Pencarian

Harimau Mendekam Naga Sembunyi 19

Harimau Mendekam Naga Sembunyi Karya Wang Du Lu Bagian 19


Lee Hong masuk ke kamarnya, bukan untuk beristirahat,
hanya buat salin pakaian dan berhias dengan rapi, akan
akhirnya ia keluar pula guna layani mertuanya sebagaimana biasa, akan urus segala kepentingan suaminya, yang sampai sebegitu jauh ia anggap ia telah terlantarkan karena
kepergiannya itu. Ia telah bisa bekerja dengan terlebih gesit dan cepat. Sementara pada waktu malamnya, setelah
berada berduaan dengan suaminya di dalam kamar mereka,
ia bisa menutur lebih jelas pada Bun Hiong tentang
perjalannya. Perihal pengalamannya yang hebat. Ia pun
unjuk bagaimana Siu Lian beramai sudah bantu ia, hingga
ia terluput dari malapetaka hebat dan akhirnya bisa
membalas sakit hati, bisa bertemu engko-nya dan encienya juga.
Bun Hiong girang mendengar itu ceritera dan ia kagumi
isterinya ini, yang besar nyalinya dan gagah.
Dan besoknya tengah hari, sehabisnya bersantap, dengan
naik kereta Lee Hong turut mertuanya perempuan
berangkat ke gedungnya keluarga Giok buat memberi
hormat yang penghabisan didepan jenazahnya Giok
thaythay yang menutup mata saking menderita. Ia ada
pakai pakaian putih antero, gelungnya "Liong-pan tiau"
masih pakai tusuk konde emas akan tetapi tidak disertai
bunga, sedang mukanya dipulas pupur dan yancie tipis
sekali. Dirumah keluarga Giok ada terdapat banyak kereta lain-
lain orang, sanak atau sahabat, yang datang untuk turut
melawat atau mengembang. Sedang dari dalam, terdengar
berisik tetabuhan kedukaan.
Beda sekali keadaan kali ini pada tiga bulan yang lalu,
waktu perayaan pernikahan.
Begitu lekas kendaraan dikasih berhenti, dari dalam
gedung muncul beberapa budak yang menyambut kedua
tetamu. Mereka terus dipimpin masuk ke dalam.
"Kalau sebentar aku ketemu Kiau Liong, aku mesti
sampaikan pesanan koko kepadanya," demikian Lee Hong
telah pikir. "Ini ada ketikanya yang baik, untuk sampaikan pesanan itu."
Di dalam ruangan di mana peti mati diletakkan ada
terdapat banyak boan atau tiok anteran dari banyak sanak dan sahabat-handai amaranya yang berbunyi Ho Hoan Yau
Tie" dan "Hok Siu Coan Kwie". Teraling oleh ban-liang ada terdengar tangisan yang sedih.
Dengan layani, nyonya Tek tua dan muda telah pasang
hio untuk menjalankan kehormatan, kemudian mereka
dipimpin oleh budak-budak perempuan yang pakai pakaian
berkabung, untuk masuk ke pedalaman.
Lee Hong terperanjat dalam hatinya waktu ia lihat
mukanya budak yang pimpin. Itu ada budak Siu Hiang,
yang dikabarkan telah ikut nonanya "kabur" yang selama dalam perantauan ada pegang peranan sebagai isterinya
Kiau Liong si pemuda tetiron.
"Bagaimana ia sudah ada di rumah?" pikir ia.
Siu Hiang tidak tahu apa yang orang pikir, atau ia hanya bisa menduga, tetapi ia bersikap sebagaimana biasa saja.
"Apakah siau naynay sudah sembuh benar?" demikian
budak itu tanya, sambil bersenyum.
Lee Hong membenarkan pertanyaan itu.
Juga Tek toa-naynay ada heran melihat budak itu tetapi
ia diam saja. Orang masuk ke ruangan yang teraling tadi, di situ ada
tempat di mana dahulu Giok toa-naynay biasa berduduk
bersama suami dan anak mantunya, tetapi sekarang yang
berada di situ cuma ada Po In dan Po Tek serta anak-anak lelaki mereka. Mereka ini berkumpul di sebelah kiri, di
sebelah kanan ada tempat keluarga perempuan. Cuma di
antara mereka itu tidak ada Hui Cu, yang terluka di
tangannya Ho Kiam Go, lukanya itu anak menyebabkan ia
jadi jatuh sakit dan sakitnya berbahaya.
Diantara pihak keluarga itu waktu tetamu masuk, cuma
satu yang tidak berbangkit, ia duduk tetap. Rambutnya
telah disisirkan jadi konde nyonya Boan yang muda,
pakaian putihnya terdiri dari kain kasar semua, tusuk konde dan anting-antingnya semua putih, juga tali tanda
berkabungnya. Dengan melihat dandanan saja, sudah
ternyata ia ada menjadi haulie, sebab ia memang ada Giok Kiau Liong, puteri satu-satunya dari keluarga Giok itu. Ia ada bermuka pucat, tubuhnya kurus hingga karenanya,
matanya tertampak menjadi lebih besar. Dengan sapu
tangan putih di tangannya ia seka air matanya.
Tekthaythay dan nyonya mantunya hiburkan kedua
nyonya mantu keluarga Giok itu, tetapi selama sekian lama mereka bicara, Kiau Liong tetap bercokol saja.
Akhirnya Siu Hiang hampirkan nonanya.
"Thaythay dan naynay dari keluarga Tek telah datang,
pergilah siocia temui mereka," menganjurkan budak itu.
Baru setelah itu, dengan perlahan-lahan Kiau Liong
berbangkit. Tekthaythay menghampiri akan cekal tangan orang.
"Kau jangan berduka," ia menghibur. "Usianya
loothaythay sudah cukup, anak cucunya telah berbaris,
maka kau baiklah legakan hati, kesehatan tubuhmu ada
yang utama."
Kiau Liong tidak menyahut, air matanya turun deras, ia
menangis sesenggukan. Atau kadang-kadang ia cuma
anggukkan kepala. Siu Hiang terus dampingi nonanya itu.
Lee Hong sibuk sendirinya, karena sejak tadi, ia belum bisa dapat kesempatan akan bicara berduaan dengan Kiau
Liong, guna sampaikan pesanan dari engkonya. Ia kuatir ia nanti nampak kegagalan, sedang lain ketika yang baik sukar dicari.
Tidak lama, Tek thaythay dan mantunya diundang ke
ruangan tetamu, di mana sudah ada para tetamu lainnya,
tidak ada tertampak Lou thaythay, sang ce'em. Di sini Tek thaythay bicara pada sesamanya yang sepantaran usia dan
kedudukan, nyonya mantu ia cari kawan bicara sendiri.
Diluar, dari suaranya nyata ada datang banyak tetamu
lelaki. Tetabuhan berbunyi pula, pembacaan doa telah
dimulai oleh hweeshio, disusul oleh nikou, dan kemudian
suaranya toosu yang tinggi. Beberapa nyonya muda, berikut Lee Hong, pergi mengintip dari jendela, maka itu mereka
lihat sambilan toosu yang memakai jubahnya, dengan
tangan menyekal pedang dan atau jie-te, mendoa memutari
peti mati, tetabuhannya dipalu berbareng.
Kemudian datang gilirannya beberapa pendeta lhama
turut membaca doa, dengan suaranya yang lain dari pada
yang lain-lain. Mereka memakai kopiah dan jubah serba
kuning, kecuali tambur dan terompet melilit, juga ada
terompet panjang dan besar yang suaranya nyaring seperti suara kerbau.
Selama itu, juga Giok tayjin tidak tertampak diantara
tuan rumah. Tapi orang dapat lihat Lou Kun Pwee, si baba mantu, yang tubuhnya terokmok, yang pakai pakaian putih
yang gerombongan, hingga tubuhnya jadi lebih besar lagi.
Ia ada dipayang oleh dua hamba lelaki. Baik mulutnya,
maupun kedua matanya, ada sedikit miring. Tampaknya
ada sukar sekali untuk ia berjalan, hingga ia seperti tidak bisa angkat kaki kalau tidak ada orang yang pegangi
tubuhnya. Urusan ruwet diantara kedua keluarga Lou dan Giok,
terutama yang terjadi paling belakang ini, telah menjadi rahasia umum, karena hampir tak ada orang yang tak
mengetahui, hanya
karena orang mendengar saja,
umumnya orang sesalkan Kiau Liong.
"Jikalau bukan gara-gara dia", dimaksudkan si nona Giok, kedua keluarga tak nanti terjadi begini rupa, Lou
hanlin tentu tak dapat sakit piauswie separuh tubuh, dan Giok Siocia serta Hui Cu tentulah tak dilukai orang jahat, sedang Giok tayjin pasti tak akan kehilangan pangkatnya
karena urusan puterinya itu. Sekarang ini Giok tayjin jatuh sakit sehingga ia tak dapat ketemu para tetamunya"
Bukankah kematiannya Giok thaythay pun disebabkan
anak perempuannya?"
Justru itu, Khu siau naynay datang masuk, sesudah ia
pasang hio disebelah luar. Ia telah ketemu antaranya Kiau Liong, kemudian ia masuk ke dalam. Di antara para tetamu akhirnya ia dapat lihat Lee Hong, yang lantas ia samperi, ia tuntun nyonya muda ini ke pinggiran.
"Kapan kau pulang?" ia tanya dengan perlahan. "Apakah semua beres?"
Lee Hong terperanjat, ia tidak sangka nyonya agung ini
ketahui rahasianya.
"Semua sudah beres," ia menyahut dengan cepat. "Baru kemarin aku pulang..."
"Apakah Siu Lian turut pulang?" Khu siau-thaythay tanya pula.
"Tidak. Kita berpisah di Cengteng di rumah encie-ku. Ia terus pulang ke Kielok."
Nyonya agung itu menganggukkan kepala lalu tinggalkan nyonya muda itu.
"Encim!" memanggil Lee Hong.
Nyonya Khu Kong Ciau balik tubuhnya, ia menghampiri
pula. Sekarang Lee Hong yang balik menanya, tangannya
menunjuk melewati jendela.
"Kenapa Siu Hiang kembali ada disini" Bukankah ia ikuti nonanya dan kemudian entah lenyap ke mana?" ia tanya.
"Sebenarnya mereka telah pergi jauh sekali," jawab
nyonya agung itu, tetap dengan suara perlahan sekali.
"Mereka pergi ke Liu-hoo-cun, di sana Siu Hiang berdiam di rumahnya seorang she Ciok. Nyonya tua dari keluarga
Ciok itu nyata ada Ciok Mama, yang dahulu bekerja di
gedungku. Kau tentu tidak kenal perempuan tua itu, tetapi mertuamu perempuan kenal padanya Kiau Liong titipkan
budaknya di sana, ia sendiri lantas pergi akan lakukan
perbuatan-perbuatannya yang berandalan. Siu Hiang tetap
berdiam di tempat tumpangannya itu, ia tunggu nonanya
yang tidak balik, sampai belum lama ini Lie Bou Pek telah dapat cari Siu Hiang di rumahnya Ciok Mama itu, pada Siu Hiang ia tuturkan yang nonanya sudah pulang dan telah
jadi Lou siau naynay, kemudian ia minta anaknya Ciok
Mama antar budak itu pulang. Karena mulanya anak Ciok
Mama antar Siu Hiang kepadaku, aku jadi dapat tahu
segala apa dari mulutnya budak itu. Ini telah terjadi
kemarin dulu. "Anaknya Ciok Mama bersama ayahnya berada di
gedungku sekarang, mereka masih belum pulang. Siu Hiang
ada budak yang baik sekali, waktu ia dengar majikan
tuanya menutup mata, ia minta aku ijinkan ia pulang
kemari untuk unjuk kehormatannya pada nyonya tua itu
sekalian untuk bantu-bantu di sini. Baru satu hari Siu Hiang berdiam di gedungku, lantas aku kirim ia kemari. Untuk itu, aku terlebih dahulu minta perkenan dari toa siau naynay di sini. Tadi pagi ia pulang kemari. Aku percaya, bila segala apa sudah selesai di sini, Siu Hiang tentu akan ditanyai segala keterangannnya. Lain dari itu, aku percaya, Kiau
Liong tidak akan bisa tutup rahasia pula bahwa ia ada
punya kepandaian silat yang liehay, bahwa ia telah kenyang merantau. Hubungannya dengan Lo Siau Hou pun semua
orang telah ketahui. Giok thaythay menutup mata karena
sakit, tetapi sebenarnya, itu diper lekas oleh kedukaannya mengingat lelakon puterinya ini. Ia tidak sangka, sebagai satu ciankun Siocia, dan begitu elok, Kiau Liong bisa jatuh hati kepada satu berandal besar. Sekarang ini baiklah Lo Siau Hou jangan muncul dikota raja, di sini ada beberapa pembesar yang niat bekuk padanya. Gim Sie telah dapat
sakit, sudah sembuh, ia telah bisa bicara, sekarang ia sedang rawat Hui Cu. Ia takut ketemui nonanya. Ia tidak berani
buka rahasia cara bagaimana nonanya sudah totok padanya
dan bagaimana nona itu sudah kabur dari rumah. Apakah
kau belum ketemu budak itu" Lihat ini hari, di antara
semua tetamu perempuan, siapa yang berani dekati Kiau
Liong" Mereka itu, yang sebagian takut, yang sebagian pula tidak puas dan memandang enteng kepadanya. Entah
bagaimana kalau umpama kedua engko-nya sudah pada
berangkat pergi, atau kalau nanti ayahnya menutup mata,
kepada siapa ia hendak andalkan diri" Siapa sudi bersahabat
padanya" Benar pihak mertuanya tidak ceraikan ia dari
suaminya, tetapi ia sendiri, mana mau pergi menumpang
pada mertuanya itu" Maka, kalau dipikir-pikir, ia harus
dikasihani... Ketika pertama kali ia datang di Pakkhia dari daerah perbatasan, ia ada sangat mentereng, semua orang
hormati dan kagumi padanya, sampai ada yang merasa
jelus juga. Tapi sekarang, umumnya orang merasa tak puas terhadap dirinya..."'
Khu Siau-naynay berhenti bicara, karena ada tetamu
lain, yang datang mendekati mereka, maka Lee Hong lantas samperi mertuanya, yang ia dampingi.
Di luar, tetamu lelaki, tua dan muda, telah datang
bertambah banyak. Tetabuhan upacara terus diperdengarkan, sembahyang telah dilanjutkan, dicampur
suara tangisan, hingga segala apa terdengarnya berisik
sekali. Terus sampai sore, sebagaimana orang lihat, Kiau Liong
tetap duduk bercokol, tidak bergeming, tidak bicara. Semua tetamu perempuan pulang satu persatu, tak kecuali Tek
toanaynay, Lee Hong dan Khu siau-naynay.
Sampai jam dua, ketika semua anggauta keluarga hendak
meningalkan peti mati, orang pada menangis, dan Kiau
Liong menangis sambil berlutut di depan peti, sampai dua kali ia rubuh dengan tak ingat suatu apa, hingga orang repot menolong menyadarkan padanya. Toh, kecuali menangis,
ia tetap tidak mau bicara.
Kiau Liong tidur tetap di kamarnya yang lama. Itu ada
kamar yang di belakang jendelanya ada tempat rahasianya
untuk menyimpan pedangnya, pakaian malam dan kitab
rahasia ilmu silat. Sekarang ia cuma bisa awasi itu tempat rahasia yang kosong, hatinya dirasakan sakit. Di samping pembaringannya ada tulisannya yang huruf-hurufnya indah,
bunyinya "Ie In Hian Cujin", atau artinya, pemiliknya kamar Ie In Hian. Cap atau tanda tangan dari tulisan itu masih baru. Sekarang tulisan itu berpeta di antara sinarnya api lilin, maka melihat itu, otaknya kembali bekerja. "Ie itu, artinya "pikiran", tetapi di sini dimaksudkan "Ie, kenang-kenangan. Sedang "In" terang ada "In" dari Poon Thian In, si Awan di Tengah Langit.
