Pencarian

Ilmu Ulat Sutera 4

Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying Bagian 4


"Goloknya di sini," katanya sambil menyodorkan golok kepada
Cu Bong. Cu Bong panik sekali. Dia segera mengulurkan tangannya
untuk menyambut golok tersebut. Belum sempat mencapai
253 goloknya, orang yang memegangi golok itu sudah roboh
bersimbah darah, golok pun terjatuh di atas tanah.
Cu Bong semakin tegang. Dia membungkukkan tubuhnya
memungut golok itu. Sekali lagi terlihat sinar pedang
berkelebat. Anak rambut di jidatnya terpapas putus. Sanggul
rambutnya terlepas. Kuan Tiong-liu tidak memberinya
kesempatan, pedangnya terus mengincar Cu Bong.
Keringat sudah membasahi sekujur tubuh Cu Bong. Mabuknya
sudah lenyap entah ke mana. Dengan kalang kabut dia
berusaha menggapai senjatanya. Akhirnya berhasil juga dia
mendapatkan sebatang golok, namun sayang sekali,
tangannya baru saja sempat meraih golok tersebut, pedang
Kuan Tiong-liu sudah sampai di hadapannya. Dengan panik
dia berusaha menghindar, tapi tidak keburu lagi. Pedang itu
menebas dari keningnya ke bawah dagu.
Para anggota Bu-ti-bun yang melihat kematian Cu Bong
menjadi kalang kabut. Mereka berusaha melarikan diri
secepatnya. Liok An dan Jit Po sudah menunggu di depan
pintu. Sedangkan di tempat itu hanya ada satu jalan keluar
yaitu harus melewati tempat Liok An dan Jit Po berada.
Meskipun usia kedua bocah itu masih muda belia, namun
sabetan pedang mereka sama sekali tidak dapat dipandang
ringan. Setiap musuh yang ada di hadapan mereka, roboh
dalam sekejap mata. Demikian juga pedang Kuan Tiong-liu,
gerakan pedangnya seperti sedang membelah semangka dan
memotong sayuran saja. Sikapnya tenang sekali. Pakaiannya
yang putih sudah penuh dengan bercak-bercak darah.
Darah berhamburan di angkasa bagai bunga-bunga yang
254 rontok di musimnya. Namun bagi orang-orang Bu-ti-bun,
bagaikan sebuah mimpi buruk yang berkepanjangan.
***** Air hangat yang mengepulkan asap. Tong kayu yang
berukuran besar. Tubuh Kuan Tiong-liu berendam di dalam
tong kayu berisi air hangat itu. Dia merasakan kesegaran yang
tidak terkira. Pakaiannya yang penuh bunga-bunga darah saat itu
tergantung di hadapannya. Kuan Tiong-liu menatap
pakaiannya dengan terpesona. Kemudian dia menarik napas
panjang. "Darah yang indah!" gumamnya seorang diri.
Liok An dan Jit Po berdiri di sudut ruangan dan melayani
keperluannya. Mereka sama sekali tidak mengerti di mana
letak keindahan darah yang dimaksudkan.
"Tidak ada hal lain yang lebih menyenangkan di dunia ini
daripada membunuh orang," ucapan Kuan Tiong-liu seperti
sedang menghafal ayat suci.
Jit Po dan Liok An saling melirik. Mereka tidak berani
mengatakan apa-apa. Kuan Tiong-liu malah tertawa terbahak-
bahak. ***** Sao-laopan sekarang malah tidak bisa tertawa lagi. Di taman
belakang berserakan demikian banyak mayat anggota Bu-ti-
255 bun, dia benar-benar tidak berani membayangkan akibatnya.
Dia panik setengah mati. Ketika pelayannya datang dan
mencarinya, dia sedang bersembunyi di kolong tempat tidur.
Pelayan itu tergagap-gagap. Sao-laopan benar-benar
kehabisan sabar melihatnya. Akhirnya dia menuju taman
belakang bersama pelayan itu. Setelah tahu apa yang telah
terjadi, dia semaput sekali lagi. Di depan kuburan Go-bi
Suang-siu, terpasang beberapa batang lilin. Juga ada
beberapa batok kepala manusia sebagai sesajen! Darah
masih menetes dari kepala-kepala itu.
***** Tok-ku Hong dan Kongsun Hong saat itu sedang mengendarai
kuda di sebuah jalan kecil berjarak sepuluh li dari kota. Angin sepoi-sepoi, matahari bersinar lembut. Tok-ku Hong sama
sekali sudah melupakan kejadian kemarin malam. Wajahnya
berseri-seri, kudanya dilarikan secepat kilat.
Melihat keceriaan Tok-ku Hong, Kongsun Hong merasa
sangat gembira. Langit bagai tak berbatas, awan putih beriak-
riak. Tiba-tiba terdengar suara keliningan. Seekor merpati
putih terbang melintas. Mendengar suara itu, Kongsun Hong
segera mendongakkan kepalanya.
"Merpati pos perguruan kita!" katanya tanpa sadar.
Baru saja ucapannya selesai, sekali lagi terdengar suara
keliningan. Kembali seekor merpati melintas di angkasa.
Kongsun Hong mengerutkan keningnya. Kemudian dia
mengeluarkan sebuah peluit dari balik pakaian dan meniupnya
dua kali. Burung merpati tadi segera membelok lalu menukik
256 ke arahnya. Dengan sigap Kongsun Hong menyambutnya.
"Pasti telah terjadi sesuatu," gumamnya seorang diri.
Ada sebuah tabung kecil di kaki burung merpati itu. Kongsun
Hong melepaskan burung tersebut dan mengeluarkan sehelai
kertas kecil dari dalamnya. Selesai membaca, wajahnya
berubah hebat. "Hei! Sebetulnya apa yang telah terjadi?" tanya Tok-ku Hong
panik. "Cabang tiga belas hancur lebur. Hu-tancu dan segenap anak
buah Bu-ti-bun mati semuanya," sahut Kongsun Hong.
"Apa?" Wajah Tok-ku Hong juga berubah pucat.
"Cepat kita kembali dan melihatnya sendiri," kata Kongsun
Hong sambil membelokkan kudanya dan melarikannya
dengan kencang.
Debu beterbangan. Kedua ekor kuda dilarikan seperti
kesetanan. ***** "Siapa yang melakukannya?" ketika Kongsun Hong
mengajukan pertanyaan itu, dia dan Tok-ku Hong sudah
berada dalam kamar penginapan Sing Long Kek-can.
Kongsun Hong melayang telapak tangannya dan menampar
pipi Sao-laopan. Tubuh pemilik penginapan itu bergetar
kencang. Dengan susah payah dia berhasil mengucapkan
257 sepatah kata. "Dia bernama Kuan Tiong-liu."
"Kuan Tiong-liu?" Kongsun Hong mengerutkan keningnya.
"Bagaimana rupanya?"
"Masih sangat muda. Pakaiannya putih. Dia membawa dua
orang bocah yang kalau tidak salah bernama Jit Po dan Liok
... apa ya?"
"Apakah namanya Jit Po dan Liok An?"
"Betul."
"Apakah orang ini mempunyai kebiasaan menggunakan
mangkuk dan sumpitnya sendiri setiap makan?"
"Betul," tampaknya setiap waktu Sao-laopan akan semaput.
"Rupanya dia lagi," kata Tok-ku Hong sambil menggertakkan
giginya. "Ke mana orang itu sekarang?" tanya Kongsun Hong kembali.
"Kalau tidak salah dia pergi melalui hutan," sahut Sao-laopan.
"Kalau melalui hutan, tempat satu-satunya yang berada di
jurusan itu hanyalah Bu-tong-san. Apakah orang ini juga murid
Bu-tong-pai?" kata Kongsun Hong agak heran.
"Kalaupun bukan, tujuannya pasti Bu-tong-san," sahut Tok-ku
Hong. 258 Kongsun Hong merenung sejenak, "Bukankah Suhu telah
memerintahkan Han-ciang Tiau-siu mengintai gerak-gerik Bu-
tong-pai di sekitar ini?"
"Memang betul."
"Kita harus mengirim surat lewat merpati pos segera, suruh
Han-ciang Tiau-siu mengadang orang itu."
"Betul!" Tok-ku Hong setuju dengan usul itu. Dia segera
menghambur keluar kamar. Kongsun Hong mengikuti di
belakangnya. Baru beberapa langkah, dia membalikkan
tubuhnya dan mendelik ke arah Sao-laopan.
"Sao-laopan ... Kami percaya apa yang kau katakan. Tapi
apabila ada setengah kata saja kau berdusta, maka ...."
"Kau akan merasakan seperti apa yang terjadi pada teko itu!"
teriak Tok-ku Hong sambil menolehkan kepalanya. Tangannya
mengebas, "sret!", sebilah golok liu-yap-to meluncur ke arah
teko teh yang ada di samping Sao-laopan.
Sinar dingin berkelebat, teko teh pecah menjadi dua bagian.
Pisau itu masih meluncur terus dan menancap di atas tempat
tidur. Sao-laopan terkejut sekali. Setelah terhuyung-huyung
sejenak, dia semaput kembali.
***** Air sungai mengalir jernih. Tengah hari sudah lewat, namun
senja belum menjelang.
259 Seorang pengail bertopi pandan duduk di atas sebuah batu di
tepi sungai. Dia hanya seorang diri dan tampak sedang
terkantuk-kantuk. Batang kailnya berwarna hijau kehitaman,
sedangkan tali pancingnya agak kasar dari yang biasa. Bambu
dan tali pancing itu bergerak-gerak berkilauan disoroti sinar
matahari. Tidak terlihat seekor ikan pun. Sinar mata pengail itu tertumpu pada batang bambu di tangannya. Sulit menduga apakah dia
sedang merasa kecewa atau tidak. Tangannya yang
menggenggam batang bambu masih demikian mantap.
Sehelai daun terbawa aliran air sungai. Kuan Tiong-liu berdiri
di ujung perahu seorang diri. Tampaknya dia sedang
menikmati keindahan pemandangan pada kedua tepian
sungai. Jit Po dan Liok An duduk di dalam perahu. Tampaknya
mereka tidak terbiasa naik perahu. Di bagian buritan ada
seorang nelayan. Tangannya juga memegang sebatang
bambu sebagai alat untuk memancing.
Perahu melintas. Pengail tua tadi menggerakkan batang
bambunya. Dia menariknya kencang-kencang. Tali pancing
terungkit dari dalam air, "byar!" kailnya tersangkut di bagian
ujung perahu. Perahu yang sedang melintas mengikuti arus air itu berhenti
seketika. Pengail tua itu mengerahkan tenaganya. Sekali tali
pancing ditariknya, perahu tersebut tertarik olehnya. Lalu
perlahan mendekati tepian sungai. Rupanya yang dipancing
oleh pengail tadi bukan ikan tapi manusia.
Nelayan yang berada di buritan terkejut sekali. Jit Po dan Liok An memalingkan wajahnya memandang Kuan Tiong-liu. Anak
260 muda itu seperti tidak merasakan apa-apa. Dia juga menatap
ke arah pengail tua tersebut.
Perahu semakin dekat ke tepian sungai. Tiba-tiba tubuh Kuan
Tiong-liu melesat di udara dan mendarat di samping pengail
tua itu. Penampilannya sangat tenang, bahkan di wajahnya
terlihat sekulum senyuman. Liok An dan Jit Po segera
mengikuti gerakan tuan mudanya. Mereka mendarat di
samping Kuan Tiong-liu. Senyuman anak muda itu semakin
lebar. Nelayan tua di atas perahu segera menyurutkan badannya.
Sedangkan pengail di tepi sungai sama sekali tidak
mempedulikan mereka. Tali pancingnya ditarik kembali. Dia
membalikkan tubuhnya perlahan.
"Merepotkan kau orang tua," kata Kuan Tiong-liu setengah
bergumam. Pengail tua itu tampak terpana.
"Oh" Apakah kau tahu siapa aku?"
"Orang yang menggunakan pancingan sebagai senjata siapa
lagi kalau bukan Siang-ciang Hi-ing?"
"Termasuk makhluk apa Siang-ciang Hi-ing itu" Orang yang
menggunakan pancingan sebagai senjata, memangnya cuma
dia saja?" sahut pengail tua itu sambil mendengus dingin.
"Sebetulnya masih ada satu lagi Han-ciang Tiau-siu," kata
Kuan Tiong-liu dengan nada dingin. "Tapi dengan kedudukan
seperti orang tua itu, mana mungkin dia sudi duduk di tepi
261 sungai menunggu aku?"
"Bocah busuk! Lidahmu tajam sekali!" pengail tua itu
melepaskan topi pandannya. Terlihat rambutnya yang sudah
memutih. Wajahnya sudah keriput semua. "Aku memang Han-
ciang Tiau-siu," katanya.
"Ternyata memang kau orang tua!" Kuan Tiong-liu pura-pura
terkejut. "Harap maafkan boanpwe yang tidak tahu aturan.
Entah apa yang kau inginkan orang tua?"
"Kuan Tiong-liu!" teriak Han-ciang Tiau-siu. "Kau
menghancurkan cabang tiga belas Bu-ti-bun kami. Dan kau
juga membunuh anggota-anggotanya. Lohu hari ini akan
menjernihkan utang piutang ini."
"Apakah Lojinke (orang tua) juga merupakan anggota Bu-ti-
bun?" tanya Kuan Tiong-liu bersandiwara.
"Tidak salah! Wie-tian-wei-toa, Ju-jit-fang-tiong."
"Boanpwe ingin bertanya kepada Lojinke, entah apa
kedudukanmu di Bu-ti-bun?"
"Hu-hoat!"
"Boanpwe semakin tidak mengerti," kata Kuan Tiong-liu sambil
tertawa dingin. "Locianpwe pernah menggetarkan dunia
kangouw selama puluhan tahun. Dengan kedudukan
locianpwe, mengapa sudi menurunkan derajat menjadi hu-
hoat orang?"
"Jangan banyak bicara!" sahut Han-ciang Tiau-siu dengan
262 wajah garang. "Setelah membunuh anak buah Bu-ti-bun, kau orang tua
segera menampilkan diri. Apabila boanpwe membunuh
engkau, apakah Tok-ku Bu-ti akan mencariku untuk
membalaskan dendam bagimu?" tanya Kuan Tiong-liu sinis.
"Besar sekali mulutmu. Tidak heran kau berani membunuh
anak buah Bu-ti-bun," kata Han-ciang Tiau-siu marah.
"Jangan kata baru anak buah, hu-hoatnya juga aku berani
bunuh!" Han-ciang Tiau-siu malah tertawa terbahak-bahak.
"Bagus! Hari ini aku orang tua harus memberi pelajaran
kepadamu!" batang bambunya segera diangkat ke atas.
Jit Po juga mengeluarkan pedang pendeknya. Han-ciang Tiau-
siu menutul kakinya dan melayang sejauh tiga depa di mana
terdapat sebuah tanah kosong.


Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ke sini!" katanya.
Kuan Tiong-liu menghunus pedangnya. Pergelangan tangan
digetarkan. Sekali loncat dia juga sudah berada di tanah
kosong itu dan berdiri berhadapan dengan Han-ciang Tiau-siu.
"Silakan!" katanya.
Han-ciang Tiau-siu berteriak lantang, pancingannya segera
digerakkan dan mengincar tiga urat darah mematikan Kuan
Tiong-liu. Pancingan tersebut merupakan senjata di luar
263 senjata. Orang yang menggunakan senjata semacam ini harus
mempunyai tenaga dalam yang kuat.
Kuan Tiong-liu juga sadar bahwa pengail tua ini pernah
menggetarkan dunia kangouw dua puluh tahun yang silam.
Ilmu silatnya tinggi sekali. Dia tidak berani memandang ringan.
Tubuhnya meleset dengan ringan. Pedangnya yang bergerak
cepat menangkis datangnya pancingan Han-ciang Tiau-siu.
Kemudian dia balas menyerang.
Belum lagi pedangnya sempat mencapai sasaran, pancingan
Han-ciang Tiau-siu kembali meluncur di samping kepalanya.
Kemudian tali pancing ditarik kembali dan dilontarkan ke arah
dada Kuan Tiong-liu.
Kuan Tiong-liu menggeser sedikit tubuhnya dan membiarkan
pancing itu lewat. "Ting!", pedangnya digerakkan dan
menebas batang bambu di tangan Han-ciang Tiau-siu. Orang
tua itu memutar tubuhnya, persis seekor ikan yang berenang
dengan gesit. Tali pancingnya bergerak mengarah
tenggorokan Kuan Tiong-liu. Pemuda itu berhasil menghindar,
namun kembali pancingan sudah melayang kembali dan
mengancam tujuh buah jalan darahnya.
