Pencarian

Harimau Mendekam Naga Sembunyi 15

Harimau Mendekam Naga Sembunyi Karya Wang Du Lu Bagian 15


Itu ada suaranya Siu Lian,yang bicara dengan perlahan.
Segera juga kedengaran lagi suaranya Kiau Liong, yang
tidak bersangsi-sangsi dan suaranya pun tak ditahan-tahan lagi.
"Aku sudah tidak usil lagi terhadap kau, kenapa kau masih saja mendesakaku?" demikian nona Giok itu.
"Apakah kau hendak desak aku sampai aku kalap?"
"Hebat ... " pikir Tay Po. Yang menguping. "Inilah pertengkaran ...."
"Kau ngaco!" begitu terdengar suaranya Siu Lian, suara yang penuh hawa kemendongkolan. "Kenapa kau tidak
mengerti selatan" Ngoko dan ngoso ada sangat perhatikan
padamu, mereka kuatir kau dipertakukan sewenang-wenang
dan penasaran. Tentang aku, tentang urusan di antara kita, sekarang jangan disebut-sebut lagi. Tapi kau, kau ada punya kesukaran apa" Aku bersedia untuk bantu kau! Kau kenapa"
Kenapa kau ijinkan orang tindih padamu" Kenapa kau
mandah sendiri" Aku tidak puas jikalau kau buat rendah
derajatnya kita kaum kangou. Kau toh tidak terluka bukan"
Kaki tangan kau toh masih bisa bergerak dengan merdeka,
bukan" Nah hayo ikut aku berlalu dari sini?"
Kiau Liong tertawa menghina. Tapi sebentar saja, ia
lantas menghela napas. Lantas terdengar suara tindakan
kaki seperti menghampiri kamar itu. Siu Lian membetot
tetapi Kiau liong menahan!
Tay Po, yang berada di luar, menjadi kuatir. Ia takut ia nanti kepergok. Lekas-lekas ia mundur, akan sembunyi
pula, dengan mendekam lagi. Apa mau dalam gelap ia kena
bentur jubin dengan kepalanya sampai ia menerbitkan
suarakeras. "Eh, apakah itu?" tanya satu bujang tua. "Encie Tan, kau mendusin" Coba dengar!"
Tapi suara ini tidak mendapat jawaban. Tay Po pun
bungkam. Hanya, ketika ia perdengarkan suara, itu ada
suara meniru tikus.
"Kurang ajar!" menggerutu si bujang tua. "Tikus- tikus di sini sudah angot, nanti aku kepaksa cari kucing! "
Hampir di itu waktu, dari luar terdengar suara si tukang ronda, suara kentongan empat kali, tanda dan jam empat.
Tanda itu lantas disambut oleh sekitar gedung. Suara di atas genteng dari rumah bawah itu ada yang paling nyaring.
Kemudian suara ini disusul suara gerakan kaki, dan
suara bicara. Terang sudah ada bujang-bujang yang
mendnsin. Pun ada suara orang mengulet.
"Berisik benar!" kata satu suara.
"Aku mimpi ... "
"Eh, jangan tindih aku loh!"
"Ah. banyak bangsat, bau! Kita dilarang pasang api!"
Di sebelah itu masih ada suara orang menggeros.
"Memang, jangan ada yang pasang api," kata Tay Po di dalam hati. Ia mulai merayap. Suara bujang-bujang sudah
sirap, rupanya mereka pada tidur pula. Ia ingin bekerja
pula. Tapi tiba-tiba, samar samar ia lihat ada orang jongkok di dekat ia dan sebelah tangannya ditarik. Ia kage.t Ia
menyangka Siu Lian menyuruh ia lekas menyingkir. Ketika
Ia merasa tangannya ditarik pula, ia lantas mengawasi,
karena ia kenalkan orang itu bukannya Siu Lian, hanya
Kiau Liong. Dan Kiau Liong sudah loncat masuk pula ke
dalam kamarnya, pintunya sengaja dia buat sedikit
terpentang. Dengan sangsi-sangsi. Tay Po hampirkan pintu, ia
memandang ke dalam kamar. Ia tidak lihat Siu Lian, ia
dapatkan Kiau Liong sendirian. Kamar itu dapat cahaya api terang dari betulan jendela. Kiau Liong nampaknya sebagai setangkai bunga boutan, baunya pun harum.
Mereka berdua berdiri dekat sekali satu pada lain. Tay
Po belum pernah dapatkan ini macam pengalaman. Ia tetap
bersangsi, ia berkuatir, tetapi ia tidak takut. Ia angkat rapat kedua tangannya.
"Siocia, aku juga dapat perintah dari Tek ngoya dan ngoso," ia kata, dengan perlahan.
Kiau Liong tidak jawab itu, ia hanya tolak tubuhnya Tay
Po. "Lekas pergi, dari itu jendela!" ia memerintah. "Jangan kau datang pula! Aku berdiam di sini atas sukaku sendiri!"
Tay Po manggut,
"Baiklah, siocia," ia menyahut. Toh ia berpaling,
"Hanya, toaya Lo Siau Hou, aku tidak sanggup cegah
padanya." Kiau Liong menghela napas.
"Antap padanya," ia menyahut, "Tadi aku sudah
terangkan pada Jie Siu Lian, supaya ia selanjutnya jangan usil pula padaku. Benar aku suka tinggal di sini, tetapi asal aku mau, aku bisa angkat kaki sembarang waktu, tak ada
satu manusia yang bisa merintangi aku! Aku tak takuti siapa juga! Hanya kau, jangan kau ganggu pula padaku.. Semua
kejadian yang sudah-sudah ada salahku, selanjutnya aku tak akan satrukan pula pada kau, seperti kaupun tak boleh
grecoki lagi padaku."
"Baiklah siocia ketahui, semua orang berniatan baik terhadap kau ... "
Tak peduli dengan maksud baik atau jahat, kalau besok
ada yang datang pula, aku nanti bantu semua orang disin
untuk memusuhkan! Kalau itu sampai teijadi, jangan kau
anggap bahwa aku balas kebaikan dengan kejahatan."
Habis kata begitu, ia bertindak, akan tolak daun jendela.
Selagi Tay Po hendak enjot tubuhnya, dari kejauhan ia
dengar suara orang: "Akan segera terang tanahl Akan segera terang tanah! Sesudah terang tanah, kau boleh tidur dengan merdeka!"
Ucapan itu disusul dengan suara tertawa kegirangan.
"Ah, inilah berbahaya," kata Tay Po, yang urung loncat.
"Baik aku berlalu dari tempat dari mana aku tadi datang."
Ia hadap pula si nona. tangannya kembali dicakap. "'Giok siocia, ijinkan aku kasih sedikit keterangan. Sekian lama aku telah musuhi kau, kau sebaliknya tak inginkan jiwaku, ini ada bukti dan keelokan hatimu. Sama sekali bukan
maksudku akan ganggu kau. Pada itu ada soalnya Pekgan
Holie dan kemudian urusannya mertua lelakiku ...."
Kiau Liong menghela napas.
"Aku menyesal terhadap isterimu," ia kata. "Ketika dengan piau aku lukai Coa Kiu sampai ia binasa, itu adalah kesalahanku yang paling besar selama hidupku. Biarlah lain waktu aku nanti tebus dosaku itu."
"Sebenarnya itu ada perkara kecil," Tay Po kata. "Satu kali kedua pihak bertempur, salah satu mesti terluka atau binasa. Aku tahu, siaocia pun bukan d engan sewajarnya
menghendaki jiwa mertuaku itu. Hanya, karena kejadian
itu, aku telah kehilangan pekerjaanku dan namaku runtuh, hingga sekarang aku sebetulnya tidak bisa angkat muka ..."
"Sekarang kau boleh kasih tahu orang banyak bahwa aku telah kalah terhadap kau," Kiau Liong bilang.
Tay Po tertawa.
"Siapa bisa percaya itu?" ia kata. "Pikiranku adalah begini ... Aku harap siocia jangan gusar... Aku maksudkan
Cengbeng-kiam, itu pedang mustika. Siocia sekarang sudah jadi satu nyonya yang terhotmat, siocia tentu tak
membutuhi lagi pedang itu, dari itu baiklah serahkan
pedang itu kepadaku, supaya aku bisa kembalikan ke Pwee-
lek-hu. Dengan ini jalan, aku bisa dapat ketika akan dapat pekerjaan pula ... "
"Itulah tak bisa!" ada jawabannya nona Giok yang pasti.
"Meski Lie Bou Pek yang datang, pedang itu aku masih bisa serahkan. Di belakang hari, aku masih perlu pedang itu"
Sekarang lekas kau pergi, aku tidak perlu bicara lebih
banyak pula terhadap kau. Tadi aku telah kasih tahu Jie Siu Lian semua apa yang aku hendak bilang! Aku melainkan
minta kau suka pergi, supaya selanjutnya kau jangan datang pula mengganggu aku ... "
Tay Po bersenyum. Ia angkat dada.
"Siocia sudah bicara, tetapi aku masih hendak bicara!"
kata ia, yang dengan tiba-tiba ubah sikapnya "Sekarang ini langit sudah mulai terang, aku justru malas untuk berangkat dari sini" Benar terjadi perkara dan kepalaku bakal hilang, aku tak peduli Siocia dahulu ada sepotong surat untuk Tiat pweelek, surat itu jatuh padaku dan aku telah serahkan
pada satu sahabatku, maka satu kali sahabatku itu
mendapat tahu bahwa aku binasa, dengan bawa-bawa itu
surat, ia pasti akan pergi pada pembesar negeri, untuk
mendakwa! Jangan katakan aku, saocia, tetapi satu kali
pencuri sudah datang, ia tak akan berlalu dengan tangan
kosong. Siocia, lekas kau serahkan Cengbeng-kiam
padaku!" Itulah ancaman hebat, tetapi Kiau liong bersenyum
sindir. "Jangan kau salah berpikir, Tay Po!" ia kata, dengan gagah. "Apakah kau kira aku takut bicara keras-keras"
Apakah kau sangka aku takut segala gangguanmu?"
Tay Po lantas saja mundur satu tindak, kedua tangannya
ia angkat ke depan dadanya.
"Sebenarnya aku ada sedikit jeri," ia kata. "Tapi masih ada satu ucapan lagi! Jiwaku, bersama-sama muka terang
dari dua keluarga Giok dan Lou, dengan nama baik dari
Giok tayjin Gioktoa-tiehu dan Giok jietiehu, dengan
kehormatannya Lou tiehu juga,semua itu telah tergabung
menjadi satu! Maka satu kali aku habis, akan habis juga
mereka itu semua, tak akan ada yang ketinggalan!"
Ketika itu, di luar ada terdengar suara dari orang ronda.
Sang tempo berjalan terus, sang fajar asyik mendatangi.
Kiau Liong berdiam atas itu ancaman, Tay Po lihat
orang ada bingung juga.
Tiba-tiba nona Giok hampirkan pembaringanya, akan
dari bawah kasur keluarkan sebatang pedang.
"Lekas pergi" Lekas!" ia kata sambil ia serahkan pedang itu.
Tay Po tertegun bahna heran, ia tidak nyana si nona
berubah sikap demiktan cepat, waktu ia sambuti pedang,
tangannya sampai gemetaran. Tapi ia bersangsi, maka ia
rogoh dua potong gaetan besi dari sakunya dan adukan itu pada pedang dan gaetan itu sapat. Akhirnya ia tertawa.
"Maafkan aku, siocia," ia kata sambil menjura, "Sampai sebegitu jauh aku telah buat siocia mendongkol, tetapi ini karena terpaksa ... ,"
"Sudah, pergilah lekas!" kata pula si nona. "Hati-hati ..."
Tay Po bersenyum ia manggut pula.
"Aku tahu bagaimana caranya aku datang teman ... " ia kata. Dengan masih berseri-seri, ia bertindak keluar. Ia tidak lantas berblalu, ia masih mendekam. Hanya ia pikir
karena ia sudah berhasil, bila sebentar ia sampai di rumah, ia akan sombongkan diri di hadapan isterinya, kemudian
besoknya ia akan pentang dada di depan Bou Pek dan Siu
Lian, tak terkecuali Toh Tau Eng, si Garuda Botak. Ia
sudah pikir, dengan dibungkus pakai sutera, pedang
mustika itu ia akan antarkan pada Tiat pweelek, supaya
pangeran Boan itu jangan sangka melainkan Lie Bou Pek
yang paling liehay ...
Dengan lewatnya si orang ronda, kesunyian datang pula,
bujang-bujang rupanya sudah pada pulas lagi. Tay Po tarik sepotong baju merah, rupanya itu ada bajunya salah satu
budak, dengan itu ia kerobongi diri. Dengan kedua
tangannya, ia peluki pedang mustika. Kamudian ia keluar
dari pintu depan. Benar ketika ia bertindak keluar, dari atas genteng di sebelah depan, ada orang tegur ia: "Kau mau apa?"
Segera ia bertindak dengan perlahan dan eloh.
"Aku mau pergi ke belakang, perutku mulas," ia
menyahut dengan lagu suara tiruan orang perempuan.
"Ada penjahat!" tiba-tiba terdengar suara lain orang.
Dan teriakan ini disusul sama suara gembreng, yang
dapat sambutan di sana-sini. Dan dari depan dan belakang, lantas nerobos orang-orang polisi.
Tay Po kaget, ia tak bisa bertambat. Ia lemparkan
kerobongnya, ia loncat naik ke atas genteng. Diluar
dugaannya, di atas genteng dua orang sambut ia dengan
sebatang golok. Ia ada tabah dan matanya jeli,
gerakannyapun sebat. Karena ia sedang pegangi pedang
dengan itu ia lantas menangkis.
Kedua pihak senjata beradu, kesudahannya Tay Po jadi
sangat girang. Kedua golok musuh telah terbabat kutung.
"Sungguh tajam!" ia memuji seorang diri.
Selagi ia kegirangan, tiba-tiba tiga galah gaetan
menyambar ia, mengenai pahanya, hingga ia kaget,
sebelum ia sempat berdaya, gaetan itu sudah dibetot, maka ia terus saja rubuh terguling, sampai beberapa lembar
genteng pun ikut jatuh. Ia jatuh ke tanah di mana sebatang toya sambar kepalanya, hingga ia jadi kesakitan dan
matanya kabur.Meski begitu
tempo sebuah golok menyambar, ia bisa berkelit sambil gulingkan tubuh.
Karena ia rubuh terguling, pedang mustika terlepas. Ia niat loncat naik ke atas genteng, disitu ada orang. Di empat
penjuru telah ada hamba-hamba polisi. Ia sendiri sudah
tidak bergegaman. Dalam nekatnya, Tay Po lantas saja
berseru: "Biarlah Itto Lianhoa serahkan jiwanya padamu! "
Berbareng dengan itu seruan, beberapa orang rubuh
terguling dari atas genteng, dari atas genteng, dari mana lantas menyambar sebatang anak panah, hampir saja itu
mengenai kempolan suaminya Coa Siang Moay.
Kemudian menyusul loncat turunnya seorang yang
tubuhnya besar, tangan kanannya memutar golok, tangan
kirinya mengayun panah.
Beberapa orang menjerit karena anak panah, beberapa
yang lain berteriak karena golok mereka terbabat kutung.
Sebab orang itu adalah Lo Siau Hou, yang gunakan golok
mustika dan panahnya dengan berhasil.
"Lekas lari." Siau Hou teriaki Tay Po yang tercengang.
Baru sekarang Itto Lianhoa sadar, terus ia loncat naik ke atas genteng.
"Siau Hou, hayo!" ia pun berteriak.
Tapi Siau Hou menolak, "Aku tidak mau pergi."Poan
Thian In berteriak. "Aku mau temui Lou Kun Pwee!"
Itu waktu, Siu Lian sudah pergi lama, karena sikapnya
Kiau Liong yang bandel buat hatinya tawar dan Tay Po
sembari bertenak sudah lari terus.
Siau Hou berada sendirian, ia dikepung dari segala
penjuru. Orang tidak mundur kendati belasan sudah rubuh.
Tapi ia juga tidak mau gampang-gampang berlalu, kendati
kurungan ada rapat.
"Siapa berani maju dekat, awas golok dan panahku!" ia mengancam. "Kau punya loya tidak mau pergi. Lekas suruh Lou Kun Pwee keluar, akan ketemui aku! Lekas! Gusurlah
dia keluar!"
Orang mengurung jauhnya empat atau lima tindak,
semua senjata siap, tapi tak ada yang berani merangsek
terlebih jauh. Berdiri di dekat pintu ada Hek Kun-looya.
