Kasih Diantara Remaja 13
Kasih Diantara Remaja Karya Kho Ping Hoo Bagian 13
dari kakek itu.
Seperti juga pada permulaannya yang tiba-tiba, kakek itu tiba-tiba menghentikan totokantotokannya.
Ia nampak pucat, keringatnya membasahi seluruh tubuhnya, napasnya terengah-engah
seperti hendak putus. Ia masih berdiri dalam sikap bersilat, matanya masih tajam menatap tubuh
Han Sin. Babak pertama dari usaha penyembuhan dengan It-yang-ci sudah ia lakukan.
Lalu perlahan-lahan kakek ini duduk bersila lagi, meramkan mata dan bersamadhi, mengumpulkan
tenaga dan mengatur napas. Ada setengah jam ia duduk diam, kemudian ia meloncat bangun lagi
dan untuk kedua kalinya ia "menyerang" Han Sin bertubi-tubi dengan totokan It-yang-ci. Masih
cepat seperti tadi penyerangannya, hanya bedanya, kalau tadi ia menggunakan tenaga Im-kang
sehingga totokannya itu biarpun cepat kelihatannya tidak memakai tenaga.
Padahal sebenarnya pengerahan tenaga dalam kali ini jauh lebih berat dari pada tadi! Sebentar saja
napasnya sudah terdengar seperti kerbau disembelih dan ketika tiba-tiba bayangan tubuhnya yang
berkelebatan itu berhenti, mukanya menjadi pucat sekali, tubuhnya menggigil dan dari muka dan
dadanya keluar keringat besar-besar. la berdiri meramkan mata, mengatur napas.
Ada perubahan pada diri Han Sin. Pemuda ini mengeluarkan rintihan perlahan, tubuhnya bergerakgerak
sedikit, pelupuk matanya terbuka. Biarpun Yok-ong sendiri meramkan mata, namun ia dapat
menangkap gerakan pemuda itu, maka dengan suara lirih seperti orang berbisik, lemah sekali, ia
berkata, "Jangan bergerak ......"
Han Sin mengerling ke arah kakek itu dan otaknya yang cerdas segera dapat menangkap apa yang
sedang terjadi. Sinar matanya penuh keharuan dan terima kasih. Di dalam kitab Thian-po-cin-keng
ia merasa pernah membaca tentang penyembuhan secara ini, dan ia maklum pula bahwa usaha ini
akan mendatangkan bencana kepada Yok-ong!
Hanya sebentar saja ia dapat menggunakan pikirannya karena tiba-tiba kepalanya pening sekali dan
ia tak dapat memikirkan apa-apa lagi. Hal ini adalah karena yang sudah terbuka hanya jalan-jalan
hawa di tubuh, sedangkan urat-urat syaraf yang menuju ke kepala masih tertutup oleh hawa beracun
yang tadinya menyerang dari banyak luka di tubuhnya.
Sampai satu jam kali ini Yok-ong duduk diam, bersila sambil memulihkan tenaganya. Kemudian ia
berdiri, tidak meloncat seperti tadi, melainkan perlahan sekali. Namun tubuhnya mengejang, dan
setiap gerakannya mengeluarkan bunyi berkerotokan di tulang-tulangnya, matanya bersinar tajam
menakutkan bahkan rambut kepalanya ada sebagian yang berdiri.
Dengan langkah perlahan sekali ia menghampiri Han Sin, kemudian dengan gerakan amat lambat
dan perlahan kelihatannya namun sesungguhnya mengandung tenaga yang berlipat kali lebih
dahsyat dari pada babak pertama dan ke dua tadi, kakek raja obat itu menotok dengan jari-jari
telunjuk kanan kiri bergantian ke arah leher, pelipis, dan ubun-ubun kepala Han Sin!
Setelah menotok dua puluh tujuh kali, keadaan kakek ini makin lama makin lemah, akhirnya selesai
juga ia melakukan pengobatannya, tubuhnya limbung terhuyung-huyung ke belakang, akan tetapi
mulutnya tersenyum lalu terdengar suaranya,
"Sembuh .... sembuh .... sembuh ...." Ia roboh terguling dan muntahkan darah sambil duduk bersila.
Han Sin merasa betapa hawa murni di tubuhnya sudah berjalan normal kembali, malah dengan
hawa sinkangnya ia dapat mengusir semua sisa racun yang menguasai kulit dan urat-urat tubuhnya.
la membuka mata dan melihat keadaan Phoa Kok Tee, ia mengeluarkan seruan kasihan dan cepat ia
meloncat menghampiri. Yok-ong masih duduk bersila, pangkuan dan bibirnya penuh darah yang
tadi ia muntahkan, napasnya senin kemis dan mukanya pucat, tubuhnya menggigil.
Han Sin menitikkan dua butir air mata. Orang yang sama sekali tidak ada hubungan dengan dia,
bukan sanak, bukan kadang, bukan pula sahabatnya telah rela mengorbankan diri untuk
menolongnya. Bukan main besarnya budi ini.
Pemuda itu lalu duduk bersila pula di belakang Phoa Kok Tee menempelkan telapak tangannya
kepada punggung kakek itu untuk mengisi tubuh orang dengan hawa sinkangnya yang disalurkan
melalui kedua telapak tangan. Berkat pelajaran Thian-po-cin-keng di dalam tubuh pemuda ini
memang terkandung hawa sinkang yang luar biasa.
Yok-ong merasa betapa dari punggungnya muncul semacam hawa hangat yang membangkitkan
kembali sumber tenaga lweekangnya yang sudah habis, maka ia dapat menggunakan kembali
tenaga yang sudah amat lemah di dalam tubuhnya itu untuk meratakan jalannya napas.
Ia menarik napas panjang dan tahu bahwa pemuda itu yang kini membalasnya, menolongnya
terhindar dari pada kematian. Namun, iapun maklum bahwa sejak saat itu ia sudah kehilangan
kepandaiannya, menjadi orang biasa yang hanya akan dapat mengobati orang dengan daun-daun
dan akar-akar obat. Tak dapat lagi menggunakan ilmu It-yang-ci, tak dapat lagi mengerahkan
tenaga dalam. Yok-ong membuka matanya, menoleh dan tersenyum. "Cukuplah, aku tidak akan mati ....., dan kau
sudah sembuh ........"
Han Sin cepat bangun, lalu melangkah ke depan kakek itu, cepat ia menjatuhkan diri berlutut dan
berkata, "Locianpwe telah menolong nyawaku tanpa menghiraukan keselamatan sendiri. Budi sebesar ini
sampai matipun aku Cia Han Sin takkan melupakan dan bagaimana aku dapat membalasnya?"
Phoa Kok Tee tersenyum pahit. "Siapa bilang bahwa aku mengobatimu karena ingin dibalas?"
"Tentu tidak, karena in-jin (tuan penolong) memang seorang yang berwatak mulia. Akan tetapi,
locianpwe telah kehilangan kepandaian, malah hampir kehilangan nyawa, bagaimana aku dapat
berhati lega lagi kalau tidak berusaha membalas budi. Katakanlah, locianpwe, budi apakah yang
dapat kulakukan kepadamu untuk membalasmu" Kalau locianpwe tidak mau memberi petunjuk,
biarlah selama hidupku aku mengabdi kepada locianpwe untuk membalas budi, akan kurawat dan
kulayani locianpwe ......"
"Hush, bocah gila! Siapa sudi dengan pelayananmu" Pula, bukan aku yang menolongmu, melainkan
Lie Ko Sianseng. Dialah yang membawamu dalam keadaan pingsan ke tempat ini. Si Raja Swipoa
itulah yang menolong nyawamu, karena kalau tidak dia menolongmu, pasti kau takkan bernyawa
lagi sekarang sudahlah, lekas kaupergi dari sini, jangan mengganggu aku lagi!"
Akan tetapi Han Sin tidak mau bangun dari situ, tetap berlutut di depan Yok-ong. "Biarlah
locianpwe akan membunuhku, aku takkan pergi meninggalkan locianpwe kecuali kalau locianpwe
memberi perintah sesuatu untuk dapat kulaksanakan sebagai pembalasan budi."
38. Patriot Bangsa Berguguran
YOK-ONG menarik napas panjang. "Hemmm, berkepandaian atau tidak apa sih artinya bagiku.
Mati atau hidup apa pula bedanya bagi seorang yang sudah setua aku" Akan tetapi, karena kau
memaksa, baiklah. Kau pergilah menghadap Pek Sin Niang-niang yang kini bertapa di Gobi-san.
Beliau adalah guruku dalam hal pengobatan. Kalau kau berhasil memintakan petunjuk kepadanya
untuk penyembuhanku karena penggunaan It-yang-ci tadi, berarti kau sudah membalasku dan
menyembuhkan aku kembali. Akan tetapi jangan kaukira akan mudah menjumpai Pek Sin Niangniang.
Beliau sudah menjadi manusia setengah dewa dan Pegunungan Gobi adalah tempat yang
amat luas. Tidak mudah mencarinya ......."
"Aku akan mencarinya sampai dapat!" Setelah berkata demikian, baru Han Sin mau bangun.
Yok-ong Phoa Kok Tee lagi-lagi tersenyum, lalu kakek inipun bangkit berdiri dengan perlahan dan
lemah. Diambilnya topi dan pakaiannya, dipakainya semua itu dengan gerakan lemah, gerakan
seorang petani tua biasa, kemudian Dipikulnya keranjang-keranjang obatnya dan dengan langkah
gontai ia meninggalkan tempat itu, meninggalkan Han Sin yang berdiri memandang dengan hati
penuh keharuan.
"Manusia budiman ........ dia inikah yang oleh Nabi Khong Cu disebut kuncu" Betul Yok-ong Phoa
Kok Tee inilah orang yang patut disebut seorang kuncu, bukankah Nabi Khong Cu pernah bersabda
bahwa: "Seorang Budiman berhati penuh cinta kasih terhadap sesama manusia, tidak mau mencari
keuntungan diri sendiri dengan jalan merusak cinta kasihnya itu, sebaliknya malah rela
mengorbankan diri sendiri demi cinta kasihnya terhadap sesama manusia."
Demikian Han Sin berkata di dalam hatinya penuh kagum. Kakek itu menderita karena dia,
kehilangan kepandaiannya, malah mungkin pengerahan lweekang yang dahsyat dalam
menggunakan Ilmu It-yang-ci tadi berakibat lebih hebat lagi, yaitu melukainya. Mungkin sekali
kalau tidak mendapat obat yang cocok, kakek itu akan menderita sakit dan tewas!
Kagetlah hati Han Sin ketika jalan pikirannya sampai di sini. Dia telah menolongku, bagaimana aku
dapat berpeluk tangan saja melihat dia menderita" Harus kucarikan obatnya, pada Pek Sin Niangniang,
sekarang juga. Urusan lain boleh ditunda!
Keputusan dalam hati dan pikiran Han Sin ini membuat pemuda itu cepat meninggalkan tempat itu,
langsung menuju ke Pegunungan Go-bi-san di utara untuk mencari Pek Sin Niang-niang. Dalam
perjalanan ini, di sepanjang perjalanan ia mendengar tentang kekalahan yang diderita oleh pihak
Mongol. Diam-diam ada juga kelegaan dalam hati Han Sin karena bukankah kemenangan pihak Mancu
berarti selamatnya orang-orang yang dekat dengannya seperti Bi Eng, Li Hoa, Ciu-ong Mo-kai dan
yang lain-lain" Juga kalau ditimbang-timbang, andaikata kedua pihak, Mongol dan Mancu,
berperang bukan karena berebutan tanah airnya, tentu ia seratus persen akan berdiri di pihak
Mancu! Baru membandingkan pribadi Bhok-kongcu sebagai wakil Mongol dan pribadi Yong Tee sebagai
wakil Mancu saja, tidak sukar bagi Han Sin untuk memilih. Sayangnya kedua pihak itu perang
karena memperebutkan Tiongkok, inilah yang menjengkelkan hati Han Sin dan membuat pemuda
itu tidak mau mencampurinya.
**** Pegunungan Go-bi-san memang merupakan daerah yang amat luas, penuh dengan gunung dan
padang pasir. Han Sin yang masih lemah tubuhnya karena baru saja sembuh dari pada luka-luka
hebat, melakukan perjalanan yang amat sukar. Namun semua ini ia tempuh dengan senang, malah ia
melakukan dengan tergesa-gesa karena ingin lekas-lekas bisa bertemu dengan pertapa wanita itu
untuk mintakan obat bagi Yok-ong Phoa Kok Tee.
Kalau ia teringat akan Lie Ko Sianseng, iapun tersenyum. Ternyata banyak juga manusia baik di
dunia ini. Benar-benar tak pernah disangkanya. Lie Ko Sianseng yang tadinya ia sangka licin,
cerdik dan penuh tipu muslihat busuk, ternyata malah menolongnya seperti yang diceritakan oleh
Yok-ong. Bagaimanakah Lie Ko Sianseng dapat menolongnya" Seingatnya, ia tertawan oleh PakKoleksi
Kang Zusi thian-tok Bhok Hong, bagaimana tahu-tahu ia bisa dibawa oleh Lie Ko Sianseng kepada Yok-ong
untuk diobati"
Pada suatu senja, ia memasuki sebuah kampung atau bekas tempat perkemahan bangsa Mongol
yang sudah kosong. Agaknya tentara Mancu sudah sampai di tempat ini dan mengusir
penduduknya, buktinya ada bekas-bekas pertempuran di kampung ini, dan bekas-bekas kebakaran.
Lumayan juga tempat ini untuk bermalam, pikir Han Sin, dari pada tidur di tempat terbuka. Ia
menghampiri sebuah bangunan sederhana yang masih utuh, dengan maksud bermalam di tempat itu.
Sudah jelas bahwa tempat ini tidak ada manusianya lagi.
Akan tetapi, ketika ia membuka daun pintu rumah itu, ia mendengar suara orang mengerang
kesakitan. Cepat ia melompat masuk dan di antara meja kursi yang malang-melintang, ia melihat
tubuh seorang laki-laki dan sekali pandang saja maklumlah Han Sin bahwa orang ini sudah tak ada
harapan disembuhkan lagi. Cepat ia berlutut di dekat orang itu dan ....
"Lie Ko Sianseng ......! Ah, bagaimana kau sampai menjadi begini ........?"
Lie Ko Sianseng membuka matanya. Mulut yang tadinya berkerinyut menahan sakit itu tiba-tiba
tersenyum lebar ketika ia melihat Han Sin.
"Kau ..... kau sudah sembuh ......." Bagus ...... tidak sia-sia ..... Ciu-ong mengorbankan nyawa
untukmu ......." Setelah mengeluarkan kata-kata ini dengan amat susah payah, kakek gendut itu
pingsan. Hati Han Sin berdebar tidak karuan. Apa artinya Ciu-ong Mo-kai berkorban nyawa untuknya" "Lie
Ko Sianseng ......" la mencoba menyadarkan kakek gendut itu namun sia-sia belaka.
Kurang lebih satu jam kemudian, keadaan Lie Ko Sianseng payah sekali, akan tetapi ia siuman
kembali, bibirnya bergerak-gerak. Han Sin mendekatkan telinganya ke bibir kakek itu.
"........ adikmu dibawa ........ dia ......."
Terkejut sekali Han Sin. "Dibawa siapa?"
"Bhok-kongcu ...."
"Siapa membunuh Ciu-ong Mo-kai ....?"
"..... Bhok-kongcu ...."
"Siapa melukaimu sampai begini?"
".... Bhok-kongcu ...." Tak kuat lagi Lie Ko Sianseng menahan, tubuhnya mengejang dan di lain
saat nyawanya sudah melayang keluar dari tubuhnya.
Han Sin mengertak giginya sampai berbunyi. Dapat ia membayangkan sekarang. Tentu ketika ia
tertawan oleh Bhok Hong, ia dibawa ke tempat Bhok-kongcu. Kemudian, entah cara bagaimana,
muncul Ciu-ong Mo-kai, mungkin bersama Lie Ko Sianseng, menolongnya. Ciu-ong terbinasa
dalam usaha ini oleh Bhok-kongcu dan Lie Ko Sianseng berhasil mengantarnya ke tempat Yok-ong.
Sekarang Lie Ko Sianseng bertemu dengan Bhok-kongcu dan dilukai sampai tewas pula. Dan Bi
Eng .... Bi Eng juga dibawa Bhok-kongcu.
"Awas kau, Bhok Kian Teng! Sekali ini kalau aku bertemu denganmu, sebelum membalas dendam
orang-orang ini, aku tidak mau sudah!"
Dengan hati penuh keharuan dan dendam Han Sin mengubur jenasah Lie Ko Sianseng. Seorang
patriot, pikirnya. Seperti juga Ciu-ong Mo-kai. Biarpun dalam kehidupan sehari-hari merupakan
seorang pedagang yang kadang kala kelihatan licik dan curang dalam mengejar untung, namun tiba
saatnya tidak segan untuk mengorbankan nyawa untuk menolong bangsa sendiri dari tangan kaum
penjajah. Mungkin pendirian Lie Ko Sianseng mengenai peperangan antara Mancu dan Mongol sama dengan
pendirian Ciu-ong Mo-kai dan yang lain-lain, hanya bedanya kalau Ciu-ong Mo-kai sengaja
membantu Mancu agar Mongol cepat hancur, sedangkan Lie Ko Sianseng bekerja untuk kedua
belah pihak, mempermainkan mereka dan mengadu mereka ke arah kehancuran bersama,
kehancuran dua bangsa penjajah, musuh-musuhnya!
Setelah selesai mengubur jenasah itu, ia memberi penghormatan terakhir. "Lie Ko Sianseng, harap
kau mengaso tenang, akulah yang akan membalaskan kejahatan Bhok Kian Teng," katanya seperti
sumpah. Kemudian ia melanjutkan perjalanannya menuju ke Go-bi-san. Kalau Han Sin teringat akan Ciuong
Mo-kai, makin besar kemarahannya kepada Bhok-kongcu, dan juga besar penyesalannya kalau
ia mengingat betapa dalam pertemuan terakhir dengan bekas gurunya, ia berselisih dengan kakek
pengemis sakti itu.
Han Sin melakukan perjalanan cepat karena ia selain ingin segera bertemu dengan Pek Sin Niangniang
untuk mintakan obat Yok-ong Phoa Kok Tee, juga ia ingin mengejar Bhok Kian Teng. Lie Ko
Sianseng baru saja dilukai orang itu, tentu Bhok Kian Teng belum lari jauh. Biarpun tubuhnya
masih agak lemah dan belum pulih kembali seluruh tenaganya, namun untuk menghadapi Bhok
Kian Teng saja ia masih sanggup.
Tiga hari kemudian, sampailah ia dilereng Gunung Go-bi-san, sebuah di antara puncak yang
terbesar, penuh dengan batu-batu yang aneh bentuknya. Dari bawah tadi ia sudah melihat bayangan
orang berlari-lari ke atas, kadang-kadang kelihatan hanya seorang, kadang-kadang ada dua dan tiga
orang. Ia mempercepat larinya dan akhirnya pada siang hari itu dapatlah ia menyusul. Dapat dibayangkan
betapa girang hatinya ketika ia melihat Bhok Kian Teng dan seorang gadis yang bukan lain orang
adalah Bi Eng sendiri! Bhok Kian Teng nampak kurus dan pucat, pakaiannya sudah kotor dan di
tangannya pemuda ini membawa sepasang siang-kek (sepasang tombak pendek) yang agak aneh
bentuknya, satu panjang dan satu pendek. Bi Eng juga nampak pucat dan kusut rambut dan
pakaiannya, seperti orang sedang dalam susah.
Yang membuat Han Sin terheran heran adalah sikap gadis ini terhadap Bhok Kian Teng. Sama
sekali tidak kelihatan seperti seorang tawanan, melainkan seperti seorang sahabat pemuda itu.
Mereka bercakap-cakap sambil berjalan, akhirnya kelihatan mereka duduk mengaso di bawah batu
karang yang mendoyong untuk berlindung dari terik panas matahari siang. Dan mereka duduk
bersanding sambil bercakap-cakap, nampaknya dalam suasana bersahabat!
Timbul cemburu yang hebat dalam hati Han Sin, membuat ia menjadi makin membenci Bhok Kian
Teng. Ia mempercepat larinya dan begitu tiba di tempat itu, ia segera membentak,
"Bhok Kian Teng manusia keji, bersiaplah kau menerima binasa!"
Pangeran Mongol itu nampak kaget bukan main, wajahnya yang pucat menjadi makin pias, dan
cepat ia meloncat bangun. Ia maklum bahwa tidak ada gunanya bicara lagi dengan Han Sin, tidak
ada gunanya mencoba untuk menggunakan akal membujuknya supaya berdamai. Pemuda Mongol
ini memberi tanda dengan bersuit keras dan tahu-tahu dari balik batu tinggi itu muncul seorang
manusia yang membuat Han Sin menjadi kaget dan heran bukan main.
Orang itu tinggi sekali, hampir dua kali orang biasa, kurus kelihatannya seperti tengkorak saking
tingginya. Tanpa banyak cakap si tinggi ini menyerang Han Sin dengan dua tangannya yang
berlengan panjang sekali. Han Sin cepat mengelak, akan tetapi kedua lengan itu seperti dapat mulur
panjang, terus mengejarnya dengan pukulan yang amat keras. Han Sin cepat menangkis dengan
lengannya. "Plakk!" Terkejutlah Han Sin ketika mendapat kenyataan bahwa kesehatannya belum pulih benar
sehingga pertemuan lengan ini membuat ia hampir terpelanting, biarpun ia melihat orang tinggi
itupun kaget dan gempur kuda-kuda kakinya. Han Sin bukan gentar karena si tinggi itu bertenaga
besar, akan tetapi gelisah karena merasa bahwa tenaganya sendiri baru pulih setengah bagian saja.
Andaikata ia tidak selemah ini, tentu sekali tangkis ia sanggup membikin si tinggi terlempar.
Sementara itu, Bhok Kian Teng tidak tinggal diam. Sambil tersenyum mengejek ia lalu
menggerakkan sepasang senjatanya yang aneh, melakukan serangan kilat yang bertubi-tubi, Han
Sin kembali mengelak sambil berusaha merobohkan pangeran Mongol itu. Namun si tinggi tidak
memberi kesempatan, ia maju dengan serangan serangan susulan yang terpaksa menuntut seluruh
perhatian Han Sin. Kakek tinggi itu benar-benar lihai dan dia sendiri belum pulih kekuatannya,
maka sebentar saja Han Sin terdesak oleh Bhok-kongcu dan pembantunya yang aneh.
Selagi Han Sin kerepotan, tiba-tiba ia berseru kaget dan wajahnya pucat. Apa sebabnya" Ia melihat
Bi Eng mencabut pedang, meloncat ke dalam pertempuran dan ........ menyerang dia dengan tusukan
tusukan hebat menggunakan Ilmu Silat Thian-po-cin-keng yang telah dilatihnya di Min-san, yaitu
tiga jurus yang amat berbahaya. Hampir saja ujung pedang Bi Eng menembus dadanya biarpun Han
Sin sudah mengelak, tetap saja bajunya di bagian dada tertusuk bolong oleh pedang itu saking
hebatnya jurus Heng-pai Kwan Im yang dimainkan oleh Bi Eng.
"Eng-moi ...... kenapa kau serang aku .......?""
"Siapa Eng-moimu .........?" jawab gadis itu sambil menyerang lebih hebat lagi.
Han Sin mengelak, hampir tidak percaya kepada mata dan telinganya sendiri. Apa boleh jadi ada
gadis yang menyerupai Bi Eng, baik wajah maupun suaranya" Akan tetapi ...... tak mungkin, gadis
ini mainkan Ilmu Silat Thian-po-cin-keng dan hanya tiga jurus yang dimainkannya! Siapa lagi kalau
bukan Bi Eng"
"Eng-moi ...... ingatlah ..... aku Han Sin ....." serunya sambil melompat mundur.
"....... tutup mulutmu! Tak perlu banyak bicara ......!" gadis itu membentak lagi dan mengirim
serangan ke tiga. Tak salah lagi, inilah gerakan Ciu-po-thian-keng yang pernah ia ajarkan kepada
gadis itu di Min-san! Aduh, Bi Eng ...... Bi Eng, apakah yang telah terjadi" Bagaimana kau bisa
menjadi begini"
"Nona Tilana, jangan ladeni dia, mari kita serang dan bikin mampus anak penjahat Cia Sun ini!"
terdengar Bhok Kian Teng berkata kepada gadis itu.
Kasih Diantara Remaja Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Han Sin menjadi bingung. Bagaimana Bhok Kian Teng menyebut Bi Eng dengan nama Tilana"
Apakah pendengarannya sudah rusak, ataukah otaknya yang sudah menjadi gila karena luka-luka
hebat yang dideritanya" Karena tubuhnya memang masih lemah, ditambah keadaan yang amat
membingungkan dan menggelisahkan hatinya ini, apa pula para pengeroyoknya memang orang
yang berkepandaian tinggi, maka Han Sin tak dapat mengelak lagi ketika ujung pedang nona itu
menusuk ke arah perutnya! Han Sin sudah menerima nasib, ingin mati di tangan nona yang ia yakin
tentu Bi Eng ini. Akan tetapi, heran sekali ujung pedang itu tidak terus menusuk perut, melainkan
diselewengkan ke bawah dan hanya melukai kulit pahanya!
"Bi Eng ...... kau ......" Han Sin berseru girang kini tidak ragu-ragu lagi bahwa gadis ini tentulah Bi
Eng. Bagaimana tusukan yang sudah tepat akan mengambil nyawanya itu sengaja diselewengkan ke
bawah" Akan tetapi pada saat itu, sebuah tombak dari Bhok Kian Teng menyambar ke arah lehernya.
Baiknya Han Sin masih dapat mendengar sambaran ini dan cepat ia menggerakkan tubuhnya
dimiringkan dan terhindarlah ia dari bahaya maut. Pada saat itu, karena perhatiannya masih penuh
dengan Bi Eng yang hanya bergerak mengancam dengan serangan baru di depannya, Han Sin tidak
dapat menghindar serangan si jangkung yang mencengkeram pundaknya!
Han Sin mengerahkan sinkang, tapi ia mengeluh. Biasanya, kalau saja keadaannya tidak seperti itu
dan tenaganya sudah pulih semua, dengan pengerahan sinkang ini pasti orang takkan kuat
mencengkeramnya terus. Akan tetapi kali ini, si jangkung makin memperkuat cengkeramannya
sehingga lima jari tangan si jangkung itu seakan-akan tertanam ke dalam pundaknya dan tak
mungkin bagi Han Sin untuk melepaskan diri lagi.
Tiba-tiba terdengar suara halus menyebut, "Siancai ..... siancai ....." dan disusul suara bercuitan
yang nyaring dibarengi sinar kuning emas berkelebatan bagaikan ular panjang menyambar. Sinar
kuning emas ini ternyata adalah sehelai tambang sutera panjang kecil yang melayang dari atas,
ujungnya menyentuh tangan si jangkung yang mencengkeram pundak Han Sin.
Si jangkung mengeluarkan keluhan kesakitan, pegangannya terlepas karena begitu tangannya
tersentuh ujung tali sutera itu, ia merasa seluruh tubuh seperti tersambar kilat. Tali sutera itu tidak
berhenti, terus melayang dan melibat kaki Han Sin. Sebelum Bhok Kian Teng dan dua orang
kawannya sempat menyerang lagi, tahu-tahu tubuh Han Sin sudah melayang ke atas, ditarik
tambang sutera yang dipegang oleh seorang wanita yang berpakaian sebagai seorang pendeta dan
berdiri di atas puncak bukit batu kecil.
"Kurang ajar!" Bhok Kian Teng berseru marah ketika melihat calon korbannya tertolong oleh
seorang wanita setengah tua berpakaian pendeta dan kelihatannya amat lemah. Melihat Han Sin
sudah berlutut di depan wanita itu di atas batu, pangeran ini lalu menggerakkan tangannya. Jarumjarum
hitam menyambar ke arah Han Sin dan wanita pendeta itu. Akan tetapi, ia berdiri bengong
ketika melihat betapa hanya dengan mengibaskan lengan bajunya yang lebar, wanita itu telah
membuat semua jarum runtuh di tengah jalan, jauh sebelum sampai di tempatnya.
Si jangkung juga marah, menggerakkan kedua tangan yang sudah mengangkat sebuah batu besar,
dilontarkan ke arah pendeta wanita itu. Sekali lagi wanita itu mengebutkan lengan baju dan batu itu
hancur di tengah jalan. Ketika Bhok Kian Teng dan kawan-kawannya memandang lagi, ternyata
wanita itu bersama Han Sin telah lenyap dari atas batu. Dengan amat penasaran mereka meloncatloncat
ke atas, akan tetapi tidak kelihatan bayangan wanita itu lagi, juga Han Sin tidak nampak.
Dengan marah dan penasaran, mereka lalu pergi dari situ. Bhok Kian Teng tidak berani lama-lama
tinggal di tempat itu karena ia maklum bahwa dirinya sedang dikejar-kejar oleh orang-orang
Mancu. Ia ingin mencari kawannya yang lari cerai-berai, untuk menyusun kekuatan baru.
Siapakah pertapa wanita yang amat sakti dan yang sudah menolong Han Sin tadi" Mari kita ikuti
Han Sin untuk mengenal wanita itu. Ketika Han Sin merasa dirinya dilibat tali sutera dan ditarik ke
atas, ia maklum bahwa ada orang pandai menolongnya. Ia menurut saja karena dia sendiri sedang
bingung dan gelisah melihat keadaan gadis itu setelah berada di atas batu, pertapa wanita itu
mengajaknya pergi.
Han Sin menurut saja dan ia mengerahkan ginkangnya untuk mengimbangi kecepatan larinya
pertapa wanita itu. Ia merasa sukar untuk dapat menandingi pertapa itu. Kalau saja tenaganya sudah
pulih semua, kiranya ia takkan kalah dalam berlari cepat, sungguhpun harus ia akui bahwa selama
ini baru sekarang ia menyaksikan kepandaian yang begini tinggi.
Pertapa wanita itu beberapa kali melirik kepadanya dan sinar mata yang melembut dan halus itu
bersinar gembira. Nyata pertapa itu kagum sekali menyaksikan cara Han Sin berlari cepat. Di lain
pihak, apabila ada kesempatan, Han Sin mengerling ke arah pertapa itu. Ia mendapatkan kenyataan
bahwa pertapa itu belum tua benar, atau setidaknya belum kelihatan tua benar. Wajahnya berkulit
putih orang gadis remaja. Sukar untuk menaksir usianya. Diam-diam ia tercengang dan kaget kalau
ia teringat. lnikah Pek Sin Niang-niang"
Pertapa wanita itu mengajaknya mendaki sebuah puncak dan berhenti di depan sebuah pondok
kecil. Keadaan di tempat itu indah sekali, bersih dan hening, tepat benar untuk tempat bertapa.
Tanpa ragu-ragu Han Sin menjatuhkan diri di depan pertapa itu dan berkata,
"Teecu sekali lagi menghaturkan terima kasih atas budi pertolongan cianpwe."
