Harimau Mendekam Naga Sembunyi 20
Harimau Mendekam Naga Sembunyi Karya Wang Du Lu Bagian 20
Habis rombongan jejangkungan, muncul barisan
malaikat "Kay Lou" atau pembuka jalan terdiri dari tujuh atau delapan orang, dengan mukanya dicat banyak rupa.
Ada yang bawa gaetan kongcee yang diputar dan dilempar-
lemparkan, untuk ditangkap pula. Kegembiraan mereka
dibantu oleh suara tambur riuh. Di antara mereka ada Hoa-gu-jie Lie Seng, si Kerbau Belang.
"Bagus, bagus!" begitu Tay Po pun memuji mereka ini.
"Hanya awas, nanti gaetan nyangkut di batang lehermu!"
Tidak lama datang giliran rombongan pertunjukan
bendera "Ciong Hoan". Setiap bendera tingginya lima kaki,
di atasnya diikat banyak kelenengan kecil. Cara memakaikan ialah bendera itu dilempar ke atas, lalu
disanggap dengan kepala, tanpa bantuan tangan. Phang Kiu si. Kepala Miring turut dalam rombongan ini. Meskipun
kepalanya miring, ia toh yang paling pandai buat bendera berdiri tetap sekali di atas kepalanya. Tay Po pun puji
rombongan ini. Kemudian lewat dengan beruntun rombongan "Hoa
Tan", ialah rombongan yang menyunggi guci arak Siauhin.
Lalu rombongan "Siang Cio Tau" atau sepasang ....tu.
Suatu permainan dart yang unjuk kekuatan. Batu besar
diangkat tinggi, diputar di tubuh, atau dipakai menindih orang, sedang di atas orang itu berdiri lagi orang lain.
Rombongan chunggee perahu dan lain-lain sebagian
besar terdiri dari orang tani atau kawanan penganggur. Pun rombongan ini hampir tak ada yang tak kenal Lau Tay Po,
hingga Tay Po harus mengangkat kedua tangannya entah
beberapa ratus kali, untuk memberi hormat dan memuji-
muji. Tidak lama pula kelihatan rombongan "Ngo Hou Kun", atau "Toya Lima Harimau", membawa lelakon jaman
dahulu, ketika Tio Khong In dengan toya tempur lima
harimau. Di antara yang main ini pun, Tay Po banyak
kenalannya. "Siau Lim Kun datang! Siau Lim Kun datang!"
kemudian terdengar teriakan berulang-ulang.
Rombongan "Siau Lim Kun" ini menarik perhatian besar, karena alat senjata yang digunakan ialah golok,
tombak, gaetan, piau, pedang, toya dan bahwa semuanya
senjatanya tulen. Anggauta-anggauta rombongan pun
terdiri dari piausu dari Kota Selatan. Maka dapat
dimengerti, di antaranya banyak sahabat Itto Lianhoa.
"Selamat. Selamat!" demikian orang menghaturkan.
Salah satu anggauta "Siau Lim Kun" minta Lau Tay Po turut memberi pertunjukan.
Itto Lianhoa memang sudah gatal menonton saja, maka
begitu diminta, ia terus buka baju luar dan baju dalamnya, hingga kelihatan nyata tubuhnya sebatas dada. Di dadanya dan di punggungnya, tertampak nyata cacahan bunga
teratai, yang membuat ia peroleh julukannya itu. Ia pakai celana hijau, angkin hijau, begitu pun ikatan betisnya, akan tetapi sepatunya putih.
Suara tambur dan gembreng diperdengarkan terlebih riuh
lagi. Lau Tay Po mainkan dua rupa senjata berbareng, ialah
sebatang golok dan bandringan. Ilmu yang dipertunjukkan
adalah "Sam Gie To" dan "Liuseng Tan Twie Kan Goat"
atau "Bandring Mengubar Rembulan",
goloknya membacok, bandringnya menyambar. Tapi yang buat orang
bertepuk tangan bersorak ramai, adalah ketika ia jatuhkan tubuhnya dan bergulingan di tanah, goloknya terus
membacok membabat, bandringnya menyambar tak
berhentinya. Sembari bersilat, Tay Popun unjuk kelucuannya. Ia bersilat keempat penjuru sambil tiap kali mengucapkan: "Selamat! Selamat!"
Sejak munculnya rombongan yang pertama, sang
waktupun lewat. Sekarang sudah lohor. Sedikit waktu
setelah selesainya pertunjukan Itto Lianhoa, jauh di muka terlihat mendatangi tiga buah kereta keledai. Tay Po baru selesai dandan, ketika ia lihat kereta itu, yang membuat air mukanya berubah dengan tiba-tiba, syukur tak ada yang
memperhatikannya. Kemudian waktu beberapa kenalan
cari ia, ia telah lenyap!
Tiga buah kendaraan tak dapat naik sampai di muka
kuil, karena jalan tertutup orang.
Dari kereta pertama loncat turun seorang lelaki yang
membuka jalan. "Tuan-tuan, selamat, selamat!" demikian katanya dengan nyaring, "Permisi, permisi, tuan-tuan, tolong minta sedikit jalanan!"
Menyusul hamba lelaki itu, turun dua
bujang perempuan, kemudian dari kereta yang belakang, keluar
dua budak perempuan, yang terus menghampiri kereta yang
tengah. Mereka berdua berumur masing-masjng kurang
lebih dua puluh tahun, pakaiannya sederhana, akan tetapi roman mereka menarik perhatian, hingga orang banyak
buat sesaat lupa segala macam peraturan.
Dari kendaraan yang di tengah yang tandunya disingkap
oleh kedua budak perempuan itu, turun satu perempuan
muda dengan dandanan cara Boan. Ia berumur delapan
atau sembilan belas tahun, tubuhnya tinggi dan langsing, mirip dengan cabang yangliu di antara sampokan angin
atau cabang bambu di tepi air. Ia pakai baju putih dengan pinggiran tersulam, sepatunya hijau muda dan rata
dasarnya, dengan ditabur burung hong di atas bunga hiasan, benang emasnya mengkilap mentereng. Rambutnya tak
dikonde melintang, hanya konde biasa yang tinggi dan
dipakukan perhiasan dari batu kumala, di samping
kupingnya ditancapi burung hong dari wol hijau muda,
sayap dan mukanya burung itu berunce yang terbuat dari
mutiara-mutiara halus sekali, maka kalau kepala bergoyang, runce itu turut bergerak, berkilau-kilau warnanya.
Nyonya muda itu mukanya potongan kuaci, hidungnya
bangir, sepasang alisnya lentik, matanya besar. Ia elok dan agung, melainkan romannya sedikit guram. Ketika ia sudah
turun ia bergerak dengan sabar dan perlahan, diiringi
budak-budak, sedang dua bujang perempuan membawa
bungkusan lilin dan hio.
Berbagai rombongan masih saja asyik dengan masing-
masing pertunjukannya, suara tambur dan gembreng
mereka ramai sekali, tetapi mereka kalah saing dengan
nyonya muda ini, yang sedang menuju ke kuil.
"Ia dari mana,.ha" Ia mirip bidadari!" demikian kata-kata pujian beberapa orang.
Banyak sekali yang tidak kenal nyonya itu, kecuali
mereka yang pernah melihatnya di Tonggak Bio.
"Ia ialah Giok Kiau Liong yang terkenal!" demikian kata
mereka ini. Satu kali nama Kiau Liong disebut, orang seperti pada
ulur leher mereka, untuk dapat melihat lebih nyata nyonya muda itu, hingga nyonya ini dipandang mirip dengan Pek
Hee Nionio sendiri!
Dua bujang perempuan keluarga Lou berkuatir kapan
mereka lihat sikap orang banyak itu.
Tapi Kiau Liong sendiri jalan terus dengan anteng,
mendaki jalan gunung, yang banyak batunya. Di kiri dan
kanan jalan banyak pepohonan, di mana burung kuning dan
gereja asyik cecowetan. Burung-burung lain telah pada
terbang jauh, kelinci pun tidak ada. Angin halus meniup
bersiur-siur. Suara pelayan-pelayan pun berhenti menawarkan air teh,
bubur dan bakpau, di waktu mereka lihat nona Giok
mendatangi. Semua mata tertuju pada nyonya muda itu.
Beberapa tukang joli maju menawarkan jolinya, tetapi
Kiau Liong menampik. Ia datang untuk bersujud dan
berkehendak jalan kaki. Ia dapat berjalan leluasa, tidak demikian dengan dua bujang keluarga Lou, yang berkaki
kecil. Meskipun berjalan sambil pegangan tongkat, toh
napas mereka memburu. Mereka pun mendongkol terhadap
orang-orang di belakang mereka yang merangsek secara
rapat, tetapi mereka diam saja. Di depan siau naynay atau nyonya mantu yang teristimewa itu, mereka tidak berani
banyak bicara, dan di daerah Pek Hee Nionio, mereka tidak berani mengomel atau memaki orang ...
Bujang lelaki dan dua budak perempuan dari keluarga
Giok berkaki besar, hingga tak mengalami kesulitan sebagai dua bujang keluarga Lou itu, hanya mereka berkuatir waktu melihat jurang yang semakin mereka naik tinggi semakin
dalam. Mendaki puncak hawa terasa mulai dingin. Matahari,
dengan sinar layungnya, berada di belakang gunung, mirip sebuah bola api. Suara sang gaok riuh rendah. Di berbagai gubuk telah mulai dipasang api. Banyak orang yang hendak melewatkan sang malam di atas bukit Sedang dihari-hari
biasa, kuil tak dikunjungi orang, sekarang ia mirip dengan pasar malam.
Dengan perkenannya Kiau Liong, lima bujang pergi
mencari tempat bermalam. Si nyonya hendak bersembahyang besok pagi. Bujang lelaki mempunyai
beberapa kenalan antara pelayan-pelayan, tapi ia pilih
sebuah gubuk terbesar, dengan belasan tenglolengnya dan
bendera kuning dengan huruf-huruf "Tiat Pwee Lek Hu", satu tanda Tiau Siau pweelek pun menyediakan pondokan,
hanya karena keluarga pangeran ini baru lagi dua hari akan datang, maka ia perkenankan pondoknya dipakai orang
luar, baik orang kenamaan maupun pengemis. Tetapi
karena orang tahu Pweelek-ya seorang bangsawan, tak
sembarang orang, berani masuk ke situ. Kalau toh ada yang
mampir melulu untuk minum teh dan makan bakpau, lalu
mereka pergi pula.
