Pencarian

Harimau Mendekam Naga Sembunyi 13

Harimau Mendekam Naga Sembunyi Karya Wang Du Lu Bagian 13


dengan mana ada suara orang menjerit dan berbareng tubuh
jatuh, tetapi di antara suara berisiknya air, orang itu
rupanya merayap bangun. Sekarang lantas menyusul pula
suaranya Pat thayya, suara yang penuh dengan kemurkaan.
Sebab itu ada suara nyaring seperti guntur!
"Liong enghiong!" demikian katanya. "Liong enghiong, siapa hidup mengembara, dia mesti berhati terang, bermata jeli, janganlah terlalu bercuriga! Aku ada orang Rimba
Hijau, aku tentunya telah bisa lihat sendiri, dari itu, sudah terang yang kita ada asal satu golongan, hingga kita mesti menghormati satu pada lain, saling berlaku jujur! Itulah sebabnya, maka ini hari aku hendak minta bantuanmu. Di
Ciebie Bio sana, sudah sejak dua hari ini, ada singgah satu pembesar
yang ada membawa anggauta-anggauta
keluarganya. Air sungai banjir meluap, hingga pembesar itu takut
menyeberang, hingga ia mesti menunda perjalanannya. Inilah, buat kita, ada kangtau yang baik
sekali! Ia ada berjumlah banyak, uangnya, mestinya tak
sedikit, di lain pihak, selama dua tahun ini, keadaan
keuanganku sudah tidak longgar ... Aku lihat, Liong
enghiong, kau pun seperti yang sedang kekurangan minyak, maka aku anggap, baiklah kita bersero, nanti hasilnya kita pecah dua! Kau percaya, aku tidak akan berhati curang.
Sudah tentu, putusan ada terserah kepadamu, aku tidak bisa memaksa, aku tidak niat ganggu kau, karena kita tetap
mesti utamakan persahabatan!"
Kiau Liong tarik pulang pedangnya, ia mundur dua
tindak. Ia berdiri bengong, akan berpikir.
"Nyata benar dugaanku, Pat thayya ini ada satu kepala
penjahat ... Sekarang ia hendak begal satu pembesar negeri
... ia telah dapatkan pikiran yang istimewa, karena ia
hendak ajak-ajak aku! Aku benar hendak mengembara,
sekarang pun aku berada dalam perantauan, tetapi bukan
tujuanku akan jadi orang jahat. Tetapi ia telah ajak aku,
inilah sukar. Jikalau aku menolak, ia sendiri tentu akan bekerja terus! Siapa itu bakal mangsanya" Baik aku terima tawarannya, akan lihat apa yang aku nanti dapat perbuat ...
" Selelah berpikir begitu, ia lantas berikan jawabannya:
"Baiklah, aku nanti bantu kau sekali ini! Tetapi mereka ada pembesar negeri, mereka tentu ada bawa pelindung ... "
"Kau benar, enghiong. Di sana ada belasan hamba polisi, semuanya ada orang-orang tak punya guna. Yang harus
diperhatikan adalah dua piausu, yang lindungi mereka. Dia itu ada memakai bendera dengan merek "Lim Hoay
Piautiam". Kalau tidak ada dua piausu itu, tentulah kita tak minta bantuanmu, enghiong. Kalau sebentar kita sampai di sana, sudah cukup kau rintangi dua piausu itu, lainnya kau boleh tak usah campur lagi, semua ada kerjaannya saudara-saudaraku!"
"Baiklah!" sahut pula Kiau Liong, dengan ringkas.
Nona ini ambil tudung dan baju rumputnya, tetapi ketika
ia hendak bertindak ke pintu, ia merandek.
"Pedangku benar tajam tetapi aku tak bisa andalkan
apabila tidak ada senjata rahasia," ia kata pada Liap Jie Hui, yang masih menunggui di luar. "Apa kau ada punya piau" Kasihlah aku pinjam beberapa biji ... "
"Aku ada punya kongpiau," Pat thayya menyahut. "Dulu aku telah yakinkan itu, kesudahannya gagal, maka itu piau aku simpan saja. Nanti aku perintah orang ambil."
Jie Hui benar-benar suruh orangnya pergi ambil piau itu.
Sampai di situ, Kiau Liong lantas buka pintu, maka Jie
Hui, berlima dengan kawan-kawannya lantas bertindak
masuk. Rupanya mereka ada sangat girang, karena mereka
lantas tertawa. Jie Hui telah unjuk hormat pada tetamunya,
yang ia seperti puja-puja. Ia pun lantas bicara tak
berhentinya. "Mereka takuti kedua piausu, entah bagaimana
kepandaiannya lima orang ini," pikir Kiau Liong, yang bersenyum ewa, karena ia memandang rendah pada lima
orang ini. Tidak antara lama, bujang tadi datang dengan sekantong
piau, yang berat, sebab isinya ada duapuluh batang lebih, dan setiap batangnya ada tiga cun panjangnya, ujungnya
tajam, Kiau Liong puas dengan piau ini, maka kantong piau itu ia lantas gantung, ia tutup dengan baju rumputnya,
sedang tudungnya, ia terus pakai.
Pat thayya dandan dengan ringkas, tubuhnya ditutup
dengan pakaian kain minyak, kepalanya memakai kopiah
kain minyak juga. Ia ada membekal sebatang golok.
"Marilah!" kata tuan rumah kemudian. "Hay Kee Mo jalan di depan!"
Orang yang dipanggil Hay Kee Mo itu si Kodok Buta,
lantas maju di muka. Kiau Liong kenalkan ia sebagai itu
begal yang pegang payung, yang telah coba ganggu ia tetapi ia telah hajar. Ia ini benar saja pandai sekali jalan di jalanan yang penuh air.
Jie Hui jalan di tengah, si nona di belakang. Thayya itu berkawan dengan enam orang lain. Sedang di luar, masih
ada delapan orang, yang telah siapkan empat ekor kuda.
Tidak tempo lagi, Kiau Liong loncat naik atas seekor
kuda. Pat thayya juga sudah ambil seekor kuda lain.
"Liong enghiong, kita orang harus bekerja dengan
sesungguh-sungguhnya hati," berkata kepala penjahat itu.
"Di atas langit telah berbunyi geledek, maka hati kita mesti ditaruh di antaranya!"
"Jikalau kau sangsikan aku, lebih baik aku tidak turut!"
Kiau Liong jawab. Air mukanya berubah, tetapi Liap Jie
Hui tak lihat itu, ia tertawa berkakakan.
"Jikalau kau tidak turut, kita pun urung bekerja!" ia kata,
"Sudah dua hari kita berdiam saja, apa mau ini hari hujan turun begini besar, nyata Thian telah sengaja turunkan
seekor naga. Enghiong, andaikata kau tidak suka bantu aku, kau toh mesti ikut juga, hitung-hitung kita mendapat
keberkahanmu!"
Lantas thayya ini acungkan cambuknya. "Mari lekas,
lekas!" ia berseru.
Lantas mereka itu berangkat. Lagi dua orang, telah naik
kuda. Mereka berlari-lari di jalan becek dan penuh lumpur, sering-sering air muncrat tinggi. Langit ada gelap, halilintar sering menyambar, disusul sama suaranya guntur. Hujan
tetap besar dan tak mau berhenti. Tujuan mereka adalah
barat, cambuk kuda mereka setiap kali dikasih bekerja.
Dalam keadaan begitu, pun masih terdengar suara mereka
yang berisik. Tiba-tiba, Pat thayya dan kawan-kawannya tahan kuda
mereka dengan tiba-tiba, hingga Kiau Liong menjadi heran, sampai ia pun terpaksa tahan kudanya. Sekarang mereka itu bungkam, mereka jalan dengan perlahan.
Kiau Liong dekati Pat thayya.
"Ada apa?" ia tanya.
"Sudah sampai," sahut kepala penjahat itu. "Kuda semua mesti ditambat ... " Kemudian ia bisiki sesuatu kawannya, katanya: "Pada saatnya, semua mesti sebat! Jangan
meninggalkan tanda atau bekas. Yang diarah uang dan
barang, maka jangan lukai orang hingga terbit dendam,
jangan ganggu orang perempuan!"
Selama itu, satu orang sudah lantas kumpulkan kuda-
kuda dan menjaganya tidak jauh dari situ, di tempat yang lebat dengan pepohonan.
Kiau Liong perhatikan tempat menunda kuda itu, lantas
ia ikuti mereka yang sudah mulai maju.
Cahaya kilat ada membantu banyak pada rombongan
ini. Kiau Liong lihat satu rumah yang besar dengan
benderanya yang tinggi. Ia percaya, itu adalah gereja Ciebie Bio. Ia lantas dekati Jie Hui, siapa ia senggol.
"Ada apa?" tanya Pat thayya.
"Kasih aku maju di depan," Kiau Liong jawab. "Aku hendak cari tempat kedudukan, kalau ada musuh keluar,
siapa saja, aku bisa rintangi ... "
Liap Jie Hui manggut-manggut.
"Bagus, bagus," ia kata. "Baiklah!"
Kiau Liong lantas saja mendahului maju, air merendam
mata kakinya, ia tidak gubris, malah baju rumputnya pun ia loloskan. Cahaya kilat ada sebagai sinarnya lentera bagi ia.
Ia sampai di belakang bio, di tembok, pintu belakang ada terkunci. Dengan tidak ada halangan, ia loncat naik ke atas tembok, terus loncat turun ke lain sebelah. Ia dapatkan
kebun sayur. Ia maju ke toa-thian, ia loncat naik ke atas genteng yang licin. Dari sini ia sampai ke pendopo sebelah barat. Di mana-mana, semua ruangan ada gelap. Hanya di
pendopo depan, ia lihat sinar api dari hio dan asap hio
mengepul bergulung-gulung. Penerangan yang tetap ada
satu lentera kecil. Ia hampiri jendela akan mengintip ke
dalam. Ia lihat beberapa padri sedang liamkeng sambil
bunyikan tetabuhan suci, berisiknya suara hujan membikin suara mereka itu tidak terdengar nyata. Dari situ, Kiau
Liong pergi ke timur di mana ada cahaya api, yang tembus secara samar-samar dari kain penutup jendela.
"Di sini tentu ada tempatnya anggauta keluarga si
pembesar " ia pikir. "Siapa pembesar ini" Apa dia mau menghadap ke kota raja?"
Tadinya nona Giok hendak tolak daun pintu buat masuk
ke dalam pendopo, apa mau kilat berkelebat dan dua orang kelihatan mendatangi dari belakang, keduanya ada bekal
golok yang tajam dan mengkilap, maka ia lekas raba piau-
nya. Cepat sekali, satu orang rubuh, dan kawannya, yang
loncat, pun turut terguling!
Dengan gapah Kiau Liong telah gunakan piau
pinjamannya. Kiau Liong loncat naik ke atas genteng, di antara cahaya kilat, ia tampak dua orang sedang mendekam di
wuwungan, golok mereka terhunus.
"Siapa?" menegur mereka itu. "Kawan" Bagaimana" Apa tak berjalan?"
Kiau Liong tidak menjawab, hanya ia dekati mereka itu,
ia menusuk dengan pedangnya.
"Aduh!" demikian satu suara, yang disusul dengan menggelindingnya tubuh, yang jatuh ke bawah.
Gesit sebagai tadi, nona Giok kerjakan pula pedangnya,
terhadap orang yang kedua, tubuh siapa lantas saja jatuh, menyusul kawannya.
Tiba-tiba di sebelah depan, ada dua orang loncat turun,
Kiau Liong tidak tahu siapa mereka itu, ia menduga saja,
ketika ia ayun tangannya beruntun dua kali, dua-dua orang itu terus rubuh terguling.
Adalah setelah itu, di antara berisiknya sang hujan, ada terdengar suara jeritan dan pertandaan, yang nyaring sekali, dan dari sebelah dalam, belasan orang telah lari memburu keluar.
"Tangkap, tangkap! Di atas genteng!" Teriakan itu diulangi berkali-kali.
Kiau Liong tahu bahwa opas-opas dan si piausu telah
siap, ia lari ke arah belakang.
Di tembok belakang ada berdiri seorang, yang
bergelempang hitam. Ia ini kasih dengar suitan berulang-
ulang, suara itu diseling dengan teriakannya: "Masih ada atau tidak" Lekas, lekas berlalu! Angin ada hebat."
Kiau Liong tidak menjawab, hanya ia ayun tangannya,
atas mana itu orang keluarkan jeritan tertahan, tubuhnya rubuh terguling ke bawah, hingga selanjutnya, ia tidak bisa memberi tanda pula kepada kawan-kawannya.
Setelah orang rubuh, nona Giok loncat memburu
menghampiri. Kurban itu rebah di tanah yang berlumpur sambil
menjerit teraduh-aduh, maka dari suaranya, Kiau Liong
kenalkan Pat thayya. Ia loncat mendekati, akan dupak
goloknya sampai terpental jauh, kemudian ia robek baju
hujannya. "Ampun, piausu, ampun ... " meratap Liap Jie Hui, yang tidak lihat orang, hingga ia tidak kenalkan si nona
tetamunya. Dengan tidak kata-kata apa-apa, Kiau Liong dupak
tubuhnya itu, sampai tubuh itu terpental jauh, hingga orang
keluarkan jeritan dari kesakitan yang hebat, setelah itu, ia loncat naik pula ke atas tembok, loncat ke dalam akan
berdongko di antara pohon-pohon sayur, tak peduli air
hujan menimpa kepalanya, sedang air lumpur merendam
kedua mata kakinya. Ia memasang mata dan kuping.
Sesudah ia dapat kenyataan dari dalam tidak ada suara
terlalu berisik, ia keluar dari tempatnya sembunyi, akan loncat ke pendopo depan.
Baik di pendopo barat, maupun di pendopo timur, ada
orang-orang yang berdiri diam di bawah cahaya api.
Mereka itu adalah orang-orang polisi dan piausu. Melihat sikap mereka, si nona percaya tak ada penjahat menyerbu
ke situ. Maka ia terus loncat turun akan coba nyelundup
masuk ke pendopo timur. Ia berniat mengasih tahu agar
orang tidak takut apa-apa, karena ia, hiapkek Liong Kim
Cun, ada berseru.
Di dalam ruangan, di atas meja, ada sebuah lentera. Di
situ tidak ada siapa juga. Teraling dengan cala pintu yang kuning, di dalam kamar, ada terdengar suara orang bicara, bukannya orang yang bersendirian. Ia tidak berani lancang masuk ke situ. Ia buka tudung dan bajunya, ia kempit itu bersama pedangnya, lantas dengan cepat ia loncat masuk,
ke dalam ruangan, terus mendekam di kolong meja,
gerakannya seperti kucing saja. Kain penutup meja ada
menjadi alingannya.
Tidak antara lama, ada masuk dua orang polisi. Mereka
lantas berdiri di dekat pintu, satu antaranya berkata: "Harap tayjin ketahui, semua penjahat sudah kabur, dua di
antaranya telah kena ditangkap, mereka ada terluka hebat bekas terkena piau,yang satu sudah hampir mati, yang
satunya lagi membandel, tidak mau bicara."
Dari dalam kamar lantas terdengar penyahutan atau
titah: "Sekarang tahan mereka di depan, besok boleh dengar
keterangan mereka. Kau bikin penjagaan hati-hati, minta
kedua piausu tidak meninggalkan ruangan ini!"
Hamba itu menyahuti, lantas mereka berlalu pula.
Kiau Liong di kolong meja terkejut. Ia kenalkan
suaranya itu pembesar, cuma ia tidak ingat, siapa dia itu.
Selagi memikir-mikir, ia pun tersemsam kapan ia ingat
kedua piausu, dan orang-orang polisi juga, mendapat
pahala dengan tidak bekerja suatu apa!
Masih saja nona ini bersangsi akan perkenalkan diri,
sebagai hiapkek yang menolong pembesar itu. Di dalam
hatinya, ia kata: "Dia mesti ada pembesar negeri dari kota raja. Siapa tahu bila dia ada terkena sanak dengan aku dan aku pernah ketemu padanya?"
Itu waktu dari dalam kamar itu ada terdengar suara
orang perempuan, yang bicara dengan anak kecil. Kiau
Liong lekas singkap sedikit tohwie, akan pasang kupingnya.