Kiau Liong mengerti dengan baik, Poan Thian In ada
orang yang ilas-ilas usia mudanya, yang buat kacau
ketenangannya sebagai ciankim Siocia, yang telah rusaki
ketenteraman rumah tangganya tetapi di samping itu, ia toh tetap tak bisa lupakan kegagahan orang, keberanian,
kekasaran dan hatinya yang mulia. Ia tahu, Poan Thian In ada sangat menyintainya seperti ia tergila-gila pada itu kepala berandal dari gurun pasir. Ia mengerti, karena gagal cita-citanya, Poan Thian In jadi seperti kalap dan telah mencoba musuhkan ia secara melewati batas. Satu waktu ia benci itu anak muda, lain waktu ia berkasihan, tetapi
umumnya, ia tak dapat melupakan kepadanya.
Maka itu, akhir-akhirnya,
ia mendekam di pembaringannya, ia menangis tersedu-sedu...
Bersama-sama nona Giok ada Cian Mama, itu budak
tua, yang tadinya melayani Giok thaythay yang oleh si
nyonya itu ada sangat dipercaya dan disayang. Ia sekarang berada pada ini majikan muda, karena di saat hendak
hembuskan napasnya yang penghabisan ibu itu pesan pada
anaknya. "Anakku, dalam segala hal, aku tidak persalahkan pada kau, aku hanya sesalkan diriku telah kurang tilik
padamu. Tapi sekarang, aku ingin kau ingatlah baik-baik
kehormatan keluarga kita!"
Dan budak tua itu diperintah layani nonanya.
Kiau Liong ada sangat berduka, sudah sembilan hari ia
terbenam dalam kedukaan, air matanya seperti yak mau
berhenti keluar, sedang di lain pihak, dahar ia hampir tidak mau, bicara ia tak sudi, siapa pun tak mampu mengasih
nasehat atau menghiburkan padanya. Dan sekarang, selagi
ia menangis begitu rupa, Cian Mama bisa turut-turutan
menangis. "Sudah, siocia, sudah," akhirnya ia bisa juga berkata.
"sudah jangan kau dukai thaythay, thaythay tentu telah pergi ke Saythie untuk menghadap Budha, maka kalau
sekarang siocia bisa legakan hati, thaythay di hadapan
Budha, sambil mendengar pitutur, akan tenteram hatinya
.... Kalau tidak, pasti sekali thaythay tidak akan bisa
meramkan mata. Kau ada orang pintar, Siocia, mustahil
kau tak mengerti ini"..."
Kiau Liong tidak pedulikan nasehat itu, yang ia sudah
dengar banyak kali, hingga ia kasih lewat dari kuping yang satu ke kuping yang lain.
Dalam keadaan sebagai itu, Cian Mama jadi sangat
sibuk. Justru itu, terdengar suara pintu dibuka, mullie
disingkap dan seorang perempuan dengan pakaian putih
antero bertindak masuk, rambutnya dikepang menjadi
kuncir yang panjang.
Cian Mama mengawasi dan segera ia kenalkan Siu
Hiang. "Oh, nona Siu Hiang," ia berkata. "Kau lihat nonamu ini. Ia menangis tak mau berhenti, dengan
menangis terus-terusan apa itu nanti tak merusak
kesehatannya. Aku bekerja di sini sudah dua puluh tahun, aku ikut dari Pakkhia ke Sinkiang, dari Sinkiang kembali ke Pakkhia ini, tetapi aku tidak sangka, justru baru dalam satu tahun, sekarang telah terjadi hal-hal ini yang tidak terduga-duga! Siapa tak terluka hatinya akan saksikan keadaan
ini"..."
Melihat orang mengoceh, Siu Hiang lekas-lekas ulap-
ulapkan tangannya.


Harimau Mendekam Naga Sembunyi Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Cukup, jangan Mama sibuk tak keruan!" ia berkata.
"Siocia tak dapat dinasehatkan atau dihiburkan secara
begini, kau tak tahu adatnya Siocia. Sekarang silahkan kau undurkan diri dan beristirahat, nanti aku yang bujuki
siocia." Nyonya itu seka air matanya. "Sebenarnya dahulu kau
tidak harusnya berlalu," ia kata. "Jikalau kau turut iringi Siocia pergi menikah, boleh jadi tak akan terjadi perkara begini..."
Kembali Siu Hiang lekas goyangi tangan.
"Hus, jangan sebut-sebut itu! Pergilah lekas keluar!" Ia kata. Dan ia pegang tangannya nyonya itu ditarik keluar
kamar, kemudian ia tutup pintu dan terus kunci.
Ia lihat kamar ada guram, lebih guram dari pada
kamarnya keluuarga Ciok di Liu-hoo-cun di mana nyonya
Ciok yang tua memakai pelita minyak.
Sumbu lampu sudah berkembang, Siu Hiang antap itu, ia
tidak gunting, hanya samperi nonanya di pembaringan.
"Siocia!" berkata ia, seraya ia tepuk tangan nonanya.
"Selama dalam pengembaraan kita telah hadapi banyak bencana, semua itu sudah dihindarkan, maka kenapa
sekarang Siocia jadi begini putus asa. Thaythay telah
menutup mata, itu sudah jadi kehendak Thian, maka di
samping itu Siocia mesti ingat diri sendiri, yang masih
muda. Sekarang Siocia ada merdeka, di mana saja kau bisa tinggal menurut sukamu, dirumah mertua atau di rumah
sendiri! Atau dua-dua rumah itu Siocia tak setujui, aku
bersedia akan turut kau merantau pula! Bukankah Siocia
telah memikir untuk pergi ke Hengsan?"
Kiau Liong tadinya tidak lihat Siu Hiang, sampai ia
dengar nyata itu suara orang, maka ia lekas-lekas putar
tubuhnya dan mengawasi dengan kedua mata dibuka lebar-
lebar ia lantas saja berbangkit dan duduk.
"Aku justru hendak tanya kau!" ia kata, sikapnya
bernapsu, akan tetapi suaranya perlahan. "Kau berdiam di rumah keluarga Ciok, aku toh bukannya tak berikan uang
kepadamu! dan dengan orang-orang dalam rumah itu bisa
akur, kenapa sekarang kau datang kemari" Atau umpama
kau tak betah, kau boleh pulang ke Toh-boa-kok, ke
rumahmu! Kau anggap orang tidak tahu yang kau telah
turut kabur bersama-sama aku" Aku kuatir, sekalipun Cian Mama, ia ketahui tentang kita semua!"
Sejak tadi siang Siu Hiang datang, majikan dan nona ini
belum dapat ketika untuk bicara dengan leluasa.
Siu Hiang terperanjat mendengar kata-kata nonanya itu.
Ia lantas saja menangis.
"Kau bawa atau tidak itu barang-barang perhiasanku?"
Kiau Liong tanya pula sambil mengawasi dengan tajam.
"Atau kau tinggal itu di tempat yang selamat?"
Air matanya budak itu turun dengan deras.
"Inilah sebabnya mengapa aku pulang, Siocia," ia
menyahut kemudian. "Jikalau tidak, dengan tak ijin dari Siocia, tidak nanti aku berani berlalu dari rumahnya
keluarga Ciok tua itu."
Kiau Liong agaknya heran, tetapi ia tetap mengawasi.
"Ya, Siocia," berkata pula budak yang setia itu, "sejak Siocia berangkat, Ciok toako semua masih tetap mencari
Soat Hou setiap hari, hanya kucing itu tetap tak dapat
dicari..."
"Seekor kucing ..." kata nona Giok, sambil menghela napas. "Sudah hilang ya sudah hilang, sekarang aku tak mengharapkan lagi. Tapi, peti perhiasanku itu" Apakah kau tidak bawa itu bersama kau" Apakah itu masih ditinggal di rumahnya keluarga Ciok?"
"Aku ada bawa, Siocia, tetapi..." dan Siu Hiang merandek sebentar.
"Tapi apa?" si nona tegaskan.
"Pada suatu hari, ialah tanggal tiga, di rumahnya
keluarga Ciok ada datang satu orang. Ia adalah itu orang kumisan dengan siapa Siocia pernah bertempur mengadu
pedang..."
Kiau Liong kaget, hingga air mukanya berubah.
"Siapa ia" Kau maksud Lie Bou Pek?" ia tanya.
"Benar!" sahut Siu Hiang, "Ia sendiri akui bahwa ia ada orang she Lie. Ia bicara dengan ramah tamah. Ia datang
untuk cari aku, ia tidak minta apa-apa dari aku hanya kitab Kiu Hoa Koan Kiam Coan Sie. Aku jawab bahwa aku tak
tahu tentang kitab itu, bahwa ketika siocia pergi, yang
ditinggalkan melainkan pakaian dan selimut. Atas
jawabanku itu, ia tidak kata apa-apa, ia lantas berlalu.
Akupun lantas tak pikirkan itu. Malamnya Ciok jieso dan
adik Ciau Tee undang aku datang ke kamar mereka untuk
main kartu, ketika aku hendak meninggalkan kamar,
pintunya aku telah tutup rapi dan kunci..."
Baru Kiau Liong dengar itu, ia sudah tumbuk-tumbuk
pembaringannya.
"Ah, ah ... " ia perdengarkan kata-katanya yang ringkas, tanda dari kecemasan. Ia menghela napas berulang-ulang,
seperti untuk melegakan hati.
"Sekembalinya aku lihat pintu tidak terganggu dan
kamar ada rapi seperti biasa, akupun tidak curiga," Siu Hiang melanjutkan. "Bukankah Siocia larang aku sering-sering keluar kan peti perhiasan itu untuk diperiksa" Maka aku pikir peti itu tetap masih di tempatnya dan tak kurang suatu apa. Ketika aku hendak tidur, aku kunci pintu seperti biasa. Aku ajak adik Ciau tidur bersama-sama aku. Aku
tetap pikirkan kau, Siocia, maka itu malam, seperti biasanya aku tidur dengan kurang tenteram..."
"Sudah, bicaralah dengan lekas!" Kiau Liong mendesak.
"Kitab di dalam peti perhiasan itu lenyap atau tidak?"
Sembari sesenggukan Siu Hiang mengangguk.
"Benar di itu malam peti perhiasan telah lenyap," ia menyahut.
Kiau Liong keluarkan seruan tertahan.
"Besoknya pagi-pagi, Lie Bou Pek datang pula," Siu
Hiang melanjutkan, "ia mengetok pintu, karena kita semua belum bangun, ia datang untuk kembalikan peti perhiasan, yang tutupnya telah terbuka. Ia kasih tahu bahwa peti itu ia ambil tadi malam. Ia kata bahwa isinya pun tidak kurang
barang sepotong juga, melainkan kitab itu yang ia ambil, Ciok toako dan Ciok jieko tadinya tidak mau mengerti dan hendak bawa ia kepada pembesar negeri. Lie Bou Pek
terangkan pada kita bahwa Siocia sudah pulang ke kota
raja, bahwa di kota raja Siocia telah menjadi Lou siau-
naynay. Setelah itu ia lantas berangkat pergi. Kita kuatirkan Lie Bou Pek ada punya pengaruh, sedang aku tahu ia ada
sangat liehaydan itu, aku tidak berani berbuat suatu apa atas dirinya. Setelah itu empe Ciok anggap tidak tepat
untuk aku tinggal terlalu lama di rumahnya, ia nasehatkan akan aku pulang saja. Aku pun ingin beri tahukan kau
tentang hilangnya kitab itu. Maka akhirnya, aku minta
empe Ciok carikan aku kendaraan buat antar aku pulang.
Sekarang ini empe Ciok masih ada di Khuhu, ia kepingin
temui kau untuk menjelaskan sendiri tentang kehilangan
itu. Kemarin, selagi aku berada di Khuhu aku lihat Lie Bou Pek ada di sana.
"Ia datang untuk cari Khusiau Houya. Aku lihat ia telah
diperlakukan sebagai tetamu agung saja. Menurut Khu siau houya, ia angin aku jangan diantar pulang dahulu kemari, ia kuatir di belakang hari nanti terbit pula kesulitan. Akan tetapi kemudian, aku toh diantarkan hanya Khu siau
naynay telah pesan aku, asal kau tidak menanyakan tentang hilangnya kitab itu, aku pun boleh tak usah mengasih tahu, sedikitnya untuk sementara ini. Tapi aku memikir lain.
Mana bisa aku bungkam saja" Benar Siocia lagi berduka,
karena meninggalnya thaythay, akan tetapi hal kehilangan itu aku tak boleh diam-diamkan lama-lama..."
Siu Hiang bicara dengan perlahan, dengan roman
ketakutan. Ia benar-benar kuatir nonanya gusar dan nanti hajar padanya.
Tapi, di luar sangkaannya, Kiau Liong ada tenang.
"Jadi kitab itu lenyap" Jadi satu jilid pun tidak ada yang ketinggalan?" demikian si nona cuma menegaskan.
"Ya, Siocia. Dan barang-barang perhiasan sekarang
tinggal empat pasang gelang, enam pasang anting-anting,
sepuluh buah cincin..."
"Cukup!" Kiau Liong memotong. "Semua barang
perhiasan itu aku tidak kehendaki lagi, semua aku kasih
persen padamu. Kecuali Lie Bou Pek, apakah ada lain
orang lagi yang cari kau" Apakah kau tidak ketemu seorang she Lo?"
Siu Hiang melengak, separuh disebabkan itu persenan,
separuh karena sikapnya nona itu.
"Tidak," akhirnya ia menjawab.
Kiau Liong menghela napas dalam.
Siu Hiang bantui si nona loloskan pakaiannya
berkabung, akan buka sepatunya. Dengan tidak buka
pakaian dalamnya, lantas nona merebahkan dirinya.
Budaknya tutupi tubuhnya dengan selimut biru yang tebal, sedang bantal kepalanya dibuat sedikit lebih tinggi.
Buat sekian lama, Siu Hiang awasi itu nona, di mata
siapa tidak lagi tertampak air. Dan rebah diam saja, nona itu mirip dengan satu mayat, karena kedua matanya telah
dirapatkan. "Beginilah sekarang satu nona yang gagah laksana
naga." pikir budak ini, ia terharu berbareng jeri. Kemudian dengan perlahan-lahan ia turunkan kelambu ia angkat
lampu buat dibawa kekamarnya sendiri.
Dari luar kamar, dari jendela, masih terlihat cahaya api.
Di ruangan peti mati masih ada seorang yang menjaga,
yang terus membakar kertas. Lain dari itu, semua ada
sunyi. Semua tetamu sudah pada pulang, semua hamba
sudah pada mengasokan diri.
Kapan sang malam lewat, lantas datanglah hari
penguburan, mulai dari fajar orang telah mulai repot
bersiap, terutama tukang-tukang gotong dengan perabotnya penggotong. Diluar sekali, suara berisik sampai kedengaran ke dalam. Hweeshio, niekou, toosu, dan pendeta asing
lhama semua pada mendoa, dan suaranya ada lebih cepat
dari pada kemarin-kemarinnya. Tetamu, sanak dan sahabat, banyak yang datang.
Pada jam yang ditetapkan, semua anggauta keluarga
Giok, lelaki dan perempuan, tua dan muda, telah keluar,
mengitari peti mati, semua mereka pada menangis, hingga
bujang-bujang dan budak turut mengucurkan air mata.
Giok tayjin, dengan dipepayang turut muncul akan beri
hormat yang penghabisan terhadap isterinya, ia manggut-
manggut, ia banting-banting kaki, akan akhirnya kasih
dengar suaranya yang nyaring:
"Lekas, lekas gotong peti ke kuil. Menangislah di dalam
kuil! Di sini kasihlah kupingku menjadi tenang, kasihlah mataku pemandangan yang lain .... Kalau tidak, biarlah aku mati ... Oh, sungguh celaka!..."
Kembali ia banting-banting kaki.
Demikian satu jenderal, yang biasanya gagah dan keren,
sekarang jadi layu.
Giok tayjin kucurkan air mata, air mata mana turun
melewatipipinya sampai ke kumis dan jenggotnya yang
sudah putih. Ia menangis seperti juga ia ada anak kecil.
Maka beberapa sahabatnya sudah lantas menghampiri akan
menghibur. Po In dan Po Tek, semua dalam pakaian berkabung,
berlutut di depan layon, mereka menangis sampai hampir
pingsan. Tidak ada orang yang membujuk atau menghibur.