Ketika si bujang lelaki minta tempat, di situ sudah ada
beberapa anggauta keluarga lain. Ia disambut dengan
manis, maka ia lantas persilahkan itu nyonya masuk ke
dalam. Pengurus gubuk terperanjat kapan mereka tahu bahwa
tetamunya adalah itu nona gagah, yang dua kali pernah
satroni Pweelek-hu, untuk mencuri pedang mustika.
Mereka menyambut dengan hormat, dan menyilahkan
tetamunya masuk ke ruangan dalam.
"Silahkan, silahkan masuk," kata mereka, dengan suara tak lancar dan tak ada yang berani mengawasi nyonya itu.
Kiau Liong tidak puas mengetahui gubuk itu kepunyaan
Tiat siau-pweelek, tetapi karena sudah terlanjur, ia masuk terus, di mana empat thaythay sedang pasang omong
dilayani budak-budak mereka Satu di antaranya, yang
berumur kira-kira empat puluh tahun, dengan lantas unjuk roman heran apabila ia lihat nyonya muda ini.
"Oh, Lou siau naynay," katanya, sambil bersenyum.
"Kau juga datang ..."
Kiau liong memberi hormat pada thaythay itu, begitupun
pada lain-lainnya. Thaythay itu ialah thaythay dari Thian Kong-ya, dengan keluarga Giok ia tidak bergaul rapat,
tetapi dengan keluarga Lou ia bersahabat kekal. Kiau Liong mesti memanggil "Encim Thian yang ketiga" padanya karena ia sangat percaya Budha. Ia girang mendengar Kiau Liong datang untuk sembahyang, tapi terlebih girang pula, waktu mendengar bahwa nyonya muda ini hendak
membayar kaul dengan terjun ke jurang. Ia sangat setuju.
"Ya, terjunlah!" menganjurkan, Thian thaythay. "Asal pada pada waktu yang tepat, kau bersujud, dewi akan
melindungi kau! Dulu di waktu muda ibu mertuaku
perempuan pernah terjun dengan meramkan matanya. Ia
merasa seperti tubuhnya ada yang sanggap. Ketika ia buka matanya, ternyata ia telah sampai di rumahnya sendiri,
kulit dan dagingnya tak lecet sedikit juga. Sejak itu, ia tak pernah mendapat sakit. Ia berumur semibilan puluh
sembilan tahun, kapan sampai saatnya ia meninggal dunia
dengan tenteram sebagai satu pendeta perempuan.
Memang, Nionio sangat lengkam! Umpamanya tentang
bukit ini, dulunya di situ banyak serigala dan harimaunya, tetapi sekarang, satu pun tidak ada. Inilah karena beberapa hari di muka pendirian kuil ini, Nionio sudah perintah
Lengkoan usir semua binatang beburonan. Begitulah kita di sini, dewi yang melindungi, apapula kau, satu anak yang
berbakti!"
Kiau Liong puas dengan kata-kata Thian thaythay, sebab
ada orang yang setujui caranya membayar kaul dan orang
itu ialah satu nyonya bangsawan, isteri hertog. Buat sesaat, lenyap air mukanya yang guram dan dengan nyonya
bangsawan itu ia bicara dengan asyik.
Kedua budak bengong saja, mereka sangsikan ucapan
Thian thaythay, tapi mereka tidak punya hak untuk turut
bicara. Hanya sekarang mereka merasa sedikit lega, karena toh ada nyonya yang menyetujui sikap nyonya muda
mereka. Thian thaythay mengajar kenal Kiau Liong dengan tiga
nyonya lainnya. Mereka itu tadinya kagumi keelokan Kiau
Liong, mereka terkejut mendengar niat Kiau Liong buang
diri ke dalam jurang. Tapi sekarang setelah belajar kenal dan tahu siapa adanya si nyonya muda, sikap mereka
menjadi tak pedulian. Mereka tahu baik riwayat nyonya
muda ini, tentang Giok teetok meletakkan jabatan, sampai nyonya teetok menutup mata, hingga kedua tiehu muda
mesti tungkuli perkabungannya, sedang di lain pihak karena
"terkena angin", suaminya, Lou Kun Pwee, sampai
meletakkan jabatan juga. Mereka manggut, tetapi mereka
memandang rendah, mereka sungkan bersahabat.
Di gubuk itu disediakan teh wangi dan bakpau pilihan
serta bubur, pula Thian thaythay sendiri membawa bekalan, maka nyonya bangsawan itu lantas mengundang Lou siaunaynay bersantap.
Diwaktu malam, api di gubuk semakin lama semakin
guram, angin di luar sebaliknya meniup semakin keras.
Diluar, masih saja terdengar orang saling memberi selamat, dan samar-samar terdengar beradunya tongkat-tongkat
dengan batu. Dari kuil juga kadang-kadang terdengar suara genta, yang terbawa angin.
Di sana-sini sudah ada orang-orang yang duduk
ngelenggut atau menyender dikursi. Thian thaythay sendiri mengaku sudah ngantuk maka waktu ia meletakkan
kepalanya di meja, ia terus pulas.
Kiau Liong tidak tidur pikirannya bekerja, berduka dan
bersemangat bergantian, rupanya ia terpengaruh oleh
putusan nekatnya.
Hawa udara mulai dingin, minyak lampu mulai habis
dan api perapian dekat padam. Di lain pihak, cuaca tak lagi gelap seperti tadi. Ketika Kiau Liong melihat arloji emasnya menunjukkan jam empat tiga perempat.
"Mari kiu naik ke puncak," ia berkata sesudah
membangunkan budak-budaknya.
"Masih pagi sekali, Lou-naynay," kata kedua budak
sambil kucek-kucek matanya.
Tapi di luar sekarang mulai terdengar pula orang saling
memberi selamat dan tindakan kaki mulai terdengar berisik suatu tanda bahwa sudah ada yang mendusin dan berangkat
ke puncak. "Kau dengar, sudah banyak orang yang berangkat!" kata Kiau Liong. "Untuk pasang hio, kita mesti pagi-pagi sekali!"
Thian thaythay pun mendusin sambil menguap.
"Ah, tidur belum lama rasanya, sudah siang!" ia kata.
"Kita mesti berangkat pagi-pagi nanti Nionio keburu
berangkat pulang!..."
Ia lantas membangunkan budak-budaknya, untuk
bersiap. Dua bujang keluarga Lou menjadi sibuk.
"Thian thaythay, tunggu dulu, mari berangkat bersama
siau-naynay!" kata mereka.
"Baiklah! Kau harus lekasan!" sahut nyonya bangsawan itu.
Dua budaknya Kiau Liong lantas minta bakpau dan
bubur, untuk majikannya sarapan sama-sama Thianthaythay hingga setelah dahar bubur, mereka merasa
badannya hangat.
Kiau Liong pakai mantel dan Thianthaythay ma-kwa,
bersama-sama mereka berangkat. Langit masih gelap,
cahaya terang adalah bintang-bintang yang berkelak-kelik akan tetapi sudah banyak orang yang mendaki puncak.
Syukur ada bantuan dari rombongan Lou-teng-hwee, setiap
seratus tindak lebih, ada orang yang membawa tengloleng, dan beling dan kertas. Semua orang bartindak dengan
bantuan tongkat, kecuali Kiau Liong, ia bisa jalan dengan
Harimau Mendekam Naga Sembunyi Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
cepat, hanya karena mesti menunggu Thian thaythay ia
terpaksa kendalikan tindakannya.
Orang bergembira mendengar suara genta lebih nyata
dari atas puncak dan cahaya api mulai tertampak, tanda
bahwa kuil sudah dekat.
Akhirnya mereka sampai di atas.
Rombongan Kiau Liong dan Thianthaythay terdiri dari
sembilan orang. Pertama mereka masuk ke pendopo Leng-
koan-thian, lantas ke Pek Hee Goan kun-kiong, pendopo di mana Pek Hee Nionio dipuja.
Dipandang anteronya, Pek Hee Bio tak terlalu besar,
akan tetapi perhatian orang, kepercayaan pemuja luar biasa besarnya. Di waktu begitu, orang bendesak-desak, maka
Kiau Liong tidak dapat maju ke depan sekali, hingga mesti unjuk kehormatan sambil membelakangi beberapa orang
lain. Bujang perempuan yang tolongi pasang dan tancap
hio, yang pun ditancap di hiolou sembarangan.
Meski cuaca gelap tapi di dalam kuil api cukup, asapnya
mengepul hingga sukar mengenali orang. Ketika sang
budak pegang tangan nyonyanya, untuk, pimpin bangun, ia
merasa tangannya ketimpa air mata yang mengetel, yang
rasanya dingin. Thian thaythay sendiri masih saja berlutut, dari mulutnya terdengar pujian tak nyata. Ketika ia
berbangkit, apa mau hio menyulut ma-kwa-nya, hingga ia
kaget. Baiknya bujangnya keburu kebut api itu dan hio
kesempar jatuh ke tanah. Tapi, di tempat suci itu, ia tak berani menggerutu. "Sudah selesai aku pasang hio, hitung-hitung aku bertemu Nionio," begitu ia hiburkan dirinya.
Kiau Liong tunggui nyonya itu untuk keluar bersama-
sama. Sekarang dengan datangnya sang fajar, cuaca mulai
terang, dan dengan perlahan-lahan matahari muncul,
cahayanya menerangi keliling jagat. Angin masih saja
menyambar keras, tapi halimun serta uap mulai buyar,
kecuali di atas puncak yang tinggi dan di dalam jurang.
Kiau Liong bertindak menghampiri puncak yang
menghadap jurang. Ke situ tak ada lain orang yang berani manjat.
"Sekarang kau semua boleh pulang!" kata Naga dari
Sinkiang itu sambil berpaling pada budak-budaknya,
suaranya dalam.
Semua budak pada berlutut dan menangis.
"Siau naynay jangan, jangan ... " kata bujang-bujang dari keluarga Lou.
Kedua kakinya Thian thaythay gemetaran, kedua
matanya ditutup rapat. Ia buka mulutnya, tapi suaranya tak terdengar.
"Kou naynay, turunlah!" kata si bujang lelaki, yang coba mendekati.
"Tayjin sudah sembuh! Nionio pun telah ketahui
kesujutan naynay. Harap naynay sayang diri, mari kita
pulang... naynay harus menjagai beberapa keponakanmu
..." Kiau Liong tidak menyahut, ia hanya memandang ke
jurang. Tiba-tiba orang lihat ia gerakkan kedua kakinya, tubuhnya terangkat.
