Pencarian

Rahasia Ciok Kwan Im 2

Rahasia Ciok Kwan Im Pendekar Harum Seri Ke 2 Karya Gu Long Bagian 2


gakan, mau tak mau Ki Ping-yan merasa
lega hati juga.
Kata Oh Thi-hoa berpaling ke arah Coh Liu-hiang: "Kini boleh memberi air
lebih banyak sedikit bukan?"
Coh Liu-hiang masih termenung sebentar akhirnya manggut-manggut
sahutnya: "Tetapi sedikit saja." sembari bicara ia melangkah ke arah
kantong air, tapi belum lenyap suaranya, kedua manusia yang kempaskempis
hampir mampus itu, mendadak selincah kelinci mencelat bangun.
Kedua tangan mereka yang semula meremas-remas rambut di atas
kepalanya itu mendadak pula diayunkan secepat kilat, dari jari-jari tangan,
mereka berbareng melesat puluhan bintik-bintik hitam luncurannya tak
kalah dari sambaran kilat. Jelas sekali itulah senjata rahasia yang mirip
disemprot keluar dari sebuah bumbung yang diberi alat rahasia semacam
pegas. Jadi senjata rahasia itu bisa mereka sembunyikan di dalam
rambutnya yang awut-awutan itu.
Begitu kedua tangan mereka terayun, Coh Liu-hiang, Oh Thi-hoa dan Ki
Ping-yan serempak melejit tinggi seenteng asap segesit burung walet,
meski mereka menghadapi sergapan mendadak di luar dugaan, namun
reaksi dan gerakan mereka sungguh teramat cepat, jarang ada senjata
rahasia yang mampu melukai mereka.
Siapa nyana senjata rahasia itu justru tidak mengarah mereka, yang
diincar justru kantong-kantong air itu, maka terdengar "Bles, bles, bles."
beruntun puluhan kali, puluhan lobang yang memancurkan air serempak
menyembur keluar dari kantong air kulit kambing itu.
Belum lagi semua orang insaf apa yang telah terjadi, kedua orang yang
hampir mampus tadi, tiba-tiba melejit bagaikan terbang melarikan diri.
Meledak amarah Oh Thi-hoa, bentaknya murka: "Kunyuk sialan! Lari
kemana kau?" dengan gerakan yang hampir lebih cepat dariCoh Liu-hiang,ia
mendahului menubruk kearah dua orang itu.
Belum lagi mereka lari sejauh sepuluh tombak, tahu-tahu terasa segulung
angin kencang merangsang lehernya, mereka hendak putar badan melawan,
tapi belum sempat berpaling, badannya tiba-tiba sudah tersungkur ke
depan. Bahwasanya siapa yang turun tangan dan cara bagaimana mereka
dirobohkan tidak melihat jelas. Tahu-tahu Oh Thi-hoa sudah duduk
seperti mencongklang kuda di atas punggung salah seorang itu, kedua
tangan bergerak pergi datang menampar muka orang, dampratnya: "Ku
tolong kau, kau malah hendak mencelakai aku" Kenapa" Kenapa?"
Orang ini tidak menjawab, karena selamanya tak mampu membuka mulut
lagi, waktu Oh Thi-hoa merenggutnya dari atas tanah, lehernya teklok
lemas seperti batang padi yang putus menjadi dua.
Seorang lagi juga rebah di atas tanah, Coh Liu-hiang tidak bergerak
menghajarnya, cuma berdiri di depannya dengan tenang dia awasi orang,
sepatah pertanyaanpun tidak ia ajukan. Diwaktu mendengar tulang leher
temannya putus, badan orang itu tiba-tiba melingkar seperti trenggiling,
mulutnya malah menggembor seperti orang gila.
"Bunuhlah aku! Tidak menjadi soal yang terang kalianpun takkan bisa hidup
lebih lama lagi, biar kutunggu kalian diambang pintu neraka, saat itu akan
kubuat perhitungan dengan kalian."
Berkedip pun tidak mata Coh Liu-hiang, katanya kalem: "Aku takkan bunuh
kau, asal kau bicara terus terang, siapa yang suruh kau kemari?"
Mendadak orang ini terloroh-loroh menggila seperti orang kesetanan,
serunya, "Kau ingin tahu siapa yang suruh aku kemari" Memangnya kau
masih ingin mencari dia?"
"Memangnya aku hendak mencari dia, masa kau merasa amat
menggelikan?"
Meleleh air mata orang ini karena terpingkel-pingkel, katanya dengan
napas ngos-ngosan: "Sudah tentu amat menggelikan, siapapun dia bila
bukan seorang gila, takkan mau mencari dia, kecuali orang itu sudah bosan
hidup." Oh Thi-hoa sudah memburu kemari, serunya hampir menggembor:
"Apakah putra Ca Bok-hap yang suruh kau kemari?"
"Ca Bok hap?" orang itu tertawa besar, Ca Bok-hap itu barang apa,
menggosok sepatu beliaupun tidak setimpal."
Berkerut alis Coh Liu-hiang, tanyanya: "Bukan Ca Bok-hap, memangnya
siapa?" "Kau tak usah kuatir, disaat jiwamu menjelang ajal, dengan sendirinya
akan bertemu dengan beliau" aku boleh bertaruh dengan kau jiwamu
takkan hidup lebihlima hari lagi."
Damprat Oh Thi-hoa gusar: "Biar aku bertaruh dengan kau, jikalau kau
tidak mau bicara terus terang,lima jam pun kau tidak akan bisa hidup lagi.
Ternyata orang itu tertawa pula, katanya: "Bahwasanya aku memang tidak
ingin hiduplima jam lagi."
Sudah tentu Oh Thi-hoa melengak dibuatnya, tanyanya: "Kau tidak takut
mati?" "Kenapa aku harus takut mati?" jawab orang itu terloroh-loroh. "Bisa mati
demi beliau, boleh dikata hatiku teramat girang, lebih senang dari
mendapat rejeki nomplok." suara tawanya mendadak menjadi lemah,
sebaliknya sorot matanya memancarkan cahaya yang aneh.
"Celaka!" seru Coh Liu-hiang kaget. Dalam mulut orang ini mengemut obat
beracun untuk bunuh diri."
Benar juga waktu Oh Thi-hoa merenggut badan orang, segera ia dapatkan
napas orang sudah berhenti.
Lama sekalibari Oh Thi-hoa melempar badan orang, katanya berputar
kepada Coh Liu-hiang: "Pernah kau melihat manusia yang tidak takut mati
seperti ini?"
"Belum pernah!" sahut Coh Liu-hiang pendek.
"Aku tahu banyak orang gila ketangkap oleh musuh, mereka bisa bunuh
diri dengan menelan obat beracun tapi mereka mencari jalan pendek
lantaran terpaksa, sebaliknya orang ini mati dengan riang dan gembira
lihat mulutnya mengulum senyum lagi."
Coh Liu-hiang hanya menghela napas tanpa bicara lagi, sekilas otaknya
terbayang akan Bu Hoa yang menelan obat beracun pula dihadapannya,
teringat akan Bu Hoa, tak tahu lagi ia menghela napas rawan.
Oh Thi-hoa menghela napas juga, ujarnya: "Kurasa otak orang ini rada
kurang normal kalau tidak?" mendadak ia memandang Ki Ping-yan, tangan
mengelus hidung dan tak melanjutkan kata-katanya lagi.
Selama ini Ki Ping-yang tertunduk mengawasi mayat dihadapannya
bahwasanya melirikpun tidak kepadanya. Lama juga Oh-Thi hoa menahan
sabar dan menunggu-nunggu, akhirnya mengguman sendiri: "Senjata
rahasia mereka tersembunyi di dalam rambutnya, hal ini baru sekarang
dapat kupikirkan, tapi kenyataan mereka sudah dijemur sampai kering
kerontang sampai badan gosong terbakar bagaimana mungkin bisa punya
kekuatan untuk bergerak?"
Roman muka Ki Ping-yan tidak menunjukkan perobahan mimik apa-apa,
perlahan-lahan ia berjongkok begitu merah rambut salah satu mayat terus
disentak ke atas, tangannya tahu-tahu mencekal sebuah rambut palsu yang
dilapisi selembar kulit tipis dan halus, aneh benar seketika terlihatlah
seraut muka dengan kulit halus dan putih bersih.
Lama juga mata Oh-Thi hoa melotot, lalu katanya sambil tertawa getir:
"Ternyata mereka menggunakan ilmu rias dan rambut palsu segala malah
keahliannya tidak lebih asor dari Maling kampiun, dalampadang pasir
terdapat seorang berbakat begini, sungguh mimpipun tak terduga." katakatanya
ini dia tujukan kepada Ki Ping-yan, tapi belum habis ia bicara Ki
Ping-yan sudah tinggal pergi.
Terpaksa Oh Thi-hoa ikut pergi, tampak puluhan kantong-kantong
kambing berisi air ini sama berlobang dan memancurkan air di dalamnya,
namun air di dalam kantong itu belum mengalir habis.
Sementara itu Ki Ping-yang dan Siau-phoa bekerja sama menanggalkan
semua kantong-kantong air itu, diletakkan di atas pasir, bagian yang
berlobang menghadap ke atas, masing-masing masih berisi setengah
kantong air. Oh Thi-hoa girang, katanya: "Kedua orang itu sia-sia saja mengantar jiwa,
tujuannya hendak mencelakai kami tidak berhasil, air toh masih banyak
untuk bekal perjalanan!"
Ki Ping-yan tidak banyak komentar, satu persatu kantong-kantong yang
berlobang itu dia tuang airnya sampai habis.
Tersirap darah On Thi-hoa, jeritnya: "E, apa yang kau lakukan?"
Ki Ping-yan tetap tidak bicara.
Lekas Coh Liu-hiang menghampiri, katanya dengan nada berat: "Senjata
rahasia itu beracun, racun sudah bercampur dalam air, sudah tentu air ini
tak boleh diminu."
Oh Thi-hoa terhuyung-huyung tiga langkah hampir saja ia terjengkang
jatuh. "Aku sudah menemukan bumbung rahasia mereka untuk menyambitkan
jarum-jarum berbisa itu," Coh Liu-hiang menerangkan, "Betapa hebat dan
sempurna buatannya, ternyata lebih unggul dari Kiu-thian-cap-te. Thianmo-
sin ciam yang menggetarkan Bulim puluhan tahun yang lalu. Sungguh tak
pernah terpikir olehku, tokoh macam apakah yang mampu membuat senjata
rahasia seperti ini dalam kalangan Kang-ouw?" dimana jari-jarinya terbuka
masing-masing terdapat sebuah bumbung besi warna hitam mengkilap.
Hanya sekilas KiPing -yan melihat bumbung besi itu, katanya tawar:
"Tunggulah setelah malam tiba baru kita bicara, sekarang perlu kita
mengejar waktu melanjutkan perjalanan." tetap ia tidak pernah melirik
kepada Oh Thi-hoa.
Akhirnya tak tahan Oh Thi-hoa dibuatnya, serunya sambil berjingkrak:
"Memang gara-garaku yang suka usil, suka ikut campur urusan orang lain,
mataku buta, kau" kau, kenapa tidak kau maki aku, tidak kau hajar aku"
Tidak sudi bicara lagi" Maki dan hajarlah diriku, hatiku tentu jauh lebih
enak dan tentram.
Benar juga KiPing -yan berpaling kepala pelan-pelan, dengan tenang ia
pandang muka orang, katanya kalem: "Kau ingin supaya aku mencacimu?"
"Tidak kau caci aku, kau keparat! Telur busuk!"
Sikap Ki Ping-yan tetap tak berubah, pelan-pelan ia mencemplak naik ke
punggung unta, katanya tawar: "Kenapa aku harus caci kau" Menolong
orang toh perbuatan bajik, apalagi yang picak matanya toh bukan kau saja,
yang tertipu juga bukan kau pula."
Baru sekarang Oh Thi-hoa menjublek dan melongo, lama ia tak buka mulut.
Coh Liu-hiang menghampiri dari belakang, katanya tersenyum sambil
menepuk pundaknya "Jagi mampus kiranya tidak sebrutal yang pernah kau
bayangkan dulu, ya tidak?"
Malam itu, seperti pula Ciok Tho, Oh Thi-hoa duduk seorang diri di bawah
sinar bintang yang kelap-kelip ditengah cakrawala, duduk di atas pasir
yang masih panas dan mengeluarkan hawa membara, lambat laun ia duduk
di tengah kabut yang dingin dan tak berujung pangkal luasnya.
Hembusan angin tidak lagi membawa bau lombok, merica, berambang dan
daging kambing. Karena yang mereka miliki sekarang tidak lebih hanya
sebuah kantong air kecil yang selalu tidak pernah berkisar dari badan Ki
Ping-yan itu. Tiada air, tentu tiada masakan hangat, tiada hidangan, tak
sempat makan minum bersuka-ria, tiada jiwa kehidupan.
Tidak jauh disana Ciok-Tho duduk seorang diri pula, sejak mengalami
peristiwa ini meskipun dia tak melihat, tak mendengar sendiri, namun
tindak tanduk dan sikapnya jelas mulai berubah. Badannya yang tegap
laksana tonggak itu, seolah-olah berubah mulai loyo dan patah semangat,
raut mukanya yang seperti terukir dari batu-batu kramik itu, kinipun mulai
menampilkan rasa ketakutan dan mulai tidak tentram.
Tapi Oh Thi-hoa belum sempat memperhatikan perubahannya ini. Oh Thihoa
sedang repot menyalahkan diri sendiri, marah kepada diri sendiri.
Di dalam kemah terpasang sebuah pelita, sinar pelita guram seperti
cahaya bintang di langit, di bawah penerangan sinar pelita, yang memang
remang-remang lembut ini, persoalan yang sedang dirundingkan dan
dibicarakan oleh Coh Liu-hiang dan Ki Ping-yan justru membawa suasana
yang kurang tentram dan tak membawa kelembutan.
Bumbung jarum yang hitam mengkilap itu di bawah pancaran sinar pelita
yang guram ini kelihatan lebih seram jahat dan dingin.
Kata Coh Liu-hiang sambil mengawasi bumbung jarum ini: "Sungguh salah
satu senjata rahasia yang paling menakutkan diantara sekian banyak
senjata rahasia yang pernah kuhadapi selama hidup ini. Kupikir dalam dunia
ini hanya tiga orang yang mampu membuat alat senjata rahasia seperti ini."
"Siapa saja ketiga orang itu?" tanya KiPing -yan.
"Orang pertama adalah Ciang-bun-jin keluarga Tong di Siok-tiong. Kedua
adalah Cu losiansing dari Kou-ki-theng di Kanglam, tapi jelas kedua orang
ini sudah pasti takkan datang kepadang pasir ini."
"Benar" masih satu lagi?"
Coh Liu-hiang tersenyum dulu, katanya: "Seorang lagi adalah aku sendiri,
sudah tentu alat senjata rahasia ini juga bukan ciptaanku."
Tak terunjuk rasa geli dalam sorot mata Ki Ping-yan, katanya tandas:
"Walau kau hanya tahu tiga orang saja, tapi aku berpendapat tentu masih
ada orang ke empat, cuma siapa orang ini, kau dan aku masih belum tahu."
Sesaat Coh Liu-hiang menepekur, katanya kemudian menarik napas,
"Dapat membuat alat rahasia semacam ini sih tidak perlu ditakuti, yang
ditakuti justru dia dapat membuat semua anak buahnya begitu setia dan
rela mati demi kepentingannya."
"Kau kira si 'dia' pasti bukan lawanmu Hek-tin-cu itu?"
"Terang bukan Hek-tin-cu tidak sedemikian kuat, diapun tak sedemikian
kejam dan buas."
"Menurut hematmu, orang macam apakah si dia itu?"
"Kukira dia seorang sahabat dari kalangan hitam di Tionggoan yang
teramat lihay dan sudah menanam akar di sini, atau mungkin pula seorang
gembong perampok di padang pasir, tujuannya bukan melulu terhadap
Maling kampiun saja, juga belum mengincar Ki Ping-yan tidak lebih dia
hanya pandang kami sebagai pelindung kambing gemuk yang sedang dia
incar, dari kita mereka pingin memperoleh harta dan uang."
