Pencarian

Kesatria Baju Putih 1

Kesatria Baju Putih Pek In Sin Hiap Karya Chin Yung Bagian 1


"Kesatria Baju Putih
Pek In Sin Hiap
Karya : Chin Yung
Bagian 01 PENDAHULUAN Rimba persilatan menjadi gempar, karena kemunculan sebuah kotak pusaka yang berisi kitab
pelajaran ilmu silat tingkat tertinggi. Konon kotak pusaka tersebut adalah peninggalan Pak Kek
Siang Ong (Dewa Kutub Utara), yang berilmu sangat tinggi dua ratus tahun lampau.
Bagi siapa yang memperoleh kotak pusaka tersebut, dan mempelajari kitab ilmu silat yang di
dalamnya, maka orang itu akan menjadi jago yang tanpa tanding dalam rimba persilatan.
Oleh karena itu, semua kaum rimba persilatan dari berbagai golongan ingin merebut kotak
pusaka tersebut, termasuk tujuh partai besar rimba persilatan, yakni partai Siauw Lim, Bu Tong,
Hwa San, Kun Lun, Go Bie, Khong Tong dan partai Swat San.
Kemunculan kotak pusaka tersebut justru membawa maut dan bencana bagi rimba persilatan,
sebab kaum rimba persilatan saling membunuh demi memperoleh kotak pusaka itu, sehingga
menimbulkan banjir darah dalam rimba persilatan.
Orang pertama yang mendapatkan kotak pusaka itu, tak lama kemudian mati dikeroyok, begitu
pula orang kedua. Kini yang mendapatkan kotak pusaka itu adalah Hui Kiam Bu Tek (Pedang
Terbang Tanpa Tanding) Tio It Seng, istrinya adalah sin Pian Bijin (Wanita Cantik Cambuk Sakti) Lie
Hui Hong. 0o0 Malam yang gelap gulita, disertai hujan deras dan kilat pun terus menerus menyambar. Tiba-tiba
tampak sosok bayangan menerjang ke dalam sebuah rumah di kaki gunung, yang ternyata seorang
lelaki berusia lima puluhan. Rambut, wajah dan pakaiannya telah basah kuyup, bahkan pakaiannya
bernoda darah. "Hui Hong" seru lelaki itu, yang tangan kirinya membawa sebuah kotak kecil bergemerlapan,
dan tangan kanannya menggenggam sebilah pedang.
"Kita harus cepat kabur"
"Apa yang telah terjadi, It seng?" tanya seorang wanita cantik dengan mata terbelalak-
Mereka adalah suami istri. Lelaki itu adalah Hui Kiam Bu Tek-Tio It seng, sedangkan wanita itu
adalah sin Pian Bi jin-Li Hui Hong.
Jangan banyak tanya" sahut Hui Kiam Bu Tek-Tio It seng.
"Di mana anak-anak kita?"
"Lagi tidur" sin Pian Bi jin-Lie Hui Hong memberitahukan.
"Tio sam?" tanya Tio It seng.
"Tuan besar...."
Tampak seorang tua berusia enam puluhan berlari-lari menghampirinya.
"Tio sam, keadaan sudah mendesak sekali," ujar Tio It seng.
"Engkau harus segera membawa putraku kabur ke arah barat, aku dan Hui Hong akan
membawa Suan-Suan ke arah timur Kalau terjadi sesuatu atas diri kami, engkau harus baik-baik
mengurusi putraku itu"
"It seng sebetulnya apa gerangan yang telah terjadi?" tanya Lie Hui Hong dengan wajah cemas.
"Dikarenakan ini." Tio It seng menunjuk kotak kecil yang dibawanya.
"Itu..." Lie Hui Hong terbelalak-
"Apakah itu kotak pusaka yang diperebutkan kaum persilatan?"
"Betul." Tio It seng mengangguk-
"Dari mana kau peroleh kotak pusaka itu?" tanya Lie Hui Hong dengan suara gemetar karena
tegang- "Dalam perjalanan pulang dari Lembah Kesepian, aku melihat seseorang dikeroyok oleh para
pesilat dari golongan hitam, bahkan tampak pula para pesilat dari tujuh partai besar. Karena itu,
aku turun tangan menolong orang itu, yang telah terluka parah-sebelum menghembuskan napas
penghabisan, dia menyerahkan kotak pusaka ini kepadaku maka aku dikejar-kejar oleh para pesilat
dari golongan hitam dan tujuh partai besar itu"
"Celaka" keluh Lie Hui Hong.
"Mereka pasti akan membunuh kita demi merebut kotak pusaka ini."
"Kita harus seaera kabur. Engkau menggendong Suan-Suan".
Tio sam menggendong putra kita yang masih kecil itu kabur ke arah barat, kita melalui arah
timur." Kemudian Hui Kiam Bu Tek-Tio It seng dan sin Pian Bi jin-Lie Hui Hong membawa putri mereka,
yang berusia sembilan tahun kabur melalui arah timur, sedangkan Tio sam membawa putra mereka
yang berusia tiga tahun kabur ke arah barat.
Akan tetapi, di tengah perjalanan Tio It seng dan Lie Hui Hong di hadang oleh para pesilat
golongan hitam dan tujuh partai besar itu sehingga terjadilah pertarungan yang amat dahsyat.
Mayat bergelimpangan, sedangkan Hui Kiam Bu Tek-Tio It seng dan sin Pian Bi jin telah terluka.
"omitohud omitohud?"
Hui Khong Taysu terus-menerus menyebut nama Sang Budha. Hweeshio tua itu adalah ketua
partai siauw Lim.
"Bu Liang siu Hud"
It Hian Tejin, kedua partai Bu Tong juga menyebut sambil menggeleng-gelengkan kepala-
Mendadak pada saat itu, berkelebatan tiga sosok bayangan hitam, dan diiringi suara tawa yang
sangat menyeramkan.
Begitu melihat tiga sosok bayangan hitam itu, para ketua tujuh partai besaHerkejut bukan main,
dan wajah mereka tampak pucat pias.
Ternyata yang baru muncul itu adalah Bu Lim sam Mo (Tiga iblis Rimba Persilatan, yakni Tang
Hai Lo Mo (iblis Tua Laut Timur), Thian mo (iblis Kahyangan) dan Te mo (iblis Neraka).
Bu Lim sam Mo berkepandaian sangat tinggi, setingkat dengan Bu Lim It Ceng (satu Padri sakti
Rimba Persilatan) dan Bu Lim ji Khie (Dua orang Aneh Rimba Persilatan).
Hui Kiam Bu Tek-Tio It seng dan sin FianBi jin-Lie Hui Hong mati secara mengenaskan di tangan
Tiga iblis itu, sedangkan putri mereka bernama Tio Suan-Suan tergelincir ke dalam jurang.
siapa pun tidak tahu, kotak pusaka itu jatuh ke tangan Tang Hai Lo Mo, Thian mo atau Te mo"
Dan juga tiada seorang pun yang tahu, ke mana putra Tia It seng yang masih kecil itu, sehingga
hal-hal tersebut merupakan suatu teka teki di dalam rimba persilatan.
Bagian 1 Di dalam sebuah goa, tampak seorang tua berbaring di ranjang. Badan orang itu kurus kering,
rambutnya putih semua, dan terus-menerus batuk.
"Paman!" ujar seorang anak berusia sekitar tiga belas tahun. "Apakah Paman mau makan obat
lagi?" "Ti... tidak usah, Nak." Orang tua itu menatapnya sambil menarik nafas panjang.
"Aaaakh...!" "Kenapa Paman setiap hari menarik nafas?" tanya anak itu heran.
"Paman... Paman sangat kasihan akan nasibmu, Nak," sahut orang tua itu lemah.
"Memangnya kenapa?" Anak itu tidak mengerti.
"Cie Hiong, seandainya sepuluh tahun lalu kedua orang tuamu tidak mati, engkau tidak usah ikut
paman hidup menderita di dalam goa ini," ujar orang tua sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Paman! Jadi sepuluh tahun lalu Cie Hiong punya ayah dan ibu?" tanya anak itu.
"Ng!" Orang itu mengangguk. "Tapi..."
"Kenapa, Paman?"
"Aaakh! Kedua orang tuamu telah mati..."
"Paman, kenapa kedua orang tua Cie Hiong bisa mati" Apakah karena sakit?"
"Bukan. Mereka berdua..."
"Kenapa kedua orang tua Cie Hiong" Paman, beritahukanlah!"
"Nak!" Sepasang mata orang tua itu bersimbah air. "Belum waktunya paman memberitahukan."
"Kapan Paman akan memberitahukan pada Cie Hiong?"
"Setelah kau memiliki ilmu silat tinggi."
"Paman!" Tio Cie Hiong mengerutkan kening. "Kenapa harus menungu sampai Cie Hiong
memiliki ilmu silat tinggi" Padahal sesungguhnya, Cie Hiong sama sekali tidak berniat belajar ilmu
silat." "Kenapa?" Orang tua itu menatapnya heran.
"Selama ini bukankah Paman ingin mengajar Cie Hiong ilmu silat, tapi Cie Hiong terus
menolaknya. Cuma belajar membaca, menulis dan sastra saja." Jawab Tio Cie Hiong
memberitahukan.
"Paman selalu mengatakan, bahwa dalam rimba persilatan penuh kelicikan, keserakahan dan
saling membunuh pula. Maka Cie Hiong tidak mau belajar ilmu silat, sebab Cie Hiong tidak mau jadi
kaum rimba persilatan."
"Nak!" Orang tua itu menggeleng-gelengkan kepala. "Padahal Paman menghendaki agar engkau
menjadi Bun Bu Coan Cai (Mahir Sastra dan ilmu Silat) kelak, namun engkau malah tidak mau
belajar ilmu silat. Nak, dalam hal ini Paman sungguh kecewa."
"Paman jangan kecewa" Tio Cie Hiong tersenyum. "Cie Hiong tidak belajar ilmu silat, justru akan
aman." "Tapi...." Orang tua itu tidak melanjutkan ucapannya, dan hanya menggeleng-gelengkan
kepalanya. "Kenapa Paman kalau bicara tidak mau terus terang?" tanya Cie Hiong heran. "Apakah Paman
menyimpan suatu rahasia?"
"Aaakh...." Orang tua itu hanya menarik nafas panjang.
"Sudah lewat sepuluh tahun..." gumam Tio Sam dengan suara lemah. "Semua kejadian itu
bagaikan dalam mimpi."
"Kejadian apa, Paman?" tanya Tio Cie Hiong cepat.
"Tentang kedua orang tuamu, Nak." Tio Sam menarik nafas panjang.
"Apa yang terjadi atas kedua orang tuaku?" tanya Tio Cie Hiong ingin mengetahuinya.
"Nak, kini belum waktunya engkau mengetahui tentang itu," Sahut Tio Sam. "Oh ya! Engkau
harus ingat..."
"Ingat apa, Paman?"
"Engkau punya seorang kakak perempuan, tapi... entah dia masih hidup atau telah mati."
"Apa?" Tio Cie Hiong terbelalak. "Cie Hiong punya seorang kakak perempuan" Dia berada di
mana?" "Paman tidak tahu, mungkin dia masih hidup tapi mungkin juga telah mati."
"Paman!" Tio Cie Hiong menatap orang tua itu. "Kenapa keluarga Cie Hiong bisa berantakan
begitu" Sebetulnya apa yang telah terjadi sepuluh tahun lalu?"
"Nak!" Tio Sam menatapnya dengan mata basah. "Kelak engkau akan mengetahuinya..."
"Kenapa Paman selalu berkata begitu" Cie Hiong jadi bingung sekali." Tio Cie Hiong menggarukgaruk
kepala. "Nak!" Ujar Tio Sam sambil berbatuk-batuk. "Biar bagaimanapun, engkau harus belajar ilmu silat
tingkat tinggi."
"Heran" Kenapa Paman selalu mendesak Cie Hiong belajar ilmu silat tingkat tinggi" Cie Hiong
sudah bilang, tidak mau belajar silat karena tidak mau jadi kaum rimba persilatan."
"Nak..." Tio Sam terbatuk-batuk lagi. "paman beristirahat saja! Cie Hiong mau menanak nasi
dulu!" Ujar Tio Cie Hiong sambil berjalan ke dalam.
Sedangkan Tio Sam cuma menarik nafas panjang dan menggeleng-gelengkan kepala, kemudian
terbatuk-batuk lagi. Tampak darah hitam mengalir ke luar dari mulutnya, sehingga membuat orang
tua itu berkeluh lemah.
"Aaakh... Ajalku sudah dekat..."
Hari berikutnya, Tio Cie Hiong memasak obat, kemudian diberikan kepada Tio Sam, namun
orang tua itu menolak.
"Percuma... percuma paman makan obat lagi."
"Memangnya kenapa?" tanya Tio Cie Hiong sambil menaruh mangkok yang berisi obat di atas
meja. "Nak! Paman... paman sudah tidak tahan lagi..." Tio Sam memberitahukan dengan wajah pucat
pias, kemudian berubah kelabu.
"Maksud paman?" Tio Cie Hiong dengan heran.
"Ajal paman telah... telah mendekat." sahut Tio Sam dengan mata bersimbah air.
"Tidak! Tidak...!" teriak Tio Cie Hiong dengan air mata bercucuran. "paman pasti bisa sembuh,
Paman pasti bisa sembuh!"
"Nak! Dengarkan baik-baik..." Tio Sam terbatuk-batuk, lalu mulutnya mengeluarkan darah
hitam. "Sepuluh tahun lalu, paman terpukul oleh musuh hingga terluka dalam. paman terus
bertahan hidup demi membesarkanmu..." "paman..." Air mata Tio Cie Hiong terus berderai.
"Kedua orang tuamu dan kakak perempuanmu, mereka... mereka..." Tio Sam terbatuk-batuk
lagi, darah hitam pun terus mengalir keluar dari mulutnya.
"paman makan obat dulu, jangan banyak bicara..."
"Nak! Dengarkan baik-baik! Waktu Paman tidak banyak lagi... Setelah paman mati, engkau
harus berangkat ke Lembah Kesepian di Gunung Heng San..."
"Ya, paman." Tio Cie Hiong mengangguk sambil menangis terisak-isak.
"Nak, engkau harus ingat! Biar bagaimana pun engkau harus belajar ilmu silat," pesan Tio Sam.
"Dan juga harus sabar menghadapi segala sesuatu..."
Tio Cie Hiong mengangguk lagi.
"Paman, kenapa Cie Hiong harus berangkat ke Lembah Kesepian di Gunung Heng San?"
tanyanya kemudian.
"Engkau... engkau harus mencari Ku Tok Lojin (Orang Tua Kesepian) di lembah itu..."
"Kenapa Cie Hiong harus mencari Ku Tok Lojin?"
"Sebab... sebab Ku Tok Lojin akan menceritakan tentang riwayat hidupmu. Beliau juga akan
memberitahukan kepadamu, siapa kedua orang tuamu. Maka engkau harus datang ke Lembah
Kesepian menemui beliau."
"Paman, siapa Ku Tok Lojin itu?"
"Setelah bertemu beliau, engkau akan mengetahuinya. Nak, Setelah paman mati, engkau harus
baik-baik menjaga diri, dan selalu berlaku sabar..."
"Ya, Paman."
"Di kolong ranjang ini tersimpan beberapa ratus tael perak dan beberapa stel pakaian, itu... itu
bekalmu." Suara Tio Sam semakin melemah. "Kasihan sekali engkau, Nak..."
"Paman..." Tio Cie Hiong menangis terisak-isak. "Cie Hiong pasti menuruti nasihat Paman, Cie
Hiong pasti selalu berlaku sabar dan baik-baik menjaga diri."
"Engkau memang anak baik, tapi sayang sekali kedua orang tua dan kakak perempuanmu..."
"Paman makan obat dulu ya." desak Tio Cie Hiong.
Tio Sam menggeleng-gelengkan kepala, kemudian menjulurkan tangannya untuk menggenggam
tangan Tio Cie Hiong.
"Nak! Engkau... engkau harus belajar ilmu silat..."
"Ya." Tio Cie Hiong terpaksa mengangguk, karena melihat keadaan orang tua itu sudah sekarat.
"Bagus! Bagus..." Wajah Tio Sam tampak berseri. "Nak, jagalah dirimu baik-baik..." Mendadak
kepala Tio Sam terkulai. Ternyata orang tua itu telah mati.
Tio Cie Hiong merangkul mayat orang tua itu sambil menangis sedih. "Paman! Kenapa Paman
tinggalkan Cie Hiong...?"
