Pendekar Sakti Suling Pualam 15
Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung Bagian 15
Aku langsung ke kuil biarawati itu dan kemudian tinggal di
sana." "Oooh!" Lie Ai Ling manggut-manggut. "Lalu cara
bagaimana engkau bertemu Kam Hay Thian?"
"Aku bertemu Bu Ceng Sianli di dalam kedai arak. Dia
menghajarku setelah tahu siapa diriku" sahut Kam Hay Thian
memberitahukan. "Kemudian dia menyuruhku ke Pek Yun
Am." "Hui San," ujar Lie Ai Ling. "Engkau begini cepat
memaafkannya" Dia begitu tak punya perasaan."
"Aku berlutut tiga hari tiga malam di depan Pek Yun Am
tanpa makan, minum dan tidur" Kam Hay Thian
memberitahukan lagi. "Barulah dia ke luar menemuiku."
"Bagus! Bagus!" Lie Ai Ling tertawa. "Memang harus
begitu! Seharusnya engkau berlutut tujuh hari tujuh malam."
"Aku pasti mati, dan itu akan membuat Hu San menderita
sekali," sahut Kam Hay Thian.
"Kakak Hay Thian...." Wajah Lu Hui Sian memerah.
"Waduh!" Lie Ai Ling tertawa geli. "Bukan main mesranya
suaramu, itu sungguh menggetarkan kalbu!"
"Ai Ling...." Wajah Lu Hui San bertambah memerah.
"Engkau mulai menggoda aku ya?"
"Boleh kan?" Lie Ai Ling tersenyum.
"Oh ya!" Kam Hay Thian memandang Tio Bun Yang seraya
bertanya, "Engkau kenal Bu Ceng Sianli kan ?"
"Kenal. Kenapa?" sahut Tio Bun Yang.
"Engkau tahu berapa usianya?"
"Tentu tahu." Tio Bun Yang manggut-manggut. "Usianya
sudah hampir sembilan puluh. Ketika pertama kali bertemu
dia, aku sama sekali tidak percaya!"
"Sama." Kam Hay Thian menggeleng-gelengkan kepala.
"Siapa akan percaya dia sudah berusia sembilan puluh"
Padahal kelihatannya baru berusia dua puluhan."
"Bu Ceng Sianli-Tu Siao Cui..." gumam Siang koan Goat
Nio. "Dia sudah berusia hampir sembilan puluh?"
"Adik Goat Nio, kenapa engkau bergumam?" tanya Tio Bun
Yang heran. "Ketika aku menuju ke Gunung Thian San, tengah jalan
bertemu Bu Ceng Sianli itu..." sambil tersenyum jawab Siang
Koan Goat Nio dan menutur, "....aku tidak percaya dia sudah
berusia hampir sembilan puluh. Dia... dia sungguh cantik
sekali!" Untung dia sudah berusia segitu, kalau tidak..." ujar Lu Hui
San sambil tersenyum-senyum.
"Kakak Bun Yang bukan pemuda semacam itu, gampang
tergoda oleh gadis cantik lain. Sekalipun bidadari yang turun
dari kahyangan, diapun tidak akan tergoda," ujar Lie Ai Ling
sungguh-sungguh.
"Oh, ya?" Lu Hui San tersenyum. "Kok engkau berani
mengatakan begitu?"
"Aku dan dia kakak beradik. Sejak kecil kami sudah
bersama, jadi aku tahu jelas bagaimana sifatnya," sahut Lie Ai
Ling. "Terimakasih, Adik Ai Ling!" ucap Tio Bu Yang sambil
tersenyum "Kalau Ai Ling tidak mengatakan begitu, aku pun akan
mengatakan begitu juga," sela Sia Koan Goat Nio sambil
tersenyum manis.
"Adik Ai Ling, bagaimana aku?" tanya Sie Keng Hauw
mendadak. "Harus seperti Kakak Bun Yang!" sahut Lie Ai Ling,
kemudian merendahkan suaranya. "Aku yakin engkau pasti
mcncintai dan menyayangiku selama-lamanya."
"Pasti! Itu sudah pasti!" Sie Keng Hauw ter tawa.
"Kakak!" panggil Lu Hui San dan memberi tahukan. "Aku
dan Kam Hay Thian sudah pergi menemui paman."
"Oh?" Wajah Sie Keng Hauw berseri. "Bagaimana
keadaan ayah, baik-baik saja?"
"Paman baik-baik saja." Lu Hui San manggut manggut.
"Aku pun memberitahukannya, bahwa Kakak sudah punya
kekasih. Oleh karena itu paman berpesan apabila engkau
sempat, ajaklah Ai Ling ke sana!"
"Ya." Sie Keng Hauw mengangguk. "Aku memang sudah
rindu pada ayah!"
Mereka bercakap-cakap, berselang sesaat mendadak
wajah Kam Hay Thian berubah serius sekali.
"Kami ke mari ingin menyampaikan sesuatu yang teramat
penting, maka kami harus segera menemui Kakek Tio dan
lainnya." Kam Hay Thian memberitahukan.
"Oh?" Tio Bun Yang menatapnya. "Kalau begitu, mari kita
ke dalam!"
Mereka masuk ke dalam langsung menuju ruang tengah,
karena Tio Tay Seng dan lainnya rdang berkumpul di situ.
"Eeeeh?" Kou Hun Bijin terbelalak ketika melihat Lu Hui
San bersama Kam Hay Thian. kalian berdua sudah akur ya?"
"Bijin...." Wajah Lu Hui San kemerah-merahan.
Sedangkan Kam Hay Thian segera memberi hormat kepada
mereka semua, begitu pula Lu Hui San.
"Ha ha ha!" Sam Gan Sin Kay tertawa gelak. Syukurlah
kalau kalian sudah akur dan... saling mencinta!"
"Hi hi hi!" Kou Hun Bijin tertawa cekikikan, kalian berdua
kok bisa bertemu dan akur kembali?"
"Itu atas jasa Bu Ceng Sianli-Tu Siao Cui." h.un Hay
Thian memberitahukan sekaligus menutur tentang itu.
"Tak disangka...." Tio Tay Seng menghela nafas panjang.
"Bu Ceng Sianli berbuat kebaikan!
"Kalau begitu..." ujar Sam Gan Sin Kay. "Dia tidak jahat,
mungkin akan berada di pihak kita
"Dia memang sudah berada di pihak kita, sela Kim Siauw
Suseng. "Maka kita boleh berlega hati."
"Ayah!" Tio Bun Yang memberitahukan. "Kan Hay Thian
dan Lu Hui San ingin menyampaikan sesuatu yang amat
penting." "Oh?" Kening Tio Cie Hiong berkerut. "Kalau begitu,
kalian duduklah!"
Mereka duduk. Kemudian Kam Hay Thian berkata,
"Kami ingin menyampaikan tentang Kui Bin Pang. Kami datang
dari markas pusat Kay Pang"
"Cepat beritahukan apa yang telah terjadi di markas pusat
Kay Pang!" Lim Ceng Im tidak sabar wajah pun tampak
tegang. "Di markas pusat Kay Pang tidak terjadi apa apa, namun
dalam rimba persilatan telah terjadi sesuatu yang sangat
menggemparkan," ujar Kai Hay Thian melanjutkan. "Para
murid tujuh partai besar banyak yang mati, dan ketua sudah
gila." "Apa?" Sam Gan Sin Kay terbelalak. "Itu perbuatan
siapa?" "Seng Hwee Sin Kun," sahut Kam Hay Thian
menambahkan. "Kini Seng Hwee Sin Kun telah dikendalikan
oleh ketua Kui Bin Pang."
"Aaaah...!" Tio Tay Seng menghela nafas panjang.
"Sasaran berikutnya pasti Kay Pang, sebab Kui Bin Pang tidak
berani menyerbu ke sini."
"Kalau begitu...." Wajah Lim Ceng Im langsung tampak
cemas. "Ayahku dan paman Gouw pasti celaka."
"Maka Kakek Lim mengutus kami kemari
memberitahukan," ujar Kani Hay Thian. "Karena kay Pang
dalam bahaya."
"Itu... itu...." Lim Ceng Im semakin cemas. Ayahku...."
"Adik Im, tenanglah!" bisik Tio Cie Hiong.
"Kakak Cie Hiong...." Air mala Lim Ceng Im mulai
meleleh. "Ayahku sudah tua...."
"Tenang!" Tio Cie Hiong menggenggam lengannya eraterat.
"Kalau begitu..." ujar Sam Gan Sin Kay. "Aku harus
segera ke markas pusat Kay Pang."
"Pengemis bau," sahut Kim Siauw Suseng. Engkau sudah
tua sekali, jangan cari mati di sana! lebih baik tetap hidup
tenang di pulau ini saja!"
"Tapi...." Kening Sam Gan Sin Kay yang keriput itu
berkerut-kerut. "Itu menyangkut Kay Pang."
"Pengemis bau, bukankah masih ada Tio Cie Hiong dan
lainnya" Nah, engkau sudah begitu tua, tidak usah
mencampuri urusan Kay Pang lagi!"
"Aaaah...!" Sam Gan Sin Kay menghela nafas ranjang.
"Aku...."
"Pengemis bau!" Kou Hun Bijin memandang nya sambil
tertawa. "Hi hi hi! Engkau tidak usah turut campur, biar
tingkatan muda yang memberesi urusan itu!"
"Betul," sela Lim Ceng Im. "Kakek tidak usah
memusingkan urusan itu, biar kami yang mem beresinya!"
"Tujuan Kui Bin Pang terhadap kita, namun sasarannya
justru tujuh partai besar dan Kay Pang itu untuk memancing
kita ke Tionggoan," ujar Tio Tay Seng sambil mengerutkan
kening. "Kalau begitu, mari kita ke Tionggoan saja!" sahut Sam
Gan Sin Kay dan menambahkan. "Biar aku sudah tua sekali,
masih cukup kuat untuk bertarung dengan pihak Kui Bin
Pang." "Yang jelas engkau pasti akan mampus!" ujai Kou Hun
Bijin. "Dari pada harus mampus di sana bukankah lebih baik
tenang di sini?"
"Ha ha ha!" Sam Gan Sin Kay tertawa gelak "Aku tidak
menyangka Kou Hun Bijin takut mati Ha ha ha...!"
"Pengemis bau!" bentak Kou Hun Bijin mc lotot. "Engkau
jangan menghinaku! Kalau perlu kita bertarung di sini!"
"Ha ha ha!" Sam Gan Sin Kay masih tertawn gelak. "Dari
pada kita yang bertarung lebih bail kita bertarung dengan
pihak Kui Bin Pang?"
"Baik. Kapan kita berangkat ke Tionggoan"' tanya Kou
Hun Bijin. "Eeeh" Bijin!" Kim Siauw Suseng terbelalak. Betulkah
engkau ingin berangkat ke Tionggoan?"
"Ya." Kau Hun Bijin mengangguk. "Pengemis bau itu
menantangku, maka aku harus berangkat ke Tionggoan."
"Tenanglah, isteriku!" ujar Kim Siauw Suseng, kemudian
melototi Sam Gan Sin Kay. "Engkau laki laki, tidak pantas
menantang wanita! Ayoh, tandinglah aku!"
"Engkau mana punya nyali untuk bertarung dengan pihak
Kui Bin Pang" Buktinya dari tadi dia, saja!" sahut Sam Gan Sin
Kay menyindir. "Pengemis bau!" Kim Siauw Suseng menudingnyaa.
"Kalau aku tidak memandang Tio Tocu, aku sudah hajar
engkau!" "Engkau dapat menghajarku?" Sam Gan Sin ly tertawa.
"Ha ha ha! Kita berdua adalah Bu mi Jie Khie, bahkan sering
bertanding pula. ngkau... pernah kalah sejurus kan?"
"Sekarang kita boleh bertarung lagi!" tantang im Siauw
Suseng. "Ayah!" tegur Siang Koan Goat Nio. "Ayah kok seperti
anak kecil sih" Kita sedang mengharu' masalah, Ayah, Ibu dan
Sam Gan Sin Kay ulah ribut tidak karuan! Bukannya berpikir
harus bagaimana baiknya, tapi malah ribut! Sungguh
keterlaluan!"
"Adik Goat Nio," bisik Tio Bun Yang. "Tidak baik menegur
orang tua!"
"Kalau tidak ditegur, mereka pasti ribut terus," ujar
Siang Koan Goat Nio sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Adik Goat Nio...." Tio Bun Yang memberi isyarat agar
gadis itu diam, namun Siang Koa Goat Nio masih tampak
cemberut. "Nak!" Kou Hun Bijin tersenyum lembut "Engkau benar,
kami yang salah karena terus ribut. Maafkan kami ya!"
"Ibu...." Siang Koan Goat Nio menghela nafas panjang.
"Ha ha ha!" Sam Gan Sin Kay tertawa. "Kau yang sudah
mau mampus ini memang keterlaluan dan tak tahu diri! Ha ha
ha...!" "Sekarang kuharap tenang semua!" ujar Tu Tay Seng.
"Kita masing-masing harus berpikii jalan keluarnya!"
Ucapan Tio Tay Seng membuat hening suasana, sebab
mereka mulai berpikir keras. Ber selang beberapa saat
kemudian, barulah Sam Gai Sin Kay membuka mulut
berbicara. "Menurut aku, lebih baik urusan itu kita serahkan kepada
Tio Cie Hiong dan Lim Ceng lm."
"Benar." Kim Siauw Suseng dan Kou Hi Bijin mengangguk.
"Maaf!" ucap Tio Cie Hiong. "Kami sudah bersumpah tidak
akan mencampuri urusan rimba persilatan, maka kami tidak
boleh melanggar sumpah itu."
"Kakak Cie Hiong...." Lim Ceng Im memancangnya.
"Ayahku dan Paman Gouw dalam bahaya."
"Aku tahu." Tio Cie Hiong manggut-manggut. Begini, kita
utus Bun Yang ke markas pusat Kay l'ang."
"Dia... dia seorang diri?" Lim Ceng Im menggelenggelengkan
kepala. "Aku pasti ikut," ujar Siang Koan Goat Nio.
"Kami pun tidak mau ketinggalan," sambung Lie Ai Ling.
"Betul." Sie Keng Hauw mengangguk. "Kami pasti ikut ke
Tionggoan."
"Apakah kami akan makan angin di pulau ini?" ujar Lu
Hui San sambil melirik Kam Hay thian. "Kami pun harus ikut ke
Tionggoan."
"Tidak salah." Kam Hay Thian manggut-mangut. "Kami
semua harus membantu Kay Pang."
"Bagus! Bagus! Ha ha ha!" Sam Gan Sin Kay tertawa
terbahak-bahak. "Biar generasi muda saja memberesi urusan
itu." "Setuju," sambung Kim Siauw Suseng dan Kou hun Bijin
serentak. "Tapi...." Tio Tay Seng menggeleng-gelengkan kepala.
"Mereka masih kurang berpengalaman."
"Justru itu akan menambah pengalaman mereka," sahut
Sam Gan Sin Kay. "Jadi biarlah mereka pergi membantu Kay
Pang." "Cie Hiong, bagaimana menurut engkau?" tanya Tio Tay
Seng sambil menatapnya.
"Aku setuju, Paman." Tio Cie Hiong mengangguk.
"Tapi...." Lie Ceng Im mengerutkan kening "Aku tidak
begitu berlega hati, karena pihak Ku Bin Pang berkepandaian
Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tinggi sekali."
"Adik Im!" Tio Cie Hiong tersenyum. "Bu Yang dan
lainnya juga berkepandaian tinggi. Aku yakin mereka sanggup
menghadapi Kui Bin Pang"
"Yaaah...!" Lim Ceng Im menghela nafas panjang. "Baiklah!
Aku setuju!"
"Ayah, kapan kami boleh berangkat ke Tionggoan?"
tanya Tio Bun Yang.
"Lebih cepat lebih baik," sahut Tio Cie Hiong "Kalian
boleh berangkat besok pagi."
"Ya, Ayah." Tio Bun Yang mengangguk.
"Nak," pesan Lim Ceng Im. "Kalian semua harus berhatihati,
jangan ceroboh!"
"Ya, Ibu." Tio Bun Yang mengangguk lagi.
Tio Tay Seng, Sam Gan Sin Kay, Kim Siauw Suseng, Kou
Hun Bijin dan lainnya juga ikut memberikan berbagai
wejangan. "Ai Ling," bisik Tio Hong Hoa. "Engkau tidak boleh
bersikap seperti anak kecil lagi, harus menuruti perkataan
Keng Hauw!"
"Ya, Ibu." Lie Ai Ling mengangguk.
"Juga harus menuruti perkataan Bun Yang! tambah Lie
Man Chiu. "Dia kakakmu!"
"Ya, Ayah." Lie At Ling mengangguk lagi.
"Keng Hauw," pesan Lie Man Chiu sungguh-sungguh.
"Engkau harus baik-baik menjaga Ai Ling!"
"Ya, Paman." Sie Keng Hauw mengangguk pasti. "Aku
berjanji itu, Paman dan Bibi tidak usah khawatir!"
"Ngmm!" Lie Man Chiu dan Tio Hong Hoa manggutmanggut
sambil tersenyum.
Keesokan harinya, berangkatlah mereka ke Tionggoan
menuju markas pusat Kay Pang.
-oo0dw0oo- Bagian ke lima puluh lima
Pertarungan di Markas Kay Pang
Dalam perjalanan ke Tionggoan, mereka sama sekali tidak
mendapat halangan apa pun. Walau hati mereka agak
tercekam, namun masih bisa bersenda gurau.
"Sayang sekali!" ujar Lie Ai Ling. "Sian Hoa berada di
Tayli, kalau tidak, kita semua akan berkumpul di markas pusat
Kay Pang."
"Entah kapan Sian Hoa dan Beng Kiat akan mengunjungi
kita?" ujar Lu Hui San. "Kalau tidak menyangkut urusan
dengan Kui Bin Pang, ingin rasanya pesiar ke Tayli."
"Benar." Tio Bun Yang manggut-manggut
"Pemandangan di Tayli indah sekali, siapa yang pernah ke
Tayli, pasti tidak akan melupaku negeri kecil itu."
"Oh ya!" Siang Koan Goat Nio teringat sesuatu, dan
segeralah ia memberitahukan. "Ketika aku mencuri dengar
pembicaraan ketua Kui Bin Pang, itu membuatku tidak habis
pikir." "Memangnya kenapa?" tanya Tio Bun Yang heran.
"Kedengarannya dia sangat dendam kepada mu," jawab
Siang Koan Goat Nio "Apakah engkau punya musuh?"
"Aku tidak punya musuh, lagi pula aku tidak kenal ketua
Kui Bin Pang itu." Tio Bun Yang mengerutkan kening. "Kenapa
dia dendam pada ku?"
"Ketua lama Kui Bin Pang mendendam pada majikan
lama Pulau Hong Hoang To, otomatis ketua baru itu pun
dendam pada pihak Pulau' Hong Hoang To," ujar Lie Ai Ling.
"Maka tidak usah merasa heran."
"Tapi...." Siang Koan Goat Nio menggeleng gelengkan
kepala. "Menurut aku, ketua Kui Bin Pang itu punya dendam
pribadi dengan Kakak Bun Yang!"
"Itu...." Tio Bun Yang menggeleng-gelengkan kepala.
"Itu tidak mungkin, sebab aku sama sekali tidak punya
musuh." "Sudahlah!" landas Lie Ai Ling. "Tentang itu tidak usah
dipusingkan, yang jelas Kui Bin Pang memang memusuhi kita."
"Aaaah...!" Mendadak Sie Keng Hauw menghela nafas
panjang. "Eeeh?" Lie Ai Ling menatapnya heran. "Kenapa engkau
menghela nafas panjang" Apa yang terganjel dalam hatimu?"
"Aku teringat guruku. Entah bagaimana keadaan beliau?"
sahut Sie Keng Hauw. "Aku... rindu kepadanya."
"Oooh!" Lie Ai Ling manggut-manggut. "Kukira engkau
teringat gadis lain!"
"Aku mana punya gadis lain?" sahut Sie Keng Hauw
sambil tersenyum. "Aku... hanya mencintai egkau seorang."
"Kakak Keng Hauw...." Lie Ai Ling tersenyum bahagia.
"Asyiiik!" seru Lu Hui San. "Cinta nih ya!"
"Wuah!" Lie Ai Ling memandangnya, lalu balas
menggodanya. "Ketika Kam Hay Thian meninggalkanmu, siang
malam engkau terus-menerus menangis."
"Ai Ling!" Wajah Lu Hui San langsung memerah.
"Engkau...."
"Makanya jangan coba-coba menggodaku! Nah,
rasakan!" sahut Lie Ai Ling sambil bertawa.
"Kalian masih bisa bergurau!" Tio Bun Yang menggelenggelengkan
kepala. "Aku justru merasa khawatir...."
"Mengkhawatirkan apa?" tanya Lie Ai Ling
"Aku khawatir telah terjadi sesuatu di markas pusat Kay
Pang," jawab Tio Bun Yang sambi menghela nafas panjang.
"Kalau begitu, kita harus cepat-cepat ke sana, ujar Sie
Keng Hauw. "Jangan bergurau lagi."
-oo0de0oo- Betapa leganya hati mereka ketika tiba di markas pusat Kay
Pang, karena yang menyambu kedatangan mereka adalah Lim
Peng Hang dai Gouw Han Tiong.
"Kakek! Kakek Gouw!" panggil Tio Bun Yang
"Bun Yang!" Sungguh gembira sekali Lim Peng Hang dan
Gouw Han Tiong. "Duduk, du duklah!"
Tio Bun Yang dan lainnya segera duduk kemudian saling
memandang sambil menarik nafas lega.
"Kakek, selama ini tidak terjadi sesuatu di sini?" tanya
Tio Bun Yang. "Tidak," sahut Lim Peng Hang dan menambahkan-
"Hanya saja... banyak pesilat golongan putih yang mati
terbunuh."
"Siapa yang membunuh mereka?" tanya Kam hay Thian.
"Kalau tidak salah pihak Kui Bin Pang. Kelihatannya pihak
Kui Bin Pang berniat menguasai rimba persilatan," jawab
Gouw Han Tiong.
"Pihak Kui Bin Pang tidak membunuh para anggota Kay
Pang?" tanya Tio Bun Yang.
"Itu yang membual kami tidak habis pikir, sebab pihak
Kui Bin Pang sama sekali tidak mengganggu para anggota Kay
Pang." Lim Peng lang memberitahukan.
"Kakek, mungkinkah ketua Kui Bin Pang punya renana
lain terhadap kita?" ujar Tio Bun Yang.
"Yaah!" Lim Peng Hang menghela nafas panjng.
"Mungkin saja. Sebab kini tujuh partai besar sudah lumpuh,
karena para ketua partai itu dalam keadaan gila."
, "Oh ya! Kenapa para ketua itu jadi gila?" tanya Tio Bun
Yang. "Apa yang menyebabkan mereka jadi gila?"
"Berdasarkan informasi yang kami terima...." liwab Gouw
Han Tiong dengan wajah serius. , mereka terkena semacam
ilmu pukulan yang dilancarkan Seng Hwee Sin Kun."
"Oh?" Kening Tio Bun Yang berkerut. "Ilmu pukulan apa
itu" Kok bisa menyebabkan orang yang terkena pukulan itu
berubah jadi gila?"
"Mungkin semacam ilmu pukulan sesat." tukas Lim Peng
Hang dan menambahkan. "Sebab ketua Kui Bin Pang memiliki
ilmu hitam."
"Aaaah...!" Gouw Han Tiong menghela nafas panjang.
"Entah bagaimana keadaan para ketua itu?"
"Bun Yang!" IJm Peng Hang memandangn seraya
berkata, "Engkau mahir ilmu pengobatan maka alangkah
baiknya engkau ke kuil Siauw Lim memeriksa Hui Khong
Taysu." 'Tapi di sini...."
'Tidak jadi masalah. Sebab ada Kam Hay Thian dan
lainnya berada di sini. Engkau dan Goat Nio berangkat ke kuil
Siauw Lim saja!"
"Baiklah." Tio Bun Yang mengangguk. "Kapan kami
boleh berangkat, Kakek?"
"Sekarang juga boleh," sahut Lim Peng Han "Cepat pergi
bisa cepat juga pulang."
"Kalau begitu, aku dan Goat Nio berangkai sekarang,"
ujar Tio Bun Yang sekaligus berpamit lalu berangkai ke kuil
Siauw Lim. -oo0dw0oo- Dua hari kemudian setelah Tio Bun Yaa dan Siang Koan
Goat Nio berangkat ke kuil Siauv Lim, di markas pusat Kay
Pang justru terjadi sesuatu Malam itu ketika Lim Peng Hang.
Gouw lan Tiong dan lainnya sedang bercakap-cakap di uang
depan, mendadak terdengar suara siulan aneh yang
menyeramkan. "Hah?" Air muka Lim Peng Hang langsung berubah hebat.
"Kui Bin Pang "
"Tidak salah," ujar Lie Ai Ling. "Aku pernah mendengar
suara siulan aneh yang menyeramkan ini."
"Mari kita ke luar!" seru Lim Peng Hang sambil melesat
ke luar, diikuti Gouw Han Tiong, kam Hay Thian dan lainnya
dari belakang. Mereka berdiri di halaman dengan perasaan mencekam
dan tegang, sementara suara siulan aneh yang menyeramkan
itu masih bergema. Berselang beberapa saat, melayang turun
delapan sosok bayangan putih.
"Kui Bin Pang muncul! Semua harus mati!" seru mereka
serentak menggunakan lweekang, sehingga memekakkan
telinga, "Aku ketua Kay Pang!" ujar Lim Peng Hang. "Setahuku kami
Kay Pang tidak bermusuhan depan kalian Kui Bin Pang!
Kenapa kalian muncul di sini?"
"Perintah dari ketua, maka kami ke mari mau membunuh
kalian!" sahut salah seorang yang memakai kedok setan
warna hijau. Ternyata mereka adalah Ngo Sat Kui, yang dua
orang lagi memakai ledok setan warna kuning, tidak lain
adalah Dua Pelindung. Sedangkan yang seorang lagi tidak
memakai kedok setan, dia adalah Seng Hwee Sin Kun, berdiri
diam di tempat seperti patung.
"Ha ha ha!" Lim Peng Hang tertawa gelak. "Kalian kira
gampang membunuh kami?"
"Kalau kami tidak mampu membunuh kalian semua,
tentunya kami tidak akan ke mari!" sahut Toa Sat Kui.
"Toa Sat Kui," bisik Toa Hu Hoat (Pelindung Tertua).
"Ketua menyuruh kita menangkap Lim Peng Hang dan Gouw
Han Tiong hidup-hidup."
"Aku tahu itu," sahut Toa Sat Kui dengan suara rendah.
"Kalian berdua menangkap Lim Peng Hang dan Gouw Han
Tiong, kami berlima dan Seng Hwee Sin Kun akan membunuh
yang lain."
"Ng!" Kedua Pelindung itu mengangguk.
"Ha ha ha!" Mendadak Toa Sat Kui tertawa gelak.
"Malam ini kalian harus mati! Seng Hwee Sin Kun! Serang
mereka!" Seng Hwee Sin Kun segera menyerang Lim Peng Hang
dan Gouw Han Tiong, namun mendadak Kam Hay Thian
meloncat ke arah Seng Hwee Sin Kun.
"Hati-hati, Kakak Hay Thian!" seru Lu Hui San cemas.
Blaaam! Terdengar suara benturan dahsyat.
Ternyata Kam Hay Thian menangkis pukulan yang
dilancarkan Seng Hwee Sin Kun. Kam Hay thian lerhuyunghuyung
ke belakang beberapa langkah, sedangkan Seng Hwee
Sin Kun cuma dua langkah.
"Seng Hwee Sin Kun! Cepat bunuh pemuda itu!" seru Toa
Sat Kui. Mereka berlima mendadak menyerang ke arah Lu Hui
San, Lie Ai Ling dan Sie Keng Hauw.
Sedangkan kedua Pelindung pun mulai menyerang Lim
Peng Hang dan Gouw Han Tiong. Terjadilah pertarungan yang
amat seru dan sengit.
Kam Hay Thian bertarung mati-matian melawan Seng
Hwee Sin Kun, bahkan bertekad membunuhnya, karena Seng
Hwee Sin Kun pembunuh ayahnya.
Seng Hwee Sin Kun mengeluarkan Seng Hwee Ciang
Hoat (Ilmu Pukulan Api Suci) yang mengandung api,
sedangkan Kam Hay Thian mengeluarkan Pak Kek Sin Ciang
(Ilmu Pukulan Kutub Utara) yang mengandung hawa dingin.
Setelah dibimbing oleh Tio Cie Hiong, Iweekang Kam Hay
Thian bertambah tinggi, begitu pula ilmu pukulannya, sebab
Tio Cie Hiong telah menyempurnakan ilmu pukulan tersebut.
Akan tetapi, lweekang Kam Hay Thian tetap di bawah
tingkat Seng Hwee Sin Kun, maka puluhan jurus kemudian,
pemuda itu mulai terdesak.
Sementara Lim Peng Hang dan Gouw Han Liong juga
sudah terdesak oleh kedua Pelindung.
Puluhan jurus kemudian, kedua Pelindung itu berhasil
menotok jalan darah Lim Peng Hang dari Gouw Han Tiong,
sehingga membuat mereka roboh tak bergerak lagi. Setelah
berhasil menotol jalan darah Lim Peng Hang dan Gouw Han
Tio kedua Pelindung pun berdiri di tempat sambil menyaksikan
pertarungan itu.
Sie Keng Hauw, Lie Ai Ling dan Lu Hui San juga sudah
mulai terdesak. Mereka bertiga cuma dapat bertahan.
Beberapa jurus kemudian, bahkan Lie Ai Ling sudah terluka.
Betapa terkejutnya Sie Keng Hauw, kemudian mati-matian
melindungi kekasihnya. Akan tetapi tak seberapa lama
kemudian, tangannya pun terluka oleh pukulan Toa Sat Kui.
Kini keadaan mereka sungguh dalan bahaya! Di saat itulah
mendadak terdengar suara tawa yang amat nyaring, menyusul
melayang turui sosok bayangan.
"Hi hi hi! Asyik sekali! Ada orang bertarung"
"Kakak!" seru Lu Hui San girang, "Tolong, kami! Kakak!"
"Jangan khawatir, Adik!" Terdengar suara sahutan yang
sangat merdu. "Kakak pasti bantl kalian!"
Siapa orang itu" Ternyata Bu Ceng Sianli Ti Siao Cui. Ia
langsung menyerang ke arah Ngo San Kui dengan Hian Goan
Ci. Betapa terkejutnya Ngo Sat Kui. Mereak berlima cepatcepat
Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
meloncat ke belakang.
"Siapa engkau?" bentak Toa Sai Kui. "Jangan turut
campur urusan ini!"
"Hi hi hi! Aku Bu Ceng Sianli, namaku Tu siao Cui! Aku
justru harus mencampuri urusan ni! Hi hi hi...!" sahut Tu Siao
Cui sambil tertawa nyaring.
Sedangkan kedua Pelindung saling memandang,
kemudian mendadak membopong Lim Peng Hang dan Gouw
Han Tiong lalu melesat pergi seraya berseru, "Ngo Sat Kui!
Mari kita pergi!"
Begitu mendengar suara seruan kedua Pelindung, Ngo
Sat Kui pun langsung melesai pergi lan berseru pula.
"Seng Hwee Sin Kun, cepat pulang ke markas!"
Kelika Seng Hwee Sin Kun mau melesat pergi, Bu Ceng
Sianli-Tu Siao Cui menyerangnya lengan Hian Goan Ci.
Cesss! Lengan jubah Seng Hwee Sin Kun berlubang.
Sementara Kam Hay Thian sudah dapat bernafas, setelah
itu ia mulai menyerang Seng Hwee sin Kun menggunakan Pak
Kek Sin Ciang. Seng Hwee Sin Kun menggeram, kemudian secepat kilat
menghindar sekaligus balas menyerang dengan ilmu Seng
Hwee Sin Ciang.
Blaaam! Terdengar suara benturan.
Seng Hwee Sin Kun tak bergeming sedikit pun,
sedangkan Kam Hay Thian terdorong kebelakang beberapa
langkah. "Chu Ok Hiap!" seru Bu Ceng Sianli. "Engkau mundurlah!
Biar aku yang melawannya!"
"Tidak!" sahut Kam Hay Thian. "Dia pembunuh ayahku,
aku harus membunuhnya dengan tanganku sendiri!"
"Baik! Aku akan membantumu menyerang nya!" ujar Bu
Ceng Sianli sambil tertawa. "Hi hi hi...!"
Sementara Seng Hwee Sin Kun terus meng geram sambil
melotot-lotot. Mendadak ia memekik keras, kemudian
sepasang telapak tangannya berubah kehijau-hijauan.
"Chu Ok Hiap! Hati-hati!" Bu Ceng Sianli mengingatkan.
"Dia telah mengerahkan Iweekang nya pada puncaknya!"
Kam Hay Thian mengangguk, kemudian cepat-cepat
mengerahkan Pak Kek Sin Kang, sedangkan Bu Ceng Sianli
mengerahkan Hian Goan Sin Kang.
Sie Keng Hauw, Lie Ai Ling dan Lu Hui San tegang bukan
main. Mereka menyaksikan itu dengan wajah pucat pias,
terutama Lu Hui San.
Mendadak Seng Hwee Sin Kun memekik keras lagi,
sekaligus menyerang Kam Hay Thian dengan jurus Seng Hwee
Sauh Thian (Api Suci Membakar Langit). Bukan main
dahsyatnya serangan itu, sebab pukulan itu mengandung api
kehijau-hijauan.
Kam Hay Thian tidak berkelit, melainkan menangkis
serangan itu dengan jurus Leng Swat leng Hai (Salju Menutupi
Laut), yang penuh mengandung hawa dingin. Di saat
bersamaan Bu Ceng Sianli juga menyerang Seng Hwee Sin
Kun. Blaaam! Terdengar suara benturan dahsyat memekakkan
telinga. Pada waktu bersamaan terdengar pula suara jeritan.
"Aaaakh...!" Ternyata Seng Hwee Sin Kun yang menjerit,
karena punggungnya telah berlubang terserang Hian Goan Ci.
Sedangkan Kam Hay Thian terpental beberapa depa,
pakaiannya juga telah hangus, kemudian terkulai.
"Kakak Hay Thian!" seru Lu Hui San sambil hrrlari
menghampirinya. "Engkau... engkau terluka?"
"Aku...." Kam Hay Thian menarik nafas dalam-dalam.
