Pencarian

Harimau Mendekam Naga Sembunyi 18

Harimau Mendekam Naga Sembunyi Karya Wang Du Lu Bagian 18


dua musuh ini. Kiam Go merayap di batu gunung, guna menyingkirkan
diri. "Sun toa-aok, jangan kasih ia lolos!" Lee Hong berseru.
Ia ada begitu lelah, hingga ia tak kuat mengejar sendiri.
Sun Ceng Lee lantas lari akan susul itu perempuan jahat.
Hampir di itu waktu, Siu Lian muncul di sebelah atas. Ho Kiam Go kaget bukan main kapan ia lihat itu nona yang
gagah, buntulah jalanan naiknya, sedangkan di bawah Ceng Lee lagi berlari-lari ke jurusannya. Ia menjerit dan loncat ke bawah. Ia ingin tancap kaki di batu gunung, tetapi ia rubuh, tubuhnya terus tergelincir.
Siu Lian lari memburu, hanya karena Kiam Go
bergelindingam, ia kalah cepat. Goloknya penjahat
perempuan itu telah terlepas, kedua tangannya dipakai
menutupi kepalanya.
Di bawah gunung ada lima atau enam penunggang kuda,
yang siap untuk melarikan diri. Tapi satu di antaranya maju menunggui Ho Kiam Go yang sedang bergelindingan. Dan
tempo Kiam Go lari padanya, ia sambar tubuh orang, buat
dikasih naik ke atas kuda, lalu kabur bersama kawan-
kawannya ke jurusan barat.
Siu Lian dapat lihat dalam rombongan itu ada Ciau Toa
Hou, raja dari gunung di situ. Tetapi yang sangat menarik perhatiannya adalah satu penunggnng kuda lain yang
rambut dan kumis jenggotnya telah ubanan semua,
tubuhnya kurus.
"Lekas!" ia menjent. "Lekas! Itu dia Hwie Pek Sin!"
Sambil berseru demikian, ia lompat lari mengejar.
Sun Ceng Lee telah bisa turun pula, ia susul Siu Lian
untuk sama-sama mengejar, apamau mereka berlari-lari dan musuh
menunggang kuda, mereka tak mampu menyandaknya. Itu waktu Lee Hong turun bersama-sama kudanya yang
ia tuntun. Jalanan gunung ada mudun dan sukar untuk
pertahankan diri, ia mesti tombaknya sebagai tongkat.
Jalanan pun ada berbahaya sekali, salah terpeleset, nyonya muda itu bisa celaka.
"Pergi kau susul mereka, aku nanti tolongi Lee Hong!"
kata Siu Lian pada Ceng Lee.
Siu Lian lari ke jurusannya nyonya Bun Hiong, dan
Ceng Le lantas mengejar musuh.
"Tunggu, jangan turun terus!" Siu lian teriaki. "Tunggu, aku nanti datang pada kau!"
Ia letaki goloknya di atas batu, ia lantas merayap naik. Ia berhasil mendekati Lee Hong, les kuda siapa ia sambuti.
"Kau turun, perlahan-lahan," ia kata. Ia sendiri menuntun kuda.
"Jangan kuatir kounio" kata Lee Hong.
"Kalau begitu aku akan pakai kuda kau ini..."
"Pakalah kounio, pergi kau uber Hwie Pek Sin!" Lee Hong jawab, "jangan pedulikan aku ..."
"Ya, tapi kau mesti tunggu di sini!" Siu Lian kasih tahu.
"Jangan kau pergi jauh-jauh! Aku akan susul Hwie Pek Sin guna balaskan sakit hatimu, setelah itu aku akan kembali ke sini!"
Lee Hong anggukkan kepala.
Siu Lian turun bersama kudanya, sesampainya di bawah
ia loncat naik atas kuda itu. Ia memang pandai
menunggang kuda dan kuda itu pun ada jinak dan
mengerti. Ia loncat turun akan jumput goloknya, kemudian ia loncat naik pula. Sekali ini ia terus kaburkan kuda itu ke barat.
"Tunggui aku!" begitu ia teriaki Lee Hong, selagi
kudanya baru bergerak.
Lee Hong mengangguk, ia awasi nona gagah itu.
Kemudian ia terus turun, dengan hati-hati.
Ia girang yang ia telah lolos dari kepungan, tetapi toh ia merasa tidak puas, karena ia mesti ditinggal sendirian,
hingga ia tak bisa sama-sama menyusul musuhnya. Dengan
masgul ia duduk atas sebuah batu, matanya memandang ke
sawah pada burung-burung yang lari berterbangan. Distu
ada sunyi, tidak ada lain orang, penjahat pun sudah pada kabur semua.
Lama juga Lee Hong menghilangkan letih, ia memikir
untuk meninggalkan itu tempat di mana ia merasa tidak
kerasan. "Apakah di situ Yo siau-naynay?" tiba-tiba satu
pertanyaan, dari atas gunung.
Ia terperanjat ia loncat bangun, tetapi kapan ia dongak, ia kenalkan Su Kian. Dan orang she Su itu duduk atas
seekor kuda, sedang tangannya ada menuntun dua ekor
yang lain. Ia menjadi girang.
"Su toasiok, lekas, lekas turun!" ia segera berseru. "Lekas kasih aku seekor kuda! Hwie Pek Sin telah lari ke barat
sana! Jie sukou dan Soen toasiok sedang mengejar
padanya?" Su Poan cu taati panggilan itu, ia kasih satu kuda lari
turun, satu yang lain, ia tahan. Kuda itu dengan cepat
sampai di bawah.
Lee Hong loncat minggir ketika kuda loncat turun
kejurusannya, yang kemudian ia cekal.
Dari atas Su Poancu lantas lempar sebatang cambuk,
yang mana terus dipungut oleh nyonya Boen Hiong, siapa
kemudian dengan tak berayal lagi, loncat naik ke
punggungnya kuda itu, lalu dengan bersemangat ia larikan kudanya ke arah barat.
Su Poancu di lain pihak, dengan masih tuntun kuda yang
satunya, sudah lantas turun, sesampainya di bawah, ia
larikan kudanya menyusul. "Tadi malam di Kau-po, selagi
bertempur kita kaget karena kita tidak lihat kau, siau-
naynay! Kita kuatir kau kena dibawa lari oleh orang jahat.
Itu waktu Su Ceng Lee tedah datang pada kita, ia pun kaget akan mengetahui lenyapnya kau, maka ia cari kau. Jie
kouwnio pun menyusul, kudanya ia serahkan padaku. Aku
disuruh menunggu sendirian bersama-sama kuda, mana aku
bisa tahan" Tuan rumah kita, Nio Jie, ada satu penjahat.
Penduduk kampung itu memangnya sedikit. Si kepala
kampung dipanggil Sah toako si Tolol, tetapi ia sebenarnya tidak tolol. Dan itu bocah adalah Siau Hoaypau, si Telur Busuk. Si Tolol sengaja antar kita ke rumahnya Nio Jie,
lantas dengan diam-diam ia perintah bocahnya pergi ke atas gunung buat mengasih kisikan. Beruntung kita sudah siap, jikalau tidak, kita bisa celaka. Penjahat diatas gunungpun tidak besar jumlahnya, akan tetapi dengan digabung
penduduk kampung, mereka ada kira-kira lima puluh lebih.
Pemimpin mereka adalah Ciau Toa Hou, ia ini ada
sahabatnya Ho Kiam Go, maka itu, Kiam Go telah ajak
Hwie Pek Sin dan Ho Siong pergi ke gunungnya. Terang
pada Hwie Pek Sin telah timbul pikiran jahat, atau rupanya
ia anggap ikutnya Ho Siong adalah satu bandulan yang
membahayakan, sedung di pihak lain, Ho Siong ada
membawa harta besar. Maka itu. dengan dengan lupai
persahabatan dari puluhan tahun, Hwie Pek Sin ojok-ojok
Ho Kiam Go dan Ciau Toa Hou, hingga kejadian mereka
aniaya Ho Siong dan rampas hartanya itu. Baiknya kita
lekas datang, kalau tidak, tentulah Hwie Pek Sin bisa hidup senang disitu, ia menjadi koensoe, Ciau Toa Hou menjadi
tay-ong dan Ho Kiam Go tentu menjadi Ap-cee hujin!...."
Lee Hong denngar keterangan itu, tetapi ia tetap larikan kudanya.
"Lie Mo-ong ada sangat cerdik," ia kata. "ia telah pancing aku sampai di atas bukit, di situ ia kepung aku
bersama puluhan orang-orangnya,
baiknya dengan tombakku aku bisa lawan mereka, sampai akhirnya datang
Sun toasiok dan Jie sukou."
"Semua ini ada tipu dayanya Hwie Pek Sin." Su Poancu kata. "Hwie Pek Sin tahu siapa kita dan ketahui juga tentang keadaan kita satu persatu! Ia sungguh ada seorang yang licin, yang sukar untuk ditandingi, hanya sayang,
kawanan berandal ada tak punya guna, nyalinya kecil,
mereka tak sanggup melawan kita! Ketika tadi aku naik ke atas gunung untuk berikan bantuanku, di sana sudah tidak ada orang, hingga aku sia-sia saja aku pergi sana dan pergi sini akan cari mereka. Ada ... bagi bagi aku akan terus
tuntun kuda kita. Kemudian di sacu gua aku dapatkan dua
bajingan, tetapi aku tidak ganggu mereka. Menurut mereka, nona Jie mendaki gunung bersama-sama satu lelaki tinggi
besar yang bersenjatakan golok, dan mereka telah pukul
buyar semua orang jahat, hingga Ciau Toa Hou kabur
bersama-sama Lie Mo-ong dan Cukat Kho yang tua. Aku
mesti tertawai kawanan itu, yang tak bersemangat. Ketika dulu aku menjadi raja gunung, aku tidak bersikap rendah
sebagai mereka itu. Tapi Hwie Pek Sin ada licin, kita mesti tetap berhati-hati. Siapa tahu, karena bukit ini tak bisa dilindungi lebih lama, ia sengaja kabur kelain tempat untuk pancing kita. ..."
Su Kian bicara saja dan tak sempat cambuk kudanya,
tahu-tahu ia sudah ketinggalan jauh oleh Lee Hong, siapa sebaliknya telah kaburkan kudanya terus-terusan. Nyonya
muda ini ingin lekas dapat susul Siu Lian dan Ceng Lee.
"Berhati-hatilah siau-naynay!" demikian si gemuk memesan, karena ia percaya ia tak akan sanggup menguber
lebih jauh. Lee Hong kabur terus, tidak lama ia dapat candak Ceng
Lee, siapa sedang berdiri diam di sisi jalan, sekujur
badannya penuh keringat, napasnyapun sengal-sengal.
Rupanya ia tak ungkulan akan susul Siu Lian dan terpaksa mesti berhenti akan menghilangkan leah.
"Dengan tak berkuda aku tak sanggup mengejar terus!" ia kata pada nona Yo.
"Di belakang Su toasiok ada membawa kuda, mintalah
darinya seekor!" kata Lee Hong, yang lari terus.
Lari pula belum seberapa jauh, mendadakan nona Yo
merandek. Ia menghadapi jalan cagak ke timur-selatan,
jalanan ada lebih lebar dan tanahnya rata, di situ tidak ada orang. Kentara, jalanan ada kecil, jauh di sebelah depan, tertampak bukit yang hijau, tetapi sedikit jauh diri situ, kelihatan tempat lebat dengan pepohonan, dan rupanya di
situ ada rumah orang atau gubuk. Ia bersangsi akan ambil salah satu jalanan itu.
"Baiklah aku menuju ke utara sini, akan tanya-tanya di gubuk itu..." akhirnya ia ambil putusan.
Oleh karena ia larikan kudanya dengan keras, Lee Hong
tiba dengan lekas di tempat yang banyak pepohonan itu,
ialah belasan pohon hoay yang tinggi dan kate tak
ketentuan. Di dalam tembok ada pagar pekarangan dari
bambu, di dalam pagar itu ada ditanami sayuran. Dan luar tembok, datangnya dari gunung, ada air mengalir yang
merupakan selokan lebar dua kaki, hingga kuda bisa
sebrangkan itu dengan satu loncatan. Sampai di sebuah
selatan pepohonan, selokan itu merupakan satu pengempang dengan tepinya penuh dengan alang-alang, di
manapun ada pohon yangliu. Beberapa ekor bebek bulu
putih asyik berenang berkecipakan di dalam empang itu,
sedang di atas pohon, burung dan tonggeret asyik saling
sahutan. Diam-diam Lee Hong menjadi kagum. Ia tidak nyana di
tempat sunyi demikian, ada tempat yang demikian tenang
dan menyenangkan, yang mirip dengan tempat kediamannya orang alim.
Dengan niatan minta keterangan, Lee Hong turun dari
kudanya di depan pintu pekarangan. Ia perhatikan jalanan, ia tampak tapak-tapak kaki yang menuju ke gunung sebelah utara. Kapan ia tolak pintu, daun pintu ada terpalang dari dalam. Maka ia terus kasih dengar suaranya:
"Numpang tanya, di dalam ada orang atau tidak" Tolong buka pintu. Aku hendak minta keterangan!"
Ia tidak dapat jawaban, ia memanggil pula untuk kedua
kalinya, ia cuma dengar suara burung. Karena itu, ia
menjadi hilang sabar. Ia berdiri di atas kudanya, dari situ ia naik ke atas tembok pekarangan, dari situ ia loncat masuk ke sebelaah dalam. Ia lantas menghampiri rumah yang
terdiri dan tiga ruangan. Selagi ia mendekat, sero lantas terpentang dan seorang perempuan bertindak keluar.
"Jangan naik ke tembok, jangan naik ke tembok,
temboknya tidak kuat!" demikian nyonya itu. "Kau mau apa, eh?"
Lee Hong memandang dengan tajam. Ia lihat satu
njonya umur tak lebih tiga puluh tahun, kulit mukanya
hitam tetapi dipulas dengan pupur dan yancie, alisnya tebal dan rambutnya hitam mengkilap merupakan gelung,
bajunya sutera hijau, celananya merah, di bawah celana ada sepasang kaki yang kecil sekali, sedang tangannya ada
memakai gelang emas.
Itulah bukan dandanannya seorang yang biasa tinggal di
tanah pegunungan.
Akan tetapi, dengan tak menghiraukan dandanan orang
itu, Lee Hong lantas bicara:
"Aku numpang tanya, apa barusan kau ada lihat
beberapa penunggang kuda lewat di sini?"
"Sudah setengah harian aku berdiam di dalam rumah,
aku tak dapat melihatnya!" sahut nyonya itu. "Tapi tadi aku dengar suara kuda berlari-lari, agaknya menuju ke utara
sana..." "Ke utara itu menuju ke mana?" Lee Hong tanya pula.
"Ke utara sampai ke gunung."
"Apakah di sana ada rumah orang?"
Nyonya itu geleng kepala, tetapi ia tertawa.
"Aku tak tahu! Meski aku telah tinggal sudah sepuluh tahun di sini, sebenarnya aku belum pernah menaiki
gunung." "Apakah di atas gunung itu ada berandalnya?" Lee Hong tanya pula.
"Kau pikir saja. Kalau di atas gunung ada berandal, kita mana bisa tinggal di sini" Kita bukannya dari famili
sembarangan, ini adalah tempat beristirahatnya Kho looya dari Boan-shia-koan!"
Lee Hong tak mau menanya lebih jauh.
"Terima kasih," ia bilang. Ia keluar dari pekarangan, ia naik pula kudanya akan dikasih lari ke jurusan utara.
Jalan semakinan sempit, tanahnya tak rata. Di situ tidak tampak seorang pun. Karena pepohonan tidak banyak,
burung pun ada jarang.
Sekarang matahari telah perlihatkan pengaruhnya, terik
panas sekali. Lee Hong merasakan satu pekerjaan yang berat ketika ia
mulai bertindak di jalanan yang menanjak. Ia ada
menunggang kuda dan mesti bawa tombaknya. Ia lihat
bukit berentet-rentet, batu gunung nampaknya hijau. Maka untuk cari orang, sukarnya ada sama saja bagaikan
merogohi jarum di dasar laut ...
"Ah, bagaimana sekarang?" pikir nyonya Bun Hiong
yang hatinya sudah mulai tawar kegembiraannya mulai
lenyap. "Ke mana kaburnya Hwie Pek Sin" Apakah ambil jalanan yang lain" Kemana sukou Siu Lian menyusulnya"
Apa perempuan tadi tidak keliru dengar jurusannya
tindakan kuda" Baik aku kembali pada perempuan itu untuk menanyakan terlebih jauh. Atau bisa jadi karena ia tinggal di sini, ia takut bicara tentang kawanan berandal, hingga ia tak berani beri tahukan sebenarnya ke mana meratnya Hwie Pek Sin itu!"