Pemuda itu menutulkan kakinya ke tanah dan melayang di
udara. Serangan pancingan itu luput semuanya. Sikap Kuan
Tiong-liu sangat tenang. Mungkin hal ini pula yang membuat
Han-ciang Tiau-siu semakin kesal.
"Hari ini Lohu akan membuat kau menjadi umpan ikan!"
teriaknya keras. Sekali lagi bambu di tangannya digetarkan.
Sampai saat itu Kuan Tiong-liu masih belum banyak
264 melakukan serangan. Dia hanya bergeser dan berputaran
menghindari ancaman senjata Han-ciang Tiau-siu. Seratus
dua puluh tujuh jurus sudah berlalu. Kuan Tiong-liu tidak ingin main-main lagi. Sudah cukup baginya untuk menjajaki ilmu
yang dimiliki Han-ciang Tiau-siu.
Kakinya bergerak cepat, pedang berkelebat. Tubuhnya
berubah menjadi bayangan. Han-ciang Tiau-siu tidak mengira
anak semuda itu sudah mempunyai kepandaian demikian
tinggi. Dia bersikap hati-hati. Tapi Kuan Tiong-liu bukanlah
Kuan Tiong-liu kalau dia mau memberi kesempatan kepada
musuhnya. Pedangnya seakan menari-nari di udara. Han-
ciang Tiau-siu sama sekali tidak mempunyai kesempatan
untuk membalas menyerang. Dia sudah terdesak mundur
beberapa langkah. Sedangkan pedang Kuan Tiong-liu masih
merandek terus. Tampaknya sekarang pemuda itu yang
mempunyai posisi di atas angin.
Han-ciang Tiau-siu berhasil menghindarkan diri. Kali ini dia
sempat menggerakkan pancingannya, namun malang, pedang
Kuan Tiong-liu yang secepat kilat sudah berada di depan
mata. Sedangkan Han-ciang Tiau-siu terjatuh ke dalam
sungai. Gerakan pedang Kuan Tiong-liu berhenti. Dia mendongakkan
wajahnya dan tertawa terbahak-bahak. Tidak lama kemudian,
terlihat Han-ciang Tiau-siu menyembulkan kepalanya dari
dalam air. Tubuhnya melesat dan berjungkir balik beberapa
kali. Akhirnya dia berhasil mencapai seberang sungai.
Sekali lagi Kuan Tiong-liu tertawa terbahak-bahak. "Sungguh
banyak orang aneh di dunia ini. Seorang Hu-hoat Bu-ti-bun
saja tidak malu berbuat demikian, aku harap murid Bu-tong-
265 pai tidak akan membuat aku kecewa," katanya.
Ternyata dia memang benar-benar hendak menuju Bu-tong-
san. Sebetulnya apa yang di nginkan Kuan Tiong-liu" Apakah
dia bermaksud mengadu kepandaian dengan murid Bu-tong-
pai" ***** Matahari belum tenggelam. Keenam murid Bu-tong-pai yaitu
Pek Ciok, Kim Ciok, Giok Ciok, Cia Peng, Yo Hong dan Fu
Giok-su masih berlatih dengan giat. Mereka berdiri di atas
sebuah batu. Keenam orang tersebut membentuk lingkaran.
Hanya ada sebuah celah di bagian dalam dan di depannya Ci
Siong tojin berdiri.
Ci Siong tojin masih belum sehat, wajahnya masih terlihat
pucat. Sejenak kemudian dia berjalan menuju sebatang kayu
tinggi dan duduk di sana. Dia memperhatikan murid-muridnya
berlatih. Setelah cukup puas, dia pindah ke atas sebuah batu
berbentuk pat-kwa. Batu itu dapat berputar segala arah.
Asalkan Ci Siong tojin menumpu tangannya ke samping dan
mengentak. Dengan demikian, dia dapat memperhatikan
muridnya satu per satu dan melihat kemajuan latihan mereka.
Wajahnya tidak kelam. Tampaknya dia cukup puas dengan
hasil yang dicapai keenam muridnya itu.
Keringat sudah membasahi tubuh keenam orang itu. Tapi
mereka tidak bermaksud berhenti berlatih. Pek Ciok, Cia
Peng, Kim Ciok, Giok Ciok dan Yo Hong setia kepada Bu-
tong-pai, sedangkan Fu Giok-su memikul beban dendam
keluarganya. Suara teriakan lantang terus terdengar.
Kumandangnya mengaung sampai ruangan depan.
266 ***** Wan Fei-yang melewati tempat latihan itu. Mendengar suara
teriakan, langkah kakinya segera diperingan. Dia seperti
terpesona. Tanpa sadar langkah kakinya semakin mendekati
tempat keenam orang itu berlatih.
Dua orang murid Bu-tong menjaga di luar. Wan Fei-yang yang
melihat mereka, segera menyadari apa yang akan terjadi
apabila dia meneruskan langkahnya. Namun dia tetap nekat.
Dia menghampiri kedua murid Bu tong yang sedang menjaga
itu. Tiba-tiba salah satunya mengadang di depan Wan Fei-
yang, "Berhenti!"
"Untuk apa kau datang ke tempat ini?" tanya yang satunya
lagi. "Mengantarkan minuman untuk para suheng yang sedang
berlatih." Hal ini memang benar. "Suheng berdua menjaga di
sini sekian lama, tentu kalian juga sudah lelah dan haus."
"Oleh karena itu, jangan lupakan bagian kami," sahut salah
satunya. "Tentu saja ...." sahut Wan Fei-yang sambil meletakkan teko
teh dan beberapa cawan di lantai. Dia menuangkan secawan
teh untuk masing-masing orang itu.
Warna teh sangat pekat, harumnya semerbak. Sekali lihat
saja, kedua murid Bu-tong itu segera tahu bahwa teh yang
disuguhkan diseduh dari daun teh yang baik. Apa lagi setelah
menghirup wanginya. Kerongkongan mereka semakin kering
267 saja rasanya. "Harum sekali," kata salah satu orang itu tanpa sadar.
"Ini adalah teh Lung-cing sebelum musim hujan. Para suhu
biasanya menyuguhkan tamu dengan teh sejenis ini," kata
Wan Fei sembari mengangkat kembali bakinya dari lantai.
"Tidak heran ..." setelah meminum tanpa sadar kedua murid
Bu-tong itu menghirupnya dalam-dalam. "Teh Lung-cing
sebelum musim hujan memang paling bagus. Dapat
menghilangkan dahaga dan menurunkan demam badan. Lain
dengan teh umumnya," kata salah satu penjaga tersebut.
Wan Fei-yang tidak ingin kehilangan kesempatan baik.
"Suheng berdua silakan menikmati perlahan-lahan. Aku akan
mengantarkan teh ini ke dalam," sahutnya buru-buru.
"Baik!" kata penjaga itu sambil terus memuji tiada hentinya.
Wan Fei-yang membawa baki berjalan ke depan. Mereka
sama sekali tidak mempedulikannya. Hatinya gembira sekali.
Belum sempat dia mendorong pintu ruangan itu, salah
seorang murid Bu-tong sudah berdiri dan memalingkan
wajahnya. "Berdiri di tempat!" bentaknya.
Wan Fei-yang terpana. Orang itu mengulurkan tangannya dan
mencengkeram, leher baju anak muda itu. "Mau ngintip" Tidak
begitu mudah!"
Penjaga yang satunya segera menghampiri. "Kau bermaksud
268 menyuap kami dengan secangkir teh Lung-cing sebelum
musim hujan" Kau kira kami tidak tahu apa maksudmu?"
bentaknya marah.
"Kelihatannya kau cukup jujur, siapa tahu hatimu demikian
licik. Sayang sekali kau bertemu dengan kami."
"Jangan mempunyai pikiran yang bukan-bukan. Kami yang
akan membawa teh ini ke dalam. Kau kembali dan teruskan
pekerjaanmu."
Kedua orang itu saling sahut-menyahut mengatasinya.
Kemudian salah seorang penjaga itu mengambil baki dari
tangan Wan Fei-yang. Sedangkan rekannya yang lain
mencengkeram leher baju anak muda itu dan
melemparkannya keluar dari tempat tersebut.
***** Air kolam sangat jernih. Memandangi bayangan sendiri di
dalam kolam, perasaan Wan Fei yang sangat tertekan. Dia
benar-benar tidak mengerti. Mengapa Ci Siong tojin
tampaknya begitu sentimen kepadanya.
Angin malam membawa keharuman dedaunan dari
pegunungan. Di dalam kolam yang jernih terlihat seekor ikan
lele sedang berenang ke tepian. Mata Wan Fei-yang
mengedar. Tiba-tiba dia mengembangkan sebuah senyum.
Tidak ada orang di sekitarnya. Dia mengulurkan tangan
secepat kilat dan menangkap ikan lele itu.
"Wan-ji, aku berhasil menangkap seekor ikan lele!" teriaknya
tanpa sadar kemudian menghambur keluar.
269 Lun Wan-ji tidak berada di sekitar situ, tentu saja dia tidak
dapat mendengarkan teriakannya. Kenyataannya malah dia
tidak tahu bagaimana perasaan Wan Fei-yang kepadanya.
***** Malam mulai larut.
Di taman bunga sunyi tiada seorang pun. Sepasang tangan
Wan Fei-yang memegang sebuah panci kecil. Dia berjalan
melalui tembok pembatas taman. Tujuannya kamar Lun Wan-
ji. Langkah kakinya dibuat seringan mungkin. Dia mondar-
mandir di depan pintu kamar. Beberapa kali dia mengulurkan
tangannya untuk mengetuk pintu. Namun entah kenapa, dia
membatalkannya lagi.
Kalau melihat tampangnya, kelihatan sekali dia gugup.
Tangannya yang sudah terangkat ditarik kembali, kemudian
diangkat lagi lalu ditarik kembali. Entah kemana hilangnya
keberanian dalam hati anak muda itu.
Akhirnya dia mendapat akal. Perlahan dia meletakkan panci
kecil itu di atas tanah. Dan dia merasa perbuatannya itu sudah
tepat. Dia menarik napas dalam-dalam. Kemudian dia
membalikkan tubuh dengan maksud meninggalkan tempat itu.
Namun begitu dia membalikkan tubuhnya, dia melihat
seseorang. Mata Wan Fei-yang membelalak, mulutnya
terbuka lebar. Orang itu adalah Lun Wan-ji. Dia berdiri di
gerombolan bunga yang ada di dekatnya. Wan Fei-yang
malah tidak tahu sejak kapan dia sudah berdiri di situ.
270 Dengan perasaan heran dia menatap Wan Fei-yang. "Untuk
apa kau menaruh panci kecil di depan pintu kamarku?"
tanyanya. Wajah Wan Fei Yan merah padam. Untung saja pada saat itu
bulan tak menampakkan seluruh dirinya sehingga remang-
remang dan Wan-ji pasti tidak akan memperhatikan.
"Aku ... aku dengar kau sedang kurang sehat. Tidak mau
makan nasi. Maka aku memasakkan sedikit bubur untukmu
...." sahut Wan Fei-yang salah tingkah.
"Kau sungguh baik."
Hati Wan Fei-yang senang sekali mendengar pujian itu. "Wan-
ji kouwnio, mumpung masih hangat ...."
Lun Wan-ji menganggukkan kepalanya sambil tersenyum.
"Tolong bawakan ke dalam ya ...." katanya sambil mendorong
pintu kamar. "Baik," sahut Wan Fei-yang sambil mengangkat panci berisi
bubur itu dan membawanya masuk ke dalam kemudian
meletakkannya di atas meja.
"Oh ya ... mengapa tadi tingkahmu aneh sekali. Aku lihat kau
sudah beberapa kali mengulurkan tangan untuk mengetuk
pintu tapi tidak jadi," tiba-tiba Wan-ji bertanya.
Wajah Wan Fei-yang merah padam, "Aku ... aku sebetulnya
malu bertemu lagi denganmu."
271 "Oh?"
"Sebelumnya aku mengatakan bahwa Ciangbunjin akan
menerima aku sebagai murid. Ternyata ... ternyata tidak. Kau
pasti mengira aku berdusta lagi."
"Siau Fei ... bagaimana sifatmu aku sangat paham. Kalau
memang mau disalahkan, salahkan nasibmu yang buruk,"
sahut Wan-ji menghibur.
Mendengar kata-kata itu, perasaan tertekan Wan Fei-yang
menjadi lenyap seketika. Lun Wan-ji membuka tutup panci
berisi bubur itu.
"Begini banyak" Aku sendirian bagaimana mungkin
menghabisikannya. Kau juga makan sedikit ya," kata gadis itu
sambil tersenyum manis.
"Aku ...."
"Kalau kau tidak mau makan, aku juga tidak ...."
"Aku makan ... aku makan." sahut Wan Fei-yang panik. Dia
cepat-cepat menyendokkan semangkuk penuh untuk Lun
Wan-ji. Lu Wan-ji menerimanya dan mencoba satu sendok. Tanpa
sadar dia memuji, "Enak sekali." Kepalanya manggut-
manggut, "Rasanya manis lagi."
"Tentu saja. Aku memasaknya dengan mencampurkan seekor
ikan lele."
272 "Benar?" Lu Wan-ji tersenyum. "Merepotkan kau saja,"
katanya. Melihat kegembiraan Lun Wan-ji, hati Wan Fei-yang senang


Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bukan kepalang.
***** Sambil bercakap-cakap dan tertawa, akhirnya bubur sepanci
itu habis juga. Tadinya Wan Fei-yang menganggap terlalu
banyak, sekarang malah merasa kekurangan. Dia berharap
dapat agak lama bersama gadis itu. Maka ketika dia
membereskan panci dan mangkuk kotor, dia sengaja bekerja
lambat-lambat. Malam semakin larut. "Cring!", tiba-tiba semilir angin
mengumandangkan sebuah suara. Kedengarannya begitu
dekat, namun sepertinya juga sangat jauh. Itu adalah suara
harpa. Mendengar dentingan itu, hati Lun Wan-ji semakin
gembira. Sebetulnya dia senang membantu Wan Fei-yang
membereskan perabotan makan mereka, wajahnya tersenyum
terus. Sekarang senyuman semakin lebar, namun gerakan
tangannya juga menjadi cepat. Wan Fei-yang malah tidak
memperhatikan. "Taruh saja di situ. Nanti aku yang mencucinya," kata Wan-ji.
"Tidak usah ... tidak usah .?" baru saja dia menumpukkan
perabotan itu menjadi satu Wan-ji sudah menghambur keluar.
Wan Fei-yang terpaksa mengikutinya Suara dentingan harpa
masih terus berbunyi, Wan-ji keluar dari kamarnya karena
tertarik oleh suara harpa tersebut. Pikirannya seperti
273 melayang-layang. "Kalau begitu aku tidak mengantarmu lagi,"
kata gadis itu selanjutnya,
"Tidak usah ..." sahut Wan Fei-yang gugup. Dia masih ingin
meneruskan kata-katanya, tapi Wan-ji sudah mempercepat
langkahnya ke depan.
Arah yang diambilnya menuju taman depa Apa yang
membuatnya demikian tergesa-gesa" Wan Fei-yang masih
merasa heran ketika melihat sesuatu terjatuh dari pinggang
Wan-ji. Dia cepat-cepat memanggil gadis itu, "Wan-ji kouwnio
...." "Lain kali kita ngobrol lagi panjang lebar," sahutnya tergesa-
gesa. Sekali berkelebat, tubuhnya menghilang di tikungan.
Mendengar ucapannya, kembali Wan Fei-yang terpana.
Akhirnya dia mempercepat langkahnya. Sebuah dompet kain
bersulam indah tergeletak di atas lantai. Tidak diragukan lagi
kalau benda itu milik Wan-ji. Gadis itu selalu membawanya ke
mana saja, bagaikan harta kesayangan. Biasanya dia sangat
memperhatikan dompet ini. Mengapa sekarang begitu mudah
terjatuh dari sakunya"
Apakah dia sengaja meninggalkannya untukku" Wan Fei-yang
membungkukkan tubuhnya mengambil dompet kain tersebut.
Dia memandanginya dengan termangu-mangu.
***** Suara harpa berasal dari bawah sebatang pohon siong tua.
Bintang rembulan bersinar redup. Pohon siong berdiri tegak.
