Pencarian

Pendekar Naga Dan Harimau 11

Pendekar Naga Dan Harimau Karya Stefanus SP Bagian 11


Seperti seorang ratu agung yang meninggalkan tempatnya dengan diiringi dayang-dayangnya.

Sementara langit di timurpun semakin cerah.

Sebelum terang tanah, Tong Lam-hou sudah membuka matanya dan bangun dari tidurnya, itu adalah kebiasaannya yang dibawanya sejak ia masih sebagai anak gunung di Tiam-Jong-san dulu, ia harus bergegas-gegas membawa barang-barang hasil kebunnya ke desa Jit-siong- tin dengan berjalan menembus kabut pagi buta.

Bahkan kadang-ka-dang ia tidak tidur semalaman jika ia harus menangkap banyak serigala untuk diambil dagingnya.

Tong Lam- hou tersenyum sendiri kalau teringat bahwa perburuan serigala di suatu malam telah mempertemukannya dengan seorang prajurit yang luka parah dan hampir mati dikeroyok serigala, dah ternyata prajurit yang ditolongnya itu adalah seorang Panglima dari Hui-liong-kun yang menjadi sahabatnya, dan membawanya ke Ibukota Kerajaan yang berlaksa-laksa li letaknya dari tempat asalnya itu.

Cepat Tong Lam-hou pergi untuk membersihkan badannya, di bagian belakang rumahnya didengarnya suara paman dan bibi Ciu yang agaknya sudah datang sepagi itu.

Suami isteri tua itu nampak heran bercampur takut ketika melihat kebun belakang itu porak- poranda seperti habis dilewati angin ribut.

Tong Lam-hou segera menjelaskah kepada suami-isteri tua itu bahwa semalam dua orang pamannya yang sakit telah "datang berlatih"

Di tempat itu, dan kedua orang"

Tua itu tidak perlu takut. Kata Tong Lam-hou.

"Siapkan saja sarapan pagi yang hangat untuk dua orang, sebab salah seorang dari pamanku itu masih berada di rumah ini."

Paman dan bibi Ciu setengah percaya setengah tidak akan cerita tuan mereka itu, namun merekapun tidak banyak bertanya lagi dan segera menjalankan tugas-tugas mereka masihg-masing.

Mereka percaya kalau Tong Lam hou kedatangan kedua orang paman, tapi rasanya sulit dipercaya kalau dua orang manusia yang "berlatih"

Itu bisa meninggalkan bekas kehancuran seolah-olah tempat itu baru saja untuk bermain-main selusin ekor gajah.

"Kalau benar-benar ada manusia seperti itu, wah, luar biasa,"

Kata bibi Ciu sambil masuk ke dapur dengan membawa sepanci air. Sementara paman Ciu menggerutu.

"Mudah- mudahan kedua orang paman Siau-ya (tuan muda) itu tidak sering-sering berlatih, kalau tidak, akulah yang mampus karena harus membenahi tempat yang berantakan ini."

Tong Lam-hou mandi dan berpakaian dengan tergesa-gesa, memakai seragam prajuritnya, sebab hari ini semua perwira harus berkumpul di barak Hui-liong-kun untuk mendengarkan penjelasan Pakkiong Liong tentang hasil Sidang di Istana Kerajaan pagi ini.

Sudah ada kabar angin bahwa Pasukan Hui- liong-kun akan mendapat tugas berat lagi, yaitu menghancurkan pemusatan kekuatan pasukan pemberontak di tempat yang jauh di sebelah barat kota Tay-teng.

Kepastian tentang itu akan didengar oleh Pakkiong Liong dalam sidang istana pagi ini, yang dipimpin langsung oleh Sri Baginda Kaisar Sun-ti.

Bersambung ke

Jilid Sumber Image . Koh Awie Dermawan Ko Aditya Indra Jaya first share in
Kolektor E-Book
Pringsewu // . PM PENDEKAR NAGA DAN HARIMAU

Jilid ? Hasil Karya . STEFANUS, S.P. pelukis . Didik. S Penerbit / Pencetak - C.V. G E M A - Mertokusuman RT RK III telepon No. SOLO - *** PENDEKAR NAGA DAN HARIMAU *** Karya . STEFANUS S.P.

Jilid AGi Tong Lam-hou, tugas pertamanya itu telah membuat semangatnya berkobar, inilah kesempatan untuk mengangkat nama besar, sekaligus membaktikan diri kepada ketertiban di negeri ini.

Ia tahu bahwa tidak seluruh pasukan akan dibawa, namun ia sangat berharap bahwa dirinya akan termasuk yang dipilih untuk berangkat ke medan laga.

Apalagi ia mendengar bahwa penggerak dari perlawanan di bagian barat itu adalah gerakan bawah tanah yang menyendiri mereka Jit-goat- pang (Serikat Matahri dan Rembulan) yang setia kepada cita-cita berdirinya kembali Kerajaan Beng.

Dari nama perserikatan itu saja, yang B mengandung huruf "jit" (Matahari) dan "goat (Rembulan) yang jika kedua huruf itu direndengkan a-kan membentuk huruf "beng" (ming arti-nya "cahaya terang"), sudah dapat ditebak kerana kiblat perjuangan mereka.

Dan mereka memang dipimpin oleh beberapa bekas bangsawan atau bekas panglima dinasti Beng yang tetap tidak mengakui kenyataan berkuasanya pemerintahan dinasti yang baru.

Untuk Tong Lam-hou, setiap kata yang mengandung pengertian "jit-goat"

Atau "dinasti Beng"

Telah membuatnya teringat akan pembantaian keji di Jit-siong-tin, dan membuat kegeraman Tong Lam-hou terhadap golongan Jit-goat-pang itu semakin mendalam.

Buat Tong Lam-hou, untuk menegakkan ketertiban di seluruh negeri, tidak ada pilihan lain kecuali menumpas Jit-goat-pang sampai ke akar- akarnya.

Ketika Tong Lam-hou mengetuk pintu kamar di mana Siangkoan Hong beristirahat, ia mendapat jawaban dari dalam.

"Masuklah!"

Dengan tangan membawa nampan yang berisi beberapa mangkuk makanan dan sepoci teh hangat, Tong Lam-hou melangkah masuk. Katanya.

"Paman Siangkoan, bagaimana luka- luka dalammu?"

Siangkoan Hong nampak duduk bersila sambil bertelanjang dada di atas pembaringan, tubuhnya masih bersimbah Keringat, agaknya ia baru saja selesai melakukan semedi untuk menyembuhkan dirinya.

Ketika melihat Tong Lam-hou telah berpakaian lengkap, Siangkoan Hong bertanya.

"Kau hendak ke mana?"

"Aku harus ke tangsi hari ini. Tapi di sini ada paman dan bibi Ciu yang akan melayani segala keperluan paman."

Sahut Siangkoan Hong.

"Tidak jadi soal, selama aku tinggal di Jiat-ho selama bertahun- tahun, aku sudah biasa meladeni diriku sendiri."

"Selama ini paman tinggal di daerah Jiat- ho?"

Tanya Tong Lam-hou agak tercengang.

"Kalau Jiat-ho kenapa?"

"Bukankah Jiat-ho itu adalah tempat asal bangsa Manchu?"

Ketika melihat Tong Lam-hou telah berpakaian lengkap, Siangkoan Hong bertanya.

"kau hendak ke mana? "Benar. Berpuluh tahun aku tinggal di sana, bahkan sebelum bangsa Manchu melintasi San- hai-koan dan menguasai Tiong-goan, rasa- rasanya aku menjadi orang Manchu asli karena berkumpul terlalu lama dengan mereka. Tetapi kau nampaknya heran mendengar aku pernah tinggal di Jiat-ho?"

"Memang agak diluar dugaanku, paman,"

Kata Tong Lam-hou berterus-terang.

"Maaf, paman, bukankah setelah Hwe-liong-pang mengalami hari naasnya di puncak Tiau-im- hong itu maka banyak anggotanya yang bergabung dengan pergerakan Li Cu-seng untuk dinasti Beng, dan kemudian pergerakan itu dilanjutkan dengan melawan pemerintah Manchu? Jadi...bagaimana dengan paman?"

Siangkoan Hong memakai kembali bajunya, lalu turun dari pembaringan dan mencomot sebuah bakpau yang langsung digigitnya. Dengan mulut penuh makanan ia berkata.

"Aku tidak termasuk orang yang bergabung dengan Li Cu-seng. Ternyata Li Cu-seng sama saja dengan dinasti sebelumnya. Li Cu-seng sendiri orangnya baik, aku tahu itu, namun banyak orang-orang bawahannya yang berhati busuk, sehingga rakyat yang terbebas dari dinasti Beng sama saja dengan lepas dari mulut macan masuk ke mulut buaya. Kalau sudah demikian, kenapa orang Manchu tidak boleh menjadi pemerintah yang baik pula? Bagiku, mereka bukan orang asing yang menjajah, mereka juga orang kita juga, andaikata ada perbedaan dalam cara berpakaian maupun kebudayaan, itu bukan masalah yang perlu dibesar-besarkan sehingga menimbulkan kekacauan yang terus menerus seperti sekarang ini. Akhirnya rakyat juga yang menderita, sementara si pengacau dengan enaknya mengeluarkan teori ini teori itu untuk membenarkan tindakan mereka sendiri tapi rakyat butuh kedamaian, bukan teori "

Tong Lam-hou tertawa gembira mendengar pendapat paman Siangkoan-nya itu.

"Jadi paman sependapat denganku rupanya."

"Ya, aku tidak peduli yang duduk di singgasana itu seorang Han atau seorang Manchu atau apapun, asal dia dapat memajukan negara, apa salahnya? Tapi jangan lupa bahwa kau adalah putera Hwe-liong Pangcu dan menjadi tugasmu untuk mendirikan kembali serikat yang membela rakyat kecil itu. Bahkan jika kelak kau lihat pemerintahan Manchu mulai menyengsarakan rakyat, kau harus menanggalkan seragammu itu dan berdiri di pihak rakyat. Paham?"

"Bukankah paman mengatakan sendiri tidak membeda-bedakan... ."

"Memang benar, yang membedakan apakah apakah suatu pemerintahan itu baik atau buruk adalah berhasil atau tidaknya mengendalikan negara dan menciptakan keamanan bagi rakyatnya."

Tong Lam-hou mengangguk-anggukkan kepala tanda mengerti, dan bahkan la sependapat dengan paman gurunya itu.

"Nah, paman, aku pergi dulu. Aku sudah menyuruh bibi Ciu menyiapkan air hangat untuk mandi paman. Apa-apa yang paman butuhkan tinggal minta saja kepada mereka."

"Baik. Pergilah."

Tong Lam-hou melangkah keluar dari rumahnya menuju ke tangsi pasukannya yang jaraknya hanya beberapa ratus langkah.

Dengan tubuh yang segar dengan perut yang kenyang dan pakaian bersih menempel di badannya, maka ia merasa amat segar pagi itu.

Ia membalas hormat dari beberapa orang prajurit peronda yang berpapasan dengannya.

Jika prajurit-prajurit itu tidak menyapanya dengan hormat, Tong Lam-hou kadang-kadang masih lupa bahwa sekarang dia adalah seorang congpeng, seorang perwira tinggi yang hampir sejajar dengan seorang Panglima.

Bahkan di Hui-liong-kun dia berkedudukan sebagai seorang Jian?hu?thio (pemimpin untuk seribu orang prajurit), suatu kedudukan yang cukup baik, sebab dalam pasukan Hui-liong-kun yang memiliki prajurit limabelas ribu orang itu hanya ada limabelas orang Jian-hu-thio, yang langsung berada di bawah Panglima mereka, Pakkiong Liong.

Rasa-rasanya Tong Lam-hou masih ingin tertawa, bergurau, melompat dan berteriak dengan bebas seperti ketika masih di gunung dulu.

Namun kini tidak dapat, seragamnya itulah yang mengekangnya.

Apa kata orang kalau melihat seorang perwira tinggi bergurau dar.

tertawa tawa di luar batas? Di tangsi, para Jian-hu-thio sudah berkumpul semuanya.

Semuanya sudah dikenal oleh Tong Lam-hou.

Ada yang hubungannya dengannya cukup baik, seperti beberapa lagi hanya kenal-kenal biasa saja, tidak terlalu akrab, malahan ada yang bersikap kurang menyenangkan terhadap Tong Lam-hou tidak peduli, jiwanya sudah siap sejak dulu dalam menghadapi sikap-sikap seperti itu.

Sambil menunggu Pakkiong Liong tiba, Tong Lam-hou sempat bercakap-cakap dengan perwira-perwira yang sudah dikenalnya dengan baik.

Di lapangan tengah dari tangsi itu, nampak ratusan prajurit Hui-liong-kun dengan bertelanjang dada tengah melakukan latihan- latihan berat di bawah pimpinan beberapa orang Pek-hu-thio (Pemimpin seratus orang prajurit).

Latihan yang jauh lebih berat dari pendadaran penerimaan prajurit beberapa saat yang lalu.

Hui-liong-kun adalah pasukan yang selalu berlatih secara teratur, tidak peduli ada perang atau tidak, dan itulah yang menyebabkan pasukan itu begitu tangguh di medan laga, meskipun jumlahnya boleh dikata paling kecil di antara pasukan-pasukan di Pak- khia lainnya.

Selalu saja Pakkiong Liong setiap ada kesempatan memberinya peringatan kepada prajurit-prajuritnya.

"Lebih baik sekarang kalian mandi keringat dalam latihan, daripada nanti mandi darah di pertempuran."

Percakapan para perwira itupun terhenti ketika seorang prajurit masuk dari melaporkan.

"Tuan-tuan, Pakkiong Ciangkun telah tiba."

Para perwira itupun segera merapikan pakaian mereka dan berbaris rapi di dekat pintu.

Tidak terkecuali Tong Lam-hou.

Tanpa seragam, ia dan Pakkiong Liong adalah sahabat karib yang tidak dibatasi ikatan apapun.

Tapi dengan seragam, ia dan Pakkiong Liong adalah bawahan dan atasan yang diikat oleh tata tertib ketenteraman yang ketat dan keras.

Tidak boleh seorang mentang-mentang bersahabat dengan Panglimanya lalu menjungkir balikkan tata tertib semaunya, sebab itu akan merusak seluruh pasukan.

Belum lagi prajurit yang melapor itu keluar dari ruangan itu, Pakkiong Liong telah melangkah masuk keruangan itu dengan diiringi dua orang pengawalnya.

Para perwira menjadi heran juga bahwa Sidang Istana sudah selesai dalam waktu singkat, sebab biasanya sidang-sidang seperti itu akan berlangsung setengah hari lebih.

Setelah menerima penghormatan perwira- perwiranya, Pakkiong Liong segera menduduki kursinya di belakang sebuah meja besar.

Di atas meja besar banyak terdapat benda-benda ketentaraan seperti bendera-bendera kecil berwarna-warni yang sering dijadikan isyarat dalam peperangan, lempengan-lempengan logam yang merupakan leng-ci (tanda perintah) dan sebagainya.

