Pencarian

Harimau Mendekam Naga Sembunyi 16

Harimau Mendekam Naga Sembunyi Karya Wang Du Lu Bagian 16


larinya keledai jadi lebih leluasa. Cuaca masih belum
seberapa terang ketika kemudian kereta itu sampai di depan gedung keluarga Giok, Hoa Lian Hoan loncat turun dari
keretanya, ia menggedor pintu pekarangan, yang masih
dikunci. Sampai sekian lama, baru pintu dibuka, dari dalam muncul empat atau lima orang.
"Kau datang dari mana?" mereka itu tanya.
Si Kuda Belang cuma pikir, begitu si nona turun dari
kereta, ia hendak kabur dengan keretanya itu, siapa tahu, orang tanya ia secara demikian. Syukur, selagi ia belum
menjawab, Kiau Liong dari dalam kereta telah talangi ia.
"Aku yang pulang!"demikian si nona. "Lekas panggil Cian Mama dan yang lain-lain!"
Orang kenali nona itu, lantas mereka lari ke dalam,
kecuali yang satu.
"Eh, kereta ini dari mana?" tanya itu satu hamba pada Hoa Lian Hoan.
"Ini adalah kereta sewaanku, ini nona yang sewa, "
jawab si Kuda Belang.
Orang itu hendak menanya pula, tapi Kiau Liong segera
membentak: "Tidak usah kau tanya banyak-banyak. Orang
sudah antarkan aku, habis perkara!"
Justru itu, Cian Mama datang bersama beberapa bujang
lain, maka Kiau Liong harus dipimpin turun. Mereka
semua heran ketika mereka dapati nona itu tidak bisa jalan, kepalanya berdarah, pakaiannya kucel dan kotor, sedang
dandanannya ada luar biasa. Kedua lengannya si nona pun
pada baret, mukanya pucat, pada muka itu ada tanda-tanda bekas air mata. Mereka tidak berani tanya apa, sebab di
sebelah itu, kelihatan nona itu sedang gusar.
Beberapa bujangpun heran.
"Kau tunggu disini, nanti aku mintakan uang sewanya, "
kata satu bujang pada Hoa Lian Hoan.
'Tidak usah, tidak usah, " sahut kusir itu seraya goyang-goyang tangan. "Aku tak berani, saudara-saudara. looya-ku pesan untuk jangan terima uang persen lagi."
Sekalian bujang itu menjadi heran.
"Siapa ini looya-mu?" mereka tanya. "Kau ada dari gedung mana?"
Sinar matahari sudah mulai muncul dan kereta telah
mulai tertampak nyata, maka semua bujang menduga,
kereta ini mestinya ada kereta dari satu too-tay.
Hoa Lian Hoan tidak jawab itu pertanyaan, ia putar
keretanya dan loncat naik, keledainya ia lantas kasih lari. Ia
masih kuatir orang ikuti kereta, ia sengaja belok di beberapa gang, baru ia pulang langsung ke Insian Koan.
Siau Hou sedang duduk menantikan, hatinya baru
menjadi lega tempo si Kuda Belang pulang dengan
laporannya bahwa Kiau Liong sudah diantar pulang.
Hanya berbareng dengan itu, ia pun mencelos, ia seperti
kehilangan apa-apa, ia seperti menyesal atas perbuatannya.
Maka ia berdiri dengan bengong, alisnya mengkerut.
Hoa Lian Hoa tetap masih berdiri di depan loo-ya-nya,
disebelah ia ada kawannya See Mo Cie.
Masih saja Siau Hou berpikir, kemudian baru ia berikan
perintahnya. "Kau pasang mata depan gedung keluarga Lou, " ia kata pada Hoa Lian Hoan. "Perhatikan, orang luar siapa yang mondar mandir di gedung itu. Yang paling penting adalah
cari tahu ke mana saja Lou Kun Pwee pergi setiap hari!"
Si Kuda Belang" menurut, ia segera undurkan diri.
"Tentang keluarga Giok, kaulah yang pergi amat-amati, "
kemudian Poan Thian In kasih perintah pada si Tikus
Gurun Pasir. "Kau cari tahu bagaimana dengan Giok Kiau Liong setelah tadi ia pulang. Cari tahu juga, apa yang
keluarga itu dan keluarga Lou hendak berbuat terlebih jauh.
Kau mesti cari aku begitu lekas kau peroleh keterangan apa-apa!"
"Baik, looya, " sahut See Mo Cie, yang terus berlalu.
Dua liaulo itu ada gesit dan cerdik, mereka pun taat
terhadap titah, serdadu serdadu yang terima perintah dan kepala perangnya
Siau Hou lantas rebahkan diri di atas pembaringannya, ia merasa pusing dan letih, toh ia tidak bertetap hati, dari itu,
ia tak bisa tidur pulas. Ia rogoh sakunya, di situ masih ada beberapa potong perak. Kemudian ia pakai baju luar dan
bertindak keluar dari gereja.
Di Kota Barat itu, Siau Hou ada punya dua tempat ke
mana ia biasa pergi. Yang satu adalah tempat mandi, di situ ia biasa bersihkan tubuh. Tempat yang satunya lagi ada
warung arak di suatu gang yang kecil, tetamu di situ ada sedikit, tapi kalau ia datang ke situ, ia tentu makan dan minum banyak, tentang harganya minuman dan makanan,
ia tidak pernah tawar, sampai tuan rumah anggap ia sebagai malaikat uang. Tuan rumah tidak tahu asal-usulnya Poan
Thian In, ia menduga sedikit jelek, akan tetapi bila ada kabar apa-apa, ia toh kasih tahu tetamunya, hingga tetamu itu jadi suka padanya
Ini kali Siau Hou pergi ke rumah makan itu. Ia minta
sedikit arak dan barang makanan, sesudah dahar, ia
rebahkan diri di kamar kerja dari tuan rumah. Ia tidur
dengan tidak merasa kuatir. Tuan rumah, sambil melayani
lain-lain tetamu, berbareng ada menjadi mata-mata bagi ia.
Berapa lama Siau Hou sudah udur, ia tidak tahu, ia
terbangun ketika ada orang goyang-goyang tubuhnya
sambil memanggil ia di kupingnya: "Looya, looya!"
Ia buka matanya, ia lihat Hoa Lian Hoan.
"Ada kabar apa?" ia tanya, sama perlahannya seperti suaranya si liaulo.
"Pihak Lou telah urus orang menyambut nyoya muda,"
Hoa Lian Hoan berikan laporannya. "Ketika turun dari kereta, siau-naynay itu mesti dipepayang oleh empat budak perempuan. Melihat keadaan, di pihak Lou orang ada jeri.
Kabarnya sebentar sore jam lima, Lou Kun Pwee mau
mengadakan pertemuan dirumah makan Hok Hay Tong di
Seesu Pay Lau, dan yang diundang ada Khu siau-houya
dan dua siewie dari Pweelek-hu. Katanya Lou Kun Pwee
hendak menghaturkan maaf pada Khu siau-houya. Rupa-
rupanya Lou Kun Pwee tahu takut juga ... "
Siau Hou berbangkit akan berduduk, berulang-ulang ia
perdengarkan tertawa dingin. Dalam keadaan begitu,
otaknya bekerja. Rupanya ia dapat pikiran dengan cepat,
karena ia lalu bangun berdiri sambil unjuk roman girang. Ia jambak Hoa Lian Hoan membisiki, atas ini, si Kuda Belang manggut-manggui sebagai si tolol.
"Wah, pergilah lekas!" ia kata akhirnya.
Dan Hoa Lian Hoan berlalu dengan cepat.
Kembali Siau Hou bersenyum ewa dan perdengarkan
suara jengekan, ia pergi ke depan, akan minta lagi sedikit arak, setelah itu, ia pulang ke Insian Koan.
Tatkala itu sudah lohor jam tiga.
Di dalam pekarangan gereja, Siau Hou jalan mondar-
mandir atau mengitari pohon siong dan pek, ia agaknya
berpikir, tetapi ia tertawa seorang diri, tertawa dengan sangat merdeka karena ia berkakakan. Sering-sering ia raba goloknya.
Tidak lama, See Mo Ciepun datang. Ia ini juga dapat
kabar yang Lou Kun Pwee ada kirim undangan buat suatu
pertemuan. "Lekas kau beli pit dan kertas, bak dan bakhie." Siau Hou lantas menitah.
Si Tikus tercengang bahna herannya, ia sampai leletkan
lidah. "Looya, eh, kau hendak buat apa ini?" ia tanya. "Apa kau hendak mengarang rencana."
"Kau jangan tanya! Pergi lekas beli, habis perkara!" looya itu membentak.
Sembari kata begitu, Siau Hou pun dorong pengiringnya
itu, siapa sudah lantas ngeloyor pergi.
Masih saja Poan Thian In tidak mau masuk ke dalam, ia
awasi matahari di antara pepohonan, ia rupanya ada sedikit sibuk, sebagaimana kelihatan ia ada tidak tenteram.
Tidak lama See Mo Cie balik dengan barang-barang yang
dibeli, ia terima itu semua dan masukkan ke dalam
sakunya. See Mo Cie heran, ia awasi looya itu, tetapi ia tak berani tanya apa-apa.
Siau Hou lantas berikan pesanannya, dengan suara yang
perlahan, akhirnya ia suruh pengikut ini pergi, cari Hoa Lian Hoan.
See Mo Cie mendengari, ia ulur lidahnya, tapi ia kata:
"Baiklah, mari kita pergi!"
Dan ia segera bertindak berlalu dari depan looya itu.
Siau Hou tidak berdiam lama di gerejanya, ia juga terus
berangkat. Tatkala itu sudah kira-kira jam lima sore, langit ada
banyak awan, angin sore sudah mulai meniup-niup,
mengusir hawa panas dari siang hari.
Kantor-kantor negeri sudah ditutup, ada banyak pegawai
yang berlerot kerumah makan, untuk menghadiri pesta.
Hok HayTong di Seesu Paylau ada rumah makan paling
terkenal di Kota Barat, biasanya orang buat pesta dengan pinjam ruangan rumah makan itu, hingga di depan pintu,
kereta dan joli, datang dan pergi tak putusnya. Dan itu hari, kebetulan ada empat rombongan perjamuan, maka rumah
makan itu jadi lebih ramai lagi. Cagak-cagak batu di luar telah penuh dengan banyak kuda yang ditambat di situ,
kereta-kereta berbaris di kiri dan kanan, barangkali ada lima puluh buah, semuanya baru dan indah, kebanyakan hijau
warnanya. Dan seperti biasanya, kusir-kusir pada
berkumpul dalam
beberapa rombongan, ada yang beristirahat, ada yang bercakap-cakap, ada banyak yang
berjudi. Di samping mereka ada banyak cangkir teh serta
tehkoan-nya. Siapa yang kenal baik satu pada lain,
ceritanya ada lebih asyik, sampai ada yang separuh berbisik.
Yang tidak kenal pun ada yang turut pasang kuping saja.
Diantara pendengar-pendengar itu ada seorang yang
pakai karpus merah, sampai mukanya seperti ketutupan
separuh. Ia pakai pakaian yang bersih. Ia mirip dengan
kusirnya seorang pembesar. Sering kali ia tempel hidungnya dengan pie-yan-hu. Ia duduk sendirian atas sebuah bangku kedi yang dicat merah. Belum pernah ia buka karpusnya itu.
Di antara mereka ada satu kusir, yang dikenal dengan
nama Siang Cu. "Kelihatannya kau semua senang, meski ada punya
majikan yang beradat, toh masih tidak apa," kata kusir ini, ketika ia satu kali menghela napas. "Beda adalah aku.
Setiap hari hati kita goncang saja, dan kapan sang malam tiba, kita seperti lihat memedi pada kelayapan, ialah
memedi tukang cabut nyawa ... Setahu kapan, sembarang
waktu kita bisa kehilangan jiwa."
"Toh itu bagus!" tertawa seorang lain. "Bukankah itu seperti sandiwara saja, melihat naga dan harimau
berkelahi?"
"Ah, toako, kau jangan goda aku ... " kata Siang Cie.
"Menonton sandiwara naga tempur harimau memang
menggembirakan, tetap aku ada lain. Nagaku masih
mending, siapa sangka bahwa siau-naynay kita, yang angin pun bisa tiup rubuh, bisa ada punya kepandaian" Tap yang
hebat adalah si harimau, dia ada galak sekali, karena ia pandai mainkan golok mustika dan panah!" Dan ia berkata dengan perlahan waktu ia melanjutkan: "Beberapa orang yang itu hari terlukai sampai sekarang masih belum sembuh
.. Dan si Thio Sam terkena panah justru kibulnya sekali .. "
"Tapi selama beberapa hari ini, kau semua anteng, kau
tentu dapat banyak persenan ..."
"Persenan apa" Cuma dengan satu atau dua renceng
uang, mulut kita disumpel ... " kata pula Siang Cu.
"Beberapa hari ini ada tenang, siapa tahu besok lusa" Kita kuatir kita nanti dijadikan makanannya harimau ... "
Omongannya kusir ini berhenti dengan tiba-tiba, tempo
dari dalam ada keluar satu orang seraya berseru; "Siang Cu!
Lekas siapkan kereta! Lantas mau pergi ke Khu-hu!"
Siang Cu lantas menyahut, tetapi ia kerutkan alis.
"Eh, apa Khu siau houya masih belum datang" Siapa itu keluarga Khu?" tanya seorang.
"Siapa lagi" Dia memang ada Khu siau houya!" kata
Siang Cu, "Nyonyanya telah pergi ke rumah orang, ia lantas buat orang malu, tetapi sekarang Khu siau-houya diundang, dan biar bagaimana, ia tak mau datang. Ia tak peduli bahwa orang berniat menghaturkan maaf. Tek ngoya sendiri pergi undang ia, ia tetap belum mau datang juga! Sekarang
rupanya siauya ku sendiri yang akan undang padanya..."
"Dasar siauya kau!" kata beberapa orang. "Siapa suruh ia buat salah" Orang harus ketahui siapa itu Ginthio Khu
Kong Ciau" Entah ada berapa banyak sahabat-sahabatnya
orang-orang dari kalangan Sungai Telaga ... Dan itu hari, itu pengiring dari nyoya Khu, entah siapa yang
menyamarkan diri" Siapa tahu kalau ia adalah isterinya Lau Tay Po?"
"Bukan, bukan dia!" kata satu kusir dari keluarga Giok.
"Isterinya Lau Tay Po aku kenal. Dulu dia sering datang ke depan gedung kita, untuk main dangsu diatas tambang,
setelah ia berhenti main dangsu, ia jarang keluar. Pada
beberapa hari yang lalu aku lihat ia di tengah jalan, ia sedang berbadan dua."
Siang Cu pun goyang kepala.
"Laginya pengiring itu hari ada seorang elok, cuma ia tak pernah bersenyum. Boleh jadi ia sengaja datang untuk
berkelahi! Dia bukan isterinya Lau Tay Po, Lau Tay Po tak nanti mampu tempel keluarga Khu!"
Orang itu manggut.
Kusir itu lantas berbangkit, buat pergi urus keretanya.
Orang yang memakai karpus pun lantas berbangkit, dengan
tindakan cepat ia susul Siang Cu, tangan siapa ia tarik.
"Siang-ya, sukakah kau ajak aku pergi ke Khu-hu," kata
ia. "Aku juga ingin lihat itu orang perempuan yang barusan kau bicarakan, ... "
Siang Cu mengawasi orang dengan mata melirik. "Eh,
lauko apakah kau tidak keliru," ia tanya, "Kau ada dari keluarga mana" Kenapa aku tidak kenal kau" Kau punya
she?" "Aku she Hoan ... "
"Hoan?" Siang Cu tegaskan, Hoan berarti kuda.
"Kau she Hoan! Besok barangkali ada yang pakai she
Cie-wie! Apakah maksudmu ini?"
Cic-wie adalah landak.
Orang she Hoan itu, yang sebenarnya ada Hoa Lian
Hoan, tertawa. "Aku tidak punya maksud apa-apa!" ia
menyahut. "Aku dengar pengiringnya Khu siau naynay ada manis, aku ingin lihat saja romannya ..."
"Tetapi aku hendak mengantar Lou husui pergi
mengundang Khu siauhouya, bukannya untuk menyambut
isterinya. Bujang pengiringnya mana mau keluar dari
pedalaman" Jangan kasih dirimu dipengaruhi paras elok,
sobat." Setelah kata begitu, Siang Cu lekaskan tindakannya,
guna siap dengan keretanya.
