Pencarian

Harimau Mendekam Naga Sembunyi 7

Harimau Mendekam Naga Sembunyi Karya Wang Du Lu Bagian 7


"Apakah aku lukakan hebat pada kau" Oh, kalau kau
terbinasa karena tikamanku barusan, sungguh celaka! ... "
Siau Hou geleng kepala.
"Tidak apa, tidak apa," ia bilang. "Aku cuma tertikam sedikit ... Memangnya lenganku yang kiri masih belum
sembuh betul. Ketika di bulan kesatu aku pergi memburu,
seekor biruang besar telah berhasil menggigit aku ... Poan Thian In ada satu manusia batu, luka kecil saja tak berarti apa-apa!"
Dan ia paksakan berbangkit berdiri seraya tersenyum.
"Sebenarnya kau tinggal di mana?" tanya Kiau Liong.
"Mari aku antar padamu ... "
"Di ini rumah kampung cuma ada satu kamar dan kamar itu aku berikan pada kau," sahut Lo Siau Hou sambil tertawa. "Aku telah pikir untuk berdiri satu malaman di luar jendela dari kamarmu ... "
"Kalau begitu, mari balik ke kamarku!" kata si nona, yang terus saja, sambil pegangi lengan kanannya orang
pimpin kepala penyamun itu ke dalam kamar. Sekarang ia
merasa benar sekali, lengannya pemuda ini ada keras
sebagai batu saja.
Sesampainya di dalam, Kiau Liong lepaskan cekalannya,
ia mau pergi keluar, akan ambil lampunya, tetapi apa mau, dengan tiba-tiba Lo Siau Hou sambar tangannya terus
ditarik dengan kaget, hingga selanjutnya, satu ciankim
siocia telah rubuh di tangannya satu kepala penyamun,
seorang muda gagah dengan hati mulia, tetapi sang nasib
sedang permainkan padanya.
Besoknya pagi pintu telah diketok, oleh tiga orangnya
Poan Thian In. Mereka ini, atas perintah pemimpinnya,
telah mondok di rumah lain yang berdekatan. Atas ini,
pemimpin itu lantas ke luar.
Kiau Liong berada sendirian dalam kamarnya, air
matanya membasahkan kedua belah pipinya. Ia ada sangat
berduka, mendongkol dan menyesal, hingga ia pikir, kalau sebentar kepala penyamun itu kembali, ia hendak tikam saja sampai mati.
Belum terlalu lama, Lo Siau Hou telah datang pula.
Entah dari mana, ia sekarang sudah salin pakaian dengan
bersih, pakaian sutera hitam. Dadanya ada melowek,
lukanya telah tertambal dengan koyo. Dengan tubuhnya
yang tinggi besar, ia kelihatan gagah, tampangnya yang
ganteng membikin ia ada menarik hati. Maka itu, si nona
Giok batal dengan niatnya akan menikam saja kepala
penyamun ini. "Eh, kenapa kau belum salin?" tanya Siau Hou sambil tertawa. "Lekas dandan, supaya kita bisa segera berangkat!"
Kiau Liong masih pegangi pedangnya, air matanya
mengucur deras, tubuhnya kelihatan bergemetaran.
"Pergi ke mana?" ia tanya, dengan sengit. "Apakah benar-benar kau hendak ajak aku merantau, menjajah ke
mana-mana, menjadi penyamun?"
Lo Siau Hou goyang kepala.
"Bukan," ia menyahut. "Kemarin aku pikir untuk antarkan kau pada rombonganmu, tentu saja bukan aku
sendiri yang pergi mengantari, tetapi kau ada terlalu cantik, hingga pikiranku jadi tersesat ... Jangan kau sesalkan aku, sebab buat bilang terus terang, bukan melainkan aku yang menyayangi kau, hanya kau pun ada mencintai aku! Coba
dari mula-mula kau benci aku sebagai berandal, tidak nanti sampai kejadian seperti sekarang ini ... "
Kiau Liong tersenyum menghina.
"Aku ingin kemudian kita menjadi suami isteri," kata pula Lo Siau Hou. "Aku tahu kau telah kabur dari
rombonganmu, melulu sebab kau ingin coba mengicipi
penghidupan yang merdeka, supaya kau bisa pergi ke mana
kau suka, untuk merasakan juga kesengsaraan, tetapi,
apabila itu terjadi, kau pasti tak akan sanggup menderita ...
Kau memang pandai bugee, hanya pengalaman di kalangan
Sungai Telaga kau tidak mempunyainya. Oleh karena itu,
sekarang ini, kau harus susul rombonganmu, untuk
sementara, kau mesti pulang ke rumahmu ... "
Kiau Liong angkat kepalanya, ia awasi itu pemuda cakap
ganteng. "Dan kau?" ia tanya. "Kau hendak pergi ke mana?"
"Aku akan ikuti kau dari sebelah belakang," sahut itu anak muda. "Aku ingin kau undang keluar gurumu she Kho itu, agar kita bisa bikin pertemuan. Asal ia benar ada
penolongku yang bernama Kho Long Ciu, segala apa lantas
bisa diurus beres!"
"Apakah artinya beres ini?" si nona menegasi.
"Aku telah tersesat dan menjadi penyamun, itu bukan karena kehendakku yang sebenarnya," kata si kepala
berandal, cabang atas dari Sinkiang. "Aku menyesal bahwa sampai sebegitu jauh belum ada orang yang bisa bikin aku sadar dan insyaf, aku ada begitu menyesal, sampai aku
merasa runtuh sendiri. Begitu aku sekap diriku di dalam
lembah, belum pernah aku cukur muka dan rawati
rambutku, malah pakaian juga aku tidak sering-sering salin!
Hidupku sehari-hari adalah, kecuali minum arak mabok-
mabokan dan berjudi, aku perintah orang perempuan
menyanyi, untuk meriahkan hatiku. Aku sendiri sering
nyanyikan laguku yang kau kenal itu, semakin aku
menyanyi, semakin aku uring-uringan. Tapi sekarang,
sekarang aku hendak ubah diriku, aku ingin hidup barui!
Aku ingin penolongku itu, Kho Long Ciu, mendayakan
agar aku bisa pangku pangkat dalam kalangan ketentaraan, dengan bugee-ku, aku percaya aku akan mampu berbuat
suatu apa, maka kalau nanti aku telah berhasil, aku nanti utus penolongku she Kho itu menjadi orang perantaraan,
guna meminang kau! Itu waktu, aku percaya, semua
saudaraku pun tentu aku telah dapat cari, hingga kita bisa berkumpul beramai-ramai! Malah aku percaya, juga sakit
hati kita sejak duapuluh tahun, akan dapat terbalas ... "
Kiau Liong seka air matanya.
"Apakah kau benar punya semangat ini?" ia tanya.
Lo Siau Hou tepuk dadanya, di betulan di mana koyo
tertempel. "Jikalau aku tak punyakan semangat itu, kecewa Poan
Thian In ada satu jantan!"
Dengan tiba-tiba, Giok Kiau Liong tertawa. Ia manggut.
"Baik!" ia kata. "Jikalau benar kau punya itu semangat, aku nanti tunggu kau sampai sepuluh tahun!"
"Tidak usah sampai sepuluh tahun!" nyatakan Lo Siau Hou. "Sejak aku ketemu kau, aku sebenarnya tidak ingin lagi berpisah daripadamu! Siapa sanggup menderita rindu
sampai sepuluh tahun?"
Kiau Liong ayun pedangnya.
"Lekas perintah orang sediakan teh dan nasi!" ia kata, separo tertawa, separo marah.
Siau Hou berlalu sambil tersenyum.
Kiau Liong mau tukar pakaiannya atau tiba-tiba ia
batalkan itu. "Buntalan ini Siau Hou mendapati dari mencuri di
keretaku, kalau sekarang aku kembali dengan salin pakaian, apakah ibuku dan sekalian budak tak akan curigai aku?"
demikian ia pikir. "Baik buntalan ini aku tidak ganggu.
Bagaimana aku mesti terangkan yang aku berkenalan
dengan Poan Thian In" ... "
Ia lihat pakaiannya sendiri, ia lihat itu tidak terlalu kotor.
Maka selagi tunggu barang makanan, ia buka dua
kuncirnya, buat kembali dikepang menjadi satu cacing
besar, hitam dan panjang.
Tidak antara lama, Lo Siau Hou telah datang pula,
sekarang ia bantui si petani tua membawa barang makanan.
Nona Giok lihat kepala penyamun itu berlaku manis
pada tuan rumah, siapa sebaliknya, nampaknya, tak
ketakutan dan jeri sebagai kemarinnya.
Kemudian mereka duduk berhadapan, akan dahar dan
minum teh. Kiau Liong tertawa melihat cara daharnya si anak muda,
yang mulutnya senantiasa dipentang lebar dan daharnya
pun cepat sekali, ia sendiri, sebaliknya, dahar sedikit. Ia pun mesti paksakan diri akan telan bahpau yang kering, keras dan hitam ... Air teh ia minum banyak, ia ada berdahaga
sekali, meskipun itu ada air teh dari daun jie.
"Sekarang kita boleh berangkat," kata Siau Hou, sehabisnya mereka bersantap.
Kiau Liong manggut, tetapi ia kata: "Ini buntalan dan pedang aku tidak mau bawa, kau ambil saja!"
"Kenapa begitu?" si anak muda tanya.
"Kau pikir saja!" sahut si nona. "Aku mengerti bugee, tetapi semua orang di dalam rumahku tidak ada yang tahu,
benar di waktu pergi aku ada bawa pedang tetapi itu
bukannya pedang ini. Ini pakaian semua ada kepunyaanku,
cara bagaimana aku bisa bawa pulang" Melihat ini, orang
bisa curigai aku. Laginya, kalau nanti aku kembali, aku
harus bawa terus sikapku sebagai satu siocia, tentang urusan kita, aku tidak akan sebut-sebut ..."
"Tentu saja rahasia kita ini tidak boleh dibuka ... "
Habis mengucap begitu, Siau Hong menghela napas. Ia
terus jumput itu pedang dan buntalan, buat dibawa keluar, ia Kiau Liong sudah lantas ikut keluar juga.
Di pekarangan sudah menantikan dua ekor kuda
tunggang, di bebokong kuda ada tergendol kantong air dari kulit kerbau dan kantong rangsum kering.
Lo Siau Hou gantung buntalan dan pedang di atas kuda
bulu hitam, dan Kiau Liong ambil kuda bulu merah, seekor kuda yang bagus dan gesit, ketika ia menyambuti cambuk,
kuda itu dituntunya keluar di mana ada menantikan tiga
orang, yang semua segera memberi hormat pada si nona.
Kiau Liong tahu, tiga orang itu ada laskarnya Lo Siau
Hou, karena ia dikasih hormat, ia jadinya ada satu apcee hujin alias ratu berandal ... Bagaimana ia malu sendirinya, sampai air mukanya sedikit berubah, saking jengah ...
"Kau boleh pergi," kata Siau Hou ketika ia menyusul keluar. "Aku hendak antarkan siocia."
Tiga pengikut itu manggut, mereka lantas berlalu.
"Sekarang mari kita berangkat!" kata si anak muda pada tunangannya sambil tertawa.
Kiau Liong tidak kata apa-apa, ia cekal keras lesnya dan loncat naik atas kudanya.
Siau Hou pun loncat naik atas kuda hitamnya, yang ia
terus cambuk, maka itu binatang terus angkat kedua kaki
depannya dan lari congklang. Ia mesti jalan di sebelah
depan, sebagai penunjuk jalan.
Maka dengan berlari keras, kedua kuda kabur
meninggalkan kampung.
Mereka berdua berada di padang rumput yang lebar dan
luas, udara ada terang, hawa pun hangat. Matahari baru
saja mulai mendadari di timur. Mega ada sedikit dan tipis, dan angin ada bersilir halus. Di tengah udara, burung-burung gagak berterbangan dalam beberapa rombongan.
Kiau Liong larikan kudanya sampai anak rambut di
kedua samping kupingnya seperti berterbangan, setiap kali-setiap kali ia awasi anak muda di hadapannya, siapa juga sering menoleh, hingga kalau dua pasang mata saling
bentrok, keduanya lantas tertawa atau tersenyum.
Siau Hou anggap si nona ada sangat manis dan menarik
hati, dan si nona merasa yang itu kepala penyamun muda
ada sebagai penawar untuk hatinya yang kosong.
Beberapa kali di tengah jalan, larinya dua kuda
membikin kaget dan terbang rombongan-rombongan
burung kecil yang sedang berkumpul mencari makanan.
Agaknya Siau Hou ketarik dengan pemandangan dari
berterbangannya sang burung kecil, lalu dari kantongnya ia keluarkan serupa barang, ialah sebuah busur kecil mungil serta beberapa anak panahnya, yang kecil dan mungil juga.
Ia menyiapkan dengan cepat, lalu ia memanah, atas mana
beberapa burung jatuh hampir berbareng, karena mereka
telah jadi korbannya itu anak panah istimewa.
Kiau Liong tertawa ketika ia tampak itu.
"Sungguh bagus!" ia berseru. "Mari kasih aku lihat!"
Dan ia majukan kudanya, akan rapatkan kudanya
cabang atas Sinkiang itu.
Siau Hou lemparkan busurnya pada si nona, siapa
menyanggapi itu dengan gapa, buat ia terus perhatikan. Itu ada busur yang kecil dan benar mungil.
Selagi si nona mengawasi dengan kekaguman, ini anak
muda telah loncat turun dari kudanya, akan punguti
burung-burung yang menjadi korbannya, sebab semua anak
panah telah nancap di badannya binatang itu. Panah itu
tidak lebih dari tiga dim panjangnya, maka meskipun
tubuhnya tertusuk sampai mereka tak mampu terbang,
semua burung itu masih hidup.
Siau Hou bawa semua burung pada si nona, maka ia ini
lantas cabuti anak panahnya, sedang burungnya dilemparkan ke tanah.
"Panah kecil ini sungguh menarik!" kata nona Giok sambil tertawa.
"Ini ada panah buatanku sendiri," Siau Hou memberi tahu. "Sedari masih kecil aku sudah bisa bikin ini panah dan bisa menggunainya, benar aku tidak pandai, tetapi belum
pernah aku bikin gagal. Selama aku hidup merantau,
pernah aku menghadapi orang-orang jahat yang berani
satrukan aku, walaupun demikian, aku tidak kehendaki jiwa orang, dari itu, musuh jahat demikian aku biasa ajar adat dengan panah ini. Kalau kau suka ini anak panah, pergilah ambil! Apabila ini panah disimpan di dalam tangan baju,
ada sukar untuk lain orang melihatnya."
Habis kata begitu, ia rogoh kantongnya, akan keluarkan
empat ikat panah mungil itu, yang berjumlah kira-kira
empat puluh batang, dan semua itu ia serahkan pada si
nona. "Kau kasihkan semua panah ini padaku, andaikata kelak kau membutuhkan itu, bagaimana?" tanya si nona sambil tertawa.
"Selanjutnya aku tak akan gunai lagi ini macam senjata main-main," ia memberi tahu. "Selanjutnya aku akan gunai saja tombak atau golok besar, akan dirikan jasa di medan perang, guna peroleh pangkat besar. Senjata ini aku gunai selama aku merantau. Asal aku cari tukang besi, berapa
banyak juga yang aku kehendaki aku akan bisa mendapati!"
"Aku tidak sangka kau punya kepandaian pertukangan
sebagai ini!" ia memuji.
"Buat bilang sejujurnya aku memang berotak terang.
Ilmu silatku aku tidak yakin sehebat-hebatnya, toh
kepandaianku ada lumayan. Aku pun tidak bersekolah lama
tetapi bukan sedikit huruf yang aku kenal. Sayangnya buat aku adalah tidak ada orang yang tilik dan angkat aku,
jikalau tidak, tidak nanti aku tersesat dan menjadi
penyamun! ... "
"Sudah, jangan ucapkan itu!" kata Kiau Liong seraya ulapkan tangannya. "Dahulu kau ada Poan Thian In,
sekarang bukan lagi! Satu enghiong tidak usah dilihat dari asal usulnya, asal saja ia bisa latih diri dan maju, meski ia tidak menjadi satu pembesar berpangkat tinggi, aku sudah
... " Berkata sampai di situ, si nona berhenti sendirinya,
mukanya menjadi merah, rupanya ia malu sendirinya.
