Pencarian

Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun 5

Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun Karya Wang Du Lu Bagian 5


semua membekal senjata.
Diam-diam Siau Hoo girang. Itulah pembantu dan Ia tak
usah kuatir lagi!
"Kenapa kau datang?" tanya Cie Kie, romannya tidak
senang. Wan Yong tertawa.
"Liong Tiong Hiap seorang diri hendak tempur Kun Lun
Pay!" sahut dia dengan nyaring. "Bukankah itu ada
kejadian langka selama seratus tahun" Kalau keramaian
semacam ini tidak dilihat, sungguh kecewa hidupku! Kita datang buat tonton pertempuran, bukannya untuk bantu
kau!" Sebelum orang menjawab Siu-Pa-Ong Wan Cu Ciauw
telah sambungi pamannya:
"Benar-benar kita datang untuk menonton! Kita
bukannya hendak bantu Cie Toa-siok! Ce Toa-siok toh
tidak membutuhkan bantuan kita! ..."
"Bila demikian, kita jangan jalan sama!" kata Cie Kie
sambil bersenyum tawar. Ia rupanya telah menduga, orang datang untuk bantu dia, tapi karena mereka kuatir dia
menolak dan gusar, mereka lalu mendusta.
"Baik, baik, kita jalan misah!" kata Wan Yong si
Harimau Muka Ungu sambil tertawa. "Toaya jalan
didepan, kami jalan di belakang! Kita jangan saling
mengganggu ?"
Sementara itu, Wan Cu Ciauw sudah kedipi mata pada
Siau Hoo, hingga kacung mengerti maksudnya, karena
mereka itu, kedua pihak, ada bersahabat sangat kekal satu dengan yang lain, mereka jadi sengaja datang untuk
membantu, tentu saja secara diam-diam karena terang Cie Kie tidak inginkan bantuan. Karena ini, hatinya Siau Hoo jadi lega.
Wan Yong semua benar tahan kuda mereka.
Cie Kie keprak kudanya, yang lantas diikuti oleh Siau
Hoo. Jalan terus ke Timur, dua orang ini telah melalui
beberapa puluh lie. waktu itu sudah tengah hari, mereka mampir di sebuah dusun. Cie Kie cari rumah makan di
mana ia ajak Siau Hoo mampir untuk bersantap.
Sehabisnya dahar, perjalanan dilanjutkan dengan cepat-
cepat. Siau Hoo heran bahwa selama itu Cie Kie tidak pernah
tanya jalanan, seperti jago ini sudah kenal baik jalanan ditempat tersebut.
"Suhu, apakah kau pernah pergi ke Siam say Selatan?"
akhirnya murid ini mendekati gurunya dan menanya.
"Tidak sering aku datang kemari," jawab Cie Kie sambil bersenyum. "Pertama pada enam atau tuju tahun yang
lampau aku pernah datang kemari dan yang paling
belakang, pada tiga tahun yang lalu."
Mereka jalan belum jauh, Cie Kie sudah melanjutkan
omongannya. "Perselisihanku dengan Pauw Kun Lun bukan terjadi
baru selama hari ini dan satu malam," ia kata. "Dulu ada banyak sekali orang Kun Lun Pay yang hantar piauw ke
Sucoan Utara, dimana mereka coba banyak tingkah,
perbuatannya sewenang-wenang. Kejadian aku usir mereka.
Aku percaya, karena itu Pauw Kun Lun benci aku.
Sekarang Ia sudah tua, kalau peristiwa itu terjadi duapuluh tahun yang lalu, sebelum aku cari dia, tentu dia mendahului cari aku ..."
Demikianlah Cie Kie dan muridnya melanjutkan
perjalanan. Di waktu maghrib mereka cari dusun untuk
singgah. "Dari sini ke Cie-yang tingal kira-kira duapuluh lie,
disini kita bermalam," kata sang guru.
"Besok pagi-pagi kita cari persaudaraan Liong. Malam
ini jangan kau tidur kebluk. Mereka sudah ketahui
kedatangan kita ini, ada kemungkinan mereka menyatroni kita."
Siau Hoo janji akan perhatikan pesan itu, hatinya terus jadi terang sendirinya.
Long Tiong Hiap lantas cari rumah penginapan, Siau
Hoo seperti juga tidak dapat tidur, setiap kali ia seperti dengar suara apa-apa di atas genteng, ia kuatir orang Kun Lun Pay datang membokong.
Cie Kie tidak pisahkan diri dari pedangnya, nampaknya
ia tidur dengan tenteram.
Besoknya pagi, Cie Kie bangun tidur dengan tenang.
Siau Hoo tidak tidur satu malaman akan tetapi ia ada
bersemangat. Kira-kira jam delapan mereka bersantap,
setelah itu, Siau Hoo siapkan kuda mereka, Cie Kie sendiri membayar uang pada pengurus hotel.
Tidak lama mereka sudah mulai berangkat.
Cie Kie lihat tegas sikap munidnya, ia bersenyum.
"Jangan kau kuatir," kata guru ini, "Ditanganku,
persaudaraan Liong itu seperti anjing pun tidak mirip-
miripnya! Hanya Pauw Kun Lun, meski ia sudah tua, aku
tidak berani pandang enteng padanya."
-ooo0dw0ooo- Jilid 08 KIRA-KIRA dua-puluh lie kemudian, mereka lantas
tampak tembok kota, jalan biar-pun ramai dengan kuda,
kereta dan orang banyak. Tanpa merasa Siau Hoo
merasakan dadanya berdebaran.
"Suhu, apa itu kota Cie-yang?" ia tanya gurunya.
Cie Kie manggut.
"Benar," sahut la. "Kau jangan takut, mari ikut aku."
"Aku tidak takut sedikit juga, suhu!" kata sang murid.
Siau Hoo seperti tak dapat kendalikan diri, kakinya
seperti mau bergerak, tangannya seperti hendak hunus
goloknya. Sebaliknya gurunya jadi lebih sabar, kudanyapun tidak dilarikan lagi.
Sebentar kemudian mereka sudah masuk di Say-kwan,
pintu kota Barat. Kelenengan kuda terus berbunyi, hingga banyak orang yang perhatikan mereka.
Selang sedikit lama, mereka sampai di sebuah rumah
dengan pekarangan yang besar, dimana di tembok di pintu ada tulisan huru-huruf besar: "Ceng Wan Piauw Tiam."
"Kita sudah sampai!" kata Cie Kie seraya ia menoleh
pada muridnya, kemudian ia majukan kudanya sampai di
pintu yang berjeruji.
Ketika itu didalam pekarangan disebuah kursi ada duduk seorang yang lagi mengasokan diri, mukanya biru,
kumisnya gompiok. Dia adalah Coan-in-yan Liong Cie
Teng. Dialah yang dirumah gurunya, sudah kena ditikam
oleh Siau Hoo, dan sampai sekarang lukanya masih belum sembuh. Ia dapat lihat Cie Kie, yang ia kenali, ia kaget hingga ia keluarkan seruan tertahan. Ia-pun segera lihat Siau Hoo, hingga ia bertambah kaget dan heran.
Tatkala itu, Cie Kie cabut pedangnya, dan Siau Hoo
turut menghunus golok.
"Bagus!" akhirnya Cie Teng berseru, setelah lenyap
kagetnya, ia dapat pulang ketabahannya. Hanya ketika itu, buat bebangkit saja ia tidak mampu. "Kau datang untuk
menuntut balas, bukan" Siahkan, bunuhlah aku!"
Matanya Siau Hoo mendelik dan jadi merah. Ia loncat
turun dari kudanya, ia lompat maju.
"Jangan!" berseru Cie Kie, membunuh seorang sakit
bukannya satu enghiong!"
Hampir itu waktu, dari kantoran tiga piauwsu, yang dua membawa yang satu samber tumbak di para.
Siau Hoo kenal orang yang ke tiga itu, ialah Tan Cie
Cun. "Oh, kau, binatang?" berseru Tan Cie Cun, yang segera
lihat kacung itu. Ia lompat maju menikam.
"Jangan," mencegah kedua suhengnya, Po-long-kauw
Kee Cie Beng dan Sin-kun Hauw Cie Hong.
Cie Beng hampiri Cie Kie dan memberi hormat.
"Sahabat, apa she dan namamu yang mulia?" ia tanya.
"Ada urusan apa kau datang kemari?"
Belum Cie Kie menyahut, Cie Teng sudah serukan dua
saudaranya: "Dia adalah Long tiong-hiap Cie Kie!"
Air mukanya Cie Beng berubah denga segera, juga dua
saudaranya. Cie Kie loncat turun dari kudanya, yang ia serahkan
pada Siau Hoo. Ia maju dua-tiga tindak, ia ulapkan
pedangnya, dengan mata bersinar gusar, ia awasi ketiga orang itu.
"Apakah kau ada murid-muridnya Pauw Kun Lun?" ia
tanya. "Ya, kalau kau antar piauw ke Sucoan Utara, segala apa juga kau berani berbuat! Cie Teng dan saudara nya, segala dahulu aku tidak ada di rumah, sudah binasakan dua pegawaiku! Kalau sekarang Cie Teng bukannya sedang
sakit, pasti aku sudah lantas bunuh padanya! Kedatanganku sekarang ini ada untuk adu kepandain dengan orang2 Kun Lun Pay, kecuali kau tunduk dan menyerah kalah, hayolah maju satu persatu akan tandingi aku, sampai hidup atau binasa! Dari sini aku nanti cari Pauw Kun Lun sendiri, si tua bangka!"
Cei Beng dan Cie Hong gusar bukan main karena guru
mereka-pun dicaci, mereka loncat menyerang, maka itu,
kedua golok lantas saja bentrok dengan pedangnya Long
Tiong Hiap. Tan Cie Cun, yang bersenjatakan tumbak, lantas
singkirkan Cie Teng, kemudian, dengan sengit, ia hampiri Siau Hoo yang ia hendak hajar, akan tetapi itu waktu,
Hauw Cie Hong telah rubuh terkena pedangnya musuh,
maka ia batalkan niatnya, ia lalu serang Cie Kie.
Long Tiong Hiap layani dua musuh itu, baru tiga jurus ia dapat sampok tumbaknya Cie Cun, ujung pedangnya terus
meluncur pada bahu musuhnya, hingga musuh ini tak dapat berkelahi lebih jauh.
Sekarang mereka bertempur satu sama satu. Tidak
kecewa Kee Cie Beng jadi salah satu murid kesohor dari Pauw Kun Lun, ia bisa berkelahi dengan gagah, ia coba
hunjuk harga dirinya sebagai Cieyang Sam Kiat, salah satu dari Liga jago Cie-yang.
Tidak gampang2 buat Cie Kie bisa rubuhkan musuh ini,
maka seterusuya ia mainkan pedangnya di sebelah atas. Cie Beng repot menangkis, sudah beberapa kali, ia insaf tenaga besar dari musuh, karena lengannya bergemetar dan ngilu, selanjutnya ia tidak heran adu senjata, ia setiap kali berkelit, sedang waktu musuh serang sasaran kosong, ia balas
membacok atau membabat.
Ce Kie mendesak, tapi ia-pun ada awas dan sebat, ia bisa jaga diri dari sesuatu bacokan.
Selama itu, Cie Beng berkelahi dengan main mundur,
hingga ia mundur keluar tembok.
"Awas suhu, jangan beri dia kabur?" Siau Hoo teriaki
gurunya. Berbareng dengan itu, dari luar ada menerobos masuk
satu orang dengan tubuh besar, mukanya yang hitam jadi tidak keruan warnanya. Dia ini ada Twie-san-houw. Dia
kenal musuh, dia lantas menyerbu.
"Oh, Cie Kie!" ia berseru.
Maka sekarang Long Tiong Hiap kena dikepung berdua
pula. Hingga Cie Beng jadi dapat ketika untuk mengumpul tenaga pula.
Cie Kie tidak beri dirinya didesak oleh kedua musuh itu, malah dengan mainkan pedang kekiri dan kanan, ia hendak desak mereka itu.
Berselang lagi empat-belas jurus, tiba-tiba Cie Beng
menjerit hebat, tubuhnya rubuh, menampak mana, Long
Cie Khie lompat mundur, akan lari keluar tembok.
Cie Kie loncati tubuhnya Cie Beng, akan kejar lawannya itu.
Melihat demikian, dengan menuntun kuda memburu
keluar. Di jalan besar, orang jadi kalut dan ribut, semua
singkirkan diri jauh2.
Liong Cie Khie lari ke Barat, ketika ia lewat di depan sebuah piauwtiam lain, dari situ muncul kira-kira sepuluh orang yang semua bersenjata, mereka beri Cie Khie lewat, lantas mereka cegat pengejarnya.
Cie Kie tahu ia berhadapan dengan orang-orang Kun
Lun Pay, ia tidak perdulikan mereka, malah ia gusar yang ia dirintangi maka ia serang mereka ini. Dengan lekas ia rubuhkan dua orang, ia buka jalan diantara yang lain-lainnya, lantas ia kejar pula Liong Cie Khie.
Siau Hoo, sambil tuntun kuda gurunya, sedang kudanya
sendiri ia telah naiki, coba susul gurunya itu, ia buka jalan di antara orang banyak, goloknya ia pakai menyabet kekiri dan kekanan.
"Jangan kasi dia lolos! Diantara orang2 Kun Lun Pay,
dia yang paling jahat!" bocah ini berteriak-teriak, akan anjurkan gurunya.
Liong Cie Khie tidak perdulikan apa juga, ia panjangkan langkahnya akan menyingkirkan diri. Ia lari ke arah Barat.
Ia telah lari kira-kira satu lie, lantas disebelah depan ia, ia lihat serombongan penunggang kuda. Mereka itu pada
hunus senjata dan mencegat. Twie-san-houw lantas kenali rombongannya keluarga Wan dari Lam-kang, Sucoan
Utara. Ia duga mereka ada kawannya Cie Kie, ia jadi gusar, ia lantas serbu mereka itu untuk buka jalan, hingga Wan Yong dan keponakannya serta orang-orangnya layani ia.
Cie Khie dan Kang Siau Hoo mengejar terus, mereka
lantas dapat menyandak.
Liong Cie Khie berada dalam bahaya, ia menjadi nekat.
Dengan memainkan senjatanya, ia coba buka jalan darah.
Dalam saat yang berbahaya itu, tiba-tiba dari arah
belakangnya ada datang satu penunggang kuda, ini berarti bala bantuan untuk Twie-san-houw, si Harimau Gunung,
karena orang itu adalah Lou Cie Tiong, yang menunggang kuda hitam. Dia datang karena permintaan tolong dari
orang-orangnya persaudaraan Liong.
Lou Cie Tiong lewati Siau Hoo, ia hampiri Cie Khie,
yang ia terus terjang.
Long Tiong Hiap putar tubuhnya akan tangkis serangan
itu. Karena tidak puas bertempur di atas kuda, Cie Tiong
loncat turun dari kudanya itu.
Long Tiong Hiap tidak niat bertempur lama, maka itu ia segera keluarkan kepandaiannya. Ia ingin dengan beberapa kali tikam saja, musuh sudah rubuh. Apa mau Cie Tiong
ada lihay. Hal ini membuat Cie Khie heran, ia lantas coba mendesak, dengan ubah caranya bersilat.
Cie Tiong dengan goloknya, ia sauggup layani musuh
itu, Long Tiong atau Sucoan Utara.
Liong Cie Khie jadi dapat hati, ia serbu rombongan Wan Yong dengan hebat, ia dapat rubuhkan satu cunteng, kuda siapa segera ia rampas. Setetah berada di atas kuda, ia bukan bantu Cie Tiong, ia hanya kabur ke barat.
Melihat orang kabur, orang-orangnya keluarga Wan
tidak mengejar hanya mereka lantas kurung Cie Tiong.
Kang Siau Hoo jadi sangat sibuk.
"Jangan serang dia! Jangan serang dia!" ia menjerit
berulang-ulang. "Dia ada orang baik!"
Ketika itu, Cie Tiong juga telah berhasil menahan
pedangnya lawan.
"Long Tiong hiap, tahan!" ia berseru. "Kau beri
keterangan dulu padaku, apa perlunya kau datang
menyerang pihak kita disini apa lantarannya?"
Cie Khie suka tahan pedangnya.
"Kau tanya apa latarannya?" ia balik tanya dengan
bersenyum dingin. "Apakah kau masih belum tahu" Pihak
Kun Lun Pay dalam beberapa tahun ini suka berbuat
sewenang-wenang di Sucoan Utara! Aku sekarang datang
untuk takluki kau semua!" Kemudian ia tunjuk pihak
keluarga Wan seraya kata pula, "Aku tidak punya
sangkutan atau hubungan dengan mereka ini. Bukanlah aku yang perintah mereka bantui aku! Jikalau kau tidak puas, mari maju, kita bertempur satu sama satu!"