Muilie kuning tertampak bergerak sedikit, dari dalam
kamar itu, kembali ada terdengar suara, yang si nona Giok rasanya kenal betul. Suara itu ada dibarengi dengan elahan napas, katanya. "Aku harap besok, hujan berhenti ... Aku ingin bisa lekas seberangi sungai, supaya bisa segera sampai di Pakkhia, dengan begitu barulah hatiku lega ... Entah
bagaimana sakitnya ennio ... Koh Liong ada seorang yang
insyaf, aku percaya ia tidak bisa tidak pulang ... "
Bukan main kagetnya Kiau Liong akan dengar suara itu.
Sekarang ia kenalkan suara enso-nya yang tertua.
"Jadi ibu jatuh sakit ... " ia kata dalam hatinya. Dan terus saja ia menangis, air matanya turun dengan segera.
Ketika itu terdengar daun pintu berbunyi, maka lekas-
lekas Kiau Liong lepaskan tohwie.
Seorang datang masuk, di muka pintu ia berhenti dan
berkata: "Harap toa-siauya, toa-siau-naynay kohnio dan siauya, jangan kaget. Tadi ada hiapkek yang telah bantu
kita dengan diam-diam, hingga penjahat bisa diusir pergi.
Kedua piausu kita tidak pandai menggunai piau, tetapi
semua penjahat ternyata telah jadi kurbannya senjata
rahasia itu. Menurut pengakuan mereka, mereka datang
dari tempat yang berdekatan, dan pemimpin mereka, yang
dipanggil Pat thayya, memang sering lakukan ini macam
kejahatan. Katanya ini malam mereka itu ada dibantu oleh satu penjahat lain, dilihat dari pakaiannya, tak diketahui laki-laki atau perempuan, rupanya ia itu juga telah turut angkat kaki!"
Juga suara ini Kiau Liong kenalkan. Ia ada Lian Hie,
kacungnya toa-siauya, yang menjadi besar di Sinkiang dan tempo baru ini Kiau Liong rayakan pernikahannya, Lian
Hie ada repot membantu.
Diam-diam nona ini susuti air matanya, ia tidak berani
menangis dengan keluarkan suara.
"Baiklah, aku sudah ketahui," kemudian ia dengar suara engkonya, Po In, tiehu dari Hongyang. ' Coba kau tanya
padri kepala di sini, siapa itu Pat thayya dan bagaimana kelakuannya yang sudah-sudah. Kalau ia benar ada
penduduk di sini, baiklah jangan tanam permusuhan buat si pendeta karena urusan ini ... Apabila ia ada seorang miskin dan karena kepaksa sudah jadi orang jahat, merdekakan
saja padanya. Baiklah kau tanya pikirannya Cu pantau apa yang ia hendak bikin, tidak usah kau tanya pula pikiranku."
Lian Hie Lintas undurkan diri.
Po In menghela napas, kemudian terdengar ia berkata
dengan perlahan: "Aku ingin apa yang aku dengar adalah
hal yang benar bahwa adikku liong itu benar ada punya
kepandaian liehay. Justru sekarang di mana-mana ada
banyak orang jahat, biarlah ia mengembara, akan lakukan
kebaikan terhadap sesamanya ... Ah! ... "
Hampir Kiau Liong loncat keluar, akan samperi
kandanya itu. Biliknya ia segera ingat pula, dengan dandanan seperti
itu, ia tidak bisa temui engko-nya itu, sedang si engko, meskipun ia setujui sepak terjangnya, tentu tidak mampu
berbuat apa-apa guna perbaiki keadaannya, guna tolong
padanya, paling juga engko itu nasehati ia pulang, untuk menjadi siocia kembali.
Kembali nona Giok susut air matanya. Ia tak tahu,
ibunya sakit apa dan bagaimana keadaannya, tetapi enso-
nya agaknya ada sangat berkuatir. Pasti ibu itu sakit karena urusannya juga.
"Sayang, ibu, kau telah lahirkan satu anak perempuan yang tidak berguna ... " ia mengeluh. Ia duduk diam di kolong meja, tenaganya seperti telah habis. Bila waktu itu ada orang pergoki ia, dengan gampang ia bisa dibekuk.
Hanya syukur, ruangan itu tetap sunyi
Tidak lama kemudian, satu bujang perempuan keluar
dari kamar, ia menggelar kasurnya di samping meja di
mana ia lantas rebahkan diri separuh duduk menyender,
sedikit saja ia bermata awas atau curiga, ia bisa pergoki nona itu. Lekas juga ia sudah mulai menggeros.
Sekarang Kiau Liong mengerti, bio itu tidak banyak


Harimau Mendekam Naga Sembunyi Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ruangannya, bahwa engko dan enso-nya, yang mau pulang
ke Pakkhia, sudah tertunda oleh hujan besar hingga kali
menjadi banjir. Ia tidak pikir untuk ketemui engko dan enso itu, tetapi ia membutuhkan apa-apa. Maka kemudian ia
letaki pedang dan tudungnya, baju hujannya juga, ia
merangkak keluar dari meja, akan dengan hati-hati
bertindak ke dalam kamar. Ia dengar suara menggeros di
dalam kamar. Di saat ia bertindak masuk, halilintar
bercahaya di jendela, hingga ia lekas-lekas mendekam.
Di atas pembaringan ada rebah empat orang, ialah engko
dan enso-nya serta dua keponakannya, lelaki dan
perempuan. Di jubin ada menggeletak peti pakaian dan
bungkusan. Ia angkat satu bungkusan dan raba-raba, ia
kena pegang pakaian dan sepatu, maka ia angkat itu dan
bawa keluar, buat dibungkus dengan baju hujannya.
Kemudian ia balik ke dalam, berdiri di depan pembaringan.
Kiau Liong membungkuk, ia usap-usap rambutnya
keponakan perempuannya, lalu ia berjongkok, akan goyang
perlahan-lahan tubuhnya keponakan itu.
Itu anak diam saja, ia sedang tidur nyenyak.
"Jangan takut, anak, inilah kau punya o-oh Liong " ia berbisik di kupingnya anak itu.
Tiba-tiba anak itu mendusin, agaknya ia kaget.
"O-oh Liong!" ia menjerit.
Kiau Liong loncat mundur, akan keluar dari itu kamar,
akan sembat bungkusan, pedangnya dan tudung, dengan
membuka pintu, ia terus lari keluar. Di belakang ia, dari dalam kamar, ia masih dengar suara: "Ada apa, ha" Oh, anak, kau ngigo?"
"Bukan, ibu! O-oh Liong datang!" ia menyahut.
"Apa! O-oh Liong?" ibu itu tegaskan. Dan ia dengar suara pintu dibuka. "Oh, koh, kau di sana?" ia tanya. "Mari, koh, mari! Jangan kau masgul ... Mari masuk! Koh tentu
datang untuk tolong kita ... "
Si bocah pun memanggil: "O-oh Liong!"
Karena suara berisik itu, si bocah lelaki pun mendusin,
sedang kemudian, api telah dinyalakan.
Tatkala itu, Kiau Liong sudah sampai di luar di mana ia
loncat naik ke atas genteng di mana ia berdiri sebentar, karena ia mesti keraskan hati, melulu dengan kertek gigi, ia bisa lantas berlalu dari situ. Tapi ia tidak terus tinggalkan itu. Ia pergi ke belakang di mana orang ada taruh kuda dan kereta. Di sini ia tidak dapat rintangan, karena kusir atau pengurus kuda sedang pada tidur nyenyak. Ia dapatkan
belasan ekor kuda Ielie. Engko-nya ada pembesar bun tetapi engko itu gemar menunggang kuda dan memburu, maka
kudanya semua, ada pilihan. Sekarang ia pilih satu dan
lepaskan itu dari tambatannya, untuk dibawa keluar dari
pintu belakang. Ia berlalu bersama kuda itu, dengan bawa bungkusannya, pedang dan tudung.
Ketika ia sampai di tempat di mana orangnya Pat thayya
menunggu dengan kuda mereka, tempat itu sudah kosong,
kuda semua tidak ada, penunggunya pun lenyap.
"Terang ia sudah kabur ... " ia pikir.
Itu waktu, hujan tinggal sisanya saja. Dengan lesu Kiau
Liong turun dari kudanya, yang ia tambat pada sebuah
pohon. Ia cari akar pohon yang besar, yang muncul di
muka tanah, di situ ia lantas duduk, tidak peduli akar itu basah, ia malah senderkan tubuhnya, sedang kepalanya, ia tutupi dengan tudung, yang melesak sampai ke mukanya. Ia antap air hujan menetes ke tubuhnya. Dengan tak merasa,
di situ ia tidur kepulasan.
Besoknya pagi, nona ini mendusin karena berisiknya
suara burung. Tudungnya telah jatuh ke tanah, tubuhnya
kejatuhan sejumlah daun rontok. Halimun memenuhi
tempat itu. Dari daun-daun pohon masih kadang-kadang
ada menetes air hujan. Ia lantas bangun, akan lempangi
urat-urat kaki dan tangannya, kemudian ia loncat naik atas kudanya. Di antara tanah yang becek, ia keluar dari tempat lebat itu.
Hujan sudah berhenti, tetapi langit masih belum terang.
Di sebelah tertampak sungai yang lebar di mana ada
kelihatan beberapa buah perahu yang besar, ada perahu-
perahu yang muat kereta dan kuda, yang dibawa nyeberang
ke lain tepi. "Ah, mereka sudah berangkat!" kata Kiau Liong dalam hatinya. Ia menduga pada engko dan enso-nya serta anak-anak mereka ini.
Karena ini, ia lekas kembali ke tempat lebat tadi. Di sini ia buka bungkusan yang ia sambar dari kamar engko-nya. Ia dapatkan dua jubah kepangkatan engko-nya, tiga potong
pakaian biasa dan dua perangkat sepatu.
"Tubuhku dan tubuh engko tidak berjauhan, pakaian ini kebetulan bagiku," ia pikir. Ia duduk di atas kuda, akan buka pakaian luarnya, akan salin itu dengan pakaian engkonya. Ia dapatkan baju ada sedikit gerombongan. Yang
kebesaran banyak adalah sepatu engko-nya itu, tetapi untuk bisa pakai itu, ia potong baju dinas engko-nya dan pakai itu untuk menangsel. Setelah selesai dandan, ia bungkus
bungkusannya, maka kapan sebentar ia menuju pula ke
sungai, ia sudah dandan dengan rapi.
Dari kejauhan kelihaian yang Po In semua sudah sampai
di seberang, maka Kiau Liong larikan kudanya ke tepi
sungai di mana ia panggil tukang perahu, untuk
seberangkan padanya. Ia dapat perlayanan baik, karena
tukang perahu sangka ia ada anggauta yang ketinggalan
dari rombongan pembesar tadi, sebab ia ada pakai pakaian baru dan sepatunya ada sepalu pembesar negeri ... Dan
ketika perahu sampai di tepi utara, tukang perahu pun tidak minta uang penyeberangan ...
Begitu lekas sudah mendarat, Kiau Liong loncat naik
atas kudanya, hanya ini binatang ia kasih jalan perlahan-lahan, sebab di sebelah depan ia lihat rombongan engkonya, dari siapa ia tak mau datang dekat. Ia singgah di mana
orang singgah, ia jaga agar orang tidak lihat atau curigai ianya, sebaliknya di waktu malam, dengan bawa pedangnya
ia rondai engko-nya, karena kuatir nanti ada lagi penjahat yang panas mata.
Selang beberapa hari, di waktu tengah hari, tembok kota
Pakkhia lantas tertampak dari kejauhan. Matanya Kiau
Liong menjadi guram, karena hatinya sakit. Ia mesti injak pula kota dari mana ia sudah minggat. Ia antap engko-nya masuk ke kota, ia sendiri singgah di Kwansiang, di sebuah rumah penginapan kecil, akan titipkan kudanya. Ia tunggu sampai magrib, baru dengan diam-diam, ia masuk ke dalam
kota. Pakkhia ada tetap ramai, kereta dan manusia senantiasa
mundar-mandir, tetapi hatinya Kiau Liong tidak terlarik, ia hanya berduka.
Baru satu bulan ia angkat kaki, tetapi ia rasakan seperti ia telah tinggalkan Pakkhia sepuluh tahun. Ia menuju ke
Seeyan-hoo, di sana ia mengetok pintunya sebuah rumah
kecil. "Ya, ya! Cari siapa, ha?" begitu suara penyahutan dari dalam.
"Aku! Lekas buka pintu," ia menyahut dari lubang pintu.
"Kau siapa, ha?" tanya pula suara dari dalam. "Suamiku tidak ada di rumah, aku sendiri saja. Kau kerja apa" Tolong kasih keterangan, nanti aku bukakan pintu ... "
"Gui samso, lekas buka pintu!" kata Kiau Liong dengan sedikit keras. "Aku ada si orang she Liong. Pada bulan yang lalu aku pun lewat di sini! Aku hendak ambil pakaianku!"
Setelah mendengar jawaban itu, di dalam, orang
bungkam, sampai sekian lama, hingga nona Giok mesti
ulangkan ketokannya pada pintu, dengan semakinan keras.
Akhir-akhir, isterinya Anglian Gui Sam, telah membukakan pintu. Kiau Liong loncat masuk, daun pintu
ia segera kunci pula, kemudian ia bertindak dengan cepat ke dalam.
Gui samso ikuti ia. "Eh, kenapa kau balik kembali?"
tanya nyonya rumah, sambil bersenyum. "Ke mana kau
sudah pergi?"
Kiau Liong jatuhkan diri di atas pembaringan,
pedangnya ia letaki di sampingnya. Napasnya memburu.
"Kenapa suamimu tidak ada di rumah?" tanya ia.
Nyonya itu goyang kepala, kelihatannya ia tidak puas.
"Sudah sejak beberapa malam, ia tidak pernah pulang!" ia menyahut. "Setiap hari ia pergi ke piautiam dan berjudi, sampai pun celana- ku ia telah jual!"
Kiau Liong tak hiraukan kemendongkolan orang.
"Apa selama ini tak ada terjadi apa-apa di kota raja?" ia tanya pula.
"Ada saja kejadian tiap-tiap hari. Penduduk Pakkhia ada berlaksa jiwa, ada yang berebut nama, ada yang cari
untung, ada yang pelesiran minum arak dan mencari bunga
raya, ada juga yang menangis dan tertawa!"
Habis kata begitu, nyonya ini tuangi teh untuk
tetamunya. "Yang aku tanya adalah, apa selama ini tak terjadi hal atau hal-hal yang aneh?" Kiau Liong tanya, dengan
menjelaskan. "Kejadian yang aneh ada juga," Gui samso menyahut.
"Demikianlah ada cerita tentang isterinya Lou hanlim dari Sun-thian-hu, sampai sekarang isteri itu tidak pernah keluar dari rumahnya, katanya ia terganggu oleh siluman rase ...
Dan ... nanti, aku pikir-pikir dulu ... "
Dengan tubuhnya yang kekar, nyonya Gui Sam
menyender pada lemari, dengan tangannya, ia singkap
rambutnya. "Tidak, tidak ada kejadian lain lagi," ia kata kemudian.
"Suamiku jarang pulang dan aku tidak pernah keluar dari rumah! Umpama kata lauteng kota rubuh gempur, aku toh
tidak akan dapat ketahui ... " Ia tertawa, hingga ia tongolkan dua baris giginya yang hitam. "Bagaimana
dengan usahamu di luaran" Suamiku sudah gila main dan
pelesiran, ia malah telah mengikat hutang banyak, hingga kemarin ia gatal tangan, ia berniat bekerja ... Bagaimana kalau kita bergabung saja?"
Kiau Liong kerutkan alisnya.
"Kau tak tahu!" ia kata. "Aku dan kau bukan dari satu golongan. Kudaku aku titipkan di pondokan di luar kota di mana aku tak leluasa akan bermalam. Di sini pun aku
berniat tinggal buat dua hari saja. Lebih baik selama dua hari ini, jangan kasih suamimu pulang. Lusa aku akan
berangkat pula ... "
"Itulah tak ada artinya," nyonya Gui Sam berkata. "Kita ada bersahabat, bukan sahabat dari satu atau dua hari,
maka jangan kata untuk beberapa hari, walau kau tinggal
dengan kita dua bulan atau setengah tahun, aku tanggung
kau bisa makan dan minum dengan tidak kekurangan!
Suamiku, Gui Sam si Muka Merah, ia pun senang
ketumpangan tetamu! Sekarang ini ia berdiam di piautiam, dengan merdeka ... "
Kiau Liong manggut, tetapi terus ia menghela napas.
"Kau sudah dahar atau belum?" nyonya rumah tanya.
"Jangan malu-malu ... "
Nona Giok goyang kepala.