Pertapa itu tersenyum ramah. "Orang muda, kau siapakah" Bagaimana kau bisa sampai di tempat
seperti ini?"
"Teecu bernama Cia Han Sin dari Pegunungan Min-san. Teecu sengaja datang ke Go-bi-san untuk
mencari dan menghadap Pek Sin Niang-niang. Teecu mohon petunjuk cianpwe di mana kiranya
teecu dapat bertemu dengan Pek Sin Niang-niang."
"Orang muda she Cia, ada keperluan apakah kau hendak mencari Pek Sin Niang-niang?"
Han Sin mempunyai dugaan bahwa wanita ini tentu mempunyai hubungan baik dengan Pek Sin
Niang-niang, atau mungkin bahkan dia sendirilah pertapa itu, maka tanpa ragu-ragu lagi ia lalu
menuturkan maksudnya mencari pertapa itu sesuai dengan pesanan Yok-ong Phoa Kok Tee.
"Siancai ......, siancai ........" Pertapa wanita itu memuji. "Kok Tee dapat bersikap demikian di hari
tuanya, benar-benar menyenangkan sekali! Orang muda, Phoa Kok Tee itu menyuruhmu datang
mencari Pek Sin Niang-niang di sini, sebetulnya sama sekali bukan karena hendak mintakan obat
akan guna dirinya sendiri, melainkan bermaksud mintakan obat untukmu! Orang seperti kami ini,
mana masih hendak terikat oleh budi dan dendam" Kok Tee sudah kehilangan ilmunya karena
mempergunakan It-yang-ci, di dunia ini siapa bisa memulihkannya" Diapun sama sekali tidak
menghendaki pembalasanmu karena dia tidak pernah mau menanam perasaan sudah menolongmu.
Orang muda, hanya manusia yang masih mau menghambakan diri kepada pengaruh budi dan
dendam, dialah yang selalu akan menjadi barang permainan Karma. Bagi kami, tidak ada lagi istilah
menolong, yang ada hanyalah kewajiban yang harus dipenuhi, seperti kewajiban pinni (aku)
sekarang ini memenuhi pesan Phoa Kok Tee menyembuhkanmu."
Han Sin menjadi girang sekali, juga amat terheran. Sekali lagi ia memberi hormat sambil berlutut.
"Mohon ampun bahwa teecu masih ragu-ragu tadinya bahwa teecu benar berhadapan dengan Pek
Sin Niang-niang."
"Memang pinni sendiri yang mempunyai sebutan Pek Sin Niang-niang. Phoa Kok Tee adalah murid
keponakanku. Cia-sicu, sebelum aku melanjutkan usaha Kok Tee menyembuhkanmu, perlu aku
tahu lebih dulu apa yang menyebabkan kau terluka demikian hebat sampai-sampai Kok Tee harus
mempergunakan It-yang-ci ilmu keturunan kami itu untuk menyembuhkanmu."
Dengan jujur dan jelas Han Sin menuturkan tentang tugasnya yang sudah ia janjikan kepada
Pangeran Yong Tee untuk mencari dan melindungi Hoa-ji, kemudian menuturkan betapa ia bertemu
dan bentrok dengan Pak-thian-tok Bhok Hong sampai ia terjebak dan dilukai secara curang dan
betapa dalam keadaan pingsan ia tertolong oleh Ciu-ong Mo-kai dan Lie Ko Sianseng dibawa ke
tempat kediaman Yok-ong Phoa Kok Tee.
Pek Sin Niang-niang mendengarkan sambil mengangguk-angguk, juga kelihatan agak heran
mendengar bahwa pemuda ini sudah berani menentang Pak-thian-tok Bhok Hong. "Ciu-ong Mo-kai
sudah lama pinni dengar sebagai seorang yang bersemangat gagah perkasa. Tentang Lie Ko
Sianseng, tidak banyak pinni mendengar. Pak-thian-tok Bhok Hong adalah seorang pandai yang
amat berbahaya, heran kau semuda ini sudah berurusan dengan dia, Cia-sicu. Tapi, sudahlah, urusan
dunia memang amat menyulitkan hidup dan meruwetkan hati dan pikiran. Harap sicu kerahkan
sinkang untuk melawan tekananku untuk mencoba dan melihat keadaanmu."
Setelah berkata demikian, dengan gerakan perlahan dan halus, pertapa wanita itu menggunakan jari
telunjuk kanannya menekan pundak Han Sin. Pemuda ini tanpa ragu-ragu mengerahkan sinkang di
dalam tubuhnya untuk melawan tekanan yang halus itu. Biarpun ia mengerahkan seluruh tenaga,
namun yang keluar hanyalah setengah bagian saja. Betapapun juga, ia mendengar pertapa itu
mengeluarkan seruan perlahan, seruan terheran.
"Siancai ......, siancai ......." Pantas saja kau berani menentang Pak-thian-tok Bhok Hong. Tak
tahunya kau telah mewarisi ilmu yang hebat sekali, orang muda .........!"
Diam-diam Han Sin kagum sekali. Hanya dengan menekan pundaknya saja pertapa ini dapat
mengetahui keadaannya, benar-benar harus diakui bahwa pertapa ini sakti dan pandai, setidaknya
ahli dalam ilmu pengobatan kalau bukan sakti dalam ilmu silatnya yang memang sudah dibuktikan
ketika menolongnya tadi.
"Ilmu It-yang-ci yang dikorbankan oleh Phoa Kok Tee sudah menyelamatkanmu, orang muda,
sungguhpun demikian, namun sebagian tenaga sinkangmu tenggelam dan Phoa Kok Tee tidak
sanggup untuk menyembuhkan ini. Itulah sebabnya ia menyuruh kau pergi menemui pinni."
"Mohon belas kasihan Niang-niang, mohon Niang-niang sudi menolong," kata Han Sin.
Pertapa itu tersenyum. "Kau telah berada di sini, sudah menjadi kewajibanku untuk coba
memulihkan keadaanmu. Memang sayang kalau kepandaian yang telah kaumiliki itu tenggelam
setengah bagian. Akan tetapi, untuk menyembuhkan sama sekali, kau harus tinggal di sini
sedikitnya satu bulan, melakukan samadhi menurut petunjuk-petunjukku ........"
Kagetlah Han Sin. "Mana bisa begitu lama ......?" Ia lalu menuturkan keadaannya, betapa ia harus
memenuhi janjinya kepada Pangeran Yong Tee untuk cepat menemukan Hoa-ji yang ia yakin
adalah adik kandungnya sendiri, betapa ia harus dapat membebaskan Bi Eng dari cengkeraman
Bhok Kian Teng, betapa ia amat cemas melihat sikap Bi Eng yang aneh.
Kesemuanya itu ia ceritakan kepada Pek Sin Niang-niang, tanpa tedeng aling-aling lagi, malah soal
Tilana pun ia ceritakan. Entah bagaimana, terhadap pertapa wanita yang berwajah lembut ini Han
Sin menaruh kepercayaan ikhlas dan tidak ragu-ragu atau malu-malu lagi untuk membuka semua
rahasia hatinya.
"Karena semua itulah, Niang-niang, saya mengharap belas kasihanmu agar supaya saya dapat
segera pulih kembali untuk pergi mengejar Bhok Kian Teng, menolong Bi Eng dan mencari Hoa-ji
akhirnya Han Sin menutup penuturannya dengan suara memohon.
Pertapa wanita itu mendengarkan semua penuturan Han Sin dengan penuh perhatian, kadangkadang
mengangguk-angguk, kadang-kadang menggeleng-geleng, tersenyum atau menarik napas
panjang. Kemudian mendengar permohonan Han Sin, ia nampak diam termenung, seakan-akan ia
sedang mengenangkan hal-hal yang sudah lama berlalu.
"Orang muda, kau terombang-ambing dalam lautan asmara, menjadi permainan cinta kasih yang
ruwet membelit-belitmu."
Kemudian tanpa memandang Han Sin dan dengan suara perlahan seperti sedang bicara kepada diri
sendiri, pertapa wanita itu berkata, "Memang, cinta adalah hal yang amat pelik, amat ruwet dan
penuh rahasia. Semenjak jaman dahulu, cinta menjadi bahan tulisan para sasterawan, bahkan
menjadi sebab-sebab permusuhan, pertengkaran, ya ...... malah pernah cinta menimbulkan perang
besar! Bagi orang orang muda, cinta kasih bisa membikin orang sebahagia-bahagianya, bisa
membikin orang sesengsara-sengsaranya, bisa menciptakan sorga dan bisa menciptakan neraka.
Karenanya, cinta kadang-kadang dipuji puji ada kalanya dimaki-maki. Padahal, Yang Maha Kuasa
menurunkan cinta kasih di hati manusia bukan sekali-kali untuk dijadikan alat atau sebab perusak.
Cinta kasih antara dua jenis muda menimbulkan daya tarik satu kepada yang lain, mempersatukan
mereka dan dari sinilah timbulnya kembang biak sesuatu makhluk. Cinta kasih antara sesama
manusia pada umumnya mempertebal prikemanusiaan, menimbulkan setia kawan, welas asih, dan
membangkitkan pribadi-pribadi suci. Akan tetapi, sayang seribu kali sayang .... setelah bersemayam
di dalam hati manusia, cinta kasih yang suci murni telah dikotori oleh pengaruh nafsu ......"
Han Sin mendengarkan sambil menundukkan kepala. Dia sendiri masih hijau dalam hal ini, dia
diombang-ambingkan cinta tanpa ia sendiri merasa. Dia jatuh bangun dengan cinta, suka menderita
karenanya. "Cia Han Sin, pinni tidak tega membiarkan kau bergelisah tentang orang-orang yang kaucari.
Memang ada jalan untuk memulihkan tenagamu. Kau terimalah sian-tan (obat dewa) ini dan setelah
kau telan, kau harus bersamadhi mengumpulkan semua tenaga sampai pulih kembali. Dengan bakat
dan kemampuanmu, kurasa dalam waktu satu, dua hari kau akan sembuh kembali. Setelah sembuh
kau boleh terus keluar dan tinggalkan tempat ini, jangan mencoba mencari pinni, karena pinni
sekarang juga akan turun gunung."
Han Sin menerima sebutir obat pil berwarna putih mengkilap seakan-akan terbuat dari pada perak,
dan sebelum ia sempat menghaturkan terima kasih kepada Pek Sin Niang-niang, pertapa wanita itu
sudah berjalan pergi dari situ, tidak menoleh lagi!
39. Duel Ilmu Silat dan Ilmu Kebatinan
Ketika menuruni Pegunungan Go-bi-san, Han Sin telah sembuh sama sekali, telah pulih kembali
semua tenaganya. Ia amat berterima kasih kepada Pek Sin Niang-niang, akan tetapi kepada siapa ia
harus mengucapkannya" Ia tak dapat berbuat lain kecuali berlutut dan mengangguk-anggukkan
kepala sambil mengucap terima kasih kepada Pek Sin Niang-niang di depan pondok pertapa itu,
kemudian dengan cepat ia turun gunung dan mulailah ia dengan penyelidikannya untuk mencari
Bhok Kian Teng.
Setelah muncul peristiwa Bi Eng yang begitu aneh, Han Sin ingin mendahulukan urusan ini.
Tadinya ia amat bernafsu hendak mencari Hoa-ji yang ia yakin adalah adik kandungnya, akan tetapi
setelah melihat Bi Eng bersama Bhok Kian Teng dan bersikap demikian anehnya kepadanya, ia
mengambil keputusan untuk mencari Bi Eng lebih dulu. Mengapa Bi Eng bersikap seperti itu" Dan
kenapa pula Bhok Kian Teng menyebutnya Tilana. Apa yang telah terjadi" Apakah Bi Eng, sudah
menjadi gila, ataukah dia, yang sudah miring otaknya" Han Sin benar-benar merasa gelisah
sungguhpun ada pula sesuatu yang aneh, sesuatu yang terasa di hatinya, yang membuat bulu
tengkuknya kadang-kadang meremang. Bisa jadikah Bi Eng sudah mengetahui bahwa dia puteri
Balita, maka lalu bersikap seperti itu" Ah, tak mungkin .......
Pergerakan Pangeran Galdan atau Bhok Kian Teng untuk memberontak terhadap pemerintah
Mancu boleh dibilang gagal. Bala tentaranya dihancurkan dan sudah cerai-berai. Akan tetapi selama
Pangeran Mongol ini belum tertangkap atau tewas, tentu akan muncul pemberontakan lain.
Memang Pangeran Galdan takkan mau menyerah begitu saja. Bhok Kian Teng diam-diam membina
lagi kekuatan, malah dengan amat lihainya ia mulai mencari-cari pembantu, menyamar sebagai
orang Han dan dengan beraninya pergi ke pelbagai tempat untuk secara rahasia menghubungi
kawan-kawan baru, kawan-kawan lama dan membangun lagi kekuatan yang sudah rusak.
Pada suatu hari Han Sin memasuki kota Potouw. Penyelidikannya yang dilakukan amat teliti,
bahkan dengan jalan menangkap dan mengancam beberapa orang Mongol yang ditemuinya di utara,
akhirnya ia dapat keterangan bahwa Pangeran Mongol itu kini berada di Potouw. Di kota ini
menyamar sebagai saudagar Han yang kaya raya. Han Sin maklum bahwa tidak akan mudah
mencari Pangeran Mongol itu, yang selain lihai dan cerdik, juga banyak sekali pembantupembantunya.
Bagaimana dia bisa mencari seorang Mongol yang menyamar di kota ini" Andaikata
benar Bhok-kongcu itu berada di Potouw, kiranya pangeran itu tentu akan melihatnya lebih dulu
dan siang-siang sudah akan bersembunyi.
Potouw adalah kota di daerah Mongol yang sudah "dibebaskan" oleh tentara Mancu. Penduduknya
terdiri dari campuran Bangsa Mongol dan Mancu, dan suku-suku bangsa lain di utara yang tidak
banyak jumlahnya. Ada juga orang-orang Han yang berdagang.
Ketika sore hari itu Han Sin memasuki kota, ia melihat ribut-ribut di pintu gerbang. Setelah dekat
dilihatnya seorang tosu tua sedang dikeroyok dan dipukuli oleh tiga orang Mancu yang berpakaian
sebagai penjaga-penjaga kota. Jelas kelihatan bahwa tiga orang Mancu itu berada dalam keadaan
mabok. Tosu tua itu tidak mau membalas, hanya menangkis dan bergerak ke sana ke sini menghindarkan
diri dari hujan pukulan. Melihat gerakan tosu itu, Han Sin terkejut. Itulah gerakan llmu Silat Cinling-
kun dan hal ini berarti bahwa tosu itu adalah seorang anggauta Cin-ling-pai. Han Sin cepat
melangkah maju ke tempat pertempuran, menggerakkan kedua tangannya dan di lain detik tiga
orang Mancu mabok itu sudah terlempar ke kanan kiri dan jatuh berdebugan sampai kepala mereka
benjol-benjol! Orang-orang yang menonton perkelahian ini, menjadi terheran-heran melihat seorang
pemuda Han berani menentang tiga orang tentara Mancu.
Seperti biasanya, tentara-tentara yang baru saja menang perang amat ditakuti orang. Akan tetapi,
tiga orang Mancu itu sendiri sudah lari tunggang-langgang setelah bertemu dengan orang yang lebih
kuat. Tadipun andaikata tosu Cin-ling-pai itu berani melawan dan merobohkan mereka, kiranya
mereka takkan begitu banyak berlagak. Orang-orang pemabokan semacam ini memang beraninya
hanya menghina dan menindas yang lemah atau yang tidak mau melawan. Begitu bertemu dengan
yang kuat, mereka akan lari ketakutan.
"Apakah totiang ini seorang anggauta Cin-ling-pai?" tanya Han Sin sambil mendekati tosu tua itu.
Tosu itu semenjak tadi sudah memandangnya penuh perhatian.
"Betul, dan siapakah taihiap?"
"Aku Cia Han Sin ....." Baru saja bicara sampai di situ, tosu itu sudah cepat-cepat menjura memberi
hormat. "Ah, kiranya bengcu sendiri yang menolongku. Sudah banyak pinto yang tua mendengar nama
besar bengcu, sayang ketika bengcu mengunjungi Cin-ling-san, pinto sedang, turun gunung.
Bengcu, harap suka ikut dengan pinto untuk menjumpai Hee-susiok."
"Hee Tojin ada di sini" Di mana dia?" tanya Han Sin girang. Kalau ada tosu-tosu Cin-ling-pai di
situ, berarti dia mempunyai sahabat-sahabat, dan tentu dia akan dapat bertanya tentang Bhok Kian
Teng. "Hee-susiok berada dalam keadaan luka parah. Mari, bengcu, harap cepat pergi sebelum orangorang
kasar itu datang membawa kawan-kawan mereka."
Berdua pergilah mereka memasuki gang yang berliku-liku, kemudian tosu itu mengajak Han Sin
memasuki sebuah rumah kecil. Di atas sebuah pembaringan kayu, duduklah Hee Tojin ketua Cinling-
pai, duduk dengan tubuh lemah, bersandarkan bantal. Napasnya tinggal satu-satu, agaknya
berada dalam keadaan yang payah sekali. Akan tetapi begitu melihat Han Sin memasuki kamarnya
bersama tosu itu, Hee Tojin nampak bersemangat.
"Cia-taihiap! Bagus kau datang ......." katanya dengan suara perlahan namun membayangkan
kegembiraannya.
Han Sin segera menghampiri tosu itu dan duduk di pinggir pembaringan.
"Hee-totiang, kenapa kau menjadi begini" Siapa yang melukaimu?" Melihat sekelebatan saja
tahulah Han Sin bahwa tosu tua ini terluka hebat oleh pukulan maut yang mengandung racun. Hawa
beracun membayang pada muka yang tua itu.
Tosu tua itu menarik napas berkali kali. "Kejadian aneh, taihiap ......, kejadian aneh sekali ..... Ciataihiap,
sebelum pinto menuturkan pengalaman pinto lebih dulu pinto bertanya, di mana adanya
adikmu, Cia-lihiap?"
Han Sin mengerutkan keningnya. "Justeru karena dialah aku berada di sini, totiang. Aku sedang
mencari adikku itu yang tertawan oleh Pangeran Galdan atau Bhok Kian Teng."
"Aahhh ...... kalau begitu betul dia ....... betul dia ...." Tosu itu berkata terkejut.
"Siapa yang kaumaksudkan" Apakah kau bertemu dengan adikku itu, totiang?" Han Sin bertanya
cepat. "Bukan saja bertemu, malah ..... malah pinto terluka olehnya! Ketika pinto melihat bayangan
Pangeran Galdan di kota ini, pinto mengejarnya, dia lari dan tiba-tiba muncul ..... seorang gadis
yang menyerang pinto secara tiba-tiba. Pinto mengenal dia sebagai Cia-lihiap, maka pinto tidak
Kasih Diantara Remaja Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menyangka akan penyerangan itu dan ..... dan beginilah keadaan pinto ....."
Han Sin makin kaget. Cepat ia memeriksa dada Hee Tojin dan menjadi ngeri hatinya. Bagaimana Bi
Eng memiliki pukulan beracun yang begitu keji" Itulah pukulan yang mengandung racun, pukulan
yang hanya bisa dipelajari oleh orang-orang macam Hoa Hoa Cinjin, Pak-thian-tok Bhok Hong,
atau Jin-cam-khoa Balita!
"Totiang, tidak salahkah penglihatanmu" Betulkah dia .... adikku itu yang ..... yang memukul dan
melukaimu .... ?" Wajah Han Sin menjadi pucat.
"Cia-taihiap, perlu apa pinto memfitnah orang, apalagi kalau orang itu Cia lihiap sendiri" Pinto
berani bersumpah, malah Cia-lihiap mengatakan bahwa namanya bukan Cia Bi Eng lagi, melainkan
...... eh, dia memakai nama orang Hui, kalau tidak salah, Tilana namanya."
Tak salah lagi, pikir Han Sin bingung. Dia yang menyerangku, atau Bi Eng itulah yang melukai Hee
Tojin. "Biarlah kucoba sembuhkan lukamu, totiang." Han Sin lalu menotok jalan darah di pundak
tosu itu, mengurut dada dan menggunakan hawa sinkangnya yang amat kuat mendorong keluar
hawa beracun dari tubuh tosu itu, malah menggunakan lweekangnya untuk mendorong darah yang
hitam keluar dari luka. Setelah muka tosu itu menjadi merah kembali, tanda bahwa ia terbebas dari
pada bahaya maut, Han Sin segera bertanya,
"Di manakah adanya ...... adikku itu" Dan di mana adanya Pangeran Galdan" Aku akan
mengunjunginya dan membongkar rahasia yang aneh ini."
Hee Tojin lebih dulu menghaturkan terima kasih atas pertolongan dan pengobatan, kemudian tosu
ini lalu meloloskan pedangnya, pedang Im-yang-kiam yang dulu ia terima dari Han Sin. "Ciataihiap,
harap kausuka menerima pedang ini. Tiada gunanya lagi bagi pinto, karena sekarang Cinling-
pai sudah cerai-berai dan pinto tidak menjadi ketua lagi. Dalam menghadapi Pangeran Galdan
dan para pembantunya yang amat lihai, pedang ini ada gunanya, taihiap. Pinto sendiri tidak dapat
membantu, biarlah kau memberi kepuasan kepada pinto dengan hiburan bahwa biarpun pinto tidak
membantu, namun pedang Cin-ling-pai, yaitu pedang Im-yang-kiam peninggalan suhu dan pendiri
Cin-ling-pai ini sedikit banyak berjasa dalam membasmi kejahatan dan membela bangsa."
Tadinya Han Sin hendak menolak, namun mendengar ucapan bersemangat ini, ia tidak tega untuk
menolak lagi. la mengucapkan terima kasih, menerima pedang dan menggantungkan di pinggang.
"Kalau kau hendak mencari Pangeran Galdan atau Bhok-kongcu, agaknya biar kau kelilingi seluruh
kota, kau takkan berhasil mendapatkannya taihiap. Pangeran Mongol itu cerdik sekali. Kau pergilah
ke sebelah barat kota, di situ terdapat sebuah gedung besar bekas rumah seorang pedagang Han
yang kaya-raya. Gedung itulah yang dibeli oleh Pangeran Galdan tanpa mengganti nama, yaitu
gedung keluarga Kwa, hartawan yang sudah pindah ke selatan itu."
"Bagus! Kalau begitu sekarang juga aku akan ke sana. Selamat tinggal, totiang."
"Harap kau berhati-hati, taihiap. Semoga berhasil," kata Hee Tojin.
Han Sin menempuh malam gelap mencari gedung itu. Gedung keluarga Kwa yang hartawan amat
dikenal orang dan sebentar saja ia sudah berdiri di depan gedung besar yang megah itu. Lampu
lampu masih bernyala dan dengan hati berdebar tegang, Han Sin menyelinap ke dalam gelap lalu
meloncat ke atas genteng rumah itu. Dengan hati-hati sekali ia memeriksa keadaan gedung
kemudian mengintai dari atas genteng, memeriksa setiap kamar. Ia melihat, pelayan-pelayan cantik
jelita dan teringatlah ia akan pelayan pelayan yang biasa mengikuti Bhok-kong cu. Tak salah lagi,
tentu di sinilah bersembunyi orang yang selama ini menjadi gara-gara segala keributan, Bhok Kian
Teng atau Bhok-kongcu, kini terkenal dengan nama Pangeran Galdan!
Di lain saat Han Sin sudah berada di atas sebuah kamar yang terang di mana duduk Bhok Kian
Teng seorang diri menghadapi meja! Ia melihat Pangeran Mongol itu tengah menulis di atas kertas
kuning dengan huruf-huruf hitam. Huruf-huruf besar dan indah. Memang pandai sekali Pangeran
Mongol ini menulis indah. Huruf huruf bersajak pula. Saking tertarik, dari atas genteng melalui
celah-celah yang dibuatnya, ia membaca tulisan itu.
"Menjadikan Turkistan " Tibet - Sin kiang sekutu. Menghancurkan semua barisan Mancu. Setelah
seluruh Tiongkok ditaklukkan Apa sukarnya mengusir sekutu bekas taklukan?"
Membaca tulisan ini, Han Sin menjadi marah sekali. Alangkah besarnya dan kejinya cita-cita
keturunan Jenghis Khan ini. Hendak mengajak negara tetangga untuk bersekutu merampas dan
menduduki Tiongkok, kemudian memukul sekutu ini yang dianggapnya hanyalah negara-negara
bekas taklukan nenek moyangnya, Jenghis Khan! Benar-benar seorang pemuda yang bercita-cita
besar tapi amat curang dan keji.
"Bhok Kian Teng, aku datang!" Han Sin berseru perlahan. Ia melihat pangeran itu kaget dan berdiri
dari bangkunya di belakang meja, akan tetapi di lain detik Han Sin sudah berdiri di depannya, hanya
terhalang meja di mana terbentang tulisannya tadi. Han Sin berdiri dengan keren, bertolak pinggang
sambil menatap wajah pangeran itu yang kelihatan pucat dan kehilangan akal.
Akhirnya Pangeran Galdan atau Bhok Kian Teng dapat menguasai ketakutannya, tersenyum lebar
dan berkata ramah, "Aha, kiranya orang gagah nomor satu di kolong langit yang datang
mengunjungiku. Kebetulan sekali, saudara Cia. Aku sedang kesepian dan membutuhkan sahabat
yang cocok untuk diajak mengobrol. Saudara Cia Han Sin, kau muda dan gagah, memiliki kelihaian
luar biasa. Kenapa kau menyia-nyiakan masa muda dan kepandaianmu" Akupun masih muda dan
biarpun tidak selihai kau dalam ilmu silat, namun aku memiliki kepandaian khusus dalam hal
ketatanegaraan dan ilmu perang. Mari kita bersatu, kita bersama merebut dunia ......"
"Gila! Siapa sudi mendengar obrolanmu, Bhok Kian Teng, kau apakan Bi Eng" Kau yang sudah
membunuh Ciu-ong Mo-kai, membunuh Lie Ko Sianseng, membunuh Thio-ciangkun, membunuh
banyak pula orang-orang gagah, patriot-patriot menjadi pengkhianat-pengkhianat. Kau apakan Bi
Eng" Di mana dia sekarang" Ayoh, kau lekas mengaku dan bebaskan Bi Eng!" Han Sin marah
bukan main, suaranya keras, matanya berapi dan telunjuk kirinya ditudingkan ke muka pangeran
itu, sedangkan tangan kanannya bertolak pinggang, sikapnya menantang dan mengancam.
Namun Bhok-kongcu hanya tersenyum ramah. Matanya memandang penuh ejekan. "Aku tidak
mengganggu adikmu, tidak melihat nona Bi Eng harap kau, jangan menuduh yang bukan-bukan
....." "Bohong! Setan pengecut. Seorang laki-laki berani berbuat harus berani menanggung resikonya,
harus berani bertang?gung jawab. Kau seorang laki-laki pengecut, dan ......."
"Diri sendiri pengecut, memaki orang lain, cih, sungguh tak tahu malu ......." Tiba-tiba terdengar
suara mencela, suara yang nyaring halus tapi ketus, yang membuat tersirap darah Han Sin dan
pemuda ini menoleh cepat. Bi Eng sudah berdiri di belakangnya!
"Bi Eng ......!"
Gadis ini berdiri dengan gagah dan keren, bertolak pinggang, gagang pedang tersembul di balik
pundak, sepasang matanya bernyala menatap wajah Han Sin.
"Bi Eng ..... adikku ........"
"Siapa adikmu" Cih, benar-benar tak tahu malu. Pura-pura tidak tahu lagi .......! Orang she Cia,
biarlah kubalaskan sakit hati ibuku yang sudah terhina oleh ayahmu!" Gadis itu mencabut
pedangnya, namun masih ragu-ragu melihat Han Sin berdiri seperti patung, pucat dan lemas.
"Nona Tilana, serang saja musuh kita ini!" kata Bhok Kian Teng sambil menendang meja di
depannya yang melayang ke arah Han Sin.
Tanpa menoleh Han Sin yang berdiri menghadapi gadis itu, membelakangi Bhok-kongcu,
menggerakkan kepalan tangannya ke belakang dan "brakkk!" meja dari kayu tebal itu hancur
berkeping-keping! Demikianlah hebatnya dan dahsyatnya pukulan pemuda itu, membuat Bhok Kian
Teng terkejut dan otomatis melangkah mundur saking jerihnya.
"Bi Eng, .... Eng-moi ..... kenapa kau sekarang bernama Tilana" Apa yang terjadi" Apa dosaku
terhadapmu ......" Andaikata betul kau sudah tahu ..... bahwa kau ...... bukan adik kandungku ......
mengapa kau jadi begini" Mengapa kau membenciku ....." Eng-moi ........?"
"Tutup mulutmu!" Bi Eng membentak dengan suara nyaring sambil menyerang dengan pedangnya,
menusuk tenggorokan Han Sin!
Akan tetapi bentakannya itu terdengar jelas oleh Han Sin bahwa di dalamnya terkandung isak
tangis! Pemuda ini bingung dan hancur hatinya. la cepat mengelak. Kerling matanya melihat betapa
Bhok Kian Teng sudah lenyap dari situ.
Tadinya ia hendak menangkap Pangeran Mongol itu yang ia kira tentulah menjadi biang keladi
semua peristiwa aneh ini. Akan tetapi pangeran yang licik itu sudah melenyapkan diri dan sebagai
gantinya, dari balik pintu belakang muncul tiga orang raksasa berkulit putih! la sudah mengenal
mereka, sudah mengetahui bahwa mereka adalah orang-orang lihai pembantu Bhok Kian Teng.
Andaikata di sini tidak ada Bi Eng yang ikut menyerangnya, tentu ia akan menghadapi dan
melayani tiga orang aneh itu mati-matian. Akan tetapi bagaimana dia bisa melawan Bi Eng"
Han Sin mengeluarkan pekik yang amat nyaring, pekik dari perihnya hati dan perasaannya, pekik
nyaring yang membuat gadis yang menyerang itu sekaligus menjadi lemas dan hampir roboh karena
kedua kakinya terasa lemas. Bahkan tiga orang aneh itupun terhuyung-huyung. Ketika mereka
sudah dapat menenangkan hati, ternyata Han Sin sudah lenyap dari tempat itu! Han Sin tidak
melihat lagi betapa gadis itu berlari memasuki sebuah kamar, membanting diri di atas pembaringan
dan menangis tersedu-sedu.