"Naynay!" berseru si bujang lelaki, tetapi sia-sia saja ia menyambar.
Budak-budak pun keluarkan jeritan hebat.
Tubuh Kiau Liong mencelat naik dan terus melayang
turun ke bawah, burung-burungan hong di samping
kupingnya terlepas tertiup angin, jatuh ke atas puncak. Di lain saat, tubuhnya sudah lenyap di dalam jurang.
Kejadian hebat, sekejab saja. Semua budak perempuan
lantas pada menangis, sedang si bujang lelaki hampir turut berkurban.
"Bagaimana kita bisa pulang, untuk memberi kabar?"
katanya. "Toa-siau-naynay dan jie siau naynay pesan aku
untuk mencegah, tapi bagaimana aku dapat mencegahnya"
Sekarang ... akh ..."
"Oh-mie-too-hud!" demikian Thian thaythay memuji,
ketika ia lihat Lou siau naynay sudah lenyap di dalam
jurang. "Sudah, kau semua janngan menangis ... " ia kata lebih jauh. Ia sekarang nampaknya tak takut lagi. "Tidak apa-apa! Kalau kau tidak percaja, mari kita pulang untuk melihat di dalam kota. Ia tentu pulang terlebih dahulu dari pada kita! Kalau Nionio di atas puncak tak punya ilmu
kesaktian cara bagaimana begitu banyak orang datang
bersujut kepadanya?"
Baru setelah itu banyak orang yang mau menyatakan,
rata rata mereka kagum untuk pengorbanan besar itu,
banyak yang anggap bahayanya tidak ada. Toh orang tahu
jurang itu dalam, di dasarnya banyak batu besar, airnya
sedikit. Bahwa belum pernah orang turun ke dasar jurang
itu. Hanya orang tahu, umpama kata ada jalannya,
belakang gunung itu adalah dekat dengan jalanan cagak
"Sam-teng-gan", bahwa bila ada pohon oyot yang menyanggapi, orang tak akan terjun binasa di jurang itu...
Kedua budak dan kedua bujang perempuan bersangsi,
hanya si bujang lelaki, yang alisnya mengkerut, karena ia percaya, "kou-naynay" tentulah sudah habis lelakon
hidupnya. "Mana bisa orang terjun ke jurang tidak terbinasa?"
"Kau jangan kuatir!" akhirnya Thian thaythay kata pada bujangitu. "Bahaya tidak akan ada... Taruh kata terjadi kegagalan, kau tak akan dipersalahkan, sebab bukan kita
yang paksa ia terjun, hanya ia terjun karena suka sendiri. Ia toh sedang membayar kaul!"
Demikian, sampai di situ, orang berangkat pulang.
Orang banyak masih ramai membicarakan kejadian aneh
dan hebat itu. Bujang keluarga Giok mencari sampai lima hari
beruntun, dengan sia-sia, ia telah dibantu oleh beberapa orang keluarga Lou, yang dikirim menyusul. Untuk
menggembirakan orang-orang yang mencari, kedua keluarga pun umumkan persenan atau hadiah. Tapi jurang
tetap jurang. Tubuhnya Kiau Liong mati atau hidup tidak
kedapatan, malahan sepotong sepatunya pun tak dapat
diketemukan. "Mustahil ia binasa?" kata seorang. "Ia berbugee liehay, jangan kata baru terjun jurang, ia jatuh dari langit pun belum tentu ia terbinasa ... Ia tentu gunakan alasan ini, untuk pergi terbang!.."
Tapi orang lain, yang percaya liehaynya Kiau Liong,
dibantah oleh orang yang kenal baik jurang dari Biauhong San itu.
"Tidak bisa," katanya, "aku pernah periksa jurang itu.
Jurang terlalu dalam dan siapa terjun di situ, biar ia
berkepandaian sangat tinggi ia tak akan hidup lagi!..."
"Kemudian lantas tersiar omongan bahwa di selokan
jurang itu orang menemukan segumpal rambut perempuan,
bahwa mayat si nyonya muda tentulah telah digegares
serigala, bahwa serigala itu sungguh beruntung... Giok Kiau Liong telah datang dalam impian pada ayahnya," lain
orang lagi bawa cerita, "untuk memberitahukan bahwa ia
telah binasa hingga ayahnya sampai muntah darah, dan
sakitnya menjadi kambuh."
Semua itu cerita-cerita yang tidak ada buktinya. Yang
benar adalah keluarga Lou telah mengundang paderi dan
imam, untuk menyembahyangi nyonya mantunya itu,
setelah mana keluarga itu tak lagi sebut-sebut tentang si nyonya mantu.
Lau Tay Po dan isterinya Coa Siang Moay berdiam
setengah bulan di Biauhong San, lalu tanggal enam belas
dengan naik sebuah kereta keledai, merekapun pulang ke
kota. Kuda Itto Lianhoa tidak terlihat lagi begitupun
pedang dan paywhok-nya entah ia persenkan kepada siapa.
Ketika orang msnanya tentang Giok Kiau Liong ia goyang-
goyang kepala! "Jangan sebut-sebut pula kejadian itu! Aku seorang she Lau, ia she Giok... Aku adalah telur gundul yang melarat, sebaliknya ia satu nyonya agung. Memang benar pada
tahun yang sudah aku pernah cari kesulitan dengan
menyatroni gedungnya beberapa kali, tetapi itu apa yang
disebut perkenalan satu kali, bukan dua... Orang telah
terjun ke jurang bukan aku yang menjorokkan, maka orang
tak usah tanya-tanya aku. Akupun tidak tahu Giok Kiau
Liong masih hidup atau sudah binasa, karena aku tidak
bersahabat dengan Giam Lo Ong. Menyesal aku tidak
dapat pergi ke istana Raja Akherat itu untuk memeriksa
daftar jiwanya! Cukup tuan-tuan, harap kau semua tidak
menanyakan sesuatu apa pula."
Siang Moay sendiri kalau ditanya tetangganya, cuma
menghela napas dan berkata: "Kasihan, kasihan. ... Ini
adalah kejadian yang tak pernah disangka-sangka.
Sebenarnya Kiau Liong baik terhadap aku..."
Sejak itu suami isteri ini hidup dengan luar biasa
tenteram. Mereka girang sekali karena mereka dapat anak
lelaki, satu bocah yang gemuk sehat dan manis. Tay Po
sekarang lebih terkenal dari pada dulu-dulu. Ia tetap dapat penghargaan dari Tiat pweelek. Semua jago-jago tidak ada lagi di Pakkhia, ialah sekarang yang menjagoi, akan tetapi ia tidak lagi "mengebul" sebagai sediakala, malahan segala urusan, asal yang ia rada tak sanggup. Ia tak mau usil lagi.
Ia sekarang membatasi diri, dan sahabat kekalnya Toh Tau Eng, entah cara bagaimana, sekarang hidup mewah.
Kedua keluarga yang terkenal, Tek dan Khu, mengenai
perkara Giok Kiau Liong, semua menutup mulut, mereka
tidak nyatakan dugaan atau pikiran apa-apa. Maka lama ke lamaan peristiwa di Biauhong San itu orang lupa, tak
dijadikan buah tutur orang tak peduli Kiau Liong benar
sudah binasa atau masih hidup ...
Sekarang hawa udara jadi semakin panas, pohon-pohon
yangliu tumbuh semakin besar, daun-daun hijau berubah
dan rontok. Di Ngocong Nia, daerah Seeleng, yang
letaknya di sebelah selatan Pakkhia, hawa udara lebih
hangat daripada biasanya. Di atas bukit, rumput-rumput
tumbuh terlebih tinggi.
Di atas bukit ada beberapa rumah gubuk yang berdiri
berdekatan dengan sebuah selokan gunung atau kali kecil, airnya mengalir berkumpul dalam sebuah empang di
samping beberapa gubuk itu. Di pinggir empang tumbuh
beberapa pohon yangliu rumput dan gelagah, hingga
suasana di situ menjadi teduh. Di muka air berenang lima atau enam puluh ekor bebek, yang asyik bermain dengan
gembira dan di tanah datar bukit itu pun terlihat empat
puluh atau lebih ekor kambing gembel asyik makan rumput, bulunya semua putih bersih laksana salju begitu juga
bulunya bebek-bebek itu.
Tempat itu sepi, sangat jarang orang datang ke situ,
kecuali satu imam dari kuil di sebelah utara bukit untuk berkunjung pada tuan rumah gubuk-gubuk itu. Disalah satu gubuk itu tinggal satu majikan dengan dua kacungnya, yang satu mengurus bebek, yang lain mengangon kambing. Si
gembala kambing itu tidak mirip dengan kacung
penggembala yang biasa tertampak di dalam gambar, yang
tubuhnya lemah dan gemar meniup suling, ia justru
beroman luar biasa, kedua matanya merah. Ia gemar sekali numprah di antara kawaanan kambingnya sambil tempel
pie-yan-hoe kepada hidungnya. Dan si tukang angon bebek
pun tak mirip dengan si nona dusun tukang giring bebek
sambil naik perahu kecil di Kanglam, yang tangannya biasa memegang cambuk terbuat dari ujung bambu. Ia hanya
beroman bengis, malahan di mukanya tertampak bacokan
golok. Ia mirip dengan satu liaulo, ialah rakyat berandal.
Dan ia sangat malas, diwaktu siang, ia gemar sekali tidur.
Toh segala urusan di dalam gubuk itu dilakukan kedua
kacung ini, malahan ongkos penghidupan pun mereka yang
mencarikannya. Sebab kalau sudah gemuk, kambing dijual
pada tukang jagal di kota yang berdekatan, dan bebek di
bawa untuk dijual kepada tukang panggang. Atau bebek itu disembelih untuk mereka dahar.
Si tuan, atau majikan, tidak ada kerjanya, hanya setiap
hari, ia tampaknya berduka saja, sepasang alisnya
senantiasa dikerutkan, di muka pintu, atau ia naik ke atas bukit, untuk memandang ke arah timur atau barat atau ia
suka nyanyi sendirian. Akan tetapi asal ia nyanyi, ia cuma perdengarkan: "Dunia suram guram ... " dan tak lebih. Ia seperti mengharap-harap, bingung dan tak sabaran ...
