Pencarian

Kasih Diantara Remaja 6

Kasih Diantara Remaja Karya Kho Ping Hoo Bagian 6


nona ini tentang adiknya.
"Siauw-ong, jangan kurang ajar. Kembalikan barang-barang nona Yo!" Akhirnya ia membentak.
Mendengar seruan ini, Siauw-ong melemparkan tiga buah benda itu sekali gus ke arah Leng Nio
sambil melompat ke pundak Han Sin. Leng Nio menggerakkan tangan menangkap benda-benda itu,
akan tetapi hanya berhasil menangkap cermin dan alat berbedak, sedangkan sisir itu telah melayang
ke arah rambutnya dan menancap di situ! Mukanya menjadi merah dan dengan mata melotot ia
memandang monyet yang kini cengar-cengir di atas pundak Han Sin.
"Orang she Cia! Monyetmu sungguh kurang ajar. Suruh dia turun, biar kuhancurkan kepalanya!"
Nona itu membentak marah sekali.
Han Sin tersenyum. "Maafkanlah dia, nona Yo. Agaknya semalam ia melihat gerak-gerik orang
memasuki kamar orang lain. Agaknya dia telah melihat seorang pencuri maka dia meniru-niru
memasuki kamarmu dan mengambil barang-barangmu itu. Monyet memang suka sekali meniruniru
manusia." Berubah wajah Yo Leng Nio mendengar ini. Ia merasa disindir dan ia tak dapat menjawab.
Tiba-tiba terdengar suara ketawa merdu disusul ucapan halus. "Betul sekali ucapan itu. Memang
memalukan kalau seorang perempuan memasuki kamar seorang pemuda di waktu tengah malam
buta!" Dan dari balik tembok meloncat masuk seorang gadis cantik yang berpakaian indah dan
mewah. Gelungnya yang tinggi amat indah dan mengeluarkan bau harum. Han Sin segera mengenal
nona ini, Yo Leng Nio berubah pucat mukanya dan ia cepat-cepat membungkukkan tubuh memberi
hormat. "Kiranya Thio-siocia (nona Thio) datang berkunjung. Tidak kebetulan sekali Bhok-kongcu
tidak ada di sini, nona."
Thio Li Hoa tersenyum mengejek dan suaranya ketus ketika menjawab, "Aku tahu ke mana
perginya kongcumu itu bersama seorang gadis she Cia. Aku datang bukan untuk bertemu dengan
kongcumu, melainkan untuk membawa pergi bocah she Cia." Ia menudingkan telunjuknya ke arah
Han Sin. "Thio-siocia, akan tetapi ..... dia .... dia ini hendak mencari adiknya ...." kata Yo Leng Nio gagap.
Mata Li Hoa yang tajam sekali itu tiba-tiba memancarkan sinar berapi. "Dia mencari adiknya,
kenapa kau bawa ke sini" Pula, malam-malam waktunya orang tidur kau menggerayangi tempat
tidur orang ..... hemmmm, hendak kudengar apa yang akan dikatakan Bhok-kongcu kalau
kuceritakan kepadanya tentang hal itu!"
Wajah Yo Leng Nio makin pucat. Ia tahu bahwa ia takkan tertolong lagi kalau sampai di dalam hati
Bhok-kongcu di bangkitkan perasan cemburu. Bergidik ia kalau mengingat akan hal ini, dan ia tahu
pula bahwa terhadap nona Thio ini, tentu saja Bhok-kongcu percaya penuh.
"Tidak. Thio-siocia ...... jangan ...... harap kau tidak bercerita yang bukan-bukan terhadap Bhokkongcu
......." "Plakk!" Cepat sekali bagaikan ular menyambar, tahu-tahu tangan kanan Li Hoa sudah menampar
pipi Leng Nio. Han Sin yang melihat itu, tersenyum dan teringat akan pipinya sendiri yang juga
pernah ditampar oleh nona Thio yang galak ini.
"Apa kau bilang" Aku bicara bukan-bukan" Kau berhadapan dengan siapakah?" bentak puteri
perwira tinggi itu.
15. Wanita Pelindung Buronan
YO LENG NIO mendapat akal. Ia menjura dan berkata lemah. "Aku berhadapan dengan nona Thio
Li Hoa yang cantik dan gagah perkasa dan yang boleh dipercaya serta tidak pernah memburukkan
nama orang lain. Tentu saja aku tidak berani membantah perintah nona, hanya mengingat bahwa
kongcu mencari orang ini dan untuk mempertanggung jawabkan ?"?"
Li Hoa mengeluarkan sehelai surat. "Lihat ini! Surat kuasa untuk menangkap bocah she Cia ini. Dia
telah membunuh utusan pemerintah dan harus ditangkap. Apa kau berani menentang surat perintah
penangkapan?"
Yo Leng Nio melirik dan mendapat kenyataan bahwa memang betul nona Thio ini datang
membawa surat perintah menangkap Cia Han Sin. Ia menjura lagi dan berkata, "Aku tidak berani
membantah. Silahkan nona tangkap bocah ini, hanya kuharap tidak lupa bahwa pelayan Bhokkongcu
juga berjasa dalam bantuannya menemukan bocah yang dicari ini."
"Hemmmm," Li Hoa melirik ke arah Han Sin dan berkata, "Ayoh, ikut aku!"
Han Sin pernah mengenal kepalsuan gadis she Thio ini yang dulupun hendak menolong dia keluar
dari jurang, akan tetapi yang sesungguhnya hendak mencari surat wasiat Lie Cu Seng, kemudian
malah bersama para pengemis tua hendak menangkapnya. Sekarang melihat gadis ini datang lagi, ia
bersikap waspada. Akan tetapi tadi dia mendengar percakapan dua orang gadis itu dan mengingat
gadis ini agaknya tahu pula ke mana Bi Eng dibawa pergi oleh Bhok-kongcu, ia tidak hendak
membantah, malah lalu menjura di depan Yo Leng Nio dan berkata.
"Nona Yo Leng Nio, aku dan Siauw-ong merasa berterima kasih sekali telah mendapatkan tempat
menginap dan makan minum dengan gratis darimu." Leng Nio hanya memandang dengan mata
melotot ketika Han Sin pergi mengikuti Li Hoa. Sinar mata pemuda ini berseri, mulutnya tersenyum
ketika ia memandang kepada Li Hoa dan sikapnya seolah-olah menantang dengan kata-kata tak
terucapkan. "Kau mau apa" Peta sudah hancur!"
Setelah pergi jauh meninggalkan kota Tai-goan, tanpa berkata-kata, akhirnya gadis itu memecah
kesunyian, "Hemm, berbahaya sekali "..! Untung aku segera datang membawa kau pergi!"
Han Sin hanya melirik, tanpa menjawab.
"Eh, bocah! Kenapa diam saja" Kau seharusnya berterima kasih kepadaku telah melepaskan kau
dari perempuan rendah itu!"
"Kau dan dia apa bedanya" Selalu menyebut aku bocah. Eh nona, kaukira kau ini sudah neneknenek
dan lebih tua dari padaku?" jawab Han Sin mendongkol.
Gadis itu tertawa, manis sekali kalau dia tertawa. Sayangnya jarang tertawa dan mukanya selalu
keras. "Hemm, kau tidak tahu bahwa kau baru saja terlepas dari bahaya maut. Kalau ada Bhok Kian
Teng di sana, kiraku kau takkan mampu pringas-pringis (menyeringai) seperti sekarang ini. Kau dan
monyetmu tentu telah mampus. Berbahaya sekali!" gadis itu benar-benar nampak gentar.
Akan tetapi Han Sin tidak perduli. "Apa bedanya di tangan mereka atau di tanganmu" Entah mana
yang lebih berbahaya. Luka di pundakku karena paku berkarat yang dihadiahkan oleh kawanmu
pengemis tua itu masih terasa sampai sekarang." Han Sin sengaja meringis kesakitan dan meraba
pundaknya. Merah muka Li Hoa. "Apakah masih terasa sakit" Aku membawa obat pemunah racun ?""
Dengan sikap sungguh-sungguh ia mendekati Han Sin dan pemuda ini merasa heran mengapa gadis
ini bisa bersikap begini lembut dan ramah.
"Tak usah, biarkan saja. Aku tidak menyalahkan kau, karena bukan kau yang melukai pundakku."
Setelah berkata demikian Han Sin lalu duduk mengaso di bawah sebatang pohon yang tumbuh di
pinggir jalan. Matahari mulai muncul dan enak sekali duduk di bawah pohon itu. "Nona Thio,
sudahlah kau tinggalkan aku sendiri, aku tidak mau mengganggu kau lebih lama lagi."
Li Hoa menghampiri pemuda ini. "Orang she Cia, aku baik-baik membebaskan kau dari tangan
kuntilanak itu dan betul-betul hendak membantumu mencari kembali adikmu, kau malah
mengusirku. Benar tak kenal budi."
Han Sin tersenyum pahit. "Mau mencarikan adikku ataukah mau mencari rahasia surat wasiat?"
Wajah nona ini menjadi merah lagi. "Soal itu ?" kita bicarakan belakangan saja kalau aku sudah
berhasil mendapatkan kembali adikmu yang dibawa pergi Bhok Kian Teng."
"Terima kasih, aku bisa cari sendiri," kata Han Sin dingin.
Li Hoa melompat. "Eh, sombong! Ke mana mau mencarinya?"
"Ke mana lagi" Tentu ke rumah orang she Bhok itu, di kota raja, bukan" Putera raja muda Bhok
Hong yang berjuluk Pak-thian-tok, tidak betulkah dugaanku?" Han Sin tersenyum bangga.
Gadis itu tertawa geli. "Ah, tololnya! Kalau diajak ke kota raja, selain adikmu tidak sudi, juga tentu
aku sudah mengetahuinya siang-siang karena akupun tinggal di kota raja. Di kota raja kau takkan
dapat mencari adikmu, malah bayangannya pun tidak ada."
Han Sin terdiam, bingung. Kemudian ia terpaksa bertanya juga, biarpun dengan lidah berat. "Apa
kau tahu ke mana adikku dibawah oleh orang itu?"
"Tentu saja aku tahu, kalau tidak mana aku berani bilang hendak mencarikan adikmu?" Kini giliran
Li Hoa yang "jual mahal".
"Ke mana" Di mana?"
Bibir yang merah tipis itu tersenyum mengejek, tapi malah manis.
"Kalau aku beritahu, mau kau berjanji?"
"Berjanji apa?"
"Berjanji bahwa kau akan ikut dengan aku tanpa banyak cerewet, ikut dan menurut kehendakku,
tidak meninggalkan aku dan kita berdua mencari adikmu."
Han Sin tertegun. Dan pemuda yang jujur ini tak dapat menahan lagi menyatakan keheranan hatinya
melalui mulut. "Nona Thio Li Hoa, begitu sukakah kau melakukan perjalanan bersama aku"
Kenapa begitu?"
Wajah nona itu menjadi merah sekali dan tiba-tiba sinar matanya berapi-api. Ia melompat maju dan
tangannya sudah siap hendak menampar pipi pemuda itu, akan tetapi melihat pemuda itu
memandangnya dengan wajah jujur dan mata yang mengeluarkan cahaya menakjubkan, ia menahan
tangannya, diturunkannya kembali dan katanya terengah-engah, "Kau ". kau bocah she Cia benarbenar
kurang ajar! Kau kira aku orang apa maka tergila-gila hendak berdekatan dengan engkau?"
"Hush, bukan begitu maksudku, nona. Aku ".. hemmm, sekarang aku malah tahu mengapa kau
ingin aku selalu berada di dekatmu, hemmmm, benar sekarang ingatlah aku."
Mata yang indah itu mengerling tajam, penuh ancaman. "Apa maksudmu" Kau tahu apa?"
"Tentu saja aku tahu. Kau tidak ingin berpisah dari aku karena "..karena surat wasiat itu. Ha ha!
Semua orang menghendaki surat wasiat, dan semua orang hendak menangkap aku, tentu karena
surat itu. Dan kau sendiri, ha ha ha, kau takut kalau-kalau surat itu terjatuh ke tangan orang lain!"
Tepat sekali kata-kata ini dan Li Hoa menundukkan mukanya. "Memang sebagian benar, tapi hanya
sebagian saja ?"" katanya perlahan.
"Yang sebagian lagi, apakah?" Han Sin mendesak.
Muka Li Hoa makin merah. "Sudahlah. Mau tidak kau berjanji" Kalau kau mau, aku segera
memberitahukan di mana adanya adikmu dan kita bersama pergi mencarinya."
"Ya, ya, aku mau. Siapa tidak suka melakukan perjalanan bersama seorang nona yang ". yang
?"." "Yang apa" Jangan main-main kau!"
Tadinya Han Sin hendak menggoda dengan mengatakan "yang galak" akan tetapi takut benar-benar
ditampar, ia lalu menyambung. "Yang cantik dan gagah. Kau gagah, apa yang kutakuti kalau
berjalan di sampingmu" Orang jahat tidak berani mengganggu aku dan Siauw-ong. Dan kau cantik
jelita, aku memang paling suka melihat apa-apa yang indah, suka membaca syair-syair yang bagus,
melihat tamasya alam yang indah permai. Melihat dan mencium kembang yang cantik dan wangi
?"?" "Mata keranjang! Jangan main gila kau ".. kutampar nanti mulutmu ?"
"Lho, aku bilang kembang yang cantik dan wangi, masa aku berani ". berani ". anu ". kau!"
"Cukup, mari kita berangkat," Li Hoa yang tadinya juga duduk di atas akar pohon, sekarang berdiri.
"Eh, nanti dulu. Aku sudah mau berjanji, tapi kau belum katakan di mana adikku."
"Tentu saja di Lu-liang-san. Ayoh, kita menyusul ke sana."
"Di .... Lu-liang-san?"
"Bodoh, banyak mendongeng di sini sedangkan adikmu terancam bahaya. Lekas berangkat, nanti di
jalan kuceritakan."
Mendengar ucapan ini, Han Sin segera berdiri dan memegang tangan Siauw-ong. "Siauw-ong,
ayoh, kita susul nonamu."
Sambil berjalan, Li Hoa berkata, "Bhok-kongcu orangnya licik sekali. Setelah menawan adikmu,
tentu dia bisa memaksa adikmu itu mengaku arah tujuan perjalananmu dan tahu bahwa kalian
hendak ke Lu-liang-san. Karena usaha selirnya yang goblok, Yo Leng Nio itu ....."
"Bukan selir, dia bilang pelayannya," Han Sin memotong.
"Apa bedanya" Selirnya yang goblok itu berhasil mengambilmu di Cin-ling-san, maka Bhokkongcu
tentu pikir lebih baik menanti di Lu-liang-san sedangkan ia menyuruh Leng Nio pergi
mencarimu. Tentu saja tanpa petunjukmu dia takkan berhasil menemukan tempat rahasia, dan
selama dia belum mendapatkan tempat itu, keselamatan adikmu terjamin."
Han Sin mengangguk-angguk. "Betul .... betul sekali. Semua orang menghendaki harta warisan
orang lain, semua orang ingin kaya. Benar-benar tolol seperti kerbau. Memperebutkan harta benda
mempertaruhkan nyawa. Aahhh ......"
Setelah berkata demikian, untuk menghibur hati dan untuk mencela orang-orang yang hanya
memikirkan duit belaka, pemuda ini lalu bernyanyi, mengambil sajak dalam Tok-tik-khing:
"Warna-warna indah dapat membutakan mata (hati)
Suara-suara merdu dapat menulikan telinga (hati)
Rasa-rasa nikmat dapat merusak perasaan (hati)
Memburu (nafsu) dapat membuat orang menjadi buas.