Melainkan Kiau Liong berdiam di dalam kamarnya
bersama Siu Hiang yang mendampinginya. Ia dengar suara
menangis dan berisik dari luar, suara bujukan, tampang
mukanya sebentar-sebentar menjadi pucat. Selama beberapa hari, ia cuci muka dengan air mata, tapi hari ini setetes pun air matanya tak keluar.
Sebentar suara di luar jadi sirap, itu tandanya tukang-
tukang gotong telah masuk ke dalam akan ikat peti mati,
untuk digotong keluar. Kepala tukang gotong sering kali
mengasih tanda pada orang-orangnya supaya mereka
bekerja dengan rapi. Lantas semua orang mengiringi layon itu.
Satu bujang lantas masuk ke dalam, akan undang
nonanya keluar untuk naik kereta.
Kiau Liong berdiam, matanya tidak bergerak kepalanya
tidak tunduk. Tapi Siu Hiang lantas pimpin ia, buat diajak keluar. Selagi mendekati pintu luar tiba-tiba di luar
terdengar tangisan yang sedih, yang mengharukan hati,
yang memilukan sekalipun orang dengan hati besi. Dan
Kiau Liong tak tertahan lagi, ia telah menangis, kedua
bahunya sampai bergrrak-gerak karena gemetaran.
Siu Hiang lekas-lekas kasihkan sehelai saputangan putih
pada nonanya itu, siapa gunakan itu untuk menutupi muka.
Layonnya Giok thaythay sudah berada di atas
penggotongan, ditutupi dengan cita sulaman dan koantha
dengan lukisan naga dan burung hong yang indah. Tukang
gotongnya ada enam puluh empat orang, semua
pakaiannya yang serupa. Jalan di muka ada gembreng,
lantas pay, payung, kampak dan lain-lain, sampai barisan burung-burungan, anjing, onta, kuda, lalu engteng, joli
kecil, siongsay-siong-hoo dan siongteng, lengkap semua
upacara. Habis ini ada barisan pendeta dan orang-orang
yang sangsheng, kebanyakan adalah sahabat pembesar-
pembesar negeri dan orang-orang ternama.
Jalan di depan layon ada kedua putera, dan di belakang
anggauta-anggauta keluarga perempuan, semua duduk
dalam kereta keledai, banyaknya sampai tiga puluh kereta lebih. Kereta yang jalan di muka antaranya ada yang
diduduki oleh Kiau Liong. Lerotan ada sangat panjang dan memenuhi seluruh jalan besar yang leba, setiap barisan
paling depan, yang memalu gembreng, sudah melewati
Tekseng-moei, yang belakang belum jauh melewati pintu
pekarangan. Penonton berjubelan di kedua tepi, banyaknya mereka melebihi ketika hari nikahnya nona Giok, ada yang datang dari tempat jauhnya belasan Lie. Mereka itu datang bukan untuk menyaksikan arak-arakan penguburan belaka,
hanya juga untuk melihat Kiauw Liong, nama siapa
sekarang telah jadi sangat terkenal ...
Tetapi ada sukar untuk melihat nona Giok dengan nyata.
Ia keluar dengan tutup muka, Siu Hiang dampingi ia,
sekejab saja, ia sudah naik atas kereta. Apa yang orang bisa lihat adalah potongan tubuhnya yang langsing, tidak
tampangnya. Meski demikian, orang toh masih berdesakan
mengikuti, untuk bisa juga melihat....
Di antara orang banyak ada juga orang-orang yang
hatinya kebat-kebit, kuatir akan terulang kejadian dahulu, di mana seorang dengan roman gagah muncul dengan
panahnya yang liehay, hingga arak-arakan kemantin jadi
kacau balau. Hanya syukur, sekarang sampai di Koogyan
Sie, semua berjalan dengan tenang.
Kongyan Sie ada satu kuil yang besar dengan
pekarangan lebar sekali. Adalah di sebelah timurnya di
mana ada kedapatan tumpukan tanah tinggi dan banyak
pepohonan, besar dan kecil, di mana pun ada terdapat
banyak gagak dengan suaranya yang berisik. Itu adalah
yang dipanggil Toushia atau Kota Tanah, yang asalnya ada sisa kota dari bangsa Liau atau Kim. Dan di sanalah, pada tahun yang sudah, Lau Tay Po dan Coa Siang Moay untuk
pertama kali menemui Pekgan Holie, hingga Giok Kiau
Liong telah lukai Coa Kioe. Itu adalah tempat penempuran di mana Kiau Liong untuk pertama kali perlihatkan
kegagahannya, yang kemudian menyusul rentetan dan
lelakonnya yang hebat-hebat.
Ketika Kiau Liong turun dari keretanya, maunya lantas
lihat itu tempat yang ia kenal dengan baik, maka
mendadakan semangatnya terbangun.
"Apa dengan begini aku mesti habiskan lelakon
hidupku?" demikian ia kata dalam hatinya.
Layonnya Giok thaythay diletaki di ruangan sebelah kiri
dari kuil, di sini kembali dibuat upacara sembahyang,
hingga semua orang alim mesti membaca doa pula dan
membakar kertas. Adalah setelah magrib, Kongyan Sie
menjadi sunyi seperti sediakala. Cuma Giok toa-siauya Po In berdiam terus di dalam kuil untuk temani layon ibunya, yang lainnya semua sudah pulang, tidak terkecuali Kiau
Liong. Selagi melewati Toushia, Kiau Liong melongok dari
jendela keretanya, Ia lihat sinar layung dari matahari
magrib. Sang angin menyambar-nyambar, angin dari
musim rontok, suara saling sahutannya gagak tak sedap
didengarnya. Lantas saja Kiau Liong ingat akan padang
pasir Sinkiang dan tanah datar dimana kawanan gembala
kambing perdengarkan suara suling mereka. Maka itu,
hatinya jadi sangat sedih.
Di rumahnya Kiau Liong ada merdeka, ia boleh pulang
ke rumah keluarga Lou atau menetap di rumahnya sendiri.
Bersama ia masih ada dua bujang perempuan, satu tua dan
satu muda, dari keluarga Lou, tetapi itu hari dua-dua
bujang itu ia kirim pulang.
Di rumahnya ini, Kiau Liong cuma ijinkan Siu Hiang
sendiri layani ia. Ia pun tidak kerjakan apa-apa, kecuali ia suka tengok Hui Cu akan obati luka buatannya sendiri.
Malah dengan kedua ensonya, jarang sekali ia bercakap-
cakap. Oleh karena perkabungan, dan Giok centongpun sudah
meletakkan jabatan, sedang kedua engko-nya turut bercuci di rumah, keluarga ini boleh tak usah bergaulan seperti
biasanya. Pintu depan telah ditutup rapat setiap hari. Malah di dalam gedung, segala ruangan nampaknya sunyi sekali.
Selama ini, segala apa yang terjadi di luar Kiau Lioug
tidak mendapat tahu, ia tak mempedulikannya.
Lou thaythay dan Lou Kun Pwee tidak pernah datang,
melainkan bujang-bujang dan keluarga itu, masih kadang-
kadang datang untuk longok si nona mantu... Di antara
kedua keluarga, seperti sudah putus perhubungan.
Musim rontok ada musim dan hujan dan angin, disusul
dengan hujan salju, yang buat hawa jadi semakin dingin.
Kiau Liong ada punya ratusan pohon seruni, tetapi


Harimau Mendekam Naga Sembunyi Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sekarang ia tak perbatikan itu, bukan saja ia bosan
membaca, ilmunya pun ia alpakan, tidak pernah ia melatih diri.
Pada suatu hari Cian Mama datang dengan seekor
kucing bulu kuning, matanya bundar dan besar, ekornya
panjang, bulunya tebal, kalau dipandang di cahayanya
matahari, bulu kucing itu seperti menyinarkan cahaya api.
Kecuali warna bulunya, kucing itu mirip dengan Soat Hou.
Cian Mama bawa itu kucing dengan keinginan akan
menghibur si nona, Siu Hiang pun anggap kucing itu ada
lebih bagus dari pada si kucing putih yang bulunya mirip salju. Tapi Kiau Liong tak sukai kucing ini, sambil goyang-goyang tangan ia kata: "Lekas bawa pergi, lekas bawa pergi, aku tak suka ada kucing di kamarku ini!"
Setiap hari Kiau Liong berpakaian hijau, mukanya tidak
dipulas pupur, rambutnya tidak dihiasi bunga. Setiap pagi, sehabis Siu Hiang sisiri ia, lantas ia duduk, di kursi kayu merah yang dialaskan dengan kain yang tersulam. di
sebelah depan ia ada menyala perapian dari perunggu, yang memakai para-para kayu, dengan sepit ia tambahkan arang
di perapian itu. Atau ia suka tumpuki arang dibuat seperti gunung-gunungan hingga kalau dikipas, api jadi marong
sekali. Atau dengan sepit itu, ia gerak-geraki tangannya seperti menulis huruf-huruf, sesudah mana, lantas ia
menangis dengan sedih. Tapi pun pernah dengan sepitnya
itu, yang memakai rante, ia menimpuk ke samping
pembaringan di mana ada sebuah pintu yang dilukiskan
dengan bunga boutan, hingga sepit menancap di lukisan
bunga itu. Siu Hiang mesti lekas-lekas ambil sepit itu untuk dipulangkan pada nonanya. Dan kalau terjadi begitu, budak ini jadi berkuatir, pikirannya bingung.
Demikian setiap hari Kiau Liong tuntut penghidupannya. Nasi dan
air mesti dibawa
ke hadapannya, kalau tidak, ia tidak dahar sama sekali. Tidak dalam soal makan saja, juga dalam soal berpakaian ia tak lagi teliti sebagaimana dulu dulu Sekarang asal semua
pakaiannya bersih.
Kapan sang musim dingin hampir berakhir, musim
pertama lalu datang mendekati. Sekarang nona Hui Cu
sudah sembuh, maka itu hari, Lim Mama lelah empo ia
datang pada bibinya, sedang Gini Siu empo adik lelakinya Hui Cu, yang dikasih nama Kong yang dipanggil Kengjie.
Hanya Gim Sie sendiri tidak berani masuk ke dalam kamar.
"Toa-naynay perintah bawa nona Hui Cu kemari untuk
ia menemui bibinya," demikian katanya Lim Mama.
Kongjie, yang belum mengerti apa-apa, tarik-tarik
bibinya itu. "Koh, apa kamarmu ini bersih?" ia tanya. "Mari, koh, ikut aku gotong peti."
Kiau Liong tahu keponakan itu ngoceh, ia tarik tangan
orang, ia tertawa meringis, ia agaknya suka sekali kepada keponakan itu.
"Eh, koh Liong!" tiba-tiba Hui Cu bertanya, "ketika itu hari kita tinggal di bio, selagi hujan dan penjahat datang, kenapa kau dandan begitu rupa" Dan itu penjahat yang
lukai aku, kau telah dapat tangkap atau tidak".... "
Air mukanya nona ini berubah kapan ia dengar
pertanyaan itu, berubah menjadi merah padam. Maka Siu
Hiang lekas-lekas kasihkan satu bungkusan pada Hui Cu,
guna cegah ini bocah bicara terlebih jauh.
Tapi Kong-jie yang merayap naik ke kursi, lantas
berseru: "Aku mau belajar seperti koh Liong, buat naik ke atas genteng dan melempar piau."
Siu Hiang jadi ibuk sekali, lekas-lekas ia empo dan
turunkan bocah itu sedang Lim Mama mengempo lebih
jauh untuk dibawa keluar bersama-sama Hui Cu.
Kiau Liong menjublek sekian lama, lantas ia menghela
napas. Dengan lewatnya sang hari, sampailah di akhir tahun.
"Oh, Siau Hou!"
Ingat orang she Lo itu, Kiau Liong tak mendongkol lagi
sebaliknya ia berduka. Ia tak bisa lupai cintanya Siau Hou, ia kagumi nyali besar dari orang she Lo itu. Dan ... ia segera teringat pada tanah datar, pada gurun pasir, pada kuil tua.
Ia lantas bayangkan kegagahannya Siau Hou ketika ia ini
menyekal golok dan membakar surat perjanjiannya, itu
surat perjanjian yang bikin ia mesti menyerah terhadap Kun Pwee, satu hanlim terokmok yang tak punya tenaga sedikit juga. Ia kagum waktu ingat bagaimana Siau Hou berlalu
dengan gagah dari hadapannya, untuk seterusnya
menghilang, hingga selanjutnya ia tak tahu di mana
mondoknya bekas jago dari Sinkiang itu.
Justru Kiau Liong ingat Siau Hou dan jadi tersengsam,
lapat-lapat ia seperti dengar bisikan ibunya; "Anak yang baik, kau harus jaga namanya keluargamu!"
Itu ada sebagai pemberian ingat untuk ia jangan
dekatkan Lo Siau Hou supaya ia jangan menikah pula
dengan orang she Lo itu. Tapi, ia tak sanggup lupai
bayangannya itu anak muda ...
Di lain kamar, Giok tayjin rebah dengan sakitnya yang
jadi tambah berat, sembari menderita, ia sering memaki,
dan orang yang ia umpat caci adalah Kho In Gan, ia seperti anggap Kho In Gan itu ada musuh turunannya. Tapi
caciannya itu cuma beberapa orang saja yang tahu, ialah
orang-orang yang pernah ikuti ia di Sinkiang. Hingga
mereka itu tahu baik, Kho In Gan adalah si orang tua yang lemah lembut sikapnya, yang kumisan, yang jalannya halus, yang omongannya rapi. Dan orang she Kho itu sudah lama
menutup mata di Boatshia di mana mayatnya dikubur.
Hanya Kho In Gan itu benar telah menikah Pekgan Holie,
itu penjahat perempuan. Toh, di mata mereka ini, di antara Kho In Gan dan Pekgan Holie dengan tayjin mereka, tidak
ada hubungannya.
Dalam satu hari, Giok tayjin suka memaki sampai
belasan kali. Juga Giok tayjin nyatakan ia tak suka ketemu pula
dengan puterinya, maka itu, semua bujang atau budak
dustakan ia, katanya: "Nona Kiau Liong sudah pulang ke rumah mertuanya."
Kiau Liong tahu sebab-sebab sakit ayahnya, ia ada
sangat berduka dan menyesal.
"Ibu menutup mata karena aku, maka sekarang aku tak boleh buat ayah meninggal karena aku juga ..."
Tapi ia tak mengerti ilmu ketabiban, ia tak bisa rawat
ayahnya itu, ini buat ia menyesal. Semua ia mesti serahkan pada bujang-bujang. Maka akhirnya ia cuma bisa memuji
pada sinbeng, ia sendiri lalu menulis salinan kitab Kim
Kong Keng, sebagai cara untuk berkaul ia berjanji, kalau ayahnya dapat tertolong, hingga sembuh benar dari
sakitnya, ia janji akan di dalam bulan ke empat ia hendak pergi ke Kim Teng Biau Hong San buat bersembahyang,
buat korbankan dirinya dengan terjun ke dalam jurang.
Dalam kesunyian, harian tahun baru telah dilewatkan
oleh keluarga Giok, selama itu, sakitnya Giok-tayjin tetap bertambah berat, maka Kiau Liong tetapkan pada tanggal
lima belas ia hendak pergi ke Tonggak Bio, untuk
bersembahyang, guna memohon perlindungan umur bagi
ayahnya. Akan tetapi, baru saja lewat tanggal sepuluh pihak Lou telah kirim satu sanaknya sebagai utusan akan
menemui Giok toasiauya, untuk menyampaikan usulnya.
Kata pihak Lou itu: "Kedudukan kedua keluarga ada
sedemikian rupa tapi penyakit Lou siauya belum kelihatan hendak menjadi sembuh. Giok Siocia tetap belum mau
kembali, maka keadaan ini ada tidak sehat, ini keadaan
gampang menyebabkan timbulnya rupa-rupa dugaan di
pihak orang luar. Oleh karena itu, andaikata Giok Siocia sudah ambil putusan untuk tidak kembali adalah terlebih
baik bila perhubungan antara kedua pihak diputuskan saja.
Pihak Lou nanti kembalikan semua barang panjer, dari
pihak Giok nanti turut berbuat demikian juga, secara begini, jadi tidak berarti yang pihak Lou ceraikan pihak Giok.