Angin musim semi telah lewat, sang hujan gerimis turun
dan berhenti, hari-hari lewat dan tiap kali si majikan ini menjadi putus asa. Sia-sia saja pengharapannya. Apa yang
menguatirkan, ia agaknya jadi tidak sabaran, kedukaannya jadi bertambah-tambah. Sekarang juga datang saatnya
burung-burung walet berpasang-pasangan dan sang tawon
dan kupu-kupu main-main diantara bunga-bunga. Sang
kambing telah saling udak-udakan, dan sang bebek saling
iring-iringan. Puteri Malam menjadi bulat penuh dan malam itu
muncul dengan cahaya yang permai, gilang gemilang,
menerangi seluruh daerah bukit, hingga segala pepohonan, batu karang, dan segala apa, jadi tertampak nyata. Sampai di empang, air bergemerlapan bagaikan perak.
Akan tetapi, di rumah gubuk cahaya api tak ada. Bebek
sudah pulang ke kandangnya dan tidur, sang kambing telah berkumpul di dalam rimba di mana mereka rebah sebagai
didalam kandang mereka.
Melainkan kedua kacung yang belum tidur, malahan
mereka duduk di tanjakan yang tinggi, hingga kelakuan
mereka mirip dengan dua penyair termashur yang sedang
gadangi sang rembulan.
"Toh mereka bukan sedang mengagumi si Puteri Malam, mereka hanya numprah sambil saling bergantian menyedot
pie yan-hu. Sebagaimana biasa, suasana di pegunungan
sunyi dan tenang, suara nyamuk terdengar nyata.
Begitulah ada terdengar suara dari arah utara, suara
orang yang menunggang kuda, suaranya tidak keras tetapi
cukup terdengar nyata.
Suara semakin lama semakin tegas .... akan bahwa kuda
itu sedang mendatangi.
"Kau dengar" Bukankah suara kaki kuda?" menegur
yang satu. Sang kawan tidak menyahut, hanya ia loncat bangun
terus lari turun, hingga sahabatnya pun berbangkit. Berdua mereka berlari-lari turun sampai di bawah di jalanan,
dengan niatan mencegat penunggang kuda tak dikenal itu.
Mereka mengawasi ke arah utara, di mana rembulan
membuat segala apa tertampak nyata. Siapa itu yang
mendatangi" Berapa jumlah mereka " Mengapa mereka
menempuh jalanan sebelah utara yang sukar itu" Mereka
orang baik atau orang-orang jahat"
Segera ternyata yang datang hanya satu orang.
Penunggang kuda itu dengan lekas mendekati.
"Hei! Siapa di sana!" berteriak si kacung yang mukanya bertanda golok.
"Apa kau mau?" Tapi kawan di sampingnya, membalas ia. "Apakah ia bukannya thaythay kiia" Ia ini tanya.
Dengan sepasang matanya yang merah dan tajam,
kawan ini meneliti penunggang kuda yang berbulu merah
yancie, gendolannya dua pauhok besar serta sebatang
barang yang panjang, ialah pedang berunce merah,
pakaiannya mentereng. Di tempat jauhnya tiga puluh
tindak, semua kelihatan nyata.
Si penunggang kuda bertubuh tinggi dan kecil langsing,
pakaiannya baju pendek dan celana panjang yang ringkas,
kepalanya terbungkus kacu putih. Nyata ia seorang
perempuan. Kalau si kacung yang mirip tikus lantas lari ke arah
gubuk, adalah si kacung muka bertapak golok segera
menghampiri, ia cekal les kuda.
"Looya kita tunggui kau di sini, ia sudah menunggu
setengah tahun!" ia berkata.
"Tetapi orang beritahu padaku, bahwa kau tinggal di
Samceng Bio sana di utara bukit Si imam tua dari kuil itu kata padaku bahwa kau telah pindah kemari. Jikalau aku
tahu sedari bermula tentu aku menuju langsung kemari!"
"Ini adalah kehendak looya kita, looya merasa kurang leluasa untuk menemui kau di rumah berhala, sedang di sini justru ada beberapa kamar yang tidak ada penghuninya dan tempatnya tenteram, hingga pasti menyenangkan untuk
tinggal di sini melewatkan hari. Di bawah tanah ada satu gua yang lebar akan tetapi kita diperintah tutup lubang itu.
Kita pindah kemari memang sengaja untuk menanti kau,
thaythay ... eh, siocit," sahut kacung itu yang bukan lain dari pada Hoa Lian Hoan.
Penungang kuda itu tak pedulikan bahasa panggilan itu,
hanya ia majukan kudanya menghampiri rumah gubuk.
Dari dalam rumah segera tertampak cahaya api. Tuan
rumah, yang tubuhnya kekar hingga diumpamakan
"berbokong harimau dan berpinggang biruang" mukanya tercukur kelimis, bertindak keluar separuh berlari.
Melihat tuan rumah itu, si penunggang kuda loncat turun
akan tetapi pada orang yang memegangi kudanya ia pesan:
"Biarlah semua barang di atas kuda ini!"
Maka dengan sebelah tangannya tetap menyekal
cambuknya, ia bertindak dengan tindakan elok menghampiri tuan rumah. Tindakannya mirip dengan
bidadari yang berjalan di antara sinar rembulan. Ia segera ketemui tuan rumah.
Harimau Mendekam Naga Sembunyi Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kedua pihak saling cekal tangan keras.
Pemuda itu menghela napas, ia tunduk, tapi lekas juga
angkat kepalanya.
Si nona perlihatkan air muka berseri-seri, dan dari
matanya terlihat air mata berlinang-linang, tanda
kegirangan yang luar biasa.
Dengan terus berpegangan tangan, pasangan ini
bertindak ke dalam pekarangan terus masuk ke dalam
kamar di mana ada sebuah pembaringan dan jendela kamar
tertutup kain indah.
Di luar, kedua kacung tuntun kuda ke dalam pekarangan
dan ditambat, kemudian mereka pergi ke bawah jendela
dapur di mana mereka jongkok, matanya mengawasi ke
jendela kamar looya mereka. Mereka melihat bayangan
kedua orang dan mendengar suara bicara dan tertawa,
tetapi mereka tidak berani mendekati.
Suara bicara perlahan, hingga tak terdengar nyata apa
yang mereka itu ucapkan. Hanya belakangan terdengar
terang tertawa si nona, suara nyaring tetapi halus, disusul dengan suaranya si anak muda.
"Bagaimana girang adanya hari ini," kata kacung yang satu.
"Jangan-jangan mereka menetap di sini lalu bagaimana dengan kita?"
Sebelum sang kawan menyahut, suara tertawa di dalam
kamar berhenti dengan mendadak dan api padam dengan
segera. Ketika sinar rembulan menggeser, kelihatanlah bayangan
pepohonan dan pagar, di empat penjuru, semua telah
terlihatnya. "Cukup! Kita tak usah menonton terlebih lama pula.
Mari kita masuk tidur! Asal besok kita jangan lupa memberi selamat kepada thaythay kita!"
Di luar suasana menjadi semakin sunyi, angin gunung
meniup-niup. Di kejauhan suara air terdengar menggerocok di selokan.
Di atas, sang bintang seperti bersenyum satu kepada
lain... Demikian, satu malam lewat.
Besoknya pagi, selagi cuaca masih belum terang benar
dan halimun masih memenuhi puncak bukit dan rimba,
selagi penghuni rumah masih belum mendusin, malah sang
kambing dan bebek masih enak tidur, begitupun kuda masih menggeros, pintu gubuk terpentang, satu nona bertindak
keluar. Ia bertindak dengan lekas, tetapi kakinya tidak
menerbitkan suara sedikit pun. Tangannya menyekal
cambuk. Ketika ia sampai di tempat tambatan kuda, ia
singkap rambut di jidatnya.
Tali les segera dilepaskan, kuda itu lantas dituntun keluar pekarangan. Gesit luar biasa, nona itu loncat naik atas
kudanya. Ia memandang ke depan, ia kucek matanya,
kemudian, seraya geraki cambuknya, ia kedut les kuda.
Binatang itu geraki empat buah kaknya dan berlalu ke arah timur. Dan nona itu pergi dengan tidak menoleh pula.
Adalah setelah itu, burung-burung pada kaget dan
berterbangan sambil mengeluarkan suara. begitu pun
suaranya bebek dan kambing hingga terbitlah suara yang
berisik. Tuan rumah mendusin dengan kaget, lebih kaget pula
waktu tak mendapatkan kawan perempuannya. Ia loncat
turun dari pembaringan dan lari keluar memandang
keempat penjuru, tetapi ia tak melihat sekalipun pun
bayangan si nona. Ia memanggil-manggil juga sia-sia saja.
Kemudian ia dapatkan kenyataan, kuda si nona pun
telah lenyap ...
Sebentar kemudian langit menjadi terang, halimun buyar
hilang. Berdiri seorang diri di atas puncak, si anak muda seperti orang lupa ingatan. Ia insyaf karenanya, ia jadi seperti tidak berdaya. Ia tahu, sia-sia saja ia menyusul si nona. Ia
menghela napas, ia bertindak balik ke gubuknya dengan
sangat masgul. Ia mengerti bahwa ia baru saja habis
bermimpi ... Selama itu, kedua kacung, masih tidur nyenyak di kamar
dapur, ia tidak mengetahui bahwa impian majikan mereka
sudah buyar. -oo0dw0oo- "Demikian, sampai di sinilah ' Go Huo Chong Liong".
Pembaca, kita tentu mengetahui sendiri, siapa si anak
muda, hidup seperti bermimpi, ia selanjutnya melarikan
mengenang-ngenag ... .... lelakon hidup hidupnya, dan
selanjutnya ia mesti hidup menyendiri dalam kesunyian,
hatinya menjadi tawar, ia seperti kebingungan semangat
kegagahannya hilang ia menjadi seperti Go Hou, atau
Harimau yang Mendekam, meskipun dengan Hou ... ...
namanya, Siau Hou.
Dan Kiau Liong nona itu, dalam kedudukannya yang
sukar masih hendak mempertahankan derajatnya. Ia buron
dari rumahnya, rumah keluarga bangsawan. Ia mencari Lo
Siau Hou. Toh tidak mau hidup sebagai suami isteri dengan pemuda itu, tak peduli bahwa Lo Siau Hou bukan lagi Poan Thian In, si kepala berandal dari gurun pasir. Ia korbankan impiannya yang muluk, ia ikhlas kabur dari gubuk di mana menunggu seorang yang sangat menyintainya. Dan pergi
sebagai Cheng Liong atau Naga yang Menyerahkan Diri,
pergi entah kemana ....