Begitu ia duduk dan semua perwira Jian-hu- thionya telah duduk pula di kursinya masing- masing, maka dengan wajah cerah Pakkiong Hong berkata.
Pendekar Naga Dan Harimau Karya Stefanus SP di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


"Saudara-saudara, sekali lagi kita mendapat kepercayaan dari kaisar untuk menunjukkan kemampuan kita.

"Kaisar sendiri sudah mengeluarkan perintah bahwa kita akan berangkat dua hari lagi."

Sesaat Pakkiong Liong berhenti berucap, dan ketika dilihatnya wajah perwira- perwiranya itu sama-sama menyala penuh gairah perjuangan, maka iapun melanjutkan.

"Saudara Bok Teng-san, terimalah perintah!"

Perwira bernama Bok Teng-san itu Bukan Jian-hu-thio melainkan perwira di bagian perbekalan dari pasukan Hui-liong-kun.

Tubuhnya kurus dan kulitnya kuning seperti orang penyakitan, namun dia lihay dalam permainan toya, dan terhitung perwira yang tangguh meskipun tugasnya selalu di garis belakang, yaitu bagian perbekalan atau ransum.

Namun tugas itu penting, sebab prajurit tanpa ransum akan kelaparan, dan tidak ada prajurit kelaparan yang bisa bertempur dengan baik.

Ketika mendengar namanya dipanggil, ia segera maju berlutut sambil menyembah "Siap menerima perintah, Ciangkun!"

Pakkiong Liong menyerahkan sebuah leng- ci sambil berkata.

"Dalam dua hari, siapkan perbekalan untuk limaribu orang prajurit. Perjalanan akan cukup jauh dan kita mungkin akan sebulan lebih berada di medan tempur."

Dengan kedua tangannya Bok Teng-san menerima tanda perintah itu, dan kemudian kembali ke tempat duduknya. Lalu suara Pakkiong Liong terdengar lagi.

"Kita akan membawa lima ribu prajurit, berarti lima kelompok dari pasukan kita. Pasukan yang beberapa saat yang lalu sudah kita persiapkan, akan berangkat. Lima kelompok dari pasukan kita yang akan berangkat adalah kelompok satu pimpinan saudara Ha To-ji, kelompok tiga pimpinan sau-dara Han Yong-kim, kelompok lima pimpinan saudara Le Tong-bun, dan kelompok tujuh pimpinan saudara Tokko Seng serta kelompok sembilan saudara Tong Lam- hou. Harap para Jian-hu-thio yang terpilih menerima leng-ci!"

Kelima orang perwira ltupun nampak berseri ketika mendengar nama mereka disebut, terutama Tong Lam-hou yang baru pertama kali ini akan terjun dalam peperangan besar, kesempatan mengabdi kepada Negara dan Kaisar seperti yang diimpikannya sejak ia meninggalkan gunung Tiam-jong-san, dan sekaligus juga untuk mencari nama cemerlang.

segera berlutut dan menerima leng-ci dengan kedua tangan masing-masing.

Kata Pakkiong Liong lagi.

"Meskipun prajurit-prajurit yang akan kita terjunkan ke medan hanya dari lima kelompok yang masing- masing kelompok terdiri dari seribu orang, namun hampir semua perwira Jian-hu-thio akan ikut dalam pasukan, sebab di dalam pasukan pemberontak itu banyak orang yang berilmu tinggi, dan penanganan terhadap mereka tentu tidak bisa kita serahkan kepada para prajurit saja. Karena itu aku memutuskan bahwa saudara-saudara Ko Lung-to, Na Hong, Tam-tai Hok, Hulantou dan Wanyen Hui akan memperkuat pasukan meskipun tanpa kelompok mereka!"

Kelima perwira itupun segera menerima leng-ci.

Dari ke sepuluh orang Jian-hu-thio yang akan terjun ke medan perang, mereka terdiri dari macam-macam suku.

Yang orang Manchu sendiri malahan hanya empat orang, lainnya adalah orang Han, Mongol, Korea, Sehe, atau bahkan campuran Han dan Uigar seperti Tong Lam-hou.

Namun perbedaaan itu tidak jadi soal dalam pasukan Hui-liong-kun, semuanya berseragam sama, akan bertempur di bawah bendera yang sama, dan yang penting aalah memiliki kesetiannya yang sama pula.

Demikianlah, dalam dua hari itu pasukan Hui-liong-kun menjadi sibuk sekali.

Prajurit- prajurit dari kelompok-kelompok yang terpilih menggunakan kesempatan dua hari itu untuk berkumpul bersama sekeluarga mereka, namun sekaligus juga mengingkatkan latihan-latihan mereka.

Siapapun tentu ingin pulang dari medan perang dalam keadaan hidup, bukan hanya nama.

Para perwira juga menyempatkan diri untuk menguji sampai di mana tingkat ilmu silat mereka sebelum ilmu itu bakal "diasah"

Lagi di medan tempur.

Dalam dua hari pula Tong Lam-hou mempersiapkan dirinya lahir dan batin.

Sejak ia mengalami peristiwa maut hampir terbunuh oleh Te-liong Hiangcu, maka Tong Lam-hou merasa bahwa ilmunya bukan nomor satu di dunia, masih ada orang-orang yang ilmunya lebih tinggi daripadanya, sehingga ia tidak boleh lengah lagi.

Meskipun waktu dua hari adalah waktu yang terlalu sempit untuk meningkatkan suatu ilmu, namun ia tidak membuangnya begitu saja.

Pagi dari siang hari ia berlatih bersama dengan rekan-rekan perwiranya atau bahkan dengan Pakkiong Liong sendiri.

Sore dan malam harinya, ia berlatih di rumahnya sendiri di bawah bimbingan Siangkoan Hong yang luka-lukanya mulai membaik.

Bekas Thian-liong Hiangcu dalam Hwe-liong-pang itu tidak menambahi Tong Lam-hou dengan ilmu baru, melainkan hanya meningkatkan dan memperbaiki ilmu yang sudah ada dalam diri Tong Lam-hou sendiri.

Akhirnya hari keberangkatan pasukan itupun tiba.

Lapangan Thian-an-bun yang terletak di depan Istana Kekaisaran itupun mendadak berubah warna menjadi hitam, sebab limaribu orang prajurit Hui-liong-kun yang ber- seragam hitam-hitam itu memenuhi lapangan itu.

Berbaris bersap-sap dengan susunan yang rapi dan tertib, sementara ujung senjata yang mencuat ke langit seperti pucuk-pucuk daun ilalang lebatnya, berkilat-kilat tertimpa sinar matahari pagi yang hangat.

Para Perwira berbaris di depan pasukan.

Yang membedakan para perwira dengan para prajurit hanyalah pada topi mereka, sedang lain-lainnya sama semua.

Pada topi para perwira di atasnya terdapat hiasan kecil dari logam yang berbentuk ujung tombak kecil, dan benang- benang merah di sekitarnya.

Hari itu adalah upacara yang disebut "sembahyang bendera", biasanya dilakukan sebelum sebuah pasukan berangkat berperang, untuk memohon berkah kemenangan dari Thian.

Di depan barisan itu sudah ada sebuah bendera besar Ngo-jiau-kim-liong-ki, bendera Kerajaan Manchu yang berwarna dasar hitam dengan sulaman seekor naga berwarna emas di tengah-tengahnya.

Di bawah bendera puluhan buah meja yang disambung-sambung menjadi satu bagaikan sebuah altar raksasa yang penuh dengan sesajian dan dupa yang dibakar.

Upacara itu akan dipimpin sendiri oleh Kun- su (guru negara), namun karena Kaisar menyatakan akan hadir dan ikut bersembahyang, maka upacara belum dimulai sebelum Kaisar Sun-ti keluar dari istananya.

Tiba-tiba terdengar lonceng di menara istana berbunyi keras, lalu pintu Istana yang berwarna merah itupun terbuka lebar.

Sepasukan Gi-cian-si-wi (Jago-Jago Pengawal Kaisar) segera berbaris keluar, seragam mereka nampak gemerlapan tertimpa cahaya mentari pagi.

Sikap para Pengawal Kaisar itu begitu kereng dan gagah, menimbulkan suasana mencengkam, dan sesungguhnya mereka bukan hanya mentereng dalam pakaian seragam dan dalam hal nama saja, tapi juga dalam ketangguhan.

Merekalah orang-orang terpilih, satu dari selaksa prajurit, siap mengorbankan nyawa demi keselamatan Kaisar junjungan mereka.

Jika di Kerajaan Mancu ada pasukan yang lebih tangguh dari Pasukan Hui-liong- kunnya Pakkiong Liong Itulah Gi-cian-sl-wi dan Lwe-teng-wi-su (Pengawal Istana), lain tidak.

Begitu tiba di luar pintu gerbang Istana, jago-jago Gi-cian-si-wi itu sebera berpencaran ke segala aral, untuk mengamankan semua sudut lapangan, terutama di sekitar altar besar tempat Kaisar nanti akan mengikuti upacara sembahyang bendera.

Lapisan dalam dari pengawalan itu terdiri dari jago-jago Gi-cian-si- wi yang berseragam kuning kemilau, sedangkan bagian luarnya adalah jago-jago Lwe-teng-wi-su yang berseragam biru laut dari kain satin, dan pinggirnya bergaris-garis putih dan kuning.

Dengan demikian pengawalan terhadap Kaisar terdiri dari dua lapis jago-jago tangguh semuanya, siapapun yang akan berbuat Jahat tentu harus berpikir beberapa kali lebih dulu.

Setelah pengamanan siap, kembali genta di menara istana dipukul sekali lagi, dan semua orang yang berada di lapangan Thian-an-bun itu serempak berlutut dengan sebelah kaki ditekuk, kecuali jago-jago Gi-cian-si-wi dan Lwe-teng-wi- su yang tidak berlutut, sebab mereka tetap mengawasi segala penjuru dengan mata yang tajam.

Dari pintu gerbang Istana Kekaisaran itu muncullah Kaisar Sun-ti diiringi para menteri dan panglima.

Meskipun rambut dan jenggotnya sudah berwarna kelabu, namun Kaisar masih nampak ramping terbungkus jubah kuningnya yang bersulam naga, jubah keagungan seorang kaisar dari jaman ke jaman, dan kepalanya tertutup topi yang berwarna kuning pula dengan hiasan sehelai bulu burung merak.

Ia melangkah tegap didampingi seorang anak remaja yang berpakaian indah dan nampak lincah serta cerdas.

Itulah Pangeran Hian-hua, putera mahkota calon ahli waris tahta kekaisaran, yang kelak setelah naik tahta bergelar Kaisar Khong-ti dan merupakan penguasa terbesar dari dinasti Manchu, sebab ia akan memerintah enam puluh satu tahun lamanya.

Masa pemerintahan terlama dengan pengendalian negara yang terbaik dibanding raja-raja sebelumnya atau sesudahnya.

Begitu Kaisar melangkah keluar, maka semua prajurit Hui-liong-kun dan siapa saja yang hadir di lapangan itu serempak berseru.

"Ban-swe! Ban-swe! sehingga suaranya bergemuruh mengguncangkan sukma.

"Bam-swe"

Berarti secara harafiah "selaksa tahun", namun dalam tata cara kekaisaran, seruan itu diartikan sebagai doa seluruh rakyat untuk memujikan agar Kaisar panjang umur.

Genta di menara istana berbunyi lagi dan semua prajuritpun bangkit dari berlututnya.

Maka upacarapun lancar dipimpin oleh Kun-su.

Sri Baginda ikut menyalakan hio dan menancapkannya di depan bendera besar, sebagai permohonan kepada Langit dan Bumi agar pasukannya dianugerahi kemenangan.

Kemudian Kaisar menyerahkan sebatang pedang emas kepada Pakkiong Liong yang diterima sambil berlutut, dengan kedua tangannya pedang itu dijunjung tinggi di atas kepalanya.

Selesai upacara, kaisar masuk kembali ke Istana dengan diiringi seruan para prajurit.

Pintu gerbang yang tebal dan bercat merah itupun tertutup rapat kembali.

Setelah Kaisar dan para pejabat tinggi tak terlihat lagi, Pakkiong Liong mengangkat tinggi- tinggi pedang emas anugerah Kaisar itu, disambut sorak-sorai seluruh pasukan.

"Saudara-saudara,"

Seru Pakkiong Liong.

"Sekarang kita berangkat menunaikan tugas!"

Tidak lama kemudian, barisan besar itupun sudah nampak keluar dari pintu gerbang sebelah barat kota Pak-khia.

Diantara pasukan nampaklah bendera-benddra berkibar-kibar megah, sementara suara satu regu penabuh genderang perang menambah semangat para prajurit.

Ha To-Ji didampingi oleh Tong Lam hou berkuda paling depan dan memimpin seribu orang prajurit.

Orang Mongol yang berjulukan Tay-mo-him (Beruang Gurun) itu bertiga sebagai Sian-hong Ciangkun (panglima Perintis jalan), dan Tong Lam-hou adalah wakilnya.

Meskipun dalam hal ilmu silat mengatur barisan dan siasat peperangan, Ha To-Ji-lah yang lebih lihai, sehingga kedudukan Sian-hong Ciangkun itu dipegang olehnya.

Dan Tong lam-hou menerima keputusan itu secara wajar saja, tanpa iri toh berbakti untuk negara tidak peduli menjadi panglima atau prajurit yang paling rendah sama saja.

Dibagian ekor barisan, nampak puluhan buah gerobak yang ditarik dengan kuda-kuda sepasang-sepasang.

Pengawalan di bagian itu dipercayakan kepada Ko Lung-to dan Na Hong dengan seribu orang prajuritnya, disamping anak buah sendiri pula, yang meskipun kemampuannya tidak setangguh prajurit- prajurit lainnya, namun terlatih untuk berperang pula.

Ketika rombongan itu sudah keluar dari Pak-khia, tiba-tiba nampak seorang penunggang kuda menyusul barisan itu.

Kudanya yang tegar itu dilarikan dengan kencang, dan yang ada di atas punggung kuda itu ternyata adalah seorang gadis cantik yang berpakaian Manchu, lengkap dengan topi bulunya yang berwarna putih itu dan pakaiannya yang ringkas menampakkan tubuhnya yang berbentuk ramping itu.

Di belakangnya berkuda pula dua orang perempuan yang berpakaian Manchu pula, yang agaknya adalah dayang-dayang dari gadis yang di depan itu.

Agaknya, gadis itu adalah puterl seorang terhormat atau orang kaya, sehingga harus diiringi dua orang pesuruh kemanapun perginya.

Dia memang To li-hua, puteri dari si Panglima tua To An-ai yang sudah tidak memegang jabatannya itu.

Namun keluarga To di pucuk pemerintahan dinasti Manchu memang keluarga terhormat.

Pakkiong Liong yang berada d tengah- tengah pasukan itu terkejut ketika melihat adik misannya itu menyusulnya, namun ternyata gadis itu tidak ingin menemuinya, sebab ketika melewati Pakkiong Liong, gadis itu tidak menghentikan kudanya melainkan hanya melambatakannya saja sambil melambaikan tangan.

"Mau ke mana, piau-moay?"

Tanya Pakkiong Hong pura-pura tidak tahu, meskipun ia tahu apa yang ada dihati adik misannya yang cantik itu.