"Aku belum dahar, tetapi aku belum ingin," ia menyahut, terus ia menguap. Ia merasa lelah dan ngantuk. Selama
beberapa hari ini, ia sudah keluarkan tenaga terlalu banyak dan kurang tidur, kurang beristirahat, pikirannya juga
bekerja terlalu keras, hingga ia jadi lelah dan lesu.
Semangatnya tetap besar tetapi tenaganya telah jadi
berkurang. Ia sangat ingin bisa tidur pulas dan nyenyak.
Tetapi, otaknya masih saja bekerja. Di dalam kota, ibunya sedang sakit, entah bagaimana keadaannya.
"Biarlah sang sore lekas datang! Biarlah kentongan
dipukul berulang-ulang!" demikian ia harap-harap. Ia duduk diam, beberapa kali ia menghela napas.
Gui samso ajak ia bicara, malah ia diajaki main kartu,
tetapi tetap ia bungkam.
Tidak antara lama, Kiau Liong buka sepatunya, akan
betulkan kain lilitan atau tangselannya, kemudian sepatu itu ia pakai pula. Dari nyonya rumah ia pinjam baju luar. Kaki celananya ia ikat keras. Taucang-nya ia lilit di kepalanya.
Gui samso ketawa melihat tingkah laku orang itu.
"Nonaku, kau ini dandan secara apa?" tanya ia. "Kalau orang lihat kau ... "
"Jangan banyak mulut," nona itu membentak. "Aku hendak pergi tetapi akan lekas kembali. Ingat, jangan kau omong dengan siapa juga bahwa aku telah kembali kemari!"
"Kita ada bersahabat, nona," Gui samso jawab. "Dan bukan baru kali ini saja aku bekerja untukmu. Apa kau
masih sangsikan aku?"
"Kenapa aku bersangsi?" kata Kiau Liong, yang
bersenyum dingin. "Kau juga tak akan bisa berbuat apa-apa terhadap aku! Aku telah merantau tetapi aku belum pernah terbitkan perkara! Sebaliknya kau, terutama suamimu, aku tahu segala rahasianya!"
"Cukup sampai di sini!" Gui samso kata seraya goyang-goyang kedua tangannya. "Harap kau tidak omong lebih
jauh. Kalau kau mau bekerja, nah, pergilah dengan lekas.
Kau harus hati-hati sedikit, sekarang tak seperti dahulu ... "
"Apa kau bilang?" Kiau Liong terperanjat.
"Di mana-mana angin ada hebat!" sahut Gui samso seperti berbisik.
Kiau Liong tidak pedulikan peringatan itu, ia hanya
tunggu saatnya, lantas ia keluar sambil tengteng pedangnya.
Ia lihat rembulan telah bersinar guram. Ia naik ke tembok, ia melongok ke lain sebelah. Di dalam gang tidak ada
orang, maka ia loncat turun ke situ. Ia berlari-lari, sampai ia berada di tembok kota. Di sini ia tancap pedangnya di
bebokongnya, lantas dengan ilmu Pekhou-kang, laksana
cecak, ia merayap naik di tembok kota itu. Dua pohon
siong dan coh doyong ke tembok membantu memudahkan
manjatnya ia. Maka sebentar kemudian, ia sudah sampai di atas. Ia terus berduduk, akan hilangkan letihnya. Hawa
sejuk ada menyegarkan tubuhnya si nona.
Tidak lama kemudian, Kiau Liong mulai turun dari
tembok, akan masuk ke dalam kota. Lantas ia lalui
beberapa jalanan atau gang kecil. Dengan cepat ia sampai di Koulau barat. Hatinya berdebaran dan matanya merah
begitu lekas ia lihat rumahnya. Pintu pekarangan ada
kehalangan cabang-cabang pohon hoay, sinar rembulan dan
bintang-bintang tak nembus sampai di situ. Tapi ia maju
terus. Ia tidak minta pintu, hanya ia lompat naik ke tembok, ke genteng, akan berlari-lari dengan gesit.
Dengan tak terbitkan suara apa juga, dengan tak ada
yang ketahui, Kiau Liong sampai di belakang. Ia dapatkan semua kamar atau ruangan ada gelap, kecuali yang di
sebelah utara, ialah kamar ibunya. Kain jendela di situ ada berwarna merah tua. Api lilinnya guram. Ketika ia loncat turun, ia rasakan kakinya lemas. Ia sangat bersedih tetapi ia kuatkan hati, melainkan air matanya, yang ia tak bisa cegah melelehnya. Ia hampiri pintu kamar, yang terkunci. Buat ia, membuka pintu bukan ada pekerjaan sukar, ia tahu
rahasianya, tetapi sekali ini, ia bekerja dengan tangan
bergemetar. Pedangnya ia letaki di undakan tangga di
depan jendela. Ketika daun pintu terbuka, ada terbit sedikit suara.
Ada seorang yang tidur nyenyak di dekat pintu, tetapi
Kiau Liong tidak pedulikan dia itu. Ia menghampiri
pembaringan ibunya, Ia lantas merasakan serangannya bau
obat. Ia lihat kamar ada tak teratur. Ia lantas ulur
tangannya, akan singkap kelambu. Maka sekarang ia bisa
lihat ibunya sedang rebah pulas, kulit mukanya pada kisut.
Sambil ulur tangannya, dalam hatinya, nona Giok
memanggil, "Ibu ... " Ia raba muka ibunya itu, yang ia rasai panas sekali, hingga ia terperanjat. Tiba-tiba ia tarik pulang tangannya, karena ibunya menghela napas. Air matanya
sudah lantas turun menetes.
Tiba-tiba nyonya Giok merintih, "Aduh ... " dan tubuhnya dibalik ke dalam.
Kiau Liong hendak rapikan selimut ibunya, ketika si ibu
memanggil: "Cian-ma, ambil air! Lekas! ... "
Dengan suara perlahan, Kiau Liong menyahuti, "Baik ...
" ia coba tiru Cian-ma. Ia lepaskan kelambu, akan pergi ke meja buat tuang teh. Ia kembali dengan teh, yang masih
hangat. Nyonya Giok berbangkit, separuh dibantu oleh anaknya
yang pegangi tubuhnya, ia minum air teh. Kemudian ia
rebah pula. Ia tidak membuka mata, meskipun anaknya
harap-harap itu, agar ia bisa lihat anak ini. Belakangan ia melainkan keluarkan keluhan: "Liong, anakku ... oh ... "
Kiau Liong tidak menyahuti, ia susut matanya. Ia berdiri diam saja, mengawasi.
Sebentar lagi, nyonya itu telah ngorok pula.
Kiau Liong lepaskan kelambu, ia taruh cangkir di atas
meja. Lantas ia jalan bulak-balik. Ia ada bersedih dan
bersangsi, pikirannya berkutetan. Ia sudah bertindak keluar dan menutup pintu, tapi kembali ia masuk pula. Ketika
keluar pula, ia dupak tubuhnya Cian-ma, budak tua yang
sedang enak tidur, hingga ia ini mendusin dengan kaget.
"Siapa?" tanya bujang tua ini.
Tapi Kiau Liong, dengan sembat pedangnya, sudah
berlalu naik ke atas genteng. Ia lewati ruangan barat,
tamannya, dengan loncati tembok ia pergi keluar. Di antara cahaya guram dari rembulan, ia menuju ke barat. Di tengah jalan hampir ia babat seorang yang rebah di tanah, ketika ia loncat ke samping, orang itu bangun, jalan sempoyongan.
Nyata ia itu ada seorang mabuk arak. Maka ia lanjutkan
perjalanannya, Ia menuju ke selatan. Oleh karena bersedih,
ia jadi merasa letih. Di depan matanya, seperti berbayang ibunya saja.
"Aku mesti mengaso dua hari di rumahnya Gui Sam," ia pikir. "Aku mesti siapkan pakaian, lantas aku mesti berangkat pula. Aku mesti pergi dari sini sesudah aku
tengok ibu sekali lagi ... Ke mana aku mesti pergi" Kepada Siu Hiang dahulu akan ajak dia terus ke Sinkiang, akan cari Bie Hee atau langsung ke Kielok, akan tempur pula Lie Bou Pek dan Jie Siu Lian?"
Ketika ia sampai di kaki tembok kota Cianmui, Kiau
Liong terpaksa singgah. Ia duduk di tanah sampai hampir-
hampir ia kepulasan. Ia bergidik buat hawa yang diingin. Ia dengar kentongan empat kali. Langit ada sangat gelap
karena rembulan ketutupan anteronya oleh awan. Lantas ia berbangkil buat panjat tembok kota akan menuju ke See-hoo-yan.
Ia sampai di rumahnya Gui Sam ke mana ia masuk
dengan lompati tembok pekarangan. Ia masuk terus ke
kamarnya di mana tidak ada penerangan, ketika ia
nyalakan api, ia lihat di situ ada sebuah pembaringan lain, yang sudah diatur rapi. "Gui samso sediakan untuk aku," ia pikir.
Si nyonya sendiri sedang tidur dengan nyenyak,
tubuhnya ketutupan selimut, sebelah tangannya yang
montok melonjor keluar.
"Nyonya ini baik sekali," pikir nona Giok. "Apa ini karena ia takut aku" ... "
Ia menguap dua kali, lantas ia tiup apinya dan naik ke
atas pembaringan, pedangnya ia tindih dengan lengannya.
Ia masih mengeluarkan air mata sebelumnya ia pulas. Tapi tidak lama, dalam tidurnya pun ia dapat gangguan. Ia
mimpikan bahwa ibunya telah meninggal dunia dengan
tiba-tiba, hingga ia mengawasi pakaian ibunya dengan terus menangis. Kemudian ia lihat Lo Siau Hou tiba-tiba tubruk padanya, yang terus dipeluki dengan keras, meski ia
damprat Poan Thian In, yang dikatakan tak punya guna,
tetapi pemuda itu terus tertawakan ia. Ia pun bernapas
sesak, karena Siau Hou peluk ia begitu keras hingga
tubuhnya merasa sakit, akan akhirnya ia menjerit:
"Lepaskan aku!"
Oleh karena ini, ia jadi tersedar, tersedar untuk menjadi kaget dan gusar dengan berbareng.
Nyata ia bukannya dipeluki oleh Lo Siau Hou, hanya
seorang telah tindih ia, sedang kaki dan tangannya sudah diringkus. Ia berontak, sia-sia saja. Ia coba memandang, ia tak melihat nyata. Hanya ia merasa, ia direjang bukan oleh satu orang dan tenaga mereka itu besar.
"Kau berani ... " ia berseru.
Segera Kiau Liong merasa bahwa ia telah dibelebat,
karena tambang telah melibat tubuhnya berulang-ulang. Ia dengar suara dua orang yang napasnya memburu.


Harimau Mendekam Naga Sembunyi Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Gui Sam, binatang!" akhirnya ia mendamprat. "Kau berani tipu aku" Hati-hati, jikalau aku binasa, kau pun akan tak dapat hidup lebih lama pula! ... "
Anglian Gui Sam si Muka Merah perdengarkan tertawa
menyindir. "Aku tidak takut pada kau!" ia kata. "Baiklah aku kasih tahu padamu, ini hari aku telah terima perintah untuk
bekuk kau!"
"Aku tidak takut!" Kiau Liong bilang. "Aku bukannya penjahat, aku ada Giok ... Apa kau sangka aku takut, untuk ditangkap dan diserahkan pada pembesar negeri?"
"Oleh karena kau tidak takut, maka kita telah bekuk padamu!" Gui Sam jawab. "Oleh karena kau ada Giok Kiau Liong, kita terpaksa sudah ringkus pada kau. Sekarang kau menyerah saja, berlakulah manis, nanti aku antar kau ke
suatu tempat yang baik ... "
Kiau Liong berludah saking sengitnya, ia mendamprat.
Kemudian, dengan tiba-tiba ia angkat kepalanya, ia buka
pula mulutnya dan menggigit.
"Aduh!" menjerit Gui Sam-so sambil mundur. "Aduh, aduh, aduh! ... "
Gui Sam kaget, ia nyalakan api, maka sekarang
terlihatlah nyata mukanya itu suami isteri yang satu merah, yang satu pula hitam. Dan Gui samso meringis-ringis,
karena ia kena tergigit pada lengannya yang montok.
Sementara itu, nona Giok sudah lantas berontak, ia coba
gunakan semua tenaganya. Kedua tangannya terlibat rapat
tetapi dua kakinya masih bisa digeraki, ditekuk, dengan
berbareng. Ia tahu, pedangnya masih ketindihan tubuhnya, maka ia coba tempel tambang di tangannya pada
pedangnya itu. Ia harap, asal saja tajamnya pedang dan
tambang beradu, tambang itu akan putus sendirinya.
Gui Sam lihat gerakannya, ia kaget, ia maju, akan
sambar itu. Kiau Liong tidak berhentikan percobaannya, justru Gui
Sam merangsek, ia membarengi dengan kedua kakinya,
hingga si Muka Merah jadi kena kedupak, sampai rubuh
terguling. Kakinya si nona pun lolos sebelah.
Sebab Gui Sam terguling, pedang pun terjatuh ke jubin
hingga menerbitkan suara nyaring.
Kiau Liong geraki tubuhnya, akan loncat turun dari
pembaringan. Ia mesti gunakan sebelah kaki, kakinya yang lolos sedikit dari libatan.
Nyonya Gui lihat suaminya rubuh dan lihat si nona
berbangkit, ia lalu loncat menubruk, akan memeluk dengan keras.
Nona Giok tidak bisa gunakan tangannya, sedang
sebelah kakinya dipakai berdiri, meski begitu, ia tidak
kekurangan akal. Hanya dengan satu gentusan kepala, pada mukanya Gui samso, ia bikin nyonya itu menjerit. Sebab
gentusan itu mengenai matanya si nyonya.
Kendati ia kaget dan sakit, Gui samso tidak mau
lepaskan pelukannya. Secara begini, ia bikin si nona
kewalahan. Gui Sam juga sudah lekas merayap bangun, akan ringkus
pula kaki orang. Ia telah siapkan banyak tambang untuk
keperluannya ini, kakinya si nona dilibat pula, berulangulang.
Itu waktu di luar ada terdengar suaranya roda-roda
kereta. "Sudah datang!" kata Gui Sam, yang berseru kegirangan.
Dan ia lari keluar, akan membuka pintu.
Kiau Liong telah direbahkan di jubin, Gui samso tunggui
padanya. Ia tahu, percuma ia berontak-rontak pula.
"Lekas bilang, maksud apa yang kau kandung?" ia tanya nyonya rumah, yang tadinya berlaku begitu baik hati
terhadap ianya. Ia mendamprat, "Ke mana kau hendak
bawa aku" Jikalau kau ingin hidup, lekas merdekakan aku!
... " Sebelumnya Gui samso menyahut, dari luar ada masuk
tiga orang lain, yang terus angkat tubuhnya si nona, untuk dibawa pergi.
"Lepaskan aku!" Kiau Liong mendamprat.
Tiga orang itu diam saja, mereka terus gotong pergi nona Giok sampai di jalan besar. Di situ ada menunggu sebuah
kereta yang memakai tenda.
"Culik!" Kiau Liong berteriak.
Tapi ia cuma bisa berteriak satu kali, lantas orang bekap mulutnya, yang disumpal dengan saputangan, sedang ia
terus dikasih masuk ke dalam kereta. Ia cuma dengar
suaranya satu orang, "Perlahan-lahan ... "
Ketika itu dari kolong kereta ada muncul satu orang.
"Perlahan-lahan," katanya, "perlahan-lahan. Bagaimana kau begini berani menculik puterinya Giok cengtong" ... "
Tetapi satu orang betot padanya, dibawa ke samping.
"Lihat ini," kata orang yang membetot itu.
Itu waktu, cuaca sudah mulai terang, maka orang yang
mencegah itu bisa lihat barang yang ditunjukkan padanya, satu yaupay yang memakai cap merah. Benda itu
melainkan dipunyakan oleh orang polisi. Karena ini, dia
terperanjat. "Oh, kiranya kau ada hamba-hamba negara!" ia kata.
"Gila kau sudah tahu, janganlah usil pula! Kau sudah peroleh hasil atau belum" Sekarang sudah mulai terang
tanah, lekaslah kau berlalu! Kau hati-hati, jangan sampai nanti kau kepergok kita!"
