Pencarian

Sejengkal Tanah Sepercik Darah 3

Sejengkal Tanah Sepercik Darah Karya Kho Ping Hoo Bagian 3


Ramailah keadaan di tempat itu ketika masing-masing mengajukan usul-usul dan siasat. ada yang mengusulkan untuk membuat pertahanan Singosari semakin lemah dengan cara melakukan gangguan keamanan di luar kota raja. menciptakan kekacauan sehingga kehidupan rakyat jelata menjadi semakin kacau, dan hal ini tentu menggelisahkan pamong praja, memecah belah kekuatan mereka. Ada yang mengusulkan untuk secara rahasia membuat para senopati dan pera pembesar yang setia kepada Singosari. Pendeknya, mereka semua berusaha untuk mencari jalan bagaimana caranya ia membuat Kerajaan Singosari menjadi semakin lemah.
Baru setelah malam tiba, perundingan dihentikan dan kembali mereka berpesta lagi dengan menyembelih kerbau-kerbau lagi. reka tidak perlu meninggalkan hutan itu, kecuali mereka yang masih harus mempersiapkan anak buahnya yang belum diajak ke tempat itu. Pondok-pondok dirurat didirikan anan-anak buah yang sudah berada di situ, Ada juga yang lebih dahulu meninggalkan Bukit Gandamayit untuk kembali ke tempat tinggal mereka dan mengumpulkan anak buah untuk dibawa ke tempat itu.
Diam-diam Ni Dedeh Sawitri bergaindengan tangan dengan Raden Bangokuning, meninggalkan orang banyak dan menyusup ke tempat gelap di dalam hutan, mencari petak rumput yang sunyi dan nyaman di mana mereka akan memadu asmara mencurahkan semua nafsu dan gairah mereka yang sudah terbangkitkan sejak tadi.
*** Sudah menjadi kebiasaan bagi Ni Dedeh Sawitri, bahwa setiap kali ia memilih seorang pria untuk melayani permuasan nafsunya, kemudian ia mendapat kenyataan bahwa pria itu tidak memuaskannya, tanpa banyak cakap lagi pada keesokan harinya, pria itu tentu dibunuhnya begitu saja. Atau kalau sebaliknya, ia akan mempertahankan pria itu sampai ia bosan, baru setelah itu dibunuhnya juga. Hal ini ia lakukan agar ia terbebas dari pria itu, juga agar orang itu tidak membicarakan dirinya diluaran, dan agar rahasianya tidak diketahui orang lain. Tentu saja terhadap Gagak Wulung tidak dapat berbuat seperti itu karena Gagak Wulung merupakan seorang rekan setingkat dengan dirinya yang dapat dipercaya dan masing-masing dapat menyimpan rahasia.
Pada pagi hari itu, Setelah membereskan pakaian dan rambutnya, Ni Dedeh yang sudah bangkit lalu melihat kearah Raden Bangokuning yang juga sudah membereskan pakaiannya pula. Dari lirikan wanita itu, jelas bahwa ia merasa kecewa. Ternyata orang muda itu tidak dapat memenuhi nafsunya. Akan tetapi biarpun demikian, ia telah memperoleh keterangan yang amat penting baginya, tentang orang-orang Kediri yang hadir di dalam hutan itu, juga tentang Gagak Wulung.
"Ni Dedeh, kau sungguh seorang wanita yang amat hebat" kata Raden Bangokuning sambil melangkah maju hendak merangkul"
"Sebaliknya, kau menjemukan" kata wanita itu dan tiba-tiba saja tangan kanannya menampar kearah leher Raden Bangokuning.
Orang muda itu terkejut bukan kepalang. Ia bukan orang sembarangan, melainkan seorang yang sudah banyak mempelajari llmu beladiri dan pencak silat di Kediri sehingga diserang, diapun maklum akan datangnya serangan yang amat dahsyat itu, karena di rasa ada angin yang kuat sekali menyambar dari tangan wanita itu kearah lehernya. Maklum akan hal itu dan iapun tidak sempat lagi mengelak, Raden Bangokuning lalu mengangkat kanannya untuk menangkis.
"Plakk"
Dan akibatnya, tubuh pria itu terbanting keras ke atas rumput di mana ia tadi saling menumpahkan semua gairah nafsunya bersama wanita itu. Dan dia betapa lengannya seperti patah dan sakitnya bukan main.
"Huh, terimalah kematianmu" kata Ni Dedeh Sawitri sambil menubruk untuk mengirim pukulan Sarpakenaka yang mematikan.
"Desss.. .." Pukulannya tertangkis oleh Gagak Wulung dan keduanya terdorong mundur.
"Dedeh, kau tidak boleh sembarangan bertindak terhadap seorang tokoh Kediri. Jangan sembarangan membunuh"
Akan tetapi, Ni Dedeh Sawitri kini juga memandang marah kepada kekasihnya ini, kemudian telunjuk kanannya menuding kearah laki-laki yang selama ini tak pernah terpisah dari sisinya.
"Gagak Wulung, kau ternyata utusan kediri yang hendak memperalatku, keparat. Kaupun harus mampus." Setelah berkata begitu, wanita itu menyerang dengan hebatnya.
Gagak Wulung tentu saja cepat mengelak dan balas menyerang sambil menegur Raden bangokuning yang sudah bangkit berdiri. "Bocah tolol. Kau membocorkan semua rahasia kepadanya" Tahukah kau siapa wanita ini" la bukan lagi orang Kediri, melainkan mata-mata dari Pasundan, tolol."
Raden Bangokuning memandang pucat. Semalam dalam dekapan wanita itu, dia tak berdaya dan menceritakan semua keadaan para senopati Kediri yang hadir di dalam pertemuan itu, tentang tugas mereka untuk mendorong agar Mahesa Rangkah memberontak terhadap Singosari, untuk melemahkan Singosari dan mereka dari Kediri itu tidak akan memperlihatkan diri terlibat dalam pemberontakan itu.
Dalam hal ini, Gagak Wulung telah dibuka rahasianya sebagai utusan istimewa dari Raja Kediri, Adipati Jayakatwang.
Karena maklum bahwa ilmu kepandaian masih jauh kalah dibandingkan dengan Gagak Wulung dan dia bahkan terancam bahaya maut, kalau berani membantu menghadapi Ni Sawitri. Raden Bangokuning cepat menyelinap untuk mengundang teman yang lebih tangguh.
Tak lama kemudian, diapun muncul bersama Bango Dolog dan Ki Prutung, dua diantara para senopati yang semalam hadir. Melihat Gagak Wulung sedang berkelahi melawai Dedeh Sawitri dan mendengar dari Raden Bangokuning bahwa Ni Dedeh Sawitri adalah mata-mata Pasundan yang mengetahui rahasia mereka, dua orang senopati itu menjadi marah. Hampir saja Ki Prutung menampar muka Raden Bangokuning yang selain dianggap lancang buka rahasia, juga semalam telah merebut hati Ni Dedeh Sawitri yang tadinya sudah melirik-lirik kearahnya. Kini, dua orang senopati dari Kediri itu tanpa banyak cakap lagi menerjang maju mengeroyok Ni Dedeh Sawitri yang berkelahi melawan Gagak Wulung.
Biarpun dua orang jagoan Kediri itu tidak setangguh Gagak Wulung dan tingkat kepandaian mereka masih di bawah tingkat Ni Dedeh Sawitri, namun karena di situ ada Gagak Wulung, maka dikeroyok tiga orang, Ni Dedeh menjadi terdesak hebat dan lengan kirinya sudah tergores keris dari tangan Bango Dolog, sehingga berdarah.