Tio Cie Hiong berlutut di hadapan makam Tio Sam dengan air mata berlinang-linang. Tampak
sebuah buntalan yang berisi pakaian dan uang perak bergantung di punggungnya.
"Paman! Hari ini Cie Hiong akan meninggalkao tempat ini, Cie Hiong berjanji akan selalu berlaku
sabar dan menjaga diri baik-baik. "Tapi...mohon Paman memaafkan Cie Hiong, sebab Cie Hiong
tidak mau belajar ilmu silat. Cie Hiong pasti akan berangkat ke Lembah Kesepian di gunung Heng
San untuk menemui Ku Tok Lojin, semoga Paman tenang di alam baka!"
Seusai berkata begitu, Tio Cie Hiong bangkit berdiri sambil memandang makam itu.
"Paman, Cie Hiong pasti datang lagi kelak," Ujar Tio Cie Hiong, lalu berjalan pergi.
Setelah menempuh perjalanan beberapa hari, tibalah Tio Cie Hiong di sebuah rimba. Ia berteduh
di bawah potion rindang sambil beristirahat. Berselang beberapa saat kemudian, ketika ia baru mau
melanjutkan perjalanan, mendadak muncul seseorang yang bertampang seram di hadapannya.
"Bocah!" Bentak orang itu. "Buntalanmu itu berisi apa?"
"Berisi beberapa stel pakaian dan ratusan tael perak," jawab Tio Cie Hiong jujur.
"Oh?" Orang itu tertawa girang. "Ha ha ha! Harus kau berikan buntalan itu kepadaku!"
"Lho" Kenapa?" tanya Tio Cie Hiong dengan heran.
"Kenapa" Ha ha ha!" Orang itu tertawa lagi. "Aku seorang perampok, maka engkau harus
menyerahkan buntalan itu kepadaku!"
"Kalau kuserahkan buntalan itu kepadamu, bukankah aku tidak punya pakaian dan uang lagi"
Lalu bagaimana aku...?" tanya Tio Cie Hiong.
"Itu urusanmu! Pokoknya harus kau serahkan buntalan itu kepadaku! Kalau tidak, kepalamu
pasti terpisah dengan badanmu!" Sahut perampok itu sambil mengayun-ayunkan golok yang ada di
tangannya. "Kau mau membunuhku?"
"Ya! Itu kalau engkau tak mau menyerahkan buntalanmu kepadaku!"
"Bagaimana kalau begini saja," ujar Tio Cie Hiong mengusulkan. "Aku akan memberikan separoh
uang perakku, tapi pakaianku jangan kau ambil."
"Tidak bisa!" Perampok itu menggelengkan kepala. "Pokoknya harus kau serahkan buntalanmu
itu kepadaku kalau tidak, engkau pasti mati di bawah golokku ini!"
"Kalau kuserahkan buntalan ini kepadamu, lalu aku bagaimana?" keluh Tio Cie Hiong.
"Jangan banyak bacot!" Bentak perampok itu. "Cepatlah kau serahkan, aku sudah tidak bisa
bersabar lagi!"
"Kenapa engkau begitu serakah?" Tio Cie Hiong menggeleng-gelengkan kepala.
"Aku perampok, tentunya serakah! Kalau tidak, bagaimana mungkin aku jadi perampok" Ayo,
cepat serahkan buntalan itu!"
Tio Cie Hiong tahu, apabila is tidak menyerahkan buntalannya kepada perampok itu, dirinya
pasti akan mati. Oleh karena itu, ia terpaksa menyerahkan buntalannya kepada perampok itu.
"Ha ha ha!" Perampok itu tertawa gelak sambil menerima buntalan tersebut, kemudian meleset
pergi. "Aku harus bagaimana?" keluh Tio Cie Hiong, yang berdiri mematung di tempat. Karena kini ia
tidak memiliki apa-apa lagi, bagaimana mungkin is berangkat ke gunung Heng San" "Aaaakh!
Kenapa orang itu begitu serakah, sama sekali tidak sisakan beberapa tael perak untukku..."
Akhirnya Tio Cie Hiong tetap melanjutkan perjalanan. Beberapa hari kemudian, ia telah tiba di
tempat yang sangat indah. Di tempat tersebut terdapat sebuah sungai yang airnya sangat jernih.
Tio Cie Hiong duduk beristirahat di tepi sungai. Pakaiannya sudah kotor sekali. Dalam beberapa hari
ini, ia hanya mengisi perutnya dengan buah-buahan liar, yang dipetiknya dari dalam hutan.
Berselang beberapa saat, Tio Cie Hiong bangkit berdiri lalu membuka pakaiannya. la mandi di
sungai itu dan sekaligus mencuci pakaiannya yang telah kotor, setelah itu, ia menjemur pakaiannya
di dahan pohon.
Tio Cie Hiang duduk beristirahat lagi di situ dalam keadaan telanjang bulat. Tiba-tiba berkelebat
sosok bayangan di belakang sebuah pohon, yang ternyata seorang pengemis kecil berusia sekitar
dua belas tahun.


Kesatria Baju Putih Pek In Sin Hiap Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Setelah berada di belakang pohon, pengemis kecil mengintip ke arah Tio Cie Hiong yang sedang
duduk termenung. Pada waktu bersamaan, Tio Cie Hiong bangkit berdiri dan kebetulan sekali
menghadap ke arah pengemis kecil.
"Auuuh!" jerit pengemis kecil tertahan sambil menutup kedua matanya.
Suara jeritan pengemis itu sangat mengejutkan Tio Cie Hiong. Maka ia lalu memandang ke arah
pohon itu seraya berseri.
"Siapa bersembunyi di balik pohon" Cepatlah keluar!"
Tak ada sahutan, Tio Cie Hiong penasaran lalu berjalan ke pohon itu dalam keadaan telanjang.
"Jangan dekati aku! Jangan dekati aku...." Terdengar suara teriakan di balik pohon. "Eeeh?" Tio
Cie Hiong terbelalak ketika melihat seorang pengemis kecil bersembunyi di balik pohon dengan
wajah menghadap ke tempat lain, kelihatannya seakan merasa malu berhadapan de
ngan Tio Cie Hiong yang telanjang bulat. "Ternyata engkau seorang pengemis kecil!"
"Jangan dekati aku!" bentak pengemis kecil. "Lho" Kenapa?" tanya Tio Cie Hiong.
"Engkau... engkau telanjang," sahut pengemis kecil. "Iiiih!"
"Kenapa ih" Engkau juga anak lelaki, kenapa harus merasa malu berhadapan dengan anak lelaki
telanjang" Heran?" Tio Cie Hiong tidak mengerti.
"Kenapa engkau telanjang?"
"Pakaianku sedang dijemur, jadi aku harus telanjang."
"Dasar tak tahu malu, sudah begitu besar masih suka telanjang!"
"Umurku baru tiga belas, belum begitu besar," sahut Tio Cie Hiong. "Lagi pula di sini tidak ada
orang lain, maka aku mandi sekaligus mencuci pakaianku. Kenapa engkau bilang aku tak tahu
malu?" "Aku berada di sini, tapi engkau masih telanjang."
"Aku mana tahu engkau berada di situ" Kalaupun tahu, aku tetap akan mandi dan mencuci
pakaianku. Kita sama-sama anak lelaki, kenapa aku harus merasa malu?"
"Huh! Dasar...." Pengemis kecil tetap menghadap ke arah lain. "Cepatlah engkau berpakaian,
mungkin pakaianmu sudah kering, setelah itu barulah kita bercakap-cakap!"
Tio Cie Hiong tersenyum, lalu segera berjalan menghampiri pakaiannya, yang dijemur. Ternyata
pakaian itu sudah kering, maka segera dipakainya.
"Aku sudah berpakaian, engkau tidak usah menghadap ke arah lain lagi!" Seru Tio Cie Hiong
memberitahukan.
Pengemis kecil tampak menarik nafas lega, lalu perlahan-lahan membalikkan badannya. Setelah
melihat Tio Cie Hiong berpakaian, barulah ia berjalan menghampirinya.
"Eh?" Pengemis kecil memandangnya dengan mata terbeliak lebar.
"Kenapa engkau memandangku dengan begitu?" tanya Tio Cie Hiong heran.
"Aku...." Pengemis kecil menundukkan kepala. "Aku tak menyangka engkau begitu tampan ......"
"Oh, ya?" Tio Cie Hiong tersenyum. "Mukamu begitu dekil, lebih baik engkau mandi dulu!"
"Apa" Mandi?" pengemis kecil terkejut.
"Ya. Kenapa" Engkau takut air ya?" Tio Cie Hiong tersenyum geli. "Ataukah... engkau merasa
malu harus telanjang di hadapanku?"
"Kau..." Pengemis kecil menudingnya. "Engkau jangan kurang ajar!"
"Aku kurang ajar?" Tio Cie Hiong menggarukgaruk kepala, kemudian mendongakkan kepala
menengok ke sana ke mari.
Mendadak wajahnya berseri, ternyata ia melihat sebuah pohon yang ada buahnya, sejenis buah
jambu. Segeralah ia berlari ke pohon itu. Namun ia baru bersiap memanjat pohon itu, berserulah
pengemis kecil.
"Mau apa engkau memanjat pohon itu?"
"Aku mau memetik buahnya," sahut Tio Cie Hiong.
"Engkau tidak usah memanjat!" ujar pengemis kecil sambil memungut beberapa buah batu kecil,
lalu disambitkannya ke arah pohon itu.
Tak! Tak! Tak! Buah di pohon itu berjatuhan. "Horeee!" teriak Tio Cie Hiong gembira sambil
memungut buah-buah yang berserakan di tanah. Kemudian ia duduk di bawah pohon sambil
memakan buah-buah itu dengan lahap sekali. Pengemis itu terbelalak menyaksikan cara makan Tio
Cie Hiong, yang bagaikan harimau kelaparan.
"Eh" Kenapa engkau makan dengan cara begitu?" tanyanya sambil mendekati Tio Cie Hiong.
"Tahukah engkau" Sudah hampir dua hari perutku tidak diisi, maka aku... aku sudah lapar
sekali." Tio Cie Hiong memberitahukan.
"Engkau tidak mempunyai uang untuk membeli makanan?" tanya pengemis kecil. "Sebetulnya
aku mempunyai ratusan tael perak dan beberapa stel pakaian, tapi telah dirampok oleh penjahat
beberapa hari lalu," jawab Tio Cie Hiong.
"Dalam beberapa hari ini engkau makan apa?"
"Makan buah-buahan hutan dan minum air gunung."
"Oh..." Pengemis kecil menatapnya dalam-dalam. "Engkau dari mana dan mau ke mana !"
"Dari tempat tinggalku menuju Gunung Heng San."
"Mau apa engkau ke sana?"
"Menemui seseorang."
"Siapa orang itu?"
"Ku Tok Lojin."
"Orang tua kesepian?"
"Benar."Tio Cie Hiong mengangguk. "Engkau kenal Ku Tok Lojin?"
"Tidak." Pengemis kecil menggeleng kepala.
"Oh ya, tahukah engkau masih berapa jauh dari sini ke Gunung Heng San?"
"Entahlah." "Mungkin puluhan ribu mil. Bagaimana mungkin engkau bisa mencapai gunung itu?"
Pengemis kecil menarik nafas panjang.
"Biar bagaimana pun, aku harus sampai di tempat tujuan," sahut Tio Cie Hiong yang tampak
telah membulatkan tekadnya.
"Ei! Ngomong-ngomong engkau masih lapar?" tanya pengemis mendadak.
"Masih lapar sekali" sahut Tio Cie Hiong jujur.
"Kebetulan sekali," ujar pengemis itu sambil tersenyum. "Aku membawa makanan." Pengemis
kecil merogoh ke dalam bajunya. Dikeluarkannya sebuah bungkusan, lalu diberikannya kepada Tio
Cie Hiong. "Bungkusan apa ini?" tanya Tio Cie Hiong sambil menerima bungkusan tersebut.
"Buka saja!" sahut pengemis itu.
Tio Cie Hiong segera membuka bungkusan itu. Setelah itu matanya terbelalak, karena
bungkusan itu ternyata berisi sepotong daging ayam dan nasi.
"Wuaaah!" serunya tak tertahan sambil menelan air ludah. "Ini... ini untukku?"
"Makanlah!" pengemis itu tersenyum.
"Terima kasih!" ucap Tio Cie Hiong. Namun ketika baru mau makan, mendadak ia teringat
sesuatu dan langsung bertanya. "Ini makanan dari hasil curian?"
"Itu...." Pengemis kecil menundukkan kepala.
"Kalau hasil curian, aku tidak mau makan, lebih baik kukembalikan kepadamu," ujar Tio Cie
Hiong sungguh-sungguh. "Aku tidak sudi menyantap makanan curian."
"Aku beli," sahut pengemis kecil singkat. "Kalau begitu, aku baru mau makan," u,'ar Tio Cie
Hiong lalu mulai bersantap dengan nikmat sekali.
Pengemis kecil tersenyum geli menyaksikannya.
"Di mana kedua orang tuamu?" tanyanya kemudian.
"Aku sudah tidak mempunyai orang tua."
"Pernahkah engkau belajar ilmu silat?"
"Aku tidak berniat belajar ilmu silat."
Pengemis kecil itu menatapnya dalam-dalam seraya bertanya dengan sikap malu-malu.
"Bolehkah aku tahu namamu?"
"Namaku Tio Cie Hiong," sahutnya lalu bertanya.
"Namamu?"
"Lim Ceng Im."
Pengemis kecil tersenyum. "Oh ya! Cie Hong, maukah engkau jadi temanku?"
"Ha ha ha!" Tio Cie Hiong tertawa.
"Eh?" Lim Ceng Im terheran-heran. "Kenapa engkau tertawa?"
"Di empat penjuru, semua adalah teman," sahut Tio Cie Hiong. "Kita bertemu di sini, itu berarti
kita berjodoh menjadi teman. Lagi pula engkau pun telah melihat aku telanjang bulat, sedangkan
aku telah menyantap makanan pemberianmu, maka kita adalah teman."
Wajah Lim Ceng Im kemerah-merahan karena Tio Cie Hiong mengatakannya telah melihat
tentang itu. "Aku... aku tidak sengaja melihatmu telanjang, untung aku tidak melihat dengan
jelas..." "Seandainya engkau melihat dengan jelas, itu pun tidak apa-apa." Tio Cie Hiong tersenyum.
"Sebab kita sama-sama anak lelaki."
"Kau...." Wajah Lim Ceng Im bertambah merah. Tiba-tiba is mendengar siulan, maka seketika
juga air mukanya berubah. "Cie Hiong, aku harus segera pergi."
"Engkau mau ke mana?"
"Pulang," sahut Lim Ceng Im singkat. "Oh ya, ini puluhan tael perak, untukmu sebagai bekal
dalam perjalanan. Cie Hiong, kita akan bertemu lagi kelak."
"Terima kasih Ceng Im...!!!" Teriak Tio Cie Hiong, sebab pengemis kecil telah menyelipkan
sebuah kantong ke tangannya.
Lim Ceng Im telah melesat pergi, tetapi sayup-sayup Tio Cie Hiong masih mendengar suara
seruannya. "Cie Hiong, kita pasti bertemu kelak, aku selalu ingat padamu..."
Tio Cie Hiong tersenyum, ia sama sekali tidak menyangka akan bertemu pengemis kecil yang
begitu baik hati.
"Ceng Im! Aku pun selalu ingat padamu." gumamnya lalu meninggalkan tempat itu.
Tak seberapa lama kemudian, Tio Cie Hiong melihat seorang pengemis berusia lima puluhan
berjalan terhuyung-huyung dengan sebatang tongkat bambu, lalu jatuh terkapar.
Cie Hiong terperanjat bukan main, lalu cepat-cepat mendekati pengemis itu, sekaligus
membangunkannya.
"Paman sakit ya" Kenapa jatuh?" tanyanya.
"Aku... aku..." Pengemis itu tampak lemas sekali.
"Paman kenapa?" tanya Tio Cie Hiong cemas.
"Aku... aku sudah hampir dua hari tidak makan, badanku lemas sekali." Pengemis itu
memberitahukan sambil menatap Tio Cie Hiong, dan mendadak sepasang matanya menyorot tajam
sekali. "Apa?" Tio Cie Hiong merasa kasihan pada pengemis itu. la membuka kantong pemberian Lim
Ceng Im yang berisi uang perak, lalu diam bilnya separuh untuk diberikan pada pengemis itu. "Ini
untuk paman pengemis beli makanan."
