Pencarian

Renjana Pendekar 5

Renjana Pendekar Karya Khulung Bagian 5


saja, pikiran orang perempuan memang sangat mudah berubah."
***** Tiba di luar rumah kertas itu, cahaya sang surya menyinari baju Pwe giok yang putih bersih
itu, pakaian ini dengan sendirinya juga disediakan oleh Ko lothau.
Dengan baju yang baru, dengan wajah baru, kini Ji Pwe giok berada kembali di tengah Sat jin
ceng. Dunia ini seakan-akan sedang menyambut kemunculannya dengan segala sesuatu yang
serba baru. Di bawah cahaya sang surya yang cemerlang, sampai-sampai Sat jin ceng yang biasanya
seram menakutkan inipun penuh suasana hangat, tercium bau harum bunga dan kicau burung
yang merdu sama sekali tidak tercium bau darah lagi.
Pwe giok mendekati sebuah sungai kecil, dengan air sungai ia berkaca, dilihatnya bayangan
seorang pemuda tampan seperti lukisan sedang memandangnya.
Pemuda ini kelihatan seperti Ji Pwe giok, tapi seperti bukan Ji Pwe giok, meski mata alis
pemuda ini menyerupai Ji Pwe giok, namun entah berapa kali lebih cakap daripada Ji Pwe
giok. Jika alis Pwe giok semula agak tebal, sekarang alis pemuda ini sudah dibenahi sedemikian
bagusnya. Jika pemuda sekarang ini diibaratkan sebuah lukisan karya seniman nomor wahid,
maka Ji Pwe giok boleh dikatakan cuma barang tiruan dari pelukis kaki lima.
Sampai terkesima sendiri Pwe giok memandangi bayangan di permukaan air itu, gumamnyal
"Masakan ini diriku"... wahai Ji Pwe giok, perlu kau ingat, wajah ini kau pinjam pakai untuk
sementara waktu saja, jangan sekali-kali kau melupakan dirimu sendiri.
Sekonyong-konyong didengarnya suara tindakan orang banyak.
Pwe giok masih was-was, tanpa terasa ia menyelinap ke balik gunung-gunungan palsu, maka
terlihatlah beberapa orang sedang mendatangi sambil mengobrol.
Terdengar seorang diantaranya berkata dengan tertawa: "Menurut cerita yang tersiar di
kangouw, konon Sat jin ceng ini sedemikian misteriusnya, sangat menyeramkan dan macammacam
lagi, tempat ini dilukiskan seolah-olah istana hantu atau neraka, tapi setelah kita lihat
sendiri, ternyata juga tiada ubahnya dengan tempat lain."
160 "Kedatanganmu bukan untuk membunuh orang, tentunya kaupun takkan dibunuh orang,"
demikian seorang lagi menanggapi. "Kita cuma datang untuk melawat orang mati, dengan
sendirinya Sat jin ceng dalam pandanganmu menjadi tempat yang biasa saja."
Dengan tertawa orang ketiga menyela: "Padahal kedatanganku untuk melawat ini hanya purapura
saja, yang benar aku memang ingin tahu bagaimana bentuknya Sat jin ceng. Jika
kesempatan ini tidak kugunakan untuk masuk ke Sat jin ceng, di hari2 biasa jangan harap
akan dapat keluar dengan hidup"
Begitulah sambil bersenda-gurau beberapa orang itu lantas lalu dari situ.
Pikiran Pwe giok tergerak, diam-diam iapun ikut menuju ke sana.
Belum lagi sampai di ruangan pendopo sana dari jauh sudah kelihatan orang banyak
berkerumun, Pwe giok ikut berjubel di tengah orang banyak sehingga apapun tidak terlihat.
Hanya didengarnya seorang berkata: "Meski kematiannya tidak gemilang, tapi yang melawat
ternyata luar biasa."
"Ini kan berkat nama besar ayahnya," kata orang lain.
Pwe giok coba menepuk pundak orang itu dan bertanya: "Para pelawat ini entah ksatriaksatria
dari mana saja?"
Orang itu menoleh sambil berkerut kening, tampaknya merasa tidak suka ditanya, tapi demi
nampak wajah Pwe giok, seketika terunjuk senyuman pada wajahnya, jawabnya: "Ah
barangkali anda tidak tahu, bahwa yang kita lawat ini adalah Ji Pwe giok, putera Bulim
bengcu sekarang."
"Oo, kiranya dia." ujar Pwe giok sambil menyengir.
Orang mengacungkan jari jempolnya dan berkata pula: "Ji Hong-ho benar2 tak malu sebagai
Bulim bengcu, Anaknya mati, sama sekali ia tidak mengusut bagaimana kematiannya, bahkan
ia berkata: "Jika anak durhaka ini masih hidup, tetap aku akan menumpasnya bagi
kesejahteraan umum. Sekarang dia sudah mati, mengingat hubungan ayah dan anak, terpaksa
harus kulawat ke sini,... coba, betapa bijaksana dan luhur budinya bulim bengcu kita ini.
Sebab itulah, meski waktu hidupnya Ji Pwe-giok tidak dihormati, sesudah mati malah
menerima penghormatan yang besar."
"Eh, tampaknya anda masih asing, bolehkah mengetahui nama anda yang terhormat?" tanya
orang kedua tadi.
Pwe giok tersenyum hambar, jawabnya: "Cayhe Ji Pwe giok adanya"
Orang itu berjingkat kaget, tapi segera ia tertawa dan berkata: "Ah,.. orang kangouw sama she
dan nama tidaklah sedikit. Kalau melihat wajah anda, jelas jauh lebih cakap daripada Ji Pwe
giok yang mati itu."
"Ah, masa?" ujar Pwe giok tersenyum.
161 Tengah bicara, kerumunan orang banyak mendadak tersingkir ke pinggir, seorang perempuan
cantik luar biasa tampak muncul dengan langkah lemah gemulai.
Segera Pwe giok kenal perempuan cantik ini ialah Hay hong hujin yang namanya
mengguncangkan dunia itu.
Sebelah tangan nyonya cantik menggandeng seorang gadis cantik berbaju hitam, muka
dikerudungi sutera tipis, meski tidak kelihatan wajahnya dengan jelas, tapi dapat didengar
suara tangisnya yang tersedu-sedang.
Tanpa melihat wajah gadis berbaju hitam itu dapatlah Pwe giok mengetahui siapa dia.
Tergetar juga hatinya, tanpa terasa ia terkesima.
Seperti sengaja Hay hong hujin meliriknya sekejap dengan mengulum senyum, tapi gadis
berbaju hitam itu tetap menunduk dan menangis pelahan tanpa memandang siapapun juga.
Lirikan Hay hong hujin penuh daya tarik, namun Pwe giok seperti tidak tahu, maklum
baginya saat ini selain gadis baju hitam itu boleh dikatakan tiada seorang lain lagi yang
terlihat olehnya.
Terdengar orang2 sedang membicarakan kedatangan Hay hong hujin dan gadis berbaju hitam
itu. Seorang berkata: "Nona ini konon adalah bakal istri Ji Pwe giok, waktu bersembahyang di
depan layon tadi sedikitnya tiga kali dia jatuh pingsan, bahkan nekat ia telah memotong
rambutnya."
Seketika hati Pwe giok seperti ditusuk-tusuk, hampir saja ia tidak tahan dan menerjang ke
sana untuk memberitahu siapa dirinya dan meminta nona itu jangan bersedih.
Tapi saat itu Hay hong hujin dan Lim Tay-ih sudah berlalu dan Pwe giok juga menahan
perasaannya sebisanya.
Terdengar ada orang berkata pula dengan menyesal: "Mempunyai ayah dan isteri sebaik ini,
jika Ji Pwe giok itu dapat menjaga diri tentu hidupnya akan bahagia dan mengagumkan orang.
Cuma sayang, dia justeru tidak tahu diri..."
Di tengah ramai orang bicara itu, mendadak seorang berteriak: "Ji Pwe giok adalah sahabatku,
semasa hidupnya berbuat atau jelek janganlah diurus lagi. Tapi sesudah dia mati, bila masih
ada orang suka membicarakan baik-buruknya dan terdengar olehku, maka bolehlah dia
berhadapan denganku."
Segera terlihat seorang melangkah tiba dengan wajah penuh rasa sedih dan penasaran, dengan
bersitegang ia terus pergi menyusur kerumunan orang banyak. Dia tak lain tak bukan ialah
Ang lian hoa yang berbudi luhur dan setia kawan itu.
Perasaan Pwe giok benar-benar disayat-sayat.
Dengan jelas dilihatnya bakal isterinya dan sahabat karibnya lewat di depan matanya, tapi
dirinya tidak berani menegur dan menyapanya. Sungguh tiada kejadian lain yang lebih
162 memilukan daripada sekarang ini. Sekalipun Pwe giok dapat menahan diri, tidak urung
bercucuran juga air matanya.
Untung saat itu siapapun tidak memperhatikan dia, sebab tokoh yang paling menarik di dunia
persilatan saat ini telah muncul, yaitu bulim bengcu Ji Hong ho.
Meski wajahnya juga penuh rasa duka nestapa, serombongan orang yang ikut di belakangnya
juga semua sama menunduk dengan langkah berat, hanya saja air mata mereka tidak sampai
menetes. Dada Pwe giok serasa mau meledak demi melihat orang ini. Tapi pada saat dan tempat ini
betapapun sedih dan murkanya juga dapat ditahannya.
Kerumunan orang banyak mulai bubar, setiap orang yang lalu di depan Pwe giok tentu
menoleh dan memandangnya sekejap dua seakan-akan semuanya terkejut dan heran mengapa
di dunia ini ada pemuda setampan ini.
Sampai lama Pwe giok berdiri bingung di situ, sekonyong-konyong ia melihat wajah Ki Song
hoa, orang kerdil itu sedang memandangnya dengan tertawa.
Meski wajah ini tampaknya kekanak-kanakan dan sedemikian polosnya, tapi bagi Pwe giok
saat ini terasa lebih seram daripada ular yang paling berbisa.
Selagi ia hendak tinggal pergi, tak terduga Ki Song hoa lantas mendekatinya. Diam-diam Pwe
giok terkesiap, pikirnya: "Jangan-jangan dia telah mengenal diriku"
Langsung Ki Song hoa mendekati Pwe-giok, ia memberi hormat dan menegur: "Cakap benar
saudara ini, sungguh cayhe sangat kagum. Entah sudikah mampir sejenak ke kediamanku
untuk minum dua cawan agar cayhe dapat sekedar memenuhi kewajiban sebagai tuan rumah."
Ucapannya sangat serius dan jujur dengan tersenyum ramah, undangan yang penuh simpatik
ini sukar bagi siapapun untuk menolaknya. Jika orang lain pasti akan segera ikut pergi tanpa
sangsi. Tapi bagi Pwe giok sekarang, wajah yang simpatik ini justeru tiada ubahnya seperti topeng
hantu, semakin enak didengar ucapannya semakin sukar untuk diraba muslihat yang
terkandung didalamnya.
Pwe giok merasa ngeri, terpaksa ia menjawab: "Ah, mana cayhe berani mengganggu
ketenangan cengcu."
"Jika anda tidak mau berarti memandang rendah padaku," ucap Ki Song hoa dengan tertawa,
segera ia tarik tangan Ji Pwe giok dan diajaknya menuju ke dalam rumah.
Tangan orang kerdil ini terasa dingin dan lembab sehingga serupa badan ular, Pwe giok
menjadi bingung dan tidak tahu cara bagaimana melepaskan diri.
Syukurlah pada saat itu juga terdengar seorang gadis berseru dengan suara merdu: "Tamu ini
sudah berjanji lebih dulu akan bertemu dengan hujin kami, harap cengcu melepaskan dia."
163 Sebuah tangan yang putih halus segera terjulur tiba, seperti tidak sengaja terus memencet ke
urat nadi tangan Ki Song hoa.
Terpaksa Ki Song hoa harus lepas tangan, dilihatnya seorang gadis berbaju merah tipis sedang
memandangnya dengan matanya yang jeli dan tersenyum nakal.
"Besar amat nyali nona cilik, tahukah kau siapa aku?" tanya Ki Song hoa dengan terkekehkekeh.
Dengan tertawa nona baju merah itu menjawab: "Dan tahukah kau siapa hujin kami?"
"Memang ingin kutanya siapa dia?" jawab Ki Song Hoa.
Nona berkedip-kedip seperti penuh rahasia ia mendesis perlahan: "Kuberitahu padamu dan
jangan kau katakan pada orang lain. Beliau adalah Hay-hong hujin."
Ki Song hoa melengak mendadak ia putar tubuh dan melangkah pergi tanpa menoleh.
Pwe giok menghela napas lega menyaksikan si kerdil tua itu.
Tiba-tiba didengarnya pula si nona baju merah berkata: "Kau pandangi orang kerdil itu,
apakah kau merasa berat di tinggal pergi olehnya dan ingin ikut ke sana?"
Karena dipandang oleh mata si nona yang terbelalak lebar itu, Pwe giok jadi kikuk.
"Kau tahu untuk apa dia mengundangmu ikut ke sana?" tanya si nona.
"Tidak, tidak tahu" jawab Pwe giok.
Nona itu tertawa terkikik-kikik, katanya: "Dia mengajakmu ke sana adalah untuk membunuh
kau. Sebab selama ini dia belum pernah membunuh lelaki setampan kau, maka dia ingin
mencicipi rasanya membunuh seorang pemuda cakap. menurut pikiranku, membunuh pemuda
tampan seperti dirimu ini memang benar jauh lebih merangsang daripada membunuh orangorang
yang buruk rupa itu."
"Apakah kaupun ingin coba2?" tanya Pwe giok dengan tertawa.
Gemerdep biji mata si nona yang jeli itu, jawabnya sambil tertawa genit: "Meski aku memang
ingin mencobanya, tapi masa aku tega turun tangan?"
Sambil tertawa mendadak ia jejalkan sepotong lipatan kertas ke tangan Pwe giok, lalu berlari
pergi dengan terkikik-kikik. tidak beberapa jauh, mendadak ia berpaling dan berseru:" Anak
tolol, untuk apa kau berdiri melongo di situ" lekaslah buka kertas itu dan dibaca, ada rejeki
nomplok masa belum kau rasakan?"
Pwe giok tercengang, tercium bau harum yang memabukkan, bau harum seperti bau harum
yang terbawa Hay hong hujin itu.
164 Segera ia membuka surat itu, dilihatnya di situ tertulis: "Tengah malam nanti di luar Sat jin
ceng, di depan Hoa sin su, tersedia bunga indah dan minuman enak, anda datang atau tidak?"
***** Malamnya, belum tengah malam Ji Pwe giok sudah berada di depan Hoa sin su atau kelenteng
malaikat bunga.
Dia memenuhi undangan itu bukan karena tertarik kepada bunga yang indah, juga bukan
terpikat oleh minuman enak, tapi karena ingin bertemu dengan si jelita berkerudung sutera
hitam seperti diselimuti oleh kabut tipis itu.
Di bawah sinar bulan di depan Hoa sin su yang sunyi itu entah mulai kapan sudah berwujud
lautan bunga, di tengah onggokan bunga itu setengah berbaring sesosok tubuh yang cantik
dengan baju sutera tipis. Di tengah lautan bunga dan di bawah cahaya bulan yang permai
tertampak kerlingan mata yang menggiurkan dengan tubuh putih mulus membuat orang lupa
daratan. Namun begitu Pwe giok merasa kecewa juga, biarpun mendapat pelayanan serupa di surga
tetap dirasakannya tidak lebih bahagia daripada kerlingan mata si "dia" yang dirindukannya.