In lantas kasih kudanya jalan balik. Ia jalan dengan
perlahan, ia seperti telah kehabisan tenaga. Inilah tidak heran. Kemarin ini ia sudah jalan jauh, sudah dua malam ia
tak tidur betul, begitu pula nasi pun belum pernah masuk kedalam perutnya. Baru sekarang ia merasa bagaimana
orang yang kelaparan dan kehausan.
Dalam keadaan seperti itu, Lee Hong dapat perasaan
bercampur aduk: gusar, penasaran, mendongkol, berduka.
Dengan tidak merasa, keluarlah air matanya. Hampir tidak merasa, ia telah kembali ke rumah yang tadi, yang nyaman.
Dan sekarang, ia mendapat cium bau dari wanginya nasi,
yang keluar dari dalam rumah itu...
Dengan lesu Lee Hong turun dari kudanya, ia tolak daun
pintu. "Nyonya, nyonya!" ia segera memanggil. Perutnya berbunyi geruyukan.
Sampai sekian lama, barulah ada penyahutan, dan suara
itu tak sesabar tadi.
"Eh, apa lagi" Datang pula, ya?" lalu pintu dibuka.
Nyonya itu agaknya heran. "Apa kau tak dapat cari itu penunggang kuda" Kau sebenarnya mau apa" Eh, kau
bawa-bawa tombak" Kau sebenarnya ada nyonya dari
mana?" Lee Hong menghela napas.
"Tak usah tanya banyak-banyak, nyonya?" ia menyahut.
"Sebenarnya, dari kemarin aku belum dahar dan belum tidur. Aku ada punya urusan, untuk cari penunggang kuda
itu. Ia ada seorang yang sudah tua, she Hwie namanya yang lain ialah Cukat Kho...!"
Oang perempuan itu kaget, sampai air mukanya
berubah. "Ah!" ia berseru. "Ada urusan apa kau cari Cukat Kho"
Bagaimana kau kenal dia?"
Lee Hongpun kaget, tetapi ia menjadi bersemangat.
"Apa kau kenal Cukat Kho"' katanya. "Apakah ia pernah datang kemari?"
"Kalau ia datang kemari, kita tentu celaka!" sahut si nyonya. "Ciau Toa Hou dan Okgu San adalah anak
angkatnya, ia sering naik ke gunung. Kabarnya ia sudah
berumur enam atau tujuh puluh tahun. Ia ada satu siucay
akan tetapi semua orang kosen ada sangat hormat ia, semua orang pandang ia sebagai dewa sajat. Kita penduduk sini


Harimau Mendekam Naga Sembunyi Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tidak berani berlaku kurang ajar terhadapnya, hingga kalau dari atas gunung ada datang haulo yang minta ayam atau
bebek untuk orang tua itu, kita tak berani tak mengasihnya."
Lee Hong mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Kau rupanya sedang masak, aku ingin menumpang
makan," ia kata. "Aku tidak akan berlaku sebagai berandal, sehabisnya dahar aku nanti beri uang padamu..."'
Nyonya itu tertawa.
"Uang ada perkara kecil," kata ia. "Sayang kau datang terlambat sedikit, bila lebih siang, kita tentu ada punya daging bebek! Sekarang kita baru habis menyembelih satu
ekor, belum keburu direbus... Suamiku telah bawa
keledainya, buat sambut mertua perempuannya, sebentar
lohor mereka akan datang kemari untuk bersantap sama-
sama." "Tetapi aku tak perlu teman nasi, cukup asal ada nasinya saja, nasi kasarpun boleh!" Lee Hong bilang. "Se habisnya makan, aku hendak pergi pula..."
"Bila demikian, baiklah, silahkan masuk!" kata nyonya itu.
Lee Hong tuntun kudanya ke dalam pekarangan, untuk
ditambat di pelatok, yang ada dua, dan di situ pun ia lihat tumpukan kotoran kuda, ia heran.
Nyonya itu lihat orang tercengang.
"Kita ada pelihara dua ekor keledai." ia lantas kasih tahu.
"Yang seekor dibawa suamiku untuk pergi sambut ibuku, yang seekor lagi dibawa oleh anakku, yang pergi ke kota
menjual beras. Dan ini ada rumahnya Kho looya yang
dahulu pernah pangku pangkat tiehu di Kayhong. Kho
looya suka ini tempat yang sunyi dan aman sedang kuburan keluarganya ada di belakang gunung sana. Setiap harian
Cengbeng atau Tionggoan-ciat, looya suka ajak thaythynya datang kemari, untuk tinggal sampai setengah bulan
umpamanya."
Mendengar ini, kecurigaannya Lee Hong buyar. Ia ikut
masuk. Di luar kelihatan rumah terbikin dari tembok
lumpur dan atau rumput, tetapi satu kali orang berada di dalam, orang puas dengan cara perabotannya. Pun rumah
ada terang sekali. Meja dan kursi ada dan kayu pilihan. Di tembok ada digantung pigura dan tulisan orang-orang
ternama, di meja ada tokpan dan buku-buku berikut perabot tulisnya. Hingga rumah itu mirip sebagai balai istirahat dari suatu bekas pembesar tinggi.
Nyoya itu mengaku sanak dari Kholooya, maka ia
dipercayakan mengurus rumah itu.
"Silahkan duduk, nona," ia kata dan terus kedalam,
katanya untuk siapkan nasi.
Kecuali kudanya ditambat di luar, tombaknya Lee Hong
pun disenderkan di ujung tembok. Ia lalu berbangkit,
memperhatikan lebih jauh rumah itu, yang terdiri dan tiga kamar, satu terang dua gelap. Di sebelah utara ada sebuah pembaringan kayu, yang teralas dengan kasur dan selimut.
Di sebelah selatan ada satu peti kayu serta satu jambangan tempat beras, di samping mana ada bergeletakan pacul dan arit. Dua kamar yang gelap ditutup dengan muilie putih,
yang dekil karena jarang dicuci dan sudah tua. Dilihat
anteronya, penghuni rumah ini ada berharta. Diam-diam,
Lee Hong kagum.
Si nyonya balik dengan lekas, ia bawa nasi putih
tercampur nasi kuning, karena baru matang, nasi itu masih mengebul-ngebul asap, baunya wangi, sebagi teman nasi
ada sayur peecay dan ketimun.
"Dahar seadanya, nona, tidak ada apa-apa!" katan
nyonya itu sambil tertawa.
"Ini pun cukup, di rumahku aku tak dahar sebagai in,"
sahut Lee Hong.
"Di mana nona tinggal" Suami nona kerja apa?" tanya nyonya itu.
"Kita tinggal di luar kotu Pakkhia," sahut Lee Hong.
"Kita menanam dan dan menjual bunga. Sekarang ..."
Ia berdiam sebentar. Ia tidak pandai mendusta, sedang
sekarang ia menunggang kuda dan membawa-bawa
tombak. Cuma sebagai piausu perempuanlah yang mirip
dengan keadaannya sekarang ini, tetapi ada berapakah
jumlahnya piausu perempuan" Mustahil tadi mengaku
tukang bunga dan sekarang jadi piausu" Mukanya menjadi
merah, ia tidak bicara terus, hanya ia angkat sumpitnya, akan mulai dahar. Ia sudah pikir, habis bersantap ia hendak lanjutkan perjalanannya, akan susul Hwie Pek Sin, akan
cari Siu Lian. Di depannya nyonya Bun Hiong ada si nyonya rumah,
yang duduk berhadap-hadapan. Karena meja terpasang
begitu rupa hingga mereka jadi membelakangi kedua kamar
yang gelap. Angin ada meniup kedalam rumah itu. Sebab
kamar sebelah selatan terang ada kosong, Lee tidak kuatir apa-apa. Ia dahar dengan anteng. Nyonya itu, sebaliknya, selalu ajak ia bicara, tanya ini dan itu dan ia menyahut dengan mengangguk atau "ya, ya" saja.
Tiba-tiba air mukanya si nyonya berubah, agaknya ia
terperanjat. Lee Hong heran, ia menunda sumpitnya. Di
luar dugaannya, mendadak ada orang yang bekuk ia dari
belakang, hingga ia kaget dan menjerit, sumpitnya terlepas.
Ia coba berontak tetapi tak berhasil, orang telah bekuk ia kuat sekali. Ketika ia menoleh, ia lihat di belalangnya ada dua orang lelaki yang tubuhnya besar. Saban orang
menyekal sebelah tangannya.
Si nyonya pun lantas terbangkit lenyap kekagetannya.
"Jangan kau sesalkan aku! Siapa suruh kau antarkan diri ke dalam jaring" Kenapa dengan bawa-bawa tombak kau
lancang masuk ke rumah orang, dan dahar" Sudah
seharusnya kau dapat bagianmu ini ... "
"Apakah artinya perbuatan kau ini?" tanya Lee Hong yang berkuatir bukan main, "Kita tidak kenal satu pada lain dan juga tidak bermusuhan, kenapa kau tipu aku?"
Sehabisnya berkaia begitu, Lee Hong menjerit dan
berontak untuk lepaskan dirinnya dari cekalannya itu dua orang, tetapi sia-sia saja. Orang yang di kiri sudah lantas bekap mulutnya, dan yang di kanan tabok ia. Ia mendelik, ia coba berontak pula, tapi ia tak peroleh hasil. Sekarang ia pun tak bisa berteriak. Maka segera juga orang belenggu
kedua tangannya. Ia ada sangat mendongkol, ia dupak kursi sampai kursi itu jumpalitan.
"Sungguh besar tenaganya!" kata si nyonya. "Aku tidak sangka, seorang perempuan ada begini galak! Ringkus saja kedua kakinya!"
"Tidak ada tambang lagi ..." sahut itu dua orang lelaki.
"Nanti, aku carikan!"
Sambil kata begitu si nyonya lari ke dalam. Tapi ia balik dengan tangan kosong.
Lee Hong berludah, meludahkan darah, karena giginya
copot bekas ditabok.
"Ha, kau berani berteriak pula?" mengancam si orang lelaki. "Awas, kita nanti ambil jiwamu! Jikalau kau diam, barangkali kita bisa mengasih ampun ..."
"Lepaskan aku!" berseru Lee Hong. "Awas kalau sampai kawan-kawanku datang! Mereka ada orang-orang gagah,
mereka bisa bunuh kau semua!"
"Lekas cari tambang!" kata pula itu dua orang lelaki.
Dengan tergupu-gupu, si nyonya lari pula ke dalam,
sekali ini ia kembali dengan sepotong angkin merah.
"Pakailah dahulu ini!" ia kata. Kemudian ia cengar-
cengir, akan menghina mangsanya.
Lee Hong ada sangat mendongkol dan berkuatir, kembali
ia berontak, dengan sia-sia belaka. Ia mendelik mengawasi itu musuh-musuh yang tidak dikenal, mukanya pucat dan
padam, kemudian air matanya turun, bahna sedih dan tak
berdaya. Tubuhnya pun gemetaran.
Dua orang itu telah ringkus kedua tangannya Lee Hong
dan kakinya juga, kemudian mereka bawa kurbannya itu
dengan digotong, dibawa masuk ke dalam kamar sebelah
selatan. Di sini ia telah dimasukkan ke dalam peti besar, yang dibuka oleh si nyonya, peti mana ada kosong
melompong, tak ada isinya. Ia dilepaskan dengan kaget
hingga ia pun jadi kaget sekali, sebab setelah terbanting di dasar peti, nyata lantai itu hidup, tubuhnya terus nyeplos
melewati lantai itu, jatuh ke sebelah dalam. Hingga sekejab saja ia mengerti, peti itu adalah satu lubang rahasia. Ia menjerit ketika ia jatuh ke bawah.
"Jangan berteriak!" ia dengar ancaman, sedang muka
golok lantas ditempel pada mukanya, hingga ia bungkam
bahna kagetnya. Kemudian ia merasa tubuhnya digulingkan
ke suatu tempat.
Ia lihat sekitarnya ada gelap. Sekarang ia dapat
kenyataan ia berada dalam satu kamar di dalam tanah,
kamar yang gelap diterangi oleh sebuah lampu minyak yang digantung di tembok, apinya suram, kamar itu nampaknya
ada menyeramkan.
Di antara cahaya api itu, duduk atas sepotong papan, ada seorang dengan rambut dan kumis panjang, warnanya
sudah putih semua, tanda dari usianya yang lanjut. Ia
bertubuh kecil, pakaiannya dari sutera, tangannya ada
menggoyang-goyang kipas.
"Hm, hm, aku tadinya kira kau ada punya kepandaian
yang tinggi," kata orang tua itu dengan bersenyum ewah,
suaranya tak sedap bagi kuping.
Lee Hong angkat kepalanya, ia mengawasi dengan mata
terbuka lebar. "Siapa kau?" ia tanya dengan bengis.
Orang tua itu tertawa pula.
"Kau sedang cari siapa" Aku adalah orang yang kau cari itu!" ia menyahut sambil mengejek.
Sekarang Lee Hong mengerti bahwa orang tua di
hadapannya ini adalah Hwie Pek Sin, ia ada begitu gusar
hingga dadanya seperti mau meledak dan kedua biji
matanya bagaikan hendak meloncat. Ia meludah dan
mendamprat. "Bangsat tua! Kau telah celakai ayah dan ibuku, aku mesti membalas sakit hati! Aku mesti bunuh padamu!"
Ia berontak, kaki dan tangan, dengan sekuat tenaganya,
apa mau ringkusan ada terlalu kuat bagi tenaganya yang
lemah. Di sebelah ia, dengan menyekal golok, berada Ho Kiam
Go. "Apakah benar kau hendak cari mampus?" membentak Lie Mo-ong. "Jikalau kita hendak bunuh kau di sini, meski Jie Siu Lian ada luar biasa gagah, ia tak akan mampu
menolong padamu!"
Suaranya si Raja Iblis Perempuan ada keren sekali, tetapi Lee Hong tidak takut.
"Kau bunuhlah aku!" berseru nona Yo ini dengan
nyaring. Kemudian ia berontak, meskipun dengan tidak ada hasilnya.
Tiba-tiba terdengar suara lantai peti menjeblak dan dua
orang lelaki tadi yang menelikung nona Yo loncat turun ke dalam kamar dalam tanah itu, yang satu segera bekap
mulutnya si nona, yang satunya pula kata Ho Kiam Go:
"Jangan bersuara!" Sambil memperingatkan demikian, ia ulap-ulapkan tangannya. Kemudian ia tambahkan, hampir
berbisik "Ngojiau-eng Sun Ceng Lee telah datang kemari, ia telah dapat lihat kuda dan tombak juga, nampaknya ia
bercuriga bahwa kita telah bunuh ini perempuan."
"Toanio sedang menyangkal dan melawan bicara, ia kata
bahwa si nona Yo yang titipkan kuda dan tombaknya,
sedang mencari orang dengan mendaki bukit. Sun Ceng Lee
tidak percaya keterangan itu, ia masih membuat ribut ... "
Kiam Go nampaknya kaget.
Lee Hong gembira mendengar kabar itu, ia mendapat
harapan. Tangannya Kiam Go yang sedang menekan
tubuhnya, ia rasai tangannya perempuan jahat itu ada
bergemetar. "Apakah ia sendirian saja?" Kiam Go tanya. "Mari kita keluar, akan bekuk padanya! Asal saja kau, Ciau Toa Hou, ada punya nyali besar. Kakiku terluka, akan tetapi aku tidak takut!"
Diantara dua orang itu, yang romannya bengis sekali,
ada Ciau Toa Hou, raja kampak dari Okgu San. Ia bertubuh tinggi dan besar, kamar itu ada kate, maka untuk berdiam di sini, ia mesti berdongko atau jongkok. Air mukanya ada
sangat guram. "Tidak bisa!" menyahut raja gunung. "Ngjo-jiau-eng tak boleh dibuat permainan, aku kuatir aku tidak sanggup
rubuhkan padanya! Laginya, kita cuma dengar suaranya
Ngojiaueng sendirian di dalam, siapa tahu kalau Jie Siu
Lian berada di luar sedang menunggui?"
Hwie Pek Sin sendiri terus duduk numprah, sikapnya ada
tenang sekali, kipasnya terus digoyang pulang pergi.
"Tidak apa!" ia berkata. "Biarkan saja mereka itu buat banyak ribut di luar. Aku percaya benar Kwee toanio tak
akan beri tahukan tentang tempat rahasia kita ini, hingga mereka tak akan mampu menerjang kemari. Jie Him, pergi
kau menjaga pintu!"
