemudian terdengarlah kata pemuda ini yang tidak lancar. "Kakang, terimakasih.

Bantuan dan pembelaanmu berarti meringankan beban yang sedang menghimpit dan

menindih diriku. Dan dengan hadirnya kakang di sampingku merupakan suatu kekuatan

dan tiang penyanggah dari keruntuhanku. Kakang, semoga Allah memberi petunjuk

padaku dalam usahaku membuktikan kenyataan, bahwa benar-benar Pertiwi Dewi

membunuh diri dan bukan karena aku bunuh."

"Ya, semoga."

"Tetapi kakang, mengapa engkau tadi berkelahi dengan Putut Jantoko?" tanya

Fajar Legawa tiba-tiba.

"Adi," sahut Tumpak Denta, "Dalam usahaku mencari engkau sesuai dengan

amanat guru, mendorong pada diriku harus dapat menemukan engkau dalam waktu

singkat. Itulah sebabnya aku sedikit sekali melepaskan lelah dalam perjalanan. Dua hari

yang lalu aku berkelahi dengan Putut Jantoko di selatan Batang, dalam usahaku menolong

orang. Akan tetapi sayang sekali bahwa usahaku itu sia-sia belaka. Orang yang kutolong

itu akhirnya harus mati karena terluka dan keracunan. Hemmmm ........."

Tumpak Denta menghela napas berat. Sesaat kemudian barulah ia meneruskan.

"Disaat mendekati ajal itu, dia sempat memberitahukan nama dan gurunya. Dia

bernamaYusuf muridAbdulrajak, pendekar dari Madura. Dan perkelahian antara Yusuf

dengan Putut Jantoko itu bukan lain akibat perbuatan Putut Jantoko yang terkutuk, dan

Yusuf berusaha memberantas penjahat itu."

Tumpak Denta berhenti lagi. Kemudian. "Putut Jantoko amat berbahaya. Sebab

di samping mempunyai senjata beracun, tongkatnya itupun hebat sekali. Senjata yang

berbenturan akan patah ........."https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

"Ahhh ......" seru Fajar Legawa. "Memang aku tadi juga merasa heran ketika

kakang selalu menghindari benturan senjata. Kemudian setelah aku mencoba dan

senjatanya tidak patah oleh tongkatku, aku menjadi kaget dan heran. Ahh, tongkatnya

tadi menebarkan hawa panas."

"Benar, akupun merasakan udara panas itu sewaktu berkelahi melawan dia.

Mungkinkah di dalam tongkat Putut Jantoko itu tersimpan pula senjata ampuh?"

"Mungkinkah pedang pusaka Sokayana yang banyak dipercakapkan orang itu?

Aih, kalau benar sungguh menyedihkan."

"Tidak! Tongkat itu terlalu kecil untuk tempat sebatang pedang. Dalam pada itur

tongkat tadi memancarkan hawa panas, maka tentu bukan pedang pusaka Sokayana."

"Apakah pedang Sokayana tidak memancarkan hawa panas?"

"Menurut keterangan guru, pedang Sokayana itu berhulu emas. Pedang itu tajam

sekali, akan tetapi tidak memancarkan hawa panas, melainkan dingin seperti pengaruh

keris pusaka dalam tongkatmu."

Tanpa terasa ketika itu hari hampir pagi. Fajar Legawa harus meneruskan

perjalanan kegunung Ungaran untuk memberi pembuktian. Maka kemudian Fajar

Legawa mengajak Tumpak Denta ke desa tempatnya menginap. Sekalian akan minta

diri untuk melanjutkan perjalanan.

Pagi itu kakak beradik perguruan iui memacu kuda menuju gunung Ungaran yang

sudah tampak di depan mata. Ketika matahari sudah sepenggalah tingginya, dua orang

muda ini sudah memacu kuda lewat jalan sempit pegunungan yang berliku seperti ular.

Kemudian pada saat dua orang muda ini mendaki, menikung, sempit dan berbahaya,

mendadak dua orang muda ini kaget. Hati tiba-tiba tegang dan mata mereka menyelidik.

"Kakang," kata Fajar Legawa. "Agakaya sedang terjadi perkelahian cukup sengit

di sana."

"Ya, agaknya di balik hutan itu," sahut Tumpak Denta. "Mungkinkah penghuni

gunung Ungaran yang bernama Jalu Gigis dan Dyah Raseksi itu?"

"Entahlah, tetapi juga mungkin. Mari kita lihat."

Tumpak Denta mengangguk. Mereka kemudian meloncat turun dari kuda masing-

masing. Kemudian kuda mereka tambatkan pada pohon di tengah semak yang terlindung.

Dan sesudah itu dua orang muda ini bergerak dengan hati-hati.

Tidak lama kemudian tibalah mereka pada sebuah hutan yang tidak begitu luas,

sedang tak jauhdari situ, tampak jurang lebar yang amat dalam.

Bentakan perempuan yang nyaring terdengar jelas terbawa angin. Mendengar

suara perempuan in tiba-tiba jantung Fajar Legawa tergoncangdan wajahnya berubah

merah. Teringatlah pemuda ini akan pengalamannya ketika ditawan. Ia terpaksahttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

berpura-pura mengimbangi cinta Dyah Raseksi, dan terpaksa harus mencium. Teringatlah

pengalaman yang memalukan dan memuakkan itu tiba-tiba saja kaki Fajar Legawa terasa

berat untuk melangkah.