"Aku tidak apa-apa."
Kam Hay Thian bangkit berdiri, lalu mendekati Seng
Hwee Sin Kun. Sementara Seng Hwee Sin Kun membalikkan
badannya, lalu menatap Bu Ceng Sianli dengan mata
membara. "Hi hi hi!" Bu Ceng Sianli tertawa cekikikan. "Engkau sudah
tidak punya sukma, lebih baik mati !"
Tiba-tiba Seng Hwee Sin Kun menggeram, sekaligus
menyerang Bu Ceng Sianli menggunakan jurus Thian Te Seng
Hwee (Api Suci Langit Bumi), yakni jurus yang paling lihay dan
dahsyat "Hi hi hi!" Bu Ceng Sianli tertawa nyaring kemudian
mendadak jari tangannya bergerak secepat kilat dan
memancarkan cahaya putih. Ternyata ia menggunakan jurus
Cian Ci Keng Thian (Ribuan Jari Mengejutkan Langit) untuk me
nangkis serangan yang dilancarkan Seng Hwee Sin Kun.
Blaaam! Cesss! Cesss! Itu adalah suara benturan kedua
lweekang yang memekakkan telinga Seng Hwee Sin Kun
terpental beberapa depa Dada dan perutnya telah berlubang
dan darah segar pun mengucur dari lubang itu. Sedangkan Bu
Ceng Sianli terdorong ke belakang lima enam langkah,
wajahnya tampak pucat pias.
Di saat Seng Hwee Sin Kun terpental, di saat itu pula
Kam Hay Thian menyerangnya dengan jurus Han Thian Soh
Swat (Menyapu Salju Hai Dingin).
Blaaam! Punggung Seng Hwee Sin Kun terkena pukulan
itu. "Aaaakh...!" jeritnya. Badannya terpental lagi ke arah Bu
Ceng Sianli yang sedang mengatur pernafasannya.
"Hi hi hi!" Bu Ceng Sianli tertawa cekikikat sambil
menggerakkan jari tangannya.
"Eeekh!" Seng Hwee Sin Kun mengeluarkan suara
tenggorokan, kemudian terkulai tak bergerak iagi, nyawanya
sudah melayang.
"Kakak Hay Thian!" seru Lu Hui San sambil
mendekatinya. "Kakak Hay Thian...."
"Adik Hui San...." Kam Hay Thian memanjangnya sambil
tersenyum, namun wajahnya agak jiucat dan pakaian pun
telah hangus. "Aku tidak apa-apa. Engkau tidak usah
khawatir!"
"VVuah! Hi hi hi!" Bu Ceng Sianli tertawa geli. "Kini sudah
mesra ya!"
"Kakak...." Wajah Lu Hui San memerah. "Jangan
menggoda aku!"
"Oh, ya?" Bu Ceng Sianli menatapnya sambil tertawa
cekikikan. "Hi hi hi! Masih mau jadi biarawati?"
"Kakak...." Lu Hui San menundukkan kepala.
"Celaka!" seru Sie Keng Hauw mendadak dengan wajah
pucat pias. "Betul-betul celaka!"
"Anak muda," tanya Bu Ceng Sianli heran. "Apa yang
celaka?" "Kakek Lim dan Kakek Gouw..." sahut Sie Keng Hauw.
"Mereka telah dibawa kabur."
"Haaah...?" Barulah Lie Ai Ling, Kam Hay Thian dan Lu
Hui San tersentak, wajah mereka lalu berubah pucat pias.
"Celaka... "
"Mereka tidak akan celaka. Kalau mereka celaka, berarti
mereka sudah mati dari tadi," sahut Bu Ceng Sianli dan
menambahkan. "Sekarang kita kedalam, jangan terus berdiri
di sini!" "Bagaimana dengan mayat Seng Hwee Sin Kun?" tanya
Lu Hui San. "Suruh saja anggota Kay Pang menguburnya!' jawab Bu
Ceng Sianli sambil menengok ke sara ke mari. "Lho" Kok
anggota Kay Pang tidak tampak seorang pun" Apakah mereka
sudah marnpus semua?"
"Celaka!" seru Sie Keng Hauw. Pemuda itu segera melesat
pergi, tapi tak lama kemudian sudah kembali dan berkata.
"Ternyata para anggota Kay Pang yang bertugas di luar
markas masih dalam keadaan tertidur, karena terkena
semacam obat bius!"
"Pantas mereka tidak kelihatan!" ujar Lie Ai Ling.
"Syukurlah mereka kalau tidak mati!"
"Celaka!" seru Bu Ceng Sianli mendadak.
"Ada apa. Kakak?" Lu Hui San terkejut.
"Ketularan kalian yang dari tadi terus menyebut 'Celaka',
maka aku pun ikut-ikutan menyebut celaka. Hi hi hi!" Bu Ceng
Sianli tertawl geli.
"Kakak ada-ada saja!" Lu Hui San cemberut
"Ayolah, mari kita ke dalam!" ajak Bu Ceng Sianli sambil
melesat ke dalam markas, yang lain mengikutinya dari
belakang. Sampai di ruang depan, mereka lalu duduk.
"Kakak adalah Tu Siao Cui?" tanya Lie A Ling mendadak
sambil menatapnya dengan mata tak berkedip.
"Tidak salah. Kenapa?" sahut Bu Ceng Sianli
"Bukan main! Sungguh bukan main!" ujar Lie Ai Ling sambil
menggeleng-gelengkan kepala.
"Eh" Kenapa engkau gadis manis?" tanya Bu Ceng Sianli.
"Apanya yang bukan main?"
"Kakak sungguh cantik sekali, kelihatannya baru berusia
dua puluhan!" jawab Lie Ai Ling, "Tapi sesungguhnya sudah
berusia hampir sembilan puluh. Nah, itu bukan main, kan?"
"Hi hi hi!" Bu Ceng Sianli tertawa cekikikan, "gadis manis,
beritahukanlah namamu!"
"Namaku Lie Ai Ling." Gadis itu memperkenalkan diri
sambil tersenyum, lalu memandang kekasihnya seraya
berkata, "Dia bernama Sie Keng Hauw, dia...."
"Aku sudah tahu, dia kekasihmu." Bu Ceng sianli tertawa
cekikikan. "Ya, Kakak." Lie Ai Ling mengangguk.
"Oh ya!" Bu Ceng Sianli menengok ke sana kemari seraya
bertanya, "Kok tidak tampak Tio Bun Yang" Dia tidak berada
di sini?" "Dia dan Goat Nio pergi ke kuil Siauw Lim," jawab Kam
Hay Thian memberitahukan. "Sebab "Ketua partai Siauw Lim
jadi gila terkena pukulan Ceng Hwee Sin Kun, maka dia ke
sana untuk mengobatinya."
"Oh?" Bu Ceng Sianli tertegun. "Bun Yang mahir ilmu
pengobatan?"
"Dia memang mahir ilmu pengobatan, kepandaiannya
pun sangat tinggi sekali." Lie Ai Ling memberitahukan dengan
wajah berseri-seri. "Bahkan dia juga mahir meniup suling."
"Aku sudah tahu itu." Bu Ceng Sianli manggut-manggut.
"Oh ya, engkau punya hubungan apa dengan Bun Yang?"
"Aku adiknya."
"Apa?" Bu Ceng Sianli mengerutkan kening "Bagaimana
mungkin engkau adiknya?"
"Ayahnya dan ibuku bersaudara, sedangkan kakeknya
dan kakekku saudara kandung." Lie Ai Ling menjelasiean.
"Oooh!" Bu Ceng Sianli manggut-manggut "Pantas,
engkau begitu bangga, ternyata engkau memang termasuk
adiknya!" "Kakak...." Lu Hui San mengerutkan kening "Kini Kakek
Lim dan Kakek Gouw tidak ada, kita harus bagaimana?"
"Anggap saja kita tuan rumah!" sahut Bu Ceng Sianli.
"Beres, kan?"
"Tapi...." Lu Hui San menggeleng-gelengkan kepala.
"Wakil ketua pun tidak ada di sini, kita...
"Tentunya kita harus menunggu Kakak Bun Yang dan
Goat Nio, sebab Kakak Bun Yan adalah cucu ketua Kay Pang
ini. Biar dialah yang mengatur!" ujar Lie Ai Ling.
"Betul." Bu Ceng Sianli manggut-manggu "Kita semua
memang harus menunggu Bun Yan pulang."
"Kakak juga menunggu di sini?" tanya Lu Hui San girang.
"Aku mengucapkan 'kita semua', berarti termasuk diriku,"
sabut Bu Ceng Sianli. "Dasar goblok!"
"Aku memang goblok, Kak," ujar Lu Hui San sambil
tersenyum. "Kalian sungguh...." Bu Ceng Sianli menggelenggelengkan
kepala. "Padahal bahu dan lengan kalian terluka,
namun masih bisa bergurau."
"Lukaku ringan, tidak apa-apa," sahut Kam Hay Thian.
"Oh ya, aku harus mengucapkan terimakasih kepada Kakak,
sebab Kakak telah membantuku membalas dendam."
"Tidak usah berterimakasih kepadaku. Seharusnya
engkau berterimakasih kepada Lu Hui San," ujar Bu Ceng
Sianli. "Ingat! Engkau harus baik-baik terhadapnya! Kalau
engkau masih berani menyakiti hatinya, aku pasti
membunuhmu!"
"Ya, Kakak." Kam Hay Thian mengangguk dan berjanji,
"Aku pasti mencintai dan menyayanginya selama-lamanya!"
"Bagus! Bagus!" Bu Ceng Sianli tertawa cekikikan. "Hi hi
hi...!" "Hi hi hi!" Mendadak Lie Ai Ling juga tertawa cekikikan,
itu membuat Bu Ceng Sianli terheran- inian.
"Hei!" Bu Ceng Sianli melotot. "Kenapa engkau ikut
tertawa seperti aku" Menyindir ya?"
"Mana berani aku menyindir Kakak?" sahut Lie Ai Ling
tersenyum-senyum. "Aku teringat Kou Hun Bijin yang suka
tertawa seperti Kakak."
"Oh, dia!" Bu Ceng Sianli manggut-manggut.
. "Dia dan suaminya berada di mana?"
"Di Pulau Hong Hoang To." Lie Ai Ling memberitahukan.
"Ngmm!" Bu Ceng Sianli manggut-manggut lagi seraya
berkata, "Apabila aku sempat, pasti berkunjung ke sana."
"Kakak jangan ingkar janji lho!" ujar Lie Ai Ling.
"Eh" Aku cuma bilang mau berkunjung ke sana, namun
tidak berjanji," sahut Bu Ceng Sianli.
"Kakak...." Wajah Lie Ai Ling tampak kecewa. "Kalau
sempat, Kakak berkunjung ke Pulau Hong Hoang To ya!"
"Itu kalau aku sempat. Tapi tidak berjanji lho!" sahut Bu
Ceng Sianli. Di saat itulah muncul beberapa pengemis tua. Mereka
memberi hormat kepada Kam Hay Thian, Sie Keng Hauw dan
lainnya. "Maafkan kami..." ucap salah seorang dari mereka.
"Karena kami terkena semacam obat bius, sehingga membuat
kami...." "Kami sudah tahu itu," sahut Sie Keng Hauw dan
bertanya, "Oh ya, di mana wakil ketua?"
"Beliau ditugasiean ke markas cabang, mungkin dalam
waktu belasan hari ini beliau akan pulang."
"Kakek Lim dan Kakek Gouw ada urusan, maka
meninggaliean markas pusat ini," ujar Sie Keng Hauw dan
menambahkan. "Sekarang kalian boleh pergi, sekaligus
kuburkan mayat yang di luar markas itu!"
"Ya." Beberapa pengemis tua itu langsung pergi.
"Kakak Keng Hauw, kenapa engkau berdusta?" tanya Lie
Ai Ling.
Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kalau aku tidak berdusta, Kay Pang pasti menjadi
kacau," sahut Sie Keng Hauw dan melanjutkan. "Kita tunggu
Bun Yang dan Goat Nio pulang, barulah kita berunding
bersama." "Oh ya!" ujar Bu Ceng Sianli mendadak. "Apakah ada
kamar kosong" Aku sudah lelah sekali, mau beristirahat."
"Ada, Kakak," sahut Lie Ai Ling dan Lu Hui San serentak.
"Kami antar Kakak ke kamar itu."
"Hi hi hi!" Bu Ceng Sianli tertawa. Kalian cukup baik
terhadapku! Bagus! Bagus! Aku sungguh gembira sekali!"
Beberapa hari kemudian, Tio Bun Yang dan Siang Koan
Goat Nio sudah pulang. Betapa gembiranya hati Tio Bun Yang
ketika melihat Bu Ceng Sianli-Tu Siao Cui. Ia langsung berseru
dengan wajah berseri-seri, "Kakak! Kakak!"
"Hi hi hi! Adik Bun Yang, engkau sudah pulang?" Bu
Ceng Sianli tertawa cekikikan.
"Kakak Siao Cui!" panggil Siang Koan Goa Nio. "Masih
ingat padaku?"
"Engkau...." Bu Ceng Sianli menatapnya dengan penuh
perhatian. "Aku ingat! Kita pernai bertemu di kedai teh,
kemudian muncul belasan anggota Seng Hwee Kauw. Mereka
kuajak ke tempat sepi lalu kubunuh. Ya, kan?"
"Betul." Siang Koan Goat Nio tertawa gem bira. "Kukira
Kakak sudah lupa."
"Hi hi hi!" Bu Ceng Sianli memandang merek; sambil
tertawa. "Ternyata Adik Bun Yang kekasih mu! Engkau
memang tidak salah pilih. Kalian berdua memang pasangan
yang serasi."
"Kakak....." Wajah Siang Koan Goat Nio agak kemerahmerahan.
Sementara Tio Bun Yang terus memandang Kam Hay
Thian dan Sie Keng Hauw. Dari wajah mereka, ia sudah tahu
telah terjadi sesuatu di markas pusat Kay Pang ini
"Keng Hauw," tanya Tio Bun Yang. "Di mana kakekku dan
Kakek Gouw?"
"Mereka...." Sie Keng Hauw memandang Bu Ceng Sianli.
"Adik Bun Yang," ujar Bu Ceng Sianli. "Telah teradi
sesuatu di markas ini. Kalau aku terlambat datang, mereka
pasti sudah jadi mayat."
"Oh?" Air muka Tio Bun Yang berubah hebat. "Apa yang
telah terjadi?"
"Seng Hwee Sin Kun dan beberapa anggota ,Kui Bin Pang
ke mari..." tutur Kam Hay Thian, kemudian menghela nafas
panjang. "Apa?" Wajah Tio Bun Yang langsung berubah pucat
pias. "Kakekku dan Kakek Gouw ditangkap mereka?"
"Ya." Kam Hay Thian mengangguk.
"Kakek! Kakek...!" seru Tio Bun Yang cemas. "Aaaah! Aku
harus bagaimana" Harus bagaimana?"
"Tenanglah, Adik Bun Yang'" ujar Bu Ceng Sianli.
"Kakekmu dan Kakek Gouw tidak akan terjadi apa-apa. Sebab
seandainya Seng Hwee Sin Kun dan para anggota Kui Bin
Pang itu menghendaki nyawa kakekmu dan Kakek Gouw, di
saat itu juga kakekmu dan Kakek Gouw pasti sudah mati."
"Betul, Kakak Bun Yang!" ujar Lie Ai Ling. "Kalau Kakak
Siao Cui terlambat datang, kami pasti sudah jadi mayat.
Kepandaian mereka sangat tinggi sekali."
"Aaaah...!" Tio Bun Yang menghela nafas panjang,
kemudian jatuh terduduk di kursi. "Entah bagaimana keadaan
kakekku dan Kakek Gouw?"
"Adik Bun Yang," tegas Bu Ceng Sianli. "Pokoknya
engkau harus tenang, tidak boleh kacau! Ingat, engkau
pemuda gagah, maka tidak boleh cengeng!"
"Ya, Kakak!" Tio Bun Yang mengangguk.
"Oh ya!" Bu Ceng Sianli menatapnya seraya bertanya,
"Bagaimana keadaan ketua Siauw Lim Pay" Engkau dapat
menyembuhkannya?"
Tio Bun Yang menggeleng-gelengkan kepala kemudian
menghela nafas panjang.
"Kakak Bun Yang tidak bisa menyembuhkan Hui Khong
Taysu?" tanya Lie Ai Ling kurang percaya.
"Hui Khong Taysu dipasung karena sering mengamuk.
Aku telah memeriksanya, ternyatwa syaraf otaknya telah rusak
tergempur oleh semacam ilmu pukulan." Tio Bun Yang
memberi tahukan.
"Tiada obat yang dapat menyembuhkannya" tanya Bu
Ceng Sianli. "Ada," jawab Tio Bun Yang. "Hanya rumput obat Liong
Kak Cauw (Rumput Tanduk Naga) yang dapat
menyembuhkannya."
"Kalau begitu, cepatlah Kakak Bun Yang pergi
mengambil rumput obat itu!" ujar Lie Ai Ling.
"Adik Ai Ling!" Tio Bun Yang menggeleng gelengkan
kepala. "Tidak gampang mencari Liong Kak Cauw, sebab rumput
Tanduk Naga itu cuma tumbuh di daerah Miauw."
"Oh?" Lie Ai Ling terbelalak.
"Ayah dan aku kenal baik ketua suku Miauw, bahkan aku
pernah ke sana," Tio Bun Yang memberitahukan. "Tapi...."
"Adik Bun Yang!" Bu Ceng Sianli menatapnya. "Engkau
merasa berat berangkat ke daerah Biauw, karena memikirkan
kakekmu?" "Ya." Tio Bun Yang mengangguk.
"Menurut aku..." ujar Bu Ceng Sianli. "Pihak Kui Bin Pang
tidak akan membunuh kakekmu maupun Kakek Gouw, paling
juga mereka akan dibikin gila. Berarti kelak engkau pun
membutuhhkan rumput Tanduk Naga untuk menyembuhkan
mereka. Maka, apa salahnya engkau berangkat ke daerah
Miauw untuk mengambil rumput obat itu?"
"Ini...." Tio Bun Yang masih ragu. "Kakak, bagaimana
kalau aku ke Pulau Hong Hoang To memberitahukan kedua
orang tuaku?"
"Jangan!" Bu Ceng Sianli menggelengkan kepala. "Itu
akan mencemaskan semua orang di sana. engkau sudah
dewasa, jadi engkau harus menanganinya, jangan masih
bersikap seperti anak kecili!"
"Ya, Kakak." Tio Bun Yang mengangguk. "Tapi bagaimana
di sini?" "Serahkan pada kami!" sahut Kam Hay Thian dan Sie
Keng Hauw serentak. "Kami tetap berada disini menunggu
engkau pulang."
"Terimakasih!" ucap Tio Bun Yang.
"Kakak Bun Yang," tanya Lie Ai Ling. "Engkau cuma
memeriksa Hui Khong Taysu saja?"
"Ya."
"Kenapa Kakak Bun Yang tidak pergi memeriksa ketua
partai lain?"
"Itu tidak perlu, sebab penyakit mereka pasti sama. Lagi
pula aku harus memburu waktu."
"Adik Bun Yang!" Bu Ceng Sianli memandangnya. "Aku
mau pergi sekarang, kelak kita akan berjumpa lagi!"
"Kakak...!" panggil Tio Bun Yang, Siang Koan Goat Nio
dan Lie Ai Ling serentak, mereka merasa berat berpisah
dengan wanita itu.
"Hi hi hi!" Bu Ceng Sianli tertawa cekikikan "Kalian
jangan cengeng, aku pergi karena harus membantu kalian
mencari Lim Peng Hang dan Gouw Han Tiong!"
"Oooh!" Tio Bun Yang manggut-manggut "Terimakasih,
Kakak!" "Baiklah." Bu Ceng Sianli bangkit berdiri "Sampai
jumpa!" "Kakak...!" panggil Siang Koan Goat Nio.
Namun Bu Ceng Sianli sudah melesat pergi tinggal
terdengar sayup-sayup seruannya.
"Kelak kita akan berjumpa lagi! Hi hi hi...!"
"Aaaah...!" Siang Koan Goat Nio menghela nafas
panjang. "Ketika pertama kali aku bertemu Bu Ceng Sianli, aku
anggap dia wanita jahat dan sadis! Kini aku baru tahu, dia
berhati bajik!"
"Semula aku pun beranggapan begitu, sebab dia
membunuh Hek Sim Popo, bahkan ingin membunuh yang lain
juga. Oleh karena itu, aku berusaha mencegahnya..." ujar Tio
Bun Yang dan menutur. "Maka aku menganggapnya gadis
berhati sadis. Pada waktu itu, aku tidak percaya kalau usianya
sudah hampir sembilan puluh."
"Siapa yang akan percaya?" ujar Lu Hui San .ambil
menggeleng-gelengkan kepala. "Entah siapa akan menjadi
jodohnya?"
"Sepertinya...." Lie Ai Ling mengerutkan kening. "Dia
sama sekali tidak tertarik pada lelaki yang mana pun."
"Aku harap dia akan ketemu pemuda yang baik!" ucap
Siang Koan Goat Nio.
"Oh ya!" Lu Hui San menatapnya. "Goat Nio, kapan kalian
akan berangkat ke daerah Miauw?"
"Besok pagi," sahut Tio Bun Yang. "Kami harus cepat
berangkat dan cepat pulang."
"Kami tetap tinggal di sini. Sebelum kalian pulang, kami
tidak akan ke mana-mana," ujar Kam Hay Thian.
"Terimakasih!" ucap Tio Bun Yang.
-oo0dw0oo- Bagian ke lima puluh enam
Kejadian yang mencemaskan
Tio Bun Yang dan Siang Koan Goat Nio sudah berangkat ke
daerah Miauw. Tujuh delapan hari kemudian, mereka berdua
sudah tiba di daerah itu dan langsung menemui kepala suku
Miauw. Dapat dibayangkan, betapa girangnya Cing Cing, putri
kepala suku Miauw itu. Ia memeluk Tio Bun Yang erat-erat,
sekaligus mengecup pipi nya.
"Cing Cing...." Wajah Tio Bun Yang langsung memerah.
"Maaf!" ucap ibu Cing Cing kepada Siang Koan Goat Nio.
"Itulah adat kami di sini, maka Nona jangan salah paham!
Putriku itu sudah punya suami."
"Oooh!" Siang Koan Goat Nio manggut-manggut.
"Kakak Bun Yang," tanya Cing Cing. "Nona itu kekasihmu
ya?" "Ya." Tio Bun Yang mengangguk. "Namanya Siang Koan
Goat Nio."
"Kakak Goat Nio, aku bernama Cing Cing," ujar putri
kepala suku Miauw sambil tersenyum "Jangan salah paham
ya! Aku sudah punya suami, aku girang sekali atas
kedatangan kalian."
"Adik Cing Cing!" Siang Koan Goat Nio tersenyum
lembut. "Aku tidak akan salah paham."
"Syukurlah!" ucap Cing Cing.
"Bun Yang!" Ibu Cing Cing menatapnya seraya bertanya,
"Engkau ke mari tentu ada suatu penting. Ya, kan?"
"Ya." Tio Bun Yang mengangguk. "Aku ke mari mencari
Liong Kak Cauw."
"Liong Kak Cauw?" Ayah Cing Cing mengerutkan kening.
"Sulit sekali mengambil Liong Kak Cauw itu, sebab tumbuhnya
di tebing yang sangat licin. Sudah banyak orang yang mati
karena ingin mengambil rumput obat itu."
"Ayah, Kakak Bun Yang pasti berhasil mengambil rumput
obat itu, karena kepandaian Kakak Hun Yang tinggi sekali,"
ujar Cing Cing sambil tersenyum.
"Oh?" Ayah Cing Cing manggut-manggut. "Aku masih
ingat, engkaulah yang menyelamatkan kami."
"Kepandaian Pahto begitu tinggi, tapi Kakak Hun Yang
masih dapat merobohkannya, itu pertanda kepandaian Kakak
Bun Yang tinggi sekali.'
"Ngmm!" Ayah Cing Cing mengangguk sambil insenyum.
"Kalau begitu, aku yakin engkau akan berhasil mengambil
rumput obat itu."
"Paman, rumput Tanduk Naga itu tumbuh di tebing
mana?" tanya Tio Bun Yang.
"Di Gunung Tanduk Naga." Ayah Cing Cing nenunjuk ke
arah utara. "Lihatlah gunung itu, bukankah mirip tanduk
naga?" Tio Bun Yang memandang ke arah utara, dilihatnya
sebuah gunung menjulang tinggi, yang bentuknya memang
mirip tanduk naga.
"Rumput Tanduk Naga tumbuh di tebing gunung itu?"
"Ya." Ayah Cing Cing mengangguk dan memberitahukan.
"Gunung itu sangat berbahaya, maka engkau harus berhatihati!
Di sana terdapat rawa hidup, siapa yang terpeleset ke
rawa itu, jangan harap bisa ke luar lagi."
"Aku pasti berhati-hati," ujar Tio Bun Yang, kemudian
memandang Siang Koan Goat Nio seraya berkata, "Goat Nio,
engkau di sini saja! Jangan ikut aku ke gunung itu, sebab akan
mem bahayakan dirimu."
"Kakak Bun Yang, aku... aku ikut!" sahut gadis itu.
"Goat Nio," ujar ibu Cing Cing. "Lebih baik engkau
tinggal di sini, Cing Cing akan menemani mu. Karena apabila
engkau ikut Bun Yang ke gunung itu, justru akan
memecahkan perhatian nya. Jadi engkau harus mengerti itu!"
"Aku...." Siang Koan Goat Nio menundukkan kepala.
"Kakak Goat Nio!" Cing Cing memegang bahunya, "kalau
engkau ikut, tentunya Kakak Bun Yang harus menjagamu.
Nah, bukankah engkau akan merepotkannya" Mungkin juga
akan mem buatnya tidak bisa memusatkan perhatiannya,
sungguh berbahaya sekali!"
"Ya," Siang Koan Goat Nio mengangguk. "Aku mengerti
dan tidak ikut."
"Adik Goat Nio!" Tio Bun Yang membelainya. "Engkau
memang gadis yang berpengertian."
"Tapi Kakak Bun Yang harus berhati-hati lho!" pesan
Siang Koan Goat Nio sambil menatapnya mesra.
"Ya." Tio Bun Yang mengangguk.
"Bun Yang," tanya ayah Cing Cing. "Kapan engkau akan
berangkat ke gunung itu?"
"Sekarang," jawab Tio Bun Yang.
"Baiklah." Ayah Cing Cing manggut-manggut. "Walau
engkau berkepandaian tinggi, namun engkau tetap harus
berhati-hati!"
"Ya, Paman." Tio Bun Yang mengangguk dan k-rpamit,
lalu berangkat ke Gunung Tanduk Naga.
Setelah Tio Bun Yang pergi, Siang Koan Goat Nio terus
melamun. Cing Cing memandangnya ?ambil tersenyum,
kemudian ujarnya.
"Kakak Goat Nio, jangan melamun! Lusa kakak Bun Yang
Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pasti pulang."
"Dia... dia pergi menempuh bahaya, sedangkan aku
malah enak-enak duduk di sini. Aku...." Siang Koan Goat Nio
menghela nafas panjang.
"Kakak Goat Nio!" Cing Cing tersenyum, kepandaian
Kakak Bun Yang begitu tinggi, dia pasli selamat. Engkau tidak
usah mengkhawatirkannya. Percayalah! Lusa dia pasti
pulang." "Goat Nio!" Ibu Cing Cing tersenyum lembut.
"Bun Yang pasti pulang dengan membawa rumput Tanduk
Naga, engkau tidak usah mencemasieannya!"
"Ya." Siang Koan Goat Nio mengangguk.
"Baiklah," ujar ibu Cing Cing. "Kalian mengobrollah di
sini, kami mau ke dalam!"
Kedua orang tua Cing Cing masuk ke dalam, sedangkan
Cing Cing dan Siang Koan Goat Nio tetap duduk di situ.
"Oh ya!" Siang Koan Goat Nio memandangnya seraya
bertanya. "Di mana suamimu" Kok tidak kelihatan?"
"Dia pergi menengok orang tuanya. Dalam beberapa hari
ini dia akan pulang." Cing Cing memberitahukan.
"Kenapa engkau tidak ikut?"
"Malas."
"Kok malas?" Siang Koan Goat Nio tersenyum. "Itu tidak
baik lho!"
"Kebetulan pada waktu itu aku kurang enak badan,
maka malas ikut ke rumah orang tuanya," ujar Cing Cing,
yang kemudian menatapnya. "Kakak Goat Nio, engkau dan
Kakak Bun Yang sudah lama saling mencinta?"
"Cukup lama."
"Dia... dia pemuda baik, jujur, gagah dan tampan.
Engkau beruntung sekali mendapatkan dia."
"Oh?"
"Ketika pertama kali aku bertemu dia, aku sangat tertarik
kepadanya. Bahkan boleh dikatakan aku telah jatuh hati
kepadanya," ujar Cing Cing terus terang. "Namun dia
menganggapku sebagai adiknya, maka aku tidak berani
memikirkannya lagi."
"Oooh!" Siang Koan Goat Nio manggut-manggut. "Oh ya!
Aku masih tidak tahu, bagaimana dia bisa kenal kedua orang
tuamu" Bolehkah engkau memberitahukan padaku?"
"Tentu boleh. Kedua orang tuaku ditangkap oleh Pahto
yang berkepandaian sangat tinggi, maka ibuku menyuruhku ke
Tionggoan minta bantuan kepada Paman Cie Hiong..." tutur
Cing cing sejelas-jelasnya dan menambahkan. "Dia berhasil
mengalahkan Pahto."
"Oooh!" Siang Koan Goat Nio manggut-mang- j'ut.
"Ternyata begitu! Lalu di mana Pahto sekarang?"
-oo0dw0oo- Jilid : 12 "Entahlah." Cing Cing menggelengkan kepala. "Hingga kini
dia tidak pernah muncul di daerah Miauw ini."
"Oh ya!" Siang Koan Goat Nio memandangnya kiiaya
bertanya, "Engkau pernah belajar ilmu Silat?"
"Pernah." Cing Cing mengangguk.
"Siapa yang mengajarmu ilmu silat!"
"Ibuku. Setelah bertemu Kakak Bun Yang, tlia pun
mengajarku Iweekang dan ilmu pedang."
"Kakak Bun Yang mengajarmu Iweekang apa dan ilmu
pedang apa?"
"Giok Li Sin Kang dan Lui Tian Kiam Hoat."
"Oooh!" Siang Koan Goat Nio tersenyum "Ibuku
mengajarkan Giok Li Sin Kang pada ibu nya. ibunya
mengajarkan padanya, setelah itu dia pun ajarkan padamu!"
"Kalau begitu, kepandaian Kakak pasti lihay sekali," ujar
Cing Cing. *Engkau mahir ilmu pedang?"
"Kakak Bun Yang tidak mengajarmu Gio Li Kiam Hoat?"
tanya Siang Koan Goat Nio.
"Tidak."
"Kalau begitu..." ujar Siang Koan Goat Ni sambil tersenyum.
"Aku akan mengajarmu Gio Li Kiam Hoat, sebab engkau sudah
memiliki Gio Li Sin Kang, maka harus belajar Giok Li Kiam
Hoat." "Terimakasih, Kakak!" ucap Cing Cing girang.
"Terimakasih!"
Siang Koan Goat Nio mulai mengajar Cing Cing Giok Li Kiam
Hoat. Pada hari berikutnya Cing Cing sudah dapat menguasai
jurus-jurus Giok Li Kiam Hoat. Karena gadis itu telah memiliki
Giok Li Sin Kang, maka tidak sulit baginya mempelajari Giok Li
Kiam Hoat. Sore harinya, ketika Siang Koan Goat Nio sedang memberi
petunjuk kepada Cing Cing mengenai ilmu pedang itu,
mendadak melayang turun seseorang, yang ternyata Tio Bun
Yang. "Kakak Bun Yang!" seru Siang Koan Goat Nio girang, dan
langsung memeluknya mesra "Kakak Bun Yang...."
"Adik Goat Nio!" Tio Bun Yang membelainya. "Aku sudah
pulang." "Engkau berhasil mengambil rumput Tanduk Naga?" tanya
Siang Koan Goat Nio.
"Ng!" Tio Bun Yang mengangguk.
"Syukurlah!" ucap Siang Koan Goat Nio.
"Kakak Bun Yang!" panggil Cing Cing. "Sudah melupakan
aku ya?" "Adik Cing Cing...." Wajah Tio Bun Yang kemerah-merahan.
"Maaf, aku...."
"Aku tahu...." Cing Cing manggut-manggut. "Kalian saling
merindukan. Ketika engkau berangkat ke gunung itu. Kakak
Goat Nio terus melamun lho!"
"Oh?" Tio Bun Yang tersenyum.
"Cing Cing...." Siang Koan Goat Nio cemberut.
"Hi hi!" Cing Cing tertawa geli. "Kenapa malu-malu kucing?"
Di saat bersamaan, muncullah kedua orang tua Cing Cing.
Betapa gembiranya mereka ketika melihat Tio Bun Yang.
"Bun Yang, engkau berhasil mengambil rumput Tanduk
Naga itu?" tanya ibu Cing Cing.
"Berhasil, Bibi." Tio Bun Yang mengangguk sambil
memperlihatkan rumput obat itu. "Khasiat rumput Tanduk
Naga ini menyembuhkan syaraf orang yang terganggu,
bahkan juga dapat menyembuhkan penyakit lain."
"Betul." Ayah Cing Cing mengangguk.
"Aku mengambil cukup banyak," ujar Tio Bun Yang sambil
memberikan Liong Kak Cauw itu kepada ayah Cing Cing.
"Paman, simpanlah rumput obat ini!"
"Bun Yang..." ayah Cing Cing terbelalak. "Bukankah engkau
sangat membutuhkan rumput obat ini?"
"Memang." Tio Bun Yang mengangguk. "Tapi dalam bajuku
sudah cukup banyak, maka yang in untuk Paman simpan."
"Terimakasih!" ucap ayah Cing Cing sambi menerima
rumput obat itu. "Oh ya! Kalian berdua tinggallah di sini
beberapa hari, kami ingin menjamu kalian!"
"Itu tidak perlu, Paman!" tolak Tio Bun Yang "Sebab kami
harus buru-buru kembali ke Tiong goan."
"Kenapa Kakak Bun Yang harus begitu buru buru pulang ke
Tionggoan?" tanya Cing Cing heran.