Orang yang membekap mulutnya Lie Hong lantas
berbangkit akan pergi keluar.
Kiam Go terus pasang goloknya di depan dadanya Lee
Hong, hingga ia ini tak berani buka mulutnya akan
berteriak. Tapi ia lantas dapat akal.
"Jikalau kau merdekakan aku, aku nanti tahan mereka itu, tidak nanti mereka bunuh kau dan kawan-kawanmu,"
ia kata. Hwie Pek Sin tidak menyahuti, ia hanya tertawa, ia
lantas lemparkan sapu tangannya.
"Sumpallah mulutnya!" kata ini orang tua yang licin. Ia
goyang-goyang pula kipasnya, hingga kumisnya ikut
bergoyang-goyang. Ia rapatkan kedua matanya ketika ia
kata pula, dengan perlahan, tetapi dengan suara jumawa:
"Kau keliru, anak! Ayahmu, Yo Siau Cay ada sahabat
baikku, ketika dahulu aku datang ke rumahmu, Ibumu pun
tak perlu menyingkir dari aku. Ayahmu menutup mata
karena ia salah makan obat, sedang ibumu meninggal
karena ia berkorban untuk ayahmu itu. Ketika jenazah ayah dan ibumu dibawa ketempat pekuburan, aku turut
mengantar, dan terhadap ibumu, aku ada meninggalkan
tanda kehormatan buat kesuciannya. Sekarang ini, urusan
sudah jadi ruwet karena gara-garanya Yo Kong Kiu. Ia ada asal penjahat besar, ia telah culik kau bertiga saudara, lantas dipelihara dan diajarkan silat, kau dihasut untuk memusuhi dan cari aku begitu-pun Ho tiehu untuk membalas sakit
hati. Sebenarnya, sakit hati apakah yang hendak
dibalasnya" Duduknya hal adalah Yo Kong Kiu benci aku,
sebab dahulu di Lulam ia pernah dibekuk pembesar negeri
dan aku tak berkeras menolong padanya. Benar ini ada
kejadian dari kira-kira duapuluh tahun yang lampau, akan tetapi untuk membuktikannya, masih ada jalan untuk
dibuat terang, masih ada saksinya! Kau bisa menikah
kedalam keluarga Tek, itulah bagus, maka janganlah kau
dengar kata hasutannya orang jahat. Mengapa kau
bersekongkol dengan Lo Siau Hou, Jie Siu Lian, Lau Tay
Po dan itu lain-lain orang jahat untuk satrukan aku" Kau harus ketahui, sekalipun aku sudah tua dan tak mengerti
bugee, akan tetapi aku ada punya banyak anak pungut,
lelaki dan perempuan, dan mereka semuanya gagah,
mereka pasti tidak akan ijinkan kau banyak tingkah!
Sekarang aku telah dapat bekuk dan kurung kau disani,
tetapi ini ada untuk sementara waktu saja, sama sekali aku tidak berniat jahat terhadap dirimu. Kau sangat mirip
dengan almarhum ibumu, maka melihat kau, aku jadi ingat
akan ibumu itu. Ibumu adalah seorang perempuan yang
elok sekali. Memang benar dulu, oleh karena ibumu itu, Ho tiehu sampai dapat sakit rindu, tetapi ia sama sekali tak berniat akan kangkangi ibumu! Ah, dua puluh tahun telah
lewat, tetapi sekarang, puterinya ibumu yang suci itu
sebaliknya pandang aku sebagai musuh besar. Aku percaya, kapan ibumu di dunia lain ketahui sikap dan perbuatanmu
ini, ia tentu tak akan merasa puas... Sekarang, anak,
diamlah baik-baik di sini, bila nanti aku telah dapat bekuk Jie Siu Lian, itu penjahat perempuan, aku nanti carikan
tempat yang pantas untukmu. Kau jangan kuatir, tidak
nanti aku buat celaka padamu!"
Orang tua ini bersenyum-senyum.
Kembali Lee Hong coba berontak, kembali ia gagal ia
berkeinginan keras bisa bunuh itu musuh besar, keinginan itu ia tak mampu wujudkan. Maka akhirnya, ia cuma bisa
kucurkan air mata.
Rupanya ketika itu Jie Him, yang diperintah menjaga
pintu, telah buka pintu rahasia, ialah itu peti kayu dan lantainya yang bisa menjeblak, maka suara dari luar lantas terdengar.
"Lekas bilang, ke mana perginya itu nyonya muda?"
demikian suara nyaring bagaikan guntur dari Sun Ceng Lee.
"Bukankah kau telah bunuh mati padanya" Lekas bicara atau kalau tidak, tak peduli lelaki atau perempuan, aku
nanti bunuh padamu!"
"Eh, eh," begitu terdengar suaranya Kwee toanio.
"Meskipun kau ada satu penjahat, kau toh harus pakai sedikit aturan. Memang tadi ada datang kemari seorang
perempuan muda, malah ia bersantap di sini, tetapi
sehabisnya dahar ia terus mendaki bukit, ia kata ia hendak cari orang, karena tidak leluasa untuk menunggang kuda, ia tunda kudanya berikut tombaknya di sini."
Di dalam tempat rahasianya, Hwie Pek Sin perlihatkan
tampang muka berseri-seri. Ia puji orangnya itu, yang
hatinya tabah dan pandai bicara.
Hanya Sun Ceng Lee tidak gampang-gampang dibuat
percaya, ia masih perdengarkan suaranya yang keras dan
jambak rambutnya Kwee toanio.
"Jikalau kau tidak percaya, pergilah susul keatas bukit!"
demikian terdengar pula Kwee toanio. "Buat apa buat banyak berisik di sini" Oh, kau benar-benar tak punya
undaug-undang hukum negara! Kau jambak rambutku, apa
kau mau" Makhluk apa adanya kau" Aduh, aduh! Tolong,
tolong! Aku nanti benturkan kepalaku sampai binasa! ..."
Lantas terdengar suara menangis jejeritan dan sesambatan. Mendengar itu, air mukanya Hwie Pek Sin berubah, ia
rupanya kaget juga dan berkuatir.
Dadanya Lee Hong di lain pihak berombak, ia jadi
gembira, lagi-lagi ia berontak. Hanya sayang, ikatan ada terlalu kuat.
Kembali terdengar suara guntur dan Ngo-jiau-eng,
"Lekas bicara! Aku lihat kau bukannya orang tidak baik.
Lekas kasih tahu di mana adanya itu nyonya muda, nanti
aku kasih ampun padamu!"


Harimau Mendekam Naga Sembunyi Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aduh, aduh! ..." kembali Kwee Toanio berteriakan.
"Meski kau bunuh aku, aku tak bisa kasih keterangan lebih jauh. Pergi kau cari sendiri ke atas bukit!"
"Aku justru baru turun dan atas bukit!" kata Ceng Lee.
"Kau jangan dustakan aku. Lekas bicara!"
Ancaman itu disusul dengan suara golok dibacokkan ke
atas meja, yang kembali disusul oleh tindakan kaki yang
berisik, hingga Pek Sin kembali kaget, air mukanya lagi-lagi berubah.
Ho Kiam Go, yang menyekal golok, hendak memburu
keluar, akan tetapi Ciau Toa Hou halangi ia.
Hwie Pek Sin bergemetar, ia bergidik.
Di antara suara berisik itu ada terdengar jemarinya Kwee toanio.
Pun segera terdengar suara orang lelaki, dengan lidah
Shoasay. "Geledah! Geledah semua tempat!" demikian suara menitah, suranya orang perempuan. "Jangan kau berlaku
licin, jangan menyangkal lebih lama! Kuda dan tombaknya
ada di sini, bagaimana orangnya bisa tiada" Siapa tak
curiga?" Yo Lee Hong dengar nyata itu suara, ia berontak sambil
gulingkan tubuh, akan tetapi Ho Kiam Go tekan tubuhnya
itu dan lehernya dicanteli golok, hingga mau atau tidak, ia jadi berkuatir. Karena mulutnya disumpal, ia pun tak
mampu menjerit.
Kiam Go bikin tubuh orang rebah celentang, dadanya
ada di atas, dan dada ini ia tekan, sampai Lee Hong sukar bernapas, hingga melainkan dengan dua mata separuh
mendelik ia bisa mengawasi ini perempuan telengas, siapa pun balik mengawasi ia.
Tiba-tiba Hwie Pek Sin merayap bangun, ia samper
lampu dan tiup padam itu.
Justru di itu waktu, Jie Him kembali.
"Jie Siu Lian datang bersama-sama Pasancu Su Piancu,"
ia berseru dengan laporannya.
Pek Sin keluarkan kata-kata tak nyata, dengan itu ia
cegah Jie Him bersuara. Sekarang nyata bahwa ia ada
bingung. Dalam kamar yang gelap itu, melainkan sinarnya tiga
batang golok yang berkelebatan. Sinar yang kecil molos dari tembok sebelah belakang.
Semua orang tidak bersuara, hingga kamar rahasia jadi
sunyi sekali, hanya ketokan jantung yang kedengaran.
Dari luar, dari atas, tidak terdengar suara apa juga,
karena pintu rahasia sudah ditutup rapat dan dikunci.
Hanya, samar-samar ada suara seperti ada apa-apa
dibongkar, rupanya Jie Siu Lian mulai membongkar peti
kayu, yang merupakan pintu rahasia.
Ho Kiam Go berkuatir tetapi goloknya nempel di
lehernya Lee Hong, hingga nyonya muda itu, mau atau
tidak, jadi sangat berkuatir. Terang ia ada bagian mati.
Celakanya, ia tak berdaya sama sekali. Ia ada sangat
penasaran. Tapi ia merasa dan mengharap-harap, satu kali itu, Hwte Pek Sin tak bakal lolos lagi...
Tiba-tiba suara samar-samar di luar itu lenyap, hingga
kesunyian berkuasa pula. Semua orang di dalam kamar
bernapas lega, malah Hwie Pek Sin tertawa dingin.
Adalah Lee Hong seorang yang tetap berkuatir, meski
juga Kiam Go sudah angkat golok dari lehernya.
Su Poancu dan Sun Ceng Lee-lah yang sudah buka peti
kayu, akan tetapi kapan mereka lihat peti itu kosong,
mereka tutup pula.
Mereka tak menyangka bahwa peti itu adalah pintu
rahasia, bahwa di bawahnya ada kamar rahasianya si orang jahat.
Jie Siu Lian tetap periksa Kwee toanio. Tadi, dengan
menaiki kudanya Lee Hong ia coba mengejar Hwie Pek
Sin, sesampainya di jalan cagak ia kehilangan orang yang ia kejar, maka ia telah minta keterangannya Kwee toanio.
Nyonya ini kasih tahu bahwa ia tak dengar ada suara kuda berlari-lari. Atas ini, Siu Lian mengejar ke arah timur-selatan, ia dapat jalanan yang lebar dan rata dan lempang juga, maka di tempa jauhnya dua lie, ia bisa melihat segala apa dengan nyata, hingga ia akan dapat tampak apabila di sebelah depan ada kuda atau penunggang kuda berlari-lari.
Di situ pun tidak ada tapak kuda yang baru. Ia pun sudah tanyakan keterangan pada beberapa petani yang sedang
bekerja disawah, diberitahukan bahwa mereka tak dapat
lihat apa penunggang kuda yang ambil jalan di situ.
Siu Lian perhatikan keadaan di sekitarnya, ia percaya
petani itu tidak dustakan padanya, maka ia jadi curiga si nyonya di rumah itu, maka tidak tempo lagi, ia segera
kaburkan kudanya kembali. Kapan ia sampai, justru Som
Ceng Lee dan Su Poancu telah sampai di rumah itu, dan
mereka itu sedang mengompes si nyonya rumah, suara
mereka berisik, karena perempuan itu berkeras.
Kecurigaannya Siu Lian jadi lebih keras kapan ia sudah
lihat kuda dan tombaknya Lee Hong, sedang di tanah ada
beberapa potong tambang, yang pasti bisa dipakai
membelenggu orang, Di dapur masih ada piring mangkok
bekas orang bersantap, malah di dalam kwali, ada seekor
bebek yang rupanya baru dipotong. Di tembok ada
tergantung sebatang golok.
Su Poancu dan Sun Ceng Lee tidak mampu korek
keterangan dari itu nyonya yang berani dan bandel, maka
akhirnya Siu Lian yanghampirkan padanya.
Kwee toanio membelai ditanya dari halus sampai kasar,
ia tetap dengan penyangkalannya, ia tetap bilang bahwa
Lee Hong sudah pergi naik keatas bukit.
"Coba kau pergi ke gunung," kata Siu Lian pada Su
Poancu. Si Ular Gunung menurut, ia pergi ke gunung, sampai
sekian lama, ia balik dengan tangan kosong. Ia kata: "Itulah gunung kosong, tak ada orangnya barang satu juga..."
Adalah itu waktu, yang Sun Ceng Lee jadi meluap
darahnya. "Ringkus padanya!" berteriak si sembrono. "Ikat ia di patok kuda, hajar padanya, mustahil ia tetap tak mau bicara!"
Tapi Kwee tewnto mendeprok di tanah, ia lantas
menangis. "Meski kau keset kulitku, aku tetap tak tahu suatu apa!"
ia kata dengan sesenggukan. "Aku ada seorang perempuan, tadi adalah aku yang sudah kebanyakan mulut menyuruh si
nyonya muda tinggalkan kuda dan tombaknya di sini. Aku
tidak nyana bahwa ia pergi untuk tidak balik lagi... Oh, aku terfitnah, aku penasaran! Aku mana kenal si orang she
Hwie" Periksalah rumah, ambil apa yang kau suka!... Aku
tak tahu apat-apa."
Ceng Lee jadi putus asa, hatinya jadi tawar Su Poancu
ngdoyor keluar. karena selagi ia awasi si nyonya, celana
siapa yang tadinya tidak terikat kencang telah terlepas, hingga ia anggap sial akan awasi lebih jauh pada
perempuan itu. "Sumoay, mari kita pergi!" kata Ceng Le akhirnya
dengan perlahan.
Siu Lian geleng kepala, tetapi ia pun bertindak keluar.
"Coba cari di dekat-dekat sini," ia kata pada Su Poancu.
"Dan kau suheng, jangan kau berisik saja, jangan kau aniaya lagi pada perempuan itu! Asal kita tunggu di sini satu malam kita tentu akan dapatkan apa yang kita
inginkan, tetapi andaikata malam ini kita gagal, besok kita boleh pergi," ia haturkan maaf pada perempuan itu, "kita kasihkan sedikit uang padanya ..."
Su Poancu setuju ini tisul, maka Ceng Lee pun menurut.
Dengan tidak banyak sungkan lagi, si Ular Gunung dan
Garuda Berkuku Lima pergi ke dapur, akan hajar nasi dan
barang makanan orang, kemudian mereka pergi ke tempat-
tempat sekitarnya, untuk cari Lee Hong.
Siu Lian berdiam di rumah, dengan sepasang goloknya
tak pernah terlepas dari tangannya. Ia terus pasang mata pada Kwee toanio.
Perempuan ini masih saja mendeprok, ia menangis, ia
berdiam, dan menangis pula, tetapi air matanya tidak keluar banyak. Satu kali ia pun cakar mukanya sambil ngoceh
sendirian. "Aku malu, aku malu"... " katanya dengan sengit.
"Seorang lelaki bertubuh besar telah jambak rambutku dan ancam aku dengan golok, sampai tali celanaku pun dibuat
putus. Sungguh aku malu... Bagaimana kalau suamiku
pulang" Baiklah aku gantung diri saja sampai mampus!
Mana aku kenal si orang she Hwie" Mana aku kenal segala
penjahat" Aku adalah orang dari keluarga sopan, tetapi aku diperlakukan secara begini ... Aku penasaran!"
Siu Lian dengar itu, ia tidak ambil peduli, Ia pergi keluar, ia duduk, tidak lama ia berbangkit pula dan masuk ke
dalam, ia periksa pula sesuatu ruangan atau kamar, malah ia pergi kembali kekamar selatan itu. Benar selagi ia berdiri mengawasi kelilingan di dalam itu kamar, ia dengar satu
suara keras sebagai menjeblaknya papan. Ia heran dan
curiga dengan berbareng. Ia berdiam, ia pasang kuping,
karena untuk sementara, ia tidak tahu suara itu dari mana datangnya. Ia siap dengan goloknya.