"Terima kasih!" Ucap pengemis tua sambil memandang kantong itu. "Tapi mana cukup cuma
begitu?" "Tidak cukup?" Tio Cie Hiong terbelalak. "Uang perak itu berjumlah dua puluh tael perak, kok
masih tidak cukup?"
"Aku...." Pengemis itu memberitahukan. "Aku harus makan sebulan, maka....."
Tanpa banyak pikir lagi Tio Cie Hiong memberikan semua uang perak itu pada pengemis tua,
lalu menyimpan kantongnya yang telah kosong itu ke dalam bajunya. Kantong tersebut memang
indah sekali, sebab bersulam seekor naga dan seekor burung Phoenix.
"Terima kasih, Nak!" Ucap pengemis itu. "Kenapa tidak sekalian kau berikan kantong itu
kepadaku?"
"Maaf, paman pengemis!" sahut Tio Cie Hiong. "Sebetulnya uang perak ini pemberian seorang
temanku, yang bernama Lim Ceng Im. Kami baru berkenalan, maka harus kusimpan baik-baik
kantong ini, tidak bisa kuberikan pada paman pengemis."
"Ooooh!" Pengemis tua manggut-manggut, lalu mendadak tangannya bergerak laksana kilat.
.Tahu-tahu uang perak ditangannya itu telah masuk ke dalam baju Tio Cie Hiong tanpa diketahui
anak itu. Ia lalu berjalan pergi sambil tertawa. Tio Cie Hiong menggaruk-garuk kepala, kemudian
melanjutkan perjalanannya.
Beberapa hari kemudian, Tio Cie Hiong telah memasuki sebuah dusun. ia merasa ada benda
agak dingin dalam bajunya. Ia lalu merogohkan tangannya ke dalam bajunya, dan seketika
terbelalaklah matanya. Ada dua puluh tael perak di dalam bajunya.
Tio Cie Hiong menjadi tak habis pikir, sebab ia telah memberikan semua uang peraknya kepada
pengemis tua, tapi kenapa di dalam bajunya masih ada dua puluh tael perak" Namun ia juga
merasa girang, karena dengan adanya dua puluh tael perak itu, ia tidak usah menahan lapar dalam
perjalanannya. Akan tetapi, dalam perjalanan Tio Cie Hiong membantu banyak pengemis yang kelaparan,
sehingga di saat ia memasuki dusun itu, uangnya pun telah habis.
Dusun itu cukup ramai. Banyak orang berdagang di pinggir jalan. Karena lapar, akhirnya Tio Cie
Hiong mendekati seorang pedagang bakpao.
"Paman, bolehkan aku membantu Paman untuk memperoleh sebuah bakpao?" tanyanya dengan
penuh harap. Beberapa hari kemudian, Tio Cie Hiong telah memasuki sebuah dusun. ia merasa ada benda
agak dingin dalam bajunya. Ia lalu merogohkan tangannya ke dalam bajunya, dan seketika
terbelalaklah matanya. Ada dua puluh tael perak di dalam bajunya.
Tio Cie Hiong menjadi tak habis pikir, sebab ia telah memberikan semua uang peraknya kepada
pengemis tua, tapi kenapa di dalam bajunya masih ada dua puluh tael perak" Namun ia juga
merasa girang, karena dengan adanya dua puluh tael perak itu, ia tidak usah menahan lapar dalam
perjalanannya. Akan tetapi, dalam perjalanan Tio Cie Hiong membantu banyak pengemis yang kelaparan,
sehingga di saat ia memasuki dusun itu, uangnya pun telah habis.
Dusun itu cukup ramai. Banyak orang berdagang di pinggir jalan. Karena lapar, akhirnya Tio Cie
Hiong mendekati seorang pedagang bakpao.
"Paman, bolehkan aku membantu Paman untuk memperoleh sebuah bakpao?" tanyanya dengan
penuh harap. "Aku tidak membutuhkan pembantu. Memangnya kenapa engkau minta sebuah bakpao?"
"Aku... aku sudah lapar sekali." jawab Tio Cie Hiong memberitahukan. "Sudah seharian aku
belum makan."
"Oh..." Pedagang bakpao memandangnya, kemudian menarik nafas panjang seraya berkata,
"Kalau begitu, aku berikan kepadamu sebuah bakpao."
"Terima kasih, Paman! Tapi... aku ingin membantu Paman dulu, barulah menerima bakpao itu."
"Tidak usah!" Pedagang bakpao tersenyum, lalu memberikan sebuah bakpao yang masih hangat
kepada Tio Cie Hiong.
"Terima kasih, Paman!" Tio Cie Hiong menerima bakpao itu lalu memakannya dengan lahap.
"Engkau mau mencari pekerjaan di dusun ini?" tanya pedagang bakpao itu mendadak.
"Ya." Tio Cie Hiong mengangguk.
"Kalau begitu...." Pedagang bakpao menunjuk ke depan, ke arah sebuah rumah yang sangat
besar. "Itu adalah Puri Angin Halilintar, cobalah engkau ke sana, mungkin engkau akan diterima di
sana." "Oh..." Tio Cie Hiong memandang ke sana. "Terima kasih, Paman!" katanya.
Tio Cie Hiong segera menghampiri rumah besar itu, sesampainya di depan rumah besar itu, ia
berdiri termangu, karena pintu rumah besar itu tertutup rapat. Ia tidak berani berlaku lancang
mengetuk pintu rumah besar tersebut, maka ia hanya berdiri di situ.
Berselang beberapa saat kemudian, mendadak pintu rumah besar itu terbuka, dan tampak
seorang tua berjalan keluar. Ketika melihat ada seorang anak lelaki berdiri di situ, orang tua itu
kelihatan tercengang.
"Bocah!" Orang tua itu mendekatinya. "Kenapa engkau berdiri di situ?"
"Paman, aku...." Tio Cie Hiong menundukkan kepala.
"Ooooh!" Orang tua itu tersenyum sambil manggut-manggut. "Engkau mau minta makan
bukan?" "Bukan, Paman. Aku... aku mau minta pekerjaan," sahut Tio Cie Hiong sungguh-sungguh.
"Oh?" Orang tua itu menatapnya dengan penuh perhatian. "Engkau dari mana?"
"Aku dari rumah." "Di mana rumahmu?"
"Di tempat yang jauh sekali," jawab Tio Cie Hiong memberitahukan. "Aku tidak tahu nama
tempat itu, kami cuma tinggal di dalam sebuah goa."
"Masih ada orang lain tinggal di dalam goa itu" Apakah dia orang tuamu?" tanya orang tua itu
terbelalak. "Dia bukan orang tuaku, aku memanggilnya paman." Tio Cie Hiong menjelaskan. "Tapi
pamanlah yang telah membesarkan aku."
"Di mana kedua orang tuamu?"
"Menurut pamanku, kedua orang tuaku telah meninggal. Maka sebelum pamanku meninggal,
aku di suruh pergi ke gunung Heng San."
"Ke gunung Heng San?" Orang tua itu tampak melongo. "Tahukah engkau, masih puluhan ribu
mil dari sini ke gunung Heng San."
"Aku tahu. Tetapi biar bagaimana aku harus ke sana."
"Nak!" Orang tua itu menatapnya dalam-dalam. "Kenapa engkau harus ke sana?"
"Untuk menemui seseorang, itu adalah pesan dari almarhum pamanku."
"Lalu kenapa engkau ingin bekerja di sini?"
"Aku kehabisan uang, jadi aku harus bekerja untuk mendapatkan uang agar bisa melanjutkan
perjalananku."
"Ngmmm!" Orang tua itu manggut-manggut. "Kalau begitu, baiklah. Engkau ikut aku ke dalam."
"Terima kasih, Paman!" Betapa girangnya Tio Cie Hiong.
Orang tua itu mengajaknya ke dalam, namun tidak langsung memasuki rumah besar itu,
melainkan menuju belakang melalui jalan samping. Ternyata di belakang rumah itu terdapat
halaman yang cukup luas, terdapat pula sebuah rumah di situ.
"Itu adalah tempat tinggal para pelayan." Orang tua itu menunjuk rumah tersebut, kemudian
mengajaknya ke dalam langsung menuju sebuah kamar. Orang tua itu membuka pintu kamar
tersebut seraya berkata. "Engkau tunggu di dalam kamar ini, aku akan pergi menemui Pocu
(Majikan Puri)!"
"Terima kasih, Paman!" Ucap Tio Cie Hiong. la masuk ke kamar itu, lalu duduk di kursi sambil
menunggu. Berselang beberapa saat, orang tua itu telah kembali dengan wajah berseri.
"Pocu menerimamu bekerja di sini," ujarnya sambil tertawa girang.
"Oh!" Tio Cie Hiong girang sekali. "Terima kasih, Paman."
"Oh ya, aku belum tahu namamu." ujar orang tua itu.
"Namaku Tio Cie Hiong, Paman."
"Cie Hiong, engkau harus tahu. Aku adalah kepala pengurus di sini." Orang tua itu
memberitahukan. "Tempat ini disebut Hong Lui Po (Puri Angin Halilintar) yang cukup terkenal
dalam rimba persilatan."
"Oh?" Tio Cie Hiong terbelalak.


Kesatria Baju Putih Pek In Sin Hiap Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Majikan Puri ini adalah Hong Lui Kiam Khek (Pendekar Pedang Angin Halilintar) Ku Tiok Beng.
Putranya bernama Ku Tek Cun, bersifat angkuh dan mau menang sendiri. Kalau engkau bertemu
dengannya harus mengalah dan bersabar agar tidak menimbulkan hal-hal yang tak diinginkan."
Orang tua itu memberitahukan lagi. "Ku Tek Cun mempunyai seorang adik seperguruan perempuan
bernama Phang Ling Hiang, usianya baru sekitar lima belas tahun. Anak gadis itu berhati baik dan
lemah lembut...."
Tio Cie Hiong mendengarkan dengan penuh perhatian, dan orang tua itu melanjutkan lagi.
"Tugasmu di sini hanya membersihkan halaman depan dan belakang. Itu harus dikerjakan setiap
pagi dan sore. Ada satu hal yang harus kau ingat baik-baik, yakni engkau tidak boleh memasuki
rumah majikan Puri. Jadi kalau mau ke halaman depan, engkau harus melalui jalan samping,
makan dan lain sebagainya dilakukan di rumah ini, engkau harus ingat itu!"
"Ya, Paman." Tio Cie Hiong mengangguk.
"Oh ya!" Orang tua itu tersenyum. "Engkau boleh memanggilku Paman Tan. Aku tinggal di
rumah besar itu, tapi setiap hari pasti kemari."
"Ya, Paman Tan." Tio Cie Hiong mengangguk lagi.
"Sekarang engkau boleh beristirahat. Mulai besok pagi dan sore, engkau sudah harus
membersihkan halaman depan serta halaman belakang, jangan melalaikan tugasmu itu."
Tio Cie Hiong manggut-manggut.
Paman Tan memandangnya sambil tersenyum lembut, lalu meninggalkan kamar itu. Tio Cie
Hiong menarik nafas lega, sebab kini ia telah mendapat pekerjaan, maka ia bisa mengumpulkan
uang agar bisa melanjutkan perjalanannya menuju ke gunung Heng San menemui Ku Tok Lojin.
Sudah sepuluh hari Tio Cie Hiong bekerja di Hong Lui Po. Dalam sepuluh hari itu, ia bekerja
dengan rajin sekali, sehingga Paman Tan sangat menyayanginya, begitu pula para pelayan lain.
Dalam sepuluh hari itu, Tio Cie Hiong sama sekali tidak pernah memasuki rumah besar itu. Ia
hanya membersihkan halaman depan dan belakang, namun kadang-kadang ia pun menggunting
daun-daun tumbuhan yang telah layu.
Pagi itu ketika Tio Cie Hiong sedang menyapu halaman depan, tiba-tiba muncul seorang pemuda
dan seorang gadis. Pemuda itu berwajah tampan tapi tampak angkuh sekali. Dialah Ku Tek Cun,
putra kesayangan Hong Lui Kiam Khek Ku Tiok Beng. Sedangkan gadis itu adalah Phang Ling
Hiang, adik seperguruan Ku Tek Cun.
"Hei!" bentak Ku Tek Cun ketika melihat Tio Cie Hiong menyapu di situ. "Engkau pelayan baru
ya?" "Betul." Tio Cie Hiong mengangguk.
"Aku Siauw Pocu di sini!" Ku Tek Cun memberitahukan. "Maka engkau harus memanggilku Tuan
muda!" "Ya, Tuan muda." Tio Cie Hiong mengangguk lagi.
"Dia sumoiku, bernama Phang Ling Hiang. Engkau harus memanggilnya nona!" ujar Ku Tek Cun.
"Ya, Tuan muda."
"Tak usah memanggilku nona, cukup kau panggil Kakak Phang saja," ujar Phang Ling Hiang
sambil tersenyum lembut.
"Tidak bisa!" Ku Tek Cun tampak tidak senang. "Dia pelayan di sini, maka tidak sederajat
memanggilmu Kakak Phang, harus memanggil nona!"
"Tapi...." Phang Ling Hiang mengerutkan kening.
"Aku suhengmu, maka engkau harus menurut padaku." tegas Ku Tek Cun.
"Baiklah Tuan muda!" ujar Tio Cie Hiong cepat agar mereka berdua tidak jadi ribut. "Aku pasti
memanggilnya nona."
"Ngmm!" Ku Tek Cun manggut-manggut, kemudian memungut dua batang ranting pohon.
Sebatang ranting itu diberikan kepada Phang Ling Hiang seraya berkata sambil
tersenyum."Sumoi, kita baru belajar Hong Lui Kiam Hoat (ilmu Pedang Angin Halilintar), karena itu,
kita harus terus-menerus berlatih."
"Ya, Suheng." Phang Ling Hiang mengangguk.
"Hei!" bentak Ku Tek Cun kepada Tio Cie Hiong. "Engkau boleh melanjutkan pekerjaanmu!"
"Ya," sahut Tio Cie Hiong lalu mulai menyapu lagi.
Sedangkan Ku Tek Cun dan Phang Ling Hiang sudah mulai berlatih Hong Lui Kiam Hoat, dengan
menggunakan ranting. Setelah berlatih, beberapa saat kemudian, barulah mereka berhenti.
"Sumoi!" Ku Tek Cun tersenyum. "ilmu Pedang Angin Halilintar memang hebat sekali, pantas
ayahku memperoleh julukan Hong Lui Kiam Khek (Pendekar Pedang Angin Halilintar)!"
"Tapi aku masih kurang mahir," sahut Phang Ling Hiang jujur.
"Aku akan memberi petunjuk padamu," ujar Ku Tek Cun dan menjelaskan. "Hong Kui Kiam Hoat
terdiri dari tiga belas jurus. Enam jurus akan menimbulkan suara seperti deruan angin, sedangkan
tujuh jurus lainnya akan memancarkan cahaya, sekaligus mengeluarkan suara menggelegar
bagaikan suara halilintar."
"Suheng!" Phang Ling Hiang menggelenggelengkan kepala. "Kita belum sampai ketingkat itu,
hanya guru yang telah mencapainya."
"Untuk itu.. kita harus terus berlatih !" ujar Ku Tek Cun sungguh-sungguh, kemudian mulai
berlatih lagi. Berselang sesaat, ia berhenti mendadak sambil memandang Tio Cie Hiong yang
sedang menyapu. "Hei! Engkau ke mari sebentar!"
"Ya, Tuan muda." Tio Cie Hiong segera menghampirinya. "Apa yang harus kukerjakan, Tuan
muda?" "Engkau bisa berloncat-loncatan?" tanya Ku Tek Cun mendadak.
Tio Cie Hiong mengangguk.
"Bagus!" Ku Tek Cun tertawa. "Kalau begitu, engkau harus terus berloncat-loncatan di sini!" Tio
Cie Hiong mulai berloncat-loncatan di hadapan Ku Tek Cun, Phang Ling Hiang mengerutkan kening
menyaksikannya.
"Suheng, kenapa engkau menyuruh dia berloncat-loncatan?"
"Aku akan berlatih Hong Lui Kiam Hoat" sahut Ku Tek Cun sambil tersenyum. "Aku akan
menyerangnya dalam keadaan berloncat-loncatan."
"Suheng!" Phang Ling Hiang terbelalak. "Itu mana boleh?"
"Kenapa tidak?" sahut Ku Tek Cun, lalu berkata pada Tio Cie Hiong. "Sebelum aku menyuruhmu
berhenti, engkau tidak boleh berhenti...! Mengerti...?"
"Ya, Tuan muda." Tio Cie Hiong mengangguk dan terus berloncat-loncatan.