Sebelumnya Hoa Lian Hoan mendongkol juga, tetapi
sebagai seorang yang cerdik, ia bisa kendalikan diri. Maka juga akhirnya ita bersenyum, ia tertawa geli. Benar
sedangnya ia awasi kusir itu, tiba-tiba dari belakang ia ada orang cekal tangannya, hingga ia menoleh dengan cepat.
Orang itu pun ada satu kusir.
"Eh, kau ada dari keluarga mana?" ia orang menanya.
"Aku ada dari gedungnya Lie sielong?"Hoa Lian Hoan menjawab.
"Apakah Lie sielong pun datang hari ini?"
Sembari kata begitu, ini kusir mengawasi dengan tajam.
Hoa Lian Hoan agaknya ada sedikit terperanjat.
"Ya. ia datang, ia berada di dalam. Kau ada dari
keluarga mana?"
"Aku ada dari keluarga Giok, aku mengantari Jie-
siauya," kusir itu menjawab.
Kembali Hoa Lian Hoan terperanjat. Tetapi ta bisa
tabahkan hati. "Pantas dia merasa dia kenali aku," ia pikir. "Aku memang senang mondar-mandir di depan gedungnya."
Ia lantas sodorkan pie-yan-hu-nya.
"Cobalah kau cium ini," ia kata sembari tertawa.
Kusirnya keluarga Giok itu cium pie-yan-hu itu, ia
nampaknya merasa puas.
Siang Cu sementara itu sudah selesai memasang
keretanya, maka ketika sebentar kemudian Lou Kun Pwee
muncul, kereta sudah siap, hingga majikan ini bisa lantas naik dan kereta segera dijalankan.
Dua penunggang kuda mengiring sebagai pahlawan.
Hoa Lian Hoan tidak ikut, ia berdiri mengawasi.
Sementara itu kawannya, See Mo Cie, si Tikus Gurun Pasir sudah datang, tangannya ada menenteng keranjang bobrok,
yang biasa dipakai mengumpulkan kotoran kuda. Ia itu
jalan putar kayun di antara kereta-kereta atau kuda.
Lian Hoa dan kusirnya keluarga Giok duduk atas sebuah
bangku, masih saja mereka kongkou satu pada lain. Kusir
itu ketarik betul pada orang punya pie-yan-hu, ia seperti tak hendak lepaskan itu. Si Kuda Belang sudah umpak-umpak
kusir itu, akan buat hati orang menjadi sangat senang.
Begitulah kusir itu kasih tahu, bahwa dari gedung keluarga Giok, itu hari ada datang dua buah kereta, kudanya tiga
ekor. Masih saja Lian Hoan pasang omong ketika sebentar
kemudian Siang Cu balik bersama keretanya, dibuntuti dua kereta lain, satu kereta adalah Hok Cu dari keluarga Tek yang mengendarai, dan sebuah lagi dari Khu-hu.
Lou Kun Pwee mendahului turun dari keretanya, ia
menghampiri kereta dari Khu-hu, dengan sikap sangat
menghormat ia sambut turunnya Khu Kong "Ciau dari
kereta itu, untuk dipimpin masuk ke dalam restoran. Di lain kereta, menyusul turun Tek Siau Hong. "Oh, mereka sudah
akur pula!" demikian suaranya beberapa orang luar. "Satu kali Khu Kong Ciau sudah dapat diundang dan Lou Hu-sin
sudah menghaturkan dua cawan arak, guna penghaturan
maaf, semua asap akan buyar dan halimun akan bersinar."
Beberapa orang yang dekat pada Siang Cu yang belum
lepaskan cambuknya, pun kata pada ini kusir. "Sahabatku, mulai ini hari, di gedungmu tidak lagi akan terbit peristiwa apa juga! Dan selanjutnya, kau boleh tidur dengan nyenyak


Harimau Mendekam Naga Sembunyi Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

... " Tetapi Siang Cu menggeleng kepala. "Perkara tak ada sedemikian sederhana!" ia menyahut.
"Memang juga, urusan dengan keluarga Khu tidak ada
banyak sangkutannya," kusir dari Giok-hu campur bicara.
"Urusan yang benar, menurut aku, seharusnya Lou Hu-sin mengundang Lo Siau Hou dan Itto lianhoa ... "
Dari situ, kusir-kusir itu lantas saja bicara banyak.
See Mo Cie tidak campur bicara, ia jongkok didekat
seekor keledai, akan lakukan kewajiban mengumpulkan
kotoran binatang itu ...
Hoa Lian Hoan awasi konconya itu, lantas ia
menghampiri. "Apakah kau belum mengumpulkan cukup?" ia
menegur, dengan aksi mengusir. "Kau kumpulkan kotoran kuda, apa itu untuk dibawa pulang dan didahar" Pergilah!"
Ia angkat kakinya agaknya ia hendak menendang.
"Sesudah aku selesaiini ktumpulkan, aku akan lantas pergi..." menyahut Sie Mo Cie dengan merengek, dengan
roman minta dikasihani.
Selama ini, mereka telah datang dekat sekali satu pada
lain. "Itu kereta, itu kereta yang ketiga di sebelah utara, kereta yang baru saja sampai," kata Hoa Lian Hoan kemudian, suaranya seperti berbisik. "Itu kuda, itu kuda, itu kuda ...
apakah kau telah ingat baik?"
Melulu dengan gerakan air mukanya, si Tikus Gurun
Pasir menjawab bahwa ia sudah tahu.
"Hayolah pergi!" Hoa Lian Hoan kemudian berseru,
dengan suaranya yang nyaring.
See Mo Cie dengan roman ketakutan berlalu dengan
cepat. Itu waktu dari dalam restoran ada banyak tetamu yang
bubaran, serombongan pesta telah sampai di akhirnya. Di
muka pintu, orang ada bergerunyukan, kereta-kereta pada
bergerak sebagaian telah berangkat pergi.
Dalam keadaan seperti ini, selagi sedang ramainya, See
Mo Cie sudah lakukan tugasnya. Dari dalam keranjangnya
ia keluarkan serupa barang. Ia pandai bekerja dan sebat
sekali. Ia pun bekerja dengan tidak ada orang yang ketahui, sedang Siang Cu, bersama-sama seorang yang dipanggil si
Kit Sam dan yang lain-lain lagi pasang omong dengan
asyik. Tidak satu di antara mereka yang ada menduga apa-
apa. Ketika sang sore mendatangi, beberapa rombongan
tetamu lainnya pun bubaran dengan berturut-turut, dan
kemudian orang lihat Lou Kun Pwee mengiringi Khu Kong
Ciau dan Tek Siau Hong, yang ia antar sampai di luar.
Rupanya mereka sudah bicara cukup dan pestanya telah
ditutup juga. Kedua tetamu itu diantar sampai di kereta mereka
masing-masing, kedua pihak berpisahan setelah roda-roda
kereta dikasih menggelinding.
Sehabisnya antar kedua tetamu agung itu, Lou Kun
Pwee masuk pula ke dalam restoran, tetapi sekarang ia
tidak ambil tempo lama, atau ia telah segera keluar pula.
Dua bujang lelaki iringi ia, mereka ini naik dalam sebuah kereta. Di belakang kereta, dengan menunggang kuda, ada
si dua pahlawan, yang membekal golok.
Dalam cuaca saat malam, kereta dilarikan ke arah barat.
Siang Cu bersama-sama Kit Sam telah lakukan kewajiban
mereka dengan bersemangat. Keretanya Kit Sam jalan di
depan. Tapi belum jauh mereka berjalan, tiba-tiba keretanya Ki Sam berhenti tengah jalan, hingga kereta di belakangnya, turut terhalang majunya dan mesti turut berhenti juga.
"Ada apa, he?" tanya Kun Pwee dari dalam keretanya, ia kaget.
Siang Cu tidak menyahuti, ia hanya loncat turun dari
keretanya, akan hampirkan Kit Sam, siapa ia tanya.
"Ada penyakit pada keledaiku," sahut Kit Sam. Ia
penasaran dan ia gunakan cambuknya dengan keras atas
punggung binatang penarik kendaraan itu.
Keledai itu kaget dan kesakitan, ia berjingkrak, tetapi
bukannya kabur, ia justru jatuh ngusruk, hingga dua bujang, yang menjadi penumpang kereta, hampir tergelincir keluar dari keretanya, yang menjadi nungging ke depan.
Lou Kun Pwee menjadi berkuatir sekali, hatinya ciut.
"Siang Cu!" ia segera teriaki kusirnya. "Siang Cu, jangan pedulikan kereta di depan! Mari, lekas! Lekas antar aku
pulang, lekas!"
Dalam ketakutan, suaranya majikan ini nyerocos terus.
Siang Cu lari kepada keretanya, ia loncat naik ke tempat duduknya, setelah menyekal tali les, ia larikan keledainya,
lewat disampingnya kereta dari Kit Sam, roda-roda kereta berbunyi dengan keras.
Kabur belum seberapa jauh, keledai dan keretanya Lou
Husin pun rubuh dengan tiba-tiba, karena kereta sedang
menggelinding keras, Kun Pwee telah terlempar keluar,
hingga ia jatuh di jalan besar. Syukur kereta berhenti
dengan lantas, ia jadi tak usah dimakan roda.
Kedua pahlawan kaget, mereka loncat turun dari kuda
mereka masing-masing, akan tolong itu cukong, yang segera dipimpin bangun.
Kun Pwee bertindak dengan sukar, ia terus berada dalam
ketakutan. "Lekas cari sebuah kereta lain!" ia kata. "Lekas antar aku pulang. Lekas, lekasan sedikit!"
Satu pengiring segera lari kepada kudanya, ia loncat
naik, ia kaburkan balik kudanya itu, akan pergi mencari lain kereta. Ini ada pekerjaan sukar, karena di waktu malam
yang gelap gulita, di mana kereta bisa gampang dicari"
Pengiring yang satunya, dengan sebelah tangan
memegangi cukongnya, dengan sebelah tangan yang lain ia
hunus goloknya.
Kedua kereta, yang masing-masing keledainya nyusruk
ini, terpisah jauh satu dan lain. Tapi, di tengah malam dan gelap seperti itu, suara orang bisa terdengar sampai terlalu jauh lagi.
"Mari. Mari bantui!" demikian terdengar suaranya Kit Sam. "Mari, seorang lagi saja sudah cukup!"
Siang Cu dengar suara itu, ia lari pada kawannya, untuk
berikan bantuannya.
Bersama Kit Sam ada dua bujang, hingga jumlah mereka
jadi bertiga. Maka, dengan datangnya Siang Cu, dengan
tenaganya empat orang, sang keledai telah bisa dikasih
bangun dan berdiri. Meski begitu, kedua bujang tidak berani lantas naik pula atas kereta.
Kit Sam ayun cambuknya, mulutnya kasih dengar titah
untuk keledainya. Binatang itu geraki empat kakinya, tetapi baru beberapa tindak, ia telah rubuh kembali.
Kit Sam jadi sangat mendongkol, hingga ia ayun dan
kasih turun cambuknya berulang-ulang, meski cambuk itu
menerbitkan suara berisik yang nyata sekali di antara
malam yang gelap dan sunyi itu. Walaupun demikian,
sekarang ini, meski dihajar hebat begitu rupa, don dibantu oleh tenaga orang untuk dibangunkan, binatang itu tidak
mau berbangkit pula, ia tak bisa.
"Cukup," akhirnya Siang Ciu cegah kawannya. "Walau dikemplang mampus, keledai ini tak akan bisa jalan pula.
Ini mesti ada sebabnya. Kau tahu, keledaiku juga rubuh,
hingga tayjin terlempar keluar dan lukanya berat. Mesti ada orang yang sudah main gila yang hendak buat terjungkal
kita." Siang Cu lantas lari kebelakang akan ambil lentera
kertas, dengan bawa itu ia pergi ke depan akan suluhi si binatang penarik kendaraan. Akhirnya, ia kaget. Sebab
rebah dengan kaki tertekuk, kakinya binatang itu ada
mengeluarkan darah.
Kit Sam dan dua bujang tercengang.
"Keledaiku juga tentu senasib!" kata Siang Cu, yang masgul, penasaran dan gusar.
Berempat mereka saling memandang dengan muka
pucat. Tiba-tiba dalam kesunyian, mereka dengar suaranya
roda-roda bergelindingan, suaranya mendatangi, hingga
kemudian, samar-samar tertampaklah sebuah kereta yang
jalannya anteng, sebagaimana antengnya si kusir yang
bersiul-siul, lagu dari Shoasay.
"Apakah kereta telah datang?" berseru pengiringnya Kun Pwee, yang tinggal bersendirian.
Pertanyaan itu tidak dapat jawaban.
Siang Cu lari, akan cegat kereta itu.
Tukang kereta dan kereta yang baru datang itu berhenti
bersiul, sebagai gantinya, ia tertawa.
"Kau kenapa, eh?" ia bertanya.
Siang Cu mengawasi, ia segera kenali tukang kereta itu.
"Eh, kau toh ada hambanya Lie sielong?" ia tanya. "Kau pun baru kembali dari Hok Hay Tong. Apakah Lie tayjin
tidak ada dalam keretanya?"
Tukang kereta itu adalah Hoa Lian Hoan.
"Tayjinku naik dalam sebuah kereta bersama-sama Han
giesu," ia menyahut, "dan aku diperintah pergi menyambut thaythay kita. Di sana sekarang sedang dirayakan pesta
shejit, ada ditanggap wayang panggung, maka dengan pergi ke sana, aku ingin sekalian dengar nyanyian. Keledai kau tentu lelah, maka coba cacapi dengan air dingin ... "
Sembari kata begini, Hoa Lian Hoan jalankan terus
keretanya. "Eh, kereta dari mana itu?" Kun Pwee berteriak dengan pertanyaannya.
Siang Cu lari menyusul kereta itu.
"Apakah kau tidak bisar tolong akan muatkan tayjin?" ia kata pada Hoa Lian Hoan. "Kau menarik tayjin dengan sekalian lewat saja. Kita tentu akan kasih persen padamu!"
Tetapi Hoa Lian Hoan goyang kepala.
"Tidak bisa," ia menyahut. "Thaythay sudah pesan aku bahwa keretanya yang baru ini tidak boleh ditumpangi oleh lain orang."
Kun Pwee menghampiri dengan ... pahlawannya
pepayang ia. Kapan ia dapat keterangan yang itu kereta ada kepunyaanya Lie sielong, ia kata; "Lie tayjin ada sahabatku!
Kau berhentikan keretamu, kasih aku pakai sebentaran,
besok aku nanti kasih keterangan pada Lie tayjinmu."
Si pahlawan juga sudah lantas tahan kereta, kemudian ia
bantui majikannya naik ke atas kereta itu.
"Nah, lekas jalankan kendaraanmu," ia perintah.
Hoa Lian Hoa menghela napas, ia nampaknya ada
sangat terpaksa dan tak gembira.
Kun Pwee duduk di dalamkereta separuh rebah.
"Lekas antar aku pulang ke gedungku, nanti aku kasih persen pada kau!"
Hoa Lian Hoan kerjakan cambuknya, hingga keledainya
menjadi kaget dan berjingkrak dan terus lari dengan keras.
"Perlahan sedikit." kata k pahlawan, yang menyusul dari belakang.
Akan tetapi keledai lari terus, dengan keras.
"Keledaiku tidak bisa dikasih lari perlahan," kata si Kuda Belang. "Sesudah antar tayjin ini, aku mesti papak thaythay ku. Aku tidak boleh ayal-ayalan, nanti aku kelambatan dan gagal!"
Dan kereta terus lari, seperti kabur.
Pahlawan itu mengiring dengan larikan kudanya dengan
keras. Ia sudah lari jauh juga ... , entah kenapa, kuda itu angkat kepalanya dan empat kakinya berbareng terangkat
hingga dengan berjingkraknya itu penunggangnya jadi tak
bisa duduk tetap lebih lama di atasnya. Maka itu
penumpang kuda lantas terlempar jatuh, tubuhnya
terbanting ke tanah, hingga ia pingsan. Kuda itu sendiri kemudian kabur terus.
Kun Pwee di dalam kereta dengar suara orang jatuh dan
kuda berbenger.
"Lekas!" ia teriaki Hoa Lian Hoan. Ia kaget dan berkuatir.
