Pencarian

Harimau Mendekam Naga Sembunyi 8

Harimau Mendekam Naga Sembunyi Karya Wang Du Lu Bagian 8


"Semua tempat di kolong langit ini aku pernah pergikan kecuali kota raja!" ia kata. "Dan sekarang tercapailah cita-citaku!"
Adalah Kiau Liong seorang, yang terima kabar itu
dengan masgul, malah buat dua tiga hari pertama, ia ada
berduka luar biasa. Ia anggap: "Satu kali aku berada di Pakkhia, itu berarti aku terpisah semakin jauh dari Siau Hou. Selama aku di sini, ada sukar untuk aku dengar kabar dari ia, apapula sesudah aku berada di kota raja. Di sana pun berarti kedudukanku jadi semakin agung. Di sini,
meskipun pangkatnya rendah, Siau Hou masih boleh
mencoba meminang aku, tetapi di kota raja ia harus
punyakan gelaran, baru ia bisa berhak melamar aku ... Di kota raja juga ada banyak sahabat dan kenalan ayahku, di sana banyak orang-orang muda dengan kedudukan tinggi
atau mulia, maka selagi aku telah masuk umur
delapanbelas, mustahil tidak akan ada mereka yang akan
meminang aku" Cara bagaimana ayah bisa tolak segala
lamaran" Bagaimana aku bisa menampik apabila ayah
sudah setuju?"
Demikian, nona Giok menjadi bingung dan berduka, Ia
meng harap-harap pemerintah
agung tarik pulang firmannya itu, tetapi bukannya datang firman yang ia
harap, ia malah dengar tanggal keberangkatan sudah
ditetapkan, dan ayahnya, ibunya, semua telah siap untuk
keberangkatan itu, hingga ia jadi tak berdaya.
Begitulah pada hari yang dipilih itu, semua pembesar
negeri pada datang untuk memberi selamat. Di antara
rakyat, dari pihak pamili pun ada datang wakil-wakil, dan di antaranya banyak yang menghadiahkan pakaian dan
payung kepada Giok tayjin, sebagai tanda penghormatan
dan tanda mata.
Rombongan musik tentara telah perdengarkan lagu-lagu
selamat jalan. Dalam satu rombong besar, kereta dan kuda, Giok tayjin
dan keluarganya telah berangkat meninggalkan Cieboat.
Tujuan pertama adalah arah barat, ke Ielee, akan dari sana mutar ke arah kota raja. Maka itu, kembali gurun pasir
mesti dilewati. Lautan pasir bisa dilalui dengan aman, benar ada gangguan angin, tetapi gangguan Poan Thian In tak
muncul. Ketika melewati padang rumput, Kiau Liong ingat
sahabatnya si nona Kozak.
Sesampainya di Ielee, Giok tayjin pamitan dari panglima
tentara di sana. Dia ini, bersama semua pembesar
sebawahannya, telah
mengantar barang-barang
dan mengadakan perjamuan. Mereka turut mengantar, guna
memberi selamat jalan. Sang sanak, Sui tayjin dan isteri, Ie-sie, dan anak-anak, Giok Ceng dan Giok Un, turut
mengantar juga.
Lima hari Giok tayjin menunda di Ielee ini, hingga Kiau
Liong mesti bantu ibunya menyambut tetamu-tetamu, yang
datang unjuk kehormatan dan memberi selamat. Ia menjadi
lelah, hingga ia jadi uring-uringan. Baru ia merasa lega sedikit di perjalanan lantas mereka sampai di Tekhoa,
ibukota propinsi, hingga Giok tayjin mesti kunjungi pula
berbagai-bagai pembesar seatasan dan menerima pembesar-
pembesar sebawahan.
Di sini keluarga Giok mendapat perhentian berupa satu
gedung yang besar, yang ada taman bunganya, di taman
mana ada lauteng yang tinggi, dan
lauteng ini berdampingan dengan sebuah gang atau jalanan di mana
ada kedapatan banyak rumah dan warung atau toko.
Di hari kedua, sehabis bersantap sore, lantaran merasa
pepat berdiam di dalam kamar, Kiau Liong ajak Khosumo
dan Siu Hiang pergi naik ke lauteng. Dari sini mereka bisa memandang jauh. Lauteng itu memakai nama "Lok Hee
Lau". Ini, biasanya, ada tempat pesta di antara pembesar negeri, pesta yang diadakan setiap malam hari raya, pesta yang biasa diatur oleh Butay. Kedalam pesta ini ada datang sekalian pembesar dan wakil-wakil penduduk yang
kenamaan, pintar dan hartawan. Gambar-gambar dan
tulisan-tulisan terkenal ada menjadi pajangan di lauteng itu.
Kiau Liong telah perhatikan semua gambar dan tulisan,
kemudian ia tolak daun jendela, hingga ia bisa saksikan
banyak orang mundar-mandir di jalanan, anjing tak
terkecuali begitupun kereta.
"Lauteng ini bagus sekali!" nona Giok memuji sambil tertawa. Ini adalah lauteng tak terlalu mentereng pun tidak terlalu sederhana."
"Apakah di Pakkhia juga ada lauteng semacam ini?"
tanya Kheng Liok Nio.
"Tidak," sahut Siu Hiang. "Ketika aku masih kecil, dua tahun lamanya aku tinggal di Pakkhia, aku tahu gedung di sana tidak pakai lauteng, hanya gedung ada lebar dan
dalam. Taman ada, cuma di sana tidak ada pohon yangliu,
yang banyak adalah pohon haying dan souyo. Dimusim
semi, seteIah haytong souyoh lantas menggantikan mekar,
sungguh indah, melebihi daripada di sini!"
Pekgan Holie nampaknya tertarik.
"Siocia," ia bilang, "aku kira sudah sampai di Pakkhia, baik kita minta kamar dekat taman itu!"
Tetapi Kiau Liong tak gubris itu dua orang.
Matahari sore telah menyoroti jalanan, dari rumah-
rumah di situ ada mengepul asap tanda bahwa penduduk
sedang masak nasi. Itulah sebabnya, rupanya, maka orang-
orang yang berlalu-lintas menjadi kurangan.
Geek Kiau Liong masih terus mengawasi ke jalanan itu
sampai tiba-tiba ia nampaknya terperanjat, sampai tampang mukanya berubah dengan segera.
Dari sebelah kiri ada kelihatan mendatangi satu
penunggang kuda dengan kudanya bulu merah mulus,
pakaian kudanya baru semua, tindakannya kuda ada tetap.
Si penunggang kuda ada pakai jubah biru yang berlapis
makwa hijau, kepalanya tertutup dengan kopiah pinggiran
tersalut emas. Ia rupanya ada satu pembesar negeri. Ia ada punya tubuh yang kekar. Dari atas kudanya, pembesar itu
angkat kepala, memandang ke lauteng, hampir berbareng
dengan mana, pada Kiau Liong terjadi perubahan air
mukanya Nona ini lekas-lekas berpaling ke lain jurusan, tubuhnya bergoyang sebagai gemetaran. Daun jendela sudah lantas
ditutup pula. "Kau boleh turun terlebih dahulu!" ia kata pada Kho-sunio dan Siu Hiang. Suaranya si nona tidak seperti
biasanya, sampai Siu Hiang tercengang.
"Mari kita turun, akan tunggui siocia di bawah," kata Kho sunio seraya ia terus tarik tangannya budak itu.
Sebelum mereka ini bertindak turun dari tangga,
mendadakan di bawah lauteng, di luar pekarangan taman,
terdengar suara tinggi dari nyanyian.
"Dunia suram guram " "
Cepat sekali, Kiau Liong pentang pula daun jendela,
sambil melongok ke luar, ia perdengarkan teguran, atas
mana, suara nyanyian itu berhenti dengan segera.
Dengan tubuh bergemetaran, nona Giok mengawasi ke
bawah, matanya mendelik.
Lo Siau Hou berada di bawah lauteng, di atas kuda. Ia
memandang ke atas lauteng, ia tertawa, kudanya
diberhentikan. Di jalanan itu pun ada terdapat beberapa orang lain.
Sambil tarik tubuhnya, Kiau Liong menghela napas.
Mendadakan matanya lihat perabot tulis di atas meja,
berikut susunan kertas, maka ia segera menghampirkan. Ia kepriki kertas itu, akan singkirkan debunya, kemudian ia ambil selembar. Itu ada kertas tulis yang memakai tanda
"Lok Hee Lau" Bakhie ada tertutup di situ masih ada airnya. Lantas si nona menggosok bak dan gores-gores pitnya, setelah mana ia duduk menulis, sebagai berikut :
"Apakah maksudmu dengan datang kemari" Lekas pergi.
Kalau lain kali cita-citamu telah tercapai, kau boleh pergi ke Pakkhia, akan ketemui ayahku. Janganlah lagi sekali kau
bertindak sebagai sekarang. Untuk kau, aku ada sangat
berduka, jangan kau tidak mengerti aku.
Sebagai laki-laki, kenapa kau begini tak bersemangat"
Kau harus insaf, panglima perang dan menteri bukan
memang dari turunan saja hanya satu laki-laki baru angkat diri sendiri! Untuk kita berdua, aku harap kau bisa terbang naik!
Sekarang kita berpisahan, untuk sementara, jangan kau
berduka. Hari untuk kita bertemu pula, ada dekat, itu
terserah kepada kau!
Sehabisnya menulis, Kiau Liong gulung suratnya itu,
terus ia tusuk dengan jepitan rambut emas, yang ia ambil dari rambutnya, kemudian surat itu ia lemparkan ke bawah di mana Siau Hou angkat tangannya, akan menanggapi.
Sembari berbuat begitu, pemuda ini tertawa.
Kiau Liong di atas lauteng uring-uringan, tapi ketika ia dengar tindakan kaki kuda berjalan pergi, ia melongok lagi ke luar jendela, hingga ia bisa lihat pemuda itu sedang
berlalu dari itu jalanan. Dengan hati tidak keruan, ia balik ke meja, akan benahkan pit dan bakhie, lalu ia berdiri
bengong. Terang Siau Hou tidak lagi menjadi penyamun," ia pikir,
"kalau tidak, tidak nanti ia berani datang kemari, ke kota Tek-hoa. Rupanya ia mendapat tahu yang aku akan
meninggalkan Sinkiang, entah dari mana, ia datang
menyusul kemari untuk menemui aku. Tapi ia berlaku
terlalu sembrono, ia menempuh ancaman bencana ... "
Selagi nona ini ngelamun, Pekgan Holie, yang tadi terus
turun ke bawah, bertindak naik lagi, malah menghadapi si nona, ia tertawa. Itu ada tertawa mengejek ...
"Siocia, aku tahu sekarang?" ia kata. "Kiranya PoanThian In ... "
Kiau Liong tidak gubris itu godaan, ia terus putar
tubuhnya dan turun dari lauteng. Tetapi si nyonya guru
telah dahului ia. Sembari belarian turun, nyonya ini saban-
saban menoleh ke belakang, pada mukanya masih
tersungging itu senyuman tak mengasih.
"Mulai ini hari, kitab ilmu silat mesti dikasih aku lihat!"satu kali ia kata, dengan perlahan, tetapi lagu suaranya ada mengancam.
Dengan sekonyong-konyong Kiau Liong geraki kakinya,
yang mengenai pinggangnya si nyonya guru, maka tidak
tempo lagi, tubuhnya sunio itu rubuh bergulingan di tangga lauteng, terus sampai di bawah, terbanting sampai
perdengarkan suara menggelebuk!
Siu Hiang berada tidak jauh dari kaki tangga ketika ia
menoleh dengan kaget.
"Oh, Kho sunio, kau kenapa?" ia tanya sembari lari memburu.
Keng Liok Nio loncat bangun dengan mata mendelik, ia
pandang Kiau Liong.
Si nona telah sampai dibawah, dengan sikap hendak
mengasih bangun, untuk menolongi, ia pegang lengan
orang atas mana mukanya si nyonya guru mendadakan
berubah dan merah menjadi putih pucat.
"Kau sudah tua, sunio!" kata si nona sembari tertawa.
"Buat naik atau turun dari lauteng, kau harus hati-hati ... "
Dengan jari tangannya yang kuat nona ini pencet
sambungan tangan orang, sampai tulang-tulangnya
renggang, hingga Pekgan Holie merasakan sakit yang tidak terhingga, keringat dingin mengetel turun dari jidatnya. Ini juga yang menyebabkan mukanya menjadi pucat.
"Benar, siocia," ia paksakan menyahut, dengan menahan sakit, "benar aku sudah tua! Siocia sungguh baik hati!"
Dengan lepaskan tangannya, Kiau
Liong bikin sambungan tangan itu tersambung pula.
"Siu Hiang, pergi ajak sunio beristirahat," ia kata, sambil bersenyum.
Kho sunio bernapas lega, rasa sakitnya yang hebat telah
lenyap. Ia kasih dirinya dipimpin oleh Siu Hiang, untuk ia kembali ke kamarnya. Dan sejak ini, ia tambah jeri
terhadap itu nona, yang benar lihay luar biasa. Tapi sejak itu, si nona perlakukan ia semakin baik.
Sejak itu hari, Siu Hiang merasakan aneh tentang diri
nonanya, tetapi ia ada budak yang tahu diri, aneh atau
tidak, ia diam saja, ia tak berani menanyakan, ia malah
unjuk sikap tak pedulian sebaigaimana biasanya.
Sesudah singgah empat hari di Tekhoa, Giok tayjin
lanjutkan perjalanannya ke timur. Selama itu, Kiau Liong berlaku semakin hati-hati, karena ia kuatir Siau Hou
muncul pula. Tapi, ia boleh berlega hati. Kota Hapmie
dilewatkan, dari selat Sengseng-kiap mereka keluar, masuk ke
Kee-ju-kwan, melintas di Kielian San, terus menyeberangi sungai Honghoo.
Dari sini Lanciu dilewatkan, juga Tiang-an. Demikian pun seterusnya,
setelah dua bulan, pada suatu hari, tibalah mereka di
Pakkhia yang terliput suasana musim rontok.
Selama perjalanan yang aman itu, hatinya Kiau Liong
ada terhibur juga, hingga untuk sementara, ia bisa lupakan Lo Siau Hou. Tapi segera ia bersedih pula, kapan
sesampainya di rumahnya, yang besar dan luas, ia teringat pula. Di sini ia tidur dan makan melebihi keadaan semasa di Sinkiang. Hanya, karena pengalaman di Lokhee Lau itu, ia tidak lagi ajak Pekgan Holie tidur sama-sama dalam
sebuah kamar. Kamarnya ada kamar barat, dan Siu Hiang
dan Gim Sie, ia berikan kamar sampingnya.
Kamar barat itu ada besar, ada jendela belakangnya, dan
jendela ini nembus ke taman bunga, yang jarang dikunjungi orang, dari itu, setiap malam, kapan ia mau, si nona ada merdeka akan melatih diri di situ di mana ada latar yang lebar.
Dengan kedudukannya yang baru, Giok tayjin punya
pekerjaan ada jauh lebih banyak daripada waktu di
Sinkiang, hingga ia senantiasa repot, sedang Geek thaythay repot melayani tetamu atau sanaknya, hingga gadisnya jadi jauh lebih merdeka.
Hidup di kota raja, Kiau Liong mesti ikuti suasana. Ia
hidup lebih besar, dandan lebih mewah. Ia pun turut kenal banyak nyonya-nyonya, yang ada punya persahabatan
dengan ibunya. Dengan lekas, kecantikannya telah
merubuhkan banyak nona-nona lainnya, hingga namanya
menjadi terkenal. Cara hidup ini bikin ia bisa juga melupai Lo Siau Hou, apapula belakangan ini, kedua kandanya,
bersama enso dan anak-anak mereka, telah datang dan
tinggal berkumpul, hingga gedungnya jadi ramai.
Kedua putera dari Geek teetok ada Po In dan Po Tek,
keduanya hidup besar di kota raja, tempo mereka lulus
sebagai kiejin, keduanya terus pangku pangkat, satu di
Anhui, satunya pula di Sucoan. Tatkala itu, dua saudara itu ada menjabat tiehu kelas empat. Isteri mereka ada asal
gadisnya orang-orang kenamaan. Dan anak-anak mereka
pun sudah pada besar. Semasa ayah mereka tinggal di
Sinkiang, disebabkan jalanan jauh dan sukar, kira-kira
sepuluh tahun lebih mereka tidak ketemu ibu dan adik
mereka, sedang dengan sang ayah, mereka ketemu kalau
kebetulan ayah ini pulang ke Pakkhia dan mereka lekas-
lekas datang menemui.
