Pencarian

Iblis Dari Gunung Wilis 7

Iblis Dari Gunung Wilis Karya Widi Widayat Bagian 7



sebagai ujian untuk melihat ketangkasanmu."

"Ujian?" sahut Putut Jantoko heran. "Murid harus berbuat apa kepada gadis cantik

dan menggiurkan ini?"

"Heh-heh-heh, tidak sulit. Hayo gunakan dua tanganmu untuk menelanjangi gadis

itu. Heh-heh-heh, ingin sekali aku dapat melihat barang sebentar, bagaimana gadis ini

kalau tanpa ditutup oleh busana."

"Bagus heh-heh-heh, anjuran guru amat bagus! Murid akan melakukan dengan

baik dan sudilah guru memperhatikan."

Bukan main marah Nawang Wulan mendengar itu. Sambil melengking nyaring ia

mempercepat serangannya. Kaki dan tangannya bergerak untuk menghajar lawan yang

kurang ajar itu.

Akan tetapi apa harus dikata kalau dirinya memang bukan lawan Putut Jantoko?

Benar gadis ini mempunyai kelebihan dalam hal gerak cepat. Tetapi saat sekarang ini ia

dilanda oleh kemarahan yang menggelegak dalam dada. Orang yang tengah berkelahi,

pantang untuk marah, justeru pengaruh rasa marah itu akan merugikan diri sendiri. Sebab

bagaimanapun, orang yang dilanda rasa marah tentu kurang pengamatan diri.

Pantangan yang telah menjadi pedoman tidak terulis itu, tak lama kemudian terjadi

juga, dan menimbulkan rugi kepada Nawang Wulan.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

"Brettt.........!" baju Nawang Wulan telah robek oleh renggutan jari Putut Jantoko.

Dan saking kaget, gadis ini telah memekik nyaring.

Nawang Wulan marah disamping malu. Robeknya baju menyebabkan dada yang

kuning itu terbuka, dan hanya tertutup oleh kain penutup dada. Gadis ini kemudian

melompat mundur sambil berusaha mengembalikan letak bajunya. Akan tetapi karena

robek, baju itu hanya mau menutup apabila dipegang oleh tangan.

Klenting Mungil gembira sekali dapat menonton baju gadis itu robek. Sambil

tcrkekeh, kata kakek kepala gede itu. "Bagus Putut! Hayo jangan tanggung-tanggung.

Lekas te?anjangilah dia."

"Baik guru, akan segera murid laksanakan."

Penjahat muda itu sudah melompat maju. Tetapi tiba-tba Putut Jantoko berteriak

kaget, dan tubuhnya terhuyung ke belakang, sedang dada dirasakan sesak.

"Kurang ajar kau!" bentak seseorang menggeledek.

Sekarang Putut Jantoko baru sadar bahwa dirinya tadi terdorong oleh hawa

pukulan yang amat dahsyat dari seorang kakek berkepala gundul dengan jenggot kambing.

"Ya Allah ........." menyusul terdengarlah seruan orang yang kaget, menyaksikan

apa yang sudah terjadi di tempat ini.

Agaknya memang belum saatnya Nawan Wulan harus mengalami nasib buruk dan

mengalami hinaan dari guru dan murid itu. Tuhan telah mengulurkan tangan memberi

pertolongan, lewat hadirnya Wukirsari dan Gadung Melati tiba-tiba. Dan oleh pukulan

Gadung Melati tadi, maka Putut Jantoko terhuyung ke belakang dan dada dirasakan

sesak.

Kalau Putut Jantoko menjadi kaget oleh hadirnya dua orang tua ini, sebaliknya

Klenting Mungil ketawa terkekeh-kekeh. Sesudah puas tertawa, kemudian kakek

berkepala gede ini berkata. "Hai, apa maksudmu datang ke mari dan menggangggu?"

Sepasang mata Gadung Melati berkilat-kilat menatap tajam kepada Klenting

Mungil. Kemudian dengan lantang kakek gundul ini menjawab. "Klenting Mungil.

Apakah salah tiga orang itu dan juga gadis ini?"

"Heh-heh-heh, tanyakanlah sendiri kepada mereka!" Sahut Klenting Mungil

angkuh.

"Kurang ajar. Huh, engkau sombong sekali!" teriak Wukirsari. "Patutkah

perbuatanmu semacam ini, yang berbuat sekehendak hati tanpa ingat perikemanusiaan?"

"Heh-heh-heh, sejak dulu sampai sekarang engkau masih juga pintar pidato dan

mencela orang!" ejek Klenting Mungil. "Aku ingin berbuat aku lakukan. Siapakah dapat

melarang? Huh-huh, orang yang berkelahi, kalau tidak menang tentu kalah. Nah, kalau

mereka sekarang hampir mampus, bukankah itu salah mereka sendiri yang tidak becus?"https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

"Tetapi mereka kau robohkan secara curang!" teriak Gadung Melati. "Engkau

menggunakan racun jahat!"

Dalam marahnya Gadung Melati tidak ingin banyak mulut lagi. Ia memalingkan

muka kepada Wukirsari, kemudian katanya lagi. "Kakang, tolonglah mereka. Huh,

biarlah aku membereskan penjahat tua itu."

Akan tetapi Klenting Mungil hanya tertawa mengejek. Kakek kepala gede ini

justeru sudah lama kenal baik kepada Gadung Melati maupun Wukirsari. Bagi Klenting

Mungil, dua orang kakek ini hanyalah semacam bocah-bocah ingusan yang tidak perlu

ditakuti. Maka ketika Gadung Melati telah menerjang sambil melancarkan pukulannya,

kakek kepala gede ini segera menyambut.

"Plak.........!" dua tangan berbenturan dan menimbulkan suara nyaring. Gadung

Melati terhuyung ke belakang dua langkah, sebaliknya Klenting Mungil hanya bergoyang-

goyang. Melihat itu Putut Jantoko menyeringai senang. Dan tanpa sesadarnya penjahat

ini sudah berseru. "Mampuslah!"

Namun sesungguhnya dugaan Putut Jantoko ini keliru. Terhuyungnya Gadung

Melati ke belakang itu bukan berarti kalah tenaga. Hal itu dilakukan oleh Gadung Melati

dalam usahanya memunahkan tenaga pukulan lawan. Sebaliknya Klenting Mungil yang

angkuh mempertahankan diri di tempat, sehingga tubuhnya bergoyang-goyang.

Namun justeru oleh keangkuhannya ini Klenting Mungil menderita sendiri. Isi

dadanya tergoncang, dan sedikit banyak sudah menderita luka dalam.

Akan tetapi jsteru isi dadanya tergoncang ini, Klenting Mungil menjadi marah.

Sambil menggeram keras kakek berkepala gede ini sekarang menerjang. Dan akibatnya

pula, dua orang kakek itu sekarang berkelahi sengit.

Wukirsari seperti tidak memperdulikan mereka yang berkelahi. Perhatian

dicurahkan sepenuhnya untuk memberi pertolongan kepada Fajar Legawa dan Tumpak

Denta yang menderita keracunan. Lebih dahulu dengan menggunakan alat, ia mencabut

jarum-jarum yang menancap pada dada dan pundak. Sesudah itu Wukirsari

menggunakan semacam benda yang bentuk dan ujungnya mirip dengan batu. Benda itu

kemudian ditempelkan pada luka. Yang terjadi sungguh mengherankan. Batu itu

kemudian menempel dan seperti berakar ke dalam daging.

Batu itu memang batu anti racun. Batu yang ajaib menurut kemauan alam. Apabila

ditempelkan ke luka yang beracun, maka batu itu akan menempel seperti berakar dalam

daging. Batu itu takkan mau lepas sebelum racun pada luka itu terkuras habis. Sebaliknya

batu itu akan lepas apabila telah berhasil menyedot semua racun.

Demikianlah, dengan pertolongan batu ajaib ini, maka Wukirsari dapat

mengeluarkan racun yang mengeram dalam tubuh Tumpak Denta dan Fajar Legawa

tanpa kesulitan. Kemudian setelah semua racun habis, luka bekas jarum itu kemudian

dibubuhi obat yang dikeluarkan dari saku.

Akan tetapi kemudian Wukirsari terkesiap ketika mendengar suara isak tangis dihttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

dekatnya. Ketika ia mengangkat kepala, barulah ia sadar bahwa di samping Tumpak

Denta dan Fajar Legawa masih ada korban lain. Wukirsari melihat bahwa wajah

perempuan itu sudah pucat pasi, sedang napasnya satu-satu.

"Ahhh, Dewayani......." desis kakek ini sambil bangkit dan menghampiri, ketika

mengenal kembali, bahwa perempuan yang menggeletak dan ditangisi gadis itu adalah

Dewayani. Perempuan perkasa, isteri salah seorang sahabatnya.

Wukirsari mengeluh ketika melihat luka yang. diderita Dewayani. Luka

perempuan itu cukup parah. Dan pemeriksaan pada nadi Dewayani, jelas sekali bahwa

nadi itu sudah sangat lemah.. Harapan untuk menolong sudah tidak mungkin lagi. Luka

dalam yang diderita oleh Dewayani parah sekali, sehingga alat di dalam tubuh telah rusak.

Meskipun demikian, Wukirsari masih juga berusaha, ia mengambil sebutir obat

kering. Sambil memberikan kepada gadis itu, Wukirsari berkata. "Kunyahlah obat ini

sampai hancur. Kemudian minumlah air, lalu minumkan kepada ibumu!"

Nawang Wulan mengerti maksud kakek ini. Iapun menurut, obat itu dikunyah dan

kemudian ia minum. Akan tetapi baik obat dan air itu tidak ditelan, lalu dari mulut ke

mulut obat itu disemburkan ke dalam mulut ibunya.

"Siapakah engkau, anak?" tanya Wukirsari.

"Saya .........saya anaknya ......... sahut Nawang Wulan.

"Anaknya ......... Ya Allah, engkau anak Dewayani?"

Dan Nawang Wulan mengangguk sambil mengamati wajah ibunya.

Justeru pada saat itu terdengarlah suara Gadung Melati yang menggeram seperti

seekor kerbau marah. Wukirsari terkesiap. Ia cukup paham, apabila adik sepergurannya

menggeram seperti itu, merupakan pertanda menghadapi kesulitan, ia cepat memalingkan

muka, dan benar dugaannya. Gadung Melati gerakan-gerakannya kesulitan, pertanda

telah menderita luka di dalam tubuh. Hanya oleh semangatnya yang pantang menyerah

saja, membuat kakek berjenggot kambing itu masih terus memberi perlawanan.

Akan tetapi Wukirsari tak tahan lagi. Ia cepat melompat sambil berseru nyaring.

"Mundurlah! Kau tidak mampu melawan bangsat kepala gede itu."

Sesungguhnya saja Gadung Melati masih amat penasaran. Akan tetapi apa yang

dikatakan kakak seperguruannya benar. Dirinya sudah menderita luka didalam dan tidak

mungkin meneruskan perlawanan lagi. Maka kakek berjenggot kambing ini segera

meloncat keluar dari gelanggang, kemudian diganti oleh Wukirsari.

"Heh-beh-heh," Klenting Mungil ketawa terkekeh mengejek. "Majulah berbareng

dan keroyoklah aku. Huh, agar aku tidak terlalu banyak membuang waktu."

"Tutup mulutmu!" bentak Wukirsari yang tersinggung.

Tetapi bentakan itu hanya disambut oleh ketawa Klenting Mungil yang terkekeh-https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

kekeh. Orang berkepala gede ini seakan tidak memandang sebelah mata kepada

Wukirsari.

"Heh-heh-heh, tumplaklah semua ilmu ajaran gurumu. Sangkamu Klenting

Mungil takut?"

Makin meledak kemarahan Wukirsari, nama gurunya disinggung-singgung.

Seperti kilat cepatnya Wukirsari sudah melompat sambil melancarkan pukulannya. Angin

yang dahsyat segera menyambar. Akan tetapi masih dengan ketawa mengejek, tanpa

kesulitan Klenting Mungil dapat memunahkan.

Seperti yang terjadi dengan Gadung Melati tadi. Dalam waktu singkat dua orang

kakek ini telah berkelahi sengit sebali. Gerakannya amat cepat, sehingga tubuh mereka

seperti lenyap tiba-tiba dan hanya warna pakaian mereka saja, yang berkelebat berpindah-

pindah. Pada mulanya Putut Jantoko masih dapat menyaksikan mereka yang berkelahi

itu. Akan tetapi setelah perkelahian itu tambah lama, pandang mata Putut Jantoko

menjadi kabur dan pening.

Gadung Melati duduk bersila sambil memejamkan mata dalam usahanya

mengobati luka dalam tubuhnya. Hingga kakek ini tidak sempat menyaksikan kakak

seperguruannya yang sedang berkelahi sengit.

Akan tetapi setelah ratusan jurus lewat, dari sedikit Wukirsari merasakan tekanan

lawan yang makin lama menjadi semakin berat. Dan diam-diam kakek ini menjadi sadar

bahwa bagaimanapun, Klenting Mungil masih setingkat di atas dirinya.

"Plak plak buk buk............!" setiap kali terjadi saling pukul, kemudian dua orang

kakek itu berdiri tegak saling menaksir. Hanya sejenak, kemudian mereka sudah saling

labrak lagi dengan cepat. Kemudian pada suatu kesempatan yang amat baik, Klenting

Mungil terpukul dadanya oleh tinju Wukirsari. Akibatnya kakek kepala gede ini memekik

marah sambil terhuyung ke belakang dua langkah. Kemudian melompat ke depan sambil

melancarkan serangan balasannya.

Berapa lama kemudian terdengar lagi suara pukulan yang keras berkali-kali.

Wukirsari terhuyung ke belakang seperti layangan putus, dan sesudah muntah darah

kakek ini langsung roboh. Tidak terkecuali Klenting Mungilpun muntah darah segar.

Namun kakek kepala gede ini tidak roboh kemudian tanpa memperdulikan apa-apa lagi,

kakek ini telah duduk bersila sambil memejamkan mata, mengatur pernapasan sambil

berusaha meringankan derita, akibat terluka dalam cukup parah.

Namun baru sejenak Klenting Mungil duduk bersila ini, ia terpaksa bangkit lagi

dan melayani serangan Gadung Melati. Sesungguhnya Klenting Mungil menderita luka

berat, namun demikian daya tahannya memang luar-biasa, hingga masih dapat melayani

Gadung Melati yang mengamuk seperti kerbau gila.

Saat sekarang ini Gadung Melati memang amat marah di samping terkejut, ketika

menyaksikan kakak seperguruannya roboh. Maka tanpa memperdulikan dirinya sendiri

yang menderita luka didalam, kakek berjenggot kambing ini menyerang seperti kerbau

gila.

Dengan mata yang basah Nawang Wulan menyaksikan apa yang terjadi. Gadis inihttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

menjerit kaget ketika melihat Wukirsari roboh oleh pukulan Klenting Mungil. Dan

sebagai akibatnya, harapan satu-satunya sekarang tergantung kepada Gadung Melati.

Apabila kakek yang gundul itu tak juga kuasa mengalahkan Klenting Mungil, tiada

harapan lagi bisa hidup.