Giok-su yang duduk dibawah pohon siong dengan wajah
274 termenung, tampak semakin tampan memikat.
Sebuah harpa bersenar lima tergeletak di atas sebuah batu di
hadapannya. Kedua jari tangannya bergerak gemulai.
Laksana tenggelam dalam alunan harpanya sendiri. Wan-ji
melangkah mendekati dengan mengendap-endap. Dia tidak
ingin menimbulkan sedikit suara pun yang akan mengejutkan
anak muda tersebut.
Namun Giok-su telah mengetahui kehadirannya. Tangannya
masih memainkan harpa.
"Sumoay ... kau rupanya "."
Wan-ji tersenyum manis. "Suheng ... teruskan saja
permainanmu," sahutnya.
Giok-su membalas senyumnya. Suara dentingan harpa masih
terus berlanjut. Wan-ji duduk di atas sebuah batu yang
terdapat di samping anak muda itu. Dia mendengarkan
dengan segenap perhatian. Sekejap saja dia sudah terlena
oleh buaian alunan harpa tersebut.
Ditilik dari keadaannya, dia pasti bukan untuk pertama kali
mendengar Fu Giok-su memetik harpa. Lagi pula dia juga
tentu senang sekali mendengarkannya. Mata Giok-su
menatap ke arah Wan-ji. Sepasang jari tangan tetap menari-
nari di atas alat musik tersebut. Iramanya tidak sumbang sama
sekali. Tentu sudah lama dia mempelajari ilmu yang satu ini.
Irama harpa itu ibarat air sungai yang mengalir, segala
perasaan seakan hanyut bersamanya. Sambil memetik harpa,
pikiran Giok-su semakin melayang-layang. Wan-ji tidak
275 merasakannya. Giok-su tersenyum simpul, "Sumoay ... bagaimana menurutmu
irama yang aku mainkan ini?"
"Bagus sekali," sahut Wan-ji bagai tersadar dari mimpi.
"Aku gembira kau menyukainya."
"Kenapa" Apakah kau sengaja memetiknya untukku?"
Giok-su tersenyum tanpa menyahut. Wajah Wan-ji merah
padam. "Suheng, kau Bun-bu-coan-cai (pendidikan dan ilmu
silat dikuasai dengan baik). Benar-benar mengagumkan,"
katanya. "Lagi-lagi kau berkata demikian," sahut Giok-su tersipu-sipu.
"Betul kok .... Suheng, kapan kau akan mengajarkan aku
memetik harpa?" tanya Wan-ji selanjutnya.
"Kau benar-benar mau mempelajarinya?"
"Aku serius. Katakan ... kapan kau mau mengajarkan aku?"
"Bagaimana kalau sekarang saja?"
Wan-ji tidak mau kehilangan kesempatan baik, dia segera
menganggukkan kepalanya dan menghampiri Giok-su. Anak
muda itu berdiri dan membiarkan Wan-ji duduk di hadapan
batu di mana harpa itu tergeletak. Sepasang jari tangannya
menekan di atas senar.
276 "Beginikah caranya?"
Giok-su menggelengkan kepalanya. Jarinya menyentuh senar
perlahan, "Perhatikan baik-baik."
Jarak antara kedua orang itu sedemikian dekat. Giok-su bisa
mencium bau harum yang terpancar dari tubuh Wan-ji. Jarinya
menyentil, "tring!", denting suara harpa menggetarkan
sanubarinya. Wan-ji belum paham juga. Jarinya mengikuti gerakan Giok-su,
namun nadanya demikian rendah dan tidak enak didengar.
Dua pasang mata saling pandang. Wajah Wan-ji
menampakkan rona memerah. Kepalanya tertunduk malu.
"Mengapa aku tidak bisa memainkannya seperti engkau?"
"Karena gerakanmu salah. Meskipun jari kirimu sudah betul,
tetapi tenaga sentilan jari kanan kurang tepat. Seharusnya
begini ..." perlahan Giok-su mengulurkan tangannya
menyentuh jari Wan-ji lembut.
Wan-ji membiarkannya. Dia tidak melepaskan tangan anak
muda itu. Wajahnya merah padam. Giok-su memang tidak
dapat melihatnya namun dia merasakan tangan Wan-ji
bergetar terus.
Sekali lagi terdengar suara "cring!". Akhirnya nada suara yang
terdengar persis seperti yang dimainkan Giok-su sebelumnya.
"Betul kan?"
Lu Wan-ji tidak mengucapkan sepatah kata pun.
277 ***** Penerangan di dalam kamar redup sekali. Tangan Wan Fei-
yang masih menggenggam dompet kain itu. Dia duduk
termenung di sisi tempat tidur. Masih terbayang di pelupuk
matanya ketika dia menikmati bubur ikan bersama Wan-ji.
Bibirnya tersenyum. Begitu lugunya sehingga mirip orang
bodoh. Entah berapa waktu sudah berlalu, akhirnya dia
tersadar dari lamunannya. Dia mengedarkan pandangannya
lalu meloncat dari tempat tidur. Dia sibuk mencari-cari,
akhirnya dia berhasil menemukan secarik kertas dan sekotak
tinta. Dia duduk termenung di samping meja.
Alisnya berkerut. Lama sekali dia baru tersenyum-senyum. Dia
mulai menggosok-gosok tempat tintanya. Kemudian mulai
menulis. Jangan lihat tampangnya ketolol-tololan, ternyata
tulisannya boleh juga.
***** Lentera semakin redup. Di atas lantai berserakan puluhan
carik kertas yang telah terpuntel-puntel. Wan Fei-yang menulis
lagi beberapa huruf, dia membacanya sekilas. Akhirnya dia
meremas kertas itu dan membuangnya lagi ke atas lantai. Dia
melakukannya berulang kali. Kenyataannya, menulis surat
bukanlah bakat anak muda itu. Namun setelah mencoba lagi
beberapa kali, dia berhasil juga menyelesaikan sepucuk surat.
Wan Fei-yang mengibas-ngibaskan surat di tangannya agar
tinta tulisannya cepat kering. Setelah itu dia membaca sekali
lagi, kemudian melipatnya baik-baik. Dia memandangi dompet
278 kain yang harum itu, kemudian matanya beralih kembali pada
surat di tangannya. Ia harus mengambil keputusan.
Dimasukkannya lipatan surat tersebut ke dalam dompet kain
tadi, lalu dia kembali duduk dengan termangu-mangu.
Sinar matanya menerawang. Bibirnya tersenyum. Tangannya
menggenggam dompet kain tersebut erat-erat. Lalu dia
memantapkan hatinya dan keluar dari kamar. Baru berjalan
beberapa langkah, dia berhenti lagi. Tangannya mendekap
dada. Terdengar suara Tik! Tak! Tik! Tak! Detak jantung yang
berdebaran. Dia berdiri merenung sejenak, kemudian
membalikkan tubuhnya dan kembali ke kamar. Dari kotak kayu
di kolong tempat tidur, dia mengeluarkan sebotol arak. Dia
teguk arak itu dengan pikiran kacau. Setelah beberapa teguk,
wajahnya mulai merah. Pakaiannya juga ikut basah terciprat
arak yang berceceran. Dia tidak peduli akan semua itu. Entah
karena semangatnya terpancing atau karena pengaruh arak
itu sendiri, akhirnya dia meletakkan botol arak di atas meja
dan menghambur keluar dari kamarnya.
***** Dengan penuh semangat dia berlari menuju kamar Wan-ji.
Langkahnya berhenti di depan pintu. Matanya celingukan
seperti maling. Di dalam taman itu hanya ada Wan Fei-yang
seorang. Perlu diketahui bahwa rumah jaman dahulu berbeda
dengan jaman sekarang, di setiap bagian terdapat taman yang
indah. Biasanya di samping taman-taman itu terdapat
beberapa kamar tidur atau ruang tamu.
Wan Fei-yang menggertakkan giginya. Dia mengeluarkan
dompet kain dari balik pakaiannya kemudian menghambur ke
kamar Wan-ji. Namun sampai undakan batu, dia melambatkan
279 kembali langkah kakinya.
Dari dalam kamar terlihat penerangan. Wan Fei-yang mondar-
mandir di depan kamar. Sejenak kemudian dia menuruni
undakan batu kembali. Mulutnya membuka. Perkataan yang
sudah di ujung lidah ditarik kembali. Melihat tampangnya,
tampaknya lebih gugup daripada ketika mengantarkan bubur
tadi. Karena yang dibawanya sekarang adalah sepucuk surat.
Dia berjalan memutari taman tersebut dengan harapan seperti
sebelumnya, Wan-ji berdiri di belakangnya dan menegur.
Dengan demikian dia tidak menemukan kesulitan memberikan
surat itu kepada sang gadis. Dia berjalan berputaran, tiba-tiba dia mendengar suara langkah kaki. Asalnya dari belakang ....
Langkah kaki terhenti. Wan Fei-yang pura-pura tidak tahu. Dia
menunggu sampai suara langkah kaki semakin mendekat baru
menolehkan kepalanya ....
"Wan ...."
Baru sepatah kata itu keluar dari mulutnya, wajah Wan Fei-
yang segera tertegun. Sepasang tangannya buru-buru
diselinapkan ke belakang. Orang yang datang itu bukan Wan-ji
melainkan Gi-song.
Hidung tosu itu sedang bergerak mengendus-endus. Wan Fei-
yang tertawa sumbang. Sepasang tangannya masih
bersembunyi di belakang punggung.
"Apa yang sedang kau lakukan?" akhirnya Gi-song
mengajukan pertanyaan.
280 "Tidak apa-apa ... aku sedang ... menikmati indahnya
rembulan."
"Kurang ajar! Hari ini tanggal satu, mana ada rembulan yang
dapat dinikmati?" bentak Gi-song marah.
Wan Fei-yang terpana. Dia mendongakkan wajahnya. Di atas
langit bulan hanya menyembulkan kepalanya sedikit. Bintang-
bintang justru bertaburan. Sekali lagi hidung Gi-song
bergerak- gerak.
"Kau baru minum arak?"
"Aku ... aku "."
"Apa yang kau sembunyikan di belakang tubuhmu?"
Wajah Wan Fei-yang panik sekali, "Aku ... aku ti ... dak
menyembunyikan apa-apa!"
"Kemarikan!" bentak Gi-song sambil mengulurkan telapak
tangannya. Sinar matanya laksana kilat.
Dengan terpaksa Wan Fei-yang menyerahkan dompet kain
tersebut. "Dompet kain?" Gi-song juga melihat surat yang terselip di
dalamnya. "Apa lagi ini?" bentaknya sambil mengeluarkan
surat tersebut.
Wajah Wan Fei-yang semakin ketakutan.
"Tengah malam buta, mulut bau arak, tangan memegang
281 dompet perempuan. Tingkah laku mencurigakan. Hm ... pasti
kau melakukan perbuatan yang memalukan!" bentak Gi-song
kembali. "Aku ... tidak ...." begitu paniknya Wan Fei-yang sampai
tergagap-gagap.
"Tidak ...?" Gi-song mengangkat dompet di tangannya. "Dari
mana dompet ini?"
Wan Fei-yang menjadi serba salah, tidak tahu bagaimana
harus menjawab. Tepat pada saat itu, Giok-su mengiringi
Wan-ji berjalan ke arah mereka. Melihat kedua orang itu,
mereka mempercepat langkahnya.
Wan Fei-yang semakin panik melihat kehadiran Wan-ji. Gi-
song memalingkan wajah ke arah gadis itu. Wan-ji
memperlihatkan tampang heran.
"Susiok ... mengapa dompetku bisa ada di tanganmu?"
tanyanya. "Ini kepunyaanmu?" Gi-song terpana sejenak. Kemudian dia
menuding kepada Wan Fei-yang, "Mengenai persoalan ini,
kau harus bertanya kepada bocah itu. Aku mendapatkannya
dari dia."


Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Wan-ji tertegun. Dia memandang ke arah Wan Fei-yang. Anak
muda itu hanya tertawa getir.
"Di dalamnya ada sepucuk surat," kata Gi-song selanjutnya.
Dia mengeluarkan surat tersebut dan mengibas-
ngibaskannya. 282 "Surat itu bukan kepunyaanku," sahut Wan-ji.
"Lalu siapa punya?" tanya Gi-song sambil membuka surat itu.
"Di bawahnya tercantum nama "Wan Fei-yang?" Matanya
mendelik kepada anak muda itu. Wan Fei-yang hampir
semaput dibuatnya.
"Giok-su ... coba lihat apa yang tertulis di dalamnya," kata Gi-song sambil menyerahkan surat tersebut kepada Giok-su.
Giok-su menerima surat itu dengan enggan, "Wan-ji-moay ..."
Baru membaca tiga huruf, alisnya langsung berkerut.
Gi-song juga tertegun. "Teruskan!" bentaknya.
"Sehari tidak bertemu bagaikan tiga musim dingin ...."
Wan-ji tidak mengerti apa yang dimaksudkan. Wajah Wan Fei-
yang sudah merah seperti kepiting direbus.
"Giok-su, apa sebetulnya yang kau baca" Apakah kau tidak
salah baca?"
"Tecu hanya membaca apa yang tertulis dalam surat ini."
Gi-song merebut surat itu dari tangan Giok-su. Dia
menyerahkannya kembali kepada Wan Fei-yang, "Kau saja
yang baca!"
Wan Fei-yang terpaksa menerima surat itu. Dia berdiri dengan
tubuh gemetar. Mulutnya terkatup rapat-rapat.
283 "Baca!" bentak Gi-song sekali lagi.
Wan Fei-yang menenangkan hatinya. Akhirnya dia mulai
membaca. "Wan-ji-moay ... sehari tidak bertemu seakan
berpisah tiga kali musim semi."
Tiba-tiba Gi-song tertawa terbahak-bahak, "Oh ... rupanya
surat cinta."
Wan-ji yang berdiri di samping mulai marah. Matanya
mendelik ke arah Wan Fei-yang. Tanpa berpikir panjang lagi
dia menghambur masuk ke dalam kamar dan membanting
pintu sekuat-kuatnya.
Dengan wajah ketakutan Wan Fei-yang menatap pintu yang
sudah tertutup rapat itu. Dia tidak tahu harus berbuat apa
sekarang. Giok-su segera menengahi. "Wan-heng ... malam
sudah larut, lebih baik kau kembali ke kamar dan beristirahat,"
katanya. Tentu saja Wan Fei-yang mengerti Giok-su sedang
membantunya. Dia menganggukkan kepala lalu membalikkan
tubuh dengan maksud meninggalkan tempat itu. Siapa tahu
Gi-song segera mengadangnya. "Kau tidak boleh pergi begitu
saja!" bentaknya garang.
"Tianglo ..." hati Wan Fei-yang menjadi tegang kembali.
Giok-su segera menghampiri ....
"Susiok ... masalah ini ...."
Gi-song tertawa dingin.
284 "Serahkan kepada Ciangbun-suheng. Lihat bagaimana dia
menyelesaikannya."
Mendengar kata-katanya, Wan Fei-yang semakin panik.
Keringat sebesar kacang kedelai menetes di keningnya.
***** Cahaya lentera remang-remang. Wajah Ci Siong tojin yang
pucat menyiratkan rona merah, tampaknya sedang marah.
Melihat keadaan itu, Giok-su tidak berani bersuara. Gi-song
malah memperlihatkan rasa senang melihat penderitaan orang
lain. "Suheng, kali ini kau harus memberi pelajaran sepantasnya
kepada orangmu itu," sindirnya.
Ci Siong tojin malah menjadi tenang. Matanya menatap Wan
Fei-yang lekat-lekat.
"Fei-yang, tanpa mengatakan berani berbuat adalah
perbuatan maling. Kau sudah melanggar peraturan Bu-tong
kita. Bagaimanapun kau harus menerima hukuman yang
berat," katanya tegas.
Kepala Wan Fei-yang tertunduk dalam-dalam.
"Mulai besok kau harus memikul air selama satu tahun," kata
Ci Siong tojin kembali.
"Terima kasih, Ciangbunjin," Wan Fei-yang senang
mendengar keputusan itu.
285 "Jangan gembira dulu. Yang Punco maksudkan adalah
memikul air dari bawah gunung sampai atas sini," kata Ci
Siong tojin. Tampang Wan Fei-yang berubah ketolol-tololan. Dari bawah
gunung ke atas sini, dia tentu sudah dapat
membayangkannya. Tanpa membawa apa-apa sudah pasti
seluruh tubuh akan basah oleh keringat. Apa lagi mengangkut
dua gentong air.