Peringatan ini dibarengkan dengan dupakan, atas mana
itu orang berlalu dengan tubuh sempoyongan. Meski
demikian, ia masih berkata-kata: "Baiklah, aku pergi sekarang ... terima kasih tuan-tuan, untuk kebaikanmu ini."
Kiau Liong sendiri sudah menggeletak, rebah di atas
kereta dengan hati panas dan mendongkol. Sia-sia saja ia berontak dari belengguannya, sekarang ia telah menjadi
orang tawanan. Malah ia tertawan oleh segala kurcaci.
Tenda kereta telah dikasih turun, tapi suara orang bicara, ia dengar nyata.
"Siapa dia itu barusan?"
"Segala pancalongok! Dia mengharap bagian dari kita!"
"Kalau begitu, bekuk saja padanya?"
"Tidak ada harganya akan kita layani dia ... " demikian suaranya Gui Sam.
Lantas kedengaran satu suara lain, yang agaknya tak
sabaran. "Sudahlah, buat apa bicara saja! ... "
Kereta berjalan terus, entah ke mana tujuannya, karena
Kiau Liong tidak bisa lihat apa-apa. Hanya sebentar lagi, dari jendela tenda kereta, cahaya matahari telah menyorot.
Sebentar kemudian, Pakkhia telah dilepaskan dari
tanggung jawabnya sang rembulan dan bintang-bintang.
Langit lantas menjadi terang. Angin pagi ada sejuk.
Ketika pintu Cengyang-mui dipentang, orang lantas
mulai berlalu-linias. Di antara mereka itu ada satu yang tadi dikatakan pancalongok. Begitu masuk ke kota, ia cepat
menuju ke Tangshia, Kota Timur. Di sini ia lewatkan
berbagai gang, sampai di Samtiau Hautong, di depan
sebuah rumah dengan pintu berdaun dua. Di samping itu
pun ada pintu untuk kereta, yang juga tidak terbuka. Karena
ini, ia lantas mengetok pintu. Ia adu gelang pintu satu
dengan lain. Sebentar kemudian, daun pintu lantas terbuka. Orang
yang membuka pintu kaget waktu ia lihat, siapa yang minta buka pintu itu, tetapi segera juga ia tertawa.
"Oh, Lau jieya!" ia berseru. "Mengapa kau datang begini pagi?"
"Begini pagi?" sahut Lau jieya itu. "Aku justru rasa masih malam! Buat semalaman lamanya, aku belum tidur!
Apa ngoya sudah bangun" Tolong kasih tahu, Itto Lianhoa
hendak bicara padanya."
Habis kata begitu, ia lantas masuk dan kunci pintu di
belakangnya. Ia nyata ada bernapas memburu, mukanya
mandi keringat.
Siu Jie, demikian orang yang membukakan pintu, awasi
tetamunya. Ia tahu yang selama itu Lau Tay Po suka datang malam, tetapi datang pagi, baru pernah satu kali ini. Dan ini kali, tetamu ini berlaku sebagai tikus kesiangan.
"Kau duduklah dan menunggui di kamar sana," kata ia.
"Aku nanti pergi mengasih kabar pada looya. Jangan-
jangan ia masih belum bangun."
Ia bertindak pergi dan Lau Tay Po pergi ke kamar tulis,
di sini ia rebahkan diri di atas pembaringan, hingga ia bisa menunggu sambil beristirahat.
Selang sekian lama barulah Tek Siau Hong muncul.
"Ada kabar apa?" tanya tuan rumah dengan perlahan.
Tay Po lekas berbangkit dan duduk, ia menunjuk dengan
jarinya ... ke atas, ia lalu menghela napas.
"Onar jadi onar hebat, aneh bertambah aneh ... " kata ia dengan tak keruan juntrungannya Ia tidak meneruskan,
karena Siu Jie datang dengan teh panas, sedang Siau Hong sulut cui-yan-nya. Tapi begitu lekas Siu Jie berlalu, Itto Lianhoa dekati tuan rumahnya.
"Ngoko, bukankah kau sangsikan Giok Kiau Liong yang dikatakan sakit dan tak temui orang?" ia tanya.
"Dan?"
Siau Hong awasi itu sahabat, siapa pun pandang
padanya. "Karena kesangsian itu, setiap malam aku tongkrongi gedungnya Giok cengtong di mana aku mendekam di
tempat yang gelap," sahut Lau Tay Po. "Aku sudah duga, tidak peduli Giok Kiau Liong umpetkan di rumahnya
keluarga Lou, akan menyingkir dari Lo Siau Hou, atau
telah angkat kaki dari Pakkhia, toh satu kali ia mesti
kembali ke rumahnya. Sekarang ibunya sedang sakit keras, kabarnya tak akan ketolongan, hingga kedua engko-nya
telah pada pulang, maka jikalau ia dapat kabar, pastilah ia akan pulang buat tengok ibunya itu. Aku percaya, bila ia datang, ia mesti datang malam-malam, dengan diam-diam.
Nyata dugaanku ini tidak meleset! Tadi malam aku lihat
loncat keluar satu bayangan dari dalam gedungnya Giok
cengtong, bayangan itu bertubuh tinggi langsing, gerakannya sangat gesit, sedang pedang di tangannya ada
berkilau. Aku lantas menduga padanya, sebab kecuali Siau-ho-lie si Rase Kecil, tidak ada lain orang yang gerakannya gesit serupa itu di rumahnya cengtong itu. Segera aku
pasang mata. Ia ada sangat liehay, ia rupanya dapat lihat aku, hingga aku, untuk menyingkir dari bahaya, lantas
gunakan akal. Aku berpura-pura menjadi satu setan
pemabukan, aku jatuhkan diri di tengah jalan. Ia masih
samperi aku dan dupak padaku, syukur ia tak kenalkan aku, kalau tidak, aku bisa dapat susah. Setelah ia berlalu, aku kuntit padanya. Ia menuju ke selatan. Syukur bagiku, itu
malam, entah pikirannya kusut entah bagaimana, ia tidak
kabur secara pesat sebagai biasanya, malah di tengah jalan, ia singgah. Ini ketika aku gunai, akan mendahulukan ia
pergi keluar kota, di mana aku terus tunggui padanya.
Kemudian aku lihat ia lanjutkan perjalanannya sampai di
sebuah rumah kecil di See-hoo-yan. Aku kenal rumah siapa itu, ialah rumahnya Anglian Gui Sam, bekas satu pegawai
piautiam, sedang isterinya adalah Toa Bu Lau, si Keledai Biang. Suami isteri itu ada punya tenaga besar, sudah
beberapa tahun mereka tinggal di Pakkhia ini, hanya
tentang asal-usul mereka ada gelap bagiku. Giok Kiau
Liong masuk ke dalam itu rumah. Aku panjat tembok.
Rumah ada gelap, aku tidak berani sembarangan masuk.
Dengan sebenarnya, aku jeri buat panah tangannya yang
liehay. Sekian lama aku menantikan di depan pintu.
Tadinya aku niat pergi ke Coanhin Piautiam buat minta
bantuan dari dua pegawai di sana, apa mau waktu aku
sampai di Cu-poosie, aku ketemu sebuah kereta keledai. Itu waktu sudah jam empat, dan kereta itu tidak memakai
penerangan, aku jadi curiga, maka aku lantas balik
menguntit padanya Di luar dugaanku, kereta berhenti di
depan rumahnya Gui Sam. Sementara itu, dari dalam
rumah aku dengar suara berisik, suara orang perempuan,
yang halus tapi nyaring. Aku sangka itu ada suaranya Giok Kiau Liong. Beberapa orang dari kereta lantas masuk ke
dalam rumah, yang pintunya ada yang bukai. Selagi si kusir buang air kecil di samping, aku nyelusup ke kolong kereta, di situ aku mendekam, akan lihat apa bakal terjadi lebih jauh. Segera aku lihat Giok Kiau Liong digotong keluar,
tubuhnya telah dibelenggu, mulutnya pun disumpal ... "
Tek Siau Hong terkejut apabila ia mendengar sampai di
situ, sedang tadinya ia diam saja, ia tercengang. Nyata ia mencoba tenangkan diri.
Lau Tay Po lanjutkan keterangannya,
"Aku pun ada sangat heran. Aku tahu Kiau Liong ada
liehay, aku sendiri pernah tempur padanya, aku selalu
gagal, tidak peduli aku minta bantuan beberapa kawan.
Tapi sekarang, kenapa ia boleh rubuh di tangannya
beberapa orang itu" Dan ke mana ia hendak dibawa" Aku
lantas muncul, akan pergoki dan ancam mereka itu. Nyata
aku kecele ..."
"Siapa sebenarnya mereka?" Siau Hong putuskan.
"Aku kecele, sebab mereka tonjolkan yaupay padaku ... "
Tay Po terangkan lebih jauh. "Karena mereka ada orang-orang polisi, aku ngeloyor pergi dengan tidak kata apa-apa lagi, malah aku tidak berani kuntit mereka. Mereka pun
tidak ganggu aku, yang mereka katakan ada pancalongok.
Demikian aku lantas datang kemari ... "
Siau Hong berdiam, ia goyangkan tangan, satu tanda
supaya sahabatnya tutup mulut.
Lau Tay Po tarik kursi kecil ke depannya tuan rumah, ia
duduk depan berdepan dengan tuan rumah itu. Ia telah
keringi secangkir air teh. Tuan rumah pun minum tehnya.
"Apa mereka bukannya orang-orang polisi palsu?"
kemudian Siau Hong kata. "Dua-dua keluarga Giok dan Lou telah rahasiakan duduknya perkara, hingga sekarang
ini umum masih menyangka Giok Kiau Liong mendapat
gangguan iblis. Kamar pengantin dari Kiau Liong ini,
sampai sekarang masih tetap dikerebongi kain di empat
penjurunya, orang tidak boleh masuk ke dalam kamar itu
kecuali satu dan dua budak perempuan. Dan setiap hari ada saja yang diundang, padri atau imam, untuk membaca doa
mengusir si iblis pengganggu, kertas dan dupa dibakar.
Maka, kalau mereka sendiri menyimpan rahasia, kenapa
bisa ada pembesar negeri yang tangkap si nona" Apa
kedosaannya nona itu" Ada tuduhan apa untuk dirinya"
Mustahil ia mesti dikeram di dalam penjara" Laginya, kalau ini perkara sampai teruwar, bagaimana nanti jadinya
dengan kedua keluarga itu?"
' Tetapi orang-orang polisi itu bukannya polisi palsu,"
Tay Po tetapkan, "Aku lihat nyata mereka punya yaupay serta cap kebesarannya."
"Apakah kau tidak ketahui mereka dari kantor mana?"
Siau Hong tegaskan.
Tay Po goyang kepala.
"Di waktu begitu, aku tidak berani banyak mulut!" ia menyahut. "Aku tidak kenal mereka itu, tetapi mereka kenalkan aku, sebab meskipun aku piara kumis, hidungku
aku tidak ubah. Sejak aku kembali ke kota, sudah banyak
hari, di waktu siang aku tidak berani tongolkan diri. Selama beberapa hari yang belakangan ini, keadaan masih
mendingan. Beberapa hari yang sudah-sudah, setiap hari
ada datang orang-orangnya teetok atau tiehu dari Sunthian, yang tanyakan aku segala macam, syukur teehu-mu pandai
bicara, ia pandai menjawab, hingga orang-orang polisi itu tidak bisa dapatkan maksud mereka. Aku anggap itu ada
perkara kecil makanya aku telah tidak beritahukan padamu
... " Siau Hong berdiam, ia berpikir.
"Apa mereka barangkali ada orang-orangnya Siau giesu dari Lamshia?" kemudian ia nyatakan dugaannya. "Siau giesu itu ada sahabat karib dari Lou Kun Pwee, kabarnya ia sebal kepada Giok teetok yang dikatakan kurang keras
aturan rumah tangganya. Ia pun ada orang asal Hongyang,
di kampungnya ia masih punya sanak famili, boleh jadi di sana ia mendapat gangguan dari Giok toa-siauya, hingga
sekarang ia hendak gunakan ketika ini, urusan dinas dipakai
untuk membalas sakit hati perseorangan. Kemarin ini Giok toa-siauya
kembali dari tempat jabatannya buat menyambangi ibunya, sekarang Siau giesu lantas turun
tangan ... "
"Kalau benar, pembalasan itu ada terlalu kejam," Tay Po bilang. "Aku percaya orang telah beli Gui Sam dan sengaja telah mengatur tipu, tentunya ini bukan pekerjaan satu atau setengah harian. Giok Kiau Liong bukannya seorang dogol, ia pun ada gagah sekali, maka, adalah luar biasa kalau ia telah kena dijebak."
"Toh ia tetap ada seorang perempuan ... "
"Dan bagaimana sekarang kita harus bertindak?" Tay Po tanya.
"Apa yang kita bisa bikin?" Siau Hong baliki. "Baiklah, aku nanti cari tahu lebih dulu di kantor mana Giok Kiau
Liong sudah ditahan, kemudian kita cari tahu lebih jauh, bagaimana sikap orang. Umpamanya ada jalan, aku ingin
bikin akur kedua pihak, tetapi jikalau perkara tetap mau ditarik panjang, dengan tidak memandang-mandang lagi
pada keluarga Giok dan Lou, ya, apa boleh buat, kita tak berdaya!"
"Coba bilang, ngoko, menurut dugaanmu, tuduhan apa
mereka bisa bikin terhadap Giok Kiau Liong" Aku sendiri
tidak terlalu perhatikan itu nona, cuma, andaikata perlu, aku suka maju sebagai saksi untuk ianya. Hanya kasihan
saudaraku she Lo itu, Hou-ya, apabila ia ketahui ini
kejadian, ia bisa jadi kalap, bisa-bisa ia bawa pedangnya menyerbu kantor di mana si nona ditahan!"
"Tapi ingatlah, walau bagaimana, kau tidak boleh
beritahukan ia tentang adanya kejadian ini," Siau Hong mencegah, "sebab satu kali onar terbit, semua bisa terbawa-bawa. Aku sendiri tidak begitu pedulikan pada Kiau Liong,
satu kali ia sudah ditangkap, aku percaya orang tak akan gampang-gampang lepas pula padanya. Cuma perkaranya
ini pasti bukannya perkara besar. Apa yang aku pikirkan
adalah sahabatmu itu serta nona mantuku mereka berdua
ada engko dan adik. Aku pikir baiklah kita bersabar
beberapa hari ini akan tunggu baliknya nona Jie Siu Lian
..." "Tentang nona mantumu itu, ngoko," kata Tay Po,
"urusannya gampang diatur. Terserah padamu, kau hendak tahan ia di rumah atau ia dibantu oleh nona Siu Lian pergi ke Hoolam, untuk melakukan pembalasan. Hanya yang
sukar adalah aku, yang mesti tungkuli pada Hou-ya. Ia


Harimau Mendekam Naga Sembunyi Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

percaya betul yang Giok Kiau Liong sudah dibikin celaka
hingga binasa oleh Lou Kun Pwee, maka ia telah
bersumpah akan bunuh mampus orang she Lou itu. Ia telah
bilang lebih dahulu balas sakit hati isteri, baru sakit hati ayah dan ibu! Bagaimana sekarang" Aku kuatirkan
walaupun Jie Siu Lian datang, ia sukar dicegahnya ... "
Siau Hong kerutkan alis.
"Kau mesti berdaya sebisa-bisamu akan cegah ia
ngamuk," kata orang she Tek ini kemudian. "Baiklah, bila nanti Jie Siu Lian datang, aku akan ijinkan nona mantuku dan engkonya itu ke Hoolam guna mencari balas. Sebentar, setelah memperoleh keterangan, hasil keteranganku itu aku akan sampaikan pada saudara Kian Tong untuk
disampaikan lebih lanjut pada Hou-ya itu. Kau sendiri,
dalam beberapa hari ini, aku harap jangan datang padaku."
Lau Tay Po setujui pemecahan itu, maka ia lantas
pamitan dan pergi. Sesampainya di jalan besar, ia
celingukan ke timur dan ke barat, di situ kebetulan ada
sebuah kereta kosong, lantas ia sewa kereta itu buat pergi ke lekseng-mui. Ia turunkan tenda, ia rebahkan diri, berpura-
pura sebagai orang sakit. Ketika ia sampai di pintu kota, ia merayap bangun, mengintip di tenda.
"Nah, di sini saja, berhenti!" ia kata, setelah ia melihat nyata.
Kereta diberhentikan dengan segera.
Begitu lekas sudah bayar sewaan kereta, Tay Po loncat
turun dari kereta dari mana ia jalan dengan cepat menuju ke barat, akan sampai di telaga Cenggiap Ou di Cek-sui-tha.
