Pencarian

Wanita Gagah Perkasa 11

Wanita Gagah Perkasa Karya Liang Ie Shen Bagian 11


untuk belajar silat lebih jauh dengan menukar guru dan kaum,
perlu aku memberitahukan lebih dahulu kepada guruku."
Lantas pemuda ini pergi menghampiri gurunya, kemudian
dia kembali bersama guru itu.
Sien Sie segera beritahukan gurunya tentang usulnya Pek
Sek Toojin, mendengar mana, Siauw In dengan segala senang
hati berikan perkenannya
Semua orang girang mendengar perjodohan itu mereka
beri selamat pada Kie Hee dan Pek Sek, terutama kepada
sepasang calon pengantin itu.
It Hang pun tidak terkecuali, ia jabat tangannya Sien Sie
sambil mendoakan kebahagiaan. Ia nampaknya j adi bebas
sekali, hingga baik terhadap Pek Sek Toojin maupun terhadap
Kie Hee, ia bisa bicara dengan leluasa, tak likat-likat lagi.
Di dalam hatinya Sien Sie kata: "Kiranya It Hang seorang
yang baik, nyata aku telah menganggap keliru kepadanya"
Melainkan Pek Sek Toojin, walaupun jodoh puterinya sudah
ada ketetapannya, hatinya masih belum senang benar, karena
ia tidak dapat capai maksud hatinya semula.
Di hari kedua, perjalanan dilanjutkan pula, menuju ke
selatan. Kedua rombongan masih tetap jalan bersama.
Setengah bulan kemudian, sesampainya di wilayah Ouwpak,
baru mereka berpisah rombongan. Yakni Him Teng Pek
bersama Gak Beng Kie dan Ong Can pulang ke kampung
halamannya di Kanghee, Liong Siauw In kembali ke Ngobie
san, dan rombongan Pek Sek Toojin pulang ke Butong san.
Begitu lekas melihat It Hang, Uy Yap Toojin lalu timbulkan
soal ahli waris Butong pay untuk It Hang segera menerimanya
sebagai ketua. "Sekarang ini teeCu masih berkabung, teeCu ingin pulang
dahulu ke kampung halamanku untuk mengurus pemakaman
jenazah engkongku," berkata It Hang. "Nanti, sesudah tiga
tahun teeCu suka mengenakan kopiah kuning pulang ke
gunung untuk menerima segala titah susiok."
"Kau menjadi Ciangbunjin, tak usah menjadi imam!"
berkata Uy Yap Toojin sambil tertawa. "Dalam keluargamu
selama tiga turunan, kau adalah turunan yang tunggal, maka
itu tak dapat kau menjadi imam seperti kami."
"TeeCu telah menginsyafi penghidupan dalam dunia, hatiku
telah jadi tawar," menyatakan It Hang.
Uy Yap Toojin bersenyum, ia melirik kepada Pek Sek
Toojin. Wajahnya Pek Sek menjadi kemerah-merahan. Ia kata
kepada si anak muda: "Tunggu sampai kau nanti menikah dan
peroleh anak untuk menjadi imam temponya belum terlambat.
Kami pandang kau sebagai putera sendiri, pasti kami akan
carikan kau satu nona yang sempurna. Giok Lo Sat itu
perempuan liar, sukar dididiknya, dia juga menjadi musuh
umum dari kita pihak Butong pay. Janganlah kau bergaul
dengan dia!"
Uy Yap belum diberitahu halnya Gok Hoa telah ditunangkan
kepada lain orang, mendengar sutee-nya ini, ia melengak.
Adalah kemudian, setelah tiba sang sore, ketika Pek Sek
Toojin omong hal Sien Sie yang dia minta suheng ini suka
terima sebagai murid, baru ia ketahui itu.
It Hang berdiam setengah bulan di Butong san, sehabisnya
bersembahyang di kuburan gurunya, baru ia turun gunung
pulang ke kampungnya.
Sebenarnya Uy Yap Toojin ingin minta Pek Sek mengiringi
bakal ketua ini, akan tetapi It Hang sendiri menolaknya
dengan getas. Di lain pihak, Pek Sek tidak lagi menyayangi
keponakan murid ini sebagai dulu-dulu, mendengar
penolakannya pemuda ini, iapun tidak kata apa-apa.
Ketika itu pasukan perang kerajaan Beng, yang berada di
bawah pimpinan Pengko Kiesu tiong Lauw Yan Goan sebagai
kepala perang, sedang asyiknya menumpas kawanan berandal
di wilayah Siamsay. Maka itu dalam perjalanan It Hang seringsering
mendapat pemeriksaan keras. Syukur baginya, baik
ayah maupun engkongnya pernah memangku pangkat tinggi,
dan Panglima Lauw Yan Goan itu pernah menjadi orang
scbawahan engkongnya, maka setelah ia berikan keterangan,
ia dapat lewat dengan leluasa. Tapi kemudian, untuk
menyingkirkan kepusingan, ia sengaja berangkat dengan ikuti
tentara negeri itu.
Selang beberapa hari, tibalah It Hang di gunung Tengkun
san di Coantong, SuCoan Timur. Itulah gunung di mana Giok
Lo Sat telah dirikan pesanggrahannya. Sekarang ia tampak
pesanggrahan itu sudah runtuh dibakar menjadi abu, masih
ada sisa asapnya yang mengepul keluar. Tentu saja ia kaget
menampak musnahnya gunung itu.
"Inilah pertempuran dalam mana kita tak turut ambil
bagian," berkata satu punggawa, yang ditanyakan It Hang.
"Kabarnya pertempuran di sini sangathebat dan
tercampurjuga kisah asmara di dalamnya..."
"Bagaimana duduknya hal?" It Hang menanya pula.
"Menurut cerita, gunung ini diduduki oleh pasukan berandal
wanita seluruhnya," menerangkan punggawa itu. "Katanya
semua berandal cantik elok, akan tetapi di waktu bertempur,
mereka sangat gagah dan galak sekali. Jumlah mereka cuma
beberapa ratus jiwa, jumlah tentara ada tiga ribu serdadu
berkuda, tetapi untuk memecahkan gunung ini, telah
menggunai tempo mengurung dan menyerang sampai
setengah bulan lamanya. Separuh dari jumlah tentara kita
telah roboh sebagai korban, dan beberapa berandal wanita
dapat meloloskan diri. Ada belasan berandal wanita itu yang
tertawan, mereka lantas dirampas oleh perwira-perwira
atasan. Tiga perwira ingin lantas menikah, tetapi pada malam
harinya mereka dibunuh mati oleh nona-nona berandal itu. Hal
ini membikin keder perwira-perwira lainnya. Baru setelah
kejadian itu, semua berandal itu lantas dihukum mati. Syukur
pasukan yang akan turut tidak menyertai dalam serbuan itu,
kalau tidak, mungkin akupun turut menjadi hantu asmara... "
Lalu punggawa yang bercerita ini tertawa.
It Hang berubah wajahnya.
"Bagaimana dengan Giok Lo Sal si kepala berandal itu?" dia
tanya. "Giok Lo Sat?" mengulangkan punggawa itu. "Kau kenal
Giok Lo Sat?"
"Pernah aku dengar dari pembicaraannya kaum Rimba
Persilatan."
Punggawa itu berdiam, lalu ia tertawa.
"Ya, aku lupa, bahwa kau murid terpandai dari Butong
pay!" katanya. "Memang tidak aneh kalau ada sahabatsahabat
kaum Rimha Persilatan yang bicara padamu tentang
Giok Lo Sat itu. Dia sangat kesohor, kabarnya dia galak tiada
bandingan, dia adalah ratu iblis tukang sembelih manusia
dengan mata tak berkesip. Tapi syukur, waktu gunung
diserang, GiokLo Sat kebetulan tidak ada di tempat, kalau
tidak, mungkin sulit untuk peroleh kemenangan."
Lega juga hatinya It Hang.
Pasukan itu menuju ke Yanan, inilah kebetulan, sebab
kampung halamannya Keluarga To adalah dalam daerah kota
itu, maka It Hang diantar sampai di rumahnya sendiri.
Oleh karena duduknya perkara sudah jelas, rumah keluarga
To tidak disegel terus, semua pegawainya sudah pada
kembali. Mereka girang melihat majikannya yang muda ini
pulang dengan tidak kurang suatu apa.
It Hang dapat berdiam dengan tenteram di rumahnya, ia
berlatih terus ilmu silat dan ilmu suratnya.
Sekarang marilah kita tengok Giok Lo Sat, yang berangkat
bersama-sama ayah angkatnya, Tiat Hui Liong, luga mereka
ini tidak dapat terus berada bersama. Giok Lo Sat tahu, bahwa
pasukan negara telah diberangkatkan ke propinsi Siamsay, ia
ingin segera kembali ke gunungnya untuk tengok barisannya,
yang telah lama ia tinggalkan. Tiat Hui Liong sebaliknya ingin
cari San Ho, puterinya. Karena tujuan yang berlainan inilah
mereka terpaksa berpisahan.
Ketika si Raksasi Kumala sampai di Tengkun san, di
gunungnya itu, ia telah terlambat tiga hari. Pada tiga hari
sebelumnya ia tiba, tentara negeri telah menghancur leburkan
gunungnya itu, sisa laskarnya banyak yang lolos, tentara
negeri pun telah maju lebih jauh ke lain arah. Bukan main
menyesal dan murkanya nona kita. Pasukannya adalah
pasukan yang terlatih, yang ia sayangi. Ia menyangka
pasukannya itu telah termusnah semua Maka ia hunus
pedangnya dan membacok batu, ia angkat sumpah akan
menuntut balas untuk anak buahnya itu!
Lalu, dengan menyamar sebagai satu pemuda, Giok Lo Sat
menuju ke Siamsay Utara. Ia niat bergabung dengan Ong Kee
In untuk bersama-sama beri hajaran pada tentara negeri.
Di sepanjang jalan ini, ada saja tentara negeri, tetapi Giok
Lo Sat yang tidak hendak memusingkan diri senantiasa
menyingkir dari mereka itu. Ia berangkat cepat siang dan
malam. Tidak sampai empat hari, ia sudah sampai di
Kongkoan dari mana untuk menuju ke Yanan, perjalanan
tinggal lagi satu hari. Maka dengan lekas ia akan dapat lewati
kota Yanan itu, dan dengan terus berjalan dengan cepat, tidak
sampai tiga hari lagi tibalah ia di BieCie, pusat kawanan
berandal dari Siamsay Utara.
Begitulah, walaupun sudah magrib, Giok Lo Sat telah
lanjutkan perjalanannya. Di tengah jalan ia berpapasan
dengan beberapa penunggang kuda, yang telah larikan
binatang tunggangannya keras sekali.
Selagi penunggang-penunggang kuda datang semakin
dekat, Giok Lo Sat telah pasang matanya dengan tajam, ia
merasa seperti mengenali salah seorang di antara mereka itu.
Tapi, selagi berpapasan, ia lewat dengan cepat sekali sehingga
mengejutkan mereka itu. Seorang di antaranya menyabet
dengan cambuknya
Bahna gesitnya nona kita lolos dari cambukan itu.
"Ai!" orang itu berseru. "Dia manusia atau hantu?"
Di waktu magrib seperti itu, sulit untuk orang dapat melihat
tegas. Salah seorang lain tertawa dingin.
"Di Siamsay Utara ini ada banyak orang berilmu, sayang
kita telah kasih dia lewat..." kata seorang lainnya lagi.
Giok Lo Sat sementara itu, dalam sepintas lalu telah dapat
lihat nyata wajahnya beberapa orang itu. Jumlah mereka
berenam, yang tiga bertubuh tegap dan kekar, hidung
bengkung dan mulutnya lebar, mereka tidak mirip dengan
orang-orang Han (Tionghoa asli). Dan yang tiga lainnya yang
satu muda dan cakap ganteng, dua lainnya dandanannya
seperti pembesar militer. Adalah satu dari dua perwira ini yang
menyambuk Giok Lo Sat. Dilihat dari gerakan tangannya, dia
mestinya bukan orang sembarang.
Yang paling menarik perhatiannya Giok Lo Sat adalah
pemuda yang berjalan paling belakang itu, yang wajahnya
mirip dengan Tiat San Ho dalam penyamaran.
"Heran, kenapa dia berada sama mereka itu?" nona kita
berpikir. "Ayah sedang cari padanya, ayah tentu bingung
sekali, aku tak sangka di sini aku dapat ketemukan padanya.
Malam ini aku harus tunda dahulu perjalanan, aku hendak
kuntit nona ini untuk ketahui, ke mana dia hendak pergi dan
apa maksudnya..."
Rombongan itu ternyata menuju ke kantor tiekoan kota
Kongkoan dan masuk ke dalamnya. Giok Lo Sat lantas cari
rumah penginapan untuk beristirahat. Kira-kira jam tiga
dengan diam-diam ia keluar dari kamarnya menuju ke kantor
tiekoan tadi Dengan berani ia menyelundup masuk ke
pekarangan dalam. Ia tidak takut pada orang ronda, malah ia
totok tubuh seorang jaga malam, untuk korek keterangan dari
mulutnya enam orang tadi.
Orang ronda itu tidak dapat memberi jawaban, dia
bukannya opas. "Apakah kau tahu di mana kamarnya camat?" Giok Lo Sat
tanya. Mengenai kamarnya camat (tiekoan), orang ronda itu
ketahui, maka ia berikan keterangannya
"Maaf, kau tunggulah sebentar..." kata nona ini, yang terus
merobek bajunya peronda itu, untuk dipakai menyumbat
mulutnya, lalu orangnya dicancang di suatu pojok pada
sebuah singa-singaan batu. Kemudian, sebagai juga wakilnya
peronda itu, ia jemput kentongan untuk dipalu beberapa kali,
kemudian ia bertindak menurut arah yang ditunjuk peronda
itu. Dari dalam kamar masih terlihat cahaya api yang
menandakan bahwa tiekoan masih belum tidur. Maka Giok Lo
Sat lantas menghampiri jendela di mana ia mendekam
memasang kuping.
"Beberapa tetamu itu harus dilayani baik-baik," demikian
terdengar satu suara-terang
suaranya tiekoan. "Baik kau suruh budak antarkan yanoh
yang telah dimasak matang itu."
"Yanoh memang sudah tersedia," sahut satu suara wanita,
mungkin nyonya tiekoan. "Hanya dipesannya supaya dua
mangkok di antaranya jangan diganggu..."
"Ah!..." tiekoan itu bersuara pula. "Baiklah kalau begitu,
besok saja suguhkan kepada mereka."
"Orang asing itu sebenarnya siapa?" sang nyonya tanya.
"Kenapa pemerintah sampai tugaskan dua pemimpin dari
barisan Gielimkun untuk mengantar mereka?" Tiekoan itu
tertawa perlahan. "Pemuda asing itu," katanya, "kabarnya
adalah puteranya raja dari satu negara kecil di Barat."
"Pantaslah kedua tongnia Gielimkun itu kelihatannya sangat
menghormati kepadanya," berkata pula si nyonya.
"Itulah sudah selayaknya," kata tiekoan. "Putera raja itu
berkedudukan sebagai utusan negaranya, apabila ada terjadi
sesuatu atas dirinya, bukan hanya si tongnia pengantarnya
yang bakal dihukum tapi juga pembesar-pembesar setempat
yang wilayahnya telah dilewati."
"Ah, itulah hebat!..." seru si nyonya. "Sekarang jaman
sedang kalut, di mana-mana ada pemberontak atau berandal,
bagaimana apabila terjadi sesuatu dalam daerah kita"..."
"Jangan kuatir, hujin," menghibur si tiekoan. "Dua tongnia
itu adalah orang-orang liehay dan di dalam wilayah kita juga
ada beberapa ribu serdadu berkuda, aku percaya orang jahat
tidak akan berani sembarang bergerak."
Di mulutnya tiekoan itu mengucap demikian, akan tetapi
hatinya sebenarnya tidak tenteram, sebab tanggung jawabnya


Wanita Gagah Perkasa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ada besar sekali.