**** Berkali-kali Han Sin menyelidiki tempat itu. Akan tetapi alangkah kaget dan menyesalnya ketika
mendapat kenyataan bahwa keesokan harinya, gedung itu telah kosong! Tak seorangpun tahu ke
mana perginya Bhok Kian Teng bersama pembantu-pembantunya dan ke mana pula perginya Bi
Eng ...... ataukah bukan Bi Eng gerangan gadis itu"
Dengan hati kosong dan gelisah sekali Han Sin meninggalkan kota Potouw dan semenjak saat itu,
pikiran Han Sin menjadi tidak karuan. Terlampau berat tekanan batin yang dideritanya. Belum lagi
beres urusannya dengan Tilana yang amat berat menindih hatinya, sekarang ditambah lagi dengan
urusan Bi Eng yang amat aneh. Apakah yang terjadi dengan gadis itu" Tadinya ia tinggal di Tatung,
bersama Lie Hoa dan yang lain-lain. Kenapa tahu-tahu berada di utara, berkeliaran bersama
Bhok-kongcu, mengaku bernama Tilana dan bersikap memusuhinya" Malah seakan-akan sudah
tahu bahwa dia puteri Balita, terbukti dari ucapannya hendak membalaskan sakit hati ibunya yang
telah dihina oleh ayahnya!
Dengan adanya Bi Eng di samping Bhok-kongcu, kebencian Han Sin terhadap Pangeran Mongol itu
makin memuncak. Malah sekarang ia menjadi benci sekali kepada setiap orang Mongol.
Kehancuran hatinya membuat ia berpendirian lain sekarang. Setiap kali ia bersua dengan pasukan
Mongol yang sudah cerai-berai itu, tanpa ragu-ragu lagi Han Sin lalu mengamuk dan
membasminya! Tanpa disadari, kemarahan dan kebenciannya terhadap Bhok-kongcu membuat ia menjadi seorang
pembantu Mancu yang banyak jasanya. Setiap kali melihat orang Mongol, ia lalu menangkapnya
dan memaksanya memberi keterangan di mana adanya Pangeran Galdan. Dia terus mencari
pangeran ini dengan hati penuh dendam.
Pada suatu hari ia melihat sepasukan besar tentara Mancu menuju ke barat, melalui tapal batas
antara Mongolia dan Sin-kiang. Tentu mereka sedang mengejar-ngejar bala tentara Mongol, pikir
Han Sin. Oleh karena itu Han Sin lalu mengikuti dari jauh. Ketika menjelang senja barisan itu tiba
di selat gunung, tiba-tiba pasukan-pasukan Mongol yang dikejar itu membalik dan melakukan
serangan. Terjadilah perang di selat gunung. Barisan Mancu lebih besar jumlahnya, maka sia-sialah
bala tentara Mongol itu melakukan perlawanan.
Akan tetapi, setelah terdengar sorak-sorai riuh dari balik gunung, baru tahu orang-orang Mancu
bahwa mereka telah terjebak. Orang-orang Mongol itu ternyata telah mengatur siasat telah
bersekutu dengan suku-suku bangsa lain di daerah ini, mengerahkan pasukan-pasukan dari Sinkiang,
dari Mongolia Luar, bahkan ada pula pasukan Turkestan, lalu mengepung barisan Mancu
dari tiga jurusan! Perang tanding hebat terjadi, namun sekarang pihak Mancu yang mengalami
kerugian dan terdesak hebat.
Tadinya Han Sin hanya menonton saja pertandingan itu dari atas puncak. Ia tidak mau perduli.
Akan tetapi, ketika ia melihat bayangan Pak-thian-tok Bhok Hong, tak dapat ia menahan
kemarahannya. Segera ia berlari turun dari puncak untuk menghadapi musuh besar itu. Dari puncak
ke tempat peperangan itu bukan dekat, melalui hutan kecil dan jurang. Ketika tiba di tempat
pertempuran, Han Sin kehilangan Bhok Hong. Tidak dilihatnya lagi tokoh besar itu di antara
mereka yang masih berperang. Mayat bertumpuk-tumpuk, tanah banjir darah.
Tiba-tiba telinganya menangkap suara aneh seruan orang yang memiliki khikang yang amat tinggi.
Itulah tanda bahwa tak jauh dari situ terdapat orang-orang pandai sekali sedang bertempur. Han Sin
tidak perduli akan peperangan antara orang Mongol dan orang Mancu. Ketika tiba di situ dan
berada di tengah peperangan, siapa saja yang dekat dengannya dan mencoba menyerangnya, baik
tentara Mongol maupun tentara Mancu, tentu ia robohkan dengan pukulan atau tendangan. Setelah
mendengar seruan-seruan aneh itu, Han Sin lalu berlari pergi meninggalkan gelanggang
peperangan, terus berlari cepat menuju ke sebuah hutan di mana tidak terdapat tentara yang sedang
berperang. Dari sinilah datangnya seruan-seruan tadi.
Makin dekat dengan tempat itu, makin kagetlah Han Sin, di samping keheranannya. Suara-suara itu
benar-benar hebat, membuat jantungnya tergetar dan cepat ia harus mengerahkan lweekangnya
untuk menahan getaran-getaran itu. Makin tertarik hatinya. Tentu orang-orang luar biasa yang
sedang mengadu ilmu. Setelah dekat, benar saja dugaannya.
Ternyata Pak-thian-tok Bhok Hong sendiri yang sedang berhadapan dengan seorang kakek tua,
duduk bersila berhadapan dalam jarak tiga meter, saling bercakap-cakap mempergunakan tenaga
khikang yang hebat! Kadang-kadang mereka tertawa, juga dalam suara ketawa ini mengerahkan
tenaga untuk menindih lawan.
Dengan amat tertarik, Han Sin menyelinap di balik pohon besar dan mengintai, Bhok Hong duduk
bersila dengan tubuh tegak, matanya bersinar-sinar, mukanya tegang dan mulutnya membayangkan
kemarahan dan penasaran. Pada saat itu, terdengar kakek tua di depannya berkata, suaranya
perlahan, akan tetapi mengandung tenaga yang luar biasa,
"Pak-thian-tok, semenjak muda kita sama-sama berkelana di dunia, sama-sama melihat dan
mengalami bermacam hal. Semenjak itu kau selalu mengambil jalan sesat, sudah beberapa kali aku
menentangmu, memberi peringatan dan nasihat. Akan tetapi sampai sekarang kau bukannya
berubah. Malah makin jauh tersesat. Bhok Hong, apakah kau tidak takut akan kemurkaan Tuhan"
Apakah kau tidak mengenal Tuhan?"
Han Sin makin tertarik. Orang-orang tua ini agaknya tidak hanya mengadu ilmu kepandaian silat,
agaknya hendak berdebat pula tentang kebatinan dan tentang pengetahuan-pengetahuan yang
dalam. Filsafat-filsafat hidup, ini kesukaannya. Maka ia mendengarkan dengan penuh perhatian
sambil diam-diam menduga-duga siapa gerangan kakek di depan Pak-thian-tok Bhok Hong itu.
Kakek itu sudah tua sekali, pakaiannya sederhana dari kain putih yang kasar, rambutnya tak terurus,
akan tetapi bersih dan penuh uban seperti jenggotnya, panjang terurai ke belakang. Di dekat tempat
ia duduk bersila terdapat sebatang tongkat buruk sekali.
Menghadapi celaan kakek itu, Pak-thian-tok Bhok Hong tertawa bergelak, suara ketawanya nyaring
sekali sampai Han Sin merasa betapa pohon yang disentuhnya tergetar!
"Ha ha ha ha! Hui-kiam Koai-sian! Kau bicara tentang Tuhan" Ha ha ha! Khong Cu sendiri orang
yang kalian orang-orang Han anggap sebagai nabi atau guru besar kebatinan, dia jarang sekali
menyebut-nyebut tentang Tuhan! Kurasa Khong Cu sendiri juga tidak mau tahu tentang Tuhan!"
"Kau keliru, Pak-thian-tok. Justeru karena Nabi Khong Cu amat mengenal Tuhan, amat tebal
imannya sehingga beliau menjadi amat setia dan taat kepada Tuhan, maka semua pelajaran yang
beliau ajarkan adalah sesuai dengan Ketuhanan ........"
"Koai-sian! Kau kira aku ini orang macam apa" Apa kaukira aku belum pernah membaca kitabkitabnya"
Khong Cu hanya mengajarkan tata susila hidup, mengajarkan prikemanusiaan, bukan
Ketuhanan. Pernahkah Khong Cu menyebut-nyebut tentang sabda Tuhan, tentang kegaiban Tuhan"
Itu tandanya dia tidak mau mengenal Tuhan!"
"Kembali kau keliru, Pak-thian-tok. Ketuhanan merupakan dasar kepercayaan, merupakan iman dan
pegangan bagi manusia bahwa di alam semesta ini, ada kekuasaan Tertinggi yang mengatur dan
menentukan segala sesuatu, kekuasaan tertinggi Yang Maha Kuasa dan Maha Tinggi, yang tak
terselami alam pikiran manusia. Ketuhanan ialah iman pada Yang Maha Kuasa. Karena imannya
sudah penuh dan ketaatan dan kesetiannya terhadap Tuhan sudah mutlak, maka Nabi Khong Cu
mengajarkan tata susila hidup dan prikemanusiaan pada umat manusia."
"Apa kataku tadi" Dia hanya mengajarkan prikemanusiaan dan jangan kau campur-campur tentang
prikemanusiaan itu dengan Ketuhanan," bantah Bhok Hong.
"Diumpamakan pohon, Ketuhanan adalah akar dan batangnya, prikemanusiaan adalah cabangcabang,
ranting-ranting dan daun-daunnya. Bagaimana tidak harus dicampurkan" Karena memang
tidak bisa dipisahkan satu dari yang lainnya. Ketuhanan merupakan iman kepercayaannya, adapun
prikemanusiaan merupakan jalannya atau cara membuktikan adanya iman itu. Prikemanusiaan dan
tata susila hidup bukan lain adalah prikebajikan, yang berarti pula hukum yang ditentukan oleh
Tuhan. Ketuhanan tanpa prikemanusiaan takkan berarti karena tanpa bukti perbuatan yang nyata,
sebaliknya prikemanusiaan tanpa Ketuhanan dapat menyeleweng karena tidak berdasar pada
sumber atau pokoknya. Karena itu, Nabi Khong Cu mengajarkan tentang mempertebal tata susila
hidup dan prikemanusiaan, karena kebiasaan-kebiasaan baik akan mendatangkan watak yang baik,
dan semua ini sebetulnya hanyalah jalan untuk mendekatkan orang kepada Tuhannya."
"Ha ha ha, Koai-sian, kau memang tukang omong! Omong kosong belaka! Kau sebut-sebut nama
Tuhan itu berarti bahwa manusialah yang menciptakan sebutan Tuhan! Tuhan itu apa sih" Tak
dapat kuraba, tak dapat kulihat, tak dapat kedengarkan suaranya. Mana ada Tuhan" Kalau benar
ada, Hui-kiam Koai-sian, coba kau keluarkan, biar kulihat dan kuraba dia!"
Hui-kiam Koai-sian tersenyum sabar. Han Sin yang mendengarkan di balik pohon menjadi makin
tertarik. Hebat "perang tanding" kebatinan ini, pikirnya.
"Tak salah kata-katamu tadi bahwa sebutan Tuhan, seperti juga sebutan lain yang diucapkan oleh
bibir, adalah ciptaan manusia. Demikian pula sebutan untuk Yang Maha Kuasa yang diucapkan
oleh manusia-manusia berbangsa lain dengan bahasa mereka yang berbeda. Namun, se?perti juga
langit dan bumi, disebut apapun juga oleh bahasa apapun di dunia ini, ke?nyataannya tetap ada
langit dan bumi itu. Demikian pula Tuhan, biarpun ada seribu satu macam sebutan di dunia ini
sesuai dengan bahasa masing-masing, sebetulnya hanyalah Satu, yaitu Yang Maha Kuasa."
"Sekarang, kalau memang betul Tuhan itu ada, kau keluarkan biar kulihat dia, Koai-sian." Bhok
Hong menantang, mengejek.
"Bicara dengan seorang yang berwa?tak curang memang harus siap menghadapi segala macam tipu
muslihat omongan, Pak-thian-tok. Kukatakan tadi bahwa Ketuhanan adalah soal iman, tinggal
percaya atau tidak."
"Buktikan! Buktikan kalau memang ada, jangan putar balik omongan!"
"Sabarlah, tentu saja aku bisa buktikan, akan tetapi ada syaratnya."
"Bagaimana, teruskan!" Bhok Hong menantang.
"Pak-thian-tok Bhok Hong, aku tidak berani mengatakan bahwa kau seorang yang tidak mempunyai
pikiran. Kau tentu mempunyai pikiran, bukan?"
"Tentu saja! Bahkan pikiranku lebih terang dari pada pikiranmu!"
"Tentu ....., tentu .....! Dan kaupun tentu mempunyai nyawa, ataukah ..... barangkali kau sudah tidak
bernyawa lagi ......?"
"Setan! Kalau aku tidak bernyawa tentu aku mampus. Tentu saja aku mempunyai nyawa!"
"Nah, begitulah, Pak-thian-tok. Aku sudah membuktikan kepadamu tentang adanya Tuhan, apakah
kau masih tidak mengerti?"
Bhok Hong melengak heran. "Mana dia, Tuhanmu itu" Apa maksudmu?"
Hui-kiam Koai-sian mengelus-elus jenggotnya yang putih. "Kau tadi minta aku mengeluarkan
Tuhan. Aku akan dapat mengeluarkan Tuhan untuk kaulihat dan raba. Pak-thian-tok, asal saja
kaupun bisa mengeluarkan pikiran dan nyawamu untuk kulihat dan kuraba! Bukankah kau mengaku
bahwa aku mempunyai pikiran dan nyawa" Nah, akupun mengaku bahwa aku mempunyai Tuhan.
Kau keluarkanlah pikiran dan nyawamu, dan aku akan mengeluarkan Tuhanku. Bagaimana?"
Pak-thian-tok tak dapat menjawab. "Itu ..... hal itu ..... ah, kau telah menipu dan menjebakku!"
Kasih Diantara Remaja Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Hui-kiam Koai-sian menggeleng kepala. "Tidak sama sekali. Kau harus mengakui bahwa memang
ada hal-hal yang tidak kelihatan, tidak dapat diraba oleh panca indera, namun yang dapat dirasa
oleh hati kita. Dan rasa itulah yang mengenal adanya pikiran dan nyawa atau hal-hal lain yang tidak
mempunyai wujud yang dapat dilihat atau dirasa oleh panca indera."
Pak-thian-tok Bhok Hong merasa terpukul dan terdesak. Ia mendengarkan saja uraian Hui-kiam
Koai-sian yang sedang memberi "kuliah" kepadanya tentang Ketuhanan. Ia maklum bahwa di
dalam suaranya, Hui-kiam Koai-sian telah mengerahkan khikang yang takkan mungkin ditembusi
oleh penyerangan gelap dari pengaruh suara lain. Diam-diam Pak-thian-tok Bhok Hong
mengerahkan tenaga ke dalam sepasang lengannya dan bersiap si?aga untuk melakukan
penyerangan tiba-tiba.
Hui-kiam Koai-sian agaknya tidak melihat akan tetapi Han Sin yang dapat menduga, karena
pemuda ini melihat betapa Pak-thian-tok Bhok Hong memusatkan perhatian, mengatur napas dan
kedua lengannya perlahan-lahan berubah hitam, tanda bahwa kakek itu menyalurkan tenaga Hektok-
sin-kang. Pemuda ini merasa khawatir sekali. Ia sudah mendengar nama Hui-kiam Koai-sian
sebagai pencipta ilmu Lo-hai Hui-kiam yang ia pelajari dari Giok Thian Cin Cu, maka secara tidak
langsung kakek ini boleh dibilang masih terhitung gurunya sendiri dalam ilmu silat itu. Akan tetapi
iapun maklum bahwa dalam perang tanding antara dua orang tokoh besar ini amat tidak baik kalau
ia ikut-ikut, kecuali kalau melihat kakek itu dikeroyok. Maka ia hanya memandang dengan hati
berdebar sambil mendengarkan uraian Hui-kiam Koai-sian tentang sifat sifat Ketuhanan.
"....... mau tahu kekuasaan Tuhan?" Kakek itu melanjutkan uraiannya dengan mata setengah
berkatup. "Lihatlah di sekelilingmu ...... pasir, batu, rumput, kembang, awan, matahari ..... dan apa
saja yang dapat kaulihat. Alangkah hebatnya, alangkah indahnya semua itu. Semua itu sudah terang
ada dan semua yang ada tadinya dari tiada, karena itu yang ada tentu ada yang Mengadakan! Dia
yang Mengadakan inilah Yang Maha Kuasa. Betapa gaibnya kembang-kembang itu, dengan warna
tertentu, bentuk tertentu, lihat burung-burung terbang bersayap, ikan-ikan berenang di dalam air,
semua sudah sempurna semenjak tercipta. Itulah Kuasa Tuhan!"
Hui-kiam Koai-sian berhenti sebentar, menarik napas panjang, wajahnya berseri. "Mau tahu akan
kemurahan hati Tuhan" Lihat, semua yang tampak di dunia ini diberikan kepada kita! Setiap benda
di dunia ini ada gunanya, hanya terserah kepada kemampuan kita untuk menyelidiki apa kegunaan
tiap benda itu. Dan semua itu diberikan kepada kita tanpa minta balasan! Tidak, memilih dulu.
Bangsa apapun juga, mahluk apapun juga, yang jahat maupun yang baik, semua disamakan, semua
mendapat bagian, semua diberi anugerah itu......."
Pada saat itu, secara tiba-tiba Bhok Hong mengirim serangannya dari jauh, dengan memukulkan
kedua tangannya yang penuh hawa beracun Hek-tok-sin-kang itu ke depan, sepenuh tenaga. lnilah
penyerangan gelap yang amat berbahaya. Biarpun jarak di antara tempat mereka duduk ada tiga
meter lebih, namun penyerangan ini tak kalah berbahayanya dari pada pukulan yang menghantam
kulit dan daging secara langsung. Tenaga pukulannya mendatangkan angin yang hebat, yang
sebelum sampai pada sasarannya sudah membawa angin pukulan yang panas dan bersuara seperti
pedang diayun. Hui-kiam Koai-sian adalah seorang ahli silat tinggi yang banyak pengalamannya. Tentu saja,
biarpun perhatiannya tadi ditujukan kepada pembicaraannya, namun angin pukulan itu tidak
terlepas dari pendengarannya.
"Manusia curang .....!" keluhnya, maklum akan bahaya maut yang mengancamnya. Ia mengempos
semangatnya, menggerakkan tangan kiri setengah lingkaran di depan dada untuk menjaga bagian
tubuh ini sedangkan dua jari tangan kanannya ia tusukkan ke depan mengarah dada lawan untuk
menangkis atau menggempur serangan Pak-thian-tok Bhok Hong.
Han Sin membelalakkan kedua matanya. Ia mengenal gerakan yang dilakukan oleh kakek itu. Itulah
jurus Hui-kiam-kan-goat (Pedang Terbang Mengejar Bulan), jurus ke tujuh belas dari Ilmu Silat Lohai
Hui-kiam yang tiga puluh enam jurus banyaknya. Indah dan hebat gerakan itu dan ia maklum
pula bahwa memang jurus-jurus itulah yang paling tepat untuk menangkis serangan gelap yang
dahsyat dari Bhok Hong itu.
40. Pertemuan Saudara Kandung
Pemuda ini seakan-akan mendengar suara bertumbuknya dua tenaga dahsyat itu di tengah udara dan
maklum pula bahwa Hui-kiam Koai-sian menderita kerugian dalam bentrokan pertama ini. Dia
kalah persiapan dan kalah dulu, maka sebagian tenaga penyerangan Bhok Hong dapat mendobrak
pertahanan Hui-kiam Koai-sian dan terus menyerang dada kakek itu. Baiknya Hui-kiam Koai-sian
sudah menjaga diri sehingga biarpun tenaga pukulan Hek-tok-sin-kang itu mengenai dadanya,
namun sudah tertahan oleh tangan kiri yang dilingkarkan di depan dada. Betapapun juga, kakek ini
menjadi pucat seketika dan ..... muntahlah darah segar dari mulutnya!
Wajah Pak-thian-tok Bhok Hong membayangkan kegembiraan, akan tetapi mulutnya tertutup. Ia
hanya mengirim serangan lagi secara bertubi-tubi, semua dilakukan dengan tangan yang
mengandung cengkeraman-cengkeraman maut!
Biarpun Hui-kiam Koai-sian sudah terluka dan muntah darah, namun dengan tenang kakek ini
masih dapat menangkis semua serangan, malah kini mulai balas menyerang dengan Ilmu Silat Lohai
Hui-kiam yang amat lihai itu. Han Sin yang menonton pertandingan mati-matian yang dilakukan
dengan tenaga dalam sepenuhnya, dilakukan tanpa mengeluarkan suara karena semua tenaga
dikerahkan dalam pertandingan ini, diam-diam merasa amat kagum akan Ilmu Silat Lo-hai Huikiam
yang dimainkan kakek itu.
Ia baru tahu bahwa ilmu silat ini benar-benar hebat, kalau sudah dilatih secara sempurna, ternyata
yang tiga puluh enam jurus itu sudah cukup kuat untuk menghadapi serangan sedahsyat serangan
Pak-thian-tok Bhok Hong, malah dapat membalas dengan serangan yang tidak kalah ampuhnya.
Makin lama serang menyerang antara dua orang kakek yang duduk bersila sejauh jarak tiga meter
itu, makin hebat. Akan tetapi anehnya, gerakan mereka makin lambat. Jangan dikira bahwa mereka
kehabisan tenaga atau kelelahan, tidak sama sekali, pukulan-pukulan yang dilakukan makin lambat
ini sebetulnya malah makin berbahaya karena itulah tanda bahwa pukulan itu mengandung tenaga
dalam yang sepenuhnya. Seakan-akan tergetar udara sekeliling dua orang kakek itu. Tanpa
diketahui dan tanpa dilihat pula, tempat duduk mereka tergeser makin dekat tanpa mereka
menggerakkan kedua kaki yang bersila!
Sementara itu, sorakan-sorakan orang yang berperang di dekat gunung masih terdengar sayup
sampai dari tempat itu. Han Sin tak dapat membedakan lagi suara-suara itu dan tidak tahu
bagaimana kesudahan perang antara barisan Mongol dan barisan Mancu. Perhatiannya amat tertarik
oleh perang tanding antara dua orang tokoh di dunia persilatan yang pada masa itu kiranya sudah
boleh dianggap dua orang yang paling tinggi kedudukannya, tentu saja di bawah Pek Sin Niangniang
yang memiliki kesaktian luar biasa.
Tiba-tiba Han Sin dikejutkan oleh suara lengking yang luar biasa, serak seperti suara burung gagak,
seperti suara ketawa, akan tetapi lebih patut disebut ketawa iblis dari pada ketawa manusia.
"Hoa Hoa Cinjin ......" Han Sin segera mengenal suara ini dan jantungnya berdebar. Teringat ia akan
Hoa-ji dan ia mengharapkan tokoh jahat ini akan muncul bersama anak angkatnya, Hoa-ji.
Tepat seperti dugaannya. Dari jauh mendatangi dua bayangan yang cepat larinya dan tak lama
kemudian muncullah Hoa Hoa Cinjin, tosu jahat yang bermata luar biasa itu, bersama nona
berkedok, Hoa-ji! Tosu ini begitu melihat keadaan Pak-thian-tok Bhok Hong yang sedang
bertempur mati-matian melawan Hui-kiam Koai-sian, maklum bahwa dia sendiri tidak mungkin
dapat campur tangan dalam pertandingan antara dua orang tokoh besar yang kepandaiannya masih
beberapa tingkat lebih tinggi dari pada kepandaiannya sendiri.
Akan tetapi, dasar orang jahat, tiba-tiba dan sayangnya Han Sin terlalu memperhatikan Hoa-ji yang
membuat jantungnya berdebar kalau teringat bahwa di bawah kedok itu bersembunyi wajah adik
kandungnya sehingga pemuda ini tidak melihat gerakan Hoa Hoa Cinjin, tosu itu mengayun
tangannya dan sinar hijau menyambar ke arah tenggorokan Hui-kiam Koai-sian!
Pada saat itu, jarak antara Hui-kiam Koai-sian dan Pak-thian-tok hanya tinggal dua meter lagi.
Pertandingan antara mereka sedang terjadi dengan hebatnya. Dua pasang lengan itu bergerak-gerak,
saling serang dan saling desak, angin pukulan mereka membuat rambut dan pakaian mereka
bergerak-gerak seperti tertiup angin puyuh.
Pada saat sinar hijau dari beberapa batang Cheng-tok-ciam (Jarum Racun Hijau) itu menyambar ke
arah tenggorokan Hui-kiam Koai-sian, kakek ini kaget sekali akan tetapi ia tak sempat mengelak
karena sedang menghadapi desakan Bhok Hong. Anehnya jarum-jarum itu sebelum mengenai leher,
sudah runtuh semua ke bawah, seakan-akan tertolak semacam hawa yang ajaib. Hanya ada dua
batang yang terbangnya agak ke bawah, tepat menancap di pundak Hui-kiam Koai-sian yang
mengeluarkan rintihan perlahan. Gerakan kakek ini menjadi lambat karenanya, dan kini ia berada
dalam keadaan berbahaya, terdesak hebat oleh Bhok Hong, bahkan terkurung oleh rangkaian
penyerangan racun utara itu.
"Manusia curang .....!" Han Sin tak dapat menahan kemarahannya ketika menyaksikan hal ini dan
cepat ia melompat ke depan sebelum Hoa Hoa Cinjin sempat menggunakan jarum-jarumnya lagi.
Dapat dibayangkan betapa kagetnya Hoa Hoa Cinjin ketika melihat pemuda yang sakti dan aneh itu
muncul. Dia sudah tahu akan kelihaian Han Sin, maka begitu melihat pemuda ini muncul, cepat ia
mencabut pedangnya dan berteriak kepada Hoa-ji,
"Hoa-ji, ayoh kita gempur bocah siluman ini!"
Tanpa menjawab nona berkedok itupun mencabut pedangnya. Dua sinar gemilang berkeredepan
ketika ayah dan anak angkat itu maju menyerang Han Sin. Pemuda inipun tidak tinggal diam, cepat
meloloskan Im-yang-kiam yang dibelitkan di pinggangnya. Pertandingan seru terjadi di dekat dua
orang kakek yang masih mengadu ilmu secara mati-matian itu,
"Nona Hoa-ji, harap jangan ikut menyerangku. Aku .... aku membawa pesan Pangeran Yong Tee
untukmu ....." kata Han Sin sambil menangkis pedang Hoa Hoa Cinjin dan mengelak dari tusukan
Hoa-ji. Nona itu nampak ragu-ragu, akan tetapi karena tidak dapat melihat wajahnya, sukarlah
untuk menduga apa reaksi kata-kata yang diucapkan Han Sin ini.
Setelah ragu-ragu sebentar, nona itu menoleh ke arah Hoa Hoa Cinjin dan ..... menyerang Han Sin
lagi lebih sengit. Pemuda itu amat cerdik, dapat menduga bahwa andaikata benar ada hubungan
antara nona berkedok ini dengan Pangeran Mancu, tentu gadis ini takut kepada ayah angkatnya,
maka setelah ragu-ragu sejenak mendengar disebutnya nama Pangeran Mancu itu, setelah
memandang kepada ayah angkatnya lalu menyerang kembali.
Hoa Hoa Cinjin menyerang lagi, bahkan kini tangan kirinya ikut pula menyerang dengan ilmu
pukulannya yang ampuh, yaitu Cheng-tok-ciang (Tangan Racun Hijau) sedangkan tangan kanannya
menyerang dengan pedangnya yang cepat dan dahsyat gerakannya. Namun Han Sin selalu dapat
menghindarkan diri, malah sekali memutar pedang ia selalu dapat menangkis pedang dua orang
pengeroyoknya, membuat tangan Hoa-ji tergetar dan seperti lumpuh sedangkan Hoa Hoa Cinjin
juga tergetar telapak tangannya.
"Hoa Hoa Cinjin, kau dulu bersusah payah hendak membunuhku. Kalau aku menghendaki, apa
susahnya membalas semua itu" Akan tetapi aku tidak akan membalas ..... traaangggg!" Pedang di
tangan Hoa Hoa Cinjin terpukul hampir terlepas dari genggaman, sedangkan pedang Hoa-ji yang
menyambar leher Han Sin, dielakkan dengan menundukkan kepala secara mudah saja.
"Yang kukehendaki hanya pengakuanmu. Apakah nona Hoa-ji ini anak yang dulu kaurampas dari
tangan Kalisang si pemelihara macan?"
Hoa Hoa Cinjin nampak kaget dan marah. "Setan! Mau apa kau tanya-tanya urusan orang lain"
Hoa-ji adalah anak angkatku, kalau benar aku menyelamatkannya dari tangan pemelihara macan,
habis kau mau apa?"
Hampir saja Han Sin bersorak girang mendengar ini. Tak salah lagi, Hoa-ji adalah adik
kandungnya! Akan tetapi ia bergidik juga kalau teringat akan pertemuannya dengan gadis berkedok
ini dahulu. Gadis ini sedikit banyak sudah mewarisi sifat kejam dan liar dari ayah angkatnya.
"Hoa Hoa Cinjin, apakah kau dulu membunuh ayah bundaku di Min-san" Kau yang menghendaki
kitab wasiat, tentu kau menyerang mendiang ayahku pula!"
Keder juga hati Hoa Hoa Cinjin. Pemuda ini begini lihai, kalau saja tidak begini lihai tentu ia akan
menyombong dan mengaku saja membunuh Cia Sun dan isterinya, sungguhpun ia sama sekali tidak
melakukan hal itu dan sungguhpun ia tahu akan hal kematian mereka, akan tetapi untuk
menyangkal sama sekalipun ia merasa malu.
"Benar dulu aku datang ke Min-san. Aku tidak membunuh mereka, tapi aku tahu bagaimana mereka
tewas!" katanya kembali sambil menyerang lagi. Pada saat itu pedang di tangan Hoa-ji juga sudah
datang menusuk ke arah punggung Han Sin.
Pemuda ini kaget dan girang mendengar pengakuan Hoa Hoa Cinjin, maka cepat bagaikan kilat ia
menggunakan pedang Im-yang-kiam untuk "menempel" pedang Hoa Hoa Cinjin sehingga pedang
tosu itu tak dapat ditariknya kembali. Tangan kiri tosu itu yang memukul dengan Cheng-tok-ciang,
diterima oleh sambaran tangan Han Sin, dibarengi dengan tendangan ke arah kedua lutut tosu itu
yang serentak menjadi lemas, pedangnya terlepas dan ia jatuh berlutut. Pada saat itu, pedang Hoa-ji
sudah tiba, tepat menusuk punggung Han Sin. Alangkah kagetnya gadis itu ketika pedangnya
menusuk punggung yang seperti karet uletnya dan seperti baja kerasnya. Pedangnya meleset,
telapak tangannya lecet dan sakit! Cepat ia meloncat mundur dengan muka pucat.
"Hoa Hoa Cinjin, aku tidak akan membunuhmu. Tapi kau harus mengaku bagaimana matinya ayah
bundaku." "Kenapa kau memaksaku" Mau apa kau?" bentak Hoa Hoa Cinjin yang sudah tak berdaya itu.