Terdengar suara tertawa nyaring berkumandang dari lautan bunga sana: "Kau sudah datang,
mengapa tidak berani kemari" Apakah kau sudah mabuk sebelum mendekat?"
Dengan langkah lebar Pwe giok mendekati si cantik, jawabnya dengan tersenyum hambar:
"Sebelum mengetahui untuk apa hujin mengundangku ke sini, mana cayhe berani mabuk
lebih dulu."
"Bulan seterang ini, malam seindah ini, jika dapat mengobrol dan minum bersama pemuda
tampan seperti kau, bukankah suatu kesenangan hidup" Apakah alasan ini belum cukup dan
perlu lagi kau tanya padaku untuk apa kuundang kau kemari?"
Pwe giok tersenyum, ia menuju ke depan Hay hong hujin dan berduduk, ia menuang arak dan
diminumnya sendiri, berturut-turut dihabiskannya tiga cawan, ia angkat cawan terhadap bulan
dan berseru tertawa: "Betul, orang hidup berapa lama, kalau dapat minum bersama di bawah
bulan purnama, inilah kesenangan orang hidup yang utama, apa pula yang perlu
kutanyakan..."
Sebenarnya Pwe giok adalah pemuda yang hidup prihatin, tapi seorang kalau sudah
mengalami beberapa kali hidup kembali dari kematian, maka terhadap segala persoalan di
dunia ini akan dipandangnya tawar dan tiada artinya, untuk apa dia mesti mengikat diri
dengan susah payah" Kini sesuatu urusan yang dianggap orang lain sangat gawat, baginya
sudah bukan apa-apa lagi.
Hay hong hujin menatapnya dengan tajam, mendadak dia tertawa dan berkata: "Tahukah
kau".. makin lama aku semakin tertarik olehmu!"
"Tertarik?" Pwe giok mengulang dengan tertawa.
165 "Ya, segala sesuatu mengenai dirimu, semuanya aku merasa tertarik," jawab Hay hong hujin.
"Misalnya.. Siapa dirimu" darimana asal usulmu dan dari aliran mana ilmu silatmu?"
"Seorang petualang yang suka mengembara ke segenap pelosok dunia ini, mungkin dia
sendiripun tidak tahu cara bagaimana harus menjawab pertanyaanmu ini" Bukankah begitu?"
"Usiamu masih muda, memangnya betapa banyak pengalamanmu" mengapa caramu bicara
seolah-olah sudah kenyang dengan segala macam asam garam kehidupan ini dan seolah-olah
sudah hambar terhadap kehidupan ini?"
"Ada beberapa orang, biarpun baru sebulan menghadapi berbagai persoalan, mungkin sudah
jauh lebih banyak daripada apa yang dialami oleh orang lain.
Mendadak Hay hong hujin tertawa nyaring pula, katanya: "Tepat sekali ucapanmu. Tapi
sedikitnya kan harus kau katakan namamu dulu?"
Pwe giok berpikir sejenak, jawabnya kemudian: "Cayhe Ji Pwe giok."
"Ji Pwe giok?" Hay hong hujin menegas. Suara tertawanya seketika berhenti.
"Apakah hujin merasa namaku ini tidak baik?" tanya Pwe giok.
"Aku cuma merasa lucu pada namamu." jawab Hay hong Hujin dengan tertawa cerah.
"Bahwa Ji Pwe giok sendiri ikut melawat kematian Ji Pwe giok, apakah hal ini tidak kau
rasakan lucu?" - Ia tatap anak muda ini dengan sorot mata tajam dan ingin tahu apa reaksinya.
Pwe giok tetap tenang-tenang saja, ucapnya dengan tersenyum hambar: "Ji Pwe giok ini dan
Ji Pwe giok itu memang ada perbedaannya, meski seorang Ji Pwe giok telah mati, tapi ada
seorang Ji Pwe giok yang lain masih hidup."
"Dapatkah kau meyakinkan bahwa kau sendiri bukan Ji Pwe giok yang mati itu?" kata Hay
hong hujin sekata demi sekata.
Pwe giok terbahak-bahak: "Hahahaha!.. Memangnya hujin menyangka aku ini badan halus?"
Hay hong hujin tersenyum, katanya: "Pertama kali kulihat kau segera kurasakan kau memang
rada-rada berbau setan!"
"Ooh?"
"Sebab kau ini seperti mendadak muncul di dunia ramai dari alam halus sana. Sebelum
kemunculanmu, tidak pernah ada orang yang melihat kau dan juga tiada seorangpun yang
tahu asal usulmu."
"Jangan-jangan hujin sudah menyelidiki seluk beluk diriku?" tanya Pwe giok.
Hay hong hujin tertawa genit, katanya: "Tiada seorang perempuan di dunia ini yang tak
tertarik kepada lelaki semacam kau ini. Dan aku, betapapun aku kan juga perempuan, betul
tidak?" 166 "Hujin bukan saja perempuan, boleh dikata hujin adalah perempuannya perempuan, dewi nya
dewi," ujar Pwe giok dengan tertawa.
"Tapi kau ternyata tidak tertarik kepadaku," kata Hay hong hujin. "Waktu ku lalu di depanmu,
kau bahkan melirik saja tidak, bukankah hal ini rada-rada mengherankan?"
Meski senyumnya sedemikian genit, walaupun suaranya begitu lembut, tapi ucapan2 itu
seakan-akan semacam duri yang dapat menembus segala rahasia orang hidup di dunia ini.
Diam-diam Pwe giok terkejut, sedapatnya ia menenangkan diri, jawabnya dengan tersenyum:
"Menghadapi kecantikan hujin yang semarak, mana cayhe berani memandang secara kurang
sopan?"

Renjana Pendekar Karya Khulung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kukira yang kau pandang hanya orang yang berjalan di sisiku," Ucap Hay hong hujin dengan
lembut. "Tapi dia memakai cadar sutera hitam, hakekatnya kau tidak dapat mengenal
wajahnya. Caramu memandang dia, jangan2 sudah kau kenal dia sebelumnya?"
"Sia.. siapa dia?" tanya Pwe giok.
"Jangan kau harap akan mengelabui diriku," ujar Hay hong hujin dengan tertawa genit.
"Sudah kurasakan kau ialah Ji Pwe giok yang mati itu. Kau tahu, sampai saat ini di dunia ini
belum pernah ada seorangpun yang dapat membohongi aku."
Hay hong hujin yang namanya menggoncang dunia ini benar-benar luar biasa, sorot matanya
seperti mengandung semacam kekuatan gaib yang dapat menjelajahi segala sesuatu.
Sedapatnya Pwe giok bersikap tenang dan menahan guncangan perasaanya, jawabnya dengan
tertawa hambar: "Di dunia ini mungkin tiada seorangpun yang tega membohongi hujin."
"Dan kau?" tanya Hay hong hujin.
"Cayhe kan juga manusia, betul tidak?" jawab Pwe giok.
"Bagus, bagus sekali!" Hay hong hujin tertawa terkikik-kikik. Mendadak ia bertepuk tangan
dari balik semak2 bunga sana lantas muncul satu orang.
DI bawah sinar bulan yang terang, pada matanya yang mendelong itu seakan-akan terhimpun
kedukaan yang sukar diuraikan, mukanya yang pucat membawa semacam rasa sedih yang tak
dapat diutarakan.
Perasaan sedih dan duka yang mendalam itu tak mengurangi kecantikannya, sebaliknya malah
menimbulkan semacam daya tarik yang menggetar sukma sehingga kelihatannya dia bukan
lagi kecantikan manusia, melainkan cantiknya dewa bunga di atas langit, mencakup seluruh
keindahan bunga yang terdapat di dunia ini.
Seketika itu Pwe giok merasa langit seakan-akan berputar dan bumi terbalik, napasnya serasa
mau berhenti. 167 Hay hong hujin menatapnya dengan tajam, setiap perubahan air mukannya tak terlepas dari
pengamatannya. Dia menuding Lim Tay-ih yang muncul dari balik semak-semak bunga itu
dan bertanya: "Coba kau pandang dia lebih teliti, kau kenal dia tidak?"
Pwe giok mengangkat cawan dan ditenggaknya hingga habis, jawabnya: "Tidak kenal."
"Tidak kenal," meski cuma dua kata yang sangat sederhana, tapi entah telah memerlukan
betapa besar tenaga Pwe giok untuk bisa mengucapkannya. Kedua kata itu laksana dua bilah
belati yang menusuk kerongkongannya, seperti dua bola bara yang telah membakar lidahnya
dan menghanguskan hatinya.
Sudah jelas2 orang yang dirindukannya, orang yang paling dicintainya, tapi dia justru
mengeraskan hati dan menjawab "tidak kenal". Coba, adakah sesuatu di dunia ini yang lebih
menyakitkan hati daripada kejadian ini"
Sudah terang dia inilah sisa satu2nya sanak keluarganya, tapi dia justeru harus berlagak tidak
mengenalnya. Coba, adakah sesuatu di dunia ini yang lebih kejam daripada kenyataan ini"
Arak wangi telah masuk tenggorokannya, arak sedap berbau wangi, tapi rasanya seakan-akan
telah berubah menjadi pahit dan sepat. Kehidupan ini memang mirip arak yang getir ini dan
arak getir ini terpaksa harus diminumnya.
Hay hong hujin lantas berpaling kepada Lim Tay ih dan bertanya: "Apakah kau kenal dia
ini?" Wajah Lim Tay ih yang pucat lesi itu tiada memperlihatkan sesuatu perasaannya, jawabnya
dingin, "Tidak kenal!"
Sudah jelas si nona adalah bakal istrinya tapi di depannya menyatakan tidak kenal padanya,
ucapan itu mirip dua anak panah yang menancap di ulu hati Ji Pwe giok.
Akhirnya Hay hong hujin menghela napas perlahan, katanya: "Jika dia juga tidak kenal kau,
agaknya kau memang bukan Ji Pwe giok yang sudah mati itu, pula,.. jika bakal istrinya sendiri
saja tidak mau mengakuinya lagi, maka orang itu sekalipun hidup juga sama seperti sudah
mati." Hati Ji Pwe giok memang benar2 sudah mati, dia menengadah dan terbahak-bahak: "Bagus
sekali ucapan hujin ini, perkenankan cayhe menyuguh hujin tiga cawan."
Dia menuang dan diminum sendiri, hanya sekejap saja sudah berpuluh cawan arak masuk
perutnya, sampai2 Lim Tay ih sudah pergi juga tak dipandangnya barang sekejap.
"Kau sudah mabuk," ujar Hay hong hujin dengan tertawa.
"Ya, berapa kalikah orang hidup ini sempat bermabuk-mabukan?" kata Pwe giok sambil
angkat cawan araknya.
"Betul juga, sekali mabuk dapat membuyarkan seribu kesedihan," ucap Hay hong hujin
dengan rawan, "Baiklah, silahkan kau mabuk!"
168 "Cuma sayang, hanya beberapa cawan arak ini belum lagi dapat memabukkan diriku!" kata
Pwe giok, seolah-olah bergumam sendiri.
Ia tahu betapapun kuat takaran minumnya, tapi arak seratus bunga buatan Hay-hong Hujin ini
lain daripada arak biasa. Kini seluruh tubuhnya terasa ringan seakan-akan terbang, rupanya
dia benar-benar sudah mabuk.
Terdengar Hay-hong Hujin lagi berkata dengan suara lembut: "Mabuklah, silahkan
mabuklah...., berkecimpung di tengah Kangouw yang penuh bahaya ini, kalau untuk mabuk
saja tidak bisa, maka hidup manusia inipun terlalu memilukan. Lain kali jika kau masih ingin
mabuk, bolehlah kau kemari mencari diriku."
Ditengah mabuknya Pwe-giok merasa di depan matanya muncul berbagai bayangan orang
yang berbentuk macam-macam, tinggi pendek, gemuk kurus, semua ada. Malah setiap orang
itu sama beringas menakutkan. Lalu dia seperti mendengar suara Hay-hong Hujin berkata: "Ji
Pwe-giok ini hanya seorang pemuda yang baru terjun di dunia Kangouw, kukira kalian akan
percaya padaku."
Dunia Kangouw ternyata sedemikian keji dan berbahaya, terhadap setiap orang asing selalu
harus diselidiki asal-usulnya. Jika tidak ada Hay-hong Hujin, mungkin masih banyak sekali
kesulitan yang harus dihadapi Pwe-giok.
Rasa terima kasih Ji Pwe-giok terhadap Hay-hong Hujin sungguh tak terkatakan, sedapatnya
ia ingin mengucapkan beberapa kata sebagai tanda terima kasihnya, tapi suaranya terasa
samar-samar sehingga ia sendiripun tidak tahu apa yang diucapkannya.
Hanya didengarnya Hay-hong Hujin berkata pula: "Sekali anak muda ini menjadi tamuku,
maka selama hidupnya dia adalah tamu kehormatan Pek-hoa kiong kami. Selanjutnya jika
tiada sesuatu keperluan apa-apa, hendaklah kalian jangan mengganggu dia. Dan sekarang,
biarkan dia tidur saja....."
***** Pwe-giok benar-benar terus pulas.
Waktu mendusin, bau harum bunga, sinar bulan purnama, semua sudah tidak ada lagi. Yang
ada cuma remang-remang sinar sang surya yang meliputi bumi.
Di kejauhan terdengar suara burung berkicau. Menyusul lantas terlihat sesosok bayangan
orang yang ramping muncul dari balik kabut pagi dan mendekatinya dengan pelahan.
Kedatangannya laksana membawa suasana baru bagi bumi raya ini. Sinar matanya gemerdep
terang, jernih dan murni, berbeda dengan sorot mata Hay hong Hujin yang tajam dan genit itu,
juga tiada sedih dan duka seperti sorot mata Lim Tay-ih. Dunia yang ruwet ini, bagi
pandangannya seakan-akan juga sedemikian sederhana, bersahaja tanpa sesuatu hiasan.
Dia pandang ji Pwe-giok, lalu menegur dengan suara merdu: "Wahai walet yang tersesat,
akhirnya kau sadar juga. Di dunia ini masih banyak air sumber yang jernih dan manis,
mengapa kau sengaja minum arak?"
169 Ji Pwe-giok menghela napas perlahan, gumamnya: "Kesusahan orang hidup, dengan
sendirinya tak dapat dipahami oleh nona kenari."
Gadis itu memang si nona kenari Ki Leng-yan. Mendadak iapun menghela napas, ucapnya
dengan sayu: "Tahukah kau si Kenari yang tadinya tidak tahu apa artinya sedih, kini juga
mulai gundah?"
"Memangnya kenapa nona merasa gundah?" tanya Pwe-giok dengan tersenyum getir.
Tiba-tiba menetes air mata Ki leng-yan, jawabnya: "Sarang si Kenari telah penuh digenangi
darah. Dia tidak dapat berdiam lagi disitu. O, Kenari yang harus dikasihani, kini tiada tempat
lain lagi yang dapat ditujunya." - Mendadak ia pegang tangan Pwe-giok dan menyambung
dengan setengah meratap: "O, kumohon padamu, bawalah serta diriku, ke manapun juga akan
kuturut padamu."