Ia marah sekali dan mempercepat gerakannya sehingga Bango Dolog dan Ki Prutung menjadi gentar juga. Mereka sudah mendengar akan kehebatan Aji Sarpakenaka yang amat beracun itu, dan wanita itu memiliki gerakan silat yang amat cepat dan indah. Mereka mengepung dari jarak aman dan mengandalkan keris mereka yang kadang-kadang menghunjam dengan cepat selagi wanita itu sibuk menahan desakan Gagak Wulung.
Selagi wanita itu terdesak hebat tiba-tiba terdengar suara yang parau, lantang dan kasar. Sungguh tidak tahu malu. Para jagoan dan Senopati Kediri mengeroyok seorang perempuan. Huh, menyebalkan sekali"
Gagak Wulung, Bango Dolog, dan Ki Prutung cepat meloncat ke belakang dan memandang, Mereka melihat seorang laki-laki yang usianya sudah limapuluh tahun lebih, berpakaian serba hitam dengan dada terbuka sehingga nampak dadanya yang bidang dan kuat juga berbulu, mukanya penuh brewok, matanya lebar jelalatan dan mengeluarkan sinar mencorong. Perutnya agak gendut, akan tetapi tulang-tulang besar menonjol di pundak lengannya. Terkejutlah para jagoan Kediri ketika mengenai orang ini.
Sementara itu, Ni Dedeh Sawitri yang melihat kesempatan baik, sudah melompat menghilang di balik pohon-pohon lebat. Ia tahu bahwa keadaannya amat berbahaya jika lebih lama tinggal di tempat itu. Ia tidak mengenal siapa orang brewok yang menegur jagoan Kediri itu, akan tetapi mendengar nada suaranya, agaknya orang itupun kenal baik kepada mereka, sehingga belum tentu kalau kedatangannya merupakan bintang penolongnya. Kini, ia telah dimusuhi Gagak Wulung dan para senopati Kediri, tentu saja ia merasa tidak aman dan sebaiknyalah kalau ia cepat-cepat meninggalkan mereka.
"Ah, kiranya Ki Jembros yang datang" berkata Gagak Wulung sambil memandang dengan sikap hormat, Bagaimanapun juga, senopati Kediri ini menaruh hormat ke Ki Jembros karena mereka tahu bahwa Ki Jembros adalah seorang pendekar dan tokoh di Singosari yang jujur dan terbuka, akan tetapi juga gagah perkasa, seorang patriot walaupun Ki Jembros tidak pernah mengikat diri dengan suatu jabatan atau kedudukan tertentu. Dia seorang yang suka berkelana dengan bebas, tidak mau terikat, akan tetapi selalu siap untuk membantu negara dan bangsa setiap kali terdapat ancaman keselamatan negara dan bangsa. Karena sikapnya inilah, maka Ki Jembros dihormati dan disegani oleh semua orang, termasuk para tokoh Kediri. Orang semacam Ki Jembros sama sekali tidak boleh dibuat main-main, dan orang inipun sakti mandraguna.
Melelihat Gagak Wulung, Ki Jembros berdehem dan alisnya berkerut. Dia tahu pria macam apa adanya tokoh Kediri yang satu ini, dan kini diapun merasa heran mengapa para senopati Kediri berada di dalam hutan Cempiring ini. Pada hal, dia sedang melakukan penyelidikan ketika mendengar berita betapa banyak tokoh sesat memasuki hutan yang amat angker itu.
Semenjak berpisah dari Panembahan Sidik Danasura di Teluk Prigi Segoro Wedi dan mendapat nasihat kakek yang sakti dan suci itu, Ki Jembros tidak pernah berusaha untuk Mencari Wulansan. Dia kembali ke daerah Singosari dan hidup seperti dahulu, menjadi perantau yang hidup tak tentu tempat tinggalnya, ke manapun dia pergi, dia selalu siap untuk menentang kejahatan, membela kebenaran dan keadilan sebagai seorang ksatria utama.
Dan dia membenarkan wawasan Panembn Sidik Danasura bahwa semenjak terjadi perubahan di dalam susunan pamongpraja Kerajaan Singosari, dan semenjak pasukan besar diberangkatkan menuju ke Pamelayu, banyak terjadi kejahatan yang dilakukan oleh tokoh sesat yang seolah-olah mempergunakan kesempatan itu untuk berpesta pora, Oleh karena itu, dengan segenap kemampuannya, iapun selalu menentang perbuatan jahat dan menentang siapa saja yang berani berbuat jahat di depan hidungnya.
Sampai pada hari itu dia mendengar bahwa banyak tokoh sesat kelihatan berkeliaran di sekifar hutan Cempiring yang terkena angker. Dia hanya iseng-iseng pergi ke hutan itu, memasuki hutan, dan melihat seorang wanita dikeroyok oleh jagoan-jagoan Kediri. Walaupun dia tidak mengenal wanita itu, tetapi dari sikap wanita itu, apa lagi dari ajiannya yang ganas itu dia tidak yakin bahwa wanita itu seorang yang baik-baik, namun jiwa ksatrianya bangkit melihat betapa seorang wanita dikeroyok tiga, apalagi para pengeroyoknya adalah jagoan-jagoan yang berilmu tinggi. Maka diapun lalu maju menegur dan memberi kesempatan kepada wanita itu untuk nyelamatkan diri.
"Hemmm, aku melihat Gagak Wulung, Bango Dolog, Ki Prutung, hemmm........ ada apakah kiranya para senopati Kediri berkumpul di dalam hutan Cempiring ini" Pada hal menurut pendengaranku, tempat ini dipenuhi tokoh sesat yang berkeliaran. Sejak kapankah para senopati Kediri bergaul dengan para tokoh sesat?" Ucapan Ki Jembros yang terus terang ini, diam-diam mengejutkan mereka, apa lagi pada saat itu bermunculan Pencok Sahang, Liking Kangkung dan Ki Kampinis yang tadi nendengar bahwa para rekannya berkelahi melawan Ni Dedeh Sawitri.
"Wah-wah, kiranya bahkan lebih lengkap dan banyak lagi. Hanya Ki Patih dan Panglima Kebo Mundrang saja yang masih belum tampak. Kalau mereka ada, maka lengkaplah sudah para senopati Kediri berada di sini. Ada apakah ini?"
Tentu saja Gagak Wulung merasa khawatir sekali. Kalau sampai orang ini tahu bahwa mereka sebagai tokoh-tokoh Kerajaan Kediri mengadakan persekutuan dengan Mahesa Rangkah yang hendak memberontak, hal itu dapat membahayakan Kediri karena tentu Singosari tidak akan tinggai diam saja.
"Sesungguhnya, Ki Jembros, kami tidak nempunyai apa-apa yang perlu diherankan" kata Gagak Wulung "Terus terang saja, kamipun mendengar akan desas desus bahwa tempat ini dikunjungi banyak orang tokoh sesat, dan karena kami sedang mengadakan perjalanan dan melakukan pengejaran terhadap beberapa orang buronan dari Kediri dan lewat di sini, maka kamipun masuk ke hutan ini untuk melakukan penyelidikan. Dan tadi, seorang antara rekan kami, yaitu Raden Bangokuning yang muda dan belum berpengalaman, hampir saja dibunuh oleh wanita tadi. Kami turun tangan untuk membantunya. Tempat ini memang gawat dan berbahaya sekali dan kami tidak menemukan buronan kami di sini, oleh karena itu, kami sekarangpun hendak keluar saja dari tempat berbahaya ini. Hayo teman-teman, tidak perlu kita berlama lama di tempat ini" katanya kepada teman-teman yang sudah mengerti apa yang dimaksud oieh Gagak Wulung. Mereka lalu mengangguk dan pergi meninggalkan Ki Jembros.