Barang yang sukar diperoleh (harta benda) dapat membuat orang menjadi curang
Karena itu, seorang kuncu (budiman) mengutamakan kebutuhan Sang Perut,
tak pernah memperdulikan penglihatan Sang Mata.
Dan dia memilih yang benar membuang yang sesat."
Thio Li Hoa adalah seorang puteri pembesar, seorang bangsawan bangsa Han yang semenjak dulu
mengutamakan pelajaran sastra dan silat. Biarpun ayah Thio Li Hoa, yaitu Thio-ciangkun, telah
terpikat dan terbujuk oleh penjajah Mancu sehingga sudi menghamba kepada pemerintah penjajah
ini, namun dia tidak melupakan pendidikan untuk dua orang puterinya. Karena ini, Li Hoa juga
termasuk seorang gadis yang pandai dalam hal sastra. Tentu saja ia pernah membaca sajak yang
dinyanyikan oleh Han Sin tadi. Diam-diam ia merasa dirinya tersindir dan tidak bijaksana maka ia
mendongkol sekali. Betapapun juga ia harus memuji pandainya pemuda ini bernyanyi, dengan suara
yang nyaring dan empuk serta dapat menjadikan sajak keramat dari agama To itu menjadi nyanyian
yang enak didengar.
"Orang she Cia, kau tahu apa" Menyindir-nyindir orang dengan Tok-tik-khing ayat kedua belas.
Kau kira aku tergila-gila oleh harta peninggalan dalam surat wasiat Lie Cu Seng" Huh, bodoh.
Orang tuaku sendiri kaya raya, apakah orang yang sudah berenang di air masih kehausan dan minta
hujan?" Han Sin mendongkol. "Kau ini benar tidak memandang mata padaku, nona. Selalu menyebutku
orang she Cia, bocah she Cia, benar-benar tidak enak didengarnya. Melakukan perjalanan bersama
apa sih enaknya?"
Mau tidak mau Li Hoa tersenyum juga mendengar omelan ini, akan tetapi ia tetap ketus ketika
berkata, "Habis, apakah aku harus menyebut kau tuan muda" Ataukah kakanda" Atau tuan besar?"
Sambil tunduk melihat jalan yang dilalui kakinya dan meraba-raba dagunya dengan tangan kiri, Han
Sin berkata, "Hemmm, sebutan tuan muda atau tuan besar, terlalu menghormat. Sebutan kakanda ....
terlalu mesra." Ia berpikir sebentar, lalu berkata, "Nona Thio, setelah kita melakukan perjalanan
bersama, sudah sepatutnya kalau kita ini mengaku sebagai saudara. Kalau bukan saudara,
bagaimana bisa melakukan perjalanan bersama" Kalau orang lain mendengar bahwa kau
menyebutku kakak dan aku menyebutmu adik, tentu tidak akan ada yang mencelanya."
"Perduli apa dengan orang lain" Aku tidak suka menjadi adikmu. Bukankah kau sudah mempunyai
adik, yaitu Bi Eng?"
Wajah Han Sin berseri. "Kalau begitu, biarlah kau jadi enci (kakak) dan aku menjadi adik."
"Cih, tak tahu malu. Kau kira kau ini masih kanak-kanak" Kau lebih tua dari aku, mana bisa jadi
adikku?" Han Sin merasa bohwat (habis daya). Dia seorang pemuda terpelajar dan menurut kitab-kitabnya,
amat tidak sopan seorang pemuda dan seorang gadis yang tidak ada hubungan apa-apa melakukan
perjalanan bersama.
"Habis bagaimana?" akhirnya ia bertanya.
"Kau tidak mau disebut orang atau bocah she Cia, biarlah sekarang kusebut namamu saja kalau
memanggil, dan kau pun boleh menyebut namaku. Dengan demikian orang akan menganggap kita
sahabat-sahabat baik."
"Sahabat-sahabat baik" Kok begitu" Masa sahabat baik seorang laki-laki dan seorang wanita ....."
"Rewel kau! Apa kau tidak mau dianggap sebagai sahabat baikku?"
"Ehm, tentu saja ....... tentu saja."
"Nah sudah, jangan banyak rewel. Kalau kau mau, aku menyebut kau Han Sin begitu saja dan kau
menyebut aku Li Hoa. Kalau tidak mau, aku boleh menyebutmu bocah she Cia, monyet she Cia
atau apa yang kusuka, kau mau apa?"
Han Sin tidak dapat membantah lagi dan terpaksa menerima keputusan ini. Ia mendongkol melihat
sikap yang galak, ketus dan mau menang sendiri dari gadis ini. Sebetulnya ia suka kepada Li Hoa
dan kalau gadis ini mau bersikap lunak dan manis sedikit saja tentu ia akan merasa senang
melakukan perjalanan ini. Maka ia tidak mau perdulikan lagi kepada gadis itu dan di sepanjang
jalan ia bernyanyi-nyanyi sajak atau bercakap-cakap dengan Siauw-ong.
Karena didiamkan saja, kadang-kadang disindir dalam nyanyian, Li Hoa mendongkol juga.
"Kulihat Siauw-ong monyetmu itu lebih pintar dari pada tuannya. Benar-benar aneh, benar-benar
mengherankan."
Tentu saja Han Sin mendengar ini, namun dia diam saja, pura-pura tidak mendengar.
"Seekor monyet sudah dapat menghadapi serangan-serangan perempuan hina dari Bhok Kian Teng,
benar tidak mengecewakan menjadi binatang peliharaan keluarga Cia di Min-san yang terkenal
sebagai keturunan gagah perkasa. Akan tetapi tuan mudanya ..... hemmm, seorang kutu buku yang
bisa bernyanyi membaca sajak, lemah dan tidak becus apa-apa!"
Kembali Han Sin diam-diam, malah membaca sajak untuk menjawab cela-celaan ini. Kembali ayatayat
Tok-tik-khing: "Langit dan bumi itu abadi
Karena hidup bukan untuk diri sendiri
Seorang kuncu menaruh diri paling belakang
karenanya menjadi paling depan
Karena ia menyampingkan diri sendiri
maka ia selamat terpelihara
Karena tidak mementingkan diri pribadi
maka ia dapat menyempurnakan pribadinya."
Tiba-tiba Li Hoa tertawa. Ia anggap pemuda ini lucu, juga menjengkelkan. "Hi hi, kau anggap
dirimu sendiri sebagai kuncu (budiman)?"
Terpaksa Han Sin menjawab, "Tidak ada yang mengaku diri sebagai kuncu, hanya setuju akan sikap
seorang kuncu dan karenanya berusaha meniru jejak langkahnya."
"Ha, kau memang seorang kuncu. Ah, hebatnya! Biar sekarang kau memakai nama julukan Bu-lim
Kun-cu ( Sang Budiman dari Rimba Persilatan). Bagus, bagus!"
Han Sin diam saja, keduanya melanjutkan perjalanan dengan membisu. Keadaan yang sunyi ini
tidak menyenangkan hati Han Sin, akan tetapi pemuda ini sudah mahir menguasai perasaannya
maka pada wajahnya yang tampan tidak nampak tanda sesuatu. Sebaliknya, Li Hoa tidak kuat
menahan. Memang melakukan perjalanan berkawan akan tetapi berdiam-diam saja amat
melelahkan dan menjemukan. Akhirnya setelah beberapa lama diam saja, gadis ini mulai bicara
pula. "Tadinya melihat kau duduk sekuda dengan Leng Nio, kemudian menginap di rumah Bhok-kongcu,
ku anggap kau ......"
"Ya?" Han Sin mendesak karena ucapan yang tidak diselesaikan itu menggatalkan hatinya.
"Kuanggap kau mata keranjang, kusangka seorang pemuda hidung belang yang menjemukan.


Kasih Diantara Remaja Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hatiku panas bukan main."
"Lho kenapa panas" Apa sangkut-pautnya dengan kau mengenai perbuatanku?" Han Sin memotong
cepat. Merah wajah Li Hoa. "Karena ..... aku benci melihat laki-laki mata keranjang."
"Hemmmm ........"
"Apa kau tidak anggap Leng Nio itu cantik, genit dan menarik?"
"Memang dia cantik. Tapi apa hubungannya dengan aku" Cantiknya sendiri, tidak sangkut-pautnya
dengan aku."
"Biasanya laki-laki tergila-gila oleh kecantikan wanita ......"
"Hemmm ...."
"Tapi aku salah duga. Kau bukan laki-laki model Bhok-kongcu."
"Terima kasih ......."
"Ya, kau bukan pemuda sembarangan. Kau ..... kau Bu-lim Kun-cu!" Li Hoa tertawa mengejek.
Kini mau tidak mau Han Sin merengut, namun tetap tidak berkata apa-apa. Makin geli hati Li Hoa.
Entah mengapa dia sendiri tidak mengerti, setelah dekat dengan pemuda ini, timbul kejenakaannya
dan ia ingin selalu menggoda pemuda yang tak pernah marah ini.
Jalan mulai ramai orang karena mereka mendekati sebuah kota. Ketika itu dari arah depan
mendatangi tiga orang berpakaian pengemis, ketiganya membawa sebuah mangkok butut dan
memegang sebatang tongkat. Melihat tiga orang pengemis itu, tiba-tiba Li Hoa berjalan dekat sekali
dengan Han Sin dan pemuda itu merasa betapa tangannya dipegang oleh sebuah tangan yang hangat
dan halus. Ketika ia melirik, bukan main herannya melihat bahwa yang memegang tangannya itu
adalah Li Hoa. Hatinya berdebar, ingin ia menarik tangannya akan tetapi takut menyinggung
perasaan gadis itu, maka dibiarkan saja. Lebih heran lagi dia ketika mereka bersimpangan dengan
tiga orang pengemis itu, Li Hoa berkata dengan suara keras, manis dan manja.
"Koko, nanti di kota kau harus belikan sepasang sepatu baru untukku!"
Tentu saja Han Sin heran bukan main. Tak mungkin gadis itu bicara kepada orang lain, tentu
kepadanya. Akan tetapi mengapa bicaranya begitu" Ia hendak bertanya, akan tetapi tiba-tiba tangan
yang memegangi tangannya itu menggencet keras-keras. Baiknya ia kuat sekali sehingga tidak
berteriak kesakitan. Kau main gila atau membadut, pikirnya. Baiklah, aku layani.
"Tentu saja, adikku yang manis. Sedikitnya dua pasang kubelikan nanti!" jawabnya dan ia
menggandeng nona itu makin dekat!
Tiga orang pengemis itu sudah jauh tak kelihatan lagi dan tiba-tiba Li Hoa merenggut tangannya
terlepas. Mukanya merah sekali dan mulutnya merengut. "Gila, kenapa kau gandeng-gandeng aku
dan siapa minta dibelikan sepatu?" omelnya dengan suara marah.
Han Sin mendongkol. Ia mendorong Siauw-ong turun dari pundaknya dan membentak. "Jalan
sendiri kau! Aku lelah!" Jarang pemuda itu marah dan sekarang dia benar-benar kesal hatinya,
merasa dipermainkan oleh Li Hoa. Siauw-ong sampai kaget. Tadinya monyet ini melengut ngantuk
di pundak tuannya.
"Sebetulnya yang gila kau ataukah aku" Yang mulai menggandeng tangan dan bicara tentang sepatu
itu kau atau aku?" bantahnya dengan suara marah pula.
Eh, gadis itu tersenyum! Makin mendongkol hati Han Sin.
"Li Hoa, kalau kau selalu mempermainkan aku, lebih baik kita berjalan saling berjauhan atau
mengambil jalan masing-masing."
"Han Sin, kau tidak bisa membedakan orang bersandiwara atau bersungguh-sungguh. Kau tidak
melihat tiga orang pengemis tadi" Aku tadi sengaja berbuat begitu supaya mereka tidak mengenal
kau dan aku."
Baru sekarang Han Sin mengerti. "Hemm, begitukah" Siapa sih mereka itu" Kenapa kau kelihatan
takut-takut" Kau begini lihai ......"
"Sssttt, sudahlah. Belum waktunya kau ketahui hal itu. Mari kita lekas memasuki kota dan mencari
warung nasi. Perutku lapar sekali."
Kota yang mereka masuki itu berada di tepi sungai Fen-ho, sungai yang menjadi anak sungai
Huang-ho. Kota itu sudah termasuk kaki pegunungan Lu-liang-san.
Li Hoa segera memilih sebuah rumah makan yang teratur dan bersih tempatnya. Agaknya pelayanpelayan
rumah makan sudah mengenal nona ini, buktinya sikap mereka amat hormat dan ramah
tamah. Diam-diam Han Sin mengagumi nona ini yang menghadapi pelayanan penuh hormat itu
bersikap tenang dan agung sebagai mana layaknya seorang puteri bangsawan. Dengan suara halus
tapi berpengaruh nona ini memesan masakan-masakan yang aneh-aneh bagi pendengaran Han Sin.
Cepat pula pelayanan mereka. Sebentar saja hampir sepuluh macam masakan yang masih panas dan
berbau harum lezat tersedia di depan dua orang muda itu, membuat Han Sin timbul seleranya dan
perutnya yang sudah lapar menjadi makin lapar. Segera keduanya makan tanpa banyak cakap lagi.
"Hemm, kalau Eng-moi berada di sini dan makan bersamaku, alangkah akan senangnya." Begitu
memikirkan adiknya, tiba-tiba leher Han Sin terasa seret dan nafsu makannya berkurang banyak. Li
Hoa yang bermata tajam tentu saja dapat melihat ini.
"Eh, ayoh makan. Sudah dipesan, untuk apa kalau tidak dimakan" Ayoh sikat saja, mana
kegembiraanmu?"
Han Sin menggunakan sumpitnya mengambil sepotong daging ikan yang gemuk, makan daging itu
dan menarik napas panjang. "Enak sekali makanan ini, sayang adikku tidak turut menikmatinya."
"Hemm, kembali kau teringat kepada adikmu" Agaknya bukan main besarnya cinta kasihmu
terhadap adikmu Bi Eng itu."
"Dialah satu-satunya orang yang paling kucinta di dunia ini," kata Han Sin sambil menyodorkan
sepotong bakso kepada Siauw-ong yang ikut pula makan sambil duduk di atas bangku di sebelah
kiri pemuda itu.
"Senang betul menjadi dia ......." kata Li Hoa perlahan.
"Eh, kenapa ........"
"Ada yang menyayangnya ........."
"Li Hoa, apakah ...... apakah tidak ada orang yang menyayangmu?"
Ketika gadis itu menggeleng kepala, Han Sin membantah. "Aku tidak percaya. Masa seorang
seperti engkau ini tidak ada yang menyayang" Tak mungkin .... tak mungkin ......."
Li Hoa memandang tajam. "Kenapa tidak mungkin" Aku seorang yang kasar, galak dan tidak mau
mengalah. Orang-orang benci kepadaku, bahkan ayah selalu cekcok dengan aku dan ibu ......." Tibatiba
gadis itu menghentikan kata-katanya, agaknya teringat bahwa tidak semestinya ia bicara
tentang keluarganya kepada pemuda yang baru saja dikenalnya ini.
Pada saat itu terdengar suara nyaring dari pintu luar. "Kami manusia-manusia kurang makan pakai
mohon dikasihani ....."
Wajah Li Hoa berubah, tapi ia tidak menengok, melanjutkan makan. Han Sin menengok dan
melihat tiga orang pengemis yang bertemu di jalan tadi ternyata telah berdiri di depan pintu! Mata
tiga orang pengemis itu semua ditujukan ke arah dia dan Li Hoa.
Seorang pelayan cepat datang menghampiri dan membentak, "Ada tamu sedang makan, jangan
ganggu. Kalian tunggu di luar saja kalau hendak minta sedekah!"