"Sekarang sudah jam tiga lewat," kata tiekoan itu kemudian
seorang diri, "maka sebentar lagi, hari akan sudah terang
tanah. Asal malam ini lewat dengan selamat, besok pagi
mereka sudah akan berangkat pergi, tanpa setengah harian
mereka akan sudah lintasi perbatasan kita. Di waktu siang
benderang, dan banyak tentara di jalan-jalan, aku percaya
mereka bisa lakukan perjalanan dengan tak kurang suatu
apa." Tiekoan ini asalnya orang peperangan, hatinya tabah juga.
"Supaya hatimu tetap, nanti aku keluar sebentar," kata lagi
ia pada isterinya, selang sesaat.
Lalu dengan bawa golok, dia keluar dari kamar.
Dengan diam-diam si Raksasi Kumala kuntit camat ini.
Tiekoan dari Kongkoan ini menuju ke ujung barat, di sana
ada sebuah loteng yang di bagian bawahnya dijaga beberapa
orang polisi. Mereka itu memberi hormat melihat sep ini
datang meronda.
"Semua pembesar sudah tidur," kata satu orang polisi.
"Tayjin jangan kuatir."
Sep itu melihat ke sekitarnya. "Baiklah," jawabnya. "Kalian
harus berhati-hati."
Giok Lo Sat yang umpetkan diri di atas sebuah pohon,
tertawa di dalam hatinya. Ia tunggu sampai tiekoan sudah
pergi, lantas ia mencari jalan untuk naik ke loteng. Ia dapat
bergerak dengan merdeka karena sinar bulan terhalangkan
cabang-cabang pohon yang daunnya lebat. Untuk sementara
ia mendekam di pojokan.
Tidak antara lama terdengarlah tindakan kaki perlahan di
tangga loteng. Untuk selamatkan diri nona kita mendahului
lompat naik ke atas penglari dengan terus mendekam, ia
kuatir orang dapat lihat padanya.
Orang yang baru datang itu mengetok pintu sebuah kamar
di sebelah timur, dia mengetok tiga kali, atas mana di dalam
terlihat sinar api yang baru dinyalakan.
Dari terangnya sinar api itu. Giok Lo Sat segera kenali
orang yang datang ini, ialah In Yan Peng dengan siapa ia
pernah bertempur di Yanan.
"Dia adalah pahlawan dari istana, malam-malam dia datang
kemari, apa dia mau?" pikir nona kita. "Mungkinkah
pemerintah kuatir kedua tongnia masih belum cukup hingga In
Yang Peng harus bantu melindunginya?"
Sebegitu lekas pintu dipentang, In Yan Peng segera
bertindak masuk, lalu pintu itu ditutup pula.
Setelah itu dari dalam terdengar suara orang tertawa dan
bicara katanya: "Selamat, In Tayjin! Kau telah ditugaskan
memimpin tentara di bagian luar, jauh lebih bagus daripada
berdiam saja di dalam istana!"
Pasti itulah suaranya perwira dari kamar itu.
"Tidakkah kedua-duanya sama' saja?" kata In Yan Peng.
"Biar bagaimana, di luar lebih menyenangkan!" kata
siperwira. Lalu terdengar pula suaranya In Yan Peng, suara tertawa
yang seperti mengandung rahasia. Giok Lo Sat heran. "Dia
telah jadi perwira yang mengendalikan pasukan perang,
kenapa dia muncul di sini bagaikan pencuri" ia berpikir.
Masih terdengar tertawanya In Yan Peng, lalu dia berkata:
"Di depan kita sekarang ada sejumlah besar minyak dan air,
yang dapat kita sendok, mengenai itu aku ingin berdamai
dengan kalian kedua saudara."
"Begitu" Silakan bicara!" kata kedua perwira di dalam
kamar loteng itu.
"Kemarin aku terima surat dari Lauw Taysu," berkata In
Yan Peng. "Surat itu mengatakan halnya satu utusan negara
asing bakal lewat dalam wilayah kita, aku diminta bantu
melindungi utusan itu. Aku tidak sangka kalianlah yang
ditugaskan mengantar utusan itu. Inilah kebetulan!"
Segera caranya mereka bicara jadi bertukar sifat. Inilah
disebabkan kedua pembesar yang bernama Ong Teng Hok
dan Ong Teng Lok, adalah pahlawan-pahlawan Gielimkun
yang dahulu bersahabat kekal dengan In Yan Peng ini.
"Saudara In," berkata Ong Teng Hok kemudian, kami juga
tidak menduga bahwa kau berada di sini bersama pastikan
tentaramu. Aku percaya, begitu lekas kita sudah melalui
wilayah ini, kau dapat bergerak dengan merdeka dan dengan
kami sudah tidak ada sangkutannya pula."
"Sebaliknya, dalam hal itu aku hendak minta bantuanmu
kedua saudara," kata In Yan Peng. "Aku mengandalkan sangat
tenagamu."
"Apakah In Tayjin main-main?" Teng Lok tanya.
Tapi Teng Hok telah dapat duga maksud orang.
"Minyak dan air itu tak dapat disendok," ia menjelaskan
sambil tertawa.
"Sebab apa?" Yan Peng tanya. "Kami adalah petugas yang
melindungi orang asing itu," Teng Hok terangkan dengan
perlahan, "jikalau kami sendiri yang begal dia, dosa kami
harus ditambah tiga tingkat. Apakah kau tak takut nanti
dihukum mati sampai pada sekeluargamu?"
Sambil berkata pahlawan ini kedua tangannya melukiskan
bagaimana golok algojo menabas batang leher.
Kata-kata itu diucapkan demikian perlahan, sampai Giok Lo
Sat cuma dengar beberapa perkataan saja, namun sebagai
seorang ulung dalam dunia Rimba Hijau, dapat ia menduga
maksud orang. Pangeran asing itu datang berkunjung secara
resmi, pasti raja telah menghadiahkan emas, perak dan
mutiara kepadanya, jumlah itu cukup besar buat jadi
sasarannya kaum Jalan Hitam, tapi tak mungkin ada orang
Jalan Hitam yang berani lancang turun tangan. Siapa tahu In
Yan Peng, seorang panglima, justeru dia yang mendapat
ingatan berani itu!
Dengan sabar si Raksasi Kumala terus pasang kupingnya.
"Aku telah memikir pasti, saudaraku," In Yan Peng kata
pula. "Kalian berdua boleh tetapkan hatimu, aku tanggung
tidak akan ada bahayanya."
"Kami percaya akan pengutaraanmu, tayjin," berkata Ong
Teng Hok. Ia telah dapat menduga maksudnya In Yan Peng,
tapi ia masih berpura-pura.
"Sekarang jaman sedang kalut, di mana-mana banyak
muncul orang-orang jahat," menerangkan In Yan Peng, "maka
itu, andaikata kita kerjakan orang-orang asing itu, janganlah
kalian kuatir kena kerembet-rembet. Sehabisnya
membinasakan mereka, akupun nanti lukai juga kalian..."
"Untuk apakah itu?" Teng Lok memotong.
"Manusia tolol!" Teng Hok tertawa. "Kenapa kau taidak
dapat terka maksudnya akal itu" Kita nanti biarkan In Tayjin
melukai kita, tentu saja di bagian anggauta tubuh yang tidak
berbahaya. Ini sebagai pelabi belaka. Diumpamakan kita
dibegal, kita melakukan perlawanan, lalu kita terluka, meski
benar perlawanan kita gagal, tapi kita toh terluka, kesalahan
kita menjadi enteng, hukumannya paling juga kita bakal
dipecat..."
"Kita mempunyai Gui Kongkong sebagai tulang punggung,
mungkin sekali dipecat pun tidak," In Yan Peng tambahkan.
"Hanya saudara, dapatkah kalian terangkan macam bentuknya
barang-barang berharga itu?"
"Jelasnya aku tidak tahu," sahutnya Ong Teng Hok.
"Menurut keterangannya Gui Kongkong, raja cilik girang bukan
kepalang menerima kunjungannya seorang pangeran dari
negara lain. Bukankah ia baru saja duduk atas tahta" Maka
itu, karena kegirangannya, tanpa pikir-pikir lagi, secara
sembarangan saja ia memberi hadiah selaku tanda peringatan.
Katanya, di antaranya ada sepotong kumala seharga sejuta
lebih. Ketika Gui Kongkong menyebutkannya permata itu, dia
sendiri sangat mengilerkannya..."
"Apakah beberapa anjing asing itu mengerti ilmu silat?"
menanyakan In Yan Peng lebih jauh.
"Dilihat dari sikapnya, mungkin
mereka mengerti juga," sahut Teng Hok,
"Dan tampaknya bukan ahli."
"Adalah si bocah, yang menjemukan," Teng Hok menyelak.
"Bocah siapakah itu?" tanya In Yan Peng.
. "Bocah yang si pangeran ketemukan di tengah jalan,"
sahut Teng Hok. "Pangeran itu aneh, dia bertemu bocah yang
cakap romannya itu, dia lantas ajak bicara dan dijadikan
sebagai sahabat kekalnya. Bocah itu bicarakan halnya di
Siamsay ada banyak orang jahatnya, bahwa jalan sangat tidak
aman, lalu pangeran itu ajak si bocah jalan bersama dan
dipandangnya sebagai pengawalnya."
"Usianya bocah itu masih muda sekali," Teng Hok
tambahkan, "hanya mendengar lagu bicaranya serta melihat
gerak-geriknya, dia adalah seorang kangouw ulung."
Giok Lo Sat tertawa di dalam hati.
"Sejak masih kecil Tiat San Ho telah ikuti ayahnya
menjelajah ke selatan dan utara, sudah tentu dia ada jauh
terlebih ulung daripada kalian kawanan burung tolol!" pikirnya.
"Siapa namanya bocah itu?" In Yan Peng tanya. "Sekarang
dia ada di mana?"
"Bocah itu mengaku she Kim nama Ko," sahut Teng Hok.
"Dia sekarang ada bersama orang-orang itu. Si pangeran dan
dua pengiringnya berdiam di kamar timur, bocah itu di kamar
barat yang kecil."
"Baik!" kata In Yan Peng. "Nanti aku pergi melihatnya, tidak
peduli dari golongan manapun, bocah itu tidak akan dapat
mengelabui aku!"
"Awas, janganlah kau keprak rumput hingga ular kaget,"
Teng Lok pesan.
"Mustahil perahuku karam di dalam selokan!" adalah
jawaban yang jumawa dari orang she In ini.
Ong Teng Hok tertawa dengan bermuka-muka.
"In Tayjin sudah kenyang mengembara, ilmu silatnyapun
mahir," katanya, "dan bocah itu, berapalah tingginya ilmu
silatnya" Adikku, kau terlalu berkuatir..."
In Yan Peng bersenyum.
Giok Lo Sat geli di hati, hampir ia tertawa dengan
menerbitkan suara.
In Yan Peng lantas kelihatan keluar dari kamar, dengan
gunai kegesitannya, ia lompat naik ke atas payon, untuk naik
ke genteng sampai ke wuwungan. Ia sama sekali tidak
menyangka, di belakangnya ada orang yang terus
membayangi padanya. Ia menuju ke arah barat, ke kamar
yang kecil. Di sini ia berhentikan langkahnya dan dari sakunya
ia keluarkan serupa benda mirip patuk burung ho, yang terus
saja mengeluarkan sinar api mirip dengan api hio.
Sebagai seorang ulung, Giok Lo Sat tahu perbuatan apa
yang akan dilakukan orang itu. Ialah In Yan Peng hendak
ukup orang dengan hio obat tidur "Keebeng Ngokouw
Toanhun hio." Siapa kena sedot asapnya hio itu, ia akan
tertidur nyenyak lupa daratan, (tulah obat tidur yang biasa
digunai oleh golongan rendah.
"Kecewa orang ini menjadi perwira yang memimpin
pasukan serdadu," pikir si Raksasi Kumala, yang mencaci di
dalam hati. "Kenapa dia bawa lagaknya seorang rendah dari
kalangan Jalan Hitam" Baiklah aku singkirkan padanya..."
Tapi segera juga nona ini ubah niatnya, karena ia kuatir,
dengan turun tangan di kantor itu akan terbit keonaran,
sebagai gantinya pedang yang ia telah hunus tadi. sekarang ia
siapkan senjata rahasianya yang berupa jarum "Kiuseng
Tengheng Ciam". Di saat In Yan Peng mendekatkan ujung hio
ke celah-celah jendela untuk meniup masuk asapnya ke dalam
kamar, ia mementil jarumnya yang segera melesat.
In Yan Peng cuma rasakan siuran augin halus sekali, api
hionya padam seketika. Ia terkejut. Lantas ia menoleh ke
sekitarnya, kupingnya pun dipasang.
Giok Lo Sat umpetkan diri di sudutnya payon yang tak
dapat terlihat, gerakan badannyapun tidak bersuara. Maka
orang she In ini jadi heran, hingga dia diam terpaku sedetik.
Dia j adi penasaran. Kembali dia sulut hionya yang liehay itu.
Di saat dia hendak ceploskan pula ujung hio ke celah jendela,
kembali bersiur datang angin halus lagi-lagi api hio itu padam!
Jarum yang dilepaskan Giok Lo Sat sangat halus,
melesatnyapun sangat pesat, tidak heran kalau In Yan Peng
tak ketahui itu. Setelah mencoba tiga kali dan kesemuanya
telah gagal, barulah si muka merah ini jeri dan tubuhnya
sedikit menggigil. Lekas-lekas dia turun dari genteng.
Kedua tongnia, Gielimkun, heran melihat "tayjin" ini
kembali secara demikian cepat.
"Apakah tayjin sudah dapat tahu bocah itu macam apa?"
Teng Hok tanya.
Muka merah dari Yan Peng jadi tambah merah.
"Dia adalah jago dari Jalan Hitam dari Barat utara,"
sahutnya secara sembarangan.
"Kamipun menduga dia ada dari Jalan Hitam itu," kata Teng
Hok. "Rupanya dia juga hendak mempunyai harta besar
itu." "Apakah selama di jalan kalian telah ketemui sesuatu yang
luar biasa?" In Yan Peng tanya.
"Sebegitu jauh tidak," jawab Teng Lok. "hanya tadi, selagi
mendekati kota, kami melihat sesuatu yang mencurigakan." Ia
lantas tuturkan halnya Giok Lo Sat, lalu ia tambahkan: "Orang
itu sangat enteng tubuhnya, gerakannya cepat bagaikan
angin, sampai mukanya tak dapat dilihat tegas!..."
Yan Peng diam memikir sejenak. "Jikalau demikian, besok
harus kita waspada," ia kata. "Apabila bocah itu benar-benar
berlaku tidak tahu diri, aku ada mempunyai daya untuk
menghadapinya. Yong Jieko (engko Yong yang kedua) ada di
tangsiku, nanti aku ajak dia bersama."
Pembicaraan mereka itu Giok Lo Sat dapat mendengarnya
nyata. "Bagus, bagus sekali!" pikirnya. "Besok bolehlah
dengan sebatang panah aku memanah sepasang garuda!
Lebih dahulu kawanan bangsat anjing ini harus dibikin
mampus, baru setelah itu aku rampas barang-barang
permatanya! Inilah yang dinamakan ketika baik yang
dihadiahkan Thian! Aku harus kumpulkan rakyat pencinta
negara di sebuah bukit, untuk kelak menghadapi tentara
negeri. Untuk itu tanpa uang tak dapat aku bergerak, maka
kebetulan sekali adanya harta karun ini. Bukankah tadi mereka
telah katakan bahwa jumlah harta itu ribuan laksa tail"
Dengan mendapatkan harta itu, tak usah aku memutar otak
lagi akan memikirkan pengumpulan uang..."
Lalu nona ini pasang kupingnya lebih jauh.


Wanita Gagah Perkasa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

In Yan Peng dan kedua saudara Ong itu berdamai lebih
jauh, terutama tentang tempat di mana mereka bakal turun
tangan, ialah di hutan Yatie lim yang letaknya lima puluh lie
dari tembok kota.
Giok Lo Sat bersenyum sendirinya. Ia kenal tempat itu,
yang berarti "Rimba Babi Hutan", Memang itulah tempat yang
berbahaya dan bagus untuk orang jahat turun tangan.