Mendengar demikian, Lou Cie Tiong angkat kedua
tangannya buat memberi hormat.
"Long Tiong Hiap, sudah lama aku dengar nama
besarmu di Sucuan Utara." kata la. "Umpama diantara kita kedua pihak ada ganjalan, itu perlu dibicarakan terus terang depan berdepan! Kenapa kita mesti datang-datang adu jiwa"
Apakah orang tidak akan tertawakan kita karena
kesembronoan kita ini?"
Cie Kie tersenyum ewa.
"Kau hendak omong secara orang terhormat padaku,
ya?" katanya. "Apakah kau sudah lupa bagaimana
persaudaraan Liong telah satroni rumahku dan telah bunuh dua orangku! Sekarang kita baik jangan adu lidah! Kau
bersendirian saja, aku tidak ingin layani ... "
Setelah kata begitu, Ce Kie hampirkan muridnya akan
sambuti les kuda. Dengan gesit ia loncat naik atas kudanya, pedangnya ia masukan kedalam serangkanya.
"Mari!" ia berseru. "Mari kita pergi ke Tin-pa akan cari Pauw Kun Lun!"
Lou Cie Tiong ada sangat mendongkol.
"Kau mesti tahu diri, jangan turuti napsu hatimu!"
katanya dengan sengit.
Siau Hoo merasa sangat tidak enak hati, ia-pun tidak bisa bicara kepada Lou Cie Tiong, dari itu, terus saja ia susul gurunya.
Wan Yong semua lihat apa yang telah terjadi, mereka
tidak serang Cie Tiong, mereka larikan kudanya akan susul Long Tiong Hiap. Maka suara kaki kuda jadi sangat berisik, debu mengepul naik. Tujuan ada ke Barat menikung ke
Selatan, langsung ke Tin-pa.
Siu-Pa Ong Wan Cu Ciauw susul Siau Hoo.
"Adik kecil, bukankah ayahmu ada Kang Cie Seng?" ia
tanya. Siau Hoo menoleh, air mukanya suram.
"Bear," ia menyahut, suaranya keras tetapi bercampur
sedih. "Persaudaraan Liong adalah musuh2 yang bunuh
ayahku itu!"
"Baik kau jangan persalahkan persaudaraan Liong," Cu
Ciauw berkata. "Selama disepanjang jalan, aku telah dengar
hal ikhwal ayahmu. Ayahmu itu telah dibinasakan oleh
Pauw Kun Lun sendiri. Semua murid Pauw Kun Lun
ketahui apa yang sudah terjadi, tetapi hal itu mereka tidak berani omongkan pada orang luar!"
Siau Hoa kaget, sampai ia rasakan hatinya sakit,
kepalanya pusing, hingga hampir ia rubuh dari atas
kudanya, syukur ia bisa cekal les dengan keras dan kedua kakinya menjepit perut kuda. Dengan tidak merasa lagi, air matanya turun dengan deras.
"Aku memang sudah duga!" kata ia sambil menangis.
"Pauw Kun Lun bukan saja telah bunuh ayahku, dia juga
dahulu hendak binasakan aku sendiri, hanya kemudian ... "


Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ia menggerung2 hingga kata2nya jadi tertunda. Ia
melanjutkan, "Oleh karena dia telah bunuh ayahku, Pauw Kun Lun bikin ibuku mesti menikah pula dengan orang
lain! Dan adikku sekarang bukan lagi seorang she Kang.
Tuabangka itu pada dua tahun yang lalu niat membinasakan aku, hanya entah kenapa, kemudian ia
justeru ajak aku diperintah angon babi dan piara kuda ...
Celaka adalah anaknya, Cie Lim, dia setiap hari caci dan labrak aku!"
Cie Kie dengar keluhan itu ia menoleh.
"Kau jangan menangis! Sekarang juga aku balaskan sakit hatimu!" berkata bakal guru itu.
"Suhu, aku anggap tidak usahlah kau yang membalaskan
sakit hatiku," kata Siau Hoo dengan masih menangis. "Aku seudiri sanggup binasakan tua bangka she Pauw itu!"
Long Tiong Hiap bersenyum.
"Tidak demikian gampang, anak!" kata ia. Tapi,
menghadapi rombongannya Wan Yong, ia kata dengan
nyaring; "Kalau sebentar kita sampai di Tin-pa, selagi aku
layani Pauw Kun Lun, aku larang kau bantui aku! Jikalau tidak, aku bisa gusar karenanya!"
Cie-bian-say Wan Yong, Si Singa Muka Merah, tertawa
gelak2. "Pasti kita tidak akan bantu kau!" kata ia dengan keras,
"Kita datang kemari untuk menonton keramaian!"
Sementara itu, kuda mereka berjalan terus, kudanya
Long Tiong Hiap jalan paling depan. Tujuannya Barat-
selatan. Semua kuda lari dengan keras. Kapan satu jalanan gunung telah dilewati, orang telah mulai memasuki daerah Tin-pa.
Ketika itu baru jam empat kira2, semua orang
sebenarnya belum bersantap tengah hari, akan tetapi
mereka terus larikan kuda mereka, malah dengan terlebih keras lagi.
Tidak antara lama, Kang Siau Hoo segera lihat kota Tin-pa, menyusul mana ia pun tampak Pauw-kee-cun, hingga
sendirinya hatinya menjadi tegang. Ia ingat musuhnya,
ayah dan anak, ia ingat juga Ah Loan. Kemudian iapun
ingat ibu dan aduknya didalam kota "
Kapan rombongan ini sudah sampai dimuka kampung,
di depan Pauw-kee-cun, di sana sudah menantikan lima
atau enam orang, yang semua bergegaman golok. Siau Hoo segera kenali Pauw Cin Hui serta Liong Cie Khie, Ma Ce Hian, Lauw Cie Wan, Cin Cie Po dan seorang yang ia tidak kenal. Pauw Cie Lim tidak ada diantara mereka itu.
Nyender pada sebuah pohon ada Pauw Ah Loan tangan
siapa menyekal sebatang golok pendek, dan nona ini
menuding bocah kita, matanya mendelik, giginya berkerot, nampaknya ada gusar dan sengit. Nona itu dandan serba
merah. Mukanya Siau Hoo menjadi merah, sendirinya, ia likat,
akan tetapi kapan ia tengok romannya Cin Hui, kedua
matanya menjadi seperti menyala.
Tatkala itu Pauw Cin Hui majukan diri sesudah ia
berkata2 pada murid2nya yang rupanya ia larang
sembarang maju. Mukanya merah padam dan kadang pucat
pias, kumis jenggotnya seperti bergerak suatu tanda ia ada sangat gusar tetapi ta coba kendalikan diri. Karena besar dan gemuk tubuhnya, ia seperti sukar bertindak.
"Yang mana satu ada tuan Long Tiong Hiap?" begitu ia
perdengarkan suaranya, sebelah tangannya-pun diangkat, menggape.
"Silahkan turun dari kuda!"
Long Tiong Hiap juga tahan rombongannya Wan Yong,
ia loncat turun dari kudanya, sambil bawa pedangnya ia bertindak menghampiri jago dari Tin-pa itu, ia hunjuk sikap yang tenang.
"Aku adalah Long Tiong hiap," ia jawab.
Dengan kedua matanya dipentang lebar2, Pauw Kun
Lun awasi jago Long-tiong dari atas sampai ke bawah,
kemudian ia angkat kedua tangannya memberi hormat.
"Sudah lama, sudah belasan tahun aku dengar nama
besarmu tuan, baru sekarang aku bisa bertemu satu pada lain!" berkata ia.
Long Tiong Hiap-pun membalas hormat.
"Saudara Cie," kata Pauw Kun Lun kemudian napasnya
sedikit memburu, "hari ini kau datang kemari, adakah itu untuk mewakili Kang Siau Hoo membalas sakit hati
ayahnya" Kang Cie Seng memang benar aku yang bunuh,
dan itu silahkan saudara Cie bunuh aku saja, tetapi aku mohon dengan sangat agar kau tidak ganggu murid2ku!"
Akan tetapi Long Tiong Hiap menggeleng kepala.
"Itulah bukan maksudku," ia jawab. "Kang Cie Seng
adalah Kun Lun Pay, dari itu permusuhan diatara kau guru dan murid tidak ada sangkutannya dengan aku. Memang
benar Kang Siau Hoo datang bersama2 aku, tapi aku
bukannya hendak bantu dia, seperti dia-pun bukannya
berniat nembantu aku! Aku datang cari kau untuk urusanku sendiri!"
"Aku sendiri belum pernah ganggu kau," Pauw Kun Lun
bilang. "Benar kau sendiri belum pernah ganggu aku tetapi kau
telah umbar murid2mu main gila di Sucoan Utara dimana
mereka malang-melintang!" Cie Kie bilang.
"Itulah urusan yang gampang diurusnya!" Pauw Cin Hui
bilang. Kau tunjuk muridku, yang mana satu sudah berlaku kurang ajar terhadap kau, nanti aku panggil dia untuk
mohon maaf padamu!"
"Aku melainkan tidak puas terhadap persaudaraan
Liong! Selagi aku tidak ada di rumah, mereka sudah datang menyatroni dan binasakan dua orangku! Maka itu, aku
mesti bekuk mereka itu! Liong Cie Teng sedang sakit, aku tidak hendak ganggu dia, tidak demikian dengan Liong Cie Khie! Dia sekarang ada disampingmu, suruhlah dia maju!"
Mendengar demikian, Pauw Kun Lun geleng kepala
berulang2. "Long Tiong Hiap, jangan kau keterlaluan!" ia kata.
"Murid2ku ini telah ikut aku banyak tahun, aku pandang mereka sebagai anak2ku sendiri. Jikalau mereka langgar aturanku, yaitu mengganggu perempuan baik2, pasti aku
bunuh mereka, tak nanti mereka dapat ampun pula. Akulah yang mesti turun tangan sendiri. Kalau orang lain yang memikir atau ganggu muridku, walau-pun selembar
rambutnya. Hm! Hm! Jangankan kau yang termasuk
golongan muda di mataku, sekalipun Siok Tiong Liong,
Naga dari Sucoan, dan Liong Bun Hiap. Jago dari Liong-
bun, jangan harap!"
Mendengar omongan besar itu, Long Tiong Hiap
bertindak maju.
Selagi orang bergerak, Ah Loan dibawah pohon teriaki
engkongnya: "Engkong, awas. Dia hendak menyerang!"
Pauw Kun Lun menoleh pada cucunya itu, ia
perlihatkan senyunan meringis, kemudian tangannya
digoyang2. "Jangan kuatir! Long Tiong Hiap bukan bangsanya yang
kau maksudkan," kata ia. Kemudian ia menoleh pada jago dari Long-tiong itu. Ia berkata: "Aku tahu bugeemu ada diatasan semua muridku tetapi aku sendiri rasanya masih sanggup layani kau! Umpama kejadian ini pada duapuluh
tahun yang lalu, pasti aku tidak akan ijinkan kau datang ke Cie-yang dan Tin-pa ini untuk malang melintang hingga
kau bisa lukai beberapa muridku!"
Berkata begitu, kedua mata besar dari Pauw Kun Lun
jadi melotot. "Sudah jangan terlalu banyak omong!" Long Tiong Hiap
membentak, iapun mendelikkan matanya. Mari kita mulai
bertanding!"
"Jangan terlalu tergesa2" kata Pauw Cin Hui. "Aku
masih hendak sedikit bicara!" Dan ia urut kumisnya. "Aku sudah tahu sekarang, muridku ada banyak, akupun punya
anak, semua mereka itu berkepandaian biasa saja, oleh
karena itu, aku tidak ingin tanam bibit permusuhan. Jikalau aku terbitkan permusuhan, satu kali aku menutup mata,
sudah pasti merea bakal orang hinakan! Maka itu sekali-pun dengan Kang Siau Hoo, aku tidak ingin membuat dendam!
.." "Jikalau demikian adanya sikapmu," kata Long Tiong
Hiap, mari serahkan persaudaraan Liong untuk aku bawa
pergi, dengan kau dan semua muridmu yang lainnya aku
tidak punya sangkutan apa2 lagi."
"Itulah bukannya cara pemecahan!" kata Pauw Kauwsu.
"Biar bagaimana aku mesti lindungi murid2ku! Sekarang
begini saja " "
Membarengi dengan kata2nya itu, jago tua itu
membacok dengan goloknya.
Long Tiong hiap lantas tangkis bacokan itu, ia
merasakan bagaimana besar tenaganya jago Tin-pa itu.
Setelah bacokannya itu, Piuw Cin Hui tidak menyerang
lebih jauh, hanya sambil melotot pula ia kata dengan
nyaring: "Mari kita bertanding untuk beberapa jurus saja!
Jikalau kau bisa menangkan aku dengan cepat, dengan
golokku ini nanti aku bunuh diri, setelah itu kau ada
merdeka akan bunuh2i sekalian muridku! Tetapi bagaimana bila aku dapat kalahkan kau?"
Long Tiong Hiap jadi sangat mendongkol.
"Untuk selama2nya aku tidak akan datang pula ke Siam-
say Selatan ini!" ia menjawab dengan nyaring. "Sebaliknya kau ada merdeka untuk pergi ke Sucoan Utara!"
"Bagus!" berseru Pauw Kauwsu. "Nah, siaplah!"
Jago tua ini benar2 lantas mulai dengan penyerangannya.
Long Tiong Hiap tahu orang punya tenaga besar, ia tidak mau adu seajata, maka datangnya bacokan ia elakan
dengan kelitan, kemudian ia mendesak dengan tusukannya berulang2. Untuk ini, ia ada punya kegesitan.
Buat hadapi tiga tusukan, mau atau tidak Pauw Cin Hui
mesti kasi mundur tubuhnya yang besar, akan tetapi ketika tusukan yang keempat menyusul dengan sama cepatnya,
mendadak ia hajar pedang itu, goloknya dari atas turun kebawah.
"Traang!"
Suara keras itu menyebabkan pedangnya Cie Kie
terpental, akan tetapi jago Long tiong ini ada cukup gesit untuk segera menarik pulang pedangnya, untuk lagi2
menikam pada iga kiri lawannya.
Pauw Kun Lun egos diri kekanan lantas kaki kirinya
turut bergerak, menyusul itu, goloknya menyambar pula, hingga karenanya pedanguya Cie Kie kembali kena
disampok. Hanya sekali ini, setelah menyampok, goloknya itu diteruskan membacok kearah bawah.
Cie Kie cepat tarik pulang pedangnya, buat segera
menangkis pula. Tapi tenaganya jago Tin-pa ada besar luar biasa, goloknya itu tak dapat dibikin terpental sebaliknya pedangnya sendiri kena tertekan. Maka untuk looskan diri, terpaksa Cie Kie mundur dua tindak, lalu ia mendahului menikam pula, sasarannya adalah pada perut yang besar.
Besar ia punya tubuh, tetapi diwaktu yang penting Pauw Kun Lun bisa berlaku gesit, goloknya ada sangat lihay.
Demikian, dengan goloknya yang berat, lagi2 ia bisa tangkis tikaman!
Untuk kesekian kalinya, Cie Kie ubah caranya mainkan
pedang, menuruti mana, jago tua dari Tin-pa-pun ubah
gerakan goloknya akan bisa layani musuh yang tangguh itu, hingga pertandingan mereka jadi seru bukan main. Yang
muda gesit, yang tua tidak mau kalah!
Lekas sekali pertandingan melalu lima aenam jurus.
Dikedua pihak, orang menyaksikan dengan perhatian
sepenuh2nya. Itu ada pertempuran yang sukar untuk
ditonton pula. Semua orang ternganga saking kagumnya.
Selagi orang menonton dengan asyik, tiba2 Long Tiong
Hiap loncat keluar kalangan, atas mana, Pauw Kauwsu
juga tahan goloknya, dia berdiri dengan napas tersengal-sengal.
Dengan muka pucat Cie Kie lari pada kudanya, ia loncat naik atas binatang itu yang ia terus beri kabur.
Kang Siau Hoo dan Wan Yong semua tidak lihat sesuatu
yang menyebabkan kemenangan atau kekalahan, mereka
jadi sangat heran, tetapi karena jago Long tiong itu angkat kaki, mereka-pun segea menyusul.
Dari jalan besar, Long Tiong Hiap menuju ke Selatan,
Siau Hoo semua mengikuti tanpa ada seorang-pun yang
berani menanyakan sebab2nya.