Air telaga ada bergemilang, cabang-cabang yangliu meroyot turun ke gili-gili. Tay Po jalan terus, sampai di tembok gugur di sebelah utara, di mana ada sebuah pintu yang
terlibat pohon-pohon oyot.
Itu ada bekas rumah sewaannya Coa Siang Moay dan
mendiang ayahnya, Coa Kiu, dan sekarang rumah ini, Itto
Lianlioa yang sewa. Begini ia masuk ke dalam rumah itu, ia lihat Hoa-gu-jie Lie Seng asyik berkumpul bersama-sama
Pheng Kiu si Mengok dan dua buaya darat lain, yang
duduk numprah di tepi pembaringan sedang adu
peruntungan. Dan Lo Siau Hou, yang rambut dan kumisnya panjang,
sedang duduk di pojokan, tangannya sedang gunakan pisau
kecil merauti bambu, yang ujungnya dibikin lancip,
batangnya pun halus. Sejumlah yang sudah jadi, berada di depannya.
"Ach, kau bikin itu!" menegur Tay Po.
"Sengaja aku belikan ia bambu, seluruh hari ia rauti itu, jikalau tidak, kita tak sanggup menjaganya," kata Hoa-gujie. "Ia ada seorang dewasa, cara bagaimana ia bisa tak diijinkan pergi keluar?"
"Ada kabar angin apa hari ini?" tanya Lo Siau Hou, yang menanya sambil kecilkan matanya,
"Ada angin besar!" sahut Tay Po, dengan gembira. Tapi, lantas saja ia menyesal, hingga kegembiraannya lenyap
dengan lantas. Sebaliknya, Lo Siau Hou lantas berbangkit.
Pheng Kiu beramai tunda kartu mereka, mereka semua
berpaling pada Itto Lianhoa.
Tapi Lau Tay Po lantas tertawa, secara tawar.
"Sebenarnya orang-orang polisi telah jadi bertambah, mereka mundar-mandir entah buat urusan apa ... " ia kata Ia merandek sebentar, tetapi karena kuatir Lo Siau Hou
gusar, ia lalu melanjutkan: "Boleh jadi bakal ada pembesar tinggi yang pulang ke kota raja ... "
"Masa bodoh!" kata Siau Hou, yang terus mulai pula dengan pekerjaannya. Matanya juga tidak lagi bersinar
tajam seperti tadinya. Tapi pisaunya ia kasih bekerja dengan cepat, secara sengit, sampai hampir-hampir ujung pisau
makan jeriji tangannya. Kemudian ia menghela napas
seorang diri lantas tangannya mengepal-ngepal dengan
keras. Lie Seng berkutir, maka ia lekas-lekas berkata: "Oh, Houya, harap kau tidak nyanyikan lagi nyanyianmu yang
terkenal itu ... "
"Tidak, aku tidak akan nyanyi!" sahut Siau Hou. Ia lantas pindah ke pembaringan, dari situ ia pandang Tay Po dengan air muka lesu.
"Baiklah kau bujuki Tek ngoya," ia kata. "Biarlah ia ijinkan nona mantunya berangkat. Yo Lee Hong ada punya
bugee, kenapa ia tidak mau lekas pergi cari musuh ayah
bundanya, guna membikin pembalasan" Si orang she Ho itu
bukannya satu jago dari kalangan kangou, ia bukannya satu hoohan yang biasa mainkan golok, dengan sejari tangan
saja batok kepalanya bisa dibikin bolong, maka kenapa Tek ngoya tidak bertetap hati akan antap nona mantunya
pergi?" Tay Po jepit daging yang berada di atas meja sisa makan
mereka, akan masukkan itu ke dalam mulutnya, setelah
menggayem dan menelan, ia hirup araknya.
"Tek ngoya bukan kuatirkan bugee nona mantunya tak
cukup tinggi," ia menyahut kemudian, "ia hanya berkuatir sebab nona mantu itu bersendirian saja di perjalanan. Ia sekarang lagi tunggui Jie Siu Lian, asal si nona datang, ia akan suruh nona mantunya itu pergi!"
Siau Hou goyang kepala.
"Ayah dan ibu sendiri kenapa buat sakit hatinya kita mesti biarkan lain orang yang bantu?" ia kata.
"Kau keliru, Hou-ya!" kata Tay Po, seraya angkat dadanya. "Kau tidak bisa persalahkan satu nona yang telah menjadi orang punya nona mantu! Bukankah ayah
bundanya si nona ada ayah bundamu sendiri" Dan kau ada
satu laki-laki, kau ada murid dari Butong San, malah kau adalah Poan Thian In Lo Siau Hou dari Sinkiang yang
sangat tersohor, maka kenapa kau sendiri tidak mau pergi akan cari musuhmu itu guna membalas sakit hati ayah
bundamu" Diandaikan aku, pastilah aku sudah lantas loncat naik atas kudaku dan berangkat meninggalkan Pakkhia ini!"
Ditegur begitu, Lo Siau Hou menghela napas.
"Apa yang kau bilang adalah benar " ia menyahut. Ia tidak jadi gusar karena itu ucapan yang tajam, "Sama sekali aku bukannya tidak punya semacam niatan, hanya aku
tidak punya tenaga!"
"Rupanya semua tenagamu yang seperti harimau sudah
kena dihisap habis oleh itu naga," kata Lie Seng, yang campur bicara.
Kembali Siau Hou menghela napas.
"Benar," ia menyahut. "Sekarang ini, untuk urusannya Giok Kiau Liong, aku bisa loncat bangun dengan segera,
buat terjang ratusan ribuan orang! Tetapi, untuk urusan
lain, aku tidak berdaya ... "
"Rupanya kau telah kehilangan semangatmu," Lie Seng kata pula. Siau Hou tunduk, ia tidak menyahuti.
"Sungguh aneh!" Tay Po banting kaki. "Sudah banyak tahun aku Itto Lianhoa merantau, belum pernah aku
ketemu lain orang semacam kau! Siapakah yang belum
pernah lihat nona manis" Diandaikan semua orang ada
sebagai kau, niscaya semua hoohan telah mesti ditambat di ujung celananya orang perempuan ... "
Lie Seng tertawa.
"Sudahlah," ia bilang. "Kita tidak boleh persalahkan Hou-ya kita ini, sebab Giok Kiau Liong benar-benar ada
beda daripada nona-nona lainnya! Aku sendiri sayang tidak punya rejeki, jikalau tidak, akan bicara terus terang, aku si Hoa-gu-jie si Kerbau Belang, pasti aku pun merayap ke
gurun pasir, akan mendapat cium baunya si naga! Dan
andaikata, aku pun disia-sia, tentulah aku akan kehilangan juga semangatku! ... "
Pheng Kiu tolak sahabatnya itu.
"Kau masih punya semangat" Hm!" ia kata. "Hayolah!"
Lie Seng menurut, di saat ia membuka lopa-lopanya
sambil berseru, "Buka!" dari luar ada orang bertindak
masuk seraya berseru juga: "Buka apa" Apa kau sedang main sandiwara?"
Semua orang lantas angkat kepala, lantas mereka lihat
Toh Tau Eng, si Garuda Botak.
Tay Po lantas samperkan ini sahabat, siapa ia tahu ada
punya "kuping panjang", ada saja pendengarannya, hingga ia kuatir si botak ini nanti ngaco-belo, hingga Lo Siau Hou dengar apa yang tidak harusnya diketahui.
"Eh, Botak, mari sini, aku hendak bicara denganmu," ia kata.
Toh Tau Eng berdiam, dengan hidungnya, ia hembus-
hembuskan bau huncwee.
"Tidak usah kau tarik-tarik aku," ia kata. "Aku datang kemari bukan lain urusan daripada menolongi Lau jieso!
Jieso suruh aku cari kau, kau tahu" Tadi malam kau tidak pulang, jieso berkuatir. Dan ada lagi!" ia tambahkan. "Jieso benar-benar pandai, tidak percuma ia menjadi gadisnya satu pantau dan hidup di dalam perantauan! Sungguh ia pandai
mencari rahasia. Hampir setiap hari jieso main kartu
dengan tetangganya she Lie, engko-nya nyonya itu ada kaki dari keluarga Lou. Kau tahu, kabar apa jieso dapatkan" Ia dapat keterangan, sebenarnya Giok Kiau Liong telah kabur di harian pernikahannya, dan pada itu hari, satu bujang
perempuan, yang temani ia, telah rebah saja di
pembaringan, tidak bisa bangun, rupanya ia kena ditotok si nona! Giok Kiau Liong telah minggat, tetapi dua-dua
keluarga Lou dan Giok telah mesti mengodol saku, akan
tutup mulut orang, sedang kamar pengantin mesti terus
ditutupi kain merah, siapa juga dilarang masuk ke dalam
kamar itu, sebab itu melulu ada akal akan tutupi mata orang
... " "Apakah itu bukannya berarti si Lou yang gemuk
terokmok telah ikhlas hati akan pandang guling sebagal
isterinya?" tanya Tay Po sambil tertawa.
"Habis apa daya?" Toh Tau Eng jawab. "Pihak Giok telah mendesak keras sekali, akan minta anak daranya.
Kabarnya pihak Giok juga telah kirim banyak orang, akan
cari si nona, malah ada juga yang dikirim ke Sinkiang, siapa sampai sekarang masih belum kembali ... "
"Aku tak percaya!" Siau Hou menyelak. "Mana Kiau Liong mau minggat" Yang ia pandang sekarang adalah
pangkat, biarnya satu hoohan, kalau ia tidak berpangkat, ia tak akan pedulikan ... "
Tay Po nimbrung ketika pemuda itu berkata demikian.
"Jadinya," demikian katanya, "menurut kau, rupanya Giok Kiau Liong dan Lou Kun Pwee telah menikah
menjadi suami isteri" Dan karena mereka kuatir kau nanti mengacau, Giok Kiau Liong jadi berpura-pura sakit dan
tidak mau keluar pintu?"
Toh Tau Eng tertawa.
"Mustahil orang ada begitu tolol akan bertindak
demikian?" ia kata.
"Umpamanya itu benar?" Tay Po kata seraya banting kaki. "Hanya, siapa itu yang curi pedang mustika dari Tiat pweelek?"
"Itu ada pekerjaannya seorang lain!" kata Siau Hou.
"Kau barangkali ... "
"Aku?" Tay Po tegaskan. "Jikalau aku ada punya bugee sebagai Giok Kiau Liong, tidak nanti aku jadi seperti
sekarang ini! Yang benar adalah bahwa Giok Kiau Liong
sudah angkat kaki dari Pakkhia ini! Dan kalau kau ada satu
hoohan, kau mesti berangkat akan cari padanya, jangan
berdiam di sini saja seperti bangkai hidup! ... "
"Aku bukannya bangkai hidup hanya kau yang tidak
mau kasih aku pergi," kata Siau Hou.
"Jikalau aku lepaskan dan kau lantas pergi bunuh tiehu dari Sunthian, itu berarti yang kepalaku juga bakal copot,"
kata Tay Po. "Siapa tidak tahu yang itu hari pun aku yang lepaskan kau" Siapa tidak tahu bahwa kita ada dari satu
golongan" Di sebelah itu, aku pun ada terima pesanan dari Tek ngoya!"
Siau Hou lompat berjingkrak.
"Nyatalah aku hendak dibikin mati mendongkol!" ia
berseru. "Biar apa yang kau bilang, aku cuma mau tunggu sampai empat atau lima hari lagi, sampai puluhan panahku sudah selesai lantas aku mau pergi! Siapa pun tak dapat
merintanginya!"
Lau Tay Po bersenyum tawar.
"Panahmu itu, saudara," ia kata, "masih kalah dengan jarumnya isteriku! Lihat saja, tenda kereta saja tak dapat dibikin tembus! Apakah faedahnya itu" Paling juga panah
itu bisa dipakai menakut-nakuti burung gereja!"
Siau Hou banting-banting kakinya.
"Lihatlah nanti kalau sudah sampai saatnya!" ia berseru,
"Sekali ini, aku nanti bekerja dengan aku yang tanggung jawab sendiri, aku tak sudi ada orang yang kerembet! Dan aku juga tak ingin ada orang yang bantu atau tolong aku!
Siapa tolong atau bantu aku, dia akan merasa siksaan
seperti di neraka! Dan siapa juga, aku nanti caci maki habis-habisan!"
Tay Po awasi sahabat itu sambil bersenyum.
Toh Tau Eng bertindak, niatnya adalah turut berjudi
dengan Lie Seng sekalian, tetapi Itto Lianhoa lirik dan
kedipi padanya, maka ia batalkan niatannya, ia cuma
tertawa dan sesudah bikin keling secangkir teh, lantas ia berlalu lagi.
Lau Tay Po segera ikut ngeloyor keluar.
Lo Siau Hou pandang mereka dengan mata dibuka lebar,
kemudian ia duduk pula akan lanjutkan pembikinan panah.
Tidak selang lama, Tay Po telah kembali, ia terus naik ke pembaringan akan rebahkan diri, malah ia terus tidur pulas, hingga rautan bambunya Siau Hou terbang ke mukanya
dengan ia tak merasa ...
Ketika ia mendusin, Pheng Kiu justru baru saja kembali
habis membeli makanan, phia, daging dan arak hangat. Ia
lantas dahar, tetapi ia tidur pula, akan akhirnya mendusin sesudah langit menjadi gelap.
Lie Seng sekalian telah duduk bersantap sore.
Pheng Kiu, sehabisnya dahar niat pulang ke Lamshia,
Kota Selatan, maka Siau Hou pesan padanya, katanya:
"Kalau kau lewat di bengkel besi, kasih tahu supaya mereka lekas selesaikan itu ujung panah yang aku pesan. Minta
supaya mereka bikin cocok benar dengan contohnya,
jikalau tidak, aku tidak mau terima!"
Sambil manggut-manggut, Pheng Kiu janjikan akan
sampaikan pesanan itu.
"Mari kita pergi sama-sama," kata Tay Po. "Aku juga hendak pergi ke Lamshia."
"Dalam tempo empat hari, kau sudah mesti antarkan
panah itu padaku!" Siau Hou kata pula pada Pheng Kiu, selagi ia ini hendak pergi. "Nah, sampai kita bicara pula!"
"Oh, Hou-ya, kau harus berlaku adil!" Pheng Kiu bilang,
"Tukang besi ada tukang besi punya urusan, jikalau mereka bikin gagal, apa aku bisa bikin" Aku belum pernah belajar menjadi tukang besi ... "
Tapi Tay Po segera tarik sahabat ini buat cegah ia tarik urat dengan orang she Lo itu.
Sampai di situ, perjudian telah diberhentikan. Kedua
buaya darat telah menang dan ngelojor pergi sambil bersiul-siul, dan Lie Seng telah kalah habis-habisan, hingga ia
duduk bengong dengan pegangi lopa-lopa saja.
"Bagaimana dengan perjanjian kita kemarin ini?" Lo Siau Hou tanya Hoa-gu-jie. "Cukup buat kau asal kau bisa carikan aku sebatang golok dan antarkan aku ke depan
rumahnya Lou Kun Pwee di Sayshia, lantas kau tidak usah
campur tahu lagi! Kau boleh percaya aku, tak nanti aku
kasih diriku ditahan di sana! Setelah aku selesai bekerja, aku nanti cari dua orangku, kemudian aku akan berikan kau
limaratus tail perak! Aku ada punya uang banyaknya satu
tromol! Kedua orangku itu ada sangat setia padaku, tidak nanti mereka kabur dengan uangku itu, hanya mereka
barangkali sudah pindah dari pondokannya, cuma masih
tetap di dalam kota. Karena kau larang aku keluar pintu, mereka jadi tak dapat cari aku. Asal kita bertemu, kalau kau hendak pinjam uang, sampai seribu pun aku nanti berikan!"
"Hou-ya, bicaralah
sedikit perlahan,"
Lie Seng memohon. "Boleh jadi Lau looya berada di belakang
jendela sedang mendengari pembicaraan kita ... "
Siau Hou tidak percaya itu, ia bersenyum menyindir.