Pertemuan Ki Jembros dengan para jagoan Kediri itulah yang membuat Kediri melepas tangan dan tidak secara langsung ikut membantu gerakan pemberontakan Mahesa Rangkah, karena mereka khawatir kalau-kalau diketahui oleh Kerajaan Singosari. Namun, usaha mereka itu oleh Adipati Jayakatwang sudah dianggap berhasil, karena bagaimanapun juga pemberontakan Mahesa Rangkah itu sesuai dengan rencana Kediri untuk membuat Singosari menjadi semakin lemah.
Setelah para jagoan Kediri itu pergi, Ki Jembros berdiri termenung seorang diri. memikirkan apa yang telah terjadi di tempat itu. Dia tidak tahu siapa wanita cantik yang dikeroyok para jagoan Kediri tadi, namun dia dapat menduga bahwa wanita itu tentulah seorang tokoh sesat pula, melihat cara ia berkelahi mempergunakan aji-aji yang curang dan kejam, ciri khas ilmu yang biasa dipergunakan dunia hitam. Kalau begitu tidaklah berita kosong saja yang ditemukannya dalam perjalanan bahwa hutan yang angker itu didatangi orang-orang sesat. Yang dia herankan adalah mengapa pula para jagoan Kediri berada di tempat ini. Akan tetapi, alasan mereka itu cukup kuat, dan melihat betapa mereka tadi berkelahi melawan seorang wanita dari golongan sesat, kecurigaannya terhadap orang orang Kediri itupun lenyap. Dia akan menyelidiki lebih dalam lagi dan melihat siapa siapa lagi yang akan ditemukan di tempat ini, dan apa yang sedang dilakukan oleh orang-orang dari dunia hitam itu.
Dia menyusup masuk lebih dalam dan tiba di Jereng bukit Gandamayit yang terkenal angker itu. Nampaklah olehnya sebuah pondok di puncak bukit dan ke sanalah dia melangkahkan kakinya.
Ketika tiba di depan pondojc, dia berhenti, bagaimanapun juga Ki Jembros masih memegang tatasusila dan dia tidak berani sembarangan masuk dan mengganggu tempat tinggal orang yang belum dikenalnya.
"Kulonuwun........." Serunya sambil memandang kearah daunt pintu pondok. yang tertutup. Suasana di sekelihngnya sunyi senyap, seolah-olah tiada seorangpun manusia di situ. Namun, dengan inderanya yang terlatih dan menjadi tajam dan peka, Ki Jembros dapat merasa bahwa dia tidak berada seorang diri saja tempat itu. Ada orang atau orang-orang yang tidak diketahui di mana dan siapa, namun tidak berjauhan dengan tempat itu, mungkin di luar atau di dalam pondok. Oleh karena itu diapun, tak pernah mengurangi kewaspadaan.
"Sampurasun......." Dia berteriak lagi, kini ia menambah kekuatan dalam suaranya sehingga gemanya sampai terdengar jauh dan tempat itu.
Tiba-tiba pintu pondok itu terbuka dan yang muncul adalah seorang kakek tua renta.
Ki Jembros memandang dengan tajam dan penuh perhatian. Dia merasa tercengang juga melihat bahwa yang mendiami pondok itu ternyata seorang kakek yang lebih pantas menjadi pertapa atau pendeta, sama sekali buka seperti seorang tokoh sesat. Kakek itu usianya tentu sudah tujuhpuluh tahunan, tubuhnya sedang dan masih tegap, seperti tubuh seorang anak muda. Berkumis dan berjenggot yang sudah banyak ubannya. Namun wajahnya berrseri-seri dan matanya bersinar penuh semangat dan berpakaian sederhana seperti petani.
"Kelihatannya seorang kakek petani biasa saja, atau seorang yang mengasingkan diri dari dunia ramai" Ki Jembros merasa heran sekali. Bagaimana mungkin, kakek tua renta seperti ini dapat berada tempat yang demikian tersohor karena angkernya hutan Cempiring di bukut Gandamayit itu.
Pendekar yang masih tanggung-tanggung ilmu kepandaiannya, tidak akan berani memasaki daerah ini.
Denga sikap waspada Ki Jembros melangkah mendekati kakek itu, karena dia yakin bahwa kakek ini tentulah bukan seorang sembarangan saja, walaupun nampaknya sederhana.
"Kulonuwun, paman. Bolehkah saya tanya, siapakah paman yang mendiami pondok di tempat seperti ini?"
Kakek itu mengerutkan alisnya, akan tetapi ia menandang dingin, lalu setelah beberapa saat kemudian, mereka saling pandang, dan kakek itupun menjawab, "Tidak sepatutnya seorang yang jauh lebih tua, lebih dahulu memperkenarkan diri kepada yang lebih muda. Kau sendiri siapa dan mengapa berkeliaran di tempat ini?"
Ki Jembros tersenyum, dia memang seorang yang biasa bersikap kasar, gembira dan tidak mau menggunakan banyak tata cara, walaupun tidak dapat dibilang kurang ajar. Batinnya bebas dan jiwanya petualang, walaupun condong menentang kejahatan dan membela kebenaran dan keadilan. jawaban ini menambah keyakinan hatinya bahwa kakek ini bukan orang sembarangan dan memiliki wibawa.
"Andika yang benar saya yang keliru, paman maafkan. Saya disebat Ki Jembros orang yang bebas tanpa ikatan, seorang pengelana dan peluatang yang hendak menikmati kehidupan di dunia ini"
Kakek itu kelihatan biasa saja, pandangan matanya masih dingin dan acuh, sealah-olah nama Ki Jembros yang dapat menggetarkan hati tokoh-tokoh dunia sesat, biginya tak ubahnya hanya nama seorang anak kecil saja.
"Hemm, Ki Jembros, kau pagi ini mendatangi gubuk reyot tempat tinggalku ada keperluan apakah" Aku, Ki Buyut Pranamaya, tidak pernah mempunyai urusan dengan Ki Jembros"
Kini giliran Ki Jembros yang mendengar nama kakek itu dan dia terbelalak. Tentu saja dia pernah mendengar nama Ki Buyut Pranamaya. Seorang kakek sakti mandraguna, yang menjadi semacam datuk besar di kalangaan kaum sesat, akan tetapi bagaimanapun juga, kakek sakti ini tidak pernah langsung terlibat di dalam perbuatan kejahatan, sehingga para pendekarpun tidak dapat menentangnya, bahkan menghormatinya sebagai seorang yang memiliki dudukan tinggi di dalam dunia persilatan. Ki Jembros pun cepat memberi hormat dengan menyembahkan kedua tangan depan dada sambil membungkukkan tubuhnya sedikit.
"Ah, kiranya saya berhadapan dengan Ki Buyut Pranamaya yang namanya sudah banyak saya dengar. Maafkan saya kalau kedatangan saya mengganggu, paman. Akan tetapi saya tidak bermaksud mengganggu andika, juga tidak bermaksud datang berkunjung. Saya hanya mendengar bahwa banyak keanehan terjadi di dalam hutan Cempiring yang angker ini, Tidak tahunya pamanlah yang membuat hutan ini menjadi angker. Pantas"
"Hemm, andika telah lancang memasuki daerah orang tanpa perkenan, juga tidak diundang. Setelah kini mengetahui aku yang tinggal di sini, lalu andika mau apa apa?" Di dalm suara yang halus itu terkandung tantangan yang mengejutkan hati Ki Jembros, tidak layak seorang kakek yang tua renta ini seperti ini berbicara seperti itu dengan nada permusuhan.
