Iblis Dari Gunung Wilis 7
Iblis Dari Gunung Wilis Karya Widi Widayat Bagian 7
sebagai ujian untuk melihat ketangkasanmu."
"Ujian?" sahut Putut Jantoko heran. "Murid harus berbuat apa kepada gadis cantik
dan menggiurkan ini?"
"Heh-heh-heh, tidak sulit. Hayo gunakan dua tanganmu untuk menelanjangi gadis
itu. Heh-heh-heh, ingin sekali aku dapat melihat barang sebentar, bagaimana gadis ini
kalau tanpa ditutup oleh busana."
"Bagus heh-heh-heh, anjuran guru amat bagus! Murid akan melakukan dengan
baik dan sudilah guru memperhatikan."
Bukan main marah Nawang Wulan mendengar itu. Sambil melengking nyaring ia
mempercepat serangannya. Kaki dan tangannya bergerak untuk menghajar lawan yang
kurang ajar itu.
Akan tetapi apa harus dikata kalau dirinya memang bukan lawan Putut Jantoko?
Benar gadis ini mempunyai kelebihan dalam hal gerak cepat. Tetapi saat sekarang ini ia
dilanda oleh kemarahan yang menggelegak dalam dada. Orang yang tengah berkelahi,
pantang untuk marah, justeru pengaruh rasa marah itu akan merugikan diri sendiri. Sebab
bagaimanapun, orang yang dilanda rasa marah tentu kurang pengamatan diri.
Pantangan yang telah menjadi pedoman tidak terulis itu, tak lama kemudian terjadi
juga, dan menimbulkan rugi kepada Nawang Wulan.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
"Brettt.........!" baju Nawang Wulan telah robek oleh renggutan jari Putut Jantoko.
Dan saking kaget, gadis ini telah memekik nyaring.
Nawang Wulan marah disamping malu. Robeknya baju menyebabkan dada yang
kuning itu terbuka, dan hanya tertutup oleh kain penutup dada. Gadis ini kemudian
melompat mundur sambil berusaha mengembalikan letak bajunya. Akan tetapi karena
robek, baju itu hanya mau menutup apabila dipegang oleh tangan.
Klenting Mungil gembira sekali dapat menonton baju gadis itu robek. Sambil
tcrkekeh, kata kakek kepala gede itu. "Bagus Putut! Hayo jangan tanggung-tanggung.
Lekas te?anjangilah dia."
"Baik guru, akan segera murid laksanakan."
Penjahat muda itu sudah melompat maju. Tetapi tiba-tba Putut Jantoko berteriak
kaget, dan tubuhnya terhuyung ke belakang, sedang dada dirasakan sesak.
"Kurang ajar kau!" bentak seseorang menggeledek.
Sekarang Putut Jantoko baru sadar bahwa dirinya tadi terdorong oleh hawa
pukulan yang amat dahsyat dari seorang kakek berkepala gundul dengan jenggot kambing.
"Ya Allah ........." menyusul terdengarlah seruan orang yang kaget, menyaksikan
apa yang sudah terjadi di tempat ini.
Agaknya memang belum saatnya Nawan Wulan harus mengalami nasib buruk dan
mengalami hinaan dari guru dan murid itu. Tuhan telah mengulurkan tangan memberi
pertolongan, lewat hadirnya Wukirsari dan Gadung Melati tiba-tiba. Dan oleh pukulan
Gadung Melati tadi, maka Putut Jantoko terhuyung ke belakang dan dada dirasakan
sesak.
Kalau Putut Jantoko menjadi kaget oleh hadirnya dua orang tua ini, sebaliknya
Klenting Mungil ketawa terkekeh-kekeh. Sesudah puas tertawa, kemudian kakek
berkepala gede ini berkata. "Hai, apa maksudmu datang ke mari dan menggangggu?"
Sepasang mata Gadung Melati berkilat-kilat menatap tajam kepada Klenting
Mungil. Kemudian dengan lantang kakek gundul ini menjawab. "Klenting Mungil.
Apakah salah tiga orang itu dan juga gadis ini?"
"Heh-heh-heh, tanyakanlah sendiri kepada mereka!" Sahut Klenting Mungil
angkuh.
"Kurang ajar. Huh, engkau sombong sekali!" teriak Wukirsari. "Patutkah
perbuatanmu semacam ini, yang berbuat sekehendak hati tanpa ingat perikemanusiaan?"
"Heh-heh-heh, sejak dulu sampai sekarang engkau masih juga pintar pidato dan
mencela orang!" ejek Klenting Mungil. "Aku ingin berbuat aku lakukan. Siapakah dapat
melarang? Huh-huh, orang yang berkelahi, kalau tidak menang tentu kalah. Nah, kalau
mereka sekarang hampir mampus, bukankah itu salah mereka sendiri yang tidak becus?"https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
"Tetapi mereka kau robohkan secara curang!" teriak Gadung Melati. "Engkau
menggunakan racun jahat!"
Dalam marahnya Gadung Melati tidak ingin banyak mulut lagi. Ia memalingkan
muka kepada Wukirsari, kemudian katanya lagi. "Kakang, tolonglah mereka. Huh,
biarlah aku membereskan penjahat tua itu."
Akan tetapi Klenting Mungil hanya tertawa mengejek. Kakek kepala gede ini
justeru sudah lama kenal baik kepada Gadung Melati maupun Wukirsari. Bagi Klenting
Mungil, dua orang kakek ini hanyalah semacam bocah-bocah ingusan yang tidak perlu
ditakuti. Maka ketika Gadung Melati telah menerjang sambil melancarkan pukulannya,
kakek kepala gede ini segera menyambut.
"Plak.........!" dua tangan berbenturan dan menimbulkan suara nyaring. Gadung
Melati terhuyung ke belakang dua langkah, sebaliknya Klenting Mungil hanya bergoyang-
goyang. Melihat itu Putut Jantoko menyeringai senang. Dan tanpa sesadarnya penjahat
ini sudah berseru. "Mampuslah!"
Namun sesungguhnya dugaan Putut Jantoko ini keliru. Terhuyungnya Gadung
Melati ke belakang itu bukan berarti kalah tenaga. Hal itu dilakukan oleh Gadung Melati
dalam usahanya memunahkan tenaga pukulan lawan. Sebaliknya Klenting Mungil yang
angkuh mempertahankan diri di tempat, sehingga tubuhnya bergoyang-goyang.
Namun justeru oleh keangkuhannya ini Klenting Mungil menderita sendiri. Isi
dadanya tergoncang, dan sedikit banyak sudah menderita luka dalam.
Akan tetapi jsteru isi dadanya tergoncang ini, Klenting Mungil menjadi marah.
Sambil menggeram keras kakek berkepala gede ini sekarang menerjang. Dan akibatnya
pula, dua orang kakek itu sekarang berkelahi sengit.
Wukirsari seperti tidak memperdulikan mereka yang berkelahi. Perhatian
dicurahkan sepenuhnya untuk memberi pertolongan kepada Fajar Legawa dan Tumpak
Denta yang menderita keracunan. Lebih dahulu dengan menggunakan alat, ia mencabut
jarum-jarum yang menancap pada dada dan pundak. Sesudah itu Wukirsari
menggunakan semacam benda yang bentuk dan ujungnya mirip dengan batu. Benda itu
kemudian ditempelkan pada luka. Yang terjadi sungguh mengherankan. Batu itu
kemudian menempel dan seperti berakar ke dalam daging.
Batu itu memang batu anti racun. Batu yang ajaib menurut kemauan alam. Apabila
ditempelkan ke luka yang beracun, maka batu itu akan menempel seperti berakar dalam
daging. Batu itu takkan mau lepas sebelum racun pada luka itu terkuras habis. Sebaliknya
batu itu akan lepas apabila telah berhasil menyedot semua racun.
Demikianlah, dengan pertolongan batu ajaib ini, maka Wukirsari dapat
mengeluarkan racun yang mengeram dalam tubuh Tumpak Denta dan Fajar Legawa
tanpa kesulitan. Kemudian setelah semua racun habis, luka bekas jarum itu kemudian
dibubuhi obat yang dikeluarkan dari saku.
Akan tetapi kemudian Wukirsari terkesiap ketika mendengar suara isak tangis dihttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
dekatnya. Ketika ia mengangkat kepala, barulah ia sadar bahwa di samping Tumpak
Denta dan Fajar Legawa masih ada korban lain. Wukirsari melihat bahwa wajah
perempuan itu sudah pucat pasi, sedang napasnya satu-satu.
"Ahhh, Dewayani......." desis kakek ini sambil bangkit dan menghampiri, ketika
mengenal kembali, bahwa perempuan yang menggeletak dan ditangisi gadis itu adalah
Dewayani. Perempuan perkasa, isteri salah seorang sahabatnya.
Wukirsari mengeluh ketika melihat luka yang. diderita Dewayani. Luka
perempuan itu cukup parah. Dan pemeriksaan pada nadi Dewayani, jelas sekali bahwa
nadi itu sudah sangat lemah.. Harapan untuk menolong sudah tidak mungkin lagi. Luka
dalam yang diderita oleh Dewayani parah sekali, sehingga alat di dalam tubuh telah rusak.
Meskipun demikian, Wukirsari masih juga berusaha, ia mengambil sebutir obat
kering. Sambil memberikan kepada gadis itu, Wukirsari berkata. "Kunyahlah obat ini
sampai hancur. Kemudian minumlah air, lalu minumkan kepada ibumu!"
Nawang Wulan mengerti maksud kakek ini. Iapun menurut, obat itu dikunyah dan
kemudian ia minum. Akan tetapi baik obat dan air itu tidak ditelan, lalu dari mulut ke
mulut obat itu disemburkan ke dalam mulut ibunya.
"Siapakah engkau, anak?" tanya Wukirsari.
"Saya .........saya anaknya ......... sahut Nawang Wulan.
"Anaknya ......... Ya Allah, engkau anak Dewayani?"
Dan Nawang Wulan mengangguk sambil mengamati wajah ibunya.
Justeru pada saat itu terdengarlah suara Gadung Melati yang menggeram seperti
seekor kerbau marah. Wukirsari terkesiap. Ia cukup paham, apabila adik sepergurannya
menggeram seperti itu, merupakan pertanda menghadapi kesulitan, ia cepat memalingkan
muka, dan benar dugaannya. Gadung Melati gerakan-gerakannya kesulitan, pertanda
telah menderita luka di dalam tubuh. Hanya oleh semangatnya yang pantang menyerah
saja, membuat kakek berjenggot kambing itu masih terus memberi perlawanan.
Akan tetapi Wukirsari tak tahan lagi. Ia cepat melompat sambil berseru nyaring.
"Mundurlah! Kau tidak mampu melawan bangsat kepala gede itu."
Sesungguhnya saja Gadung Melati masih amat penasaran. Akan tetapi apa yang
dikatakan kakak seperguruannya benar. Dirinya sudah menderita luka didalam dan tidak
mungkin meneruskan perlawanan lagi. Maka kakek berjenggot kambing ini segera
meloncat keluar dari gelanggang, kemudian diganti oleh Wukirsari.
"Heh-beh-heh," Klenting Mungil ketawa terkekeh mengejek. "Majulah berbareng
dan keroyoklah aku. Huh, agar aku tidak terlalu banyak membuang waktu."
"Tutup mulutmu!" bentak Wukirsari yang tersinggung.
Tetapi bentakan itu hanya disambut oleh ketawa Klenting Mungil yang terkekeh-https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
kekeh. Orang berkepala gede ini seakan tidak memandang sebelah mata kepada
Wukirsari.
"Heh-heh-heh, tumplaklah semua ilmu ajaran gurumu. Sangkamu Klenting
Mungil takut?"
Makin meledak kemarahan Wukirsari, nama gurunya disinggung-singgung.
Seperti kilat cepatnya Wukirsari sudah melompat sambil melancarkan pukulannya. Angin
yang dahsyat segera menyambar. Akan tetapi masih dengan ketawa mengejek, tanpa
kesulitan Klenting Mungil dapat memunahkan.
Seperti yang terjadi dengan Gadung Melati tadi. Dalam waktu singkat dua orang
kakek ini telah berkelahi sengit sebali. Gerakannya amat cepat, sehingga tubuh mereka
seperti lenyap tiba-tiba dan hanya warna pakaian mereka saja, yang berkelebat berpindah-
pindah. Pada mulanya Putut Jantoko masih dapat menyaksikan mereka yang berkelahi
itu. Akan tetapi setelah perkelahian itu tambah lama, pandang mata Putut Jantoko
menjadi kabur dan pening.
Gadung Melati duduk bersila sambil memejamkan mata dalam usahanya
mengobati luka dalam tubuhnya. Hingga kakek ini tidak sempat menyaksikan kakak
seperguruannya yang sedang berkelahi sengit.
Akan tetapi setelah ratusan jurus lewat, dari sedikit Wukirsari merasakan tekanan
lawan yang makin lama menjadi semakin berat. Dan diam-diam kakek ini menjadi sadar
bahwa bagaimanapun, Klenting Mungil masih setingkat di atas dirinya.
"Plak plak buk buk............!" setiap kali terjadi saling pukul, kemudian dua orang
kakek itu berdiri tegak saling menaksir. Hanya sejenak, kemudian mereka sudah saling
labrak lagi dengan cepat. Kemudian pada suatu kesempatan yang amat baik, Klenting
Mungil terpukul dadanya oleh tinju Wukirsari. Akibatnya kakek kepala gede ini memekik
marah sambil terhuyung ke belakang dua langkah. Kemudian melompat ke depan sambil
melancarkan serangan balasannya.
Berapa lama kemudian terdengar lagi suara pukulan yang keras berkali-kali.
Wukirsari terhuyung ke belakang seperti layangan putus, dan sesudah muntah darah
kakek ini langsung roboh. Tidak terkecuali Klenting Mungilpun muntah darah segar.
Namun kakek kepala gede ini tidak roboh kemudian tanpa memperdulikan apa-apa lagi,
kakek ini telah duduk bersila sambil memejamkan mata, mengatur pernapasan sambil
berusaha meringankan derita, akibat terluka dalam cukup parah.
Namun baru sejenak Klenting Mungil duduk bersila ini, ia terpaksa bangkit lagi
dan melayani serangan Gadung Melati. Sesungguhnya Klenting Mungil menderita luka
berat, namun demikian daya tahannya memang luar-biasa, hingga masih dapat melayani
Gadung Melati yang mengamuk seperti kerbau gila.
Saat sekarang ini Gadung Melati memang amat marah di samping terkejut, ketika
menyaksikan kakak seperguruannya roboh. Maka tanpa memperdulikan dirinya sendiri
yang menderita luka didalam, kakek berjenggot kambing ini menyerang seperti kerbau
gila.
Dengan mata yang basah Nawang Wulan menyaksikan apa yang terjadi. Gadis inihttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
menjerit kaget ketika melihat Wukirsari roboh oleh pukulan Klenting Mungil. Dan
sebagai akibatnya, harapan satu-satunya sekarang tergantung kepada Gadung Melati.
Apabila kakek yang gundul itu tak juga kuasa mengalahkan Klenting Mungil, tiada
harapan lagi bisa hidup.
Tetapi tiba-tiba ia teringat kepada tongkat pemuda penolongnya tadi, yang
sanggup menahan tongkat Putut Jantoko. Dirinya sendiri belum terluka, dan sementara
itu Putut Jantoko masih dalam keadaan segar bugar. Teringat kepada penjahat itu tiba-
tiba saja gadis ini amat marah. Terpikir kemudian oleh gadis ini, akan melawan Putut
Jantoko dengan tongkat. Dan tiba-tiba ingatan gadis inipun melayang kembali kepada
peristiwa ketika ia ditolong oleh Fajar Legawa di dalam sarang Juru Demung. Dengan
tongkat itu Fajar Legawa berhasil membuat semua penjahat ketakutan. Sebab setiap
Iblis Dari Gunung Wilis Karya Widi Widayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
senjata yang berbenturan dengan tongkat, kemudian akan patah.
Tiba-tiba saja semangat gadis ini bangkit. Ia menghampiri tongkat Fajar Legawa
yang menggeletak di atas tanah. Dan kemudian dengan senjata tongkat ini, Nawang
Wulan berjaga diri.
Perkelahian antara Gadung Melati dengan Klenting Mungil tidak cukup lama.
Gadung Melati yang sudah menderita luka dalam itu, akhirnya harus mengakui
keunggulan Klenting Mungil. Ketika Gadung Melati berhasil memukul pundak Klenting
Mungil, kakek kepala gundul ini harus membayar dengan mahal. Ternyata Klenting
Mungil sengaja memancing Gadung Melati, dengan memberi kesempatan untuk
memukul pundaknya. Akan tetapi di saat Gadung Melati terpancing, secepat kilat
Klenting Mungil sudah membalas dan mengenakan dada secara tepat. Akibatnya cukup
hebat. Tubuh Gadung Melati terhuyung kebelakang, sesudah muntah darah segar. Kakek
inipun kemudian roboh seperti kakak seperguruannya.
Namun akibat pukulan Gadung Melati juga hebat. Walaupun yang terpukul hanya
pundak, tetapi pukulan itu menambah goncangan isi dada yang sudah menderita luka
dalam. Klenting Mungil muntah darah segar, dan kemudian kakek ini jatuh terduduk.
Melihat semua itu, hati Nawang Wulm tidak keruan rasanya. Ibunya menderita
luka hebat akibat Klenting Mungil. Kemudian dua orang kakek yang datang dan berusaha
menolongpun, sekarang harus menderita hebat oleh kakek kepala gede itu. Apakah
dirinya sekarang hanya berdiam diri dan membiarkan orang lain menderita? Tidak! Ia
menggenggam erat tongkat Fajar Legawa. Timbullah tekadnya kemudian, bahwa
sekarang dirinya harus mengatasi keadaan.
Mendadak gadis ini melengking nyaring sambil melompat maju untuk menyerang
Klenting Mungil. Gadis ini cukup cerdik, sehingga tahu bahwa Klenting Mungil
menderita amat parah, dan sekarang sedang berusaha mengobati luka dengan mengatur
pernapasan. Dan dalam keadaannya yang demikian, tentu kakek itu sulit dapat
menghindari serangannya yang mendadak.
Putut Jantoko kaget dan gugup. Gurunya sedang dalam keadaan gawat, dan
seorangpun tidak bo1eh mengganggunya. Secerat kilat Putut Jantoko melompat dan
menyambut serangan itu dengan tangkisan tongkatnya.
"Trang.......!" benturan dua tongkat tidak dapat dihindarkan lagi. Nawanghttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Wulan memekik nyaring dan pucat, sebab akibat benturan yang keras tadi tongkat itu
telah lepas dari tangan, sedang lengannya seperti lumpuh mendadak.
"Heh-heh-heh," Putut Jantoko terkekeh mengejek. Dan sesudah menyimpan
tongkatnya lagi, ia melompat ke depan untuk menangkap Nawang Wulan.
Nawang Wu1an kebingungan. Sekarang dirinya tidak bersenjata lagi, dan untuk
melawan tidak mungkin. Dalam gugup dan bingungnya ini kemudian ia lari, yang
kemudian diuber oleh Putut Jantoko dari belakang. Akan tetapi Nawang Wulan teringat
kembali kepada ibunya yang menderita amat parah. Ia tidak tega meninggalkan ibunya,
maka gadis ini kemudian hanya lari berputaran.
"Bagus!" seru Putut Jantoko. "Mari kita main kejar-kejaran anak manis. Heh-heh-
heh, aku ingin melihat, engkau dapat berbuat apa sesudah payah?"
Nawang Wulan tidak membuka mulut, Gadis ini terus berlarian berkitaran
menghindari jangkauan Putut Jantoko. Masih untung ia lebih lincah dan dapat bergerak
lebih gesit. Maka walaupun Putut Jantoko berusaha mengejar dan menangkap, usaha itu
tidak gampang bisa terwujud.
Demikianlah, di antara enam orang yang menderita luka parah itu, mereka terus
berkejaran dan dibakar oleh terik matahari. Dan dalam usahanya untuk dapat
menyelamatkan diri ini, maka sambil berlari Nawang Wulan memungut apa saja yang
dapat dipergunakan sebagai senjata. Kadang batu, kadang dahan kayu, akan tetapi semua
itu seperti tiada gunanya menghadapi Putut Jantoko.
Dan justeru perlawanan Nawang Wulan sambil lari ini, membuat Putut Jantoko
geli. Ia ketawa terkekeh-kekeh sambil memburu. Dan semua itu membuat Nawang Wulan
tambah penasaran, mendongkol di samping masygul.
Sulit dibayangkan betapa derita dara jelita itu saat ini. Dan sungguh merupakan
peristiwa yang amat mengibakan hati, justeru gadis ini harus berpayah-payah
menghindari bahaya cengkeraman penjahat yang tidak kenal kemanusiaan lagi.
Dan usaha Nawang Wulan menghindar dari tangan jahat Putut Jantoko ini
berlangsung terus. Berlangsung tanpa pembela. Nawang Wulan menjadi semakin cemas
dan gelisah menghadapi kenyataan ini. Ibunya menggeletak di atas tanah diancam maut.
Empat orang penolongnya menggeletak pula diatas tanah entah hidup dan entah mati.
Maka diam-diam gadis ini membayangkan nasibnya yang akan terjadi, kalamana dirinya
tidak dapat melepaskan diri dari tangan jahat Putut Jantoko.
Untung juga bahwa sekalipun dalam kesulitan gadis ini belum juga putus asa. Ia
masih tetap berusaha dengan kemampuannya berlarian, sambil dikejar oleh Putut
Jantoko. Walaupun sesungguhnya sudah payah dan peluh membasahi sekujur tubuh,
namun gadis itu masih lari dan lari.
Saling mengejar itu masih berlangsung cukup lama. Satu pihak ingin menangkap
dan pihak lain ingin selamat. Sambil mengejar ini mulut Putut Jantoko selalu terkekeh.
Penjahat ini gembira sekali tampaknya, dan apa pula dengan berlarian seperti itu, dari
belakang Putut Jantoko dapat melihat dengan jelas, pantat Nawang Wulan yang cukuphttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
menggiurkan itu bergerak-gerak naik turun.
Klenting Mungil masih duduk tanpa bergerak. Orang tua kepala gede ini, dan yang
tubuhnya kurus kering sedang berjuang dan berusaha memulihkan kekuatan dan
mengobati luka dalamnya. Di dalam berkelahi melawan Gadung Melati dan Wukirsari
tadi, ia memang harus mengerahkan seluruh kemampuannya. Dan walaupun pada
akhirnya ia dapat merobohkan lawan, namun is sendiri harus menebus dengan laku yang
cukup parah. Kalau bukan Klenting Mungil yang mempunyai daya tahan yang cukup
kuat, mungkin sudah roboh menggeletak juga oleh gempuran dua orang lawan sakti itu.
Satu hal yang menguntungkan Klenting Mungil bahwa didalam berkelahi itu baik
Gadung Melati maupun Wukirsari tidak menggunakan "Aji Bramastra" sesuai dengan
pesan terakhir gurunya, Kalau saja kakak beradik seperguruan ini tidak patuh akan pesan
gurunya dan menggunakan aji kesaktian tersebut, manakah mungkin Klenting Mungil
masih hidup lagi? Tentu Klenting Mungil akan roboh dengan tubuh hangus seperti
terbakar.
Sudah agak lama matahari melintasi garis bumi dan condong di bagian barat.
Namun bola api dunia itu masih memancarkan panasnya yang amat terik. Seakan mau
membakar hangus tubuh-tubuh manusia yang pingsan dan terkapar di lereng gunung
Ungaran itu. Pemandangan ini cukup menyedihkan, dan apabila mereka yang pingsan itu
tidak segera mendapat pertolongan, niscaya mereka itu tidak lagi akan dapat
mempertahankan nyawa.
Dewayani sudah menderita luka dalam yang amat parah. Napas perempuan ini
sudah sangat sulit. Nadinya sudah amat lemah. Meskipun tadi Wukirsari sudah berusaha
memberi pertolongan, namun pertolongan Wukirsari itu belum menjamin
keselamatannya. Sedang Fajar Legawa dan Tumpak Denta memang sudah terhindar oleh
racun jahat. Namun demikian kakak beradik ini belum juga bergerak dari tempatnya
menggeletak. Seakan kakak beradik, murid Suria Kencana ini tertidur dengan pulas.
Demikian pula Wukirsari yang tadi mencurahkan perhatian kepada Fajar Legawa,
Tumpak Denta dan Dewayani, sekarang menggeletak pula di atas tanah tidak bergerak.
Ia menderita luka dalam yang amat parah, sebagai akibat pukulan-pukulan Klenting
Mungil. Tidak terkecuali Gadung Melati. Luka yang diderita lebih parah dibanding
dengan Wukirsari. Sebab setelah ia menderita luka, masih juga memaksa diri untuk
melawan Klenting Mungil.
Dari lima orang itu, hanya Fajar Legawa dan Tumpak Denta saja yang ringan
deritanya. Sebaliknya Dewayani yang paling menderita. Tiga orang tua ini apabila tidak
segera mendapat pertolongan, niscaya nyawanya tak dapat dipertahankan lagi.
Sungguh, pemandangan ini amat mengharukan. Lima orang bergelimpangan tidak
berkutik. Akan tetapi Putut Jantoko yang sudah terbakar nafsu birahinya oleh kecantikan
Nawang Wulan itu, seakan tidak perduli akan semua itu. Dan sebaliknya Nawang Wulan
tidak juga mau menyerah. Gadis ini sekalipun telah payah, masih terus berlarian
berputaran sambil kadang-kadang menyerang dengan apa saja yang dapat dipungut.
Namun semua usahanya tak berarti. Semua bisa digagalkan oleh Putut Jantoko, dan
penjahat ini tidak jemunya membujuk dan memuji sanjung. Sungguh sayang semua pujian
dan bujukan Putut Jantoko itu malah menambah gadis ini makin marah dan benci.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Tetapi sesudah berlangsung lama dan usahanya belum juga berhasil, timbullah rasa
marah dia jengkel dalam dada Putut Jantoko. Timbullah rasa malu kepada diri sendiri.
Mengapa terhadap seorang gadis yang sudah tidak berdaya, usahanya berhadapan dengan
kegagalan?
Kemudian berkelebatlah ingatan dalam benak penjahat ini. Kiranya jalan yang
paling baik, apabila sekarang menggunakan kekerasan. Gadis itu harus dilukai. Karena
dengan lukanya, gadis itu akan menderita kesakitan, tidak dapat melawan lagi dan
akhirnya akan menyerah. Akan tetapi ketika ia sudah mempersiapkan tongkatnya, tiba-
tiba saja timbul rasa sayang kalau gadis itu terluka. Justeru timbul rasa sayang ini, maka
selamatlah Nawang Wulan dari bahaya. Maka yang dilakukan kemudian oleh Putut
Jantoko, hanya meneruskan usahanya dengan mengejar.
Akan tetapi sungguh sayang bahwa Nawang Wuian ketika itu sudah amat
menderita. Dalam keadaan biasa, gadis ini takkan merasa sepayah ini,walaupun berlarian
terus setengah hari. Tetapi sekarang ini keadaannya luar biasa. Disaat ia berlarian
menghindarkan diri dari tangan jahat Putut Jantoko, perasaan hati Nawang Wulan selalu
diberati memikirkan ibunya yang belum juga berkutik. Maka makin lama langkah gadi ini
menjadi semakin limbung. Namun terus saja berlarian dan sama sekali tidak pernah ingin
menyerah.
Menyeringai bibir Putut Jantoko ketika melihat tubuh Nawang Wulan sudah mulai
limbung. Maka iapun kemudian menunggu saat, sebab timbullah rasa pasti tidak lama
lagi gadis itu akan roboh kepayahan. Tetapi sungguh celaka. Setelah cukup lama
menunggu sambil membayangi, tubuh yang semula limbung itu kembali tegak dan
gerakannya tambah cepat. Akhirnya Putut Jantoko menjadi tidak sabar lagi. Timbul
keputusan dalam hatinya, bahwa tiada halangan gadis ini mengalami sekedar luka,
daripada lepas dari tangannya. Diambillah kemudian beberapa butir batu kecil. Ia akan
dapat merobohkan Nawang Wulan dengan sambitan dari belakang.
Sambil ketawa terkekeh Putut Jantoko telah melepaskan tiga butir batu sekaligus.
Sambaran batu itu cepat sekali, dan Nawang Wulan kaget. Tanpa memalingkan muka
gadis ini menghindar ke samping. Usahanya memang berhasil, dan sambitan Putut
Jantoko itu luput. Akan tetapi sambitan susulan yang tidak terduga, dan dilepaskan pula
dari belakang, secara tepat mengenakan belakang lutut dan mata kaki. Akibatnya gadis
ini memekik kaget, dan disusul oleh tubuhnya yang terguling.
Bibir Putut Jantoko menyeringai melibat hasil sambilannya, ia merasa puas sekali
dengan hasil ini, justeru tidak mungkin lagi Nawang Wulan dapat melepaskan diri dari
tangannya.
"Heh-heh-heh!" Putut Jantoko ketawa terkekeh saking amat gembira. "Maafkan
aku, NawangWulan. Aku terpaksa mengguuakan cara ini, karena engkau tak mau
menyerah baik-baik."
Putut Jantoko menghampiri. Kemudian bujuknya. "Wulan, engkau cantik laksana
bidadari. Hanya engkaulah perempuan satu-satunya kuasayang di dunia ini. Namun
mengapa engkau tak percaya? Aihh Wulan, sekarang engkau harus menyerah jadi
isteriku."https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Betapa benci dan muak Nawang Wulan sulit dilukiskan. Sepasang mata gadis itu
menyala dan menyinarkan kemarahan yang amat sangat, memandang Putut Jantoko
tidak berkedip.
"Bunuhlah aku!" tantang gadis ini.
"Bunuh, heh-heh-heh, tarlalu sayang adikku, jangan engkau berkata demikian!"
kata Putut Jantoko sambil tersenyum. Akan tetapi dalam pandang mata Nawang Wulan,
mulut penjahat itu menyeringai seperti raksasa yang siap akan memangsanya.
"Engkau harus mengerti Wuan, bahwa aku mencintai engkau sepenuh hatiku."
bujuk Putut Jantoko. "Percayalah Wulan, bahwa engkau akan bahagia di sampingku. Heh
heh-heh, engkau akan menjadi isteriku terkasih."
Jarak antara Putut Jantoko dengan Nawang Wulan semakin menjadi dekat. Dan
penjahat ini mengamati Nawang Wulan dengan sepasang mata yang menyala, karena
gelora birahi menyesak dada. Kali ini ia sudah dapat memastikan bahwa Nawang Wulan
takkan dapat melepaskan diri lagi.