"Ada lagi ..." wajah Ci Siong tojin sangat serius. "Sambil
mengangkat dua gentong air, kau harus menghafal peraturan
Bu-tong-pai, agar kelak bila akan berbuat kesalahan, kau akan
mengingatnya kembali."
Wan Fei-yang terpaksa menganggukkan kepalanya.
"Ada lagi ..." tampaknya kata-kata Ci Siong tojin masih belum
selesai juga. Keringat dingin mulai membasahi tubuh Wan Fei-yang,
"Ciangbunjin, harap kau orang tua melapangkan jiwa."
Ci Siong tojin mengibaskan surat di tangannya. Dia tidak
mempedulikan perkataan Wan Fei-yang. "Melihat banyaknya
huruf yang salah kau tulis. Bu-tong-pai benar-benar malu
sekali." Kepala Wan Fei-yang tertunduk semakin rendah.
"Giok-su ... Suhu minta kau mengajarnya membaca dan
menulis setiap hari. Bagaimana pendapatmu?" tanya Ci Siong
286 tojin. Giok-su segera maju ke depan dan membungkukkan
tubuhnya, "Sudah lama tecu mempunyai niat yang sama, tapi
...." "Tapi apa?"
"Tecu tidak berani lancang sebelum ada perintah dari suhu."
"Maksudmu ... dia belum tentu mau menerima maksud baikmu
itu?" "Bukan begitu. Fei-yang-heng jujur dan cerdas. Tapi kalau
Suhu menghukumnya mengangkat air sepanjang tahun, sore
harinya pasti dia sudah sangat lelah. Mana ada semangat
untuk belajar lagi?" sahut Giok-su.
"Jadi maksudmu ...."
"Harap Suhu mengurangi masa hukumannya."
"Apa yang kau katakan memang beralasan," kata Ci Siong
tojin setelah merenung sejenak. "Suhu akan bermurah hati
sedikit. Hukuman mengangkat air dikurangi menjadi satu
bulan saja."
"Terima kasih, Suhu!" sahut Giok-su sambil menyenggol
lengan Wan Fei-yang.
"Terima kasih Ciangbunjin," kata Wan Fei-yang cepat-cepat.
Tidak lupa dia menambahkan sepatah, "Terima kasih Fu-
suheng." 287 Gi-song mendengus dingin.
"Keluar!" bentak Ci Siong tojin sambil meremas surat di
tangannya. Hancuran kertas segera membuyar dari tangannya
dan beterbangan kemana-mana.
***** Angin bertiup membuyarkan kabut yang tebal. Juga melambai-
lambaikan rambut Kuan Tiong-liu. Jit Po dan Liok An masing-
masing memegang harpa dan pedang mengiringi tuan
mudanya dengan ketat.
Mereka sudah berada di kaki gunung Bu-tong-san.
Memandang ke atas, gunung itu diselimuti kabut yang tebal
dan melayang-layang. Seperti bukan suatu tempat yang nyata.
"Banyak pepatah yang mengatakan tentang keindahan
pemandangan di suatu tempat. Bu-tong-san pernah
di baratkan sebagai tempat bersemayam para dewa.
tampaknya memang tempat yang tepat untuk dikunjungi," kata
Kuan Tiong-liu sambil tertawa datar.
Liok An maju ke depan dan memandang di kejauhan.
"Kongcu, di depan ada beberapa jalan kecil. Entah yang mana
yang harus kita tempuh untuk mencapai Bu-tong-san?"
tanyanya. "Bukankah dengan bertanya kita akan segera tahu?" sahut
Kuan Tiong-liu.
288 "Tanya siapa?" tanya Liok An mengedarkan pandangannya.
Kuan Tiong-liu juga menengok ke sekitar daerah itu.
Kebetulan Wan Fei-yang mendatangi dari arah depan sambil
menggotong dua gentong air. Sembari berjalan, mulutnya
tidak henti menghafal.
"Peraturan Bu-tong-pai. Nomor satu, menghormati guru dan
agama. Kedua, berlatih ilmu dengan giat. Ketiga, tidak boleh
menghina yang lemah ...."
Dia sendiri tidak tahu berapa kali sudah dia mengulangi
kalimat yang sama. Kata-katanya mulai kacau. Liok An
mempercepat langkahnya menghampiri. Wan Fei-yang
tampak tidak menyadari kehadirannya. Liok An terus
mengejar. Akhirnya dia berhasil mendahului Wan Fei-yang.
Dia mengadang di depan anak muda itu. Wan Fei-yang
tertegun, kemudian dia bergeser ke samping dan meneruskan
langkahnya. "Hei! Kau ... aku sedang bertanya ... jalanan mana yang harus
kutempuh untuk mencapai Bu-tong-san?" teriak Liok An.
Wan Fei-yang tidak mempedulikannya. Dia meneruskan
hafalannya. "Kesatu ...." suaranya mulai serak. Liok An tidak dapat
mendengar dengan jelas.
Wan Fei-yang melanjutkan kembali hafalannya. "Kedua "."
Liok An menjadi bingung. "Hei ... sebetulnya jalan yang kesatu
atau yang kedua?" teriaknya kesal.
289 "Ketiga ...."
Liok An tertegun sejenak, kemudian berpaling kepada tuan
mudanya, "Kongcu, dia bilang jalanan ketiga yang harus kita
tempuh untuk naik ke Bu-tong-san."
Jilid 7 Kuan Tiong-liu menganggukkan kepalanya. Langkah kakinya
dipercepat. Pada saat itu Wan Fei-yang seakan tersadar dari
lamunannya, segera ia menyusul dan berteriak, "Yang betul
jalanan yang kedua."
Kuan Tiong-liu tertawa dingin. Liok An di sebelah sana malah
mencak-mencak karena kesal. "Tadi kau bilang yang ketiga!"
bentaknya lantang.
"Aku ...." Wan Fei-yang menjadi serba salah.
"Di hadapan kami kau berani main-main!" bentak Liok An
garang. Kakinya terangkat, segentong air yang dipikul Wan
Fei-yang terbalik dan tumpah.
Kuan Tiong-liu segera mencegahnya, "Liok An!"
"Kongcu ...."
Wan Fei-yang mengira Kuan Tiong-liu akan menghajar Liok
An, siapa tahu anak muda itu malah berkata, "Bagaimana
biasanya aku mendidikmu. Jaga kedudukanmu sendiri, buat
apa mencari gara-gara dengan seorang pelayan?"
290 Mendengar ucapannya, Wan Fei-yang terpaku di tempat.
***** Di samping pedupaan, duduk Ci Siong tojin. Wajahnya
semakin kuyu dan tampak tua beberapa tahun. Pek Ciok
mengundang Kuan Tiong-liu masuk ke ruangan pendopo.
Setelah itu dia mengundurkan diri ke sudut kiri.
Kuan Tiong-liu yang melihat keadaan Ci Siong tojin, tanpa
sadar tertawa dingin. Rasa angkuhnya terbangkit kembali,
namun dia tetap menjura di hadapan orang tua itu.
"Murid Go-bi-pai, Kuan Tiong-liu, mendapat perintah dari suhu
untuk menanyakan kesehatan Locianpwe ...."
Mata Ci Siong tojin setengah terpejam. Tiba-tiba dia
tersenyum, "Pinto terakhir bertemu dengan It-im-toheng ketika
membahas agama di Ui-san. Sampai sekarang sudah ada dua
puluh tahun. Entah bagaimana kabar gurumu sekarang?"
"Suhu dalam keadaan sehat-sehat saja," sahut Kuan Tiong-liu.
"Entah ada keperluan penting apa sehingga It-im-toheng
meminta keponakan jauh-jauh bertandang ke Bu-tong-san?"
tanya Ci Siong tojin.
"Suhu mendengar locianpwe mengadakan pertarungan
dengan Tok-ku Bu-ti dari Bu-ti-bun, akibatnya orang jahat itu
berhasil membokong Locianpwe sehingga terluka parah.
Boanpwe diutus mengantarkan Kiu-coan-kim-tan (obat
mujarab golongan Go-bi-pai), mudah-mudahan ada
291 manfaatnya ...."
"Pinto sama sekali tidak dibokong oleh Tok-ku Bu-ti.
Pertarungan di atas Giok-hong-teng adalah pertarungan
sejati," tukas Ci Siong tojin.
"Oh?" Kuan Tiong-liu seakan kurang percaya dengan
keterangan tersebut. "Kalau begitu ilmu silat Tok-ku Bu-ti
benar-benar tidak bisa dipandang ringan."
"Hm ...." sahut Ci Siong tojin datar.
"Tugas boanpwe membasmi iblis ini beserta begundalnya,
rasanya tidak mudah juga," gumam Kuan Tiong-liu.
Ci Siong tojin tersenyum dingin. Pek Ciok mengerutkan
keningnya. Kuan Tiong-liu mengeluarkan sebuah kotak kecil
dari balik pakaiannya.
"Kiu-coan-kim-tan dari Go-bi-pai merupakan obat mujarab
yang didambakan ribuan orang di dunia kangouw. Pinto tidak
sanggup menerimanya," kata Ci Siong tojin ketika melihat
kotak tersebut.
"Sebelum boanpwe turun gunung, Suhu telah berpesan
berulang kali, bahwa boanpwe harus menyerahkan obat ini ke
tangan Locianpwe, apabila sekarang Locianpwe sampai
menolaknya, bagaimana boanpwe dapat kembali ke Go-bi-san
dan melaporkan kejadian ini"
"Kalau memang demikian, daripada menyalahi, kan lebih baik
menurut. Harap keponakan bersedia menyampaikan rasa
terima kasih Pinto yang sebesar-besarnya kepada Itim-
292 toheng," Ci Siong tojin berpaling kepada Pek Ciok. "Pek


Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ciok..." panggilnya.
Pek Ciok mengiakan lalu maju untuk menerima kotak kecil
tersebut. Kuan Tiong-li menyerahkannya sambil tersenyum
lebar. "Boanpwe masih ada beberapa patah perkataan, rasanya
seperti tercekat di tenggorokan apabila tidak dikeluarkan.
Namun apabila Boanpwe mengatakannya, boanpwe takut
dikira menghina," katanya.
"Bu-tong dan Go-bi selama ini bagaikan jari-jari tangan,
apabila keponakan memang ada masalah dalam hati, katakan
saja," sahut Ci Siong tojin.
"Setiap kali ada pertandingan pedang di dunia bu-lim,
kebanyakan orang selalu memuji-muji kehebatan Liong-gi-
kiam sebagai ilmu pedang nomor satu di dunia," mata Kuan
Tiong-liu melirik Ci Siong tojin sekilas. "Selama sepuluh tahun ini, boanpwe giat berlatih Lok-jit-kiam-hoat (ilmu pedang
matahari tenggelam) dari Go-bi-pai. Boanpwe merasa ilmu itu
sudah cukup sempurna dan tidak ada kelemahannya. Oleh
karena itu, boanpwe selalu berharap akan mendapatkan
kesempatan mengunjungi Bu-tong-san dan meminta sedikit
pelajaran untuk melihat di mana letak kehebatan Liong-gi-
kiam. Kebetulan boanpwe sekarang berada di Bu-tong-san ...."
"Setiap ilmu pedang pasti ada kekurangan maupun
kelebihannya, tergantung dari orangnya sendiri," tukas Ci
Siong tojin. "Boanpwe malah menganggap kiam-hoat yang hebat lebih
293 banyak kelebihan daripada kekurangannya," kata Kuan Tiong-
liu. "Lok-jit-kiam-hoat yang dipelajari It-im-toheng merupakan
warisan langsung dari Tok-pit-sinni, merupakan pusaka
tersendiri bagi dunia persilatan, juga merupakan kiam-sut
yang di ncar berbagai kalangan. Dalam keadaan biasa pun,
Pinto merasa bukan tandingannya, apa lagi sekarang badan
Pinto sedang terluka parah," sahut Ci Siong tojin
merendahkan diri.
"Locianpwe ...."
Pek Ciok segera maju ke depan dan menjura, "Suhu sudah
mengatakannya dengan jelas, Kuan-sicu ...."
Kuan Tiong-liu mengerling Pek Ciok sekilas, "Sejak dulu ada
pepatah, Guru yang pandai menghasilkan murid yang
menonjol. Bu-tong mempunyai demikian banyak murid,
boanpwe yakin di antaranya pasti ada yang menonjol. Kalau
Locianpwe tidak keberatan, bagaimana kalau boanpwe
meminta salah satu murid memberi sedikit pelajaran mengenai
Liong-gi-kiam?"
Pek Ciok tidak dapat menahan dirinya lagi, hawa amarah
mulai menyelinap dalam hatinya. Segera ia tampil ke depan,
tapi dicegah oleh Ci Siong tojin.
"Jangan berlaku tidak sopan terhadap tamu," katanya.
Kemudian dia berpaling kepada Kuan Tiong-liu, "Alasan utama
orang belajar ilmu silat adalah untuk mempertahankan
kesehatan tubuh. Apabila untuk sekadar mencari
kemenangan, mudah sekali hati kita terpengaruh iblis."
294 "Tapi ...."
"Pek Ciok ...." panggil Ci Siong tojin. "Layani tamu baik- baik."
Dia berpaling kembali kepada Kuan Tiong-liu. "Di atas Bu-
tong-san, banyak sekali tempat yang pemandangannya indah.
Keponakan sudah datang dari jauh, tinggal ah di sini beberapa
hari. Biar Pinto dapat menjadi tuan rumah yang baik."
"Baik," sahut Kuan Tiong-liu sambil tertawa dingin
***** Pemandangan Bu-tong-san memang sangat indah, namun
Kuan Tiong-liu sama sekali tidak mempunyai keinginan untuk
menikmatinya. Tujuannya datang ke Bu-tong-san, memang
bukan untuk menikmati pemandangan.
Liok An dan Jit Po dapat merasakan bahwa hati tuan mudanya
sedang kesal. Mereka tidak berani bersuara, hanya mengikuti
di belakangnya.
Setelah melewati jembatan, Kuan Tiong-liu menghentikan
langkah kakinya.
"Liok An, Jit Po!" panggilnya. Kedua tangannya dikacakkan di
pinggang. Kepalanya tidak menoleh sama sekali.
"Kongcu ...."
"Coba kalian perhatikan ... apa beda pemandangan antara Bu-
tong-san dan Go-bi-san?" tanyanya.
295 Liok An dan Jit Po saling melirik sekilas.
"Bu-tong-san lebih tinggi dari Go-bin-san, hawanya lebih
dingin. Kalau dilihat dari bawah, kelihatannya angker dan
berwibawa. Kalau dilihat dari atas, terlihat jurang dan tebing
yang terjal. Namun suasananya tidak sehangat Go-bi-san.
Tempat kita itu lebih rendah, hawa tidak begitu dingin tapi
selalu sejuk menyegarkan," sahut Jit Po.
Kuan Tiong-liu tertawa puas. Tepat pada saat itu, terdengar
suara menyahut dari belakang mereka, "Tapi justru murid Go-
bi-pai sendiri yang kurang hangat dan sama sekali tidak
membawa kesejukan."
Tampak Kim Ciok, Giok Ciok, Cia Peng, Yo Hong dan Fu
Giok-su mendatangi dari arah pohon-pohon yang lebat.
Mendengar ucapan itu, Kuan Tiong-liu tenang-tenang saja.
Dadanya masih dibusungkan. Seakan memandang sebelah
mata kepada mereka.
Cia Peng menunggu sejenak. "Kau yang bernama Kuan
Tiong-liu dari Go-bi-pai?" bentaknya keras.
"Tidak salah!" sahut Kuan Tiong-liu tanpa menolehkan
kepalanya. Cia Peng tertawa dingin.
"Tadi ada orang yang mengatakan bahwa Lok-jit-kiam-hoat
dari Go-bi-pai merupakan ilmu pedang terhebat di dunia ini.
Kalau tidak menyaksikannya sendiri, rasanya kami akan
menyesal seumur hidup!"
296 "Sayang sekali pedangku harus ditinggal di kaki gunung,"
sahut Kuan Tiong-liu tetap membelakangi.
"Aku akan memerintahkan seorang saudara kami untuk
mengambilkannya," kata Yo Hong.
Perlahan Kuan Tiong-liu membalikkan tubuhnya. "Tidak perlu.
Ilmu pedang Go-bi-pai terkenal keji dan telengas. Apa lagi
senjata tidak bermata. Lebih baik kita membatasinya dengan
saling menutul saja," sahutnya.