"Tapi tempat itupun cocok bagiku." pikirnya nona ini.
Kemudian, karena percaya In Yan Peng tidak akan intai
pula bakal mangsanya, Giok Lo Sat lantas berlalu.
Sementara itu orang yang disebut pangeran asing itu
bukanlah puteranya suatu raja asing, dia sebenarnya adalah
putranya kepala dari suatu suku bangsa Lopu yang besar di
Sinkiang Selatan bernama Tangnu dan ayahnya bernama
Tangma. Di Sinkiang Selatan terdapat banyak suku bangsa yang
masing-masing berdiri sendiri, setelah Tangma diangkat
menjadi kepala bangsanya, ia ikhtiarkan persatuan di antara
pelbagai suku itu, dia mengadakan perserikatan dengan
mengangkat dirinya sebagai kepala, atau ketua umum. Ia
bercita-cita besar untuk menjadikan Sinkiang Selatan suatu
negara sendiri. Bahwa ia telah utus puteranya, Tangnu ke
Tionggoan, kota raja Kerajaan Beng, itulah disebabkan ia ingin
ketahui keadaan Tionggoan, kebudayaannya, cara
pemerintahannya dan lain-lain lagi, untuk nanti dijadikan
teladan. Yu Kauw ada satu raja "bocah", ia tidak tahu halnya
pelbagai suku bangsa di Sinkiang Selatan itu, maka ia percaya
saja satu ketua suku disebut "raja", dan satu anak ketua suku,
sebagai "puteraraja"...
Ketika itu, kejayaan Kerajaan Beng telah mulai runtuh, dari
negara-negara yang takluk sudah lama tidak
datang antaran upeti, sekarangbelum
lama dari bertahtanya Yu Kauw ?" datang suku
bangsa Lopu yang besar dari Sinkiang Selatan ini, yang telah
menghadiahkan harta besar yaitu kuda pilihan Hanhiat Pooma
dan kumala Cinmo giok, tentu saja raja Beng itu menjadi
sangat girang. Tidak pernah ia menduga atau memikir seperti
itu ada udang di balik batu. Malah menteri-menteri yang biasa
permainkan raja bocah ini, sengaja katakan suku bangsa Lopu
sebagai suatu negara taklukan. Hingga, dalam kegirangannya
yang sangat itu, Yu Kauw lantas menghadiahkan harta besar
kepada "pangeran asing" itu. Memang benar walaupun
Tangnu bukannya pangeran, ia mempunyai harta besar.
Tidak keliru penglihatannya Giok Lo Sat, bahwa pemuda
yang menyertai Tangnu itu adalah Tiat San Ho, puterinyaTiat
Hui Liong. Nona ini kabur setelah penolakannya Gak Beng Kie
terhadap jodohnya, dalam mengambulnya, ia tinggalkan
ayahnya. Ia sedang dalam perjalanan pulang ke Siamsay
tatkala ia bertemu dengan rombongan Tangnu. Ia masih muda
tetapi luas pengalamannya, ia segera dapat lihat Tangnu
membekal harta besar, hingga timbullah niatnya akan
punyakan harta besar itu. Sebagai juga si Raksasi Kumala, ia
berani dan besar kepala, ketika ia pulang ke Siamsay, ia
kandung matan menduduki gunung untuk menjadi ratu.
Demikian ia mainkan peranan, untuk menanti ketika turun
tangan. Di hari kedua pagi-pagi, Teng Hok dan Teng Lok iringi
Tangnu melanjutkan perjalanan, yang kemudian ambil jalan ke
jurusan jalanan kecil tidak lagi jalan besar.
Tangnu menjadi heran hingga ia menanyakannya.
"Jikalau tetap kita ambil jalan besar, hari ini sukar untuk
kita sampai di KamCoan," Teng Hok beri keterangan. "Di
Kongkoan telah di tempatkan pasukan besar, orang-orang
jahat telah pada sembunyikan diri, maka itu lebih baik kita
memotong jalan di jalan kecil mempercepat perjalanan kita."
Tangnu tidak kenal jalan, ia percaya keterangan yang
beralasan itu. Tiat San Ho menduga hari itu mesti terjadi sesuatu. Tetapi
ia diam saja, ia melainkan waspada dan siap sedia
Di jalan kecil itu, keadaan jalan makin jauh makin sulit.
Tepat tengah hari, mereka tiba di suatu rimba dari tanah
pegunungan yang lebar jalannya cuma lima kaki lebih, yang
hanya seekor kuda tunggangan saja dapat jalan di situ. Di tepi
jalan tumbuh rumput-rumput dan pohon-pohon merambat.
Tak usah dikatakan lagi bahwa tempat sangat sunyi.
"Baiklah kita beristirahat di sini," berkata Teng Hok. Dan
tanpa tunggu persetujuannya Tangnu lagi, ia mendahului
lompat turun dari kudanya.
Putera kepala suku Lopu itu tidak menduga jelek, ia dan
pengiring-pengiringnya turut turun dari kuda mereka
Menampak keadaan demikian, Tiat San Ho bersenyum
ewah, ia tertawa dingin.
"Saudara Kim," berkata Ong Teng Hok, "mari kita samasama
minum dari sebuah cawan!"
Tangnu dengar itu, ia heran.
"Di mana ada air di sini?" tanyanya.
Teng Hok dan Teng Lok menjawab dengan tertawa besar.
Justeru itu tampak dari arah depan kabur mendatangi dua
penunggang kuda. Penunggang yang satunya adalah In Yan
Peng. Dia tidak lagi mengenakan pakaian seragamnya, hanya
dandan sebagai rakyat jelata.
Menampak demikian, Tiat San Ho segera berseru: "Mereka
ini adalah rombongan begal anjing!" Terus ia hunus
senjatanya, yang merupakan seruling kumala, dengan apa ia
totok pinggangnya Teng Hok.
"Oh, manusia rendah tak tahu diri!" seru orang she Ong itu
sambil berkelit, terus ia membalas dengan satu serangan
telapakan tangan. "Dengan baik hati kami suka membagi
bagian kepadamu tetapi kau tidak sudi menerimanya! Apakah
kau niat meminumnya sendiri saja?"
Tiat San Ho tidak hiraukan teguran itu, ia lanjutkan
serangannya. Ia tetap mencoba menotok lawannya itu,
sampai Teng Hok repot menangkisnya berulang-ulang dengan
tidak mampu balas menyerang.
Tangnu kaget, segera ia insyaf akan bahaya yang
mengancam dirinya. Tentu saja ia menjadi gusar, sambil
berteriak ia terjang Teng Lok muka siapa ia cengkeram.
Teng Lok hunus goloknya melakukan perlawanan.
Tangnu mengerti ilmu gelut, dengan kesehatannya ia dapat
sambar tangannya orang she Ong iiu untuk ditariknya.
Dua pengiring dari putera suku bangsa ini adalah orangorang
kuat dari Sinkiang Selatan, merekapun segera turun
tangan dengan masing-masing bersenjatakan sepasang
gembolan membantui majikan mereka.
Teng Lok yang tangannya telah tercekal oleh Tangnu, tidak
sempat menangkis atau berkelit dari serangannya dua
pengiring itu, maka sekejap saja kepalanya pecah dan otaknya
muncrat berhamburan sebagai akibat dari menimpanya dua
pasang gembolan!
Justeru itu tibalah In Yan Peng, dia segera lompat turun
dari kudanya. Dia segera disambut oleh dua pengiring bangsa
Lopu itu. Orang she In ini pandai ilmu silat BitCong kun dari Tibet,
ialah ilmu yang dinamakan Ilmu Lunak, maka ia tarik ikat
pinggangnya yang segera digunakan sebagai senjata, untuk
membuat perlawanan. Benar-benar ia liehay. Dengan satu
gerakan saja ia telah dapat libat dua pasang gembolan. Maka
dengan sekali tarik terlepaslah senjatanya dua orang kuat
bangsa Lopu itu. Ia lantas tertawa nyaring dan panjang sambil
terus merangsek, maka kali ini, dengan bergantian ia berhasil
melibat kedua lawannya, yang kemudian dilemparkan ke tepi
jalan di mana terdapat banyak batu-batu besar. Kasihanlah
kedua orang kuat itu, mereka terbanting di atas batu,
percuma saja tenaga mereka yang besar, mereka roboh
menggeletak dengan mandi darah, dan jiwanya melayang.
Di waktu itu Teng Hok, dengan tumbaknya masih melayani
San Ho dalam kerepotan dan bergelisah bukan main karena
hebatnya desakan lawan. Serulingnya si nona dapat digunai
sebagai dua rupa senjata, ialah sebagai alat penotok atau
pedang. Alat penotok adalah poankoat pit, yang mirip dengan
pit atau alat tulis, yang berarti "pit hakim". Sedang sebagai
pedang harus dimainkan dengan jurus-jurus dari Ngoheng
kiam. In Yan Peng lihat Teng Hok keteter, ia lantas berseru:
"Pergi kau layani anjing Hoan itu, kasih aku yang bereskan
bocah ini!" Terus saja dia menyerang dengan sabuknya.
Segera juga Yan Peng dapat kenyataan bahwa ilmu
totoknya San Ho masih belum sempurna, dia heran untuk
kejadian tadi malam.
"Kalau aku tahu kepandaiannya hanya sedemikian, tidak
perlu aku undang datang Yong Jieko..." dia kata dalam
hatinya. "Tiat San Ho melayani orang she In ini sampai kira-kira dua
puluh jurus, di saat itu terdengarlah suara riuh dan munculnya
belasan orang dari dalam rimba, la menjadi kaget, hingga
guguplah ia ketika ia diserang di bagian atas. Ia mencoba
untuk berkelit, tidak urung kopiahnya tersarnpok juga oleh
sabuk dan terpental jatuh ke tanah, hingga tampaklah
rambutnya yang panjang riap-riapan.
"Ah, kiranya kau Tiat San Ho?" tanya In Yan Peng, yang
ternganga sekian lama. Ia menyesal tidak dari siang-siang
dapat mengenali nona ini yang menyamar sebagai satu
pemuda. "Karena kau telah kenali aku, lekas kau pergi!" San Ho
kata. Yan Peng memandang ke sekitarnya. Ia tertawa.
"Bangsat tuamu tidak ada bersama kau, hm, buat apa kau
omong besar?" katanya dengan mengejek. Segera ia
menyerang pula.
San Ho pun melakukan perlawanan pula, tidak sempat ia
perhatikan datangnya orang-orang baru itu, yang muncul dari
rimba. Mereka terdiri dari dua rombongan, kesemuanya begalbegal
dari Siamsay Selatan dan Utara, mereka tertarik oleh
harta besarnya Tangnu, dengan tidak menghiraukan ancaman
tentara negeri, merekapun datang untuk dapat punyai harta
besar itu. Rombongan dari Siamsay Selatan dan Utara itu di kepalai
oleh Kwe Thian Seng si Bintang Melewati Langit dan Kiu Ciat
Lie si Kucing Hutan, mereka ini lantas lihat seorang tua yang
panjang kumis jenggotnya, tangannya menyekal sebatang
hunCwee besi panjang tiga kaki, yang tengah disedot
berulang-ulang dengan asapnya dikepul-kepulkan secara
merdeka... "Apakah sahabat segolongan di sana?" Kwe Thian Seng
menegur. Orang tua itu tidak menjawab, dia hanya tunggu
sampai orang sudah datang dekat padanya, dengan
mendadak dia menyampok dengan hunCwee besinya itu.
Kwe Thian Seng dan Kiu Ciat Lie bersenjatakan masingmasing
bandring liuseng twie dan cambuk lunak kiuCiat pian,
keduanya lantas menangkis, tetapi dengan bentroknya senjata
itu, tiba-tiba Kwe Thian Seng roboh terguling. Adalah Kiu Ciat
Lie, yang berlompat ke belakang si orang tua, dari mana ia
lakukan penyerangan.
Orang tua itu bagaikan mempunyai mata di belakangnya,
tanpa berpaling lagi, sambil memendek diri ia menyerang ke
belakang, yang dengan jitu mengenai lutut penyerangnya,
hingga si Kucing Hutan menjerit menyusul robohnya
tubuhnya, sebab lututnya itu terluka hebat.
Orang tua itu adalah kawannya In Yan Peng, namanya
Yong It Tong. Ia juga sahabat karibnya Eng Siu Yang. Ketika
Siu Yang atur barisan CitCiat tin di atas gunung Hoasan untuk
tempur Giok Lo Sat, ia undang orang she Yong ini yang
berhalangan datang, maka kejadianlah The Hong Ciauw betot
To It Hang untuk dijadikan sebagai penggantinya. Kegagalan
itu membuat Eng Siu Yang sangat menyesal, karena ia
menduga pasti andainya It Tong dapat hadir, Giok Lo Sat pasti
akan dapat dirobohkan. Dari kepercayaannya Eng Siu Yang,
bisalah diduga liehaynya orang Yong ini.
Kawanan begal menjadi tercengang menampak pemimpin
mereka roboh demikian cepat dan gampang. Kemudian, selagi
mereka hendak maju juga untuk mengepungnya, tiba-tiba It
Tong tertawa gelak-gelak.
"Kawanan begal busuk, kalian terjebak!" berseru orang tua
ini, yang terus pula memekik dengan suara yang panjang.
Sebagai sambutan dari pekikan itu, yang ternyata suatu
pertandaan, dari dalam rimba terdengarlah tampik sorak riuh
rendah, lalu muncul seratus lebih serdadu dengan masingmasing
mengenakan baju lapis besi dan tangan menyiapkan
busur serta panahnya.
In Yan Peng telah menduga, mesti ada orang-orang jahat
yang ingini juga harta besar itu, maka untuk mencegah harta
itu jatuh ke tangan lain orang, ia sengaja tempatkan barisan
sembunyinya. Nyata dugaannya tepat, maka sekarang,
kawanan begal itu telah dapat dikurung.
Ketika itu, jalannya pertempuran telah membawa
perubahan. Menghadapi lawan yang tangguh, Tiat San Ho
berbalik menjadi repot. Juga Tangnu didesak Teng Hok.
In Yan Peng mainkan sabuknya secara hebat, hingga sabuk
itu nampaknya bagaikan seekor naga yang sedang terbang
menari di tengah udara.
Di saat keadaan berbahaya bagi nona Tiat itu, sekonyongkonyong
di udara mendengung satu suara tertawa nyaring
dan panjang. "Giok Lo Sat datang!" pekiknya San Ho, yang menjadi
girang dengan mendadak.
Kalau puterinya Tiat Hui Liong menjadi girang sekali, tidak
demikian dengan si muka merah, bahna kaget dan ciut
hatinya, penyerangannya menjadi kendor sendirinya. Ia ada
seperti tikus mendengar ngeongnya kucing...
Suaranya Giok Lo Sat, itu disusul dengan munculnya tubuh
yang sangat gesit. Dan tanpa mensia-siakan ketika sedetik
juga, ia sudah lantas serang In Yan Peng. Malah ia berlaku
demikian hebat, hingga baru tigajurus, berhasillah ia dengan
ujung pedangnya menyentuh jalan darah lawan di pundaknya,
kemudian disusul dengan dupakan kepada tubuhnya!
Tiat San Ho, maju mendekati penolongnya itu.
"EnCie Lian, jangan lukai orang asing itu," katanya dengan
perlahan. Si Raksasi Kumala melengak atas pesan itu.


Wanita Gagah Perkasa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Begitu?" katanya. "Baiklah..."
Lantas nona kosen itu loncat ke arah Ong Teng Hok, yang
ia terus serang.
Orang she Ong itu mengadakan perlawanan, tetapi dalam
sekejab saja, atau di lain saat, kepalanya telah terpental.
Karena pedang si nona tak sudi memberikan keampunan.
Tangnu kaget dan heran, hingga ia tercengang. Ia kagum
untuk kegagahannya nona yang ia tak kenal ini.
Sebenarnya Giok Lo Sat telah datang terlambat. Itulah
disebabkan selagi ia baru sampai di jalanan ke Yatie lim, ia
sudah lihat orang-orang yang mencurigai padanya, di antara
siapa ia kenali ada beberapa orang jahat dari Siamsay Selatan.