"Orang tua, ketahuilah. Hal itu amat penting bagiku. Juga ketahuilah bahwa Hoa-ji ini, anak
angkatmu yang dulu kaurampas dari tangan Kalisang, dia ini bukan lain adalah anak ayah bundaku
juga, adik kandungku yang hilang semenjak kecil, ditukar oleh Ang-jiu Toanio ....."
Terdengar jerit tertahan dan Hoa ji yang berdiri di belakangnya hampir roboh terguling, pedang di
tangannya terlepas. Gadis berkedok itu menekan dadanya, kemudian lari pergi dari tempat itu.
"Hoa-ji, tunggu! Aku kakakmu sendiri, kakak kandungmu ......" Han Sin meninggalkan Hoa Hoa
Cinjin yang masih berlutut dengan mata terbelalak heran. Pemuda itu lalu mengejar Hoa-ji yang
berlari sambil menangis.
Hoa Hoa Cinjin teringat akan Bhok Hong. Kalau kakek Mongol itu tidak senang menghadapi Huikiam
Koai-sian, tentu dapat membantunya tadi menghadapi Cia Han Sin. Ia cepat menengok dan
alangkah kagetnya ketika melihat bahwa pertandingan antara dua orang kakek itu sudah mencapai
puncak yang paling berbahaya, tegang dan menentukan.
Dua orang kakek itu kini sudah duduk berhadapan dalam jarak dekat sekali, malah dua pasang
tangan itu sudah saling menempel, dua pasang telapak tangan saling tempel dan saling dorong.
Seluruh tenaga dalam dikerahkan, wajah mereka kerut-merut, penuh peluh, dari kepala mereka
nampak uap mengepul, mata mereka saling pandang tanpa berkedip, dan napas mereka sudah
terengah-engah!
Hoa Hoa Cinjin adalah seorang ahli silat tinggi, ia tahu akan arti pertandingan ini. Pertandingan
mati-matian dan seorang di antara mereka pasti akan tewas. Siapa menang dia mungkin hidup.
Keadaan mereka berimbang, keduanya berada dalam bahaya. Hui-kiam Koai-sian sudah amat tua,
namun nampaknya lebih tenang, kalau aku tidak bantu Pak-thian-tok, bagaimana Racun Utara itu
dapat menang"
Dengan keputusan ini, Hoa Hoa Cinjin yang kedua kakinya lumpuh karena tendangan Han Sin tadi,
tiba-tiba menggerakkan kedua pahanya dan tubuhnya melayang ke arah Hui-Kiam Koai-sian dari
belakang. Tangan kanannya berkelebat menghantam punggung Hui-kiam Koai-sian dengan pukulan
Cheng-tok-ciang.
"Bukkk!" Terdengar teriakan ngeri dan tubuh Hoa Hoa Cinjin terlempar ke belakang, dari mulutnya
keluar darah segar dan tosu jahat ini terbanting dengan mata mendelik, pingsan!
Perubahan hebat terjadi karena kecurangan Hoa Hoa Cinjin ini. Biarpun dengan sinkangnya yang
luar biasa Hui-kiam Koai-sian dapat merobohkan penyerang gelapnya, namun karena sebagian
tenaganya molos keluar, pertahanannya kurang kuat. Saat baik itu dipergunakan oleh Pak-thian-tok
Bhok Hong untuk menarik tangan kanannya yang tertempel pada tangan kiri lawan dan secepat kilat
jari jari tangannya mencengkeram leher Hui-kiam Koai-sian. Seketika itu juga jari-jari tangannya
amblas ke dalam leher lawan!
Akan tetapi dia sendiri yang menjerit karena pada saat itu juga yaitu dalam saat maut hendak
merenggut nyawanya, kakek gagah itu sudah berhasil menggunakan jari-jari tangan kirinya dengan
gerak tipu Hui-kiam-thian-sia (Pedang Terbang Turun dari Langit) menusuk ke arah jidat Bhok
Hong. Jari tangan itu menancap ke dalam jidat, merusak otak dan pada saat yang hampir bersamaan
nyawa kedua orang tua yang kosen ini melayang meninggalkan tubuh mereka.
Keduanya mati dalam keadaan masih duduk bersila, berhadapan dan dalam sikap yang mengerikan.
Tangan kanan Bhok Hong masih mencengkeram leher Koai-sian sebaliknya jari tangan kiri Koaisian
menancap ke jidat Bhok Hong! Hoa Hoa Cinjin masih rebah dengan mata mendelik, telentang
pingsan di dekat tempat itu. Suasana menjadi sunyi-senyap .....!
Han Sin terus mengejar Hoa-ji yang berlari cepat memasuki hutan, melompati jurang dan mendaki
gunung-gunung batu yang licin berbahaya. Akan tetapi Han Sin terus mengejarnya sambil
memanggil, "Hoa-ji, kau adik kandungku .... tunggulah ......!"
Akhirnya ia kehilangan Hoa-ji dan matahari sudah tenggelam, malam segera tiba dan keadaan amat
gelap. Terpaksa Han Sin menunda pengejarannya karena udara tiba-tiba menjadi amat gelapnya dan
melakukan perjalanan di daerah yang penuh jurang ini amat berbahaya. Semalam suntuk ia tidur,
mengaso di bawah batu besar. Pada keesokan harinya, pagi pagi sekali begitu terang tanah ia sudah
melanjutkan pekerjaannya, mencari-cari.
Akhirnya, alangkah girang hatinya ketika ia melihat tubuh Hoa-ji berbaring miring di bawah pohon,
tidur bertilamkan sehelai saputangan lebar. Agaknya gadis itupun terhalang larinya oleh udara yang
gelap malam tadi, kemudian tertidur di situ. Han Sin cepat meloncat menghampiri dan pada saat ia
menjatuhkan diri berlutut di dekat gadis itu, Hoa-ji terjaga dan membalikkan tubuhnya terlentang.
Alangkah kagetnya ketika ia melihat pengejarnya sudah berada di situ, berlutut di dekatnya.
"Pergi kau ......! Pergi ......!" teriaknya.
"Tidak, Hoa-ji. Sudah lama kau kucari, kau ..... kaulah Cia Bi Eng, kaulah adik kandungku yang
sebenarnya. Kau anak ayah bunda kita, adikku. Buktinya ada, yaitu ada tanda tahi lalat di mata kaki
kirimu. Coba kaulihat kau bukalah kedokmu itu aku kakak kandungmu sendiri!"
Han Sin menggerakkan tangan kirinya hendak merenggut kedok di depan muka Hoa-ji, akan tetapi
tiba-tiba tangannya gemetar karena ia teringat akan pengalamannya dengan Tilana! Juga hanya
karena membuka kedok ia terlibat dalam urusan yang memusingkan dengan Tilana.
Adapun Hoa-ji ketika mendengar ucapan Han Sin ini, mengeluarkan suara keluhan perlahan, lalu
bangun duduk dan suaranya terdengar gemetar,
"..... apa kau bilang ......" Tanda di kaki kiri ......?"
Dengan kedua tangan menggigil gadis berkedok itu lalu membuka sepatu kaki kirinya, terus
membuka kaos kakinya. Han Sin tentu saja malu untuk memandang, lalu membuang muka tidak
mau memandang ke arah kaki gadis itu. Pada waktu itu, kaki gadis yang selalu tertutup rapat oleh
kaos kaki dan sepatu, merupakan bagian tubuh yang amat dirahasiakan, merupakan bagian yang tak
boleh dipandang sembarang orang apa lagi laki-laki.
Tak lama kemudian Han Sin merasa dirinya dipeluk orang dan ia mendengar gadis itu menjerit
perlahan, "Kau benar .....! Kau benar ....., aku adik kandungmu ..... ah, kakakku ..... saudaraku tidak
mimpikah aku ....?"
Ketika Han Sin menengok, ia melihat seorang gadis cantik, tidak tertutup lagi mukanya, menangis
di pundaknya. Han Sin cepat memegang kedua pundak gadis itu, mendorongnya sedikit untuk dapat
memandang muka itu lebih nyata lagi. Mereka berpandangan, dua pasang mata bertemu, saling
selidik, mata kakak beradik kandung yang semenjak masih bayi dipisahkan orang. Keduanya
seakan-akan tertarik oleh sesuatu yang gaib, seakan akan merasa bahwa mereka sudah kenal baik
muka masing-masing, seperti orang yang dulu sudah kenal baik baru bertemu kembali.
"Kau ...... kau Bi Eng adik kandungku ....! Ayah ...., ibu ..... akhirnya anakmu berdua dapat saling
bertemu dan berkumpul kembali ....." Tak tertahankan pula air mata menetes turun dari sepasang
Kasih Diantara Remaja Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mata Han Sin ketika ia memeluk adik kandungnya.
"...... kakakku Han Sin ......, Sin ko, alangkah lamanya aku menanti-nanti saat seperti ini .......
alangkah besarnya rinduku terhadap ayah ibu ..... tidak kira ..... ayah ibuku adalah ayah bundamu
juga yang sudah lama meninggal dunia ..... ibu ......!" Dan gadis itu menangis menjerit-jerit sampai
akhirnya pingsan dalam pelukan kakaknya.
Hancur hati gadis itu ketika mendapat kenyataan bahwa ayah bundanya sudah meninggal. Semenjak
kecil ia maklum bahwa dia hanyalah anak angkat Hoa Hoa Cinjin, bahwa dia mempunyai ayah
bunda kandung. Akan tetapi Hoa Hoa Cinjin tak pernah mau mengaku, hanya menyatakan bahwa
ayah angkatnya itu menemukannya di dalam hutan, tidak tahu anak siapa. Alangkah besarnya rindu
hatinya kepada ayah bundanya, sering kali ia bermimpi bertemu dengan ayah bundanya. Sekarang,
ia bertemu dengan kakak kandungnya dan ternyata bahwa ayah bundanya sudah meninggal dunia.
Han Sin segera dapat mengendalikan perasaannya yang tadi terpengaruh oleh keharuan. Ia teringat
akan Hui-kiam Koai-sian yang sedang mengadu nyawa dengan Pak-thian-tok Bhok Hong, teringat
pula akan Hoa Hoa Cinjin yang terluka. Tiba-tiba ia menarik lengan adiknya. "Ayoh kita cepat
menemui ayah angkatmu itu dan minta penjelasan tentang kematian ayah bunda kita."
Hoa-ji yang sebetulnya bernama Cia Bi Eng yang "tulen" ini, tidak membantah, berlari di samping
kakaknya menuju ke dalam hutan di mana terjadi pertempuran antara dua orang tokoh besar itu.
Ketika mereka tiba di tempat itu, Hoa-ji mengeluarkan jerit tertahan melihat ayah angkatnya
menggeletak dengan wajah pucat dan merintih-rintih, terluka hebat. Betapapun juga, Hoa Hoa
Cinjin adalah ayah angkatnya yang sudah menaruh kasih sayang kepadanya semenjak ia kecil, yang
mendidiknya. "Ayah ....." Ia menubruk, maju dan berlutut, Hoa Hoa Cinjin tersenyum pahit.
"Hoa-ji ....., habislah ..... aku kali ini ......" bisik Hoa Hoa Cinjin. Kemudian ia memandang wajah
gadis itu penuh kekaguman. "Kau ..... sudah membuka kedokmu ...... sudah terbuka rahasiamu ....?"
Sambil terisak Hoa-ji mengangguk. Sementara itu, Han Sin yang sekelebatan memeriksa keadaan
dua orang kakek sakti, menarik napas panjang dan merasa kagum sekali. Dua orang kakek itu tewas
dalam keadaan duduk bersila dan saling serang! Kemudian iapun menghampiri Hoa Hoa Cinjin
yang sudah payah pula keadaannya.
"Ayah, dia ini adalah kakak kandungku ....." Ia mendengar Hoa-ji menangis sambil memeluk
ayahnya. "Aku adalah anak dari Min-san ........"
"Sudah kuduga ..... sudah kusangka demikian .... Ang-jiu Toanio memang kejam, menukar-nukar
anak!" Hoa Hoa Cin?jin terpaksa menghentikan kata-katanya karena menderita nyeri bukan main.
"Ayah, katakanlah sekarang, siapa yang membunuh ayah bundaku" Apakah yang menyebabkan
kematian mereka?" Hoa-ji bertanya, mendesak.
Hoa Hoa Cinjin menggeleng kepala. "Tidak ada .... tidak ada yang membunuh ...... isteri Cia Sun
..... cemburu kepada Balita ...... marah-marah, bunuh diri .... dan Cia Sun yang mencintai isterinya
..... menjadi kalap dan bunuh diri pula .... aduhhh, selamat tinggal ......" Hoa Hoa Cinjin
menghembuskan napas terakhir dalam pelukan anak angkatnya.
"Sin-ko, apa yang menyebabkan kematiannya?" tanya gadis itu kepada Han Sin sambil memandang
penuh kedukaan karena gadis ini mengira bahwa ayah angkatnya tewas akibat pertempuran
melawan Han Sin tadi.
Han Sin dapat menangkap isi hati adiknya. "Ayah angkatmu terkena pukulan yang hebat sekali.
Tadi ketika aku meninggalkannya, aku hanya merobohkannya dengan menendang kedua lututnya.
Agaknya ia terkena luka hebat oleh seorang di antara dua kakek sakti itu."
Suara perang di lereng gunung sudah tak terdengar lagi. Agaknya sudah selesai. Memang demikian
halnya, pasukan-pasukan Mongol sudah dihancurkan dan sedang dikejar-kejar ke barat oleh
pasukan Mancu. Keadaan sunyi sekali.
Akan tetapi tiba-tiba terdengar bentakan-bentakan keras dan dari balik gunung-gunung batu yang
besar berlompatan beberapa orang. Yang terdepan adalah orang jangkung pembantu Bhok Kian
Teng yang lihai itu, yang dulu mengeroyok Han Sin bersama Bhok Kian Teng dan Bi Eng. Kini
manusia aneh yang tinggi seperti pohon bambu itu muncul lagi, bersama beberapa orang pembantu
Bhok Kian Teng.
Bahkan Bhok Kian Teng sendiri tampak muncul di belakang orang-orang itu. Beberapa orang di
antara mereka yang terdepan menunggang kuda, agaknya mereka ini tadi bersembunyi karena kalah
perang dan sekarang siap hendak mengawal Bhok Kian Teng pergi dari situ. Melihat mereka
datang, Han Sin diam-diam terkejut dan khawatir.
"Kalau mereka melihat ayah angkatmu dan Pak-thian-tok tewas, tentu mengira aku yang
melakukannya dan kau disangka mengkhianati mereka. Adikku, kau tunggulah di sini, biar aku
merampas seekor kuda dan kita kabur dari sini. Perjalanan ke selatan amat jauh, lebih baik kalau
kita mempunyai seekor kuda yang besar dan kuat."
Hoa-ji hanya mengangguk saja, lalu bersembunyi. Han Sin dengan langkah lebar menghampiri
rombongan orang yang sudah melihatnya itu. Si jangkung itu begitu melihat musuh lamanya yang
dulu terlepas dari tangannya ketika ditolong Pek Sin Niang-niang, mengeluarkan suara aneh lalu
langsung menyerang dengan kedua tangannya yang berlengan panjang.
Han Sin tidak mau memberi hati lagi. Sekarang setelah tenaganya pulih semua, mana ia takut
menghadapi si jangkung ini" Serangan itu ia sambut dengan tangannya sambil mengerahkan tenaga.
"Plak!" Tangan si jangkung tidak terpental oleh tangkisan Han Sin, malahan menempel seperti
mengandung perekat yang kuat. Han Sin terkejut juga, mereka berdua berkutetan mengadu tenaga,
akhirnya si jangkung terpelanting dan bergulingan sampai empat lima meter ketika Han Sin
mengerahkan tenaga melemparkannya!
Orang-orang kepercayaan Bhok Kian Teng maju mengeroyok. Akan tetapi Han Sin meloncat tinggi,
sekali jambret sudah berhasil melemparkan seorang penunggang kuda dan tubuhnya sendiri turun di
punggung kuda itu.
"Pangeran Galdan, terima kasih atas pemberian kuda ini!" kata Han Sin yang cepat membedal
kudanya dari situ. Di dekat tempat persembunyian Hoa-ji ia berseru. "Kau loncatlah di
belakangku!"
Hoa-ji memang sudah bersiap-siap. Begitu kuda itu lewat ia meloncat dan tepat sekali ia duduk di
belakang tubuh Han Sin. Ia memeluk pinggang kakaknya dan kuda besar itu dibalapkan oleh Han
Sin cepat sekali. Dari belakang, si jangkung mencoba untuk mengejar, akan tetapi betapapun
panjang kakinya, sukar juga mengejar kuda yang dapat berlari demikian cepatnya. Apa lagi ia
memang agak jerih menghadapi pemuda yang demikian lihainya itu.
"Sin-ko kita mau pergi ke manakah" Apakah hendak kembali ke Min-san?" tanya Hoa-ji setelah
mereka berdua selamat melarikan diri dari kejaran Bhok Kian Teng dan kaki tangannya.
Han Sin menjalankan kudanya perlahan, mereka sudah tiba di perbatasan. "Adikku, terus terang
saja, sebelum aku dapat membuka rahasiamu dan mendapatkan bukti bahwa kau adalah adik
kandungku sendiri, aku memang sudah berjanji pada orang untuk membawa Hoa-ji ke selatan,
untuk menyelamatkan atau merampas dirinya dari lingkungan Pangeran Galdan. Apakah kau dapat
menerka siapa orang yang kuberi janji itu?"
Muka yang cantik itu menjadi merah sekali, akan tetapi Hoa-ji menggeleng kepalanya. "Aku mana
bisa menerka" Siapa dia?"
Han Sin menghentikan kudanya, meloncat turun sambil menarik tangan Hoa-ji. Dengan kedua
tangan adiknya dipegang, pemuda ini menatap wajah Hoa-ji dengan tajam lalu berkata dengan suara
sungguh-sungguh,
"Adikku, banyak sekali hal-hal yang harus kujelaskan kepadamu. Setelah kita saling bertemu
sebagai saudara kandung, tak perlu ada rahasia lagi di antara kita. Kau sudah mendengar tadi
ceritaku tentang keadaanmu semenjak kecil, ditukar-tukar oleh Ang-jiu Toanio, kemudian anak
Ang-jiu Toanio ditukar pula oleh Balita puteri Hui. Yang selama ini mengaku dan kuaku pula
menjadi adikku bernama Cia Bi Eng, sebetulnya adalah anak Balita! Aku sudah lama tahu akan hal
ini." Sam?pai di sini dia menarik napas panjang dan wajahnya muram. Teringat ia akan sikap Bi Eng
beberapa hari yang lalu, hatinya kecewa dan amat gelisah. Sampai sekarang masih belum tahu dia
apa yang menyebabkan Bi Eng bersikap seaneh itu.
"Bi Eng ......"
"Sin-ko, lebih baik kau menyebut Hoa-ji padaku. Nama itu kupakai semenjak kecil dan rasanya
tidak enak kalau tiba tiba diganti nama baru. Pula, bukankah nama Bi Eng sudah dipakai orang
lain?" bantah Hoa-ji dengan sikap manja.
Han Sin tertawa. Memang cocok dengan kehendak hatinya. Rasanya iapun akan merasa kecewa dan
janggal kalau harus memanggil Bi Eng dengan sebutan nama lain, apa lagi kalau harus memanggil
Bi Eng dengan nama barunya, Tilana! Nama Tilana ini hanya akan mengingatkan dia akan
pengalamannya yang amat ruwet dan tidak menyenangkan dengan gadis anak Ang-jiu Toanio itu!
41. Antara Dendam dan Cinta
"BAIKLAH, Hoa-moi (adik Hoa). Terus terang tadi kukatakan bahwa ada orang yang menyuruh
aku menyelamatkan engkau dan membawa engkau ke kota raja. Karena kau tidak mau mengaku,
biarlah kukatakan bahwa orang itu adalah Pangeran Yong Tee ...."
"Ahhh ....." Hoa-ji mengeluarkan seruan perlahan, wajahnya menjadi makin merah dan ia
membuang muka, tak berani menentang pandang mata kakaknya. Bibir yang manis itu tersenyumsenyum,
akan tetapi matanya ditundukkan, nampak malu sekali.
Han Sin memegang pundak adiknya. "Hoa-moi, kau tak perlu takut, atau malu-malu. Aku sudah
tahu, atau sedikitnya sudah menduga. Pangeran Yong Tee sudah bercerita secara terus terang bahwa
ada hubungan kasih antara kau dan dia. Hanya yang amat mengherankan hatiku, bagaimana dia bisa
jatuh hati kepada seorang gadis yang selalu berkedok seperti engkau ini. Benar-benar hebat ..."
Hoa-ji mencubit lengan kakaknya. "Sin-ko, jangan kau menggoda ....."
Han Sin tertawa senang. Sedikit banyak, ada persamaan antara Hoa-ji ini dengan Bi Eng. Akan
tetapi tiba-tiba suaranya menghilang karena ia teringat akan keadaan ini yang sebetulnya amat
bertentangan dengan hatinya. Hoa-ji adalah adiknya, adik kandungnya. Bagaimana bisa berkasihkasihan
dengan Pangeran Mancu, musuh besar bangsanya" Hoa-ji agaknya merasa akan perubahan
ini dan matanya yang bening kini menatap wajah Han Sin menyelidik.
"Hoa-moi, kau sekarang mengetahui bahwa kau dan aku adalah anak dari mendiang Cia Sun,
seorang patriot sejati yang sudah mendapat nama besar di dunia, terkenal sebagai seorang pahlawan
rakyat yang tidak segan-segan mengorbankan apa saja demi nusa dan bangsa. Aku sama sekali tidak
dapat menyalahkan kau yang semenjak kecil dipelihara dan dididik oleh Hoa Hoa Cinjin, yang
kemudian menghambakan diri kepada penjajah. Akan tetapi ..... setelah sekarang kau bertemu
dengan aku, setelah sekarang kau tahu bahwa kau adalah puteri seorang patriot bangsa, sudah tentu
sekali kau harus merobah keadaan hidupmu. Kita harus melanjutkan cita-cita ayah. Tentu saja tidak
tepat kalau kau membantu Bangsa Mongol yang dulu dimusuhi ayah. Pula amat tidak tepat kalau
kita membantu Bangsa Mancu yang menjajah tanah air ...." Han Sin melihat perubahan pada wajah
adiknya, menjadi pucat ketika ia menyebut kalimat terakhir ini. Ia dapat menyelami jiwa adiknya,
akan tetapi apa boleh buat, demi kebaikan adiknya sendiri, ia harus berterus terang.
"Hoa-moi, kuatkan hatimu. Aku tahu bahwa antara kau dan Pangeran Yong Tee ada ikatan kasih.
Akan tetapi .... dia seorang pangeran Mancu! Pangeran dari bangsa yang menjajah tanah air kita!
Kalau saja dia bukan pangeran, mungkin lain lagi soalnya. Tapi dia pangeran, seorang yang
berpengaruh pula di istana, yang aktif mengatur pemerintah Mancu. Pula .... dia mengenalmu dan
cinta kepadamu sewaktu kau masih berkedok. Dia belum pernah melihat wajahmu, bagaimana dia
bisa menyatakan cinta" Aku tidak percaya akan cinta yang demikian itu!"
"Sin-ko ".!" Dalam jerit tertahan ini terkandung isak.
Han Sin menepuk-nepuk pundak adiknya.
"Aku percaya akan kemurnian cintamu terhadapnya, adikku. Dan ..... terus terang saja akupun
agaknya tidak meragukan kejujuran hati pangeran itu. Hanya ... dia Pangeran Mancu, Hoa-moi dan
ini harus kau ingat baik-baik. Bagaimanakah roh ayah dapat tenteram di alam baka kalau melihat
puterinya ... berdampingan dengan musuh bangsa ....?"
"Sin-ko ...., kau menghancurkan hatiku ...." Gadis itu mengeluh.
Han Sin menarik napas panjang. Tentu saja ia dapat merasai kehancuran hati adiknya. Memang
berat menjadi korban cinta kalau gagal di tengah jalan. Akan tetapi Hoa-ji adalah adik kandungnya,
untuk mengingatkan, untuk mencegah penyelewengan yang tak disadari.
"Mari kita lanjutkan perjalanan, Hoa-ji."
"Ke mana .....?" Gadis itu bertanya lemah, menyerah.
"Ke Ta-tung."
"Eh, bukan ke Min-san?"
Ada suara girang dalam seruan ini. Han Sin juga maklum. Ta-tung adalah kota yang dekat kota raja
dan Pangeran Yong Tee sering kali datang ke Ta-tung yang dijadikan pusat pertahanan dari
penyerbuan Bangsa Mongol. Sebetulnya ia lebih suka mengajak Hoa-ji ke Min-san, jauh dari
Pangeran Yong Tee, akan tetapi .... Bi Eng! la harus menyelidiki Bi Eng di Ta-tung, harus bertemu
dengan gadis itu yang benar-benar menghancurkan perasaannya dan membingungkan hatinya.
Karena inilah maka ia hendak mengajak Hoa-ji ke Ta-tung lebih dulu sebelum melanjutkan
perjalanan ke Min-san.
"Tidak, Hoa-moi. Kita ke Ta-tung dulu, ada urusan di sana," jawabnya singkat. Hoa-ji juga tidak
bertanya lebih lanjut.
Beberapa hari kemudian tibalah mereka di Ta-tung. Alangkah kecewa hati Han Sin ketika melihat
perubahan besar sekali di kota ini. Kotanya masih ramai, malah lebih ramai dari pada dahulu. Akan
tetapi di sini tidak terlihat lagi orang-orang kang-ouw yang membantu Mancu. Hanya ada beberapa
pasukan serdadu Mancu menjaga kota. Agaknya karena tentara Mongol sudah dihancurkan dan
dipukul cerai-berai di sana-sini, kota ini dianggap sudah aman dan tidak menjadi pusat pertahanan
lagi. Lebih berat rasa hati Han Sin ketika mencari keterangan di sana-sini, tak seorangpun tahu ke
mana perginya orang-orang gagah dari selatan yang tadinya membantu pertahanan bala tentara
Mancu. Tak seorangpun tahu ke mana perginya Li Hoa, Li Goat, Yan Bu, Bi Eng, para tosu dan
lain-lain orang gagah.
Dengan penuh kekecewaan, Han Sin mengajak Hoa-ji bermalam di sebuah rumah penginapan. Tak
seorangpun mengenal Hoa-ji karena gadis ini baru sekarang muncul di muka umum dengan muka
tidak tertutup. Andaikata dia berkedok seperti biasa, setiap orang serdadu Mancu tentu akan
mengenalnya sebagai puteri Hoa Hoa Cinjin yang membantu orang Mongol dan tentu akan timbul
urusan hebat! Kakak beradik ini mendapat sebuah kamar besar dengan tempat tidur dua buah. Tadinya Han Sin
hendak minta dua kamar, akan tetapi ternyata kamar yang lain sudah tersewa orang, penginapanpenginapan
penuh sehingga terpaksa ia menerimanya juga. Bagaimanapun juga, Hoa-ji adalah adik
kandungnya. Apa salahnya tidur sekamar apalagi berpisah pembaringan"
Han Sin malam itu gelisah, tak dapat tidur. Ia melihat Hoa-ji segera tidur setelah membaringkan
tubuhnya. Bermacam pikiran mengganggu Han Sin, terutama sekali soal Bi Eng. Agaknya tak dapat
disangsikan lagi bahwa gadis itu sudah tahu akan keadaan dirinya yaitu bahwa dia adalah anak
Balita dan bernama Tilana. Akan tetapi andaikata sudah tahu akan hal itu, mengapa seakan-akan
membencinya dan malah mengeroyoknya" Mengapa pula membantu Bhok Kian Teng" Hal ini
benar-benar amat mengganggu hatinya, menggelisahkannya dan ia takkan mau sudah kalau belum
dapat membongkar rahasia baru ini. Aku harus bertemu dengannya, harus bicara dengannya dari
hati ke hati. Ah, .... Bi Eng ...!!" Dengan pikiran ini dan nama gadis ini di bibirnya, akhirnya Han
Sin tertidur juga menjelang tengah malam.
Tiba-tiba Han Sin sadar dari tidurnya. Ada suara yang membuat ia terbangun. Otomatis tangan
kanannya menggerayang ke gagang pedang Im-yang-kiam yang ia letakkan di sebelah kanannya
sambil melirik, alangkah kagetnya melihat pembaringan Hoa-ji di sebelah kanannya telah kosong!
Hoa-ji telah meninggalkan kamar itu!
Han Sin cepat-cepat menengok ke kiri, ke arah jendela. Ternyata jendela sudah terbuka. Belum
jauh, pikirnya. Ke mana perginya Hoa-ji" Harus kukejar. Akan tetapi sebelum ia meloncat turun,
tiba-tiba ia mendengar suara orang mendekati jendela. Lilin di atas meja masih bernyala, kini
bergerak-gerak tertiup angin yang masuk melalui jendela. Memang ia sengaja tidak memadamkan
lilin karena merasa tidak enak tidur sekamar dengan Hoa-ji tadi. Apakah orang yang mendekati
jendela itu Hoa-ji yang datang kembali" Han Sin pura-pura tidur kembali, membuka sedikit
matanya untuk mengintai ke arah jendela.
Tak lama kemudian, sesosok bayangan orang melayang masuk melalui lubang jendela itu. Tak
dapat disangkal lagi, tubuh seorang wanita!
Tapi bukan Hoa-ji! Siapa dia ...." Han Sin memperlebar sedikit matanya ketika melirik. Cahaya
penerangan lilin yang suram menimpa wajah wanita itu yang sudah berada di dekat meja dan ....
tegang-tegang seluruh urat-syaraf di tubuh Han Sin ketika mengenal wanita ini bukan lain adalah Bi
Eng! Hampir tak kuat ia menahan gelombang perasaannya, namun ia cepat mengumpulkan tenaga
menindih perasaannya, tinggal berbaring seperti orang tidur pulas, tapi diam-diam memperhatikan
gerak-gerik gadis itu.
Memang gadis itu bukan lain adalah Bi Eng! Masih manis, masih cantik jelita seperti biasa, hanya
agak pucat dan sinar matanya memancarkan kemarahan di samping kedukaan yang mendalam.
Senyum yang dulu setiap saat membayang di bibirnya kini lenyap, terganti oleh bayangan siksa
batin yang hebat.
"Bi Eng .... kasihan kau ...." demikian keluh hati Han Sin.
Akan tetapi gadis itu sebaliknya. Dengan muka beringas gadis itu mencabut pedangnya, lalu
menghampiri ranjang Han Sin! Maut membayang di mukanya, nampak jelas gigi yang dikertakkan
itu berkilat ketika bibirnya terbuka sedikit, seakan-akan mengeraskan hatinya. Sepintas gadis itu
mengerling ke arah tempat tidur Hoa-ji yang kosong, lalu bibirnya mengejek,
"Laki-laki hidung belang! Mata keranjang ....!" Ucapan ini terdesis dari bibirnya, membuat Han Sin
diam-diam merasa kaget dan heran sekali. Kenapa Bi Eng menganggapnya laki-laki mata keranjang
Pedang Naga Kemala 12 Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen Tujuh Pedang Tiga Ruyung 7
dari kakek itu.