"Sebab...." Tio Bun Yang memberitahukan tentang para
ketua tujuh partai yang menjadi gila "Oleh karena itu, kami
harus buru-buru pulang ke Tionggoan."
"Oooh!" Ayah Cing Cing manggut-manggut. "Kalau begitu,
kami tidak akan menahan kalian!
"Kakak Bun Yang kapan berangkat?" tanya Cing Cing
dengan mata basah.
"Sekarang," sahut Tio Bun Yang.
"Sekarang?" Cing Cing terbelalak. "Sekarang hari sudah
mulai gelap, lebih baik esok pagi saja"
"Cing Cing!" Tio Bun Yang menghela nafas panjang. "Kami
harus buru-buru kembali ke Tiong-goan. sebab...."
Tio Bun Yang memberitahukan juga tentang Lim Peng
Hang dan Gouw Han Tiong yang diculik Kui Bin Pang.
"Kakak Bun Yang...." Cing Cing terisak-isak. "Kapan kalian
akan ke mari lagi?"
"Kalau ada kesempatan, kami pasti ke mari!"
"Kakak Bun Yang jangan bohong lho!"
"Cing Cing!" Tio Bun Yang tersenyum. "Aku tidak pernah
bohong, namun aku pun tidak berani berjanji pasti ke mari,
sebab masih banyak urusan yang harus kuselesaikan."
"Kakak Bun Yang...."' Air mata Cing Cing meleleh.
"Adik Cing Cing!" Siang Koan Goat Nio memegang bahunya.
"Apabila ada kesempatan, kami pasti ke mari menengok
kaiian!" "Terimakasih, Kakak Goat Nio!" ucap Cing Cing.
"Paman, Bibi, kami mohon pamit!" ucap Tio Bun Yang dan
kemudian membelai Cing Cing. "Sampai jumpa!"
"Selamat jalan. Kakak Bun Yang dan Kakak Goat Nio!"
sahut Cing Cing dengan terisak-isak. "Kelak kalian harus ke
mari tengok kami ya!"
"Ya!" Tio Bun Yang mengangguk. "Paman, Bibi! Sampai
jumpa!" "Selamat jalan, Bun Yang!" ucap ibu Cing Cing. "Selamat
jalan, Goat Nio!"
Tio Bun Yang dan Siang Koan Goat Nio melangkah pergi,
sedangkan Cing Cing masih berdiri di tempat dengan air mata
berderai-derai "Kakak Bun Yang! Kakak Goat Nio! Jangan lupa ke mari lagi
kelak!" seru Cing Cing sambil melambai-lambaikan tangannya.
"Ya!" sahut Tio Bun Yang sekaligus bala? melambaikan
tangannya ke arah Cing Cing. "San| pai jumpa...!"
Beberapa hari kemudian, Tio Bun Yang dai Siang Koan Goat
Nio sudah memasuki daerah Tionggoan. Ketika sampai di
sebuah kota, mereka mencari rumah penginapan karena hari
sudah mulai gelap.
Mereka memasuki sebuah rumah penginapan. Seorang
pelayan segera menghampiri mereka dengan sikap hormat.
"Tuan dan Nyonya membutuhkan kamar?"
"Kami...." Wajah Tio Bun Yang agak kemerah-merahan.
"Kami membutuhkan dua buah kamar."
"Oooh!" Pelayan manggut-manggut tapi tidak banyak
bertanya. "Tuan, Nona, mari ikut aku ke dalam untuk melihatlihat
kamar!" Tio Bun Yang mengangguk, kemudian mereka berdua
mengikuti pelayan ke dalam. Sampai di dalam, pelayan itu
menunjuk dua buah kamar.
"Bagaimana kedua kamar itu" Tuan dan Nona merasa
cocok?" "Ng!" Tio Bun Yang mengangguk.
"Tuan, Nona," ujar pelayan memberi saran. "Lebih baik
satu kamar saja. Itu tidak jadi masalah, karena Tuan dan
Nona adalah sepasang kekasih. Ya. kan?"
"Kami belum menikah, tidak baik tidur dalam ,atu kamar,"
sahut Tio Bun Yang sambil tersenyum.
"Baiklah!" Pelayan itu manggut-manggut. "Tuan dan Nona
mau pesan teh atau arak dan makanan lilin?"
"Cukup teh saja," sahut Tio Bun Yang.
Pelayan itu mengangguk, lalu segera pergi.
Tio Bun Yang dan Siang Koan Goat Nio melangkah ke
dalam kamar, lalu duduk berhadapan.
Pelayan itu muncul dengan membawa sebuah teko dan dua
buah cangkir. Ditaruhnya cangkir-cangkir itu di atas meja,
kemudian dituangkannya teh itu ke dalam ke dua cangkir.
"Silakan minum!" ucap pelayan itu dengan sopan.
"Terimakasih!" ucap Tio Bun Yang. Kemudian memberikan
setael perak kepada pelayan itu.
"Tuan...." Pelayan itu tidak berani menerimanya, sebab
tiada seorang tamu pun pernah memberinya setael perak.
"Ambillah!" desak Tio Bun Yang.
"Terimakasih, Tuan!" ucap pelayan itu dengan wajah
berseri. "Terimakasih!"
"Sama-sama," sahut Tio Bun Yang.
"Permisi!" ucap pelayan itu dan segera per
"Goat Nio...." Tio Bun Yang menghela nafas panjang.
"Entah bagaimana keadaan di markas pusat Kay Pang?"
"Tidak akan terjadi apa-apa," sahut Siang Koan Goat Nio
bernada menghibur.
"Aaaah...!" Tio Bun Yang menghela nafas panjang lagi.
"Entah berada di mana kakekku dan Kakek Gouw?"
Siang Koan Goat Nio diam saja. Gadis itu, tidak tahu harus
menjawab apa. Setelah malam, Siang Koan Goat Nio bangkit berdiri lalu
memandangnya seraya berkata,
"Kakak Bun Yang, aku mau ke kamarku. Besok kila
berjumpa lagi."
"Baik." Tio Bun Yang manggut-manggut, lalu mengantar
Siang Koan Goat Nio ke kamar laini
"Selamat malam, Kakak Bun Yang!" ucap Siang Koan Goat
Nio sambil melangkah ke kamal
"Selamat tidur, Adik Goat Nio!" sahut Tio Bun Yang lembut.
"Sampai besok!"
Siang Koan Goat Nio menutup pintu kamar, dan Tio Bun
Yang kembali ke kamarnya. Pemuda itu tidak langsung tidur,
melainkan duduk di pinggir tempat tidur dengan pikiran
menerawang. Setelah larut malam, ia membaringkan dirinya
ke tempat tidur, tetapi lama sekali barulah bisa pulas.
-oo0dw0oo- Pagi-pagi sekali Tio Bun Yang sudah bangun, la langsung
pergi ke kamar Siang Koan Goat Nio. Begitu sampai di depan
kamar itu, keningnya berkerut karena pintu kamar itu terbuka
sedikit. Perlahan-lahan Tio Bun Yang mendorong pintu itu, dan ia
terbelalak seketika karena tidak melihat Siang Koan Goat Nio
di dalam kamar itu.
"Adik Goat Nio! Adik Goat Nio!" teriak Tio Bun Yang.
"Tuan!" Muncul pelayan. "Ada apa?"
"Di mana Adik Goat Nio" Di mana Adik Goat Nio?" tanya Tio
Bun Yang dengan wajah pucat pias.
"Maksud Tuan.... Nona yang kemarin itu?"
"Ya. Engkau melihat dia?"
"Tidak." Pelayan itu menggelengkan kepala.
"Aku tidak melihat Nona itu."
"Aaaah...!" keluh Tio Bun Yang. "Kemari dia" Kemana dia?"
"Mungkinkah dia pergi ke luar sebentar?" ujaj pelayan.
"Tuan tunggu di sini saja!"
Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tio Bun Yang menghela nafas panjang, ke mudian duduk
dengan wajah cemas. Sedangkaj pelayan itu melangkah pergi
sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Tio Bun Yang terus duduk menunggu dj dalam kamar. Tak
terasa hari sudah siang, namuT Siang Koan Goat Nio masih
belum muncul, lu membuat hati Tio Bun Yang semakin cemas,
la bangkit dari duduknya lalu berjalan mondar-maij dir di
depan kamar itu.
"Tuan...." Muncul pelayan sambil memandan nya. "Nona
sudah kembali?"
"Belum." Tio Bun Yang menggelengkan k pala. "Dia... dia
pasti diculik penjahat!"
"Tuan...." Pelayan itu menarik nafas panjang, kemudian
melangkah pergi. Namun berselang se saat, ia kembali lagi
dengan wajah serius. "Tuan.."
"Ada apa?" tanya Tio Bun Yang kesal.
"Tadi ada seseorang menitip sepucuk suri untuk Tuan,"
sahut pelayan itu sambil menyerahkan sepucuk surat kepada
Tio Bun Yang. Tio Bun Yang cepat-cepat menerima sur itu, sekaligus
membacanya. Surat tersebut berbunyi demikian.
Tio Bun Yang: Kini kekasihmu lelah berada di tanganku! Ha Ini Ini!
Rasakan pembalasanku! Ha ha ha!
Seusai membaca surat itu, kening Tio Bun Yang terus
berkerut. Ia sama sekali tidak tahu siapa pengirim surat itu,
lagi pula bunyi surat lersebut bernada membalas dendam
padanya, itu membuat Tio Bun Yang tidak habis pikir.
"Siapa orang itu" Kenapa dia menulis begitu" l'adahal aku
tidak punya musuh." gumam Tio Bun Yang lalu bertanya
kepada pelayan. "Siapa yang memberikan surat ini
kepadamu?"
"Seorang pemuda," jawab pelayan. "Setelah memberikan
surat itu kepadaku, dia langsung pergi."
"Engkau kenal dia?"
"Maaf, Tuan! Aku sama sekali tidak kenal dia."
"Aaaah...!" Tio Bun Yang nyaris pingsan seketika. "Adik
Goat Nio! Adik Goat Nio!"
"Tuan...." Pelayan menggeleng-gelengkan ke-jiala.
"Kemarin aku sudah bilang, lebih baik kalian lidur sekamar."
"Engkau...." Tio Bun Yang tersentak. "Engkau sudah tahu
akan kejadian ini" Engkau pelakunya"
"Bukan." Pelayan itu memberitahukan. "Belum lama ini,
sudah banyak anak gadis hilang mendadak."
"Kenapa kemarin engkau tidak memberitahukan
kepadaku?" bentak Tio Bun Yang.
"Aku...." Pelayan itu menggeleng-gelengka kepala. "Aku
justru tidak mau membuat kalian takut, maka aku tidak
beritahukan."
"Aaaah...!" Tio Bun Yang jatuh terduduk di kursi.
"Sudahlah! Engkau boleh pergi!"
"Ya, Tuan." Pelayan itu melangkah pergi sari bil menghela
nafas panjang. "Sudah ada gadis yang hilang di sini! Kalau
berita ini tersiar ke luar, penginapan ini pasti sepi."
Sementara Tio Bun Yang terus duduk dengan wajah cemas.
Ia tidak tahu harus berbuat apa Akhirnya ia mengambil
keputusan untuk kembali ke markas pusat Kay Pang. Maka,
setelah membayar ongkos kamar, berangkatlah ia ke markas
Kay Pang dengan wajah murung.
-oo0dw0ooTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
Beberapa hari kemudian, Tio Bun Yang sudah tiba di
markas pusat Kay Pang. Yang menyambutnya adalah Cian
Chiu Lo Koay, wakil ketul Kay Pang.
"Tuan!" panggil Cian Chiu Lo Koay, kemudian menghela
nafas panjang. "Lo Koay," tanya Tio Bun Yang sambil duduk. "Di mana
Kam Hay Thian dan lainnya?"
"Mereka... mereka...." Cian Chiu Lo Koay ergagap.
"Apa yang terjadi atas diri mereka?" tanya Tio Bun Yang
cemas. "Cepat ceritakan!"
"Beberapa hari lalu, aku baru pulang. Kam Hay Thian
menceritakan tentang Pangcu dan ketua..." tutur Cian Chiu Lo
Koay. "Malam harinyaa justru mendadak muncul Kui Bin
Pang...." "Apa?" Bukan main terkejutnya Tio Bun Yang. 'Jadi mereka
ditangkap semua?"
"Ya." Cian Chiu Lo Koay mengangguk. "Kebelulan pada
waktu itu aku berada di luar. Begitu mendengar suara siulan
aneh yang menyeramkan itu, tak lama aku dan para anggota
Kay Pang jatuh pingsan. Entah berapa lama kemudian, barulah
kami siuman, tapi Kam Hay Thian dan lainnya sudhi tidak
ada di tempat."
"Aaaah!" keluh Tio Bun Yang. "Mereka pasti diculik oleh Kui
Bin Pang!"
"Tuan!" Cian Chiu Lo Koay memandangnya, "kalau tidak
salah, Tuan pergi bersama Nona Goat Nio. Kenapa dia tidak
kembali bersama tuan?"
"Dia...." Tio Bun Yang menghela nafas panjang. "Dia hilang
di penginapan."
"Apa?" Bukan main terkejutnya Cian Chiu Lo Koay. "Apakah
dia juga diculik oleh pihak Kui Bin Pang?"
"Mungkin juga," sahut Tio Bun Yang, lalu memperlihatkan
sepucuk surat. "Aku menerima surat ini dari pelayan penginapan, katanya
dari seorang pemuda."
"Aku yakin itu perbuatan pemuda tersebut" ujar Cian Chiu
Lo Koay dan melanjutkan. "Pemuda itu pasti punya dendam
pada Tuan, coba Tuan ingat! Kira-kira siapa pemuda itu?"
Tio Bun Yang menggeleng-gelengkan kepala, "Aku tidak
punya musuh, bagaimana mungkin aku mengingatnya?"
"Kalau begitu..." gumam Cian Chiu Lo Koay "Sungguh
mengherankan dan membingungkan!"
"Lo Koay, aku cemas sekali," ujar Tio Bun Yang. "Tidak
tahu harus berbuat apa. Kakekku, Kakek Gouw, Goat Nio, Kam
Hay Thian dan lainnya telah diculik oleh Kui Bin Pang. Apakah
aku harus memberitahukan kepada orang tuaku"
"Seharusnya Tuan memberitahukan. Tapi..." Cian Chiu Lo
Koay menghela nafas panjang. "Itu pasti akan
menggemparkan Pulau Hong Hoang To, sekaligus
mencemaskan mereka. Jadi lebih baik sementara ini Tuan
tidak usah kembali ke Pulau Hong Hoang To, selidiki saja
sendiri!" "Oh ya! Tuan sudah memperoleh rumput obat ilmu
hitamku." itu?" tanya Cian Chiu Lo Koay.
"Sudah." Tio Bun Yang mengangguk
"Kalau begitu, alangkah baiknya tuan segera ke kuil Siauw
Lim mengobati Hui Kong Taysu sekaligus menyelidiki jejak
Pangcu dan lainnya
"Baik." Tio Bun Yang manggut-manggut. "Aku akan
berangkat sekarang."
"Hati-hati!" pesan Cian Chiu Lo Koay dan Lcnambahkan.
"Kalau sudah tiada jalan, barulah kian ke Pulau Hong Hoang
To!" "Ya." Tio Bun Yang mengangguk, lalu berangkat ke kuil
Siauw Lim. -ooo0dw0oo- Sementara itu, di markas pusat Kui Bin Pang terdengar
suara tawa terbahak-bahak. Yang tertawa itu adalah Ketua Kui
Bin Pang, yang kelihatan gembira sekali.
"Ha ha ha! Kini Lim Peng Hang, Gouw Han liong, Kam Hay
Thian dan lainnya sudah berada di tangan kita! Ha ha ha...!"
'Ketua," tanya Toa Sat Kui. "Perlukah kita menyiksa
mereka?" "Tidak perlu." sahut ketua Kui Bin Pang..
"Ng!" Tio Bun Yang mengangguk. Sebab aku akan
mengendalikan mereka dengan ilmu hitamku"
"Betul. Ha ha ha!" Toa Sat Kui tertawa "Ketua bisa
memerintah mereka untuk menyerang Pulau Hong Hoang To."
"Tujuanku memang begitu. Tapi...." Mendadak ketua Kui
Bin Pang tertawa terkekeh-keke "Kalian harus baik-baik
memperlakukan gadis yang bernama Goat Nio!"
"Ya," sahut Ngo Sat Kui dan kedua Pelindung serentak
"He he he!" Ketua Kui Bin Pang tertaw terkekeh-kekeh lagi.
"Gadis itu sungguh cantik Tio Bun Yang akan menggigit jari!"
"Ketua," ujar Toa Hu Hoat (Pelindung Tertua). "Bu Ceng
Sianli itu berkepandaian tinggi sekali, Ngo Sat Kui agak
kewalahan menghadapinya."
"Benar." Toa Sat Kui mengangguk. "Sunggu lihay dan
dahsyat ilmu jari tangannya!"
"Oh" Dia berani melawan kita" Hmm!" dengus ketua Kui
Bin Pang. "Aku akan turun tangan membunuhnya!"
"Ketua!" Toa Sat Kui memberitahukan. "Bu Ceng Sianli itu
cantik sekali, sayang kalau di bunuh."
"Siapa yang lebih cantik, Siang Koan Goal Nio atau Bu Ceng
Sianli itu?" tanya ketua Kui Bin Pang mendadak.
"Bu Ceng Sianli lebih cantik, sebab dia agak ivlindung itu
pun satu kamar. Setelah berada di genit," jawab Toa Sat Kui.
"Sedangkan Siang Koan Goat Nio agak dingin."
"Betul," sambung Toa Hu Hoat. "Siang Koan Goat Nio tidak
dapat menyenangkan Ketua. Tapi aku yakin Bu Ceng Sianli
pasti dapat menyenangkan Ketua."
"Oh, ya?" Ketua Kui Bin Pang tertawa gelak. Kalau begitu,
bila kalian bertemu Bu Ceng Sianli, undanglah kemari!"
"Bagaimana kalau dia tidak mau?" tanya Toa lu Hoat.
"Dengan cara apa pun kalian harus mengun-langnya ke
mari," tegas ketua Kui Bin Pang.
"Tapi kepandaiannya sangat tinggi sekali. Kami tidak
sanggup melawannya," ujar Toa Hu Hoat dengan jujur.
"Aku tidak menyuruh kalian melawannya, melainkan
mengundangnya ke mari dengan cara baik-laik! Mengerti?"
bentak ketua Kui Bin Pang.
"Mengerti," sahut mereka serentak. "Kami pasti berusaha
mengundang Bu Ceng Sianli kemari"
"Bagus! Bagus! Ha ha ha...!" Ketua Kui Bin Pang tertawa
gelak. "Nah! Sekarang silakan kalian pergi beristirahat."
"Terimakasih, Ketua!" Ngo Sat Kui dan Toa He Hu Hoat itu
segera ke kamar.
Ternyata Ngo Sat Kui satu kamar, kedua Pelindung itu pun
satu kamar, kedua Pelindung naik ke tempat tidur. Mereka
berdua tidak tidur, melainkan duduk berhadapan di atas
tempat tidur itu.
"Hari ini capek sekali, mari kita tidur!" aja Pelindung Tertua.
"Benar. Lebih baik kita tidur," sahut Pelir dung Kedua.
Walau mereka mengatakan begitu, tapi keduanya sama
sekali tidak tidur, melainkan menulis di atas tempat tidur
dengan jari telunjuk.
"Cara bagaimana kita memberi kabar kepada Tetua itu?"
Tulis Pelindung Tertua lalu memandang Pelindung Kedua.
Pelindung Kedua menggelengkan kepala, kemudian ia pun
menulis. "Kita harus berhati-hati, sebab kalau kita menimbulkan
kecurigaan ketua, nyawa kita pasti melayang."
Pelindung Tertua manggut-manggut dan menulis.
"Kita harus mencari jalan untuk memberi kabar kepada
Tetua. Kalau tidak, Lim Peng Hai dan lainnya pasti celaka."
Pelindung Kedua mengangguk. Mereka berdua diam lalu
berpikir dengan kening berkerut kerut.
-oo0dw0oo- Bagian ke lima puluh tujuh
Masuk perangkap
Toan Beng Kiat dan Bokyong Sian Hoa bersenda gurau di
halaman istana, kemudian mereka berdua pun saling
mengejar sambil tertawa riang gembira.
"Hi hi!" Bokyong Sian Hoa tertawa. "Kalau engkau dapat
mengejarku, maka engkau boleh...."
"Boleh menciummu?" tanya Toan Beng Kiat.
"Ya." Bokyong Sian Hoa mengangguk. "Nah, kejarlah aku!"
"Baik." Toan Beng Kiat segera melesat ke arah Bokyong
Sian Hoa. Akan tetapi, gadis itu bergerak cepat menghindar. Oleh
karena itu, Toan Beng Kiat menangkap angin.
"Hi hi hi!" Bokyong Sian Hoa tertawa geli. "Engkau mau
menangkapku atau menangkap angin?"
"Engkau curang!" sahut Toan Beng Kiat.
"Kok aku curang" Engkau tidak dapat menangkapku malah
bilang aku curang! Dasar licik!" ujar Bokyong Sian Hoa.
"Engkau menggunakan Kui Kiong San Tian Pou (Ilmu
Langkah Kilat), itu berarti curang."
"Engkau menggunakan ginkang, apakah itu tidak curang?"
"Sudahlah! Mari kita duduk saja!" ajak Bokyong Sian Hoa.
"Lebih baik kita bercakap-cakap."
"Baik." Toan Beng Kiat mengangguk.
Mereka duduk di dekat taman bunga. Toa Beng Kiat terus
memandangnya dengan mata berbinar-binar.
"Eeeh?" Wajah Bokyong Sian Hoa memerahi "Kenapa
engkau terus memandangku sih?"
"Adik Sian Hoa," sahut Toan Beng Kiat sambi tersenyum.
"Terus terang, engkau makin dipandang makin cantik lho!"
"Idiiih!" Bokyong Sian Hoa tertawa cekikikan "Hi hi hi!
Engkau sudah pandai merayu ya!"
"Aku tidak merayu, melainkan berkata sesungguhnya," ujar
Toan Beng Kiat. "Engkau memang cantik sekali."
"Sudahlah, jangan terus memuji diriku! Kalau aku sudah
jadi nenek-nenek, engkau pasti menjauhiku."
"Kalau engkau sudah jadi nenek-nenek, tentu aku pun
sudah jadi kakek-kakek. Ya, kan" Nah bagaimana mungkin
aku menjauhimu" Sebaliknya aku pasti terus
mendampingimu."
"Engkau memang pandai merayu. Oh ya, sebelum engkau
kenal aku, apakah pernah jatuh cinta terhadap gadis lain?"
"Tidak pernah," jawab Toan Beng Kiat dengan jujur. "Tapi
aku pernah tertarik pada seorang gadis."
"Oh" Siapa gadis itu?"
"Siang Koan Goat Nio!"
"Eh" Engkau gila ya?" Bokyong Sian Hoa melotot.
"Bukankah Siang Koan Goat Nio kekasih Kakak Bun Yang?"
"Benar." Toan Beng Kiat menjelaskan. "Tapi pada waktu
itu. Siang Koan Goat Nio belum bertemu Tio Bun Yang."
"Oooh!" Bokyong Sian Hoa manggut-mang-put. "Lalu
Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bagaimana?"
"Aku pernah bilang kepada Goat Nio, bahwa aku tertarik
padanya. Akan tetapi...." Toan Beng Kiat tersenyum. "Dia
memang gadis yang tegas. Dia langsung bilang tidak tertarik
padaku. Sejak itu, aku tidak berani mendekatinya lagi.
Ternyata diam-diam dia sangat tertarik kepada Tio Bun Yang,
walau belum bertemu pemuda itu."
"Kalau begitu..." goda Bokyong Sian Hoa sambil tertawa
kecil. "Engkau pasti kecewa sekali. Ya, kan?"
"Tidak juga." Toan Beng Kiat menggelengkan kepala. "Aku
cuma tertarik kepadanya, bukan berarti telah mencintainya.
Lagi pula... cinta tidak boleh cuma sepihak, tiada gunanya
sama sekali."
"Oh ya," tanya Bokyong Sian Hoa mendadak. "Kok Goat Nio
bisa tertarik kepada Kakak Bun Yang" Padahal dia belum
pernah bertemu Kakak Bun Yang."
"Itu dikarenakan Ai Ling sering menceritakan kepadanya
tentang Bun Yang, lagi pula mereka memang berjodoh," ujar
Toan Beng Kiat. "Tio Bun Yang memiliki suling kumala,
sedangkan Goat Nio memiliki suling emas. Nah, bukankah
mereka berjodoh?"
"Benar." Bokyong Sian Hoa manggut-manggut dan
menambahkan. "Mereka pun mahir meniup suling. Kelak bila
bertemu mereka, aku ingin menyuruh mereka meniup suling."
"Bagus." Toan Beng Kiat tertawa. "Aku memang ingin
mendengar suara suling mereka."
"Kakak Beng Kiat, aku merasa kasihan pada Soat Lan," ujar
Bokyong Sian Hoa mendadak.
"Lho, memangnya kenapa?" Toan Beng Kiat heran.
"Karena...." Bokyong Sian Hoa menggeleng-gelengkan
kepala. "Dia belum ketemu pemuda idaman hatinya."
"Oh, itu!" Toan Beng Kiat tersenyum. "Kalau sudah
waktunya, dia pasti akan ketemu pemuda idaman hatinya!
Percayalah!"
"Ng!" Bokyong Sian Hoa manggut-manggut "Kakak Beng
Kiat...." "Ada apa, sayang?" Toan Beng Kiat memandangnya.
"Katakanlah!"
"Sudah cukup lama aku tinggal di sini, maksudku..." ujar
Bokyong Sian Hoat dengan suara rendah. "Bagaimana kalau
kita ke Tionggoan?"
"Adik Sian Hoa," tanya Toan Beng Kiat. "Apakah engkau
sudah tidak betah tinggal di sini?"
"Bukan masalah itu, melainkan... aku sangat rindu kepada
Kakak Bun Yang dan lainnya. Bagal mana kalau kita ke markas
pusat Kay Pang menemui mereka?"
"Aku sih setuju saja. Tapi... harus minta ijin dulu kepada
orang tuaku. Kita tidak boleh pergi secara diam-diam."
"Eeeh?" Bokyong Sian Hoa cemberut. "Siapa yang
mengajakmu pergi secara diam-diam?"
"Maaf, maaf!" ucap Toan Beng Kiat cepat. "Aku...."
"Hi hi!" Bokyong Sian Hoa tertawa geli. "Kok engkau jadi
kalut sih?"
"Aku... aku takut engkau marah," sahut Toan Beng Kiat.
"Engkau tidak marah kan?"
"Bagaimana mungkin aku marah?" Bokyong Sian Hoa
tertawa lagi. "Aku bukan gadis pemarah lho!"
"Adik Sian Hoa...." Toan Beng Kiat menggenggam
tangannya. "Kita sudah saling mencinta, bagaimana kalau
kita... menikah?"
"Kakak Beng Kiat...." Bokyong Sian Hoa menundukkan
kepala "Aku tidak mau cepat-cepat menikah."
"Kenapa?"
"Karena usiaku masih terlalu muda. Lagi pula aku tidak
mau cepat-cepat punya anak, karena aku tidak bisa mengurusi
anak." "Adik Sian Hoa," ujar Toan Beng Kiat lembut. "Engkau
sudah cukup umur. Seandainya kita menikah dan punya anak,
engkau tidak akan repot mengurusi anak."
"Aku tahu." Bokyong Sian Hoa manggut manggut.
"Maksudmu dayang-dayang di sini bisa bantu mengurusi anak
kita. Ya, kan?"
"Ya."
"Kakak Beng Kiat!" Bokyong Sian Hoa me mandangnya
seraya berkata. "Seorang ibu harus mengurusi anaknya
sendiri, tidak boleh orang lain yang mengurusinya."
"Kenapa?"
"Sebab kalau sang ibu tidak mengurusi anak nya sendiri,
maka kelak akan terasa jauh dengan anaknya."
"Oooh!" Toan Beng Kiat manggut-manggut "Adik Sian
Hoa...." "Kakak Beng Kiat." ujar Bokyong Sian Uni lembut. "Aku
sangat mencintaimu, namun aku belum mau menikah
sekarang, tunggu satu dua tahun lagi!"
"Baiklah." Toan Beng Kiat mengangguk
"Eeeeh?" Terdengar suara seruan, lalu munci Lam Kiong
Soat Lan menghampiri mereka. "Kalian berdua sudah mau
menikah?" "Ti... tidak." Bokyong Sian Hoa menggelengkan kepala
dengan wajah tampak agak kemerah- merahan.
"Jangan menyangkal...."
"Soat Lan!" Toan Beng Kiat tersenyum. "Aku memang ingin
menikahinya, namun dia belum siap."
"Oh?" Lam Kiong Soat Lan memandang mereka. "Bukankah
lebih cepat menikah lebih baik, kok Sian Hoa belum mau sih?"
"Karena aku... belum bisa mengurusi anak, lagi pula lebih
baik tunggu satu dua tahun," ujar Bokyong Sian Hoa.
"Oooh!" Lam Kiong Soat Lan manggut-manggut, kemudian
menghela nafas panjang.
"Soat Lan!" Toan Beng Kiat heran. "Kenapa engkau
menghela nafas panjang?"
"Aku rindu kepada Kakak Bun Yang, Goat Nio dan lainnya,"
sahut Lam Kiong Soat Lan. "Oh ya, bagaimana kalau kita ke
Tionggoan?"
"Tadi aku telah mengusulkan kepada Kakak Beng Kiat."
Bokyong Sian Hoa memberitahukan. "Katanya harus minta ijin
dulu kepada orang tuanya."
"Itu memang benar, kita harus minta ijin dulu." Lam Kiong
Soat Lan manggut-manggut. "Kalau tidak, orang tua kami
pasti gusar."
"Kalau begitu...." Bokyong Sian Hoa memandang mereka.
"Kapan kita minta ijin?"
"Nanti," sahut Toan Beng Kiat.
"Kakak Beng Kiat," tanya Bokyong Sian Hoa mendadak.
"Apakah Kakak Bun Yang sudah bertemu Goat Nio?"
"Mudah-mudahan mereka sudah bertemu!" jawab Toan
Beng Kiat, kemudian menghela nafas pula. "Entah bagaimana
Kam Hay Thian dan Li Hui San...."
"Mudah-mudahan mereka bertemu kembali dan... saling
mencinta!" sahut Bokyong Sian Hoa
"Yaaah!" Toan Beng Kiat menggcleng-gclengj| kan kepala.
"Kam Hay Thian begitu keras hati bagaimana mungkin dia...."
"Ayohlah!" potong Lam Kiong Soat Lan. "Mari kita ke ruang
tengah menemui orang tua kita untuk minta ijin ke
Tionggoan!"
"Baik." Toan Beng Kiat mengangguk lalu menarik Bokyong
Sian Hoa ke dalam.
-oo0dw0oo- Sementara itu. di ruang tengah juga sedang berlangsung
pembicaraan serius. Mereka adalah Toan Wie Kie, Gouw Sian
Eng, Lam Kiong Bl Liong dan Toan Pit Lian.
"Menurut aku, lebih baik Beng Kiat dan Sian Hoa
dinikahkan, sebab mereka sudah saling mencinta." ujar Lam
Kiong Bie Liong.
"Kami memang bermaksud demikian," sahut Toan Beng
Kiat. "Tapi... itu pun tergantung pada mereka berdua, kami
tidak boleh memaksanya."
"Lho?" Gouw Sian Eng heran. "Memangnya kenapa?"
"Mungkin mereka masih ingin bebas." Toan Beng Kiat
tersenyum. "Kalau mereka sudah manikah, tentunya akan
punya anak. Nah, itu cukup merepotkan mereka."
"Mengurusi anak memang sudah merupakan tugas
kewajiban orang tua, begitu pula mereka berdua," ujar Gouw
Sian Eng dan menambahkan. "Kakak Wie Kie, lebih baik suruh
mereka cepat-cepat menikah!"
"Adik Sian Eng!" Toan Wie Kie tersenyum. "Kita boleh
mengusulkan, namun tidak boleh memaksa, lho!"
"Ya." Gouw Sian Eng mengangguk. "Kalian berdua sudah
tenang," ujar Toan Pit Lian sambil menarik nafas dalamdalam.
"Sedangkan kami...."
"Kenapa kalian?" tanya Toan Wie Kie heran. "Hingga kini
Soal Lan masih belum punya kekasih," sahut Toan Pit Lian
sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Entah kapan dia akan
bertemu pemuda idaman hatinya?"
"Jangan khawatir?" Lam Kiong Bie Liong lertawa. "Aku
yakin tidak lama lagi Soat Lan akan bertemu pemuda idaman
hatinya." "Oh?" Toan Pit Lian tersenyum. "Suamiku, putri kita tinggal
di Tayli ini. Bagaimana mungkin akan bertemu pemuda
idaman hatinya?"
"Kalau bintang jodohnya sudah terbuka, dia pasti akan
bertemu pemuda idaman hatinya. Percayalah!" ujar Lam Kiong
Bie Liong. "Kalau dia sudah menikah, legalah hatiku."
Bersamaan itu, muncullah Toan Beng Kiat, Bokyong Sian
Hoa dan Lam Kiong Soat Lan.
"Ayah, Ibu!" panggil Toan Beng Kiat dan La Kiong Soat Lan.
"Paman, Bibi!" panggil Bokyong Sian Hoa.
"Duduklah!" sahut Toan Beng Kiat.
"Wajah Ayah dan Ibu tampak serius sekali, apa yang
sedang dibicarakan ayah dan ibu?" tanya Toan Beng Kiat.
"Oooh!" Toan Wie Kie tersenyum sambf manggut-manggut.
"Ayah dan ibu sedang membicarakan engkau dan Sian Hoa."
"Oh" Kenapa kami?" tanya Toan Beng Kiat dengan wajah
agak kemerah-merahan, karena dapat menerka apa yang
dibicarakan kedua orang tuanya.
"Engkau dan Sian Hoa sudah saling mencinta, maka..."
sahut Gouw Sian Eng dan menambahkan "Alangkah baiknya
kalian berdua melangsungkan pernikahan saja!"
"Ibu!" Toan Beng Kiat tersenyum. "Tadi kami berdua telah
membicarakan tentang ini, namun..,
"Kenapa?" tanya Gouw Sian Eng sambil memandang
mereka. "Sian Hoa belum mau menikah?"
"Ya." Toan Beng Kiat mengangguk.