' Eh, binatang, siapa namamu?" menegur itu iparnya Lou sielong,
"Looyamu, ada Lo Siau Hou gelar Poan Thian In!" sahut Siau Hou dengan berani.
"Apakah kau yang itu hari menyerang dengan panah
pada joli di depan gedung?"
Siau Hou manggut.
"Benar aku!" ia jawab.
"Sungguh kau bernyali besar!" berseru Hek Ku-looya, yang menjadi sangat gusar. "Kau berlaku sangat kurang ajar terhadap keluarga pembesar negeri! Kau cegat dan serang
orang di tengah jalan, kau ada penjahat besar, kau mesti dibunuh! Bilang terus terang, cara bagaimana kau bisa kenal Giok siocia?"
"Aku tidak bersahabat padanya," sahut Siau Hou, yang geleng kepala. "Hanya, ketika kita sama-sama berada di
Sinkiang, ia ada satu siocia, aku ada satu berandal. Pada suatu hari aku telah cegat Giok siocia untuk melakukan
perampasan, itu waktu ia telah nasehati aku akan aku
jangan jadi berandal, supaya aku cari lain pekerjaan, agar aku peroleh pangkat. Atas itu, dengan cara hormat, aku
telah antarkan ia pulang, Sejak itu aku telah cuci tangan, aku tidak lagi menjadi berandal. Belum lama aku datang ke Pakkhia sini, aku dengar ia menikah. Bahwa ia menikah
dengan lain orang, aku tidak peduli, tetapi yang ia menikah dengan Lou Kun Pwee, aku tidak senang. Apakah kau yang
dinamakan Lou Kun Pwee" Kau yang hitam legam" Lihat
panah!" Berbareng dengan melesatnya sebatang anak panah, Hek
Kun-looya rubuh karena terluka.
Semua hamba menjadi gusar, mereka merangsek,
menyerang Lo Siau Hou. Tak takut, malah ia pun loncat
maju, akan menerjang. Ia gunakan goloknya buat
menangkis, dan membacok, ia ayun tangannya dengan
merdeka. Perkelahian belum jalan lama atau dari depan ada
terdengar suara gembreng yang riuh, yang segera disusul
dengan teriakan-teriakan. "Ada lagi penjahat! Si tukang ayam panggang yang terokmok! Si tukang jual kembang!
Nyata mereka pun ada orang-orang jahat. Tangkap! ...."
Suara berisik itu menimbulkan kekalutan, sejumlah
hamba polisi lari ke depan, untuk membantu.
Siau Hou jadi bertambah besar hati. Ia kerjakan benar-
benar goloknya.
"Kiau Liong!" ia berteriak. "Kenapa kau mandah saja"
Hayo kabur, terbang dari sini!"
Beberapa hamba telah menjerit, karena mereka telah
terluka. Dari depan lantas terdengar pula tenakan: "Si kunyuk melepas api. Ambil air, air!"
Dan teriakan itu disusul lagi: "Awas, si terokmok
menerjang ke belakang!"
Demikian kerusuhan beejalan, sampai di genteng
berisiknya suara berlari-lari, sesudah mana pertempuran
menjadi sirep, kecuali rintihannya orang-orang yang
terluka. Di dalam gedung ada sunyi, sebab semua bujang
perempuan pada ketakutan, mereka mendekam di jubin
dengan tak berani bergerak!
Di depan kamarnya sendiri, Kiau Liong menjadi tidak
keruan rasa, pikirannya kusut. Ia lempar dirinya ke


Harimau Mendekam Naga Sembunyi Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pembaringan, ia menangis sesenggukan.
Sebentar kemudian, sang pagi telah datang.
Pada jam lima, tidak ada orang ronda yang memalu
kentongan, karena kebanyakan telah terluka korban anak
panah. Di sana-sini ada golok, tombak dan toya malang
melintang, di antaranya ada pedang mustika.
Beberapa orang, dengan alis mengkerut, lantas berbenah
... Tidak lama nona pengantin muncul dengan air mata
berlinang-linang, ia pungut Cengbeng-kiam, setelah mana, ia kembali ke dalam kamarnya.
Louthaythay di dalam kamarnya sudah hilang kaget dan
ketakutannya, sudah lantas memaki kalang kabutan kapan
ia diberitahukan apa yang telah terjadi.
Semua bujang ada bermuka pucat, mereka kaget dan
berkuatir, hingga selanjutnya mereka tak bisa bekerja
dengan bersemangat. Merekapun jengkel karena didamprat
tak putusnya. Ketika matahari sudah mulai naik tinggi, setelah gedung
menjadi sepi, di luar ada datang beberapa buah kereta. Lou Kun Pwee pulang dari tempatnya menginap, beberapa
pahlawan yang bersenjata golok, mengiringi ia. Bersama ia ada seorang tua yang rambut dan kumisnya sudah ubanan,
yang ia perlakukan dengan sangat hormat.
Orang tua ini bertubuh kurus mirip dengan tubuhnya
srigala. Ia pakai baju yang dikerodongi mantel,
pinggangnya dilibat dengan angkin tali sutra. Ia ada
memakai kaca mata. Kopiahnya ada karpus hijau. Ia
menyekal sebuah kipas, yang ada lukisan huruf-huruf "Im
Cit Bun", yang mana menunjukkan bahwa ia mengerti ilmu
petangan ... Tubuhnya bongkok, di bahunya ada meroyot
kuncir yang kecil, yang turun dari batok kepalanya. Oleh Kun Pwee, ia dipimpin ke kamar tulis.
Kalau Lou tiehu ada sangat hormati empe itu, adalah
beberapa orang di belakang mereka pada jebikan bibir,
malah seorang kata dengan perlahan, "Lihat, apa sekarang Cukat Liang akan perbuat lebih jauh ... "
Empe itu tidak lantas masuk, hanya berdiri di sebelahnya Kun Pwee, ia tanya beberapa orang, akan tanyakan jelas
perihal kejadian semalam. Ia tidak kelihatan gusar, ia pun tidak nampak kaget atau heran. Ia ada tenang sekali,
sehabis mendengar keterangan, ia manggut-manggut
dengan perlahan.
Kapan Lou thaythay tahu puteranya pulang, ia panggil
putera itu ke dalam, untuk terus didamprat. Nyonya itu
keluarkan kata-kata yang menyatakan ia bukannya satu
nyonya dari kelas satu, dan suaranyapun keras dan berat, dari luar orang sampai pada dapat dengar.
"Kenapakah kau masih sayangi isteri macam begitu?"
demikian antaranya orang dengar. "Entah berapa banyak berandal yang ia telah kenali. Paling benar kau ceraikan ia dan menikah lagi dengan orang lain" Yang malu adalah
keluarga Giok, bukannya kita dan keluarga Lou! Lihat,
setiap malam orang ribut saja, orang berjaga-jaga! Apa
artinya ini" Mana aku sanggup tahan lama-lama" Orang
main membunuh dan melepas api rumahku ini lantas
menjadi seperti medan perang! Lihat, kalau terjadi pula
pertempuran, mesti ada beberapa jiwa yang melayang.
Lantas rahasia rumah tangga jadi teruwar. Sesudah itu
pangkatmu kau tidak bisa jabat aku sendiri akan binasa."
Kun Pwee tidak berani lawan ibunya, ia hanya terpaksa
menghiburkan saja, kemudian ia undurkan diri dengan
masgul, sepasang alisnya mengkerut. Ia terus ketemui si
orang tua ubanan.
"Aku pikir suruh ia pulang dulu untuk beberapa hari ...
Bagaimana pendapatmu?" ia utarakan pikirannya.
Orang tua itu goyang-goyang kepala, ia tarik tiehu untuk diajak keluar.
"Apakah kau kira dengan suruh isterimu pulang untuk beberapa hari perkara akan jadi sirap?" kata ia sembari jalan, suaranya pun perlahan. "Walau bagaimana, kau tetap harus jaga dirimu hati-hati! Kau tahu, orang justru
musuhkan padamu, yang ada sangat dibenci! Kau telah
tanam permusuhan, itu berarti, kau binasa atau mereka!
Sebelum itu, jangan harap urusan bisa dibuat beres" Kau
irngat pengutaraanku mula-mulanya. Aku telah nyatakan
bahwa perkara akan membawa ekor dan hebat, kau tidak
mau pikirkan itu, kau tidak pedulikan, nah, sekarang itu
telah berbukti! Sekarang tentu saja kau tidak bisa mundur lagi, mundurpun percuma, orang niscaya tak mau berhenti.
Malah dengan mundur, dengan main sembunyikan diri,
kejadian bisa menjadi lebih hebat. Aku sekarang sudah
dapat suatu jalan. Mari kita ke kamar tulis!"
Dengan air muka guram Lou Kun Pwee terpaksa ikut
kunsu itu. Di dalam kamar tulis, berdua mereka lantas
bersekutu. Tidak lama, juml ah mereka jadi bertiga, karena Siau
giesu dari Kota Selatan telah datang berkunjung.
Mereka berkumpul belum lama, lantas ada pengawal
yang mewartakan kedatangannya Giok toa-siau-looya,
maka mereka lantas berhenti berundingdan Lou tiehu lantas bersiap akan tunggu tetamunya, toako-nya, ialah Giok Po
In. Engko sulung dari Giok Kiau Liong sudah lantas dapat
kabar perihal gedungnya Lou tiehu mendapat serbuan, ia
datang dengan segera, ketika ia sampai, ia mandi keringat, sibuknya bukan main. Ia masuk langsung ke kamar
adiknya. Barulah hatinya lega kapan ia lihat Kiau Liong
tidak kurang suatu apa, kecuali ia ini ada beroman duka. Itu adik tidak kata apa-apa padanya. Maka kemudian, dengan
masgul, ia pergi cari moay hunya.
Lou Kun Pwee sambut toakunya dengan tidak malu-
malu atau merendah, malah ia bersikap sedikit angkuh,
bicaranyapun merdeka sekali. Cuma Siau giesu, yang
berlaku hormat pada puteranya Giok cengtong tetapi kata-
katanya ada tajam, samar-samar ada mengandung sindiran
dan ancaman. Po In tidak berani banyak omong, melainkan
mukanya, sebentar pucat, sebentar merah, karena ia ada
bingung, malu dan mendongkol.
Selama itu pertemuan, Siau Cukat telah singkirkan diri,
dari itu, ia tidak ketemu dengan puteranya Giok teetok.
Po In merasa tidak tenteram ia tidak berdiam lama di
gedung besannya itu.
Ketika mendekatkan tengah hari, seluruh Pakkhia
menjadi gempar tentang penyerbuan gedungnya Lou tiehu.
Kabar telah tersiar dengan cepat, tidak peduli orang tak ketahui kejadian yang jelas. Orang-orang polisi pun
terpencar ke segala jurusan, guna coba cari si penyerbu.
Di rumah-rumah makan, di warung-warung arak orang
berkumpul sambil berdahar atau minum, mereka semua
kasak-kusuk seturu kenalan sendiri membicarakan halnya
penyerbuan itu. Tidak ada orang yang berani bicara keras atau kalau ada orang polisi, mereka lantas bungkam.
Si tukang ayam panggang, si tukang kembang, itu pagi
tidak tertampak lagi berjualan di dekat gedungnya Lou
tiehu. Ada yang bilang mereka itu adalah si penjahat yang tadi malam turut menyerbu. Orang pun tidak tahu, mereka
itu di mana berdiamnya.
Itu hari, Lau Tay Po juga tidak ada di rumahnya, ia tidak pulang. Beberapa kenalannya Tay Po turut kurung diri di
dalam rumah atau di tempatnya masing-masing, mereka
takut muncul di muka umum, kuatir nanti dicurigai.
Selewatnya tengah hari, ada orang lihat Khu Kong Ciau
naik kereta pergi ke pweelek-hu. Ini ada kabar yang benar.
Malah sampai sore, orang bangsawan ini masih belum
keluar pula. Pada malam itu, di dalam istana pangeran Boan yang
kenamaan ini dibuat suatu perhimpunan kecil, tetapi
suasananya ada panas. Hadir terdiri dari beberapa gelintir orang saja.
Tiat siau-pweelek duduk di tengah-tengah, di hadapannya ada tersedia cawan teh. Di samping ia, ada
Khu Kong Ciau, dengan air mukanya yang guram karena
masgul dan mendelu bergabung menjadi satu. Di sebelah
kanannya orang bangsawan itu ada ... u Hong. Ia ini duduk dengan tenang, meski pun ia terbenam dalam kedukaan. Ia
tenteramkan diri dengan puihunnya. Duduk di bangku
kecil, berhadapan dengan Tiat pwelek, ada Po In, puteranya Giok cengtong, air muka siapa sangat guram. Ia tunduk
saja. "Kejadian ada demikian hebat, kita tak bisa tak berdaya untuk meredakannya," kata Tiatpweelek, yang mulai
dengan pembicaraannya. "Ini hari dua giesu telah majukan pengaduannya, katanya Ceng-pen Hou Khu Kong Ciau,
orang bangsawan yang turun temurun berhak atas
kebangsawanannya, sudah melindungi penjahat besar,
penjahat mana berulang-ulang telah datangi dan serbu
gedungnya Lou tiehu dan Sun-thay-hu ..."
Khu Kong Ciau tidak kata apa-apa akan tetapi ia
bersenyum ewa. Nyata ia ada sangat gusar tetapi masih bisa kendalikan diri.
"Itulah fitnahan penasaran," kata Siau Hong dengan
sengit. "Apa yang kejadian adalah Khu hujin telah datang ke gedung keluarga Lou dan bertengkar di sana, Lou tiehu telah dijotos. Yang benar-benar bersangkutan adalah aku, sebab aku kenal semua orang yang datang mengacau di
gedungnya tiehu itu, melulu untuk mengacau!"
"Kau dengar," kata Tiat pweelek pada Giok Po In. "Siau Hong sudah bicara dari kejadian yang sebenarnya, ia pun
telah akui di hadapanku bahwa ia telah bergaul dengan
orang-orang dari kalangan kangou. Kau ada punya
keberatan apa lagi yang hendak diuraikan di depanku?"
Tiat pweelek nampaknya gusar air mukanya sampai
berubah. "Jikalau kau tidak mau bicara terus terang, perkara ini
sukar dibereskan!" ia kata.
Siau Hong sibuk karena lihat pangeran itu mulai naik
darah. Ia melirik pada Po In dan kedip-kedipi mata.
"Bicaralah dengan sebenarnya tidak apa," ia peringatkan pada tiehu itu.
Po In jadi sangat bersusah hati, hingga air matanya
lantas meleleh. "Tentang adikku itu, benar-benar pie-cit tidak mendapat tahu," ia kata kemudian. "Orang bilang ia pandai bugee, bahwa ia pernah datang kemari untuk
mencuri pedang. Ayah dan ibu juga tak ketahui segala
perbuatannya adikku itu. Semua itu bisa jadi disebabkan
penilikan ayah dan ibu kurang keras, atau karena adikku itu terlalu cerdik. Satu pengalamanku sendiri,pie-cit bisa
tuturkan begini. Dalam perjalanan pulang untuk menyambangi orang tua, pada suatu hari pie-cit terhalang oleh hujan besar. Pie-cit telah singgah di gereja Ciebie Bio.
Malamnya, selagi hujan turun, pie-cit didatangi orang jahat, tetapi pie-cit terbebas dari gangguan, karena pertolongannya seorang gagah yang tidak dikenal. Pada tengah malam,
anakku perempuan yang bernama Hui Cu telah mendusin
dengan kaget, ia berteriak hingga kita tersadar. Ia kata bahwa ia lihat bibinya, yang ia panggil Liongkohkoh,
berdiri di tepi pembaringan."
Po In menutur dengan jelas, atas mana, Tiat pweelek dan
Khu Kong Ciau saling mengawasi, nampaknya mereka ada
heran dan terharu.
"Dan kenapa sekarang Kiau Liong pulang?" kemudian Tiat Pwtelek tanya.
"Dengan sebenarnya, hal itu pie-cit tidak ketahui." Po In jawab. "Tahu-tahu sakitnya adikku itu sembuh dan ia lantas bisa menemui orang."
Tiat pweelek manggut, lantas ia goyang tangannya.
Sebagai juga seekor ikan, yang dilepas kembali ke air,
demikian Po In. Ia lantas berbangkit, ia menjura pada tuan rumah, juga pada dua tetamunya, lantas ia bertindak keluar dengan cepat.