Mereka kabur terus, melewati gunung Selatan, terus
sampai memasuki daerah Sucoan Utara, sampai disitu baru Long Tiong hiap tahan kudanya.
Siau Hoo segera mendekati guru itu.
"Suhu," berkata ia, yang tak dapat kendalikan diri lagi bahna herannya, "kau belum kalah, kenapa kau tidak
bertempur terus hanya menyingkirkan diri?"
Diatas kudanya, Ci Kie bersenyum meringis.
"Kau jangan panggil suhu pula padaku!" kata ia dengan
menggoyangkan tangan, kemudian ia angkat lengan
kanannya. Siau Ho terperanjat. Dibawah lengan itu, ia lihat tangan baju tersobek, dari mana ada darah mengalir keluar.
Long Tiong Hiap awasi muridnya itu, ia kata: "Pauw
Kun Lun tidak ingin tanam bibit permusuhan untuk
muridnya, dan itu ia telah gurat aku secara ringan sekali, jika kalau tidak tanganku ini pasti bakal jadi bercacat. Dia ada terlebih gagah daripada aku. Dia sudah tua, tubuhnya tak dapat bergerak dengan leluasa, namun dengan tenang ia dapat menangkan aku, apa lagi kalau dia masih muda,
sungguh aku bukan tandingannya lagi!"
Mukanya Siau Ho menjadi pucat, Wan Yong semua jadi
tercengang. "Mulai hari ini, aku tidak akan injak Samsay Selatan
pula," Long Tiong Hiap menambahkan, sikanya tetap
tenang. Kemudian ia tambahan pada Siau Hoo:
"Jikalau kau turut pelajaran dari aku, untuk selama2nya kau tak akan dapat menuntut balas terhadap Pauw Kun
Lun. Kau mesti cari lain guru!"
Siau Hoo loncat turun dari kudanya, ia menangis.
"Kemana lagi aku mesti cari guru?" ia tanya.
"Kau jangan putus asa," kata Long Tiong hiap.
"Sekarang juga pergilah kau kekota Kay-hong, disana kau cari Sin-eng Kho Keng Kui si Garuda Malaikat. Dia pandai ilmu menotok jalannya darah, kepandaiannya juga ada
diatasan aku. Pada tujuh tahun yang lalu, ketika aku
berkunjung ke kay-hong, kita telah berkumpul ditamannya dimana
sambil main2, ia pernah pertunjukkan kepandaiannya menotok itu. Jikalau kau peringatkan dia
tentang kejadian tujuh tahun yang lalu itu, dia pasti suka terima kau sebagai murid. Jikalau kau tidak yakinkan
lainnya ilmu kecuali golok dan pedang saja, ada sukar sekali untuk kaudapat kalahkan Pauw Kun Lun."
Setelah kata begitu, jago Long-tiong ini manggut2 pada muridnya itu.
"Nah, di belakang hari kau nanti bertemu pula!" kata ia, yang terus saja ajak Wan Yong semua lanjutkan perjalanan pulang.
Siau Hoo terus awasi guru itu, sampai orang sudah
lenyap dari pandangan matanya, ia masih menjublek saja.
Kemudian baru ia sadar.
"Long Tiong hiap tidak dustakan aku," ia berpikir.
"Kecuali aku pahamkan Tiamhiat-hoat, ilmu menotok jalan darah itu, tak dapat aku berhasil menuntut balas untuk ayahku. Aku ada punya banyak uang, baik sekarang juga
aku berangkat ke Kay-hong akan cari Sin-eng Kho Keng
Kui!" Bocah ini loncat naik atas kudanya,ber. bareng mans ii rasakan perutuya Lapar. Baru sekarang ia ingat bahwa is belutn dahar, sedang itu waktn sudah jauh to. hor. Maka ia pikir akan cri ciahulu tern-pat untuk mengisi perut.
Bocah ini mencongklang kudanya kearah Timur. Belum
jauh ia telah memasuki sebuah dusun.
"Tempat ini agak sepi, tidak nanti orang2 Kun Lun Pay
kejar aku sampai disini," ia berpikir. Karena itu, terus ia cari sebuah rumah makan, setelah tambat kudanya. Ia
masuk kedalam buat minta nasi dan sayurnya, serta arak. Ia baru tenggak beberapa cawan kembali ia berduka.
"Long Tiong hiap ada satu enghiong, tetapi walau ia
gagah, ia masih tak mampu lawan Pauw Kun Lun,"
pikirannya melayang-layang. "Sungguh tidak disangka
kepandaiannya si tua bangka itu ada demikian liehay!"
Ingat ayahnya, Siau Hoo berduka-bukan main.
"Kecewa saja aku pulang kekampung halamanku," ia
pikir pula kemudian. "Sayang aku tidak dapat ketika akan menemui ibuku ... Tidak perduli dia sudah menikah pula dengan Tang Toa, dia tetap ibu-kandungku. Disana-pun
ada Siau Houw, adik kandungku. Biar bagaimana aku mesti ketemui mereka itu! Tetapi, sampai kapan?"
Tanpa merasa, Siau Hoo mengeluarkan air mata, yang ia
segera tepas. "Kalau aku tengok ibu dan adikku, aku mesti hati2," ia pikir pula. "Kalau aku ketemu orangnya Pauw Kun Lun
tentu aku akan ditawan mereka dan dibikin celaka. Sudah pasti mereka sangat benci aku, karena akulah yang ajak Long Tiong Hiap menyatroni mereka. Sampai-pun AhLoan nampakuya benci aku ... Da seharusnya tak
membenci akn, ia tokh ketahui kesengsaraan aku selama
aku tinggal sama-sama dirumahnya. Sebaiknya, karena aku baik dengan dia, dia jangan rintangi tindakan pembalasan dari aku "
Siaw Hoo hirup pula araknya, tapi air kata2 tidak bisa hiburkan dia, terus ia dahar sembarangan saja, sesudah membayar dengan cepat, ia lantas melanjutkan perjalanan.
Ia menuju langsung ke Utara, ia ambil jalanan yang sunyi, akan mencuri lewat di gunung Pa San ia bisa cari jalanan untuk memutari Pauw-kee-cun.
Ketika itu sudah maghrib.
Kota Tin-pa sudah berada dibelakangnya, maka ia
keprak kudanya buat dilarikan dengan keras, kemudian
dengan besarkan hati, ia masuk di Tang-mui, pintu kota
Timur. Disini segera ia ingat jalan besar dari tempat
kelahirannya. Ia merasa masgul, tak keruan rasa. Ia jalan dengan memasang mata, buat lihat ia ketemu atau tidak
dengan orang2 yang ia kenal. Tidak lama ia sampai juga di depan rumahnya Tang Toa, yang buka satu toko kecil


Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pandangannya gelap. Kebetulan waktu itu Tang Toa sedang rebahkan kepalanya diatas meja, seperti orang yang
ketiduran. Siau Hoo turun dari kudanya, yang ia tambat didepan
pintu, terus ia bertindak masuk.
Tang Toa angkat kepalanya, ia niat berbangkit, ia
kirakan pembeli.
Siau Hoo lantas saja memberi hormat.
"Tang Toa-siok, kau tentu sudah tidak ingat aku," kata ia. "Aku Kang Siau Hoo, hari ini kebetulan aku lewat
disini, aku mampir untuk lihat ibu dan adikku ... "
Tang Toa mengawasi dengan tajam.
"Oh, kiranya kau," kata ia, romannya gusar. "Apakah
kau sudah lupa dengan onar yang kau terbitkan di Pauw-
kee-cun" Nyalimu sungguh besar! Hayo pergi, lekas! lbumu telah menikah kepada aku, dia adalah orangku, aku tak
dapat ijinkan kau temui kepadanya! Lekas pergi, lekas!
Ayo, aku nanti berteriak bahwa kau adaah yang telah
bunuh orang di Pauw-kee-cun!"
Siau Hoo panas bukan main, hinga ia berniat menyerbu
kedalam, akan hajar mampus saudagar itu, hanya selagi ia berniat begitu, dari luar ada datang satu orang yang segera jambak ia dari belakang. Ia kaget, ia berpaling dengan segera, tapi ia lantas lihat ia punya ie-thio Ma Cie Hian.
"Lekas menyingkir!" Cie Hian kata, suaranya tidak
lancar, romannya penuh dengan kekuatiran. "Liong Cie
Khie sekarang ada didalan kota! Ah, anak, hari ini kau telah perbesar permusuhan ?"
Siau Hoo mengerti bahaya, terus saja ia lari keluar dari warung dan loncat naik atas kudanya, dari situ ia berpaling pada ini Cie hian untuk memberi hormat.
"Ie-thio, sampai ketemu pula!" kata ia, yang terus saja larikan kudanya, buat ke luar dari Say-mui, pintu kota Barat, akan cari jalan besar untuk kabur ke Utara. Ia baru kasi kudanya lari pelahan2 sesudah ia lewati suatu bukit.
Tanpa merasa kedua matanya mengalirkan air.
"Jikalau bukannya si tuabangka she Pauw bunuh
ayahku, bagaimana aku bisa sampai tak dapat menemui
ibuku dan tak dapat berdiam dikampung halamanku
sendiri?" demikian ia pikir. mengingat mana dadanya jadi panas. Karena ini, kembali ia kaburkan kudanya, terus
kearah Utara. Diwaktu sore, dan justeru bulan tidak bersinar terang, ia mampir disebuah dusun untuk cari pondokan, untuk
besoknya pagi segera teruskan perjalanannya itu. Sesudah lewati distrik See-hiang, ia menuju ke Timur. Selagi
mendekati tengahari, ia sampai di Cu-ngo-tin, suatu tempat yang ramai. Dari sini menuju ke Utara, ia akan lintasi kali Cu Ngo Hoo, dan lewat pula kira2 lima-puluh lie, ia akan sampai digunung Ciong Lam San. Kalau nanti ia sudah
lwwati gunung ini, ia akan sudah berada didaerah Kwan-
tiong. Siau Hoo sudah pikir, sekeluarnya dari Han-kok-kwan,
ia akan menuju langsung ke Kay-hong. Selama
diperjalanan, ia sudah dengar2 tentang jalanan, maka ia tahu kemana ia mesti menuju. Tapi waktu itu hawa udara ada panas-terik, ia berdahaga, sedang perutnya juga sudah minta makan, maka itu, ia cari sebuah rumah makan di
depan mana ia turun dari kudanya. Selagi ia bertindak
masuk, dibelakangnya, ada berjalan seorang lain, tindakan kaki siapa ia dengar nyata. Ia terkejut, ia bercuriga, dari itu segera ia menoleh.
Ternyata orang yang jalan disebelah belakang ini ada
seorang tua, umurnya kurang lebih sudah enam puluh
tahun, memakai kaca mata, kumis dan jenggotnya sudah
putih, kepalanya ditutup dengan kopiah kecil, pakaiannya biru. Dipunggungnya ada menggendol sebuah bungkusan
tidak besar. Siau Hoo lantas cari meja dimana ia duduk, tetapi orang tua itu justru ambil kursi yang berhadapan dengan ia, ketika ia minta arak, si orang tua itu minta arak juga. Kemudian orang tua itu keluarkan sejilit buku dari bungkusanaya, yang ia baca sambil minum araknya dengan pelahan-lahan.
Bukan main kagumnya Siau Hoo akan tengok orang
punya sikap yang tenang itu, hingga ia mengawasi saja.
"Benar2 penting untuk mengenal surat," pikir ia.
"Dengan membaca kitap saja, seorang diri orang bisa
hiburkan hatinya " Dan aku, satu huruf-pun aku tidak
kenal ... " Ingat ini, ia tertawa, lantas ia tanya orang tua itu:
"Loosanseng, kitab apa itu yang kau baca?" ia tanya.
Orang tua itu kepinggirkan bukunya, ia angkat
kepalanya, diantara kaca matanya, ia pandang orang yang menanya kepadauya.
"Aku membaca Tong Sie," ia menyahut. Tong Sie ada
kitab syair dari jaman Tong. Empe itu berdialek Selatan, yang Siau Hoo dapat mengerti juga.
"Rupanya orang tua ini ada satu siucay, pengertian ilmu suratnya pasti tak dapat dicela," pikir Siau Hoo. Ia
keringkan dua cawannya, Ia terus mengawasi. Ia lihat orang
tua itu asyik sekali dengan kitabnya. Tentu saja ia tidak ketahui, apa artinya dan bagaimana menariknya isi kitab itu.
"Loosianseng, adakah kau satu siucay?" kemudian Siau
Hoo tanya pula, sikapnya sangat hormat.
Orang tua itu menggeleng kepala, ia tidak menjawab, ia terus saja membaca.
Siau Hoo merasa sudah minum cukup, ia minta nasi dan
sayurnya, tetapi sebelum ia mulai bersantap ia tanya si orang tua: "Loosianseng apa kau juga ingin dahar?"
"Oh, tidak, aku tidak niat dahar," sahut orang tua itu, yang goyangkan tangan.
Mendengar demikian, bocah ini lantas dahar seorang
diri. Sulagi Siau Hoo dahar, empe itu letaki bukunya, ia
tambah sendiri araknya, ia menghirup dengan pelahan2,
kemudian, ia awasi kawan semeja itu. Melihat demikian, bocah itu tertawa.
"Loosianseng sebenarnya datang dar mana?" ia tanya.
"Aku datang dari Kan Lam."
"Apakah loosianseng memangku pangkat?" Siau Hoo
tanya pula. Orang tua itu menggeleng kepala.
"Belum pernah aku pangku pangkat, aku datang kemari
untuk pesiar," ia jawab.
Siau Hoo manggut2.
"Kau sungguh berbahagia, loosianseng," ia kata pula.
Didalam hatinya bocah ini pikir, seorang dengan
kepandainan ilmu surat adalah lemah lembut, maka kalau si empe ini dibandingkan dengan Pauw Kun Lun adalah
Giam kun, Si Raja Akherat.
Melihat orang gerece, orang tua itu sekarang balas
menanya. "Anak, kau datang dari mana dan kemana kau hendak
pergi?" ia tanya sambil tertawa.
"Aku datang dari Tin-pa, aku hendak pergi ke
Kayhong," Siau Hoo jawab dengan sebenarnya.
Nampaknya orang tua itu heran.
"Aha demikian jauh!" berkata dia. "Kau sanggup
lakukan perjalanan sejauh itu?"
"Aku ada punya kuda," sahut Siau Hoo seraya
mununjuk keluar.
"Buat urusan apakah kau hendak ke Kay-hong?" tanya
pula si empe. "Apakah ayah dan ibumu bertetap hati kau lakukan perjalanan demikian jauh?"
Pertanyan itu menusuk hatinya Siau Hoo, hingga
sebelumnya menyahut, dia sudah lantas menghela napas. Ia geleng2 kepala.
"Aku tidak punya ayah dan ibu, loosianseng," sahutnya,
"Aku ada satu anak yang bersengsara. Aku baru berumur
empat belas akan tetapi kesengsraan macam apa juga aku pernah deritanya! Loosianseng, suugguh jarang ada
didalam dunia ini orang tua sebagaimu yang begini manis budi ?"
Orang tua itu nampaknya terlebih-lebih heran.
"Apa?" ia kata. "Apakah kerjaanmu sekarang" Dan kau
hendak pergi ke Kay-hong hendak cari siapa?"
"Untuk cari Sin-eng Kho Keng Kui." jawab Siau Hoo
dengan terus terang. "Long Tiong Hiap dari Sucoan Utara yang titahkan aku pergi cari orang she Kho itu untuk angkat dia menjadi guru. Loosianseng, karena kau ada orang
sekolahan barulah aku suka bicara denganmu. Sebenarnya aku ada penggemar ilmu silat, kalau aku bicara tentang bugee, losianseng tentu tidak mengarti, tetapi biarlah aku beri keterangan. Ayahku telah orang bunuh, karenanya
rumah tanggaku jadi hancur berantakan, sampai aku tak
bisa temui ibu dan adik lelakiku. Aku sekarang mau pergi ke Kayhong untuk cari Kho Kung Kui, buat belajar Tiamhiat-hoat dari padanya, supaya kelak aku bisa menuntut balas!"
Siau Hoo tak dapat tahan kesedihannya air matanya
lantas bercucuran.
Kebetulan disitu tidak ada lain2 tetamu.
Setelah mengucapkan demikian, hatinya Siau Hoo agak
sedikit lega. Orang tua itu mengangguk kepala berulang-ulang.
"Kau ada punya ambekan, anak," katanya.
"Loosianseng" kemudian Siau Hoo tanya, "kau ada
punya urusan atau tidak di Kayhong" Kalau ada, aku boleh tolong sekalian?"
Orang tua itu menggeleng kepala pula.
"Tidak, aku tidak punya urusan apa2." jawabnya.