Ku Tek Cun tersenyum-senyum, kemudian mendadak menyerang Tio Cie Hiong dengan Hong
Lui Kiam Hoat. Itulah jurus Angin Berhembus Menyapu Pohon.
Plak! Pinggang Tio Cie Hiong terpukul oleh ranting di tangan Ku Tek Cun.
"Aduh!" jeritnya kesakitan dengan wajah meringis, namun ia masih tetap berloncat-loncatan.
"Suheng!" seru Phang Ling Hiang. "Sudahlah! Jangan menyerangnya sebagai latihan!"
"Engkau merasa kasihan padanya?" tanya Ku Tek Cun dengan wajah tidak senang, karena
Phang Ling Hiang membela Tio Cie Hiong.
"Suheng...." Phang Ling Hiang menarik nafas panjang.
"Hm!" dengus Ku Tek Cun dingin, lalu menyerang Tio Cie Hiong lagi dengan jurus Angin
Menyapu Ombak Laut, seketika berkelebat ranting itu menyabet leher Tio Cie Hiong.
Plak! Leher Tio Cie Hiong tersabet ranting. "Aaaakh...!" Jeritnya sambil berkertak gigi menahan
sakit. Ia masih terus berloncat-loncatan namun tenaganya semakin lemah.
"Suheng!" Wajah Phang Ling Hiang pucat pias. "Kenapa engkau begitu tega menyiksanya?"
"Aku menyiksanya?" Ku Tek Cun tersenyum dingin. "Aku sedang berlatih, seharusnya dia
berkelit!"
"Dia tidak mengerti ilmu silat, bagaimana mungkin berkelit?" Mata Phang Ling Hiang tampak
bersimbah air. Hatinya merasa iba sekali pada Tio Cie Hiong. "Sudahlah Suheng, mari kita berlatih
berdua saja!"
"Sumoi! Kalau aku berlatih denganmu, aku tidak bisa menyerangmu dengan
bersungguhsungguh, maka lebih baik aku berlatih dengan pelayan ini." sahut Ku Tek Cun.
"Suheng...." Air mata Phang Ling Hiang telah meleleh.
"Eh?" Ku Tek Cun mengerutkan kening. "Sumoy! Kenapa engkau menangis?"
"Aku...." Phang Ling Hiang menundukkan kepala.
"Ooooh!" Ku Tek Cun manggut-manggut dengan wajah bengis. "Aku tahu, engkau pasti merasa
kasihan padanya! Baik, aku akan serang dia lagi!"
"Jangan Suheng...!" Seru Phang Ling Hiang. Akan tetapi, Ku Tek Cun telah menggerakkan
ranting itu untuk menyerang Tio Cie Hiong. Kali ini ia mengeluarkan jurus Halilintar Memecahkan
Bumi. Itulah jurus yang sangat lihay dan ganas.
Tampak Ku Tek Cun melompat ke atas setinggi sedepa, dan seketika berkelebatlah ranting itu ke
arah kepala Tio Cie Hiong.
Taaak! Kepala Tio Cie Hiong terpukul. "Aaaakh...!" Jerit Tio Cie Hiong, yang langsung berhenti
berloncat-loncatan karena merasa matanya gelap nyaris pingsan seketika. Tubuhnya terhuyunghuyung
ke belakang beberapa langkah lalu terkulai.
"Haaah?" Phang Ling Hiang terkejut bukan main, lalu cepat-cepat menghampirinya. "Engkau
tidak apa-apa?"
"Terima kasih, Nona! Aku...." Wajah Tio Cie Hiong meringis menahan rasa sakit di kepalanya.
"Aku tidak apa-apa."
"Sumoi!" bentak Ku Tek Cun. "Kenapa engkau harus mendekatinya?"
"Aku... aku takut dia mati," sahut Phang Ling Hiang tersendat-sendat.
"Kalau dia mati, kubur saja! Kenapa engkau harus merasa takut?" ujar Ku Tek Cun. "Berapa
harga nyawanya?"
"Suheng...." Phang Ling Hiang menggelenggclengkan kepala. "Kenapa engkau begitu kejam"!"
"Tuan muda...!" Mendadak muncul Paman Tan. Ternyata salah seorang pelayan menyaksikan
kejadian itu, lalu segera melapor kepada Paman Tan. "Apa yang engkau perbuat terhadap anak
itu?" Kemunculan Paman Tan cukup mengejutkan Ku Ten Cun, sebab ayahnya saja sangat menaruh
hormat pada orang tua itu, apa lagi dirinya.
"Paman Tan!" sahut Ku Tek Cun sambil tersenyum. "Aku sedang berlatih dengan pelayan baru
itu." "Jangan bohong!" Paman Tan menatapnya dingin.
"Benar, Paman Tan," sahut Tio Cie Hiong, yang tidak ingin memperpanjang urusan itu.
"Tuan muda mengajakku berlatih, kepandaiannya tinggi sekali."
Paman Tan memandang iba kepada Tio Cie Hiong, kemudian mengalihkan pandangannya
kepada Ku Tek Cun dengan dingin. "Tuan muda, aku harap engkau jangan macam-macam lagi
terhadap Cie Hiong!"
"Tentu tidak, Paman Tan," sahut Ku Tek Cun sambil tersenyum. "Percayalah!"
"Hm!" dengus Paman Tan dingin, lalu memapah Tio Cie Hiong ke belakang melalui jalan
samping. Phang Ling Hiang memandang punggung Tio Cie Hiong sambil menarik nafas panjang,
sedangkan Ku Tek Cun hanya tersenyum dingin.
Paman Tan membaringkan Tio Cie Hiong di tempat tidur lalu menggeleng-gelengkan kepala
sambil memeriksa lehernya. Leher anak itu tampak kebiru-biruan bekas tersabet ranting.
"Nak! Masih ada bagian lain yang terpukul?" tanya Paman Tan lembut.
"Ti... tidak." Tio Cie Hiong tidak berani berterus terang.
"Jangan bohong, Nak!" Ujar Paman Tan. "Engkau harus memberitahukan kepadaku, agar aku
bisa mengobatimu."
"Di pinggang dan di kepala." Tio Cie Hiong terpaksa memberitahukan. "Masih terasa sakit sekali
di kepala."
Paman Tan segera memeriksa kepala Tio Cie Hiong ternyata kepalanya telah timbul sebuah
benjolan sebesar telor ayam.
"Aaaakh!" Paman Tan menarik nafas panjang. "Sungguh kejam hati anak itu!"
Paman Tan pun segera memeriksa pinggang Tio Cie Hiong. Tampak membengkak di situ. Tak
henti-hentinya orang tua itu menggeleng-geleng kan kepala, kemudian pergi mengambil arak
gosok. Setelah itu, dengan hati-hati sekali ia menggosok-gosok luka-luka Tio Cie Hiong dengan arak
gosok tersebut.
"Terima kasih, Paman!" Ucap Tio Cie Hiong, yang terharu atas kebaikan orang tua itu.
Paman Tan menatapnya sambil tersenyum lembut. "Aku kagum padamu, sebab engkau begitu
sabar." "Bukankah Paman Tan pernah berpesan padaku, harus mengalah dan berlaku sabar padanya"
Aku menuruti pesan Paman" ujar Tio Cie Hiong memberitahukan.
Paman Tan manggut-manggut sambil tersenyum gembira. "Bagus, engkau masih ingat akan
pesanku. Oh ya, bagaimana kalau aku memberitahukan tentang kejadian ini pada majikan Puri?"
"Jangan!" Tio Cie Hiong menggelengkan kepala.
Bagian 2 "Kenapa?" tanya Paman Tan, ingin mengetahui alasan Tio Cie Hiong.
"Apabila Paman Tan memberitahukan pada majikan Puri, maka Ku Tek Cun akan mendendam
padaku, dan membenci Paman Tan. Otomatis akan menimbulkan masalah lain, sedangkan aku
tidak menghendaki itu" jawab Tio Cie Hiong menjelaskan.
Paman Tan manggut-manggut lagi dengan wajah berseri. "Engkau memang anak baik, penuh
pengertian, kesabaran dan mau mengalah. Bagus!"
"Terima kasih atas pujian Paman Tan. Aku pasti menuruti nasihat Paman," ujar Tio Cie Hiong
sungguh-sungguh.
"Nah!" Paman Tan tersenyum. "Kini engkau boleh beristirahat, dan nanti sore engkau tidak usah
menyapu, esok pagi saja!"
"Ya." Tio Cie Hiong mengangguk.
Anak itu beristirahat di tempat tidur, dan akhirnya menjadi pulas. Ketika ia mendusin, hari sudah
gelap. Tio Cie Hiong berjalan ke luar, lalu duduk di bawah pohon di halaman. Kebetulan bulan bersinar
terang, sehingga membuat daun-daun mengkilap tertimpa sinar bulan itu.
Di saat Tio Cie Hiong sedang duduk termenung, sekonyong-konyong berkelebat sosok bayangan
kehadapannya, yang ternyata Phang Ling Hiang.
"Nona...?" Tio Cie Hiong terkejut akan kemunculan gadis itu.
"Engkau bernama Tio Cie Hiong kan?" Phang Ling Hiang menatapnya sambil tersenyum lembut.
"Kok Nona tahu?" Cie Hiong tercengang.
"Salah seorang pelayan memberitahukan kepadaku," sahut Phang Ling Hiang. "Engkau memang
berhati baik. Meskipun suhengku telah bertindak keterlaluan terhadapmu, namun engkau masih
tidak mau mengadu pada Paman Tan. Aku kagum padamu."
"Nona! Lebih baik urusan besar diperkecil, dan urusan kecil dihilangkan." ujar Tio Cie Hiong
sambil tersenyum. "Jadi tidak akan menimbulkan masalah lain."
"Engkau sungguh berkepandangan jauh!" Phang Ling Hiang menatapnya kagum. "Oh ya! Aku
mohon sudilah engkau memaafkan suhengku!"
"Nona jangan khawatir, aku pasti memaafkannya. Lagi pula ia tidak bersalah karena hanya
menggunakan diriku untuk melatih ilmu pedangnya, maka aku tak mempersalahkannya!"
"Cie Hiong, engkau sungguh berjiwa besar!" Phang Ling Hiang menatapnya, kemudian menarik
nafas panjang dan berkata, "Alangkah baiknya kalau sifat Suhengku bisa menyerupai sifatmu.
"Itu bisa." Tio Cie Hiong tersenyum. "Pada dasarnya setiap manusia memiliki sifat baik. Namun
karena terpengaruh oleh lingkungan dan terlampau dimanjakan, maka sifat baik itu akan sirna
dengan sendirinya. Tapi apabila kita mau berpikir lebih seksama, dan selalu ingat pada Tuhan, sifat
baik itu akan timbul kembali."
"Cie Hiong...." Setelah mendengar ucapan itu, Phang Ling Hiang bertambah kagum padanya.
"Oh ya, berapa umurmu sekarang?"
"Tiga belas tahun."
"Umurmu baru tiga belas tahun, namun pemikiranmu telah begitu matang." Phang Ling Hiang
tersenyum. "Umurku sudah lima belas tahun, tapi pikiranku masih tidak bisa menyamai pikiranmu.
Apa lagi suhengku itu..."
"Oh ya!" Tio Cie Hiong teringat sesuatu. "Lebih baik Nona segera meninggalkan tempat ini,
sebab jika Suheng Nona melihat, akulah yang bakal celaka."
"Engkau tidak usah khawatir! Kebetulan malam ini suhengku pergi." Phang Ling Hiang
memberitahukan.
"Tapi Nona seorang gadis, tidak baik lama-lama bercakap-cakap dengan lelaki, harap Nona tahu
akan hal ini!" Tio Cie Hiong mengingatkan.
"Baiklah! Selamat malam!" ucap Phang Ling Hiang, lalu melesat pergi.
Hari ini sudah genap satu bulan Tio Cie Hiong bekerja di Hong Lui Po. Selama ini, Ku Tek Cun
tetap memperlakukannya sewenang-wenang. Namun Tio Cie Hiong selalu mengalah dan bersabar.
Walau kadang-kadang badannya babak belur oleh kepalan Ku Tek Cun, tetap saja Tio Cie Hiong
bersabar dan sama sekali tidak membencinya.
Malam harinya, Paman Tan pergi menemui Tio Cie Hiong dengan wajah berseri-seri. Ketika itu
Tio Cie Hiong berbaring di tempat tidur. Begitu melihat Paman Tan masuk ke kamarnya, ia segera
bangun, tapi wajahnya tampak meringis.
"Nak...." Paman Tan mengerut kening. "Kenapa engkau?"
"Ti... tidak apa-apa," jawab Tio Cie Hiong sambil berusaha tersenyum.
"Ku Tek Cun memukulmu lagi?" tanya Paman Tan sambil duduk di hadapannya.
"Ti... tidak." Tio Cie Hiong menggelengkan kepala.
"Nak!" Paman Tan menarik nafas panjang. "Aku tahu bahwa dia sering menyiksamu, namun
engkau tetap bersabar dan mengalah. Itu pertanda engkau benar-benar anak baik."
"Paman Tan..." ujar Tio Cie Hiong dengan merendahkan suaranya. "Aku harap Paman Tan
jangan melapor kepada Pocu, sebab aku masih ingin kerja di sini!"
"Aku tahu... Aku tahu...." Paman Tan manggut-manggut. "Oh ya, aku mengantar gajimu
sebanyak tiga puluh tael perak."
Betapa gembiranya Tio Cie Hiong. "Paman Tan, tolong simpan uang perak itu! Kalau sudah
terkumpul, aku harus melanjutkan perjalanan ke Gunung Heng San."
"Baiklah." Paman Tan manggut, kemudian menatapnya dalam-dalam seraya berkata. "Nak, aku
ingin memberitahukan satu hal kepadamu."
"Tentang apa?" tanya Tio Cie Hiong heran.
"Sebelum aku memberitahukan hal itu, terlebih dahulu aku harus bertanya padamu," ujar Paman
Tan serius. "Paman Tan mau bertanya apa, tanyalah!"
"Engkau bisa membaca?"
"Bisa." Tio Cie Hiong memberitahukan. "Sejak kecil aku sudah belajar membaca, menulis dan
belajar ilmu sastra."
"Bagus! Bagus!" Paman Tan tampak girang sekali. "Kalau begitu, akan kuberitahukan hal itu
padamu! Kira-kira tiga puluh tahun lampau, ayah Hong Lui Kiam Khek mengutusku ke sebuah kota
untuk menemui seseorang. Setelah menemui orang itu, aku segera pulang ke Hong Lui Po. Dalam
perjalanan pulang, di tengah jalan secara tidak sengaja aku menolong seorang tua yang menderita
sakit. Aku merawatnya beberapa hari sehingga orang tua itu tampak agak segar. Di saat itulah dia
memberikan kepadaku sebuah kitab tipis, dan sekaligus berpesan bahwa aku harus berhati-hati
menyimpan kitab tipis itu, jangan sampai diketahui siapa pun, sebab akan membahayakan diriku.
Pada waktu itu aku langsung menolak, karena aku tidak berminat menyimpan kitab tipis itu apalagi


Kesatria Baju Putih Pek In Sin Hiap Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

harus menanggung resiko bahaya. Tapi orang tua itu terus mendesakku, katanya dia tidak bisa
hidup lama. Oleh karena itu, aku terpaksa menerimanya. Orang tua itu pun berpesan lagi, apabila
kelak aku bertemu seorang anak yang berhati baik, maka aku harus menyerahkan kitab tipis
tersebut pada anak tersebut.
Namun selama puluhan tahun, aku tidak pernah bertemu seorang anak pun yang betul-betul
berhati baik, maka kitab tipis itupun tetap tersimpan."
"Paman Tan, sebetulnya kitab apa itu?" tanya Tio Cie Hiong.
"Kata orang tua itu, kitab tipis tersebut berisi pelajaran ilmu tenaga dalam" jawab Paman Tan
memberitahukan.
"Paman Tan, berikan saja kitab tipis itu kepada Ku Tek Cun...."
"Apa?" Kening Paman Tan berkerut-kerut. "Dia berhati begitu kejam, bagaimana mungkin
kuberikan kitab tipis itu padanya" bukankah kau sudah tahu pesan pemilik kitab ini sebelumnya,
bahwa harus diberikan pada anak yang berhati baik seperti dirimu!" Paman Tan memandang Tio
Cie Hiong sambil tersenyum.
"Paman Tan!" Tio Cie Hiong menggelengkan kepala. "Aku tidak berniat belajar ilmu silat."
"Itu bukan pelajaran ilmu silat, melainkan ilmu Iweekang."