Tiat pweelek tunggu sampai orang sudah keluar, ia kasih
tanda pada Tek Lok untuk tukar air teh. Kemudian, ia
menghela napas.
"Po In ada seorang jujur, tetapi ia ada bernyali kecil," ia berkata. "Buat suruh ia mengaku di hadapanku bahwa
adiknya ada satu pencuri, sampai mati pun ia tidak berani.
Dalam perkara ini mesti ada suatu rahasia. Pergilah ke
depan dan undang Lie toaya datang kemari!"
Ucapan yang belakangan ini ditujukan pada Tek Lok.
Dengan cepat hamba setia itu berlalu, ketika ia kembali, ia ada bersama Bou Pek.
"Duduklah," kata Hiat pweelek, pada tetamunya yang ia hormati. "Aku hendak bicarakan urusannya Giok Kiau
Liong." Pangeran ini lantas tuturkan hal pengakuannya Po In
tadi. "Tadi malam Siu Lian telah ketemui sendiri pada Kiau
Liong di rumahnya keluarga Lou," berkata Bou Pek. "Ia kata bahwa Kiau Liong telah pesan untuk semua orang
jangan usil lagi terhadap urusannya, kalau tidak, ia akan tak pandang-pandang lagi, Siu Lian kata bahwa Kiau Liong
seperti sudah menyesal dan bersedia akan terima nasibnya,
menjadi seorang nyonya yang terhormat. Tapi di sebelah itu ia katanya senang menangis seorang diri. Apa yang heran
adalah bahwa ia suka terima segala macam penghinaan dari Lou Kun Pwee terhadap dirinya. Apakah ia ada kandung
suatu maksud" Nampaknya melainkan sang tempo yang
akan membuka rahasia. .."
Tiat Pweelek berdiam untuk pengutaraan itu, "Mengenai urusannya Kiau Liong ini, Siu Lian sudah bersumpah akan
tidak campur tahu lagi." Bou Pek terangkan lebih jauh.
"Tadi malam Tay Po hampir-hampir kena dibekuk di
gedung keluarga Lou, dari malam tadi terus sampai siang ia mengeram di Cek-sui-tha, ia sampai tidak napsu dahar,
rupanya ia ada sangat masgul dan kewalahan. Melainkan
Lo Siau Hou, orang tak tahu ia bersarang dimana ..."
"Jikalau ia itu disingkirkan, urusan akan jadi sirap," kata Tiat pweelek, dengan mendongkol. "Maka kalau kau
bertemu padanya, kasihlah tahu supaya ia segera
meninggalkan kota raja, jikalau tidak, aku akan turun
tangan. Kita capaikan hati dalam urusan ini melulu untuk cegah Kiau Liong jadi binal, supaya ia jangan berbuat
semau-maunya saja, siapa tahu, akibatnya ada begini rupa.
Sekarang coba tunggu lagi setengah bulan, apabila ia benar tinggal dengan tenang di rumahnya keluarga Lou, kau
boleh tidak usah pedulikan lagi padanya. Pedang pun aku
tak inginkan lagi. Kau kenal Lo Siau Hou, maka itu
sekarang aku suka kasih ampun padanya. Peringatkanlah
padanya agar ia lempar saja cita-citanya. Dahulu ia ada satu berandal, ia sekarang menjadi seorang luntang-lantung, dari itu, ia tak sembabat untuk menjadi pasangannya satu nona.
Aku tak dapat membiarkan ia terus-terusan mengacau di
kota raja ini."
Bou Pek semua berdiam mereka tidak mau buat pwelek
itu jadi naik darah.
Setelah itu, pertemuan itu dibubarkan.
Sekeluarnya dari kamar berunding, Kong Ciau dan Siau
Hong lantas ikut Bou Pek ke kamarnya.
Begitu berada di dalam kamar, Siau Hong lantas tertawa.
"Sungguh satu kamar yang indah dan menyenangkan!" ia kata seraya memandang ke sekitarnya. "Ini ada suatu tanda bagaimana bagus Pweelek-ya telah perlakukan kau!"
Bou Pek bersenyum seraya terus menggeleng kepala.
"Aku sudah ambil purusan akan tidak berdiam lama di sini!" ia kata. "Pweelek-ya larang kita campur tahu lagi urusannya Kiau Liong, akan tetapi besok atau lusa, aku
mesti cari padanya, untuk bertemu satu kali saja. Apa yang sukar adalah ia selalu berdiam di dalam kamar dan ada tak bagus untuk aku masuki kamarnya. Tadi malam Siu Lian
sudah tanya ia tentang mati hidupnya Ah Hiap, perihal
bukunya itu orang gagah yang gagu, tetapi Kiau Liong tetap tidak mau bicara. Aku percaya bahwa satu waktu aku akan
ketemu Kiau Liong diluaran. Ia ada licin dan keras hatinya, aku percaya, walaupun Lou Kun Pwee pandai, ia tak akan
bisa pengaruhi Kiau Liong untuk selama-lamanya. Aku
tidak percaya Kiau Lioug kesudian jadi isterinya Kun
Pwee!" "Jikalau urusan sudah beres, satu sama satu, aku akan
hadapi Kun Pwee!" kata Khu Kong Ciau yang juga ada
sengit sekali. "Sabar, Hou-ya." Siau Hong berkata. "Sekarang baiklah kita semua sabar, akan lihat keadaan sebagaimana
putusannya Pweelek-ya."
Setelah itu bertiga mereka bicara urusan pembalasan
sakit hati keluarga Yo terhadap musuh besarnya, pihak Ho Siau Hong ingin bantu nyonya mantunya agar Lee Hong
tak usah terus mendendam dan ingin cari saja musuhnya
itu. Ia ingin Siu Lian diminta jangan berlalu dulu dari kota raja.
Bou Pek setujui Siau Hong.
"Baiklah, kita berkabar dahulu." ia kata.
Karena sudah malam, kemudian Kang Ciau dan Siau
Hong pamitan dan pulang.
Besoknya pagi didapat kabar yang di gedung keluarga
Lou tidak ada terjadi apa-apa kelihatan penjagaan tak jadi kurang kerasnya.


Harimau Mendekam Naga Sembunyi Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Begitupun kejadiannya pula, keluarga Lou ada aman
sentosa. Kabar yang didapat adalah bahwa orang pun telah pergoki Lo Siau Hou di Kota Barat, Poan Thian In ada
bersama dua pengikutnya, tetapi mereka itu, yang dikejar, tak dapat ditangkap.
Siu Lian masih berdiam diri di rumahnya Siang Moay, ia
jarang keluar, nyata ia ada kehilangan kegembiraannya.
Di lain pihak, Tay Po ada mendongkol, sampai ia
hampir jatuh sakit. Ia rupanya sesalkan pedang yang sudah ada di tangannya tetapi lenyap pula, hingga lenyap pula
harapannya akan agulkan diri, untuk menghadap di Siau
Pweelek-ya sambil angkat dada. Dengan tak ada pedang, ia tidak bisa agulkan diri, ia tak usah harap bisa minta
pertolongan dari itu pangeran Boan.
Perihal Su Poancu dan Kau Jie Chiu juga tidak ada
kabar-ceritanya, entah mereka keram diri di mana, sering Bou Pek dan Ceng Lee keluar pesiar, belum pernah mereka
ini ketemui mereka itu.
Lou siauya, sebagaimana biasa, masih tetap keluar sore
dari gedungnya dan pulang pagi, tempat di mana ia
bermalam adalah satu rahasia.
Giok tayjin, yang telah majukan permintaan meletakkan
jabatan, permohonannya itu sudah diterima baik, berbareng dengan keberhentiannya, ia digantikan oleh seorang she
Pau, yang kabarnya ada jujur, sebagaimana dibuktikan,
begitu ia terima tugasnya, teetok yang baru ini lantas
keluarkan aturan keras. Terharap segala buaya darat,
hingga Toh Tau Eng dan konco-konconya tak berani
sembarangan muncul di warung-warung arak.
Giok thaythay mesti rebah di pembaringan. Nyonya ini
mendapat sakit karena kemasgulan, malu dan kemendongkolan yang tidak bisa dilampiaskan, karena
sakitnya berat, orang sampai sedia-sedia untuk kematiannya
... Kiau Liong setiap hari pergi tengok ibunya. Orang bilang ia telah menjadi perok dan kurus. Selama ia mundar-mandir, dengan naik kereta, ia ada diiringi oleh orang-orang polisi atau pahlawan.
Hawa udara ada sangat panas, tetapi di sebelah itu,
desas-desus di luaran telah menjadi reda, orang seperti lupai kehebatan. Sekarang, kalau toh orang bicara, orang harap-harap keluarga Giok nanti pasang tetarap, buat urus
jenazahnya Giok thaythay, orang agaknya senang akan
lihat Kiau Liong pakai pakaian berkabung ...
Melainkan kadang-kadang saja orang kuatir Siau Hou
muncul dan ngamuk dengan panahnya yang liehay.
Pada suatu malam, dikamarnya Giok thaythay ada
kedapatan Po In bersama anak perempuannya, Hui Cu. Ini
putera pertama ada sangat berbakti, ia masgul buat sakitnya itu ibu, ia merawat siang dan malam. Hui Cu adalah cucu
yang sangat disayangi oleh si nyonya tua.
Giok thaythay merintih karena sakitnya itu.
"Kasihan Kiau Liong," orang tua ini mengeluh. "Dalam semua hal, aku tidak salahkan padanya. Aku hanya
sesalkan diriku sendiri yang selama di Sinkiang sudah
kurang perhatikan padanya. Kalau nanti aku menutup
mata, urus saja mayatku secara sederhana, jangan
hamburkan uang. Yang penting adalah kau, salah satu
mesti tinggal di sini, untuk rawat ayahmu, untuk sekalian lihat-lihat adikmu perempuan itu."
Po In menangis, ia berjanji akan perhatikan pesanan itu.
Hui Cu menangis, ia pegang keras-keras tangan nyonya
tua itu. Malam itu turun hujan, suaranya terdengar nyata di luar
jendela. Api di dalam kamar ada suram. Kecuali suaranya
sang hujan, segala apa ada sunyi. Po In berdiam, anaknya menangis dengan perlahan, ibunya merintih.
Selagi keadaan sunyi itu, tiba-tiba daun jendela ada yang dobrak sampai terpentang, seorang loncat masuk. Ia nyata ada seorang perempuan, tangannya menyekal sepasang
golok, pakaiannya serba hijau, mukanya yang kiri ditempel koyo.
Po In kaget tetapi ta masih ingat akan lantas minta
ampun. Orang perempuan itu bukan mencari uang, dengan satu
kali ayun, ia bacok Hui Cu, hingga nona ini rubuh sambil menjerit keras, kemudian ia angkat lampu dan sambitkan
itu kepada Giok thaythay di atas pembaringan, hingga
nyonya tua itu kaget bukan main. Api pun hampir
membakar pembaringan.
' Aku ada Jie Siu Lian. Aku datang kemari atas titahnya
Lie Bou Pek dan Khu Kong Ciau!" demikian penyerang itu
ketika ia loncat keluar jendela, untuk kabur.
Po In kaget sampai ia tak berdaya.
Hui Cu terluka dipunggungnya, luka itu tidak
membahayakan jiwa, tetapi cukup hebat untuk satu nona
cilik, maka juga ia terus menangis dan menjerit-jerit.
Yang hebat adalah Giok thaythay yang kaget, sampai
napasnya tinggal sekali demi sekali tarikan ...
Di itu malam juga orang dikirim ke gedung keluarga
Lou, untuk menyampaikan kabar hebat pada Kiau Liong
dan si baba mantu.
Anehnya itu malam Kun Pwee juga ada di gedungnya, ia
tidak tidur mengumpat di rumah sahabatnya seperti
biasanya. Hujan-hujan dengan naik kereta, dengan diiringi banyak
pahlawan, suami isteri ialah Lou Kun Pwee dan Giok Kiau
Liong, berangkat ke gedung keluarga Giok.
Begitu lekas ia injak kamar mertuanya, Kun Pwee
menangis, air matanya turun dengan keras. Ia banting-
banting kaki ketika ia lihat lukanya itu keponakan
perempuan. "Ini kejadian mesti segera dilaporkan!" ia kata dengan sengit. Ia mau pakai karcis namanya keluarga Giok dan
karcis namanya sendiri juga.
"Lam Pok Gee-mui dan Sun-thian-hu mesti diberitahukan, supaya mereka lantas kirim orang akan
bekuk Jie Siu Lian, Lie Bou Pek dan Khu Kong Ciau!"
"Jangan!" mencegah Kiau Liong. "Jie Siu Lian dan Lie Bou Pek ada orang-orang gagah dari kalangan Sungai
Telaga, tidak nanti mereka begitu bernyali keji dan
melarikan diri! Kau boleh kirim seribu serdadu dan
punggawa, mereka pasti tak akan mampu tangkap mereka
bertiga. Paling benar aku minta kau ini malam lepaskan
aku, buat ini satu kali saja!"
Po In kaget, mukanya sampai jadi pucat.
"Menurut aku baiklah kau bersabar saja," ia kata dengan lemah. "Aku percaya itu penjahat perempuan tak bakal datang pula kemari."
Kun Pwee awasi isterinya, ia tidak menerima baik dan
pun tidak menampik. Sikapnya ada dingin sekali,
nampaknya kejam. Ia segera juga pikir, "Yang luka toh keponakanmu, yang mau mampus toh ibumu, kau boleh
buat apa yang kau suka, aku peduli apa!"
Sikapnya Kiau Liong lantas saja jadi berubah, dengan
mendadakan lenyaplah kelesuan atau kemasgulannya. Ia
kumpulkan semua bujang.
"Kau semua mesti bisa simpan rahasia, jangan hal ini bocor keluar hingga orang bisa timbulkan segala cerita gila-gila!" ia kata dengan keren. Di lain pihak, coba kau cari tahu di mana ada tempat kediamannya Jie Siu Lian dan
kawan-kawannya itu. Sekarang kau boleh periksa seluruh
gedung ini."
Setelah itu, Kiau Liong tolong keponakannya buat
bersihkan lukanya dan diobati. Hui Cu ada salah satu
keponakan yang ia paling sayang, dan sekarang bocah ini
terluka demikian macam, tidak heran kalau ia jadi merasa sakit hatinya dan murka. Sesudah urus keponakannya, ia
lantas dekati ibunya.
"Apakah artinya ini?" tanya Giok thaythay, yang terus merintih. "Liong-jie, anakku, apakah artinya ini kejadian"
Apa bisa jadi ayahmu, selama ia pangku pangkatnya, ia
telah binasakan terlalu banyak penjahat, maka ia sudah
tanam bibit permusuhan, hingga sekarang kita dapatkan ini
macam pembalasan" Berulang-ulang orang telah datang
mengganggu kita ... "
Kiau Liong kucurkan air mata, ia hiburkan ibunya.
"Tidak, ibu ... Baiklah ibu jangan kuatir dan berduka ...
Anakmu nanti urus itu semua ... "
Po Tek berada di sini, tetapi ia diam saja laksana patung.
Po In berdiri dengan alis mengkeret.
Kun Pweepun berdiam, tetapi sikapnya sekarang ada
beda dari pada yang sudah-sudah. Biasanya, kalau ia
datang, ia berlaku angkuh dan jumawa, sekalipun terhadap mertua perempuannya. Terhadap isterinya, ia pun bawa
sikap keren. Tapi sekarang, ia kelihatan berbudi pekerti halus, terhadap Kiau Liong, tidak lagi ia bersikap kaku dan bengis.
Tidak lama, sang fajar datang, sang hujan pun berhenti.
Kun Pwee pergi cari mertua lelakinya.
Giok tayjin telah keram diri di kamar tulis sejak itu hari keluar putusan yang permohonannya meletakkan jabatan
dikabulkan, ia hampir tidak melangkah pintu. Ketika ia
lihat baba mantunya, ia menghela napas.
"Di dalam rumah sendiri ada penjahat perempuan, cara bagaimana penjahat perempuan dan luar bisa tak datang?"
ia kata. "Sekarang baru Hui Cu yang terluka, masih
beruntung. Di belakang hari juga jiwaku yang sudah tua ini akan terancam, maka kau jagalah saja ... Ah!"
Dan orang tua ini batuk-batuk.
Diam-diam Kun Pwee bergidik akan dengar kata-
katanya mertua itu.
"Baiklah gakhu tayjin jangan menduga-duga yang tidak-tidak, dan jangan berkuatir," ia kata dengan terpaksa.