Sebaliknya diam-diam Nawang Wulan sudah bersiap diri untuk melakukan
perlawanan dengan sisa tenaga yang masih ada. Pendeknya ia takkan mau menyerah
sampai titik darah penghabisan.
Dan oleh dorongan kehendak yang sudah tidak kuasa lagi menahan gelora
birahinya, maka kemudian Putut Jmtoko melompat dan tangannya sudah siap untuk
menyambar tubuh Nawang Wulan yang lumpuh dua kakinya itu.
"Aduhh...............!" Putut Jantoco tiba-tiba mengaduh. Sedang Nawang Wulan
terbelalak saking kaget berbareng heran.
Putut Jantoko tadi hanya merasakan menyambarnya angin yang amat tajam,
menyambar kearah dirinya. Dan tiba-tiba pula, Putut Jantoko tidak dapat bergerak dari
tempat, semacam patung dengan tubuh yang agak condong ke depan. Dan sebaliknya
Iblis Dari Gunung Wilis Karya Widi Widayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Nawang Wulan pun merasakan sambaran angin yang tajam memukul kakinya. Akan
tetapi anehnya, kaki itu tidak tambah sakit, melainkan malah dapat digerakkan lagi dan
rasa sakit pada kaki menghilang secara mendadak.
Dan justeru Nawang Wulan masih keheranan tidak mengerti ini, terdengarlah
teriakan Putut Jantoko kepada gurunya. "Guru............ aihhh, tolong............!"
Ketika itu Klenting Mungil masih duduk bersila tanpa bergerak, sedang dalam
usaha mengatur pernapasan dan mengobati luka dalam tubuhuya. Ia menjadi kaget ketika
mendengar suara muridnya minta pertolongan, dan kemudian membuka matanya.
"Kenapa engkau............?" tegur Klenting Mungil dengan heran, akan tetapi
suara kakek ini agak lemah, tidak garang seperti semula. Dan kakek kepala gede ini heran
melihat muridnya berdiri tanpa bergerak seperti patung.
"Guru............aihh, tolong............!" teriak Putut Jantoko mengulang. "Murid
tidak bisa bergerak. Seseorang telah menyerang murid secara curang ..........."https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Mendengar ini Klenting Mungil kaget. Ia memaksa diri untuk bangkit dan
kemarahannya meluap. Akan tetapi justeru memaksa diri ini, tiba-tiba huah, Klenting
Mungil muntah darah lagi.
Tubuh dirasakan lemah sekali, dan kepala terasa pening. Namun demikian kakek
kepala gede ini memaksa diri melangkah, kemudian katanya. "Siapa berani mengganggu
engkau secara curang.........?"
Dan tiba-tiba terdengarlah suara ketawa terkekeh perlahan. Nawang Wulan kaget
dan melompat berdiri, kemudian memalingkan muka ke arah suara ketawa. Kemudian
tampak oleh gadis ini seorarg tua renta mengenakan jubah, kumis dan jenggotnya sudah
puth, berdiri tidak bergerak di bawah pohon rindang bibirnya tersenyum dan sepasang
matanya berkilat-kilat berwibawa.
"Hemmm, engkau selalu menganggu aku saja........" tegur Klenting Mungil
dengan suaranya yang dalam.
Orang tua itu tertawa sejuk, kemudian terdengarlah ia menjawab halus. "Salah!
Bukan aku yang mengganggu, tetapi engkaulah yang selalu membuat aku repot."
"Apa?" Klenting Mungil geram. "Kemarin lusa engkau telah merusak rencanaku.
Dan sekarang engkau kembali datang. Huh, sayang sekali saat ini aku terluka........."
Orang tua renta itu kembali ketawa. Kemudian. "Pergilah! Bawa muridmu. Tetapi
sekali lagi aku peringatkan, hentikanlah perbuatanmu yang tidak baik, dan bertaubatlah
engkau kepada Tuhan Yang Maha Pengampun."
Klenting Mmgii memaksa diri untuk tertawa, sekalipun sesungguhnya dada
dirasakan amat sakit. Dalam keadaan dirinya segar bugar saja tak mampu melawan kakek
ini, apa pula dirinya sekarang menderita luka. Maka daripada mencari perkara, lebih baik
selekasnya pergi. Oleh sebab itu kemudian Klenting Mungil menyambar tubuh muridnya,
namun masih sempat pula mengucapkan ancamannya. "Hai Menak Singgih! Tunggu
pembalasanku kemudian hari. Hutangmu harus kau bayar dengan bunga!"
Tetapi kakek ini hanya menyambut tantangan itu dengan suara ketawanya yang
sejuk. Kemudian terdengarlah katanya yang perlahan, nadanya menyesal. "Sayang,
engkau tidak mau menyadari akan kesalahanmu sendiri, dan tidak mau pula bertaubat
kepada Tuhan. Tetapi hmmm, semoga Tuhan masih berkenan menunjukkan engkau jalan
benar."
Nawang Wulan merasa heran mendengar kata-kata kakek itu dan sikapnya kepada
Klenting Mungil. Dalam hati ia tidak setuju dengan sikap kakek itu yang lemah. Namun
untuk mencelanya, gadis ini tidak berani.
Akan tetapi Menak Singgih seorang kakek yang sudah kenyang akan lika-Iiku
hidup. Meskipun Nawang Wulan tidak menegur atas sikapnya itu, ia sudah maklum.
Maka sesudah tertawa sejuk lagi, kakek ini berkata. "Hemm, maafkan aku anak baik, telah
melepaskan mereka pergi. Tetapi, aku mempunyai alasan lain. Lihatlan, lima orang itu
memerlukan pertolongan secepatnya. Apabila aku harus mengusir dia dengan kekerasan,https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
bukankah memerlukan waktu lama?"
Nawang Wulan tidak puas mendengar jawaban itu. Sebab jelas bahwa Klenting
Mungil telah menderita luka parah, dan ibarat sebuah lampu yang hampir kehabisan
minyak. Kalau kakek ini mau bertindak, bukankah gampangnya seperti membalikkan
telapak tangannya sendiri?
Melihat sikap gadis itu, Menak Singgih pun mengerti, bahwa gadis itu tidak puas.
Akan tetapi ia tidak perduli, sebab tidak mungkin dirinya sedia melawan Klenting Mungil
yang sudah menderita luka parah. Bukankah peristiwa ini bisa ditertawakan orang?
Lumrah saja, justeru lawan sudah menderita luka.
Maka kemudian kakek ini melangkah menghampiri mereka yang menderita.
Diam-diam Kakek ini terharu menyaksikan semua itu. Kakek ini langsung menghampiri
Dewayani, justeru dari mereka yang terluka, perempuan inilah yang paling parah.
"Ibumu?" tanya kakek itu halus kepada Nawang Wulan yang sudah mulai terisak
lagi tak kuasa menahan tangisnya.
Nawang Wulan mengangguk. Bibirnya seperti terkunci, dan tidak dapat
mengucapkan sesuatu.
Menak Singgih segera memeriksa nadi Dewayani. Akan tetapi kemudian kakek ini
menghela napas perlahan. Nadi itu sudah amat lemah, lukanya sedemikian parah
sehingga merasa sangsi apakah dapat menyelamatkan nenek ini. Namun demikian,
semuanya di tangan Tuhan. Maka apapun yang akan terjadi, kakek ini melakukan
pertolongan juga.
Nawang Wulan menunggui ibunya yang sedang ditolong oleh Menak Singgih itu
dengan air mata bercucuran. Hatinya amat cemas, menyaksikan napas ibunya sudah amat
sulit
Sesudah menolong Dewayani, kemudian perhatian dialihkan kepada Gadung
Melati dan Wukirsari. Kenyataan membuktikan bahwa Gadung Melati menderita lebih
parah dibanding dengan Wukirsari. Untuk menolong mereka yang terluka parah ini,
terpaksa Menak Singgih harus menyalurkan tenaga sakti dari dalam tubuh, yang dialirkan
ke tubuh orang.
Menak Singgih mengerti bahwa baik Fajar Legawa maupun Tumpak Denta sudah
terhindar dari bahaya. Dan kalau dua orang muda itu sekarang masih tidak bergerak,
bukan karena deritanya. Tak lama lagi dua orang muda ini akan sadar sendiri tanpa
pertolongan.
Ternyata perhitungan dan dugaan Menak Singgih ini tidak meleset, Beberapa saat
kemudian dua orang muda itu sadar hampir berbareng. Mula-mula mereka tampak kaget
mendapatkan diri mereka menggeletak di atas tanah. Akan tetapi kemudian kesadaran
dua orang muda ini pulih kembali, dan sadar bahwa belum lama tadi mereka roboh setelah
berkelahi melawan Klenting Mungil.
Tiba-tiba dua orang muda ini terkejut ketika mendengar bisikan halus masukhttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
dalam telinganya "Anak muda, engkau selamat dari bahaya. Dan yang penting sekarang,
aturlah pernapasan untuk memulihkan tenagamu."
Fajar Legawa dan Tampak Denta heran. Ia mengamati Menak Singgih dengan
bertanya-tanya. Ketika itu Menak Singgih sedang sibuk menolong Gadung Melati dan
menyalurkan hawa sakti. Mengapa masih sempat memperhatikan mereka? Untung
kemudian mereka sadar. Kakek itu duduk tak bergerak dan sepasang matanya terpejam.
Maka mengertilah dua pemuda ini, bahwa Menak Singgih tadi berbisik kepada mereka
lewat Aji Pameling.
Tidak lama kemudian Wukirsari memperoleh kesadaran, ia terkejut ketika
mendapatkan dirinya roboh di atas tanah. Namun kemudian kakek ini bangkit dan
langsung duduk bersila sambil memejamkan mata, ketika dirasakan dada sesak dan kepala
pening.
Yang belum siuman Gadung Melati dan Dewayani. Untuk menyelamatkan
Gadung Melati maka Menak Singgih masih terus menyalurkan hawa sakti.
Nawang Wulan menunggui ibunya yang belum juga bergerak dengan air mata
bercucuran. Dalam hati berharap ibunya bisa tertolong. Akan tetapi mengapa ibunya
belum juga sadar dan bangkit? Ia mengamati wajah ibunya. Wajah itu amat pucat, sedang
sepasang matanya terpejam rapat. Melihat keadaan ibunya seperti ini tentu saja gadis ini
diam-diam khawatir sekali.
Sementara itu, pertolongan Menak Singgih untuk Gadung Melati sudah selesai
dilakukan. Kakek itu telah melepaskan telapak tangannya, yang semula menempel pada
punggung Gadung Melati. Wajah kakek kepala gundul ini sekarang sudah tidak begitu
pucat lagi, sedang pernapasannyapun sudah agak normal.
Dan setelah mengatur pernapasan beberapa saat lamanya, Wukirsari merasakan
tubuhnya kembali nyaman. Maka kakek ini kemudian membuka mata. Pandang matanya
tertumbuk kepada Menak Singgih.
"Paman Singgih," kata Wukirsari sambil memberi hormat, "Terima kasih atas
pertolongan paman. Sebab apabi1a paman tidak datang pada saatnya yang tepat, kami
semua tentu sudah mati ........."
"Bukan aku," sahut Menak Singgih dengan ketawa sejuk. "Tetapi Tuhan yang
telah menolong kalian. Maka bersyukurlah kalian atas pertolongan-Nya."
Angin pegunungan Ungaran menebarkan udara sejuk dan terus bertiup. Matahari
sudah semakin rendah di bagian barat. Dan seakan hawa udara sejuk ini memberi
kesegaran baru kepada mereka.
Ketika itu Gadung Melati sudah pula siuman dari pingsannya. Dan kakek inipun
tampak terkejut ketika membuka matanya, dirinya menggeletak di atas tanah. Melihat
sadarnya Gadung Melati ini Menak Singgih tersenyum. Lalu katanya lirih. "Syukurlah
engkau telah siuman. Sekarang duduklah engkau dengan tenang, dan pulihkanlah
tenagamu."https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
"Terima kasih," dan sesudah menyahut, Gadung Melati segera duduk bersila
sambil memejamkan mata mengatur pernapasan.
Akan tetapi tiba-tiba terdengarlah jerit Nawang Wulan yang melengking memecah
suasana. Dan gadis itu sekarang tampak menelungkup sambil memeluk ibunya, menangis
sejadinya.
Semua orang terkesiap. Tidak terkecuali Menak Singgih, dan secepatnya
menghampiri, untuk memeriksa Dewayani Lagi. Akan tetapi Menak Singgih tampak
mengerutkan alis sambil menghela napas. Nadi Dewayani sebentar terasa dan sebentar
menghilang. Dewayani sudah dalam keadaan sangat kritis, dan kakek ini merasa tidak
sanggup lagi untuk menyelamatkan perempuan ini. Akan tetapi walaupun mengerti
bahwa nyawa Dewayani tinggal tergantung pada seutas rambut, kakek ini tidak ingin
mengecewakan harapan orang. Iapun sekarang sudah duduk bersila sambil memejamkan
mata, kemudian telapak tangannya ditempelkan pada punggung, untuk menyalurkan
hawa sakti dari dalam tunuhnya.
Mereka yang ikut melihat diam-diam cemas dan berdebar. Sebab diam-diam
mereka tahu belaka bahwa keadaan Dewayani memang sudah amat payah.
Menak Singgih memang bersungguh-sungguh dalam usahanya menolong orang,
walaupun dengan perbuatannya itu ia sendiri harus mengorbankan kepentingannya
sendiri. Sebab dengan banyaknya bantuan hawa sakti kepada beberapa orang ini, akan
berarti dirinya sendiri banyak kehilangan tenaga.
Beberapa saat kemudian terdengarlah suara Dewayani yang merintih perlahan.
Nawang Wulan memperhatikan wajah ibunya yang pucat pasi, sedang orang lain
menghela napas. Menak Singgih melepaskan telapak tangannya dari punggung
Dewayani. Dan ternyata saluran hawa sakti tadi menolong Dewayani.
Dengan air mata bercucuran Nawan Wulan mengamati ibunya. Gadis ini mengerti
bahwa ibunya menderita luka parah. Guncangan akan menambah derita ibunya, maka
gadis ini menahan diri untuk tidak memeluk. Dewayani membuka sepasang matanya,
sedang bibir pucat itu tersenyum, sekalipun napas perempuan ini tampak amat sesak.
"Ibu........." ratap gadis ini lirih, "Engkau...........harus hidup terus ............kau
harus tetap disampingku............"
Dewayani tersenyum tetapi tidak menjawab. Tangannya yang lemah mencoba
untuk memegang dan mengusap lengan anak yang amat disayang itu.
Semua orang terdiam. Akan tetapi kemudian Gadung Melati tidak kuasa menahan
mulutnya dan berkata. "Nyai, bersyukurlah kita tertolong."
Dewayani mencoba memalingkan kepalanya yang lemah untuk menatap Gadung
Melati. Kemudian tanya perempuan ini lemah. "Dimana dia.........?"
"Dia sudah pergi."
Gadung Melati menggeleng. Kemudian mengamati Menak Singgih sambilhttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
menjawab. "Paman Menak Singgihlah yang mengusir........."
"Paman Menak Singgih................" Dewayani membelalakkan mata. Kemudian
perempuan ini berusaha mengamati sekeliling. Setelah bertatapan dengan Menak Singgih,
kemudian Dewayani menghela napas panjang . Perempuan ini bersyukur.
"Sudahlah, hanya Tuhan yang menolongmu!" kata Menak Singgih lirih.
Tetapi tiba-tiba Dewayani batuk-batuk. Lalu menyemburlah darah segar dari
mulutnya. Nawang Wulan memekik terkejut. Dan Menak Singgih cepat-cepat memberi
pertolongan, dengan menyalurkan hawa sakti lagi.
Wukirsari mengambil obat. Lalu katanya kepada Nawang Wulan. "Minumkanlah
obat ini. Akan tetapi Dewayani menggeleng. Kemudian perempuan ini berkata lemah.
"Adi Gadung ... ......Melati.........tolong ........aku titip anakku ......"
"Ibu.........tidak.....!" pekik Nawaag Wulan yang cemas sekali.
Akan tetapi apa harus dikata kalau garis sudah sampai? Kalau takdir sudah tidak
Iblis Dari Gunung Wilis Karya Widi Widayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dapat dibantah lagi? Walaupun Menak Singgih sudah berusaha sekuat tenaga untuk
menolong, tak juga berhasil kalau Tuhan menghendaki lain. Derita Dewayani sudah amat
berat. Isi tubuh sudah rusak akibat terluka oleh pukulan Klenting Mungil yang
menggunakan Aji Pangracutan. Maka walaupun semua orang menghendaki Dewayani
masih tetap hidup, perempuan ini tetap saja menghadapi sekaratul maut, dan tak lama
kemudian ia menghembuskan napas yang penghabisan.
Nawang Wulan memekik nyaring, ia menubruk dan mengguncang-guncangkan
tubuh ibunya seraya menangis. Mereka yang hadir terharu dan iba. Sedang Menak
Singgih hanya dapat menghela napas.
Semua orang berusaha menghibur. Akan tetapi pukulan kesedihan gadis ini terlalu
berat. Maka kemudian gadis ini roboh dan pingsan.
"Gadung Melati," kata Menak Singgih lirih. "Pulanglah engkau sekarang, dan
bawalah Nawang Wulan. Pesan terakhir Dewayani harus engkau laksanakan baik-baik!"
Gadung Melati mengangkat kepala mengamati Menak Singgih. Kemudian
jawabnya agak ragu. "Paman, perintah paman akan saya laksanakan dengan baik. Akan
tetapi saya sekarang ini sedang menyelesaikan persoalan, dan........."
Menak Singgih memotong ucapan Gadung Melati. "Tentang muridmu Pertiwi
Dewi itukah yang kau maksud?"
Gadung Melati terbelalak heran. Demikian pula yang lain. Mata semua orang
sekarang tertuju kepada Menak Singgih, dan tampak mereka ini menunggu penjelasan.
Lebih-lebih Fajar Legawa yang mempunyai sangkut-paut langsung dengan Pertiwi
Dewi, jantung pemuda ini berdegup cepat sekali.
"Gadung Melati," kata Menak Singgih lagi. "Anggaplah persoalan muridmu
Pertiwi Dewi sudah selesai. Anggaplah Nawang Wulan sebagai pengganti murid yang
engkau kasihi itu, dan lenyapkan pula prasangkamu yang buruk kepada Fajar Legawa,https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
murid Suria Kencana itu. Ya, engkau sudah terbakar oleh amarah yang kurang pada
tempatnya, dan engkau telah terpengaruh oleh fitnah orang."
Menak Singgih mengalihkan pandang matanya kepada Wukirsari. Kemudian.
"Dan kepada engkau Wukirsari, engkau harus berhati-hati kepada muridmu sendiri.
Ternyata Handana Warih memiliki watak dan tabiat yang kurang baik, tidak segan-segan
membunuh orang lain dalam usahanya mencapai cita-cita. Dia tidak mau perduli apakah
perbuatannya itu salah atau benar. Dan sudah tentu perbuatannya ini akan
membahayakan dirinya sendiri dan membahayakan engkau pula sebagai gurunya.
Maka sebelum terlanjur kembalikanlah bocah itu agar tidak berlarut-larut sebagai seorang
yang tiada gunanya."
Semua terdiam mendengar kata-kata Menak Singgih ini, mereka merasa heran
mengapa semua persoalan itu diketahui orang tua ini?
Beberapa saat kemudian barulah Wukirsari menjawab. "Terima kasih atas
petunjuk paman. Semoga kemudian hari saya dapat membimbing bocah itu lebih baik."
Tak heran kalau Wukirsari segera dapat menerima nasihat Menak Singgih itu.
Sebab sejak semula, ia memang merasa ragu dan tidak percaya akan tuduhan Handana
Warih. Tetapi satu hal yang membuat kakek ini terkejut, adalah pemberitahuan Menak
Singgih, bahwa muridnya itu tindak dan langkahnya kurang baik
Akan tetapi sebaliknya Gadung Melati masih merasa penasaran. Kemudian ia
berkata. "Tetapi paman, apa yang saya tuntut kepada Fajar Legawa demi keadilan dan
kebenaran. Saya ingin memperoleh pembuktian dan kepastian bahwa peristiwa itu terjadi
sesungguhnya. Nah, apakah saya salah apabila menuntut itu kepada Fajar Legawa?"
Menak Singgih mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian sahut orang tua ini.
"Engkau benar. Namun demikian engkau tentu dapat merasakan pula, bagaimana
sulitnya Fajar Legawa harus membuktikan kebersihannya itu, karena pada saat Pertiwi
Dewi meloncat ke jurang, tidak seorangpun menyaksikan, kecuali Fajar Legawa sendiri?"
Untuk sejenak lamanya keadaan hening, mereka berdiam, dan hanya suara detak
jantung dan helaan napas berat Fajar Legawa saja yang mengisi suasana. Memang saat
sekarang ini Fajar Legawa dalam keadaan tegang, justeru dirinya merupakan seorang
terdakwa.
Tiba-tiba keadaan yang hening itu dipecahkan olela ucapan Menak Singgih yang
nadanya pasti, "Tetapi Allah Maha Pengasih dan Mana Besar. Allah akan selalu
memberikan rahmat dan rahim-Nya Kepada seorang hamba-Nya yang benar-benar tidak
bersalah. Akulah saksi satu-satunya yang menyaksikan dengan mata kepala sendiri
peristiwa menyedihkan itu dari awal sampai akhir. Akulah saksi satu-satunya yang dapat
memberi keterangan kepadamu, bahwa Pertiwi Dewi sendiri yang sengaja membunuh diri
dengan melompat ke dalam jurang. Fajar Legawa telah berusaha menghalangi, akan
tetapi tidak berhasil."
Keterangan Menak Singgih ini mengejutkan semua yang hadir. Gadung Melati
tercengang sehingga orang tua berwajah jelek ini tidak dapat mengucapkan sepatahpun
kata. Diam-diam ia merasa ragu, akan tetapi juga tidak berani untuk menduga burukhttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
kepada Menak Singgih. Kakek ini seorarg angkatan tua, yang disegani oleh kawan dan
ditakuti lawan, karena sepak terjangnya selama ini yang patut dipuja. Mungkinkah
seorang terhormat seperti Menak Singgih, sekarang membohong dalam usahanya
membela Fajar Legawa?
Dan di saat Gadung Melati merasa ragu ini, Menak Singgih berkata lagi. "Gadung
Melati, aku mengharap hendaknya engkau tidak beranggapan bahwa aku ingin
melindungi Fajar Legawa. Sama sekali tidak. Dan jangan engkau menuduh aku seperti
itu. Ketahuilah bahwa aku tiada sangkut pautnya dengan urusan itu. Namun sebagai
seorang yang menyaksikan peristiwa itu, dan sebagai seorang yang tidak dapat melihat
kesewenangan berlangsung di atas bumi ini, maka aku memerlukan memberi keterangan
ini. Demi Allah, aku menerangkan sejujurnya. Dan semoga Allah menyiksa dan
mengutuk aku, apabila apa yang sudah aku terangkan ini bertentangan dengan
kenyataan."
Menak Singgih adalah seorang tokoh tua dan amat dihormati pada jaman ini.
Apabila ia sudah mengucapkan sumpah, sulitlah orang tidak mempercayai dia lagi.
Gadung Melati juga tidak dapat menyangka buruk, akan tetapi kemudian timbullah
pikirannya yang lain. Tanya kakek ini kemudian. "Paman, bolehkah saya bertanya?"
"Silahkan," sahut Menak Singgih.
"Apakah paman dapat memberi keterangan, bocah itu sudah mati ataukah masih
selamat?"
"Hemmm" Menak Singgih menghela napas sambil mengurut-urut jenggotnya
yang menjuntai sebatas dada. Sedang Fajar Legawa tampak amat memperhatikan, dan
ingin mendengar jawaban kakek ini. "Jika dia selamat mengapa, dan kalau tidak
mengapa?"
"Paman, bocah itu saya kasihi seperti anak kandungku sendiri," sahut Gadung
Melati,"Kalau dia memang sudah mati, tentu saja aku akan menyelenggarakan hajad
selamatan. Dan sebaliknya kalau masih hidup, di manakah dia dan siapa pula yang
menolong?"
"Hemm," lagi-lagi Menak Singgih menghela napas, dan tidak segera memberikan
jawabannya. Namun kemudian. "Gadung Melati, aku takkan sedia mendahului kehendak
Tuhan. Akan tetapi tiada salah kiranya apabila aku perlu mengabarkan padamu, bahwa
engkau tidak perlu gelisah tentang dia."
"Jadi............jadi masih selamat?" Gadung Melati mendesak.
Dan Fajar Legawa tambah tegang jantungnya. Benarkah Pertiwi Dewi masih
selamat? Lalu siapakah pula yang sudah menolong?
"Sudahlah, jangan engkau mendesak sedemikian rupa padaku," sahut Menak
Singgih. "Engkau tak perlu menyelamati Pertiwi Dewi. Dan sekarang, ijinkanlah aku
pergi."
Tiba-tiba tubuh kakek itu sudah melesat dari tempat duduknya, melesat sepertihttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
terbang. Semua yang melihat ternganga keheranan, sehingga mereka melongo tak dapat
membuka mulut. Dan baru sesudah Menak Singgih lenyap ditelan rumpun pohon, mereka
menghela napas saking kagum.
Walaupun Menak Singgih tidak mau menerangkan keadaan Pertiwi Dewi, namun
orang dapat menduga bahwa gadis itu memang tertolong dan masih hidup. Akan tetapi
siapakah yang berhasil menolong, dan mengapa pula Menak Singgih tidak mau
menerangkan?
Tiba-tiba Gadung Melati bangkit. Tubuh gendut ini melompat, tangannya bergerak
dan tahu-tahu tubuh Nuwang Wulan yang masih pingsan itu sudah dalam pondongannya.
Lalu dibawa berlarian pergi tanpa mengucapkan sesuatu. Dalam waktu singkat, Gadung
Melati sudah lenyap pula terlindung oleh rimbunannya daun hutan.
Wukirsari hanya tersenyum sija menyaksikan tingkah aneh Gadung Melati itu.
Kemudian kata kakek ini. "Mari kita sekarang perlu memikirkan Dewayani. Galilah
kubur, dan kita kuburkan perempuan itu."
Fajar Legawa dan Tumpak Denta mengiakan, kemudian dua orang muda ini
segera bekerja menggali lobang. Tak lama kemudian selesai jugalah lobang kubur yang
diperlukan itu, dan dengan upacara sederhana dan hikmat, kemudian jenazah Dewayani
dimasukkan dalam lubang.
Atas perintah Wukirsari, maka Tumpak Dentalah yang memberi azan. Dan
pemuda itu kemudian mengalunkan suaranya untuk adzan. Baru sesudah semua upacara
selesai, mulailah jenazah Dewayani itu ditimbun dengan tanah.
Ketika pemakaman selesai, dan tiga orang ini sudah akan meninggalkan kubur
Dewayani itu,, tiba-tiba mereka kaget karena mendengar suara orang tetapi tidak tampak
orangnya.
"Wukirsari. Engkau harus tahu bahwa sekarang ini, "Keris Iblis" telah muncul.
Maka engkau ikut berkewajiban pula agar keris itu tidak menimbulkan banyak korban
orang-orang tak berdosa."
"Keris Iblis?" seru Wukirsari tertahan.
Baik Wukrsari, Fajar Legawa maupun Tumpak Denta cukup kenal akan suara itu,
suara Menak Singgih. Akan tetapi yang membuat mereka heran, mengapa orang tua itu
tidak mau muncul lagi dan bertemu muka dengan mereka?
"Di manakah keris itu sekarang, paman?" teriak Wukirsari.
"Keris itu semula dimiliki Klenting Mungil."
"Ahhh............" tanpa terasa tiga orang ini berseru tertahan.
"Dan kemudian oleh dia, diberikan kepada muridnya yang terkasih, Putut
Jantoko."https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
"Ahhh............" lagi-lagi mereka berseru tertahan saking kaget.
"Paman Singgih, berilah saya keterangan lebih jelas!" teriak Wukirsari.
Akan tetapi tiada jawaban yang terdengar. Wukirsari mengulang lagi, namun tiada
jawaban pula. Akhirnya Wukirsari hanya menghela napas, kemudian mengajak dua
orang muda ini meninggalkan gunung Ungaran.
Tak lama kemudian mereka sudah tiba di tanah datar yang jauh dari gunung
Ungaran. Dan Fajar Legawa sekarang tidak kuasa lagi menahan hati untuk bertanya.
"Paman, sejak semula sya merasa amat heran, ketika tongkat Putut Jantoko berbenturan
dengan tongkatku. Sebab aku merasakan pancaran hawa panas dari tongkat penjahat itu.
Dapatkah kiranya paman menerangkan tentang keris iblis itu?"
"Akupun ingin tahu," kata Tumpak Denta. "Dan mengapa pula keris itu jatuh ke
tangan orang jahat?"
Wukirsari tersenyum mendengar itu. Sesudah ia menghirup hawa segar di waktu
sore ia menjawab. "Lebih dahulu kamu harus tahu, mengapa sebabnya disebut keris iblis.
Sebutan itu diberikan orang, karena keris itu sudah membawa korban yang cukup banyak.
Sejarah dari keris itu sendiri telah dilumuri oleh noda dan darah, yang kemudian
menimbulkan malapetaka hebat dalam suatu negara."
Wukirsari berhenti dan menghirup udara segar. Kemudian terusnya, "Manusiapun
akan disebut iblis, apabila tindak dan perbuatannya jahat dan membahayakan
kesejahteraan ummat manusia. Dan sesungguhnya manusia sendirilah yang nenyebabkan
benda-benda pusaka itu ternoda dan cacat. Karena oleh perbuatan manusia-manusia itu
sendiri, benda-benda pusaka itu kemudian memiliki corak. Hemm tetapi sesungguhnya,
anakku, tiada seseorang yang mau berbuat merugikan orang lain, melainkan orang yang
tolol. Ialah, orang yang tidak pernah memikirkan kesudahan sesuatu perbuatannya itu.
Baik di dunia maupun di akhirat, barang siapa yang bersifat seperti itu, takkan bisa
terhindar dari bahaya dan cerca orang banyak. Anakku, kadang pula terjadi ke atas diri
orang itu dilakukan orang pula kejahatan seperti yang biasa diperbuatnya kepada orang
lain. Ketika itu barulah ia insyaf betapa orang teraniaya. Maka kemudian terbukalah
hatinya, dan kemudian taubat daripada keadaan yang sudah-sudah. Oleh sebab itu
seseorang yang sadar dirinya, tidaklah akan melakukan perbuatan yang merugikan orang
lain."