"Adi, mengapa engkau?" tanya Tumpak Denta dengan heran.

"Entahlah. Tiba-tiba saja kakiku terasa berat untuk melangkah," sahutnya hambar.

"Engkau takut?"

Fajar Legawa menggeleng.

Tumpak Denta tersenyum, kemudian katanya. "Mengapa sebabnya kakimu terasa

berat? Hanya seorang yang sedang ketakutan sajalah kaki terasa berat untuk diangkat."

Fajar Legawa merasa malu juga disebut takut itu. Kenyataannya ia memang tidak

takut. Ia tergoda oleh pengalamannya berhadapan dengan Dyah Raseksi. Maka pemuda

ini tersenyum dalam usahanya menutupi perasaannya, dan kemudian menetapkan hati

untuk meneruskan perjalanan.

Mereka kemudian terbelalak. Kegelisahan Fajar Legawa tiba-tiba saja terhapus.

Perempuan yang sekarang berkelahi itu mengenakan baju biru dengan sepasang pedang.

Wanita berusia kira-kira setengah abad, akan tetapi nampak gagah menonton perkelahian

itu. Diam-diam Fajar Legawa sudah meraba tongkatnya melihat perkelahian itu.

"Engkau mau apa?" tanya Tumpak Denta.

Untuk sejenak pemuda ini gelagapan. Tetapi kemudian tersenyum sambil

menjawab. "Kakang, kita bertemu lagi dengan Putut Jantoko. "

"Ya, akupun tahu."

"Dan aku akan membantu perempuan itu. Aku pernah berhutang budi kepada

mereka."

"Siapakah mereka?"

"Gadis itu bernama Nawang Wulan dan wanita setengah tua itu ibunya,

Dewayani." Fajar Legawa menerangkan. "Aku pernah bertemu dengan mereka disaat

masuk kesarang Juru Demung."

"Tetapi adi," kata Tumpak Denta. "Lupakah engkau bahwa gadis itu belum kalah

dan ibunya itupun belum membantu? Apakah dengan tindakanmu itu tidak akan

menyinggung kehormatan mereka?"

Fajar Legawa terdiam mendengar itu. Kata-kata kakak seperguruannya itu tepat

dan benar. Apabila ia harus ikut campur dan membantu, dapat dianggap merendahkan

ibu dan anak itu. Maka Fajar Legawa tidak berani menurutkan hati, dan hanya menonton.

Perkelahian yang terjadi antara Putut Jantoko dengan Nawang Wulan itu memang

berlangsung sengit sekali. Akan tetapi baik Fajar Legawa maupun Tumpak Dentahttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

menyadari bahwa Putut Jantoko tidak berkelahi sungguh-sungguh. Dia tidak

menggunakan tongkatnya, sedang pedang yang sekarang dipergunakan itupun banyak

kali melepaskan kesempatan yang amat baik. Tampak bahwa Nawang Wulan masih agak

jauh di bawah tingkat Putut Jantoko, dan mungkin karena tertarik kecantikan gadis itu,

penjahat tersebut merasa sayang melukainya.

Fajar Legawa gelisah sendiri melihat itu. Tangannya kembali meraba tongkat, dan

tampak pemuda ini ingin sekali menggantikan kedudukan gadis itu.

Tiba-tiba terdengarlah bentakan nyaring. Dewayani yang semula berdiri dan

menonton itu sudah melompat dan langsung menyerang kepada Putut Jantoko. Agaknya

ibu ini tidak kuasa lagi menahan sabarnya melihat puterinya tidak dapat mengimbangi

lawan.

Fajar Legawa gembira melihat perobahan itu. Sekarang pemuda ini merasa yakin

bahwa Putut Jantoko akan segera dapat dihajar setengah mampus oleh perempuan sakti

itu.

Akan tetapi mendadak terdengarlah suara melenting nyaring. Dan hampir

berbareng telah meluncur seseorang dari sebatang pohon tinggi, seakan seorang yang

terjatuh dari pohon.

"Klenting Mungil!" desis Fajar Legawa kaget.

Tumpak Dentapun melihat meluncurnya orang itu dari pohon yang cukup tinggi.

Ia bergidik ngeri, karena kepala orang itu meluncur lebih dahulu. Dan apabila kepala itu

terbentur dengan batu di bawahnya niscaya kepala itu akan hancur berantakan.

Namun dugaan Tumpak Denta itu keliru. Benar kepala itu kemudian berbenturan

dengan batu sebesar kambing yang bercokol di atas tanah, akan tetapi bukan kepala itu

yang hancur berantakan, malah batu sebesar kambing itu yang hancur berantakan.

Kemudian dengan ketawanya yang nyaring, Klenting Mungil sudah bergerak seperti kilat

cepatnya menyambut gerakan Dewayani sambil membentak. "Ha jangan usil. Yang tua

sama tua, dan yang muda sama muda. Heh-heh-heh, bukankah itu cocok?"

Dewayani melompat ke samping menghindari serangan Klenting Mungil.

"Gila! Apanya yang cocok?" damprat Dewayani.

"Heh-heh-heh!" sambut Klenting Mungil dengan terkekeh, "Bukan sekalipun

engkau sudah tua tetapi masih tetap cantik? Dan bukankah sudah sepantasnya pula

apabila muridku itu berjodoh dengan puterimu?"

Sulit dilukiskan betapa marah Dewayani mendengar ucapan Klenting Mungil ini.