Akan tetapi tiga orang pengemis itu tidak memperdulikannya, malah kini ketiganya melangkah
maju tiga tindak mendekati meja Han Sin.
"Tuan dan nona muda harap menaruh kasihan kepada kami bertiga, mohon derma untuk
menyembayangi roh lima orang kawan kami yang mati kelaparan di Cin-an ....." kata pula seorang
di antara mereka, seorang kakek yang berjenggot seperti kambing bandot.
Kembali wajah Li Hoa menegang, akan tetapi nona ini masih siam saja dan Han Sin melihat dengan
jelas betapa nona itu kelihatan gelisah dan takut-takut. Timbul rasa jengkelnya terhadap para
pengemis. Memang sudah selayaknya mereka minta bantuan dari orang-orang mampu, akan tetapi
cara mereka benar-benar melanggar aturan. Mana ada orang minta bantuan begini mendesak dan
tidak menanti sampai orang habis makan"
Lebih-lebih jengkelnya ketika pengemis kedua, yang hidungnya pesek, tiba-tiba meludah ke lantai
dengan suara keras. Ia juga kaget sekali melihat betapa air ludah itu ketika mengenai lantai,
membuat lantai itu berlubang! Ah, kiranya mereka ini orang-orang berilmu yang menyamar sebagai
pengemis-pengemis, pikirnya. Ia teringat akan suhunya, Ciu-ong Mo-kai yang juga selalu
berpakaian pengemis dan juga memiliki kepandaian menyemburkan arak sebagai senjata ampuh.
"Nona, kami tiga orang kakek jembel sudah sabar menanti," kata pula si jenggot kambing.
Li Hoa minum araknya, lalu ia memutar tubuhnya di atas bangku.
"Aku ada urusan penting, tidak ada waktu melayani kalian. Kalau ada urusan, datang saja di rumah.
Urusan di Cin-an ada ayah yang membereskan, kalian kesanalah." Heran sekali, suara nona ini
terdengar sabar dan mengalah, Han Sin senang dan menganggap alasan ini tepat biarpun ia tidak
tahu akan urusannya. Akan tetapi kakek jembel yang meludah tadi berkata, suaranya parau seperti
suara burung gagak.
"Sudah berjumpa dengan nona di sini, itu berarti rejeki kami. Kalau kami lewatkan, bukankah itu
berarti kami tidak menerima datangnya rejeki" Nona yang baik, marilah kau bawa kami ke
rumahmu agar ayahmu mau berbaik hati memberi sumbangan."
Han Sin makin mendongkol. Biarpun dia belum luas pengetahuannya tentang keadaan di dunia
kang-ouw, ia merasa tiga orang kakek ini sengaja hendak memaksa, mungkin hendak menawan Li
Hoa. Ia lalu bangkit berdiri dan berkata.
"Kalian bertiga ini apa-apaan" Minta sedekah kok memaksa" Nonamu tidak ada waktu, perlu
mencari sepatu. Pergilah kalian dari sini dan jangan ganggu kami." Ia merogoh sakunya dan
mengeluarkan sepotong uang perak, "Nih, sedekahku!"
Kakek berjenggot kambing menerima uang itu lalu ..... melemparkan uang perak itu keluar! Han Sin
terkejut dan mulai marah. Benar-benar cara pengemis yang aneh dan terlalu sekali, pikirnya.
"Aha, kalian tidak mau uang" Agaknya sudah lapar sekali" Nah, terimalah sisa masakan-masakan
ini." Ia memberikan beberapa mangkok makanan dari atas meja. Tiga orang pengemis menerima
masing-masing semangkok lalu ...... melempar lagi isi mangkok keluar. Tanpa menoleh mereka
melempar isi mangkok yang terbang keluar pintu sampai mangkok-mangkoknya menjadi kosong,
lalu berbareng mereka melemparkan mangkok kosong ke atas meja. Aneh mangkok-mangkok itu
berputaran di udara dan turun ke atas meja tanpa mengeluarkan suara!
"Terima kasih atas kemurahan hati tuan muda." Biarpun perbuatan mereka itu menunjukkan
kepandaian yang lihai, namun Han Sin menjadi semakin gemas.
"Hemm, kalian tidak suka daging, mungkin yang kalian cari adalah tulang-tulang dan sisa kuah.
Terimalah!" Secara sembarangan ia menyapu tulang-tulang di atas meja dengan tangan, kemudian
dengan kaku dan seperti orang marah-marah ia menuang kuah-kuah panas dari mangkok ke arah
tiga orang pengemis itu.
Li Hoa kaget sekali menyaksikan kesembronoan Han Sin. "Jangan .....!" cegahnya. Akan tetapi
kuah-kuah panas telah disiramkan dan tiga orang kakek itu tentu saja hendak mengelak. Celaka bagi
mereka, secara aneh sekali tulang-tulang dan duri-duri ikan menyambar dan dengan tepat mengenai
jalan darah di kedua pundak mereka, membuat mereka tak mampu bergerak dan mandah saja kepala
mereka disiram kuah panas sampai kuah itu membasahi muka! Hal ini benar-benar mengejutkan
hati Li Hoa yang tidak menyangka sama sekali bahwa tadi diam-diam Han Sin mengerahkan tenaga
dan menggunakan tulang dan duri ikan untuk menyerang dengan gerak tipu dari ilmu sakti Lo-haihui-
kiam! Tiga orang kakek itupun terkejut bukan main. Mereka tadi mencoba untuk mengerahkan lweekang,
namun serangan tulang-tulang kecil itu terlampau kuat sehingga sebelum mereka sempat mencegah,
jalan darah mereka sudah tertotok, membuat mereka tak mampu bergerak dan terpaksa menerima
siraman kuah-kuah panas!
Han Sin pura-pura kaget dan menyesal, "Ah, tadi kalian memperlihatkan kepandaian, kenapa
sekarang benar-benar menerima siraman kuah" Celaka, aku membuat pakaian kalian kotor saja.
Harap kalian maafkan dan suka pergi jangan mengganggu kami." Sambil berkata demikian, dengan
muka sungguh-sungguh ia menghampiri mereka dan menepuk-nepuk pakaian mereka di punggung
dan pundak yang basah oleh kuah. Kelihatannya saja ia membersihkan pakaian para pengemis,
sebetulnya ia mengerahkan tenaga dan membebaskan totokannya.
Tiga orang kakek itu memandang tajam kepada Li Hoa, lalu mendelik ke arah Han Sin dan tanpa
berkata apa-apa lagi mereka mengeloyor pergi, keluar dari rumah makan itu.
Li Hoa bengong. "Aneh sekali ....." katanya dengan muka pucat. "Han Sin, kau tidak tahu betapa
berbahayanya mereka itu. Entah mengapa mereka tiba-tiba mengundurkan diri. Benar-benar Thian
masih melindungi kita."
"Li Hoa, mereka itu siapakah dan mengapa agaknya memusuhimu?"
Akan tetapi, Li Hoa cepat membayar uang makanan dan mengajaknya keluar dari rumah makan itu.
"Nanti kuceritakan," katanya pendek. Han Sin menggandeng tangan Siauw-ong dan ia mengikuti
nona itu keluar dari rumah makan, diam-diam bersyukur bahwa mudah saja dia tadi mengusir
pengemis-pengemis yang hendak membikin kacau. Bersyukur bahwa tidak terjadi peristiwa
pertempuran hebat.
"Berbahaya sekali ....." kata Li Hoa setelah mereka melanjutkan perjalanan menuju ke sungai Fenho.
"Mereka itu adalah para pengemis tingkat empat dari Sin-yang Kai-pang (Perkumpulan
Pengemis dari Sin-yang). Mereka selalu menimbulkan kerusuhan dan baru-baru ini ayahku telah
menghukum mati lima orang pengemis-pengemis dari perkumpulan itu di Cin-an. Entah bagaimana
agaknya mereka hendak membalas dendam kepadaku, takut kalau menghadapi ayah." Agaknya
nona ini bicara terbatas dan singkat sekali.
"Curang," kata Han Sin. "Ayahmu yang menghukum mereka, kenapa kau yang diganggu."
Nona itu menarik napas panjang, "Han Sin, kau berkelana seorang diri atau berdua dengan adikmu,
kau tidak mengerti ilmu silat dan kau sama sekali tidak tahu menahu tentang keadaan kang-ouw.
Benar-benar berbahaya sekali."
Mereka menyeberangi sungai dengan perahu sewaan dan setiba mereka di seberang, Li Hoa
mengajak kawannya buru-buru melanjutkan perjalanan. "Lu-liang-san sudah kelihatan dari sini, kita
harus melakukan perjalanan cepat-cepat. Siapa tahu adikmu sudah menanti di sana bersama Bhok
Kian Teng."
Mendengar ini Han Sin kelihatan girang sekali akan tetapi sebaliknya Li Hoa selalu mengerutkan
keningnya. Nona ini maklum betul bahwa biarpun perjalanan sudah dekat, bahayanya makin besar
dan ia diam-diam khawatir sekali. Dia sendiri memiliki kepandaian dan kiranya tak usah takut
tertimpa malapetaka. Kepandaiannya cukup dan biarpun tadi diganggu tiga orang pengemis,
andaikata terjadi pertempuran kiranya ia masih akan menang.
Akan tetapi bagaimana kalau orang-orang kang-ouw mengenal Cia Han Sin dan menangkapnya
untuk mendapatkan surat wasiat" Inilah yang menggelisahkan hatinya. Dia tadi memang sengaja
berlaku lemah dan mengalah terhadap orang-orang Sin-yang Kai-pang, bukan karena takut,
melainkan semata-mata karena khawatir kalau-kalau Han Sin dikenal orang!
Kekuatiran hati Li Hoa ternyata terbukti. Baru beberapa li mereka meninggalkan pantai sungai Fenho,
tiba-tiba mereka mendengar seruan dari belakang. "Orang-orang muda di depan, berhentilah!"
Seruan itu terdengar perlahan seperti diteriakan orang dari jauh, akan tetapi terdengar jelas sekali.
Li Hoa mengerti bahwa orang yang berseru mempergunakan ilmu mengirim suara dari jarak jauh.
Ketika ia menoleh, betul saja ia melihat empat orang kakek yang datang dengan cepat sekali
mengejar mereka. Tak perlu lagi melarikan diri, pikirnya. Ia bersikap tenang padahal hatinya
gelisah, memikirkan bagaimana ia harus melindungi Han Sin. Menyuruh pemuda itu pergi
bersembunyi, tak mungkin lagi karena mereka tiba di tempat terbuka, di kaki gunung yang gundul
dan hanya terdapat sawah-sawah kering di kanan kiri jalan.
Tiga orang pengemis menjemukan itu, mengejar dan yang di depan itu bukan orang sembarangan,"
katanya kepada Han Sin.
Pemuda ini mendongkol. "Mereka benar-benar tak kenal aturan," katanya. Mendengar nada suara
Han Sin, Siauw-ong melompat turun dan mengeluarkan suara menantang sambil memandang ke
arah empat orang yang datang seperti terbang cepatnya.
Betul dugaan Li Hoa. Yang datang adalah tiga orang pengemis yang mereka jumpai di rumah
makan tadi, bersama seorang kakek pengemis yang yang memegang tongkat pendek sekali, hanya
satu kaki pendeknya dan di tangan kirinya memegang sebuah mangkok dari emas! Benar-benar
amat aneh, seorang pengemis berpakaian butut memegang mangkok emas yang mahal.
Hati Li Hoa terkejut melihat tongkat yang pendek itu dan mangkok emas. Celaka, pikirnya. Kiranya
yang datang adalah ketua dari Sin-yang Kai-pang sendiri! Heran dia mengapa ketua yang biasanya
berada di Sin-yang ini tahu-tahu muncul di sini. Ia tanpa banyak cakap lagi ia mencabut pedangnya
dan menanti dengan waspada.
Tiga orang pengemis itu ketika berhadapan dengan Li Hoa dan Han Sin memandang dengan mata
mendelik, terutama kepada Han Sin. Sebaliknya pengemis tua yang memegang tongkat pendek dan
bertubuh tinggi kurus itu menjura sambil tertawa. "Hebat, murid-muridku yang bodoh telah
mendapat pengajaran ji-wi yang muda. Benar-benar mengagumkan sekali bagaimana jaman
sekarang yang muda-muda mengalahkan yang tua. Sayang seribu sayang, bakat-bakat yang baik
tersesat dan menerima menjadi kaki tangan penjajah!" Kakek itu menarik napas panjang dan
kelihatan benar-benar menyesal. Diam-diam Han Sin merasa suka kepada kakek ini dan dari
ucapannya dapat diduga memiliki jiwa patriotik.
Dengan pedang melintang di depan dada dan sikapnya gagah, Li Hoa berkata kepada kakek ini.
"Kalau aku tidak salah, lo-enghiong adalah ketua dari Sin-yang Kai-pang. Aku yang muda tidak ada
urusan dengan lo-enghiong maupun dengan Sin-yang Kai-pang. Kalau lo-enghiong mau bicara
tentang negara, bukan urusanku, kalau mau bicara tentang lima orang anggautamu di Cin-an
bicaralah dengan ayahku. Kenapa orang-orangmu mendesak aku yang muda?"
Kakek pengemis itu tertawa bergelak. "Ha ha ha, Thio-siocia benar-benar pandai bicara dan
bermata awas. Memang benar aku Kui Kong yang memimpin Sin-yang Kai-pang! Ayahmu seorang
perwira yang pandai, sayang menghambakan diri kepada pemerintah penjajah. Kau sebagai
puterinya, setelah bertemu dengan para pembantuku seharusnya dengan baik-baik ikut untuk
mengemukakan pembelaan dirimu di depanku, akan tetapi kau malah menghina mereka. Hemm,
sebagai murid Coa-tung Sin-kai kau tentu memiliki ilmu silat yang baik. Dan pemuda ini siapakah"
Aku belum mendengar Thio-ciangkun mempunyai seorang mantu."
Merah wajah Li Hoa, apalagi kalau ia teringat akan ucapannya sendiri kepada Han Sin untuk
membelikan sepatu dan ucapan ini didengar oleh tiga orang pengemis itu. Ia menjadi marah dan
menjadi ketus, "Dia ini sahabatku dan lebih-lebih tidak ada urusan dengan kaum Sin-yang Kaipang.
Harap lo-enghiong jangan mengganggu kami dan biarkan kami pergi."
"Ha ha, nona merendahkan diri. Setelah berani menghina kawan-kawanku, tentu berani menghadapi
lohu. Gerakan pedangmu, hendak kulihat sampai di mana lihainya ilmu silat murid Coa-tung Sinkai!"
Kakek itu lalu menggerakkan tongkatnya yang pendek dan terdengar suara angin menderu,
tanda bahwa tenaganya amat besar.
16. Dedengkot Iblis Hoa Hoa Cinjin
"KECUALI kalau nona mau mengaku salah dan minta maaf, tentu lohu tidak ada hati mengganggu
orang muda."
Li Hoa adalah seorang gadis yang keras hati dan berani. Biarpun ia maklum akan lihainya orang ini,
mana dia mau minta maaf" Iapun memasang kuda-kuda dan menjawab, "Orang she Kui jangan kira
aku Thio Li Hoa takut akan gertakanmu!"
"Bagus! Kausambutlah seranganku!" Kakek ini tanpa sungkan-sungkan lagi lalu menggerakkan
tongkat di tangan kanan dan mangkok di tangan kiri, melakukan serangan yang amat hebat,
didahului sambaran angin yang keras.