Tergerak hati Pwe-giok, jawabnya dengan suara keras: "Cara bagaimana kau tahu siapa diriku
ini" Mengapa kau ingin ikut bersamaku?"
"Kukenal matamu ini", kata Ki Leng-yan. "Sedemikian bajik, sedemikian bagus matamu ini
dan juga sedemikian perwira, sama seperti burung walet. Matamu yang lain daripada yang
lain ini, mana bisa kulupakan?"
Gadis yang linglung ini ternyata memiliki daya pandang sepeka ini. Barang sesuatu yang
diketahui setiap orang mungkin takkan dipahami olehnya, tapi sesuatu lain yang tak dapat
dipecahkan orang lain justru dapat diketahui olehnya. Mungkin inilah sebabnya dia tidak
paham kata-kata manusia, sebaliknya paham bahasa burung.
Pwe-giok terdiam sejenak, ucapnya kemudian dengan tersenyum: "Kau tahu, tak mungkin kau
dapat ikut pergi bersamaku, sebab tempat yang hendak ku tuju itu dimana-mana penuh
bahaya, setiap orang bisa membikin susah padamu."
"Tidak, aku tidak takut, di bawah perlindungan mu, apapun aku tidak takut," jawab Leng-yan
tegas. Dia pandang Pwe-giok dengan termangu-mangu, sorot matanya penuh harap juga penuh
kepercayaan terhadap anak muda itu. Menghadapi sorot mata demikian, siapa pula yang tega
menolak permintaannya"
Akhirnya Pwe-giok menghela napas panjang, katanya: "Jika kau ingin ikut padaku, sungguh
akupun tidak dapat menolak permintaanmu. Cuma... aku sendiri tidak tahu apakah dapat
melindungi diriku sendiri atau tidak, cara bagaimana ku tahu akan dapat melindungi dirimu?"
Leng-yan tertawa, katanya: "Ku tahu engkau pasti akan menerima permintaanku..." Begitulah
Pwe-giok berjalan di depan dang Leng-yan ikut di belakang, sama sekali ia tidak perduli ke
manapun pwe-giok akan pergi, padahal Pwe-giok sendiripun tidak tahu dirinya akan pergi ke
mana" Dia berjalan dengan hati bimbang, selagi merenungkan ke arah mana harus dituju, tiba-tiba
terdengar angin berkesiur, empat orang melayang keluar dari balik pohon sana dan
170 menghadang di depannya. Gerakan ke empat orang ini sedemikian cepat dan gesitnya, jelas
semuanya jago-jago kelas tinggi.
Segera Pwe-giok dapat melihat jelas siapa ke empat orang ini. Kiranya mereka adalah
samaran komplotan jahat itu, yakni Ong uh-lau, Lim Soh-koan, Ong Sin-jiang dan Sebun Bukut.
Ong Uh-lau mendahului maju dan menegur dengan sorot mata tajam: "Ji Pwe-giok bukan?"
"Cayhe memang Ji Pwe-giok adanya," jawab Pwe-giok hambar. "Siapakah anda sekalian dan
ada urusan apa?"
Empat pasang mata yang tajam dan kejam itu sama menatap muka Pwe-giok, mereka ingin
tahu bagaimana perubahan sikap anak muda itu. tapi Pwe-giok hanya tenang-tenang saja.
Maklum, sudah terlalu banyak pengalaman pahit serta kejadian seram yang dialaminya, di
dunia sesungguhnya tiada sesuatu urusan dapat menakutkan dia lagi.
Ong Uh-lau bergelak tertawa, katanya: "Ji-kongcu baru saja terjun di dunia kangouw dan
lantas mendapat perlakuan istimewa dari Hay-hong Hujin, dengan sendirinya Ji-kongcu
mempunyai asal-usul yang lain daripada yang lain pula. Kami tidak berani sembrono, yang
kami inginkan adalah belajar kenal dengan ilmu silat Ji-kongcu."
Pwe-giok terbahak-bahak, jawabnya: "Kiranya keterangan Hay-hong Hujin kemarin belum
meyakinkan kalian sehingga kalian sekarang hendak memaksa kukeluarkan Kungfu
perguruanku, maksud tujuan kalian ingin membuktikan apakah diriku ini Ji Pwe-giok yang
mati kemarin ini atau bukan?"
Dia sengaja membongkar maksud tujuan mereka Tapi air muka Ong Uh-lau ternyata tidak
berubah, dengan tersenyum ia berkata: "Akhir-akhir ini di dunia Kangouw sedang digemari
ilmu tata rias, hal ini kukira cukup diketahui olehmu."
"Apakah Cayhe mengalami tata-rias, masa kalian tidak dapat melihatnya?" ujar Pwe-giok.
"Ilmu tata rias memang beraneka ragamnya, justeru lantaran kami tidak dapat
membedakannya, maka terpaksa harus berlaku lebih hati-hati," ujar Ong Uh-lau dengan
tersenyum. "Oleh karena itulah, asalkan anda memperlihatkan sejurus-dua, segera kami akan
mengundurkan diri."
Gemerdep sorot mata Pwe-giok, katanya: "Sungguh aku tidak mengerti, sebab apa Ji Pwegiok
yang telah mati itu bisa membuat kalian sedemikian kuatir, kan jelas dia sudah mati,
mengapa kalian masih merasa tidak aman?"
Berubah juga air muka Ong Uh-lau, jawabnya dengan bengis: "Silahkan anda memperlihatkan
sejurus-dua dan segera akan kau ketahui sendiri." Sambil bicara, segera pedangnya menusuk
ke depan, serangan cepat dan mantap, inilah jurus "Jong-liong-tay-thau" atau naga tua angkat
kepala, suatu jurus ilmu pedang perguruan Ong Uh-lau sendiri.
Tapi Ji Pwe-giok tidak nanti terpancing dan memperlihatkan ilmu silat perguruannya sendiri.
Ilmu silat Bu-kek-pay memang bergaya khas dan tidak sama dengan Kungfu dari perguruan
lain. Asalkan dia memainkan satu jurus saja segera akan dapat diketahui asal-usulnya.
171 Maka mendadak terdengar suara "trang" yang nyaring dan keras, pedang Ong Uh-lau yang
menusuk lurus ke depan itu terpukul menceng, padahal tenaganya boleh dikatakan jarang ada
bandingannya, tidak urung ia merasakan pergelangan tangannya linu pegal.
Tiba-tiba dilihatnya seorang gadis jelita berbaju seputih salju dengan memegang dua pedang
pendek telah menghadang di depan Ji Pwe-giok, dengan tersenyum berkata: "Dia orang baik,
kalian jangan membikin susah padanya."
Berubah air muka Ong Uh-lau, jawabnya: "Siapa nona" Mengapa kau membelanya?"
"Ayahku sangat gemar membunuh orang, Ciciku juga suka membunuh orang," jawab si nona
yang bukan lain daripada Ki Leng-yan, "meski aku tidak suka membunuh, tapi akupun tidak
suka menyaksikan sahabatku dianiaya orang lain, apalagi dibunuh."
Sembari bicara dia terus putar kedua pedang pendek. Gerak tubuhnya begitu enteng gemulai,
tapi ilmu pedangnya justeru sedemikian aneh, cepat lagi ganas.
Sungguh Pwe-giok sendiripun tidak pernah menyangka nona yang baik itu memiliki ilmu
seganas itu. Baru saja Ki Leng-yan menyelesaikan ucapannya tadi, sekaligus ia telah melancarkan
serangan 49 kali, begitu gencar serangannya sehingga membuat Lim Soh-koan dan tokohtokoh
yang tergolong jago pedang terkemuka itu sama melongo kaget.
Tapi Ki Leng-yan lantas menghentikan permainan pedangnya, lalu berkata dengan tertawa:
"Orang bilang ilmu pedangku ini sangat keji dan ganas, apakah kalian juga berpendapat
demikian?"
"Hehe, bagus, ilmu pedang bagus!" kata Ong Uh-lau dengan menyengir.
"Meski ilmu pedangku ini dibilang keji dan ganas tapi tidak kugunakan terhadap manusia,"
tutur Ki Leng-yan. "Asalkan tidak digunakan membunuh, betapapun keji dan ganasnva
sesuatu ilmu pedang kan tidak menjadi soal, betul tidak?"
Ong Uh-lau memandangnya sejenak, lalu dipandangnya pula Ji Pwe-giok, tanpa bicara
mendadak ia berpaling terus melangkah pergi dan dengan sendirinya diikuti oleh orang-orang
lain. Leng-yan menyimpan kembali kedua pedang pendeknya, seperti tidak pernah terjadi apapun
ia pandang Pwe-giok, katanya dengan tertawa linglung; "Marilah kitapun pergi!"
Pwe-giok menghela napas, katanya: "Kau minta perlindungan ku, siapa tahu kau yang
melindungi diriku malah. Selama ini telah kuremehkan dirimu, sungguh tidak terduga ilmu
pedangmu sedemikian hebatnya."
Si nona berkedip-kedip, katanya dengan tertawa: "Jadi kaupun memuji kebagusan ilmu
pedangku, semua burung kawanku juga bilang demikian. Kata mereka, setelah si Kenari
mahir ilmu pedang, selanjutnya tidak perlu lagi kuatir diserang oleh elang. Menurut kau,
orang-orang tadi elang atau bukan?"
172 Begitulah sepanjang jalan si nona jelita terus bicara tentang dia dan burung, tertarik juga Pwegiok
oleh ceritanya sehingga tidak merasa kesepian dalam perjalanan.
Semula Pwe-giok merasa sedih juga bagi jalan keluar dirinya, tapi setelah dipikir pula, dunia
seluas ini, ke manapun boleh pergi, dengan berkelana di dunia ini kan sekaligus dapat
menyelidiki rahasia komplotan jahat itu.
Karena pikiran itu, tekanan batinnya menjadi longgar. Waktu istirahat di suatu rumah makan,
ia minta disediakan dua poci arak seakan-akan hendak merayakan hidup barunya.
Ki Leng-yan ternyata mengiringi dia minum dua cawan. Burung kenari yang cantik ini jadi
tambah lincah dan terus mengoceh ke barat dan timur, berulang-ulang ia pun menuangkan
arak dan mengisi nasi di mangkuk Pwe-giok.
Bila Pwe-giok menolak pelayanan itu, maka si nona lantas kurang senang dan mengomel.
Ribut antara kedua muda mudi ini sebaliknya menimbulkan rasa takjub dan iri orang lalu.
Malamnya, si kenari yang terus menerus berkicau ini akhirnya tertidur. Tapi di kamar sendiri
Pwe giok bergolak-golek tak dapat pulas, diam-diam ia mengenakan baju dan keluar.
Rumah penginapan kecil ini terletak di luar kota. Cahaya bulan menyinari sebuah kolam kecil
di kaki bukit sana, di dalam kolam tampak bintik-bintik bintang gemerlapan, angin malam
meniup silir-silir membawa bunyi serangga dan suara katak.
Sudah sekian lama, untuk pertama kalinya ini Pwe-giok merasa hatinya rada tenang dan untuk
pertama kalinya pula dia dapat menikmati keindahan malam.
Dia terus melangkah ke depan, di bawah keremangan sinar bulan dan bau harum bunga teratai
di kolam.... Sekonyong-konyong, dua larik sinar pedang menyambar ke tenggorokannya.
Sama sekali tak terduga olehnya bahwa di tengah malam yang indah ini tersembunyi juga
hasrat membunuh sekeji ini. Ia terkejut dan cepat menjatuhkan diri ke tanah, syukur sergapan
itu sempat dihindarinya.
Pada saat yang sama empat orang berbaju hitam dan berkedok melompat keluar dari tempat
gelap, tanpa bicara pedang mereka terus menyerang lagi secepat kilat.
Gerakan Pwe-giok juga tidak berhenti, dia menyelinap keluar dari jaringan sinar pedang
musuh. Terdengar dering nyaring sinar pedang, tahu-tahu kain bajunya terkoyak-koyak
menjadi potongan kecil dan bertebaran.
Agaknya kawanan seragam hitam itu tidak ingin sekaligus membinasakan dia melainkan
cuma hendak memaksa dia mengeluarkan Kungfunya.
Sinar pedang masih terus berkelebat dan memburu bagai ular berbisa, bukan saja baju Pwegiok
sudah terkoyak-koyak, bahkan tubuhnya sudah tergores beberapa jalur luka, tapi dia
tetap tidak berani balas menyerang. Semakin dia tidak balas menyerang semakin besar pula
curiga orang-orang berseragam hitam.
173 Tiba-tiba seorang di antaranya mendengus: "Peduli tulen atau palsu, bunuh saja habis
perkara!"

Renjana Pendekar Karya Khulung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Betul," jawab seorang lagi. "Lebih baik salah bunuh seribu daripada lolos satu."
Meski tahu siapa kawanan baju hitam ini, tapi Pwe-giok sengaja berteriak: "Jika kalian
menghendaki aku turun tangan, mengapa kalian tidak berani memperlihatkan wajah asli"
Seorang lelaki sejati mana sudi turun tangan terhadap kawanan cecurut macam kalian ini."
"Kau tidak mau turun tangan, maka kau harus mati!" jengek orang pertama tadi.
Habis berkata, mereka tidak kenal ampun lagi, sinar pedang memburu dengan lebih cepat.
Sekali ini kalau Pwe-giok tidak balas menyerang, rasanya jiwanya benar-benar bisa melayang.
Pada saat itulah, tiba-tiba segumpal kabut tipis berwarna kemerah-merahan mengambang tiba
terbawa angin terus terlibat ke tengah jaringan sinar pedang.
Seketika kawanan baju hitam itu merasakan gerak pedang mereka terhalang, ujung pedang
seolah-olah melengket pada gumpalan asap tipis itu. Kesempatan itu segera digunakan Pwegiok
untuk melompat mundur.
Segera terdengar seorang berdendang dengan suara merdu: "Bunga, bukan bunga, kabut
bukan kabut ....."
Baru berjangkit suara nyanyian orang itu, serentak timbul rasa takut pada sorot mata kawanan
baju hitam berkedok ini, tanpa, berjanji ke empat orang itu terus melayang pergi dan
menghilang dalam kegelapan. Perginya jauh lebih cepat daripada datangnya.
"Apakah Hay-hong Hujin yang telah menolong Cayhe?" tanya Pwe-giok dengan
membungkuk tubuh.
Tapi dalam kegelapan sama sekali tiada suara jawaban.
Waktu Pwe-giok menengadah, tahu-tahu di depannya sudah bertambah seorang yang
berwajah pucat dan kening berkerut dengan sorot matanya yang layu.... Yang muncul ternyata
bukan Hay-hong Hujin melainkan Lim Tay-ih.
Hati Pwe-giok seketika mengencang, ucapnya dengan tergagap: "Kira .... kiranya nona, terima
kasih banyak-banyak."
Lim Tay-ih seperti enggan mendengar kata-kata yang bertele-tele itu, jengeknya: "Mengapa
kau pakai nama Ji Pwe-giok?"
Pwe-giok jadi melengak, jawabnya gelagapan: "Ini . . . .ini lantaran ...."
"Sebaiknya kau ganti nama saja," kata Tay-ih. "Nama ini tidak membawa alamat baik. Barang
siapa memakai nama ini tentu akan mendatangkan kemalangan, bahkan mati. Meski aku
diperintahkan Hujin untuk menyelamatkan kau, tapi paling-paling juga cuma kutolong kau
satu kali ini saja!"