Secara begini, untuk di kemudian hari, benar perhubungan persanakan telah terputus, akan tetapi persahabatan
berjalan tetap seperti biasa."
Giok toa-siauya tak dapat setujui usul itu. Putusan
demikian bagi keluarga Lou tidak berarti apa-apa, akan
tetapi akibatnya untuk keluarga Giok ada hebat. Itu tetap berarti perceraian. Umpama Lou Kun Pwee sembuh, lama-lama bisa menikah pula, dengan lain keluarga yang
kenamaan, akan tetapi bagaimana dengan Kiau Liong"
Kemana nona ini akan taruh mukanya" Pihak Giok tetap
ada punya anak perempuan yang "dikirim balik" dan ini ada mempengaruhi kehormatan, bisa menghalangi kemajuan
putera-puteranya. Maka diakhirnya, Giok toa-siauya kirim tetamunya balik dengan perjanjian yang ia akan dayakan
agar adiknya suka kembali kerumah suaminya.
Setelah tetamunya pergi. Po In dan Po Tek lantas buat
permufakatan, di antaranya isteri-isteri mereka turut
berunding. Sebagai kesudahan diambil putusan, jie siau-
naynay dikirim kepada Kiau Liong, untuk bujuki si ipar
pulang ke rumah suaminya.
Kiau Liong tidak tentangkan itu putusan, ia jawab enso-
nya begini: "Aku berdiam di rumah orang tua sekarang bukannya tidak dengan alasan, aku sedang menunggui ayah
yang sedang sakit. Asal ayah sudah sembuh, aku tentu akan lantas berangkat."
Alasan ini benar ada alasan yang kuat. maka itu, Po In
lantas kirim balasan pada pihak besannya, hingga pihak
Lou, yang mengerti pantasnya alasan itu, terpaksa berdiam, menanti dengan sabar.
Tapi Kun Pwee, yang sakitnya tak mau sembuh,
begitupun Lou thaythay, sudah tak mengharap-harapkan
baliknya si isteri atau si nona mantu. Hati mereka sudah tawar, malah hati mereka goncang. Sekarang mereka tahu,
kecuali Kiau Liong pandai silat, ia juga ada punya kawan atau sahabat yang semua gagah, terutama Lo Siau Hou, si
kekasih, ia ini tak nanti ada yang sanggup kendalikan!
Maka mereka anggap, siallah siapa ambil nona Giok
sebagai nona mantunya.
Kiau Liong, cantik ia ada dari turunan keluarga
kenamaan, sekarang orang anggap sebagai makhluk yang
ditakuti, orang percaya ia ada setan pembujuk, atau ular berbisa yang elok. Malah engko-engko dan ensonya,
bujang-bujang juga takut dekat ia, kecuali Siu Hiang. Orang semua ingin menyingkir dari hadapannya.
Kiau Liong pun merasai anggapan orang banyak itu
terhadap dirinya, maka ia anggap ia tak bisa berdiam lebih lama pula di Pakkhia. Hanya, kalau ia pergi, ke mana ia
mesti menuju" Kitab Kiu Hoa Koan Kiam Coan Sie sudah
lenyap, Cengbeng-kiam dan panahnya, semua sudah lenyap
juga, hingga sekarang ia bertangan kosong. Dengan hanya
hati yang terluka, ia mesti pergi ke mana" Sedang juga,
ayahnya sedang sakit, dan layon ibunya masih belum
dikubur. Mau atau tidak, nona Giok menjadi bersusah hati,
hingga ia jadi sangat lesu.
Lagi tiga hari, orang telah sampai di hari perayaan Goan Siau. Kalau di jalan-jalan besar ada ramai, di gedung
keluarga Giok, kesunyian adalah yang tetap memegang
peranan. Kiau Liong telah ambil putusan akan bersembahyang di
Tonggak Bio, maka atas titahnya dengan diurus oleh Siu
Hiang, segala apa sudah disiapkan, dan kereta sampai
barang-barang sembahyang. Kereta yang telah mengaso
sekian lama meski tetap bertenda hijau, tetapi ditambahi tanda berkabung.
Rambutnya Kiau Liong dikonde model Liang-pan-tau,
konde melintang, perhiasannya pada batu kumala dan serba putih, tiga tangkai ... putih ada ditancapi disitu. Ia pakai
pupur tipis-tipis, tak dengan yancie. Ia pakai baju hijau dengan ujung tersulam, baju lapisannya ada serupa warna.
Ia ada pakai gelang kumala dan cincin juga, yang semua
berwarna putih, putih juga sepatunya. Dengan dandanan
ini, ia mirip benar dengan seorang nyonya muda. Ia pergi dengan tak ajak lain orang kecuali Siu Hiang sendiri. Budak itu dandan seanteronya mirip sebagai ia, melainkan
rambutnya dikepang panjang. Dalam kesunyian mereka
naik kereta, lantas tenda dikasih turun.
Itu hari ada hari yang hangat, sisa awan ada tertampak,
tetapi angin tidak ada. Hawa udara ada bersuasana muram
semu. Di jalan besar Houmui dan Su-Paylau Timur,
keadaan ada ramai, orang berduyun-duyun dan berjubelan,
suara mereka itu ada berisik. Sekali pun orang suci, yang lama
telah tinggal di pegunungan, akan
kagum menyaksikan keramaian ini.
Kiau Liong pun mengintip dari jendela keretanya, kapan
ia saksikan kegembiraan orang banyak, tiba-tiba ia merasa bahwa dirinya pun masih muda, bahwa ia ada punya tenaga
dan nyali, dan ia toh masih berhak akan mencari dan
mengicipi penghidupan senang. Ia masih bisa bersaing pada siapa juga, untuk berlomba, malah untuk berkelahi juga"
Setelah melihat itu dan berpikir demikian semangatnya
nona Giok jadi berontak, berbareng perasaan tak puas dan mendelu, timbullah pula kejumawaannya.
Siu Hiang duduk di luar, itu waktu ia menoleh ke
belakang, ia singkap tenda, sembari tertawa, ia kata:
"Siocia, lihat. Lihatlah keadaan yang begini ramai.
Dasarnya kota raja. Tak ada lain tempat yang dapat
menyaingi kota Pakkhia ini!"
Budak ini awasi nona majikannya, ia ingin nonanya itu
tertawa atau sedikitnya bersenyum, tetapi kesudahannya ia
dapatkan nona itu melainkan manggut dengan perlahan,
benar pada tampangnya tidak tampak kedukaan, toh
senyuman tak ada sama sekali.
Suara roda kereta terdengar nyata, meskipun orang ada
banyak dan suaranya berisik.
Siu Hiang lepaskan tangannya yang menyingkap tenda,
ia duduk pada seperti biasa. Ia menyesal tidak bisa buat nonanya gembira. Tapi, keramaian tarik perhatiannya
hingga buat sesaat itu, ia bisa lupakan nonanya itu.
Kata-katanya budak itu bukannya tak pengaruhi hatinya
Kiau Liong. Ia ingat betul pada tahun yang sudah, pada ini malam, ia dan ibunya telah saksikan keramaiannya pesta
Cap go meh dari atas lautengnya suatu toko cita yang besar.
Ia pun turut bergembira, karena ia tidak menyangka yang
Lo Siau Hou bisa ada bercampuran antara orang banyak di
bawah lauteng. Ia ingat pembilangan ibunya, yang Pakkhia ada terlebih ramai dari pada Sinkiang, tetapi ia sendiri mengatakan Sinkiang ada terlebih bagus, bahwa ia justru
pikiri Sinkiang. Sedang sebenarnya, ia mengharap-harap Lo Siau Hou berhasil mencapai pangkat atau kedudukan
tinggi, supaya mereka bisa menikah. Akan tetapi sekarang, beginilah nasibnya.
"Ia tak berhasil mencari pangkat bukannya ia tak
berdaya, itu hanya disebabkan kesulitan. Sudah lama ia
mencuci tangan, akan tetapi tetap orang banyak ketahui ia toh ada Poan Thian In Lo Siau Hou, asal penjahat! Ibu
sendiri, di saat hendak hembuskan napasnya yang
penghabisan, sudah pesan aku akan jangan dekati Lo Siau
Hou ... Ia harus dikasihani."
Dengan tak merasa kereta sudah melewati Ceeboamui.
Di mana, di begini kota Kwansiang, jalan besar pun ada
lebar dan ramai. Dan Tonggak Bio terletak di ujung timur
dari jalan besar, duduknya di sebelah utara. Di kuil itu keadaan ada ramai, ini bukan disebabkan terutama oleh
perayaan tanggal lima belas bulan pertama, hanya memang
setiap tanggal satu dan tanggal lima belas, ada banyak orang bersama
yang datang ke rumah suci itu
unjuk kehormatannya pada sinbeng yang mereka puja. Memang
biasanya Tonggak Bio lebih ramai dari pada di pasar Cio-
kiotin, Capgomeh memperlipat keramaian. Jalanan sesak,
sampai kereta sukar lewat.
"Numpang, numpang jalan!" berteriak si kusir yang coba
gunakan suara kusir dari keluarga besar. "Mengapa begini penuh di jalanan" Numpang, numpang!"
Tapi orang benar-benar banyak, mereka telah berdesakan, ada sangat sukar untuk membuka jalan. Mau
atau tidak terpaksa kereta mesti dikasih berhenti.
Kiau Liong suka mengalah, maka ia suruh Siu Hiang
turun dan bawa hio dan lilin, akan jalan berdesakan di
antara orang banyak itu. Kondenya beberapa kali telah kena kebentur, hampir rambutnya terlepas. Ia tidak mau
mendesak keras, karena di tempat begini ia tidak mau tarik perhatian orang banyak. Ia terpaksa jalan dengan tubuh tak tetap, karena dibentur sana, didorong sini, sebagaimana
yang lain-lain.
Itu waktu di depan nona Giok ada beberapa nyonya tua,
di kiri ia ada dua nyonya muda, tetapi di kanan ia ada tiga orang lelaki muda, semua sedang mengawasi ia dengan
mulut mereka yang bau bawang. Dan di belakang ia, entah
siapa, agaknya mendorong ia dengan keras. Suara berisik di sekitarnya pun buat kuping pengang.
Siu Hiang hampir menangis karena terjepit sana dan
terdorong sini.
"Aduh, aduh! Siocia, hati-hati. Hayo, jangan desak
siociaku," demikian budak setia ini berulang-ulang kasih dengar suaranya.


Harimau Mendekam Naga Sembunyi Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tapi, suara itu tak ada yang ladeni.
Kiau Liong sendiri tidak takut terdesak, asal ia mau, ia bisa tolak tubuh siapa juga, hanya itu tiga pemuda di kanan ia, buat ia sebal. Akhir-akhirnya karena tak bisa tahan sabar lagi, ia ulur tangan kanannya mengenai tiga orang muda
itu. "Aduh, aduh," demikian tiga orang lelaki itu menjerit, dengan bergantian. "Aduh, tanganku patah! Aduh!..."
Juga jeritan itu tidak ada yang pedulikan.
Sementara itu, dengan perlahan tetapi tetap, Kiau Liong
peroleh kemajuan, hingga pada akhirnya, mereka sampai
juga di pekarangan kuil, untuk masuk ke dalam. Di situ
sudah lantas terdengar suara tetabuhan, dan asap kelihatan mengepul mengulak.
Di Tonggak Bio orang puja malaikatnya gunung Taysan,
akan tetapi diruangan belakang ada berhala Soatian
GiamLo, ialah apakah Giam Lo Ong.
Semua pengunjung datang buat unjuk kehormatan, buat
mohon apa-apa, untuk membayar kaul, untuk menghaturkan terima kasih. Ada mereka yang memohon
umurnya diperpanjang, ada yang minta anak atau cucu.
Juga sebagaimana biasanya, ada orang-orang yang hanya
mau lihat keramaian, yang gemar berdesak-desakan dengan
orang perempuan, yang mau kerjakan tangan panjangnya,
buat mencari hasil. Mereka ini sengaja membantu orang
berdesak-desakan.,
Didalam pekarangan kuil, orang ada lebih berdesakan
dari pada di jalan besar. Hanya syukur, di depan meja
sinbeng, orang ada kurangan. Maka Kiau Liong dengan
dibantu Siu Hiang lantas pasang lilin dan pasang hio.Sambil berdiam, dengan mengembeng air mata, ia memohon
ayahnya dilindungi, supaya lekas sembuh dari sakitnya,
agar diperpanjang umurnya. Ia pun mohon agar ibunya
tenang di tempat baka. Di akhirnya ia utarakan
kemenyesalannya, atas apa yang ia telah perbuat, ia mohon maaf buat korban-korbannya yang ia mesti lukakan atau
binasakan saking terpaksa.
"Siocia, mari kita pulang!" Siu Hiang mengajak, sesudah nonanya pasang hio.
Kiau Liong seka air matanya dengan sapu tangan hijau,
dengan antap si budak tuntun ia, ia bertindak keluar.
Kembali sekarang mereka mesti berdesak-desak pula.
Banyak orang mau keluar, banyak juga yang mau masuk.
Tenaga mendorong di depan ada terlebih hebat dari pada di belakang, dari itu, untuk keluar ada lerlebih sukar.
Hampir Kiau Liong naik darah karena saking lambatnya
ia bertindak maju.
Justru itu di sebelah depan terdengar suara orang
perempuan, yang cempreng sekali.
"Aduh! Awas, eh! Awas kaki orang! Apakah kau mau
pergi ke Kwie-bun-kwan" Kenapa berdesak-desak sampai
begini?" "Tuan-tuan, numpang jalan, numpang jalan," begitu
terdengar suara seorang lelaki. "Numpang jalan, ada orang perempuan hendak masuk..."
Beberapa suara menjawab, dengan tidak terang.
Kembali terdengar suara cempreng dari perempuan tadi.
"Eh, kau makhluk apa" Apa kau bilang" Kau berani raba
tanganku" Apakah kau tidak lihat, siapa adanya
thaythaymu ini?"
"Sudah-sudah!" kata pula yang lelaki, "Ia tentu tidak sengaja! Kita jangan berselisih! Mustahil orang tidak kenali aku! Hayo, tuan-tuan tolong bagi jalan! Di waktu hari raya, jangan bergusar! Jangan berdesak-desak, nanti kalau ada
yang binasa, Giam Lo Ong jadi tambah repot! ... "
Kiau Liong kenali itu dua suara-suara, orang perempuan
dan lelaki, malah ia tak usah menunggu lama akan lihat
orangnya, yang berdesakan di antara orang banyak. Mereka adalah Lau Tay Po dan isterinya, Coa Siang Moay. Ia tidak nyana akan ketemu mereka di sini. Siang Moay dandan
serba merah. Meskipun diantara orang banyak, anaknya
Coa Kiu almarhum memberi hormat pada nona puterinya
teetok itu, dan ia unjuk air muka yang tersungging
senyuman ramai.
"Giok Siocia, kau pun berkunjung ke bio?" berkata
isterinya Itto Lianhoa. "Apa Siocia ada banyak baik" Aku ingin sekali kunjungi kau," ia kerutkan alisnya, ia agaknya berduka, waktu ia menambahkan: "Kita dengar tentang meninggalnya thaythay sayang kita tak dapat ketika untuk menyambangi... Apa Siocia berdua saja dengan ini toacie?"
ia tunjuk Siu Hiang. "Lihat, siocia, orang begini banyak, begini sesak! Di antara orang banyak ini, tentu ada yang hatinya busuk!" Kemudian ia terus kata pada suaminya:
"Coba kau minta jalan kepada orang banyak, supaya Siocia bisa diantar keluar! Mana bisa Siocia berdesak-desak secara begini?"
Tay Po menjura pada nona itu, kemudian ia putar
tubuhnya, akan hadapi orang banyak.
"Tuan-tuan tolong buka jalan sedikit! Lihatlah, tuan-
tuan, lihatlah, siapa adanya ini Siocia! Inilah ciankim Siocia dari bekas Kiubun Teetok Giok cengtong loo-tayji! Siapa
yang berani desak-desakan" Lekas buka jalan!..."
Aneh tetapi benar! Entah suaranya Tay Po yang
berpengaruh, entah namanya Giok Kiau Liong ada sangat
terkenal, selagi tadinya jalanan ada sesak, sekarang cepat sekali, satu jalanan ada terbuka, orang seperti berbaris rapi di kedua tepi, melainkan matanya semua orang menjurus ke satu jurusan!