"Jangan tertawa, Hou-ya," Lie Seng kata. "Kau tidak takut, tetapi aku takut benar padanya, jikalau aku berbuat salah, ia pasti akan hajar padaku, malah selanjutnya, buat di kota Pakkhia ini, jangan harap aku bisa hidup akan
mencari makan pula! ... Meski begitu, aku juga tidak
sekaker, hanya aku merasa, adalah kurang tepat yang
mereka tahan kau secara begini ... "
"Aku menurut saja melulu karena aku tidak ingin bikin rusak persahabatanku dengan ia!" kata Siau Hou dengan sengit. "Aku juga memandang pada Tek ngoya, hingga aku terpaksa mesti berlaku sabar. Bila tidak demikian, kau yang cuma beberapa gelintir, mana sanggup cegah aku berlalu
dari sini?"
"Aku tahu, Hou-ya," sahut Lie Seng. "Aku berani sumpah, di mana tinggalnya Lou hanlim di Sayshia, aku
tidak tahu. Tadinya pun aku tidak pernah cari tahu
alamatnya hanlim itu, dan selama ini aku senantiasa
menemani kau, aku jadi tidak dapat ketika akan
menyelidiki. Sekarang ini pun ada berbahaya membicarakan atau mencari tahu halnya Giok cengtong
atau Lou hanlim, siapa sebut nama mereka itu, ia tentu
akan dicurigai. Di Siupie Hoo-tong di Saypo aku ada punya satu kenalan baik yang dijulukkan Toa Lohok ... "
"Apa kerjanya sahabatmu itu?"
Ia adalah bunga berjiwa yang merdeka," Lie Seng kasih tahu. "Tadinya ia ada bersahabat rapat dengan aku. Kalau kita bisa pergi ke sana, untuk mcncari keterangan, jangan kata alamatnya si orang she Lou, bahkan juga kita akan
ketahui urusannya si nona Giok sendiri. Hanya, kau harus ketahui, dengan tidak punya uang, orang tidak bisa masuk ke rumahnya Toa Lohok itu! Dan ini hari, aku telah kalah habis-habisan!"
"Itu ada perkara kecil!" kata Lo Siau Hou, yang terus rogoh sakunya.
Bajunya orang she Lo ini, sejak ia serang jolinya Kiau
Liong, belum pernah ditukar atau dicuci, akan tetapi ketika
tangannya ia tarik keluar, bersama tangannya itu ada keluar beberapa lembar uang kertas bank masing-masing dari
limapuluh tail sehelainya, begitupun beberapa butir batu indah dan mutiara, hingga Lie Seng lantas saja
menghamparkan dan dengan bantuannya api telah pandang
itu sambil mendelong.
"Oh, Hou-ya, kau benar-benar ada punya banyak uang!"
ia kata dengan kekagumannya, "Cara bagaimana kau telah peroleh kekayaanmu ini?"
"Selama di gurun pasir aku telah menjadi Poan Thian In, meskipun demikian, sudah lama aku telah cuci tangan," Lo Siau Hou kasih keterangan. "Dan kekayaanku ini aku
peroleh dari hasilnya perusahaan kuda. Di Sinkiang, piara kuda ada gampang, menjualnya pun gampang sekali. Dan
berdagang dengan bangsa Hoan, di sebelahnya uang, orang
pun gunakan segala macam barang permata. Begitulah aku
ada punya batu miau-jie-gan, yang kapan ditaruh di dalam kamar, bisa menerbitkan cahaya terang hingga kita boleh
tak usah pakai lampu lagi. Batu itu aku telah hadiahkan
kepada satu sahabatku, tetapi nanti, aku bisa ambil pulang, untuk diperlihatkan kepadamu."
Lie Seng ulur lidahnya.
"Itu toh Ya-beng-cu, mutiara malam, Hou-ya?" ia kata.
"Oh, pantasnya kalau Giok Kiau Liong, satu ciankim
siocia, sampai jatuh hati padamu, kiranya kau ada punya
tumpukan barang berharga!
Baiklah, asal ada selembar uang, selembar itu tak akan
habis dipakai! Nah, Hou-ya, mari aku antar kau pada
Lohok!" Tidak buang tempo lagi, Lie Seng pakai sepatunya dan
rapikan bajunya, sedang kuncirnya pun ia periksa.
"Sudah siap, Hou-ya!" ia kata.
Lo Siau Hou padamkan api.
Keduanya lantas berjalan keluar. Langit ada gelap, tetapi di atas itu ada tertampak si Puteri Malam serta dayang-dayangnya, sang bintang.
Dari seberang ada terdengar suaranya suling, mendengar
itu, Siau Hou menghela napas panjang.
"Dalam ini satu hal kau ada terlalu lemah, Hou-ya," kata Lie Seng pada kawannya itu. "Apabila kau pisahkan diri dari Giok Kiau Liong, mustahil kau tak akan jadi manusia"


Harimau Mendekam Naga Sembunyi Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tapi janganlah putus asa! Mari kita lihat Toa Lohok, aku tanggung matanya Tie Pat Kay tentulah akan bersinar-sinar!
... " Meskipun ia mendengar demikian, hatinya Siau Hou tak
jadi terbuka, ia tetap ada berduka.
Di lengah jalan, Lie Seng minta sehelai uang kertas bank pada Siau Hou, yang mana ia bawa ke satu cianchong buat
ditukar dengan uang perak, maka dengan sebelah tangan
menyekal sebungkus uang, yang harganya besar, ia bisa
bertindak dengan gagah. Ia terus jalan di muka, masuk gang dan keluar gang, sampai ia berhenti di depannya satu
rumah dengan pintu papan yang bobrok. Dengan sekali
tolak, daun pintu lantas menjeblak.
Siau Hou berdiri di muka pintu, dengan bersangsi.
"Jangan likat-likat, Hou-ya!" Lie Seng berkata. "Malah di sini kau mesti bawa aksi, atau nanti mereka itu tidak
pandang mata padamu, hingga ada sukar untuk kita korek
keterangan dari mereka!"
Pemuda itu ambil putusan dengan cepat, ia bertindak
masuk dengan angkat dada.
Pekarangan adi sempit, di dalam ada terdapat empat
atau lima kamar. Dari semua kamar itu ada menyorot sinar api.
Selagi bertindak, Lie Seng kasih dengar dehemnya, ia
batuk-batuk. "Siapa?" segera terdengar pertanyaan dari dalam. Itu ada suaranya orang perempuan. "She Thio atau she Lie, harus perkenalkan diri dahulu, jangan lancang ... "
Lantas kelihatan bayangan orang bergerak-gerak, tetapi
tidak tegas. "Aku yang datang!" kata Lie Seng seraya menghampiri pintu. "Baru sepuluh hari aku tidak muncul, lantas kau tidak kenalkan orang sesama kampung!"
"Oh, Hoa-gu-jie?" tanya suara perempuan dari dalam.
"Selama ini kau nyangsang di pohon mana saja" Kiranya kau masih hidup, eh" Kiranya kau masih kenal ini rumah!
Nyata kau ada baik! Silahkan masuk!"
Suara itu ditutup berbareng sama terpentangnya daun
pintu. Dengan bungkusan uangnya di tangan, Lie Seng
bertindak masuk sambil tertawa ha-ha-hi-hi. Di belakang ia ada mengikuti Lo Siau Hou, yang jalan sambil tundukkan
kepala. Orang yang membuka pintu terperanjat melihat orang
yang di sebelah belakang ini, sampai ia keluarkan jeritan tertahan. Tapi segera ia tertawa dan tanya: "Apakah kau ada ajak-ajak setan" Kenapa, kumis dan brewoknya begitu
panjang" ... "
"Ini ada aku punya Hou-ya!" sahut Lie Seng dengan cepat. "Jangan kau tidak lihat mata padanya! Hou-ya
sedang tidak gembira, maka sudah setengah bulan lebih ia tidak pernah cukur, apabila ia sudah dandan, hm, ia ada
satu pemuda yang cakap dan ganteng!"
Habis kata begitu, ia lempar bungkusan uang ke atas
meja, sampai uang perak itu perdengarkan suara, sedang ia sendiri lantas jatuhkan diri atas sebuah kursi.
Orang perempuan itu lekas menyuguhkan teh.
"Hisap huncwee?" ia pun menanyakan.
"Aku dan Hou-ya tak mempunyai semacam kesukaan,"
sahut Lie Seng.
"Apa, she Hou?" tanya perempuan itu. "Pantas ia beroman bengis sebagai harimau ... "
Ia angkat tangannya, akan usap-usap mukanya Siau
Hou, hingga si orang she Lo tolak padanya meskipun
dengan perlahan, ia toh lantas jatuh ke atas pembaringan.
Tapi, meski kaget, ia teruskan sekalian angkat naik kedua kakinya, akan perlihatkan sepasang sepatunya yang merah
warnanya. Siau Hou tak menjadikan tergiur, meskipun ia lihat
sepatu yang indah itu dan tingkahnya yang centil,
sebaliknya, ia merasa jemu. Ia lantas berpaling ke lain
jurusan. Perempuan itu terkejut.
"Kenapa eh?" ia tanya.
Lie Seng mendekati, ia kata dengan perlahan: "Ia ada satu hartawan, tetapi adatnya ada sedikit aneh. Kau harus berlaku sabar terhadap ia. Ia ada punya batu mustika mata kucing ... "
Perempuan itu manggut, ia awasi pula Siau Hou.
Poan Thian In jatuhkan diri atas sebuah kursi, sampai
kursi itu menerbitkan suara karena tubuhnya yang berat dan kursi itu sudah berusia tinggi ...
Rumah ku ada sempit, hawa udara ada mengkedus.
Perempuan itu lekas-lekas ambil kipas, buat diserahkan
pada tetamunya, siapa pun berbareng ia lirik.
Siau Hou sambuti kipas itu, tetapi ia tetap perlihatkan
roman guram. Selagi mengipas, ia lihat ada surat pada kipas itu, maka ia lantas memperhatikan. Itu adalah syair, "Tidur di musim semi tak merasakan fajar". Kipasnya sendiri pun ada indah.
Si nona kira tetamunya ada mengerti surat.
"Apakah kipas itu indah, Hou looya?" ia tanya. "Ini ada kipas yang adik perempuanku dapat dari sahabatnya, satu
pemuda hartawan, katanya kipas ini berharga seratus tail perak ... "
"Kau jangan kuatir," Lie Seng kata. "Biar harganya itu seribu tail, kalau Hou-ya kena bikin rusak kipasmu, ia akan ganti!"
Itu nona tertawa.
"Aku bukannya kuatirkan kipasku rusak, hanya aku
mengasih tahu hal ikhwalnya kipas ini," ia kata. "Jangan kau gertak aku dengan hitung ribuan, kedua mataku
bukannya mata duitan, uang beberapa ribu, aku pernah
lihat! ... "
Mendengar ucapan gagah itu, dengan tak merasa Siau
Hou mengawasi nona itu, hingga sekarang ia bisa lihat
nyata potongan dan rupa orang.
Nona ini berumur kira-kira duapuluh tahun, meski
kulitnya hitam tetapi ia tidak jelek, pipinya montok,
romannya cukup manis. Ia pakai baju ungu dengan celana
hijau. Rambutnya ada hitam mengkilap. Ia pakai sepasang
anting-anting. "Apakah kau tahu rumahnya keluarga Lou hanlim?"
akhirnya Siau Hou tanya setelah ia minum tehnya.
Lie Seng berkuatir buat itu kesembronoan, ia lekas
melirik. Nona itu agaknya tercengang.
"Apa?" ia tegaskan.
"Hou-ya-ku ini datang ke kota raja untuk mencari
sahabatnya," Lie Seng lekas talangkan menjawab. "Ia ada punya misan, yang menjadi pengurus rumah di gedungnya
Lou hanlim. Lou hanlim itu ... Eh, ya, apa kau ada dengar halnya puteri dari Kiubun Teetok Giok cengtong" ... "
Nona itu agaknya terperanjat, tetapi ia lekas menjawab.
"Aku tahu sudah! Kau tentu maksudkan Lou sielong ...
Pada bulan yang lalu, keluarga itu ada merayakan
pernikahan, tetapi waktu pengantin perempuan sampai,
nona pengantin lantas saja muntahkan ilar dan pingsan,
katanya ia terganggu oleh siluman rase ... "
"Eh, apa yang kau orang bicarakan?" tiba-tiba nyeletuk suara dari rumah sebelah. Itu ada suaranya orang
perempuan, yang sembari tertawa. "Katanya di sana
memang ada gangguan siluman rase ... "
Lie Seng terkejut.
"Siapa dia?" ia tanya si nona.
"Ia adalah adikku ... "
"Oh, kau benar ada punya adik" ... "
"Bukan adik kandung, hanya adik angkat. Ia ada lebih senang dari pada aku."
"Siapakah namanya?"
"Cui Sian, tetapi orang panggil ia Siau Heebie ... "
"Siau Heebie ketemu Toa Lohok, sungguh makanan
yang lezat!" kata Lie Seng sambil tersenyum. "Tolong kau ajak ia datang kemari buat ia belajar kenal dengan Hou-ya-ku ini ... "
Nona itu tertawa seraya tangannya mencubit Lie Seng,
tetapi meski begitu, ia memanggil: "Adikku, mari sini! Di sini ada satu Hou-ya, ia dengar suara kau, ia ingin ketemu dengan kau!"
Perempuan di sebelah itu tertawa.
"Apa Hou-ya itu harimau?" katanya "Aku pernah lihat srigala dan anjing, tidak pernah harimau ... Tunggu
sebentar, nanti aku datang untuk melihat ... "
Lo Siau Hou lantas menoleh ke pintu, tetapi si nona
yang ditunggu-tunggu tidak lekas muncul.
"Jangan terlalu banyak berpupur!" Toa Lohok kata sambil tertawa.
Dari sebelah ada suara tertawa, yang menyambuti.
Sekarang Siau Hou tidak usah menunggu lama. Pertama
terdengar suara pintu di sebelah, kemudian suara pintu di sini, dan akhirnya, muncullah satu nona dengan pakaian
dadu, mukanya kecil, pinggangnya langsing. Tapi, baru saja ia bertindak masuk, ketika ia lihat Siau Hou, ia merandek sambil unjuk roman kaget, matanya terus mengawasi jago
dari gurun pasir itu. Wajahnya pun segera menjadi pucat.
"Ayoh! Aku kenali dia! Dialah yang telah memanah joli di depan rumahnya keluarga Giok. Dia ada satu penjahat!
... " Bukan main gusarnya Siau Hou, hingga dengan kipasnya
ia menimpuk nona itu, siapa dalam kagetnya terus rubuh.
Siau Hou lompat bangun, matanya mendelik, mukanya
merah, tanda dari kemurkaan.
Lie Seng pun loncat bangun, akan menghalau di
depannya pemuda ini.
Toa Lohok juga kaget, ia lari pada adiknya.
"Jangan gusar, jangan gusar, Hou-ya ... " ia kata. Ia lantas angkat bangun adiknya itu. Ia pun dapat lihat
kipasnya. "Oh, kipasku rusak! ... " ia mengeluh.
Nona yang diserang itu lantas saja nangis, sambil tutupi mukanya, ia lari keluar.
Siau Hou hendak lantas berlalu, tetapi Lie Seng cegah ia.
"Jangan pergi," kata sahabat ini. "Walaupun ia kenalkan kau, ia tak bakal bikin banyak berisik. Berilah ia uang buat tutup bacotnya ... "
Tapi Siau Hou lompat berjingkrak.
"Buat apa kasih uang padanya?" ia berseru. "Biar ia pergi uwarkan tentang aku! Aku tidak takuti siapa juga!"
Perempuan tadi berdiri di pekarangan di mana ia
menangis. Pintu pekarangan terdengar terbuka, lantas menyusul
suaranya seorang lelaki, katanya:
"Ada apa, eh" Kenapa kau menangis" Siapa ganggu
padamu?" "Di dalam, ada satu penjahat! ... " kata nona itu. "Ia pukul aku dengan kipas."
"Apa" Penjahat?" berseru orang lelaki itu. "Di dalam kota raja, aku tidak takuti penjahat! Nanti aku panggil polisi!"
Sementara itu Siau Hou sudah tolak Lie Seng, hingga ia
bisa loncat ke luar, memburu ke pekarangan, pada itu orang lelaki, yang bertubuh kecil. Dengan tiada kata apa-apa, ia menyerang, hingga orang itu rubuh tanpa berdaya.
Perempuan tadi ketakutan, ia lari ke pojok. Lohok juga
turut menyingkir.
Lelaki itu merintih, ia merayap bangun.
"Ho toaya, lekas lari!" Lohok serukan. "Lekas menyingkir! Jangan kau layani padanya!"