Kembali terdengar suara, seperti tikus menggerogoti
papan. Sekarang ia dapat dengar suara itu datangnya dari itu peti kayu yang besar. Ia terus pasang matanya, ia jadi bersemangat. Dengan sabar ia menunggu, air mukanya
tersungging dengan senyuman.
"Tentulah ada kamar di dalam tanah," ia berpikir. "Peti kayu ini rupanya ada pintu rahasia. Tidak salah lagi,
mestinya Lee Hong berada di dalam kamar rahasia ini. Lee Hong berada di tangan musuh, aku mesti bertindak dengan
hati-hati."
Lekas sekali Siu Lian pergi keluar, akan ambil
tombaknya Lee Hong. Ia menunggu pula, sambil pasang
mata dan kuping. Ia dengar pula suara dari dalam peti kayu itu.
Tiba-tiba Kwee toanio muncul dimuka pintu, tangannya
menyingkap moalie, ia perlihatkan tampang muka kaget
dan berkuatir. Siu Lian lihat orang datang, cepat laksana kilat ia loncat ke pintu akan sambar perempuan itu yang ia terus banting rubuh, dan ketika nyonya itu hendak berteriak, ia dului
totok iga orang atas mana mukanya Kwee toanio menjadi
pucat kuning, matanya terbalik, bibirnya bergerak, lantas ia pingsan, tak ingat suatu apa lagi.
Cepat sekali, Siu Lian sambar muile dari kamar utara,
yang ia robek buat jadi sebagai tali, dengan itu ia ringkus nyonnya Kwee dan sumpal mulutnya juga, kemudian ia
angkat tubuh orang untuk dibawa ke dapur. Sesudah itu,
lekas-lekas ia kembali ke kamar tadi. Di sini ia berdiri di sisi peti, ia pasang mata sambil bersiap.
Kembali ada terdengar suara yang perlahan dari dalam
peti itu. "Tidak salah lagi!" pikirnya nona ini, yang lantas
bersenyum puas. "Peti ini ada jalan tembusan ke dalam kamar rahasia."
Siu Lian ingat, tempo ia masih kecil, ayahnya suka
ceriterakan tentang kejadian-kejadian di kalangan kangou, bahwa ada rumah-rumah makan gelap yang ada punya
kamar rahasia di kolong pembaringan, atau kamar rahasia
yang tembus ke kolong pembaringan, supaya penjahat enak
bekerja selagi penumpangnya tidur nyenyak.
"Tak disangka Hwie Pek Sin ada punya sarang dan
tempat rahasia itu," pikir ia lebih jauh.
Selagi menunggu, Siue Lian pikirkan daya untuk
bertindak. "Lee Hong ada bersama mereka, itulah berbahaya..."
demikian dalam hatinya.
Sampai lama Siu Lian menunggu, suara di dalam peti itu
berhenti, atau kadang-kadang berbunyi pula, tetapi
orangnya tak mau muncul. Lewat lohor, Ceng Lee telah
kembali, baru saja ia masuk ke dalam kamar, ia sudah
berteriak, "Sumoay aku dapat bekuk satu bangsat!..."
Siu Lian segera ulapkan tangan.
"Sst, jangan berisik!" kata nona ini.
Ceng Lee heran, ia tercengang, Ia pun sekarang lihat itu sumoay sedang bersiap.
Siu Lian hampirkan suheng itu, ia menunjuki ke peti
kayu, mulutnya terbuka berulang-ulang tetapi suaranya
tidak terdengar.
Sekarang Ceng Lee agaknya mengerti, ia buka matanya
lebar-lebar, lalu ia bertindak kearah peti, agaknya ia hendak buka tutupnya peti itu.
Nona Jie tahu niatnya si sembrono, ia segera mencegah.
"Jangan! Lee Hong ada di dalam situ, kalau kita masuk,
ia bisa celaka!"
"Sebenarnya ada apa di dalam peti itu?" akhirnya Ceng Lee tanya.
Siu Lian tarik orang sampai di luar kamar.
"Kau dapat bekuk siapa?" ia tanya.
"Di atas bukit, kita telah bekuk satu penjahat," sahut Ceng Lee. "Setelah kita hajar padanya, ia mengaku bahwa ia ada salah satu anggauta dari kawanan berandal yang
bersarang di atas bukit. Kita tanya tentang Hwie Pek Sin, ia jawab bahwa Pek Sin tak akan lari jauh, mungkin ia berada di rumah Kwee Toanio, sebab beberapa ekor kudanya Pek
Sin baru saja dituntun naik ke atas gunung, untuk di bawa lebih jauh ke dusun Uikee-chung. Menurut itu penjahat, Oikee-chung ada kampung di mana ada bertinggal isteri muda dari Ciau Toa Hou, sedang itu nyonya she Kwee tadinya
ada gula-gulanya rakyat berandal tapi belakangan diambil oleh Hwie Pek Sin dan dibuatkan rumah, maka selanjutnya
Hwie Pek Sin sering tinggal di rumahnya ini isteri piaraan."
"Dugaanku sarang dari Hwie Pek Sin bukan melainkan
ini satu," kata Siu Lian, yang utarakan dugaannya. "Ia ada sangat licin, akalnya banyak sekali. Sekarang aku telah
dapat kenyataan, dibawahnya peti kayu itu tentu ada kamar rahasia dan Lee Hong tentunya telah disembunyikan di
situ." "Dan bagaimana sekarang?" tanya Ceng Lee.
"Sekarang aku telah dapat jalan," sahut Siu Lian. "itu perempuan aku sudah ringkus, maka sekarang pergi kau
atur orang tawananmu, jangan kau binasakan padanya,
kemudian bersama-sama Su Poancu lekas kau kembali
kemari. Kita mesti gunakan akal akan pancing keluar si
orang jahat."
Ceng Lee menuruti, dengan bawa goloknya ia keluar
dengan cepat. Siu Lian pergi keluar, dari situ ia hampirkan jendela dan kamar selatan itu. Ia pecahkan kertas jendela, ia mengintip ke dalam sambil mendengari. Ia berdiam sekian
lama, ia tidak dengar suara apa-apa dari dalam peti kayu itu. Ketika ia dengar suara, justru Ceng Lee balik bersama Su Kian. Mereka ini bertindak berindap-indap waktu
mereka lihat si nona sedang pasang kuping.
Kemudian Siu Lian lihat cuaca.
"Tidak bisa jadi mereka itu akan berdiam terus di dalam
tempat persembunyiannya," kata ia pada itu dua kawan,
"aku percaya, begitu angkasa gelap, mereka akan keluar.
Aku pikir untuk gunakan akal, kita berpura-pura sudah
pergi, kalau tidak, bisa menjadi juga mereka akan
mengeram terus."
Ceng Lee nampaknya ada sangat tidak sabaran.
"Satu kali mereka itu ada punya sarang di dalam tanah, tak bisa jadi sarang itu tidak punya tempat tembusan hawa
udara untuk mereka bernapas," kata Su Poancu. "Atau mungkin mereka, ada punya pintu belakang. Sekarang, Sun
toako, tunggulah di sani bersama-sama Jie kounio, aku
hendak cari pintu belakang itu. Bukankah ada dibilang,
kelinci yang cerdik ada punya Lima gua, yang meluputkan
kebinasaannya" Hwie Pek Sin ada sangat cerdik, licin dan sangat busuk, mustahil ia tak pikir ini macam akal" Aku tak percaya ia akan sekap diri di dalam satu lubang untuk
terima binasa, ia mesti ada punya jalanan mundur."
Siu Lian setujui pikirannya si Ular Gunung, maka
setelah pesan Ceng Lee untuk bersabar, ia ikut Su Kian
pergi keluar. Lebih dahulu mereka perhatikan keletakannya rumah dan tempat, lantas mereka menuju ke belakang. Di
sana ada satu selokan gunung yang airnya mengalir
berkelokan, mengumpul di suatu empang belakang tembok,
di empang itu ada beberapa ekor bebek sedang berenang
pergi datang sambil kasih dengar suara kekowekannya. Di
muka air pun ada mengambang banyak pohon kapu-kapu.
Dan di situ pun ada bayangannya cabang-cabang yangliu
yang pohonnya tumbuh ditepi empang. Di pinggirnya ada
tumbuh pohon rumput dan gelaga yang subur.
Su Poancu perhatikan empang itu, bersama-sama Siu
Lian ia singkap pepohonan kecil itu untuk pergi ke
pinggiran air. Matanya si Ular Gunung yang awas dapat
lihat sebatang bambu kecil, yang nancap di dalam air,
ujungnya naik di permukaan air empang sampai kira-kira
setengah kaki. Bambu itu ada batang dan nancapnya miring sedikit. Di sekitar itu, satu kaki lebarnya, tidak ada pohon gelaga yang tinggi, dan airnya pun berlumpur. Ujung
bambu itu bercampuran dengan daun-daun gelaga. Ia jadi
curiga, karena pada otaknya berkelebat suatu ingatan.
"Apakah itu bukannya lubang angin?" ia kata pada nona Jie.
Siu Lian pun bercuriga.
"Coba kita cari tahu," sahut si nona. Ia datang lebih dekat, ia jongkok, kemudian ia pasang kupingnya ke
lubangnya bambu kecil itu. Tiba-tiba ia dengar suara orang bicara, cuma suaranya ada sangat perlahan, ia tak bisa
dengar dengan nyata.
"Tidak salah," ia kata. Berbareng ia jadi sangat sengit akan ketahui kelicinan orang.
Su Poancu bersenyum pada si nona, ia merasa puas.
"Su toako, tolong kau tunggu sebentar di sini," kata Siu Lian pada kawannya itu. "Hati-hati, kau jangan langgar ini pipa!"
"Aku tahu," sahut Su Kian sambil bersenyum pula.
Lantas nona Jie balik ke rumah dan terus masuk ke
dalam, di kamar selatan ia lihat Ceng Lee berdiri
menghadapi peti kayu, goloknya diangkat, bersedia untuk
membacok. Ia telah dengar suara sebagai suaranya tikus
asyik menggeratak. Hingga ia sendiri mirip dengan seekor kucing...
"Sun toako, mari kita pergi!" kata si nona dengan tiba-
tiba, dengan suara nyaring sekali. "Itu bangsat Hwie Pek Sin tentu tidak ada di sini, mari kita kembali ke Okgu San untuk cari ia di sana. Boleh jadi Lu Hong juga sudah pulang dengan jalan memutari gunung!"
Tapi, sambil berkata begitu, Siu Lian kedip-kedipi


Harimau Mendekam Naga Sembunyi Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

matanya. Mulanya Ceng Lee tercengang, ia baru mengerti setelah
lihat tanda dengan mata itu.
"Kurang ajar," ia berseru. "Apakah itu jahanam Hwie Pek Sin kabur ke Okgu San" Rumah ini tentu ada
sarangnya. Apakah tidak lebih baik bakar saja ini rumah?"
"Sudah, jangan bicara saja!" Siu Lian kata pula, dengan suaranya tetap nyaring. "Lekas, mari kita pergi! Kita tak punya hubungan dengan penghuni rumah ini. Itu nyonya
juga entah telah pergi ke mana! Kalau kita lama-lama di sini dan sebentar suaminya pulang, bila si suami tanyakan
isterinya, apa kita mesti bilang?" Kita bukannya orang-
orang jahat, malah sebagai orang-orang terhormat, kita
mesti pakai aturan! Mari, toako kita jangan sia-sia tempo kita! Lebih dahulu kita pergi ke Kau-jie-po, baru kita terus ke Okgu San! Di atas gunung mesti mereka ada punya
sarang rahasia justru sekarang belum malam, mari lekas kita geledah sarangnya itu!"
"Baiklah!" jawabnya Ceng Lee. "Eh, Loo Su, mari kita berangkat!"
Siu Lian lantas bertindak keluar yang diikuti oleh Ceng
Lee tetapi ia ini sambil mencaci kalang kabutan dengan
suaranya yang nyaring. Tindakan kaki mereka pun sengaja
dibuat berat. Sampai di luar, baru mereka tutup mulut. Tapi Ceng Lee hampirkan kudanya, lalu ia ambil cambuk dan
sabet kudanya dua kali, hingga kuda itu kesakitan dan
kaget, berjingkrak sambil berbenger keras. Dan satu kuda berbenger yang lain lain turut bersuara juga, hingga
suaranya menjadi berisik sekali. Ceng Lee tuntun empat
ekor kuda itu pergi keluar pagar pekarangan, di sini ia
berlari-lari hingga empat ekor kuda itu turut berlari-lari juga, suaranya jadi terlebih berisik lagi, mirip dengan
suaranya banyak penunggang kuda. Sedang sebenarnya, ia
bawa semua binatang itu ke tempat sedikit jauh dan di situ ia cingcang semuanya pada sebuah pohon.
Siu Lian sendiri telah pondong Kwee toanio untuk
disembunyikan di dekat situ, kemudian ia hampirkan
tembok, di mana ia berdiam dan jongkok akan menunggu.
Perlahan-lahan cuaca telah mulai berubah.
Selagi sang bintang mulai muncul, Siu Lian kembali ke
jendela dari kamar selatan, akan memasang mata dan
kuping. Lekas juga, ia kembali dengar suara yang terkenal dari dalam peti kayu. Ia percaya orang akan lekas keluar, maka ia loncat naik k e atas genteng akan di situ ia bersiap.
Ia mengawasi ke bawah.
Sekian lama telah lewat ketika terdengar suara kere
disingkap dan lalu muncul satu orang, tindakan siapa
berindap-indap, tubuhnya ada rada bongkok, tangannya
menyekal golok, yang berkeredepan di antara sinarnya
bintang bintang. Ia melihat ke kiri dan kanan, nampaknya ia jeri, hingga ia mirip dengan tikus yang baru keluar dari lubang. Kemudian, dengan lintangkan golok di dadanya, ia menuju ke dapur, ia balik dengan bawa lampu. Dengan
daya penerangan itu, ia suluh sana dan sini, memeriksa
segala ruangan. Akhir-akhirnya terdengarlah suaranya,
yang nyaring. "Keluarlah! Itu manusia celaka sudah pergi semuanya!"
Menyusul suara ini, yang menjadi tanda, peti kayu di
dalam kamar terdengar berbunyi, tanda bahwa tutupnya
telah dibuka, berulang-ulang, kemudian muncul seorang
lain, ialah Ho Kiam Go. Ia telah terluka pada kaki kirinya, bekas jatuh dari bukit, akan tetapi ia bawa sikap gagah.
"Jie Him, kenapa kau kasih dengar suaramu keras-
keras?" menegur nyonya itu, nyonya janda Thio Giok Kin.
"Kalau mereka belum pergi jauh, bukankah mereka bisa dengar suaramu".. "
"Mereka sudah pergi jauh!" sahut orang yang pertama keluar itu, ialah Jie Him. "Itu kawanan setan kelaparan!
Barang makanan di dapur mereka telah gegares habis!
Celaka dua belas, datang kemari mereka berpesta pora!
Kwee toanio tak kelihatan bayangannya, entah ke mana ia
pergi! Di kuatirkan ia digendong pergi oleh Sun Ceng Lee!"
"Apa halangannya bagi kita kalau Kwee toanio di bawa
kabur oleh mereka. Hayo, mari kitalekas berangkat!" Kiam Go memerintah.
"Bagaimana dengan si kunyuk tua?" Jie Him tanya.
"Apakah ia perlu dipanggil keluar?"
"Coba panggil Ia, satu kali!" Kiam Go jawab, "jikalau ia tidak mau pergi, suruhlah Toa Hou yang pergi! Nyonya
mantu si orang she Tek boleh serahkan padanya, biar
mereka hidup sama-sama di dalam kamar yang pengap itu
dengan kehausan dan kelaparan! Lekas teriaki mereka,
jikalau mereka tidak mau pergi, kita pergi sendiri!"
Kemudian perempuan ini menggerutu seorang diri. "Untuk
ayah angkatmu, aku telah berbuat banyak sekali! Untuk
ayahku sendiri, aku belum pernah berbuat sebagai ini!"
Siu Lian tetap berdiam di atas rumah, ada sukar untuk ia dapat dilihat oleh Jie Him dan Kiam Go. Ia pun sembunyi
dengan tidak berkutik, tidak bersuara.
Kiam Go ambil lampu dari tangannya Jie Him, ia
bertindak pula ke dalam diikuti oleh kawannya, setelah
mana, tidak antara lama, di dalam ada terdengar suara
orang bicara, suara nyaring dari berbunyinya pintu atau
tutup peti kayu. Kemudian kelihatan Jie Him keluar, pergi ke dapur akan susul Kiam Go, yang sudah mendahului ia.