Seperti juga pada permulaannya yang tiba-tiba, kakek itu tiba-tiba menghentikan totokantotokannya.
Ia nampak pucat, keringatnya membasahi seluruh tubuhnya, napasnya terengah-engah
seperti hendak putus. Ia masih berdiri dalam sikap bersilat, matanya masih tajam menatap tubuh
Han Sin. Babak pertama dari usaha penyembuhan dengan It-yang-ci sudah ia lakukan.
Lalu perlahan-lahan kakek ini duduk bersila lagi, meramkan mata dan bersamadhi, mengumpulkan
tenaga dan mengatur napas. Ada setengah jam ia duduk diam, kemudian ia meloncat bangun lagi
dan untuk kedua kalinya ia "menyerang" Han Sin bertubi-tubi dengan totokan It-yang-ci. Masih
cepat seperti tadi penyerangannya, hanya bedanya, kalau tadi ia menggunakan tenaga Im-kang
sehingga totokannya itu biarpun cepat kelihatannya tidak memakai tenaga.
Padahal sebenarnya pengerahan tenaga dalam kali ini jauh lebih berat dari pada tadi! Sebentar saja
napasnya sudah terdengar seperti kerbau disembelih dan ketika tiba-tiba bayangan tubuhnya yang
berkelebatan itu berhenti, mukanya menjadi pucat sekali, tubuhnya menggigil dan dari muka dan
dadanya keluar keringat besar-besar. la berdiri meramkan mata, mengatur napas.
Ada perubahan pada diri Han Sin. Pemuda ini mengeluarkan rintihan perlahan, tubuhnya bergerakgerak
sedikit, pelupuk matanya terbuka. Biarpun Yok-ong sendiri meramkan mata, namun ia dapat
menangkap gerakan pemuda itu, maka dengan suara lirih seperti orang berbisik, lemah sekali, ia
berkata, "Jangan bergerak ......"
Han Sin mengerling ke arah kakek itu dan otaknya yang cerdas segera dapat menangkap apa yang
sedang terjadi. Sinar matanya penuh keharuan dan terima kasih. Di dalam kitab Thian-po-cin-keng
ia merasa pernah membaca tentang penyembuhan secara ini, dan ia maklum pula bahwa usaha ini
akan mendatangkan bencana kepada Yok-ong!
Hanya sebentar saja ia dapat menggunakan pikirannya karena tiba-tiba kepalanya pening sekali dan
ia tak dapat memikirkan apa-apa lagi. Hal ini adalah karena yang sudah terbuka hanya jalan-jalan
hawa di tubuh, sedangkan urat-urat syaraf yang menuju ke kepala masih tertutup oleh hawa beracun
yang tadinya menyerang dari banyak luka di tubuhnya.
Sampai satu jam kali ini Yok-ong duduk diam, bersila sambil memulihkan tenaganya. Kemudian ia
berdiri, tidak meloncat seperti tadi, melainkan perlahan sekali. Namun tubuhnya mengejang, dan
setiap gerakannya mengeluarkan bunyi berkerotokan di tulang-tulangnya, matanya bersinar tajam
menakutkan bahkan rambut kepalanya ada sebagian yang berdiri.
Dengan langkah perlahan sekali ia menghampiri Han Sin, kemudian dengan gerakan amat lambat
dan perlahan kelihatannya namun sesungguhnya mengandung tenaga yang berlipat kali lebih
dahsyat dari pada babak pertama dan ke dua tadi, kakek raja obat itu menotok dengan jari-jari
telunjuk kanan kiri bergantian ke arah leher, pelipis, dan ubun-ubun kepala Han Sin!
Setelah menotok dua puluh tujuh kali, keadaan kakek ini makin lama makin lemah, akhirnya selesai
juga ia melakukan pengobatannya, tubuhnya limbung terhuyung-huyung ke belakang, akan tetapi
mulutnya tersenyum lalu terdengar suaranya,
"Sembuh .... sembuh .... sembuh ...." Ia roboh terguling dan muntahkan darah sambil duduk bersila.
Han Sin merasa betapa hawa murni di tubuhnya sudah berjalan normal kembali, malah dengan
hawa sinkangnya ia dapat mengusir semua sisa racun yang menguasai kulit dan urat-urat tubuhnya.
la membuka mata dan melihat keadaan Phoa Kok Tee, ia mengeluarkan seruan kasihan dan cepat ia
meloncat menghampiri. Yok-ong masih duduk bersila, pangkuan dan bibirnya penuh darah yang
tadi ia muntahkan, napasnya senin kemis dan mukanya pucat, tubuhnya menggigil.
Han Sin menitikkan dua butir air mata. Orang yang sama sekali tidak ada hubungan dengan dia,
bukan sanak, bukan kadang, bukan pula sahabatnya telah rela mengorbankan diri untuk
menolongnya. Bukan main besarnya budi ini.
Pemuda itu lalu duduk bersila pula di belakang Phoa Kok Tee menempelkan telapak tangannya
kepada punggung kakek itu untuk mengisi tubuh orang dengan hawa sinkangnya yang disalurkan
melalui kedua telapak tangan. Berkat pelajaran Thian-po-cin-keng di dalam tubuh pemuda ini
memang terkandung hawa sinkang yang luar biasa.
Yok-ong merasa betapa dari punggungnya muncul semacam hawa hangat yang membangkitkan
kembali sumber tenaga lweekangnya yang sudah habis, maka ia dapat menggunakan kembali
tenaga yang sudah amat lemah di dalam tubuhnya itu untuk meratakan jalannya napas.
Ia menarik napas panjang dan tahu bahwa pemuda itu yang kini membalasnya, menolongnya
terhindar dari pada kematian. Namun, iapun maklum bahwa sejak saat itu ia sudah kehilangan
kepandaiannya, menjadi orang biasa yang hanya akan dapat mengobati orang dengan daun-daun
dan akar-akar obat. Tak dapat lagi menggunakan ilmu It-yang-ci, tak dapat lagi mengerahkan
tenaga dalam. Yok-ong membuka matanya, menoleh dan tersenyum. "Cukuplah, aku tidak akan mati ....., dan kau
sudah sembuh ........"
Han Sin cepat bangun, lalu melangkah ke depan kakek itu, cepat ia menjatuhkan diri berlutut dan
berkata, "Locianpwe telah menolong nyawaku tanpa menghiraukan keselamatan sendiri. Budi sebesar ini
sampai matipun aku Cia Han Sin takkan melupakan dan bagaimana aku dapat membalasnya?"
Phoa Kok Tee tersenyum pahit. "Siapa bilang bahwa aku mengobatimu karena ingin dibalas?"
"Tentu tidak, karena in-jin (tuan penolong) memang seorang yang berwatak mulia. Akan tetapi,
locianpwe telah kehilangan kepandaian, malah hampir kehilangan nyawa, bagaimana aku dapat
berhati lega lagi kalau tidak berusaha membalas budi. Katakanlah, locianpwe, budi apakah yang
dapat kulakukan kepadamu untuk membalasmu" Kalau locianpwe tidak mau memberi petunjuk,
biarlah selama hidupku aku mengabdi kepada locianpwe untuk membalas budi, akan kurawat dan
kulayani locianpwe ......"
"Hush, bocah gila! Siapa sudi dengan pelayananmu" Pula, bukan aku yang menolongmu, melainkan
Lie Ko Sianseng. Dialah yang membawamu dalam keadaan pingsan ke tempat ini. Si Raja Swipoa
itulah yang menolong nyawamu, karena kalau tidak dia menolongmu, pasti kau takkan bernyawa
lagi sekarang sudahlah, lekas kaupergi dari sini, jangan mengganggu aku lagi!"
Akan tetapi Han Sin tidak mau bangun dari situ, tetap berlutut di depan Yok-ong. "Biarlah
locianpwe akan membunuhku, aku takkan pergi meninggalkan locianpwe kecuali kalau locianpwe
memberi perintah sesuatu untuk dapat kulaksanakan sebagai pembalasan budi."
38. Patriot Bangsa Berguguran
YOK-ONG menarik napas panjang. "Hemmm, berkepandaian atau tidak apa sih artinya bagiku.
Mati atau hidup apa pula bedanya bagi seorang yang sudah setua aku" Akan tetapi, karena kau
memaksa, baiklah. Kau pergilah menghadap Pek Sin Niang-niang yang kini bertapa di Gobi-san.
Beliau adalah guruku dalam hal pengobatan. Kalau kau berhasil memintakan petunjuk kepadanya
untuk penyembuhanku karena penggunaan It-yang-ci tadi, berarti kau sudah membalasku dan
menyembuhkan aku kembali. Akan tetapi jangan kaukira akan mudah menjumpai Pek Sin Niangniang.
Beliau sudah menjadi manusia setengah dewa dan Pegunungan Gobi adalah tempat yang
amat luas. Tidak mudah mencarinya ......."
"Aku akan mencarinya sampai dapat!" Setelah berkata demikian, baru Han Sin mau bangun.
Yok-ong Phoa Kok Tee lagi-lagi tersenyum, lalu kakek inipun bangkit berdiri dengan perlahan dan
lemah. Diambilnya topi dan pakaiannya, dipakainya semua itu dengan gerakan lemah, gerakan
seorang petani tua biasa, kemudian Dipikulnya keranjang-keranjang obatnya dan dengan langkah
gontai ia meninggalkan tempat itu, meninggalkan Han Sin yang berdiri memandang dengan hati
penuh keharuan.
"Manusia budiman ........ dia inikah yang oleh Nabi Khong Cu disebut kuncu" Betul Yok-ong Phoa
Kok Tee inilah orang yang patut disebut seorang kuncu, bukankah Nabi Khong Cu pernah bersabda
bahwa: "Seorang Budiman berhati penuh cinta kasih terhadap sesama manusia, tidak mau mencari
keuntungan diri sendiri dengan jalan merusak cinta kasihnya itu, sebaliknya malah rela
mengorbankan diri sendiri demi cinta kasihnya terhadap sesama manusia."
Demikian Han Sin berkata di dalam hatinya penuh kagum. Kakek itu menderita karena dia,
kehilangan kepandaiannya, malah mungkin pengerahan lweekang yang dahsyat dalam
menggunakan Ilmu It-yang-ci tadi berakibat lebih hebat lagi, yaitu melukainya. Mungkin sekali
kalau tidak mendapat obat yang cocok, kakek itu akan menderita sakit dan tewas!
Kagetlah hati Han Sin ketika jalan pikirannya sampai di sini. Dia telah menolongku, bagaimana aku
dapat berpeluk tangan saja melihat dia menderita" Harus kucarikan obatnya, pada Pek Sin Niangniang,
sekarang juga. Urusan lain boleh ditunda!
Keputusan dalam hati dan pikiran Han Sin ini membuat pemuda itu cepat meninggalkan tempat itu,
langsung menuju ke Pegunungan Go-bi-san di utara untuk mencari Pek Sin Niang-niang. Dalam
perjalanan ini, di sepanjang perjalanan ia mendengar tentang kekalahan yang diderita oleh pihak
Mongol. Diam-diam ada juga kelegaan dalam hati Han Sin karena bukankah kemenangan pihak Mancu
berarti selamatnya orang-orang yang dekat dengannya seperti Bi Eng, Li Hoa, Ciu-ong Mo-kai dan
yang lain-lain" Juga kalau ditimbang-timbang, andaikata kedua pihak, Mongol dan Mancu,
berperang bukan karena berebutan tanah airnya, tentu ia seratus persen akan berdiri di pihak
Mancu! Baru membandingkan pribadi Bhok-kongcu sebagai wakil Mongol dan pribadi Yong Tee sebagai
wakil Mancu saja, tidak sukar bagi Han Sin untuk memilih. Sayangnya kedua pihak itu perang
karena memperebutkan Tiongkok, inilah yang menjengkelkan hati Han Sin dan membuat pemuda
itu tidak mau mencampurinya.
**** Pegunungan Go-bi-san memang merupakan daerah yang amat luas, penuh dengan gunung dan
padang pasir. Han Sin yang masih lemah tubuhnya karena baru saja sembuh dari pada luka-luka
hebat, melakukan perjalanan yang amat sukar. Namun semua ini ia tempuh dengan senang, malah ia
melakukan dengan tergesa-gesa karena ingin lekas-lekas bisa bertemu dengan pertapa wanita itu
untuk mintakan obat bagi Yok-ong Phoa Kok Tee.
Kalau ia teringat akan Lie Ko Sianseng, iapun tersenyum. Ternyata banyak juga manusia baik di
dunia ini. Benar-benar tak pernah disangkanya. Lie Ko Sianseng yang tadinya ia sangka licin,
cerdik dan penuh tipu muslihat busuk, ternyata malah menolongnya seperti yang diceritakan oleh
Yok-ong. Bagaimanakah Lie Ko Sianseng dapat menolongnya" Seingatnya, ia tertawan oleh PakKoleksi
Kang Zusi thian-tok Bhok Hong, bagaimana tahu-tahu ia bisa dibawa oleh Lie Ko Sianseng kepada Yok-ong
untuk diobati"
Pada suatu senja, ia memasuki sebuah kampung atau bekas tempat perkemahan bangsa Mongol
yang sudah kosong. Agaknya tentara Mancu sudah sampai di tempat ini dan mengusir
penduduknya, buktinya ada bekas-bekas pertempuran di kampung ini, dan bekas-bekas kebakaran.
Lumayan juga tempat ini untuk bermalam, pikir Han Sin, dari pada tidur di tempat terbuka. Ia
menghampiri sebuah bangunan sederhana yang masih utuh, dengan maksud bermalam di tempat itu.
Sudah jelas bahwa tempat ini tidak ada manusianya lagi.
Akan tetapi, ketika ia membuka daun pintu rumah itu, ia mendengar suara orang mengerang
kesakitan. Cepat ia melompat masuk dan di antara meja kursi yang malang-melintang, ia melihat
tubuh seorang laki-laki dan sekali pandang saja maklumlah Han Sin bahwa orang ini sudah tak ada
harapan disembuhkan lagi. Cepat ia berlutut di dekat orang itu dan ....
"Lie Ko Sianseng ......! Ah, bagaimana kau sampai menjadi begini ........?"
Lie Ko Sianseng membuka matanya. Mulut yang tadinya berkerinyut menahan sakit itu tiba-tiba
tersenyum lebar ketika ia melihat Han Sin.
"Kau ..... kau sudah sembuh ......." Bagus ...... tidak sia-sia ..... Ciu-ong mengorbankan nyawa
untukmu ......." Setelah mengeluarkan kata-kata ini dengan amat susah payah, kakek gendut itu
pingsan. Hati Han Sin berdebar tidak karuan. Apa artinya Ciu-ong Mo-kai berkorban nyawa untuknya" "Lie
Ko Sianseng ......" la mencoba menyadarkan kakek gendut itu namun sia-sia belaka.
Kurang lebih satu jam kemudian, keadaan Lie Ko Sianseng payah sekali, akan tetapi ia siuman
kembali, bibirnya bergerak-gerak. Han Sin mendekatkan telinganya ke bibir kakek itu.
"........ adikmu dibawa ........ dia ......."
Terkejut sekali Han Sin. "Dibawa siapa?"
"Bhok-kongcu ...."
"Siapa membunuh Ciu-ong Mo-kai ....?"
"..... Bhok-kongcu ...."
"Siapa melukaimu sampai begini?"
".... Bhok-kongcu ...." Tak kuat lagi Lie Ko Sianseng menahan, tubuhnya mengejang dan di lain
saat nyawanya sudah melayang keluar dari tubuhnya.
Han Sin mengertak giginya sampai berbunyi. Dapat ia membayangkan sekarang. Tentu ketika ia
tertawan oleh Bhok Hong, ia dibawa ke tempat Bhok-kongcu. Kemudian, entah cara bagaimana,
muncul Ciu-ong Mo-kai, mungkin bersama Lie Ko Sianseng, menolongnya. Ciu-ong terbinasa
dalam usaha ini oleh Bhok-kongcu dan Lie Ko Sianseng berhasil mengantarnya ke tempat Yok-ong.
Sekarang Lie Ko Sianseng bertemu dengan Bhok-kongcu dan dilukai sampai tewas pula. Dan Bi
Eng .... Bi Eng juga dibawa Bhok-kongcu.
"Awas kau, Bhok Kian Teng! Sekali ini kalau aku bertemu denganmu, sebelum membalas dendam
orang-orang ini, aku tidak mau sudah!"
Dengan hati penuh keharuan dan dendam Han Sin mengubur jenasah Lie Ko Sianseng. Seorang
patriot, pikirnya. Seperti juga Ciu-ong Mo-kai. Biarpun dalam kehidupan sehari-hari merupakan
seorang pedagang yang kadang kala kelihatan licik dan curang dalam mengejar untung, namun tiba
saatnya tidak segan untuk mengorbankan nyawa untuk menolong bangsa sendiri dari tangan kaum
penjajah. Mungkin pendirian Lie Ko Sianseng mengenai peperangan antara Mancu dan Mongol sama dengan
pendirian Ciu-ong Mo-kai dan yang lain-lain, hanya bedanya kalau Ciu-ong Mo-kai sengaja
membantu Mancu agar Mongol cepat hancur, sedangkan Lie Ko Sianseng bekerja untuk kedua
belah pihak, mempermainkan mereka dan mengadu mereka ke arah kehancuran bersama,
kehancuran dua bangsa penjajah, musuh-musuhnya!
Setelah selesai mengubur jenasah itu, ia memberi penghormatan terakhir. "Lie Ko Sianseng, harap
kau mengaso tenang, akulah yang akan membalaskan kejahatan Bhok Kian Teng," katanya seperti
sumpah. Kemudian ia melanjutkan perjalanannya menuju ke Go-bi-san. Kalau Han Sin teringat akan Ciuong
Mo-kai, makin besar kemarahannya kepada Bhok-kongcu, dan juga besar penyesalannya kalau
ia mengingat betapa dalam pertemuan terakhir dengan bekas gurunya, ia berselisih dengan kakek
pengemis sakti itu.
Han Sin melakukan perjalanan cepat karena ia selain ingin segera bertemu dengan Pek Sin Niangniang
untuk mintakan obat Yok-ong Phoa Kok Tee, juga ia ingin mengejar Bhok Kian Teng. Lie Ko
Sianseng baru saja dilukai orang itu, tentu Bhok Kian Teng belum lari jauh. Biarpun tubuhnya
masih agak lemah dan belum pulih kembali seluruh tenaganya, namun untuk menghadapi Bhok
Kian Teng saja ia masih sanggup.
Tiga hari kemudian, sampailah ia dilereng Gunung Go-bi-san, sebuah di antara puncak yang
terbesar, penuh dengan batu-batu yang aneh bentuknya. Dari bawah tadi ia sudah melihat bayangan
orang berlari-lari ke atas, kadang-kadang kelihatan hanya seorang, kadang-kadang ada dua dan tiga
orang. Ia mempercepat larinya dan akhirnya pada siang hari itu dapatlah ia menyusul. Dapat dibayangkan
betapa girang hatinya ketika ia melihat Bhok Kian Teng dan seorang gadis yang bukan lain orang
adalah Bi Eng sendiri! Bhok Kian Teng nampak kurus dan pucat, pakaiannya sudah kotor dan di
tangannya pemuda ini membawa sepasang siang-kek (sepasang tombak pendek) yang agak aneh
bentuknya, satu panjang dan satu pendek. Bi Eng juga nampak pucat dan kusut rambut dan
pakaiannya, seperti orang sedang dalam susah.
Yang membuat Han Sin terheran heran adalah sikap gadis ini terhadap Bhok Kian Teng. Sama
sekali tidak kelihatan seperti seorang tawanan, melainkan seperti seorang sahabat pemuda itu.
Mereka bercakap-cakap sambil berjalan, akhirnya kelihatan mereka duduk mengaso di bawah batu
karang yang mendoyong untuk berlindung dari terik panas matahari siang. Dan mereka duduk
bersanding sambil bercakap-cakap, nampaknya dalam suasana bersahabat!
Timbul cemburu yang hebat dalam hati Han Sin, membuat ia menjadi makin membenci Bhok Kian
Teng. Ia mempercepat larinya dan begitu tiba di tempat itu, ia segera membentak,
"Bhok Kian Teng manusia keji, bersiaplah kau menerima binasa!"
Pangeran Mongol itu nampak kaget bukan main, wajahnya yang pucat menjadi makin pias, dan
cepat ia meloncat bangun. Ia maklum bahwa tidak ada gunanya bicara lagi dengan Han Sin, tidak
ada gunanya mencoba untuk menggunakan akal membujuknya supaya berdamai. Pemuda Mongol
ini memberi tanda dengan bersuit keras dan tahu-tahu dari balik batu tinggi itu muncul seorang
manusia yang membuat Han Sin menjadi kaget dan heran bukan main.
Orang itu tinggi sekali, hampir dua kali orang biasa, kurus kelihatannya seperti tengkorak saking
tingginya. Tanpa banyak cakap si tinggi ini menyerang Han Sin dengan dua tangannya yang
berlengan panjang sekali. Han Sin cepat mengelak, akan tetapi kedua lengan itu seperti dapat mulur
panjang, terus mengejarnya dengan pukulan yang amat keras. Han Sin cepat menangkis dengan
lengannya. "Plakk!" Terkejutlah Han Sin ketika mendapat kenyataan bahwa kesehatannya belum pulih benar
sehingga pertemuan lengan ini membuat ia hampir terpelanting, biarpun ia melihat orang tinggi
itupun kaget dan gempur kuda-kuda kakinya. Han Sin bukan gentar karena si tinggi itu bertenaga
besar, akan tetapi gelisah karena merasa bahwa tenaganya sendiri baru pulih setengah bagian saja.
Andaikata ia tidak selemah ini, tentu sekali tangkis ia sanggup membikin si tinggi terlempar.
Sementara itu, Bhok Kian Teng tidak tinggal diam. Sambil tersenyum mengejek ia lalu
menggerakkan sepasang senjatanya yang aneh, melakukan serangan kilat yang bertubi-tubi, Han
Sin kembali mengelak sambil berusaha merobohkan pangeran Mongol itu. Namun si tinggi tidak
memberi kesempatan, ia maju dengan serangan serangan susulan yang terpaksa menuntut seluruh
perhatian Han Sin. Kakek tinggi itu benar-benar lihai dan dia sendiri belum pulih kekuatannya,
maka sebentar saja Han Sin terdesak oleh Bhok-kongcu dan pembantunya yang aneh.
Selagi Han Sin kerepotan, tiba-tiba ia berseru kaget dan wajahnya pucat. Apa sebabnya" Ia melihat
Bi Eng mencabut pedang, meloncat ke dalam pertempuran dan ........ menyerang dia dengan tusukan
tusukan hebat menggunakan Ilmu Silat Thian-po-cin-keng yang telah dilatihnya di Min-san, yaitu
tiga jurus yang amat berbahaya. Hampir saja ujung pedang Bi Eng menembus dadanya biarpun Han
Sin sudah mengelak, tetap saja bajunya di bagian dada tertusuk bolong oleh pedang itu saking
hebatnya jurus Heng-pai Kwan Im yang dimainkan oleh Bi Eng.
"Eng-moi ...... kenapa kau serang aku .......?""
"Siapa Eng-moimu .........?" jawab gadis itu sambil menyerang lebih hebat lagi.
Han Sin mengelak, hampir tidak percaya kepada mata dan telinganya sendiri. Apa boleh jadi ada
gadis yang menyerupai Bi Eng, baik wajah maupun suaranya" Akan tetapi ...... tak mungkin, gadis
ini mainkan Ilmu Silat Thian-po-cin-keng dan hanya tiga jurus yang dimainkannya! Siapa lagi kalau
bukan Bi Eng"
"Eng-moi ...... ingatlah ..... aku Han Sin ....." serunya sambil melompat mundur.
"....... tutup mulutmu! Tak perlu banyak bicara ......!" gadis itu membentak lagi dan mengirim
serangan ke tiga. Tak salah lagi, inilah gerakan Ciu-po-thian-keng yang pernah ia ajarkan kepada
gadis itu di Min-san! Aduh, Bi Eng ...... Bi Eng, apakah yang telah terjadi" Bagaimana kau bisa
menjadi begini"
"Nona Tilana, jangan ladeni dia, mari kita serang dan bikin mampus anak penjahat Cia Sun ini!"
terdengar Bhok Kian Teng berkata kepada gadis itu.
Kasih Diantara Remaja Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Han Sin menjadi bingung. Bagaimana Bhok Kian Teng menyebut Bi Eng dengan nama Tilana"
Apakah pendengarannya sudah rusak, ataukah otaknya yang sudah menjadi gila karena luka-luka
hebat yang dideritanya" Karena tubuhnya memang masih lemah, ditambah keadaan yang amat
membingungkan dan menggelisahkan hatinya ini, apa pula para pengeroyoknya memang orang
yang berkepandaian tinggi, maka Han Sin tak dapat mengelak lagi ketika ujung pedang nona itu
menusuk ke arah perutnya! Han Sin sudah menerima nasib, ingin mati di tangan nona yang ia yakin
tentu Bi Eng ini. Akan tetapi, heran sekali ujung pedang itu tidak terus menusuk perut, melainkan
diselewengkan ke bawah dan hanya melukai kulit pahanya!
"Bi Eng ...... kau ......" Han Sin berseru girang kini tidak ragu-ragu lagi bahwa gadis ini tentulah Bi
Eng. Bagaimana tusukan yang sudah tepat akan mengambil nyawanya itu sengaja diselewengkan ke
bawah" Akan tetapi pada saat itu, sebuah tombak dari Bhok Kian Teng menyambar ke arah lehernya.
Baiknya Han Sin masih dapat mendengar sambaran ini dan cepat ia menggerakkan tubuhnya
dimiringkan dan terhindarlah ia dari bahaya maut. Pada saat itu, karena perhatiannya masih penuh
dengan Bi Eng yang hanya bergerak mengancam dengan serangan baru di depannya, Han Sin tidak
dapat menghindar serangan si jangkung yang mencengkeram pundaknya!
Han Sin mengerahkan sinkang, tapi ia mengeluh. Biasanya, kalau saja keadaannya tidak seperti itu
dan tenaganya sudah pulih semua, dengan pengerahan sinkang ini pasti orang takkan kuat
mencengkeramnya terus. Akan tetapi kali ini, si jangkung makin memperkuat cengkeramannya
sehingga lima jari tangan si jangkung itu seakan-akan tertanam ke dalam pundaknya dan tak
mungkin bagi Han Sin untuk melepaskan diri lagi.
Tiba-tiba terdengar suara halus menyebut, "Siancai ..... siancai ....." dan disusul suara bercuitan
yang nyaring dibarengi sinar kuning emas berkelebatan bagaikan ular panjang menyambar. Sinar
kuning emas ini ternyata adalah sehelai tambang sutera panjang kecil yang melayang dari atas,
ujungnya menyentuh tangan si jangkung yang mencengkeram pundak Han Sin.
Si jangkung mengeluarkan keluhan kesakitan, pegangannya terlepas karena begitu tangannya
tersentuh ujung tali sutera itu, ia merasa seluruh tubuh seperti tersambar kilat. Tali sutera itu tidak
berhenti, terus melayang dan melibat kaki Han Sin. Sebelum Bhok Kian Teng dan dua orang
kawannya sempat menyerang lagi, tahu-tahu tubuh Han Sin sudah melayang ke atas, ditarik
tambang sutera yang dipegang oleh seorang wanita yang berpakaian sebagai seorang pendeta dan
berdiri di atas puncak bukit batu kecil.
"Kurang ajar!" Bhok Kian Teng berseru marah ketika melihat calon korbannya tertolong oleh
seorang wanita setengah tua berpakaian pendeta dan kelihatannya amat lemah. Melihat Han Sin
sudah berlutut di depan wanita itu di atas batu, pangeran ini lalu menggerakkan tangannya. Jarumjarum
hitam menyambar ke arah Han Sin dan wanita pendeta itu. Akan tetapi, ia berdiri bengong
ketika melihat betapa hanya dengan mengibaskan lengan bajunya yang lebar, wanita itu telah
membuat semua jarum runtuh di tengah jalan, jauh sebelum sampai di tempatnya.
Si jangkung juga marah, menggerakkan kedua tangan yang sudah mengangkat sebuah batu besar,
dilontarkan ke arah pendeta wanita itu. Sekali lagi wanita itu mengebutkan lengan baju dan batu itu
hancur di tengah jalan. Ketika Bhok Kian Teng dan kawan-kawannya memandang lagi, ternyata
wanita itu bersama Han Sin telah lenyap dari atas batu. Dengan amat penasaran mereka meloncatloncat
ke atas, akan tetapi tidak kelihatan bayangan wanita itu lagi, juga Han Sin tidak nampak.
Dengan marah dan penasaran, mereka lalu pergi dari situ. Bhok Kian Teng tidak berani lama-lama
tinggal di tempat itu karena ia maklum bahwa dirinya sedang dikejar-kejar oleh orang-orang
Mancu. Ia ingin mencari kawannya yang lari cerai-berai, untuk menyusun kekuatan baru.
Siapakah pertapa wanita yang amat sakti dan yang sudah menolong Han Sin tadi" Mari kita ikuti
Han Sin untuk mengenal wanita itu. Ketika Han Sin merasa dirinya dilibat tali sutera dan ditarik ke
atas, ia maklum bahwa ada orang pandai menolongnya. Ia menurut saja karena dia sendiri sedang
bingung dan gelisah melihat keadaan gadis itu setelah berada di atas batu, pertapa wanita itu
mengajaknya pergi.
Han Sin menurut saja dan ia mengerahkan ginkangnya untuk mengimbangi kecepatan larinya
pertapa wanita itu. Ia merasa sukar untuk dapat menandingi pertapa itu. Kalau saja tenaganya sudah
pulih semua, kiranya ia takkan kalah dalam berlari cepat, sungguhpun harus ia akui bahwa selama
ini baru sekarang ia menyaksikan kepandaian yang begini tinggi.
Pertapa wanita itu beberapa kali melirik kepadanya dan sinar mata yang melembut dan halus itu
bersinar gembira. Nyata pertapa itu kagum sekali menyaksikan cara Han Sin berlari cepat. Di lain
pihak, apabila ada kesempatan, Han Sin mengerling ke arah pertapa itu. Ia mendapatkan kenyataan
bahwa pertapa itu belum tua benar, atau setidaknya belum kelihatan tua benar. Wajahnya berkulit
putih orang gadis remaja. Sukar untuk menaksir usianya. Diam-diam ia tercengang dan kaget kalau
ia teringat. lnikah Pek Sin Niang-niang"
Pertapa wanita itu mengajaknya mendaki sebuah puncak dan berhenti di depan sebuah pondok
kecil. Keadaan di tempat itu indah sekali, bersih dan hening, tepat benar untuk tempat bertapa.
Tanpa ragu-ragu Han Sin menjatuhkan diri di depan pertapa itu dan berkata,
"Teecu sekali lagi menghaturkan terima kasih atas budi pertolongan cianpwe."