"Apa ia berani bikin terhadap aku?" kata si lelaki kurus itu, tetapi napasnya termenge-menge. "Ayahku pernah jadi tiehu! Aku sendiri ada bekerja di hengpou! Giesu dari
Lamshia pun ada kanda angkatku! Oh, makhluk celaka, kau
berani berbuat sewenang-wenang di kota raja ini" Kasih
tahu, apa kau punya she?"
"Looya-mu she Hou!" sahut Siau Hou dengan berani.
Sembari kata begitu, ia ayun sebelah kakinya, atas mana
orang she Ho itu menjerit pula, tubuhnya rubuh terguling, tubuh itu rebah di tanah seperti mayat ...
Lie Seng ketakutan bukan main, ia lari ke dalam akan
sambar uangnya, setelah mana ia lari pula keluar.
"Hou-ya," ia kata, "mari lekas kita mesti pergi dari sini!
... " Dan, separuh merayap dan separuh mendorong, ia ajak
pemuda itu berlalu dari rumah tersebut.
"Hou-ya, seranganmu terlalu hebat,"' kata ia sambil menghela napas lega. "Cukup kau berikan ia bogem
mentah, kenapa kau pun berikan tendangan pula" Kalau ia
mati, cara bagaimana kau bisa loloskan diri" Aku si Hoa-gujie juga sukar untuk tolong diri ... "
"Aku benci padanya!" kata Siau Hou dengan sengit.
"Kenapa she-nya sama dengan she dari musuhku?"
Lie Seng melengak, ia lantas tidak berani banyak bicara
pula. Berdua mereka jalan di jalan besar, lewatkan beberapa
gang. Sekarang Siau Hou jalan di depan. Tiba-tiba Hoa-gujie rasa ada orang joroki padanya, hingga ia jatuh
tengkurep, bungkusan uangnya terlempar dari tangannya.
Ia jatuh sampai ia menjerit.!
"Kenapa, eh?" tanya Siau Hou sambil menoleh.
"Entah siapa sudah joroki aku dari belakang ... " sahut Lie Seng.
Siau Hou terkejut, ia segera celingukan.
Di langit cahaya rembulan tidak cukup akan menerangi
seluruh jagat, apa pula di itu jalanan dengan banyak gang.
Di situ tidak ada bayangan orang sekalipun.
"Kau ngaco!" ia kata dengan tak percaya. "Kau tentunya tak lihat batu di kakimu!"
Lie Seng merayap, tetapi ia bukannya terus bangun,
hanya dengan kedua tangannya, ia meraba-raba jalanan.
"Jangankan batu, bungkusan uang juga tidak ada! ... "
kata ia kemudian. Ia masih saja mencari. "Ah, ke mana perginya kantong uang itu" Aku merasa ada orang joroki
aku tetapi aku tak lihat ada orang yang pungut itu kantong uang! ... "
Siau Hou kembali memandang ke sekitarnya.
"Kau ngaco!" ia kata pula. Tapi sekarang ia memandang ke tanah, akan bantu cari kantong uang itu.
Lie Seng menjadi gusar, ia cabut pisau belatinya.
"Pasti ada pancalongok di sini!" ia kata dengan sengit, tetapi dengan perlahan. "Aku nanti tunggu di sini, Hou-ya tolonglah kau pulang buat ambil api, sekalian bawa
senjatamu. Di rumah kita, di atas penglari, aku ada
sembunyikan sebatang golok poktoo, Lau Tay Po larang
aku kasih tahu padamu, tetapi pergi kau ambil itu dan lekas kembali ke sini. Kalau kau telah bawa api dan uang di sini tetap tidak ada, pasti ada orang yang sudah main gila
terhadap kita!"
Lo Siau Hou berpikir, lantas ia berlalu. Dengan cepat ia telah sampai di Cek-sui-tha, ia menuju ke utara, sampai di tembok gugur. Tapi di sini ia tiba-tiba dapat pikiran baru, ia tidak terus tolak pintu, hanya mengintip dulu di tembok
bolong ... Di kamar timur ada cahaya api, ia tahu tentu ada orang
yang sudah pulang. Maka ia lekas buka sepatunya, dengan
hati-hati naik di tembok. Ia jatuhkan diri ke dalam
pekarangan dengan tidak terbitkan suara apa-apa. Ia lihat bayangan orang di kamar timur itu, ia pun dengar suara
orang bicara, cuma tidak terang. Ia bertindak berindap-
indap mendekati, akan terus pasang kupingnya.
"Di kantor mana juga, tidak ada keterangan yang bisa didapatkan, demikian ia dengar. "Ini urusan benar aneh.
Apa bisa jadi Anglian Gui Sam ada mendendam sakit hati
terhadap nona itu" Apa benar dia telah berbongkol dan
bekerja sama-sama kawannya yang menyamar jadi polisi
palsu, akan bekuk nona itu, buat terus diangkut pergi
dengan kereta, untuk dibikin celaka dan dibinasakan di lain tempat?"
Siau Hou mendengar dengan nyata, ia kaget.
"Siapa itu yang ditangkap?" ia menduga-duga.
Ia pasang kuping lebih jauh, hingga ia kenalkan suaranya Yo Kian Tong:
"Aku percaya selama ini Giok Kiau Liong tidak
meninggalkan kota raja," kita ia. "Ini hari ada datang orang dari Pooteng, dia ada omong tentang seorang bernama
Liong Kim Cun. Barangkali Liong Kim Cun itu bukannya
Giok Kiau Liong. Aku percaya Giok Kiau Liong telah
mondok di rumahnya Anglian Gui Sam, lantas Gui Sam
dapat pikiran jahat, dan kasih kisikan pada pembesar negeri dan lantas bekerja sama-sama, hingga si nona kena
ditangkap ... Boleh jadi ... "
Piausu tua itu berhenti dengan tiba-tiba.
Siau Hou merasa bahwa ia telah kepergok, maka ia
segera loncat naik ke atas genteng, buat dari situ lari ke jurusan luar, ke arah barat.
Yo Kian Tong sudah lantas muncul dengan golok di
tangan. Siau Hou lari belum ada seratus tindak ketika ia
bersomplokan dengan seorang, yang muncul dari tikungan
gang, maka orang itu menjerit dan tubuhnya rubuh. Tapi ia ini terus merayap bangun seraya berkata: "Oh, Hou-ya! ...
Uang kita benar-benar hilang, dirampas orang! Seberlalunya kau, entah dari mana, satu orang samperi aku ... Ia tidak kata apa-apa, tahu-tahu ia telah gaplok aku sekali dan
dupak sekali juga! Dan dupakanuya ada liehay sekali ... "
Bukan main mendongkol dan gusarnya orang she Lo ini.
"Nanti aku lihat!" ia kata dengan sengit.
Justru itu, Lau Tay Po sampai bersama-sama Yo Kian
Tong, dan orang she Lau itu segera cekal tangannya Poan
Thian In. "Jadinya kau?" kata Itto Lianhoa. "Kau yang curi dengar pembicaraan kita! Kenapa kau menyingkir?"
Siau Hou berpura-pura pilon.
"Aku curi dengar pembicaraan?" kata ia. "Tapi, mari lekas! Di gang sana ada orang jahat! Dia telah rampas
uangnya Lie Seng lima-puluh tail perak dau Lie Seng pun
telah digampar dan ditendang!"
Tay Po melengak bahna heran.
"Lie Seng ada punya limapuluh tail perak?" ia tegaskan.
"Memang!" berseru Hoa-gu-jie. "Itu ada uangnya Houya, uang kertas yang baru saja ditukarkan! Kita telah pergi ke rumahnya Toa Lohok, uang itu tidak dipakai, lantas kita pulang kembali, ketika kita sampai di gang sana, aku lantas ada yang joroki sampai aku jatuh!"
"Hayolah!" kata Tay Po seraya ia angkat goloknya.
"Hayo antar aku ke gang sana, aku nanti carikan uangmu itu! Aku mau lihat, siapa yang berani main gila! ... " Tapi ia menoleh pada Yo Kian Tong, seraya berkata: "Tuako,
tolong kau ajak Hou-ya pulang!

Harimau Mendekam Naga Sembunyi Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

... " "Kau pergi seorang diri, tidak bisa," kata Siau Hou. "Aku nanti bantu kau!"
Tay Po tidak menyahuti, hanya dengan seret Lie Seng, ia
menuju ke barat.
"Mari kau turut aku," kata Yo Kian Tong pada Poan Thian In. "Ada banyak yang aku hendak bicarakan
padamu." "Toako, di sini saja kau bicara," kata Lo Siau Hou. "Di sini tidak ada lain orang."
"Kau telah dipedayakan, kau ditahan di dalam rumah, sebenarnya aku merasa tidak enak hati," kata Kian Tong dengan perlahan.
"Aku ketahui itu," sahui si anak muda. "Secara begini aku diperlakukan, hingga aku merasa ada terlebih baik
untuk aku mendekam dalam penjara saja ... "
"Perlahan sedikit," kata Yo piautau, seraya tekan bahu orang. "Aku nanti kasih keterangan pada kau. Kau tidak bisa persalahkan Lau Tay Po. Ia tahu kau beradat keras, ia kuatir kau nanti terbitkan onar pula, sedang itu ada
mengenai kepentingannya sendiri. Ia kuatir bahwa di
Pakkhia ini ia nanti sukar angkat pula dirinya. Tek ngoya juga tentu merasa sukar dan bersusah hati apabila kau
menampak bahaya, sebab ia tak punya tenaga guna
menolongi kau. Kau harus ketahui, mengetahui riwayat
keluarganya, Tekngoya ada sangat gusar. Tadinya adikmu
tidak percaya bahwa kau adalah engko-nya malah ia gusar
kau telah lukai Bun Hiong, hingga ia benci sangat
kepadamu, tetapi Tek ngoya percaya keteranganmu, Tek
ngoya telah bisa kasih mengerti pada nona mantunya,
hingga kesudahannya, nona itu pun percaya kau sebagai
engko-nya, hingga ia telah menangis kapan ia ingat lelakon keluarganya itu. Lukanya Bun Hiong pun sudah sembuh,
dan ia tak mendendam sakit hati. Sekarang ini mereka itu telah nyatakan, malah kapan saja, asal kau ada punya
ketika, kau boleh datang pada mereka itu, untuk pasang
omong. Tek ngoya pun telah bilang padaku, karena Yo Pa
sudah menutup mata siang-siang, maka sekarang kau
adalah turunan satu-satunya dari kaum keluargamu, dan
itu, kau harus bisa hargakan dan jaga dirimu."
Siau Hou berdiam, tetapi ia menghela napas dengan
duka. Yo Kian Tong bicara pula, sekarang mengenai Giok
Kiau Liong, yang orang telah tawan, hanya keterangan
adalah menurut hasil penyelidikannya Lau Tay Po.
Kemudian ia tambahkan: "Tadi siang ngoya telah kirim orang ke Lamshia, buat mencari tahu, tetapi ia tak dapatkan hasil. Tentu saja, urusan ini ada penting dan kita mesti selidiki terus, cuma kita harus bekerja dengan sabar, jangan sembrono. Aku berani tanggung, apabila Giok Kiau Liong
terjatuh di tangannya pembesar negeri dan ia dijebloskan ke dalam penjara, jiwanya tidak akan terancam bahaya. Ia
bukannya satu pembunuh, ia pun bukannya penjahat
besar." Siau Hou tidak kata apa-apa, ia cuma menghela napas,
beberapa kali ia membanting kaki.
Segera juga terdengar caciannya Lau Tay Po, yang balik
dari barat. "Celaka benar itu penjahat! Ia ketahui Lau Tay Po
datang, ia tak berani muncul! Dasar kau yang terlalu
sembarangan, Hou-ya, uang limapuluh tail perak kau
kasihkan Hoa-gu-jie yang pegang! Mana ia bisa dipercaya
habis?" Yo Kian Tong maju buat cegah Tay Po ngoceh terus.
"Jangan bicara keras-keras," ia kata, seraya ia terus ajak mereka ke pondokan.
Sudah sampai di dalam rumah, Lie Seng masih
menggerutu, hatinya pun panas. Ia sangat sayangi itu uang, dan ia masih rasakan sakit bekas tangan dan kakinya si
"pancalongok" yang tidak dikenal. Ia lantas naik ke atas pembaringan dan rebahkan diri.
Tay Po masih menggerutu, tetapi kemudian ia bantui Yo
Kian Tong membujuki Lo Siau Hou, siapa ada sangat
berduka berbareng mendongkol, air mukanya guram. Ia
mendelong saja, sepatah kata pun ia tidak ucapkan. Cuma
kadang-kadang saja ia manggut buat kata-katanya Yo Kian
Tong. "Kalau umpama Giok Kiau Liong keluar pula dan ia
datang kemari, tidak nanti ia mau pedulikan kau, Hou-ya,"
kemudian kata Tay Po sambil tertawa. "Ia tentunya anggap Hou-ya sangat tak punya guna: Memangku pangkat tak
bisa, membalas sakit hati orang tua belum mampu! Dan
pada harian pernikahan, di waktu penyambutan pengantin,
kau pun telah lakukan perbuatan yang memalukan!
Umpama aku yang menjadi Kiau Liong, aku pun tentu tak
akan pedulikan lagi padamu! Kenapa dikuatirkan di kolong langit ini tak ada lain perempuan elok" Hou-ya, pikiranmu terlalu cupat! Bukankah pepatah bilang, isteri tak sebagai gundik, gundik tak sebagai moler, dan moler janganlah
dilanggar. Apakah kau memang ingin icipi apa-apa yang
terlarang?"
Siau Hou goyang kepala, mulutnya ia tutup rapat, cuma
dari hidungnya keluar hawa napasnya.
Itu waktu di luar ada terdengar tindakan kaki halus.
Yo Kian Tong dengar itu suara, ia cegah Tay Po bicara
terus, ia berbangkit.
"Aku," sahut suara dari luar. "Oh, toako, kau pun ada di sini?"
Lantas pintu terbuka dan Coa Siang Moay muncul di
antara mereka. Ia ini ada pakai baju hijau dan celana merah dengan wajah berseri-seri.
Siau Hou likat sendirinya hingga ia merasa duduk salah,
berdiri pun salah. Tapi Siang Moay dengan tidak malu-
malu lantas memanggil ia: "Lo toako!"
Kemudian nyonya itu tarik lengan suaminya.
"Mari pulang!" ia mengajak.
Tay Po melongo.
"Ada urusan apa, eh?" ia tanya, "terangkanlah dahulu ...
" Segera juga nyonya bekas tukang dangsu itu perlihatkan
roman sungguh-sungguh. Ketika ia bicara pula, ia ada
beraksi dengan tangan dan kakinya.
"Tidak lama dari perginya kau tadi, selagi aku bercakap-cakap dengan enso Tek Lok, ada orang ketok pintu mencari aku. Kau tahu, siapa orang itu" Tatkala aku membukakan
pintu, aku lantas berhadapan dengan Jie Siu Lian!"
Tay Po terperanjat, bukan karena takut, hanya saking
heran. "Oh, ia datang?" kata ia dengan kegirangan.
Siang Moay tidak jadi pergi, hanya ia pergi berduduk di
pinggiran pembaringan.
"Kau ada banyak baik, enso?" tanya Lie Seng seraya ia bangun.
Siang Moay manggut pada sahabat dan suaminya itu.
"Bukan melainkan Jie Siu Lian yang datang, juga Sun toako!" demikian katanya pula. "Dan kabarnya, juga Lie Bou Pek?"
Tay Po lantas unjuk roman girang.
"Aku mesti ketemu mereka!" ia kata dengan gembira.
"Mereka baru saja datang," Siang Moay terangkan lebih jauh. "Entah di mana berdiamnya Lie Bou Pek, Sun toako sudah lantas pulang ke Tayhin Piauwkiok Jie Siu Lian aku ajak tinggal di rumah kita."
"Itulah terlebih baik pula!" kata Lau Tay Po. "Selama ini aku tidak berani pulang akan berdiam di rumah, dengan
adanya ia sebagai tamu kita, hatiku menjadi tenteram!"
