Pencarian

Rahasia Ciok Kwan Im 3

Rahasia Ciok Kwan Im Pendekar Harum Seri Ke 2 Karya Gu Long Bagian 3


iga cawan?" dengan langkah gontai ia datang
menghampiri, sedikitpun tidak disadarinya bahwa laki-laki raksasa tadi
sudah merangkak berdiri, orang sudah memburu tiba di belakangnya, baru
saja Oh Thi-hoa menerima secawan arak dari tangan Kui je-ong sekali
cengkaram Ganial sudah pegang ikat pinggangnya seluruh badannya ia
jinjing gemandul ditengah udara.
Mata Kui-je-ong mendelik lempang, teriaknya, "Arakitu amat bagus
anugrah Ongya, kau banting hancur badanku tidak menjadi soal jangan
sekali-kali kau bikin arak ini tumpah lho!"
Dengan pongah kesenangan, laki-laki raksasa menjinjing badannya tinggitinggi
sambil berjalan putar dua lingkaran, bukan saja dia tidak tergesagesa,
Coh-Liu hiang, Ki Ping-yang kelihatan adem-ayem.
Bersinar biji mata San-jiu bu-ceng Tong Hoan katanya sambil menghela
napas: "Banting! Banting yang keras, sampai hancur lebur tak menjadi
soal!" Bukan saja hobi membunuh manusia sudah menjadi watak orang ini,
melihat orang membunuh jiwa orang lainpun, dianggapnya sebagai tontonan
yang menarik. Setiba dihadapan Kui-je-ong, laki-laki raksasa tiba-tiba menggembor
laksana singa mengaum badan Oh Thi-hoa diangkat lebih tinggi sedikit
terus dibanting sekenanya kearah tanah didepannya, lekas Kui je-ong
menutup kedua kuping seta pejamkan mata, jeritnya: "Ringan sedikit!
Jangan sampai menakutkan hatiku."
Dia kira seumpama Oh Thi-hoa kali ini tidak dibanting sampai hancur
lebur, tulang-tulang badannya pastilah protol, seluruhnya mungkin pula
batok kepalanyapun remuk. Maka terdengar pula sekali jeritan keras
disusul suara gedebukan yang menggetarkan bumi.
Batok kepala Oh Thi-hoa bukan saja masih tumbuh segar bugar di atas
lehernya, tulang-tulang tubuhpun tidak protol, orang berdiri tegak di
tempatnya tetap utuh dan tersenyum senang, arak dalam cawan dipegangi
sejak tadi setetespun tiada yang tercecer keluar.
Sebaliknya laki-laki raksasa itu kembali roboh dan rebah tengkurap,
bergerakpun tak bisa lagi.
Seperti tak pernah terjadi apa-apa. Oh Thi-hoa melirikpun tidak kepada
orang, katanya berseri tawa: "Secawan arak ini, sekarang barulah bisa
kuhirup dengan nikmatnya" cawan diangkat arakpun ditenggak sekali jadi
lalu katanya menghela napas: "Memang arak bagus, sayang terlalu sedikit."
Dengan mata mendelik Kui-je-ong berkata berbisik: "Apakah yang
terjadi" Apakah kesatria ini bisa main sulapan?"
"Ini bukan sulapan, inipun kepandaian sejati." sahut Pipop-kongcu.
"Kepandaian apakah itu?"
"Tadi waktu Ganial kerahkan tenaga hendak membanting, kesatria ini
lantas mengoprol di pergelangan tangannya, kekuatannya seketika sirna
tak berbekas, dengan ringan kesatria ini lantas melompat turun, melejit ke
belakangnya cuma sedikit sorong cara turun tangan kesatria ini memang
teramat cepat dan mengejutkan oleh karena itu orang lain hakikatnya
tidak menlihat jelas cara bagaimana Ganial kena dirobohkan oleh dia."
tutur katanya lincah enteng, cepat dan menarik, bukan saja Coh Liu-hiang,
Ki Ping-yan sedang sama memperhatikan dia, Oh Thi-hoa pun datang
menghampiri katanya sambil menghormat: "Terima kasih akan pujian tuan
putri, tajam benar pandangan mata tuan putri!"
Kui-je-ong menarik tangan Pipop-Kongcu, serunya tertawa besar: "Kalau
kau sudah melihat kehebatannya, kenapa tidak kau hatur secangkir arak
kepadanya."
Pipop-kongcu tersenyum dengan menggigit bibir, segera ia menuang
secangkir arak terus diangsurkan ke depan Oh Thi-hoa, hampir saja mulut
Oh Thi-hoa tak bisa terkatup saking kesenangan, serunya: "Tuan putri
memberi arak jangan kata cuma secangkir, umpama segentong pun,
sekaligus akan kuhabiskan."
Baru saja ia ulur tangan hendak menerima cangkir arak itu, sekonyongkonyong
seseorang menjengek dingin: "Araksecangkir itu Cahye pun ingin
meminumnya." ditengah suara ucapannya, seseorang melangkah maju pelanpelan,
ternyata Sat ju-bu-ceng Toh Hoan itu.
Oh Thi-hoa awasi orang, katanya tertawa: "Jikalau kau ingin minum arak,
disana masih banyak."
Toh Hoan menyeringai sinis, katanya: "Arakyang ingin Cayhe minum adalah
secangkir itu saja."
Oh Thi-hoa tertegun, katanya: "Apakah secangkir arak itu terlalu wangi?"
"Benar, arak yang dituang oleh jari-jari tuan putri sudah tentu amat
wangi." Sesaat lamanya Oh Thi-hoa mengamat-amati muka orang katanya geli:
"Aku paham sudah, kau bukan ingin minum arak, tujuanmu ingin mencari
gara-gara dengan orang lain."
Toh Hoan mengawasinya dengan menyeringai dian, orang tidak mengiakan
juga tiak mungkir.
"Kalau kami berdua sama-sama ingin minum secangkir arak ini, bagaimana
menurut kau?"
"Jikalau kau bisa membuatku tersengkelit jatuh, bukan saja aku tidak
akan minum arak itu malah aku berlutut dan memanggilmu Cocong 'kakek
moyang' tiga kali. Kalau sebaliknya, kau harus memanggil kakek tiga kali"
Oh Thi-hoa menarik napas, katanya seperti menggumam: "Kenapa orang
lain minum arak dengan ongkang-ongkang aku ingin minum harus dirintangi
dan mendapat kesukaran malah. Baiklah! Boleh kami coba-coba cuma, orang
segede dan setua kau ini kalau sampai memanggilku Cocong, aku jadi rikuh
dan risi!"
Suasana dalam perkemahan itu sontak menjadi tegang, sudah tentu jauh
lebih tegang dari keadaan pertandingan Oh Thi-hoa melawan Ganial tadi,
karena semua hadirin tahu ditengah-tengah kedua alis Toh Hoan sudah
diliputi hawa hitam, napsu membunuh sudah mengkhayati hatinya. Semua
hadirin tahu, pertandingan kali ini bukan adu kekuatan main-main saja, tapi
adu kekuatan dengan pertaruhan jiwa.
Dengan berbisik berkata KiPing -yan kepada Coh Liu-hiang: "Sudah lama
kudengar Sat jiu-bu-ceng Toh Hoan ini terlalu kejam dan bertangan gapah,
wataknyapun terlalu licik dan telengas, lebih baik kau sedikit memberi
bantuan kepada Oh Thi-hoa."
"Tak apa-apa", sahut Coh Liu-hiang. "setan arak ini belakangan memang
sedang tenggelam dalam gentong arak, tapi kepandaiannya tidak pernah
dilalaikan."
Tampak Toh Hoan berdiri sambil menggendong kedua tangan, tegak
berdiri disana dengan acuh tak acuh, tapi seperti menantang, raut
mukanya membesi hijau, matanya menyorotkan sinar hijau berkilauan
menatap Oh Thi-hoa, jengeknya dingin: "Biar aku berdiri disini tanpa
bergerak, masakan tuan tak berani kemari?"
Oh Thi-hoa cengar-cengir, ujarnya: "Kau ingin cara bagaimana aku
menyengkelit kau" Kau ingin terjengkang ke depan" Atau terlentang ke
belakang?"
"Umpama kau mampu bikin badanku terbungkuk sedikit saja, anggap saja
kau yang menang."
"Masa kau tak membalas?"
"Ingin kulihat mampukah kau menjegalku roboh, bukan maksudku menjegal
kau." "Baik, begitu saja!" dengan kalem selangkah demi selangkah ia maju
menghampiri. Yu-liong kiam bersaudara dari keluarga Go, Sutou Liu-che
dan lain-lain sama mengunjuk belas kasihan dan sayang, mereka seperti
berpendapat begitu Oh Thi-hoa maju menghampiri, jiwanya bakal tamat
dikerjai oleh Toh Hoan, hanya Ong Tiong saja tetap bersikap acuh tak
acuh dan tak bersemangat. Membuka matapun rasanya malas.
Sembari menghampiri, mulut Oh Thi-hoa menggerutu: "Awak sendiri tak
bergerak terserah lawan menjegalnya sampai roboh sesuka orang, begini
menguntungkan, sungguh jarang kutemui dalam dunia ini, agaknya arak ini
jelas bakal jadi milikku."
Setelah lengan baju dicincang, tangannya segera terulur meraba pundak
Toh Hoan, gaya dan kelakuannya ini mirip benar dengan Ganial waktu
menekan dirinya tadi, cuma badannya tidak segede Ganial, kedua tangan
tidak mampu menindih ke bawah, terpaksa hanya mendorong ke belakang,
dengan kedua tangan mendorong ke depan berarti dadanya terbuka lebar.
Tiba-tiba ujung mulut Toh Hoan menyeringai sadis, katanya: "Locu tak
bergerak biar kau dorong, mana ada urusan begitu sepele dan
menguntungkan dalam dunia ini, bukankah kau sedang ber?" waktu
melontarkan kata-kata pertama, tangan kanannya tahu-tahu sudah terulur
ke depan segesit ular sanca, langsung menjojoh kepada Oh Thi-hoa yang
terbuka lebar, ditengah cahaya pelita yang terang benderang, semua orang
melihat jelas jari-jari tangannya berkilauan hitam.
Ternyata kelima jarinya masing-masing mengenakanlima buah cincin hitam
yang mengkilap, dilihat dari cahaya hitam mengkilap yang jelek itu, terang
cincin-cincin baja itu telah dilumuri racun yang teramat jahat dan
membunuh jiwa orang seketika.
Caranya turun tangan ternyata amat cepat dan keji, bukan saja dada Oh
Thi-hoa terbuka lebar, malah seluruh badannya seolah-olah berada
didalam pelukan orang, mandah dihajar orang tanpa bisa berbuat apa-apa.
Pengalaman tempur Yu liong-kiam, Sutou Liu-che sebagai tokoh-tokoh
Bulim cukup luas kini mereka berpendapat Oh Thi-hoa sekali-kali takkan
selamat lagi jiwanya.
Coh Liu-hiang sendiripun tak urung menjerit: "Awas tangannya."
Dalam sekejap itulah, tampak kedua tangan Oh Thi-hoa yang memegang
kedua pundak Toh Hoan, secepat kilat tiba-tiba menepuk ke tengah, "plak"
seperti menepuk lalat terbang tangan Tong Hoan mirip lalat itu, dengan
telak pergelangan tangannya tergencet kencang oleh tapak tangan Oh Thihoa,
sedikitpun tak mampu bergeming.
Mulut Toh Hoan sendiri sedang berkata "bukankah sedang ber" dan belum
lagi sempat mengucapkan kata-kata "mimpi", maka terdengarlah suara
'krak' yang keras, pergelangan tangannya tahu-tahu sudah tergencet
remuk dan putus.
Selincah capung badan Oh Thi-hoa tahu-tahu sudah melayang mundur,
katanya tertawa: "Kukira tangannya ini sudah terlalu letih kebanyakan
membunuh orang, biarlah dia istirahat selamanya saja."
Toh Hoan kertak gigi, sedikitpun tak mengeluarkan keluhan, tapi mukanya
pucat lesi, badannya terhuyung-huyung dan akhirnya jatuh semaput.
Semua hadirin dalam perkemahan tiada seorangpun yang tak kaget dan
melongo heran, baru sekarang mereka tahu bahwa ilmu silat Oh Thi-hoa
ternyata teramat tinggi, tiada seorangpun yang melihat jelas barusan cara
bagaimana orang bertindak, dua bersaudara dari keluarga Go memang
melihat tangannya bergerak, tapi mereka tidak bisa membedakan ilmu apa
dan dari aliran mana kepandaian orang, begitu telak dan hebat lagi.
Ong Tiong yang sejak tadi bermalas-malasan tapi kini tiba-tiba menggeliat
terus bangun berdiri, serunya dengan mata terbuka lebar: "Jurus Tiap
siang-hui yang bagus sekali, apakah tuan ini Hoa ou-tiap 'Kupu kembang'
yang sepuluh tahun lalu terkenal bersama si Maling Kampiun Coh Liu-hiang
dengan julukan "Siau-siang to-hiap" itu"
Sekilas Oh Thi-hoa melengak, sesaat ia tatap muka orang, katanya
tertawa : "Kupu-kupu kembang itu sudah tenggelam dalam gentong arak
selama sepuluh tahun, ternyata tuan masih tetap mengenalnya."
Kata-kata ini sekaligus sebagai jawaban pula, keruan Go keh-heng-te dan
Sutou Liu-che sama terbelalak dan menciut hatinya. Sebaliknya Ong Tiong
menghela napas, katanya tertawa kecut:
"Oh Thi hoa" Hoa-ou-tiap" sejak tadi seharusnya Cahye sudah mengenali
kau." "Tapi sampai detik ini aku sebaliknya belum kenal siapakah sebetulnya kau
ini?" Ong Tiong mandah tertawa-tawa, kelihatannya tertawa sedih dan pilu,
katanya: "Nama rendahku tak perlu kusebut-sebut, cuma?" kini matanya menatap
kepada Coh Liu-hiang, katanya lebih lanjut: "Kalau tuan ini adalah si Maling
Kampiun yang menggetarkan dunia itu, Cahye sungguh punya mata tak tahu
gunung Thaysan di depan mata."
Hadirin kembali ribut dan bergetar sanubarinya lebih kaget dari tadi.
Coh Liu-hiang cuma tersenyum ewa saja, katanya: "Apakah yang berada
disamping Kupu kembang, selalu pasti Coh Liu-hiang si Maling Kampiun itu?"
Bercahaya sorot mata Ong Tiong, katanya: "Meskipun pengetahuan Cayhe
amat cetek, tetapi aku tahu belibis dan kupu sebagai sepasang sayap
pembantu, bau kembang harum memenuhi dunia. Dulu disamping kiri Coh
Liu-hiang ada Hwi-yan "Ki Ping-yan", sebelah kanan ada jay-tiap 'Oh Thihoa'
malang melintang hina kelana?" mendadak ia tertawa lebar dan
mengganti pembicaraannya: "Tapi ucapan tuan memang tidak salah, ketiga
orang ini kini sudah berpisah menuju arahnya masing-masing, sudah tentu
belum tentu tuan Coh Liu-hiang adanya, demikian pula tuan yang ini belum
tentu Kian sian-sing Ki Ping-yan adanya."
"Tak kira tuan amat apal dan tahu benar tentang seluk beluk mereka
bertiga, apakah tuan kenal satu diantara ketiga orang itu?" tanya Coh Liuhiang.
Ong Tiong menghela napas, katanya tertawa getir: "Bajingan Kang-ouw
seperti aku mana ada rejeki bisa bertemu dengan naga dan burung hong?"
Selama ini biji mata Kui-je-ong berputar dari satu kemuka orang yang lain,
kupingnya pun dengan seksama mendengar percakapan mereka, kini
mendadak ia bergelak tertawa, serunya: "Perduli siapa sebetulnya tuantuan
ini, kepandaian kalian sudah Siau-ong saksikan dan memang
mengagumkan, hari ini Siau-ong bisa berkumpul sama tuan sekalian disini,
mari Siau-ong keringkan dulu tiga cangkir sebagai selamat datang."
Oh Thi-hoa tertawa, ujarnya: "Tapi arak pemberian tuan putri, Cayhe
harus menenggaknya dulu baru merasa lega."
Pipop-kongku tertawa lebar, belum lagi ia bicara, tiba-tiba terlihat
seorang busu berseragam lengkap buru-buru berlari masuk langsung ke
samping Kui-je-ong dan menunduk berbisik beberapa patah kata.