Di situ mereka padamkan api, sesudah mana, berdua
mereka keluar dari dapur.
Masih saja Siu Lian berdiam, dengan sabar ia nantikan
ketikanya. Ia tidak lihat orang keluar, maka akhirnya ia jadi heran. Benar ketika ia hendak loncat turun, ia segera dengar suara jeritan hebat, suara datangnya dari luar pekarangan, dari itu kali kecil. Lantas jeritan itu disusul dengan suara beradunya senjata! Terang itu ada suara dari suatu
pertempuran. Tidak tempo lagi Siu Lian loncat turun dari atas rumah,
ia lari keluar pekarangan, maka di situ ia lihat Sun Ceng Lee lagi bertempur. Sekarang ia tidak pantang-pantang lagi, budak mau sia-siakan tempo, maka ia terus maju
menyerang Cuma dengan dua-tiga serangan, Kiam Go kena dibuat
rubuh. Jie Him ketakutan, ia berlutut, akan mohon ampun.
Hampir di itu waktu, dari samping empang, di mana ada
pohon yang liu, terdengar suaranya Su Poancu: "Lekas, lekas! Lekas tolongi nona Yo!"
Ceng Lee berlaku keras, ia ayun goloknya, binasakan Jie
Him yang tak punya guna, kemudian bersama-sama Siu
Lian ia lari ke jurusan empang.
Segera juga tertampak Su Poamju, dengan tubuhnya
yang terokmok sedang tempur satu orang, pertempuran ada
seru. Bugee-nya penjahat itu tidak terlalu bagus, akan tetapi si Ular Gunung sukar untuk lekas-lekas rubuhkan padanya.
"Lau Su, mundur!" Ceng Lee berseru. "Serahkan ia padaku!"
Lalu, sambil lompat maju Ngojiau-eng kerjakan
goloknya. Musuhnya Su Poancu ada Ciau Toa Hou, kepala
kampak dari Okgu San, ia jeri terhadap Ceng Lee, akan
tetapi, di waktu begitu sudah tak ada tempo untuk ia angkat kaki, maka dengan terpaksa ia lawan ini piausu terkenal.
"Mari kita kejar si tua bangka bangsat!" Su Kian kata pada si nona. "Bangsa tua itu pun keluar dari sarangnya di sini, karena aku repot melayani itu berandal, ia bisa lolos dan lari!"
"Bangsat tua itu tidak apa, tapi Lee Hong!'" kata Siu Lian. "Apakah ia masih ada di dalam kamar rahasia?"
"Oh, ya, aku ingat!" berseru Su Poancu. "Tadi itu
bangsat telah keluar duluan dengan gendong satu orang!"
Nona Jie terperanjat.
"Lekas cari api!" ia berseru.
"Aku ada sedia!" sahut Pasancoa. Ia terus rogoh sakunya dan keluarkan bahan api yang terus ia sulut.
Siu Lian kempit sebelah goloknya, ia sambuti api itu,
kemudian ia mulai menyuluhi ke pinggir empang, sampai ia lihat ada benda mengambang di air. Ia kaget.
"Pegang ini!" ia kata pada Su Kian seraya serahkan api dan goloknya, kemudian dengan tak peduli basah dan
kotor, ia turun ke air.
Siu Lian angkat tinggi apinya, untuk menyuluhi sampai
jauh. Siu Lian hampirkan itu benda yang mengambang, ialah
tubuhnya satu orang, yang ia terus angkat dengan
dipondong, karena itu ada tubuhnya Yo Lee Hong.
Syukur buat nyonya mantunya Siau Hong, air empang di
mana ia ngambang ada cetek dan mulutnya tersumbat,
hingga ia tak usah terpaksa minum banyak air.
"Pergi bantui Ceng Lee!" kata nona Jie pada Su Poancu selagi ia naik ke darat. Kemudian ia terus pondong
tubuhnya Lee Hong dibawa lari ke dalam rumah.
Pertempuran antara Ceng Lee dan Toa Hou berjalan
secara cepat, ia menang tenaga dan kepandaian, tetapi
berandal dari Okgu San ada cerdik, sebagai ayam main
petak berkelahi sambil lari-larian di antara pohon-pohon, karena ia niat angkat kaki dari tempat yang berbahaya itu.
Su Poancu sudah lantas sampai, ia padamkan apinya, ia
maju mencegat. Sekarang Toa Hou jadi bingung bukan main, karen ia
sukar buat meloloskan diri. Musuh berada di depan dan
belakang, hingga tak bisa lagi ia ajak Ceng Lee "main petak". Ia menyingkir ke belakangnya satu pohon hoay yang besar, akan sembunyi.
"Sahabat-sahabat, berlakulah murah terhadap aku!"
akhirnya kepala berandal ini memohon. "Kita tidak kenal satu pada lain, juga tidak bermusuhan, maka itu harap kau tidak bersikap keras terhadap aku. Benar aku telah bantu Cukat Kho tetapi aku lalaikan itu karena terpaksa, sebab aku tidak berdaya. Cukat Kho ada berilmu tinggi, sebagian kita hormati padanya, sebagian pula karena kita takut
padanya. Sekarang semua orangku telah dibuat buyar, aku
sendiri tidak punya kepandaian yang berarti, maka asal
sekali ini kau sudi memberi maaf padaku, selanjutnya aku akan cuci tangan, aku tidak akan jadi berandal lagi!"
"Untuk kasih ampun padamu adalah g ampang," Ceng Lee bilang. "Tetapi di mana adanya Hwie Pek Sin" Di
mana tua bangka itu sembunyikan diri" Asal ia dapat
ditangkap. Aku kasih ampun padamu!"
"Sekarang ini ia sudah melarikan," sahut Ciau Toa Hou.
"Tadi Ho Kiam Go kasih tahu pada kita bahwa kau, tuan-
tuan, sudah berlalu dari sini, dan ia ajak kita lekas
menyingkir. Selama di dalam kamar rahasia, kita sudah
kelaparan satu hari, aku rasanya tak dapat menahan
penderitaan terlebih jauh, maka aku niat angkat kaki.
Sebetulnya Hwie Pek Sin masih belum niat berlalu. Karena Ho Kiam Go dan Jie Him sudah keluar, kita jadi tinggal
bertiga bersama si nonya muda she Yo. Karena aku hendak
berlalu, akhirnya Hwie Pek Sin pun takut akan berdiam
sendirian saja, ia lantas ikut keluar, hanya aku diperintah gendong nyonya mantunya Tek Siau Hong..."
"Apa perlunya maka tua bangka itu bawa-bawa nyonya
mantu orang?" tanya Su Poancu.
"Menurut ia, sesudahnya kita keluar, nyunya muda itu ia hendak serahkan padaku untuk dijadikan agenku," sahut
Ciau Toa Hou. "Tetapi aku duga ia hendak bawa nyonya muda itu untuk diserahkan pada Hek-hou To Hong, ia
memang sudah coba baiki To Hong, hanya maksudnya
masih belum tercapai..."
"Sudah, jangan ngoceh saja," Ceng Lee lalu memotong.
"Binatang, kau juga bukannya manusia baik-baik! Tidak, kau tidak bisa dapat ampuni!"
Tapi Su Kian susul ancaman kawannya itu:
"Ke mana larinya Hwie Pek Sin!" ia tanya Toa Hou.
"Aku tidak tahu ..." sahut itu kepala berandal, yang kuatir bukan main. "Cari saja, barangkali ia masih
sembunyi di antara gombolan gelaga ..."
Justru itu, Ceng Lee loncat berbareng dengan
bacokannya. Ciau Toa Hou lihat datangnya serangan, ia menangkis,
tetapi berbareng dengan itu, si Ular Gunung pun
menyerang ia dari belakang, ia tak keburu menangkis lebih
jauh atau lompat berkelit, maka sambil keluarkan jeritan keras, ia rubuh.
Sun Ceng Lee telah teruskan penyerangannya lebih jauh.
"Jangan binasakan ia, Sun toako! Kita butuhkan
keterangannya. ... " Su Poancu berseru.
Akan tetapi goloknya Ngojiau-eng tak dapat dicegah
pula, kepala berandal dari Okgu San menerima ajalnya
dengan tak berdaya lagi.
"Sayang!" Su Poancu menghela napas.
"Apa yang hendak ditanyakan lag?" tanya Ceng Lee.
"Satu kepala berandal, buat apa dikasih hidup lebih lama"
Sudah, Lau Su, hayo nyalakan pula api! Mari kita cari tua bangka Hwie Pek Sin!"
Siap dengan goloknya, Sun Ceng Lee bertindak maju
akan cari Cukat Kho, itu juru pemikir atau ahli siasat. Su Poancu angkat apinya tinggi-tinggi. Mereka mencari di
setiap gombolan rumput dan gelaga. Apa yang mereka
dapat adalah beberapa ekor kodok, yang kaget dan loncat
terjun ke air. "Aneh!" kata Ceng Lee. "Ke mana kaburnya tua bangka itu" Apakah di sini masih ada lain jalannya?"
Saking mendongkol Ngojiau-eng lantas memaki kalang
kabutan. Su Poancu padamkan apinya.
"Percuma kau memaki, saudaraku," kata Su Kian sambil cekal lengan orang. "Boleh jadi tua bangka itu takut merasai bacokannya golok, maka ia mendahului buang dirinya
keair." "Coba nyalakan pula api!" kata Ceng Lee. Ia penasaran,
ia mau turun ke air buat cari orang she Hwie itu.
Su Poancu sebaliknya usulkan pergi ke rumah, untuk
tengok Siu Lian.
"Pergilah kau sendiri, aku mau cari tua bangka itu di sini!" kata Ceng Lee. "Mari api!"
Su Poancu kewalahan, ia serahkan apinya, lantas ia
tinggalkan itu kawan. Ia menuju ke rumah, sejak di muka
pekarangan ia sudah lihat cahaya api di dalam rumah,
ketika ia masuk, ia lihat nona Jie berhasil menolongi Lee Hong, tubuh siapa telah dibebaskan dari ringkusan, malah Lee Hong pun sudah sadar, hanya saking lelah, ia masih
rebah di atas pembaringan.
"Kau beristirahat dulu," menasehatkan Siu Lian ketika itu nyonya muda berniat berbangkit, untuk cari Hwie Pek
Sin, karena hatinya panas sekali.
Pakaiannya kedua perempuan itu ada basah dan kotor
dengan lumpur. Api pun ada guram, karena minyaknya tinggal sedikit.
"Coba tolong ambilkan minyak dan sekalian nyalakan
perapian," Siu Lian minta tolong pada si Ular Gunung.
Su Poancu menurut, ia pergi untuk bekerja.
Siu Lian lantas menggeratak di kamarnya Kweetoanio,
ia berhasil dapatkan beberapa potong pakaiannya nyonya
itu di dalam kamar yang gelap bersama-sama Lee Hong ia
salin pakaiannya yang basah. Dalam waktu begitu, mereka
tak pikir pakaian mereka sedang atau tidak, asal kering.
Maka tempo Su Poancu kembali, mereka sudah selesai
salin. "Pergi cari Ceng Lee!" Siu Lian kata pula pada Su
Poancu. "Bawa juga orang-orang tawanan kita kemari."
Siu Lian dan nyonya Tek panggang pakaian mereka,
begitupun sepatu dan kaus kakinya.
"Kecuali tangan dan kaki yang bekas terikat lama,
sekarang semua tubuhku ada sehat seperti biasa," kata Lee Hong.
Kemudian Lee Hong tuturkan pengalamannya sejak ia
kena dijebak, bagaimana orang perlakukan kasar padanya,
terutama Ho Kiam Go yang ... sedang Hwie Pek Sin telah
unjuk kelicinannya.
"Nyata sekali semua orang ada sangat takluk pada Hwie
Pek Sin," ia kasih tahu lebih jauh.
Juga Lee Hong tuturkan ketakutannya mereka ini waktu
mereka dengar suaranya Siu Lian sekalian, bagaimana
mereka hendak lari, bagaimana Hwie Pek Sin mencegah,
tapi akhirnya toh mereka keluar kapan mereka dapat
kenyataan di luar sepi saja.
"Di belakang kamar rahasia itu ada jalanan keluar," Lee Hong tuturkan. "Disini ada pintu untuk hawa udara dan
mengasihkan sedikit cahaya terang. Ciau Toa Hou
membuka jalan, Ia yang gendong aku, lantas Hwie Pek Sin
mengikuti. Sesampainya di luar, kita telah kepergok Su
Paucu, maka Ciau Toa Hou lantas menyerang. Pek Sin lari, hanya ketika ia mau lari, ia joroki aku ke air. Aku masih terus terikat, dari itu, aku tidak berdaya akan meloloskan diri dari bahaya..."
Siu Lian mendongkol akan dengar penuturan itu. Tidak
lama Su Poancu kembali bersama Sun Ceng Lee. Mereka
ada bawa orang tawanan. Juga mereka bawa sekalian kuda
dan alat senjata mereka.
Untuk buat kamar jadi terang, Su Poancu gumpal-
gumpal bebujuran dan taruh itu dalam dua mangkok, lantas mangkok itu ia isikan minyak dan sulut.
Siu Lian penasaran, ia suruh Ceng Lee bawa api masuk
ke dalam peti kayu, akan turun ke dalam kamar rahasia
guna cari Hwie Pek Sin yang dikuatirkan balik sembunyi ke dalam kamar rahasia itu. Ia pun turut. Tapi mereka
dapatkan kamar yang gelap dan kosong.
Mereka terus keluar ke belakang kamar rahasia itu.
Supaya jalanan rahasia itu tidak digunakan oleh lain
orang, Siu Lian dan Ceng Lee lantas membabat rumput
untuk dipakai menutup, sedang di sebdah luar. mereka
tumpuk batu, yang antaranya ada yang disumpelkan ke
dalam. Kemudian mereka kembali ke dalam rumah.
Berandal yang tertawan bersama-sama Kwee toanio,
lantas dihadapkan.
Atas pertanyaan, berandal itu menyahut. "Hwie Pek Sin sudah tua sekali, taruh kata ia bisa lolos, tak nanti ia bisa kabur jauh. Ia tentu mendaki gunung akan menyingkir ke
Ui-kee-chung. Kalau besok kau menyusul ke Uikee-chung,


Harimau Mendekam Naga Sembunyi Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

di sana tentu kau bisa dapati padanya. Umpama kata ia tak kedapatan, aku rela akan serahkan jiwaku..."
Kwee toanio telah kena ditotok, sebenarnya ia sudah
lama sadar, tetapi karena ia diringkus dan mulutnya
disumpal, ia tak berdaya, berontak tidak mampu, berteriak tidak
bisa. Benar sekarang
ia telah di bukakan
sumpelannya, tapi saking lemah ia tidak bisa lantas bicara.
Selang beberapa detik, baru ia bisa perdengarkan suaranya, ialah tangisannya. Ia terus caci Hwie Pek Sin yang
dikatakan tidak mau tolongi padanya.
"Dasar jahanam itu tua bangka!" ia memaki pula. "Sudah lama suamiku menutup mata, aku lantas bekerja sebagai
tukang jahil pakaian dari kawanan berandalmu. Tua bangka ini telah kasih berbagai usul kepada Ciau Toa Hou hingga Toa Hou telah peroleh banyak hasil, karena mana, ia jadi sangat dihormati dan ditakuti, hingga ia dipanggil dengan panggilan Loo-sin-sian, dewa yang sakti. Adalah si tua
bangka, yang kasih pikiran akan buat gua rahasia di
sebelahnya sarang mereka di atas gunung. Ia unjuk
pentingnya gua rahasia. Ciau Toa Hou setujui itu usul.
Demikian mereka pilih tempat, sampai mereka peroleh
tempat ini di mana mereka lantas dirikan rumah berikut itu gua rahasia dengan pintu rahasia ada itu peti kayu. Akulah yang dperintah tinggal disini dengan aku sendirinya
menjadi isterinya tua bangka itu. Rumah ini telah
diperlengkapi sempurna. Aku sendiri pernah diajak pergi ke kota di mana kita pesiar dan ia belikan aku beberapa potong pakaian indah. Kemudian tua bangka itu pergi, sampai
lama. Katanya ia ada punya beberapa tempat lain, maka
aku percaya, tempatnya itu tentu ada seperti di sini, ada gua rahasianya juga. Semasa mudanya, tua bangka itu ada
menjbat pangkat dengan mana ia telah kumpul harta,
dengan mana pun ia telah buat celaka banyak orang, karena ia kuatir orang nanti cari ia untuk membalas sakit hati, ia lantas ubah cara hidupnya, ialah terang-lerangan ia jadi berandal. Buat ini ia telah dapatkan Ciau Toa Hou sebagai konco. Ia pun tidak pernah pergi ke mana-mana, ia
bercokol saja di atas gunung. Kalau Ciau Toa Hou berhasil, lebih dahulu ia ambil sebagian, yang lainnya barulah dibagi-bagi. Semua orang aku ia sebagai ayah pungut."