Kiau Liong ingat ia tinggal di Pakkhia tempo ia berumur
lima atau enam tahun, kedua engko-nya menikah berbareng
dalam satu bulan, pesta nikah dibikin dengan sangat ramai, hingga ia sukar lupakan perayaan itu.
Sekarang baru kira-kira setengah bulan, kedua engko itu
telah berangkat pula ke masing-masing tempat jabatannya, hingga selanjutnya ia jadi merasa kesepian. Karena ini,
dengan perkenan ibunya, ia suka keluar, jalan-jalan atau menenangga. Di antara keluarga yang menjadi sahabat
kekalnya adalah Tek toa-naynay, isterinya si orang Boan, Siau Hong.
Sebabnya kenapa kedua keluarga Geek dan Tek ada
bergaul rapat, ada banyak:
Pertama-tama, kedua keluarga memangnya sudah kenal
lama dan Geek tayjin ada hargai Siau Hong, yang baik
hatinya, suka bergaul dan tidak tinggi. Ketika Siau Hong dapat perkara penasarannya, Geek tayjin merasa tidak puas, dari itu waktu Siau Hong dibuang ke Sinkiang, meski
tempat pengasingannya ada Ielee, bukannya Cieboat, ia
lantas kirim orang guna menolong dalam segala apa, hingga di tempat pembuangan, Siau Hong tidak tampak
kesengsaraan. Kedua, kendati sekarang Siau Hong sudah tidak pangku
pangkat, ia toh ada hartawan, hidupnya cukup, sedang di
lain pihak, ia tetap ada sahabat kekal dari Tiat siau-pweelek, itu pangeran Boan yang kesohor, hingga orang tidak merasa terhina akan bergaul pada orang she Tek ini. Satu pweelek tidak berkeberatan bersahabat pada Siau Hong, apalagi lain orang.
Ketiga, namanya Tek Siau Hong di kota raja ada


Harimau Mendekam Naga Sembunyi Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terkenal sekali. Julukan "Thie-ciang Tek ngoya" tak ada yang tidak kenal, sampai segala buaya darat di Kota Selatan dan Utara, semua kenal ia dan malui padanya, semua suka
bersahabat padanya, apapula belakangan waktu orang tahu
Siau Hong ada bersahabat pada Lie Bou Pek dan Jie Siu
Lian, orang semakin pandang mata padanya. Dan namanya
Siau Hong orang tidak bisa lupai sejak Lau Tay Po
sesumbar bahwa ia kenal orang she Tek ini dan suka
berkunjung ke rumahnya, sedang sebenarnya, Siau Hong
sendiri hidup seperti lagi kurung dirinya.
Keempat, Tek naynay ada seorang perempuan paling
suka bergaul. Ia telah dengar bagaimana suaminya, selama dibuang di Sinkiang, telah dapat banyak bantuan dari Geek tayjin, budi itu ia tak bisa lupakan. Ketika ia dengar Geek tayjin ada punya puteri yang cantik, pandai menunggang
kuda, pandai surat dan melukis gambar, ia jadi ketarik hati, maka sedatangnya si nona ke kota raja, ia lalu bikin
kunjungan, untuk belajar kenal, guna ikat tali persahabatan.
Ia tidak punyakan maksud kecuali bersahabat, saking
kagumnya terhadap nona itu.
Dan kelima, di lain pinak, Geek Kiau Liong juga sangat
suka bergaul dengan nyonya Tek itu, selain si nyonya manis budi, suaminya pun ada punya pergaulan luas, dengan
segala orang kaum kangou, bangsa piausu dan bangsa
hiapkek. Ia tahu, siapa datang ke kota raja, ia tentu mesti kunjungi Siau Hong. Ia pun ketahui adanya persahabatan
kekal dari pihak Tek dengan Lie Bou Pek dan Jie Siu Lian.
Ia terutama tertarik dengan Yo Lee Hong, nona mantunya
Siau Hong. Ia heran yang satu keluarga Boan boleh ambil
mantu satu nona Han, hingga nona mantu ini, dengan
sepasang kaki yang tidak besar, mesti pakai pakaian Boan.
Kecantikannya Lee Hong pun ada menarik hati, sedang
setiap penanggalan tiga, enam dan sembilan, dengan tentu nona mantu ini bersama-sama suaminya, pergi pada Yo
Kian Tong akan belajar silat. Mengenai ini, banyak kenalan tertawa diam-diam, mereka mengatakan keluarga Tek
sedang "angot", katanya mustahil nona mantu itu kemudian hendak diperintah jadi tukang dangsu atau penjual silat ...
Dari isterinya Kiu Kong Ciau, Kiau Liong dapat tahu
asal-usulnya si nona mantu she Yo itu yang bernama Lee
Hong dan ada cucunya empeh Yo penjual bunga di luar
pintu kota Engteng-mui, bahwa si nona bersaudara berdua, encie dan adik, bahwa engkong telah binasa terbunuh,
bahwa si encie kena diculik, bahwa ia, sebab ditolongi oleh Jie Siu Lian, jadi tinggal sama keluarga Tek dan akhirnya jadi menikah dengan puteranya Siau Hong. Bahwa Jie Siu
Lian telah balaskan sakit hatinya keluarga Yo, bahwa si
encie ketahuan sudah menikah menjadi gundik orang.
Mengetahui halnya nona Yo itu, Kiau Liong segera ingat
nyanyiannya Siau Hou ...
"Hou adalah namaku, Pa namanya adikku, tapi masih
ada Eng dan Hong, perempuan dua ... "
Ia menduga pasti Lee Hong ini mesti ada adiknya Siau
Hou. Begitu juga encie-nya Lee Hong, ia duga, tentu mesti ada bernama Lee Eng. Hanya hal Yo Pa, ia belum pernah
dengar ada yang sebut-sebut. Juga romannya Lee Hong ada
mirip-miripnya dengan Siau Hou. Karena ini, untuk
mendapat keterangan lebih jauh, nona Geek jadi semakin
suka bergaul pada Tek toa-naynay, cuma ia tidak berani
sembarangan menanyakan pada itu nyonya atau nona
mantunya, meski dengan Lee Hong, ia bisa bergaul dengan
rapat. Hanya, kalau ia pandang Lee Hong, ia jadi bisa
bayangkan romannya itu pemuda yang terpisah jauh dari ia
... Sementara itu, selelah berada di Pakkhia, Pekgan Holie
jadi seperti binal. Sering ia keluar. Alasannya adalah pasang hio di sebuah gereja kecil di luar pintu Tekseng-mui, tetapi sebenarnya, ia telah datangi banyak tempat, hingga ia
dengan cepat ketahui jelas segala tempat di dalam kota raja, hingga ia pun mendengar banyak. Maka kalau ia pulang
habis sembahyang, ia bisa cerita banyak pada Kiau Liong, umpamanya di mana ada piebu di antara piausu, gedung
siapa kedatangan tamu malam tak diundang, atau ada
datang jago baru, atau guru silat mana ada terima murid
baru, bahwa ia telah kelayapan di jalan-jalan umum dengan menyamar sebagai nenek-nenek, untuk dengar segala cerita di kalangan bawah.
Kiau Liong ketarik hati akan dengar semua ceritanya si
nyonya guru ini, hingga ia pun pernah pikir untuk keluar pesiar dengan diam-diam, untuk berkeliaran di dalam kota.
Tatkala itu hari ia pergi saksikan Lee Hong belajar silat, ia sengaja perlihatkan roman dari hati kecil, syukur ia lihat kepandaiannya nona Yo masih terlalu rendah, kalau tidak, barangkali ia tak akan tahan hati akan tidak tantang si nona main-main.
Sementara itu Pekgan Holie telah ubah cara keliarannya,
ia sekarang suka keluar malam, kalau Kiau Liong tanya ia pergi ke mana, ia ganda tertawa. Satu kali ia jawab: "Aku harus ketahui jelas semua keadaan dari kota raja ini, aku harus mendapati beberapa pembantu. Penduduk Pakkhia
ada sangat tercampur baur, aku mesti berjaga-jaga
andaikata ada orang yang kenali aku, agar aku bisa siap
untuk menyingkirkan diri ... "
Tentang perbuatannya itu nyonya guru, Kiau Liong tidak
kata apa-apa, tetapi ia pun anggap kekuatirannya si nyonya ada beralasan. Dengan diam-diam, ia suruh Kheng Liok
Nio bikinkan ia beberapa perangkat pakaian orang lelaki, untuk ia pakai. Setelah itu sering, sebelum jam dua malam, api di dalam kamarnya sudah padam. Sebenarnya ia bukan
naik ke pembaringan untuk ridur, hanya diam-diam ia
nyeplos dari jendela, akan keluar malam, baik sendirian
maupun bersama-sama Pekgan Holie.
Sekarang ternyata, Pekgan Holie ada punya tiga sarang.
Yang pertama ada sebuah pondokan di luar Tekseng-mui di
mana ia ada titipkan seekor kuda. Yang kedua ada
rumahnya seorang she Gui di See-hoo-yan di luar Cianmui.
Orang she Gui itu ada bekas liaulo nya dan sekarang
bekerja pada satu piautiam.
Yang ketiga ada sarangnya Tiang Cong siaujie ialah si
pengemis cilik, tenaga siapa ia beli, hingga pengemis ini jadi suka bekerja untuk ianya. Sebab pengemis ini ada punya
banyak kawan pengemis juga, yang ia bisa perintah-
perintah. Dan si pengemis ini tinggal di rumah kekasihnya, Siu yajie, tukang punguti arang, yang berumah di satu
tempat yang sepi sekali.
Ketiga sarang itu Kiau Liong pernah pergi, di waktu ia
ikuti Kho sunio. Di tiga-tiga tempat, orang cuma kenal ia sebagai satu nona biasa dan muridnya Pekgan Holie, tidak ada yang tahu bahwa ia ada satu siocia, puterinya Giok
teetok. Pekgan Holie mencari kawan dan sarang karena ada
maksudnya, tetapi Kiau Liong menyangka penjahat ulung
ini jangan-jangan sudah kambuh penyakitnya dan berniat
menjadi pencuri lagi, akan mencuri barang-barang
berharga, akan kemudian kabur ke tempat yang jauh dan
aman. Kapan ia menduga demikian, Kiau Liong bersenyum
sendirinya. Ia sudah pikir bahwa, kapan perlu, ia akan
pakai tenaganya nyonya tua ini. Untuk ini, ia mesti cegah si nyonya berhasil dengan segala pencuriannya. Ia hendak
bikin nyonya guru itu tetap menjadi budaknya.
Demikian Kiau Liong bawa dirinya. Kalau ia keluar
malam, lebih sering ia dandan sebagai seorang lelaki, cuma
kopiahnya ia tak pernah lepas, atau ia pakai itu sampai
dalam, agar orang tak lihat nyata mukanya. Ia pun suka
nongkrong di warung teh, atau duduk di antara nona-nona
tukang menyanyi, akan dengarkan nyanyian. Selama itu,
belum pernah rahasianya terbuka, orang di dalam gedung
tak ada yang tahu.
Kemudian pada suatu hari di depan gedung dari Giok
teetok ada datang tukang main dangsu, yang terdiri dari
satu ayah dengan satu gadisnya, si ayah mainkan bandring, si anak pandai jalan di atas lambang. Selain pengawal pintu, juga bujang-bujang dan budak-budak di dalam pada
menonton, hingga mereka bisa bawa cerita bahwa
pertunjukan ada bagus dan sangat menarik hati, sampai
Kiau Liong jadi ketarik dan turut menyaksikan, hingga satu kali, ia sengaja panggil si nona tukang dangsu, buat ditanya ini dan itu dan akhirnya dikasih persen uang. Tapi setelah ini, ia kembali ke dalam dengan pikiran kusut.
Malam itu nona ini tidak keluar dari rumahnya,
sebaliknya Kho sunio datang padanya dengan diam-diam,
untuk minta pertolongan. Ia kata bahwa tukang dangsu itu ada tukang dangsu palsu, sebab dia sebenarnya ada Coa
Kiu, kepala polisi dari Hweeleng, Kamsiok, yang bugee-nya liehay.
"Pada enam tahun dahulu, di Hweeleng, aku telah bunuh beberapa jiwa,"kata nyonya guru ini, yang berikan
keterangannya. "Aku lakukan itu untuk pembalasan sakit hati. Karena Coa Kiu dan isterinya, hampir aku kena
ditawan. Dengan gunai ilmu tiamhiat-hoat, yang Ah Hiap
ajarkan padaku, aku berhasil melukai Coa Kiu dan
binasakan isterinya. Sejak itu, aku buron. Ini pun sebabnya kenapa sekian tahun aku umpatkan diri. Huipiau dari Coa
Kiu ada liehay sekali. Sekarang ia datang kemari, dengan ajak gadisnya, terang ia datang untuk mencari aku. Kenapa
mereka justru main dangsu di depan gedung" Mestinya
mereka telah dengar selentingan perihal aku. Maka itu,
harap siocia berdaya akan tolong aku."
Kiau Liong terperanjat, tetapi berbareng dengan itu, ia
mendongkol terhadap tukang dangsu itu. Ia tahu, kalau
Kheng Liok Nio tertawan di gedungnya, itu adalah kurang
bagus bagi nama baiknya keluarga Giok. Ia kuatir yang
rahasianya pun nanti terbongkar. Maka ia janjikan Kho
sunio, untuk membantu, akan satrukan Coa Kiu dan
gadisnya. "Jangan kau takut!" begitu ia menghibur nyonya guru itu.
Selama dua hari, Kiau liong ikut ibunya pergi ke gedung
pweelek, untuk hadirkan pesta shejit dari itu pangeran
Boan. Di medan pesta ini, semua orang kagumi ia, tetapi ia tak gembira, ia tak betah berdiam lama-lama, sebelum pesta berakhir, ia ajak ibunya pulang. Sekalipun siang, ia
berkuatir untuk keselamatannya Kheng Liok Nio.
Pada itu malam, Giok tayjin pulang dari pesta dengan
terus cari kitabnya "Kiam Pou", buku tentang segala macam pedang. Justru itu, buku tersebut lagi dibaca oleh Kiau
Liong. "Kau ada satu anak perempuan, apa gunanya akan baca buku ini?" kata si ayah. "Tadi Tiat pweelek perlihatkan sebatang pedang padaku. Itu ada pedang yang bisa dipakai menabas kutung tembaga dan besi, menang berlaksa lipat
daripada Tengsong dan Toan-goat kita. Pweelek-ya minta
aku cari tahu, apa namanya pedang itu dan besok aku
diminta suka memberi kabar ... "
Kiau Liong cuma manggut, ia tidak kata apa-apa buat
ucapannya itu ayah. Ia bulak-balik lembaran buku. Tapi
sebenarnya adalah hatinya sedang goncang. Ia ingat
kejadian itu malam, di kuburannya. Kho Long Ciu, waktu
pedangnya kena dibikin kutung oleh Lo Siau Hou.
"Apa gunanya kepandaian tinggi jikalau itu tidak
dilengkapi dengan pedang yang tajam istimewa?" demikian ia berpikir. "Pedang terutama penting di masa ini selagi Kho sunio menghadapi ancaman bencana. Pedang
istimewa ada perlu bagi aku andaikata aku terpaksa mesti pergi merantau ... "
Ia terus memeriksa buku, akan cari nama pedangnya Tiat
pweelek, menurut ukuran yang ayahnya sebutkan. Panjang
dua cio 9 hun, lebar 1 cun. Panjang jagaannya untuk tangan 1 cun, lebar dua cun 6 hun. Tebal 7 hun. Pinggirannya,
ialah kupingnya, ada dua, dan setiap kuping, panjangnya 1
cun 5 hun. Warna pedang ada warna perunggu. Dari tujuh
"bintang", yang ketiga ada yang paling terang.
"Ayah, itu ada pedang Cengbeng," akhirnya ia kata.
"Lihat ini!"
"Kiranya tidak salah," kata si ayah setelah ia turut memeriksa. "Besok aku akan mengasih kabar dengan
sekalian bawa kitab ini."