Ia mempunyai ayah angkat yang jago dan ulung, iajuga
pernah bercokol di gunung Tengkun san, selama mana ia
berhak memperoleh bagian dari orang-orang jahat di Siamsay
Selatan, maka ia bukanlah satu nona hijau. Karena melihat
mereka itu, ia jadi curiga, lantas timbul keinginannya untuk
mencari tahu. Demikian ia saksikan mereka mencegat Tangnu
sampai mereka dipengaruhi rombongan dari Siamsay Utara,
hingga ia lantas turun tangan.
Yong It Tong kaget tak kepalang melihat munculnya nona
itu secara demikian tiba-tiba hingga ia pun melengak. Waktu
itu pengurungan tentara negeri sedang diperhebat.
Giok Lo Sat lompat kepada In Yan Peng, untuk sambar
tubuhnya si muka merah itu, untuk diangkat.
"Siapa di antara kamu yang berani maju!" dia bentak
rombongan tentara itu. "Bila ada yang maju, lebih dahulu aku
binasakan kepala perangmu!"
Serdadu-serdadu itu ada serdadu-serdadu kepercayaannya
In Yan Peng, menampak pemimpin mereka telah kena dicekuk
sampai tak berdaya, mereka tidak berani bergerak lebih jauh.
Walaupun Yong It Tong heran atas keganasan si nona, ia
sebenarnya tidak kenal si Raksasi Kumala, yang usianya baru
dua puluh lebih, maka setelah ia sadar dari lamunannya, ia
lantas perdengarkan suaranya: "Menawan orang untuk
memeras, adakah itu perbuatan satu enghiong?"
Giok Lo Sat tertawa geli mendengar perkataan orang itu. Ia
tidak lepaskan In Yan Peng, malah ia terus mengempit tubuh
orang itu. "Baiklah!" katanya. "Aku nanti gunai sebelah tanganku
untuk melayani kau satu enghiong besar! Jikalau kau dapat
mengalahkan aku, dengan segera kuserahkan kepala
perangmu ini!"
It Tong heran sekali untuk kejumawaan orang. Tidak
disangka, nona ini bernyali demikian besar.
"Kau hendak gunakan orang tawananmu sebagai senjata,
pasti sekali kaulah yang bakal peroleh kemenangan!" kata ia.
Giok Lo Sat tertawa dingin. "Kau menduga keliru!" katanya:
"Sebaliknya aku ingin ke mukakan, asal kau mampu lukai
orang tawanan dalam kempitanku ini, kau boleh anggap
kaulah yang menang! Setuju apa tidak?"
Inilah semacam pertaruhan yang langka dalam kalangan
Rimba Persilatan. Biasanya, kalau seorang dapat menawan
musuh, jiwa musuh diancam untuk diperas, hingga pihak
musuh tidak berdaya dengan begitu orang peroleh
kemenangan yang dipaksakan. Tidak demikian adalah caranya
Giok Lo Sat sekarang. Dia bukan hendak rebut kemenangan
dengan memeras, dengan gunakan tubuh musuh sebagai
tameng, dia justeru hendak lindungi tubuh musuh dari senjata
kawannya! Apakah ini tidak lebih sulit daripada diikat sebelah
tangannya" Sebab selain mesti melindungi dirinya, iapun mesti
melindungi tubuh musuh!
Yong It Tong heran dan mendongkol karena pertaruhan itu.
Ia anggap itu sebagai hinaan, sedang seumurnya, belum
pernah orang menghina ia secara demikian. Maka, ia awasi
nona itu dengan tajam.
"Bagaimana?" tegur Giok Lo Sat sambil tertawa.
Seperti baru sadar, It Tong menjawab: "Kau inginkan ini,
baiklah, begini kita bertaruh. Jikalau kau menang, semua
harta ini untukmu. Tapi bagaimana jikalau aku yang menang?"
Mendengar kata-kata ini, Giok Lo Sat lantas ketahui, orang
ini utamakan harta, dia tidak memandang kawan, maka itu, ia
memandang rendah pada It Tong. Sudah biasanya dalam
kalangan Rimba Hijau orang utamakan kehormatan, tidak
demikian dengan orang ini.
"Bagaimana?" Yong It Tong tegaskan, ketika ia lihat orang
berdiam. Ia seperti tak memberikan kesempatan orang
berpikir. "Jikalau kau dapat menangkan aku," sahut Giok Lo Sat,
"selain akan aku lepaskan dan serahkan kepala perangmu ini,
juga semua harta itu kau boleh ambil untuk dijadikan
milikmu." Yong It Tong memandang ke sekitarnya, terutama
terhadap rombongan begal.
"Apakah kau dapat ambil putusan sendiri?" masih dia tanya
si nona. "Berhakkah kau?"
Giok Lo Sat tertawa besar. Ia tidak lantas menjawab, ia
hanya menyahut dengan perbuatan. Yaitu ia robek baju
luarnya, hingga terlihat pakaian dalamnya - -yaitu baju dan
celana wanita yang berkembang. Kemudian iapun buka ikat
kepalanya, hingga terlihat rambutnya yang terkepang oleh
gelang emas. Rombongan berandal dari Siamsay Selatan memang sudah
tahu nona itu adalah si Raksasi Kumala, sekarang mereka
dapat lihat wajah aslinya, mereka lantas saja bertepuk tangan,
bersorak-sorai. Mereka gembira bukan buatan.
Rombongan berandal dari Siamsay Utara tahu Giok Lo Sat
liehay, benar mereka tidak terpengaruh nona ini, tetapi
mendengar cara bertaruh yang aneh itu, mereka setuju. Maka
mereka pun nyatakan: "Jikalau kamu dapat menangkan Lian
Liehiap, tidak peduli emas dan perak atau mutiara, kami pasti
tak inginkan itu!"
Rombongan berandal itu merupakan satu lingkungan,
dibelakang mereka --- artinya di sebelah luar --- tentara negeri
merupakan satu kurungan. Di tengah kalangan, Giok Lo Sat
berdiri berhadapan dengan Yong It Tong, di dalam
kempitannya ada In Yan Peng. Tangnu bersama Tiat San Ho
duduk di dalam kalangan, di pinggiran, sambil duduk, mereka
hendak menonton...
Tangnu tidak tahu. Giok Lo Sat pun datang untuk
merampas harta, karenanya ia sangat berterima kasih
terhadap nona itu, ia mengharap-harap si nonalah yang
peroleh kemenangan.
"Nona," berkata dia kepada San Ho, "tidak kusangka kau
mempunyai kepandaian tinggi, tetapi lebih-lebih tidak kuduga,
sahabatmu itu, yang elok bagaikan bidadari ada terlebih gagah
lagi! Hari ini aku telah dapatkan pertolongan kamu, tidak nanti
aku lupakan budimu itu!"
San Ho tersenyum, meskipun di dalam hatinya, ia malu
sendirinya. Sebenarnya, ia berkawan dengan rombongan
Tangnu ini untuk rampas harta besar orang itu, tetapi, selama
di perjalanan, ia dapat kenyataan orang asing ini berhati baik,
dengan sendirinya, lenyaplah niatnya itu. Hanya sekarang,
melihat sepak terjangnya Giok Lo Sat. Ia merasa tidak
tenteram. Ia kuatir, kalau nanti si Raksasi Kumala menang,
nona itu nanti akan bawa adatnya yang luar bisa...
It Tong sementara itu terperanjat mendengar gemuruhnya
rombongan penjahat, karena baru sekarang ia ketahui, nona
kosen di depannya itu ada si hantu wanita dari kaum kangouw
yang mendengar namanya saja, sudah membuat hati orang
rontok. Ia lantas ingat halnya dahulu Eng Siu Yang mengatur
tin di gunung Hoasan tetapi kesudahannya, dua kawan
mereka roboh di tangan nona itu. Dahulu ia lolos dari bahaya
sebab ada urusan, ia tidak nyana, sekarang di sini ia mesti
hadapi nona yang kosen itu. Maka sekarang ia berpikir,
dengan cara hagaimana dapat ia loloskan diri dari bahaya...
Giok Lo Sat awasi orang, ia tertawa.
"Mari maju!" ia menantang, pedangnya diangkat. "Mari!"
Karena terdesak, dan sangat terpaksa, Yong It Tong
gerakan hunCweenya. Dengan tipu silat "Lie Kong siaCio" atau
"Lie Kong memanah batu", ia tikam dadanya si nona.
"Ha-ha-ha!" tertawa Giok Lo Sat seraya menangkis, hingga
di antara suara nyaring, ujung hunCwee telah tersampok
miring. Beradunya kedua senjata telah mendatangkan lelatu
api. Gerakannya Giok Lo Sat tidak berhenti sampai di situ saja.
Habis menangkis, ia teruskan menikam ke arah tenggorokan
lawannya. Yong It Tong tidak menyangka lawannya ada demikian
gesit, hingga tak sempat ia menarik gegamannya, guna
menangkis, maka itu, ia segera undurkan diri untuk berkelit.
Ia telah bergerak sangat cepat, akan tetapi, ia masih kalah
cepat dari si nona, hingga ujung pedangnya dapat menyentuh
pundaknya. Bajunya robek, dan darahnya muncrat keluar.
Syukur baginya, karena sedang mengempit satu tubuh
manusia si Raksasi Kumala tak segesit biasanya, kalau tidak,
mesti ia roboh.
Si Raksasi Kumala tidak puas dengan hasil pertama itu,
dengan kelincahannya, ia menyerang pula, untuk mendesak
lawan. Dengan menunjukkan keuletannya, Yong It Tong layani
nona ini. Kali ini ia bisa berkelahi sampai dua gebrak, sesudah
mana, ia juga gunai ketikanya, untuk menyerang. Tapi ia telah
pilih tubuhnya Yan Peng sebagai sasaran, hingga sahabat itu
jadi terancam. "Bangsat anjing yang kejam!" Giok Lo Sat berseru apabila
ia ketahui maksud musuh. Sambil berkelit, ia tangkis tusukan
hunCwee ke arah tubuhnya Yan Peng, yang hampir saja
menjadi korban karena kelicikannya sahabat ini.
Setelah itu, tanpa segan-segan, It Tong incar si muka
merah, hingga Giok Lo Sat terpaksa mengubah caranya
berkelahi, yaitu dari menyerang, ia balik membela diri
membelai si orang she In, supaya dia tak terkena oleh
hunCwee kawannya sendiri.
Kegagahan It Tong tak ada di bawahan Eng Siu Yang,
hunCweenya itupun bisa dipakai sebagai tumbak serta sebagai
alat penotok, maka setelah mendapat angin, ia lanjutkan
rangsakannya, guna mendesak lawannya itu.
"Awas! EnCie Lian," berseru Tiat San Ho, sesudah ia
menonton sekian lama. "Ini bangsat anjing berniat melukai
sahabatnya sendiri! Baik enCie jangan tungkuli dia!"
"Kau jujur nona, sungguh kau harus dihormati!"
menyelakTangnu.
Giok Lo Sat tidak memberi jawaban, ia berkelahi terus,
dalam mana dengan perlahan tentara negeri bergerak
mendekati, sesaat kemudian, terdengar suara terompet dari
arah rimba, dari mana muncul lagi satu pasukan tentara yang
baru. Menampak ini, si Raksasi Kumala mengancam: "Tentara
negeri, kamu dengar! Kita sedang berkelahi satu sama satu,
jikalau kamu maju, untuk mengepung aku, jangan kamu
persalahkan aku sudah tidak menetapi janji!"
Pasukan pengiring dari In Yan Peng lantas memutar tubuh,
guna mencegah pasukan itu maju lebih jauh.
Yong It Tong sendiri menjadi heran. Ia tahu, In Yang Peng
bertindak di luar tahunya semua pasukannya, dia cuma bawa
barisan kepercayaannya itu. Maka, dari mana datangnya ini
pasukan baru"
Pasukan baru itu di kepalai seorang perwira muda yang
menunggang seekor kuda tinggi dan besar, romannya gagah,
tetapi dia asing di matanya barisan In Yan Peng.
"Perwira, tahan!" bentak pembantunya Yan Peng. "Kau dari
tangsi mana?"
Perwira itu tidak menjawab, sebaliknya, ia membentak:
"Tentara tak berdisiplin, bikin apa kamu di sini?" demikian
tegurnya dengan bengis. "Lekas kamu turut aku pulang ke
kota!" Bentakan ini ditutup dengan satu serangan anak panah,
hingga pembantunya In Yan Peng roboh seketika itu dan
terbinasa! Barisannya In Yan Peng itu jadi kalut, tanpa mempedulikan
perwira mudanya mendesak mereka, hingga mereka tergiring
ke dalam rimba.
Giok Lo Sat, yang sedang bertempur memasang mata dan
kuping, menyaksikan perbuatan si anak muda dan mendengar
perkataannya, ia menjadi heran.
"Bagaimana di dalam pasukan tentara ada pemuda gagah
sebagai dia?" dia memikir, menduga-duga.
Sebaliknya Yong It Tong menjadi heran dan berkuatir.
Tanpa merasa, ia jadi bingung, ketika lawannya gunai
ketikanya, untuk desak dia, dengan dua tusukan pedang
saling susul. Dia masih dapat mengelakan diri. Dalam
bingungnya, dia sempat berpikir untuk serang pula tubuh In
Yan Peng. Demikian selagi menangkis dengan hunC weenya,
dia menendang ke arah kepala kawannya itu.
Giok Lo Sat gusar melihat maksud busuk orang, dalam
sengitnya, dengan sebelah tangan mencekal tubuhnya In Yan
Peng, untuk disingkirkan dari ancaman mala petaka,
pedangnya menangkis senjata lawan dengan keras, hingga
terpental, berbareng mana, pedangnya turun dari atas ke
bawah, yang mengenai kepalanya sampai terbelah!
"Ha-ha-ha!" ia tertawa. "Kamu lihat, aku toh tidak
membikin tubuhnya terluka?" Ia angkat tinggi tubuhnya Yan
Peng itu. Semua kawan berandal melengak. Selagi orang berdiam,
Giok Lo Sat memikir untuk pergi merampas harta, tapi justeru
itu, si perwira muda telah kembali, untuk mana dia larikan
kudanya. Melihat perwira itu, semua berandal Siamsay Utara berdiri
diam dengan tangan diturunkan.
"Aku larang siapa juga menggerakkan tangannya!" berseru
punggawa muda itu.
Si Raksasi Kumala menjadi heran.
Tidak mengerti ia, kenapa rombongan berandal dari
Siamsay Utara itu tunduk kepada perintah anak muda ini. Mau
tidak mau, ia menjadi mendongkol juga. Maka dengan hunus
pedangnya, ia maju untuk mendekati.
"Kau siapa?" tanya dia. Pemuda itu mengawasi dengan
matanya yang jeli dan bersinar tajam, hingga sekalipun si
nona ada satu nona gagah, ia toh merasakan juga
pengaruhnya sinar mata itu.


Wanita Gagah Perkasa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bagus, aku ketemu tandingan..." pikir si Raksasi Kumala,
sambil maju lebih dekat.
"Kau tentunya Giok Lo Sat!" kata si anak muda. "Selamat
bertemu! Selamat bertemu!" Nona itu tertawa. "Ah, kau juga
kenal aku?" katanya. "Satu pembesar tentara bertemu aku, itu
artinya setan cilik bertemu sama Giam Lo Ong!"
Ia angkat pedangnya, untuk dipakai menunjuk.
Si anak muda bersenyum. Semua berandal dari Siamsay
Utara lantas siapkan senjata mereka, dengan wajah yang
memperlihatkan kegagahan. Mereka bersikap hendak
melindungi anak muda itu.
Dalam saat tegang itu, kawanan berandal dari Siamsay
Selatan, yang sejak tadi diam saja, lantas berseru-seru: "Lian
Liehiap, ini... inilah Siauw, Siauw..."
Tapi si anak muda menghalang? halangi mereka, dengan
menggoyangkan tangannya.