Itu bersoal tawanan diloloskan dari ringkusannya, ia
ketarik dengan ceriteranya Kwee toanio, yang sedang
membeber rahasia, maka waktu nyonya itu sudah berhenti
bicara, ia lantas nimbrung, menambahkan:
"Menurut apa yang aku dengar, di waktu mudanya,
Cukat Kho ada punya kepandaian tinggi, malah suheng dari Kang Lam Hoo, yaitu Ah Hiap telah terbinasa di
tangannya. Pekgan Holie Kheng Liok Nio, itu penjahat
perempuan yang tersohor, ada bekas isrerinya. Di sebelah utara dari Ngociang Nia ada sebuah kuil Samceng Bio,
imam tua di sana ada sahabat kekalnya. Imam itu tadinya
ada sangat tersohor di Hoolam. Maka, kalau besok kau tak dapat cari Hwie Pek Sin, di Oikeechung, carilah ia di
Samceng Bio, aku percaya ia menyingkir ke sana. Imam tua itu, seorang she Cie, bukannya orang yang boleh dibuat
permainan. Baru-baru ini Ciau Toa Hou pernah berbuat
kurang ajar terhadapnya. Bersama-sama lima puluh
orangnya, Ciau Toa Hou telah kurung Samceng Bio. Di
antara mereka, aku ada terhitung salah satunya. Imam tua itu tidak suka menyerah, ia keluar dengan bawa sebatang
toya besi. Dalam satu pertempuran, ia berhasil melabrak
kita. Baru pada tahun yang lalu, ketika Cukat Kho datang, ia lantas maju sama tengah untuk buat akur kedua pihak.
Kendati begitu, orang kita tak ada yang berani sembarangan melintas depan kuilnya itu!"
Siu Lian ingat baik-baik semua keterangan itu.
"Dan kau, apakah lagi keteranganmu," kemudian ia tanya Kwee toanio.
"Aku sama sekali belum pernah bantu Cukat Kho buat
celaka orang, perbuatanku ini adalah yang pertama kali,"
menerangkan nyonya itu. "Begitu Hwie Pek Sin datang
kemari, ia lantas sembunyi di dalam kamar rahasianya itu.
Nyonya muda ini datang sendirian. Hwie Pek Sin adalah
yang atur akal untuk tangkap padanya. Apa yang aku
lakukan adalah hanya turut perintah ...'
Sampai di situ, pemeriksaan sudah cukup. Siu Lian
minta Ceng Lee jaga dua orang tawanan itu yang
dimasukkan ke dalam sebuah kamar. Su Poancu sudah
lantas duduk ngelanggut, ia tidak diganggu. Bersama-sama Lee Hong ia rebahkan diri di kamarnya Kwee toanio.
Mereka tidak usah beristirahat lama, lantas sang fajar
muncul. Siu Lian ajak Lee Hong salin pula pakaian mereka yang
sudah kering. Karena masih penasaran, Siu Lian ajak nyonya
mantunya Siau Hong pergi buat memeriksa pula ke kamar
pekarangan. Di empang telah terlihat beberapa ekor bebek yang
bulunya putih, yang asyik mandi sambil cari makanan
sambil sering kali perdengarkan suara kowek-kowek.
Mayatnya Ho Kiam Go dan Ciau Toa Hou masih
bergeletakan. Karena tidak peroleh hasil, Siu Lian ajak si nyonya muda balik ke rumah.
"Mari kita pergi ke Uikeechung akan cari tua bangka yang jahat itu," kata ia.
Dirumah, Su Poancu sedang perintah si penjahat
nyalakan api, ia sendiri cuci beras, buat masak bubur. Ceng Lee sebaliknya tidur sambil duduk menyender di tembok, ia bisa menggeros dengan nyenyak meskipun hawa ada panas.
Kwee toanio, yang tidak terbelenggu lagi, sedang tidur di tanah.
"Aku mau ajak Lee Hong pergi ke Uikeechung," Siu
Lian bentahukan Su Poancu.
"Mari aku antar," kata si penjahat, yang menoleh selagi ia nyalakan api. "Tempat itu sukar dicarinya, bila tidak ada yang tunjukkan, mungkin tak dapat dicari..."
Siu Lian setuju. Kemudian ia pesan Su Kian.
"Di luar ada menggeletak mayatnya Jie Him, Ho Kiam
Go pun sudah binasa. Di antara pepohonan juga ada
mayatnya Ciau Toa Hau. Maka sebentar, iCL ... g toako
ajak Ceng Lee singkirkan mayat-mayat itu. Dan itu satu
yang terluka, bawalah ke tempat yang sunyi. Kita akan
segera kembali."'
Su Poancu menurut, ia manggut.
"Sekarang pergi ambil kuda," Siu Lian perintah si
penjahat taklukan.
Su Poancu yang pandai bekerja, sudah kasih umpan
pada kuda mereka.
Penjahat itu siapkan tiga ekor kuda. Siu Lian bawa
sepasang goloknya dan Lee Hong bawa tombaknya.
Dengan si penjahat jalan di depan, mereka keluar dan pintu pekarangan, kabur menuju ke arah utara. Jalanan tidak
rata, semakin jauh semakin buruk, maka syukur, belum
lama mereka sudah sampai di atas bukit.
"Di sana, di belakang gunung, yang seperti rujuk itu, adalah Uy-kee-chung," kata si penunjuk lalan seraya
menunjuk dengan cambuknya.
"Dengan melihat dari sini, jikalau orang yang belum tahu dan tak teliti, ada sukar untuk mengetahui disitu ada rumah orang. Sebaliknya dari rumah itu, kapan orang memandang
kemari, sekalipun seekor manjangan, akan kelihatan nyata sekali."
"Jikalau begitu, kita mesti lekas turun," kata Siu Lian,
"apabila tua bangka licin itu dapat lihat kita, ia bisa mendahului menyingkar dirinya."
Penunjuk jalan itu anggukkan kepala, ia larikan
kudanya. Siu Lian mengikuti di belakang, Lee Hong menyusul.
Dilihat dari atas, rumah itu ada lempang dan dekat
nampaknya, tetapi sesudah dihampamiri, nyata jalanan ada memutar-mutar atau banyak pengkolannya, dan jalanan
pun ada sukar, hingga mereka mesti ambil banyak tempo.
Malah di jalanan yang sangat sukar, mereka mesti turun
dari kuda. Itulah dia bukit Ngociong Nia. Namanya saja "Lima
Gundukan", sebenarnya, jumlahnya ada melebihi itu.
Melihat jalanan demikian sukar, Siu Lian sampai dapat
pikiran untuk batal meneruskan perjalanan mereka. Ia pikir, Hwie Pek Sin sudah begitu tua, mustahil ia bisa tempuh
perjalanan sukar ini akan sampai ke rumah di dalam
lembah itu. Ketika ia nyatakan ini pada Lee Hong, nyonya muda itu membantah, malah ia mendahului mengikuti
penunjuk jalan, hingga akhirnya non Jie mesti mengekor di belakangnya.
"Hati-hati," begitu ia cuma bisa memesan.
Lee Hong berjalan dengan gigit gigi, ia sangat penasaran dan hatinya panas sekali.
Akhir-akhirnya, setelah ambil banyak tempo, dengan
susah payah, orang telah sampai juga di bawah, ialah
kampung Ui-kee-chung. Maka sekarang kelihatan nyata
bentuknya rumah, yang kebanyakan terbuat dan batu atau
rumah separuh gua, hingga penduduk Ui-keechung mirip
dengan sekawanan binatang liar.
Sama sekali ada kira-kira tiga puluh buah pintu,
penghuninya semua ada orang she Ui, sebagian besar
adalah pemburu.
Si penjahat belum tahu yang mana satu ada rumahnya
Hwie Pek Sin, maka ia tanya salah satu penduduk yang
mereka pertama ketemui. Ia menyebut namanya Loo-sin-
sian. "Oh, Loo-sin-sian itu baru saja pergi!" sahut orang yang ditanya, yang tidak mendusta. "Baru saja tadi fajar ia tiba.
Di sini ada suatu jalanan kecil yang tak diketahui kecuali oleh penduduk sini, tetapi entah bagaimana, ia telah dapat ketahuinya! Ia benar-benar ada dewa yang sakti! Pagi ini Loosin-sian datang beda dari pada biasanya, ia ada sangat kesusu, begitu ia sampai, ia lantas berduduk di batu sana menghadapi matahari. Ia duduk ia tak pedulikan siapa juga.
Kemanapun Cu Siau Pat datang dengan bawa empat ekor
kuda, katanya dari Okgu San, semua itu ia hendak jual di utara gunung sana. Tadi entah apa yang Loo-sin-sian lihat di atas bukit, boleh jadi ia dapat lihat setan, ia lantas saja ambil seekor kuda yang ia naiki dan kabur!"
Siu Lian bertiga kaget Ia ingat keterangannya si penjahat tadi, bahwa dari atas bukit orang sukar melihat kebawah
tetapi dari bawah orang bisa lihat meskipun seekor
manjangan. Pastilah Hwie Pek Sin telah dapat lihat mereka bertiga.
"Ke jurusan mana ia larinya?" tanya si nona dengan cepat.
"Ia Lari ke sana," sahut orang yang ditanya sambil
tangannya menunjuk ke barat. "Ia pergi belum seberapa lama. Dengan menunggang kuda, kau tentu dapt susul
padanya.Tapi dari mana kau datang" Apakah kau semua
dari Okgu San" Kenapa Ciau Toa Hou tidak pernah datang
tengok isteri mudanya" Apakah ia sudah punya isten yang
baru, hingga ia lupakan iserinya di sini?"
Siu Lian tidak jawab semua pertanyaan itu, ta keprak
kudanya dikasih kabur, di belakang ia menyusul Lee Hong, malah nyonya muda ini cambuki kudanya akan bisa
melombai. Amarahnya naik dengan tiba-tiba. Musuh
besarnya ada di depannya, ia ingin segera dapat
menyandaknya. Lekas sekali, ia tinggalkan Siu Lian dan si penjahat di
belakangnya. "Tahan, tahan!" penjahat berteriak. "jangan kesusu, nyonya. Cukat Kho tidak lari jauh, ia tentu pergi ke
Samceng Bio!"
"Lee Hong, sabar!" Siu Lian pun peringatkan. "janganlah kau buat gagal pula! Tunggu aku!"
Siu Lian menyesal kuda yang ia tunggangi ada kalah
bagus dari pada kudanya Lee Hong, hingga sekalipun ia
pandai menunggang kuda. Sukar untuk ia dapat susul
nyonya muda itu. Ia ada sedikit mendongkol melihat
sikapnya nyonya Tek muda itu.
"Selama ini sifatnya Lee Hong telah berubah menjadi kepala besar... " Ia pikir. "Kemarin ini ia telah dapat pelajaran, sekarang ia telah lupakan itu" Hwie Pek Sin
benar-benar licin. Bagaimana ia bisa ketahui jalanan kecil yang lain orang tak tahu" Terhadap manusia licin ini, orang perlu berlaku hati-hati."
Maka ia lantas memanggil-manggil pula.
"Eh, Lee Hong, kau tak dengar aku?" demikian ia berteriak pula.
Lee Hong terus kaburkan kudanya, hingga sementara itu,
kendati ia kehendaki, ia tak akan mampu tahan larinya
kuda itu. Sebenarnya ia telah berasa saikit pada tangan dan kakinya, tubuhnya ada limbung, hatinya pun goncang.
Cepat sekali nona Yo sudah keluar dari jalanan
pegunungan yang sukar dan berada di tanah datar di
tengah-tengah mana ada suatu jalanan yang kecil dan
jauhnya kira-kira setengah lie di sebelah depan ia lihat satu penunggang kuda yang nampaknya sama-samar.
Suara berketropakannya kuda terdengar nyata sekali.
Semakin lama Lee Hong menyusul semakin dekat pada
penunggang kuda di sebelah depan, dari lapat-lapat, ia
mulai mendapat lihat dengan nyata. Kebetulan orang di
depan itu menoleh, maka kumis jenggotnya yang ubanan,
berkilau-kilau di sinarnya matahari, nampaknya mirip
dengan ekor srigala.
Semanganya Lee Hong terbangun apabila ia sudah lihat
siapa adanya orang itu.
"Hwie Pek Sin! Oh, kau, jahanam!" ia berteriak dengan
suaranya yang tidak lancar.
Hwie Pek Sin, demikian penunggang kuda di sebelah
depan, menoleh untuk terus cambuk kudanya, ia
nanpaknya jadi gugup.
Lee Hong ambil tombaknya, hingga ia buat terlepas
cambuknya, ia tak mau tahan kudanya, buat pungut
cambuk itu. Ia jepit perut kudanya supaya binatang itu lari lebih keras lagi, selama itu, ia sudah siap dengan
tombaknya. Satu lie jauhnya kedua pihak main kejar-kejaran, akhir
nya kudanya Lee Hong itu susul kudanya Hwie Pek Sin. Di
saat mereka terpisah satu tombak lebih jauhnya satu dari pada lain, nona Yo kirim tusukannya yang hebat, tetapi
tusukan itu tidak mengenai sasaran, sebab tombaknya nyata masih kurang panjang.
Kembali mereka terpisah sedikit jauh, lagi-lagi Lee Hong mengejar.
Kembali satu tusukan dikirim, akan tetapi, untuk
mengenai musuhnya, tombaknya si nyonya muda masih
kurang dua kaki lagi!
Hwie Pek Sin di sebelah depan kasih dengar suara
tertawanya, meski begitu, ia tidak pernah menoleh ke
belakang, ia terus kaburkan kudanya.
Pengejaran dilanjutkan dengan tidak kalah serunya.
Di saat ia dapat nyandak pula, untuk kesekian kalinya,
Lee Hong kirim tusukannya. Itu adalah tikaman dari
kematian, sebagaimana ia berkeniatan.
Tetapi apa mau Hwie Pek Sin mengibaskan tangannya
kebelakang, berbareng dengan mana, dari tangannya
terlempar sehelai angkin merah. Melihat mana, kudanya
Lee Hong menjadi kaget, hingga sambil sambil berbenger
kuda itu berjingkrak, tubuhnya terangkat naik bersama-
sama kedua kaki depannya.
Lee Hong kaget, hampir ia tergelincir jatuh dari
kudanya, syukur ia menyekal les dengan keras dan kedua
kakinyapun dijepitkan sekuat tenaganya.
Oleh karena itu, Hwie Pek Sin bisa tinggalkan musuh
jauhnya tujuh atau delapan tombak.
Sekarang, di sebelah depan ada terlihat banyak
pepohonan serta tembok merah. Dan Hwie Pek Sin tujukan
kudanya ke tembok merah itu. Karena kaget, kudanya Lee
Hong bukan lari ke depan, ia terputar-putar dan
berjinkrakan dengan kuat dengar suaranya yang nyaring.
Kecuali sibuk, Lee Hong pun panas, hatinya mencelos.
Baru ia mau dapat candak musuh atau sekarang ia sudah
ketinggalan pula, musuh itu sudah mulai masuk ke tempat
lebat dengan pepohonan itu, terus menghampiri tembok
merah. Dari jauh, Hwie Pek Sin menoleh dan tertawa, ia
kasih lihat mukanya yang menyengir. Nyata sekali,
sekarang ia tidak berkuatir sebagai tadi, malah ia jadi
berani. Benar di saat juru siasat itu tertawa, tiba-tiba tubuhnya miring dan terus jatuh dari atas kudanya, kuda itu segera loncat ke samping, sedang si orang tua tengkurap di tanah dan berdiam, rupanya ia tak mampu bangun lagi.
Lee Hong lihat keadaan musuh itu, ia menjadi kaget,
hingga ia tahan kudanya, ia tak berani sembarangan maju, ia kuatir musuh yang licin itu menggunai tipu untuk jebak padanya. Ia lantas loncat turun, siap sedia dengan
tombaknya ia menghampiri dengan tindakan hati- hati. Ia
mau jaga diri buat sesuatu senjata rahasia atau lubang
jebakan. Hwie Pek Sin tetap rebah di tanah, seperti bangkainya
srigala. Kapan Lee Hong sudah mengawasi sekian lama, pada
batok kepala orang, ia lihat ada menancap sebatang panah, dari situ ada keluar mengalir darah hidup, tubuhnya masih berkelejatan dan bergerak-gerak, tanda bahwa napasnya
belum berhenti jalan.