Tetapi tiba-tiba ia teringat kepada tongkat pemuda penolongnya tadi, yang

sanggup menahan tongkat Putut Jantoko. Dirinya sendiri belum terluka, dan sementara

itu Putut Jantoko masih dalam keadaan segar bugar. Teringat kepada penjahat itu tiba-

tiba saja gadis ini amat marah. Terpikir kemudian oleh gadis ini, akan melawan Putut

Jantoko dengan tongkat. Dan tiba-tiba ingatan gadis inipun melayang kembali kepada

peristiwa ketika ia ditolong oleh Fajar Legawa di dalam sarang Juru Demung. Dengan

tongkat itu Fajar Legawa berhasil membuat semua penjahat ketakutan. Sebab setiap
Iblis Dari Gunung Wilis Karya Widi Widayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

senjata yang berbenturan dengan tongkat, kemudian akan patah.

Tiba-tiba saja semangat gadis ini bangkit. Ia menghampiri tongkat Fajar Legawa

yang menggeletak di atas tanah. Dan kemudian dengan senjata tongkat ini, Nawang

Wulan berjaga diri.

Perkelahian antara Gadung Melati dengan Klenting Mungil tidak cukup lama.

Gadung Melati yang sudah menderita luka dalam itu, akhirnya harus mengakui

keunggulan Klenting Mungil. Ketika Gadung Melati berhasil memukul pundak Klenting

Mungil, kakek kepala gundul ini harus membayar dengan mahal. Ternyata Klenting

Mungil sengaja memancing Gadung Melati, dengan memberi kesempatan untuk

memukul pundaknya. Akan tetapi di saat Gadung Melati terpancing, secepat kilat

Klenting Mungil sudah membalas dan mengenakan dada secara tepat. Akibatnya cukup

hebat. Tubuh Gadung Melati terhuyung kebelakang, sesudah muntah darah segar. Kakek

inipun kemudian roboh seperti kakak seperguruannya.

Namun akibat pukulan Gadung Melati juga hebat. Walaupun yang terpukul hanya

pundak, tetapi pukulan itu menambah goncangan isi dada yang sudah menderita luka

dalam. Klenting Mungil muntah darah segar, dan kemudian kakek ini jatuh terduduk.

Melihat semua itu, hati Nawang Wulm tidak keruan rasanya. Ibunya menderita

luka hebat akibat Klenting Mungil. Kemudian dua orang kakek yang datang dan berusaha

menolongpun, sekarang harus menderita hebat oleh kakek kepala gede itu. Apakah

dirinya sekarang hanya berdiam diri dan membiarkan orang lain menderita? Tidak! Ia

menggenggam erat tongkat Fajar Legawa. Timbullah tekadnya kemudian, bahwa

sekarang dirinya harus mengatasi keadaan.

Mendadak gadis ini melengking nyaring sambil melompat maju untuk menyerang

Klenting Mungil. Gadis ini cukup cerdik, sehingga tahu bahwa Klenting Mungil

menderita amat parah, dan sekarang sedang berusaha mengobati luka dengan mengatur

pernapasan. Dan dalam keadaannya yang demikian, tentu kakek itu sulit dapat

menghindari serangannya yang mendadak.

Putut Jantoko kaget dan gugup. Gurunya sedang dalam keadaan gawat, dan

seorangpun tidak bo1eh mengganggunya. Secerat kilat Putut Jantoko melompat dan

menyambut serangan itu dengan tangkisan tongkatnya.

"Trang.......!" benturan dua tongkat tidak dapat dihindarkan lagi. Nawanghttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Wulan memekik nyaring dan pucat, sebab akibat benturan yang keras tadi tongkat itu

telah lepas dari tangan, sedang lengannya seperti lumpuh mendadak.

"Heh-heh-heh," Putut Jantoko terkekeh mengejek. Dan sesudah menyimpan

tongkatnya lagi, ia melompat ke depan untuk menangkap Nawang Wulan.

Nawang Wu1an kebingungan. Sekarang dirinya tidak bersenjata lagi, dan untuk

melawan tidak mungkin. Dalam gugup dan bingungnya ini kemudian ia lari, yang

kemudian diuber oleh Putut Jantoko dari belakang. Akan tetapi Nawang Wulan teringat

kembali kepada ibunya yang menderita amat parah. Ia tidak tega meninggalkan ibunya,

maka gadis ini kemudian hanya lari berputaran.

"Bagus!" seru Putut Jantoko. "Mari kita main kejar-kejaran anak manis. Heh-heh-

heh, aku ingin melihat, engkau dapat berbuat apa sesudah payah?"

Nawang Wulan tidak membuka mulut, Gadis ini terus berlarian berkitaran

menghindari jangkauan Putut Jantoko. Masih untung ia lebih lincah dan dapat bergerak

lebih gesit. Maka walaupun Putut Jantoko berusaha mengejar dan menangkap, usaha itu

tidak gampang bisa terwujud.

Demikianlah, di antara enam orang yang menderita luka parah itu, mereka terus

berkejaran dan dibakar oleh terik matahari. Dan dalam usahanya untuk dapat

menyelamatkan diri ini, maka sambil berlari Nawang Wulan memungut apa saja yang

dapat dipergunakan sebagai senjata. Kadang batu, kadang dahan kayu, akan tetapi semua

itu seperti tiada gunanya menghadapi Putut Jantoko.

Dan justeru perlawanan Nawang Wulan sambil lari ini, membuat Putut Jantoko

geli. Ia ketawa terkekeh-kekeh sambil memburu. Dan semua itu membuat Nawang Wulan

tambah penasaran, mendongkol di samping masygul.

Sulit dibayangkan betapa derita dara jelita itu saat ini. Dan sungguh merupakan

peristiwa yang amat mengibakan hati, justeru gadis ini harus berpayah-payah

menghindari bahaya cengkeraman penjahat yang tidak kenal kemanusiaan lagi.

Dan usaha Nawang Wulan menghindar dari tangan jahat Putut Jantoko ini

berlangsung terus. Berlangsung tanpa pembela. Nawang Wulan menjadi semakin cemas

dan gelisah menghadapi kenyataan ini. Ibunya menggeletak di atas tanah diancam maut.

Empat orang penolongnya menggeletak pula diatas tanah entah hidup dan entah mati.

Maka diam-diam gadis ini membayangkan nasibnya yang akan terjadi, kalamana dirinya

tidak dapat melepaskan diri dari tangan jahat Putut Jantoko.

Untung juga bahwa sekalipun dalam kesulitan gadis ini belum juga putus asa. Ia

masih tetap berusaha dengan kemampuannya berlarian, sambil dikejar oleh Putut

Jantoko. Walaupun sesungguhnya sudah payah dan peluh membasahi sekujur tubuh,

namun gadis itu masih lari dan lari.

Saling mengejar itu masih berlangsung cukup lama. Satu pihak ingin menangkap

dan pihak lain ingin selamat. Sambil mengejar ini mulut Putut Jantoko selalu terkekeh.

Penjahat ini gembira sekali tampaknya, dan apa pula dengan berlarian seperti itu, dari

belakang Putut Jantoko dapat melihat dengan jelas, pantat Nawang Wulan yang cukuphttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

menggiurkan itu bergerak-gerak naik turun.

Klenting Mungil masih duduk tanpa bergerak. Orang tua kepala gede ini, dan yang

tubuhnya kurus kering sedang berjuang dan berusaha memulihkan kekuatan dan

mengobati luka dalamnya. Di dalam berkelahi melawan Gadung Melati dan Wukirsari

tadi, ia memang harus mengerahkan seluruh kemampuannya. Dan walaupun pada

akhirnya ia dapat merobohkan lawan, namun is sendiri harus menebus dengan laku yang

cukup parah. Kalau bukan Klenting Mungil yang mempunyai daya tahan yang cukup

kuat, mungkin sudah roboh menggeletak juga oleh gempuran dua orang lawan sakti itu.

Satu hal yang menguntungkan Klenting Mungil bahwa didalam berkelahi itu baik

Gadung Melati maupun Wukirsari tidak menggunakan "Aji Bramastra" sesuai dengan

pesan terakhir gurunya, Kalau saja kakak beradik seperguruan ini tidak patuh akan pesan

gurunya dan menggunakan aji kesaktian tersebut, manakah mungkin Klenting Mungil

masih hidup lagi? Tentu Klenting Mungil akan roboh dengan tubuh hangus seperti

terbakar.

Sudah agak lama matahari melintasi garis bumi dan condong di bagian barat.

Namun bola api dunia itu masih memancarkan panasnya yang amat terik. Seakan mau

membakar hangus tubuh-tubuh manusia yang pingsan dan terkapar di lereng gunung

Ungaran itu. Pemandangan ini cukup menyedihkan, dan apabila mereka yang pingsan itu

tidak segera mendapat pertolongan, niscaya mereka itu tidak lagi akan dapat

mempertahankan nyawa.

Dewayani sudah menderita luka dalam yang amat parah. Napas perempuan ini

sudah sangat sulit. Nadinya sudah amat lemah. Meskipun tadi Wukirsari sudah berusaha

memberi pertolongan, namun pertolongan Wukirsari itu belum menjamin

keselamatannya. Sedang Fajar Legawa dan Tumpak Denta memang sudah terhindar oleh

racun jahat. Namun demikian kakak beradik ini belum juga bergerak dari tempatnya

menggeletak. Seakan kakak beradik, murid Suria Kencana ini tertidur dengan pulas.

Demikian pula Wukirsari yang tadi mencurahkan perhatian kepada Fajar Legawa,

Tumpak Denta dan Dewayani, sekarang menggeletak pula di atas tanah tidak bergerak.

Ia menderita luka dalam yang amat parah, sebagai akibat pukulan-pukulan Klenting

Mungil. Tidak terkecuali Gadung Melati. Luka yang diderita lebih parah dibanding

dengan Wukirsari. Sebab setelah ia menderita luka, masih juga memaksa diri untuk

melawan Klenting Mungil.

Dari lima orang itu, hanya Fajar Legawa dan Tumpak Denta saja yang ringan

deritanya. Sebaliknya Dewayani yang paling menderita. Tiga orang tua ini apabila tidak

segera mendapat pertolongan, niscaya nyawanya tak dapat dipertahankan lagi.

Sungguh, pemandangan ini amat mengharukan. Lima orang bergelimpangan tidak

berkutik. Akan tetapi Putut Jantoko yang sudah terbakar nafsu birahinya oleh kecantikan

Nawang Wulan itu, seakan tidak perduli akan semua itu. Dan sebaliknya Nawang Wulan

tidak juga mau menyerah. Gadis ini sekalipun telah payah, masih terus berlarian

berputaran sambil kadang-kadang menyerang dengan apa saja yang dapat dipungut.

Namun semua usahanya tak berarti. Semua bisa digagalkan oleh Putut Jantoko, dan

penjahat ini tidak jemunya membujuk dan memuji sanjung. Sungguh sayang semua pujian

dan bujukan Putut Jantoko itu malah menambah gadis ini makin marah dan benci.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Tetapi sesudah berlangsung lama dan usahanya belum juga berhasil, timbullah rasa

marah dia jengkel dalam dada Putut Jantoko. Timbullah rasa malu kepada diri sendiri.

Mengapa terhadap seorang gadis yang sudah tidak berdaya, usahanya berhadapan dengan

kegagalan?

Kemudian berkelebatlah ingatan dalam benak penjahat ini. Kiranya jalan yang

paling baik, apabila sekarang menggunakan kekerasan. Gadis itu harus dilukai. Karena

dengan lukanya, gadis itu akan menderita kesakitan, tidak dapat melawan lagi dan

akhirnya akan menyerah. Akan tetapi ketika ia sudah mempersiapkan tongkatnya, tiba-

tiba saja timbul rasa sayang kalau gadis itu terluka. Justeru timbul rasa sayang ini, maka

selamatlah Nawang Wulan dari bahaya. Maka yang dilakukan kemudian oleh Putut

Jantoko, hanya meneruskan usahanya dengan mengejar.

Akan tetapi sungguh sayang bahwa Nawang Wuian ketika itu sudah amat

menderita. Dalam keadaan biasa, gadis ini takkan merasa sepayah ini,walaupun berlarian

terus setengah hari. Tetapi sekarang ini keadaannya luar biasa. Disaat ia berlarian

menghindarkan diri dari tangan jahat Putut Jantoko, perasaan hati Nawang Wulan selalu

diberati memikirkan ibunya yang belum juga berkutik. Maka makin lama langkah gadi ini

menjadi semakin limbung. Namun terus saja berlarian dan sama sekali tidak pernah ingin

menyerah.

Menyeringai bibir Putut Jantoko ketika melihat tubuh Nawang Wulan sudah mulai

limbung. Maka iapun kemudian menunggu saat, sebab timbullah rasa pasti tidak lama

lagi gadis itu akan roboh kepayahan. Tetapi sungguh celaka. Setelah cukup lama

menunggu sambil membayangi, tubuh yang semula limbung itu kembali tegak dan

gerakannya tambah cepat. Akhirnya Putut Jantoko menjadi tidak sabar lagi. Timbul

keputusan dalam hatinya, bahwa tiada halangan gadis ini mengalami sekedar luka,

daripada lepas dari tangannya. Diambillah kemudian beberapa butir batu kecil. Ia akan

dapat merobohkan Nawang Wulan dengan sambitan dari belakang.

Sambil ketawa terkekeh Putut Jantoko telah melepaskan tiga butir batu sekaligus.

Sambaran batu itu cepat sekali, dan Nawang Wulan kaget. Tanpa memalingkan muka

gadis ini menghindar ke samping. Usahanya memang berhasil, dan sambitan Putut

Jantoko itu luput. Akan tetapi sambitan susulan yang tidak terduga, dan dilepaskan pula

dari belakang, secara tepat mengenakan belakang lutut dan mata kaki. Akibatnya gadis

ini memekik kaget, dan disusul oleh tubuhnya yang terguling.

Bibir Putut Jantoko menyeringai melibat hasil sambilannya, ia merasa puas sekali

dengan hasil ini, justeru tidak mungkin lagi Nawang Wulan dapat melepaskan diri dari

tangannya.

"Heh-heh-heh!" Putut Jantoko ketawa terkekeh saking amat gembira. "Maafkan

aku, NawangWulan. Aku terpaksa mengguuakan cara ini, karena engkau tak mau

menyerah baik-baik."

Putut Jantoko menghampiri. Kemudian bujuknya. "Wulan, engkau cantik laksana

bidadari. Hanya engkaulah perempuan satu-satunya kuasayang di dunia ini. Namun

mengapa engkau tak percaya? Aihh Wulan, sekarang engkau harus menyerah jadi

isteriku."https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Betapa benci dan muak Nawang Wulan sulit dilukiskan. Sepasang mata gadis itu

menyala dan menyinarkan kemarahan yang amat sangat, memandang Putut Jantoko

tidak berkedip.

"Bunuhlah aku!" tantang gadis ini.

"Bunuh, heh-heh-heh, tarlalu sayang adikku, jangan engkau berkata demikian!"

kata Putut Jantoko sambil tersenyum. Akan tetapi dalam pandang mata Nawang Wulan,

mulut penjahat itu menyeringai seperti raksasa yang siap akan memangsanya.

"Engkau harus mengerti Wuan, bahwa aku mencintai engkau sepenuh hatiku."

bujuk Putut Jantoko. "Percayalah Wulan, bahwa engkau akan bahagia di sampingku. Heh

heh-heh, engkau akan menjadi isteriku terkasih."

Jarak antara Putut Jantoko dengan Nawang Wulan semakin menjadi dekat. Dan

penjahat ini mengamati Nawang Wulan dengan sepasang mata yang menyala, karena

gelora birahi menyesak dada. Kali ini ia sudah dapat memastikan bahwa Nawang Wulan

takkan dapat melepaskan diri lagi.