TAMAT Pedang Dan Kitab Suci 12 Pendekar Satu Jurus Karya Gan K L Pendekar Bodoh 13
Habis rombongan jejangkungan, muncul barisan
malaikat "Kay Lou" atau pembuka jalan terdiri dari tujuh atau delapan orang, dengan mukanya dicat banyak rupa.
Ada yang bawa gaetan kongcee yang diputar dan dilempar-
lemparkan, untuk ditangkap pula. Kegembiraan mereka
dibantu oleh suara tambur riuh. Di antara mereka ada Hoa-gu-jie Lie Seng, si Kerbau Belang.
"Bagus, bagus!" begitu Tay Po pun memuji mereka ini.
"Hanya awas, nanti gaetan nyangkut di batang lehermu!"
Tidak lama datang giliran rombongan pertunjukan
bendera "Ciong Hoan". Setiap bendera tingginya lima kaki,
di atasnya diikat banyak kelenengan kecil. Cara memakaikan ialah bendera itu dilempar ke atas, lalu
disanggap dengan kepala, tanpa bantuan tangan. Phang Kiu si. Kepala Miring turut dalam rombongan ini. Meskipun
kepalanya miring, ia toh yang paling pandai buat bendera berdiri tetap sekali di atas kepalanya. Tay Po pun puji
rombongan ini. Kemudian lewat dengan beruntun rombongan "Hoa
Tan", ialah rombongan yang menyunggi guci arak Siauhin.
Lalu rombongan "Siang Cio Tau" atau sepasang ....tu.
Suatu permainan dart yang unjuk kekuatan. Batu besar
diangkat tinggi, diputar di tubuh, atau dipakai menindih orang, sedang di atas orang itu berdiri lagi orang lain.
Rombongan chunggee perahu dan lain-lain sebagian
besar terdiri dari orang tani atau kawanan penganggur. Pun rombongan ini hampir tak ada yang tak kenal Lau Tay Po,
hingga Tay Po harus mengangkat kedua tangannya entah
beberapa ratus kali, untuk memberi hormat dan memuji-
muji. Tidak lama pula kelihatan rombongan "Ngo Hou Kun", atau "Toya Lima Harimau", membawa lelakon jaman
dahulu, ketika Tio Khong In dengan toya tempur lima
harimau. Di antara yang main ini pun, Tay Po banyak
kenalannya. "Siau Lim Kun datang! Siau Lim Kun datang!"
kemudian terdengar teriakan berulang-ulang.
Rombongan "Siau Lim Kun" ini menarik perhatian besar, karena alat senjata yang digunakan ialah golok,
tombak, gaetan, piau, pedang, toya dan bahwa semuanya
senjatanya tulen. Anggauta-anggauta rombongan pun
terdiri dari piausu dari Kota Selatan. Maka dapat
dimengerti, di antaranya banyak sahabat Itto Lianhoa.
"Selamat. Selamat!" demikian orang menghaturkan.
Salah satu anggauta "Siau Lim Kun" minta Lau Tay Po turut memberi pertunjukan.
Itto Lianhoa memang sudah gatal menonton saja, maka
begitu diminta, ia terus buka baju luar dan baju dalamnya, hingga kelihatan nyata tubuhnya sebatas dada. Di dadanya dan di punggungnya, tertampak nyata cacahan bunga
teratai, yang membuat ia peroleh julukannya itu. Ia pakai celana hijau, angkin hijau, begitu pun ikatan betisnya, akan tetapi sepatunya putih.
Suara tambur dan gembreng diperdengarkan terlebih riuh
lagi. Lau Tay Po mainkan dua rupa senjata berbareng, ialah
sebatang golok dan bandringan. Ilmu yang dipertunjukkan
adalah "Sam Gie To" dan "Liuseng Tan Twie Kan Goat"
atau "Bandring Mengubar Rembulan",
goloknya membacok, bandringnya menyambar. Tapi yang buat orang
bertepuk tangan bersorak ramai, adalah ketika ia jatuhkan tubuhnya dan bergulingan di tanah, goloknya terus
membacok membabat, bandringnya menyambar tak
berhentinya. Sembari bersilat, Tay Popun unjuk kelucuannya. Ia bersilat keempat penjuru sambil tiap kali mengucapkan: "Selamat! Selamat!"
Sejak munculnya rombongan yang pertama, sang
waktupun lewat. Sekarang sudah lohor. Sedikit waktu
setelah selesainya pertunjukan Itto Lianhoa, jauh di muka terlihat mendatangi tiga buah kereta keledai. Tay Po baru selesai dandan, ketika ia lihat kereta itu, yang membuat air mukanya berubah dengan tiba-tiba, syukur tak ada yang
memperhatikannya. Kemudian waktu beberapa kenalan
cari ia, ia telah lenyap!
Tiga buah kendaraan tak dapat naik sampai di muka
kuil, karena jalan tertutup orang.
Dari kereta pertama loncat turun seorang lelaki yang
membuka jalan. "Tuan-tuan, selamat, selamat!" demikian katanya dengan nyaring, "Permisi, permisi, tuan-tuan, tolong minta sedikit jalanan!"
Menyusul hamba lelaki itu, turun dua
bujang perempuan, kemudian dari kereta yang belakang, keluar
dua budak perempuan, yang terus menghampiri kereta yang
tengah. Mereka berdua berumur masing-masjng kurang
lebih dua puluh tahun, pakaiannya sederhana, akan tetapi roman mereka menarik perhatian, hingga orang banyak
buat sesaat lupa segala macam peraturan.
Dari kendaraan yang di tengah yang tandunya disingkap
oleh kedua budak perempuan itu, turun satu perempuan
muda dengan dandanan cara Boan. Ia berumur delapan
atau sembilan belas tahun, tubuhnya tinggi dan langsing, mirip dengan cabang yangliu di antara sampokan angin
atau cabang bambu di tepi air. Ia pakai baju putih dengan pinggiran tersulam, sepatunya hijau muda dan rata
dasarnya, dengan ditabur burung hong di atas bunga hiasan, benang emasnya mengkilap mentereng. Rambutnya tak
dikonde melintang, hanya konde biasa yang tinggi dan
dipakukan perhiasan dari batu kumala, di samping
kupingnya ditancapi burung hong dari wol hijau muda,
sayap dan mukanya burung itu berunce yang terbuat dari
mutiara-mutiara halus sekali, maka kalau kepala bergoyang, runce itu turut bergerak, berkilau-kilau warnanya.
Nyonya muda itu mukanya potongan kuaci, hidungnya
bangir, sepasang alisnya lentik, matanya besar. Ia elok dan agung, melainkan romannya sedikit guram. Ketika ia sudah
turun ia bergerak dengan sabar dan perlahan, diiringi
budak-budak, sedang dua bujang perempuan membawa
bungkusan lilin dan hio.
Berbagai rombongan masih saja asyik dengan masing-
masing pertunjukannya, suara tambur dan gembreng
mereka ramai sekali, tetapi mereka kalah saing dengan
nyonya muda ini, yang sedang menuju ke kuil.
"Ia dari mana,.ha" Ia mirip bidadari!" demikian kata-kata pujian beberapa orang.
Banyak sekali yang tidak kenal nyonya itu, kecuali
mereka yang pernah melihatnya di Tonggak Bio.
"Ia ialah Giok Kiau Liong yang terkenal!" demikian kata
mereka ini. Satu kali nama Kiau Liong disebut, orang seperti pada
ulur leher mereka, untuk dapat melihat lebih nyata nyonya muda itu, hingga nyonya ini dipandang mirip dengan Pek
Hee Nionio sendiri!
Dua bujang perempuan keluarga Lou berkuatir kapan
mereka lihat sikap orang banyak itu.
Tapi Kiau Liong sendiri jalan terus dengan anteng,
mendaki jalan gunung, yang banyak batunya. Di kiri dan
kanan jalan banyak pepohonan, di mana burung kuning dan
gereja asyik cecowetan. Burung-burung lain telah pada
terbang jauh, kelinci pun tidak ada. Angin halus meniup
bersiur-siur. Suara pelayan-pelayan pun berhenti menawarkan air teh,
bubur dan bakpau, di waktu mereka lihat nona Giok
mendatangi. Semua mata tertuju pada nyonya muda itu.
Beberapa tukang joli maju menawarkan jolinya, tetapi
Kiau Liong menampik. Ia datang untuk bersujud dan
berkehendak jalan kaki. Ia dapat berjalan leluasa, tidak demikian dengan dua bujang keluarga Lou, yang berkaki
kecil. Meskipun berjalan sambil pegangan tongkat, toh
napas mereka memburu. Mereka pun mendongkol terhadap
orang-orang di belakang mereka yang merangsek secara
rapat, tetapi mereka diam saja. Di depan siau naynay atau nyonya mantu yang teristimewa itu, mereka tidak berani
banyak bicara, dan di daerah Pek Hee Nionio, mereka tidak berani mengomel atau memaki orang ...
Bujang lelaki dan dua budak perempuan dari keluarga
Giok berkaki besar, hingga tak mengalami kesulitan sebagai dua bujang keluarga Lou itu, hanya mereka berkuatir waktu melihat jurang yang semakin mereka naik tinggi semakin
dalam. Mendaki puncak hawa terasa mulai dingin. Matahari,
dengan sinar layungnya, berada di belakang gunung, mirip sebuah bola api. Suara sang gaok riuh rendah. Di berbagai gubuk telah mulai dipasang api. Banyak orang yang hendak melewatkan sang malam di atas bukit Sedang dihari-hari
biasa, kuil tak dikunjungi orang, sekarang ia mirip dengan pasar malam.
Dengan perkenannya Kiau Liong, lima bujang pergi
mencari tempat bermalam. Si nyonya hendak bersembahyang besok pagi. Bujang lelaki mempunyai
beberapa kenalan antara pelayan-pelayan, tapi ia pilih
sebuah gubuk terbesar, dengan belasan tenglolengnya dan
bendera kuning dengan huruf-huruf "Tiat Pwee Lek Hu", satu tanda Tiau Siau pweelek pun menyediakan pondokan,
hanya karena keluarga pangeran ini baru lagi dua hari akan datang, maka ia perkenankan pondoknya dipakai orang
luar, baik orang kenamaan maupun pengemis. Tetapi
karena orang tahu Pweelek-ya seorang bangsawan, tak
sembarang orang, berani masuk ke situ. Kalau toh ada yang
mampir melulu untuk minum teh dan makan bakpau, lalu
mereka pergi pula.