Taji, bukannya kereta terus dikasih larat. Hoa Lian Hoan justru kasihk keledainya lari kendor, akan akhirnya ia
loncat turun dari kereta itu, akan pegang les pada mulut keledai, hingga itu binatang kena tertahan dan tak lari terus.
Hampir berbareng dengan itu, dari tepi jalan loncat
keluar seorang lelaki dengan tubuh besar, ia loncat naik ke dalam kereta, maka di lain saat, batang lehernya Lou Kun Pwee sudah tertandel golok yang tajam.
Lou Hu-sin kaget bukan kepalang, hingga ia keluarkan
jeritan tertahan.
Hoa Lian Hoan pun sudah loncat naik lagi atas
keretanya, ia tarik les akan kasih keledainya lari, roda-roda kereta lantas berbunyi pula dengan berisik, hingga
kendaraan itu bergocang-goncang dengan keras sekali,
seperti hendak rubuh terbalik saja!
Dengan tubuh yang gemuk Kun Pwee hampir tak bisa
bernapas, karena si orang tinggi besar yang randelkan golok di batang lehernya, telah tekan ia dengan keras. Ia
bergemetaran dan tak bisa mengucap kendatipun satu patah perkataan.
Tiba-tiba si orang tinggi besar ayun goloknya, cuma itu
tidak melukai atau membuat lecet kulitnya si teromok itu, yang sudah ketakutan bukan main waktu senjata itu beradu keras dengan kereta.
"Kau ketahui, aku ada Puan Thian In Lo Siau Hou," itu orang perkenalkan dirinya. "Aku tahu bahwa orang telah paksa toa-siauy dari keluarga Giok untuk menulis satu surat keterangan dengan apa orang hendak paksa dan pengaruhi
Giok Kiau Liong, maka itu, aku tidak puas dengan
perbuatan hina itu!"
"Aku tahu kau ada satu hiapkek," berkata Lou Han-lim, dengan suaranya yang sangat tidak lancar. "Aku mohon, jangan kau bunuh aku, aku nanti keluarkan itu surat, untuk diserahkan padamu ... "
"Sebentar saja dirumahmu nanti, kita akan bicara pula,"
kata PoanThian In, si Awan di Tengah Langit. "Sekarang ini dua jiwa kita ada seperti terikat menjadi satu, umpama kata aku mesti binasa, jiwamu pun tidak akan luput!"
Hoa Lian Hoan terus larikan keretanya, tetapi ia ada
waspada. "Di belakang ada orang menyusul kita!" ia kata pada ketuanya.
Lo Siau Hou menoleh ke belakang, ia lihat satu
penunggang kuda sedang kejar ia. Sama sekali ia tidak
merasa takut, hanya dengan tenang ia lancarkan panahnya
yang liehay. kemudian ia menunggu sebentar, sesudah
mana, ia lepaskan sebatang anak panahnya.
Dengan samar-samar kelihatan si penunggang kuda
terjungkal dari kudanya itu.
"Lekas!" kemudian Poan Thian In menitah Hoa Lian
Hoan. Si Kuda Belang kerjakan pula cambuknya, ia bikin
binatang penarik keretanya jalan dengan terlebih keras lagi.
Maka itu selagi suara cambuk menjeter-jeter, suara roda-
roda tidak kurang berisiknya.
Kun Pwee menderita sangat. Ia tidak berani berkutik.
Dengan tubuh yang besar dan penuh minyak, ia rebah di
atas kereta, hingga ia mirip dengan seekor babi yang hendak disembelih.
"Di depannya Giok Kiau Liong, kau mesti akui semua!
Nanti surat keterangan itu aku bakar habis menjadi abu!"
Lo Siau Hou kasih tahu pula, dengan ancamannya.
"Sesudah itu barulah aku bisa kasih ampun jiwamu!"
"Baiklah!" sahut Kun Pwee, dengan napas memburu.
Sebentar kemudian mereka sudah sampai di depan pintu,
di depan pintu pekarangan dari gedungnya keluarga Lou.
Dan kereta segera dikasih berhenti, sebab si Kuda Belang telah ketahui baik tugasnya.
Lo Siau Hou turun dari kereta dengan ia betot Kun
Pwee, atas mana, tidak menunda sedetik juga, Hoa Lian
Hoan kasih kabur pula kendaraannya, akan menyingkir dari gedung itu.
Lou Kun Pwee turun dari kereta akan segera numprah di
tanah, ia ada sangat lelah dan masih sakit bekas terkusruk dari atas kereta, maka itu, untuk bisa masuk ke dalam, Siau Hou mesti cekal lengannya, untuk pepayang padanya.
Baru saja mereka masuk di pintu pekarangan, di situ
sudah muncul beberapa orang, yang semuanya menjadi
tercengang apabila mereka saksikan keadaannya tuan
rumah yang muda itu, tetapi beberapa orang segera hunus
golok sebegitu lekas mereka lihat siapa berada bersama-
sama itu majikan. Tapi Siau Hou ada garang, begitu orang menghunus golok, ia ayun sebelah tangannya, panahnya
menyambar dan orang itu segera rubuh sambil menjerit.
"Jangan, jangan menyerang!" Kun Pwee berteriak-teriak dengan cegahannya. "Jangan gunakan panah!"
"Kuncilah pintu pekarangan," Lo Siau Hou segera
berikan perintahnya. "Siapa juga yang minta dibukakan pintu, jangan ladeni padanya, jangan kasih ia masuk!"
"Ya, kunci pintu, larang siapa pun masuk!" Lou Kun
Pwee perkuatkan itu perintah. Ia ada sangat tidak berdaya, ia kuatir orangnya celaka semua, sebab Poan Thian In
berlaku sangat galak.
Lou-hu punya bujang-bujang dan pahlawan, juga satu
piausu yang baru dipekerjakan, menjadi sangat mendongkol, sebab adanya perintah dari nona itu, mereka
maka megawasi dengan muka merah. Mereka kuatir
dengan satu gerakan tangan saja, Lou Kun pwee nanti
dibuat binasa. Sedang orang pun tahu liehaynya golok
mustika dan panah tangannya Siau Hou.
Demikian, dengan suara menggabruk keras, pintu
pekarangan telah ditutup dan dikunci.
"Kau semua jangan buat banyak berisik," Kun Pwee kembali pesan orang-orangnya. "Lo hiapkek tak akan
bunuh aku. Ia datang kemari untuk satu urusan, selesainya itu, ia akan lantas merdekakan aku! Bila kau buat banyak berisik dan berlaku lancang, jiwaku akan tak tertolong lagi!"
Lo Siau Hou tak pedulikan pesanan orang itu, separuh
membetot, ia ajak hanlim itu masuk ke dalam di mana api
telah dipasang terang.
Beberapa orang ronda merayap naik di tangga, untuk


Harimau Mendekam Naga Sembunyi Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

naik ke atas genteng, di situ mereka memukul kentongan
mereka, atas mana terdengarlah sambutan gembreng yang
berisik. Siau Hou tidak kata apa-apa akan tetapi golaknya
nempel pada batang leher orang.
"Jangan pukul kentongan, jangan pukul gembreng!" Kun Pwee berteriak-teriak. "Hayo, jangan buat berisik!"
Atas itu, suara kentongan dan gembreng menjadi sirap.
Tetapi dari dalam telah muncul dua budak perempuan,
yang tercengang melihai itu majikan dalam keadaannya
yang istimewa itu.
Hampir seperti orang mewek. Kun Pwee ulap-ulapkan
tangan pada dua budaknya itu..
"Tidak apa-apa, tidak apa-apa." Ia kata. "Jangan kaget, jangan kau buat banyak berisik. Ia ini adalah Lo hiapkek, ialah tuan Lo yang aku undang untuk datang kemari!
Lekas, lekas pergi ke dalam, pada loo-thaythay kau minta itu surat keterangan halnya siau-naynay! Lekas, lekas,
urusan akan lantas menjadi beres ... "
"Bawa aku ke kamarnya Giok Kiau Liong!" Lo Siau
Hou menitah. "Baiklah ... " ada penyahutannya Lou Kun Pwee.
Siau Hou menyekal dengan keras, sampai kulitnya yang
montok istimewa pecah karena tangannya yang kuat dan
kukunya yang tajam.
Dengan jalan tetap berdingkluk-dingkluk, Kun Pwee
pimpin Poan Thian In ke ruangan barat.
Tadi siang Kun Pwee telah sambut isterinya yang terluka
dari rumah ibunya si nona Giok, sesampainya di
gedungnya, ia paksa isteri itu tukar kamar.
Kapan itu dua orang sampai di dalam kamarnya Giok
Kiau Liong, nona itu yang sedang rebah, telah berbangkit dengan terperanjat, selimutnya ia singkap. Ia duduk dengan rambut awut-awutan, mukanya pucat, pada itu ada terpeta
roman kaget dan heran.
Siau Hou dorong Kun Pwee hingga ia ini duduk melesak
atas sebuah kursi, kemudian ia goyang tangannya terhadap Kiau Liong.
"Jangan takut!" ia kata. "Asal ia suka dengar segala kata-kataku, aku tanggung hari tak akan terjadi perkara jiwa!
Kau tahu duduknya perkara! Ia telah berkongkol dengan
orang jahat, kau telah kena dijebak, dengan diringkus kau telah dibawa kemari dan di sini kau dipaksa menikah
padanya! ... "
"Tidak, tidak ..." kata Lou Kun Pwee, yang masih melesak di atas kursinya. "Aku tidak menikah padanya! Lo hiapkek, kau boleh tanya padanya sendiri."
"Tetapi kau toh ada sangat kejam!" kata Siau Hou
dengan sengit. "Kau telah ringkus padanya, lantas kau hadapkan engko-nya, yang kau paksa suruh tulis surat
keterangan atau pengakuan, hingga dengan adanya surat
rahasia itu, kau bisa paksa padanya, yang kau perlakukan secara sewenang-wenang, sampaikan ia tak berani berbuat
suatu apa terhadap dirimu! Dan yang paling busuk dan
kejam, kau juga sudah beli seorang perempuan yang kau
suruh mengaku sebagai Jie Siu Lian. Siapa kau perintah
pergi membunuh seorang perempuan hingga kau telah buat
kaget ibunya yang sudah tua!"
Mukanya Kun Pwee pucat laksana kertas, ia merayap
turun dari kursinya, ia tekuk lutut.
"Itulah bukan aku yang lakukan," ia coba menyangkal.
Tapi Poan Thian In berikan orang satu dupakan. Hingga
si gemuk itu menjerit!
"Siapa percaya obrolanmu, manusia licin! Kau sengaja berbuat demikian, buat bikin Giok Kiau Liong menjadi
gusar, kemudian sebagai juga melepas harimau pulang ke
gunungnya, kau serahkan pedangnya, supaya Giok Kiau
Liong pergi adu jiwanya dengan Jie Siu Lian! Dan kau
sendiri duduk di muka gunung, akan tonton harimau
bertanding! Kau ingin lihat mereka berdua rubuh dengan
berbareng, supaya habislah dua-duanya. Siapakah yang kau hendak kelabui dengan perbuatanmu yang licin itu?"
Kun Pwee mendekam di jubin, ia tak bergeming, ia
menutup mulut. Siau Hou menoleh, ia lihat Kiau Liong berubah menjadi
suram, sepasang alisnya bergerak, suatu tanda nona itu ada mendongkol atau gusar. Ia lantas bersenyum, ia tertawa
dengan tawar. "Ini adalah satu urusan, yang aku tak mau campur tahu,"
ia kata. "Orang yang ia buat celaka adalah orang dari kau punya keluarga Giok sendiri, maka apa ia harus binasa
karenanya, bergantung pada kau sendiri! Kau harus
ketahui, sejak aku telah cuci tangan, belum pernah aku
binasakan orang secara kecewa, kecuali ia yang coba
melintang di hadapanku! Ini hari aku datang untuk paksa
binatang ini serahkan surat keterangan, yang ia paksa orang untuk ia bisa pengaruhi dirimu. Surat itu aku hendak buat musuh, supaya dengan begini selesailah kewajibanku untuk menyatakan isi hatiku kepada kau!"
Benar itu waktu, satu bujang perempuan datang dengan
surat wasiat yang diminta. Tetapi ini bujang tidak berani masuk ke dalam, ia berdiri di depan pintu. Maka itu, Siau Hou menyambuti surat itu. Ia telah buka pintu, untuk
ditutup dan dikunci pula, kemudian itu surat ia serahkan pada si nona.
Kiau Liong sambuti itu surat, yang ia bawa ke dekat api, untuk diperiksa bulak-balik. Itu adalah surat, yang laksana tambang wasiat, sudah mengikat dirinya hingga ludaslah
kemerdekaannya. Akhirnya, ia renggut.
"Benar!" ia kata. "Benar, inilah itu surat celaka!"
"Apakah kau kenalkan betul?" Siau Hou tegaskan.
"Aku kenalkan betul!"
"Apakah tidak salah?"
"Tidak! Surat keterangan ini melainkan selembar
adanya." Lo Siau Hou manggut. Ia ulur tangannya, akan ambil
pulang surat wasiat itu, yang ia terus sodorkan pada api lilin di ciaktay di atas meja, hingga sekejab saja habis menjadi abu lempengan, yang terbang terbawa angin!
Habis itu Siau Hou cekal tangannya Kun Pwee yang ia
paksa tarik bangun, akan kasih duduk pula si gemuk diatas kursi. Kemudian, dari dalam sakunya ia keluarkan kertas, pit, bak dan bakhie, yang ia letaki di atas meja. Ia sendiri yang gosok bak itu dan culat-colet pitnya.
"Sekarang kau mesti tulis sepotong surat keterangan untuk aku!" ia kata. "Kau ada seorang yang berhati kejam, maka sekarang aku hendak telad perbuatanmu itu." Ia ketok meja dengan goloknya.
"Hayo siap!" ia kata pula, "Apa saja yang aku katakan, kau mesti tulis, salah satu huruf saja, tak boleh! Jangan kau mencoba kelabui aku karena sangka aku kurang paham
surat! Tulislah, biar benar. Kau ada asal satu hanlim, tidak sukar untuk kau menulis surat, bukan?"
Ia mendupak kursi, goloknya ia ayun ke arah lehernya si
gemuk itu. "Kau mulai tulis, sekarang aku bacakan!" ia kata pula.
Dan ia terus berkata-kata.
"Orang yang membuat surat ini adalah aku, Lou Kun
Pwee. Aku bersama Poan Thian In ada pernah saudara
angkat. Disebelah aku ada Giok Kiau Liong, satu nona
yang putih bersih. Nona ini cela romanku yang jelek, ia tak mau menikah padaku. Sebaliknya aku ingin dapatkan ia,
sebelum itu tercapai aku tak puas. Maka itu aku telah
gunakan Pekgan Ho Holie sebagai perekat. Ia ini ada satu pejabat Ia masuk ke dalam keluarga Giok, untuk coba
membujuk dan memincuk Si nona Giok, sayang maksudku
itu tidak berhasil.
Akulah yang perintah orang membinasakan Coa Kiu.
Kemudian di luaran, aku sengaja siarkan cerita burung,
buat membusuki kehormatan keluarga Giok, yang dikatai
aturan rumah tangganya tidak bagus. Dengan ini jalan, aku paksa keluarga Giok nikahkan nona Giok padaku, hingga ia datang masuk ke rumahku. Disini aku telah perlakukan
sewenang-wenang pada nona Giok, hingga si nona menjadi
jatuh sakit. Dan akupun telah racuni budaknya si nona,
untuk buat si budak tak mampu bicara.
Aku ada seorang dengan roman manusia tetapi berhati
binatang. Aku menjadi pembesar bun tetapi sebenarnya aku ada satu penjahat besar.
Kandaku Pao Thian In adalah satu orang gagah
Kandakku itu tidak suka perbuatanku, maka karenanya,
kita berdu jadi kebentrok satu pada lain.
Paling, belakang aku telah perintah satu penjahat
perempuan, nama ... "
Sampai di situ, Siau Hou gunakan goloknya, akan ketok
kepalanya Kun Pwee.
"Siapa namanya itu Jie Siu Lian palsu?"
"Kabarnya gelarannya adalah Lie Mo-ong." sahut Kun Pwee, yang agaknya tidak ingat benar, atau ia sangat
bingung. "Baiklah, kau boleh tulis itu," kata Siau Hou sambil tertawa dingin. "Sekarang kau boleh tulis pula, melanjuti."