Selagi si ayah berkata demikian, Kiau Liong pun sudah
ambil putusan. "Aku mesti ambil ini pedang!" begitu ia kata dalam hatinya. Tentang ini, ia tidak omong suatu apa pada Kheng Liok Nio.
Pada itu malam, nona Giok telah buktikan niatannya.
Seorang diri ia pergi ke Pweelek-hu. Laksana seekor kucing, ia pergi dari satu kamar ke lain kamar, guna mencari. Ia pasang kuping di setiap jendela, sampai akhirnya ia dengar suatu pembicaraan yang menarik hati.
Satu kacung terdengar berkata pada kawannya: "Tadi
siang Lau Tay Po kebogehan, setengah harian ia
menantikan dengan sia-sia. Ia ingin sangat melihat
pedangnya pweelek-ya, apa mau Tek Lok sedikit pun tidak
mau beri muka padanya! Karenanya, ia jadi mendeluh ... "
"Pedang itu tentu disimpan di dekat-dekat sini ... " Si nona lalu menduga. Maka ia terus cari jalan masuk, akan
cari kamar di mana pedang itu disimpan.
Di luar dugaan, juga itu malam, Tay Po niat curi itu
pedang. Ia niat curi untuk dilihatnya saja. Apa mau, ia telah datang bareng dengan si nona, cuma ketinggalan berapa
detik saja, selagi si nona berada di dalam, ia baru sampai di luar jendela. Ia segera loncat naik ke atas genteng, ia jumput selembar genteng, untuk bersiap. Apa lacur bagi ia, Kiau Liong ada terlalu sebat, nona ini sampai di belakangnya, sebelum ia tahu apa-apa, satu dupakan dari si nona
membikin ia terpental jatuh ke bawah, hingga ia merasakan kesakitan.
Di hari kedua, Pekgan Holie ngelayap pula, tapi
pulangnya, begitu ia ketemu Kiau Liong, ia ketawa. Ia telah dengar perihal Pweelek-hu kehilangan pedang.
"Kasihlah aku pinjam lihat pedang itu!" ia kata.
"Jikalau kau hendak melihat pedang itu, maka itu akan kejadian, sehabisnya kau melihat, kepalamu aku akan
kutungkan, buat diserahkan pada Coa Kiu!" sahut si nona, yang mengancam, karena ia tidak ingin pertontonkan
pedang mustika itu.
Tampang mukanya nyonya itu berubah dengan segera.
Tidak tempo lagi, Kiau Liong perintah nyonya guru itu
undurkan diri, kemudian sendirian di dalam kamarnya, ia
uji ketajamannya pedang itu dan telah mendapati buktinya,
sebab baja dan besi, semua kena ditabas kutung. Kemudian pedang ini disembunyikan di bagian
bawah dari pembaringan, hingga orang sukar ketahui, sebab tak dapat dilihat, tak bisa jatuh sendirinya. Pembaringan itu dekat dengan jendela. Untuk menjaga, ia pun pasang jebakan
panah yang bisa melesat sendirinya. Kecuali ia, siapa saja kalau mau ambil pedang itu, akan terjebak. Siu Hiang dan Gim Sie dipesan akan kerja perlahan-lahan apabila mereka hendak rapikan pembaringan, kasur boleh dibikin tergerak, tetapi pembaringannya tidak.
Pada Kho sunio juga nona Giok pesan, katanya: "sunio, barang apa juga di dalam kamarku, jangan kau raba di luar tahuku, bila kau berani lakukan itu, matamu bakal buta
atau tenggorokanmu akan berlubang! Kapan itu sampai
terjadi, jangan kau sesalkan aku!"
Pesanan ini telah bikin jeri hatinya si nyonya guru,
bukan saja segala barang ia tidak berani raba, malah duduk pun ia takut, oleh karena ia tahu, apa yang Kiau Liong
bilang, mesti berbukti. Nyonya ini tak bisa lupakan
pembilangannya Kho Long Ciu bahwa Kiau Liong adalah
seekor tokliong alias naga berbisa.
Pada pembaringannya itu Kiau Liong tidak melainkan
simpan pedang mustikanya itu, juga kitab ilmu silatnya dan pakaian lelaki berikut kopiah dan sepatu dan lain-lainnya lagi. Sedang panah istimewanya selalu ia simpan di tromol berhias.
Kiau Liong belum puas dengan mendapati pedang
mustika saja. Dari pedang ini, ia ingat golok mustika, dan kapan ia ingat golok mustika, ia segera ingat Lo Siau Hou.
Dan mengingat pemuda itu, atau Poan Thian In, ia jadi
masgul. Pada suatu hari Kiau Liong dengar si tukang dangsu
main pula di depan gedungnya. Kho sunio ketakutan, ia
sampai lari ngumpet di kamarnya si nona, tubuhnya
gemetaran, giginya bercatrukan. Tapi si nona sendiri
dengan tenang lanjutkan latihannya menulis huruf,
menyalin "Han Co Coan Pay", sampai ia dapat tiru dengan sempurna contohnya itu, hingga tulisannya mirip benar
dengan sepasang lian di thia depan.
Setelah menulis selesai, Kiau Liong awasi tulisannya itu, lantas ia melengak, pit-nya ia letaki dengan segera. Dengan tiba-tiba ia jadi sebal, ia jadi sengit sendirinya! Ia uring-uringan dan mendongkol terhadap seorang yang sering
datang ke gedungnya, orang yang ayahnya paling sayang,
ialah Lou Kun Pwee!
Lou Kun Pwee ini ada satu tamhoa dan bekerja dalam
Hanlim-ih. Ia adalah satu pemuda dengan kepandaian
menulis, mengarang dan bersyair yang jempolan, tapi di
sebelah itu, ia ada punya tampang muka yang menjemukan,
omongannya sangat sembarangan, tingkah lakunya rendah.
Apa mau, ia justru ada disukai oleh Giok teetok.
Sejak empat bulan ia berada di Pakkhia, Kiau Liong
telah dengar perihal sejumlah comblang, yang telah datang meminang ia, tetapi semua mereka ditolak oleh ayahnya,
kecuali dari pihaknya Lou Kun Pwee ini. Dan hal ini Kiau Liong telah dengar, hingga ia jadi sangat masgul dan
mendongkol, ia anggap pemuda itu ada perintang hidupnya
dan duri bagi pernikahannya.
Bagaimana dengan Lo Siau Hou, apabila pemuda ini
datang, sedang ia telah diserahkan pada Lou Kun Pwee"
Bagaimana dengan ia sendiri, apabila ia mesti hadapi Lou Kun Pwee sebagai suaminya.
"Kelihatannya aku mesti bawa pedangku dan kabur jauh
... !" demikian ia ngelamun.
Justru ia ngelamun demikian, ia lihat Siu Hiang datang
masuk, beda daripada biasanya, sekali ini budak itu unjuk roman kaget atau ketakutan, tindakannya tergesa-gesa.
"Tayjin baru saja pulang," budak ini melaporkan. "Belum pernah tayjin uring-uringan, tetapi sekali ini ia hampir bertengkar dengan thaythay! Coba siocia lekas pergi lihat!"
"Ada terjadi perkara apakah?" tanya Kiau Liong, yang pun heran.
"Katanya ada orang kehilangan pedang mustika," sahut Siu Hiang. "Benar orang yang kecurian tidak menarik panjang, tetapi tayjin gusar sendirinya, hingga ia sesumbar, apabila penjahatnya tak tertawan dan dihukum, ia lebih
suka letakkan jabatan! Thaythay menghibur tayjin, yang
diminta jangan gusar, tetapi tayjin justru jadi gusar sekali! ...
" Lantas Kiau Liong pergi ke kamar ibunya, di situ sang
ayah sudah tidak ada, si ibu nampaknya berduka, ia tidak tanya apa-apa, ia bicara lain hal, untuk simpangkan
perhatiannya ibu itu. Tidak lama kemudian, ia kembali ke kamarnya untuk terus berpikir.
"Kalau aku minggat, ayah benar-benar bakal letakkan jabatannya ... " ia pikir. "Dan ibu bisa jadi mati mereras karena ia senantiasa pikirkan aku ... Laginya, apa aku
sanggup menderita kesengsaraan di dalam perantauan" Satu kali aku kabur, selanjutnya aku tak bisa kembali untuk
menjadi satu siocia pula ... Aku tidak bisa berlalu, dan aku tidak boleh pertontonkan diri di muka umum ... "
Lantas malamnya, Kiau Liong menulis suratnya, dalam
caranya satu hiapkek. Ia bilang terima kasih pada Tiat
pweelek, yang tak larik perkara jadi panjang, dan ia minta Tiat pweelek nasehatkan Giok cengtong, akan tak usah
pikirkan pula hal pedang yang hilang itu. Ia baca surat ini berulang-ulang, lantas ia merasa kurang sempurna, karena ia kuatir orang sangka ia ada punya hubungan dengan Giok teetok. Maka surat itu ia sobek dan ubah sedikit. Kemudian malam-malam ia cari Tiang Ciong siaujie, buat perintah
surat itu besok disampaikan pada Pweelek-hu. Ketika ia
pulang, ia merasa hatinya lega dan puas juga.
Sebab suratnya itu ia tulis dengan meniru tulisannya Lou Kun Pwee. Ia tahu, andaikata Tiat pweelek hendak tarik
panjang, pasti yang dicari adalah si penulis ... Siapa tahu kalau tamhoa yang ayahnya sangat sayang yang nanti
dibekuk"

Harimau Mendekam Naga Sembunyi Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sementara itu, di lain harinya, Coa Kiu dan gadisnya
telah desak Pekgan Holie semakinan hebat, hingga akhir-
akhirnya, dengan terpaksa, Kheng Liok Nio menantang
mengadu kepandaian di Toushia, kota tanah di luar
Tekseng-mui. Untuk ini, Kho sunio ketemui Kiau Liong,
akan mohon bantuan.
Mengenai permintaan dari Kheng Liok Nio, Kiau Liong
telah menimbang putusannya. Ia sebenarnya tidak ingin
campur urusan orang itu, tetapi ia sendiri ada punya
rahasia, ialah perhubungannya dengan Lo Siau Hou dan
pekerjaannya mencuri pedang. Rahasia ini bukan rahasia
lagi di matanya Kho sunio yang licin. Ia tidak takuti Kheng Liok Nio sendiri, kalau nyonya ini berani tindih atau peras padanya, ia boleh bunuh padanya, habis perkara. Tapi,
yang bikin ia takut, adalah: Kalau rahasianya terbongkar, meski Kheng Liok Nio binasa, umum toh akan ketahui itu
dan ia bakal dapat malu, dan nama baik ayahnya akan turut ternoda juga. Demikian ia berikan janjinya, akan
membantu. Pada malam itu, Kheng Liok Nio diperintah pergi
terlebih dahulu, ia sendiri menyusul. Ia keluar dengan
alasan hendak pergi ke kakus, tetapi diam-diam, ia bawa
pedangnya. Di bagian tembok kota yang sunyi, ia panjat
tembok, akan pergi ke luar kota, terus ke itu pondokan di luar Tekseng-mui. Di sini ia salin pakaian dan naik atas kudanya, akan pergi ke Toushia. Dan ketika ia sampai,
Pekgan Holie justru sedang dikepung hebat oleh Coa Kiu
dan Coa Siang Moay dengan dibantu oleh Lau Tay Po,
maka tidak tempo lagi, ia berikan bantuannya, akan hajar sekalian penyerang itu, malah dengan huipiau, yang ia
sanggapi, ia balas serang Coa Kiu, hingga hamba polisi ini mesti binasa secara menyedihkan.
Sehabisnya pertempuran, Kiau Liong perintah Kheng
Liok Nio naik kuda pergi ke pondokannya, akan umpatkan
diri, ia sendiri, dalam gelap-gulita, terus pulang ke
gedungnya. Sama sekali ia telah gunakan tempo kurang
lebih duapuluh menit, ia sampai di dalam kamarnya dengan tidak ada yang ketahui, seperti biasa, ia lantas buat main kucingnya.
Di lain harinya, Kheng Liok Nio pulang dengan
membawa warta yang hebat bagi nona Giok. Katanya
bahwa kejadian semalam sudah bikin gempar seluruh kota
raja, karena Coa Kiu telah binasa terkena piau.
Kiau Liong menyesal bukan main, ia ada sangat
berduka. Ia merasa kasihan terhadap Coa Kiu, kebinasaan
siapa ia tak harapkan. Ia tidak sangka bahwa piau itu
meminta jiwa. Ia menyesal sebab Coa Kiu justru ada hamba negeri, yang sedang menjalankan tugas, untuk membekuk
orang jahat pengacau keamanan. Karena ini, ia pun merasa kasihan terhadap Siang Moay, yang sebatang kara di
kampung orang ...
"Kalau Siang Moay tidak berlalu dari sini, perkara akan jadi panjang," kemudian ia pikir lebih jauh. Maka ia perintah Pekgan Holie pergi pada Tiang Ciong siaujie, guna cari tahu di mana mondoknya si nona tukang dangsu,
setelah mana malamnya ia datangi nona itu. Lau Tay Po
ada menjaga di atas genteng tetapi ia tidak mampu cegah
datangnya nona Giok, yang liehay dan gesit. Maka di
malam pertama, Kiau Liong bisa menyampaikan uangnya,
dan di malam kedua, di hotelnya Tay Po dan Siang Moay,
ia bisa kirim suratnya yang meminta mereka menyingkir
dari Pakkhia, sedang di malam ketiga, mengetahui mereka
itu pindah ke rumahnya Tek Lok, ia menyatroni pula,
menyampaikan ancaman, agar mereka lekas angkat kaki.
Tadinya Kiau Liong niat bunuh saja Siang Moay dan Tay
Po, tetapi karena kuatir perkara jadi hebat dan ia berkasihan terhadap si nona Coa, ia batalkan niatannya itu.
Di luar dugaan nona Giok, di hari keempat siang, Thay
Po ajak Siang Moay main dangsu di depan gedung Giok
teetok dengan kesudahan mereka mencaci kalang-kabutan,
hingga penduduk Pakkhia jadi ketahui penjahat besar
Pekgan Holie bersembunyi di gedung teetok itu. Ia jadi
mendongkol berbareng berkuatir, ia jadi berduka. Sebab,
dengan adanya gangguan itu, di satu pihak Giok teetok jadi sangat masgul, dan kedua, di pihak lain, urusan
pernikahannya dengan Lou Kun Pwee, nampaknya jadi
akan lekas terwujud, sementara Lo Siau Hou tidak ada
kabar ceritanya. Di lain pihak lagi desakannya Lau Tay Po dan Coa Siang Moay terus bertambah.
Mau atau tidak, dalam kemasgulannya, Kiau Liong coba
sekap diri di dalam gedung. Jangankan siang, malam pun ia tak beikisar dari kamarnya. Hanya, selagi ia kurung diri, Pekgan Holie tetap berkeliaran.
Satu kali, entah di mana terjadinya, Kheng Liok Nio
pulang dengan membawa luka bekas piau. Kedua kalinya,
kejadian ada tambah hebat. Itu malam Kheng Liok Nio
pulang dengan terluka. Untuk menolongi, Kiau Liong
keluar dengan pedangnya. Apa mau, di dalam taman, ia
bersomplok lawan yang bersenjatakan sepasang golok yang
bugee-nya liehay, sebab meski ia bisa tabas sebatang golok orang, lawan itu ada bertambah gagah, hingga waktu
bujang dan cinteng datang, terpaksa ia tinggalkan lawan itu, akan kembali ke kamarnya. Di itu waktu juga ketahuan,
selagi lawan berlalu, Kheng Liok Nio kedapatan telah rebah binasa di dalam taman, di mana pun ada terdapat kutungan pedang.
Kapan Giok tayjin ketahui itu kejadian, baru ia tahu
bahwa cerita di luaran ada benar, ialah di dalam
gedungnya, ada tersembunyi penjahat di luar tahunya. Jadi, penjahat dan pedang ada di gedungnya itu. Terpaksa,
mayatnya Kho sunio dikubur secara diam-diam.
Untuk mencegah perkara jadi berekor, Giok tayjin tidak
coba cari tahu lebih jauh siapa ada muridnya Kho sunio. Ia larang orangnya banyak omong di luaran. Tapi ia tetap ada masgul dan tak enak hati, maka dalam kedukaan, ia lantas majukan permohonan akan letakkan jabatan.