Sekejap saja darahnya nyonya muda ini naik, matanya
terbuka lebar, kedua giginya digigitkan keras satu pada lain, dengan kedua tangannya ia angkat tombaknya menikam
musuh besarnya itu.
Buat sedetik, tubuhnya Cukat Kho bergerak, lantas diam
semuanya. Baru setelah lihat musuhnya binasa, hawa amarah Lee
Hong turun, sebagai gantinya, kesedihannya muncul,
hingga dengan tiba-tiba ia menangis.
"Ayah, ibu ... " ia kata, "anakmu telah balaskan sakit hatimu!"
Hampir berbareng dengan ucapan ini, dari antara
pepohonan muncul seorang lelaki yang tubuhnya besar,
hingga Lee Hong menjadi kaget, lekas-lekas ia seka air
matanya. Orang itu ada pakai pakaian hijau dengan potongan yang


Harimau Mendekam Naga Sembunyi Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ringkas, pinggangnya terlibat dengan angkin sutera biru, dipunggungnya ada tertancap sebilah golok, tangannya
memegang busur.
Setelah mengawasi Yo Lee Hong menjadi terperanjat,
sebab ia seperti kenal orang itu. Dan kapan ia sudah
mendapat kepastian, ia lantas berdiri dengan tercengang!
Orang itu adalah Lo Siau Hou.
Siau Hou rnenghampirkan dengan nampaknya jengah, ia
dekati Lee Hong beberapa tindak, lantas ia angkat kedua
tangannya mengunjuk hormat.
"Sekarang ini sakit hati sudah terbalas," ia berkata. "Aku minta siau naynay lekas pulang ke Pakkhia, kalau nanti kau ketemu Tek ngoya dan Teksiauya, engkau sampaikan
maafku kepada mereka, karena selama berada di kota raja, aku telah banyak ganggu mereka, sedang mereka sebaliknya sudah berbuat banyak guna aku, Lo Siau Hou. Lebih-lebih
terhadap Tek siauya, aku ada sangat bersyukur, karena aku telah lukai ia secara tak disengaja dan ia sudah tidak tarik panjang perbuatanku itu. Atas itu semua, aku merasa malu sendiri. Bilang pada mereka, di belakang hari, apabila ada
ketikanya, aku nanti balas budi mereka, meskipun untuk itu aku mesti berkurban jiwa!"
Selagi orang berkata-kata. Lee Hong tak dapat
pertahankan kesedihannya.
"Koko"... ia berseru seraya terus menangis.
Siau Hou berdiam, akan tetapi dari kedua matanya ada
mengalir air yang suci. Ia tundukkan kepalanya.
Sementara itu, Siu Lian pun telah sampai di situ, tetapi ia bersendirian
saja, sebab penunjuk jalannya, selagi
mendekati. Samceng Bio menyatakan tidak berani datang
dekat pada kuil itu. Siu Lian suruh ia pulang untuk bantui Su Poancu dan Sun Ceng Lee.
-odwo- XIV Nona Jie tidak heran melihat Lo Siau Hou muncul
dengan mendadakan, cuma itulah ia tidak duga. Ia tahu
yang Siau Hou, seperti ia sendiri, bisa berada di mana-
mana. Tapi ia terharu akan lihat pertemuannya itu engko
dan adik perempuan.
"Sekarang tolong kau lekas singkirkan mayatnya Hwie Pek Sin ini," kemudian Siu Lian kata pada orang she Lo
itu, "Dan kau, Lee Hong. legakan hatimu. Kau sudah balas sakit hati orang tuamu, kau pun telah ketemu kandamu.
Selama di Pakkhia, kandamu itu tidak tahu yang kau telah nikah pada keluarga Tek, ia telah lakukan perbuatan yang keliru. Perkara sudah lewat, baiklah kau lupakan itu.
Bukankah kau sering bilang bahwa kau merasa kesepian,
karena kau bersendirian saja" Maka sekarang, kau telah
punyai kanda sekandung-mu ini!"
Mendengar kata-katanya nona Jie, Lee Hong menjadi
semakin sedih, hingga ia menangis tersedu-sedu. Tapi
menghadapi engkonya, ia memberi hormat.
Lo Siau Hou ada sangat jengah, maka lekas-lekas ia
angkat tubuhnya Hwie Pek Sin buat dibawa ke tempat yang
lebat, ketika ia mendekati tembok, ia bersuit nyaring ke jurusan kuil, atas mana dari dalam rumah berhala itu lari keluar Hoa Lian Hoan, orang kepercayaannya.
"Pergi ambil pacul dan gali lubang," jago muda ini
perintahkan. "Pendamlah mayat ini!"
Si Kuda Belang menurut ia lari kembali ke bio, akan
balik dengan pacul. Di tempat sepi seperti itu, mereka bisa bekerja dengan leluasa tidak ada lain orang yang dapat
ketahui. Sedang kudanya Hwie Pek Sin, yang tidak mahal,
telah dituntun masuk ke dalam bio.
"Mengapa kau bisa berada di sini?" kemudian Siu Lan tanya Siau Hou.
Siau Hou tidak lantas menjawab, ia hanya menghela
napas. "Mari kita masuk ke dalam," ia mengundang.
Nona Jie dan Lee Hong terima undangan, mereka turut
masuk. Maka adalah setelah berduduk di dalam, Lo Siau Hou
tuturkan segala apa dengan jelas.
Kuil Sanceng Bio itu ada cabang dan gereja Insian Koan
di Kota Barat, Pakkhia, pendirinya adalah itu imam tua dari Butong San. Atau lebih benar, kuil itu telah diperbaiki atau diperbarui. Dan yang menjadi chongthio, pendeta kepala
atau pengurusnya, ada sutee dari imam tua itu. Ia ada Tin Siu, tetapi she dan nama asalnya adalah Cie Kee Hiap, asal
dari Longtiong, Sucoan. Ia ada turunan dari Long
Tionghiap Cie Kie, sedang ayahnya ada Cie Gan In yang
lelah menutup mata. Di masa hidupnya, Cie Gan In adalah
sahabat kekal dart Kang Lam Hoo. Cie Kee Hiap ini telah
dapat wariskan ilmu silat leluhurnya, ilmu silat pedang dari Butong San, akan tetapi senjatanya biasa adalah sebatang toya.
Di antara saudara bertiga, Cie Kee Hiap adalah yang
paling bungsu. Semasa kecilnya, ia sudah binal, ia tak takut pada apa juga, maka kemudian ia telah bentrok pada
seorang hartawan asa kota besar negeri, sedang karena
perebutan seorang perempuan, ia telah bunuh saingannya,
atas mana, ia buron dari kampungnya. Untuk belasan tahun ia hidup dalam perantauan, hingga ia peroleh banyak
pengalaman. Selama itu, ia lebih banyak berada di Hoolam.
Begitulah, di antara sahabat-sahabatnya terdapat Yo Pa.
Cuma ia tidak pandai ilmu lari keras di atas genteng, maka namanya tidak terlalu tersohor, sedang sifatnya adalah rada pendiam.
Sesudah belasan tahun merantau, Cie Kee Hiap menjadi
malas sendirinya, sedang dilain pihak, ia menyesal atas
segala perbuatannya yang berandalan, kebetulan sekali ia telah berkenalan pada imam tua dari Butong San, ia kena
dipengaruhi oleh kealimannya itu imam, ia menyatakan
suka menjadi orang suci. Maka kejadianlah ia menjadi
imam di Samceng Bio itu.
Daerah pegunungan Ngociong Nia adalah daerah
berandal atau begal, dan Samceng Bio tadinya telah
dijadikan sarangnya kawanan penjahat ini. Belum pernah
imam yang awet tinggal di situ. Adalah setelah Tin Siu
tinggal di sini, sedangkan kawanan berandal tidak berani lagi datang mengganggu, bahkan untuk dekati kuil itu saja, mereka tak berani sama sekali. Ini adalah sebagai
kesudahan dari Ciau Toa Hou telah dilabrak oleh imam ini, yang toyanya liehay. Satu lie di sekitarnya Samceng Bio ada sangat aman.
Baru satu tahun berselang ketika Hwie Pek Sin berada di
Okgu San, ia dengar tentang itu imam suci yang gagah,
Sebagai seorang yang cer dik dan pandai bergaul ia lantas saja bikin kunjungan kehormatan pada Tin Siu untuk
berkenalan dan kemudian menjadi sahabat. Ia ada beruang, ia bisa menderma berapa ia suka, malah satu kali untuk
setengah bulan lamanya ia berdiam di Sanceng Bio. Ia bisa bawa diri, ia pandai ilmu surat dan syair, ia banyak
pengalamannya, maka itu, ia bisa tarik perhatiannya si
imam, yang menjadi menaruh hormat kepadanya.
Kemudian pada suatu waktu ada datang si imam tua dari
Insian Koan, kedua suheng sutee ada bicara tentang Cukat Kho. Kapan si imam dengar namanya Cukat Kho, ia lantas
bersenyum. Ia ada imam yang luas pendengarannya, ia
banyak mengembara ke selatan dan utara, ia kenal dan
dengar banyak nama orang, maka ia tahu siapa adanya
Hwie Pek Sin alias "Cukat Kho.
"Selanjutnya baiklah kau jangan bergaul rapat pada
Cukat Kho," demikian si imam tua mengasih nasehat. Dan
ia tuturkan segala apa yang ia tahu tentang itu bekas juru pemikir dari tiekoan.
Kebetulan sekali bagi Tin Siu, sejak itu Hwie Pek Sin
tidak pernah datang pula padanya.
Si imam tua pun mendapat tahu yang Hwie Pek Sin
berkonco pada kawanan penjahat dari Okgu San, bahwa
Pek Sin bersahabat dengan Cie Kee Hiap tentu dengan
maksud pengaruhi imam itu, maka justru ada ketikanya, ia kirim Lo Siau Hou ke Samceng Bio, supaya pemuda gagah
ini suka berdiam menetap di kuil itu. Ia harap Lo Siau Hou
bisa insyaf dan ubah pikirannya, hingga ia suka menjadi
imam seperti Cie Kee Hiap sendiri.
Satu maksud lain dari si imam tua adalah ia harap Siau
Hou dan Hwie Pek Sin satu kali bisa bertemu satu pada
lain, supaya si orang she Lo bisa balas sakit hatinya. Untuk ini, imam tua itu tidak merasa berkeberatan. Malah ia
harap, sesudah selesai membuat pembalasan, Siau Hou
nanti insyaf dan setuju akan ubah cara hidupnya yang
berandalan seperu Cie Kee Hiap dahulu.
Siau Hou suka pergi ke Samceng Bio. Di sini ia diberikan dua kamar untuk ia tinggal bersama dua pengikutnya yang
sangat setia. Berdiam di kuil ini, See Mo Cie dan Hoa Lian Hoan bisa
membatasi diri. Mereka tahu di Okgu San ada
serombongan berandal, bahwa berandal itu ada sama saja
dengan mereka berdua semasa mereka tinggal digurun pasir di Sinkiang, akan tetapi mski demikian mereka tak suka
bergaul pada berandal itu. Mereka tahu diri dan tak ingin orang menghina mereka. Karena ini, setiap hari mereka
berkumpul sama Looya mereka, yang mereka rawat dengan
baik, Hingga gawe mereka bertiga adalah tidur, bangun,
makan. Saking iseng, Lp Siau Hou suka pasang omong dengan
Tin Siu, maka satu kali, imam itu ada omong perihal Hwie Pek Sin.
"Tentang she dan nama dari musuhku, aku sebenarnya
kurang tahu benar," kata Lo Siau Hou. "Pada dua tahun yang lalu, penolongku Kho Liong Ciu, telah menutup mata
di Sinkiang, di sana di luar kota Boanchiu, ia ada tinggalkan sepotong paybun, yang ia dirikan sendiri. Di dalam paybun itu di antaranya ada diukir she dan nama dari musuhku,
katanya ia ada orang she Ho. Pada tahun yang baru
lampau, dalam perjalanan dari Sinkiang, selagi lewat di lI-sie-koan, Shoasay, di dalam rumah penginapan, aku telah
bertemu serombongan orang pelancongan asal Hoolam, di
antaranya dua ada orang Lulam. Kepada mereka itu aku
iseng tanya tentang musuhnya keluarga Yo. Mereka itu
bilang, musuhnya keluarga Yo bukan cuma satu orang,
bahwa kecuali si bekas tiehu she Ho, ada lagi seorang she Hwie dengan namanya entah apa Sin. Ketika minta
penjelasan pada mereka, mereka itu ganda tertawa mereka
tidak suka bicara banyak tentang itu permusuhan, yang
katanya ada hebat dan mengenaskan. Tapi, melihat
sikapnya, agaknya mereka jeri terhadap pengaruhnya Hwie
Pek Sin ada punya banyak kawan, juga di antara orang
banyak. Sekarang looya, kau sebut-sebut Hwie Pek Sin, ia mungkin ada itu jahanam tua, yang menjadi musuh
besarku! Tidak salah lagi, ia tentu telah ubah namanya
menjadi Cukat Kho."
Setelah itu Siau Hou kiri See Mo Cie Ke Pakkhia guna
selidiki tentang Hwie Pek Sin, tentang Cukat Kho yang
membantu pada Lou Kun Pwee. Ia ingin dapat kepastian
bahwa Cukai Kho dan Hwie Pek Sin adalah satu orang. Ia
pesan juga, begitu lekas orang ini peroleh kepastian, ia mesti pergi pada Yo siau naynay sendiri yang pergi membuat
pembalasannya, karena ia sendiri hatinya telah jadi tawar, pikirannya limbung.
Setelah perginya si Tikus Gurun Pasir, Siau Hou tetap
hidup anggur, kadang-kadang saja ia suka nyanyikan
lagunya yang terkenal. Ia suka sesalkan dirinya sendiri, kenapa sekarang pendiriannya jadi tidak tetap. Ia toh ada satu laki-laki, ia pandai bugee dan sudah sepuluh tahun
lebih ia sering nyanyikan nyanyiannya untuk cari
musuhnya tetapi sekarang, ia malas untuk pergi cari sendiri pada Hwie Pek Sin. Toh ia tahu sifatnya ini telah berubah
karena gara-gara perempuan, karena Giok Kiau Liong.
Sekarang ia coba lupakan si nona, ia berdiam di tempat
yang sunyi di mana benar-benar tidak ada datang gangguan untuk dirinya. Tetapi waktu Tin Siu anjurkan ia untuk salin pakaiannya dan ikat rambutnya sebagai imam ia
menampik. Ia nyatakan, kepada otaknya tak masuk soal
membaca kitab atau bersemedhi atau membuat pil
mustajab. Sebaliknya, pada otaknya ada berbayang
Sinkiang punya gurun pasir dan tanah datar yang luas. Dan ia tak mampu lupakan itu satu malam ketika ia berada
sama-sama Giok Kiau Liong, ketika di Sinkiang, ketika di rumahnya si nona di Pakkhia. Di waktu otaknya melayang
secara demikian, ia suka pentang matanya lebar-lebar
laksana orang yang otaknya miring.
Toh, setiap waktu, dari badannya tidak pernah terpisah
golok mustikanya dan panah yang liehay. Ini adalah
kebiasaannya yang sudah berakar dan berbareng sebab ia
tahu, Samceng Bio berada dalam lingkungan daerah yang
berbahaya, setiap waktu orang jahat bisa datang menyerbu.
Ia ada berharta besar, hartanya itu bisa buat silau mata orang, ia tak ingin nanti kena terbokong.
Pada pagi itu, secara kebetulan sekali, Lo Siau Hou
keluar dari kuil, akan jalan mundar-mandir, di dalam
pepohonan lebat yang mengurung Samceng Bio. Dengan
panah tangannya ia ingin memburu burung-burung kecil,
untuk sekalian legakan hatinya yang pepat selalu. Justru itu ia dapat lihat satu penunggang kuda sedang kabur ke
jurusannya, dan di belakangnya ada satu penunggang kuda
lain, yang agaknya sedang mengejar. Ia dapat melihat
semakin nyata selagi dua penunggang kuda itu datang
semakin dekat. Nyata sekali penunggang kuda di depan ada seorang lelaaki tua dan berjenggot ubanan, hanya karena ia tidak kenal, perhatiannya tidak begitu tertarik seperti waktu
ia tampak si pengejar, satu nyonya muda. Ia segera
kenalkan adik perempuannya Yo Lee Hong.