To Li-hua tergagap sejenak dan pipinya menjadi merah, ia malu untuk berterus terang kepada kakak misannya itu karena kuatir kalau disampaikan kepada ayahnya.

Maka dijawabnya sekenanya saja.

"Hendak berburu!"

"Berburu apa? Kenapa tidak membawa panah?"

Pendekar Naga Dan Harimau Karya Stefanus SP di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Eh, aku...aku hendak berburu rubah. Panahnya kutitipkan dirumah seorang penduduk di kaki bukit."

"Rubah?? Rubah atau harimau?"

To Li-hua yang sebenarnya ingin menyusul Tong Lam-hou itu menjadi tidak sabar mendengar pertanyaan kakak misannya yang bertubi-tubi itu. Jawabnya.

"Rubah boleh, harimau Juga boleh!"

Ternyata Pakkiong Liong masih sempat Juga menggoda adik misannya itu, tanyanya.

"Harimau? Harimau dari Tia-Jong-san?"

Keruah wajah To Li-hua menjadi merah padam, ketika Pakkiong Liong tertawa terbahak-bahak maka diayunkannya pecut kudanya untuk menyabet punggung kakak misannya itu sehingga Pak-kiong Liong pura- pura menjerit kesakitan.

Han Yong-kim yang juga bersahabat baik dengan To Li-hua itupun ikut "menggarap"

Sambil tertawa.

"Kalau berburu Harimau dari Selatan sih memang tidak perlu dengan panah segala. Cukup dengan kerlingan dan senyuman, dan si harimau akan mendekat dengan jinaknya ...aduh!"

Ternyata punggung Han Yong-kim Juga telah disabet oleh To Li-hua, sementara itu To Li-hua berpura-pura bersungut-sungut meskipun dalam hatinya sebenarnya ia merasa senang juga.

"Kalian memang bermulut jahil. Awas, kalau kelak kalian kembali ke Pak-khia, aku suguh kalian dengan makanan beracun agar kalian menjadi bisu untuk selama-lamanya."

"Si harimau juga akan kau buat bisu?"

Tanya Han Yong-kim sambil tertawa, namun ia buru- buru menghentikan tertawanya dan mengkerutkan kepalanya ketika melihat To Li- hua telah mengangkat pecutnya tinggi-tinggi.

Tanpa peduli lagi kepada mereka, gadis Manchu itu segera melarikan kudanya ke ujung barisan, di mana terdapat Tong Lam-hou dan Ha To-Ji.

Bagi seorang gadis Manchu atau suku- suku lain di luar Tembok Besar, maka menyatakan perhatian secara terang-terangan kepada seorang lelaki memang dianggap hal yang wajar, meskipun ada juga batas-batasnya.

Bagi perempuan-perempuan bangsa Han, itu dianggap tidak tahu malu dan merendahkan derajat sendiri.

Tapi To Li-hua memang bukan orang Han, ia gadis berdarah Manchu asli.

"A-hou!"

Teriaknya ketika melihat Tong Lam-hou berkuda di depan barisan bersama Ha To-ji yang juga dikenal baik olehnya.

Ha To-ji dan Tong Lam-hou serentak menoleh ketika mendengar panggilan gadis itu, dan kemudian Ha To-ji tersenyum penuh arti kepada Tong Lam-hou, sambil berkata.

"kau temani dia dulu, biar hatinya agak tenang."

Tong Lam-hou merasa agak kikuk melihat senyuman Ha To-ji itu, namun sesungguhnya diapun ingin mengucapkan kata-kata perpisahan kepada gadis Manchu itu, sehingga ia pun cepat-cepat memutar kudanya dan keluar dari barisan untuk menjumpainya.

Ketika mendengar pasukan Hui-liong-kun telah berangkat, To Li-hua buru-buru menyusulnya, namun setelah berhadapan dengan Tong Lam-hou, ternyata ia kebingungan sendiri apa yang akan diucapkannya.

Akhirnya ia hanya bisa menundukkan kepalanya dalam- dalam dan kata-katanyapun sangat singkat.

"Kau harus kembali dengan selamat."

Sikap dan ucapan gadis Manchu itu membuat hati Tong Lam-hou tergetar hebat, suatu kehangatan yang aneh menyusup jauh sampai ke relung-relung hatinya.

Jika To Li-hua masih bias mengucapkan kata-kata singkat, maka Tong Lam-hou justru tidak sanggup mengucapkan sepatah katapun, namun matanya memancarkan kebahagiaan yang amat besar sebab kini ia sadar ikatan batin apa yang ada antara dirinya dan gadis itu.

Tanpa berkata sepatah katapun ia menggenggam sepasang telapak tangan gadis itu erat-erat.

To Li-hua membiarkan tangannya digenggam erat, dan matanya yang coklat itu diangkat untuk membalas menatap mata Tong Lam-hou yang juga kiat.

Dengan demikian mereka tidak memerlukan sepatah katapun untuk mencurahkan isi hati mereka, sebab ser sang mata masing-masing sudah berbicara sejuta kalimat.

Lalu To Li-hua merenggut tangannya dari genggaman Tong Lam-hou ketika ia mendengar Han Yong kim bersuit nakal.

Sesaat kemudian gaddis itu sudah menghilang kembali dalam kota Pak-khia dengan kedua hambanya.

"Begitu singkat?"

Tanya Ha Toji ketika Tong Lam-hou bergabung kembali ke dalam barisan. Tong lam-hou tidak menjawabnya kecuali dengan sebuah senyuman. Semangat tempur Tong Lam-hou kini berkobar-kobar. Jika seluruh pasukan bersemboyan "untuk Negara dan Kaisar"

Dalam maju ke medan laga, maka Tong lam-hou menambahnya sendiri menjadi "untuk Negara, Kaisar dan si dia! ! BAGIAN KE SEMBILAN RIBUAN LI di sebelah barat Kotaraja Pak- khia, suasana sudah mulai panas karena Pangeran Cu Len-ong dan sisa-sisa dinasti Beng sudah mulai bergerak secara terang-terang dalam mengumpulkan kekuatan.

Anggota Jit- goat-pang sendiri mencapai ribuan orang dan dipersenjatai serta terlatih cukup baik Pangeran Cu Hin-yang dan Pangeran Cu Leng-ong, yang pernah melakukan perjalanan ke selatan untuk merangkul golongan-golongan yang menentang pemerintahan Manchu itu, telah menggunakan pengaruhnya yang dulu untuk mengundang golongan-golongan itu untuk bergabung agar dapat bersatu.

Maka berdatanganlah orang- orang dari Koay-to-bun (perguruan golok kilat) yang dipimpin oleh Cu Yok-tek yang berjulukan Say-bin-koay-to (si Golok Cepat Wajah harimau).

Entah benar entah tidak, Cu Yok-tek mengaku-aku masih ada hubungan dengan keluarga Cu yang menguasai dinasti Beng dulu.

Dengan ngotot ia mengajukan silsilahnya kepada Pangeran Cu Leng-ong, meskipun Pangeran itu sendiri pusing melihat silsilah itu karena tidak ada nama-nama yang dikenalnya.

Namun demi merangkul orang-orang Koay-to- bun yang jualannya cukup berarti, hampir orang, maka Pangeran Cu Leng-ong mengakui juga silsilah itu untuk menyenangkan Cu Yok- tek bahkan memanggilnya "toako".

Sedangkan Kongsun Hui, Li Tiang-hong dan lain-lainnyapun dengan setengah mendongkol setengah geli memanggil Cu Yok-tek dengan sebutan "ong-ya" (paduka pangeran) atasi permintaan pangeran Cu Leng-ong.

"Orang gila,"

Demikian Kongsun Hui menggerutu diam-diam bersama Li Tiang-hong.

"Tapi lumayanlah, biarpun gila dia masih dapat menambah kekuatan kita."

Li Tiang-hong tersenyum.

Lalu ia-pun kemudian berangkat ke Hun-lam untuk mengambil anak buahnya yang tertinggal di sana untuk digabungkan sekali kemari.

Perjalanan dari Shoa-cay ke Hun-lam bolak- balik bukan perjalanan yang dekat, namun Li Tiang hong sudah bertekad untuk melakukannya.

Lalu berturut-turut berdatangan pula kelompok-kelompok anti Manchu yang dulu pernah dihubungi oleh pangeran Cu Hin-yang.

Kelompok Ngo-pa-hwe (Serikat Lima Harimau yang merupakan kelompok berpengaruh di kalangan hek-te (Jalan hitam) di wilayah Hok- kian.

Dengan anggota-angotanya yang terdiri dari lelaki-lelaki garang berjumlah orang dipimpin lima orang saudara seperguruan yang menyebut diri mereka Ngo-pa-heng-te (lima Harimau Bersaudara) .

Menyusul dua buah kelompok yang dulu sama-sama menguasai sungai Hong-ho dan saling bermusuhan, namun kemudian mereka berhasil didamaikan oleh Pangeran Cu Hin-yang sehingga merasa berhutang budi.

Merekalah Tiat-hi-pang (Serikat Ikan Besi) di bawah pimpinan Kam-Koan yang terkenal mahir dengan sepasang siang-kek (tombak pendek yang dimainkan sepasang).

Kemudian yang lainnya adalah Kang-liong-pang (Serikat Naga Sungai) dipimpin Ji Tay-hou yang membawa rantai berujung bandul besi yang dalam pekerjaannya sebagai bajak sungai Hong-ho biasa digunakannya untuk menghantam patah tiang layar kapal korban.

Setelah semuanya berkumpul dan dibariskan berderet-deret di sebuah tempat yang luas, maka terbahaklan Pangeran Cu Leng- ong sampai air matanya keluar.

Setengah bangga setengah menangis, melihat bahwa ia telah mempunyai kekuatan tujuh ribu orang lebih, dengan sekian banyak "panglima"

Yang berilmu tinggi. Sambil tertawa ia berkata dengan bangga.

"Inilah saatnya kebangkitan kembali Kerajaan Beng yang agung! Hu-hong (ayahanda Kaisar) yang ada di langit, lihatlah anakmu ini akan menegakkan kembali kejayaan keluarga kita dengan mengusir keparat-keparat Manchu itu sampai keluar kembali ke tempat asal mereka di Jiat-ho sana!"

Kemudian ditepuk-tepuknya pundak adiknya, katanya.

"Adik Hin Yang, ini adalah hasil jerih payahmu dalam perjalananmu ke selatan dulu, meskipun kau sendiri ikut menderita karena tertangkap oleh Pakkiong Liong. Namun arwah dari saudara-saudara kita yang gugur ketika mengiringimu dalam perjalanan ke selatan dulu, tentu akan tenteram sekarang. Dengan pasukan kita akan sanggup merebut kota Tay-tong yang di depan mata, dan kemudian daerah demi daerah akan kita taklukkan sebagai batu loncatan kita sambil terus memperbesar kekuatan kita. Dan tidak lama lagi pak-khia akan jatuh ke tangan kita."

Pangeran Cu Hin-yang ikut mengangguk puas melihat kekuatan yang berhasil dikumpulkannya itu.

Dan ia juga tidak takut andaikata kelompok-kelompok yang tidak berasal dari Jit-goat-pang itu akan merebut kekuasaan kelak di kemudian hari, sebab sebagian besar dari kekuatan yang terkumpul itu adalah tetap orang-orang Jit-goat-pang.

Namun tiba-tiba Pangeran Cu Hin-yang merasa ada suatu kekurangan.

"Kakanda,"

Katanya kepada Pangeran Cu Leng-ong.

"Dalam perjalananku ke Hun-lam dulu, aku berhasil mendamaikan antara Li Tiang-hong dengan sempalan dari Hwe-liong- pang yang disebut Jai-ki-tong (Kelompok Panji Coklat) pimpinan Siau-lo-cia ( Si Dewa Lo-cia Kecil) Ma Hiong. Kenapa kita tidak mengundang mereka untuk bergabung demi menambah kekuatan kita?"

"Aku tidak sudi bekerja sama dengan pengikut-pengikut Li Cu-seng si pemberontak itu,"

Sahut Pangeran Cu Leng-ong dengan garangnya.

"Adikku, apakah kau tidak ingat sakit hati keluarga kita yang ditumpas oleh laskar Li Cu-seng ketika mereka menyerbu Istana Kerajaan?"

Pangeran Cu Hin-yang menarik napas melihat kekerasan hati kakaknya itu, namun ia tidak berputus-asa untuk membujuknya.

"Kakanda, dalam masa-masa sulit di mana kita memerlukan persatuan semua kekuatan bangsa Han ini, masihkah kita memikirkan dendam pribadi dan dendam keluarga? Dalam perang, hal yang lumrah kalau ada yang terbunuh, kita tidak bisa terlalu menyalahkan Li Cu-seng. Orang Hwe-liong-pang yang bernama Ma Hiong ternyata juga seorang laki-laki sejati yang rela menyingkirkan Kepentingan kelompoknya demi setia kawan sesama bangsa Han meskipun bekas musuhnya di masa lalu. Dialah yang menyelamat kan aku, ketika aku dan beberapa pengawalku sudah terjepit di sebuah kuil terpencil, hampir mampus oleh Pakkiong Liong dan orang-orangnya."

Namun, jika berbicara tentang bekas-bekas pengikut pemberontak Li Cu-seng yang menumbangkan dinasti Beng itu, agaknya hati Pangeran Cu Leng-Ong sudah mengeras seperti batu hitam. Segala pertimbangan yang diajukan oleh adiknya selalu ditolaknya.

"Orang-orang Hwe-liong-pang itu tidak ada artinya bagiku. Mereka sudah terpecah-belah, dan kelak jika sudah berhasil mengalahkan bangsa Man-chu, akan kita tumpas Hwe-liong- pang sampai seakar-akarnya,"

Demikianlah Pangeran Cu Leng-ong selalu menjawab apabila Pangeran Cu Hin-yang mengajukan usulnya, sehingga akhirnya sang adik tidak dapat berbuat apa-apa lagi.

Tapi sesungguhnya kekuatan Pangeran Cu Leng-ong memang mekar terus.

Ketika beberapa pihak mendengar bahwa gerakan Jit- goat-pang mulai terang-terangan mengibarkan bendera perlawanan terhadap pemerintah Manchu, maka banyaklah orang yang datang menggabungkan diri, berkelompok-kelompok atau datang sendiri-sendiri, dengan alasan yang berbeda-beda pula.

Ada yang tergerak karena melihat bahwa gerakan Pangeran Cu Leng-ong itu ada harapan akan berhasil mengusir bangsa Manchu namun ada pula yang menggabungkan diri karena terbuai oleh janji-janj menggiurkan yang diucapkan oleh Pangeran Cu Leng-ong.

Orang-orang yang betul-betul membenci bangsa Manchu, mereka akan berkelahi seperti orang mabuk di medan tempur, tanpa menghiraukan nyawanya, bahkan tanpa upah sepeserpun.

Mungkin karena ada anggota keluarga mereka yang terbunuh ole; tentara Manchu atau entah ada aiasa-lainnya.

Ketika Pangeran Cu Leng-ong merasa kekuatannya sudah cukup besar, maka diapun mulai bergerak menguasai desa-desa dan kota- kota kecil di sekitarnya.

Dalam gerakannya itu, desa-desa yang dikuasainya akan digunakan sebagai benteng-benteng dan sekaligus lumbung-lumbung perbekalan untuk perlawanan jangka panjangnya.