Lau Tay Po lantas jalan di depan, Kiau Liong mengikuti,
di belakang si nona ada Siu Hiang, dan Coa Siang Moay
jalan dipaling belakang, laksana satu panglima perang
perempuan yang menjadi pengiring. Dengan begini,
sebentar saja mereka sudah sampai diluar, di keretanya
keluarga Giok. Mukanya Kiau Liong ada bersemu merah, meskipun ia
bisa jalan dengan leluasa. Ia terus saja naik atas
kendaraannya. Siang Moay datang mendekati dengan unjuk sikap
menghormat. "Nanti aku kunjungi kau, siocia," iaberkata dengan ramah tamah.
"Bukankah kau selamanya ada di rumah" Tentang
kejadian yang sudah-sudah, harap kau tidak tarik panjang pula..." Kemudian ia tarik tangannya Siu Hiang seraya terus berkata. "Bila ada ketikanya, toacie, carilah aku buat kita bercakap-cakap! Kita tetap tinggal di rumah yang lama,
tanya saja Siocia, tentu Siocia tahu!"
Tay Po pun mendekati, ia kata pada nona Giok: "Harap kau maafkan aku, Siocia! jikalau aku tidak ambil sikap
sebagai barusan, sudah tentu kau masih belum bisa keluar dari rombongan orang banyak ini. Apa yang terjadi dahulu,
itu sudah habis sebagai buyarnya asap. Siocia ada berbuat banyak kebaikan terhadap kita, kekeliruannya sedikit, maka di belakang hari ...."
Sebelum Tay Po tutup mulutnya, Kiau Liong sudah
menggentak turunkan tenda.
"Lekas berangkat!" ia kasih titah pada kusirnya.
Suaranya ada suara kemarahan.
Maka segera juga, roda-roda kereta menggelinding
dengan menerbitkan suara nyaring.
Orang masih banyak tetap tidak seperti tadi, mereka itu
kaget dan heran, semua menyingkir dengan lekas, semua
mengawasi ke arah barat, ke mana kereta berjalan dengan
cepat. "Apakah perempuan itu bukannya yang dahulu main
dangsu dan jalan di atas tambang di depan gedung itu?"
tanya Siu Hiang selagi kereta dikasih lari. Ia nampaknya berkuatir.
Kiau Liong tidak menjawab, air mukanya suram.
Si kusirpun bungkam, ia seperti ketahui duduknya hal, ia kasih binatang penarik keretanya lari dengan keras. Ia
berhentikan kereta di depan gedung, ia lekas turunkan
bangku untuk injak-injakan, maka Kiau Liong yang
dipimpin oleh Siu Hiang sudah lantas turun dari kereta.
Dengan cepat nona ini masuk ke dalam, mukanya sebentar
pucat sebentar merah. Ia gusar dan malu atas kejadian di Tonggak Bio tadi. Ia tak terlalu benci kepada Lau Tay Po dan isteri, tetapi ia heran atas sikap orang banyak, yang membuka jalan begitu cepat begitu lekas Itto Lianhoa sebut dirinya.
"Apakah benar di Pakkhia itu namaku telah jadi
sedemikian tersohor?" ia tanya dirinya sendiri. "Sampaipun
orang-orang perempuan dan anak-anak kecil ketahui
semua" Secara begini, umpama di Pakkhia ada terjadi suatu apa yang hebat, mirip atau sama seperti apa yang sudah
terjadi tiga tahun yang lalu, ialah itu pencurian mutiara di istana raja, pasti orang akan curigai aku, hingga, meski ada punya mulut, sukar untuk aku menyangkalnya. Bila itu
sampai terjadi cara bagaimana pihakku bisa meloloskan diri dari sangkaan" Ah, benar-benar aku tak boleh tinggal lebih lama di sini..."
Ingat sampai di situ, Kiau Liong lantas menghela napas.
Siu Hiang berdiri bengong mengawasi nonanya. Ia lihat
nonanya tidak terlalu berduka dan pun tidak gusar, agaknya si nona cuma kurang tenteram pikirannya. Si nona sering
bendiri diam, matanya mendelong kesuatu jurusan. Ia tidak mengerti tapi juga ia tidak berani kata apa-apa.
Pun sejak beberapa hari, setiap sore sehabisnya dahar,
Kiau Liong minta sepiring kecil cu-see yang sudah diaduk dengan air dan kertas kuning untuk ia menulis surat. Nyata ia sedang salin kitab Kim Kong Keng. Berbareng dengan
itu, ia minta di atas mejanya dibakarkan dupa. Tapi itu
sore, ketika ia hendak sediakan cu-see dan kertas, si nona mencegah.
"Tidak, tidak usah kau sediakan lagi, malam itu aku tak mau menulis," ia kata. "Dan pergilah kau tidur!"
Siu Hiang melengak itu waktu belum jam dua dan si
nona suruh ia tidur. Kenapa" Tapi ia tetap tidak berani
menanyakannya. "Dan serahkan kunci tromol padaku," kata pula Si nona.
"Lekas kau tidur!"
Kembali Siu Hiang melengak ia keluarkan anak kunci
dari sakunya dan serahkan itu di tangannya si nona. Setelah
selesai bereskan pembaringannya, ia tambahkan arang pada perapian dan gunting ujungnya lilin. Selagi ia sediakan teh, nona itu kembali mengasih tanda buat ia lekas undurkan
diri. Maka dengan hati-hati ia singkap muilie, ia tutup pintu di belakangnya.
Lonceng di tembok baru berbunyi delapan kali, akan
tetapi di luar dan di dalam pekarangan dan gedung keluarga Giok itu segala apa ada sunyi sekali. Sinar bulan yang
lemah, memain di jendela. Sang angin telah menyebabkan
cabang atau daun-daun pohon bersuara.
"Jauh di jalan-jalan besar lainnya, keadaan tentunya ramai luar biasa," pikir Kiau Liong. Ia ingat pada malam itu dan tahun yang lalu, ia telah ikut ibunya pergi
menyaksikan keramaian Capgomeh. Dan itu ada malam
yang ia telah ketemu Lo Siau Hou. Akan tetapi sekarang
ibunya sudah rebah tidur untuk selama-lamanya di dalam
peti dan Siau Hou entah berada di mana. Sungguh
perubahan yang luar biasa cepat!
Kiau Liong gerak-gerakkan tangannya, dan kakinya juga,
ia merasa bahwa ia masih ada gunanya. Ia lantas
ringkaskan pakaiannya, lalu ia bersilat dengan tangan
kosong, setelah itu ia melatih ilmu silat pedang, dengan perumpamaan saja. Ia merasa, meskipun ia telah
kehilangan kitab Kiu Hoa Koan Kiam Coan Sie, ia toh
telah dapatkan separuhnya lebih kepandaian dari kitab itu yang ia ingat dengan baik di dalam otaknya. Hal ini buat ia girang.
Ketika jarum pendek dan lonceng berada di nomor
sebelas, atau ini waktu hampir tiga Kiau Liong buka
tromolnya di dalam situ ia bulak-balik pakaiannya hingga ia dapat cari apa yang ia kehendaki, ialah sepotong baju hijau yang sepan, sepotong celana biru tua yang sepan juga.
Dengan itu macam pakaian, di antara cahaya rembulan,
orang akan sukar dapat lihat ia dengan nyata. Cuma
sekarang ia belum punyakan senjata. Tapi ia tak hiraukan.
Sekalipun dengan tangan kosong, ia masih bisa hadapi
banyak musuh. Bertindak ke pembaringannya, Kiau Liong dandan
dengan cepat, kemudian sebagai lapis luar, ia pakai satu baju kiepiau yang tak terlalu pendek. Sepatunya juga ia
tukar dengan yang dasarnya rata. Selama itu, ia pun
sekalian tunggu waktu, sampai jam tiga lewat. Dengan hati-hati ia membuka pintu dan terus pergi keluar, setelah lihat tidak ada orang lain di sekitarnya, ia loncat naik keatas tembok pekarangan, akan dari situ loncat lebih jauh ke
sebelah luar ke bawah. Di situ ada banyak pepohonan,
dengan semua bayangannya. Ia bertindak di sepanjang kaki tembok itu.
Rembulan ada terang dan indah sekali, di jalan masih
ada orang-orang yang mundar-mandir dalam rombongan
dari tiga atau lima orang, tetapi mereka itu tidak ada yang pedulikan nona ini. Mereka kebanyakan ada orang-orang
yang sudah lelah, ngantuk dan mabok arak. Atau meski toh ada yang melihatnya, tidak ada satu diantaranya yang
perhatikan si nona, sedang juga tak akan ada yang
menyangka bahwa ia adalah puterinya Giok cengtong.
Kiau Liong jalan terus sampai di depan Kouliau. Dari
sini ia melihat ke jalan besar Hou-mui, di kedua tepi jalan masih ada cahaya api, masih saja ada orang-orang yang
pesiar, sedang orang-orang yang berjualan masih terdengar teriakannya berulang-ulang.
Kapan si nona sudah sampai di sebelah timur Koulau
dan masuk kesatu gang kecil, di situ barulah ia tampak
kesunyian. Rumah-rumah di situ, dengan pintunya yang
kecil rusak, sudah pada ditutup atau dikunci. Justru di sini
Kiau Liong cepatkan tindakannya, hingga dengan lekas ia
sampai di sebuah kebun bunga yang besar.
Ia melusup masuk ke dalam taman. Di ujung utara ia
lantas dapatkan rumahnya Lau Tay Po yang kecil akan
tetapi terawat baik.
Berdiri didepan pintu, Kiau Liong buka kiepaunya akan
gubet itu di bahunya, kemudian dengan enjot tubuh, ia
loncat naik ke tembok terus turun ke dalam. Ketika ia
menginjak tanah, ia sengaja perdengarkan suara sedikit
keras. "Siapa?" Lekas menyahut demikian suara teguran dari Lau Tay Po, di kamar siapa api ada guram.
"Aku," sahut Kiau Liong yang menghampiri jendela.
"Tadi siang kita ketemu di kuil, aku ingin bicara padamu tetapi itu waktu tidak ada ketikanya, maka sekarang aku
datang kemari. Bukalah pintu!"
Atas jawaban itu, di dalam tidak terdengar suara apa
juga, agaknya orang tercengang.
Kiau Liong menunggu sekian lama, akhirnya ia berkata
pula, sekarang suaranya perlahan.
"Bukalah pintu! Aku tidak bermaksud jahat."
Baru setelah itu, di dalam terdengar suara orang berjalan, lantas pintu dibuka, di muka pintu muncul Coa Siang moay yang nampaknya tak bertenteram hati. di bawahnya sinar
rembulan ia pandang tetamunya dengan tajam. Ia
menghampirkan sambil bersenyum.
"Giok Siocia!" berkata ia. "Dengan datang kemari, kau ada menjadi kita punya tetamu agung! Silahkan masuk,
hawa di luar sangat dingin!"
Tay Popun muncul dengan bajunya yang tebal,
tangannya masih mengancing baju itu, ia berlaku hormat
sekali ketika hadapi tetamunya itu.
"Apakah Siocia baru habis pesiar?" ia tanya. "Keramaian di jalan besar Hou-mui tahun ini ada jauh lebih ramai dari pada tahun yang lalu, kita baru saja pulang. Apakah Siocia pun menonton ke sana?"
Kiau Liong tidak menyahut, ia bertindak dengan cepat
masuk ke dalam. Di dalam segera ia rasai hawa yang
hangat, sebab ada perapian yang apinya menyala marong.
Siang Moay masuk lalu buat besar api penerangan
kamarnya. Kiau Liong memandang kesekitar kamar, ia merasa
puas. Kamar itu ada bersih dan perabotannya lengkap
meski semua bukan terdiri dari barang-barang mahal. Ia
kagum buat itu sepasang suami isteri.
Di pembaringan ada rebah tidur satu anak kecil.
Tay Po sudah lantas datang dengan air teh, sedang Siang
Moay tarik tangannya si nona.
"Duduklah, Siocia " ia mengundang.
Kiau Liong ulapkan tangannya.
"Aku tidak mau duduk pun tidak mau minum teh," ia
menyahut. "Apa yang tadi siang terjadi di kuil itu disebabkan kegiranganku di satu waktu," berkata Tay Po yang hendak
menghaturkan maaf. "Kegiranganku buat aku lupa segala apa, jadi bukanlah maksudku akan perkenalkan socia
kepada orang banyak."
"Adalah kemudian, setelah orang banyak membuka
jalan, baru aku menyesal, malah aku berkuatir dan takut
kau gusar, Siocia..."
Nona Giok menghela napas, ia menggeleng kepala.
"Dulu kau terlalu mendesak aku," ia kata kemudian.
"Tetapi juga aku, aku telah lakukan apa-apa yang tak
selayaknya terhadap kau. Tapi itu ada kejadian-kejadian
yang sudah lewat, kita tak usah timbulkan lagi. Aku
mengaku bahwa aku telah rubuh ditangan kau!"
Tay Po terperanjat, sampai ia mencelat.
"Jangan mengucap demikian siocia," ia berkata. "Kita tak sanggup terima pujianmu ini. Dulu ... untuk bicara terus terang, adalah aku yang hendak angkat nama, aku ingin
muncul di muka orang banyak dengan muka terang, untuk
cari semangkok nasi. Tetapi angan-anganku itu tak dapat
aku wujudkan. Sekarang ini aku telah terima budi
kebaikannya Tiat siau-pweelek yang budiman, yang sudah
panggil aku bekerja kembali, dengan penghasilan yang
bertambah-tambah ... "
Tapi Giok Kiau Liong potong pembicaraan orang.
"Di mana sekarang adanya Lie Bou Pek dan Jie Siu
Lian" Aku ingin temui mereka ini, ada yang aku hendak
bicarakan."
Tay Po dan Siang Moay saling mengawasi, kedua-
duanya melengak. Tapi si nyonya bekas nona tukang


Harimau Mendekam Naga Sembunyi Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dangsu menjawab dengan lekas.
"Nona Jie Siu Lian sudah lama pergi dari sini, pulang ke Kielok," demikian penyahutannya yang berupa keterangan,
"Apakah benar siocia tak ketahui tentang kepergiannya nona Jie itu" Dan Lie Bou Pek?"
"Kau tak usah sembunyikan Lie Bu Pek dari aku!" Kiau Liong memotong pula. "Aku mau cari ia untuk bicarakan urusan yang penting, bukannya untuk bertempur. Sekarang
ini aku sudah mengaku kalah dari mereka itu..."
Sehabis berkata begitu, nona ini menghela napas, ia
nampaknya lesu.
"Jangan mengucap demikan Siocia," kata Tay Po sambil tertawa. "Siapakah yang tak tahu bugee-mu" Buat waktu ini, kau tak ada tandingannya! Bugee-nya Lie Bou Pek ada nama belaka." hampir Tay Po ulur lidahnya. Ia berhenti dengan mendadak, matanya mengawasi ke jendela,
kupingnya ia pasang. "Kepandaiannya Lie Bou Pek
semuanya ia dapatkan dari Kang Lam Hoo. Ia tak urus
perkara kecil, ia tidak gampang marah, ia pun tidak suka tempur orang perempuan, sedang harta dan kedudukan
mulia ia tak hiraukan. Sekarang ia diperlakukan sebagai
tetamu agung oleh Tiat pweelek. Kamar tulis dari Pweelek-hu, di mana dahulu disimpan pedang mustika Ceng-beng-
kiam, sudah dibikin bersih dan diperalati lengkap. Disitu Pwee-lek-ya minta Lie Bou Pek mengambil tempat. Toh,
meskipun ia sudah punyakan kamar indah itu, Lie toaya
masih jarang pulang, kadang-kadang sampai lima hari.
Adalah maksudnya Pweelekya supaya Lie toaya tinggal
tetap di kota raja, agar ia bisa carikan ketika untuk Lie toaya bekerja pada negara, dengan memangku pangkat
yang tinggi. Pweelek-ya ada sangat hargai orang gagah. Apa mau, Lie toaya berpendirian lain. Ia kata, kalau di Pakkhia tidak ada urusan lagi, ia tidak mau tinggal lebih lama pula, hingga Pweelek-ya jadi kewalahan. Aku dan Lie toaya, tak bergaul rapat, kita juga tidak bisa membujuki padanya.