Bukan saja sikap Busu ini tergopoh-gopoh, malah tatakrama menghadapi
junjunganpun sudah dilupakan sama sekali, setelah mendengar laporan Busu
ini, tampak roman muka Kui-je-ong berubah.
Ki Ping-yan batuk-batuk kering, mendadak ia berdiri sambil berkata:
"Cayhe beramai dalam perjalanan yang meletihkan beberapa hari daging
dan arak sudah masuk perut, matapun sudah terbuka lagi, entah sudikah
Ongya meminjamkan tempat istirahat, supaya kami bertiga sempat tidur
melepaskan lelah?"
Kui-je-ong kembali kemimik semula, katanya tertawa: "Sudah tentu boleh,
umpama kalian bertiga hendak segera berangkat, Siau ong akan berusaha
menahan kalian tinggal beberapa lama di sini." bukan saja tawanya tawa
paksaan, suaranyapun gemetar dan maksud kata-katanya mengandung arti
yang mendalam. Dalam perkemahan lainnya yang tak kalah megahnya, Oh Thi-hoa sendang
memegangi sebuah cangkir arak, kaki tangannya terjulur rebah di atas
kulit binatang yang empuk, katanya setelah menghela napas panjang:
"Urusan dunia ini memang amat aneh, kemarin malam seperti anjing
meringkel di dalam galian pasir yang dingin dan lembab, malam ini kami
sudah menjadi malaikat."
Ki Ping-yan menanggapi dengan dingin: "Kau kira tempat ini amat nyaman?"
"Kau bisa menemukan tempat yang lebih nyaman dari ini, aku kagum
kepadamu."
"Dalam pandanganku bukan saja tempat ini tidak nyaman, malah diliputi
kesulitan."
Oh Thi-hoa bergegas bangun, katanya mendelik: "Adakesulitan apa?"
"Katakan dulu, kenapa Kui-ji-ong tak berada di negeri sendiri, hidup
senang foya-foya didalam istananya, malah membawa sedemikian banyak
pengikutnya menyepi ditempat belukar yang hanya seluas beberapa li ini?"
Oh Thi-hoa melongo sahutnya: "Mungkin orang keluar bertamasya."
"Sebagai raja dari suatu negeri, tindak tanduknya malah boleh
sembarangan?"
Oh Thi-hoa mengelus hidung, katanya: "Seumpama dalam hal ini ada
sesuatu yang tidak beres, apa pula hubungannya dengan kita?"
"Kutanya kau lagi, walau Kui-je-ong sebuah negeri kecil yang terpencil tapi
sebagai seorang raja yang berkuasa, kedudukannya tinggi dan agung,
sebaliknya Kui-je-ong ini suka bergaul dengan kaum persilatan yang kasar,
kenapa?" "Benar memang suatu hal, yang aneh dengan berbagai cara dan usaha dia


Rahasia Ciok Kwan Im Pendekar Harum Seri Ke 2 Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengambil kawanan persilatan dari tempat-tempat yang jauh malah tidak
perduli asal-usul dan tingkat kedudukan mereka perduli mereka dari
golongan hitam atau aliran putih cukup asal berilmu tinggi, sebetulnya apa
tujuannya" Apa pula yang dia inginkan dari orang-orang itu?"
"Hal ini gampang dimengerti" sela Coh Liu-hiang, "Kui-je-ong yang satu ini,
terang dalam pelarian, kesulitannya bukan mustahil hanya kaum persilatan
saja yang mampu mengatasi."
"Dia suka menerima kita tujuannya supaya kita suka bantu dia?" seru Oh
Thi-hoa. "Memangnya kenapa pula, kulihat dia orang baik-baik tidak gagahgagahan
main gila sebagai raja agung, dia menghadapi kesulitan kita lantas
membantunya, tiada halangan bukan?"
"Agaknya kau memang seorang satria yang suka menolong kesulitan orang
lain, sayang kita sendiri sekarang tidak sempat mengurus persoalan
sendiri, mana ada tenaga bantu orang lain."
"Tapi memangnya kita gegares makanan orang secara gratis saja?"
"Kau jangan lupa, Ciok-koan im pun pernah menyuguh sewajan daging rebus
kepada kita."
Menyinggung Ciok-koan im, selera minum Oh Thi-hoa seketika lenyap,
badannya menjadi panas dingin, setelah melongo sekian lamanya tak tahan
ia berkata pula: "Menurut pendapatmu bagaimana harus bertindak?"
"Kita istirahat satu jam saja terus berangkat, sebelum pergi sudah tentu
harus isi air dan arak sepenuhnya, kukira para Busu dari Tiong toh itupun
takkan bisa menghalangi kita.
"Bocah keparat!" maki Oh Thi-hoa, orang pandang kau sebagai tamu agung,
kau malah hendak jadi maling kecil.
"Maling kecil yang hidup, kukira lebih baik dari tamu agung yang konyol."
Terpancing pula mulut Oh Thi-hoa, kembali ia melongo sekian lama baru
menghela napas, katanya: "Kalau berdebat aku selalu kalah, memang kita
kemari bukan ingin menjadi tamu agung mereka."
"Tapi kita tidak boleh pergi begini saja", sela Coh Liu-hiang tiba-tiba.
Seketika Oh Thi-hoa berjingkrak kegirangan sambil bersorak, Ki Ping-yan
malah mengerut kening, "Kenapa?" tanyanya.
"Kita hendak cari Ciok Koan-im, terpaksa disinilah pangkalan kita
sementara." biasanya Coh Liu-hoang tidak sembarangan bicara, maka katakatanya
ini seketika membuat rona muka KiPing -yan berubah. Oh Thi-hoa
sebaliknya tertawa semakin riang. Teriaknya tertahan.
"Apakah Ciok Koan-im juga berada di sini?"
"Dia sendiri memang tiada, tapi anak buahnya, jelas tentu sudah
menyelundup kemari."
"Dari mana kau bisa tahu?"
"Tahukah kalian kemana sebetulnya Peng Koh Chit-hou hendak mengantar
Ki Loh cising itu?"
"apakah hendak diantar kemari?"
"Tidak Salah !"
"Dari mana kau bisa tahu?" tanya KiPing -yan.
Tadi waktu busu berseragam lari masuk memberi laporan memang
suaranya lirih tapi aku dapat dengar dia mengatakan beberapa patah kata.
"Apa yang dia katakan" tanya Ki Ping-yan pula.
"Meski dia bicara dengan bahasa negeri Kui-je, tapi waktu menyebut nama
seseorang menggunakan bahasa Han, yang dia katakan ternyata adalah
Peng It-hou., Ciok Koan-im.., Ki Loh si-cing, setelah mendengar laporan
berubah roman muka Kui je-ong?"
"Oleh karena itu" Coh Liu-hiang melanjutkan penuturannya, "Kupikir Ki Lo
si-cing tentu ada sangkut paut yang amat erat dengan Kiu je-ong, musuh
Kui je-ong bukan mustahil adalah Ciok Koan-im pula."
Oh Thi-hoa menepuk paha serunya :
"Bagus sekali! Jikalau diapun lawan Ciok Koan-im, kita bantu kesulitannya,
berarti bantu kesulitan sendiri, sekali tepak dua lalat, bukankah amat
menguntungkan. "Apalagi dengan tinggal di sini, gerak-gerik kita jauh lebih leluasa, bukan
saja bekerja sambil menunggu kesempatan dan menghimpun tenaga,
menunggu kedatangan Ciok Koan-im saja dalam jangka waktu itu kita tak
perlu susah-susah pikirkan makan dan minum.
Ki Ping-yang menepekur sekian lama, katanya pelan-pelan :
"Bila Ciok KOan-im benar-benar bermusuhan dengan Kui Je-ong sudah
terang dia kirim anak buahnya menyelundup ketempat ini, tapi jelas tidak
mungkin adalah dua saudara dari keluarga Go dan Sutou Liu Che dan lainlain.
"Kenapa kau berkesimpulan demikian?" tanya Oh Thi-hoa.
"Karena orang luar selalu mendapat perhatian penuh, tapi m usuh dalam
selimut sudah diketahui, apalagi Sutou Siu che dan lain-lain adalah orangorang
undangan Ku Je-ong dari tionggoan !"
"Diantara mereka hanya Ong Tiong yang rada mencurigakan. "Ki Ping-yan
utarakan pendapatnya.
"Benar! Kulihat Ong Tiong bukan nama aslinya." timbrung Oh Thi-hoa.
"Bukan saja tindak tanduk orang ini rada tersembunyi ilmu silatnyapun
disembunyikan, tiada yang tahu sempai dimana tingkat kepandaiannya
begitu rapat dia menyembunyikan asal sendiri, tentu mempunyai tujuan
yang tersembunyi pula.
Coh Liu-hiang tertawa pula, katanya :
"Menurut pendapatku, diantara mereka orang inikah yang berkepandaian
paling tinggi?"
Masakan rekaanku meleset" Tanya Ki Ping-yang.
"Kukira bukan dia"
"Siapa maksudmu?"
"Pipop-kongcu"
Kembali Oh Thi-hoa tepuk pahanya, serunya : "Benar ! jikalau dia tidak
pandai main silat tak mungkin mempunyai pandangan begitu tajam." Malah
dia lebih tersembunyi dan tidak menunjukkan tanda-tanda dirinya dari
pada Ong Tiang, lahirnya kelihatan sebagai gadis lemah, jikalau lwekangnya
tidak mempunyai latihan yang sudah mendalam mana mungkin dia bisa
kendalikan hawa murninya sampai tak terasa oleh orang luar?"
Menatap langit-langit perkemahan, tiba-tiba Oh thi-hoa tertawa,
gumamnya : "Tuan dari suatu kerajaan kecil di luar perbatasan, ternyata seorang
tokoh silat yang tersembunyi sungguh suatu hal yang menarik, sungguh
menarik!" sekali tenggak ia habiskan araknya.
Sekonyong-konyong terdengar seseorang batuk-batuk kering diluar
kemah, dengan tertawa seseorang berkata :
"Apa kalian belum tidur" Cayhe sengaja datang bertandang."
Yang datang ternyata adalah Ceng Thian Kian Khek Bo Ceng-thian tertua
dari Go si siang hiap yang terkenal di kalangan Kangouw dengan enam puluh
empat jurus Ya Hong-kiam hoat.
Dengan tertawa tertawa lebar berulang kali orang memohon maaf akan
kedatangannya yang mengganggu, Coh Liu-hiang bertiga tak habis heran
dan tak tahu maksud kedatangan orang, maka berkatalah ahli pedang yang
kenamaan ini dengan tertawa :
"Tentang kedatangan Cayhe, tentunya kalian bertiga takkan pernah
menduganya."
"terus terang, kami memang sedang menebak-nebak." sahut Oh thi-hoa.
"Sebetulnya Cayhepun mendapat pesan orang lain untuk datang kemari!"
Kata Go Ceng-thian tertawa.
"Mendapat pesan orang lain" siapa yang suruh kau kemari" untuk
keperluan apa?" tanya Oh Thi-hoa.
Sengaja Go Ceng-thian tertawa penuh arti, katanya :
"Mendapat pesan Kui Je-ong, untuk melamar kepada kalian bertiga."
"Apa melamar?" teriak Ki Ping-yan melongo, hampir ia tak percaya akan
pendengaran kupingnya. Oh thi-hoa malah terpingkal-pingkal sambil
memeluk perut, serunya :
"Ongya yang satu ini memang jenaka sekali, memangnya dia ingin supaya
kami bertiga menjadi menantunya?"
"Lamaran ini sudah tentu hanya ditujukan seorang diantara kalian bertiga,
malah inipun bukan maksud Ongya sendiri, adalah setelah sekali beradu
pandang, tuan puteri lantas jatuh hati, dan taksir kepadanya."
Mendengar kata-kata ini, Ki Ping-yan segera menyingkir duduk ke pinggir,
dia tahu tuan putri itu terang takkan penujui dirinya, Oh Thi-hoa
sebaliknya mulai tegang urat syarafnya.
Lahirnya Coh Liu-hiang tetap bersikap tenang dan adem-ayem, sorot
matanya malah bercahaya, tapi hatinyapun berdebar tegang, dari samping
Ki Ping-yan saksikan sikap lucu kedua temannya ini, dalam harinya ia
tertawa geli. Episode III; Rahasia Ciok Kwan Im
Jilid 17 Akhirnya Oh Thi-hoa tak sabar lagi, tanyanya : "Entah tuan putri
sebetulnya kepincut pada siapa?" waktu bicara terasa tenggorokannya
menjadi kering, bukan lantaran dia ingin menjadi menantu raja, tapi dia
merasa bila yang dipenujui tuan putri bukan dirinya, sungguh suatu hal
yang memalukan.
Dilihatnya Go Ceng-thian tertawa-tawa mengawasi dirinya, katanya :"
Yang dipenujui tuan putri adalah tuan."
"Bagus! Bagus!" Coh Liu-hiang bersorak, "Memang tajam benar mata tuan
putri dapat mengenali seorang gagah, seorang ksatria sejati."
Kata-katanya kedengaran amat riang bahwasanya hatinya mendelu,
mukanya berseri tawa, hatinya justru kecut dan getir. Tapi bukan karena
dia merasa iri hati. Dia cuma merasa kecewa, merasa di luar dugaan juga,
rada memalukan sungguh tak habis pikir bahwa tuan putri tidak penujui
dirinya. Tampak arak di cawan Oh Thi-hoa sudah terbalik tumpah dan membasahi
seluruh badannya, tapi dia sendiri tidak sadar, sungguh hatinya senang
bukan main, mulutnya justru mengomel pura-pura marah : "Brutal! Brutal!
Mana bisa menyukai aku" Kau tidak salah omong?"
"Urusan sebesar ini, mana Cayhe berani salah omong?"
Sekaligus melirik mata Oh Thi-hoa kepada Coh Liu-hiang seperti unjuk
pamor dan mengolok, mulutnya berkata keras : "Tentu kau salah! Pergi kau
tanyakan lagi!"
"Tak perlu ditanya lagi, asal tuan setuju, Cayhe segera pulang memberi
laporan." Waktu Oh Thi-hoa angkat cawannya hendak minum araknya, baru
sekarang ia dapati cangkirnya sudah kosong.
Tak tahan Ki Ping-yan tertawa, katanya : "Urusan besar begini mana bisa
diputus sembarangan, tuan beri waktu padanya untuk pikir-pikir dahulu!"
Go Ceng-thian termenung sebentar, katanya : "Kalau begitu setengah jam
lagi Cayhe balik kemari?"?"kalian tidak tahu, bukan aku yang tergesagesa
tapi tuan putri itu, ha ha".."
"Selamat! Selamat!" lekas Coh Liu-hiang berolok kepada Oh Thi-hoa
dengan tertawa lucu. "Sudah sekian tua umurmu kau hidup sebatang kara,
tak nyana kau sedang tunggu rezeki untuk menjadi menantu raja."
"Jago Mampus, kau dengar tidak." seru Oh Thi-hoa tertawa besar,
"Kebetulan ada perempuan yang mau naksir padaku dan tidak kepincut
padanya, dia lantas cemburu," saking geli badan lemas dan roboh ke
pembaringan tak bicara lagi.
Kali ini Coh Liu-hiang pun terungguli oleh dirinya betapa hatinya takkan
senang. "Aku cemburu?" tanya Coh Liu-hiang mengelus hidung.
Ki Ping-yan ikut geli, katanya : "Aku tahu kau sih tidak cemburu, cuma
hatinya rada kurang enak."
Coh Liu-hiang akhirnya ikut tertawa, tiga orang sama terkial-kial
berpelukan, sungguh suatu kejadian yang lucu dan seperti khayal belaka,
tapi kenyataannya mereka hadapi.
Kata Oh Thi-hoa masih terkial-kial : "Seorang laki-laki yang tidak
terpandang oleh taukeh "majikan" sebuah warung arak, tiba-tiba dipenujui
oleh seorang tuan putri, bukankah seolah-olah kejatuhan rejeki nomplok
dari atas langit?"
"Coba kau lihat begitu senang dan bangga dia, lebih baik sekarang kita
panggil Go Ceng-thian kemari, supaya mereka tidak sama menunggu dengan
hati gelisah."
"Jangan!" sekonyong-konyong Oh Thi-hoa mencelat bangun.
Coh Liu-hiang melengak. "Kenapa jangan" Memangnya kau tidak mau
terima pinangan?"