Li Hoa kaget sekali. Benar-benar ia menghadapi serangan yang luar biasa sehingga ia hanya melihat
bayangan mangkok yang berkilauan saling susul dengan bayangan tongkat pendek yang amat cepat
gerakannya. Gadis ini cepat memutar pedangnya menangkis mangkok sehingga menimbulkan suara
nyaring, akan tetapi tongkat telah menyusul ke arah mukanya sehingga tidak ada lain jalan bagi Li
Hoa kecuali melempar tubuh ke belakang sampai ia terhuyung-huyung dengan muka pucat. Selama


Kasih Diantara Remaja Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hidupnya belum pernah ia menyaksikan jurus yang demikian hebatnya.
Terdengar seruan kaget dan Han Sin sudah melompat maju. Pemuda ini kaget sekali karena
mengenal jurus tadi. Itulah jurus Pak-hong-hui-lam (Angin Utara Terbang ke Selatan) sebuah jurus
pertama dari ilmu silat Liap-hong Sin-hoat dari gurunya, Ciu-ong Mo-kai!
"Seorang tua menggunakan Pak-hong-hui-lam menyerang yang muda, benar-benar keterlaluan!"
serunya marah. Kalau pengemis ini sudah bisa mainkan jurus pertama dari Liap-hong Sin-hoat,
tidak boleh tidak tentu ada hubungannya dengan Ciu-ong Mo-kai, tapi kenapa begini tidak tahu
malu menyerang seorang nona yang sudah mengalah"
Di lain pihak, ketua Sin-yang Kai-pang itu terkejut setengah mati mendengar seruan Han Sin. Jurus
ini baru sekarang ia keluarkan karena menganggap bahwa nona Thio tidak boleh dipandang ringan.
Padahal jurus itu adalah kepandaian simpanannya dan ilmu silat Liap-hong Sin-hoat, baru beberapa
jurus saja ia pelajari karena memang Ciu-ong Mo-kai hanya mewariskan seluruhnya kepada Bi Eng
dan Han Sin. Akan tetapi Kui Kong masih ragu-ragu. Ia telah mendengar dari tiga orang kawannya bahwa
pemuda ini memang seperti tolol akan tetapi sebetulnya lihai. Biarpun begitu, dari mana bisa
mengenal jurusnya tadi" Ia mencoba lagi, kini mainkan jurus kedua, tidak menyerang Li Hoa,
melainkan ia maju menyerang Han Sin, lebih hebat serangannya ini sampai dua senjatanya itu
terputar dan mendatangkan hawa pukulan seperti angin lesus!
Sekali lihat saja Han Sin sudah tahu bahwa orang ini kembali menggunakan Liap-hong Sin-hoat
jurus kedua. Tentu saja ia yang sudah hafal akan ilmu ini, tahu betul bagaimana harus
menghindarkan diri. Dalam hal ilmu sakti Liap-hong Sin-hoat, kakek itu masih boleh berguru
kepadanya. Tahu bahwa tangan kiri lawan tentu akan menyerang pundak kirinya dan tangan kanan
lawan akan menghantam kaki kanan, ia melangkahkan kaki kanannya ke belakang dan miringkan
tubuh menyembunyikan pundak kiri. Gerakannya ini otomatis dan kelihatannya seenaknya bukan
seperti orang bersilat, lebih menyerupai orang takut dan mundur-mundur. Akan tetapi serangan
hebat itu benar-benar mengenai angin!
"Kui lo-enghiong, Hong-cui-pai-hio (Angin Meniup Daun) tadi kurang sempurna, kalau orang tua
she Tang melihatnya, kau pasti disemprot!" kata Han Sin.
Tiba-tiba Kui Kong berdiri tegak, matanya memandang penuh arti. Mulutnya berkemak-kemik dan
matanya berkedip-kedip seperti lagi "main mata" dengan Han Sin. Pemuda ini membelalakkan
matanya, mengangkat pundak karena heran dan tidak mengerti. Sebetulnya kakek itu yang kaget
mendengar ucapan Han Sin tadi. Segera menganggap pemuda ini segolongan, apa lagi sudah
menyebut-nyebut orang tua she Tang. Maka ia memberi tanda rahasia dengan bibir dan matanya.
Akan tetapi tentu saja Han Sin tidak mengerti.
"Laote, kau ber she apakah?" kakek itu lalu bertanya, suaranya kini penuh hormat.
"Siauwte she Cia. Harap lo-enghiong sudi mengalah dan jangan terlalu mendesak nona Thio. Kalau
dilihat orang lain apakah tidak memalukan kalau seorang tua berkedudukan tinggi seperti kau
mendesak seorang gadis muda?"
"Lohu salah ..... terima salah ...." kata kakek itu merendah sambil membungkuk-bungkuk.
Kemudian kembali ia memandang dengan mata berkedip-kedip dan melihat tidak ada "reaksi" apaapa
dari pemuda itu, ia lalu berkata.
"Bagaimana mungkin seekor domba berkawan seekor srigala?"
Tentu saja Han Sin makin heran dan makin tidak mengerti. Ia anggap orang telah bicara kacaubalau
tidak karuan. Akan tetapi agar jangan memperlihatkan bahwa ia tidak mengerti, ia menjawab
saja seenaknya.
"Tentu saja mungkin karena ada kakek-kakek tua menghina orang-orang muda."
Jawaban ini kembali membuat ketua Sin-yang Kai-pang itu melengak. Ia mencoba untuk menatap
wajah pemuda aneh itu dengan tajam, akan tetapi segera ia menundukkan mukanya ketika matanya
terbentur sinar mata yang luar biasa kuat dan tajam berpengaruh dari mata pemuda itu. Akhirnya ia
berkata, "Lohu bersalah ... terima salah ...." Lalu ia mengeloyor pergi mengajak tiga orang
kawannya yang saling pandang dengan penuh keheranan. Sebentar saja empat orang itu sudah
lenyap dari tempat itu.
Semenjak tadi Li Hoa memandang semua ini dengan heran dan penuh kekuatiran. Ia takut kalaukalau
pemuda itu celaka di tangan ketua Sin-yang Kai-pang yang lihai itu, maka biarpun ia tahu
bahwa tidak mudah melawan Kui Kong, namun gadis ini menggenggam pedangnya erat-erat di
tangan kanan dan menyiapkan tiga batang piauw di tangan kiri untuk melindungi Han Sin.
"Eh, apa-apaan kau tadi" Kenapa mereka mengeloyor pergi?" tanya gadis ini sambil menghampiri
Han Sin yang masih berdiri mematung.
Han Sin angkat pundaknya. "Aku sendiripun tidak tahu. Kakek itupun seperti yang lain-lain hanya
seorang badut yang tidak lucu," jawabnya. Sebetulnya Han Sin sudah dapat menduga bahwa karena
melihat dia paham Liap-hong Sin-hoat, tentu pengemis tua itu menganggap dia seorang tokoh kaipang
pula di selatan atau setidaknya mempunyai hubungan baik dengan Ciu-ong Mo-kai, maka
kakek itu mengalah dan pergi. Hanya ia masih tidak mengerti apa artinya "domba berkawan
srigala" tadi?"
Pada saat itu terdengar suara melengking tinggi, suara lengkingan ketawa yang aneh dan
menggetarkan kalbu. Han Sin terkejut bukan main karena ia merasa jantungnya berguncang. Cepat
ia menenangkan pikiran dan mengirim hawa panas dari pusarnya ke dada untuk melindungi isi
dadanya. Ia melihat Li Hoa pucat dan menggigil, lalu gadis ini meramkan mata menahan napas,
terang sekali sedang mengerahkan lweekang untuk menahan pengaruh pekik yang dahsyat itu.
Setelah pekik melengking itu lenyap dan tinggal gemanya yang panjang, gadis itu membuka
matanya dan dengan muka pucat ia menyambar lengan Han Sin diajak lari. Siauw-ong sejak tadi
sudah ketakutan dan meloncat ke pundak pemuda itu.
"Eh eh, ada apa lari-lari seperti dikejar setan?" tanya Han Sin.
"Memang dikejar setan!" jawab Li Hoa, heran sekali suara gadis ini gemetar ketakutan. "Kalau dia
bisa menyusul kita, celaka ....!" dan ia lari makin keras menyeret tangan Han Sin. Saking takutnya,
gadis itu tidak menghiraukan lagi ke mana mereka lari dan karenanya ia memilih jalan yang paling
enak, membelok ke kiri memasuki sebuah dusun kecil.
Han Sin tak sempat bertanya lagi, dan memang dia tidak tahu keadaan dunia kang-ouw maka ia
menurut secara membuta saja. Kalau gadis ini begitu ketakutan, tentu ada bahaya yang luar biasa
besarnya. Diam-diam ia mengeluh. Lebih enak berdiam di Min-san tidak memasuki dunia ramai,
pikirnya. Ternyata dunia begini penuh manusia-manusia buas yang jahat sehingga dari tiap sudut
dan pada setiap detik ada bahaya mengancam!
Tiba-tiba dari belakang terdengar suara yang amat nyaring, suara yang serak seperti suara burung
gagak atau ular besar. "Mana orang she Cia" Kalau ada lekas berhenti!"
"Aduh, siapa setan itu .....?" Han Sin bertanya sambil lari tersaruk-saruk karena tadi kakinya
tersandung batu ketika Li Hoa menyeretnya makin kencang.
"Dia Hoa Hoa Cinjin dan .... aduh ....!" Gadis itu menjerit dan terhuyung, tapi masih terus lari
sambil menyeret tangan Han Sin. Pemuda ini melihat pundak gadis itu mengeluarkan darah,
membasahi bajunya. Ternyata entah dari mana datangnya, sebuah jarum berwarna hijau telah
menancap pada pundak gadis itu. Orang dapat menyerang dari jarak jauh sebelum kelihatan
bayangannya, benar-benar menandakan betapa hebat dan tingginya kepandaian orang itu.
"Lekas, kita cari tempat sembunyi ....." Suara gadis itu lemah dan mukanya pucat, sama sekali tidak
perdulikan luka dipundaknya.
Li Hoa memasuki sebuah rumah gubuk seorang petani. Penghuni rumah itu, seorang laki-laki dan
seorang wanita yang sedang menggendong seorang anak laki-laki berusia tiga tahunan, kaget
setengah mati ketika pintu rumah mereka tiba-tiba terbuka dan masuk dua orang muda yang
membawa seekor monyet. Secepat kilat Li Hoa merampas bocah cilik itu, menotok jalan darah di
leher yaitu urat gagu sehingga bocah itu tidak bisa menangis, lalu berkata penuh ancaman sambil
mencabut pedang.
"Kalau ada orang datang mencari kami, bilang tidak ada. Kalau kalian mengaku, anak kalian akan
kubunuh lebih dulu!" Setelah berkata demikian, Li Hoa menyeret tangan Han Sin memasuki kamar
tidur suami isteri itu. Karuan saja sepasang suami isteri tani itu melongo dengan muka pucat sekali,
akan tetapi melihat anak mereka sudah berada dalam gendongan nona yang cantik itu, terpaksa
mereka mengangguk-angguk dengan tubuh gemetar.
Han Sin tidak setuju sekali melihat sepak terjang Li Hoa yang dianggapnya keterlaluan dan kejam.
Masa minta tolong orang untuk bersembunyi menggunakan ancaman malah merampas anak orang"
Akan tetapi ia telah diseret masuk dan "bluss"! Gadis itu menariknya masuk ke kolong
pembaringan dan mereka meringkuk di bawah pembaringan seperti tikus-tikus bersembunyi!
"Li Hoa, kenapa ....."
"Sssttt ...." Gadis itu menggunakan tangan menutupi mulutnya dan Han Sin terpaksa diam diri.
Siauw-ong sudah turun dan hendak keluar dari pembaringan, akan tetapi melihat sikap Li Hoa, Han
Sin lalu menariknya kembali. Akhirnya monyet itu dengan mulut dimonyongkan karena tak senang
terpaksa duduk meringkuk di tempat yang tidak enak itu. Bocah yang dirampas tidak dapat
menangis dan kini didekap oleh Li Hoa yang memepetkan tubuhnya pada Han Sin.
Han Sin mendengarkan. Keadaan sunyi senyap, sunyi yang menegangkan dan meremas jantung.
Seakan-akan terdengar jantung mereka berdebar-debar dan napas mereka terengah-engah.
Tiba-tiba terdengar suara keras di luar. "Braakkk!" Terang sekali suara daun pintu dipukul pecah,
disusul jerit ketakutan suami isteri petani. Lalu terdengar suara yang parau kasar menusuk telinga.
"Ayoh kalian bilang, apakah tadi melihat seorang pemuda membawa seekor monyet lalu di sini?"
Han Sin merasa betapa tubuhnya didekap tubuh lain yang hangat dan halus, tubuh itu gemetar
seperti seekor kelinci tertangkap. Hidungnya mencium bau yang amat harum dan lehernya agak keri
(geli) karena sesuatu yang halus tebal menyentuh-nyentuh lehernya. Keadaan di kolong itu gelap
sehingga ia tidak dapat melihat nyata. Akan tetapi ia tahu bahwa Li Hoa dan yang menyentuh
lehernya adalah rambut gadis itu. Dalam takut dan gelisahnya agaknya gadis itu lupa segala.
Berdebar jantung Han Sin. Dia merasai ketakutan dan kegelisahan seperti gadis itu, pikirannya
masih terang maka keadaan begini tentu saja menimbulkan perasaan yang tidak karuan dalam
hatinya. Memang pada dasarnya Han Sin adalah seorang pemuda romantis, mungkin darah ayahnya
menurun kepadanya, maka ketika merasa betapa gadis itu mendekapnya, ia jadi "melek meram" dan
berusaha menahan guncangan-guncangan jantungnya yang menjadi gedebak-gedebuk tidak puguh
(tidak karuan).
"Tidak ..... tidak ada pemuda yang loya cari itu ....." terdengar pak tani menjawab takut.
"Jangan bohong kau!"
"Loya, mohon ampun ........ kami benar-benar tidak tahu, tidak melihatnya ....." isterinya membantu.
"Awas kalau kugeledah dan ada ..... kalian akan kuhancurkan kepalamu!"
Mendengar begini, timbul jiwa kesatria di hati Han Sin. Tidak boleh setan itu membunuh orang
karena dia. Ia lalu merayap keluar dari kolong dan berdiri dalam kamar, siap berlari keluar. Akan
tetapi Li Hoa juga melompat dan tahu-tahu gadis ini sudah berdiri di depannya dengan pedang di
tangan, sikapnya melindunginya! Gadis itu berdiri menghadapi pintu kamar yang tertutup dan Han
Sin berdiri di belakangnya. Melihat sikap gadis ini, Han Sin terharu. Terang bahwa gadis ini hendak
melindunginya. "Loya, mana kami berani membohongimu" Kami bersumpah ....."
"Sudah tidak perlu cerewet. Kalau pemuda itu hilang di dusun ini, semua orang dusun ini akan ku
basmi!" Keadaan menjadi sunyi kembali dan dapat diduga bahwa setan itu sudah pergi
meninggalkan rumah gubuk dan mencari ke lain tempat.
Li Hoa mengeluarkan napas panjang, lalu tubuhnya lemas dan tahu-tahu ia sudah pingsan dan tentu
terguling kalau Han Sin tidak cepat-cepat memeluknya. Pemuda itu melihat muka gadis itu pucat
sekali, akan tetapi dalam pingsannya masih memondong bocah itu. Han Sin lalu mengangkat Li
Hoa, dibaringkan di atas tempat tidur, lalu ia melepaskan bocah dari pelukan Li Hoa. Ketika melihat
pundak gadis itu, ia menjadi gelisah sekali. Jarum itu masih menancap dan di sekitar luka terdapat
bengkak yang hitam menghijau, tanda keracunan!