Anak-anak muda atau lelaki-lelaki muda yang kelihatan masih kuat, segera ditangkapi dan dipaksa memanggul senjata bagi pihaknya.

Dengan ancaman dan sekaligus bujukan, Pangeran Cu Leng-ong berhasil memperbesar jumlah pasukannya.

Dan setelah itu, daerahpun diperluas lagi.

Karena banyak di antara laskar Pangeran Cu Leng-ong itu yang merupakan bekas orang- orang golongan Hitam yang kasar dan liar, maka tidak jarang dalam "membebaskan"

Satu desa atau kota kecil dari yang mereka sebut "penjajahan"

Bangsa Manchu, rakyat kecil menerima akibat-akibat yang mengerikan. Laskar-laskar yang merasa dirinya "pejuang' tentu menganggap bahwa "perjuangan"

Mereka harus ada imbalannya berupa harta benda atau kenikmatan-kenikmatan lain.

Maka perempuan- perempuan yang diperkosa atau rumah-rumah yang dibakar setelah dikuras isinya, bukan hal yang jarang lagi.

Pendudukpun untuk sekian kalinya dipaksa merasakan akibat peperangan, berbondong-bondong mereka mengungsi ke kota terdekat, yaitu Tay-tong yang dikelilingi oleh tembok tinggi itu, sehingga kota itu penuh dengan pengungsi.

Alangkah marahnya Pangeran Cu Hin-Yang ketika ia menerima laporan dari pengawal- pengawal pribadinya tentang apa yang telah diperbuat oleh laskarnya kepada rakyat kecil.
Pendekar Naga Dan Harimau Karya Stefanus SP di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


Dengan muka yang merah padam ia menghadap kakak nya, Pangeran Cu Leng-ong.

"Kakaknda, kebiadaban-kebiadabar laskar kita tidak boleh dibiarkan terus-menerus, harus segera diberlakukan tata-tertib ketentaraan, barang siapa yang melakukan perbuatan hina terhadap rakyat harus dihukum mati!"

Kata Pangeran Cu Hin-yang dengan luapan perasaan yang tercermin dari kata-katanya yang keras.

"Kita ini pejuang yang ingin membebaskan tanah air kita dari cengkraman bangsa Manchu, kita ini bukan perampok-perampok liar yang berpesta-pora sambil menghancurkan di sebuah desa!"

Namun alangkah heran Pangeran Cu Hin- yang ketika mendengar kakaknya itu kelihatan tenang-tenang saja menghadapi laporannya itu. Maka Pangeran Cu Hin-yang berkata lebih lanjut.

"Di Hun-lam sana, aku menyesal setengah mati ketika melihat sebuah desa bernama Jit-siong-tin dihancur-leburkan oleh orang-orang yang berpakaian seragam tentara Kerajaan Beng kita! Sungguh memalukan! Dan di sini, bukan hanya satu desa yang menjadi neraka karena ulah laskar kita!"

Sambil bersandar di kursinya dengan sikap amat santai, Pangeran Cu Leng-ong menikmati makan minumnya dengan dilayani oleh dua orang gadis muda yang cantik dan diberi pakaian seperti dayang-dayang istana di jaman Kerajaan Beng dulu.

Mereka adalah gadis-gadis culikan dari beberapa desa yang dipersembahkan oleh beberapa hulubalang laskar kepada "Kaisar"

Mereka. Lalu terdengar suara Pangeran Cu Leng-ong di sela-sela suara giginya yang tengah mengunyah seiris buah tho yang segar.

"Adikku, tenangkan hatimu dan dinginkan kepalamu. Pada saat kita memupuk kekuatan untuk menghadapi musuh, tidak bijaksana kalau kita bersikap keras terhadap anakbuah kita sendiri. Memang kita akan menertibkan mereka, tapi harus setahap demi- setahap. Kalau kita langsung bersikap keras dan mengobral hukuman mati, bagaimana kalau mereka lari semua? bukankah kekuatan kita yang sedang berkembang ini akan hilang kembali? Dan kalau tentara Manchu datang, kita akan ditumpas habis!"

"Tetapi, apakah rakyat kecil akan tetap kita biarkan tanpa perlindungan sama sekali? Ingat di jaman Li Cu-seng, kakanda, rakyat yang lemah itu jika timbul kemarahannya akan seperti banjir-bandang yang tak terbendung oleh apapun, oleh pasukan sekuat apapun. Siapa yang bisa mengambil hati rakyat, dialah yang kuat!"

Kata Pangeran Cu Hin-yang berapi-api.

"Jangan mengulangi menyakiti hati rakyat seperti di jaman ayahanda Cong dulu, kakanda!"

"Aku bukannya mendiamkan saja rakyat menderita, akupun sedih mendengar desa diporak-porandakan oleh laskar kita, tetapi aku benar-benar belum menemukan jalan yang tepat untuk mengatasi hal ini,"

Sahut Pangeran Cu Leng-ong.

"Jangan kau kira aku tidak berpikir."

"Kelihatannya kakanda tidak sedang bersedih,"

Kata Pangeran Cu Hin-Yang dingin.

"Tapi baiklah, aku menemukan satu jalan tengah yang baik. Kita tidak perlu bertindak terlalu keras dengan menjatuhkan hukuman mati, namun cukup hukuman rangket dengan tongkat seratus kali saja. Bagaimana, kakanda?"

Dan alangkah kecewanya Pangeran Cu Hin- yang ketika melihat kakaknya menggelengkan kepalanya sambil tertawa tawar.

"Tidak mudah, adikku, mereka kelak akan bertempur menyabung nyawa untuk kita, kau dengar? Sementara kita belum mampu membuat imbalan yang pantas untuk mereka dan tahu- tahu kita telah bersikap keras terhadap mereka? Adikku, aku kira sepantasnya kalau mereka memperoleh sedikit imbalan harta dan kegembiraan dari jerih payah mereka... ."

"Jadi kakanda merestui mereka untuk merampok, memperkosa, membunuh semena- mena?"

"Jangan bicara sekeras itu kepadaku. Aku tidak merestui, tetapi memang kita belum bisa berbuat, lain daripada berdiam diri saja. Kita sedang memperjuangkan jutaan rakyat Han, dan dalam memperjuangkan jutaan orang itu cukup wajar kalau ada sedikit korban. Mungkin puluhan orang atau ratusan. Perjuangan jangka panjang kita memerlukan pengorbanan, bahkan pengorbanannya kan lebih berat dari yang sekarang ini kau lihat, adikku."

"Tapi yang berkorban itu bukan orang yang tidak tahu apa-apa, dan semampu kita harus membatasi jatuhnya korban itul Apa gunanya kelak kita menang, namun negeri ini sudah hancur lebur di jurang penderitaan karena ulah kita sendiri?"

Jika tadinya Pangeran Cu Leng-ong masih keliatan sabar dan tersenyum-senyum, maka makin lama diapun kelihatan makin marah melihat sikap adiknya yang terus-menerus membantah dan menentangnya itu.

Ia duduk tegak dan matanyapun bersinar tajam, setajam kata-katanya.

"Aku tidak peduli, adikku, pokoknya kemenangan adalah segala-galanya bagiku. Kemenangan keluarga Cu untuk mendirikan kembali dinastinya yang sudah runtuh. Kita keturunan Cu Goan-ciang, kita harus meniru cara-caranya dalam mencapai kemenangan. Tegas, tidak ragu-ragu dalam melangkah, itulah laki-laki sejati!"

Wajah Pangeran Cu Hin-yang memucat ketika mendengar jawaban itu.

Tentu saja ia pernah mendengar cerita tentang leluhurnya yang bernama Cu Go-an-ciang, pendiri dinasti Beng setelah merobohkan dinasti Goan itu.

Seorang yang tidak tanggung-tanggung bertindak dalam mencapai singgasana.

Di- langkahinya mayat-mayat sesamanya tanpa ragu-ragu, bukan saja mayat-mayat musuhnya tetapi juga mayat-mayat orang orang yang baik dengannya yang mati oleh tangannya.

Tangan Cu Goan-siang berlumuran darah gurunya sendiri, Pheng Eng-giok, saudara angkatnya sendiri Thio Su-seng, dan sahabat-sahabatnya seperjuangan seperti Siang Gi-jun dan Han Lim- ji.

Tentu saja kisah leluhurnya itu pernah dibaca oleh Pangeran Cu Hin-yang dan ia tidak menjadi bangga karenanya.

Rasa muak dan marah bercampur-aduk dengan benci terpancar dari wajah Pangeran Cu Hin-yang yang tampan itu, namun tiba-tiba mereda dan berubah menjadi kecewa dan sedih yang mendalam sehingga matanya berkaca- kaca.

Katanya dengan suara gemetar.

"Kalau begitu, kakanda, kemenangan laskar kakanda kelak bukanlah kemenangan rakyat, melainkan kememanngan kakanda sendiri dan orang- orang yang menjilat kakanda. Kemenangan itu berarti malapetaka untuk rakyat jelata!"

"Kurang ajar kau berani bicara seperti itu kepadaku!"

Teriak Pangeran Cu Leng-ong sambil menggebrak meja, sehingga dayang-dayang cantik di sekitarnya inengkeret ketakutan.

"Kalau kau bukan adikku dan juga telah berjasa ikut membina Jit-goat-pang bersamaku selama bertahun-tahun, kau sudah dihukum mati berdasar tata tertib ketentaraan, kita! !"

"Mana ada tata-tertib ketentaraan di sini?"

Balas Pangeran Cu Hin-yang tidak kalah kerasnya.

"Ini bukan tentara ini cuma sebuah gerombolan penyamun yang berseragam tentara!"

Dan sehabis berkata demikian, tanpa berkata sepatah katapun Pangeran Cu Hin-yang membalik tubuh dan meninggalkan tempat itu.

Dua orang penjaga pintu yang mengangguk hormat kepadanya tidak dihiraukannya.

Sepeninggal adiknya, Pangeran Cu Leng-ong menggeleng-gelengkan kepalanya untuk mengendapkan gejolak hatinya.

Ia cukup sayang kepada adiknya itu, namun lebih sayang lagi kepada ambisinya untuk merebut singgasana.

Ia sudah mulai dengan langkah pertama yang ia anggap berhasil, dan ia tidak ingin langkah pertamanya itu dijegal oleh siapapun meskipun oleh adiknya sendiri.

Demi cita-cita, orang harus keras, demikian tekadnya.

"Pengawal!"

Teriak Pangeran Cu Leng-ong. Seorang pengawal yang seragamnya mirip seragam prajurit Kerajaan Beng jaman dulu segera berlari-lari masuk dan berlutut di depan Pangeran Cu Leng-ong.

"Hamba siap menjalankan perintah ong-ya!"

"Panggil imam dari Hoa-san-pay itu kemari!"

"Baik, ong-ya."

Prajurit itu segera pergi dan tak lama kemudian datanglah ia kembali bersama seorang Tojin (imam agama To) berjubah kuning yang pada dadanya ada gambar pat-kwa, sambil berjalan ia selalu menggoyang-goyang sebuah hudtim di tangan kanannya.

Mata imam garang seperti mata alap-alap, sedikitpun tidak serasi dengan jubah keagamannya.

Melihat imam itu, Pangeran Cu Leng-ong segera memberi hormat lebih dulu sambil memanggil.

"Su-siok (paman guru)!"

Imam itupun mengangguk sambil mengambil tempat duduk.

Namanya Giok-seng Tojin, dari Hoa-san-pay.

Hoa-san pay adalah sebuah perguruan silat yang tidak secara terang-terangan menentang pemerintahan Manchu, bahkan segala maklumat pemerintah Manchu, misalnya untuk menguncir rambut setiap lelaki seperti orang Manchu, dituruti semua oleh perguruan ini.

Namun Hoa-san-pay juga tidak melarang murid-muridnya untuk ikut dalam gerakan menentang bangsa Manchu, hanya saja atas nama pribadi, bukan atas nama Hoa-san-pay juga tidak melarang murid- muridnya untuk ikut dalam gerakan menentang bangsa Manchu, hanya saja atas nama pribadi, bukan atas nama Hoa-san-pay.

Karena sikapnya inilah maka ada beberapa orang Hoa-san-pay yang ikut dalam pergerakan Pangeran Cu Leng- ong ini.

Di jaman dinasti Beng dulu, ketika Pangeran Cu Leng-ong dan Cu Hin-yang masih remaja, mereka memang pernah berguru ilmu silat di Hoa-san-pay, sehingga kedua bekas bangsawan itu memang mempunyai hubungan khusus dengan perguruan terkenal itu.

Karena itu tidak mengherankan kalau Giok-seng Tojin tiba-tiba saja bergabung deiigan pergerakan Pangeran Cu Leng-ong untuk menyumbangkan tenaganya, bahkan langsung menduduki jabatan sebagai penasehat Pangeran Cu Leng ong.

Dengan siasatnya itu Pangeran Cu Leng-ong berharap akan lebih banyak lagi orang-orang Hoa-san-pay yang bergabung dengan laskarnya yang kini jumlahnya mendekati sepuluh ribu itu.

Namun sejak kedatangannya, Pangeran Cu Leng-ong merasakan adanya sesuatu yang lain dengan paman gurunya ini.

Paman gurunya ini dulu dikenal sebagai seorang yang periang dan gemar berbicara, tatapan matanyapun tidak garang, tapi sekarang ini ia nampak berubah.

Ia bicara sedikit-sedikit saja, tatapan matanyapun mirip seekor alap-alap, entah apa yang membuatnya berubah.

Pangeran Cu Leng-ong tidak peduli.

Ia memang lebih membutuhkan orang-orang berwatak ganas di dalam laskarnya itu, daripada orang-orang yang "berhati lemah"

Seperti adiknya tadi. Setelah keduanya duduk berhadapan, Giok- seng Tojin bertanya.

"Ada apa Pangeran mengundangku?"

Pangeran Cu Leng-ong tidak bicara bertele- tele dan langsung saja ke titik persoalan.

"Susiok, adalah su-siok melihat perubahan sikap adikku belakangan ini ?"

"Aku kurang memperhatikannya, Pangeran."

Pangeran menarik napas dalam-dalam.

"Tidak jadi soal, susiok. Tapi belakangan ini kulihat adikku itu semakin berani menentang aku, memaksakan agar aku menerima pendapatnya untuk menerapkan tata tertib ketenteraan yang amat keras terhadap laskar kita ini. Dan jika aku jawab bahwa itu belum waktunya, diapun marah-marah. Sikapnya kepadaku semakin lama semakin tidak menghormat."

Giok-seng Tojin diam saja mendengar ucapan-ucapan Pangeran itu, bahkan ketika Pangeran itu berhenti berbicara sambil melirik kepadanya, maka imam bermata alap-alap itu masih saja duduk tenang tanpa menjawab sepa- tah katapun Pangeran melanjutkan.