Sebaliknya diam-diam Nawang Wulan sudah bersiap diri untuk melakukan

perlawanan dengan sisa tenaga yang masih ada. Pendeknya ia takkan mau menyerah

sampai titik darah penghabisan.

Dan oleh dorongan kehendak yang sudah tidak kuasa lagi menahan gelora

birahinya, maka kemudian Putut Jmtoko melompat dan tangannya sudah siap untuk

menyambar tubuh Nawang Wulan yang lumpuh dua kakinya itu.

"Aduhh...............!" Putut Jantoco tiba-tiba mengaduh. Sedang Nawang Wulan

terbelalak saking kaget berbareng heran.

Putut Jantoko tadi hanya merasakan menyambarnya angin yang amat tajam,

menyambar kearah dirinya. Dan tiba-tiba pula, Putut Jantoko tidak dapat bergerak dari

tempat, semacam patung dengan tubuh yang agak condong ke depan. Dan sebaliknya
Iblis Dari Gunung Wilis Karya Widi Widayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Nawang Wulan pun merasakan sambaran angin yang tajam memukul kakinya. Akan

tetapi anehnya, kaki itu tidak tambah sakit, melainkan malah dapat digerakkan lagi dan

rasa sakit pada kaki menghilang secara mendadak.

Dan justeru Nawang Wulan masih keheranan tidak mengerti ini, terdengarlah

teriakan Putut Jantoko kepada gurunya. "Guru............ aihhh, tolong............!"

Ketika itu Klenting Mungil masih duduk bersila tanpa bergerak, sedang dalam

usaha mengatur pernapasan dan mengobati luka dalam tubuhuya. Ia menjadi kaget ketika

mendengar suara muridnya minta pertolongan, dan kemudian membuka matanya.

"Kenapa engkau............?" tegur Klenting Mungil dengan heran, akan tetapi

suara kakek ini agak lemah, tidak garang seperti semula. Dan kakek kepala gede ini heran

melihat muridnya berdiri tanpa bergerak seperti patung.

"Guru............aihh, tolong............!" teriak Putut Jantoko mengulang. "Murid

tidak bisa bergerak. Seseorang telah menyerang murid secara curang ..........."https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Mendengar ini Klenting Mungil kaget. Ia memaksa diri untuk bangkit dan

kemarahannya meluap. Akan tetapi justeru memaksa diri ini, tiba-tiba huah, Klenting

Mungil muntah darah lagi.

Tubuh dirasakan lemah sekali, dan kepala terasa pening. Namun demikian kakek

kepala gede ini memaksa diri melangkah, kemudian katanya. "Siapa berani mengganggu

engkau secara curang.........?"

Dan tiba-tiba terdengarlah suara ketawa terkekeh perlahan. Nawang Wulan kaget

dan melompat berdiri, kemudian memalingkan muka ke arah suara ketawa. Kemudian

tampak oleh gadis ini seorarg tua renta mengenakan jubah, kumis dan jenggotnya sudah

puth, berdiri tidak bergerak di bawah pohon rindang bibirnya tersenyum dan sepasang

matanya berkilat-kilat berwibawa.

"Hemmm, engkau selalu menganggu aku saja........" tegur Klenting Mungil

dengan suaranya yang dalam.

Orang tua itu tertawa sejuk, kemudian terdengarlah ia menjawab halus. "Salah!

Bukan aku yang mengganggu, tetapi engkaulah yang selalu membuat aku repot."

"Apa?" Klenting Mungil geram. "Kemarin lusa engkau telah merusak rencanaku.

Dan sekarang engkau kembali datang. Huh, sayang sekali saat ini aku terluka........."

Orang tua renta itu kembali ketawa. Kemudian. "Pergilah! Bawa muridmu. Tetapi

sekali lagi aku peringatkan, hentikanlah perbuatanmu yang tidak baik, dan bertaubatlah

engkau kepada Tuhan Yang Maha Pengampun."

Klenting Mmgii memaksa diri untuk tertawa, sekalipun sesungguhnya dada

dirasakan amat sakit. Dalam keadaan dirinya segar bugar saja tak mampu melawan kakek

ini, apa pula dirinya sekarang menderita luka. Maka daripada mencari perkara, lebih baik

selekasnya pergi. Oleh sebab itu kemudian Klenting Mungil menyambar tubuh muridnya,

namun masih sempat pula mengucapkan ancamannya. "Hai Menak Singgih! Tunggu

pembalasanku kemudian hari. Hutangmu harus kau bayar dengan bunga!"

Tetapi kakek ini hanya menyambut tantangan itu dengan suara ketawanya yang

sejuk. Kemudian terdengarlah katanya yang perlahan, nadanya menyesal. "Sayang,

engkau tidak mau menyadari akan kesalahanmu sendiri, dan tidak mau pula bertaubat

kepada Tuhan. Tetapi hmmm, semoga Tuhan masih berkenan menunjukkan engkau jalan

benar."

Nawang Wulan merasa heran mendengar kata-kata kakek itu dan sikapnya kepada

Klenting Mungil. Dalam hati ia tidak setuju dengan sikap kakek itu yang lemah. Namun

untuk mencelanya, gadis ini tidak berani.

Akan tetapi Menak Singgih seorang kakek yang sudah kenyang akan lika-Iiku

hidup. Meskipun Nawang Wulan tidak menegur atas sikapnya itu, ia sudah maklum.

Maka sesudah tertawa sejuk lagi, kakek ini berkata. "Hemm, maafkan aku anak baik, telah

melepaskan mereka pergi. Tetapi, aku mempunyai alasan lain. Lihatlan, lima orang itu

memerlukan pertolongan secepatnya. Apabila aku harus mengusir dia dengan kekerasan,https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

bukankah memerlukan waktu lama?"

Nawang Wulan tidak puas mendengar jawaban itu. Sebab jelas bahwa Klenting

Mungil telah menderita luka parah, dan ibarat sebuah lampu yang hampir kehabisan

minyak. Kalau kakek ini mau bertindak, bukankah gampangnya seperti membalikkan

telapak tangannya sendiri?

Melihat sikap gadis itu, Menak Singgih pun mengerti, bahwa gadis itu tidak puas.

Akan tetapi ia tidak perduli, sebab tidak mungkin dirinya sedia melawan Klenting Mungil

yang sudah menderita luka parah. Bukankah peristiwa ini bisa ditertawakan orang?

Lumrah saja, justeru lawan sudah menderita luka.

Maka kemudian kakek ini melangkah menghampiri mereka yang menderita.

Diam-diam Kakek ini terharu menyaksikan semua itu. Kakek ini langsung menghampiri

Dewayani, justeru dari mereka yang terluka, perempuan inilah yang paling parah.

"Ibumu?" tanya kakek itu halus kepada Nawang Wulan yang sudah mulai terisak

lagi tak kuasa menahan tangisnya.

Nawang Wulan mengangguk. Bibirnya seperti terkunci, dan tidak dapat

mengucapkan sesuatu.

Menak Singgih segera memeriksa nadi Dewayani. Akan tetapi kemudian kakek ini

menghela napas perlahan. Nadi itu sudah amat lemah, lukanya sedemikian parah

sehingga merasa sangsi apakah dapat menyelamatkan nenek ini. Namun demikian,

semuanya di tangan Tuhan. Maka apapun yang akan terjadi, kakek ini melakukan

pertolongan juga.

Nawang Wulan menunggui ibunya yang sedang ditolong oleh Menak Singgih itu

dengan air mata bercucuran. Hatinya amat cemas, menyaksikan napas ibunya sudah amat

sulit

Sesudah menolong Dewayani, kemudian perhatian dialihkan kepada Gadung

Melati dan Wukirsari. Kenyataan membuktikan bahwa Gadung Melati menderita lebih

parah dibanding dengan Wukirsari. Untuk menolong mereka yang terluka parah ini,

terpaksa Menak Singgih harus menyalurkan tenaga sakti dari dalam tubuh, yang dialirkan

ke tubuh orang.

Menak Singgih mengerti bahwa baik Fajar Legawa maupun Tumpak Denta sudah

terhindar dari bahaya. Dan kalau dua orang muda itu sekarang masih tidak bergerak,

bukan karena deritanya. Tak lama lagi dua orang muda ini akan sadar sendiri tanpa

pertolongan.

Ternyata perhitungan dan dugaan Menak Singgih ini tidak meleset, Beberapa saat

kemudian dua orang muda itu sadar hampir berbareng. Mula-mula mereka tampak kaget

mendapatkan diri mereka menggeletak di atas tanah. Akan tetapi kemudian kesadaran

dua orang muda ini pulih kembali, dan sadar bahwa belum lama tadi mereka roboh setelah

berkelahi melawan Klenting Mungil.

Tiba-tiba dua orang muda ini terkejut ketika mendengar bisikan halus masukhttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

dalam telinganya "Anak muda, engkau selamat dari bahaya. Dan yang penting sekarang,

aturlah pernapasan untuk memulihkan tenagamu."

Fajar Legawa dan Tampak Denta heran. Ia mengamati Menak Singgih dengan

bertanya-tanya. Ketika itu Menak Singgih sedang sibuk menolong Gadung Melati dan

menyalurkan hawa sakti. Mengapa masih sempat memperhatikan mereka? Untung

kemudian mereka sadar. Kakek itu duduk tak bergerak dan sepasang matanya terpejam.

Maka mengertilah dua pemuda ini, bahwa Menak Singgih tadi berbisik kepada mereka

lewat Aji Pameling.

Tidak lama kemudian Wukirsari memperoleh kesadaran, ia terkejut ketika

mendapatkan dirinya roboh di atas tanah. Namun kemudian kakek ini bangkit dan

langsung duduk bersila sambil memejamkan mata, ketika dirasakan dada sesak dan kepala

pening.

Yang belum siuman Gadung Melati dan Dewayani. Untuk menyelamatkan

Gadung Melati maka Menak Singgih masih terus menyalurkan hawa sakti.

Nawang Wulan menunggui ibunya yang belum juga bergerak dengan air mata

bercucuran. Dalam hati berharap ibunya bisa tertolong. Akan tetapi mengapa ibunya

belum juga sadar dan bangkit? Ia mengamati wajah ibunya. Wajah itu amat pucat, sedang

sepasang matanya terpejam rapat. Melihat keadaan ibunya seperti ini tentu saja gadis ini

diam-diam khawatir sekali.

Sementara itu, pertolongan Menak Singgih untuk Gadung Melati sudah selesai

dilakukan. Kakek itu telah melepaskan telapak tangannya, yang semula menempel pada

punggung Gadung Melati. Wajah kakek kepala gundul ini sekarang sudah tidak begitu

pucat lagi, sedang pernapasannyapun sudah agak normal.

Dan setelah mengatur pernapasan beberapa saat lamanya, Wukirsari merasakan

tubuhnya kembali nyaman. Maka kakek ini kemudian membuka mata. Pandang matanya

tertumbuk kepada Menak Singgih.

"Paman Singgih," kata Wukirsari sambil memberi hormat, "Terima kasih atas

pertolongan paman. Sebab apabi1a paman tidak datang pada saatnya yang tepat, kami

semua tentu sudah mati ........."

"Bukan aku," sahut Menak Singgih dengan ketawa sejuk. "Tetapi Tuhan yang

telah menolong kalian. Maka bersyukurlah kalian atas pertolongan-Nya."

Angin pegunungan Ungaran menebarkan udara sejuk dan terus bertiup. Matahari

sudah semakin rendah di bagian barat. Dan seakan hawa udara sejuk ini memberi

kesegaran baru kepada mereka.

Ketika itu Gadung Melati sudah pula siuman dari pingsannya. Dan kakek inipun

tampak terkejut ketika membuka matanya, dirinya menggeletak di atas tanah. Melihat

sadarnya Gadung Melati ini Menak Singgih tersenyum. Lalu katanya lirih. "Syukurlah

engkau telah siuman. Sekarang duduklah engkau dengan tenang, dan pulihkanlah

tenagamu."https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

"Terima kasih," dan sesudah menyahut, Gadung Melati segera duduk bersila

sambil memejamkan mata mengatur pernapasan.

Akan tetapi tiba-tiba terdengarlah jerit Nawang Wulan yang melengking memecah

suasana. Dan gadis itu sekarang tampak menelungkup sambil memeluk ibunya, menangis

sejadinya.

Semua orang terkesiap. Tidak terkecuali Menak Singgih, dan secepatnya

menghampiri, untuk memeriksa Dewayani Lagi. Akan tetapi Menak Singgih tampak

mengerutkan alis sambil menghela napas. Nadi Dewayani sebentar terasa dan sebentar

menghilang. Dewayani sudah dalam keadaan sangat kritis, dan kakek ini merasa tidak

sanggup lagi untuk menyelamatkan perempuan ini. Akan tetapi walaupun mengerti

bahwa nyawa Dewayani tinggal tergantung pada seutas rambut, kakek ini tidak ingin

mengecewakan harapan orang. Iapun sekarang sudah duduk bersila sambil memejamkan

mata, kemudian telapak tangannya ditempelkan pada punggung, untuk menyalurkan

hawa sakti dari dalam tunuhnya.

Mereka yang ikut melihat diam-diam cemas dan berdebar. Sebab diam-diam

mereka tahu belaka bahwa keadaan Dewayani memang sudah amat payah.

Menak Singgih memang bersungguh-sungguh dalam usahanya menolong orang,

walaupun dengan perbuatannya itu ia sendiri harus mengorbankan kepentingannya

sendiri. Sebab dengan banyaknya bantuan hawa sakti kepada beberapa orang ini, akan

berarti dirinya sendiri banyak kehilangan tenaga.

Beberapa saat kemudian terdengarlah suara Dewayani yang merintih perlahan.

Nawang Wulan memperhatikan wajah ibunya yang pucat pasi, sedang orang lain

menghela napas. Menak Singgih melepaskan telapak tangannya dari punggung

Dewayani. Dan ternyata saluran hawa sakti tadi menolong Dewayani.

Dengan air mata bercucuran Nawan Wulan mengamati ibunya. Gadis ini mengerti

bahwa ibunya menderita luka parah. Guncangan akan menambah derita ibunya, maka

gadis ini menahan diri untuk tidak memeluk. Dewayani membuka sepasang matanya,

sedang bibir pucat itu tersenyum, sekalipun napas perempuan ini tampak amat sesak.

"Ibu........." ratap gadis ini lirih, "Engkau...........harus hidup terus ............kau

harus tetap disampingku............"

Dewayani tersenyum tetapi tidak menjawab. Tangannya yang lemah mencoba

untuk memegang dan mengusap lengan anak yang amat disayang itu.

Semua orang terdiam. Akan tetapi kemudian Gadung Melati tidak kuasa menahan

mulutnya dan berkata. "Nyai, bersyukurlah kita tertolong."

Dewayani mencoba memalingkan kepalanya yang lemah untuk menatap Gadung

Melati. Kemudian tanya perempuan ini lemah. "Dimana dia.........?"

"Dia sudah pergi."

Gadung Melati menggeleng. Kemudian mengamati Menak Singgih sambilhttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

menjawab. "Paman Menak Singgihlah yang mengusir........."

"Paman Menak Singgih................" Dewayani membelalakkan mata. Kemudian

perempuan ini berusaha mengamati sekeliling. Setelah bertatapan dengan Menak Singgih,

kemudian Dewayani menghela napas panjang . Perempuan ini bersyukur.

"Sudahlah, hanya Tuhan yang menolongmu!" kata Menak Singgih lirih.