174 Setelah terdiam sejenak, dengan tersenyum getir Pwe-giok bertanya: "Kecuali itu, adakah
alasan lain"
"Betul, memang masih ada alasan lain," jawab Tay-ih. Mendadak ia membalik tubuh dan
melangkah beberapa tindak ke sana, lalu menyambung: "Jika dia sudah mati, aku tidak suka
mendengar lagi orang memakai namanya."
"Tapi aku....."
"Kaupun tidak setimpal memakai nama itu!" jengek Tay-ih.
Pwe giok melenggong dan menyaksikan bayangan si nona menghilang dalam kegelapan,
sukar untuk dijelaskan bagaimana perasaannya. Dia seharusnya berduka karena sikap dingin
yang diperlihatkan tunangannya itu. Tapi sikap dingin si nona itu pun menandakan betapa
cintanya terhadap Ji Pwe-giok, untuk ini dia harus bersyukur dan bergembira.
Begitulah gundah gulananya hatinya, sebentar pedih sebentar girang, entah manis entah getir.
***** Bintang di langit semakin jarang, bulanpun bertambah buram, di ufuk timur sudah mulai
remang-remang. Tapi Pwe-giok masih terus melangkah ke depan dengan hati bimbang.
Entah sudah berapa lama pula, sang surya sudah mulai mengintip di ujung timur. Sekonyongkonyong
muncul seorang dengan langkah terhuyung-huyung.
Perawakan orang ini kurus kecil, jenggot dan rambutnya sudah putih semua, senyum
misterius menghias wajahnya. Pwe-giok merasa sudah pernah kenal pada muka orang ini, tapi
tidak ingat di mana.
Dilihatnya si kakek kecil ini membawa sebuah lukisan, sesudah dekat mendadak ia angkat
lukisannya ke depan Pwe-giok dan menegur: "Coba kau lihat, apa yang kulukis ini?"
Lukisannya itu tampak samar, seperti mega tapi bukan mega, seperti gunung juga bukan
gunung, kalau dipandang lebih cermat, rasanya seperti bekas cat yang tumpah di atas kanvas
lukisan itu. Pwe-giok menggeleng, jawabnya: "Entah, aku tidak tahu."
"Yang kulukis adalah gunung di depanmu ini, masa tak dapat kau lihat?" kata pula si kakek
kecil. Mau-tak-mau Pwe-giok memandang gunung yang tertutup oleh kabut pagi di kejauhan itu,
lalu dipandangnya pula lukisan yang dipegang si kakek, sedikit demi sedikit dirasakannya
memang rada-rada mirip. Tanpa terasa ia tertawa dan berkata: "Ya, sekarang dapat kulihat
persamaannya."
Mendadak orang tua itu tergelak seperti orang gila, berjingkrak dan menari, jelas girangnya
tak terperikan, tapi juga memperlihatkan semacam kelatahan yang aneh.
175 "Apa yang kau tertawakan?" tanya Pwe-giok heran.
"Aku berhasil, aku berhasil!" teriak si kakek sambil berkeplok gembira.
"Kau berhasil mengenai apa?" tanya Pwe-giok pula.
"Lukisanku telah berhasil," teriak si kakek. "Akhirnya dapatlah kucapai intisari dalam
lukisanku."
Pwe-giok menggeleng sambil memandangi "cat tumpah" hasil lukisan si kakek, katanya
dengan menyengir: "Lukisan begini masa dapat dianggap telah berhasil mencapai
intisarinya?"
"Coba kau pikir," kata si kakek, "sudah jelas yang kulukis adalah gunung, tapi dapat kubuat
dia tidak menyerupai gunung. Yang kulukis ini jelas-jelas tidak menyerupai gunung, tapi
setelah kau pandang dengan cermat terasa seperti gunung pula. Semua ini disebabkan meski
tidak kulukis bentuk gunungnya, tapi sudah dapat kulukis jiwanya, intisarinya sasaran
lukisanku."
Pwe-giok berpikir sejenak, gumamnya kemudian: "Mungkin sedikit sekali orang yang dapat
memahami jiwa daripada lukisanmu ini."
"Justeru orang lain tak dapat memahaminya," seru si kakek sambil berkeplok. "Tapi asalkan
yang kulukis adalah gunung, maka dalam pandanganku lukisan ini ialah gunung, dalam hatiku
juga gunung. Hanya aku saja yang paham dan orang lain tetap tidak paham. Cara ini
bukankah sangat hebat, sangat bagus"!"
Dia berkeplok sambil bergelak tertawa dan melangkah pergi.
Sebaliknya Pwe-giok berdiri termangu-mangu di situ sambil berpikir: "Jelas-jelas yang
kulukis adalah gunung tapi dapat kulukis hingga tidak menyerupai gunung .... Meski tidak
kulukiskan bentuk gunungnya, tapi sudah dapat kulukis jiwanya, intisarinya..." selain teringat
kepada ucapan si kakek tadi, di tepi telinganya seolah-olah terngiang pula wejangan ayahnya
dahulu mengenai ilmu pedang, bahwa betapapun bagus bentuk permainan sesuatu ilmu
pedang, semua itu bukanlah intisari ilmu pedang perguruannya sendiri. Jiwa ilmu pedang Bukek-
pay terletak pada maksud yang tak berwujud, terlepas daripada wujud yang terbatas dan
masuk ke alam yang tak berwujud (abstrak) dan tak berkutub (Bu-kek), Jika mujijat ini dapat
diselami dengan tuntas, maka berarti ilmu pedang yang kau yakinkan telah berhasil, Pwe-giok
coba merenungkan dan mengulang lagi petuah sang ayah itu, mendadak ia merasa seperti
diguyur air dingin, dalam hati seketika terasa "plong", terasa terang.
Ia mendapatkan setangkai kayu sebagai pedang, dengan pelahan ia menusuk ke depan.
Sepenuh hati dan segenap pikiran hanya dipikirnya satu jenis, "Thian-te-bu-pian" (langit dan
bumi tak bertepian) dari Bu-kek-kiam-hoat, tapi waktu pedangnya menusuk, gayanya tidak
menurut jurus serangan Thian-te-bu-pian yang sebenarnya.
Jurus serangan ini jelas-jelas jurus Thian te-bu-pian, tapi ketika serangan itu dilancarkan jurus
itu justeru tercakup seluruhnya di dalam serangannya, tidak menyerupai jurus Thian-te-bupian,
tapi jiwa dan intisari jurus serangan itu justeru tercakup seluruhnya di dalam serangan
itu. 176 Kalau dua orang bertempur, bila salah satu pihak dapat melihat lubang kelemahan pihak
lawan sehingga dapat mengatasi lebih dulu setiap perubahan gerak lawan, maka dia pasti akan
menang. Tapi suatu serangan yang bermaksud, namun tanpa wujud, cara bagaimana pihak
lawan akan mampu menghindarinya dan cara bagaimana akan sanggup mematahkannya serta
cara bagaimana akan menghindarinya"
Saking kegirangan Pwe-giok lantas tertawa tergelak-gelak dan berteriak: "Sudah dapat
kupahami! Sudah kupahami sekarang!"
Tiba-tiba seorang menanggapi dengan suara nyaring: "Kau memahami apa?"
Segera terdengar pula kicau burung yang ramai di hutan sana, ternyata Ki Leng-yan sejak tadi
sudah berada di situ.
Dengan tertawa Pwe-giok menjawab: "Apa yang sudah kupahami, masa para burung
kawanmu itu tidak memberitahukannya padamu?"
Dengan termenung Leng-yan mendengarkan sejenak, ucapnya kemudian sambil berkedipkedip:
"Mereka tidak tahu apa yang sudah kau pahami, mereka bilang kau seperti rada-rada
sinting." "Haha, sudah tentu mereka tidak paham," ujar Pwe-giok dengan tertawa. "Tapi bolehlah kau
katakan kepada mereka, bahwa asalkan mereka paham persoalan ini, maka mereka tidak perlu
lagi takut kepada elang, malahan manusia juga tidak perlu ditakuti pula."
"Eh, coba dengarkan," kata Leng-yan perlahan sambil tersenyum, "mereka sama menyatakan
ucapanmu ini memang benar. Kata mereka, elang memang tiada sesuatu yang perlu ditakuti,
yang paling menakutkan di dunia ini adalah manusia!"
Suara tertawa Pwe giok mulai mereda, ia pandang burung yang beterbangan di tengah hutan
di remang-remang fajar sana, tanpa terasa ia menghela napas dan bergumam pula: "Betul
juga, manusia memang sangat menakutkan. Sungguh tak tersangka kalian telah memahami
soal ini. Sebaliknya manusianya sendiri malah tetap belum paham. . .."
"Coba lihatlah burung pipit yang baru terbang dari kota sana," kata Leng-yan dengan rawan.
"Dia bilang, seumpama manusia sudah paham akan soal ini toh tetap tak mau mengakui
kebenarannya."
***** Akhirnya kedua orang pulang ke hotel kecil itu.
Leng yan sudah kenyang tidur, sebaliknya Pwe-giok mulai merasa ngantuk. Dia mendorong
pintu kamar sendiri, tapi mendadak ia merandek. Ternyata di atas pembaringannya bersimpuh
satu orang. Sinar sang surya yang baru terbit itu menyorot masuk melalui jendela sana dan terlihat jelas
wajah orang itu. Kelihatan kepalanya botak kelimis, tapi wajahnya merah cerah seperti orang
muda. 177 Segera Pwe-giok mengenali orang ini ialah Tong Bu-siang, ketua perguruan keluarga Tong di
Sujwan yang terkenal sebagai ahli Amgi atau senjata rahasia nomor satu di dunia.
Tong Bu-siang duduk menunduk dengan mata terpejam, tapi di sekelilingnya berbaris
berpuluh macam senjata rahasia yang gemerlapan, jelas itulah Amgi berasal keluarga Tong
yang merontokkan nyali setiap jago persilatan.
Selain Tong Bu-siang, ada lagi dua orang yang berdiri di kanan-kirinya, meski tetap
berpakaian hitam ringkas, tapi kedoknya sudah ditanggalkan, jelas mereka ialah Ong Uh-lau
dan Sebun Bu-kut.
Pwe-giok menghirup napas panjang-panjang, serunya sambil mengalingi Ki Leng-yan di luar
pintu: "Aha, di kamar sempit ini ternyata ada juga tamu agung yang berkunjung, selamat
bertemu!" Pelahan Tong Bu-siang membuka matanya, seketika sorot matanya berkelebat seperti kilat,
dengan suara berat ia bertanya: "Apakah bocah ini yang kalian maksudkan?"
"Betul," jawab Ong Uh-lau dengan hormat.
"Bagus, akan kucoba dia!" seru Tong Bu-siang. Begitu kata "dia" terucapkan, kontan kelima
jarinya menyelentik, serentak barisan Am-gi yang terletak di depannya itu ada lima buah yang
menyambar ke depan.
Menyusul tangan yang lain juga bekerja, kedua kakinya juga bergerak, sekaligus berpuluh
Amgi melayang ke depan, sisanya tinggal tujuh atau delapan buah, sekali tiup, seluruh Amgi
itupun menyambar ke arah Pwe-giok.
Di seluruh tubuh orang tua ini seolah terpasang pesawat khusus dan setiap tempat dapat
membidikkan senjata rahasia. Puluhan Am-gi yang berbaris di pembaringan itu dalam sekejap
saja telah dihamburkan seluruhnya.
Padahal bentuk Am-gi itu tidak sama, bobotnya juga berbeda, tapi ada yang diselentikkan, ada
yang disampuk dengan tangan, ada yang disapu dengan kaki atau ditiup dengan pernapasan
yang kuat, cara menyerangnya dan kekuatannya juga tidak sama. Ada yang menyambar
dengan cepat dan ada yang lam bat, ada yang menyerang lurus langsung, ada yang melingkar
dan ada juga yang berputar-putar di udara untuk kemudian menyerang Pwe-giok dari
belakang. Puluhan Am-gi itu seolah-olah bukan senjata rahasia lagi, tapi menyerupai puluhan jago silat
kelas tinggi dengan senjata yang berbeda-beda dan mengerubuti Pwe-giok dari berbagai
jurusan. Sejak Pwe-giok terjun di dunia Kangouw, tidak sedikit lawan tangguh yang pernah
ditemuinya. Tapi Am-gi selihay ini sungguh belum pernah dilihat atau didengarnya.
Dengan tetap memegang tangkai kayu tadi, dengan segenap minat dan pikiran segera ia
melancarkan jurus serangan "Thian-te-bu-pian", habis itu dengan jurus yang sama ia
178 menyerang pula secara terbalik. Dua serangan dilancarkan secara berlawanan sehingga sukar
diraba. Orang lain hanya melihat tangkai kayunya berputar dua lingkaran dan tak terlihat cara
bagaimana dia bergerak, tahu-tahu terdengar suara "crat-cret" berulang-ulang, berpuluh
bentuk senjata rahasia itu entah mengapa sama menancap pada tangkai kayunya.
Seketika Ong Uh-lau dan Sebun Bu-kut melenggong.
Tong Bu-siang juga tercengang, mau-tak-mau ia berseru memuji: "Ilmu pedang bagus!" Lalu
dia tepuk bahu Ong Uh-lau dan bertanya: "Dia sudah turun tangan, apakah kalian sudah tahu
asal-usul ilmu pedangnya?"
Dengan lesu Ong Uh-lau menjawab: "Belum ketahuan!"
"Hahaha! Tidak cuma kau saja yang tidak tahu, bahkan berpuluh tahun pengalamanku di
dunia Kangouw juga tidak pernah kulihat ilmu pedang sehebat ini," seru Tong Bu-siang
dengan tertawa.
"Tapi dapat kupastikan bahwa di perguruan Bu kek-bun tidak ada ilmu pedang selihay ini."
"Ya, memang tidak ada!" tukas Ong Uh-lau.
"Sebelumnya memang sudah kuketahui dia pasti bukan Ji Pwe-giok yang mati itu," kata Tong
Bu-siang pula. "Coba pikir jika dia penyamaran Ji Pwe-giok yang pura-pura mati itu,
mengapa dia tidak menggunakan nama lain, tapi sengaja tetap memakai nama Ji Pwe-giok?"
Sambil menyengir terpaksa Ong Uh-lau memberi hormat kepada Pwe-giok dan berkata: "Jika
tindakan kami terasa agak kasar, mohon Ji-kongcu sudi memberi maaf."
Pwe-giok tersenyum, katanya: "Ah, tidak menjadi soal, hanya selanjutnya ....."
Belum habis ucapannya, mendadak Ki Leng-yan menjerit kaget "blang", seorang menerobos
masuk dengan beringas.
Orang ini memakai baju kasar dan topi kulit semangka, jelas orang ini adalah jongos hotel ini.
Tapi jongos yang ramah dan rendah hati ini kini sikapnya telah berubah sama sekali. Kedua
matanya tampak merah membara, mulutnya menyeringai sehingga kelihatan giginya yang
kuning, air mukanya penuh napsu membunuh.
Di tengah jeritan kaget tadi Leng-yan sempat menarik Pwe-giok ke samping, maka jongos
hotel itu lantas menerobos langsung ke dalam. Cepat Sebun Bu-kut mendepak sebuah meja
kecil di sebelahnya sehingga menyeruduk si jongos.
Tak tersangka sekali hantam jongos itu telah membuat meja itu hancur berkeping-keping.