Tentu saja Ki Jembros bukan seorang bodoh. Sudah terlalu banyak mendengar tentang kakek ini, dan iapun makum. bahwa kakek ini bukanlah lawannya.
"Sudah aku minta maaf tadi karena tidak tahu. Dan setelah mengetahui bahwa paman yang tinggal di sini, sayapun ingin keluar lagi saja dari hutan ini. Selamat tinggal paman Ki Buyut Pranamaya" sambil memberi hormat lalu membalikkan tubuhnya. Hatinya berdebar-debar keras penuh ketegangan. Sudah banyak ia mendengar tentang kakek ini yang selain amat sakti, juga watak kakek ini mudah membunuh orang yang dianggapnya salah. Ia dapat membunuh seperti orang membunuh nyamuk, akan tetapi juga dapat bersikap baik terhadap siapa saja, dengan kebaikan yang berlebihan.
Watak seorang aneh seperti ini tdiak dapat diduga lebih dahulu. Betapapan juga Ki jembros sudah siap siaga, kalau perlu membela diri terhadap hal-hal yang datang menimpanya.
Akan tetapi Ki Jembros tidak mengalami sesuatu sampai ia tiba di tikungan dimana terdapat dua pohon cemara di kanan dan kiri jalan. Hati Ki Jembros terasa lega.
Akan tetapi ketika ia hendak berbelok, tiba-tiba terasa ada angin menyambar dari belakang.
"Krakkk. Krakkk ...." Dua batang pohon cemara yang besarnya seperti tubuh manusia itu seperti disambar petir dan tumbang.
Ki Jembros cepat meloncat untuk menghindarkan diri terpaan dua batang pohon cemara itu. Dengan kaget sekali Ki Jembros membalik dan melihat kakek itu masih berdiri dengan mata mencorong.
"Lain kali, kalau berani andika melanggar daerahku, bukan batang pohon itu yang tumbang" terdengar kakek itu berkata, suaranya dingin dan mengandung sindiran yang terasa sekali oleh Ki Jembros.
"Terima kasih atas peringatan paman" berkata Ki Jembros, diam-diam terkejut dan kagum. Yakinlah Ki Jembros, bahwa ia bukanlah tandingan kakek itu yang ternyata memiliki ilmu kepandaian yang amat luar biasa. Maka, diapun melanjutkan perjalanannya, menyusup diantara pohon-pohon dan semak semak belukar dan keluar dari hutan Cempiring yang angker itu.
Akan tetapi karena hatinya diliputi kecemasan dan kegelisahan, maka Ki Jembros pun salah jalan.
Ketika Ki Jembros sedang menyelusuri jalan keliar, tiba-tiba telinganya yang berpendengaran tajam dan terlatih itu, mendengar suara orang dari arah kiri. Segera dia menyelusuri suara itu. Tak lama kemudian Ki Jembros sudah mendekam di dalam semak belukar untuk mengintai sebuah padang rumput di mana dia melihat kumpulan ratusan orang yang bersenjata tongkat dan golok. Ada yang sedang mengasah golok, membetulkan tombak, ada yang berlatih silat. Jelas di situ berkumpul gerombolan yang merupakan pasukan yang sedang beristirahat, agaknya baru habis berlatih.
Ki Jembros mengintai dengan hati-hati tanpa berani bergerak, bahkan ia menahan pernapasannya. Dia tahu bahwa kalau sampai ketahuan, tentu akan gawat. Tak lama kemudian, orang-orang itu memandang kearah yang berlawanan dan muncullah seorang laki-laki tinggi besar berkulit hitam yang gagah perkasa, usianya kurang lebih empatpuluh tahun. Melihat orang ini, Ki Jembros mengerutkan alisnya. Dia merasa kenal dengan orang ini, atau setidaknya pernah melihatnya, akan tetapi dia lupa lagi di mana dan siapa. Akhirnya, orang itu tiba di tengah pasukan yang sedang beristirahat itu dan terdengar suaranya yang lantang berwibawa.
"Kalian tidak boleh enak-enakan saja. Kita telah bersikap kurang waspada. Mulai hari ini, hutan Cempiring harus kita jaga dan kita kepung ketat dengan penjagaan agar setiap orang yang memasuki hutan sudah kita lihat sebelum dia berhasil memasukinya. Kalian para perwira harus membuat peraturan agar penjagaan dapat dilakukan terus menerus siang malam secara bergiliran"
"Akan tetapi, Gusti Pangeran Mahesa Rangkahkah, siapakah orang yang akan berani memasuki hutan kita ini" Bukankah Cempiring sudah tersohor sebagai hutan maut, hutan angker dan siapa masuk tentu takkan mampu keluar dalam keadaan hidup?"
Ki Jembros terkejut. "Tentu saja" pikirnya. "Mahesa Rangkah. Dan disebut Gusti Pangeran. Memang tidak salah. Mahesa Rangkah adalah putera pemberontak Linggapati di Mahibit, yang pemberontakannya dibasmi oleh mendiang Sang Prabu Wisnuwardhana, ayah Sang Prabu Kertanagara yang sekarang ini. Ah, tentu putera pemberontak itu kini hendak membalaskan kematian dan kekalahan ayahnya, dan hendak mengadakan pemberontakan pula terhadap Singosari. Dan apakah ia hendak bersekutu dengan para tokoh sesat" Lalu apa pula artinya tempat tinggal Ki Buyut Pranamaya yang dipilih?"
Sepengetahuan Ki Jembros, belum pernah Ki Buyut Pranamaya terlibat dalam urusan pemberontakan. Dan agaknya para jagoan Kediri itu berkeliaran di tempa inipun ada hubungannya dengan pemberontakan ini. Ataukah kebetulan saja karena mereka mencari dan mengejar buronan seperti yang mereka ceritakan kepadanya" Buktinya, mereki berselisih dan berkelahi melawan seorang wanita dari golongan sesat, Dia harus berhati-hati menyelidiki hal ini, demikian Ki Jembros berpikir dengan hati berdebar penuh ketegangan.
Agaknya kedatangannya berjumpa dengan Ki Buyut Pranamaya tadi telah diketahui Mahesa Rangkah yang menjadi marah dan kini Mahesa Rangkah memerintahkan anak buahnya untuk melakukan penjagaan ketat agar tidak ada orang luar dapat sembarangan masuk ke hutan itu. Maka, diapun cepat-cepat dan dengan sangat hati-hati, mengundurkan diri, menjauhi tempat itu dan keluar dari dalam hutan sebelum hutan itu dikepung penjagaan ketat sehingga dia akan sukar keluar dari situ.
Setelah keluar dari hutan Cempiring dengan selamat, Ki Jembros cepat melanjutkan perjalanannya menuju ke Singosari. Dia harus segera melaporkan keadaan hutan Cempiring itu ke kota raja, ke istana Sang Prabu, karena jelas bahwa kerajaan terancam pemberontakan yang dapat membahayakan, apa lagi kalau pemberontakan itu didukung oleh dunia hitam di mana terdapat banyak sekali tokoh-tokoh sesat yang sakti. Apa lagi kalau sampai Ki Buyut Pranamaya membantu gerakan pemberontak.