Kiau Liong ada berduka bukan main. Justru di saat itu,
Tek toa-naynay telah undang ia menghadiri pesta. Ia terima baik undangan ini, karena ia mengharap bisa bertemu dan
bicara dengan Yo Lee Hong, perihal keluarganya nona she
Yo ini. "Kalau benar ia ada adiknya Lo Siau Hou," demikian ia pikir, "aku nanti tuturkan padanya perihal Kho Long Ciu dan Lo Siau Hou, aku akan suruh ia cari Yo Pa dan
kemudian Siau Hou. Buat aku, karena keadaan ada hebat,
aku harus menyingkir dari rumah ... "
Di luar dugaannya, kapan Kiau Liong sampai di
rumahnya Siau Hong, di sana ia telah bertemu dengan Jie
Siu Lian, hingga ia dapat ketahui orang yang binasakan
Pekgan Holie, orang yang goloknya ia babat kutung dan
lawanannya yang tangguh itu adalah ini si nona Jie yang
tersohor. Mau atau tidak, Kiau Liong jadi jeri juga. Tapi ia merasa sedikit lega waktu ia dapat kenyataan, nona Jie
tidak mau buka rahasianya si nona melainkan sindir ia dan uji kepandaiannya, untuk mana ia mandah dan mengalah.
Oleh karena ini, berbareng ia pun kagumi nona ini.
Karena penemuannya dengan Siu Lian itu, Kiau Liong
tidak dapat ketika akan pasang omong dengan Lee Hong.
Ketika akhirnya ia pulang, ia duga bahwa sebentar malam
nona Jie bakal datang padanya, dari itu ia pasang api dan menunggui. Benar saja, itu malam, Siu Lian datang untuk
meminta pedang mustika. Di situ ia janji akan selanjutnya bataskan sepak terjangnya, ia minta Siu Lian jangan desak ia lebih jauh, bahwa pedang ia akan kembalikan sendiri.
Janji ini ia buktikan, ialah begitu lekas Siu Lian berlalu ia pun keluar akan pergi ke Pweelek-hu buat pulangkan
Cengbeng-kiam pada tempat asalnya, kemudian ia tengok
Siu Lian di rumahnya Siau Hong di mana mereka bercakap-
cakap sampai nona Jie pesan ia untuk jangan "ngacau"
pula. "Pakkhia bukan seperti lain kota," demikian kata Siu Lian, "dan kau sebagai siocia tidak boleh disamakan dengan aku, umpama orang ketahui Giok siocia ada satu hui-cat,
penjahat besar, ayah dan ibumu bisa mati saking jengkel
dan kedua engko-mu akan tak bisa jabat terus pangkatnya
... " Kiau Liong terima baik ini nasehat, nampaknya ia
menyesal. Besoknya, Kiau Liong kirim orang akan mengantar
bingkisan pada Siu Lian, tetapi ia dapat jawaban bahwa si nona sudah berangkat. Hal ini bikin hatinya menjadi lega, ia anggap hal ikliwalnya sudah selesai. Pedang sudah
dipulangkan, Pekgan Holie sudah mati, dan urusannya,
meski Siu Lian ketahui, tetapi si nona Jie pasti bisa simpan rahasia.
Sejak itu, sebagai orang yang telah cuci tangan, Kiau
Liong paksakan diri berdiam di dalam rumah sebagai satu
siocia sejati. Ia tidak pikir lain kecuali mengharap-harap datangnya Lo Siau Hou sebagai seorang berpangkat yang
meminang ia. Tapi, urusannya sendiri tidak gampang-
gampang habis. Sebab apa mau, itu malam, gedungnya
kedatangan "orang jahat", ketika ia gunai panah rahasianya, akan bekuk si tetamu tak diundang, nyata dia itu ada Coa Siang Moay dan nona ini telah damprat ayahnya serta
mengancam akan mendakwa ke hadapan raja. Syukur
nyonya Giok ada cerdik dan nyonya ini bisa bujuki
suaminya serta berbareng pun bujuki Siang Moay, sampai
nona ini bisa dibikin sabar dan diantar pulang dengan
kereta. Setelah semua kejadian itu, Kiau Liong berpura-pura
kesehatannya terganggu, dalam kemasgulan dan kesunyian,
ia lewatkan tahun baru. Ia berduka karena ayahnya sakit
dan ibunya sakit juga. Kemudian ia berduka dan
mendongkol, karena Lou Kun Pwee beraksi pula, hanlim
ini ingin lekas menikah dengan ianya, sedang ayahnya ingin lekas terima hanlim itu sebagai si baba mantu yang manis.
Sementara di sebelah itu, Lou thaythay telah menghadiahkan angkin kumala, katanya untuk mengusir
pengaruh-pengaruh jahat ... Ia tahu, itu adalah tanda mata perjodohan, dan itu bikin ia sangat berduka.
Meski adanya itu semua, Kiau Liong bisa kuatkan hati.
"Aku akan masih sanggup mengatasi ... " demikian ia berpikir.
Lantas datang itu malaman Cap-gou-meh, ketika ia ikut
ibunya pergi pesiar, ketika dalam perjalanan pulang, ada orang hajar ia dengan panah mungil, sampai mengenai
kondenya, hingga ia kaget, kejadian mana, beberapa hal
kemudian, disusul dengan munculnya sccara tita-tiba dari Lo Siau Hou di dalam kamarnya. Melihat itu anak muda, ia jadi menyesal. Tiga tahun ia sudah menunggu, siapa tahu
sekarang, si kekasih tetap masih ada satu "penjahat", pinggangnya menyoren golok, gerak-geraknya kaku. Sebab
pemuda ini tetap ada Puan Thian In, bukannya seorang
berpangkat, yang ia harap-harap.
Malam itu, seberlalunya Lo Siau Hou, Kiau Liong
menangis sampai pagi. Besok malamnya, ia terus pindah ke kamar ibunya, untuk menyingkir dari gangguannya Lo Siau
Hou. Untuk kepindahannya ini ia pakai alasan "sebab Kho sunio mati di sana dan aku tak sangka bahwa ia sebenarnya ada orang jahat". Kitab pentingnya, pakaian orang lelaki, berikut panahnya, ia simpan rapi dalam sebuah peti besi
dan suruh Siu Hiang jaga baik-baik.
Kiau Liong menyesal bukan main, ia sesalkan dirinya, ia
benci Lo Siau Hou, ia benci dirinya juga, yang ia anggap sudah berlaku sembrono. Suatu saat ia ingin dirinya lekas dinikah oleh Lou Kun Pwee ... untuk jadi satu nona manis yang tolol, agar dengan begitu ia bisa balas budi ayah dan ibunya ...
Berselang pula beberapa hari, datanglah harian Chia-
gwee Jie-kau, berhubung dengan mana orang banyak
bilang: "Cap-gou-meh sudah lewat! Satu tahun telah
berganti!" Bahwa bulan ada bulan kecil, Sio Kian, maka besok ada Jie-gwee Cee-it dan lusa ada harian "Liong-ie-tau" atau "Naga angkat kepala", ialah Jie-gwee Cee-jie.
Di rumahnya Tek lok, Siang Moay, sebagai nyonya Lau
Tay Po, telah bisa lewatkan hari-hari raya dengan gembira, meskipun ia mesti seret kakinya yang terluka bekas panah.
Dalam perjudian dengan ibunya Tek Lok, nyonya Tek Lok,
Lie Jie-so, Thio samso dan nona Ma, dalam duapuluh hari
lebih ia peroleh kemenangan, hingga ia peroleh lebih
banyak uang daripada hasilnya pertunjukan dangsu. Sedang berbareng dengan itu, Itto Lianhoa Lau Tay Po, yang
berjudi dengan kawannya, juga ada mendapati banyak
kemenangan, hingga ia jadi bertambah-tambah girang.
Karena ia mengharap nanti peroleh bayi yang montok, ia
sampai lupa urusan pindah rumah. Ia jadi lebih betah
tinggal sama Tek Lok, sebab si nyonya tua, yang suka
padanya, niat angkat ia jadi anak pungut.
Pada suatu malam, melihat luka isterinya sudah sembuh.
Tay Po kata pada isterinya itu: "Ingat, jangan lupa urusan kita! Besok kita mesti beli sedikit bingkisan, untuk dibawa kepada Giok siocia di Koulau Barat. Bukankah Giok siocia telah bilang padamu bahwa kau boleh sering-sering
berkunjung ke gedungnya" Kita harus baiki nona itu, bukan untuk bermuka-muka, tetapi guna mencari ketika. Ada
harganya bila kita bisa bekerja di kantor teetok. Buat sakit hati panah, kau boleh lupakan saja, tetapi yang tak boleh dilupakan, adalah sakit hati ayahmu, yang binasa di
Toushia! Di gedung teetok kita mesti selidiki Pekgan Holie, untuk ketahui siapa sebenarnya si rase kecil. Kita tidak boleh tempur langsung si rase kecil itu, jangan kita cari penyakit, tapi aku Lau Tay Po bisa menggunakan akal! Kita jangan bodoh! Besok, pergilah kau! Kalau kita bisa bekuk si rase kecil, nama kita bakal jadi kesohor di sini! Kalau itu sampai terjadi, lihat, berapa piautiam nanti undang kita, untuk minta bantuan kita! Berapa gedung akan undang kita, untuk kita lindungkan keamanan gedungnya! Dan nanti di
hari raya bulan kelima, kau boleh pakai bagus, dahar enak!
... " Siang Moay bersenyum pada suaminya itu.
"Apa kau kira aku sudah lupa" Tidak!" ia kata, "Besok aku nantipergi ..."
Nona Coa ambil saputangan, akan tepas air matanya,
yang meleleh dengan tiba-tiba. ..
Tay Po menghibur itu isteri
Besoknya, Itto Lianhoa pergi ke pasar, akan beli teh
Liongceng yang kesohor, beberapa biji phia, buah jeruk dan angco, sedang Siang Moay dandan, mukanya dipupuri,
kondenya dililit licin, dipakaikan bunga-bungaan merah dan tusuk konde mas, sedang pakaiannya pun indah seperi
sepatunya yang tersulam. Di jari tangannya ia pakai cincin mas. Tasnya ia tak lupai, Ia pandang dirinya di kaca,
sampai suaminya kembali dengan sebuah kereta sewaan
yang baru dan bingkisan didahului dinaikkan ke atas kereta itu.
Isteri ini keluar dengan tindakan eloh.
"Oh, Lau jieso mau pesiar!" menegur nona Ma, yang lagi beli bunga.
"Ya, ke gedungnya Giok siocia!" sahut si nyonya dengan gembira.
"Hayolah!" Tay Po mendesak Siang Moay naik atas kereta, suaminya susul ia.
Tenda kereta tidak dikasih turun waktu kusir kasih
kudanya lari menyeret kereta itu.
Tak lama kereta telah sampai di Koulau.
"Aku tunggu di sini, kau pergi sendiri saja!" kata Tay Po pada isterinya seraya ia loncat turun dari kereta. "Kalau kau ketemu ia ... "
"Sudah, tidak usah kau pesan!" memotong si nyonya.
"Aku sudah tahu! ... "
Kereta dijalankan terus ke arah barat, sampai di depan
gedung teetok. Siang Moay turun dari kereta, sambil
tengteng bungkusan bingkisan, ia bertindak naik di tangga lorak, akan samperi pintu.
Di sebelah dalam pekarangan, di pos penjaga, ada empat
bujang, salah satu di antaranya lantas lihat Siang Moay dari lubang untuk mengintip. Malah ia kenali si nona.
"Lihat, si nona tukang dangsu datang!" ia kata dengan nyaring. "Eh, eh, ia rupanya bawa bingkisan!"
Berempat mereka berbangkit, mengawasi si nona tukang
dangsu, yang pakaiannya mentereng, yang bertindak
dengan tetap ke jurusan mereka, malah waktu ia sudah
berdiri berhadapan, nyonya Tay Po bawa aksinya.
"Tolong kasih tahu kedatanganku, nyonya Lau dari
Hoawan Tay-ih," demikian katanya. "Aku datang untuk menyambangi thaythay dan siocia!"
Ia minta dikabarkan, tetapi ia terus saja bertindak masuk ke dalam pekarangan, bungkusannya ia angsurkan pada
salah satu dari empat bujang itu.
Tidak ada satu orang yang berani menyambuti itu
bingkisan. "Lau thaythay, tolong tunggu dulu di sini," kata satu bujang, dengan sikap menghormat. "Kita perlu lebih dahulu mengasih kabar ke dalam, sebab thaythay dan siocia
sekarang sedang sakit ... "
Siang Moay terperanjat.
"Semua sakit?" ia tegasi. "Oh, aku perlu lekas tengok mereka!"
Ia mau lantas bertindak masuk, tetapi bujang-bujang
cegah ia. "Tunggu dulu, thaythay," kata pula yang satu. "Karena thaythay dan siocia sakit, sudah beberapa hari mereka tidak terima kunjungan tetamu, maka kedatanganmu harus
dikabarkan dulu, nanti baru kau diundang masuk! ... "
Habis kata begitu, bujang itu putar tubuhnya, akan
berlalu dengan cepat.
Terpaksa Siang Moay letaki bungkusannya di atas
bangku, menunggu sambil berdiri. Ia ajak bicara pada tiga bujang yang semua layani ia dengan sikap menghormat,
hanya kadang-kadang saja, dengan diam-diam, mereka lirik tukang dangsu ini, yang sekarang dandannya lain, sikapnya pun beda.
Tidak lama muncul dua budak serta Siu Hiang, mereka
ini lantas memberi hormat pada nyonya Lau seraya
memberi selamat datang. Kemudian Siu Hiang berkata:
"Thaythay dan siocia sedang sakit, di dalam kamarnya mereka ada memuja malaikat, oleh karena itu, mereka tidak bisa terima kunjungan tetamu. Ketika siocia dengar
thaythay datang, dengan membawa bingkisan juga, ia ada
sangat bersyukur tetapi ia suruh aku kasih tahu, menyesal ia tidak sanggup terima bingkisan itu, buat mana ia
menghaturkan banyak terima kasih. Apa thaythay datang
dengan naik kereta. Kalau tidak, kita nanti suruh kereta di sini antar thaythay pulang. Siocia bilang, lain hari, apabila ia sudah sembuh, ia nanti kunjungi thaythay!"
Siang Moay tercengang, ia lantas unjuk roman kurang
puas. "Dengan sebenarnya, karena ada pujaan malaikat,
thaythay dan siocia tidak bisa terima tetamu dalam
kamarnya," Siu Hiang terangkan. "Pada malaman Capgou, thaythay ajak siocia pesiar, di waktu pulangnya, di tengah jalan ada orang jahat yang ganggu siocia, hingga siocia
kaget begitupun thaythay, hingga kesudahannya dua-dua
ibu dan puteri mendapat sakit. Menurut thabib, thaythay
dan siocia cuma kaget, lewat beberapa hari mereka akan
sudah sembuh ... "
Siang Moay melongo, ia menghela napas.
"Jadinya orang sungkan terima aku dan barangku pun
ditampik!" kata ia dengan masgul dan menyesal. "Aku tahu yang bingkisanku ini tidak berarti tetapi ini ada tanda dari hormatku, karena dua-dua thaythay dan siocia telah
perlakukan baik sekali padaku ... Duluan toh siocia yang bilang sendiri, apabila aku ada punya tempo, aku boleh
datang kunjungi ia. Sekarang aku ditolak, lain kali aku takut akan datang pula kemari ... Memang, orang dengan derajat sebagai aku tidak tepat buat berkunjung ke suatu gedung
besar!"

Harimau Mendekam Naga Sembunyi Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Oh, bukan, bukannya begitu, thaythay!" berkata Siu Hiang dengan cepat. Budak ini ternyata pandai bicara.
"Pada beberapa hari yang lalu siocia pun pernah tanyakan, apa thaythay tidak datang. Dan ia tanya juga, bagaimana
luka thaythay bekas panah. Sebenarnya siocia ada ingat
thaythay, kalau ia sekarang tidak berani sambut kau, itu disebabkan ia sedang sakit. Kemarin ini, Khu siau-naynay pun telah ditampik, kedatangannya."
Siang Moay gigit bibirnya.
"Baiklah, aku toh tidak bisa masuk dengan paksa," ia kata akhirnya.
"Tapi ini bingkisan aku tidak bisa bawa pulang lagi!