Tiba-tiba tubuhnya melesat ke udara. Sekali loncat setinggi
beberapa depa. Gerakannya cepat dan pergelangan
tangannya memutar, sebatang ranting pohon sudah berada
dalam genggamannya, "Aku menggunakan ranting pohon ini
saja sebagai senjata!"
Cia Peng marah sekali. "Ranting pohon?" makinya penasaran.
"Hah! Menggunakan ranting pohon sebagai senjata sudah
umum, buat apa harus diherankan?" kata Kuan Tiong-liu
sambil tertawa terbahak-bahak.
"Oh ya ... apakah Kuan-heng tidak merasa terlalu
menyombongkan diri?" tanya Fu Giok-su,
Mata Kuan Tiong-liu mengedar. "Ranting pohon di tanganku
ini tidak kalah dengan sebatang pedang, harap Cia-heng hati-
hati," katanya.
Cia Peng mendengus dingin. Tubuhnya melesat. Telapak
tangannya yang satu mengepal dan satu lagi mengambang.
Dia meluncur ke arah Kuan Tiong-liu. Ranting pohon di tangan
297 anak muda itu digetarkan. Gerakan yang digunakannya
ternyata memang ilmu pedang. Malah kekejiannya tidak kalah
dengan sebatang pedang.
Cia Peng berteriak lantang. Dia membalas serangan tersebut
dengan serangan pula. Suara yang ditimbulkan telapak
tangannya menggelegar di angkasa, memekakkan telinga
orang yang mendengarnya. Kuan Tiong-liu sama sekali tidak
tampak khawatir. Tubuhnya berkelebat. Enam hantaman
telapak Cia Peng berhasil dihindarkannya. Pedangnya belas
menyerang sebanyak sepuluh kali berturut-turut. Tentu saja
pedang yang dimaksudkan di sini adalah ranting pohon tadi.
Kenyataannya memang ranting pohon itu tidak kalah tajam
dari sebatang pedang. Sekali digerakkan oleh Kuan Tiong-liu,
lengan baju Cia Peng terkoyak seketika. Dalam
keseluruhannya dia hanya menyerang sebanyak dua belas
kali. Sedangkan Cia Peng sudah menghantam telapak
tangannya sebanyak tiga puluh enam kali.
Wajah Cia Peng kelam sekali. Kedua tangannya membentuk
kepala ular dan menyodok ke arah Kuan Tiong-liu. Sekali lagi
ranting pohon di tangan anak muda itu digerakkan.
"Si-yang-sie-cao!" (matahari bersinar cerah) merupakan salah
satu jurus Lok-jit-kiam-hoat!" teriak Kuan Tiong-liu. Jurus itu mempunyai tujuh perubahan. Dia menerjang ke arah Cia
Peng. Murid Bu-tong itu berusaha menghindar dengan jurus
"Tian-liong-kia-ka" (naga langit menggerakkan kakinya),
namun terlambat. Tiba-tiba dia merasakan tubuhnya sakit
sekali. Ternyata pada saat itu, ranting pohon di tangan Kuan Tiong-liu
telah menyabet bahu sebelah kanan Cia Peng. Wajah anak
298 muda itu berubah hebat. Kakinya terdesak mundur beberapa
langkah. Kuan Tiong-liu menarik kembali ranting pohonnya. "Cia-heng,
kau sudah kalah," katanya.
Wajah Cia Peng dari merah padam berubah menjadi pucat.
Dia menggertakkan giginya erat-erat. Fu Giok-su yang berdiri
di sampingnya segera tampil ke depan.
"Cayhe Fu Giok-su ingin mencoba beberapa jurus ilmu
pedang Kuan-heng!"
"Aku saja," tukas Yo Hong tidak mau kalah. Kim Ciok dan Giok
Ciok juga saling berebutan.
Kuan Tiong-liu tertawa terbahak-bahak.
Bagus ... semuanya saja sekaligus, biar menghemat tenaga!"
serunya angkuh.
Ucapannya ibarat minyak yang disiramkan ke api. Semua
murid Bu-tong yang ada di tempat itu marah sekali.
Tampaknya setiap waktu pertarungan akan terjadi. Tiba-tiba
terdengar bentakan keras, "Berhenti!"
Pek Ciok melayang turun di tengah mereka.
"Toa-suheng ...!"
"Suhu menunggu di ruangan pendopo. Ada persoalan yang
ingin dirundingkan. Kuan-heng, silakan ...." katanya tenang.
299 Kuan Tiong-liu tersenyum lebar. Ranting pohon di tangannya
dilemparkan ke tanah. Liok An dan Jit Po mengiringi dari kiri
dan kanan. Bersama-sama mereka menuju ruangan pendopo.
Wajah Cia Peng dan rekan-rekannya masih menyiratkan
kemarahan. Mereka segera mempercepat langkah kaki
mendahului. ***** Meja hidangan sudah disiapkan di ruangan pendopo.
Meskipun makanan yang dihidangkan hanya terdiri dari sayur
mayur, namun arak yang disajikan merupakan arak yang baik.
Ci Siong tojin sebagai tuan rumah duduk di tengah. Pek Ciok
berdiri di sampingnya melayani. Gi-song dan Cang-song
duduk di kiri kanannya. Di sudut duduk enam murid Ci Siong
tojin. Kuan Tiong-liu duduk berseberangan dengan tempat
berdirinya Pek Ciok. Liok An dan Jit Po berdiri di kedua
sisinya. Mata Kuan Tiong-liu menyiratkan perasaan
meremehkan. Ci Siong tojin menunggu sampai Kuan Tiong-liu
duduk di tempatnya.
"Cia Peng ...!"
"Tecu di sini ...." sahut Cia Peng dengan kepala tertunduk.
Hatinya masih kesal. Sedangkan saudaranya yang lain
merasa hati mereka berdebaran.
"Siapa yang mengajarkan engkau demikian tidak tahu sopan
santun?" tanya Ci Siong tojin penuh wibawa.
300 "Karena luapan emosi, tecu telah menyalahi tamu agung.
Tecu bersedia menerima hukuman," sahut Cia Peng setengah
terpaksa. "Kalau begitu, cepat minta maaf kepada Kuan-heng!" perintah
Ci Siong tojin.
"Suhu ...."
"Cepat ke sana!" wajah Ci Siong tojin garang sekali.
Dengan menahan kekesalannya, Cia Peng terpaksa berjalan
menghampiri Kuan Tiong-liu. "Cia Peng bertindak tidak sopan.
Menyalahi Kuan-heng, harap dimaafkan," katanya dengan
kepala tertunduk.
"Tidak apa-apa," Kuan Tiong-liu berdiri dan balas menjura. Dia
tersenyum kepada Ci Siong tojin, "Benar-benar sebuah partai
yang lurus dan adil."
Tersirat kemarahan di wajah orang-orang yang hadir. Bocah
ini benar-benar kurang ajar, pikir mereka dalam hati. Tapi Ci
Siong tojin tidak menampakkan apa-apa pada wajahnya.
Penampilannya sangat tenang.
"Menurut cerita murid-murid Bu-tong, Cia Peng dikalahkan
dengan jurus "Si-yang-sie-cao", hal ini membuktikan bahwa
Lok-jit-kiam-hoat telah dikuasai dengan baik oleh keponakan.
Benar-benar kabar yang menggembirakan."
Kuan Tiong-liu tersenyum lebar.
301 "Kalau dibilang menguasai dengan baik, boanpwe belum
berani menerimanya. Tapi memang tidak jauh lagi. "Si-yang-
sie-cao" terdiri dari tujuh jurus yang mempunyai tujuh
perubahan. Boanpwe sudah menguasai seluruhnya," sahut
Kuan Tiong-liu angkuh.
Ci Siong tojin ikut tertawa lebar.
"Membalas dengan "Tian-liong-kia-ka" memang boleh juga,
tapi menggunakan jurus "Giok-li-cuang-siu" (wanita cantik
berganti pakaian) salah sekali. Kemenangan yang dicapai
keponakan boleh dibilang adalah kesalahan Cia Peng sendiri."
"Kalau tidak menggunakan "Giok-li-cuang-siu", lalu jurus apa
lagi yang harus digunakan?" tanya Kuan Tiong-liu dengan alis
berkerut. "Seharusnya menggunakan "Cao-yang-sut" untuk menotok
pergelangan tangan keponakan," sahut Ci Siong tojin.
"Kalau begitu, boanpwe akan menggunakan jurus "Kim-ciau-si-
yi" (burung emas kembali ke barat) untuk menyabet bagian
pinggangnya," kata Kuan Tiong-liu.
"Kegunaan jurus "Cao-yang-sut" (memanggil matahari)


Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memang untuk menghadapi "Kim-ciau-si-yi" dari keponakan,"
sahut Ci Siong tojin tenang
"Oh?" Kuan Tiong-liu memperdengarkan suara tertawa dingin.
Wajahnya tampak mulai tegang.
"Pada saat itu, pergelangan tangan tinggal memutar, telapak
tangan ditarik kembali, jari telunjuk dan tengah diluncurkan
302 untuk menotok urat nadi lengan keponakan maka pedang
akan terlepas. Bagaimana?"
"Pergelangan tangan memutar, telapak ditarik, telunjuk dan
jari tengah dikerahkan ..." keringat mulai membasahi kening
Kuan Tiong-liu. "Ini ...."
"Pada saat itu, ranting pohon di tangan keponakan terpaksa
harus dilepaskan, bukan?"
"Tidak mungkin. Sekaligus memutar pergelangan tangan
sambil menarik kembali telapak, tidak sempat lagi
mengerahkan telunjuk dan jari tengah untuk menotok," kata
Kuan Tiong-liu kurang percaya.
"Apakah keponakan ingin mencobanya?" tanya Ci Siong tojin.
Kuan Tiong-liu menjawab pertanyaan itu dengan gerakan. Dia
langsung berdiri. Tubuhnya berkelebat melayang di udara dan
mendarat di tengah ruangan. Ci Siong tojin tersenyum simpul.
Perlahan dia berdiri dan berjalan ke depan. Kuan Tiong-liu
menunggu sampai tosu tua itu berdiri berhadapan dengannya.
"Maaf," katanya. Tiga jari tangan kirinya setengah
dibengkokkan, sedangkan dua jari tangan kanannya lurus ke
depan seperti sebatang pedang.
"Silakan," sahut Ci Siong tojin.
"Si-yang-sie-cao!" teriak Kuan Tiong-liu. Kedua jari telunjuk
dan tengahnya meluncur lurus bagai sebatang pedang.
Ci Siong tojin menggunakan langkah Tian-liong-kia-ka, disusul
303 dengan Cao-yang-sut yang langsung dikerahkan. Tangannya
berubah dalam sekejap mata. Kuan Tiong-liu agak panik,
cepat ia mengubah gerakannya menjadi Kim-ciau-si-yi.
"Telapak ditarik, telunjuk dan jari tengah menyerang, hati-hati pergelangan tangan!" seru Ci Siong tojin. Ucapannya selesai,
jari tangannya dengan telak berhasil menotok pergelangan
tangan Kuan Tiong-liu.
Anak muda itu tertegun. Tiba-tiba pergelangan tangannya
terasa kesemutan. Melihat kejadian itu, orang-orang yang ada
dalam ruangan segera bersorak. Wajah Kuan Tiang Liu merah
padam. Ci Siong tojin memeluk kedua tangannya dan tersenyum.
"Dua belas tahun yang lalu, Pinto dan It-im-toheng pernah
bertemu satu kali di Ui-san untuk membahas ilmu pedang.
Kami juga sempat disulitkan oleh perubahan jurus ini. Pada
saat itu, It-im-toheng malah menggunakan jurus "Lok-sia-ho-
ku-ing-ci-fei" (pelangi turun dan elang terbang ke udara) untuk membalas serangan. Sedangkan Pinto menyambutnya
dengan Cao-yang-sut."
Wajah Kuan Tiong-liu berubah kelam.
"Lok-sia-ho-ku-ing-ci-fei adalah tiga jurus terakhir dalam Lok-
jit-kiam-sut."
"Tidak salah! Tampaknya keponakan belum sempat
mempelajarinya?"
"Betul," sahut Kuan Tiong-liu dengan keringat membasahi
304 keningnya. "Di luar gunung masih ada gunung lainnya, memandang
ringan lawan malah merugikan diri sendiri, harap keponakan
ingat baik-baik," kata Ci Siong tojin menasihati.
"Sungguh mengagumkan!" sahut Kuan Tiong-liu. Sejenak
kemudian dia menggelengkan kepalanya. "Hanya ... sayang
sekali ...."
Ci Siong tojin terpana mendengar ucapannya yang terakhir.
"Yang boanpwe kagumkan adalah ilmu pedang Bu-tong-pai
ternyata benar-benar nomor satu di dunia ini. Yang
disayangkan ...." Kuan Tiong-liu merandek sejenak. Matanya
mengedar ke sekeliling ruangan. "Anak murid Bu-tong-pai
justru belum bisa menerapkan pelajaran ini baik-baik. Kalau
ditilik dari keadaan sekarang, boanpwe khawatir kelak tidak
ada murid yang dapat menonjolkan nama Bu-tong-pai.
Seluruh murid Bu-tong terpana mendengar ucapannya. Wajah
Ci Siong tojin berubah kelam. Seakan isi hatinya tertebak telak oleh anak muda itu. Dia menarik napas panjang, Kuan Tiong-liu melangkah lambat-lambat ke tempat duduknya. Dia
menuangkan arak ke cawan.
***** Senja hari. Awan tebal berarak. Angin ber tiup kencang. Tiba-
tiba hujan turun memba sahi seluruh pegunungan.
Pekerjaan Wan Fei-yang rampung. Dia segera membersihkan
diri lalu menghambur ke kamar Fu Giok-su. Pada saat seperti
305 ini, biasanya Fu Giok-su berada di dalam kamar dan
menunggu kedatangannya serta mengajarkan Wan Fei-yang
membaca dan menulis. Tapi ketika dia mendorong pintu
kamar anak muda itu, ternyata Fu Giok-su tidak ada di dalam.
Kemana perginya Fu Giok-su"
Wan Fei-yang masih merasa heran ketika telinganya
menangkap suara "tring!", rupanya dia sedang memetik harpa
di taman sebelah sana. Pikirannya tergerak, Wan Fei-yang
segera membalikkan tubuhnya menuju asal suara harpa
tersebut. Akhirnya dia melihat Fu Giok-su, tapi yang memetik harpa
malah Lun Wan-ji. Kedua orang itu duduk berdampingan di
bawah pohon. Suara mereka berbisik-bisik, entah apa yang
mereka bicarakan.
Wan Fei-yang melihat semuanya dengan jelas, entah
bagaimana perasaan hatinya. Dia mengambil keputusan untuk
kembali secara diam-diam. Tapi Fu Giok-su sudah melihatnya.
Anak muda itu segera bangkit dari duduknya, "Wan-heng ...."
"Fu-toako ...." Wan Fei-yang terpaksa menghentikan langkah
kakinya. Lun Wan-ji juga berdiri. Melihat Wan Fei-yang, wajahnya kaku
membesi. "Tidak perlu memikul air lagi?" sindirnya.
Wan Fei-yang menundukkan kepalanya. "Sudah selesai ....
Aku datang untuk belajar membaca dengan Fu-toako,"
sahutnya lirih.
306 Lun Wan-ji membalikkan tubuhnya ke arah Fu Giok-su. "Aku
sungguh tidak mengerti. Mengapa kau harus meminta
pengampunan untuknya" Kalau aku yang jadi engkau, maka
aku akan meminta Suhu menghukumnya lebih berat lagi.
Paling tidak memikul air selama sepuluh tahun," katanya.
Wan Fei-yang tertawa getir. "Wan-ji, kau ...."
"Jangan memanggil aku .... Aku benci kepadamu!" teriak Lun
Wan-ji. "Me ... mengapa?" Wan Fei-yang benar-benar keheranan.
"Siapa suruh kau menulis namaku saja tidak becus!" teriak
Lun Wan-ji sambil membalikkan tubuhnya meninggalkan
tempat itu. Kedua orang itu segera mengejar. Setelah saling melirik
sekilas, keduanya berhenti serentak. Wan Fei-yang tertawa
sumbang, "Fu-toako ... lebih baik kalian teruskan saja
latihannya."
Belum Lagi Fu Giok-su menyahut, tiba-tiba petir menyambar.
Suaranya memekakkan telinga. Petir menyambar sekali lagi.