"Alasannya?" tanya Gouw Sian Eng lagi.
"Ibu...." Toan Beng Kiat tersenyum. "Terus terang, kami
berdua memang tidak ingin cepat-icpat menikah."
"Memangnya kenapa?" Gouw Sian Eng mengerutkan
kening. "Kalau kalian berdua sudah menikah, legalah hati
kami." "Ibu...." Toan Beng Kiat tersenyum lagi. "Kami bermaksud
ke Tionggoan. karena kami sangat rindu kepada Bun Yang dan
lainnya." "Kalian semua ingin ke Tionggoan?" tanya Toan Wie Kie.
"Ya." Toan Beng Kiat mengangguk. "Maka kami ke mari
untuk minta ijin. Ayah dan ibu tidak akan melarang kami ke
Tionggoan kan?"
"Aku juga ikut!" sela Lam Kiong Saot Lan.
"Soat Lan!" Lam Kiong Bie Liong menatapnya. "Engkau juga
ingin ke Tionggoan?"
"Ya. Ayah." Lam Kiong Soat Lan mengangguk. "Ayah dan
Ibu tidak akan melarangku ke Tionggoan kan?"
"Itu...." Lam Kiong Bie Liong dan Toan Pit Lian saling
memandang, kemudian mereka memandang Toan Wie Kie
dan Gouw Sian Eng.
"Baiklah." Toan Wie Kie manggut-manggut. "Kita memang
tidak boleh mengekang mereka, biarlah mereka ke Tionggoan
menemui Bun Yang dan lainnya."
"Kapan kalian akan berangkat ke Tionggoan?" tanya Gouw
Sian Eng. "Besok pagi, Ibu," jawab Toan Beng Kiat.
"Besok pagi?" Toan Wie Kie memandang mereka, kemudian
manggut-manggut seraya berkata "Baiklah, kalian boleh
berangkat besok pagi."
"Terimakasih, Ayah!" ucap Toan Beng Kiat.
"Terimakasih, Paman! Terimakasih, Bibi!" ucap Bokyong
Sian Hoa dengan wajah berseri.
"Ayah, Ibu," ujar Lam Kiong Soat Lan. "Aku boleh ikut
kan?" "Tentu boleh," sahut Toan Pit Lian. "Tapi engkau tidak
boleh nakal dan jangan suka menimbulkan masalah!"
"Ya, Ibu." Lam Kiong Soat Lan mengangguk "Terimakasih
Ayah, Ibu!"
Keesokan paginya, berangkatlah mereka bei tiga menuju
Tionggoan. Tujuan mereka adalah markas pusat Kay Pang.
Beberapa hari kemudian mereka bertiga sudah memasuki
daerah Tiong goan.
-oo0dw0oo- Toan Beng Kiat, Bokyong Sian Hoa dan Lam Kiong Soat Lan
terus melanjutkan perjalanan sambil bercanda ria. Dalam
perjalanan ini, yang paling gembira adalah Toan Beng Kiat dan
Bokyong Sian Hoa. Kegembiraan mereka justru membuat Lam
Kiong Soat Lan kadang melamun. Ketika mereka beristirahat di
bawah pohon. Toan Beng Kiat memandangnya seraya
bertanya. "Soat Lan, kenapa kadang-kadang engkau melamun?"
"Aku...." Lam Kiong Soat Lan menundukkan kepala.
"Aku tahu," sela Bokyong Sian Hoa sambil tersenyum. "Dia
belum ketemu pemuda idaman batinya, maka sering
melamun." "Eh" Engkau...." Lam Kiong Soat Lan cemberut.
"Tidak salah, kan?" Bokyong Sian Hoa tertawa kecil dan
menambahkan, "Soat Lan, engkau tidak perlu melamun. Aku
yakin, tidak lama lagi engkau akan bertemu pemuda idaman
hatimu." "Betul," Toan Beng Kiat mengangguk sambil lersenyum.
"Aku pun yakin begitu...."
Ucapan Toan Beng Kiat terhenti, karena tiba-tiba melavang
turun lima orang di hadapan mereka. Kelima orang itu
berpakaian serba putih dan memakai kedok setan warna hijau.
Mereka ternyata Ngo Sat Kui.
Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Betapa terkejutnya Toan Beng Kiat, Bokyong Sian Hoa dan
Lam Kiong Soat Lan. Mereka bertiga langsung meloncat
bangun, sekaligus bersiap-siap menghadapi segala
kemungkinan. Akan tetapi, salah seorang berpakaian serba putih itu justru
tertawa gelak, kemudian membeil hormat seraya berkata.
"Selamat bertemu! Kami tahu kalian dari Tayli."
"Maaf!" sahut Toan Beng Kiat. "Kalian dari perkumpulan
mana?" "Kui Bin Pang," ujar Toa Sat Kui memberitahukan. "Maaf
kehadiran kami di sini telah mengganggu ketenangan kalian!"
"Ada urusan apa kalian ke mari menemui kami?" tanya Lam
Kiong Soat Lan sambil menatap mereka dengan dingin sekali.
"Ha ha ha!" Toa Sat Kui tertawa terbahak bahak. "Kami ke
mari menemui kalian dengan maksud baik."
"Oh?" Toan Beng Kiat mengerutkan keningj
"Kami pun tahu, kalian sedang menuju marka pusat Kay
Pang kan?" ujar Toa Sat Kui.
"Betul." Toa Beng Kiat mengangguk dan ber tanya,
"Sebetulnya siapa kalian" Bolehkah kami tahu?"
"Kami berlima adalah Ngo Sat Kui," sahut Toa Sat Kui
memberitahukan. "Kami ke mari dengan maksud mengundang
kalian ke markas kami."
"Kalau kami tidak mau?" tanya Lam Kiong' Soat Lan dingin.
"Kalian harus tahu," ujar Toa Sat Kui denga nada serius.
"Kini Lim Peng Hang, Gouw Han Tiong, Siang Koan Goat Nio,
Kam Hay Thian dan Lie Ai Ling sudah berada di maikas kami
sebagai tamu terhormat, maka kami mengundang kalian
bertiga ke sana."
"Oh?" Kening Toan Beng Kiat berkerut-kerut. "Betulkah
mereka berada di markas kalian?"
"Tidak salah," sahut Jie Sat Kui dan menambahkan.
"Bahkan Sie Keng Hauw dan Lu Hui San pun berada di sana."
"Oh?" Toan Beng Kiat mengerutkan kening lagi. "Apakah
Tio Bun Yang juga berada di sana?"
"Tidak." Toa Sat Kui menggelengkan kepala.
"Kenapa dia tidak berada di sana?" tanya Lam Kiong Soat
Lan curiga. "Ha ha ha!" Toa Sat Kui tertawa gelak. "Karena dia sedang
sibuk mengobati para ketua tujuh partai besar."
"Kenapa para ketua tujuh partai besar?" tanya Toan Beng
Kiat terkejut. "Mereka sudah menjadi gila semua," sahut Toa Sat Kui
memberitahukan. "Karena terpukul oleh pukulan Seng Hwee
Sin Kun." "Oh?" Air muka Toan Beng Kiat berubah, "Siapa yang
menyuruh kalian mengundang kami ke sana?"
"Ketua Kui Bin Pang dan teman-temanmu, sebab mereka
sudah sangat rindu kepada kalian," sahut Toa Sat Kui.
"Kalian tidak berdusta?" tanya Lam Kiong Soat Lan.
"Ha ha ha!" Toa Sat Kui tertawa terbahak bahak. "Untuk
apa kami harus berdusta" Tiada gunanya kan?"
Lam Kiong Soat Lan mengerutkan kening kemudian
memandang Toan Beng Kiat serta bertanya.
"Bagaimana" Apakah kita harus memenuhi undangan
mereka?" "Itu...." Toan Beng Kiat berpikir keras Ia memandang
Bokyong Sian Hoa dan bertanja
"Adik Sian Hoa, bagaimana menurutmu?"
"Menurut aku..." jawab Bokyong Sian H serius. "Lebih baik
kita penuhi saja undang mereka."
"Baiklah." Toan Beng Kiat manggut-manggut dan berkata
kepada Toa Sat Kui. "Kami ikut kalian."
"Bagus! Bagus!" Toa Sat Kui tertawa. "Kali memang tahu
diri. Ha ha ha...!"
-oo0dw0oo- Tio Bun Yang telah tiba di kuil Siauw Lim Ngo Khong Taysu,
adik seperguruan Hui Kho Taysu menyambut kedatangannya
dengan hormat. Hui Khong Taysu, yang dalam keadaan
dipasung "Omitohud!" ucap Ngo Khong Taysu. "Engkau sudah ke
mari, syukurlah!"
"Taysu!" Tio Bun Yang memberitahukan. "Aku telah
memperoleh rumput Liong Kak Cauw."
"Omitohud! Omitohud!" ucap Ngo Khong Taysu dengan
wajah berseri. "Mari ikut aku ke dalam!"
Tio Bun Yang mengangguk, lalu mengikuti Ngo Khong
Taysu ke ruang dalam tempat Hui Khong Taysu dipasung.
Karena ketua partai Siauw Lim itu sering mengamuk, maka
terpaksa dipasung.
"Jangan cemas. Taysu!" ujar Tio Bun Yang sambil
mengeluarkan sebatang rumput Tanduk Naga. "Hui Khong
Taysu pasti sembuh."
"Omitohud!" ucap Ngo Khong Taysu. "Apabila kakak
seperguruan bisa sembuh, itu betul-betul jasamu!"
"Aaaah...!" Tio Bun Yang cuma menggeleng-gelengkan
kepala. "Oh ya! rumput Tanduk Naga ini harus digodok
dengan semangkok air. Berselang beberapa saat setelah
mendidih, barulah dituang ke mangkok lagi, lalu diberikan
kepada Hui Khong Taysu."
"Ya." Ngo Khong Taysu mengangguk sambil menerima
rumput Tanduk Naga tersebut, kemudian melangkah ke
dalam. Sedangkan Tio Bun Yang terus memandang Hui Khong
Taysu yang dlam keadaan dipasung.
Tiba-tiba ketua Siauw Lim itu meronta-ronta sekuat tenaga,
bahkan juga berteriak-teriak sekeras-kerasnya.
Tio Bun Yang menggeleng-gelengkan kepala. Berselang
beberapa saat kemudian, Ngo Khong Taysu sudah kembali
dengan membawa semang-kok obat, yaitu rumput Tanduk
Naga yang telah digodok.
"Harus ditotok jalan darahnya dulu, agar tidak merontaronta,"
ujar Tio Bun Yang. "Setelah itu barulah dicekoki
dengan obat itu."
"Ya." Ngo Khong Taysu mengangguk, lalu menaruh
mangkok itu di atas meja dan mendekatil Hui Khong Taysu.
Mendadak ia menotok jalan darah di punggung Hui Khong
Taysu, agar ketuai Siauw Lim itu tak mampu bergerak,
barulah Ngo Khong Taysu mencekoki Hui Khong Taysu dengan
obat itu. "Buka saja totokan itu!" ujar Tio Bun Yang.
Ngo Khong Taysu segera membuka totokan! tersebut.
Seketika juga Hui Khong Taysu mulai meronta-ronta, sekaligus
berteriak-teriak pula
Beberapa saat kemudian, Hui Khong Taysu memejamkan
matanya, kemudian ketua Siauw tertidur pulas.
"Taysu!" Tio Bun Yang memberitahukan sambil tersenyum.
"Kalau Hui Khong Taysu sudah mendusin, berarti beliau sudah
sembuh." "Omitohud!" ucap Ngo Khong Taysu. "T rimakasih atas
bantuan Anda!"
"Terimakasih kembali!" sahut Tio Bun Yang sambil
tersenyum, namun senyumnya tampak agak getir.
Tak seberapa lama, Hui Khong Taysu membuka matanya
perlahan-lahan, lalu menengok ke sana ke mari dan tampak
tersentak. "Haaah...?" Ternyata Hui Khong Taysu terkejut, karena
mendapatkan dirinya dalam keadaan dipasung. "Sute, kenapa
aku...." "Omitohud!" ucap Ngo Khong Taysu dengan wajah berseri.
"Syukurlah suheng telah sembuh!"
"Eh" Bun Yang...." Hui Khong Taysu terbelalak. "Engkau
ada di sini" Maaf, aku...."
"Taysu," ujar Tio Bun Yang kepada Ngo Khong Taysu.
"Cepat buka pasungan itu!"
Ngo Khong Taysu segera membuka pasungan itu. Setelah
bebas. Hui Khong Taysu mendekati Tio Bun Yang.
"Omitohud!" ucapnya dan bertanya, "Kok engkau berada di
sini?" "Taysu, aku ke mari memberikan obat." Tio Bun Yang
memberitahukan. "Untuk jelasnya, biar Ngo Khong Taysu yang
menceritakannya."
"Suheng terkena pukulan Seng Hwee Sin Kun...." Ngo
Khong Taysu menutur tentang ke-ladian itu, kemudian
menambahkan. "Para ketua partai besar lain pun terkena
pukulan itu."
"Oh?" Hui Khong Taysu terkejut bukan main.
"Kalau begitu, mereka masih dalam keadaan gila?"
"Ya." Ngo Khong Taysu mengangguk.
"Bun Yang...." Hui Khong Taysu memandangnya. "Sudikah
engkau menolong mereka?"
"Tentu." Tio Bun Yang mengangguk. "Namun aku harus
minta bantuan pihak Taysu.
'Bantuan apa" Katakanlah!" ujar Hui Khong Taysu.
"Aku tidak bisa mendatangi partai-partai besar lainnya,
maka aku harap Taysu sudi mengutus beberapa orang ke sana
dengan membawa rumput Tanduk Naga." Tio Bun Yang
memberitahukan. "Sebab aku masih ada urusan lain."
"Baik." Hui Khong Taysu mengangguk. "Akan kuutus
beberapa orang mendatangi partai-partai besar itu."
"Terimakasih, Taysu!" ucap Tio Bun Yang.
"Oh ya!" Hui Khong Taysu memandangnl seraya bertanya.
"Sebetulnya masih ada urusan apa yang harus engkau
selesaikan?"
"Aku harus berusaha mencari kakekku. Kakek Gouw, Goat
Nio dan lainnya. Mereka diculik."
"Omitohud! Siapa yang menculik mereka"
"Taysu, Seng Hwee Sin Kun telah mati. Namun...." Tio Bun
Yang menutur tentang kejadian itu.
"Omitohud!" Hui Khong Taysu menggeleng gelengkan
kepala. "Tidak disangka Kui Bin Pang telah muncul di rimba
persilatan! Omitohud!"
"Karena itu, aku tidak punya waktu untuk mendatangi
partai-partai besar lainnya." ujar Tio Bun Yang sambil
menyerahkan rumput Tanduk Naga kepada Hui Khong Taysu
secukupnya, namun ia masih menyimpan sedikit.
"Terimakasih!" ucap Hui Khong Taysu sambil menerima
rumput Tanduk Naga tersebut dan bertanya, "Kini apa
rencanamu, Bun Yang?"
"Aku...." Tio Bun Yang menghela nafas panjang. "Mungkin
aku akan ke markas Ngo Tok Kauw untuk menemui Kakak
Ling Cu. Mudah-mudahan dia bisa memberi petunjuk
kepadaku!"
"Petunjuk mengenai markas Kui Bin Pang?" tanya Hui
Khong Taysu. "Ya." Tio Bun Yang mengangguk.
"Bun Yang." pesan Hui Khong Taysu. "Apabila engkau
sudah tahu markas Kui Bin Pang itu berada di mana, alangkah
baiknya engkau pulang ke Pulau Hong Hoang To untuk
berunding dengan orang tuamu!"
"Ya, Taysu."
"Setelah para ketua partai-partai besar itu sembuh, mereka
pun pasti membantumu mencari kelua Kay Pang dan lainnya."
"Terimakasih, Taysu!" ucap Tio Bun Yang sekaligus
berpamit. "Taysu, aku mohon diri!"
"Omitohud! Selamat jalan!" sahut Hui Khong Taysu, yang
kemudian bersama Ngo Khong Taysu mengantar Tio Bun Yang
sampai di luar kuil.
"Sampai jumpa, Taysu!" ucap Tio Bun Yang sambil melesat
pergi. "Omitohud!" sahut Hui Khong Taysu, setelah itu ia
melangkah ke dalam kuil, diikuti Ngo Khong Taysu dari
belakang. Sampai di ruang tengah, mereka berdua lalu duduk
berhadapan. "Suheng!" Ngo Khong Taysu memberitahukan. "Kalau Tio
Bun Yang tidak ke daerah Miauw mangambil rumput Tanduk
Naga itu, entah bagaimana jadinya suheng dan para ketua
partai partai besar lain itu?"
"Omitohud!" ucap Hui Khong Taysu. "Siauw Lim Sie telah
berhutang budi kepadanya, begitu pula para ketua partai
besar lain. Omitohud!"
"Suheng, aku dan beberapa muridku harus segera
berangkat ke Gunung Butong, Kun Lun dan lainnya."
"Ya." Hui Khong Taysu mengangguk. "Ceritakan juga
mengenai apa yang telah terjadi di Kay Pang!"
"Ya, Suheng." Ngo Khong Taysu mengangguk dan
menambahkan. "Aku pun akan minta bantuan mereka untuk
menyelidiki markas Kui Bin Pang itu."
"Omitohud! Omitohud!" Hui Khong Taysu manggutmanggut.
-oo0dw0oo- Bagian ke lima puluh delapan
Toh Hun Tay Hoat (Ilmu Sesat Pembetot Sukma)
"Ha ha ha! Ha ha ha...!" Ketua Kui Bin Pang terus tertawa
gelak, kemudian berkata, "Kini mereka telah berada di tangan
kita, termasuk Toan Beng Kiat dan Lam Kiong Soat Lan!"
"Namun kita belum berhasil menangkap Tio Bun Yang,"
ujar Toa Sat Kui memberitahukan. "Apakah ketua punya suatu
ide?" "Ha ha ha! Aku yakin kini Tio Bun Yang pasti cemas sekali!
Yang paling dicemaskannya adalah Siang Koan Goat Nio!"
sahut ketua Kui Bin Pang dan menambahkan. "Gadis itu harus
tempatkan di ruang lain, jangan dicampur dengan yang lain!"
"Ketua!" Toa Sat Kui memberitahukan. "Tadi kami telah
memindahkan gadis itu ke ruang lain."
"Bagus! Bagus! Ha ha ha...!" Ketua Kui Bin Pang tertawa
terbahak-bahak. "Oh ya! Kalian semua harus baik-baik
memperlakukannya, sama sekali tidak boleh menyakitinya!"
"Ya!" sahut mereka serentak sambil mengangguk,
kemudian Toa Sat Kui bertanya. "Apa rencana Ketua
sekarang?"
"Rencanaku sekarang, kalian harus mencekoki mereka
dengan obat penghilang kesadaran," sahut ketua Kui Bin
Pang. "Mereka dalam keadaan tak bergerak karena telah
kutotok jalan darah mereka, jadi tidak sulit mencekoki
mereka" "Ketua," tanya Toa Hu Hoat. "Kapan kami mencekoki
mereka dengan obat itu?"
"Nanti sore," sahut ketua Kui Bin Pang. "Itu tugas kalian,
tapi jangan mencekoki Siang Koan Goat Nio dengan obat itu,
gadis itu adalah urusanku."
Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ya." Mereka mengangguk.
"Ha ha ha!" Ketua Kui Bin Pang tertawa gelak. "Setelah
mereka dicekoki dengan obat itu, barulah aku menggunakan
Toh Hun Tay Hoat (Ilmu Sesal Pembetot Sukma) untuk
mengendalikan pikiran mereka! Ha ha ha!"
"Setelah mereka di bawah pengaruhku, aku akan
perintahkan mereka membunuh kaum persilatan golongan
putih! Ha ha ha...!"
Sore harinya, Ngo Sat Kui dan kedua Hu Hoat itu ke ruang
dalam tempat Lim Peng Hang Gouw Han Tiong dan lainnya
ditahan. "He he he!" Toa Sat Kui tertawa terkekeh kekeh. Mereka
masing-masing membawa semangkok obat. "Kalian semua
harus minum obat! He he he...!"
"Kalian... kalian...." Suara Lim Peng Hang lemah sekali.
"Kami cukup baik lho!" sahut Toa Sat Kui "Sebab masih
mau memberi kalian obat."
Lim Peng Hang, Gouw Han Tiong dan lainnya tidak
menyahut. Toa Hu Hoat mendekati Lam Kiong Soat Lan,
namun gadis itu langsung membuang muka.
"Nona, namaku Yo Kiam Heng." Toa Hu Hoat itu
memberitahukan dengan ilmu penyampai suara, maka Ngo Sat
Kui dan lainnya tidak mengetahuinya sama sekali. "Engkau
tidak usah menyahut, cukup mendengar saja!"
Lam Kiong Soat Lan mendongakkan kepala
memandangnya, namun cuma melihat kedok setan warna
kuning. Bagaimana wajah Toa Hu Hoat di balik kedok setan
itu, Lam Kiong Soat Lan tidak mengetahuinya.
"Nona jangan takut, aku dan Jie Hu Hoat bukan orang
jahat!" lanjut Yo Kiam Heng memberitahukan. "Yang ada di
dalam mangkok itu obat penghilang kesadaran. Siapa yang
minum obat itu, pasti akan kehilangan kesadarannya. Setelah
itu, ketua bermaksud menggunakan semacam ilmu sesat
untuk mengendalikan pikiran kalian."
Lam Kiong Soat Lan tidak menyahut, namun mendengarkan
dengan penuh perhatian dengan kening berkerut-kerut.
"Mangkok yang di tanganku ini telah kutukar dengan obat
biasa, maka engkau tidak akan kehilangan kesadaran." Yo
Kiam Heng melanjutkan, "Tapi engkau harus pura-pura seperti
kehilangan kesadaran. Meskipun engkau tetap akan
terpengaruh oleh ilmu sesat ketua, tetapi dalam waktu
sepuluh hari, engkau akan normal kembali."
Lam Kiong Soat Lan manggut-manggut. dan Yo Kiam Heng
melanjutkan lagi.
"Apabila pikiranmu sudah tidak terpengaruh, engkau harus
tetap bersikap seperti masih dibawah pengaruh ilmu sesat itu.
Aku akan berusaha mengusulkan agar ketua mengirim kalian
pergi menyerbu Pulau Hong Hoang To. Nah, aku yakin Pek Ih
Sin Hiap mampu menolong kalian."
"Engkau...." Sebetulnya Lam Kiong Soat Lan ingin
menanyakan sesuatu, namun mendadak dibatalkannya.
"Dasar gadis tak tahu diri!" bentak Yo Kiam Heng. "Aku
bersikap baik terhadapmu, tapi engkau malah tidak mau
minum obat! Hm...!"
"Toa Hu Hoat!" seru Toa Sat Kui sambi tertawa. "Cekoki
saja!" "Ha ha ha!" Yo Kiam Heng tertawa gelak. Ditotoknya jalan
darah Lam Kiong Soat Lan, kemudian dicekokkannya obat itu
ke dalam mulut Seusai mencekokinya, Yo Kiam Heng membebaskan
totokannya seraya berkata dengan ilmu menyampaikan suara.
"Teman-temanmu sudah mulai kehilangan kesadaran, maka
engkau pun harus pura-pura seperti mereka! Oh ya, Nona
Siang Koan Goat Nio, berada di ruang lain, dia dalam keadaan
baik-baik saja."
Lam Kiong Soat Lan manggut-manggut perlahan, kemudian
melirik yang lain. Dilihatnya mereka tampak termenung
semua, maka ia segera bersikap seperti mereka.
"Ha ha ha!" Yo Kiam Heng tertawa gelak. Ngo Sal Kui,
tugas kita sudah selesai. Mari kita lapor kepada ketua!"
"Baik." Ngo Sat Kui mengangguk.
Mereka meninggalkan ruang itu. Sementara lam Kiong Soat
Lan tidak habis berpikir, siapa Yo Kiam Heng dan kenapa
berniat menolong mereka"
Lam Kiong Soat Lan betul-betul tidak habis pikir, kemudian
ia memandang Lim Peng Hang, Gouw Han Tiong dan lainnya,
yang semua tampak linglung. Bukan main obat itu! Pikirnya
dalam hati. -oo0dw0oo- Ngo Sat Kui dan kedua Hu Hoat telah sampai di ruang
tengah. Toa Hu Hoat Yo Kiam Heng langsung melapor.
"Ketua, kami telah mencekoki mereka dengan obat
penghilang kesadaran itu."
"Bagus! Bagus! Ha ha ha...!" Ketua Kui Bin Pang tertawa
gembira. "Kalau begitu, kini kesadaran mereka pasti sudah
hilang." "Kapan Ketua akan menggunakan Toh Hun Tay Hoat untuk
mempengaruhi mereka?" tanya Toa Sat Kui.
"Sebentar," sahut ketua Kui Bin Pang, yang kemudian
menghela nafas panjang sambil menggeleng-gelengkan
kepala. Itu membuat Ngo Sat Kui dan kedua Hu Hoat saling
memandang. Mereka tidak mengerti, kenapa mendadak ketua
mereka menghela nafas panjang dan menggeleng-gelengkan
kepala. "Ketua," tanya Toa Sat Kui kemudian. "Kenapa Ketua...."
"Aku...." Ketua Kui Bin Pang menggeleng-gelengkan kepala
lagi, lalu melanjutkan ucapannya. "Tadi aku ke ruang itu
menemui Siang Koan Goat Nio, namun dia langsung mencaci
maki diriku. Padahal aku...."
"Ketua menyukainya?" tanya Yo Kiam Heng mendadak.
"Ya." Ketua Kui Bin Pang mengangguk. "Kelihatannya dia
sangat benci kepadaku."
"Ketua," ujar Toa Sat Kui sambil tertawa. "Kalau Ketua
ingin mendapatkan dirinya, pergunakan saja Toh Hun Tay
Hoat! Bukankah dia akan menurut kepada Ketua?"
"Tapi itu percuma," sahut ketua Kui Bin Pang sambil
menghela nafas panjang. "Karena aku cuma akan memperoleh
sebuah patung, itu tak berarti sama sekali."
"Betul, Ketua," ujar Yo Kiam Heng. "Itu memang tiada
artinya, lebih baik Ketua bersabar, lambat laun gadis itu pasti
akan tertarik kepada Ketua."
"Toa Hu Hoat!" Ketua Kui Bin Pang menatapnya.
"Bersediakah engkau membantuku dalam hal tersebut?"
"Tentu bersedia, Ketua," sahut Yo Kiam Heng cepat.
"Terimakasih!" ucap ketua Kui Bin Pang gilang. "Nah.
sekarang pergilah, bujuk gadis itu! Aku akan pergi ke ruang
lain bersama Ngo Sat Kui dan Jie Hu Hoat."
"Ya, Ketua." Yo Kiam Heng mengangguk, lalu segera
menuju ke ruangan tempat Siang Koan Goat Nio dikurung.
Siang Koan Goat Nio duduk bersandar di dinding ruangan
itu. Begitu melihat Yo Kiam Heng memasuki ruangan tersebut,
ia langsung mencacinya.
"Kalian semua binatang! Kenapa mengurung kami di sini"
Ayoh! Mari kita bertarung!"
"Nona Siang Koan, tenanglah! Aku bernama Yo Kiam Heng,
Toa Hu Hoat dalam perkumpulan Kui Bin Pang. Aku tahu, Tio
Bun Yang adalah kekasihmu," ujar Yo Kiam Heng
menggunakan ilmu menyampaikan suara, agar orang lain
tidak dapat mendengar. "Ketua Kay Pang dan lainnya telah
dicekoki obat penghilang kesadaran, kini ketua pergi
mempengaruhi mereka dengan ilmu Toh Hun Tay Hoat."
Siang Koan Goat Nio tidak menyahut, namun
mendengarkan dengan penuh perhatian. Yo Kiam Heng
menatapnya, kemudian melanjutkan.
"Aku tidak mencekoki Nona Lam Kiong dengan obat itu...."
Yo Kiam Heng memberitahukan tentang itu dan
menambahkan, "Bahkan aku akan mengusulkan agar ketua
perintahkan mereka menyerbu ke Pulau Hong Hoang To,
karena hal itu merupakan jalan satu-satunya menolong
mereka." "Kenapa engkau ingin menolong mereka?" tanya Siang
Koan Goat Nio juga menggunakan ilmu menyampaikan suara.
"Sebab aku tidak setuju terhadap perbuatan ketua," sahut
Yo Kiam Heng. "Temanku bernama Kwan Tiat Him juga orang
baik. Dia adalah Jie Hu Hoat. Yang jahat adalah Ngo Sat Kui,
para anggota dan ketua."
"Oh?" Siang Koan Goat Nio menatapnya dalam-dalam.
"Kalau begitu, kenapa kalian berdua tidak mau berontak
secara terang-terangan?"
"Kepandaian kami berdua masih di bawah tingkat
kepandaian ketua, maka kalau kami berontak secara terangterangan,
sama juga cari mati," ujar Yo Kiam Heng
melanjutkan. "Kami tidak mau mati sia-sia, maka harus
bergerak secara diam-diam."
"Oh ya, kenapa aku dikurung di ruang ini tidak bersama
mereka?" "Ketua sangat mengistimewakanmu, karena dia tertarik
kepadamu." Yo Kiam Heng memberitahukan.
"Hmm!" dengus Siang Koan Goat Nio dingin.
"Nona Siang Koan," pesan Yo Kiam Heng. "Engkau harus
bersabar dan jangan membuat ketua gusar, sebab engkau
pasti celaka bila dia menggunakan Toh Hun Tay Hoat
terhadapmu, engkau pasti menurutinya!"
"Oh?" Wajah Siang Koan Goat Nio berubah pucat. "Aku...
aku harus bagaimana?"
"Yang penting engkau jangan membuatnya gusar," sahut
Yo Kiam Heng. "Aku disuruh ke mari untuk membujukmu.
Agar ketua lebih mempercayaiku, engkau harus pura-pura
bersikap agak baik terhadapnya. Seandainya ketua Kay Pang
dan lainnya diperintahkan untuk menyerbu ke Pulau Hong
Hoang To, aku akan berpesan kepada Nona Lam Kiong, agar
pihak Pulau Hong Hoang To ke mari menolongmu."
"Terimakasih!" ucap Siang Koan Goat Nio.
"Ingat! Jie Hu Hoat Kwan Tiat Him adalah temanku, namun
engkau harus berhati-hati terhadap Ngo Sat Kui, karena
mereka sangat jahat sekali!" pesan Yo Kiam Heng, lalu
berbicara seperti biasa, tidak menggunakan ilmu
menyampaikan suara. "Engkau harus tahu, ketua sangat baik
terhadapmu, maka engkau harus baik pula terhadapnya!"
Siang Koan Goat Nio mengangguk, kemudian bertanya
mendadak menggunakan ilmu menyampaikan suara.
"Siapa ketua Kui Bin Pang?"
"Kami semua tidak mengetahuinya," jawab Yo Kiam Heng
menggunakan ilmu menyampaikan suara. "Yang jelas dia
masih muda seperti aku dan Kwan Tiat Him."
"Oh?" Siang Koan Goat Nio terbelalak.
"Nona Siang Koan, aku tahu kekasihmu adalah Tio Bun
Yang," ujar Yo Kiam Heng serius menggunakan ilmu
menyampaikan suara. "Aku akan berusaha menemuinya untuk
memberitahukannya tentang dirimu di sini."
"Terimakasih, Saudara Yo!" ucap Siang Koan Goat Nio. "Oh
ya, kelihatannya engkau tertarik kepada Soat Lan, bukan?"
"Ya." Yo Kiam Heng mengangguk. Tapi...."
"Jangan khawatir!" Siang Koan Goat Nio tersenyum. "Kalau
aku berhasil meloloskan diri dari sini kelak, aku pasti
membantumu."
"Terimakasih, Nona Siang Koan!" ucap Yo Kiam Heng
kemudian berbicara seperti biasa tanpa menggunakan ilmu
menyampaikan suara. "Ketua begitu baik terhadapmu, maka
engkau pun harus baik terhadapnya...."
Disaat bersamaan, mendadak pintu ruang itu terbuka,
tampak ketua Kui Bin Pang berjalan masuk.
"Ketua!" panggil Yo Kiam Heng.
"Ngmm!" Ketua Kui Bin Pang manggut-manggut dan
berkata, "Urusanku di ruang itu telah beres. Bagaimana
urusanmu di sini?"
"Juga sudah beres. Ketua," sahut Yo Kiam Heng sambil
tertawa. "Aku telah berhasil membujuknya."
"Oh?" Ketua Kui Bin Pang kurang percaya, lalu mendekati
Siang Koan Goat Nio. "Nona Siang Koan, bagaimana
keadaanmu" Baik-baik saja?"
"Aku...." Siang Koan Goat Nio menundukkan kepala. "Baikbaik
saja." "Ha ha ha!" Ketua Kui Bin Pang tertawa gelak, karena
biasanya Siang Koan Goat Nio tidak pernah menjawab,
melainkan terus mencacinya, namun kali ini gadis tersebut
justru menjawab. Tentunya hal itu sangat menggembirakan
ketua Kui Bin Pang itu, maka ia lalu memandang Yo Kiam
Heng seraya berkata, "Toa Hu Hoat, engkau boleh ke kamar
untuk beristirahat."
"Ya, Ketua." Yo Kiam Heng mengangguk dan segera
meninggalkan ruang itu.
"Ha ha ha!" Ketua Kui Bin Pang tertawa gelak, kemudian
mendadak memegang bahu Siang Koan Goat Nio.
"Kalau ketua berlaku kurang ajar terhadapku, aku pasti
akan marah!" ujar gadis itu sungguh- sungguh.
"Baik! Baik!" Ketua Kui Bin Pang cepat-cepat menurunkan
tangannya. "Oh ya, apa yang dikatakan Toa Hu Hoat itu
kepadamu?"
"Dia... dia menyuruhku bersikap baik terhadapmu,
sebab...." Siang Koan Goat Nio memandang ke arah lain.
"Katanya, ketua sangat menaruh perhatian kepadaku."
"Betul! Betul! Ha ha ha...!" Ketua Kui Bin Pang tertawa.
"Aku memang sangat menaruh perhatian kepadamu. Kalau
engkau menjadi isteriku kelak, pasti hidup senang dan
bahagia." Ucapan tersebut nyaris membuat Siang Koan Goat Nio
muntah seketika, bahkan juga nyaris mencaci makinya.