Tetapi tiba-tiba Dewayani batuk-batuk. Lalu menyemburlah darah segar dari

mulutnya. Nawang Wulan memekik terkejut. Dan Menak Singgih cepat-cepat memberi

pertolongan, dengan menyalurkan hawa sakti lagi.

Wukirsari mengambil obat. Lalu katanya kepada Nawang Wulan. "Minumkanlah

obat ini. Akan tetapi Dewayani menggeleng. Kemudian perempuan ini berkata lemah.

"Adi Gadung ... ......Melati.........tolong ........aku titip anakku ......"

"Ibu.........tidak.....!" pekik Nawaag Wulan yang cemas sekali.

Akan tetapi apa harus dikata kalau garis sudah sampai? Kalau takdir sudah tidak
Iblis Dari Gunung Wilis Karya Widi Widayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dapat dibantah lagi? Walaupun Menak Singgih sudah berusaha sekuat tenaga untuk

menolong, tak juga berhasil kalau Tuhan menghendaki lain. Derita Dewayani sudah amat

berat. Isi tubuh sudah rusak akibat terluka oleh pukulan Klenting Mungil yang

menggunakan Aji Pangracutan. Maka walaupun semua orang menghendaki Dewayani

masih tetap hidup, perempuan ini tetap saja menghadapi sekaratul maut, dan tak lama

kemudian ia menghembuskan napas yang penghabisan.

Nawang Wulan memekik nyaring, ia menubruk dan mengguncang-guncangkan

tubuh ibunya seraya menangis. Mereka yang hadir terharu dan iba. Sedang Menak

Singgih hanya dapat menghela napas.

Semua orang berusaha menghibur. Akan tetapi pukulan kesedihan gadis ini terlalu

berat. Maka kemudian gadis ini roboh dan pingsan.

"Gadung Melati," kata Menak Singgih lirih. "Pulanglah engkau sekarang, dan

bawalah Nawang Wulan. Pesan terakhir Dewayani harus engkau laksanakan baik-baik!"

Gadung Melati mengangkat kepala mengamati Menak Singgih. Kemudian

jawabnya agak ragu. "Paman, perintah paman akan saya laksanakan dengan baik. Akan

tetapi saya sekarang ini sedang menyelesaikan persoalan, dan........."

Menak Singgih memotong ucapan Gadung Melati. "Tentang muridmu Pertiwi

Dewi itukah yang kau maksud?"

Gadung Melati terbelalak heran. Demikian pula yang lain. Mata semua orang

sekarang tertuju kepada Menak Singgih, dan tampak mereka ini menunggu penjelasan.

Lebih-lebih Fajar Legawa yang mempunyai sangkut-paut langsung dengan Pertiwi

Dewi, jantung pemuda ini berdegup cepat sekali.

"Gadung Melati," kata Menak Singgih lagi. "Anggaplah persoalan muridmu

Pertiwi Dewi sudah selesai. Anggaplah Nawang Wulan sebagai pengganti murid yang

engkau kasihi itu, dan lenyapkan pula prasangkamu yang buruk kepada Fajar Legawa,https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

murid Suria Kencana itu. Ya, engkau sudah terbakar oleh amarah yang kurang pada

tempatnya, dan engkau telah terpengaruh oleh fitnah orang."

Menak Singgih mengalihkan pandang matanya kepada Wukirsari. Kemudian.

"Dan kepada engkau Wukirsari, engkau harus berhati-hati kepada muridmu sendiri.

Ternyata Handana Warih memiliki watak dan tabiat yang kurang baik, tidak segan-segan

membunuh orang lain dalam usahanya mencapai cita-cita. Dia tidak mau perduli apakah

perbuatannya itu salah atau benar. Dan sudah tentu perbuatannya ini akan

membahayakan dirinya sendiri dan membahayakan engkau pula sebagai gurunya.

Maka sebelum terlanjur kembalikanlah bocah itu agar tidak berlarut-larut sebagai seorang

yang tiada gunanya."

Semua terdiam mendengar kata-kata Menak Singgih ini, mereka merasa heran

mengapa semua persoalan itu diketahui orang tua ini?

Beberapa saat kemudian barulah Wukirsari menjawab. "Terima kasih atas

petunjuk paman. Semoga kemudian hari saya dapat membimbing bocah itu lebih baik."

Tak heran kalau Wukirsari segera dapat menerima nasihat Menak Singgih itu.

Sebab sejak semula, ia memang merasa ragu dan tidak percaya akan tuduhan Handana

Warih. Tetapi satu hal yang membuat kakek ini terkejut, adalah pemberitahuan Menak

Singgih, bahwa muridnya itu tindak dan langkahnya kurang baik

Akan tetapi sebaliknya Gadung Melati masih merasa penasaran. Kemudian ia

berkata. "Tetapi paman, apa yang saya tuntut kepada Fajar Legawa demi keadilan dan

kebenaran. Saya ingin memperoleh pembuktian dan kepastian bahwa peristiwa itu terjadi

sesungguhnya. Nah, apakah saya salah apabila menuntut itu kepada Fajar Legawa?"

Menak Singgih mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian sahut orang tua ini.

"Engkau benar. Namun demikian engkau tentu dapat merasakan pula, bagaimana

sulitnya Fajar Legawa harus membuktikan kebersihannya itu, karena pada saat Pertiwi

Dewi meloncat ke jurang, tidak seorangpun menyaksikan, kecuali Fajar Legawa sendiri?"

Untuk sejenak lamanya keadaan hening, mereka berdiam, dan hanya suara detak

jantung dan helaan napas berat Fajar Legawa saja yang mengisi suasana. Memang saat

sekarang ini Fajar Legawa dalam keadaan tegang, justeru dirinya merupakan seorang

terdakwa.

Tiba-tiba keadaan yang hening itu dipecahkan olela ucapan Menak Singgih yang

nadanya pasti, "Tetapi Allah Maha Pengasih dan Mana Besar. Allah akan selalu

memberikan rahmat dan rahim-Nya Kepada seorang hamba-Nya yang benar-benar tidak

bersalah. Akulah saksi satu-satunya yang menyaksikan dengan mata kepala sendiri

peristiwa menyedihkan itu dari awal sampai akhir. Akulah saksi satu-satunya yang dapat

memberi keterangan kepadamu, bahwa Pertiwi Dewi sendiri yang sengaja membunuh diri

dengan melompat ke dalam jurang. Fajar Legawa telah berusaha menghalangi, akan

tetapi tidak berhasil."

Keterangan Menak Singgih ini mengejutkan semua yang hadir. Gadung Melati

tercengang sehingga orang tua berwajah jelek ini tidak dapat mengucapkan sepatahpun

kata. Diam-diam ia merasa ragu, akan tetapi juga tidak berani untuk menduga burukhttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

kepada Menak Singgih. Kakek ini seorarg angkatan tua, yang disegani oleh kawan dan

ditakuti lawan, karena sepak terjangnya selama ini yang patut dipuja. Mungkinkah

seorang terhormat seperti Menak Singgih, sekarang membohong dalam usahanya

membela Fajar Legawa?

Dan di saat Gadung Melati merasa ragu ini, Menak Singgih berkata lagi. "Gadung

Melati, aku mengharap hendaknya engkau tidak beranggapan bahwa aku ingin

melindungi Fajar Legawa. Sama sekali tidak. Dan jangan engkau menuduh aku seperti

itu. Ketahuilah bahwa aku tiada sangkut pautnya dengan urusan itu. Namun sebagai

seorang yang menyaksikan peristiwa itu, dan sebagai seorang yang tidak dapat melihat

kesewenangan berlangsung di atas bumi ini, maka aku memerlukan memberi keterangan

ini. Demi Allah, aku menerangkan sejujurnya. Dan semoga Allah menyiksa dan

mengutuk aku, apabila apa yang sudah aku terangkan ini bertentangan dengan

kenyataan."

Menak Singgih adalah seorang tokoh tua dan amat dihormati pada jaman ini.

Apabila ia sudah mengucapkan sumpah, sulitlah orang tidak mempercayai dia lagi.

Gadung Melati juga tidak dapat menyangka buruk, akan tetapi kemudian timbullah

pikirannya yang lain. Tanya kakek ini kemudian. "Paman, bolehkah saya bertanya?"

"Silahkan," sahut Menak Singgih.

"Apakah paman dapat memberi keterangan, bocah itu sudah mati ataukah masih

selamat?"

"Hemmm" Menak Singgih menghela napas sambil mengurut-urut jenggotnya

yang menjuntai sebatas dada. Sedang Fajar Legawa tampak amat memperhatikan, dan

ingin mendengar jawaban kakek ini. "Jika dia selamat mengapa, dan kalau tidak

mengapa?"

"Paman, bocah itu saya kasihi seperti anak kandungku sendiri," sahut Gadung

Melati,"Kalau dia memang sudah mati, tentu saja aku akan menyelenggarakan hajad

selamatan. Dan sebaliknya kalau masih hidup, di manakah dia dan siapa pula yang

menolong?"

"Hemm," lagi-lagi Menak Singgih menghela napas, dan tidak segera memberikan

jawabannya. Namun kemudian. "Gadung Melati, aku takkan sedia mendahului kehendak

Tuhan. Akan tetapi tiada salah kiranya apabila aku perlu mengabarkan padamu, bahwa

engkau tidak perlu gelisah tentang dia."

"Jadi............jadi masih selamat?" Gadung Melati mendesak.

Dan Fajar Legawa tambah tegang jantungnya. Benarkah Pertiwi Dewi masih

selamat? Lalu siapakah pula yang sudah menolong?

"Sudahlah, jangan engkau mendesak sedemikian rupa padaku," sahut Menak

Singgih. "Engkau tak perlu menyelamati Pertiwi Dewi. Dan sekarang, ijinkanlah aku

pergi."

Tiba-tiba tubuh kakek itu sudah melesat dari tempat duduknya, melesat sepertihttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

terbang. Semua yang melihat ternganga keheranan, sehingga mereka melongo tak dapat

membuka mulut. Dan baru sesudah Menak Singgih lenyap ditelan rumpun pohon, mereka

menghela napas saking kagum.

Walaupun Menak Singgih tidak mau menerangkan keadaan Pertiwi Dewi, namun

orang dapat menduga bahwa gadis itu memang tertolong dan masih hidup. Akan tetapi

siapakah yang berhasil menolong, dan mengapa pula Menak Singgih tidak mau

menerangkan?

Tiba-tiba Gadung Melati bangkit. Tubuh gendut ini melompat, tangannya bergerak

dan tahu-tahu tubuh Nuwang Wulan yang masih pingsan itu sudah dalam pondongannya.

Lalu dibawa berlarian pergi tanpa mengucapkan sesuatu. Dalam waktu singkat, Gadung

Melati sudah lenyap pula terlindung oleh rimbunannya daun hutan.

Wukirsari hanya tersenyum sija menyaksikan tingkah aneh Gadung Melati itu.

Kemudian kata kakek ini. "Mari kita sekarang perlu memikirkan Dewayani. Galilah

kubur, dan kita kuburkan perempuan itu."

Fajar Legawa dan Tumpak Denta mengiakan, kemudian dua orang muda ini

segera bekerja menggali lobang. Tak lama kemudian selesai jugalah lobang kubur yang

diperlukan itu, dan dengan upacara sederhana dan hikmat, kemudian jenazah Dewayani

dimasukkan dalam lubang.

Atas perintah Wukirsari, maka Tumpak Dentalah yang memberi azan. Dan

pemuda itu kemudian mengalunkan suaranya untuk adzan. Baru sesudah semua upacara

selesai, mulailah jenazah Dewayani itu ditimbun dengan tanah.

Ketika pemakaman selesai, dan tiga orang ini sudah akan meninggalkan kubur

Dewayani itu,, tiba-tiba mereka kaget karena mendengar suara orang tetapi tidak tampak

orangnya.

"Wukirsari. Engkau harus tahu bahwa sekarang ini, "Keris Iblis" telah muncul.

Maka engkau ikut berkewajiban pula agar keris itu tidak menimbulkan banyak korban

orang-orang tak berdosa."

"Keris Iblis?" seru Wukirsari tertahan.

Baik Wukrsari, Fajar Legawa maupun Tumpak Denta cukup kenal akan suara itu,

suara Menak Singgih. Akan tetapi yang membuat mereka heran, mengapa orang tua itu

tidak mau muncul lagi dan bertemu muka dengan mereka?

"Di manakah keris itu sekarang, paman?" teriak Wukirsari.

"Keris itu semula dimiliki Klenting Mungil."

"Ahhh............" tanpa terasa tiga orang ini berseru tertahan.

"Dan kemudian oleh dia, diberikan kepada muridnya yang terkasih, Putut

Jantoko."https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

"Ahhh............" lagi-lagi mereka berseru tertahan saking kaget.

"Paman Singgih, berilah saya keterangan lebih jelas!" teriak Wukirsari.

Akan tetapi tiada jawaban yang terdengar. Wukirsari mengulang lagi, namun tiada

jawaban pula. Akhirnya Wukirsari hanya menghela napas, kemudian mengajak dua

orang muda ini meninggalkan gunung Ungaran.

Tak lama kemudian mereka sudah tiba di tanah datar yang jauh dari gunung

Ungaran. Dan Fajar Legawa sekarang tidak kuasa lagi menahan hati untuk bertanya.

"Paman, sejak semula sya merasa amat heran, ketika tongkat Putut Jantoko berbenturan

dengan tongkatku. Sebab aku merasakan pancaran hawa panas dari tongkat penjahat itu.

Dapatkah kiranya paman menerangkan tentang keris iblis itu?"

"Akupun ingin tahu," kata Tumpak Denta. "Dan mengapa pula keris itu jatuh ke

tangan orang jahat?"

Wukirsari tersenyum mendengar itu. Sesudah ia menghirup hawa segar di waktu

sore ia menjawab. "Lebih dahulu kamu harus tahu, mengapa sebabnya disebut keris iblis.

Sebutan itu diberikan orang, karena keris itu sudah membawa korban yang cukup banyak.

Sejarah dari keris itu sendiri telah dilumuri oleh noda dan darah, yang kemudian

menimbulkan malapetaka hebat dalam suatu negara."

Wukirsari berhenti dan menghirup udara segar. Kemudian terusnya, "Manusiapun

akan disebut iblis, apabila tindak dan perbuatannya jahat dan membahayakan

kesejahteraan ummat manusia. Dan sesungguhnya manusia sendirilah yang nenyebabkan

benda-benda pusaka itu ternoda dan cacat. Karena oleh perbuatan manusia-manusia itu

sendiri, benda-benda pusaka itu kemudian memiliki corak. Hemm tetapi sesungguhnya,

anakku, tiada seseorang yang mau berbuat merugikan orang lain, melainkan orang yang

tolol. Ialah, orang yang tidak pernah memikirkan kesudahan sesuatu perbuatannya itu.

Baik di dunia maupun di akhirat, barang siapa yang bersifat seperti itu, takkan bisa

terhindar dari bahaya dan cerca orang banyak. Anakku, kadang pula terjadi ke atas diri

orang itu dilakukan orang pula kejahatan seperti yang biasa diperbuatnya kepada orang

lain. Ketika itu barulah ia insyaf betapa orang teraniaya. Maka kemudian terbukalah

hatinya, dan kemudian taubat daripada keadaan yang sudah-sudah. Oleh sebab itu

seseorang yang sadar dirinya, tidaklah akan melakukan perbuatan yang merugikan orang

lain."