"Kita ada di antara orang sendiri!" serunya. "Kamu semua
mundur!" Terus dia menghadap Giok Lo Sat, dan berkata:
"Lian Liehiap, aku adalah Siauw Giam Ong Lie Cu Seng. Kho
Eng Siang adalah pamanku! Mari kita pergi ke bawah pohon
sana, untuk bicara." (Paman -- engku).
Giok Lo Sat tercengang bahna heran. Ia kaget bukan
karena mendengar namanya orang she Lie ini. Nama dia ini
belum termashur. Di antara tiga puluh enam rombongan
berandal, nama Ong Kee In adalah yang tersohor. Malah Kho
Eng Siang pun ada pembantunya Ong Kee In itu. Ia hanya
heran kenapa rombongan berandal dari Utara dan Selatan ini
demikian takluk kepada pemuda ini.
"Baiklah," ia jawab. Ia minta seekor kuda, untuk bersama
pemuda itu pergi masuk ke dalam rimba.
"Apakah Ong Kee In ayah dan anak ada baik?" dia tanya.
"Ong LooCong telah menutup mata," sahut Lie Cu Seng.
"Sekarang ini pamanku, Kho Eng Siang, yang pegang
pimpinan. Ong Ciauw Hie dan isteri serta Pek Bin, mereka
semua ada dalam pasukan kita." (Dengan Ong LooCong, ketua
Ong, dimaksudkan Ong Kee In.).
XII Giok Lo Sat terkejut, ia jadi berduka. Belum satu tahun ia
meninggalkan Siamsay Barat, perubahan telah terjadi begitu
besar. "Kalau begitu, tahukah kau tentang anak buahku?" dia
tanya si pemuda. "Apakah mereka itu telah habis musna di
tangan tentara negeri" Kenapa kau menyamar sebagai
pasukan negara?"
"Aku tahu tetapi tidak jelas," sahut Lie Cu Seng. Lauw Teng
Goan sudah kumpulkan dua puluh laksa serdadu dari empat
propinsi SuCoan, Siamsay, Kamsiok dan Shoasay, dia telah
kurung kami, hingga pasukan kami bercerai-berai satu sama
lain. Baru pada bulan yang berselang, aku menempuh bahaya.
Aku telah mengadakan pertemuan di antara pemimpin dari
tiga puluh enam rombongan, tetapi yang hadir cuma tiga
puluh tiga wakil. Yang tak datang itu adalah rombongan kau
serta rombongannya saudara Sin It Goan. Itu waktu aku
dengar, rombonganmu sudah menerobos masuk ke wilayah
SuCoan, katanya, kerusakannya tidak sebesar kerusakan
rombongan-rombongan lainnya. Pada bulan yang lalu itu, juga
Thio Hian Tiong dari SuCoan telah datang ke kecamatan
BieCie di mana kami telah mengadakan pertemuan besar
itu. Menurut Thio Hian Tiong, dia pernah lihat suatu pasukan
wanita di antara Konggoan dan Ciauwhoa, sebenarnya dia
telah mencoba mengirimkan wakilnya, guna mengajak
pasukan wanita itu bergabung dengannya, sayang kedua
pihak kena dipegat tentara negeri. Maka itu, untuk mencari
rombongan itu, baiklah kau pergi ke sana."
Pertemuan di BieCie itu adalah satu peristiwa besar karena
di sana berkumpul puluhan rombongan berandal yang bercitacitakan
menyintai negara juga. Dan namanya Lie Cu Seng,
atau lebih tepat lagi, Siauw Giam Ong, si Raja Akherat Kecil,
dapat dijumpai di sana.
Setelah Ong Kee In meninggal, pelbagai pemimpin kaum
Rimba Hijau segera mengangkat Kho Eng Siang sebagai
gantinya. Sebenarnya, kepandaiannya Eng Siang belum tinggi
namun kedudukannya itu didapatkan dengan mengandalkan
kepandaian dan kegagahannya Lie Cu Seng. Dua kali ia
berperang, dua kali ia menang.
Semua pemimpin rombongan mempunyai julukannya
masing-masing, seperti Heng Thian Ong ?" Raja
Melintangkan Langit, Kun Sie Ong -- Raja Mengacau Dunia,
Sauw Tee Ong -- Raja Menyapu Bumi, dan lainnya, yang
beraneka warna. Kho Eng Siang sendiri belum mempunyainya,
lalu orang-orangnya menginginkan itu, lantas mereka
memilihnya. Sukar bagi mereka mendapat gelar yang cocok,
sampai Lie Cu Seng berkata sambil tertawa: "Kita sekarang
sedang bertindak maju, entah sampai di mana, tak ada yang
mengetahuinya, malah bila semua tidak bertekad, mungkin
tak dapat kita keluar dari wilayah Siamsay ini. Maka
seharusnya kita melupai bahaya mati, kita harus menerjang
dengan bersatu hati dan bersatu tenaga, dengan begitu, untuk
maju ke Pakkhia pun tak sukar. Maka yang utama sekarang
adalah maju, maju, maju! Jadi tak perlu kita membicarakan
gelaran raja ini atau raja itu. Jangan kita pusingkan kepala
untuk segala gelaran kosong!"
Mendengar itu, semua hadirin bertepuk tangan.
"Kalau begitu, marilah kita maju bersama!" teriak mereka.
"Baiklah kita pakai gelaran Giam Ong!"
Demikian sudah terjadi, Kho Eng Siang dijuluki Giam Ong,
maka itu, Lie Cu Seng menjadi Siauw Giam Ong, si penyerbu
cilik. Adalah kemudian, dengan meninggalkan Kho Eng Siang,
dengan sendirinya Lie Cu Seng menjadi Giam Ong, tambahan
Siauw atau Kecil di depannya dihilangkan.
Bukan main tegangnya perasaan Giok Lo Sat mendengar
tentang anak buahnya, seperti ia hendak menyusul dengan
terbang di tengah udara...
"Siauw Giam Ong adalah orang ternama," pikirnya
kemudian, "maka itu baik kita membagi rata saja..."
Justeru ia lagi berpikir, Lie Cu Seng kata padanya:
"Lian Liehiap, aku hendak mohon suatu, kepadamu..."
"Apakah itu?"
"Harta ini kita jangan ganggu..." "Apa" Apakah kamu
datang bukan untuk merampas?"
"Itulah niat kita semula," sahut Lie Cu Seng sambil tertawa.
"Sekarang aku sudah tahu jelas duduknya hal, harta ini tak
dapat diganggu."
"Kita adalah bangsa yang tidak takut akan Thian, tak jeri
akan Bumi," berkata si nona, "malah hartanya raja juga akan
kita rampas! Kenapa harta ini tak dapat kita punyai?"
"Lian Liehiap," Lie Cu Seng tertawa pula, "memang benda
raja mesti dirampas, tapi setelah harta itu pindah ke tangan
mereka, tak dapat kita mengganggunya."
"Kenapa begitu" Dalam hal ini, aku membutuhkan
keterangan."
Lie Cu Seng lompat turun dari kudanya.
"Lian Liehiap, mari duduk!" ia mengundang. Terus ia duduk
di tanah. Ia pun terus berkata: "Apakah liehiap tahu bangsa
Boan sedang incar negara kita, dan karena dayanya suasana
di perbatasan ada sangat genting sekarang?"
"Apakah hubungannya kejadian di perbatasan itu dengan
harta ini?" si nona masih tanya.
"Baiklah liehiap dengar aku," kata Lie Cu Seng dengan
sabar. "Tentang orang asing ini, aku mulanya tak tahu jelas,
karenanya aku niat merampas hartanya. Tetapi sekarang aku
ketahui, dia adalah puteranya Tangma, kepala suku bangsa
Lopu di Singkiang Selatan. Suku bangsa itu, dengan Tangma
sebagai ketuanya, sekarang ini memimpin pelbagai suku
bangsa lainnya di wilayah yang luas itu. Umpama puteranya
Tangma ini dibunuh dan hartanya dirampas, pasti Tangma
akan membalas dendam terhadap kaisar Beng, atau dia
gerakan angkatan perangnya untuk menuntut balas. Apabila
itu sampai terjadi maka pertempuran akan berkobar di Timur
utara dan Barat utara. Yu Kauw ada satu bocah, mana dia
sanggup layani semua huru-hara itu?"
Giok Lo Sat berdiam, ia tidak dapat segera berpikir.
"Walaupun kita menyatrukan kerajaan Beng," Lie Cu Seng
tambahkan, "akan tetapi apabila ada bangsa asing yang
datang menyerang kita, kita suka menggabungkan diri dengan
tentara negeri guna melawan serangan asing itu. Tidakkah
benar demikian?"
Mau tidak mau, Giok Lo Sat mengangguk.
"Maka itu tak dapat kita mengobarkan huru-hara lain untuk
kerajaan Beng," Lie Cu Seng tegaskan. "Sayang sekali Yu Kau
w si bocah butek pikirannya ini, cuma bisa kerahkan angkatan
perangnya buat gempur kita saja, tapi tak bisa ia mengadakan
pertahanan di perbatasan.
Begitulah Him Teng Pek yang demikian pandai, dia telah
pecat." Tanpa merasa, si Raksasi Kumala kagum akan pemuda ini,
yang luas pemandangannya dan bersemangat. Tapi, akhirnya,
ia tertawa sendiri.
"Sayang pikiranmu yang bagus ini," katanya. "Kau memikir
demikian sempurna untuk raja cilik itu, dia sebaliknya
mengirim pasukan perangnya untuk menghajar padamu!"
Lie Cu Seng tidak terdesak. "Itulah urusan dia sendiri,"
katanya. Giok Lo Sat tertawa pula. "Kelihatannya, kerajaan Beng
tidak sanggup melawan bangsa Boan," katanya, "maka baiklah
kau gunakan ketika ini, sebelum angkatan perang Boan itu
masuk, kau mendahului menerjang ke kota raja, di sana kau
boleh angkat dirimu menjadi raja, hingga tak usah dikuatirkan
lagi bangsa Boan bakal datang menyerbu."
Lie Cu Seng tertawa terbahak-bahak.
"Untuk menjadi kaisar, setiap orang pun dapat," katanya.
"Umpama aku yang mesti menjadi raja, dan negara kita dapat
dilindungi karenanya, aku suka naik di tahta..."
Melihat orang berlaku terbuka, Giok Lo Sat bersenyum.
"Dia adalah seorang luar biasa," ia pikir. "Keadaan ada
begini sulit tapi dia tetap bersemangat, malah dia suka
lepaskan harta besar ini, yang bisa dipakai untuk merangsum
tentara. Dilihat dari sini, Him Teng Pek masih kalah
dengannya. Mungkin sekali dia mempunyai bakat untuk
menjadi raja..."
"Bahwa kami telah menyamar sebagai tentara negeri, itulah
disengaja," berkata pula Cu Seng. "Dengan berbuat begini,
aku memikir untuk hari kemudian kita. Sebenarnya tidak baik
bagi tentara yang harus melindungi Tangnu kemudian hendak
merampas hartanya. Maka sebentar kau beritahukan Tangnu
bahwa tentara itu adalah tentara pemberontak, bahwa
pemerintah telah mengetahuinya dan aku di kirim untuk
menyusul dan membasminya. Katakan padanya bahwa
pemerintah akan mengantar dia sampai dengan selamat di
negaranya."
Sepasang matanya Giok Lo Sat bercahaya.
"Bagus, bagus, aku setuju denganmu!" ia kata sambil
tertawa. "Kau sendiri hendak singkirkan diri, sekarang kau
pikirkan keselamatannya Tangnu. Jadi kau berniat mengirim
orang untuk mengantarkan dia?"
"Lebih baik kita yang mengantarkan daripada dia diiring
orangnya Yu Kauw si raja bocah. Tempat ini sudah tak jauh
lagi dari Kamsiok, setelah melewati wilayah Kamsiok dan
memasuki Kokonor, pasti tentara negeri sudah berpengaruh
lagi, hingga tak usah dikuatirkan akan muncul pula punggawa
semacam In Yan Peng ini."
Giok Lo Sat setuju dengan pikiran orang ini.
"Baik," katanya. "Nanti aku bicara padanya."
Lie Cu Seng tertawa.
"Sekarang aku hendak pinjam In Yan Peng!" kata dia.
"Segala bangsat anjing seperti dia, apa gunanya?" si
Raksasi Kumala tanya.
"Sekalipun barang rosokan masih ada terpakainya, apapula
dia!" sahut Cu Seng. "Saudara-saudara kita di pelbagai tempat
telah kena didesak tentara negeri, hingga mereka merasa sulit
untuk bernapas, maka itu aku ingin pakai pengaruh dia ini
untuk menangkan pertempuran, guna beri hajaran kepada
semangatnya tentara negeri itu, supaya di akhirnya dapat kita
mundur dengan aman."
"Aku mengerti sekarang!" tertawa Giok Lo Sat. "Kau hendak
gunakan dia untuk serang Leekoan. Kamu memakai seragam
tentara pemerintah, lalu kamu juga perlihatkan satu kepala
perang, dengan demikian serdadu-serdadu penjaga kota pasti
bakal kena diabui. Pantas kau telah kumpulkan demikian
banyak seragam..."
Cu Seng hanya tersenyum.
Selagi tadi si Raksasi Kumala bersama Lie Cu Seng berlalu
ke dalam rimba, Tangnu heran bukan main, hingga ia mohon
keterangan dari Tiat San Ho. Ia tanya, mereka itu hendak
berbuat apa. "Mungkin mereka hendak urus tentara tadi," San Ho jawab.
Biar bagaimana, nona Tiat ini merasa tidak tenteram
karena kawanan berandal, yang berada di sekitar mereka,
mengawasi saja dengan tajam. Di lain pihak, Tangnu telah
kumpulkan dua mayat pengiringnya, yang kemudian
dibakarnya, menurut adat istiadat kematian di antara
kaumnya. Adalah tulang-tulang mereka, yang ia bawa pulang.
San Ho bersedih melihat air mata berlinang dari suku
bangsa Lopu itu. Ia nampaknya bersikap keras, sebenarnya,
hatinya lembut. Ia berduka untuk kemat i arinya beberapa
orang asing itu, yang datangnya dari tempat jauh ribuan lie.
Pasti ayah bunda mereka dan sanak saudaranya tidak ketahui
kebinasaan mereka... Ia juga merasa tidak tenteram karena
tak tahu apa yang dibicarakan Lie Cu Seng dan Giok Lo Sat,
sampai akhirnya ia tampak mereka itu kembali.
Lie Cu Seng segera lompat turun dari kudanya. Ia
himpunkan kawan-kawannya, untuk berdamai.
Giok Lo Sat sebaliknya segera menghampiri Tangnu
bersama siapa ia bicara secara perlahan-lahan hingga
menampak demikian, San Ho awasi mereka dengan kedua
matanya dibuka lebar-lebar. Selang sesaat, mendadak Tangnu
berlutut, mendekam di tanah, akan cium tanah yang bekas
diinjak si Raksasi Kumala. San Ho pernah ikut ayahnya
merantau di Barat utara, maka tahulah ia, itu adalah cara
menghormat paling sujut dari suku bangsanya Tangnu itu.


Wanita Gagah Perkasa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Benar-benar heran," pikirnya dan hatinya menjadi lega.
"Giok Lo Sat katanya, adalah seorang yang kejam dan
telengas, yang pandang jiwa manusia seperti rumput tak
berharga, maka aneh sikapnya sekarang ini, dari uang harta
rampasannya demikian besar, sedikit juga ia tidak
menginginkannya, semua dilepaskannya..."
Tangnu tidak tahu sama sekali yang Giok Lo Sat pernah
memikir untuk merampas hartanya itu, ia melainkan tahu
bahwa ia telah ditolongi, maka itu, ia jadi sangat bersyukur, ia
cuma tahu budi orang. Demikian ia hormati nona ini menurut
cara penghormatannya itu. Kemudian, habis mencium tanah,
ia kata: "Jikalau pada suatu hari nona datang ke Thiansan,
aku minta kau nanti menyambangi aku."
Si Raksasi Kumala jengah sendirinya. Orang ada demikian
baik hati, ia tadinya berniat jahat terhadapnya. Lantas ia
beritahukan pesan dari Lie Cu Seng.