Ingatan ini membuat Ki Jembros tersentak kaget. "Bagaimana dia harus bertindak" Kepada siapa dia harus melapor" Apakah langsung kepada Sribaginda" Tidak mungkin" dan pula dia dak pernah langsung mengadakan kontak dengan kerajaan. Para senopati muda itupun tidak dikenalnya secara pribadi dan kini ia tahu bahwa di kerajaan sedang terjadi perpecahan seperti yang dibicarakannya dengan Sang Panembahan Sidik Danasura. Dia sudah mengenal bekas patih Empu Raganata, akan tetapi Empu Raganata kini telah diturunkan pangkatnya menjadi seorang jaksa di Tumapel. juga Tumenggung Wirakreti, yang pernah menjadi sahabatnya, kini menjadi Mantri Angabaya, termasuk seorang yang diturunkan pangkatnya dan tentu tidak enak membicarakan urusan pemberontakan itu dengan mereka yang baru saja mengalami kepahitan dari keputusan Sang baginda. Dia belum mengenai kedua patih baru yang diangkat Sang Prabu, yaitu Patih Mahesa Anengah dan Panji Angragani. Kemudian iapun teringat akan Empu Supamandrangi, seorang empu pembuat keris yang ahli, juga seora pertapa yang sakti di lereng Gunung Bromo seorang sahabatnya. Empu Supamandrangi dikenalnya denan baik, dan pertapa itulah yang memiliki hubungan lebih dekat dengan para senopati di Singosari, dibandingkan dia. Pula kiranya hanya Empu Supamandrangi sajalah yang akan mampu membendung kekuatan dahsyat dari Ki Buyut Pranamaya, kalau benar Ki Buyut Pranamaya menunjang pemberontakan. ia sendiri tidak dapat menanggulangi kedigdayaan kakek tua renta itu. Tidak ada jalan lain, satu-satunya cara untuk menghubungi pihak kerajaan adalah melalui Empu Supamandrangi.
Berpikir demikian, Ki Jembros lalu membelok dan langsung dia melakukan perjalanan cepatnya menuju ke Gunung Bromo di mana sahabatnya, Empu Supamandrangi bertapa sebagai seorang empu pembuat keris sakti. Dia tahu bahwa empu ini mempunyai hubungan dekat dengan para senopati di Singosari, karena seorang murid dari empu itu, ialah Ronggolawe yang terkenal sebagai seorang senopati muda yang gagah perkasa dan setia, kini merupakan tokoh diantara para senopati di Singosari, dan tentu lebih mudah bagi Empu Supamandrangi untuk menghubungi kerajaan lewat nuridnya, Ronggolawe yang menjadi seorang tokoh senopati di Singosari. Pula, dengan bantuan Empu Supamandrangi, maka dapat diharapkan mereka akan mampu menanggulangi kedigdayaan Ki Buyut Pranamaya.
Dengan perjalanan cepat, akhirnya Ki jembros tiba di lereng Gunung Bromo dan menuju ke padepokan tempat bertapa Empu Supamandrangi.
Ketika Ki Jembros tiba di Gunung Bromo, kebetulan sekali Ronggolawe pun sedang pulang dan menghaddp gurunya. Ronggolawe adalah seorang senopati muda di Singosari yang menjadi murid Empu Supamandrangi. Usianya baru duapuluh tahun, namun dia sudah memberikan banyak jasa terhadap kerajaan sehingga ia diangkat menjadi seorang senopati muda. Kedatangannya adalah untuk minta dibuatkan sebuah keris pusaka kepada gurunya, dan Empu Supamandrangi menyanggupi permintaan muridnya itu.
Baru tiga hari Ronggolawe berada di padepokan gurunya dan hari itu dia berniat hendak kembali ke Singosari, ketika tiba-tiba saja Ki Jembros muncul.
"Kulonuwun, Kakang Empu Supamandrangi. Bagaimana kabarnya" Apakah baik- baik saja bukan?" berkata Ki Jembros sambil masuk dan tertawa, Ia sangat gembira bertemu dengan orang yang pernah menjadi sahabat baiknya di muda dahulu.
"Jagad Dewa Bathara......... Kiranya Ki Jembros yang datang. Ah, sungguh andika masih seperti Sang Bayu, bertiup kemana kau suka, datang tanpa diundang pergi tanpa diusir. Adikku yang gagah perkasa, berita apa kiranya yang kautiupkan ke sini pada hari ini. Mudah-mudahan yang baik-baik dan menyenangkan saja"
"Ha-ha-ha, Kakang Empu, itulah harapan kita semua, selalu mengharapkan yang baik-baik. akan tetapi susahnya, kenyataan tidaklah selalu seindah harapan, sehingga kekecewaan itulah. yang menjadi bigian orang-orang yang mengharap. Ha ha-ha"
Empu Supamandrangi juga tertawa. Kakek yang berusia sebaya dengan Ki Jembros sekitar limapuluh tahun itu, sikapnya nalus, tidak seperti Ki Jembros, namun pertemuan dengan sahabat baiknya ini membuat dia menjadi gembira juga, karena Ki Jembros adalah seorang polos yang selalu mendatangkan kegembiraan bagi para sahabatnya.
"Sebagai manusia biasa, kita tidak terbebas dari harapan baik, sahabatku. Akan tetapi aku selalu siap pula untuk menerima berita yang seburuk-buruknya. Nah, ceritakanlah berita itu"
Ki Jembros memandang kepada pemuda gagah seperti Sang Gatotkaca yang duduk di lantai dengan sikap hormat, lalu dia bertanya, "Nanti dulu, Kakang Empu. Siapakah ananda ini?"
Mendengar pertanyaan tamu gurunya yang nampak demikian akrab dengan gurunya itu, "Ronggolawe cepat menjawab dengan sikap hormat, Paman Jembros, sudah lama bapak Empu Supamandrangi seringkali bercerita tentang paman yang gagah perkasa, saya bernama Ronggolawe, paman"
"Dia ini muridku dan dia adalah seorang senopati dari Singosari, Adi Jembros" Empu Supamandrangi menambahkan.
"Oumm........ shanti-shanti-shanti.." Ki Jembros mengeluarkan suara pujian. "Kiranya Sang Hyang Widhi sendiri yang menuntun diriku ini untuk datang ke sini tepat waktunya. Memang berita yang kubawa ini ada hubungannya dengan kerajaan, maksudku, hubungannya dengan keselamatan Kerajaan Singosari, maka kehadiran muridmu ini sungguh kebetulan sekali, kakang"
"Begitukah" Kamipun sejak kemarin membicarakan keadaan kerajaan, atau lebih tepatnya, muridku ini yang bercerita tentang keadaan kerajaan. Berita apakah yang kau bawa, cepat ceritakan"
"Harap paman suka segera memberitahu, karena hati saya ikut merasa gelisah mendengar adanya berita buruk mengenai keselamatan kerajaan, paman." berkata Ronggolawe.
Ki Jembros lalu menceritakan semua yang dialaminya di hutan Cempiring, betapa melihat para senopati Kediri berkelahi dengan seorang wanita yang dia yakin tentu seorang tokoh sesat, karena sebelumnya ia mendengar betapa banyak tokoh sesat berkeliara di dalam hutan itu"
"Para senopati itu memberitahu bahwa mereka mencari seorang buronan dan mereka seegera pergi dari sana. Kemudian, aku bertemu dengan Ki Biyut Pranamaya di Bukit Gandamayit dalam hutan itu."
"Jagad Dewa Batara......." Empu Supamandrangi berseru halus. "Ki Buyut Pranamaya" telah lama dia tidak pernah muncul di dunia ramai"
"Akupun terkejut sekali bertemu dengannya dan karena aku telah melanggar daerahnya, ia memperlihatkan kedigdayaannya dan mengancam akan membunuhku, kalau aku melakukannya lagi" lalu Ki Jembros menceritakan semua terjadi di hutan itu, kemudian disambungnya dengan penemuannya yang mengejutkan, yaitu ketika ia melihat Mahesa Rangkah yang memimpin ratusan orang anak buah yang agaknya sedang melatih di dalam hutan itu.