"Aku kuatirkan dua hal. Jika dia mengutarakan kemarahannya itu dalam rapat penting para hulubalang laskar, maka aku akan menjadi serba salah. Jika tidak dihukum, kewibawaanku akan merosot di pandangan para hulubalang, tapi jika dihukum maka dia adalah satu-satunya saudaraku yang telah bertahun-tahun berjuang bersamaku sampai kita mencapai keadaan sebagus ini untuk mulai bergerak. Kekuatiranku yang kedua, jika terdorong oleh kekecewaannya kepadaku ia akan mengambil tindakan-tindakan sendiri diluar tahuku, sehingga menyakiti hati para laskar dan dengan demikian bisa membubarkan rencana kita ini."

"Sikap Pangeran terhadap adik pangeran sendiri, tergantung kepadamu,"

Sahut imam itu dengan suara datar tanpa perasaan apa-apa.

"Pangeran adalah pemimpin seluruh laskar perjuangan di sini, dan meskipun aku paman gurumu, aku harus tunduk kepada Pangeran. Tidak seperti ketika di Hoa-san-pay. Perintahkan apa yang harus aku perbuat atas diri Pangeran Cu Hin-yang."

"Aku minta pendapat susiok."

"Aku tidak punya pendapat apa-apa."

Melihat sikap Giok-seng itu, diam-diam Pangeran Cu Leng-ong melihat semakin jelas perbedaan antara Giok-seng Tojin yang dulu dengan yang di hadapannya saat ini.

Tapi bagi Pangeran itu tidak penting, pokoknya tenaganya bisa dimanfaatkan untuk menambah kekuatan laskarnya, habis perkara.

Kata Pangeran Cu Leng-ong kemudian.

"Pepatah kuno mengatakan, demi menjaga keutuhan cita-cita perjuangan, maka kasih sayang dalam keluarga sendiripun harus dinomor duakan. Susiok, aku minta kepada susiok untuk mengawasi dan membayangi setiap gerak-gerik adikku itu."

"Hanya membayangi dan mengawasi saja?"

"Ya, tapi jika ia melakukan tindakan- tindakan yang bisa membahayakan kelanjutan perjuangan menegakkan kembali dinasti Beng ini, maka susiok boleh mengambil tindakan- tindakan seperlunya."

Pendekar Naga Dan Harimau Karya Stefanus SP di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Baik, aku mohon pamit, Pangeran."

Sambil berkata demikian maka Giok-seng Tojin segera bangkit dari duduknya dan beranjak meninggalkan tempat itu.

Apalagi cuma mengawasi dan membayangi, andaikata disuruh untuk langsung mencabut nyawa Pangeran Cu Hin-yang pun maka imam itu tidak akan berkedip untuk melakukan tugasnya.

Sementara itu, Pangeran Cu Leng-ong masih kurang mantap rasanya kalau hanya menugas- ...Susiok aku minta kepada susiok untuk mengawasi dan membayangi setiap gerak-gecik adikku itu."

Kan susioknya sendiri untul mengawasi adiknya. Ia masih memerintahkan pula beberapa orang dekatnya yang paling dipercaya untuk mengawasi adiknya secara diam-diam. Hanya saja, orang-orang ini wewenangnya tidak dengan "bertindak seperlunya"

Seperti Giok- seng Tojin. Hanya mengawasi. Giok Seng Tojin berjalan keluar dari gedung tempat tinggal Pangeran Cu Leng-ong yang dijadikan "Pusat pemerintahan Kerajaan Beng"

Untuk sementara itu.

Gedung besar yang dikawal ketat oleh orang-orang terpercaya Jit- goat-pang itu tadinya adalah rumah seorang kepala desa yang agak besar, namun setelah Pangeran Cu Leng-ong keluar dari persembunyiannya bersama seluruh kekuatannya, maka desa itupun menjadi "ibukota"

Tempat tinggal Pangeran Cu Leng-ong.

Penduduk yang mempunyai sawah ladang tetap harus bekerja, tapi sebagian besar hasil bumi mereka harus disumbangkan untuk "dana perjuangan", bahkan kaum lelaki yang masih kelihatan kuat telah dipaksa untuk memanggul senjata, suka atau tidak suka.

Sekeliling desa juga telah dibangun tembok-tembok pertahanan yang meskipun hanya terbuat dari batu, kayu dan tanah liat namun cukup memadai.

Apalagi dilengkapi pula dengan alat- alat dan bambu yang bisa melontar-lontarkan batu sebesar kepala, di samping pasukan pemanah dan pelempar lembing yang siap setiap waktu.

Desa itu terlalu sempit untuk menampung sepuluh ribu laskar Pangeran Cu Leng-ong, maka desa itu hanya salah satu dari mata rantai kubu-kubu pertahanan yang dibangun oleh Pangeran Cu Leng-ong.

Kubu-kubu yang terdiri dari berpuluh-puluh desa yang dibentengi dan dipersenjatai itu satu sama lain dihubungkan dengan jalan-jalan yang lebar, yang senantiasa dirondai oleh pasukan berkuda, sehingga apabila salah satu desa diserang, maka deaa- desa lainnya dapat mengirimkan bantuannya, sehingga musuh malahan terancam akan terjepit dari semua arah.

Dengan demikian, daerah pengaruh Cu Leng-ong jauh lebih luas dari "wilayah"

Yang pernah dikuasai oleh Li Tiang-hong di daerah Hun-lam dulu. Apalagi "wilayah"

Pangeran Cu Leng-ong ini tersebar luas ditempat yang bergunung-gunung dan tidak rata, sehingga sulit untuk digempur dengan seketika.

Berbeda dengan daerah pengaruh Li Tiang-hong dulu yang daerahnya memang merupakan dataran ilalang yang luas dan rata, sehingga mudah diserang.

Hanya adanya hutan-hutan tempat persembunyianlah yang masih menyelamatkan Li Tiang Hong sampai saat ini.

Namun sekarang Li Tiang-hong sudah membawa seluruh anak buahnya untuk bergabung dengan Pangeran Cu Leng-ong.

Giok-seng Tojin berjalan-jalan di jalan-jalan yang penuh laskar yang hilir mudik itu dengan sikap acuh tak acuh.

Beberapa laskar mengangguk hormat Kepadanya meskipun tidak mendapat balasan.

Imam itu sama sekali tidak menghina tapi juga tidak kagum melihat semuanya itu, seolah-olah segala apa yang dilakukan Pangeran Cu Leng-ong itu tidak ada sangkut-pautnya dengan dirinya.

Tiba-tiba Giok-seng Tojin melihat dua orang laskar mendekatinya dan memberi hormat kepadanya.

Imam itu tetap tidak mengacuhkannya, sebab berratus-ratus laskar berbuat serupa dengan mereka berdua, namun yang mengejutkan Giok-seng Tojin, adalah ketika ia mendengar salah seorang laskar itu berkata dengan suara yang berbisik.

"Ada pesan dari Te-liong Hiangcu. Mari ke tempat sepi Bersambung ke

Jilid Sumber Image . Koh Awie Dermawan first share in
Kolektor E-Book
Pringsewu // . PM PENDEKAR NAGA DAN HARIMAU

Jilid ? Hasil Karya . STEFANUS, S.P. pelukis . Didik. S Penerbit / Pencetak - C.V. G E M A - Mertokusuman RT RK III telepon No. SOLO - *** PENDEKAR NAGA DAN HARIMAU *** Karya . STEFANUS S.P.

Jilid mam itu terkejut.

Terhadap Pangeran Cu Leng-ong ia boleh saja acuh tak acuh, tetapi terhadap utusan Te-liong Hiangcu ia tidak bisa bersikap demikian sebab Te-liong Hiangcu akan membunuh siapa saja yang mengabaikan perintahnya.

Bahkan mungkin sekali salah seorang dari kedua laskar itu adalah samaran dari Te-liong Hiangcu sendiri.

Maka Giok-seng Tojin tanpa banyak bicara segera berjalan di depan mencari sebuah tempat yang sepi, diiringi kedua orang laskar saja.

Pemandangan yang sama sekali tidak menimbulkan kecurigaan, sebab bukankah Giok-seng Tojin I adalah penasehat Pangeran Cu Leng-ong pribadi dan pantas untuk mendapat pengawalan? Tiba di belakang sebuah rumah besar yang dijadikan gudang makanan, tempat yang sunyi, ketiga orang itupun berhenti.

"Apakah pesan Hiangcu selanjutnya?"

Tanya Giok-seng Tojin kepada kedua laskar itu.

"Dan bagaimana keadaan Hiangcu sendiri? Apakah lukanya sudah sembuh dan ia sudah meninggalkan Pak-khia?"

Jika di tempat ramai tadi kedua laskar ini bersikap seolah-olah sangat hormat kepada Giok-seng Tojin, maka di tempat yang sepi ini keduanya tidak lagi bersikap hormat melainkan bersikap seperti terhadap seorang yang sejajar kedudukannya.

Dan sesungguhnya ketiga orang itu memang sejajar kedudukannya, sama-sama anakbuah komplotan Te-liong Hiangcu, majikan Kui-kiong atau Istana Iblis.

Salah seorang laskar yang bertubuh kurus dan bermata garang berkata.

"Syukur luka Te- liong Hiangcu sudah sembuh, namun ia belum meninggalkan Pak khia karena masih akan mengadakan beberapa pembicaraan dengan sekutu-barunya, panglima Pasukan Ui-ih-kun Pakkiong An. Hiangcu menyuruh aku menemui- mu."

Giok-seng Tojin mengangguk-angguk, lalu.

"Kita sama-sama anakbuah Te-liong Hiangcu, tapi belum saling mengenal nama kita masing- masing. Bagaimana kalau kita berkenalan dulu, agar aku pun kelak mudah menghubungi kalian jika ada sesuatu yang penting?"

Kedua orang laskar itu berpandangan sejenak, lalu laskar bertubuh kurus bermata garang itu berkata.

"Tidak ada salahnya. Bagaimanapun juga memang kita berada di satu pihak dan satu kepentingan pula, meskipun selama ini belum saling mengenal. Aku bernama Tong King-bun dan dulu berjulukan Sai-ya-jat (Si Hantu Malam), temanku ini bernama Seng Cu-bok dan berjulukan Hwe-tan (Si Peluru Api) . Dan kau sendiri tentu tidak akan memperkenalkan dirimu sebagai Giok-seng Tojin bukan?"

Giok-seng Tojin tertawa pendek.

"Kau pasti tidak percaya jika aku mengaku sebagai Giok- seng Tojin. Baiklah. Namaku Han Kiam-to, berjuluk Sat-jiu-hong-kui (Hantu Gila Bertangan Kejam) Kedua laskar yang mengaku bernama Tong King-bun dan Seng Cu-bok itu berbareng mengangkat kedua tangannya untuk memberi hormat sambil berkata.

"Sudah lama mendengar julukan anda yang menggetarkan di wilayah Kam-siok, sahabat Han."

Giok-seng Tojin yang ternyata hanya gadungan itupun mengangkat tangan di depan dada untuk membalas penghormatan kedua rekannya itu, sahutnya.

"Aku tidak berarti dibandingkan saudara Tong dan saudara Seng yang dulu pernah menjadi Pek-ki Tongcu (Pemimpin Kelompok Bendera Putih) dan Lam- ki Tongcu (Pemimpin Kelompok Bendera Biru) di bawah pimpinan Te-liong Hiang-cu yang berhasil menandingi kekuasaan Hwe-liong- pangnya Tong Wi-siang."

Begitulah, di antara orang-orang yang berdarah dingin dan sanggup membunuh sesama manusia tanpa berkedip, ternyata juga ada basa-basi dan saling merendahkan diri.

Kelirulah kalau orang menyangka mereka akan berbicara dengan kata-kata kasar dan kotor atau saling membentak.

Namun dengan demikian orang-orang yang sangat berbahaya dalam masyarakat, sebab watak jahat mereka berselubung oleh sikap sopan mereka, dan merekapun seperti serigala-serigala berbulu domba di tengah kumpulan domba-domba yang sebenarnya.

"Nah, apakah pesan dari Hiangcu?"

Tanya Giok-seng Tojin.

"Pesannya singkat saja. Jika terjadi pertempuran kelak, karena saat ini pasukan Hui-liong-kun dengan kekuatan limaribu orang sedang bergerak kemari, maka saudara Han bersama kami berdua harus berusaha membunuh seorang perwira Hui-liong-kun yang bernama Tong Lam-hou."

"Baik.Dalam pertempuran yang kisruh, tentu agak sulit juga menemukan seorang yang bernama Tong-Lam hou, tetapi aku sanggup melaksanakannya."

"Kita akan menemukannya. Kita punya orang-orang sekomplotan yang ada di markas Panglima kota Tay-tong, Kwa Sun-li-ong. Jika pertempuran hendak dimulai, semalam sebelumnya mereka akan berusaha memberitahu kita tentang bagaimana bentuk barisan penyerang yang akan digunakan oleh Pakkiong Liong, dan di mana diletakkannya Tong Lam-hou dalam barisan itu, sehingga kitapun dapat menyesuaikan diri."

"Te-liong Hiangcu bekerja dan mengatur semuanya dengan cukup sempurna, meskipun kadang-kadang orang-orangnya di satu bagian rencananya tidak saling kenal dengan orang- orangnya di bagian lain dari rencananya,"

Kata Han Kiam-to alias Giok-seng Tojin gadungan.

"Baik. Aku akan membereskan bocah she Tong itu. Tetapi kenapa harus kita bertiga yang menghadapi Tong Lam-hou? Apakah aku sendiri saja tidak cukup? Apakah perlu merepotkan saudara Tong dan saudara Seng? Bertangan enam dan berkepala tigakah perwira ingusan itu?"

Sahut Tong King-bun.

"Saudara Han, aku bukan seorang yang gampang memuji-muji seseorang, namun terhadap orang yang bernama Tong Lam-hou itu kita memang tidak boleh memandang enteng. Saudara Han pernah mendengar nama besar Panglima Hui-liong- kun?"

"Pakkiong ulung yang berjulukkan Pak-liong (Naga dari Utara) ?"

"Ya. Nah, perwira bernama Tong Lam-hou ini kepandaian setingkat dengan Pakkiong Liong, bahkan telah timbul pemeo yang mengatakan Pak-liong Lam-hou (Naga di Utara, Harimau di Selatan). Kalau Pakkiong Liong punya ilmu Hwe-li-ong-sin-kang yang bisa memancarkan udara panas yang sanggup melumerkan logam maka Tong Lam-hou punya ilmu pukulan maha dingin yang entah apa namanya yang dapat membekukan darah lawan dari jarak pukulan beberapa langkah."

Namun kelihatannya Giok-seng Tojin gadungan itu masih belum percaya penjelasan Tong King-bun itu.

"Saudara Tong apakah pernah merasakan sendiri kelihaian Tong Lam- bou atau hanya mendengar angin saja?"

Tanyanya "Aku tidak perlu malu-malu untuk mengatakan bahwa aku sendiri pernah mengalami sendiri kelihaian bocah she Tong itu, ketika dia belum menjadi perwira Tentara Kerajaan,"

Sahut Tong King bun tegas.