Tentu saja Dewayani menjadi marah dan malu, karena tahu apakah maksud Klenting

Mungil yang mengatakan "tua sama tua" itu. Tanpa membuka mulut Dewayani telah

menggerakkan dua tangannya untuk mencakar leher dan memukul kepala yang gundul

itu.

Terkejut juga Klenting Mungil atas serangan itu. Namun ia seorang saktihttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

mandraguna. Ia tidak menjadi gugup, dan dengan gerakan tangan melintang ia

membentur tangan lawan. Dalam waktu singkat dua orang tua inipun telah terlibat dalam

perkelahian yang amat sengit.

"Untung juga engkau tadi tidak gegabah, adi," bisik Tumpak Denta.

Fajar Legawa hanya menghela napas dan tidak menjawab. Meskipun dalam hati

tidak setuju dengan pendapat kakak seperguruannya, akan tetapi ia tidak ingin

berbantahan. Sebab seorang pengabdi kemanusiaan tidak sepatutnya mementingkan diri

sendiri, dan matipun bukan apa-apa untuk membela keadilan dan kebenaran. Dan

apapula penjahat ini telah merusakkan kebahagiaan keluarga Pertiwi Dewi.

Teringat akan malapetaka yang menimpa keluarga Pertiwi Dewi itu, darah muda

Fajar Legawa menggelegak. Tiba-tiba saja pemuda ini melompat, namun untung Tumpak

Denta tidak lengah dan cepat mencegah sambil membujuk. "Adi, sabarlah! Kita harus

pandai mengenal gelagat dan memperhitungkan keadaan."

"Tetapi ............... Putut Jantoko merupakan biang keladi kesulitanku, kakang!"

bantah Fajar Legawa.

Tumpak Denta heran. Tanyanya. "Kesulitan yang mana?"

"Bukankah sudah aku ceritakan tentang keluarga Pertiwi Dewi yang berantakan?"

"Tenangkan hatimu adi, jangan mengumbar nafsu amarah. Ingatlah bahwa

peristiwa-peristiwa di dunia ini mempunyai pertalian erat dengan yang lain." Tumpak

Denta memberi nasihat. "Ya, aku memang tidak dapat membantah bahwa Putut Jantoko

yang menjadi sumber kesulitanmu. Namun demikian kau jangan berusaha menambah
Iblis Dari Gunung Wilis Karya Widi Widayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kesulitanmu itu dengan tindakan yang kurang perhitungan."

"Mengapa demikian?" Fajar Legawa heran dan mengamati Tumpak Denta.

"Urusanmu dengan urusan mereka berlainan. Biarlah mereka menyelesaikan

urusan itu dahulu. Apabila ternyata kemudian ibu dan anak itu memerlukan bantuan kita,

belum terlambat kita membantu atau melawan mereka Bukankah ini lebih baik?"

Mereda juga kemarahan Fajar Legawa mendengar nasihat kakak seperguruannya

ini. Kemudian mereka kembali memperhatikan perkelahian yang masih berlangsung

sengit Tampak bahwa serangan Nawang Wulan itu datang bertubi-tubi, akan tetapi

dengan gampang Putut Jantoko selalu dapat menggagalkan.

Putut Jantoko masih tetap bertangan kosong. Penjahat ini sekarang tampaknya

seperti seorang ksatrya sejati, dan seakan mengalah kepada perempuan. Namun

sesungguhnya bukan demikian. Bukan karena dalam waktu singkat watak penjahat itu

berubah menjadi baik. Yang benar Putut Jantoko sekarang ini merasa sayang untuk

melukai gadis cantik itu. Dan dalam perlawanan ini pula Putut Jantoko berusaha

menangkap gadis itu tanpa luka.

Memang sesungguhnya saja telah berhari-hari lamanya Putut Jantoko berusaha

mengejar dan menangkap Nawang Wulan. Akan tetapi maksudnya itu selalu gagal olehhttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Dewayani. Dalam usaha ini Putut Jantoko telah berusaha mengalahkan Dewayani, akan

tetapi tidak mampu.

Semalam disaat sedang berkelahi melawan Fajar Legawa, penjahat itu terpaksa

melarikan diri bukan lain akibat takut Dewayani. Namun keadaannya sekarang segera

berobah, sesudah Putut Jantoko dapat bertemu dengan gurunya.

Tetapi sebaliknya Nawang Wulan yang marah dan muak atas sikap Putut Jantoko

itu, setiap serangannya tidak tanggung-tanggung. Ia selalu berusaha menyerang bagian

tubuh yang mematikan. Akan tetapi sungguh sayang bahwa usahanya itu selalu gagal.

Malah karena cukup lama berkelahi, akibatnya gadis itu payah sendiri. Walaupun

demikian gadis ini tidak mengeluh dan terus melawan dengan garang.

Di pihak lain, sulit bagi Dewayani untuk memecah perhatian membantu kesulitan

anaknya. Ia sendiri melawan penjahat tua yang sakti mandraguna. Apabila perhatiannya

terpecah akan berakibat dirinya menderita rugi.