"Dalam perkara ini, aku sudah punyakan daya, Dalam
tempo empat atau lima hari, semua penjahat yang
mengeram di dalam kota ini, Jie Siu Lian dan Lo Siau Hou, juga Lau Tay Po dan keroco-keroconya, akan sudah dapat
dibekuk, hingga selanjutnya tak akan terjadi lagi keonaran semacam ini!"
Mertua itu goyang kepalanya berulang-ulang, masih saja
ia menghela napas.
"Apakah sangkutannya urusan kita dengan mereka itu?"'
ia kata. Ia lalu tepuk-tepuk dada. "Sekarang aku telah mengerti semua!" Tapi toh ia menghela napas, ia banting-banting kaki. "Bicara tentang orang jahat, orang jahat yang pertama-tama ada Kho In Gan! Dia ada satu siaujin yang
pintar dan kepintarannya itu telah membantu kejahatannya.
Dialah yang buat celaka keluarga kita hingga sekarang
menjadi begini rupa! ... "
Kun Pwee bisa mengerti kata-kata mertua itu, tetapi ia
tidak mau kata apa-apa. Pikirannya juga sebenarnya ada
kusut sekali. Maka itu, duduk di depan mertuanya, ia unjuk roman guram dan masgul. Kemudian karena ia tidak bisa
kata apa-apa pula, ia berbangkit, dengan sikap menghormat ia undurkan diri.
Sementara itu orang-orang, yang diperintah mencari
keterangan, sudah ada yang balik, laporannya berbunyi
bahwa kejadian semalam tidak ada yang tahu, bahwa Jie
Siu Lian menumpang pada Lau Tay Po di Hwawan Tay-ih,
di waktu siang si nona suka pergi ke rumahnya Tek Siau
Hong, sedang di lain pihak, Lie Bou Pek tinggal di
istananya Tiat siau-pweelek. Tentang "Lo entah apa Hou"
orang tidak tahu di mana berdiamnya, bahwa dia itu
rupanya tak punya hubungan dengan Jie Siu Lian dan Lie
Bou Pek. "Apa yang orang bilang lebih jauh, Lie Bou Pek semua
rupanya ada dapat perlindungan pengaruh dan Tiat
pweelek, maka jikalau mereka ditangkap, ini mesti
mengenai kehormatannya itu orang bangsawan bangsa
Boan," demikian akhir laporan.
Kun Pwee masgul akan dengar keterangan itu.
Tidak lama muncul satu budak perempuan, budak dari
gedungnya sendiri.
"Siau naynay undang siauya," budak itu berkata.
Lou tiehu terperanjat juga. Bukan biasanya Kiau Liong
undang ia. Sambil gendong tangan ia bertindak kedalam ke kamar dimana isterinya berada. Itu ada kamar semasa
isterinya masih menjadi nona Giok.
Melihat suaminya datang, Kiau Liong suruh semua
budak keluar. Ia kelihatannya bersikap adem.
"Mulai ini hari dan selanjutnya, kau boleh legakan hati!"
kata Naga dari Sinkiang, dengan sikapnya yang tawar tapi toh berpengaruh. "Kau pun tidak usah gunakan pula
pengaruhmu, akan menidas kepadaku! Aku sudah ambil
putusan bahwa aku pasrah akan menjadi isterimu!"
Kun Pwee terperanjat, terperanjat bahna heran atas
pengutaraan isterinya itu. Maka itu, sehabisnya terperanjat, ia lantas bersenyum. Ia tertawa.
"Bukannya keinginanku, bukannya kehendakku akan
pengaruhi kau ... " ia kata, "aku hanya ... aku hanya mengharap supaya kau suka menurut padaku agar kita bisa
mengicipi kebahagiaannya penghidupan ... "
"Hm.!" Kata itu nona, mata siapa dibuka lebar.
"Sekarang kau mesti antap aku tinggal di rumah ibuku ini untuk sepuluh hari lamanya dan pedangku Cengbeng-kiam
kau mesti antarkan padaku. Selama sepuluh hari ini, apa
juga yang aku perbuat kau tidak boleh campur tahu!
Sesudah sepuluh hari, aku nanti pulang, itu waktu aku akan ikhlas menjadi isterimu!"
Kun Pwee ada begini bergirang sampai tubuhnya
gemetar. "Baik, baik, semua permintaanmu aku terima!" ia jawab dengan lekas. Dan ia tertawa pula.
Kiau Liong masih mengawasi dengan tajam, lalu ia
menghela napas, tubuhnya ia putar.
"Nah, kau pergilah!" ia kata, suaranya enteng, tetapi itu ada satu perintah.
Kun Pwee menurut, ia lantas keluar. Ia ada girang sekali.
Ia lantas pamitan dari kedua mertuanya, dan toaku serta
jieku, ia naik keretanya, akan berjalan pulang. Ia turunkan tenda kereta. Ketika ia sampai di gedungnya, ia bekerja
dengan cepat. Ia kirim empat orang kepercayaannya, akan
antar Ciangbeng-kiam pada Kiau Liong. Sebagai pengantar, ia utus pahlawannya yang baru, yang katanya pandai
bugeeyaitu Ngo-thong-san Yu Yong. Untuk ini, mereka
naik tiga buah kereta.
Kiau Liong muncul di thia depan waktu ia dikabarkan
hal datangnya orang-orangnya Kun Pwee yang membawa
pedang, ia perintah satu budaknya sambuti pedang itu,
kemudian ia bawa itu pedang ke dalam kamarnya. Dalam
sesaat itu saja, air mukanya, gerakannya nona itu, lantas berubah.
Kiau Liong merasa bahwa ia sudah bebas dari
belengguan, lenyap kemasgulannya, datang kemurkaan
sebagai gantinya. Ia telah ambil putusan akan sebentar
malam tempur Jie Siu Lian, guna balas sakit hatinya Hui
Cu, keponakannya yang ia sayang. Ia malah berniat bunuh
nona Jie. "Kalau aku sudah membalas sakit hati dan aku tak
binasa, biarlah aku jadi isterinya Lou Kun Pwee yang aku sangat benci ... " ia kata dalam hatinya. Tapi ia berpikir sambil berjengit, kedua giginya bercatrukan.
Ada susah untuk nona ini kendalikan diri. Ia ada sangat
sengit, hingga ia seperti kalap.
"Langit, lekaslah menjadi gelap!" ia berseru keluar jendela. "Jie Siu Lian, manusia dengan hati binatang, ini malam kau nanti ketahui aku siapa."
Justru Kiau Liong harapi sang siang lekas jadi malam,
justru siang hari jadi seperti sangat lambat.
Kota Pakkhia ada tenteram seperti hari-hari yang sudah,
penyerangan di gedung keluarga Giok itu tetap belum ada
yang ketahui. Tay Po ada sangat lesu, hatinya tawar, ia malu ketemu
orang, maka itu, ia pun tidak dengar-dengar keadaan,
malah ia telah kemasukan angin, hingga ia rebah saja, tidak napsu dahar. Ia rebah di rumah di Cek-sui-tha, ia tidak
pernah keluar pintu.
Di sarang ini ada berdiam Hoa-gu-jie Lie Seng, Pheng
Kiu, Toh Tau Eng dan lain-lain kambratnya, mereka itu
buat banyak berisik dengan kegemarannya berjudi. Dalam
uring-uringannya,Tay Po hajar mereka dan usir pergi, ia
damprat mereka, seperti juga ia hendak putuskan
persahabatan, karena itu, ia jadi berada sendirian.
Tapi itu hari, Siang Moay datang menyusul.
"Kau tidak mau pulang, bagaimana?" tanya isteri ini.
' Mustahil kau hendak tinggal tetap siksa diri di sini" Kau
toh bukan baru ini satu kali jatuh" Sebenarnya, semakin kita jatuh, semakin kepala kita keras ... "
"Tapi sekali ini aku tidak bakalan bisa bangun pula. Aku telah berdaya dengan susah payah, aku telah menempuh


Harimau Mendekam Naga Sembunyi Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bahaya, pedang sudah ada di tanganku, Kiau Liong sendiri serahkan itu padaku, siapa tahu melainkan dalam sedetik
saja,itu orang-orang celaka telah gaet aku, hingga aku jatuh pedang terlepas. Syukur Houya keburu datang menolong
aku, kalau tidak, aku akan turut lenyap bersama pedang itu
... Maka sekarang aku tidak bisa kata apa-apa, aku hanya sesalkan diri, yang berbugee rendah, beda jauh bila
dibandingkan dengan lain orang! Aku tidak berdaya, aku
tidak mau pulang, karena aku malu untuk bertemu dengan
kau ... " "Sebenarnya sudah dari siang-siang kau tidak punya
muka!" kata Siang Moay pada suaminya itu. "Kau tidak punya muka akan ketemui isterimu, baik, tetapi, apa kau
juga tidak punya muka akan tengok anakmu?"
Tay Po bungkam, ia kena didesak.
Siang Moay ulur tangannya, akan jambak suaminya,
untuk diangkat bangun.
"Lekas, mari kita pulang," berkata isteri yang menyinta
ini. "Di rumah kita nanti pikir bagaimana kita harus bekerja! Kalau rasanya di Pakkhia ini kita benar-benar tidak bisa tinggal lebih lama, baiklah bersabar sampai aku sudah melahirkan, nanti sama-sama kita pergi ke lain propinsi!
Kita masih bisa menjual silat!"
"Kita menjual silat" Siapa yang sudi tontoni?"
"Bila demikian, apa juga kita jangan lakukan, kita
tunggui saja datangnya kelaparan dan mati!" Siang Moay sengit.
"Kau tahu, aku punya simpanan uang tak ada belasan
tail perak lagi," ia kata dengan perlahan, "maka lagi beberapa bulan, buat membayar dukun saja kita sudah tidak mampu. Apakah kau mau terus rebah di sini dan tidak
pulang-pulang" Bagaimana, suami di sini isteri di sana,
uang tidak ada. Kau mau berpura-pura jadi mayat hidup!
Dasar peruntunganku buruk, ayah dan ibu sudah menutup
mata, aku ikuti kau. Aku sangka kau ada satu enghiong
terbesar, siapa tahu kau sebenarnya ada seorang biasa saja.
Lihat Lie Bou Pek, lihai Lo Siau Hou! Malah Kau Jie Ciu
ada terlebih gagah dari padamu."
Nyonya itu tutupi mukanya dan lantas menangis.
Tay Po loncat bangun.
"Apa kau bilang?" ia berseru. "Kau agulkan lain orang dan turunkan drajat sendiri" Lo Siau Hou ada seorang tolol, Kau Jie Chiou ada satu pancalongok, mereka tak dapat
dibandingkan dengan aku! Lie Bou Pek" Ia benar ada di
atasan aku! Sudah berulang-ulang aku runtuh, tetapi, lihat buktinya! Akhir-akhirnya toh Giok Kiau Liong takut aku,
setelah serahkan pedangnya padaku! Sungguh beruntung
Lie Bou Pek, ia datang ke mari dan tidak lakukan suatu
apa, toh ia disebut enghiong! ... "
"Toh mereka ada bermuka terang!" Siang Moay bilang.
"Tidak sebagai kau! ... "
Tay Po menjadi sengit hingga ia pale kepalannya.
"Bagus! Kau pun tak lihat mata padaku?" ia berseru. "Aku mesti lakukan suatu apa, untuk kau lihat! Aku tidak mau
pulang, kecuali mukaku sudah menjadi terang. Ingat
olehmu andaikata aku terbitkan onar, sampai namaku
termashur, atau nanti aku binasa dimuka pintu gedungnya
keluarga Lou atau keluarga Giok, jangan kau pergi ambil
mayatku. Lie Bou Pek, Lo Siau Hou, Kau Jie Chiu,mereka
semua ada sebatangkara, kau boleh pilih mereka, kau boleh menikah sesukanya!"
Siang Moay ada begitu mendongkol hingga telapakan
tangannya melayang ke bacot suaminya, mulut siapa ia
terus bekap, kemudian sambil menangis, ia peluk suaminya itu.
"Jangan kau terbitkan onar!" ia kata. "Jangan! Aku cuma mau buat kau gusar. Kau sebenarnya ada terlebih baik
daripada mereka."
Hatinya Tay Po menjadi sabar dengan mendadakan. Ia
suka dengar bujukan istetinya, ia lantas ikut isteri itu, tinggalkan sarangnya di Cek-soat-hu ini, pulang ke
rumahnya. Di tengah jalan ia ketemu dengan Toh Tau Eng.
Mendadakan si Garuda Botak tarik tangan kawannya itu,
buat diajak kedalam satu gang kecil. Ia agaknya berada
dalam kekuatiran benar.
"Tadi malam di gedung keluarga Giok terjadi onar,"
kawan itu segera berbisik. "Kabarnya ada satu penjahat perempuan telah menerjang masuk dan sudah melukai
orang ..."
Tay Po terperanjat sampai ia berjingkrak. Iajadi
bersemangat. "Lekas kau mencari tahu halnya itu ... " ia kata. "Aku tunggu kau di rumah!"
Toh Tau Eng lantas berlalu. Tay Po dan isterinya pun
terus pulang. Siu Lian ada di rumah, ia sedang menjahit. Ia menyesal
dan mendongkol sebagai hasil kunjungannya pada Giok
Kiau Liong. Ia tidak berdaya menginsyafkan nona Giok,
untuk bicara terus terang.
Kiau Liong tidak mau bicara tentang Ah Hiap dan kitab
ilmu silatnya, dia tak mau kembalikan Cengbeng-kiam.
Yang buat ia sangat menyesal dan mendongkol adalah
tempo Kiau Liong nyatakan ikhlas akan nikah Lou Kun
Pwee. Toh sudah terang suami itu tidak disukai, malah
dibenci! Bagaimana satu nona elok dan gagah mau pasrah
diri pada orang semacam tiehu itu" Ia menyesal Kiau Liong tidak mau bersikap sebagai seorang gagah. Malah ketika ia mendesak Kiau Liong justru gusar. Sampai hampir mereka
adu tenaga. Ia mendongkol ketika Kiau Liong minta ia
jangan campur lagi urusannya ia itu. Maka itu, ia pulang dengan mendelu, hingga ia ambil putusan, adalah paling
benar buat ia jangan pedulikan lagi nona Giok itu. Ia sudah pikir untuk pulang saja ke Kielok, tapi apa mau Tek Siau Hong tahan ia. Orang Boan itu minta ia menunggu
setengah bulan, buat urus perkara sakit hati keluarga Yo, guna cari musuhnya Lee Hong. Ia tidak bisa tolak
permintaannya Siau Hong. Benar ada Siang Moay sebagai
kawan, akan tetapi, untuk bergaul rapat dalam tempo yang panjang ia tak merasa cocok. Mereka berdua ada punya
sifat yang berlainan. Juga itu hari, sedang tawar hati, Siu Liant tidak pergi pada Tek naynay. Maka itu, ia ambil
penjahitan sampai ia lihat Siang Moay pulang bersama
suaminya. Mukanya Tay Po merah sendirinya akan lihat nona Jie.
Syukur Toh Tau Eng ada bawa kabar penting, maka itu, ia
lantas dapat bahan untuk bicara. Ia sampaikan laporan dari si Garuda Botak.
Siu Lian terperangah dan heran, akhirnya ia jadi masgul.
"Dari mana datangnya penjahat perempuan itu?" ia kata.
"Setahuku, sekarang ini tidak ada penjahat perempuan yang liehay. Dulu ada Ang-hoa ... Liu Bong Siang, ia sudah
binasa di tangannya saudara Bou Pek. Satu lagi ada
isterinya Thio Ciu Kin, Lie Mo-ong Ho Kiam Go, tetapi di Kayhong, ketika ia coba gunakan akal busuk akan celakai
aku, aku terpaksa berikan hajaran padanya. Kecuali
mereka, sekarang ini sudah tidak ada lain orang lagi ... "
"Siapa tahu?" kala Tay Po. "Kiau Liong toh ada yang paling belakang menjelma, baru tahun yang lalu ia
muncul!" Dan ia tunjuk Siang Moay. "Disini ada isteriku ini! Coba perutnya tidak ada sebesar itu, mengapa ketika Kiau Liong tidak ada di rumah, ia pun sanggup lakukan
kerjaan itu! Maka aku percaya, kecuali golongan kita,
sekarang ini di Pakkhia ada mengeram seorang perempuan
lain!" "Jahanam!" berseru Siu Lian. "Ia tak berani langsung mencari Kiau Liong, ia satroni rumah orang dan lukai
orang yang tidak berdaya, apa ia satu enghiong?" Ia lantas letaki penjahitannya. "Nanti aku pergi mencari keterangan!"