"aku bersama-sama tiga orang temanku yang semuanya berkepandaian setingkat aku, yaitu masing-masing He-hou Im yang berjuluk Sat- sin-kui (Si Setan Ganas), Tio Hong-bwe yang berjuluk Hek-licng (Si Naga Hitam) dan Song Hian yang berjuluk Tiat-pwe-siang (Gajah Berpunggung Besi), tidak sanggup mengalahkan Tong Lam-hou ketika terjadi perkelahian di sungai Yang-ce-kiang. Padahal Hehou Im, Tio Hong-bwe dan Song Hian, seperti juga kami berdua, dulunya adalah bekas Tongcu-tongcu Hwe-liong-pang bawahan Te-liong Hiangcu. Nah, saudara Han dapat mengira-ira sendiri sampai dimana bobot perwira muda itu."

Giok-seng Tojin gadungan itu nampak termangu-mangu mendengar penjelasan itu, meskipun ia belum percaya sepenuhnya, tapi ia tidak dapat menganggapnya seperti angin lalu begitu saja.

Ia tahu benar kecermatan Te-liong Hiang cu dalam mengatur kerja anakbuahnya, dan perintahnya kali inipun tentu telah dipertimbangkan masak-masak.

Te-liong Hiangcu telah memerintahkan agar Tong-Lam- hou dilawan bertiga, tidak peduli yang tiga orang itu terdiri dari bekas tokoh-tckoh golongan hitam yang berilmu tinggi, dengan julukan-julukan yang menggidikkan hati.

"Kalau begitu perintah Hiangcu, kita tak dapat menolaknya. Tapi siapa orangnya yang akan menerima pesan dari dalam kota Tay-tong dan kemudian meneruskannya kepada kita?"

"Seorang rekan kita pula, tapi tidak kita kenal."

Giok-seng Tojin tertawa.

"Kita semua seakan-akan bekerja di dalam sebuah ruangan yang besar, namun masing-masing dipisah- pisah oleh sekat-sekat yang membuat kita tidak dapat saling melihat, meskipun kita mengerjakan pekerjaan yang sama."

Tong King-bun dan Seng Cu-bok juga tertawa.

"Memang begitulah. Namun semuanya ini diatur oleh Te-liong Hiangcu demi kerapian dan keamanan rencana kita. Ibaratnya jika ada yang bocor, maka kebocoran itu tidak merembet ke lain bagian dan mudah diatasi. Bahkan tipis harapan orang lain untuk melacak jejak seluruh komplotan kita, meskipun andaikata salah seorang dari kita tertangkap, maka si penangkap tak akan memperoleh jejak apapun untuk melacak komplotan kita."

Ketiganyapun berpisah.

Sementara itu, pasukan besar Hui-liong-kun telah memasuki gerbang kota Tay-tong dengan upacara kebesaran.

Bendera yang berkibar- kibar, ujung-ujung tombak dan pedang yang berkilat-kilat seolah hendak menikam angkasa, derap kaki kuda dan gemerincing baju tembaga, telah menimbulkan suasana yang menggetarkan.

Tay-tong adalah sebuah kota besar yang letaknya berhadapan langsung dengan daerah Pangeran Cu Leng-ong, sehingga kota ini adalah garis depan dari pertempuran yang bakal berkobar.

Kedatangan pasukan Hui- liong-kun sangat membesarkan hati prajurit- prajurit di kota Tay-tong yang tadinya sudah ketar-ketir karena jumlah mereka yang hanya duaribu limaratus, sedang laskar Pangeran Cu Leng-ong kabarnya telah mencapai empat kali lipat dari jumlah prajurit di Tay-tong, dan jumlah pengikut Pangeran dinasti Beng itu ternyata masih saja bertambah dengan orang- orang yang menggabungkan diri.

Untunglah Tay-tong belum jatuh ke tangan pemberontak karena memiliki tembok benteng yang melingkari kota.

Namun soal kejatuhan Tay tong, bila tak ada bantuan dari luar, tentu merupakan soal waktu saja.

Asal Pangeran Cu Leng-ong memerintahkan laskarnya untuk menutup dan mengurung semua jalan keluar masuk Tay-tong, maka tentara di dalam benteng kota tentu akan kehabisan perbekalan dan kelaparan.

Dengan demikian Tay-tong akan jatuh, padahal Tay-tong tidak terlalu jauh letaknya dari Kotaraja Pak-khia.

Maka ketika mendengar datangnya balabantuan dari ibukota berupa lima ribu pasukan Hui-liong-kun, pasukan yang sudah terkenal ketangguhannya di segala medan, apalagi kedatangan pasukan itu dipimpin sendiri oleh si Naga Utara yang termasyhur itu, maka Panglima Tay-tong yang tadinya sudah ciut hatinya menghadapi laskar pemberontak yang jauh lebih besar, kini kembali mekar hatinya.

Diiringi oleh perwira-perwiranya serta sepasukan kecil pasukan pengawalnya, panglima Tay-tong yang bernama Kwe Sin-liong itu menyambut kedatangan pasukan dan Pak- khia itu di luar pintu gerbang timur kota Tay- tong.

Di bawah kibaran bendera Ngo-jiau-kim- liong-ki yang berbentuk segitiga lebar dengan jumbai-jumbai beraneka warna itu, Pakkiong Liong berkuda paling depan, didampingi oleh Sian-hong Ciangkun (Panglima perintis barisan) Ha To-ji dan wakilnya Tong Lam-hou.
Pendekar Naga Dan Harimau Karya Stefanus SP di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


Tetap duduk di atas kudanya, Kwe Sin-liong segera mengangkat kedua tangannya di atas dada untuk menghormat.

katanya.

"Kedatangan Pakkiong Ciangkun ibarat malaikat, penolong pada saat kami sudah hampir mampus dicekik pemberontak keparat itu. Selamat datang di Tay-tong, Pakkiong Ciangkun!"

Pakkiong-liong pun membalas penghormatan Kwe Sin-liong itu dengan sikap yang sama dan menjawab.

"Kwe Ciangkun terlalu merendah. Siapa yang tidak kenal permainan golok Tay-hong-to-hoat,( Ilmu Golok Angin Badai) kepunyaan Kwe Ciangkun yang terkenal itu? Jika para pemberontak itu hendak merebut Tay-tong, tentunya mereka harus menyerahkan korban yang sangat besar di pihak mereka."

Begitulah kedua Panglima itu saling memuji, kemudian berkuda bersampingan memasuk kota Tay-tong.

Di pinggir jalan, banyak penduduk yang mengelu-elukan kedatangan pasukan itu.

Tadinya penduduk kota Tay-tong sudah gemetar ketika mereka mendengar dari mulut para pengungsi yang menceritakan bagaimana ganasnya laskar pemberontak itu dalam memperlakukan rakyat yang tak berdaya.

Banyak penduduk kota Tay-tong sudah siap untuk mengungsi ke tempat yang Jauh dari garis peperangany namun kini mereka lega ketika melihat lima ribu prajurit Hui-liong-kun itu dengan langkah tegap berderap memasuki kota.

Tapi di antara penduduk yang berjubel-jubel di tepi jalan sambil bersorak sorai itu ada pula mata-mata yang bekerja di pihak Pangeran Cu Leng-ong.

Mata-mata ini segera keluar kota untuk melaporkan apa yang dilihatnya kepada Pangeran Cu Leng-ong.

"Bagus!"

Kata Pangeran Cu Leng-ong ketika mendengar kedatangan Pasukan Hui-liong-kun yang dilaporkan oleh mata matanya itu.

"Tanganku sudah gatal ingin menjajal sampai di mana kehebatan pasukan yang dikatakan sebagai pasukan terbaik di negeri ini. Jika mereka bisa dihancurkan, maka seluruh orang Manchu akan menggigil kakinya dan rontok semangatnya!"

Pangeran Cu Hin-yang yang berada di ruangan itu pula, lalu memperingatkan kakandanya.

"Bukannya kita takut, kakanda, tetapi menghadapi mereka kita harus penuh perhitungan cermat, tidak bisa asal main serbu saja. Ketika dalam perjalanan menuju ke Hun- lam, aku sudah beberapa kali merasakan kelihaian mereka."

Tapi Pangeran Cu Leng-ong menjawab.

"Adikku, jika kita berniat merubuhkan Kerajaan Manchu dan membangun kembali dinasti kita, maka cepat atau lambat kita akan berhadapan juga dengan mereka. Dan kapan kau akan berhenti membesar-besarkan kekuatan pihak musuh dan mengecilkan arti laskar kita sendiri?"

Baru saja Pangeran Cu Hin-yang hendak membantah, seorang pengawal telah masuk dan berlutut sambil melapor, Baru saja Pangeran Cu Hin-yang hendak membantah, seorang pengawai telah masuk dan berlutut sambil melapor "Pangeran, seorang mata-mata lagi hendak menghadap Pangeran"' "Pangeran, seorang mata-mata lagi hendak menghadap Pangeran!"

Belum lagi mata-mata yarg keluar dari ruangan itu, telah datang mata-mata yang kedua, maka Pangeran Cu Leng-ong segera memerintahkannya untuk masuk. Mata-mata itu berlutut dan melapor.

"Pangeran, hamba melihat bahwa hari ini juga pasukan Hui-liong-kun sudah berkemah di luar pintu kota sebelan barat. Hanya beberapa li dari kubu pertahanan kita yang paling depan."

Pangeran Cu Leng-ong tercengang mendengar laporan mata-matanya, yang kedua, sesaat ia menunjukkan sikap tidak percaya akan laporan itu. Namun kemudian ia sadar bahwa mata-matanya tidak akan berani berbohong terhadapnya, maka ia menggeram.

"Seolah Pakkiong Liong menantang kita dengan sikapnya itu. Ia tidak mau berlindung di balik- tembok kota Tay-tong, melainkan berkemah tepat di depan pertahanan kita. Baik, akan kita jawab tantangannya secepat mungkin."

Lalu kepada prajurit yang menjaga pintu, ia memerintah.

"Panggil semua Panglimaku ke sinil"

Maka dari desa tempat tinggal Pangeran Cu Leng-ong yang sudah menjadi perbentengan dan "ibukota"

Itupun berpencaranlah penunggang-penunggang kuda ke desa-desa sekitarnya yang juga merupakan kubu-kubu laskar yang sama. Yang disebut "Panglima- panglimaku"

Oleh Pangeran Cu Leng-ong itu tentu saja bukan lain adalah orang-orang kuat dari Jit-goat-pang maupun dari kelompok- kelompok yang menggabungkan diri dengan Jit- goat-pang.

Mereka memang tinggal berpencaran di desa-desa yang satu sama lain merupakan mata rantai pertahanan yang luas.

Itulah sebabnya untuk memanggil "Panglima- panglima"nya maka Pangeran mengirimkan laskar berkuda, sebab desa yang terjauh yang dikuasai oleh Pangeran Cu Hin-yang ada yang jaraknya li lebih.

Namun tidak lama kemudian, di gedung Pangeran Cu Leng-ong berkumpullah para pentolan-pentolan dari laskar itu.

Mereka adalah Cu Yok-tek yang mentang-mentang she Cu lalu mengaku masih ada hubungan keluarga dengan dinasti Beng, lalu lima saudara seperguruan pemimpin Ngo-pa-hwe yang sama- sama melapisi pakaian mereka dengan selembar kulit macan tutul sebagai tanda, pengenal mereka yang dibanggakan.

Kam Koan si pemimpin Tiat-hi-pang yang menggendong siang kek (sepasang tombak pendek) bersilang di punggungnya.

Ji Tay-hou si pemimpin Kang- liong-pang yang sering malang-melintang di sungai Hong-ho, yang membawa rantai berbandul besinya yang dilibatkan di pinggangnya.

Tentu saja yang tidak ketinggalan adalah Kongsun Hui dan Li Tiang-hong yang memang adalah Panglima-panglima sungguhan dijaman Kerajaan Beng dulu.

Menyadari suasana perang yang gawat, kedua orang bekas Panglima itu telah mengenakan kembali pakaian kebanggaan mereka sebagai panglima jaman dulu, lengkap dengan topi besinya dan baju tembaganya.

Setelah semuanya berkumpul, pangeran Cu Leng-ong berkata.

"Saudara-saudara seperjuangan, setelah sekian lama kita tidak bertempur karena prajurit-prajurit"

Musuh di kota Tay-tong bersembunyi Saja di balik benteng, seperti kura-kura menyembunyikan kepalanya, sambil menggantungkan papan bian- cian-pai (permohonan kepada musuh untuk menunda perang) di pintu gerbang mereka, maka sekarang sudah datang lawan kita yang sebenarnya.

Lima ribu prajurit dari pasukan Hui-liong-kun...

Mendengar itu, mau tidak mau tergetar juga hati para "Panglima"

Laskar pemberontak itu.

Nama besar Pasukan Naga Terbang dengan perwira-perwiranya yang gagah perkasa adalah mirip dengan dongeng tentang dewa-dewa saja.

Mereka memang berpikir bahwa suatu saat mereka akan berhadapan juga dengan pasukan terkenal yang merupakan salah satu penyangga berdirinya pemerintahan Manchu itu, namun sungguh tak diduga akan secepat ini, sehingga mau tak mau timbul juga rasa ragu-ragu dalam hati mereka.

Melihat beberapa sikap ragu-ragu di antara Panglima-panglimanya, maka Pangeran Cu Leng-ong secara cerdik menggunakan kata-kata yang memanaskan hati dan sekaligus membangkitkan pula ketamakan mereka.

"Saudara-saudara, Pakkiong Liong itu apa? bukankah dia dan prajurit-prajuritnya juga terdiri dari darah dan daging seperti kita? Apa dikiranya dia dan pasukannya itu adalah pasukan dewa-dewa dari langit yang berkendaraan naga dan bersenjata petir ditangannya? Saudara-saudara, jangan gentar. Dia telah berani mendirikan perkemahan di depan hidung dan berarti dia ingin melihat apakah Say-Bin-koay-to Cu Yok-tek, Ngo-pa- heng te, Kam Koan dan Ji Tay-hou itu akan mengkeret seperti kura-kura atau mengamuk seperti banteng luka sesuai dengan nama besar mereka? Kita kocar-kacirkan Pakkiong Liong dan kemudian kita rebut kota Tay-tong, dan akhirnya Pak-khia, lalu dinasti Beng akan kembali kita bangun dan saudara-saudara adalah menteri-menterinya, Panglima- panglimanya, gubernur-gubernurnya. Hayo, kita jawab tantangan Pakkiong Liong si Manchu gila itu!"

Ucapan Pangeran Cu Leng-ong yang berapi- api itu berhasil juga membakar hati "Panglima- panglimanya yang rata-rata memang berotot seperti kerbau tapi juga berotak kerbau itu.

Diingatkan akan, kedudukan tinggi yang bakal mereka nikmati kelak, kekayaan dan kehormatan yang berlimpah serta kenikmatan hidup yang tak terbatas, maka semangat mere- kapun berkobar kembali.

Toh Pasukan musuh hanya berjumlah separuh dari pasukan mereka, dua lawan satu apa lagi yang ditakutkan? "Ya, kita serang!"

Tiba-tiba "Pangeran"

Cu Yok-tek menyahut sambil mengangkat tinggi- tinggi goloknya.

Seruan itu disambut yang lain-lainnya dengan seruan-seruan bersemangat pula.

Hanya Pangeran Cu Hin-yang yang berdiri di samping Pangeran Cu Leng-ong itu diam-diam mengeluh dalam hati ia tahu bahwa sekedar semangat yang berkobar-kobar tidak akan dapat mengalahkan musuh, namun ia tidak dapat membantah keputusan kakandanya dalam pertemuan seperti itu, sebab hal itu akan membuat kakandanya kehilangan muka.