Siau Hoo lantas panggil jongos, akan bayar uang
makannya. Ia-pun hendak bayarkan sekalian uang araknya si orang tua, tetapi orang tua itu mencegahnya.
"Jangan, terima kasih. Aku masih hendak bersantap,
maka masih belum bisa diketahui, berapa jumlahnya
nanti." Siau Hoo tidak memaksa, ia memberi hormat.
"Loosianseng, sampai ketemu pula!" kata ia.
Orang tua itu manggut tetapi ia tidak berbangkit.
Siau Hoo bertindak keluar, ia tuntun kudanya ke Utara
buat cari tempat kombongan akan piara kudanya, kemudian ia naik atas kudanya itu, buat pergi meninggalkan Cu-ngotin. Ia seberangi kali Cu Ngo Hoo, ia menuju terus ke
Uatra. Ia telah melalui dua atau tiga-puluh lie, lantas ia lihat bukit Ciong Lam San di depannya.
Hari masih siang tetapi sedikit orang kedapatan di jalan, malah kereta-pun bisa dibilang tidak ada, maka itu selagi awasi bukit, Siau Hoo jadi bingung juga.
"Gunung Ciong Lam San ini ada berlipat ganda
tingginya daripada gunung dikampungku, entah berapa
panjang dan jauhnya jalanan dipegunungan ini," ia beipikir.
"Benar sekarang masih siang, tetapi setelah melalui dua atau tiga puluh lie, apa aku tidak akan kegelapan ditengah jalan" Kalau aku ketemu harimau, apa itu bukan artinya celaka?"
Oleh karena ini kesangsiannya ini, Siau Hoo hampirkan
seorang petani yang sedang jalan dipingiran.
"Numpang tanya, toako," ia menegur, "aku hendak
pergi ke Kwan-tiong dengan lewati gunung ini, entah aku mesti jalan berapa jauh akan sampai dirumah penginapan"
"Didalam gunung tidak ada rumah penginapan, ada juga
rumah penduduk," menerangkan petani itu. "Di rumah
orang dimana saja kita boleh numpang bermalam, hanya
kau ada satu anak kecil, kau tidak boleh memasuki gunung sekarang, didalam gunung ... ?" ia mendekati, terus ia menunjuk keatas gunung. "Seorang diri kau memasuki
gunung ini, itu artinya kau antarkan jiwa secara kecewa.
Diatas sana ada belasan pasanggrahan berandal, setiap
ceecu (pemimpin) ada orang2 kesohor. Umpama Gin-piauw
Ouw yang berkepandaian tinggi, nyalinya-pun sangat besar, dia sering menunggang kuda akan pesiar keluar dari
gunungnya. Jikalau kau kendak lewati gunung ini, baik kau kembali ke Cu-ngo-tin akan tunggu disana rombongan
kereta piauw. Barang kali dalam satu atau dua hari ini bakal ada rombongan yang lewat, lantas kau ikut rombongan itu, dengan begitu kau bisa lewat dengan selamat. Kalau tidak, mungkin kau akan nampak bencana ... "
Mendengar demikian, Siau Hoo berpikir.
"Kereta piauw yang lewat disini kebanyakan ada dari
golongan Kun Lun Pay, ada berbahaya buat aku turut
mereka," demikian ia kata dalam hatinya. "Disebelah itu, sekarang ini aku tak boleh sia-siakan waktu. Kenapa aku tidak man pakai lewat sekarang" Barangkali aku tidak akan ketemu berandal ... Umpama aku sampai bersomplokan
dengan mereka, barangkali tidak ada bahayanya. Aku ada punya kelenengan dari Long Tiong hiap, aku bisa omong
dengan mereka. Kalau orang tahu aku ada termasuk
golongan Long Tiong Hiap, apa bisa jadi mereka akan
celakai juga diriku?"
Ingat begini, ia beri hormat pada orang tani itu.
"Terima kasih!" kata ia, yang teruskan lari kudanya,
hingga si orang tani melengak mengawasi padanya.
Segera ia lihat mulut gunung, terus ia jalankan kudanya memasuki jalan gunung itu. Ia sudah melalui belasan lie dengan banyak pengkolannya, ia nampak gunung ini beda
banyak daripada gunung di Sucoan Utara. Disini ada
terlebih tinggi, curam dan berbahaya. Rimba-pun ada
banyak ada lebat, semua seperti belum pernah terganggu manusia. Selama itu belum pernah ia ketemu seorang-pun juga, ia hanya lihat selat atau lembah2 dimana ada lobang2
guha dan dalam mana mengepul asap. Ia menduga disitu
tentu ada ditinggali orang.
Masih saja Siau Hoo jalan terus, sampai lagi dua-puluh lie lebih, waktu mana, ia dapati jalanan makin sempit dan makin sempit, sampaikan kuda seperti tak dapat jalan
disitu. Ia berlaku hati2 mengendalikan kudanya. Jalananpun nanjak. Justeru itu, tiba2 ia lihat disebelah depan ada berjalan seorang yang punggungnya ada mengendol
bungkusau. Orang itu nampaknya berjalan naik dengan
leluasa sekali.
"Ah, dia ada terlebih kuat daripada yang menunggang
kuda," pikir Siau Hoo dengan kekaguman. Ia sendiri
bergiris hati, kuatir tergelincir ...
"Apa kata Si orang tani tadi," pikir ia kemudian.
"Katanya disini ada berandal yang jahat, katanya orang tidak berani jalan sendirian disini tetapi kenapa ada orang berani jalan sendirian saja. Malah dia ada bawa2
bungkusan" Terang dia ini bukannya penduduk gunung sini
" " Siau Hoo berjalan terus, matanya masih mengawasi
orang didepan itu, sampai tiba2 ia keluarkan seruan
tertahan. Ia lihat orang memakai kopiah kecil, baju biru, kumis-jenggot yang putih yang tersampok-sampok angin.
"Ah, dia toh si empe yang aku ketemukan di rumah
makan di Cu-ngo-tiu?" kata ia dalam hatinya. "Selagi aku tinggalkan dia, dia sedang hendak bersantap, selama dalam perjalanan aku telah larikan kudaku buat lima atau enam-
puluh lie, dan sekarang aku telah memasuki gunung sekian lama, maka kenapa dia justeru bisa mendahului aku"
Kenapa dia bisa jalan begitu cepat" Ah, tidak bisa jadi!"
Siau Hoo jadi sangat bersangsi.
"Losianseng!" ia segera memanggil, dengan suara
nyaring. Orang itu sudah sampai di puncak, atas panggilan itu ia berpaling, maka melihat romannya orang itu, hampir Siau Hoo rubuh karena herannya. Tidak tempo lagi ia larikan kudanya untuk menyusul.
"Loosianseng! Loosianseng!" ia berseru berulang2. "Oh, loosianseng, bagaimana cepat kau berjalan! Tadi kau ada dibelakangku, sekarang kau ada di depan!"
Orang tua itu tidak menyahuti, hanya ia mengawasi
sambil tertawa, kumis
jenggotnya memain dalam sampokannya sang angin.
Siau Hoo keprak terus kudanya untuk lekas menyandak.
ia ada memakai banyak tenaga hingga ia tersengal2, ketika ia akhirnya sampai diatas napasnya sudah senen kemis,
kepalanya bermandikan keringat. Sebaliknya ia lihat, orang tua itu tenang saja, tidak berkeringatan, napasaya tidak memburu.
Siau Hoo tahan kudanya, napasnya masih sengal2.
"Loosianseng, bagaimara cepat kau jalan!" kata ia pula.
"Oh, kalau orang punya kau sepasang kaki seperti kakimu ini, untuk merantau dikalangan Kang-ouw kau orang tidak membutuhkan kuda lagi!"
Empe itu tertawa.
"Aku potong jalan!" kata ia dengan sabar.
"Oh, loosianseng," kata si bocah, "jadinya aku ambil
jalan tak tepat?"
Empe itu manggut2.
"Benar," ia menyahut. "Kapan sebentar kau sudah turun
dari bukit ini, kemudian lewati pula dua tanjakan, kau akan sampai dijalan yang lega, malah disana ada rumah orang dimana kau boleh singgah untuk minum air!"
Siau Hoo memberi hormat.
"Baik, losianseng. Terima kasih! Nah, sampai berjumpa
pula!" Siau Hoo jalankan kudanya, sekarang dijalanan mudun.
Binatang itu berlari2 hingga belum lama ia sudah sampai dibawah. Ia putar tubuhnya akan memandang keatas. Ia
tampak si empe masih belum turun. Ia kasih jalan pula
kudanya. Ia baru jalan lima atau enam lie, ia lihat ada bukit terlebih tinggi, yang meughalangi ia.
"Inilah hebat." pikir ia. Tadi ia sudah merasakan
kesukaran akan jalan naik. Skarang ia mesti nanjak pula.
Selagi ia berpikir, ia dongak pula akan memandang ke atas, atau tiba2 ia keluarkan seruan tertahan.
"Aya!" demikian suaranya.
Di depannya, dijalanan bukit yang nanjak, ia lihat si
empe. Tindakannya tetap, sebentar saja empe itu sudah
sampai diatas, lantas terlenyap.
Siau Hoo keheranan, tubuhnya mengeluarkan keringat
dingin dan sedikit gemetar.
"Celaka! Dia ada satu dewa atau hantu! ... " pikir ia.
Tapi bocah ini tidak takut, ia tarik les kudanya, akan beri binatang itu naik. Hanya sekarang kalau ia lihat batu2
gunung yang besar, ia lihat itu sebagai si empe tadi yang sedang nongkrong
Jalanan ada banyak pengkolannya, Siau Hoo jalan terus, sampai ia lintasi dua tanjakan gunung, selama itu, belum pernah ia tengok pula Si empe, hanya seterusnya, ia hunus goloknya. Beberapa kali ia dengar suara seperti burung alas, seperti suitannya berandal. Ia jalankan kudanya seraya ia waspada kesekitarnya. Angin ada menderu deru, awan
memain dipuncak gunung.
Jalan lagi Siau Hoo dua pengkolan, Siau Hoo lantas
mulai merasa jalanan jadi terlebih lega.
Akan tetapi, belum jauh, ia segera tampak pemandangan
yang sangat mengejutkan.
Dijalanan itu ada menggeletak tujuh atau delapan mayat, malang melintang.
"Heran!" kata ia dalam hatinya, yang berdebaran.
Dengan hati2 Siau Hoo jalan melewati mayat itu,
disamping siapa ada kedapatan berbagai senjata, tetapi herannya ia tidak lihat ada darah berhamburan.
Selagi ia jalan, ia segera mendengar suara merintih,
disusul sama kata2 : "Saudara, lekas kau beri kabar pada ceecu! Kita sudah tidak mampu bergerak.! ... "
Bahna herannya, Siau Hoo tahan kudanya akan
mengawasi dengan teliti. Ia menghitung delapan orang,
yang semua pakai baju dan celana pendek, pakaiannya
singset. Ini ada dandanan berandal, yang ia pernah lihat di Sucoan Utara. Mereka ini bukannya mayat, mereka hanya
rebah tidak berdaya, melainkan mata mereka yang masih


Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bergerak2. Ada yang masih bisa bicara, ada yang diam saja.
Yang merintih rupanya menderita sangat hebat. Mereka
tengkurap, celentang dan miring tak ketentuan.
"Kau semua kenapa?" akhirnya Siau Hoo tanya, sebab
terang orang tadi bicara terhadap ia yang dipangil "saudara"
"Siapa sudah serang rubuh padamu semua" Dengan senjata apa kau telah diserang?"
Semua mata mengawasi bocah ini sekarang mereka
seperti insyaf bahwa orang ini bukan kawan mereka hanya orang yang sedang berlalu-lintas.
"Sahabat, kau berlakulah baik," berkata satu berandal.
"Tolong kau naik kebukit Timur sana untuk menyampaikan kabar, supaya mereka datang untuk gotong kita pulang.
Kita semua ada orang2nya Gin-piauw Ouw Lip Ouw Toa-
ceecu, barusan kita ketemu satu tua bangka ubanan, dengan ilmu totoknya dia bikin kita semua rubuh tak berdaya!"
Siau Hoo bengong. Ia-pun heran untuk serangan dengan
totokan itu. Itu adalah Tiam-hiat-hoat, ilmu menotok jalan darah. Dan si penyerang ada si "tua bangka ubanan"! Siapa lagi dia itu kalau bukannya si empe yang ia ketemui
berulang2, yang ia anggap ada dewa atau hantu" Setelah sadar, tidak tempo lagi ia larikan kudanya, ia simpan
goloknya. "Mestinya dia ada satu tay-hiap-kek! Atau dia ada Kho
Keng Kui sendiri!" pikir anak ini, selagi ia larikan kudanya.
"Kenapa aku ada begitu bodoh akan kasi dia lewat! Kenapa aku tidak berlutut saja di depannya buat angkat dia jadi guru!"
Ia larikan kudanya, matanya melihat2 kekiri dan kanan, terutama kedepan. Ia merasa tegang sendirinya karena
sampai sebegitu jauh, ia belum dapat lihat lagi empe itu.
Jalanan juga seperti mengganggu ia, dengan pengkolannya.
Tapi ia lari terus, sampai ia lewati dua tiga tanjakan, sesudah mana, ia merasa letih sekali, kudanya-pun sudah sangat lelah.
Waktu itu, matabari sudah turun di Barat, lembah2
penuh kabut, pemandangan disekelilingnya jadi suram.
Hanya syukur, justeru di situ bahagian, jalanan ada rata dan lebar.
Dengan susah payab Siau Hoo jalan terus sampai
belasan lie, sampai tiba2 ia dengar orang menegur dari depan: "Dari mana kau datang" Berhenti dahulu!"
Untuk bisa melihat nyata, Siau Hoo maju lebih jauh,
hingga ia tampak, dilembah, ada beberapa rumah. Disitu ada serombongan orang, kuda, kereta dan keledai. Ia lihat orang yang menegur dia ada berdandan sebagai satu
piauwsu. Ia tahan kudanya untuk memberi jawaban : "Aku datang dari Cu-ngo-tin. Kau sendiri, sahabat" Kau asal mana?"
"Kita ada dari Lie Sun Piauw Tiam dari See-an," sahut
orang itu. "Kita sedang iringi Kat Ciang-kui untuk pergi ke Han tiong ?"
Siau Hoo terperanjat.
"Inilah hebat," pikir dia. "Dsini aku ketemu Kat Cie
Kiang yang namanya lebih kesohor dari pada persaudaraan Liong. Bagaimana sekarang?"
Saking berkuatir, ia sampai tak dapat bicara lebih jauh.
"Apakah masih ada orang2 dibelakangmu?" piauwsu itu
tanya. "Tidak, hanya aku seorang diri." Siau Hoo menyahut.
"Kau sendirian?" tanya piauwsu itu yang agaknya heran.
"Sendirian saja kau berani lewati gunung di depan sana"
Sahabat, kau jangan main2, orang yang merantau tidak
boleh ngoceh tak keruan! ?"
Siau Hoo tidak turun dari kudanya, ia kuatir romannya
bertambah sibuk.
"Benar, aku sendirian saja," kata ia. "Aku ada punya
urusan penting, aku terpaksa jalan sendirian, aku tidak takut sekali-pun dijalan Cin Nia Too ini ada kwali dengan
minyak mendidih ... Aku-pun tidak boleh berhenti lama2
disini, aku mesti lanjutkan perjalananku!"
Lain dengan tidak perdulikan kelelahannya, ia keprak
kudanya diberi lari. Ia ingin segera jaubkan diri dari orang2
Kun Lun Pay itu.
Tapi orang di depannya itu segera sambet les kudanya.
"Eh, kau benar tidak sayang jiwamu!" kata ia. "Kau
benar bernyali besar! Kau telah terjang jalanan berbabaya dan tiga puluh lie lebih! Kau lihat, disini ada berhenti berapa banyak kereta piauw, dan Kat Ciang-kui juga ada disini. Namun kami tidak lantas lanjutkan perjalanan.
Itulah sebab kami tak ingin bangkitkan kegusarannya gin-piauw Ouw Lip! Kau hendak menuju ke Utara, hati3lah
buat pesanggrahanuya di Utara, Pak-cee. Lewat disana, asal kau dapat dilihat, jikalau bukannya sebatang piauw, kau tentu bakal dipersen batu besar yang akan bikin hancur dan remuk batok kepalamu!"
Siau Hoo mendongkol mendengar kata-kata itu, yang
berupa dampratan baginya, tetapi, ia tidak berani terbitkan onar, dengan pakskan bersabar, ia kata dengan suara
dingin. "Sahabat, kau tak usah perdulikan aku! Biar-pun aku mesti binasa, aku mesti selesaikan urusanku!"