Tolong kasih tahu siocia supaya ia jangan curigai aku, hari ini aku datang dengan maksud baik, sedikit pun aku tak
kandung maksud lain ... "
Dua budak lainnya tertawa.
"Lau thaythay, harap kau tidak mengucap demikian,"
mereka memohon. "Kalau bingkisan ini kau tidak niat bawa pulang, baiklah, kita berlaku lancang akan mewakilkan
thaythay dan siocia menerimanya."
Siu Hiang lirik dua budak itu, ia kedipi mata.
"Terima kasih, thaythay," kata ia.
Siang Moay tidak berdaya, terpaksa ia berlalu.
"Aku tidak nyana bahwa aku datang dengan sia-sia," ia kata, dengan suara menyesal.
Kedua budak mengantar sampai di luar pintu.
"Menyesal, thaythay," kata mereka dengan hormat.
"Kalau nanti siocia sudah sembuh, tentu ia akan kunjungi thaythay."
Nona tukang dangsu itu tidak kata apa-apa, ia ngeloyor
terus. Kereta masih belum pergi dan kusirnya sudah lantas siap dengan bangku injakan untuk naik kereta.
"Lau thaythay, terima kasih!" kata kedua bujang, dari tangga lorak.
"Kasih tahu siocia, lain hari aku akan datang pula!" kata nyonya Tay Po dengan terpaksa. Ia hampiri keretanya,
sambil tunduk, ia naik dan masuk ke dalam keretanya itu.
Di sebelah selatan, tidak jauh dari kereta, ada berdiri satu orang muda, yang tubuhnya kekar dan romannya cakap,
usianya baru duapuluh lebih. Ia ada pakai baju hijau yang terkerebong mantel hitam, kopiahnya yang kecil ada
digariskan emas. Ia berpakaian mewah, tetapi tampangnya
mirip sedikit dengan satu bangsat ... Sebab dengan matanya yang tajam, dia terus awasi nyonya Lau Tay Po itu, dari
rambutnya sampai sepatunya.
Menampak demikian, Siang Moay jadi mendeluh,
hingga dari antara jendela kereta, ia kata: "Mata kelinci, kau awasi apa" Apakah kau belum pernah lihat 'ma tuamu ... "
Terang itu anak muda dengar cacian tersebut tetapi ia
diam saja. "Lekas!" kata Siang Moay kemudian seraya ia cepat turunkan tenda kereta.
Di luar dugaan, itu anak muda mengikuti, malah ia
tanya kusir, katanya, "Enso di dalam keretamu itu orang she apa" ... "
Siang Moay nongol dari jendela keretanya.
"Binatang!" ia menegur, "apa perlunya kau tanya akupunya she" Binatang, kau buta!"
Baru sekarang pemuda itu menyahuti, kelihatannya ia
gusar. "Nyonya, jangan kau mendamprat orang!" ia menegur.
"Looya tanyakan tentang kau sebab ia hargakan padamu, karena ia suka padamu! ... "
Siang Moay gusar, sampai ia mendamprat. "Telur
busuk!" Ia perintah kusir segera berhentikan kereta.
Pemuda itu tertawa dingin, rupanya ia mengutuk, tetapi
karena ia sudah lantas ngeloyor pergi, tidak kedengaran apa yang ia bilang.
Justru di itu waktu, dari kejauhan Lau Tay Po lari
menghampirkan, ia lihat bagaimana isterinya minta cambuk dari si kusir, rupanya cambuk itu hendak dipakai menghajar pemuda yang dipandang ceriwis itu.
"Ada apa, ha?" tanya ini suami.
"Itu orang, itu binatang, berani permainkan aku! sahut Siang Moay seraya menuding ke jurusan si anak muda. "Ia berani tanya aku ada orang she apa! Apakah itu tidak
menjemukan?"
Tay Po menoleh ke jurusan anak muda itu siapa ia
melainkan bisa lihat bebokongnya.
"Barangkali dia ada seorang edan!" berkata si tukang kereta, sembari tertawa. "Lau jieya, thaythay, baiklah jangan ladeni dia itu ...
Tay Po tidak jawab si kusir, ia hanya awasi isterinya.
"Apa kau dapat bertemu Giok siocia?" ia Tanya.
Anak perempuannya, almarhum Coa Kiu geleng kepala.
"Tidak," menyahut ini isteri. "Giok thaythay dan siocia sakit, hingga mereka tidak bisa terima tetamu. Aku pun
mesti membujuki dulu, baru bujang-bujangnya mau terima
bingkisan kita. Aku ketemukan si binatang itu dari depan pekarangannya gedung teetok ... "
Tay Po menghibur isterinya itu dan perintah kusir lekas
jalankan keretanya, kemudian ia sendiri, dengan mendongkol, pergi susul orang yang dikatakan ceriwis itu.
Ketika ia sampai di depan Koulau, ia dapat menyandak.
Di sana ada satu orang di muka siapa ada tanda bekas
dua bacokan golok, ia sedang pegangi lesnya dua ekor
kuda, yang satu ada seekor dengan bulu merah sepah. Itu
waktu si anak muda sudah sambuti cambuk dan baru saja
loncat naik atas kuda yang bagus itu, kudanya terus diputar balik.
"Sahabat, tunggu dulu, jangan lari!" Tay Po menegur seraya menghampirkan. "Tadi kau tanya apa pada isteriku?"
Pemuda itu bersenyum.
"Aku tanya ia karena aku lihat baik kepala maupun
kakinya tidak sedap untuk dilihat ... " ia menyahut.
Bukan main mendongkolnya Tay Po, sampai ia tepuk-
tepuk dada. "Binatang, buka matamu," ia membentak. "Kalau datang ke Pakkliia, kau mesti buka mata! Mustahil kau berani
permainkan isterinya Itto Lianhoa Lau jieya" ... "
Habis kata begitu, ia loncat, dengan maksud menjambret
si anak muda, guna digusur turun. Apa mau, ia tak berhasil dengan niatannya itu, sebab si anak muda telah mendahului kasih kudanya berloncat ke depan.
Pengiringnya itu anak muda pun sudah lantas loncat
naik atas kudanya, yang terus dikasih lari, tetapi sembari lewat di sampingnya Tay Po, ia ayun cambuknya, yang
justru mengenai belakang lehernya si Setangkai Bunga
Teratai. Tidak kepalang gusarnya orang she Lau ini, ia segera
mencaci, ia lompat akan mengejar, tetapi itu dua orang
telah larikan kudanya sambil tertawa berkakakan. Mereka
menuju ke arah selatan.
Tay Po hendak belai isterinya, ia hendak lindungi muka
terangnya, siapa tahu, kesudahannya ia kena dipermainkan.
"Binatang!" demikian suaranya yang nyaring. "Tidak nanti kau mampu lari keluar dari Pakkhia. Jikalau aku tidak dapat cari sarangmu dan tempur padamu, thayya-mu
bukannya Itto Lianhoa!"
Selama itu, beberapa orang telah datang menghampirkan, beberapa lagi sedang mendatang, hingga
mereka merupakan rombongan kecil. Berdiri di antara
mereka, Tay Po perkenalkan diri seraya tepuk-tepuk dada
pula. Tiba-tiba seorang raba lengan suaminya si tukang
dangsu. "Lau jieya, ini ada satu keledai kecil, aku suka kasih pinjam padamu buat pergi kejar itu dua orang," ia kata.
Tay Po menoleh, ia lantas kenali orang itu, ialah Hoa-pet To Kiu, seorang tukang luntang-lantung.
"Baik, marilah!" ia menyahut.
To Kiu kini, akan tuntun keledainya.
"Asal aku bisa candak mereka, tentu aku tidak akan
mengasih ampun!" kata Tay Po dengan sengit. "Selama ini, berhubung dengan tahun baru, aku tidak ingin lakukan
suatu apa, tetapi sekarang ada lain! Aku bukan mau bikin perhitungan pada mereka, yang utama ialah aku hendak
urus perkara lama! Tuan-tuan toh ingat perkaranya Pekgan Holie, bukan" Dia adalah aku yang singkirkan! Tapi di
sebelah dia masih ada si rase kecil, yang masih sembunyi di kota ini, maka aku mesti bekuk dia untuk dipertontonkan
kepada tuan-tuan beramai, untuk lihat, bagaimana
macamnya!" Kemudian ia tambahkan, dengan perlahan:
"Coba aku tidak pandang-pandang pada Giok cengtong, tentulah aku sudah bikin urusan menjadi ramai! ... "
Mendengar Giok teetok dibawa-bawa, beberapa orang
segera undurkan diri, karena mereka kuatir kerembet-
rembet, sedang beberapa orang lagi, lantas kedipi mata pada orang yang sedang gusar ini.
"Lau jieya, hati-hatilah sedikit kalau bicara di jalan besar," seorang berbisik. "Bila terjadi sesuatu, sungguh tidak enak ... "
Tetapi Tay Po bersenyum, ia manggut-manggut.
"Tidak apa," ia kata. "Dengan Giok tayjin aku ada bersahabat, tadi pun aku ada mengirim bingkisan dan ia
telah terima dengan baik ... "
Itu waktu To Kiu datang dengan keledainya, sambil
serahkan tali les, ia kata dengan perlahan: "Jieya, baru saja aku dengar orang bilang, pemuda itu sudah beberapa hari
ini suka mundar-mandir di depan gedung Giok teetok dan
pengiringnya, dengan memegangi kuda mereka, selalu
menunggu di sebelah sana. Rupanya dia sedang tunggu
salah satu orangnya teetok, atau ia memang ada punya
hubungan dengan Pekgan Holie ... "
Tay Po goyangi tangan, akan mencegah orang bicara
lebih jauh. "Saudaraku, tolong kau simpan rahasia," ia bilang.
"Jikalau aku tidak ketahui itu, tidak nanti sekarang aku mau berurusan pada mereka! Nah, sampai ketemu!"
Ia loncat naik ke atas keledai, ia kasih hormat pada orang banyak, lantas binatang itu ia kasih lari.
Sementara itu, kedua penunggang kuda sudah pergi jauh,
meski ia mau, dengan keledai, Tay Po tidak bakal dapat
menyandak Ia memang tidak niat mengubar, ia cuma
peilihatkan aksi. Maka itu, ia terus menuju ke Coanhin
Piautiam di Bwee-sie-kay.
Tatkala itu Sinchio Yo Kian Tong tidak ada di piau tiam, ia kebetulan pulang ke Yankeng, dari itu Tay Po cuma
ketemui Sie Pai, Phang Kiu, Lie Seng, Kho Yong dan Nio
Cit, itu sahabat yang duluan telah mendapat luka dan
sampai itu waktu masih belum sembuh betul. Dengan
mereka itu ia bicara tentang si anak muda ceriwis.
"Ia berumur duapuluh enam atau duapuluh tujuh tahun,"
ia terangkan, "tubuhnya hampir berimbang sama Ngojiaueng Sun toako, cuma sedikit lebik bagus potongannya dan
dibanding dengan kita, ia ada jauh terlebih cakap, sedang kumisnya ada tercukur licin sekali. Tadi ia ada memakai
baju merah dengan mantel hitam, kopiahnya kecil,
pinggirannya digaris emas. Rupanya ia sengaja dandan
dengan mewah. Menarik adalah kudanya bulu merah sepa,
itu ada kuda dari Ielee, yang di sini jarang ada, rupanya ia datang dari lain tempat. Lagu suaranya mirip dengan lagu suara orang Hoolam. Apakah di antara saudara-saudara
ada yang pernah lihat anak muda itu, di piautiam atau di rumah penginapan?"
Sie Pat beramai memikir, tetapi kemudian semuanya
geleng kepala. "Kita tak ingat," mereka jawab.
"Aku rasa tidak sukar untuk cari orang itu menurut
pengunjukannya Lau jieya," kata Kho Yong. "Di sini tidak ada orang yang pakai kopiah kecil seperti dia punya itu ... "
"Orang semacam dia tak bisa tak memain di rumah-
rumah pelesiran," Lie Seng bilang. "Sebentar malam kita baik pergi ke Pattay Hoo-tong, barangkali di sana kita bisa ketemukan padanya, cuma agar kita tidak keliru kenali
orang, baik jieya minta "cuti' sedikitnya dua hari dari enso,
supaya setiap malam kau bisa ikut kita pergi mencari.
Secara begini, enso tentu tidak akan tegur kau ... "
Lau Tay Po tertawa, ia tidak gusar yang orang telah
godai ia. "Baiklah," ia kata. "Sekarang aku mau pulang, akan minta 'cuti' dari isteriku. Ini perlu, supaya aku bisa leluasa bergerak. Aku ingin berdiam sampai lima malam di Kota
Selatan. Sebelum dapat tahu hal ikhwalnya itu orang, aku tak puas."
Meski ia kata begitu, Tay Po lantas berangkat, ia tidak
langsung pulang, hanya ia pergi ke Kota Timur, barat dan utara, akan dengar-dengar dahulu di antara lain-lain
sahabatnya lagi. Malamnya, setelah dandan, baru ia
kembali ke Kota Selatan di mana ia ketemukan Lie Seng
semua, akan bersama-sama pergi ke Pattay Hoo-tong.
Jalan yang disebutkan itu ada jalan paling terkenal untuk rumah-rumah pelesirannya, tetapi di antaranya, yang paling tersohor adalah Po Hoa Pan di Han-kee-thoa, ialah tempat di mana beberapa tahun dahulu Bou Pek suka pesiar,
karena di situ si anak muda telah berkenalan dengan Cui
Siam almarhum. Yang lainnya lagi, yang terkenal juga, ada Kim Hong Pan, Giok Hiang Pan, Ang Lini Ih dan Kie
Bong Lau. Di dalam situ biasa ada dikerem nona-nona elok dan manis, yang pandai menyanyi dan melayani tetamu,
hingga di situ pun biasa berkumpul hartawan-hartawan atau saudagar-saudagar yang gemar pelesiran.
Di jaman Ceng Tiau, semua orang berpangkat dilarang
pelesiran di rumah-rumah hina, tetapi larangan ini tak
dihiraukan terutama oleh mereka yang pangkatnya
rendahan tetapi uangnya banyak.
Tay Po beramai tidak sukar akan cari si anak muda yang
dikatakan ceriwis itu. Nyata sudah sejak beberapa hari, ia
itu telah menjadi pemuda yang terkenal di rumah-rumah
pelesiran di mana ia suka keluar masuk, uangnya
nampaknya banyak, tapi meski demikian, jarang ia berdiam lama di sebuah rumah, ia melainkan omong sedikit dengan
si nona atau nona-nona manis, lantas ia pergi pula.
Kelakuannya ada aneh, kendati benar ia royal mengodol
saku. Ia kadang-kadang tak mau kenal nona-nona dengan
siapa ia pernah bersenda-gurau, ia suka berlaku kasar pada jongos-jongos, dan semua orang tak ada yang mampu
tempel padanya. Ia tidak pilih tempat, ia suka masuk di
rumah-rumah pelesiran kelas satu, ia pun sering tertampak di rumah-rumah kelas rendahan. Maka umumnya orang
pandang ia ada orang luar biasa ...
Tay Po beramai berpura-pura menjadi pemogoran, di
malam pertama mereka sudah lantas dapat dengar hal
seorang luar biasa itu, apabila mereka mencari terus, di malam kedua mereka berhasil menemuinya, di Yancie Hoo-tong, di rumah pelesiran Kie Bong Lau. Itto Lianhoa sendiri yang lihat pemuda itu masuk ke dalam rumah pelesiran itu, lantas ia ajak Lie Seng, Sie Pat dan Phang Kiu, turut
masuk. Tiga piausu itu gemar pelesiran, tetapi tidak di rumah-
rumah , pelesiran kelas satu, sekarang Tay Po ajak mereka masuk Kie Bong Lau, lauteng dari Impian Sedap, maka
begitu bertindak masuk, mereka sudah lantas jadi kagum.
Semua perhiasan ada baru dan bagus, di kiri dan kanan,
tengloleng menggenclang seperti siang, di muka pintu
pekarangan ada berkumpul kereta dan joli-joli besar dan
indah, orang-orang yang keluar masuk semua mentereng
pakaiannya, semua terdiri dari sutera. Sebaliknya mereka berempat, kecuali Tay Po sendiri, dandan biasa saja, malah dengan pakaian ringkas, kancingnya tidak ada, baju
melainkan diikat dengan tali, sebab mereka bersiap untuk
berkelahi. Yang paling lucu ada Phang Kiu, yang kepalanya dicukur licin mengkilap, sampai laler bisa terpeleset apabila kepalanya itu dimencloki, di tengah batok kepalanya ada
kuncir yang kecil, yang benang merahnya bagian ujungnya, diikatkan satu tangcliie kecil! Ia tidak surup untuk masuk di Kie Bong Lau, tetapi ia toh bertindak masuk, karena Tay
Po betot ia! ...