Pertapa itu tersenyum ramah. "Orang muda, kau siapakah" Bagaimana kau bisa sampai di tempat
seperti ini?"
"Teecu bernama Cia Han Sin dari Pegunungan Min-san. Teecu sengaja datang ke Go-bi-san untuk
mencari dan menghadap Pek Sin Niang-niang. Teecu mohon petunjuk cianpwe di mana kiranya
teecu dapat bertemu dengan Pek Sin Niang-niang."
"Orang muda she Cia, ada keperluan apakah kau hendak mencari Pek Sin Niang-niang?"
Han Sin mempunyai dugaan bahwa wanita ini tentu mempunyai hubungan baik dengan Pek Sin
Niang-niang, atau mungkin bahkan dia sendirilah pertapa itu, maka tanpa ragu-ragu lagi ia lalu
menuturkan maksudnya mencari pertapa itu sesuai dengan pesanan Yok-ong Phoa Kok Tee.
"Siancai ......, siancai ........" Pertapa wanita itu memuji. "Kok Tee dapat bersikap demikian di hari
tuanya, benar-benar menyenangkan sekali! Orang muda, Phoa Kok Tee itu menyuruhmu datang
mencari Pek Sin Niang-niang di sini, sebetulnya sama sekali bukan karena hendak mintakan obat
akan guna dirinya sendiri, melainkan bermaksud mintakan obat untukmu! Orang seperti kami ini,
mana masih hendak terikat oleh budi dan dendam" Kok Tee sudah kehilangan ilmunya karena
mempergunakan It-yang-ci, di dunia ini siapa bisa memulihkannya" Diapun sama sekali tidak
menghendaki pembalasanmu karena dia tidak pernah mau menanam perasaan sudah menolongmu.
Orang muda, hanya manusia yang masih mau menghambakan diri kepada pengaruh budi dan
dendam, dialah yang selalu akan menjadi barang permainan Karma. Bagi kami, tidak ada lagi istilah
menolong, yang ada hanyalah kewajiban yang harus dipenuhi, seperti kewajiban pinni (aku)
sekarang ini memenuhi pesan Phoa Kok Tee menyembuhkanmu."
Han Sin menjadi girang sekali, juga amat terheran. Sekali lagi ia memberi hormat sambil berlutut.
"Mohon ampun bahwa teecu masih ragu-ragu tadinya bahwa teecu benar berhadapan dengan Pek
Sin Niang-niang."
"Memang pinni sendiri yang mempunyai sebutan Pek Sin Niang-niang. Phoa Kok Tee adalah murid
keponakanku. Cia-sicu, sebelum aku melanjutkan usaha Kok Tee menyembuhkanmu, perlu aku
tahu lebih dulu apa yang menyebabkan kau terluka demikian hebat sampai-sampai Kok Tee harus
mempergunakan It-yang-ci ilmu keturunan kami itu untuk menyembuhkanmu."
Dengan jujur dan jelas Han Sin menuturkan tentang tugasnya yang sudah ia janjikan kepada
Pangeran Yong Tee untuk mencari dan melindungi Hoa-ji, kemudian menuturkan betapa ia bertemu
dan bentrok dengan Pak-thian-tok Bhok Hong sampai ia terjebak dan dilukai secara curang dan
betapa dalam keadaan pingsan ia tertolong oleh Ciu-ong Mo-kai dan Lie Ko Sianseng dibawa ke
tempat kediaman Yok-ong Phoa Kok Tee.
Pek Sin Niang-niang mendengarkan sambil mengangguk-angguk, juga kelihatan agak heran
mendengar bahwa pemuda ini sudah berani menentang Pak-thian-tok Bhok Hong. "Ciu-ong Mo-kai
sudah lama pinni dengar sebagai seorang yang bersemangat gagah perkasa. Tentang Lie Ko
Sianseng, tidak banyak pinni mendengar. Pak-thian-tok Bhok Hong adalah seorang pandai yang
amat berbahaya, heran kau semuda ini sudah berurusan dengan dia, Cia-sicu. Tapi, sudahlah, urusan
dunia memang amat menyulitkan hidup dan meruwetkan hati dan pikiran. Harap sicu kerahkan
sinkang untuk melawan tekananku untuk mencoba dan melihat keadaanmu."
Setelah berkata demikian, dengan gerakan perlahan dan halus, pertapa wanita itu menggunakan jari
telunjuk kanannya menekan pundak Han Sin. Pemuda ini tanpa ragu-ragu mengerahkan sinkang di
dalam tubuhnya untuk melawan tekanan yang halus itu. Biarpun ia mengerahkan seluruh tenaga,
namun yang keluar hanyalah setengah bagian saja. Betapapun juga, ia mendengar pertapa itu
mengeluarkan seruan perlahan, seruan terheran.
"Siancai ......, siancai ......." Pantas saja kau berani menentang Pak-thian-tok Bhok Hong. Tak
tahunya kau telah mewarisi ilmu yang hebat sekali, orang muda .........!"
Diam-diam Han Sin kagum sekali. Hanya dengan menekan pundaknya saja pertapa ini dapat
mengetahui keadaannya, benar-benar harus diakui bahwa pertapa ini sakti dan pandai, setidaknya
ahli dalam ilmu pengobatan kalau bukan sakti dalam ilmu silatnya yang memang sudah dibuktikan
ketika menolongnya tadi.
"Ilmu It-yang-ci yang dikorbankan oleh Phoa Kok Tee sudah menyelamatkanmu, orang muda,
sungguhpun demikian, namun sebagian tenaga sinkangmu tenggelam dan Phoa Kok Tee tidak
sanggup untuk menyembuhkan ini. Itulah sebabnya ia menyuruh kau pergi menemui pinni."
"Mohon belas kasihan Niang-niang, mohon Niang-niang sudi menolong," kata Han Sin.
Pertapa itu tersenyum. "Kau telah berada di sini, sudah menjadi kewajibanku untuk coba
memulihkan keadaanmu. Memang sayang kalau kepandaian yang telah kaumiliki itu tenggelam
setengah bagian. Akan tetapi, untuk menyembuhkan sama sekali, kau harus tinggal di sini
sedikitnya satu bulan, melakukan samadhi menurut petunjuk-petunjukku ........"
Kagetlah Han Sin. "Mana bisa begitu lama ......?" Ia lalu menuturkan keadaannya, betapa ia harus
memenuhi janjinya kepada Pangeran Yong Tee untuk cepat menemukan Hoa-ji yang ia yakin
adalah adik kandungnya sendiri, betapa ia harus dapat membebaskan Bi Eng dari cengkeraman
Bhok Kian Teng, betapa ia amat cemas melihat sikap Bi Eng yang aneh.
Kesemuanya itu ia ceritakan kepada Pek Sin Niang-niang, tanpa tedeng aling-aling lagi, malah soal
Tilana pun ia ceritakan. Entah bagaimana, terhadap pertapa wanita yang berwajah lembut ini Han
Sin menaruh kepercayaan ikhlas dan tidak ragu-ragu atau malu-malu lagi untuk membuka semua
rahasia hatinya.
"Karena semua itulah, Niang-niang, saya mengharap belas kasihanmu agar supaya saya dapat
segera pulih kembali untuk pergi mengejar Bhok Kian Teng, menolong Bi Eng dan mencari Hoa-ji
akhirnya Han Sin menutup penuturannya dengan suara memohon.
Pertapa wanita itu mendengarkan semua penuturan Han Sin dengan penuh perhatian, kadangkadang
mengangguk-angguk, kadang-kadang menggeleng-geleng, tersenyum atau menarik napas
panjang. Kemudian mendengar permohonan Han Sin, ia nampak diam termenung, seakan-akan ia
sedang mengenangkan hal-hal yang sudah lama berlalu.
"Orang muda, kau terombang-ambing dalam lautan asmara, menjadi permainan cinta kasih yang
ruwet membelit-belitmu."
Kemudian tanpa memandang Han Sin dan dengan suara perlahan seperti sedang bicara kepada diri
sendiri, pertapa wanita itu berkata, "Memang, cinta adalah hal yang amat pelik, amat ruwet dan
penuh rahasia. Semenjak jaman dahulu, cinta menjadi bahan tulisan para sasterawan, bahkan
menjadi sebab-sebab permusuhan, pertengkaran, ya ...... malah pernah cinta menimbulkan perang
besar! Bagi orang orang muda, cinta kasih bisa membikin orang sebahagia-bahagianya, bisa
membikin orang sesengsara-sengsaranya, bisa menciptakan sorga dan bisa menciptakan neraka.
Karenanya, cinta kadang-kadang dipuji puji ada kalanya dimaki-maki. Padahal, Yang Maha Kuasa
menurunkan cinta kasih di hati manusia bukan sekali-kali untuk dijadikan alat atau sebab perusak.
Cinta kasih antara dua jenis muda menimbulkan daya tarik satu kepada yang lain, mempersatukan
mereka dan dari sinilah timbulnya kembang biak sesuatu makhluk. Cinta kasih antara sesama
manusia pada umumnya mempertebal prikemanusiaan, menimbulkan setia kawan, welas asih, dan
membangkitkan pribadi-pribadi suci. Akan tetapi, sayang seribu kali sayang .... setelah bersemayam
di dalam hati manusia, cinta kasih yang suci murni telah dikotori oleh pengaruh nafsu ......"
Han Sin mendengarkan sambil menundukkan kepala. Dia sendiri masih hijau dalam hal ini, dia
diombang-ambingkan cinta tanpa ia sendiri merasa. Dia jatuh bangun dengan cinta, suka menderita
karenanya. "Cia Han Sin, pinni tidak tega membiarkan kau bergelisah tentang orang-orang yang kaucari.
Memang ada jalan untuk memulihkan tenagamu. Kau terimalah sian-tan (obat dewa) ini dan setelah
kau telan, kau harus bersamadhi mengumpulkan semua tenaga sampai pulih kembali. Dengan bakat
dan kemampuanmu, kurasa dalam waktu satu, dua hari kau akan sembuh kembali. Setelah sembuh
kau boleh terus keluar dan tinggalkan tempat ini, jangan mencoba mencari pinni, karena pinni
sekarang juga akan turun gunung."
Han Sin menerima sebutir obat pil berwarna putih mengkilap seakan-akan terbuat dari pada perak,
dan sebelum ia sempat menghaturkan terima kasih kepada Pek Sin Niang-niang, pertapa wanita itu
sudah berjalan pergi dari situ, tidak menoleh lagi!
39. Duel Ilmu Silat dan Ilmu Kebatinan
Ketika menuruni Pegunungan Go-bi-san, Han Sin telah sembuh sama sekali, telah pulih kembali
semua tenaganya. Ia amat berterima kasih kepada Pek Sin Niang-niang, akan tetapi kepada siapa ia
harus mengucapkannya" Ia tak dapat berbuat lain kecuali berlutut dan mengangguk-anggukkan
kepala sambil mengucap terima kasih kepada Pek Sin Niang-niang di depan pondok pertapa itu,
kemudian dengan cepat ia turun gunung dan mulailah ia dengan penyelidikannya untuk mencari
Bhok Kian Teng.
Setelah muncul peristiwa Bi Eng yang begitu aneh, Han Sin ingin mendahulukan urusan ini.
Tadinya ia amat bernafsu hendak mencari Hoa-ji yang ia yakin adalah adik kandungnya, akan tetapi
setelah melihat Bi Eng bersama Bhok Kian Teng dan bersikap demikian anehnya kepadanya, ia
mengambil keputusan untuk mencari Bi Eng lebih dulu. Mengapa Bi Eng bersikap seperti itu" Dan
kenapa pula Bhok Kian Teng menyebutnya Tilana. Apa yang telah terjadi" Apakah Bi Eng, sudah
menjadi gila, ataukah dia, yang sudah miring otaknya" Han Sin benar-benar merasa gelisah
sungguhpun ada pula sesuatu yang aneh, sesuatu yang terasa di hatinya, yang membuat bulu
tengkuknya kadang-kadang meremang. Bisa jadikah Bi Eng sudah mengetahui bahwa dia puteri
Balita, maka lalu bersikap seperti itu" Ah, tak mungkin .......
Pergerakan Pangeran Galdan atau Bhok Kian Teng untuk memberontak terhadap pemerintah
Mancu boleh dibilang gagal. Bala tentaranya dihancurkan dan sudah cerai-berai. Akan tetapi selama
Pangeran Mongol ini belum tertangkap atau tewas, tentu akan muncul pemberontakan lain.
Memang Pangeran Galdan takkan mau menyerah begitu saja. Bhok Kian Teng diam-diam membina
lagi kekuatan, malah dengan amat lihainya ia mulai mencari-cari pembantu, menyamar sebagai
orang Han dan dengan beraninya pergi ke pelbagai tempat untuk secara rahasia menghubungi
kawan-kawan baru, kawan-kawan lama dan membangun lagi kekuatan yang sudah rusak.
Pada suatu hari Han Sin memasuki kota Potouw. Penyelidikannya yang dilakukan amat teliti,
bahkan dengan jalan menangkap dan mengancam beberapa orang Mongol yang ditemuinya di utara,
akhirnya ia dapat keterangan bahwa Pangeran Mongol itu kini berada di Potouw. Di kota ini
menyamar sebagai saudagar Han yang kaya raya. Han Sin maklum bahwa tidak akan mudah
mencari Pangeran Mongol itu, yang selain lihai dan cerdik, juga banyak sekali pembantupembantunya.
Bagaimana dia bisa mencari seorang Mongol yang menyamar di kota ini" Andaikata
benar Bhok-kongcu itu berada di Potouw, kiranya pangeran itu tentu akan melihatnya lebih dulu
dan siang-siang sudah akan bersembunyi.
Potouw adalah kota di daerah Mongol yang sudah "dibebaskan" oleh tentara Mancu. Penduduknya
terdiri dari campuran Bangsa Mongol dan Mancu, dan suku-suku bangsa lain di utara yang tidak
banyak jumlahnya. Ada juga orang-orang Han yang berdagang.
Ketika sore hari itu Han Sin memasuki kota, ia melihat ribut-ribut di pintu gerbang. Setelah dekat
dilihatnya seorang tosu tua sedang dikeroyok dan dipukuli oleh tiga orang Mancu yang berpakaian
sebagai penjaga-penjaga kota. Jelas kelihatan bahwa tiga orang Mancu itu berada dalam keadaan
mabok. Tosu tua itu tidak mau membalas, hanya menangkis dan bergerak ke sana ke sini menghindarkan
diri dari hujan pukulan. Melihat gerakan tosu itu, Han Sin terkejut. Itulah gerakan llmu Silat Cinling-
kun dan hal ini berarti bahwa tosu itu adalah seorang anggauta Cin-ling-pai. Han Sin cepat
melangkah maju ke tempat pertempuran, menggerakkan kedua tangannya dan di lain detik tiga
orang Mancu mabok itu sudah terlempar ke kanan kiri dan jatuh berdebugan sampai kepala mereka
benjol-benjol! Orang-orang yang menonton perkelahian ini, menjadi terheran-heran melihat seorang
pemuda Han berani menentang tiga orang tentara Mancu.
Seperti biasanya, tentara-tentara yang baru saja menang perang amat ditakuti orang. Akan tetapi,
tiga orang Mancu itu sendiri sudah lari tunggang-langgang setelah bertemu dengan orang yang lebih
kuat. Tadipun andaikata tosu Cin-ling-pai itu berani melawan dan merobohkan mereka, kiranya
mereka takkan begitu banyak berlagak. Orang-orang pemabokan semacam ini memang beraninya
hanya menghina dan menindas yang lemah atau yang tidak mau melawan. Begitu bertemu dengan
yang kuat, mereka akan lari ketakutan.
"Apakah totiang ini seorang anggauta Cin-ling-pai?" tanya Han Sin sambil mendekati tosu tua itu.
Tosu itu semenjak tadi sudah memandangnya penuh perhatian.
"Betul, dan siapakah taihiap?"
"Aku Cia Han Sin ....." Baru saja bicara sampai di situ, tosu itu sudah cepat-cepat menjura memberi
hormat. "Ah, kiranya bengcu sendiri yang menolongku. Sudah banyak pinto yang tua mendengar nama
besar bengcu, sayang ketika bengcu mengunjungi Cin-ling-san, pinto sedang, turun gunung.
Bengcu, harap suka ikut dengan pinto untuk menjumpai Hee-susiok."
"Hee Tojin ada di sini" Di mana dia?" tanya Han Sin girang. Kalau ada tosu-tosu Cin-ling-pai di
situ, berarti dia mempunyai sahabat-sahabat, dan tentu dia akan dapat bertanya tentang Bhok Kian
Teng. "Hee-susiok berada dalam keadaan luka parah. Mari, bengcu, harap cepat pergi sebelum orangorang
kasar itu datang membawa kawan-kawan mereka."
Berdua pergilah mereka memasuki gang yang berliku-liku, kemudian tosu itu mengajak Han Sin
memasuki sebuah rumah kecil. Di atas sebuah pembaringan kayu, duduklah Hee Tojin ketua Cinling-
pai, duduk dengan tubuh lemah, bersandarkan bantal. Napasnya tinggal satu-satu, agaknya
berada dalam keadaan yang payah sekali. Akan tetapi begitu melihat Han Sin memasuki kamarnya
bersama tosu itu, Hee Tojin nampak bersemangat.
"Cia-taihiap! Bagus kau datang ......." katanya dengan suara perlahan namun membayangkan
kegembiraannya.
Han Sin segera menghampiri tosu itu dan duduk di pinggir pembaringan.
"Hee-totiang, kenapa kau menjadi begini" Siapa yang melukaimu?" Melihat sekelebatan saja
tahulah Han Sin bahwa tosu tua ini terluka hebat oleh pukulan maut yang mengandung racun. Hawa
beracun membayang pada muka yang tua itu.
Tosu tua itu menarik napas berkali kali. "Kejadian aneh, taihiap ......, kejadian aneh sekali ..... Ciataihiap,
sebelum pinto menuturkan pengalaman pinto lebih dulu pinto bertanya, di mana adanya
adikmu, Cia-lihiap?"
Han Sin mengerutkan keningnya. "Justeru karena dialah aku berada di sini, totiang. Aku sedang
mencari adikku itu yang tertawan oleh Pangeran Galdan atau Bhok Kian Teng."
"Aahhh ...... kalau begitu betul dia ....... betul dia ...." Tosu itu berkata terkejut.
"Siapa yang kaumaksudkan" Apakah kau bertemu dengan adikku itu, totiang?" Han Sin bertanya
cepat. "Bukan saja bertemu, malah ..... malah pinto terluka olehnya! Ketika pinto melihat bayangan
Pangeran Galdan di kota ini, pinto mengejarnya, dia lari dan tiba-tiba muncul ..... seorang gadis
yang menyerang pinto secara tiba-tiba. Pinto mengenal dia sebagai Cia-lihiap, maka pinto tidak
Kasih Diantara Remaja Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menyangka akan penyerangan itu dan ..... dan beginilah keadaan pinto ....."
Han Sin makin kaget. Cepat ia memeriksa dada Hee Tojin dan menjadi ngeri hatinya. Bagaimana Bi
Eng memiliki pukulan beracun yang begitu keji" Itulah pukulan yang mengandung racun, pukulan
yang hanya bisa dipelajari oleh orang-orang macam Hoa Hoa Cinjin, Pak-thian-tok Bhok Hong,
atau Jin-cam-khoa Balita!
"Totiang, tidak salahkah penglihatanmu" Betulkah dia .... adikku itu yang ..... yang memukul dan
melukaimu .... ?" Wajah Han Sin menjadi pucat.
"Cia-taihiap, perlu apa pinto memfitnah orang, apalagi kalau orang itu Cia lihiap sendiri" Pinto
berani bersumpah, malah Cia-lihiap mengatakan bahwa namanya bukan Cia Bi Eng lagi, melainkan
...... eh, dia memakai nama orang Hui, kalau tidak salah, Tilana namanya."
Tak salah lagi, pikir Han Sin bingung. Dia yang menyerangku, atau Bi Eng itulah yang melukai Hee
Tojin. "Biarlah kucoba sembuhkan lukamu, totiang." Han Sin lalu menotok jalan darah di pundak
tosu itu, mengurut dada dan menggunakan hawa sinkangnya yang amat kuat mendorong keluar
hawa beracun dari tubuh tosu itu, malah menggunakan lweekangnya untuk mendorong darah yang
hitam keluar dari luka. Setelah muka tosu itu menjadi merah kembali, tanda bahwa ia terbebas dari
pada bahaya maut, Han Sin segera bertanya,
"Di manakah adanya ...... adikku itu" Dan di mana adanya Pangeran Galdan" Aku akan
mengunjunginya dan membongkar rahasia yang aneh ini."
Hee Tojin lebih dulu menghaturkan terima kasih atas pertolongan dan pengobatan, kemudian tosu
ini lalu meloloskan pedangnya, pedang Im-yang-kiam yang dulu ia terima dari Han Sin. "Ciataihiap,
harap kausuka menerima pedang ini. Tiada gunanya lagi bagi pinto, karena sekarang Cinling-
pai sudah cerai-berai dan pinto tidak menjadi ketua lagi. Dalam menghadapi Pangeran Galdan
dan para pembantunya yang amat lihai, pedang ini ada gunanya, taihiap. Pinto sendiri tidak dapat
membantu, biarlah kau memberi kepuasan kepada pinto dengan hiburan bahwa biarpun pinto tidak
membantu, namun pedang Cin-ling-pai, yaitu pedang Im-yang-kiam peninggalan suhu dan pendiri
Cin-ling-pai ini sedikit banyak berjasa dalam membasmi kejahatan dan membela bangsa."
Tadinya Han Sin hendak menolak, namun mendengar ucapan bersemangat ini, ia tidak tega untuk
menolak lagi. la mengucapkan terima kasih, menerima pedang dan menggantungkan di pinggang.
"Kalau kau hendak mencari Pangeran Galdan atau Bhok-kongcu, agaknya biar kau kelilingi seluruh
kota, kau takkan berhasil mendapatkannya taihiap. Pangeran Mongol itu cerdik sekali. Kau pergilah
ke sebelah barat kota, di situ terdapat sebuah gedung besar bekas rumah seorang pedagang Han
yang kaya-raya. Gedung itulah yang dibeli oleh Pangeran Galdan tanpa mengganti nama, yaitu
gedung keluarga Kwa, hartawan yang sudah pindah ke selatan itu."
"Bagus! Kalau begitu sekarang juga aku akan ke sana. Selamat tinggal, totiang."
"Harap kau berhati-hati, taihiap. Semoga berhasil," kata Hee Tojin.
Han Sin menempuh malam gelap mencari gedung itu. Gedung keluarga Kwa yang hartawan amat
dikenal orang dan sebentar saja ia sudah berdiri di depan gedung besar yang megah itu. Lampu
lampu masih bernyala dan dengan hati berdebar tegang, Han Sin menyelinap ke dalam gelap lalu
meloncat ke atas genteng rumah itu. Dengan hati-hati sekali ia memeriksa keadaan gedung
kemudian mengintai dari atas genteng, memeriksa setiap kamar. Ia melihat, pelayan-pelayan cantik
jelita dan teringatlah ia akan pelayan pelayan yang biasa mengikuti Bhok-kong cu. Tak salah lagi,
tentu di sinilah bersembunyi orang yang selama ini menjadi gara-gara segala keributan, Bhok Kian
Teng atau Bhok-kongcu, kini terkenal dengan nama Pangeran Galdan!
Di lain saat Han Sin sudah berada di atas sebuah kamar yang terang di mana duduk Bhok Kian
Teng seorang diri menghadapi meja! Ia melihat Pangeran Mongol itu tengah menulis di atas kertas
kuning dengan huruf-huruf hitam. Huruf-huruf besar dan indah. Memang pandai sekali Pangeran
Mongol ini menulis indah. Huruf huruf bersajak pula. Saking tertarik, dari atas genteng melalui
celah-celah yang dibuatnya, ia membaca tulisan itu.
"Menjadikan Turkistan " Tibet - Sin kiang sekutu. Menghancurkan semua barisan Mancu. Setelah
seluruh Tiongkok ditaklukkan Apa sukarnya mengusir sekutu bekas taklukan?"
Membaca tulisan ini, Han Sin menjadi marah sekali. Alangkah besarnya dan kejinya cita-cita
keturunan Jenghis Khan ini. Hendak mengajak negara tetangga untuk bersekutu merampas dan
menduduki Tiongkok, kemudian memukul sekutu ini yang dianggapnya hanyalah negara-negara
bekas taklukan nenek moyangnya, Jenghis Khan! Benar-benar seorang pemuda yang bercita-cita
besar tapi amat curang dan keji.
"Bhok Kian Teng, aku datang!" Han Sin berseru perlahan. Ia melihat pangeran itu kaget dan berdiri
dari bangkunya di belakang meja, akan tetapi di lain detik Han Sin sudah berdiri di depannya, hanya
terhalang meja di mana terbentang tulisannya tadi. Han Sin berdiri dengan keren, bertolak pinggang
sambil menatap wajah pangeran itu yang kelihatan pucat dan kehilangan akal.
Akhirnya Pangeran Galdan atau Bhok Kian Teng dapat menguasai ketakutannya, tersenyum lebar
dan berkata ramah, "Aha, kiranya orang gagah nomor satu di kolong langit yang datang
mengunjungiku. Kebetulan sekali, saudara Cia. Aku sedang kesepian dan membutuhkan sahabat
yang cocok untuk diajak mengobrol. Saudara Cia Han Sin, kau muda dan gagah, memiliki kelihaian
luar biasa. Kenapa kau menyia-nyiakan masa muda dan kepandaianmu" Akupun masih muda dan
biarpun tidak selihai kau dalam ilmu silat, namun aku memiliki kepandaian khusus dalam hal
ketatanegaraan dan ilmu perang. Mari kita bersatu, kita bersama merebut dunia ......"
"Gila! Siapa sudi mendengar obrolanmu, Bhok Kian Teng, kau apakan Bi Eng" Kau yang sudah
membunuh Ciu-ong Mo-kai, membunuh Lie Ko Sianseng, membunuh Thio-ciangkun, membunuh
banyak pula orang-orang gagah, patriot-patriot menjadi pengkhianat-pengkhianat. Kau apakan Bi
Eng" Di mana dia sekarang" Ayoh, kau lekas mengaku dan bebaskan Bi Eng!" Han Sin marah
bukan main, suaranya keras, matanya berapi dan telunjuk kirinya ditudingkan ke muka pangeran
itu, sedangkan tangan kanannya bertolak pinggang, sikapnya menantang dan mengancam.
Namun Bhok-kongcu hanya tersenyum ramah. Matanya memandang penuh ejekan. "Aku tidak
mengganggu adikmu, tidak melihat nona Bi Eng harap kau, jangan menuduh yang bukan-bukan
....." "Bohong! Setan pengecut. Seorang laki-laki berani berbuat harus berani menanggung resikonya,
harus berani bertang?gung jawab. Kau seorang laki-laki pengecut, dan ......."
"Diri sendiri pengecut, memaki orang lain, cih, sungguh tak tahu malu ......." Tiba-tiba terdengar
suara mencela, suara yang nyaring halus tapi ketus, yang membuat tersirap darah Han Sin dan
pemuda ini menoleh cepat. Bi Eng sudah berdiri di belakangnya!
"Bi Eng ......!"
Gadis ini berdiri dengan gagah dan keren, bertolak pinggang, gagang pedang tersembul di balik
pundak, sepasang matanya bernyala menatap wajah Han Sin.
"Bi Eng ..... adikku ........"
"Siapa adikmu" Cih, benar-benar tak tahu malu. Pura-pura tidak tahu lagi .......! Orang she Cia,
biarlah kubalaskan sakit hati ibuku yang sudah terhina oleh ayahmu!" Gadis itu mencabut
pedangnya, namun masih ragu-ragu melihat Han Sin berdiri seperti patung, pucat dan lemas.
"Nona Tilana, serang saja musuh kita ini!" kata Bhok Kian Teng sambil menendang meja di
depannya yang melayang ke arah Han Sin.
Tanpa menoleh Han Sin yang berdiri menghadapi gadis itu, membelakangi Bhok-kongcu,
menggerakkan kepalan tangannya ke belakang dan "brakkk!" meja dari kayu tebal itu hancur
berkeping-keping! Demikianlah hebatnya dan dahsyatnya pukulan pemuda itu, membuat Bhok Kian
Teng terkejut dan otomatis melangkah mundur saking jerihnya.
"Bi Eng, .... Eng-moi ..... kenapa kau sekarang bernama Tilana" Apa yang terjadi" Apa dosaku
terhadapmu ......" Andaikata betul kau sudah tahu ..... bahwa kau ...... bukan adik kandungku ......
mengapa kau jadi begini" Mengapa kau membenciku ....." Eng-moi ........?"
"Tutup mulutmu!" Bi Eng membentak dengan suara nyaring sambil menyerang dengan pedangnya,
menusuk tenggorokan Han Sin!
Akan tetapi bentakannya itu terdengar jelas oleh Han Sin bahwa di dalamnya terkandung isak
tangis! Pemuda ini bingung dan hancur hatinya. la cepat mengelak. Kerling matanya melihat betapa
Bhok Kian Teng sudah lenyap dari situ.
Tadinya ia hendak menangkap Pangeran Mongol itu yang ia kira tentulah menjadi biang keladi
semua peristiwa aneh ini. Akan tetapi pangeran yang licik itu sudah melenyapkan diri dan sebagai
gantinya, dari balik pintu belakang muncul tiga orang raksasa berkulit putih! la sudah mengenal
mereka, sudah mengetahui bahwa mereka adalah orang-orang lihai pembantu Bhok Kian Teng.
Andaikata di sini tidak ada Bi Eng yang ikut menyerangnya, tentu ia akan menghadapi dan
melayani tiga orang aneh itu mati-matian. Akan tetapi bagaimana dia bisa melawan Bi Eng"
Han Sin mengeluarkan pekik yang amat nyaring, pekik dari perihnya hati dan perasaannya, pekik
nyaring yang membuat gadis yang menyerang itu sekaligus menjadi lemas dan hampir roboh karena
kedua kakinya terasa lemas. Bahkan tiga orang aneh itupun terhuyung-huyung. Ketika mereka
sudah dapat menenangkan hati, ternyata Han Sin sudah lenyap dari tempat itu! Han Sin tidak
melihat lagi betapa gadis itu berlari memasuki sebuah kamar, membanting diri di atas pembaringan
dan menangis tersedu-sedu.
**** Berkali-kali Han Sin menyelidiki tempat itu. Akan tetapi alangkah kaget dan menyesalnya ketika
mendapat kenyataan bahwa keesokan harinya, gedung itu telah kosong! Tak seorangpun tahu ke
mana perginya Bhok Kian Teng bersama pembantu-pembantunya dan ke mana pula perginya Bi
Eng ...... ataukah bukan Bi Eng gerangan gadis itu"
Dengan hati kosong dan gelisah sekali Han Sin meninggalkan kota Potouw dan semenjak saat itu,
pikiran Han Sin menjadi tidak karuan. Terlampau berat tekanan batin yang dideritanya. Belum lagi
beres urusannya dengan Tilana yang amat berat menindih hatinya, sekarang ditambah lagi dengan
urusan Bi Eng yang amat aneh. Apakah yang terjadi dengan gadis itu" Tadinya ia tinggal di Tatung,
bersama Lie Hoa dan yang lain-lain. Kenapa tahu-tahu berada di utara, berkeliaran bersama
Bhok-kongcu, mengaku bernama Tilana dan bersikap memusuhinya" Malah seakan-akan sudah
tahu bahwa dia puteri Balita, terbukti dari ucapannya hendak membalaskan sakit hati ibunya yang
telah dihina oleh ayahnya!