Diam-diam Pwe-giok terkejut. "Orang macam apakah jongos hotel ini, masa memiliki tenaga
sekuat ini?"
179 Dalam pada itu Ong Uh-lau juga tidak tinggal diam, pedangnya lantas menusuk. Tapi jongos
itu sama sekali tidak mengelak, sebaliknya membusungkan dada dan memapak tusukan itu.
"Crat" tanpa ampun lagi pedang itu menembus dadanya. Sekali depak Ong Uh-lau membikin
tubuh si jongos mencelat, darah segera berhamburan dan mengotori tangan Oh Uh-lau.
Sambil berkerut kening Ong Uh-lau berkata: "Keparat ini barangkali sudah gila, masa...."
Belum lanjut ucapannya, mendadak Tong Bu-siang melolos belati yang terselip di
pinggangnya terus menabas, kontan sebelah lengan Ong Uh-lau dipotongnya mentah-mentah.
Ong Uh-lau menjerit kesakitan dan jatuh kelengar.
"Ap. ..... apa maksudmu Cianpwe?" teriak Sebun Bu-kut terkejut.
Wajah Tong Bu-siang yang semula merah cerah itu seketika berubah menjadi pucat, katanya:
"Jongos hotel ini telah terkena racun jahat Thian-cam-kau dari daerah Miau, dia sudah
kehilangan kesadarannya sehingga berubah kuat luar biasa, bahkan darah di seluruh tubuhnya
juga telah berubah menjadi darah berbisa, barang siapa keciprat setitik darahnya dalam
sekejap racun akan terus menjalar ke seluruh tubuh. Bila tidak kubuntungi tangannya ini,
hanya sebentar saja seluruh tubuhnya akan membusuk dan mati."
Keringat dingin merembes di dahi Sebun Bu-kut, ucapnya dengan suara gemetar: "Jadi. ,....
jadi inilah salah-satu ilmu iblis Thian-cam-kau yang disebut Mo-hiat-hu-kut-tay-hoat (ilmu
darah iblis pembusuk tulang) itu" Jangan-jangan ada orang Thian-cam-kau datang kemari?"
Dari suaranya yang gemetar dan ketakutan itu mau-tak-mau Pwe-giok ikut merinding juga,
waktu dia pandang lengan yang putus dan jatuh di lantai itu, ternyata sudah berubah menjadi
genangan darah hitam.
Tanpa terasa Pwe-giok bergidik, hatipun berdebar Tong Bu-siang yang terkenal berhati
bajapun berkeringat dingin.
"Yang datang di luar itu apakah khing-hoa-sam-niocu?" tanyanya dengan suara parau.
Segera terdengar suara tertawa genit di luar sana. Nyaring dan merdu suara tertawanya
laksana kicau burung kenari, siapapun yang mendengar suara tertawa ini pasti akan
terguncang perasaannya dan tergetar kalbunya. Namun kulit muka Tong Bu-siang justeru
berkerut-kerut demi mendengar suara itu.
Terdengar suara merdu itu berucap pula dengan tertawa genit: "Betapapun memang
pandangan Tong-loyacu terlebih tajam, hanya sekilas lihat saja lantas tahu kami kakak
beradik yang datang kemari."
"Untuk apa kalian datang ke Tionggoan sini?" tanya Tong Bu-siang dengan bengis.
"Dengan sendirinya kedatangan kami ini adalah ingin mengunjungi Tong-loyacu," jawab
suara genit tadi. "Lebih dulu kami telah mendatangi kediaman Tong-loyacu, tapi Loyacu telah


Renjana Pendekar Karya Khulung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berangkat ke Hong-ti. karena itulah kami lantas menyusul kemari. Meski agak terlambat
sehingga tidak keburu ikut menyaksikan keramaian pertemuan besar di Hong-ti, tapi dapat
berjumpa di sini dengan Tong loyacu, betapapun perjalanan kami ini tidaklah sia-sia."
180 Dia bicara sambil tertawa, suaranya enak didengar, sama halnya mengobrol dengan orang tua
di rumah, siapapun tidak menyangka di balik suara merdu dan kata-kata ramah ini
tersembunyi hasrat membunuh yang sukar diraba.
Namun jago tua yang namanya mengguncangkan dunia Kangouw ini ternyata gemetar juga
mendengar ucapan itu, sambil memegang belatinya dia bertanya pula: "Jadi kalian. .... kalian
sudah pergi ke rumahku?"
Suara itu menjawab dengan tertawa: "Loyacu jangan kuatir, meski kami sudah berkunjung ke
sana, tapi mengingat Toa-cihu, sama sekali kami tidak mengganggu apapun di tempatmu,
bahkan seekor semut pun tidak terinjak mati."
Meski merasa lega juga mendengar keterangan itu, tapi mendadak Tong Bu-siang bertanya
pula dengan gusar: "Siapa itu Toa-cihu (kakak ipar, suami kakak) yang kau maksud?"
Suara genit itu menjawab: "Sungguhpun Tong-kongcu pemuda yang cakap dan pintar, tapi
Toaci kami juga nona cantik yang serba mahir. Jadi kedua muda-mudi adalah suatu pasangan
yang setimpal, ini kan jodoh yang ditakdirkan?"
"Omong kosong, kentut busuk!" damprat Tong Bu-siang dengan gusar.
Agaknya orang itu tidak marah, terbukti suaranya masih tetap enak didengar, katanya:
"Apalagi mereka berdua memang sudah cocok satu sama lain, si tampan dan si cantik sudah
sama-sama ikat janji di taman bunga akan sehidup semati, mengapa Tong-loyacu justeru
berusaha hendak membuyarkan pasangan merpati ini?"
"Omong kosong!" teriak Tong Bu-siang. "Anak durhaka itu lantaran tidak tahu asal-usul
perempuan siluman itu, makanya dia terpikat. Sekarang dia sudah sadar dan tidak sudi
beristerikan perempuan siluman itu."
"Ah, kukira belum tentu," ujar suara nyaring merdu itu dengan tertawa. "Tong-kongcu adalah
pemuda yang berperasaan, tidak nanti dia mengingkari janjinya kepada Toaci kami. Apalagi,
gadis secantik Toaci kami itu lelaki mana di dunia ini yang tidak suka padanya" Jika ada,
maka lelaki itu pasti gendeng."
"Tidak bisa, keputusanku sudah bulat, tidak nanti pikiranku berubah, tiada gunanya kalian
banyak bicara lagi," teriak Tong Bu-siang dengan bengis "Mengingat hubungan kalian dengan
anak durhaka itu di masa lampau, lekas kalian pulang saja agar tidak terjadi apa-apa yang
tidak diinginkan."
"Jadi sudah pasti Tong-loyacu tidak setuju?" tanya suara genit tadi.
"Ya, tidak nanti berubah," jawab Tong Bu-siang tegas.
"Dan Loyacu takkan menyesal?" tanya pula suara merdu itu.
"Biarpun segenap keluarga Tong mati semuanya juga takkan bersedia menerima menantu
seperti perempuan siluman itu!" bentak Tong Bu-siang dengan murka.
181 Sejenak suara genit tadi terdiam, lalu dia berucap pula dengan tertawa: "Wah, tampaknya
sukar bagiku untuk membujuk Loyacu, terpaksa aku mesti minta perantara seorang
comblang."
Mendengar sampai di situ, tahulah Pwe-giok bahwa kedatangan Khing-hoa-sam-niocu atau
tiga perempuan bunga ini adalah untuk melamar suami kepada Tong Bu-siang, Agaknya sang
Toaci atau kakak tertua di antara Sam-niocu itu sudah ada ikatan janji dengan Tong-kongcu,
tampaknya cara mereka memaksakan perjodohan ini mendekati pemerasan, tapi tekad Tong
Bu-siang yang berkeras tidak mau terima perjodohan anaknya inipun agak keterlaluan.
Selagi Pwe-giok pikir siapakah comblang yang dimaksudkan itu" Apakah si comblang akan
sanggup membujuk Tong Bu-siang. Tiba terdengar suara daun jendela terbuka, dari luar
lantas melayang masuk satu orang.
Kedua mata orang ini melotot serupa mata ikan emas, air mukanya hitam kebiru-biruan,
kedua pundaknya, dadanya dan punggungnya seluruhnya menancap tujuh bilah belati emas
yang gemerdep, tangkai belati pun terbingkai batu permata yang berkilauan.
Dengan mata yang melotot seperti mata ikan mati itu, pendatang ini terus menatap Tong Busiang,
darah segar tampak meleleh dari ujung matanya, sikapnya sungguh sangat misterius
dan juga menyeramkan.
Leng-yan memegangi tangan Ji Pwe-giok dengan menggigil. Muka Sebun Bu-kut tampak
pucat dan basah seperti kehujanan, rupanya keringat dinginnya bercucuran seperti air hujan.
Serentak Tong Bu-siang melompat bangun sambil berteriak, "Inilah Kim-to-ho-hiat dari
Thian-cam-kau!"
Belum lenyap suaranya, mendadak sinar emas gemerdep, tujuh bilah belati emas itu terus
melayang keluar jendela menjadi satu garis lurus. Kiranya pada gagang belati yang berhias
batu manikam itu terikat pula satu benang emas yang halus.
Ketika ke tujuh belati itu melayang keluar dari lubang luka belati itu lantas menyembur keluar
tujuh pancuran darah segar. Seketika itu terjadi hujan darah memenuhi seluruh kamar.
Sebelumnya Tong Bu-siang telah angkat Ong Uh-lau dan di lemparkan keluar pintu, ia
sendiripun melompat ke atas belandar ruangan. Ji Pwe-giok juga tidak tinggal diam, dengan
angin pukulannya, ia tolak cipratan darah itu.
Hanya Sebun Bu-kut saja yang lebih lamban reaksinya, meski iapun sempat melompat ke atas
belandar, tapi tubuhnya sudah terciprat beberapa titik darah berbisa itu. Tapi ia memang
pemberani, dengan nekat ia menyayat kulit daging sendiri yang terciprat darah itu.
Ketika darah berbisa yang berhamburan seperti hujan itu mengenai dinding, seketika dinding
yang terkapur putih itu berubah menjadi hitam hangus.
Setiap kungfu yang dikeluarkan Khing-hoa-sam-niocu itu ternyata sama membawa suasana
seram dan mengerikan, setiap kungfunya harus minta korban jiwa. Sungguh keji luar biasa.
182 Pwe-giok berkerut kening, mendadak ia melayang keluar jendela, ia ingin tahu bagaimana
macamnya Khing-hoa-sam-niocu yang cantik tapi keji itu.
"Hei, Ji kongcu, hati-hati." seru Tong Bu-siang khawatir.
Tapi Ki Leng-yan lantas menanggapi dengan tertawa linglung, "Jangan kuatir, di dunia ini
pasti tiada perempuan yang tega mencelakai dia!"
***** Di luar jendela sana ada sebatang pohon besar, pada dahan pohon itu terikat empat atau lima
orang, semuanya dalam keadaan tidak sadar, agaknya terbius oleh sesuatu obat.
Di depan pohon berdiri tiga gadis maha cantik, semuanya memakai mantel panjang warna
hitam, begitu panjang mantel mereka hingga menyentuh tanah dan menutupi tubuh mereka
yang ramping. Rambut mereka tergelung tinggi di atas kepala, pada bagian atas pelipis sama memakai hiasan
bunga permata, yang satu memakai bunga emas gemerdep, satu lagi bunga perak yang
berkilau dan seorang lagi memakai bunga yang berwarna hitam gelap.
Gadis yang memakai hiasan bunga emas itu beralis lentik agak menegak, matanya yang jeli
itu mengembeng air mata seperti gadis yang lagi dirundung kesedihan.
Jelas gadis bunga emas ini adalah sang Toaci yang sedang kasmaran itu.
Gadis yang berhias bunga perak berwajah bulat, matanya selalu mengerling genit, lirikannya
dapat membuat luluh hati lelaki yang berhati baja sekalipun.
Gadis ketiga yang berbunga hitam gelap paling cantik, lirikan matanya juga paling
menggiurkan, senyumnya yang paling manis, kalau bicara, belum berucap sudah tertawa.
Barang siapa memandangnya sekejap saja pasti akan jatuh hati padanya.
Mungkinkah ketiga gadis maha cantik ini adalah tokoh dari agama jahat yang paling terkenal
dan paling disegani di dunia persilatan sekarang ini, yaitu Khing-hoa-sam-niocu.
Apakah ketiga pasang tangan yang halus dan mulus inipun dapat menggunakan kungfu yang
misterius serta maha keji itu sehingga jiwa manusia dipandang mereka seperti permainan anak
kecil " Jika tidak menyaksikan sendiri kelihaian mereka, tentu Pwe-giok juga tidak percaya akan
kekejian mereka.
Tiga pasang mata jeli dengan lirikan memabukkan sama terpusat pada diri Pwe-giok, seakanakan
menembus dada anak muda itu, ingin tahu isi hatinya.
Mendadak Thi-hoa niocu, yaitu si nona bunga besi berkata dengan tertawa genit, "Eeh,
pemuda bagus dari mana ini " Kedatanganmu ke sini apakah hendak memikat perempuan dari
keluarga baik-baik seperti kami ini ?"
183 Dengan hambar Pwe-giok menjawab; "Kedatanganku ini hanya ingin belajar kenal dengan
kehebatan cara para nona bunuh orang."
Thi-hoa-niocu terhitung paling seksi di antara ketiga Khing hoa-sam-niocu, dengan langkah
gemulai ia mendekati Pwe-giok, katanya pula dengan senyum manis, "Membunuh katamu"
Wah, sungguh menakutkan ucapanmu ini" Membunuh orang hanya akan merusak kecantikan
anak perempuan. Selamanya kami tidak berani membunuh. Apakah anda sering membunuh
orang ?" Dia bicara dengan suara lembut dan senyum selalu dikulum serta menatap Pwe-giok dengan
pandangan yang tulus sehingga mirip benar seorang nona cilik yang selamanya tidak pernah
membunuh, bahkan tidak tahu apa artinya membunuh.
Meski tahu jelas nona ini tidak saja membunuh, bahkan memandang jiwa manusia tidak lebih
berharga daripada jiwa semut, tapi melihat cara bicaranya, melihat sikapnya sekarang, Pwegiok
menjadi tidak percaya pada pandangannya sendiri. Ia berkerut kening dan bertanya
dengan ragu, Maksudmu, kedua orang tadi bukan di bunuh olehmu ?"
Mata Thi-hoa-niocu terbelalak lebar, seperti terkesiap dan heran, jawabnya, "Kau bilang
kedua orang yang masuk ke rumah itu ?"
Pwe-giok mengiakan.
"Bukan kau yang membunuh kedua orang itu?"
"Aku"! .... " Pwe-giok jadi melengak sendiri.
"Jelas-jelas kedua orang tadi masuk kesana dalam keadaan segar bugar dan telah kalian
bunuh, masa sekarang kalian malah menuduh diriku "!" kata Thi-hoa-niocu.
Dia berbalik menghantam Pwe-giok cara berucapnya juga tegas, meski penasaran, seketika
Pwe-giok jadi kalah berbantah.
Thi-hoa-niocu menghela nafas, katanya pula, "Ku tahu setelah kau bunuh orang, tentu
perasaanmu tidak enak. Tapi kaupun tidak perlu berduka, asalkan lain kali jangan
sembarangan membunuh. kan beres"!"