"Aku pun tidak mau belajar ilmu Iweekang."
"Nak!" Paman Tan menepuk bahunya.
"Tidak ada salahnya engkau mempelajari ilmu Iweekang, sebab akan membuat badanmu sehat."
"Lagi pula akan membuat dirimu kuat ketika nanti menghadapi pukulan-pukulan Ku Tek Cun."
"Tapi...."
"Nak, janganlah engkau tolak!" potong Paman Tan.
"Paman Tan...." Tio Cie Hiong berpikir lama sekali, akhirnya mengangguk. "Terima kasih,
Paman!" Paman Tan tampak gembira sekali. Ia segera pergi mengambil kitab tipis tersebut. Sedangkan
Tio Cie Hiong duduk termangu di tempat tidur. Memang tidak ada salahnya mempelajari ilmu
Iweekang, sebab akan katanya akan membuat badan sehat. Pikirnya sambil tersenyum-senyum.
Berselang beberapa saat kemudian, Paman Tan telah kembali, lalu duduk di sisi Tio Cie Hiong.
"Inilah kitab tipis yang kukatakan tadi." katanya dengan berbisik agar tak terdengar orang lain
sambil menyerahkan kitab tipis itu kepada Tio Cie Hiong.
"Terima kasih, Paman Tan!" Ucap Tio Cie Hiong sambil menerima kitab tipis itu.
Berselang beberapa saat kemudian, Paman Tan telah kembali, lalu duduk di sisi Tio Cie Hiong.
"Inilah kitab tipis yang kukatakan tadi." katanya dengan berbisik agar tak terdengar orang
lain sambil menyerahkan kitab tipis itu kepada Tio Cie Hiong.
"Terima kasih, Paman Tan!" Ucap Tio Cie Hiong sambil menerima kitab tipis itu. Tertulis di
depannya 'Pan Yok Hian Thian Sin Kang'
"Nak! Mulai sekarang engkau harus menghapal dulu isi kitab tipis ini !" ujar Paman Tan
berpesan. "Sebab kata orang tua itu, kitab tipis ini setelah orang yang kuberi kitab ini
menghafal dan mempelajarinya, maka kitab tipis ini harus dibakar."
"Kenapa harus dibakar?" tanya Tio Cie Hiong heran.
"Entahlah..., tapi itulah pesan dari orang tua itu" jawab Paman Tan.
Tio Cie Hiong hanya bisa manggut-manggut saja mendengar penjelasan itu.
Sejak itulah Tio Cie Hiong mulai menghafal dan sekaligus mempelajari kitab tipis itu.
Sedangkan Ku Tek Cun tetap memperlakukannya dengan sewenang-wenang. Sebaliknya Phang
Ling Hiang sangat baik dan semakin bersimpati padanya.
Seminggu kemudian, Tio Cie Hiong telah berhasil menghafal Pan Yok Hian Thian Sin Kang itu,
maka Paman Tan pun membakar kitab tipis tersebut.
Setiap malam Tio Cie Hiong selalu melatih ilmu Iweekang di tempat tidurnya, membuat
tubuhnya semakin hari semakin sehat dan kuat.
Sebulan telah berlalu, kini Tio Cie Hiong sudah merasakan ada hawa hangat terus mengalir di
seluruh tubuhnya, sehingga seluruh tubuhnya selalu terasa segar dan nyaman sekali. Hal itu
membuat ia semakin tekun mempelajari seluruh isi kitab tipis itu.
Suatu hari ketika Tio Cie Hiong sedang menyapu halaman depan, muncullah Ku Tek Cun
bersama Phang Ling Hiang. Begitu melihat Tio Cie Hiong, seperti biasanya Ku Tek Cun langsung
tersenyum dingin.
"Hei!" bentaknya. "Kemarilah kau!"
"Ya." sahut Tio Cie Hiong sambil mendekatinya. "Apakah aku harus menemani Tuan muda
berlatih lagi?" "Bagus!" Ku Tek Cun tertawa. "Semakin hari kelihatannya kau semakin tahan berlatih denganku,
untuk itu aku akan mengganti cara latihanku!"
"Jadi.. apakah aku harus berloncat-loncatan atau berlari-lari mengelilingi halaman ini atau
bagaimana tuan muda?" tanya Tio Cie Hiong.
"Kali ini engkau cukup berdiri diam di tempat," sahut Ku Tek Cun sambil tersenyum sinis.
"Suheng! Jangan memperlakukannya begitu! Kenapa suheng begitu tega sering menyiksanya?"
ujar Phang Ling Hiang dengan wajah muram.
"Sumoi!" Ku Tek Cun mengerutkan kening. "Kenapa engkau selalu membelanya?"
"Aku tidak membelanya, melainkan tidak sampai hati menyaksikannya disiksa olehmu! Suheng,
mari kita berlatih berdua saja!"
"Setelah berlatih dengannya, aku pasti akan berlatih denganmu," sahut Ku Tek Cun sambil
memungut sebatang ranting.
"Suheng..." Phang Ling Hiang menarik nafas panjang.
"Sumoi! Diamlah kau!" Ku Tek Cun menatap gadis itu dengan kening berkerut, kemudian
mengarah pada Tio Cie Hiong seraya berkata, "Hari ini aku tidak melatih ilmu pukulan, melainkan ilmu
pedang." Tio Cie Hiong cuma manggut-manggut. Ia berdiri diam di hadapan Ku Tek Cun, sedangkan
Phang Ling Hiang memandangnya dengan iba.
"Hiyaaat!" teriak Ku Tek Cun sambil menggerakkan ranting yang dipegangnya, lalu menyerang
Tio Cie Hiong dengan jurus Angin Halilintar menyapu Bumi. Tampak ranting itu berkelebat ke
arah pinggang Tio Cie Hiong. Sedangkan Tio Cie Hiong tetap berdiri diam di tempat.
Plaaak! Pinggang Tio Cie Hiong terpukul oleh ranting itu.
Sungguh di luar dugaan, ranting itu patah menjadi beberapa potong. Itu membuat Ku Tek Cun
tercengang. Ia tentu saja mengira ranting itu sudah lapuk.
Phang Ling Hiang memandang dengan mata terbelalak.
"Hmm!" dengus Ku Tek Cun dingin, lalu memungut sebatang ranting yang lebih besar. "Aku
ingin tahu, apakah kepalamu kuat menahan ranting ini?"
"Jangan, Suheng!" seru Phang Ling Hiang. "Kepalanya akan pecah terpukul oleh ranting itu!"
"Kenapa engkau kalut?" tanya Ku Tek Cun tidak senang.
"Kalau kepalanya pecah, bagaimana?" tanya Phang Ling Hiang dengan wajah pucat pasi.
"Aku yang bertanggungjawab, engkau diam saja!" sahut Ku Tek Cun. Ia menatap Tio Cie Hiong
dingin. Akan tetapi ketika ia ingin menyerang Tio Cie Hiong, terdengarlah bentakan keras.
"Berhenti, Tuan muda!" tiba-tiba Paman Tan sudah muncul di situ.
"Oh, Paman Tan!" Ku Tek Cun tersenyum. "Aku sedang berlatih dengan Cie Hiong, dia kuat
sekali." "Hmm!" dengus Paman Tan dingin, lalu mengajak Tio Cie Hiong pergi.
Ku Tek Cun menatap punggung Tio Cie Hiong dengan penuh kebencian, sedangkan Phang Ling
Hiang dalam hati mengucap syukur.
Sudah setahun Tio Cie Hiong bekerja di Hong Lui Po (Puri Angin Halilintar) selama itu ia
selalu melatih Pan Yok Hian Thian Sin Kang, sehingga membuat dirinya tanpa sadar telah
memiliki Iweekang yang tinggi.
Keberhasilan itu sungguh menggirangkan Paman Tan. Maka sore ini ia pergi menemui Tio Cie
Hiong yang baru usai menyapu. Kebetulan Tio Cie Hiong sedang duduk di bawah pohon di
halaman belakang. Paman Tan mendekatinya dengan wajah berseri-seri.
"Nak! Kenapa engkau duduk melamun di situ?" tanyanya sambil duduk di sisinya.
"Oh, Paman Tan!" Tio Cie Hiong tersenyum. "Aku tidak melamun, melainkan duduk beristirahat
di sini." "Nak!" Paman Tan menatapnya dalam-dalam. "Aku girang sekali."
"Memangnya kenapa?" tanya Tio Cie Hiong.
"Sebab..." Paman Tan merendahkan suaranya. "Engkau sepertinya telah berhasil mempelajari
ilmu Iweekang itu, maka engkau tidak perlu takut lagi dipukul Ku Tek Cun."
"Itu berkat jasa Paman yang memberikan kitab tipis itu padaku. Kalau tidak, mungkin aku
telah mati terpukul," ujar Tio Cie Hiong dengan suara rendah pula.
"Nak... Sudah setahun engkau bekerja di Hong Lui Po ini, bagaimana kesanmu di sini?"
"Cukup baik" jawab Tio Cie Hiong jujur. "Paman Tan, Nona Phang dan para pelayan lain sangat
baik terhadapku, hanya saja Tuan muda itu..."
"Itu kesalahan ayahnya." Paman Tan menarik nafas panjang. "Terlampau memanjakannya,
karena dia adalah putra satu-satunya, sehingga membuat sifatnya semakin memburuk. Namun... Pocu
sama sekali tidak mengetahuinya."
"Paman Tan, kenapa selama ini aku tidak melihat Pocu?" tanya Tio Cie Hiong heran.
"Bukankah selama ini engkau tidak pernah memasuki rumah besar itu" Jadi bagaimana mungkin
engkau akan melihat Pocu" Lagi pula Pocu sangat terkenal dalam rimba persilatan, tidak
gampang menemuinya."
"O000h!" Tio Cie Hiong manggut-manggut.
Paman Tan bangkit berdiri. "Aku mau masuk kedalam... Engkau beristirahatlah.. jangan
terlampau lama diluar!"
Tio Cie Hiong hanya tersenyum, sedangkan Paman Tan berjalan perlahan menuju rumah besar
itu. Tio Cie Hiong masih tetap duduk di bawah pohon. Tak lama kemudian hari mulai gelap. Ia
bangkit berdiri, tetapi ketika baru mau melangkah pergi, mendadak muncul Phang Ling Hiang.
Gadis itu memandangnya sambil tersenyum.
"Nona Phang..." Tio Cie Hiong segera memberi hormat padanya.
"Cie Hiong!" Phang Ling Hiang menggelengkan kepala. "Engkau tidak usah memberi hormat
padaku! Anggaplah aku kakakmu!"
"Aku hanya seorang pelayan rendah di sini, maka tidak pantas menganggap Nona sebagai
kakakku." "Engkau jangan terlampau merendahkan diri. Aku tahu engkau sejak kecil telah belajar ilmu
sastra. Sebetulnya tidak pantas engkau bekerja sebagai pelayan di sini."
"Nona..."
"Oh ya!" Phang Ling Hiang menatapnya. "Suhengku sering bertindak sewenang-wenang
terhadapmu, aku mohon sudilah engkau memaafkannya!"
"Itu sudah pasti." Tio Cie Hiong mengangguk.
"Terus terang, aku khawatir sekali..." Phang Ling Hiang menarik nafas panjang.
"Apa yang Nona khawatirkan?" tanya Tio Cie Hiong heran.
"Sifat buruk suhengku itu, aku... aku khawatir kelak dia akan menjadi penjahat." Phang Ling
Hiang memberitahukan dengan wajah murung.
"Nona tak usah khawatir kelak ia pasti berubah baik." Hibur Tio Cie Hiong. "Percayalah!"
"Mudah-mudahan begitu!" Phang Ling Hiang menarik nafas lagi.
Di saat mereka berdua sedang bercakap-cakap, ada sepasang mata mengintip dengan berapiapi.
Ternyata tanpa mereka ketahui, Ku Tek Cun bersembunyi di balik sebuah pohon sambil
memandang mereka dengan wajah penuh diliputi kebencian.
"Nona..." Tio Cie Hiong menatapnya. "Tidak baik Nona datang menemuiku, sebab kalau Tuan
muda tahu, repotlah aku."
"Engkau jangan khawatir!" Phang Ling Hiang tersenyum. "Dia tidak ada di dalam puri, sebab
guruku menyuruhnya pergi untuk menemui seseorang."
"Justru lebih tidak baik Nona datang di sini, sebab akan menimbulkan kecurigaan orang,
sehingga akan menimbulkan hal-hal yang tak diinginkan." ujar Tio Cie Hiong sambil
menggelenggelengkan kepala.
"Aku menganggapmu adik, kenapa harus takut akan kecurigaan orang lain."
"Itu pikiran Nona, namun orang lain tak akan berpikir begitu. Jadi alangkah baiknya Nona
segera meninggalkan tempat ini."
"Baiklah!" Phang Ling Hiang mengangguk lalu pergi.
Tio Cie Hiong menarik nafas lega, lalu masuk ke rumah dan langsung menuju kamarnya.
Ketika is sedang membersihkan kamarnya, sekonyong-konyong seorang pelayan menerobos ke
dalam. "Cie Hiong..." Wajah pelayan itu tampak pucat pias.
"Ada apa?" tanya Tio Cie Hiong.
"Pocu (Majikan Puri) memanggilmu." Pelayan itu memberitahukan.
"Oh?" Tio Cie Hiong kebingungan. Ia sama sekali tidak menyangka Pocu akan memanggilnya.
"Ada urusan apa Pocu memanggilku?"
"Entahlah!" Pelayan itu menggelengkan kepala. "Kelihatannya... Pocu sedang marah besar."
"Pocu sedang marah besar?" Tio Cie Hiong terperangah. "Pocu marah pada siapa?"
"Cepatlah engkau ke sana!" sahut pelayan itu. "Pocu berada di ruang depan."
"Ya." Tio Cie Hiong mengangguk, dan pelayan itu langsung angkat kaki dari tempat itu.
Dengan perasaan heran Tio Cie Hiong menuju rumah besar itu. Selama setahun ini, ia sama
sekali tidak pernah memasuki rumah tersebut, namun malam ini ia justru memasukinya. Setelah
berada di ruang depan yang amat besar dan indah itu, ia melihat seorang lelaki berusia lima
puluhan duduk di atas kursi dengan wajah penuh kegusaran. Lelaki itu Hong Lui Kiam Khek - Ku
Tiok Beng, majikan Puri Angin Halilintar.
Tampak pula Ku Tek Cun dan Phang Ling Hiang duduk di sisi Ku Tiok Beng, Ku Tek Cun
tersenyum dingin, sedangkan Phang Ling Hiang menundukkan kepala.
"Cie Hiong!" bentak Ku Tiok Beng sambil menudingnya. "Kenapa engkau begitu berani berbuat
kurang ajar di dalam Hong Lui Po?"
"Pocu..." Tio Cie Hiong kebingungan. "Aku tidak pernah berbuat kurang ajar di sini."
"Engkau masih berani menyangkal?" Bentak Ku Tiok Beng mengguntur dengan wajah gusar.
"Pocu!" ujar Tio Cie Hiong. "Sudah setahun aku bekerja di sini, tapi selama ini aku tidak
pernah berbuat kurang ajar."
Ku Tiok Beng melotot. "Engkau sungguh berani, secara diam-diam berjanji pada Liang Hiang
untuk bertemu di halaman belakang, bukankah itu perbuatan kurang ajar?"
"Itu..." Tio Cie Hiong tertegun, kemudian memandang Phang Ling Hiang, yang tetap
menundukkan kepala. "Hm!" dengus Ku Tek Cun dingin. "Mereka berdua tampak begitu mesra di bawah pohon. Kalau
aku tidak menyaksikannya dengan mata kepala sendiri, tentu aku pun tidak akan percaya."
"Tuan muda..." Tio Cie Hiong mengerutkan kening.
"Aku tidak memfitnahmu kan?" sahut Ku Tek Cun sambil tertawa dingin. "Bukankah engkau
bermesra-mesraan dengan sumoiku di bawah pohon?"
"Kami memang bercakap-cakap di bawah pohon, tapi kami tidak bermesra-mesraan seperti Tuan
muda katakan itu," ujar Tio Cie Hiong.
"Ayah, dia telah mengaku," ujar Ku Tek Cun kepada Hong Lui Kiam Khek-Ku Tiok Beng.
"Cie Hiong!" Ku Tiok Beng menudingnya. "Engkau telah mengaku, maka aku harus
menghukummu!"
"Pocu!" sahut Tio Cie Hiong. "Sebelum jelas persoalan itu, aku harap Pocu tidak sembarangan
menghukumku!"