Ketika si bujang lelaki minta tempat, di situ sudah ada
beberapa anggauta keluarga lain. Ia disambut dengan
manis, maka ia lantas persilahkan itu nyonya masuk ke
dalam. Pengurus gubuk terperanjat kapan mereka tahu bahwa
tetamunya adalah itu nona gagah, yang dua kali pernah
satroni Pweelek-hu, untuk mencuri pedang mustika.
Mereka menyambut dengan hormat, dan menyilahkan
tetamunya masuk ke ruangan dalam.
"Silahkan, silahkan masuk," kata mereka, dengan suara tak lancar dan tak ada yang berani mengawasi nyonya itu.
Kiau Liong tidak puas mengetahui gubuk itu kepunyaan
Tiat siau-pweelek, tetapi karena sudah terlanjur, ia masuk terus, di mana empat thaythay sedang pasang omong
dilayani budak-budak mereka Satu di antaranya, yang
berumur kira-kira empat puluh tahun, dengan lantas unjuk roman heran apabila ia lihat nyonya muda ini.
"Oh, Lou siau naynay," katanya, sambil bersenyum.
"Kau juga datang ..."
Kiau liong memberi hormat pada thaythay itu, begitupun
pada lain-lainnya. Thaythay itu ialah thaythay dari Thian Kong-ya, dengan keluarga Giok ia tidak bergaul rapat,
tetapi dengan keluarga Lou ia bersahabat kekal. Kiau Liong mesti memanggil "Encim Thian yang ketiga" padanya karena ia sangat percaya Budha. Ia girang mendengar Kiau Liong datang untuk sembahyang, tapi terlebih girang pula, waktu mendengar bahwa nyonya muda ini hendak
membayar kaul dengan terjun ke jurang. Ia sangat setuju.
"Ya, terjunlah!" menganjurkan, Thian thaythay. "Asal pada pada waktu yang tepat, kau bersujud, dewi akan
melindungi kau! Dulu di waktu muda ibu mertuaku
perempuan pernah terjun dengan meramkan matanya. Ia
merasa seperti tubuhnya ada yang sanggap. Ketika ia buka matanya, ternyata ia telah sampai di rumahnya sendiri,
kulit dan dagingnya tak lecet sedikit juga. Sejak itu, ia tak pernah mendapat sakit. Ia berumur semibilan puluh
sembilan tahun, kapan sampai saatnya ia meninggal dunia
dengan tenteram sebagai satu pendeta perempuan.
Memang, Nionio sangat lengkam! Umpamanya tentang
bukit ini, dulunya di situ banyak serigala dan harimaunya, tetapi sekarang, satu pun tidak ada. Inilah karena beberapa hari di muka pendirian kuil ini, Nionio sudah perintah
Lengkoan usir semua binatang beburonan. Begitulah kita di sini, dewi yang melindungi, apapula kau, satu anak yang
berbakti!"
Kiau Liong puas dengan kata-kata Thian thaythay, sebab
ada orang yang setujui caranya membayar kaul dan orang
itu ialah satu nyonya bangsawan, isteri hertog. Buat sesaat, lenyap air mukanya yang guram dan dengan nyonya
bangsawan itu ia bicara dengan asyik.
Kedua budak bengong saja, mereka sangsikan ucapan
Thian thaythay, tapi mereka tidak punya hak untuk turut
bicara. Hanya sekarang mereka merasa sedikit lega, karena toh ada nyonya yang menyetujui sikap nyonya muda
mereka. Thian thaythay mengajar kenal Kiau Liong dengan tiga
nyonya lainnya. Mereka itu tadinya kagumi keelokan Kiau
Liong, mereka terkejut mendengar niat Kiau Liong buang
diri ke dalam jurang. Tapi sekarang setelah belajar kenal dan tahu siapa adanya si nyonya muda, sikap mereka
menjadi tak pedulian. Mereka tahu baik riwayat nyonya
muda ini, tentang Giok teetok meletakkan jabatan, sampai nyonya teetok menutup mata, hingga kedua tiehu muda
mesti tungkuli perkabungannya, sedang di lain pihak karena
"terkena angin", suaminya, Lou Kun Pwee, sampai
meletakkan jabatan juga. Mereka manggut, tetapi mereka
memandang rendah, mereka sungkan bersahabat.
Di gubuk itu disediakan teh wangi dan bakpau pilihan
serta bubur, pula Thian thaythay sendiri membawa bekalan, maka nyonya bangsawan itu lantas mengundang Lou siaunaynay bersantap.
Diwaktu malam, api di gubuk semakin lama semakin
guram, angin di luar sebaliknya meniup semakin keras.
Diluar, masih saja terdengar orang saling memberi selamat, dan samar-samar terdengar beradunya tongkat-tongkat
dengan batu. Dari kuil juga kadang-kadang terdengar suara genta, yang terbawa angin.
Di sana-sini sudah ada orang-orang yang duduk
ngelenggut atau menyender dikursi. Thian thaythay sendiri mengaku sudah ngantuk maka waktu ia meletakkan
kepalanya di meja, ia terus pulas.
Kiau Liong tidak tidur pikirannya bekerja, berduka dan
bersemangat bergantian, rupanya ia terpengaruh oleh
putusan nekatnya.
Hawa udara mulai dingin, minyak lampu mulai habis
dan api perapian dekat padam. Di lain pihak, cuaca tak lagi gelap seperti tadi. Ketika Kiau Liong melihat arloji emasnya menunjukkan jam empat tiga perempat.
"Mari kiu naik ke puncak," ia berkata sesudah
membangunkan budak-budaknya.
"Masih pagi sekali, Lou-naynay," kata kedua budak
sambil kucek-kucek matanya.
Tapi di luar sekarang mulai terdengar pula orang saling
memberi selamat dan tindakan kaki mulai terdengar berisik suatu tanda bahwa sudah ada yang mendusin dan berangkat
ke puncak. "Kau dengar, sudah banyak orang yang berangkat!" kata Kiau Liong. "Untuk pasang hio, kita mesti pagi-pagi sekali!"
Thian thaythay pun mendusin sambil menguap.
"Ah, tidur belum lama rasanya, sudah siang!" ia kata.
"Kita mesti berangkat pagi-pagi nanti Nionio keburu
berangkat pulang!..."
Ia lantas membangunkan budak-budaknya, untuk
bersiap. Dua bujang keluarga Lou menjadi sibuk.
"Thian thaythay, tunggu dulu, mari berangkat bersama
siau-naynay!" kata mereka.
"Baiklah! Kau harus lekasan!" sahut nyonya bangsawan itu.
Dua budaknya Kiau Liong lantas minta bakpau dan
bubur, untuk majikannya sarapan sama-sama Thianthaythay hingga setelah dahar bubur, mereka merasa
badannya hangat.
Kiau Liong pakai mantel dan Thianthaythay ma-kwa,
bersama-sama mereka berangkat. Langit masih gelap,
cahaya terang adalah bintang-bintang yang berkelak-kelik akan tetapi sudah banyak orang yang mendaki puncak.
Syukur ada bantuan dari rombongan Lou-teng-hwee, setiap
seratus tindak lebih, ada orang yang membawa tengloleng, dan beling dan kertas. Semua orang bartindak dengan
bantuan tongkat, kecuali Kiau Liong, ia bisa jalan dengan
Harimau Mendekam Naga Sembunyi Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
cepat, hanya karena mesti menunggu Thian thaythay ia
terpaksa kendalikan tindakannya.
Orang bergembira mendengar suara genta lebih nyata
dari atas puncak dan cahaya api mulai tertampak, tanda
bahwa kuil sudah dekat.
Akhirnya mereka sampai di atas.
Rombongan Kiau Liong dan Thianthaythay terdiri dari
sembilan orang. Pertama mereka masuk ke pendopo Leng-
koan-thian, lantas ke Pek Hee Goan kun-kiong, pendopo di mana Pek Hee Nionio dipuja.
Dipandang anteronya, Pek Hee Bio tak terlalu besar,
akan tetapi perhatian orang, kepercayaan pemuja luar biasa besarnya. Di waktu begitu, orang bendesak-desak, maka
Kiau Liong tidak dapat maju ke depan sekali, hingga mesti unjuk kehormatan sambil membelakangi beberapa orang
lain. Bujang perempuan yang tolongi pasang dan tancap
hio, yang pun ditancap di hiolou sembarangan.
Meski cuaca gelap tapi di dalam kuil api cukup, asapnya
mengepul hingga sukar mengenali orang. Ketika sang
budak pegang tangan nyonyanya, untuk, pimpin bangun, ia
merasa tangannya ketimpa air mata yang mengetel, yang
rasanya dingin. Thian thaythay sendiri masih saja berlutut, dari mulutnya terdengar pujian tak nyata. Ketika ia
berbangkit, apa mau hio menyulut ma-kwa-nya, hingga ia
kaget. Baiknya bujangnya keburu kebut api itu dan hio
kesempar jatuh ke tanah. Tapi, di tempat suci itu, ia tak berani menggerutu. "Sudah selesai aku pasang hio, hitung-hitung aku bertemu Nionio," begitu ia hiburkan dirinya.
Kiau Liong tunggui nyonya itu untuk keluar bersama-
sama. Sekarang dengan datangnya sang fajar, cuaca mulai
terang, dan dengan perlahan-lahan matahari muncul,
cahayanya menerangi keliling jagat. Angin masih saja
menyambar keras, tapi halimun serta uap mulai buyar,
kecuali di atas puncak yang tinggi dan di dalam jurang.
Kiau Liong bertindak menghampiri puncak yang
menghadap jurang. Ke situ tak ada lain orang yang berani manjat.
"Sekarang kau semua boleh pulang!" kata Naga dari
Sinkiang itu sambil berpaling pada budak-budaknya,
suaranya dalam.
Semua budak pada berlutut dan menangis.
"Siau naynay jangan, jangan ... " kata bujang-bujang dari keluarga Lou.
Kedua kakinya Thian thaythay gemetaran, kedua
matanya ditutup rapat. Ia buka mulutnya, tapi suaranya tak terdengar.
"Kou naynay, turunlah!" kata si bujang lelaki, yang coba mendekati.
"Tayjin sudah sembuh! Nionio pun telah ketahui
kesujutan naynay. Harap naynay sayang diri, mari kita
pulang... naynay harus menjagai beberapa keponakanmu
..." Kiau Liong tidak menyahut, ia hanya memandang ke
jurang. Tiba-tiba orang lihat ia gerakkan kedua kakinya, tubuhnya terangkat.