Kun Pwee menulis pula, sebagai berikut:
". ... Lie Mo-ong yang aku mestikan pakai namanya Jie Siau Lian, buat pergi serbu keluarga Giok, untuk di sana ia binasakan anak perempuan orang, untuk buat kaget dan
takuti ibunya Giok Kiau Liong.
Ini semua ada kejadian yang sebenarnya, untuk
perbuatan ini, bagianku seharusnya adalah kematian.
Ini surat keterangan adalah Poan Thian In yang suruh
aku buat tetapi aku buatnya dengan suka rela.
Poan Thian In itu bukannya Lo Siau Hou, dan Lo Siau
Hou adalah satu laki- laki sejati. Poan Thian In adalah satu jago dalam kalangan Rimba Hijau.
Demikian aku buat surat keterangan, yang aju serahkan
pada kandaku angkat untuk ia simpan. Dengan surat ini,
satu kali aku berbuat jahat, aku tak akan lolos dari
kebinasaan ..."
Sampai di situ, Lou Kun Pwee menjadi teklok,
tangannya lemas.
Lo Siau Hou bersenyum, ia jumput surat itu, diserahkan
pada Kiau Liong, untuk si nona membacanya.
Kiau Liong membaca, sambil menepas air mata. Ia
sangat terharu.
"Sekarang bubuhi tanda tanganmu!"kata Siau Hou, yang ambil kembali surat itu dari tangannya si nona, diletaki di atas meja di depannya Kun Pwee.
Ini hanlim tidak berani membantah, ia bubuhi tanda
tangannya. Siau Hou ambil itu surat yang ia lepit, dan disimpan
dalam sakunya. "Kau jangan takut," ia kata, seraya ia ketok pula kepala orang dengan belakang golok. "Asal aku tidak mendapat susah apa-apa, tidak nanti aku rembet-rembet pada kau!"
Kun Pwee berdiam, ia sedang rasakan sakitnya ketokan
golok. Siau Hou menoleh pada Kiau Liong.
"Aku hendak pergi sekarang," ia kata. "Sekarang aku merasa puas, sekarang hatiku lega."
Kiau Liong berdiam, akan tetapi air matanya mengalir.
"Aku mengerti kau," kata Siau Hou dengan perlahan, sambil ia pandang kekasihnya itu. "Sekalipun aku telah lakukan ini semua untukmu, kau tentu masih tidak ingin
akan berlalu dari sini buat ikut aku, karena kau tidak tega akan tinggalkan rumah tanggamu, sebab kau tidak akan
sanggup menderita penghidupan sukar di luaran ...
Bagaimana aku bisa memaksa kau" ... "
Pemuda ini menghela napas.
"Apakah kau masih ingat apa yang aku bilang ketika
dahulu kita berada di gurun pasir?" ia tanya. "Barangkali kau telah lupakan itu ... "
Tapi Kiau Liong pentang matanya.
"Bagaimana aku bisa melupakan itu?" ia kata. "Hanya sekarang, ibuku masih hidup dan ke sana aku tak bisa pergi
... " Ia tunduk, menangis sesenggukan, air matanya turun
dengan deras. "Jangan kau menangis," kata Siau Hou seraya ia tepuk bahu orang. "Satu enghiong tak mudah menangis."
Walau pun ia mengucap demikian, Siau Hou toh
melengak. "Aku hendak pergi sekarang," kata ia, setelah ia sadar.
"imam tua di rumah suci di mana kemarin itu aku tumpang diri ada sahabat, ke mana saja aku pergi, aku tentu
tinggalkan alamatku kepadanya. Maka itu di belakang hari umpama sepuluh tahun kemudian, apabila kau ingat aku,
kau boleh pergi cari imam itu, akan tanyakan ia tentang
aku, kita nanti bisa bertemu. Sekarang ini urusan sudah
selesai, aku hendak pergi akan cari musuh dari ayah dan
ibuku. Jikalau nanti aku berhasil membalas sakit hatiku, andaikata aku tidak mau, hatiku tentu akan menjadi tawar, dari itu kau boleh tetapkan hati, tidak nanti aku main gila pula, aku akan tak sembronolagi ... Hanya aku bisa
terangkan pada kau, pasti sekali aku tak akan pangku
pangkat, sebab sekarang juga aku sudah sadar, aku tidak
mungkin untuk menjadi pembesar negeri. Baiklah, apakah
kita memang berjodoh, kita pasti bertemu pula! Umpama
kata kau berubah hati, aku sendiri Lo Siau Hou, hatiku tak akan bergeser!"
Habis kata begitu, Poan Thian In tertawa, melainkan
matanya tetap mengawasi Kiau Liong, muka siapa teruruk
kesedihan. Hatinya Siau Hou menggetar. Maka juga, ia
segera putar tubuhnya, akan loncat ke pintu, buat lari
keluar. Ia bawa goloknya. Di belakang ia, ia dengar suara sedih dari si nona: "Siau Hou, balik, balik kemari".."
Mau atau tidak, Siau Hou tunda tindakannya. Di muka
pintu ia bersiap dengan goloknya ia kuatir nanti ada orang yang bokong padanya. Ia menoleh pada si nona.
Kiau Liong telah turun dari pembaringan, dengan
berpegangan pembaringan, ia bertindak dengan perlahan,
akan hampiri si anak muda. Di antara cahaya api kelihatan rambutnya riap-riapan, di mukanya ada bekas-bekas air
mata mengalir ia cekal tangannya si anak muda.
"Kau jangan kuatir, untuk selama-lamanya, aku adalah kepunyaan kau," ia kata. "Lambat laun, kita mesti bertemu pula ... "
Siau Hou menghela napas.
"Baik," ia menyahut, "untuk selama-lamanya, aku akan tunggu kau ..."
Ia menoleh ke kursi, di mana Kun Pwee masih duduk
melesak. Ia buat main bibirnya.
"Awas terhadap orang itu." ia pesan, "biar bagaimana, kau harus berdaya ..." ia gerak-gerakkan tangannya, "Begini ada cara paling baik!"
Diwaktu mengucap demikian. Poan Thian In kelihatannya sengit. Kiau Liong seka air matanya, ia
manggut. "Aku tahu," ia menjawab. Ia menghela napas. "Aku ada seorang dengan adat tinggi, sama sekali belum pernah orang permainkan aku, tetapi sekarang ini, apabila tidak ada kau yang berdayakan begini rupa, sudah tentu aku akan tetap
menjadi barang permainan orang, yang boleh dihina
sesukanya. Aku hanya merasa malu, sekalipun sampai saat
ini, aku masih belum bisa ikut kau ... "
"Sebenarnya, umpama
sekarang kau turut aku, halangannya tidak ada sama sekali," Siau Hou bilang, "kau ketahui sendiri, surat keterangan sudah ternusnah! Apa
yang mereka bisa buat terhadap pihak kau?"
"Tidak, kau belum tahu aku cukup dalam," kata si nona.
"Aku tahu tentang diriku sendiri. Tidak seharusnya aku terlahir di rumah orang berpangkat, tidak seharusnya aku kenal kau..Peruntunganmu harus sangat dikasihani, dan
olehku kau telah kena dibikin bersengsara ... Sekarang ini, aku harap kau suka kuatkan hati, kau mesti cari kemajuan, jangan putus asa!"
Air mukanya Siau Hou berubah dengan mendadakan, ia
ulapkan tangannya, ia nampaknya ada mendongkol atau
penasaran. "Cukup," ia kata, "cukup, jangan bicara terus. Disini
bukan tempat di mana kua bisa pasang omong atau adu
bicara! Urusan hari ini sudah selesai, aku hendak pergi!
Atau sebelum aku menyingkir dari rumah ini, aku akan
sudah binasai ... "
Ia putar tubuhnya seraya ayun goloknya, ia bertindak
keluar. Ketika ia muncul di pintu depan, di dalam
pekarangan ia lihat ada berkumpul banyak orang, cahaya
api terang seperti siang, golok dan tombak berkeredepan.
"Apakah kau mau?" Siau Hou menegur dengan suaranya yang keren. "Apakah kau inginkan aku masuk pula ke
dalam dan buat habis jiwanya Lou Kun Pwee dan
kemudian keluar pula, akan tempur kau?"
Lou Kun Pwee muncul justru Poan Thian In sedang
perdengarkan suaranya yang nyaring laksana guntur. Ia
sebenarnya berlari-lari keluar dengan tindakan yang susah, karena tubuhnya terokmok, dan kakinya sakit. Ia lantas
ulap-ulapkan kedua tangannya.
"Jangan menyerang, jangan menyerang!" ia teriaki orang banyak. "Biarkan ini Lo hiapkek berlalu dari sini!"
Lo Siau Hou bersenyum tawar. Ketika tuan rumah
sampai di dekat ia mendadakan ia putar tubuhnya dan cekal lengannya.
"Paling benar kau turut keluar akan antar aku?" ia bilang.
Dan dengan tidak tunggu jawaban lagi, ia bertindak
dengan sebelah tangannya menghunus golok, Kun Pwee
separuh diseret.
Semua orang mengawasi dengan mendongkol. Tidak ada
satu orang yang berani menghalangi, maka itu Siau Hou
berjalan dengan tiada rintangan.
"Buka pintu!" ia menitah, sesampainya ia di pintu pekarangan.
Selama itu, Kun Pwee diam saja, napasnya sengal-
sengal, karena ia diajak bertindak cepat luar biasa.
Ketika Siau Hou menoleh pada hanlim ini, mau atau
tidak ia toh merasa kasihan juga mukanya ada pucat,


Harimau Mendekam Naga Sembunyi Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tubuhnya bergemetaran keras.
"Aku percaya sekarang kau telah mengerti semua," ia kata seraya mengawasi. "Mulai ini hari dan selanjutnya, akal busuk apa juga kau boleh perbuat atas diriku!"
Tetapi Lou Hu-sin goyang-goyang kepala.
"Sekarang tidak ada apa-apa lagi," ia menyahut. "Besok pagi aku akan antar Giok siong pulang, habis itu, seterusnya aku akan tak pedulikan lagi padanya!"
Siau Hou lepaskan tangannya, menyusul mana, si gemuk
itu jatuh numprah di tanah. Ia ada terlalu lemah dan
tubuhnya terlalu berat, kedua kakinya dirasakan sangat
sakit. Di muka pekarangan, diantara sang malam yang gelap
Siau Hou bertindak, pergi dengan tindakannya yang gagah.
Tidak ada orang yang berani susul ia. Di dalam pekarangan gedung, keadaan ada mengancam hebat, tetapi di luar itu, jagat ada sunyi, kecuali angin halus, yang bersiur-siur. Di situ pun tidak ada orang ronda.
Terutama sunyi adalah keadaan di sekitarnya kelenteng,
Insiau Koan di mana ada ditanam banyak pohon siong dan
pek, angin malam menyampok-nyampok daun atau cabang-
cabang pohon. Didalam, dikamar yang kosong, ada cahaya dari api
lentera kertas. See Mo Cie yang sudah pulang dari seradian, sedang rebahkan diri. Ia sebenarnya lelah tetapi ia tidak tidur pulas. Sebaliknya, ia pikirkan tugasnya tadi siang. Ia telah lukai kakinya keledai dan dua kereta, meskipun
begitu, ia belum tahu, apa hasilnya itu ada memuaskan atau tidak ia pun tidak tahu, bagaimana dengan looya nya, looya pun dapat capai maksudnya atau tidak. Kemudian, ia ingat akan pengalamannya tadi malam. Itu waktu, selagi hujan
turun, looya pondong "thaythay" pulang dan thaythay
direbahkan diatas pembaringan. Ia telah "intip" looya dan
thaythay itu, ketika merasakan ada orang tandali lehernya dengan pedang yang dingin, hingga ia kaget dan tak mampu berkutik.
"Bugeenya orang itu mesti ada jauh terlebih liehay dari
pada bugee-nya Giok Kiau Liong," demikian ia pikir,
"kalau tidak, mustahil dalam sekejapan saja ia bisa menghilang dari depan mataku" Ia berkelebat dengan juga
tak menerbitkan suara barang sedikit pun. Syukur ..."
Kapan ia ingat ini, si Tikus Gurun Pasir jadi bergidik, ia ngeri bukan main. Maka syukur buat ia, selagi hatinya tidak tenteram, Hoa Lian Hoan telah pulang sehabisnya ia ini
kembalikan keretanya di rumahnya di dilam Soanbu-mui.
Si Kuda Belang ini pulang dengan cepat, ia ada membawa
lentera di sebelahnya arak dan makanan, satu poci arak ia gantung di pinggangnya.
Setelah berada berduaan, hatinya si Tikus jadi besar pula.
Dan dengan adanya dua buah lentera, kamar pun menjadi
jauh terlebih terang.
Tidak membuang tempo lagi, dua sahabat ini mulai
dengan pesta kecil" mereka sambil menghadapi arak
merekapun bercakap-cakap.
Beberapa wakru kemudian, looya mereka tertampak
pulang. Dan kapan mereka lihat looya ini, mereka loncat
turun dari pembaringan untuk menyambuti. Hati mereka
lega kapan mereka lihat looya mereka tidak membawa luka, tidak mandi keringat pula. Itu tandanya bahwa si looya
sudah tidak tempur musuh. Cuma si looya nampaknya ada
lesu, sampaipun matanya nampaknya guram dan layu.
Di pinggangnya looya ini ada terpentung poo-too atau
golok mustikanya, dan dalam bajunya ada terdapat sedikit ujungnya sepotong kertas, ialah kertas yang dibeli tadi
siang. Cuma sekarang, kertas itu ada tulisan huruf-
hurufnya. Arak di poci tinggal separuh, Siau Hou lantas tenggak
itu. "Sekarang kau boleh pulang," kat a looya ini kepada dua hambanya yang setia dan boleh diandalkan itu. Sebab
mereka kenal tugas mereka, sedang pun mereka ada simpan
semua kekayaannya si looya. Apa saja mereka siap untuk
lakukan, sekalipun mesti bawa keranjang bobrok untuk
punguti kotoran kuda atau keledai ....
Dua orang itu sudah lantas berlalu.
Dengan tidak kata apa-apa, Siau Hou rebahkan dirinya
di atas pembaringan, ia bisa tidur, maka juga sang malam telah bisa dikasih lewat dengan aman.
Besoknya pagi-pagi, Hoa Lian Hoa dan See Mo Cie telah
datang ke kelenteng, untuk siap menerima titah. Mereka
lihat looyanya sedang asyik bicara dengan si imam tua,
suaranya perlahan sekali, hingga mereka tidak dapat
dengar. Mereka juga tahu aturan, mereka tidak berani
datang dekat. Selang tidak lama, Siau Hou perintah Hoa Lian Hoan
pulang kerumahnya.
"Siapkan buntalan dan kereta," demikian looya itu. "Dan kau mesti singkirkan itu tenda hijau!"
Itu adalah tenda tanda dari keretanya orang berpangkat.
"Di ini hari juga kita akan berangkat!" Poan Huan In kasih tahu terlebih jauh, "Kita mau segera tinggalkan Pakkhia! Urusan di sini sudah selesai semua!"
Diam-diam See Mo Cie leletkan lidahnya.
"Kita telah datang ke Pakkhia, lantas buat banyak hari kita terbitkan onar," kata ia dalam hatinya, "tetapi sekarang, looya tetap ada sebatang kara, maju tidak, mundur pun
tidak! Kenapa ia bisa bilang bahwa semua urusan telah
selesai?" Hoa Lian Hoan sebaliknya sangat kegirangan, sampaikan ia berjingkrak.
"Mari!" ia tarik kawannya. "Looya tentu akan ajak kita pulang ke Sinkiang! Jikalau kita tidak kembali pergi
berniaga kuda, kita pasti akan mendaki pula bukit Angsiong Nia!"
Dan ia terus lari pulang buat berbenah, terutama petinya yang berisikan uang emas dan perak serta lain-lain barang berharga, akan paling akhir siapkan keretanya. Ia telah
bekerja cepat sekali, sebagaimana kembalinya pun cepat
juga. See Mo Cie, dari belakang kelenteng, telah tuntun keluar kudanya.
-o0dw0o- XIII Lo Siau Hou dandan sebagai satu pemuda hartawan,
begitu ia keluar dari kelenteng, ia loncat naik ke atas
keretanya, yang tendanya segera dikasih turun.
Hoa Lian Hoan duduk di depan, selaku kusir.
Dengan sepasang matanya yang bercahaya merah, See
Mo Cie memandang ke sekitarnya. Ia tidak naik kereta,
hanya menunggang kuda, binatang mana ia kasih jalan lari lekas si Kuda Belang berikan tanda pada kudanya guna
mulai menyeret kereta, ...