"Sudah tentu aku tidak terima!"
"Melihat tampangmu begitu gembira, kau terpincut dan patuh benar pada
tuan putri itu. Waktu dia menuang arak bagi kau, hampir saja- tulangtulangmu
luluh, kenapa sekarang kau tolak pinangannya?"
"Bicara terus terang, memang aku ada sedikit naksir pada tuan putri,
kalau yang disukai bukan aku, mungkin aku sepuluh lipat lebih sedih dari
ulat busuk. Tapi bila harus menikah benar benar sama dia, sekali-kali tidak
boleh jadi."
"Kenapa tidak boleh?"
"Tidak boleh ya tidak boleh dan tetap tidak mau!"
"Kukira penyakit lamanya mulai kumat lagi," sela Ki Ping-yan, "Orang lain
tak suka sama dia, kau kejar-kejar orang seperti lalat mengejar makanan
wangi. Kalau orang lain menyukai kau, kau malah pasang gengsi dan
meninggikan harga diri."
"Buyutnya saja yang punya maksud demikian," gerutu Oh Thi-hoa gelisah :
"Aku cuma, cuma?"" semakin gugup tak kuasa mulutnya bicara lagi.
"Cuma bagaimana?" desak Ki Ping-yan.
Keringat membasahi seluruh kepala Oh Thi-hoa, serunya : "Coba kalian
pikir, orang macam apa aku ini, mana bisa mendapat tuan putri sebagai
biniku" Apa aku mampu memberi makan dia" Jikalau aku harus tunduk
begitu saja menjadi menantu raja, matipun aku tidak sudi."
"Ah, kau ngelantur terlalu jauh," bujuk Coh Liu-hiang, "Persoalan justru
sekarang kita hadapi, dan putusan harus kau beri sekarang pula."
"Benar, orang begitu besar minatnya dan sudi memandangmu lagi, jikalau
kau menolak seluruh rencana kita akan gagal total," demikian Ki Ping-yan
menganalisa, "Menurut pendapatku, bagaimanapun juga kali ini kau harus
terima pinangannya."
"Kalau kalian paksa aku, biar aku lari saja," suara Oh Thi-hoa mulai panik.
"Adaaku dan Maling Kampiun berada di sini, memangnya kau mampu lari?"
Oh Thi-hoa berjingkrak, serunya : "Ini urusan besar pribadiku, kenapa
kalian harus paksa aku" Masihkah kalian terhitung teman baikku"
Kalian?"?"?"..kalian memang hendak jual kawan demi keselamatan
sendiri?" Sekilas Coh Liu-hiang saling pandang dengan Ki Ping-yan, katanya
mendadak sambil berdiri : "Kalau demikian, biarlah aku pergi menolak
pinangan ini."
"Sebetulnya ini persoalan kita bertiga, kalau dia tak mau berpikir demi
kepentingan kita bersama, apa boleh buat. Besok tunggu saja digiring
keluar oleh mereka."
"Aku cuma sayang bagi dia saja," Coh Liu-hiang menanggapi ocehan Ki
Ping-yan, "Tuan putri dari kerajaan kaya-raya dari negeri terpencil,
seorang tokoh silat kosen yang tersembunyi lagi, istri seperti ini dia tolak
mentah-mentah, jangan heran bila kelak ia akan menyesal seumur hidup!"
Oh Thi-hoa melongo mendengar percakapan mereka.
Kata Coh Liu-hiang geleng kepala sambil beranjak keluar : "Tuan putri
itulah yang harus dikasihi, setelah mendengar tolakannya ini betapa
hatinya takkan pilu dan sedih?"
"Tunggu sebentar!" tiba-tiba Oh Thi-hoa menjerit.
"Kenapa harus berlambat-lambat, tidakkah lebih baik ia padamkan api
cintanya?"
Oh Thi-hoa membusungkan dadanya, "Cukup berat aku
mempertimbangkan, aku berkeputusan siap berkorban demi teman, siapa
suruh kita punya ikatan teman puluhan tahun."
Coh Liu-hiang kedipkan matanya pada Ki Ping-yan, tapi mulutnya berkata
keras : "Mana boleh begitu! Pernikahan merupakan urusan besar masa
depan, kami sebagai teman baik mana tega membuat kau menjadi korban,
biarlah aku kesana menolak pinangannya." lalu dia beranjak keluar pula.
Oh Thi-hoa lekas menariknya, katanya tertawa meringis : "Kecuali itu,
masih?"?"?".."
Coh Liu-hiang sengaja pura-pura tak tahu : "Kau masih ada apa?"
Oh Thi-hoa mengelus batok kepalanya, katanya tersendat : "Kupikir punya
bini tuan putri merepotkan, tapi jauh lebih enteng daripada berputarKoleksi


Rahasia Ciok Kwan Im Pendekar Harum Seri Ke 2 Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kang Zusi putar ditengah gurun pasir tanpa tujuan tertentu, apalagi aku?".aku tak
tega bila kita semua harus menderita dan bersedih hati," kalau dia
berbicara setulus hati, orang lain justru hampir meledak perutnya saking
geli. Berkata Ki Ping-yan : "Sejak tadi sudah ku ketahui penyakitmu ini, arak
suguhan tidak kau terima, malah ingin dihukum minum arak."
Terdengar seorang berkata dengan tertawa di luar kemah: "Araksuguhan
atau arak hukuman segala" Cayhe hanya sedang menunggu arak
kegirangan!"
Malam sudah larut, tapi setiap kemah masih terang benderang.
Ciok Tho tetap berdampingan dengan teman-teman untanya, dengan
cermat dan teliti ia ladeni teman-temannya itu, agaknya bila dia sedang
mengasuh dan menjaga orang lain baru bisa melupakan derita lahir
batinnya sendiri. Saat ini, rombongan unta itu sudah terlelap dalam tidur
nyenyak, tapi dia tetap duduk disana termangu-mangu. Di bawah pancaran
sinar bintang-bintang yang tak terhitung banyaknya, duduk seorang
sebatang kara, seorang yang suka menyepi. Betapa rawan dingin dan
memilukan keadaannya"
Tapi waktu itu sebetulnya dia bukan hanya seorang diri saja, tak jauh dari
tempatnya ada seorang yang sedang mengawasinya dengan penuh
perhatian, malah sudah sejak tadi dan tak bergerak sedikitpun. Sudah
tentu Ciok Tho tidak merasa bila dirinya diperhatikan orang, tapi Coh Liuhiang
malah mengetahui, baru saja dia keluar dari kemah, lantas dilihatnya
Ong Tiong sedang memperhatikan Ciok Tho.
Ong Tiong bahwasanya memang seorang tokoh yang misterius. Kenapa
begitu besar perhatiannya terhadap seorang gembala yang sudah cacat"
Coh Liu-hiang mengerutkan keningnya, ingin dia menghampiri, Ong Tiong
sudah melihat dirinya dan cepat menyingkir, meronda ke tempat lain, Coh
Liu-hiang masih ingin mengejarnya dan tanya persoalan yang sebenarnya.
Baru beberapa langkah kakinya beranjak, tiba-tiba didengarnya tawa
cekikikan yang nyaring merdu bagai kelintingan.
Kata sebuah suara semerdu kicauan burung kenari : "Bukankah kau sudah
ingin tidur pagi" Kenapa jadi orang kelayapan malam?"
Tanpa berpaling Coh Liu-hiang sudah tahu yang datang adalah Pipopkongcu.
Dia tertawa dipaksakan, sahutnya : "Orang yang kelayapan malam
kukira bukan melulu Cayhe saja?"
"Orang lain aku tak perduli, tengah malam buta masa kau tidak tidur, apa
mau ngintip orang mandi lagi?"
"Mungkin aku ada maksud demikian, tapi orang yang kelayapan malam
sekarang terlalu banyak, lebih baik aku pergi tidur saja!" sejak tadi ia tak
pernah berpaling, sembari bicara kakinya melangkah cepat ke depan.
"Hai?"".kembali kau!" terdengar teriakan Pipop-kongcu.
Coh Liu-hiang menghela napas, apa boleh buat dia berhenti dan pelanpelan
berpaling. Di bawah sinar bintang, jelas kelihatan kerlingan matanya laksana sungai
perak, wajahnya yang molek kelihatan merengut, mulutnya cemberut ke
arah Coh Liu-hiang, katanya : "Kutanya kau, kenapa kau tak hiraukan aku?"
"Cayhe masa tak hiraukan tuan putri" Cuma kalau toh tiada urusan, Cayhe
ingin pergi tidur saja."
Semakin lebar biji mata Pipop-kongcu, "Siapa bilang tiada urusan, aku
sedang mencarimu?" Kain sari yang membelit badannya kelihatan begitu
putih, seluruh anggota badannya seolah-olah tembus cahaya dan bening
laksana kaca. "Adaurusan apa tuan putri mencari aku?" tanyanya kemudian setelah
menenangkan gejolak hatinya setelah terbayang adegan mandi yang
mendebarkan itu.
"Aku cuma ingin tanya, kenapa orang panggil kau ulat busuk?"
Menghadapi kecantikan seorang gadis cantik laksana bidadari dari
kahyangan ini, Coh Liu-hiang seperti kehabisan akal dan tak mampu
mengontrol dirinya, sayang orang sudah bakal menjadi istri teman
karibnya, kenapa pula orang justru mencari dirinya ditengah malam buta
ini" Sekuatnya Coh Liu-hiang menggosok hidungnya, sungguh dia kehabisan
akal dan kata-kata untuk menerangkan.
Tapi kerlingan mata Pipop-kongcu tak kendor menatap mukanya, terpaksa
Coh Liu-hiang menunduk, matanya justru melihat ujung kain sari yang
melambai tertiup angin, serta sepasang kaki halus yang putih dan
telanjang. "Kutanya padamu, kenapa tidak kau jawab?" desak Pipop-kongcu.
Apa boleh buat Coh Liu-hiang menjawab : "Pertanyaanmu ini tidak
seharusnya kau ajukan padaku, ya toh" Siapa yang panggil aku demikian,
seharusnya kau tanya pada dia."
Pipop-kongcu berpikir dengan kepala melengak, agaknya dia belum meraba
kemana maksud kata-kata Coh Liu-hiang, pada saat itulah kebetulan Go
Ceng-thian buru-buru mendatangi, Coh Liu-hiang menarik napas lega,
katanya tertawa: "Apakah tugas Go-heng sudah berhasil?"
"Cayhe sudah memberi laporan kepada Ongya, Ongya amat riang, meski
beliau tahu kalian letih dalam perjalanan, tapi lantaran kesenangan, beliau
undang kalian kesana untuk diajak mengobrol."
"Tak menjadi soal, hari-hari yang menggirangkan seperti ini, memangnya
kita tidak bisa tidur," seperti sengaja tidak sengaja ia melirik ke arah
Pipop-kongcu, tujuan kata-katanya sudah jelas. Pipop-kongcu masih tidak
mengerti, mulutnya malah monyong kepadanya, katanya tertawa: "Perduli
apapun ucapanmu, pertanyaan ini tetap akan kutanyakan, laripun kau takkan
bisa," perlahan-lahan ia putar tubuh terus berlari seringan asap secepat
angin. Coh Liu-hiang menjublek di tempatnya, sungguh ia tidak paham apa
maksud orang"
Terdengar Go Ceng-thian berkata : "Kalau demikian, Ongya sudah siapkan
jamuan untuk makan minum semalam suntuk, silahkan kalian kesana, aku
sicomblang ini sudah hampir patah kakiku, ayolah akupun sudah pingin
minum arak."
Sinar lilin terang benderang didalam kemah, Pipop-kongcu duduk merapat
disamping ayah bagindanya, menuang arak melihat Coh Liu-hiang, Ki Pingyan
dan Oh Thi-hoa melangkah masuk segera ia unjuk senyum manis.
Seketika merah jengah muka Oh Thi-hoa. Sungguh ia tak habis mengerti,
seorang gadis yang sudah menjadi temanten masih berani unjuk muka di
depan umum, lebih tak terduga olehnya calon istrinya jauh lebih berani dan
wajar dari dirinya.
"Kalian sudah tiba, mari! mari!" sambut Kui-je-ong tertawa senang,
"Hidangan masih hangat lekas duduk dan silahkan minum secangkir ini."
"Jangan duduk dulu," sela Go Ceng-thian tertawa, "calon menantu
seharusnya menghadap dulu kepada mertua."
Ternyata Pipop-kongcu ikut cekikikan, timbrungnya : "Benar! Lekas
berlutut dan menyembah!"
Mimpipun Oh Thi-hoa tidak pernah menyangka calon istrinya inipun berani
berolok-olok dan menggoda dirinya, biasanya dia anggap muka sendiri
setebal dinding, sekarang sudah merah seperti kepiting direbus. Coh Liuhiang
saling tukar pandang dengan Ki Ping-yan, dari sebelah belakang
mereka dorong perlahan. Tanpa kuasa Oh Thi-hoa segera berlutut,
mukanya merah mencapai kuping dan leher.
"Baik, baik, baik!" seru Kui-je-ong kegirangan sambil manggut. Beruntun
tujuh delapan kali ia berseru memuji, lalu dari dalam kantong bajunya dia
merogoh keluar sebutir jamrud sebesar burung dara yang berkilauan dan
diangsurkan kepada Oh Thi-hoa, katanya pula tertawa: "Batu dari ujung
langit sering membawa berkah besar, nah kau terimalah!"
Di bawah sinar api tampak jamrud sebesar itu seperti menggelinding kian
kemari, cahayanya bergelombang berkunang-kunang, walau Oh Thi-hoa
seorang kasar yang tak bisa menilai barang, toh dia lihat jamrud ini tentu
amat berharga dan tak ternilai, katanya tersendat dengan muka merah :
"Anugerah sebesar ini, mana berani terima?"
"Pemberian dari bapak mertua sebagai hadiah pertemuan, jikalau tidak
kau terima menandakan tidak tahu kehormatan, lekas kau terima saja."
Coh Liu-hiang mendesaknya. Dia cukup ahli untuk menilai barang antik yang
tak ternilai harganya, sekilas pandang ia lantas tahu itulah jamrut mata
kucing yang harganya menyerupai sebuah kota, jelas tak lebih asor dari Kiloh-
ci-sing itu. Secara royal dan sembarangan Kui-je-ong mau menyerahkan barang
mestika yang begitu tinggi nilainya kepada orang, kenapa pula orang
pandang jejak Ki-loh-ci-sing begitu penting dan genting" Lahirnya Coh Liuhiang
mengulum senyum, dalam hati justru sedang menimang-nimang.
Mendadak menyelinap masuk seorang gadis jelita dari sebelah belakang,
langsung menjatuhkan diri berlutut dan berbicara seperti kicauan burung.
Jawaban Kui-je-ong orang lainpun tidak mengerti. Akhirnya berkatalah
Kui-je-ong dengan mengelus brewoknya.
"Penyakit permaisuri rada baikan, silahkan dia keluar duduk di sini."
Pek-hun-kian-hiap Go Pek-hun orang kedua dari dua bersaudara she Go
berkata dengan tertawa," Apa permaisuri juga ingin keluar melihat calon
menantunya?"
"Memang begitu, sudah lama dia rebah di atas ranjang karena
penyakitnya, tak nyana karena mendengar kabar baik, dia malah bisa
keluar, sungguh menggembirakan."
Ditengah gelak tawanya, tampak beberapa gadis berpakaian serba sutera
sedang beranjak keluar memayang seorang perempuan setengah baya yang
masih kelihatan ayu molek, pakaiannya memanjang ke tanah, rambutnya
sedikit awut-awutan, sikapnya agung berwibawa. Matanya rada sipit
seperti habis bangun tidur, roman mukanya menunjukkan lemah semangat
dan punya sakit lama, usianya sudah rada lanjut tapi kecantikannya masih
membekas jelas. Tanpa sadar semua orang tertunduk kepalanya tiada
satupun yang berani memandangnya dengan langsung.
Hanya Coh Liu-hiang yang berpendapat, Thian memberkahi sepasang mata
kepadanya, jikalau tidak memanfaatkannya untuk menikmati yang ingin kau
lihat, bukan saja menyia-nyiakan kebaikan yang Maha Kuasa, boleh dikata
sedang menyiksa diri sendiri.
Dengan tertawa riang Pipop-kongcu menyongsong maju, Kui-je-ong pun
berdiri menyambut, sentaknya: "Tidak lekas kau payang permaisuri untuk
duduk, lekas?".tenda bagian luar kenapa tidak lekas ditutup?"