"Ah, kalau begitu, jelas sudah bahwa Mahesa Rangkah tentu ingin melakukan pemberontakan" berkata Empu Supamandrangi terkejut.
"Bapak Empu, siapakah Mahesa Rangkah itu sebenarnya?" bertanya Ronggolawe kepada gurunya.
"Dia adalah putera Pemberontak Linggapati yang tewas ditumpas oleh mendiang Sang Prabu Wisnuwardhana. Peristiwa itu terjadi ketika kau masih kecil, muridku. Akan tetapi, cerita yang dibawa pamanmu ini memang sangat penting dan berbahaya bagi keamanan kerajaan. Apa lagi kalau benar bahwa dia bersekutu dengan kaum sesat dan didukung oleh seorang yang demikian saktinya seperti Ki Buyut Pranamaya"
"Siapakah Ki Buyut Pranamaya?" bertanya lagi Ronggolawe.
Gurunya menarik napas panjang. "Ia adalah seorang tua yang memiliki kedigdayaan yang sangat sakti mandraguna dan sukar dilawan. Kau mendengar sendiri tadi betapa dari jarak yang jauh, dia mampu menumbangkan dua batang pohon cemara, pada hal kau boleh yakin bahwa pamanmu Ki Jembros ini bukanlah seorang sembarangan saja . Sudah menjadi kewajibanmu untuk segera pulang ke Singosari, dan merundingkan dengan para senopati lainnya. Terserah kepada kalian apakah akan melapor kepada Sang Prabu. ataukah akan melakukan penyelidikan terlebih dahulu"
"Baik, Bapak Empu. Saya harus cepat kembali ke Singosari" berkata Ronggolawe "tetapi kalau benar Ki Buyut Pranamaya itu demikian saktinya, kalau sampai saatnya penyerbuan tiba, saya mohon petunjuk"
Gurunya mengangguk. "Memang benar kalau sampai dia mendukung serangan pemberontak, kitapun harus mengerahkan tenaga para tokoh sakti seperti pamanmu Ki Jembros ini dan juga yang lain-lain. Aku tentu siap membantumu, angger. Dan aku akan mencari bantuan kawan-kawan"
Ronggolawe menghaturkan terima kasih, lalu berpamit dari kepada kedua orang tua itu yang agaknya masih hendak melepas kerinduan masing-masing dan bercakap-cakap sampai sehari semalam lamanya.
Sesampai di Singosari, Ronggolawe sang senopati muda yang masih penuh semangat, memberitahukan kepada rekan-rekannya dan merekapun mengadakan penyelidikan sebelum melapor kepada Sang Prabu Kertanagara. Akan tetapi, ketika mereka mengadakan penelitian ke dalam hutan Cempiring di bukit Gandamayit, mereka tidak menemukan apa-apa. Tempat itu sudah kosong dan orang-orang itu sudah pergi meninggalkan sarang mereka. Kiranya, para senopati dari Kediri yang merasa tidak aman dengan kemunculan Ki Jembros, diam-diam mengadakan kontak dengan Mahesa Rangkah. Pemberontak ini cepat munghubungi para sekutunya dan merekapun segera meninggalkan hutan itu dan berganti sarang di daerah Kediri. Di daerah baru ini mereka aman karena pihak Singosari tidak melakukan pencarian sampai daerah itu. Dan Kerajaan Kediri pura-pura tidak tahu saja dengan adanya persekutuan dengan golongan hitam yang sedang bersekongkol untuk memberontak kepada Singosari. Di tempat baru ini, Mahesa Rangkah dengan leluasa menghubungi rekan-rekannya untuk mengadakan laltihan, memperkuat pasukannya dan mempersiapkan pemberontakan sampai beberapa tahun lamanya.
Tentu saja Ronggolawe dan kawan-kawanya tidak dapat berbuat sesuatu setelah melakukan penyelidikan ke hutan Cempiring dan melihat bahwa tempat itu sudah kosong. Betapapun juga, mereka merasa lega karena menganggap bahwa para tokoh sesat itu sudah hancur sebelum berdiri tidak jadi melakukan pemberontakan. Mereka sama sakali tidak menduga bahwa rombongan itu sekarang sudah berpindah tempat, bahkan di tempat yang baru, mereka mendapat perlindungan dari pemerintah Kediri.
Dan Karena adanya perpindahan ini, dan karena sudah ketahuan oleh Ki Jembros, maka gerakan pemberontakan yang dilakukan Mahesa Rangkah menjadi mundur. Mereka lebih berhati-hati dan kini mereka menyusun kekuatan di dalam pemerintahan daerah Kediri, dan siap untuk menggempur Singosari kalau saatnya yang dianggap baik sudah tiba.
Raja Jayakatwang pura-pura tidak tahu akan adanya gerombolan yang ada di daerahnya itu, bahkan para senopatinya diam-diam membantu kegiatan itu, karena bagaimanapun juga, pemberontakan itu dapat semakin melemahkan kedudukan Singosari. Walaupun Prabu Kertanagara bersikap baik kepadanya, memperbolehkan ia berdaulat sebagai raja di Kediri, namun ia masih harus tunduk kepada Singosari sebagai sebagai negeri taklukan. Walaupun ia dijadikan besan oleh Prabu Kertanagara, ia tetap saja harus tunduk kepada besannya itu.
*** Waktu berjalan bagaikan anak panah terlepas dari busur yang dipentang tangan sakti. Cepat dan tak terasa. Empat tahun telah lewat sejak Nurseta menjadi murid Panembahan Sidik Danasura di Teluk Prigi, pantai Laut Kidul.
Selama empat tahun itu dia telah digembleng dengan bermacam ilmu silat dan aji kedigdayaan, Nurseta juga digembleng oleh kakek yang bijaksana itu untuk mengerti akan arti kehidupan.
"Nurseta, kini tiba saatnya kau meninggalkan tempat ini dan membaktikan dirimu untuk tanah air di mana kau dilahirkan, demi bangsamu di mana kau menjadi warganya. Barulah akan ada artinya selama bertahun tahun kau bersusah payah mempelajari segala sesuatu yang kini telah kau miliki Sampurnaning ilmu kanthi laku (sempurnanya ilmu disertai pelaksanaan), karena tanpa pelaksanaan dan penghayatan, apa artinya ilmu. Dan pelaksanaan ilmu sepatutnyalah bermanfaat bagi orang lain dan bagi diri sendiri seyogianya bagi masyarakat, bagi bangsa. Sejak kecil kau digembleng untuk berjiwa satria, Nurseta. Oleh karena itu, jadilah seorang satria yang baik, seorang hamba yang membela kebenaran dan keadilan, membela tanah air dan bangsa, demi manusia pada umumnya"
Demikianlah antara lain bekal yang diterimanya dari, Panembahan Sidik Danasura ketika dia diharuskan meninggalkan tempat penggemblengan di pantai laut itu.
Pada pagi hari yang cerah itu, setelah bersembah sujud dan menghaturkan terima kasih di depan kaki kakek sakti yang sudah tua renta itu, Nuiscia lalu melakukan perjalanan, menuju ke utara meninggalkan daerah pantai. Semua wejangan yang diterimanya dari kakek itu diingatnya dengan baik, akan tetapi di dalam lubuk hatinya, dia memang sudah menerima gemblengan ayahnya sendiri bahwa dia haruslah menjadi seorang satria yang membela tanah air dan bangsa, yang harus mempertahankan tanah air dengan keringat dan darahnya. Sejengkal tanah sepercik darah. Demikianlah ayahnya selalu mengobarkan semangatnya. Dia harus mempertahankan tumpah darahnya, tanah di mana darah ibunya tertumpah ketika dia dilahirkan, mempertahankan kehidupan dan ketentraman hidup bangsanya dari gangguan orang-orang jahat yang hanya mementingkan diri pribadi tanpa memperdulikan keadaan orang-orang lain.