Ia tarik les, ia cambuk kudanya, untuk lepaslcan
cekalannya orang itu. Ia tidak tahu bahwa dari belakangnya satu serangan menyamber padanya, hingga ia menjerit,
dengan tak berdaya ia rubuh dari kudanya!
Dibelakangnya terayata ada berdiri Pauw Cie Lim,
putera kedua dari Pauw Kun Lun!
Cie Lim sedang jalankan permintaan dan saudaru Liong
buat pergi ke See-an, undang Kat Cie Kiang, dalam
perjalanan ke Selatan, ia sekalian iringi piauw, sampai didaerah bukit ini, yang dinamakan jalanan Cin Nia Too.
Kebetulan sekali disitu mereka berpapasan dengan Siau
Hoo. Walau-pun demikian, Cie Lim masih belum tahu
halnya Siau Hoo sudah ajak Long Tiong Hiap menyatroni
ke Cie-yang dan Tin-pa, ia hanya benci anaknya Cie Seng ini, yang nakal dan bengal dan nyalinya besar. Selagi orang jatuh, ia barengi juga mendupak.
"Eh, cucunya kura2 kecil!" mencaci orang she Pauw itu,
"kiranya kau masih hidup! Kau tahu, Liong Toaya yang
kau tikam sampai sekarang masih belum sembuh dari
lukanya! Oh, anak haram!"
Siau Hoo terus gulingkan tubuh, ia bergulingan
kesamping kudanya, kapan ia loncat bangun terus saja ia samber goloknya, yang ia segera bacokkan kepada musuh
besarnya itu. "Hei, anjing haram!" ia-pun balik mencaci. "Kau berani serang Kang Siau thayya" Siau-thayya justeru lagi cari kau!"
Cie Lim kebetulan tidak bersenjata, karena itu, ia loncat berkelit akan terus lari menyingkir sambil pentang bacotnya lebar. "lni dia yang lukai Liong Toako!"
Atas itu segera muncul tiga piauwsu lainnya dan Lie Sun Piauw Tiam, mereka menyekal golok dan toya, mereka
terus serang Siau Hoo.
Anak tanggung ini insyaf ia bersendirian, akan tetapi
sudah kepalang seperti itu ia jadi nekat, maka ia putar goloknya, dengan sengit ia layani penyerang2nya itu.
Musuh2 itu bukannya lemah, tetapi kena dirabu, mereka
tidak sanggup kurung bocah itu.
Mereka bertempur baru belasan jurus, lantas Cie Lim
datang pula bersama seorang lain, roman siapa diwaktu
senja itu, tidak lantas terlihat nyata. Hanya dia berubuh besar, romannya garang, goloknya ada sebuah golok Kunlun-too yang biasa digunai Pauw Kun Lun.
"Tahan!" orang ini berseru begitu lekas dia dan Pauw
Cie Lim sudah datang dekat, tangannya menunjuk dengan
goloknya itu. "Mana dia Kang Siau Hoo?"
Semua orang lantas loncat mundur, hingga didalam
kalangan ketinggalan Siau Hoo seorang dengan napasnya
memburu. "Aku Kang Siau Hoo!" ia jawab dengan nyaring. "Kau
siapa?" Cie Lim, yang berdiri disampingnya orang tinggi besar
itu, buka mulutnya.
"Eh, binatang, sekali-pun aku punya Liok suko kau tidak kenali!" ia membenak, "Inilah orang didikan sendiri dari ayahku, ketua dari Kun Lun Piauw Tiam, enghiong
tersohor Kim-too Gin-pian Tat Pa Ong Kat Liok-thayya!"
Siau Hoo tahu bahwa Kat Cie Kiang adalah murid
tersayang dari Pauw Kun Lun. Maka itu ia jadi berkuatir.
"Apa kau mau?" ia segera menegur. "Aku tidak ganggu
kau, kenapa kau rintangi aku" Kenapa kau hinakan aku"
Apa mentang2 aku masih kecil" ... "
Kat Cie Kiang perdengarkan tertawa dingin, ia maju
beberapa tindak.
Melihat demikian, bocah itu lekas-tekas mundur.
"Letaki golokmu!" kata Kat Cie Kiang dengan bengis.
"Kau mesti serahkan diri, beri dirimu diringkus untuk
dibawa ke Tin-pa untuk diserahkan pada guru kita. Jikalau kau melawan, aku nanti bacok terbelah tububmu menjadi
dua! Ayahmu sudah cemarkan nama baik dari kaum Kun
Lun Pay! Dan kau sendiri, bangsat kecil, kau sudah lukai jie-suheng. Sekarang kau hendak lari kemana?"
Cie Kiang maju seraya membacok.
Siau Hoo angkat goloknya menangkis, tetapi berbareng
sama beradunya kedua golok, ia rasakan kedua tangannya sakit, goloknya terlepas dengan tak dapat dicegah lagi, maka segera ia putar tubuhnya untuk kabur. Akan tetapi Kat Cie Kiang mendahului, dengan satu dupakan ia dibikin terpental dan rubuh bergulingan, menyusul mana, beberapa piauwsu lompat menubruk dan tekan padanya, hingga dia
tak dapat berkutik lagi, sia-sia saja ia berontak-rontak dan menangis. Ia mirip seekor ayam yang kena dibekuk!
"Ambil tambang! Ambil tambang!" Ce Lim berteriak2.
"Ikat dia! ikat dia!"
Pureranya Pauw Kun Lun ini kelihatan sangat garang. Ia tidak tahu,selagi ia kegirangan, tahu2 dibelakangnya
muncul saja orang, tangan siapa disodorkan kearah
tubuhnya, menyusul mana dia menjerit. "Aduh". Ia rasakan sekujur tubuhnya sakit, kakinya lemas, segera juga ia rubuh sendirinya!
Orang dibelakang itu ada seorang tua dengan gendolan
bungkusan dibekokongnya.
Semua orang menjadi heran dan kaget, tetapi Cie Kiang
menjadi gusar, ia geraki goloknya sambil perdengarkan
suara bengis: "Kau siapa?"
Orang tua itu tidak mundur, ia tidak berkelit kesamping, sebaliknya ketika goloknya Cie Kiang sampai, tiba2 ia
angkat lengan kirinya, dengan kedua jarinya ia tahan
turunnya golok dan dijepitnya golok itu.
Cie Kian gunakan tenaganya tenaga dari Tiat Pa Ong,
atau Couw Pa Ong besi, tetapi tetap golok itu tidak dapat ditarik pulang, pun ketika ia gunakan kedua tangannya, ia tetap tidak peroleh hasil.
Orang tua itu seperti punyakan tenaga dari ribuan kati, sedang ketika kemudian ia membetot, golok lawan lantas saja terlepas, tetap berada dalam jepitan jari tangannya, sesudah mana, golok yang besar dan berat itu ia letaki ditanah yang lantas dijejaknya, atas mana besi itu dalam sedetik menjadi patah dua!
Kat Cie Kiang terperanjat sampai ia keluarkan seruan.
"Kau siapa?" ia tanya, air mukanya berubah menjadi
pucat. Orang tua itu, yang tangan kanannya pegangi buntalan
dibebokongnya, menyahut dengan sabar: "Aku adalah
gurunya anak ini! Aku tak bisa lihat yang dia diperhina olehmu!"
Semua orang tercengang, hingga Siau Hoo jadi dapat
pulang kemerdekaannya, hanya dia-pun diam saja, sebab
dia juga tidak kurang herannya.
"Lepaskan dia," Cie kang lantas perintah orang2nya, ia sendiri-pun tubuhnya bergemetar, kemudian ia memberi
hormat pada orang tua itu.
"Loo-cian pwee, sudilah beritahukan namamu yang
besar," ia mohon.
Tapi-empe itu menggeleng kepalanya.
"Tidak usah aku beritahukan namaku," ia jawab.
"Hanya kalau nanti kau pulang dan ketemu gurumu, Pauw
Cin Hui, kau coba menanyakan peristiwa pada beberapa
puluh tahun yang itu, digunung Tong Pek San dia sudah
bertemu dengan siapa! Asal kau tanya begitu, dia tentu ketahui namaku!"
"Baik, loocianpwee," kata Kat Cie Kiang berulang2. Ia
sama sekali tidak berani berlaku melit.
Siau Ho sambil menangis, lantas hampiri si empe
didepan siapa ia kasi hormat sambil pay-kui.
"Jangan takut," kata orang tua itu, dengan suaranya
yang lemah lembut. "Naik atas kudamu, lanjutkan
perjalananmu, aku nanti lindungi padamu!"
Siau Hoo merayap bangun, dengan tidak perdulikan lagi
goloknya, ia hampirkan kudanya yang ia tuntun, ia tidak mau naiki kudanya, lalu sambil tunduk ia bertindak akan ikuti si empe, yang-pun sudah lantas berlalu. Boleh
dibilang, berdua mereka jalan ditempat yang gelap, karena rentang2nya senjakala.
Halaman 123 s.d 126 hilang "
"Apakah kita semua tidak bisa yakinkan lebih jauh ilmu silat kita?" berseru mereka. "Apakah kita tidak bisa undang orang untuk bantu kita menantikan kedatangannya dia itu"
Umpama kata dia datang bersama gurunya, apakah kita
tidak bisa berani kepung mereka?"
Cin Hui masih rebah atas pembaringannya, mukanya
yang pucat pelahan2 jadi bersemu merah pula. Tiba2 ia
lompat bangun, terus ia tepuk2 dada.
"Ya, jangan takut," ia berseru. Ia angkat dadanya.
"Bugeemu semua masih belum sempurna, karena semua itu
aku masih simpan ilmu silat Su-touw-kun dan Pat-to-too.
Mulai hari ini aku akan wariskan semua kepandaianku,
supaya kau semua pandai seperti aku sendiri! Memang,
mustahil tiga-puluh Pauw Cin Hui tidak sanggup lawan
Kang Siau Hoo seorang" Kenapa mesti takut?"
Kata2 ini membikin semua murid tadi girang, semangat
mereka semua terbangun.
Benur juga, sejak hari itu, Pauw Cin Hui kumpulkan
empat-belas muridnya. yaitu Long Cie Khie, Kee Cie Beng, Kat Cie Kiang, Lou Cie Tiong, Ma Cit hian, Tan Cie Cuu, Cin Cie Po, Chio Ci Yauw, Biauw Cie Eng, Wan Cie Gie,
Wan Cie hiap,Han Cie Sin, Thio Ce Cay serta puteranya
pertama, Cie In. Ia kumpulkan mereka semua dirumahnya, untuk mereka itu setiap hari belajar dengan sungguh2. Ia sendiri turut berlatih, hingga tubuhnya yang gemuk. jadi sehat dan gagah. jadi gesit gerak2kannya, hingga muncullah kegagahannya diwaktu muda. Sementara itu, selainnya
siang diwaktu malam-pun Pauw Cin Hui didik keras
cucunya perempuan, akan tunjukkan berbagai rahasia.
Demikian sejak itu, namanya kaum Kun Lun Pay jadi
makin kesohor, akan tetapi disebelah itu, tentang Kang Siau Hou, orang tidak dengar suatu apa.
-ooo0dw0ooo- Jilid 09 VII SANG WAKTU LEWAT CEPAT seumpama anak
panah, walau-pun setiap hari ia terus berlatih silat, mainkan golok dan tangan kosong, setelah lewat lagi beberapa tahun, Pau Cin Hui yang gagah, rambut dan kumis jenggotnya
semua telah berubab menjadi putih. Ia tetap sehat dan
gagah, akan tetapi sekarang ia telah berusia tujuh-puluh
enam tahun. Banyak nuridnya juga sudah piara kumis,
sedang cucu-cucu muridnya sudah mulai dewasa. Selama
belasan tahun, didalam kalangan Kang-ou juga telah terjadi banyak perubahan. Selali-pun demikian, tidak ada satu hari, tidak ada satu jam yang guru silat ini pernah lupai Kang Siau Hoo, hingga kalau ada muridnya datang dari tempat jauh yang menyambanyangi dia, yang paling dulu ia
majukan adalah pertanyaan:
"Kau dengar atau tidak perihal Kang Siau Hoo" Selama
ini ada atau tidak anak muda yang baru muncul, yang
kesohor bugeenya?"
Akan tetapi, semua jawaban yang ia dapatkan membuat
ia putus harapan.
Jago tua ini anggap, daripada semua murid dan cucu
muridnya dibikin mati oleh Kang Siau Hoo, baiklah ia
sendiri yang pertanggungkan diri. Kalau dia sanggup bikin perlawanan, syukur, kalau tidak biar ia sendiri kurbankan jiwa tuanya.
"Ayahnya terbinasa ditanganku, tidak apa apabila aku
terbinasa ditangannya," demikian pikirnya.
Ketika itu Pau Cie In tetap masih kepalai Kun Lun Piau Tiam di Han-tiong, dia ada terima sejumlah murid dan
perusahaannya ada berjalan baik. Hanya Cie Lim terus jadi orang bercacat sejak dia dirubuhkan si orang tua di Cin Nia.
Sesudah diundang banyak tabib, ia cuma bisa geraki kaki tangan, tapi pinggangnya terus bongkok, tak dapat dibikin sembuh.
Pui-sie, nyonya mantu pentama, telah menutup mata
pada tiga tahun yang lalu karena sakit, dan nyonya
mantunya yang kedua, tidak peroleh anak, maka itu, Cin Hui tetap berada bersama Ah Loan, si cucu perempuan,
yang sekarang sudah berumur dua-puluh dua tahun, yang
romannya elok, orangnya gesit dan menyenangkan, hinga
ia ada sangat disayang oleh engkongnya.
Nona Ah Loan ada mempunyai rambut yang gompyok
dan hitam mengkilat, sepasang mata yang celih, mukanya dadu seperti bunga, tubuhnya sedang, kedua kakinya tidak dihungkus tetapi juga tidak terlalu besar. Bugeenya telah dibelajar sempurna, gerakannya cepat dan gesit, dengan goloknya Kun-lun-too ia sanggup rubuhkan Lou Cie Tiong dan Kat Cie Kiang, bahkan mungkin lain-lain jago dari
Kwan-tiong dan Han-tiong. Cin Hui bilang, cucunya itu ada melebihi dia sendiri.
"Umpama Long Tiong Hiap datang pula, dia mesti kalah
dengan cucuku ini," Pau Kun Lun pernah nyatakan. Akan
tetapi Siau Hoo dia tidak pernah sebut-sebut, meski-pun didalam hatinya sering-sering ia kata seorang diri: "Entah bagaimana sekarang bugeenya Siau Hoo" Bisakah dia
layani cucuku ini?"
Beda daripada sang engkong, Ah Loan sebaliknya setiap
hari harap-harap kedatangannya Siau Hoo, hingga pernah ia kata pada engkongnya: "Yaya, aku menyesal sekali Siau Hoo tidak datang sekarang juga, semakin cepat dia datang, semakin cepat aku nanti bunuh dia, agar yaya tidak usah berkuatir terlebih lama pula!"
Mendengar itu, Pau Cin Hui tertawa.
"Tak ada sedemikian gampang, anak," demikian ia
dalam hatinya. Adalah kebiasaan di Siamsay Selatan, atau satu nona
dalam umur lima atau enam-belas tahun masih belum
menikah, dia suka jadi buah tertawaan orang ramai, akan tetapi tidak demikian dengan Ah Loan, sekali-pun ia sudah berumur lebih dua-puluh tahun. Nona ini boleh dianggap ada berkaki besar, dia-pun setiap hari berlatih silat,
bercampur gaul kepada orang-orang lelaki, tetapi walaupun, ia tetap masih merdeka. ini bukan disebabkan dia tidak ada yang lamar, malah banyak lamaran datang dari berbagai
guru silat atau piausu. Adalah sang engkong yang tolak setiap lamaran, malah pernah, selagi jengkel, engkong ini kata:
"Cucuku tidak akan menikah seumur hidupnya!..."
Ah Loan sendiri tidak pernah pikirkan hal pernikahan, ia gemar sangat akau ilmu silat, ia belajar rajin siang dan malam, kalau siang ia suka balap dengan kudanya, diwaktu malam ia biasa loncat turun-naik rumah dan lari-larian diatas. Namun ia suka ingat orang dengan siapa diwaktu kecil ia pernah jadi "istrinya" ... Bukankah karena
layangannya nyangkut, Siau Hoo cuma suka menolongi
asal ia suka jadi isterinya bocah itu" Kalau ingat ini, mukanya jadi merah, ia benci Siau Hoo, tetapi dia bukan benci Siau Hoo sebab dia itu ada musuh besar dari
engkongnya ... Ada sebab lain yang bikin ia bingung dan membencinya, yang ia tak dapat jelaskan apa adanya.