"Ya!" Ki Ping-yan setuju akan pendapat ini.
"Dia sudah perhitungkan kita pasti akan lewat dari sini, maka sebelumnya
sudah mengatur perangkap hendak menjebak kita, atau mungkin mereka
memang hendak mengincar jiwa kami, tapi waktu kedua orang itu melihat
bahwa kita bukan seperti kaum pedagang umumnya, kuatir sekali kerja tak
berhasil terpaksa mereka melihat gelagat merubah haluan bukan kita yang
diincar senjata rahasia mereka berobah sasaran mengarah kantongkantong
air kita." setelah tertawa getir, ia melanjutkan: "Dia hendak
tunggu setelah kita kehabisan air dan dahaga setengah mati, baru akan
turun tangan, waktu itu tenaga untuk melawan saja tiada, bukankah tinggal
pasrah nasib membiarkan mereka menggorok leher kita?"
Ki Ping-yan menyambung dengan prihatin: "Mungkin dia tidak ingin segera
menghabisi jiwa kami, bahwasanya dia ingin supaya kami menderita pelanpelan
kehabisan tenaga meregang jiwa."
Berkerut alis Coh Liu-hiang, tanyanya: "Kenapa berpikir demikian kau?""
Tiba-tiba ia hentikan mulutnya, karena tiba-tiba ia mendapati sorot mata
Ki Ping-yan yang dingin membeku keras itu, kini seperti mengandung
perasaan takut dan tidak tentram. Ini benar-benar belum pernah dialami
oleh Ki Ping-yan selama ini, sesuatu yang membuat orang seperti Ki Pingyan
takut dan kurang tentram, tentulah urusan amat gawat dan
menggetarkan sukma.
Segera Coh Liu-hiang juga merasa kurang tentram, tanyanya coba-coba
memancing: "Apa kau sudah dapat menerka siapa si 'dia' itu sebenarnya?"
Agaknya Ki Ping-yan ingin mengatakan apa-apa, sekilas matanya melirik
keluar kemah dimana Ciok Tho sedang duduk diam, kata-kata yang sudah
tiba di ujung mulut ketika ia telan kembali, mendadak ia unjuk tawa dan
berkata: "Perduli siapa orang itu, jikalau ia hendak membuat kami mati
karena dahaga, tindakannya itu terang keliru."
Coh Liu-hiang tidak bertanya lebih lanjut, katanya tertawa: "Adakau
disini, selamanya aku tidak perlu takut bakal mati dahaga disampingmu."
Ki Ping-yan tertawa, ujarnya: "Aku tahu kira-kira seratus li jauhnya, ada
sebuah sumber air yang amat tersembunyi, besok sebelum matahari
terbenam, kita pasti sudah bisa tiba ditempat itu, tadi tidak kukatakan,
karena aku ingin supaya Oh Thi-hoa kebingungan dan gugup setengah mati,
lalu dengan tersenyum senang ia rebahkan diri, sebentar saja seperti
sudah lelap dalam tidurnya.
Sebaliknya dengan diam-diam Coh Liu-hiang menyelinap keluar dari kemah,
duduk di pinggir Oh Thi-hoa bukan ingin bicara dengan Oh Thi hoa, cuma


Rahasia Ciok Kwan Im Pendekar Harum Seri Ke 2 Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ingin duduk rada dekat sekaligus untuk mengawasi dan menyelidiki tindak
tanduk Ciok Tho, orang serba misterius ini. Lapat-lapat ia sudah
merasakan di dalam dada Ciok Tho yang sekeras batu cadas itu
tersembunyi suatu rahasia, rahasia yang menakutkan sepuluh kali lipat
lebih seram dari jarum beracun yang seketika menamatkan jiwa manusia.
Hari kedua, Ki Ping-yan membagi rata sisa air yang ada menjadilima
bagian, katanya tawar: "Inilah sisa air yang terakhir, kita boleh sekarang
meminumnya sampai habis, juga boleh disimpan untuk diminum perlahanlahan.
Yang terang sisa air ini paling lama hanya bisa bertahan selama dua
tiga hari."
Mengawasi kantong yang kosong itu, berkata Oh Thi hoa: "Itulah air
tinggalanmu sendiri, aku tak mau minum. Putar badan lekas ia hendak
tinggal pergi. Coh Liu-hiang menariknya, katanya tertawa: "Jangan kau main purian
dengan Ping-yan, kau bisa tertipu bila marah-marah kepadanya."
Tiba-tiba Oh Thi hoa pun tertawa lebar, ujarnya: "Hal apa yang kubuat
marah sama dia, kemarin malam, aku sudah dengar nanti sore dia sudah
akan bisa mendapatkan air, cuma aku sendiripun masih punya sepoci arak,
kenapa aku harus minum airnya yang hitam berlumpur itu?"
Tak terasa Ki Ping-yan ikut tertawa, mengawasi ketiga sahabat karib yang
sama terpingkal-pingkal sambil bergandengan lengan ini, seketika bangkit
semangat Siau-phoa, lenyap rasa takutnya. Ikut bersama tiga orang-orang
gagah seperti mereka ini, apa pula yang perlu ditakuti" Cuma raut muka
Ciok Tho yang semakin lama semakin guram, kaku, orang satu yang punya
mata ini, seolah-olah sudah melihat malapetaka yang tak terlihat oleh
orang lain bakal menimpa mereka.
Ki Ping-yan hanya mengulap sebelah tangannya, Ciok Tho segera
menghentikan barisan ini, unta-unta sama mendekam rebah, lekas Oh Thi
hoa lompat turun dari punggung unta, langsung lari mencari Ki Ping yan,
tanyanya: "Kau yang menyuruh Ciok Tho menghentikan barisan, benar
tidak?" "Memangnya kenapa?" balas tanya Ki Ping yan.
Oh Thi hoa heran, tanyanya: "Asal kau mengulap tangan, dia lantas tahu
akan maksudmu?"
"Ya, begitulah!" Ki ping-yan mengiakan.
Semakin keras suara Oh Thi-hoa: "Tapi kau katakan dia seorang bisu, tuli
dan buta, darimana dia bisa melihat tanda ulapan tanganmu?"
Ki Ping-yan tertawa tawar, katanya, "sudah tentu aku punya caraku sendiri
sehingga dia bisa menangkap maksudku."
"Kau punya setan apa" Kenapa tidak mau kau jelaskan?"
"Apa benar kau sendiri tidak mengetahui?"
"Hanya sundel bolong saja yang bisa melihatnya."
Ki Ping-yan berputar kearah Coh Liu-hiang, tanyanya: "Bagaimana kau?"
berkata Coh Liu-hiang pelan-pelan: "Kau gunakan sebuah krikil untuk
menyampaikan perintahmu, jikalau kau ingin barisan berhenti, maka kau
timpuk pundak kiri Ciok Tho, jikalau ingin barisan berangkat, kau timpuk
pundak kanannya." lalu sambil tersenyum ia berpaling kearah Oh Thi hoa,
katanya: "Cara ini kukira bukan hanya sundel bolong saja yang bisa
melihatnya, benar tidak?"
Oh Thi hoa angkat kedua tangannya datar ke depan, katanya tertawa
kecut: "Kau bukan sundel bolong, baru sekarang aku menyadari bahwa
diriku ternyata tidak lebih pandai dari sundel bolong itu."
Tempat itu merupakan salah satu bagian daripadang rumput yang ditaburi
pasir-pasir kuning juga, tiada bedanya dengan tempat-tempat lain ditengah
gurun pasir ini, cuma ada sesuatu yang menyolok mata, adalah ditempat itu
terdapat sepucuk pohon. Pohon yang tumbuh di pinggir sebuah batu cadas
yang sudah mengering juga, pohon itupun sudah layu dan kering.
Setengah harian Oh Thi hoa celingukan kian kemari, tanyanya tak tahan:
"Di sini ada air?"
"Em!" sahut Ki Ping-yan manggut-manggut.
Kata Oh Thi hoa sambil mengelus batok kepalanya: "Dimana airnya, kenapa
tidak kulihat" Apakah otakku ini sudah tak mampu untuk bekerja,
matakupun sudah lamur?" lalu ia pegang lengan Coh Liu-hiang, tanyanya:
"Bicaralah terus terang kau sudah melihatnya belum?"
Coh Liu-hiang ragu-ragu, katanya: "Konon didalam gurun pasir terdapat
sumber air yang tersembunyi, di dasar pasir yang cukup dalam."
"Tidak salah kau?" Ki Ping-yan urung bicara. Matanya memandang Oh Thihoa
ingin bicara, apa yang dia hendak ucapkan tentunya bukan omongan
yang enak didengar kuping, tapi belum lagi kata-katanya selesai, Oh Thihoa
sudah angkat kedua tangannya pula, tukasnya: "Tak usah kau katakan
bicaraku akui aku tidak tahu apa-apa?" lalu ia mengelus batok kepalanya
pula, sambungnya: "Bukan semula aku cukup pintar" kenapa begitu bergaul
sama kalian, aku lantas jadi pikun, memangnya aku ketularan penyakit
linglung orang lain?"
Tak tertahan Siau-phoa tertawa geli, timbrungnya: "Jikalau benar-benar
Oh-ya ketularan penyakit linglung, tentulah aku yang menulari kau."
Ki Ping-yan menarik muka, jengeknya: "Mana mungkin kau menulari dia, dia
malah jauh lebih goblok dari kau." belum habis ucapannya tak tertahan
diapun tertawa keras.
Jilid 15 Tapi tak lama mereka tertawa-tawa sudah satu jam mereka membuang
waktu jerih payah mengeduk pasir mencari sumber air, siapa tahu setitik
airpun tidak mereka ketemukan. Ki Ping-yan menjublek duduk lemas di
tempatnya seperti patung batu.
Oh Thi-hoa menyeka keringat di atas kepalanya, seperti hendak
mengucapkan kata-kata lelucon yang menggelikan, serta melihat keadaan Ki
Ping-yan, seketika terpikir juga olehnya mara bahaya yang segera akan
menimpa mereka. Mana mulutnya bisa berkelakar lagi. Mana bisa ia
tertawa. Sedapat mungkin Coh Liu-hiang bikin suaranya datar dan wajar, katanya :
"Coba kau pikir lebih seksama, adakah salah pilih tempat?"
Ki Ping-yan melompat bangun, teriaknya : "Kau tidak percaya kepadaku?"
Coh Liu-hiang tahu saat ini hatinya tentu berpuluh lipat lebih pedih dari
orang lain, tak diduga ia melanjutkan kata-katanya, Ki Ping-yan sebaliknya
seperti mendadak luluh dan lemas, badannya menggelendot di batang
pohon yang kering itu.
Siau-phoa tertawa dibuat-buat, katanya : "Sumber air di bawah pasir, ada
kalanya bisa juga menjadi kering, adakalanya pula nyasar ke jurusan lain,
anggap saja yang berkuasa sedang main-main dengan kita, siapapun takkan
bisa menentukan nasib sendiri."
"Aku tahu." ujar Coh Liu-hiang maklum.
Berkata Ki Ping-yan sambil mengawasi Coh Liu-hiang : "Jangan kau
salahkan aku, aku" "
"Aku dapat merasakan perasaanmu, kalau aku jadi kau, bukan saja bisa
marah-marah kepadamu, mungkin sumbarku lebih besar."
"Benar!" tukas Oh Thi-hoa riang : "Diwaktu seseorang sedih hati, kalau
tidak marah-marah kepada teman sendiri, kepada siapa dia harus marah"
Jikalau teman baik itu tidak mau memahami perasaannya, siapa yang mau
memberikan pengertian ini?"
Menghadapi ketiga orang ini, Siau-phoa merasa seakan-akan
tenggorokannya tersumbat sesuatu, katanya hambar serak : "Siaujin
memberanikan diri turut bicara", siapapun bila bisa berkenalan dengan
Coh-ya, dan Oh-ya berdua dialah seorang yang paling bahagia dan
mendapat rejeki dalam dunia ini."
Tetapi pada saat itulah, dari kejauhan terdengar derap kaki kuda yang
dilarikan kencang.
Oh Thi-hoa terperanjat, sigap sekali reaksinya secara reflek dia
bergerak hendak memapak kesana. Lekas Coh Liu-hiang menarik
pundaknya, katanya kereng : "Pada saat seperti ini ditempat ini pula,
jangan sekali-kali kita gegabah sembarangan bertindak, tenangkan dulu
hatimu menunggu perubahan apa yang akan terjadi?"
Di sana, Ki Ping-yan, siau-phoa dan Ciok Tho sedang repot menarik untaKoleksi
Kang Zusi unta itu masuk ke dalam galian, karena mencari sumber air tadi, maka
galian pasir yang mereka kerjakan cukup lebar dan dalam. Di depan galian
ini terdapat batu cadas itu yang menutupi pandangan dari arah yang
berlawanansana , di gurun pasir nan luas tak berujung pangkal ini, sungguh
tiada tempat lain yang lebih daripada galian ini untuk menyembunyikan diri.
Baru saja Coh Liu-hiang dan Oh Thi-hoa menyembunyikan diri, lantas
dilihatnya beberapa ekor kuda gagah yang sedang berlari kencang bagai
terbang, lambat laun bayangan mereka semakin jelas ditengah pasir-pasir
kuning yang berterbangan ditengah angkasa.
Beberapa ekor kuda itu berlari kencang ke arah mereka, orang-orang yang
bercokol di punggung kuda mendekam rata di punggung kuda, seolah-olah
sedang lari dari sesuatu yang menakutkan sedang mengejar mereka.
Tapi selepas mata memandang ke gurun pasir nan luas dan datar ini,
matahari sudah mulai doyong ke arah barat, memancarkan cahaya kuning
yang cemerlang, kecuali beberapa ekor kuda itu, di belakang mereka tak
terlihat bayangan manusia atau kuda yang mengejar datang.
"Apakah yang terjadi?" teriak Oh Thi-hoa tertahan. "kenapa mereka lari
menyingkir seperti dikejar setan?"
Rona muka Ki Ping-yang membeku kaku amat menakutkan, katanya serak :
"Dalam gurun pasir sering terjadi peristiwa yang seram dan menakutkan
serba misterius lagi, asal urusan tidak menyangkut kami berlima, lebih baik
kita anggap mata sendiri buta, anggap kau tidak pernah melihatnya.
Tapi kuda-kuda itu berlari langsung menuju ke arah mereka.
"Jikalau menyangkut ke diri kita bagaimana?" tanya Oh Thi-hoa.
Belum lagi Ki Ping-yan buka suara, kuda-kuda itu sudah kehabisan tenaga
dan sama-sama terjungkal roboh, orang-orang yang duduk dipunggungnya
seketika berguling-guling, namun cepat sekali mereka sudah berlompatan
bangun. Seluruhnya adalima ekor kuda, tapi hanya ada empat orang, ke empat
orang ini sama berseragam sebagai Busu dari Tionggoan, pakaian ketat
bergaman golok pendek, dari gerak-gerik mereka kelihatan kepandaian
mereka tentu tidak lemah.
Selama hidup Oh Thi-hoa boleh belum pernah dia melihat orang yang
begitu mengenaskan serba runyam lagi. Ke empat orang seluruh kepala dan
badan sama berlepotan pasir dan debu, sama-sama melototkan mata
mengawasi teman-teman sendiri dengan napas ngos-ngosan, tampak betapa
takut dan jeri hati mereka yang membayang pada raut muka mereka,
penulis yang paling pintar menggoyangkan penapun takkan bisa melukiskan
keadaan mereka saat itu.
Mengawasi tingkah laku dan keadaan ke empat orang ini, hati Oh Thi-hoa
dan lain-lain menjadi tegang. Bahwasanya sesuatu apakah yang begitu
menakutkan pernah dilihat oleh ke empat orang ini" Kenapa kelihatan
begitu ketakutan"
Sekonyong-konyong terdengar lolong panjang dan jeritan yang
menyakitkan hati, tahu-tahu ke empat orang itu sama mencabut golok
terus ditarikan saling bacok membacok seperti orang gila yang kesurupan
setan! Masing-masing orang keluarkan seluruh kepandaian permainan
goloknya, sampaipun setaker tenaga merekapun sudah diboyong keluar.