Baik Fajar Legawa maupun Tumpak Denta berdiam diri dan memperhatikan kata-
kata Wukirsari ini. Sebab dari nasihat dan petunjuk itu, mereka dapat mengambil faedah
dan manfaatnya
Setelah beberapa jenak berhenti, Wukisari yang memang suka memberi nasihat itu
meneruskan. "Anakku, kau masih muda. Kau masih akan banyak berjumpa dengan
beberapa macam kesulitan. Maka engkau harus hati-hati, dan jangan engkau
mendekatkan dirimu kepada orang yang menyangka bahwa dirinya merdeka berbuat
semau-maunya, karena dosa dan pahala dianggap kata-kata yang kosong tiada artinya.
Orang-orang tua telah berkata bahwa, berhutang wajib membayar, berpiutang wajib
Iblis Dari Gunung Wilis Karya Widi Widayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menerima. Tiap-tiap perbuatan sama pula dengan biji yang ditanam di tanah, pasti akan
berbuah juga. Manis dan pahitnya itu menurut keadaan biji itu sendiri. Demikianlahhttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
anakku, bahwa sesungguhnya perbuatan manusia itu sendirilah yang membuat kotornya
dunia ini. Perbuatan manusia yang lupa kepada Tuhan."
Wukirsari batuk-batuk kecil. Kemudian "Kembali kepada soal keris yang kau
maksudkan tadi. Sesungguhnya keris itu hasil karya seorang Empu sakti mandraguna.
Empu yang namanya amat terkenal. Dan keris yang dihasilkan oleh tangannya itupun
ampuh sekali. Ingatkah engkau akan keris Empu Gandring?"
"Keris Empu Gandring?" Fajar Legawa kaget. "Keris yang terkenal dalam
sejarah Tumapel itu?"
Wukirsari mengangguk. Kemudian. "Keris Empu Gundring itulah yang dimaksud
dengan "Keris Iblis". Karena keris itulah kemudian yang sudah mencabut nyawa Empu
Gandring sendiri, sebagai penciptanya. Nah, tentunya engkau masih ingat peristiwa itu
bukan? Kematian Empu Gandring oleh tangan Ken Arok?"
Tumpak Denta menghela napas. Kemudian ia bertanya, "Tetapi mengapa keris itu
jatuh ke tangan Klenting Mungil?"
Wukirsari menggeleng. "Entahlah, aku tidak tahu sebabnya."
Untuk beberapa saat lamanya mereka berdiam diri, mereka tenggelam dalam
pikiran masing-masing, memikirkan tentang keris tersebut, yang sudah berlumuran darah
di jaman Tumapel.
"Sejarah telah mencatat keganasan keris itu," kata Wukirsari lagi sesudah
menghela napas. "Korban pertama Empu Gandring, dibunuh oleh Ken Arok. Dan
sebelum menghembuskan napas terakhir Empu Ganuring mengutuk kepada Ken Arok,
bahwa Ken Arok dan ketujuh turunannya akan menjadi korban keris itu pula. Korban
kedua jatuh, dan yang menjadi korban Tunggul Ametung. Kordan ketiga Ken Arok
sendiri, justeru apa yang dilakukan Ken Arok bocor dan diketahui oleh Anusapati, anak
tirinya. Setelah Ken Arok mati, Anusapati mengganti kedudukan sebagai raja. Namun
kemudian Anusapati harus mati pua oleh keris itu sebagai korban yang keempat oleh
Tohjoyo, anak Ken Arok dari isteri muda bernama Ken Umang."
Wukirsari berhenti dan menelan 1udah. Sesaat kemudian kakek ini meneruskan.
"Agaknya Tohjoyo takut apabila kemudian hari ia dibunuh orang pula dengan keris itu.
Maka timbulah niatnya untuk memusnahkan keris yang sudah ternoda itu. Untuk
melaksanakan maksudnya tersebut, keris Empu Gandring ini diberikan kepada seorang
hamba kepercayaannya. Dan sejak peristiwa itu, keris Empu Gandring tidak diketahui
rimbanya. Orang tak dapat menceritakan ke mana keris itu dibawa pergi dan
dimusnahkan. Yanq diketahui orang sekarang hanyalah, bahwa kutukan Empu Gandring
itu hanya dapat berhasil tiga orang saja, tidak tujuh orang."
Fajar Legawa menghela napas dalam. Kemudian tanpa sesadarnya pemuda ini
mendesis. "Keris Iblis! Keris Iblis!"
"Ya, nama keris Empu Gandring sudah tidak tepat lagi dan yang tepat dengan
nama Keris Iblis." sahut Wukirsari.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Tumpak Denta menghela napas pula. Persoalan baru bagi dirinya. Namun
merupakan persoalan yang sekarang memerlukan perhatian sungguh-sungguh.
"Keris itu muncul kembali untuk pertama kalinya, kira-kira tigapuluh tahun yang
lalu," kata Wukirsari dalam usahanya memberi penjelasan. "Di mana kala itu aku sendiri
masih muda dan guruku juga masih hidup. Dengan senjata keris tersebut Klenting Mungil
mengganas, melakukan perbuatan-perbuatan terkutuk dan tidak mengenal kemanusiaan.
Ketika itu orang telah berusaha merebut dari tangan Klenting Mungil. Guru almarhum
pernah pula bertempur Klenting Mungil dua hari dua malam. Pada akhirnya, Klenting
Mungil dapat dikalahkan. Akan tetapi sungguh sayang, Klenting Mungil masih sempat
melarikan diri. Ketika itu Klenting Mungil dimusuhi banyak orang, termasuk paman
Menak Smggih, paman Purwowaeso dan paman Abdulrajak. Karena takut, kemudian
Klenting Mungil menghilang, menyembunyikan diri. Namun ternyata sekarang, sesudah
bersembunyi puluhan tahun dia kembali muncul dan kembali pula mengganas."
Tumpak Denta dan Fajar Legawa berdiam diri.
Wukirsari memandang kepada Fajar Legawa dan Tumpak Denta bergantian.
Kemudian katanya lebih lanjut. "Orang-orang Klenting Mungil dan muridnya itu,
sesungguhnya sudah bukan manusia lagi. Tetapi yang terbentuk seperti manusia. Mereka
sudah tidak 1agi memiliki pribadi atau kesadaran atas "akunya". Oleh karena itu mata
hatinya menjadi buta dan tidak mampu lagi membedakan antara yang baik dan mana
yang buruk. Tidak lagi tahu akan arti hidup, dan mereka hanyalah memperturutkan hawa
nafsunya melulu. Orang yang sudah kehilangan pribadinya akan membawa malapetaka
bagi ummat manusia. Kewajiban kita sekalian untuk memeras tenaga dan kepandaian,
dalam menumpas orang-orang demikian itu."
Mereka kembali diam. Hanya suara tapak-tapak kaki mereka yang menyentuh
permukaan bumi sajalah yang mengisi suasana. Mereka terus menyusuri jalan-jalan kecil
dan berbatu-batu. Matahari sudah makin rendah di barat, dengan sinarnya yang merah
dan lemah. Mereka terus melangkahkan kaki mereka tanpa berhenti, dan berharap
sebelum matahari terbenam mereka sudah menemukan desa untuk mencari tempat
beristirahat.
Fajar Lgawa menyadari akan dirinya, yang mengemban tugas menyelamatkan
pusaka "Tilam Upih" semakin terasa berat. Sebab pusaka itu menjadi incaran orang dan
juga diperebutkan. Apabila langkahnya kurang hati-hati, malapetaka selalu mengancam
dirinya. Apa pula orang-orang jahat yang memiliki kepandaian tinggi seperti Klenting
Mungil, merupakan suatu bahaya yang setiap saat dapat timbul.
Dalam hati Fajar Legawa merasa, bahwa tidaklah gampang seseorang yang
mendapat tugas menyelamatkan sebuah pusaka. Dan makin sadar pulalah Fajar Legawa,
mengapa ayahnya dahulu, yang sudah cukup sakti mandraguna, terpaksa harus
menyembunyikan dirinya dan menyamar sebagai petani di lereng gunung Slamet. Akan
tetapi ternyata walaupun sudah menyembunyikan diri dan menyamar sebagai petani,
masih pula dapat dicium oleh orang-orang yang bermaksud mendapatkan pusaka itu.
Apabila teringat akan beratnya tugas yang harus diemban ini, timbullah rasa cemas
dalam hati. Timbullah keraguannya, dapatkah ia mempertahankan diri dalam tugas ini?
Akan tetapi keraguannya ini tidak bertahan lama dalam hati. Keraguannya itu segerahttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
dapat diusir, sesudah ia ingat bahwa di samping orang-orang yang bermaksud jahat, tidak
kurang-kuranglah orang yang membela dan melindunginya.
Baik gurunya sendiri, Menak Singgih, Wukirsari maupun Gadung Melati
merupakan orang-orang yang dapat diharapkan bantuan dan perlindungannya. Sedang
perlindungan yang tertinggi, di tangan Allah, dan nasibnya diserahkan sepenuhnya.
Agaknya Wukirsari dapat menduga pula kandungan hati Fajar Legawa ini. Maka kata
kakek ini. "Engkau tidak perlu gelisah anakku. Percayalah bahwa Tuhan akan selalu
melindungi dari segala mara bahaya."
"Terima kasih paman, dan sayapun yakin akan hal itu," sahut Fajar Legawa.
"Namun demikian, merupakan kewajibanmulah untuk selalu berhati-hati,"
Wukirsari memberikan nasihatnya, "Karena orang yang mau mendekati musuh yang
menaruh dendam kepadanya akan menjerumuskan dirinya ke dalam jurang kebinasaan.
Seseorang wajib menjaga dirinya dari pada bahaya, dan jangan mau ditipu oleh orang
yang tidak dapat dipercaya. Orang yang mau diperdayakan musuh dengan kata-kata yang
manis, lebih memusuhi dirinya sendiri daripada kepada musuhnya. Dan orang yang
berakal tidak akan diam pada tempat yang berbahaya, padahal ia kuasa pindah ke tempat
lain. Anakku, itulah nasihat para cendikia. Perlu kiranya engkau camkan di dalam hati,
agar engkau selalu luput dari mara bahaya. Apabila hati-hati engkau menjaga diri, segala
kebaikan akan datang sendiri kepadamu. Kebaikan sama dengan air, senantiasa mencari
tempat untuk mengalir. Dan kemenangan senantiasa menjadi balasan orang yang hati-
hati segala kelakuannya. Orang yang malas dan ragu-ragu, sekali-kali tidak akan berhasil
mencapai maksudnya"
Fajar Legawa dan Tumpak Denta tertarik hatinya atas kata-kata Wukirsari yang
mengandung nasihat ini. Karena nasihat-nasihat orang tua ini dapat dipergunakan suluh
bagi mereka yang merasa masih muda dan kurang pengalaman.
Wukirsari sendiripun kemudian berdiam diri, sesudah ia memberi nasihat-nasihat
berharga kepada Fajar Legawa, kemudian teringatlah ia akan nasihat Menak Singgih
mengenai muridnya, Handana Warih. Dalam hati mengakui dan tidak dapat membantah
akan benarnya kata-kata Menak Singgih, tentang kurang baiknya watak dan tabiat
Handana Warih.
Bukankah oleh akibat tuduhan Handana Warih, menyebabkan Fajar Legawa
hampir saja mendapatkan kesulitan? Dan bukankah sebab mereka berpayah-payah
mendaki gunung Ungaran, dan hampir mendapatkan malapetaka pula, akibat mulut usil
Handara Warih? Perbuatan Handana Warih itu merupakan gejala-gejala yang kurang
baik. Dan apabila tidak segera mendapat perhatian bisa berakibat lebih parah lagi
keadaannya.
Teringat akan muridnya itu, hati Wukirsar? agak merasa cemas. Ia khawatir
apabila murid tunggalnya yang telah dididik berpayah-payah itu kemudian hari akan
menjelma menjadi seorang yang tak berguna Oleh karena itu timbullah niat Wukirsari
untuk cepat-cepat pulang dan bertemu dengan Handana Warih.
"?nakku." kata Wukirsari kemudian. "Aku harus pulang sekarang juga."https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Fajar Legawa dan Tumpak Denta agak terkejut. Mereka memandang orang tua itu
dengan ragu. Kemudian tanya Tumpak Denta. "Mengapa sebabnya paman harus pulang
sekarang juga?"
"Hemmm, aku harus segera mengurus Handana Warih," Wukirsari memberi
penjelasan, "Timbullah kekhawatiranku apabila dia menjadi liar lagi"
"Tetapi bagaimanakah dengan janji paman?" tanya Fajar Legawa.
"Janji tentang apa?"
"Bukankah paman pernah berjanji akan memberitahukan padaku, apakah
sebabnya aku wajib menyelamatkan pusaka milik Dipati Ukur?"
"Heh-heh-heh," Wukirsari tertawa. Kemudian.. "Ya, masalah itu sebaiknya
engkau bawa saja kepada gurumu. Dan aku percaya, bahwa gurumu sedia memberi
penjelasan."
"TETAPl guru pernah saya tanya, dan menghindari untuk menerangkan."
"Mungkin hanya menunggu saat saja. Tetapi percayalah bahwa hal itu akan
engkau ketahui sejelasnya. Sebab bagaimanapun untuk engkau memang amat perlu."
Akhirnya mereka berpisah juga. Wukirsari langsung menuju tempat tinggalnya,
sedang dua orang muda itu berusaha mencari tempat menginap, dan istirahat. Dua orang
muda itu kini sedang menyusuri tepi kali Bodri. Dan mereka berharap pula bahwa
sebelum malam tiba, mereka sudah berhasil mencari tempat menginap. Harapan itu
agaknya terkabul. Di depan sudah tampak sebuah desa. Mereka mempercepat langkah.
Namun kemudian dua orang muda ini menjadi kecewa, sesudah mereka masuk ke dalam
desa. Desa itu tampak kosong, rumah-rumah pintunya tertutup rapat dan tidak terdengar
pula suara orang. Diam-diam dua orang muda ini heran. Mengapa desa ini kosong?
Mungkinkah ada malapetaka yang telah menimpa desa yang cukup makmur ini?
Fajar Legawa dan Tumpak Denta menebarkan pandang mata mereka ke sekeliling.
Mereka menyelidik tiap-tiap rumah yang tertutup rapat itu. Timbullah rasa heran
disamping curiga. Kemudian Fajar Legawa mencoba mengetuk pintu rumah, sambil
berteriak memperkenalkan diri. Akan tetapi telah berkali-kali Fajar Legawa mengetuk
pintu dan berteriak, namun rumah itu tetap sepi saja dan tiada pula jawaban dari dalam.
Fajar Legawa menghela napas. Kemudian ia mempertajam pendengarannya untuk
menangkap suara dari dalam rumah. Sungguh sayang, usahanya tak berhasil.
Tumpak Denta juga berbuat sama seperti Fajar Legawa. Namun seperti yang
dilakukan Fajar Legawa, iapun tidak mendapatkan apa-apa. Telah beberapa kali ia
berteriak pula, tetapi tidak juga terdengar jawaban dari dalam. Ia mencoba mendorong
pintu rumah. Sayang pintu itu terkancing kuat dari dalam.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Sadarlah mereka sekarang bahwa rumah penduduk itu kosong tidak berpenghuni
lagi. Namun yang menimbulkan pertanyaan dalam hati dua orang muda ini, mengapa
penduduk mengosongkan rumah mereka?
"Kakang, apa yang sudah terjadi?" tanya Fajar Legawa.
Tumpak Denta menggelengkan kepalanya. Ia pun sama halnya, belum dapat
menduga sebabnya desa ini tampak kosong. Satu hal yang memenuhi benak mereka,
kemanakah penduduk desa ini pergi?
Mereka kembali menebarkan pandang-mata untuk melihat sekeliling. Desa
tersebut tetaplengangdan sepi, dan tidak seekorpun anjing maupun binatang lain
berkeliaran. Rumah-rumah yang berdiri didalam desa itupun tetap bisu, tak dapat
memberitahukan kepada mereka, kemana para penghuni desa ini pergi. Hanya angin
sajalah yang baik hati, berhembus perlahan mengusap kepada seluruh benda yang
dilanggar. Seakan angin itu membisikkan sesuatu, dan memperingatkan kepada Fajar
Legawa maupun Tumpak Denta agar lebih berhati-hati. Sebab ancaman bahaya setiap
waktu dapat terjadi.
Sayang sekali bahwa baik Fajar Legawa maupun Tumpak Denta tidak menyadari
akan bisikan angin yang baik hati itu. Mereka masih terbenam oleh perasaan yang heran
dan bertanya-tanya, mengapa desa tersebut kosong. Akan tetapi pada saat mereka masih
menebak-nebak ini, mereka terkejut dan terpaksa mereka melompat ke samping.
"Tak tak........!" dua batang anak panah menancap pada dinding rumah.
Fajar Legawa dan Tumpak Denta berpandangan. Apa yang baru terjadi membuat
Iblis Dari Gunung Wilis Karya Widi Widayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mereka keheranan. Mereka sebenarnya marah, mengapa ada orang sengaja menyerang
secara gelap? Maka dengan isyarat, mereka berdua telah melompat kearah asal anak
panah.
Ketika itu hari sudah agak gelap, karena matahari sudah mulai menyembunyikan
diri dalam peraduannya. Namun mata Fajar Legawa dan Tumpak Denta yang
sudahterlatih, segera dapat menangkap bayanganorang menyelinap ke dalam semak
belukar. Fajar Legawa cepat bergerak untuk mengejar orang tersebut. Tapi segera
berdesinganlah dua batang anak panah mengarah mereka, dari arah lain. Fajar Legawa
menggerakkan tangan kanan seraya merendahkan tubuh. Sebatang anak panah yang
berdesing di atas kepalanya dengan gampang ia tangkap. Kemudian anak panah lain,
dengan gampang ia pukul runtuh dengan anak panah yang dapat ia tangkap itu.
Rasa marah semakinmenggelegak dalam dada oeh perbuatan orang yang curang
itu. Maka Fajar Legawa segera melompat untuk mengejar, sedang Tumpak Dentapun
tidak mautinggal diam. Namun baru saja mereka bergerak, telah bermunculanlahhttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
beberapa kepala orang dari semak sambil mengancam dengan anakpanah yang siap pada
busur. Mereka sudah terkepung, dan keselamatan dua orang muda ini terancam.
"Jangan bergerak apabila ingin selamat!" bentak salah seorang menggeledek.
"Panah-panahku ini sanggup membunuh kamu. Tahu?"
Apa yang terjadi makin menyebabkan Fajar Legawa dan Tumpak Denta
tambah marah. Sesungguhnya mereka sanggup menyelamatkan diri dan membentengi
tubuh dengansenjata masing-masing. Namun kehadiran mereka di desa ini bukan mencari
musuh, maka mereka takkan gegabah dan menurutkan hati marah.
Ternyata jumlah orang yang sekarang mengurung secara ketat itu amat banyak.
Lebih tiga puluh orang jumlahnya, sedang mereka telah siap pula dengan aneka macam
senjata yang mereka miliki. Orang-orang itu mengamati Fajar Legawa dan Tumpak Denta
dengan pandangmata yang curiga. Akan tetapi sebaliknya pula, dua orang muda ini
mengamati mereka sambil bertanya- tanya mengapa secara tiba-tiba telah dikepung dan
diancam oleh senjata?
Tak lama kemudian tempat itupun menjadi terang benderang oleh obor-obor kayu
yang dinyalakan orang. Dan dua orang ini menebarkan pandang mata menyelidik.
"Lepas senjatamu, dan menyerahlah!" bentak orang yang tadi dengan garang dan
lantang.
Fajar Legawa dan Tumpak Denta terkejut. Mereka segera menatap orang itu, yang
berdiri tegak sambil memegang golok telanjang. Orang itu tubuhnya tinggi besar, kokoh
disamping garang. Dia memelihara kumis tipis yang terawat, tetapi tidak berjenggot.
Sepasang matanya berkilat-kilat memandang Fajar Legawa dan Tumpak Denta tidak
berkedip. Akan tetapi dua orang muda ini berdiri dengan tenang. Mereka tidak
menjawab tetapi juga tidak mau memenuhi perintah orang itu.
"Hai! Apakah kamu tuli?" bentaknya kasar. "Buanglah senjatamu dan
menyerahlah. Berani melawan berartimati!"
"Sabar sahabat," sahut Tumpak Denta. "Apa salah kami dan mengapa pula
saudara bersikap sekasar itu?"
"Cerewet!" bentak orang itu lagi. "Kamu mau memungkiri perbuatanmu? Huh,
bangsat busuk!"
Tiba-tiba melompatlah seorang pemuda berbadan tegap dengan senjata tombak
trisula, dan kemudian berdiri mendampingi laki-laki bersenjata golok itu. Katanya.
"Kakang Danurwenda! Mengapa kau layani bangsat-bangsat ini? Bukti tidak terbantahhttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
lagi,bahwa mereka mata-mata penjahat gunung Ungaran."
Sulit dibayangkan betapa terkejut Fajar Legawa maupun Tumpak Denta
mendengar ini, tetapi diam-diam menjadi marah. Kata-kata orang itu amat menghina
disamping menyakitkan hati. Maka Fajar Legawa segera bersiap diri untuk memberi
hajaran kepada orang yang sudah menuduh membabi buta itu. Tetapi untunglah Tumpak
Denta waspada dan mencegah. "Sabarlah adi, jangan menurutkan amarah."
Tumpak Denta mempunyai alasan lain. Ia sudah menduga terjadi salah sangka,
dan dapat menduga pula bahwa semua orang ini adalah penduduk desa ini. Agaknya
mereka tadi memang sengaja mengosongkan desa, dalam usaha mereka menjebak
penjahat gunung Ungaran. Kemudian mudah diduga pula,bahwa gerombolan penjahat
gunung Ungaran itu telah merencanakan untuk merampok didesa ini. Hingga penduduk
bersatu-padu, mengumpulkan kekuatan untuk melawan.
Dalam hatinya bersyukur, bahwa penduduk desa ini memiliki kemampuan
melawan para penjahat. Namun sebaliknya ia kurang mengerti akan alasan mereka,
mengapa menuduh orang sebagai mata-mata penjahat gunung Ungaran.
"Saudara-saudara, kalian salah sangka." Tumpak Dentamemberi penjelasan.
"Kami sedang melakukan perjalanan jauh, dan tiba di desa ini dengan maksud mencari
pertolongan untuk mendapat tempat menginap. Percayalah kawan, bahwakami bukan
penjahat yang kalian maksudkan itu."
Pemuda yang bertubuh tegap itu ketawa mengejek. Katanya kemudian. "Bagus!
Kamu ternyata pandai berdalih dan menipu. Akan tetapi sayang sekali bahwa aku tidak
bisa percaya. Aku sendiri yang menyaksikan kamu bertiga menuruni lereng Ungaran.
Seorang kawanmu yang tua itu kemudian memisahkan diri kejurusan lain. Bukankah
benar apa yang aku katakan ini? Hayo bantahlah jika bisa."
Tumpak Denta dan Fajar Legawa terkesiap. Kata-kata pemuda ini tidak bisa
dibantah justeru benar. Maka kemudian jawab Tumpak Denta jujur. "Benar, kami bertiga
menuruni lereng gunung Ungaran itu sore tadi."
Segera terdengar suara gaduh dari orang-orang desa yang mencemohkan. Hingga
Tumpak Denta yang akan meneruskan keterangannya terpaksa dibatalkan. Sulit suaranya
mengatasi suara dari mulut puluhan banyaknya itu.
"Ha, kau sudah mengaku?" ejek orang pertama.
Sesungguhnya Fajar Legawa sudah tidak sabar lagi harus bertahan. Ia sudah amat
marah dituduh sebagai bangsat dan penjahat. Kepada orang yang berani menghina, ia
tidak sanggup untuk memberi ampun. Ia paling benci dihina orang. Namun Tumpakhttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Denta tidak menghendaki, dan katanya kemudian.
"Saudara, sudilah bersabar. Akuakan memberi keterangan selengkapnya. Begini,
benarlah bahwa kami bertiga menuruni lereng gunung Ungaran itu. Tetapi janganlah
kalian menuduh bahwa kami penjahat. Kami datang ke desa ini bukan bermaksud
berselisih dan mencari musuh. Akan tetapi berusaha mencari sahabat. Percayalah, bahwa
aku sudah memberi keterangan sejujurnya kepada kalian."
Akan tetapi kata-kata Tumpak Denta itu disambut dengan ketawa mereka yang
mencemohkan. Mereka geli mendengar alasan dua orng ini. Maka kemudian terdengarlah
kata orang pertama. "Hem, baik! Engkau boleh memberi keterangan sepuasmu, dan boleh
pula engkau mengajukan dalih. Akan tetapi demi keselamatan seluruh rakyat dalam desa
ini, dan demi keselamatanmu berdua, aku tetap menuntut, buanglah senjatamu dan
menyerah."
Fajar Legawa yang masih berdarah panas sudah tidak kuasa lagi menahan diri. Ia
tidakperduli lagi, dan tidak perduli pula salah sangka ini berlarut-larut, ia beranggapan,
percumalah memberikan peujelasan. Maka ia segera maju selangkah seraya berkata
lantang. "Kalian telah menghina kami. Kalian sudah membabi buta menuduh orang.
Huh, sekarang apakah kehendak kalian?"
Orang-orang desa yang semula gaduh itu mendadak sirap mendengar kata-kata
Fajar Legawa. Mereka kemudian mengamati penuh perhatian dengan wajah nampak
tegang. Namun sekalipun demikian dalam hati mereka telahyakin, bahwa pihak mereka
yang bakal menang apabila terjadi pertempuran. Jumlah mereka jauh lebih banyak. Malah
Danurwenda dan Tohjoyo bukan pemuda sembarangan.
Sejak semula Tohjoyo justeru sudah tidak sabar. Maka pemuda ini segera
melompat maju sambil tertawa dingin. Senjata trisulanya melintang di depan dada.
Kemudian katanya mengejek. "Bagus! Mari kita buktikan siapakah diantara kita lebih
kuat?"
Selesai berkata senjata trisula itu telah menyambar ke arah leher. Fajar Legawa
tidak gugup. Ia miringkan kepala sambil merendahkan tubuh. Kemudian ketika senjata
itu lewat di atas kepalanya, ia mengangkat tangan untuk mencengkeram pergelangan
tangan lawan. Namun ternyata kemudian bahwa serangan itu pancingan saja. Begitu
melihat lawan bergerak, ia sudah merobah serangannya menyerampang kaki. Untung
Fajar Legawa tak gampang ditipu. Ia menjejakkan kaki ke tanah kemudian melompat ke
samping.
Tetapi Tohjoyo tidak memberi kesempatan lawan bernapas. Ia sudah melompat sambil
menikamkan senjatanya lagi. Akan tetapi sekarang Fajar Legawa tidak mau berkelit lagi.
Dua tangan pemuda ini sekarang malah terangkat untuk menyongsong senjata lawan.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Karena tak menduga, maka senjata Tohjoyo tertangkap pada bagian yang tidak
tajam. Tohjoyo kaget, ia tak pernah menduga sama sekali bahwa serangannya akan
disambut seperti itu. Tohjoyo mengerahkan tenaga untuk melepaskan senjatanya.
Sebaliknya Fajar Legawa berusaha bertahan.Namun Tohjoyo memang mempunyai
tenaga seperti raksasa. Senjatanya berhasil ditarik, akan tetapi dengan gesit tubuh Fajar
Legawa sudah berkelebat maju. Sekali bergerak tangan pemuda ini sudah mengancam
tenggorokan, sedang sebelah tangannya lagi telah menangkap trisula Tohjoyo.
Serangan tidak terduga ini membuat Tohjoyo kaget bukan main, untung juga
pemuda ini masih dapat melindungi keselamatannya. Ia menggulingkan diri, kakinya
terangkat untuk mendepak dan berbareng itu iapun berusaha menggentak senjatanya.
Fajar Legawa tidak berani nekat. Tengah paha merupakan bagian tubuh yang paling
lemah. Ia bisa menderita celaka apabila bagian itu terpukul, walaupun sesungguhnya
iapun akan dapat memukul Tohjoyo. Daripada harus mengambil risiko, maka Fajar
Legawa memilih melepaskan senjata lawan sambil melompat mundur
Kalau Fajar Legawa melawan Tohjoyo dengan tangan kosong, maka Tumpak
Denta lain. Ia cukup hati-hati dan tidak berani memandang rendah kepada lawan. Secepat
kilat ia sudah mencabut pedangnya untuk melayani Danurwenda. Dan ternyata kemudian
bahwa gerak-gerik Danurwenda lebih cekatan dibanding Tohjoyo. Pemuda ini dengan
senjata goloknya sudah menyerang bertubi-tubi kepada Tumpak Denta.
Dalam waktu singkat empat orang muda itu sudah berkelahi sengit sekali. Para
penduduk desa yang membentengi arena perkelahian itu mengamati dengan jantung
tegang. Diam-diam para penduduk ini khawatir apabila dua jagonya itu sampai tidak
mampu mengalahkan dua orang musuh itu.
Dan agaknya banyak obor kayu yang menyala ditempat itu, menarik perhatian
para penduduk desa yang lain. Mereka berbondong berdatangan, ingin menyaksikan apa
yang sedang terjadi ditempat itu. Dan orang-orang desa yang baru datang ini, kemudian
perhatiannya terpusat kepada mereka yang sedang berkelahi sengit itu.
Setelah berkelahi cukup lama belum juga dapat mendesak Tohjoyo, maka Fajar
Legawa menjadi marah. Ia tidak sedia menggunakan tongkatnya yang ampuh itu, yang
dapat mematahkan senjata lawan. Tetapi sebaliknya apabila ia terus berkelahi seperti
sekarang ini, juga sulit untuk dapat mengalahkan lawan. Mendadak saja timbullah pikiran
Fajar Legawa untuk menggunakan pukulan pamungkas, dengan aji "Panglebur Jagad".
Sebab menurut pendapatnya, hanya dengan jalan ini sajalah ia akan dapat mengalahkan
lawan. Untuk melancarkan pukulan ini, Fajar Legawa segera bersiap diri untuk
menyalurkan tenaganya.
Tohjoyo heran melihat sikap lawannya yang berdiri tegak tak bergerak itu. Dan
pemuda inipun berdiri tegak sambil melintangkan senjata trisulanya didepan dada. Samahttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
sekali Tohjoyo tidak menyadari bahwa sikap Fajar Legawa itu, dapat membuat dirinya
terancam oleh bahaya.
Justeru dalam keadan yang amat gawat ini, tiba-tiba terdengarlah seruan nyaring
yang disusul oleh berkelebatnya sesosok bayangan melompat masuk ke dalam
gelanggang. "Tahan!"