Baik Fajar Legawa maupun Tumpak Denta berdiam diri dan memperhatikan kata-

kata Wukirsari ini. Sebab dari nasihat dan petunjuk itu, mereka dapat mengambil faedah

dan manfaatnya

Setelah beberapa jenak berhenti, Wukisari yang memang suka memberi nasihat itu

meneruskan. "Anakku, kau masih muda. Kau masih akan banyak berjumpa dengan

beberapa macam kesulitan. Maka engkau harus hati-hati, dan jangan engkau

mendekatkan dirimu kepada orang yang menyangka bahwa dirinya merdeka berbuat

semau-maunya, karena dosa dan pahala dianggap kata-kata yang kosong tiada artinya.

Orang-orang tua telah berkata bahwa, berhutang wajib membayar, berpiutang wajib
Iblis Dari Gunung Wilis Karya Widi Widayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menerima. Tiap-tiap perbuatan sama pula dengan biji yang ditanam di tanah, pasti akan

berbuah juga. Manis dan pahitnya itu menurut keadaan biji itu sendiri. Demikianlahhttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

anakku, bahwa sesungguhnya perbuatan manusia itu sendirilah yang membuat kotornya

dunia ini. Perbuatan manusia yang lupa kepada Tuhan."

Wukirsari batuk-batuk kecil. Kemudian "Kembali kepada soal keris yang kau

maksudkan tadi. Sesungguhnya keris itu hasil karya seorang Empu sakti mandraguna.

Empu yang namanya amat terkenal. Dan keris yang dihasilkan oleh tangannya itupun

ampuh sekali. Ingatkah engkau akan keris Empu Gandring?"

"Keris Empu Gandring?" Fajar Legawa kaget. "Keris yang terkenal dalam

sejarah Tumapel itu?"

Wukirsari mengangguk. Kemudian. "Keris Empu Gundring itulah yang dimaksud

dengan "Keris Iblis". Karena keris itulah kemudian yang sudah mencabut nyawa Empu

Gandring sendiri, sebagai penciptanya. Nah, tentunya engkau masih ingat peristiwa itu

bukan? Kematian Empu Gandring oleh tangan Ken Arok?"

Tumpak Denta menghela napas. Kemudian ia bertanya, "Tetapi mengapa keris itu

jatuh ke tangan Klenting Mungil?"

Wukirsari menggeleng. "Entahlah, aku tidak tahu sebabnya."

Untuk beberapa saat lamanya mereka berdiam diri, mereka tenggelam dalam

pikiran masing-masing, memikirkan tentang keris tersebut, yang sudah berlumuran darah

di jaman Tumapel.

"Sejarah telah mencatat keganasan keris itu," kata Wukirsari lagi sesudah

menghela napas. "Korban pertama Empu Gandring, dibunuh oleh Ken Arok. Dan

sebelum menghembuskan napas terakhir Empu Ganuring mengutuk kepada Ken Arok,

bahwa Ken Arok dan ketujuh turunannya akan menjadi korban keris itu pula. Korban

kedua jatuh, dan yang menjadi korban Tunggul Ametung. Kordan ketiga Ken Arok

sendiri, justeru apa yang dilakukan Ken Arok bocor dan diketahui oleh Anusapati, anak

tirinya. Setelah Ken Arok mati, Anusapati mengganti kedudukan sebagai raja. Namun

kemudian Anusapati harus mati pua oleh keris itu sebagai korban yang keempat oleh

Tohjoyo, anak Ken Arok dari isteri muda bernama Ken Umang."

Wukirsari berhenti dan menelan 1udah. Sesaat kemudian kakek ini meneruskan.

"Agaknya Tohjoyo takut apabila kemudian hari ia dibunuh orang pula dengan keris itu.

Maka timbulah niatnya untuk memusnahkan keris yang sudah ternoda itu. Untuk

melaksanakan maksudnya tersebut, keris Empu Gandring ini diberikan kepada seorang

hamba kepercayaannya. Dan sejak peristiwa itu, keris Empu Gandring tidak diketahui

rimbanya. Orang tak dapat menceritakan ke mana keris itu dibawa pergi dan

dimusnahkan. Yanq diketahui orang sekarang hanyalah, bahwa kutukan Empu Gandring

itu hanya dapat berhasil tiga orang saja, tidak tujuh orang."

Fajar Legawa menghela napas dalam. Kemudian tanpa sesadarnya pemuda ini

mendesis. "Keris Iblis! Keris Iblis!"

"Ya, nama keris Empu Gandring sudah tidak tepat lagi dan yang tepat dengan

nama Keris Iblis." sahut Wukirsari.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Tumpak Denta menghela napas pula. Persoalan baru bagi dirinya. Namun

merupakan persoalan yang sekarang memerlukan perhatian sungguh-sungguh.

"Keris itu muncul kembali untuk pertama kalinya, kira-kira tigapuluh tahun yang

lalu," kata Wukirsari dalam usahanya memberi penjelasan. "Di mana kala itu aku sendiri

masih muda dan guruku juga masih hidup. Dengan senjata keris tersebut Klenting Mungil

mengganas, melakukan perbuatan-perbuatan terkutuk dan tidak mengenal kemanusiaan.

Ketika itu orang telah berusaha merebut dari tangan Klenting Mungil. Guru almarhum

pernah pula bertempur Klenting Mungil dua hari dua malam. Pada akhirnya, Klenting

Mungil dapat dikalahkan. Akan tetapi sungguh sayang, Klenting Mungil masih sempat

melarikan diri. Ketika itu Klenting Mungil dimusuhi banyak orang, termasuk paman

Menak Smggih, paman Purwowaeso dan paman Abdulrajak. Karena takut, kemudian

Klenting Mungil menghilang, menyembunyikan diri. Namun ternyata sekarang, sesudah

bersembunyi puluhan tahun dia kembali muncul dan kembali pula mengganas."

Tumpak Denta dan Fajar Legawa berdiam diri.

Wukirsari memandang kepada Fajar Legawa dan Tumpak Denta bergantian.

Kemudian katanya lebih lanjut. "Orang-orang Klenting Mungil dan muridnya itu,

sesungguhnya sudah bukan manusia lagi. Tetapi yang terbentuk seperti manusia. Mereka

sudah tidak 1agi memiliki pribadi atau kesadaran atas "akunya". Oleh karena itu mata

hatinya menjadi buta dan tidak mampu lagi membedakan antara yang baik dan mana

yang buruk. Tidak lagi tahu akan arti hidup, dan mereka hanyalah memperturutkan hawa

nafsunya melulu. Orang yang sudah kehilangan pribadinya akan membawa malapetaka

bagi ummat manusia. Kewajiban kita sekalian untuk memeras tenaga dan kepandaian,

dalam menumpas orang-orang demikian itu."

Mereka kembali diam. Hanya suara tapak-tapak kaki mereka yang menyentuh

permukaan bumi sajalah yang mengisi suasana. Mereka terus menyusuri jalan-jalan kecil

dan berbatu-batu. Matahari sudah makin rendah di barat, dengan sinarnya yang merah

dan lemah. Mereka terus melangkahkan kaki mereka tanpa berhenti, dan berharap

sebelum matahari terbenam mereka sudah menemukan desa untuk mencari tempat

beristirahat.

Fajar Lgawa menyadari akan dirinya, yang mengemban tugas menyelamatkan

pusaka "Tilam Upih" semakin terasa berat. Sebab pusaka itu menjadi incaran orang dan

juga diperebutkan. Apabila langkahnya kurang hati-hati, malapetaka selalu mengancam

dirinya. Apa pula orang-orang jahat yang memiliki kepandaian tinggi seperti Klenting

Mungil, merupakan suatu bahaya yang setiap saat dapat timbul.

Dalam hati Fajar Legawa merasa, bahwa tidaklah gampang seseorang yang

mendapat tugas menyelamatkan sebuah pusaka. Dan makin sadar pulalah Fajar Legawa,

mengapa ayahnya dahulu, yang sudah cukup sakti mandraguna, terpaksa harus

menyembunyikan dirinya dan menyamar sebagai petani di lereng gunung Slamet. Akan

tetapi ternyata walaupun sudah menyembunyikan diri dan menyamar sebagai petani,

masih pula dapat dicium oleh orang-orang yang bermaksud mendapatkan pusaka itu.

Apabila teringat akan beratnya tugas yang harus diemban ini, timbullah rasa cemas

dalam hati. Timbullah keraguannya, dapatkah ia mempertahankan diri dalam tugas ini?

Akan tetapi keraguannya ini tidak bertahan lama dalam hati. Keraguannya itu segerahttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

dapat diusir, sesudah ia ingat bahwa di samping orang-orang yang bermaksud jahat, tidak

kurang-kuranglah orang yang membela dan melindunginya.

Baik gurunya sendiri, Menak Singgih, Wukirsari maupun Gadung Melati

merupakan orang-orang yang dapat diharapkan bantuan dan perlindungannya. Sedang

perlindungan yang tertinggi, di tangan Allah, dan nasibnya diserahkan sepenuhnya.

Agaknya Wukirsari dapat menduga pula kandungan hati Fajar Legawa ini. Maka kata

kakek ini. "Engkau tidak perlu gelisah anakku. Percayalah bahwa Tuhan akan selalu

melindungi dari segala mara bahaya."

"Terima kasih paman, dan sayapun yakin akan hal itu," sahut Fajar Legawa.

"Namun demikian, merupakan kewajibanmulah untuk selalu berhati-hati,"

Wukirsari memberikan nasihatnya, "Karena orang yang mau mendekati musuh yang

menaruh dendam kepadanya akan menjerumuskan dirinya ke dalam jurang kebinasaan.

Seseorang wajib menjaga dirinya dari pada bahaya, dan jangan mau ditipu oleh orang

yang tidak dapat dipercaya. Orang yang mau diperdayakan musuh dengan kata-kata yang

manis, lebih memusuhi dirinya sendiri daripada kepada musuhnya. Dan orang yang

berakal tidak akan diam pada tempat yang berbahaya, padahal ia kuasa pindah ke tempat

lain. Anakku, itulah nasihat para cendikia. Perlu kiranya engkau camkan di dalam hati,

agar engkau selalu luput dari mara bahaya. Apabila hati-hati engkau menjaga diri, segala

kebaikan akan datang sendiri kepadamu. Kebaikan sama dengan air, senantiasa mencari

tempat untuk mengalir. Dan kemenangan senantiasa menjadi balasan orang yang hati-

hati segala kelakuannya. Orang yang malas dan ragu-ragu, sekali-kali tidak akan berhasil

mencapai maksudnya"

Fajar Legawa dan Tumpak Denta tertarik hatinya atas kata-kata Wukirsari yang

mengandung nasihat ini. Karena nasihat-nasihat orang tua ini dapat dipergunakan suluh

bagi mereka yang merasa masih muda dan kurang pengalaman.

Wukirsari sendiripun kemudian berdiam diri, sesudah ia memberi nasihat-nasihat

berharga kepada Fajar Legawa, kemudian teringatlah ia akan nasihat Menak Singgih

mengenai muridnya, Handana Warih. Dalam hati mengakui dan tidak dapat membantah

akan benarnya kata-kata Menak Singgih, tentang kurang baiknya watak dan tabiat

Handana Warih.

Bukankah oleh akibat tuduhan Handana Warih, menyebabkan Fajar Legawa

hampir saja mendapatkan kesulitan? Dan bukankah sebab mereka berpayah-payah

mendaki gunung Ungaran, dan hampir mendapatkan malapetaka pula, akibat mulut usil

Handara Warih? Perbuatan Handana Warih itu merupakan gejala-gejala yang kurang

baik. Dan apabila tidak segera mendapat perhatian bisa berakibat lebih parah lagi

keadaannya.

Teringat akan muridnya itu, hati Wukirsar? agak merasa cemas. Ia khawatir

apabila murid tunggalnya yang telah dididik berpayah-payah itu kemudian hari akan

menjelma menjadi seorang yang tak berguna Oleh karena itu timbullah niat Wukirsari

untuk cepat-cepat pulang dan bertemu dengan Handana Warih.

"?nakku." kata Wukirsari kemudian. "Aku harus pulang sekarang juga."https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Fajar Legawa dan Tumpak Denta agak terkejut. Mereka memandang orang tua itu

dengan ragu. Kemudian tanya Tumpak Denta. "Mengapa sebabnya paman harus pulang

sekarang juga?"

"Hemmm, aku harus segera mengurus Handana Warih," Wukirsari memberi

penjelasan, "Timbullah kekhawatiranku apabila dia menjadi liar lagi"

"Tetapi bagaimanakah dengan janji paman?" tanya Fajar Legawa.

"Janji tentang apa?"

"Bukankah paman pernah berjanji akan memberitahukan padaku, apakah

sebabnya aku wajib menyelamatkan pusaka milik Dipati Ukur?"

"Heh-heh-heh," Wukirsari tertawa. Kemudian.. "Ya, masalah itu sebaiknya

engkau bawa saja kepada gurumu. Dan aku percaya, bahwa gurumu sedia memberi

penjelasan."

"TETAPl guru pernah saya tanya, dan menghindari untuk menerangkan."

"Mungkin hanya menunggu saat saja. Tetapi percayalah bahwa hal itu akan

engkau ketahui sejelasnya. Sebab bagaimanapun untuk engkau memang amat perlu."

Akhirnya mereka berpisah juga. Wukirsari langsung menuju tempat tinggalnya,

sedang dua orang muda itu berusaha mencari tempat menginap, dan istirahat. Dua orang

muda itu kini sedang menyusuri tepi kali Bodri. Dan mereka berharap pula bahwa

sebelum malam tiba, mereka sudah berhasil mencari tempat menginap. Harapan itu

agaknya terkabul. Di depan sudah tampak sebuah desa. Mereka mempercepat langkah.

Namun kemudian dua orang muda ini menjadi kecewa, sesudah mereka masuk ke dalam

desa. Desa itu tampak kosong, rumah-rumah pintunya tertutup rapat dan tidak terdengar

pula suara orang. Diam-diam dua orang muda ini heran. Mengapa desa ini kosong?

Mungkinkah ada malapetaka yang telah menimpa desa yang cukup makmur ini?

Fajar Legawa dan Tumpak Denta menebarkan pandang mata mereka ke sekeliling.

Mereka menyelidik tiap-tiap rumah yang tertutup rapat itu. Timbullah rasa heran

disamping curiga. Kemudian Fajar Legawa mencoba mengetuk pintu rumah, sambil

berteriak memperkenalkan diri. Akan tetapi telah berkali-kali Fajar Legawa mengetuk

pintu dan berteriak, namun rumah itu tetap sepi saja dan tiada pula jawaban dari dalam.

Fajar Legawa menghela napas. Kemudian ia mempertajam pendengarannya untuk

menangkap suara dari dalam rumah. Sungguh sayang, usahanya tak berhasil.

Tumpak Denta juga berbuat sama seperti Fajar Legawa. Namun seperti yang

dilakukan Fajar Legawa, iapun tidak mendapatkan apa-apa. Telah beberapa kali ia

berteriak pula, tetapi tidak juga terdengar jawaban dari dalam. Ia mencoba mendorong

pintu rumah. Sayang pintu itu terkancing kuat dari dalam.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Sadarlah mereka sekarang bahwa rumah penduduk itu kosong tidak berpenghuni

lagi. Namun yang menimbulkan pertanyaan dalam hati dua orang muda ini, mengapa

penduduk mengosongkan rumah mereka?

"Kakang, apa yang sudah terjadi?" tanya Fajar Legawa.

Tumpak Denta menggelengkan kepalanya. Ia pun sama halnya, belum dapat

menduga sebabnya desa ini tampak kosong. Satu hal yang memenuhi benak mereka,

kemanakah penduduk desa ini pergi?