Maka Giok Siocia, kalau kau bendak temui Lie toaya, kau
mesti lekas cari padanya, bila terlambat, nanti ia keburu pergi. Lie toaya itu pergi begitu lekas ia bilang mau pergi!
Dan satu kali ia pergi, ia ada laksana burung hoo yang
merdeka, yang terbang ke mana ia suka. entah sampai
kapan baru ia akan kembali ke Pakkhia ini..."
Mendengar itu, Kiau Liong manggut.
"Baiklah," ia bilang, "besok barangkali aku akan cari ia."
Ia putar tubuhnya hendak pergi.
"Siocia, tunggu dulu!" Tay Po memanggil.
Nona itu heran, ia balik pula.
Lau Tay Po bongkar-bongkar pembaringannya, hingga di
situ kelihatan golok dan bandringannya, hingga Kiau Liong mengerti, tadinya orang telah bersiap untuk bertempur ia umpama kata ia datang buat cari setori, ia cuma bersenyum seorang diri.
Siang Moay awasi suaminya karena ia tidak tahu, suami
itu hendak cari apa. Tay Po juga tak usah buang banyak
tempo akan dapat cari secarik surat atau sehelai kertas, yang ia terus angsurkan pada si nona.
"Inilah ada suratnya siocia," ia berkata sambil tertawa dengan perlahan. "Siocia tentu masih ingat ketika dulu untuk pertama kali Siocia perlihatkan kepandaian akan
mendapat Ceengbeng Kiam dari Pweelek-hu, kemudian
Siocia suruh satu bocah pengemis akan menyampaikan
surat ini. Itu waktu, surat ini telah jatuh ke dalam tanganku, satu tahun lamanya aku simpan ini laksana wasiat. Dibilang terus terang, Siocia, ketika itu aku ada mengandung maksud yang tidak baik, aku sengaja simpan surat ini untuk
melawan kau. Tapi sekarang, aku bersyukur yang Siocia
suka bikin habis urusan dulu-dulu, bahkan sekarang ini
Siocia telah datang berkunjung padaku. Dengan perbuatan
ini, Siocia telah unjuk sikap laki-laki sejati, kau berbuat mulia, maka itu aku pun malu akan menjadi satu manusia
dengan pikiran cupat. Aku kembalikan ini surat kepada
siocia buat unjuk bahwa mulai sekarang ini dan selanjutnya, aku tak nanti satrukan pula pada Siocia!"
"Ha, sudahlah!" kata Siang Moay sambil tolak tubuh suaminya, setelah ia ketahui maksudnya suami itu. "Kau ngoceh tak keruan, mana Siocia ada tempo untuk layani
kau!..."' "Bukannya begitu! Aku sengaja beritahukan pada Siocia, agar segala apa menjadi terang. Nama Siocia ada besar
sekali, siapa tahu kalau di kemudian hari ada bangsa
kangou rendah yang tidak tahu diri, yang nanti berani coba main gila terhadap Siocia" Apabila itu sampai terjadi, siapa berani pastikan bahwa Siocia tak akan curigai kita" Maka penjelasanku ini ada perlu bagi kita. Sekarang ini, dengan mengandalkan muka terang dari Lie Bou Pek toaya,
Pweelek-ya telah undang aku bekerja pula sebagai kausu di istananya, maka aku ingin menjadi seorang baik-baik,
sedang kau sendiri, kau terus berdiam di rumah akan rawat anak kita. Demikian sebabnya, maka aku menerangkan
begitu kepada Giok siccia ...."
Tapi Siang Moay kembali dorong suaminya, sampai Itto
Lianhoa jatuh duduk di kursi. Ia tertawa, ia pandang
suaminya, lantas ia menoleh pada tetamunya, ia
bersenyum. "Mustahil orang tak ketahui sampai di mana adanya
kebisaan kita?" ia kata seraya awasi pula suaminya. "Kau jangan kuatir, kalau nanti ada lagi penyerangan pada
kereta, pada joli, tak nanti kita yang dicari!"
Mukanya Kiau Liong menjadi merah, ia jengah. Tapi
karena ia hendak lekas pergi, ia tak mau melayani bicara. Ia ulur tangannya ke api akan bakar habis surat yang ia dapat dari Tay Po. Ia jambret tangannya Siang Moay yang ia
cekal dengan keras, lantas sambil tertawa ia kata: "Sampai ketemu pula!"
"Lekas antar siocia!" Tay Po pun kata pada isterinya.
"Apa kau tidak mau duduk dulu, Siocia?" kata Siang Moay
Justru itu, bocah di pembaringan, menangis.
"Lihat anak kita!" kata si isteri pada suaminya, dengan ia terus bertindak keluar, akan susul tetamunya. Ia niat
membukakan pintu pekarangan, akan tetapi Kiau Liong
mencegah. Ia lihat, melainkan dengan satu gerakan nona
itu sudah mencelat naik ke tembok dan terus lenyap di lain sebelah, hingga ia jadi kagum sekali.
Tatkala itu, sang rembulan sudah doyong ke barat,
sinarnya sudah mulai sedikit guram. Di lain pihak,
meskipun jagat ada sunyi, tetapi angin meniup-niup
semakin hebat. Di antara sinarnya Puteri Malam, Kiau Liong berlalu
dengan cepat dari tempatnya Itto Lianhoa. Ia menuju ke
Pweelek-hu, ke mana ia tiba dengan lekas. Ia saksikan satu istana yang besar, tetapi dalam keadaan sunyi senyap. Di depan pintu ada sepasang singa batu yang besar.
Sekarang Kiau Liong lihat bajunya yang panjang di
pinggangnya. Ia ada bersemangat akan tetapi gerak-
gerakannya berhati-hati, tidak sembarangan seperti tadi ia datangi Tay Po. Ia enjot tubuhnya, naik ke tembok, akan
loncat terus ke jalan di dalam pekarangan. Ia tidak mau
hanya di atas rumah.
Di malaman Capgomeh, semua hamba dari Pweelek-hu
pada turut dalam perayaan, mereka berkumpul dalam
rombongan sendiri-sendiri, untuk berjudi dan bercakap-
cakap maka itu penjagaan jadi seperti tidak ada. Benar api
ada terang di sana-sini, itu ada untuk menggampangkan
tukang pukul kentungan saja.
Sudah dua kali Kiau Liong satroni Pweelekhu, ini ada
untuk ketiga kalinya, dari itu, ia kenal baik jalanan di dalam istana ini. Ia maju dengan selalu cari tempat yang gelap, menyingkir dari sinarnya rembulan, menjauhkan diri dari
cahaya api. Ia sampai dengan lekas di ruangan sebelah
barat, di mana ada kamar tulis yang dahulu jadi kamar
tempat simpan pedang mustika, yang sekarang, menurut
Lau Tay Po, jadi kamar istimewa dari Lie Bou Pek, tetamu agung dari Tiat siau pweelek.
Kamar ada gelap, sebagaimana dan jendela tidak
menyorot keluar cahaya terang. Meski demikian, Kiau
Liong toh berlaku waspada, karena ia tahu, yang berdiam di dalam kamar adalah Lie Bou Pek. Dan siapa tahu jago
muda itu sedang berada dalam kamarnya itu"
Dengan jalan enteng bagaikan burung atau bergerak gesit
laksana kunyuk, demikian nona Giok hampirkan kamar. Ia
berjongkok sebentar, lantas ia berdiri, akan dekati jendela.
Ia tidak dengar suara apa juga. Ia agaknya heran. Ia lantas menuju ke pintu ia raba kunci.
Di luar dugaan, pintu itu tidak dikunci, hanya ketika ia masuk, di sebelah dalam ia dapatkan sebuah pintu lain.
Pintu itu dikunci.
"Tentu di dalamnya ada orang tidur ..." pikir ia. Ia tidak berani terbitkan suara apa juga, tapi ia ingin lekas ketemui Lie Bou Pek. Ia tidak takut itu anak muda umpama kata ia mesti tempur padanya. Dan rambutnya, ia cabut tusuk
konde, yang ujungnya bengkok, dengan itu, ia menyongkel
pintu. Ia berhasil membuka pintu itu dengan tak terbitkan suara sedikit juga. Maka terus ia dorong pintu dan
melongok ke dalam kamar.
Dengan perlahan-lahan daun pintu dipentang. Kamar itu
nyata kosong. Benar selagi ia hendak bertindak masuk, tiba-tiba ia rasai ada orang tepuk bahunya dan dengar teguran yang perlahan sekali: "Mau apa kau datang kemari?"
Bukan main kagetnya nona kosen itu, ia lekas egos
dirinya dan berbalik, akan melihat orang yang menegur ia.
Berdiri dengan tenang di muka pintu, dengan menyekal
Ceng-beng-kiam yang terhunus dan kedua belah mukanya
berkeredepan atau berkilau-kilau, ada si penghuni kamar, ialah Lie Bou Pek.
Kiau Liong rasakan rambutnya pada berdiri, meski ia
kaget, ia toh tabah dan tajam ingatannya, bukannya lari ia justru lompat maju, tangannya bergerak akan rampas
pedang mustika itu.
Tenang tetapi sebat luar biasa, Bou Pek angkat sebelah
kakinya, maka dengan satu dupakan, Kiau Liong kena
dibuat terpental balik, tubuhnya rubuh terguling sampai
menerbitkan suara gedebukan. Ia rubuh duduk di dalam
kamar. Karena ia kena tubruk meja kecil, meja itu turut
rubuh terpelanting, suaranya berisik. Hampir ia menjerit karena jatuhnya itu.
Tapi ia lekas loncat bangun.
Dimana Lie Bou Pek berdiri di muka pintu dengan
pedang terhunus, Kiau Liong tidak ungkulan menerjang ke
pintu, buat meloloskan diri. Maka ia celingukan kedalam
kamar buat cari serupa barang yang dapat dijadikan senjata.
Berbareng dengan itu dengan tangannya yang kiri Lie
Bou Pek cari api untuk dinyalakan, hingga kamar itu
menjadi terang.
Kiau Liong loncat mundur ke pojok, di sini ia sambar
bantal kursi sulam yang indah, rupanya ia niat gunakan
bantal itu sebagai senjata. Bou Pek maju dan berdiri di
sampingnya lampu.
"Kiau Liong, jangan bergerak!" ia kata dengan perlahan, tetapi keren: "Sekali kau pulang dan terus berdiam dengan tenang aku sudah ambil sikap tak hendak buat kau menjadi malu. Kau lihat itu, Ceng-beng-kiam ada di tanganku
sekarang. Tiat Pweelek tak inginkan pula itu pedang, ia
telah serahkan padaku, untuk nanti aku bawa pergi. Padaku pun ada dua perangkat kitab Kiu Hoa Koan Kiam Coan
Sie, yang terdiri dari empat jilid, kitab itu aku hendak bawa sekalian. Di antara kita sebenarnya sudah tak ada alasan lagi untuk bertempur, maka sekarang kau datang kemari,
apa kau kehendaki?"
Kiau Liong lepaskan bantalnya, menangis, ia banting-
banting kaki, hingga ia tak pikir lagi bahwa ia sudah
terbitkan suara berisik.
"Aku datang cari kau justru untuk itu dua rupa barang,"
kemudian ia menyahut.
"Tentang pedang Ceng-beng-kiam, kau hendak serahkan
padaku atau tidak, tidak ada urusannya, akan tetapi itu dua perangkat kitab! Kitab itu, yang satu aseli, yang satu pula salinanku. Coba tidak ada aku, yang simpan dan lindungi, kitab itu entah sudah terjatuh di tangan siapa!" Ia banting kaki pula. "Bukannya kerjaan gampang kitab itu! Benar sebagian besar isinya aku telah mengerti, toh bukunya aku masih inginkan, maka jikalau kau tidak mau serahkan buku itu padaku, terpaksa kita mesti bertempur pula! Aku tidak takut,"
Lie Bou Pek goyang-goyang tangannya, "jangan bicara keras-keras!" ia peringatkan. "Kalau kau berteriak-teriak, nanti orang datang kemari! Itulah jelek bagimu, satu Siocia!
Tentang kitab salinanmu, aku tentu suka pulangkan
padamu! Juga pedang ini, andaikata kau seorang yang
mulia, yang insyaf, yang suka bela keadilan dan menolong orang-orang miskin dan lemah, aku suka berikan padamu,
tetapi perbuatamu yang sudah-sudah adalah bukti yang tak menyurupi" Kau mirip satu penjahat besar! Mana aku bisa
serahkan pedang ini padamu untuk bantu kau berbuat
jahat!" Dadanya Kiau Liong berombak, ia berduka dan
mendongkol dengan berbareng. Air matanya masih saja
meleleh turun. Kemudian, ia menghela napas.
"Aku tahu kau liehay maka di depanmu, aku mesti
mengaku kalah!" ia kata, dengan perlahan. "Selanjutnya ...
aku pun tak akan menjagoi pula atau berbuat sembrono
seperti dulu-dulu. Apa gunanya barang itu dua perangkat
kitab yang sama bunyinya" Maka tolong kau serahkan yang
salinan padaku, aku akan lantas berlalu..."
Hati Lie Bou Pek tergerak juga dengar orang mengaku
kalah dan suka menyerah, ia pun lihat sikap yang lesu,
sedang biasanya nona itu gagah dan garang luar biasa.
Permintaan nona ini pun beralasan. Ia letaki pedangnya.
"Melihat kegalakanmu dulu-dulu, aku tidak percaya
yang kau bisa juga menyesal dan tobat," kemudian ia kata dengan keren, "Lagi pula kau berdiam di rumahmu belum
cukup lama, maka siapa tahu bahwa besok lusa, lambat
laun kau kumat pula?"
Kiau Liong angkat kepalanya, ia tak senang mendengar
ucapan itu. "Kalau kau tetap tidak percaya aku, kau mau apa?" kata ia seraya menantang. "Kau bukannya guruku, kau
bukannya sanakku, hak apa ada padamu maka kau hendak
pengaruhi aku?"
"Sebab semua kepandaianmu, kau dapat dengan
perantaraan kitab Kiu Hoa Koan Kiam Coan Sie," Bou Pek
jawab. "Kitab ini warisan dari Kiu hoa Loojin, yang catat itu adalah Heng pekhu Kang Lam Hoo yang sengaja buat
itu untuk Ah Hiap. Entah bagaimana, Ah Hiap menjaga
kitab itu sampai akhirnya jatuh di tanganmu. Maka itu,
apabila kau lakukan kejahatan, kepandaian itu merupakan
tuntunan oleh Kiu Hoa Loojin sendiri. Maka sekarang, aku lihat bugeemu sudah cukup sempurna, melainkan belum
dapati kesempurnaan isi kitab yang terakhir. Jikalau kitab ini aku kembalikan padamu, hingga kau bisa meyakinkan
terlebih jauh, bila nanti kau berbuat jahat pula, sangat sukar untuk mengendalikan kau!"
"Aku tak puas yang kau katakan aku jahat!" berseru Kiau Liong. "Aku telah terus terang bahwa kau kuatirkan aku nanti dapati semua kepandaian dari buku itu, hingga lagi beberapa tahun, aku akan melampaui kepandaianmu!"
"Buku ini aku akan serahkan pada Beng pehhu Kang
Lam Hoo," kata Bou Pek, yang tak jadi panas karena ejekan itu, "Ia sekarang berada di Kiu-hoa San di Kanglam. Kalau nanti kau benar-benar bisa insyaf dan bertobat, aku percaya buku ini ia akan kembalikan padamu, atau kau kirim orang ke gunung itu untuk memintanya."
Kiau Liong tidak menyahuti, hanya ia bersenyum sindir.
"Nah, sekarang pergilah kau!" kata Bou Pek seraya ia menoleh, tidak mau memandang sikap menantang nona itu.
Kiau Liong kertak gigi, ia mendongkol bukan main. Ia
bertindak menuju keluar, tetapi matanya melirik pedang,
yang terletak di atas meja, di samping orang she Lie itu.
Tiba-tiba ia berlompat, tangannya diulur ke arah pedang itu.
Demikian sebat ia bergerak, Bou Pek terlebih sebat.