"Engkau berani berkata begitu padaku..!!!" Ku Tiok Beng tampak bertambah gusar sehingga
wajahnya berubah merah padam.
"Karena aku merasa tidak bersalah, maka aku berani mengatakan begitu," Sahut Tio Cie Hiong
dan melanjutkan. "Pocu sangat terkenal dalam rimba persilatan, tentunya tidak akan melakukan
sesuatu yang menjadi bahan tertawaan kaum Bu Lim."
"Engkau..." Bukan main gusarnya Ku Tiok Beng. "Engkau..."
"Perlu Pocu ketahui!" tambah Tio Cie Hiong. "Tuan muda terlampau dimanjakan, sehingga
menjadi sombong, dan sifatnya menjadi buruk sekali. Kalau Pocu tidak memperhatikan hal itu,
kelak nama Pocu pasti tercemar."
"Apa?" Ku Tiok Beng melotot dan langsung meloncat ke hadapan Tio Cie Hiong. "Engkau berani
bersikap demikian kurang ajar terhadapku?"
"Aku tidak berani bersikap kurang ajar terhadap Pocu, hanya mengingatkan Pocu saja," sahut
Tio Cie Hiong. "Aku sudah begitu baik menerimamu bekerja di sini, tapi engkau malah..." Perlahan-lahan Ku
Tiok Beng mengangkat sebelah tangannya. Kelihatannya ia sudah siap memukul kepala Tio Cie
Hiong. Anak itu tetap berdiri tegak di tempat, bahkan sepasang matanya terus menatap tangan Ku Tiok
Beng yang telah terangkat ke atas itu. Di saat Ku Tiok Beng ingin memukul kepalanya,
mendadak terdengar suara bentakan keras.
"Berhenti, Pocu!" Muncul Paman Tan mendekati mereka dengan langkah tergopoh-gopoh, dan
wajahnya tampak gusar sekali.
"Paman Tan..." Ku Tiok Beng tertegun menyaksikannya, sebab selama puluhan tahun, ia tidak
pernah melihat orang tua itu begitu gusar.
"Kalau Pocu ingin membunuh anak itu, lebih baik Pocu bunuh aku dulu!" ujar Paman Tan
dengan suara gemetar. "Kenapa...?" Ku Tiok Beng mengerutkan kening.
"Aku tahu jelas persoalan itu, maka aku harus membela Cie Hiong!" sahut Paman Tan. "Kalau
Pocu berkeras ingin membunuhnya, aku pun pasti membunuh diri di hadapan Pocu!"
Ku Tiok Beng memandang orang tua itu. Sejak ia masih kecil, Paman Tan sudah bekerja pada


Kesatria Baju Putih Pek In Sin Hiap Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

almarhum ayahnya dan sangat mengabdi pada keluarganya dan menjadi orang kepercayaan,
maka biar bagaimana pun, ia tidak mungkin tidak harus menghormatinya.
"Aaaakh...!" Ku Tiok Beng menarik nafas panjang. "Sudahlah! Cepat bawa anak ini pergi, esok
pagi dia harus meninggalkan Hong Lui Po!"
Paman Tan segera menarik Tio Cie Hiong pergi. Setelah berada di dalam kamar, barulah orang
tua itu menarik nafas lega.
"Nak!" Paman Tan menggeleng-gelengkan kepala. "Engkau nyaris mati di tangan Pocu."
"Heran!" gumam Tio Cie Hiong. Padahal Pocu sangat terkenal dalam rimba persilatan, kenapa
dia justru tidak bisa membedakan mana yang benar dan yang salah?"
"Nak!" Paman Tan tersenyum getir. "Ku Tek Cun adalah putra kesayangannya, maka biar
bagaimana pun Pocu tetap membelanya. Lagi pula Ku Tek Cun pandai bermuka-muka di
hadapan Pocu, maka Pocu mempercayai omongannya."
"Kalau begitu..." Tio Cie Hiong memandang orang tua itu. "Aku tidak bisa tinggal di Hong Lui
Po ini lagi."
"Ya." Paman Tan manggut-manggut dengan wajah muram. "Esok pagi engkau harus
meninggalkan tempat ini."
"Paman Tan, kita... kita akan berpisah." Mata Tio Cie Hiong mulai berkaca-kaca.
"Hidup memang begitu, engkau tidak perlu berduka, Nak." Paman Tan membelai-belai
rambutnya. "Kalau aku masih hidup, kelak kita pasti akan berjumpa kembali."
"Paman Tan..."
"Nak! Esok pagi aku akan menyediakan lima ratus tael perak dan seekor kuda untukmu, agar
engkau bisa lekas sampai di gunung Heng San."
"Terima kasih, Paman!" ucap Tio Cie Hiong dengan air mata meleleh. "Aku entah harus
bagaimana membalas budi kebaikan Paman?"
"Nak!" sahut Paman Tan sungguh-sungguh. "Kalau engkau bisa menjadi orang baik selamanya,
itu berarti engkau telah membalas kebaikanku."
"Paman Tan!" ujar Tio Cie Hiong berjanji. "Aku pasti menjadi orang baik selamanya."
"Bagus!" Orang tua itu manggut-manggut dan tersenyum puas, kemudian menambahkan,
"Tidak sia-sialah aku menyuruhmu belajar ilmu Iweekang. Aku yakin, kelak engkau pasti menjadi
seorang pendekar yang selalu membela kebenaran. Kalau aku belum mati, pasti senang sekali
mendengarnya."
"Paman Tan!" Tio Cie Hiong menggelengkan kepala. "Aku sama sekali tidak berniat belajar ilmu
silat, bagaimana mungkin aku akan menjadi seorang pendekar?"
"Apa yang akan terjadi kelak sulit diramalkan. Siapa tahu pada suatu saat nanti engkau
justru menjadi orang Bu Lim. Ya, kan?" Orang tua itu menatapnya dalam-dalam.
Tio Cie Hiong diam saja. Sedangkan orang tua itu membelainya seraya berpesan.
"Nak! Janganlah engkau lupa melatih ilmu Iweekang itu!"
"Ya." Tio Cie Hiong mengangguk, lalu berkata dengan mata bersimbah air. "Setelah aku dewasa
kelak, aku pasti datang menengok Paman."
"Mudah-mudahan pada waktu itu, engkau telah menjadi seorang pendekar gagah dan berhati
bajik!" Ucap orang tua itu dan terus menerus membelainya dengan penuh kasih sayang.
Tampak seekor kuda putih berlari kencang meninggalkan Hong Lui Po. Penunggang kuda putih
itu seorang anak remaja, yang tak lain Tio Cie Hiong.
Pagi ini ia telah meninggalkan Hong Lui Po. Paman Tan dan para pelayan mengantarnya sampai
di depan Puri Angin Halilintar tersebut. Tidak tampak Ku Tek Cun maupun Phang Ling Hiang.
Ternyata Ku Tek Cun melarang adik seperguruannya itu mengantar Tio Cie Hiong. Oleh karena
itu, Phang Ling Hiang menangis sedih di dalam kamarnya.
Kuda putih itu terus berlari ke arah timur. Sedangkan Tio Cie Hiong merasa berat sekali
berpisah dengan Paman Tan. Namun apa boleh buat, ia memang harus meninggalkan Hong Lui
Po itu, sebab Ku Tiok Beng, majikan Puri itu telah mengusirnya dengan tuduhan berlaku kurang
ajar terhadap Phang Ling Hiang.
Tio Cie Hiong tahu, itu ulah Ku Tek Cun. Akan tetapi, ia sama sekali tidak membenci maupun
mendendam pada pemuda tersebut. Sebaliknya ia malah merasa kasihan padanya, karena
dengan sifat buruknya itu, kelak pasti akan menimbulkan suatu bencana bagi dirinya sendiri, dan
sekaligus akan mencemarkan nama baik Hong Lui Po.
Sebelum meninggalkan Hong Lui Po, Paman Tan memberi Tio Cie Hiong lima ratus tael perak.
Dengan adanya bekal itu, maka Tio Cie Hiong tidak usah khawatir akan kekurangan uang.
Namun Tio Cie Hiong adalah anak berhati bijak. Dalam perjalanan menuju Gunung Heng San, ia
sering menolong para pengemis dengan uangnya itu.
Sepuluh hari kemudian, ia sudah sampai di Gunung Heng San. Ia bertanya kepada penduduk
setempat di mana letaknya Lembah Kesepian. Dengan menunggang kuda putih itu, Tio Cie
Hiong terus mendaki. Ketika hari mulai senja, ia melihat sebuah lembah yang amat indah.
Tio Cie Hiong yakin, itu pasti Lembah Kesepian. Karena itu, ia segera memasuki lembah
tersebut, sedangkan kudanya berjalan perlahan-lahan.
Tio Cie Hiong menengok ke sana ke mari dengan penuh perhatian maka beberapa saat
kemudian, ia melihat sebuah taman bunga sangat indah, yang di dalamnya terdapat sebuah gubuk.
Bukan main girangnya Tio Cie Hiong. Ia cepat-cepat menuju gubuk itu, dan setelah sampai di
depannya, ia meloncat turun dari punggung kudanya.
Pintu gubuk itu tertutup rapat. Tio Cie Hiong mengetuknya seraya berseru.
"Permisi! Apakah Ku Tok Lojin berada di dalam?"
Tiada sahutan, Tio Cie Hiong berseru lagi berulang kali, tapi tetap tiada sahutan.
Karena itu, ia terpaksa mendorong pintu gubuk tersebut lalu melongok ke dalam, tetapi tak
ada seorang pun di sana.
"Permisi!" Serunya lagi sambil berjalan ke dalam.
Di dalam gubuk itu terdapat perabotan-perabotan yang sangat sederhana, tapi sudah kotor
semua. Di sana sini tampak sarang laba-laba, yang menandakan bahwa sudah lama gubuk itu,
tak dihuni orang. Tio Cie Hiong berdiri tertegun di dalamnya. Ia telah bersusah payah datang di Lembah
Kesepian itu, tapi tidak bertemu Ku Tok Lojin.
Benarkah ini gubuk Ku Tok Lojin" Kalau benar, kenapa tidak ada orangnya" Pikir Tio Cie
Hiong. Akhirnya ia bermalam di gubuk itu, kalau ia tidak bertemu Ku Tok Lojin berarti tidak tahu
riwayat hidupnya, lalu harus ke mana mencari Ku Tok Lojin itu" Tio Cie Hiong terus berpikir,
kemudian tertidur pulas.
Pagi-pagi sekali Tio Cie Hiong sudah bangun, lalu berjalan-jalan sejenak di taman bunga.
Mendadak ia melihat seorang tua sedang berjalan sambil bernyanyi-nyanyi dengan suara parau.
Pakaian orang tua itu penuh tambalan.
Giranglah Tio Cie Hiong melihat ada orang. Ia segera berlari menghampiri orang tua itu
seraya berseru.
"Paman! Paman..."
Orang tua itu terbelalak ketika melihat kemunculan Tio Cie Hiong,sebab tidak menyangka ada
seorang anak lelaki berada di tempat itu.
"Bocah! Siapa engkau dan kenapa berada di sini?" tanyanya dengan penuh keheranan.
"Aku Cie Hiong," jawabnya. "Apakah Paman tahu siapa yang pernah tinggal di gubuk ini.
"Ku Tok Lojin." orang tua itu memberitahukan.
"Tahukah Paman dia ke mana?"
"Entahlah." Orang tua itu menggelengkan kepala dan menambahkan. "Setahuku, sudah lima
tahun dia meninggalkan gubuk ini."
"Yaaah!" keluh Tio Cie Hiong. "Aku bersusah payah datang kemari, tapi dia malah tak ada."
"Kenapa engkau mencarinya?" tanya orang tua itu heran.
"Ingin menanyakan sesuatu padanya, tapi dia tidak ada. Entah harus ke mana aku harus
mencarinya?" Tio Cie Hiong menggeleng-gelengkan kepala.
"Kalau tidak salah, Ku Tok Lojin itu seorang Bu Lim," ujar orang tua itu memberitahukan.
"Kalau engkau ingin tahu ke mana dia pergi, bertanyalah kepada orang Bu Lim juga!"
"Terima kasih atas saran Paman!" ucap Tio Cie Hiong. "Oh ya! Kenapa Paman berada di sini?"
"Aku tinggal di kaki gunung ini. Beberapa hari sekali aku pasti datang di tempat ini untuk
mencari kayu." Orang tua itu memberitahukan sambil menatapnya. "Bocah, pakaianmu indah
sekali." "Oh?" Tio Cie Hiong tersenyum.
"Belum pernah cucuku berpakain seindah itu." Orang tua tersebut menarik nafas panjang. "Kami
orang miskin, sama sekali tidak mampu membeli pakaian..."
"Paman!" Tio Cie Hiong sungguh-sungguh. "Di dalam buntalanku masih ada beberapa stel
pakaian, akan kuberikan pada Paman."
"Apa?" Orang tua itu kelihatan tak percaya.
"Engkau ingin memberikan pakaianmu padaku?"
"Benar." Tio Cie Hiong mengangguk, lalu masuk ke gubuk. Tak lama ia sudah keluar lalu
menghampiri orang tua itu. "Paman, di dalam buntalanku ini, ada beberapa stel pakaian dan
sepuluh tael perak, terimalah!"
"Apa" Ini..." Mulut orang tua itu ternganga lebar sambil menerima buntalan. "Te... terima
kasih!" "Sama-sama," sahut Tio Cie Hiong, lalu mendekati kuda putihnya, dan sekaligus meloncat ke
punggungnya. Setelah Tio Cie Hiong memegang tali kendali kuda, meringkiklah kuda putih dan
langsung berlari pergi.
Orang tua itu memegang buntalan tersebut dengan mulut masih ternganga lebar.
"Siapa anak lelaki itu" Kok hatinya begitu baik?" gumamnya kemudian.
Kini di dalam baju Tio Cie Hiong hanya tersisa beberapa tael perak. Namun ia sama sekali
tidak merasa cemas. Kalau uangnya sudah habis, ia akan bekerja lagi.
Sementara kuda putih itu terus berlari, tapi tidak begitu kencang. Tio Cie Hiong ke gunung
Heng San dengan tujuan menemui Ku Tok Lojin untuk menanyakan riwayat hidup dirinya.
Akan tetapi, Ku Tok Lojin justru telah pergi beberapa tahun lalu, sehingga ia tetap tidak
tahu siapa kedua orang tuanya. Oleh karena itu, haruskah ia mengembara dalam rimba
persilatan mencari Ku Tok Lojin" Lalu ia harus menuju ke mana" Itu sungguh memusingkan Tio
Cie Hiong. Akhirnya ia teringat akan daerah Kang Lam, yang sangat kesohor keindahan panoramanya.
Karena itu, ia lalu memacu kudanya ke arah selatan.
Dalam perjalan, Tio Cie Hiong sama sekali tidak lupa melatih Pan Yok Hian Thian Sin Kang,
maka tanpa disadarinya, Iweekangnya menjadi semakin meningkat. Ingatannya bertambah
kuat, bahkan penglihatannya pun bertambah tajam. Ketika masih berada di Hong Lui Po, ia sering
melihat Ku Tek Cun dan Phang Ling Hiang berlatih ilmu pedang Hong Lui Kiam Hoat, dan kini
semua gerakan ilmu pedang tersebut masih berada di dalam ingatannya.
Ada satu hal yang sangat mengherankan, yakni ia tidak pernah belajar ilmu silat, namun
setelah menyaksikan ilmu pedang Hong Lui Kiam Hoat itu, ia pun tahu di mana letak
keistimewaan ilmu pedang tersebut. Kenapa bisa begitu" Tidak lain disebabkan Kecerdasan otak
dan Pan Yok Hian Thian Sin Kang yang ternyata adalah Ilmu Iweekang yang sangat langka di
dunia ini. Beberapa hari kemudian, Tio Cie Hiong sudah kehabisan uang lagi. Apa boleh buat, ia terpaksa
menjual kudanya kepada seseorang pedagang kuda di sebuah kota. Padahal kuda putih itu
berharga ratusan tael perak, namun pedagang kuda itu hanya membayarnya lima puluh tael
perak. Tio Cie Hiong menerimanya dengan girang, karena tidak tahu harga kuda putih itu.
Tio Cie Hiong melanjutkan perjalanannya menuju selatan. Dasar ia berhati baik, lima puluh
tael perak itu dibagi-bagikan kepada orang miskin, sehingga ia sendiri tak mempunyai uang
sama sekali. Oleh karena itu ia harus menahan lapar.