Terdengar suara jeritan yang menyeramkan. Entah suara
jeritan makhluk apa yang terdengar tadi. Pokoknya, tidak mirip
jeritan manusia. Laksana dunia sebentar lagi akan kiamat.
Dan angin pun menyurut ketakutan.
Fu Giok-su terkejut sekali. "Siapa yang datang?" tanyanya.
Wan Fei-yang malah tenang sekali. "Itu hanya suara yang
berkumandang dari telaga dingin. Tidak apa-apa," sahutnya.
307 "Telaga dingin?" tanya Fu Giok-su tidak mengerti.
"Fu-toako ... apakah kau tidak tahu kalau di belakang gunung
ini ada daerah terlarang di mana ada sebuah telaga dingin di
sana?" "Tidak tahu ...." Fu Giok-su tambah penasaran. "Sebetulnya
ada apa di sana"
"Di belakang gunung ada sebuah telaga dingin. Airnya laksana
es dinginnya. Di sana terkurung seseorang, kami
menyebutnya makhluk aneh."
"Makhluk aneh?"
"Kalau tidak salah, dia sudah terkurung di sana selama
sepuluh tahun lebih. Boleh dibilang dia sedang menjalani
hukuman karena mencuri ilmu silat Bu-tong-pai. Kakinya
terikat rantai dan terendam di dalam air telaga itu."
Fu Giok-su tertegun. Tanpa sengaja Wan Fei-yang meliriknya
sekilas. "Apakah kau mendengar apa yang aku katakan?"
Fu Giok-su tersadar dari lamunannya. Dia menganggukkan
kepalanya beberapa kali.
"Masa tidak dengar" Coba teruskan ...."
"Setiap kali turun hujan, air telaga itu akan meluap. Sebagian
tubuhnya terendam air. Mungkin karena tidak tahan oleh
dinginnya air dalam telaga dan jiwa yang sudah lama tertekan,
maka setiap kali ada petir menyambar, dia akan menjerit
308 histeris," kata Wan Fei-yang melanjutkan ceritanya.
"Tentu menderita sekali terendam dalam air yang begitu dingin
sepanjang tahun," sahut Fu Giok-su seperti kepada dirinya
sendiri. Wan Fei-yang menganggukkan kepalanya.
"Ciangbunjin pernah berpesan, siapa pun tidak boleh
mendekati telaga dingin itu. Siapa yang melanggar akan
mendapat hukuman berat, kecuali aku tentunya."
"Eh?" Fu Giok-su tampak kurang percaya. Wan Fei-yang
tertawa geli. "Kalau aku tidak mengantarkan makanan untuknya, pasti
sejak lama dia sudah mati."
"Rupanya kau hanya menjalankan tugas."
"Sepuluh hari sekali. Karena hawa di tempat itu sangat dingin,
maka makanan tidak akan menjadi basi," kata Wan Fei-yang.
Mata Fu Giok-su beralih ke tempat itu. Tiba-tiba dia tampak
terpana, "Di sana ada orang."
Wan Fei-yang menolehkan kepalanya mengikuti pandangan
Fu Giok-su. Ternyata dia juga melihat bayangan putih melintas
lewat. "Rasanya anak muda yang bernama Kuan Tiong-liu.
Mungkinkah dia juga mendengar jeritan histeris tadi dan
sekarang bermaksud mencari tahu?"
309 Kening Fu Giok-su berkerut mendengar perkataannya, "Kalau
begitu kita harus mencegahnya."
Wan Fei-yang tidak menunda waktu. Dia segera berlari ke
arah bayangan yang terlihat tadi. Fu Giok-su segera menyusul
di belakang. ***** Bayangan putih tadi memang Kuan Tiong-liu adanya.
Tubuhnya meloncat beberapa kali, akhirnya dia berhenti di
depan rumpunan bunga sekitar belakang gunung.
"Terang-terangan dari sini asalnya, coba aku lihat ke depan
sana," katanya dalam hati.
Baru saja dia bermaksud melangkahkan kakinya, Fu Giok-su
melayang di belakangnya, dan mencegah, "Kuan-heng, harap
berhenti dulu!"
Kuan Tiong-liu melirik Fu Giok-su sekilas, "Ada apa?"
"Tempat ini adalah daerah terlarang," kata Fu Giok-su.
"Daerah terlarang?"
"Anak murid Bu-tong sendiri tidak boleh menginjak tempat ini,
harap Kuan-heng kembali segera."
Kuan Tiong-liu mendelik ke arah Fu Giok-su. Tampaknya
hawa amarah anak muda itu akan meledak setiap waktu.
Namun akhirnya dia dapat juga menahan diri. Bibirnya
310 menyunggingkan senyuman datar. "Bu-tong-pai terkenal
sebagai partai lurus dan terbuka. Tidak tahunya ada demikian
banyak rahasia yang harus ditutupi," sindirnya tajam.
"Harap Kuan-heng segera kembali," kata Fu Giok-su berusaha
setenang mungkin.
Kuan Tiong-liu mendengus sinis.
"Barang siapa yang memasuki daerah terlarang, langsung
dibunuh tanpa perlu banyak tanya. Ini merupakan perintah
suhu. Aku tidak ingin terjadi kesalahan," kata Fu Giok-su
selanjutnya. Kuan Tiong-liu masih tidak bersuara. Pada saat itu, Wan Fei-
yang yang tertinggal di belakang menyusul tiba. Melihat Kuan
Tiong-liu, dia berdiri terpaku. Anak muda itu hanya meliriknya
sekilas. Tiba-tiba petir menyambar lagi. Suara jeritan aneh
kembali berkumandang. Kuan Tiong-liu mendengus dingin lalu
membalikkan tubuhnya meninggalkan tempat itu.
***** Malam semakin larut, hujan semakin lebat.
Petir masih menyambar. Suara geledek menggelegar. Dunia
seakan terbalik karenanya.
Wan Fei-yang belajar membaca dan menulis dengan giat di
bawah cahaya lentera.
***** 311 Di dalam kamar tamu sebelah barat, Kuan Tiong-liu duduk
dengan mata terpejam. Tampaknya dia sedang beristirahat
agar semangatnya pulih kembali. Suara geledek bergemuruh.
Ia bangkit dari duduknya dan berjalan ke depan jendela.
Perlahan dia membuka jendela tersebut. Hujan membasahi
seluruh tanah dan bunga-bunga
***** Fu Giok-su berbaring di atas tempat tidur. Matanya terbuka
menatap langit-langit. Kemudian beralih ke jendela. Hujan
seakan segan berhenti. Lewat cahaya petir yang menyambar,
terlihat jelas wajahnya yang resah dan gelisah.
Sekali petir menyambar melintasi gunung sebelah belakang
Bu-tong-san. Sebuah bayangan berkelebat di bawah hujan
lebat. Dia melintasi jalan kecil di belakang gunung tersebut.
Ketika kilat menyambar, dia menyurutkan tubuhnya ke balik
sebatang pohon besar. Setelah petir reda, dia baru melesat
lagi menuju di mana telaga dingin berada!
***** Pada saat yang sama, di luar Bu-tong-san, kira-kira sejauh
jarak sepuluh li. Tok-ku Hong dan Kongsun Hong berlari tanpa
henti di bawah curahan air hujan.
***** Pagi menjulang ....


Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hujan sudah reda. Di dalam sebuah ruangan rahasia yang
terdapat di balik pendopo, Pek Ciok sedang meminumkan Kiu-
312 coan-kim-tan kepada Ci Siong tojin. Tosu tua itu menelannya
sekaligus. "Kiu-coan-kim-tan dari Go-bi-pai tidak dapat digolongkan
dengan obat-obatan biasa. Pasti ada gunanya bagi
kesembuhan luka dalamku," katanya.
"Betul, Suhu," sahut Pek Ciok sambil mengundurkan diri ke
samping. "Selama aku menutup diri untuk menyembuhkan luka. Semua
urusan Bu-tong kuserahkan kepadamu."
"Harap Suhu jangan khawatir."
"Mengenai kedua susiokmu Gi-song dan Cang-song, mereka
adalah manusia-manusia berhati sempit. Mereka pasti tidak
puas terhadapmu." Nada suara Ci Siong tojin menjadi berat,
"Tapi kau jangan terlalu mengalah. Apabila ada hal yang
kurang beres, kau harus berani menantang.
"Tecu mengerti," sahut Pek Ciok dengan kepala tertunduk.
"Keluarlah," kata Ci Siong sambil mengulapkan tangannya.
Pek Ciok mengundurkan diri. Sampai di depan pintu dia
berpesan kepada empat orang tosu yang baru datang.
"Selama Suhu menutup diri menyembuhkan luka, kalian harus
menungguinya. Jangan teledor. Setiap kali menjaga dua orang
saja, bergantian siang dan malam. Jangan sekali-kali
meninggalkan tempat ini."
313 Empat orang tosu itu mengiakan sambil merangkapkan
sepasang tangannya dan menjura dalam-dalam.
***** Menjelang tengah hari, dahan dan daun pohon-pohon baru
tersiram oleh air hujan. Tampak lebih segar. Tanah masih
belum kering. Beberapa lembar daun masih menggenang air.
Pek Ciok memutar satu kali di depan ruang rahasia di mana Ci
Siong tojin sedang menutup diri. Dia bermaksud menuju ruang
pendopo. Namun belum lagi dia sampai ke tempat tujuannya,
terdengar kumandang suara lonceng.
"Toa-suheng, suara lonceng ini ...?" tanya salah satu murid
yang kebetulan ada di dekatnya dengan wajah keheranan.
"Hm ... suara lonceng tanda bahaya. Berarti ada orang yang
menerjang ke atas gunung. Mari kita tinjau ke kaki guntung,"
sahut Pek Ciok langsung berkelebat mendahului.
Baru mencapai ruangan pendopo, terlihat salah seorang murid
Bu-tong lari mendatangi dengan napas tersengal-sengal.
Begitu melihat Pek Ciok, langkah kakinya dipercepat.
"Toa-suheng ...!" teriaknya.
"Siapa yang menerjang ke atas gunung"
"Orang-orang Bu-ti-bun," sahut murid itu panik. "Mereka masih
berada di bawah. Salah satunya yang pernah datang
mengantarkan surat tantangan, Kongsun Hong, murid Tok-ku
Bu-ti sendiri. Sedangkan yang satunya lagi mengaku sebagai
putri Tok-ku Bu-ti, Tok-ku Hong."
314 Pek Ciok mengerutkan keningnya. "Hanya dua orang?"
tanyanya. "Betul, dua orang."
"Entah apa maksud kedatangannya kali ini" "Gi-song susiok
sudah mengutus orang mengadangnya di bawah."
Kening Pek Ciok semakin mengerut. Tepat pada saat itu, Fu
Giok-su, Cia Peng, Yo Hong, Kim Ciok dan Giok Ciok juga
sudah berdatangan.
"Perlukah kita memberitahu suhu masalah ini?" tanya Fu Giok-
su panik. "Suhu sedang menutup diri menyembuhkan luka. Kalau tidak
terlalu genting, jangan mengganggu dia orang tua." Pek Ciok
mengedarkan matanya, "Cuwi sute, mari kita ke sana!"
Semua mengangguk mengiakan. Beramai-ramai mereka
mengikuti Pek Ciok yang sudah melesat pergi.
***** Di bawah cahaya matahari, batu besar tempat menyimpan
pedang bagi para tamu yang akan mengunjungi Bu-tong-pai
masih berdiri tegak. Namun di bawahnya telah tergeletak
beberapa murid partai itu sendiri. Terlihat luka di bahu orang-
orang itu. Senjata mereka pun terlepas dari tangan masing-
masing dan berserakan di sekitarnya.
Kongsun Hong dan Tok-ku Hong terus menerjang ke depan.
315 Tok-ku Hong menggunakan dua bilah golok sebagai senjata.
Sedangkan Kongsun Hong telah mengganti senjatanya
dengan Jit-goat-lun (senjata yang bentuknya seperti roda
namun bergerigi dan selalu terdiri dari sepasang). Tujuh orang
tosu mengadang di depan mereka. Semuanya tidak bergerak.
Gi-song membawa belasan muridnya menyusul tiba. Dari jauh
dia sudah berteriak, "Siapa orangnya yang demikian berani
mencoba menerobos ke atas gunung?"
Sinar mata Tok-ku Hong berputaran, "Suheng, siapa dia?"
"Gi-song dari Bu-tong-pai," sahut Gi-song sendiri. Dia
langsung maju ke depan. Melihat Kongsun Hong, dia tertawa
terbahak-bahak, "Lagi-lagi engkau. Ada apa" Apakah kau
tidak memiliki pedang yang lain sehingga datang ke Bu-tong-
san untuk mengambil pedangmu?"
Kongsun Hong marah sekali.
"Masih ada hubungan apa kau dengan Ci Siong tojin?" tanya
Tok-ku Hong. "Ciangbun-suheng sedang menutup diri. Ada urusan apa-apa
yang bersangkutan dengan Bu-tong-pai akulah yang
bertanggung jawab," sahut Gi-song sesumbar.
Kongsun Hong mengangkat Jit-goat-lun-nya,
"Kalau begitu, biar kubunuh dulu dirimu!"
Gi-song terkejut sekali.
"Kau adalah pecundang Ciangbun-suhengku, aku tidak akan
316 bergebrak denganmu!" sahutnya panik. Dia merandek
sejenak, kemudian lagi, "Suruh perempuan itu kemari untuk
menerima kematian!"
Tok-ku Hong marah sekali, sepasang goloknya digetarkan.
Setelah berteriak lantang, dia menikam ke depan. Kedua bilah
goloknya meluncur secepat kilat, menimbulkan bayangan
bagai rangkaian bunga. Gi-song terkejut sekali. Pedangnya
segera dihunus. Dia melancarkan sebuah serangan. Sekali
bergerak, jurus yang dimainkannya langsung berubah-ubah.
"Ting! Ting! Tang! Tang!", senjata kedua orang itu beradu.
Tubuh Tok-ku Hong mengikuti gerakan goloknya, sedangkan
goloknya sendiri bertindak sebagai perisai. Suaranya
menderu-deru bagai angin topan. Gi-song menyambut
beberapa jurus sekaligus. Tanpa sadar hatinya bergetar.
Setelah menyambut lagi beberapa jurus, dia mulai mempunyai
perhitungan. Meskipun ilmu silatnya tidak dapat menandingi Ci
Siong tojin, tapi dia mempunyai pengetahuan dan pengalaman
yang cukup luas. Begitu melihat keadaannya yang tidak
menguntungkan, dia segera memikirkan jalan keluar.
Gi-song menerima lagi tiga kali serangan Tok-ku Hong,
kemudian dia mencelat mundur sejauh tiga langkah, lalu
berseru, "Berhenti!"
Tok-ku Hong terpana. Sejenak kemudian dia tertawa dingin.
"Hm! Tidak berani bertarung lagi?" sindirnya tajam.
"Memangnya apa kedudukan pinto ... siapa yang sudi
bertarung dengan kaum wanita?" sahut Gi-song tenang.
317 "Paling tidak wanita yang satu ini sanggup mengalahkanmu!"
bentak Tok-ku Hong sambil menerjang ke depan.
Gi-song mundur lagi tiga langkah. Tok-ku Hong mengejar
ketat. Para murid Gi-song segera maju ke depan mengadang.
Kongsun Hong sudah bersiap-siap sejak tadi. Tubuhnya
segera mencelat, sepasang Jit-goat ditanganny bergerak. Dia
menghalau pedang-pedang yang mencoba menghalangi Tok-
ku Hong. Tiba-tiba terdengar sebuah suara menggelegar. "Tahan!"
Seiring dengan suara itu, tubuh Pek Ciok mendarat di tengah
arena. Dia membalikkan tubuhnya dan menatap Tok-ku Hong
dan Kongsun Hong lekat-lekat. "Liong-wi sicu, ada urusan kita
bicarakan baik-baik!"
Kongsun Hong melirik Pek Ciok sekilas. Dia tertawa dingin.
"Kita jumpa lagi," katanya datar.
"Rupanya Kongsun-heng."
"Aku juga tidak lupa. Kau adalah Pek Ciok. Murid pertama Ci
Siong tojin!"
"Maksud Sicu menerobos gunung kali ini ...?"
"Meminta orang kepada Bu-tong-pai!" sahut Kongsun Hong
sambil mengulurkan tangannya.
"Siapa?" tanya Pek Ciok merasa di luar dugaan.
"Kuan Tiong-liu!"
318 Jawaban itu semakin di luar dugaan Pek Ciok. Tepat pada
saat itu, Kuan Tiong-liu di ringi Liok An dan Jit Po melangkah
keluar dari rumpunan pohon.