Tapi mereka seperti sedang latihan, hakekatnya di hadapan mereka
seperti tiada orang. Yang dibabat, dibacok golok-golok itu hanyalah pasri
kuning yang beterbangan membumbung ke angkasa. mereka sudah tumplek
seluruh kekuatannya, ternyata bertempur melawan debu dan pasir yang
kosong, sudah tentu musuhnya itu selamanya takkan kena dibacoknya
roboh. Tak tertahan Oh Thi-hoa bersuara pula, "Apakah orang-orang itu melihat
setan?" Ki Ping-yan membenamkan mukanya, tak sepatah katapun keluar dari
mulutnya. Siau Phoa bergidik, katanya gemetar, "Konon di gurun pasir terdapat iblis
jahat yang tak kelihatan bentuknya, suka makan jantung dan empedu
manusia, mungkin mereka" mereka?"
"Jangan cerewet!" sentak Ki Ping-yan.
Siau Phoa kontan tutup mulut, badan semakin gemetar, gigipun beradu
keras. Dengan pandangan mohon pendapat, Oh Thi-hoa melirik kepada Coh Liuhiang.
Coh Liu-hiang sebaliknya sedang arahkan pandangannya kepada Ciok
Tho. Orang yang sudah buta dan tuli ini, saat itu badannya sedang melingkar
seperti ular, sedang gemetar tak hentinya, memangnya kenapa pula dia"
Oh Thi-hoa merasa tapak tangannya berkeringat dingin, tak terasa
keringat dingin membasahi seluruh badan, gurun pasir nan luas tak kenal
kasihan ini, ternyata benar-benar sering terjadi banyak peristiwaperistiwa
yang begini seram menakutkan.
Waktu ia berpaling kesana, dua orang yang sudah roboh terkapar, dua
orang yang lainpun sudah hampir kehabisan tenaga, suara nafasnya yang
memburu keras seperti kerbau hampir disembeleh. Tapi asal sisa tenaga
terakhir masih ada, mereka takkan berhenti, tarian golok mereka semakin
kencang. Sekonyong-konyong KiPing -yan bersuara dengan suara dalam, "Itulah
Peng-keng to-hoat."
"Akupun sudah melihatnya, orang dari keluarga Peng mana mungkin bisa
menjadi begitu rupa?"
Setelah mengamati dengan seksama, Oh Thi-hoa ikut teriak tertahan,
"Tidak salah! Itulah Ngo hou-om-bun to tulen! Malah dinilai dari permainan
ilmu golok dan lwekang ke empat orang ini pastilah mereka terdiri dari
murid-murid pandai yang punya nama dan tingkatan tinggi dalam keluarga
Peng itu."
"Ngo-hou-toan-bun-to biasanya tidak diajarkan kepada orang luar," ujar
Ki Ping yan prihatin. "Ke empat orang ini kebanyakan adalah putra atau
keponakan Peng Hou, empat bersaudara dari Peng-bun-hoat-hou (tujuh
harimau dari perguruan Peng). Laki-laki berewok itu mungkin adalah Peng
It-hou." "Apakah Peng-bun-chit-hoa sekarang sudah mewarisi Pian-kiok milik Penghun?"
tanya Coh Liu-hiang.
"Ya!" Ki Ping-yang mengiakan sambil manggut-manggut.
"Kalau demikian, tentu mereka kemari melindungi sesuatu."
"Tentu begitulah," timbrung Siau-phoa. "Hanya orang-orang kalangan Piaukiok
yang sedang melakukan tugasnya saja tidak menunggang unta dipadang
pasir. Terdengar lolong jeritan seperti harimau kelaparan sebelum ajal, satu
orang kembali terjungkal terguling-guling.
Mendadak Oh Thi-hoa bangkit, serunya keras, "Peng Hun si tua itu
orangnya tidak jelek, tak bisa aku menonton putranya mati konyol seperti
orang edan, aku hendak menolongnya."
"Cara bagaimana kau hendak menolong dia?" tukas Ki Ping-yan. "Kau
mampu menolong mereka?"
Oh Thi-hoa sudah siap melompat dan kulit daging badannya sudah
mengejang tegang itu, seketika menjadi kendor. Sesaat melongo, belum
lagi bersuara pula, orang ke empat itu sudah kejungkal juga.
Berkata Coh Liu-hiang dengan suara dalam tenggorokan, "Kalau ke empat
orang ini hanya roboh karena kehabisan tenaga, tentu jiwanya belum ajal.
Cuma mungkin?"
"Peduli mereka bakal mati atau tidak, paling tidak kita sekarang harus
menengoknya kesana."
"Sekarang belum boleh kesana ," Ki Ping yan tidak setuju.
"Kenapa?" teriak Oh Thi-hoa, matanya bersungut, tanyanya, "Memangnya
keempat orang itupun pura-pura?"
Sudah tentu keempat orang ini takkan bisa bermain sandiwara, karena
keadaan seperti itu siapapun takkan bisa melakukan dengan pura-pura.
Kali ini Oh Thi-hoa sudah memperhitungkan dengan masak, hatinya punya
keyakinan dan punya pegangan, cuma ingin dia menunggu reaksi dan
jawaban Ki Ping yan.
"Tentunya ke empat orang ini takkan jadi begini bila tanpa sebab, benar
tidak?" "Sudah tentu ada orang yang mencelakai mereka!" ujar Oh Thi-hoa.
"Orang mencelakai mereka tentunya dengan suatu sebab, ya tidak?"
"Besar kemungkinan hendak merebut barang yang mereka lindungi."


Rahasia Ciok Kwan Im Pendekar Harum Seri Ke 2 Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kalau demikian, sekarang mereka sudah roboh semua, masakah orangorang
itu tidak akan datang mengambil buruannya itu" Jikalau sekarang
satu diantara kita keluar, bukankah bakal menjadi musuh dan sasaran
empuk mereka?"
"Tapi selepas pandang matamu, bayangan setanpun kau tidak melihatnya,
memangnya orang-orang itu betul-betul bisa menghilang?"
Belum habis ucapan Oh Thi-hoa, tiba-tiba ia merasa sebuah bayangan
hitam melayang di atas kepalanya. Disusul angin kencang menderu, seekor
elang besar terbang mendatangi dengan cepat sekali, berputar sekali di
atas sekeliling kuda dan orang-orang yang roboh itu, tiba-tiba sayapnya
kuncup. Elang itu menukik turun bagai meteor jatuh, dari punggung sebuah
kuda ia mematuk sebuah kotak, waktu pentang sayap terbang lagi, hanya
sebentar saja kedua sayapnya itu mengebas di angkasa. Bayangannya
sudah semakin jauh dan menghilang di kejauhansana .
Cepat sekali kedatangan elang ini, perginya pun mendadak, belum lagi Oh
Thi-hoa menginsafi apa yang terjadi, elang itu sudah terbang tak kelihatan
lagi bayangannya.
"Suatu rencana yang amat sempurna," puji Coh Liu-hiang, "cara kerja yang
cepat, cekatan dan lihay pula. Tanpa menggunakan tenaga seorangpun,
sebuah kotak barang kawalan Peng-bun-chit-houw dengan gampang mereka
rebut dan digondol pergi oleh seekor burung elang."
"Kau kira barang mestika yang berada di dalam peti itu?" tanya Oh Thihoa.
"Kalau bukan mestika, memangnya kau kira daging babi?" Coh Liu-hiang
tertawa. "Kalau daging babi sih rada logis, kalau tidak umpama elang tadi utusan
orang-orang itu, memangnya dia bisa tahu kalau dalam peti itu berisi
barang-barang mestika?"
Coh Liu-hiang geleng-geleng kepala, ujarnya, "Sudah tentu di atas peti itu
sudah diberi tanda khusus supaya elang itu mengenalinya. Sudah tentu
elang itupun sudah mendapat latihan yang amat baik. Masakah kau tidak
bisa pikirkan hal ini?"
"Agaknya penyakit pikunku memang bertambah berat."
Orang-orang itu sudah berhasil dengan tujuannya," timbrung Ki Ping-yan
tiba-tiba, "tentu takkan datang lagi. Kau ingin lihat keadaan mereka,
sekarang boleh kau kesana."
Tiga diantara empat orang itu sudah meninggal, hanya laki-laki berewok
yang roboh terakhir, dadanya masih bergerak turun naik, namun denyut
jantungnyapun sudah amat lembah, sembarang waktu bisa berhenti
mendadak. Oh Thi-hoa cekal mulutnya sampai terbuka, setengah botol sisa araknya
dia tuang masuk ke dalam mulutnya, jantung orang yang sudah hampir
berhenti, baru mulai bekerja dan berdetak rada keras.
Lekas Oh Thi-hoa bertanya, "Apakah kau Peng Ti hou" Sebetulnya
kejadian apa yang telah kalian alami?"
Pelan-pelan orang itu membuka kelopak mata, tampak oleh Oh Thi-hoa
mata orang masih menyorotkan rasa ketakutan, sebaliknya Coh Liu-hiang
mendapatkan, kelopak mata orang secara aneh dan luar biasa sudah
membesar satu kali lipat dari biasanya.
Lama kelamaan nafas orang mulai keras dan memburu pula, sekuat tenaga
meronta, agaknya hendak berdiri, namun jari tangannya saja ia tak kuasa
bergerak, seluruh badannya sudah lemah lunglai, tak punya sedikitpun
tenaga. Oh Thi-hoa menyeka keringat di atas jidatnya, tanyanya keras, "Katakan,
kau masih bisa bicara tidak?"
Kalamenjing orang itu turun naik, akhirnya dari bibirnya yang sudah pecah
kekeringan itu, tercetus suara yang lirih, suara yang tidak mirip
dikeluarkan dari mulut manusia. Itulah suara teriakan kosong dan hambar,
gemboran lirih yang putus asa. "Iblis jahat" setan iblis! Ribuan ratusan
iblis" bunuh!"
Keringat Oh Thi-hoa bercucuran, tanyanya pula lebih keras, "Mana ada
iblis jahat" Iblis jahat dimana?"
Biji mata orang ini melotot lempang ke arah depan, katanya dengan suara
serak, "Jangan harap kau bisa merebutnya! Kau" kau?" tiba-tiba ia
meronta dan melompat dari pelukan Oh Thi-hoa, terus menerjang ke
depan, tapi hanya dua langkah, kembali terangsur jatuh, selamanya takkan
bergerak lagi. Arak Oh Thi-hoa membangkitkan sisa tenaganya yang masih terpendam
dalam badannya. Kini sisa tenaga yang bangkit itupun sudah habis
dipakainya. Siau-phoa meloso lemas di atas tanah, katanya gemetar, "Dia sudah
melihat iblis yang tak kelihatan itu, disinilah tempatnya. Lari" tidak lekas
kita melarikan diri, mungkin bisa terlambat."
Oh Thi-hoa tahu mulut orang hanya mengoceh belaka, namun tak urung
bergidik bulu kuduknya waktu ia melihat muka Ciok Tho yang buruk seperti
batu-batu keramik itu, ternyata kinipun dihiasi butir-butir keringat
segede kacang. Disana Ki Ping-yan sedang berjongkok memeriksa salah satu mayat, lama
juga dia telah memeriksa. Baru sekarang pelan-pelan ia berdiri, namun
lama juga dia tidak bisa buka suara.
"Kau sudah menemukan sebab musabab kematian mereka?" tanya Coh Liuhiang.
Berkata Ki Ping-yan pelan-pelan, "Kehabisan tenaga, lapar dan dahaga,
agaknya terkena pula semacam racun yang amat aneh. Kadar racun itu agak
mirip ganja, tidak membahayakan jiwa, tapi cukup membuat pikiran orang
gila seperti kerasukan setan."
"Orang yang mencelakai mereka, mungkin pula orang yang hendak
mencelakai kita. Cara yang digunakan sama, dibuatnya dulu mereka
kehabisan air, seorang yang lekas mati kekeringan sering timbul bayangan
khayal dalam pandangannya. Tapi sebelum mereka tiba di sini, mereka
sudah terkena semacam racun, maka khayal yang terbayang dalam
pandangan mereka seperti ada ribuan dan ratusan iblis jahat sedang
mengepung dan menyerang mereka, maka mereka lari terbirit-birit.
Setelah tidak bisa melarikan diri, kemudian melawan mati-matian sampai
titik tenaga terakhir merekapun habis baru berhenti."
"Kita" kalau kita selalu tak punya air minum, apakah juga bisa berubah
seperti mereka?" tanya Oh Thi-hoa terbelalak.
Coh Liu-hiang dan Ki Ping-yan tidak menjawab pertanyaan ini. Oh Thi-hoa
pandang mereka bergantian, lalu mengawasi mayat di tanah, akhirnya iapun
tak bicara lagi. Selepas mata memandang pasir kuning melulu. Tak
berujung pangkal, takkan habis-habis dicapai. Tiada air, tiada kehidupan,
juga tiada harapan.
Siang hari yang membara itu akhirnya sudah silam.
Mereka angkut mayat-mayat kuda dan manusia ke dalam galian besar itu,
dengan pasir pula mereka dipendam begitu saja. Lalu mereka duduk di atas
batu cadas, menghabiskan waktu sambil menunggu munculnya sinar bintang.
Tiada yang bicara, mereka sama segan menggerakkan mulut.
"Sekarang apa yang harus kita lakukan" Kemana mencari air?" pertanyaan
ini selalu bergolak dalam relung hati Oh Thi-hoa, namun ia dalam hati tak
diutarakan karena ia tahu umpama dia utarakan isi hatinya, belum tentu ia
mendapat jawaban.
Lapar dan dahaga, letih" berbagai macam perasaan yang bisa mengetuk
hati, sekaligus merangsang datang mengikuti datangnya tabir malam.
Siau-phoa ingin makan ransum kering, tapi disampuk jatuh oleh Ki Pingyan.
"Jangan makan, setelah makan kau akan lebih dahaga dan tak tahan
lagi." Oh Thi-hoa mengelus dada, mendadak tertawa, katanya, "Tadi waktu aku
memboyong Peng-It-hou, terasa olehku bagian pundaknya menonjol keluar
sesuatu yang bundar dan keras, bentuknya seperti telur ayam. Coba
katakan, aneh tidak?" ucapannya ini sebetulnya cuma mengada-ada saja,
dia sendiri tahu kata-katanya ini terlalu iseng.
Ki Ping-yan mendadak bergegas bangkit, langsung ia menghampiri Ciok Tho
dan duduk di sebelahnya, kedua tangan mereka saling genggam dengan
erat, duduk berhadapan, siapapun tak bergerak.
Di tengah tabir malam yang semakin gelap ini, kelihatan rona muka Ciok
Tho semakin seram menakutkan.
"Coba lihat, apa yang sedang mereka lakukan?" tercetus pertanyaan dari
mulut Oh Thi-hoa yang suka usil ini.
"Mereka sedang bercakap-cakap," sahut Coh Liu-hiang.
"Bicara?" Oh Thi-hoa menegas heran.
"Kalau ingin bicara dengan seorang yang buta, tuli dan bisu, sudah tentu
harus menggunakan cara yang aneh, mungkin mereka sedang menulis
sesuatu dengan gerak cepat di tengah tapak tangan masing-masing, untuk
tukar pikiran masing-masing!"
"Betapapun memang otak malingmu itu lebih cerdik, agaknya apa saja
sudah kau ketahui ya!"
"Aku hanya ingin tahu apa yang sedang mereka perbincangkan sekarang,"
ujar Coh Liu-hang tertawa getir.
Tampak akhirnya Ki Ping-yan berdiri dan jalan kembali. Sikapnya lebih
prihatin, ia duduk di pinggir Coh Liu-hiang, lama juga dia menunggu, baru
berkata tiba-tiba, "Orang yang hendak mencelakai kita adalah orang yang
dulu mencelakai Ciok Tho sampai dia cacat begitu rupa."
Tersirap darah Oh Thi-hoa. Coh Liu-hiang malah berkata, "Hal ini semalam
sudah pernah kupikirkan."
"Siapakah dia sebenarnya?" tanya Oh Thi-hoa.
Ki Ping-yan menghela nafas, ujarnya, "Ciok Thopun tak mau menyebut
nama orang itu."