Mereka kembali menebarkan pandang-mata untuk melihat sekeliling. Desa

tersebut tetaplengangdan sepi, dan tidak seekorpun anjing maupun binatang lain

berkeliaran. Rumah-rumah yang berdiri didalam desa itupun tetap bisu, tak dapat

memberitahukan kepada mereka, kemana para penghuni desa ini pergi. Hanya angin

sajalah yang baik hati, berhembus perlahan mengusap kepada seluruh benda yang

dilanggar. Seakan angin itu membisikkan sesuatu, dan memperingatkan kepada Fajar

Legawa maupun Tumpak Denta agar lebih berhati-hati. Sebab ancaman bahaya setiap

waktu dapat terjadi.

Sayang sekali bahwa baik Fajar Legawa maupun Tumpak Denta tidak menyadari

akan bisikan angin yang baik hati itu. Mereka masih terbenam oleh perasaan yang heran

dan bertanya-tanya, mengapa desa tersebut kosong. Akan tetapi pada saat mereka masih

menebak-nebak ini, mereka terkejut dan terpaksa mereka melompat ke samping.

"Tak tak........!" dua batang anak panah menancap pada dinding rumah.

Fajar Legawa dan Tumpak Denta berpandangan. Apa yang baru terjadi membuat
Iblis Dari Gunung Wilis Karya Widi Widayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mereka keheranan. Mereka sebenarnya marah, mengapa ada orang sengaja menyerang

secara gelap? Maka dengan isyarat, mereka berdua telah melompat kearah asal anak

panah.

Ketika itu hari sudah agak gelap, karena matahari sudah mulai menyembunyikan

diri dalam peraduannya. Namun mata Fajar Legawa dan Tumpak Denta yang

sudahterlatih, segera dapat menangkap bayanganorang menyelinap ke dalam semak

belukar. Fajar Legawa cepat bergerak untuk mengejar orang tersebut. Tapi segera

berdesinganlah dua batang anak panah mengarah mereka, dari arah lain. Fajar Legawa

menggerakkan tangan kanan seraya merendahkan tubuh. Sebatang anak panah yang

berdesing di atas kepalanya dengan gampang ia tangkap. Kemudian anak panah lain,

dengan gampang ia pukul runtuh dengan anak panah yang dapat ia tangkap itu.

Rasa marah semakinmenggelegak dalam dada oeh perbuatan orang yang curang

itu. Maka Fajar Legawa segera melompat untuk mengejar, sedang Tumpak Dentapun

tidak mautinggal diam. Namun baru saja mereka bergerak, telah bermunculanlahhttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

beberapa kepala orang dari semak sambil mengancam dengan anakpanah yang siap pada

busur. Mereka sudah terkepung, dan keselamatan dua orang muda ini terancam.

"Jangan bergerak apabila ingin selamat!" bentak salah seorang menggeledek.

"Panah-panahku ini sanggup membunuh kamu. Tahu?"

Apa yang terjadi makin menyebabkan Fajar Legawa dan Tumpak Denta

tambah marah. Sesungguhnya mereka sanggup menyelamatkan diri dan membentengi

tubuh dengansenjata masing-masing. Namun kehadiran mereka di desa ini bukan mencari

musuh, maka mereka takkan gegabah dan menurutkan hati marah.

Ternyata jumlah orang yang sekarang mengurung secara ketat itu amat banyak.

Lebih tiga puluh orang jumlahnya, sedang mereka telah siap pula dengan aneka macam

senjata yang mereka miliki. Orang-orang itu mengamati Fajar Legawa dan Tumpak Denta

dengan pandangmata yang curiga. Akan tetapi sebaliknya pula, dua orang muda ini

mengamati mereka sambil bertanya- tanya mengapa secara tiba-tiba telah dikepung dan

diancam oleh senjata?

Tak lama kemudian tempat itupun menjadi terang benderang oleh obor-obor kayu

yang dinyalakan orang. Dan dua orang ini menebarkan pandang mata menyelidik.

"Lepas senjatamu, dan menyerahlah!" bentak orang yang tadi dengan garang dan

lantang.

Fajar Legawa dan Tumpak Denta terkejut. Mereka segera menatap orang itu, yang

berdiri tegak sambil memegang golok telanjang. Orang itu tubuhnya tinggi besar, kokoh

disamping garang. Dia memelihara kumis tipis yang terawat, tetapi tidak berjenggot.

Sepasang matanya berkilat-kilat memandang Fajar Legawa dan Tumpak Denta tidak

berkedip. Akan tetapi dua orang muda ini berdiri dengan tenang. Mereka tidak

menjawab tetapi juga tidak mau memenuhi perintah orang itu.

"Hai! Apakah kamu tuli?" bentaknya kasar. "Buanglah senjatamu dan

menyerahlah. Berani melawan berartimati!"

"Sabar sahabat," sahut Tumpak Denta. "Apa salah kami dan mengapa pula

saudara bersikap sekasar itu?"

"Cerewet!" bentak orang itu lagi. "Kamu mau memungkiri perbuatanmu? Huh,

bangsat busuk!"

Tiba-tiba melompatlah seorang pemuda berbadan tegap dengan senjata tombak

trisula, dan kemudian berdiri mendampingi laki-laki bersenjata golok itu. Katanya.

"Kakang Danurwenda! Mengapa kau layani bangsat-bangsat ini? Bukti tidak terbantahhttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

lagi,bahwa mereka mata-mata penjahat gunung Ungaran."

Sulit dibayangkan betapa terkejut Fajar Legawa maupun Tumpak Denta

mendengar ini, tetapi diam-diam menjadi marah. Kata-kata orang itu amat menghina

disamping menyakitkan hati. Maka Fajar Legawa segera bersiap diri untuk memberi

hajaran kepada orang yang sudah menuduh membabi buta itu. Tetapi untunglah Tumpak

Denta waspada dan mencegah. "Sabarlah adi, jangan menurutkan amarah."

Tumpak Denta mempunyai alasan lain. Ia sudah menduga terjadi salah sangka,

dan dapat menduga pula bahwa semua orang ini adalah penduduk desa ini. Agaknya

mereka tadi memang sengaja mengosongkan desa, dalam usaha mereka menjebak

penjahat gunung Ungaran. Kemudian mudah diduga pula,bahwa gerombolan penjahat

gunung Ungaran itu telah merencanakan untuk merampok didesa ini. Hingga penduduk

bersatu-padu, mengumpulkan kekuatan untuk melawan.

Dalam hatinya bersyukur, bahwa penduduk desa ini memiliki kemampuan

melawan para penjahat. Namun sebaliknya ia kurang mengerti akan alasan mereka,

mengapa menuduh orang sebagai mata-mata penjahat gunung Ungaran.

"Saudara-saudara, kalian salah sangka." Tumpak Dentamemberi penjelasan.

"Kami sedang melakukan perjalanan jauh, dan tiba di desa ini dengan maksud mencari

pertolongan untuk mendapat tempat menginap. Percayalah kawan, bahwakami bukan

penjahat yang kalian maksudkan itu."

Pemuda yang bertubuh tegap itu ketawa mengejek. Katanya kemudian. "Bagus!

Kamu ternyata pandai berdalih dan menipu. Akan tetapi sayang sekali bahwa aku tidak

bisa percaya. Aku sendiri yang menyaksikan kamu bertiga menuruni lereng Ungaran.

Seorang kawanmu yang tua itu kemudian memisahkan diri kejurusan lain. Bukankah

benar apa yang aku katakan ini? Hayo bantahlah jika bisa."

Tumpak Denta dan Fajar Legawa terkesiap. Kata-kata pemuda ini tidak bisa

dibantah justeru benar. Maka kemudian jawab Tumpak Denta jujur. "Benar, kami bertiga

menuruni lereng gunung Ungaran itu sore tadi."

Segera terdengar suara gaduh dari orang-orang desa yang mencemohkan. Hingga

Tumpak Denta yang akan meneruskan keterangannya terpaksa dibatalkan. Sulit suaranya

mengatasi suara dari mulut puluhan banyaknya itu.

"Ha, kau sudah mengaku?" ejek orang pertama.

Sesungguhnya Fajar Legawa sudah tidak sabar lagi harus bertahan. Ia sudah amat

marah dituduh sebagai bangsat dan penjahat. Kepada orang yang berani menghina, ia

tidak sanggup untuk memberi ampun. Ia paling benci dihina orang. Namun Tumpakhttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Denta tidak menghendaki, dan katanya kemudian.

"Saudara, sudilah bersabar. Akuakan memberi keterangan selengkapnya. Begini,

benarlah bahwa kami bertiga menuruni lereng gunung Ungaran itu. Tetapi janganlah

kalian menuduh bahwa kami penjahat. Kami datang ke desa ini bukan bermaksud

berselisih dan mencari musuh. Akan tetapi berusaha mencari sahabat. Percayalah, bahwa

aku sudah memberi keterangan sejujurnya kepada kalian."

Akan tetapi kata-kata Tumpak Denta itu disambut dengan ketawa mereka yang

mencemohkan. Mereka geli mendengar alasan dua orng ini. Maka kemudian terdengarlah

kata orang pertama. "Hem, baik! Engkau boleh memberi keterangan sepuasmu, dan boleh

pula engkau mengajukan dalih. Akan tetapi demi keselamatan seluruh rakyat dalam desa

ini, dan demi keselamatanmu berdua, aku tetap menuntut, buanglah senjatamu dan

menyerah."

Fajar Legawa yang masih berdarah panas sudah tidak kuasa lagi menahan diri. Ia

tidakperduli lagi, dan tidak perduli pula salah sangka ini berlarut-larut, ia beranggapan,

percumalah memberikan peujelasan. Maka ia segera maju selangkah seraya berkata

lantang. "Kalian telah menghina kami. Kalian sudah membabi buta menuduh orang.

Huh, sekarang apakah kehendak kalian?"

Orang-orang desa yang semula gaduh itu mendadak sirap mendengar kata-kata

Fajar Legawa. Mereka kemudian mengamati penuh perhatian dengan wajah nampak

tegang. Namun sekalipun demikian dalam hati mereka telahyakin, bahwa pihak mereka

yang bakal menang apabila terjadi pertempuran. Jumlah mereka jauh lebih banyak. Malah

Danurwenda dan Tohjoyo bukan pemuda sembarangan.

Sejak semula Tohjoyo justeru sudah tidak sabar. Maka pemuda ini segera

melompat maju sambil tertawa dingin. Senjata trisulanya melintang di depan dada.

Kemudian katanya mengejek. "Bagus! Mari kita buktikan siapakah diantara kita lebih

kuat?"

Selesai berkata senjata trisula itu telah menyambar ke arah leher. Fajar Legawa

tidak gugup. Ia miringkan kepala sambil merendahkan tubuh. Kemudian ketika senjata

itu lewat di atas kepalanya, ia mengangkat tangan untuk mencengkeram pergelangan

tangan lawan. Namun ternyata kemudian bahwa serangan itu pancingan saja. Begitu

melihat lawan bergerak, ia sudah merobah serangannya menyerampang kaki. Untung

Fajar Legawa tak gampang ditipu. Ia menjejakkan kaki ke tanah kemudian melompat ke

samping.

Tetapi Tohjoyo tidak memberi kesempatan lawan bernapas. Ia sudah melompat sambil

menikamkan senjatanya lagi. Akan tetapi sekarang Fajar Legawa tidak mau berkelit lagi.

Dua tangan pemuda ini sekarang malah terangkat untuk menyongsong senjata lawan.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Karena tak menduga, maka senjata Tohjoyo tertangkap pada bagian yang tidak

tajam. Tohjoyo kaget, ia tak pernah menduga sama sekali bahwa serangannya akan

disambut seperti itu. Tohjoyo mengerahkan tenaga untuk melepaskan senjatanya.

Sebaliknya Fajar Legawa berusaha bertahan.Namun Tohjoyo memang mempunyai

tenaga seperti raksasa. Senjatanya berhasil ditarik, akan tetapi dengan gesit tubuh Fajar

Legawa sudah berkelebat maju. Sekali bergerak tangan pemuda ini sudah mengancam

tenggorokan, sedang sebelah tangannya lagi telah menangkap trisula Tohjoyo.

Serangan tidak terduga ini membuat Tohjoyo kaget bukan main, untung juga

pemuda ini masih dapat melindungi keselamatannya. Ia menggulingkan diri, kakinya

terangkat untuk mendepak dan berbareng itu iapun berusaha menggentak senjatanya.

Fajar Legawa tidak berani nekat. Tengah paha merupakan bagian tubuh yang paling

lemah. Ia bisa menderita celaka apabila bagian itu terpukul, walaupun sesungguhnya

iapun akan dapat memukul Tohjoyo. Daripada harus mengambil risiko, maka Fajar

Legawa memilih melepaskan senjata lawan sambil melompat mundur

Kalau Fajar Legawa melawan Tohjoyo dengan tangan kosong, maka Tumpak

Denta lain. Ia cukup hati-hati dan tidak berani memandang rendah kepada lawan. Secepat

kilat ia sudah mencabut pedangnya untuk melayani Danurwenda. Dan ternyata kemudian

bahwa gerak-gerik Danurwenda lebih cekatan dibanding Tohjoyo. Pemuda ini dengan

senjata goloknya sudah menyerang bertubi-tubi kepada Tumpak Denta.

Dalam waktu singkat empat orang muda itu sudah berkelahi sengit sekali. Para

penduduk desa yang membentengi arena perkelahian itu mengamati dengan jantung

tegang. Diam-diam para penduduk ini khawatir apabila dua jagonya itu sampai tidak

mampu mengalahkan dua orang musuh itu.

Dan agaknya banyak obor kayu yang menyala ditempat itu, menarik perhatian

para penduduk desa yang lain. Mereka berbondong berdatangan, ingin menyaksikan apa

yang sedang terjadi ditempat itu. Dan orang-orang desa yang baru datang ini, kemudian

perhatiannya terpusat kepada mereka yang sedang berkelahi sengit itu.

Setelah berkelahi cukup lama belum juga dapat mendesak Tohjoyo, maka Fajar

Legawa menjadi marah. Ia tidak sedia menggunakan tongkatnya yang ampuh itu, yang

dapat mematahkan senjata lawan. Tetapi sebaliknya apabila ia terus berkelahi seperti

sekarang ini, juga sulit untuk dapat mengalahkan lawan. Mendadak saja timbullah pikiran

Fajar Legawa untuk menggunakan pukulan pamungkas, dengan aji "Panglebur Jagad".

Sebab menurut pendapatnya, hanya dengan jalan ini sajalah ia akan dapat mengalahkan

lawan. Untuk melancarkan pukulan ini, Fajar Legawa segera bersiap diri untuk

menyalurkan tenaganya.

Tohjoyo heran melihat sikap lawannya yang berdiri tegak tak bergerak itu. Dan

pemuda inipun berdiri tegak sambil melintangkan senjata trisulanya didepan dada. Samahttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

sekali Tohjoyo tidak menyadari bahwa sikap Fajar Legawa itu, dapat membuat dirinya

terancam oleh bahaya.

Justeru dalam keadan yang amat gawat ini, tiba-tiba terdengarlah seruan nyaring

yang disusul oleh berkelebatnya sesosok bayangan melompat masuk ke dalam

gelanggang. "Tahan!"

Seruan ini membuat empat orang yang sedang berkelahi itu terkejut. Fajar Legawa

mengurungkan niatnya, sedang Danurwenda dan Tumpak Denta yang tadi berkelahi

sengit, sudah melompat mundur

"Ahhh..........hampar saja!" terdengar suara perempuan. "Untung kami segera

datang."