"Tetapi orang tidak bisa tinggal di sini buat selama-lamanya," Siang Moay kata. "Ia datang kemari pertama
untuk pembalasan sakit hati dari Teksiau-naynay dan kedua buat cari Giok Kiau Liong. Nyata benar yang Giok Kiau
Liong, satu kali pernah berlalu dari Pakkhia ini, malah
dengan ajak budaknya perempuan dan seekor kucingnya,
dandanannya adalah lelaki bukan dan perempuan bukan,
dan ia pakai nama, Liong Kim Cun. Buat satu bulan
lamanya ia telah perlihatkan kebinalannya diluaran, apa
saja ia berani lakukan. Begitulah dengan Lie Bou Pek ia
telah bertempur tiga kali. Paling belakang ia telah datang ke Kielok, ke rumahnya Jie Siu Lian. Oleh Siu lian ia
disambut dengan baik, ia diundang masuk, diajak
bersahabat, tetapi ia sebaliknya berlaku kasar, ia bikin orang habis sabar, hingga ia dikepung, dikepung bertiga oleh Jie Siu Lian, Lie Bou Pek dan Sun Ceng Lee. Ia ada sangat
licin, pada akhirnya, ia tak dapat ditangkap, ia lolos dan kabur."
Begitu tertarik adanya Lo Siau Hou, hingga ia berbangkit dengan angkat dadanya.
"Sungguh gagah!" ia kata dengan nyaring.
Tay Po melirik pada itu jago dari gurun pasir. Tapi ia
terus dengar isterinya.
"Rupanya sehabis dikepung-kepung di sana, Giok Kiau Liong kabur ke Pakkhia sini," berkata Coa Siang Moay,
"tetapi apa lacur, di sini ia terjatuh dalam jebakannya Anglian Gui Sam. Aku lihat, dalam halnya itu, Kiau Liong sudah berlaku sembrono. Di sungai besar, dalam lautan, ia bisa mengacau, maka mustahil sekali, di kali kecil, ia boleh tenggelam kelelap" ... "
Mendengar ini, Siau Hou nampaknya ada gusar.
"Mengenai Giok Kiau Liong itu, Jie Siu Lian menduga dua rupa," nyonya Tay Po melanjutkan. "Atau ia dibikin celaka oleh Gui Sam atau telah dijual ... "
"Siapa yang bisa jual Kiau Liong?" kata Tay Po. "Dan siapakah yang berani beli padanya?"
"Jie Siu Lian telah nyatakan hendak menolong Giok
Kiau Liong," Siang Moay cerita lebih jauh. "Ia kata, kalau si nona dapat ditolong, ia tidak boleh dilepaskan, ia hanya mesti diantar pulang pada orang tuanya. Tapi, andaikata
Kiau Liong jatuh di tangan pembesar negeri, itulah ada
baiknya. Ia anggap pantas kalau Kiau Liong diajar adat!"
Siau Hou kepal tangannya, ia niat buka mulutnya, tetapi
Coa Siang Moay telah dahului ia. Nyonya Tay Po kata:
"Meski bagaimana, baiklah besok kita mulai bekerja untuk cari tahu di mana adanya Giok Kiau Liong, untuk dapat
keputusan, ia masih hidup atau sudah mati. Pedangnya juga mesti dicari lahu jatuh di dalam tangan siapa, karena itu ada pedang mustika!"
"Begitu paling baik," Tay Po sambut isterinya.
Kemudian ia menoleh pada Siau Hou seraya kata: "Kau sudah dengar, Hou-ya" Lihat, sekarangpun Lie Bou Pek
dan Jie Siu Lian telah datang ke sini. Nyatalah, naga dan harimau telah berkumpul di kota raja ini! Aku percaya,
dalam tempo tiga atau lima hari, tentang Giok Kiau Liong akan sudah ada kabarnya, setelah itu kita nanti pikir pula,
kita tolong padanya atau antap saja. Dalam halnya si nona itu, Hou-ya, kau pun mesti unjukkan dirimu ... "
Tetapi Lo Siau Hou goyang kepala.
"Aku tidak mau unjukkan diri." ia kata dengan keras.
"Meski begitu, aku tetap masih berkuatir, Hou-ya ... "
kata Tay Po, yang terus menoleh pada Yo Kian Tong dan
kata: "Toako, kau baik pergi bersama teehu-mu menemui
Jie Siu Lian untuk berdamai, aku akan berdiam di sini guna temani Hou-ya ..."
Lo Siau Hou bersenyum tawar pada Itto Lianhoa. "Kau hendak tilik aku, kau bisa berbuat apa?" ia kata. "Tetapi kini memang aku tidak berniat pergi, sebab aku anggap belum
tiba saatnya, tetapi satu kali aku anggap aku mesti berlalu, tidak peduli siapa di antara kau, tak akan mampu cegah
aku!" Habis kata begitu, jago ini menghela napas pula. Ia
lantas naik ke pembaringan, ia ambil pisaunya dan mulai
meraut lagi bambunya, akan bikin panah mungilnya yang
liehay. Tay Po lantas tanya Lie Seng, bagaimana tadi mereka itu
pergi ke rumahnya Toa Lohok, apa yang mereka kerjakan
di sana, sampai Siau Hou kebentrok dengan si orang she
Ho, dan bagaimana halnya maka mereka ketemu si panca
longok yang liehay."
Hoa-gu-jie tuturkan keterangannya dengan jelas.
"Kalau begitu, panca longok itu bukan sewajarnya panca longok," kata Tay Po, yang bisa memikir. "Kita harus berhati-hati terhadap dia itu. Baiklah urusan itu diserahkan padaku, kalau dia datang, aku nanti bikin dia tahu rasa ... "
Lantas, dengan bawa goloknya, Itto Lianhoa pergi keluar
buat meronda di sekitar sarangnya yang istimewa itu.
Ketika berselang sekian lama ia kembali, ia dapatkan Lie Seng dan Lo Siau Hou sudah rebah tidur.
Yo Kian Tong dan Coa Siang Moay telah berlalu begitu
lekas tadi Tay Po keluar.
Di atas meja masih ada sisa arak, seorang diri Tay Po
cegluk itu. Ia tidak merasa puas, karena sisa itu ada terlalu sedikit, umpama kata cuma nempel dengan ujung lidahnya,
hingga ia merasakan mulutnya gatal ...
"Mustahil Kiau Liong lakukan pelanggaran undang-
undang ... " kemudian ia berpikir, kapan ia ingat puterinya Giok teetok itu. "Perkaranya tetap belum terang, aku sendiri tetap tidak boleh muncul di muka umum ... Di luaran orang telah sangka aku bersekongkol dengan Siau-ho-lie dan telah culik Giok siocia dan dibawa minggat, ... Bagaimana aku
mesti cuci bersih penasaran ini" Dasar aku sial, bukannya aku lakukan apa-apa untuk angkat namaku, aku justru
campur ini segala urusan yang memusingkan kepala, yang
bikin pamorku turun jatuh ... Sekarang aku mesti berdaya, justru Lie Bou Pek dan Jie Siu Lian berada di sini, aku
harus bisa muncul pula, supaya orang tahu bahwa aku
sebetulnya ada satu hoohan ... "
Tay Po lantas duduk terpekur, otaknya dikasih bekerja.
"Tidak, aku mesti pergi sekarang?" tiba-tiba ia ambil putusan. "Sekarang aku mesti pergi ke rumahnya keluarga Giok, buat selidiki halnya Giok Kiau Liong. Giok tiehu
sudah pulang, kalau benar saudara perempuannya kena
ditangkap, tidak bisa jadi yang ia tidak ketahui. Ya, aku mesti menyelidiki, aku mesti dapat rahasia lebih dulu,
supaya Lie Bou Pek leletkan lidahnya, supaya ia ulur
jempolnya memuji aku! Secara demikian aku barulah satu
enghiong!."
Segera ia berbangkit, akan kencangkan ikat pinggangnya,
kemudian ia dekati Lie Seng siapa ia dupak sampai Hoa-gujie terbangun dengan kaget, tetapi tempo kawan itu hendak tegur ia, buru-buru ia dekati dan pasang mulutnya, di
kuping orang. "Kau jangan tidur," ia berbisik. "Kau jaga Siau Hou. Aku mau keluar pula, tidak lama! ..."
Lie Seng menghela napas, ia manggut.
Tay Po serahkan goloknya pada itu kawan, pisau siapa
sebaliknya ia ambil. Ia pun tidak lupa bekal bandringnya. Ia berlalu dengan cepat. Pertama ia menuju ke Tekseng mui,
di jalan besar di mana ada sebuah rumah makan kecil,
dengan pemiliknya dikenal sebagai Pekgan Looliok, yang
menjadi sahabat barunya. Di situ masih ada beberapa
tetamu, tetapi dengan tidak pedulikan mereka, ia masuk
terus ke tempatnya Looliok. Di ruangan ini ada beberapa
orang asyik main paykiu, melihat Tay Po, mereka itu
hendak berbangkit, tetapi Tay Po mencegah mereka
memberi hormat padanya. Di lain pihak, ia terus tarik
tangannya Looliok di kuping siapa ia berbisik: "Kau ada dengar apa ini hari dan tadi sore?"
Looliok goyang kepala, tetapi toh ia balik membisiki.
"Han ini di depan gedung keluarga Giok, kereta ada luar biasa banyak ..."
"Tidak aneh, sebab putera sulung teetok pulang. Ia ada tiehu di luar kota raja. Apa kabar dan kantor?"
"Tadi, Beng Pat dan dua orangnya datang minum arak di sini," Looliok berbisik lebih jauh. "Menurut ia, di dua-dua
kantor di selatan dan utara, ini hari tidak ada perkara
besar." "Aneh!" kata Tay Po seorang diri. Dan ia menjublek.
Pekgan Loohok, atau liok Tua si Mata Putih, pun
berdiam. Ketika itu, beberapa tetamu di luar telah pada pergi.
Tay Po samperkan orang-orang yang sedang berjudi, ia
joroki orang yang lagi bergembira, hingga mereka itu jadi kaget.
"Ah, Lau jieya, janganlah main-main dengan kita!" kata mereka. "Berapa jieya perlu" Di sini kita ada sedia ..."
Tay Po goyangi kepala.
"Aku tidak perlu uang," ia kata, "aku hanya hendak beri nasehat padamu. Dalam beberapa hari ini, jangan kau bikin onar di luaran, jangan bertingkah tidak keruan, dan jangan sembarangan ngoceh juga!"
"Jangan kuatir, jieya, kita mengerti," sahut beberapa orang itu. "Sejak jieya piara kumis, kita sudah seperti kehilangan kepala, sampai pun di jalan besar kita tidak
berani berkelahi ... "
"Sekalipun aku bisa muncul pula, aku tetap masih tidak mampu membantunya," Tay Po kasih tahu. "Sekarang kota kita telah kedatangan dua orang kosen!"
Semua penjudi itu terperanjat.
"Siapa mereka, jieya" Siapa?"
"Tidak usah kau banyak tanya! Pergilah main terus! Nah, sampai besok!"
Di itu tempat, kecuali ini rumah makan, lain-lain pintu
sudah tertutup rapat dan cahaya api tidak tertampak.
Rembulan yang bengkok pun telah dihalangi oleh sang
mega. Maka itu, malam itu jadi gelap. Tapi Tay Po bisa
sampai di gedungnya keluarga Giok dan terus panjat sebuah pohon hoay, ia duduk di atas itu, untuk beristirahat dan pasang mata.
"Aku benar-benar tak punya guna," ia ngelamun seorang diri. "Setahu sudah berapa banyak kali aku datang kemari, sama sekali aku belum pernah lakukan apa-apa yang
berarti. Malam ini aku mesti besarkan sedikit nyaliku!"
Oleh karena memikir begitu, ia lantas berbangkit buat
naik lebih jauh, akan melapay ke atas genteng. Dan sini, ia menuju ke belakang. Ia tidak berkuatir, karena ia tahu,
penghuni ini gedung biasa tidur siang-siang. Dan itu waktu belum lewat jam tiga. Di mana-mana di dalam gedung, ada
gelap gulita. Kapan ia sampai di sebelah dalam, di situ
seperti tidak ada pengisi rumah saja. Tidak ada sinar api sedikit pun.
"Percuma aku mundar-mandir di atas genteng, seperti kucing saja, apa aku bisa bikin?" pikir ia. "Lebih baik aku turun ke bawah, akan cari itu toa-siauya yang baru sampai
... " Dan ia pergi ke depan, akan loncat turun ke bawah, Apa
mau, ia berlaku sembrono ia sampai di bawah dengan
menerbitkan sedikit suara, hingga dari dalam kamar-kamar tidur lantas terdengar suara berdehem. Ia kaget, ia lekas lari ke depan sebelah selatan, akan mendekam di situ.
"Dasar tahang nasi!" ia katai dirinya sendiri.
Syukur, sampai sekian lama, tiada terdengar apa-apa
lagi, maka ia beraniu keluar pula, Ia hampiri jendela, ia pasang kupingnya. Di sini ia tidak dengar apa-apa, tidak juga suara menggeros.
"Aneh! Apa bisa jadi kamar ini kosong?"
Ia lantas samperkan pintu, dengan hati-hati ia ulur
tangannya. Pintu itu tidak dikunci, tidak juga ditapal. Ia hanya terperanjat ketika ia dengar suara kentongan dari si orang ronda. Maka lekas-lekas ia buka pintu akan masuk ke dalam.
Baru ia masuk, ia sudah terperanjat, karena ia dengar
suara seperti mangkok jatuh, selagi ia cabut pisaunya, ia lalu dengar suara kucing ngeong-ngeong, sedang hidungnya lantas cium bau minyak.
"Rupanya ini dapur ..." pikir ia. Rupanya dapur itu tidak ada yang tidur dan tikus terdapat banyak di situ.
Selagi rapa-repe, Tay Po kena bentur barang panas,
hingga ia kaget. Ia sudah bentur teeko dengan sisa air
panas, hingga ia mengutuk dalam hatinya. Tapi sekarang ia jadi berani. Ia lantas nyalakan api, hingga ia bisa lihat seluruh kamar dengan terang, begitupun pecahan mangkok
yang tadi. Setelah perhatikan segala apa, ia padamkan pula apinya, terus ia pasang kuping, hingga ia dengar si tukang ronda sudah sampai di dalam.
"Inilah berbahaya," pikir ia. "Kalau mereka dapat cium bau api, mereka bisa datang memeriksa kemari. Kalau aku
bunuh mereka, itu artinya perkara jiwa, dan kalau aku diam saja, aku akan dipergoki." Ia lantas ambil dua kwali besi, yang ia tengteng di masing-masing sebelah tangannya. Ia
hendak gunakan senjata ini, guna bikin mereka pingsan,
supaya ia bisa keluar dari situ. Tapi ia menjadi lega hatinya, sebab orang-orang ronda lewat terus, ke belakang.
"Dua kwali ini ada harganya juga bagiku." ia berpikir, seraya ia bertindak ke pintu. Waktu ia hendak keluar, ia lihat satu bayangan berkelebat di depan ia, di atas genteng,


Harimau Mendekam Naga Sembunyi Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hingga ia terperanjat. "Apakah ini Giok Kiau liong" Apa ia bisa loloskan dirinya dan datang untuk tengok ibunya?"
Ia bertindak keluar, lekas ia loncat naik ke atas genteng.
Ia masih pegang dua kwalinya. Ia lewatkan dua wuwungan,
sampai di belakang. Ia masih bisa lihat gesit seperti walet, bayangan tadi loncat turun ke bawah. Tadinya ia hendak
menimpuk. Tapi ia batalkan niat itu ketika ingat bahwa
mereka ada terpisah terlalu jauh satu pada lain.
Ia maju lebih jauh, akan awasi gerak-geriknya bayangan
itu. Itu ada satu tubuh yang kate, gerak-gerakannya kurang leluasa. Itu pasti bukannya Giok Kiau Liong. Dan dalam
gelap gulita, bayangan itu masuk ke barat.
Segera juga Tay Po dapat pikir apa-apa, lantas ia loncat turun. Sekali ini ia unjuk kepandaiannya, sedikit pun ia tidak terbitkan suara apa juga. Ia letakkan kedua kwalinya di tanah, di depan pintu, kemudian dengan tindakan hati-hati, ia maju ke pintu sekali. Ia siap dengan pisaunya.
Dengan sekonyong-konyong, pintu terpentang dan satu
orang loncat keluar. Ia ini pasti tidak sangka bahwa di situ ada bayhok, ia telah kena injak kwali, hingga ia terpeleset, meskipun ia coba pertahankan diri, ia toh mesti rubuh juga dengan tubuhnya terpelanting jauh. Tapi ia segera merayap bangun.
Tay Po jumput kwali yang satu, yang ia pakai
menimpuk. Ia tidak dapat kenakan sasarannya, karena
Lencana Pembunuh Naga 13 Amanat Marga Karya Khu Lung Romantika Sebilah Pedang 5
^