"Menurut apa yang kuketahui, bukan saja ilmu silat orang ini amat tinggi,
malah dia pun punya ratusan anak buah yang setia dan berani mati demi
kepentingannya."
"Ilmu silatnya tinggi, aku tidak takut. Anak buahnya banyak akupun tak
takut. Tapi tipu muslihatnya yang sembunyi-sembunyi ini, sungguh
membuat aku tak tahan lagi." Mendadak Oh Thi-hoa berjingkrak bangun,
teriaknya, "Sekarang bukan saja cara apa pula yang hendak dia gunakan
untuk menghadapi aku, aku tidak tahu, malah tidak tahu orang macam apa
pula dia sebenarnya, jikalau jiwaku sampai melayang secara sia-sia,
sungguh penasaran sekali!"
Ki Ping-yan menjengek dingin, "Jikalau kau kuat tahan diri dan bertindak
melihat gelagat, mungkin jiwamu takkan mati."
Dengan lesu Oh Thi-hoa mendeprok duduk kepala di dekapnya, katanya,
"Agaknya akupun bisa gila, jangan kalian pedulikan aku."
Hening sejenak, tiba-tiba Ki Ping-yan berkata dengan suara berat,
"Kesulitan yang kita hadapi sekarang bukan air, adalah orang itu! Ada Ciok
Tho dan aku berada di sini, air itu pasti akan bisa kita temukan, tapi orang
itu?" Sampai di sini ia menghela nafas, sambungnya, "Kalau orang itu sudah
mengincar kita, pasti takkan lepas tangan, situasi sekarang adalah kalau
bukan kita yang bunuh dia, kitalah yang akan dibunuh."
Coh Liu-memberikan saran, "Apa kita sementara tak bisa menyingkir dulu,
setelah menemukan Hek-tin-cu baru kita luruk dia."
"Tiada orang yang bisa menyingkir dari pandangan matanya, sebelum
persoalan ini kita selesaikan berhadapan dengan dia, segala urusan lain
jangan harap kau bisa selesaikan lebih dulu, kemungkinan Hek-tin cu lah
yang mengutus orang ini menghadapi kau."
Coh Liu-hiang menarik nafas, sesaat ia termenung, katanya tertawa,
"Kalau begitu mari kita adu jiwa sama dia, kukira tidak perlu kita gentar
menghadapinya. Betapapun lihay musuh kita, kita sudah sering
menghadapinya, benar tidak?"
Oh Thi-hoa angkat kepala sambil bertepuk tangan, serunya, "Nah, baru
mirip kata-kata yang harus diucapkan oleh Maling Kampiun, selama dua hari
ini boleh dikata baru pertama kali ini aku benar-benar mendengar ucapan
seorang manusia tulen."
"Cuma, bagaimana harus?" berkerut alis KiPing -yan, Coh Liu-hiang dan Oh
Thi-hoa pun bungkam. Ketiganya duduk tak bergerak namun seperti tiga
batang golok yang sudah keluar dari serangkanya, seluruh badan diliputi
mara bahaya, sembarang waktu kuasa menghabisi jiwa seseorang. Dalam
keadaan seperti ini, seseorang yang berotak cerdik, lebih baik jangan
mengganggu usik mereka.
Adaorang datang.
Dua puluhan bayangan orang, serempak merubung maju dari berbagai
penjuru, langkah mereka seenteng kucing, beranjak di atas pasir
sedikitpun tak mengeluarkan suara.
Tapi gerak-gerik mereka tidak bisa mengelabui mata Coh Liu-hiang, Oh
Thi-hoa dan Ki Ping-yan. Lekas sekali tiga orang ini sudah saling tukar
pandangan, tanpa bersuara mereka masing-masing sudah berketetapan,
"Tenang mengatasi aksi, lihat situasi dan bergerak menurut gelagat dan
perubahannya."
Meski tak bicara, ketiga orang ini dulu entah pernah mengalami
perjuangan berapa banyaknya, berdampingan dimedan laga, gerak gerik
mereka seolah-olah mempunyai semacam tata tertib yang ketat satu sama
lain dan tak mungkin bisa diselami orang lain. Maka mereka sama
menundukkan kepala, seperti orang lelah dan ngantuk.
Lekas sekali kedua puluhan orang itu sudah mengepung mereka di tengahtengah
lingkaran, namun mereka tetap berdiam diri seolah-olah tidak tahu
dan merasakan kedatangan mereka. Sudah tentu kedua puluhan orang ini
menjadi was-was dan heran sendiri.
Orang-orang ni semuanya mengenakan pakaian ketat warna hitam,
kepalanya digubat handuk hitam pula, gerak-gerik mereka rata-rata
cekatan dan tangkas, lincah lagi jelas semuanya merupakan musuh-musuh
berbahaya. Dalam jarak tertentu mereka berhenti dan menunggu lama,
akhirnya satu sama lain menggerakkan tanda memberi isyarat.
Maka berkatalah seseorang diantara mereka dengan suara kereng,
"Jikalau kalian cukup cerdik, lebih baik duduk saja jangan bergerak.
Tanganpun jangan terangkat. Aku tidak ingin menggertak kalian, tapi asal
jari-jari kalian bergerak, jiwa kalian akan kita habisi," kata-katanya
diucapkan begitu kalem, seperti tidak ingin menakuti orang lain. Tapi
justru itulah cara yang lihay, kawanan Kangouw pasti maklum hanya dengan
cara begitulah baru bisa benar-benar menggertak orang.
Sudah tentu Ki Ping-yan, Coh Liu-hiang dan Oh Thi-hoa tidak bergerak,
Ciok Tho lebih tak bisa bergerak lagi, cuma Siau-phoa yang benar-benar
menjadi ketakutan sampai tak bisa bergerak.
Dalam kegelapan malam samar-samar kelihatan tangan masing-masing
orang ini sama membawa sesuatu benda yang mengeluarkan sinar mengkilap
hitam, sudah tentu benda-benda itu adalah bumbung-bumbung alat senjata
rahasia yang mematikan itu.
Orang yang bicara melangkah lebar ke depan, katanya pula, "Baik sekali,
kalian memang tahu diri, sekarang serahkan barang itu!"
Baru sekarang Coh Liu-hiang angkat kepala, katanya tersendat, "Barangbarang
kita semua berada di punggung unta, silahkan tuan-tuan
mengambilnya sendiri."
Orang itu tertawa dingin, "Jangan pura-pura pikun, tentunya kau sudah
tahu barang apa yang kami inginkan?"
"Aku" sungguh aku tidak tahu."
"Masih berani pura-pura bodoh," damprat orang itu, tahu-tahu tapak
tangannya melayang menampar ke muka Coh Liu-hiang. Mengikuti gerakan
tangan orang, Coh Liu-hiang roboh ke belakang, tapi orang yang
memukulnya itu malah melongo dan terkesima. Terang tapak tangannya
seperti mengenai muka orang, tapi seperti memukul tempat kosong pula,
jelas muka orang kena digamparnya, tapi tapak tangan sendiri seperti
tidak pernah menyentuh sesuatu sehingga tenaganya amblas begitu saja.
Melihat sikap kaget orang, sungguh geli dan dongkol pula hati Oh Thi-hoa.
"Kau kira bisa mengenai Coh Liu-hiang" Jika kau benar-benar memukulnya
sampai rubuh, jiwamu tentu sudah melayang."
Laki-laki hitam ini agaknya juga tahu gelagat ganjil, cepat ia merubah
sikap. Katanya rada sabar, "Tugas penting dari rombongan kita, asal
barang itu kita dapatkan berarti kita sudah menunaikan tugas dengan baik.
Kita segera berlalu, sekali-kali takkan mengganggu seujung rambut kalian."
Tiba-tiba ia terloroh tawa, sambungnya, "Coba lihat, jikalau kami ingin
membunuh kalian, bukankah sejak tadi kita sudah turun tangan."
Coh Liu-hiang tahu omongan orang bukan gertakan belaka, tentunya tugas
mereka terpecah, mereka hanya bertugas menghadapi Peng-bun-chit-hou,
sebelum mendapat perintah pasti takkan berani mencelakai orang lain.
Jelas sudah bahwa diri mereka terang sementara takkan menghadapi


Rahasia Ciok Kwan Im Pendekar Harum Seri Ke 2 Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bahaya, maka legalah hatinya.
Setelah menunggu sesaat lamanya, melihat tidak mendapat reaksi, lakilaki
baju hitam itu berkata, "Asal kalian serahkan barang itu, bukan saja
aku sudah berjanji takkan mengganggu usik kalian, tidak mengambil barang
milik kalian lainnya, malah" bolehlah kita berikan sekantong air kepada
kalian." Waktu mengutarakan kata-katanya ini, agaknya dia sudah
berkeputusan dalam hati, ini bukan gertak atau ancaman, tapi menyerah
secara tidak disadari pancingan belaka. Terang barang yang mereka incar
itu tentu teramat penting artinya. Jikalau mereka tidak bisa mendapatkan
barang itu, terang mereka bakal mendapat hukuman yang setimpal bila
pulang nanti. Arti daripada air dalam situasi seperti ini sungguh amat besar sekali. Coh
Liu-hiang, Ki Ping-yan dan Oh Thi-hoa jikalau mereka tahu dimana barang
itu berada, mungkin mereka benar-benar mau menukar dengan air mereka.
Cuma sayang mereka benar-benar tidak tahu apa-apa.
Oh Thi-hoa menghela nafas, tanyanya, "Sebenarnya barang apa yang
kalian inginkan" Asal kau katakan pasti kuserahkan kepadamu sekarang.
Barang mestika betapapun banyaknya yang kau inginkan untuk menukar
sekantong air dengan senang hati akan kuberikan kepadamu."
Laki-laki baju hitam melotot, tanyanya menegas, "Kau benar-benar tidak
tahu?" "Siapa tahu barang setan apa itu, dialah kurcaci," sahut Oh Thi-hoa.
Diam-diam Coh Liu-hiang geli, batinnya, "Dalam keadaan seperti ini, bocah
ini tak lupa memaki orang juga."
Laki-laki baju hitam belum menyadari bahwa orang anggap dirinya kurcaci,
seketika ia menarik muka, katanya, "Masakah kalian belum menggeledah
dan mendapatkan barang itu dari mayat-mayat itu?"
"Aduh. Tidak percaya lagi." Oh Thi-hoa berkeluh kesah. "Umpama kita ini
benar-benar bedebah, sekali-kali kita takkan mencuri barang milik orang
yang sudah ajal." Kembali kata-katanya memaki dengan kata-kata yang
cukup sopan. Baru sekarang laki-laki hitam seperti menyadari kata-kata orang berarti
sedang memaki dirinya, "Bedebah," keruan ia naik pitam. Dampratnya, "Kau
masih tidak mau mengaku, baik, hayo kawan-kawan geledah mereka!"
Seluruh badan Oh Thi-hoa sudah mengejang keras, hampir saja ia sudah
mengumbar adat. Lekas Coh Liu-hiang menangkisnya, katanya tawar, "Biar
mereka menggeledah, toh mereka takkan mendapatkan apa-apa."
Tatkala itu dari kegelapan kembali menerobos maju beberapa bayangan
berseragam hitam, dengan cekatan seluruh badan mereka sudah digeledah.
Oh Thi-hoa menahan amarah yang hampir meledak, sungguh ia tidak habis
mengerti, kenapa Coh Liu-hiang harus menahan sabar.
Ki Ping-yan justru tahu maksud temannya, pikirnya, "Coh Liu-hiang mulai
kumat lagi penyakit lamanya, agaknya iapun mulai ketarik kalau belum
melihatnya sendiri, dengan bukti-buktinya yang nyata, mana dia mau lepas
tangan begini saja."
Peduli dimana, terhadap siapapun, jikalau tidak terpaksa Coh Liu-hiang
pasti takkan mau sembarangan turun tangan. Memang dia bukan seorang
yang suka berkelahi.
Setelah menggeledah orang-orangnya kembali laki-laki seragam hitam itu
menggeledah unta, sudah tentu mereka tak berhasil menemukan barang
yang mereka cari. Salah satu di antaranya tiba-tiba berpikir, kataya,
"Bukan mustahil barang itu masih berada di atas badan Peng-keh-chithou!"
Maka kembali mereka gali mayat-mayat yang sudah terpendam di bawah
pasir itu, dengan golok mereka telanjangi pakaian mayat-mayat itu. Oh
Thi-hoa kertak gigi, lekas ia berpaling muka tak tega melihat kelakuan
mereka. Terdengar seseorang berkata pula, "Di atas badan merekapun tiada."
Laki-laki pemimpin itu mulai gelisah, katanya membanting kaki, "Tidak
mungkin tiada. Cari lagi lebih teliti, kalau tidak ketemu, bagaimana
tanggung jawab tugas kita terhadap beliau?"
Sorot mata laki-laki baju hitam itu kini sudah memancarkan rasa takut
dan gelisah, setelah mencari ubek-ubekan tetap tidak berhasil, keruan
mereka semakin ribut dan sibuk, gugup lagi. Hampir boleh dikata mereka
sudah lupa mengawasi Coh Liu-hiang beramai.
Berkilat biji mata Ki Ping-yan, tiba-tiba ia berkata kalem, "Barang apakah
yang sebenarnya kalian cari" Kalau dikatakan, mungkin kami bisa bantu
kalian mencarinya."
Karena sudah gugup dan gelisah, seperti sudah kehilangan kontrol dan
kepercayaan kepada diri sendiri, tanpa banyak pikir laki-laki baju hitam itu
menjawab, "Ki-loh-ci-sing."
"Apa itu Ki-loh-ci-sing?" tanya Oh Thi-hoa keheranan. Ki-loh-ci-sing
maksudnya bintang di surga.
"Akupun kurang jelas," sahut laki-laki baju hitam. "Aku hanya tahu
diantara barang-barang kawalan mahal dari Peng-keh-chit-hou,
diantaranya ada benda mestika yang tak ternilai harganya bernama Ki-lohci-
sing." Oh Thi-hoa menghela nafas dengan kecewa, katanya, "Kukira sih barang
mestika apa sampai diributkan, ternyata tidak lebih hanya sebutir benda
mestika." Memang mestika betapapun tinggi nilainya, tak terhitung apa
dalam pandangan mereka.
Berkata laki-laki baju hitam lebih lanjut, "Kita kemari lantaran perintah.
Menurut rencana dengan gampang kita pasti berhasil memperoleh seperti
mestika itu, tak nyana Ki-loh-ci-sing yang menjadi sasaran utama justru
tak berada di dalam peti itu?" saking gelisah, tanpa sadar mulutnya
mengoceh sendiri.
Tiba-tiba KiPing -yan berkata, "Jikalau aku tahu dimana Ki-loh-ci-sing itu
berada, apa kalian sudi menukar dengan air?"
Sungguh kaget, gugup dan kegirangan pula laki-laki baju hitam, teriaknya,
"Tentu!"
"Kalian betul-betul punya air?" tanya Ki Ping-yan menegas.
"Sudah tentu punya!"
"Dimana" Keluarkan dulu supaya kulihat."
Berubah air muka laki-laki baju hitam, katanya kasar, "Kau tidak percaya
kepadaku?"
Ki Ping-yan berpikir sebentar, katanya, "Baik, sekali ini aku biar percaya
kepadamu. Ki-loh-ci-sing boleh kuserahkan dulu kepadamu, tapi air?"
Laki-laki baju hitam girang, tukasnya, "Asal Ki-loh-ci-sing kau serahkan,
soal air tidak menjadi soal."
Dari samping Oh Thi-hoa sedang menonton dan mendengarkan dengan
perasaan heran. Sungguh ia tidak habis mengerti kenapa Ki Ping-yan mau
percaya begitu saja akan omongan orang, lebih tak mengerti kenapa KiPing
yang mau mengeluarkan Ki-loh-ci-sing, hakekatnya dimana Ki-loh-ci-sing
belum diketahui.
Tampak Ki Ping-yan sudah berpaling kemari, roman mukanya menunjukkan
keyakinan, demikian pula roman muka Coh Liu-hiang sembari tersenyum,
sedikitpun tidak kelihatan gugup.
Tak tahan Oh Thi-hoa memapak maju, katanya berbisik, "Kau benar tahu
dimana Ki-loh-ci-sing itu berada?"