Hari ini Tio Cie Hiong telah tiba di suatu tempat yang penuh pohon-pohon rindang. Ia
berteduh di bawah sebuah pohon rindang untuk beristirahat sejenak.
Berselang beberapa saat kemudian ia bangkit berdiri dan meneruskan perjalanannya. Betapa
girangnya ketika ia melihat sebuah sungai, dan ia langsung berlari ke sungai itu.
Setibanya di tepi sungai, ia menengok ke sana ke mari. Tak ada seorang pun berada di tempat
itu, segeralah ia membuka pakaiannya, lalu terjun ke dalam sungai itu. iapun mencuci
pakaiannya lalu dijemur di atas rumput di tepi sungai.
Tio Cie Hiong tak berani naik ke atas, sebab ia dalam keadaan telanjang, maka terus berendam
di sungai menunggu sampai pakaiannya kering.
Air sungai itu sangat dingin, maka membuatnya secara tidak langsung mengerahkan Pan Yok
Hian Thian Sin Kang. Setelah mengerahkan Iweekang tersebut, tubuhnya langsung hangat, sehingga
sangat menggirangkannya.
Entah berapa lama kemudian, mendadak Tio Cie Hiong mengerutkan kening. Ternyata ia
mendengar suara langkah. Namun ia tidak menoleh ke belakang, melainkan tetap berendam di dalam
sungai. Tampak seorang pengemis kecil dan dekil berjalan di situ. Walau berjarak lima puluhan depa,
Tio Cie Hiong sudah mendengar suara langkah itu.
Pengemis itu terus berjalan, tetapi tiba-tiba ia berhenti dengan mata terbelalak memandang
ke sungai, karena ia melihat ada orang berendam di situ.
"Hei..." seru pengemis kecil. "Siapa engkau, kenapa berendam di dalam sungai"
Perlahan-lahan Tio Cie Hiong menoleh. Begitu melihat pengemis kecil, terbeliaklah ia
seketika. Ternyata pengemis kecil itu Lim Ceng Im, setahun lalu mereka pernah bertemu. Pada
waktu itu, Tio Cie Hiong juga sedang mandi di sungai dalam keadaan telanjang.
"Ceng Im...!" seru Tio Cie Hiong girang.
"Haaah" Engkau?" pengemis kecil tertegun lalu tertawa gembira sambil berlari ke tepi sungai.
"Cie Hiong! Cie Hiong..."
"Ceng Im!" saking girangnya Tio Cie Hiong lupa akan dirinya yang dalam keadaan telanjang
bulat, ia naik ke atas.
"Auuuh!" jerit Lim Ceng Im. Ketika badan Tio Cie Hiong baru nongol separuh. Pengemis kecil
itu langsung membalikkan badannya.
"Eeeh" Oh! Maaf!" Tio Cie Hiong tersenyum karena baru ingat dirinya dalam keadaan telanjang.
"Cie Hiong, cepatlah engkau berpakaian!" seru Lim Ceng Im.
"Ya," sahut Tio Cie Hiong sambil naik ke atas dan cepat-cepat berpakaian. "Aku sudah
berpakaian."
Perlahan-lahan Lim Ceng Im membalikkan badannya. la menarik nafas lega ketika melihat Tio
Cie Hiong sudah berpakaian. Namun kemudian ia terbelalak sambil menatapnya.
"Eeeh?" Tio Cie Hiong terheran-heran. "Kenapa engkau menatapku dengan cara begitu?"
"Cie Hiong!'sahut Lim Ceng Im dengan wajah agak kemerah-merahan. "Setahun lebih kita tidak
bertemu, engkau tampak semakin tampan lho!"
"0.. ya?" Tio Cie Hiong tersenyum. "Sebaliknya engkau bertambah dekil."
"Engkau merasa jijik padaku?" tanya Lim Ceng Im cemberut.
"Engkau teman baikku, bagaimana mungkin aku merasa jijik padamu?" sahut Tio Cie Hiong
sungguh-sungguh.
"Benarkah?" Lim Ceng Im tertawa gembira. "Tentu saja benar." Tio Cie Hiong mengangguk.
"Cie Hiong! Mari kita duduk di bawah pohon!" ajak Lim Ceng Im.
Tio Cie Hiong mengangguk, lalu mereka berdua menghampiri sebuah pohon dan duduk di
bawahnya. "Ceng Im!" Tio Cie Hiong memandangnya. "Kenapa engkau masih berpakaian pengemis dan
masih begitu dekil" Apakah engkau tidak pernah mandi sama sekali?"
"Aku memang pengemis, mana ada pengemis yang bersih sih?" sahut Lim Ceng Im sambil
tersenyum. "Oh ya, Cie Hiong!" Bagaimana keadaanmu selama setahun ini?"
"Aku baik-baik saja." Tio Cie Hiong memberitahukan. "Aku bekerja di Hong Lui Po. setelah itu
barulah berangkat ke gunung Heng San."
"Oooh!" Lim Ceng Im manggut-manggut. "Apakah engkau telah bertemu orang yang kau cari
itu?" "Aku sudah sampai di tempatnya, tapi dia tidak ada." Tio Cie Hiong menarik nafas. "Kata
seseorang penduduk di sana, beberapa tahun lalu dia telah meninggalkan tempat itu. Aku tidak
tahu harus ke mana lagi mencarinya."
"Sebetulnya siapa yang kau cari itu?" tanya Lim Ceng Im mendadak.
"Dia adalah Ku Tok Lojin."
"Ku Tok Lojin?" Lim Ceng Im mengerutkan kening sambil berpikir, kemudian berkata, "Aku tidak
pernah mendengar tentang orang itu, akan kutanyakan pada ayah, mungkin ayah tahu itu."
"Terima kasih, Ceng Im!" Ucap Tio Cie Hiong dan mendadak is tertawa geli.
"Eeeh?" Lim Ceng Im tercengang. "Kenapa engkau tertawa geli" Apa yang menggelikanmu?"
"Heran!" sahut Tio Cie Hiong dan masih tertawa geli. "Setahun lalu engkau bertemu denganku
dalam keadaan telanjang, kali ini pun begitu. Kita sungguh berjodoh sekali!"
"Jangan omong sembarangan!" Lim Ceng Im cemberut.
"Nyatanya memang begitu," sahut Tio Cie Hiong sambil tertawa. "Jangan-jangan engkau
memang senang melihat aku telanjang.
"Eh" Jangan kurang ajar!" Lim Ceng Im cemberut lagi dengan wajah memerah.
"Heran!" gumam Tio Cie Hiong sambil menatapnya. "Engkau lelaki, tapi kenapa suka cemberut
seperti gadis" Ceng Im, lelaki tidak boleh cemberut Iho!"
"Siapa suruh engkau tidak tahu malu?"
"Aku tidak tahu malu?" Tio Hui Hong menggaruk-garuk kepala. "Aku tidak merasa itu."
"Kenapa engkau sering mandi telanjang di sungai"
"Karena pakaianku sudah kotor, harus dicuci. Kalau aku tidak telanjang, bagaimana pakaianku
itu dicuci?"
"Engkau tidak punya pakaian lain?"


Kesatria Baju Putih Pek In Sin Hiap Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sebetulnya ada, tapi telah kuberikan pada orang," ujar Tio Cie Hiong memberitahukan.
"Bahkan uangku pun telah habis kubagi-bagikan pada orang miskin."
"Oh?" Lim Ceng Im menatapnya penuh perhatian. "Jadi sekarang engkau tidak punya uang?"
"Ya." Tio Cie Hiong mengangguk.
"Cie Hiong!" Lim Ceng Im menundukkan kepala. "Aku juga tidak punya uang, kalau aku punya,
pasti kuberikan padamu."
"Terima kasih!" ucap Tio Cie Hiong, kemudian merogoh ke dalam bajunya mengeluarkan
sesuatu. "Lihatlah! Hingga saat ini aku masih menyimpannya, bahkan akan kusimpan selamalamanya."
Lim Ceng Im mendongakkan kepala melihat. Semula ia tampak tertegun tapi kemudian
wajahnya berseri-seri. "Itu... itu kantongku," ujarnya gembira. "Setahun yang lalu kuberikan kepadamu!"
"Benar." Tio Cie Hiong mengangguk. "Kantong yang dulu berisi uang perak. Engkau begitu baik
hati terhadapku, maka aku harus menyimpan kantong ini selama-lamanya."
"Ng!" Lim Ceng Im manggut-manggut dengan mata berbinar-binar. "Oh ya, apa rencanamu
sekarang?"
"Aku tidak punya rencana, namun mungkin akan berusaha mencari Ku Tok Lojin."
"Mencarinya ke mana?"
"Mungkin aku harus mengembara dalam rimba persilatan, sebab kaum rimba persilatan pasti
tahu Ku Tok Lojin berada di mana."
"Tapi...." Lim Ceng Im menggeleng-gelengkan kepala. "Engkau tidak punya uang, bagaimana
mungkin bisa mengembara dalam rimba persilatan?"
"Aku akan kerja lagi."
"Cie Hiong!" Mendadak Lim Ceng Im menatapnya serius. "Maukah engkau belajar ilmu silat" Aku
akan carikan engkau seorang guru yang berkepandaian tinggi. Bagaimana?"
"Ceng Im!" Tio Cie Hiong tersenyum. "Terima kasih atas maksud baikmu, namun aku tidak
berniat belajar ilmu silat."
"Engkau ingin mengembara dalam rimba persilatan, seharusnya engkau belajar ilmu silat untuk
menjaga diri."
"Itu tidak perlu." Ujar Tio Cie Hiong. "Kalau aku tidak berbuat salah, tak mungkin akan
diganggu orang."
"Heran!" Lim Ceng Im menggeleng-gelengkan kepala. "Kenapa engkau tidak tertarik untuk
belajar ilmu silat?"
"Orang yang belajar ilmu silat, pasti tak lebih dari bunuh membunuh. Oleh karena itu, aku
tidak mau belajar ilmu silat."
"Engkau memang aneh." Lim Ceng Im menari nafas. "Oh ya, kalau tidak salah engkau sudah
berusia empat belas tahun bukan?"
"Benar?" Memangnya kenapa?"
"Kalau begitu, bagaimana kalau mulai sekarang aku memanggilmu Kakak Hiong?"
"Boleh." Tio Cie Hiong mengangguk. "Jadi aku pun harus memanggilmu Adik Im, bukan?"
"Ya." Lim Ceng Im tersenyum.
Di saat mereka berdua sedang asyik mengobrol, mendadak terdengar suara siulan yang sangat
nyaring. "Aaaakh!" Keluh Lim Ceng Im. "Kakak Hiong, aku harus pergi."
"Adik Im!" Tio Cie Hiong menatapnya heran. "Setahun yang lalu, ketika engkau mendengar
suara siulan langsung pergi. Kali ini pun begitu. Memangnya kenapa?"
"Itu suara siulan ayahku, maka aku harus segera pergi menemuinya." Lim Ceng Im
memberitahukan sambil bangkit berdiri.
"Adik Im!" Tio Cie Hiong juga berdiri. "Kapan kita akan berjumpa lagi?"
"Kelak kita pasti berjumpa kembali," Bukankah engkau bilang... kita berjodoh" Nah, kita
pasti berjumpa kembali," ujar Lim Ceng Im dengan wajah agak kemerah-merahan. "Kakak
Hiong, sampai jumpa!"
Lim Ceng Im melesat pergi, sedangkan Tio Cie Hiong berdiri termangu-mangu di tempat.
Sementara Lim Ceng Im telah sampai di suatu tempat, tampak seorang pengemis berusia lima
puluhan berdiri di situ. Pengemis itu ayahnya yang bernama Lim Peng Hang.
"Ayah!" Lim Ceng Im menghampiri pengemis itu dengan wajah tidak senang. "Ayah sungguh
keterlaluan!"
"Lho?" Pengemis itu tertawa gelak. "Kenapa ayah keterlaluan?"
"Ayah tidak boleh lihat orang senang. Aku baru bertemu dia, tapi ayah langsung memanggilku.
Bukankah keterlaluan sekali?" sahut Lim Ceng Im cemberut.
"Bertemu dia" Siapa dia?" tanya pengemis itu sambil tersenyum.
"Ayah sudah tahu kok malah pura-pura bertanya?" wajah Lim Ceng Im kemarah-merahan.
"Maksudmu anak lelaki itu?"
"Ya."
"Nak!" Lim Peng Hang menarik nafas panjang. "Usiamu baru tiga belas, belum waktunya
berkenalan dengan anak lelaki!"
"Memangnya kenapa?"
"Itu akan mengganggu pelajaran ilmu silatmu."
"Ayah!" Lim Ceng Im menatapnya. "Dia... dia anak baik, aku..."
"Engkau suka padanya?" Lim Peng Hang terbelalak.
"Ya." Lim Ceng Im mengangguk perlahan. "Yaaaa... ampun!" Lim Peng Hang menepuk
keningnya sendiri. "Engkau masih kecil, kok sudah suka pada anak lelaki" Itu... itu..."
"Ayah! Bolehkah aku pergi menemuinya?" tanya Lim Ceng Im mendadak.
"Boleh." Lim Peng Hang manggut-manggut.
"Terima kasih, Ayah!" Lim Ceng Im girang bukan main. "Sekarang aku akan pergi menemuinya."
"Jangan sekarang! Harus tunggu engkau dewasa dulu!" ujar Lim Peng Hang.
"Apa?" Lim Ceng Im terbelalak. "Harus tunggu aku dewasa" Jadi kapan aku baru boleh pergi
menemuinya?"
"Harus beberapa tahun lagi," sahut Lim Peng Hang sungguh-sungguh.
"Ayah..." Mata Lim Ceng Im bersimbah air. "Nak! Belum waktunya engkau memikirkan lelaki.
Engkau harus tekun belajar. Sebab kelak engkau harus menggantikan kedudukanku."
"Ayah, aku tidak mau jadi ketua partai pengemis," sahut Lim Ceng Im. "Setiap hari harus
berpakaian rombeng, walau pun sudah bersih harus dikotor-kotorkan pula."
"Itu adalah peraturan partai Kay Pang, tapi setelah engkau dewasa, tentunya engkau boleh
berpakaian indah." Lim Peng Hang memberitahukan.
"Benarkah..?" Wajah Lim Ceng Im berseri.
"Nak! Cepatlah engkau pulang ke markas pusat. Sebab kakekmu sedang menunggu di sana!"
"Kakek menungguku?" Lim Ceng Im tersenyum gembira. "Kakek mau mengajarku ilmu silat?"
"Ya." Lim Peng Hang mengangguk. "Ayoh, ikut ayah pulang!"
Lim Ceng Im mengangguk. Mereka berdua lalu melesat pergi, namun pikiran pengemis kecil itu
tetap menerawang membayangkan wajah Tio Cie Hiong yang tampan dan simpatik itu.
Kini Tio Cie Hiong telah sampai di Kota Po Teng. Kota tersebut sangat ramai dan merupakan
kota pusat perdagangan, maka tidak heran, kalau kaum pedagang dari berbagai kota mendatangi
kota itu. Karena Kota Po Teng sangat aman, bebas dari gangguan para perampok, sebab di Kota tersebut
terdapat sebuah Ekspedisi Hui Houw (Harimau Terbang), yang amat terkenal dalam rimba
persilatan. Pemimpin ekspedisi itu adalah Cit Pou Tui Hun (Tujuh Langkah Pengejar Roh) Gouw Han Tiong.
Beberapa tahun yang lalu Tui Hun Lojin (Orang Tua Pengejar Roh), ayahnya telah cuci tangan,
maka Cit Pou Tui. Hun Gouw Han Tiong menggantikan kedudukan ayahnya sebagai pemimpin
ekspedisi itu. Bagian 3 Selama puluhan tahun, barang kawalan ekspedisi Hui Houw tak pernah dirampok, karena Tui
Hun Lojin dan putranya berkepandaian sangat tinggi. Lagi pula mereka berjiwa besar dan selalu
membantu kaum Bu Lim yang kepepet uang. Oleh karena itu, para perampok dari daerah mana
pun tidak berani mengganggu barang kawalan ekspedisi itu.
Tio Cie Hiong berdiri di depan gedung ekspedisi tersebut. Ternyata ia ingin melamar pekerjaan
di situ. Namun is tidak berani lancang memasuki halaman bangunan yang sangat besar itu.
Kebetulan salah seorang piauwsu melihatnya.
"Saudara kecil!" Piauwsu itu menghampirinya. "Kenapa engkau dari tadi berdiri di situ?"
"Aku... aku ingin mencari pekerjaan," sahut Tio Cie Hiong memberitahukan.