Akan tetapi mengapa Klenting Mungil mengucapkan kata-kata yang kuasa

menyinggung perasaan Dewayani? Soalnya walaupun sudah setengah tua, kecantikan

Dewayani masih amat menonjol. Dan diam-diam menimbulkan gairah bagi Klenting

Mungil, sehingga menimbulkan perasaan sayang pula. Hanya sayang bahwa Dewayani

ini jauh bedanya dengan Nawang Wulan. Walaupun perempuan, Dewayani seorang sakti

mandraguna dan karena itu Klenting Mungil tidak berani sembrono. Ia melawan dengan

hati-hati, dan jari-jari tangannya yang berkuku panjang dan tajam itu selalu menyambar-

nyambar berbahaya untuk bisa mencengkram atau mencakar.

Sungguh tidak terduga sama sekali, tiba-tiba terdengarlah jerit Nawang Wulan.

Pedang gadis itu yang sebelah telah terlempar jatuh di tanah, terpental oleh pukulan Putut

Jantoko yang jitu.

Namun justeru jeritan dari mulut Nawang Wulan ini menimbulkan akibat tidak

terduga-duga. Sebagai seorang ibu yang kasih kepada anaknya, jeritan itu membuat hati

perempuan ini tergetar. sehingga memaksa diri memalingkan muka. Wajah perempuan

ini tiba-tiba pucat, tetapi kemarahannya makin meledak. Akan tetapi belum juga

perempuan tua ini dapat melaksanakan maksudnya menghajar lawan, waktu yang hanya

beberapa detik terpecah perhatiannya itu telah menimbulkan kesulitan. Ia telah berusaha

membuang diri untuk menghindari pukulan Klenting Mungil. Sayang usahanya

terlambat, pundak terpukul sehingga tubuh pendekar wanita itu terlempar lebih satu

tombak.

Sekalpun pundaknya sakit, tulang pundaknya patah dan sebelah tangannya

lumpuh, Dewayani tidak merintih dan mengeluh. Kemudian dengan lengkingan yang

nyaring dan geram, ia sudah melompat maju dan menerjang dengan pukulannya.

Klenting Mungil tidak menduga sama sekali perempuan itu masih sanggup

melancarkan serangan sedahsyat itu, sehingga agak gugup juga. Klenting Mungil berhasil

menghindarkan diri dari pukulan tangan Dewayani, akan tetapi tendangan susulan

bersarang ke lambung. Akibatnya penjahat tua itu terhuyung mundur. Disaat tubuh

penjahat tua ini sempoyongan, Dewayani masih dapat menyusuli serangan berbahaya.

Dan masih untung Klenting Mungil dapat membuang diri, kemudian bergulingan di atashttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

tanah.

Tetapi apa yang baru terjadi tadi, menimbulkan kemarahan Klenting Mungil yang

menggelegak dalam dada. Maka sambil menggeram nyaring, Klenting Mungil berobah

menjadi ganas. Kalau sejak tadi ia masih menahan diri untuk tidak menggunakan Aji

"Pengracutan", sekarang adalah lain. Dalam marahnya Klenting Mungil menjadi lupa,

bahwa sekarang ini sedang menghadapi perempuan. Hebatnya aji kesaktian tersebut akan

dapat membuat jari-jari tangan dan telapakannya sekeras baja. Jangankan tubuh manusia,

walaupun batu gunung yang keras akan hancur apabila dapat dicengkeram atau diremas

dengan tangannya. Dan mendadak saja Klenting Mungil sudah menggerakkan dua buah

tangannya seraya meloncat. Tangan kiri bersasaran pada leher, sedang tangan kanan

memilih sasaran kepala lawan. Gerakannya sedemikian cepat dan apabila leher dan

kepala lawan dapat terenggut, niscaya saat itu juga akan menemui ajalnya.

Namun Dewayani seorang pendekar wanita yang sudah banyak pengalaman

berkelahi. Ia tidak mudah menyerah untuk dibunuh. Dengan gerakan yang amat manis

Dewayani meloncat ke samping seraya mengirimkan tendangan untuk membendung

serangan lawan. Dan ketika tangan Klenting Mungil berusaha menangkap kakinya,

Dewayani cepat menarik kaki dan sasarannya beralih kepada lambung.

Sayang bahwa tangan kanan Dewayani masih terasa amat sakit akibat pukulan

Klenting Mungil. Akibatnya tangan kanan itu tidak banyak berarti dalam setiap gerakan

dan pukulannya.

Tumpak Denta dan Fajar Legawa melihat perkelahian yang seru itu. Mereka

mengerti jelas sekali bahwa Dewayani telah menderita luka, dan melakukan perlawanan

tidak sempurna. Namun setiap Fajar Legawa ingin bergerak maju, Tumpak Denta

selalu mencegahnya. Tumpak Denta justeru mengakui bahwa tingkat Dewayani masih

berada diatas dirinya. Maka apabila Dewayani sendiri tidak mampu melawan Klenting

Mungil, apakah artinya dirinya sendiri dengan Fajar Legawa maju dan berusaha

menolong?

Disamping khawatir akan keadaan Dewayani, merekapun khawatir akan Nawang

Wulan, yang jelas bukan lawan Putut Jantoko. Tingkah laku penjahat itu memuakkan

sekali, sebab sambil berkelahi selalu bersikap menghina dan juga selalu berusaha

membujuk. Apa yang dilakukan Putut Jantoko itu, menyebabkan Nawang Wulan

marah bukan main disamping amat malu. Dan dalam marah serta malu itu, kemudian

gadis itu menyerang dan berkelahi seperti nekat. Tentu saja hal ini malah menimbulkan

Nawang Wulan menderita rugi sendiri.