Seruan ini membuat empat orang yang sedang berkelahi itu terkejut. Fajar Legawa
mengurungkan niatnya, sedang Danurwenda dan Tumpak Denta yang tadi berkelahi
sengit, sudah melompat mundur
"Ahhh..........hampar saja!" terdengar suara perempuan. "Untung kami segera
datang."
Empat orang muda yang tadi berkelahi heran, Hampir berbareng mereka menoleh
kearah suara. Tampak oleh mereka, seorang pemuda gagah bersama seorang gadis
bertubuh denok ( montok ) dan wajahnya cukup cantik.
Tohjoyo mengerutkan alis pertanda kurang senang. Lalu tegur pemuda ini. "Adi
Wanengboyo! Mengapa engkau menghentikan perkelahian ini?"
Wanengboyo tertawa. Kemudian jawabnya. "Setelah aku memberi penjelasan,
kakang Tohjoyo akan tahu. Mereka ini bukan orang jahat, dan dia inilah adi Fajar Legawa
yang pernah aku ceritakan kepada engkau."
"Ahhh ............!" Danurwenda dan Tohjoyoberseru hampir berbareng.
Sebaliknya Ayu Kedasih dengan bibir tersenyum manis sudah menghampiri Fajar
Legawa. Tegurnya. "Baik-baik sajakah engkau, tadi?"
"Ya, selamat," sahut Fajar Legawa dengan sikap yang kikuk. Teringatlah pemuda
ini akan pesan Ayu Kedasih didalam sapu tangan.
"Kakang Danurwenda dan kakang Tohjoyo." kata Wanengboyo lagi. "Mengapa
sebabnya kalian berkelahi dengan adi Fajar Legawa dan Tumpak Denta?"
Tohjoyo dan Danurwenda tertegun. Dua orang ini tidak segera menjawab. Dan
Wanengboyo kemudian berkata lagi. "Adi Fajar Legawa dan adi Tumpak Denta.
Iblis Dari Gunung Wilis Karya Widi Widayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Agaknya kalian salah paham. Baik kakangTohjoyo maupun kakang Danurwenda adalah
kakak seperguruanku."
Kemudian kepada Tohjoyo dan Danurwendar ia memberi penjelasan. "Kakang
Tohjoyo dan kakang Danurwenda, mereka ini adalah tamu-tamu kita, sahabat dari
lembah Galunggung, murid-murid paman Suria Kencana."https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
"Ahh.........maafkan aku.........!" seru Tohjoyodan Danurwenda hampir berbareng.
"Bukan kalian," seru Tumpak Denta. "Tetapi kamilah yang mohon maaf atas
kesalah pahaman ini."
Empat orang muda yang semula saling labrak itu, sekarang saling berpelukan.
Dalam hati Tonjoyo dan Danurwenda timbul rasa sesal, mengapa sudah terburu nafsu
dan menuduh dua orang murid Suria Kencana itu sebagai orang orang jahat dari gunung
Ungaran.
Suasana cepat berobah. Kalau tadi amat menegangkan dan akan terjadi salah
seorang melayang jiwanya, sekarang suasana ditempat itu mengasyikkan. Perobahan
suasana itupun mempengaruhi penduduk desa ini. Sekarang sikap mereka kepada Fajar
Legawa dan Tumpak Denta menjadi ramah dan manis. Dan kemudian Fajar Legawa dan
Tumpak Denta, segera mereka ajak menuju balai desa.
Dalam perjalanan menuju balai desa ini, berkatalalawanengboyo kepada
Danurwenda. "Kakang, sungguh beruntung bahwa aku datang disaat yang tepat. Hingga
kesalahpahaman itu tidak berlarut-larut."
Danurwenda mengiakan, kemudian ia bertanya, "Mengapa engkau dan adi
Kedasih bisa kemari?"
Wanengboyo tersenyum. Lalu, "Kedatanganku bersama Ayu Kedasih memang
sengaja. Dari Merbabu, aku langsung datang kemari."
"Kalau begitu, engkau sudah bertemu dengan guru?" sela Tohjoyo.
"Benar. Aku menginap semalam di sana," sahut Wanengboyo. "Kemudian aku
langsung kemari, dengan maksud untuk membantu kesibukanmu menghadapi gangguan
penjahat gunung Ungaran itu."
"Ahhh, terima kasih adi," kata Danurwenda. "Sudah lebih satu tahun aku tidak
pulang kemari. Ternyata desaku ini diganggu penjahat."
"Adakah pesan guru untuk aku dan kakang Danurwenda?"tanya Tohjoyo.
"Ada!" sahut Wanengboyo. "Pertama, guru memberi nasihat agar kakang berdua
bersikap hati-hati menghadapi gangguan penjahat Ungaran. Maka guru melarang kalian
datang menyerbu gunung itu. Dan yang kedua, pada bulan purnama bulan depan kakang
berdua harus kembali lagi ke Merbabu."https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
"Ahhh........." Tohoyo terkejut. "Kalau guru sampai melarang, apakah penjahat
gunung Ungaran itu benar-benar berbahaya?"
"Benar!" sahut Wanengboyo kemudian memberi keterangan. "Raja penjahat itu
mempunyai guru dan sekaligus ayah angkat yang sakti mandraguna. Disamping itu di
sana telah diatur perangkap dan jebakan yang membuat orang akan tersesat. Dan lebih
dari itu, di sana terdapat prajurit yang sukar dikalahkan........."
"Apa?" Tohjoyo kaget. "Apakah prajurit penjahat itu terdiri dari setan dan
siluman?"
"Bukan setan dan bukan siluman" sahut Ayu Kedasih. Akan tetapi karena iapun
mendengar keterangan dari Gajah Seta, maka ia ingin membantu Wanengboyo. "Akan
tetapi prajurit yang sukar ditundukkan itu, terdiri dan ribuan ekor ular berbisa yang amat
berbahaya."
Ayu Kedasih berhenti dan menyapukan pandang matanya kepada Tohjoyo,
Danurwenda, Tumpak Denta dan Fajar Legawa. Kemudan perempuan ini tersenyum,
terusnya. "Dan ular-ular itupun sudah terlatih sehingga dengan aba-aba, ular itu akan
menyerang dari semua jurusan. Hiii.......aku jijik kalau membayangkan ribuan ekor ular
berbisa itu yang bergerak dan mengurung ............"
Penduduk desa yang mendengar keterangan itu menjadi ngeri. Betapa dahsyat
prajurit ular itu apabila menyerang dan mengeroyok. Terluka oleh senjata, orang masih
bisa diselamatkan dengan obat. Akan tetapi orang yang terluka oleh gigitan ular berbisa,
tidak gampang disembuhkan.
Fajar Legawa yang telah merasakan sendiri betapa bahayanya ular-ular itu, diam-
diam tidak bisa membantah kekhawatiran Ayu Kedasih dan Wanengboyo. Kalau saja
ketika itu dirinya tidak tertolong oleh senjatanya yang dapat mengusir ular, ia sendiri tidak
dapat membayangkan, apakah dirinya masih hidup lagi.
Akan tetapi sungguh tidak terduga, tanggapan Tohjoyo lain. Pemuda ini tidak
takut kepada barisan ular itu. Katanya. "Huh, aku tidak takut! Dan aku akan tetap
mencoba untuk mendaki gunung Ungaran. Huh, aku takkan bisa percaya sebelum melihat
dengan mata kepala sendiri dan mengalami keroyokan ular-ular berbisa itu."
Ayu Kedasih dn Wanengboyo tercengang mendengar jawaban Tohjoyo itu.
Gurunya sudah melarang justeru gunung Ungaran itu amat berbahaya. Dan kalau Gajah
Seta sebagai gurunya melarang, tentu saja larangan itu mempunyai alasan cukup kuat.
Guru itu mengkhawatirkan keselamatan murid-muridnya. Akan tetapi mengapa Tohjoyo
ingin nekat?
Tetapi sikap Danurwenda lain. Ia seorang yang tidak gampang terbakar oleh rasahttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
marah dan penasaran. Pemuda ini berpikir, kalau gurunya melarang tentunya sudah
disertai pertimbangan-pertimbangan. Ia pun dapat membayangkan, menghadapi barisan
ular tidak segampang menghadapi lawan manusia. Belum terhitung lagi, Dyah Raseksi
sendiri, anak buahnya dan gurunya yang sakti mandraguna itu.
Walau demikian ia tidak mencela sikap Tohjoyo. Ia kemudian hanya berkata
dengan nada yang sabar, "Biarlah semua ini kita bicarakan dahulu di balai desa nanti
dengan hati dingin dan pertimbangan-pertimbangan. Kita tidak bisa mengabaikan
petunjuk dan larangan guru."
Untuk beberapa saat lamanya mereka berdiam diri. Setelah mereka masuk ke
dalam desa, Fajar Legawa maupun Tumpak Denta tercengang melihat perobahan yang
terjadi di dalam desa ini. Disaat mereka datang di desa ini, tampak sepi, mati tanpa
penghuni. Lengang, kosong, seakan tanpa penghuni. Rumah-rumah tertutup rapat, tiada
lampu atau api menyala. Akan tetapi sekarang desa itu berobah menjadi hidup. Beberapa
wanita dan kanak-kanak tampak menyambut mereka dengan wajah berseri, Pintu-pintu
rumah mereka terbuka lebar. Desa ini telah kembali hidup seperti biasanya.
Menyaksikan keadaan ini, Fajar Legawa dan Tumpak Denta sadar. Bahwa apa
yang dialami tadi memang disengaja dan telah dipersiapkan lebih dahulu.
Agaknya Danurwendapun dapat menduga apa yang dikandung oleh Tumpak
Denta dan Fajar Legawa. Maka ia mendekati, kemudian katanya. "Maafkan aku, bahwa
kehadiran adi Tumpak Denta dan Fajar Legawa tadi disambut oleh keadaan desa yang
kosong. Adi, dalam rangka meningkatkan kewaspadaan yang mendorong kami
melakukan seperti ini."
"Aku juga dapat memahami maksudmu," sahut Tumpak Denta sambil tersenyum.
"Terima kasih adi, apabila engkau dapat memahami keadaan ini," kata Danurwenda.
"Adi, desa ini yang menyaksikan aku terlahir didunia ini. Desa inilah pula kampung
halamanku. Maka sesudah aku mendengar berita bahwa desa ini dan desa-desa sekitarnya
diganggu penjahat, dengan seijin guru,aku pulang kemari. Betapa gemas dan marahku,
sesudah aku mendengar penderitaan perduduk desaku ini oleh gangguan penjahat. Dan
betapa sedih dan penasaranku sesudah aku merdengar pula bahwa beberapa orang
menjadi korban keganasan para penjahat, disamping beberapa orang gadis dan pemuda
hilang tak tentu rimbanya."
Danurwenda berhenti dan menghela napas. Ia merasa sedih atas penderitaan
penduduk dalam desa kelahirannya ini.
"Ahh," katanya seterusnya, "keadaan ini mendorong padaku untuk membakar
semangat mereka, dan melakukan perlawanan. Aku katakan kepada mereka, bahwahttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
apabila kita tidak menyusun kekuatan untuk menghalau mereka, kita akan semakin
ditindas dan semakin menderita. Ya sesudah kubakar semangatnya, ternyata penduduk
desaku ini belum kehilangan semangat seluruhnya. Mereka kemudian menyambut dan
menyetujui rencanaku. Dan oleh karena itu aku segera bertindak dan bekerja. Karena
untuk menyusun kekuatan tidaklah mungkin terlaksana, tanpa mereka memiliki
kepandaian sekalipun sedikit. Maka dengan kemampuanku yang terbatas mereka
kemudian kami latih membela diri dan menggunakan senjata. Namun karena mendadak
dan terdesak oleh waktu, sesungguhnya mereka belum mempunyai arti apa-apa bagi
penjahat yang rata-rata berilnu itu. Akan tetapi meskipun demikian masih ada gunanya
daripada tidak sama sekali. Demikianlah, sejak kedatanganku desa dalam keadaan aman.
Tetapi sore tadi..."
Danurwenda berhenti dan menelan ludah. Beberapa saat kemudian barulah ia
melanjutkan. "Beberapa orang pemuda yang aku bebani tugas sebagai mata-mata
melaporkan, bahwa dari lereng gunung Ungaran tampak tiga orang laki-laki bersenjata
menuju ke bawah. Dan atas laporang itu aku cepat menduga bahwa tiga orang laki-laki
bersenjata itu tentu penjahat-penjahat gunung Ungaran. Secepatnya semua penduduk aku
perintahkan mengosongkan desa. Dalam waktu singkat desa segera kosong. Itulah
sebabnya maka ketika adi Tumpak Denta dan adi Fajar Legawa datang ke desa ini, desa
telah kosong. Disamping itu karena aku mengira bahwa adi berdua memang anggota
penjahat gunung Ungaran itu, maka segera aku perintahkan dua orang pemuda untuk
memancing engkau keluar desa. Itulah adi, mengapa sebabnya tadi kalian menjadi incaran
anak panah. Hemm syukur sekali bahwa sebelum terlanjur runyam, adi Wanengboyo
datang..............."
Tohjoyo yang sejak tadi berdiam diri, mendadak bertanya. "Dimanakah kawanmu
yang seorang tadi?"
"Dia kembali pulang," sahut Tumpak Denta.
"Siapakah dia?" desak Tohjoyo.
"Paman Wukirsari."
"Oh, Wukirsari yang berdiam di Gresik?"
Tumpak Denta mengangguk. Danurwenda dan Tohjoyo saling pandang. Mereka
memang pernahmendengar nama itu yang amat terkenal.
"Sayang," desis Danurwenda, "alangkah untung penduduk desa ini apabila beliau
hadir di sini. Tetapi ahh, mengapa kalian turun dari gunung itu?"
"Kisahnya agak panjang." jawab Tumpak Denta. Kemudian ia memalingkan mukanyahttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
kepada Fajar Legawa. Terusnya. "Adi, ceritakanlah sejelasnya justeru engkaulah yang
lebih tahu."
Ketika itu mereka sudah hampir tiba di balai desa. Obor yang besar dipasang pada
pintu halaman, menerangi sekitarnya. Beberapa orang pemuda bersenjata nampak berdiri
pada dua sisi pintu. Dan disamping itu terdengar pula suara percakapan mereka diseling
suara ketawa dari arah balai desa. Agaknya sementara penduduk desa ini telah
mendahului hadir kebalai desa ini untuk menyambut tamu.
Sambil melangkah ini Fajar Legawa menceritakan semua pengalamannya di
gunung Ungaran yang hampir saja mati. Ia menceritakan secara blak-blakan, kecuali tiga
soal. Ialah tentang tongkatnya yang sanggup mengusir ular, tingkah laku Dyah Raseksi
ketika menawan dirinya, dan cintanya kepada Pertiwi Dewi. Baik Danurwenda, Tohjoyo
maupun para penduduk yang mengiring mendengarkan penuh perhatian. Dan ketika
mendengar bahwa baik Wukirsari maupun Gadung Melati tak sanggup menaklukkan
penjahat Ungaran itu, membuat semangat Tohjoyo menurun. Kalau ia tadi begitu
bersemangat akan datang ke sana dan menghancurkan gerombolan penjahat itu, sekarang
harus berpikir panjang lebih dahulu.
Agaknya pemuda-pemuda yang berjaga pada pintu halaman balai desa itu, lebih
dahulu telah memberitahukan kedatangan rombongan tamu ini. Terbukti beberapa puluh
penduduk laki-laki dan perempuan, berbondong menuju balai desa.
Melihat semua itu Ayu Kedasih tidak kuasa menahan hati. Tanyanya. "Kakang
Danurwenda. Apakah kakang memerintahkan kepada Mereka untuk menyambut kami?"
"Tidak!" sahut Danurwenda sambil tertawa. "Tetapi aku tahu bahwa mereka
sendiri yang ingin menyambut kalian. Tentunya sebagai pernyataan terima kasih atas
perhatian kalian terhadap penderitaan mereka."
Terdengar suara ketawa Ayu Kedasih yang merdu. Kemudian. "Bukankah sudah
merupakan kewajiban kami untuk membantu mereka? Bukankah begitu, adi Fajar
Legawa?"
Fajar Legawa yang memang melangkah berdampingan denganAyu Kedasih
tersenyum. Jawabnya kemudian. "Engkau benar."
Balai desa itu terang-benderang oleh sinar lampu minyak kelapa dan beberapa
obor kayu. Dan balai desa yang cukup luas itu telah terbentang tikar pandan yang bersih,
untuk tempat duduk para tamu.
Para penduduk desa ini tampak tercengang menyaksikan Ayu Kedasih
menyandang senjata dan tampak gagah, disamping cantik jelita. Beberapa orang gadishttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
saling sentuh. Agaknya kehadiran Ayu Kedasih membangkitkan semangat gadis-gadis
desa ini, untuk ikut serta berjuang membantu para pemuda atau ayah mereka menghalau
penjahat.
Sesudah mereka semua menempatkan diri, Danurwenda segera memperkenalkan
Fajar Legawa, Tumpak Denta, Wanengboyo dan Ayu Kedasih. Mereka datang ke desa
ini, semua akan memberi bantuan kepada penduduk desa Sumberrejo untuk menghalau
penjahat.
Tepuk tangan menggemuruh dari penduduk desa Sumberrejo ini, mendengar
Iblis Dari Gunung Wilis Karya Widi Widayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
penjelasan Danurwenda. Fajar Legawa menebarkan pandang matanya kepda mereka
yang hadir, bibirnya tersenyum, akan tetapi diam-diam pemuda ini terharu. Namun di
samping itu sesungguhnya Fajar Legawa ingin tahu, siapakah sesungguhnya Lurah Desa
ini? Tetapi karena ia tidak bisa menemukan orang yang pantas dengan kedudukannya
sebagai "raja kecil" di desa itu, maka kemudian ia bertanya kepada Tohjoyo. "Kakang,
agaknya pak Lurah tidak ada disini. Mengapa?"
Tohjoyo menghela napas. Kemudian ia menjawab dengan nada tidak lancar. "Adi,
benarlah dugaanmu. Lurah itu sesungguhnya .........ayahku sendiri. Tetapi .........ayah
sudah tiada lagi............... Ayah telah menjadi korban keganasan............ penjahat
Ungaran itu........."
"Ahhh........." hampir berbareng Tumpak Denta dan Fajar Legawa berseru
tertahan.
Maklumlah sekarang mengapa Tohjoyo bersikap keras sekali terhadap penjahat
gunung Ungaran, dan menganggap dirinya akan mampu mengalahkan penjahat Ungaran
itu. Saking gemas, penasaran dan sakit hatinya kepada penjahat itu, ia ingin menentang
nasihat gurunya. Memang dapat dimengerti betapa sakit hati pemuda ini, dan betapa pula
keinginannya dapat membalas dendam.
"Ayah menjadi korban yang pertama kali......" Tohjoyo meneruskan
penuturannya. "Ketika penjahat mengganggu desa ini, ayah.........melawan ...dengan
gigih dan tak kenal takut. Akan tetapi .........akhirnya ayah tidak berdaya karena dikeroyok
belasan penjahat. Hemm ......... peristiwa itu membuat hatiku ini sakit ......... Dan itulah
sebabnya aku bersikeras untuk menyerbu kesana......"
Tohjoyo mengeluh. Sedang Fajar Legawa dan Tumpak Denta yang mendengar
menjadi terharu. Mereka dapat mengerti betapa dendam dan sakit hati pemuda ini kepada
penjahat gunung Ungaran. Namun demikian, apabila tanpa memperhitungkan kekuatan
akibatnya akan lebih runyam. Ibarat datang ke gunung Ungaran hanya akan
mengantarkan nyawa. Usaha membalas dendam itu tak terkabul malah menjadi korban
penjahat yang ganas itu. Hal ini harus dicegah. Dan Tohjoyo harus bisa disadarkan,https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
bahwa penyerbuan ke gunung itu bukanlah jalan yang terbaik.
Ketika itu sementara orang muda membawa hidangan. Hidangan yang
disumbangkan penduduk desa ini dengan gotong-royong, dalam usaha mereka untuk
menyambut tamu-tamu mereka yang terhormat. Kemudian mereka makan bersama-
sama, hingga pertemuan itu tambah meriah. Mereka makan dengan lahap.
Sesungguhnya makanan yang dihidangkan itu sederhana saja. Bukan merupakan
makanan yang dimasak secara istimewa. Dalam keadaan rakyat menderita masih dapat
menyelenggarakan sekadar hidangan itu, sudah merupakan keuntungan bagi Fajar
Legawa dan yang lain.
Selesai makan, mereka tidak juga istirahat. Mengingat kewajiban mereka untuk
mengawal keamman desa ini. Mereka yang tua, kanak-kanak dan perempuan
memundurkan diri, akan tetapi para muda secara bergilir selalu dalam keadan siaga dan
waspada.
Di saat balai desa sudah tidak semeriah tadi itu. Danurwenda mengamati Fajar
Legawa. Kemudian katanya. "Adi, selaras dengan keteranganmu tadi jelas bahwa
penjahat gunung Ungaran itu kuat sekali. Oleh sebab itu saya mohon agar kalian berdua
tidak segera pergi dan meninggalkan desa ini, dan sedia membantu dan memperkuat
barisan kami."
"Benar!" sambut Wanengboyo. "Kasihanilah penduduk desa ini yang setiap saat
terancam oleh bahaya maut. Penjahat gunung Ungaran itu amat ganas, disamping kuat
pula. Dengan bantuan adi Fajar Legawa dan adi Tumpak Denta, akan membuat kami
lebih mantap lagi menghadapi gangguan penjahat gunung Ungaran."
"Dan akupun mengharap pula kesediaan kalian," Ayu Kedasih ikut memperkuat. "Aku
yakin dan percaya, bahwa baik adi Fajar Legawa maupun adi Tumpak Denta tiada
keberatan membantu kami."
Tumpak Denta dan Fajar Legawa berpandangan. Guru mereka mengharap
kedatangan mereka. Dan sesungguhnya untuk menolak permintaan mereka itu, juga tidak
sampai hati. Justeru permintaan bantuan itu untuk tugas kemanusiaan.
Malah merupakan kewajiban yang tak terbantah bagi setiap pengabdi kemanusiaan
dan keadilan, setiap saat menyingsingkan lengan membantu sesama hidup yang
memerlukan bantuan dan tenaganya.
"Guru akan dapat memaafkan kelambatanku," pikir Tumpak Denta, sesudah
mempertimbangkan beberapa saat lamanya. Dan kemudian kata pemuda ini. "Baiklah.
Akudan adi Fajar Legawa tak dapat menolak permintaan kalian."https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
"Terima kasih," ujar Danarwenda. "Dengan bantuan kalian, kekuatan desa
Sumberejo ini akan berlipat ganda."
Ayu Kedasih berseri wajahnya Dengan sepasang matanya yang bening,
perempuan ini banyak kali mencari kesempatan untuk memandang Fajar Legawa. Dan
entah apa sebabnya, Fajar Legawa sendiri tanpa sesadarnya seringkali pula memandang
Ayu Kedasih. Akan tetapi setiap melihat dada yang montok itu, tiba-tiba saja Fajar Lewa
merasa malu. Teringatlah pemuda ini akan pengalamannya waktu itu, bahwa payudara
Ayu Kedasih hampir menyentuh ujung hidungnya,
"Ahh, kakang Danurwenda terlalu berkelebihan," kata Tumpak Denta.
"Tidak berlebihan," sahut Ayu Kedasih tiba-tiba. "Tenaga gabungan ini
manfaatnya akan besar sekali. Dan kakang Danurwenda maupun kakang Tohjoyo akan
bisa sesumbar kurang lebih begini. Hai penjahat gunung Ungaran. Hayo gerakkanlah
seluruh kekuatanmu. Saleksa ngarsa, saketi wuri. Rakyat Sumberrejo takkan gentar
menghadapimu. Hamuk! Hamuk! Hamuk!"
Mereka yang mendengar tertawa. Balai desa itu menjadi riuh, sehingga pertemuan
itu lebih akrab lagi.
Ketika itu wktu sudah hampir tengah malam. Terpikir oleh Danurwenda untuk
meninjau keadaan. Sebab akan berbahayalah para pemuda yang bertugas mengawal desa
Sumberrejo itu sembrono, karena kurang pengawasan. Tumpak Denta setuju pendapat
ini, malah kemudian sedia pula ikut serta meninjau keadaan.
Danurwenda, Tohjoyo dan Tumpak Denta kemudian berangkat bersama-sama
meninjau keadaan. Yang tinggal di balai desa hanyalah Ayu Kedasih, Wanengboyo dan
Fajar Legawa. Sedang sementara pemuda masih mengobrol dan bercanda di halaman
balai desa.
"Adi Fajar, aihh sayang sekali bahwa ketika itu engkau cepat pergi," kata
Wanengboyo kepada Fajar Legawa. "Kapan lagikah engkau sera-. pat mengunjungi aku
ke sana? Pintu rumah Ayu Kedasih akan selalu terbuka setiap waktu menerima
kedatanganmu."
"Ahh, adi Fajar Legawa sudah kapok kakang, tak mungkin mau berkunjung ke
rumahku." Sahut Ayu Kedasih sambil tersenyum, "Salahmu sendiri kakang
Wanengboyo, engkau tidak dapat membeli beras, hingga adi Fajar Legawa hanya engkau
beri hidangan tiwul."
Fajar Legawa tertawa. Dan Wanengboyo ketawa bergelak-gelak.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
"Ahh, bukan disebabkan aku tak mau pergi ke sana mbakyu." kata Fajar Legawa."
"Tetapi waktu memang belum mengijinkan. Sampai saat ini aku belum juga tahu jejak
adikku yang hilang. Aku belum tahu nasib Irma Sulastri. Sebab aku berhadapan dengan
perkara-perkara baru yang muncul diluar dugaanku."
"Jadi............sampai sekarang belum ketemu...........?" Ayu Kedasih melengak
kaget.
Fajar Legawa menghela napas berat. Tiba-tiba saja hatinya terasa pedih sesudah ia
teringat kepada adiknya yang belum dikeianui nasibnya itu. Terdesak oleh persoalan-
persoalan baru yang terjadi, sehingga ia lupa kepada tujuan yang semula, mencari adiknya
yang hilang. Apa pula ketika ia teringat kembali akan orang tuanya yang mati terbunuh
olen penjahat. Ia bertambah sedih lagi. Timbul perasaannya yang berdosa, mengapa tidak
segera dapat menemukan jejak pembunuh orang-tuanya itu.
"Aku tidak tahu," Fajar Legawa kemudian mengeluh. "Apakah masih hidup
ataukah sudah mati. Semula aku menduga penjahat itu anak buah Juru Demung. Dan
aku telah ke sana, tetapi tidak dapat aku ketemukan. Aku menjadi bingung sendiri,
kemanakah aku harus mencari?"
"Tetapi mudah-mudahan Tuhan melindunginya," Ayu Kedasih yang terharu,
menyatakan perasaannya. "Dan aku berjanji untuk membantu usahamu
"Aku kira kakang Danurwenda dan kakang Tohjoyopun bersedia membantu
usahamu." Wanengboyo menyambung.
"Terima kasih." sambut Fajar Legawa dengan hati bersyukur. "Aku takkan
berhenti berusaha sebelum menemukan jejak pembunuh orang tuaku. Entah berapa
tahun, enah berapa windu. pendeknya aku akan berusaha terus."
Wanengboyo dan Ayu Kedasih makin terharu dibuatnya. Mereka dapat
memahami derita batin Fajar Legawa sekarang ini. Orang tua yang dicintai mati dibunuh
orang, sedang adiknya diculik pula.
"Sudahlah, lupakan dahulu soal itu," hibur Ayu Kedasih kemudian.
"Anggaplah peristiwa itu sebagai pupuk. Dan aku yakin seyakin-yakinnya banwa
keadilan Tuhan Akan berlaku juga. Segala kejahatan akhirnya akan terbongkar juga."
Fajar Legawa tersenyum, sekalipun hatinya amat perih. Peristiwa yang menimpa
keluarganya tidak cukup untuk disesalkan dan disedihkan. Peristiwa itu hanya dapat
diselesaikan dengan usaha. Usaha yang tidak kenal putus asa. Apa pula jika diingat bahwa
peristiwa-peristiwa yang berlaku di dunia ini selalu berlawanan. Ada gelap dan ada terang.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Ada sedih dan ada pula gembira. Mengapa harus takut akan derita didalam hidup ini?
Hidup takkan luput dari apa yang disebut derita. Dan inilah arti hidup sesunpguhnya.
Derita dan kesulitan hidup akan mendorong manusia semakin dewasa berpikir. Dan
manusia yang takut akan derita, manakah mungkin dapat maju dan mencapai cita-
citanya? Namun demikian semua itu memang memerlukan kesadaran. Dan oleh
kesadaran itu, manusia dapat merasa bahwa hidupnya ini memang tidak dapat lepas dari
takdir dan ketentuan yang sudah digariskan oleh Tuhan. Hanya manusia yang percaya
akan garis dan takdir saja, di dunia ini akan dapat hidup bahagia.
Tak lama kemudian kembalilah rombongan Danurwenda dari tugas
peninjauannya. Baru melangkah kaki masuk ke dalam balai desa, Danurwenda sudah
berkata. "Bersyukurlah kita kepada Tuhan bahwa malam ini desa kita aman. Para pemuda
masih tetap berjaga di tempat masing-masing, dan tidak menemukan eorangpun yang
uencurigakan."
"Ya, syukurlah!" sambut Wanengboyo gembira. "Dan mudah-mudahan saja
keadaan berkembang dengan baik. Agar dalam waktu singkat desa ini dan desa-desa
sekitarnya kembali aman. Karena guru telah memerintahkan kita, agar hari malam Jumat
Kliwon, tanggal 15 bulan delapan, kita sudah berada di sana."
"Apakah sesungguhnya maksud guru?" tanya Tohjoyo seraya mengambil tempat
duduk. "Adakah pesan guru?"
Wanengboyo menggelengkan kepala. Jawabnya. " Guru tidak menyatakan
sesuatu! Hanya mengatakan bahwa pada hari itu kita harus sudah bersiap diri di sana."
"Mungkinkah guru akan memberi ilmu baru kepada kita?" desak Tohjoyo.
"Mungkin," sambut Danurwenda. "Hari yang bagus itu merupakan kesempatan
yang paling baik. Tentunya guru tidak akan melewatkan begitu saja hari keramat itu."
"Kalau benar guru akan memberi ilmu baru maka hal itu akan aku sambut dengan
senang hati. Akan tetapi apabila tidak, aku akan melewatkan kesempatan itu."
"Mengapa?" Wanengboyo tampak kaget dan heran. "Bukankah merupakan
kewajiban seorang murid selalu patuh kepada perintah guru?"
"Hemm, bukannya aku tidak patuh dan akan menentang perintah guru," jawab
Dewa Linglung 26 Gempar Aji Karang Rogo Pendekar Rajawali Sakti 163 Cakar Maut
sebagai ujian untuk melihat ketangkasanmu."