Han Sin teringat ketika ia terluka oleh paku yang dilepas oleh pengemis kawan gadis ini. Maka
tanpa ragu-ragu ia lalu mencabut jarum dari pundak gadis itu dan keluarlah darah hitam semu hijau.
Ia bingung sekali, tidak tahu bagaimana harus mengobati luka itu. Pada saat itu suami isteri petani
memasuki kamar dengan muka pucat. Melihat anaknya menggeletak di tempat tidur di samping
nona yang pingsan, ibu itu lalu menyambar anaknya.
"Nanti dulu, biar kupulihkan dia," kata Han Sin sambil membebaskan totokan di leher bocah itu.
Bocah itu lalu menangis, akan tetapi ibunya cepat mendekap mulutnya, lalu bersama suaminya
mereka lari dari pintu belakang.
Han Sin tidak perdulikan mereka, sibuk mengurus Li Hoa yang masih pingsan. "Siauw-ong, kau
jaga di pintu kamar, kalau ada orang jahat, kau serang dia," kata Han Sin. Kemudian ia merobek
pakaian gadis itu di bagian pundak yang terluka. Dalam keadaan seperti itu ia tidak memperhatikan
betapa kulit pundak gadis itu putih halus dan di lain saat pasti akan membuat dia merasa malu dan
jengah. Karena ia dapat menduga bahwa luka itu beracun, ia lalu membungkuk dan menggunakan mulutnya
menyedot keluar darah dari luka itu. Ia merasa mulutnya getir dan pedas, akan tetapi ia tidak perduli
dan menyedot terus. Aneh sekali, begitu ia menyedot, darah dari luka itu menyembur keluar
memenuhi mulutnya. Cepat ia meludahkan darah yang agak kehijauan, lalu menyedot lagi. Baru
menyedot dua kali saja, ia merasai darah yang asin-asin manis dan ketika ia mengangkat mulutnya
yang penuh darah, luka itu sudah menjadi merah dan darah yang keluar dari luka itu juga sudah
merah. Hatinya lega sekali ketika ia meludahkan darah untuk kedua kalinya. Biarpun ia tidak mengerti
pengobatan, tapi melihat luka itu sudah merah darahnya, ia dapat menduga bahwa racun itu tentu
sudah terhisap keluar. Namun ia masih penasaran dan membungkuk untuk menyedot sekali lagi.
Selagi ia menyedot, tubuh gadis itu bergerak, merintih perlahan dan tiba-tiba berontak dan .....
"plak! plak! plak!" tiga kali pipi Han Sin digaplok keras sekali oleh Li Hoa.
"Kau .... kau mau apa" Kurang ajar .....!" Muka yang tadinya pucat itu kini menjadi merah sekali,
mata yang indah itu berapi-api.
Han Sin melongo dan memandang bodoh. "Aku hanya menghisap keluar racun di lukamu. Kalau
kau menganggap itu kurang ajar, terserah. Niatku hanya menolong, lain tidak ....."
"Kau .... kau telah merobek pakaianku ..... kau telah me .... melihat pundakku .... malah
menciumnya ... kau .... kau ... aku bisa membunuhmu!" Gadis itu meloncat turun dan menyambar
pedangnya. Han Sin tersenyum pahit. "Lukamu memang di pundak, kalau tidak merobek baju di pundak,
bagaimana bisa memeriksanya" Menghisap darah memang dengan mulut, kalau tidak ....
menempelkan bibir pada pundak, bagaimana bisa menghisapnya?"
"Kau ..... kau ....." Li Hoa lalu menangis.
"Aneh bin ajaib ....." Han Sin mengomel panjang pendek. Pada saat itu terdengar jerit-jerit
mengerikan di luar rumah.
Mendengar ini, Han Sin teringat akan "setan" yang oleh Li Hoa disebut bernama Hoa Hoa Cinjin.
Nama ini sudah dikenalnya karena pernah Ciu-ong Mo-kai menyebutnya sebagai nama yang harus
dihadapi dengan hati-hati karena mungkin orang inilah yang dulu membunuh orang tuanya. Kini
mendengar jerit-jerit mengerikan itu ia menduga tentu setan itu menganiaya orang-orang dusun,
maka ia segera melompat keluar disusul oleh Siauw-ong.
Akan tetapi sebelum ia keluar dari pintu depan, tangannya ditarik orang dan Li Hoa sudah berada
disampingnya dengan pedang di tangan. "Jangan keluar, bahaya maut mengancam di luar ....."
Han Sin mengangkat pundak. "Apa salahnya" Matipun sudah patut bagi seorang laki-laki kurang
ajar." Mata Li Hoa yang tadinya terbelalak takut itu menjadi basah. "Han Sin .... kau maafkan aku tadi ...
aku ... aku ... jangan kau keluar. Biar aku menjagamu di sini."
Han Sin tidak tega memaksa. Mereka lalu mengintai dari balik dinding bilik rumah gubuk itu dan
melihat kejadian yang hebat di dalam dusun. Ternyata "setan" itu yang sebetulnya seorang kakek
yang menakutkan, kakek berpakaian tosu yang wajahnya menyeramkan dan galak, tinggi besar
dengan pedang di punggung, mengamuk di dusun dan membunuhi keluarga dusun yang tidak
berapa banyak itu. Dusun kecil itu hanya mempunyai enam buah rumah gubuk dan semuanya kini
dibasmi oleh Hoa Hoa Cinjin yang marah-marah karena tidak menemukan Han Sin! Benar-benar
seorang yang berhati buas dan kejam sekali di samping kepandaiannya yang luar biasa.
Ketika itu, dari luar dusun terdengar suara roda dan tahu-tahu sebuah kereta dorong telah memasuki
dusun dengan kecepatan luar biasa. Seorang nenek duduk di dalam kereta dorong itu dan seorang
pemuda tampan mendorongnya dari belakang. Pada saat itu, Hoa Hoa Cinjin yang sedang
mengamuk sedang menghampiri rumah gubuk di mana Han Sin dan Li Hoa bersembunyi,
bermaksud hendak membasmi seisi rumah. Akan tetapi melihat datangnya nenek dalam kereta
dorong, ia tidak jadi masuk rumah, malah segera menghadang di jalan.
Nenek dan pemuda itupun terkejut sekali melihat tosu itu.
"Hoa Hoa Cinjin si keparat! Kebetulan sekali kau berada di sini, tidak susah-susah lagi aku
mencarimu!" terdengar nenek itu berteriak dengan suara melengking tinggi.
Hoa Hoa Cinjin melengak, bibirnya menyeringai di balik kumisnya.
"Kau siapa?" tanyanya ragu-ragu karena memang tidak mengenal wanita setengah tua yang duduk
di kereta. "Bangsat tua, lupakah kau kepada guruku Koai-sianjin Bhok Kim?"
Tiba-tiba tosu tua itu tertawa bergelak, suara ketawanya melengking nyaring dan kembali Li Hoa
dan Han Sin harus mengerahkan lweekang untuk menolak pengaruh suara menyeramkan ini. "Ha ha
ha, kiranya murid Koai-sianjin" Jadi kau yang dijuluki orang Ang-jiu Toanio" Ha ha, sudah lama
pinto mendengar kau hendak mencariku untuk membalas dendam" Nah, sekarang pinto sudah di
sini, kau boleh menyusul nyawa gurumu!" Setelah berkata demikian, kakek itu menerjang maju dan
secepat kilat memukulkan tangan kanannya dengan jari-jari terbuka ke arah kereta dorong.
"Krakkkk ......!!" Suara keras ini disusul dengan hancurnya kereta dorong seolah-olah kereta dorong
itu diledakkan dan menjadi hancur berkeping-keping. Adapun Ang-jiu Toanio dan pemuda itu yang
bukan lain adalah Yan Bu puteranya, cepat mempergunakan ginkang mereka, melayang ke atas
menghindarkan diri dari pukulan maut ini. Indah gerakan mereka, apalagi Ang-jiu Toanio yang
tadinya duduk ternyata sekarang sudah melompat ke atas dengan kedudukan telentang, tapi sekali ia
membalik, tubuhnya menukik ke bawah dan mencengkeram kepala tosu itu dengan kedua tangan
yang sudah berubah merah.
Kenapa Yan Bu bersama ibunya bisa muncul di tempat itu" Untuk mengetahui ini, baik kita mundur
sebentar untuk mengikuti pengalaman Yan Bu, pemuda yang simpatik ini.
Seperti telah kita ketahui, ketika Han Sin diserang oleh Balita di gunung Cin-ling-san, Yan Bu
muncul dan menolongnya. Yan Bu memenuhi permintaan Bi Eng, gadis lincah jenaka yang
membetot semangatnya, untuk mencari dan menolong Han Sin dari Cin-ling-pai. Akan tetapi
ternyata ia mendapatkan Cin-ling-pai sedang geger dan kacau karena diserang oleh kaki tangan
pemerintah. Yan Bu tidak mau mencampuri urusan ini dan mencari Han Sin yang akhirnya ia
jumpai sedang diancam oleh Balita.
Biarpun Yan Bu telah mewarisi ilmu kepandaian yang tinggi, terutama ginkang dan ilmu golok dari
suhunya, Yok-ong Phoa Kok Tee, namun menghadapi Balita ia masih kalah segala-galanya. Puteri
Hui yang lihai ini bukan lawannya dan terpaksa ia memancing Balita meninggalkan Han Sin untuk
menolong nyawa kakak dari gadis yang dikasihinya itu. Ia melawan sambil berlari, melawan lagi
kalau tersusul, dan lari lagi kalau ada kesempatan. Dengan cara demikian, ia dapat membikin Balita
menjadi marah, penasaran dan terus mengejarnya. Mereka berkejaran sampai turun gunung dan
akhirnya saking lelah, Yan Bu tak dapat lari lagi dan terpaksa ia melakukan perlawanan matimatian.
Dalam keadaan terdesak itu, tiba-tiba muncul Ang-jiu Toanio! Ternyata nyonya ini ketika ditinggal
oleh puteranya, dalam hati merasa tidak tega dan diam-diam lalu menyusul. Baiknya ia datang pada
saat yang amat tepat. Melihat puteranya terdesak hebat dan hampir tidak kuat lagi menghadapi


Kasih Diantara Remaja Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tongkat tulang ular di tangan Balita, ia lalu menyerbu sambil memaki-maki.
Melihat munculnya Ang-jiu Toanio, Balita tahu bahwa menghadapi keroyokan ibu dan anak itu
terlalu berbahaya baginya. Kalau hanya menghadapi Ang-jiu Toanio seorang saja, ia tidak gentar
dan sanggup mengalahkannya. Akan tetapi putera Ang-jiu Toanio ini memiliki ilmu golok luar
biasa dan kalau dia dikeroyok, dia bisa celaka. Apalagi dia memang tidak mempunyai permusuhan
dengan ibu dan anak ini, maka sambil tertawa mengejek ia lalu melarikan diri, kembali ke tempat di
mana tadi ia meninggalkan Han Sin. Akan tetapi ternyata pemuda itu telah lenyap.
Yan Bu dengan singkat menuturkan kepada ibunya tentang pengalamannya dan tentu saja dia tidak
bicara terus terang bahwa dia jatuh hati kepada Bi Eng. Hanya ia ceritakan bahwa ia telah berhasil
mencari Han Sin putera Cia Sun, akan tetapi di sana ada Balita sehingga ia tidak sempat
menanyakan tentang surat wasiat, juga tidak sempat bicara dengan pemuda she Cia itu.
Ang-jiu Toanio membanting-banting kakinya. "Sayang sekali! Ayoh kita kembali ke sana dan cari
dia!" Seperti juga Balita, Ang-jiu Toanio dan puteranya itu tidak bisa mencari Han Sin. Akhirnya Yan Bu
mengajak ibunya kembali ke sungai Wei-ho untuk menemui Bi Eng. Pemuda ini sudah mengambil
keputusan untuk melindungi gadis itu apabila ibunya hendak berlaku keras. Akan tetapi, juga di tepi
sungai Wei-ho dia tidak melihat Bi Eng. Lalu bersama ibunya ia mencari terus sehingga ia sudah
sampai di pegunungan Lu-liang-san dan kebetulan bertemu dengan Hoa Hoa Cinjin yang sedang
mengamuk dan membasmi semua penduduk sebuah dusun kecil. Seperti dulu, Yan Bu yang
berbakti tidak tega melihat ibunya berjalan lalu membuatkan sebuah kereta dorong yang kini
dengan sekali pukul dihancurkan oleh tosu sakti musuh besar ibunya itu.
Kembali ke dusun itu. Biarpun kelihatan lemah, Ang-jiu Toanio masih merupakan orang yang
berilmu tinggi. Pukulan-pukulannya yang disertai tenaga Ang-see-jiu merupakan pukulan beracun
yang dapat merenggut nyawa lawan. Juga ginkangnya amat hebat sehingga tidak mudah bagi Hoa
Hoa Cinjin untuk mengalahkan nyonya ini dalam waktu singkat. Apalagi di situ ada Yan Bu yang
tentu saja tidak membiarkan ibunya menghadapi musuh besar ini seorang diri. Pemuda ini sudah
mencabut goloknya dan menyerbu dengan tikaman dan bacokan maut.
Pertempuran hebat terjadi dan sepak terjang Hoa Hoa Cinjin benar-benar dahsyat sekali. Tosu sakti
ini tidak mencabut pedangnya, akan tetapi pukulan-pukulan tangan dan lengan bajunya
mendatangkan angin bersiutan dan debu mengebul tinggi, tanda bahwa kakek ini sudah memiliki
tenaga lweekang yang sukar diukur tingginya. Matanya yang bersinar-sinar seperti mata iblis itu
makin mengerikan dan mulutnya tiada hentinya mengeluarkan suara ketawa mengejek.
"Ha ha ha, murid Koai-sianjin Bhok Kim ternyata hanya seorang wanita berpenyakitan dan lemah,"
katanya sambil mendesak hebat. Memang benar, Ang-jiu Toanio tidak dapat berbuat banyak
menghadapi tosu ini. Pukulan Ang-see-jiu, yang biasanya amat ampuh dan dengan sekali pukul dari
jarak jauh saja sudah dapat merobohkan seorang lawan, kini menghadapi Hoa Hoa Cinjin seperti
tidak ada artinya lagi. Hawa pukulan Ang-see-jiu mental kembali begitu terbentur oleh hawa
pukulan yang menyambar dari kedua tangan tosu sakti itu. Sebaliknya, desakan-desakan Hoa Hoa
Cinjin membuat Ang-jiu Toanio repot sekali dan beberapa kali sambaran hawa pukulan tosu ini
membuat dia terhuyung-huyung.
Melihat betapa ibunya didesak, dengan nekat Yan Bu mainkan goloknya dan Hoa Hoa Cinjin
sampai berseru kagum. "Hebat ilmu golok dari Yok-ong. Tapi, bocah, jangan kaukira pinto jerih
menghadapinya. Ha ha ha!" Secepat kilat, dengan ilmu silat Kong-jiu-coan-to (Tangan Kosong
Terjang Golok) ia memapaki serangan pemuda itu. Akan tetapi tosu ini berseru kaget ketika golok
pemuda itu tiba-tiba menyambar dan hampir saja lengan kanannya terbabat kalau ia tidak lekaslekas
menarik kembali. Keringat dingin membasahi jidatnya dan diam-diam ia harus akui bahwa
ilmu golok dari Yok-ong ini benar-benar lihai dan tidak terduga gerakannya.
Ia berseru keras sekali, ujung lengan bajunya menyambar dengan tangan tersembunyi di dalamnya.