Sebaliknya, Siau Hou lantas tertawa berkakakan, sampai
dadanya yang lebar memain turun dan naik ...
"Kancinglah bajumu!" kata si nona, sambil melototi mata. Tapi toh ia akhirnya tersenyum.
Siau Hou menyahuti "ya", dan ia terus kancingi bajunya itu.
Baru sekarang, selagi orang mengancing baju, Kiau
Liong melihat ke bawah, pada kakinya orang, hingga ia
dapat tampak sepatu hijaunya yang sudah tua, karena
sepatu itu sudah ada lubangnya ...
"Apakah kau akan kembali ke gunungmu?" ia tanya.
"Aku mesti kembali, untuk satu kali," jawab Siau Hou.
"Aku mesti jual semua kuda, supaya uangnya bisa dibagi rata di antara semua pengikutku, supaya mereka punya
modal untuk berusaha lain. Jikalau aku tidak berbuat
begitu, pasti mereka akan mempertahankan aku, tidak kasih aku pergi, untuk cuci tangan, guna pergi ke jalan yang benar
.." Kiau Liong manggut.
"Bagaimana dengan itu dua orang perempuan di dalam
lembah?" ia tanya pula.
"Mereka adalah orang-orang yang dikasih datang oleh orang-orangku," Siau Hou terangkan, "mereka pun harus dimerdekakan."
"Orang-orangku telah hidup galang-gulung satu tahun lebih dengan aku, mereka pernah culik banyak perempuan
lain, semuanya aku perintah mereka merdekakan pula.
Semasa aku hidup, aku paling benci mereka yang menghina
orang perempuan dan anak kecil. Aku pun satu kali pernah pikir, jangan-jangan di antara mereka yang terculik ada ada adik perempuanku. Itu juga sebabnya, ketika kau datang
padaku, aku lantas tanya kau asal Lulam atau bukan. Aku
mulanya sangka, cantik dan pandai bugee sebagai kau, kau pantasnya ada salah satu daripada adikku itu, siapa tahu, kau sebenarnya ada Giok siocia, ... "
"Apakah adik perempuanmu itu mengerti silat?" si nona tanya lebih jauh.
"Itulah aku tidak berani pastikan," Siau Hou goyang kepala. "Hanya aku mau menyangka, adikku itu mesti elok luar biasa dan bugee-nya liehay!"
Baru ia habis kata begitu, Siau Hou lantas nyanyikan:
"Dunia suram guram, menurunkan bencana, hingga kita
bersaudara mesti bercerai berai ... "
Mau atau tidak, Kiau Liong tertawa.
Sekarang kuda mereka dikasih berendeng, perjalanan
dilanjutkan sambil mereka terus pasang omong, maka itu,
dengan hampir tidak merasa, mereka telah lalui perjalanan duapuluh lie lebih, hingga sekarang mereka berhadapan
dengan sekawanan kuda.
"Kita mesti menyingkir dari rombongan kuda itu," Siau Hou memberi tahu. "Kita baik jangan bertemu dengan
orang-orang Kozak, sebab dengan satu pada lain tidak bisa bicara, kesulitan gampang timbul"
Lantas Poan Thian In larikan kudanya ke jurusan
selatan. Giok Kiau Liong menurut, ia pun cambuk kudanya ke
jurusan itu. Hampir berbareng dengan itu, dari rombongan kuda ada
lari keluar seekor kuda bulu hitam.


Harimau Mendekam Naga Sembunyi Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kasihkan panah padaku!" kata Siau Hou dengan tiba-tiba. "Lekas!"
Tetapi Kiau Liong segera kenali kuda itu ada kudanya si
nona Kozak, Bie Hee, sebagaimana si nona sendiri berada
di atas kudanya itu.
Juga Siau Hou lantas kenali itu nona, maka ia kata:
"Nona itu pandai sekali menunggang kuda, hanya sayang hidungnya ada terlalu mancung!"
Kiau Liong tersenyum mendengar ucapan lucu itu.
Sementara itu Bie Hee telah datang dengan cepat, karena
ia telah bedal kudanya.
"Oh, kau telah kembali!" ia mendahului buka mulut begitu lekas ia telah datang dekat.
Kiau Liong telah tahan kudanya dan dari jauh-jauh
sudah menggapekan.
Apabila ia sudah datang dekat, nona Kozak itu agaknya
merasa heran, karena ia mendapati si nona Han ada
bersama sama seorang lelaki, hingga ia awasi kedua
pasangan itu dengan bergantian.
"Apakah kau ada dari satu keluarga?" akhirnya ia tanya.
Kiau Liong menggeleng kepala dengan muka sedikit
merah. "Bukan,"
ia menyahut. "Ia
ini hanya hendak mengantarkan aku."
"Kau hendak pulang ke manakah?" tanya nona Kozak itu. "Apakah kau akan datang pula kemari akan cari aku?"
"Aku tidak berani pastikan " sahut Kiau Liong.
"Sekarang aku niat pergi ke Ielee kemudian aku akan kembali ke Cieboat. Umpama aku lewat di sini, tentu aku
akan cari kau."
"Kudamu dan pedang masih ada padaku, maukah kau
pergi ambil?"
"Apakah kemahmu terpisah jauh dari sini?"
"Tidak jauh, lihat itu di sana," sahut Bie Hee seraya tangannya menunjuk.
"Kuda aku tak pikirkan tetapi itu pedang," kata Kiau Liong pada Siau Hou. "Pedang itu ada kepunyaan ayahku, benar bukannya mustika, tapi itu adalah pedang tua, dari itu, aku ingin ambil."
Sebelumnya menjawab, Lo Siau Hou terlebih dahulu
memandang ke jurusan yang ditunjuk oleh si nona Kozak.
"Tunjukan dari orang Kozak tak dapat dipercaya habis,"
kemudian ia kata. "Dan tunjukannya si nona ini barangkali berani seratus atau duaratus lie jauhnya. Apakah ini
bukannya berarti mensia-siakan tempo" Apakah dengan
begitu kita tidak jadi ketinggalan jauh oleh rombongan
keretamu" Aku pikir baiklah pedang itu dititipkan dahulu, nanti aku berdaya akan ambil dan kirimkan padamu ... "
Kiau Liong setujui usul ini, ia manggut. "Oleh karena kita hendak buru-buru, sekarang kita tidak punya tempo
akan ambil pedang itu," ia lalu kata pada Bie Hee. "Buat sementara itu aku titipkan dahulu pedangku padamu, di
belakang hari, aku sendiri, atau tuan ini, nanti pergi
mengambil. Tentang kudanya, aku hadiahkan itu padamu.
Nah, sampai kita bertemu pula!"
Nona Giok manggut pada nona Kozak itu, ia tersenyum,
lantas ia larikan kudanya, Siau Hou pun segera keprak
kudanya. Bie Hee mengawasi dua orang itu pergi, pergi
jauh di padang rumput itu.
Siau Hou jalan di depan, Kiau Liong mengikuti dari
belakang. Nona ini telah simpan baik-baik panah pemberiannya
pemuda itu. Kepalanya ia telah ikat dengan sapu tangan.
Untuk sementara itu, mereka tidak banyak omong.
Setelah melewati padang rumput, berdua sepasang anak
muda ini jalan di antara padang pasir. Di sini kebetulan tidak ada angin besar, meski begitu, ada gangguan dahaga, hingga orang dan kuda perlu minum. Matahari bikin Kiau
Liong mandi keringat saking panas teriknya, dan Siau Hou sampai pentang dadanya. Terpaksa mereka cari bukit pasir di belakang mana mereka turun dari kuda mereka, untuk
duduk beristirahat.
Siau Hou buka kantongnya bekalan rangsum kering dan
air, duduk di atas pasir, bersama-sama si nona ia dahar dan minum.
Masih saja pemuda itu merasa gerah, hingga ia terpaksa
buka bajunya, hingga kelihatan nyata tubuhnya yang penuh dengan urat-urat, hingga kelihatan juga tanda luka di bahu tangannya bekas gigitan biruang. Di dadanya masih nempel koyok. Ia pun kasih makan pada kuda mereka. Ia dahar dan minum dengan cepat, setelah mana, ia rebahan.
Nona Giok duduk di sampingnya pemuda ini, ia melihat
ke sekelilingnya, apa yang ia mendapati adalah pasir yang hitam, tidak ada satu manusia lainnya, tidak ada benda apa juga. Awan sebaliknya ada putih dan bersih laksana sutera.
Kemudian ia pun rebahkan diri. Tapi, tiba-tiba, air matanya mengucur keluar.
Kapan Siau Hou lihat kesedihannya si nona, ia lekas
berbangkit dan duduk.
"Kenapa eh?" ia tanya. "Kau berduka, Giok siocia?"
Nona itu goyang kepala, tapi air matanya meleleh terus.
"Jangan panggil aku siocia," ia bilang. "Namaku Kiau Liong. Sekarang aku sesalkan guruku. Kenapa ia boleh
banggakan kepandaian silatnya dan di luar tahunya ayah, ia turunkan kepandaiannya itu kepadaku" Aku terlebih
menyesal pula karena aku mendapati dua jilid kitab ilmu
silat, hingga sekarang aku tak bisa secara baik-baik menjadi satu siocia sejati dan mengikuti ayah bundaku ... "
"Apakah kau niat batalkan kehendakmu akan pulang?"
tanya Siau Hou. "Kalau benar, itulah gampang. Aku
bersedia akan mengikuti kehendakmu itu. Dengan begitu,
aku tidak usah pergi mencari pangkat, terutama aku tidak usah menjadi penyamun lagi, hanya berdua kita akan tuntut penghidupan di atas ini gurun pasir dan padang rumput.
Aku tanggung, lapar kita punya makanan, haus kita punya
air, dan ada banyak kuda untuk ditunggang buat pesiar!"
Tetapi nona itu goyang kepala.
"Aku tidak ingin berpisah dari ibuku," ia bilang. "Siau Hou, pertemuan kita ini, walaupun dalam impian, aku tak
pernah sangka! Kau tahu, aku ada seorang yang beradat
keras dan angkuh, tetapi kau telah takluki sifatku itu! Di mataku, kecuali ayah dan ibu, tidak ada lain orang lagi, tetapi sekarang ada kau! Untuk selanjutnya, biar
bagaimana, aku tak nanti bisa lupakan pula pada kau! Maka itu, untuk selamanya juga, kau pun tidak boleh lupai aku, kau mesti berbuat segala apa untuk aku! Kau harus ingat
hari kemudian kita, kau mesti cari kemajuan, supaya di
belakang hari kita bisa tetap berada bersama-sama ... Ingat, Siau Hou, segera juga kita bakal berpisahan. Umpama kata Kho suhu bisa tolong kau, kau tetap akan berada di luar dan aku telap berdiam di dalam rumah, hingga ada sukar buat
kita sering-sering bertemu ... Siau Hou, benar-benar aku tak bertetap hati kapan aku mengingat-ingat hari kemudian kita
..." Kiau Liong nampaknya lesu.
"Siau Hou ... In ... " kata ia, seperti mengeluh.
"Kiau Liong ... " kata si anak muda.
Demikian pasangan ini beber hati mereka, selagi awan
putih bergulung-gulung, selagi sang jagat ada sunyi. Angin tidak ada, suara kelenengan onta tidak ada, dan suara
berkeruyuknya ayam pun tidak ...
Kedua kuda mereka juga sedang rebah-rebahan, sesudah
mereka dapat makan dan minum.
Adalah setelah berselang pula sekian lama, Siau Hou
bangun, akan siapkan kuda mereka itu.
"Marilah kita berangkat!" ia kata pada Kiau Liong.
Kemudian ia bantu si nona naik atas kudanya itu.
Sisa ransum dan kantong air pun sudah dibenahi semua.
Ketika mereka mulai berangkat, Kiau Liong tidak punya
kegembiraan akan kaburkan kudanya, hanya ia kasih
kudanya jalan berendeng sama kudanya si anak muda
hingga mereka bisa berjalan sambil pasang omong. Ini ada perjalanan yang menambah kekalnya pergaulan di antara
mereka. Selewatnya padang pasir, pasangan ini kembali jalan di
antara rumput tebal, malah sekarang ada tertampak sawah-
sawah di tepi jalan.
Lagi sepuluh lie, Siau Hou segera tahan kudanya. Ia
menunjuk ke depan di mana ada segundukan pepohonan
kayu yang berupa sebagai rimba kecil atau dusun.
"Itu dia Peksee kang," ia memberi tahu kawannya.
"Rombongan keretamu kemarin malam singgah di sana,
mereka menunda karena kehilangan kau dan mereka mesti
cari padamu. Sekarang mereka tentu masih ada di sana,
maka, pergilah kau menghampiri mereka. Aku tidak bisa
mengantar lebih jauh, supaya tidak ada orang-orang dari
rombonganmu yang kenali aku ... "
Kiau Liong rapatkan kudanya, tangannya menyekal
tangan orang dengan keras.
"Habis sekarang kau hendak pergi ke mana?" ia tanya.
"Untuk sementara, aku akan pergi ke lain tempat," Siau Hou jawab. "Kau ingat, tempat ini dipanggil dusun Cinciu cun, sebab penduduk tani di sini kebanyakan ada orang-orang pindahan dari Cinciu. Besok pagi aku akan datang
pula kemari. Andaikata gurumu benar Kho Long Ciu,
tolong kau undang ia supaya besok ia ketemui aku."
"Dan umpama kata ia bukannya tuan penolongmu itu?"
tanya nona Giok sambil kerutkan alisnya.
"Tidak bisa lain, terpaksa aku mesti berdaya sendiri,"
sahut Siau Hou. "Biar bagaimana, cepat atau lambat, aku toh mesti ketemu pula dengan kau!"
Air maunya si nona mengembeng.
"Jagalah dirimu baik-baik", ia pesan. "Terutama lukamu itu, kau mesti obati sungguh-sungguh."
Tetapi Siau Hou tepuk dadanya, yang terluka itu.
"Luka ini tak ada artinya!" ia kata dengan gagah.
Tepukan itu tak bikin ia meringis bahna sakitnya.
"Dan, janganlah kau suka berduka," Kiau Liong pesan pula. "Aku minta kau suka ingat baik-baik semua
pesananku ... "
Si anak muda manggut.
"Tak usah kau pesan, aku tahu," ia menjawab. "Aku tak akan dapat cari lain perempuan cantik sebagai kau ini,
maka juga aku ingin lekas-lekas nikah kau! Pasti aku akan berdaya agar aku lekas mendapati kedudukan baik!"
Nona Giok susut air matanya.
"Nah, sekarang kita berpisah." ia kata. "Sampai bertamu pula! ... "
"Ya, sampai bertemu pula!" Siau Hou menyahut, kedua matanya mengawasi si cantik itu.
Kiau Liong larikan kudanya, tetapi sebentar-sebentar ia
menoleh ke belakang, hingga ia bisa lihat bagaimana anak muda itu senantiasa terus awasi ia ...
Matahari sekarang telah bersinar kuning emas, angin
padang rumput sudah mulai menghembus, tetapi, meski
dunia ada terang benderang dan indah lama-lama toh Siau
Hou kehilangan si nona, yang tubuhnya nampak semakin
kecil dan akhirnya lenyap di kejauhan, sebagai amblas ke dalam bumi ...