Nurseta kini telah menjadi seorang pemuda dewasa yang usianya duapuluh tahun. Wajahnya nampak matang tampan, kumis tipis mulai menghias bawah hidungnya, juga cambangnya di depan telinga mulai menebal dan memanjang. Namun sikapnya tetap halus dan pendiam, pakaiannya tetap sederhana seperti pakaian seorang pemuda petani. Dilihat sepintas lalu, tidak akan ada yang mengira bahwa dia seorang pemuda gemblengan yang memiliki kesaktian yang sukar dicari tandingannya.
Dari ayahnya dia sudah menerima gemblengan aji-aji kesaktian, selain ilmu silat, juga Aji Sari Pratala (Inti Bumi), pukulan Aji Bajradenta (Kilatan Gading) dan Aji Wandira Kingkin (Beringin Kokoh). Dari Panembahan Sidik Dinasura, selain menerima penyempurnaan ilmu-ilmunya yang sudah ada, memperkuat tenaga sakti dalam tubuhnya, juga pemuda ini menerima semacam ilmu yang merupakan aji kesaktian bernama Jagad Pralaya (Dunia Kiamat). Kakek itu memesan dengan sungguh-sungguh kepada muridnya ini agar kalau tidak terpaksa sekali, jangan meggeluarkan Aji Jagad Pralaya ini, karena aji pukulan ini akan memiliki daya yang teramal kuat dan akan mengakhiri kehidupan lawan. seolah-olah pukulan itu merupakan dunia kiamat bagi lawan.
Beberapa hari kemudian, setelah melakukan perjalanan melewati beberapa buah dusun, Nurseta mendengar dari para penduduk yang tinggat di wilayah Kerajaan Kediri itu bahwa kini terjadi banyak kekacauan, baik di daerah Kerajaan Kediri maupun di daerah Kerajaan Singosari, Orang-orang yang melakukan perjalanan berdagang merasa tidak aman dan selalu harus disertai pengawalan ketat. Bahkan kehidupan para petani di dusun-dusunpun mengalami banyak gangguan dari penjabat-penjahat kecil yang berani merajalela di pedusunan karena agaknya wibawa dan kota raja banyak menurun sehingga para pamongpraja di pedusunan juga merasa lemah.
Nurseta merasa prihatin, ia membenarkan gurunya yang menyuruhnya keluar dari tempat penggemblengan, karena memang tenaga orang-orang seperti dia amat dibutuhkan demi membantu usaha penenteraman kehidupan rakyat yang terganggu oleh kejahatan golongan sesat, dan berjaga-jaga kalau sampai terjadi pemberontakan yang mengancam Kerajaan Singosari.
Pada suatu hari, tibalah dia di tepi Kali Campur. Kali ini merupakan anak Kali Brantas yang mengalir ke utara dan akan memasuki Kali Brantas setelah tiba di Karangrejo, di sebelah utara kota Tulungagung.
Nurseta berhenti di tepi sungai. "Ah, kalau saja ada perahu yang dapat ditumpangi, tentu akan lebih cepat dan tidak melelahkan melanjutkan perjalanan lewat air, menunggang perahu" pikirnya. Setelah tiba di Kali Brantas, dia akan melanjutkannya lagi dengan jalan darat. Pagi itu cerah dan indah, dan matahari sudah naik tinggi, menciptakan permukaan perak pada Sungai Campur itu.
Akan tetapi di situ sunyi tidak nampak seorangpun manusia, juga tidak kelihatan ada perahu. Nurseta lalu duduk di tepi sungai, diatas rumput tebal dia mengeluarkan buntalan sisa makanan pagi tadi. Singkong bakar.
Pagi tadi, dia mendapatkan beberapa batang singkong dari seorang petani dan membakarnya untuk sarapan, Sisanya ditaruh di buntalnya dan dibawanya dalam perjalana. Kini, perutnya terasa agak lapar dan diapun mengeluarkan singkong bakarnya dan makan dengan santai di tepi kali itu sambil menikmati semilir angin yang mendatangkan hawa sejuk, mendengarkan tembang riak angin yang diseling kicau burung di pohon-pohon. Burung Kutilang yang riang jenaka, bunyi burung prit gantil yang menyayat hati, semua itu mendatangkan perasaan damai di hati Nurseta.
Tiba-tiba dia melihat sebuah perahu menyeberang dari tepian seberang sana. Sebuah perahu kecil yang hanya ditumpangi seorang saja, seorang laki-laki muda yang dengan gaya yang kuat mendayung perahu itu menyeberang kali. Dari tempat dia duduk, dia melihat betapa laki-laki yang sebaya dengannya itu memiliki tubuh yang kuat dan cara dia mendayung menunjukkan bahwa selain bertenaga besar, juga pemuda itu tentu sudah biasa mendayung perahu. Tadinya Nurseta hendak memanggilnya untuk diminta apakah mau mengantar dia ke hilir, akan tetapi melihat betapa orang itu menyeberangkan perahu, dia tidak jadi memanggilnya. Biarlah dia menanti orang itu sampai seberang sini, pikirnya.
Akan tetapi, ketika perahu itu sudah tiba di darat, orang itu menarik perahunya dan mengikatkan tali perahu dengan sikap seperti orang marah-marah, bahkan kemudian orang itu melempar tubuhnya ke atas tanah berumput di bawah pohon di tepi sungai itu dan diapun menelungkup seperti orang menangis atau seorang anak kecil yang sedang ngambek.
Perlahan-lahan Nurseta menghampiri dan melihat pemuda itu memukul-mukul tanah dengan kedua tangannya, akan tetapi, tiba-tiba pemuda itu bangkit duduk, menggerakkan tangan kirinya dengan jari terbuka kearah pohon di sampingnya.
"Krakkk.." Batang pohon yang besarnya sepaha orang itu seketika patah dan tumbang dan mengeluarkan suara keras.
Diam-diam Nurseta terkejut. Ah, kiranya pemuda ini bukan orang sembarangan, ia memiliki tenaga yang cukup dahsyat sehingga sekali pukul dengan tangan miring, ia mampu menumbangkan batang pohon itu. Dugaannya bahwa pemuda itu seorang tukang perahu atau seorang nelayan ternyata keliru. Akan tetapi diapun merasa penasaran melihat betapa seorang pemuda yang demikian gagahnya, bersikap sedemikian cengeng. Dan kini pemuda itu duduk menyembunyikan mukanya di balik kedua telapak tangannya dan menangis.
Nurseta mengerutkan alisnya. Dia merasa penasaran sekali. Pemuda segagah ini menangis.
"Hemmm, sungguh aneh........." katanya perlahan sekali.
Ternyata suaranya yang halus itu terdengar oleh pemuda itu yang ternyata mempunyai telinga yang tajam dan terlatih.
Pemuda itu menurunkan kedua belah tangannya. Ketika ia melihat bahwa di dekat situ ada seorang pemuda yang berdiri memandangnya, dia terkejut sekali dan cepat mengusap mata yang membasahi kedua pipinya dan diapun meloncat berdiri menghadapi Nurseta.