Kui-je-ong yang serba romantis dan suka foya-foya ini ternyata begitu
kasih sayang terhadap permaisurinya, seperti kuatir orang terkena angin
menambah berat penyakitnya. Dengan gerakan gemulai permaisuri duduk di
tempatnya, walau duduk tak bergerak, tapi cuma kerlingan matanya saja,
membuat orang yang dipandang segera tahan napas.
Langsung Pipop-kongcu tunding Oh Thi-hoa dan berkata pada ibunya : "Dia
inilah!" Seketika Oh Thi-hoa merasakan darahnya seperti mengalir naik ke atas
kepala dan hampir meledakkan batok kepalanya.
"Baik, baik sekali!" ujar permaisuri dengan tertawa senang. Dimana
sebelah tangannya bergerak, dari belakang segera maju seorang gadis
yang membawa nampan dari batu jade, di atas nampan cahaya kemilau
menyolok mata, entah barang-barang mestika apa saja yang ada di situ.
"Inilah pemberian ibundaku, terimalah." Kata Pipop-kongcu.
Kali ini bukan saja Oh Thi-hoa tidak berani menolak malah kata-kata
sungkanpun tidak berani ia ucapkan.
Kui-je-ong angkat cangkirnya, katanya tertawa besar. Teman-teman agung
duduk memenuhi meja, keluarga punya kerja, merupakan hari kebahagiaan
kehidupan manusia, adakah sesuatu yang lebih menggirangkan dari
persoalan jodoh! Mari! Mari! Silahkan kalian tenggak tiga ratus cangkir
bersama Siao-ong.
Beramai-ramai semua hadirin angkat cangkir masing-masing dan minum
sepuasnya, suasana riang gembira menghayati hati semua hadirin, cuma Oh
Thi-hoa seorang yang amat mendelu, biasanya ia paling kesetanan melihat
arak, tapi seperti pengantin yang malu-malu saja menghadapi arak,
kepalapun tak berani diangkat.
Pepatah ada bilang "Ibu mertua menilai menantu, semakin dipandang
semakin menarik"
Tapi mata permaisuri seperti sengaja tak sengaja sering melirik kepada
Coh Liu-hiang, dia cuma mencicipi dua tegak arak saja, lalu berdiri dan
berseri tawa, katanya: "Semoga kalian makan minum riang gembira,
badanku kurang sehat, maaf aku mengundurkan diri terlebih dahulu." Coh
Liu-hiang mengantar punggung orang keluar, ternyata iapun terlongong tak
bergerak. Ki Ping-yan berbisik kepadanya : "Perempuan lain kau tidak minat, ingat itu
permaisuri orang, jangan sekali-kali kau bikin pikiranmu butek."
Coh Liu-hiang menyeringai geli, ingin ia mendebat tapi mulut tetap
terkancing. Didengarnya Go Ceng-thian tiba-tiba berkata : "Mana Toh Tayhiap itu?"
"Agaknya dia tak tertarik lagi." sahut Kui-je-ong, "Meski Siao-ong
berusaha menahannya makan malam, segera dia berlalu sungguh
menjengkelkan Suton Liu-che tahu-tahu ikut menghilang tanpa pamit."
Masih ada Ong-heng itu, kemana dia" Tanya Coh Liu-hiang.
"Orang ini berwatak aneh," sahut Go Pek-hun, sudah berulang kali
kupanggil dia, tapi dia tak mau hiraukan undanganku.
Orang ini tak datang malah kebetulan, dia tahu Siao-ong sedang mencari
pembantu yang berkepandaian tinggi, dia datang sendiri tanpa kuundang,
tapi tindak tanduknya main sembunyi-sembunyi, Siao-ong tak berani
percaya kepadanya, setelah mencuci tenggorokannya dengan arak, tawanya
semakin lebar, katanya lebih lanjut: "Tapi semua yang hadir di sini ku
anggap orang sendiri, Siao-ong punya isi hati yang ingin kulimpahkan
kepada kalian, ingin kupinjam suasana yang riang gembira ini, dan setelah
kujelaskan harap kalian suka menyimpan rahasia ini."
Coh Liu-hiang dan Ki Ping-yan sekilas bertukar pandang, dalam hati sama
berpikir :" Ternyata memang ada variasinya, arak ini jadi kurang sedap
diminum." Dua saudara she Go berkata bersama : "Silahkan Ongya katakan saja,
kami bersaudara pasti tutup mulut."
Pandangan Kui-je-ong tertuju pada Coh Liu-hiang bertiga, Coh Liu-hiang
lantas angkat bicara, "Teman baik menantu raja, mana berani berkhianat
pada baginda."
"Ya, ya! Siao-ong memang terlalu banyak curiga, mendadak ia hentikan
tawanya, katanya dengan nada berat. Kuharap kalian suka memaklumi
keadaan Siao-ong sekarang ini. Sejak menteriku memberontak, terpaksa
Siao-ong harus hidup dalam perantauan, menghadapi setiap persoalan, mau
tidak mau aku harus bertindak hati-hati."
Kembali Coh Liu-hiang bertukar pandang dengan Ki Ping-yan, batinnya :
"Rekaan kami ternyata tidak meleset, Negeri Kui-je ternyata direbut
orang, bahwa dia menarik kaum persilatan sebanyak mungkin, agaknya
untuk melindungi jiwanya."
Terdengar Kui-je-ong melanjutkan dengan penuh penasaran. "Walau Siaoong
keluyuran di luar, tapi hatiku berada didalam negeri, sudah tentu
pembesar pemberontak sama tahu hatiku, maka mereka selalu berusaha
mendesak melenyapkan jiwa Siao-ong. Selama satu tahun ini, Siao-ong
berulang kali menghadapi mara bahaya, malah yang datang melakukan
pembunuhan bukan lagi busu-busu dari negeriku sendiri, melainkan
pembunuh-pembunuh kejam yang diundang dari Tionggoan oleh kaum
pemberontak itu."
Go Ceng-thian kelihatan tegang, katanya : "Siapa saja orang-orang yang
berani meluruk datang itu?"
"Bagaimana jejak kaum pendekar Tionggoan, Siao-ong tidak begitu jelas,
cuma aku tahu satu diantaranya bergelar Sin-to-bu-tik "Golok Sakti Tanpa
Tandingan" masih ada seorang lagi bernama Pat-pi-na-lo."
Go Ceng-thian menghela napas lega, katanya jumawa : "Ongya tak usah
kuatir, jangan kata ada Oh-heng tiga bersaudara disini, mengandal kami
bersaudara, orang-orang itu jangan harap bisa melukai seujung rambut
Ongya." "Tapi menurut apa yang Siao-ong ketahui, kaum pemberontak kembali
mengundang empat-lima jago-jago silat tinggi, khabarnya satu diantaranya
memiliki ilmu pedang yang tinggi, boleh dikata tiada bandingannya di
seluruh jagat."
Go Ceng-thian jadi tegang lagi, tanyanya : "Apakah Ongya sudah tahu
siapa nama-nama mereka?"


Rahasia Ciok Kwan Im Pendekar Harum Seri Ke 2 Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Siao-ong hanya tahu empat orang diantaranya tujuh hari yang lalu sudah
tiba di daerah sekitar sini, tokoh yang terlihay itu jejaknya tidak menentu
dan misterius."
"Darimana Ongya dapatkan kabar ini?" tanya Go Pek-hun.
"Walau Siao-ong gelandangan di luar jauh dari sanak kandang, tapi didalam
istana masih ada menteri-menteriku yang setia, mereka secara diam-diam
memberi kabar kepadaku."
Mendadak Oh Thi-hoa menyela dengan suara keras : "Peduli berapa lihay
orang-orang itu, asal mereka berani datang kemari, jangan harap bisa
pulang dengan hidup," belum habis kata-katanya, Pipop-kongcu sudah
mengerling ke arahnya dengan senyuman penuh arti. Seketika merah pula
selebar mukanya.
"Ya! Ya!Ada kalian di sini, apa pula yang kutakutkan, cuma ?""., Siao-ong
rada curiga bukan mustahil orang she Oh itu adalah salah satu pembunuh
yang menyelundup kemari."
"Benar, orang ini sembunyi kepala memperlihatkan ekor, jejaknya memang
mencurigakan," kata Go Pek-hun prihatin.
Jikalau benar-benar pembunuh yang menyelundup kemari, malah bisa
bersikap terus terang untuk menghindari curiga orang, mimik wajah kurang
wajar malah bisa menunjukkan hatinya, demikian ujar Coh Liu-hiang.
"Benar," Kui-je-ong tepuk tangan, "Pandangan tuan memang tajam, Siaoong
hampir saja menyalahkan orang baik-baik, cuma?"" seri tawanya
hilang, berganti mimik kaku, katanya pula : "Kecuali itu, Siao-ong masih ada
urusan lain."
"Ongya masih ada urusan apa?" tanya Go Ceng-thian.
"Pernahkan kalian mendengar nama Ki-loh-ci-sing?"
Tergerak hati Coh Liu-hiang bertiga, persoalan ini sejak mula memang
sudah dalam dugaan mereka.
"Cayhe belum pernah dengar!" kata Go Ceng-thian.
Ki-loh-ci-sing adalah sebuah jamrut yang lebih mahal dari sebuahkota .
Siao-ong sebetulnya minta bantuan Peng-bun-ngo-hou mengantarnya."
Apakah keturunan dari perguruan Ngo-bun-toan-bun-to itu" tanya Go
Pek-hun. Kui-je-ong manggut-manggut sambil mengiakan.
"Kelima bersaudara ini terhitung tokoh kosen kelas satu dalam Bulim, Pekkek-
piau-kiok namanya lebih terkenal, selamanya tak pernah gagal, jikalau
Ongya menyerahkan barang dalam perlindungan mereka, bolehlah tidur
nyenyak, makan kenyang, tak usah kuatir."
"Siao-ong tahu mereka boleh dipercaya, maka berani aku berikan
tanggung jawab yang berat ini kepada mereka, tak nyana kelima
bersaudara ini kini sudah ajal semua, Ki-loh-ci-sing sudah tentu sudah
terjatuh ke tangan orang lain."
"Apakah berita ini boleh dipercaya?" tanya Go Ceng-thian kaget.
"Takkan salah, anak buahku sudah menemukan jenazah mereka."
Seketika guram muka bersaudara she Go, orang yang mampu membunuh
Peng-keh-ngo-hou sekaligus, sekali-kali mereka tidak akan kuat
melawannya. Apa Ongya ingin supaya kami pergi merebut Ki-loh-ci-sing itu" tanya Coh
Liu-hiang. "Siao-ong tak punya maksud demikian."
Coh Liu-hiang tertegun malah mendapat jawaban ini, tanyanya pula :
"Maksud Ongya adalah?"."
"Terus terang, orang yang merebut Ki-loh-ci-sing itu, barusan sudah
memberi kabar kepada Siao-ong,"
"Dimana orang yang memberi kabar itu?" tanya Coh Liu-hiang.
"Menurut laporan anak buahku, ginkang orang itu amat tinggi laksana
bayangan setan, setelah menyerahkan sepucuksurat , bayangannya segera
menghilang tanpa bekas."
"Kalau demikian, dimanasurat itu?"
"Ada disini."
Surat ini hanya bertulisan beberapa huruf kata saja yang berbunyi :
"Ki-loh-ci-sing sudah menjadi milikku, jikalau ingin minta kembali, tiga hari
kemudian tepat tengah hari, antarkan lima ratus tail uang emas, lima ratus
butir mutiara, gelang pualam lima puluh pasang, lima puluh li setelah ke
arah barat, akan datang seseorang yang membawa Ki-loh-ci-sing
mengadakan pertukaran, kalau mutiara ada yang guram, gelang pualam ada
yang palsu, dengan setulus hati Ki-loh-ci-sing selamanya takkan
kukembalikan."
Sudah tentu surat ini tiada tanda tangan, hanya ada lukisan sebuah patung
Koan-im yang punya seribu tangan seribu mata.
"Hanya sebutir jamrut sebesar itu, apakah mempunyai nilai sedemikian
banyak" Apa orang itu tidak gila?" seru Go Ceng-thian.
"Dia sih tidak gila," sahut Kui-je-ong.
"Masakan Ongya sudah terima persyaratan itu?"
"Ya."
Dingin tengkuk Go Pek-hun, mulutnya menggumam : "Sebetulnya Cayhe
beramai dengan senang hati suka merebut balik batu permata itu bagi
Ongya." Upah yang besar tentu ada orang yang memberanikan diri. Kalau Kui-jeong
suka memberikan harta benda senilai sebuah kota kepada orang lain,
sudah tentu nyalinya seketika bangkit berkobar-kobar.
Kui-je-ong malah menghela napas, katanya : "Bukan Siao-ong tak percaya
kemampuan kalian, kuatirnya bila diketahui orang itu, dan orang itu
membawa lari mestika itu, betapa besar dunia ini, kemana Siao-ong harus
mencari dia." Ia merandek sebentar lalu menyambung, "Oleh karena itu
Siao-ong lebih senang kehilangan harta benda, asal Ki-loh-ci-sing dapat
kuminta balik."
"Jadi maksud Ongya supaya tiga hari lagi kami bertiga pergi mengantar
barang-barang yang diminta itu untuk ditukar dengan Ki-loh-ci-sing?"
tanya Coh Liu-hiang.
"Ya, Siao-ong ada minat menepati janji tapi aku kuatir pula, setelah
mereka menerima harta bendaku ini, lalu mengingkari janji, maka jikalau
kalian sudi membantu kesulitanku ini, Siao-ong akan lega dan terhibur."
"Dengan suka rela kami beramai suka bekerja, Ongya tak usah kuatir,"
Coh Liu-hiang memberikan janjinya.
Ki Ping-yan tiba-tiba menyelutuk: "Menurut pandanganku, bila Ongya
benar-benar mengantar barang-barang yang diminta itu, mereka mungkin
tak mau tukar barang."
"Kenapa?" berubah air muka Kui-je-ong.
"Kalau mereka melihat Ongya mau menukar dengan harta benda sebanyak
itu, tentunya mereka bisa membayangkan bahwa nilai Ki-loh-ci-sing amat
tinggi daripada barang-barang itu, dengan sendirinya syarat yang mereka
ajukanpun bisa berubah lebih tinggi bukan."
Mereka pasti takkan berbuat demikian! Kata Kui-je-ong yakin setelah
berpikir sebentar.
"Masa ya?"
Dalam pandangan Siao-ong, Ki-loh-ci-sing amat tinggi, tapi kalau berada
ditangan mereka paling-paling hanya senilai lima ribu tail emas, kalau toh
mereka sudah kelebihan terima lima ratus biji mutiara dan lima puluh
pasang gelang pualam, masakah mereka mau merubah tujuan semula?"
Bersinar mata Ki Ping-yan, tanyanya langsung: "Kenapa pula Ongya sendiri
justru menilai Ki-loh-ci-sing itu sedemikian tinggi?"
"Sudah tentu ini merupakan rahasia, rahasia ini di seluruh kolong langit ini
hanya Siao-ong saja yang tahu."
Ki Ping-yan tak bertanya lebih lanjut, suasana kemah seketika sirap dan
hening lelap. Dari luar kemah tiba-tiba terdengar suara ribut-ribut dari
ringkik kuda dan keluhan unta, seolah-olah mereka harus dikasihani.
Ki Ping-yan tiba-tiba berdiri, katanya: "Biar aku keluar melihatnya."
Ringkik yang menyayatkan hati ini, seketika membuat hati semua orang
lebih mendelu. Cangkir emas sudah terangkat ditangan Kui-je-ong tapi
sekian lamanya ia seperti segan menenggak habis araknya.
Go Pek-hun tak tahan dan ikut berdiri, katanya sambil mengerut kening:
"Unta dan kuda menjerit-jerit, mungkin terjadi apa-apa diluar?" Dengan
langkah tergopoh-gopoh ia berlari keluar, kebetulan berpapasan dengan Ki
Ping-yan yang beranjak masuk.
"Apa yang terjadi di luar?" tanya Go Pek-hun.
"Tiada apa-apa," sahut Ki Ping-yan dengan muka membesi hijau.
"Kalau tak apa-apa, kenapa kuda dan unta begitu ribut?"
"Itulah karena mereka baru saja kehilangan satu kawan."
"Kawan?" Go Pek-hun melengak, "Binatang juga punya kawan?"