"Jangan takut, jangan malu-malu," Tay Po bilang. "Kita kaum kangou, ke mana saja kita telah pergikan. Mustahil
kita takut masuk di tempat pelesiran ini di mana uang yang paling utama?"
"Bukannya begitu," kata Lie Seng, yang jengah
sendirinya, "tapi kita malu dengan dandanan kita ini ... "
"Jangan peduli!" Tay Po mendesak. "Kita toh ada punya uang" Laginya kita datang untuk urus perkara! Kalau
tungkulan tunggu kau salin pakaian, si penjahat niscaya
keburu kabur."
Demikian, mereka bertindak masuk.
Jongos-jongos heran mengawasi beberapa tetamu mereka
yang istimewa ini, tetapi kapan mereka dengar Lau Tay Po bahwa mereka datang untuk "urus perkara", mereka jadi berkuatir, hingga mereka urung akan memandang tak mata
pada mereka itu.
Tay Po sudah lantas ambil tindakan. Ia minta Sie Pat
menjaga di pertengahan dalam untuk melihat ke segala
jurusan. Kemudian ia pilih satu nona, Cun Eng namanya,
untuk temani ia. Ia masuk ke dalam bersama si nona,
dengan ajak Lie Seng dan Phang Kiu.
Kamarnya Cun Eng ada indah dan lengkap sempurna,
pembaringannya terbuat dari kayu putih yang wangi dan
kaca hiasnya terang berkilau, sampai Phang Kiu malu akan
memandang ke kaca di mana ia telah lihat kepalanya yang
kelimis dan kuncirnya yang mungil ...
Cun Eng ada satu nona yang elok dan manis, ia
nampaknya tidak bertingkah, meskipun gerak-geriknya
menyatakan ia sebagai satu siocia. Ia menyuguhkan teh dan huncwee, sampai Lie Seng dan Phang Kiu duduk dengan
hati tidak tenteram. Melainkan Tay Po yang ada tabah,
sikapnya tak berubah.
"Nona Cun Eng," ia kata seraya hirup tehnya, "barusan aku lihat ada masuk satu pemuda dengan kopiahnya digaris emas, apa kau tahu, ia masuk ke kamar mana?"
Nona yang kecantikannya itu bercahaya di bawah
sinarnya api menunjuk ke atas lauteng.
"Ia ada tetamunya encie So Go di atas lauteng sana," ia menyahut. "Ia ada seorang she Lo. Menurut encie So Go, yang bersaudara angkat dengan aku, tetamu itu merogoh
saku dengan tak pakai papan hitung lagi, cuma
kedatangannya tak tentu dan pelupaan sekali, umpama ia
sudah datang sekali, lain kali ia datang pula, ia tidak ingat atau kenali pula nona kenalannya ... "
Tay Po melirik pada Lie Seng.
"Ingat, ia ada orang she Lo," ia pesan itu kawan.
"Sekarang duduk saja di sini, aku hendak keluar sebentar."
Phang Kiu tidak bawa uang kecuali tangchie pada


Harimau Mendekam Naga Sembunyi Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

benang rambutnya, ia kuatir nanti pegang buntut meong,
maka begitu Tay Po bertindak, ia berbangkit untuk jadi
bayangannya kawan itu.
Tay Po lihat sikapnya sahabat ini, ia mengawasi dengan
mata memain. "Loo Kiu, kau hendak bikin apa?" ia menegur, jangan kau bawa tingkah aneh! Kita datang kemari toh untuk
menghamburkan uang" Kau toh bukannya bocah umur
enam atau tujuh tahun" Mustahil datang ke rumah mertua
kau lantas jadi seperti seorang asing" ... "
Phang Kiu geleng-geleng kepalanya, yang licin.
"Aku juga mau pergi ke kamar kecil," ia kata.
Tay Po tolak tubuh orang.
"Usaha kita bakal memberikan hasil, mengapa kau tak bisa bersabar?" kawan ini kata. "Kau tunggu di sini!"
Selagi Tay Po bertindak, Sie Pa hampirkan ia.
"Aku ketahui tentang itu anak muda," kata kawan ini, yang pasang mata. "Dia ada tetamunya So Go di atas
lauteng." Tay Po manggut.
"Aku dapat keterangan lebih jelas," ia kata. "Sekarang lekas ambil senjata!"
Sie Pa putar tubuhnya, akan pergi keluar, dan Tay Po
gantikan ia berdiri di ruangan tengah itu, ia tidak peduli yang beberapa jongos sambil lewat mengawasi ia, ia hanya bersiap.
Dari berbagai-bagai kamar ada keluar suara bicara dan
tertawa, semua itu tidak menarik perhatiannya Tay Po,
kecuali waktu Phang Kiu muncul di pintu teriaki ia, hingga ia segera pasang mata.
Dari atas lauteng terdengar suara nyanyian orang lelaki, suaranya tinggi.
Phang Kiu diberikan tanda, untuk pasang mata dan
kuping, Tay Po sendiri pun pasang kupingnya, akan dengari
nyanyian itu, bukannya lagi "pang-cu-khong" atau "jie-hong", hanya mirip dengan "kun-kiok". Dengan samar-samar lalu terdengar suara:
"Ayah terbinasa, ibu racun dirinya, Sampai kita hidup mengandal sanak-beraya. Kita berempat, dunia ketahui
semua. Hanya kita sendiri, tak saling mengenalnya. Hou
adalah aku, Pa adikku punya nama ... "
Mendengar itu, Tay Po bersenyum sindir.
"Dari manakah datangnya segala harimau dan macan
tutul?" kata ia. "Hou adalah harimau, dan Pa berarti macan tutul. Aku Lau Tay Po sekarang justru hendak uji
kepandaiannya harimau dan macan tutul ... "
Habis itu, dengan tidak pedulikan suatu apa lagi, ia buka mulutnya lebar-lebar, akan perdengarkan suaranya yang
keras dan nyaring: "Bagus. Sungguh bagus!"
Dua jongos heran, mereka mau berlaku baik.
"Toaya, silahkan masuk ke dalam kamar," mereka mengundang.
"Tidak," jawabnya, "aku hendak bernyanyi di sini! Apa lain orang diijinkan nyanyi dan aku mesti dilarang" Tidak, siapa pun tak boleh cegah aku! Dia boleh perdengarkan
suaranya di depan si nona manis, aku pun boleh nyanyi di sini!"
Mendengar suaranya Tay Po, dari beberapa kamar ada
muilie yang disingkap dan beberapa kepala, lelaki dan
perempuan, nongol. Dari atas lauteng, di antara lankan pun ada beberapa orang yang melongok ke bawah. Beberapa
suara, yang halus dan merdu, ada terdengar. Nyata sekali, suara Itto Lianhoa ada menarik perhatiannya banyak orang.
Tay Po tidak pedulikan bahwa ia telah tarik begitu
banyak perhatian, ia dongak ke atas, akan melihat nona-
nona yang pada mengawasi ia. Ia angkat tangannya, akan
menggape-gape. "Nona-nona, tolong minta orang yang tadi nyanyi untuk bernyanyi pula," ia kata. "Aku Lau Tay Po pernah merantau ke seluruh daerah selatan dan utara tetapi aku
belum pernah dengar lagu istimewa yang barusan itu! Kalau nanti suara nyanyian sudah berhenti, aku akan undang si
tuan, yang kopiahnya bergaris emas, keluar kemari akan
kita kasih pertunjukan silat!"
Suara tantangan atau menghina ini lantas dapat
sambutan dari suara hebat laksana guntur, yang datangnya dari atas lauteng: "Telur busuk!"
Kapan Tay Po dongak pula ke atas lauteng, ia lihat satu
nona elok yang berbaju merah, asyik didampingi satu
pemuda yang tubuhnya besar dan gagah, benar ia tak pakai kopiah, yang bergaris emas, tetapi ia adalah si pemuda she Lo.
Dengan segera Tay Po tertawa terbahak- bahak.
"Lau toaya telah datang korbankan uangnya kemari
untuk sengaja mencari kau, maka baguslah kau telah
muncul!" ia kata. "Apakah nama bungamu?"
Si anak muda rupanya tak mengerti artinya "nama
bunga", ia hanya tepuk dadanya seraya perkenalkan diri:
"Aku Lo Siau Hou!"
Beberapa nona manis pada tertawa sambil tutup mulut,
rupanya mereka anggap itu pertunjukan ada jenaka.
Si anak muda nampaknya gusar sekali.
"Man naik, kemari," ia tantang Tay Po.
"Mari turun!" Itto Lianlioa juga menantang.
Tantangan ini tidak usah diulangi lagi, pemuda itu lantas bertindak.
"Jangan ladeni padanya!" kata beberapa tetamu lainnya, yang cegah si anak muda. "Ia ada guru silat dari Pweelekhu! Ia ada Itto Lianhoa Lau Tay Po!"
"Peduli siapa dia ada!" ia kata dengan mendongkol.
"Apa kau ada punya kaki?" ia tantang pula. "Hayo kau naik!"
Tay Po tertawa pula berkakakan.
"Kenapa aku tidak berani?" jawab Itto Lianhoa. "Jikalau Lau toaya takut padamu, tidak nanti ia berikhtiar dan
hamburkan uangnya untuk cari kau sampai di sini! Tempo
di Koulau depan juga aku hendak tempur kau tetapi kau
sudah lantas kabur bersama kudamu!"
Sekarang ini, walaupun kau menunggang singa, aku
akan gusur kau . Turun dari binatang buas itu!"
Habis berkata, Tay Po angkat kedua tangannya, sebagai
tanda bahwa ia tidak bersenjata, kemudian ia bertindak ke tangga lauteng, untuk naik ke atas.
Keadaan rupanya menggenting, nona-nona manis pada
ketakutan, hingga ada yang telah perdengarkan seruan.
Tenaganya Lo Siau Hou ada besar, tidak ada orang yang
bisa cegah ia lebih jauh, maka ia pun bisa bertindak, akan papaki Lau Tay Po.
Semua orang sudah lantas menyingkir, ke pinggiran atau
ke dalam kamar.
Lau Tay Po ada seorang dengan banyak pengalaman, ia
pun tahu pemuda itu mengerti silat, maka untuk bergerak, ia mesti turun tangan terlebih dahulu. Demikian, begitu
berhadapan, sebelah kepalannya sudah lantas melayang ke
arah dada orang.
Lo Siau Hou tidak berkelit, ia hanya majukan tangannya
akan sampok tangan lawan itu.
Sekarang Siau Hou mau bikin pembalasan, ia coba
sambar tangan musuh, untuk dicekal, atas mana Tay Po
lekas-lekas tarik pulang tangannya itu. Tapi Itto Lianhoa tidak tarik pulang terus tangannya itu, sesudah lolos dari bahaya, dengan tangannya itu ia menghajar lengan orang,
sedang tangan kirinya menyodok ke bawah, ke arah perut.
Lo Siau Hou mundur, Hingga tubuhnya sampai di
loneng. Melihat penyerangannya gagal, Tay Po mendesak,
dengan dua-dua tangannya, ia menyerang pula. Di luar
dugaannya orang yang didesak itu telah pakai dua
tangannya, akan cekal kedua tangannya itu dengan keras,
sampai ia kaget, sebab dengan begitu, punahlah
penyerangannya.
"Eh, apakah namanya ilmu pukulan ini?" ia tanya secara menyindir. Sembari berkata begitu, ia kerahkan tenaganya, akan lepaskan kedua tangannya dari cekalan.
Atas daya musuh itu, Lo Siau Hou tidak pertahankan
diri, hanya dengan tiba-tiba dan sambil mendorong, ia
lepaskan cekalannya, hingga karenanya tubuhnya Tay Po
mundur sampai mengenai lankan. Tapi justru karena
membentur lankan, tubuhnya Tay Po kena tercegat, hingga
dengan leluasa, ia bisa angkat sebelah kakinya, akan dupak mukanya Siau Hou.
Siau Hou bisa loloskan diri dari dupakan itu, kedua
tangannya yang gesit ia kasih bekerja hampir berbareng
sama itu dupakan, ialah ia tangkap kaki orang, cuma ia
tidak membetot, hanya ia mengangkat dan melemparkan,
begitu keras, sampai tubuhnya Tay Po terangkat, terlempar melewati lankan, terus jatuh ke bawah lauteng!
Nona-nona dan lain-lain tetamu ada yang menjerit,
bahna kaget, sebab itu adalah kejadian yang hebat.
Akan tetapi Tay Po tidak jatuh terbanting, hanya sambil
jatuh melayang, ia perbaiki dirinya ketika ia sampai di
bawah, kakinya turun duluan, hingga ia bisa berdiri tegar, sedikit pun ia tak nampak bahaya.
"Jangan takut, aku tidak kenapa-napa!" kata Itto Lianhoa secara menantang
Ucapan ini baru keluar, atau suatu barang berkeredepan
menyambar dari alas lauteng, menuju ke kepalanya
suaminya Siang Moay.
"Celaka," berteriak Sie Pa yang muncul dengan kaget.
Tay Po geraki tangannya ke atas, benda itu kena
kesampok, jatuh ke samping sambil menerbitkan suara
keras dan nyaring, sebab itu adalah sebuah lampu beling. Ia jadi bertambah gusar. "Mari!" ia berseru pada Sie Pa, yang telah kembali habis ambil senjata.
Sie Pa lemparkan sebatang golok, yang mana Tay Po
sambuti sambil ulur tangannya. Selelah ini, ia menuding ke atas lauteng,
"Orang rendah, kau berlaku curang!" ia berseru, dengan ejekannya. "Kau bukannya satu sahabat! Kalau kau berani, hayo turun! Aku nanti kasih kau pinjam senjata, agar kita bisa bertempur sama-sama menggunakan senjata, untuk
memastikan siapa yang terlebih gagah!"
Tapi jawabannya Lo Siau Hou ada sederhana:
"Siapa mau berpemandangan sama dengan kau!"
demikian jawaban itu, satu ejekan.
Dalam murkanya, Tay Po lari ke tangga, untuk naik pula
ke lauteng. "Jangan kau jumawa!" ia berseru. "Jikalau ini hari tak ada putusan, aku tidak mau sudah!"
Ia telah sampai di atas lauteng di mana Siau Hou justru
lompat maju, akan papaki padanya, maka tidak tempo lagi, Itto Lianhoa lantas bacok musuh yang tidak bersenjata itu.
Siau Hou berkelit ke pinggir, ke lankan, tapi Tay Po
rangsek ia, yang kembali dibacok, hingga ia mesti egos pula tubuhnya, karena mana, golok segera menghajar lankan!
Adalah di itu waktu, di bawah lauteng, ada seruan
berulang-ulang: "Giesu tayjin sedang meronda! Giesu tayjin sedang meronda!"
Itu adalah seruannya beberapa jongos.
Setelah itu, menyusul seruannya Phang Kiu dan Sie Pa:
"Dusta, jieko! Jangan takut, hayo kerja terus!"
Tay Po kaget mendengar seruannya yang pertama, tetapi
mendengar suara kawan-kawannya, ia jadi bersemangat
pula. Ia putar goloknya, akan menerjang dengan bengis.
Sekarang ia tak memikir akan pinjamkan senjata untuk
lawannya. Lo Siau Hou main mundur atau berkelit untuk semua
serangan lawan, tidak peduli semua serangan itu ada
berbahaya atau tidak, akan tetapi apabila ia saksikan orang tak mengenal batas, ia ubah sikapnya dengan segera. Cepat luar biasa, ia meraba ke pinggangnya, dari mana ia cabut keluar sebatang golok kecil, dengan apa ia tangkis serangan terakhir dari lawan itu.
Suara senjata beradu segera terdengar, tetapi tidak hebat, hanya sebagai benda keras yang tertabas kutung. Tay Po
merasakan sebagai juga ia membacok tempat kosong,
hingga ia jadi heran. Tapi segera juga ia jadi terperanjat, sebab lantas ia dapat kenyataan, goloknya sudah tersabat putus, ujungnya telah jatuh ke lantai lauteng sambil
perdengarkan suara keras.