Kereta ini menuju ke barat.
Sampai di sini, Hoa Lian Hoan kehilangan kegembiraannya. Ternyata Lo Siau Hou bukannya hendak
kembali ke gurun pasir, hanya menuruti nasehatnya si
imam tua. Ia sudah ambil tujuan ke Ngo Cong Nia di
Seeleng. Duduknya hal ada begini:
Imam tua dari Insian Koan ada satu imam yang taat
kepada agama yang dipujanya. Ia mengerti bugee akan
tetapi selama sepuluh tahun lebih mengembara dan tinggal di Pakkhia, belum pernah ia pertunjukkan kepada umum
bahwa ia ada seorang yang mengerti ilmu silat. Ia
menyayangi Lo Siau Hou, ia jugalah yang ajak ini anak
muda tinggal di kelentengnya itu, karena ia kuatir sekali anak muda ini nanti terbitkan huru-hara di Pakkhia. Malah ia telah kasih nasehat akan Lo Siau Hou dandan sebagai
imam atau lekas kembali ke Butong San, atau sediknya ia
pergi ke Ngociong Nia, akan berdiam di kelenteng cabang
Insan Koan. Imam ini ketahui dengan baik, apa yang
menyebabkan sepak terjang yang berandalan dari Lo Siau
Hou, ialah pertama urusan percintaannya dengan Giok
Kiau Liong dan kedua dendaman sakit hati ayah dan
ibunya. Maka juga, selagi membujuk, imam ini kata:
"Baiklah kau pergi ke Ngociong Nia, pada sutee-ku Tin Siu. Sutee-ku itu akan bisa bantu kau. Namanya yang benar adalah Cie Kee Hiap, asal dari Sucoan. Ia menganut agama baru belasan tahun akan tetapi ia sudah kenyang
mengembara, sedang sebelumnya itu, ia telah menjadi
seorang dari kalangan Sungai Telaga, terutama di Tiongciu dan sekitarnya dimana ia mengambil ketika paling banyak.
Aku percaya benar Tin Siu ketahui tentang caranya ayah
bundamu terbunuh atau teraniaya serta juga tentang di
mana bersembunyinya si orang she Ho sekarang ini. Hanya
satu hal aku ingin jelaskan. Biar bagaimana, selama di
Butong San, kau pernah terima pendidikan dari Sam Ceng,
kau tahu segala pantangannya, dari itu. walaupun kau
diperkenankan akan menuntut balas, kau tapinya tidak
boleh berlaku terlalu kejam sampai melewati batas! Tentang perhubunganmu dengan si nona she Giok, baiklah kau
anggap itu sebagai bunga di kaca atau rembulan di muka
air, atau sebagai mega, sebagai asap, sebagai impian dan bayangan saja, setelah kau dan ia tak bisa terangkap sebagai suami isteri, kau harus bisa memutuskan itu. Percaialah, dalam penghidupan yang tenang dan sunyi, kau akan
mendapat kesenangan sejati, yang jauh terlebih menang
dari pada hidup berpangkat dan berharta besar ... "
Kata-katanya imam itu ada benar akan tetapi kata-kata
itu tak sedap terdengarnya bagi kuping Siau Hou, ia hanya tidak hendak bantah itu, terutama karena sudah merasa
sedikit tawar dan lelah, hingga ia pun dapat keinginan
untuk beristirahat di suatu tempat yang sepi dan tenteram.
Maka itu, ia terima itu pilihan tempat di Ngociong Nia,
kemana ia pergi dengan ajak kedua liaulonya yang setia.
Maka juga, dengan keberangkatannya si Awan di
Tengah Langit ini, kota Pakkhia jadi tenang dan
pengacauannya seorang yang binal, yang tidak kenal takut, hingga juga keluarga Giok dan keluarga Lou, turut
kehilangan pengawal mereka
Hanya, dasar lelakonnya hidup, baru Lo Siau Hou pergi,
atau lain kejadian telah datang menyusul, meskipun di
dalam cara yang lain ...
Orang-orang dalam keluarga Lou, ialah orang ronda,
cinteng atau pahlawan, ada merasa mendongkol berbareng
tawar hatinya begitu lekas Lo Siau Hou keluar dengan
merdeka dari gedung, dalam pekarangan yang mereka jaga
siang dan malam. Mereka insyaf tak berdayanya mereka,
tidak peduli mereka ada berjumlah banyak. Mereka tadinya masih mengharap bisa bertempur dan menawan si satru
siapa tahu, Lou Kun Pwee telah kena dibuat mati kutunya, hingga sebaliknya dari pada dibekuk, orang she Lo telah
diantar keluar. Apa yang menyebabkan kejadian aneh itu,
tidak satu dari mereka yang mengetahui. Mereka semua
melainkan bisa menduga-duga.
Sudah itu, sejak Lou Kun Pwee rubuh dan ia mesti
digotong ke dalam, semua orang lantas jadi tidak keruan
rasa, semu hilang lenyap kegembiraannya, malah Lou
thaythay ada bingung sampai kedua matanya merah. Tetapi
nyonya ini sudah rogoh sakunya, ia kasih persen pada
semua orang, untuk sumpal mulut mereka ini, agar mereka
tak sembarangan berceritera di luaran.
Dan siangnya, kira-kira jam sepuluh, dengan sebuah
kereta si nona mantu, siau naynay Giok Kiau Liong, telah diantar pulang ke rumahnya sendiri, rumah keluarga Giok.
Hampir berbareng di waktu itu, Siau giesu dan beberapa
orang lain, telah datang berkunjung, akan menyambangi
Lou Hu-sin. Dan sejak itu hari, Lou Hu-sin tidak lagi tertampak pergi atau muncul di kantornya. Tentang ini orang cerita bahwa ia teah terpelet jatuh dan tak bisa bangun lagi, hingga ia perlu berdiam di dalam rumah, untuk merawat diri. Hingga orang kuatirkan ia mendapat penyakit mati anggauta badan.
Ayahnya Lou Kun Pwee yaitu Lou sie-long tua,
memangnya sudah beku kedua kakinya, dan sejak di hari
pertama Lo Siau Hou dan kawan-kawannya datang
mengacau, ia sudah dipindahkan ke suatu rumah suci buat
menyingkir dari segala gangguan, yang bisa membuat ia
kaget dan jengkel. Dan sejak itu, di dalam rumah, Lou
ThayThay adalah yang pegang kekuasaan.
Sekalipun ia ada seorang perempuan, Lou thaythay
pernah baca buku cerita Sam Kok, ia ada pintar dan
nyalinya besar, ia ada jumawa. Tadinya, segala penjabat
biasa, tidak ada di matanya. Tapi searang, setelah
menghadapi kejadian hebat saling susul, hatinyapun jadi
tawar, hingga ia telah pulang ke rumah ayah bundanya
sendiri, untuk beristirahat, sedang sebenarnya, untuk
menyingkirkan diri.
Maka sekarang, di dalam gedung, tinggal Kun Pwee
seorang, yang tidak berdaya ...
Semua pahlawan, berikat piausu yang baru dipekerjakan,
sudah dihentikan. Pintu depan, pintu pekarangan, ditutup dan dikunci setiap hari. Hingga gedung yang tadinya ramai menjadi sunyi dan senyap. Dan ini ada baiknya bagi
keluarga itu, karena selanjutnya ia bisa mengalami
penghidupan yang tenang tenteram ...
Berbareng dengan itu, di muka umum, orang tak lagi
dapat lihat Lo Siau Hou. Malah juga Lau Tay Po, si
Setangkai Bunga Teratai, turut tidak muncul-muncul.
Hingga keadaan di kota raja, Pakkhia, mirip dengan
keadaan habis hujan angin yang bebat, hingga segala apa
ada terang dan tenang.
Hanya di sebdah dari itu, tinggallah Jie Siu Lian, yang
hatinya panas dengan kemendongkolan dan kegusaran
meluap-luap. Nona ini telah bersumpah untuk cari si orang perempuan yang sudah pakai namanya, yang datang ke
rumah keluarga Giok untuk melakukan penyerangan
pengecut. Ia ingin ketahui, siapa orang perempuan yang
nyalinya besar dan kurang ajar itu, untuk ia berikan
bagiannya. Tek Siau Hong suami isteri ketahui kemurkaannya si
nona, mereka coba menghibur.
"Ada terlalu menyolok mata untuk kau mondar-mandir
di jajan-jalan besar dengan menunggang kuda dan
membawa-bawa pedang," kata orang Boan yang baik hati itu. "Aku pikir baik kau tidak usah keluar rumah, kau boleh minta bantuannya Yo Kian Tong saja untuk buat
penyelidikan."
Siu Lian suka terima itu usul, akan tetapi kendati
demikian, ia tak bisa bikin tenang hatinya, ia sering muncul hendak turut menyerep-nyerepi musuh tidak dikenal itu.
Begitulah, ia pun keluar sendirian. Untuk ini ia minta Coa Siang Moay kondekan rambutnya, ia memakai pupur tipis-tipis, dan tidak memakai kembang pada kondenya. Cuma
pakaiannya masih tetap baju dan celana hijau yang
sederhana. Kota Selatan, Kota Utara, dua-duanya Siu Lian pernah
kelilingi. Ia selalu jalan dengan perlahan. Ada kalanya ia sengaja membeli buah-buahan atau kue-kue yang ia tenteng di tangannya. Yang ia perhatikan adalah orang-orang
perempuan, ia ingin cari orang yang baik gerak-geriknya, maupun cara dandanannya, yang agak berlainan dari pada
orang kebanyakan. Di mana ia dandan seperti nyonya
muda rakyat jelata, ia pun tidak mendatangkan kecurigaan orang.
Di hari pertama, dari utara ia pergi ke selatan, dan
selatan, dengan naik kereta ia pulang. Itu hari ia tidak peroleh apa-apa, ia pulang dengan tangan kosong.
Di hari kedua ia keluar pula. Sekarang ia menuju ke
Kota Timur. Dari Su Paylau ia pergi ke pintu Cong bun-
mui, sebelah dalam pintu. Ia ada seperti orang keleleran tak
berjuntrungan. Ia ada membawa semangka dan anggur,
yang ia beli di tengah jalan.
"Baiklah aku pergi ke rumah keluarga Tek, akan
kasihkan ini pada si bujang tua," ia pikir selagi ia ngidar terus. "Sekalian aku hendak pergi pada Yo Kian Tong akan tanya ia sudah peroleh hasil apa." Dan ia berjalan terus, dengan anteng.
Itu waktu, jam tiga atau empat lohor, hawa udara ada
panas terik, maka itu, di jalan besar tidak ada terlalu banyak orang.
Selagi nona Jie mendekati tengsu Pay-kau, di tepi
jalanan, ia lihat ada berdiri satu orang di tangan siapa ada tertuntun seekor kuda bulu kuning. Usianya orang itu
tigapuluh lima tahun kira-kira, tubuhnya tidak terlalu besar tetapi keren, sepasang matanya sangat bercahaya. Ia ada
memakai baju dan celana kosong dan sepatunya yang hijau, telah kuning tersepuh tanah.
Dengan melihat sekelebatan saja, Siu Lian tahu orang itu ada orang dari kaum kangou, malah ia rasa seperti pernah lihat muka orang, cuma ia tak bisa lantas ingat dimana ia pernah ketemu atau lihat orang itu. Ia merandek
sebentaran, ia mengawasi lebih jauh.
Dan orang itu pun memandang ia, mulutnya telah
berkemik, akan tetapi tidak sampai mengeluarkan suara.
Terang itu orang hendak menanya tetapi urung.
Oleh karena ia tak bisa ingat orang itu, Siu Lian
bertindak terus, sampai ia lewati padanya. Ia baru lewat beberapa tindak, tatkala di belakang ia, ia dengar orang memanggil. "Itu toh nona Jie," Ia menoleh dengan cepat, hingga ia bisa lihat si penuntun kuda bergerak, akan
menghampiri ia, malah dia terus saja angkat kedua
tangannya, akan memberi hormat.
"Hampir saja aku tidak kenalkan nona," ia berkata
sembari bersenyum.
Siu Lian lihat orang itu tidak bersikap kurang ajar, ia
putar tubuh seraya membalas hormat.
"Kau siapa, tuan?" ia tanya dengan halus. "Aku rasanya pernah ketemu kau tetapi aku lupa kapan dan dimana ... ?"


Harimau Mendekam Naga Sembunyi Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sebelumnya menyahut, itu orang tertawa.
"Nyata nona ada seorang mulia yang pelupaan," ia
menyahut. "Pada tiga tahun yang lalu, semasa di Hamtan, aku pernah bertemu dengan nona, malah aku pernah bicara
dengan nona, hanya kemudian ..." ia meneruskan, dengan
perlahan, sedang tubuhnya pun ia majukan dua tindak, "di Pangtek, di rumahnya piau tiam Yok Thian Kiat, atas
permintaan tolong dari Yo Pa, aku telah serahkan empat
butir mutiara kepada nona ... "
Baru sekarang Siu Lian ingat, hingga ia agaknya
terperanjat. "Oh, kau jadinya ada tuan Loci?" ia berseru.
"Benar, nona," orang itu manggut. "Aku Lui Keng Cun, keponakan murid dari kausu Tan Pek Tiau dari Hoolam,
sedang Yo Pa adalah muridnya kausu itu, maka itu,
persahabatan kita berdua ada sangat erat, hingga buat
urusannya Yo Pa berani minta bantuanku ... "
Tetapi, sehabisnya mengucap demikian. Keng Cun
kelihatannya lesu dan masgul.
"Bagus!" kata nona Jie kemudian. "Aku memang sedang mencari orang atau orang-orang yang menjadi sahabatnya
keluarga Yo, yang ketahui keadaannya, untuk dimintakan
keterangannya ... " ia berhenti sebentaran, tetapi ia segera sambungkan: "Apakah kau bisa turut aku pergi ke
rumahnya keluarga Tek di mana kita bisa duduk akan
bicara" Hanya ... " ia merandek sebentaran, tetapi ia bicara secara terus terang: "Aku hargai kau karena adanya
persahabatan kekal dari kau dengan Yo Pa, aku percaya kau ada seorang yang jujur dan berani, cuma kita tetap ada
orang-orang kaum kangou, maka itu selagi keluarga Tek
ada keluarga berpangkat dan kenamaan baik, coba kau
pikir, ada atau tidak halangannya untuk kau pergi
kerumahnya keluarga itu?"
Lui Keng Cun nampaknya bersangsi, ia celingukan ke
kiri dan kanan.
"Nona tahu kenapa aku datang kemari?" kata ia, dengan perlahan. "Aku justru berniat mengunjungi Tek ngoya. Aku hanya bersangsi buat mengunjungi dengan langsung, sebab
tidak ada orang yang menjadi perantaraan dan aku kuatir
orang tak sudi menemui aku. Baik nona ketahui, aku ada
seorang baik-baik, kecual pada beberapa tahun yang lalu
aku telah ikut-ikut Yo Pa, kerjaanku yang tetap adalah
menjadi piausu dan penunggu rumah, bdum pernah aku
lakukan lain pekerjaan. Bugee-ku tidak tinggi, namaku pun tidak terkenal, maka aku percaya, apabila aku berkunjung kepada Tek ngoya, kunjungan itu tak akan mengakibatkan
halangan suatu apa bagi keluarga itu. Hanya adalah aku
sendiri yang kuatir orang nanti ketahui aku ada berkenalan baik dengan Tek ngoya, apabila orang ketahui itu, mesti ada orang yang akan tak mengasih ampun kepadaku!..."
Siu Lian heran mendengar ini, ia lantas jadi tidak
senang. "Kau tidak usah bicara lebih jauh, aku sudah mengerti!"
ia kata dengan sengit. "Sekarang juga kau pergi ke
rumahnya keluarga Tek, pergi langsung, di sana kau tunggu aku. Aku akan menyusul dengan segera!"
Lui Keng Cun manggut, ia loncat naik atas kudanya,
dengan tidak kata apa-apa lagi, ia larikan kudanya ke arah utara.
Siu Lian mengawasi orang pergi, kemudian ia pun
menyusul, dengan ambil lain jalan, ia jalan cepat sekali.
Ketika kemudian ia sampai di Samtiau Hoo-tong, ia lihat
Lui Keng Cun asyik berdiri menantikan di dalam gang itu, tidak jauh dari rumahnya Siau Hong, Ia terus menghampiri.