"Oh, kiranya demikian duduknya hal," berkata Tangnu.
"Tionggoanada demikian besar, sudah selayaknya bila di sana
ada orang-orang baik hati dan jahat juga. Tentang tentara
jahat itu, baik tak usah diomongkan lagi."
Lalu ia ajak Giok Lo Sat menghampiri Lie Cu Seng, untuk
menghaturkan terima kasihnya.
Cu Seng pun sudah bermupakatan sama rombongannya,
maka untuk mengantarkan Tangnu, ia minta bantuannya Kho
Kiat, satu tauwbak kepercayaan dari Kho Eng Siang, serta
keponakannya, yang bernama Lie Ko.
San Ho tidak sangka bahwa kejadian akan berakhir
sedemikian rupa, hingga ia kini tak mempunyai tujuan.
"Adik San," berkata Giok Lo Sat, "ayahmu sedang mencari
kau, tapi sekarang, entah di mana ia berada. Maka ada
baiknya kita pergi berdua ke SuCoan Barat, di sana aku
hendak jadikan kau wanita berandal!"
San Ho tidak bisa lantas berikan jawabannya. Ia teringat
kepada Gak Beng Kie, jodoh siapa tak dapat dirangkap sama
jodohnya. Giok Lo Sat dapat menduga hati orang, ia tertawa.
"Mula-mula aku anggap pemuda she Gak itu tidak baik
kelakuannya, kemudian ternyata, ia tidak dapat dicela," kata
Giok Lo Sat. Lalu ia tuturkan perkenalannya dengan Beng Kie,
sampai ia diberi pinjam sarung tangan mustika, untuk
mengalahkan Anghoa Kuibo.
San Ho girang berbareng duka. Ia girang karena di antara
Giok Lo Sat dan Gak Beng Kie terdapat suatu pengertian. Ia
berduka sebab pemuda she Gak itu telah mensia-siakan
pengharapannya. Lama ia membisu, kemudian ia menjawab
Nona Siang. "Baik atau tidak, apa sangkutannya dia dengan aku?"
katanya. Giok Lo Sat bisa duga hatinya Nona Tiat ini.
"Pria berbau busuk di kolong langit ini ada banyak sekali!"
katanya dengan sengaja. "Mungkinkah dengan tidak adanya
mereka, kita tidak dapat berdiri sendiri" Baiklah kau turut aku,
untuk menduduki sebuah gunung di atas mana kita dapat
menjadi ratunya. Itu waktu, siapa kita suka, kita boleh tawan
dan bawa ke atas gunung! Siapa cuma bisa menangis, dia
adalah seorang yang tak berguna!"
"Fui, aku tak setebal mukamu!" kata San Ho. "Siapakah
yang cuma bisanangis saja" Untuk jadi berandal wanita,
mustahil aku takut turut padamu?"
Inilah yang Giok Lo Sat harapkan, maka diam-diam. ia
girang dalam hatinya. Ia memang tidak inginkan Nona Tiat
merantau seorang diri, tanpa tujuan, hingga dia nanti berduka
saja. Itu waktu Lie Cu Seng, yang telah atur keberangkatannya
Tangnu, menghampirkan Nona Lian, untuk ambil selamat
berpisah. "Tadi kau bilang, sesudah serang Lokkwan, kamu hendak
undurkan diri," kata si nona. "Sebenarnya ke mana kamu
hendak mundur?"
"Propinsi Siamsay adalah tulang punggung dunia dan
propinsi SuCoan adalah gudang rangsum dari alam," sahut Lie
Cu Seng, "maka itu, siapa hendak melakukan sesuatu yang
besar hingga berhasil, tidak dapat dia membuang-buang
kedua propinsi itu! Propinsi Siamsay telah bertahun-tahun
diserang bahaya lapar, rakyatnya sampai mati tersia-sia di
tengah jalan, keadaan mereka itu bagaikan menanti ketika
untuk menjadi matang, dari itu tidaklah sukar untuk
mengumpulkan sejuta serdadu, guna keluar dari Hantiong dan
menduduki Pasiok, setelah mengumpulkan tenaga dan
rangsum lantas bergerak pula keluar dari Tongkwan guna
merampas Holam, Ouwlam dan Ouwpak, kemudian maju lebih
jauh ke utara untuk memastikan Tionggoan. Kemudian aku
ingin menanam dasar di perbatasan SuCoan dan Siamsay. dan
di seluruh pegunungan Cinnia yang luasnya delapan ratus lie.
Di sana kita akan membuka tanah guna menyiapkan tentara
yang besar dan kuat, untuk kemudian bergerak pula.
Bagaimana pikirmu?"
Si Raksasi Kumala tertawa.
"Aku sendiri tidak bercita-cita besar untuk menjadi ratu!"
sahutnya. Setelah dapat cari anak buahnya, dengan begitu,
bersama-sama mereka pimpin tentara itu. San Ho perlakukan
Nona Lian sebagai kakak sendiri, sekarang tahulah ia tabiatnya
nona yang disohorkan galak itu, yang sebenarnya baik.
Ketika itu pergerakan tentara di SuCoan dan Siamsay kalut.
Lie Cu Seng yang berhasil mencapai pegunungan Cinnia dan
Thio Hian Tiong telah terusir sampai di Ouwpak, kemudian ke
Kanghoay. Giok Lo Sat, bersama beberapa ratus serdadu wanitanya,
sudah pergi ke selat Benggoat kiap di kota Konggoan sejauh
tujuh puluh lie lebih, di situ ia mendirikan kubu-kubu untuk
tinggal menetap.
Selat Benggoat kiap ini ada suatu tempat ternama di
wilayah propinsi SuCoan. Tidak ada jalan umum untuk
mendaki gunung, maka itu, jalan yang dipakai adalah jalan
kecil bekas penduduk setempat yang berliku-liku. Di kaki
gunung terdapat sungai Keekeng kang.
Letak Benggoat kiap itu bagus sekali, karena terjepit di
antara dua gunung, akan tetapi, perhubungan dengan dunia
luar seolah-olah terputus.
Tiga tahun lamanya, Giok Lo Sat berdiam di tempat yang
baru ini, dan selama itu, tidak pernah mereka ?" ia dan Tiat
San Ho -- mendengar tentang Tiat Hui Liong. Di samping itu,
Giok Lo Sat dengar kabar angin bahwa Him Teng Pek telah
dipekerjakan kembali oleh pemerintah, untuk bertugas pula di
tapal batas, akan tetapi kepastiannya belum diperoleh.
San Ho juga tak pernah dengar sesuatu mengenal Gak
Beng Kie, yang selalu memikirkannya, lain tidak.
Selang tiga tahun -- itu waktu ada tahun Thian Kee ke " 4
tahun kerajaannya kaisar Yu Kauw -- tentara negeri di
perbatasan SuCoan -- Siamsay telah ditarik pulang, maka
dengan begitu, suasana menjadi lebih tenang. Akan tetapi, di
musim pertama, deerah Konggoan kembali mengalami musim
kering. Sebenarnya Konggoan adalah daerah beras tapi kali ini
panen gagal, ditambah pula tagihan pajak yang tinggi. Maka
itu, penduduk yang terdesak keluar kota karena bahaya
kelaparan, bersedia untuk menyerbu ke dalam, guna
menggedor beras. Di antara mereka ini ada yang usulkan
kerja sama dengan Giok Lo Sat.
Si Raksasi Kumala setujui niat itu, malah segera ia utus
satu tauwbak memasuki kota dengan menyamar, guna
menyelidiki keadaan. Sampai malam baru tauwbak itu pulang.
Habis memberi laporan, dia berkata: "Aku tampak suasana
ramai tadi, katanya ada imam menyambut kemantin."
"Ngaco! Mustahil imam menikah!" kata Giok Lo Sat.
"Aku juga tahu, satu imam tidak mestinya menikah," sahut
tauwbak itu. "Tetapi kelihatannya kabar itu benar..."
"Kalau benar, itulah aneh!" si nona tertawa.
"Menurut kata beberapa orang," si tauwbak lanjutkan, "tadi
ada beberapa pasang imam menunggang kuda menuju ke
barat, dalam tiap-tiap setengah jam. Aku sendiri cuma lihat
satu pasang. Mereka itu mengenakan jubah merah, seperti
hendak mengadakan upacara. Orang-orang katakan,
pasangan imam yang pertama membawa satu bungkusan
merah, yang diangkat tinggi melewati kepalanya. Keadaan itu
mirip dengan pihak kemantin lelaki mengantar panjar. Malah
warna kuda itu, setiap pasangnya sama. Yang kurang hanya
tukang musik."
Tiba-tiba kedua matanya Giok Lo Sat berputar,
mendadakan ia ingat sesuatu.
"Ah, hari berjalan cepat, tiga tahun telah lewat!" katanya
seorang diri, hingga tauwbaknya heran. Ia menghela napas.
"Apa kau kata, enCie?" tanya San Ho.
Si Raksasi Kumala bersenyum.
"Tidak apa-apa," sahutnya.
"Bukankah CeeCu anggap itu bukannya imam yang
menikah?" kata si tauwbak kemudian. "Turut katanya orang,
di samping imam-imam ada juga orang-orang biasa, kalau si
toosu kebanyakan sudah berusia lanjut, tapi orang-orang
biasa masih muda dan gagah romannya, pakaiannyapun
serba merah, wajahnya semua keren, tidak ada yang
bersenyum..."
Mendengar keterangan itu. Giok Lo Sat tertawa.
"Itulah bukannya imam-imam akan menikah atau memapak
kemantin," katanya. "Mereka adalah kaum Butong pay yang
sedang berupacara untuk menyambut ketua mereka. Butong
pay adalah yang paling taat kepada aturan-aturannya. Ketika
dulu mereka pergi ke rumah adik San Ho, untuk mencari ketua
mereka, mereka juga berpasang-pasangan."
San Ho agaknya terkejut. "Kalau begitu, pasti It Hang,
bakal pergi ke gunungnya untuk menerima hukuman..."
katanya. "Beberapa paman gurunya It Hang ada sangat
menjemukan, lebih-lebih Pek Sek Toojin. EnCie, mereka itu
memapak, mari kita merampasnya!"
"Cis! Kau ngaco!..." bentak si nona Lian.
"Bukankah enCie yang bilang, siapa enCie suka, enCie akan
rampas?" San Ho tegaskan, "kenapa sekarang enCie main
malu-malu kucing?"
"Hei, bocah, kau busuk! Apa kau sangka aku tak tahu
hatimu?" kata Giok Lo Sat. "To It Hang bersahabat kekal
dengan Gak Beng Kie, sekarang kau ingin dengar dari
mulutnya It Hang tentang Beng Kie itu!"
Merah mukanya Nona Tiat, yang rahasia hatinya dibuka. Ia
angkat tangannya, hendak memukul nona kawannya itu.
Si Raksasi Kumala tertawa.
"Tetapi, bila kita hendak merampasnya, kita harus menanti
dulu sampai sudah lewat satu bulan," kata Giok Lo Sat.
"Sekarang kemantin pun belum lagi disambut..."
"Muka tebal!" mencaci San Ho seraya menuding muka
orang. Tapi Giok Lo Sat lawan ia dengan tertawa.
Lewat lagi beberapa hari, pihak camat (tiekwan) jadi repot
dan bingung. Penduduk yang kelaparan mulai menerbitkan
kekacauan. Camat mesti buka gudang untuk menolong, tapi di
lain pihak dia pun kirim utusan ke ibukota propinsi, untuk
minta bantuan tentaranya guna melindungi ketenteraman.
Gudang negara tak padat isinya, rakyat yang kelaparan itu
cuma bisa ditolong dua mangkok satu hari, juga dengan bubur
encer. Syukur rakyat itu sabar dan menerima nasib, dua
mangkok bubur pun cukup...
Tiekoan sudah menggunakan siasat, ia bekerja diam-diam
dengan sejumlah hartawan, untuk merangsum bubur itu. Ia
tahu, tenaga tentaranya tidak cukup, ia ambil sikap lunak.
Sebenarnya ia telah pikir, begitu lekas tentara negeri tiba dari
ibukota propinsi, tidak nanti ia suka membagi bubur lagi.
Benar saja, ketika tiba bala bantuan, ia bersikap keras
dengan memperlihatkan tangan besi. Beberapa penduduk
yang paling rewel dibekuk, mereka lantas dihukum mati.
Penduduk yang kelaparan itu menjadi kacau, mereka gusar
tanpa berdaya. Maka kembali mereka pergi pada Giok Lo Sat,
guna mohon bantuan, buat bekerja sama merampas rangsum
negara... Si Raksasi Kumala ketahui, jumlah tentara negeri cuma dua
ribu jiwa, maka ia suka berikan bantuannya, malah lantas
iajanjikan saatnya untuk turun tangan.
Justeru pada hari itu tibalah utusan kaum Butong pay, yang
kembali dari Siamsay habis memapak ketua mereka. Mereka
tiba di Konggoan.
Sebenarnya It Hang tidak sudi menjadi ketua, atau
Ciangbujin, dari kaumnya itu, akan tetapi janjinya tiga tahun
berkabung telah sampai, ia tidak mempunyai alasan lagi untuk
menolak. Pihak pemapak, yang diutus oleh Uy Yap Toojin, terdiri dari
dua belas murid kepala, yang dipimpin oleh Ang In Toojin dan
Pek Sek Toojin, dua di antara Butong Ngoloo. Maka itu
berangkatlah It Hang dengan ambil jalan ke propinsi SuCoan,
kemudian masuk ke propinsi Ouwpak, untuk puiang ke Butong
san. Ketika itu hari mereka sampai di Konggoan, kota sedang
berjaga-jaga, disebabkan huru-hara rakyat penderita lapar. It
Hang menghela napas, "Di luar ada musuh asing dan di dalam
ada rakyat terlantar, kelihatannya kerajaan Beng sudah tak
aman lagi..." pikir dia.
Butong pay mempunyai murid di pelbagai tempat, demikian
pula di dalam kota Konggoan, dan satu muridnya
berkedudukan di kuil Cenghie koan, maka setelah memasuki
kota, Pek Sek Toojin pimpin rombongannya ke kuil tersebut.
It Hang tidak tahu bahwa Giok Lo Sat berada di sekitar kota
Konggoan. Pada suatu malam selagi rembulan agak guram,
dan ia tak dapat tidur, tiba-tiba ia dengar satu ketokan
perlahan pada jendela. Ia menyangka Pek Sek Toojin. Tanpa
bilang suatu apa, ia pentang jendelanya. Tapi begitu daun
jendela terbuka, satu bayangan hitam melompat masuk,
hingga ia terperanjat, terlebih lagi ketika ia kenali Gak Beng
Kie dengan bajunya robek dan berlumuran darah.
"Jangan berisik, saudara To!" kata orang she Gak itu
separuh berbisik.
"Kau kenapa?" tanya It Hang. Beng Kie tidak menyahuti, ia
hanya tiup api hingga padam.
"It Hang, apakah kau belum tidur?" demikian pertanyaan
Pek Sek Toojin dari kamar sebelah.


Wanita Gagah Perkasa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Belum sampai ia menyahut, Beng Kie sudah memberikan
tanda dengan menggelengkan kepala dan tangannya
menunjuk, lalu tangan itu digoyang-goyangkan, maksudnya
supaya orang she To ini tak memberitahukan hal adanya ia di
situ. Maka It Hang jawab saja: "Aku sudah tidur tapi sekarang
aku terjaga untuk minum teh. Baiklah susiok pun tidur." Terus
ia bisiki sahabatnya: "Ini paman guruku sangat
menyebalkan..."
Dengan berindap, Beng Kie bertindak ke pembaringan,
sesudah membuka sepatunya, ia naik, untuk rebahkan diri,
dengan begitu, berdua mereka dapat rebah berendeng dan
sambil rebah-rebahan, pemuda she Gak itu tuturkan
pengalamannya yang hebat.