Hati Budha Tangan Berbisa 5 Kisah Si Bangau Merah Karya Kho Ping Hoo Kisah Si Bangau Putih 15
Aku langsung ke kuil biarawati itu dan kemudian tinggal di
sana." "Oooh!" Lie Ai Ling manggut-manggut. "Lalu cara
bagaimana engkau bertemu Kam Hay Thian?"
"Aku bertemu Bu Ceng Sianli di dalam kedai arak. Dia
menghajarku setelah tahu siapa diriku" sahut Kam Hay Thian
memberitahukan. "Kemudian dia menyuruhku ke Pek Yun
Am." "Hui San," ujar Lie Ai Ling. "Engkau begini cepat
memaafkannya" Dia begitu tak punya perasaan."
"Aku berlutut tiga hari tiga malam di depan Pek Yun Am
tanpa makan, minum dan tidur" Kam Hay Thian
memberitahukan lagi. "Barulah dia ke luar menemuiku."
"Bagus! Bagus!" Lie Ai Ling tertawa. "Memang harus
begitu! Seharusnya engkau berlutut tujuh hari tujuh malam."
"Aku pasti mati, dan itu akan membuat Hu San menderita
sekali," sahut Kam Hay Thian.
"Kakak Hay Thian...." Wajah Lu Hui Sian memerah.
"Waduh!" Lie Ai Ling tertawa geli. "Bukan main mesranya
suaramu, itu sungguh menggetarkan kalbu!"
"Ai Ling...." Wajah Lu Hui San bertambah memerah.
"Engkau mulai menggoda aku ya?"
"Boleh kan?" Lie Ai Ling tersenyum.
"Oh ya!" Kam Hay Thian memandang Tio Bun Yang seraya
bertanya, "Engkau kenal Bu Ceng Sianli kan ?"
"Kenal. Kenapa?" sahut Tio Bun Yang.
"Engkau tahu berapa usianya?"
"Tentu tahu." Tio Bun Yang manggut-manggut. "Usianya
sudah hampir sembilan puluh. Ketika pertama kali bertemu
dia, aku sama sekali tidak percaya!"
"Sama." Kam Hay Thian menggeleng-gelengkan kepala.
"Siapa akan percaya dia sudah berusia sembilan puluh"
Padahal kelihatannya baru berusia dua puluhan."
"Bu Ceng Sianli-Tu Siao Cui..." gumam Siang koan Goat
Nio. "Dia sudah berusia hampir sembilan puluh?"
"Adik Goat Nio, kenapa engkau bergumam?" tanya Tio Bun
Yang heran. "Ketika aku menuju ke Gunung Thian San, tengah jalan
bertemu Bu Ceng Sianli itu..." sambil tersenyum jawab Siang
Koan Goat Nio dan menutur, "....aku tidak percaya dia sudah
berusia hampir sembilan puluh. Dia... dia sungguh cantik
sekali!" Untung dia sudah berusia segitu, kalau tidak..." ujar Lu Hui
San sambil tersenyum-senyum.
"Kakak Bun Yang bukan pemuda semacam itu, gampang
tergoda oleh gadis cantik lain. Sekalipun bidadari yang turun
dari kahyangan, diapun tidak akan tergoda," ujar Lie Ai Ling
sungguh-sungguh.
"Oh, ya?" Lu Hui San tersenyum. "Kok engkau berani
mengatakan begitu?"
"Aku dan dia kakak beradik. Sejak kecil kami sudah
bersama, jadi aku tahu jelas bagaimana sifatnya," sahut Lie Ai
Ling. "Terimakasih, Adik Ai Ling!" ucap Tio Bu Yang sambil
tersenyum "Kalau Ai Ling tidak mengatakan begitu, aku pun akan
mengatakan begitu juga," sela Sia Koan Goat Nio sambil
tersenyum manis.
"Adik Ai Ling, bagaimana aku?" tanya Sie Keng Hauw
mendadak. "Harus seperti Kakak Bun Yang!" sahut Lie Ai Ling,
kemudian merendahkan suaranya. "Aku yakin engkau pasti
mcncintai dan menyayangiku selama-lamanya."
"Pasti! Itu sudah pasti!" Sie Keng Hauw ter tawa.
"Kakak!" panggil Lu Hui San dan memberi tahukan. "Aku
dan Kam Hay Thian sudah pergi menemui paman."
"Oh?" Wajah Sie Keng Hauw berseri. "Bagaimana
keadaan ayah, baik-baik saja?"
"Paman baik-baik saja." Lu Hui San manggut manggut.
"Aku pun memberitahukannya, bahwa Kakak sudah punya
kekasih. Oleh karena itu paman berpesan apabila engkau
sempat, ajaklah Ai Ling ke sana!"
"Ya." Sie Keng Hauw mengangguk. "Aku memang sudah
rindu pada ayah!"
Mereka bercakap-cakap, berselang sesaat mendadak
wajah Kam Hay Thian berubah serius sekali.
"Kami ke mari ingin menyampaikan sesuatu yang teramat
penting, maka kami harus segera menemui Kakek Tio dan
lainnya." Kam Hay Thian memberitahukan.
"Oh?" Tio Bun Yang menatapnya. "Kalau begitu, mari kita
ke dalam!"
Mereka masuk ke dalam langsung menuju ruang tengah,
karena Tio Tay Seng dan lainnya rdang berkumpul di situ.
"Eeeeh?" Kou Hun Bijin terbelalak ketika melihat Lu Hui
San bersama Kam Hay Thian. kalian berdua sudah akur ya?"
"Bijin...." Wajah Lu Hui San kemerah-merahan.
Sedangkan Kam Hay Thian segera memberi hormat kepada
mereka semua, begitu pula Lu Hui San.
"Ha ha ha!" Sam Gan Sin Kay tertawa gelak. Syukurlah
kalau kalian sudah akur dan... saling mencinta!"
"Hi hi hi!" Kou Hun Bijin tertawa cekikikan, kalian berdua
kok bisa bertemu dan akur kembali?"
"Itu atas jasa Bu Ceng Sianli-Tu Siao Cui." h.un Hay
Thian memberitahukan sekaligus menutur tentang itu.
"Tak disangka...." Tio Tay Seng menghela nafas panjang.
"Bu Ceng Sianli berbuat kebaikan!
"Kalau begitu..." ujar Sam Gan Sin Kay. "Dia tidak jahat,
mungkin akan berada di pihak kita
"Dia memang sudah berada di pihak kita, sela Kim Siauw
Suseng. "Maka kita boleh berlega hati."
"Ayah!" Tio Bun Yang memberitahukan. "Kan Hay Thian
dan Lu Hui San ingin menyampaikan sesuatu yang amat
penting." "Oh?" Kening Tio Cie Hiong berkerut. "Kalau begitu,
kalian duduklah!"
Mereka duduk. Kemudian Kam Hay Thian berkata,
"Kami ingin menyampaikan tentang Kui Bin Pang. Kami datang
dari markas pusat Kay Pang"
"Cepat beritahukan apa yang telah terjadi di markas pusat
Kay Pang!" Lim Ceng Im tidak sabar wajah pun tampak
tegang. "Di markas pusat Kay Pang tidak terjadi apa apa, namun
dalam rimba persilatan telah terjadi sesuatu yang sangat
menggemparkan," ujar Kai Hay Thian melanjutkan. "Para
murid tujuh partai besar banyak yang mati, dan ketua sudah
gila." "Apa?" Sam Gan Sin Kay terbelalak. "Itu perbuatan
siapa?" "Seng Hwee Sin Kun," sahut Kam Hay Thian
menambahkan. "Kini Seng Hwee Sin Kun telah dikendalikan
oleh ketua Kui Bin Pang."
"Aaaah...!" Tio Tay Seng menghela nafas panjang.
"Sasaran berikutnya pasti Kay Pang, sebab Kui Bin Pang tidak
berani menyerbu ke sini."
"Kalau begitu...." Wajah Lim Ceng Im langsung tampak
cemas. "Ayahku dan paman Gouw pasti celaka."
"Maka Kakek Lim mengutus kami kemari
memberitahukan," ujar Kani Hay Thian. "Karena kay Pang
dalam bahaya."
"Itu... itu...." Lim Ceng Im semakin cemas. Ayahku...."
"Adik Im, tenanglah!" bisik Tio Cie Hiong.
"Kakak Cie Hiong...." Air mala Lim Ceng Im mulai
meleleh. "Ayahku sudah tua...."
"Tenang!" Tio Cie Hiong menggenggam lengannya eraterat.
"Kalau begitu..." ujar Sam Gan Sin Kay. "Aku harus
segera ke markas pusat Kay Pang."
"Pengemis bau," sahut Kim Siauw Suseng. Engkau sudah
tua sekali, jangan cari mati di sana! lebih baik tetap hidup
tenang di pulau ini saja!"
"Tapi...." Kening Sam Gan Sin Kay yang keriput itu
berkerut-kerut. "Itu menyangkut Kay Pang."
"Pengemis bau, bukankah masih ada Tio Cie Hiong dan
lainnya" Nah, engkau sudah begitu tua, tidak usah
mencampuri urusan Kay Pang lagi!"
"Aaaah...!" Sam Gan Sin Kay menghela nafas ranjang.
"Aku...."
"Pengemis bau!" Kou Hun Bijin memandang nya sambil
tertawa. "Hi hi hi! Engkau tidak usah turut campur, biar
tingkatan muda yang memberesi urusan itu!"
"Betul," sela Lim Ceng Im. "Kakek tidak usah
memusingkan urusan itu, biar kami yang mem beresinya!"
"Tujuan Kui Bin Pang terhadap kita, namun sasarannya
justru tujuh partai besar dan Kay Pang itu untuk memancing
kita ke Tionggoan," ujar Tio Tay Seng sambil mengerutkan
kening. "Kalau begitu, mari kita ke Tionggoan saja!" sahut Sam
Gan Sin Kay dan menambahkan. "Biar aku sudah tua sekali,
masih cukup kuat untuk bertarung dengan pihak Kui Bin
Pang." "Yang jelas engkau pasti akan mampus!" ujai Kou Hun
Bijin. "Dari pada harus mampus di sana bukankah lebih baik
tenang di sini?"
"Ha ha ha!" Sam Gan Sin Kay tertawa gelak "Aku tidak
menyangka Kou Hun Bijin takut mati Ha ha ha...!"
"Pengemis bau!" bentak Kou Hun Bijin mc lotot. "Engkau
jangan menghinaku! Kalau perlu kita bertarung di sini!"
"Ha ha ha!" Sam Gan Sin Kay masih tertawn gelak. "Dari
pada kita yang bertarung lebih bail kita bertarung dengan
pihak Kui Bin Pang?"
"Baik. Kapan kita berangkat ke Tionggoan"' tanya Kou
Hun Bijin. "Eeeh" Bijin!" Kim Siauw Suseng terbelalak. Betulkah
engkau ingin berangkat ke Tionggoan?"
"Ya." Kau Hun Bijin mengangguk. "Pengemis bau itu
menantangku, maka aku harus berangkat ke Tionggoan."
"Tenanglah, isteriku!" ujar Kim Siauw Suseng, kemudian
melototi Sam Gan Sin Kay. "Engkau laki laki, tidak pantas
menantang wanita! Ayoh, tandinglah aku!"
"Engkau mana punya nyali untuk bertarung dengan pihak
Kui Bin Pang" Buktinya dari tadi dia, saja!" sahut Sam Gan Sin
Kay menyindir. "Pengemis bau!" Kim Siauw Suseng menudingnyaa.
"Kalau aku tidak memandang Tio Tocu, aku sudah hajar
engkau!" "Engkau dapat menghajarku?" Sam Gan Sin ly tertawa.
"Ha ha ha! Kita berdua adalah Bu mi Jie Khie, bahkan sering
bertanding pula. ngkau... pernah kalah sejurus kan?"
"Sekarang kita boleh bertarung lagi!" tantang im Siauw
Suseng. "Ayah!" tegur Siang Koan Goat Nio. "Ayah kok seperti
anak kecil sih" Kita sedang mengharu' masalah, Ayah, Ibu dan
Sam Gan Sin Kay ulah ribut tidak karuan! Bukannya berpikir
harus bagaimana baiknya, tapi malah ribut! Sungguh
keterlaluan!"
"Adik Goat Nio," bisik Tio Bun Yang. "Tidak baik menegur
orang tua!"
"Kalau tidak ditegur, mereka pasti ribut terus," ujar
Siang Koan Goat Nio sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Adik Goat Nio...." Tio Bun Yang memberi isyarat agar
gadis itu diam, namun Siang Koa Goat Nio masih tampak
cemberut. "Nak!" Kou Hun Bijin tersenyum lembut "Engkau benar,
kami yang salah karena terus ribut. Maafkan kami ya!"
"Ibu...." Siang Koan Goat Nio menghela nafas panjang.
"Ha ha ha!" Sam Gan Sin Kay tertawa. "Kau yang sudah
mau mampus ini memang keterlaluan dan tak tahu diri! Ha ha
ha...!" "Sekarang kuharap tenang semua!" ujar Tu Tay Seng.
"Kita masing-masing harus berpikii jalan keluarnya!"
Ucapan Tio Tay Seng membuat hening suasana, sebab
mereka mulai berpikir keras. Ber selang beberapa saat
kemudian, barulah Sam Gai Sin Kay membuka mulut
berbicara. "Menurut aku, lebih baik urusan itu kita serahkan kepada
Tio Cie Hiong dan Lim Ceng lm."
"Benar." Kim Siauw Suseng dan Kou Hi Bijin mengangguk.
"Maaf!" ucap Tio Cie Hiong. "Kami sudah bersumpah tidak
akan mencampuri urusan rimba persilatan, maka kami tidak
boleh melanggar sumpah itu."
"Kakak Cie Hiong...." Lim Ceng Im memancangnya.
"Ayahku dan Paman Gouw dalam bahaya."
"Aku tahu." Tio Cie Hiong manggut-manggut. Begini, kita
utus Bun Yang ke markas pusat Kay l'ang."
"Dia... dia seorang diri?" Lim Ceng Im menggelenggelengkan
kepala. "Aku pasti ikut," ujar Siang Koan Goat Nio.
"Kami pun tidak mau ketinggalan," sambung Lie Ai Ling.
"Betul." Sie Keng Hauw mengangguk. "Kami pasti ikut ke
Tionggoan."
"Apakah kami akan makan angin di pulau ini?" ujar Lu
Hui San sambil melirik Kam Hay thian. "Kami pun harus ikut ke
Tionggoan."
"Tidak salah." Kam Hay Thian manggut-mangut. "Kami
semua harus membantu Kay Pang."
"Bagus! Bagus! Ha ha ha!" Sam Gan Sin Kay tertawa
terbahak-bahak. "Biar generasi muda saja memberesi urusan
itu." "Setuju," sambung Kim Siauw Suseng dan Kou hun Bijin
serentak. "Tapi...." Tio Tay Seng menggeleng-gelengkan kepala.
"Mereka masih kurang berpengalaman."
"Justru itu akan menambah pengalaman mereka," sahut
Sam Gan Sin Kay. "Jadi biarlah mereka pergi membantu Kay
Pang." "Cie Hiong, bagaimana menurut engkau?" tanya Tio Tay
Seng sambil menatapnya.
"Aku setuju, Paman." Tio Cie Hiong mengangguk.
"Tapi...." Lie Ceng Im mengerutkan kening "Aku tidak
begitu berlega hati, karena pihak Ku Bin Pang berkepandaian
Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tinggi sekali."
"Adik Im!" Tio Cie Hiong tersenyum. "Bu Yang dan
lainnya juga berkepandaian tinggi. Aku yakin mereka sanggup
menghadapi Kui Bin Pang"
"Yaaah...!" Lim Ceng Im menghela nafas panjang. "Baiklah!
Aku setuju!"
"Ayah, kapan kami boleh berangkat ke Tionggoan?"
tanya Tio Bun Yang.
"Lebih cepat lebih baik," sahut Tio Cie Hiong "Kalian
boleh berangkat besok pagi."
"Ya, Ayah." Tio Bun Yang mengangguk.
"Nak," pesan Lim Ceng Im. "Kalian semua harus berhatihati,
jangan ceroboh!"
"Ya, Ibu." Tio Bun Yang mengangguk lagi.
Tio Tay Seng, Sam Gan Sin Kay, Kim Siauw Suseng, Kou
Hun Bijin dan lainnya juga ikut memberikan berbagai
wejangan. "Ai Ling," bisik Tio Hong Hoa. "Engkau tidak boleh
bersikap seperti anak kecil lagi, harus menuruti perkataan
Keng Hauw!"
"Ya, Ibu." Lie Ai Ling mengangguk.
"Juga harus menuruti perkataan Bun Yang! tambah Lie
Man Chiu. "Dia kakakmu!"
"Ya, Ayah." Lie At Ling mengangguk lagi.
"Keng Hauw," pesan Lie Man Chiu sungguh-sungguh.
"Engkau harus baik-baik menjaga Ai Ling!"
"Ya, Paman." Sie Keng Hauw mengangguk pasti. "Aku
berjanji itu, Paman dan Bibi tidak usah khawatir!"
"Ngmm!" Lie Man Chiu dan Tio Hong Hoa manggutmanggut
sambil tersenyum.
Keesokan harinya, berangkatlah mereka ke Tionggoan
menuju markas pusat Kay Pang.
-oo0dw0oo- Bagian ke lima puluh lima
Pertarungan di Markas Kay Pang
Dalam perjalanan ke Tionggoan, mereka sama sekali tidak
mendapat halangan apa pun. Walau hati mereka agak
tercekam, namun masih bisa bersenda gurau.
"Sayang sekali!" ujar Lie Ai Ling. "Sian Hoa berada di
Tayli, kalau tidak, kita semua akan berkumpul di markas pusat
Kay Pang."
"Entah kapan Sian Hoa dan Beng Kiat akan mengunjungi
kita?" ujar Lu Hui San. "Kalau tidak menyangkut urusan
dengan Kui Bin Pang, ingin rasanya pesiar ke Tayli."
"Benar." Tio Bun Yang manggut-manggut
"Pemandangan di Tayli indah sekali, siapa yang pernah ke
Tayli, pasti tidak akan melupaku negeri kecil itu."
"Oh ya!" Siang Koan Goat Nio teringat sesuatu, dan
segeralah ia memberitahukan. "Ketika aku mencuri dengar
pembicaraan ketua Kui Bin Pang, itu membuatku tidak habis
pikir." "Memangnya kenapa?" tanya Tio Bun Yang heran.
"Kedengarannya dia sangat dendam kepada mu," jawab
Siang Koan Goat Nio "Apakah engkau punya musuh?"
"Aku tidak punya musuh, lagi pula aku tidak kenal ketua
Kui Bin Pang itu." Tio Bun Yang mengerutkan kening. "Kenapa
dia dendam pada ku?"
"Ketua lama Kui Bin Pang mendendam pada majikan
lama Pulau Hong Hoang To, otomatis ketua baru itu pun
dendam pada pihak Pulau' Hong Hoang To," ujar Lie Ai Ling.
"Maka tidak usah merasa heran."
"Tapi...." Siang Koan Goat Nio menggeleng gelengkan
kepala. "Menurut aku, ketua Kui Bin Pang itu punya dendam
pribadi dengan Kakak Bun Yang!"
"Itu...." Tio Bun Yang menggeleng-gelengkan kepala.
"Itu tidak mungkin, sebab aku sama sekali tidak punya
musuh." "Sudahlah!" landas Lie Ai Ling. "Tentang itu tidak usah
dipusingkan, yang jelas Kui Bin Pang memang memusuhi kita."
"Aaaah...!" Mendadak Sie Keng Hauw menghela nafas
panjang. "Eeeh?" Lie Ai Ling menatapnya heran. "Kenapa engkau
menghela nafas panjang" Apa yang terganjel dalam hatimu?"
"Aku teringat guruku. Entah bagaimana keadaan beliau?"
sahut Sie Keng Hauw. "Aku... rindu kepadanya."
"Oooh!" Lie Ai Ling manggut-manggut. "Kukira engkau
teringat gadis lain!"
"Aku mana punya gadis lain?" sahut Sie Keng Hauw
sambil tersenyum. "Aku... hanya mencintai egkau seorang."
"Kakak Keng Hauw...." Lie Ai Ling tersenyum bahagia.
"Asyiiik!" seru Lu Hui San. "Cinta nih ya!"
"Wuah!" Lie Ai Ling memandangnya, lalu balas
menggodanya. "Ketika Kam Hay Thian meninggalkanmu, siang
malam engkau terus-menerus menangis."
"Ai Ling!" Wajah Lu Hui San langsung memerah.
"Engkau...."
"Makanya jangan coba-coba menggodaku! Nah,
rasakan!" sahut Lie Ai Ling sambil bertawa.
"Kalian masih bisa bergurau!" Tio Bun Yang menggelenggelengkan
kepala. "Aku justru merasa khawatir...."
"Mengkhawatirkan apa?" tanya Lie Ai Ling
"Aku khawatir telah terjadi sesuatu di markas pusat Kay
Pang," jawab Tio Bun Yang sambi menghela nafas panjang.
"Kalau begitu, kita harus cepat-cepat ke sana, ujar Sie
Keng Hauw. "Jangan bergurau lagi."
-oo0de0oo- Betapa leganya hati mereka ketika tiba di markas pusat Kay
Pang, karena yang menyambu kedatangan mereka adalah Lim
Peng Hang dai Gouw Han Tiong.
"Kakek! Kakek Gouw!" panggil Tio Bun Yang
"Bun Yang!" Sungguh gembira sekali Lim Peng Hang dan
Gouw Han Tiong. "Duduk, du duklah!"
Tio Bun Yang dan lainnya segera duduk kemudian saling
memandang sambil menarik nafas lega.
"Kakek, selama ini tidak terjadi sesuatu di sini?" tanya
Tio Bun Yang. "Tidak," sahut Lim Peng Hang dan menambahkan-
"Hanya saja... banyak pesilat golongan putih yang mati
terbunuh."
"Siapa yang membunuh mereka?" tanya Kam hay Thian.
"Kalau tidak salah pihak Kui Bin Pang. Kelihatannya pihak
Kui Bin Pang berniat menguasai rimba persilatan," jawab
Gouw Han Tiong.
"Pihak Kui Bin Pang tidak membunuh para anggota Kay
Pang?" tanya Tio Bun Yang.
"Itu yang membual kami tidak habis pikir, sebab pihak
Kui Bin Pang sama sekali tidak mengganggu para anggota Kay
Pang." Lim Peng lang memberitahukan.
"Kakek, mungkinkah ketua Kui Bin Pang punya renana
lain terhadap kita?" ujar Tio Bun Yang.
"Yaah!" Lim Peng Hang menghela nafas panjng.
"Mungkin saja. Sebab kini tujuh partai besar sudah lumpuh,
karena para ketua partai itu dalam keadaan gila."
, "Oh ya! Kenapa para ketua itu jadi gila?" tanya Tio Bun
Yang. "Apa yang menyebabkan mereka jadi gila?"
"Berdasarkan informasi yang kami terima...." liwab Gouw
Han Tiong dengan wajah serius. , mereka terkena semacam
ilmu pukulan yang dilancarkan Seng Hwee Sin Kun."
"Oh?" Kening Tio Bun Yang berkerut. "Ilmu pukulan apa
itu" Kok bisa menyebabkan orang yang terkena pukulan itu
berubah jadi gila?"
"Mungkin semacam ilmu pukulan sesat." tukas Lim Peng
Hang dan menambahkan. "Sebab ketua Kui Bin Pang memiliki
ilmu hitam."
"Aaaah...!" Gouw Han Tiong menghela nafas panjang.
"Entah bagaimana keadaan para ketua itu?"
"Bun Yang!" IJm Peng Hang memandangn seraya
berkata, "Engkau mahir ilmu pengobatan maka alangkah
baiknya engkau ke kuil Siauw Lim memeriksa Hui Khong
Taysu." 'Tapi di sini...."
'Tidak jadi masalah. Sebab ada Kam Hay Thian dan
lainnya berada di sini. Engkau dan Goat Nio berangkat ke kuil
Siauw Lim saja!"
"Baiklah." Tio Bun Yang mengangguk. "Kapan kami
boleh berangkat, Kakek?"
"Sekarang juga boleh," sahut Lim Peng Han "Cepat pergi
bisa cepat juga pulang."
"Kalau begitu, aku dan Goat Nio berangkai sekarang,"
ujar Tio Bun Yang sekaligus berpamit lalu berangkai ke kuil
Siauw Lim. -oo0dw0oo- Dua hari kemudian setelah Tio Bun Yaa dan Siang Koan
Goat Nio berangkat ke kuil Siauv Lim, di markas pusat Kay
Pang justru terjadi sesuatu Malam itu ketika Lim Peng Hang.
Gouw lan Tiong dan lainnya sedang bercakap-cakap di uang
depan, mendadak terdengar suara siulan aneh yang
menyeramkan. "Hah?" Air muka Lim Peng Hang langsung berubah hebat.
"Kui Bin Pang "
"Tidak salah," ujar Lie Ai Ling. "Aku pernah mendengar
suara siulan aneh yang menyeramkan ini."
"Mari kita ke luar!" seru Lim Peng Hang sambil melesat
ke luar, diikuti Gouw Han Tiong, kam Hay Thian dan lainnya
dari belakang. Mereka berdiri di halaman dengan perasaan mencekam
dan tegang, sementara suara siulan aneh yang menyeramkan
itu masih bergema. Berselang beberapa saat, melayang turun
delapan sosok bayangan putih.
"Kui Bin Pang muncul! Semua harus mati!" seru mereka
serentak menggunakan lweekang, sehingga memekakkan
telinga, "Aku ketua Kay Pang!" ujar Lim Peng Hang. "Setahuku kami
Kay Pang tidak bermusuhan depan kalian Kui Bin Pang!
Kenapa kalian muncul di sini?"
"Perintah dari ketua, maka kami ke mari mau membunuh
kalian!" sahut salah seorang yang memakai kedok setan
warna hijau. Ternyata mereka adalah Ngo Sat Kui, yang dua
orang lagi memakai ledok setan warna kuning, tidak lain
adalah Dua Pelindung. Sedangkan yang seorang lagi tidak
memakai kedok setan, dia adalah Seng Hwee Sin Kun, berdiri
diam di tempat seperti patung.
"Ha ha ha!" Lim Peng Hang tertawa gelak. "Kalian kira
gampang membunuh kami?"
"Kalau kami tidak mampu membunuh kalian semua,
tentunya kami tidak akan ke mari!" sahut Toa Sat Kui.
"Toa Sat Kui," bisik Toa Hu Hoat (Pelindung Tertua).
"Ketua menyuruh kita menangkap Lim Peng Hang dan Gouw
Han Tiong hidup-hidup."
"Aku tahu itu," sahut Toa Sat Kui dengan suara rendah.
"Kalian berdua menangkap Lim Peng Hang dan Gouw Han
Tiong, kami berlima dan Seng Hwee Sin Kun akan membunuh
yang lain."
"Ng!" Kedua Pelindung itu mengangguk.
"Ha ha ha!" Mendadak Toa Sat Kui tertawa gelak.
"Malam ini kalian harus mati! Seng Hwee Sin Kun! Serang
mereka!" Seng Hwee Sin Kun segera menyerang Lim Peng Hang
dan Gouw Han Tiong, namun mendadak Kam Hay Thian
meloncat ke arah Seng Hwee Sin Kun.
"Hati-hati, Kakak Hay Thian!" seru Lu Hui San cemas.
Blaaam! Terdengar suara benturan dahsyat.
Ternyata Kam Hay Thian menangkis pukulan yang
dilancarkan Seng Hwee Sin Kun. Kam Hay thian lerhuyunghuyung
ke belakang beberapa langkah, sedangkan Seng Hwee
Sin Kun cuma dua langkah.
"Seng Hwee Sin Kun! Cepat bunuh pemuda itu!" seru Toa
Sat Kui. Mereka berlima mendadak menyerang ke arah Lu Hui
San, Lie Ai Ling dan Sie Keng Hauw.
Sedangkan kedua Pelindung pun mulai menyerang Lim
Peng Hang dan Gouw Han Tiong. Terjadilah pertarungan yang
amat seru dan sengit.
Kam Hay Thian bertarung mati-matian melawan Seng
Hwee Sin Kun, bahkan bertekad membunuhnya, karena Seng
Hwee Sin Kun pembunuh ayahnya.
Seng Hwee Sin Kun mengeluarkan Seng Hwee Ciang
Hoat (Ilmu Pukulan Api Suci) yang mengandung api,
sedangkan Kam Hay Thian mengeluarkan Pak Kek Sin Ciang
(Ilmu Pukulan Kutub Utara) yang mengandung hawa dingin.
Setelah dibimbing oleh Tio Cie Hiong, Iweekang Kam Hay
Thian bertambah tinggi, begitu pula ilmu pukulannya, sebab
Tio Cie Hiong telah menyempurnakan ilmu pukulan tersebut.
Akan tetapi, lweekang Kam Hay Thian tetap di bawah
tingkat Seng Hwee Sin Kun, maka puluhan jurus kemudian,
pemuda itu mulai terdesak.
Sementara Lim Peng Hang dan Gouw Han Liong juga
sudah terdesak oleh kedua Pelindung.
Puluhan jurus kemudian, kedua Pelindung itu berhasil
menotok jalan darah Lim Peng Hang dari Gouw Han Tiong,
sehingga membuat mereka roboh tak bergerak lagi. Setelah
berhasil menotol jalan darah Lim Peng Hang dan Gouw Han
Tio kedua Pelindung pun berdiri di tempat sambil menyaksikan
pertarungan itu.
Sie Keng Hauw, Lie Ai Ling dan Lu Hui San juga sudah
mulai terdesak. Mereka bertiga cuma dapat bertahan.
Beberapa jurus kemudian, bahkan Lie Ai Ling sudah terluka.
Betapa terkejutnya Sie Keng Hauw, kemudian mati-matian
melindungi kekasihnya. Akan tetapi tak seberapa lama
kemudian, tangannya pun terluka oleh pukulan Toa Sat Kui.
Kini keadaan mereka sungguh dalan bahaya! Di saat itulah
mendadak terdengar suara tawa yang amat nyaring, menyusul
melayang turui sosok bayangan.
"Hi hi hi! Asyik sekali! Ada orang bertarung"
"Kakak!" seru Lu Hui San girang, "Tolong, kami! Kakak!"
"Jangan khawatir, Adik!" Terdengar suara sahutan yang
sangat merdu. "Kakak pasti bantl kalian!"
Siapa orang itu" Ternyata Bu Ceng Sianli Ti Siao Cui. Ia
langsung menyerang ke arah Ngo San Kui dengan Hian Goan
Ci. Betapa terkejutnya Ngo Sat Kui. Mereak berlima cepatcepat
Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
meloncat ke belakang.
"Siapa engkau?" bentak Toa Sai Kui. "Jangan turut
campur urusan ini!"
"Hi hi hi! Aku Bu Ceng Sianli, namaku Tu siao Cui! Aku
justru harus mencampuri urusan ni! Hi hi hi...!" sahut Tu Siao
Cui sambil tertawa nyaring.
Sedangkan kedua Pelindung saling memandang,
kemudian mendadak membopong Lim Peng Hang dan Gouw
Han Tiong lalu melesat pergi seraya berseru, "Ngo Sat Kui!
Mari kita pergi!"
Begitu mendengar suara seruan kedua Pelindung, Ngo
Sat Kui pun langsung melesai pergi lan berseru pula.
"Seng Hwee Sin Kun, cepat pulang ke markas!"
Kelika Seng Hwee Sin Kun mau melesat pergi, Bu Ceng
Sianli-Tu Siao Cui menyerangnya lengan Hian Goan Ci.
Cesss! Lengan jubah Seng Hwee Sin Kun berlubang.
Sementara Kam Hay Thian sudah dapat bernafas, setelah
itu ia mulai menyerang Seng Hwee sin Kun menggunakan Pak
Kek Sin Ciang. Seng Hwee Sin Kun menggeram, kemudian secepat kilat
menghindar sekaligus balas menyerang dengan ilmu Seng
Hwee Sin Ciang.
Blaaam! Terdengar suara benturan.
Seng Hwee Sin Kun tak bergeming sedikit pun,
sedangkan Kam Hay Thian terdorong kebelakang beberapa
langkah. "Chu Ok Hiap!" seru Bu Ceng Sianli. "Engkau mundurlah!
Biar aku yang melawannya!"
"Tidak!" sahut Kam Hay Thian. "Dia pembunuh ayahku,
aku harus membunuhnya dengan tanganku sendiri!"
"Baik! Aku akan membantumu menyerang nya!" ujar Bu
Ceng Sianli sambil tertawa. "Hi hi hi...!"
Sementara Seng Hwee Sin Kun terus meng geram sambil
melotot-lotot. Mendadak ia memekik keras, kemudian
sepasang telapak tangannya berubah kehijau-hijauan.
"Chu Ok Hiap! Hati-hati!" Bu Ceng Sianli mengingatkan.
"Dia telah mengerahkan Iweekang nya pada puncaknya!"
Kam Hay Thian mengangguk, kemudian cepat-cepat
mengerahkan Pak Kek Sin Kang, sedangkan Bu Ceng Sianli
mengerahkan Hian Goan Sin Kang.
Sie Keng Hauw, Lie Ai Ling dan Lu Hui San tegang bukan
main. Mereka menyaksikan itu dengan wajah pucat pias,
terutama Lu Hui San.
Mendadak Seng Hwee Sin Kun memekik keras lagi,
sekaligus menyerang Kam Hay Thian dengan jurus Seng Hwee
Sauh Thian (Api Suci Membakar Langit). Bukan main
dahsyatnya serangan itu, sebab pukulan itu mengandung api
kehijau-hijauan.
Kam Hay Thian tidak berkelit, melainkan menangkis
serangan itu dengan jurus Leng Swat leng Hai (Salju Menutupi
Laut), yang penuh mengandung hawa dingin. Di saat
bersamaan Bu Ceng Sianli juga menyerang Seng Hwee Sin
Kun. Blaaam! Terdengar suara benturan dahsyat memekakkan
telinga. Pada waktu bersamaan terdengar pula suara jeritan.
"Aaaakh...!" Ternyata Seng Hwee Sin Kun yang menjerit,
karena punggungnya telah berlubang terserang Hian Goan Ci.
Sedangkan Kam Hay Thian terpental beberapa depa,
pakaiannya juga telah hangus, kemudian terkulai.
"Kakak Hay Thian!" seru Lu Hui San sambil hrrlari
menghampirinya. "Engkau... engkau terluka?"
"Aku...." Kam Hay Thian menarik nafas dalam-dalam.
"Aku tidak apa-apa."