"Ada manusia yang lebih rendah dari binatang, diapun punya kawan, benar
tidak?" Tanpa memperdulikan Go Pek-hun, Ki Ping-yan ke tempat duduknya.
Kecuali Coh Liu-hiang dan Oh Thi-hoa, kepada siapapun ia tidak
menghiraukan, apalagi sekarang hatinya sedang murung.
Coh Liu-hiang sudah maju mendekat, tanyanya berbisik : "Maksudmu Ciok
Tho?" "Em!" semakin kaku muka Ki Ping-yan.
"Apa yang terjadi dengan dirinya?" tanya Coh Liu-hiang tegang.
"Dia tinggal pergi."
"Pergi betul-betul?"
"Bukan Ciok Tho saja, Ong Thiong pun ikut pergi."
"Kukira demikian."
"Kau tidak mengejarnya?"
"Tidak perlu dikejar."
"Kenapa?"
Ciok Tho mau ikut dia pergi tentu ada latar belakangnya, meski kita
menyandaknya, dia belum tentu mau kembali, apalagi pernah aku berjanji
kepadanya, bila ia mau pergi, aku tidak akan merintanginya.
"Sungguh manusia aneh, benarkah sampai sekarang kau masih belum tahu
asal usulnya."
"Em!"
Teringat sikap dan mimik Ong Thiong waktu memperhatikan Ciok Tho,
berkerut alis Coh Liu-hiang, "Asal-usul Ong Thiong itu tentunya amat
misterius, coba pikir, apa tak mungkin kedua orang ini sebelumnya memang
sudah pernah kenal?"
Ki Ping-yan malah berpaling kearah lain, seolah tidak mendengar katakatanya,
Coh Liu-hiang tahu kalau orang bersikap demikian, itu pertanda
percakapan sudah berakhir.
Disini mereka berbisik-bisik bicara, di sana Kui-je-ong menarik Oh Thihoa
tanya ini tanya itu, cuma sorot mata Pipop-kongcu tak pernah beralih
dari badan Coh Liu-hiang.
Akhirnya berkata Coh Liu-hiang : "Kami beramai sudah cukup kenyang dan
puas, Ongya juga perlu segera istirahat." Baru saja ia berusaha mengakhiri
perjamuan tengah malam ini, siapa tahu pada waktu itu juga keadaan di
luar mendadak menjadi ribut ringkik kuda, derap langkah dan jeritan orang
campur aduk. Disusul orang banyak berteriak-teriak : "Api! Api! Lekas
tolong ada orang melepas api!"
Berubah air muka Kui-je-ong : "Mungkin ada pembunuh lagi"
Ka?".kali?".an lekas keluar memeriksa," belum habis kata-katanya Oh
Thi-hoa sudah lompat bangun dan menerjang keluar.
Coh Liu-hiang mengerutkan keningnya, baru saja dia hendak bilang :
"Jangan kena tipu memancing harimau meninggalkan sarang." Siapa tahu
tanpa ayal Ki Ping-yan sudah tarik tangannya ikut memburu keluar.
Keadaan di luar tidak segaduh yang mereka bayangkan. Anak buah Kui-jeong
agaknya adalah busu-busu pilihan dan gemblengan, menghadapi
perubahan mendadak, sedikitpun mereka tidak menjadi gugup. Tapi api
yang timbul di berbagai tempat memang tidak kecil, pohon-pohon dan
perkemahan para busu banyak yang terjilat api, kuda dan unta dalam
kandangpun ada yang lepas.
Tatkala itu kebanyakan busu-busu itu repot memadamkan api, cuma
sedikit yang mengejar dan menangkap pulang unta dan kuda, perkemahan
tempat tinggal Kui-je-ong jadi tiada penjagaan.
Ki Ping-yan menerjang maju, menarik seseorang, tanyanya bengis :
"Dimana kawanan busu yang menjaga perkemahan Ongya?"
Busu ini melototkan mata, mukanya gugup dan gelisah, ternyata dia tidak
paham ucapan Ki Ping-yan. Untung seorang lain segera memburu maju dan
menjawab dengan hormat : "Hamba beramai tahu dalam kamar Ongya
banyak jago lihai dan cukup berkelebihan untuk melindungi Ongya."
Pelan-pelan Ki Ping-yan lepas tangan, jengeknya dingin : "Baik sekali tipu
memancing harimau meninggalkan sarang ini."
"Kalau kau sudah tahu, kenapa kau tarik aku keluar! "Omel Coh Liu-hiang.
"Kutarik kau keluar memang ku sengaja, untuk membiarkan mereka
memainkan sandiwara."
"Maksudmu Go?"?""."
Kalian hanya memperhatikan permaisuri dan putrinya, sebaliknya aku
tidak. "Jadi sekarang?"?".."
Aku pergi cari Siao-ong, pergilah kau melihat sandiwara itu, badannya
bergerak sebat sekali, sekali berkelebat laksana anak panah meluncur ke
depan. Coh Liu-hiang geleng-geleng kepala, setelah memutar sebuah lingkaran
besar barulah dia kembali ke kemah Kui-je-ong, langsung dia melayang ke
puncak kemah dimana terdapat lubang angin. Ditempat ketinggian ini
dengan jelas Coh Liu-hiang ikuti kejadian didalam kemah.
Dilihatnya Kui-je-ong masih memegangi cangkir araknya tapi araknya
sudah bercecer keluar karena tangannya gemetar hebat. Pipop-kongcu
duduk memeluk ayah bagindanya. Kedua saudara Go itu, satu berdiri
diambang pintu melongok keluar, satu lagi berjaga disampingnya.
Go Pek-hun tiba-tiba berpaling, katanya : "Semua sudah pergi jauh."
Go Ceng-thian tersenyum lebar : "Sret" ia loloskan pedangnya.
Kata Kui-je-ong gemetar : "Kalian sekali-kali jangan turun tangan, Siaoong?"
belum habis ia bicara ujung pedang yang kemilau tahu-tahu sudah
mengancam di depan hidungnya. Keruan Kui-je-ong kaget dan ketakutan,
serunya : "Kau?".., apa yang kau lakukan?"
Go Ceng-thian menyengir sadis. Tidak apa-apa cuma ingin memenggal
batok kepalamu.
"Siao-ong undang kalian dengan bayaran tinggi, kenapa kalian malah
mengancamku?"
"Bayaran tinggi" Berapa uang yang kau berikan pada kami?"
"Bukankah selaksa tail?"
"Tapi musuhmu memberi dua laksa tail"
"Kalian dijuluki sebagai pendekar, kenapa?".kenapa melihat harta lantas
lupa harga diri?"
"Pendekar" Berapa sih harganya pendekar?" Go Ceng-thian tertawa
tergelak-gelak, "Kau sudah menjelang ajal, biar kuberi peringatan padamu,
manusia yang bisa dibeli dengan uang, dia bukanlah pendekar. Orang yang
dapat kau beli, orang lainpun berani membeli dengan harga lebih tinggi."
"Kalau demikian, memang mata Siao-ong yang picak."
"Memang matamu picak, bicara terus terang, kabar yang kau katakan tadi
kurang tepat, kali ini kami bukan empat orang tapi enam orang."
"Ma"..masih empat lagi yang lain" dimana?"
"Sudah tentu mereka sudah tiba semua, coba kau terka siapa yang
membawa mereka?"
Pipop-kongcu tiba-tiba menimbrung : "Apakah Toa Hoan?"
"Benar," ujar Go Ceng-thian, "kau memang lebih cerdik dari bapakmu, aku
jadi merasa tak tega membunuhmu."
Go Pek-han mengerutkan alis, katanya : "Waktu amat mendesak, kau
ngobrol apa" Kalau ada orang kemari, apakah kau mau pahalanya direbut
orang lain?"
Benar, aku hampir lupa memberi tahu kepadamu, kepalamu ini berharga
lima ratus tail. Dimana ia gentakkan tangan, ujung pedangnya segera
memenggal kepala Kui-je-ong.
Coh Liu-hiang belum mau turun tangan, hatinya cukup tetap dan tenang, ia
tahu tak perlu dirinya ikut campur, batok kepala Kui-je-ong takkan
terpenggal. Benar juga terdengar "Ting", pedang panjang Go Ceng-thian
tahu-tahu tersampok miring, hampir saja terlepas dari tangannya. Entah
kapan, tahu-tahu Pipop-kongcu sudah memegang rebabnya itu, katanya
dingin : "Hanya mengandalkan kau, ingin mengambil kepala ayah baginda,
orang-orang yang mendahului kau sudah sejak dulu berhasil."
Tersirap darah Go Pek-hun, katanya : "Kepandaian budak ini tidak lemah,


Rahasia Ciok Kwan Im Pendekar Harum Seri Ke 2 Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rombongan orang-orang yang mendahului kita mungkin sudah terjungkal
ditangannya."
Go Ceng-thian kertak gigi, bentaknya : "Kau tetap jaga pintu, seorang diri
aku cukup menghadapi dia." Sinar pedangnya berkelebat, kembali ia
menubruk maju. "Apa kau cukup mampu menghadapi aku?" cemooh Pipop-kongcu. Rebabnya
tak pernah bergerak, tapi belum habis kata-katanya, dari ujung rebabnya
itu tiba-tiba menyembur keluar setabir jarum-jarum perak, begitu banyak
jarum-jarum itu, seperti hujan menyambar, entah berapa banyak
jumlahnya. Saking terkejutnya, lekas Go Ceng-thian putar pedangnya sekencang
mungkin untuk melindungi badan. Yu-liong-kiam-hoat yang punya enam
puluh empat jurus itu memang terkenal kelincahan dan kehebatannya untuk
mempertahankan diri, tapi betapapun rapat permainan pedangnya, jarumKoleksi
Kang Zusi jarum perak itu menyambar lebih rapat lagi.
Terdengar jeritan yang menyayatkan hati, pedang melesat naik ke udara,
Go Ceng-thian dekap mukanya dengan kedua tangannya, darah segar
meleleh dari sela-sela jari tangannya, mulutnya melolong kesakitan dengan
pilu : "Senjata rahasia teramat jahat!" belum selesai kata-katanya
badannya sudah roboh terjerembab.
Pipop-kongcu menghela napas, katanya : "Senjata rahasia beracun yang
jahat, memang khusus digunakan untuk menghadapi manusia-manusia jahat
seperti kalian."
Sementara itu dengan mata melotot marah, Go Pek-hun sudah menubruk
maju dengan menarik sebuah kasur duduk sebagai tameng ditangan kiri,
pedang ditangan kanan menusuk tujuh jurus dengan tipu-tipu mematikan.
Kelihatannya Pipop-kongcu tak kuasa bertahan, dia terdesak mundur
berulang-ulang.
"Gadis busuk," maki Go Pek-hun penuh kebencian, "Masih punya cara keji
apa kau" Kenapa tidak kau gunakan?"
Pipop-kongcu mundur terdesak mepet cagak kemah dan tak mungkin
mundur lagi, tetapi roman mukanya tetap mengulum senyuman manis,
sedikitpun tidak kelihatan gugup.
Sementara Kui-je-ong sudah mengkeret dipojokan sana, teriaknya :
"Lekas, lekas turun tangan! Nyalimu besar, nyali bapakmu kecil!"
Tawa Pipop-kongcu semerdu kelintingan, serunya : "Aku hanya ingin
berkenalan dengan Yu-liong-kiam mereka, kau orang tua minta aku turun
tangan, baiklah aku mulai! "Dengan kedua tangan ia mengangkat rebabnya
memapak keatas, "Reng" kembang api berpercikan, pedang panjang kembali
terpental. Go Pek-hun menyeringai buas, serunya : "Keparat, ternyata rebab besi!"
Rebab memang dibuat dari besi murni, beratnya luar biasa, meski orang
yang punya tenaga besar, sukar memainkan seenteng pedang, terpaksa
Pipop-kongcu harus menggunakan kedua tangannya untuk mengangkatnya.
Go Pek-hun cukup maklum permainan orang takkan lincah dan gesit, maka
sedikitpun ia tidak gentar, pedang dimainkan lebih gencar, kembali ia
menubruk maju, cuma kali ini dia tak berani mengadu kekerasan.
Tampaknya dengan rebabnya Pipop-kongcu tetap melayaninya dengan
mantap dan tenang, jurus-jurus permainan rebabnya amat aneh dan lain,
malah cukup cepat juga. Karena rebab ini terlalu besar, sedikit tangannya
bergerak, perubahan rebab menjadi tak menentu banyaknya dan yang
aneh, setiap jurus permainannya tetap bertahan dengan rapat.
Dengan kedua tangan memegangi rebab, untuk melukai musuh tentulah
sulit, meski sudah banyak pengalaman Coh Liu-hiang, namun belum pernah
terpikir olehnya, dengan kedua tangan memegang satu senjata, untuk
melawan musuh dengan sama kuat, terutama jurus-jurus permainan seaneh
ini belum pernah dilihatnya. Dia sendiri seolah-olah sudah mengikat mati
kedua tangannya, meski amat rapat dan kuat pertahanannya, terang
dirinya takkan bisa mencapai kemenangan.
Go Pek-hun juga merasa heran, setelah beberapa jurus berlalu, nyalinya
bertambah besar, serangannya lebih gencar, belakangan dia malah berani
mendesak musuh, pikirnya harus berani nyerempet bahaya untuk
memperoleh kemenangan.
Siapa tahu, tepat pada waktu itu, tiba-tiba tampak sinar perak
berkelebat. Tahu-tahu kedua tangan Pipop-kongcu terkembang dikedua sampingnya,
bagian lekuk dari rebab itu tahu-tahu melesat keluar sebuah belati yang
berkilauan dan tiba-tiba menusuk amblas ke dalam perut Go Pek-hun.
Pedang Go Pek-hun terlempar lepas, dengan sempoyongan badannya roboh
terkapar, matanya menyorotkan penasaran, sampai mati dia masih belum
paham cara bagaimana kena dibunuh oleh lawannya.
Menghadapi badan orang yang roboh pelan-pelan, Pipop-kongcu berkata
pelan-pelan : "Senjataku ini memang teramat aneh, ganas dan keji, kenapa
kau justru mendesak aku menggunakannya?"
Diam-diam Coh Liu-hiang tertawa getir ditempat persembunyiannya,
Lwekang Pipop-kongcu kelihatannya tidak begitu tinggi, permainan jurus
silatnya yang dipelajaripun tak banyak, setiap jurusnya masih kelihatan
kaku sederhana, kejam, telengas dan bermanfaat.
Sungguh tak habis pikir otak Coh Liu-hiang, entah darimana orang
mempelajari kepandaian seaneh itu, seorang gadis kecil mempelajari ilmu
silat begitu lucu, bukan suatu hal yang patut dibuat senang.
Kui-je-ong sudah berdiri, sambil mencari arak dan berteriak : "Lekas!
Lekas suruh orang menggotong kedua mayat ini, aku takut melihat orang
mati." "Setelah membunuh orang, kaki tanganku jadi lemas," ujar Pipop-kongcu.
Badannya masih menempel kain kemah, tepat pada saat itulah sekonyongkonyong
dua tangan orang tiba-tiba melesat masuk melalui kain kemah
secepat kilat dan berhasil menelikung kedua tangan Pipop-kongcu.
Saking terkejutnya, cangkir ditangan Kui-je-ong yang baru dipegangnya
seketika mencelat jatuh pula. Terdengar blak bluk dua kali, dua orang
tahu-tahu sudah merobek kemah dan menerjang masuk.
Kedua orang ini bermuka pucat pias, pakaiannya serba hitam. Orang di
sebelah kanan adalah Sat-jiu-bu-ceng Toh Hoan, tangan kirinya dengan
kencang mencengkeram lengan Pipop-kongcu, sementara tangan kanan
diperban dan digantung oleh kain panjang dari lehernya.
Orang di sebelah kiri berbadan kurus kering, sebaliknya kepalanya seperti
melesak masuk ke dalam lehernya, tapi sepasang matanya justru berkilat
terang sebuas mata orang hutan yang kelaparan.
Kedua lengan Pipop-kongcu seperti terjepit oleh dua jepitan besi, saking
kesakitan hampir saja matanya melelehkan air mata, tapi dia kertak gigi,
mengeluhpun tidak.
Bergetar suara Kui-je-ong : "Ka"..kalian ingin memenggal kepala Siao-ong
boleh kuberikan tapi lekas lepaskan putriku."
Toh Hoan terloroh-loroh katanya : "Masa kau belum pernah dengar nama
burukku" Jikalau tuanmu bisa membunuh dua orang, takkan satu yang
ketinggalan hidup."