Setelah Him Teng Pek letakan jabatannya kengliak di
Liauwtong, penggantinya adalah Wan Eng Tay, yang bukan
seorang ahli peperangan. Maka ketika angkatan perang
BoanCiu maju di bawah pimpinan NuerhaCa -- pasukan mana
bergerak berbareng di darat dan air, -- dalam satu gebrakan
Simyang kena dirampas dan lalu Liauwyang terjatuh. Dua
punggawanya Eng Tay terbinasa oleh bala tentara BoanC iu.
Mereka adalah Hoo Sie Hian dan Yu Sie Kong, yang binasa di
bawah hujan anak panah. Eng Tay sendiri, yang pegang
pimpinan dari lauwteng tembok kota di atas kota Liauwyang
bagian timur utara, setelah jatuhnya kota, mati dengan
membakar diri. Ketika itu bangsa BoanCiu masih disebut bangsa Kim,
bangsa itu belum membangun Tay Ceng " kerajaan Ceng
yang besar. Maka juga NuerhaCa masih sebut dirinya "Khan
yang besar" (Tay Khan).
Dengan kekalahan itu, delapan sampai sembilan bagian
dari sepuluh bagian tentara Beng terbinasa dan terluka, dan
daerah Liauwhoo ke timurnya, semua habis diduduki musuh.
Sama sekali telah hilang lebih daripada lima puluh kubu-kubu
benteng dan tujuh puluh lebih kota kecil.
Kerajaan Beng tergetar karena kekalahan itu, sampai kaisar
Yu Kauw ingat akan pesan almarhum " ayahandanya, maka
segera ia pecat semua menterinya yang dulu memusuhi Him
Teng Pek, terus dia kirim utusan istimewa ke Kanghee,
Ouwpak, guna mengundang kembali Him Kengliak, untuk
diangkat menjadi penanggung jawab di Liauwtong. Hanya,
walaupun Teng Pek telah dapatkan Sianghong Pookiamnya,
pedang kebesarannya, tapi kekuasaan yang berarti tidak lagi
ada di tangannya seperti dahulu.
Menurut aturan kerajaan Beng, wilayah Liauwtong dipecah
menjadi tiga jawatan. Yang pertama ialah Kongleng Sunbu,
penguasa di Kongleng, yang tentaranya terdiri dari tentara
darat. Yang dua lagi, semuanya pasukan air, adalah ThianCin
Sunbu dan Honglay
Sunbu. Kedudukan Him Kengliak, yang di tengah, adalah
kota Sanhaykwan. Dari tempat kedudukannya ini, Him
Kengliak mengatur rencana pembelaannya, yang kemudian
tersohor sebagai "Rencana Tiga Jurusan" dalam peperangan
kerajaan Beng melawan bangsa Boan.
It Hang mengerti taktik perang, mendengar rencananya
Him Kengliak itu ia berkata pada Beng Kie: "Kengliak memang
ada satu panglima pandai, dengan rencananya ini, untuk
menyerang dan membela diri, dia tentu tidak bakal gagal."
Tetapi rencana merupakan barang mati dan manusia
adalah makhluk hidup," kata Beng Kie. "Rencana
membutuhkan tentara, yang dapat diperintah-perintah.
Rencana juga memerlukan perwira-perwira yang mendengar
titah. Tanpa ada kerja sama di ketiga pihak, rencana hanyalah
sehelai kertas saja."
"Him Kengliak pandai mengambil putusan, apa masih ada
perwira yang tidak taat kepadanya?"
Beng Kie menghela napas. "Ketika dahulu Perdana Menteri
Pui Ciong Tiat dipecat, dia digantikan Yap Siang Kho," katanya
dengan perlahan. "Dia ini ada sebangsa Gui Tiong Hian. Di
antara tiga sunbu sebawahannya Him Kengliak, Sunbu Ong
Hoa Ceng di Kongleng adalah yang mempunyai pasukan
paling kuat, tetapi dia justeru muridnya Yap Siang Kho, dia
tidak suka dengar titahnya Kengliak, ketika Kengliak hendak
pusatkan tentara di Kongleng, dia justeru hendak
memencarkannya. Bekas pasukan Kengliak, yang berada di
bawah pimpinan Wan Eng Tay, setelah dua kali peperangan di
Liauwyang dan Simyang, telah menjadi korban hampir semua
serdadu, maka itu sekarang, ia cuma dapat kumpulkan
beberapa ribu jiwa serdadu suka rela saja, di pihak lain,
pasukannya Ong Hoa Ceng terdiri dari belasan laksajiwa.
Walaupun ia seorang Kengliak dan memegang pedang
kekuasaan Sianghong Pookiam, iajauh kalah kuat daripada
Ong Hoa Ceng. Untuk memusatkan tentara itu, keduanya,
Kengliak dan Ong Hoa Ceng pernah menyampaikan soal
kepada pemerintah agung, akan tetapi Yap Siang Kho
membelai Ong Hoa Ceng. Yang hebat adalah putusannya,
bahwa Ong Hoa Ceng tak usah jatuh di bawah kekuasaannya
Kengliak."
"Jikalau demikian adanya, pasti keadaan di Liauwtong ada
sulit," kata It Hang. "Saudara, kenapa kau tidak mendampingi
Kengliak, malah kau meninggalkannya dan pulang seorang
diri?" Pertanyaan ini sampai sekian lama tidak dijawabnya, ketika
ia pandang sahabatnya itu, tampak air matanya berlinanglinang
hingga ia jadi sangat heran.
"Eh, kenapakah kau?" dia tanya. Beng Kie menahan
kesedihannya. "Mari dengar keteranganku," sahutnya
kemudian. "Meski benar Him Kengliak setibanya di
Liauwtong tidak mempunyai pasukan serdadu, tetapi dua
kali ia pernah menangkan pertempuran. Yang mendongkolkan
adalah Ong Hoa Ceng, sudah ia tak tahu siasat perang, dia
juga memandang enteng kepada musuh. Pihak BoanCiu dapat
tahu, Kengliak dan Hoa Ceng tidak cocok satu pada lain, dia
sudah bawa angkatan perangnya menyeberangi sungai
Liauwhoo. Ong Hoa Ceng telah pencarkan pasukannya, dalam
pertempuran semua pasukannya itu kena terhajar musuh,
kerusakannya lebih hebat daripada kekalahannya di
Liauwyang dan Simyang baru-baru ini. Dia telah runtuh.
Syukur, dengan lima ribu serdadunya, Him kengliak dapat
lindungi dia hingga dia bisa pulang ke kota. Karena kekalahan
ini, daerah Liauwhoo barat telah jatuh ke tangan musuh,
begitupun kota Kongleng. Berdua Ong Hoa Ceng, Kengliak
pulang ke Koanlwe, keduanya ditangkap pemerintah, tetapi
Gui Tiong Hian dan Yap Siang Kho, yang bersekutu sama
konco-konconya, telah menuduh dan mendakwa Kengliak. Yu
Kauw tidak tahu apa-apa, ia menduga karena Kengliak kalah
perang, lantas Kengliak dipersalahkan." It Hang terkejut.
"Bagaimana kesudahannya," tanya dia.
"Kasihan Kengliak, karena fitnahan dia telah binasa secara
kecewa..." sahut Beng Kie.
Hampir It Hang menjerit, syukur sahabatnya keburu bekap
mulutnya. Maka itu, ia hanya menangis saja, air matanya
bercucuran. "Kengliak menutup mata dalam musim dingin," Beng Kie
melanjutkan keterangannya. "Kaisar Yu Kauw sangat kejam,
menurut cerita Yap Siang Kho, kekalahan di Liauwtong itu
dipersalahkan semuanya kepada Kengliak, maka Kengliak
telah dihukum mati, ia dihukum picis! Sebaliknya Ong Hoa
Ceng mendapat hukuman enteng sekali, dia hanya dipecat..."
Mendengar itu, It Hang menangis tersedu-sedu.
"It Hang, kenapa kau masih belum tidur?" tegur pula Pek
Sek Toojin dari kamar sebelah.
It Hang berpura-pura mimpi, ia bergulingan, ia tendang
pembaringan. "Ah, aku mimpi melihat suhu!..." sahutnya.
"Jangan kau pikir yang tidak-tidak," Pek Sek kata. "Besok
kita harus melanjutkan perjalanan."
"Ya," sahut It Hang, lalu ia berbisik pada Beng Kie: "Jangan
kau pedulikan dia. Hayo kau bercerita terus. Kau liehay sekali,
kenapa kau terluka?"
"Setelah Kengliak mati, Gui
Tiong Hian kirim orang untuk menawan aku," Beng Kie
lanjutkan. "Hatiku sudah dingin, aku ingin menyingkir ke
Thiansan. Kemarin di tengah jalan, aku ketemu rombongannya
Bouwyong Ciong, hingga kita mesti bertempur hebat. Aku
berhasil membinasakan empat musuh pahlawan-pahlawan
Kimiewie, setelah itu, aku loloskan diri. Bouwyong Ciong
benar-benar liehay, ia kejar terus padaku sampai di Konggoan.
Aku gunakan saat gelap dari sang malam ini, untuk datang
kemari. Apakah paman gurumu sambut kau untuk diangkat
menjadi ketua?"
"Ya. Mereka menggembar-gemborkan, hingga semua orang
tahu. Aku merasa tak enak."
Beng Kie rogoh sakunya, dari mana ia keluarkan sejilid
kitab, la serahkan itu pada sahabatnya.
"Tolong kau simpan buku ini," katanya. "Apabila kau
bertemu satu panglima pandai sebagai Him Kengliak, berikan
kitab ini padanya. Aku kuatir, selanjutnya tak akan ada lagi
orang semacam panglima pandai itu..."
"Buku apakah ini?" tanya It Hang.
"Selama tiga tahun Kengliak berdiam di rumahnya, ia
gunakan kesempatan ini untuk mengarang kitab, yang diberi
nama Liauwtong Toan, kisah dari Liauwtong. Di sini ia catat
pelbagai siasat perang, tentang musuh kosong atau berisi,
kuat atau 476 lemah, cara bagaimana harus melayaninya. Kitab ini
ditujukan terutama untuk menghadapi Bangsa Boan. Gui
Tiong Hian mencoba menawan aku, mungkin disebabkan kitab
ini yang dia ingin punyakan. Kau adalah ketua dari Butong
pay, paling selamat apabila kaulah yang menyimpannya."
It Hang masukkan kitab itu ke dalam sakunya. Justeru itu
di luar terdengar suara, yang kemudian disusul dengan suara
toasuheng-nya Gie Sin Seng: "Susiok, di luar ada orang
datang mencari!"
It Hang lantas pasang kupingnya. Segera terdengar
tindakan kaki dari Pek Sek Toojin.
"Aku hendak pergi sekarang," kata Beng Kie. "Mungkin itu
ada pengejarku."
"Kita harus bekerja sama," It Hang kata. "Kalau itu benar
pengejarmu, lebih baik kau jangan menyingkir seorang diri."
Itu waktu Pek Sek Toojin sudah membuka pintu kuil, di luar
kelihatan Bouwyong Ciong bersama Kim Tok Ek, paman dan
keponakan, dan di belakang mereka ada serombongan orang,
mungkin beberapa puluh jiwa banyaknya. Maka imam itu
terperanjat. "Selamat bertemu, selamat bertemu!" kata Bouwyong
Ciong sambil tertawa. "Dulu kita telah bentrok satu pada lain,
tapi itu ada urusan kecil dan kau terlibat karena keliru
mengerti, maka sekarang, urusan telah selesai sendirinya, tak
usah kita menyebut pula. Hanya malam ini di dalam kuilmu
bersembunyi pemburon yang dicari pemerintah agung dan ini
bukannya urusan kecil lagi, apabila kau anggap dirimu putih
bersih, silakan kamu serahkan pemburon itu kepada kami."
Pek Sek menjadi heran.
"Pemburon apa?" tanya dia.
"Dialah Gak Beng Kie si bocah!" Bouwyong Ciong beritahu.
Pek Sek menjadi gusar dengan tiba-tiba.
"Mungkinkah aku melindungi bocah itu?" katanya.
"Kalau demikian pikiranmu, ini baik," kata Bouwyong Ciong.
"Sekarang tak usah kami menerjang masuk ke dalam kuil,
untuk menangkapnya, kau saja yang belenggu dia dan
membawanya keluar!"
"Sepanjang malam aku berdiam di dalam kuil, tidak pernah
aku melintas keluar, apabila benar dia datang kemari, mustahil
aku tidak tahu?" kata imam ini. "Di dalam kuil ini, semuanya
orang-orang kami kaum Butong pay! Di mana ada Gak Beng
Kie di antara kami?"
"Pek Sek Toojin, bukannya aku pandang enteng pada kau,"
berkata Kim Tok Ek, "tetapi harus kau insaf halnya seorang
yang berkepandaian tinggi. Gak Beng Kie itu bersahabat
sangat erat dengan Ciangbunjin? mu!"
Pek Sek beradat tinggi tidak dapat ia terima kata-kata
seperti itu, saking mendongkolnya, wajahnya menjadi merah.
"Baik, kamu boleh masuk dan memeriksanya!" ia berteriak.
"Jikalau kamu tidak dapatkan bocah itu, kamu mesti paykui
tiga kali terhadapku!"
Dan ia pentangkan kedua daun pintu.
Tanpa berayal lagi, Bouwyong Ciong beramai menerobos
masuk. Semua orang Butong pay' menjadi terkejut, sampai Ang In
Toojin pun keluar dari kamarnya.
Bouwyong Ciong atur orang-orangnya, untuk menjaga di
dalam dan di luar, setelah selesai dia bertanya: "Mana
kamarnya ketua kamu?"
Pek Sek melirik kepada pihaknya, ia lihat semua dua belas
murid Butong ada, melainkan To It Hang yang tidak nampak.
Ia j adi ragu-ragu. Tapi ia memikir, It Hang ambil kamar di
sebelah kamarnya, mustahil ia tidak tahu andaikata ada orang
masuk ke kamarnya ketua itu.
"Nanti aku ajak kamu pergi ke kamarnya," katanya. "Ingat,
kamu harus menghormati undang-undang kaum Rimba
Persilatan."
Bouwyong Ciong tertawa.
"Itulah pasti!" sahutnya. "Mustahil kami berani berlaku tak
hormat terhadap ketua kamu?"
Pek Sek ajak orang ke kamarnya
It Hang. Ia lantas mengetok pintu.
"It Hang, buka pintu!" ia memanggil.
Suara jawaban datangnya lambat sekali, dibarengi dengan
dibukanya pintu.
"Ya," demikian jawaban itu, lalu It Hang berdiri dengan
tenang di ambang pintu kamarnya. "Perlu apa kamu datang
kemari?" ia tanya.
Kim Tok Ek bertindak masuk ke dalam kamar, matanya
celingukan. Di situ tak nampak Gak Beng Kie.
Kim Cian Giam penasaran, ia singkap kelambu, terus
berjongkok, akan melongok ke kolong pembaringan. Dia juga
tak lihat satu bayangan manusia.
Menampak demikian, It Hang berseru: "Butong pay
termasuk kepala dari kaum Persilatan, dapatkah dia


Wanita Gagah Perkasa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membiarkan orang berlaku kurang ajar terhadapnya?"
Inilah hasutan untuk semua saudara seperguruannya dan
pamannya. Pek Sek girang atas sikapnya ketua yang muda ini,
di dalam hatinya, ia berkata: "Bocah ini tidak kecewa, dia
dapat bawa diri sebagai ketua! Aku mesti tunjang padanya..."
Maka berkatalah ia dengan membentak: "Kim Laokoay! Jikalau
kau tidak menghaturkan maaf terhadap ketua kami ini, jangan
kau pikir untuk dapat keluar dari pintu kuil ini!"
Kim Tok Ek tertawa dingin. Ia ingin mencoba Pek Sek
Toojin, tapi Bouwyong Ciong tarik kawannya itu.
"Kamar yang sebelah ini kamar siapa?" tiba-tiba dia tanya.
Pek Sek memperlihatkan roman murka.
"Itulah kamarku!" jawabnya dengan bengis.
Bouwyong Ciong tertawa. "Apakah kau tidak hendak
undang kami duduk-duduk?" dia kata dengan licin. "Di dalam
kamarmu masih belum terlambat untuk menghaturkan maaf.