"Wulan, bukankah percobaan ini sudah lebih dari cukup?" kata Putut Jantoko

sambil menyeringai. "Aku cinta padamu manis, mengapa engkau masih membandel?

Adikku cantik, percayalah bahwa aku akan dapat membahagiakan dirimu. Engkau akan

menjadi isteriku tersayang. Maka marilah kita hentikan perkelahian tak berguna ini."

"Tutup mulutmu!" damprat Nawang Wulan sambil menyerang dengan

pedangnya. Wajah gadis itu nampak merah karena malu, sedang mata gadis itu seperti

menyala.

Putut Jantoko menyeringai. Kalau berkelahi benar-benar, jelas tidak sulit Pututhttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Jantoko mengalahkan Nawang Wulan. Akan tetapi tujuan Putut Jantoko sekarang ini

bukannya melukai dan lebih-lebih membunuh. Ia ingin sekali dapat menangkap Nawang

Wulan yang cantik itu dalam keadaannya yang seperti sekarang.

Kemudian pada suatu kesempatan Putut Jantoko berhasil menyambar dagu

Nawang Wulan yang kuning dan halus itu. Yang membuat Nawang Wulan kaget di

samping amat malu. Bukan main malu dan marah gadis itu. Dan kuasa pula memancing

kemarahan Nawang Wulan sehingga gadis ini melancarkan serangannya lebih nekat.

Sayang juga bahwa sebatang pedangnya telah runtuh. Maka walaupun serangan itu

dilancarkan cepat sekali, serangan itu dengan mudah selalu dipunahkan oleh Putut

Jantoko.

"Heh-heh-heh, engkau jangan nekad adikku, jangan nekat!" goda Putut Jantoko

dengan gerakan yang gesit menghindari terjangan Nawang Wulan itu, "Lebih baik engkau

menyerah saja, dan marilah kita pulang membentuk bebrayan bahagia."

"Mampuslah!" teriak Nawang Wulan yang tambah marah.

Kata-kata itu didengar oleh Dewayani yang sedang berkelahi sengit dengan

Klenting Mungil. Sebagai seorang tua berpengalaman, sekalipun tidak melihat tahu juga

apa yang sedang dialami puterinya. Jelas bahwa anaknya itu terdesak dan menderita

kesulitan, dan terancam pula bahaya mengerikan. Tetapi juteru berkelahi sambil

memikirkan anaknya, berarti perhatiannya terpecah itu, menyebabkan gerakan

perempuan tua ini sedikit lambat.

Akan tetapi walaupun hanya sedikit lambat, harus ditebus oleh Dewayani amat

mahal. Sebuah pikulan Klenting Mungil yang keras bersarang ke pundak. Walaupun

pukulan itu tidak tepat, menyebabkan tulang pundak remuk dan tubuh Dewayani

terpelanting. Klenting Mungil menyusuli dengan tendangan keras dan akibatnya, tubuh

Dewayani terlempar lebih tiga tombak. Perempuan itu jatuh terbanting keras sekali, dan

tidak dapat bangun lagi.

Peristiwa tak terduga itu sempat pula dilihat oleh Nawang Wulan. Tiba-tiba saja

gadis ini menjerit, melompat dan kemudian menubruk ibunya yang roboh di atas tanah.

Gadis itu sudah tak perduli lagi menghadapi ancaman bahaya dari lawan, dan sekarang

menjerit-jerit memanggil nama ibunya sambil pula menggoncang-goncang tubuh. Sama

sekali tidak disadari oleh gadis itu bahwa dengan perbuatannya, menyebabkan derita

ibunya yang terluka dalam itu makin bertambah.

Putut Jantoko dan Klenting Mungil ketawa terkekeh-kekeh gembira. Klenting

Mungil berdiri tegak sambil mengawasi Nawang Wulan yang menjerit-jerit sambil

mengoncang-goncang tubuh ibunya. Sedang Putut Jantoko dengan mulut menyeringai

sudah bergerak menghampiri Nawang Wulan,

Sekarang tak kuasa lagi Fajar Legawa dan Tumpak Denta berdiam diri. Dua

orang muda ini melompat hampir berbareng dengan senjata siap di tangan. Fajar Legawa

langsung menyerang Pulut Jantoko sedang Tumpak Denta langsung menyerang Klenting

Mungil. Serangan tak terduga ini sudah tentu mengejutkan guru dan murid itu.

Putut Jantoko menggerakkan pedang rampasannya untuk menangkishttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

"Krak!" patahlah pedang Nawang Wulan yang diambil oleh Putut Jantoko itu.

Penjahat ini terbelalak heran. Sebab tidak pernah diduganya sama sekali bahwa

pedangnya akan patah oleh benturan itu. Akan tetapi walaupun demikian Putut Jantoko

tidak gugup, seperti kilat cepatnya telah mencabut tongkatnya dari pinggangnya,

kemudian tongkat yang dibanggakan itu dipergunakan melayani Fajar Legawa.

Dua-duanya bersenjata tongkat dan dalam waktu singkat mereka telah berkelahi

sengit. Hawa udara yang bertentangan segera memancar keluar dari tongkat masing-

masing, memenuhi sekitarnya. Tongkat Putut Jantoko memancarkan hawa yang panas

membara, sedang tongkat Fajar Legawa memancarkan hawa yang amat dingin.