"Kau tunggu di sini, aku masuk lebih dulu, akan bicara dengan Siau Hong," ia kata.
Keng Cun menyahuti sambil manggut. "Baik, nona."
Siu Lian menuju ke rumahnya Siau Hong, ia masuk
dengan tidak meminta pintu lagi, malah ia terus masuk ke pedalaman di mana Tek ngo naynay lagi duduk bicara
dengan Yo Lee Hong, nona mantunya.
"Kebetulan sekali di jalanan aku ketemu satu orang," ia kata pada Lee Hong, sebelum orang keburu tegur padanya.
"Ia ada seorang penting bagi kita, ialah ..." dan ia tepuk pundaknya nyonya muda itu, "ialah itu orang yang duluan engko-mu
Yo Pa mana pertolongannya akan menyampaikan kabar Ia adalah Lui Keng Cun!"
Lee Hong kaget, ia girang berbareng sedih, hingga air
matanya turun dengan segera.
"Jangan bersusah hati," Siu Lian menghibur, "ia sekarang ada di luar, aku hendak tanya ngoko, boleh atau tidak kalau ia itu diundang masuk ... "
"Ngoko-mu tidak ada dirumah, ia pergi ke Khu-hu dan
belum balik," berkata toa-naynay. "Baiklah tetamu ini diundang masuk, supaya Bun Hiong dan Lee Hong bisa
temui padanya. Karena ia ada sahabatnya Yo Pa, tidak ada halangannya akan Lee Hong temui ia itu."
Siu Lian berhati lega mengetahui toa naynay
berpemandangan luas.
Lee Hong terus menangis.
"Aku memanggil Lui toako pada orang she Lui itu," ia kata. "Ketika dulu ia datang ke rumah kita mengantarkan surat, ia sudah lantas didamprat dan diusir oleh yaya ...
Meski diperlakukan demikian, ia tidak jadi marah atau
mendongkol, sepatah kata pun ia tidak keluarkan. Ia ada
seorang baik ... "
Toa naynay lantas perintah bujangnya: "Di luar ada
tetamu, pergi kau undang ia masuk. Minta ia menunggu di
kamar tetamu!"
Bujang itu menurut, ia lantas keluar.
Siu Lian letaki bungkusannya diatas meja, terus ia pergi kekamar tulis, akan cari sendiri pada Bun Hiong.
Puteranya Tek Siau Hong terluka di lengan kiri, luka ini tidak berbahaya, cuma itu waktu, lengan itu masih belum
bisa digerak-gerakkan dengan leluasa, yang lainnya ada
tidak kurang suatu apa. Ia memakai thungsha, Lee Hong
memakai kiepau, waktu mereka keluar, merek a diiring oleh satu bujang perempuan. Siu Lian adalah yang jalan di
depan, terus ke thia, di sana di ruangan tetamu, Lui Keng Cun asyik menantikan.
Menghadapi tetamunya itu, Yo Lee Hong menjalankan
kehormatan sambil bertekuk lutut. Itu ada cara memberi
hormat dari orang Boan. Dan Keng Cun dengan tersipu-spu
membalas hormat dengan menjura.
"Duduklah," kata Siu Lian.
Bun Hiong dan Lui Keng Cun duduk berhadapan, Siu
Lian bersama Lee Hong duduk di pinggiran. Lee Hong
masih bersedih, sering kali ia tepas air matanya.
"Bukankah kau ketahui baik hal ikhwalnya keluarga
Yo?" Siu Lian mulai.
Keng Cun manggut.
"Ya, aku ketahui baik," ia menyahut. "Persahabatanku dengan Yo Pa ada persahabatan dari tujuh atau delapan
tahun. Lain dari itu, aku pun ada asal Lulam."
"Bagus!" berseru Siu Lian yang kegirangan. "Sekarang berlakulah tenang, coba kau tuturkan segala apa yang kau ketahui. Keponakanku ini telah alami kejahatan sangat
hebat, sehingga ia jadi sangat berduka, tetapi di samping itu.
segala hal tentang keluarganya, ia tak tahu suatu apa,
sedang kita tak berdaya untuk mencari tahu. Adalah
kebetulan sekali yang sekarang kita bertemu kau!"
Lui Keng Cunpun terharu, hingga air matanya
mengembeng, Ia menghela napas sebelumnya ia bicara.
"Sebenarnya aku tidak ingin akan menimbulkan
kejadian-kejadian yang sudah-sudah." kemudian ia berjkata.
"Yo Pa itu ada sebagai saudara kandungku. Tapi, karena ini ada perlu, tidak apa, aku akan menuturkan segala apa yang aku tahu. Di masa aku kecil, keluarga kita tinggal di dalam.
Kita ada usahakan pesawat-pesawat penggotongan peti.
Pada suatu hari ayahku mesti urus satu famili yang
kesusahan kematian. Song-kee ada keluarga Yo Siau Cay-
yang hartawan di tempat kita itu. Aku ingat benar
pamandangan yang sangat menyedihkan pada waktu itu.
Dengan berbareng dua buah peti mati telah digotong keluar.
Itu waktu Yo Pa baru berumur lima atau enam tahun,
sambil menangis ia iringi jenazah. Nona Yo yang besaran
baru berumur dua atau tiga tahun, ia diempo oleh babu
susunya, ia isap-isap jempolnya, ia belum tahu apa artinya berduka. Dan siau-naynay ..." ia tunjuk Lee Hong,
"barangkali belum berumur satu tahun ... " Ketika ia meneruskan, air mukanya berubah, suaranya jadi sengit:
"Yang paling menyakiti hati adalah si bangsat besar Ho Siong. Ia telah mengancam juga kertas dan satu pian yang besar. Dan pembantunya, Hwie Pek Sin, telah turut
sangsheng sambil memakai pakaian berkabung dan sambil
menangis menggerung-gerung di sepanjang jalan. Sungguh
sempurna permainan sandiwara mereka. Di sebelah itu, ada lain pemandangan yang luar biasa. Ini adalah Siau Hou,
anak dari keluarga Lo. Selagi orang bersedih, ia justru
berjudi, ia berkelahi dengan kawan-kawannya,
ia berjingkrakan. Ia sama sekali tidak mengetahui bahwa
jenazah dari dua buah peti mati itu adalah ayah dan ibunya yang sejati ..."
"Jadinya Lo Siau Hou itu benar ada kandaku yang tulen
?" tanya Lee Hong sambil menangis.
Lui Keng Cun manggut.
"Sedikit pun tidak salah," ia menyahut dengan
kepastiannya. "Untuk ini siau naynay boleh pergi ke Lulam, akan tanya orang-orang yang usianya sedikit lanjut, mereka tentu bisa menutur dan membenarkan penuturanku ini.
Biarlah aku omong terus terang. Thaythay dan toaya Yo
Siau Thay tidak mendapat anak, karena itu, toaya sudah
nikah nona Lo Cian Nio dari keluarga Lo yang membuka
rumah makan. Nona itu dijadikan gundik, sebelum ia
keburu disambut pulang ke rumah keluarga Yo, ia sudah
melahirkan satu anak lelaki. Anak itu ialah Siau Hou
adanya. Nona Lo diambil sebagai gundik, tetapi ia
disambut secara terhormat, ia diambil dengan joli, dan itu akan jelek nampaknya bila ia mesti empo-empo anak, Siau
Hou ditinggalkan di rumah enso-nya. Nona Lo, yang
selanjutnya dikenal sebagai Yo jie-thaythay, tidak sia-siakan anaknya yang pertama itu, ia sering pergi menengoki.
Seringnya ia melongok anak itu nyata menjadikan sebab
dari satu bencana besar ..."
Keng Cun berhenti sebentar, baru ia melanjutkan.
"Sebenarnya, dari siang-siang, tiehu Ho Siong sudah taruh hati pada nona Lo. Dan ketika si nona sudah menikah pada Yo Siau Cay, ia pun sering dapat lihat oleh tiehu itu, mak sekarang tiehu itu jadi tergila-gila. Sejak ia menikah, nona Lo nampaknya jadi semakin cantik dan menarik hati.
Sudah begitu, tiehupun diojok-ojok oleh Hwie Pek Sin, si Telur Busuk. Maka di akhirnya, mereka berdua telah
telurkan daya upaya busuk!"
Kembah Keng Cun berhenti, saking sengit napasnya jadi
memburu. Selanjutnya ia menutur terus kejahatannya tiehu she Ho itu, yang selama jabatannya belasan tahun di
Lulam, sudah banyak orang punya anak isteri yang menjadi korban kegilaannya terhadap para selir, bahwa untuk itu
semua, daya upaya keji timbul dari otak Hwie Pek Sin, si gundal yang jadi ahli pemikir.
"Hwie Pek Sin ada seorang yang sangat pintar dan licin, hatinya kejam bukan main," Keng Cun menutur lebih jauh,
"mulutnya sangat bermadu tetapi di dalam perutnya, ia simpan pedang yang tajam. Dimuka khalayak ramai ia
bicara tentang karangan-karangan, tentang sesuatu dan
mengarang syair, diam-diam ia gunakan pengaruh undang-
undang akan memeras dan mengumpul uang. Sebab di luar
tahunya kebanyakan orang, ia ada berkonco dengan orang-
orang tersesat dari kalangan Rimba Hijau. Ia telah tempel Ho tieihu dengan rapat sekali, hingga anak-anaknya tiehu seperti juga anak-anaknya sediri. Demikian ketika Yo Siau Cay dijebloskan ke dalam penjara sampai mati karena
penasaran, semua itu ada karena bisanya ahli pemikir itu,
hingga bisalah dibilang, dialah ada si tukang fitnah dan pembunuh. Hanya, bahwa nyonya Lo yang muda turut
suaminya binasa, ini adalah di luar dugaannya, maka sia-sia saja ia lakukan kekejiannya, akhirnya ia tak berhasil
memperoleh si nona manis untuk dipersembahkan pada
cukong-nya. Mereka tidak pernah kenal kemenyesalan,
akan tetapi toh mereka merasai pukulan dan kegagalannya
itu. Sebagaimana kemudian, mereka mesti menghadapi
kejadian yang cukup hebat."
Kembali Keng Cun berhenti sebentar, sebelum ia
melanjutkan. "Beberapa hari kemudian dari hari penguburannya Yo
toaya dan Yo jie-thaythay ke Lulam ada datang seorang
yang dikenal sebagai Luciu Hiap, jago dari Luciu. Ia ini ada satu jago tua, sebelah kakinya telah bercacat, akan tetapi ia masih tetap gagah. Ia juga ada punya beberapa pengikut
yang kosen. Ia itu, kecuali ada sama she dengan Yo toaya almarhum, juga pernah menerima budi. Maka itu, atas
kedatangannya, tak ada penduduk Lulam yang tak
bergembira, mereka semua percaya, Ho Siong dan Hwie
Pek Sin, sudah sampai saat dari meluapnya takaran
kejahatan mereka. Benar saja, selama beberapa malam,
kantor tiehu jadi kacau. Beruntung buat tiehu, penjagaannya ada kuat, ia tak usah alami pembalasan. Di
samping itu, dalam kalangan keluarga Yo ada terjadi
perubahan. Sebenarnya Yo toa-thaythay ada tidak puas
yang suaminya telah menikah jie-thaythay sampai gundik
ini mendapatkan tiga anak, tiga anak itu di pandangan
matanya ada sebagai paku saja, kalau bisa ia ingin tiga anak itu turut binasa semuanya, supaya dengan begitu ia
sendirilah yang kangkangi warisannya keluarga Yo itu,
supaya, kalau ia suka, ia boleh menikah lagi dengan siapa juga. Kemudian terjadilah kejadian yang toa thaythay tidak
sangka-sangka. Pada suatu malam Yo loo-enghiong telah
ajak murid-muridnya menyerbu ke rumah keluarga Yo itu,
mereka bawa kabur pada Yo Pa, toakounio dan jie-kou-nio, malah juga sejumlah uang dan barang berharga. Setelah itu, tentang Yo loo-enghiong itu tidak ada kabar-kabarnya lagi
... " Lui Keng Cun cerita secara rapi sekali, ada kalanya ia
jadi sangat sengit, hingga ia kepal tangannya dan kertek giginya.
Lee Hong ada berduka berbareng gusar dan menjadi
berduka lagi, sebab ia ingat, keluarganya benar-benar ada bernasib buruk.
Tek Bun Hiong manggut-manggut, ia terharu, kagum
dan mendongkol buat si orang jahat, yang buat celaka
anggauta-anggaua keluarga dari isterinya itu.
Siu Lian pun ada sangat tertarik hati, ia merasa tidak
puas. Keng Cun hirup teh yang disuguhkan, ia tepas air
matanya. "Ketika kejadian itu mengambil tempat, aku baru berusia empat atau lima belas tahun," kemudian orang she Lui ini menyambung, dengan suara perlahan dan sabar. "Sering
aku dengar ayah dan ibu bicara dengan tetangga kita,
tentang kejadian yang tidak adil dan hebat itu, dan rata-rata orang ada terharu dan penasaran, akan tetapi tidak ada
yang mampu berbuat suatu apapun. Aku sendiri turut
merasa tidak puas, maka pernah kejadian, ketika Hwie Pek Sin kebetulan lewat, dari belakang aku timpuk ia dengan
batu dan aku sendiri lantas lari kabur. Dengan Siau Hou
aku sering memain dan berkelahi juga, selagi berkelahi, aku sering katakan ia tak beribu bapak. Tentu saja, itu waktu, aku belum ketahui duduknya hal yang benar. Kemudian
kita mendapat tahu Lo Siau Hou hilang, katanya ia kena
diculik oleh penjahat dan ia lantas jadi penjahat juga.
Karena dengar kabaran itu, jadi tak pandang mata pada
Siau Hou. Sebaliknya, aku berangan-angan akan menjadi
Luicu HiapYo Kong Kiu, yang gagah dan mulia hatinya.
Ayahku mendapat tahu, yang semangatku tidak ada pada
ilmu surat, maka ia kirim aku pada suhu Tan Pek Kiat
dengan siapa aku belajar silat tiga tahun lamanya.
Belakangan aku pergi pada susiok Tan Pek Tiau. Diluar
dugaanku, di sini aku ketemu dengan Yo Pa, hingga kita
sambung persahabatan kita. Aku kagumi Yo Pa, sebab ia
tak lupa sakit hati ayah dan ibunya, ia berniat melakukan pembalasan. Di itu-waktu, aku mendapat tahu yang Yo
Kong Kiu telah ajak kedua nona Yo pergi ke Pakkhia di
mana mereka hidup sebagai penjual bunga, melulu untuk
umpan diri. Yo Pa bilang bahwa mereka pang ... atau
engkong pada Yo Kong Kiu. Itu waklu, Yo Kong Kiu telah
jadi seperti salin rupa, ia tidak lagi gagah sebagaimana ia muda dulu. ... iab dari perubahan ini adalah karena cacat di kakinya, sebab ia sudah berusia lanjut, karena pukulannya penghidupan buruk dalam pergaulan, hingga ia merasa
tawar akan campur pula urusan dunia. Demikian ia
bersembunyi, hidup menyendiri dan tenang. Pada Yo Pa ia
ceritakan hal-ikhwal ayah bundanya, tetapi ia nasibatkan Yo Pa jangan cari musuhnya buat bikin pembalasan, dan ia larang juga Yo Pa kasih tahu kedua adiknya perempuan
tentang permusuhan hebat itu. Coba tidak Tan Pek Tiau
bawa Yo Pa, Yo Kong Kiu tentu tak sudi ajarkan silat pada ahli waris dari Yo toaya almarhum itu. Sejak kita
berkumpul, hampir saban hari kita bicarakan urusan
kejahatannya Ho Siong dan Hwie Pek Sin itu, malah kita
pernah pulang sama-sama ke Lulam, untuk serep-serepi
kabar, diantaranya kita cari keterangan pada pihak sanak dan sahabat dari keluarga Lo. Di antaranya, untuk itu, kita
pun kunjungi Kho Bou Cun. Terhadap kita, Kho Bou Cun
tidak mau bicara jelas, hanya ia anjurkan kita cari
saudaranya, Kho Long Ciu. Ia bilang, saudaranya itu
ketahui paling jelas tentang duduknya kejadian. Tapi, ke mana kita mesti cari Kho Long Ciu, yang tak ketahuan


Harimau Mendekam Naga Sembunyi Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tempat kediamannya " Kemudian lagi Yo Pa telah selesai
dengan pelajaran silatnya, ia keluar dan rumah perguruan.