Kam Hay Thian bangkit berdiri, lalu mendekati Seng
Hwee Sin Kun. Sementara Seng Hwee Sin Kun membalikkan
badannya, lalu menatap Bu Ceng Sianli dengan mata
membara. "Hi hi hi!" Bu Ceng Sianli tertawa cekikikan. "Engkau sudah
tidak punya sukma, lebih baik mati !"
Tiba-tiba Seng Hwee Sin Kun menggeram, sekaligus
menyerang Bu Ceng Sianli menggunakan jurus Thian Te Seng
Hwee (Api Suci Langit Bumi), yakni jurus yang paling lihay dan
dahsyat "Hi hi hi!" Bu Ceng Sianli tertawa nyaring kemudian
mendadak jari tangannya bergerak secepat kilat dan
memancarkan cahaya putih. Ternyata ia menggunakan jurus
Cian Ci Keng Thian (Ribuan Jari Mengejutkan Langit) untuk me
nangkis serangan yang dilancarkan Seng Hwee Sin Kun.
Blaaam! Cesss! Cesss! Itu adalah suara benturan kedua
lweekang yang memekakkan telinga Seng Hwee Sin Kun
terpental beberapa depa Dada dan perutnya telah berlubang
dan darah segar pun mengucur dari lubang itu. Sedangkan Bu
Ceng Sianli terdorong ke belakang lima enam langkah,
wajahnya tampak pucat pias.
Di saat Seng Hwee Sin Kun terpental, di saat itu pula
Kam Hay Thian menyerangnya dengan jurus Han Thian Soh
Swat (Menyapu Salju Hai Dingin).
Blaaam! Punggung Seng Hwee Sin Kun terkena pukulan
itu. "Aaaakh...!" jeritnya. Badannya terpental lagi ke arah Bu
Ceng Sianli yang sedang mengatur pernafasannya.
"Hi hi hi!" Bu Ceng Sianli tertawa cekikikat sambil
menggerakkan jari tangannya.
"Eeekh!" Seng Hwee Sin Kun mengeluarkan suara
tenggorokan, kemudian terkulai tak bergerak iagi, nyawanya
sudah melayang.
"Kakak Hay Thian!" seru Lu Hui San sambil
mendekatinya. "Kakak Hay Thian...."
"Adik Hui San...." Kam Hay Thian memanjangnya sambil
tersenyum, namun wajahnya agak jiucat dan pakaian pun
telah hangus. "Aku tidak apa-apa. Engkau tidak usah
khawatir!"
"VVuah! Hi hi hi!" Bu Ceng Sianli tertawa geli. "Kini sudah
mesra ya!"
"Kakak...." Wajah Lu Hui San memerah. "Jangan
menggoda aku!"
"Oh, ya?" Bu Ceng Sianli menatapnya sambil tertawa
cekikikan. "Hi hi hi! Masih mau jadi biarawati?"
"Kakak...." Lu Hui San menundukkan kepala.
"Celaka!" seru Sie Keng Hauw mendadak dengan wajah
pucat pias. "Betul-betul celaka!"
"Anak muda," tanya Bu Ceng Sianli heran. "Apa yang
celaka?" "Kakek Lim dan Kakek Gouw..." sahut Sie Keng Hauw.
"Mereka telah dibawa kabur."
"Haaah...?" Barulah Lie Ai Ling, Kam Hay Thian dan Lu
Hui San tersentak, wajah mereka lalu berubah pucat pias.
"Celaka... "
"Mereka tidak akan celaka. Kalau mereka celaka, berarti
mereka sudah mati dari tadi," sahut Bu Ceng Sianli dan
menambahkan. "Sekarang kita kedalam, jangan terus berdiri
di sini!" "Bagaimana dengan mayat Seng Hwee Sin Kun?" tanya
Lu Hui San. "Suruh saja anggota Kay Pang menguburnya!' jawab Bu
Ceng Sianli sambil menengok ke sara ke mari. "Lho" Kok
anggota Kay Pang tidak tampak seorang pun" Apakah mereka
sudah marnpus semua?"
"Celaka!" seru Sie Keng Hauw. Pemuda itu segera melesat
pergi, tapi tak lama kemudian sudah kembali dan berkata.
"Ternyata para anggota Kay Pang yang bertugas di luar
markas masih dalam keadaan tertidur, karena terkena
semacam obat bius!"
"Pantas mereka tidak kelihatan!" ujar Lie Ai Ling.
"Syukurlah mereka kalau tidak mati!"
"Celaka!" seru Bu Ceng Sianli mendadak.
"Ada apa. Kakak?" Lu Hui San terkejut.
"Ketularan kalian yang dari tadi terus menyebut 'Celaka',
maka aku pun ikut-ikutan menyebut celaka. Hi hi hi!" Bu Ceng
Sianli tertawl geli.
"Kakak ada-ada saja!" Lu Hui San cemberut
"Ayolah, mari kita ke dalam!" ajak Bu Ceng Sianli sambil
melesat ke dalam markas, yang lain mengikutinya dari
belakang. Sampai di ruang depan, mereka lalu duduk.
"Kakak adalah Tu Siao Cui?" tanya Lie A Ling mendadak
sambil menatapnya dengan mata tak berkedip.
"Tidak salah. Kenapa?" sahut Bu Ceng Sianli
"Bukan main! Sungguh bukan main!" ujar Lie Ai Ling sambil
menggeleng-gelengkan kepala.
"Eh" Kenapa engkau gadis manis?" tanya Bu Ceng Sianli.
"Apanya yang bukan main?"
"Kakak sungguh cantik sekali, kelihatannya baru berusia
dua puluhan!" jawab Lie Ai Ling, "Tapi sesungguhnya sudah
berusia hampir sembilan puluh. Nah, itu bukan main, kan?"
"Hi hi hi!" Bu Ceng Sianli tertawa cekikikan, "gadis manis,
beritahukanlah namamu!"
"Namaku Lie Ai Ling." Gadis itu memperkenalkan diri
sambil tersenyum, lalu memandang kekasihnya seraya
berkata, "Dia bernama Sie Keng Hauw, dia...."
"Aku sudah tahu, dia kekasihmu." Bu Ceng sianli tertawa
cekikikan. "Ya, Kakak." Lie Ai Ling mengangguk.
"Oh ya!" Bu Ceng Sianli menengok ke sana kemari seraya
bertanya, "Kok tidak tampak Tio Bun Yang" Dia tidak berada
di sini?" "Dia dan Goat Nio pergi ke kuil Siauw Lim," jawab Kam
Hay Thian memberitahukan. "Sebab "Ketua partai Siauw Lim
jadi gila terkena pukulan Ceng Hwee Sin Kun, maka dia ke
sana untuk mengobatinya."
"Oh?" Bu Ceng Sianli tertegun. "Bun Yang mahir ilmu
pengobatan?"
"Dia memang mahir ilmu pengobatan, kepandaiannya
pun sangat tinggi sekali." Lie Ai Ling memberitahukan dengan
wajah berseri-seri. "Bahkan dia juga mahir meniup suling."
"Aku sudah tahu itu." Bu Ceng Sianli manggut-manggut.
"Oh ya, engkau punya hubungan apa dengan Bun Yang?"
"Aku adiknya."
"Apa?" Bu Ceng Sianli mengerutkan kening "Bagaimana
mungkin engkau adiknya?"
"Ayahnya dan ibuku bersaudara, sedangkan kakeknya
dan kakekku saudara kandung." Lie Ai Ling menjelasiean.
"Oooh!" Bu Ceng Sianli manggut-manggut "Pantas,
engkau begitu bangga, ternyata engkau memang termasuk
adiknya!" "Kakak...." Lu Hui San mengerutkan kening "Kini Kakek
Lim dan Kakek Gouw tidak ada, kita harus bagaimana?"
"Anggap saja kita tuan rumah!" sahut Bu Ceng Sianli.
"Beres, kan?"
"Tapi...." Lu Hui San menggeleng-gelengkan kepala.
"Wakil ketua pun tidak ada di sini, kita...
"Tentunya kita harus menunggu Kakak Bun Yang dan
Goat Nio, sebab Kakak Bun Yan adalah cucu ketua Kay Pang
ini. Biar dialah yang mengatur!" ujar Lie Ai Ling.
"Betul." Bu Ceng Sianli manggut-manggu "Kita semua
memang harus menunggu Bun Yan pulang."
"Kakak juga menunggu di sini?" tanya Lu Hui San girang.
"Aku mengucapkan 'kita semua', berarti termasuk diriku,"
sabut Bu Ceng Sianli. "Dasar goblok!"
"Aku memang goblok, Kak," ujar Lu Hui San sambil
tersenyum. "Kalian sungguh...." Bu Ceng Sianli menggelenggelengkan
kepala. "Padahal bahu dan lengan kalian terluka,
namun masih bisa bergurau."
"Lukaku ringan, tidak apa-apa," sahut Kam Hay Thian.
"Oh ya, aku harus mengucapkan terimakasih kepada Kakak,
sebab Kakak telah membantuku membalas dendam."
"Tidak usah berterimakasih kepadaku. Seharusnya
engkau berterimakasih kepada Lu Hui San," ujar Bu Ceng
Sianli. "Ingat! Engkau harus baik-baik terhadapnya! Kalau
engkau masih berani menyakiti hatinya, aku pasti
membunuhmu!"
"Ya, Kakak." Kam Hay Thian mengangguk dan berjanji,
"Aku pasti mencintai dan menyayanginya selama-lamanya!"
"Bagus! Bagus!" Bu Ceng Sianli tertawa cekikikan. "Hi hi
hi...!" "Hi hi hi!" Mendadak Lie Ai Ling juga tertawa cekikikan,
itu membuat Bu Ceng Sianli terheran- inian.
"Hei!" Bu Ceng Sianli melotot. "Kenapa engkau ikut
tertawa seperti aku" Menyindir ya?"
"Mana berani aku menyindir Kakak?" sahut Lie Ai Ling
tersenyum-senyum. "Aku teringat Kou Hun Bijin yang suka
tertawa seperti Kakak."
"Oh, dia!" Bu Ceng Sianli manggut-manggut.
. "Dia dan suaminya berada di mana?"
"Di Pulau Hong Hoang To." Lie Ai Ling memberitahukan.
"Ngmm!" Bu Ceng Sianli manggut-manggut lagi seraya
berkata, "Apabila aku sempat, pasti berkunjung ke sana."
"Kakak jangan ingkar janji lho!" ujar Lie Ai Ling.
"Eh" Aku cuma bilang mau berkunjung ke sana, namun
tidak berjanji," sahut Bu Ceng Sianli.
"Kakak...." Wajah Lie Ai Ling tampak kecewa. "Kalau
sempat, Kakak berkunjung ke Pulau Hong Hoang To ya!"
"Itu kalau aku sempat. Tapi tidak berjanji lho!" sahut Bu
Ceng Sianli. Di saat itulah muncul beberapa pengemis tua. Mereka
memberi hormat kepada Kam Hay Thian, Sie Keng Hauw dan
lainnya. "Maafkan kami..." ucap salah seorang dari mereka.
"Karena kami terkena semacam obat bius, sehingga membuat
kami...." "Kami sudah tahu itu," sahut Sie Keng Hauw dan
bertanya, "Oh ya, di mana wakil ketua?"
"Beliau ditugasiean ke markas cabang, mungkin dalam
waktu belasan hari ini beliau akan pulang."
"Kakek Lim dan Kakek Gouw ada urusan, maka
meninggaliean markas pusat ini," ujar Sie Keng Hauw dan
menambahkan. "Sekarang kalian boleh pergi, sekaligus
kuburkan mayat yang di luar markas itu!"
"Ya." Beberapa pengemis tua itu langsung pergi.
"Kakak Keng Hauw, kenapa engkau berdusta?" tanya Lie
Ai Ling.
Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kalau aku tidak berdusta, Kay Pang pasti menjadi
kacau," sahut Sie Keng Hauw dan melanjutkan. "Kita tunggu
Bun Yang dan Goat Nio pulang, barulah kita berunding
bersama." "Oh ya!" ujar Bu Ceng Sianli mendadak. "Apakah ada
kamar kosong" Aku sudah lelah sekali, mau beristirahat."
"Ada, Kakak," sahut Lie Ai Ling dan Lu Hui San serentak.
"Kami antar Kakak ke kamar itu."
"Hi hi hi!" Bu Ceng Sianli tertawa. Kalian cukup baik
terhadapku! Bagus! Bagus! Aku sungguh gembira sekali!"
Beberapa hari kemudian, Tio Bun Yang dan Siang Koan
Goat Nio sudah pulang. Betapa gembiranya hati Tio Bun Yang
ketika melihat Bu Ceng Sianli-Tu Siao Cui. Ia langsung berseru
dengan wajah berseri-seri, "Kakak! Kakak!"
"Hi hi hi! Adik Bun Yang, engkau sudah pulang?" Bu
Ceng Sianli tertawa cekikikan.
"Kakak Siao Cui!" panggil Siang Koan Goa Nio. "Masih
ingat padaku?"
"Engkau...." Bu Ceng Sianli menatapnya dengan penuh
perhatian. "Aku ingat! Kita pernai bertemu di kedai teh,
kemudian muncul belasan anggota Seng Hwee Kauw. Mereka
kuajak ke tempat sepi lalu kubunuh. Ya, kan?"
"Betul." Siang Koan Goat Nio tertawa gem bira. "Kukira
Kakak sudah lupa."
"Hi hi hi!" Bu Ceng Sianli memandang merek; sambil
tertawa. "Ternyata Adik Bun Yang kekasih mu! Engkau
memang tidak salah pilih. Kalian berdua memang pasangan
yang serasi."
"Kakak....." Wajah Siang Koan Goat Nio agak kemerahmerahan.
Sementara Tio Bun Yang terus memandang Kam Hay
Thian dan Sie Keng Hauw. Dari wajah mereka, ia sudah tahu
telah terjadi sesuatu di markas pusat Kay Pang ini
"Keng Hauw," tanya Tio Bun Yang. "Di mana kakekku dan
Kakek Gouw?"
"Mereka...." Sie Keng Hauw memandang Bu Ceng Sianli.
"Adik Bun Yang," ujar Bu Ceng Sianli. "Telah teradi
sesuatu di markas ini. Kalau aku terlambat datang, mereka
pasti sudah jadi mayat."
"Oh?" Air muka Tio Bun Yang berubah hebat. "Apa yang
telah terjadi?"
"Seng Hwee Sin Kun dan beberapa anggota ,Kui Bin Pang
ke mari..." tutur Kam Hay Thian, kemudian menghela nafas
panjang. "Apa?" Wajah Tio Bun Yang langsung berubah pucat
pias. "Kakekku dan Kakek Gouw ditangkap mereka?"
"Ya." Kam Hay Thian mengangguk.
"Kakek! Kakek...!" seru Tio Bun Yang cemas. "Aaaah! Aku
harus bagaimana" Harus bagaimana?"
"Tenanglah, Adik Bun Yang'" ujar Bu Ceng Sianli.
"Kakekmu dan Kakek Gouw tidak akan terjadi apa-apa. Sebab
seandainya Seng Hwee Sin Kun dan para anggota Kui Bin
Pang itu menghendaki nyawa kakekmu dan Kakek Gouw, di
saat itu juga kakekmu dan Kakek Gouw pasti sudah mati."
"Betul, Kakak Bun Yang!" ujar Lie Ai Ling. "Kalau Kakak
Siao Cui terlambat datang, kami pasti sudah jadi mayat.
Kepandaian mereka sangat tinggi sekali."
"Aaaah...!" Tio Bun Yang menghela nafas panjang,
kemudian jatuh terduduk di kursi. "Entah bagaimana keadaan
kakekku dan Kakek Gouw?"
"Adik Bun Yang," tegas Bu Ceng Sianli. "Pokoknya
engkau harus tenang, tidak boleh kacau! Ingat, engkau
pemuda gagah, maka tidak boleh cengeng!"
"Ya, Kakak!" Tio Bun Yang mengangguk.
"Oh ya!" Bu Ceng Sianli menatapnya seraya bertanya,
"Bagaimana keadaan ketua Siauw Lim Pay" Engkau dapat
menyembuhkannya?"
Tio Bun Yang menggeleng-gelengkan kepala kemudian
menghela nafas panjang.
"Kakak Bun Yang tidak bisa menyembuhkan Hui Khong
Taysu?" tanya Lie Ai Ling kurang percaya.
"Hui Khong Taysu dipasung karena sering mengamuk.
Aku telah memeriksanya, ternyatwa syaraf otaknya telah rusak
tergempur oleh semacam ilmu pukulan." Tio Bun Yang
memberi tahukan.
"Tiada obat yang dapat menyembuhkannya" tanya Bu
Ceng Sianli. "Ada," jawab Tio Bun Yang. "Hanya rumput obat Liong
Kak Cauw (Rumput Tanduk Naga) yang dapat
menyembuhkannya."
"Kalau begitu, cepatlah Kakak Bun Yang pergi
mengambil rumput obat itu!" ujar Lie Ai Ling.
"Adik Ai Ling!" Tio Bun Yang menggeleng gelengkan
kepala. "Tidak gampang mencari Liong Kak Cauw, sebab rumput
Tanduk Naga itu cuma tumbuh di daerah Miauw."
"Oh?" Lie Ai Ling terbelalak.
"Ayah dan aku kenal baik ketua suku Miauw, bahkan aku
pernah ke sana," Tio Bun Yang memberitahukan. "Tapi...."
"Adik Bun Yang!" Bu Ceng Sianli menatapnya. "Engkau
merasa berat berangkat ke daerah Biauw, karena memikirkan
kakekmu?" "Ya." Tio Bun Yang mengangguk.
"Menurut aku..." ujar Bu Ceng Sianli. "Pihak Kui Bin Pang
tidak akan membunuh kakekmu maupun Kakek Gouw, paling
juga mereka akan dibikin gila. Berarti kelak engkau pun
membutuhhkan rumput Tanduk Naga untuk menyembuhkan
mereka. Maka, apa salahnya engkau berangkat ke daerah
Miauw untuk mengambil rumput obat itu?"
"Ini...." Tio Bun Yang masih ragu. "Kakak, bagaimana
kalau aku ke Pulau Hong Hoang To memberitahukan kedua
orang tuaku?"
"Jangan!" Bu Ceng Sianli menggelengkan kepala. "Itu
akan mencemaskan semua orang di sana. engkau sudah
dewasa, jadi engkau harus menanganinya, jangan masih
bersikap seperti anak kecili!"
"Ya, Kakak." Tio Bun Yang mengangguk. "Tapi bagaimana
di sini?" "Serahkan pada kami!" sahut Kam Hay Thian dan Sie
Keng Hauw serentak. "Kami tetap berada disini menunggu
engkau pulang."
"Terimakasih!" ucap Tio Bun Yang.
"Kakak Bun Yang," tanya Lie Ai Ling. "Engkau cuma
memeriksa Hui Khong Taysu saja?"
"Ya."
"Kenapa Kakak Bun Yang tidak pergi memeriksa ketua
partai lain?"
"Itu tidak perlu, sebab penyakit mereka pasti sama. Lagi
pula aku harus memburu waktu."
"Adik Bun Yang!" Bu Ceng Sianli memandangnya. "Aku
mau pergi sekarang, kelak kita akan berjumpa lagi!"
"Kakak...!" panggil Tio Bun Yang, Siang Koan Goat Nio
dan Lie Ai Ling serentak, mereka merasa berat berpisah
dengan wanita itu.
"Hi hi hi!" Bu Ceng Sianli tertawa cekikikan "Kalian
jangan cengeng, aku pergi karena harus membantu kalian
mencari Lim Peng Hang dan Gouw Han Tiong!"
"Oooh!" Tio Bun Yang manggut-manggut "Terimakasih,
Kakak!" "Baiklah." Bu Ceng Sianli bangkit berdiri "Sampai
jumpa!" "Kakak...!" panggil Siang Koan Goat Nio.
Namun Bu Ceng Sianli sudah melesat pergi tinggal
terdengar sayup-sayup seruannya.
"Kelak kita akan berjumpa lagi! Hi hi hi...!"
"Aaaah...!" Siang Koan Goat Nio menghela nafas
panjang. "Ketika pertama kali aku bertemu Bu Ceng Sianli, aku
anggap dia wanita jahat dan sadis! Kini aku baru tahu, dia
berhati bajik!"
"Semula aku pun beranggapan begitu, sebab dia
membunuh Hek Sim Popo, bahkan ingin membunuh yang lain
juga. Oleh karena itu, aku berusaha mencegahnya..." ujar Tio
Bun Yang dan menutur. "Maka aku menganggapnya gadis
berhati sadis. Pada waktu itu, aku tidak percaya kalau usianya
sudah hampir sembilan puluh."
"Siapa yang akan percaya?" ujar Lu Hui San .ambil
menggeleng-gelengkan kepala. "Entah siapa akan menjadi
jodohnya?"
"Sepertinya...." Lie Ai Ling mengerutkan kening. "Dia
sama sekali tidak tertarik pada lelaki yang mana pun."
"Aku harap dia akan ketemu pemuda yang baik!" ucap
Siang Koan Goat Nio.
"Oh ya!" Lu Hui San menatapnya. "Goat Nio, kapan kalian
akan berangkat ke daerah Miauw?"
"Besok pagi," sahut Tio Bun Yang. "Kami harus cepat
berangkat dan cepat pulang."
"Kami tetap tinggal di sini. Sebelum kalian pulang, kami
tidak akan ke mana-mana," ujar Kam Hay Thian.
"Terimakasih!" ucap Tio Bun Yang.
-oo0dw0oo- Bagian ke lima puluh enam
Kejadian yang mencemaskan
Tio Bun Yang dan Siang Koan Goat Nio sudah berangkat ke
daerah Miauw. Tujuh delapan hari kemudian, mereka berdua
sudah tiba di daerah itu dan langsung menemui kepala suku
Miauw. Dapat dibayangkan, betapa girangnya Cing Cing, putri
kepala suku Miauw itu. Ia memeluk Tio Bun Yang erat-erat,
sekaligus mengecup pipi nya.
"Cing Cing...." Wajah Tio Bun Yang langsung memerah.
"Maaf!" ucap ibu Cing Cing kepada Siang Koan Goat Nio.
"Itulah adat kami di sini, maka Nona jangan salah paham!
Putriku itu sudah punya suami."
"Oooh!" Siang Koan Goat Nio manggut-manggut.
"Kakak Bun Yang," tanya Cing Cing. "Nona itu kekasihmu
ya?" "Ya." Tio Bun Yang mengangguk. "Namanya Siang Koan
Goat Nio."
"Kakak Goat Nio, aku bernama Cing Cing," ujar putri
kepala suku Miauw sambil tersenyum "Jangan salah paham
ya! Aku sudah punya suami, aku girang sekali atas
kedatangan kalian."
"Adik Cing Cing!" Siang Koan Goat Nio tersenyum
lembut. "Aku tidak akan salah paham."
"Syukurlah!" ucap Cing Cing.
"Bun Yang!" Ibu Cing Cing menatapnya seraya bertanya,
"Engkau ke mari tentu ada suatu penting. Ya, kan?"
"Ya." Tio Bun Yang mengangguk. "Aku ke mari mencari
Liong Kak Cauw."
"Liong Kak Cauw?" Ayah Cing Cing mengerutkan kening.
"Sulit sekali mengambil Liong Kak Cauw itu, sebab tumbuhnya
di tebing yang sangat licin. Sudah banyak orang yang mati
karena ingin mengambil rumput obat itu."
"Ayah, Kakak Bun Yang pasti berhasil mengambil rumput
obat itu, karena kepandaian Kakak Hun Yang tinggi sekali,"
ujar Cing Cing sambil tersenyum.
"Oh?" Ayah Cing Cing manggut-manggut. "Aku masih
ingat, engkaulah yang menyelamatkan kami."
"Kepandaian Pahto begitu tinggi, tapi Kakak Hun Yang
masih dapat merobohkannya, itu pertanda kepandaian Kakak
Bun Yang tinggi sekali.'
"Ngmm!" Ayah Cing Cing mengangguk sambil insenyum.
"Kalau begitu, aku yakin engkau akan berhasil mengambil
rumput obat itu."
"Paman, rumput Tanduk Naga itu tumbuh di tebing
mana?" tanya Tio Bun Yang.
"Di Gunung Tanduk Naga." Ayah Cing Cing nenunjuk ke
arah utara. "Lihatlah gunung itu, bukankah mirip tanduk
naga?" Tio Bun Yang memandang ke arah utara, dilihatnya
sebuah gunung menjulang tinggi, yang bentuknya memang
mirip tanduk naga.
"Rumput Tanduk Naga tumbuh di tebing gunung itu?"
"Ya." Ayah Cing Cing mengangguk dan memberitahukan.
"Gunung itu sangat berbahaya, maka engkau harus berhatihati!
Di sana terdapat rawa hidup, siapa yang terpeleset ke
rawa itu, jangan harap bisa ke luar lagi."
"Aku pasti berhati-hati," ujar Tio Bun Yang, kemudian
memandang Siang Koan Goat Nio seraya berkata, "Goat Nio,
engkau di sini saja! Jangan ikut aku ke gunung itu, sebab akan
mem bahayakan dirimu."
"Kakak Bun Yang, aku... aku ikut!" sahut gadis itu.
"Goat Nio," ujar ibu Cing Cing. "Lebih baik engkau
tinggal di sini, Cing Cing akan menemani mu. Karena apabila
engkau ikut Bun Yang ke gunung itu, justru akan
memecahkan perhatian nya. Jadi engkau harus mengerti itu!"
"Aku...." Siang Koan Goat Nio menundukkan kepala.
"Kakak Goat Nio!" Cing Cing memegang bahunya, "kalau
engkau ikut, tentunya Kakak Bun Yang harus menjagamu.
Nah, bukankah engkau akan merepotkannya" Mungkin juga
akan mem buatnya tidak bisa memusatkan perhatiannya,
sungguh berbahaya sekali!"
"Ya," Siang Koan Goat Nio mengangguk. "Aku mengerti
dan tidak ikut."
"Adik Goat Nio!" Tio Bun Yang membelainya. "Engkau
memang gadis yang berpengertian."
"Tapi Kakak Bun Yang harus berhati-hati lho!" pesan
Siang Koan Goat Nio sambil menatapnya mesra.
"Ya." Tio Bun Yang mengangguk.
"Bun Yang," tanya ayah Cing Cing. "Kapan engkau akan
berangkat ke gunung itu?"
"Sekarang," jawab Tio Bun Yang.
"Baiklah." Ayah Cing Cing manggut-manggut. "Walau
engkau berkepandaian tinggi, namun engkau tetap harus
berhati-hati!"
"Ya, Paman." Tio Bun Yang mengangguk dan k-rpamit,
lalu berangkat ke Gunung Tanduk Naga.
Setelah Tio Bun Yang pergi, Siang Koan Goat Nio terus
melamun. Cing Cing memandangnya ?ambil tersenyum,
kemudian ujarnya.
"Kakak Goat Nio, jangan melamun! Lusa kakak Bun Yang
Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pasti pulang."
"Dia... dia pergi menempuh bahaya, sedangkan aku
malah enak-enak duduk di sini. Aku...." Siang Koan Goat Nio
menghela nafas panjang.
"Kakak Goat Nio!" Cing Cing tersenyum, kepandaian
Kakak Bun Yang begitu tinggi, dia pasli selamat. Engkau tidak
usah mengkhawatirkannya. Percayalah! Lusa dia pasti
pulang." "Goat Nio!" Ibu Cing Cing tersenyum lembut.
"Bun Yang pasti pulang dengan membawa rumput Tanduk
Naga, engkau tidak usah mencemasieannya!"
"Ya." Siang Koan Goat Nio mengangguk.
"Baiklah," ujar ibu Cing Cing. "Kalian mengobrollah di
sini, kami mau ke dalam!"
Kedua orang tua Cing Cing masuk ke dalam, sedangkan
Cing Cing dan Siang Koan Goat Nio tetap duduk di situ.
"Oh ya!" Siang Koan Goat Nio memandangnya seraya
bertanya. "Di mana suamimu" Kok tidak kelihatan?"
"Dia pergi menengok orang tuanya. Dalam beberapa hari
ini dia akan pulang." Cing Cing memberitahukan.
"Kenapa engkau tidak ikut?"
"Malas."
"Kok malas?" Siang Koan Goat Nio tersenyum. "Itu tidak
baik lho!"
"Kebetulan pada waktu itu aku kurang enak badan,
maka malas ikut ke rumah orang tuanya," ujar Cing Cing,
yang kemudian menatapnya. "Kakak Goat Nio, engkau dan
Kakak Bun Yang sudah lama saling mencinta?"
"Cukup lama."
"Dia... dia pemuda baik, jujur, gagah dan tampan.
Engkau beruntung sekali mendapatkan dia."
"Oh?"
"Ketika pertama kali aku bertemu dia, aku sangat tertarik
kepadanya. Bahkan boleh dikatakan aku telah jatuh hati
kepadanya," ujar Cing Cing terus terang. "Namun dia
menganggapku sebagai adiknya, maka aku tidak berani
memikirkannya lagi."
"Oooh!" Siang Koan Goat Nio manggut-manggut. "Oh ya!
Aku masih tidak tahu, bagaimana dia bisa kenal kedua orang
tuamu" Bolehkah engkau memberitahukan padaku?"
"Tentu boleh. Kedua orang tuaku ditangkap oleh Pahto
yang berkepandaian sangat tinggi, maka ibuku menyuruhku ke
Tionggoan minta bantuan kepada Paman Cie Hiong..." tutur
Cing cing sejelas-jelasnya dan menambahkan. "Dia berhasil
mengalahkan Pahto."
"Oooh!" Siang Koan Goat Nio manggut-mang- j'ut.
"Ternyata begitu! Lalu di mana Pahto sekarang?"
-oo0dw0oo- Jilid : 12 "Entahlah." Cing Cing menggelengkan kepala. "Hingga kini
dia tidak pernah muncul di daerah Miauw ini."
"Oh ya!" Siang Koan Goat Nio memandangnya kiiaya
bertanya, "Engkau pernah belajar ilmu Silat?"
"Pernah." Cing Cing mengangguk.
"Siapa yang mengajarmu ilmu silat!"
"Ibuku. Setelah bertemu Kakak Bun Yang, tlia pun
mengajarku Iweekang dan ilmu pedang."
"Kakak Bun Yang mengajarmu Iweekang apa dan ilmu
pedang apa?"
"Giok Li Sin Kang dan Lui Tian Kiam Hoat."
"Oooh!" Siang Koan Goat Nio tersenyum "Ibuku
mengajarkan Giok Li Sin Kang pada ibu nya. ibunya
mengajarkan padanya, setelah itu dia pun ajarkan padamu!"
"Kalau begitu, kepandaian Kakak pasti lihay sekali," ujar
Cing Cing. *Engkau mahir ilmu pedang?"
"Kakak Bun Yang tidak mengajarmu Gio Li Kiam Hoat?"
tanya Siang Koan Goat Nio.
"Tidak."
"Kalau begitu..." ujar Siang Koan Goat Ni sambil tersenyum.
"Aku akan mengajarmu Gio Li Kiam Hoat, sebab engkau sudah
memiliki Gio Li Sin Kang, maka harus belajar Giok Li Kiam
Hoat." "Terimakasih, Kakak!" ucap Cing Cing girang.
"Terimakasih!"
Siang Koan Goat Nio mulai mengajar Cing Cing Giok Li Kiam
Hoat. Pada hari berikutnya Cing Cing sudah dapat menguasai
jurus-jurus Giok Li Kiam Hoat. Karena gadis itu telah memiliki
Giok Li Sin Kang, maka tidak sulit baginya mempelajari Giok Li
Kiam Hoat. Sore harinya, ketika Siang Koan Goat Nio sedang memberi
petunjuk kepada Cing Cing mengenai ilmu pedang itu,
mendadak melayang turun seseorang, yang ternyata Tio Bun
Yang. "Kakak Bun Yang!" seru Siang Koan Goat Nio girang, dan
langsung memeluknya mesra "Kakak Bun Yang...."
"Adik Goat Nio!" Tio Bun Yang membelainya. "Aku sudah
pulang." "Engkau berhasil mengambil rumput Tanduk Naga?" tanya
Siang Koan Goat Nio.
"Ng!" Tio Bun Yang mengangguk.
"Syukurlah!" ucap Siang Koan Goat Nio.
"Kakak Bun Yang!" panggil Cing Cing. "Sudah melupakan
aku ya?" "Adik Cing Cing...." Wajah Tio Bun Yang kemerah-merahan.
"Maaf, aku...."
"Aku tahu...." Cing Cing manggut-manggut. "Kalian saling
merindukan. Ketika engkau berangkat ke gunung itu. Kakak
Goat Nio terus melamun lho!"
"Oh?" Tio Bun Yang tersenyum.
"Cing Cing...." Siang Koan Goat Nio cemberut.
"Hi hi!" Cing Cing tertawa geli. "Kenapa malu-malu kucing?"
Di saat bersamaan, muncullah kedua orang tua Cing Cing.
Betapa gembiranya mereka ketika melihat Tio Bun Yang.
"Bun Yang, engkau berhasil mengambil rumput Tanduk
Naga itu?" tanya ibu Cing Cing.
"Berhasil, Bibi." Tio Bun Yang mengangguk sambil
memperlihatkan rumput obat itu. "Khasiat rumput Tanduk
Naga ini menyembuhkan syaraf orang yang terganggu,
bahkan juga dapat menyembuhkan penyakit lain."
"Betul." Ayah Cing Cing mengangguk.
"Aku mengambil cukup banyak," ujar Tio Bun Yang sambil
memberikan Liong Kak Cauw itu kepada ayah Cing Cing.
"Paman, simpanlah rumput obat ini!"
"Bun Yang..." ayah Cing Cing terbelalak. "Bukankah engkau
sangat membutuhkan rumput obat ini?"
"Memang." Tio Bun Yang mengangguk. "Tapi dalam bajuku
sudah cukup banyak, maka yang in untuk Paman simpan."
"Terimakasih!" ucap ayah Cing Cing sambi menerima
rumput obat itu. "Oh ya! Kalian berdua tinggallah di sini
beberapa hari, kami ingin menjamu kalian!"
"Itu tidak perlu, Paman!" tolak Tio Bun Yang "Sebab kami
harus buru-buru kembali ke Tiong goan."
"Kenapa Kakak Bun Yang harus begitu buru buru pulang ke
Tionggoan?" tanya Cing Cing heran.
"Sebab...." Tio Bun Yang memberitahukan tentang para
ketua tujuh partai yang menjadi gila "Oleh karena itu, kami
harus buru-buru pulang ke Tionggoan."