Peksee kang berada tidak jauh lagi dari tempat
singgahnya sepasang pemuda tadi. Ini bukannya satu kota
atau dusun, hanya ada sebuah pos, tempat perhentian,
penduduknya juga cuma empat atau lima rumah. Di sini
benar Giok thaythay singgah ketika ia dan rombongannya
menyingkir dari bahaya. Penjaga pos melainkan bisa
sediakan dua kamar untuk si nyonya besar sendiri serta
budak-budak perempuan, maka yang lain-lain terpaksa
menumpang di rumah-rumah penduduk, dan orang lelaki,
semua pada tidur di atas kereta. Kecuali semua barang
berharga, yang lainnya tetap diantap di kereta masing-
masing, tidak tersimpan sempurna, dari itu tidak heran
kalau orangnya Poan Thian In bisa curi satu buntalan,
karena kehilangan mana, budak-budak menjadi kaget dan
ketakutan. Selagi orang sibuk karena kehilangan itu meskipun
buntalan itu bukannya barang-barang berharga besar,
seorang tani telah berkata-kata: "Tadi malam ada dua penunggang kuda datang kemari, mengetok pmtu,
membikin kita mendusin. Mereka itu tanya, keluarga siapa yang mondok di sini. Mereka bilang, di padang pasir ada
satu nona kesasar sendirian. Mereka tanya, siapa adanya si nona itu. Dua penunggang itu ada beroman bengis, mereka
semua bekal senjata. Mestinya mereka ada orang-orangnya
Poan Thian In, yang datang kemari untuk mencari kabar,
untuk kemudian mereka datang menyerbu ... "
Ucapannya petani ini bikin semua orang tambah sibuk,
saking kuatir. "Di sini kita tidak bisa singgah lama," begitu kata beberapa orang dalam rombongan. "Baik kita lekas
berangkat, supaya lekas sampai di kota Kekli eah ... "
Giok thaythay sibuk dan berduka karena lenyap
puterinya, ia sering menangis, ia sangat tidak ingin segera angkat kaki, karena itu berarti ia mesti tinggalkan putrinya itu. Ia telah perintah punggawa dan serdadu pergi mencari, tetapi sudah dua hari, hasilnya tidak ada.
"Tentu sekali siocia telah kena diculik Poan Thian In,"
demikian orang nyatakan. "Semakin lama kita berdiam disini, semakin berbahaya. Kita sebenarnya mesti lekas
pergi ke Keklieah, untuk minta bantuannya tentara dalam
jumlah besar untuk pergi dan tolong Siocia, dengan begitu baru siocia bisa dirampas pulang dari tangannya Puan
Thian In ... "
Sementara itu Kho suya telah mendapat sakit, ia rebah di kamar yang bertembok tanah di rumahnya seorang tani,
kapan ia ketahui muridnya tetap tak dapat diketemukan, ia suruh isterinya pergi pada Giok thaythay.
"Pergi kau memberi tahu thaythay supaya perjalanan
kita dilanjutkan saja. Bilang bahwa meskipun siocia
ketinggalan, thaythay tidak usah kuatir, bahwa siocia akan sampai terlebih dahulu di Ielee."
Pekgan Holie menurut, ia pergi kepada Giok thaythay.
"Khu suya sedang sakit, ia tentu bicara karena ia lagi ngaco!" kata Giok thaythay, yang tak percaya sedikit juga omongan itu.
Karena ini, nyonya besar itu tetap tidak mau berangkat,
ia masih saja tunda perjalanannya, sedang di lain pihak, orang-orangnya terus berada dalam kekuatiran, mereka
kuatir nanti ada penyerbuan pula dari Poan Thian In.
Syukur buat mereka, di Peksee kang ini mereka bisa
mendapati segala keperluan air dan rumput, hingga mereka, tak usab sibuki itu. Hanya mereka tahu, satu hari siocia tidak pulang, satu hari juga mereka mesti menunda lebih
lama. Akhir-akhirnya, mereka semua merasa bersyukur, hati
mereka jadi lega bukan main. Bukan karena disusul atau
dicari, dengan tiba-tiba Giok siocia pulang seorang diri, dengan tidak kurang suatu apa, pulangnya sambil
menunggang seekor kuda bagus, lengkap dengan persiapan
ransum kering dan kantong kulit yang terisi air.
Munculnya nona ini dipandang sebagai melayang
turunnya satu bidadari!
"Siocia pulang!" demikian mereka berseru, hingga suara mereka bergemuruh.
Semua budak perempuan di dalam pos dapat dengar
seruan di luar itu, mereka lantas lari keluar yang ada sangat kegirangan, sedang budak yang samperi Kiau Liong paling
dahulu, sudah bantui si nona turun dari kudanya.
"Siocia pulang! Siocia pulang!" demikian ada pengutaraan dari kegirangan.
Napasnva si nona ada sedikit memburu, tampang
mukanya bersemu dadu, ia lekas bertindak ke dalam pos,
akan cari ibunya.
Giok thaythay mendelong mengawasi putrinya itu, ia
seperti sedang bermimpi.
"Oh, Liong, anakku! ... " akhirnya ia mengeluh, air matanya turun dengan deras "Dalam dua hari, ke mana saja kau sudah pergi" Kau bikin aku seperti mau mati karena
memikirkan kau ... "
"Selagi angin menderu hebat, kawanan penyamun telah bawa aku lari," sahut Kiau Lieong dengan dongengnya.
"Aku dibawa lari jauh di padang pasir. Karena gusar, aku hajar penyamun yang bawa aku, tetapi ia, karena gusarnya, balas joroki aku, hingga aku jatuh dari atas kuda dan
pingsan. Buat satu malaman, aku kelengar di atas pasir.
Besoknya pagi satu nona bangsa Kozak telah tolongi aku. Ia ada satu nona yang baik budi, ia pun mengerti bahasa kita.
Ia bawa aku ke kemahnya dan ia rawati aku. Satu hari aku tinggal bersama itu nona. Hari ini ia dengar bahwa ibu
masih singgah di sini, lantas ia siapkan kuda, rangsum
kering dan air untuk aku berangkat menyusul kemari. Ia
telah unjuki aku jalalan hingga aku tak kesasar."
Giok thayhay menjadi kagum.
'"Sungguh baik itu nona Kozak!" ia memuji. "Baiklah besok dikirim orang untuk menghaturkan terima kasih
padanya!" "Tidak usah, ibu," Kiau Liong mencegah. "Aku telah janji pada nona, kalau nanti kita kembali dari Ielee, aku hendak mampir padanya."
"Inilah tentu karena malaikat dan dewa," kata satu nyonya punggawa, "si nona rupanya sengaja ditunjuk untuk
monolong siocia. Coba pikir, di padang pasir, umpama ada orang lelaki, ia tentu tak leluasa akan memberikan
pertolongannya ... "
Kemudian Kiau Liong tanya tentang gurunya, guru itu
mendapat bencana atau tidak.
Ditanya tantang Kho In Gan, Giok thaythay menghela
napas. "Bicara tentang ia, sungguh hebat," ia bilang. "Itu hari gurumu telah diseret oleh penyamun, sampai ia jatuh dari keretanya, sesudah mana, kuda bantu mendupaki ia. Itu
waktu masih tidak apa, hanya sesampainya di sini, ia terus mesti rebah. Ia sekarang menumpang di rumahnya seorang
tani, katanya hawa panasnya ada naik tinggi, sampai ia
sering tak sadar akan dirinya dan suka ngaco juga.
Begitulah ia anjurkan kita berangkat dari sini, bahwa kau tidak akan lenyap, dan bahwa kau akan mendahulukan kita
sampai di Ielee ... "
Air mukanya Kiau Liong berubah apabila ia dengar
keterangan ibunya itu.
"Aku ingin lihat padanya," ia kata dengan cepat.


Harimau Mendekam Naga Sembunyi Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Baik siocia beristirahat dulu," kata satu budak. "Siocia baik salin pakaian. Kita sebenarnya ada membekal banyak, tetapi karena kurang periksa, kemarin ini kita kehilangan satu bungkusan ... "
Tidak tunggu sampai budaknya bicara habis, Kiau Liong
sudah ulapkan tangan.
"Tidak apa, itukah perkara kecil!" ia bilang.
Karena sang ibu pun menyuruh, Kiau Liong lantas tukar
pakaian. Rambutnya telah dicuci dan budaknya telah
kepang pula cacingnya. Di dalam kamar itu ada dinyalakan
lilin. Air teh merah dan kue pun lantas siap, untuk nona ini dahar dan minum. Tapi, meninggalkan itu semua, Kiau
Liong cepat pergi menengoki gurunya, Kho In Gan.
Giok thaythay tak heran akan sikap anaknya ini. Ia tahu
Kiau Liong belajar sejak umur tujuh atau delapan tahun,
tidak heran, mendengar sang guru mendapat sakit, sang
murid menjadi sibuk dan ingin lekas menyambangi, ia
masih perintah tiga budak itu dan dua punggawa serta
sepuluh serdadu pergi mengikuti.
Tatkala itu langit sudah gelap, rombongan-rombongan
gagak terbang lewat sambil berbunyian, sedang dari jurusan padang pasir dan rumput ada terdengar suara berdesir-desirnya angin. Hawa udara ada dingin sekali.
Rumah petani di mana Kho Long Ciu nginap melainkan
terpisah kira-kira tigapuluh tindak dari pos, dari itu, dalam tempo pendek, Kiau Liong dan rombongan pengiringnya
telah bisa sampai di sana. Ia ada teriring sebagai juga ia ada satu pembesar tinggi. Begitu sampai, ia terus masuk ke
dalam rumah, yang kecil dan sempit, dan di kamarnya Kho
Long Ciu, kecuali pembaringan tanah dan tempat di mana
Kho sunio duduk, hampir tak ada tempat lagi untuk lain
orang. Kamar ada gelap, Kiau Liong sampai sukar lihat
tampangnya ini guru.
"Oh, siocia sudah pulang?" menyambut Pekgan Holie, yang berbangkit berdiri dengan tubuhnya yang tinggi dan
besar. "Dalam dua hari ini, kau tentu telah ngalami banyak.
Nyata kau ada jauh terlebih gagah daripada gurumu!
Gurumu kena didupak kuda beberapa kali, lantas ia tak
mampu bangun lagi! Tadinya kita menduga bahwa siocia
bakal pergi langsung ke Ielee ... "
Pekgan Holie bicara dengan suara keras, hingga Kho In
Gan sambar tangannya untuk dibetot, sedang dari
mulutnya, suami ini peringati: "Awas, jangan bicara keras-keras!" Ia terus menghela napas, tetapi pada Kiau Liong, dengan suara lemah, ia lanjuti: "Kiau Liong, aku kuatir aku bakalan tidak bisa bangun pula. Di depan sunio-mu ini, kau boleh bicara terus terang, tidak ada bahayanya. Sebenarnya dua jilid kitabku itu kau telah salin semua atau belum?"
"Jangan mendahulukan tanya itu, suhu," Giok Kiau Liong sebaliknya menyahut. "Aku justru hendak lebih dahulu menanyakan suhu! Apa benar suhu bernama Kho
Long Ciu?"
Sebelum suaminya menyahuti, Pekgan Holie lebih
dahulu cekal bahu si nona.
"Ia telah ajarkan kau sepuluh tahun lebih, apa benar ia belum beri tahu namanya yang sebenarnya?" nyonya guru ini berbisik.
Kiau Liong belum sempat menjawab, atau gurunya telah
dahulukan dia. "Aku belum pernah pedayakan orang atau melanggar
undang-undang negara, tidak ada halangannya andaikata
orang ketahui she dan namaku yang sejati!" demikian orang she Kho itu. "Tetapi muridku, dari siapa kau dengar nama itu" Inilah aneh!"
"Sunio," kala si nona, sebelum ia sahuti gurunya, "aku mohon kau suka keluar sebentar dari kamar ini, aku ingin bicara sama suhu."
Pekgan Holie tertawa menyindir.
"Aha, inilah aneh." ia kata, justru dengan suara keras.
"Murid perempuan hendak bicara sama gurunya tetapi si nyonya guru diminta undurkan diri! ... "
Berbareng dengan itu, pintu terbuka, dua budak muncul.
"Silahkan siocia kembali, nanti thaythay berkuatir," kata satu di antaranya. "Biarkanlah Kho suhu dan sunio
beristirahat ... "
"Benar, siocia!" kata Kheng Liok Nio sambil tertawa.
"Silahkan siocia kembali! Sebentar, kapan diinginkan, siocia masih bisa antarkan kedua jilid kitab itu ... "
Melihat demikian, dengan terpaksa Kiau Liong keluar
dari kamar, akan antap dirinya diiring kembali ke dalam
pos. Ia terus duduk dahar bersama ibunya. Tentu saja ini bukannya santapan seperti di Cieboat, meski begitu ini ada terlebih menang dari barang makanan yang ia dahar sama-sama Lo Siau Hou! Tapi barang makanan ini susah turun di tenggorokannya, karena sekarang hatinya lagi ruwet dan
girang dengan berbareng.
Nyata benar, Kho In Gan adalah Kho Long Ciu! Jadi
gurunya adalah tuan penolong dari Lo Siau Hou. Maka itu, nyanyiannya Poan Thian In ada nyanyian yang si guru ini
karang sendiri. Dengan begini, riwayatnya keluarga Lo, dan tentang anak lelaki dan perempuan dari keluarga itu, ini guru pasti ketahui dengan baik. Ini adalah orang yang ia buat harapan, guna nanti menolong pada satu orang gagah
yang perjalanannya sesat, yang nasibnya malang, supaya
pemuda gagah itu kembali ke jalan yang lurus.
"Hanya sayang, sunio nampaknya nyelak di antara suhu dan aku ... " begitu ia beipikir. "Mengapa sunio berkeberatan yang aku bicara berduaan saja sama suhu?"
Nona Giok pegangi saja sumpitnya selagi otaknya itu
bekerja. Tapi syukur ia sadar dengan cepat, hingga ia tak usah membangkitkan keheranan atau kecurigaan dari
ibunya. "Malam ini, ya malam ini!" pikir ia. "Sebentar aku mesti pergi ke tempat suhu, akan lebih dahulu singkirkan sunio, supaya dengan begitu aku bisa bicara dengan merdeka
dengan suhu. Aku mesti minta, biarnya ia sedang sakit,
supaya suhu pergi ke Cinciu, akan ketemui Siau Hou, agar kemudian ia dayakan menolong Siau Hou memperoleh
pangkat ... "
Sementara itu sang ibu, dengan sinar mata menyayang,
asyik mengawasi puterinya.
"Anak, mengapa kau tidak dahar nasimu?" tanya orang tua ini. "Sudah, jangan kau pikirkan saja apa yang telah terjadi ... Memang tidak selayaknya kita bikin ini perjalanan yang jauh ... "
"Apakah siocia inginkan arak yang masih panas?" Siu Hiang tanya.
"Arak panas ada baik untuk mententeramkan hati ... "
"Aku tidak mau!" sahut si nona dengan getas.
Penyebutan ini bikin sang ibu mengawasi dengan
keheranan. Kiau Liong lihat sikap ibunya itu, ia lalu
paksakan diri akan tertawa.
"Ibu, aku justru pikir ingin balik ke padang pasir!" ia kata.
"Di padang pasir!" ia kata. "Sungguh menggembirakan hati. Di sana ada kuda! Di sana ada orang menyanyi! ... "
Ia meradek dengan tiba-tiba, karena dari luar jendela ia seperti dengar nyanyian. Ia segera pasang kupingnya. Ia
merasa lega. Itu bukannya nyanyian yang ia kenal, yang ia buat ingatan, hanya salah satu serdadu sedang coba-coba
suaranya. "Suruh mereka tahu sedikit aturan," kata Giok thaythay pada satu budaknya. "Siocia baru pulang dan malam ini
mereka mesti berjaga-jaga dengan hati-hati, untuk bersiaga kalau-kalau Poan Thian In datang menyerbu pula ... "
Kiau Liong rasai mukanya panas sendirinya apabila ia
dengar disebutnya nama Poan Thian In, ia berbangkit dan
berdiri membelakangi api.
Giok thaythay menghela napas apabila ia lihat kelakuan
anaknya itu. Siu Hiang lantas benahkah pembaringan untuk nona
majikannya, siapa ia terus undang tidur. "Kalau nanti kita ketemu sama ayahmu, kejadian ini aku akan rahasiakan," kata Giok thaythay sambil menepas air mata. Ia ada sangat berduka. "Aku tidak ingin ayahmu ketahui yang kau telah terlenyap dua hari dua malam di
gurun pasir ini. Benar tidak sampai terjadi bencana hebat tetapi toh aku merasa tak enak hati ?"
Kiau Liong berdiam, ia pun merasa sebagai ibunya.
Cuma, mengenai dirinya sendiri, ia ada punya perasaan lain lagi ...