Adalah di itu waktu, sebagai orang yang tak mau
mengasih ketika, Lo Siau Hou berbalik menjadi pihak
penyerang, hingga Itto Lianhoa kena didesak balik.
Dalam kagetnya, Lau Tay Po berseru:
"Oh, kau ada punya golok mustika!"
Oleh karena ini, sambil lompat mutar, Tay Po mundur
ke tangga lauteng, dan mana ia terus loncat turun dan
berlari-lari terus, sampai di bawah.
Sie Pa telah saksikan semua, ia papaki kawannya kepada
siapa ia serahkan sebatang tombak.
Baru saja Tay Po sambutkan tombak itu, atau serupa
senjata rahasia telah menyambar ke bawah, ketika ia
berkelit, senjata itu mengenai tangannya Sie Pa, atas mana itu kawan menjerit, bahna kaget dan kesakitan!
Hampir berbareng dengan itu, Tay Po berseru pula:
"Oh, oh, kau jadinya si rase kecil!"
Itu waktu Lo Siau Hou sudah kembali ke kamarnya So
Go, ia lemparkan sepotong perak, ia jumput kopiahnya
dengan garis emas di sekitarnya, untuk dipakai, setelah itu, ia bertindak keluar.
Phang Kiu semua telah menyingkir, kecuali Tay Po,
yang ada penasaran, maka juga, dengan lintangkan
tombaknya, ia menghalau di depan tangga lauteng.
"Rase kecil, hayo kau menggelinding turun!" ia perdengarkan suara besarnya, suara dari kesengitan hati.
"Jangan kau gunai senjata rahasia. Jangan kau pakai golok mustika! Mari kita adu jiwa! Aku tidak sangka bahwa di
sini aku bisa ketemui kau! Kiranya beginilah macammu,
rase kecil! Rupanya Kho sunio di gedungnya Giok teetok
ada ibumu!"
Selagi Itto Lianhoa pentang mulutnya, Lo Siau Hou
sudah turun dari lauteng, bukan dengan jalan setindak demi setindak di undakan tangga, hanya dengan enjot tubuh,
dengan loncat turun dari atas, dengan tubuh seperti terbang melayang. Maka itu, Tay Po tidak mampu rintangi
padanya. Akan tetapi Itto Lianhoa tidak puas, sambil loncat
memburu, ia kirim tikaman.
Lo Siau Hou berkelit, tidak untuk menyingkir, hanya
buat terus melakukan perlawanan, dengan ia gunai
senjatanya yang pendek tetapi liehay, cuma sekarang Lau
Tay Po berlaku cerdik dan gesit, ia tak mau kasih
tombaknya beradu dengan senjata mustika dari musuh.
Pertempuran berjalan dengan seru. Semua tetamu hotel,
semua nona-nona, telah pada umpatkan diri. Jongos-jongos pun kabur, tetapi di antaranya ada yang lari, untuk cari orang polisi atau pembesar negeri guna minta pertolongan.
Siau Hou telah gunai senjatanya dengan baik sekali,
maka belum lama, ia berhasil membabat kutung ujung
tombak dari musuh, berbareng dengan mana, waktu Tay Po
terkejut, ia ulur kakinya dengan mana, dengan dupakan, ia bikin si Setangkai Bunga Teratai terpelanting dan rubuh.
Tapi Itto Lianhoa sangat bandel, ia rubuh dengan tidak
terluka, maka ia lekas merayap bangun, dengan tombak
yang tak berujung tajam lagi, ia menyerang pula.
Lagi sekali Siau Hou dupak musuhnya hingga
terpelanting dan terguling.
Lie Seng hendak tolong atau bantu kawannya dari dalam
kamar di mana ia umpatkan diri, ia menimpuk dengan
sebuah tokpan. Siau Hou lihat datangnya senjata rahasia istimewa itu,
dengan kelit sedikit kepalanya, ia kasih serangan itu lewat, hingga tokpan itu jatuh ke batu dan hancur sambil
menerbitkan suara berisik.
"Ada polisi!" demikian terdengar teriakan. "Ada polisi!"
Siau Hou melihat ke sekitarnya, lantas ia bertindak ke
luar. Sie Pa dan Phang Kiu segera muncul, akan memburu
ke luar, tetapi sesampainya mereka di pintu, lantas mereka merandek.
"Kejar padanya!" berteriak Tay Po, dengan suara mendongkol sembari merayap bangun, karena barusan ia
terbanting dan terguling hebat juga.
Dua jongos lari pada Iito Lianhoa, untuk memberi
hormat. "Lau toaya, silahkan kau pergi ke kamarnya nona Cun Eng!" kata mereka ini. "Kita terpaksa pergi mengasih kabar ke gee-mui, sebab kejadian barusan ada hebat. Sebentar
akan ada hamba negeri yang datang, tetapi itu pengacau
sudah pergi ... Lau toaya ... "
"Jangan takut," Tay Po jawab. "Aku akan berdiam di sini menunggu hamba negeri itu, semua ada aku yang
tanggung!"
"Terima kasih, toaya, terima kasih," kata kedua jongos itu. "Sekarang silahkan toaya pergi ke kamarnya nona Cun Eng ... "
Setelah dibujuki, Tay Po pergi juga ke kamarnya si nona
tadi, di mana Lie Seng temankan ia, sedang Sie Pa dan
Phang Kiu telah diperintahkan coba susul atau cari Lo Siau Hou, ke mana ia itu sudah pergi.
Tidak antara lama benar ada datang beberapa orang dari
gee-mui dari Kota Selatan, tetapi mereka datang sesudah
perkelahian lama berakhir dan orang yang tersangkut entah pergi ke mana, tanda-tanda kehebatan tidak ada dan semua rumah pelesiran tak ada yang berani omong terus terang,
malah namanya Tay Po tidak ada yang mau sebut-sebut.
Itto Lianhoa sendiri berdiam saja, karena orang pun tidak tegur padanya ...
Sesudah berjalan sebentaran, semua hamba kantor itu
berlalu pula. Tay Po ada sangat mendongkol dan masgul, ia minum
air teh untuk membikin tenteram hatinya. Ia menyesal atas kegagalannya itu, ia malu sendiri buat kekalahannya. Ia
tidak sangka bahwa si rase kecil, demikian ia sangka Lo
Siau Hou, ada begitu liehay, sebagaimana liehaynya
senjatanya yang kecil dan pendek.
Cun Eng yang cantik dan manis layani dengan telaten
pada tamunya itu, ia bicara sambil bersenyum atau tertawa.


Harimau Mendekam Naga Sembunyi Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ia pun sudah hilang kagetnya.
Lie Seng coba menghibur kawan ini, ia tak berhasil sebab kemasgulannya Tay Po ada terlalu besar.
Akhir-akhirnya mau juga Itto Lianhoa bicara.
"Maafkan aku, aku telah membikin kacau di sini," ia bilang. Ia berbangkit.
"Oh, tidak, toaya," sahut Cun Eng sambil tertawa.
"Apakah besok toaya akan datang pula?"
Tay Po manggut beberapa kali.
"Ya, ya, besok aku akan datang pula ... " ia menyahut.
Bersama Lie Seng, Tay Po keluar dari kamar. "Maaf," ia kata pada beberapa jongos, kepada siapa ia angkat kedua
tangannya. "Maaf untuk onar ini. Aku ada Itto Lianhoa, buat di Kota Selatan, semua orang kenal aku. Sinchio Yo
Kian Tong dari Coanhin Piautiam di Bwee-sie-kay ada aku
punya engko misan! Umpama di belakang hari ada
kesukaran apa-apa, kau boleh cari aku di Coanhin
Piautiam!"
Sekalian jongos itu membalas hormat.
"Tidak apa, toaya, tidak apa," mereka menyahut. "Tidak usah toaya pesan, kita sudah tahu, sebab satu kali toaya perkenalkan diri, kita ketahui siapa adanya toaya! Di
belakang hari pun kita masih mengharap bantuan toaya ... "
Tay Po angkat pula kedua tangannya, lantas ia ajak Lie
Seng berlalu. "Sungguh mentereng!" kata Lie Seng dengan gembira.
"Loo Lau, nama Itto I Lianhoa sungguh terkenal!"
"Nama saja bagus," sahut Tay Po, "tetapi orangnya telah dirobohkan, satu kali dilempar dari atas lauteng, dua kali didupak terguling! ... Dan golok dan tombakku, dua-duanya telah kena dibabat kutung! Apakah ini bukannya kekalahan yang memalukan" Namaku di Kota Selatan ada begitu
besar, tetapi sekarang" ... Aku tidak nyana si rase kecil ada demikian liehay! Pedang mustika ia telah kembalikan ke
Pweelek-hu, entah dari mana ia dapat pula golok mustika
yang mungil itu. ... " Ia menghela napas, akan akhirnya tepuk-tepuk dada. "Tapi sekarang aku telah kenali
macamnya si Rase Kecil itu! Asal dia tak angkat kaki dari kota Pakkhia ini, gampang untuk diurus! Tunggu saja!
Jikalau Lau Tay Po tidak mampu pasang thianloo teebong
(jaring langit dan jala bumi) untuk ringkus padanya, aku tak mau berhenti!"
Berdua mereka ini jalan terus ke Coanhin Piautiam.
Sie Pa dan Phang Kiu sudah pulang lebih dulu, mereka
tidak berhasil menyusul atau mencari Lo Siau Hou, hingga
"si Rase Kecil" itu tak ketahuan di mana sarangnya.
Lengan kirinya Sie Pa ada ditempeli koyo.
"Bantuan sebagai ini aku tak berani pula," ia kata sambil geleng kepala dengan lesu. "Kiranya si rase kecil ada begitu liehay ... Meskipun kita minta bantuannya seratus orang, kita tetap tak bakal sanggup lawan si Rase itu ... Aku masih sayang
jiwaku ... " TayPo berdiam, ia tidak bisa kata apa-apa buat ucapannya sahabat itu.
Lantas Lie Seng dan Phang Kiu usulkan akan pergi ke
Yankeng akan undang Yo Kian Tong serta undang pula
pada Sun Ceng Lee yang baru saja sembuh dari lukanya,
akan juga kirim utusan ke Kielok, untuk undang nona Jie
Siu Lian. Mendengar itu, Tay Po geleng-geleng kepala, ia ulap-
ulapkan tangannya.
"Sudah, sudah," ia kata. "Jie Siu Lian dan si Rase Kecil mesti ada dari satu golongan, malah entah ada
perhubungan apa di antara mereka ... "
Hampir pada waktu itu, Tay Po ingat suatu apa, hingga
ia nampaknya tertegun. Di depan matanya berbayang
pertempuran di Toushia, ketika ia bantu Coa Kiu dan Siang Moay. melawan Pekgan Holie. Benar itu waktu ada waktu
malam, tetapi tubuh orang bisa ia lihat nyata. Dan
tubuhnya si Rase Kecil ada tak tinggi besar sebagai
tubuhnya Lo Siau Hou.
"Apakah di dalam dunia ini bukan melulu si Rase Kecil yang pandai menggunai itu panah mungil?" demikian ia berpikir dalam kesangsiannya. "Apakah tidak bisa menjadi yang Lo Siau Hou ini ada suheng dari si rase kecil, hingga mereka jadi ada dari satu rumah perguruan" Kalau benar, si Rase Kecil jadi ada mempunyai satu pembantu yang liehay
... " Memikir demikian, Tay Po bergidik sendirinya.
Sungguh hebat akan hadapi dua musuh tangguh itu
sedang beberapa sahabatnya ini semuanya tak punya guna!
Isterinya juga ia tak bisa andalkan.
"Celakanya, aku sendiri telah jatuh merek! ... "
"Apa aku bisa bikin sekarang?" pikir ia terlebih jauh.
"Dua-dua mereka ada liehay, mereka punya panah, Lo Siau Hou punyakan juga golok mustika ... Dan secara samar-samar, keluarga Giok agaknya ada memelihara mereka ...
Mereka tak berani satrukan Jie Siu Lian, beraninya mereka hanya terhadap aku ... yang sekarang ada seorang tukang
luntang-lantung ... "
Tay Po berduka kalau ia ingat kedudukannya, hatinya
jadi pepat, kemendongkolannya tak dapat dilampiaskan.
Tiba-tiba ia rasakan hatinya panas, dengan sekonyong-
konyong ia semburkan darah hidup.
Semua kawan menjadi kaget.
Tatkala itu sudah tengah malam. Di jalan Pattay Hoo-
tong, penerangan lampu masih belum padam semua, tetapi
orang yang berlalu-lintas sudah kurang banyak. Beberapa
rumah makan, dari dapur siapa ada mengepul asap,
nampaknya ada sepi, tidak ada tetamunya. Sedang di
rumah-rumah pelesiran, tetamu-tetamu sudah pergi semua,
hingga dengan demikian, di situ pun tidak ada lagi suara-suara halus dan merdu sebagai nyanyiannya burung-burung
kenari. Di sebelah selatan Pattay Hoo-tong ada satu jalan besar
yang dipanggil Cu-sie-kau Barat, di situ ada terdapat
beberapa hotel di mana sekalian tetamu sudah pada tidur, kecuali dalam sebuah hotel yang letaknya di sebelah
selatan. Itu ada sebuah hotel besar.
Dari jendela, yang menghadapi jalan besar, ada molos
keluar cahaya api yang guram. Dengan perlahan, tetapi
tegas, dari sana pun terdengar suara nyanyian,
"Hou adalah aku, Pa adikku punya nama. Tapi masih ada Eng dan Hong, perempuan dua ... "
Nyanyian itu ada ditimpali sama suara meja dan diketok-
ketok dan jubin papan yang digedruk-gedruk dengan kaki ...
Dan kemudian, ada menyusul elahan napas ...
Kamar itu ada cukup luas, di situ ada sebuah
pembaringan dengan meja pat-sian-toh serta empat buah
kursinya. Di sebuah kursi ada berduduk Poan Thian In Lo
Siau Hou sambil hadapi arak, karena ia sedang minum
sendirian. Ia rupanya merasa gerah maka ia telah telanjangi tubuhnya sebatas pinggang hingga di sebelah dada dan
lengan yang sekal, tanda dari tenaga besar dan ulet, juga ada bekas-bekas bacokan golok, gigitan dan cakaran
binatang hutan.
Seorang diri Lo Siau Hou nyanyikan lagunya yang
terkenal, ia ketuk meja, ia ketuk lantai, saking duka dan penasaran.
"Kiau Liong, bagus perbuatanmu! Kau telah libat aku, kau telah bikin aku celaka! Aku ada punya banyak harta,
tetapi itu masih belum cukup! Kau inginkan aku pangku
pangkat! Justru pangkat ada sukar untuk didapatinya!
Sudah dua tahun aku berdaya, sia-sia saja ... Aku telah
hamburkan uang, aku malah sudah coba tunduki kepala,
akan mengalah pada orang, toh pangkat aku tidak dapat
pangku ... Kiau Liong, apakah bisa jadi, jikalau seumurku aku tak pegang pangkat, kau juga tak mau menikah dengan
aku" Kenapa kau tidak mau ketemui aku juga" Kau toh ada
punya bugee yang tinggi dan sembarang waktu kau bisa
datang padaku" Tapi, bukan saja kau tidak mau datang
padaku, bukan saja kau tidak mau keluar, malah kamarmu,
kau juga tukar! Kenapa" Tiga kali aku telah cari kau di
gedungmu, tiga kalinya aku gagal ... "
Siau Hou ngelamun begitu rupa, sampai ia jadi sangat
panas, hingga ia sampok poci arak dan cangkirnya, sampai lampu pun ia dorong jatuh, sedang dua buah kursi di
depannya, ia dupak terbalik!
Setelah kalap begitu rupa, Poan Thian In menghela
napas, akan akhirnya ia lempar diri ke atas pembaringannya, akan tidur, ia belum pulas, ia sedang
layap-layap, tatkala ia dengar tindakan kaki dari orang yang masuk ke dalam kamarnya, maka berbareng kaget, ia cabut
poo-too atau golok mustikanya.
Dengan sebenarnya, api lampu telah tidak menjadi
padam, hanya terus menyala di lantai lauteng. Maka orang itu telah mesti gunakan kakinya, akan menginjak-injak,
baru api itu dapat dibikin padam.