"Biarlah Siau Hoo datang, biar dia tempur aku sampai
tiga atau empat ratus jurus ... biar aku dapat bunuh dia, akan cincang tubuhnya hancur lebur ... baru aku puas ...
Atau aku nanti tangisi mayatnya yang aku telah bikin
hancur-lebur itu." demikian ia ngelamun.
Itu hari, seperti biasanya Ah Loan tunggang kudanya
yang berbulu merah, ia kabur keluar dusun, kearah Lam
San, itu gunung Selatan, ketika ia balik pula, lewat
disampingnya sebuah pohon yangliu, ia hunus goloknya, ia bacok pohon itu hingga semplak, setelah mana ia


Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nampaknya puas. Itu ada pohon dimana dulu layangannya
nyangkut, ia penasaran, ia membacok.
Ia percaya, pohon itu tidak bakal hidup untuk banyak
tahun lagi, tidak perduli waktu itu tumbuhnya subur sekali.
Setelah itu ia terus pulang dan bersantap.
Biasanya engkong dan cucu ini bersantap sama-sama,
ada saja yang mereka bicarakan, akan tetapi hari ini, Pau Kausu nampaknya batal hendak bicara ini telah kejadian beberapa kali.
"Akh, Ah Loan, sukakah kau bepergian?" akhir-akhirnya
sang engkong tanya:
"Aku hendak diperintah pergi ke mana, yaya?" tanya
sang cuyu sambil tertawa.
"Merantau kemana kau suka!" sahut engkong itu. "Kau
boleh mendaki gunung tinggi dan seberangi sungai besar, untuk lihat apa yang kau belum pernah lihat, untuk juga ketemui orang-orang gagah diluar kalangan Kun Lun Pay
kita!" "Aku suka, yaya!" berseru cucu dengan gembira. "Kita
pergi bersama-sama memang sudah lama sekali yaya-pun
tidak pernah bepergian!"
Tetapi sang engkong goyangi tangan.
"Aku tak dapat tinggatkan rumah kita," ia jawab.
"Yaya tak dapat tinggalkan rumah, aku-pun tidak dapat
tinggalkan kau yaya!" kata Ah Loan sambil tertawa.
Setelah kata begitu, cucu ini angkat sumpitnya akan
dahar pula. Jago tua itu kerutkan dahinya, ia berdiam.
"Jangan kau anggap bugeemu sudah sempurna,"
kemudian ia kata. "Dalam kalangan Kun Lun Pay kita, kau tidak bakal dapatkan pula lain macam kepandaian yang
istimewa. Kau mesti merantau untuk melatih diri. Dari sini kau pergi ke Hantiong, dari Han-tiong kau lintasi Cin Nia untuk menuju ke See-an-hu, kemudian kau pergi ke Han-kok-kwan, terus ikuti sumgai Hoang Hoo pergi langsung ke Kay hong-hu. Disana kau boleh cari loohiap-kek Kho
KengKui, si jago tua untuk angkat dia menjadi guru, akan yakinkan Tiam hiat-hoat ... "
"Tiam-hiat-hoat?"
Ah Loan memotong sambil bersenyum ewa, "Aku tak sudi pelajarkan itu! Satu lagi-lagi mesti bicara dengan golok dan tumbak, kalau orang cari kemenangan dengan ilmu menotok jalan darah, itu bukan
caranya satu laki-laki!"
"Tak dapat kau bicara secara demikian anak," kata sang engkong sambil goyang-goyang kepala "Tiam-hiat-hoat
penting untuk diyakinkan. Lagipun, dengan anjurkan kau merantau, aku ada mempunyai maksud lainnya. Pertama-tama kau bisa dapat ketika aku dengar tentang Kang Siau Hoo ?"
Baru mndenar begitu, semangatnya Ah Loan sudah
terbangun. "Kalau aku pergi, pasti aku akan dapat cari dia itu!" ia potong pembicaraan engkongnya. "Kalau aku ketemu dia,
mesti aku bunuh padanya!"
Engkong itu goyang pula tangannya.
"Kau sabar," ia bilang. "Umpama dia tidak terus
musuhkan kita, atau kepandaiannya belum semlpurna, kita baik jangan ladeni padanya. Sekarang yang kedua. Kau
sekarang sudah berumur duapuluh tahun. Orang lelaki atau perempuan, satu kali sudah berusia dewasa, dia mesti
menikah, karena itu, kaupun harus cari sendiri bakal
suamimu. Semua orang yang kita kenal disini, tidak ada yang cocok untukmu. Selama belasan tahun ini, dikalangan
kang-ou mesti ada muncul pemuda-pemuda
yang berkepandaian tinggi, mesti ada satu diantaranya yang
sembabat bagimu. Hanya ingatlah baik-baik, kau mesti cari, kecuali yang romannya cakap, juga yang kelakuannya baik, bugeenya melebihi bugeeku. Umpama akan dapati orang
yang kau maksudkan, lekas kau pulang akan beritahukan
aku, aku nanti dayakan untuk rekoki jodoh kau berdua ..."
Mukanya Ah Loan berubah menjadi merah, ia tidak kata
apa-apa, ia-pun tunda sumpitnya.
"Dasar orang perempuan " " demikian engkong itu
ketika melihat sikap likat dari cucunya.
"Kau ingat wanti-wanti," engkong ini segera tambahkan,
"kalau kau sudah dapatkan orang yang kau penuju, catat she, nama dan alamatnya, aku masih hendak uji dia, jikalau sudah terbukti dia ada lebih lihay daripadaku, baru aku suka nikahkan dia denganmu. Dan kau sendiri, selama
dalam perantauan, kau mesti jaga diri baik-baik kau mesti sabar dan jangan keterlaluan, agar kau tidak merusak
namaku!" Ah Loan tunjang kepalanya, ia diam, ia tidak menjawab.
Malah seterusnya ia latas seperti berubah, menjadi seperti sorang lain. Sejak hari itu tidak pernah ia raba goloknya.
Pau Kun Lun juga sudah lantas pilih hari, untuk lusanya sang cucu berangkat. Dan besoknya ia perintah cucu itu siap, sedang untuk kawan dijalan, ia tugaskan Chio Tie Yau, muridnya yang ke empat, sebagai petunjuk dan
pelindung juga.
Chio Cie Yau-pun ada salah satu murid kesayangannya
jago tua ini, hanya diwaktu muda, selagi, nonton
sandiwara, dia sudah permainkan satu nyonya baik-baik, hingga ia langgar larangan gurunya, meski-pun ia dapat keampunan, tidak urung matanya yang kiri dikorek, hingga
sudah sejak banyak tahun ia andalkan saja matanya yang kanan. Mata sebelah itu tidak jadi halangan akan Cie Yau peroleh kemajuan terlebih jauh, hinga ia-pun pernah
merantau. Namanya ia dikenal sampai baik. Ketika itu ia sudah berumur empat puluh lebih. Sekarang ia ada seorang yang baik sekali kelakuannya, dari itu, gurunya pilih ia. Iapun suka terima tugas itu, dari gurunya ia terima berbagai nasihat.
Pada hari yang ditetapkan, hari yang terang-benderang
dan bulan keempat, hari ke sepuluh yang pertama, Ah Loan dan Chio Cie Yau sudah siap. Disitu ada berkumpul Ma
Cie Hian, Tan Cie Cun, Wan Cie Gie, Thio Cie Cay, dan
yang lain untuk mengantar atau mengasi selamat jalan pada sumoay itu.
Thio Cie Cay murid yang kedelapan-belas, akan tetapi
selama belakangan ini pelajaranaya silat maju dengan pesat, dari itu, oleh gurunya ia diwajibkan menjaga rumah. Ia baru saja dipanggil datang.
"Nona Ah Loan hendak dikirim kemana?" dia tanya
gurunya. "Pertama aku hendak suruh dia pergi ke Ha-tiong akan
sambangi ayahnya," Pau Kau-su beri keterangan. "Dari
sana ia harus lewatkan Cin Nia untuk pegi ke See-an-hu akan tengok Cie Kiang, supaya Cie Kiang bisa ajak dia
kunjungi dan berkenalan kepada orang-orang ternama dari See-an. Dari Seean, lanjut ke Timur mengunjungi Lie Cin hiap di Hoa-cu dan Thio Tek Pa di Tong-cu. Kalan nanti ia sudah keluar dari han-kok-kwan. dia boleh kunjungi Tiat-piekau Nio Kho di Lok-leng-koan, Kim Lian Pousat Bu
Siatsu di Song San dan Sin-eng Kho Keng Kui di Kay-hong.
Dari sana dia boleh menuju terus ke Selatan, akan tengok Sin-pian Lou Pe Hiong di distrik Sian-cay, Say Uy Tong Lau Khong di Sinyang, dan Hoa-chio Bang Jie di Sianyang.
setelah itu, dia boleh masuk ke Sucoan, akan ketemui Hou Ciu Hou di Sucoan Selatan dan Long Tiong Hiap di Sucoan Utara."
Semua muridnya jago tua ini sangat ketarik mendengar
rencana perjalanan dari Ah Loan itu, melainkan Chio Cie Yau yang antar-balik matanya yang tinggal sebelah.
Didalam hatinya ia kata : "Ini ada pengembaraan seperti dibuang saja, dan kalau ada terjadi sesuatu dengan si nona, mataku yang kanan ini barangkali bakal di korek pula " "
Tapi ia sudah diberikan tugas dan ia telah terimanya, ia tak dapat kata apa-apa pula.
Orang semua angkat cawan arak akan kasi selamat jalan
pada Ah Loan berdua, yang didoakan supaya tak kurang
suatu apa. Ah Loan gembira tercampur sedih. Ia berat akan
berpisah dari engkongnya, ia keluarkan air mata ketika ia ambil selamat tinggal dari engkongnya, encek dan
encimnya. Ia naik kudanya, Chio Cie Yau ikuti ia. Hanya sesampainya di jalan besar, Cie Yau lantas menggantikan jalan di depan, akan mulai dengan perjalanan mereka, ke Utara.
Ce Yau dandan serba biru kudanya putih, goloknya di
tancapkan pada buntalannya. Ia beri kudanya conklang,
tidak cepat dan tidak pelahan.
Kuda merahnya Ah Loan ada gesit, pakaiannya baru,
hingga kelihatannya berkilau-kilau, tapi si nona sendiri tidak berpakaian mewah, pakaiannya biru, sepatunya hijau, ujung sepatunya disulam bunga-bungaan. Ia pakai tutup
kepala biru juga, sedang ujung kuncirnya di beri masuk kedalam baju. Cambuk kuda tercekal ditangannya.
Agaknya ia ketarik akan saksikan pemandangan alam
disepanjang jalan : gunung, air, sawah, ladang dan rumah-rumah orang dusun.
Setelah lewati Pak San, gunung Utara, nona ini mulai
meninggalkan daerah Tin-pa. Dari sini tujuan mereka
adalah Barat. "Nona," kata Ci Yau sambil menoleh kebelakang dan
tertawa pada Ah Loan. "Tujuan kita bukannya dekat,
sedikitnya dua atau tiga ribu lie. Masih belum ditentukan, ditengah perjalanan ini kita akan peroleh pengalaman apa.
Kau ada berbugee tingi tetapi kau belum pernah merantau.
Aku pernah merantau tapi belum pernah kelima propinsi
seperti ini. Maka itu, haruslah kita berhati-hati, kepada siapa juga kita mesti berlaku hormat. Kita benar ada
merubawa senjata tetapi tidak seharusnya itu sembarangan dihunus. Terutama bugee kita, jangan sekali-sekali
sembarangan kita pertunjukan kalau tidak ?"
Tapi mendengar itu, Ah Loan mendelik.
"Cukup! Kau tak usah ngobrol lebih hanyak!" ia
mencegahnya. Cie Yau mainkan matanya setelah itu, ia tertawa.
"Bukan obrolan, ini ada hal yang sebenarnya," kata ia.
"Biar orang berkepandaian bagaimana tinggi pun, tak dapat dia tak kerun lancang menyerang orang ?"
Tapi Ah Loan sebal.
"Chio Susiok," kata ia, "kalan kau masih ngobrol saja, biar aku berjalan seorang diri! Jikalau kau tidak sudi ikuti aku, silahkan kau pulang saja!"
"Cukup, cukup!" Cie Yau kata. "Baik, aku tidak bicara
pula. Untuk peringatkan kau, nona, aku hendak menyebut ringkas saja : Hati-hatilah!"
"Aku mengerti," kata Ah Loan yang terus tertawa.
"Kalau kau sudah mengerti itulah bagus!" kata Cie Yau
yang-pun kemudian ia cambuk kudanya.
Maka kedua kuda lantas lari menuju ke Barat.
Dihari itu juga dua orang ini sampai di Han-tiong, terus mereka pergi ke Kun Lun Piau Tiam. Ah Loan bisa lantas ketemui ayahnya, Cie In, dan beberapa susiok atau paman angkatnya.
Cie In kurang tetap hatinya apabila ia diberitahukan
niatan merantaunya gadisnya yang jauh itu, tetapi karena itu ada keinginan dari ayahnya, dan anaknyapun sudah
mulai dengan pengembaraannya, ia tidak dapat cegah lagi.
Dia-pun urungkan niatnya akan kirim dua tiga orang untuk temani Chio Cie Yau, kesatu ia memang sedang
kekurangan orang, kedua tidak ada yang sudi merantau
demikian jauh dan lama. Disebelah itu ia tahu adat keras dari gadisnya, ia tidak ingin kebentrok dengan anak itu.
Maka akhirnya ia cuma menulis sepucuk surat, yang ia
bekalkan pada Chio Cie Yau, untuk diperlihatkan pada Kat Cie Kiang di See-an, supaya saudara itu saja yang nanti berdaya akan perintah orang-orang lindungi gadisnya
disepanjang jalan.
Ah Loan nginap cuma satu malam pada ayahnya,
esoknya pagi ia pamitan dan lanjutkan perjalanannya. Di itu hari juga ia sampai didistrik Liu-pa, disana ia mampir pada susioknya, The Cie Pin, yang membuka piautiam.
Dihari kedua, ia berangkat pula, pada waktu tengahari, ia lintasi gunung Cin Nia yang tinggi dan penuh dengan
pohon-pohon, hingga nampaknya hijau gelap. Tapi itu
waktu udara ada terang, orang yang berlalu lintas ada
banyak, sama sekali mereka tidak dapat gangguan penjahat.
Pada waktu sore, mereka sampai di Taysan-kwan. Disini
ada sebuah Kun Lun Piau Tiam yang dibuka pada tiga
tahun yang lalu, yang dikepalai oleh Lou Cie Tiong. Maka dia ini terperanjat kapan mendadak ia dapatkan Ah Loan muncul di depannya.
"Dia sedang merantau," Cie Yau beri keterangan. Malah
dia jelaskan rencana perjalanan itu, yang jauh dan luas.
Air mukanya Cie Tiong menjadi berubah.
"Nona, baik kau jangan pesiar terlalu jauh." ia lantas mencegah. "Sampai di See-an, masih boleh, dari situ jangan kau menuju ke Timur. Keadaan sekarang telah jadi lain. Di Hoolam baru saja muncul beberapa orang gagah angkatan
muda, diantara siapa, yang paling terkenal ada cucunya Liong-bun-hiap Kie Kun Ie, namanya Kie Kong Kiat. Dia
baru berumur dua puluh kurang lebih, bugeenya sudah
begitu sempurna sehingga ia dapat kalahkan Kho Keng Kui dari Kayhong-hu. Katanya sekarang ini pemuda itu sedang menuju ke Barat, untuk menemui Lie Cin Hiap dan Hoaciu, buat sekalian menuju terus ke Tin-pa untuk cari suhu, buat diajak pie-bu. Kepandalannya pemuda itu ada diatas kita pihak Kun Lun Pay. Maka nona, jikalau kau ketemu
dia, dan dia ketahui kau ada dari kaum Kun Lun Pay, tak dapat tidak, kau tentu bakal mendapat malu ?"
Chio Cie Yau terkejut mendengar keterangan perihal Kie Kong Kiat itu, matanya sampai mencilak, air mukanya
pucat. "Inilah berhahaya!" menyatakan ia. "Liong Bun Pay itu
ada jauh terlebih lihay dari pada kita Kun Lun Pay. Ketika dahulu suhu sedang latih kita. Ia telah beri nasehat, jangan kita terlalu puas dengan bugee kita hingga kita jadi jumawa, kemudian ia sebut-sebut Liong Bun Hiap dan Siok Tiong
Liong. Dua jago itu ti dak terima murid, umpama kata
mereka ada mempunyai murid yang telah lulus sudah pasti mereka bisa setiap orang melayani seratus musuh!"