"Silahkan tidur, siocia," Siu Hiang mengundang nonanya.
Kiau Liong tidak puas untuk tidur di dalam itu kamar di
mana kecuali ibunya, satu bujang perempuan dan satu
budak, juga masih ada anggauta perempuan dari satu
pembesar, maka itu, kendati ia sudah rebahkan diri,
matanya tidak mau lantas rapat. Dengan mata meram, ia
bayangkan pertemuannya dengan Siau Hou, yang bikin ia
kaget dan girang. Ia pun dengar suara tindakan kaki dari serdadu-serdadu ronda, ia dengar suara beradunya gagang
pedang. Ia telah pikir akan cari gurunya, tetapi ia lantas bersangsi akan lakukan itu.
"Entah di mana adanya Siau Hou sekarang?" begituj ia memikir.
"Padang pasir ada luas, padang rumput ada lebar ... di manakah ia mondok" Kasihan ia ... "
Ia lalu ingat itu nyanyian yang sedih dan bersemangat.
Sekarang ia tak dengar lagi nyanyian itu ...
Besoknya, pagi-pagi, Kiau Liong dengar dan lihat
bagaimana semua orang menjadi repot berbenah, di luar
orang siapkan kuda kereta, di dalam budak-budak bereskan buntalan. Kuda dan kereta telah perdengarkan suara berisik.
Orang telah siap untuk berangkat.
"Kho suhu sedang sakit keras, cara bagaimana ia bisa diajak berangkat?" Kiau Liong tanya ibunya. "Apa tidak baik aku pergi kepadanya, buat minta ia suka menunda
terus di sini selama ia masih sakit?"
"Kau tidak usah pergi, suruh saja Cian mama," sahut sang ibu.
Benar-benar nyonya ini perintah bujang tuanya itu.
Sebentar kemudian Cian mama kembali, dengan
wartanya: "Kho sunio juga sudah bersiap, tetapi ia mohon sebuah kereta untuk ia antarkan Kho suhu pulang ke
Cieboat untuk tetirah di sana. Sunio kata, dengan tinggal di sini, sakitnya suhu tidak bakalan menjadi sembuh ... "
"Begitupun baik," Giok thaythay kata. "Pergi suruh Thio chekhoa ajak empat serdadu pergi mengantarkan mereka."
Kiau Liong tersenyum ewa di dalam hatinya. Ia tahu
yang Kho sunio mencari alasan buat pulang, tentu untuk
mencoba mencari itu dua jilid kitab ilmu silat. Mengenai ini ia tidak kuatirkan suatu apa. Ia tahu yang kedua jilid
kitabnya berada dengan selamat di dalam peti di tangannya
Siu Hiang, peti mana ada terkunci dengan kunci kuningan.
Sia-sia saja apabila sunio geledah bekas gedungnya
"Hanya kalau suhu pergi misah, ini ada sukar untuk
aku," demikian ia berpikir lebih jauh. "Aku perlu ketemu sama suhu, buat sampaikan pesanannya Siau Hou, guna
ketahui hal ikhwalnya keluarga Lo itu."
"Ibu, aku pikir untuk tengok pula suhu," akhirnya ia kata pada ibunya, untuk mohon perkenan. "Kemarin aku lihat
keadaan suhu ada hebat sekali, sekarang kita bakal
berpisahan, siapa tahu bila kemudian kita tak dapat ketika untuk bertemu pula" ?"
Tetapi nyonya Giok unjuk roman tidak puas.
"Kau toh satu nona yang sudah berusia dewasa?" ia kata
"Terhadap Kho Suhu, tidak selayaknya kau bergaul terlalu rapat. Laginya, belum tentu yang ia bakal lekas mati, ia cuma mendapat kaget dan menjadi seperti orang edan!
Coba kemarin aku turuti obrolannya, di waktu kau
menyusul kemar, pasti kau tidak akan ketemui kita! Mari, kita mesti lekas sampai di kota Kekleah, untuk singgah dua hari di sana, supaya kita bisa lanjuti perjalanan kita ke Ielee.
Aku lihat, sejak kemarin kau pulang, pikiranmu senantiasa ada kurang tenreram!"
Kiau Liong berdiam ia tidak nyana yang ibunya bisa
lihat perubahan pada kelakuannya. Karena ia berdiam,
ibunya pun tidak bicara lebih jauh.
Tidak antara lama, dari antara luar jendela, ada
punggawa yang tanya, apa sudah waktunya untuk
berangkat"
"Ya, sekarang juga!" ada jawabannya si nyonya besar.
Atas itu, sebentar kemudian, semua kereta telah disiapkan terlebih jauh.
Giok thaythay lantas berbangkit, buat bertindak keluar.
Ia ajak puterinya, yang pun ia ajak duduk sama-sama dalam keretanya sendiri.
Nona Giok menurut dengan pikirannya kusut, ia
bersangsi hingga ia tidak mampu ambil putusan. Ia tidak
kasih lihat sikap apa juga, ia biarkan budak-budak bantui ia naik ke kereta. Ia telah kembali bawa diri sebagai satu
siocia. Nyonya Giok duduk menghadapi puterinya, tenda
dikasih, turun. Di bagian depan ada berduduk kusir
bersama satu bujang perempuan.
Lantas juga Kiau Liong dengar suaranya roda roda
kereta menggelinding dan tindakan kaki kuda, disusul sama bergeraknya keretanya sendiri. Ia tidak bisa melongok ke jendela, karena di depan itu ada menghalang Ibunya.
"Kereta sedang berjalan, Siau Hou tentu lari mengawasi dari kejauhan," demikian si nona berpikir, hatinya jadi
berdebar-debar, ia merasa sangat berduka, hingga diam-
diam, ia tepas air matanya.
Suara tindakan kaki kuda terdengar semakin nyata, suara
roda kereta menggelinding lebih nyaring, di antara itu ada terdengar juga suara sampokannya angin keras.
"Biarlah datang taufan pula, agar aku bisa lagi sekali menyingkirkan diri," begitu nona ini mengharap-harap. Ia ingin dapat bertemu pula sama Lo Siau Hou.
Tetapi, perjalanan ada tidak kurang suatu apa, sorenya
rombongan ini sudah sampai di Keklieah dan telah masuk
ke dalam kota. Kota ini dipanggil Keklieah shia tetapi
sebenarnya Ieguekoan. Di situ ada terdapat satu tiekoan, satu congtin, lainnya ada jawatan rendahan.
Mengetahui yang datang ada keluarga lengtwie taysin,
Cucongtin sudah lantas datang menyambut dan undang
Giok thaythay dan puterinya pergi ke gedungnya, ia berlaku sangat hormat, malah ia segera memohon maaf waktu ia
dengar si nyonya besar ceritakan perihal penyerbuan
penyamun di tengah jalan.
Atas ini laporan, besokannya, sebagaimana Kiau Liong
dengar, Cucongtin sudah lantas pimpin pasukan tentaranya.
Buat pergi ke padang pasir, guna menumpas kawanan
berandal dan Poan Thian In. Mengetahui ini, hatinya si
nona jadi goncang. Tapi, mengenai ini, ia tak berhasil
peroleh kabar lebih jauh, sebab ibunya, yang lihat gedung ada kecil, sudah tidak mau singgah lama, hanya di hari itu juga, mereka mesti lanjuti perjalanan. Untuk mencegah
gangguan di tengah jalan, Cucongtin ada kirim pasukan
pelindung sampai di Hocinkoan.
Di kota ini Giok thaythay menginap satu malam,
besoknya ia berangkat terus, sampai di Seekie koan, dari mana waktu berangkat lebih jauh, pembesar kota pun ada
kirim barisan pengantar.
Demikian perjalanan dilanjuti, ke utara.
Semakin jauh, orang semakin terpisah dari gurun pasir,
dan semakin jauhnya jarak, hatinya Kiau Liong semakin
tak tetap. Ia ingat Siau Hou, ia berkuatir, ia kuatir pemuda itu tertawan oleh tentara negeri. Atau kalau pemuda itu bisa meloloskan diri di mana adanya ia sekarang" Dan,
bagaimana keadaannya"
Hampir si nona menangis sesenggukan, tetapi ia bisa
keraskan hati. Melainkan air matanya, yang ia musti tepas.
Ia tidak ingin ibunya ketahui apa yang ia pikir. Ia merasa sangat tidak leluasa, karena ibunya, budak-budak juga,
seperti ada menilik sangat keras padanya. Setindak juga, ia tak mampu berkisar dari ibunya itu.
Lewat pula beberapa hari, akhir-akhirnya orang sampai
di Ielee. Ciangkun di sini ada pembesar yang berpangkat
paling tinggi untuk seluruh piopinsi, karena ia ada terkena sanak, siang-siang ia sudah sediakan sebuah gedung atau
kongkoan guna keluarga Giok.
Di sini Kiau Liong telah bertemu sama bouku-nya Sui
taysin, dan Ie hujin, isteri dari bouku itu. Mereka ini ada punya dua anak perempuan, yang semua menjadi piauijie-nya atau kakak misanan, yang satu bernama Giok Ceng,
yang satunya pula Giok Un. Malah dengan kedua encik itu, Kiau Liong tinggal bersama-sama.
Baik tempat tinggal, maupun barang hidangan di sini
segala apa ada melebihi di rumah sendiri, demikian
dirasakan oleh puterinya Giok thaythay. Di dalam gedung
pun kebetulan ada tersebar keharuman dari bunga souyoh,
yang ada saatnya mekar Sang bouku dan engkim juga ada
manis budi. Kedua encie piau itu ada pandai menulis dan
melukis gambar, begitupun pekerjaan tangan, maka mereka
bisa menjadi kawan yang cocok. Di lain pihak, semua
bujang dan budak ada berlaku hormat dan tahu aturan.
Hanya sekalipun ada itu semua hal-hal yang menyenangkan hati, hatinya Kiau Liong tetap tidak puas
dan tidak tenang. Hatinya berada jauh di gurun pasir. Ia tidak gembira akan dengarkan engkim-nya pasang omong,
apapula untuk dengarkan segala nasehat. Ia pun tidak puas terhadap kedua encie piau-nya, yang setiap kali-setiap kali tanya ia perihal "Su Sie", tentang "Liat Lie Toan", atau mengajaki ia menyulam.
Sebaliknya di situ ada seekor kucing, yang menarik
sangat perhatiannya. Binatang ini, yang kecil dan mungil,
ada berbulu putih mulus, kecuali di batang hidungnya, ada satu titik hitam. Katanya itu ada kucing yang boukoonya
bawa dari Pakkhia. Karena nampaknya ia ketarik, kucing
itu lantas dihadiahkan kepadanya, hingga ia jadi sangat
girang. Orang di situ panggil kucing itu dengan nama "Soat Tiong Song Hwee", yang berarti "di dalam salju mengantar arang". Bulu putih diartikan salju, titik bulu hitam diartikan arang. Tapi Kiau Liong sendiri namai binatang itu dengan ringkas "Soat Hou", yang berarti "Harimau Salju," Sering ia empo binatang ini seraya panggil-panggil namanya "Soat Hou" berulang-ulang, malah kadang-kadang dengan
"keliru" menjadi Siau Hou, ...
Masih saja, selagi berada sendirian, Kiau Liong suka
melepas air mata.
Di dalam gedung ini, nona Giok setiap hari dandan
dengan mewah dan mentereng, tetapi tiap kali ia melihat
kaca, ia tahu yang tubuhnya ada terlebih kurus daripada
biasanya. Di dalam tromol hiasnya, Kiau Liong ada simpan empat
jilid buku, dua antaranya adalah salinan kitab ilmu silat, yang ia curi baca dan lihat dari kitab aslinya kepunyaan Kho In Gan, gurunya. Karena kecerdikannya, ia bisa bikin kunci palsu, hingga ia bisa curi kitab itu dan pulangkan lagi dengan rapi sebagaimana asalnya, sampai sang guru kena
dikelabui. Guru itu menyangka muridnya berkepandaian
seperti apa yang ia ajari, tidak tahunya, murid ini ada
mendapati kepandaian jauh lebih tinggi. Adalah setelah
pertempuran dengan penyamun, baru Kho In Gan curiga


Harimau Mendekam Naga Sembunyi Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan mengerti perihal kegagahan muridnya itu.
Dua bulan lamanya Kiau Liong pakai tempo, untuk
menyalin semua. Ia pakai buku yang kecil, supaya gampang disimpan dan dibawa-bawa. Selama beberapa tahun, ia baca terus kitab itu, ia yakinkan dan melatih diri sendiri, ia
berkeras hati. Kalau dua kitab yang kecil ada salinan, dua yang lain ada kitab yang tulen, yang ia ambil setelah ia gunakan tipu membakar kamar tidurnya si guru. Ia lakukan ini karena terpaksa, sebab ia telah dapat kenyataan guru itu ada punya sifat lemah dan pendiriannya cupat, sedang di
lain pihak, Kheng Liok Nio datang justru untuk mendapati kitab itu, maka ia segera mendahului. Ia sirik kalau kitab itu jatuh ke tangannya si nyonya guru.
Biasanya, bila ada ketikanya Kiau Liong terus baca dan
baca pula itu empat kitab, tetapi di sini, karena kedua emjie-nya seperti gerembengi ia, jangan kata baca, buka
tromolnya saja, ia tidak berani. Selamanya Siu Hiang yang simpan tromol itu. Sebenarnya tidak begitu penting, untuk ia membaca, karena ia sudah apal di luar kepala, tapi ia anggap perlu baca dan baca pula itu, untuk memahamkan
lebih jauh. Karena ia tidak bisa buka itu tromol, dalam hal dandanan mewah, ia kalah dari kedua encie piau-nya itu.
Mereka ini setiap hari tukar gelang dan cincin dan lain-lain, agaknya mereka hendak membanggai. Sikap bangga itu,
Kiau Liong tidak ambil peduli. Ia masih melatih diri, ialah di saat kedua encie-nya tidur, dengan diam-diam ia suka
pergi keluar kamar, akan bersilat, akan loncat turun dan naik di atas genteng. Ia berlaku cerdik dan hati-hati,
meskipun itu ada gedung dan terjaga baik oleh orang-orang ronda, dari siapa ia selalu singkirkan diri.
Satu kali Kiau Liong pernah memikir mencuri kuda akan
susul dan cari Siau Hou, pikiran ini ia batalkan kapan ia merasa bahwa berat untuk ia meninggalkan ibunya. Oleh
karena ini, ia mesti bisa bawa diri, akan tungkuli hatinya yang terus berada dalam kesangsian.
Sesudah tinggal satu bulan lebih di Ielee, lantas datang saatnya Sui tayjin mesti berangkat, akan menjabat tugasnya, dari itu, Giok thaythay dan puterinya pun harus kembali ke
Cieboat. Apamau, itu waktu justru ada di musim ketiga,
hawa udara sangat panas, hawa itu sangat mengganggu
perjalanan. Kiau Liong masgul bukan main apabila ia dengar
keberangkatan mesti ditunda, ia terpaksa mesti tungkuli diri pula, akan berlaku sabar.
Pada suatu hari, dengan sekonyong-konyong, nona Giok
terima kunjungan dari Kho sunio, dengan nyonya guru ini
ada pakai pakaian berkabung. Sebab katanya, pada bulan
yang sudah, Kho Long Ciu telah menutup mata di kota
Cieboat. Kabar ini, atau lebih benar kematiannya Kho In Gan,
ada satu pukulan hebat bagi Kiau Liong, sampai di depan
lain orang, ia lantas menangis. Orang menyangka yang ia
ingat kebaikannya si guru, hingga ia jadi begitu berduka, padahal ia ada punya sebab lain untuk kesedihannya itu.
Sejak datangnya Kheng Liok Nio, Kiau Liong mesti
tunda latihan silatnya setiap malam. Terhadap ini nyonya guru, ia mesti berlaku hati-hati, meski juga itu waktu
nyonya guru ini dapat kamar di tempatnya bujang-bujang
dan selama berkabung, ia ini tidak bisa sembarang waktu
bertemu satu pada lain. Atau andaikan mereka bertemu,
mereka tidak merdeka akan pasang omong seperti biasanya.