Siang Moay segera menghalangi.
"Tidak usah, Toh Tau Eng sudah pergi untuk cari
keterangan terlebih jauh," kata ini nyonya muda. "Dalam hal melakukan penyelidikan, ia ada terlebih pandai dari
pada kita, sahabatnya pun banyak, orang pun tak akan
gampang-gampang curigai padanya. Tidak demikian
dengan kau. Bila si penjahat perempuan lihat kau, tentu ia lantas sembunyikan diri! ... "
Siu Lian bisa dikasih mengarti.
"Kalau begitu, tolong kau cari Su Poancu dan Kau Jie Chiu," ia kata pada Tay Po.
"Mereka itu entah telah terbang ke mana, di mana aku mesti cari mereka?" kata Itto Lianhoa, "Pun Hou-ya, aku tidak tahu ia sudah pergi meringkuk di dalam gua yang
mana! ... Sekarang ini aku benar-benar jadi Itto Lianhoa
yang tulen, ialah setangkai bunga terate yang tak ada
daunnya! Sekarang aku ada sebatang kara ... "
Siang Moay tertawa,
"Duduklah, encie, kita tunggui Toh Tau Eng saja," ia bujuki Siu Lian.
Siang Moay tidak ingin nona Jie berlalu dari rumahnya,
ia ingin si nona menjadi penganjur dari suaminya, supaya suami itu tidak melempem.
Orang menunggu sampai sore, sampai habis bersantap,
baru Toh Tau Eng muncul.
"Aku tak berhasil untuk peroleh keterangan," kata si Garuda Botak. "Toh benar penyerangan sudah terjadi cuma sukar diketahui, siapa yang telah dilukai. Aku percaya itu bukannya Giok Kiau Liong." Ia keluarkan lidahnya ketika ia menambahkan. "Lo Siau Hou benar-benar besar
nyalinya! Tadi aku lihat dia di sebelah timur dekat
rumahnya keluarga Giok. Di situ ada sebuah kereta baru,
yang menarik perhatianku, lantas aku hampirkan. Kereta
memakai tenda hijau dan dikasih turun rapat-rapat. Aku
percaya, penumpang kereta itu mesti ada satu pembesar
negeri, si kusir aku seperti kenali, di mukanya ada tanda tapak golok. Dengan karpusnya ia telah tutupi mukanya
sampai sukar untuk dikenali. Aku sengaja lewat di
depannya sekali, dari celah-celah tenda aku melihat ke
dalam, dan aku berhasil."
"Penumpang kereta itu nyata ada Hou-ya. Ia pakai
kopiah hijau, bajunya ada thungsha hijau juga terbuat dari sutera, tangannya ada memegang kipas. Kumisnya telah
dicukur licin, mukanya sampai terang mengkilap. Aku tidak tahu, kenapa ia dandan demikian rupa?"
Tay Po melengak, tetapi akhirnya ia tertawa.
"Ya, ia benar bernyali besar!" ia kata. "Aku percaya ia sedang cari dua Liaulo-nya. Pasti ia belum puas, ia masih berdaya untuk culik isterinya, buat dibawa buron! Mula-mula, ia suka berlaku sabar dan teliti, ia bisa berpikir, hanya kapan sudah sampai saatnya, lantas ia jadi lupakan
rencananya!"
Tapi Siang Moay dengar warta itu dengan hati jeri.
"Dalam beberapa hari ini baik kau jangan sering keluar,"
ia pesan suaminya. "Lebih baik lagi bila kau tidak campur urusan itu, ... Kau mesti mengerti, kalau lagi-lagi Siau Hou terbitkan onar, kau tentu bisa kerembet-rembet." Kemudian ia menoleh pada Siu Lian.
"Toacie, apakah pembicaraanku ini tidak benar?"
Siu Lian tidak menjawab, ia sedang berpikir. Di mana
urusan ada mengenai Kiau Liong, aku memang tak suka
dengar ... " ia kata.
Toh Tau Eng tidak berkata-kata lagi, ia terus pamitan.
Malam itu Siu Lian mita Siang Moay geser tempat
tidurnya dan golok ke kamar selatan, karena Tay Po sudah pulang, Tadinya ia tidur sama-sama nyonya itu. Tempat
tidurnya pun ia ambil dari rumahnya Siau Hong. Di kamar
itu, ia pasang lampu dan Siang Moay temani ia bercakap-
cakap. "Sudah malam, toacie, tidurlah." kemudian kata Siang Moay sambil tertawa. Ia seduhkan teh untuk nona
tetamunya itu. Ia terus balik ke kamar utara.
Kamar ada terang, jendela kaca tidak dipakaikan tirai,
maka itu, Siu Lian bisa lihat luar jendela yang gelap. Hujan seperti mau turun, rembulan tertutup awan. Dalam keadaan seperti itu, semangatnya nona Jie terbangun. Buat Li?.1 ...
sebisanya akan menyaksikan, akan berlatih silat, di waktu
tengah malam. Dan selama merantau malam juga ada
sebagai gantinya siang. Malam itupun, ia tidak dapat
keinginan untuk tidur. Tapi ia senderan, ia duduk dengan masgul.
Sepasang goloknya ia letaki di atas meja. Itu ada golok
buatan baru, timbangannnya ada sedikit lebih berat dari
pada yang lama.
Dua kali nona ini menghela napas. Malam semakin
larut. Rumahnya Siang Moay ada dekat tembok, di depannya
ada pekarangan lebar.
Dari kejauhan ada terdengar lapat-lapat suaranya
kentongan. Lama-lama, Siu Lian merasa letih juga, ia mulai ngantuk. Tapi adalah di itu waktu ia terperanjat. Ia dengar suara berkelisik di pintu, tatkala ia menoleh, ia lihat daun pintu telah terpentang dengan tiba-tiba, di situ nerobos masuk satu orang. Satu orang dengan baju dan celana hijau, rambutnya dibungkus dengan cita hijau juga, tubuhnya
jangkung dan langsing. Dan ia ini ada Giok Kiau Liong!
"Eh, mau apa kau datang kemari?" nona Jie menegur ia tidak bergerak dari tempatnya duduk, ia tidak kaget atau heran. Ia menegur dengan sungguh-sungguh.
Nona Giok tidak menyahut, ia bertindak mendekati.
Tiba-tiba tangannya bergerak ke punggungnya, Cengbengkiam terhunus dengan segera, dengan pedang
mustika itu, ia menerjang dengan sama mendadaknya!
Diserang secara demikian hebat, Siu Lian tidak jadi
gentar. Dengan satu egosan tubuh, ia lolos dan sasaran
pedang, sebaliknya, dua-dua tangannya sudah sambar
sepasang goloknya.
Kiau Liong maju pula, ujung pedangnya dikasih bekerja,
tujuannya adalah dadanya si nona Jie. Dia masih tidak
mengucap sepatah kata, ia kelihatan ada bernapsu.
Siu Lian mundur terus ia loncat naik keatas
pembaringan. Kalau tidak, ia akan terdesak. Dari situ ia lintang goloknya seraya ia menegur pula dengan nyaring.
"Eh, apa kau sudah gila" Kau kenapa?"
Kiau Liong memandang dengan mata melotot, ia ada
sangat murka. "Kenapa" Aku justru hendak tanya kau!" ia berseru.
"Kau jangan berpura-pura! Aku pandang kau sebagai satu
enghiong perempuan! Jangan kau perhatikan pertempuran
kita yang sudah-sudah, aku sebenarnya kagum terhadap
kau! Tapi sekarang, sekarang kau ternyata ada binatang
yang bermuka manusia!"
"Kaulah yang manusia berhati binatang!" Siu Lian membaliki. "Cara bagaimana kau berani maki aku?"
Nona itu ada sangat gusar, hingga ia terus menyerang.
Karena Kiau Liong pun ada sedang sengit, ia tangkis
bacokan itu. Siu Lian tahu lawan ada bersenjatakan pedang mustika,
ia tak mau adu senjata. Ia tarik pulang goloknya sambil
loncat turun ke sampingnya nona Giok, begitu sebelah
kakinya menginjak tanah, dengan kaki yang lain, ia
menendang. Kiau Liong lagi menyerang, ia tidak keburu tarik
pedangnya untuk dipakai menangkis pula, maka itu, ia
geraki kaki dan tubuhnya untuk berkelit tapi sambil berbuat begini, dengan pedangaya ia balas membacok.
Sesudah orang maju, Siu Lian loncat ke pintu, terus
keluar. Walau bagaimana, suara mereka ada berisik, dari itu,
Tay Po di kamar utara menjadi terperanjat. Ia kenalkan
suaranya Siu Lian dan juga Kiau Liong.
"Cade!" ia kata pada isterinya. "Inilah hebat. Bisa jadi nona Jie tidak sanggup lawan Kiau Liong, aku mesti pergi untuk cari Lie Bou Pek."
Ia berbungkuk sambil jambret bajunya, yang ia terus
pakai sembari ia lari keluar. Ia tidak menuju kepintu, hanya ia loncat naik ke atas genteng, dari situ barulah ia kabur kejurusan Pweelek-hu. Ia benar-benar mau cari Lie Bou
Pek. Siang Moay ambil piaunya yang ia simpan di bawah
kasur. Waktu ia muncul, ia justru lihat Siu Lian lari keluar dan Kiau Liong mengejar. Dua nona itu ada punya gerakan
yang sangat gesit. Untuk berikan bantuannya, ia lantas
menimpuk. Serangan ini gagal, saking gesitnya si Naga dari Sinkiang. Hanya, sebab naga itu berkelit, Siu Lian dapat ketika akan menyingkir lebih jauh dari ianya.
Siu Lian masih saja lari, ia loncat tembok, akan turun di lain sebelah.
Dengan sedikitpun tidak merasa jeri, dengan tidak
pedulikan orang yang serang ia dengan piau, Kiau Liong
kejar si nona Jie. Ia loncat naik ketembok, ia pun loncat turun ke lain sebelah. Baru saja ia sampai ke bawah,
sebatang golok sudah sambar ia.
Siu Lian tidak lari, ia hanya menunggu, ketika Naga
Sinkiang sampai, ia membarengi membacok.
Kiau Liong tidak berkelit, ia menangkis dengan
pedangnya. Oleh karena tidak ingin adu senjata. Siu Lian tarik
pulang goloknya, tetapi dengan goloknya yang kiri, ia
menerjang pula. Ia banyak kewalahan ketika ia lihat Kiau Liong selalu mencoba untuk memapas goloknya. Maka itu,
ia berkelahi dengan mesti perlihatkan kegesitan tubuh dan kesebatan kedua tangan.
Sekarang mereka bertempur di tempai terbuka.
"Giok Kiau Liong, apa kau sudah edan?" ia menegur
sambil melayani terus. "Kau mesti tahu, aku sudah
memberikan muka kepada kau! Kau mesti ingat, aku pun
telah melepas budi padamu! Kenapa kau hendak buat aku
celaka. Ah, kau mirip dengan seekor anjing."
"Kaulah anjing!" demikian ada balasan sengit dari nona Giok itu. "Dan kau masih sebut dirimu perempuan gagah!
Kenapa tadi malam kau bokong kita! Kenapa kau lukai
keponakanku, sampai ibuku yang sedang sakit menjadi
kaget. Sekalipun seekor anjing tak akan berbuat demikian pengecut! Apakah kau kira aku takut melulu sebab aku tak hendak melayani kau?"
Ia loncat mencelat, ia menerjang dengan pedangnya,
serangannya itu berbahaya bukan main, terutama karena ia gunakan pedang mustika.
Siu Lian kaget, terutama atas ucapan orang. Ia berkelit
buat itu serangan, ia lantas coba tempo orang punya pedang untuk ditahan.
"Tahan dulu!" ia berseru.
Kiau Liong tidak sudi dengar seruan ini, ia tak meladeni.
Ia menerjang, dengan semakin hebat.
Siu Lian sudah perlihatkan kepandaiannya, akan lawani


Harimau Mendekam Naga Sembunyi Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pedang tajam luar biasa itu. Ia mesti unjuk kegesitan
istimewa akan tandingi kegesitannya Naga dari Sinkiang. Ia tidak mesti hadapi satu musuh yang liehay yang sedang
kalap. "Kau gila!" ia berseru. "Kau mesti bicara dahulu dengan jelas! Siapa sudah lukai keponakanmu?"
"Kau!" berteriak Kiau Liong sambil pedangnya
membabat. "Cis!" sahut Siu Lian sambil berkelit, sedang di lain pihak, ia membacok karena ia juga ada sengit sekali.
Maka kembali mereka bertarung pula.
Penyerangannya Kiau Liong tidak pernah menjadi
kendoran. Lama mereka adu kepandaian. Naga dari Sinkiang selalu
ada di pihak penyerang, Siu Lian kebanyakan menangkis,
kalau toh ia menyerang, melulu guna buat lawan itu tidak terlalu mendesak ia. Ia masih bisa kendalikan diri, meski juga ia ada mendongkol. Ia tidak mengerti tuduhan itu, ia mendongkol sebab orang tak dapat diajak bicara.
Demikian, beberapa jurus telah dikasi lewat, sampai
akhir-akhirnya Lie Bou Pek muncul di situ, karena Tay Po telah dapat cari ia dan ia segera datang. Tapi ia tidak
membekal pedang atau lain senjata, bajunya pun thungsha.
"Tahan dulu!" Ia lantas berkata, seraya maju ke depan.
"Ada urusan apa" Giok Siocia, salahkan kau kasih
keterangan!"
Kiau Liong mundur, nafasnya ada memburu.
"Urusan ini tidak ada sangkutannya denganmu, orang
she Lie!"ia kata dengan kasar. "Kau biarlah jangan maju!
Aku sedang cari Jie Siu Lian! Tadi malam ia datang ke
rumahku, ia terjang jendela lantas ia bacok keponakanku
perempuan ... "
Sambil berkira begitu, ia maju pula akan terjang Siu
Lian. Nona Jie ada sangat mendongkol, ia berlelit ke samping,
tapi goloknya menyerang.
"Kau buta!" ia menjerit. "Kau toh kenal aku siapa?"
Sebelum Kiau Liong menyahuti, Tay Po maju ke depan.
"Lou siau naynay, janganlah kau kena tertipu orang!" ia kata. "Nona Jie ada perempuan gagah dan ini jaman, ada mustahil ia mau berbuat demikian rendah! ... "
Siang Moay juga telah memburu kepada mereka.
"Nona Giok, kau memfitnah, kau
buat orang penasaran?" ia pun turut bicara. "Tadi malam nona Jie tidur sama-sama aku di atas satu pembaringan, dari pintu kamar ia tidak melangkah keluar, cara bagaimana dia ... "
"Diam!" membentak Kiau Liong, seraya loncat maju menikam.
Bou Pek pun maju, dengan percobaan merampas
pedangnya nona itu. Ia gunakan tangan kosong.
"Benar atau tidak kau mesti kasih ketika untuk orang bicara!" ia kata dengan keras. Ia sebenarnya tidak puas buat sikap kalap dari Kia Liong. "Kau sendiri sebenarnya harus bisa berpikir ... "
Kiau Liong tarik pulang pedangnya, untuk dipakai
mengancam. "Apa yang aku mesti pikir?" ia berseru. "Aku memang tahu kita ada satu komplotan dan kau biasa saling melindungi."
Habis kata begini, bukannya ia tusuk Bou Pek, ia hanya
babat Siu Lian.
Nona Jie menyingkir dari serangan itu. Ia tetap tidak
mau adu senjata.
"Tahan!" Bou Pek berserui pula.
Justru itu ada terdengat suara kentongan mendatangi.
Mengetahui ada orang ronda mendatangi, Lau Tay Po
lantas pentang bacotnya akan kasih dengar suaranya yang
nyaring, "Saudara-saudara tukang ronda, mari, mari lekas!
Mari lihat, sini. Di sini Lou siau-naynay sedang berkelahi."
Kiau Liong kaget, ia berhenti menjerang, ia lari ke arah utara.
"Jie Siu Lian, kalau kau benar ada orang gagah, mari susul aku!" ia tantang nona Jie.
"Apakah kau kira aku takut padamu?" Siu Lian jawab.
"Sekali ini, meskipun kau hendak kabur, sudah tak bisa lagi.
Walau bagaimana, aku ingin bicara dengan kau, supaya
jadi terang!"