Maka ia diam saja dan hanya berharap md-dah- mudahan laskarnya mendapat keberuntungan.

Sorakan-sorakan para "Panglima"

Itupun reda setelah Pangeran Cu Leng-ong mengangkat tangannya. Lalu Pangeran itu menggelar sehelai peta dari kulit diatas mejanya, dan memanggil pengikutnya untuk mendekat dan melihat ke peta, ia menunjuk ke satu titik sambi berkata.

"Pakkiong Liong berkemah di sini Lalu jari-jarinya menari-nari diatas peta sambii membagi-bagi tugas untuk pengikut- pengikutnya.

"Dua ribu laskar dipimpin oleh Li Ciangkun (maksudnya Li Tiang-hong) akan keluar dari desa ini, memancing pertempuran kemudian mundur ke dekat dinding desa. Saudara Toa-pa (Si Macan Tertua) Ong Goan-to serta Ji-pa (Macan Kedua) Bun Siang-kok dari Ngo-pa-hwe bersiap di-sini dengan seribu prajurit, saudara-saudara Sam-pa Kong Hok- bun, Si-pa Kini Hwe-jing dan Ngo-pa Mo Kian- keng mengadakan barisan pendem (bay-hok) di sini dengan seribu laskar pula. Begitu. Li Ciangkun tiba di tempat ini sambil memancing musuh, maka saudara Bun dan saudara Kong dengan pasukan masing-masing harus segera menjepit dari kanan kiri. Saduara Kongsun Hui dengan dua ribu pasukan menggempur dari barat dibantu oleh saudara Kam Koan Saudara Cu Yok-tek dengan jumlah pasukan yang sama dari utara dengan dibantu saudara Ji Tay-hong. Nah, pasukan musuh akan hancur di tengah- tengah, tinggal sisa pasukannya yang ada di perkemahan. Aku dengan dua ribu serdadu pula akan keluar dari desa ini dan menghancur-le- burkan sisa-sisa pasukan di perkemahan. Giok- seng Tojin akan mendampingi aku."

Semua kepala mengangguk-angguk setuju karena menganggap siasat itu cukup bagus.

Andaikata saja orang-erang seperti Cu Yok-tek dan lain-lainnya itu punya sedikit otak saja, mereka akan tahu bahwa sebenarnya mereka hanya dikorbankan oleh Pangeran Cu Leng ong yang licin itu.

Semuanya mendapat tugas untuk gempur sana gempur sini, tugas-tugas yang berbahaya, lalu setelah musuh hancur dan tinggal sisa-sisa-nya yang tidak berbahaya, barulah Pangeran tampil ke medan untuk "menghancur-leburkan"

Musuh di perkemahan- nya.

Suatu tugas yang kelihatannya berat dan berbahaya, namun sebetulnya yang paling ringan.

Hanya karena kepandaian Pangeran Cu Leng-ong dalam mengucapankannyalah maka ia bisa memberi kesan yang sebaliknya.

Li Tiang-hong dan Kongsun Hui sebagai bekas Panglima-panglima Kerajaan Beng sebenarnya bukanlah orang-orang tolol.

Namun karena kefanatikan mereka yang membabi- butalah membuat mereka tidak ada bedanya dengan orang-orang tolol.

Bagi mereka, setiap patah kata-kata Pangeran Cu Leng-ong adalah- sabda Kaisar Cong-peng sendiri.

"Nah, saudara-saudara, malam ini juga kalian harus membuat persiapan-persiapan sesuai dengan tugas dan arah serangan masing- masing,"

Kata Pangeran.

"Besok pada saat ayam jantan berkokok untuk ketiga kalinya, semua serentak bergerak tanpa menunggu aba-aba lagi. Paham?"

"Paham!"

Jawab orang-orang itu serempak dengan semangat tinggi. Mereka merasa siasat itu cukup sempurna dan rasanya kemenangan akan dapat mereka raih dengan mudah.

"Kalian kembali ke pasukan masing-masing dan jangan lupakan pesanku,"

Demikian Pangeran Cu Leng-ong membubarkan pertemuan itu. Masing-masing segera kembali ke kubunya masing-masing di desa-desa yang terpencar-pencar itu. Kepada adiknya yang masih berada di ruangan itu, Pangeran berkata.

"Adikku, besok kau berada bersama-sama dengan aku di pasukan induk."

"Baik, kakanda,"

Sahut Pangeran Cu Hin- yeng singkat dan datar saja.

Pangeran Cu Hin- yang tidak menentang perjuangan kakandanya, bahkan siap mempertaruhkan nyawa untuk mendukungnya, tetapi dalam beberapa hari ini rasa-rasanya hubungannya dengan kakaknya itu semakin renggang dan dingin.

Perbedaan yang tajam antara, jalan pikiran masing-masing telah menggali jurang antara kakak beradik yang sama-sama putera mendiang Kaisar Cong- ceng dari ibu yang berbeda itu.

Jurang pemisah itu bukannya semakin sempit, tapi dari hari ke hari rasanya semakin melebar saja.

Sementara itu, di pesanggrahan Pakkiong Liong yang didirikan di luar kota Tay-tong, berhadapan langsung dengan kubu musuh yang terdepan, Pakkiong Liong mengistirahatkan pasukannya tetapi tidak kehilangan kewaspadaan.

Sikapnya untuk berkemah di luar benteng kota, tidak di dalam, merupakan sikap yang oleh beberapa Panglima berpikiran kolot yang terlalu berpegang pada teori-teori ilmu perang kuno, dianggap sebagai sikap yang "ugal-ugalan".

Namun sikap itulah yang Justru paling cocok buat Pakkiong Liong dan ternyata didukung oleh semua perwira-perwiranya yang rata-rata masih muda-muda pula, rata-rata di bawah umur tigapuluh tahun, sehingga mereka yang gemar menyerempet-nyerempet bahaya itu "satu selera"

Dengan Pakkiong Liong.

"Jika musuh mengira kita akan bersembunyi dalam benteng, maka mereka salah hitung, kita Justru berada tepat di depan hidung mereka, hanya dalam jarak beberapapuluh lontaran panah,"

Kata Ha To-ji si orang Mongol yang berdarah panas itu.

"Paling tidak siasat kita ini bisa membuat sebagian laskar musuh terkejut dan ciut nyalinya."

"Tapi jangan lupakan penjagaan,"

Pesan Pakkiong Liong.

"Tentu."

Pendekar Naga Dan Harimau Karya Stefanus SP di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sebenarnyalah Pakkiong Liong bukan seorang tolol yang hanya mengandalkan keberanian tanpa memperhitungkan hal-hal lain.

Jika Pangeran Cu Leng-ong menganggap Pakkiong Liong tolol dan dirinya sendiri pintar, maka Pangeran itu sebenarnya sudah berjalan selangkah menuju kekalahan.

Jika Pangeran Cu Leng-ong punya mata-mata di kota Tay-tong yang senantiasa mengawasi gerak-gerik Pakiong Liong, maka sebaliknya Pakkiong Liong juga sudah menyusupkan banyak mata-mata di dalam desa-desa yang dikuasai Pangeran Cu Leng-ong.

Pada saat Pangeran Cu Leng-ong menerima banyak orang untuk bergabung dalam laskarnya, pada saat itulah mata-mata Pakkiong Liong menyusup masuk dengan menyamar sebagai orang-orang yang akan ikut berjuang di pihak Pangeran.

Bahkan mata-mata yang disusupkan oleh Pakkiong Liong lebih baik kerjanya daripada mata-matanya Pangeran Cu Leng-ong.

Mata-mata Pangeran Cu Leng-ong hanya bermodal keberanian dan ketangkasan jasmani, namun mereka tidak mampu memperhitungkan kekuatan dan kedudukan lawan secara cermat, yang mereka lihat "hanyalah"

Atau "kedengarannya"

Saja.

Sedangkan mata-mata Pakkiong Liong memang prajurit-prajurit rahasia yang dididik berat untuk pekerjaan semacam itu.

Jika mereka melaporkan hasil pengintaiannya, maka latihan- latihan berat mereka membuat mereka sanggup melaporkan secara amat terperinci, bahkan mereka juga mampu mengurai dan menyimpulkan suatu keadaan yang mereka lihat.

Sebelum tengah malam.

seorang yang berpakaian dekil mendekati pagar pesanggrahan Pasukan Hui-liong-kun dan sengaja menemui prajurit yang berjaga di situ.

Ketika prajurit-prajurit itu membentak sambil menodongkan tombaknya, maka orang berpakain dekil mirip dengan pengemis itu itu mengeluarkan sebentuk lencana dari balik bajunya, menandakan bahwa ia adalah anggota pasukan rahasia, salah satu bagian dari Hui- liong-kun juga.

Setelah para prajurit meyakini Keaslian lencana besi itu, maka dua orang prajurit segera mengantarkan orang itu ke kemah Pakkiong Liong, karena mata-mata itu minta menemui Pakkiong Liong malam itu juga.

Kebetulan di kemah Pakkiong Liong sedang berkumpul para perwira dalam keadaan lengkap.

Nampak Ha To-ji, Han Yong-kim, Le Tong-bun, Tokko Seng, Tong Lam-hou, Ko Lung- to, Na Hong, Tamtai Hok, Hu Lan-to dan Wanyen Hui serta tidak ketinggalan pula perwira bagian perbekalan Bok Teng-san.

Semuanya nampak berwajah sungguh-sungguh ketika mendengar penjelasan-penjelasan Pakkiong Liong.

Mata-mata yang datang menghdap itu segera menjura dan melapor.

"Perwira pasukan rahasia Lim Tong-eng menghadap Panglima!"

"Kau bekerja berat, saudara Lim,"

Kata PakKiong Liong sambil mempersilah-kan duduk perwira rahasianya itu.

"Kau menghadapku malam-malam, tentunya ada hal penting yang hendak kau laporkan."

"Benar, Panglima, aku berhasil menyusup kedalam laskar pemberontak dan ditempatkan di desa yang berhadapan langsung dengan pesanggrahan Ciangkun ini, di bawah pimpinan Li Tiang-hong. Sore tadi, semua pentolan pemberontak dikumpulkan oleh Cu Leng-ong di desa induk, lalu terlihat persiapan-persiapan kedua dan ketiga juga telah mengirimkan laskar mereka untuk ke desa garis depan. Aku menduga akan ada serangan mendadak dari segala arah. Aku berhasil mengorek keterangan dari seorang yang kedudukannya agak penting dari laskar musuh, dan kudapat keterangan mereka akan menyergap esok pagi pada saat ayam jantan berkokok untuk terakhir kali."

"Bagus, saudara Lim, keteranganmu sangat lengkap. Terima kasih. Kau boleh beristirahat."

"Tidak, Ciangkun, aku akan kembali ke desa musuh untuk mengikuti perkembangan di sana."

"Apakah tidak terlalu berbahaya bagi keselamatanmu, saudara Lim?"

"Tidak, Ciangkun. Demi tegaknya Kerajaan agung kita, nyawa seorang Lim Tong-eng tidak ada artinya. Aku mohon pamit, Ciangkun dan saudara-saudara."

"Baik, saudara Lim. Hati-hatilah menjaga diri."

Setelah memberi hormat, prajurit rahasia yang berpangkat perwira itupun kembali menyusup ke desa terdepan yang menjadi kubu laskar pemberontak.

Sebelum pergi kembali, tak lupa Lim Tong-peng menjawab bahwa di desa itu sekarang ada kira-kira tujuhratus lima-puluh orang laskar Li Tiang-hong, namun sebelum fajar nanti jumlah laskar di desa itu akan meningkat menjadi dua-ribu orang yang memadati desa garis depan itu, karena laskar yang ada di garis belakang dipindahkan ke depan.

Pakkiong Liong mencatat keterangan Lim Tong-eng itu baik-baik di dalam hatinya.

Setelah perwira pasukan rahasia itu pergi, Pakkiong Liong bertanya kepada perwira- perwiranya.

"Nah, bagaimana pendapat saudara-saudara?"

"Aku punya sebuah pendapat, Ciang-kun,"

Kata Tong Lam-hou yang bersikap resmi kepada Pakakiong Liong.

"Katakan."

"Mereka hendak menyerang kita nanti fajar, kita justru sergap mereka lebih dulu tengah malam nanti. Rebut desa tempat kedudukan Li Tiang-hong sebelum fajar, sehingga selain rencana mereka berantakan, maka kejutan perasaan pada jiwa merekapun akan mempengaruhi jalannya pertempuran- pertempuran selanjutnya,"

Kata Tong Lam-hou.

Pakkiong Liong tahu bahwa Tong Lam-hou memiliki sikap sangat membenci Li Tiang-hong, karena peristiwa pembantaian desa Jit-siong-tin di tanah kelahiran Tong Lam-hou di Hun-lam sana, menurut Tong Lam-hou adalah tanggung- jawab Li Tiang-hong.

Hong Lotoa yang melakukan pembantaian itu adalah anak-buah Li Tiang-hong yang ingin di cekik mampus oleh Tong Lam-hou.

Jadi sebenarnya usul Tong Lam- hou itu mengandung juga unsur dendam pribadi Tong Lam-hou kepada para pembunuh teman- temannya di Jit-siong-tin.

Namun Pakkiong Liong mempertimbangkan usul itu, sebab dianggap cukup cemerlang.

"Bagaimana pendapat saudara-saudara lainnya?"

Pakkiong Liong melemparkan masalahnya kepada perwira-perwiranya. Hu Lan-to, seorang perwira Kerajaan Manchu yang berasal satu suku dengan Ha To-ji, suku Mongol, segera menjawab.

"Usul saudara Tong cukup bagus. Pasukan kita sudah beristirahat setengah hari lebih. Buat pasukan lain, istirahat sesingkat itu belum cukup, tapi bagi pasukan kita sudah lebih dari cukup untuk memulihkan tenaga, Aku mendukung usul saudara Tong."

"Cukup masuk akal, ini akan sangat diluar perhitungan Cu Leng-ong dan mematahkan semangat laskarnya,"

Sambung Na Hong yang berdarah Manchu asli dan amat mahir memainkan joan-pian cambuk yang terbuat dari anyaman serat baja itu.

Semua perwirapun menyetujuinya.

Ucapan Hu Lan-to tadi memang benar.

Prajurit-prajurit Hui-liong-kun adalah prajurit-prajurit yang telah mendapat tempaan berat bertahun-tahun, sehingga daya tahan dan daya gempur merekapun sangat luar biasa.

Apalagi mereka sudah mendapat kesempatan istirahat setengah hari, bahkan andaikata mereka berjalan sehari semalam dan langsung bertempurpun mereka akan melakukannya sama segarnya dengan pasukan-pasukan lain.

Dalam latihan-latihan di Pak-khia, sering Pakkiong Liong menyuruh pasukannya untuk berjalan tanpa berhenti sehari semalam, mengelilingi Kotaraja Pakkia sambil berlari-lari, dan begitu tiba di markas sudah disambut dengan mata acara latihan lain yang tidak kalah beratnya yang kadang-kadang berlangsung sehari suntuk.