Dengan adanya Bi Eng di samping Bhok-kongcu, kebencian Han Sin terhadap Pangeran Mongol itu
makin memuncak. Malah sekarang ia menjadi benci sekali kepada setiap orang Mongol.
Kehancuran hatinya membuat ia berpendirian lain sekarang. Setiap kali ia bersua dengan pasukan
Mongol yang sudah cerai-berai itu, tanpa ragu-ragu lagi Han Sin lalu mengamuk dan
membasminya! Tanpa disadari, kemarahan dan kebenciannya terhadap Bhok-kongcu membuat ia menjadi seorang
pembantu Mancu yang banyak jasanya. Setiap kali melihat orang Mongol, ia lalu menangkapnya
dan memaksanya memberi keterangan di mana adanya Pangeran Galdan. Dia terus mencari
pangeran ini dengan hati penuh dendam.
Pada suatu hari ia melihat sepasukan besar tentara Mancu menuju ke barat, melalui tapal batas
antara Mongolia dan Sin-kiang. Tentu mereka sedang mengejar-ngejar bala tentara Mongol, pikir
Han Sin. Oleh karena itu Han Sin lalu mengikuti dari jauh. Ketika menjelang senja barisan itu tiba
di selat gunung, tiba-tiba pasukan-pasukan Mongol yang dikejar itu membalik dan melakukan
serangan. Terjadilah perang di selat gunung. Barisan Mancu lebih besar jumlahnya, maka sia-sialah
bala tentara Mongol itu melakukan perlawanan.
Akan tetapi, setelah terdengar sorak-sorai riuh dari balik gunung, baru tahu orang-orang Mancu
bahwa mereka telah terjebak. Orang-orang Mongol itu ternyata telah mengatur siasat telah
bersekutu dengan suku-suku bangsa lain di daerah ini, mengerahkan pasukan-pasukan dari Sinkiang,
dari Mongolia Luar, bahkan ada pula pasukan Turkestan, lalu mengepung barisan Mancu
dari tiga jurusan! Perang tanding hebat terjadi, namun sekarang pihak Mancu yang mengalami
kerugian dan terdesak hebat.
Tadinya Han Sin hanya menonton saja pertandingan itu dari atas puncak. Ia tidak mau perduli.
Akan tetapi, ketika ia melihat bayangan Pak-thian-tok Bhok Hong, tak dapat ia menahan
kemarahannya. Segera ia berlari turun dari puncak untuk menghadapi musuh besar itu. Dari puncak
ke tempat peperangan itu bukan dekat, melalui hutan kecil dan jurang. Ketika tiba di tempat
pertempuran, Han Sin kehilangan Bhok Hong. Tidak dilihatnya lagi tokoh besar itu di antara
mereka yang masih berperang. Mayat bertumpuk-tumpuk, tanah banjir darah.
Tiba-tiba telinganya menangkap suara aneh seruan orang yang memiliki khikang yang amat tinggi.
Itulah tanda bahwa tak jauh dari situ terdapat orang-orang pandai sekali sedang bertempur. Han Sin
tidak perduli akan peperangan antara orang Mongol dan orang Mancu. Ketika tiba di situ dan
berada di tengah peperangan, siapa saja yang dekat dengannya dan mencoba menyerangnya, baik
tentara Mongol maupun tentara Mancu, tentu ia robohkan dengan pukulan atau tendangan. Setelah
mendengar seruan-seruan aneh itu, Han Sin lalu berlari pergi meninggalkan gelanggang
peperangan, terus berlari cepat menuju ke sebuah hutan di mana tidak terdapat tentara yang sedang
berperang. Dari sinilah datangnya seruan-seruan tadi.
Makin dekat dengan tempat itu, makin kagetlah Han Sin, di samping keheranannya. Suara-suara itu
benar-benar hebat, membuat jantungnya tergetar dan cepat ia harus mengerahkan lweekangnya
untuk menahan getaran-getaran itu. Makin tertarik hatinya. Tentu orang-orang luar biasa yang
sedang mengadu ilmu. Setelah dekat, benar saja dugaannya.
Ternyata Pak-thian-tok Bhok Hong sendiri yang sedang berhadapan dengan seorang kakek tua,
duduk bersila berhadapan dalam jarak tiga meter, saling bercakap-cakap mempergunakan tenaga
khikang yang hebat! Kadang-kadang mereka tertawa, juga dalam suara ketawa ini mengerahkan
tenaga untuk menindih lawan.
Dengan amat tertarik, Han Sin menyelinap di balik pohon besar dan mengintai, Bhok Hong duduk
bersila dengan tubuh tegak, matanya bersinar-sinar, mukanya tegang dan mulutnya membayangkan
kemarahan dan penasaran. Pada saat itu, terdengar kakek tua di depannya berkata, suaranya
perlahan, akan tetapi mengandung tenaga yang luar biasa,
"Pak-thian-tok, semenjak muda kita sama-sama berkelana di dunia, sama-sama melihat dan
mengalami bermacam hal. Semenjak itu kau selalu mengambil jalan sesat, sudah beberapa kali aku
menentangmu, memberi peringatan dan nasihat. Akan tetapi sampai sekarang kau bukannya
berubah. Malah makin jauh tersesat. Bhok Hong, apakah kau tidak takut akan kemurkaan Tuhan"
Apakah kau tidak mengenal Tuhan?"
Han Sin makin tertarik. Orang-orang tua ini agaknya tidak hanya mengadu ilmu kepandaian silat,
agaknya hendak berdebat pula tentang kebatinan dan tentang pengetahuan-pengetahuan yang
dalam. Filsafat-filsafat hidup, ini kesukaannya. Maka ia mendengarkan dengan penuh perhatian
sambil diam-diam menduga-duga siapa gerangan kakek di depan Pak-thian-tok Bhok Hong itu.
Kakek itu sudah tua sekali, pakaiannya sederhana dari kain putih yang kasar, rambutnya tak terurus,
akan tetapi bersih dan penuh uban seperti jenggotnya, panjang terurai ke belakang. Di dekat tempat
ia duduk bersila terdapat sebatang tongkat buruk sekali.
Menghadapi celaan kakek itu, Pak-thian-tok Bhok Hong tertawa bergelak, suara ketawanya nyaring
sekali sampai Han Sin merasa betapa pohon yang disentuhnya tergetar!
"Ha ha ha ha! Hui-kiam Koai-sian! Kau bicara tentang Tuhan" Ha ha ha! Khong Cu sendiri orang
yang kalian orang-orang Han anggap sebagai nabi atau guru besar kebatinan, dia jarang sekali
menyebut-nyebut tentang Tuhan! Kurasa Khong Cu sendiri juga tidak mau tahu tentang Tuhan!"
"Kau keliru, Pak-thian-tok. Justeru karena Nabi Khong Cu amat mengenal Tuhan, amat tebal
imannya sehingga beliau menjadi amat setia dan taat kepada Tuhan, maka semua pelajaran yang
beliau ajarkan adalah sesuai dengan Ketuhanan ........"
"Koai-sian! Kau kira aku ini orang macam apa" Apa kaukira aku belum pernah membaca kitabkitabnya"
Khong Cu hanya mengajarkan tata susila hidup, mengajarkan prikemanusiaan, bukan
Ketuhanan. Pernahkah Khong Cu menyebut-nyebut tentang sabda Tuhan, tentang kegaiban Tuhan"
Itu tandanya dia tidak mau mengenal Tuhan!"
"Kembali kau keliru, Pak-thian-tok. Ketuhanan merupakan dasar kepercayaan, merupakan iman dan
pegangan bagi manusia bahwa di alam semesta ini, ada kekuasaan Tertinggi yang mengatur dan
menentukan segala sesuatu, kekuasaan tertinggi Yang Maha Kuasa dan Maha Tinggi, yang tak
terselami alam pikiran manusia. Ketuhanan ialah iman pada Yang Maha Kuasa. Karena imannya
sudah penuh dan ketaatan dan kesetiannya terhadap Tuhan sudah mutlak, maka Nabi Khong Cu
mengajarkan tata susila hidup dan prikemanusiaan pada umat manusia."
"Apa kataku tadi" Dia hanya mengajarkan prikemanusiaan dan jangan kau campur-campur tentang
prikemanusiaan itu dengan Ketuhanan," bantah Bhok Hong.
"Diumpamakan pohon, Ketuhanan adalah akar dan batangnya, prikemanusiaan adalah cabangcabang,
ranting-ranting dan daun-daunnya. Bagaimana tidak harus dicampurkan" Karena memang
tidak bisa dipisahkan satu dari yang lainnya. Ketuhanan merupakan iman kepercayaannya, adapun
prikemanusiaan merupakan jalannya atau cara membuktikan adanya iman itu. Prikemanusiaan dan
tata susila hidup bukan lain adalah prikebajikan, yang berarti pula hukum yang ditentukan oleh
Tuhan. Ketuhanan tanpa prikemanusiaan takkan berarti karena tanpa bukti perbuatan yang nyata,
sebaliknya prikemanusiaan tanpa Ketuhanan dapat menyeleweng karena tidak berdasar pada
sumber atau pokoknya. Karena itu, Nabi Khong Cu mengajarkan tentang mempertebal tata susila
hidup dan prikemanusiaan, karena kebiasaan-kebiasaan baik akan mendatangkan watak yang baik,
dan semua ini sebetulnya hanyalah jalan untuk mendekatkan orang kepada Tuhannya."
"Ha ha ha, Koai-sian, kau memang tukang omong! Omong kosong belaka! Kau sebut-sebut nama
Tuhan itu berarti bahwa manusialah yang menciptakan sebutan Tuhan! Tuhan itu apa sih" Tak
dapat kuraba, tak dapat kulihat, tak dapat kedengarkan suaranya. Mana ada Tuhan" Kalau benar
ada, Hui-kiam Koai-sian, coba kau keluarkan, biar kulihat dan kuraba dia!"
Hui-kiam Koai-sian tersenyum sabar. Han Sin yang mendengarkan di balik pohon menjadi makin
tertarik. Hebat "perang tanding" kebatinan ini, pikirnya.
"Tak salah kata-katamu tadi bahwa sebutan Tuhan, seperti juga sebutan lain yang diucapkan oleh
bibir, adalah ciptaan manusia. Demikian pula sebutan untuk Yang Maha Kuasa yang diucapkan
oleh manusia-manusia berbangsa lain dengan bahasa mereka yang berbeda. Namun, se?perti juga
langit dan bumi, disebut apapun juga oleh bahasa apapun di dunia ini, ke?nyataannya tetap ada
langit dan bumi itu. Demikian pula Tuhan, biarpun ada seribu satu macam sebutan di dunia ini
sesuai dengan bahasa masing-masing, sebetulnya hanyalah Satu, yaitu Yang Maha Kuasa."
"Sekarang, kalau memang betul Tuhan itu ada, kau keluarkan biar kulihat dia, Koai-sian." Bhok
Hong menantang, mengejek.
"Bicara dengan seorang yang berwa?tak curang memang harus siap menghadapi segala macam tipu
muslihat omongan, Pak-thian-tok. Kukatakan tadi bahwa Ketuhanan adalah soal iman, tinggal
percaya atau tidak."
"Buktikan! Buktikan kalau memang ada, jangan putar balik omongan!"
"Sabarlah, tentu saja aku bisa buktikan, akan tetapi ada syaratnya."
"Bagaimana, teruskan!" Bhok Hong menantang.
"Pak-thian-tok Bhok Hong, aku tidak berani mengatakan bahwa kau seorang yang tidak mempunyai
pikiran. Kau tentu mempunyai pikiran, bukan?"
"Tentu saja! Bahkan pikiranku lebih terang dari pada pikiranmu!"
"Tentu ....., tentu .....! Dan kaupun tentu mempunyai nyawa, ataukah ..... barangkali kau sudah tidak
bernyawa lagi ......?"
"Setan! Kalau aku tidak bernyawa tentu aku mampus. Tentu saja aku mempunyai nyawa!"
"Nah, begitulah, Pak-thian-tok. Aku sudah membuktikan kepadamu tentang adanya Tuhan, apakah
kau masih tidak mengerti?"
Bhok Hong melengak heran. "Mana dia, Tuhanmu itu" Apa maksudmu?"
Hui-kiam Koai-sian mengelus-elus jenggotnya yang putih. "Kau tadi minta aku mengeluarkan
Tuhan. Aku akan dapat mengeluarkan Tuhan untuk kaulihat dan raba. Pak-thian-tok, asal saja
kaupun bisa mengeluarkan pikiran dan nyawamu untuk kulihat dan kuraba! Bukankah kau mengaku
bahwa aku mempunyai pikiran dan nyawa" Nah, akupun mengaku bahwa aku mempunyai Tuhan.
Kau keluarkanlah pikiran dan nyawamu, dan aku akan mengeluarkan Tuhanku. Bagaimana?"
Pak-thian-tok tak dapat menjawab. "Itu ..... hal itu ..... ah, kau telah menipu dan menjebakku!"
Kasih Diantara Remaja Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Hui-kiam Koai-sian menggeleng kepala. "Tidak sama sekali. Kau harus mengakui bahwa memang
ada hal-hal yang tidak kelihatan, tidak dapat diraba oleh panca indera, namun yang dapat dirasa
oleh hati kita. Dan rasa itulah yang mengenal adanya pikiran dan nyawa atau hal-hal lain yang tidak
mempunyai wujud yang dapat dilihat atau dirasa oleh panca indera."
Pak-thian-tok Bhok Hong merasa terpukul dan terdesak. Ia mendengarkan saja uraian Hui-kiam
Koai-sian yang sedang memberi "kuliah" kepadanya tentang Ketuhanan. Ia maklum bahwa di
dalam suaranya, Hui-kiam Koai-sian telah mengerahkan khikang yang takkan mungkin ditembusi
oleh penyerangan gelap dari pengaruh suara lain. Diam-diam Pak-thian-tok Bhok Hong
mengerahkan tenaga ke dalam sepasang lengannya dan bersiap si?aga untuk melakukan
penyerangan tiba-tiba.
Hui-kiam Koai-sian agaknya tidak melihat akan tetapi Han Sin yang dapat menduga, karena
pemuda ini melihat betapa Pak-thian-tok Bhok Hong memusatkan perhatian, mengatur napas dan
kedua lengannya perlahan-lahan berubah hitam, tanda bahwa kakek itu menyalurkan tenaga Hektok-
sin-kang. Pemuda ini merasa khawatir sekali. Ia sudah mendengar nama Hui-kiam Koai-sian
sebagai pencipta ilmu Lo-hai Hui-kiam yang ia pelajari dari Giok Thian Cin Cu, maka secara tidak
langsung kakek ini boleh dibilang masih terhitung gurunya sendiri dalam ilmu silat itu. Akan tetapi
iapun maklum bahwa dalam perang tanding antara dua orang tokoh besar ini amat tidak baik kalau
ia ikut-ikut, kecuali kalau melihat kakek itu dikeroyok. Maka ia hanya memandang dengan hati
berdebar sambil mendengarkan uraian Hui-kiam Koai-sian tentang sifat sifat Ketuhanan.
"....... mau tahu kekuasaan Tuhan?" Kakek itu melanjutkan uraiannya dengan mata setengah
berkatup. "Lihatlah di sekelilingmu ...... pasir, batu, rumput, kembang, awan, matahari ..... dan apa
saja yang dapat kaulihat. Alangkah hebatnya, alangkah indahnya semua itu. Semua itu sudah terang
ada dan semua yang ada tadinya dari tiada, karena itu yang ada tentu ada yang Mengadakan! Dia
yang Mengadakan inilah Yang Maha Kuasa. Betapa gaibnya kembang-kembang itu, dengan warna
tertentu, bentuk tertentu, lihat burung-burung terbang bersayap, ikan-ikan berenang di dalam air,
semua sudah sempurna semenjak tercipta. Itulah Kuasa Tuhan!"
Hui-kiam Koai-sian berhenti sebentar, menarik napas panjang, wajahnya berseri. "Mau tahu akan
kemurahan hati Tuhan" Lihat, semua yang tampak di dunia ini diberikan kepada kita! Setiap benda
di dunia ini ada gunanya, hanya terserah kepada kemampuan kita untuk menyelidiki apa kegunaan
tiap benda itu. Dan semua itu diberikan kepada kita tanpa minta balasan! Tidak, memilih dulu.
Bangsa apapun juga, mahluk apapun juga, yang jahat maupun yang baik, semua disamakan, semua
mendapat bagian, semua diberi anugerah itu......."
Pada saat itu, secara tiba-tiba Bhok Hong mengirim serangannya dari jauh, dengan memukulkan
kedua tangannya yang penuh hawa beracun Hek-tok-sin-kang itu ke depan, sepenuh tenaga. lnilah
penyerangan gelap yang amat berbahaya. Biarpun jarak di antara tempat mereka duduk ada tiga
meter lebih, namun penyerangan ini tak kalah berbahayanya dari pada pukulan yang menghantam
kulit dan daging secara langsung. Tenaga pukulannya mendatangkan angin yang hebat, yang
sebelum sampai pada sasarannya sudah membawa angin pukulan yang panas dan bersuara seperti
pedang diayun. Hui-kiam Koai-sian adalah seorang ahli silat tinggi yang banyak pengalamannya. Tentu saja,
biarpun perhatiannya tadi ditujukan kepada pembicaraannya, namun angin pukulan itu tidak
terlepas dari pendengarannya.
"Manusia curang .....!" keluhnya, maklum akan bahaya maut yang mengancamnya. Ia mengempos
semangatnya, menggerakkan tangan kiri setengah lingkaran di depan dada untuk menjaga bagian
tubuh ini sedangkan dua jari tangan kanannya ia tusukkan ke depan mengarah dada lawan untuk
menangkis atau menggempur serangan Pak-thian-tok Bhok Hong.
Han Sin membelalakkan kedua matanya. Ia mengenal gerakan yang dilakukan oleh kakek itu. Itulah
jurus Hui-kiam-kan-goat (Pedang Terbang Mengejar Bulan), jurus ke tujuh belas dari Ilmu Silat Lohai
Hui-kiam yang tiga puluh enam jurus banyaknya. Indah dan hebat gerakan itu dan ia maklum
pula bahwa memang jurus-jurus itulah yang paling tepat untuk menangkis serangan gelap yang
dahsyat dari Bhok Hong itu.
40. Pertemuan Saudara Kandung
Pemuda ini seakan-akan mendengar suara bertumbuknya dua tenaga dahsyat itu di tengah udara dan
maklum pula bahwa Hui-kiam Koai-sian menderita kerugian dalam bentrokan pertama ini. Dia
kalah persiapan dan kalah dulu, maka sebagian tenaga penyerangan Bhok Hong dapat mendobrak
pertahanan Hui-kiam Koai-sian dan terus menyerang dada kakek itu. Baiknya Hui-kiam Koai-sian
sudah menjaga diri sehingga biarpun tenaga pukulan Hek-tok-sin-kang itu mengenai dadanya,
namun sudah tertahan oleh tangan kiri yang dilingkarkan di depan dada. Betapapun juga, kakek ini
menjadi pucat seketika dan ..... muntahlah darah segar dari mulutnya!
Wajah Pak-thian-tok Bhok Hong membayangkan kegembiraan, akan tetapi mulutnya tertutup. Ia
hanya mengirim serangan lagi secara bertubi-tubi, semua dilakukan dengan tangan yang
mengandung cengkeraman-cengkeraman maut!
Biarpun Hui-kiam Koai-sian sudah terluka dan muntah darah, namun dengan tenang kakek ini
masih dapat menangkis semua serangan, malah kini mulai balas menyerang dengan Ilmu Silat Lohai
Hui-kiam yang amat lihai itu. Han Sin yang menonton pertandingan mati-matian yang dilakukan
dengan tenaga dalam sepenuhnya, dilakukan tanpa mengeluarkan suara karena semua tenaga
dikerahkan dalam pertandingan ini, diam-diam merasa amat kagum akan Ilmu Silat Lo-hai Huikiam
yang dimainkan kakek itu.
Ia baru tahu bahwa ilmu silat ini benar-benar hebat, kalau sudah dilatih secara sempurna, ternyata
yang tiga puluh enam jurus itu sudah cukup kuat untuk menghadapi serangan sedahsyat serangan
Pak-thian-tok Bhok Hong, malah dapat membalas dengan serangan yang tidak kalah ampuhnya.
Makin lama serang menyerang antara dua orang kakek yang duduk bersila sejauh jarak tiga meter
itu, makin hebat. Akan tetapi anehnya, gerakan mereka makin lambat. Jangan dikira bahwa mereka
kehabisan tenaga atau kelelahan, tidak sama sekali, pukulan-pukulan yang dilakukan makin lambat
ini sebetulnya malah makin berbahaya karena itulah tanda bahwa pukulan itu mengandung tenaga
dalam yang sepenuhnya. Seakan-akan tergetar udara sekeliling dua orang kakek itu. Tanpa
diketahui dan tanpa dilihat pula, tempat duduk mereka tergeser makin dekat tanpa mereka
menggerakkan kedua kaki yang bersila!
Sementara itu, sorakan-sorakan orang yang berperang di dekat gunung masih terdengar sayup
sampai dari tempat itu. Han Sin tak dapat membedakan lagi suara-suara itu dan tidak tahu
bagaimana kesudahan perang antara barisan Mongol dan barisan Mancu. Perhatiannya amat tertarik
oleh perang tanding antara dua orang tokoh di dunia persilatan yang pada masa itu kiranya sudah
boleh dianggap dua orang yang paling tinggi kedudukannya, tentu saja di bawah Pek Sin Niangniang
yang memiliki kesaktian luar biasa.
Tiba-tiba Han Sin dikejutkan oleh suara lengking yang luar biasa, serak seperti suara burung gagak,
seperti suara ketawa, akan tetapi lebih patut disebut ketawa iblis dari pada ketawa manusia.
"Hoa Hoa Cinjin ......" Han Sin segera mengenal suara ini dan jantungnya berdebar. Teringat ia akan
Hoa-ji dan ia mengharapkan tokoh jahat ini akan muncul bersama anak angkatnya, Hoa-ji.
Tepat seperti dugaannya. Dari jauh mendatangi dua bayangan yang cepat larinya dan tak lama
kemudian muncullah Hoa Hoa Cinjin, tosu jahat yang bermata luar biasa itu, bersama nona
berkedok, Hoa-ji! Tosu ini begitu melihat keadaan Pak-thian-tok Bhok Hong yang sedang
bertempur mati-matian melawan Hui-kiam Koai-sian, maklum bahwa dia sendiri tidak mungkin
dapat campur tangan dalam pertandingan antara dua orang tokoh besar yang kepandaiannya masih
beberapa tingkat lebih tinggi dari pada kepandaiannya sendiri.
Akan tetapi, dasar orang jahat, tiba-tiba dan sayangnya Han Sin terlalu memperhatikan Hoa-ji yang
membuat jantungnya berdebar kalau teringat bahwa di bawah kedok itu bersembunyi wajah adik
kandungnya sehingga pemuda ini tidak melihat gerakan Hoa Hoa Cinjin, tosu itu mengayun
tangannya dan sinar hijau menyambar ke arah tenggorokan Hui-kiam Koai-sian!
Pada saat itu, jarak antara Hui-kiam Koai-sian dan Pak-thian-tok hanya tinggal dua meter lagi.
Pertandingan antara mereka sedang terjadi dengan hebatnya. Dua pasang lengan itu bergerak-gerak,
saling serang dan saling desak, angin pukulan mereka membuat rambut dan pakaian mereka
bergerak-gerak seperti tertiup angin puyuh.
Pada saat sinar hijau dari beberapa batang Cheng-tok-ciam (Jarum Racun Hijau) itu menyambar ke
arah tenggorokan Hui-kiam Koai-sian, kakek ini kaget sekali akan tetapi ia tak sempat mengelak
karena sedang menghadapi desakan Bhok Hong. Anehnya jarum-jarum itu sebelum mengenai leher,
sudah runtuh semua ke bawah, seakan-akan tertolak semacam hawa yang ajaib. Hanya ada dua
batang yang terbangnya agak ke bawah, tepat menancap di pundak Hui-kiam Koai-sian yang
mengeluarkan rintihan perlahan. Gerakan kakek ini menjadi lambat karenanya, dan kini ia berada
dalam keadaan berbahaya, terdesak hebat oleh Bhok Hong, bahkan terkurung oleh rangkaian
penyerangan racun utara itu.
"Manusia curang .....!" Han Sin tak dapat menahan kemarahannya ketika menyaksikan hal ini dan
cepat ia melompat ke depan sebelum Hoa Hoa Cinjin sempat menggunakan jarum-jarumnya lagi.
Dapat dibayangkan betapa kagetnya Hoa Hoa Cinjin ketika melihat pemuda yang sakti dan aneh itu
muncul. Dia sudah tahu akan kelihaian Han Sin, maka begitu melihat pemuda ini muncul, cepat ia
mencabut pedangnya dan berteriak kepada Hoa-ji,
"Hoa-ji, ayoh kita gempur bocah siluman ini!"
Tanpa menjawab nona berkedok itupun mencabut pedangnya. Dua sinar gemilang berkeredepan
ketika ayah dan anak angkat itu maju menyerang Han Sin. Pemuda inipun tidak tinggal diam, cepat
meloloskan Im-yang-kiam yang dibelitkan di pinggangnya. Pertandingan seru terjadi di dekat dua
orang kakek yang masih mengadu ilmu secara mati-matian itu,
"Nona Hoa-ji, harap jangan ikut menyerangku. Aku .... aku membawa pesan Pangeran Yong Tee
untukmu ....." kata Han Sin sambil menangkis pedang Hoa Hoa Cinjin dan mengelak dari tusukan
Hoa-ji. Nona itu nampak ragu-ragu, akan tetapi karena tidak dapat melihat wajahnya, sukarlah
untuk menduga apa reaksi kata-kata yang diucapkan Han Sin ini.
Setelah ragu-ragu sebentar, nona itu menoleh ke arah Hoa Hoa Cinjin dan ..... menyerang Han Sin
lagi lebih sengit. Pemuda itu amat cerdik, dapat menduga bahwa andaikata benar ada hubungan
antara nona berkedok ini dengan Pangeran Mancu, tentu gadis ini takut kepada ayah angkatnya,
maka setelah ragu-ragu sejenak mendengar disebutnya nama Pangeran Mancu itu, setelah
memandang kepada ayah angkatnya lalu menyerang kembali.
Hoa Hoa Cinjin menyerang lagi, bahkan kini tangan kirinya ikut pula menyerang dengan ilmu
pukulannya yang ampuh, yaitu Cheng-tok-ciang (Tangan Racun Hijau) sedangkan tangan kanannya
menyerang dengan pedangnya yang cepat dan dahsyat gerakannya. Namun Han Sin selalu dapat
menghindarkan diri, malah sekali memutar pedang ia selalu dapat menangkis pedang dua orang
pengeroyoknya, membuat tangan Hoa-ji tergetar dan seperti lumpuh sedangkan Hoa Hoa Cinjin
juga tergetar telapak tangannya.
"Hoa Hoa Cinjin, kau dulu bersusah payah hendak membunuhku. Kalau aku menghendaki, apa
susahnya membalas semua itu" Akan tetapi aku tidak akan membalas ..... traaangggg!" Pedang di
tangan Hoa Hoa Cinjin terpukul hampir terlepas dari genggaman, sedangkan pedang Hoa-ji yang
menyambar leher Han Sin, dielakkan dengan menundukkan kepala secara mudah saja.
"Yang kukehendaki hanya pengakuanmu. Apakah nona Hoa-ji ini anak yang dulu kaurampas dari
tangan Kalisang si pemelihara macan?"
Hoa Hoa Cinjin nampak kaget dan marah. "Setan! Mau apa kau tanya-tanya urusan orang lain"
Hoa-ji adalah anak angkatku, kalau benar aku menyelamatkannya dari tangan pemelihara macan,
habis kau mau apa?"
Hampir saja Han Sin bersorak girang mendengar ini. Tak salah lagi, Hoa-ji adalah adik
kandungnya! Akan tetapi ia bergidik juga kalau teringat akan pertemuannya dengan gadis berkedok
ini dahulu. Gadis ini sedikit banyak sudah mewarisi sifat kejam dan liar dari ayah angkatnya.
"Hoa Hoa Cinjin, apakah kau dulu membunuh ayah bundaku di Min-san" Kau yang menghendaki
kitab wasiat, tentu kau menyerang mendiang ayahku pula!"
Keder juga hati Hoa Hoa Cinjin. Pemuda ini begini lihai, kalau saja tidak begini lihai tentu ia akan
menyombong dan mengaku saja membunuh Cia Sun dan isterinya, sungguhpun ia sama sekali tidak
melakukan hal itu dan sungguhpun ia tahu akan hal kematian mereka, akan tetapi untuk
menyangkal sama sekalipun ia merasa malu.
"Benar dulu aku datang ke Min-san. Aku tidak membunuh mereka, tapi aku tahu bagaimana mereka
tewas!" katanya kembali sambil menyerang lagi. Pada saat itu pedang di tangan Hoa-ji juga sudah
datang menusuk ke arah punggung Han Sin.
Pemuda ini kaget dan girang mendengar pengakuan Hoa Hoa Cinjin, maka cepat bagaikan kilat ia
menggunakan pedang Im-yang-kiam untuk "menempel" pedang Hoa Hoa Cinjin sehingga pedang
tosu itu tak dapat ditariknya kembali. Tangan kiri tosu itu yang memukul dengan Cheng-tok-ciang,
diterima oleh sambaran tangan Han Sin, dibarengi dengan tendangan ke arah kedua lutut tosu itu
yang serentak menjadi lemas, pedangnya terlepas dan ia jatuh berlutut. Pada saat itu, pedang Hoa-ji
sudah tiba, tepat menusuk punggung Han Sin. Alangkah kagetnya gadis itu ketika pedangnya
menusuk punggung yang seperti karet uletnya dan seperti baja kerasnya. Pedangnya meleset,
telapak tangannya lecet dan sakit! Cepat ia meloncat mundur dengan muka pucat.
"Hoa Hoa Cinjin, aku tidak akan membunuhmu. Tapi kau harus mengaku bagaimana matinya ayah
bundaku." "Kenapa kau memaksaku" Mau apa kau?" bentak Hoa Hoa Cinjin yang sudah tak berdaya itu.