DUA-DUANYA melancarkan serangan amat cepat, justeru masing-masing

dikuasai nafsu untuk membunuh. Putut Jantoko marah dan ingin membunuh karena

kecewa, maksudnya menangkap dan menawan Nawang Wulan terhalang. Sebaliknya

Fajar Legawa dikuasai nafsu membunuh pula, karena marah menyaksikan tingkah laku

Putut Jantoko yang memuakkan.

Di pihak lain Klenting Mungil dan Tumpak Denta sudah berkelahi pula. Tetapi

sambil melayani ini, Klenting Mungil selalu ketawa terkekeh mengejek. Apakah artinya

seorang pemuda ingusan ini melawan dirinya? Dengan tangan Icosong ia melayani

Tumpak Denta. Kadang menghindar, dan kadang menangkis atau menyentil pedang

Tumpak Denta yang datang menyambar.

"Heh-heh-bch, siapakah engkau?" hardik Klentfog Mungil sambil terkekeh.

Tumpak Denta tidak membuka mulut dan terus melancarkan serangannya.

Pedangnya menyambar dengan cepat, dengan gerak perobahannya yang sulit diduga.

Hanya sayang bahwa yang dihadapi sekarang ini Klenting Mungil, seorang kakek sakti

mandraguna. Maka walaupun pemuda ini sudah berusaha sekuat kemampuannya,

pedangnya tak juga pernah berhasil menyentuh kulit tubuh lawan.

"Bocah tak tahu adat!" bentak Klenting Mungil sesudah menyentil batang pedang

Tumpak Denta yang melayang datang. "Apakah engkau sudah bosan hidup?"

Lengan Tumpak Denta tergetar hebat oleh sentilan jari tangan itu, sedang

pedangnya menyeleweng. Akan tetapi sambil menahan rasa kesemutan pada lengannya,

pemuda ini terus menghujani serangan bertubi-tubi.

"Kurang ajar!" bentak Klenting Mungil lagi. "Jika engkau tak juga mau enyah dari

smi, aku takkan main kasihan lagi."

Namun Tumpak Denta tetap saja melancarkah serangannya, tidak perduli akan

ancaman Klenting Mungil.

"Hai, apakah hubunganmu dengan Suria Kencana?" bentak Klenting Mungil lagi,

setelah memperhatikan gerak-gerik Tumpak Denta dalam menyerang dirinya.

Akan tetapi lagi-lagi Tumpak Denta tidak menjawab. Pemuda ini merasa tiada

perlunya menjawab pertanyaan itu. Yang penting sekarang ini dirinya harus dapat

mengalahkan kakek berkepala gede ini.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Iblis Dari Gunung Wilis Karya Widi Widayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kurang ajar. Apakah engkau tuli? Apakah engkau bisu?" teriak Klenting Mungil

yang menjadi penasaran, karena lawan yang muda itu tidak juga membuka mulut. "Huh,

mempunyai hubungan atau tidak dengan Suria Kencana, hari ini kau harus mampus!"

Benar saja, sesudah mengucapkan kata-kata ini, gerakan Klenting Mungil sudah

berobah. Kakek berkepala gede ini gerakannya sekarang tambah cepat, dua tangannya

mencakar dan mencengkeram serta menerbitkan angin cukup dahsyat. Tiba-tiba saja

Tumpak Denta merasakan tekanan yang hebat sekali. Angin yang dansyat itu

menyambar-nyambar dan menyebabkan dada terasa sesak. Akan tetapi walaupun

demikian Tumpak Denta mengerahkan semangat dan kepandaiannya untuk mengatasi

keadaan. Pedangnya menyambar terus tak pernah berhenti sambil pula berusaha

menerobos lingkaran angin yang membuat dadanya sesak.

Tetapi walaupun Tumpak Denta melawan sambil mengerahkan seluruh

kemampuannya, secara pasti ia terus didesak oleh kakek kepala gede itu. Sambaran angin

yang keluar dari telapak tangan itu terus menyambar, menekan ruang geraknya, hingga

bagaimanapun makin lama pemuda itu kesulitan.

Kalau makin lama Tumpak Denta kesulitan dalam menghadapi Klenting Mungil

ini sebaliknya Fajar Legawa lain. Dari sedikit Fajar Legawa dapat mengatasi Putut

Jantoko. Memang sekarang ini Putut Jantoko yang selalu membanggakan tongkatnya itu

mendapat tanding. Berkali-kali dua tongkat itu berbenturan dan menerbitkan suara

nyaring. Namun Putut Jantoko tidak berhasil mematahkan senjata lawan, dan sebaliknya

tongkat Fajar Legawa juga tidak berhasil membuat senjata lawan patah.

Akan tetapi justeru kegagalannya menyebabkan Putut Jantoko penasaran. Ia

bermaksud dapat menawan Nawang Wulan secepatnya, namun dihalangi pemuda ini.

Rasa penasaran ditambah rasa kecewa dan masygul ini membuat Putut Jantoko tidak

telaten lagi. Dan untuk mengatasi lawan yang sanggup menandingi tongkatnya itu, tiada

jalan lain 1agi kecuali harus menggunakan senjatanya yang ampuh sekarang juga. Senjata

beracun yang telah berkali-kali merenggut nyawa manusia lain, tersimpan dalam jarum.

Fajar Legawa yang polos tidak menyadari rencana lawan yang amat curang. Ia

terus menggerakkan tongkatnya dalam usahanya mendesak lawan. Kemudian terjadilah

benturan yang cukup keras antara tongkat dengan tongkat. Masing-masing terhuyung

mundur satu langkah, dan telapak tangan masing-masing terasa panas seperti terbakar.