Empat orang muda yang tadi berkelahi heran, Hampir berbareng mereka menoleh

kearah suara. Tampak oleh mereka, seorang pemuda gagah bersama seorang gadis

bertubuh denok ( montok ) dan wajahnya cukup cantik.

Tohjoyo mengerutkan alis pertanda kurang senang. Lalu tegur pemuda ini. "Adi

Wanengboyo! Mengapa engkau menghentikan perkelahian ini?"

Wanengboyo tertawa. Kemudian jawabnya. "Setelah aku memberi penjelasan,

kakang Tohjoyo akan tahu. Mereka ini bukan orang jahat, dan dia inilah adi Fajar Legawa

yang pernah aku ceritakan kepada engkau."

"Ahhh ............!" Danurwenda dan Tohjoyoberseru hampir berbareng.

Sebaliknya Ayu Kedasih dengan bibir tersenyum manis sudah menghampiri Fajar

Legawa. Tegurnya. "Baik-baik sajakah engkau, tadi?"

"Ya, selamat," sahut Fajar Legawa dengan sikap yang kikuk. Teringatlah pemuda

ini akan pesan Ayu Kedasih didalam sapu tangan.

"Kakang Danurwenda dan kakang Tohjoyo." kata Wanengboyo lagi. "Mengapa

sebabnya kalian berkelahi dengan adi Fajar Legawa dan Tumpak Denta?"

Tohjoyo dan Danurwenda tertegun. Dua orang ini tidak segera menjawab. Dan

Wanengboyo kemudian berkata lagi. "Adi Fajar Legawa dan adi Tumpak Denta.
Iblis Dari Gunung Wilis Karya Widi Widayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Agaknya kalian salah paham. Baik kakangTohjoyo maupun kakang Danurwenda adalah

kakak seperguruanku."

Kemudian kepada Tohjoyo dan Danurwendar ia memberi penjelasan. "Kakang

Tohjoyo dan kakang Danurwenda, mereka ini adalah tamu-tamu kita, sahabat dari

lembah Galunggung, murid-murid paman Suria Kencana."https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

"Ahh.........maafkan aku.........!" seru Tohjoyodan Danurwenda hampir berbareng.

"Bukan kalian," seru Tumpak Denta. "Tetapi kamilah yang mohon maaf atas

kesalah pahaman ini."

Empat orang muda yang semula saling labrak itu, sekarang saling berpelukan.

Dalam hati Tonjoyo dan Danurwenda timbul rasa sesal, mengapa sudah terburu nafsu

dan menuduh dua orang murid Suria Kencana itu sebagai orang orang jahat dari gunung

Ungaran.

Suasana cepat berobah. Kalau tadi amat menegangkan dan akan terjadi salah

seorang melayang jiwanya, sekarang suasana ditempat itu mengasyikkan. Perobahan

suasana itupun mempengaruhi penduduk desa ini. Sekarang sikap mereka kepada Fajar

Legawa dan Tumpak Denta menjadi ramah dan manis. Dan kemudian Fajar Legawa dan

Tumpak Denta, segera mereka ajak menuju balai desa.

Dalam perjalanan menuju balai desa ini, berkatalalawanengboyo kepada

Danurwenda. "Kakang, sungguh beruntung bahwa aku datang disaat yang tepat. Hingga

kesalahpahaman itu tidak berlarut-larut."

Danurwenda mengiakan, kemudian ia bertanya, "Mengapa engkau dan adi

Kedasih bisa kemari?"

Wanengboyo tersenyum. Lalu, "Kedatanganku bersama Ayu Kedasih memang

sengaja. Dari Merbabu, aku langsung datang kemari."

"Kalau begitu, engkau sudah bertemu dengan guru?" sela Tohjoyo.

"Benar. Aku menginap semalam di sana," sahut Wanengboyo. "Kemudian aku

langsung kemari, dengan maksud untuk membantu kesibukanmu menghadapi gangguan

penjahat gunung Ungaran itu."

"Ahhh, terima kasih adi," kata Danurwenda. "Sudah lebih satu tahun aku tidak

pulang kemari. Ternyata desaku ini diganggu penjahat."

"Adakah pesan guru untuk aku dan kakang Danurwenda?"tanya Tohjoyo.

"Ada!" sahut Wanengboyo. "Pertama, guru memberi nasihat agar kakang berdua

bersikap hati-hati menghadapi gangguan penjahat Ungaran. Maka guru melarang kalian

datang menyerbu gunung itu. Dan yang kedua, pada bulan purnama bulan depan kakang

berdua harus kembali lagi ke Merbabu."https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

"Ahhh........." Tohoyo terkejut. "Kalau guru sampai melarang, apakah penjahat

gunung Ungaran itu benar-benar berbahaya?"

"Benar!" sahut Wanengboyo kemudian memberi keterangan. "Raja penjahat itu

mempunyai guru dan sekaligus ayah angkat yang sakti mandraguna. Disamping itu di

sana telah diatur perangkap dan jebakan yang membuat orang akan tersesat. Dan lebih

dari itu, di sana terdapat prajurit yang sukar dikalahkan........."

"Apa?" Tohjoyo kaget. "Apakah prajurit penjahat itu terdiri dari setan dan

siluman?"

"Bukan setan dan bukan siluman" sahut Ayu Kedasih. Akan tetapi karena iapun

mendengar keterangan dari Gajah Seta, maka ia ingin membantu Wanengboyo. "Akan

tetapi prajurit yang sukar ditundukkan itu, terdiri dan ribuan ekor ular berbisa yang amat

berbahaya."

Ayu Kedasih berhenti dan menyapukan pandang matanya kepada Tohjoyo,

Danurwenda, Tumpak Denta dan Fajar Legawa. Kemudan perempuan ini tersenyum,

terusnya. "Dan ular-ular itupun sudah terlatih sehingga dengan aba-aba, ular itu akan

menyerang dari semua jurusan. Hiii.......aku jijik kalau membayangkan ribuan ekor ular

berbisa itu yang bergerak dan mengurung ............"

Penduduk desa yang mendengar keterangan itu menjadi ngeri. Betapa dahsyat

prajurit ular itu apabila menyerang dan mengeroyok. Terluka oleh senjata, orang masih

bisa diselamatkan dengan obat. Akan tetapi orang yang terluka oleh gigitan ular berbisa,

tidak gampang disembuhkan.

Fajar Legawa yang telah merasakan sendiri betapa bahayanya ular-ular itu, diam-

diam tidak bisa membantah kekhawatiran Ayu Kedasih dan Wanengboyo. Kalau saja

ketika itu dirinya tidak tertolong oleh senjatanya yang dapat mengusir ular, ia sendiri tidak

dapat membayangkan, apakah dirinya masih hidup lagi.

Akan tetapi sungguh tidak terduga, tanggapan Tohjoyo lain. Pemuda ini tidak

takut kepada barisan ular itu. Katanya. "Huh, aku tidak takut! Dan aku akan tetap

mencoba untuk mendaki gunung Ungaran. Huh, aku takkan bisa percaya sebelum melihat

dengan mata kepala sendiri dan mengalami keroyokan ular-ular berbisa itu."

Ayu Kedasih dn Wanengboyo tercengang mendengar jawaban Tohjoyo itu.

Gurunya sudah melarang justeru gunung Ungaran itu amat berbahaya. Dan kalau Gajah

Seta sebagai gurunya melarang, tentu saja larangan itu mempunyai alasan cukup kuat.

Guru itu mengkhawatirkan keselamatan murid-muridnya. Akan tetapi mengapa Tohjoyo

ingin nekat?

Tetapi sikap Danurwenda lain. Ia seorang yang tidak gampang terbakar oleh rasahttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

marah dan penasaran. Pemuda ini berpikir, kalau gurunya melarang tentunya sudah

disertai pertimbangan-pertimbangan. Ia pun dapat membayangkan, menghadapi barisan

ular tidak segampang menghadapi lawan manusia. Belum terhitung lagi, Dyah Raseksi

sendiri, anak buahnya dan gurunya yang sakti mandraguna itu.

Walau demikian ia tidak mencela sikap Tohjoyo. Ia kemudian hanya berkata

dengan nada yang sabar, "Biarlah semua ini kita bicarakan dahulu di balai desa nanti

dengan hati dingin dan pertimbangan-pertimbangan. Kita tidak bisa mengabaikan

petunjuk dan larangan guru."

Untuk beberapa saat lamanya mereka berdiam diri. Setelah mereka masuk ke

dalam desa, Fajar Legawa maupun Tumpak Denta tercengang melihat perobahan yang

terjadi di dalam desa ini. Disaat mereka datang di desa ini, tampak sepi, mati tanpa

penghuni. Lengang, kosong, seakan tanpa penghuni. Rumah-rumah tertutup rapat, tiada

lampu atau api menyala. Akan tetapi sekarang desa itu berobah menjadi hidup. Beberapa

wanita dan kanak-kanak tampak menyambut mereka dengan wajah berseri, Pintu-pintu

rumah mereka terbuka lebar. Desa ini telah kembali hidup seperti biasanya.

Menyaksikan keadaan ini, Fajar Legawa dan Tumpak Denta sadar. Bahwa apa

yang dialami tadi memang disengaja dan telah dipersiapkan lebih dahulu.

Agaknya Danurwendapun dapat menduga apa yang dikandung oleh Tumpak

Denta dan Fajar Legawa. Maka ia mendekati, kemudian katanya. "Maafkan aku, bahwa

kehadiran adi Tumpak Denta dan Fajar Legawa tadi disambut oleh keadaan desa yang

kosong. Adi, dalam rangka meningkatkan kewaspadaan yang mendorong kami

melakukan seperti ini."

"Aku juga dapat memahami maksudmu," sahut Tumpak Denta sambil tersenyum.

"Terima kasih adi, apabila engkau dapat memahami keadaan ini," kata Danurwenda.

"Adi, desa ini yang menyaksikan aku terlahir didunia ini. Desa inilah pula kampung

halamanku. Maka sesudah aku mendengar berita bahwa desa ini dan desa-desa sekitarnya

diganggu penjahat, dengan seijin guru,aku pulang kemari. Betapa gemas dan marahku,

sesudah aku mendengar penderitaan perduduk desaku ini oleh gangguan penjahat. Dan

betapa sedih dan penasaranku sesudah aku merdengar pula bahwa beberapa orang

menjadi korban keganasan para penjahat, disamping beberapa orang gadis dan pemuda

hilang tak tentu rimbanya."

Danurwenda berhenti dan menghela napas. Ia merasa sedih atas penderitaan

penduduk dalam desa kelahirannya ini.

"Ahh," katanya seterusnya, "keadaan ini mendorong padaku untuk membakar

semangat mereka, dan melakukan perlawanan. Aku katakan kepada mereka, bahwahttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

apabila kita tidak menyusun kekuatan untuk menghalau mereka, kita akan semakin

ditindas dan semakin menderita. Ya sesudah kubakar semangatnya, ternyata penduduk

desaku ini belum kehilangan semangat seluruhnya. Mereka kemudian menyambut dan

menyetujui rencanaku. Dan oleh karena itu aku segera bertindak dan bekerja. Karena

untuk menyusun kekuatan tidaklah mungkin terlaksana, tanpa mereka memiliki

kepandaian sekalipun sedikit. Maka dengan kemampuanku yang terbatas mereka

kemudian kami latih membela diri dan menggunakan senjata. Namun karena mendadak

dan terdesak oleh waktu, sesungguhnya mereka belum mempunyai arti apa-apa bagi

penjahat yang rata-rata berilnu itu. Akan tetapi meskipun demikian masih ada gunanya

daripada tidak sama sekali. Demikianlah, sejak kedatanganku desa dalam keadaan aman.

Tetapi sore tadi..."

Danurwenda berhenti dan menelan ludah. Beberapa saat kemudian barulah ia

melanjutkan. "Beberapa orang pemuda yang aku bebani tugas sebagai mata-mata

melaporkan, bahwa dari lereng gunung Ungaran tampak tiga orang laki-laki bersenjata

menuju ke bawah. Dan atas laporang itu aku cepat menduga bahwa tiga orang laki-laki

bersenjata itu tentu penjahat-penjahat gunung Ungaran. Secepatnya semua penduduk aku

perintahkan mengosongkan desa. Dalam waktu singkat desa segera kosong. Itulah

sebabnya maka ketika adi Tumpak Denta dan adi Fajar Legawa datang ke desa ini, desa

telah kosong. Disamping itu karena aku mengira bahwa adi berdua memang anggota

penjahat gunung Ungaran itu, maka segera aku perintahkan dua orang pemuda untuk

memancing engkau keluar desa. Itulah adi, mengapa sebabnya tadi kalian menjadi incaran

anak panah. Hemm syukur sekali bahwa sebelum terlanjur runyam, adi Wanengboyo

datang..............."

Tohjoyo yang sejak tadi berdiam diri, mendadak bertanya. "Dimanakah kawanmu

yang seorang tadi?"

"Dia kembali pulang," sahut Tumpak Denta.

"Siapakah dia?" desak Tohjoyo.

"Paman Wukirsari."

"Oh, Wukirsari yang berdiam di Gresik?"

Tumpak Denta mengangguk. Danurwenda dan Tohjoyo saling pandang. Mereka

memang pernahmendengar nama itu yang amat terkenal.

"Sayang," desis Danurwenda, "alangkah untung penduduk desa ini apabila beliau

hadir di sini. Tetapi ahh, mengapa kalian turun dari gunung itu?"

"Kisahnya agak panjang." jawab Tumpak Denta. Kemudian ia memalingkan mukanyahttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

kepada Fajar Legawa. Terusnya. "Adi, ceritakanlah sejelasnya justeru engkaulah yang

lebih tahu."

Ketika itu mereka sudah hampir tiba di balai desa. Obor yang besar dipasang pada

pintu halaman, menerangi sekitarnya. Beberapa orang pemuda bersenjata nampak berdiri

pada dua sisi pintu. Dan disamping itu terdengar pula suara percakapan mereka diseling

suara ketawa dari arah balai desa. Agaknya sementara penduduk desa ini telah

mendahului hadir kebalai desa ini untuk menyambut tamu.

Sambil melangkah ini Fajar Legawa menceritakan semua pengalamannya di

gunung Ungaran yang hampir saja mati. Ia menceritakan secara blak-blakan, kecuali tiga

soal. Ialah tentang tongkatnya yang sanggup mengusir ular, tingkah laku Dyah Raseksi

ketika menawan dirinya, dan cintanya kepada Pertiwi Dewi. Baik Danurwenda, Tohjoyo

maupun para penduduk yang mengiring mendengarkan penuh perhatian. Dan ketika

mendengar bahwa baik Wukirsari maupun Gadung Melati tak sanggup menaklukkan

penjahat Ungaran itu, membuat semangat Tohjoyo menurun. Kalau ia tadi begitu

bersemangat akan datang ke sana dan menghancurkan gerombolan penjahat itu, sekarang

harus berpikir panjang lebih dahulu.

Agaknya pemuda-pemuda yang berjaga pada pintu halaman balai desa itu, lebih

dahulu telah memberitahukan kedatangan rombongan tamu ini. Terbukti beberapa puluh

penduduk laki-laki dan perempuan, berbondong menuju balai desa.

Melihat semua itu Ayu Kedasih tidak kuasa menahan hati. Tanyanya. "Kakang

Danurwenda. Apakah kakang memerintahkan kepada Mereka untuk menyambut kami?"