Lo Siau Hou lantas awasi orang ini, yang usianya ia
taksir kira-kira duapuluh tahun, mukanya hitam, tubuhnya kekar, romannya sedikit mirip dengan kunyuk. Dilihat dari rambutnya, dari jubahnya, orang itu rupanya ada satu
saykong atau imam.
"Aku ingat, tadi aku pernah lihat padanya," pikir ia.
Maka ia percaya, saykong ini tentu ada salah satu
penumpang hotel seperti ia sendiri.
Sekarang Siau Hou agak tenang, goloknya ia simpan. Ia
pun manggut. "Terima kasih," ia kata, "aku mengucap terima kasih yang kau telah padamkan api itu. Silahkan kau keluar,
supaya kau tidak ganggu tidurku ... "
Saykong itu tidak kata apa-apa, ia putar tubuhnya dan
bertindak keluar.
Oleh karena minyak berhamburan dan bekas kebakar,
kamar itu menjadikan bau kurang sedap. Kapan Siau Hou
membauinya, ia lantas merasa bahwa berdiam di rumah
penginapan, ia tak boleh umbar adatnya. Memang, kalau
api berkobar besar, hebat akan ada akibatnya. Kalau ada
orang binasa, apa ia tak menyesal"
Ia menghela napas lega.
Kemudian Siau Hou ingat akan lelakonnya di Kie Bong
Lau tadi. "Ilmu silat golok dari si orang she Lau ada cukup
sempurna," ia pikir. "Aku tidak kenal ia, ia pun tentu tak kenal aku, kenapa ia justru serang padaku, hingga kita jadi berkelahi" Oh, orang Pakkhia, kau pandai menghina orang
asing! Tapi, sudah belasan hari aku tinggal di Pakkhia ini, aku sudah masuki semua rumah pelesiran, aku telah lihat
banyak nona-nona, toh di antaranya, tidak ada satu yang
sanggup tandingi keelokannya Kiau Liong ... Hanya, Kiau
Liong cantik, tetapi hatinya keras, ia kejam! Kalau aku bisa mendapati lain orang semacam ia, atau yang terlebih elok lagi, aku pasti akan ajak ia pergi, tidak usah lagi aku pangku pangkat, akan capaikan diri."
Tiba-tiba, dengan kepalanya, ia hajar pembaringan!
"Ibumu!" mendadakan terdengar suara dari kamar sebelah. "Bukannya tidur, apa kau bikin begini tengah malam buta-rata" Ingat, rumah penginapan bukannya kau
sendiri yang buka!"
Siau Hou gusar, karena itu teguran ada untuk ia. Ia
sudah raba goloknya ketika ia lantas tenang pula.
"Ya, aku tak boleh tak mengenal aturan ... " kata ia dalam hatinya. "Memang aku tidak boleh ganggu
ketenangan lain orang ... "
Ia menghela napas.
Tetamu di sebelah, yang berlidah Shoasay, masih
menggerutu, tetapi Siau Hou tidak pedulikan, karena ia bisa tahan sabar. Justru karena ini, tidak lama kemudian, ia pun terjatuh pulas.
Besoknya, sudah hampir waktunya orang bersantap
tengah hari, baru Siau Hou mendusin. Segera ia didatangi oleh dua pengiringnya, yang ambil kamar besar di bawah
lauteng. "Looya, apa yang hendak dilakukan hari ini?" tanya mereka itu, ialah Hoa Lian Hoan si Kuda Belang dan See
Mo Cie si Tikus Gurun Pasir.
Dua orang ini, sejak Poan Thian In berlalu dan Angsiong
Nia, telah dijadikan pengiring berbareng orang-orang
kepercayaan. Mereka telah bantu ia berdagang kuda, akan
mengumpul uang, mencari pangkat, dan meskipun ia tak
berhasil dengan tujuannya itu, ia tetap perintah mereka
panggil ia "Looya". Ia harap, kalau nanti ia peroleh pangkat dan menikah satu koan-thaythay, mereka akan tetap jadi
pengiringnya. Tapi sekarang, cita-citanya nyata ada cita-cita belaka, laksana impian saja. Sebab ia tetap dalam
perantauan, di pinggangnya tetap tersoren poo-too, dan ia bukan lain daripada Poan Thian In, si Awan di Tengah
Langit! Dua dua Hoa Lian Hoan dan See Mo Cie telah belajar
bicara secara hamba-hamba negeri yang mengerti aturan,
tetapi roman mereka tetap tidak berubah. Si Kuda Belang
tak bisa lenyapkan tapak golok di mukanya, dan si Tikus
Gurun Pasir tak bisa hilangkan sepasang matanya yang
merah, caranya berpakaian mereka tak bisa mengubah sikap mereka sebagai liaulo atau rakyat berandal ...
Lo Siau Hou tidak unjuk roman gembira, malah ia buka
lebar kedua matanya
"Tidak ada apa-apa yang baru!" ia menyahut dengan kaku. "Tetap masih itu dua urusan: Satu orang pergi serep-serepi tentang Lu-ciu-hiap Yo Kong Kiu dan satu orang
pergi ke gedungnya keluarga Giok di Koulau Barat, asal
kelihaian si nona keluar pintu, lantas kuntit padanya, begitu ketahuan ia pergi ke mana, lekas kasih kabar padaku!"
Dua liaulo itu angkat dada mereka.
"Baiklah!" mereka jawab, suara mereka ada nyaring.
"Sekalian cari tahu," Siau Hou tambahkan, "tentang itu orang yang kemarin di Kie Bong Lau telah serang aku, ia
dipanggil Lau apa tahu, gelarannya ada Itto Lianhoa. Aku ingin ketahui ia ada orang macam apa."
"Tentang ia kita tak usah cari tahu lagi," kata Hoa Lian Hoan. "Di sini semua orang tahu dia siapa, dia ada Itto Lianhoa Lau Tay Po, guru silat dari Pweelek-hu. Buat di
Pakkhia ini, namanya ada cukup terkenal apa pula sesudah baru-baru ini ia berhasil menangkap rase di gedung Giok
cengtong, hingga namanya jadi sangat tersohor."
Siau Hou kelihatannya terperanjat.
"Apa?" ia tegaskan. "Cara bagaimana ia bisa tangkap rase di rumahnya Giok cengtong?"
Hoa Lian Hoan lantas berikan keterangan, yang tidak
lengkap, karena ia pun dengar cerita punya cerita, tetapi dari sini Siau Hou bisa lantas menduga, dengan si "rase kecil" tentulah dimaksudkan Kiau Liong, yang sekarang rupanya saking kedesak, sudah umpatkan diri di dalam
kamar. Ia lantas bersenyum ewa.
"Kalau begitu, cari tahu tempat kediamannya Lau Tay Po itu!" ia kata pula.
Hoa Lian Hoan menyahuti "baik!" lantas ia putar tubuhnya, diturut oleh kawannya.
"Tunggu!" mendadakan Lo Siau Hou menambahkan.
"Tunggu dulu!"
Dua pengiring itu berhentikan tindakan mereka, akan
memutar tubuh. "Buka itu peti kayu!" Siau Hou perintah See Mo Cie.
Si Tikus Gurun Pasir turut itu perintah.
Di dalam peti itu ada tersimpan hartanya Poan Thian In,
harta yang dikumpul di gurun pasir, baik dari hasil
pembegalan maupun dari keuntungan berdagang kuda.
Kecuali goanpo perak dan emas, uang recehan dan uang
kertas, juga ada bungkusan-bungkusan dari mutiara dan lain barang berharga. Itu ada hasil usaha dua-tiga tahun.
"Ambil sedikit perak dan hadiahkan itu pada saykong muda yang tinggal di kamar sana," kata itu pemimpin.
"Tadi malam, jikalau tidak ada dia, rumah penginapan ini tentulah telah menjadi lautan api! ... "
"Toh cukup sepuluh tail perak?" tanya Hoa Lian Hoan.
Lo Siau Hou manggut.
"Ya," ia menyahut. "Apa yang saykong muda itu lakukan" Kenapa ia tak mondok di kuil saja?"
"Dia ada seorang aneh, karena dia bukannya saykong,"
See Mo Cie kasih tahu. "Ia hanya pakai jubah suci.
Pekerjaannya adalah menjual obat-obatan, ia ada bawa-
bawa kelenengan, selembar merek dari cita dan peti
obatnya. Ia baru datang tadi sore, katanya dia datang dari Kiuhoa San di Kanglam. Hanya ia ada sangat perhatikan
kita, karena ia saban-saban cari tahu kita datang dari mana dan looya ada memangku pangkat apa."
Mendengar itu, Lo Siau Hou tertawa, ia agaknya tak
taruh perhatian.
Hoa Lian Hoan dan kawannya lantas berlalu.
Tidak lama, jongos datang dengan barang makanan,
yang semuanya ada pilihan.
Siau Hou datang pada Chia-gwee Cap-sha, di hotel itu,
Kwee Seng Tiam, ia sudah tinggal duapuluh hari lebih. Ia beradat aneh, malah keras, tetapi dalam perkara uang,
tangannya ada terlepas dan pemurah.
Di hotel itu tadinya ada menumpang satu kiejin butut,
yang tak lulus dalam ujian, karena miskin, ia pun ditimpa penyakit, tidak heran kalau ia telah hutang sampai
limapuluh tail perak lebih, sedang tuan rumah tak berdaya akan usir padanya. Di hari pertama yang ia sampai dan
dengar halnya kiejin apes itu, Siau Hou segera berikan
pertolongannya. Semua hutang dibayar lunas, dan si anak
sekolah diberikan lagi limapuluh tail, untuk perongkosan perjalanannya pulang ke kampungnya.
Baru kemarin ini ada satu pembesar yang menutup mata
di dalam hotel itu. Ia ada berpangkat kecil, usahanya akan cari kenaikan pangkat tidak berhasil, karena sakit dan
masgul, ia meninggal dunia, hingga ia tinggalkan janda dan anak-anaknya yang piatu, hingga mereka ini cuma bisa


Harimau Mendekam Naga Sembunyi Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menangis saja, keram diri di dalam kamar. Kapan Siau Hou dengar kesusahannya pamili pembesar itu, ia ngodol
duaratus tail, untuk beli peti mati, buat urus orang punya layon. Dan pada si anak piatu ia bekalkan dua potong
goanpo besar. Oleh karena ini, baik tuan rumah, maupun jongos atau
lain-lain bujang hotel, begitupun tamu-tamu lainnya, yang ketahui perbuatan amal itu, lantas anggap ini tetamu yang pakai kopiah bergaris mas ada seorang hartawan dan mulia hatinya, sebagaimana dengan gampang ia hamburkan
ratusan tail perak, untuk menolong pada sesamanya yang
sedang menderita.
Akan tetapi, meskipun ia ada hartawan dan dermawan,
kendati di dalam hotel itu semua pegawai hotel hormati
padanya, air mukanya Siau Hou senantiasa tertampak
suram, sepasang alisnya selalu mengkerut.
Itu hari, sehabisnya bersantap, ia keluar dengan
menunggang kudanya yang berbulu merah sepah. Ia
berjalan di jalan-jalan besar dengan tak punya tujuan,
kudanya dikasih bertindak dengan perlahan. Di luar
kehendaknya, ia sampai di Pakshia, Kota Utara, hingga di sana ia segera tampak pula Koulau, itu pendirian yang
tinggi dan besar. Tapi melihat itu, ia jadi uring-uringan, maka kudanya segera ditujukan ke arah barat. Ia ada
bersikap ogah-ogahan lesu.
Gedung keluarga Giok ada besar dan terkurung, di
matanya Siau Hou, gedung itu ada laksana gunung yang
besar, yang menindih Giok Kiau Liong, hingga ia tak bisa ketemukan atau lihat si nona.
Kebetulan itu waktu, Hoa Lian Hoan keluar dari sebuah
rumah makan di tepi jalan besar.
"Looya!" memanggil itu pengiring.
Siau Hou tahan kudanya dan loncat turun.
"Bagaimana?" tanya ia, setelah orang itu datang dekat.
"Di muka pekarangan ada berhenti dua buah kereta," si Kuda Belang kata dengan perlahan, "itu ada kereta-kereta yang datang dari lain tempat. Giok Siocia belum kelihatan keluar, barangkali sebentar lagi kalau ia antar tetamunya pulang ... "
Siau Hou berdiam, ia berpikir. Ia ingat pada apa yang ia tampak beberapa hari yang lalu, ialah seorang perempuan
yang berpakaian serba merah, yang ia lihat di depan
gedung. Menurut ia, orang perempuan itu ada elok.
"Apakah tetamu itu ada orang perempuan?" ia tanya orang kepercayaannya itu. Tapi, tidak menunggu jawaban,
ia serahkan kudanya pada Hoa Lian Hoan, ia sendiri terus bertindak ke barat.
Siau Hou bukannya tukang kejar si paras elok tetapi ia
ada sangat perhatikan orang perempuan. Inilah disebabkan ia tahu ia ada punya dua saudara perempuan, yang
romannya ia belum kenal, yang namanya ia tahu adalah
Eng Hong atau Eng dan Hong. Ia pun tidak tahu di mana
tinggalnya dua saudara itu. Atau barangkah mereka sudah
menjadi isteri orang. Atau mereka apa lacur telah kejeblos ke rumah-rumah pelesiran. Dari itu, ia selamanya
perhatikan orang perempuan, apapula orang-orang perempuan muda. Nona siapa ia anggap ada mirip dengan
saudaranya, ia tentu cari tahu she dan namanya, asal-
usulnya. Dan sekarang, setelah lelakonnya sama Giok Kiau Liong
seperti sudah gagal, pikirannya telah tergoncang, hingga ia ingin cari nona yang terlebih elok daripada nona Giok itu, untuk ia jadikan gantinya si nona.
Ia bertindak ke depan gedung. Ia awasi itu dua buah
kereta, yang kusir-kusirnya asyik berkumpul, duduk minum teh di atas bangku kereta, sambil bercakap-cakap.
Itu waktu sudah bukan siang lagi, matahari sudah mulai
doyong ke barat. Orang yang mondar-mandir di jalan besar pun tidak banyak.
Beberapa kali, Siau Hou jalan dan balik di depan gedung.
Berbareng pun ia lihat seorang botak, yang tingkahnya
sebagai buaya darat, yang umurnya tigapuluh lebih, telah awasi ia, dua balik orang itu telah berjalan, akhirnya ia masuk ke dalam sebuah gang kecil. Ia tak perhatikan itu
orang, ia hanya bertindak terus ke timur. Saban-saban ia berpaling ke depan gedung. Kemudian, ia balik lagi.
Di langit kelihaian sinar layung yang merah dan kuning
indah sekali, sedang angin magrib sudah mulai berdesir
halus, rasanya nyaman. Selagi burung gagak mulai
berterbangan pula, di jalanan ada tertampak beberapa
tukang-tukang makanan, yang baru keluar.
Siau Hou merasakan keindahannya kota raja ini,
sekalipun beda bila dibanding dengan apa yang ia alam: di tanah datar rumput dari Sinkiang atau di padang pasir.
"Kiau Liong, apa benar-benar hatimu telah berubah?"
satu kali Siau Hou kata seorang diri, ketika ia merandek.
"Apa kau sengaja hendak bikin aku susah dengan alasan pangkat saja?"
Itu waktu ada belasan penunggang kuda yang
menghampirkan gedung. Mereka semua berpakaian serupa
dan ada menyoren golok di pinggangnya. Di antara mereka
ada satu pembesar dengan jubahnya yang terangkap makwa
ungu. Pembesar itu telah berusia cukup tinggi.
"Ia tentu ada Giok cengtong," pikir Siau Hou. "Ia nampaknya keren sekali ... "
Sia-sia saja Poan Thian In menunggu dan menunggu,
sampai ia pikir untuk berlalu saja, di saat ia bersangsi untuk ambil putusannya, tiba-tiba ia lihat keluarnya serombongan orang perempuan. Terang mereka ada tetamu dari, nyonya
atau nona rumah, bahwa si tetamu hendak pulang dan
sedang diantarkan.
Di pihak tuan rumah cuma tertampak beberapa budak
tua dan muda, tidak kelihatan Giok Kiau Liong. Di pihak
tetamu ada dua orang, yang satu ada nyonya umur kurang
lebih empat puluh tahun, dandanannya sederhana, dan
Rajawali Hitam 4 Kisah Bangsa Petualang Karya Liang Ie Shen Kisah Pendekar Bongkok 12
^