Dengan luar biasa cepatnya, ia mendahului jemput pedang
itu dan diangkat ke tinggi.
Dalam penasaran dan sengitnya, Kiau Liong terus loncat
naik ke atas meja, dari mana ia kirim tendangan, guna hajar lengan orang, sambil menjerit: "Pulangkan pedangku!"
Bou Pek tidak mundur atau berkelit, atau pun buang
tangan, sebaliknya, dengan samplok pedang, ia ketok kaki orang yang menjurus ke lengannya itu, atas mana Kiau
Liong menjerit, tubuhnya terpelanting dari atas meja.
Beruntung ia tidak terguling dan terbanting, tetapi lampu jatuh dan lantas menyala karena minyaknya melulahan.
Menampak demikian, Bou Pek jadi mendongkol.
"Lekas pergi!" ia mengusir. "Atau aku terpaksa serang kau?"
Kiau Liong perdengarkan tertawa menghina.
"Biarlah di lain waktu kita bertemu pula!" ia kata secara menantang, "Ke mana pun kau pergi, berapa banyak orang yang kurung aku, atau ikat aku, jikalau aku tak mampu
rampas pulang kitabku itu, atau jikalau aku takut buat
rampas pulang pedang itu, aku sumpah tak mau menjadi
manusia!" "Dan jikalau kau tetap berlaku jahat dan tak akan
bertobat, pedangku juga tak akan kasih ampun lagi
padamu!" jawab Bou Pek.
Kembali Kiau Long tertawa menghina ia loncat ke luar
kamar naik ke atas genteng.
Bou Pek tidak keluar menyusul.
Dalam malam sesunyi itu. Kiau Liong dapat keluar
masuk dengan merdeka diistana Tiat siau pweelek itu,
kecuali Bou Pek tak ada yang mengetahui kedatangannya.
Ia ngeloyor ke arah barat. Kalau di waktu pergi ia
bersemangat, di waktu berlalu, ia lesu tetapi mendongkol dan gusar. Ia mengharap kealpaan si orang she Lie guna
rampas Cengbengkiam, siapa tahu, Bou Pek sangat awas
dan gesit. Ia benci Bou Pek karena kegagahannya yang luar biasa, karena ia tak dipandang mata tanpa ia mau mengerti, perbuatannya sendiri yang buat orang takut padanya, sebab ia sebenarnya tidak jahat.
"Sakit hati ini mesti dibalas!" demikian ia berpikir di sepanjang jalan.
Tapi Kiau Liong menyesal dan bersedih kapan ia ingat
bahwa sia-sia saja kepandaiannya itu, yang sebenarnya
sudah cukup liehay. Akibatnya adalah ia terhina, ia hilang harapan, cita-citanya tidak kesampaian, sedang ibunya
menutup mata, kekasihnya entah pergi ke mana.
Waktu Kiau Liong lihat rumahnya, gedung besar itu
mirip dengan kuburan. Ia masuk kedalam kamarnya
dengan tidak ada yang mengetahui, ia lempar dirinya di
atas pembaringan, sambil tengkurap, ia menangis.
Kemudian ia ingat pintu kamarnya belum dikunci, ia
berbangkit akan kunci pintu itu. Ia pun pasang lilin. Dengan bengong ia duduk menghadapi jendela, berulang-ulang ia
menghela napas.
Ia hampirkan perapian, korek baranya, dan tambah
arangnya untuk buat api menyala dengan marong. Selagi
hawa kamar mulai hangat, ia berduduk pula. Dengan sepit, ia main arang di dalam perapian itu. Kembali ia berpkir, dengan kusut.
Tidak lama, lonceng berbunyi tiga kali.
Meski sudah jauh malam, Kiau Liong tidak merasa lelah
atau ngantuk, ia hanya berduka, hingga tiap kali ia tepas air matanya. Karena tak berkawan, ia merasa tak berdaya. Tapi ia belum putus asa, ia berpikir pula. Akhir-akhirnya ia
bersenyum ewa, ia tepuk meja. Baru sekarang ia berbangkit, dan salin pakaian, naik ke atas pembaringan, dan tidur...
Sejak besok paginya, sikap nona Giok menjadi berubah,
tetapi ini melainkan diketahui oleh Siu Hiang seorang. Ia tak
lagi berduka sebagai yang sudah-sudah, tak
mencucurkan air mata, melaintkan mukanya tetap suram,
siakapnya dingin bagaikan es atau salju, matanya
bercahaya. Ia tak lagi menyalin Kim Kong Keng. Hanya ia


Harimau Mendekam Naga Sembunyi Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

perintah beli sekayu cita sutera putih, yang ia guntuig, dan jahit menjadi sejilid buku yang tebal. Di lembar-lembar
buku ia menulis dengan hnruf-huruf halus, ia menulis
gambar orang yang sedang bersilat pedang, dalam rupa-
rupa gerak-gerik. Ia pandai menulis dan melukis, Selagi
menulis beberapa kali ia suka menunda, duduk diam, atau
berbangkit bersilat, sesudah itu, ia duduk, berpikir pula, lalu melanjutkan. Ada kalanya ia bekerja sampai tengah malam.
Ia pun perintah beli cita hitam, dan suruh Siu Hiang
buatkan baju dan sepatu. Ia tidak perintah buat pakaian
untuk orang lelaki tetapi semua baju dan celananya sepan.
Pakaian itu bukan dari bahan baik, semua pinggirannya
tidak disulam lagi. Sepatunya pun tidak memakai dasar
tinggi, hanya dasar yang rata, dilapis dengan kain wol yang lemas. Setiap potong yang selesai, ia lantas simpan. Ia
larang Siu Hiang bicara sebenarnya kalau ada yang tanya
budak itu bilang apa. Maka itu, Siu Hiang berkuatir,
hatmya senantiasa memukul. Ia tak sanggup menduga, apa
yang nonanya niat lakukan. Ia tidak herani menanya,
karena nona itu pun tutup mulut. Sebaliknya, nona ini
bersikap tenang, dan terhadapnya, nona itu berlaku semakin
baik. Ia diberi pakaian baru, ia dihadiahkan barang
perhiasan yang berharga.
Sejak itu juga, Kiau Liong mau campur tahu urusan
rumah tangga, urusan keuangan, keluar dan masuknya
uang mesti dengan perantaraannya. Siu Hiang lihat sendiri nona itu pakakan sejumlah uang, untuk disimpan sendiri.
Dan semua barang perhiasannya, yang berharga, ia pun
simpan. Pada suatu malam, Kiau Liong suruh budaknya yang
setia itu tidur siang-siang.
Itu ada malam yang gelap.
Hatinya si budak goncang keras sekali, karena ia percaya betul, malam itu nonanya akan lakukan suatu apa yang luar biasa. Ia mencoba akan tidur pulas, tetapi gagal. Maka itu, pada jam tiga, ia turun dari pembaringan. Diam-diam ia
mengintai majikannya.
Dari dalam kamar, di atas pembaringan bertumpuk
pakaian bekas tukaran, kamar itu kosong, pintunya dirapati, si nona entah pergi ke mana. Menampak demikian, Siu
Hiang kaget sampai hampir ia menjerit, tubuhnya
bergemetaran, ia takut bukan main. Ia tak berani kunci
pintu itu, ia lekas kembali ke kamarnya sendiri, karena ia tak bisa tidur, ia pergi ke jendela, memasang mata.
Malam itu, Siu Hiang tidak dengar pintu berbunyi atau
jendela bergerak, akan tetapi besoknya pagi, ia lihat
nonanya numprah di atas pembaringan, romannya lesu
seperti orang baru bangun tidur, ia tidak tahu kapan si nona pulang, lebih tak tahu pula. ke mana si nona sudah pergi, apa yang telah dibuatnya. Ia tetap tidak berani
menanyakan. Pada siang hari itu, tiba-tiba ke rumahnya keluarga Giok datang Coa Siang Moay si nona bekas tukang dangsu, atau
isterinya Itto Tianhoa Lau Tay Po yang bagi keluarga Giok lebih dari pada terkenal, dan nyonya itu datang dengan
bawa barang antaran seperti teh, kue dan lain-lain.
Penjaga pintu kaget dan heran. Sebelum mengijinkan
orang masuk, ia lari ke dalam pada Siu Hiang. Dengan
roman bingung, ia tanya budak kepercayaan nona mereka:
"Si nyonya tukang dangsu datang. Bagaimana, ia boleh masuk atau tidak" Ia seperti si kucing malam, tanpa urusan, tak nanti ia datang kemari! Siapa tahu Lau Tay Po mainkan peranan apa lagi!"
Siu Hiang pun kaget, tetapi karena ia tak berani ambil
putusan sendiri, ia ketemui nonanya.
"Lekas suruh ia masuk!" demikian perintahnya yang
membuat heran semua bujang.
Nyata sekali perubahan sikap Kiau Liong. Ia girang
sekali dengan kunjungan itu.
"Coa Siang Moay bertindak dengan toapan," ia tak
pedulikan bujang-bujang melirik dan berkasak kusuk. Di
mata mereka, nyonya Lau Tay Po adalah satu tetamu asing
dan luar biasa.
Siu Hiang, pimpin tetamunya sampai di depan kamar
nonanya. "Apakah siocia ada di dalam?" tanya Siang Moay sambil tertawa selagi ia menghadapi mocihe. "Siocia, aku datang mengunjungi kau!"
Siu Hiang lantas singkap muilie. Kiau
Liong menyambut, air mukanya sabar dan tenang sekali.
"Kau baik?" ia tanya dengan ramah tamah.
"Terima kasih! Harap Siociapun banyak baik," sahut
njonya Lau Tay Po. "Ketika kemarin ini kita bertemu di Tonggak Bio, aku tak mempunyai waktu untuk bicara
banyak dengan Siocia, maka itu sekarang aku datang
sekalian bawa sedikit barang yang tidak berharga ... Aku percaya Siocia di rumah iseng ..."
"Terima kasih," sahut Kiau Liong sambil tertawa.
"Mengapa kau mesti gunakan uang beli barang-barang ini?"
Siu Hiang bawa barang antaran ke kamar luar, sekalian
suruh bujang lain seduh teh wangi di dalam cawan indah
dari jaman kaisar Kong Hie. Cawan itu bergambar naga
dengan lima warna merah. Nenampannya pun dari perak.
"Kemarin malam setelah kau berlalu..." berkata Siang Moay yang lantas sajamerandek ketika melihat Siu Hiang
datang dengan teh. Ia lekas berdiri sambuti teh, seraya
berkata sambil tertawa. "Jangan berabe, toacie ..."
Siu Hiang sesudah mengantarkan teh lekas-lekas pergi
keluar. Di sini ia dengar pula suaranya Siang Moay yang
kurang nyata, yang disusul oleh suara nonanya.
"Tidak apa, urusanku semua tak terahasia baginya,"
demikian ia dengar nonanya itu. "Dulu pun ialah yang terus-terusan mengikuti aku. Ia adalah budakku yang paling kupercaya."
Kemudian Siu Hiang dengar Siang Moay kata: "Lie Bou Pek sudah berangkat," lalu keduanya berbicara dengan
suara perlahan. Hanya kemudian terdengar Kiau Liong
menghela napas.
"Aku tak dapat berdiam di sini lebih lama pula." kata nona Giok. "Aku tidak punya lain sahabat, maka ini aku hendak minta bantuanmu berdua suami isteri. Dulu aku
telah lukai ayahmu, aku sangat menyesal sekali..."
"Tapi kau lakukan itu dengan tidak disengaja." demikian Siang Moay suaranya sedih sekali. "Memang, jika tidak berkelahi, kita sukar dapat berkenalan. Di belakang hari, kita pun tentu akan membutuhkan banyak bantuanmu,
siocia..."
Kembali mereka bicara dengan perlahan, hingga Siu
Hiang tidak dengar apa-apa, kecuali suara seperti gerutuan, hingga ia heran dan sangat berduka. Ia percaya betul
kembali nonanya mau pergi, entah ke mana, dan entah ia
akan ajak lagi atau tidak, kalau diajak, sungguh ia merasa takut, kalau tidak ikut, ia merasa berat berpisahan dari nona majikan itu...
Siang Moay bertamu sampai sore, ia diundang bersantap
malam, kemudian satu bujang diperintah panggil kereta
sewaan, untuk mengantarnya pulang.
Ia dibekali dua bungkusan besar, rupanya terisi pakaian
dan lain lain. Melihat itu, Siu Hiang heran bukan main.
Malam itu Kiau Liong tidur siang-siang. Sebaliknya
semua bujang memikir keras, datangnya si nyonya bekas
tukang dangsu menimbulkan heran dan curiga. Umumnya
mereka kuatir, besok atau lusa akan timbul kesulitan baru.
Tapi Siang Moay tidak kembali lagi, Kiau Liong tenang,
di gedung itu tidak terjadi suatu apa yang luar biasa.
Ketenangan ini berjalan sampai belasan hari, hingga orang mulai berhati lega pula.
Dari pihak keluarga Lou, dua kali datang utusan, buat
sambut "kou naynay", demikian Kiau Liong dipanggil, yang berarti "nona mantu". Tapi tiap kali, pihak penyambut
pulang dengan tangan kosong, karena Kiau Liong katanya
untuk sementara waktu belum mau pulang. Pihak Lou tidak
kata apa-apa melainkan kemudian dikirim dua budak
perempuan katanya untuk merawat nona mantu itu.
Hampir berbareng dengan itu Suitay tayjin yang menjadi
bouku dari Giok Kiau Liong kembali dari tempat
jabatannya di Sinkiang, katanya pertama untuk hadiri
upacara penguburan Giok thaythay, saudara perempuannya, kedua buat menikahkan anak perempuannya yang kedua, Giok Un Siocia, yang berjodoh
dengan toasiauya, putera pertama Thian kongya. Sedang
encie-nya Giok Un, yaitu Giok Ceng siocia, sudah menikah pula musim pertama tahun yang lalu, dengan putera sunbu
dari Sinkiang. Malah katanya, sekarang Giok Ceng sedang
hamil. Nona itu kirim surat untuk Kiau Liong, yang
diharap datang ke Sinkiang, untuk pesiar di daerah tapal batas itu.
Membaca surat sanaknya di Sinkiang itu, Kiau Liong
masgul. Ia merasa lain orang sangat beruntung, tidak
sebagai ia. Ia pun tak dapat menghadiri upacara nikah Giok Un siocia, adiknya misan itu, karena sedang berkabung.
Lewat beberapa hari datang saatnya layon Giok thaythay
digotong ke pekuburan keluarga, untuk dikubur secara
resmi, maka pada hari itu, di Kongyan Sie kembali
diadakan upacara sembahyang. Kiau Liong muncul dengan
pakaian berkabung. Banyak sanak dan sahabat datang
untuk sangsheng, Tek toanaynay pula datang bersama
nyonya mantunya, Lee Hong.
Halaman belakang Kong Yan Sie luas, di mana ditanam
banyak pohon toh dan justru bunganya sedang mekar,
maka para tetamu, setelah upacara sembahyang, lantas
pergi ke belakang, untuk menyaksikan keindahan bunga toh itu.
Di saat di ruangan layon tak ada orang, Lee Hong
gunakan kesempatan dekati Kiau Liong. Ini adalah saat
yang ia cari, karena dulu di waktu ia menyambanginya ia
gagal mendapat ketika baik untuk bicara berdua.
Mula-mula nyonya Bun Hiong bicara dan lain-lain hal,
sebagaimana layaknya pertemuan mula-mula, kemudian ia
sampaikan pesanan engko-nya. Ia kata: "Belum lama
berselang aku turut Jie kounio melancong kebetulan sekali aku bertemu kanda Lo Siau Hou. Ia sekarang berdiam di
Samceng Bio di Ngociong Nia, Keng-say, sebelah barat
kota raja. Waktu kita hendak berpisah, kandaku pesan
padaku untuk memberitahukan alamatnya kepadamu. Ia
akan tunggal untuk selamanya di rumah berhala itu. Ia
sekarang sangat lesu, lenyap kegembiraannya, sekalipun
bertemu orang, ia tak suka bicara. Apa yang kandaku harap adalah supaya ia dapat bertemu pula padamu satu kali
saja." Waktu Kiau Liong dengar pesanan itu, air matanya
segera mengucur dengan deras. Ia coba kuatkan hatinya,
agar di muka si nyonya muda, ia tidak perlihatkan
kelemahan diri, tetapi ia tak berhasil. Oleh karena
kesedihannya itu, ia sampai tak dapat berbicara.