Saudara To itu adalah ketuamu tetapi dia toh tetap ada
sebawahan kau, maka itu, untuk menghaturkan maaf
seharusnya itu dihaturkan kepadamu!..."
Kata-kata itu dikeluarkannya secara menyindir.
Pek Sek menjadi gusar sekali, hingga ia tersentak bangun
dan lompat menuju pintu kamarnya, yang terus saja
dipentangnya. "Mari!" serunya, menantang. Baru saja ia hendak
mengucapkan kata "lihat", tiba-tiba ia menjadi kaget, ketika ia
pentangkan kelambu, tampaklah Beng Kie di atas
pembaringan duduk seorang diri, sikapnya tenang sekali...
Itulah hasil permupakatan di antara It Hang dan si anak
muda she Gak, untuk membuat Pek Sek Toojin terlibat dalam
urusan Beng Kie. la masuk ke kamar si imam di waktu imam
itu keluar. Kim Tok Ek tertawa gelak-gelak, agaknya ia puas, terus ia
mengejek. Bouwyong Ciong sebaliknya sangat gusar, ia lompat ke
dalam, sebelah tangannya terus melayang ke arah muka
orang she Gak. Menampak datangnya serangan, Beng Kie mendahului
lompat turun, sambil menghunus pedangnya, untuk menabas
lengan si penyerang. Maka dalam sekejap saja, mereka
berdua sudah bertempur.
Pertempuran segera menjadi hebat, hingga meja terbalik,
pembaringan tersungkar, kamarnya Pek Sek Toojin menjadi
sangat kalut. Pek Sek Toojin berdiri tercengang, melihat kejadian itu
hingga ia tak dapat lantas membuka mulutnya. Justeru itu,
Kim Tok Ek ulur tangannya, hendak membekuk Beng Kie.
Akan tetapi It Hang menghunus pedangnya untuk merintangi
serangan itu. "Susiok, merekalah yang lebih dahulu berlaku tak tahu
adat!" seru ketua muda itu. "Saudara Gak ini adalah sahabat
kami kaum Butong pay, tidak dapat dia dibiarkan ditangkap
oleh sembarang orang!"
"Butong pay tinggal Butong pay, habis kau mau apa?" Kim
Tok Ek menantang. "Kamu melindungi penjahat yang dicari
kaisar, kedosaanmu ini tak dapat kamu tutupi lagi!"
"Susiok, jangan dengarkan ocehannya!" It Hang berseru
pula. "Mereka itu menggunakan Firman palsu, untuk
melampiaskan sakit hati sendiri!"
Pek Sek Toojin belum tahu halnya Him Teng Pek telah
terbinasa, tetapi ia masih ingat urusan panglima itu, yang dulu
hendak dibikin celaka dengan firman palsu, sedang Gak Beng
Kie adalah pembantu penting dari Teng Pek itu, maka masuk
diakallah kalau sekarang, si anak muda juga hendak
disingkirkan. Teringat ini, ia menjadi berani. Pikirnya: "Bila Gak
Beng Kie bukan pemburon raja, tetapi urusan perseorangan,
siapa juga dapat bantu padanya... Aku tidak suka akan bocah
ini, akan tetapi aku mesti bela kehormatannya Butong pay..."
Ketika imam ini memikir demikian, ia lihat It Hang terdesak
Kim Tok Ek, yang tangannya liehay tidak jeri melawan
pedangnya pemuda she To itu, maka tidak bersangsi lagi, ia
cabut pedangnya dan ceburkan diri dalam pertempuran.
"Berontak! Berontak!" Kim Tok Ek berseru berulang-ulang.
"Kamu adalah kurcaci kaum Rimba Persilatan, siapa juga
dapat singkirkan kau!" bentak Pek Sek. "Kau rasakan
pedangku ini!"
Paman guru dari It Hang ini lantas menyerang hebat
dengan Citcapjie Ciu Lianhoan Toatbeng kiam, atau ilmu
pedang "Perampas Jiwa" yang mempunyai runtunan jurusan
sampai ke tujuh puluh dua.
Gak Beng Kie terus layani
Bouwyong Ciong, dari dalam kamar, mereka bertempur
sampai di luar.
Pertempuran kalut itu menyebabkan Ang In Toojin bersama
dua belas murid kepala dari Butong pay terpaksa turun
tangan, hingga mereka jadi bentrok dengan rombongan
pahlawan istana yang dibawa orang she Bouwyong itu.
Bukan main keruh dan berisiknya suasana itu.
Gak Beng Kie dan Bouwyong Ciong merupakan satu
tandingan yang setimpal: yang satu ahli silat tangan kosong
(kepalan), yang lain ahli pedang. Sebegitu jauh nampaknya
mereka berimbang sekali.
Di lain rombongan sebenarnya, Pek Sek bukanlah
tandingan dari Kim Tok Ek, akan tetapi ia sanggup
melawannya. Inilah disebabkan pada tiga tahun yang lampau,
orang she Kim itu pernah diputuskan tulang pipanya oleh Giok
Lo Sat, benar Anghoa Kuibo telah menolongnya, dengan
obatnya yang manjur sekali, tetapi pengobatan itu meminta
tempo lama, meski sekarang tulangnya telah sembuh, toh
selama tiga tahun, Tok Ek tak pernah berlatih sebagai dulu
lagi, maka itu ia jadi sangat mundur. Demikian, keduanya pun
jadi berimbang.
Adalah di pihak rombongan pahlawan istana, mereka tak
sanggup pertahankan diri dari serangannyaAn In Toojin serta
dua belas murid kepalanya, terpaksa mereka itu mundur
sampai di suatu pojok.
Bouwyong Ciong yang liehay dapat melihat pihaknya
keteter, segera ia perdengarkan seruannya yang nyaring dan
panjang, atas mana semua pahlawan yang di tempatkan di
luar segera menyerbu masuk, untuk membantui kawankawannya.
Dengan begitu, pihak Ang In dan pahlawan ini pun
jadi sama tangguhnya.
Selagi pertarungan berjalan sangat serunya, tiba-tiba
terdengar teriakan dari beberapa pahlawan istana yang berada
di dekat pintu pekarangan. Mereka berteriak-teriak:
"Kebakaran di dalam kota!"
Bouwyong Ciong semua menjadi terperanjat. Pasti sekali
mereka tak tahu, tempat mana yang terbakar dan apa
sebabnya. Sedang perbuatan itu sebenarnya adalah
perbuatannya Giok Lo Sat dan Tiat San Ho dengan beberapa
serdadu wanitanya bersama-sama dengan rakyat jelata yang
dalam kesukaran. Mereka menggunakan ketika ini dengan
melepaskan api, membakar kantor camat, setelah merampas
alat senjata, mereka bentrok dengan tentara di dalam kota.
Celaka bagi pihak tentara karenajumlahnya sampai jadi ribuan
jiwa. Biasanya rakyat jelata itu tidak berani melawan pembesar
negeri atau tentara, biasanya mereka terima ditindih, mereka
menahan sengsara, mati kelaparan pun tak apa, tetapi
sekarang ada orang yang pimpin mereka, mereka menjadi
nekat. Mereka pikir, nekat mati, tidak nekat pun mati juga.
maka lebih baik nekat, mungkin ada hasilnya...
Demikian, dalam jumlah ribuan, atau belasan ribu, rakyat
jelata itu baaikan gelombang dahsyat menggempur gili-gili
sungai, dengan berani mereka serang tentara negeri. Giok Lo
Sat sendiri maju mencari si punggawa perang, begitu
bertemu, dia lantas bekuk dan lemparkan orang itu ke dalam
api berkobar! Maka dalam sekejap saja, barisan serdadu yang kehilangan
pemimpin itu menjadi kacau.
Giok Lo Sat pegang pimpinan sampai ia dapatkan banyak
serdadu roboh sebagai korban luka atau binasa dan sisanya
menyerah, lalu ia serahkan rakyat melarat itu kepada Tiat San
Ho, ia sendiri terus lari ke arah kuil Cenghie koan.
Itu waktu sudah lewat tengah malam.
Di kuil, Bouwyong Ciong dan Kim Tok Ek hanya terperanjat
dan berkuatir, mereka tidak ambil tindakan, sampai Kim Cian
Giam serukan mereka: "Mari kita bekuk si pemberontak,
jangan kita pedulikan pihak Butong pay!"
Itulah tipu daya memecah lawan, mereka hendak meluruk
kepada Gak Beng Kie.
Orang-orang Butong pay telah dibikin murka, tentu sekali
tak suka mereka beri kesempatan kepada orang mengepung si
orang she Gak, maka itu, mereka rintangi serbuan rombongan
pahlawan itu, hingga tetap mereka bertempur secara kalut.
Selama itu, mereka bisa saksikan api di dalam kota berkobar
makin besar. Rim Cian Giam penasaran, ia tinggalkan Pek Sek Toojin, ia
menerjang ke arah Gak Beng Kie, akan tetapi gerakannya itu
dapat dilihat oleh To It Hang, yang segera merintanginya.
Secara hebat Beng Kie serang Bouwyong Ciong. Ia telah
gunakan ilmu silat Thiansan kiamhoat jurus "Ieseng tektauw"
atau "Pindahkan bintang -- menggeser bintang",
guna menusuk kedua mata dan menikam tenggorokan
berturut-turut. Itulah ilmu pedang kaum Thiansan yang hebat.
Mau tidak mau, Bouwyong Ciong kena terdesak, maka ketika
itu digunakan pemuda she Gak ini untuk lompat keluar
kalangan. "Saudara Gak, pergilah duluan!" seru It Hang.
Kim Cian Giam lompat, untuk pegat Beng Kie, tetapi
pemuda itu tidak lari, walaupun tangan orang itu liehay.
Dengan gunakan sarung tangannya yang istimewa, ia
menangkis dengan tangan kanan dan tangan kirinya
dipSEaTmenggempur, hingga tanpa ampun, pencegat itu
limbung terhuyung tubuhnya.
To It Hang juga tidak diam sambil mendek diri ia
mendesak, ujung pedangnya menyambar tangannya Kim Tok
Ek, hingga tangannya jago itu terluka. Dan ketika yang baik ini
digunakan Beng Kie untuk noblos keluar, terus lompat naik ke
atas genteng dan menghilang...
Bukan kepalang murkanya Kim TokEk.
"To It Hang adalah konco penjahat!" dia berteriak.
"Penjahat tak dapat dibekuk, bekuk dia saja!" Dan segera dia
maju menyerang, dengan mainkan kedua tangannya dia
mendesak. It Hang menjadi repot
Pek Sek Toojin tidak bisa membantui ketuanya yang muda
itu, karena ia dirintangi Bouwyong Ciong. Ia pun menghadapi
suasana genting.
Di antara murid-murid Butong pay yang bisa noblos, untuk
berikan pertolongan kepada ketuanya, akan kepung Kim Tok
Ek, tetapi mereka tidak bisa berbuat banyak, mereka pun
dapat didesak jago she Kim itu.
Akhir-akhirnya pedangnya It Hang kena ditendang Tok Ek,
sampai terlepas dari cekatannya dan terpental.
"Ha-ha-ha-ha!" Tok Ek tertawa, sambil mengulurkan
tangannya untuk menjambak jantung orang.
Belum sampat tertawanya orang she Kim ini berhenti, satu
suara tertawa lain yang halus tetapi nyaring mendengung di
antara mereka yang sedang mengadu kepandaian. Suara
tertawa inipun tajam didengarnya oleh Tok Ek, seperti
menusuknya jarum, hingga ia kaget tak terkira. Dengan
sendirinya, cengkeramannya menjadi ayal...
It Hang berkelit dari jambakan hebat itu, yang bisa
membuat jantungnya terbetot keluar, iapun kaget berbareng
girang. Ia kenal akan suara tertawa itu.
Apabila ia berpaling ke arah dari mana suara itu datang, ia
tampak Giok Lo Sat melayang turun dari atas payon kuil,
tubuhnya bagaikan tubuh burung walet entengnya.
Kim Tok Ek kaget tidak kepalang. Pada tiga tahun yang
lalu, ia telah dikalahkan si nona, apapula sekarang, sesudah
ilmu silatnya mundur sangat jauh.
Giok Lo Sat tertawa gelak-gelak apabila ia tampak orang
she Kim itu. "Ha, sungguh baik isterimu yang berhati kumala itu!"
menggoda si nona. "Kembali kau diijinkan keluar
mengembara! Apakah tulang pipamu telah sembuh?"
Tok Ek sangat berkuatir.
Ia bukan dimerdekakan isterinya, ia hanya berlalu dari
isterinya secara diam-diam. Sekarang Giok Lo Sat sebut
isterinya, maka ia ingat akan perbuatannya dan menjadi
gelisah. Teringatlah ia kepada kata-kata isterinya, yaitu
apabila ia tidak bisa kendalikan diri dan keluar merantau pula,
hidup atau mati tidak akan dipedulikan pula oleh isterinya.
Maka, karena jerinya, ia tinggalkan It Hang dan lari kabur dari
pintu kuil. Giok Lo Sat tertawa dan sambil menggerakkan kaki dan
tangannya, ia terjang rombongan pahlawan itu. Sebentar saja
ia telah robohkan beberapa pahlawan, hingga terbukalah jalan
untuk ia maju ke arah Kim Tok Ek, yang ia kejar dengan
segera. Benar-benar luar biasa gesitnya, baru Tok Ek molos di
pintu besar atau tubuhnya nona ini sudah melesat dan
pedangnya ditikamkan ke depan.
"Aduh!" demikian jeritan Tok Ek, yang kakinya kena
tertikam, dan bagaikan sebuah holouw, atau cupu-cupu,
tubuhnya roboh terguling!
Bouwyong Ciong tampak robohnya kawannya itu, ia jadi
sangat gusar. Ia lompat meninggalkan Pek Sek Toojin, dengan
mengulurkan sebelah tangannya ia gempur bebokongnya si
nona. Hebat serangannya ini.
Giok Lo Sat lihat datangnya serangan itu, dengan lincahnya
ia berkelit. Tapi ia tidak menyingkir jauh. Dengan mundur
setindak, ia lantas menjejak tanah dengan kakinya yang
dimundurkan itu, kaki yang lain dientengkan, dipakai
membantu, lantas tubuhnya mencelat tinggi melewati kepala
lain lawan, berbareng mana iapun menikam dengan
pedangnya. Maka tidak ampun lagi, robohlah pahlawan yang
ia serang itu menimpa kawannya yang berkelahi di dekatnya.
Setiap serangannya Giok Lo Sat adalah jalan darah, maka
itu setiap korbannya roboh dengan bergulingan karena
sakitnya luka itu. Ia tidak hiraukan lagi mereka yang roboh, ia


Wanita Gagah Perkasa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hanya serang yang lain-lain, yang masih berani mengepung
padanya. Cepat sekali ia merobohkan dua atau tiga belas
pahlawan, hingga pahlawan-pahlawan lainnya menjadi jeri.
Begitu ia bebas dari desakan dan sebelum Bouwyong Ciong
sempat datang dekat padanya, Giok Lo Sat menghampiri Pek
Sek Toojin, di samping siapa ia lewat sambil tertawa!
"Janji adu pedang tiga tahun yang lampau itu masihkah
dianggap sah?" tanyanya.
Imam itu membungkam, mukanya meringis, sebab tak
dapat ia menangis atau tertawa.
Giok Lo Sat masih terus beraksi, ia dapat lukai lagi dua
pahlawan yang tetap masih mengepung imam dari Butong pay
itu. Bouwyong Ciong jadi sangat mendongkol, karena itu, ia
hajar roboh satu murid Butong pay yang menghalang di
hadapannya, lalu ia mencoba menghampiri si nona.
Giok Lo Sat menyambutnya dengan tertawa.
"Bouwyong Ciong?" kata si nona ini, "kawan-kawanmu
yang rebah bergulingan di tanah sudah cukup untuk kau
Pendekar Laknat 5 Pendekar Laknat Pendekar 3 Jaman Karya S D Liong Peristiwa Burung Kenari 9
^