Berkata Ki Ping-yan pelan-pelan, "Tadi waktu kau memayang Peng It-hou,
katamu kau rasakan bagian pundaknya seperti menonjol bundar keras,
benar tidak?"
Oh Thi-hoa keheranan, sahutnya, "Tapi?"
Belum sempat dia bicara lebih lanjut, Ki Ping-yan sudah menghampiri ke
samping Peng It-hou. Pakaian orang ini sudah ditelanjangi. Badan yang
sudah telanjang bulat ini, dimana ada Ki-loh-ci-sing segala. Tapi Ki Ping-yan
segera jongkok, dengan ujung jarinya ia menggores sekali diikuti daging
pundaknya Peng It-hou, tabir malam sangat gelap, di bawah penerangan
bintang kelap-kelip, tahu-tahu terlihat dari pundak orang memancarkan
cahaya kemilauan terang benderang. Disusul sebutir jamrud sebesar telur
burung dara yang memancarkan cahaya kemilau cemerlang menggelinding
keluar dari kulit daging di pundak Peng It-hou, jatuh di tapak tangan Ki
Ping-yan. Ternyata Ki-loh-ci-sing yang dimaksud terjahit oleh Peng It-hou di kulit
daging pundaknya.
Semua orang sama melongo dan tertegun melihat kejadian yang tak
terduga ini. Di atas cakrawala memang tak dapat tak terhitung banyaknya bintangbintang,
tapi pancaran Ki-loh-ci-sing di atas bumi ini, sungguh membuat
sinar bintang-bintang di langit menjadi guram dan kelelap dibuatnya. Ki
Ping-yan sendiripun tak terasa terkesima, katanya, "Kim-kong-ciok yang
amat bagus, tak heran sedemikian banyak jiwa manusia yang siap
berkorban demi kau."
Seperti serigala kelaparan laki-laki baju hitam itu segera menubruk maju,
sekali raih ia rebut Ki-loh-ci-sing di tangan Ki Ping-yan. Ki Ping-yan diam
saja seperti orang linglung berdiri menjublek di tempatnya, dengan
mendelong ia awasi benda mestika itu direbut orang lain dari tangannya.
Agaknya laki-laki baju hitam itupun tak mengira urusan dapat dicapainya
demikian gampang dan tak terduga, sungguh senang bukan main sampai
mulut serasa sulit dibuka.
Sungguh heran, jengkel pula hati Oh Thi-hoa, untung sebelum dia
mengumbar adatnya terdengar Ki Ping-yan sudah bicara, "Ki-loh-ci-sing
sudah kuberikan kepadamu, mana airnya"'
Laki-laki baju hitam terloroh kesenangan, serunya, "Tuan-tuan besar ini
keluar menunaikan tugas, mana membawa air sebanyak itu" Kau ingin air,
tidak bisa kau cari sendiri" Tuan-tuan besar hari ini tidak menggorok
lehermu, sudah terhitung sungkan terhadap kalian, tahu!"
Sembari tertawa tangan dia ulapkan, segera ia pimpin anak buahnya
tinggal pergi dengan masih terkial-kial. Sungguh hampir meledak perut Oh
Thi-hoa. Dia sudah siap bergerak melabrak orang-orang itu, tapi keburu
ditarik oleh Coh Liu-hiang. Ingin mengejar, sudah dirintangi pula oleh Ki
Ping-yan. Sungguh dia tak habis paham, kenapa kedua teman baiknya ini
kini menjadi sedemikian pengecut dan penakut" Mengawasi orang-orang itu
pergi begitu saja, sedikitpun Coh Liu-hiang dan Ki Ping-yan tidak
menunjukkan kemarahan sama sekali.
Sungguh Oh Thi-hoa tak tahan lagi, jengeknya dingin dengan keras,
"Menggelikan, sungguh menggelikan! Maling kampiun yang bernama besar,
ternyata menjadi pengecut dan bernyali kecil seperti tikus. Sungguh
menggelikan Ki Ping-yan yang biasanya mengagulkan kepintarannya, hari ini
dengan mentah-mentah sudi ditipu orang lain."
"Siapa yang ditipu orang?" tanya Ki Ping-yan.
"Kau begitu pintar, tahu bila Ki-loh-ci-sing tersembunyi di dalam badan
Peng It-hou kenapa kau tidak tahu bahwa para keparat itu terang takkan
memberi air kepadamu!"
Ki Ping-yan tertawa tawar, ujarnya, "Sejak pertama mereka datang, aku
sudah melihat bahwasanya mereka tiada yang membawa kantong air."
"Kalau kau sudah tahu mereka tidak punya air, kenapa kau berikan Ki-lohci-
sing kepada mereka" Kau sedang kentut apa?"
Tanpa hiraukan ocehan orang, Ki Ping-yan berkata kepada Coh Liu-hiang,
"Orang yang kelana di gurun pasir, ada dua barang tidak boleh kekurangan,
pertama adalah air, kedua adalah unta. Tanpa kedua barang-barang ini,
jiwa sukar terlindungi, benar tidak?"
Coh Liu-hiang selalu unjuk senyuman, sahutnya, "Tidak salah!"
"Tapi bukan saja orang-orang itu tiada yang membawa air, malah meluruk
kemari berjalan kaki, itu pertanda bahwa tempat tinggal mereka
sementara ini, tentu tidak jauh dari sini, benar tidak?"
"Benar!" sahut Coh Liu-hiang pendek.
"Setelah mereka memperoleh barang yang dicarinya, tentu tak sempat
memperdulikan kami pula, yang terpikir hanya lekas-lekas pulang
memperoleh jasa dan persen, ya toh?"
Kali ini tanpa menunggu Coh Liu-hiang buka suara, Oh Thi-hoa sudah
menanggapi sambil tepuk tangan, "Benar, asal kita kuntit mereka, langsung
kita bisa meluruk ke sarangnya. Daripada kita menunggu iblis durjana itu
mencari perkara kepada kita, lebih baik kita labrak dia dulu" benar
tidak?" "Benar," sahut Coh Liu-hiang tersenyum. "Itu dinamakan menindak orang
lebih dulu!"
Seketika Oh Thi-hoa berjingkrak bangun, teriaknya, "Kalau begitu, apa
pula yang harus kita tunggu di sini?"
Berkata Ki Ping-yan pelan-pelan, "Di tengah gurun pasir dilarang
menguntit buruanmu terlalu dekat, yang terang mereka toh takkan bisa
melarikan diri," lalu ia menengadah mendengarkan deru angin, tersenyum
lebar dan berkata, "Kalau kau sudah tak sabar lagi, sekarang boleh mulai
berangkat."
Dari tempat mereka sekarang kira-kira memakan waktu setengah jam
perjalanan ke arah tenggara, terdapat beberapa petak rumah yang
dibangun dari kayu, disini dulu merupakan perkampungan kecil, salah satu
pos di luar tapal batas untuk mengawasi gerak-gerik musuh dan
pengamatan perubahan cuaca. Sekarang berubah menjadi sarang
berkumpul kawanan perampok yang berkuasa di gurun pasir.
Rumah kayu itu sudah reyot dan keropos, beberapa jendela di antaranya
terpentang lebar. Sejak tadi pelita sudah dipasang di dalam rumah,
tentunya di dalam rumah selalu dihuni dan ditunggu orang.
Coh Liu-hiang bertiga berhenti di belakang tiga pucuk pohon berjarak
sepuluh tombak di luar jendela, dilihatnya rombongan orang banyak itu
sambil tertawa-tawa berbondong-bondong masuk ke dalam rumah kayu.
Tapi begitu berada di dalam rumah, suara tawa dan senda gurau mereka
seketika silap dan berhenti.
Dari jendela yang terbuka itu, jelas kelihatan sikap mereka amat hormat
dan jeri, semuanya tundukkan kepala dan berdiri tegak tak berani
bergeming, jangan kata bicara, nafaspun ditahan-tahan.
Oh Thi-hoa berkata senang, "Dari keadaan mereka itu, jelas pemimpin
mereka memang berada di dalam rumah ini."
Ki Ping yan mengiakan dengan manggut-manggut.
"Mari sekarang juga kita terjang ke dalam, ingin aku melihat macam apa
sebenarnya iblis durjana itu?"
"Tunggu lagi sebentar," sela Ki Ping-yan.
"Apa lagi yang harus ditunggu?" desak Oh Thi-hoa.
"Keadaan kelihatan rada ganjil."
"Kau sendiri yang mengusulkan, kenapa sekarang kau merasa rada ganjil?"
"Setelah melihat rumah kayu itu baru aku melihat adanya keganjilan"
coba kau pikir, dengan kekuasaan si iblis yang besar, memangnya dia sudi
tinggal di tempat yang jorok dan keropos seperti itu?"
Baru saja Oh Thi-hoa melengak dan belum bersuara, dari dalam rumah
kayu tiba-tiba berkumandang irama musik yang mengalun halus, serasa
menyedot semangat dan mencabut sukma, sehingga pendengarnya menjadi
lemas dan seperti hendak melayang jiwanya.
Begitu irama musik itu mengalun, para laki-laki baju hitam yang berdiri
tegak itu kelihatan badannya melingkar dan bergetar, seolah-olah mereka
ingin menari-nari menurut alunan lagu nan merdu menyedot sukma ini. Tapi
sekonyong-konyong mereka serempak roboh saling tindih. Nada lagi yang
menyedot sukma itu masih terus mengalun, cuma lama kelamaan suaranya
datar dan rendah. Orang-orang yang roboh itu tiada satupun yang bangkit
berdiri. Mendengar irama musik ini, seketika Oh Thi-hoa rasakan mukanya panas
dan jantung berdebar keras, namun kejut dan aneh pula ia melihat adeganadegan
yang seram itu, katanya sember, "Apa pula yang terjadi?"
Membeku dingin muka Ki Ping yan, mulutnya terbungkam kencang. Roman
muka justru tiba-tiba berubah hebat, teriaknya tertahan, "Celaka!" belum
hilang suaranya, badannya bagaikan burung walet sudah melesat ke arah
rumah kayu itu.
Sudah tentu Oh Thi-hoa tidak mau membuang waktu, sigap sekali ia pun
memburu maju dengan kencang. Coh Liu-hiang masih melongok-longok di
jendela, Oh Thi-hoa langsung tendang daun pintu terus menerjang masuk
seraya membentak keras, "Jangan harap kau"!"
Hanya tiga patah kata yang terucapkan, tiba-tiba mulutnya terpentang
lebar tak kuasa meneruskan kata-katanya. Ternyata rumah kayu seluas ini
tak kelihatan bayangan seorangpun.
Kalau mau dikatakan sesungguhnya, rumah kayu ini sudah tak dihuni oleh
seorang manusia yang masih hidup segar bugar. Dua puluhan laki-laki yang
masuk kemari tadi kini sudah menggeletak malang melintang saling tindih


Rahasia Ciok Kwan Im Pendekar Harum Seri Ke 2 Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

di atas tanah, tiada satupun yang ketinggalan hidup.
Badan mereka sama melingkar, seolah-olah ular yang saling belit membelit,
namun roman muka mereka sama menunjukkan cahaya cemerlang yang
aneh, bukan saja mereka mampus tanpa menunjukkan sesuatu derita, malah
seperti suka rela dan senang hati menemui ajalnya.
Lama sekali Oh Thi-hoa terlongong, baru ia menarik nafas panjang,
katanya, "Sungguh gila" orang-orang inipun sudah gila."
Coh Liu-hiang membanting kaki, katanya, "Seharusnya sejak tadi sudah
kupikirkan bahwa mereka akan sama bunuh diri."
Rumah kayu yang sudah bobrok ini, boleh dikata tiada isi apa-apa, tapi
tengah-tengah rumah sana berdiri sebuah berhala pemujaan yang amat
besar, ditengah-tengah berhala terdapat sebuah patung Buddha, sehingga
menambah seram dan serba aneh keadaan rumah ini.
Hembusan angin lalu membuat Oh Thi-hoa bergidik seram dan sadar dari
lamunannya. Serunya tak mengerti, "Kenapa mereka suka bunuh diri?"
Kata Coh Liu-hiang menghela nafas, "Gembong iblis itu tentu sudah tahu
bahwa jejak mereka sudah dikuntit oleh kita, kuatir kita mengudak tiba
sampai di sini, terpaksa ia bunuh mereka semua."
"Kalau toh mereka didesak orang untuk bunuh diri, kenapa pula mereka
menghadapi kematian ini dengan riang hati?"
Terpancar rasa jeri dalam sorot mata Coh Liu-hiang, mulut menggumam,
"Dalam hal ini tentu ada latar belakangnya yang amat misterius, musik
kematian yang menyedot sukma itu mungkin?" belum habis kata-katanya,
tiba-tiba terdengar Siau-phoa menjerit-jerit di luar rumah. "Ciok Tho
menjadi gila" gila Ciok Tho kumat?" jeritnya mengandung rasa ketakutan
yang tak terperikan.
Di tengah gurun pasir yang tak kenal kasihan di dalam rumah kayu yang
menyendiri dan bobrok ini, sekonyong-konyong mendengar jerit dan tangis
yang begini mengerikan, sungguh bikin bulu roma berdiri seram.
Oh Thi-hoa berjingkat kaget, tanpa berjanji bersama Coh Liu-hiang, Ki
Ping yan melesat keluar hampir bersamaan. Tampak raut muka Siau-phoa
berkerut-kerut seperti meringkel, keringat membasahi seluruh kepala,
mulutnya masih menjerit keras-keras, "Ciok Tho gila."
Kontan Ki Ping-yan ayun tapak tangan menggamparnya, bentaknya bengis,
"Kau sendiri jangan menggila, katakan apa yang terjadi."
Karena gamparan ini, Siau-phoa melongo sesaat lamanya, lambat laun baru
kembali ketenangan hatinya, katanya dengan suara bergetar, "Setelah
kalian masuk ke dalam rumah, tak tahan lagi akupun ingin kemari melihatlihat.
Tapi Ciok Tho seorang diri kutinggal di sana, hatiku jadi rada kurang
tenteram. Lekas kutarik dia supaya ikut."
"Apa benar kau kuatir meninggalkan dia sendirian" Kukira kau mengajak
dia untuk membesarkan nyalimu."
Tertunduk kepala Siau-phoa, katanya lebih lanjut dengan suara tersendat,
"Siapa tahu" setiba di depan rumah ini Ciok Tho seolah-olah melihat
setan, putar badan terus lari sipat kuping. Sungguh betapa rasa takutnya
waktu itu, meski aku tidak melihat apa-apa, tapi aku sendiripun teramat
kaget dan tak tertahan lantas berkaok-kaok sekeras suaraku."
Orang yang punya mata tidak melihat apa-apa, memangnya orang yang
buta matanya melihat sesuatu yang menakutkan" Tapi Coh Liu-hiang
bertiga sudah tak sempat pikirkan hal ini lebih lanjut, belum selesai
keterangan Siao-phoa, serempak mereka sudah berlari kencang mengundak
ke arah mana tadi Ciok Tho melarikan diri.
Angin menderu kencang, pasir berterbangan. Tabir malam di gurun pasir
sudah mulai memperlihatkan kekuatannya yang begitu menakutkan.
Akhirnya mereka melihat bayangan Ciok Tho, yang sedang lari lintang
pukang, seorang yang tak bisa mendengar, terpaksa harus berlari jatuh
bangun dengan setaker tenaganya di gurun pasir yang tak kenal kasihan. Di
tengah malam gelap yang pekat ini, betapa takkan menyedihkan dan
memilukan keadaan seperti ini.
Coh Liu-hiang dan Ki Ping-yan berbareng melesat ke depan, keduanya
berbareng mengempit badan orang, tapi Ciok Tho seperti binatang buas
yang terluka meronta dengan kekuatan yang besar luar biasa, terus lari
pula ke depan dengan lebih kencang.
Tenaganya yang begitu besar dan kuat seperti orang gila benar-benar,
sampaipun Coh Liu-hiang tak kuasa menahannya.
Sementara itu Oh Thi-hoa pun sudah mengundak tiba dari belakang.