"Oooh!" Ayah Cing Cing manggut-manggut. "Kalau begitu,
kami tidak akan menahan kalian!
"Kakak Bun Yang kapan berangkat?" tanya Cing Cing
dengan mata basah.
"Sekarang," sahut Tio Bun Yang.
"Sekarang?" Cing Cing terbelalak. "Sekarang hari sudah
mulai gelap, lebih baik esok pagi saja"
"Cing Cing!" Tio Bun Yang menghela nafas panjang. "Kami
harus buru-buru kembali ke Tiong-goan. sebab...."
Tio Bun Yang memberitahukan juga tentang Lim Peng
Hang dan Gouw Han Tiong yang diculik Kui Bin Pang.
"Kakak Bun Yang...." Cing Cing terisak-isak. "Kapan kalian
akan ke mari lagi?"
"Kalau ada kesempatan, kami pasti ke mari!"
"Kakak Bun Yang jangan bohong lho!"
"Cing Cing!" Tio Bun Yang tersenyum. "Aku tidak pernah
bohong, namun aku pun tidak berani berjanji pasti ke mari,
sebab masih banyak urusan yang harus kuselesaikan."
"Kakak Bun Yang...."' Air mata Cing Cing meleleh.
"Adik Cing Cing!" Siang Koan Goat Nio memegang bahunya.
"Apabila ada kesempatan, kami pasti ke mari menengok
kaiian!" "Terimakasih, Kakak Goat Nio!" ucap Cing Cing.
"Paman, Bibi, kami mohon pamit!" ucap Tio Bun Yang dan
kemudian membelai Cing Cing. "Sampai jumpa!"
"Selamat jalan. Kakak Bun Yang dan Kakak Goat Nio!"
sahut Cing Cing dengan terisak-isak. "Kelak kalian harus ke
mari tengok kami ya!"
"Ya!" Tio Bun Yang mengangguk. "Paman, Bibi! Sampai
jumpa!" "Selamat jalan, Bun Yang!" ucap ibu Cing Cing. "Selamat
jalan, Goat Nio!"
Tio Bun Yang dan Siang Koan Goat Nio melangkah pergi,
sedangkan Cing Cing masih berdiri di tempat dengan air mata
berderai-derai "Kakak Bun Yang! Kakak Goat Nio! Jangan lupa ke mari lagi
kelak!" seru Cing Cing sambil melambai-lambaikan tangannya.
"Ya!" sahut Tio Bun Yang sekaligus bala? melambaikan
tangannya ke arah Cing Cing. "San| pai jumpa...!"
Beberapa hari kemudian, Tio Bun Yang dai Siang Koan Goat
Nio sudah memasuki daerah Tionggoan. Ketika sampai di
sebuah kota, mereka mencari rumah penginapan karena hari
sudah mulai gelap.
Mereka memasuki sebuah rumah penginapan. Seorang
pelayan segera menghampiri mereka dengan sikap hormat.
"Tuan dan Nyonya membutuhkan kamar?"
"Kami...." Wajah Tio Bun Yang agak kemerah-merahan.
"Kami membutuhkan dua buah kamar."
"Oooh!" Pelayan manggut-manggut tapi tidak banyak
bertanya. "Tuan, Nona, mari ikut aku ke dalam untuk melihatlihat
kamar!" Tio Bun Yang mengangguk, kemudian mereka berdua
mengikuti pelayan ke dalam. Sampai di dalam, pelayan itu
menunjuk dua buah kamar.
"Bagaimana kedua kamar itu" Tuan dan Nona merasa
cocok?" "Ng!" Tio Bun Yang mengangguk.
"Tuan, Nona," ujar pelayan memberi saran. "Lebih baik
satu kamar saja. Itu tidak jadi masalah, karena Tuan dan
Nona adalah sepasang kekasih. Ya. kan?"
"Kami belum menikah, tidak baik tidur dalam ,atu kamar,"
sahut Tio Bun Yang sambil tersenyum.
"Baiklah!" Pelayan itu manggut-manggut. "Tuan dan Nona
mau pesan teh atau arak dan makanan lilin?"
"Cukup teh saja," sahut Tio Bun Yang.
Pelayan itu mengangguk, lalu segera pergi.
Tio Bun Yang dan Siang Koan Goat Nio melangkah ke
dalam kamar, lalu duduk berhadapan.
Pelayan itu muncul dengan membawa sebuah teko dan dua
buah cangkir. Ditaruhnya cangkir-cangkir itu di atas meja,
kemudian dituangkannya teh itu ke dalam ke dua cangkir.
"Silakan minum!" ucap pelayan itu dengan sopan.
"Terimakasih!" ucap Tio Bun Yang. Kemudian memberikan
setael perak kepada pelayan itu.
"Tuan...." Pelayan itu tidak berani menerimanya, sebab
tiada seorang tamu pun pernah memberinya setael perak.
"Ambillah!" desak Tio Bun Yang.
"Terimakasih, Tuan!" ucap pelayan itu dengan wajah
berseri. "Terimakasih!"
"Sama-sama," sahut Tio Bun Yang.
"Permisi!" ucap pelayan itu dan segera per
"Goat Nio...." Tio Bun Yang menghela nafas panjang.
"Entah bagaimana keadaan di markas pusat Kay Pang?"
"Tidak akan terjadi apa-apa," sahut Siang Koan Goat Nio
bernada menghibur.
"Aaaah...!" Tio Bun Yang menghela nafas panjang lagi.
"Entah berada di mana kakekku dan Kakek Gouw?"
Siang Koan Goat Nio diam saja. Gadis itu, tidak tahu harus
menjawab apa. Setelah malam, Siang Koan Goat Nio bangkit berdiri lalu
memandangnya seraya berkata,
"Kakak Bun Yang, aku mau ke kamarku. Besok kila
berjumpa lagi."
"Baik." Tio Bun Yang manggut-manggut, lalu mengantar
Siang Koan Goat Nio ke kamar laini
"Selamat malam, Kakak Bun Yang!" ucap Siang Koan Goat
Nio sambil melangkah ke kamal
"Selamat tidur, Adik Goat Nio!" sahut Tio Bun Yang lembut.
"Sampai besok!"
Siang Koan Goat Nio menutup pintu kamar, dan Tio Bun
Yang kembali ke kamarnya. Pemuda itu tidak langsung tidur,
melainkan duduk di pinggir tempat tidur dengan pikiran
menerawang. Setelah larut malam, ia membaringkan dirinya
ke tempat tidur, tetapi lama sekali barulah bisa pulas.
-oo0dw0oo- Pagi-pagi sekali Tio Bun Yang sudah bangun, la langsung
pergi ke kamar Siang Koan Goat Nio. Begitu sampai di depan
kamar itu, keningnya berkerut karena pintu kamar itu terbuka
sedikit. Perlahan-lahan Tio Bun Yang mendorong pintu itu, dan ia
terbelalak seketika karena tidak melihat Siang Koan Goat Nio
di dalam kamar itu.
"Adik Goat Nio! Adik Goat Nio!" teriak Tio Bun Yang.
"Tuan!" Muncul pelayan. "Ada apa?"
"Di mana Adik Goat Nio" Di mana Adik Goat Nio?" tanya Tio
Bun Yang dengan wajah pucat pias.
"Maksud Tuan.... Nona yang kemarin itu?"
"Ya. Engkau melihat dia?"
"Tidak." Pelayan itu menggelengkan kepala.
"Aku tidak melihat Nona itu."
"Aaaah...!" keluh Tio Bun Yang. "Kemari dia" Kemana dia?"
"Mungkinkah dia pergi ke luar sebentar?" ujaj pelayan.
"Tuan tunggu di sini saja!"
Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tio Bun Yang menghela nafas panjang, ke mudian duduk
dengan wajah cemas. Sedangkaj pelayan itu melangkah pergi
sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Tio Bun Yang terus duduk menunggu dj dalam kamar. Tak
terasa hari sudah siang, namuT Siang Koan Goat Nio masih
belum muncul, lu membuat hati Tio Bun Yang semakin cemas,
la bangkit dari duduknya lalu berjalan mondar-maij dir di
depan kamar itu.
"Tuan...." Muncul pelayan sambil memandan nya. "Nona
sudah kembali?"
"Belum." Tio Bun Yang menggelengkan k pala. "Dia... dia
pasti diculik penjahat!"
"Tuan...." Pelayan itu menarik nafas panjang, kemudian
melangkah pergi. Namun berselang se saat, ia kembali lagi
dengan wajah serius. "Tuan.."
"Ada apa?" tanya Tio Bun Yang kesal.
"Tadi ada seseorang menitip sepucuk suri untuk Tuan,"
sahut pelayan itu sambil menyerahkan sepucuk surat kepada
Tio Bun Yang. Tio Bun Yang cepat-cepat menerima sur itu, sekaligus
membacanya. Surat tersebut berbunyi demikian.
Tio Bun Yang: Kini kekasihmu lelah berada di tanganku! Ha Ini Ini!
Rasakan pembalasanku! Ha ha ha!
Seusai membaca surat itu, kening Tio Bun Yang terus
berkerut. Ia sama sekali tidak tahu siapa pengirim surat itu,
lagi pula bunyi surat lersebut bernada membalas dendam
padanya, itu membuat Tio Bun Yang tidak habis pikir.
"Siapa orang itu" Kenapa dia menulis begitu" l'adahal aku
tidak punya musuh." gumam Tio Bun Yang lalu bertanya
kepada pelayan. "Siapa yang memberikan surat ini
kepadamu?"
"Seorang pemuda," jawab pelayan. "Setelah memberikan
surat itu kepadaku, dia langsung pergi."
"Engkau kenal dia?"
"Maaf, Tuan! Aku sama sekali tidak kenal dia."
"Aaaah...!" Tio Bun Yang nyaris pingsan seketika. "Adik
Goat Nio! Adik Goat Nio!"
"Tuan...." Pelayan menggeleng-gelengkan ke-jiala.
"Kemarin aku sudah bilang, lebih baik kalian lidur sekamar."
"Engkau...." Tio Bun Yang tersentak. "Engkau sudah tahu
akan kejadian ini" Engkau pelakunya"
"Bukan." Pelayan itu memberitahukan. "Belum lama ini,
sudah banyak anak gadis hilang mendadak."
"Kenapa kemarin engkau tidak memberitahukan
kepadaku?" bentak Tio Bun Yang.
"Aku...." Pelayan itu menggeleng-gelengka kepala. "Aku
justru tidak mau membuat kalian takut, maka aku tidak
beritahukan."
"Aaaah...!" Tio Bun Yang jatuh terduduk di kursi.
"Sudahlah! Engkau boleh pergi!"
"Ya, Tuan." Pelayan itu melangkah pergi sari bil menghela
nafas panjang. "Sudah ada gadis yang hilang di sini! Kalau
berita ini tersiar ke luar, penginapan ini pasti sepi."
Sementara Tio Bun Yang terus duduk dengan wajah cemas.
Ia tidak tahu harus berbuat apa Akhirnya ia mengambil
keputusan untuk kembali ke markas pusat Kay Pang. Maka,
setelah membayar ongkos kamar, berangkatlah ia ke markas
Kay Pang dengan wajah murung.
-oo0dw0ooTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
Beberapa hari kemudian, Tio Bun Yang sudah tiba di
markas pusat Kay Pang. Yang menyambutnya adalah Cian
Chiu Lo Koay, wakil ketul Kay Pang.
"Tuan!" panggil Cian Chiu Lo Koay, kemudian menghela
nafas panjang. "Lo Koay," tanya Tio Bun Yang sambil duduk. "Di mana
Kam Hay Thian dan lainnya?"
"Mereka... mereka...." Cian Chiu Lo Koay ergagap.
"Apa yang terjadi atas diri mereka?" tanya Tio Bun Yang
cemas. "Cepat ceritakan!"
"Beberapa hari lalu, aku baru pulang. Kam Hay Thian
menceritakan tentang Pangcu dan ketua..." tutur Cian Chiu Lo
Koay. "Malam harinyaa justru mendadak muncul Kui Bin
Pang...." "Apa?" Bukan main terkejutnya Tio Bun Yang. 'Jadi mereka
ditangkap semua?"
"Ya." Cian Chiu Lo Koay mengangguk. "Kebelulan pada
waktu itu aku berada di luar. Begitu mendengar suara siulan
aneh yang menyeramkan itu, tak lama aku dan para anggota
Kay Pang jatuh pingsan. Entah berapa lama kemudian, barulah
kami siuman, tapi Kam Hay Thian dan lainnya sudhi tidak
ada di tempat."
"Aaaah!" keluh Tio Bun Yang. "Mereka pasti diculik oleh Kui
Bin Pang!"
"Tuan!" Cian Chiu Lo Koay memandangnya, "kalau tidak
salah, Tuan pergi bersama Nona Goat Nio. Kenapa dia tidak
kembali bersama tuan?"
"Dia...." Tio Bun Yang menghela nafas panjang. "Dia hilang
di penginapan."
"Apa?" Bukan main terkejutnya Cian Chiu Lo Koay. "Apakah
dia juga diculik oleh pihak Kui Bin Pang?"
"Mungkin juga," sahut Tio Bun Yang, lalu memperlihatkan
sepucuk surat. "Aku menerima surat ini dari pelayan penginapan, katanya
dari seorang pemuda."
"Aku yakin itu perbuatan pemuda tersebut" ujar Cian Chiu
Lo Koay dan melanjutkan. "Pemuda itu pasti punya dendam
pada Tuan, coba Tuan ingat! Kira-kira siapa pemuda itu?"
Tio Bun Yang menggeleng-gelengkan kepala, "Aku tidak
punya musuh, bagaimana mungkin aku mengingatnya?"
"Kalau begitu..." gumam Cian Chiu Lo Koay "Sungguh
mengherankan dan membingungkan!"
"Lo Koay, aku cemas sekali," ujar Tio Bun Yang. "Tidak
tahu harus berbuat apa. Kakekku, Kakek Gouw, Goat Nio, Kam
Hay Thian dan lainnya telah diculik oleh Kui Bin Pang. Apakah
aku harus memberitahukan kepada orang tuaku"
"Seharusnya Tuan memberitahukan. Tapi..." Cian Chiu Lo
Koay menghela nafas panjang. "Itu pasti akan
menggemparkan Pulau Hong Hoang To, sekaligus
mencemaskan mereka. Jadi lebih baik sementara ini Tuan
tidak usah kembali ke Pulau Hong Hoang To, selidiki saja
sendiri!" "Oh ya! Tuan sudah memperoleh rumput obat ilmu
hitamku." itu?" tanya Cian Chiu Lo Koay.
"Sudah." Tio Bun Yang mengangguk
"Kalau begitu, alangkah baiknya tuan segera ke kuil Siauw
Lim mengobati Hui Kong Taysu sekaligus menyelidiki jejak
Pangcu dan lainnya
"Baik." Tio Bun Yang manggut-manggut. "Aku akan
berangkat sekarang."
"Hati-hati!" pesan Cian Chiu Lo Koay dan Lcnambahkan.
"Kalau sudah tiada jalan, barulah kian ke Pulau Hong Hoang
To!" "Ya." Tio Bun Yang mengangguk, lalu berangkat ke kuil
Siauw Lim. -ooo0dw0oo- Sementara itu, di markas pusat Kui Bin Pang terdengar
suara tawa terbahak-bahak. Yang tertawa itu adalah Ketua Kui
Bin Pang, yang kelihatan gembira sekali.
"Ha ha ha! Kini Lim Peng Hang, Gouw Han liong, Kam Hay
Thian dan lainnya sudah berada di tangan kita! Ha ha ha...!"
'Ketua," tanya Toa Sat Kui. "Perlukah kita menyiksa
mereka?" "Tidak perlu." sahut ketua Kui Bin Pang..
"Ng!" Tio Bun Yang mengangguk. Sebab aku akan
mengendalikan mereka dengan ilmu hitamku"
"Betul. Ha ha ha!" Toa Sat Kui tertawa "Ketua bisa
memerintah mereka untuk menyerang Pulau Hong Hoang To."
"Tujuanku memang begitu. Tapi...." Mendadak ketua Kui
Bin Pang tertawa terkekeh-keke "Kalian harus baik-baik
memperlakukan gadis yang bernama Goat Nio!"
"Ya," sahut Ngo Sat Kui dan kedua Pelindung serentak
"He he he!" Ketua Kui Bin Pang tertaw terkekeh-kekeh lagi.
"Gadis itu sungguh cantik Tio Bun Yang akan menggigit jari!"
"Ketua," ujar Toa Hu Hoat (Pelindung Tertua). "Bu Ceng
Sianli itu berkepandaian tinggi sekali, Ngo Sat Kui agak
kewalahan menghadapinya."
"Benar." Toa Sat Kui mengangguk. "Sunggu lihay dan
dahsyat ilmu jari tangannya!"
"Oh" Dia berani melawan kita" Hmm!" dengus ketua Kui
Bin Pang. "Aku akan turun tangan membunuhnya!"
"Ketua!" Toa Sat Kui memberitahukan. "Bu Ceng Sianli itu
cantik sekali, sayang kalau di bunuh."
"Siapa yang lebih cantik, Siang Koan Goal Nio atau Bu Ceng
Sianli itu?" tanya ketua Kui Bin Pang mendadak.
"Bu Ceng Sianli lebih cantik, sebab dia agak ivlindung itu
pun satu kamar. Setelah berada di genit," jawab Toa Sat Kui.
"Sedangkan Siang Koan Goat Nio agak dingin."
"Betul," sambung Toa Hu Hoat. "Siang Koan Goat Nio tidak
dapat menyenangkan Ketua. Tapi aku yakin Bu Ceng Sianli
pasti dapat menyenangkan Ketua."
"Oh, ya?" Ketua Kui Bin Pang tertawa gelak. Kalau begitu,
bila kalian bertemu Bu Ceng Sianli, undanglah kemari!"
"Bagaimana kalau dia tidak mau?" tanya Toa lu Hoat.
"Dengan cara apa pun kalian harus mengun-langnya ke
mari," tegas ketua Kui Bin Pang.
"Tapi kepandaiannya sangat tinggi sekali. Kami tidak
sanggup melawannya," ujar Toa Hu Hoat dengan jujur.
"Aku tidak menyuruh kalian melawannya, melainkan
mengundangnya ke mari dengan cara baik-laik! Mengerti?"
bentak ketua Kui Bin Pang.
"Mengerti," sahut mereka serentak. "Kami pasti berusaha
mengundang Bu Ceng Sianli kemari"
"Bagus! Bagus! Ha ha ha...!" Ketua Kui Bin Pang tertawa
gelak. "Nah! Sekarang silakan kalian pergi beristirahat."
"Terimakasih, Ketua!" Ngo Sat Kui dan Toa He Hu Hoat itu
segera ke kamar.
Ternyata Ngo Sat Kui satu kamar, kedua Pelindung itu pun
satu kamar, kedua Pelindung naik ke tempat tidur. Mereka
berdua tidak tidur, melainkan duduk berhadapan di atas
tempat tidur itu.
"Hari ini capek sekali, mari kita tidur!" aja Pelindung Tertua.
"Benar. Lebih baik kita tidur," sahut Pelir dung Kedua.
Walau mereka mengatakan begitu, tapi keduanya sama
sekali tidak tidur, melainkan menulis di atas tempat tidur
dengan jari telunjuk.
"Cara bagaimana kita memberi kabar kepada Tetua itu?"
Tulis Pelindung Tertua lalu memandang Pelindung Kedua.
Pelindung Kedua menggelengkan kepala, kemudian ia pun
menulis. "Kita harus berhati-hati, sebab kalau kita menimbulkan
kecurigaan ketua, nyawa kita pasti melayang."
Pelindung Tertua manggut-manggut dan menulis.
"Kita harus mencari jalan untuk memberi kabar kepada
Tetua. Kalau tidak, Lim Peng Hai dan lainnya pasti celaka."
Pelindung Kedua mengangguk. Mereka berdua diam lalu
berpikir dengan kening berkerut kerut.
-oo0dw0oo- Bagian ke lima puluh tujuh
Masuk perangkap
Toan Beng Kiat dan Bokyong Sian Hoa bersenda gurau di
halaman istana, kemudian mereka berdua pun saling
mengejar sambil tertawa riang gembira.
"Hi hi!" Bokyong Sian Hoa tertawa. "Kalau engkau dapat
mengejarku, maka engkau boleh...."
"Boleh menciummu?" tanya Toan Beng Kiat.
"Ya." Bokyong Sian Hoa mengangguk. "Nah, kejarlah aku!"
"Baik." Toan Beng Kiat segera melesat ke arah Bokyong
Sian Hoa. Akan tetapi, gadis itu bergerak cepat menghindar. Oleh
karena itu, Toan Beng Kiat menangkap angin.
"Hi hi hi!" Bokyong Sian Hoa tertawa geli. "Engkau mau
menangkapku atau menangkap angin?"
"Engkau curang!" sahut Toan Beng Kiat.
"Kok aku curang" Engkau tidak dapat menangkapku malah
bilang aku curang! Dasar licik!" ujar Bokyong Sian Hoa.
"Engkau menggunakan Kui Kiong San Tian Pou (Ilmu
Langkah Kilat), itu berarti curang."
"Engkau menggunakan ginkang, apakah itu tidak curang?"
"Sudahlah! Mari kita duduk saja!" ajak Bokyong Sian Hoa.
"Lebih baik kita bercakap-cakap."
"Baik." Toan Beng Kiat mengangguk.
Mereka duduk di dekat taman bunga. Toa Beng Kiat terus
memandangnya dengan mata berbinar-binar.
"Eeeh?" Wajah Bokyong Sian Hoa memerahi "Kenapa
engkau terus memandangku sih?"
"Adik Sian Hoa," sahut Toan Beng Kiat sambi tersenyum.
"Terus terang, engkau makin dipandang makin cantik lho!"
"Idiiih!" Bokyong Sian Hoa tertawa cekikikan "Hi hi hi!
Engkau sudah pandai merayu ya!"
"Aku tidak merayu, melainkan berkata sesungguhnya," ujar
Toan Beng Kiat. "Engkau memang cantik sekali."
"Sudahlah, jangan terus memuji diriku! Kalau aku sudah
jadi nenek-nenek, engkau pasti menjauhiku."
"Kalau engkau sudah jadi nenek-nenek, tentu aku pun
sudah jadi kakek-kakek. Ya, kan" Nah bagaimana mungkin
aku menjauhimu" Sebaliknya aku pasti terus
mendampingimu."
"Engkau memang pandai merayu. Oh ya, sebelum engkau
kenal aku, apakah pernah jatuh cinta terhadap gadis lain?"
"Tidak pernah," jawab Toan Beng Kiat dengan jujur. "Tapi
aku pernah tertarik pada seorang gadis."
"Oh" Siapa gadis itu?"
"Siang Koan Goat Nio!"
"Eh" Engkau gila ya?" Bokyong Sian Hoa melotot.
"Bukankah Siang Koan Goat Nio kekasih Kakak Bun Yang?"
"Benar." Toan Beng Kiat menjelaskan. "Tapi pada waktu
itu. Siang Koan Goat Nio belum bertemu Tio Bun Yang."
"Oooh!" Bokyong Sian Hoa manggut-mang-put. "Lalu
Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bagaimana?"
"Aku pernah bilang kepada Goat Nio, bahwa aku tertarik
padanya. Akan tetapi...." Toan Beng Kiat tersenyum. "Dia
memang gadis yang tegas. Dia langsung bilang tidak tertarik
padaku. Sejak itu, aku tidak berani mendekatinya lagi.
Ternyata diam-diam dia sangat tertarik kepada Tio Bun Yang,
walau belum bertemu pemuda itu."
"Kalau begitu..." goda Bokyong Sian Hoa sambil tertawa
kecil. "Engkau pasti kecewa sekali. Ya, kan?"
"Tidak juga." Toan Beng Kiat menggelengkan kepala. "Aku
cuma tertarik kepadanya, bukan berarti telah mencintainya.
Lagi pula... cinta tidak boleh cuma sepihak, tiada gunanya
sama sekali."
"Oh ya," tanya Bokyong Sian Hoa mendadak. "Kok Goat Nio
bisa tertarik kepada Kakak Bun Yang" Padahal dia belum
pernah bertemu Kakak Bun Yang."
"Itu dikarenakan Ai Ling sering menceritakan kepadanya
tentang Bun Yang, lagi pula mereka memang berjodoh," ujar
Toan Beng Kiat. "Tio Bun Yang memiliki suling kumala,
sedangkan Goat Nio memiliki suling emas. Nah, bukankah
mereka berjodoh?"
"Benar." Bokyong Sian Hoa manggut-manggut dan
menambahkan. "Mereka pun mahir meniup suling. Kelak bila
bertemu mereka, aku ingin menyuruh mereka meniup suling."
"Bagus." Toan Beng Kiat tertawa. "Aku memang ingin
mendengar suara suling mereka."
"Kakak Beng Kiat, aku merasa kasihan pada Soat Lan," ujar
Bokyong Sian Hoa mendadak.
"Lho, memangnya kenapa?" Toan Beng Kiat heran.
"Karena...." Bokyong Sian Hoa menggeleng-gelengkan
kepala. "Dia belum ketemu pemuda idaman hatinya."
"Oh, itu!" Toan Beng Kiat tersenyum. "Kalau sudah
waktunya, dia pasti akan ketemu pemuda idaman hatinya!
Percayalah!"
"Ng!" Bokyong Sian Hoa manggut-manggut "Kakak Beng
Kiat...." "Ada apa, sayang?" Toan Beng Kiat memandangnya.
"Katakanlah!"
"Sudah cukup lama aku tinggal di sini, maksudku..." ujar
Bokyong Sian Hoat dengan suara rendah. "Bagaimana kalau
kita ke Tionggoan?"
"Adik Sian Hoa," tanya Toan Beng Kiat. "Apakah engkau
sudah tidak betah tinggal di sini?"
"Bukan masalah itu, melainkan... aku sangat rindu kepada
Kakak Bun Yang dan lainnya. Bagal mana kalau kita ke markas
pusat Kay Pang menemui mereka?"
"Aku sih setuju saja. Tapi... harus minta ijin dulu kepada
orang tuaku. Kita tidak boleh pergi secara diam-diam."
"Eeeh?" Bokyong Sian Hoa cemberut. "Siapa yang
mengajakmu pergi secara diam-diam?"
"Maaf, maaf!" ucap Toan Beng Kiat cepat. "Aku...."
"Hi hi!" Bokyong Sian Hoa tertawa geli. "Kok engkau jadi
kalut sih?"
"Aku... aku takut engkau marah," sahut Toan Beng Kiat.
"Engkau tidak marah kan?"
"Bagaimana mungkin aku marah?" Bokyong Sian Hoa
tertawa lagi. "Aku bukan gadis pemarah lho!"
"Adik Sian Hoa...." Toan Beng Kiat menggenggam
tangannya. "Kita sudah saling mencinta, bagaimana kalau
kita... menikah?"
"Kakak Beng Kiat...." Bokyong Sian Hoa menundukkan
kepala "Aku tidak mau cepat-cepat menikah."
"Kenapa?"
"Karena usiaku masih terlalu muda. Lagi pula aku tidak
mau cepat-cepat punya anak, karena aku tidak bisa mengurusi
anak." "Adik Sian Hoa," ujar Toan Beng Kiat lembut. "Engkau
sudah cukup umur. Seandainya kita menikah dan punya anak,
engkau tidak akan repot mengurusi anak."
"Aku tahu." Bokyong Sian Hoa manggut manggut.
"Maksudmu dayang-dayang di sini bisa bantu mengurusi anak
kita. Ya, kan?"
"Ya."
"Kakak Beng Kiat!" Bokyong Sian Hoa me mandangnya
seraya berkata. "Seorang ibu harus mengurusi anaknya
sendiri, tidak boleh orang lain yang mengurusinya."
"Kenapa?"
"Sebab kalau sang ibu tidak mengurusi anak nya sendiri,
maka kelak akan terasa jauh dengan anaknya."
"Oooh!" Toan Beng Kiat manggut-manggut "Adik Sian
Hoa...." "Kakak Beng Kiat." ujar Bokyong Sian Uni lembut. "Aku
sangat mencintaimu, namun aku belum mau menikah
sekarang, tunggu satu dua tahun lagi!"
"Baiklah." Toan Beng Kiat mengangguk
"Eeeeh?" Terdengar suara seruan, lalu munci Lam Kiong
Soat Lan menghampiri mereka. "Kalian berdua sudah mau
menikah?" "Ti... tidak." Bokyong Sian Hoa menggelengkan kepala
dengan wajah tampak agak kemerah- merahan.
"Jangan menyangkal...."
"Soat Lan!" Toan Beng Kiat tersenyum. "Aku memang ingin
menikahinya, namun dia belum siap."
"Oh?" Lam Kiong Soat Lan memandang mereka. "Bukankah
lebih cepat menikah lebih baik, kok Sian Hoa belum mau sih?"
"Karena aku... belum bisa mengurusi anak, lagi pula lebih
baik tunggu satu dua tahun," ujar Bokyong Sian Hoa.
"Oooh!" Lam Kiong Soat Lan manggut-manggut, kemudian
menghela nafas panjang.
"Soat Lan!" Toan Beng Kiat heran. "Kenapa engkau
menghela nafas panjang?"
"Aku rindu kepada Kakak Bun Yang, Goat Nio dan lainnya,"
sahut Lam Kiong Soat Lan. "Oh ya, bagaimana kalau kita ke
Tionggoan?"
"Tadi aku telah mengusulkan kepada Kakak Beng Kiat."
Bokyong Sian Hoa memberitahukan. "Katanya harus minta ijin
dulu kepada orang tuanya."
"Itu memang benar, kita harus minta ijin dulu." Lam Kiong
Soat Lan manggut-manggut. "Kalau tidak, orang tua kami
pasti gusar."
"Kalau begitu...." Bokyong Sian Hoa memandang mereka.
"Kapan kita minta ijin?"
"Nanti," sahut Toan Beng Kiat.
"Kakak Beng Kiat," tanya Bokyong Sian Hoa mendadak.
"Apakah Kakak Bun Yang sudah bertemu Goat Nio?"
"Mudah-mudahan mereka sudah bertemu!" jawab Toan
Beng Kiat, kemudian menghela nafas pula. "Entah bagaimana
Kam Hay Thian dan Li Hui San...."
"Mudah-mudahan mereka bertemu kembali dan... saling
mencinta!" sahut Bokyong Sian Hoa
"Yaaah!" Toan Beng Kiat menggcleng-gclengj| kan kepala.
"Kam Hay Thian begitu keras hati bagaimana mungkin dia...."
"Ayohlah!" potong Lam Kiong Soat Lan. "Mari kita ke ruang
tengah menemui orang tua kita untuk minta ijin ke
Tionggoan!"
"Baik." Toan Beng Kiat mengangguk lalu menarik Bokyong
Sian Hoa ke dalam.
-oo0dw0oo- Sementara itu. di ruang tengah juga sedang berlangsung
pembicaraan serius. Mereka adalah Toan Wie Kie, Gouw Sian
Eng, Lam Kiong Bl Liong dan Toan Pit Lian.
"Menurut aku, lebih baik Beng Kiat dan Sian Hoa
dinikahkan, sebab mereka sudah saling mencinta." ujar Lam
Kiong Bie Liong.
"Kami memang bermaksud demikian," sahut Toan Beng
Kiat. "Tapi... itu pun tergantung pada mereka berdua, kami
tidak boleh memaksanya."
"Lho?" Gouw Sian Eng heran. "Memangnya kenapa?"
"Mungkin mereka masih ingin bebas." Toan Beng Kiat
tersenyum. "Kalau mereka sudah manikah, tentunya akan
punya anak. Nah, itu cukup merepotkan mereka."
"Mengurusi anak memang sudah merupakan tugas
kewajiban orang tua, begitu pula mereka berdua," ujar Gouw
Sian Eng dan menambahkan. "Kakak Wie Kie, lebih baik suruh
mereka cepat-cepat menikah!"
"Adik Sian Eng!" Toan Wie Kie tersenyum. "Kita boleh
mengusulkan, namun tidak boleh memaksa, lho!"
"Ya." Gouw Sian Eng mengangguk. "Kalian berdua sudah
tenang," ujar Toan Pit Lian sambil menarik nafas dalamdalam.
"Sedangkan kami...."
"Kenapa kalian?" tanya Toan Wie Kie heran. "Hingga kini
Soal Lan masih belum punya kekasih," sahut Toan Pit Lian
sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Entah kapan dia akan
bertemu pemuda idaman hatinya?"
"Jangan khawatir?" Lam Kiong Bie Liong lertawa. "Aku
yakin tidak lama lagi Soat Lan akan bertemu pemuda idaman
hatinya." "Oh?" Toan Pit Lian tersenyum. "Suamiku, putri kita tinggal
di Tayli ini. Bagaimana mungkin akan bertemu pemuda
idaman hatinya?"
"Kalau bintang jodohnya sudah terbuka, dia pasti akan
bertemu pemuda idaman hatinya. Percayalah!" ujar Lam Kiong
Bie Liong. "Kalau dia sudah menikah, legalah hatiku."
Bersamaan itu, muncullah Toan Beng Kiat, Bokyong Sian
Hoa dan Lam Kiong Soat Lan.
"Ayah, Ibu!" panggil Toan Beng Kiat dan La Kiong Soat Lan.
"Paman, Bibi!" panggil Bokyong Sian Hoa.
"Duduklah!" sahut Toan Beng Kiat.
"Wajah Ayah dan Ibu tampak serius sekali, apa yang
sedang dibicarakan ayah dan ibu?" tanya Toan Beng Kiat.
"Oooh!" Toan Wie Kie tersenyum sambf manggut-manggut.
"Ayah dan ibu sedang membicarakan engkau dan Sian Hoa."
"Oh" Kenapa kami?" tanya Toan Beng Kiat dengan wajah
agak kemerah-merahan, karena dapat menerka apa yang
dibicarakan kedua orang tuanya.
"Engkau dan Sian Hoa sudah saling mencinta, maka..."
sahut Gouw Sian Eng dan menambahkan "Alangkah baiknya
kalian berdua melangsungkan pernikahan saja!"
"Ibu!" Toan Beng Kiat tersenyum. "Tadi kami berdua telah
membicarakan tentang ini, namun..,
"Kenapa?" tanya Gouw Sian Eng sambil memandang
mereka. "Sian Hoa belum mau menikah?"
"Ya." Toan Beng Kiat mengangguk.
"Alasannya?" tanya Gouw Sian Eng lagi.