"Jangan-jangan itu adalah Hwie Pek Sin?" demikian
dugaannya cabang atas dan gurun pasir ini. Ia tentu sedang dikejar oleh adikku, ia mau lari kepada Tin Sin disini, pasti ia hendak mohon bantuannya imam di sini."
Sebagaimana biasanya, Siau Honw lantas saja ambil
putusan. Ia lantas siap. Ketika Hwie Pek Sin sudah
lewatkan ia sedikit, ia menyambar dengan anak panahnya
yang terkenal, atas mana, cuma dengan satu kali jeritan, Cukat Kho lantas rubuh terguling dari atas kudanya, karena panah dengan jitu mengenai polonya, setelah berkeljatan, jiwanya melayang meninggalkan tubuh raganya yang kasar.
Demikian engko dan adik bertemu, sakit hati telah
dibalas. Hoa Lian Hoan memendam mayat dengan cepat, ia
masuk ke dalam akan suguhkan teh pada dua tetamunya,
yang asyik bicara.
Atas segala pertanyaan Siu Lian, Siau Hou tidak
menjawab banyak.
Lee Hong berlaku sewajarnya sebagai satu adik,
sebaliknya Siau Hou merasa jengah karena perbuatannya
melukai suaminya Lee Hong.
"Engko, baiklah kau balik pula she-mu!" demikian adik ini. "Pakailah satu nama yang baru, supaya kau bisa
berdaya upaya untuk peroleh kedudukan yang baik.
Tidakkah itu bagus" Pihak kita bersama-sama pihaknya
keluarga Khu akan berdaya untuk angkat kau. Atau kau
pergi saja kepada ayah angkatku untuk kau menjadi piausu di sana!"
Atas itu, Siau Hou bungkam, ia melainkan menggeleng
kepala. Kemudian sembari seka air matanya Lee Hong
ceriterakan tentang encinya Lee Eng, yang bersengsara,
yang mesti menjadi gundik dari keluarga Kiang di
Cengteng. Mengenai adik perempuannya yang pertama, Siau Hou
bersikap .... , hingga Lee Hong jadi berduka sekali, ia
merasa kasihan akan nasib buruk dari engkonya itu.
Selagi mereka bercakap-cakap, Su Poancu menyusul buat
undang mereka balik ke rumahnya toaso untuk mereka
berdahar. Dan waktu lihat Lo Siau Hou, si Ular Gunung tepuk-
tepuk pundak orang.
"Hou-ya, aku tahu benar hatimu!" ia berkata. "Dulu pun Lie Bou Pek pernah terserang penyakit serupa seperti kau, hanya sekarang ia telah sembuh dari penyaknaya itu!"
Mukanya Siu Lian bersemu merah mendengar godaannya si Gemuk kepada jago Sinkiang itu.
"Lauko!" Kata pula si Ular Gunung, "aku berpendapat
lebih baik kau sucikan diri saja disini! Lewat lagi beberapa hari aku nanti suruh Khau Jie-Chiu datang kemari untuk
menjadi temanmu. Buat orang sebangsamu, meskipun kau
menjadi imam, kau tak usah liamkeng, dan golokmu, kau
boleh tetap simpan di dalam tangan jubahmu!"
"Sudah mari kita berangkat!" Siu Lian datang sama tengah. Ia lihat Siau Hou diam saja, ia kuatir pemuda itu mendongkol atas godaannya si Ular Gunung. Sedang Lee
Hong ada terharu akan lihat kelakuannya engko itu yang
telah lenyap kegembiraannya.
"Urusan kita telah selesai, mari kita balik akan bersantap, kemudian kita lekas pulang. Adalah tidak leluasa untuk
kau, Lee Hong, akan berdiam lama diluaran! ..." Ia lalu
pandang Siau Hou. "Sampai kita ketemu pula! Di kemudian hari, apabila kau nampak suatu kesulitan, pergilah ke
Hiongwan Piautiam di Kielok cari aku, pasti aku nanti
bantu kau."
Siau Hou cuma manggut kepada nona Jie itu.
Lee Hong kasih hormat pada engkonya buat berpamitan,
ia ada sangat berduka.
Su Poancu tarik-tarik tangan orang.
"Sampai ketemu pula, sahabatku!" ia kata sambil tertawa.
Siau Hou tidak tahan sekalian tetamunya itu, ia malah
mengantar sampai di depan bio di mana, di antara sinarnya matahari, kelihatan air mukanya yang suram.
Bertiga, Siu Lian loncat naik atas kuda mereka, dengan
berbareng mereka berkiongchiu terhadap Siau Hou, siapa
balas itu dengan mengawasi saja sampai mereka pergi jauh.


Harimau Mendekam Naga Sembunyi Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sesaat kemudian mereka telah tiba di rumahnya
Kweetoanio. Sun Ceng Lee bersama-sama si nyonya dan penjahat
yang dibebaskan, sedang bersantap. Nyonya itu sekarang
tidak lagi bandel sebagai kemarinnya, malah terhadap Siu Lian ia menghaturkan maaf.
"Aku suka jadi babumu nona, asal kau jangan bunuh
aku..." ia memohon.
"Aku pun sebenarnya tidak niat bunuh kau," Siu Lian kasih tahu, "adalah sikapmu yang buat kita habis sabar.
Asal kau selanjutnya suka ubah cara hidupmu, kau boleh
tinggal hidup! Buat aku, aku tak membutuhkan babu." ia
pandang Lee Hong dan tertawa.
Nona Yo bersenyum.
Si penjahat tidak takut lagi bahwa ia bakal dibunuh, ia
dahar dengan bernapsu. Ia percaya bahwa ia berjasa sudah jadi penunjuk jalan dan memberikan pengunjukan penting.
"Dan aku," ia berkata, "bila di belakang hari aku akur-akuran pula rombongan berandal, biarlah batok kepalaku
tumbuhan!"
Su Poancu tersenyum.
"Jikalau sebentar kita tinggalkan tempat ini," ia berkata,
"rumah ini akan jadi kosong, maka itu baiklah kau tinggal di sini bersama-sama ini perempuan. Tidakkah itu bagus?"
"Oh, oh," berseru penjahat itu, "mana bisa, mana bisa!
Kwee toaso ada lebih tua sepuluh tahun dari pada aku dan aku tak sudi punyakan ibu lagi! Laginya, aku takut itu
kamar dalam tanah, maka siapa sukai ini rumah, ia boleh
tinggal di sini."
Siu Lian dan Lee Hong tak pedulikan orang gaukun,
mereka terus dahar.
Hampir di itu waktu diluar ada terdengar suara kuda
kabur mendatangi, Ceng Lee lepaskan mangkok dan loncat
bangun akan sambar goloknya.
"Sabar, sabar!" Su Poancu lantas cegah kawan yang berangasan itu.
Suara kaki kuda lantas berhenti dan di pintu muncul
seorang dengan muka bekas bacokan, ialah Hoa Lian
Hoan. "Eh, kau datang kemari! Apa kau mau?" Su Poancu
menyambut sambil tertawa. "Apakah kau turut kita ke Pakkhia?"
"Bukan," si Kuda Belang menjawab. "Looya ku perintah aku susul Jie kounio dan siau-naynay untuk sampaikan
pesanan." Siu Lian dahar di dapur, ia dengar pembicaraan itu.
"Kau bicara dari jendela saja!" ia kata.
Hoa Lian Hoan menurut, ia bicara dari luar kamar,
suaranya ia keraskan:
"Looya ku minta pertolongan kounio atau siau naynay, katanya, apabila nanti kau sudah kembali ke kota raja,
tolong sampaikan kepada nona Giok Kiau Liong bahwa
looya-ku tinggal di Samceng Bio, looya minta apabila nona Giok bisa, sukalah ia lantas datang, sekali saja, untuk bikin pertemuan pula, Looya bilang, ia bakal tinggal tetap di
Samceng Bio, tinggal untuk seumur hidupnya, ia tak akan
pergi ke lain tempat, maka itu, umpama kata sampai
delapan atau sepuluh tahun nona Giok belum datang, ia
masih bisa menunggu terus. Hanya apa yang penting, looya minta nona Giok tak lupai tentang kejadian di antara
mereka selama di padang pasir!"
"Baik," Siu Lian jawab. "Pesanan itu kita nanti sampaikan pada Giok Kiau Liong!"
"Terimakasih," kata Hoa Lian Hoan.
"Eh," kata Su Poancu pada itu utusan, "apa looya-mu masih belum mati hatinya?"'
Hoa Lian Hoan goyang kepala, ia menghela napas.
"Tidak ada obatnya ..." ia kata. Ia lantas masuk akan periksa itu rumah. Kemudian ia tanya. "Kemudian siapa akan tinggal di rumah ini?"
"Apakah tidak baik jikalau kau yang tinggal di sini?" Su Poancu baliki. "Di sini sudah siap satu nyonya yang bakal jadi isterimu!" Ia lantas tunjuk Kwee toanio, kepada siapa, sambil balik menunjuk si Kuda Belang, ia kasih tahu: "Kau jangan tak lihat mata pada ia ini, ia ada punya banyak
uang!" Nyonya itu pandang Hoa Lian Hoan.
Si Kuda Belang usap-usap tandanya bekas bacokan.
"Jangan main-main, Lau Su!" ia kata sembari tertawa.
"Eh, ya, aku hendak tanya, itu beberapa ekor bebek di empang, siapakah yang punya itu?"
Su Poancu bersenyum.
"Kau benar gila! Kenapa kau maui bebek orang"
Tentunya selama ikut looya-mu berdiam di dalam kuil, kau telah kelaparan! Nah pergilah kau tangkap seekor!"
"Terimakasih," berseru Hoa Lian Hoan yang lantas lari keluar.
Tidak lama, orang semua sudah dahar cukup.
"Mari kita berangkat pulang!" mengajak Siu Lian. Ia kasihkan sedikit uang pada Kwee toanio dan si berandal,
yang ia peringatkan untuk selanjutnya hidup dengan halal.
Kemudian, dengan menunggang kuda, mereka berangkat. Benar ketika mereka sampai di Pongsan, di depannya
sebuah rumah penginapan, mereka lihat ada mayat. Dan
segera mereka dapat kenyataan yang Ho Siong telah putus
jiwa karena luka-lukanya dan mayatnya ditinggalkan di
situ, sedang tukang keretanya lari ke Lianghiang untuk
menyampaikan kabar duka itu.
Jalan lebih jauh ke arah timur, rombongan ini lantas
bertemu dengan rombongan dari Yo Kian Tong, Khau Jie
Chiu dan Lui Keng Cun. Mereka itu, dengan diantar oleh
Loa Keng Cun hendak menyusul ke Okgu San, maka
kebetulan sekali di situ mereka berpapasan.
Setelah berkumpul menjadi satu, Siu Lian ajak
rombongannya singgah di sebuah rumah penginapan, di
sini mereka gunakan tempo akan menutur apa yang mereka
lakukan. Siu Lian tuturkan pengalamannya selama dua hari di Okgu San.
Setelah saling menutur, mereka lantas bicarakan soal
tujuannya terlebih jauh.
Siu Lian nyatakan ia tak niat kembali ke Pakkhia, ia
hanya ingin pulang ke Kielok.
Lee Hong utarakan keinginannya buat pergi ke Cengteng
buat tengok encienya, buat sekalian kasih tahu encienya
yang sakii hati mereka sudah terbalas.
"Itu benar," kata Siu Lian, "sakit hati telah terbalas, kau pun telah ketemu engko-mu, maka encie-mu pantas
diberitahukan semua itu. Aku pikir baiklah Yo loosu yang antar Lee Hong ke Cengteng untuk sekalian melancong ke
Hoolam, sesampainya di Cengteng, kita berpisahan, sedang kau, setelah bertemu dengan enciemu, kau boleh pulang
bersama Yo loosu."
Yo Kian Tong setujui itu usul, ia bersedia akan antar Lee Hong.
Sekarang hanya Lui Keng Cun, yang tidak punya tujuan.
"Bila kau suka, aku undang kau bekerja sebagai piausu di Coanlun Piautiam," Yo Kian Tong usulkan. "Kau boleh turut itu Sun hiantee berangkat lebih dahulu ke Pakkhia, lain bulan kita akan bertemu pula."
Lui Keng Cun terima baik itu usul, ia menghaturkan
terima kasih pada itu piausutua.
Setelah dapat kecocokan, mereka lantas berangkat
dengan berpisahan. Sun Ceng Lee dan Lui Keng Cun
pulang ke Pakkhia, Siu Lian bersama Lee Hong dan Yo
Kian Tong menuju ke selatan. Su Poancu berangkat ke
barat dengan ajak Khau Jie Chiu. Ia pun tidak punya
tujuan, tetapi ia selamanya punya uang, maka ia berniat
kembali ke Shoasay. Khau Jie Chiu seharusnya balik ke
kotaraja, tetapi ia takut ketemu Lie Bou Pek, maka supaya ia jangan terlantar, si terokmok ajak padanya.
Perjalanan ke Cengteng dilakukan dengan lambat-lambat
tetapi toh pada suatu hari rombongannya Lee Hong sudah
sampai di rumah encie-nya atau Kiang sam-wangwee di
mana pertemuan antara dua saudara dilakukan secara
hangat. Lalu Siu Lian lantas pisahkan diri, meskipun Lee Hong merasa berat akan berpisahan dari nona yang gagah
itu, yang telah berbuat banyak untuknya.
Banyak yang dua saudara itu bicarakan dan Lee Hong
telah empo-empo keponakan laki-laki, anak dari empenya
itu. Tapi ia tidak boleh buang tempo terlalu lama, maka
selang beberapa hari, ia terpaksa pamitan dari encie-nya akan ikut Yo Kian Tong buat perjalanan pulang.
Pada suatu hari mereka telah sampai di Cianggi-mui. Di
sini Yo Kian Tong singgah, ia cari hotel untuk Lee Hong, kemudian ia sendiri dengan menunggang kuda, masuk
terlebih dahulu ke dalam kota, guna pulang ke piautiam,
buat ambil kereta guna sambut nyonya Tek yang muda itu,
buat dihantarkan pulang ke rumah keluarga Tek. Hingga
Siau Hong, isterinya, dan Bun Hioug, girang bukan main.
Setengah bulan lebih Yo Lee Hong berada di luaran, di
mana ia menderita kaget dari bencana, kehausan dan
kelaparan, kurang tidur, duka dan puas, girang dan
gembira, senang cuma terharu, ketika ia sampai di rumah
suaminya, padanya ada terdapat perubahan. Berada di
tempat terbuka sekian lama, kulit mukanya telah sedikit
hitam, tubuhnya menjadi sedikit kurus, tetapi di samping itu. Ia jadi terlebih sehat. Sekarang ia terlatih benar-benar, hingga badannya menjadi ulet. Dan kalau tadinya sepasang alisnya yang bagus sering-sering beradu satu pada lain, dan kalau ketemu kedua mertuanya ia suka menangis
sendirinya, sekarang sepasang alisnya ada terbuka benar-
benar. Hanya di waktu menutur, di bagian berduka ia
menjadi lesu dan sedih, di bagian girang dan puas, ia jadi bersemangat.
"Syukur kau pulang ini hari," kata Tek toa naynay
akhirnya, kalau tidak, besok orang akan sangka kau benar-benar tidak ada di rumah sejak kepergianmu ini! Giok
naynay telah menutup mata jenazahnya telah ditunda di
rumah sembilan hari lamanya, besok ada hari kembang,
lusa jenazah itu hendak diangkut ke kuil Kongyan Sie di
luar tekseng-mui, untuk di,inapkan di rumah berhala itu. Di hari ketiga aku telah pergi melawat ke keluarga Giok itu, kau tidak turut aku, maka ada banyak orang yang tanyakan tentang kau. Aku tidak bisa terangkan kemana kau telah
pergi, terpaksa aku mendusta, bahwa karena kesehatanmu
terganggu kau tak bisa keluar dari rumah. Ada orang yang menanya ia bahwa kau telah mulai beebadan dua ..."
Mukanya Lee Hong menjadi merah dengan tiba-tiba.
"Dan sekarang kau boleh beristirahat, anak," kata sang mertua kemudian, "besok aku nanti ajak kau mengunjuk
kehormatan yang penghabisan pada Giok thaythay itu,
supaya sekalian semua sahabat dapat lihat kau, orang tak curigai kau. Dengan begini pun kau jadi bisa tutup rahasia tentang perjalananmu."
Hati Budha Tangan Berbisa 3 Cinta Bernoda Darah Serial Bu Kek Sian Su 3 Karya Kho Ping Hoo Pedang Darah Bunga Iblis 2
^