Mestinya Pwe-giok yang hendak memberi nasehat padanya, sekarang si nona berbalik
memberi wejangan, keruan anak muda itu serba runyam, rasa gusarnya menjadi sukar di
hamburkan. Maklum, menghadapi nona cantik, lincah, pintar, dan binal seperti ini, jika digunakan sikap
kasar dengan membentak, memaki atau memukulnya kan tidak pantas.
Kembali Thi-hoa-niocu tersenyum manis, ia mengebaskan sapu tangannya dengan perlahan
dan berkata pula: "Jika hatimu kesal, marilah ikut padaku. Bisa jadi akan ku bikin hatimu
menjadi riang."
Dia terus melangkah beberapa tindak kesana, lalu menoleh, dilihatnya Pwe-giok tetap berdiri
tenang di tempatnya tanpa ikut melangkah dan juga tiada sesuatu perubahan. Keruan hati ThiRenjana
Pendekar > Karya Khulung > Diceritakan oleh : GAN KL > buyankaba.com 184
hoa-niocu terkejut, namun senyum yang menghias wajahnya bertambah manis sehingga rasa
kejutnya tidak kelihatan.
Rupanya pada sapu tangannya itu tersembunyi semacam obat bius yang paling lihay dari
Thian-cam-kau. Jilid 8________
Apa yang digunakan Thi-hoa-nio ini disebut "Lo-pek-ciau-hun-tay-hoat" atau ilmu sapu
tangan pengisap sukma. Gerak tangannya kelihatan enteng tapi sesungguhnya memerlukan
kecermatan yang luar biasa, baik gerakannya, timingnya, arah angin, semuanya harus
diperhitungkan dengan tepat.
Selain itu, lebih dulu pihak lawan harus dirayu sehingga setengah linglung dan sama sekali
tidak berjaga-jaga, untuk ini sudah tentu diperlukan daya pelet dan kecerdikan, jadi lambaian
sapu tangan yang kelihatannya sepele ini sesungguhnya memerlukan pengetahuan yang luas
dan dalam, sebab itulah ia termasuk satu di antara ke tujuh ilmu iblis berbisa dari Thian-camkau.
Selama ini entah sudah berapa banyak orang kangouw yang terjungkal di bawah "Lo-pekciau-
hun-hoat" ini, mengingat usia Ji Pwe-giok yang masih muda belia, Thi-hoa-nio yakin
pasti dapat merobohkannya.
Siapa tahu, biarpun masih muda usia Pwe-giok sudah kenyang pengalaman, sudah berkali-kali
ia menghadapi momen menentukan mati dan hidup, terhadap siapapun dia senantiasa
waspada, maka begitu melihat gelagat tidak baik, segera ia menahan pernapasannya.
Begitulah Thi hoa nio menjadi terkejut, namun di mulut ia masih bicara dengan manis: "Wah,
besar amat lagakmu, masa diundang dengan hormat saja tidak mau"!"
Terdengar seorang menukas dengan tertawa di kejauhan: "Jika kongcu sudi ikut pergi
bersama kami kakak beradik, kujamin kongcu pasti takkan kecewa!"
Suaranya berat dan rada parau, namun penuh daya pikat yang menggetar sukma, setiap
katanya seolah-olah mengkili-kili hati setiap lelaki.
Di tengah suara tertawa, tertampaklah Gin hoa nio (si bunga perak) telah muncul, begitu riang
wajahnya seakan-akan alisnya lagi tertawa dan matanya juga sedang tertawa. Hampir setiap
bagian sekujur badannya seperti lagi tertawa genit terhadap Pwe-giok.
Belum lagi orangnya mendekat sudah tersiar dulu bau harumnya yang merangsang, sebelah
tangannya yang membelai rambut dengan kerlingan mata yang menggiurkan, katanya pula
dengan tersenyum getir: "Ku tahu kongcu pasti takkan menolak ajakan kami bukan?"
"Bukan," jawab Pwe giok dengan hambar, jawaban yang sederhana.
Tampaknya melengak juga Gin hoa-nio, tapi ia lantas berkata pula dengan lenggokan
pinggang menggiurkan: "Masa kongcu sampai hati?"
185 Setiap gerak-gerik Gin hoa nio seolah-olah ingin memancing kaum lelaki berbuat sesuatu,
setiap kerlingan dan senyumnya cukup menimbulkan gairah kaum lelaki.
Namun Pwe-giok masih tetap memandangnya dengan hambar, mirip orang yang lagi
menonton suatu permainan.
Hakekatnya Pwe giok tidak perlu bicara, sikapnya yang dingin dan menghina ini sudah lebih
tajam daripada kata-kata apapun juga.
Gin hoa-nio menghela napas, ucapnya: "Kau tidak mau ikut, juga tidak pergi, memangnya
untuk apa kau cuma berdiri saja di sini?"
"Aku ingin tahu Khing hoa sam-niocu masih mempunyai kemahiran apalagi?" jawab Pwegiok
dengan tertawa.
Mendadak air muka Gin hoa-nio berubah, ia tertawa terkekeh-kekeh dan berseru: "Baik!"
Begitu kata "baik" terucapkan, serentak ketiga kakak beradik itu lantas berputar dengan cepat,
mantel mereka yang longgar lantas ikut berkibar sehingga kelihatan tubuh mereka.
Seketika Pwe-giok melenggong.
Sungguh tak tersangka bahwa tubuh di dalam mantel itu ternyata telanjang bulat. Di antara
tubuh yang putih mulus itu hanya bagian pinggul saja yang menggunakan sepotong gaun hijau
yang cekak dan kelihatan kedua kakinya yang jenjang. Dadanya padat dengan kulit badan
yang putih bersih.
Mantel hitam mereka mendadak terbang seperti kupu-kupu raksasa, rambut mereka yang
panjang terurai di atas dada yang putih, dada yang kelihatan kenyal dan tergetar-getar.
Gaya tarian mereka tampak halus dengan tangan yang mulus serta kaki yang jenjang
mempesona, semua ini seakan-akan sedang menggapai-gapai Pwe giok.
Lambat laun pipi ketiga nona itu bersemu merah dengan mata setengah terbuka dan mulut
setengah terpentang, dada berombak naik turun dan mengeluarkan suara yang menggetar
sukma. Inilah suara kehausan dan gerakan yang penuh harap.
Semua ini benar-benar bisa membikin gila kaum lelaki.
Namun Pwe-giok masih tetap memandangnya dengan hambar, sorot matanya juga tidak
dialihkan ke jurusan lain.
Kini gaya tari mereka yang semula kelihatan ruwet itu mulai berubah menjadi sederhana dan
bersahaja, mereka seperti masih meronta-ronta ditengah kehausan, bergeliat, berkeluk-keluk,
bergemetar dan memohon...
Mendadak Pwe giok menghela napas, katanya: "Nona Kim hoa, gaya tarian mu ini kalau
dilihat Tong kongcu, lantas bagaimana jadinya?"
186 Tubuh Kim hoa niocu tampak bergemetar mirip kena dicambuk orang. Namun tariannya
masih tetap berlangsung.
Sekonyong-konyong Gin hoa-nio tertawa nyaring, serentak ketiga nona itu berjungkir dengan
kepala di bawah, dengan tangan sebagai kaki mereka menari dengan lebih gila lagi.
Dapat dibayangkan jika perempuan telanjang menjungkir dengan kaki bergerak-gerak di
udara dan rambut terurai di lantai dan... tidak perlu menyaksikan sendiri juga setiap orang
dapat membayangkan betapa gilanya gaya tersebut. Apabila ada lelaki yang tidak berdebardebar
jantungnya dan timbul reaksi badaniah yang spontan demi menyaksikan tari yang gila
ini, maka lelaki itu pasti punya penyakit jika tidak mau dikatakan abnormal.
"Awas, itulah Siau-hun-thian-mo-bu!" tiba-tiba terdengar suara Tong Bu-siang berseru
dengan suara gemetar. "Blang", mendadak daun jendela ditutupnya, ia tidak berani
memandang lagi. Siau-hun-thian-mo-bu, tarian iblis pembetot sukma, siapapun tidak tahan
melihat tarian gila ini.
Rupanya Tong Bu-siang menyadari betapa lihay daya tarik tarian itu, bila dirinya tidak tahan
seketika bisa tertimpa bencana, sungguh ia tidak berani menyerempet bahaya ini.
Suasana sunyi sepi, hanya terdengar suara napas dan keluhan yang menggetar sukma saja,
seperti membawa semacam irama yang aneh yang dapat menghancurkan iman setiap lelaki.
Sejenak kemudian, "blang", daun jendela yang tertutup tadi mendadak berlubang dan dibobol
dari dalam, rupanya Tong Bu-siang tidak tahan oleh suara keluhan yang merangsang itu,
betapapun dia ingin melihatnya.
Wajah orang tua ini kelihatan merah padam, sorot matanya seolah-olah membara, sekujur
badan gemetar, saking tak tahan beberapa kali ia hendak menerjang keluar kamar, namun ia
menggertak gigi dan bertahan sekuatnya, celakanya matanya justru sukar dipejamkan.
Tarian iblis pembetot suka ini benar-benar menimbulkan daya pikat yang sukar dibayangkan.
Di bawah bimbingan orang tua yang kereng, sejak kecil watak dan iman Pwe-giok sudah
terpupuk dengan kuat. Melulu soal iman, di antara tokoh-tokoh Bu-lim sekarang mungkin
tiada seberapa orang yang dapat menandingi dia. Jika tiada keteguhan iman yang melebihi
orang lain ini, mungkin dia sudah gila selama lebih sebulan ini mengalami pukulan yang luar
biasa ini. Walaupun demikian, tidak urung jantungnya sekarang juga berdebur-debur dan hampir tiada
bertenaga lagi.
Pada saat itu, sinar sang surya menyorot terlebih terang, di depan matanya seolah-olah terlapis


Renjana Pendekar Karya Khulung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

cahaya kelabu yang gemerlapan, waktu ia mengawasi lebih cermat, di sekelilingnya ternyata
sudah terjalin selapis jaring halus.
Jaring halus berwarna putih kelabu telah mengurungnya di tengah, benang perak yang halus
dan hampir tidak kelihatan oleh mata telanjang itu terus terjulur dari ujung jari Khing-hoasam-
niocu. 187 Mendadak Thi-hoa-nio melompat ke atas, lalu berdiri tegak, ucapnya dengan tertawa: "Boleh
juga ketajaman matamu, akhirnya dapat kau lihat juga."
"Cara nona mempertontonkan keindahan tubuhmu ini, apakah tujuan kalian adalah untuk
memasang jaring labah-labah yang tiada artinya ini?" tanya Pwe-giok dengan gegetun.
"Salah jika demikian pikiranmu," jawab Thi-hoa-nio dengan tertawa. "Thian-mo sin bu
sendiri yang kami tarikan ini memang sudah penuh daya pikat, jika kau tidak percaya, boleh
kau lihat Tong loyacu itu, bilamana kami tidak mengingat kepada Tong-kongcu, mungkin...
mungkin ahli Am-gi nomor satu yang termasyhur ini sekarang sudah... sudah... " dia sengaja
tidak melanjutkan dan tertawalah terkial-kial.
Tanpa terasa Pwe-giok berpaling ke sana, dilihatnya Tong Bu siang bersandar diambang
jendela dengan lunglai, tampaknya sedikitpun tiada bertenaga pula.
Nyata apa yang dikatakan Thi-hoa-nio barusan memang bukan bualan, bilamana Thian-mo-bu
ini ditujukan kepada Tong Bu-siang, saat ini mungkin jago Am gi nomor satu ini sudah mati
di bawah kerumunan nona-nona bunga ini. Mau tak mau terkesiap juga Pwe-giok.
Sampai sekian lama Thi-hoa-nio tertawa, habis itu mendadak ia berkata pula dengan
menyesal: "Cuma sayang, kau ini lebih mirip patung, sama sekali tidak tahu menikmati
keindahan orang perempuan, maka terpaksa kami melepaskan Gin-si (benang perak), tapi
inipun bukan benang labah-labah."
"Habis apa kalau bukan benang labah-labah?" tanya Pwe-giok.
"Akan kuberitahukan, supaya tambah pengetahuanmu." ujar Thi-hoa-nio. "Inilah 'Ceng-si'
yang dikeluarkan oleh 'Thian-cam' (ulat sutera sakti), mahluk sakti agama kami."
"Ceng-si (benang cinta)"... Bagus juga nama ini," ujar Pwe-giok dengan tersenyum.
"Apabila sudah terlibat oleh Ceng-si ini, maka sukarlah melepaskan diri, benang cinta ini
akan mengikat dan merasuk tulang, betapa nikmat rasanya yang menggetar kalbu itu,
mimpipun tak dapat kau bayangkan." kata Thi-hoa-nio pula dengan tertawa genit. "Cuma
sayang, terlalu cepat kau melihat benang cinta ini tadi, kalau tidak, tentu sekarang
kenikmatannya sudah kau rasakan."
Pwe-giok tahu Thian-cam ceng-si ini pasti keji luar biasa, tadi apabila dirinya sampai terlibat
oleh benang itu, maka jangan harap akan bisa terlepas lagi, mau tak mau harus pasrah nasib
untuk diperlakukan sesuka mereka, tatkala mana mungkin minta hidup tak dapat, ingin
matipun sukar. Nyata, dalam waktu singkat tadi meski tampaknya tiada terjadi sesuatu yang berbahaya, tapi
sesungguhnya dia sudah berada di ambang pintu neraka dan untung bisa pulang balik.
Teringat begitu, tanpa terasa Pwe-giok berkeringat dingin, namun lahirnya dia tetap tenangtenang
saja, katanya dengan tersenyum: "Cayhe cukup maklum, semakin indah nama sesuatu
benda, semakin keji pula benda itu. Seperti Siau-hun-san (Puyer pembuyar sukma), To-cengciu
(Arak pelarian cinta) dan sebagainya, kuyakin Ceng-si andalan kalian ini pasti juga
sejenisnya."
188 Mulut Thi-hoa-nio menjengkit, ucapnya: "Ceng-si agama kami ini tidak dapat dibandingi
benda apapun di dunia ini, barang sebangsa Sian-hun-san, To-ceng-ciu dan sebagainya mana
dapat disejajarkan dengan Ceng-si?"
"Jika demikian, tadi waktu para nona menumpahkan Ceng-si dari tangan, mengapa benang itu
tidak kalian libatkan pada tubuhku, sungguh sampai saat ini aku merasa tidak paham."
"Sudah kubilang kau ini orang tolol, nyatanya kau memang bebal." ujar Thi-hoa-nio dengan
tertawa genit. "Tadi jika kami benar benar langsung melibat dirimu dengan Ceng-si, bukankah
segera akan diketahui olehmu" Hanya satu dua utas Ceng-si mana dapat mengikat patung
seperti kau ini?"
"Oo, kiranya demikian." ucap Pwe-giok dengan tersenyum.
Melihat senyuman anak muda itu, segera Th-hoa-nio merasa dirinya telah terpancing dan
terlanjur bicara tentang daya guna Ceng-si. Ia berkedip-kedip, lalu berkata pula dengan
tertawa: "Tapi saat ini kau sudah terkurung rapat oleh Ceng-si kami bertiga dan jangan harap
akan dapat lolos lagi, lebih baik kau berlutut dan menyerah kepada kami, kujamin pasti akan
memuaskan kau."
"Para nona memiliki Ceng-si, aku kan juga punya Hui-kiam (pedang tajam)," kata Pwe-giok.