"Naynay!" berseru si bujang lelaki, tetapi sia-sia saja ia menyambar.
Budak-budak pun keluarkan jeritan hebat.
Tubuh Kiau Liong mencelat naik dan terus melayang
turun ke bawah, burung-burungan hong di samping
kupingnya terlepas tertiup angin, jatuh ke atas puncak. Di lain saat, tubuhnya sudah lenyap di dalam jurang.
Kejadian hebat, sekejab saja. Semua budak perempuan
lantas pada menangis, sedang si bujang lelaki hampir turut berkurban.
"Bagaimana kita bisa pulang, untuk memberi kabar?"
katanya. "Toa-siau-naynay dan jie siau naynay pesan aku
untuk mencegah, tapi bagaimana aku dapat mencegahnya"
Sekarang ... akh ..."
"Oh-mie-too-hud!" demikian Thian thaythay memuji,
ketika ia lihat Lou siau naynay sudah lenyap di dalam
jurang. "Sudah, kau semua janngan menangis ... " ia kata lebih jauh. Ia sekarang nampaknya tak takut lagi. "Tidak apa-apa! Kalau kau tidak percaja, mari kita pulang untuk melihat di dalam kota. Ia tentu pulang terlebih dahulu dari pada kita! Kalau Nionio di atas puncak tak punya ilmu
kesaktian cara bagaimana begitu banyak orang datang
bersujut kepadanya?"
Baru setelah itu banyak orang yang mau menyatakan,
rata rata mereka kagum untuk pengorbanan besar itu,
banyak yang anggap bahayanya tidak ada. Toh orang tahu
jurang itu dalam, di dasarnya banyak batu besar, airnya
sedikit. Bahwa belum pernah orang turun ke dasar jurang
itu. Hanya orang tahu, umpama kata ada jalannya,
belakang gunung itu adalah dekat dengan jalanan cagak
"Sam-teng-gan", bahwa bila ada pohon oyot yang menyanggapi, orang tak akan terjun binasa di jurang itu...
Kedua budak dan kedua bujang perempuan bersangsi,
hanya si bujang lelaki, yang alisnya mengkerut, karena ia percaya, "kou-naynay" tentulah sudah habis lelakon
hidupnya. "Mana bisa orang terjun ke jurang tidak terbinasa?"
"Kau jangan kuatir!" akhirnya Thian thaythay kata pada bujangitu. "Bahaya tidak akan ada... Taruh kata terjadi kegagalan, kau tak akan dipersalahkan, sebab bukan kita
yang paksa ia terjun, hanya ia terjun karena suka sendiri. Ia toh sedang membayar kaul!"
Demikian, sampai di situ, orang berangkat pulang.
Orang banyak masih ramai membicarakan kejadian aneh
dan hebat itu. Bujang keluarga Giok mencari sampai lima hari
beruntun, dengan sia-sia, ia telah dibantu oleh beberapa orang keluarga Lou, yang dikirim menyusul. Untuk
menggembirakan orang-orang yang mencari, kedua keluarga pun umumkan persenan atau hadiah. Tapi jurang
tetap jurang. Tubuhnya Kiau Liong mati atau hidup tidak
kedapatan, malahan sepotong sepatunya pun tak dapat
diketemukan. "Mustahil ia binasa?" kata seorang. "Ia berbugee liehay, jangan kata baru terjun jurang, ia jatuh dari langit pun belum tentu ia terbinasa ... Ia tentu gunakan alasan ini, untuk pergi terbang!.."
Tapi orang lain, yang percaya liehaynya Kiau Liong,
dibantah oleh orang yang kenal baik jurang dari Biauhong San itu.
"Tidak bisa," katanya, "aku pernah periksa jurang itu.
Jurang terlalu dalam dan siapa terjun di situ, biar ia
berkepandaian sangat tinggi ia tak akan hidup lagi!..."
"Kemudian lantas tersiar omongan bahwa di selokan
jurang itu orang menemukan segumpal rambut perempuan,
bahwa mayat si nyonya muda tentulah telah digegares
serigala, bahwa serigala itu sungguh beruntung... Giok Kiau Liong telah datang dalam impian pada ayahnya," lain
orang lagi bawa cerita, "untuk memberitahukan bahwa ia
telah binasa hingga ayahnya sampai muntah darah, dan
sakitnya menjadi kambuh."
Semua itu cerita-cerita yang tidak ada buktinya. Yang
benar adalah keluarga Lou telah mengundang paderi dan
imam, untuk menyembahyangi nyonya mantunya itu,
setelah mana keluarga itu tak lagi sebut-sebut tentang si nyonya mantu.
Lau Tay Po dan isterinya Coa Siang Moay berdiam
setengah bulan di Biauhong San, lalu tanggal enam belas
dengan naik sebuah kereta keledai, merekapun pulang ke
kota. Kuda Itto Lianhoa tidak terlihat lagi begitupun
pedang dan paywhok-nya entah ia persenkan kepada siapa.
Ketika orang msnanya tentang Giok Kiau Liong ia goyang-
goyang kepala! "Jangan sebut-sebut pula kejadian itu! Aku seorang she Lau, ia she Giok... Aku adalah telur gundul yang melarat, sebaliknya ia satu nyonya agung. Memang benar pada
tahun yang sudah aku pernah cari kesulitan dengan
menyatroni gedungnya beberapa kali, tetapi itu apa yang
disebut perkenalan satu kali, bukan dua... Orang telah
terjun ke jurang bukan aku yang menjorokkan, maka orang
tak usah tanya-tanya aku. Akupun tidak tahu Giok Kiau
Liong masih hidup atau sudah binasa, karena aku tidak
bersahabat dengan Giam Lo Ong. Menyesal aku tidak
dapat pergi ke istana Raja Akherat itu untuk memeriksa
daftar jiwanya! Cukup tuan-tuan, harap kau semua tidak
menanyakan sesuatu apa pula."
Siang Moay sendiri kalau ditanya tetangganya, cuma
menghela napas dan berkata: "Kasihan, kasihan. ... Ini
adalah kejadian yang tak pernah disangka-sangka.
Sebenarnya Kiau Liong baik terhadap aku..."
Sejak itu suami isteri ini hidup dengan luar biasa
tenteram. Mereka girang sekali karena mereka dapat anak
lelaki, satu bocah yang gemuk sehat dan manis. Tay Po
sekarang lebih terkenal dari pada dulu-dulu. Ia tetap dapat penghargaan dari Tiat pweelek. Semua jago-jago tidak ada lagi di Pakkhia, ialah sekarang yang menjagoi, akan tetapi ia tidak lagi "mengebul" sebagai sediakala, malahan segala urusan, asal yang ia rada tak sanggup. Ia tak mau usil lagi.
Ia sekarang membatasi diri, dan sahabat kekalnya Toh Tau Eng, entah cara bagaimana, sekarang hidup mewah.
Kedua keluarga yang terkenal, Tek dan Khu, mengenai
perkara Giok Kiau Liong, semua menutup mulut, mereka
tidak nyatakan dugaan atau pikiran apa-apa. Maka lama ke lamaan peristiwa di Biauhong San itu orang lupa, tak
dijadikan buah tutur orang tak peduli Kiau Liong benar
sudah binasa atau masih hidup ...
Sekarang hawa udara jadi semakin panas, pohon-pohon
yangliu tumbuh semakin besar, daun-daun hijau berubah
dan rontok. Di Ngocong Nia, daerah Seeleng, yang
letaknya di sebelah selatan Pakkhia, hawa udara lebih
hangat daripada biasanya. Di atas bukit, rumput-rumput
tumbuh terlebih tinggi.
Di atas bukit ada beberapa rumah gubuk yang berdiri
berdekatan dengan sebuah selokan gunung atau kali kecil, airnya mengalir berkumpul dalam sebuah empang di
samping beberapa gubuk itu. Di pinggir empang tumbuh
beberapa pohon yangliu rumput dan gelagah, hingga
suasana di situ menjadi teduh. Di muka air berenang lima atau enam puluh ekor bebek, yang asyik bermain dengan
gembira dan di tanah datar bukit itu pun terlihat empat
puluh atau lebih ekor kambing gembel asyik makan rumput, bulunya semua putih bersih laksana salju begitu juga
bulunya bebek-bebek itu.
Tempat itu sepi, sangat jarang orang datang ke situ,
kecuali satu imam dari kuil di sebelah utara bukit untuk berkunjung pada tuan rumah gubuk-gubuk itu. Disalah satu gubuk itu tinggal satu majikan dengan dua kacungnya, yang satu mengurus bebek, yang lain mengangon kambing. Si
gembala kambing itu tidak mirip dengan kacung
penggembala yang biasa tertampak di dalam gambar, yang
tubuhnya lemah dan gemar meniup suling, ia justru
beroman luar biasa, kedua matanya merah. Ia gemar sekali numprah di antara kawaanan kambingnya sambil tempel
pie-yan-hoe kepada hidungnya. Dan si tukang angon bebek
pun tak mirip dengan si nona dusun tukang giring bebek
sambil naik perahu kecil di Kanglam, yang tangannya biasa memegang cambuk terbuat dari ujung bambu. Ia hanya
beroman bengis, malahan di mukanya tertampak bacokan
golok. Ia mirip dengan satu liaulo, ialah rakyat berandal.
Dan ia sangat malas, diwaktu siang, ia gemar sekali tidur.
Toh segala urusan di dalam gubuk itu dilakukan kedua
kacung ini, malahan ongkos penghidupan pun mereka yang
mencarikannya. Sebab kalau sudah gemuk, kambing dijual
pada tukang jagal di kota yang berdekatan, dan bebek di
bawa untuk dijual kepada tukang panggang. Atau bebek itu disembelih untuk mereka dahar.
Si tuan, atau majikan, tidak ada kerjanya, hanya setiap
hari, ia tampaknya berduka saja, sepasang alisnya
senantiasa dikerutkan, di muka pintu, atau ia naik ke atas bukit, untuk memandang ke arah timur atau barat atau ia
suka nyanyi sendirian. Akan tetapi asal ia nyanyi, ia cuma perdengarkan: "Dunia suram guram ... " dan tak lebih. Ia seperti mengharap-harap, bingung dan tak sabaran ...