Langsung ia menubruk maju seperti harimau menubruk mangsanya, ia sekap
pinggang orang terus diajak berguling-guling di tanah berpasir. Lekas Ki
Ping yan memburu maju pula dan mendekap sebelah pundaknya. Semula
Ciok Tho masih hendak meronta, serta merta Ki Ping yan dengan kencang
menggenggam tangannya, baru lambat laun ia mulai tenang, tapi nafasnya
masih ngos-ngosan.
"Lekas kau tanya dia," usul Oh Thi-hoa dengan memburu. "Sebetulnya apa
yang dia ketemukan."
Di bawah sinar bintang, tampak raut muka Ciok Tho yang buruk dan kaku
itu penuh dibasahi butiran keringat, diikuti ketegangan dan kekuatiran.
Jangankan Siau-phoa jadi ketakutan melihat raut mukanya ini, sampai pun
Oh Thi-hoa pun bergidik dan dingin hatinya.
Berselang cukup lama baru Ki Ping yan angkat kepala, katanya, "Sudah
kutanya dia, tapi apapun dia tidak mau menjelaskan."
Pandangan mata Coh Liu-hiang menatap ke tempat gelap nan jauh sana,
katanya pelan-pelan, "Bukan mustahil dia memiliki indera ke enam yang
amat peka, terasa olehnya bahwa iblis yang mencelakai dirinya itu berada
di dalam rumah kayu itu."
"Tapi dalam rumah kayu hakikatnya tiada ketinggalan orang hidup" boleh
dikata tiada sesuatu benda apapun dalam rumah itu, seumpama iblis itu
menyembunyikan diri juga tak mungkin lagi."
Berkata Coh Liu-hiang sepatah demi sepatah, "Apa benar rumah itu tiada
sesuatu apapun?"
"Kecuali meja kursi yang sudah reyot, tinggal patung pemujaan itu."
"Sudahkah kau jelas patung apa yang berada di tempat pemujaan itu?"
"Kalau tidak salah seperti sebuah patung Kwan Im posat yang terbuat dari
batu?" sekonyong-konyong suaranya seperti membeku, badannya seolaholah
kena lecutan cambuk bergetar keras. Lalu seperti kerasukan setan,
tiba-tiba ia putar badan berlari sekencang-kencangnya kembali ke rumah
kayu itu. Keadaan dalam rumah kayu telah berubah. Angin menghembus kayu
gorden yang menutupi ruang pemujaan itu. Tapi ruang pemujaan ini kosong
melompong. Patung batu yang berdiri di sana tadi kini sudah lenyap tak
keruan paran. Keringat segede kacang bercucuran di atas kepala Oh Thi-hoa, lama sekali
dia menjublek di tempatnya, baru didapatinya di atas meja ketambahan
sebuah wajan besi. Wajan yang masih panas mengepulkan asap dan bebauan
sedap, bau daging rebus yang enak rasanya. Di bawah wajan terselip
selembar kertas yang ada tulisannya berbunyi,
Tuan-tuan datang dari tempat ribuan li jauhnya, seharusnya aku sendiri
harus menyambut dengan sebuah meja perjamuan besar. Sayang anak
buahku bodoh dan tak becus bekerja, bikin malu dan menusuk perasaan
belaka. Maka akan aku siapkan sewajan daging rebus sekedar sebagai
pernyataan maksud baikku. Untung menghilangkan rasa lelah dan kelaparan
serta dahaga, harap tuan-tuan tidak menampik maksud baik kami!
Hormat, Orang dalam pemujaan
Orang dalam ruang pemujaan" Siapa pula orang di dalam pemujaan"
Oh Thi-hoa berpaling, maka dilihatnya Coh Liu-hiang dan Ki Ping-yan sama
s edang menatap kertas yang berada di tangannya, agaknya mereka pun
melongo dan tertegun.
Sesaat lamanya, baru Ki Ping-yan bersuara dengan tertawa getir, "Jejak
kami bertiga, toh konangan juga oleh si dia!"
"Tapi siapakah orang dalam ruang pemujaan ini" Bayangannya saja toh
tidak kita lihat."
Dengan nanar Coh Liu-hiang memandang ke arah ruang perjamuan yang
sudah kosong itu, katanya sepatah demi sepatah, "Itulah Ciok-koan im."
Berjikat merinding bulu kuduk Oh Thi hoa, serunya, "Ciok koan im"
Maksudmu adalah perempuan yang diakui umum sebagai orang yang paling
cantik, paling galak dan tak mengenal kasihan, tapi ilmu silatnya amat
tinggi dan sudah diakui kawanan Kangouw pada masa lalu itu?"
Coh Liu-hiang tertawa getir, "Kecuali dia, siapa pula yang mampu membuat
alat rahasia yang begitu lihay dan baik" Siapa pula yang punya kepandaian
ilmu rias yang begitu hebat" Siapa pula yang kuasa mengatur tipu daya
yang begitu sempurna dan seksama?"
Ki Ping yan menyambung dengan suara kalem, "Kecuali dia, siapa pula yang
bisa mengheningkan cipta atau semedi merubah diri seperti patung-patung
tulen, sehingga dengan mudah mengelabui pandangan mata kita?"
Oh Thi-hoa melongo dan menjublek, meski ia belum pernah melihat Ciokkoan-
im, tapi berbagai dongeng dan cerita yang sering tersiar di kalangan
Kangouw mengenai manusia yang satu ini, boleh dikata dapat membuat
setiap orang yang mendengar merasa bergidik seram dan dingin dari kepala
sampai ke kaki.
Bau asap mengepul dari wajan semakin tebal, daging yang sudah matang
dan dilapisi kuah berminyak kelihatan begitu sedap dan lezat, inilah
hidangan yang sedang mereka harapkan selama ini.
Mendadak Oh Thi-hoa bergelak tawa, katanya, "Katanya yang tersiar di
kalangan Kangouw memang tidak keliru, Ciok-koan-im memang siluman
tukang mencelakai jiwa orang. Apapun tiada yang dia tinggal di sini, kecuali
wajan dan daging rebus ini, supaya kita hanya melihatin saja, dengan
mengalirkan air liur tanpa berani menyentuhnya."
Tiba-tiba seekor anjing menerobos masuk ke dalam rumah, langsung
lompat naik ke atas meja, kepala dijulurkan lidah menjilat seperti sedang
mencicipi, lalu mulut terpentang menggigit sekerat daging bertulang.
Maki Oh Thi-hoa dengan tertawa, "Anjing ini sudah gila lantaran
kelaparan" Memangnya dia tidak takut keracunan?" segera ia menghampiri
dan menjinjing anjing itu lalu diturunkan ke atas tanah, tapi dengan lahap
dan tergesa-gesa anjing itu sudha melalap sekerat daging bertulang itu ke
dalam perutnya. Oh Thi hoa, Coh Liu-hiang, Ki Ping yan, tiga orang enam
biji mata dengan mendelong mengawasi reaksi perubahan anjing ini. Tapi
setelah ditunggu-tunggu setengah jam, Ki Ping yan membalik mata anjing
untuk diperiksa, lalu memeriksa lidahnya lagi, katanya perlahan, "Masakan
dalam wajan ini tak beracun."
Dengan keras Oh Thi-hoa menggebrak meja, teriaknya, "Siluman jahat itu
sudah perhitungkan kita takkan berani makan daging rebus itu, malah
antar seekor anjing untuk membuat jengkel. Dia kira kita sudi memakan
daging rebus sisa dari anjingnya ini."
"Daging yang sudah dimakan anjing, masakah orang tidak boleh
memakannya?" kata Ki Ping-yan tawar. Matanya mengawasi Coh Liu-hiang,
Coh Liu-hiang tidak memberi komentar.
Oh Thi-hoa sudah jinjing wajan itu terus dilempar keluar jendela, mulut
masih berkaok-kaok, "Kita tidak boleh makan makanan sisa anjing,
seumpama harus mati kelaparan, jangan kita bikin malu diri."
Ki Ping yan menghela nafas, jengeknya, "Jikalau aku bisa pulang dengan
selamat, di dalam rumah akan kudirikan sebuah tugu peringatan untuk
mengingat budi keluhuranmu ini, dimana akan ku ukir, 'Kelaparan sampai
mati urusan kecil, bikin malu muka orang urusan besar!'"
Oh Thi-hoa bergelak tertawa, serunya, "Jikalau aku bisa pulang dengan
jiwa masih hidup akan ku" akan ku?" ingin dia mencari kata-kata yang
setimpal untuk balas mengolok Ki Ping yan, dalam waktu dekat mulutnya
justru tak kuasa mengeluarkan kata-katanya.
"Watak manusia berangasan seperti anjingmu ini, mungkin takkan bisa
pulang dengan hidup segar," jengek Ki Ping yan pula.
"Itupun belum?" belum lagi Oh Thi-hoa berkata lebih lanjut, tiba-tiba
terdengar jeritan mengerikan di luar rumah, tiga orang serempak melesat
keluar, tampak Siau-phoa yang tadi menjagai Ciok Tho kini sudah
terguling-guling di atas tanah.
Wajan yang berisi daging itu berada di sisinya, ujung mulutnya masih
berlepotan kuah berminyak, roman mukanya pun putih halus dan jenaka itu,
kini sudah merah abu-abu dan berkerut-kerut mengejang, mulutnya
mendesis dan megap-megap, ingin berteriak keras, namun yang terdengar
hanya suara lirih, "Daging beracun?"
Ternyata di luar rumah ia mendengar percakapan di dalam yang
mengatakan daging dalam wajan ini tak beracun, maka sisa kuah yang tidak
tertumpah di dalam wajan ia hirup seluruhnya.
Lekas Coh Liu-hiang memburu ke samping badannya, baru saja ingin
memeriksa keadaannya, badan Siau-phoa sudah kelejetan dan mengejang,
sebentar saja jiwanya tahu-tahu sudah melayang gara-gara minum sisa
kuah daging dalam wajan itu.
Di tengah gurun pasir yang luas ini, jiwa manusia ternyata sedemikian
rendah dan tak berharga sama sekali.
Pelan-pelan Coh Liu-hiang katupkan kelopak matanya, katanya prihatin,
"Racun yang hebat, keras benar kadar racunnya sampai tak sempat
ditolong lagi."
"Orang lihay benar," ujar Ki Ping yan. "Dia sembunyikan kapsul beracun itu
di mulut anjing, begitu anjing menjilat kuah kapsul beracun itu lantas jatuh
ke dalam wajan karena masih panas cepat sekali kapsul itu lantas mencair
dan kuah yang semula tidak beracun menjadi mengandung racun yang
begitu jahat."
Tersirap darah Oh Thi-hoa, "Apakah anjing itupun sudah dilatihnya
sedemikian rupa?"
Ki Ping -yang manggut-manggut sebagai jawaban.
Coh Liu-hiang tertawa, ujarnya : "Agaknya berkat watak anjing Oh Thihoa
tadi sehingga aku dan kau tidak kena tertipu oleh Ciok-koan im."
Membayangkan tipu muslihat berantai yang berhubungan satu sama lain
secara licik dan licin ini, boleh dikata jiwa mereka tadi sudah diambang
kematian" tak terasa tapak tangan mereka berkeringat dingin.
Jilid 16 Hari kedua, air tetap tak mereka dapatkan.
Mereka tak mau membiarkan sisa air didalam badan mereka terjemur
kering oleh terik matahari, maka setelah sang surya terbenam, baru
mereka bergerak lagi.
Giok Tho, laki-laki misterius dan harus dikasihani ini, kini sudah
memperoleh kembali tenaga dan keberaniannya yang tak terhingga
sebaliknya Oh Thi-hoa bertiga sudah semakin loyo dan lemas. Betapapun
tinggi kepandaian seseorang didalam dunia ini, masa kuasa memerangi
kekuatan kebesaran alam semesta.
Sang surya sudah terbenam, sering Ciok Tho Mendekam di atas pasir,
menggunakan hidungnya mengendus dan membaui pasir, seperti srigala
yang mengejar jejak mangsanya merangkak di atas pasir, Oh thi-hoa
menjilat bibirnya yang sudah kering dan pecah, tanyanya tak sabar : "apa
yang sedang dia lakukan?"
"Dia sedang mencari sumber air di bawah tanah."
"Apa dia bisa mengendus dengan hidungnya?"
"Kalau ada air, tentu ada suhunya, suhu panas tertentu itu dapat terendus
oleh hidung yang berpengalaman."
Oh Thi-hoa masih ingin bicara, tapi orang sudah tak perdulikan dia lagi.
Karena ditempat seperti ini dalam keadaan seperti ini pula bicara
mengeluarkan tenaga dan membuang-buang energi, mengeringkan ludah
lagi, disaat-saat seperti ini, kedua macam keperluan ini hampir senilai dan
semahal jiwa mereka.
Setelah malam mendatang, tiba-tiba seperti kumat gilanya Ciok Tho
menggali pasir dengan kedua tangannya. "ada Air!" seketika Oh Thi-hoa
berjingkrak kegirangan.
Serempak mereka lompat turun dari punggung unta, menggunakan segala
alat apa saja yang mereka ketemukan, beramai-ramai mereka menggali
pasir sekuat tanag, tapi dengan susah payah mereka bekerja satu jam
lamanya, akhirnya tetap kecewa, tiada air.
Oh Thi-hoa menyengir sedih : "Hidungnya itu mungkin sudah tak berguna
lagi." Ki Ping-yan membenamkan mukanya tak menanggapinya. Cuma Ciok Tho
masih belum putus asa, dia tetap mengeruk dan menggali. Mendadak ia
mencelat bangun mencomot segenggam pasir diangsurkan kepada Ki Pingyang.
Ki Ping-yan jejalkan pasir itu ke dalam mulut, seketika mukanya berseri


Rahasia Ciok Kwan Im Pendekar Harum Seri Ke 2 Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

girang. Pasir ini terasa hangat. Beramai-ramai mereka masukkan pasir ke dalam
mulutnya, sekuatnya menghisap air yang terkandung didalam pasir. Air,
memang terlalu minim, tapi bagi seseorang yang sudah dekat ajal karena
dahaga sudah cukup untuk merenggut pulang jiwanya dari cengkeraman
elmaut. mereka mengeduk lebih giat, lebih keras dan mati-matian,
menghisap sekeras kerasnya.
Malam itu mereka lelap dalam impian didalam galian pasir yang bersuhu
hangat ini, saking bernapsu menghisap air tadi, lidah Oh Thi-hoa terasa
linu kemeng, tak tertahan ia mengumpat caci : "Boleh dikata seluruh
tenaga untuk menghisap sudah kukerahkan, namun belum bisa kulihat
setetes air yang berhasil keperas dari pasir setan yang keparat ini,
menghisap dengan cara begini terus apakah tidak bikin lidah putus dan
leher kejang?"
"Didalam gurun pasir, bila setiap hari kau dapatkan pasir hangat seperti
ini, sudah terhitung kau beruntung, meski amat minim air dalam pasir ini,
tanpa dia kau takkan bisa hidup"
Memang tidak salah ucapannya, hari ketiga jangan kata air, pasir hangat
seperti itupun tak berhasil mereka temukan, tenaga untuk berjalan pun
sudah tiada, untunglah hari ke empat, Ciok Tho berhasil menemukan lagi.
Pasir di sini lebih banyak mengandung air.
Berkata Ki Ping-yan menerangkan : "Ciok Tho menyelusuri jalur-lajur urat
air bawah tanah baru berhasil menemukan yang ini, dilihat keadaan tempat
ini, tak jauh dari sini tentu kita bisa menemukan sumber iar yang lebih
besar." Dengan badan lebih segar, mereka kerahkan tenaga dan menghimpun
semangat bergerak maju lebih lanjut. Sekonyong-koyong dikejauhan sana
mereka melihat pemandangan serba hijau, seperti permadani terbentang
luas kehijauan itulah oase, tanah subur yang banyak air dan tetumbuhan
yang hidup subur di gurun pasir.
Dengan sekuat tenaganya Oh Thi-hoa kucek-kucek matanya, katanya :
"Apakah mata ku sudah lamur?"
"Semoga ini bukan pandangan didalam khayalan kita." Coh Liu-hiang
tertawa getir. Setelah dekat, terdengar diantara pepohonan yang menghijau subur
ditengah-tengah oase sana, kumandang gelak tawa orang-orang yang riang
gembira. Tapi bagi seseorang yang baru saja lolos dari cengkeraman mara
bahaya ditengah gurun pasir yang tak kenal kasihan ini, gelak tawa riang
gembira itu kedengaran amat menusuk dan seram menakutkan.