"Ibu...." Toan Beng Kiat tersenyum. "Terus terang, kami
berdua memang tidak ingin cepat-icpat menikah."
"Memangnya kenapa?" Gouw Sian Eng mengerutkan
kening. "Kalau kalian berdua sudah menikah, legalah hati
kami." "Ibu...." Toan Beng Kiat tersenyum lagi. "Kami bermaksud
ke Tionggoan. karena kami sangat rindu kepada Bun Yang dan
lainnya." "Kalian semua ingin ke Tionggoan?" tanya Toan Wie Kie.
"Ya." Toan Beng Kiat mengangguk. "Maka kami ke mari
untuk minta ijin. Ayah dan ibu tidak akan melarang kami ke
Tionggoan kan?"
"Aku juga ikut!" sela Lam Kiong Saot Lan.
"Soat Lan!" Lam Kiong Bie Liong menatapnya. "Engkau juga
ingin ke Tionggoan?"
"Ya. Ayah." Lam Kiong Soat Lan mengangguk. "Ayah dan
Ibu tidak akan melarangku ke Tionggoan kan?"
"Itu...." Lam Kiong Bie Liong dan Toan Pit Lian saling
memandang, kemudian mereka memandang Toan Wie Kie
dan Gouw Sian Eng.
"Baiklah." Toan Wie Kie manggut-manggut. "Kita memang
tidak boleh mengekang mereka, biarlah mereka ke Tionggoan
menemui Bun Yang dan lainnya."
"Kapan kalian akan berangkat ke Tionggoan?" tanya Gouw
Sian Eng. "Besok pagi, Ibu," jawab Toan Beng Kiat.
"Besok pagi?" Toan Wie Kie memandang mereka, kemudian
manggut-manggut seraya berkata "Baiklah, kalian boleh
berangkat besok pagi."
"Terimakasih, Ayah!" ucap Toan Beng Kiat.
"Terimakasih, Paman! Terimakasih, Bibi!" ucap Bokyong
Sian Hoa dengan wajah berseri.
"Ayah, Ibu," ujar Lam Kiong Soat Lan. "Aku boleh ikut
kan?" "Tentu boleh," sahut Toan Pit Lian. "Tapi engkau tidak
boleh nakal dan jangan suka menimbulkan masalah!"
"Ya, Ibu." Lam Kiong Soat Lan mengangguk "Terimakasih
Ayah, Ibu!"
Keesokan paginya, berangkatlah mereka bei tiga menuju
Tionggoan. Tujuan mereka adalah markas pusat Kay Pang.
Beberapa hari kemudian mereka bertiga sudah memasuki
daerah Tiong goan.
-oo0dw0oo- Toan Beng Kiat, Bokyong Sian Hoa dan Lam Kiong Soat Lan
terus melanjutkan perjalanan sambil bercanda ria. Dalam
perjalanan ini, yang paling gembira adalah Toan Beng Kiat dan
Bokyong Sian Hoa. Kegembiraan mereka justru membuat Lam
Kiong Soat Lan kadang melamun. Ketika mereka beristirahat di
bawah pohon. Toan Beng Kiat memandangnya seraya
bertanya. "Soat Lan, kenapa kadang-kadang engkau melamun?"
"Aku...." Lam Kiong Soat Lan menundukkan kepala.
"Aku tahu," sela Bokyong Sian Hoa sambil tersenyum. "Dia
belum ketemu pemuda idaman batinya, maka sering
melamun." "Eh" Engkau...." Lam Kiong Soat Lan cemberut.
"Tidak salah, kan?" Bokyong Sian Hoa tertawa kecil dan
menambahkan, "Soat Lan, engkau tidak perlu melamun. Aku
yakin, tidak lama lagi engkau akan bertemu pemuda idaman
hatimu." "Betul," Toan Beng Kiat mengangguk sambil lersenyum.
"Aku pun yakin begitu...."
Ucapan Toan Beng Kiat terhenti, karena tiba-tiba melavang
turun lima orang di hadapan mereka. Kelima orang itu
berpakaian serba putih dan memakai kedok setan warna hijau.
Mereka ternyata Ngo Sat Kui.
Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Betapa terkejutnya Toan Beng Kiat, Bokyong Sian Hoa dan
Lam Kiong Soat Lan. Mereka bertiga langsung meloncat
bangun, sekaligus bersiap-siap menghadapi segala
kemungkinan. Akan tetapi, salah seorang berpakaian serba putih itu justru
tertawa gelak, kemudian membeil hormat seraya berkata.
"Selamat bertemu! Kami tahu kalian dari Tayli."
"Maaf!" sahut Toan Beng Kiat. "Kalian dari perkumpulan
mana?" "Kui Bin Pang," ujar Toa Sat Kui memberitahukan. "Maaf
kehadiran kami di sini telah mengganggu ketenangan kalian!"
"Ada urusan apa kalian ke mari menemui kami?" tanya Lam
Kiong Soat Lan sambil menatap mereka dengan dingin sekali.
"Ha ha ha!" Toa Sat Kui tertawa terbahak bahak. "Kami ke
mari menemui kalian dengan maksud baik."
"Oh?" Toan Beng Kiat mengerutkan keningj
"Kami pun tahu, kalian sedang menuju marka pusat Kay
Pang kan?" ujar Toa Sat Kui.
"Betul." Toa Beng Kiat mengangguk dan ber tanya,
"Sebetulnya siapa kalian" Bolehkah kami tahu?"
"Kami berlima adalah Ngo Sat Kui," sahut Toa Sat Kui
memberitahukan. "Kami ke mari dengan maksud mengundang
kalian ke markas kami."
"Kalau kami tidak mau?" tanya Lam Kiong' Soat Lan dingin.
"Kalian harus tahu," ujar Toa Sat Kui denga nada serius.
"Kini Lim Peng Hang, Gouw Han Tiong, Siang Koan Goat Nio,
Kam Hay Thian dan Lie Ai Ling sudah berada di maikas kami
sebagai tamu terhormat, maka kami mengundang kalian
bertiga ke sana."
"Oh?" Kening Toan Beng Kiat berkerut-kerut. "Betulkah
mereka berada di markas kalian?"
"Tidak salah," sahut Jie Sat Kui dan menambahkan.
"Bahkan Sie Keng Hauw dan Lu Hui San pun berada di sana."
"Oh?" Toan Beng Kiat mengerutkan kening lagi. "Apakah
Tio Bun Yang juga berada di sana?"
"Tidak." Toa Sat Kui menggelengkan kepala.
"Kenapa dia tidak berada di sana?" tanya Lam Kiong Soat
Lan curiga. "Ha ha ha!" Toa Sat Kui tertawa gelak. "Karena dia sedang
sibuk mengobati para ketua tujuh partai besar."
"Kenapa para ketua tujuh partai besar?" tanya Toan Beng
Kiat terkejut. "Mereka sudah menjadi gila semua," sahut Toa Sat Kui
memberitahukan. "Karena terpukul oleh pukulan Seng Hwee
Sin Kun." "Oh?" Air muka Toan Beng Kiat berubah, "Siapa yang
menyuruh kalian mengundang kami ke sana?"
"Ketua Kui Bin Pang dan teman-temanmu, sebab mereka
sudah sangat rindu kepada kalian," sahut Toa Sat Kui.
"Kalian tidak berdusta?" tanya Lam Kiong Soat Lan.
"Ha ha ha!" Toa Sat Kui tertawa terbahak bahak. "Untuk
apa kami harus berdusta" Tiada gunanya kan?"
Lam Kiong Soat Lan mengerutkan kening kemudian
memandang Toan Beng Kiat serta bertanya.
"Bagaimana" Apakah kita harus memenuhi undangan
mereka?" "Itu...." Toan Beng Kiat berpikir keras Ia memandang
Bokyong Sian Hoa dan bertanja
"Adik Sian Hoa, bagaimana menurutmu?"
"Menurut aku..." jawab Bokyong Sian H serius. "Lebih baik
kita penuhi saja undang mereka."
"Baiklah." Toan Beng Kiat manggut-manggut dan berkata
kepada Toa Sat Kui. "Kami ikut kalian."
"Bagus! Bagus!" Toa Sat Kui tertawa. "Kali memang tahu
diri. Ha ha ha...!"
-oo0dw0oo- Tio Bun Yang telah tiba di kuil Siauw Lim Ngo Khong Taysu,
adik seperguruan Hui Kho Taysu menyambut kedatangannya
dengan hormat. Hui Khong Taysu, yang dalam keadaan
dipasung "Omitohud!" ucap Ngo Khong Taysu. "Engkau sudah ke
mari, syukurlah!"
"Taysu!" Tio Bun Yang memberitahukan. "Aku telah
memperoleh rumput Liong Kak Cauw."
"Omitohud! Omitohud!" ucap Ngo Khong Taysu dengan
wajah berseri. "Mari ikut aku ke dalam!"
Tio Bun Yang mengangguk, lalu mengikuti Ngo Khong
Taysu ke ruang dalam tempat Hui Khong Taysu dipasung.
Karena ketua partai Siauw Lim itu sering mengamuk, maka
terpaksa dipasung.
"Jangan cemas. Taysu!" ujar Tio Bun Yang sambil
mengeluarkan sebatang rumput Tanduk Naga. "Hui Khong
Taysu pasti sembuh."
"Omitohud!" ucap Ngo Khong Taysu. "Apabila kakak
seperguruan bisa sembuh, itu betul-betul jasamu!"
"Aaaah...!" Tio Bun Yang cuma menggeleng-gelengkan
kepala. "Oh ya! rumput Tanduk Naga ini harus digodok
dengan semangkok air. Berselang beberapa saat setelah
mendidih, barulah dituang ke mangkok lagi, lalu diberikan
kepada Hui Khong Taysu."
"Ya." Ngo Khong Taysu mengangguk sambil menerima
rumput Tanduk Naga tersebut, kemudian melangkah ke
dalam. Sedangkan Tio Bun Yang terus memandang Hui Khong
Taysu yang dlam keadaan dipasung.
Tiba-tiba ketua Siauw Lim itu meronta-ronta sekuat tenaga,
bahkan juga berteriak-teriak sekeras-kerasnya.
Tio Bun Yang menggeleng-gelengkan kepala. Berselang
beberapa saat kemudian, Ngo Khong Taysu sudah kembali
dengan membawa semang-kok obat, yaitu rumput Tanduk
Naga yang telah digodok.
"Harus ditotok jalan darahnya dulu, agar tidak merontaronta,"
ujar Tio Bun Yang. "Setelah itu barulah dicekoki
dengan obat itu."
"Ya." Ngo Khong Taysu mengangguk, lalu menaruh
mangkok itu di atas meja dan mendekatil Hui Khong Taysu.
Mendadak ia menotok jalan darah di punggung Hui Khong
Taysu, agar ketuai Siauw Lim itu tak mampu bergerak,
barulah Ngo Khong Taysu mencekoki Hui Khong Taysu dengan
obat itu. "Buka saja totokan itu!" ujar Tio Bun Yang.
Ngo Khong Taysu segera membuka totokan! tersebut.
Seketika juga Hui Khong Taysu mulai meronta-ronta, sekaligus
berteriak-teriak pula
Beberapa saat kemudian, Hui Khong Taysu memejamkan
matanya, kemudian ketua Siauw tertidur pulas.
"Taysu!" Tio Bun Yang memberitahukan sambil tersenyum.
"Kalau Hui Khong Taysu sudah mendusin, berarti beliau sudah
sembuh." "Omitohud!" ucap Ngo Khong Taysu. "T rimakasih atas
bantuan Anda!"
"Terimakasih kembali!" sahut Tio Bun Yang sambil
tersenyum, namun senyumnya tampak agak getir.
Tak seberapa lama, Hui Khong Taysu membuka matanya
perlahan-lahan, lalu menengok ke sana ke mari dan tampak
tersentak. "Haaah...?" Ternyata Hui Khong Taysu terkejut, karena
mendapatkan dirinya dalam keadaan dipasung. "Sute, kenapa
aku...." "Omitohud!" ucap Ngo Khong Taysu dengan wajah berseri.
"Syukurlah suheng telah sembuh!"
"Eh" Bun Yang...." Hui Khong Taysu terbelalak. "Engkau
ada di sini" Maaf, aku...."
"Taysu," ujar Tio Bun Yang kepada Ngo Khong Taysu.
"Cepat buka pasungan itu!"
Ngo Khong Taysu segera membuka pasungan itu. Setelah
bebas. Hui Khong Taysu mendekati Tio Bun Yang.
"Omitohud!" ucapnya dan bertanya, "Kok engkau berada di
sini?" "Taysu, aku ke mari memberikan obat." Tio Bun Yang
memberitahukan. "Untuk jelasnya, biar Ngo Khong Taysu yang
menceritakannya."
"Suheng terkena pukulan Seng Hwee Sin Kun...." Ngo
Khong Taysu menutur tentang ke-ladian itu, kemudian
menambahkan. "Para ketua partai besar lain pun terkena
pukulan itu."
"Oh?" Hui Khong Taysu terkejut bukan main.
"Kalau begitu, mereka masih dalam keadaan gila?"
"Ya." Ngo Khong Taysu mengangguk.
"Bun Yang...." Hui Khong Taysu memandangnya. "Sudikah
engkau menolong mereka?"
"Tentu." Tio Bun Yang mengangguk. "Namun aku harus
minta bantuan pihak Taysu.
'Bantuan apa" Katakanlah!" ujar Hui Khong Taysu.
"Aku tidak bisa mendatangi partai-partai besar lainnya,
maka aku harap Taysu sudi mengutus beberapa orang ke sana
dengan membawa rumput Tanduk Naga." Tio Bun Yang
memberitahukan. "Sebab aku masih ada urusan lain."
"Baik." Hui Khong Taysu mengangguk. "Akan kuutus
beberapa orang mendatangi partai-partai besar itu."
"Terimakasih, Taysu!" ucap Tio Bun Yang.
"Oh ya!" Hui Khong Taysu memandangnl seraya bertanya.
"Sebetulnya masih ada urusan apa yang harus engkau
selesaikan?"
"Aku harus berusaha mencari kakekku. Kakek Gouw, Goat
Nio dan lainnya. Mereka diculik."
"Omitohud! Siapa yang menculik mereka"
"Taysu, Seng Hwee Sin Kun telah mati. Namun...." Tio Bun
Yang menutur tentang kejadian itu.
"Omitohud!" Hui Khong Taysu menggeleng gelengkan
kepala. "Tidak disangka Kui Bin Pang telah muncul di rimba
persilatan! Omitohud!"
"Karena itu, aku tidak punya waktu untuk mendatangi
partai-partai besar lainnya." ujar Tio Bun Yang sambil
menyerahkan rumput Tanduk Naga kepada Hui Khong Taysu
secukupnya, namun ia masih menyimpan sedikit.
"Terimakasih!" ucap Hui Khong Taysu sambil menerima
rumput Tanduk Naga tersebut dan bertanya, "Kini apa
rencanamu, Bun Yang?"
"Aku...." Tio Bun Yang menghela nafas panjang. "Mungkin
aku akan ke markas Ngo Tok Kauw untuk menemui Kakak
Ling Cu. Mudah-mudahan dia bisa memberi petunjuk
kepadaku!"
"Petunjuk mengenai markas Kui Bin Pang?" tanya Hui
Khong Taysu. "Ya." Tio Bun Yang mengangguk.
"Bun Yang." pesan Hui Khong Taysu. "Apabila engkau
sudah tahu markas Kui Bin Pang itu berada di mana, alangkah
baiknya engkau pulang ke Pulau Hong Hoang To untuk
berunding dengan orang tuamu!"
"Ya, Taysu."
"Setelah para ketua partai-partai besar itu sembuh, mereka
pun pasti membantumu mencari kelua Kay Pang dan lainnya."
"Terimakasih, Taysu!" ucap Tio Bun Yang sekaligus
berpamit. "Taysu, aku mohon diri!"
"Omitohud! Selamat jalan!" sahut Hui Khong Taysu, yang
kemudian bersama Ngo Khong Taysu mengantar Tio Bun Yang
sampai di luar kuil.
"Sampai jumpa, Taysu!" ucap Tio Bun Yang sambil melesat
pergi. "Omitohud!" sahut Hui Khong Taysu, setelah itu ia
melangkah ke dalam kuil, diikuti Ngo Khong Taysu dari
belakang. Sampai di ruang tengah, mereka berdua lalu duduk
berhadapan. "Suheng!" Ngo Khong Taysu memberitahukan. "Kalau Tio
Bun Yang tidak ke daerah Miauw mangambil rumput Tanduk
Naga itu, entah bagaimana jadinya suheng dan para ketua
partai partai besar lain itu?"
"Omitohud!" ucap Hui Khong Taysu. "Siauw Lim Sie telah
berhutang budi kepadanya, begitu pula para ketua partai
besar lain. Omitohud!"
"Suheng, aku dan beberapa muridku harus segera
berangkat ke Gunung Butong, Kun Lun dan lainnya."
"Ya." Hui Khong Taysu mengangguk. "Ceritakan juga
mengenai apa yang telah terjadi di Kay Pang!"
"Ya, Suheng." Ngo Khong Taysu mengangguk dan
menambahkan. "Aku pun akan minta bantuan mereka untuk
menyelidiki markas Kui Bin Pang itu."
"Omitohud! Omitohud!" Hui Khong Taysu manggutmanggut.
-oo0dw0oo- Bagian ke lima puluh delapan
Toh Hun Tay Hoat (Ilmu Sesat Pembetot Sukma)
"Ha ha ha! Ha ha ha...!" Ketua Kui Bin Pang terus tertawa
gelak, kemudian berkata, "Kini mereka telah berada di tangan
kita, termasuk Toan Beng Kiat dan Lam Kiong Soat Lan!"
"Namun kita belum berhasil menangkap Tio Bun Yang,"
ujar Toa Sat Kui memberitahukan. "Apakah ketua punya suatu
ide?" "Ha ha ha! Aku yakin kini Tio Bun Yang pasti cemas sekali!
Yang paling dicemaskannya adalah Siang Koan Goat Nio!"
sahut ketua Kui Bin Pang dan menambahkan. "Gadis itu harus
tempatkan di ruang lain, jangan dicampur dengan yang lain!"
"Ketua!" Toa Sat Kui memberitahukan. "Tadi kami telah
memindahkan gadis itu ke ruang lain."
"Bagus! Bagus! Ha ha ha...!" Ketua Kui Bin Pang tertawa
terbahak-bahak. "Oh ya! Kalian semua harus baik-baik
memperlakukannya, sama sekali tidak boleh menyakitinya!"
"Ya!" sahut mereka serentak sambil mengangguk,
kemudian Toa Sat Kui bertanya. "Apa rencana Ketua
sekarang?"
"Rencanaku sekarang, kalian harus mencekoki mereka
dengan obat penghilang kesadaran," sahut ketua Kui Bin
Pang. "Mereka dalam keadaan tak bergerak karena telah
kutotok jalan darah mereka, jadi tidak sulit mencekoki
mereka" "Ketua," tanya Toa Hu Hoat. "Kapan kami mencekoki
mereka dengan obat itu?"
"Nanti sore," sahut ketua Kui Bin Pang. "Itu tugas kalian,
tapi jangan mencekoki Siang Koan Goat Nio dengan obat itu,
gadis itu adalah urusanku."
Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ya." Mereka mengangguk.
"Ha ha ha!" Ketua Kui Bin Pang tertawa gelak. "Setelah
mereka dicekoki dengan obat itu, barulah aku menggunakan
Toh Hun Tay Hoat (Ilmu Sesal Pembetot Sukma) untuk
mengendalikan pikiran mereka! Ha ha ha!"
"Setelah mereka di bawah pengaruhku, aku akan
perintahkan mereka membunuh kaum persilatan golongan
putih! Ha ha ha...!"
Sore harinya, Ngo Sat Kui dan kedua Hu Hoat itu ke ruang
dalam tempat Lim Peng Hang Gouw Han Tiong dan lainnya
ditahan. "He he he!" Toa Sat Kui tertawa terkekeh kekeh. Mereka
masing-masing membawa semangkok obat. "Kalian semua
harus minum obat! He he he...!"
"Kalian... kalian...." Suara Lim Peng Hang lemah sekali.
"Kami cukup baik lho!" sahut Toa Sat Kui "Sebab masih
mau memberi kalian obat."
Lim Peng Hang, Gouw Han Tiong dan lainnya tidak
menyahut. Toa Hu Hoat mendekati Lam Kiong Soat Lan,
namun gadis itu langsung membuang muka.
"Nona, namaku Yo Kiam Heng." Toa Hu Hoat itu
memberitahukan dengan ilmu penyampai suara, maka Ngo Sat
Kui dan lainnya tidak mengetahuinya sama sekali. "Engkau
tidak usah menyahut, cukup mendengar saja!"
Lam Kiong Soat Lan mendongakkan kepala
memandangnya, namun cuma melihat kedok setan warna
kuning. Bagaimana wajah Toa Hu Hoat di balik kedok setan
itu, Lam Kiong Soat Lan tidak mengetahuinya.
"Nona jangan takut, aku dan Jie Hu Hoat bukan orang
jahat!" lanjut Yo Kiam Heng memberitahukan. "Yang ada di
dalam mangkok itu obat penghilang kesadaran. Siapa yang
minum obat itu, pasti akan kehilangan kesadarannya. Setelah
itu, ketua bermaksud menggunakan semacam ilmu sesat
untuk mengendalikan pikiran kalian."
Lam Kiong Soat Lan tidak menyahut, namun mendengarkan
dengan penuh perhatian dengan kening berkerut-kerut.
"Mangkok yang di tanganku ini telah kutukar dengan obat
biasa, maka engkau tidak akan kehilangan kesadaran." Yo
Kiam Heng melanjutkan, "Tapi engkau harus pura-pura seperti
kehilangan kesadaran. Meskipun engkau tetap akan
terpengaruh oleh ilmu sesat ketua, tetapi dalam waktu
sepuluh hari, engkau akan normal kembali."
Lam Kiong Soat Lan manggut-manggut. dan Yo Kiam Heng
melanjutkan lagi.
"Apabila pikiranmu sudah tidak terpengaruh, engkau harus
tetap bersikap seperti masih dibawah pengaruh ilmu sesat itu.
Aku akan berusaha mengusulkan agar ketua mengirim kalian
pergi menyerbu Pulau Hong Hoang To. Nah, aku yakin Pek Ih
Sin Hiap mampu menolong kalian."
"Engkau...." Sebetulnya Lam Kiong Soat Lan ingin
menanyakan sesuatu, namun mendadak dibatalkannya.
"Dasar gadis tak tahu diri!" bentak Yo Kiam Heng. "Aku
bersikap baik terhadapmu, tapi engkau malah tidak mau
minum obat! Hm...!"
"Toa Hu Hoat!" seru Toa Sat Kui sambi tertawa. "Cekoki
saja!" "Ha ha ha!" Yo Kiam Heng tertawa gelak. Ditotoknya jalan
darah Lam Kiong Soat Lan, kemudian dicekokkannya obat itu
ke dalam mulut Seusai mencekokinya, Yo Kiam Heng membebaskan
totokannya seraya berkata dengan ilmu menyampaikan suara.
"Teman-temanmu sudah mulai kehilangan kesadaran, maka
engkau pun harus pura-pura seperti mereka! Oh ya, Nona
Siang Koan Goat Nio, berada di ruang lain, dia dalam keadaan
baik-baik saja."
Lam Kiong Soat Lan manggut-manggut perlahan, kemudian
melirik yang lain. Dilihatnya mereka tampak termenung
semua, maka ia segera bersikap seperti mereka.
"Ha ha ha!" Yo Kiam Heng tertawa gelak. Ngo Sal Kui,
tugas kita sudah selesai. Mari kita lapor kepada ketua!"
"Baik." Ngo Sat Kui mengangguk.
Mereka meninggalkan ruang itu. Sementara lam Kiong Soat
Lan tidak habis berpikir, siapa Yo Kiam Heng dan kenapa
berniat menolong mereka"
Lam Kiong Soat Lan betul-betul tidak habis pikir, kemudian
ia memandang Lim Peng Hang, Gouw Han Tiong dan lainnya,
yang semua tampak linglung. Bukan main obat itu! Pikirnya
dalam hati. -oo0dw0oo- Ngo Sat Kui dan kedua Hu Hoat telah sampai di ruang
tengah. Toa Hu Hoat Yo Kiam Heng langsung melapor.
"Ketua, kami telah mencekoki mereka dengan obat
penghilang kesadaran itu."
"Bagus! Bagus! Ha ha ha...!" Ketua Kui Bin Pang tertawa
gembira. "Kalau begitu, kini kesadaran mereka pasti sudah
hilang." "Kapan Ketua akan menggunakan Toh Hun Tay Hoat untuk
mempengaruhi mereka?" tanya Toa Sat Kui.
"Sebentar," sahut ketua Kui Bin Pang, yang kemudian
menghela nafas panjang sambil menggeleng-gelengkan
kepala. Itu membuat Ngo Sat Kui dan kedua Hu Hoat saling
memandang. Mereka tidak mengerti, kenapa mendadak ketua
mereka menghela nafas panjang dan menggeleng-gelengkan
kepala. "Ketua," tanya Toa Sat Kui kemudian. "Kenapa Ketua...."
"Aku...." Ketua Kui Bin Pang menggeleng-gelengkan kepala
lagi, lalu melanjutkan ucapannya. "Tadi aku ke ruang itu
menemui Siang Koan Goat Nio, namun dia langsung mencaci
maki diriku. Padahal aku...."
"Ketua menyukainya?" tanya Yo Kiam Heng mendadak.
"Ya." Ketua Kui Bin Pang mengangguk. "Kelihatannya dia
sangat benci kepadaku."
"Ketua," ujar Toa Sat Kui sambil tertawa. "Kalau Ketua
ingin mendapatkan dirinya, pergunakan saja Toh Hun Tay
Hoat! Bukankah dia akan menurut kepada Ketua?"
"Tapi itu percuma," sahut ketua Kui Bin Pang sambil
menghela nafas panjang. "Karena aku cuma akan memperoleh
sebuah patung, itu tak berarti sama sekali."
"Betul, Ketua," ujar Yo Kiam Heng. "Itu memang tiada
artinya, lebih baik Ketua bersabar, lambat laun gadis itu pasti
akan tertarik kepada Ketua."
"Toa Hu Hoat!" Ketua Kui Bin Pang menatapnya.
"Bersediakah engkau membantuku dalam hal tersebut?"
"Tentu bersedia, Ketua," sahut Yo Kiam Heng cepat.
"Terimakasih!" ucap ketua Kui Bin Pang gilang. "Nah.
sekarang pergilah, bujuk gadis itu! Aku akan pergi ke ruang
lain bersama Ngo Sat Kui dan Jie Hu Hoat."
"Ya, Ketua." Yo Kiam Heng mengangguk, lalu segera
menuju ke ruangan tempat Siang Koan Goat Nio dikurung.
Siang Koan Goat Nio duduk bersandar di dinding ruangan
itu. Begitu melihat Yo Kiam Heng memasuki ruangan tersebut,
ia langsung mencacinya.
"Kalian semua binatang! Kenapa mengurung kami di sini"
Ayoh! Mari kita bertarung!"
"Nona Siang Koan, tenanglah! Aku bernama Yo Kiam Heng,
Toa Hu Hoat dalam perkumpulan Kui Bin Pang. Aku tahu, Tio
Bun Yang adalah kekasihmu," ujar Yo Kiam Heng
menggunakan ilmu menyampaikan suara, agar orang lain
tidak dapat mendengar. "Ketua Kay Pang dan lainnya telah
dicekoki obat penghilang kesadaran, kini ketua pergi
mempengaruhi mereka dengan ilmu Toh Hun Tay Hoat."
Siang Koan Goat Nio tidak menyahut, namun
mendengarkan dengan penuh perhatian. Yo Kiam Heng
menatapnya, kemudian melanjutkan.
"Aku tidak mencekoki Nona Lam Kiong dengan obat itu...."
Yo Kiam Heng memberitahukan tentang itu dan
menambahkan, "Bahkan aku akan mengusulkan agar ketua
perintahkan mereka menyerbu ke Pulau Hong Hoang To,
karena hal itu merupakan jalan satu-satunya menolong
mereka." "Kenapa engkau ingin menolong mereka?" tanya Siang
Koan Goat Nio juga menggunakan ilmu menyampaikan suara.
"Sebab aku tidak setuju terhadap perbuatan ketua," sahut
Yo Kiam Heng. "Temanku bernama Kwan Tiat Him juga orang
baik. Dia adalah Jie Hu Hoat. Yang jahat adalah Ngo Sat Kui,
para anggota dan ketua."
"Oh?" Siang Koan Goat Nio menatapnya dalam-dalam.
"Kalau begitu, kenapa kalian berdua tidak mau berontak
secara terang-terangan?"
"Kepandaian kami berdua masih di bawah tingkat
kepandaian ketua, maka kalau kami berontak secara terangterangan,
sama juga cari mati," ujar Yo Kiam Heng
melanjutkan. "Kami tidak mau mati sia-sia, maka harus
bergerak secara diam-diam."
"Oh ya, kenapa aku dikurung di ruang ini tidak bersama
mereka?" "Ketua sangat mengistimewakanmu, karena dia tertarik
kepadamu." Yo Kiam Heng memberitahukan.
"Hmm!" dengus Siang Koan Goat Nio dingin.
"Nona Siang Koan," pesan Yo Kiam Heng. "Engkau harus
bersabar dan jangan membuat ketua gusar, sebab engkau
pasti celaka bila dia menggunakan Toh Hun Tay Hoat
terhadapmu, engkau pasti menurutinya!"
"Oh?" Wajah Siang Koan Goat Nio berubah pucat. "Aku...
aku harus bagaimana?"
"Yang penting engkau jangan membuatnya gusar," sahut
Yo Kiam Heng. "Aku disuruh ke mari untuk membujukmu.
Agar ketua lebih mempercayaiku, engkau harus pura-pura
bersikap agak baik terhadapnya. Seandainya ketua Kay Pang
dan lainnya diperintahkan untuk menyerbu ke Pulau Hong
Hoang To, aku akan berpesan kepada Nona Lam Kiong, agar
pihak Pulau Hong Hoang To ke mari menolongmu."
"Terimakasih!" ucap Siang Koan Goat Nio.
"Ingat! Jie Hu Hoat Kwan Tiat Him adalah temanku, namun
engkau harus berhati-hati terhadap Ngo Sat Kui, karena
mereka sangat jahat sekali!" pesan Yo Kiam Heng, lalu
berbicara seperti biasa, tidak menggunakan ilmu
menyampaikan suara. "Engkau harus tahu, ketua sangat baik
terhadapmu, maka engkau harus baik pula terhadapnya!"
Siang Koan Goat Nio mengangguk, kemudian bertanya
mendadak menggunakan ilmu menyampaikan suara.
"Siapa ketua Kui Bin Pang?"
"Kami semua tidak mengetahuinya," jawab Yo Kiam Heng
menggunakan ilmu menyampaikan suara. "Yang jelas dia
masih muda seperti aku dan Kwan Tiat Him."
"Oh?" Siang Koan Goat Nio terbelalak.
"Nona Siang Koan, aku tahu kekasihmu adalah Tio Bun
Yang," ujar Yo Kiam Heng serius menggunakan ilmu
menyampaikan suara. "Aku akan berusaha menemuinya untuk
memberitahukannya tentang dirimu di sini."
"Terimakasih, Saudara Yo!" ucap Siang Koan Goat Nio. "Oh
ya, kelihatannya engkau tertarik kepada Soat Lan, bukan?"
"Ya." Yo Kiam Heng mengangguk. Tapi...."
"Jangan khawatir!" Siang Koan Goat Nio tersenyum. "Kalau
aku berhasil meloloskan diri dari sini kelak, aku pasti
membantumu."
"Terimakasih, Nona Siang Koan!" ucap Yo Kiam Heng
kemudian berbicara seperti biasa tanpa menggunakan ilmu
menyampaikan suara. "Ketua begitu baik terhadapmu, maka
engkau pun harus baik terhadapnya...."
Disaat bersamaan, mendadak pintu ruang itu terbuka,
tampak ketua Kui Bin Pang berjalan masuk.
"Ketua!" panggil Yo Kiam Heng.
"Ngmm!" Ketua Kui Bin Pang manggut-manggut dan
berkata, "Urusanku di ruang itu telah beres. Bagaimana
urusanmu di sini?"
"Juga sudah beres. Ketua," sahut Yo Kiam Heng sambil
tertawa. "Aku telah berhasil membujuknya."
"Oh?" Ketua Kui Bin Pang kurang percaya, lalu mendekati
Siang Koan Goat Nio. "Nona Siang Koan, bagaimana
keadaanmu" Baik-baik saja?"
"Aku...." Siang Koan Goat Nio menundukkan kepala. "Baikbaik
saja." "Ha ha ha!" Ketua Kui Bin Pang tertawa gelak, karena
biasanya Siang Koan Goat Nio tidak pernah menjawab,
melainkan terus mencacinya, namun kali ini gadis tersebut
justru menjawab. Tentunya hal itu sangat menggembirakan
ketua Kui Bin Pang itu, maka ia lalu memandang Yo Kiam
Heng seraya berkata, "Toa Hu Hoat, engkau boleh ke kamar
untuk beristirahat."
"Ya, Ketua." Yo Kiam Heng mengangguk dan segera
meninggalkan ruang itu.
"Ha ha ha!" Ketua Kui Bin Pang tertawa gelak, kemudian
mendadak memegang bahu Siang Koan Goat Nio.
"Kalau ketua berlaku kurang ajar terhadapku, aku pasti
akan marah!" ujar gadis itu sungguh- sungguh.
"Baik! Baik!" Ketua Kui Bin Pang cepat-cepat menurunkan
tangannya. "Oh ya, apa yang dikatakan Toa Hu Hoat itu
kepadamu?"
"Dia... dia menyuruhku bersikap baik terhadapmu,
sebab...." Siang Koan Goat Nio memandang ke arah lain.
"Katanya, ketua sangat menaruh perhatian kepadaku."
"Betul! Betul! Ha ha ha...!" Ketua Kui Bin Pang tertawa.
"Aku memang sangat menaruh perhatian kepadamu. Kalau
engkau menjadi isteriku kelak, pasti hidup senang dan
bahagia." Ucapan tersebut nyaris membuat Siang Koan Goat Nio
muntah seketika, bahkan juga nyaris mencaci makinya.
Hati Budha Tangan Berbisa 5 Kisah Si Bangau Merah Karya Kho Ping Hoo Kisah Si Bangau Putih 15