Namun kemudian Fajar Legawa amat heran. Ia tidak metasa terkena pukulan

lawan. Akan tetapi mengapa secara tiba-tiba puncaknya dirasakan nyeri dan sakit? Seakan

ada sesuatu yang menancap pada pundaknya, tetapi benda apakah itu? Fajar Legawa tidak

memperdulikan rasa sakit dan nyeri pada pundaknya, dan pemuda itu berusaha

menghujani serangan-serangan berbahaya kepada lawan..

Apa yang telah terjadi memang tidak disadari dan diduga oleh Fajar Legawa. Dan

bukan hanya pemuda ini, tetapi juga orang- orang lain yang melawan Putut Jantoko.

Sesungguhnya sekarang ini Fajar Legawa telah menderita luka. Dan luka itu hanya kecil

saja, namun dapat membahayakan jiwa manusia. Luka tersebut akibat menancapnya dua

batang jarum yang beracun jahat, telah menancap pada pundak.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Klenting, Mungil memang tidak tanggung-tanggung dalam melengkapi senjata

muridnya. Dalam tongkat itu tersimpan ratusan jarum halus yang jahat sekali, karena

sudah direndam oleh racun. Dan jarum itupun dapat menyerang lawan tidak terduga-

duga dan tidak akan diketahui. Sebab jarum itu menyerang lawan digerakan oleh alat

rahasia pada tongkat itu sendiri. Ketika dua tongkat tadi berbenturan, Putut Jantoko telah

menekan alat penyebar jarum, akibatnya pundak Fajar Legawa terluka tanpa disadari, dan

dua batang jarum telah menancap pada pundak.

Ketika itu Nawang Wulan sudah siuman dari pingsannya. Gadis ini segera

menyadari bahwa ibunya menderita hebat sekali. Wajah ibunya pucat seperti kapas dan

napasnya tinggal satu-satu. Maka gadis ini dengan hati yang amat khawatir dan air mata

yang bercucuran, segera berusaha menolong ibunya yang menderita itu. Hingga gadis ini

seperti tidak mau perduli akan kehadiran Tumpak Denta dan Fajar Legawa, dan yang

sekarang menghadapi guru dan murid itu, dan justeru dalam usaha mereka menolong

dirinya.

Sementara itu perkelahian masih terus berlangsung sengit sekali. Walaupun

pundak dirasakan nyeri, nanaun Fajar Legawa terus menyerang dengan hebat. Akan

tetapi justeru gerakan-gerakan Fajar Legawa yang memberi perlawanan ini, pengaruhnya

racun pada jarum itu bekerja tambah cepat. Rasa nyeri pada pundaknya itu tambah lama

menjadi panas, dan di samping itu lengan dirasakan makin menjadi kejang. Merasakan

perobahan pada pundaknya ini, Fajar Legawa terkesiap. Baru teringatlah ia sekarang akan

penuturan Tumpak Denta. Bahwa Putut Jantoo memiliki senjata sangat berbahaya dan

beracun.

"Ahhh.........Fajar Legawa mengeluh dalam hati. Sadarlah pemuda ini bahwa

senjata beracun yang dimaksud, adalah jarum. Namun demikian timbul rasa heran dalam

hatinya, mengapa ia tidak melihat tangan Putut Jantoko tadi bergerak dan menyerang

dengan jarum itu? Lalu bagaimanakah cara penjahat itu melepaskan jarum?

Akan tetapi ia tidak dapat berpikir panjang. Pundaknya makin lama makin kaku

dan sulit digerakkan. Maka sebelum racun itu bekerja lebih lanjut, dan tubuhnya

keracunan, ia harus dapat membunuh lawan lebih dahulu. Sambil membentak dan

menggeram keras Fajar Legawa melancarkan serangannya lebih hebat. Sebaliknya Putut

Juioko menyeringai mengejek, ia merasa pasti bahwa tidak lama lagi lawannya akan

segera roboh oleh pengaruh racun. Maka ia sengaja membenturkan tongkatnya lagi untuk

melukai lawan lagi dengan jarum beracun yang tersimpan dalam tongkatnya.

Jarum beracun yang tersimpan dalam tongkat itu justeru halus, sedang racun

ampuh hasil Klenting Mungil itupun tidak berbau. Segera saja Fajar Legawa nerasakan

dada dan pundak kiri nyeri dan panas. Dua batang jarum yang halus lagi-lagi menancap

dan melukai pemuda itu. Namun Fajar Legawa terus mengamuk sambil mengerahkan

tenaganya yang masih ada.

Justeru Fajar Legawa marah dan mengerahkan tenaganya ini, racun jahat itu

bekerja lebih cepat. Dada pemuda ini kemudian sesak, kepala pening dan pandang mata

menjadi kabur, sedang tangan yang memegang tongkat itupun makin tambah kaku sulit

digerakkan. Fajar Legawa masih berusaha mempertahankan diri, akan tetapi celaka.

Tongkat Putut Jantoko menyambar secara dahsyat membentur tongkatnya. Akibatnya

tongkat pemuda ini terpental jatuh, disusul oleh tubuh Fajar Legawa yang terpental robohhttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

akibat tendangan Putut Jantoko.

Peristiwa ini mengejutkan Tumpak Denta, tetapi juga kemarahannya meledak.

Sambil menggeram keras nemuda ini menghujani serangan kepada Klenting Mungil.