Benar-benar nona ini menyusul. Maka mereka jadi
berkelahi sambil berlari-lari, satu di depan satu di belakang, Mereka mendekati tembok.
Bou Pek mengejar, dengan satu lompatan jauh, ia
mendahului Siu Lian, hingga ia bisa datang dekat pada
Kiau Liong. Nona Giok sambut orang dengan sabetannya, kapan
orang she Lie itu berkelit, ia membabat pula, ia menusuk, dengan bergantian. Ia jadi sengit, ia hendak pukul mundur ini musuh yang liehay.
Dengan bertangan kosong, dengan tubuhnya yang gesit
dan licin, Bou Pek singkirkan sesuatu bacokan atau
tusukan. Ia lebih banyak mendekam atau loncat ke samping atau
mundur, mengikuti sesuatu
serangan. Kedua
tangannya memain di dekat gagang pedang, buat bisa
rampas senjata itu.
Atas satu sambaran. Kiau Liong berkelit. Karena ia
didesak, ia tidak dapat ketika untuk terus membacok. Selagi ia mundur, desakan dilanjutkan. Tiga atau empat tindak,
desakannya Bou Pek melanjut. Sedetik itu, nona Giok
bingung juga. Ia coba membacok. Tapi gerakannya kurang
cepat, karena ia sedang terdesak, kedudukannya pun
limbung. Tiba-tiba ia rasa satu tangannya terbentur dan
tergetar, atau di lain saat Cengbeng-kiam sudah terlepas dan pindah ke tangannya Bou Pek. Ia kaget, ia mengerti bahwa ia telah kena totok, tetapi percuma, ia telah kalah sebat.
Justru itu, Bou Pek putar tubuhnya dan lari.
Kiau Liong jadi sangat mendongkol, ia loncat menubruk.
Ia kalap. Tapi Siu Lian menghalang di tengah jalan, ujung
goloknya menuju dada.
"Kau kurang ajar! Dengan jumlah yang banyak, kau
menghina aku!" nona Giok menjerit, lantas ia menangis.
Dada sangat mendongkol dan kemendongkolan itu ia tak
dapat lampiaskan.
Bou Pek balik tubuhnya.
"Kita bukannya menghina kau, tetapi kau yang paling
sukar diajak bicara!" ia menjawab. "Apa yang tadi malam terjadi di rumahmu, aku pun telah dapat dengar. Aku
merasa pasti, penjahat perempuan itu adalah orang yang
gunakan namanya Jie Siu Lian!"
"Mana ada lain penjahat perempuan!" Kiau Liong berjingkrak. "Aku tahu kau berdua memang liehay! Dengan kau berada di sini, siapa lagi berani timpali kau" Sekarang ini tidak ada lain penjahat perempuan kecuali Jie Siu Lian!
...." Siu Lian ada begitu gusar hingga ia ayun goloknya dan
kemplang kepala orang. Dari gerakannya ada begitu sebat, sampai nona Giok tak keburu berkelit. Satu suara keras
berbunyi dan Kiau Liong rubuh, dengan tidak bersuara lagi.
Lau Tay Po kaget sampai ia menjerit.
"Celaka! Jangan-jangan ia binasa!" demikian jeritannya.
Bou Pek pun tercengang, sampai ia bengong saja.
Siu Lian tarik pulang goloknya, ia masih penasaran. Ia
goyang kepala. "Kita jangan pedulikan padanya, mari kita pulang!" ia
kata dengan masih sengit.
Bou Pek bersangsi.
"Jikalau ia belum mati, kita mesti tanyakan dahulu
tentang kejadian di rumahnya tadi malam," ia berkata.
"Aku ingin ketahui, siapa itu penjahat perempuan yang gunakan namamu ... "
"Mustahil ada kejadian demikian"' kata Siu Lian. "Ia tentu karang cerita saja untuk menghina aku!"
Selagi begitu, sebagai juga mayat hidup, mendadakan
tubuhnya Kiau Liong mencelat bangun, menubruk pada
nona Jie. Ia ini lekas geraki tangannya, yang menyekal
golok, apa mau ia kalah sebat, tangannya itu telah kena
dicekal. Ia tidak mau lepaskan goloknya, Kiau Liong tidak mau lepaskan cekalannya. Dengan begitu, mereka jadi
bergujeng. Tay Po bengong, Bou Pek pun mengawasi saja.
Kedua nona itu bergujeng terus, beberapa kali tubuh
mereka sempoyongan. Satu kali mereka sampai jatuh,
lantaran mana, goloknya Siu Lian lantas terlepas, terjatuh ke tanah.
Kiau Liong hendak pungut senjata itu, Siu Lian
menghalangi. Karena ini, mereka jadi bertempur dengan
tangan kosong. Pertempuran ini tidak kalah hebatnya
dengan penempuran mereka tadi yang masing-masing
bersenjata. Tay Po masih saja mengawasi, ia tidak berani membantu
Siu Lian. Siang Moay, yang sedang hamil, juga tidak berani turun
tangan. Dalam keadaan sebagai itu, ia tidak memikir untuk gunakan piau.
Bou Pek ada sangat bersangsi. Ia merasa likat akan
datang sama tengah, akan cekal kedua nona itu, untuk
dipisahkan. Mereka itu, yang satu ada adik angkatnya, yang lain ada satu ... ia atau naynay dari satu tiehu.
"Sudah, Lianmoay, jangan kau layani padanya!"
akhirnya ia teriaki Siu Lian. "Cobalah kita bicara!"
Tapi Siu Lian berada di bawah pengaruh kemendongkolannya. Ia anggap Kiau Liong sangat
menghina padanya. Ia pun anggap nona itu tak ingat budi
kebaikannya, maka ia tidak pedulikan itu cegahan, ia terus menyerang dengan seru.
Bugee-nya Siu Lian ada terlebih tinggi dari pada bugee-
nya Kiau Liong, sudah begitu, nona ini baru saja melayani Bou Pek, sedang di lain pihak, ia kebanyakan dalam
kesulitan pikiran, hingga tenaga otaknya meminta tenaga
tubuhnya. Maka juga, ia repot akan layani hujan serangan dari nona Jie itu.
Mereka telah bertempur kira-kira tigapuluh jurus, selama itu dua kali Kiau Liong telah kena dibikin cium tanah, akan tetapi, meskipun demikian, Siu Lian tak sanggup ringkus
lawannya ini yang sangat bandel dan licin. Ketika ia jatuh
buat kedua kalinya, Kiau Liong merayap bangun buat terus lari, ke arah utara, di sini ia enjot tubuhnya, loncat naik ke atas tembok.
Siu Lian penasaran, ia hendak mengejar, tetapi Bou Pek
mencegah. "Biarlah ia pergi!" kata orang she Lie ini. "Kelihatannya ia sedang sangat gusar, tidak ada gunanya untuk kita layani ia dengan sungguh-sungguh. Tunggu sampai satu atau dua
hari, kita tentu akan dapat bekuk itu penjahat yang berani pakai namamu, nanti penjahat itu kita bawa ke depannya,
ia ketahui, siapa sebenarnya yang datang menyerbu ke
rumahnya! Kalau ia insafi kesalahannya dan suka minta
maaf, kita harus kasih ia ampun, sedikitnya untuk ini satu kali, hanya kalau dia tetap berkepala besar dan masih tetap mau satrukan kita, itu waktu, apa boleh buat, ia memang
mesti diberikan hajaran!"
Siu Lian jumput goloknya. Ia masih tetap mendongkol,
napasnya pun ada sedikit memburu. Ia telah berkelahi
dengan hati panas, tidak heran bila ia keluarkan tenaga luar biasa banyak.
Siang Moay hampirkan itu rona, untuk ditarik.
"Tentulah Kiau Liong lari pulang, maka mari kita pulang
dahulu,"iau kata, separuh membujuk. "Apa Lie toako juga mau beristirahat dahulu di tempat kita?"
Lie Bou Pek geleng kepala.
"Hari sudah larut malam, aku hendak pulang ke istana,"
ia menyahut. "Besok aku akan serahkan pedang ini kepada Pweelek-ya."
Tay Po awasi Cengbeng-kiam, yang berkilau-kilau di
antara cahaya rembulan hatinya bekerja.
"Bagaimana gampang orang telah rampas pedang dari
tangannya itu perempuan liehay?" demikian otaknya
melamun. "Dan aku ... aku satu bakul nasi! Pedang sudah ada di tanganku, aku masih kasih lain orang rebut pula ... "
Ketika itu mereka sudah hendak berlalu, tiba-tiba ada
terdengar suaranya roda yang ditarik keledai. Dan Tay Po lantas lihat sebuah kereta, yang tidak memakai lentera,
berhenti di depan rumahnya, di tegalan yang lebar.
"Heran!" kata Itto Lianhoa. "Dari mana datangnya kereta itu" Apa itu ada kereta pihak Lou, untuk menyambut nona mantunya?"
"Nanti aku lihat!" berkata Siu Lian.
Tetapi Siang Moay tarik ia. "Kau ada bawa golok, itulah kurang baik," kata nyonya Tay Po. "Kalau kereta itu dinaiki oleh orang polisi, ia bisa menanya melit-melit pada kita."
Kemudian ia menoleh pada suaminya. "Kau saja yang
pergi lihat. Boleh jadi orang hendak cari ... "
Berbareng dengan ucapannya Siang Moay, mendadakan
suatu barang besar dan hitam menyambar kejurusannya,
jatuh di sampingnya dengan menerbitkan suara keras.
Bahna kaget, nyonya ini menjerit.
Siu Lian dengan sebat peluk itu nyonya.
Nyata barang berat itu ada sepotong batu besar yang
melayang dari atas tembok kota. Hampir saja nyonya Tay
Po menjadi korban.
Bou Pek bisa menduga dari mana datangnya batu,
dengan bawa pedangnya ia lari ke tembok, ia enjot
tubuhnya akan loncat naik.
Di atas tembok, di bagian yang gelap, Kiau Liong sedang
umpetkan diri. Ia sudah tidak kabur terus, ia hanya
menunggu ketika, di tangannya ada sedia batu besar. Batu yang pertama sudah tidak menghasilkan korban, maka
melihat ada orang datang ke jurusannya, ia menyambut
dengan batu yang kedua.
Bou Pek lihat melayangnya batu, ia berkelit.
Di bawah tembok, Tay Po tarik tangan isterinya, untuk
diajak menyingkir. Siu Lian sebaliknya lari ke tembok
menyusul Bou Pek, guna cari itu penyerang gelap.
"Nona Jie, hati-hati!" Tay Po memperingatkan. "Awas, kau di tempat terang, musuh di tempat gelap!"
Tay Po bicara sambil mengawasi Siu Lian, ia tidak tahu
di belakangnya ada muncul seorang lain.
"Eh, apa kau buat di sini" " tanya orang itu dengan tiba-tiba, seraya tangannya menyambar pundaknya Itto
Lianhoa, hingga ia ini jadi kaget sekali.
Suami isteri itu berpaling dengan berbareng, hingga
mereka tampak di belakang mereka ada berdiri seorang
dengan tubuh besar, pakaiannya imam semua. Syukur
cahaya rembulan ada remang-remang, maka mukanya bisa
lantas kelihatan.
"Hou-ya! Oh, kau, Hou-ya?" tanya Tay Po dengan
heran. Memang juga, orang itu ada Lo Siau Hong yang besar
nyalinya. Hampir berbareng dengan itu, Siang Moay keluarkan
jeritan kaget. Ia kebetulan menoleh ke arah tembok ketika dari atas itu ia lihat tubuh manusia terlempar jatuh ke
bawah, disusul suara terbanting keras.
"Oh, habislah Kiau Liong!" Tay Po berseru.
Siau Houpun terperanjat, tetapi ia lantas loncat, lari
kejurusan tembok.
Kiau Liong telah terbanting keras, tetapi ia bangun pula.
Ia berniat lari.
"Aduh!" ia menjerit, lantas tubuhnya limbung, ia terjatuh pula.
Sebab ternyata, kakinya telah terluka.
Siau Hou tubruk nona itu, yang ia segera rangkul.
Itu waktu, dengan beruntun, Bou Pek dan Siu Lian
loncat turun dari tembok, nona
Jie mendahului menghampiri Kiau Liong, tangannya masih menyekal
goloknya. Nona Giok lihat orang menghampiri ia, ia berontak dari
pelukannya Siau Hou ia hendak papaki nona itu untuk
bertempur pula. Tapi Siau Hou menghalangi, "Apakah
artinya ini?" tanya Poan Thian In. "Kita toh ada orang-orang sendiri jikalau kau hendak bunuh, bunuhlah aku. Lo Siau Hou!"
Kemudian dengan pepayang Kiau Liong, ia hendak
bertindak pergi.
"Tunggu!" berseru Siu Lian yang menghalau di tengah jalan, goloknya ia lintangkan, air mukanya merah padam.
"Aku tidak niat bunuh padanya, tetapi ia mesti kasih keterangan. Tadi malam aku tidak pergi ke rumahnya
keluarga Giok! Siapa yang diserbu di sana, siapa yang
mampus, aku tak dapat tahu, maka itu, ia tak boleh tuduh aku!"
Kiau Liong, sambil dengan kedua tangan menggelendot
pundaknya Siau Hou, tertawa dingin. Ia masih saja panas.
"Aku tuduh kau, penjahat perempuan," ia berseru.
Siu Lian angkat goloknya, tetapi Bou Pek loncat
kesampingnya, mencegah ia.
Lo Siau Hou dengan kempit Kiau Liong mundur satu


Harimau Mendekam Naga Sembunyi Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tindak. "Nona Jie, harap kau jangan gusar!" ia kata, dengan suaranya yang nyaring. "Orang perempuan yang tadi
malam menyerbu di rumah keluarga Giok mengaku
bernama Jie Siu Lian, tetapi siapakah yang percaya
obrolannya itu. Tentang dia, lambat laun akan didapat
keterangannya. Jangan kesusu, nona. Sekarang biar aku
bawa dahulu dia ini, aku nanti kasih mengerti padanya!"
"Baiklah!" sahut Lie Bou Pek, yang mendahului Siu Lian. Kemudian, dengan suara sabar, ia tambahkan. "Aku memang sudah duga dari siang-siang, bugee dari Giok Kiau Liong mestinya ada pelajaran dari kalangannya Ah Hiap,
oleh karena itu, sampai sebegitu jauh, aku tidak mau
berlaku kejam terhadapnya, cuma ia ada terlalu bandel dan galak ia sukar dikasih mengerti."
Kiau Liong dengar itu, ia tertawa secara menghina,
menandakan yang ia masih tidak puas.
Lie Bou Pek tidak puas mendengar itu jengekan.
"Jikalau kau ada seorang lelaki!" ia kata, sambil mengawasi dengan tajam, "meski kau ada asal satu
perguruan dengan aku, pasti aku tidak ijinkan kau hidup
sampai sekarang ini! Ketahui olehmu, kita akan cari itu
perempuan jahat yang pakai namanya Jie Siu Lian, supaya
kau mendapat kepuasan! Tentang kau, aku harap, mulai ini hari, biarlah kau ubah kelakuanmu. Kita tidak akan ambil peduli yang kau berdiam di rumah keluarga Lou sebagai
nyonya mantu atau kau ikut Lo Siau Hou! Kau tidak mau
terangkan tentang Ah Hiap dan kitab-kitabnya, baik, tetapi
kau boleh percaya bahwa di belakang hari aku toh akan
mendapat tahu juga!"
"Tetapi, tidak ada halangannya untuk aku menerangkan
kepada kau," sahut Giok Kiau Liong, suaranya tetap keras.
"Sebenarnya aku tidak kenal Ah Hiap, aku belum pernah ketemu padanya! Kepandaianku ini aku dapatkan dari Kho
Long Ciu asal dari Inlam! Menurut guruku itu, buku itu
memang ada tetapi buku itu sudah musnah terbakar."
Kemudian ia menambahkan, dengan tidak kurang
sengitnya, "Lie Bou Pek! Jie Siu Lian! Jangan kau banyak tingkah, untuk berkelahi lagi, aku pun tidak takut!"
Lo Siau Hou tidak mau mendengar lebih lama, ia
gendong si nona dibawa pergi dengan tindakan cepat.
Dari atas gendongan, Kiau Liong masih mengancam:
"Lie Bou Pek, hati-hati siang atau malam, aku pasti akan dapatkan kembali pedang itu!"
"Sudah, diam,"menegur Siau Hou. "Kau sendirian mana bisa lawan mereka itu!"