"Siapa yang menginginkan aku?" tanyanya lantang.
Sinar mata Kongsun Hong mengedar, "Teryata memang
engkau ...!"
"Hai! Apakah kau benar-benar Kuan Tiong-liu yang satu itu?"
bentak Tok-ku Hong meminta penegasan.
"Tidak salah!" Kuan Tiong-liu tertawa dingin. "Entah apa
maksud kalia mencariku?"
"Aku ingin bertanya kepadamu. Mengapa kau harus
membunuh semua anggota cabang tiga belas Bu-ti-bun?"
"Asal mula persoalan ini, Liong-wi pasti tahu jelas," sahut
Kuan Tiong-liu sambil menengadahkan wajahnya ke atas.
Tok-ku Hong menoleh kepada Kongsun Hong. "Suheng ..."
"Aku hanya menginginkan utang darah bayar darah dari
cabang tiga belas kalian."
"Membunuh habis-habisan. Apakah kau tidak merasa cara
turun tanganmu itu terlalu keji?"
"Tidak perlu ragu kalau yang dibunuh itu komplotan iblis,"
sahut Kuan Tiong-liu senang.
319 "Utang piutang ini, Bu-ti-bun akan memperhitungkannya
sampai tuntas!" kata Kongsun Hong sambil menuding Kuan
Tiong-liu dengan sepasang Jit-goat-lun di tangannya.
"Seorang yang berbuat, seorang yang bertanggung jawab,
kalian jangan menimbulkan kesulitan bagi orang-orang Bu-
tong-pai!" sahut Kuan Tiong-liu dengan gaya angkuh.
Kongsun Hong menatap Kuan Tiong-liu lekat-lekat, "Baik! Aku
lihat kau juga termasuk seorang laki-laki sejati. Kau sendiri
yang memutuskan!"
Kuan Tiong-liu tertawa terbahak-bahak, "Hanya
mengandalkan kalian berdua berani bergebrak dengan aku?"
Kongsun Hong dan Tok-ku Hong marah sekali.
"Sebentar lagi aku akan meringkus kalian berdua. Setelah itu
baru mencari Tok-ku Bu-ti untuk menjelaskan masalahnya,"
kata Kuan Tiong-liu kembali.
"Kurang ajar!" bentak Tok-ku Hong. Tangannya masing-
masing menggenggam sebilah golok. Dia segera menerjang
ke depan. Pek Ciok segera membentangkan tangannya menghalangi.
"Tunggu dulu!" Dia menghadap kepada Kuan Tiong-liu. "Sicu
sekarang adalah tamu agung Bu-tong-pai, sekarang pun
masih berada di wilayah Bu-tong-san. Masalah ini harus
diselesaikan oleh Bu-tong-pai," katanya.
Pek Ciok beralih kepada Kongsun Hong dan Tok-ku Hong.
320 Wajah dan suaranya sangat berwibawa, "Kalian berani
mengacau di Bu-tong-san. Apakah kalian mengira Bu-tong-pai
sudah tidak ada orang lagi?"
Tok-ku Hong tertawa dingin. "Ci Siong tojin terluka parah di
tangan ayahku, sampai sekarang tentu belum sembuh. Masih
ada siapa lagi di Bu-tong-pai yang dapat diandalkan?"
tanyanya sinis.
"Masih ada kami!" sahut Pek Ciok garang.
"Kalian?" Kongsun Hong tertawa terbahak-bahak, "Siapa yang
tidak memandang sebelah mata kepada kalian?"
Para murid Bu-tong menyorotkan sinar kemarahan di mata
mereka. Wajah Pek Ciok sendiri tetap tidak berubah. Dengan
tenang dia membalikkan tubuhnya. "Siapkan barisan pedang!"
perintahnya. Tujuh orang tosu segera mengiakan. Mereka membentuk
barisan Jit-sing-kiam-ceng.
"Jit-sing-kiam-ceng ... sudah lama aku memang ingin
mengenalnya," kata Kongsun Hong sambil mengerlingkan
matanya. "Pada saat itu, Ciangbun-suheng menurunkan perintah.
Anggap saja kau sedang beruntung," tukas Gi-song masih sok
seperti biasanya,
Kongsun Hong tetap tertawa lebar menanggapi kata-kata itu.
Gi-song ikut tertawa. "Kalau kalian bisa menerobos keluar dari
Jit-sing-kiam-ceng, kami akan menyerahkan orang yang kau
321 hendaki," katanya kemudian.
"Apakah kau berhak memberikan keputusan?" sinar mata
Kongsun Hong semakin dingin.
Gi-song menepuk dadanya sendiri. Pek Ciok segera
menghampirinya.
"Susiok ..."
"Selamanya tidak ada orang yang sanggup menerobos Jit-
sing-kiam-ceng. Apa yang kau takuti" Setujui saja perjanjian
itu!" tukas Gi-song yakin.
Kongsun Hong mengalihkan matanya kepada Tok-ku Hong.
"Baik! Mari kita pecahkan barisan Jit-sing-kiam-ceng dari Bu-
tong-pai ini," kata Tok-ku Hong.
"Bagaimana kalau kalian tidak berhasil menerobosnya?" tanya
Gi-song. "Kami akan menarik kembali permintaan kami," sahut Tok-ku
Hong. "Sumoay ... jangan memandang ringan mereka," kata
Kongsun Hong dengan suara berbisik.
Tok-ku Hong tergetar juga hatinya, namun dia tidak
memperlihatkannya sama sekali. "Apa sih kehebatan ketujuh
orang tosu ini?" sahutnya sambil menggetarkan kedua
pergelangan tangannya. Sepasang goloknya berputaran bagai
rangkaian bunga.
322

Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tubuh tujuh orang tosu itu bergerak serentak. Mereka
membentuk lingkaran dan mengurung Kongsun Hong di
tengah. "Trang! Trang! Trang", tujuh batang pedang telah
dihunus. Sinar dingin memencar. Kongsun Hong berteriak
lantang. Jit-goat-lun berputar. Dia mendahului ke depan
menerjang. Terdengar suara angin menderu yang diterbitkan
ketujuh batang pedang tadi.
Cahaya Jit-goat-lun bagai salju beterbangan, berkombinasi
dengan sinar pedang. Suara benturan senjata saling susul-
menyusul. Jit-goat-lun memang merupakan senjata langka.
Hanya perguruan tertentu yang menurunkan ilmu silat dengan
menggunakan senjata jenis ini. Pedang dan golok biasanya
mudah terkait senjata ini. Namun meskipun Kongsun Hong
sudah berusaha beberapa kali, tujuh batang pedang yang
dimainkan para tosu Bu-tong-pai itu sama sekali tidak berhasil
terkait oleh gerigi senjatanya.
Tujuh orang tosu itu bergantian menerima serangan Jit-goat-
lun Kongsun Hong, kemudian beralih menyambut serangan
golok Tok-ku Hong. Golok dan Jit-goat-lun berhenti, pedang
tujuh orang tosu itu juga berhenti. Golok dan jit-goat-lun
menyerang, pedang mereka bergantian menyambut. Kongsun
Hong dan Tok-ku Hong mengerahkan berbagai jurus andalan
mereka. Beberapa kali berturut-turut mereka menerjang, tapi
tetap saja terkurung di dalam barisan.
Bayangan tubuh kedua orang itu saling berkelebat. Tok-ku
Hong merasa penasaran. "Bagaimana bisa begini" Di depan
mata terang-terangan hanya tampak satu orang, tapi dalam
sekejap mata ada tujuh batang pedang yang
menghalanginya," katanya heran.
323 "Jit-sing-kiam-ceng ini merupakan ilmu pusaka Bu-tong-pai.
Kalau begitu mudah dipecahkan, mana mungkin namanya
begitu terkenal?" sahut Kongsun Hong gugup.
"Aku tidak percaya barisan ini dapat mengurung kita," Mata
Tok-ku Hong bersinar tajam. "Suheng, kita berpencar dari
belakang dan depan lalu membuka jalan darah untuk
menerjang keluar," katanya.
Kongsun Hong menganggukkan kepalanya. Tubuh mereka
segera bergerak, satu di depan dan satu lagi di belakang.
Mereka menerjang dengan kalap. Jit-goat-lun diputar sekuat
tenaga, golok Tok-ku Hong menari-nari.
"Trang! Trang!", suara benturan senjata memekakkan telinga.
Cahaya berpijar, berkelebat-kelebat menutupi tubuh mereka,
kemudian memudar kembali.
Ternyata Kongsun Hong dan Tok-ku Hong terdesak mundur
dan kembali ke tempatnya semula. Tubuh ketujuh tosu itu
masih berputaran. "Bu-liang-sou-hud!" puji mereka serentak.
Tok-ku Hong mendengus kesal. Wajah Kongsun Hong
berubah menghijau. Tubuh tujuh orang tosu setengah baya itu
berputar sekali lagi kemudian memancar, namun tetap
membentur lingkaran. Tujuh batang pedang tegak lurus di
depan dada. Kongsun Hong dan Tok-ku Hong tidak bergerak. Mereka
masih mencari akal untuk menerobos barisan itu. Tujuh orang
tosu juga tidak menyerang. Hawa pedang semakin menebal.
324 ***** Di dalam ruang rahasia....
Asap pedupaan mengepul. Suasananya demikian tenang.
Obat Kiu-coan-kim-tan mulai bereaksi. Ci Siong tojin duduk
bersila di atas tempat tidur. Dia sudah masuk dalam keadaan
lupa diri. Meski ada apa pun yang terjadi di luar ruang rahasia tersebut,
dia sama sekali tidak tahu lagi. Kenyataannya, apabila ada
seseorang yang masuk ke dalam kamar itu, kecuali jiwanya
sudah terancam bahaya, kalau tidak dia pasti tidak
menyadarinya. Pintu ruangan rahasia i u setebal tiga cun. Apabila hendak
mendobrak pintu tersebut, tentu bukan hal yang mudah. Oleh
karena itu, dia sama sekali tidak khawatir.
***** Pedang berkelebat tanpa henti. Berhasil melepaskan diri dari
perangkap pedang yang pertama, perangkap kedua sudah di
depan mata. Kendala berupa pedang itu susul menyusul
bergantian mengurung Kongsun Hong dan Tok-ku Hong.
Meskipun mereka mulai menyadari apabila berdiri tidak
bergerak, pedang-pedang tidak akan melukai mereka. Namun
mereka tetap tidak berhasil menerobos barisan tersebut. Para
murid Bu-tong-pai sudah berkumpul di tempat itu. Mereka
menonton dari luar barisan. Hati mereka tegang sekali. Cang-
songlah yang paling khawatir. Melihat kedua orang lawan
berhasil menghindari setiap gerakan pedang, hatinya semakin
325 kebat-kebit. Tiba-tiba dia melihat Lun Wan-ji yang berdiri di ujung.
Pikirannya segera tergerak. Dengan tergesa-gesa dia
menghampiri gadis itu, "Wan-ji ..."
Lun Wan-ji menatapnya dengan heran. "Ada apa?" tanyanya.
"Kedua orang Bu-ti-bun itu tampaknya berilmu tinggi. Kalau
diteruskan, mungkin mereka akan berhasil menerobos barisan
Jit-sing-kiam-ceng," kata Cang-song panik.
"Kata Gi-song susiok tidak mungkin," sahut Lun Wan-ji.
"Dia tahu apa?" Cang-song mengecilkan suaranya. "Aku rasa
sebaiknya kau undang suhumu ke sini."
"Ini ...." Lun Wan-ji tampaknya keberatan.
"Paling tidak kau harus melaporkan keadaan di sini, lihat
bagaimana reaksinya nanti," kata Cang-song kembali.
"Boleh juga," sahut Lun Wan-ji setelah berpikir sejenak.
Kemudian dia ngeloyor pergi.
***** Ternyata Yan Cong-tian sama sekali tidak kelihatan panik. Dia
menunggu Lun Wan-ji menyelesaikan ceritanya.
"Kau tidak perlu khawatir. Jit-sing-kiam-ceng terdiri dari empat puluh sembilan jurus. Dua puluh delapan jurus sebenarnya
hanya tipuan berupa serangan ataupun tangkisan, sedangkan
326 dua puluh satu jurus lainnya baru mematikan," katanya
menjelaskan. "Tapi sekarang .?"
"Mereka pasti tidak akan berhasil menerobosnya," kata Yan
Cong-tian yakin. "Dulu guru dari Tok-ku Bu-ti, Sia-hou-tian-
cong pernah terkurung dalam barisan yang sama. Setelah tiga
hari tiga malam, baru menerjang keluar dengan paksa. Yang
datang sekarang hanya dua orang murid Tok-ku Bu-ti,
bagaimana mungkin mereka bisa memecahkan barisan ini?"
Lun Wan-ji tampaknya masih ragu-ragu.
"Apakah ucapan gurumu sendiri sudah tidak kau percayai
lagi?" tanya Yan Cong-tian kurang senang.
"Tecu tidak berani," Lun Wan-ji memang tidak berani
mengatakan apa-apa lagi.
"Urusan kecil semacam ini saja, buat apa kalang kabut," Yan
Cong-tian mengulapkan tangannya. "Lebih baik kau kembali
ke sana untuk menonton keramaian," katanya.
Lun Wan-ji hanya dapat menganggukkan kepalanya.
***** Pada saat itu, keadaan barisan Jit-sing-kiam-ceng memang
sedang seru-serunya. Kongsun Hong dan Tok-ku Hong
berusaha menerjang belasan kali, namun mereka tetap
terkurung di dalamnya.
327 Akhirnya mereka berhenti menerjang. Setidaknya pengalaman
Kongsun Heng di dalam dunia kangouw sudah cukup luas.
"Sumoay, tampaknya mereka sengaja menguras habis tenaga
kita," katanya.
Tok-ku Hong tidak menyahut.
"Lebih baik kita berhenti dulu. Perhatikan baik-baik perubahan
gerakan mereka, nanti kita pikirkan akal lain untuk menerjang
keluar," lanjut Kongsun Hong.
Tok-ku Hong mengangguk tanpa menyahut. Tujuh orang tosu
itu juga berhenti bergerak. Pedang tegak lurus di depan tiada
mereka. ***** Malam semakin kelam. Para murid Bu-tong sudah
menyalakan api unggun. Tok-ku Hong dan Kongsun Hong
masih terkurung di dalam barisan. Mereka menerjang lalu
berhenti. Setelah itu menerjang kembali. Sampai sekarang
sudah merupakan yang ketujuh kalinya.
Tapi bagaimanapun, mereka tetap tidak berhasil menemukan
kelemahan barisan tersebut. Juga tetap tidak berhasil
menerobos keluar. Pakaian Kongsun Hong sudah basah
kuyup oleh keringat. Dia duduk di tengah barisan, Tok-ku
Hong duduk membelakanginya. Posisi mereka berlawanan.
Rambut gadis itu sudah berantakan.
Tujuh orang tosu ikut duduk. Posisi mereka masih sama
seperti tadi. Membentuk lingkaran. Pedang tergeletak di
328 pangkuan. Mata mereka menatap kedua orang lawan lekat-
lekat. Angin masih bertiup. Api unggun menari-nari. Sembilan
orang itu duduk tanpa bergerak sedikit pun.
***** Cahaya api tidak dapat mencapai pepohonan di atas gunung.
Namun dari ketinggian di atas sana, barisan Jit-sing-kiam-
ceng malah terlihat jelas. Di antara dedaunan yang lebat,
tersembul kepala seseorang. Ternyata dia adalah Ciangbunjin
Bu-tong-pai, Ci Siong tojin adanya.
Kening tosu tua itu terpaut ketat. Tampaknya ada sesuatu
yang dipikirkan olehnya. Sebetulnya dia dapat terang-terangan
berdiri di depan barisan dan memberi petunjuk kepada para
muridnya. Namun dia justru bersembunyi di antara dedaunan
yang lebat di atas sebatang pohon. Sebetulnya apa yang
terlintas di benaknya saat ini"
***** Tanpa dapat menahan diri lagi, akhirnya Tok-ku Hong bangkit
berdiri. Di wajahnya masih tersirat keangkuhan hatinya.
Kongsun Hong segera ikut berdiri.
"Sumoay ...." panggilnya.
"Suheng, aku tetap tidak percaya kita tidak sanggup
memecahkan barisan ini," katanya kesal.