"Tidak!" sahut Danurwenda sambil tertawa. "Tetapi aku tahu bahwa mereka

sendiri yang ingin menyambut kalian. Tentunya sebagai pernyataan terima kasih atas

perhatian kalian terhadap penderitaan mereka."

Terdengar suara ketawa Ayu Kedasih yang merdu. Kemudian. "Bukankah sudah

merupakan kewajiban kami untuk membantu mereka? Bukankah begitu, adi Fajar

Legawa?"

Fajar Legawa yang memang melangkah berdampingan denganAyu Kedasih

tersenyum. Jawabnya kemudian. "Engkau benar."

Balai desa itu terang-benderang oleh sinar lampu minyak kelapa dan beberapa

obor kayu. Dan balai desa yang cukup luas itu telah terbentang tikar pandan yang bersih,

untuk tempat duduk para tamu.

Para penduduk desa ini tampak tercengang menyaksikan Ayu Kedasih

menyandang senjata dan tampak gagah, disamping cantik jelita. Beberapa orang gadishttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

saling sentuh. Agaknya kehadiran Ayu Kedasih membangkitkan semangat gadis-gadis

desa ini, untuk ikut serta berjuang membantu para pemuda atau ayah mereka menghalau

penjahat.

Sesudah mereka semua menempatkan diri, Danurwenda segera memperkenalkan

Fajar Legawa, Tumpak Denta, Wanengboyo dan Ayu Kedasih. Mereka datang ke desa

ini, semua akan memberi bantuan kepada penduduk desa Sumberrejo untuk menghalau

penjahat.

Tepuk tangan menggemuruh dari penduduk desa Sumberrejo ini, mendengar
Iblis Dari Gunung Wilis Karya Widi Widayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

penjelasan Danurwenda. Fajar Legawa menebarkan pandang matanya kepda mereka

yang hadir, bibirnya tersenyum, akan tetapi diam-diam pemuda ini terharu. Namun di

samping itu sesungguhnya Fajar Legawa ingin tahu, siapakah sesungguhnya Lurah Desa

ini? Tetapi karena ia tidak bisa menemukan orang yang pantas dengan kedudukannya

sebagai "raja kecil" di desa itu, maka kemudian ia bertanya kepada Tohjoyo. "Kakang,

agaknya pak Lurah tidak ada disini. Mengapa?"

Tohjoyo menghela napas. Kemudian ia menjawab dengan nada tidak lancar. "Adi,

benarlah dugaanmu. Lurah itu sesungguhnya .........ayahku sendiri. Tetapi .........ayah

sudah tiada lagi............... Ayah telah menjadi korban keganasan............ penjahat

Ungaran itu........."

"Ahhh........." hampir berbareng Tumpak Denta dan Fajar Legawa berseru

tertahan.

Maklumlah sekarang mengapa Tohjoyo bersikap keras sekali terhadap penjahat

gunung Ungaran, dan menganggap dirinya akan mampu mengalahkan penjahat Ungaran

itu. Saking gemas, penasaran dan sakit hatinya kepada penjahat itu, ia ingin menentang

nasihat gurunya. Memang dapat dimengerti betapa sakit hati pemuda ini, dan betapa pula

keinginannya dapat membalas dendam.

"Ayah menjadi korban yang pertama kali......" Tohjoyo meneruskan

penuturannya. "Ketika penjahat mengganggu desa ini, ayah.........melawan ...dengan

gigih dan tak kenal takut. Akan tetapi .........akhirnya ayah tidak berdaya karena dikeroyok

belasan penjahat. Hemm ......... peristiwa itu membuat hatiku ini sakit ......... Dan itulah

sebabnya aku bersikeras untuk menyerbu kesana......"

Tohjoyo mengeluh. Sedang Fajar Legawa dan Tumpak Denta yang mendengar

menjadi terharu. Mereka dapat mengerti betapa dendam dan sakit hati pemuda ini kepada

penjahat gunung Ungaran. Namun demikian, apabila tanpa memperhitungkan kekuatan

akibatnya akan lebih runyam. Ibarat datang ke gunung Ungaran hanya akan

mengantarkan nyawa. Usaha membalas dendam itu tak terkabul malah menjadi korban

penjahat yang ganas itu. Hal ini harus dicegah. Dan Tohjoyo harus bisa disadarkan,https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

bahwa penyerbuan ke gunung itu bukanlah jalan yang terbaik.

Ketika itu sementara orang muda membawa hidangan. Hidangan yang

disumbangkan penduduk desa ini dengan gotong-royong, dalam usaha mereka untuk

menyambut tamu-tamu mereka yang terhormat. Kemudian mereka makan bersama-

sama, hingga pertemuan itu tambah meriah. Mereka makan dengan lahap.

Sesungguhnya makanan yang dihidangkan itu sederhana saja. Bukan merupakan

makanan yang dimasak secara istimewa. Dalam keadaan rakyat menderita masih dapat

menyelenggarakan sekadar hidangan itu, sudah merupakan keuntungan bagi Fajar

Legawa dan yang lain.

Selesai makan, mereka tidak juga istirahat. Mengingat kewajiban mereka untuk

mengawal keamman desa ini. Mereka yang tua, kanak-kanak dan perempuan

memundurkan diri, akan tetapi para muda secara bergilir selalu dalam keadan siaga dan

waspada.

Di saat balai desa sudah tidak semeriah tadi itu. Danurwenda mengamati Fajar

Legawa. Kemudian katanya. "Adi, selaras dengan keteranganmu tadi jelas bahwa

penjahat gunung Ungaran itu kuat sekali. Oleh sebab itu saya mohon agar kalian berdua

tidak segera pergi dan meninggalkan desa ini, dan sedia membantu dan memperkuat

barisan kami."

"Benar!" sambut Wanengboyo. "Kasihanilah penduduk desa ini yang setiap saat

terancam oleh bahaya maut. Penjahat gunung Ungaran itu amat ganas, disamping kuat

pula. Dengan bantuan adi Fajar Legawa dan adi Tumpak Denta, akan membuat kami

lebih mantap lagi menghadapi gangguan penjahat gunung Ungaran."

"Dan akupun mengharap pula kesediaan kalian," Ayu Kedasih ikut memperkuat. "Aku

yakin dan percaya, bahwa baik adi Fajar Legawa maupun adi Tumpak Denta tiada

keberatan membantu kami."

Tumpak Denta dan Fajar Legawa berpandangan. Guru mereka mengharap

kedatangan mereka. Dan sesungguhnya untuk menolak permintaan mereka itu, juga tidak

sampai hati. Justeru permintaan bantuan itu untuk tugas kemanusiaan.

Malah merupakan kewajiban yang tak terbantah bagi setiap pengabdi kemanusiaan

dan keadilan, setiap saat menyingsingkan lengan membantu sesama hidup yang

memerlukan bantuan dan tenaganya.

"Guru akan dapat memaafkan kelambatanku," pikir Tumpak Denta, sesudah

mempertimbangkan beberapa saat lamanya. Dan kemudian kata pemuda ini. "Baiklah.

Akudan adi Fajar Legawa tak dapat menolak permintaan kalian."https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

"Terima kasih," ujar Danarwenda. "Dengan bantuan kalian, kekuatan desa

Sumberejo ini akan berlipat ganda."

Ayu Kedasih berseri wajahnya Dengan sepasang matanya yang bening,

perempuan ini banyak kali mencari kesempatan untuk memandang Fajar Legawa. Dan

entah apa sebabnya, Fajar Legawa sendiri tanpa sesadarnya seringkali pula memandang

Ayu Kedasih. Akan tetapi setiap melihat dada yang montok itu, tiba-tiba saja Fajar Lewa

merasa malu. Teringatlah pemuda ini akan pengalamannya waktu itu, bahwa payudara

Ayu Kedasih hampir menyentuh ujung hidungnya,

"Ahh, kakang Danurwenda terlalu berkelebihan," kata Tumpak Denta.

"Tidak berlebihan," sahut Ayu Kedasih tiba-tiba. "Tenaga gabungan ini

manfaatnya akan besar sekali. Dan kakang Danurwenda maupun kakang Tohjoyo akan

bisa sesumbar kurang lebih begini. Hai penjahat gunung Ungaran. Hayo gerakkanlah

seluruh kekuatanmu. Saleksa ngarsa, saketi wuri. Rakyat Sumberrejo takkan gentar

menghadapimu. Hamuk! Hamuk! Hamuk!"

Mereka yang mendengar tertawa. Balai desa itu menjadi riuh, sehingga pertemuan

itu lebih akrab lagi.

Ketika itu wktu sudah hampir tengah malam. Terpikir oleh Danurwenda untuk

meninjau keadaan. Sebab akan berbahayalah para pemuda yang bertugas mengawal desa

Sumberrejo itu sembrono, karena kurang pengawasan. Tumpak Denta setuju pendapat

ini, malah kemudian sedia pula ikut serta meninjau keadaan.

Danurwenda, Tohjoyo dan Tumpak Denta kemudian berangkat bersama-sama

meninjau keadaan. Yang tinggal di balai desa hanyalah Ayu Kedasih, Wanengboyo dan

Fajar Legawa. Sedang sementara pemuda masih mengobrol dan bercanda di halaman

balai desa.

"Adi Fajar, aihh sayang sekali bahwa ketika itu engkau cepat pergi," kata

Wanengboyo kepada Fajar Legawa. "Kapan lagikah engkau sera-. pat mengunjungi aku

ke sana? Pintu rumah Ayu Kedasih akan selalu terbuka setiap waktu menerima

kedatanganmu."

"Ahh, adi Fajar Legawa sudah kapok kakang, tak mungkin mau berkunjung ke

rumahku." Sahut Ayu Kedasih sambil tersenyum, "Salahmu sendiri kakang

Wanengboyo, engkau tidak dapat membeli beras, hingga adi Fajar Legawa hanya engkau

beri hidangan tiwul."

Fajar Legawa tertawa. Dan Wanengboyo ketawa bergelak-gelak.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

"Ahh, bukan disebabkan aku tak mau pergi ke sana mbakyu." kata Fajar Legawa."

"Tetapi waktu memang belum mengijinkan. Sampai saat ini aku belum juga tahu jejak

adikku yang hilang. Aku belum tahu nasib Irma Sulastri. Sebab aku berhadapan dengan

perkara-perkara baru yang muncul diluar dugaanku."

"Jadi............sampai sekarang belum ketemu...........?" Ayu Kedasih melengak

kaget.

Fajar Legawa menghela napas berat. Tiba-tiba saja hatinya terasa pedih sesudah ia

teringat kepada adiknya yang belum dikeianui nasibnya itu. Terdesak oleh persoalan-

persoalan baru yang terjadi, sehingga ia lupa kepada tujuan yang semula, mencari adiknya

yang hilang. Apa pula ketika ia teringat kembali akan orang tuanya yang mati terbunuh

olen penjahat. Ia bertambah sedih lagi. Timbul perasaannya yang berdosa, mengapa tidak

segera dapat menemukan jejak pembunuh orang-tuanya itu.

"Aku tidak tahu," Fajar Legawa kemudian mengeluh. "Apakah masih hidup

ataukah sudah mati. Semula aku menduga penjahat itu anak buah Juru Demung. Dan

aku telah ke sana, tetapi tidak dapat aku ketemukan. Aku menjadi bingung sendiri,

kemanakah aku harus mencari?"

"Tetapi mudah-mudahan Tuhan melindunginya," Ayu Kedasih yang terharu,

menyatakan perasaannya. "Dan aku berjanji untuk membantu usahamu

"Aku kira kakang Danurwenda dan kakang Tohjoyopun bersedia membantu

usahamu." Wanengboyo menyambung.

"Terima kasih." sambut Fajar Legawa dengan hati bersyukur. "Aku takkan

berhenti berusaha sebelum menemukan jejak pembunuh orang tuaku. Entah berapa

tahun, enah berapa windu. pendeknya aku akan berusaha terus."

Wanengboyo dan Ayu Kedasih makin terharu dibuatnya. Mereka dapat

memahami derita batin Fajar Legawa sekarang ini. Orang tua yang dicintai mati dibunuh

orang, sedang adiknya diculik pula.

"Sudahlah, lupakan dahulu soal itu," hibur Ayu Kedasih kemudian.

"Anggaplah peristiwa itu sebagai pupuk. Dan aku yakin seyakin-yakinnya banwa

keadilan Tuhan Akan berlaku juga. Segala kejahatan akhirnya akan terbongkar juga."

Fajar Legawa tersenyum, sekalipun hatinya amat perih. Peristiwa yang menimpa

keluarganya tidak cukup untuk disesalkan dan disedihkan. Peristiwa itu hanya dapat

diselesaikan dengan usaha. Usaha yang tidak kenal putus asa. Apa pula jika diingat bahwa

peristiwa-peristiwa yang berlaku di dunia ini selalu berlawanan. Ada gelap dan ada terang.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Ada sedih dan ada pula gembira. Mengapa harus takut akan derita didalam hidup ini?

Hidup takkan luput dari apa yang disebut derita. Dan inilah arti hidup sesunpguhnya.

Derita dan kesulitan hidup akan mendorong manusia semakin dewasa berpikir. Dan

manusia yang takut akan derita, manakah mungkin dapat maju dan mencapai cita-

citanya? Namun demikian semua itu memang memerlukan kesadaran. Dan oleh

kesadaran itu, manusia dapat merasa bahwa hidupnya ini memang tidak dapat lepas dari

takdir dan ketentuan yang sudah digariskan oleh Tuhan. Hanya manusia yang percaya

akan garis dan takdir saja, di dunia ini akan dapat hidup bahagia.

Tak lama kemudian kembalilah rombongan Danurwenda dari tugas

peninjauannya. Baru melangkah kaki masuk ke dalam balai desa, Danurwenda sudah

berkata. "Bersyukurlah kita kepada Tuhan bahwa malam ini desa kita aman. Para pemuda

masih tetap berjaga di tempat masing-masing, dan tidak menemukan eorangpun yang

uencurigakan."

"Ya, syukurlah!" sambut Wanengboyo gembira. "Dan mudah-mudahan saja

keadaan berkembang dengan baik. Agar dalam waktu singkat desa ini dan desa-desa

sekitarnya kembali aman. Karena guru telah memerintahkan kita, agar hari malam Jumat

Kliwon, tanggal 15 bulan delapan, kita sudah berada di sana."

"Apakah sesungguhnya maksud guru?" tanya Tohjoyo seraya mengambil tempat

duduk. "Adakah pesan guru?"

Wanengboyo menggelengkan kepala. Jawabnya. " Guru tidak menyatakan

sesuatu! Hanya mengatakan bahwa pada hari itu kita harus sudah bersiap diri di sana."

"Mungkinkah guru akan memberi ilmu baru kepada kita?" desak Tohjoyo.

"Mungkin," sambut Danurwenda. "Hari yang bagus itu merupakan kesempatan

yang paling baik. Tentunya guru tidak akan melewatkan begitu saja hari keramat itu."

"Kalau benar guru akan memberi ilmu baru maka hal itu akan aku sambut dengan

senang hati. Akan tetapi apabila tidak, aku akan melewatkan kesempatan itu."

"Mengapa?" Wanengboyo tampak kaget dan heran. "Bukankah merupakan

kewajiban seorang murid selalu patuh kepada perintah guru?"

"Hemm, bukannya aku tidak patuh dan akan menentang perintah guru," jawab


Dewa Linglung 26 Gempar Aji Karang Rogo Pendekar Rajawali Sakti 163 Cakar Maut
^