Lee Hong, setelah menyampaikan pesan meninggalkan
nona itu. Hari itu upacara penguburan selesai dengan tak kurang
suatu apa. Sedang beberapa hari, Giok tayjin mulai sembuh dari sakitnya karena ini. Kiau Liong jadi merasa tidak betah berdiam lama-lama di rumahnya, alasan untuk itu pun tidak ada.
Soa tayjin dari Sinkiang membawa belasan cheekhoa dan
bujang, di antaranya ada satu yang asalnya orang Han,
orang she Siau, umurnya masih muda, romannya tak
tercela, mengenai pekerjaan paling disayang dan dipercaya Cheekhoa ini datang ke Pakkhia sekalian untuk mencari
isteri. Buat ini, ia minta pertolongan Sui tayjin, maka
pembesar ini lantas berhubungan dengan keluarga Giok.
Setelah bermupakatan, Giok toanaynay hendak serahkan
budak yang bernama Wan Cun. Kapan hal itu diketahui
Kiau Liong, ia lantas mencegah:
"Jangan keluarkan Wan Cun dahulu. Kita masih
kekurangan budak yang boleh dibuat andalan. Baiklah Siu
Hiang saja yang dikeluarkan. Siu Hiang telah ikut aku buat banyak tahun, ia telah kembali padaku melulu guna rawat
aku, tetapi lagi beberapa hari, aku akan kembali kepada
keluarga Lou, oleh karenanya, ia tak dapat turut aku.
Berdiam di sini ia tentu tak betah, sedang buat pulang ke kampungnya, ia pasti tak sanggup menderita kesengsaraan, maka baiklah ia dinikah-an pada cheekhoa itu, apabila
benar itu cheekhoa tidak ada celaannya, supaya ia dibawa ke Sinkiang. Penghidupan di sana cocok bagi Siu Hiang?"
Karena kou-naynay yang ajukan usul, toa-naynay tak
berani membantah.
Siu Hiang selamanya turut suara majikan, ia bersedia
dinikahkan, hanya ia masgul akan berpisah dari nonanya
dan kemudian ia pasti bakal tak tahu, bagaimana nasib
nona majikan itu. Karena ini, ia lantas saja menangis.
Kiau Liong bujuki budak yang setia itu sampai menurut,
maka dua hari kemudian, Siau cheekhoa datang untuk
papak nona kemantin. Untuk budaknya itu, Kiau Liong
bekali banyak barang berharga.
Lewat pula beberapa hari, Siu Hiang bersama suaminya
datang ke gedung keluarga Giok, mengambil selamat
berpisah dari keluarga ini, terutama dari nonanya, karena ia hendak turut suaminya berangkat ke Sinkiang ikut Sui
tayjin kembali ke tempat jabatannya.
Apa yang luar biasa adalah cara perpisahan antara budak
dan nona majikan. Mereka tidak bicara satu pada lain,
melainkan sinar mata mereka yang bermain.
Oleh karena menikahnya Siu Hiang, selanjutnya Kiau
Liong berada sendirian di dalam kamarnya, kecuali kalau ia dilayani dahar dan lain-lain. Buat itu, kadang-kadang iapun dilayani oleh dua budak yang diutus oleh keluarga Lou
untuk merawatinya. Hanya, begitu lekas membawa teh atau
barang hidangan, budak-budak itu mesti lantas keluar dari kamar, tidak ada satu yang diijinkan berdiam lama-lama di dalam kamarnya itu.
Mengenai budak-budak sikapnya Kiau Liong jadi
terlebih aneh, akan tetapi terhadap kedua engko dan ensonya, ia nampaknya semakin rapat pergaulannya. Ia pun
sangat perhatikan ayahnya, cuma sebab di antara ayah dan anak ada terjadi salah mengerti, ialah mau menemui
ayahnya, ia malu, maka ia hanya mengurus segala
makanan atau obat untuk ayahnya. Semua budak mesti
menjalankan perintahnya, dan untuk menanyakan keadaan
ayahnya, ia pakai perantaraan keponakannya lelaki dan
perempuan. Sementara itu, hawa udara mulai menjadi hangat
dandanan orang juga turut berubah, bertukar dengan yang
terlebih tipis. Burung-burung walet juga terbang pulang.
Beberapa kali pun turun hujan musim Cun, hingga di dalam taman di belakang gedung, pohon-pohon haytong mulai
berbunga dengan warnanya putih salju dan merah megah.
Hawa udara hangat, gampang menyebabkan orang
ngantuk atau lelah, sang tawon sering berbentrok-bentrok jendela, memperdengarkan suara menguwengnya.
Berbareng dengan perubahan hawa udara, berubah juga
sikap Giok Kiau Liong. Ia lebih bersemangat, sering tak
dapat duduk tenang, bagai terganggu ketenteramannya.
Pada suatu hari di muka gedung keluarga Giok itu, yang
sampai sebegitu jauh seperti terputus hubungannya dengan
orang-orang luar, datang serombongan orang dengan
suaranya yang berisik. Yang jalan di mana adalah seorang dengan baju panjang dan mantel, tangannya menyekal
sebatang bendera kecil persegi tiga warna kuning dengan
gagangnya panjang sekali. Pada bendera itu tersulam empat huruf berwarna hitam "Tiau Teng Cin Hio' atau "memuja ke bukit" diikuti delapan orang dan memakai mantel pula.
Kedelapan orang itu membawa semacam benda dari
tembaga. Di muka pintu, benda itu dipalu, hingga suaranya menulikan kuping. Si pembawa bendera masuk kedalam
untuk menerima uang, dan menempelkan selembar kertas
kuning yang lebar di pintu. Mereka lalu ngeloyor pergi.
Atas kertas kuning itu dicetak hurut-huruf "Kim Teng
Biau Hong San Pek Hee Goan Kun Bio", yang berarti, bio Pek Hee Nionio di gunung Biau hong San, sedang capnya
jelek sekali. Di bawah huruf-huruf itu ditulis nama si
penderma serta jumlah uangnya.
Ini adalah hal biasa yang terjadi setiap tahun sekali untuk Pakkhia.
Bukit Biauhong San letaknya beberapa puluh lie sebelah
barat kota raja, bukitnya tinggi, katanya empat puluh lie tingginya. Kuil Pek Hee Goan Kun Bio didirikan atas
firman raja dan dewi yang dipuja disitu dipanggil "Nionio".
Upacara sembahyang terjadi setiap musim pertama. Dari
daerah Pakkhia sampai jauh di sekitarnya datang orang-
orang yang bersujud, mohon kekayaan dan berkah, atau
buat membayar kaul untuk ayah dan ibu mereka. Yang
paling ramai adalah selamatan tanggal satu sampai tanggal lima belas bulan keempat, perayaan diramaikan dengan
arak-arakan terdiri dari berbagai pertunjukan, oleh
rombongan-rombongan, sedangkan untuk para pemuja,


Harimau Mendekam Naga Sembunyi Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

didirikan berbagai gubuk di mana disediakan makanan
bubur, bakpau, dsb, malah pun tempat mondok.
Yang tadi datang meminta derma kepada keluarga Giok
ialah salah satu rombongan demikian.
Semasa Giok tayjin menjadi teetok, tidak ada
rombongan yang berani datang meminta derma tetapi
sekarang, rombongan itu datang dan menerima amal empat
puluh tail perak. Ini mungkin karena berita-berita bahwa selama perayaan, nona Giok akan berkunjung sendiri ke
atas bukit, guna membayar kaul bagi ayahnya, yang telah
sembuh dari sakitnya.
Mengenai niatan membayar kaul adik perempuannya,
kedua tiehu Po In dan Po Tek sangat berduka. Mereka
sangat tak setuju niatan itu. Biauhong San dekat letaknya, tetapi hanya buat memasang hio mengunjuk hormat pada
Pek Hee Nionio, adalah perkara kecil. Yang dua engko itu tak setuju adalah niatan si adik, untuk terjun ke jurang!
Orang semua tahu jurang itu dalam sekali, dasarnya
berbahaya. Ada dikatakan bahwa, untuk sakitnya ayah atau ibu,
sudah sering anak-anak yang berbakti terjunkan diri ke
dalam jurang bahwa kesujudan mereka itu menggerakkan
hati sinbeng atau dewi, hingga pengorbanan mereka
berhasil dengan baik, ialah di satu pihak diri mereka sendiri tidak kurang suatu apa, ayah atau ibu mereka pun sembuh
dengan segera. Tapi itu hanya cerita-cerita saja, belum ada yang membuktikannya.
Sekarang Giok Kiau Liong mau mencoba terjunkan diri.
Meski-pun pandai bugee tetapi berbahaya, siapa yang tak
menjadi kuatir" Maka kedua tiehu dan isterinya,
membujuki adik dan ipar mereka untuk membatalkan saja
niatan yang luar biasa itu. Malah pihak Lou pun kirim
utusan, guna bantu menasehati dan mencegah.
Hati Kiau Liong sudah tetap, atas nasehat atau cegahan
ini ia hanya nyatakan. "Asal orang sujud, dewi tentu akan melindungi, aku tak akan binasa. Jangan kuatir!"
Demikian Sie-gwee Cee-it pagi-pagi sekali, hanya ajak
dua bujang lelaki, dengan tiga kereta keledai, Kiau Liong berangkat ke Biauhong San. Tak ada orang yang dapat
mencegahnya, namun ketika kereta mulai berangkat nona
itu mengucurkan air mata.
Sekeluarnya Tekseng-mui, kereta menuju ke arah barat-
laut, tujuan ke Biauhong San.
Pada hari itu keadaan di Biauhong San, atau lebih tepat
di kuil Pek Hee Bio, ramai luar biasa, orang berjubelan, karena para pemuja, baik laki maupun perempuan, ingin
mendapat ketika memasang hio paling dulu. Karena
katanya siapa paling dahulu pasang hio, ialah yang paling baik.
Tetapi para imam sendiri yang tinggal di kuil itu, tidak pernah bisa yang pertama yang memasang hio, sebab kalau
mereka muncul di pendopo, sudah ada hio tertancap dan
menyala terlebih dahulu. Maka orang anggap, orang yang
mendahului adalah orang-orang bangsa penjahat terbang,
yang ingin berhasil dan beruntung dalam usahanya.
Akan tetapi tahun ini, orang yang pertama itu bukan lain dari pada Itto Lianhoa Lau Tay Po si Setangkai Bunga
Teratai. Tahun ini, Tay Po sangat bergembira. Bukankah tahun
ini ia telah diundang pula oleh Tiatpweelek, yang tetap
mempekerjakannya sebagai kausu, atau guru silat, sedang
tadinya, peruntungannya malang, sebentar ia rubuh,
sebentar ia bangun" Gangguan Pekgan Holie, dan Kiau
Liong juga, buat ia mau akal. Hanya, karena ia jatuh
bangun, namanya jadi semakin terkenal, sahabat dan
kenalannya bertambah. Sedang isterinya telah hadiahkan
padanya, satu popwee cilik, satu anak. Di sebelah itu, suami isteri ini mendapat satu sahabat karib secara rahasia yang tadinya justru mereka punya musuh besar, yang mereka
sangat satrukan. Ia itu ialah Giok Kiau Liong!
Lau Tay Po manjat Biauhong San sejak Sha-gwee Jie-
pee. Ia datang bersama anak isterinya. Serumah tangga ini hendak menghormat Pek Hee Nionio. Iapun datang secara
mentereng, dengan duduk atas seekor kuda bulu merah
yancie dan pakaian kudanya semua baru! Orang heran dari
mana ia peroleh harta besar. Sampai Ia mampu punyai
kuda semacam itu.
Siang Moay duduk atas kereta keledai, sambil empo
anaknya. Ia membawa dua bungkusan besar, begitupun
sebatang pedang yang sarungnya indah dan gagangnya
pakai runce hijau.
Mereka datang sebelum pintu pekarangan kuil dibuka,
waktu orang masih sedikit, maka mereka tak terlalu
menarik perhatian. Lain dari itu, Tay Po pun lantas ajak isterinya pergi ke sebuah kampung di belakang bukit yang letaknya di tengah-tengah jalan cagak tiga jalan ini meski berada di daerah pegunungan terawat, perhubungan hidup.
Tempat itu bernama 'Samceng gan', atau mata yang
melihat ketiga jurusan", dan di situ tinggal satu uwa Ou, yang menjadi mertua Toh Tau Eng si Garuda botak. Di
rumah uwa ini, Tay Po ajak anak isterinya, menumpang
tinggal untuk sementara waktu.
Di sini Coa Siang Moay dan anaknya menunggu, sedang
Lau Tay Pon, naik ke gunung, ke Pek Hee Bio. Beberapa
sahabatnya, yang memasang gubuk besar di mana tersedia
bunga dan bakpau untuk amal, dan pelayannya pun belasan
orang. Di gubuk itu di tempel nama-nama para penderma,
di antaranya nama Itto Tianhoa tertera paling atas!
Pada tengah malam, dengan kepandaiannya loncat tinggi
dan lari keras pun kepayahan lari di atas genteng, Lau Tay Po loncat tembok kuil masuk ke dalam, hingga ialah yang
mendapat ketika memasang hio paling dulu. Selesai
memasang hio ia keluar pula dengan diam-diam. Ketika
matahari mulai muncul dan orang mulai berlerot datang
orang lihat ia pakai thungsha hijau dan jalan mundar-
mandir di kaki bukit.
Selama itu, siapa saja, kalau saling bertemu, saling kenal atau tidak, masing-masing angkat tangan dan mengucap
"Selamat!"
"Selamat sama-sama!"
Semua orang baik dan jujur, kalau ada sepotong emas
jatuh ditanah, tak nanti ada yang mengambilnya dengan
diam-diam. Sedang mereka yang menjaga gubuk teh, atau
makanan, tiap kali teriaki orang yang berlalu lintas.
"Silahkan mampir!"
"Mari, mari mampir!"
Siapapun boleh mampir dimana ia suka, dan dahar
sepuas-puasnya, lalu ia boleh ngeloyor pergi hanya dengan perkataan "Selamat!"
Di kaki gunung banyak orang perempuan dan anak-anak
desa yang jual tongkat kayu toh atau kipas yang dicelup
berwarna, topi, naya dan lain-lain barang mainan. Juga ada yang numprah di tepi jalan siap sedia dengan jarum dan
benang, buat jahit baju dan sepatu orang. Orang dapat buat betul sepatunya dengan tak usah rogoh saku, cukup dengan
"bayaran" pujian "Selamat!" Sebab mereka semua itu sedang membayar kaul, menurut caranya masing-masing.
Yang luar biasa adalah cara membayar kaul sejumlah
nona-nona umur tujuh atau delapan belas tahun. Mereka
pakai baju perantauan warna merah, lehernya dikalungi
gelang hukuman. Dari bawah gunung mereka manjat ke
atas. Setiap tindak mereka manggut satu kali, terus sampai di kuil. Ini mirip dengan bayar kaul dengan terjun ke
jurang. Tidak sampai tengah hari, lantas datang rombongan
arak-arakan yang beraneka warna.
Pertama barisan "Yang Kho", yang terdiri dari belasan orang dengan naik jejangkungan, dan dandanan aneka
warna. Ketika Lau Tay Po lihat mereka itu, ia lantas saja tonjolkan jempolnya, sedang terhadap satu diantaranya ia memuji. "Bagus! Ia ini bagus sekali!"
Orang yang ditunjuk itu bermuka hitam tetapi memulas
pupur, kepalanya botak toh kepala itu dicoba dipakaikan
perhiasan kepala, bajunya belang merah dan hijau,
tangannya menyekal saputangan berkembang. Ia adalah
Toh Tau Eng, baba mantu si uwa Ou. Caranya berjalan atas jangkungan liehay sekali. Jika melihat belakangnya saja ia mirip orang banci, lelaki bukan perempuan bukan!
Sepasang Pedang Iblis 26 Durjana Dan Ksatria Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen Bentrok Para Pendekar 8
^