Ujung lengan bajunya yang lemas ini begitu membentur golok terus melibat dan tangan yang
tersembunyi di dalamnya secara tiba-tiba menangkap keluar dan di lain saat golok pemuda itu telah
dapat ia rampas!
Pada saat itu Ang-jiu Toanio menyergap dari samping dengan pukulan Ang-see-jiu. Sambil tertawa
Hoa Hoa Cinjin menggunakan golok rampasannya untuk menangkis pukulan sambil membabat
tangan. "Krakk!" Golok itu terlempar dan gagangnya yang terbuat dari pada kayu telah remuk di tangan
Hoa Hoa Cinjin. Kalau bukan golok mustika, tentu akan patah-patah terpukul Ang-see-jiu. Biarpun
golok terlempar oleh pukulan, namun saking kuatnya pegangan Hoa Hoa Cinjin, gagangnya tidak
ikut terlepas malah hancur di tangannya, sedangkan tangan Ang-jiu Toanio yang tertekan golok
luka berdarah. Hoa Hoa Cinjin mendesak maju dan totokan dengan ujung lengan bajunya membuat
tubuh Ang-jiu Toanio terguling.
"Jangan ganggu ibu!" bentak Yan Bu sambil menubruk maju, namun sekali dupak pemuda itu
terpental. Sambil tertawa-tawa Hoa Hoa Cinjin melangkah maju, mengangkat tangan hendak memukul kepala
nyonya yang sudah tak berdaya itu. Tangan diangkat, pukulan akan dijatuhkan, akan tetapi tiba-tiba
ia membatalkan maksudnya. "Hemmm, melihat muka dia, aku ampunkan nyawamu," katanya
perlahan. Tak seorangpun tahu siapakah yang dimaksud oleh tosu ini dengan sebutan "dia" tadi.
Pukulan ke arah kepala dibatalkan, sebaliknya ia lalu menghantam ke arah pundak kiri nyonya itu.
"Plakk!" Ang-jiu Toanio menjerit dan pingsan.
"Kau berani celakai ibu?" Yan Bu yang sudah bangun, menerjang lagi dengan marah, penuh
kekuatiran melihat ibunya dipukul oleh tosu kejam itu.
Sambil mengelak, Hoa Hoa Cinjin membentak.
"Kalau kau tidak memiliki ilmu golok Yok-ong Phoa Kok Tee, apakah pinto sudi mengampunimu"
Ayoh, kau lekas bawa ibumu mencari Yok-ong biar Raja Obat itu mencoba kepandaiannya. Dalam
sepuluh hari kalau kau tidak bertemu dengan Yok-ong, ibumu akan mampus."
Mendengar ini, Yan Bu tidak jadi menyerang lalu menubruk ibunya. Ia melihat wajah ibunya pucat
sekali. Sebagai seorang murid Raja Obat, tentu saja Yan Bu mengerti ilmu pengobatan, maka ia
cepat memeriksa pundak kiri ibunya. Alangkah kagetnya ketika ia melihat ada tapak jari hitam
menghijau di pundak itu, tanda bahwa ibunya telah terkena pukulan beracun yang lebih berat dari
pada Ang-see-jiu! Dan ia maklum pukulan apakah ini.
"Manusia keji! Kau menggunakan Ceng-tok-ciang memukul ibu!" seru Yan Bu marah, gelisah dan
sakit hati. Hoa Hoa Cinjin membelalakkan matanya lalu tertawa. "Ha ha, kau tidak percuma menjadi murid
Yok-ong. Dalam sepuluh hari kau boleh mencarinya, akan tetapi kalau sudah bertemu, belum tentu
gurumu itu becus mengobatinya. Ha ha ha!"
Yan Bu memondong tubuh ibunya. "Hoa Hoa Cinjin, kau dulu membunuh guru ibuku, bagiku hal
itu takkan kutarik panjang. Akan tetapi perbuatanmu terhadap ibu hari ini, kelak aku Phang Yan Bu
pasti akan mencarimu untuk mengadu nyawa!" Lalu pemuda itu berlari cepat sambil memondong
tubuh ibunya. Semenjak tadi hati Han Sin sudah panas dan marah sekali menyaksikan sepak-terjang Hoa Hoa
Cinjin yang ganas. Apalagi ketika mendapat kenyataan bahwa kakek itu adalah seorang pemeluk
agama To-kauw, ia makin pemasaran. Hanya karena ditahan oleh Li Hoa maka dia menyabarkan
diri. Akan tetapi ketika ia melihat betapa kakek itu melukai Ang-jiu Toanio yang biarpun oleh Ciuong
Mo-kai dianggap musuh ayahnya akan tetapi dalam pandangannya tidak lain hanya seorang
wanita setengah tua yang berpenyakitan, dan melihat pula betapa kakek itu menghina Yan Bu,
pemuda yang dianggapnya amat baik kepadanya dan pernah pula menolongnya ketika ia diserang
Jin Cam Khoa Balita, Han Sin tak dapat menahan kesabarannya pula. Sebelum Li Hoa tahu dan
sempat mencegah, Han Sin sudah melompat keluar, diikuti oleh Siauw-ong. Bukan main gelisahnya
hati Li Hoa melihat ini dan terpaksa iapun melangkah keluar.
Hoa Hoa Cinjin yang sama sekali tidak menyangka, ketika melihat seorang pemuda tampan dengan
tenangnya bersama seekor monyet keluar dari rumah gubuk itu, berdiri tercengang. Bukankah yang
dia cari adalah seorang pemuda yang membawa-bawa seekor monyet" Dia belum pernah melihat
Han Sin, hanya mendengar saja tentang pemuda ini. Dicari setengah mati, malah karena mencarinya
ia tadi telah membunuh banyak penduduk dusun tanpa hasil. Eh, tahu-tahu orang yang dicarinya
muncul dan menghampirinya. Keherannya ini ditambah lagi ketika ia melihat sikap dan mendengar
kata-kata pemuda itu yang datang-datang menudingkan telunjuk kepadanya dan berkata marah.
"Eh, orang tua yang bernama Hoa Hoa Cinjin, kau benar-benar telah menyeleweng secara luar biasa
sekali! Dandananmu adalah seorang tosu, kenapa sebagai seorang pendeta To-kauw begitu keji dan
tidak mengenal prikemanusiaan" Apa kau sudah lupa bunyi permulaan ayat ke tiga puluh satu dari
kitab Tok-tik-khing bahwa senjata merupakan alat kejahatan yang dijauhi oleh penganut To"
Apakah lupa bahwa guru besar Khong Hu Cu mengutamakan Jin-gi-lee-ti-sin yang menuntun jalan
hidup manusia ke arah prikemanusiaan" Bagaimana pula ajaran guru besar Mo Ti yang menyuruh
manusia cinta kepada sesama manusia tanpa perbedaan" Juga semua aliran, seperti aliran Im-yang,
Hoat, malah Beng-kauw sendiripun tidak ada satu yang akan membenarkan perbuatan tadi. Untuk
mencari aku seorang, kau membunuh-bunuhi rakyat tidak berdosa, kau malah melukai seorang
perempuan setengah tua yang lemah dan berpenyakitan, hemm, coba jawab Hoa Hoa Cinjin,
sebagai seorang tosu apakah perbuatanmu itu tidak menyeleweng?"
Han Sin bicara penuh nafsu, sepasang matanya bersinar-sinar sedemikian tajamnya sehingga diamdiam
Hoa Hoa Cinjin kaget sekali karena dia sendiri yang memiliki sepasang mata yang tajam dan
kuat, terpaksa harus tunduk menghadapi pengaruh dari sepasang mata bocah ini. Dan ia sampai
melongo saking terheran-heran melihat pemuda yang dicarinya itu kini datang-datang memberi
kuliah tentang filsafat-filsafat kuno dari pelbagai aliran demikian lancarnya! Keadaan ini biarpun
membuat dia terheran-heran, namun begitu lucu baginya sehingga lupa ia akan marahnya, lupa
bahwa dia telah dikuliahi seperti seorang murid oleh seorang bocah!
"Ha ha ha, kau lucu .....! Lucu ......!"
"Apanya yang lucu" Kau ini tosu tua jangan anggap perbuatan-perbuatanmu tadi sebagai hal remeh
saja. Dosamu besar sekali. Akan tetapi tidak ada dosa yang tak dapat diampuni oleh Thian, asal saja
yang berdosa itu memenuhi satu syarat, yaitu merasa bertobat dan menebus dosa-dosanya dengan
pemupukan perbuatan baik dan menyenangkan serta menolong orang lain. Kalau kau bisa sadar dan
berubah menjadi tosu yang baik, Hoa Hoa Cinjin, kelak aku Cia Han Sin akan menganggapmu
betul-betul sebagai seorang yang bijaksana."
Sementara itu, Hoa Hoa Cinjin sudah menjadi marah kembali. Apa lagi ketika pemuda ini sudah
memperkenalkan diri. Tadinya ia ragu-ragu apakah betul pemuda ini putera Cia Sun yang kabarnya
sudah membunuh sutenya, Ban Kim Cinjin karena melihat pemuda ini seperti orang muda yang
otaknya miring dalam pandangannya.
"Bocah, kau membunuh suteku saja sudah patut mampus. Sekarang kau berani membuka mulut
besar menegur dan memberi nasehat kepadaku, benar-benar kau pantas mampus sepuluh kali!"
Tosu ini dengan marah melangkah maju dan siap memukul.
"Hidup atau mati adalah urusan Thian, bagaimana kau tosu berdosa besar masih berani bicara
tentang mati sepuluh kali?" Han Sin membentak, marah melihat orang yang dianggapnya terlalu
jahat. "Keparat, tutup mulutmu untuk selamanya!" Hoa Hoa Cinjin mengangkat tangannya.
"Totiang, tahan!" dan Li Hoa meloncat ke depan menghadapi tosu itu.
Hoa Hoa Cinjin memandang. "Eh, kiranya Thio-siocia ...." katanya terheran-heran dan mukanya
berubah. Memang ia tahu bahwa pemuda ini tidak hanya bersama seekor kera, juga kabarnya
mempunyai seorang adik perempuan dan tadinya ia mengira pemuda ini bersama adiknya itu. Tidak
tahunya sekarang muncul puteri Thio-ciangkun!
"Totiang, orang she Cia ini adalah tawananku, harap totiang jangan mengganggunya," kata gadis itu
dengan pandangan mata tajam.
Hoa Hoa Cinjin kelihatan bingung. "Jadi ..... selama ini kaukah yang bersama dia, siocia" Dan
ketika aku memukul seorang gadis disampingnya dari jauh ......"
"Akulah orang itu. Kau telah melukai pundakku."
Muka tosu itu menjadi merah. "Ehh ....... celaka. Pinto salah lihat ..... siapa sangka nona yang
bersama dia" Maaf, bocah ini yang menimbulkan malapetaka ini. Harap nona jangan salahkan
pinto." Li Hoa tersenyum pahit. "Tidak apalah. Sekarang harap totiang tinggalkan kami dan urusan orang
ini berada di tanganku."
"Tapi, nona ..... dia ini, dia anak Cia ......."
"Aku sudah tahu. Totiang laporkan saja sudah berada di tanganku."
"Dia ..... dia sudah membunuh Ban Kim Cinjin ....."
"Itupun aku sudah tahu. Sudahlah, tinggalkan kami."
"Tapi, Thio-siocia ......"
"Hoa Hoa Cinjin! Apakah setelah melukai pundakku, kaupun ada keberanian untuk memberontak?"
"Bukan ....... tapi dia yang menyuruhku ...... Thio-siocia. Bocah ini berbahaya. Kalau sampai
terlepas lagi, tentu kita mendapat marah."
"Siapa berani marah kepadaku" Tidak, totiang. Serahkan urusan ini kepadaku."
Hoa Hoa Cinjin ragu-ragu. Han Sin terheran-heran melihat sikap Li Hoa. Ternyata gadis ini
mempunyai pengaruh yang besar dan kelihatan sama sekali tidak takut menghadapi Hoa Hoa
Cinjin. Akan tetapi kenapa tadi nona itu kelihatan ketakutan setengah mati ketika dikejar Hoa Hoa
Cinjin" Rahasia apakah berada di balik semua kejadian ini"
Akhirnya Hoa Hoa Cinjin berkata, "Bagaimanapun juga, resikonya terlalu besar membiarkan bocah
setan ini berkeliaran dan kau berada di dekatnya, nona Thio. Dia harus dibuat tak berdaya." Setelah
berkata demikian, secepat kilat tangannya bergerak ke arah Han Sin. Pemuda itu sama sekali tidak
menyangka dirinya bakal diserang. Ia mengeluh dan roboh terguling.
17. Gadis Berkedok Putih.
"HOA HOA CINJIN ..... kalau kau bunuh dia .....!" Li Hoa melompat. Nona ini lalu menekuk lutut
dan memeriksa Han Sin yang sudah setengah pingsan, dadanya terasa sakit sekali. Akan tetapi ia
masih dapat melihat dan mendengar dua orang itu bicara.
"Dia tidak mati. Akan tetapi dalam sepuluh hari dia akan mampus dalam keadaan menderita sekali.
Pinto memberi waktu sepuluh hari, karena bukankah sebelum waktu itu kau bisa membawanya ke
puncak" Di sana pinto akan menanti bersama dia yang akan memberi keputusan. Pinto lakukan ini
demi keselamatanmu sendiri, nona. Nah, sampai ketemu!"
Tosu itu hendak pergi tapi tiba-tiba terdengar lengking ketawa yang tinggi kecil. Lengking ini
menyerupai lengking yang suka dikeluarkan oleh Hoa Hoa Cinjin, akan tetapi lebih tinggi dan
menusuk telinga. Biarpun Han Sin sudah roboh hampir pingsan, jantungnya masih berdebar dan
berguncang mendengar bunyi ini dan Li Hoa kelihatan terkejut sekali. Akan tetapi Hoa Hoa Cinjin
tertawa dan membalas dengan suara lengkingnya yang keras.
Tak lama kemudian berkelebat bayangan putih dan tahu-tahu di situ berdiri seorang gadis yang
bertubuh ramping sekali berkulit putih halus, di punggungnya kelihatan gagang pedang. Akan tetapi
kepala gadis ini ditutup kedok sutera putih yang tidak hanya menyembunyikan mukanya, malah
seluruh kepalanya tersembunyi di dalam kedok yang bentuknya seperti sebuah kantong itu. Hanya
di bagian mata diberi lubang sedikit dan dari balik kedok sutera itu bersinar sepasang mata yang
bercahaya bening, mata seorang wanita cantik.
"Gi-hu, berhasilkah kau menangkap bocah she Cia?" terdengar suara gadis berkedok itu, suaranya
juga merdu halus, tidak kalah oleh suara Li Hoa. Diam-diam Han Sin terheran-heran dan meremang
bulu tengkuknya. Tidak nyana seorang gadis yang memiliki suara demikian empuk, memiliki
potongan tubuh demikian ramping dan kulit demikian putih halus, kiranya adalah anak angkat
seorang kejam dan jahat seperti Hoa Hoa Cinjin. Kalau ayah angkatnya sudah demikian keji, tentu
perempuan inipun bukan orang baik-baik. Kedoknya saja sudah begitu menyeramkan, pikirnya.
"Ha ha, Hoa-ji, kau menyusulku" Bagus, memang aku mengharapkan kau dapat menyaksikan
keramaian di puncak, hitung-hitung menambah pengalaman. Kau tanya tentang bocah she Cia" Itu
dia, sudah kuhadiahi Tong-sim-ciang. Ha ha ha!"
Nona berkedok yang dipanggil Hoa-ji (anak Hoa) itu juga tertawa, suara ketawanya merdu sekali
seperti orang bernyanyi. "Gi-hu (ayah angkat), kenapa tidak dimampuskan saja dan dirampas surat
wasiatnya?"