Laki-laki kurus seperti kera itu mengerutkan kening, katanya : "Mau bunuh
lekas bunuh, cerewet apalagi!"
Agaknya Toh Hoan rada jeri terhadap orang ini, katanya tertawa kering :
"Sun-heng hendak turun tangan" Atau Siaute yang turun tangan?"
"Kalau hobimu memang membunuh orang biar kau saja yang turun tangan!"
"Terima kasih, terima kasih?"?"." Toh Hoan tertawa besar .
Sekonyong-konyong terdengar seseorang berkata perlahan-lahan : "Kedua
orang ini mana boleh kalian bunuh."
Ditengah kumandang suaranya, sesosok bayangan orang melayang turun
dari langit-langit kemah, kelihatannya tidak menggunakangaya apa-apa,
tapi waktu melayang turun sekujur badannya seringan kapas melayang
ditengah udara, sedikitpun tak mengeluarkan suara waktu kakinya
menyentuh tanah.
Kecuali Coh Liu-hiang si Maling Romantis, siapa pula yang memiliki ilmu
Ginkang setinggi itu"
Laki-laki baju hitam itu, semula bersikap takabur dan congkak, mimiknya
seolah-olah tiada orang lain dihadapannya, tapi setelah melihat bayangan
orang, seketika ia terkejut melongo, jari-jari tangannya yang terkepal
kencang tadi mengendor sama sekali.
Dengan mengawasi orang Coh Liu-hiang tersenyum simpul, katanya : "Sunkausu
masih kau kenal padaku?"
Kiranya laki-laki baju hitam ini adalah ahli waris tunggal dari Tiang-pekkau-
cun "Rombongan kera dari Tiang-pek-san", seorang yang amat keras
dan tangan telengas diantara sekian banyak gembong-gembong persilatan
yang lalim dan kejam, sampaipun Tiang-pek-kiam-pay merasa pusing
menghadapi Hek-kau Sun Khong ini, Si Kera Hitam.
Kalau biasanya dia bikin orang pusing kepala, tapi sekarang dia sendiri
yang merasa kepalanya puyeng, sekian lama dia menjublek tanpa kuasa
bersuara. Semula Toh Hoan masih unjuk wibawa, namun melihat sikapnya
ini seketika terkancing mulutnya.
Berkata Coh Liu-hiang tertawa: "Manusia seperti tampangmu ini berani
juga kemari menjadi pembunuh bayaran, memangnya kau tidak merasa
malu?" Hek-kau, Sikera Hitam Sun Khong tiba-tiba membanting kaki, katanya
dengan suara sumbang : "Kalau aku tahu kau berada di sini, meski leherku
digorok juga, aku takkan kemari."
"Terhitung kau masih punya nurani." puji Coh Lu-hiang.
Setelah melongo sesaat lagi, akhirnya Hek-kau menghela napas, tanpa
banyak cincong segera ia berlalu.
Sat-jiu-bu-ceng Toh Hoan, sitangan keji tak kenal kasihan, segera
berseru : "Kau hendak pergi begini saja?"
Sun Khong mendadak membalikan badan, jengeknya sinis : "Memangnya
aku tak boleh pergi?"
"Siapakah bocah ini?" tanya Toh Hoan aseran, "Kenapa Sun-heng begitu
takut padanya?"
Sun Khong memelototi matanya, katanya menyeringai sadis : "Kau berani
menganggapnya sebagai bocah" Mengandal apa kau berani tanya dia"
Hem!" berbareng dengan gerengannya, sebuah tangan hitam laksana kaitan
besi tahu-tahu berkelebat laksana kilat, sebelum Toh Hoan sadar dan
hendak berkelit, mulutnya sudah menjerit keras dan sempoyongan. Tahutahu
dadanya sudah berlobang besar dan menyemburkan darah.
Sun Khong membersihkan jari-jari tangannya yang berlepotan darah
dengan bajunya, sekali tendang ia bikin badan orang terbang jauh keluar
kemah, seperti tak terjadi apa-apa, kedua tangannya digosok-gosok,
katanya tertawa pada Coh Liu-hiang: "aku tahu kau tak pernah membunuh
orang, tapi kutinggalkan dia di sini juga membawa kesulitan, terpaksa
kubunuh saja dia." belum habis kata-katanya, tanpa menoleh dia tinggal
pergi. Semula Kui-je-ong masih hendak meringkusnya, tapi mukanya sudah pucat
ketakutan, setelah musuh berlalu barulah Kui-je-ong memuntahkan isi
perutnya, serunya sambil pejamkan mata : "Lekas, bersihkan semua mayatmayat
itu!" Sekonyong-konyong Sun Khong melongokkan kepalanya pula dari luar,
katanya : "Hampir aku lupa memberitahumu, karena aku berhutang budi
padamu, begitu melihat mukamu segera aku berlalu. Tapi masih ada sepuluh
kali lebih hebat dari aku akan kemari secepat mungkin, kau harus hatihati."
"Selamanya aku amat hati-hati, cuma siapa pula tokoh yang lihai itu?" ujar
Coh Liu-hiang tertawa.
Sun Khong tertawa meringis, sahutnya : "Begitu aku menyebut namanya,
kepalaku pusing tujuh keliling, lebih baik tak kukatakan, sayang segera aku
harus berlalu, kalau tidak bisa melihat pertarungan kalian, wah, tentu amat
hebat dan menarik." Kali ini dia berlalu lebih cepat, kata-kata terakhir
diucapkan sepuluhan tombak jauhnya.
Mendadak Pipop-kongcu memburu kedepan Coh Liu-hiang, teriaknya sambil
menarik tangannya : "Siapakah sebetulnya kau ini" Sampaipun aku, kau
tidak mau memberitahu?"
Coh Liu-hiang lepaskan tangannya dari cekalan orang, sahutnya tertawa :
"Aku bukan siapa-siapa, aku ini bukan lain adalah ulat busuk!"
Pada saat itu juga dari luar kumandang gemboran Oh Thi-hoa : "Ulat
busuk, tiada kejadian apa-apa di tempatmu?"
Pipop-kongcu masih merengek-rengek, katanya tertawa kepada Coh Liuhiang:
"Benar, aku memang ingin tanya kau, kenapa dia selalu panggil kau
ulat busuk!"
Sungguh tak enak bagi Coh Liu-hiang bicara berhadapan dengan gadis
sambil merengut, tapi sekarang terpaksa dia harus menarik muka, kalau
tidak dia merasa bersalah terhadap Oh Thi-hoa. Katanya : "Julukan ini
diberikan oleh calon suamimu, kenapa tidak kau tanya padanya?"
Pipop-kongcu seperti tertegun sebentar, kebetulan Oh Thi-hoa bersama
Ki Ping-yan melangkah masuk, sekali menyapu pandang, Ki Ping-yan lantas
tersenyum, katanya : "Bagaimana" Baik tidak sandiwaranya?"
Coh Liu-hiang geleng-geleng kepala, ujarnya : "Kalian kelihatannya ademadem
saja mengejar maling diluar, tapi kau biarkan maling lari masuk
kemari?"?".."
Belum habis kata-katanya, Oh Thi-hoa sudah tergelak-gelak.
Berkerut alis Maling Kampium, katanya : "Kau merasa geli."
"Kali ini memang kau kena ditipu oleh Jago Mampus."
"Tertipu?" Maling kampium tertegun.
"Kau kira kami tidak melihat kedua orang itu?"
"Kalau melihat kenapa kau biarkan mereka masuk kemari?"
"Jago Mampus ejekan buat Ki Ping-yan, sudah kenal Sun-khong, dia tahu
selama hidupnya kera hitam itu paling kagum terhadapmu, kuatir kau
terlalu menganggur di sini, maka dia dibiarkan supaya kau bereskan
sendiri, waktu aku hendak melabraknya, malah kena dirintangi."
Tak tahan Coh Liu-hiang tertawa lebar, katanya geleng-geleng : "Memang
aku sudah heran, meski ginkang Sun-kaucu "Kera she sun" tidak lemah,
mana mungkin dia bisa lolos dari pandangan kalian, siapa tahu memang
kalian hendak mempersulit diriku saja."
Ki Ping-yan tertawa tawar, ujarnya : "Tapi kalau kera hitam itu tidak bisa
dipandang sebagai tokoh yang boleh diampuni, aku takkan membiarkan dia
berhadapan dengan kau?""jikalau kubiarkan setan pemabokan ini
melabrak kera hitam itu, coba pikir apakah kera hitam itu bisa lolos?"
Kalau semua orang gempar, ribut dan berjuang mati-matian mengadu jiwa,
mengalirkan darah, saking tegang bahkan napaspun memburu, ketiga orang
ini justru bersikap adem-ayem seperti biasa seolah tak pernah terjadi
apa-apa, seperti sedang makan sayur belaka.
Baru sekarang Kui-je-ong bisa menenangkan hati, tiba-tiba ia memburu
maju, katanya : "Mereka?""..mereka semua datang enam orang, mana pula
yang dua?"
"Ongya ingin melihat mereka?" tanya Ki Ping-yan tawar.
Kui-je-ong terperanjat, lekas ia goyang-goyang tangan, sahutnya :
"Tidak?"".tidak mau."
Coh liu-hiang menghela napas, katanya : "Tak beruntung kedua orang itu
kebentur oleh mereka berdua, mungkin selamanya takkan bisa kemari."
Pipop-kongcu menatapnya, tanyanya : "Kalau kebentur oleh kau?"
Maling kampium pura-pura tidak dengar, ia tidak perdulikan pertanyaan
orang. Oh Thi-hoa malah yang menjelaskan dengan tertawa : "Siapa saja yang
kebentur oleh dia, terhitung baik nasibnya, Dulu kera hitam pernah tiga
kali kebentur di tangannya, tiga kali juga dilepaskannya. Oleh karena itu
setiap kali berhadapan dengan dia, kentutpun Sun-kaucu tak berani, lantas
tinggal pergi." Lalu ia menambahkan dengan sungguh-sungguh: "Bahwasanya
kepandaian kelima orang itu dilipat-gandakanpun bukan tandingan Sunkaucu
seorang." Seketika Kui-je-ong menjadi tegang pula, katanya : "Tapi Sun-kaucu tadi
bilang, masih ada seseorang yang sepuluh kali lebih lihay dari dia hendak
kemari." "Oh, apa ya?" tanya Ki Ping-yan mengerutkan alisnya.
"Tokoh yang sepuluh kali lebih lihay dari Sun-kaucu, hanya ada beberapa
orang saja dalam dunia ini, tapi bukan mustahil kera hitam itu sedang mainmain
dengan kita."
"Sun-kaucu selamanya tak pernah berbohong."
"Kalau begitu, coba kau pikir siapa yang dia maksudkan?"
"Perduli siapa dia, tunggu saja kedatangannya, jikalau kalian tak punya


Rahasia Ciok Kwan Im Pendekar Harum Seri Ke 2 Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kebiasaan tidur, biar aku seorang diri pergi tidur saja," tanpa menunggu
reaksi orang banyak Ki Ping-yan tinggal pergi.
Biji mata Oh Thi-hoa berputar-putar, lagaknya seperti ingin minum, tibatiba
ia melihat roman muka Pipop-kongcu berubah begitu jelek, seketika
lenyap selera minumnya, sambil menyengir dan mengusap mulut dengan
lengan bajunya, lekas ia tinggal pergi meronda keluar.
Sudah tentu Coh Liu-hiang tidak ingin tinggal lama-lama disini, setelah
bersoja segera ia hendak mengundurkan diri. Tak nyana Pipop-kongcu tibatiba
menahannya : "Tunggu sebentar?"
"Harap tunggu!" Kui-je-ong menahannya.
Betapapun keras teriakan Pipop-kongcu boleh dianggap tak mendengar,
tapi seruan Kui-je-ong tak bisa tidak ditanggapi, apa boleh buat Coh Liuhiang
putar badan, tanyanya : "Ongya masih ada pesan apa?"
Jilid 18 Sekian lama Kui-je-ong terlongong, katanya kemudian menyengir tertawa :
"Menurut pendapatmu kapan baiknya hari pernikahan putriku dengan
temanmu dilangsungkan?"
"Maksud Ongya?"."
"Lebih cepat lebih baik" sebelum Kui-je-ong bicara Pipop-kongcu sudah
menyela bicara.
Tak sedikit Co Liu-hiang pernah lihat perempuan bernyali besar dan
bermuka tebal, tapi seperti putri raja yang ingin lekas-lekas menikah
seperti Pipop-kongcu ini belum pernah dilihatnya, katanya dengan
menyengir kejut : "Kalau perjodohan ini sudah disetujui oleh kedua belah
pihak, kapan saja pernikahan dilangsungkan tak menjadi soal."
Kalau begitu besok saja dilangsungkan, kata Pipop-kongcu dengan mata
bersinar. Dengan langkah lebar Coh Liu-hiang kembali ke perkemahannya, hatinya
jengkel dan geli pula mulutnya menggumam : "Sungguh belum pernah
kulihat calon pengantin yang begini terburu-buru untuk kawin."
Baru saja kakinya melangkah ke dalam perkemahan, dilihatnya Oh Thi-hoa
sedang memeluk guci menuang arak ke dalam mulutnya sekaligus ia
habiskan setengah guci arak, katanya tertawa : "Tadi hampir saja bikin aku
mati kutu dengan mendelong melihati kau dan dia sepuasnya."
"Bukankah kau biasanya bermuka tebal?" Olok Ki Ping-yan.
Orang lain mengolok dan menggoda aku, tidak menjadi soal, tapi
dia?".diapun menggoda aku, coba katakan malu tidak aku ini"
"Kalau sekarang kau sudah takut kepadanya, celakalah hidupmu dikelak
kemudian."
"Ya, hidup baru, besok harus kau mulai, pengantin perempuan terburuburu
ingin kawin, dia desak aku supaya tentukan pernikahan besok pagi."
"Apa besok pagi?" Oh Thi-hoa menjerit sambil mencelat bangun.
"Ya, besok pagi!" Coh Liu-hiang menegaskan.
Sekali raih Oh Thi-hoa renggut baju di depan dada Coh Liu-hiang :
"Kau?"..kau lantas menyanggupi?"
"Sebagai calon menantu raja, cepat atau lambat kau akan menikah, apa
bedanya cepat sehari atau lambat seminggu?"
Oh Thi-hoa jumpalitan jatuh keatas ranjang, mulutnya berkaok-kaok :
"Celaka dua belas, sedikitpun aku tidak mempersiapkan diri apa tidak
menyulitkan aku?"
"Jadi pengantin harus siap apa" Jikalau kau tidak bisa, aku dan Maling
Romantis cukup mampu mengajarkan pada kau." Goda Ki Ping-yan tertawa.
Oh Thi-hoa lempar sebuah bantal ke arah orang, dengan kaki telanjang dia
mondar-mandir kesana-kemari mencari arak, dan mulutnya muring-muring :
"Mana araknya" Arak yang harus mampus ternyata sudah habis" Kalau
tidak tenggak dua cangkir lagi untuk menekannya, serasa hampir melonjak
keluar jantungku saking tegang."
Coh Liu-hiang mengawasi Ki Ping-yan, katanya : "Coba kau pikir, kenapa
mereka begitu terburu nafsu hendak melangsungkan pernikahan besok
pagi?" "Setelah kejadian malam ini, Kui-je-ong seperti burung yang ketakutan
dikejar panah, kepada siapapun dia tidak percaya lagi, terpaksa harus
lekas mencari menantu untuk menjadi pelindungnya, kalau tidak?"?""
Mendadak Oh Thi-hoa menjerit kaget, serunya : "Lekas kalian kemari,
coba lihat apa ini?" karena mengobrak abrik kesana kemari, tiba-tiba
didapatnya secarik kertas di bawah tindihan botol arak.
Di atas kertas putih itu bertuliskan huruf huruf yang indah berseni.
Tuan-tuan datang dari jauh, jiwa sendiri belum tentu selamat, kenapa
turut campur urusan orang lain" Mumpung hari belum terang tanah, lekas
tinggalkan tempat ini, itulah jalan paling tepat, kalau tidak menyesalpun
sudah terlambat.
Jikalau kalian sudi mendengar nasehatku, kesempatan lain akan kubuatkan
hidangan lezat untuk menjamu kalian panjang umur.
Tertanda Orang di ruang pemujaan
Tak terasa Coh Liu-hiang terlongong mengawasi kertas di tangannya.