"Ujian?" sahut Putut Jantoko heran. "Murid harus berbuat apa kepada gadis cantik
dan menggiurkan ini?"
"Heh-heh-heh, tidak sulit. Hayo gunakan dua tanganmu untuk menelanjangi gadis
itu. Heh-heh-heh, ingin sekali aku dapat melihat barang sebentar, bagaimana gadis ini
kalau tanpa ditutup oleh busana."
"Bagus heh-heh-heh, anjuran guru amat bagus! Murid akan melakukan dengan
baik dan sudilah guru memperhatikan."
Bukan main marah Nawang Wulan mendengar itu. Sambil melengking nyaring ia
mempercepat serangannya. Kaki dan tangannya bergerak untuk menghajar lawan yang
kurang ajar itu.
Akan tetapi apa harus dikata kalau dirinya memang bukan lawan Putut Jantoko?
Benar gadis ini mempunyai kelebihan dalam hal gerak cepat. Tetapi saat sekarang ini ia
dilanda oleh kemarahan yang menggelegak dalam dada. Orang yang tengah berkelahi,
pantang untuk marah, justeru pengaruh rasa marah itu akan merugikan diri sendiri. Sebab
bagaimanapun, orang yang dilanda rasa marah tentu kurang pengamatan diri.
Pantangan yang telah menjadi pedoman tidak terulis itu, tak lama kemudian terjadi
juga, dan menimbulkan rugi kepada Nawang Wulan.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
"Brettt.........!" baju Nawang Wulan telah robek oleh renggutan jari Putut Jantoko.
Dan saking kaget, gadis ini telah memekik nyaring.
Nawang Wulan marah disamping malu. Robeknya baju menyebabkan dada yang
kuning itu terbuka, dan hanya tertutup oleh kain penutup dada. Gadis ini kemudian
melompat mundur sambil berusaha mengembalikan letak bajunya. Akan tetapi karena
robek, baju itu hanya mau menutup apabila dipegang oleh tangan.
Klenting Mungil gembira sekali dapat menonton baju gadis itu robek. Sambil
tcrkekeh, kata kakek kepala gede itu. "Bagus Putut! Hayo jangan tanggung-tanggung.
Lekas te?anjangilah dia."
"Baik guru, akan segera murid laksanakan."
Penjahat muda itu sudah melompat maju. Tetapi tiba-tba Putut Jantoko berteriak
kaget, dan tubuhnya terhuyung ke belakang, sedang dada dirasakan sesak.
"Kurang ajar kau!" bentak seseorang menggeledek.
Sekarang Putut Jantoko baru sadar bahwa dirinya tadi terdorong oleh hawa
pukulan yang amat dahsyat dari seorang kakek berkepala gundul dengan jenggot kambing.
"Ya Allah ........." menyusul terdengarlah seruan orang yang kaget, menyaksikan
apa yang sudah terjadi di tempat ini.
Agaknya memang belum saatnya Nawan Wulan harus mengalami nasib buruk dan
mengalami hinaan dari guru dan murid itu. Tuhan telah mengulurkan tangan memberi
pertolongan, lewat hadirnya Wukirsari dan Gadung Melati tiba-tiba. Dan oleh pukulan
Gadung Melati tadi, maka Putut Jantoko terhuyung ke belakang dan dada dirasakan
sesak.
Kalau Putut Jantoko menjadi kaget oleh hadirnya dua orang tua ini, sebaliknya
Klenting Mungil ketawa terkekeh-kekeh. Sesudah puas tertawa, kemudian kakek
berkepala gede ini berkata. "Hai, apa maksudmu datang ke mari dan menggangggu?"
Sepasang mata Gadung Melati berkilat-kilat menatap tajam kepada Klenting
Mungil. Kemudian dengan lantang kakek gundul ini menjawab. "Klenting Mungil.
Apakah salah tiga orang itu dan juga gadis ini?"
"Heh-heh-heh, tanyakanlah sendiri kepada mereka!" Sahut Klenting Mungil
angkuh.
"Kurang ajar. Huh, engkau sombong sekali!" teriak Wukirsari. "Patutkah
perbuatanmu semacam ini, yang berbuat sekehendak hati tanpa ingat perikemanusiaan?"
"Heh-heh-heh, sejak dulu sampai sekarang engkau masih juga pintar pidato dan
mencela orang!" ejek Klenting Mungil. "Aku ingin berbuat aku lakukan. Siapakah dapat
melarang? Huh-huh, orang yang berkelahi, kalau tidak menang tentu kalah. Nah, kalau
mereka sekarang hampir mampus, bukankah itu salah mereka sendiri yang tidak becus?"https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
"Tetapi mereka kau robohkan secara curang!" teriak Gadung Melati. "Engkau
menggunakan racun jahat!"
Dalam marahnya Gadung Melati tidak ingin banyak mulut lagi. Ia memalingkan
muka kepada Wukirsari, kemudian katanya lagi. "Kakang, tolonglah mereka. Huh,
biarlah aku membereskan penjahat tua itu."
Akan tetapi Klenting Mungil hanya tertawa mengejek. Kakek kepala gede ini
justeru sudah lama kenal baik kepada Gadung Melati maupun Wukirsari. Bagi Klenting
Mungil, dua orang kakek ini hanyalah semacam bocah-bocah ingusan yang tidak perlu
ditakuti. Maka ketika Gadung Melati telah menerjang sambil melancarkan pukulannya,
kakek kepala gede ini segera menyambut.
"Plak.........!" dua tangan berbenturan dan menimbulkan suara nyaring. Gadung
Melati terhuyung ke belakang dua langkah, sebaliknya Klenting Mungil hanya bergoyang-
goyang. Melihat itu Putut Jantoko menyeringai senang. Dan tanpa sesadarnya penjahat
ini sudah berseru. "Mampuslah!"
Namun sesungguhnya dugaan Putut Jantoko ini keliru. Terhuyungnya Gadung
Melati ke belakang itu bukan berarti kalah tenaga. Hal itu dilakukan oleh Gadung Melati
dalam usahanya memunahkan tenaga pukulan lawan. Sebaliknya Klenting Mungil yang
angkuh mempertahankan diri di tempat, sehingga tubuhnya bergoyang-goyang.
Namun justeru oleh keangkuhannya ini Klenting Mungil menderita sendiri. Isi
dadanya tergoncang, dan sedikit banyak sudah menderita luka dalam.
Akan tetapi jsteru isi dadanya tergoncang ini, Klenting Mungil menjadi marah.
Sambil menggeram keras kakek berkepala gede ini sekarang menerjang. Dan akibatnya
pula, dua orang kakek itu sekarang berkelahi sengit.
Wukirsari seperti tidak memperdulikan mereka yang berkelahi. Perhatian
dicurahkan sepenuhnya untuk memberi pertolongan kepada Fajar Legawa dan Tumpak
Denta yang menderita keracunan. Lebih dahulu dengan menggunakan alat, ia mencabut
jarum-jarum yang menancap pada dada dan pundak. Sesudah itu Wukirsari
menggunakan semacam benda yang bentuk dan ujungnya mirip dengan batu. Benda itu
kemudian ditempelkan pada luka. Yang terjadi sungguh mengherankan. Batu itu
kemudian menempel dan seperti berakar ke dalam daging.
Batu itu memang batu anti racun. Batu yang ajaib menurut kemauan alam. Apabila
ditempelkan ke luka yang beracun, maka batu itu akan menempel seperti berakar dalam
daging. Batu itu takkan mau lepas sebelum racun pada luka itu terkuras habis. Sebaliknya
batu itu akan lepas apabila telah berhasil menyedot semua racun.
Demikianlah, dengan pertolongan batu ajaib ini, maka Wukirsari dapat
mengeluarkan racun yang mengeram dalam tubuh Tumpak Denta dan Fajar Legawa
tanpa kesulitan. Kemudian setelah semua racun habis, luka bekas jarum itu kemudian
dibubuhi obat yang dikeluarkan dari saku.
Akan tetapi kemudian Wukirsari terkesiap ketika mendengar suara isak tangis dihttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
dekatnya. Ketika ia mengangkat kepala, barulah ia sadar bahwa di samping Tumpak
Denta dan Fajar Legawa masih ada korban lain. Wukirsari melihat bahwa wajah
perempuan itu sudah pucat pasi, sedang napasnya satu-satu.
"Ahhh, Dewayani......." desis kakek ini sambil bangkit dan menghampiri, ketika
mengenal kembali, bahwa perempuan yang menggeletak dan ditangisi gadis itu adalah
Dewayani. Perempuan perkasa, isteri salah seorang sahabatnya.
Wukirsari mengeluh ketika melihat luka yang. diderita Dewayani. Luka
perempuan itu cukup parah. Dan pemeriksaan pada nadi Dewayani, jelas sekali bahwa
nadi itu sudah sangat lemah.. Harapan untuk menolong sudah tidak mungkin lagi. Luka
dalam yang diderita oleh Dewayani parah sekali, sehingga alat di dalam tubuh telah rusak.
Meskipun demikian, Wukirsari masih juga berusaha, ia mengambil sebutir obat
kering. Sambil memberikan kepada gadis itu, Wukirsari berkata. "Kunyahlah obat ini
sampai hancur. Kemudian minumlah air, lalu minumkan kepada ibumu!"
Nawang Wulan mengerti maksud kakek ini. Iapun menurut, obat itu dikunyah dan
kemudian ia minum. Akan tetapi baik obat dan air itu tidak ditelan, lalu dari mulut ke
mulut obat itu disemburkan ke dalam mulut ibunya.
"Siapakah engkau, anak?" tanya Wukirsari.
"Saya .........saya anaknya ......... sahut Nawang Wulan.
"Anaknya ......... Ya Allah, engkau anak Dewayani?"
Dan Nawang Wulan mengangguk sambil mengamati wajah ibunya.
Justeru pada saat itu terdengarlah suara Gadung Melati yang menggeram seperti
seekor kerbau marah. Wukirsari terkesiap. Ia cukup paham, apabila adik sepergurannya
menggeram seperti itu, merupakan pertanda menghadapi kesulitan, ia cepat memalingkan
muka, dan benar dugaannya. Gadung Melati gerakan-gerakannya kesulitan, pertanda
telah menderita luka di dalam tubuh. Hanya oleh semangatnya yang pantang menyerah
saja, membuat kakek berjenggot kambing itu masih terus memberi perlawanan.
Akan tetapi Wukirsari tak tahan lagi. Ia cepat melompat sambil berseru nyaring.
"Mundurlah! Kau tidak mampu melawan bangsat kepala gede itu."
Sesungguhnya saja Gadung Melati masih amat penasaran. Akan tetapi apa yang
dikatakan kakak seperguruannya benar. Dirinya sudah menderita luka didalam dan tidak
mungkin meneruskan perlawanan lagi. Maka kakek berjenggot kambing ini segera
meloncat keluar dari gelanggang, kemudian diganti oleh Wukirsari.
"Heh-beh-heh," Klenting Mungil ketawa terkekeh mengejek. "Majulah berbareng
dan keroyoklah aku. Huh, agar aku tidak terlalu banyak membuang waktu."
"Tutup mulutmu!" bentak Wukirsari yang tersinggung.
Tetapi bentakan itu hanya disambut oleh ketawa Klenting Mungil yang terkekeh-https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
kekeh. Orang berkepala gede ini seakan tidak memandang sebelah mata kepada
Wukirsari.
"Heh-heh-heh, tumplaklah semua ilmu ajaran gurumu. Sangkamu Klenting
Mungil takut?"
Makin meledak kemarahan Wukirsari, nama gurunya disinggung-singgung.
Seperti kilat cepatnya Wukirsari sudah melompat sambil melancarkan pukulannya. Angin
yang dahsyat segera menyambar. Akan tetapi masih dengan ketawa mengejek, tanpa
kesulitan Klenting Mungil dapat memunahkan.
Seperti yang terjadi dengan Gadung Melati tadi. Dalam waktu singkat dua orang
kakek ini telah berkelahi sengit sebali. Gerakannya amat cepat, sehingga tubuh mereka
seperti lenyap tiba-tiba dan hanya warna pakaian mereka saja, yang berkelebat berpindah-
pindah. Pada mulanya Putut Jantoko masih dapat menyaksikan mereka yang berkelahi
itu. Akan tetapi setelah perkelahian itu tambah lama, pandang mata Putut Jantoko
menjadi kabur dan pening.
Gadung Melati duduk bersila sambil memejamkan mata dalam usahanya
mengobati luka dalam tubuhnya. Hingga kakek ini tidak sempat menyaksikan kakak
seperguruannya yang sedang berkelahi sengit.
Akan tetapi setelah ratusan jurus lewat, dari sedikit Wukirsari merasakan tekanan
lawan yang makin lama menjadi semakin berat. Dan diam-diam kakek ini menjadi sadar
bahwa bagaimanapun, Klenting Mungil masih setingkat di atas dirinya.
"Plak plak buk buk............!" setiap kali terjadi saling pukul, kemudian dua orang
kakek itu berdiri tegak saling menaksir. Hanya sejenak, kemudian mereka sudah saling
labrak lagi dengan cepat. Kemudian pada suatu kesempatan yang amat baik, Klenting
Mungil terpukul dadanya oleh tinju Wukirsari. Akibatnya kakek kepala gede ini memekik
marah sambil terhuyung ke belakang dua langkah. Kemudian melompat ke depan sambil
melancarkan serangan balasannya.
Berapa lama kemudian terdengar lagi suara pukulan yang keras berkali-kali.
Wukirsari terhuyung ke belakang seperti layangan putus, dan sesudah muntah darah
kakek ini langsung roboh. Tidak terkecuali Klenting Mungilpun muntah darah segar.
Namun kakek kepala gede ini tidak roboh kemudian tanpa memperdulikan apa-apa lagi,
kakek ini telah duduk bersila sambil memejamkan mata, mengatur pernapasan sambil
berusaha meringankan derita, akibat terluka dalam cukup parah.
Namun baru sejenak Klenting Mungil duduk bersila ini, ia terpaksa bangkit lagi
dan melayani serangan Gadung Melati. Sesungguhnya Klenting Mungil menderita luka
berat, namun demikian daya tahannya memang luar-biasa, hingga masih dapat melayani
Gadung Melati yang mengamuk seperti kerbau gila.
Saat sekarang ini Gadung Melati memang amat marah di samping terkejut, ketika
menyaksikan kakak seperguruannya roboh. Maka tanpa memperdulikan dirinya sendiri
yang menderita luka didalam, kakek berjenggot kambing ini menyerang seperti kerbau
gila.
Dengan mata yang basah Nawang Wulan menyaksikan apa yang terjadi. Gadis inihttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
menjerit kaget ketika melihat Wukirsari roboh oleh pukulan Klenting Mungil. Dan
sebagai akibatnya, harapan satu-satunya sekarang tergantung kepada Gadung Melati.
Apabila kakek yang gundul itu tak juga kuasa mengalahkan Klenting Mungil, tiada
harapan lagi bisa hidup.
Tetapi tiba-tiba ia teringat kepada tongkat pemuda penolongnya tadi, yang
sanggup menahan tongkat Putut Jantoko. Dirinya sendiri belum terluka, dan sementara
itu Putut Jantoko masih dalam keadaan segar bugar. Teringat kepada penjahat itu tiba-
tiba saja gadis ini amat marah. Terpikir kemudian oleh gadis ini, akan melawan Putut
Jantoko dengan tongkat. Dan tiba-tiba ingatan gadis inipun melayang kembali kepada
peristiwa ketika ia ditolong oleh Fajar Legawa di dalam sarang Juru Demung. Dengan
tongkat itu Fajar Legawa berhasil membuat semua penjahat ketakutan. Sebab setiap
Iblis Dari Gunung Wilis Karya Widi Widayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
senjata yang berbenturan dengan tongkat, kemudian akan patah.
Tiba-tiba saja semangat gadis ini bangkit. Ia menghampiri tongkat Fajar Legawa
yang menggeletak di atas tanah. Dan kemudian dengan senjata tongkat ini, Nawang
Wulan berjaga diri.
Perkelahian antara Gadung Melati dengan Klenting Mungil tidak cukup lama.
Gadung Melati yang sudah menderita luka dalam itu, akhirnya harus mengakui
keunggulan Klenting Mungil. Ketika Gadung Melati berhasil memukul pundak Klenting
Mungil, kakek kepala gundul ini harus membayar dengan mahal. Ternyata Klenting
Mungil sengaja memancing Gadung Melati, dengan memberi kesempatan untuk
memukul pundaknya. Akan tetapi di saat Gadung Melati terpancing, secepat kilat
Klenting Mungil sudah membalas dan mengenakan dada secara tepat. Akibatnya cukup
hebat. Tubuh Gadung Melati terhuyung kebelakang, sesudah muntah darah segar. Kakek
inipun kemudian roboh seperti kakak seperguruannya.
Namun akibat pukulan Gadung Melati juga hebat. Walaupun yang terpukul hanya
pundak, tetapi pukulan itu menambah goncangan isi dada yang sudah menderita luka
dalam. Klenting Mungil muntah darah segar, dan kemudian kakek ini jatuh terduduk.
Melihat semua itu, hati Nawang Wulm tidak keruan rasanya. Ibunya menderita
luka hebat akibat Klenting Mungil. Kemudian dua orang kakek yang datang dan berusaha
menolongpun, sekarang harus menderita hebat oleh kakek kepala gede itu. Apakah
dirinya sekarang hanya berdiam diri dan membiarkan orang lain menderita? Tidak! Ia
menggenggam erat tongkat Fajar Legawa. Timbullah tekadnya kemudian, bahwa
sekarang dirinya harus mengatasi keadaan.
Mendadak gadis ini melengking nyaring sambil melompat maju untuk menyerang
Klenting Mungil. Gadis ini cukup cerdik, sehingga tahu bahwa Klenting Mungil
menderita amat parah, dan sekarang sedang berusaha mengobati luka dengan mengatur
pernapasan. Dan dalam keadaannya yang demikian, tentu kakek itu sulit dapat
menghindari serangannya yang mendadak.
Putut Jantoko kaget dan gugup. Gurunya sedang dalam keadaan gawat, dan
seorangpun tidak bo1eh mengganggunya. Secerat kilat Putut Jantoko melompat dan
menyambut serangan itu dengan tangkisan tongkatnya.
"Trang.......!" benturan dua tongkat tidak dapat dihindarkan lagi. Nawanghttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Wulan memekik nyaring dan pucat, sebab akibat benturan yang keras tadi tongkat itu
telah lepas dari tangan, sedang lengannya seperti lumpuh mendadak.
"Heh-heh-heh," Putut Jantoko terkekeh mengejek. Dan sesudah menyimpan
tongkatnya lagi, ia melompat ke depan untuk menangkap Nawang Wulan.
Nawang Wu1an kebingungan. Sekarang dirinya tidak bersenjata lagi, dan untuk
melawan tidak mungkin. Dalam gugup dan bingungnya ini kemudian ia lari, yang
kemudian diuber oleh Putut Jantoko dari belakang. Akan tetapi Nawang Wulan teringat
kembali kepada ibunya yang menderita amat parah. Ia tidak tega meninggalkan ibunya,
maka gadis ini kemudian hanya lari berputaran.
"Bagus!" seru Putut Jantoko. "Mari kita main kejar-kejaran anak manis. Heh-heh-
heh, aku ingin melihat, engkau dapat berbuat apa sesudah payah?"
Nawang Wulan tidak membuka mulut, Gadis ini terus berlarian berkitaran
menghindari jangkauan Putut Jantoko. Masih untung ia lebih lincah dan dapat bergerak
lebih gesit. Maka walaupun Putut Jantoko berusaha mengejar dan menangkap, usaha itu
tidak gampang bisa terwujud.
Demikianlah, di antara enam orang yang menderita luka parah itu, mereka terus
berkejaran dan dibakar oleh terik matahari. Dan dalam usahanya untuk dapat
menyelamatkan diri ini, maka sambil berlari Nawang Wulan memungut apa saja yang
dapat dipergunakan sebagai senjata. Kadang batu, kadang dahan kayu, akan tetapi semua
itu seperti tiada gunanya menghadapi Putut Jantoko.
Dan justeru perlawanan Nawang Wulan sambil lari ini, membuat Putut Jantoko
geli. Ia ketawa terkekeh-kekeh sambil memburu. Dan semua itu membuat Nawang Wulan
tambah penasaran, mendongkol di samping masygul.
Sulit dibayangkan betapa derita dara jelita itu saat ini. Dan sungguh merupakan
peristiwa yang amat mengibakan hati, justeru gadis ini harus berpayah-payah
menghindari bahaya cengkeraman penjahat yang tidak kenal kemanusiaan lagi.
Dan usaha Nawang Wulan menghindar dari tangan jahat Putut Jantoko ini
berlangsung terus. Berlangsung tanpa pembela. Nawang Wulan menjadi semakin cemas
dan gelisah menghadapi kenyataan ini. Ibunya menggeletak di atas tanah diancam maut.
Empat orang penolongnya menggeletak pula diatas tanah entah hidup dan entah mati.
Maka diam-diam gadis ini membayangkan nasibnya yang akan terjadi, kalamana dirinya
tidak dapat melepaskan diri dari tangan jahat Putut Jantoko.
Untung juga bahwa sekalipun dalam kesulitan gadis ini belum juga putus asa. Ia
masih tetap berusaha dengan kemampuannya berlarian, sambil dikejar oleh Putut
Jantoko. Walaupun sesungguhnya sudah payah dan peluh membasahi sekujur tubuh,
namun gadis itu masih lari dan lari.
Saling mengejar itu masih berlangsung cukup lama. Satu pihak ingin menangkap
dan pihak lain ingin selamat. Sambil mengejar ini mulut Putut Jantoko selalu terkekeh.
Penjahat ini gembira sekali tampaknya, dan apa pula dengan berlarian seperti itu, dari
belakang Putut Jantoko dapat melihat dengan jelas, pantat Nawang Wulan yang cukuphttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
menggiurkan itu bergerak-gerak naik turun.
Klenting Mungil masih duduk tanpa bergerak. Orang tua kepala gede ini, dan yang
tubuhnya kurus kering sedang berjuang dan berusaha memulihkan kekuatan dan
mengobati luka dalamnya. Di dalam berkelahi melawan Gadung Melati dan Wukirsari
tadi, ia memang harus mengerahkan seluruh kemampuannya. Dan walaupun pada
akhirnya ia dapat merobohkan lawan, namun is sendiri harus menebus dengan laku yang
cukup parah. Kalau bukan Klenting Mungil yang mempunyai daya tahan yang cukup
kuat, mungkin sudah roboh menggeletak juga oleh gempuran dua orang lawan sakti itu.
Satu hal yang menguntungkan Klenting Mungil bahwa didalam berkelahi itu baik
Gadung Melati maupun Wukirsari tidak menggunakan "Aji Bramastra" sesuai dengan
pesan terakhir gurunya, Kalau saja kakak beradik seperguruan ini tidak patuh akan pesan
gurunya dan menggunakan aji kesaktian tersebut, manakah mungkin Klenting Mungil
masih hidup lagi? Tentu Klenting Mungil akan roboh dengan tubuh hangus seperti
terbakar.
Sudah agak lama matahari melintasi garis bumi dan condong di bagian barat.
Namun bola api dunia itu masih memancarkan panasnya yang amat terik. Seakan mau
membakar hangus tubuh-tubuh manusia yang pingsan dan terkapar di lereng gunung
Ungaran itu. Pemandangan ini cukup menyedihkan, dan apabila mereka yang pingsan itu
tidak segera mendapat pertolongan, niscaya mereka itu tidak lagi akan dapat
mempertahankan nyawa.
Dewayani sudah menderita luka dalam yang amat parah. Napas perempuan ini
sudah sangat sulit. Nadinya sudah amat lemah. Meskipun tadi Wukirsari sudah berusaha
memberi pertolongan, namun pertolongan Wukirsari itu belum menjamin
keselamatannya. Sedang Fajar Legawa dan Tumpak Denta memang sudah terhindar oleh
racun jahat. Namun demikian kakak beradik ini belum juga bergerak dari tempatnya
menggeletak. Seakan kakak beradik, murid Suria Kencana ini tertidur dengan pulas.
Demikian pula Wukirsari yang tadi mencurahkan perhatian kepada Fajar Legawa,
Tumpak Denta dan Dewayani, sekarang menggeletak pula di atas tanah tidak bergerak.
Ia menderita luka dalam yang amat parah, sebagai akibat pukulan-pukulan Klenting
Mungil. Tidak terkecuali Gadung Melati. Luka yang diderita lebih parah dibanding
dengan Wukirsari. Sebab setelah ia menderita luka, masih juga memaksa diri untuk
melawan Klenting Mungil.
Dari lima orang itu, hanya Fajar Legawa dan Tumpak Denta saja yang ringan
deritanya. Sebaliknya Dewayani yang paling menderita. Tiga orang tua ini apabila tidak
segera mendapat pertolongan, niscaya nyawanya tak dapat dipertahankan lagi.
Sungguh, pemandangan ini amat mengharukan. Lima orang bergelimpangan tidak
berkutik. Akan tetapi Putut Jantoko yang sudah terbakar nafsu birahinya oleh kecantikan
Nawang Wulan itu, seakan tidak perduli akan semua itu. Dan sebaliknya Nawang Wulan
tidak juga mau menyerah. Gadis ini sekalipun telah payah, masih terus berlarian
berputaran sambil kadang-kadang menyerang dengan apa saja yang dapat dipungut.
Namun semua usahanya tak berarti. Semua bisa digagalkan oleh Putut Jantoko, dan
penjahat ini tidak jemunya membujuk dan memuji sanjung. Sungguh sayang semua pujian
dan bujukan Putut Jantoko itu malah menambah gadis ini makin marah dan benci.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Tetapi sesudah berlangsung lama dan usahanya belum juga berhasil, timbullah rasa
marah dia jengkel dalam dada Putut Jantoko. Timbullah rasa malu kepada diri sendiri.
Mengapa terhadap seorang gadis yang sudah tidak berdaya, usahanya berhadapan dengan
kegagalan?
Kemudian berkelebatlah ingatan dalam benak penjahat ini. Kiranya jalan yang
paling baik, apabila sekarang menggunakan kekerasan. Gadis itu harus dilukai. Karena
dengan lukanya, gadis itu akan menderita kesakitan, tidak dapat melawan lagi dan
akhirnya akan menyerah. Akan tetapi ketika ia sudah mempersiapkan tongkatnya, tiba-
tiba saja timbul rasa sayang kalau gadis itu terluka. Justeru timbul rasa sayang ini, maka
selamatlah Nawang Wulan dari bahaya. Maka yang dilakukan kemudian oleh Putut
Jantoko, hanya meneruskan usahanya dengan mengejar.
Akan tetapi sungguh sayang bahwa Nawang Wuian ketika itu sudah amat
menderita. Dalam keadaan biasa, gadis ini takkan merasa sepayah ini,walaupun berlarian
terus setengah hari. Tetapi sekarang ini keadaannya luar biasa. Disaat ia berlarian
menghindarkan diri dari tangan jahat Putut Jantoko, perasaan hati Nawang Wulan selalu
diberati memikirkan ibunya yang belum juga berkutik. Maka makin lama langkah gadi ini
menjadi semakin limbung. Namun terus saja berlarian dan sama sekali tidak pernah ingin
menyerah.
Menyeringai bibir Putut Jantoko ketika melihat tubuh Nawang Wulan sudah mulai
limbung. Maka iapun kemudian menunggu saat, sebab timbullah rasa pasti tidak lama
lagi gadis itu akan roboh kepayahan. Tetapi sungguh celaka. Setelah cukup lama
menunggu sambil membayangi, tubuh yang semula limbung itu kembali tegak dan
gerakannya tambah cepat. Akhirnya Putut Jantoko menjadi tidak sabar lagi. Timbul
keputusan dalam hatinya, bahwa tiada halangan gadis ini mengalami sekedar luka,
daripada lepas dari tangannya. Diambillah kemudian beberapa butir batu kecil. Ia akan
dapat merobohkan Nawang Wulan dengan sambitan dari belakang.
Sambil ketawa terkekeh Putut Jantoko telah melepaskan tiga butir batu sekaligus.
Sambaran batu itu cepat sekali, dan Nawang Wulan kaget. Tanpa memalingkan muka
gadis ini menghindar ke samping. Usahanya memang berhasil, dan sambitan Putut
Jantoko itu luput. Akan tetapi sambitan susulan yang tidak terduga, dan dilepaskan pula
dari belakang, secara tepat mengenakan belakang lutut dan mata kaki. Akibatnya gadis
ini memekik kaget, dan disusul oleh tubuhnya yang terguling.
Bibir Putut Jantoko menyeringai melibat hasil sambilannya, ia merasa puas sekali
dengan hasil ini, justeru tidak mungkin lagi Nawang Wulan dapat melepaskan diri dari
tangannya.
"Heh-heh-heh!" Putut Jantoko ketawa terkekeh saking amat gembira. "Maafkan
aku, NawangWulan. Aku terpaksa mengguuakan cara ini, karena engkau tak mau
menyerah baik-baik."
Putut Jantoko menghampiri. Kemudian bujuknya. "Wulan, engkau cantik laksana
bidadari. Hanya engkaulah perempuan satu-satunya kuasayang di dunia ini. Namun
mengapa engkau tak percaya? Aihh Wulan, sekarang engkau harus menyerah jadi
isteriku."https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Betapa benci dan muak Nawang Wulan sulit dilukiskan. Sepasang mata gadis itu
menyala dan menyinarkan kemarahan yang amat sangat, memandang Putut Jantoko
tidak berkedip.
"Bunuhlah aku!" tantang gadis ini.
"Bunuh, heh-heh-heh, tarlalu sayang adikku, jangan engkau berkata demikian!"
kata Putut Jantoko sambil tersenyum. Akan tetapi dalam pandang mata Nawang Wulan,
mulut penjahat itu menyeringai seperti raksasa yang siap akan memangsanya.
"Engkau harus mengerti Wuan, bahwa aku mencintai engkau sepenuh hatiku."
bujuk Putut Jantoko. "Percayalah Wulan, bahwa engkau akan bahagia di sampingku. Heh
heh-heh, engkau akan menjadi isteriku terkasih."
Jarak antara Putut Jantoko dengan Nawang Wulan semakin menjadi dekat. Dan
penjahat ini mengamati Nawang Wulan dengan sepasang mata yang menyala, karena
gelora birahi menyesak dada. Kali ini ia sudah dapat memastikan bahwa Nawang Wulan
takkan dapat melepaskan diri lagi.