Untuk mendapat ongkos, ia telah mencuri mutiara. Ia
berangkat ke Kangsay akan cari Ho Siong. Oleh karena
gara-garanya mutiara itu, Yo Pa jadi kelibat dengan urusan yang tak ada artinya. Banyak orang dan kalangan Rimba
Hijau, yang mengiler kepada mutiara itu dan ingin
menguasainya sendiri, buat mana, bersendirian atau
berkawan, mereka mencegat Yo Pa. Yo Pa ada liehay,
untuk membela diri, ia telah terpaksa mesti lukai dan
binasakan beberapa orang, hingga karenanya, ia telah
tanam bibit permusuhan, banyak orang yang mendendam
sakit hati, yang hendak membalasnya. Demikian, akhir nya, selagi pembalasan sakit hatinya belum terwujud, ia sendiri mesti rubuh di Pooteng dan menemui ajalnya.
Habis berkata begitu Keng Cun menghela napas, ia ada
sangat berduka.
"Lo Siau Hou sekarang ada di sini, kau tahu atau tidak?"
Siu Lian tanya.
"Aku tahu," manggut orang asal Lulam itu. "Selama ini ia sudah lakukan langkah besar, bugee-nya tidak dapat
dicela, akan tetapi aku percaya, ia bikin onar untuk sia-sia saja, sebab bukannya ia cari musuhnya, ia hanya urus
lainnya hal. Maka mengenai sepak terjangnya ini, aku tak hargai padanya. Semasa hidupnya Yo Pa, ia tahu yang ia
ada punya engko kandung bernama Lo Siau Hou, akan
tetapi itu waktu Siau Hou sedang mengembara, hidup atau
matinya tidak ketahuan, maka itu, kedua saudara belum
pernah ketemu satu pada lain. Yo Pa pun tidak sangka
bahwa saudaranya ada pandai bugee seperti ia sendiri, dari itu, ia kurang perhatikan saudaranya itu. Sedang kita, aku maksudkan aku dan Siau Hou, selama kita bergaul, tidak
pernah bicara tentang itu. Siau Hou ada sepantaran umur
dengan aku. Semasa kecilnya, ia suka memain di depan
rumahku, ia sering kali berjudi dan berkelahi, malah uangku ia pernah rampas. Ia sebenarnya ada bertubuh terlebih kecil dari padaku akan tetapi aku tidak sanggup lawan ia
berkelahi. Sudah lama kita tidak pernah ketemu, meski
demikian umpama sekarang kita bisa bertemu, barangkali
aku masih bisa kenalkan padanya. Hanya aku tidak tahu
mesti cari ia di mana. Lain dari pada itu ... "
Mendadakan tetamu ini berbangkit, air mukanya
menjadi terang, tanda dari kegirangan. Ia pun tertawa.
"Jie kounio, jangan menangis," kata ia, dengan gembira.
"Sekarang ini, jikalau kau hendak mencari balas, itu ada gampang sekali, sama gampangnya dengan kita membalik
telapakan tangan."
"Aku pun ada mendapat keterangan," berkata Jie Siu
Lian. "Sekarang ini Ho Siong berada di kota raja ini dan anaknya telah bekerja di dalam kantor hengpou ..."
"Memang, sejak ia letakkan jabatannya di Kangsay, ia telah beli rumah di kota raja ini," Keng Cun terangkan.
"Sampai sekarang ini, ia tinggal di dini sudah belasan tahun lamanya. Ia tinggal di luar pintu Congbun-mui. Sekarang ia sudah tua, ia tidak sembarangan keluar dari rumahnya itu, sedang juga, ia tidak banjak bergaul. Ho Siong tidak ketahui bahwa Lo Siau Hou ada Yo Siau Hou, malah ia tak tahu
juga buat banyak tahun, Yo Pa telah cari ia ubak-ubakan. Ia tentu saja tidak pernah pikir bahwa siau-naynay disini
adalah puteri musuh besarnya. Dan lagi ... "
Di waktu mengucap demikian, Keng Cun loncat
berjingkrak. "Dan lagi," ia sambung, "bukan saja Ho Siong berada di sini, juga Hwie Pek Sin!"
Yo Lee Hong mencelat bangun, air mukanya berubah
dengan tiba-tiba. Dengan sepasang alis lentik bangun
berdiri, dan roman elok, ia menjadi beroman keren. Lenyap kedukaannya, sekarang mukanya menjadi merah bahna
kemurkaan yang berkobar-kobar.
"Sabar." Siu Lian lantas berkata. "Sabar! Dengarlah lebih jauh!"
Keng Cun lantas bicara pula,
"Cuma keberuntungan saja yang membuat Ho Siong
masih hidup sampai sekarang ini. Ia tidak banyak pikir,
beda dengan Hwie Pek Sin ini ahli pikir yang licik sedari siang-siang sudah menduga bahwa di belakang har mesti
ada orang yang datang mencari ia, maka itu, ia telah ubah she dan namanya. Ia sekarang dikenal sebagai Cukat Kho.
Meski demikian, melainkan orang sini, yang tidak kenal ia siapa di luaran, masih banyak yang kenal ia dengan baik, yang masih terus berhubungan sama ia. Ia tidak punya
anak, baik lelaki maupun perempuan, akan tetapi di
beberapa tempat, ia ada punya rumah, ia mempunyai isteri piaraan atau kekasih. Dan semua hartanya, harta tak halal, yang ia bisa keduk, ia pakai habis di antara beberapa isteri muda atau gendaknya itu. Berbareng dengan itu, ia juga ada pungut banyak anak, lelaki dan perempuan, dan semua
anak pungut itu ada menjadi piausu atau penjahat. Dengan cerdik, Hwie Pek Sin gunakan itu anak-anak pungut, buat
bantu ia menjaga diri dari musuh-musuhnya. Di antara
anak pungutnya itu ada Ngo thong-sin Yu Yong, yang ada
asal Hoolam. Ia ini pernah jadi piausu, ia pun hidup dalam
kalangan Rimba Hijau. Baiklah aku berterus terang, nona
Jie," Keng Cun terangkan, "sekarang ini aku datang kemari bersama-sama Yu Yong itu. Sejak YoPa menutup mata
sudah dua tahun hidupku ada tidak ketentuan, sedang
usaha di rumahku sudah aku tutup, hingga aku terpaksa
ikuti Yu Yong merantau mencari nafkah. Yu Yong itu ada
punya isteri, atau lebih benar dibilang gendak, dengan siapa ia sudah hidup lamanya satu tahun lebih. Itu nyonya ada
bekas isterinya almarhum Kim cio Thio Giok Kin atau anak perempuan dari Poo-too Ho Hui Liong, gelarannya dan
namanya ada Lie Mo-ong Ho Kiam Go ... "
Sekarang adalah Siu Lian yang bangun sambil
berjingkrak, "Oh, kiranya ia?" ia berseru.
"Benar, nona," kata Keng Cun sambil manggut. "Orang perempuan yang pakai namamu, yang telah menyerbu ke
rumahnya keluarga Giok dan melukai orang di sana,
memang ia adanya. Harap nona suka mendengar terlebih
jauh ... "
Enam mata lantas saja tertuju menjadi satu, mengawasi
tetamu she Lui itu.
"Nona, apa nona tahu, kenapa tadi aku bilang aku
bersangsi akan datang kemari dan berkuatir juga?" kata Keng Cun, kapan ia mulai bicara pula.
Siu Lian goyang kepala.
"Sebabnya itu adalah sekarang ini aku justru dahar nasi mereka itu," terangkan orang sheLiu itu. "Sekarang ini Cukat Kho sudah berusia tinggi, ia telah tidak kenalkan
aku. Sebaliknya, aku tetap masih kenalkan ia sebagai Hwie Pek Sin. Ia telah dengar kabar bahwa di kota raja orang
ribut tentang Pekgan Holie, ia lantas datang kemari untuk melihat-lihat. Ia dan Pekgan Holie ada orang asal satu
kampung, mereka kenal satu pada lain, malah menurut
dugaanku, di antara mereka mesti ada perhubungan
lainnya. Aku tidak tahu, maksud apa ia kandung, maka ia
jadi begitu bernyali besar berani datang kemari, untuk
ketemui itu penjahat perempuan yang tersohor. Apa yang
aku bisa duga, mereka rupanya sudah berpisahan lama dan
ingin bertemu pula, untuk hidupkan pula perhubungan yang lama. Hanya, ketika dari Hoolam ia datang dan sampai
disini, Pekgan Holie sudah meninggal dunia. Maka ia
selanjutnya ia tinggal sama-sama Ho Siong. Anaknya Ho
Siong bernama Siau Siong atau Siau Sin, ia ini bekerja di hengpou, cuma namanya saja, sebab sebenarnya, setiap hari ia pelesiran saja, main perempuan dan minum arak. Ia
adalah anak angkat yang tertua dari Hwie Pek Sin. Hwie
Pek Sin datang kemari dan dengan menubruk tempat
kosong, dari itu, di sini ia tidak punya pekerjaan apa juga.
Apa mau telah timbul halnya keluarga Lou kehilangan
nona mantunya, bagaimana Lou Kun Pwee jadi kelabakan,
karena ia tak ikhlas akan kehilangan isteri cantik manis itu, Kun Pwee bingung berbareng gusar, ia ingin sekali cari dan dapati pulang isterinya itu. Kebetulan sekali, giesu dari Kota Selatan ada sahabat kekal dari Lou Kun Pwee dan
giesu itu justru ada mendendam terhadap keluarga Giok, ia ini suka bantu hanlim itu. Ia ada bersahabat baik dengan Ho Siong, ia tahu di rumahnyaHo Siong ada Cukat Kho
yang pintar, ia lalu kasih jalan supaya Cukat Kho diundang, agar juru pemikir ini bisa membantu pikiran. Lou Kun
Pwee setuju. Cukat Kho lantas diundang. Kabarnya Cukat
Kho telah dijanjikan upah lima ratus tail perak, untuk ia dapatkan Giok Kiau Liong. Cukat Kho benar-benar liehay
ia telah berhasil berkonco dengan Anglian Gui Sam, yang ia beli, hingga seperti sudah terjadi, Giok Kiau Liong yang gagah perkasa telah kena dijebak dan dibekuk, nona itu
diangkut ke rumah keluarga Lou di mana ia dipaksa untuk
menulis surat keterangan, hingga selanjutnya, nona ini jadi
tidak berdaya, hingga ia mesti tunduk di bawah
pengaruhnya Lou Kun Pwee. Karena Giok Kiau Liong
sudah menyerah, pihak Lou lantas buka tabir, dengan
mengatakan si nona mantu sudah sembuh dari sakitnya dan
bisa pergi menamu atau membuat berbagai kunjungan. Ini
akal benar halus dan sempurna!"
Mau atau tidak, Bun Hiong tertawa.
"Itu orang pintar sekali, akalnya bagus betul!" ia memuji.
"Hanya," Keng Cun terangkan, "biarnya ia sangat licin, ia tidak menyangka bahwa di sini bakal datang Lo Siau
Hou bahwa Lo Siau Hou justru ada musuh besarnya! Lebih
jauh ia pun tidak sangka bahwa di sini ada pula Lie Bou
Pek, ada nona Jie Siu Lian, malah ada Lau Tay Po, hingga kesudahannya, gedung keluarga Lou itu telah dibuat kacau balau!"
Siu Lian, Lee Hong dan Bun Hiong bersenyum.
Sesudah bicara secara bersemangat, Keng Cun menghela
napas, akan melegakan dada.
"Ada apa-apa lagi yang nona berantai belum ketahui,"
kemudian orang she Liu ini membeber rahasia terlebih jauh.
"Sementara ia itu Hwie Pek Sin tidak tinggal tetap dengan Ho Siong. ia telah sewa sebuah rumah di kaki tembok kota Sayu-mui. Di sana ada Yu Yong dan Ho Kiam Go,
bersama-sama aku, kita bertiga melindungi ia setiap malam.
Lou Kun Pwee juga senang pergi ke sana, akan menginap.
Aku ada sangat menyesal dan mendongkol mengenai
kedudukanku. Aku benci Hwie Pek Sin, aku ingin bunuh
saja, aku ingin perlihatkan Lou Kun Pwee di muka umum,
sayang itu niatan tinggal jadi niatan saja. Di samping aku, ada Ho Kiam Go yang senantiasa mengawasi aku, hingga
aku tak dapat berkutik. Kemudian, ketika gangguan
terhadap keluarga Lou jadi semakin hebat, Hwie Pek Sin
sudah gunakan lagi satu akal yang busuk dan kejam. Ia
kirim Ho Kiam Go ke gedung keluarga Giok, ia suruh
Kiam Go pakai nama kau, nona. Tugasnya Kiam Go
adalah serang keponakan perem puan dari Giok Kiau
Liong, maksudnya buat bikin Kiau Liong gusar dan
musuhkan kau, supaya kau berdua menjadi musuh besar
dan ke bentrok satu pada lain. Hwie Pek Sin ingin dengan kepandaiannya, dengan gunakan Cengbeng-kiam, Kiau
Liong mesti tumpas semua musuh yang mengacau kedua
gedung keluarga Lou dan Giok!"
"Sungguh jahat!" kata Siu Lian seraya ia menggedruk jubin.
"Jahat tinggal jahat, tetapi buktinya, mereka sering kali menampak kegagalan," Lui Keng Cun berkata pula, "Giok Kiau Liong tak berhasil sebagaimana yang Hwie Pek Sin
harap ia telah terluka, pedangnya lenyap. Kejadian itu telah bikin remuk hatinya Lou Kun Pwee. Ia ini menduga bahwa
nona beramai telah bekerja di bawah petunjuknya Khu
Kong Ciau, maka ia telah minta pertolongannya ngoya di
sini, untuk akurkan ia dengan Kho siau hou-ya. Demikian
itu hari telah dibuat pertemuan di rumah makan Hak Hay
Tong, di mana ia undang Khu siau houya dan
menghaturkan maaf. Lou Kun Pwee anggap, setelah ia
hatur maaf urusan akan jadi habis. Ia tidak sangka bahwa Lo Siau Hou, demikian garangnya, ia telah mampu
menggunai tipu, hingga Kun Pwee kena jebak dan
ditangkap, dibawa pulang ke rumahnya di mana ia lantas
dibuat mati kutunya ... "
Dan Keng Cun tuturkan lakonnya Siau Hou, yang
cerdik, yang paksa Kun Pwee serahkan surat keterangan
dan buat surat pengakuan.
"Apa yang terjadi dengan Lou Kun Pwee itu, Hwie Pek Sin sudah lantas mendapat tahu," Lui Keng Cun melanjuti
ceritanya, "maka itu sekarang ia merasa dirinya tidak aman, maka setiap hari, setiap malam, ia perintah Yu Yong dan
Ho Kiam Go lindungi padanya. Sebenarnya, akupun dapat
kewajiban, akan menjaga pintu rumahnya, tetapi aku telah gunakan k etika, akan nyeplos, akan coba datang kemari,
buat membuka rahasia. Aku tak bisa berdiam lebih lama
lagi, aku tak bisa dijadikan budak terlebih jauh. Tapi, nona, aku datang kemari dengan menembus ancaman bahaya
besar, umpama kata perbuatanku ini ketahuan, Yu Yong
belum tentu bunuh aku, tidak demikian dengan Ho Kiam
Go..." Air mukanya Yo Lee Hong menjadi merah padam. Ia
berbangkit, menghadapi tetamunya, ia lantas menjura,
hingga Keng Cun menjadi tersipu-sipu
membalas hormatnya itu. "Lui toako," berkata nona mantunya Tek Siau Hong,
"beruntung ini hari kau datang dan memberitahukan kita segala hal yang untuk banyak tahun kita tak tahu duduknya dan ingin mengetahuinya. Engko-ku Yo Pa memang telah
menutup mata. Lo Siau Hou nyata ada engkoku juga akan
tetapi dengan ia kita belum pernah tinggal bersama-sama, sedang sekarang tidak bisa cari ia, buat itu minta ia tolong mencari musuh kita. Maka itu, untuk mencari balas, aku
sendiri yang niat bekerja. Lui toako tolong kasih tahu
alamatnya itu dua bangsat she Ho dan she Hwie!"