Habis bicara, sekali tangannya bergetar, Am-gi keluarga Tong yang menancap di ranting kayu
yang masih dipegangnya itu segera ada dua buah melayang kesana.
Meski kedua biji Am-gi ini terpental karena tenaga sentakan ranting kayu itu, namun dari
suara mendesingnya yang keras, jelas jauh lebih kuat daripada ditimpukkan dengan tangan
orang lain. Tak terduga, Am-gi sekuat itu sama sekali tak berguna, begitu menyentuh jaring cinta itu,
sama seperti laron masuk ke jaring, meronta tak bisa terlepas, menerjang tak dapat tembus.
Pwe-giok jadi teringat pada dirinya sendirinya juga terikat oleh benang cinta Lim Tay-ih,
selama ini pikirannya selalu dirundung rindu dan sukar dilupakan, entah pula bagaimana
nantinya. Teringat sampai di sini, seketika timbul macam-macam pikirannya, ucapnya dengan
tersenyum getir: "Nama Ceng-si yang nona gunakan ini sungguh nama yang sangat bagus dan
sukar dicari."
"Dan sekarang kau sudah menyerah?" tanya Thi-hoa-nio dengan tertawa.
Pwe-giok termangu-mangu seperti orang linglung, seolah-olah tidak mendengar apa yang
diucapkan si nona.
Thi-hoa-nio berkata pula: "Jika kau tidak segera menjawab, sekali jaring kami tarik, seketika
kau akan menjadi setan bagi cinta."
"Bisa menjadi setan bagi cinta mungkin akan lebih baik daripada selama hidup senantiasa
dirundung rindu," jawab Pwe-giok dengan menghela napas panjang.
189 "Baik jika memang begitulah kehendakmu!" seru Thi-hoa-nio. Dia bertepuk tangan pelahan,
lapisan jaring yang putih kelabu itu lantas mulai ringkas ke tengah, pelahan-lahan mendesak
ke tubuh Ji Pwe-giok, apabila tubuhnya tersentuh Ceng-si, maka sukarlah melepaskan diri.
Benang cinta ini memang tiada ubahnya seperti benang kematian!
Entah apa yang terpikir oleh Ji Pwe-giok, tampaknya ia tidak menyadari malaikat elmaut
selangkah demi selangkah sedang mendekatinya.
Dipandang dari jauh Pwe-giok seperti berdiri di tengah tiga dewi cantik dan sedang bersenda
gurau, siapa yang tidak mengiler melihat adegan yang menggiurkan ini" Siapa pula yang tahu
sesungguhnya anak muda itu sudah terjeblos ke dalam jaringan maut.
Kim-hoa-nio hanya memandangi Pwe-giok dengan termangu-mangu, ucapnya dengan rawan:
"Menjadi setan bagi cinta memang jauh lebih baik daripada hidup dirundung rindu tak
sampai, tampaknya kau sudah berpengalaman cinta, seumpama matipun tidak menjadi soal."
Mendadak Pwe-giok tertawa dan bersenandung: "Ingin tak rindu, membuat orang cepat tua,
setelah berpikir, tetap rindu jua..." ditengah senandungnya pelahan ia ayun ranting kayunya
setengah lingkaran, Am-gi yang menancap pada ranting kayu itu seluruhnya lengket pula pada
jaring cinta itu hingga berwujud suatu lingkaran.
"Hihi, dengan besi rongsokan ini kau kira dapat membobol benang cinta kami ini?" kata Thihoa-
nio dengan tertawa mengikik.
Belum lenyap suaranya, dengan ranting kayu sebagai pedang, Pwe-giok terus menusuk
berpuluh kali, setiap kali tusukannya tepat mengenai Am-gi yang menempel di 'jaring cinta'
itu. Tenaga tusukan yang digunakan sangat kuat.
Thi-hoa-nio merasa pergelangannya tergetar hebat, bukan saja jaring itu sukar ditarik dan
ringkas, sebaliknya malah terasa membentang lebar, tanpa terasa ia berseru: "Sungguh cerdik
caramu ini, rasanya akupun rada-rada kagum padamu."
Hendaklah diketahui bahwa benang ulat sutera alam itu mempunyai daya lengket yang sangat
kuat, benda apapun bila melengket lantas sukar terlepas, karena benang itupun bisa mulur
mengkeret, maka ditolak atau dipentang sekuatnya tetap sukar membobolnya.
Kalau melulu menggunakan 'Pedang' dan langsung menusuk 'jaring cinta' itu, sekali pedang
melengket, sekalipun besar tenaganya dan dapat melubangi jaring itu, tapi orangnya tetap
akan terlilit juga di tengah jaring.
Tapi sekarang Pwe-giok menghamburkan lebih dulu am-gi sebanyak itu dan menempel pada
jaring, lalu 'pedang' menghantam am-gi dengan sendirinya berbagai senjata rahasia itu takkan
melengket benda lain dan Pwe-giok lantas dapat memainkan pedangnya dengan leluasa.
Cara ini tampaknya sangat sederhana, tapi bila tiada mempunyai kecerdasan luar biasa tidak
nanti dapat berpikir sejauh ini. Sekarang ranting kayu ditangan Pwe-giok telah berubah
menjadi sebilah pedang serba guna.
190 Terdengarlah serentetan suara 'trang tring' yang nyaring. Susul menyusul Pwe-giok menusuk
terlebih gencar, tenaga yang dilontarkan juga semakin kuat, padahal jaring itu sedang ditarik
dan diringkaskan oleh ketiga nona bunga itu, sebaliknya Am-gi yang ditusuk pedangnya
menerjang keluar dengan kuat, akhirnya ujung berbagai senjata rahasia itupun tertembus
keluar jaring. Mendadak Pwe-giok bersiul panjang sambil berputar kencang, pedang menggaris, lingkaran
senjata rahasia yang berjajar itu tertolak lebih keras oleh pedang itu. Senjata rahasia pertama
merenggang satu-dua inci ke samping dan menyampuk senjata rahasia kedua. Maka senjata
rahasia kedua itu dapat merobek jaring cinta itu beberapa inci lagi terus menghantam senjata
rahasia ketiga dan begitu seterusnya....
Hanya dalam sekejap saja "Jaring Cinta" itu hampir terobek seluruhnya, ketika Pwe-giok
menyingkap dengan ujung ranting kayunya, segera orangnya menerobos keluar sambil bersiul
panjang melengking.
Khing-hoa-sam-niocu seakan-akan kesima menyaksikan olah Pwe-giok yang luar biasa itu,
baru sekarang mereka terkejut sadar dan cepat melompat mundur bersama.
"Bagus, bagus sekali" seru Thi-hoa-nio dengan tertawa. "Di kolong langit ini kau orang
pertama yang dapat menerobos keluar dari Ceng-bang (jaring cinta) ini. Kau memang hebat
dan pantas dibanggakan..."
Di tengah suara tertawanya yang seram, mendadak ia mencabut sebilah golok emas yang
menancap di pohon, sekali berkelebat, lengan beberapa orang teringkus di batang pohon itu
ditabasnya mentah-mentah. Darah segar berhamburan, tapi orang-orang itu seperti tidak
merasa sakit, mereka malah tertawa seperti orang gendeng.
Thi hoa-nio lantas melemparkan lengan kutung yang berlumuran darah itu kepada Pwe-giok.
Dengan gusar Pwe-giok membentak; "Sampai sekarang kalian masih membikin celaka
orang?", cepat la melompat mundur, ia tahu darah yang muncrat dari lengan kutung itu pasti
darah berbisa yang bisa membikin celaka orang.
Saking gemasnya melihat kekejian Thi-hoa-nio itu, segera Pwe-giok melayang ke atas dan
hendak menerjang mereka.
Tapi mendadak "blang", suara letusan menggelegar, beberapa lengan kutung itu mendadak
meledak dan berubah menjadi kabut darah yang mengerikan. Kabut berdarah itu tersebar
dengan sangat cepat dan membanjir ke arah Pwe-giok.
Saat itu Pwe-giok masih terapung di atas, ia terkejut, sebisanya ia melejit di udara sehingga
tubuh sendiri terpental lebih cepat ke belakang dan turun kembali ke bawah. Dilihatnya kabut
berdarah itu masih terus menjalar, cuma jaraknya sekarang sudah mulai menjauh.
Didengarnya suara Thi-hoa-nio yang seram berkumandang dari jauh: "Sekali Thian-can (ulat
sutera sakti) menyusup tulang, sebelum mati, takkan berhenti, boleh kau tunggu saja nanti..."
Kabut itupun mulai menipis, tapi bayangan Khing-hoa-samniocu sudah tidak kelihatan lagi,
hanya golok emas yang menancap di pohon itu tampak masih bergoyang-goyang.
191 Kebetulan angin meniup, seketika tercium bau darah yang anyir. Pwe-giok ingin tumpah,
sungguh tidak kepalang kejutnya mengingat apa yang terjadi barusan.
Terdengar Tong Bu-siang lagi berkata dengan menghela napas panjang: "Inilah ilmu andalan
Thian-can-kau yang disebut Kim-to-kay-te, Hiat-sun-tay-hoat (Golok emas membelah tubuh,
ilmu menghilang di balik kabut darah). Sekali ilmu ini dikeluarkan, di dunia ini mungkin tiada
seorangpun yang mampu menangkap mereka."
Ahli senjata rahasia nomor satu yang termasyhur ini tampak bersandar lemas di ambang
jendela dan memandang jauh ke depan, sorot matanya juga menampilkan rasa kejut dan takut
yang tak terhingga, seperti membayangkan bahaya dan petaka yang bakal timbul.
"Agama iblis sekeji dan kejam ini, mengapa tiada orang yang mau menumpas mereka?" kata
Pwe-giok dengan menyesal.
Tong Bu-siang tersenyum getir, katanya: "Memangnya siapa yang sanggup menumpas
mereka" Ilmu silat Thian-can-mo-kau sungguh teramat keji, orang biasa hakekatnya tidak
dapat mendekati mereka, begitu menempel tubuh mereka seketika jiwa melayang"
"Siapakah Kaucu mereka?" tanya Pwe-giok.
"Kaucu Thian-can-kau hakekatnya tidak pernah dilihat oleh siapapun juga, jejaknya sukar
diketahui, pergi datang tanpa bekas serupa hantu, wajah aslinya tidak pernah dikenal orang,
bahkan siapa namanya juga tiada yang tahu."
"Aku tidak percaya bahwa di dunia ini tiada seorangpun yang mampu mengatasi dia?" ujar
Pwe-giok. "Ilmu silat Thian-can-kau memang sangat keji, tapi juga tidak sembarangan mengganggu
orang, jejaknya juga jarang ditemukan di wilayah Tionggoan, mereka kebanyakan berkeliaran
di pegunungan sunyi dan di daerah terpencil, bilamana mereka tidak mencari orang lain,
hakekatnya orang lainpun sukar menemukan mereka."
"Namun aku tetap yakin pasti ada orang yang akan menumpas mereka," kata Pwe-giok pula
pelahan setelah termenung sejenak.
Terbelalak mata Tong Bu-siang, katanya: "Ya, mungkin kau... kau masih muda dan berani,
tinggi pula ilmu silatmu, apabila kelak ada orang yang mampu menumpas Thian-can-kau,
maka... maka orang itu pastilah kau. Mengenai diriku..." dia menyengir, lalu menyambung
pula: "Pada waktu mudaku hidupku tidak teratur dan suka menuruti bisikan hati, iman tidak
teguh. Jadi ilmu jahat Thian-can-kau kebetulan adalah lawan maut bagiku."
Baru sekarang Pwe-giok tahu apa sebabnya seorang guru besar dunia persilatan terkenal ini
sedemikian jeri terhadap Khing-hoa-sam niocu dan begitu mudah dipengaruhi oleh tarian gila
tadi. Mendadak Sebun Bu kut melongok keluar dan memandang Pwe-giok dengan tersenyum
misterius, katanya: "Thian-can merasuk tulang, sebelum mati tidak berhenti. Sekali kau
192 terlibat mereka, jarang ada orang yang dapat lepas dengan hidup. Meski sekarang mereka
sudah pergi, tapi Ji-kongcu masih perlu hati-hati."
"Untuk ini tidak perlu anda ikut kuatir," jawab Pwe-giok dengan tersenyum hambar.
"Jika demikian, biarlah Cayhe mohon diri lebih dulu," kata Sebun Bu kut. Tiba-tiba ia
berpaling kepada Tong Bu-siang dan bertanya: "Dan Tong cianpwe" ...."
Tong Bu-siang tampak ragu, katanya, "Ji-kongcu ......"
"Cianpwe silahkan pergi saja dan tidak perlu kuatir bagiku," sela Pwe-giok dengan tertawa,
"Bila aku tak dapat menjaga diriku sendiri, cara bagaimana aku akan berkelana di dunia
Kangouw kelak?"
Tong Bu-siang berpikir sejenak, katanya pula: "Ya, kuyakin kau pasti dapat menjaga dirimu
sendiri. Hanya perlu kau ingat, masa paling lihay dari racun ulat ini hanya tujuh hari, asalkan
kau dapat bertahan tujuh hari pertama, selanjutnya tentu tidak berbahaya lagi."
"Tapi untuk tujuh hari itulah sampai sekarang belum pernah ada orang yang sanggup
menghindarinya" kata Sebun Bu-kut dengan seram. Habis itu, sekuatnya ia memayang Ong
Uh-lau dan diajak pergi.
Menunggu sesudah Tong Bu-siang juga pergi, barulah Ki Leng-yan muncul dengan tertawa,
katanya: "Memang ku tahu di dunia ini tiada seorang perempuan pun yang sampai hati mem...
" belum habis ucapannya, mendadak Pwe-giok jatuh terkapar.
Terlihat wajahnya pucat menghijau, bibirnya bergemetar, sekujur badan menggigil, Leng-yan
coba merabanya, terasa badan pemuda itu panas seperti dibakar.
Rupanya tadi waktu kabut berdarah mulai buyar, tanpa terasa ia telah menghisapnya setitik,
waktu itu ia memang sudah merasakan gelagat tidak enak, tapi baru sekarang racun itu mulai
bekerja. Leng-yan seperti terkesima saking cemasnya, dipandangnya Pwe-giok dengan termangumangu,
katanya kemudian: "Akhirnya kau terkena juga... terkena juga racun mereka."
Pwe-giok merasa seluruh badan sebentar dingin sebentar panas, ia tahu keracunan tidak
ringan, tapi dia memang berbudi luhur, selalu memikirkan orang lain lebih dulu. Ia kuatir
Leng-yan berkuatir dan berduka baginya, maka sedapatnya ia berlagak tenang. katanya
dengan tertawa: "Sejak tadi ku tahu keracunan, tapi... tapi tak beralangan... "
Ling-yan berpikir sejenak, katanya kemudian: "Jika sejak tadi tahu keracunan, mengapa tidak
kau katakan?"
"Kau tahu Sebun Bu-kut dan komplotannya itu bermaksud jahat padaku," tutur Pwe-giok.
"Jika tadi ku perlihatkan tanda-tanda keracunan, mungkin mereka takkan meninggalkan
diriku. Sebab itulah aku bertahan sekuatnya hingga sekarang."
193 Meski untuk bicara saja rasanya sangat sulit, namun Pwe-giok bertahan dan berusaha
memberi penjelasan kepada Ki Leng-yan, diharapkannya semoga anak perempuan yang masih
polos dan suci bersih ini bisa lebih banyak memahami seluk-beluk orang hidup.