"Orang tua, ketahuilah. Hal itu amat penting bagiku. Juga ketahuilah bahwa Hoa-ji ini, anak
angkatmu yang dulu kaurampas dari tangan Kalisang, dia ini bukan lain adalah anak ayah bundaku
juga, adik kandungku yang hilang semenjak kecil, ditukar oleh Ang-jiu Toanio ....."
Terdengar jerit tertahan dan Hoa ji yang berdiri di belakangnya hampir roboh terguling, pedang di
tangannya terlepas. Gadis berkedok itu menekan dadanya, kemudian lari pergi dari tempat itu.
"Hoa-ji, tunggu! Aku kakakmu sendiri, kakak kandungmu ......" Han Sin meninggalkan Hoa Hoa
Cinjin yang masih berlutut dengan mata terbelalak heran. Pemuda itu lalu mengejar Hoa-ji yang
berlari sambil menangis.
Hoa Hoa Cinjin teringat akan Bhok Hong. Kalau kakek Mongol itu tidak senang menghadapi Huikiam
Koai-sian, tentu dapat membantunya tadi menghadapi Cia Han Sin. Ia cepat menengok dan
alangkah kagetnya ketika melihat bahwa pertandingan antara dua orang kakek itu sudah mencapai
puncak yang paling berbahaya, tegang dan menentukan.
Dua orang kakek itu kini sudah duduk berhadapan dalam jarak dekat sekali, malah dua pasang
tangan itu sudah saling menempel, dua pasang telapak tangan saling tempel dan saling dorong.
Seluruh tenaga dalam dikerahkan, wajah mereka kerut-merut, penuh peluh, dari kepala mereka
nampak uap mengepul, mata mereka saling pandang tanpa berkedip, dan napas mereka sudah
terengah-engah!
Hoa Hoa Cinjin adalah seorang ahli silat tinggi, ia tahu akan arti pertandingan ini. Pertandingan
mati-matian dan seorang di antara mereka pasti akan tewas. Siapa menang dia mungkin hidup.
Keadaan mereka berimbang, keduanya berada dalam bahaya. Hui-kiam Koai-sian sudah amat tua,
namun nampaknya lebih tenang, kalau aku tidak bantu Pak-thian-tok, bagaimana Racun Utara itu
dapat menang"
Dengan keputusan ini, Hoa Hoa Cinjin yang kedua kakinya lumpuh karena tendangan Han Sin tadi,
tiba-tiba menggerakkan kedua pahanya dan tubuhnya melayang ke arah Hui-Kiam Koai-sian dari
belakang. Tangan kanannya berkelebat menghantam punggung Hui-kiam Koai-sian dengan pukulan
Cheng-tok-ciang.
"Bukkk!" Terdengar teriakan ngeri dan tubuh Hoa Hoa Cinjin terlempar ke belakang, dari mulutnya
keluar darah segar dan tosu jahat ini terbanting dengan mata mendelik, pingsan!
Perubahan hebat terjadi karena kecurangan Hoa Hoa Cinjin ini. Biarpun dengan sinkangnya yang
luar biasa Hui-kiam Koai-sian dapat merobohkan penyerang gelapnya, namun karena sebagian
tenaganya molos keluar, pertahanannya kurang kuat. Saat baik itu dipergunakan oleh Pak-thian-tok
Bhok Hong untuk menarik tangan kanannya yang tertempel pada tangan kiri lawan dan secepat kilat
jari jari tangannya mencengkeram leher Hui-kiam Koai-sian. Seketika itu juga jari-jari tangannya
amblas ke dalam leher lawan!
Akan tetapi dia sendiri yang menjerit karena pada saat itu juga yaitu dalam saat maut hendak
merenggut nyawanya, kakek gagah itu sudah berhasil menggunakan jari-jari tangan kirinya dengan
gerak tipu Hui-kiam-thian-sia (Pedang Terbang Turun dari Langit) menusuk ke arah jidat Bhok
Hong. Jari tangan itu menancap ke dalam jidat, merusak otak dan pada saat yang hampir bersamaan
nyawa kedua orang tua yang kosen ini melayang meninggalkan tubuh mereka.
Keduanya mati dalam keadaan masih duduk bersila, berhadapan dan dalam sikap yang mengerikan.
Tangan kanan Bhok Hong masih mencengkeram leher Koai-sian sebaliknya jari tangan kiri Koaisian
menancap ke jidat Bhok Hong! Hoa Hoa Cinjin masih rebah dengan mata mendelik, telentang
pingsan di dekat tempat itu. Suasana menjadi sunyi-senyap .....!
Han Sin terus mengejar Hoa-ji yang berlari cepat memasuki hutan, melompati jurang dan mendaki
gunung-gunung batu yang licin berbahaya. Akan tetapi Han Sin terus mengejarnya sambil
memanggil, "Hoa-ji, kau adik kandungku .... tunggulah ......!"
Akhirnya ia kehilangan Hoa-ji dan matahari sudah tenggelam, malam segera tiba dan keadaan amat
gelap. Terpaksa Han Sin menunda pengejarannya karena udara tiba-tiba menjadi amat gelapnya dan
melakukan perjalanan di daerah yang penuh jurang ini amat berbahaya. Semalam suntuk ia tidur,
mengaso di bawah batu besar. Pada keesokan harinya, pagi pagi sekali begitu terang tanah ia sudah
melanjutkan pekerjaannya, mencari-cari.
Akhirnya, alangkah girang hatinya ketika ia melihat tubuh Hoa-ji berbaring miring di bawah pohon,
tidur bertilamkan sehelai saputangan lebar. Agaknya gadis itupun terhalang larinya oleh udara yang
gelap malam tadi, kemudian tertidur di situ. Han Sin cepat meloncat menghampiri dan pada saat ia
menjatuhkan diri berlutut di dekat gadis itu, Hoa-ji terjaga dan membalikkan tubuhnya terlentang.
Alangkah kagetnya ketika ia melihat pengejarnya sudah berada di situ, berlutut di dekatnya.
"Pergi kau ......! Pergi ......!" teriaknya.
"Tidak, Hoa-ji. Sudah lama kau kucari, kau ..... kaulah Cia Bi Eng, kaulah adik kandungku yang
sebenarnya. Kau anak ayah bunda kita, adikku. Buktinya ada, yaitu ada tanda tahi lalat di mata kaki
kirimu. Coba kaulihat kau bukalah kedokmu itu aku kakak kandungmu sendiri!"
Han Sin menggerakkan tangan kirinya hendak merenggut kedok di depan muka Hoa-ji, akan tetapi
tiba-tiba tangannya gemetar karena ia teringat akan pengalamannya dengan Tilana! Juga hanya
karena membuka kedok ia terlibat dalam urusan yang memusingkan dengan Tilana.
Adapun Hoa-ji ketika mendengar ucapan Han Sin ini, mengeluarkan suara keluhan perlahan, lalu
bangun duduk dan suaranya terdengar gemetar,
"..... apa kau bilang ......" Tanda di kaki kiri ......?"
Dengan kedua tangan menggigil gadis berkedok itu lalu membuka sepatu kaki kirinya, terus
membuka kaos kakinya. Han Sin tentu saja malu untuk memandang, lalu membuang muka tidak
mau memandang ke arah kaki gadis itu. Pada waktu itu, kaki gadis yang selalu tertutup rapat oleh
kaos kaki dan sepatu, merupakan bagian tubuh yang amat dirahasiakan, merupakan bagian yang tak
boleh dipandang sembarang orang apa lagi laki-laki.
Tak lama kemudian Han Sin merasa dirinya dipeluk orang dan ia mendengar gadis itu menjerit
perlahan, "Kau benar .....! Kau benar ....., aku adik kandungmu ..... ah, kakakku ..... saudaraku tidak
mimpikah aku ....?"
Ketika Han Sin menengok, ia melihat seorang gadis cantik, tidak tertutup lagi mukanya, menangis
di pundaknya. Han Sin cepat memegang kedua pundak gadis itu, mendorongnya sedikit untuk dapat
memandang muka itu lebih nyata lagi. Mereka berpandangan, dua pasang mata bertemu, saling
selidik, mata kakak beradik kandung yang semenjak masih bayi dipisahkan orang. Keduanya
seakan-akan tertarik oleh sesuatu yang gaib, seakan akan merasa bahwa mereka sudah kenal baik
muka masing-masing, seperti orang yang dulu sudah kenal baik baru bertemu kembali.
"Kau ...... kau Bi Eng adik kandungku ....! Ayah ...., ibu ..... akhirnya anakmu berdua dapat saling
bertemu dan berkumpul kembali ....." Tak tertahankan pula air mata menetes turun dari sepasang
Kasih Diantara Remaja Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mata Han Sin ketika ia memeluk adik kandungnya.
"...... kakakku Han Sin ......, Sin ko, alangkah lamanya aku menanti-nanti saat seperti ini .......
alangkah besarnya rinduku terhadap ayah ibu ..... tidak kira ..... ayah ibuku adalah ayah bundamu
juga yang sudah lama meninggal dunia ..... ibu ......!" Dan gadis itu menangis menjerit-jerit sampai
akhirnya pingsan dalam pelukan kakaknya.
Hancur hati gadis itu ketika mendapat kenyataan bahwa ayah bundanya sudah meninggal. Semenjak
kecil ia maklum bahwa dia hanyalah anak angkat Hoa Hoa Cinjin, bahwa dia mempunyai ayah
bunda kandung. Akan tetapi Hoa Hoa Cinjin tak pernah mau mengaku, hanya menyatakan bahwa
ayah angkatnya itu menemukannya di dalam hutan, tidak tahu anak siapa. Alangkah besarnya rindu
hatinya kepada ayah bundanya, sering kali ia bermimpi bertemu dengan ayah bundanya. Sekarang,
ia bertemu dengan kakak kandungnya dan ternyata bahwa ayah bundanya sudah meninggal dunia.
Han Sin segera dapat mengendalikan perasaannya yang tadi terpengaruh oleh keharuan. Ia teringat
akan Hui-kiam Koai-sian yang sedang mengadu nyawa dengan Pak-thian-tok Bhok Hong, teringat
pula akan Hoa Hoa Cinjin yang terluka. Tiba-tiba ia menarik lengan adiknya. "Ayoh kita cepat
menemui ayah angkatmu itu dan minta penjelasan tentang kematian ayah bunda kita."
Hoa-ji yang sebetulnya bernama Cia Bi Eng yang "tulen" ini, tidak membantah, berlari di samping
kakaknya menuju ke dalam hutan di mana terjadi pertempuran antara dua orang tokoh besar itu.
Ketika mereka tiba di tempat itu, Hoa-ji mengeluarkan jerit tertahan melihat ayah angkatnya
menggeletak dengan wajah pucat dan merintih-rintih, terluka hebat. Betapapun juga, Hoa Hoa
Cinjin adalah ayah angkatnya yang sudah menaruh kasih sayang kepadanya semenjak ia kecil, yang
mendidiknya. "Ayah ....." Ia menubruk, maju dan berlutut, Hoa Hoa Cinjin tersenyum pahit.
"Hoa-ji ....., habislah ..... aku kali ini ......" bisik Hoa Hoa Cinjin. Kemudian ia memandang wajah
gadis itu penuh kekaguman. "Kau ..... sudah membuka kedokmu ...... sudah terbuka rahasiamu ....?"
Sambil terisak Hoa-ji mengangguk. Sementara itu, Han Sin yang sekelebatan memeriksa keadaan
dua orang kakek sakti, menarik napas panjang dan merasa kagum sekali. Dua orang kakek itu tewas
dalam keadaan duduk bersila dan saling serang! Kemudian iapun menghampiri Hoa Hoa Cinjin
yang sudah payah pula keadaannya.
"Ayah, dia ini adalah kakak kandungku ....." Ia mendengar Hoa-ji menangis sambil memeluk
ayahnya. "Aku adalah anak dari Min-san ........"
"Sudah kuduga ..... sudah kusangka demikian .... Ang-jiu Toanio memang kejam, menukar-nukar
anak!" Hoa Hoa Cin?jin terpaksa menghentikan kata-katanya karena menderita nyeri bukan main.
"Ayah, katakanlah sekarang, siapa yang membunuh ayah bundaku" Apakah yang menyebabkan
kematian mereka?" Hoa-ji bertanya, mendesak.
Hoa Hoa Cinjin menggeleng kepala. "Tidak ada .... tidak ada yang membunuh ...... isteri Cia Sun
..... cemburu kepada Balita ...... marah-marah, bunuh diri .... dan Cia Sun yang mencintai isterinya
..... menjadi kalap dan bunuh diri pula .... aduhhh, selamat tinggal ......" Hoa Hoa Cinjin
menghembuskan napas terakhir dalam pelukan anak angkatnya.
"Sin-ko, apa yang menyebabkan kematiannya?" tanya gadis itu kepada Han Sin sambil memandang
penuh kedukaan karena gadis ini mengira bahwa ayah angkatnya tewas akibat pertempuran
melawan Han Sin tadi.
Han Sin dapat menangkap isi hati adiknya. "Ayah angkatmu terkena pukulan yang hebat sekali.
Tadi ketika aku meninggalkannya, aku hanya merobohkannya dengan menendang kedua lututnya.
Agaknya ia terkena luka hebat oleh seorang di antara dua kakek sakti itu."
Suara perang di lereng gunung sudah tak terdengar lagi. Agaknya sudah selesai. Memang demikian
halnya, pasukan-pasukan Mongol sudah dihancurkan dan sedang dikejar-kejar ke barat oleh
pasukan Mancu. Keadaan sunyi sekali.
Akan tetapi tiba-tiba terdengar bentakan-bentakan keras dan dari balik gunung-gunung batu yang
besar berlompatan beberapa orang. Yang terdepan adalah orang jangkung pembantu Bhok Kian
Teng yang lihai itu, yang dulu mengeroyok Han Sin bersama Bhok Kian Teng dan Bi Eng. Kini
manusia aneh yang tinggi seperti pohon bambu itu muncul lagi, bersama beberapa orang pembantu
Bhok Kian Teng.
Bahkan Bhok Kian Teng sendiri tampak muncul di belakang orang-orang itu. Beberapa orang di
antara mereka yang terdepan menunggang kuda, agaknya mereka ini tadi bersembunyi karena kalah
perang dan sekarang siap hendak mengawal Bhok Kian Teng pergi dari situ. Melihat mereka
datang, Han Sin diam-diam terkejut dan khawatir.
"Kalau mereka melihat ayah angkatmu dan Pak-thian-tok tewas, tentu mengira aku yang
melakukannya dan kau disangka mengkhianati mereka. Adikku, kau tunggulah di sini, biar aku
merampas seekor kuda dan kita kabur dari sini. Perjalanan ke selatan amat jauh, lebih baik kalau
kita mempunyai seekor kuda yang besar dan kuat."
Hoa-ji hanya mengangguk saja, lalu bersembunyi. Han Sin dengan langkah lebar menghampiri
rombongan orang yang sudah melihatnya itu. Si jangkung itu begitu melihat musuh lamanya yang
dulu terlepas dari tangannya ketika ditolong Pek Sin Niang-niang, mengeluarkan suara aneh lalu
langsung menyerang dengan kedua tangannya yang berlengan panjang.
Han Sin tidak mau memberi hati lagi. Sekarang setelah tenaganya pulih semua, mana ia takut
menghadapi si jangkung ini" Serangan itu ia sambut dengan tangannya sambil mengerahkan tenaga.
"Plak!" Tangan si jangkung tidak terpental oleh tangkisan Han Sin, malahan menempel seperti
mengandung perekat yang kuat. Han Sin terkejut juga, mereka berdua berkutetan mengadu tenaga,
akhirnya si jangkung terpelanting dan bergulingan sampai empat lima meter ketika Han Sin
mengerahkan tenaga melemparkannya!
Orang-orang kepercayaan Bhok Kian Teng maju mengeroyok. Akan tetapi Han Sin meloncat tinggi,
sekali jambret sudah berhasil melemparkan seorang penunggang kuda dan tubuhnya sendiri turun di
punggung kuda itu.
"Pangeran Galdan, terima kasih atas pemberian kuda ini!" kata Han Sin yang cepat membedal
kudanya dari situ. Di dekat tempat persembunyian Hoa-ji ia berseru. "Kau loncatlah di
belakangku!"
Hoa-ji memang sudah bersiap-siap. Begitu kuda itu lewat ia meloncat dan tepat sekali ia duduk di
belakang tubuh Han Sin. Ia memeluk pinggang kakaknya dan kuda besar itu dibalapkan oleh Han
Sin cepat sekali. Dari belakang, si jangkung mencoba untuk mengejar, akan tetapi betapapun
panjang kakinya, sukar juga mengejar kuda yang dapat berlari demikian cepatnya. Apa lagi ia
memang agak jerih menghadapi pemuda yang demikian lihainya itu.
"Sin-ko kita mau pergi ke manakah" Apakah hendak kembali ke Min-san?" tanya Hoa-ji setelah
mereka berdua selamat melarikan diri dari kejaran Bhok Kian Teng dan kaki tangannya.
Han Sin menjalankan kudanya perlahan, mereka sudah tiba di perbatasan. "Adikku, terus terang
saja, sebelum aku dapat membuka rahasiamu dan mendapatkan bukti bahwa kau adalah adik
kandungku sendiri, aku memang sudah berjanji pada orang untuk membawa Hoa-ji ke selatan,
untuk menyelamatkan atau merampas dirinya dari lingkungan Pangeran Galdan. Apakah kau dapat
menerka siapa orang yang kuberi janji itu?"
Muka yang cantik itu menjadi merah sekali, akan tetapi Hoa-ji menggeleng kepalanya. "Aku mana
bisa menerka" Siapa dia?"
Han Sin menghentikan kudanya, meloncat turun sambil menarik tangan Hoa-ji. Dengan kedua
tangan adiknya dipegang, pemuda ini menatap wajah Hoa-ji dengan tajam lalu berkata dengan suara
sungguh-sungguh,
"Adikku, banyak sekali hal-hal yang harus kujelaskan kepadamu. Setelah kita saling bertemu
sebagai saudara kandung, tak perlu ada rahasia lagi di antara kita. Kau sudah mendengar tadi
ceritaku tentang keadaanmu semenjak kecil, ditukar-tukar oleh Ang-jiu Toanio, kemudian anak
Ang-jiu Toanio ditukar pula oleh Balita puteri Hui. Yang selama ini mengaku dan kuaku pula
menjadi adikku bernama Cia Bi Eng, sebetulnya adalah anak Balita! Aku sudah lama tahu akan hal
ini." Sam?pai di sini dia menarik napas panjang dan wajahnya muram. Teringat ia akan sikap Bi Eng
beberapa hari yang lalu, hatinya kecewa dan amat gelisah. Sampai sekarang masih belum tahu dia
apa yang menyebabkan Bi Eng bersikap seaneh itu.
"Bi Eng ......"
"Sin-ko, lebih baik kau menyebut Hoa-ji padaku. Nama itu kupakai semenjak kecil dan rasanya
tidak enak kalau tiba tiba diganti nama baru. Pula, bukankah nama Bi Eng sudah dipakai orang
lain?" bantah Hoa-ji dengan sikap manja.
Han Sin tertawa. Memang cocok dengan kehendak hatinya. Rasanya iapun akan merasa kecewa dan
janggal kalau harus memanggil Bi Eng dengan sebutan nama lain, apa lagi kalau harus memanggil
Bi Eng dengan nama barunya, Tilana! Nama Tilana ini hanya akan mengingatkan dia akan
pengalamannya yang amat ruwet dan tidak menyenangkan dengan gadis anak Ang-jiu Toanio itu!
41. Antara Dendam dan Cinta
"BAIKLAH, Hoa-moi (adik Hoa). Terus terang tadi kukatakan bahwa ada orang yang menyuruh
aku menyelamatkan engkau dan membawa engkau ke kota raja. Karena kau tidak mau mengaku,
biarlah kukatakan bahwa orang itu adalah Pangeran Yong Tee ...."
"Ahhh ....." Hoa-ji mengeluarkan seruan perlahan, wajahnya menjadi makin merah dan ia
membuang muka, tak berani menentang pandang mata kakaknya. Bibir yang manis itu tersenyumsenyum,
akan tetapi matanya ditundukkan, nampak malu sekali.
Han Sin memegang pundak adiknya. "Hoa-moi, kau tak perlu takut, atau malu-malu. Aku sudah
tahu, atau sedikitnya sudah menduga. Pangeran Yong Tee sudah bercerita secara terus terang bahwa
ada hubungan kasih antara kau dan dia. Hanya yang amat mengherankan hatiku, bagaimana dia bisa
jatuh hati kepada seorang gadis yang selalu berkedok seperti engkau ini. Benar-benar hebat ..."
Hoa-ji mencubit lengan kakaknya. "Sin-ko, jangan kau menggoda ....."
Han Sin tertawa senang. Sedikit banyak, ada persamaan antara Hoa-ji ini dengan Bi Eng. Akan
tetapi tiba-tiba suaranya menghilang karena ia teringat akan keadaan ini yang sebetulnya amat
bertentangan dengan hatinya. Hoa-ji adalah adiknya, adik kandungnya. Bagaimana bisa berkasihkasihan
dengan Pangeran Mancu, musuh besar bangsanya" Hoa-ji agaknya merasa akan perubahan
ini dan matanya yang bening kini menatap wajah Han Sin menyelidik.
"Hoa-moi, kau sekarang mengetahui bahwa kau dan aku adalah anak dari mendiang Cia Sun,
seorang patriot sejati yang sudah mendapat nama besar di dunia, terkenal sebagai seorang pahlawan
rakyat yang tidak segan-segan mengorbankan apa saja demi nusa dan bangsa. Aku sama sekali tidak
dapat menyalahkan kau yang semenjak kecil dipelihara dan dididik oleh Hoa Hoa Cinjin, yang
kemudian menghambakan diri kepada penjajah. Akan tetapi ..... setelah sekarang kau bertemu
dengan aku, setelah sekarang kau tahu bahwa kau adalah puteri seorang patriot bangsa, sudah tentu
sekali kau harus merobah keadaan hidupmu. Kita harus melanjutkan cita-cita ayah. Tentu saja tidak
tepat kalau kau membantu Bangsa Mongol yang dulu dimusuhi ayah. Pula amat tidak tepat kalau
kita membantu Bangsa Mancu yang menjajah tanah air ...." Han Sin melihat perubahan pada wajah
adiknya, menjadi pucat ketika ia menyebut kalimat terakhir ini. Ia dapat menyelami jiwa adiknya,
akan tetapi apa boleh buat, demi kebaikan adiknya sendiri, ia harus berterus terang.
"Hoa-moi, kuatkan hatimu. Aku tahu bahwa antara kau dan Pangeran Yong Tee ada ikatan kasih.
Akan tetapi .... dia seorang pangeran Mancu! Pangeran dari bangsa yang menjajah tanah air kita!
Kalau saja dia bukan pangeran, mungkin lain lagi soalnya. Tapi dia pangeran, seorang yang
berpengaruh pula di istana, yang aktif mengatur pemerintah Mancu. Pula .... dia mengenalmu dan
cinta kepadamu sewaktu kau masih berkedok. Dia belum pernah melihat wajahmu, bagaimana dia
bisa menyatakan cinta" Aku tidak percaya akan cinta yang demikian itu!"
"Sin-ko ".!" Dalam jerit tertahan ini terkandung isak.
Han Sin menepuk-nepuk pundak adiknya.
"Aku percaya akan kemurnian cintamu terhadapnya, adikku. Dan ..... terus terang saja akupun
agaknya tidak meragukan kejujuran hati pangeran itu. Hanya ... dia Pangeran Mancu, Hoa-moi dan
ini harus kau ingat baik-baik. Bagaimanakah roh ayah dapat tenteram di alam baka kalau melihat
puterinya ... berdampingan dengan musuh bangsa ....?"
"Sin-ko ...., kau menghancurkan hatiku ...." Gadis itu mengeluh.
Han Sin menarik napas panjang. Tentu saja ia dapat merasai kehancuran hati adiknya. Memang
berat menjadi korban cinta kalau gagal di tengah jalan. Akan tetapi Hoa-ji adalah adik kandungnya,
untuk mengingatkan, untuk mencegah penyelewengan yang tak disadari.
"Mari kita lanjutkan perjalanan, Hoa-ji."
"Ke mana .....?" Gadis itu bertanya lemah, menyerah.
"Ke Ta-tung."
"Eh, bukan ke Min-san?"
Ada suara girang dalam seruan ini. Han Sin juga maklum. Ta-tung adalah kota yang dekat kota raja
dan Pangeran Yong Tee sering kali datang ke Ta-tung yang dijadikan pusat pertahanan dari
penyerbuan Bangsa Mongol. Sebetulnya ia lebih suka mengajak Hoa-ji ke Min-san, jauh dari
Pangeran Yong Tee, akan tetapi .... Bi Eng! la harus menyelidiki Bi Eng di Ta-tung, harus bertemu
dengan gadis itu yang benar-benar menghancurkan perasaannya dan membingungkan hatinya.
Karena inilah maka ia hendak mengajak Hoa-ji ke Ta-tung lebih dulu sebelum melanjutkan
perjalanan ke Min-san.
"Tidak, Hoa-moi. Kita ke Ta-tung dulu, ada urusan di sana," jawabnya singkat. Hoa-ji juga tidak
bertanya lebih lanjut.
Beberapa hari kemudian tibalah mereka di Ta-tung. Alangkah kecewa hati Han Sin ketika melihat
perubahan besar sekali di kota ini. Kotanya masih ramai, malah lebih ramai dari pada dahulu. Akan
tetapi di sini tidak terlihat lagi orang-orang kang-ouw yang membantu Mancu. Hanya ada beberapa
pasukan serdadu Mancu menjaga kota. Agaknya karena tentara Mongol sudah dihancurkan dan
dipukul cerai-berai di sana-sini, kota ini dianggap sudah aman dan tidak menjadi pusat pertahanan
lagi. Lebih berat rasa hati Han Sin ketika mencari keterangan di sana-sini, tak seorangpun tahu ke
mana perginya orang-orang gagah dari selatan yang tadinya membantu pertahanan bala tentara
Mancu. Tak seorangpun tahu ke mana perginya Li Hoa, Li Goat, Yan Bu, Bi Eng, para tosu dan
lain-lain orang gagah.
Dengan penuh kekecewaan, Han Sin mengajak Hoa-ji bermalam di sebuah rumah penginapan. Tak
seorangpun mengenal Hoa-ji karena gadis ini baru sekarang muncul di muka umum dengan muka
tidak tertutup. Andaikata dia berkedok seperti biasa, setiap orang serdadu Mancu tentu akan
mengenalnya sebagai puteri Hoa Hoa Cinjin yang membantu orang Mongol dan tentu akan timbul
urusan hebat! Kakak beradik ini mendapat sebuah kamar besar dengan tempat tidur dua buah. Tadinya Han Sin
hendak minta dua kamar, akan tetapi ternyata kamar yang lain sudah tersewa orang, penginapanpenginapan
penuh sehingga terpaksa ia menerimanya juga. Bagaimanapun juga, Hoa-ji adalah adik
kandungnya. Apa salahnya tidur sekamar apalagi berpisah pembaringan"
Han Sin malam itu gelisah, tak dapat tidur. Ia melihat Hoa-ji segera tidur setelah membaringkan
tubuhnya. Bermacam pikiran mengganggu Han Sin, terutama sekali soal Bi Eng. Agaknya tak dapat
disangsikan lagi bahwa gadis itu sudah tahu akan keadaan dirinya yaitu bahwa dia adalah anak
Balita dan bernama Tilana. Akan tetapi andaikata sudah tahu akan hal itu, mengapa seakan-akan
membencinya dan malah mengeroyoknya" Mengapa pula membantu Bhok Kian Teng" Hal ini
benar-benar amat mengganggu hatinya, menggelisahkannya dan ia takkan mau sudah kalau belum
dapat membongkar rahasia baru ini. Aku harus bertemu dengannya, harus bicara dengannya dari
hati ke hati. Ah, .... Bi Eng ...!!" Dengan pikiran ini dan nama gadis ini di bibirnya, akhirnya Han
Sin tertidur juga menjelang tengah malam.
Tiba-tiba Han Sin sadar dari tidurnya. Ada suara yang membuat ia terbangun. Otomatis tangan
kanannya menggerayang ke gagang pedang Im-yang-kiam yang ia letakkan di sebelah kanannya
sambil melirik, alangkah kagetnya melihat pembaringan Hoa-ji di sebelah kanannya telah kosong!
Hoa-ji telah meninggalkan kamar itu!
Han Sin cepat-cepat menengok ke kiri, ke arah jendela. Ternyata jendela sudah terbuka. Belum
jauh, pikirnya. Ke mana perginya Hoa-ji" Harus kukejar. Akan tetapi sebelum ia meloncat turun,
tiba-tiba ia mendengar suara orang mendekati jendela. Lilin di atas meja masih bernyala, kini
bergerak-gerak tertiup angin yang masuk melalui jendela. Memang ia sengaja tidak memadamkan
lilin karena merasa tidak enak tidur sekamar dengan Hoa-ji tadi. Apakah orang yang mendekati
jendela itu Hoa-ji yang datang kembali" Han Sin pura-pura tidur kembali, membuka sedikit
matanya untuk mengintai ke arah jendela.
Tak lama kemudian, sesosok bayangan orang melayang masuk melalui lubang jendela itu. Tak
dapat disangkal lagi, tubuh seorang wanita!
Tapi bukan Hoa-ji! Siapa dia ...." Han Sin memperlebar sedikit matanya ketika melirik. Cahaya
penerangan lilin yang suram menimpa wajah wanita itu yang sudah berada di dekat meja dan ....
tegang-tegang seluruh urat-syaraf di tubuh Han Sin ketika mengenal wanita ini bukan lain adalah Bi
Eng! Hampir tak kuat ia menahan gelombang perasaannya, namun ia cepat mengumpulkan tenaga
menindih perasaannya, tinggal berbaring seperti orang tidur pulas, tapi diam-diam memperhatikan
gerak-gerik gadis itu.
Memang gadis itu bukan lain adalah Bi Eng! Masih manis, masih cantik jelita seperti biasa, hanya
agak pucat dan sinar matanya memancarkan kemarahan di samping kedukaan yang mendalam.
Senyum yang dulu setiap saat membayang di bibirnya kini lenyap, terganti oleh bayangan siksa
batin yang hebat.
"Bi Eng .... kasihan kau ...." demikian keluh hati Han Sin.
Akan tetapi gadis itu sebaliknya. Dengan muka beringas gadis itu mencabut pedangnya, lalu
menghampiri ranjang Han Sin! Maut membayang di mukanya, nampak jelas gigi yang dikertakkan
itu berkilat ketika bibirnya terbuka sedikit, seakan-akan mengeraskan hatinya. Sepintas gadis itu
mengerling ke arah tempat tidur Hoa-ji yang kosong, lalu bibirnya mengejek,
"Laki-laki hidung belang! Mata keranjang ....!" Ucapan ini terdesis dari bibirnya, membuat Han Sin
diam-diam merasa kaget dan heran sekali. Kenapa Bi Eng menganggapnya laki-laki mata keranjang
Pedang Naga Kemala 12 Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen Tujuh Pedang Tiga Ruyung 7