Pada sualu tengah malam, Kiau Liong tersadar karena ia
dengar suara apa-apa di pintu, apabila ia pasang mata, ia lihat satu orang masuk dengan berindap-indap dan orang itu lantas merangkak masuk ke kolong pembaringan. Tidak
tempo lagi, ia ulur tangannya, akan menangkap konde
orang itu, setelah mana dengan perlahan ia kata:
"Lekas pergi keluar, tunggu aku di sana!"
Orang itu agaknya tersenyum ewa, tetapi ia terus
merangkak keluar, buat berlalu, seperti caranya tadi ia
nelusup masuk. Dengan hati-hati, Kiau Liong turun dari pembaringannya, akan keluar juga.
Di dalam kamar itu ada tidur Giok Ceng dan Giok Un,
di sebelah luar ada satu bujang dan satu budak perempuan, tetapi mereka ini semua tidak tahu bahwa ada orang datang dan masuk ke dalam kamar, bahwa dua orang telah keluar
dari kamar itu.
Sesampainya di luar, Pekgan Holie menunggui sambil
mendekam, begitu ia tampak si nona keluar, ia loncat
bangun dengan tiba-tiba, akan terus cekal nona itu. Ia pun tertawa dingin.
"Kau jangan kuatir, aku tidak bermaksud kurang baik,"
ia kata, dengan perlahan. "Sebelum hendak hembuskan napasnya yang penghabisan, gurumu bilang bahwa kedua
kitab ada padamu dan karena itu, ia perintah aku datang
kemari untuk minta itu dari kau. Sekarang kau serahkan
kitab itu padaku, lantas habis perkara, jika tidak ... ,"
Baru Kheng Liok Nio berkata sampai di situ, ia rasakan
tangannya si nona bergerak dan jerijinya hendak menotok
iga kirinya, maka berbareng dengan kaget, ia egos
tubuhnya, tangannya dipakai menangkis. Tetapi karena
anggap telah sampai waktunya, tangan kirinya segera
dipakai balas menyerang. Di luar dugaannya serangannya
itu dapat ditangkis, selagi ia tidak menyangka, kakinya si nona bergerak, hingga tahu-tahu ia rubuh mendeprok
sambil tubuhnya perdengarkan suara terbanting. Ia jadi
sangat gusar, karena ia jatuh duduk, ia segera loncat
bangun. Kiau Liong unjuk kesehatannya, ia maju seraya kirim
pula dupakannya, mengarah dada.
Sekali ini Pekgan Holie telah siap dan berlaku jeli, ia kelit ke samping dan terus loncat naik ke atas genteng, selagi kakinya sampai di genteng, tangannya menjemput selembar
genteng, maksudnya adalah menimpa si nona. Tidak
tahunya, selagi tubuhnya berdiri lempang, tahu-tahu ia rasai sakit pada batok kepalanya bagian belakang, sampai ia tak tahan akan tidak menjerit! Inilah sebab sebatang panah kecil sudah sambar ia dan nancap di kepalanya itu.
Gesit laksana seekor rase, Kiau Liong loncat naik ke
genteng untuk menyusul.
Dengan menahan sakit, Kheng Liok Nio mencoba akan
tidak lari terus, waktu si nona sampai, ia menyambut
dengan totokan, guna totok nona itu. Apamau, karena
kegesitannya yang luar biasa, si nona tahu-tahu sudah
berhadapan dan totokannya itu dapat dipunahkan, ialah
tangannya ditangkis, ditangkap, terus diputar, berbareng dengan mana, lagi-lagi kaki dikasih bekerja.
Lagi sekali, nyonya guru itu rubuh di atas genteng!
Sekali ini Kiau Liong tidak mengasih ketika, ia maju
akan duduki tubuh lawan itu, kedua tangannya itu orang ia ringkus, hingga Pekgan Holie tidak mampu bergerak lagi,
percuma dia itu coba kerahkan tenaganya.
"Aku nanti berteriak, aku nanti menjerit!" mengancam nyonya guru ini. "Taruh kata aku kena tertawan, buat kau itu tak ada untungnya!"
Kiau Liong tersenyum dingin.
"Aku tidak takut," sahut si nona, sekalipun dengan suara perlahan. "Buat aku, paling banyak adalah yang orang ketahui bahwa aku mengerti ilmu silat! Tetapi kau, kau
adalah satu penjahat besar yang termashur! Aku memang
sudah lama ketahui siapa adanya kau, maka asal aku mau
bekuk kau dan bongkar rahasiamu, gampang sekali jiwamu
akan melayang!"
Tubuhnya Kheng Liok Nio bergerak-gerak, rupanya ia
ada sangat gusar dan mendongkol.
"Lepaskan aku, aku nanti angkat kaki," kata ia kemudian dengan perlahan. Baru sekarang ia mau menyerah dan
mohon belas kasihan. "Sekarang ini aku pun tak kehendaki lagi kedua kitab itu!"
"Aku pun tidak bisa berikan buku itu kepada kau!" Kiau Liong memberi tahu dengan pasti. "Sekarang barulah kau insyaf bahwa kepandaianku ada terlebih liehay daripada
kebisaannya Kho In Gan, lebih tinggi berlipat ratus kali!
Percuma kau coba melawan aku, itu akan sia-sia belaka!
Dan ke mana saja kau pergi, aku juga bisa uber dan bekuk padamu! Sekarang ini, kau mesti tunduk padaku, apa juga
yang aku perintahkan, kau mesti turut, sedikit juga kau tak boleh membantah! Percaya, aku pun tidak nanti perlakukan jelek pada kau, malah perlahan-lahan, aku nanti berikan
pelajaran padamu, menurut bunyinya kitab itu! Sekarang
jawab, kau suka terima baik perjanjian ini atau tidak"
Lekas!" Dengan tiba-tiba, Pekgan Holie jadi berduka, hingga ia
menangis. "Baik, aku berjanji, aku berjanji," ia menyahut. "Aku memang tidak punya tempat di mana aku bisa pernahkan
diri. Aku mengaku bahwa semua kelakuanku dahulu ada
tersesat. Siocia, jikalau kau suka tolong aku, mengapa aku pun tidak suka hidup dengan damai dan aman" Hanya,
semasa mau mati, gurumu pesan akan aku lekas singkirkan
diri, katanya kau kejam, kau tidak bakal mengasih hati
kepadaku! ...."
Kiau Liong tersenyum tawar.
"Suhu tidak kenal sifatku," ia jawab. "Bagaimana aku akan perlakukan kau, di belakang hari kau akan buktikan
sendiri." Lantas ia lepaskan cekalannya, ia berbangkit, buat
mendahului loncat turun ke bawah. Ia masuk terus ke
kamarnya, akan tidur ...
Besok paginya, Giok Ceng kata pada saudara misannya:
"Tadi tengah malam aku dengar suara genteng berbunyi, saking takut, aku selimutkan kepalaku. Aku kuatirkan
gangguan penjahat ..."
Mulanya Kiau Liong unjuk rupa heran, tetapi kemudian
ia tertawa, "Penjahat datang mengganggu" Itulah tak bisa jadi!" ia kata, sambil goyang kepala. "Di mana ada penjahat yang bernyali begitu besar berani datang menyatroni
kemari?" Di itu hari juga Kho sunio mendapat sakit, dengan kain
putih, ia belebat kepalanya, katanya ia sakit kepala!
Kapan Kiau Liong dikabarkan sakitnya nyonya guru itu,
ia datang menengoki.
"Suhu sudah menutup mata, sunio baik jangan berduka lebih jauh," ia menghibur. "Tentu disebabkan perjalanan yang jauh, kau jadi dapat sakit kepala. Baik-baik saja sunio beristirahat di sini. Sebagaimana aku perlakukan suhu,
demikian juga akan aku rawat kau."
Atas itu hiburan, Kho sunio melainkan bisa mengucap
terima kasih. Mereka pun memang sedang bermain sandiwara.
Kiau Liong girang karena ia telah berhasil menakluki si
Rase Mata Biru itu. Ia tadinya hendak cari alasan, akan
suruh nyonya ini pergi meninggalkan ia, buat bawa
suratnya, akan cari Lo Siau Hou, guna anjurkan pemuda itu bertetap hati mencari pangkat, tetapi karena ia belum
percaya habis nyonya ini, ia batalkan itu niatan. Ia kuatir, kalau si nyonya berbalik pikir, suratnya itu bisa dipakai sebagai senjata untuk memeras ia. Dan itulah berbahaya
bagi kedudukannya sebegitu lama rahasianya belum dibeber di muka ayah dan ibunya.
Karena ini, nona Giok tak berdaya akan cari tahu halnya
Poan Thian In, sedang juga ia menyesal yang ia telah
kurang ketetapan hati akan segera dengar keterangannya
Kho Long Ciu, hingga itu guru keburu menutup mata.
Dengan meninggalnya si guru, tertutuplah riwayat atau hal ikhwalnya Siau Hou dan saudara-saudaranya.
Kapan sedang berduka, pikirannya Kiau Liong melayang
ke gurun pasir, matanya seperti bayangkan pemandangan di lautan darat itu, hingga ia lalu teringat pada nyanyian
"Dunia suram guram, menurunkan bencana, hingga kita
bersaudara, mesti tercerai-berai ..."
Itu adalah lagu yang menyedihkan, yang bikin ia pun
turut bersedih. Apa ia punya keadaan juga tidak
menyedihkan, sebagai keadaannya Lo Siau Hou, yang
malang nasibnya"
Dalam keadaan sebagai itu, Kiau Liong lewatkan dua
atau tiga bulan, musim panas telah pergi, musim rontok
telah datang. Justru itu, Giok tayjin telah kembali dari kota raja. Di Ielee, buat beberapa hari, ayah ini singgah untuk bikin berbagai-bagai kunjungan, setelah itu, ia tetapkan tanggal untuk berangkat pulang ke tempat jabatannya. Dan itu adalah suatu harian musim rontok yang terang dan
indah. Rombongan sekarang menjadi jauh terlebih besar
daripada rombongannya Giok thaythay karena sekarang
kereta dan barang-barang tergabung dengan kereta-kereta
dan barang-barangnya Giok tayjin sendiri, yang pun ada
bawa sejumlah pengiring. Kereta saja ada empat-puluh
buah, kuda seratus ekor lebih, punggawa limapuluh dan
serdadu seratus lebih!
Giok tayjin duduk atas keretanya sendiri, tetapi kadang-
kadang, selagi gembira, ia naik atas kudanya, hingga ia
jalan sebagai kepala iring-iringan. Sikapnya ada keren.
Kiau Liong duduk di dalam kereta dengan Siu Hiang
selaku teman, di tangannya ini budak ada tromol hiasnya, yang isinya berharga besar. Kucing putihnya yang mungil
pun dipangku oleh budaknya itu.
Sekali ini, umpamanya ada datang taufan, orang pun tak
usah kuatir nanti ada penyamun yang datang menyerbu,
dan Kiau Liong juga niscaya sukar cari jalan akan
"minggat" pula. Ia sekarang ada sebagai seekor burung yang terkurung dalam kurungannya.
Setelah berjalan tiga hari dari Ielee, rombongan ini mulai masuk di daerah padang rumput, hanya sekarang, sekalian
rumput sudah salin rupa, dari hijau menjadi kuning dan
kering. Semua punggawa dan
serdadu berjalan dengan
bersemangat. Di antara alingan jendela kereta, Kiau Liong dapat dengar pembicaraan di antara mereka itu: "Jangan kuatir, umpama jalan malam, kita tidak usah takut lagi!
Sekali ini kita bukan bikin perjalanan seperti di waktu pergi dahulu, sebab sekarang di padang pasir sudah tidak ada lagi kawanan penyamun. Poan Thian In dan laskarnya semua
telah habis dibasmi oleh tentara negeri! ... "
Kiau Liong terperanjat mendengar omongan itu, ia kaget
berbareng berduka, kekuatirannya ada besar sekali.
"Apa benar Siau Hou telah binasa" Pantas aku tidak
dengar suatu apa tentang ia atau dari ianya ... Ia mati
dengan tak ketemu suhu Kho Long Ciu, dengan juga tak
ketemu sama aku ... Oh, benar-benar ia bernasib sangat
buruk ... "
Nona ini mesti bersedih di dalam hati. Pada siapa ia bisa buka rahasia" Dari siapa ia mampu mendapati hiburan"
Selewatnya padang rumput, orang sampai di padang
pasir. Sekarang Kiau Liong bayangkan bagaimana duluan ia
berada berduaan sama Lo Siau Hou, akan beber hati
masing-masing. Dan sekarang, di mana tulang-tulangnya pemuda itu
menggeletak belarakan" Diam-diam, ia tepas air matanya.
Siu Hiang lihat nonanya menangis,
"Eh, siocia, kau kenapa?" tanya budak ini. "Apa kau teringat akan kejadian duluan" Jangan takut, siocia,
sekarang ada tayjin yang melindungi kita, umpama ada
datang taufan, Poan Thian In tak nanti berani datang
menyerbu pula! ... " Ia tertawa, lalu ia menambahkan: "Baik siocia empo Soat Hou! Ia tak ingin aku yang empo, ia
menyakar! Ia ingin siocia yang empo padanya!"
Dan budak ini, yang tak tahu urusan, angsurkan kucing
itu pada pangkuan nonanya. Maksudnya untuk hiburi si
nona, tetapi ia tidak tahu, justru karena itu, air matanya nona itu turun semakinan deras, air mata itu jatuh menetes kepada Soat Hou ...
Rombongan sekarang telah sampai di tengah-tengah
lautan pasir, tindakan kaki kuda terdengar berat, roda-roda kereta lambat menggelindingnya, dan semua orang tidak
ada yang bercakapan atau kasih dengar suara lainnya,
semua nampaknya sungguh-sungguh.
Giok Kiau Liong terus bersedih, ia sendiri tak tahu dari mana datangnya air matanya, yang begitu banyak. Selagi ia sangat berduka itu, tiba-tiba ia dengar suara nyanyian,
begitu nyaring tetapi demikian mengharukan hati. Ia tidak usah memasang kuping akan dengar suara yang tedas:
"Dunia suram guram, menurunkan bencana. Hingga kita bersaudara, mesti terceraiberai ... "
Tidak terhingga kagetnya nona Giok, sampai ia tergugu.
Tapi, hampir berbareng dengan itu, ia pun berkuatir bukan main. Karena segera terdengar suara berisik, dari
bergeraknya barisan serdadu pengiring. Nyata ia dengar
teriakan: "Kawanan penyamun! Itu si kumis gompyok! Dia tentu
Poan Thian In!"
Teriakan itu lantas disusul dengan suara penuh
kegusaran dari Giok tayjin:
"Lepaskan panah!" berseru ini pembesar agung.
Dan ini perintah disusul sama suara melesatnya anak-
anak panah, berbareng dan saling susul!
Hatinya Kiau Liong goncang, air matanya turun pula
semakin deras. Ia tekan dadanya.
Siu Hiang ketakutan, mukanya pucat. Ia tempel
tubuhnya pada tubuh nonanya.
Dalam suasana rusuh dan genting itu, suara nyanyian
yang nyaring dan berpengaruh terdengar pula:
" " Ayah terbinasa, ibu racuni dirinya.
Sampai kita hidup mengandal sanak beraya.
Kita berempat, dunia ketahui semua,
Hanya kita sendiri, tak saling mengenalnya ?"
Suara melesatnya, atau menyambarnya anak-anak
panah, jadi semakin seru, kereta-kereta diberhentikan
dengan tiba-tiba. Dalam berisik itu, Kiau Liong dengar pula suara ayahnya:
"Kejar! Bunuh padanya! Sebelum penyamun tertawan,
jangan kau kembali!"
Di antara suara gandewa terdengar juga berisiknya kaki


Harimau Mendekam Naga Sembunyi Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kuda berlari-lari, dan di antara itu ada terselip pula suara nyanyian:
" ... Hou adalah aku, Pa adikku punya nama.
Tetapi masih ada Eng dan Hong, perempuan dua ... "
Nyanyian itu kadang-kadang terdengar, kadang-kadang
terputus, rupanya si penyanyi perdengarkan suaranya
sambil bedal kudanya lari, karena sebentar kemudian, suara itu terdengar semakin jauh dan semakin jauh, akan
akhirnya lenyap ...