Angin musim semi telah lewat, sang hujan gerimis turun
dan berhenti, hari-hari lewat dan tiap kali si majikan ini menjadi putus asa. Sia-sia saja pengharapannya. Apa yang
menguatirkan, ia agaknya jadi tidak sabaran, kedukaannya jadi bertambah-tambah. Sekarang juga datang saatnya
burung-burung walet berpasang-pasangan dan sang tawon
dan kupu-kupu main-main diantara bunga-bunga. Sang
kambing telah saling udak-udakan, dan sang bebek saling
iring-iringan. Puteri Malam menjadi bulat penuh dan malam itu
muncul dengan cahaya yang permai, gilang gemilang,
menerangi seluruh daerah bukit, hingga segala pepohonan, batu karang, dan segala apa, jadi tertampak nyata. Sampai di empang, air bergemerlapan bagaikan perak.
Akan tetapi, di rumah gubuk cahaya api tak ada. Bebek
sudah pulang ke kandangnya dan tidur, sang kambing telah berkumpul di dalam rimba di mana mereka rebah sebagai
didalam kandang mereka.
Melainkan kedua kacung yang belum tidur, malahan
mereka duduk di tanjakan yang tinggi, hingga kelakuan
mereka mirip dengan dua penyair termashur yang sedang
gadangi sang rembulan.
"Toh mereka bukan sedang mengagumi si Puteri Malam, mereka hanya numprah sambil saling bergantian menyedot
pie yan-hu. Sebagaimana biasa, suasana di pegunungan
sunyi dan tenang, suara nyamuk terdengar nyata.
Begitulah ada terdengar suara dari arah utara, suara
orang yang menunggang kuda, suaranya tidak keras tetapi
cukup terdengar nyata.
Suara semakin lama semakin tegas .... akan bahwa kuda
itu sedang mendatangi.
"Kau dengar" Bukankah suara kaki kuda?" menegur
yang satu. Sang kawan tidak menyahut, hanya ia loncat bangun
terus lari turun, hingga sahabatnya pun berbangkit. Berdua mereka berlari-lari turun sampai di bawah di jalanan,
dengan niatan mencegat penunggang kuda tak dikenal itu.
Mereka mengawasi ke arah utara, di mana rembulan
membuat segala apa tertampak nyata. Siapa itu yang
mendatangi" Berapa jumlah mereka " Mengapa mereka
menempuh jalanan sebelah utara yang sukar itu" Mereka
orang baik atau orang-orang jahat"
Segera ternyata yang datang hanya satu orang.
Penunggang kuda itu dengan lekas mendekati.
"Hei! Siapa di sana!" berteriak si kacung yang mukanya bertanda golok.
"Apa kau mau?" Tapi kawan di sampingnya, membalas ia. "Apakah ia bukannya thaythay kiia" Ia ini tanya.
Dengan sepasang matanya yang merah dan tajam,
kawan ini meneliti penunggang kuda yang berbulu merah
yancie, gendolannya dua pauhok besar serta sebatang
barang yang panjang, ialah pedang berunce merah,
pakaiannya mentereng. Di tempat jauhnya tiga puluh
tindak, semua kelihatan nyata.
Si penunggang kuda bertubuh tinggi dan kecil langsing,
pakaiannya baju pendek dan celana panjang yang ringkas,
kepalanya terbungkus kacu putih. Nyata ia seorang
perempuan. Kalau si kacung yang mirip tikus lantas lari ke arah
gubuk, adalah si kacung muka bertapak golok segera
menghampiri, ia cekal les kuda.
"Looya kita tunggui kau di sini, ia sudah menunggu
setengah tahun!" ia berkata.
"Tetapi orang beritahu padaku, bahwa kau tinggal di
Samceng Bio sana di utara bukit Si imam tua dari kuil itu kata padaku bahwa kau telah pindah kemari. Jikalau aku
tahu sedari bermula tentu aku menuju langsung kemari!"
"Ini adalah kehendak looya kita, looya merasa kurang leluasa untuk menemui kau di rumah berhala, sedang di sini justru ada beberapa kamar yang tidak ada penghuninya dan tempatnya tenteram, hingga pasti menyenangkan untuk
tinggal di sini melewatkan hari. Di bawah tanah ada satu gua yang lebar akan tetapi kita diperintah tutup lubang itu.
Kita pindah kemari memang sengaja untuk menanti kau,
thaythay ... eh, siocit," sahut kacung itu yang bukan lain dari pada Hoa Lian Hoan.
Penungang kuda itu tak pedulikan bahasa panggilan itu,
hanya ia majukan kudanya menghampiri rumah gubuk.
Dari dalam rumah segera tertampak cahaya api. Tuan
rumah, yang tubuhnya kekar hingga diumpamakan
"berbokong harimau dan berpinggang biruang" mukanya tercukur kelimis, bertindak keluar separuh berlari.
Melihat tuan rumah itu, si penunggang kuda loncat turun
akan tetapi pada orang yang memegangi kudanya ia pesan:
"Biarlah semua barang di atas kuda ini!"
Maka dengan sebelah tangannya tetap menyekal
cambuknya, ia bertindak dengan tindakan elok menghampiri tuan rumah. Tindakannya mirip dengan
bidadari yang berjalan di antara sinar rembulan. Ia segera ketemui tuan rumah.
Harimau Mendekam Naga Sembunyi Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kedua pihak saling cekal tangan keras.
Pemuda itu menghela napas, ia tunduk, tapi lekas juga
angkat kepalanya.
Si nona perlihatkan air muka berseri-seri, dan dari
matanya terlihat air mata berlinang-linang, tanda
kegirangan yang luar biasa.
Dengan terus berpegangan tangan, pasangan ini
bertindak ke dalam pekarangan terus masuk ke dalam
kamar di mana ada sebuah pembaringan dan jendela kamar
tertutup kain indah.
Di luar, kedua kacung tuntun kuda ke dalam pekarangan
dan ditambat, kemudian mereka pergi ke bawah jendela
dapur di mana mereka jongkok, matanya mengawasi ke
jendela kamar looya mereka. Mereka melihat bayangan
kedua orang dan mendengar suara bicara dan tertawa,
tetapi mereka tidak berani mendekati.
Suara bicara perlahan, hingga tak terdengar nyata apa
yang mereka itu ucapkan. Hanya belakangan terdengar
terang tertawa si nona, suara nyaring tetapi halus, disusul dengan suaranya si anak muda.
"Bagaimana girang adanya hari ini," kata kacung yang satu.
"Jangan-jangan mereka menetap di sini lalu bagaimana dengan kita?"
Sebelum sang kawan menyahut, suara tertawa di dalam
kamar berhenti dengan mendadak dan api padam dengan
segera. Ketika sinar rembulan menggeser, kelihatanlah bayangan
pepohonan dan pagar, di empat penjuru, semua telah
terlihatnya. "Cukup! Kita tak usah menonton terlebih lama pula.
Mari kita masuk tidur! Asal besok kita jangan lupa memberi selamat kepada thaythay kita!"
Di luar suasana menjadi semakin sunyi, angin gunung
meniup-niup. Di kejauhan suara air terdengar menggerocok di selokan.
Di atas, sang bintang seperti bersenyum satu kepada
lain... Demikian, satu malam lewat.
Besoknya pagi, selagi cuaca masih belum terang benar
dan halimun masih memenuhi puncak bukit dan rimba,
selagi penghuni rumah masih belum mendusin, malah sang
kambing dan bebek masih enak tidur, begitupun kuda masih menggeros, pintu gubuk terpentang, satu nona bertindak
keluar. Ia bertindak dengan lekas, tetapi kakinya tidak
menerbitkan suara sedikit pun. Tangannya menyekal
cambuk. Ketika ia sampai di tempat tambatan kuda, ia
singkap rambut di jidatnya.
Tali les segera dilepaskan, kuda itu lantas dituntun keluar pekarangan. Gesit luar biasa, nona itu loncat naik atas
kudanya. Ia memandang ke depan, ia kucek matanya,
kemudian, seraya geraki cambuknya, ia kedut les kuda.
Binatang itu geraki empat buah kaknya dan berlalu ke arah timur. Dan nona itu pergi dengan tidak menoleh pula.
Adalah setelah itu, burung-burung pada kaget dan
berterbangan sambil mengeluarkan suara. begitu pun
suaranya bebek dan kambing hingga terbitlah suara yang
berisik. Tuan rumah mendusin dengan kaget, lebih kaget pula
waktu tak mendapatkan kawan perempuannya. Ia loncat
turun dari pembaringan dan lari keluar memandang
keempat penjuru, tetapi ia tak melihat sekalipun pun
bayangan si nona. Ia memanggil-manggil juga sia-sia saja.
Kemudian ia dapatkan kenyataan, kuda si nona pun
telah lenyap ...
Sebentar kemudian langit menjadi terang, halimun buyar
hilang. Berdiri seorang diri di atas puncak, si anak muda seperti orang lupa ingatan. Ia insyaf karenanya, ia jadi seperti tidak berdaya. Ia tahu, sia-sia saja ia menyusul si nona. Ia
menghela napas, ia bertindak balik ke gubuknya dengan
sangat masgul. Ia mengerti bahwa ia baru saja habis
bermimpi ... Selama itu, kedua kacung, masih tidur nyenyak di kamar
dapur, ia tidak mengetahui bahwa impian majikan mereka
sudah buyar. -oo0dw0oo- "Demikian, sampai di sinilah ' Go Huo Chong Liong".
Pembaca, kita tentu mengetahui sendiri, siapa si anak
muda, hidup seperti bermimpi, ia selanjutnya melarikan
mengenang-ngenag ... .... lelakon hidup hidupnya, dan
selanjutnya ia mesti hidup menyendiri dalam kesunyian,
hatinya menjadi tawar, ia seperti kebingungan semangat
kegagahannya hilang ia menjadi seperti Go Hou, atau
Harimau yang Mendekam, meskipun dengan Hou ... ...
namanya, Siau Hou.
Dan Kiau Liong nona itu, dalam kedudukannya yang
sukar masih hendak mempertahankan derajatnya. Ia buron
dari rumahnya, rumah keluarga bangsawan. Ia mencari Lo
Siau Hou. Toh tidak mau hidup sebagai suami isteri dengan pemuda itu, tak peduli bahwa Lo Siau Hou bukan lagi Poan Thian In, si kepala berandal dari gurun pasir. Ia korbankan impiannya yang muluk, ia ikhlas kabur dari gubuk di mana menunggu seorang yang sangat menyintainya. Dan pergi
sebagai Cheng Liong atau Naga yang Menyerahkan Diri,
pergi entah kemana ....
TAMAT Pedang Dan Kitab Suci 12 Pendekar Satu Jurus Karya Gan K L Pendekar Bodoh 13