Oh Thi-hoa dilliputi ketegangan pula katanya: "apa disinikah sarang
rahasia Ciok-koan im" Kecuali siluman jatah itu, siapa pula yang masih bisa
begitu riang gembira ditengah gurun pasir yang tengah sengsara ini?"
Ditunggu-tunggu tak terdapat reaksi teman-temannya, lalu ia menyambung
perkataan sendiri: "apalagi dua hari ini, dia tidak mencari kesulitan kita,
bukan mustahil dia sudah memperhitungkan kita akan bisa menemukan
tempat ini?"
Sekian lama Coh Liu-hiang tidak berkutik, tiba-tiba ia bangkit berdiri
katanya : "Kalian tunggu aku di sini biar kuperiksa keadaan di sana."
Oh Thi-hoa ikut berdiri serunya : "Aku ikut."
"Aai, ginkangmu lebih tinggi dari maling kampiun?" olok Ki Ping-yang.
Oh Thi-hoa meloso duduk pula, mulutnya terkancing.
Bukan saja oase ini amat indah, ternyata cukup luas pula, ditengah gurun
pasir yang serba buruk ini, mendadak muncul tempat seindah ini boleh
dikata seperti dalam dongeng saja.
Ditangah rimbunnya dedaunan, sering terdengar tawa cekikikan medru
bagai kelintingan.
Apa benar ini alam khayal didalam dongengan itu" atau alam iblis" dan
yang tersembunyi didalam rumpun dedaunan itu, apakah bukan siluman
perempuan yang suka memincut dan akhirnya memakan orang-orang
pelancongan yang kesasar jalan"
Setelah menarik napas dengan hati-hati Coh Liu-hiang meluncur kesana
walau ginkangnya sekarang jauh berkurang dari keadaan biasa, tapi tak
perlu disangsikan masih termasuk tingkat tinggi jarang ditemukan
tandingannya. Dengan ringan seperti burung ia hinggap di puncak pohon. Dari sela-sela
dedaunan yang rimbun ini, seketika ia melihat suatu pemandangan yang
bisa bikin hati kebat-kebit, membuat orang linglung dan sukar dipercaya.
Disana terdapat dua empang besar kecil yang berair bening menghijau. Di
sini empang yang rada besar ditempat yang rada jauh sana terdapat tiga
bangunan kemah yang indah dan mewah, di depan kemah berdiri tegak
beberapa Busu yang bersenjata tombak mengkilap berpakaian serba
berkilauan pula. Sementara empang kecil itu dipagari beberapa lembaran
kain sari sehingga keadaan di sini tertutup dan teraling tak kelihatan
seorang gadis jelita berambut panjang sedang mandi di dalam empang.
Berat dan hampir berhenti napas Coh Liu-hiang. Dalam keadaan seperti
ini, malah tiada seleranya menikmati kecantikan seorang gadis, tapi gadis
telanjang dengan lekak-lekuk badannya yang berisi montok basah dengan
hiasan butiran-butiran air dipaparkan di depan mata, mau tidak mau
matanya jadi melotot dan tergerak hatinya.
Begitu indah tubuh semampai yang halus putih itu, di bawah pancaran
sinar sang surya yang mulai terbenam di ufuk barat, mirip benar sebentuk
patung dewi yang sempurna tiada cacatnya, butiran air yang berkilauan
kekuningan, berderet di atas jidatnya yang bidang terus mengalir turun ke
tengah dua bukit menonjol yang putih menyusul suara tawanya semerdu
kicauan burung senyaring kelintingan, tak ubahnya laksana ratusan kuntum
kembang mekar bersama.
Masih ada tiga empat gadis lainnya pula yang bersanggul berdiri berjajar
di pinggir empang, ada yang membawa handuk, ada yang membawa kain sari
panjang, ada pula yang membawa alat-alat mandi, mereka sama cekikikan
riang gembira, mereka bersenda gurau saling mendulang air dicipratkan ke
muka teman temannya.
Coh Liu-hiang yang baru saja keluar dari siksaan derita kekeringan di
tengah padang pasir, perut kelaparan, mulut kekeringan badan terlalu
letih, lolos dari mara bahaya lagi, mendadak terhadap adegan atau
tontonan yang begini mengasyikkan, sungguh sukar dia percaya atas
pandangannya sendiri bahwa dirinya sudah berada di kahyangan di sorga.
Dalam keadaan seperti ini Coh Liu-hiang lupa akan tugasnya, lupa apa yang
harus dia lakukan, lupa bahwa teman-temannya masih menunggu kabar di
gurun pasir sana.
Semula raut muka gadis mandi itu tertuju ke arah sana, kini kerlingan
matanya tiba tertuju ke arah tempat persembunyian Coh Liu-hiang, insaf
bahwa jejaknya sudah diketahui oleh orang. Gadis lain bila ketahuan ada
orang apalagi laki-laki dewasa sedang mengintip dirinya sedang mandi,
tentu menjerit dan lekas-lekas berusaha mengenakan pakaian, tapi gadis
ini mengerling, lambat-lambat dia malah berdiri dan tegak laksana
sekuntum kembang teratai yang baru saja mekar dan menongol dari
permukaan air. Muka Coh Liu-hiang serasa panas malah, sekilas ia melihat kesempurnaan
seluruh badan si gadis yang semampai dan montok itu, lekas sekali orang
sudah sembunyi dalam libatan kain sarinya yang panjang. Lalu memutar
badan ke arah Coh Liu-hiang, katanya kalem: "Orang yang mengintip itu
memangnya kau belum puas?" suaranya memang merdu dan halus mengalun,
seperti kicauan burung kenari, cuma logat bicaranya kedengaran rada kaku
dan sember, seperti gadis gunung yang baru saja belajar bahasa kota.
Diam-diam Coh Liu-hiang menghela napas dengan tertawa getir, dia lompat
turun dari pucuk pohon, selama hidupnya, boleh dikata belum pernah dia
mengalami keadaan serunyam seperti hari ini. Sungguh ia tidak suka kalau
dirinya disangka dan dimaki sebagai pemuda pemogoran yang mata
keranjang, lebih baik tak ia harapkan di dalam keadaan seperti ini dia
harus menemui dan berhadapan dengan gadis jelita bagai bidadari ini. Tapi
dia tak mungkin lari terpaksa ia keluar dengan mengeraskan kepala.
Dari atas ke bawah gadis ini mengamat-amati dirinya, sorot matanya yang
semula ditandai kobaran api dalam hatinya, lambat laun seperti berubah
menjadi tenang, katanya melompat kepada Coh Liu-hiang "Tidak kecil ya,
nyalimu, tidak kau melarikan diri."
Coh Liu-hiang unjuk tawa getir, sahutnya :" meskipun cayhe tidak sengaja,
tapi aku harus menyatakan penyesalan yang luar biasa, jikalau mau lari,
masakah tidak memalukan?"
Berkilat kerlingan mata si gadis, katanya: "Jadi kau mengakui salah dan
kemari mau terima hukuman?"
"Ya begitulah " Coh Liu-hiang mengiakan. Terunjuk senyuman geli pada
sorot mata si gadis, katanya pelan-pelan :" Kau berani mengakui kesalahan,
memang tidak malu kau jadi laki-laki sejati, tapi tahukan kau dosa apa yang
telah kau perbuat?"
Coh Liu-hiang menghela nafas, katanya "seharusnya nonapun harus
menutup sebelah sini dengan kain panjang itu."
Melotot lagi mata si gadis, semprotnya "kau mengintip aku mandi, memang
masih menyalahkan diriku?"
"Cayhe kemari tanpa sengaja, mana aku tahu bahwa di tempat ini ada
gadis jelita sedang mandi?"
"Kalau kau tahu?"
"Kalau aku tahu di sini ada seorang gadis secantik nona sedang mandi di
sini, tahu pula bila sebelah sini tidak tertutup dengan kain panjang"
"Memangnya kau tidak akan datang kemari?" tukas si gadis.
Coh Liu-hiang tertawa sahutnya: "seumpama kedua kaki ini putus, meski
merambat akupun akan kemari dengan merangkak."
Jawaban ini seketika membuat si gadis menjublek. Laki-laki keparat, mana
ada laki-laki yang punya muka begini tebal, tidak tahan malu dan punya
nyali besar" Sungguh mimpipun tak pernah terpikir olehnya ada laki-laki
yang berani bicara begitu dihadapannya.
Hatinya memang dongkol, tapi ia tak kuasa mengumbar amarahnya, ingin
tertawa, tapi ia tahan-tahan. Sebaliknya gadis-gadis disampingnya tertawa
cekikikan geli sambil mendekap mulut. Setelah tertawa baru mereka sadar
tidak pantas mereka tertawa. Serempak mereka menarik muka, dan
melotot marah, dampratnya: "Laki-laki yang bernyali besar, berani kau
bicara begituan terhadap Tuan Putri?"
"Tuan putri" panggilan ini sungguh membuat Coh Liu-hiang menjura,
katanya: "Sebetulnya Cayhe tak perlu berkata demikian, tapi sebagai lakilaki
sejati apalagi selama hidup aku tidak pernah berbohong!"
"Tak nyana diantara bangsa Han kalian ada juga laki-laki yang berani
bicara sejujurnya, aku pernah dengar, ditempat kalian itu orang yang
punya nyali bicara terus terang malah sering dipandang rendah dan hina
oleh orang lain."
Diam-diam Coh Liu-hiang menarik napas, sudah tentu diapun tahu bahwa
banyak manusia dalam dunia ini yang sering bermuka-muka dan bermulut
manis, yang suka bohong dan mengelabui orang dengan lidahnya yang lihai,
memang jarang ada orang yang suka menghargai orang yang mau bicara
jujur dan terus terang, mereka memang sering dipandang sebagai Siau-jin
'orang kecil'. Tapi Coh Liu-hiang hanya tertawa tawar, katanya: "Jadi
ditempat tuan putri ini, paling suka menghargai orang yang suka bicara
jujur dan terus terang?"
"Ya, begitulah!" sahut tuan putri.
"Kalau demikian seharusnya tuan putri memaafkan kesalahanku yang tak
disengaja ini."
Lama tuan putri ini menatap Coh Liu-hiang, tiba-tiba terkulum senyum
mekar di wajahnya yang cantik rupawan ini, katanya : "Mungkin bukan saja
aku menjatuhi hukuman kepadamu, malah kupandang kau sebagai tamu
agung, tapi ini harus kulihat dulu, kecuali keberanianmu tadi, apakah kau
memiliki suatu kepandaian yang lainnya?" lalu dengan jari tangannya yang
halus dan bening ia membetulkan letak rambutnya, katanya sambil
berputar badan :" Tadi karena kau tidak melarikan diri, sekarang bolehlah
kau mengikut padaku?"
Didalam perkemahan yang indah dan megah ini, tak henti-hentinya
terdengar irama musik dan gelak tawa yang riang gembira.Para busu yang
berjaga di luar kemah justru melotot seperti mata elang mengawasi Coh
Liu-hiang. Saat mana tuan putri yang cantik molek ini sudah langsung beranjak ke
dalam kemah dan sedang melambaikan tangan padanya.
Dengan tersenyum Coh Liu-hiang menepuk pundak kedua busu yang garang
ini, dengan langkah lenggang kangkung ia beranjak masuk. Sejak tadi dalam
hati diam-diam ia sudah persiapkan diri, betapapun bahaya yang menunggu
dirinya didalam kemah ini dia tidak akan kaget dibuatnya, didalam gurun
pasir yang kejam dan serba seram ini terhadap apapun yang bakal
dihadapinya, dia sudah mempersiapkan diri untuk menerima segala akibat
yang paling buruk.
Tapi didalam kemah ini, sedikitpun ia tidak mendapatkan tanda-tanda
sesuatu yang melambangkan keganasan dan mara bahaya, bahwasanya
didalam kemah ini boleh dikata sebagai tempat yang paling aman dan tak
mengenal mara bahaya di seluruh dunia.
Di luar kemah terbentang tanah rerumputan yang menghijau elok dan
empuk, didalam kemah sebaliknya justru dilapisi permadani yang puluhan
kali lebih empuk dan puluhan kali lebih elok dari sesuatu yang empuk dan
elok. Di atas permadani berjajar beberapa meja pendek, di atas meja ini
bertumpuk berbagai macam buah-buah, arak dan sayur mayur yang serba
lezat dan nikmat, beberapa orang yang mengenakan pakaian serba mewah
perlente sedang riang gembira mengelilingi meja-meja pendek itu, makan
dan minum sepuas-puasnya.
Yang kelihatan paling riang adalah seorang laki-laki jubah merah yang
mengenakan topi kebesaran berkilauan, bermuka lebar cambang bauk lagi,
dia duduk di atas kursi pendek yang tepat berada ditengah-tengah, tangan
kiri memegang cangkir emas, sementara tangan kanan sedang memeluk
pinggang seorang gadis cantik, serunya dengan tertawa riang :" Silahkan
kalian lihat, Pipop kongcu 'tuan putri pipop' setelah mandi, bukankah lebih
cantik molek?" sorot matanya berputar dan beralih kearah Coh Liu-hiang,
katanya pula dengan tertawa :" Tapi putriku yang baik, siapa pula tamu
yang kau bawa kemari ini" Kuingat disekitar sini sejauh ratusan li, tiada
seorang laki-laki yang lebih tampan seperti dia?"
Pipop kongcu unjuk tawa manis, selincah burung walet ia menghampiri
ayahnya dan duduk disampingnya dengan membungkukkan badan, dia
berbisik-bisik dipinggir telinga ayahnya. Mendengar entah apa yang
dikatakan putrinya, laki-laki jubah merah itu manggut-manggut, sorot
matanya tetap berputar-putar mengawasi Coh Liu-hiang, memang roman
mukanya mengulum senyum mekar, tapi sorot matanya mengandung wibawa
besar yang menundukkan hati orang lain.
Dengan tersenyum Coh Liu-hiang balas menatap orang, hatinya ikut riang,
terasa olehnya arak di sini cukup wangi, sayur mayurnya lezat, gadis-gadis
disinipun sama elok dan mungil, orang jubah merah ini kelihatannya pasti
bukan orang jahat.
Sekonyong-konyong empat batang tombak gantolan tanpa suara menusuk
datang dari belakang punggungnya. empat batang tombak gantol, dua di
atas dan dua di bawah, masing-masing panjangnya dua tombak, bagi busu
yang bersenjata tombak gantolan umumnya berkepandaian rendah, tapi
bertenaga raksasa, tusukan tombak gantolan ini laksana ular beracun
menerjang keluar dari sarangnya.
Seorang yang tiga hari tak pernah berkenalan dengan sebutir nasi dan
minum setetes air, ingin berkelit dari bokongan keji dan telengas seperti
ini boleh dikata tak mungkin terjadi, tragedi mengenaskan dengan banjir
darah agaknya bakal terjadi, tapi orang-orang yang duduk berjajar makan
minum itu, satupun tak ada yang melirik ke arah sini. Seolah-olah perduli
kejadian apapun, takkan bikin hati mereka tertarik.
Hanya biji mata tuan putri Pipop saja terbelalak lebar, dengan jelas ia
melihat keempat ujung tombak gantolan itu hampir sudah mengenai
punggung Coh Liu-hiang, sedikitpun Coh Liu-hiang tidak memberikan reaksi
apa-apa, serta merta sorot matanya mengunjuk rasa ngeri, gugup dan
menyesal, tubuh yang semampai itupun bergegas hendak bangkit dan
terhuyung. "Creng," terdengar benturan senjata keras yang nyaring berkumandang
menusuk telinga. Coh Liu-hiang tetap berdiri di tempatnya tanpa
bergeming, juga tidak berpaling, tapi entah apa yang terjadi, ke empat


Rahasia Ciok Kwan Im Pendekar Harum Seri Ke 2 Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ujung tombak gantolan itu, tahu-tahu sudah terkempit di bawah ketiaknya.
Ke empat busu itu sampai terperosok ke depan dan saling bertumbuk,
saking kuat getarannya, tangan mereka tak bisa terangkat lagi.