Kiau Liong tolak tubuhnya Siu Hiang, ia lepaskan
kucingnya, ia merayap ke depan, akan keluar, hingga ia
berdiri di muka kereta, jauh ke depan, ia memandang
dengan matanya yang tajam. Maka itu ia bisa saksikan tiga atau empatpuluh serdadu, dengan siap golok dan panah,
sedang laratkan kuda mereka, mengejar ke arah utara.
Jauh di jurusan utara itu, dengan samar-samar, ada
tertampak beberapa penunggang kuda, yang kabur di
sebelah depannya tentara negeri, setiap kali-setiap kali mereka itu putar tubuh ke belakang, akan lepaskan panah
mereka. Tapi sampai mereka lenyap di antara tumpukan
pasir laksana tanjakan, tetap Kiau Liong tidak lihat rupanya Lo Siau Hou ...
Semua kereta, yang telah berhenti dengan berkumpul,
ada terkurung oleh sisa barisan, yang berjumlah lebih besar daripada mereka yang pergi mengejar penyamun. Semua
punggawa dan serdadu ini siap dengan senjata mereka,
guna melindungi, untuk menangkis serangan.
Giok tayjin, dengan pedang di tangan, duduk atas
kudanya bulu merah yang tinggi dan besar.
"Kejar! Kejar!" begitu ia masih berseru-seru dengan titahnya, rupanya karena ia saking gusar dan penasaran. Di antara sampokannya sang angin kelihatan kumis dan
jenggotnya yang bergerak-gerak.
Karena kerusuhan sudah sirap, Kiau Liong lekas-lekas
kembali ke dalam kereta, tetapi hatinya masih memukul,
saking berkuatir dan berduka. Ia ada bingung dan menyesal, hingga ia gigit-gigit giginya. Kembali air matanya turun deras. Ia menangis dengan tak menerbitkan suara.
Siu Hiang masih ketakutan, ia meringkuk sebagai
tenggiling. Tapi di pojokan, Soat Hou tidur nyenyak ...
Di empat penjuru, keadaan sekarang ada sangat sunyi,
kesunyian di antara keseraman. Hanya kemudian, perlahan
dengan perlahan, mulai terdengar suara orang, malah
kemudian lagi, beberapa bujang dan budak perempuan telah datang ke keretanya si nona, tenda siapa mereka singkap.
"Jangan takut, siocia," mereka menghibur. "Penyamun telah dapat diusir oleh pasukan tentara kita!"
"Aku tidak terlalu takut," sahut Kiau Liong, ia goyang kepala sambil susut air matanya. "Bagaimana dengan
thaythay?"
"Thaythay tidak kaget seberapa." sahut satu bujang.
Siu Hiang lantas tolongi nonanya pakai sepatu,
kemudian dengan dibantu oleh beberapa bujangnya, Kiau
Liong turun dari kereta, akan pergi tengok ibunya, yang
berada di sebelah depan. Ia menghibur ibunya itu,
"Aku tidak apa-apa," berkata si ibu. "Aku lebih girang buat mendapat tahu yang kau pun tidak kurang suatu apa.
Penyamun datang dalam jumlah tidak besar, cuma
berempat atau berlima. Apakah kau tidak dengar si
penyamun bernyanyi?"
"Tidak, ibu," sahut si anak, yang goyang kepalanya.
"Nah, kembalilah kau ke keretamu, akan beristirahat,"
sang ibu kata kemudian. "Sebentar juga si penyamun akan dapat terbekuk! Poan Thian In itu ada sangat besar
nyalinya, entah ia ada orang macam apa ... "
"Aku dapat lihat padanya," kata satu bujang perempuan.
"Ia panjang kumis jenggotnya, panjang juga rambutnya, mirip dengan iblis saja! Ia menunggang seekor kuda bulu
hitam, ialah yang bernyanyi ... "
Kiau Liong berduka sampai ia rasakan kakinya lemas,
hingga budak-budak lekas pegangi ia, ajak ia kembali ke
keretanya. Ia ada sangat berkuatir.
"Bagaimana kalau sebentar Lo Siau Hou digusur kemari, batang lehernya ditabas di depan kereta, darahnya
menyiram gurun pasir ini" Bagaimana rasa hatiku" ... "
Tiba-tiba, kesunyian terganggu oleh berisiknya kuda, dari barisan serdadu yang kembali habis mengejar berandal. Di
antara itu segera terdengar suara seram dari Giok tayjin:
"Kau masih ada muka akan kembali" Tidak ada satu
penjahat juga yang dapat dibekuk" Dasar tolol, kantong
nasi!" Mendengar itu, hatinya Kiau Liong menjadi lega.
Sekarang ia ketahui yang Lo Siau Hou telah terlolos. Maka itu, ia kagumi kegagahannya itu anak muda, yang pun
cerdik dan licin. Hanya, mengingat sebaliknya, ia menjadi masgul.
"Sudah setengah tahun kita berpisah, siapa tahu kau masih tetap berada di sini, menjadi berandal ... " pikir ia.
"Ke mana semangatmu" Dengan kau masih jadi penyamun, cara bagaimana aku bisa ketemu pula padamu?"
Oleh karena ini, kembali air matanya keluar.
Sebentar kemudian, kereta-kereta mulai berangkat pula.
Giok tayjin masih murka, maka juga ia masih mengutuk
ketika ia berikan titahnya akan lanjutkan perjalanan.
Siu Hiang terus menghibur nonanya, hingga Kiau Liong
bisa juga berhenti menangis. Hanya ia tetap berduka dan
masgul. Ia ingin sekali dapati seekor kuda, akan bedal itu mencari Siau Hou, guna ia sendiri tegur pemuda itu untuk tanya, kenapa semangatnya demikian lemah ...
Kereta-kereta dikasih jalan keras, apabila padang pasir
telah dapat dilintasi, mereka singgah di suatu perhentian di mana mereka lewati sang malam. Besoknya pagi,
perjalanan dilanjutkan dengan tak ayal lagi. Dan berselang beberapa hari, akhirnya tibalah mereka di Cieboat.
Semua orang segera turun dari kereta, akan masuk ke
gedung. Setelah selang berbulan-bulan, sesudah apa yang terjadi
semua, masuk ke dalam gedungnya ini, Kiau Liong seperti
merasa asing. "Sejak thaythay dan siocia pergi, di sini tak terjadi apa juga," kata bujang-bujang yang menunggu rumah.
"Cuma Kho suya dan sunio pulang, suya sakit dan
kemudian menutup mata. Di dalam kamar siocia setiap
kali-setiap kali ada terdengar suara apa-apa, kita takut setan, kita jadi tak berani masuk ke kamar siocia itu ... "
"Berhenti!" Giok thaythay membentak. "Jangan ngaco lebih jauh! Di tengah jalan siocia mendapat kaget, di sini kau lantas ngaco belo, bicara begini macam! Pergi!"
Beberapa budak itu kaget dan berkuatir, lekas-lekas
mereka undurkan diri.
"Jangan percaya mereka itu," thaythay lalu kala pada puterinya. "Jikalau kau tidak ingin tidur di kamarmu, kau boleh pindah ke kamarku ... "
"Aku tidak takut, ibu," sahut si nona, yang geleng kepala.
"Aku ingin tidur di kamarku, asal ada Kho sunio yang setiap malam temani aku."
Untuk sesaat, Giok thaythay ada bersangsi, tetapi ia
segera ingat bahwa Kho sunio sudah berusia tinggi,
kelakuannya baik, dan berhubung dengan baru kematian
suaminya dia harus dikasihani.
"Kalau anakku suka padanya, apa halangannya bila ia menjadi kawan anakku" Ia toh boleh menjadi kawan dan
pelayan dengan berbareng" Ia sudah ada umur, ia tentu
dapat diandali melebihi budak-budak."
Oleh karena memikir demikian, thaythay luluskan
permohonan anaknya. Maka itu, mulai itu malam, Kho
sunio jadi tidur dalam satu kamar sama nona Kiau Liong.
Kiau Liong ada pepat pikiran, tetapi mendapat kawan
Kho sunio, ia tak jadi kesepian. Kalau malam, tentu ia
pasang omong sama itu nyonya guru, siapa mempunyai
banyak bahan pembicaraan.
Kheng Liok Nio berceritera bahwa ia merantau sejak
umur dua-puluh tahun, berselang tigapuluh tahun, ia telah dengar banyak dan mengalami banyak juga, semua ada hal-hal yang sulit dan luar biasa. Ia menutur dengan cara yang bersemangat. Tentu saja ia umpatkan semua kejahatannya.
Ia lukiskan gunung-gunung yang tinggi, sungai-sungai yang besar, perihal penjahat-penjahat dan orang-orang budiman.
Ia juga tak rahasiakan hal perhubungannya dengan Kho
Long Ciu, sampai mereka aniaya Ah Hiap, si Jago Gagu,
hingga jago itu terbinasa, hingga di akhirnya, Kho Long
Ciu yang licin sudah pedayakan ia dengan bawa kabur dua
kitab berharga itu.
Setelah dengar itu semua, Kiau Liong jadi peroleh
banyak pendengaran. Ia menjadi heran dan tertarik, hingga buat sementara itu, lenyap kedukaannya.
Juga Pekgan Holie bisa tinggal tenang bersama-sama
nona Giok ini. Ia sudah ada umur, ia insyaf segala
kejahatannya, bahwa ia telah mendapati banyak musuh, di
antaranya musuh-musuh di kalangan pembesar negeri,
terutama kepala-kepala polisi. Ia tahu benar, di mana-mana orang cari ia, hingga ia perlu dapat tempat sembunyi yang aman. Sekarang ia telah mendapati itu tempat, ia bisa
makan dan pakai cukup, ia bisa tidur enak, maka, apa lagi yang ia hendak cari" Dari itu, tinggal sama-sama si nona, ia rajin menjahit. Ia memangnya tidak punya pekerjaan dan
tak diberikan tugas apa juga di itu gedung. Ia pun senang
yang semua orang panggil ia "Kho sunio." Hanya, meski demikian, ia terus berhati-hati menjaga diri, ia kuatir nanti ada orang kenali ia sebagai Pekgan Holie, hingga ia bisa disatroni dan ditangkap.
"Teristimewa aku mesti jaga diri terhadap Kang Lam
Hoo, yang sewaktu-waktu bisa datang untuk membalas
sakit hati suhengnya Ah Hiap," demikian ia pikir. "Kalau jago Kanglam ini datang, aku mesti loloskan diri. Tapi
kalau Kang Lam Hoo datang dan aku kabur, aku harus
bawa Kiau Liong bersama aku. Si nona bisa menjadi
andalanku ... "
Inilah sebabnya kenapa Kheng Liok Nio suka bicara
tentang kejadian-kejadian di kalangan kangou dan ia
sengaja berceritera secara menarik hati, untuk memancing nona itu, untuk bikin tergerak hati orang. Terhadap si nona, ia berlaku sangat hormat dan telaten, apa yang
diperintahnya ia segera lakukan, belum pernah ia
membantah. Kiau Liong sendirinya ada punya lain pikiran. Sembari
menilik keras nyonya guru itu, di lain pihak ia mencoba
akan dapati simpati yang sungguh-sungguh. Ia mengharap
bantuannya ini nyonya guru, untuk ia bisa pergi ke gurun pasir, guna mencari Lo Siau Hou, atau sedikitnya nyonya
ini bisa dipakai sebagai juru pengantar surat kepada Poan Thian In ... Toh, sementara itu, ia belum bisa serahkan
kepercayaannya pada nyonya guru ini, ia belum mau buka
rahasia hatinya terhadap Siau Hou.
Sang waktu lewat terus, lagi beberapa bulan, telah
berselang. Sekarang orang berada di musim dingin. Di luar kota, pepohonan pada kering dan rontok daunnya, hingga
kawanan beburonan sukar mendapat tempat sembunyi itu
ada waktunya orang berburu. Maka itu, justru wilayahnya
ada aman dan di kantor ada banyak tempo senggang,
hampir setiap hari Giok tayjin ajak pengiring pergi
memburu binatang alas. Kalau ia keluar, ia ada merupakan serombongan orang yang keren sikapnya, sebab sedikitnya
ia ajak duapuluh lebih punggawa dan serdadu dan mereka
ini semua lengkap membawa burung dan anjing, panah dan
senapan. Setiap kembali dari perburuan, ia bawa pulang
banyak oleh-oleh: rase, kelinci dan rusa.
Ada kalanya, selagi gembira, Giok tayjin ajak juga
puterinya turut, bersenang-senang di rimba belukar, dan
setiap kali ikut, Kiau Liong tentu ajak Siu Hiang dan Kho sunio. Ia ketarik dengan pemburuan, tetapi belum pernah
satu kali juga ia turut geraki tangannya, akan memanah
atau menembak. Toh sekarang ia telah pandai benar
menggunai Tincu cian, ialah itu panah kecil mungil
pemberian dari Lo Siau Hou. Dengan pakai ini, ia tak usah menggunai lagi panah lainnya atau senapan untuk
memburu rase dan lain-lain. Di depan ayahnya, ia tak mau pertontonkan bugee-nya, sebaliknya, ia unjuk kelemah
lembutan dan nyali kecil ...
Giok tayjin menyangka bahwa puterinya, belum pandai
benar menunggang kuda, ia benar-benar tidak tahu bahwa
puteri itu sebenarnya ada sebagai seekor naga (liong) yang binal. Ia pun sama sekali tak pernah menduga bahwa Kho
sunio ada satu betina liar, yang banyak sekali kejahatannya
... Pada suatu hari Kiau Liong ikut pula ayahnya memburu,
sekali ini kedukaannya muncul pula dengan tiba-tiba. Itulah disebabkan hatinya sangat tergoncang kapan ia saksikan
burung-burung dan anjing ayahnya bergerak dengan
merdeka dan gesit, yang satu terbang melayang-layang,
terputar-putar, yang lain lari serabutan ke sana dan ke sini, sedang ia, yang ada punyakan kepandaian, tidak berani
coba kepandaiannya itu. Karena ini, ia pun segera teringat
pada itu orang yang berada jauh di gurun pasir, itu pemuda cakap dan gagah, yang peruntungannya buruk.
"Entah ia ada di mana sekarang dan bagaimana cara
hidupnya ... "
Kalau langit tadinya ada terang benderang, lain
waktunya, sang salju seperti bergumpal dan tertahan di
tengah udara. Seharusnya, dalam keadaan seperti itu, di
waktu hari sudah bukan siang lagi, rombongan pemburu ini sudah mesti berangkat pulang, tetapi apa mau, Giok tayjin belum merasa puas dengan bebolehannya, yang masih
sedikit, ia penasaran.
"Pergilah kau pulang lebih dahulu," kata ayah ini pada puterinya, siapa ia anggap sebaliknya kurang baik akan
pulang sampai sore atau malam. "Aku akan pulang
belakangan ... "
Kiau Liong menurut.
Giok tayjin perintah dua pengiring akan antar atau jaga
puterinya itu. ...
Kiau Liong ada menunggang kuda yang dahulu ia dapat
hadiah dari si nona Kozak, maka melainkan ia sendiri yang ketahui lelakonnya kenapa ia sampai mendapati kuda ini.
Ini ada binatang yang setiap waktu membikin ia bisa
bayangkan lelakonnya itu, yang menjadi kenang-kenangan.
Untuk pergi berburu, Kiau Liong ada pakai kopiah kulit
binatang tiau, di bagian luar, tubuhnya terkerebong mantel, sepatu sulamnya duduk atas injakan kaki kuningan. Pada
tangannya yang kanan, tertutup sarung bulu tiau ada
tercekal cambuk kulit, dan tangan yang lainnya, memegang les.
Kho sunio dan Siu Hiang duduk atas sebuah kereta
keledai. "Apa siocia tidak mau duduk kereta?" tanya Siu Hiang.
"Mari hangati tangan, perapiannya sudah sedia ... "
"Atau, baik siocia duduk kereta, dan kasih aku yang coba belajar naik kuda!" kata Kho sunio.
Tapi si nona goyang kepala, sambil tersenyum. "Aku
tidak suka duduk kereta!" ia jawab.