Sambil berkata demikian, nona berkedok itu sekali menggerakkan tubuhnya yang langsing, tubuh
itu melayang amat ringannya ke tempat Han Sin menggeletak. Mata di balik kedok itu
mengeluarkan sinar menatap ke wajah pemuda itu. Melihat ini Li Hoa serentak berdiri dan di lain
saat pedangnya sudah berada di tangan kanan. Gadis ini dengan wajah keren tanpa kenal takut
membentak. "Siapa kau" Jangan sembarangan bergerak!" Sikapnya mengancam sekali. Tadi Li Hoa mendengar
gadis berkedok ini menyebut "gi-hu" kepada Hoa Hoa Cinjin. Ia tidak pernah mendengar bahwa
tosu kosen itu mempunyai anak angkat ataupun murid, akan tetapi ia dapat menduga bahwa gadis
berkedok ini setelah menjadi anak angkat tosu itu, tentu juga kejam dan lihai sekali. Ia hanya dapat
melihat sepasang mata yang berkilat-kilat ditujukan kepada Han Sin, tidak tahu bagaimanakah
wajah gadis ini dan tidak dapat menduga pula pikiran apa yang terkandung di balik sepasang mata
indah itu. "Hoa-ji, jangan bunuh dia. Dia menjadi tawanan nona Thio yang tentu akan membawanya ke
puncak Lu-liang-san. Nona Thio puteri Thio-ciangkun itu orang sendiri, bukan lawan," terdengar
Hoa Hoa Cinjin berkata.
Nona berkedok itu mengeluarkan suara mendengus, agaknya memandang rendah. Matanya
mengerling sekilat ke arah Li Hoa, akan tetapi segera dialihkan kembali menatap wajah Han Sin.
Pada saat itu, Han Sin sudah sadar betul dan pemuda ini kebetulan juga memandang kepadanya
sehingga dua pasang mata itu bertemu. Nona berkedok meramkan matanya yang terasa pedas ketika
bertemu dengan sinar mata pemuda itu yang luar biasa tajam berpengaruh.
"Iiihh, Dia bermata iblis ....." terdengar nona ini berseru, lalu mundur tiga tindak. Baru sekarang ia
menoleh dan menghadapi Li Hoa, kini pandang matanya menyelidik. Dipandangnya gadis she Thio
itu dari kaki sampai ke rambutnya yang disanggul secara istimewa. Ia mengeluarkan suara ketawa
kecil, akan tetapi suaranya penuh pujian ketika ia berkata, "Inikah nona puteri Thio-ciangkun yang
membantu orang-orang Mancu, gi-hu" Cantik manis .....!"
Hoa Hoa Cinjin tertawa bergelak. "Ha ha ha, Hoa-ji. Di dunia ini mana ada yang bisa menandingi
engkau ....?" Tosu itu lalu berkelebat pergi dan nona berkedok itupun melesat cepat mengikuti gihunya,
dan dari jauh masih terdengar lengking ketawa mereka, satu keras parau dan yang satu lagi
tinggi kecil dan nyaring.
"Hebat ........" terdengar Li Hoa berkata seorang diri. "Agaknya tidak lebih tua dariku, akan tetapi
sudah memiliki khikang demikian tinggi. Sungguh hebat dan berbahaya ...."
"Aduuhhh ...... hemm .... dingin ..........!"
Li Hoa cepat membalikkan tubuh dan berlutut lagi di dekat Han Sin. Pemuda itu kelihatan
menggigil kedinginan dan menekan-nekan perutnya.
"Bagaimana ...." Sakitkah?" Li Hoa bertanya gelisah.
"Dingin sekali ....... seperti beku isi dada dan perutku ......" kata Han Sin meringis menahan sakit.
Pemuda ini tadi terpukul oleh Hoa Hoa Cinjin yang menggunakan pukulan Tong-sim-ciang yang
mengandung lweekang tinggi. Kalau kakek itu mengerahkan seluruh tenaganya, tentu jantungnya
sudah tergetar dan rusak mendatangkan maut. Akan tetapi Hoa Hoa Cinjin sengaja menahan
tenaganya, memberi kesempatan kepada pemuda itu untuk hidup sepuluh hari lagi. Hanya Hoa Hoa
Cinjin yang akan dapat mengobati pemuda ini, itupun akan memakan waktu lama sekali.
Pukulan Tong-sim-ciang ini mengandung tenaga "Yang" yaitu tenaga yang amat panas sehingga
orang yang terkena pukulan ini akan merasa dirinya terbakar hidup-hidup dan jantung akan menjadi
rusak karena darah berjalan terlalu cepat akibat hawa panas yang merasuk ke dalam jalan darah.
Akan tetapi, mengapa pemuda ini malah merasa dingin dan menggigil" Tentu saja kalau Hoa Hoa
Cinjin masih berada di situ dan melihat keadaan Han Sin, tosu itu akan menjadi terheran-heran dan


Kasih Diantara Remaja Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tidak mengerti.
Memang keadaan Han Sin tidak sama dengan orang-orang biasa. Dia telah minum darah ular Pekhiat-
sin-coa dan di dalam jalan darah di tubuhnya sudah mengalir sebagian dari pada darah ular itu.
Maka begitu ia terkena pukulan yang tak disangka-sangkanya itu, racun pukulan yang bertemu
dengan racun Pek-hiat-sin-coa, bertanding di dalam jalan darahnya dan racun Tong-sim-ciang itu
segera berubah sifatnya, sebaliknya malah mendatangkan hawa dingin karena berubah menjadi
hawa "Im" yang amat dingin. Akan tetapi hal ini tidak membahayakan Han Sin, malah
melenyapkan bahaya yang mengancamnya, jantungnya tidak terganggu dan ia hanya menderita
perasaan dingin yang luar biasa saja di dalam perut dan dadanya.
Li Hoa yang tidak tahu akan keadaan sebenarnya dalam tubuh Han Sin, melihat pemuda itu
menggigil dengan muka pucat, makin gelisah sampai-sampai ia tidak merasa betapa dua butir air
mata membasahi di pipinya!
"Han Sin ...... jahat sekali tosu itu ..... awas dia, kalau sampai kau tidak tertolong, aku akan
mengadu nyawa dengannya .....! Ah, bagaimana baiknya ini?" Ia merangkul belakang leher Han
Sin, mencoba untuk mendudukkan pemuda itu. Akan tetapi Han Sin yang baru saja terserang hawa
dingin, hanya menggigil keras dan tidak bisa bangun, malah ia tidak sadar betapa gadis itu
memeluknya dan menangis.
"Dingin ...... dingin .....!" Gigi pemuda itu sampai bersuara karena menggetar. "Minta ...... minum
panas-panas ......!"
Li Hoa menurunkannya lagi telentang di atas tanah. "Aku akan mencarikan minum panas
untukmu." Cepat ia memasuki rumah-rumah gubuk di dusun itu. Akan tetapi rumah-rumah itu
sudah kosong, penghuninya sudah pada mati bergeletakan di depan atau di dalam rumah sampai
hati nona yang biasanya tabah ini menjadi ngeri melihatnya.
"Ganas sekali Hoa Hoa Cinjin," pikirnya dengan mengkirik. Banyak sudah ia melihat orang
dibunuh akan tetapi pembunuhan itu adalah hukuman bagi orang-orang yang dianggap jahat oleh
ayahnya. Sekarang ia melihat orang-orang dusun yang tidak berdosa dibunuh begitu saja oleh Hoa
Hoa Cinjin, hatinya memberontak. "Kenapa ayah bekerja sama dengan manusia macam Hoa Hoa
Cinjin" Kenapa orang-orang jahat belaka yang bekerja dengan ayah ....?" Pikiran ini menimbulkan
keraguan dan kesangsian di dalam hatinya akan tepatnya pekerjaan yang dipegang oleh ayahnya.
Karena memikirkan keadaan Han Sin, ia lalu memasuki sebuah dapur di rumah gubuk terdekat,
yaitu rumah petani yang sudah menyembunyikan mereka. Cepat-cepat ia membuat api dan
memasak air. Lalu ia kembali kepada Han Sin sambil membawa secawan air panas.
"Ini air panas, Han Sin. Kau minumlah ...." Ia lalu membantu pemuda itu bangun duduk. Han Sin
agaknya sudah sadar lagi karena ia dapat duduk biarpun masih payah. Baru sekarang ia menyadari
keadaannya, betapa gadis itu menahan belakang lehernya dan memberinya minum. Diam-diam ia
terharu dan teringatlah ia adegan tadi betapa gadis ini melindungi dan membelanya. Diam-diam ia
merasa heran sekali. Ke dalam golongan orang bagaimana ia harus masukkan gadis ini" Golongan
jahat atau golongan baikkah" Akan tetapi ia tidak sempat berpikir lagi dan segera minum air panas
dari cawan yang disodorkan ke bibirnya oleh Li Hoa.
Aneh sekali, begitu perutnya kemasukan air panas, rasa dingin melenyap dan tenaganya pulih
kembali. Memang rasa dingin di perutnya itu bukan gejala penyerangan atau keracunan, melainkan
akibat dari pada kemenangan racun Pek-hiat-sin-coa yang mengalahkan racun pukulan Tong-simciang
sehingga hawa panas pukulan ini berubah menjadi dingin.
Melihat wajah pemuda itu menjadi segar kembali dan kelihatan sembuh, bukan main girangnya hati
Li Hoa, sungguhpun masih ada kekhawatirannya karena mendengar dari Hoa Hoa Cinjin bahwa
pemuda ini hanya akan dapat hidup sepuluh hari saja. Mana ia tahu bahwa racun pukulan tadi itu
sudah musnah dan tidak ada bahayanya lagi"
"Han Sin, jangan khawatir. Betapun kejinya, Hoa Hoa Cinjin takkan berani membantah permintaan
ayah. Aku akan minta kepada ayah supaya Hoa Hoa Cinjin memberi obat pemunah racun
pukulannya. Mari kita pergi ke puncak Lu-liang-san ini.
Han Sin kelihatan bengong. Kemudian ia menggeleng kepala. "Tosu itu tersesat. Aku tidak apa-apa
Li Hoa, tidak merasa dingin atau sakit lagi. Kau tidak usah kuatir. Li Hoa, kau baik sekali. Kenapa
kau sebaik ini padaku" Eh, kenapa kau selalu melindungiku" Apakah hanya karena kau ingin aku
membawamu ke tempat penyimpanan warisan rahasia dari Lie Cu Seng?"
Muka gadis itu menjadi merah sekali ketika mendengar pertanyaan ini. Tadinya ia hendak
menentang pandangan mata Han Sin, akan tetapi ketika matanya bertemu dengan sinar mata
pemuda itu yang memandangnya penuh selidik, ia lalu tundukkan mukanya.
"Bagaimana Li Hoa. Jawablah agar aku tidak menyangka yang bukan-bukan."
Li Hoa tidak menjawab, hanya mengangguk. Han Sin menghela napas, kecewa bukan main. Ia
tadinya mengharap bahwa gadis ini melindungi dan membelanya karena keluar dari hati yang baik
sehingga ia tanpa ragu akan memasukkan gadis ini ke dalam golongan orang-orang baik.
Mendengar bahwa "kebaikan" gadis ini hanya untuk tujuan mendapatkan harta simpanan, ia sudah
bukan menganggap hal-hal itu semacam kebaikan lagi. Kembali ia menarik napas panjang,
nampaknya kecewa dan berduka sekali. Benar-benar sedih hatinya kalau ia harus memasukkan
gadis ini ke dalam golongan orang jahat.
"Salah ...... salah, Li Hoa. Kau telah tersesat dan menyeleweng dari pada kebenaran."
"Apa maksudmu ....?"
"Kalau tidak hendak menolong, janganlah menolong. Melakukan kebaikan disertai pamrih, disertai
harapan untuk menerima balasan, bukanlah kebaikan lagi namanya, melainkan penipuan, malah
pemerasan! Melakukan perbuatan yang bersifat kebajikan haruslah berdasarkan perasaan hati yang
bersih, berdasarkan prikemanusiaan yang mewajibkan setiap manusia berlaku baik. Haruslah
digerakkan oleh perasaan kasihan yang sewajarnya, kasih sayang antara manusia. Dengan demikian
barulah perbuatan baik itu benar-benar baik dan bersih. Janganlah mengharapkan balasan
keuntungan duniawi, bahkan dengan mengharapkan syukur dan terima kasih saja dari yang
ditolong, sudah lenyaplah sifat murni dari kebaikan itu, sudah minta DIBELI dengan terima kasih!
Kau keliru Li Hoa, kau tersesat dan aku menyesal sekali ....."
Terpukul hati Li Hoa mendengar filsafat pemuda yang aneh ini. Tadi ia tidak berterus terang,
sekarang melihat pemuda ini dan mengingat bahwa mungkin sekali dalam sepuluh hari ini tidak
akan melihat pemuda ini masih hidup, ia mengesampingkan rasa jengah dan malu, lalu berkata,
"Han Sin, memang sejak sebelum berjumpa dengan kau, di dalam hatiku sudah ada keinginan
mendapatkan surat wasiat Lie Cu Seng. Maka bukan semata karena surat itulah aku membelamu,
biarpun tanpa adanya surat wasiat, aku ... aku tetap akan membelamu."
"Hemm, hanya terhadap aku seorangkah perasaanmu itu?"
"Habis, masa terhadap setiap orang aku harus begitu?"
"Seharusnya demikian, harusnya. Bukan hanya terhadap aku."
"Tak mungkin aku harus mempertaruhkan nyawa untuk membela setiap orang."
Sunyi sebentar. "Eh, Li Hoa, kenapa justru terhadap aku kau mempunyai perasaan begitu yakin ......
hendak membela mati-matian?"
Li Hoa menundukkan mukanya. Bodoh amat pemuda ini, pikirnya. Mana bisa seorang gadis seperti
dia harus mengaku terang-terangan bahwa dia menyinta pemuda itu" "Entahlah, Han Sin. Hanya
aku harus, sekali lagi aku harus membelamu, karena ... mungkin sekali karena aku tidak suka
melihat kau kena celaka."
Han Sin menghela nafas, tidak puas. "Sudahlah, kau memang baik. Sayang kau tidak mempelajari
filsafat-filsafat para bijaksawan jaman dahulu. Mari kita lanjutkan perjalanan. Puncak Lu-liang-san
sudah nampak, aku ingin bertemu secepatnya dengan Bi Eng. Entah ada apa di sana itu, agaknya
orang-orang ... tersesat, seperti Hoa Hoa Cinjin berkumpul di sana. Aku kuatir sekali akan diri
adikku ....."
Maka berangkatlah dua orang muda itu. Han Sin dengan penuh kepercayaan bahwa dia tentu akan
dapat bertemu dengan Bi Eng dan menolong adiknya itu. Sebaliknya, Li Hoa penuh kegelisahan,
takut kalau-kalau pemuda ini takkan dapat tertolong dari lukanya di sebelah dalam akibat pukulan
Hoa Hoa Cinjin.
**** Mari kita tengok keadaan Bi Eng, gadis lincah jenaka yang memiliki keberanian luar biasa itu.
Tanpa menduga sedikitpun juga bahwa ia telah terjatuh ke dalam tangan seorang luar biasa, seorang
yang pada nona ini mengikuti Bhok-kongcu menuju ke Lu-liang-san. Memang sukarlah menyangka
pemuda ini sebagai seorang jahat. Sikap lemah lembut, bicaranya manis budi, gerak-geriknya
seperti seorang sastrawan muda, seorang kongcu (tuan muda) yang betul-betul memiliki kepandaian
sastra dan silat (bun-bu-coa-jai).