"Dua kali meninggalkan surat dengan tulisan yang sama, naga-naganya
komplotan Ciok-kwan-im memang sudah sejak lama menyelundup disekitar
Kui-je-ong?"." Ki Ping-yan utarakan dugaannya.
"Menurut dugaanmu siapa-siapa saja komplotannya?" tanya Oh Thi-hoa.
Siapapun mungkin saja, mungkin para busu, mungkin permaisuri atau
gundik-gundiknya, bukan mustahil mereka ayah beranak juga," komentar Ki
Ping-yan. Kesima mata Oh Thi-hoa, katanya kemudian menyengir kecut : "Jangan
kalian menjadi gelisah lantaran aku tidak jadi menantu raja, bagi aku tidak
jadi soal, memang kemungkinan adalah mereka ayah beranak sendiri."
Coh Liu-hiang tersenyum katanya : "Jikalau hanya huruf hitam diatas
kertas ini cukup mampu mengusir kita, seumpama kita tetap bisa hidup,
menjadi manusiapun tak ada artinya lagi."
Bercahaya biji mata Oh Thi-hoa, katanya sambil menggosok-gosok tapak
tangan: "Nah, kata-kata ini baru mirip ucapan si maling kampium, apapun
yang akan terjadi kita harus adu jiwa dengan dia."
"Sekarang," kata Coh liu-hiang dengan prihatin, "Kalau dia sudah pasti
hendak mencari kita, maka kita tak perlu tergesa-gesa, biarlah kita tunggu
kedatangannya saja disini, besok kau tetap melangsungkan pernikahanmu,
tiga hari kemudian tetap kita bekerja menurut rencana Kui-je-ong untuk
menukar Ki-loh-ci-sing itu dengan barang-barang yang sudah disiapkan."
Menurut hematmu apa dia betul hendak menukarnya"
"Sudah tentu dia takkan menukarnya."
Oh Thi-hoa menibrung bertanya : "Kalau dia tak mau tukar, kenapa kita
harus melakukannya?"
Secara royal Kui-je-ong berikan permata kucing itu pada kau, sebaliknya
Ki-loh-ci-sing dipandangnya lebih berharga dari jiwanya sendiri, jelas Kiloh-
ci-sing membekal suatu rahasia yang amat tinggi nilainya, benar tidak"
"Ya, mungkin!" sahut Oh Thi-hoa.
Bahwa Ciok-koan-im mau bertindak demikian tidak lebih karena ingin tahu
sampai dimana nilai dari rahasia Ki-loh-ci-sing itu"
Ki Ping-yan tiba-tiba nimbrung : "Kalau Kui-je-ong memandang Ki-loh-cising
begitu berharga, kenapa dia tidak ragu menyerahkan kepada Pengkeh-
chit-hou untuk membawanya pergi?"
Coh Liu-hiang berpikir sebentar baru menjawab : "Mungkin bukan dibawa
pergi, tapi titip kepada Peng-keh-chit-hou untuk membawanya kemari."
Ki Ping-yan mengerutkan keningnya, "Jadi Ki-loh-ci-sing itu semula tak
berada ditangan Kui-je-ong" Tapi berada ditangan seseorang yang
menetap di Tionggoan" Sekarang Kui-je-ong amat memerlukan barang ini
lalu suruh orang untuk mengantarnya kemari?"
Sudah tentu itupun suatu kemungkinan, benar tidak"
"Kalau demikian, urusan tidak besar, barang begitu berharga mana Kui-jeong
sudi titipkan pada orang lain" Kalau toh orang itu sudah menyimpan
mestika semahal itu, mana sudi memberikan kepada orang lain pula?" Ki
Ping-yan utarakan kesangsiannya.
"Dalam hal ini sudah tentu mengandung suatu rahasia yang tak mungkin
diketahui orang luar." Coh Liu-hiang coba menganalisa. "Mungkin hanya Kuije-
ong seorang yang tahu rahasia ini, kita tak perlu menebak-nebak, cuma
kupikir," Ia tertawa lalu menyambung: "Bila keadaan memaksa, mungkin
Kui-je-ong akan memberitahu sendiri."
Setelah mengalami ketegangan dan keributan semalam suntuk, meski hati
masih diganjal urusan-urusan penting, tapi begitu memejamkan mata, tanpa
terasa siapapun akan terlelap dalam impian.
Entah berapa lama mereka tertidur, sekonyong-konyong terdengar
lambaian pakaian yang terhembus angin, sesosok bayangan orang bagai
terbang menerjang masuk kedalam perkemahan, ternyata dia bukan lain
rampok budiman dari Tionggoan Sutou Liu-che.
Orang-orang sebangsa Coh Liu-hiang seolah olah selamanya tak pernah
tidur sungguh-sungguh.
Ki Ping-yan segera menyambut kedatangan orang dengan jengekan dingin:
"Tuan pergi tanpa pamit, kini datang tanpa memberitahu lagi, apa tingkah
lakumu tidak terlalu aneh?"
Sambil menyeka keringat Sutou Liu-che unjuk tawa dibuat-buat, katanya:
"Cayhe ada urusan perlu kuberitahukan, harap kalian suka maafkan
keteledoranku ini."
Lama Ki Ping-yan menatapnya, lambat laun sikapnya mulai lunak.
Oh Thi-hoa malah tertawa, katanya : "Kau punya urusan penting apa,
duduklah dan bicara perlahan-lahan."
"Semalam Cayhe pergi tanpa pamit, karena secara diam-diam aku
menguntit jejak Sat-jiu-bu-ceng Toh Hoan, sejak pertama kali Cayhe
merasa orang ini terlalu licik dan mengandung maksud tertentu, pastilah
ada latar belakangnya."
"Tidak malu kau sebagai kawakan Kangouw, pandanganmu memang tepat,"
puji Oh Thi-hoa.
"Gerak-geriknya seperti amat tergopoh-gopoh dan gelisah sepanjang
jalan, aku menguntitnya secara diam-diam, untunglah tidak konangan
olehnya, dia terus menuju keutara kira-kira setengah jam perjalanan,
terlihat di depan sana terdapat sebuah bukit pasir, dibalik bukit pasir
inilah berdiri sebuah perkemahan."
Mencorong pandangan mata Ki Ping-yan, katanya tertawa dingin : "Siapa
saja orang-orang yang berada didalam perkemahan itu aku tidak tahu tapi
cuma dengan si kera hitam Su-khong seorang, kalau tuan seorang diri
hendak main selidik dan mencuri dengar rahasia mereka belum tentu kau
bisa pulang dengan nyawa hidup."
Sutou Liu-che menyengir tertawa, ujarnya : "Sudah tentu cayhe tahu
dalam perkemahan itu pasti ada jago-jago kosen, masa aku berani
sembrono, setelah kulihat Toh Hoan memasuki perkemahan itu, baru saja
aku kebingungan apa yang harus aku lakukan, tiba-tiba nampak seekor kuda
mencongklang pesat menuju ke arah perkemahan itu, di atas kuda
penunggangnya membidikkan sebatang panah melesat masuk ke dalam
perkemahan, kuda tak berhenti terus membedal ke arah yang lain dan
menghilang."
"Betapa tajam pendengaran Sun-kaucu, sejauh ratusan tombak waktu
kuda itu lari mendekati kupingnya pasti sudah mendengarnya, mana
mungkin kuda itu bisa mendekat dalam jarak panah dengan perkemahan"
Mana dia orang membidikkan panahnya lagi?" demikian jengek Ki Ping-yan
lagi. "Kuda itu agaknya memang keturunan naga, agaknya kakinya terbungkus
rapat sehingga tidak menimbulkan suara di atas pasir, tentunya kecepatan
lari dan keringanan langkahnya tidak lebih asor dari seorang tokoh kosen
yang punya ginkang tinggi."
Sekilas Oh Thi-hoa melirik kepada Coh Liu-hiang, ujarnya tertawa : "Kuda
itu mungkin setanding dengan kuda yang kau pinjam dari mutiara hitam."
"Ditengah gurun pasir memang tidak sedikit kuda-kuda jempolan" silahkan
tuan lanjutkan ceritanya," kata Coh Liu-hiang.
"Baru saja kuda itu melesat pergi, tiga sosok bayangan orang segera
melesat secepat panah keluar dari kemah, mengejar dengan kencang,
Cayhe tahu inilah kesempatan terbaik untuk aku bertindak dan
menyerempet bahaya, kalau ayal tentu sia-sia kedatanganku."
"Tidak kecil ya nyali tuan," olok Ki Ping-yan sinis.
"Secara diam-diam Cayhe berputar kebelakang perlahan, soalnya di
belakang ada beberapa kuda yang terlindungi lingkaran tali, ringkik kuda
bisa melenyapkan gerak langkahku."
"Memang tidak malu kau dipandang rampok budiman dari Tionggoan,
tindakanmu memang serba perhitungan," kembali Oh Thi-hoa memuji.
Merah muka Sutou Liu-che, katanya pula : "Cayhe mendekam di atas pasir,
pelan-pelan aku singkap sedikit ujung kemah dan mengintip ke dalam,
tampak kecuali Toh Hoan masih ada dua orang berpakaian sutra emas,
bertopi kebesaran dari negeri Kui-je dan seorang Han yang bermuka
bengis dan licik."
Ki Ping-yan melirik kepada Coh Liu-hiang, bertaut alis Coh Liu-hiang,
katanya: "Apakah pemberontakan yang terjadi dinegeri Kui-je ini ada
orang Han yang ikut menjadi kaki tangannya?"
"Ketiga orang ini mencabut panah dari atas meja, diujung panah terdapat
lempitan secarik kertas. Orang Kui-je itu membacanya sebentar, mungkin
dia tidak bisa baca bahasa Han maka kertas itu dia angsurkan kepada lakilaki
tua bermuka bengis kejam itu, minta orang membaca huruf-huruf yang
ada di atas kertas."
"Jadi kau tahu juga apa yang tertulis di atas kertas itu, nasibmu cukup
baik," timbrung Oh Thi-hoa.
"Cayhe dengar laki-laki tua itu membaca cukup keras: Ki-loh-ci-sing sudah
berada di tanganku, kalau kalian ingin mendapatkan benda ini, sediakan
lima ribu tail emas, lima ratus butir mutiara, lima puluh pasang gelang
pualam, menuju ke barat daya lima puluh li untuk menukarnya, kalau kalian
tidak berminat, benda ini akan menjadi milik Kui-je-ong.
Belum selesai Sutou Liu-che membacakan, Coh Liu-hiang bertiga sudah
berjingkat berdiri, seru Oh Thi-hoa: "Bocah keparat, sekaligus
menawarkan dagangan kepada dua pembeli, apakah Ki-loh-ci-sing ada
sangkut pautnya dengan negeri Kui-je?".."
Ki Ping-yan segera menukas, katanya : "Bagaimana reaksi kedua orang Kuije,
setelah mendengar surat yang dibaca itu?"
"Roman muka mereka seketika berubah, pada saat itu pula tiga orang yang
mengejar keluar keburu pulang, bukan saja orang-orang dalam kemah tidak
menyinggung soal surat itu, secara diam-diam kertas surat itupun
disimpannya."
Bagaimana hasilnya dengan pengejaran mereka, tanya Oh Thi-hoa.
"Tidak terkejar, satu diantara ketiga orang itu yang bertubuh kurus
seperti kera, mulutnya mengumpat caci, katanya kuda itu pasti kuda setan,
kalau tidak meski memejamkan mata pasti diapun bisa menyandaknya."
"Sun-kaucu memang mengagulkan ginkangnya tiada bandingan, kali ini dia
terjungkal oleh seekor kuda, sudah tentu hampir edan saking marah," kata
Oh Thi-hoa geli.
"Aku tahu orang ini tentu seorang jagoan kosen, disaat hatiku gelisah
kuatir jejakku ketahuan, untunglah setelah mereka berunding, Sun-kausu
itu membawa tiga temannya termasuk Toh Hoan meluruk kemari!" tutur
Sutou Liu-che. "Kalau tuan tahu mereka kemari membunuh orang, kenapa tidak lekas kau
pulang memberi kabar?" desak Ki Ping-yan.
"Cayhe tahu ada kalian bertiga disini, meski jumlah mereka ditambah
sepuluh kali lipat jangan harap bisa berhasil, maka aku ingin bertahan
sebentar lagi, ingin aku tahu sampai dimana nilainya Ki-loh-ci-sing itu?"
Sutou Liu-che melanjutkan ceritanya, "Setelah ke empat orang ini pergi,
kedua orang Kui-je dan seorang Han itu mulai berdebat, seorang bilang
harus lekas mempersiapkan barang-barang yang diperlukan untuk
menukarnya, pihak lain imbalannya terlalu besar, belum tentu Ki-loh-ci-sing
punya nilai begitu tinggi, harus waspada dan bertindak melihat gelagat."
Coh Liu-hiang beradu pandang dengan Ki Ping-yan, mereka tahu bahwa
ketiga orang itu terang belum tahu rahasia dari Ki-loh-ci-sing itu, maka
mereka curiga dan bimbang kuatir tertipu, kalau tidak ditukar kuatir pula
benda mustika itu jatuh ke tangan Kui-je-ong.
Berkata Sutou Liu-che lebih lanjut : "Aku sedang heran, kenapa orangorang
ini begitu besar perhatiannya pada sebutir permata saja, siapa tahu
tiba-tiba ada orang menepuk pundakku".," sampai di sini rona mukanya
mengunjuk rasa jeri dan heran, agaknya belum hilang rasa takutnya, cepat
ia menyeka keringatnya pula, katanya dengan menghela napas : "Cayhe


Rahasia Ciok Kwan Im Pendekar Harum Seri Ke 2 Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sejak kecil sudah mengembara, ilmu silatku belum termasuk kelas tinggi,
bagi seorang pekerja dalam bidangku ini, mata kuping harus tajam luar
biasa, siapa tahu orang itu sudah berada di belakangku, bayangannyapun
tak kulihat."
Kesima mata Coh Liu-hiang, katanya : "Tak nyana kecuali Sun-khong, masih
ada orang kosen berada di sini."
"Waktu itu sungguh bukan kepalang rasa kagetku, waktu aku berpaling
bayangan orang itu sudah sepuluh tombak jauhnya, orang sedang
melambaikan tangan kepadaku, aku tahu jejakku sudah konangan, terpaksa
aku mengeraskan kepala menghampiri?"." keringat dingin di kepalanya
berketel-ketel, katanya menyambung dengan tertawa getir : "Setelah aku
berhadapan dan melihat tegas muka orang ini, baru aku tahu bahwa jiwaku
berhasil kurenggut kembali."
"Apa maksudmu?" tanya Ki Ping-yan.
"Untunglah dulu aku pernah bertemu dengan orang ini sekali, kalau tidak
sekarang aku takkan bisa pulang bertemu dengan kalian," tutur Sutou Liuche
menghela napas.
"Jadi dia membebaskan kau demikian saja?" tanya Oh Thi-hoa.
"Terus terang, dua tahun yang lalu waktu aku sedang bekerja, secara tak
terduga kebentrok dengan orang ini, untung tujuanku waktu itu hendak
menolong keluarga seorang janda, maka dia melepaskanku. Watak orang ini
amat aneh, asal dia mengampuni kau sekali, meski kau selanjutnya berbuat
salah padanya, dia pasti takkan melukai seujung rambutmu."
"Laki-laki benar bocah itu," seru Oh Thi-hoa.
"Apakah orang ini juga diundang oleh kaum pemberontak itu untuk
membunuh Kui-je-ong?" kata Ki Ping-yan mengerut kening.
"Ya, begitulah menurut dugaanku." Sahut Sutou Liu-che.
"Siapakah dia sebenarnya?" tanya Ki Ping-yan.
"Cayhe pernah bersumpah berat, matipun takkan menyebut namanya,
cuma aku bisa memberitahu, ilmu orang ini amat tinggi dan tak terukur
tingkatannya, kalian harus lebih hati-hati."
Tiba-tiba Ki Ping-yan menarik muka, desisnya bengis : "Kalau dia menanam
budi kepadamu, kenapa kau kemari memberikan kabar kepada kami?"