Mereka berjalan terus. Dari dua pengiring, satu jalan di depan, satunya pula di belakang, Kiau Liong kasih kudanya jalan di samping kereta. Dua-dua keledai dan kuda telah
keluarkan hawa putih dari mulut mereka, saking dinginnya.
Langit ada mendung, salju sudah mulai turun.
Selagi mendekati pintu kota, Kho sunio muncul di antara
tenda kereta. "Itu di sana ada kuburannya gurumu," ia berkata, seraya menunjuk ke arah selatan. "Lihat itu tugu batu di depan kuburan! Tugu itu ada buatannya tuan Tan Bun An dari
geemui dan ia bikin itu atas permintaannya gurumu
sebelum ia menutup mata. Baru saja bulan yang sudah tugu itu selesai dan terus dipasang."
Tentang tugu itu, Kiau Liong memang sudah tahu, cuma
ia belum pernah lihat, ia ingin saksikan, ketikanya tidak ada. Maka kebetulan sekali, sekarang Kho sunio
peringatkan ia.
"Tahan!" ia lantas berkata. "Kau tunggu sebentar, aku mau tengok dahulu kuburannya suhu. Aku akan lekas
kembali!" Segera ia larikan kudanya, ke selatan. Sebentar saja, ia sudah sampai di muka kuburannya Kho In Gan alias Kho
Long Ciu. Ia loncat turun dari kudanya, ia samperi tugu itu.
Pada bongpay ia baca:
"Kuburan dari Kho sianseng In Gan dari Suikang."
Lekas-lekas Kiau Liong baca tulisan pada tugu. Di situ
ada pujian buat Kho Long Ciu, yang dinyatakan ada pandai bergaul dan gemar berbuat kebaikan, maka sayang, ia
meninggal di Cieboat, dengan belum merasa puas
hidupnya, karena urusannya Yo Siau Hou masih belum
selesai ... Baru Kiau Liong membaca sampai di situ, salju sudah
turun deras sekali dan cuaca pun semakin gelap, hingga ia terperanjat. Ia tak dapat kesempatan membaca terus, huruf-huruf ukiran masih panjang. Ia ingin kerik sebaris kata-kata, yang berbunyi, "Ada si nona keluarga Hau", ia menyesal tak punya golok atau pedang, maka dengan penasaran, ia
naik atas kudanya dan kembali pada rombongannya, buat
terus pulang. Sekalipun sudah berada di dalam kamarnya, nona Giok
tidak bisa lantas lampiaskan penasarannya. Dari bunyinya tugu, terang Kho Long Ciu tidak kenal baik sifatnya dan
rupanya guru itu pandang ia mirip dengan Kheng Liok Nio, bahwa ia disangka di belakang hari akan telad segala
perbuatannya Pekgan Holie ...
"Sungguh keliru!" ia pikir. "Apa suhu menduga begini padaku karena aku curi baca dan salin dua kitabnya" Apa ia benci aku karena aku curi dua kitabnya itu dengan akal
melepas api, hingga sampai pada dekat ajalnya, ia masih
mencoba akan melampiaskan dengan perantaraannya tugu
itu" Ia benar cupat pikiran!"
Kemudian ia ingat Lo Siau Hou.
"Suhu menulis dengan pakai she Yo, terang Lo Siau Hou ada orang she Yo ... " ia pikir lebih jauh. "Mengapa suhu tidak mau memberi penjelasan padaku" Inilah aneh!
Bagaimana duduknya itu budi dan dendaman" Mengapa
bunyinya syair ada begitu samar" Apa maksud sebenarnya"
Pantas suhu menjadi satu kutu buku! Ia telah belajar surat beberapa puluh tahun, ia yakin silat beberapa puluh tahun juga toh ia tak mampu memangku pangkat yang berarti, ia
tidak bisa menjadi satu hiapkek! Malah satu Pekgan Holie, ia tidak mampu bikin tunduk!"
Terhadap Kho sunio, Kiau Liong tidak mau beberapa
yang ia pikir itu. Ia simpan kemendongkolannya, karena
gurunya pandang tak mata kepadanya.
"Apa siocia tidak baca bunyinya surat dalam tugu?"
tanya Pekgan Holie selagi mereka berada berduaan,
suaranya perlahan sekali.


Harimau Mendekam Naga Sembunyi Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sudah, aku sudah baca," sahut si nona. "Itu ada syair karangan suhu sendiri dan di situ ia puji kepandaiannya
yang tinggi!"
Si Rase Mata Biru perlihatkan roman mendongkol.
"Kutu buku itu cuma pandai mengarang syair dan
mempedayakan orang!" ia kata dengan sengit. "Coba dahulu ia tidak pedayakan dari aku itu dua jilid buku
sekarang aku pasti tidak menjadi begini ... "
Kiau Liong tersenyum, ia awasi itu nyonya guru.
"Taruh kata kedua buku ada padamu, kau tak akan
mampu yakinkan itu," ia bilang. "Gambar ada jelas dan bunyinya surat pun terang, tetapi, walaupun demikian,
siapa tak membaca dengan mengerti bunyinya dengan
benar serta punya keyakinan, ia sukar dapat memahamkan
itu untuk ia melatih sendiri! Sekarang baik sunio jangan pikirkan pula tentang itu dua kitab! Kau harus tahu yang kau telah berusia tinggi, hingga umpama kata kau
diajarkan, kau masih tak akan bisa pelajarkan itu. Sunio baik turut aku dengan hati tenang. Sunio harus ketahui, asal
aku terus lindungi kau, kau tidak usah takuti apa juga.
Sebentar aku hendak pergi untuk sedikit waktu saja ... "
Kheng Liok Nio merasa heran.
"Ke mana siocia hendak pergi?" ia tanya.
"Aku hendak pergi ke kuburan suhu, buat hapuskan
beberapa garis kata-kata dalam tugu," Kiau Liong memberi tahu.
"Siocia toh bisa lakukan besok atau lusa, kenapa mesti malam-malam ini juga?" tanya pula nyonya guru itu. "Kau harus melewati tembok kota ... "
"Baru satu tembok kota, dua lapis pun tak ada
halangannya bagi aku!" kata nona itu dengan sengit. "Kata-kata itu ada mencaci aku, aku mesti singkirkan, kalau tidak, aku tidak senang hati! Pun di situ ada garis-garis yang
memaki sunio sendiri."
"Dia pun maki aku?" Kho sunio kata dengan sengit.
'"Bagaimana ia makinya" Berhari-hari ia sakit, aku yang rawati! Sedang aku bukannya isterinya yang sejati! Dan dia bukan suamiku yang sebenarnya! ..."
"Dia maki kau kokok beluk dan dia caci aku rase!" Kiau Liong memberi tahu.
"Biar, aku nanti belah tugunya itu!" berseru si nyonya dengan gusar. Ia segera hendak berlalu.
Nona Giok tahan nyonya tua itu.
"Apa gunanya akan membelah tugu itu?" ia kata. "Ini kali kau membelah, besok Tan Bun An mendirikan lagi!
Berdua mereka ada bersahabat sangat kekal. Laginya,
dalam tugu itu, melainkan dua garis yang mencaci kita,
yang lainnya tak ada sangkut pautnya. Kalau sebentar aku
singkirkan itu dua garis saja, orang tentu tidak
memperhatikannya."
Pekgan Holie kena dibujuk.
"Sekarang kau sediakan aku alat-alat untuk menyingkirkan huruf-huruf itu," kemudian kata si nona.
"Kau mesti tunggu kamar dengan hati-hati."
Kheng Liok Nio menurut, ia lantas pergi bersiap.
Kiau Liong tunggu sampai sudah tengah malam, ia
perintah si nyonya guru pergi keluar, akan lihat salju sudah berhenti turun atau belum.
Pekgan Holie keluar akan sebentar kemudian balik pula.
"Salju sedang turun secara besar-besaran, maka baik siocia jangan pergi ini malam," ia melaporkan. "Kita kaum kangou ada punya pepatah. 'Jalan di waktu gelap gulita, tak di waktu terang bulan. Jalan di waktu hujan, tidak di waktu turun salju". Meskipun orang ada bertubuh sangat enteng, di atas salju ia mesti meninggalkan bekas-bekas telapakan
kaki." Kiau liong tertawa mendengar keterangan ini.
"Aku tidak suka dengar omongan kau ini!" ia kata. "Buat aku, semakin salju besar, semakin aku gembira!"
Dan lantas ia dandan. Ia pakai baju dan celana putih,
pedangnya diselipkan di punggungnya, kepalanya pun ia
bungkus dengan pelangi putih. Sebagai baju luar, yang
sepan, ia pakai baju dari kulit rase. Hingga ia jadi serba putih mirip dengan Soat Hou. Setelah bawa alat-alat yang perlu, ia nyeplos keluar dari kamarnya, yang pintunya
dipentang sedikit oleh si Rase Mata Biru. Dia ini hanya
tampak berkelebatnya satu sinar putih, lantas si nona lenyap
dari pemandangan matanya, hingga diam-diam ia menjadi
kagum. Pada saat itu, seluruh kota Cieboat terbenam dalam
kesunyian dan gelap petang, apa yang kelihatan putih
melulu sang salju, yang melulahan di sana-sini, yang masih saja sedang melayang-layang turun. Angin tidak ada.
Di jalanan atau gang-gang tidak ada suatu apa juga yang
bergerak-gerak Tembok kota ada terjaga keras tetapi serdadu-serdadu
penjaga tak bisa rintangi Giok Kiau Liong, yang tubuhnya terlihat pun tidak.
Sebentar saja, Kiau Liong sudah berada di luar kota,
laksana seekor kucing ia berlari-lari ke jurusan di mana kuburannya Kho Long Ciu ada ambil kedudukan. Ia terus
samperi tugu, di depan situ ia berjongkok, akan keluarkan bahan api, yang ia segera kasih nyala. Dengan tangannya, ia sapu salju yang menimpa tugu itu.
Karena salju turun terus, beberapa kali api tertimpa
sampai padam, hingga setiap kali-setiap kali Kiau Liong
mesti menyalakan pula. Ia bisa bekerja dengan leluasa,
karena di tengah tegalan, di waktu tengah malam yang
penuh salju itu, lain orang tak nanti kesudian keliaran ke tempat pekuburan itu.
Sekarang Kiau Liong dapat ketika akan baca habis
bunyinya tugu itu, setelah membaca, ia jadi tersenyum.
Nyata sekarang bunyinya tugu ada suatu nasehat bagi ia,
supaya ia jangan andalkan kepandaiannya untuk berbuat
jahat, bahwa ia justru harus menyontoh Pan Ciau yang
pintar ilmu suratnya, Hoa Bok Lan yang gagah perkasa.
Hong Sian dan Liap In Nio yang gagah mulia. Ia pun
dianjurkan akan bakar saja kedua kitab ilmu silat, agar kitab itu tak sampai jatuh ke tangan orang-orang jahat. Mengenai
Yo Siau Hou, ia dipesan, kalau ia ketemu pemuda itu, akan ajak itu pemuda datang membaca tugu ini, agar si pemuda
ketahui, tubuh yang rebah di dalam lubang kubur itu adalah satu sahabat baik, yang sudah duapuluh tahun lebih dia tak ketemukan. Dengan itu Siau Hou dianjurkan cari adik-adiknya lelaki dan perempuan, yang tinggal di rumahnya
Luciuhiap Yo Kong Kiu. Tentang musuhnya keluarga Yo
ini, disebut si musuh ada seorang she Ho. Bahwa untuk
peroleh keterangan perihal permusuhan itu, Siau Hou
dianjurkan pergi tanya pada Kho Bou Cun, kandanya.
Sama sekali di situ ada dua ratus hurut lebih, bunyinya
samar-samar. Siapa ketahui sedikit halnya Kho Long Ciu
dan keluarga Yo, asal ia membaca dengan teliti, ia akan
berhasil menangkap maksudnya yang sekedarnya. Demikian dengan Kiau Liong, yang bisa juga mengerti.
Pantas guru itu minta sahabatnya membikin tugu kiranya
ada itu pesanan yang si guru buat menyesal karena ia tak keburu menemui Yo Siau Hou.
Sesudah mengerti itu semua, Kiau Liong cabut
pedangnya dengan itu ia bikin lenyap kira-kira dua puluh huruf yang ada mengenai dirinya, yang lain-lain, ia antap.
Selagi api berkelak-kelik bekerjanya pedang atas batu telah menerbitkan suara.
Tiba-tiba nona Giok terperanjat. Tahu-tahu ia merasa
ada orang yang tubruk ia dari belakang, tubuhnya terus
dipeluk. Tapi berbareng dengan kaget, ia masih bisa geraki tubuhnya, pedangnya menyambar ke
belakang. Ia menyerang dengan ia tak tunggu sampai ia sempat menoleh
lagi. Orang yang menubruk itu lepaskan pelukannya dengan
satu loncatan, ia melesat ke belakang kuburan. Ia
menyingkir sambil perdengarkan suara tertawa, ialah
suaranya seorang lelaki.
Kiau Liong tidak mau mengerti, ia lompat menyusul, ia
tidak loncat langsung ke belakang kuburan hanya ke atas
kuburan hingga dari situ ia lihat orang yang sedang
sembunyi, merupakan satu bayangan hitam. Ia lompat
turun, pedangnya sekalian dipakai membacok. Gerakannya
ada cepat laksana kilat.
Orang serba hitam itu tidak menyingkir lagi seperti tadi, sebaliknya dengan sebuah golok pendek, ia menangkis.
Kedua senjata telah kebentrok satu pada lain, beradu
dengan keras, suaranya nyaring. Tapi Kiau Liong segera
loncat mundur dengan kaget, karena ia dapat kenyataan,
pedangnya sudah sapat ujungnya.
"Siapa kau?" ia segera menanya dengan tegurannya.
Orang itu maju mendekati, ia berdiri dengan tubuhnya
yang tinggi besar dan gagah. Ia pun sudah lantas tertawa.
"Kiau Liong, jangan takut! Aku adalah Siau Hou,"
demikian penyahutannya. "Sudah lima hari aku sampai di sini, sudah dua kali aku lihat kau, hanya aku tidak berani sembarangan
datang dekat pada kau atau pun memanggilnya! Kemarin dahulu malam juga aku pernah
datang ke gedungmu, tetapi aku tak tahu kamarmu ...
Sangat cepat, satu tahun hampir lewat, selama itu aku
senantiasa ingat kau... Kiau Liong mari ikut aku, kita cari tempat untuk bicara...."
Sembari kata begitu, Poan Thian In datang lebih dekat,
tangannya ia ulur, untuk menyekal bahu orang.
Dengan sekonyong-konyong, kakinya si nona terangkat
naik berbareng dengan mana goloknya si anak muda
terdupak sampai terlepas dan terpental dan ketika nona ini lanjuti gerakan kaki dan tangannya, selagi si pemuda
tercengang, dengan gampang ia berhasil membikin pemuda
itu rubuh di salju ...
Habis itu, bukannya ia maju lebih jauh, nona ini terus
menangis ... "Buat apa aku ikut kau?" kata ia sambil susut air matanya. "Kau, kau seorang yang tak bersemangat! Apa pesanku dahulu" Aku anjurkan kau ubah kelakuan, supaya
kau cari kemajuan dan pangkat! Bagaimana jawabmu
waktu itu" Tapi sekarang, sudah berselang hampir satu
tahun, kau masih tetap berdiam di sini, sebagai penyamun!
Mula-mula kau berani susul keretaku, sekarang kau susul
aku kemari! Sudah, lekas kau pergi!"
Lo Siau Hou merayap bangun, ia pungut goloknya. Ia
maju, tetapi ia tidak mau datang terlalu dekat si nona. Di tempat jauhnya lima tindak, ia berdiri dengan diam saja, cuma helaan napasnya ada terdengar.
Kiau Liong mengawasi, keduanya sama-sama bungkam.
Tapi tidak lama, si nona bertindak menghampiri, akan cekal lengan orang.
"Jangan kau gusar," ia kata, "jangan kau bersusah hati ...