Maka PakkiongLiongpun tertawa melihat semangat perwira-perwiranya itu.

Katanya.

"Bagus! Saudara Ha To-ji didampingi Tong Lam-hou, Hu Lan-to dan Na Hong akan merebut desa kedudukan Li Tiang- hong itu, malam ini juga. Bawa seribu limaratus orang."

"Siap, Ciangkun!"

Sahut Ha To-ji dengan tegas sambil menerima leng-ci dengan kedua tangannya. Ketiga perwiranyapun menyatakan sanggup membantu Ha To-ji.

"Serangan harus amat mendadak supaya korban di pihak kita jatuh sesedikit mungkin. Caranya terserah kalian. Setelah berhasil beri tanda dengan tiga panah berapi."

"Baik."

Tanpa banyak keributan, seribu limaratus orang Hui-liong-kun yang akan ikut Ha To-ji itu segera bersiap-siap menjelang tengah malam. Semua prajurit nampak bergairah.

"Bagaimana kita bisa mendekati desa tanpa diketahui oleh mereka?"

Tanya Ha To-ji kepada ketiga perwira rekannya yang akan mendampinginya. Sahut Na Hong, '?Tidak ada jalan lain kecuali merangkak. Daun-daun ilalang yang lebat akan melindungi semua gerakan kita."

"Merangkak sejauh empat li?"

"Tentu saja tidak. Kita akan menyusur tepi hutan itu sampai ke ujung hutan, dari ujung hutan jaraknya dengan tembok desa itu tidak jauh lagi. Nah, dari ujung hutan itulah kita mulai merangkak."

Semuanya mengangguk.

Dari ujung hutan ke desa kedudukannya Li Tiang hong itu ada enampuluh tombak jaraknya, berwujud dataran rumput ilalang berselang-seling dengan pohon- pohon perdu.

Bagi prajurit Hui-liong-kun, merangkak sejauh itu bukan hal yang berat, sedangkan dalam latihan mereka merangkak lebih jauh lagi, di medan yang tidak rata pula.

"Dan demi keamanan, kita akan melingkari punggung bukit itu. Tong Lain-hou dan Hu Lan- to berjalan di depan untuk mengamankan jalan yang bakal kita lalui, siapa tahu ada pengawas- pengawas musuh yang melihat gerakan kita dan mereka harus dibungkam."

"Baik,"

Sahut Tong Lam-hou dan Hu Lan-to berbarengan.

Maka prajurit-prajurit Hui-liong-kun itupun bergerak meninggalkan perkemahan ditengah malam buta, dengan pakaian mereka yang serba hitam dan gerak gerik mereka yang tanpa suara itu, mereka nampak seperti sebarisan hantu- hantu yang berbondong-bondong naik dari neraka.

Sebagai prajurit-prajurit yang terlatih, mereka benar-benar dapat bergerak cepat namun tanpa keributan.

Gemeresak kaki mereka yang menginjak rerumputanpun tidak akan membuat curiga lawan, sebab malam itu angin memang bertiup keras dan rembulanpun tertutup awan.

Ternyata Pangeran Cu Leng-ong memang telah membuat suatu kelengahan.

Dalam perhitungannya, pasukan Pakkiong Liong tentu akan beristirahat sehari suntuk baru pulih kekuatannya, dianggapnya sama saja dengan pasukan Ui-ih-kun yang pernah diobrak-abrik oleh Pangeran Cu Leng-ong ketika menyerbu Penjara di Ibukota beberapa saat yang lalu.

Pengawas-pengawas memang ditempatkan oleh pihak pemberontak, namun hanya di sepanjang jalur jalan yang menghubungkan kubu terdepan pemberontak dengan pesanggrahan Pakkiong Liong.

Karena itu para pengawas dari pihak pemberontak itu sama sekali tidak melihat ketika sebagian pasukan Hui-liong-kun menerobos lewat belakang perkemahan, kemudian berbaris tanpa suara melingkari punggung bukit dan menuju langsung ke kedudukan Li Tiang-hong.

Tong Lam-hou dan Hu Lan-to yang ditugaskan merintis jalan untuk membungkam pengawas-pengawas musuh, ternyata tidak menjumpai seorangpun, sehingga mereka tidak perlu membasahi pisau mereka dengan darah musuh.

"Heran, kenapa tidak ada pengawas seorangpun?"

Hu Lan-to menyatakan keheranannya kepada teman seperjalanannya "Banyak sekali pengawasnya,"

Sahut Tong Lam-hou.

"Tetapi di sepanjang-dataran yang memisahkan pesanggrahan kita dengan kubu musuh, sebab musuh hanya mengira di situlah kita akan lewat. Tidak melingkar dan menyergap dari lambung seperti ini."

Tanpa banyak kesulitan, mereka melewati bukit itu dan tiba di ujung hutan, sementara kubu musuh di kejauhan nampak tenang-tenang saja. Bahkan sayup sayup terdengar gelak tertawa mereka.

"Mulai dari sini, kita akan merayap,"

Kata Ha To-ji kepada pasukannya.

"Hati-hatilah, jangan sampai gerak ilalang yang terlalu keras membuat musuh curiga, sebab setolol-tololnya musuh namun tentu mereka menempatkan pengawas pengawas di atas dinding-dinding desa yang mereka buat dari tanah dan batu itu. Nah, mulai bergerak. Melebar."

Prajurit-prajurit itu benar-benar mirip serigala-serigala di padang liar yang merunduk hendak menerkam korban mereka, sementara korban mereka belum sadar sedikitpun.

Dalam perhitungan laskar Pangeran Cu Leng-ong, pasukan Hui-liong-kun tentu masih kelelahan setelah menempuh perjalanan jauh dari Pak-kia, dan paling cepat besok pagi baru bisa mulai penyerangan, namun laskar pemberontak berkeyakinan bahwa besok pagi pihak merekalah yang akan menyerang lebih dulu dan membuat musuh porak-poranda, seperti rencana yang sudah digariskan Pangeran Yang menduduki kubu terdepan dari daerah pengaruh Pangeran Cu Leng-ong itu adalah terdiri dari campuran antara pengikut-pengikut Li Tiang-hong yang dibawa dari Hun-lam, dengan orang-orang gerombolan Ngo-pa-hwe.

Anak buah Li Tiang-hong adalah bekas-bekas prajurit Beng yang serba sedikit masih kenal tata tertib, tapi orang-orang Ngo-pa-hwe memang orang-orang kasar yang tak kenal tata tertib.

Mereka minum-minum melingkari api unggun, bergurau melebihi batas dengan kata- kata kasar dan kotor, dan menari-nari seperti orang gila.

Sebenarnyalah rnereka gentar karena membayangkan besok pagi mereka akan menghadapi Pasukan Naga Terbang yang terkenal keampuhannya itu, maka mereka mencoba melupakan rasa takutnya dengan berbuat aneh-aneh.
Pendekar Naga Dan Harimau Karya Stefanus SP di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


"Orang-orang Manchu itu, malam ini tentu sedang tidur mendengkur", kata seorang thau- bak (hulubalang) Ngo-pa-hwe yang duduk dipinggir api unggun dengan tangan memegang cawan arak.

"Dan besok selagi mereka bangun dan masih mengucek-ucek mata mereka, kita sudah datang dan menikamkan pedang kita ke dada mereka. Ha-ha-ha... ."

"Apakah tidak mungkin mereka menyerang mendahului kita ?"

"Tidak mungkin! Mereka masih kelelahan. Hanya manusia-manusia dari besi saja yang tidak lelah setelah berjalan ratusan li dari Pak- khia". Satu hal yang tidak diketahui oleh thau-bak Ngo-pa-hwe itu adalah bahwa manusia-manusia besi seperti itu benar-benar ada, dan bahkan sudah berada di depan hidung mereka tanpa mereka ketahui. Prajurit-prajurit Hui-liong-kun itulah manusia-manusia besi itu ! Maka alangkah terkejutnya seisi desa yang menjadi kubu itu, ketika laskar-laskar yang berjaga-jaga di dinding desa tiba-tiba berteriak keras dan kemudian roboh dengan dada berlubang. Susul menyusul mereka berjatuhan hampir tanpa perlawanan. Prajurit-prajurit Manchu bagaikan hantu-hantu yang bermunculan dari kegelapan malam, telah menyerbu tak kenal ampun dengan dipelopori (empat) perwira mereka. Ha To-Ji, Tong Lam- hou, Na Hong dan Hu Lan-to. Dinding dari batu dan tanah yang tingginya hanya satu setengah kali orang-orang, biasa itu dengan mudah diloncati oleh perwiranya Pakkiong Liong itu. Sedangkan bagi para prajurit, dengan berdiri diatas pundak sering dilakukan dalam latihan- latihan di barak mereka di Pak-khia. Di balik dinding desa itu ada banyak anak panah, lembing, bandil, pelanting-pel.anting dari bambu yang dapat melontarkan batu-batu, dan senjata-senjata jarak jauh lainnya. Namun benda-benda itu jadi tak berguna setelah musuh tiba di depan hidung mereka dengan pedang- pedang terhunus. Keadaan seluruh desa jadi panik. Anak buah Li Tiang-hong yang agak terlatih segera mengambil senjata-senjata mereka dan mengadakan perlawanan dimanapun mereka menjumpai musuh. Tapi orang-orang Ngo-pa- hwe menjadi kebingungan dan panik, dan dalam kepanikan itu mereka adalah makanan empuk untuk prajurit-prajurit Hui-liong-kun yang seolah-olah muncul di segala penjuru itu. Meskipun mereka memegang senjata, tapi mereka hanya berlari-larian tanpa arah di seluruh pelosok desa, bingung tidak tahu serangan musuh dari arah mana. Pertempuran segera berkobar di tengah iucildm itu, namun pertempuran yang tidak seimbang. Pihak laskar pemberontak benar- benar tidak menduga kalau ada serangan malam itu, sehingga meskipun mereda yang ada di desa itu berjumlah kira-kira duaribu orang, lebih banyak dari jumlah pasukan Hui-liong-kun yang menyerbu yang cuma seribu limaratus orang, namun pasukan Hui-liong-kun justru menguasai keadaan dengan baiknya. Mereka bekerja dalam regu-regu kecil yang rapi, menutup semua jalan-jalan dan lorong desa dan rnnggiring laskar pemberontak ke tengah desa. Dalam gebrakan pertama saja sudah beratus- ratus orang laskar pemberontak yang tak berdaya. Mati atau luka-luka parah sehingga tidak dapat melanjutkan perlawanan. Anakbuah Li Tiang-hong yang masih hidup terus melawan dengan gigihnya, namun mereka bukanlah tandingan prajurit-prajurit Hui-liong- kun yang jauh lebih terlatih itu. Andaikata kedua pasukan itu berhadapan dalam keadaan sama-sama siap, pasukan Li Tiang-hong tetap kalah dari Hui-liong-kun, apalagi sekarang mereka dalam kedaan kebingungan, mengantuk, panik dan sebagainya, dan lawan menerkam bagaikan serigala-serigala kelaparan. Malahan banyak laskar Li Tiang- hong yang bertempur dengan pakaian tidak lengkap. Hanya mengenakan pakaian celana dalam saja, atau berpakaian lengkap dengan baju perang dan topi besi tapi hanya bagian atas badannya saja, sedang bawahnya tidak mengenakan apa-apa sehingga ia dengan tangan kanan memegang pedang dan dengan tangan kiri memegang selangkangannya untuk melindungi benda kesayangannya. Di pihak Hui-liong-kun, Tong Lam-hou mengamuk bagaikan kesurupan. Ketika dilihatnya bendera-bendera Jit-goat-ki Kerajaan Beng berkibar-kibar di segala sudut desa, serta seragam dari laskar Li Tiang-hong, maka kemarahan Tong Lam-hou terungkat kembali. Ia ingat desa Jit -siong-tin yang dibumi hanguskan dan seluruh pendduduknya dibantai tanpa sisa. Kini mata Tong Lam-hou merah seperti api neraka, sementara pedangnyapun telah menjadi merah pula. Ia berkelahi untuk membalaskan dendam orang-orang Jit-siong-tin. Di mana Tong Lam-hou tiba, di situ pula laskar Li Tiang-hong menyibak dan menyingkiri Tong Lam-hou dengan ngeri. Dulu tanpa kenal kasihan mereka membunuh di Jit-siong-tin, bahkan anak-anak dan perempuan yang menjerit minta ampunan mereka babat sambil tertawa terbahak-bahak, tapi sekarang mereka merasa sendiri betapa ngerinya menghadapi kematian itu. Li Tiang-hong yang sudah dibangunkan dari tidurnya itupun tergesa-gesa memimpin perlawanan. Namun sebagai seorang bekas Panglima yang berpengalaman ia dapat segera menilai bahwa keadaan sudah sulit diperbaiki lagi. Laskarnya kalah semangat, kalah kedudukan, kalah terlatih, dan jika pertempuran dilanjutkan maka dua ribu laskarnya akan tertumpas habis di desa itu, termasuk dirinya sendiri. Karena itu Li Tiang-hong segera memerintahkan untuk membuka pintu gerbang desa sebelah barat, dan dari pintu itulah Li Tiang-hong menarik sisa-sisa pasukannya yang tinggal separuh lebih itu, dan kemudian dengan tergesa-gesa mereka menuju ke desa di garis kedua dari pertahanan Pangeran Cu Leng-ong. Tong Lam-hou yang masih penasaran itu ingin memburu musuh, namun berhasil dicegah oleh Ha To-ji.

"Ini perang besar, A-hou, jangan bertindak gegabah supaya tidak mengacaukan seluruh pasukan,"

Kata Ha To-ji.

"Toh cepat atau lambat, mereka semua akan kita hancurkan juga."

Tong Lam-hou akhirnya dapat memahami penjelasan itu.

Ia sadar bahwa ia tidak seorang diri, namun bagian dari sebuah pasukan yang harus bergerak secara terpadu.

Apalagi jika melihat perwira-perwiranya bertindak semauya saja.

Kini mereka membenahi desa yang berhasil direbut dalam waktu yang terhitung singkat itu.

Yang gugur dan yang luka-luka segera dikumpulkan untuk dihitung.

Ternyata serangan sangat mendadak itu benar-benar membuahkan kemenangan besar untuk Hui- liong-kun, meskipun ada juga beberapa prajurit Hui-liong-kun yang gugur, tapi laskar lawan yang gugur jauh lebih banyak, sampai mayatnya berderet-deret di sepanjang jalan desa.

Yang luka-luka segera diobati, tidak peduli laskar musuh, meskipun masih ada juga selapis kebencian antara orang-orang yang baru saja bermusuhan itu, namun kemanusiaan harus dijunjung tinggi biarpun dalam keadaan perang.

Di desa itu masih ada belasan keluarga penduduk yang dulu tidak sempat mengungsi ketika desa itu mendadak diserbu dan diduduki laskar pemberontak.

Mereka dengan ketakutan mengunci diri dalam rumah-rumah mereka, dan mereka hampir pingsan ketika mendengar prajurit-prajurit Hui-liong-kun mengetuk pintu rumah mereka.

Biang Ilmu Hitam Hek Hoat Bo Karya Pendekar Kembar 12 Pemburu Mahkota Dara
^