"Lagi satu kabar yang aku belum sempat sampaikan
kepada suhu," menyambungi Lou Cie Tiong selagi Ah
Loan masih berdiam. "Menurut orang-orang yang baru
datang dari Timur, didaerah Kanglam sekarang telah
muncul juga satu hiap-kek muda, bugee siapa katanya lihay dan sepak terjangnya ada secara rahasia. Ada orang
menyangka dia adalah Kang Siau Hoo, yang sudah lulus
dari perguruannya?"
Mendengar itu, Cie Yau lirik Ah Loan, baru ia hendak
buka mulutnya atan Ah Loan sudah deliki matanya.
"Lou Susiok bersama Chio Susiok jangan perdulikan
aku!" kata nona ini yang tabiatnya aseran. "Tidak dapat tidak, aku mesti pergi papaki cucunya Liong Bun hiap.
Kalau Kang Siau Hoo sudah muncul, itu ada terlebih baik lagi. Kalau dia ada di Kanglam, aku nanti cari dia di
Kanglam, dimana-pun dia berada, aku akan menyusulnya
juga! Aku hanya kuatirkan aku tidak dapat cari dia!"
Dengan menolak pingang nona ini kelihatannya jadi
keren sekali, sedang alisnya berdiri, matanya bersinar.
Cie Yau hendak sahuti si nona tetapi Cie Tiong kutik ia.
"Marilah kita bersantap dulu," mengundang tuau rumah.
Kemudian Cie Tiong menyediakan satu kamar untuk
nona sendiri. Sesudah itu ia silahkan nona itu beristinahat, ia ajak CieYau pergi untuk damaikan daya guna besok coba mencegah si nona. Mereka percaya seorang perempuan
sebagai Ah Loan akan dapat dibujuknya untuk kembali
saja, supaya pengembaraannya dibatalkan.
Mereka memikir demikian gampang, tidak tahunya, Ah
Loan benar-benar kepala batu. Diluar tahu mereka tengah
malam itu Ah Loan dandan dan berangkat sendiri, dengan tinggalkan Cie Yau!"
Tay-san-kwan ada suatu kota penting di daerah
pegunugan Cin Nia, disitu ada beberapa puluh toko,
diwaktu siang perhubungan ada ramai sekali, tetapi setelah malam, kota jadi sepi, sedang penerangan itu malam adalah penerangan dari si puteri malam yang kebetulan berada
diatasan gunung, sinarnya menyinari jalan umum.
Piautiam dari Lou Cie Tiong berada di luar kota ini, ini menggampangkan Ah Loan untuk "minggatnya" itu.
Karena ia kuatir Cie Tiong akan menyusul dan paksa ajak dia balik, Ah Loan sengaja kaburkan kudanya kearah utara.
Syukur jalanan ke Seean ada langsung, sedang setelah
kabur jauhnya enam atau tujuh puluh lie, sang fadar sudah mendatangi, sesaat pula dijalanan sudah mulai tertampak orang berhilir-mudik, dari jarang-jarang sampai jadi banyak.
Tentu saja banyak mata perhatikan nona ini siapa sebaiknya duduk atas kudanya dengan tenang, seperti juga dikiri dan kanannya tidak ada lain orang.
Ah Loan larikan kudanya sampai mendekati tengahari.
Ia sinhgah disatu dusun, ia cari rumah makan, tengah
berdahar ia tanya pelayannya tentang tempat itu, yang
ternyata ada distrik Hin-peng. Menurut jongos, lagi dua perhentian, orang akan sampai di See-an. Oleh karena ini, setelah
dahar cukup, Ah Loan lantas lanjutkan perjalanannya. Sorenya ia sampai disebuah kota, ia merasa sangat lelah, ia lantas cari rumah penginapan dimana ia minta kamar. Dan jongos ia dapat tahu, tempat itu adalah distrik Hin-peng, dari situ lagi dua perhentian orang akan sampal di See-an.
Hotel itu penuh dengan tamu, pekarangan penuh dengan
kuda dan kereta. Karena sudah gelap, disemua kamar sudah
dipasang lampu. Dari berbagai kamar ada terdengar riuh suara orang dengan berbagai-bagai bahasa daerahnya. Di tempat seperti ini, Ah Loan tidak menarik terlalu banyak perhatian. Ia lantas saja minta disediakan barang makanan.
Jongos heran ketika si nona buka bungkusan kepalanya,
ia lihat rambut yang dikepang.
"Apakah nona sendirian saja?" ia tanya. "Nona dari
mana" Apa nona hendak pergi ke See-an?"
Ah Loan manggut, ia tidak mau bicara. Sehabisnya
dahar, ia minta satu teekoan yang terisi air. Ia tutup pintu kamarnya, kemudian ia rebahkan diri diatas pembaringan, ia memikirkan bagaimana besok kalau ia sudah sampai di See-an, ia perlu ketemui Kat Cie Kiang atau jangan.
"Tidak perlu aku ketemui susiok dan lainnya," ia ambil putusan. "Malah kota See-an-pun baik dilewati saja, biar aku jalan mutar menuju ke Timur, akan ke luar dari Han-kok-koan. Begitu lekas aku keluar dari daerah Kwan-tiong, aku tidak akan ketemu pula orang-orang Kun Lun Pay, ini berarti tidak ada orang lagi bisa cegah-cegah aku ?"
Kemudian ia menduga-duga tentang Kie Kong Kiat,
cucunya Liong Bun Hiap. Apa benar orang she Kie itu ada terlebih daripada dia.
"Inilah aku sukar percaya!" demikan anggapannya.
Kemudian ia ingat Kang Siau Hoo.
"Susiok Cie Cong bilang dia sudah munncul, namanya
kesohor aku ingin sekali cari dia!" dia ngelamun terlebih jauh. Aku hendak lihat setelah berselang sepuluh tahun bagaimana dengan bugeenya, Yaya bilang, gurunya Siau
Hoo mirip dewa saja, tetapi aku tidak percaya itu aku ingin buktikan sendiri : "Siau Hoo lebih lemah atan lebih gagah
daripada aku. Aku mesti binasakan padanya, supaya dia
jangan hidup didunia ...
Tap? tiba-tiba ia berduka, lalu ia tutupi kepalanya akan coba tidur. Ia berhasil. Besoknya pagi, setetah dandan, ia minta si jongos siapkan kudanya, sesudah melakukan
pembayaran ia tuntun kudanya di sepanjang jalan besar
yang ramai, kemudian baru loncat naik atas kudanya itu buat diberi lari kearah Timur.
Sesudah melalul kira-kira empat puluh lie, selagi
matahari mulai naik, Ah Loan sampai diluar kota Ham-
yang. Sebuah sungai besar melintang di depannya. Disitu ada pelabuhan yang ramai. Ada belasan perahu besar yang nambangi, untuk orang pergi menyeberang atau sebaliknya.
Nona itu turun dari kudanya, ia tanya seorang tentang
perjalanan ke See-an harus seberangi sungai itu atau tidak.
Orang yang ditanya mirip dengan seorang dagang,
disampingnya ada sebuah kereta, ia sedang mengawasi
perahu-perahu eretan, ketika ditanya. ia menoleh, akan kemudian ia anggukan kepala.
"Ya," ia jawab. "Banyak sekali orang yang naik perahu, kita mesti berjubelan barulah kita dapat menyeberang."
Ah Loan tuntun kudanya sampai ditepi kali,
bercampuran dengan banyak orang. Agaknya ia bingung
juga. "Eh, ini toh Ah Loan?" tiba-tiba ia dengar orang berkata disampingnya. Ia terkejut, ia menoleh dengan segera. Maka ia kenali ia punya susiok Lau Cie Wan, yang bekerja
membantu Lie Sun Piau Tiam dari Kat Cie Kiang di See-
an. Sudah selang dua tahun susiok ini belum pernah
kembali ke Tin-pa.
Menuntun kudanya, Lau Cie Wan menghampirkan.


Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kenapa kau ada disini, nona?"
"Su-siok," kata Ah Loan sambil memberi hormat. Ia
merasa hatinya tak enak, tapi ia lekas menjawab, "Aku
sedang merantau, menuruti kebendaknya yaya, agar aku
dapat pengalaman. Yaya titahkan Chio Susiok iringi aku, tetapi sesampainya di Taysan kwan kita berpisah, sebabnya bersama-sama Lou Susiok dia mau bujuki aku supaya
pulang kembali. Maka pada waktu tengah malam aku
tinggalkan Chio Susiok, aku menuju kemari, niatku akan pergi ke Seean, dari sana baru menuju terus ke timur. ke Han-kok-kwan dan Kayhong. Yaya pesan untuk aku pergi
juga ke Siangyang dan Long-tiong!"
Cie Wan kaget mendengar rencana perjalanan ini.
sampai ia keluarkan keringat. Tapi ia kenal baik tabiatnya nona ini yang kepala batu dari itu, terus ia, berpura-pura tertawa.
"Cie Tiong mirip dengan suhu.," kata ia, "semakin dia
pandai, semakin dia tua, hatinya jadi semakin kecil!
Dengan bugeemu ini, jangankan ke Hoo-lam, Siang-yang
dan Long-tiong, ke KwieLang dan Kwiesay, ke Inlam dan
Kuicu-pun kau boleh pergi. Siapa yang begitu tak sayang jiwanya berani mengganggu kau" Hanya untuk ini nona
jangan terlalu tergesa-gesa. Mari ikut dahulu aku pergi ke See-an, beristirahat disana dan pesiar satu dua hari,
kemudian aku nanti minta libur dari Kat Su-heng, untuk iringi kau keluar dari Han-kok-kwan. Aku juga ingin
merantau akan tambah pemandangan dan pengalaman ..."
Bukan main girangnya Ah Loan akan dengar paman-
guru ini. "Kalau aku pergi pada Kat Su-siok, apakah dia tak akan rintangi aku?" tanya ia.
"Siapa bisa rintangi kau?" kata Cie Wan sambil tertawa
... "Kau diperintah guru, siapa berani cegah dan ajak kau pulang" Cuma Cie Tiong yang bisa berbuat demikian.
Dalam segala hal ia ada penakut, ia terlalu berhati-hati!"
Ah Loan girang sekali.
Itu waktu ada datang sebuah perahu, Cie Wan ajak si
nona naik perahu itu, ia tuntun kudanya si nona serta
kudanya sendiri yang berbulu hitam.
Perahu itu besar, bisa muat tiga buah kereta serta empat-lima ekor kuda berikut belasan orang. Tukang-tukang
perahunya ada berlima, semua kelihatan bertenaga besar, mereka tolak perahu sambil perdengarkan suara. Tapi diair keruh, jalannya perahu ada pelahan sekali.
Matahari waktu itu sudah naik tinggi, sinarnya menuju
permukaan air yang menyilaukan mata.
Kota Hamyang yang tua, segera ketinggalan jauh
dibelalang. Diatas perahu, Ah Loan tanya susioknya: "Lou Susiok
ada omong tentang munculnya Kang Siau Hoo dan juga
cucunya Liong Bun Hiap, entah Kie apa Kiat namanya,
yang katanya berbugee liehay dan hendak pergi ke Tin-pa untuk cari yaya, buat menantang piebu. Apakab susiok
pernah dengar kabaran itu?"
Lau Cie Wan tidak menjawab hanya diam-diam ia
goyangi tangan pada si nona, hingga Ah Loan jadi heran berbareng mendongkol, karena ia jadi penasaran ia lalu ngoceh seorang diri: "Kang Siau Hoo sudah lulus dari
perguruannya, aku ingin sekali ketemui dia buat buktikan, bagaimana tinggi kepandaiannya itu! Benar ayahnya telah dibunuh oleh yaya tetapi dia-pun sekian lama telah
dipelihara oleh yaya dia diperlakukan baik, mustahil dia
tidak nempunyai liangsim" Dulu dia sudah gosok-gosok
Long Tiong hiap, mustahil sekarang ia sendiri mau cari yaya" Kalau benar, bukan saja dia, gurunya juga aku akan cari! Aku mesti cari juga cucunya Liong Bun hiap!"
Cie Wan sibuk bukan main.
"Lihat, nona, itu air yang bening dan keruh, apa itu tidak aneh?" kata ia, yang coba simpangkan pembicaraan. "Juga lihat itu burung air yang beterbangan!"
Meki-pun demikian, semua penumpang lainnya sudah
perhatikan gerak-geriknya nona ini.
Syukur perahu sudah lantas sampai diseberang, semua
orang lantas mendarat.
Diatas kudanya, selagi menuju ke Selatan, Cie Wan
menghela napas.
"Ai, nona, sedikit juga kau tak mempunyai pengalaman
... " katanya. "Kenapa kau sembarangan bicara dimuka
timum l Siapa tahu kalan diperahu tadi ada Kic Kong Kat sendiri, cucunya Lions Bun Hiap" ...
Selagi berkata begitu, iapun menoleh ke belakang, ia
kuatir ada orang yang ikuti mereka.
Ah Loan sebaliknya bersenyum tawar.
"Lebih baik pula bila aku ketemu disini!" kata ia. "Aku mengembara karena aku hendak cari semua lawan!"
Cie Wan candak kudanya si nona, ia berpaling pula.
"Jangan terburu napsu, nona," ia beri nasihat, "Sekalipun kita cari lawan, kia mesti cari tahu dahulu bugee lawan, kita sanggup layani atau tidak. Disebelah itu, perlu kita mempunyai beberapa kawan, Bugeemu liehay, akan tetapi
... "Cuknp, "susiok!" Ah Loan memotong, mukanya
merah. "Kalau susiok masih ngoceh terus, aku tidak mau pergi ke See-an, aku akan menuju langsung ke Timur akan cari Kang Siau Hoo dan Kie Kong Kiat."
Cie Wan kewalahan, tetapi dia tertawa. Ia mangut-
mangut. "Ya sudah, aku tidak bicara pula," ia kata. "Tapi, aku mesti menasehatkannya. Kang Siau Hoo itu benar ada
musuh kita. Bagaimana dahulu ia gosok-gosok Long Tiong Hiap hingga jago Longtiong ini mengacau di Cie-yang dan Tin-pa. Permusuhan itu tak dapat diselesaikan sekali-pun sampai ratusan tahun. Meski bagaimana tinggi ilmu
silatnya, bilamana dia datang ke Han-tiong sini, mesti kita tempur padanya. Akan tetapi terhadap Kie Kong Kiat, kita tidak mempunyai sangkutan. Dia baru muncul selama dua
tahun ini, kalangan perantauannya belum luas, dia belum sampai di Kwan-tiong. Akan tetapi menurut kabar Kho
Keng Kui telah rubuh ditangannya, maka bisa diduga
bugeenya tentunya liehay. Malah diri mengerti Tiam-hiat-hoat. Dia ada cucunya Liong Bun Hiap. aku percaya dia
mesti kenal tata sopan-santun, maka itu, asal dia tidak cari kita, kita-pun baik tidak usah cari dia."
Ah Loan tidak menjawab, ia hanya tertawa dingin
berulang-ulang.
Kedua kuda congklang dengan berendeng terus ke
Selatan, diwaktu tengahari mereka sampai di See-an. Kota ada larnal, Ah Loan jadi tertarik.
Disini, Cie Wan jalan didepan.
"Lihat, nona, bukankah tempat ini ramai" Kalah Tin-pa
kalau dibandingkau dengan kota ini!" kata sang susiok
sambil menoleh. "Mari kita tengok dahulu Kat Susiok. Buat
dia ini, dia ada piausu kelas satu dan hartawan paling besar."
Cie Wan ajak nona ini memasuki Lam-mui, kota
Selatan, di Lam Toa-kay jalan Selatan, mereka berhenti dimuka Lie Sun Piau Tiam yang kelihatannya angker. Lima pegawai menanti dimuka pintu, melihat Cie Wan mereka
lantas menyambut.
"Ini ada cucu dari Pau Loo suhu dari Tin-pa," Cie Wan
lantas perkenalkan si nona. "Nona datang seorang diri dari Tin-pa!"
Semua mata mengawasi dengan keheranan atau
kekaguman pada si nona, lantas lekas-lekas mereka mengasi hormat.
Kuda mereka berdua sudah lantas ada yang sambuti. Cie
Wan ajak Ah Loan masuk kedalam. Tapi segera mereka
berpapasan dengan Kat Siau Kong yang jalan keluar.