Nona itu menghela napas, katanya: "Ai, kenapa manusia selalu punya macam-macam soal
ruwet begitu, burung tentu tidak ........"
Memandangi wajah si nona yang kekanak-kanakan dan linglung itu, susah juga hati Pwegiok.
Ia tahu ucapan Sebun Bu kut tadi bukan untuk menakutinya, Khing-hoa-sam-niocu pasti
takkan melepaskan dia, selama tujuh hari ini pasti sukar dilewatkan. Apalagi sekarang dirinya
keracunan, untuk berdiri saja tidak kuat.
Bilamana sekarang dia didampingi orang lain, mungkin dapat membantu dia menghindarkan
malapetaka ini, celakanya yang mengiringinya sekarang adalah Ki Leng-yan yang linglung
dan tidak dapat bertindak apapun.
Semakin dipikir semakin gelisah Pwe-giok, apabila Khing-hoa-samniocu datang lagi dan
melihat Ki Leng-yan, mungkin anak dara ini takkan diampuni. Teringat demikian, cepat ia
berseru: "Kawanan burung sedang menantikan dirimu, lekas kau pergi mencari mereka saja!"
"Dan kau?" tanya Leng-yan. "Aku... aku akan istirahat di sini," jawab Pwe-giok. Leng-yan
berpikir sejenak, katanya kemudian dengan tertawa: 'Biarlah kutunggu kau di sini, bila kau
sudah sembuh, kita pergi bersama." - Dengan tersenyum lantas ia berduduk dan sama sekali
tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Pwe-giok dalam keadaan gawat.
Pwe-giok merasa darah dalam tubuhnya bergolak hebat, mulut mendadak terasa kaku dan


Renjana Pendekar Karya Khulung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mati rasa, ingin bicara, namun bibir tak dapat bergerak lagi. terpaksa ia hanya memandangi Ki
Leng-yan dengan sorot mata yang cemas.
Dilihatnya wajah Ki Leng-yan yang tersenyum simpul itu makin lama makin kabur, makin
jauh, suaranya juga seperti semakin lirih seolah-olah berkumandang dari tempat yang tidak
kelihatan, sayup-sayup terdengar nona itu berkata: " Jangan kuatir, bilamana kawanan burung
sakit, akupun senantiasa menjaga mereka, setiap hari kusuapi obat kepada mereka, obatku
sangat manjur, setelah kau minum tentu akan jauh lebih segar."
Pwe-giok ingin berteriak: "Aku bukan burung, mana boleh minum obat burung!"
Namun satu katapun tak dapat diucapkannya, ia merasa Leng-yang telah menjejalkan sebiji
obat ke mulutnya, pil itu lantas cair dan mengalir ke dalam kerongkongan, malahan terasa
membawa semacam bau harum yang aneh.
Ia merasa pikirannya mulai tenang, badan terasa segar dan enak sekali, selang sejenak pula
mendadak ia terpulas.
***** Begitulah Pwe-giok tertidur dan mendusin dan tertidur pula. Apabila mendusin, Ki leng-yan
lantas menyuapi ia satu biji obat, sehabis minum obat rasanya menjadi segar, lalu tertidur pula
dengan nyenyaknya.
194 Mula-mula bila dia mendusin dia masih terus mendesak: 'Lekas kau pergi saja, larilah lekas,
setiap saat Khing-hoa-samniocu bisa muncul lagi."
Tapi akhirnya ia merasa badan sedemikian segarnya, terhadap segala urusan penuh keyakinan
biarpun Khing-hoa-samniocu sekarang datang lagi rasanya juga tidak takut pula.
Ia sendiri tidak paham mengapa bisa timbul perasaan begitu, iapun tidak tahu apakah masa
tujuh hari yang konyol itu sudah lewat atau belum.
Entah berapa hari sudah lalu, suatu hari mendadak Pwe-giok sadar kembali, sadar seluruhnya,
ia merasa tubuhnya segar bugar, sedikitpun tiada tanda-tanda lemas sehabis keracunan,
bahkan rasanya penuh semangat, penuh gairah.
Ki leng-yan juga sedang memandangnya dengan tersenyum. "Obatku memang manjur
bukan?" demikian tanya si nona.
Pwe-giok tertawa, jawabnya: "Ya, memang sangat manjur, sungguh obat mujarab yang jarang
ada bandingannya..." Sembari bicara iapun memandang sekelilingnya, baru sekarang dia
mengetahui dirinya masih berada di kamar itu, meski mayat dan darah sudah tersapu bersih,
tapi segera teringat lagi olehnya akan "Khing-hoa-niocu". ia terkesiap, tanyanya: "Sudah
berapa lama aku tertidur?"
"Rasanya seperti sudah delapan atau sembilan hari," jawab Leng-yan.
"Apa" Sembilan hari"....Dan mereka tidak datang?" seru Pwe-giok kaget.
Tujuh hari yang konyol itu ternyata sudah dilaluinya tanpa sadar, ia terkejut dan bergirang
pula, sungguh rada-rada tidak percaya. "Kau merindukan mereka?"
Jawab Pwe-giok dengan menyengir. "Aku cuma... cuma heran mengapa mereka tidak datang
lagi?" "Dan mengapa kau tidak pergi saja, apakah sengaja menunggu kedatangan mereka?" kata
Leng-yan dengan tenang-tenang.
Mendadak Pwe-giok melonjak bangun, serunya: "He, betul juga. mereka pasti tidak
menyangka aku masih berada di sini, mereka tentu akan mengejar ke tempat jauh sana dan
tidak tahu bahwa aku belum pergi dari sini," Ia pegang tangan leng-yan, katanya dengan
tertawa: "Meski tindakan ini rada-rada menyerempet bahaya, tapi dalam keadaan terpaksa,
kukira akal ini adalah akal paling bagus yang dapat dipikirkan, syukur kau dapat memikirkan
akal ini."
"Akal apa" Aku tidak tahu!" kata Leng-yan dengan tertawa linglung. Pwe-giok melengak,
dipandangnya wajah yang masih polos, bersih dan kekanak-kanakan itu, entah nona ini benarbenar
orang gendeng dan berbuat secara kebetulan saja, atau sebenarnya memiliki kecerdasan
yang luar biasa.
Leng-yan berbangkit, mendadak ia tertawa dan berkata: "Marilah kita pergi, mereka sedang
menunggu kau di luar!"
195 "Apa" mereka menunggu di luar?" Pwe-giok menegas dengan kaget.
"Ya," jawab Leng-yan dengan tertawa, "Waktu kau tertidur, banyak pula kudapatkan kawan
baru di sini, ada kakak gagak, ada adik pipit, sudah kubicarakan dengan mereka, bilamana
sakitmu sudah sembuh, akan kubawa kau berkenalan dengan mereka."
Sementara itu sinar sang surya tampak memancar masuk melalui jendela, waktu masih pagi,
di luar memang benar ramai burung berkicau.
Pwe-giok lantas ikut keluar bersama Ki Leng-yan. Begitu melihat kawanan burung, dengan
tertawa senang nona itu lantas berlari ke sana.
Pwe-giok melihat pohon itu masih tegak berdiri di sana dihembus silir angin pagi, cuma
orang-orang yang semula terikat di pohon itu sudah tak kelihatan lagi.
Tiba-tiba teringat olehnya pondokan yang letaknya meski terpencil ini toh tidak terlalu jauh
dari perkampungan lain, jika di tempat ini mendadak mati orang sebanyak ini, mengapa tiada
orang bertanya atau menyelidiki apa yang terjadi. Sesungguhnya orang-orang yang terikat di
pohon itu orang hidup atau mati"
Selain itu, tempat penginapan ini sekarang juga tiada nampak bayangan seorangpun. Aneh,
apakah semuanya sudah lari dan tiada yang mengurus" Jika tidak ada yang mengurus,
mengapa dirinya dapat tinggal di sini sampai delapan atau sembilan hari"
Pertanyaan-pertanyaan ini cukup membuat pusing kepala. Sekalipun Pwe-giok sudah sadar,
tapi cara bagaimana pula harus diselesaikannya. Ki Leng-yan yang sama sekali tidak paham
seluk-beluk kehidupan manusia ini.
Berpikir sampai di sini, timbul juga rasa curiga Pwe-giok, dipandangnya Leng-yan yang
sedang berkeplok dan berjingkrak gembira di kejauhan itu, pikirnya: "Jangan-jangan nona ini
tidak gendeng sungguh-sungguh, tapi cuma pura-pura bodoh... Mungkinkah selama beberapa
hari ini sudah pernah kedatangan orang lain yang membantu dia menyelesaikan urusan di sini.
Tapi mengapa dia tidak omong padaku?"
Tapi segera terpikir lagi: "Ah, dengan susah payah orang telah menolong diriku, tapi aku
malah mencurigai dia, betapapun tidak pantas. jika dia bermaksud jahat padaku, untuk apa
pula dia menyelamatkan diriku?"
Dilihatnya Ki Leng-yan sedang berlari-lari kemari dengan tertawa riang, serunya sesudah
dekat: "Mereka (maksudnya kawanan burung) memberitahukan padaku bahwa di depan sana
ada sebuah tempat yang baik, maukah kita melihatnya ke sana?"
Di bawah cahaya sang surya, kelihatan pipi si nona bersemu merah laksana buah apel yang
mulai masak, sinar matanya mencorong terang, begitu jernih dan polos seolah-olah tidak tahu
betapa licik dan kejinya kehidupan manusia ini.
"Marilah ikut!" ajak Leng-yan pula sambil menarik tangan Pwe-giok. Pwe-giok merasa tiada
halangan untuk menolak, dia ikut melangkah ke sana.
196 Tidak lama kemudian, tertampak di depan sana ada sebuah perkampungan yang cukup
megah, pintu gerbang perkampungan itu bercat merah mentereng, dapat diduga penghuni
gedung ini pasti bukan sembarang orang.
"Sudah sampai, marilah kita masuk ke sana," kata Leng-yan tiba-tiba sambil menarik tangan
Pwe-giok. "Di dalam sini banyak hal yang menarik, hayo kita melihatnya.'
"Ini rumah siapa" mana boleh sembarangan masuk ke rumah orang lain?" ujar Pwe-giok
dengan tersenyum getir.
"Tidak apa-apa, masuk saja," ajak Leng-yan pula.
Dengan lagak rumah ini aku punya, nona itu lantas menolak pintu dan masuk tanpa permisi.
Terpaksa Pwe-giok ikut terseret masuk ke sana.
Halaman di dalam ternyata sangat luas, ruangan tamu juga terpasang sangat mewah.
Langsung Ki Leng-yan masuk ruangan tamu terus berduduk. Anehnya juga tiada orang yang
merintanginya. Padahal halaman rumah ini terawat rapi dan bersih, jelas ada penghuninya.
"Mumpung tuan rumahnya belum keluar, marilah kita lekas pergi saja," ajak Pwe-giok.
Tapi Leng-yan tidak menghiraukannya, sebaliknya ia malah berkata:
"Hayo ambilkan teh."
Sejenak kemudian, benarlah seorang lelaki berbaju hijau (seragam kaum hamba yang umum)
membawakan dua mangkuk teh dan ditaruh dengan hormat di atas meja, tanpa bersuara terus
tinggal pergi pula dengan kepala tertunduk.
Leng-yan minum seteguk teh yang di suguhkan itu, lalu berseru pula: "Perutku lapar!"
Hanya sebentar saja, segera beberapa orang menghidangkan santapan yang diminta dengan
sikap yang sangat menghormat, bukan saja tidak bersuara sepatah pun kepada mereka, bahkan
memandang saja tidak berani.
Melenggong lah Pwe-giok, ia mengira dirinya sedang bermimpi.
Segera Leng-yan mengangkat sumpit, katanya dengan tertawa: "Hayolah makan, kenapa
sungkan-sungkan?" Dia lantas mendahului menyumpit hidangan dan dimakan dengan
nikmatnya. Pwe-giok sendiri tiada napsu makan, ia termenung-menung, sejenak kemudian, ia tidak tahan
dan bertanya: "Apakah tuan rumah di sini memang kenalan mu?"
Leng-yan tidak menggubrisnya, ia makan lagi beberapa sumpit, mendadak ia pegang meja
terus didomplangkan, keruan mangkuk piring jatuh berantakan.
"Mana orangnya!" teriak si nona.
197 Beberapa lelaki baju hijau berlari keluar dengan tergopoh-gopoh, semuanya mengunjuk rasa
gugup dan takut, semuanya berdiri di depan Leng-yan dengan kepala tertunduk, sampai
bernapas saja tidak berani keras-keras.
Dengan mata melotot Leng-yan berteriak: "Kenapa begini asin masakan Haysom-ah-ciang
(teripang masak kuah telapak kaki itik), siapa yang menghidangkan nya tadi?"
"Hamba!" cepat salah seorang baju hijau menjawab dengan suara gemetar sambil berlutut.
"Apakah kau sengaja hendak membikin aku mati keasinan?" teriak Leng-yan pula.
Pwe-giok tidak tahan, ia ikut bicara: "Dia kan tidak mencicipi, darimana tahu rasanya asin
atau cemplang, mana boleh kau menyalahkan dia. Apalagi kita makan gratis di tempat orang
lain, masa kau marah-marah malah?"
Leng-yan tertawa, katanya: "O, aku tidak tahu urusan, jangan kau marah padaku."
"Ai, kau....."
Belum lanjut ucapan Pwe-giok, sekonyong-konyong lelaki baju hijau yang berlutut itu
berseru: "Hamba tidak layak menghidangkan makanan yang terlalu asin ini, hamba pantas
mampus, tangan yang membawa hidangan ini lebih-lebih harus mampus...." mendadak ia
melolos sebilah belati dari pinggangnya dan "krek", kontan ia potong tangan sendiri.
Terkejut Pwe-giok, dilihatnya orang itu kesakitan setengah mati, butiran keringat memenuhi
dahinya, tapi tidak berani merintih sedikitpun, tangan kanan memegangi pergelangan tangan
kiri yang buntung itu dengan darah bercucuran, namun tetap berlutut dan tidak berani berdiri.
"Ehm, mendingan begini," kata Leng-yan dengan tertawa manis.
"He, ken..... kenapa kau berubah menjadi sekejam ini?" seru Pwe-giok.
"Mereka kan bukan burung, kenapa harus ku sayang mereka?" jawab si nona.
"Memangnya manusia tidak lebih berharga daripada burung?" kata Pwe-giok.
"Mereka suka dan rela, kenapa kau ribut bagi mereka?" ujar Leng-yan dengan tertawa.
"Di dunia ini mana ada orang yang suka rela membikin cacat anggota tubuh sendiri?" seru
Pwe-giok dengan gusar.
Leng-yan tidak menanggapinya, ia pandang lelaki berbaju hijau dan bertanya dengan tertawa:
"Kalian tunduk kepada perintahku secara sukarela, begitu bukan?"
Tidak saja lelaki baju hijau yang membuntungi tangan sendiri, bahkan semua hamba itu
menjawab serentak: "Ya, secara sukarela."
"Bagus!" kata Leng-yan dengan gembira. "Jika demikian, coba kalian memotong dua jari
masing-masing"
198 Kisah Bangsa Petualang 2 Pedang Berkarat Pena Beraksara Karya Tjan I D Naga Kemala Putih 3
^