Kiau Liong tidak berontak dari gendongannya Poan
Than In, tetapi karena ia masih panas, ia masih tertawa
menjengeki, ia masih saja pentang mulutnya.
Lie Bou Pek dan Jie Siu Lian tidak meladeni lebih jauh,
mereka ini hanya goyang kepala.
Adalah Lau Tay Po, yang teriaki Lo Siau Hou:
"Hou-ya, lagi dua hari, aku nanti kasih selamat pada kau!"
Siau Hou jalan terus seperti berlari-lari,ke arah kereta.
Itu adalah keretanya Siau Hou. Si kusir ada Hoa Lian
Hoan, si Kuda Belang. Di belakang kereta ada meringkuk
See Mo Cie, si Tikus Gurun Pasir.
Si Tikus lihat ketuanya, ia segera lompat menghampiri.
"Looya, bagaimana?" katanya. Ia bengong akan lihat Looya itu ada menggendong orang.
Siau Hou tidak menyahut, hanya ia turunkan Kiau Liong
ke dalam kereta. Ia berlaku hati-hati, tetapi tidak urung nona Giok menjerit. "Aduh!"
"Bagaimana, eh, apakah kau terluka parah?" tanya Siau Hou, yang kaget.
Kiau Liong tidak menyahuti, ia hanya merayap masuk
ke sebelah dalam.
"Looya," tanya Hoa Lian Hoan, "apa nona yang kau gendong ini ada thaythay kita?"
"Hus, jangan tanya-tanya!" Siau Hou menyemprot.
"Lekas berangkat!"
Si Kuda Belang melengak, tetapi ia segera kerjakan
cambuknya, atas mana keledainya lantas geraki empat
kakinya menarik kereta, hingga roda-roda lantas menggelinding keras.
See Mo Cie sudah loncat naik ke belakang kereta.
Lo Siau Hou pun telah loncat naik ke atas kereta, ia
duduk di depan. Segera juga ia merasa ada dua tangan yang dengan perlahan-lahan merangkul lehernya, kemudian ia
merasakan ada rambut yang halus yang mengenai
mukanya. Ia juga lantas cium bau wangi, yang menyambar
hidungnya. "Mari, duduk di dalam! begitu ada suara yang pelahan dan merdu.
Siau Hou lantas geser tubuhnya, hingga ia berada di
dalam. Di lain saai, Kiau Liong sudah berada dalam
rangkulannya si Awan di Tengah Langit, ia menangis ...
Hoa Lian Hoan terus larikan keledainya dengan keras.
Di atas langit, awan ada bergumpal-gumpal, sang rembulan sebentar kehalangan, sebentar kelihatan nyata.
Di waktu malam demikian, di tengah jalan tidak ada lain
orang. Buat beberapa kali, kereta ada memberikan bantingan,
karena jalanan tidak rata, karenanya kedua penumpang
telah saling merangkul dengan keras.
Tidak lama awan telah bergumpal-gumpal menjadi satu,
rembulan ketutupan anterunya. Selagi jagat ada gelap, sang guntur mulai perdengarkan suaranya dengan disusul oleh
sang angin. Dan sebentar kemudian, sang hujan turun.
"Hei, hei, hei!" Hoa Lian Hoan berseru-seru, ketika ia sampai di suatu tempat.
Sang keledai seperti mengerti majikannya, ia berhentikan empat kakinya, hingga roda-roda pun turut tidak
menggelinding lagi.
Siau Hou pondong Kiau Liong, yang ia ajak loncat turun
dari kereta. Nyata mereka telah sampai di sebuah gereja butut di
dalam suatu gang yang sunyi.
See Mo Cie lari ke tembok gereja, dia merayap naik buat
membuka pintu, maka itu, dengan masih memondong, Siau
Hou bawa kasihnya ke dalam.
Pekarangan ada lebar, di situ ada ditanami banyak
pohon-pohon cemara dan pek. Air hujan jatuh di antara
daun-daun dan cabang-cabang.
Mukanya Kiau Liong basah, air hujan menambahkan
air-matanya. Ia antap Siau Hou pondong ia ke dalam
gereja. Ia dibawa ke dalam satu kamar yang gelap, di situ ia diletaki atas sebuah pembaringan yang keras dan dingin.
Sebentar kemudian, di luar jendela ada terlihat cahaya
api, yang lemah.
"Looya, " demikian suaranya See Mo Cie, dari luar
jendela. Kemudian ia tertampak masuk dengan tangannya
membawa lentera dari kertas minyak, maka sekarang,
seluruh kamar bisa kelihatan cukup nyata.
Kamar itu ada kosong melompong, sampaipun meja
tidak ada. Maka itu, lentera pun diletaki di jubin.
Lekas sekali, si Tikus Gurun Pasir undurkan diri.
Di luar, suara hujan terdengar semakin tegas, juga suara angin, sebab cabang-cabang pohon, bersama daunnya,
bergerak-gerak tak mau berhenti.
Set Mo Cie mendekam di luar jendela, ia tutup
kepalanya dengan tudung butut. Di situ ia bisa pasang
kuping. Segera, sebagai yang pertama, ia dengar suara
looyanya Lo Siau Hou, yang senang nyanyikan lagunya
yang terkenal. "Jikalau kau ingin pulang, sekarang juga aku bisa antar kau dengan kereta. Kau telah melupai persahabatan kita,
kau tidak sudi nikah aku, tetapi aku tidak akan
mendesaknya. Hanya, yang pasti suatu waktu, aku akan
bunuh mampus pada Lou Kun Pwee ... "
Setelah itu, See Mo Cie dengar suara "thythaynya". Ia
sudah tahu namanya thythay ini, ia telah lihat dengan cara bagaimana gampang, thaythay itu telah dibawa datang - Ia dengar:
"Aku memang mesti pulang ... Ibuku sedang sakit dan keadaannya
sangat berbahaya. Tadi aku terkena kemplangan belakang goloknya Siu Lian, aku rubuh dengan
pingsan. Sanpai sekian lama, baru aku sadar. Lihatlah
darah dikepalaku. Dan sebelah kakiku ini, aku tidak bisa bertindak, maka andaikata tempat itu ada cukup
tersembunyi, barangkali aku perlu berdiam di sini buat satu dua hari ... Aku mesti rawat diri, baru aku bisa pulang ...
Meski Lou Kun Pwee ada musuhku, toh aku ada satu
anggauta dari keluarganya... Aku tidak puas dengan
kedudukanku ini... Aku sekarang mengerti kekeliruanku.
Aku tahu orang yang lukai keponakanku bukannya Jie Siu
Lian, tetapi aku mesti tempur Jie Siu Lian dan Lie Bou Pek, aku memang sengaja berlaku dengan tak kenal aturan,
bukannya aku tak mengerti tetapi aku tidak senang. Kau
tahu adatku ini, maka apa kau percaya Lou Kun Pwee
mampu kendalikan aku" Pada sembarang waktu, aku bisa
bunuh padanya! Tapi aku tak sanggup lakukan itu, sedikit pun aku tidak berdaya ... "
Ia menangis tersedu-sedu, suaranya mirip dengan suara
suling gembala di tanah datar dari Sinkiang ...
Hampir-hampir See Mo Cie tak tahan akan dengar
tangisan itu ...
Lantas terdengar pula suaranya Siau Hou, suara tertawa
dingin. "Hm, kenapa kau tak berdaya" Apakah kau artikan
pangkat" Memang, pangkat aku tak mampu dapati, Lo Siau
Hou ada satu hohan. Apakah karena aku tidak berpangkat,
maka kau tidak mau nikah aku" Ya, Lou Kun Pwee, itu ...
ng, itu bui... Dia mulanya ada satu tamhoa, lantas ia jadi tiehu, lantas kau menjadi koan-thaythay! Merantau di
padang pasir, mundur-mundur di atas tanah datar! Ya, Aku tahu, kau tak akan sanggup melakoni itu. Karena ini, aku
tak mau paksa kau. Yang aku perlukan adalah supaya aku
bisa bertemu denganmu untuk menerangkan dengan
leluasa. Sekarang kita sudah bicara jelas, kau boleh
menikah pada siapa kau suka, hanya, aku hendak jelaskan
pula, Kun Pwee mesti aku bunuh! Sekarang aku kasih ingat pada kau dan kau mesti hati-hati!"
Kiau Liong menangis.
"Kau telur busuk, semua kau masih belum mengerti!
Bukankah aku sudah terangkan" Aku juga benci padanya
dan akan bunuh ia, tetapi, aku tak sanggup. Aku sudah
menikah hampir satu bulan, selama itu ada sangat sedikit hari yang aku berdiam di dalam rumahnya. Selama itu, aku dan ia belum menjadi suami isteri dalam artian yang benar.
Orang yang berpeta dalam hatiku tetap adalah kau, Siau
Hou! Kau telah serbu joliku dan juga serbu keretaku, aku sangat benci kau. Toh, walau demikian, aku berkuatir
sangat yang kau nanti kena tertangkap. Itu malam kau
satroni aku, kau telah tolongi Lau Tay Po, apa yang kau
ucapkan, semua aku sudah dengar dengan nyata, aku
menangis karenanya. Aku tahu, kau memang ada satu
enghiong, satu hohan, kau ada sangat menyintai aku ...
Tetap, aku menyesal sekali. Maka sejak itu, sediktpun aku tidak membenci kau, malah sebaliknya aku selalu
mengenang ... nya. Kalau tidak, tidak peduli aku terluka bagaimana parah, tidak nanti sekarang ini kau bisa dengan begitu gampang pondong aku untuk dibawa kemari! Siau
Hou, apakah kau mengerti sekarang?"
Suaranya nona itu menjadi begini pelahan, tapi See Mo
Cie mendengarkannya sambil melengak, air hujan menimpa
mukanya sampai ia kena minum itu, baru ia gelagapan. Ia
mendengar pula, tetapi suara ada begitu perlahan, sampai seperti suaranya sang nyamuk atau tawon.
"Sayang aku tak mampu pianhoa menjadi tikus ... " pikir ia. Ia tempelkan tubuhnya rapat dengan tembok, tetapi
pakaiannya telah menjadi demak.
"Coba pikir, apa aku bisa perbuat?" kemudian terdengar pula si nona. "Sekarang ini Lou Kun Pwee ada punya satu Cukat Liang, ia itu ada satu tua bangka yang sangat licin!
Sudah hegitu, Kun Pwee juga ada dibantu oleh hu-in dan
Sunthian dan giesu dari Kota Selatan, Mereka itu telah
membantu dengan sungguh-sungguh. Dan siang-siang,
mereka sudah mengatur rencana, mereka telah pasang
jaring. Entah bagaimana, mereka ketahui rumahnya
Anglian Gui Sam ada salah satu tempatku bersembunyi,
mereka lantas beli Gui Sam dan isterinya. Aku tidak
ketahui itu, maka ketika itu hari aku datang untuk
menengok ibuku, aku pergi ke tempatnya Gui Sam.
Aku tidak menyangka apa-apa. Tahu-tahu, selagi aku
tidur nyenyak, Gui Sam dan isterinya ringkus aku, hingga aku tidak berdaya. Mereka lantas perintah orang-orangnya giesu dari Kota Selatan angkut aku dengan kereta, dengan secara rahasia aku dibawa ke rumahnya Lou Kun Pwee. Itu
waktu aku masih pakai pakaiannya isterinya Gui Sam,
kakiku telanjang, tubuhku masih ada tanda luka bekas
pedang, yang belum sembuh betul. Mereka ringkus aku dari kepala sampai di kaki, mereka letaki aku di dalam sebuah kamar yang sekitarnya ditutup dengan kain merah. Itu
waktu juga mereka undang kedua engkoku, yang lantas
mereka tindih. Mereka telah beber kedosaanku, ialah,
kesatu aku dituduh mencuri pedang, kedua aku dituduh
sembunyikan penjahat perempuan Pekgan Holie, ketiga aku
dituduh membunuh mati Pantau Coa Kiu, dan keempat aku
dituduh sudah buat perhubungan rahasia dengan kau.
Mereka kata bahwa ayah dan ibuku, saudaraku, juga kedua
ensoku, tahu rahasiaku ini, bahwa mereka semua sengaja
melindungi aku. Setelah itu, kedua engko-ku dipaksa
menandatangani sebuah surat keterangan di mana mereka
mengakui semua tuduhan itu. Kedua engkoku itu terpaksa
menyerah. Sesudah itu barulah aku dilepaskan dari
ringkusan, tetapi aku pun dipaksa mesti menyerah menjadi isterinya Kun Pwee, isteri yang tahu aturan. Kita telah
diancam, jikalau kedua engkoku tidak mau bubuhi surat
pengakuan itu, atau setelah merdeka aku main gila pula,
Kun Pwee mau serahkan surat pengakuan itu kepada
pembesar negeri dan kita hendak didakwa. Coba pikir, Siau Hou! Apakah ancaman itu tidak hebat" Jikalau ancaman itu dibuktikan, dengan lantas aku bakal dihukum! Buat aku
sendiri, masih tidak apa, aku tak takut mati, tetapi
bagaimana dengan ayah dan ibuku" Mereka akan terseret-
seret, mereka akan dapat malu besar" Dan kedua engko-ku"
Mereka juga bakal dapat malu, terutama pangkat mereka
berdua akan locot. Malah mereka pun bisa dihukum" Kalau
rumah kita digeledah atau disita, ibu bisa mati mendadak karenanya! Itu semua akan mencemarkan kehormatan
leluhur kita dan bakal meninggalkan noda untuk turunan
kita semua, hingga aku tak akan mampu bertemu orang
lagi. Demikian kedua saudaraku, dengan kedudukan
sebagai tiehu, mesti taruh tanda tangannya karena terpaksa.
Kedua enso-ku telah berlutut di depan aku, mereka minta
supaya aku ingat nama baik keluarga kita. Maka, Siau Hou, coba pikir, dalam keadaan sebagai ini apa daya?"
Kiau Liong menangis semakin sedih.
"Toh aku bukannya seorang yang boleh dibuat
permainan, " ia melanjutkan kemudian. "Setelah aku dilepas dari ringkusan, aku berdaya untuk mencari
keterangan. Begitulah aku ketahui di mana mengumpatnya
Gui Sam dan isterinya. Tidak ayal lagi, aku cari suami isteri itu, aku bunuh mereka! Habis itu aku lantas berkonde, aku
dandan, aku ketemui orang, aku buat kunjungan. Kun Pwee
tahu apa yang aku lakukan, ia jeri padaku! Aku juga
terangkan kenapa dahulu budak Gim Si tidak berdaya!
Budak itu aku telah totok urat gagunya! Aku kasih tahu,
sembarang waktu aku bisa totok orang sampai binasa!
Karena itu, Kun Pwee jadi tak berani datang dekat padaku!
Cuma ia telah mengancam, ia bilang, surat keterangan yang penting itu tidak ada padanya, katanya ia telah titipkan pada satu pembesar berpangkat tinggi, kapan aku berani
main gila terhadap ia, si pembesar tinggi itu akan berurusan untuk menuntut balas baginya. Inilah yang lantas aku tidak berdaya. Pedang Cengbeng-kiam ia telah serahkan padaku,
tetapi aku tidak berani gunakan pedang itu, akan binasakan ia. Aku cuma bisa mengharap bahwa satu waktu ia akan
lakukan kesalahan besar, itu waktu dengan gunakan ketika itu untuk aku balik diri. Sekarang kau mengerti
kedudukanku yang sukar. Kau dan Siu Lian, kau semua,
telah membuat kacau, sampai Kun Pwee tidak berani tidur
di dalam gedungnya sendiri, dilain pihak, ia minta
bantuannya orang polisi, ia pekerjakan pahlawan, guna jaga rumahnya. Ia tidak berdaya, akan rintangi atau tangkap kau semua, lantaran itu setiap hari ia caci maki padaku,
antaranya aku dituduh sebagai konco jahat dari kau. Setiap malam aku dikurung di rumah bawah itu, dicampur dengan
segala budak, dan aku terpaksa menurut saja. Ia pernah
mengancam, apabila kau tidak mau berhenti mengganggu,
ia terpaksa mau gunakan surat pengakuan itu buat
mendakwa, buat membeber rahasia. Ancamannya ini
membuat aku terpaksa memohon padanya. Ini juga
sebabnya kenapa aku kebentrok dengan Jie Siu Lian, karena aku minta Siu Lian jangan campur lagi urusanku, sedang


Harimau Mendekam Naga Sembunyi Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

aku tahu. Siu Lian ada bermaksud baik, itu juga sebabnya kenapa aku mandah diperhina oleh Lau Tay Po. Dan
sekarang aku memohon padamu, supaya kau ijinkan aku
berobat di sini."