Siau Kong adalah anaknya Cie Kiang, dia berpengawakan gagah seperti ayahnya, tenaganya besar
sekali, umurnya baru duapuluh lebih, ia jadi ciangkui
muda, walau masih muda namun dia pernah beberapa kali
iringi piau sampai di tempat jauh. Pada lima tahun yang lalu, Cie Kiang pernah ajak dia ke Tin-pa untuk lamar Ah Loan, namun perjodohan tak terangkap, dan sekarang Siau Kong sudah menikah kepada Thia Giok Go, gadisnya Thie
Hong San dan Hong San Pau Tiam. Thia Giok Go-pun
mengerti sedikit bugee. Sekarang Siau Kong ketemui si
nona, ia girang sekali, ia lekas menyambut sambil memberi horrnat.
"Ab, adik Ah Loan!" demikian katanya. "Bagaimana
kau bisa datang bersama-sama Lau Susiok" Bagaimana
dengan engkongmu, apa ia baik" Mari masuk adiku! Ibu
harus segera menemui kau!"
Terus tuan rumah ini pimpin tamunya masuk
keperdalaman. Nyonya Cie Kiong adalah Cie sie, umurnya sudah empat
puluh lebih. "Inilah ibu, dan ini isteriku,"
Siau Kong memperkenalkan. Tapi waktu diam-diam ia awasi si nona
dan kemdian isterinya, dalam hatinya ia kata, "beda, beda jauh, Ah Loan mirip bidadiri, sebaliknya isteriku ... "
Kemudian ia undurkan diri buat cari ayahnya.
Cie-sie lantas ajak Ah Loan bercakap-cakapan,
kebanyakan hal rumah tangga, mengenai mana, Ah Loan
ada sangat hijau. Ah Loan hanya dapat menutur
maksudnya mengembara dan apa yang sebegitu jauh ia lihat disepanjang jalan.
Thia Giok Go menyuguhkan teh, dia pun tidak bicara
banyak. Tidak lama Cie Kiang muncul. Ah Loan berbangkit
memberi hormat pada paman guru itu.
"Ah, Susiok, kau sudah pelihara kamis!" kata nona ini.
"Aku bakal lekas jadi orang tua, nona!" sahut Cie Kiang sambil tertawa. "Perihal kau aku telah dengar dari Cie Wan. Karena kau merantau atas perkenan suhu dan suko,
aku tidak mau kata suatu apa hanya untuk beberapa hari baiklah kau beristirahat disini untuk kita berunding lebih jauh, aku-pun hendak cari seorang yang berpengalaman
untuk iringi kau."
Tapi Ah Loan geleng kepala.
"Aku tidak ingin orang iringi aku," ia bilang. "Aku kenal jalan, aku ada bekal uang, aku-pun bekal golokku!"
"Jangan kesusu, nona!" Cie Kiang tertawa. "Kau perlu
pesiar beberapa hari disini. Bukankah kau-pun berniat
menemui Kang Siau Hoo dan Kie Kong Kiat" Turut apa
yang aku dengar, di Kanglam benar ada muncul satu
pemuda gagah, hanya dia katanya ada orang she Lie, asal dari Titlee, dia bukannya Kang Siau Hoo. Mengenai Kie
Kong Kiat di Kayhong, aku justeru sudah kirimi orang buat undang diri datang kemari, barangkali dalam setengah
bulan ini dia akan sudah sampai disini."
Ah Loan girang mendengar kabar itu, ia manggut.
"Baik, aku nanti tunggui ia disini buat sepuluh atau limabelas hari," ia kata. "Paling dulu aku ketemui Kie Kong Kiat, kalau aku dapat kalahkan dia, dia pasti bakal pergi ke Tin-pa akan cari yaya. setelah itu barulah aku cari Kang Siau Hoo. Terhadap Siau Hoo aku tidak bisa berlaku
murah. Dia sudah pandai bugee atau tidak, aku mesti
bunuh padanya! Aku benci sangat padanya!"
Saking sengit, Si nona meneteskan air mata.
"Sabar, nona," Cie Kiang menghibur. Kemudian ia
keluar sambil kerutkan dahi.
Tie Kiang sudah ketahui hal nona ini bukan dari Cie
Wan saja, juga dari Cie Tiong, siapa sudah jadi kelabakan waktu besokan pagi ia dapatkan Ah Loan sudah lenyap,
maka lantas ia menyusul ke See-an dan ketemui Cie Kiang buat minta keterangan halnya si nona.
Cie Tiong sesalkan sangat gurunya, yang sudah anjurkan dan lepaskan Ah Loan pergi merantau.
"Hal Siau Hoo kita tak usah sebut-sebut, barangkali dia sudah mati," kata orang she Lou ini. "tetapi cucunya Liong Bun hiap, bagaimana kita bisa main gila terhadap dia"
Maka itu, perlu Ah Loan dicegah merantau lebih jauh. Aku
sudah minta Chio Suko lekas pulang ke Han-tiong, buat
minta Cie In Toako datang sendiri menjemput gadisnya
ini!" "Jangan sibuk, untuk beberapa hari ini tidak bisa Ah
Loan pergi dari sini," kata Cie Kiang. "Aku sudah dustakan dia bahwa aku kirim orang ke Kay-hong buat undang Kie
Kong Kiat dan ia telah menyatakan suka akan menantikan.
Aku sudah pikir, setiap hari aku mau ajak dia pesiar, kalau sudah kira-kira sepuluh hari dan ia dapatkan kota ada
ramai, aku percaya dia tidak kesusu lagi, dia akan betah berdiam disini."
Ce Tiong manggut.
"Walau demikian, Toako Cie In perlu datang kemari," ia kata. "Aku kuatir akan terbit onar juga jikalau lama dia berdiam disini, sebab aku ketahui tabiatnya yang keras itu."
Karena itu, Cie Tiong tidak berani segera kembali ke
Taysan-kwan, dilain pihak ia-pun tidak mau ketemui Ah
Loan. Sejak itu, setiap hari Ah Loan pesiar dengan naik kuda, tetapi setiap kali ia kembali paling dahulu ia tanya Cie Kiang: "Kie Kong Kiat sudah datang atau belum?"
Demikian seterusnya, lekas sekali, sembilan hari sudah lewat.
Di hari kesepuluh, Kat Siau Kong hendak ajak isterinya pasang hio sekalian pesiar ke Tay Gan Tah diluar kota
jauhnya enam-belas lie, berhubung dengan itu ia tanya Ah Loan, apakah nona ini suka ikut atau tidak.
"Ada apa yang menarik hati di Tay Gan Tah?" Ah Loan
tanya. "Asal kan pergi, kau akan lihat sendiri!" Siau Kong kata dengan aksinya, sambil ia bersenyum juga. "Tay Gan Tah ada pagoda yang didirikan dijaman Tong oleh Lou Poan
Ya. Tong Sam Chong yaitu gurunya Sun Gou Khong telah
dikubur didasarnya pagoda itu! Hayolah nona ikut aku
pesiar!" Lantas Siau Kong desak isterinya lekas dandan, ia sendiri pergi keluar, akan perintah segera siapkan kereta. Maka sebentar kemudian, Giok Go dan Ah Loan sudah keluar
dengan sudah dandan. Ah Loan pakai baju dadu dan celana hijau, ia pakai pupur dan yancie, maka bila dipadu dengan Giok Go, mereka jadi beda sangat banyak.
Sesampainya di depan, Ah Loan perintah siapkan
kudanya. "Jangan naik kuda, nona," kata Siau Kong. "Kau naik
kereta bersama ensomu, aku nanti duduk didepan!"
"Tidak," Ah Loan geleng kepala. "Aku tak gemar naik
kereta!" Siau Kong tertawa.
"Kalau begitu, akupun akan naik kuda," ia bilang.
"Nona Loan, sebentar kita coba-coba untuk lihat, kuda
siapa bisa lari lebih keras. Kudaku pernah menaiki dan melewati gunung Pak San!"
Lautas Siau Kong perintah siapkan juga kudanya, ia
sendiri pergi salin pakaian lagi. Giok Go dibantu satu bujang perempuan naik dikereta.
Siau Kong berpakaian serba biru, sepatunya biru.
Kudanya berbulu hitam mulus, pelananya mengkilap, disitu ada dicantelkan goloknya yang ujungnya beronce sutera. Ia nampaknya agung-agunan, dari pelayannya ia sambuti
cambuk. "Eh, kau orang hendak pergi kemana?" demikian satu
teguran selagi Siau Kong hendak loncat naik atas kudanya.
Ia lantas berpaling, ia lihat Cie Wan.
Ah Loan juga menoleh.
"Kita mau pesiar, ke Tay Gan Tah," ia jawab. "Apa Lau
Susiok hendak turut?"
"Tidak," sahut Cie Wan, yang mendekati Siau Kong
untuk bisiki anak muda ini:
"Hati-hati kau ikuti si nona, jaga jangan sampai terbit onar! ..."
Siau Kong manggut, ia loncat atas kudanya akan terus
ikuti kereta, yang sudah lantas dijalankan. Ah Loan pun jalankan kudanya di belakang kereta itu. Sekeluarnya dari Lam-mui, pintu Selatan, langsung mereka menuju ke Tay
Gan Tah. Mereka belum jalan jauh, atau didepannya sudah berpeta satu pagoda besar, nampaknya dekat, sebenarnya masih
jauh. Dikedua tepi jalan ada ladang gandum, yang
berombak-ombak tertiup angin. Orang yang berlalu-lintas tidak banyak.
Satu kali Siau Kong majukan kudanya melewati kereta,
lantas ia menoleh.
"Nona Loan, kita coba sekarang kuda kita?" ia tanya.
Ah Loan tertawa, tidak gubris ajakan itu.
Siau Kong tetap bergembira sekali-pun orang tidak ladeni ia, ia puas sendrinya, ia larikan kudanya, sampai satu lie, lantas ia lari balik.
Thia Giok Go mendongkol melihat sikap suaminya itu.
"Kau gila!" kata ia dengan tegurannya.
Siau Kong mendelik terhadap isterinya melirik pada Ah
Loan, lantas ia tampaknya jadi uring-uringan, sepasang alisnya dikerutkan. Seterusnya, sampai mereka telah tiba di Tay Gan Tah, ia tidak pernah larikan pula kudanya
sendirian saja.
Ah Loan lihat pagoda tidak kecil, didirikannya
dipekarangan dalam bio, semuaya terdiri dari tujuh tingkat, dikeempat penjurunya semua ada jendelanya. Ditingkatan terakhir ada sejumlah orang, yang sedang mengawasi
kebawah. "Kiranya pagoda ini boleh dinaiki orang?" tanya Ah
Loan seraya dengan cambuknya ia menunjuk keatas.
"Memang!" sahut Siau Kong sembari tertawa. "Kita
datang kemari-pun ada untuk panjat pagoda itu!"
Hari ini bukan hari perayaan, orang-orang yang pesiar
tidak banyak, dimuka pintu cuma ada tiga buah kereta serta beberapa ekor keledai. Beberapa orang kelihatan keluar dan masuk.
Siau Kong sudah lantas tambat kudanya dan tolongi juga kudanya Ah Loan.
Giok Go sudah lantas turun dari keretanya, bersama
bujangnya ia masuk kedalam, paling dahulu ia pasang hio dipintu depan kemudian ke belakang, terus ke pagoda,
untuk mulai memanjat.
Siau Kong mendahului naik, isterinya diiringi bujangnya, dan Ah Loan paling belakang. Baru diundak kedua, Giok
Go sudah tak kuat naik lebih jauh, karena kakinya yang kecil. Ah Loan ingin naik ketingkat tertinggi, dan itu terpaksa Siau Kong suruh bujangnya temani isterinya, ia sendiri antar si nona naik terus.
Dari tingkat kedua sampai tingkat keenam, setiap kali
ada dua tiga orang yang pesiar, yang memandang kebawah.
Naik ditingkat ketujuh, Ah Loan lihat satu pemuda
golongan sasterawan lagi mencoret-coret diatas tembok. Di tengah-tengah ruangan ada meja pujaan. Siau Kong
mengawasi, sayang ia tidak mengarti banyak surat hingga ia tidak tahu apa yang ditulis itu, ia menduga pada syair saja.
Hanya, diakhir tulisannya, pemuda itu menuliskan lima


Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

huruf : "Lam-kiong Lie Hong Kiat," yang berarti: Lie Hong Kiat dari Lam-kiong.
Melihat demikian, diam-diam Siau Kong bersenyum
sendirinya, sedang didalam hatinya ia mengatakan: "Dasar kutu buku!"
Ah Loan sebaliknya perhatikan pemuda itu, yang baru
berumur dua puluh lebih, romannya cakap, tampangnya
sehat, cara dandanannya-pun tidak sembarangan.
Disisinya pemuda itu ada ia punya bakhie sebelah mana
ada satu buntalan kecil serta satu pedang yang berserangka besi seperti pedang itu sendiri, gagangnya dari besi juga.
Ah Loan ingat, pedang demikian adalah yang dinamai
"hiong-kiam," pedang jantan, yang biasa dipakai untuk
serbu barisan musuh atau pie-bu. Karena ini, ia semakin perhatikan pemuda itu.
Pemuda itu juga menengok kepada si nona, lalu ia
angkat perabot tulisnya juga buntalannya, kemudian
dengan bawa pedangnya turun di tangga pagoda.
Siau Kong mengawasi, ia tertawa pula.
"Dasar kutu buku!" kata ia. "Walau-pun naik tempat
begini tinggi, dia masih bawa-bawa perabot tulis dan corat coret di tembok! Entah apa yang ditulisnya!"
"Aku percaya dia juga mengerti bugee!" kata Ah Loan
sebaliknya. "Pedangnya bukan pedang biasa, itu ada
pedang jantan, yang beratnya luar biasa. Siapa tidak
mengarti baik ilmu silat, dia tidak bawa-bawa pedang
demikian macam ...
Siau Kong geleng-geleng kepala.
"Tidak, tidak," kata ia. "Sumoay, kau kena dikelabui!
Bangsa kutu buku memang gemar akan pedang untuk
dibuat main-main saja, banyak yang berpura-pura bun bu coan cay pandai ilmu surat dan silat berbareng. Orang kangou mana ada yang semacam dia ini" Lihat tanda tangannya, Lam-kiong Lie Hong Kiat. Aku merantau sudah dua tiga
tahun, belum pernah aku dengar nama ini ..."
Ah Loan menjebikan bibir, ia hunjuk sikap tidak
percaya. Ia menghampiri lankan akan memandang
kebawah. Justeru ini Siau Kong, yang melongok dijendela sebelah timur, teriaki padanya : "Mari nona, lihat! Dari sini bisa lihat sungai!"
Panggilan ini tidak dapat jawaban si nona-pun tidak
menghampiri, ketika Siau Kong menoleh, ia dapatkan si
nona justeru sudah turun kebawah dengan cepat buat susul Lie Hong Kiat.
"Ah, nona ini bukan nona baik-baik," kata ia dalam hati, dengan tidak puas. "Beruntung dia tidak jadi isteriku! Lihat, baru ketemu satu Siucay muka putih, dia sudah tergila-gila!"
Toh dengan tetap mendongkol anaknya Cie Kiang ini
lari turun. Ditingkatan kedua ia dapatkan isterinya serta bujangnya masih menunggui.
"Mana nona Pau?" ia tanya, matanya terbuka lebar.
"Aku tahu sudah!" sang isteri jawab, dengan matanya
melirik. "Aku tanya kau, kau hendak pulang atau tidak"
Kalau kau tidak mau pulang, aku nanti pulang bersama
Kiang Ma!"
Kiang Ma adalah bujang perempuan mereka.
"Tunggu, tunggu dulu," jawab Siau Kong dengan
menggoyangkan tangan, terus ia lari turun. Sesampainya dibawah, ia lihat si nona sedang berdiri didepan pagoda, matanya memandang kearah Barat, dari jurusan mana
Lam-kiong Lie Hong Kiat ada sedang berdiri di depan
ciopay, sebelah tangannya pegangi bakhie, sebelah yang lain menenteng pedangnya. Pemuda itu seperti sedang baca bunyinya ciopay itu.
"Nona Loan," Siau Kong lantas memanggil. "Buat apa
kau awasi saja si kutu buku itu" Makhluk semacam dia
mana mengerti bugee" Dia bawa-bawa pedangnya untuk
kelabui orang! Setan alas, apabila dia berani main gila terhadap aku, aku tentu akan potes pedangaya itu!"
Lie Hong Kiat dengar perkataan itu, ia berpaling, tetapi rupanya dia anggap orang ini ada gila, ia tidak meladeni, habis membaca bunyinya cio-pay, ia lantas bertindak pergi ke kamarnya pendeta, akan kembalikan pit dan bak-hie,
Pendekar Super Sakti 5 Seruling Samber Nyawa Karya Chin Yung Pendekar Bodoh 8
^