Limaorang yang duduk makan minum di pinggir meja itu baru sekarang
bersama angkat kepala mengawasi Coh Liu-hiang, sorot mata mereka
menunjukkan rasa keheranan. Sementara laki-laki jubah merah itu sudah
bertepuk tangan dan memuji : "Kepandaian bagus. Memang hebat
kepandaianmu! Putriku memang tidak salah pandang."
Berkata Coh Liu-hiang dengan tawar : "Tapi Cayhe justru salah lihat
orang, sungguh Cayhe tidak menduga bahwa tuan seorang yang pandai
membokong orang lain."
Laki-laki jubah merah itu terbahak-bahak, serunya : "Jangan kau salahkan
aku, kejadian itu tiada sangkut pautnya dengan aku," lalu ditariknya tangan
tuan putri Pipop, sambungnya dengan tertawa : "Putriku inilah yang ingin
mencoba kau, katanya asal kau bisa terhindar dari sergapan ini, kau adalah
tamu agungnya."
Pipop kongcu tersenyum manis, selanya : "Bagaimanapun juga, kau sudah
berhasil meluputkan diri, itu terhitung kau sebagai tamu agungku, seorang
tamu tidak pantas marah kepada tuan rumah bukan?"
Coh Liu-hiang menghela napas, katanya tertawa : "Memang Cayhe tidak
patut marah."
Seorang laki-laki yang duduk di sebelah kiri berwajah pucat, berbaju
hijau dan berhidung melengkung seperti paruh burung, tiba-tiba berkata
dengan menjengek dingin : "Saudara hebat benar kepandaianmu. entah
tokoh sakti darimana kau?"
Coh Liu-hiang mengelus hidung, sahutnya tertawa : "Cayhe Lau Hiang,
tidak lebih hanya seorang keroco tak bernama."
"O?"." Laki-laki baju hijau bersuara lesu, badannya kembali rebah,
melirikpun tidak kepada Coh Liu-hiang. Memang nama 'Lau Hiang' biasa dan
tabu, dia merasa tak perlu dirinya ikat hubungan atau berkenalan dengan
orang yang tak bernama.
Tapi sejak tadi Pipop kongcu selalu mengawasi Coh Liu-hiang, kembali ia
unjuk tawa manis dan berkata : "Kalau kau sudah diterima sebagai tamu
agung disini, kenapa tidak mau duduk?"
"Kalau Cayhe berdiri, nyaliku rada besar," ujar Coh Liu-hiang tertawa.
Pipop kongcu cekikikan, katanya : "Jikalau tadi kau merasa kaget,
bagaimana kalau sekarang kuberi sekedar hiburan?" lalu dia bersimpuh,
seorang gadis sudah mengangsurkan sebuah rebab kepadanya, terus
diletakkan di atas kedua pahanya, dimana jari-jarinya bergerak halus
gemulai. Seketika mengalun irama harpa nan merdu mengasyikkan, seperti
dewi kahyangan sedang menari, laksana mutiara berdering di atas piring
pualam. Seluas alam semesta di sekeliling oase ini tak terdengar suara
apapun kecuali petikan lagu-lagu yang kumandang dari senar-senar rebab.
Sejak dinasti Tong, tak sedikit jumlah tokoh ahli seni musik yang suka
menggunakan rebab lurus berdiri, kalau dipetik senarnya harus dipeluk
didepan dada, lain justru cara Pipop kongcu ini memainkan rebabnya, orang
justru merebahkan rebabnya di atas kedua lututnya, semula Coh Liu-hiang
tidak mengharap bisa mendengarkan petikan lagu-lagu dari rebab yang
mengasyikkan ini. Saking asyiknya hampir saja dia kehilangan semangat,
lupa lapar, lupa dahaga dan penat, lupa segalanya. Setelah irama rebab
berhenti, dia masih terlongong tanpa bergerak.
"Bagaimana?" tanya Pipop kongcu tertawa lebar.
Coh Liu-hiang tersentak sadar oleh pertanyaan ini, katanya menghela
napas : "Tak nyana di tanah gersang nan jauh ini, aku masih sempat
mendengar suguhan yang luar biasa."
"Kenapa harus dibuat heran?" ujar laki-laki jubah merah, "Seni rebab
memang berasal dari sini, terus diajarkan ke tanah bangsa Han kalian."
"O".?" Coh Liu-hiang bersuara dalam mulut.
Tanya laki-laki jubah merah : "Pernahkah dengar nama Soh-ci-po!"
Coh Liu-hiang mendadak maju selangkah dan berdiri tegak, katanya
dengan hati bergetar : "Apakah tuan ini Kui-je-ci-ong?"
Bersinar tajam mata laki-laki jubah merah, serunya sambil mengelus
cambang bauknya :" Akhirnya kau tahu juga siapa aku, sungguh aku nyana
hari ini seni rebab yang asli kebentur kepada seorang ahli, mari, mari, mari
biar ku suguh tiga cangkir kepadamu."
Sekonyong-konyong terdengar seseorang berkaok-kaok di luar: "Ulat
busuk! Dimana kau?" disusul suara bentakan dan caci maki yang riuh
rendah, disusul suara jeritan kesakitan dan suara sesuatu yang tercebur
ke dalam air. Coh Liu-hiang tahu pasti ada orang yang dibuang masuk ke
dalam air oleh Oh Thi-hoa.
Laki-laki baju hijau bermuka pucat penyakitan itu mendadak bangkit,
katanya mengerut alis : "Siapa bernyali besar berani bertingkah di sini,
biar kulihat."
"Sungguh maaf, itulah temanku," lekas Coh Liu-hiang berkata.
Dari atas ke bawah dan sebaliknya laki-laki baju hijau ini mengamati
dirinya sekian lamanya, akhirnya pelan-pelan orang itu duduk kembali di
tempatnya. Kui-ji-ong tertawa pula katanya : "Keledai bagus takkan tercampur dengan
kuda jelek, temanmu itu tentunya seorang seniman pula, silahkan mereka
masuk saja!"
Sebaliknya Pipop kongcu tertawa sambil mendekap mulut, katanya : "Kelak
kau harus beritahu padaku, kenapa orang lain panggil kau ulat busuk?"
Walau Oh Thi-hoa sudah melempar dua busu yang berpakaian lengkap itu
ke dalam air, serta menghajar tiga orang lain sampai mata biru hidung
keluar kecap, tapi hatinya masih merasa penasaran. Dia merasa kali ini Coh
Liu-hiang terlalu tidak setia kawan. Seorang diri dia makan minum di sini,
orang lain sebaliknya harus berjuang mengadu nasib, kuatir bagi
keselamatannya lagi. Setelah beberapa cangkir arak masuk ke dalam
perutnya, terhitung terlampias rasa dongkolnya, terutama dihadapi gadis
cantik rupawan yang meladeni dirinya minum arak ini, begitu elok dan
mungil sehingga dia merasa terlalu kasar bila mengumbar marah di sini.
Sekarang Coh Liu-hiang sudah tahu, orang-orang macam apa saja yang
duduk berkerumun makan minum di sini, kelima orang ini adalah tokohtokoh
yang cukup tenar dan dijunjung tinggi tingkatnya di kalangan kang
ouw. Tiga orang yang duduk disebelah kiri, kiranya adalah dua bersaudara dari
keluarga Go Yu Hong-kiam yang kenamaan, seorang lagi adalah begal
tunggal yang menggoyahkan daerah dua sungai gede Suicu Lin-che adanya.
Laki-laki baju hijau yang pucat pasi itu, namanya lebih tenar dan
tingkatannya lebih tinggi, dia bukan lain adalah Sat-jiu-bu-ceng tangan
gagah tak kenal kasihan Toh Hoan yang terkenal kejam dan suka membuat
pusing kepala kawan-kawan dari aliran putih dan hitam. Rekor orang ini
dalam membunuh, konon jarang ada bandingannya, orang lain pandang
dirinya laksana ular dan kalajengking, dia sendiri merasa bangga dan
pongah. Tapi setelah mengenal orang ini, mau tidak mau berkerut alis Coh
Liu-hiang. Cuma seorang lagi yang duduk disamping Toh Hoan bernama Ong Tiong,
mukanya seperti berpenyakitan, tak punya semangat selalu lesu dan
ngantuk, juga kelihatannya raut mukanya takkan mengejutkan orang,
namanya pun tak begitu terkenal. Tapi Coh Liu-hiang justru merasa
pandangannya rada lain terhadap orang ini.
Setelah satu persatu perkenalkan beberapa orang ini, Kui-je-ong angkat
cangkir dan katanya pula: "Siau-ong tiada hobi apa-apa, selama hidupku
cuma suka menjamu tamu, kelima orang ini adalah tamu agungku yang ku
undang dari tempat jauh. Tentunya kalian bertiga pernah mendengar
ketenaran nama mereka."
Oh Thi-hoa tertawa besar, katanya :" Ketenaran nama-nama saudarasaudara
ini, memang sudah lama kudengar, silahkan ku suguh secangkir
kepada kalian." Bahwasanya sedikitpun ia tidak kagum dan belum pernah
mendengar nama mereka, tak lain dia hanya cari kesempatan untuk minum
lebih banyak. Kui-je-ong mengawasi Ki Ping-yan, katanya : "Sekarang hanya nama besar
saudara saja yang belum kuketahui."
"Ki!" jawaban Ki Ping-yan cekak aos, kepalapun tak terangkat.
"Namamu?" tanya Kui-je-ong pula.
Kali ini Ki Ping-yan sepatah katapun tak menjawab, cuma dengan jari
tangannya ia menulis dua huruf ditengah udara, seperti orang main sulapan
saja, siapapun tak ada yang melihat jelas apa yang dia tulis.
Sela Oh Thi-hoa : "Kepandaiannya yang utama memang tutup mulut tak
bicara." Berkilat mata Kui-je-ong, tanyanya :
"Lalu tuan?" segera dengan tertawa ia menambahkan : "Selama hidup
Siau-ong paling senang berkenalan dengan orang-orang yang berkepandaian
tinggi dalam ilmu silat, tadi temanmu ini sudah mendemontrasikan
kepandaiannya, jikalau tuan punya minat supaya mata Siau-ong terbuka,
sungguh Siau-ong teramat girang."
"Cayhe sudah kenyang minum arak Ongya, adalah pantas kalau
kutunjukkan permainan untuk menghibur Ongya. Cuma sayang kecuali
minum arak, Cayhe hanya punya tenaga kasaran belaka."
Semakin girang Kui-je-ong, serunya bertepuk : "Bagus, bagus kiranya tuan
seorang yang punya tenaga raksasa," lalu tapak tangannya bertepuk
beberapa kali, dari belakang kemah segera muncul keluar seorang laki-laki
besar berkepala gundul, telanjang badan bagian atasnya dan bercelana
pendek ketat yang dihiasi sulaman benang emas.
Selama hidup tak sedikit Oh Thi-hoa pernah melihat laki-laki yang
bertubuh tinggi kekar, dia sendiripun berperawakan besar, tapi dibanding
dengan laki-laki itu, dirinya seperti anak kecil. Kecuali patung tembaga
didalam kuil, atau raksasa dalam dongeng bergambar yang membendung
banjir, sungguh tak pernah terpikir olehnya, dalam dunia ini ada laki-laki
raksasa seperti ini gedenya.
Kui-je-ong tertawa, ia memperkenalkan: "Inilah laki-laki kasar dari negeri
kami Gunial, bawaannya hanya tenaga kerbau yang kasaran, kuharap kau
suka menaruh belas kasihan, memberi kelonggaran kepadanya."
Mengawasi sekujur badan laki-laki raksasa yang bernama Gunial dengan
daging ototnya yang meringkel keras seperti dibuat dari besi baja ini,
diam-diam dingin bulu kuduk Oh Thi-hoa, katanya keras: "Apa Ongya ingin
supaya aku adu tenaga dengan dia?"
Kui je-ong manggut sambil tersenyum, lalu bicara beberapa patah dengan
bahasa negri mereka kepada Gunial, laki-laki raksasa ini lantas unjuk
seringai lebar kepada Oh Thia-hoa dengan langkah berat, lekas dia datang
menghampiri. Oh Thi-hoa menghela napas, katanya kepada Coh Liu-hiang: "Tahu begini,
lebih baik aku tidak minum arak saja." belum habis ia bicara tapak tangan
laki-laki raksasa segede kipas itu, sudah terjulur kepadanya. Tak tahan
geli Toh Hoan terpingkal-pingkal di pinggiransana . Setiap kali melihat
orang lain dihajar dan tersiksa, dia mata senang dan terbuka hatinya, lainKoleksi
Kang Zusi lain hadirinpun jadi ketarik. Cuma Ki Ping-yan sejak tadi sibuk gegares
hidangan dihadapannya. Cara makannya cukup sopan, kalem dan lahap, tapi
sejak duduk tadi sampai sekarang mulutnya belum berhenti bekerja.
Tampak seperti burung elang menggondol anak ayam saja, laki-laki raksasa
ini menarik Oh Thi-hoa dari tempat duduknya, tangan kiri Oh Thi-hoa
masih sibuk menuang arak ke dalam mulutnya, mulut menggumam: "Kalau
kalian ingin aku konyol, biarlah aku menarik kembali modalku sekalian!"
Tatkala itu Ganial sudah menurunkan badannya, kedua tapak tangan orang
segede kipas itu pegangi kedua pundaknya terus menekan ke bawah. Orang
lain mengira seumpama tulang-tulang Oh Thi-hoa tidak tertekan sampai
remuk, paling tidak badannya bakal digencet menjadi pendek, maka
terdengarlah "Blang" disusul suara gaduh gedobrakan dan "Bluk", itulah
suara seseorang yang terbanting roboh diatas tanah. Suara gaduh adalah
pecah belah dan meja yang tertindih hancur berantakan. Tapi yang roboh
bukan Oh Thi-hoa tapi sebaliknya laki-laki raksasa itu sendiri.
Ternyata waktu orang kerahkan tenaga menindih ke bawah, tahu-tahu ia
menekan tempat kosong, badan Oh Thi-hoa selicin belut selincah kera,
tahu-tahu membelesat ke belakang badan orang, sekali dorong seperti
tangannya hanya menempel punggung orang saja, laki-laki raksasa seberat
tiga ratusan kati ini kontan terjungkal roboh terjerembab, sampai cangkir
di atas meja di depan Kui-je-ong mencelat jatuh.
Sudah tentu bukan Oh Thi-hoa yang berhasil mendorong roboh lawannya,
adalah tenaga laki-laki raksasa ini sendiri yang merobohkan diri sendiri,
tidak lebih Oh Thi-hoa hanya sedikit mendorong saja. Penggunaan tenaga
secara tepat dan kebetulan, dinamakan Su-liang-poa-jian-ki, 'empat tahil
punahkan tenaga ribuan kati', kalau dikatakan memang amat gampang, tapi
dalam pelaksanaannya justru tidak boleh berlaku lambat-lambat atau ayal,
penggunaan tenagapun harus pas-pasan dan telak lagi demikian juga
waktunya harus tepat dan persis.
Maklum bila Oh Thi-hoa menyingkir terlalu cepat, kekuatan si raksasa
tidak akan menindih ke bawah, Oh Thi-hoa pun takkan berhasil
mendorongnya roboh dari belakang. Sebaliknya kalau Oh Thi-hoa sedikit
terlambat menyingkir, selamanya jangan harap dia akan bisa kelayapan
dengan jalan kaki, apakah dia masih bisa merangkak" Itu tergantung
nasibnya sendiri.
Mendelong Kui je-ong, menarik putrinya dia bertanya berbisik: "Apakah
itupun kepandaian asli?"
Pipop kongcu tertawa berseri sahutnya: "Tipu yang bisa bikin Ganial
roboh, mana bisa bukan kepandaian asli?"
Kui-je-ong segera tepuk tangan sambil tertawa ngakak serunya:
"Pahlawan. Sungguh perkasa. Biar Siau-ong suguh secawan kepadamu."
"Secawan?" seru Oh Thi-hoa menyeringai.
"Masa tidak patut mendapat t
Pukulan Naga Sakti 11 Golok Yanci Pedang Pelangi Karya Gu Long Bentrok Rimba Persilatan 14
^