Namun kakek kepala gede itu dengan terkekeh mengejek, tanpa kesulitan dapat

menghindari. "Heh-heh-heh, kawanmu sudah roboh, dan mampus. Huh, sebentar lagi

engkaupun akan segera roboh dan mampus pula!"

Sementara itu, setelah berhasil merobohkan lawan dengan jarum beracun, Putut

Jantoko menjadi tambah buas. Maka meskipun ia sadar gurunya sanggup mengalahkan

lawan, tetapi ia merasa tidak sabar untuk menunggu terlalu lama. Oleh karena itu dengan

gerakannya yang cepat ia sudah menerjang dengan tongkatnya yang berisi jarum beracun.

Tumpak Denta sadar akan bahaya dan berusaha menghindar, meloncat ke samping

sambil menyapu dengan pedangnya.

Akan tetapi justeru jarum beracun Putut Jantoko itu dapat menyambar tanpa

diketahui lawan. Yang dirasakan kemudian oleh Tumpak Denta, tiba-tiba pundak nyeri,

panas di samping gatal. Dadapun tidak mau ketinggalan, mengamuk rasa nyeri dan panas.

Tumpak Denta mengalihkan sasaran, menyerang Putut Jantoko dengan pedangnya.

Sebab ia sadar bahwa penjahat muda itulah tentu yang telah menyerang dirinya dengan

jarum beracun.

Sayang Tumpak Denta lupa bahwa Klenting Mungil hadir. Melihat pemuda itu

menghujani serangan kepada muridnya, kakek kepala gede ini tidak tinggal diam, ia

melompat dan melepaskan tendangan geledeknya.

"Buk!" dan tubuh Tumpak Denta terpental lebih dua tombak jauhnya, kemudian

jatuh kantap dan tidak berkutik lagi.

Nawang Wulan terbelalak kaget menyaksikan peristiwa itu, dua orang pemuda

yang membelanya, sekarang sudah roboh tak berkutik. Ia sadar bahwa dirinya sekarang

ini terjepit dalam kesulitan. Tiba-tiba saja gadis ini menjadi nekat, ia memungut

pedangnya sendiri dan pedang ibunya. Kemudian sambil melengking nyaring gadis ini

sudah melompat dan menerjang ke arah Putut Jantoko.

"Heh-heh-heh, mengapa engkau nekat adikku," kata Putut Jantoko sambil

menyeringai, karena diam-diam nafsu binatang penjahat ini merangsang perasaan. "Lepas

pedangmu, dan marilah kita pulang untuk membangun bebrayan yang bahagia........."

"Mampuslah!" potong Nawang Wulan yang amat marah, sambil terus menghujani

serangan.

Putut Jantoko tidak menghendaki keadaan ini terus berlarut. Dan iapun tidak

tahan terlalu lama melihat wajah cantik dengan tubuh montok itu. Untuk menundukkan

gadis ini tidak ada jalan lain kecuali harus menggunakan kekerasan, maka tiba-tiba saja

Putut Jantoko menyambut serangan gadis itu dengan tongkatnya.

"Trang trang.........aihh ............!" Nawang Wulan kaget dan berteriak nyaring,

ketika sepasang pedangnya patah oleh benturan itu. Mimpipun tidak bahwa tongkat itu

sangat tajam dan kalau tahu tentu ia tadi berusaha menghindari benturan.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Akan tetapi apa harus dikata kalau semuanya sudah terlanjur? Menyesal tiada

guna, dan jalan satu-satunya harus bertahan sebisanya. Maka sambil melengking nyaring

gadis ini sudah menyambitkan sepasang pedang yang telah patah itu. Kemudian dengan

tangan kosong, gadis inipun menerjang penjahat itu.

Dengan mudah sambitan itu dihindari oleh Putut Jantoko. Sambil melompat

pemuda ini menyimpan kembali tongkatnya. Kemudian iapun melayani serangan

Nawang Wulan dengan tangan kosong.

Namun apalah arti dari perlawanan Nawang Wulan yang tanpa senjata itu?

Bersenjata saja gadis ini tak kuasa mengalahkan Putut Jantoko, apa pula sekarang. Ibarat

seekor tikus berani melawan kucing. Walaupun berusaha melawan sekuatnya, tidak urung

hanya dipermainkan saja. Kadang pula Putut Jantoko malah menunjukkan sikapnya yang

kurang ajar. Ketika pukulan Nawang Wulan menyambar tiba-tiba, ia sengaja tidak

menghindar, dan hanya menggerakan tangan mencengkeram dada. Nawang Wulan kaget

setengah mati, dan tentu saja takkan membiarkan dadanya disentuh orang. Maka sambil

memekik kaget, gadis ini menarik kembali serangannya, kemudian menggunakan

kelincahannya bergerak, tubuhnya berkelebat cepat ke sana dan kemari.

Semua itu disaksikan oleh Klenting Mungil, tetapi kakek kepala gede ini malah

ketawa terkekeh-kekeh senang sekali. Agaknya apa yang dilakukan muridnya itu malah

membuat kakek ini senang. Dan kemudian tanpa malu kakek ini malah menganjurkan

yang tidak patut.

"Hai Putut!" teriak kakek kepala gede ini, "Aku ingin menggunakan gadis itu


Dewi Ular Karya Kho Ping Hoo Pendekar Rajawali Sakti 85 Penghianatan Jodoh Si Mata Keranjang Karya Kho Ping
^