"Setahun yang lalu, secara tak sengaja kakakku mendapatkan harta
terpendam yang tak ternilai jumlahnya, menurut rencana kami kakak
beradik hendak mundur dan mengasingkan diri dari percaturan dunia
persilatan, siapa tahu hasil yang amat rahasia ini ternyata diketahui oleh
Kaypang Pangcu Lamkiong Ling, bukan saja harta karun yang kami temukan
itu dirampas semuanya, kakakkupun menemui ajal dengan badan terbacok
hancur, Cayhe tahu siapa pembunuhnya, tapi?"..tapi?"," ia kucek-kucek
matanya yang berkaca-kaca, katanya tawar : "Tapi ilmu silat Cayhe terang
bukan tandingan Lamkiong, jikalau peristiwa ini sampai bocor, didalam
Kaypang Lamkiong Ling laksana sang surya yang sedang bercokol di puncak
cakrawala, siapa orang-orang Kangouw yang mau percaya akan omonganku."
"Benar!" ujar Coh Liu-hiang, "Waktu itu Lamkiong Ling memang
membutuhkan dana yang tak terhitung jumlahnya, jikalau harta karun milik
siapapun asal dapat direbut, dengan cara kejam atau telengas apapun bisa
saja dia lakukan."
Sutou Liu-che menghela napas, ujarnya : "Dendam kesumat sedalam lautan
ini, terang aku tiada harapan untuk membalasnya, siapa tahu dengan
tenaga seorang diri Coh Liu-hiang si Maling kampium ternyata berhasil
membongkar rahasia dan muslihat kejam Lamkiong Ling, secara tidak
langsung mewakili aku menuntut balas, dan peristiwa ini cukup
menggetarkan dunia, tiada kaum persilatan yang tak tahu, sungguh Cayhe
amat berterima kasih dan hutang budi kepada Maling kampium, sayang Coh
Liu-hiang selincah naga sakti. Selama ini Cayhe tak berhasil menemukan
jejaknya dan menyampaikan sembah salam dan terima kasihku."
Mendadak ia angkat kepala dengan nanar ia awasi Coh Liu-hiang, katanya
dengan hormat : "Cayhe tahu Maling kampium suka kelana dan tamasya
kemana saja tidak menunjukkan asal usul dan muka aslinya kepada orang
lain, tapi Cayhe yakin kedua mataku ini belum lamur, aku masih bisa
membedakan orang yang tulen!" sembari bicara segera ia berlutut dan
menyembah berulang-ulang.
Lekas Coh Liu-hiang mengangkatnya bangun: "Apakah benar aku ini Coh
Liu-hiang adanya, Cayhepun amat haru dan terima kasih akan maksud
baikmu." "Kejadian hari ini, kedua pihak sama-sama tuan penolongku, sungguh Cayhe
tiada muka tinggal lama-lama disini, semoga kalian bisa merasakan
kegetiran hati Cayhe," kembali ia menjura serta menambahkan: "Cayhe
sekarang mohon diri, semoga kelak berjumpa pula?""." habis kata-katanya
lekas ia putar badan lantas berlalu dengan cepat.
Lama sekali baru Oh Thi-hoa menghela napas dan membuka kesunyian:
"Kalau orang lama hidup keluntungan di Kangouw sepuluh tahun, musuhnya
sudah tersebar di seluruh penjuru, tapi Coh Liu-hiang justru menanam budi
kepada setiap orang yang ditolongnya, kalau demikian betapapun jarang
membunuh sesama manusia lebih baik."
Ki Ping-yan malah mengerutkan kening, katanya: "Kalau Sutou Liu-che
sudah tahu kalau kau adalah Maling Kampium, tapi dia minta kau waspada
menghadapinya, maka dalam pandangannya ilmu silat orang ini tidak lebih
asor dari Coh Liu-hiang."
"Benar," timbrung Oh Thi-hoa, "Sekian banyak tahun, yang bisa
bertanding dengan Coh Liu-hiang belum pernah kita saksikan, jikalau dia
benar-benar datang hari ini, ingin juga aku bermain-main melawannya."
Coh Liu-hiang tertawa geli, katanya: "Jangan kau lupa, hari ini adalah hari
pernikahanmu, perduli berapa banyak musuh yang datang, biar aku dan Ki
Ping-yan yang menghadapinya, boleh kau masuk dan tidur senikmatnya
dalam kamar pengantinmu!"
Oh Thi-hoa mengelus hidung, katanya tertawa: "Jikalau musuh datang
terlalu banyak, seharusnya kalian beri kesempatan kepadaku untuk
melemaskan tulang-tulangku."
Ki Ping-yan menyengir, katanya: "Kau kan punya istri yang dapat
melayanimu sepuasnya, memangnya kau belum merasa letih?"
Baru saja Oh Thi-hoa merenggut sebuah bantal hendak dilempar kesana,
tahu-tahu enam-lima orang laki-laki yang membawa baki berisi topi,
pakaian dan segala perlengkapannya masuk ke dalam kemah, dengan
membungkuk dan salah seorang berkata dengan berseri tawa: "Upacara
pernikahan sudah siap, diharap Huma "calon mantu" lekas ganti pakaian
siap melangsungkan upacara nikah."
"Cepat benar kerja kaki tangan kalian," puji Coh Liu-hiang terpingkelpingkel.
Oh Thi-hoa melotot mengawasi topi yang berhias tinggi itu, mendadak ia
angkat kedua tangannya ke atas, badanpun roboh rebah di atas ranjang,
teriaknya: "Jikalau kalian suruh aku mengenakan topi segede itu, lebih baik
kalian persen sekali bacokan saja kepadaku."
Akan tetapi mengenakan topi macam apapun, sudah tentu lebih enak
daripada badan ditusuk pisau. Akhirnya Oh Thi-hoa kenakan juga topi
kebesaran dan mengenakan pakaian pengantin. Waktu ia coba bercermin
tiba-tiba terasa olehnya bahwa tampangnya sebetulnya tidak seburuk
seperti yang pernah dibayangkannya sendiri.
Demikian pula mempelai perempuan mengenakan pakaian serba baru,
dengan perhiasan serba mewah, secarik kain merah sutra menutupi raut
wajahnya. Mengawasi kain merah sutra itu diam-diam bersorak hati Oh Thi-hoa
batinnya : "Hari ini betapapun kau takkan bisa menggodaku lagi."
Kemah yang semula sudah begitu molek dan megah kini kelihatan lebih
mewah dan semarak. Selebar muka Kui-je-ong merah bercahaya terang,
tapi selama ini permaisurinya tak pernah unjukkan dirinya.
Mungkin karena tiada kehadiran permaisuri maka dalam perkemahan itu
tiada tampak bayangan seorang perempuan jua. Setelah mempelai berdua
melakukan sembahyang dan sekedar tata tertib pernikahan, segera
mereka di usung masuk kedalam kamar pengantin.
Ternyata memang begitulah adat perkawinan dari negeri Kui-je,
sederhana dan meriah. Kalau peristiwa ini terjadi dalam negeri mereka,
tamu-tamu perempuanpun tak boleh unjuk diri di hadapan umum dan lagi
setelah mempelai masuk ke dalam kamar pengantin, mempelai laki-laki
harus berjaga-jaga diluar pintu, menunggu para tamu yang berpamitan
pulang menghaturkan secangkir arak, memang malam hari di gurun pasir
teramat dingin, semua gembala selalu membekal sebotol atau secukupnya
arak untuk memanaskan badan.
Di sana setiap laki-laki mempunyai hobby minum, semakin banyak arak
yang ditenggak mempelai laki-laki, lebih semarak dan terpandanglah
jamuan pernikahan ini, maka sampai akhirnya diantara sepuluh mempelai
laki-laki, sepuluh orang semuanya digotong masuk ke dalam kamar
pengantin. Tapi kebiasaan adat pernikahan seperti ini justru mencocoki selera Oh
Thi-hoa, kehabisan arak merupakan suatu yang paling dia takuti selama
hidupnya, kalau ada yang mencekoki arak padanya, kebetulan malah bagi
dirinya. Tampak empat laki-laki yang telanjang bagian atas badannya menggotong
seekor unta panggang masuk ke dalam perkemahan, mencekal sebuah pisau
perak, Kui-je-ong mulai bekerja mengiris perut unta panggang ini. Didalam
perut unta ternyata berisi seekor kambing panggang, didalam panggang
kambing ini kiranya berisi seekor ayam pula.
Inilah perjamuan besar paling mewah dan semarak dalam lingkungan
kerabat istana raja yang jarang terjadi di padang pasir, dengan pisau
peraknya Kui-je-ong membelek perut ayam panggang, dengan ujung
pisaunya dia menyodok keluar sebutir telur ayam yang berlepotan minyak,
serunya dengan mengelus jenggot: "Telur ini bisa membawa rejeki, selama
ini menurut tradisi hanya tamu-tamu agung saja yang setimpal
mencicipinya, hari ini perjamuan pernikahan, keadaan lain dari yang lain,
tamu agung siapa saja yang memakan telur yang bisa membawa rejeki ini,
bukan saja bakal mendapat berkah dan wahyu, malah yang bakal menjadi
pengantin adalah dia pula."
Coh Liu-hiang amat heran dan ketarik akan adat istiadat dan cara-cara
yang aneh, dilihatnya Kui-je-ong sedang menghampiri ke arahnya, telur
yang membawa rejeki yang tersunduk di ujung pisaunya dia taruh didalam
piring Coh Liu-hiang, lalu serunya lantang sambil mengangkat kedua tangan:
"Ayolah kita beramai-ramai sama menghaturkan secangkir arak kepada
tamu agung kita."
Seruan Kui-je-ong seketika mendapat tepuk tangan yang gegap gempita,
semua hadirin bersorak sorai sambil bertepuk tangan, dengan tertawa Coh
Liu-hiang mengambil telur di atas piringnya, tiba-tiba dilihatnya ujung
pisau perak ditangan Kui-je-ong kelihatan bersemu hitam disinari cahaya
api. Tersirap darahnya, namun lahirnya dia berlaku tenang dan wajar,
dimana tangannya terayun, berbareng mulutnya terpentang lalu terkatup
lagi, orang lain cuma menyangka telur itu sudah terlelap masuk ke dalam
perutnya, sebetulnya telur itu sudah menggelundung masuk ke dalam
lengan bajunya.
Terdengar Ki Ping-yan berkata dengan menghela napas: "Kejadian dalam
dunia ini memang serba aneh, kenyataan Siau Oh hari ini menjadi menantu
raja, apakah sebelum ini pernah terpikir olehmu?"
"Kuda liar itu terhitung sudah terbelenggu," ujar Coh Liu-hiang tertawa,
"Seharusnya kita ikut gembira, cuma?".malam ini kau harus dua belas kali
lebih hati-hati dan waspada, sekali-kali jangan minum sampai mabuk."
Ki Ping-yan mendadak menyengir lebar, katanya : "Coba kau lihat apakah
ini?" Secara diam-diam ia sisipkan segulung kertas yang sudah basah oleh
minyak, sehingga tulisannya rada burem, tapi masih jelas dan bisa dibaca
dimana tertulis:
"Hari ini adalah hari bahagia pernikahan putrimu, biarlah besok kepalamu
kutitipkan sehari lagi di atas badanmu, besok waktu masih mendatangi,
biar kupenggal kepalamu, semoga kau memeliharanya secara baik-baik
jangan sampai mengecewakan hatiku."
Tanpa terasa Coh Liu-hiang menjublek mengawasi lembaran kertas di
tangannya. Kata Ki Ping-yan yang tertawa getir: "Tutur kata orang ini meski tidak
sehalus dan sesopan tulisanmu tapi nada dan pembawaannya amat mirip
benar dengan kebiasaanmu, cuma dia menginginkan batok kepala orang lain,
boleh dikata rada kejam dari kau."
"Darimana kau dapatkan kertas peringatan ini?" tanya Coh Liu-hiang
prihatin. "Tertancap dibuntut unta panggang itu tadi waktu aku keluar kebetulan
kulihat, maka ditengah jalan kusambar lebih dulu," enak saja ia berujar
bahwasanya kalau tidak teliti dan seksama terhadap barang sesuatu, mana
mungkin didalam keadaan semeriah ini dapat memperhatikan urusan kecil
ini. Masakah mungkin bisa diketemukan secara kebetulan"
Untuk kepergok olehmu, jikalau terjatuh ke tangan Ongya, mungkin
seketika dia jatuh semaput, bukankah perjamuan ramai ini bakal jadi kacau
dan bubar. "Beruntung Siau Oh melangsungkan pernikahan hari ini, jikalau aku dan
kau tak bisa beri peluang kepadanya supaya bisa tenang dan senang serta
puas masuk ke kamar pengantinnya, lebih baik cari saja seutas tali gantung
diri." "Seumpama orang itu tidak datang, bahaya yang harus kita hadapi hari ini
cukup besar juga, jangan dipandang persoalan ini terlalu sepele, hidangan
dan arak hantaran orang lain sekali-kali kita jangan mencicipinya."
Berkilat mata Ki ping-yan, sekian lama ia tatap mata orang, katanya
kemudian dengan mengerut kening : "Apakah telur rejeki itu mengandung
racun?" Belum sempat Coh Liu-hiang menjawab, tujuh delapan orang berbondongbondong
mendatangi hendak menghatur arak kepada mereka.
Berkata Ki Ping-yan dengan suara berat : "Lebih baik aku berjaga-jaga di
luar, bila kau bisa bebaskan dirimu boleh kau keluar temui aku." Setetes
arakpun ia tidak cicipi, terus melangkah dengan langkah tergopoh-gopoh.
Sebaliknya Oh Thi-hoa sedang tenggak sebanyak-banyaknya sampai
selebar mukanya merah gelap. Bersahabat dengan kawan seperti Coh Liuhiang
dan Ki Ping-yan, sungguh merupakan suatu keberuntungan bagi
nasibnya, bila seseorang mempunyai nasib dan rejeki seperti dirinya, kapan
atau saat apapun tak menjadi soal minum sedikit banyak.
Malam semakin larut, bau daging panggang semerbak, gelak tawa dan
senda gurau orang-orang masih tetap ramai, namun suasana tegang yang
diliputi hawa pembunuhan masih mencekam sanubari orang-orang tertentu
ditengah gurun pasir ini.
Badan Ki Ping-yan terbungkus didalam selimut beludru yang tebal, duduk
di bawah bayang pohon di pinggir kolam, kepalanya menengadah mengawasi
bintang-bintang yang lebat bertebaran ditengah cakrawala, lambat laun
sinar bintangpun mulai pudar. Begitu duduk tanpa bergerak, seolah hendak
duduk terus sampai kiamat, orang seperti dia memang agaknya tak pernah
merasakan kesepian dan letih.
Sekonyong-konyong sebuah botol terlempar datang, terang botol itu
hampir memukul kepalanya, seolah-olah tak pernah bergerak, namun botol
itu tahu-tahu sudah berada di tangannya. Dengan langkah perlahan Coh
Liu-hiang datang menghampiri, katanya sambil menghela napas : "Hawa
dingin di sini aneh benar?"?"" tiba-tiba ia melihat rambut Ki Ping-yan
sudah membeku jadi es, katanya pula sambil mengerutkan kening : "Kalau
kau tak minum arak, tak mau berdiri jalan mondar-mandir, hanya duduk
begini saja, apa kau tak kuatir mati kedinginan?"
"Hawa dingin takkan membekukan aku sampai mati," sahut Ki Ping-yan
dingin. Akhirnya dia membuka tutup botol dan menenggak dua kali, katanya
perlahan-lahan : "Hanya dengan duduk tenang tak bergerak di sini, baru
aku bisa melihat apakah ada orang luar yang datang, jikalau aku mondarmandir
kian kemari, tak bisa aku kendalikan keadaan keseluruhannya."
"Dalam kolong langit ini, siapa pula yang dapat tahu bahwa kaupun bisa
juga rela kedinginan menahan lapar demi sahabat tercinta."
"Aku hanya melakukan urusan yang aku suka, persetan bagaimana
pandangan orang lain, apa pula sangkut pautnya dengan diriku?"
Coh Liu-hiang tertawa-tawa, ia tak bicara lagi, ia tahu bila Ki Ping-yan
menarik muka dan bicara aseran, perduli apapun yang kau katakan padanya,
kau takkan diberi tanggapan.
Sesaat kemudian, Ki Ping-yan sendiri malah yang buka suara : "Bagaimana


Rahasia Ciok Kwan Im Pendekar Harum Seri Ke 2 Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Siau Oh?" "Sudah masuk kamar pengantin."
"Digotong masuk?"
"Seperti panggang unta ta
Perkampungan Misterius 3 Golok Yanci Pedang Pelangi Karya Gu Long Bukit Pemakan Manusia 13
^