Tapi, baru saja sesaat, nona itu sudah kata pula. "Tidak, aku tidak bisa diam lama di sini, aku mesti lekas pulang!
Nanti Kun Pwee boleh sangka aku minggat besok ia bisa
lantas majukan pengaduan dan membeber rahasia, bila itu
terjadi, ayah dan saudara-saudaraku akan ditangkap, ibuku bisa mati karenanya."
Dan ia sesenggukan, begitu sesak sampai ia tak dapat
bicara terus. Lo Siau Hou berdiam, terang ia ada bingung, See Mo
Cie masih saja mendekam, ia tak dengar lain kecuali
tangisan. Satu kali ia berpaling rupanya ia merasa p..., tapi begitu berpaling, ia kaget sampai hampir ia mencelat
bangun. Sebab tahu-tahu, di belakang ia ada berdiri seorang dengan pedang ditanganl. Ia mau berteriak, ia batalkan itu, karena pedang yang tajam, yang hawanya dingin, nempel di batang lehernya. Terpaksa ia berdiam tubuhnya gemetaran, napasnya tertahan.
Orang itu pun diam saja, kecuali gerakan matanya yang
memerintah si Tikus Gurun Pasir untuk jangan berkutik
dan jangan bersuara.
"Siau Hou, besok baiklah kau pun berlalu dari sini ... "
kemudian terdengar pula suaranya Kiau Liong. "Walau bagaimana, aku tidak bisa lupai kau ... Aku tak benci lagi padamu ... Sudah terang kita tidak berjodoh ... Kalau kau sudah meninggalkan kota raja ini, kau pergi ke Liu-hu-cun, disana kau cari budak kepercayaanku, Siu Hiang. Ia ada
cantik sekali, adatnya pun adat ... halus dari padaku. Kau tuturkan padanya tentang kesukaranku ini, perihal kesulitan kita, sesudah ketahui itu semua, ia tentu suka menikah
padamu. Hanya aku harap, kau selanjutnya harus berusaha.
Kau juga harus kasih tahu Siu Hiang, supaya ia buka itu
peti barang-barang perhiasan yang disembunyikan di lubang dapur, kecuali barang permatanya, bakarlah semua sisanya, bakar sampai habis, jangan ada bekas-bekasnya yang
ketinggalan! Dan kalau ia dapatkan Soat Hou, tolong kau
berdua pelihara padanya."
Itu waktu orang di luar, yang menyekal pedang yang
bajunya hijau telah angkat pedangnya dari lelernya See Mo Cie, ketika si Tikus menoleh, ia sudah tak lihat lagi orang itu. Ia kaget tetapi ia mengeluarkan napas lega.
Kecuali tetesan hujan, malam itu ada sunyi. Dengan
merayap, See Mo Cie kemudian pergi ke belakang. Rumah
suci itu ada Insian Koan di Kota Barat, imam yang tinggal di situ adalah imam asal Butong San. Lo Siau Hou kenal ini orang suci, sebab pada belasan tahun yang silam, ia pernah jadi imam cilik di atas itu gunung, tinggal sama-sama imam itu. Dan si imam senang dengarkan nyanyian orang yang
terkenal. Belasan tahun telah lewat, apa mau sekarang
mereka bertemu satu pada lain di Pakkha. Pada suatu hari Siau Hou minum arak di suatu warung, ia keluar dengan
rada sinting, ia jalan sambil bernyanyi. Justru si imam pun sedang lewat di jalan yang sama, ia dengar itu nyanyian, ia kenalkan Puan Thian In. Malah ia segera dapat kenyataan, dia itu adalah itu orang yang serbu kereta dari keluarga Lou. Karena ia anggap Siau Hou berada dalam ancaman
bahaya, ia lantas memanggil dan ajak pergi ke Insian Koan.
Imam ini pikir akan nasehati Siau Hou menyingkir ke
Ngociong Nia, ke dalam lembah di mana ada gereja yang
ditempati oleh sutee-nya Cin Siu Toojin. Dan ia harap Cin Siu bisa bujuk ia itu ubah penghidupannya, akan menjadi
imam. Tapi Siau Hou mana ingat akan bersamedhi atau
membaca kitab suci" Ia tetap berdiam di Insian Koan, yang ia jadikan sarang untuk sementara waktu. Selama berdiam
di situ, setiap hari ia terus keluar, akan dengar-dengar hal-halnya di kedua rumah keluarga Lou dan Giok. Kebetulan
sekali, pada suatu hari, ia bertemu dengan See Mo Cie dan Hoa Lian Hoan.
Dua Liaulo itu ada setia. Sejak itu hari Siau Hou
terbitkan onar dan kabur, mereka berdua tidak tinggalkan Pakkhia. Mereka jaga baik peti uang emas dan perak
kepunyaan tay-ong mereka. Mereka pakai sejumlah uang
untuk beli sebuah kereta baru dan seekor keledai. Di pintu Suncie-mui, mereka sewa sebuah rumah kecil. Setiap siang Hoa Lian Hoan ngelayap dengan keretanya, yang ia
sewakan. Ia pakai kopiah yang dibeleseki dalam,
sebelahnya pipinya yang bertanda bacokan, ia tempelkan
kouyoh. Dan See Mo Cie, dengan belasan tail, telah behpieyan-hu, dengan menyamar sebagai orang yang nganggur, ia
keluar masuk warung reh atau warung arak, setiap hari
gawenya kelayapan, untuk dengar-dengar kabar, akan cari
looya mereka. Maka itu bukan main girang mereka ketika
itu hari mereka ketemu Siau Hou.
Lantas Siau Hou perintah tukar tenda kereta dengan
tenda hijau yang baru, ia pun beli pakaian baru dan dandan, dengan naik keretanya Hoa Lian Hoan, ia mirip dengan
satu pembesar negeri, hingga tidak ada orang curigai
padanya. Pada itu hari, See Mo Cie telah dapat dengar hal
penyerbuan di gedungnya keluarga Giok bahwa Lou
siaunaynay telah pulang ke rumah ibunya, ia lekas pulang akan memberi warta pada looya-nya, atas mana, Siau Hou
lantas dandan dan naik keretanya. Ia sengaja turunkan
tenda dan dirapatkan, ia perintah Hoa Lian Hoan jalankan kereta di depan gedung keluarga Giok, sampai dua balik
See Mo Cie sendiri terus diperintah memasang mata,
sampai, kejadian itu malam, si Tikus lihat nona Giok keluar
dengan bawa pedang. Ia lari pada majikannya akan
mengasih tahu, dengan kesudahannya, Lo Siau Hou naik
keretanya menyusul, hanya sayang, Kiau Liong keburu
me... ling. Tapi See Mo Cie ketahui atas keletakan tempat, ia tahu di mana rumahnya Lau Tay Po dari itu, Siau Hou
lantas suruh Hoa Lian Hoan menuju ke rumahnya. Itto
Lianhoa. Siau Hou sampai di saat yang betul, selagi Kiau Liong didupak jatuh dari atas tembok, hingga selanjutnya ia bisa bawa nona itu pulang ke gerejanya.
Demikian berdua mereka saling umbar rasa hati mereka,
sesudah mana, Siau Hou berdiam, dengan mata terbuka
lebar, ia mengawasi lentera, yang lilinnya hampir habis.
Di atas pembaringan cuma ada satu bantal kepala serta
selembar tikar, kasur dan selimut tidak ada.
Dengan air mata berlinang, Kiau Liong duduk
menyender dibantal. Ia kadang-kadang merintih karena
kakinya sakit. "Jadi ini adalah kamar tidurmu?" ia tanya Siau Hou.
Suaranya perlahan dan mengandung sifat sangat memperhatikan. Siau Hou manggut.
"Benar, " ia menjawab.
"Ah, kau begini menderita?" mengeluh nona itu.
"Kenapa kau tidak punya kasur dan selimut" Apakah kau telah jadi sangat melarat?"
"Aku tidak miskin, " sahut pula Siau Hou. "Kereta yang tadi kita naiki adalah keretaku sendiri! Dan aku masih
punya banyak uang emas dan perak serta barang-barang
permata, semua itu adalah orangku yang simpan. Tinggal
disini, aku tidak membutuhkan kasur atau selimut, aku
belum pernah memirkan itu. Hatiku selamanya dirasakan
seperti api yang berkobar-kobar, kalau malam aku tidur,
angin meniup-niup pembaringan demak dan dingin, tetapi
itu masih belum bisa menghilangkan rasa panas pada
tubuhku. Kau tahu sendiri, dipadang pasir, di tanah datar, aku pernah tinggal bertahun-tahun, apakah di sana aku
pernah memilih tempat tidur?"
Mandengar disebut-sebut padang pasir dan tanah datar,
Kiau Liong segera ingat pengalamannya di Sinkiang, dan
mengingat itu, ia jadi terharu. Ia pegang keras lengan yang kasar dan kuat dari Siau Hou, ia menangis.
"Kau sungguh tidak beruntung ... " ia kata. "Sudah di waktu masih kecil kau bernasib buruk sekarang setelah
dewasa, kau bertemu aku dan aku buat kau bertambah tak
beruntung ... Aku menyesal, Siau Hou. Aku ada puterinya
seorang berpangkat besar, cara bagaimana aku bisa bertemu dan berkenalan dengan kau" "
"Tapi sekarang, aku lihat, kau baiklah jangan anggap dirimu ada satu ciankun siocia lagi, " Siau Hou bilang.
"Apa yang kau telah lakukan t orang, dan orang boleh tak berani kata suatu apa, akan
tetapi di luaran, siapakah tidak tahu tindak tandukmu" Kau juga pernah merantau, tak bedanya dengan aku! Maka itu
aku anggap kita berdua bukannya tidak berhak untuk tidak berkenalan! Sekarang kau kena dipengaruhi oleh Lou Kun
Pwee, aku anggap tidak usah kau takut, jikalau kau
memangnya tak mau kembali untuk menerima hinaan dan
siksaannya, nah mari, besok kita boleh sama-sama angkat
kaki dari sini!"
"Habis, bagaimana dengan keadaan di sini?"
"Urusan di sini" Ada aku! Apabila binatang Lou Kun
Pwee itu berani ganggu kau, aku nanti lantas bunuh
padanya! Apa itu tiehu, apa itu gisu. Dan itu anjing Cukat Liang" Aku nanti buat mampus mereka semua."
Siau Hou tepuk-tepuk golok mustika dipinggangnya,
sampai gelang-gelangnya golok itu berbunyi.
"Ucapanmu ini adalah ucapan bangsa berandal!" kata Kiau Liong. "Di lain tempat, kau boleh kerjakan segala apa!
Tapi di sini, di kota raja, kau boleh punyakan kepandaian besar, kau tidak akan bisa bertindak dengan leluasa. Maka itu, Siau Hou, baiklah kau dengar aku, aku harap sangat
supaya kau suka menyingkir dari sini, pergi kau cari Siu Hiang. Di sini, umpama kata kau kena tertawan, benar-benar aku tak berdaya akan tolongi kau" Laginya, umpama
kau terbitkan onar, hingga semua anggauta keluargaku turut terancam bahaya, bukan saja aku bakal tak mau kenal kau, sebaliknya, aku akan pandang kau sebagi musuh" Kau
harus kenal aku, aku ada seorang baik, tetapi apabila aku diperlakukan keterlaluan, aku bisa berbalik pikir!"
Siau Hou tertawa berkakaan akan mendengar kata-kata
keras itu, ia tutup mulut. Ia lalu bertindak keluar, karena ia lihat cuaca sudah mulai terang. Ia baru melangkah
keceracapan, ia sudah terperanjat, sebab air hujan
mendadakan timpa kepalanya, sampai ia loncat mencelat.
Air hujan ada sangat dingin, otaknya lantas kena dibuat
adem, hingga ia tersadar. Ia berdiri bengong sampai sekian lama.
Kiau Liong menunggu di dalam, dengan tak sabaran.
"Eh, kau buat apa saja di luar?" menegur si nona, suaranya berlagu aleman. "Kenapa kau tidak lekas kembali"
Hawa di luar ada dingin sekali! ... "
Siau Hou pentang bajunya, ia raba dadanya di mana ada
tapak golok. "Hari sudah jadi terang!" ia kata. "Bukankah kau berniat pulang" Nanti aku carikan kereta untuk kau!"
"Kau pakai saja keretamu itu!" menyahut si nona. "Tak usah kau sewa lain kereta."
"Keretaku juga tidak ada di sini!"
"Kalau begitu, nah, lekaslah sedikit!"
Siau Hou berdiam, tapi ia ada panas hati. Ia terjang air hujan, akan pergi ke belakang.
Gereja itu ada tua dan tidak terawat tetapi besar dan
lebar. Di pendopo paling muka ada di puja satu Leng
Kwan. Di situ ada empat patung besar dan hitam,
tangannya masing-masing memegang kong-pian, romannya
semua bengis, hanya di waktu gelap begitu, mukanya tak
terlihat nyata. Di situ ada rebah seorang, yang lagi
menggeros. Dengan kakinya, Siau Hou buat orang itu
sadar. Orang itu sadar dengan kaget, ia adalah See Mo Cie.
"Eh, eh, jangan mendupak, dong!" ia kata. "Ada apa ha?"
Siau Hou menjambak membuat orang berdiri. "Kau lekas pergi suruh Hoa Lian Hoan siapkan kereta!" ia perintah.
"Justru cuaca masih belum terang, suruh dia lekas antarkan Giok Kiau Liong pulang ke Kulau!"
Si Tikus kucek-kucek matanya.
"Apakah tidak lebih baik untuk tidak antarkan ia
pulang?" ia tanya. "Sekarang ia diantar pulang, nanti setiap hari ia dicari dan dicari saja ... "
Siau Hou joroki pengiringnya itu.
"Lekas pergi!" ia ulang perintahnya, "jangan banyak bacot!"
See Mo Cie tutup mulutnya, ia lantas berlalu.
Siau Hou kepal tangannya, ia ayun itu ke udara,
kemudian ia balik ke dalam.
Kiau Liong kelihatannya merasa sangat berat untuk
berpisahan, tapi Poan Thian In diam saja, ia ini melainkan sering kali menghela napas.
Tidak lama terdengarlah suara roda kereta.
"Kereta sudah sampai!" Siau Hou terseru, agaknya ia terperanjat. Tapi ia terus pegang Kiau Liong. "Tapi bagaimana ?"ia kata. "Kau terluka, kalau kau pulang, orang akan lihat kau ..."
Kiau Liong menghela napas.
"Siapakah aku akan dustakan?"ia balik menanya.
"Siapakah yang tidak tahu hal-hal di rumahku" Sekalipun bujang-bujang, semua tahu jelas, mereka tidak herani
banyak omong ... "
"Kalau kau sampar di rumah kau harus legakan hati dan jaga diri baik-baik, ... "
"Kenapa aku tidak berlega hati" Siapa yang aku takuti"
Siapa akan gegares aku" Aku hanya masih berat pada
rumah tanggaku ... "
Hatinya Siau Hou menjadi panas
pula secara mendadakan urat-urat di jidatnya sampai pada keluar,
hanya karena di tempat gelap, Kiau Liong tidak lihat itu.
"Kereta sudah siap!" begitu terdengar suaranya See Mo Cie dari luar jendela.
Dengan tidak kata apa-apa, Siau Hou pondong Kiau
Liong keluar. Hoa Lian Hoan tunda keretanya di muka
pekarangan sekali.
Siau Hou hampirkan kereta, ia kasih naik Kiau Liong,
siapa terus pegang lengannya.
"Aku minta dengan sangat sukalah kau bekerja menurut
pesananku, " kata nona ini. "Jangan kau bikin hatiku menjadi tidak lega."
Siau Hou tidak menjawab, hanya ia menoleh pada
kusirnya. "justru cuaca belum terang, lekas kau antar ke gedung keluarga Giok, " ia kasih perintah. "Begini kau sudah mengantar, lantas kau pergi pula!"
Hoa Lian Hoan manggut.
"Aku mengerti!" ia jawab.
Itu waktu barulah Kiau Liong lepaskan tangannya, air
matanya mengucur, ketika kereta mulai bergerak, hampir
saja ia menangis menggerung-gerung.
Kereta dilarikan keras, di jalanan tidak ada orang,
Pendekar Latah 1 Balada Pendekar Kelana Karya Tabib Gila Sepasang Pedang Iblis 7
^