"Lebih baik kita menghemat tenaga. Barisan Jit-sing-kiam-
ceng ini mempunyai perubahan yang tidak terduga. Kita sama
sekali tidak dapat melihat titik kelemahannya," sahut Kongsun
329 Hong menasihati.
"Maksudmu ...."
"Tidak perlu mencari tahu titik kelemahannya. Pergunakan
segala cara untuk menerobos barisan ini dan meninggalkan
Bu-tong-san untuk sementara," kata Kongsun Hong lirih.
"Boleh juga," Tok-ku Hong setuju. Sepasang goloknya segera
digerakkan. Tujuh batang pedang menimbulkan cahaya serentak. Tujuh
orang tosu sudah berdiri tegak. Mereka menunggu kedua
orang itu mulai menyerang. Kongsun Hong dan Tok-ku Hong
berteriak nyaring. Bersama-sama mereka menerjang. Tapi
kaki mereka baru maju tiga langkah, serta merta terdesak
mundur kembali. Merek membalikkan tubuh dan menyerang
arah yang berlawanan.
Tujuh orang tosu itu tenang-tenang saja. Pedang bergerak
serentak, hawa dingin menerpa lalu meluncur ke depan. Tok-
ku Hong tidak sempat menghindar. Sebuah pedang berkelebat
menyayat pahanya. Dengan marah dia terus menyerang.
Tidak peduli rasa sakit yang mulai terasa. Kongsun Hong
dengan Jit-goat-lunnya mengadang di depan dengan gugup.
Suara benturan senjata langsung berkumandang. Kedua
orang itu terdesak lagi. Tok-ku Hong semakin penasaran.
Wajah Kongsun Hong semakin kelam. Dia nekat mengadang
di depan Tok-ku Hong.
"Sumoay ... kita tidak boleh menguras tenaga lagi," katanya.
Tok-ku Hong mendengus dingin.
330 "Kalau begini terus, rasanya kita tidak kuat sampai hari
terang." "Memangnya kenapa kalau hari sudah terang?"
Kongsun Hong hanya tertawa getir. Gi-song yang berada di
luar barisan menggunakan kesempatan itu untuk
menyindirnya, "Kongsun Tongcu, mengapa tidak menyerang
lagi?" Kongsun Hong mendelik kepadanya dengan sorot kemarahan.
"Tok-ku Siocia, mengapa masih belum berhasil juga
memecahkan barisan Jit-sing-kiam-ceng kami?"
Tok-ku Hong menggertakkan giginya dengan benci, namun
dia tidak bisa berbuat apa-apa.
"Kalian terlalu banyak berbuat kejahatan. Jit-sing-kiam-ceng
adalah alat untuk menghukum mati kalian," kata Gi-song
selanjutnya. "Namun kalian boleh berlega hati menuju perjalanan neraka.
Murid Bu-tong pasti akan mengadakan upacara sembahyang
yang meriah," sambung Cang-song tak mau kalah.
Para murid Bu-tong segera tertawa terbahak-bahak
mendengar ucapan itu. Mata Tok-ku Hong beredar. Wajahnya
kaku sekali. "Kalian juga tidak perlu terlalu bangga. Kalau malam ini aku,
Tok-ku Hong mati oleh barisan Jit-sing-kiam-ceng, ayahku
331 pasti akan membawa seluruh anak buahnya naik ke atas Bu-
tong-san. Pada saat itu kalian juga belum tentu dapat hidup
lebih lama," sahutnya.
Gi-song langsung tertegun. Tanpa sadar para murid Bu-tong
juga mengusap keringat dingin yang membasahi di kening
mereka seketika. Mereka semua terdiam dan tidak berani
mengatakan apa-apa lagi.
"Kedua orang ini, yang satu adalah putri tunggal Tok-ku Bu-ti,
sedangkan yang satunya adalah murid kesayangannya.
Seandainya mereka mati di sini, Tok-ku Bu-ti pasti tidak mau
menyudahinya begitu saja," kata Gi-song dengan suara lirih.
"Siapa tahu belum sampai batas waktu dua tahun, dia akan
membumihanguskan Bu-tong-pai," sahut Cang-song.
Gi-song menganggukkan kepalanya berkali-kali. "Cepat suruh
mereka berhenti," kata Cang-song kembali.
Gi-song tertawa getir.
"Kau telah melupakan sesuatu, barisan Jit-sing-kiam-ceng ini
tidak boleh dihentikan lagi setelah lewat tujuh jurus. Kalau


Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tidak, kedua pihak sama-sama celaka."
"Ini ... sudah pasti ada yang mati."
"Maksudmu ... mereka?"
"Maksudku ... pihak kita."
***** 332 "Apa akibatnya kalau kedua orang Bu-ti-bun itu mati oleh Jit-
sing-kiam-ceng?" yang mengajukan pertanyaan ini justru
manusia berpakaian hitam.
Di hadapannya berdiri Wan Fei-yang. Seluruh tubuhnya basah
oleh keringat. Dia baru selesai berlatih. Di sekitar mereka sepi sekali. Cahaya api di tengah pegunungan tidak akan
memancar sampai tempat ini. Suara mereka yang ada di sana
pun tidak mungkin terdengar sampai di sini.
Jaraknya terlalu jauh. Dan Wan Fei-yang merasa heran
mengapa suhunya tiba-tiba bertanya demikian. "Bu-tong-pai
dan Bu-ti-bun adalah musuh bebuyutan. Pihak mana pun ada
yang mati, sebetulnya tidak banyak pengaruh. Namun
kedudukan kedua orang ini tidak dapat disamakan.
Seandainya mereka mati di dalam barisan Jit-sing-kiam-ceng,
Tok-ku Bu-ti pasti akan membalas dendam habis-habisan,"
sahutnya. "Tidak salah!" kata manusia berpakaian hitam tenang.
"Kemungkinan besar Tok-ku Bu-ti akan memajukan tanggal
perjanjiannya."
"Para murid Bu-tong-pai juga mempunyai pikiran yang sama,"
sahut Wan Fei-yang.
"Kalau ditilik dari keadaan Bu-tong-pai sekarang ini,
kekuatannya masih belum dapat menandingi Bu-ti-bun.
Apalagi anggota Bu-ti-bun begitu banyak. Bisa jadi Bu-tong
disapu bersih dan tidak bisa berdiri lagi."
Kening Wan Fei-yang berkerut erat-erat. "Sayang sekali ilmu
333 silatku belum cukup tinggi, lagi pula aku tidak bisa
menampilkan muka di depan mereka," sahutnya.
Manusia berpakaian hitam hanya memandangi Wan Fei-yang
lekat- lekat. "Bagaimana pun aku ini dibesarkan di Bu-tong-san, begitu ada
masalah, masa aku hanya berdiam diri. Hatiku sungguh tidak
tenang, namun aku tidak bisa berbuat apa-apa. Kadang-
kadang aku merasa aku benar-benar tidak berguna," kata
Wan Fei-yang kembali.
"Siapa bilang?" Nada suara manusia berpakaian hitam
berubah menjadi berat. "Fei-yang, sebetulnya ini merupakan
kesempatan bagus bagimu untuk membantu Bu-tong-pai."
"Eh?" Wajah Wan Fei-yang menyiratkan perasaan heran.
"Kalau kau pandai menutup diri lalu memecahkan barisan Jit-
sing-kiam-ceng, maka kedua orang itu bisa keluar dan sama
artinya kau sudah menolong Bu-tong-pai."
"Mengapa aku harus menolong orang-orang Bu-ti-bun?" desak
Wan Fei-yang. "Kalau tidak ingin jatuh korban, satu-satunya jalan hanya
demikian," kata manusia berpakaian hitam itu tenang.
"Tidak salah ...."
"Lagi pula, ini merupakan kesempatan bagimu untuk menguji
ilmu silatmu sendiri."
334 Mendengar ucapan itu, semangat Wan Fei-yang terbangkit
seketika. "Baik, aku pergi!"
"Ingat! Melihat ilmu kedua orang Bu-ti-bun itu, sampai jurus
empat puluh mereka pasti akan mati dengan tubuh hancur
oleh barisan Jit-sing-kiam-ceng, maka kau harus mencegah
jangan sampai hal itu terjadi. Tepat sebelum jurus keempat
puluh dilancarkan, kau sudah harus bergerak. Dan kau juga
harus mengantarkan kedua orang Bu-ti-bun itu meninggalkan
Bu-tong-san," kata si manusia berpakaian hitam menjelaskan.
"Ini ...."
"Mereka sudah terluka. Kita tidak yakin kalau tidak ada orang
yang akan menggunakan kesempatan tersebut mencelakai
mereka. Kita harus menjaga segala kemungkinan."
"Betul juga ...." Wan Fei-yang menganggukkan kepalanya
berkali-kali. "Sekarang ... aku akan mengajarkan caranya memecahkan
barisan Jit-sing-kiam-cengl"
Dengan pandangan penasaran Wan Fei-yang menatap
manusia berpakaian hitam. Pengetahuan gurunya ini sungguh
luas. Benar-benar di luar dugaannya. Manusia berpakaian
hitam itu sama sekali tidak mempedulikan tatapan Wan Fei-
yang itu. Dengan sembarangan dia memungut tujuh butir batu
kerikil berwarna putih dan dua butir batu berwarna hitam. Dia
menyusunnya di atas selembar kain. Kedudukannya persis
barisan Jit-sing-kiam-ceng. Kedua butir batu hitam tadi
terkurung di tengah.
335 "Jit-sing-kiam-ceng juga disebut Tian-cik-kiam-ceng (barisan
pedang penggetar langit). Sebetulnya barisan ini diciptakan
menurut posisi bintang tujuh di langit. Dan kemudian
dikombinasikan dengan perubahan im dan yang."
Mata Wan Fei-yang memperhatikan batu-batu itu dengan
seksama. "Ketujuh bintang ini sebenarnya mempunyai nama masing-
masing. Setiap titiknya mempunyai fungsi dan tugas tersendiri.
Kita tidak boleh terkecoh olehnya. Pusatkan perhatian pada
yang tengah. Karena posisi inilah yang paling penting dan
mematikan."
Wan Fei-yang semakin kagum kepada gurunya. Dia tidak
berani ayal dan berpikir pada hal yang lain.
"Seluruhnya berjumlah empat puluh sembilan jurus. Banyak
yang menyangka bahwa mulai jurus ketujuh, barisan ini tidak
bisa dihentikan lagi. Sebetulnya bukan demikian, asal kita tahu cara kerjanya. Malah mulai jurus kedua puluh satulah barisan
itu baru benar-benar membahayakan ...." sambil menjelaskan,
manusia berpakaian hitam itu menggerakkan batu-batu di atas
kain itu. Tampaknya dia paham sekali mengenai barisan Jit-
sing-kiam-ceng ini.
Siapa sebetulnya dia" Mengapa dia harus bersembunyi di Bu-
tong-san" Apakah dia juga bertujuan mencuri ilmu Bu-tong-pai
seperti makhluk aneh yang terkurung dalam telaga dingin"
***** Cahaya keemasan mulai muncul, ayam jantan sudah
336 berkokok. Wan Fei-yang mengenakan setelan pakaian
berwarna hitam dan menggunakan sehelai kain untuk
menutupi wajahnya. Yang tersembul hanya sepasang
matanya saja. Tiba-tiba dia mengeluarkan sebatang pedang dari kolong
tempat tidur dan berkelebat melalui jendela. Di luar tidak ada
orang, dia memperhatikan sejenak, kemudian melayang pergi
dengan tergesa-gesa.
***** Bumi mulai dihiasi cahaya terang. Meskipun api unggun belum
padam, namun sinarnya sudah tidak kentara lagi. Tidak ada
yang mempedulikan api unggun tersebut. Mata mereka semua
terpusat pada barisan Jit-sing-kiam-ceng.
Tok-ku Hong dan Kongsun Hong masih terkurung di dalam
barisan. Tampang mereka sudah tidak karuan. Mereka pasti
sudah lelah sekali. Demikian juga ketujuh orang tosu tersebut.
Ketujuh orang tosu itu sudah terluka, namun luka yang diderita
Tok-ku Hong dan Kongsun Hong jauh lebih parah.
Seandainya bertarung satu lawan satu, tidak ada seorang pun
dari tosu itu yang dapat mengalahkan salah satu dari kedua
murid Bu-ti-bun tersebut. Dan apabila mereka mengeroyok
Tok-ku Hong dan Kongsun Hong bertujuh sekaligus tanpa
membentuk barisan Jit-sing-kiam-ceng, mereka juga bukan
tandingan kedua orang Bu-ti-bun itu.
Namun begitu membentuk Jit-sing-kiam-ceng, tenaga tujuh
orang tosu itu segera tergabung. Kongsun Hong dan Tok-ku
Hong bukan lagi tandingan mereka. Bahkan mereka berdua
337 juga tidak berhasil menemukan titik kelemahan barisan itu.
Oleh karenanya, mereka tetap terkurung sampai saat ini.
Sedangkan pengepungan barisan Jit-sing-kiam-ceng semakin
lama semakin hebat.
Jilid 8 Matahari timbul di ufuk timur. Cahayanya menyinari dari
puncak pegunungan. Tujuh orang tosu itu kini sudah berganti
posisi, bergerak terus tanpa henti. Sinar matahari menyoroti
pedang mereka. Cahayanya berkilauan.
Tok-ku Hong dan Kongsun Hong merasakan bayangan
manusia dan pedang berkelebatan. Mereka tidak dapat lagi
melihat jelas posisi ketujuh orang tosu tersebut, mata mulai
berkunang-kunang.
Tepat pada saat itu, dari atas sebatang pohon berjarak tiga
depa muncul Wan Fei-yang yang mengenakan pakaian hitam
dan menutu[I wajahnya dengan kain hitam pula. Sepasang
matanya yang tersembul memperlihatkan ketegangan hatinya.
Dadanya berdebar-debaar, tangan menggenggam pedang
erat-erat menonjolkan urat berwarna kehijauan.
Pek Ciok yang berada di luar barisan tersebut juga tegang
sekali. Dia menarik napas dalam-dalam. Dan tiba-tiba berseru,
"Yin-ho-lim-heng (sungai jernih meneguk kebencian)!"
Tujuh orang tosu itu bergerak cepat, tujuh batang pedang
diputar ke atas. Tampak tujuh gulungan cahaya memijar.
"Hati-hati!" teriak Kongsun Hong. Jit-guat-lun tergenggam di
338 kedua tangan dan mengadang di depan Tok-ku Hong.
Wan Fei-yang segera menghunus pedangnya. Tubuhnya
melesat ke depan. Tepat pada saat itu pula terdengar
bentakan yang memekakkan telinga, "Berhenti!"
Tanpa sadar Wan Fei-yang menghentikan gerakan kakinya.
Tujuh orang tosu itu juga berhenti bergerak. Cahaya pedang
perlahan memudar. Tok-ku Hong dan Kongsun Hong saling
pandang sekilas. Wajah mereka menyiratkan perasaan tidak
mengerti. Orang lainnya juga sama. Serentak mereka menolehkan
kepala. Ci Siong tojin berdiri di atas sebuah batu besar. Angin yang bertiup melambai-lambaikan lengan bajunya. Tubuhnya
bagai akan terbang tertiup angin.
"Bubarkan barisan. Lepaskan mereka yang datang dan
biarkan mereka turun gunung!" bentaknya menggelegar
memekakkan telinga.
Wajah setiap orang menampilkan perasaan kebingungan.
Wan Fei-yang hampir tidak dapat menahan dirinya dan ingin
berteriak sekeras mungkin. Cang-song langsung mengelus
jenggotnya sendiri.
"Biarkan mereka turun gunung?" tanyanya penasaran.
"Melepaskan harimau pulang ke kandang, kelak pasti
menimbulkan masalah!" teriak Gi-song kesal.
Wajah Ci Siong tojin sedingin es. Dia mengibaskan lengan
bajunya. Sekali melesat, tubuhnya hilang dari pandangan
339 mata bagaikan para dewa di kayangan. Kongsun Hong dan
Tok-ku Hong tidak ingin membuang waktu. Mereka
menggunakan kesempatan ini untuk menerobos keluar dari
barisan Jit-sing-kiam-ceng. Tujuh orang tosu tersebut hanya
memandangi mereka dengan mata mendelik.
Kongsun Hong menarik tangan Tok-ku Hong dan menyeretnya
meninggalkan tempat itu. "Cepat pergi!" katanya.
Para murid Bu-tong yang berkumpul di luar barisan semuanya
Petualang Asmara 3 Pusaka Rimba Hijau Karya Tse Yung Kisah Sepasang Rajawali 12
^