Sebaliknya diam-diam Nawang Wulan sudah bersiap diri untuk melakukan
perlawanan dengan sisa tenaga yang masih ada. Pendeknya ia takkan mau menyerah
sampai titik darah penghabisan.
Dan oleh dorongan kehendak yang sudah tidak kuasa lagi menahan gelora
birahinya, maka kemudian Putut Jmtoko melompat dan tangannya sudah siap untuk
menyambar tubuh Nawang Wulan yang lumpuh dua kakinya itu.
"Aduhh...............!" Putut Jantoco tiba-tiba mengaduh. Sedang Nawang Wulan
terbelalak saking kaget berbareng heran.
Putut Jantoko tadi hanya merasakan menyambarnya angin yang amat tajam,
menyambar kearah dirinya. Dan tiba-tiba pula, Putut Jantoko tidak dapat bergerak dari
tempat, semacam patung dengan tubuh yang agak condong ke depan. Dan sebaliknya
Iblis Dari Gunung Wilis Karya Widi Widayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Nawang Wulan pun merasakan sambaran angin yang tajam memukul kakinya. Akan
tetapi anehnya, kaki itu tidak tambah sakit, melainkan malah dapat digerakkan lagi dan
rasa sakit pada kaki menghilang secara mendadak.
Dan justeru Nawang Wulan masih keheranan tidak mengerti ini, terdengarlah
teriakan Putut Jantoko kepada gurunya. "Guru............ aihhh, tolong............!"
Ketika itu Klenting Mungil masih duduk bersila tanpa bergerak, sedang dalam
usaha mengatur pernapasan dan mengobati luka dalam tubuhuya. Ia menjadi kaget ketika
mendengar suara muridnya minta pertolongan, dan kemudian membuka matanya.
"Kenapa engkau............?" tegur Klenting Mungil dengan heran, akan tetapi
suara kakek ini agak lemah, tidak garang seperti semula. Dan kakek kepala gede ini heran
melihat muridnya berdiri tanpa bergerak seperti patung.
"Guru............aihh, tolong............!" teriak Putut Jantoko mengulang. "Murid
tidak bisa bergerak. Seseorang telah menyerang murid secara curang ..........."https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Mendengar ini Klenting Mungil kaget. Ia memaksa diri untuk bangkit dan
kemarahannya meluap. Akan tetapi justeru memaksa diri ini, tiba-tiba huah, Klenting
Mungil muntah darah lagi.
Tubuh dirasakan lemah sekali, dan kepala terasa pening. Namun demikian kakek
kepala gede ini memaksa diri melangkah, kemudian katanya. "Siapa berani mengganggu
engkau secara curang.........?"
Dan tiba-tiba terdengarlah suara ketawa terkekeh perlahan. Nawang Wulan kaget
dan melompat berdiri, kemudian memalingkan muka ke arah suara ketawa. Kemudian
tampak oleh gadis ini seorarg tua renta mengenakan jubah, kumis dan jenggotnya sudah
puth, berdiri tidak bergerak di bawah pohon rindang bibirnya tersenyum dan sepasang
matanya berkilat-kilat berwibawa.
"Hemmm, engkau selalu menganggu aku saja........" tegur Klenting Mungil
dengan suaranya yang dalam.
Orang tua itu tertawa sejuk, kemudian terdengarlah ia menjawab halus. "Salah!
Bukan aku yang mengganggu, tetapi engkaulah yang selalu membuat aku repot."
"Apa?" Klenting Mungil geram. "Kemarin lusa engkau telah merusak rencanaku.
Dan sekarang engkau kembali datang. Huh, sayang sekali saat ini aku terluka........."
Orang tua renta itu kembali ketawa. Kemudian. "Pergilah! Bawa muridmu. Tetapi
sekali lagi aku peringatkan, hentikanlah perbuatanmu yang tidak baik, dan bertaubatlah
engkau kepada Tuhan Yang Maha Pengampun."
Klenting Mmgii memaksa diri untuk tertawa, sekalipun sesungguhnya dada
dirasakan amat sakit. Dalam keadaan dirinya segar bugar saja tak mampu melawan kakek
ini, apa pula dirinya sekarang menderita luka. Maka daripada mencari perkara, lebih baik
selekasnya pergi. Oleh sebab itu kemudian Klenting Mungil menyambar tubuh muridnya,
namun masih sempat pula mengucapkan ancamannya. "Hai Menak Singgih! Tunggu
pembalasanku kemudian hari. Hutangmu harus kau bayar dengan bunga!"
Tetapi kakek ini hanya menyambut tantangan itu dengan suara ketawanya yang
sejuk. Kemudian terdengarlah katanya yang perlahan, nadanya menyesal. "Sayang,
engkau tidak mau menyadari akan kesalahanmu sendiri, dan tidak mau pula bertaubat
kepada Tuhan. Tetapi hmmm, semoga Tuhan masih berkenan menunjukkan engkau jalan
benar."
Nawang Wulan merasa heran mendengar kata-kata kakek itu dan sikapnya kepada
Klenting Mungil. Dalam hati ia tidak setuju dengan sikap kakek itu yang lemah. Namun
untuk mencelanya, gadis ini tidak berani.
Akan tetapi Menak Singgih seorang kakek yang sudah kenyang akan lika-Iiku
hidup. Meskipun Nawang Wulan tidak menegur atas sikapnya itu, ia sudah maklum.
Maka sesudah tertawa sejuk lagi, kakek ini berkata. "Hemm, maafkan aku anak baik, telah
melepaskan mereka pergi. Tetapi, aku mempunyai alasan lain. Lihatlan, lima orang itu
memerlukan pertolongan secepatnya. Apabila aku harus mengusir dia dengan kekerasan,https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
bukankah memerlukan waktu lama?"
Nawang Wulan tidak puas mendengar jawaban itu. Sebab jelas bahwa Klenting
Mungil telah menderita luka parah, dan ibarat sebuah lampu yang hampir kehabisan
minyak. Kalau kakek ini mau bertindak, bukankah gampangnya seperti membalikkan
telapak tangannya sendiri?
Melihat sikap gadis itu, Menak Singgih pun mengerti, bahwa gadis itu tidak puas.
Akan tetapi ia tidak perduli, sebab tidak mungkin dirinya sedia melawan Klenting Mungil
yang sudah menderita luka parah. Bukankah peristiwa ini bisa ditertawakan orang?
Lumrah saja, justeru lawan sudah menderita luka.
Maka kemudian kakek ini melangkah menghampiri mereka yang menderita.
Diam-diam Kakek ini terharu menyaksikan semua itu. Kakek ini langsung menghampiri
Dewayani, justeru dari mereka yang terluka, perempuan inilah yang paling parah.
"Ibumu?" tanya kakek itu halus kepada Nawang Wulan yang sudah mulai terisak
lagi tak kuasa menahan tangisnya.
Nawang Wulan mengangguk. Bibirnya seperti terkunci, dan tidak dapat
mengucapkan sesuatu.
Menak Singgih segera memeriksa nadi Dewayani. Akan tetapi kemudian kakek ini
menghela napas perlahan. Nadi itu sudah amat lemah, lukanya sedemikian parah
sehingga merasa sangsi apakah dapat menyelamatkan nenek ini. Namun demikian,
semuanya di tangan Tuhan. Maka apapun yang akan terjadi, kakek ini melakukan
pertolongan juga.
Nawang Wulan menunggui ibunya yang sedang ditolong oleh Menak Singgih itu
dengan air mata bercucuran. Hatinya amat cemas, menyaksikan napas ibunya sudah amat
sulit
Sesudah menolong Dewayani, kemudian perhatian dialihkan kepada Gadung
Melati dan Wukirsari. Kenyataan membuktikan bahwa Gadung Melati menderita lebih
parah dibanding dengan Wukirsari. Untuk menolong mereka yang terluka parah ini,
terpaksa Menak Singgih harus menyalurkan tenaga sakti dari dalam tubuh, yang dialirkan
ke tubuh orang.
Menak Singgih mengerti bahwa baik Fajar Legawa maupun Tumpak Denta sudah
terhindar dari bahaya. Dan kalau dua orang muda itu sekarang masih tidak bergerak,
bukan karena deritanya. Tak lama lagi dua orang muda ini akan sadar sendiri tanpa
pertolongan.
Ternyata perhitungan dan dugaan Menak Singgih ini tidak meleset, Beberapa saat
kemudian dua orang muda itu sadar hampir berbareng. Mula-mula mereka tampak kaget
mendapatkan diri mereka menggeletak di atas tanah. Akan tetapi kemudian kesadaran
dua orang muda ini pulih kembali, dan sadar bahwa belum lama tadi mereka roboh setelah
berkelahi melawan Klenting Mungil.
Tiba-tiba dua orang muda ini terkejut ketika mendengar bisikan halus masukhttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
dalam telinganya "Anak muda, engkau selamat dari bahaya. Dan yang penting sekarang,
aturlah pernapasan untuk memulihkan tenagamu."
Fajar Legawa dan Tampak Denta heran. Ia mengamati Menak Singgih dengan
bertanya-tanya. Ketika itu Menak Singgih sedang sibuk menolong Gadung Melati dan
menyalurkan hawa sakti. Mengapa masih sempat memperhatikan mereka? Untung
kemudian mereka sadar. Kakek itu duduk tak bergerak dan sepasang matanya terpejam.
Maka mengertilah dua pemuda ini, bahwa Menak Singgih tadi berbisik kepada mereka
lewat Aji Pameling.
Tidak lama kemudian Wukirsari memperoleh kesadaran, ia terkejut ketika
mendapatkan dirinya roboh di atas tanah. Namun kemudian kakek ini bangkit dan
langsung duduk bersila sambil memejamkan mata, ketika dirasakan dada sesak dan kepala
pening.
Yang belum siuman Gadung Melati dan Dewayani. Untuk menyelamatkan
Gadung Melati maka Menak Singgih masih terus menyalurkan hawa sakti.
Nawang Wulan menunggui ibunya yang belum juga bergerak dengan air mata
bercucuran. Dalam hati berharap ibunya bisa tertolong. Akan tetapi mengapa ibunya
belum juga sadar dan bangkit? Ia mengamati wajah ibunya. Wajah itu amat pucat, sedang
sepasang matanya terpejam rapat. Melihat keadaan ibunya seperti ini tentu saja gadis ini
diam-diam khawatir sekali.
Sementara itu, pertolongan Menak Singgih untuk Gadung Melati sudah selesai
dilakukan. Kakek itu telah melepaskan telapak tangannya, yang semula menempel pada
punggung Gadung Melati. Wajah kakek kepala gundul ini sekarang sudah tidak begitu
pucat lagi, sedang pernapasannyapun sudah agak normal.
Dan setelah mengatur pernapasan beberapa saat lamanya, Wukirsari merasakan
tubuhnya kembali nyaman. Maka kakek ini kemudian membuka mata. Pandang matanya
tertumbuk kepada Menak Singgih.
"Paman Singgih," kata Wukirsari sambil memberi hormat, "Terima kasih atas
pertolongan paman. Sebab apabi1a paman tidak datang pada saatnya yang tepat, kami
semua tentu sudah mati ........."
"Bukan aku," sahut Menak Singgih dengan ketawa sejuk. "Tetapi Tuhan yang
telah menolong kalian. Maka bersyukurlah kalian atas pertolongan-Nya."
Angin pegunungan Ungaran menebarkan udara sejuk dan terus bertiup. Matahari
sudah semakin rendah di bagian barat. Dan seakan hawa udara sejuk ini memberi
kesegaran baru kepada mereka.
Ketika itu Gadung Melati sudah pula siuman dari pingsannya. Dan kakek inipun
tampak terkejut ketika membuka matanya, dirinya menggeletak di atas tanah. Melihat
sadarnya Gadung Melati ini Menak Singgih tersenyum. Lalu katanya lirih. "Syukurlah
engkau telah siuman. Sekarang duduklah engkau dengan tenang, dan pulihkanlah
tenagamu."https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
"Terima kasih," dan sesudah menyahut, Gadung Melati segera duduk bersila
sambil memejamkan mata mengatur pernapasan.
Akan tetapi tiba-tiba terdengarlah jerit Nawang Wulan yang melengking memecah
suasana. Dan gadis itu sekarang tampak menelungkup sambil memeluk ibunya, menangis
sejadinya.
Semua orang terkesiap. Tidak terkecuali Menak Singgih, dan secepatnya
menghampiri, untuk memeriksa Dewayani Lagi. Akan tetapi Menak Singgih tampak
mengerutkan alis sambil menghela napas. Nadi Dewayani sebentar terasa dan sebentar
menghilang. Dewayani sudah dalam keadaan sangat kritis, dan kakek ini merasa tidak
sanggup lagi untuk menyelamatkan perempuan ini. Akan tetapi walaupun mengerti
bahwa nyawa Dewayani tinggal tergantung pada seutas rambut, kakek ini tidak ingin
mengecewakan harapan orang. Iapun sekarang sudah duduk bersila sambil memejamkan
mata, kemudian telapak tangannya ditempelkan pada punggung, untuk menyalurkan
hawa sakti dari dalam tunuhnya.
Mereka yang ikut melihat diam-diam cemas dan berdebar. Sebab diam-diam
mereka tahu belaka bahwa keadaan Dewayani memang sudah amat payah.
Menak Singgih memang bersungguh-sungguh dalam usahanya menolong orang,
walaupun dengan perbuatannya itu ia sendiri harus mengorbankan kepentingannya
sendiri. Sebab dengan banyaknya bantuan hawa sakti kepada beberapa orang ini, akan
berarti dirinya sendiri banyak kehilangan tenaga.
Beberapa saat kemudian terdengarlah suara Dewayani yang merintih perlahan.
Nawang Wulan memperhatikan wajah ibunya yang pucat pasi, sedang orang lain
menghela napas. Menak Singgih melepaskan telapak tangannya dari punggung
Dewayani. Dan ternyata saluran hawa sakti tadi menolong Dewayani.
Dengan air mata bercucuran Nawan Wulan mengamati ibunya. Gadis ini mengerti
bahwa ibunya menderita luka parah. Guncangan akan menambah derita ibunya, maka
gadis ini menahan diri untuk tidak memeluk. Dewayani membuka sepasang matanya,
sedang bibir pucat itu tersenyum, sekalipun napas perempuan ini tampak amat sesak.
"Ibu........." ratap gadis ini lirih, "Engkau...........harus hidup terus ............kau
harus tetap disampingku............"
Dewayani tersenyum tetapi tidak menjawab. Tangannya yang lemah mencoba
untuk memegang dan mengusap lengan anak yang amat disayang itu.
Semua orang terdiam. Akan tetapi kemudian Gadung Melati tidak kuasa menahan
mulutnya dan berkata. "Nyai, bersyukurlah kita tertolong."
Dewayani mencoba memalingkan kepalanya yang lemah untuk menatap Gadung
Melati. Kemudian tanya perempuan ini lemah. "Dimana dia.........?"
"Dia sudah pergi."
Gadung Melati menggeleng. Kemudian mengamati Menak Singgih sambilhttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
menjawab. "Paman Menak Singgihlah yang mengusir........."
"Paman Menak Singgih................" Dewayani membelalakkan mata. Kemudian
perempuan ini berusaha mengamati sekeliling. Setelah bertatapan dengan Menak Singgih,
kemudian Dewayani menghela napas panjang . Perempuan ini bersyukur.
"Sudahlah, hanya Tuhan yang menolongmu!" kata Menak Singgih lirih.
Tetapi tiba-tiba Dewayani batuk-batuk. Lalu menyemburlah darah segar dari
mulutnya. Nawang Wulan memekik terkejut. Dan Menak Singgih cepat-cepat memberi
pertolongan, dengan menyalurkan hawa sakti lagi.
Wukirsari mengambil obat. Lalu katanya kepada Nawang Wulan. "Minumkanlah
obat ini. Akan tetapi Dewayani menggeleng. Kemudian perempuan ini berkata lemah.
"Adi Gadung ... ......Melati.........tolong ........aku titip anakku ......"
"Ibu.........tidak.....!" pekik Nawaag Wulan yang cemas sekali.
Akan tetapi apa harus dikata kalau garis sudah sampai? Kalau takdir sudah tidak
Iblis Dari Gunung Wilis Karya Widi Widayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dapat dibantah lagi? Walaupun Menak Singgih sudah berusaha sekuat tenaga untuk
menolong, tak juga berhasil kalau Tuhan menghendaki lain. Derita Dewayani sudah amat
berat. Isi tubuh sudah rusak akibat terluka oleh pukulan Klenting Mungil yang
menggunakan Aji Pangracutan. Maka walaupun semua orang menghendaki Dewayani
masih tetap hidup, perempuan ini tetap saja menghadapi sekaratul maut, dan tak lama
kemudian ia menghembuskan napas yang penghabisan.
Nawang Wulan memekik nyaring, ia menubruk dan mengguncang-guncangkan
tubuh ibunya seraya menangis. Mereka yang hadir terharu dan iba. Sedang Menak
Singgih hanya dapat menghela napas.
Semua orang berusaha menghibur. Akan tetapi pukulan kesedihan gadis ini terlalu
berat. Maka kemudian gadis ini roboh dan pingsan.
"Gadung Melati," kata Menak Singgih lirih. "Pulanglah engkau sekarang, dan
bawalah Nawang Wulan. Pesan terakhir Dewayani harus engkau laksanakan baik-baik!"
Gadung Melati mengangkat kepala mengamati Menak Singgih. Kemudian
jawabnya agak ragu. "Paman, perintah paman akan saya laksanakan dengan baik. Akan
tetapi saya sekarang ini sedang menyelesaikan persoalan, dan........."
Menak Singgih memotong ucapan Gadung Melati. "Tentang muridmu Pertiwi
Dewi itukah yang kau maksud?"
Gadung Melati terbelalak heran. Demikian pula yang lain. Mata semua orang
sekarang tertuju kepada Menak Singgih, dan tampak mereka ini menunggu penjelasan.
Lebih-lebih Fajar Legawa yang mempunyai sangkut-paut langsung dengan Pertiwi
Dewi, jantung pemuda ini berdegup cepat sekali.
"Gadung Melati," kata Menak Singgih lagi. "Anggaplah persoalan muridmu
Pertiwi Dewi sudah selesai. Anggaplah Nawang Wulan sebagai pengganti murid yang
engkau kasihi itu, dan lenyapkan pula prasangkamu yang buruk kepada Fajar Legawa,https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
murid Suria Kencana itu. Ya, engkau sudah terbakar oleh amarah yang kurang pada
tempatnya, dan engkau telah terpengaruh oleh fitnah orang."
Menak Singgih mengalihkan pandang matanya kepada Wukirsari. Kemudian.
"Dan kepada engkau Wukirsari, engkau harus berhati-hati kepada muridmu sendiri.
Ternyata Handana Warih memiliki watak dan tabiat yang kurang baik, tidak segan-segan
membunuh orang lain dalam usahanya mencapai cita-cita. Dia tidak mau perduli apakah
perbuatannya itu salah atau benar. Dan sudah tentu perbuatannya ini akan
membahayakan dirinya sendiri dan membahayakan engkau pula sebagai gurunya.
Maka sebelum terlanjur kembalikanlah bocah itu agar tidak berlarut-larut sebagai seorang
yang tiada gunanya."
Semua terdiam mendengar kata-kata Menak Singgih ini, mereka merasa heran
mengapa semua persoalan itu diketahui orang tua ini?
Beberapa saat kemudian barulah Wukirsari menjawab. "Terima kasih atas
petunjuk paman. Semoga kemudian hari saya dapat membimbing bocah itu lebih baik."
Tak heran kalau Wukirsari segera dapat menerima nasihat Menak Singgih itu.
Sebab sejak semula, ia memang merasa ragu dan tidak percaya akan tuduhan Handana
Warih. Tetapi satu hal yang membuat kakek ini terkejut, adalah pemberitahuan Menak
Singgih, bahwa muridnya itu tindak dan langkahnya kurang baik
Akan tetapi sebaliknya Gadung Melati masih merasa penasaran. Kemudian ia
berkata. "Tetapi paman, apa yang saya tuntut kepada Fajar Legawa demi keadilan dan
kebenaran. Saya ingin memperoleh pembuktian dan kepastian bahwa peristiwa itu terjadi
sesungguhnya. Nah, apakah saya salah apabila menuntut itu kepada Fajar Legawa?"
Menak Singgih mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian sahut orang tua ini.
"Engkau benar. Namun demikian engkau tentu dapat merasakan pula, bagaimana
sulitnya Fajar Legawa harus membuktikan kebersihannya itu, karena pada saat Pertiwi
Dewi meloncat ke jurang, tidak seorangpun menyaksikan, kecuali Fajar Legawa sendiri?"
Untuk sejenak lamanya keadaan hening, mereka berdiam, dan hanya suara detak
jantung dan helaan napas berat Fajar Legawa saja yang mengisi suasana. Memang saat
sekarang ini Fajar Legawa dalam keadaan tegang, justeru dirinya merupakan seorang
terdakwa.
Tiba-tiba keadaan yang hening itu dipecahkan olela ucapan Menak Singgih yang
nadanya pasti, "Tetapi Allah Maha Pengasih dan Mana Besar. Allah akan selalu
memberikan rahmat dan rahim-Nya Kepada seorang hamba-Nya yang benar-benar tidak
bersalah. Akulah saksi satu-satunya yang menyaksikan dengan mata kepala sendiri
peristiwa menyedihkan itu dari awal sampai akhir. Akulah saksi satu-satunya yang dapat
memberi keterangan kepadamu, bahwa Pertiwi Dewi sendiri yang sengaja membunuh diri
dengan melompat ke dalam jurang. Fajar Legawa telah berusaha menghalangi, akan
tetapi tidak berhasil."
Keterangan Menak Singgih ini mengejutkan semua yang hadir. Gadung Melati
tercengang sehingga orang tua berwajah jelek ini tidak dapat mengucapkan sepatahpun
kata. Diam-diam ia merasa ragu, akan tetapi juga tidak berani untuk menduga burukhttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
kepada Menak Singgih. Kakek ini seorarg angkatan tua, yang disegani oleh kawan dan
ditakuti lawan, karena sepak terjangnya selama ini yang patut dipuja. Mungkinkah
seorang terhormat seperti Menak Singgih, sekarang membohong dalam usahanya
membela Fajar Legawa?
Dan di saat Gadung Melati merasa ragu ini, Menak Singgih berkata lagi. "Gadung
Melati, aku mengharap hendaknya engkau tidak beranggapan bahwa aku ingin
melindungi Fajar Legawa. Sama sekali tidak. Dan jangan engkau menuduh aku seperti
itu. Ketahuilah bahwa aku tiada sangkut pautnya dengan urusan itu. Namun sebagai
seorang yang menyaksikan peristiwa itu, dan sebagai seorang yang tidak dapat melihat
kesewenangan berlangsung di atas bumi ini, maka aku memerlukan memberi keterangan
ini. Demi Allah, aku menerangkan sejujurnya. Dan semoga Allah menyiksa dan
mengutuk aku, apabila apa yang sudah aku terangkan ini bertentangan dengan
kenyataan."
Menak Singgih adalah seorang tokoh tua dan amat dihormati pada jaman ini.
Apabila ia sudah mengucapkan sumpah, sulitlah orang tidak mempercayai dia lagi.
Gadung Melati juga tidak dapat menyangka buruk, akan tetapi kemudian timbullah
pikirannya yang lain. Tanya kakek ini kemudian. "Paman, bolehkah saya bertanya?"
"Silahkan," sahut Menak Singgih.
"Apakah paman dapat memberi keterangan, bocah itu sudah mati ataukah masih
selamat?"
"Hemmm" Menak Singgih menghela napas sambil mengurut-urut jenggotnya
yang menjuntai sebatas dada. Sedang Fajar Legawa tampak amat memperhatikan, dan
ingin mendengar jawaban kakek ini. "Jika dia selamat mengapa, dan kalau tidak
mengapa?"
"Paman, bocah itu saya kasihi seperti anak kandungku sendiri," sahut Gadung
Melati,"Kalau dia memang sudah mati, tentu saja aku akan menyelenggarakan hajad
selamatan. Dan sebaliknya kalau masih hidup, di manakah dia dan siapa pula yang
menolong?"
"Hemm," lagi-lagi Menak Singgih menghela napas, dan tidak segera memberikan
jawabannya. Namun kemudian. "Gadung Melati, aku takkan sedia mendahului kehendak
Tuhan. Akan tetapi tiada salah kiranya apabila aku perlu mengabarkan padamu, bahwa
engkau tidak perlu gelisah tentang dia."
"Jadi............jadi masih selamat?" Gadung Melati mendesak.
Dan Fajar Legawa tambah tegang jantungnya. Benarkah Pertiwi Dewi masih
selamat? Lalu siapakah pula yang sudah menolong?
"Sudahlah, jangan engkau mendesak sedemikian rupa padaku," sahut Menak
Singgih. "Engkau tak perlu menyelamati Pertiwi Dewi. Dan sekarang, ijinkanlah aku
pergi."
Tiba-tiba tubuh kakek itu sudah melesat dari tempat duduknya, melesat sepertihttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
terbang. Semua yang melihat ternganga keheranan, sehingga mereka melongo tak dapat
membuka mulut. Dan baru sesudah Menak Singgih lenyap ditelan rumpun pohon, mereka
menghela napas saking kagum.
Walaupun Menak Singgih tidak mau menerangkan keadaan Pertiwi Dewi, namun
orang dapat menduga bahwa gadis itu memang tertolong dan masih hidup. Akan tetapi
siapakah yang berhasil menolong, dan mengapa pula Menak Singgih tidak mau
menerangkan?
Tiba-tiba Gadung Melati bangkit. Tubuh gendut ini melompat, tangannya bergerak
dan tahu-tahu tubuh Nuwang Wulan yang masih pingsan itu sudah dalam pondongannya.
Lalu dibawa berlarian pergi tanpa mengucapkan sesuatu. Dalam waktu singkat, Gadung
Melati sudah lenyap pula terlindung oleh rimbunannya daun hutan.
Wukirsari hanya tersenyum sija menyaksikan tingkah aneh Gadung Melati itu.
Kemudian kata kakek ini. "Mari kita sekarang perlu memikirkan Dewayani. Galilah
kubur, dan kita kuburkan perempuan itu."
Fajar Legawa dan Tumpak Denta mengiakan, kemudian dua orang muda ini
segera bekerja menggali lobang. Tak lama kemudian selesai jugalah lobang kubur yang
diperlukan itu, dan dengan upacara sederhana dan hikmat, kemudian jenazah Dewayani
dimasukkan dalam lubang.
Atas perintah Wukirsari, maka Tumpak Dentalah yang memberi azan. Dan
pemuda itu kemudian mengalunkan suaranya untuk adzan. Baru sesudah semua upacara
selesai, mulailah jenazah Dewayani itu ditimbun dengan tanah.
Ketika pemakaman selesai, dan tiga orang ini sudah akan meninggalkan kubur
Dewayani itu,, tiba-tiba mereka kaget karena mendengar suara orang tetapi tidak tampak
orangnya.
"Wukirsari. Engkau harus tahu bahwa sekarang ini, "Keris Iblis" telah muncul.
Maka engkau ikut berkewajiban pula agar keris itu tidak menimbulkan banyak korban
orang-orang tak berdosa."
"Keris Iblis?" seru Wukirsari tertahan.
Baik Wukrsari, Fajar Legawa maupun Tumpak Denta cukup kenal akan suara itu,
suara Menak Singgih. Akan tetapi yang membuat mereka heran, mengapa orang tua itu
tidak mau muncul lagi dan bertemu muka dengan mereka?
"Di manakah keris itu sekarang, paman?" teriak Wukirsari.
"Keris itu semula dimiliki Klenting Mungil."
"Ahhh............" tanpa terasa tiga orang ini berseru tertahan.
"Dan kemudian oleh dia, diberikan kepada muridnya yang terkasih, Putut
Jantoko."https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
"Ahhh............" lagi-lagi mereka berseru tertahan saking kaget.
"Paman Singgih, berilah saya keterangan lebih jelas!" teriak Wukirsari.
Akan tetapi tiada jawaban yang terdengar. Wukirsari mengulang lagi, namun tiada
jawaban pula. Akhirnya Wukirsari hanya menghela napas, kemudian mengajak dua
orang muda ini meninggalkan gunung Ungaran.
Tak lama kemudian mereka sudah tiba di tanah datar yang jauh dari gunung
Ungaran. Dan Fajar Legawa sekarang tidak kuasa lagi menahan hati untuk bertanya.
"Paman, sejak semula sya merasa amat heran, ketika tongkat Putut Jantoko berbenturan
dengan tongkatku. Sebab aku merasakan pancaran hawa panas dari tongkat penjahat itu.
Dapatkah kiranya paman menerangkan tentang keris iblis itu?"
"Akupun ingin tahu," kata Tumpak Denta. "Dan mengapa pula keris itu jatuh ke
tangan orang jahat?"
Wukirsari tersenyum mendengar itu. Sesudah ia menghirup hawa segar di waktu
sore ia menjawab. "Lebih dahulu kamu harus tahu, mengapa sebabnya disebut keris iblis.
Sebutan itu diberikan orang, karena keris itu sudah membawa korban yang cukup banyak.
Sejarah dari keris itu sendiri telah dilumuri oleh noda dan darah, yang kemudian
menimbulkan malapetaka hebat dalam suatu negara."
Wukirsari berhenti dan menghirup udara segar. Kemudian terusnya, "Manusiapun
akan disebut iblis, apabila tindak dan perbuatannya jahat dan membahayakan
kesejahteraan ummat manusia. Dan sesungguhnya manusia sendirilah yang nenyebabkan
benda-benda pusaka itu ternoda dan cacat. Karena oleh perbuatan manusia-manusia itu
sendiri, benda-benda pusaka itu kemudian memiliki corak. Hemm tetapi sesungguhnya,
anakku, tiada seseorang yang mau berbuat merugikan orang lain, melainkan orang yang
tolol. Ialah, orang yang tidak pernah memikirkan kesudahan sesuatu perbuatannya itu.
Baik di dunia maupun di akhirat, barang siapa yang bersifat seperti itu, takkan bisa
terhindar dari bahaya dan cerca orang banyak. Anakku, kadang pula terjadi ke atas diri
orang itu dilakukan orang pula kejahatan seperti yang biasa diperbuatnya kepada orang
lain. Ketika itu barulah ia insyaf betapa orang teraniaya. Maka kemudian terbukalah
hatinya, dan kemudian taubat daripada keadaan yang sudah-sudah. Oleh sebab itu
seseorang yang sadar dirinya, tidaklah akan melakukan perbuatan yang merugikan orang
lain."