Lebih percaya lagi Bi Eng kepada pemuda itu ketika mendapat kenyataan betapa di sepanjang
perjalanan mereka berdua menuju ke Lu-liang-san, pemuda itu memperlihatkan sikap yang
menghormat sekali, sama sekali tak pernah memperlihatkan kekurangajaran. Bermalam di rumah
penginapan, selalu Bhok-kongcu memilihkan kamar terbaik bagi Bi Eng dan dia sendiri memilih
kamar sederhana. Malah pernah terjadi ketika hanya mendapatkan sebuah kamar karena semua
kamar penuh, pemuda ini tidur di depan pintu kamar, di atas bangku sebagai seorang jaga malam!
Selain itu, setelah melakukan perjalanan berdua, Bi Eng mendapat kenyataan bahwa pemuda itu
benar-benar pandai sekali dalam ilmu kesusasteraan, pandai melukis, pandai menabuh Khim dan
meniup suling, jago dalam main catur dan mengubah sajak!
Sebentar saja gadis yang masih hijau ini menjadi tertarik dan menganggap bahwa pemuda itu malah
lebih hebat dari pada kakaknya, Cia Han Sin! Makin tebal keyakinannya bahwa pemuda yang
tampan dan aneh ini memiliki kekuasaan dan pengaruh yang amat besar ketika di manapun juga
orang-orang selalu menerimanya dengan penuh penghormatan dan takut-takut. Hanya setelah
mereka berada dekat Lu-liang-san dan melalui dusun-dusun, penduduk dusun tidak ada yang
mengenalnya dan hal ini agaknya menyenangkan hati Bhok-kongcu.
"Menyenangkan sekali ...." Ia memuji ketika melihat penyambutan sederhana dari pemilik warung
di sebuah dusun. "Sewajarnya dan sederhana mereka, orang-orang dusun itu. Tidak dibuat-buat
dalam sikap, tidak menjilat-jilat, sewajarnya sesuai dengan alam. Alangkah bedanya dengan sikap
orang-orang kota, jemu aku dibuai penghormatan mereka."
"Memang kehidupan yang tenteram di dusun membuat sikap orang menjadi sederhana dan wajar,"
sambung Bi Eng yang teringat akan kata-kata kakaknya. "Biasanya, bodoh mendatangkan jujur dan
sederhana, sebaliknya pintar mendatangkan curang dan mewah. Betulkan ini, Bhok-kongcu?"
Ucapan ini tanpa disengaja menyindir keadaan kongcu itu yang mewah dan pesolek, dan baru
setelah mengucapkan kata-kata yang dikutipnya dari omongan-omongan yang pernah ia dengar dari
Han Sin, gadis ini tersadar bahwa tanpa disengaja ia menyindir. Dasar ia jenaka dan lincah, ia
malah menambahkan, "Ah, tidak tahunya kata-kata itu seperti menyindir kau yang suka akan
berpakaian indah dan mewah. Jangan kau marah, Bhok-kongcu!"
Bhok-kongcu tertawa terbahak, pada wajahnya yang tampan dan putih itu tidak nampak perubahan
apa-apa. Ia lalu menggeleng-gelengkan kepalanya dan berkata. "Tidak bisa begitu. Kebodohan dan
kepintaran tidak bisa disatu padukan dengan kejujuran dan kecurangan. Tidak kurang banyaknya
orang pintar yang jujur dan orang bodoh yang curang."
Bi Eng semenjak kecil hidup di samping kakaknya yang sudah menjadi seorang ahli pikir dan ahli
filsafat. Biarpun dia sendiri tidak mempelajari atau tidak suka membaca kitab-kitab kuno, namun
dari "dongeng-dongeng" kakaknya, sedikit banyak ia tahu akan filsafat hidup. Setelah merenung
sebentar, ia membantah.
"Aku kurang setuju, Bhok-kongcu. Orang pintar yang jujur memang mungkin ada, tapi bagaimana
orang bodoh bisa curang" Untuk bisa berlaku curang, kurasa membutuhkan kecerdasan yang
dimiliki orang pintar. Bukan begitu?"
"Ha ha ha, kau pintar, nona. Memang masuk diakal omonganmu ini. Mudah-mudahan saja kau
tidak menganggap aku orang pintar yang curang, juga tidak menganggap aku orang jujur tapi
bodoh. Kedua-duanya aku tidak suka. Ha ha ha!" Gadis itupun ikut tertawa.
Memang, pandai sekali Bhok-kongcu bergaul sehingga Bi Eng merasa suka bercakap-cakap dengan
kongcu ini. Perjalanan ke Lu-liang-san dirasakan tidak terlalu melelahkan dengan adanya pemuda
yang pandai bicara, pandai berkelakar dan halus sikapnya ini. Karena ini iapun dapat agak terhibur
biarpun selalu ia masih merasa gelisah kalau memikirkan kakaknya. Setiap kali ia teringat kepada
Han Sin, ia minta kepada Bhok-kongcu untuk mempercepat perjalanan.
"Nona, tak usah kau kuatir. Percayalah, di manapun adanya kakakmu, asal dia masih hidup, aku
Bhok Kian Teng menanggung padamu bahwa aku pasti akan dapat mencarinya."
"Kalau dia masih .... masih hidup ....?" Bi Eng memandang dengan mata terbelalak. Mata itu amat
jeli dan bagus dalam penglihatan Bhok-kongcu sehingga untuk sejenak ia tak dapat
menyembunyikan rasa kagum dalam pandangannya. Kemudian ia tertawa.
"Nona Cia, tentu saja kakakmu masih hidup. Akan tetapi, hidup atau mati bukanlah kekuasaan
manusia, bukan" Andaikata ada apa-apa yang tidak kita hendaki terjadi atas diri kakakmu, hemmm,
percayalah, aku pasti takkan membiarkan orang yang menganiaya kakakmu hidup lebih lama lagi!"
Bi Eng memandang dengan penuh terima kasih. "Bhok-kongcu, kau baik sekali. Nanti akan
kuceritakan kepada kakakku bagaimana baiknya kau terhadapku."
Bhok-kongcu mermbungkuk. "Terhadap seorang seperti kau, nona Bi Eng, mengorbankan
nyawapun masih belum ada artinya ...."
Bi Eng yang masih hijau, tidak mengerti apa maksud pemuda itu, namun perasaan kewanitaannya
membuat mukanya menjadi merah mendengar ucapan ini dan iapun terharu, merasa berterima kasih
sekali. Ketika mereka tiba di puncak Lu-liang-san yang amat indah pemandangan alamnya, Bhok-kongcu
membawa Bi Eng ke sebuah bangunan kecil mungil di bawah puncak. Tempat itu sunyi sekali,
maka benar-benar aneh adanya bangunan di situ, dan ternyata ketika pemuda ini datang, ia disambut
oleh lima orang pelayan yang bertubuh tegap dan nampaknya bukan pelayan-pelayan biasa.
Memang mereka ini sebenarnya adalah perwira-perwira bangsa Mongol yang menyamar dan
menjadi pelayan di situ, dan sebenarnya mereka ini bertugas melindungi Bhok-kongcu, putera
pangeran Mongol itu.
Bi Eng tidak heran mendengar bahwa gedung mungil ini juga milik pemuda ini. Sudah terlalu
sering ia melihat kenyataan bahwa kawannya ini mempunyai pengaruh dan kekuasaan besar, juga di
mana-mana ia melihat pemuda ini mempunyai rumah dan orang-orang yang amat menghormatinya.
Ia tahu bahwa selain berpengaruh, pemuda inipun kaya raya. Ia dapat menduga pula bahwa di
dalam pemerintahan yang baru, pemuda ini agaknya memiliki kedudukan yang bukan kecil. Yang
belum diketahui gadis ini hanyalah bahwa sebetulnya Bhok Kian Teng adalah seorang pemuda
keturunan Mongol.
Memang sebetulnya Bhok Kian Teng mempunyai kedudukan yang tinggi sebagai putera pangeran
Bhok Hong yang sudah berjasa besar pada pemerintah Mancu yang kini berkuasa di Tiongkok.
Oleh Kaisar Mancu, yaitu Kaisar Kang Shi, memberi kedudukan raja muda kepada pangeran Bhok
Hong dan karena raja muda Bhok Hong ini lebih suka berkelana sebagai seorang tokoh kang-ouw
dengan julukan Pak-thian-tok (Racun dari Utara), maka kekuasaannya banyak dipegang oleh
puteranya, Bhok Kian Teng yang ternyata amat pandai melakukan tugas-tugas ayahnya.
Malah boleh dibilang dalam ilmu ketata negaraan, pemuda ini jauh lebih pandai dari pada ayahnya
yang berwatak aneh. Maka tugas penting yang diserahkan oleh Kaisar kepada pangeran Bhok Hong,
yaitu tugas menumpas perkumpulan-perkumpulan rahasia dari bangsa Han yang masih mempunyai
maksud melawan pemerintah baru, oleh Pak-thian-tok Bhok Hong diserahkan kepada puteranya itu!
Secara diam-diam, tanpa diketahui umum, pemuda ganteng yang kelihatan lemah lembut ini
mengatur jaring-jaringnya, mengerahkan pembantu-pembantu yang pandai untuk mulai dengan
tugasnya, yaitu menumpas perkumpulan-perkumpulan rahasia ataupun perkumpulan-perkumpulan
besar yang tidak mau tunduk kepada pemerintah Mancu! Karena kekuasaannya yang besar akibat
kedudukan ayahnya sebagai raja muda, maka pembesar-pembesar semua mengenalnya, bahkan
Thio-ciangkun yang juga mempunyai kedudukan tinggi, boleh dibilang termasuk seorang di antara
bawahan-bawahannya, atau boleh dikatakan juga sebagai pembantunya.
Sudah dituturkan di bagian depan, juga dapat dilihat dari catatan dalam kitab sejarah, bahwa bangsa
Mancu dapat menyesuaikan diri dengan keadaan dan kebudayaan Tiongkok. Mereka ini yang
datang menjajah negara Tiongkok, ternyata malah meleburkan diri dalam kebudayaan bangsa
Tiongkok sendiri dan cara hidup orang-orang Mancu ini, dari Kaisar sampai pegawai-pegawai
rendahan, meniru-niru cara hidup orang orang Han, berpakaian sebagai orang Han, bicara dalam
bahasa Han pula. Karena ini pula maka banyak orang-orang gagah bangsa Han mudah terpikat dan
membantu pemerintah baru ini karena melihat sikap para penjajah ini, mereka tidak melihat adanya
bangsa asing, seperti bangsa sendiri saja.
Memang dalam hal ini harus dipuji pandangan jauh dari Kaisar Kang Shi yang harus disebut
seorang kaisar yang besar. Dia maklum bahwa rakyat sendiri, yaitu bangsa Mancu, berjumlah jauh
lebih kecil dan memiliki wilayah yang selain sempit juga tidak subur. Kalau mereka sekarang sudah
berhasil menduduki Tiongkok yang luas dan banyak jumlah rakyatnya, dan kalau mereka hendak
mempertahankan kedudukannya dan menjadi bangsa yang besar, jalan satu-satunya ialah
menyatukan diri dengan rakyat, hidup sebagai rakyat Tiongkok pula sehingga bangsa Tiongkok
yang terjajah itu tidak akan merasa terjajah oleh bangsa asing.
Akan tetapi tidaklah demikian pikiran orang-orang Mongol yang membantu bangsa Mancu dalam
penyerbuannya ke Tiongkok. Bangsa Mongol masih merasa dirinya lebih tinggi dari pada suku
bangsa lain dan hal inipun bukan aneh. Bangsa Mongol dalam jamannya Jenghis Khan memang
pernah menjadi bangsa kelas tertinggi, menaklukkan seluruh daratan Tiongkok, bahkan sampai
meluas jauh ke barat. Tentu saja, biarpun sekarang kekuasaan mereka sudah musnah, mereka ini
masih merasa lebih tinggi dari pada suku bangsa lain.
Perasaan ini masih mengeram dalam hati Bhok Kian Teng. Biarpun, untuk dapat melakukan tugas
rahasianya menindas kaum kang-ouw yang melawan pemerintah, ia terpaksa berpakaian seperti
seorang pemuda terpelajar bangsa Han dan segala gerak-geriknya disesuaikan dengan orang Han,
namun di dalam hatinya ia masih seratus persen orang Mongol.
Ini pula yang membuat ayahnya, si Racun dari Utara itu merasa enggan untuk memegang
jabatannya sebagai raja muda. Pangeran Bhok Hong tidak suka, biarpun secara diam-diam, akan
cara hidup pembesar-pembesar Mancu yang meniru-niru orang Han. Ia merasa jemu dan rendah,
maka ia lalu meninggalkan kursi jabatannya dan menyerahkan pekerjaan-pekerjaannya kepada
putera tunggalnya, sedangkan dia sendiri lalu menghilang, berkelana di dunia kang-ouw sebagai
seorang yang bebas.
Bhok Kian Teng ternyata memang seorang ahli siasat yang amat pandai. Orang muda ini tahu
bahwa apabila orang-orang kang-ouw dan perkumpulan-perkumpulan rahasia yang tidak senang
terhadap pemerintah baru ini sampai dapat bersatu, maka kekuatan mereka itu dapat menimbulkan
bahaya besar. Oleh karena itulah, secara diam-diam, Bhok-kongcu menyebar kaki tangannya,
menyeludup ke dalam perkumpulan-perkumpulan itu, menyebar racun untuk menjalankan siasat
pecah belah. Usahanya ini berhasil baik karena dalam beberapa tahun saja timbullah rasa saling tidak percaya di
antara para partai dan perkumpulan rahasia. Adalah siasat Bhok-kongcu pula untuk membasmi Cinling-
pai yang dianggapnya berbahaya dengan sikap mereka yang tidak menentu itu. Untuk tugas ini
ia serahkan kepada pembantunya dan seperti telah diketahui, usaha mereka itu berhasil baik.
Cin-ling-pai dapat dibasmi, markasnya dihancurkan dan para tosu Cin-ling-pai banyak yang tewas
dan sebagian besar melarikan diri. Malah ketuanya, Giok Thian Cin Cu, telah meninggal dunia pula.
Bukan itu saja, malah orang-orang Thio-ciangkun yang dipimpin oleh para pengemis Coa-tung Kaipang
dan puterinya sendiri, yaitu Li Hoa, berhasil pula memikat hati dan membujuk sehingga dua
orang tosu tokoh terpenting dari Cin-ling-pai, It Cin Cu dan Ji Cin Cu, menyatakan hendak
memenuhi panggilan Thio-ciangkun!
Kepergian Bhok Kian Teng kali ini ke puncak Lu-liang-san, bukan semata-mata untuk mencari Cia
Han Sin seperti yang dikatakan kepada Bi Eng. Dia mempunyai rencana yang lebih besar lagi.
Selain hendak menyenangkan dan mengambil hati Bi Eng, gadis yang secara aneh sekali telah


Kasih Diantara Remaja Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memikat hatinya itu, dan ingin menangkap Han Sin untuk merampas surat wasiat Lie Cu Seng yang
dirindukan oleh seluruh orang kang-ouw, juga kali ini Bhok-kongcu menyuruh kaki tangannya
mengundang orang-orang gagah di seluruh pelosok yang pro-Mancu untuk berkumpul di Lu-liangsan
dan menerima tugas dalam perlawanan terhadap orang-orang yang anti Mancu.
Demikianlah sedikit catatan untuk mengetahui latar belakang yang penuh rahasia dan yang meliputi
Perjodohan Busur Kumala 3 Kekaisaran Rajawali Emas Pendekar 4 Alis I Karya Khu Lung Kisah Si Rase Terbang 3
^