"Maksudmu ingin bekerja di sini?"
"Ya." Tio Cie Hiong mengangguk.
"Engkau tunggu sebentar, aku akan ke dalam untuk bertanya kepada pemimpin kami," ujar
piauwsu itu dan sekaligus berjalan ke dalam.
Berselang beberapa saat kemudian, piauwsu itu sudah kembali.
"Saudara kecil, mari ikut aku ke dalam!" katanya sambil tersenyum.
"Terima kasih!" Ucap Tio Cie Hiong dan mengikuti piauwsu itu ke dalam.
Begitu masuk ke dalam, Tio Cie Hiong terbelalak karena melihat halaman yang amat luas.
Setelah melewati halaman itu, Piauwsu tersebut mengajaknya memasuki bangunan besar itu.
Tampak seorang lelaki berusia lima puluhan duduk di ruang depan. Lelaki itu adalah Cit Pou Tui
Hun-Gouw Han Tiong, pemimpin Ekspedisi Harimau Terbang. Di sisinya berdiri seorang anak
perempuan berusia sekitar tiga belas tahun, yang wajahnya sungguh cantik sekali.
Piauwsu itu melapor pada Gouw Han Tiong, lalu meninggalkan ruang itu. Sedangkan Gouw Han
Tiong terus memandang Tio Cie Hiong yang berdiri di hadapannya. Ternyata lelaki itu merasa
heran, sebab sepasang mata Tio Cie Hiong bersinar begitu terang.
"Beritahukanlah namamu!" ujar Gouw Han Tiong.
"Namaku Tio Cie Hiong, Tuan."
"Engkau mau bekerja di sini?"
"Ya, Tuan."
"Tapi pekerjaan di sini berat sekali." Gouw Han Tiong memberitahukan.
"Apakah engkau sanggup bekerja di sini?"
"Sanggup, Tuan," jawab Tio Cie Hiong sungguh-sungguh.
"Bangunan ini sangat besar. Setiap pagi dan sore engkau harus membersihkan seluruh
bangunan ini, juga termasuk halaman depan, tengah dan halaman belakang. Apakah engkau tidak
merasa berat akan pekerjaan itu?"
"Aku tetap sanggup mengerjakannya, Tuan."
Gouw Han Tiong manggut-manggut. "Baiklah. Kuterima engkau bekerja di sini."
"Terima kasih, Tuan!" ucap Tio Cie Hiong.
"Cie Hiong!" Gouw Han Tiong tersenyum. "Engkau jangan memanggilku tuan, panggil saja
paman!" "Ya." Tio Cie Hiong mengangguk. "Paman."
"Sian Eng!" Ujar Gouw Han Tiong pada anak gadis yang berdiri di sisinya.
"Ajak Cie Hiong ke dalam melihat kamarnya!"
"Ya, Ayah." Gouw Sian Eng mengangguk, kemudian mengajak Tio Cie Hiong ke dalam. Sungguh
di luar dugaan, ternyata di dalam bangunan itu terdapat sebuah halaman amat indah, yang dihiasi
dengan berbagai tumbuhan. Setelah melewati halaman itu, Gouw Sian Eng mengajak Tio Cie Hiong
memasuki sebuah bangunan lain.
"Ini kamarmu," ujar Gouw Sian Eng sambil membuka pintu kamar itu. "Lihatlah dulu! Kalau
engkau merasa tidak cocok, aku akan menunjukkan kamar lain."
"Cocok," sahut Tio Cie Hiong tanpa melongok ke dalam.
"Engkau belum melihat ke dalam, kok langsung mengatakan cocok?" Gouw Sian Eng heran.
"Aku sudah merasa puas sekali dengan kamar ini," ujar Tio Cie Hiong sambil tersenyum.
Gouw Sian Eng terbelalak ketika melihat senyumannya, kemudian wajahnya tampak memerah
dan segera menundukkan kepala.
Tio Cie Hiong tidak memperhatikan hal itu, karena ia telah melangkah ke dalam kamar.
"Ei!" seru Gouw Sian Eng. "Di mana pakaianmu?"
"Pakaianku?" Tio Cie Hiong tersenyum geli. "Cuma yang kupakai ini."
Mulut Gouw Sian Eng ternganga lebar, lama sekali barulah berkata. "Kalau begitu, akan
kuambilkan pakaian untukmu."
"Terima kasih, Nona!" Ucap Tio Cie Hiong.
"Jangan memanggilku nona, namaku Sian Eng, panggil saja namaku!" Ujar gadis itu.
"Tapi... aku pembantu disini, jadi mana boleh aku memanggil namamu?" Tio Cie Hiong
menggelengkan kepala.
"Kalau engkau memanggilku nona, aku akan marah." Gouw Sian Eng kelihatan sungguhsungguh.
"Ya." Tio Cie Hiong mengangguk.
"Engkau tunggu sebentar!" Gouw Sian Eng meninggalkan kamar itu, tetapi berselang sesaat ia
sudah kembali dengan membawa sebuah buntalan. "Ada beberapa stel pakaian, untukmu semua."
"Aku telah merepotkanmu, Nona... Eh, Sian Eng," ucap Tio Cie Hiong.
Gouw Sian Eng tersenyum. "Hampir saja engkau lupa memanggil namaku."
"Aku..." Tio Cie Hiong ingin mengatakan sesuatu, namun mendadak perutnya berbunyi. "Kruuuk!
Kruuuuk! "Eh?" Gouw Sian Eng terheran-heran. "Bunyi apa itu?"
"Perutku yang berbunyi." Tio Cie Hiong memberitahukan.
"Oooh!" Gouw Sian Eng manggut-manggut, lalu berlari pergi, sedangkan Tio Cie Hiong menaruh
buntalan itu ke dalam lemari.
Tak seberapa lama kemudian, Gouw Sian Eng muncul lagi dengan membawa sebuah
bungkusan, cangkir dan sebuah teko yang berisi air teh.
"Bungkusan ini untukmu," ujarnya sambil menaruh bungkusan itu dan teko berikut cangkir di
atas meja. "Terima kasih!" ucap Tio Cie Hiong. "Bungkusan apa itu?" tanyanya.
"Bukalah! Engkau akan mengetahuinya," sahut Gouw Sian Eng sambil tersenyum lembut.
Tio Cie Hiong membuka bungkusan itu. Ternyata bungkusan itu berisi nasi putih dan beberapa
potong ayam panggang.
"Haaah?" Tio Cie Hiong terbelalak dan perutnya langsung berbunyi lagi. "Ini untukku?"
"Ya." Gouw Sian Eng mengangguk. "Aku tahu, engkau pasti sudah lapar sekali. Kalau tidak,
bagaimana mungkin perutmu berbunyi?"
Tio Cie Hiong mengangguk.
"Makanlah!" ujar Gouw Sian Eng.
Tio Cie Hiong langsung bersantap bagaikan macan kelaparan. Gouw Sian Eng tertawa geli
menyaksikannya, lalu menuangkan secangkir air teh untuk Tio Cie Hiong.
"Sian Eng! Engkau sedemikian baik terhadapku, kalau ayahmu tahu, apakah engkau tidak
dimarahinya?" tanya Tio Cie Hiong seusai bersantap.
"Tentu tidak," jawab Gouw Sian Eng. "Minumlah!"
Tio Cie Hiong meneguk air teh itu, kemudian memandangnya seraya berkata lagi.
"Padahal aku akan bekerja sebagai pembantu di sini, namun engkau sedemikian baik
terhadapku. Aku khawatir... ayahmu akan tidak senang."
"Jangan khawatir ayahku tidak akan begitu." Gouw Sian Eng memberitahukan. "Sebab ayahku
selalu berpesan, tidak boleh menghina orang lain dan harus berbuat baik pula."
"Kakekku pun selalu berpesan begitu kepadaku, jadi engkau tidak usah khawatir!"
"Engkau masih punya kakek?"
"Ya." Gouw Sian Eng mengangguk. "Oh ya, di mana kedua orang tuamu?"
"Sudah lama meninggal. Aku pun tidak tahu siapa kedua orang tuaku," ujar Tio Cie Hiong jujur.
"Kok begitu?" Gouw Sian Eng heran.
"Aku dibesarkan paman. Sebelum meninggal is berpesan kepadaku harus pergi ke Gunung Heng
San menemui Ku Tok Lojin." Tio Cie Hiong memberitahukan.
"Engkau sudah pergi ke sana?"
"Sudah, tapi tidak bertemu Ku Tok Lojin, sebab dia telah meninggalkan tempat tinggalnya itu."
"Kenapa pamanmu menyuruhmu pergi menemui orang itu?"
"Kata Paman, Ku Tok Lojin akan memberitahukan riwayatku. Tapi Ku Tok Lojin tidak berada di
tempat, dan aku tidak tahu harus ke mana mencarinya."
"Jadi hingga kini engkau masih belum tahu siapa kedua orang tuamu?" tanya Gouw Sian Eng
sambil memandangnya iba.
"Ya." Tio Cie Hiong mengangguk.
"Cie Hiong! Sekarang engkau boleh beristirahat dulu, esok baru mulai kerja," pesan Gouw Sian
Eng. "Terima kasih, Sian Eng!" ucap Tio Cie Hiong. Gouw Sian Eng tersenyum, lalu meninggalkan
kamar itu. Tio Cie Hiong memandang punggungnya seraya bergumam.
"Sungguh baik hati anak gadis itu..."
Pagi-pagi buta Tio Cie Hiong sudah bangun. Ia langsung menyapu halaman belakang, halaman
tengah dan halaman depan. Ketika is sedang menyapu di halaman depan, mendadak muncul Gouw
Sian Eng, tangannya membawa dua buah bakpao.
"Cie Hiong!" panggilnya sambil tersenyum ceria.
"Oh, Sian Eng!" Tio Cie Hiong berhenti menyapu. "Selamat pagi!"
"Pagi!" sahut Gouw Sian Eng. "Engkau pasti belum sarapan, bakpao ini untukmu."
"Terima kasih!" ucap Tio Cie Hiong sambil menerima bakpao itu.
"Ambillah dua-duanya! Kalau cuma satu, engkau tidak akan kenyang," ujar Gouw Sian Eng.
"Kita seorang satu saja," sahut Tio Cie Hiong.
"Baiklah!" Gouw Sian Eng mengangguk. Mereka berdua lalu duduk di bawah sebuah pohon
sambil makan bakpao. Kemudian Gouw Sian Eng bertanya, "Kenapa begitu pagi engkau sudah
bangun?" "Aku harus menyapu, maka harus bangun pagi."
"Engkau memang raiin."
"Kerja harus rajin. Kalau tidak, aku pasti dipecat oleh ayahmu."
"Ayahku tidak akan sembarangan memecat orang. Engkau tidak usah mengkhawatirkan itu!"
"Karena itu, aku harus rajin bekerja."
"Oh iya...!" Gouw Sian Eng tiba-tiba memandangnya. "Pernahkah engkau belajar ilmu silat?"
"Tidak pernah." Tio Cie Hiong menggelengkan kepala.
"Kalau aku... sejak kecil sudah belajar ilmu silat, kakek yang mengajariku." Gouw Sian Eng
memberitahukan.
"Kok bukan ayahmu yang mengajarimu?"
"Ayahku sangat sibuk, maka tak ada waktu untuk mengajarku. Karena itu, kakek yang
mengajarku. Lagi pula kepandaian kakek lebih tinggi dari pada kepandaian ayah."
"Cie Hiong! Apakah engkau berniat belajar ilmu silat" Kalau engkau berniat, akan kuminta kakek
mengajarimu."


Kesatria Baju Putih Pek In Sin Hiap Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sian Eng!" Tio Cie Hiong menggelengkan kepala. "Terus terang, aku sama sekali tidak berniat
belajar ilmu silat."
"Kenapa?" Gouw Sian Eng heran.
"Siapa yang memiliki ilmu silat, pasti akan bunuh membunuh dalam rimba persilatan. Karena itu,
aku tidak mau belajar ilmu silat."
"Engkau keliru. Sebetulnya ilmu silat dipergunakan untuk menjaga diri, bukan untuk saling
membunuh."
"Siapa yang memiliki ilmu silat, pasti mempunyai musuh. Maka akan terjadi pertarungan dan lain
sebagainya. Sejak kecil aku belajar sastra, jadi tidak tertarik untuk belajar ilmu silat."
"Ooooh!" Gouw Sian Eng manggut-manggut.
"Oh ya! Kenapa agak sepi di sini?" tanya Tio Cie Hiong mendadak.
"Para Piauwsu di sini telah berangkat mengantar barang ke kota lain, mungkin dua bulan
kemudian mereka baru pulang, kini hanya tinggal beberapa Piauwsu di sini, maka kelihatan sepi."
"Oooh!" Tio Cie Hiong manggut-manggut lagi.
"Cie Hiong, berapa usiamu?" tanya Gouw Sian Eng mendadak.
"Empat belas."
"Usiaku tiga belas, maka engkau lebih tua setahun dariku. Nah, bolehkah aku panggilmu Kakak
Hiong?" "Tentu boleh." Tio Cie Hiong mengangguk.
"Kalau begitu, aku pun harus memanggilmu Adik Eng, bukan?"
"Ya." Gouw Sian Eng mengangguk sambil tersenyum.
"Adik Eng, maaf ya!" Tio Cie Hiong bangkit berdiri. "Aku harus menyapu lagi."
"Kakak Hiong! Aku akan membantumu menyapu," ujar Gouw Sian Eng sambil tertawa gembira.
"Boleh kan?"
"Tentu boleh." Tio Cie Hiong mengangguk.
Gouw Sian Eng segera mengambil sebuah sapu, lalu membantu Tio Cie Hiong menyapu dengan
wajah berseri-seri.
Pagi berikutnya ketika Tio Cie Hiong sedang menyapu di halaman depan, tampak Gouw Sian Eng
muncul bersama seorang tua berjenggot panjang putih.
"Adik Eng!" seru Tio Cie Hiong girang. "Selamat pagi!"
"Selamat pagi, kakak Hiong!" sahut Gouw Sian Eng sambil menarik orang tua itu ke
hadapannya. "Kakek, dia adalah kakak Hiong."
Orang tua itu menatap Tio Cie Hiong tajam, kemudian wajahnya tampak berseri-seri. "Bakat
yang bagus dan tulang yang kuat."
"Selamat pagi, Tuan besar!" ucap Tio Cie Hiong.
"Apa?" Orang tua itu tertawa gelak. "Engkau memanggilku tuan besar?"
"Kakak Hiong!" Sela Gouw Sian Eng. "Engkau juga boleh memanggil kakek kepadanya."
"Betul! Betul!" Orang tua itu tertawa terbahak-bahak. "Engkau memang boleh memanggil kakek
kepadaku."
"Ya, kakek."
"Bagus! Bagus!" Orang tua itu tertawa lagi.
Orang tua itu tidak lain ialah Tui Hun Lojin sendiri.
"Oh ya, namamu?"
"Dia bernama Tio Cie Hiong," sahut Gouw Sian Eng.
"Kakek bertanya padanya, kenapa engkau yang menjawab?" Tui Hun Lojin menatap cucunya
tajam. "Aku..." Wajah Gouw Sian Eng memerah.
"Waaah!" Tui Hun Lojin tertawa gelak. "Wajahmu memerah, merasa malu ya?"
"Kakek jahat! Kakek jahat!" Gouw Sian Eng membanting-banting kaki.
"Cucuku!" sahut Tui Hun Lojin, yang masih tertawa. "Engkau masih kecil lho! Jangan..."
"Kakek!" Gouw Sian Eng segera menarik jenggot Tui Hun Lojin.
"Aduuuh!" jerit Tui Hun Lojin kesakitan. "Cie Hiong, cucuku ini sangat nakal, maka engkau harus
hati-hati."
"Dia tidak nakal, melainkan amat sayang pada kakek," sahut Tio Cie Hiong sungguh-sungguh.
"Eh?" Tui Hun Lojin terbelalak. "Belum apa-apa, engkau sudah membelanya?"
"Aku membela yang benar," ujar Tio Cie Hiong. "Sebab adik Eng memang benar menyayangi
kakek." Tui Hun Lojin manggut-manggut, kemudian wajahnya berubah serius seraya bertanya, "Cie
Hiong, engkau pernah belajar ilmu silat?"
"Tidak pernah."
"Maukah engkau menjadi muridku?"
"Maaf, kakek! Aku tidak mau belajar ilmu silat."
Jodoh Rajawali 4 Amarah Pedang Bunga Iblis Karya Gu Long Tujuh Pedang Tiga Ruyung 14
^