Baik Fajar Legawa maupun Tumpak Denta berdiam diri dan memperhatikan kata-
kata Wukirsari ini. Sebab dari nasihat dan petunjuk itu, mereka dapat mengambil faedah
dan manfaatnya
Setelah beberapa jenak berhenti, Wukisari yang memang suka memberi nasihat itu
meneruskan. "Anakku, kau masih muda. Kau masih akan banyak berjumpa dengan
beberapa macam kesulitan. Maka engkau harus hati-hati, dan jangan engkau
mendekatkan dirimu kepada orang yang menyangka bahwa dirinya merdeka berbuat
semau-maunya, karena dosa dan pahala dianggap kata-kata yang kosong tiada artinya.
Orang-orang tua telah berkata bahwa, berhutang wajib membayar, berpiutang wajib
Iblis Dari Gunung Wilis Karya Widi Widayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menerima. Tiap-tiap perbuatan sama pula dengan biji yang ditanam di tanah, pasti akan
berbuah juga. Manis dan pahitnya itu menurut keadaan biji itu sendiri. Demikianlahhttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
anakku, bahwa sesungguhnya perbuatan manusia itu sendirilah yang membuat kotornya
dunia ini. Perbuatan manusia yang lupa kepada Tuhan."
Wukirsari batuk-batuk kecil. Kemudian "Kembali kepada soal keris yang kau
maksudkan tadi. Sesungguhnya keris itu hasil karya seorang Empu sakti mandraguna.
Empu yang namanya amat terkenal. Dan keris yang dihasilkan oleh tangannya itupun
ampuh sekali. Ingatkah engkau akan keris Empu Gandring?"
"Keris Empu Gandring?" Fajar Legawa kaget. "Keris yang terkenal dalam
sejarah Tumapel itu?"
Wukirsari mengangguk. Kemudian. "Keris Empu Gundring itulah yang dimaksud
dengan "Keris Iblis". Karena keris itulah kemudian yang sudah mencabut nyawa Empu
Gandring sendiri, sebagai penciptanya. Nah, tentunya engkau masih ingat peristiwa itu
bukan? Kematian Empu Gandring oleh tangan Ken Arok?"
Tumpak Denta menghela napas. Kemudian ia bertanya, "Tetapi mengapa keris itu
jatuh ke tangan Klenting Mungil?"
Wukirsari menggeleng. "Entahlah, aku tidak tahu sebabnya."
Untuk beberapa saat lamanya mereka berdiam diri, mereka tenggelam dalam
pikiran masing-masing, memikirkan tentang keris tersebut, yang sudah berlumuran darah
di jaman Tumapel.
"Sejarah telah mencatat keganasan keris itu," kata Wukirsari lagi sesudah
menghela napas. "Korban pertama Empu Gandring, dibunuh oleh Ken Arok. Dan
sebelum menghembuskan napas terakhir Empu Ganuring mengutuk kepada Ken Arok,
bahwa Ken Arok dan ketujuh turunannya akan menjadi korban keris itu pula. Korban
kedua jatuh, dan yang menjadi korban Tunggul Ametung. Kordan ketiga Ken Arok
sendiri, justeru apa yang dilakukan Ken Arok bocor dan diketahui oleh Anusapati, anak
tirinya. Setelah Ken Arok mati, Anusapati mengganti kedudukan sebagai raja. Namun
kemudian Anusapati harus mati pua oleh keris itu sebagai korban yang keempat oleh
Tohjoyo, anak Ken Arok dari isteri muda bernama Ken Umang."
Wukirsari berhenti dan menelan 1udah. Sesaat kemudian kakek ini meneruskan.
"Agaknya Tohjoyo takut apabila kemudian hari ia dibunuh orang pula dengan keris itu.
Maka timbulah niatnya untuk memusnahkan keris yang sudah ternoda itu. Untuk
melaksanakan maksudnya tersebut, keris Empu Gandring ini diberikan kepada seorang
hamba kepercayaannya. Dan sejak peristiwa itu, keris Empu Gandring tidak diketahui
rimbanya. Orang tak dapat menceritakan ke mana keris itu dibawa pergi dan
dimusnahkan. Yanq diketahui orang sekarang hanyalah, bahwa kutukan Empu Gandring
itu hanya dapat berhasil tiga orang saja, tidak tujuh orang."
Fajar Legawa menghela napas dalam. Kemudian tanpa sesadarnya pemuda ini
mendesis. "Keris Iblis! Keris Iblis!"
"Ya, nama keris Empu Gandring sudah tidak tepat lagi dan yang tepat dengan
nama Keris Iblis." sahut Wukirsari.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Tumpak Denta menghela napas pula. Persoalan baru bagi dirinya. Namun
merupakan persoalan yang sekarang memerlukan perhatian sungguh-sungguh.
"Keris itu muncul kembali untuk pertama kalinya, kira-kira tigapuluh tahun yang
lalu," kata Wukirsari dalam usahanya memberi penjelasan. "Di mana kala itu aku sendiri
masih muda dan guruku juga masih hidup. Dengan senjata keris tersebut Klenting Mungil
mengganas, melakukan perbuatan-perbuatan terkutuk dan tidak mengenal kemanusiaan.
Ketika itu orang telah berusaha merebut dari tangan Klenting Mungil. Guru almarhum
pernah pula bertempur Klenting Mungil dua hari dua malam. Pada akhirnya, Klenting
Mungil dapat dikalahkan. Akan tetapi sungguh sayang, Klenting Mungil masih sempat
melarikan diri. Ketika itu Klenting Mungil dimusuhi banyak orang, termasuk paman
Menak Smggih, paman Purwowaeso dan paman Abdulrajak. Karena takut, kemudian
Klenting Mungil menghilang, menyembunyikan diri. Namun ternyata sekarang, sesudah
bersembunyi puluhan tahun dia kembali muncul dan kembali pula mengganas."
Tumpak Denta dan Fajar Legawa berdiam diri.
Wukirsari memandang kepada Fajar Legawa dan Tumpak Denta bergantian.
Kemudian katanya lebih lanjut. "Orang-orang Klenting Mungil dan muridnya itu,
sesungguhnya sudah bukan manusia lagi. Tetapi yang terbentuk seperti manusia. Mereka
sudah tidak 1agi memiliki pribadi atau kesadaran atas "akunya". Oleh karena itu mata
hatinya menjadi buta dan tidak mampu lagi membedakan antara yang baik dan mana
yang buruk. Tidak lagi tahu akan arti hidup, dan mereka hanyalah memperturutkan hawa
nafsunya melulu. Orang yang sudah kehilangan pribadinya akan membawa malapetaka
bagi ummat manusia. Kewajiban kita sekalian untuk memeras tenaga dan kepandaian,
dalam menumpas orang-orang demikian itu."
Mereka kembali diam. Hanya suara tapak-tapak kaki mereka yang menyentuh
permukaan bumi sajalah yang mengisi suasana. Mereka terus menyusuri jalan-jalan kecil
dan berbatu-batu. Matahari sudah makin rendah di barat, dengan sinarnya yang merah
dan lemah. Mereka terus melangkahkan kaki mereka tanpa berhenti, dan berharap
sebelum matahari terbenam mereka sudah menemukan desa untuk mencari tempat
beristirahat.
Fajar Lgawa menyadari akan dirinya, yang mengemban tugas menyelamatkan
pusaka "Tilam Upih" semakin terasa berat. Sebab pusaka itu menjadi incaran orang dan
juga diperebutkan. Apabila langkahnya kurang hati-hati, malapetaka selalu mengancam
dirinya. Apa pula orang-orang jahat yang memiliki kepandaian tinggi seperti Klenting
Mungil, merupakan suatu bahaya yang setiap saat dapat timbul.
Dalam hati Fajar Legawa merasa, bahwa tidaklah gampang seseorang yang
mendapat tugas menyelamatkan sebuah pusaka. Dan makin sadar pulalah Fajar Legawa,
mengapa ayahnya dahulu, yang sudah cukup sakti mandraguna, terpaksa harus
menyembunyikan dirinya dan menyamar sebagai petani di lereng gunung Slamet. Akan
tetapi ternyata walaupun sudah menyembunyikan diri dan menyamar sebagai petani,
masih pula dapat dicium oleh orang-orang yang bermaksud mendapatkan pusaka itu.
Apabila teringat akan beratnya tugas yang harus diemban ini, timbullah rasa cemas
dalam hati. Timbullah keraguannya, dapatkah ia mempertahankan diri dalam tugas ini?
Akan tetapi keraguannya ini tidak bertahan lama dalam hati. Keraguannya itu segerahttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
dapat diusir, sesudah ia ingat bahwa di samping orang-orang yang bermaksud jahat, tidak
kurang-kuranglah orang yang membela dan melindunginya.
Baik gurunya sendiri, Menak Singgih, Wukirsari maupun Gadung Melati
merupakan orang-orang yang dapat diharapkan bantuan dan perlindungannya. Sedang
perlindungan yang tertinggi, di tangan Allah, dan nasibnya diserahkan sepenuhnya.
Agaknya Wukirsari dapat menduga pula kandungan hati Fajar Legawa ini. Maka kata
kakek ini. "Engkau tidak perlu gelisah anakku. Percayalah bahwa Tuhan akan selalu
melindungi dari segala mara bahaya."
"Terima kasih paman, dan sayapun yakin akan hal itu," sahut Fajar Legawa.
"Namun demikian, merupakan kewajibanmulah untuk selalu berhati-hati,"
Wukirsari memberikan nasihatnya, "Karena orang yang mau mendekati musuh yang
menaruh dendam kepadanya akan menjerumuskan dirinya ke dalam jurang kebinasaan.
Seseorang wajib menjaga dirinya dari pada bahaya, dan jangan mau ditipu oleh orang
yang tidak dapat dipercaya. Orang yang mau diperdayakan musuh dengan kata-kata yang
manis, lebih memusuhi dirinya sendiri daripada kepada musuhnya. Dan orang yang
berakal tidak akan diam pada tempat yang berbahaya, padahal ia kuasa pindah ke tempat
lain. Anakku, itulah nasihat para cendikia. Perlu kiranya engkau camkan di dalam hati,
agar engkau selalu luput dari mara bahaya. Apabila hati-hati engkau menjaga diri, segala
kebaikan akan datang sendiri kepadamu. Kebaikan sama dengan air, senantiasa mencari
tempat untuk mengalir. Dan kemenangan senantiasa menjadi balasan orang yang hati-
hati segala kelakuannya. Orang yang malas dan ragu-ragu, sekali-kali tidak akan berhasil
mencapai maksudnya"
Fajar Legawa dan Tumpak Denta tertarik hatinya atas kata-kata Wukirsari yang
mengandung nasihat ini. Karena nasihat-nasihat orang tua ini dapat dipergunakan suluh
bagi mereka yang merasa masih muda dan kurang pengalaman.
Wukirsari sendiripun kemudian berdiam diri, sesudah ia memberi nasihat-nasihat
berharga kepada Fajar Legawa, kemudian teringatlah ia akan nasihat Menak Singgih
mengenai muridnya, Handana Warih. Dalam hati mengakui dan tidak dapat membantah
akan benarnya kata-kata Menak Singgih, tentang kurang baiknya watak dan tabiat
Handana Warih.
Bukankah oleh akibat tuduhan Handana Warih, menyebabkan Fajar Legawa
hampir saja mendapatkan kesulitan? Dan bukankah sebab mereka berpayah-payah
mendaki gunung Ungaran, dan hampir mendapatkan malapetaka pula, akibat mulut usil
Handara Warih? Perbuatan Handana Warih itu merupakan gejala-gejala yang kurang
baik. Dan apabila tidak segera mendapat perhatian bisa berakibat lebih parah lagi
keadaannya.
Teringat akan muridnya itu, hati Wukirsar? agak merasa cemas. Ia khawatir
apabila murid tunggalnya yang telah dididik berpayah-payah itu kemudian hari akan
menjelma menjadi seorang yang tak berguna Oleh karena itu timbullah niat Wukirsari
untuk cepat-cepat pulang dan bertemu dengan Handana Warih.
"?nakku." kata Wukirsari kemudian. "Aku harus pulang sekarang juga."https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Fajar Legawa dan Tumpak Denta agak terkejut. Mereka memandang orang tua itu
dengan ragu. Kemudian tanya Tumpak Denta. "Mengapa sebabnya paman harus pulang
sekarang juga?"
"Hemmm, aku harus segera mengurus Handana Warih," Wukirsari memberi
penjelasan, "Timbullah kekhawatiranku apabila dia menjadi liar lagi"
"Tetapi bagaimanakah dengan janji paman?" tanya Fajar Legawa.
"Janji tentang apa?"
"Bukankah paman pernah berjanji akan memberitahukan padaku, apakah
sebabnya aku wajib menyelamatkan pusaka milik Dipati Ukur?"
"Heh-heh-heh," Wukirsari tertawa. Kemudian.. "Ya, masalah itu sebaiknya
engkau bawa saja kepada gurumu. Dan aku percaya, bahwa gurumu sedia memberi
penjelasan."
"TETAPl guru pernah saya tanya, dan menghindari untuk menerangkan."
"Mungkin hanya menunggu saat saja. Tetapi percayalah bahwa hal itu akan
engkau ketahui sejelasnya. Sebab bagaimanapun untuk engkau memang amat perlu."
Akhirnya mereka berpisah juga. Wukirsari langsung menuju tempat tinggalnya,
sedang dua orang muda itu berusaha mencari tempat menginap, dan istirahat. Dua orang
muda itu kini sedang menyusuri tepi kali Bodri. Dan mereka berharap pula bahwa
sebelum malam tiba, mereka sudah berhasil mencari tempat menginap. Harapan itu
agaknya terkabul. Di depan sudah tampak sebuah desa. Mereka mempercepat langkah.
Namun kemudian dua orang muda ini menjadi kecewa, sesudah mereka masuk ke dalam
desa. Desa itu tampak kosong, rumah-rumah pintunya tertutup rapat dan tidak terdengar
pula suara orang. Diam-diam dua orang muda ini heran. Mengapa desa ini kosong?
Mungkinkah ada malapetaka yang telah menimpa desa yang cukup makmur ini?
Fajar Legawa dan Tumpak Denta menebarkan pandang mata mereka ke sekeliling.
Mereka menyelidik tiap-tiap rumah yang tertutup rapat itu. Timbullah rasa heran
disamping curiga. Kemudian Fajar Legawa mencoba mengetuk pintu rumah, sambil
berteriak memperkenalkan diri. Akan tetapi telah berkali-kali Fajar Legawa mengetuk
pintu dan berteriak, namun rumah itu tetap sepi saja dan tiada pula jawaban dari dalam.
Fajar Legawa menghela napas. Kemudian ia mempertajam pendengarannya untuk
menangkap suara dari dalam rumah. Sungguh sayang, usahanya tak berhasil.
Tumpak Denta juga berbuat sama seperti Fajar Legawa. Namun seperti yang
dilakukan Fajar Legawa, iapun tidak mendapatkan apa-apa. Telah beberapa kali ia
berteriak pula, tetapi tidak juga terdengar jawaban dari dalam. Ia mencoba mendorong
pintu rumah. Sayang pintu itu terkancing kuat dari dalam.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Sadarlah mereka sekarang bahwa rumah penduduk itu kosong tidak berpenghuni
lagi. Namun yang menimbulkan pertanyaan dalam hati dua orang muda ini, mengapa
penduduk mengosongkan rumah mereka?
"Kakang, apa yang sudah terjadi?" tanya Fajar Legawa.
Tumpak Denta menggelengkan kepalanya. Ia pun sama halnya, belum dapat
menduga sebabnya desa ini tampak kosong. Satu hal yang memenuhi benak mereka,
kemanakah penduduk desa ini pergi?
Mereka kembali menebarkan pandang-mata untuk melihat sekeliling. Desa
tersebut tetaplengangdan sepi, dan tidak seekorpun anjing maupun binatang lain
berkeliaran. Rumah-rumah yang berdiri didalam desa itupun tetap bisu, tak dapat
memberitahukan kepada mereka, kemana para penghuni desa ini pergi. Hanya angin
sajalah yang baik hati, berhembus perlahan mengusap kepada seluruh benda yang
dilanggar. Seakan angin itu membisikkan sesuatu, dan memperingatkan kepada Fajar
Legawa maupun Tumpak Denta agar lebih berhati-hati. Sebab ancaman bahaya setiap
waktu dapat terjadi.
Sayang sekali bahwa baik Fajar Legawa maupun Tumpak Denta tidak menyadari
akan bisikan angin yang baik hati itu. Mereka masih terbenam oleh perasaan yang heran
dan bertanya-tanya, mengapa desa tersebut kosong. Akan tetapi pada saat mereka masih
menebak-nebak ini, mereka terkejut dan terpaksa mereka melompat ke samping.
"Tak tak........!" dua batang anak panah menancap pada dinding rumah.
Fajar Legawa dan Tumpak Denta berpandangan. Apa yang baru terjadi membuat
Iblis Dari Gunung Wilis Karya Widi Widayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mereka keheranan. Mereka sebenarnya marah, mengapa ada orang sengaja menyerang
secara gelap? Maka dengan isyarat, mereka berdua telah melompat kearah asal anak
panah.
Ketika itu hari sudah agak gelap, karena matahari sudah mulai menyembunyikan
diri dalam peraduannya. Namun mata Fajar Legawa dan Tumpak Denta yang
sudahterlatih, segera dapat menangkap bayanganorang menyelinap ke dalam semak
belukar. Fajar Legawa cepat bergerak untuk mengejar orang tersebut. Tapi segera
berdesinganlah dua batang anak panah mengarah mereka, dari arah lain. Fajar Legawa
menggerakkan tangan kanan seraya merendahkan tubuh. Sebatang anak panah yang
berdesing di atas kepalanya dengan gampang ia tangkap. Kemudian anak panah lain,
dengan gampang ia pukul runtuh dengan anak panah yang dapat ia tangkap itu.
Rasa marah semakinmenggelegak dalam dada oeh perbuatan orang yang curang
itu. Maka Fajar Legawa segera melompat untuk mengejar, sedang Tumpak Dentapun
tidak mautinggal diam. Namun baru saja mereka bergerak, telah bermunculanlahhttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
beberapa kepala orang dari semak sambil mengancam dengan anakpanah yang siap pada
busur. Mereka sudah terkepung, dan keselamatan dua orang muda ini terancam.
"Jangan bergerak apabila ingin selamat!" bentak salah seorang menggeledek.
"Panah-panahku ini sanggup membunuh kamu. Tahu?"
Apa yang terjadi makin menyebabkan Fajar Legawa dan Tumpak Denta
tambah marah. Sesungguhnya mereka sanggup menyelamatkan diri dan membentengi
tubuh dengansenjata masing-masing. Namun kehadiran mereka di desa ini bukan mencari
musuh, maka mereka takkan gegabah dan menurutkan hati marah.
Ternyata jumlah orang yang sekarang mengurung secara ketat itu amat banyak.
Lebih tiga puluh orang jumlahnya, sedang mereka telah siap pula dengan aneka macam
senjata yang mereka miliki. Orang-orang itu mengamati Fajar Legawa dan Tumpak Denta
dengan pandangmata yang curiga. Akan tetapi sebaliknya pula, dua orang muda ini
mengamati mereka sambil bertanya- tanya mengapa secara tiba-tiba telah dikepung dan
diancam oleh senjata?
Tak lama kemudian tempat itupun menjadi terang benderang oleh obor-obor kayu
yang dinyalakan orang. Dan dua orang ini menebarkan pandang mata menyelidik.
"Lepas senjatamu, dan menyerahlah!" bentak orang yang tadi dengan garang dan
lantang.
Fajar Legawa dan Tumpak Denta terkejut. Mereka segera menatap orang itu, yang
berdiri tegak sambil memegang golok telanjang. Orang itu tubuhnya tinggi besar, kokoh
disamping garang. Dia memelihara kumis tipis yang terawat, tetapi tidak berjenggot.
Sepasang matanya berkilat-kilat memandang Fajar Legawa dan Tumpak Denta tidak
berkedip. Akan tetapi dua orang muda ini berdiri dengan tenang. Mereka tidak
menjawab tetapi juga tidak mau memenuhi perintah orang itu.
"Hai! Apakah kamu tuli?" bentaknya kasar. "Buanglah senjatamu dan
menyerahlah. Berani melawan berartimati!"
"Sabar sahabat," sahut Tumpak Denta. "Apa salah kami dan mengapa pula
saudara bersikap sekasar itu?"
"Cerewet!" bentak orang itu lagi. "Kamu mau memungkiri perbuatanmu? Huh,
bangsat busuk!"
Tiba-tiba melompatlah seorang pemuda berbadan tegap dengan senjata tombak
trisula, dan kemudian berdiri mendampingi laki-laki bersenjata golok itu. Katanya.
"Kakang Danurwenda! Mengapa kau layani bangsat-bangsat ini? Bukti tidak terbantahhttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
lagi,bahwa mereka mata-mata penjahat gunung Ungaran."
Sulit dibayangkan betapa terkejut Fajar Legawa maupun Tumpak Denta
mendengar ini, tetapi diam-diam menjadi marah. Kata-kata orang itu amat menghina
disamping menyakitkan hati. Maka Fajar Legawa segera bersiap diri untuk memberi
hajaran kepada orang yang sudah menuduh membabi buta itu. Tetapi untunglah Tumpak
Denta waspada dan mencegah. "Sabarlah adi, jangan menurutkan amarah."
Tumpak Denta mempunyai alasan lain. Ia sudah menduga terjadi salah sangka,
dan dapat menduga pula bahwa semua orang ini adalah penduduk desa ini. Agaknya
mereka tadi memang sengaja mengosongkan desa, dalam usaha mereka menjebak
penjahat gunung Ungaran. Kemudian mudah diduga pula,bahwa gerombolan penjahat
gunung Ungaran itu telah merencanakan untuk merampok didesa ini. Hingga penduduk
bersatu-padu, mengumpulkan kekuatan untuk melawan.
Dalam hatinya bersyukur, bahwa penduduk desa ini memiliki kemampuan
melawan para penjahat. Namun sebaliknya ia kurang mengerti akan alasan mereka,
mengapa menuduh orang sebagai mata-mata penjahat gunung Ungaran.
"Saudara-saudara, kalian salah sangka." Tumpak Dentamemberi penjelasan.
"Kami sedang melakukan perjalanan jauh, dan tiba di desa ini dengan maksud mencari
pertolongan untuk mendapat tempat menginap. Percayalah kawan, bahwakami bukan
penjahat yang kalian maksudkan itu."
Pemuda yang bertubuh tegap itu ketawa mengejek. Katanya kemudian. "Bagus!
Kamu ternyata pandai berdalih dan menipu. Akan tetapi sayang sekali bahwa aku tidak
bisa percaya. Aku sendiri yang menyaksikan kamu bertiga menuruni lereng Ungaran.
Seorang kawanmu yang tua itu kemudian memisahkan diri kejurusan lain. Bukankah
benar apa yang aku katakan ini? Hayo bantahlah jika bisa."
Tumpak Denta dan Fajar Legawa terkesiap. Kata-kata pemuda ini tidak bisa
dibantah justeru benar. Maka kemudian jawab Tumpak Denta jujur. "Benar, kami bertiga
menuruni lereng gunung Ungaran itu sore tadi."
Segera terdengar suara gaduh dari orang-orang desa yang mencemohkan. Hingga
Tumpak Denta yang akan meneruskan keterangannya terpaksa dibatalkan. Sulit suaranya
mengatasi suara dari mulut puluhan banyaknya itu.
"Ha, kau sudah mengaku?" ejek orang pertama.
Sesungguhnya Fajar Legawa sudah tidak sabar lagi harus bertahan. Ia sudah amat
marah dituduh sebagai bangsat dan penjahat. Kepada orang yang berani menghina, ia
tidak sanggup untuk memberi ampun. Ia paling benci dihina orang. Namun Tumpakhttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Denta tidak menghendaki, dan katanya kemudian.
"Saudara, sudilah bersabar. Akuakan memberi keterangan selengkapnya. Begini,
benarlah bahwa kami bertiga menuruni lereng gunung Ungaran itu. Tetapi janganlah
kalian menuduh bahwa kami penjahat. Kami datang ke desa ini bukan bermaksud
berselisih dan mencari musuh. Akan tetapi berusaha mencari sahabat. Percayalah, bahwa
aku sudah memberi keterangan sejujurnya kepada kalian."
Akan tetapi kata-kata Tumpak Denta itu disambut dengan ketawa mereka yang
mencemohkan. Mereka geli mendengar alasan dua orng ini. Maka kemudian terdengarlah
kata orang pertama. "Hem, baik! Engkau boleh memberi keterangan sepuasmu, dan boleh
pula engkau mengajukan dalih. Akan tetapi demi keselamatan seluruh rakyat dalam desa
ini, dan demi keselamatanmu berdua, aku tetap menuntut, buanglah senjatamu dan
menyerah."
Fajar Legawa yang masih berdarah panas sudah tidak kuasa lagi menahan diri. Ia
tidakperduli lagi, dan tidak perduli pula salah sangka ini berlarut-larut, ia beranggapan,
percumalah memberikan peujelasan. Maka ia segera maju selangkah seraya berkata
lantang. "Kalian telah menghina kami. Kalian sudah membabi buta menuduh orang.
Huh, sekarang apakah kehendak kalian?"
Orang-orang desa yang semula gaduh itu mendadak sirap mendengar kata-kata
Fajar Legawa. Mereka kemudian mengamati penuh perhatian dengan wajah nampak
tegang. Namun sekalipun demikian dalam hati mereka telahyakin, bahwa pihak mereka
yang bakal menang apabila terjadi pertempuran. Jumlah mereka jauh lebih banyak. Malah
Danurwenda dan Tohjoyo bukan pemuda sembarangan.
Sejak semula Tohjoyo justeru sudah tidak sabar. Maka pemuda ini segera
melompat maju sambil tertawa dingin. Senjata trisulanya melintang di depan dada.
Kemudian katanya mengejek. "Bagus! Mari kita buktikan siapakah diantara kita lebih
kuat?"
Selesai berkata senjata trisula itu telah menyambar ke arah leher. Fajar Legawa
tidak gugup. Ia miringkan kepala sambil merendahkan tubuh. Kemudian ketika senjata
itu lewat di atas kepalanya, ia mengangkat tangan untuk mencengkeram pergelangan
tangan lawan. Namun ternyata kemudian bahwa serangan itu pancingan saja. Begitu
melihat lawan bergerak, ia sudah merobah serangannya menyerampang kaki. Untung
Fajar Legawa tak gampang ditipu. Ia menjejakkan kaki ke tanah kemudian melompat ke
samping.
Tetapi Tohjoyo tidak memberi kesempatan lawan bernapas. Ia sudah melompat sambil
menikamkan senjatanya lagi. Akan tetapi sekarang Fajar Legawa tidak mau berkelit lagi.
Dua tangan pemuda ini sekarang malah terangkat untuk menyongsong senjata lawan.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Karena tak menduga, maka senjata Tohjoyo tertangkap pada bagian yang tidak
tajam. Tohjoyo kaget, ia tak pernah menduga sama sekali bahwa serangannya akan
disambut seperti itu. Tohjoyo mengerahkan tenaga untuk melepaskan senjatanya.
Sebaliknya Fajar Legawa berusaha bertahan.Namun Tohjoyo memang mempunyai
tenaga seperti raksasa. Senjatanya berhasil ditarik, akan tetapi dengan gesit tubuh Fajar
Legawa sudah berkelebat maju. Sekali bergerak tangan pemuda ini sudah mengancam
tenggorokan, sedang sebelah tangannya lagi telah menangkap trisula Tohjoyo.
Serangan tidak terduga ini membuat Tohjoyo kaget bukan main, untung juga
pemuda ini masih dapat melindungi keselamatannya. Ia menggulingkan diri, kakinya
terangkat untuk mendepak dan berbareng itu iapun berusaha menggentak senjatanya.
Fajar Legawa tidak berani nekat. Tengah paha merupakan bagian tubuh yang paling
lemah. Ia bisa menderita celaka apabila bagian itu terpukul, walaupun sesungguhnya
iapun akan dapat memukul Tohjoyo. Daripada harus mengambil risiko, maka Fajar
Legawa memilih melepaskan senjata lawan sambil melompat mundur
Kalau Fajar Legawa melawan Tohjoyo dengan tangan kosong, maka Tumpak
Denta lain. Ia cukup hati-hati dan tidak berani memandang rendah kepada lawan. Secepat
kilat ia sudah mencabut pedangnya untuk melayani Danurwenda. Dan ternyata kemudian
bahwa gerak-gerik Danurwenda lebih cekatan dibanding Tohjoyo. Pemuda ini dengan
senjata goloknya sudah menyerang bertubi-tubi kepada Tumpak Denta.
Dalam waktu singkat empat orang muda itu sudah berkelahi sengit sekali. Para
penduduk desa yang membentengi arena perkelahian itu mengamati dengan jantung
tegang. Diam-diam para penduduk ini khawatir apabila dua jagonya itu sampai tidak
mampu mengalahkan dua orang musuh itu.
Dan agaknya banyak obor kayu yang menyala ditempat itu, menarik perhatian
para penduduk desa yang lain. Mereka berbondong berdatangan, ingin menyaksikan apa
yang sedang terjadi ditempat itu. Dan orang-orang desa yang baru datang ini, kemudian
perhatiannya terpusat kepada mereka yang sedang berkelahi sengit itu.
Setelah berkelahi cukup lama belum juga dapat mendesak Tohjoyo, maka Fajar
Legawa menjadi marah. Ia tidak sedia menggunakan tongkatnya yang ampuh itu, yang
dapat mematahkan senjata lawan. Tetapi sebaliknya apabila ia terus berkelahi seperti
sekarang ini, juga sulit untuk dapat mengalahkan lawan. Mendadak saja timbullah pikiran
Fajar Legawa untuk menggunakan pukulan pamungkas, dengan aji "Panglebur Jagad".
Sebab menurut pendapatnya, hanya dengan jalan ini sajalah ia akan dapat mengalahkan
lawan. Untuk melancarkan pukulan ini, Fajar Legawa segera bersiap diri untuk
menyalurkan tenaganya.
Tohjoyo heran melihat sikap lawannya yang berdiri tegak tak bergerak itu. Dan
pemuda inipun berdiri tegak sambil melintangkan senjata trisulanya didepan dada. Samahttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
sekali Tohjoyo tidak menyadari bahwa sikap Fajar Legawa itu, dapat membuat dirinya
terancam oleh bahaya.
Justeru dalam keadan yang amat gawat ini, tiba-tiba terdengarlah seruan nyaring
yang disusul oleh berkelebatnya sesosok bayangan melompat masuk ke dalam
gelanggang. "Tahan!"
Seruan ini membuat empat orang yang sedang berkelahi itu terkejut. Fajar Legawa
mengurungkan niatnya, sedang Danurwenda dan Tumpak Denta yang tadi berkelahi
sengit, sudah melompat mundur
"Ahhh..........hampar saja!" terdengar suara perempuan. "Untung kami segera
datang."