Ketahuilah, selama satu tahun ini, aku pun sangat berduka sebagai kau, aku selalu ingat padamu, setiap kali-setiap kali aku mengeluarkan air mata ... Aku tahu, memang sukar
bagimu untuk mencari kedudukan yang baru, tetapi kau
sebenarnya mesti ubah kelakuanmu. Kenapa kau tetap
menjadi penyamun" Kenapa kau tidak tinggalkan gurun
pasir" Kau sekarang tetap ada satu penyamun, maka itu,
cara bagaimana kau bisa mengharap nikah aku" Aku ada
satu siocia, meski aku mengerti silat, aku bukannya
sebangsa perempuan dari kalangan Sungai Telaga.
Karenanya, aku tidak bisa sembarangan berpisah dari
ayahku, akan menjadi isterinya satu kepala berandal! Inilah
kau tentunya mengerti. Maka kalau kau ingin nikah aku,
kau harus pangku pangkat! Kau mengerti atau belum" Kau
jangan berduka, sekarang silahkan kati pergi, untuk
selamanya aku akan tunggui kau! ... "
Lo Siau Hou manggut, tandanya ia mengerti. Ia tidak
kata apa-apa, ia hanya putar tubuhnya, akan berlalu.
Tapi Kiau Liong tarik tangannya Siau Hou.
"Lihatlah ini kuburan," ia kata, seraya tangannya menunjuk. "Ini ada kuburannya tuan penolongmu, Kho
Long Ciu. Coba baca bunyinya surat di tugu itu, di situ ada pesanan untukmu. Nyata, sekalipun hendak menutup mata,
ia masih pikirkan urusanmu, hal ikhwal selama duapuluh
tahun dari keluargamu. Ia telah tak berhasil mencari kau, ia jadi sudah tinggalkan ini tugu peringatan. Ia bilang kau sebenarnya ada orang she Yo, bahwa semua adikmu berada
pada Luciuhiap Yo Kong Kiu. Musuhmu ada orang she
Ho, kalau kau tanyakan Kho Bou Cun, engko-nya
penolongmu itu, kau akan ketahui jelas duduknya perkara.
Sekarang ini tentunya Kho Bou Cun itu sudah berusia
sangat tinggi. Yo Kong Kiu dan itu musuh she Ho, entah
mereka masih hidup atau sudah menutup mata. Dan adik-
adikmu, mereka semua tentu sudah besar ... Sekarang kau
jangan pikirkan aku, kau harus urus urusan rumah
tanggamu sendiri, pergi kau cari adik-adikmu. Hanya aku
mohon, jangan lagi kau jadi penyamun, aku ingin orang
tidak akan lihat kau pula di tengah lautan pasir!"
Sembari kata begitu, Kiau Liong awasi mukanya itu
pemuda, yang ia dapat kenyataan ada sedikit perok,
tampang mukanya kucel, tanda dari kedukaan hati. Maka
dengan sendirinya, ia jadi merasa terharu dan kasihan.
"Jangan bersusah, besarkan hatimu," ia menghibur, dengan suara halus dan menyayang.
Siau Hou manggut. Baru sekarang ia buka mulutnya.
"Aku mengerti," ia kata, suaranya perlahan dan lemah.
"Sekarang juga aku pergi! Sampai ketemu pula!"
Ia coba lepaskan tangannya si nona, ia balik tubuhnya
akan bertindak pergi di antara salju melulahan. Tubuhnya seperti juga ketutupan salju, yang terus melayang-layang turun.
Setelah anak muda itu tidak kelihatan lagi, Kiau Liong
cari pedang buntungnya dengan bawa itu, ia lekas lari
pulang. Kapan api telah dinyalakan, Kheng Liok Nio, yang
tunggui si nona, kaget melihat keadaannya nona itu.
Pedangnya tak berujung, mukanya sendiri masih meninggalkan bekas air mata.
"Kau ketemu siapa, siocia?" tanya sunio itu dengan heran, ia bicara dengan perlahan.
"Jangan tanya aku," sahut si nona sambil goyang kepala.
Ia sembunyikan pedangnya ia buka pakaiannya yang ia
serahkan pada si nyonya guru, sesudah itu ia terus naik atas pembaringannya, buat terus tidur ...
Kheng Liong Nio kipratkan semua salju yang menempel
di pakaiannya si nona, yang mana ia terus lipat dan simpan, kemudian ia awasi nona itu, yang kerebongi diri sampai di kepala. Ia percaya si nona tidak tidur, hanya menangis.
Maka itu, ia jadi heran dan sangsi.
"Apakah boleh jadi ia ketemu orang yang bugee-nya
lebih liehay?" demikian nyonya guru ini menduga-duga.
"Apakah ia ketemu Kang Lam Hoo atau orang dari pihak langsung dari Ah Hiap" Kalau benar, inilah hebat ... "
Oleh karena ia menduga demikian, Pekgan Holie lekas
kunci pintu kamar dan api segera ditiup padam.
Di kantor, kedengaran tanda jam yang menyatakan
pukul empat. Dari jendela yang setiap kali-setiap kali
berbunyi, terdengar suara yang menandakan bahwa salju
masih belum berhenti turun.
Dan sampai besoknya pagi, salju itu tetap masih turun
saja. Dengan cari alasan, Pekgan Holie pergi keluar, akan
melihat tanda apa-apa, tetapi tanda itu ia tak dapat cari. Ia tak menduga bahwa tanda itu lenyap ketindih salju yang
turun belakangan, tetapi ia menjadi kagumi bugee-nya si
nona hingga ia jadi bertambah jeri.
Sejak itu, Kiau Liong jadi kurang kegembiraannya.
Musim dingin lewat dengan lekas, musim semi datang
menggantikan. Untuk menghibur diri, kecuali ikut ayahnya pergi
memburu, sekarang Kiau Liong suka pergi ke luar kota,
dengan menunggang kuda, ia berpesiar sambil melatih diri.
Atau kalau ia kurung diri di dalam rumah, ia belajar
menulis huruf atau melukis gambar. Dan kalau malam, ia
terus yakini ilmu silat dan panahnya, benar ia selalu berlatih di waktu malam, tetapi sekarang ia tidak menyingkir lagi dari Kheng Liok Nio, hingga Kho sunio jadi bisa turut
berlatih juga, hingga kepandaiannya nyonya ini jadi
bertambah. Oleh karena ini, Pekgan Holie jadi bersyukur
pada si nona, ia jadi semakinan tak ingin berlalu dari
gedung itu. Demikian Kiau Liong lewatkan waktunya. Tidak ada
orang yang dapat menghibur ia, kecuali Soat Hou, kucing
bulu salju yang mungil dan ngarti itu. Dari Lo Siau Hou ia


Harimau Mendekam Naga Sembunyi Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tidak dapat kabar apa-apa, dan perihal Poan Thian In, ia tak dengar suatu apa.
Musim semi terganti oleh musim panas, lalu datang pula
musim rontok. Rumput di pekarangan dari hijau muda
berubah jadi hijau tua dan akhirnya jadi kuning. Burung-
burung walet telah pergi dan datang pula.
Pada suatu hari sehabisnya hari raya Tiongyang,
mendadak ia ke kantornya Giok tayjin ada datang satu
nona Kozak katanya untuk menemui Giok siocia. Di antara
orang-orang kantor ada yang ingat bahwa ini adalah nona
Kozak yang dahulu telah tolongi nona mereka di gurun
pasir, maka kabar segera disampaikan ke dalam.
Giok thaythay sudah lantas perintah bajangnya undang
masuk tetamu asing itu.
Bie Hee datang dengan rambut terkepang menjadi dua
kuncir dan mukanya ada memakai pupur, dan kecuali
sepasang sepatu kulitnya, pakaiannya mirip dengan
dandanan orang Boan. Ia datang dengan menunggang kuda
dan dari atas kudanya ia kasih turun kecuali sebatang
pedang juga dua potong besar dendeng kuda. Itu pedang
ada Toan-goat kiam kepunyaan Kiau Liong, dan dendeng
ada oleh-olehnya.
Giok thaythay dan puterinya keluar menyambut tetamu
ini ketika ia mulai dipimpin masuk ke pedalaman, ia
diundang masuk dan disuguhkan teh dan kue-kue.
"Ketika dahulu anakku menampak kesusahan di padang
pasir, syukur nona telah tolong padanya," berkata Giok thaythay, "dan ketika ia hendak pulang, nona pun
hadiahkan ia seekor kuda. Kita sebenarnya hendak
haturkan terima kasih pada nona, sayang padang rumput
ada demikian luas hingga aku kuatir tak mampu cari kau.
Nona, terima kasih banyak untuk kebaikan kau!"
Bie Hee ada sedikit tercengang mendengar itu ucapan
sampai ia tak mampu menjawab.
Kiau Liong mengerti duduknya hal, ia lantas campur
bicara, akan kesampingkan hal itu, kemudian dengan
perkenan ibunya, ia tuntun nona Kozak itu untuk dibawa
ke kamarnya sendiri.
Bie Hee datang dengan satu tugas, begitu lekas ia berada di dalam kamar si nona, dari dalam bajunya ia keluarkan
sepucuk surat yang terlipat-lipat dan serahkan itu pada nona rumah.
Sambil terima surat itu, Kiau Liong kedip-kedip mata
pada Kho sunio dan Siu Hiang, akan minta mereka
undurkan diri, setelah itu, ia lekas buka surat itu, untuk dibaca. Seperti ia sudah bisa duga, surat itu datangnya dari orang yang ia buat pangenan, yang ia sangat harap harap.
Lo Siau Hou menulis sebagai berikut:
Kiau Liong, isteriku yang bijaksana.
Sejak kita berpisah, kembali satu tahun telah berlalu.
Selama itu, aku senantiasa ingat padamu.
Sekarang aku iringi kehendakmu, akan cari kemajuan
untuk hari kemudian kita. Aku telah berusaha dan aku
peroleh kemajuan. Aku berdagang karena aku pikir,
sesudah mengumpul uang, aku baru bisa memangku
pangkat. Memangku pangkat bukan soal sukar. Maka aku
percaya, paling banyak satu tahun lagi, aku akan sudah bisa naik kereta atau kuda besar, untuk menemui kau, akan
siapkan joli terpanjang, guna sambut padamtu supaya orang ranti bilang bahwa suamimu ada satu enghiong.
Dengan pertolongan nona Bie Hee, aku kirim suratku
ini, supaya kau ketahui tentang aku dan jadi bertetap hati.
Bersama ini aku pun ada kirim dua puluh batang panah,
yang aku bikin sendiri, untuk kau simpan.
Aku tidak bisa menulis banyak, isteriku, maka, sampai
lain hari saja.
Terimalah. Hormatnya, Siau Hou. Mukanya Kiau Liong bersemu dadu sendirinya, ia mau
tersenyum tetapi urung, karena kegirangannya ada
tercampur kedukaan.
Bie Hee tidak kala apa-apa, ia hanya lekas keluarkan
panah kirimannya Siau Hou.
Kiau Liong lekas sambuti panah itu, yang bersama surat
tunangannya, ia lekas-lekas simpan, kemudian ia tarik si nona Kozak ke pembaringannya di atas mana berdua
mereka duduk berendeng.
"Apakah kau tahu ia berdagang apa?" ia tanya seperti berbisik.
"Ia berdagang kuda, ia sekarang hidup mewah," sahut Bie Hee.
Jawaban ini ada melegakan hatinya ini kekasih.
"Aku tidak membalas surat," ia kata pula, "hanya aku minta pertolongan kau saja. Yaitu andaikata kau ketemu ia, minta ia ubah she dan namanya. Ia asalnya she Yo. Harus
dijaga agar di belakang hari jangan orang kenali Lo Siau Hou adalah ... "
"Jangan kuatir, nona," Bie Hee bilang. "Sekarang ia tak jadi penyamun lagi, laskarnya ia sudah bubarkan. Pula,
kecuali beberapa hamba negeri, kita kaum pengembala tak
ada yang benci padanya. Sejak beberapa tahun tinggal di
gurun pasir, belum pernah ia rampas binatang atau barang kita lainnya."
Kiau Liong manggut.
"Tolong sampaikan juga," ia pesan lebih jauh, "jangan ia terlalu utamakan perdagangan, ia mesti lekas berdaya akan mencari pangkat, kalau tidak, bagaimana aku bisa ... "
Nona Giok berhenti dengan tiba-tiba, karena satu bujang
bertindak masuk.
"Thaythay kata nona ini datang dari tempat jauh, siocia diminta suka mohon ia berdiam di sini sedikitnya beberapa hari," kata bujang itu.
Kiau Liong lantas awasi tetamunya.
"Bisakah kau tinggal di sini untuk beberapa hari?" ia tanya.
"Bisa," sahut Bie Hee. "Aku ada seorang merdeka, aku memang sering pesiar, ada kalanya sampai setengah tahun
aku tak pernah pulang-pulang, di rumahku tidak ada orang cari aku ... "
Ini jawaban ada menggirangkan nona kita.
"Aku mengerti bugee tetapi aku kalah dari ia ini," pikir Kiau Liong. "Kenapa aku tidak bisa pergi merantau"
Bagaimana aku mesti berdiam saja di dalam kamar" Dasar
aku yang berhati lemah, aku tak tega akan tinggalkan ibu ...
" Tapi sekarang ada si nona Kozak sebagai kawan, ia
bergembira, apapula dari Siau Hou ia sudah peroleh kabar yang menggirangkan, yang bikin hatinya menjadi besar dan tenteram. Hampir setiap hari, ia ajak Bie Hee pergi ke luar kota, sambil menunggang kuda. Kalau ia pesiar, ia ajak dua
budak perempuan serta cuma empat atau enam serdadu.
Dalam hal ini, Giok tayjin tidak menghalang-halangi.
Di lapang rumput, di antara desirnya angin barat, Kiau
Liong dan Bie Hee sering bedal kuda mereka untuk
berlomba, atau bersama-sama mereka memburu burung dan
kelinci. Atau kalau sedang berdiam di rumah Kiau Liong
lantas belajar bahasa Kozak dari si nona.
Secara begini, hatinya si nona jadi terbuka benar-benar, sedang tetamunya seperti lupa pulang, hanya baru sampai
di akhir tahun, Bie Hee pamitan untuk pulang ke
negaranya. Tapi sejak ini perpisahan, Kiau Liong kembali merasa kesepian, ia kembali setiap kali-setiap kali ingat Siau Hou.
Dengan lewatnya sang tahun, Kiau Liong telah masuk
usia delapanbelas. Ia jadi semakin cantik, ilmu silatnya bertambah maju. Pergaulannya dengan Pekgan Holie juga
jadi semakin rapat, karena juga Kheng Liok Nio jadi
merasa bahwa si nona benar-benar ada andalannya yang
berharga, sebab selama itu, ia tidak peroleh gangguan dari siapa juga. Melainkan kabar hal Siau Hou tidak terdengar pula, sebab Bie Hee pun tidak pernah datang lagi ...
Di tahun itu, di musim rontok, dari kota raja datang
kabar yang menggirangkan buat Giok teetok, sebab
menurut bunyinya firman, ia telah diangkat menjadi
Kiubun Teetok Cengtong, untuk mana ia telah dipanggil
pulang ke kota raja ialah tempat kedudukannya yang baru.
Kabar ini diterima dengan girang oleh semua pihak, luar
dan dalam, dan semua pembesar sebawahan telah datang
mengasih selamat pada orang yang beruntung ini. Juga
nyonya-nyonya mereka datang akan mengasih selamat pada
nyonya Giok, siapa ada sangat girang karena ia bakal
kembali ke Pakkhia. Di kota raja ia ada punya banyak
sanak dan kenalan, tidak sebagai di Sinkiang, ia seperti merasa kesepian. Sedang pangkat yang baru ini pun ada
tinggi, kekuasaan dan pengaruhnya besar.
Pun hamba-hamba Giok tayjin, di luar dan di dalam
kantor, turut bergirang, sebab ini berani mereka bisa pulang ke kampung halaman sendiri sesudahnya begitu lama
berada di luar Tionggoan.
Malah Pekgan Holie Kho Su Nio turut tertawa.
Suling Emas Dan Naga Siluman 29 Pendekar Satu Jurus Karya Gan K L Pendekar Jembel 5
^