Buat sesaat Keng Cun melongo, tetapi ia lekas-lekas
menyahut. "Kerumahnya Ho Siong aku belum pernah pergi," ia
kata, "hanya apa yang aku tahu, ia tinggal di luar pintu Cengbun-mui, yang termsuk dalam pintu Kiongkiu mui, di
bagian tempat yang sunyi sekali. Rumahnya Hwie Pek Sin
ada gampang untuk dicari, ialah di kaki tembok utara dari pintu SiykH-mui. Rumah itu di sampingnya ada
ruangannya untuk tetamu, dan di depannya ada
ditanamkan sebuah pohon yangliu yang besar."
Begitu ia dengar keterangan ini, Lee Hong lantas saja lari kedalam.
"Kau jangan pergi dulu, tunggu saja," kata Siu Lian pada tetamunya dengan ia terus susul Lee Hong.
Nona Yo pergi pada mertuanya di depan siapa ia
berlutut, ia memohon perkenan untuk ia sendiri pergi
menuntut balas.
Tek toanaynay pimpin bangun nona mantunya itu, tetapi
ia tercengang, hingga ia tidak bisa kata apa-apa.
Siu Lian telah lantas dapat susul Lee Hong, ia tarik nona ini ke samping.
"Kau sabar," ia berkata. "Walau bagaimana, sakit hati mesti dibalas. Di sini ada aku, apakah kau kira ada sukar untuk memberi bagian kepada mereka itu" Hanya, dua hal
kau harus ingat. Pertama-tama, didalam kota raja kita tidak boleh sembarangan melakukan pembunhan. Sudah Giok
Kiau Liong tidak menelad permisi undang-undang negara,
apa kita juga mesti telad perbuatannya itu" Kita mesti sabar, kita mesti pancing Ho Siong dan Hwie Pek Sin ke tempat di mana mereka harus terima hukumannya. Kedua, kemana
Tek siau naynay, kau harus imbangi kedudukanmu sendiri.
Kau ada punya mertua lelaki dan perempuan, kau ada
punya suami, dan keluarga. Tek ada keluarga kenamaan di
kota raja ini, maka cara bagaimana kau bisa turun tangan sendiri" Baiklah kau ketahui, sudah sejak beberapa hari, kita pun telah ketahui tempat kediamannya Ho Siong itu, Cuma
sebab kita pikir urusan ada gampang, aku tidak mau berlaku kesusu."
Justru itu, Bun Hiong bertindak masuk.
"Ayah sudah pulang," berkata ia, "ia sekarang sedang bicara dengan Lui Keng Cun. Ayah bilang, untuk membalas
dendam, kita tak boleh terburu napsu."
"Bagus!" kata Siu Lian. "Sekarang kau bujuk isterimu ini, aku hendak pergi pula ke depan, aku hendak bicara
lebih jauh dengan Lui Keng Cun." Ia menoleh pada Lee Hong, "Sabar, buat sedikit waktu itu. Apakah kau tidak percaya aku" Kali ini aku datang ke Pakkhia, maksudku
yang utama adalah untuk dendamanmu ini" Lihat saja, aku
pasti akan bekerja dengan sempurna!"
Tek toa-naynay ada sibuk sekali, ia bingung, sampai ia
tak tenang berduduk atau berdiri. Begitulah ia menghela
napas. "Ah" Tidak peduli sakit hati atau penasaran, bagaimana
nona mantu kita bisa pergi melakukan pembunuhan"
Bagaimana kalau perkara ini kemudian menyebabkan satu
perkara pengadilan?"
Siu Lian ninggalkan itu ibu, anak dan mantu, ia
bertindak cepat keluar, akan cari Lui Keng Cun, tetapi tidak lama, ia sudah kembali.
"Benar, sudah beres!" ia kita pada Lee Hong semua.
"Aku telah mengatur rencana. Keng Cun aku titahkan pula untuk ia member kisikan pada Ho Siong dan Hwie Pek Sin,
bahwa musuh lama mereka, keluarga Yo yang menjadi
korban fitnahan mereka, sudah berada di Pakkhia sedang
mencari mereka, untuk menuntut balas. Aku percaya
mereka itu bakal jadi sangat ketakutan, hingga tentu akan menyingkir dari Pakkhia. Kalau nanti mereka sudah kabur.
Lui Keng Cun akan datang pula pada kita, untuk memberi
tahu ke mana mereka itu angkat kaki, itu waktu kita
berangkat menyusul mereka itu. Satu kali mereka sudah
terpisah dan Pakkhia, di tempat yang sunyi, aku nanti bantu
kau dalam usaha menuntut balas! Sekarang kau boleh
bersiap saja! Aku lihat kau ada punya segala kepandaian, cuma kau tidak bisa menunggang kuda, hingga pada
saatnya, kau mesti naik kereta. Ini ada sesuatu sulit ... "
"Aku kira, untuk menunggang kuda bukannya soal
sukar," kata Lee Hong dengan sedikit bersangsi.
"Baiklah, sampai pada waktunya kita akan tetapkan
pula!" Siu Lian bilang. "Pada waktunya, aku toh akan bantu kau, aku tanggung urusan tidak menjadi gagal."
"Urusan ini harus disimpan rahasia," kata Lee Hong
kemudian. "Tidak untuk semua orang," Siu Lian jawab. "Selama ini
saudara Bou Pek sudah pergi, entah ke mana, sampai pihak Tiat pweelek perintah orang mencari padanya. Lau Tay Po
tidak bisa bantu kita, karena buat ia, kecuali segala urusan yang mengenai Giok Kiau Liong, tidak ada urusan lainnya
yang menarik hatinya. Sun Ceng Lee dan Yo Kian Tong
sudah ketahui agak lama juga yang Ho Siong berada di kota raja, jikalau mereka sudi bantu kita, itulah terlebih baik pula!"
Lee Hong mesti manggut, akan menyatakan setuju.
Itu waktu Tek Siau Hong bertindak masuk, ia tampaknya
ada sibuk sekali.
"Lui Keng Cun sudah pergi," berkata tuan rumah ini.


Harimau Mendekam Naga Sembunyi Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Menurut penglihatanku, ia ada seorang jujur, keterangannya mestinya bukan keterangan palsu. Ho Siong
dan Hwee Pek Sin ada sangat jahat, mereka memang mesti
dibinasakan, coba aku ada sebagai Su Poan-cu, niscaja
sebentar malam aku pergi bunuh mereka itu ... Hanya, kita bukan orang-orang sembarangan, kita tidak boleh bertindak
sebagai orang-orang kangou! Malah Jie kounio, dan
saudara Bou Pek pun tak boleh ... "
"Selama aku mengembara, aku selalu bersikap secara
laki-laki," berkata Siu Lian, "kecuali orang-orang jahat, belum pernah aku meminta jiwa orang. Sekali ini, untuk
Lee Hong, aku terpaksa mesti gunakan akal, akan takut-
takuti musuh, supaya mereka menyingkir dari kota raja ini.
Aku tidak bisa bekerja secara membabi buta sebagai Giok
Kiau Liong ... "
"Memang, Giok Kiau Liong bisa berbuat segala apa, kita
tidak," Siau Hong kata. "Mengenai sakit hati, aku pun ada berpikir lain. Hwie Pek Sin ada sangat licin dan kejam, ia tak seharusnya mendapat ampun. Hanya Ho Siong, aku
pikir, ada lain ... Ia sekarang sudah berusia tinggi, sudah bertahun-tahun ia tinggal sambil tempatkan diri di kota ini, sebegitu jauh tidak terdengar yang ia ada lakukan sesuatu kejahatan, maka aku percaya, ia tentunya sudah menyesal
atas segala perbuatannya dulu-dulu. Apakah ada keberatannya untuk kita mengasih ampun jiwa tuanya itu?"
Lee Hong tidak setujui sikapnya mertua itu, tetapi ia
tidak mau berbantah.
Siau Hong tidak berdiam lama, ia lantas pergi pula
keluar. Siu Lian, bersama-sama nyonya Siau Hong, hiburkan
nona Yo. Lee Hong ada sangat berduka, ia menangis terus sampai
sore, maka itu malam, diterangnya api, Siu Lian lihat
matanya bengul, sampai mata itu seperti susah dibuka.
Tapi, melihat sikapnya orang, ia percaya nona itu tidak
sampai menjadi nekat, maka itu, setelah menghibur pula,
dan pesan juga nyonyaTek, ia pamitan akan kembali ke
rumahnya Siang Moay di mana ia titipkan buntalannya.
Ketika nona Jie ini berlalu, itu waktu sudah jam
sembilan. Dalam keluarga Tek ini masih ada ibunya Siau Hong,
yang sudah tua, tetapi nyonya besar ini, yang gemar
membaca kitab dan daharnya sayuran saja, sudah tinggal
menyendiri di sebuah kamar, di mana ada disediakan dua
budak untuk rawat padanya. Ia sama sekali tak usilan
urusan di luaran. Siau Hong sendiri biasa tidur di kamar tulisnya, maka nyonya Tek tidur dalam kamarnya bersama
Bun Kiat, anaknya yang kecil. Kamarnya Bun Hiong dan
Lee Hong berada di depan kamarnya ibu atau mertua
mereka. Suami isteri muda ini ada sangat menyinta satu pada
lain. Bun Hiong memang bertubuh lemah, sekarang ia
terluka, dari itu, ia dapat rawatan istimewa dari isterinya. Ia ada satu siauya, sejak kecil ia belum pernah menderita,
maka bagi ia, pengalaman yang belakangan ini ada cukup
hebat. Tapi, yang buat ia sibuk adalah urusan sakit hati isterinya. Ia berduka dan sibuk kapan ia lihat kedukaannya isteri itu, ia merasa hatinya sakit melebihi sakitnya luka di lengannya. Tadi, ketika ia dengar penuturannya Keng Cun, ia rasakan kepalanya pusing, karena sulit dan hebatnya
perkara. "Bagaimana sih di dunia bisa ada manusia begitu jahat?"
ia berpikir. "Tipu dayanya Hwie Pek Sin ada melebihi tajamnya golok atau pedang ... "
Bun Hiong kunci sendiri pintu kamarnya, begitu lekas ia
iringi isterinya masuk. Ia duduk bengong di atas
pembaringannya.
Lee Hong telah buka peti pakaiannya, dari situ ia
keluarkan seperangkat pakaian hitam, ialah baju dan
celana, yang ia biasa pakai kalau ia sedang berlatih silat,
kemudian ia gunting dua lembar cita hitam, untuk bebat
kaus kakinya yang warnanya putih.
Bun Hiong terperanjat melihat gerak-gerik isterinya itu.
"Eh, apa kau hendak buat?" tanya ia.
"Mengenai ini, aku harap jangan usil aku," menyahut sang isteri itu sambil menangis. "Buat urusanku, seluruh keluarga menjadi tidak tenteram. Hatiku pun sakit ketika Lo Siau Hou datang dan melukai kau. Nona Jie telah
berbuat banyak ketika ia menolong aku hingga aku menikah disini, selama tiga tahun, sedikit juga aku tidak nampak kesukaran, maka itu, sudah seharusnya kalau aku
mendengar kata. Tapi sekarang ini, musuh besarku ada di
depan mataku, aku tidak bisa bersabar lagi, maka sekarang ini juga aku hendak pergi, untuk binasakan mereka itu!
Dalam urusan itu, aku tidak mau siapa pun turut tersangkut paut, syukurlah bila aku berhasil, tetapi umpama kita gagal, aku mohon kau jangan akui lagi padaku!" Ia menangis
sedih sekali. "Umpama aku binasa, tidak nanti aku lupa kebaikannya entia dan ennio, begitupun kebaikan kau
sendiri, semua kebaikan itu biarlah aku balas di lain
penitisan ..."
Bun Hiong kaget, tetapi ia rangkul isterinya itu.
"Jangan, jangan kau terburu napsu!" kata suami itu.
"Dengan kau pergi sendirian, msekipun kau pandai bugee, hatiku tidak tenteram. Nona Jie berada disini, ia pun sudah cegah kau turun tangan sendiri, maka sekarang, dengan kau dului ia, dengan kau langgar pesanannya, apakah kau tidak kuatir ia nanti jadi gusar!"
Lee Hong menangis terus.
"Ia ada seorang she Jie, tetapi buat urusannya si orang she Yo yang telah membawa bencana bagi keluarga Tek, ia
telah berikan bantuannya, apa pula aku, orang yang
tersangkut sendirinya" Tidak, aku tidak bisa bersabar lagi.
Meski aku sendirian, aku tidak kuatir. Kecuali ayah
angkatku, Jie kounio pun telah pernah didik aku, maka aku percaya, aku akan sngggup layani semua musuhku. Sesudah
aku kerja sendiri, baru hatiku puas. Dengan begini tidak usahlah aku sering kali kerutkan alis, hingga kau
melihatnya tentu tak senang..."
Bun Hiong menghela napas.
"Sayang lenganku masih belum bisa digeraki dengan
leluasa, jikalau tidak, aku tentu akan temani kau pergi,"
kata ia dengan masgul.
Lee Hong menggeleng kepala.
"Tidak, tidak usah kau bantu aku," ia berkata. "Dan
kaupun jangan buat banyak berisik. Aku pergi tidak lama, sebentar pun aku akan kembali. Kau rebah saja, aku akan
segera balik ... "
Bun Hiong menghela napas, ia lepaskan rangkulannya.
Lee Hong lantas saja salin pakaian. Ia tukar sepatunya,
ia libat betisnya.
"Ho Siang tinggal jauh dari sini, cara bagaimana kau bisa pergi satroni padanya?" Bun Hiong tanya.
"Katanya ia tinggal diluar Congbun-mui, maka ia cuma
terpisah dengan satu tembok kota," sahut sang isteri sambil ia singkap kasurnya, akan keluarkan goloknya. Tapi ini
malam aku tidak pergi ke sana, sekarang aku hendak pergi ke Saycu-mui. Aku kenal baik jalanan di sana. Tahun yang sudah toh kita pergi kesana, akan bersua di Bansiu Sie"
Malam ini aku hendak binasakan Hwie Pek Sin terlebih
dahulu, sebab ia ada terlebih jahat dari pada Ho Siong.
Menurut Lui Keng Cun, ayah dan ibuku menutup mata
akibat akal kejinya, dan sampai sekarang ini, ia masih tetap tak mau lakukan apa-apa yang baik. Aku pikir, sesudah ia dibinasan, urusannya Ho Siong lebih gampang untuk
dibereskan!"
Tubuhnya Bun Hiong gemetaran.
"Sudah, sudah cukup," ia kata, tangannya ia goyang-
goyang. "Sudah, kau jangan bersedih pula. Sekarang kau besarkan hatimu, kau pergi, umpama kau gagal, lekas kau
kembali. Berlakulah waspada, hati-hati ..."
Lee Hong lapis tubuhnya dengan baju panjang, lantas ia
keluar dari kamarnya, begitu ia berada di luar ia loncat naik keatas genteng, dari sini lari ke belakang, ia sampai di tembok setelah ia lewati wuwungan. Dan kapan ia loncat
turun, ia sudah lantas berada dalam sebuah gang kecil.
Malam itu ada suram, di situ tidak ada orang lain.
Lee Hong keluar dari gang kecil itu, ia lintasi jalan besar lalu masuk ke dalam satu gang kecil lain. Ia bertindak
dengan cepat, dengan berlari-lari, ia seperti berlomba
dengan suara kentongan, yang bunyinya ayal-ayalan.
Dengan begitu, dalam tempo pendek ia telah lewati
beberapa gang, lorong atau jalan besar. Di tengah jalan ia lihat beberapa orang ... lain pula, akan tetapi ia menyingkir dari matanya mereka. Secara demikian, sampailah ia di
Sayu-mui. Di situ, dengan ikuti tembok, nona Yo menuju ke utara.
Ia lari keras, hatinya memukul. Di sini tanah ada luas cuma di sebelah timur ada kedapatan beberapa rumah. Disebdah
barat ada tembok kota yang tinggi. Jalanan yang ditrukil ada gelap.
Sesudah berlari-lari sekian lama, Lee Hong menghadapi
sebuah rumah yang duduknya di sebelah timur jalan besar.
Rumah itu terdiri dari tiga ruangan. Dari jendela yang
tertutup dengan pnjangan, ada tertampak bayanganya
beberapa orang.
"Itulah tentu kantor," pikir Lee Hong. Maka ia lantas berpaling ke sebelah kanan dari kantor itu di mana ada
Pendekar Pemetik Harpa 26 Kisah Si Bangau Merah Karya Kho Ping Hoo Bukit Pemakan Manusia 15
^