Empat orang muda yang tadi berkelahi heran, Hampir berbareng mereka menoleh
kearah suara. Tampak oleh mereka, seorang pemuda gagah bersama seorang gadis
bertubuh denok ( montok ) dan wajahnya cukup cantik.
Tohjoyo mengerutkan alis pertanda kurang senang. Lalu tegur pemuda ini. "Adi
Wanengboyo! Mengapa engkau menghentikan perkelahian ini?"
Wanengboyo tertawa. Kemudian jawabnya. "Setelah aku memberi penjelasan,
kakang Tohjoyo akan tahu. Mereka ini bukan orang jahat, dan dia inilah adi Fajar Legawa
yang pernah aku ceritakan kepada engkau."
"Ahhh ............!" Danurwenda dan Tohjoyoberseru hampir berbareng.
Sebaliknya Ayu Kedasih dengan bibir tersenyum manis sudah menghampiri Fajar
Legawa. Tegurnya. "Baik-baik sajakah engkau, tadi?"
"Ya, selamat," sahut Fajar Legawa dengan sikap yang kikuk. Teringatlah pemuda
ini akan pesan Ayu Kedasih didalam sapu tangan.
"Kakang Danurwenda dan kakang Tohjoyo." kata Wanengboyo lagi. "Mengapa
sebabnya kalian berkelahi dengan adi Fajar Legawa dan Tumpak Denta?"
Tohjoyo dan Danurwenda tertegun. Dua orang ini tidak segera menjawab. Dan
Wanengboyo kemudian berkata lagi. "Adi Fajar Legawa dan adi Tumpak Denta.
Iblis Dari Gunung Wilis Karya Widi Widayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Agaknya kalian salah paham. Baik kakangTohjoyo maupun kakang Danurwenda adalah
kakak seperguruanku."
Kemudian kepada Tohjoyo dan Danurwendar ia memberi penjelasan. "Kakang
Tohjoyo dan kakang Danurwenda, mereka ini adalah tamu-tamu kita, sahabat dari
lembah Galunggung, murid-murid paman Suria Kencana."https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
"Ahh.........maafkan aku.........!" seru Tohjoyodan Danurwenda hampir berbareng.
"Bukan kalian," seru Tumpak Denta. "Tetapi kamilah yang mohon maaf atas
kesalah pahaman ini."
Empat orang muda yang semula saling labrak itu, sekarang saling berpelukan.
Dalam hati Tonjoyo dan Danurwenda timbul rasa sesal, mengapa sudah terburu nafsu
dan menuduh dua orang murid Suria Kencana itu sebagai orang orang jahat dari gunung
Ungaran.
Suasana cepat berobah. Kalau tadi amat menegangkan dan akan terjadi salah
seorang melayang jiwanya, sekarang suasana ditempat itu mengasyikkan. Perobahan
suasana itupun mempengaruhi penduduk desa ini. Sekarang sikap mereka kepada Fajar
Legawa dan Tumpak Denta menjadi ramah dan manis. Dan kemudian Fajar Legawa dan
Tumpak Denta, segera mereka ajak menuju balai desa.
Dalam perjalanan menuju balai desa ini, berkatalalawanengboyo kepada
Danurwenda. "Kakang, sungguh beruntung bahwa aku datang disaat yang tepat. Hingga
kesalahpahaman itu tidak berlarut-larut."
Danurwenda mengiakan, kemudian ia bertanya, "Mengapa engkau dan adi
Kedasih bisa kemari?"
Wanengboyo tersenyum. Lalu, "Kedatanganku bersama Ayu Kedasih memang
sengaja. Dari Merbabu, aku langsung datang kemari."
"Kalau begitu, engkau sudah bertemu dengan guru?" sela Tohjoyo.
"Benar. Aku menginap semalam di sana," sahut Wanengboyo. "Kemudian aku
langsung kemari, dengan maksud untuk membantu kesibukanmu menghadapi gangguan
penjahat gunung Ungaran itu."
"Ahhh, terima kasih adi," kata Danurwenda. "Sudah lebih satu tahun aku tidak
pulang kemari. Ternyata desaku ini diganggu penjahat."
"Adakah pesan guru untuk aku dan kakang Danurwenda?"tanya Tohjoyo.
"Ada!" sahut Wanengboyo. "Pertama, guru memberi nasihat agar kakang berdua
bersikap hati-hati menghadapi gangguan penjahat Ungaran. Maka guru melarang kalian
datang menyerbu gunung itu. Dan yang kedua, pada bulan purnama bulan depan kakang
berdua harus kembali lagi ke Merbabu."https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
"Ahhh........." Tohoyo terkejut. "Kalau guru sampai melarang, apakah penjahat
gunung Ungaran itu benar-benar berbahaya?"
"Benar!" sahut Wanengboyo kemudian memberi keterangan. "Raja penjahat itu
mempunyai guru dan sekaligus ayah angkat yang sakti mandraguna. Disamping itu di
sana telah diatur perangkap dan jebakan yang membuat orang akan tersesat. Dan lebih
dari itu, di sana terdapat prajurit yang sukar dikalahkan........."
"Apa?" Tohjoyo kaget. "Apakah prajurit penjahat itu terdiri dari setan dan
siluman?"
"Bukan setan dan bukan siluman" sahut Ayu Kedasih. Akan tetapi karena iapun
mendengar keterangan dari Gajah Seta, maka ia ingin membantu Wanengboyo. "Akan
tetapi prajurit yang sukar ditundukkan itu, terdiri dan ribuan ekor ular berbisa yang amat
berbahaya."
Ayu Kedasih berhenti dan menyapukan pandang matanya kepada Tohjoyo,
Danurwenda, Tumpak Denta dan Fajar Legawa. Kemudan perempuan ini tersenyum,
terusnya. "Dan ular-ular itupun sudah terlatih sehingga dengan aba-aba, ular itu akan
menyerang dari semua jurusan. Hiii.......aku jijik kalau membayangkan ribuan ekor ular
berbisa itu yang bergerak dan mengurung ............"
Penduduk desa yang mendengar keterangan itu menjadi ngeri. Betapa dahsyat
prajurit ular itu apabila menyerang dan mengeroyok. Terluka oleh senjata, orang masih
bisa diselamatkan dengan obat. Akan tetapi orang yang terluka oleh gigitan ular berbisa,
tidak gampang disembuhkan.
Fajar Legawa yang telah merasakan sendiri betapa bahayanya ular-ular itu, diam-
diam tidak bisa membantah kekhawatiran Ayu Kedasih dan Wanengboyo. Kalau saja
ketika itu dirinya tidak tertolong oleh senjatanya yang dapat mengusir ular, ia sendiri tidak
dapat membayangkan, apakah dirinya masih hidup lagi.
Akan tetapi sungguh tidak terduga, tanggapan Tohjoyo lain. Pemuda ini tidak
takut kepada barisan ular itu. Katanya. "Huh, aku tidak takut! Dan aku akan tetap
mencoba untuk mendaki gunung Ungaran. Huh, aku takkan bisa percaya sebelum melihat
dengan mata kepala sendiri dan mengalami keroyokan ular-ular berbisa itu."
Ayu Kedasih dn Wanengboyo tercengang mendengar jawaban Tohjoyo itu.
Gurunya sudah melarang justeru gunung Ungaran itu amat berbahaya. Dan kalau Gajah
Seta sebagai gurunya melarang, tentu saja larangan itu mempunyai alasan cukup kuat.
Guru itu mengkhawatirkan keselamatan murid-muridnya. Akan tetapi mengapa Tohjoyo
ingin nekat?
Tetapi sikap Danurwenda lain. Ia seorang yang tidak gampang terbakar oleh rasahttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
marah dan penasaran. Pemuda ini berpikir, kalau gurunya melarang tentunya sudah
disertai pertimbangan-pertimbangan. Ia pun dapat membayangkan, menghadapi barisan
ular tidak segampang menghadapi lawan manusia. Belum terhitung lagi, Dyah Raseksi
sendiri, anak buahnya dan gurunya yang sakti mandraguna itu.
Walau demikian ia tidak mencela sikap Tohjoyo. Ia kemudian hanya berkata
dengan nada yang sabar, "Biarlah semua ini kita bicarakan dahulu di balai desa nanti
dengan hati dingin dan pertimbangan-pertimbangan. Kita tidak bisa mengabaikan
petunjuk dan larangan guru."
Untuk beberapa saat lamanya mereka berdiam diri. Setelah mereka masuk ke
dalam desa, Fajar Legawa maupun Tumpak Denta tercengang melihat perobahan yang
terjadi di dalam desa ini. Disaat mereka datang di desa ini, tampak sepi, mati tanpa
penghuni. Lengang, kosong, seakan tanpa penghuni. Rumah-rumah tertutup rapat, tiada
lampu atau api menyala. Akan tetapi sekarang desa itu berobah menjadi hidup. Beberapa
wanita dan kanak-kanak tampak menyambut mereka dengan wajah berseri, Pintu-pintu
rumah mereka terbuka lebar. Desa ini telah kembali hidup seperti biasanya.
Menyaksikan keadaan ini, Fajar Legawa dan Tumpak Denta sadar. Bahwa apa
yang dialami tadi memang disengaja dan telah dipersiapkan lebih dahulu.
Agaknya Danurwendapun dapat menduga apa yang dikandung oleh Tumpak
Denta dan Fajar Legawa. Maka ia mendekati, kemudian katanya. "Maafkan aku, bahwa
kehadiran adi Tumpak Denta dan Fajar Legawa tadi disambut oleh keadaan desa yang
kosong. Adi, dalam rangka meningkatkan kewaspadaan yang mendorong kami
melakukan seperti ini."
"Aku juga dapat memahami maksudmu," sahut Tumpak Denta sambil tersenyum.
"Terima kasih adi, apabila engkau dapat memahami keadaan ini," kata Danurwenda.
"Adi, desa ini yang menyaksikan aku terlahir didunia ini. Desa inilah pula kampung
halamanku. Maka sesudah aku mendengar berita bahwa desa ini dan desa-desa sekitarnya
diganggu penjahat, dengan seijin guru,aku pulang kemari. Betapa gemas dan marahku,
sesudah aku mendengar penderitaan perduduk desaku ini oleh gangguan penjahat. Dan
betapa sedih dan penasaranku sesudah aku merdengar pula bahwa beberapa orang
menjadi korban keganasan para penjahat, disamping beberapa orang gadis dan pemuda
hilang tak tentu rimbanya."
Danurwenda berhenti dan menghela napas. Ia merasa sedih atas penderitaan
penduduk dalam desa kelahirannya ini.
"Ahh," katanya seterusnya, "keadaan ini mendorong padaku untuk membakar
semangat mereka, dan melakukan perlawanan. Aku katakan kepada mereka, bahwahttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
apabila kita tidak menyusun kekuatan untuk menghalau mereka, kita akan semakin
ditindas dan semakin menderita. Ya sesudah kubakar semangatnya, ternyata penduduk
desaku ini belum kehilangan semangat seluruhnya. Mereka kemudian menyambut dan
menyetujui rencanaku. Dan oleh karena itu aku segera bertindak dan bekerja. Karena
untuk menyusun kekuatan tidaklah mungkin terlaksana, tanpa mereka memiliki
kepandaian sekalipun sedikit. Maka dengan kemampuanku yang terbatas mereka
kemudian kami latih membela diri dan menggunakan senjata. Namun karena mendadak
dan terdesak oleh waktu, sesungguhnya mereka belum mempunyai arti apa-apa bagi
penjahat yang rata-rata berilnu itu. Akan tetapi meskipun demikian masih ada gunanya
daripada tidak sama sekali. Demikianlah, sejak kedatanganku desa dalam keadaan aman.
Tetapi sore tadi..."
Danurwenda berhenti dan menelan ludah. Beberapa saat kemudian barulah ia
melanjutkan. "Beberapa orang pemuda yang aku bebani tugas sebagai mata-mata
melaporkan, bahwa dari lereng gunung Ungaran tampak tiga orang laki-laki bersenjata
menuju ke bawah. Dan atas laporang itu aku cepat menduga bahwa tiga orang laki-laki
bersenjata itu tentu penjahat-penjahat gunung Ungaran. Secepatnya semua penduduk aku
perintahkan mengosongkan desa. Dalam waktu singkat desa segera kosong. Itulah
sebabnya maka ketika adi Tumpak Denta dan adi Fajar Legawa datang ke desa ini, desa
telah kosong. Disamping itu karena aku mengira bahwa adi berdua memang anggota
penjahat gunung Ungaran itu, maka segera aku perintahkan dua orang pemuda untuk
memancing engkau keluar desa. Itulah adi, mengapa sebabnya tadi kalian menjadi incaran
anak panah. Hemm syukur sekali bahwa sebelum terlanjur runyam, adi Wanengboyo
datang..............."
Tohjoyo yang sejak tadi berdiam diri, mendadak bertanya. "Dimanakah kawanmu
yang seorang tadi?"
"Dia kembali pulang," sahut Tumpak Denta.
"Siapakah dia?" desak Tohjoyo.
"Paman Wukirsari."
"Oh, Wukirsari yang berdiam di Gresik?"
Tumpak Denta mengangguk. Danurwenda dan Tohjoyo saling pandang. Mereka
memang pernahmendengar nama itu yang amat terkenal.
"Sayang," desis Danurwenda, "alangkah untung penduduk desa ini apabila beliau
hadir di sini. Tetapi ahh, mengapa kalian turun dari gunung itu?"
"Kisahnya agak panjang." jawab Tumpak Denta. Kemudian ia memalingkan mukanyahttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
kepada Fajar Legawa. Terusnya. "Adi, ceritakanlah sejelasnya justeru engkaulah yang
lebih tahu."
Ketika itu mereka sudah hampir tiba di balai desa. Obor yang besar dipasang pada
pintu halaman, menerangi sekitarnya. Beberapa orang pemuda bersenjata nampak berdiri
pada dua sisi pintu. Dan disamping itu terdengar pula suara percakapan mereka diseling
suara ketawa dari arah balai desa. Agaknya sementara penduduk desa ini telah
mendahului hadir kebalai desa ini untuk menyambut tamu.
Sambil melangkah ini Fajar Legawa menceritakan semua pengalamannya di
gunung Ungaran yang hampir saja mati. Ia menceritakan secara blak-blakan, kecuali tiga
soal. Ialah tentang tongkatnya yang sanggup mengusir ular, tingkah laku Dyah Raseksi
ketika menawan dirinya, dan cintanya kepada Pertiwi Dewi. Baik Danurwenda, Tohjoyo
maupun para penduduk yang mengiring mendengarkan penuh perhatian. Dan ketika
mendengar bahwa baik Wukirsari maupun Gadung Melati tak sanggup menaklukkan
penjahat Ungaran itu, membuat semangat Tohjoyo menurun. Kalau ia tadi begitu
bersemangat akan datang ke sana dan menghancurkan gerombolan penjahat itu, sekarang
harus berpikir panjang lebih dahulu.
Agaknya pemuda-pemuda yang berjaga pada pintu halaman balai desa itu, lebih
dahulu telah memberitahukan kedatangan rombongan tamu ini. Terbukti beberapa puluh
penduduk laki-laki dan perempuan, berbondong menuju balai desa.
Melihat semua itu Ayu Kedasih tidak kuasa menahan hati. Tanyanya. "Kakang
Danurwenda. Apakah kakang memerintahkan kepada Mereka untuk menyambut kami?"
"Tidak!" sahut Danurwenda sambil tertawa. "Tetapi aku tahu bahwa mereka
sendiri yang ingin menyambut kalian. Tentunya sebagai pernyataan terima kasih atas
perhatian kalian terhadap penderitaan mereka."
Terdengar suara ketawa Ayu Kedasih yang merdu. Kemudian. "Bukankah sudah
merupakan kewajiban kami untuk membantu mereka? Bukankah begitu, adi Fajar
Legawa?"
Fajar Legawa yang memang melangkah berdampingan denganAyu Kedasih
tersenyum. Jawabnya kemudian. "Engkau benar."
Balai desa itu terang-benderang oleh sinar lampu minyak kelapa dan beberapa
obor kayu. Dan balai desa yang cukup luas itu telah terbentang tikar pandan yang bersih,
untuk tempat duduk para tamu.
Para penduduk desa ini tampak tercengang menyaksikan Ayu Kedasih
menyandang senjata dan tampak gagah, disamping cantik jelita. Beberapa orang gadishttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
saling sentuh. Agaknya kehadiran Ayu Kedasih membangkitkan semangat gadis-gadis
desa ini, untuk ikut serta berjuang membantu para pemuda atau ayah mereka menghalau
penjahat.
Sesudah mereka semua menempatkan diri, Danurwenda segera memperkenalkan
Fajar Legawa, Tumpak Denta, Wanengboyo dan Ayu Kedasih. Mereka datang ke desa
ini, semua akan memberi bantuan kepada penduduk desa Sumberrejo untuk menghalau
penjahat.
Tepuk tangan menggemuruh dari penduduk desa Sumberrejo ini, mendengar
Iblis Dari Gunung Wilis Karya Widi Widayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
penjelasan Danurwenda. Fajar Legawa menebarkan pandang matanya kepda mereka
yang hadir, bibirnya tersenyum, akan tetapi diam-diam pemuda ini terharu. Namun di
samping itu sesungguhnya Fajar Legawa ingin tahu, siapakah sesungguhnya Lurah Desa
ini? Tetapi karena ia tidak bisa menemukan orang yang pantas dengan kedudukannya
sebagai "raja kecil" di desa itu, maka kemudian ia bertanya kepada Tohjoyo. "Kakang,
agaknya pak Lurah tidak ada disini. Mengapa?"
Tohjoyo menghela napas. Kemudian ia menjawab dengan nada tidak lancar. "Adi,
benarlah dugaanmu. Lurah itu sesungguhnya .........ayahku sendiri. Tetapi .........ayah
sudah tiada lagi............... Ayah telah menjadi korban keganasan............ penjahat
Ungaran itu........."
"Ahhh........." hampir berbareng Tumpak Denta dan Fajar Legawa berseru
tertahan.
Maklumlah sekarang mengapa Tohjoyo bersikap keras sekali terhadap penjahat
gunung Ungaran, dan menganggap dirinya akan mampu mengalahkan penjahat Ungaran
itu. Saking gemas, penasaran dan sakit hatinya kepada penjahat itu, ia ingin menentang
nasihat gurunya. Memang dapat dimengerti betapa sakit hati pemuda ini, dan betapa pula
keinginannya dapat membalas dendam.
"Ayah menjadi korban yang pertama kali......" Tohjoyo meneruskan
penuturannya. "Ketika penjahat mengganggu desa ini, ayah.........melawan ...dengan
gigih dan tak kenal takut. Akan tetapi .........akhirnya ayah tidak berdaya karena dikeroyok
belasan penjahat. Hemm ......... peristiwa itu membuat hatiku ini sakit ......... Dan itulah
sebabnya aku bersikeras untuk menyerbu kesana......"
Tohjoyo mengeluh. Sedang Fajar Legawa dan Tumpak Denta yang mendengar
menjadi terharu. Mereka dapat mengerti betapa dendam dan sakit hati pemuda ini kepada
penjahat gunung Ungaran. Namun demikian, apabila tanpa memperhitungkan kekuatan
akibatnya akan lebih runyam. Ibarat datang ke gunung Ungaran hanya akan
mengantarkan nyawa. Usaha membalas dendam itu tak terkabul malah menjadi korban
penjahat yang ganas itu. Hal ini harus dicegah. Dan Tohjoyo harus bisa disadarkan,https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
bahwa penyerbuan ke gunung itu bukanlah jalan yang terbaik.
Ketika itu sementara orang muda membawa hidangan. Hidangan yang
disumbangkan penduduk desa ini dengan gotong-royong, dalam usaha mereka untuk
menyambut tamu-tamu mereka yang terhormat. Kemudian mereka makan bersama-
sama, hingga pertemuan itu tambah meriah. Mereka makan dengan lahap.
Sesungguhnya makanan yang dihidangkan itu sederhana saja. Bukan merupakan
makanan yang dimasak secara istimewa. Dalam keadaan rakyat menderita masih dapat
menyelenggarakan sekadar hidangan itu, sudah merupakan keuntungan bagi Fajar
Legawa dan yang lain.
Selesai makan, mereka tidak juga istirahat. Mengingat kewajiban mereka untuk
mengawal keamman desa ini. Mereka yang tua, kanak-kanak dan perempuan
memundurkan diri, akan tetapi para muda secara bergilir selalu dalam keadan siaga dan
waspada.
Di saat balai desa sudah tidak semeriah tadi itu. Danurwenda mengamati Fajar
Legawa. Kemudian katanya. "Adi, selaras dengan keteranganmu tadi jelas bahwa
penjahat gunung Ungaran itu kuat sekali. Oleh sebab itu saya mohon agar kalian berdua
tidak segera pergi dan meninggalkan desa ini, dan sedia membantu dan memperkuat
barisan kami."
"Benar!" sambut Wanengboyo. "Kasihanilah penduduk desa ini yang setiap saat
terancam oleh bahaya maut. Penjahat gunung Ungaran itu amat ganas, disamping kuat
pula. Dengan bantuan adi Fajar Legawa dan adi Tumpak Denta, akan membuat kami
lebih mantap lagi menghadapi gangguan penjahat gunung Ungaran."
"Dan akupun mengharap pula kesediaan kalian," Ayu Kedasih ikut memperkuat. "Aku
yakin dan percaya, bahwa baik adi Fajar Legawa maupun adi Tumpak Denta tiada
keberatan membantu kami."
Tumpak Denta dan Fajar Legawa berpandangan. Guru mereka mengharap
kedatangan mereka. Dan sesungguhnya untuk menolak permintaan mereka itu, juga tidak
sampai hati. Justeru permintaan bantuan itu untuk tugas kemanusiaan.
Malah merupakan kewajiban yang tak terbantah bagi setiap pengabdi kemanusiaan
dan keadilan, setiap saat menyingsingkan lengan membantu sesama hidup yang
memerlukan bantuan dan tenaganya.
"Guru akan dapat memaafkan kelambatanku," pikir Tumpak Denta, sesudah
mempertimbangkan beberapa saat lamanya. Dan kemudian kata pemuda ini. "Baiklah.
Akudan adi Fajar Legawa tak dapat menolak permintaan kalian."https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
"Terima kasih," ujar Danarwenda. "Dengan bantuan kalian, kekuatan desa
Sumberejo ini akan berlipat ganda."
Ayu Kedasih berseri wajahnya Dengan sepasang matanya yang bening,
perempuan ini banyak kali mencari kesempatan untuk memandang Fajar Legawa. Dan
entah apa sebabnya, Fajar Legawa sendiri tanpa sesadarnya seringkali pula memandang
Ayu Kedasih. Akan tetapi setiap melihat dada yang montok itu, tiba-tiba saja Fajar Lewa
merasa malu. Teringatlah pemuda ini akan pengalamannya waktu itu, bahwa payudara
Ayu Kedasih hampir menyentuh ujung hidungnya,
"Ahh, kakang Danurwenda terlalu berkelebihan," kata Tumpak Denta.
"Tidak berlebihan," sahut Ayu Kedasih tiba-tiba. "Tenaga gabungan ini
manfaatnya akan besar sekali. Dan kakang Danurwenda maupun kakang Tohjoyo akan
bisa sesumbar kurang lebih begini. Hai penjahat gunung Ungaran. Hayo gerakkanlah
seluruh kekuatanmu. Saleksa ngarsa, saketi wuri. Rakyat Sumberrejo takkan gentar
menghadapimu. Hamuk! Hamuk! Hamuk!"
Mereka yang mendengar tertawa. Balai desa itu menjadi riuh, sehingga pertemuan
itu lebih akrab lagi.
Ketika itu wktu sudah hampir tengah malam. Terpikir oleh Danurwenda untuk
meninjau keadaan. Sebab akan berbahayalah para pemuda yang bertugas mengawal desa
Sumberrejo itu sembrono, karena kurang pengawasan. Tumpak Denta setuju pendapat
ini, malah kemudian sedia pula ikut serta meninjau keadaan.
Danurwenda, Tohjoyo dan Tumpak Denta kemudian berangkat bersama-sama
meninjau keadaan. Yang tinggal di balai desa hanyalah Ayu Kedasih, Wanengboyo dan
Fajar Legawa. Sedang sementara pemuda masih mengobrol dan bercanda di halaman
balai desa.
"Adi Fajar, aihh sayang sekali bahwa ketika itu engkau cepat pergi," kata
Wanengboyo kepada Fajar Legawa. "Kapan lagikah engkau sera-. pat mengunjungi aku
ke sana? Pintu rumah Ayu Kedasih akan selalu terbuka setiap waktu menerima
kedatanganmu."
"Ahh, adi Fajar Legawa sudah kapok kakang, tak mungkin mau berkunjung ke
rumahku." Sahut Ayu Kedasih sambil tersenyum, "Salahmu sendiri kakang
Wanengboyo, engkau tidak dapat membeli beras, hingga adi Fajar Legawa hanya engkau
beri hidangan tiwul."
Fajar Legawa tertawa. Dan Wanengboyo ketawa bergelak-gelak.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
"Ahh, bukan disebabkan aku tak mau pergi ke sana mbakyu." kata Fajar Legawa."
"Tetapi waktu memang belum mengijinkan. Sampai saat ini aku belum juga tahu jejak
adikku yang hilang. Aku belum tahu nasib Irma Sulastri. Sebab aku berhadapan dengan
perkara-perkara baru yang muncul diluar dugaanku."
"Jadi............sampai sekarang belum ketemu...........?" Ayu Kedasih melengak
kaget.
Fajar Legawa menghela napas berat. Tiba-tiba saja hatinya terasa pedih sesudah ia
teringat kepada adiknya yang belum dikeianui nasibnya itu. Terdesak oleh persoalan-
persoalan baru yang terjadi, sehingga ia lupa kepada tujuan yang semula, mencari adiknya
yang hilang. Apa pula ketika ia teringat kembali akan orang tuanya yang mati terbunuh
olen penjahat. Ia bertambah sedih lagi. Timbul perasaannya yang berdosa, mengapa tidak
segera dapat menemukan jejak pembunuh orang-tuanya itu.
"Aku tidak tahu," Fajar Legawa kemudian mengeluh. "Apakah masih hidup
ataukah sudah mati. Semula aku menduga penjahat itu anak buah Juru Demung. Dan
aku telah ke sana, tetapi tidak dapat aku ketemukan. Aku menjadi bingung sendiri,
kemanakah aku harus mencari?"
"Tetapi mudah-mudahan Tuhan melindunginya," Ayu Kedasih yang terharu,
menyatakan perasaannya. "Dan aku berjanji untuk membantu usahamu
"Aku kira kakang Danurwenda dan kakang Tohjoyopun bersedia membantu
usahamu." Wanengboyo menyambung.
"Terima kasih." sambut Fajar Legawa dengan hati bersyukur. "Aku takkan
berhenti berusaha sebelum menemukan jejak pembunuh orang tuaku. Entah berapa
tahun, enah berapa windu. pendeknya aku akan berusaha terus."
Wanengboyo dan Ayu Kedasih makin terharu dibuatnya. Mereka dapat
memahami derita batin Fajar Legawa sekarang ini. Orang tua yang dicintai mati dibunuh
orang, sedang adiknya diculik pula.
"Sudahlah, lupakan dahulu soal itu," hibur Ayu Kedasih kemudian.
"Anggaplah peristiwa itu sebagai pupuk. Dan aku yakin seyakin-yakinnya banwa
keadilan Tuhan Akan berlaku juga. Segala kejahatan akhirnya akan terbongkar juga."
Fajar Legawa tersenyum, sekalipun hatinya amat perih. Peristiwa yang menimpa
keluarganya tidak cukup untuk disesalkan dan disedihkan. Peristiwa itu hanya dapat
diselesaikan dengan usaha. Usaha yang tidak kenal putus asa. Apa pula jika diingat bahwa
peristiwa-peristiwa yang berlaku di dunia ini selalu berlawanan. Ada gelap dan ada terang.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Ada sedih dan ada pula gembira. Mengapa harus takut akan derita didalam hidup ini?
Hidup takkan luput dari apa yang disebut derita. Dan inilah arti hidup sesunpguhnya.
Derita dan kesulitan hidup akan mendorong manusia semakin dewasa berpikir. Dan
manusia yang takut akan derita, manakah mungkin dapat maju dan mencapai cita-
citanya? Namun demikian semua itu memang memerlukan kesadaran. Dan oleh
kesadaran itu, manusia dapat merasa bahwa hidupnya ini memang tidak dapat lepas dari
takdir dan ketentuan yang sudah digariskan oleh Tuhan. Hanya manusia yang percaya
akan garis dan takdir saja, di dunia ini akan dapat hidup bahagia.
Tak lama kemudian kembalilah rombongan Danurwenda dari tugas
peninjauannya. Baru melangkah kaki masuk ke dalam balai desa, Danurwenda sudah
berkata. "Bersyukurlah kita kepada Tuhan bahwa malam ini desa kita aman. Para pemuda
masih tetap berjaga di tempat masing-masing, dan tidak menemukan eorangpun yang
uencurigakan."
"Ya, syukurlah!" sambut Wanengboyo gembira. "Dan mudah-mudahan saja
keadaan berkembang dengan baik. Agar dalam waktu singkat desa ini dan desa-desa
sekitarnya kembali aman. Karena guru telah memerintahkan kita, agar hari malam Jumat
Kliwon, tanggal 15 bulan delapan, kita sudah berada di sana."
"Apakah sesungguhnya maksud guru?" tanya Tohjoyo seraya mengambil tempat
duduk. "Adakah pesan guru?"
Wanengboyo menggelengkan kepala. Jawabnya. " Guru tidak menyatakan
sesuatu! Hanya mengatakan bahwa pada hari itu kita harus sudah bersiap diri di sana."
"Mungkinkah guru akan memberi ilmu baru kepada kita?" desak Tohjoyo.
"Mungkin," sambut Danurwenda. "Hari yang bagus itu merupakan kesempatan
yang paling baik. Tentunya guru tidak akan melewatkan begitu saja hari keramat itu."
"Kalau benar guru akan memberi ilmu baru maka hal itu akan aku sambut dengan
senang hati. Akan tetapi apabila tidak, aku akan melewatkan kesempatan itu."
"Mengapa?" Wanengboyo tampak kaget dan heran. "Bukankah merupakan
kewajiban seorang murid selalu patuh kepada perintah guru?"
"Hemm, bukannya aku tidak patuh dan akan menentang perintah guru," jawab
Dewa Linglung 26 Gempar Aji Karang Rogo Pendekar Rajawali Sakti 163 Cakar Maut