Nurseta memandang penuh perhatian, seorang pemuda yang tegap dan gagah, tubuhnya membayangkan ketangkasan dan kekuatan. Mukanya persegi dan tampan, kulitnya agak hitam tetapi halus. Sepasang matanya tajam tidak membayangkan kekerasan, bahkan terlihat sifat ramah dan germbira. Tetapi sekarang ia terlihat marah.
"Siapakah andika, Ki Sanak?" bentak pemuda bermuka hitam itu. "Dan apa artinya ucapanmu tadi?"
Nurseta tersenyum ramah, akan tetapi pemuda itu tetap cemberut dan memandang marah.
"Maaf, sobat. Namaku Nurseta dan tadi aku melihat tanpa sengaja, betapa kau memukul roboh batang pohon itu, kemudian melihat pula andika menangis seperti seorang anak kecil yang cengeng. Bukankah itu amat aneh dan mengherankan" Karena itulah maka aku mengeluarkan kata-kata tadi tanpa aku sengaja"
Sepasang mata itu mengamati Nurseta dari kepala sampai ke kaki.
Nurseta balas memandang dengan tenang. Pemuda ini agaknya beberapa tahun lebih tua darinya, dan melihat pakaiannya yang ringkas, ia yakin bahwa pemuda ini tentu seorang yang biasa menghadapi kehidupan yang keras dan mengandalkan ketangkasan dan kekuatan. Walaupun pandangan matanya bukanlah pandang mata seorang yang jahat.
"Bocah lancang. Mau apa kau mencampri urusan orang lain" Hayo pergi dari sini, jangan kau ganggu aku lagi. Cepat, sebelum aku naik darah dan memukul mulutmu yang lancang itu"
Nurseta tetap tersenyum menerima bentakan itu. "Sayang sekali, andika adalah seorang pemuda yang gagah, akan tetapi cengeng dan lemah. Sebetulnya aku mempunyai dua kepentingan denganmu. Pertama, melihat keadaanmu, mungkin aku akan dapat membantumu untuk mengatasi masalah yang kau hadapi. Kedua aku membutuhkan perahumu dan aku ingin kau dapat membantuku pergi ke hilir dengan perahumu"
Pemuda itu menjadi semakin marah, kedua tangannya dikepal. "Apa kau bilang" Aku cengeng dan lemah, dan kau mampu membantuku mengatasi kesukaran ini" Hemm, bocah lancang dan sombong. Kepandaian apa yang kau miliki, beraninya kau bersikap sombong seperti itu?"
"Mungkin aku memiliki sesuatu yang tidak kau miliki, misalnya menundukkan orang yang membuatmu penasaran, bukan sekedar menumbangkan batang pohon yang tidak mampu melawan itu"
"Sepasang mata itu terbelalak. "Hemm, kau bocah petani sungguh sombong. Coba kau buktikan kekuatanmu itu. Kau sambutlah seranganku ini, kalau kau merasa memiliki sesuatu yang tidak aku miliki"
Pemuda itu langsung menerjang dengan tamparan tangan kanannya kearah pundak Nurseta.
Melihat gerakan yang cepat dan berat ini, Nurseta merasa lega, pukulannya membuktikan bahwa ia bukan seorang yang berhati jahat, pikirnya. Serangannya itupun bukan untuk mencelakainya, melainkan hanya untuk menguji saja, yang diserang adalah bagian pundaknya, sehingga andaikata dia tidak memiliki kepandaianpun, pukulan itu tidak akan membahayakan jiwanya. Maka iapun merasa semakin tertarik dan ada perasaan senang kepada pemuda yang bermuka hitam itu.
Nurseta hanya sedikit memiringkan badanya saja, dan ia sudah terhindar dari serangan pemuda itu.
"Bagus, agaknya kau memiliki sedikit kepandaian juga." katanya dan kini dia menggirim serangan lagi, lebih hebat dan cepat dari pada tadi, akan tetapi tetap saja dengan tenaga terbatas, dan yang diserangnya bukan bagian yang berbahaya. Tangan kirinya mencengkeram kearah baju dada, dan tangan kanannya menyambar untuk menangkap lengan kiri Nurseta.
Nurseta tidak mau berpura-pura lagi, diapun menggerakkan kedua lengannya menangkis kedua serangan pemuda itu sambil menyalurkan sedikit tenaganya.
Dua pasang lengan saling bertemu dan pemuda muka hitam itu menyeringai. Pertemuan kedua lengannya itu membuat pemuda itu merasa nyeri dan diapun kini terkejut. Dia adalah seorang diantara jagoan muda yang terkenal di pantai selatan, dan kini dia bertemu dengan seorang bocah petani, dalam pertemuan tenaga kedua lengan itu dia merasa nyeri dan pemuda tani itu masih juga tersenyum.
"Babo-babo. Kiranya kau seorang yang memiliki kesaktian juga. Baik, mari kita menguji tebalnya kulit kerasnya tulang" Dan kini pemuda muka hitam itu yang agaknya sudah tahu bahwa lawannya bukan orang lemah, maka ia maju dan menerjang dengan serangan serangan yang amat cepat dan mengandung tenaga yang kuat pula.
Diam-diam Nurseta kagum. Kalau saja empat tahun yang lalu, sebelum dia digembleng oleh Panembahan Sidi Danasura, tentu dia tidak akan mampu menandingi pemuda muka hitam ini. Bukan saja ilmu silatnya yang hebat, akan tetapi juga tenaga saktinya kuat dan kecepatannya cukup membuat dia merupakan lawan yang tangguh. Akan tetapi bagi Nurseta, setetah kini ia menerima gemblengan Panembahan Sidik Danasura, tingkat kepandaian si muka hitam ini masih terlalu rendah dan dia dapat mengikuti semua geraknnya dengan mudah.
Nurseta tidak mau membuang banyak waktu. Ketika si muka hitam menghantamkan kedua tangannya yang terkepal kearahnya, Iapun menerimanya dengan kedua tangan terbuka.
"Plak. Plakk" Kedua kepalan si muka hitam itu melekat pada telapak tangan Nurseta dan tidak dapat ditariknya kembali. Dia terbelalak dan terkejut sekali, cepat ia menendang dengan kaki kanannya. Akan tetapi Nurseta sudah siap menghadapi serangan ini. Nurseta hanya memiringkan tubuh ke kiri dan membiarkan kaki lawan itu meluncur lewat, lalu dia menggerakkan kakinya ke samping, tepat mengenai belakang lutut kaki kiri si muka hitam sambil mendorong kedua tangannya melepaskan kekuatan Sari Pratala yang tadi menyedot kepalan lawan.
Tak dapat dihindarkan lagi, tubuh si muka hitam itu terjengkang dan terbanting ke atas tanah. Dia mengeluarkan suara tertahan saking kagetnya dan bergulingan, tetapi ia cepat meloncat bangun lagi. Kini kedua matanya mengeluarkan sinar kagum dan terheran-heran ketika memandang kepada Nurseta.
"Andika........ siapakah andika.......?" tanyanya, penuh kagum akan tetapi juga kecurigaan karena sama sekali sukar baginya untuk dapat percaya, bahwa ada seorang pemuda petani yang dapat mengalahkannya di tempat sunyi ini.
Narseta tersenyum ramah. "Kisanak, namaku adalah Narseta dan aku seorang kelana yang secara kebetulan saja bertemu dengan andika di sini. Melihat andika memiliki sebuah perahu dan aku ingin sekali melakukan perjalanan an ke utara dengan perahu, maka tadinya aku ingin minta pertolonganmu. Akan tetapi melihat kau bersikap aneh, aku jadi tertarik dan?""
"Namaku Pragalbo dan memang sesunggunyalah, aku menghadapi suatu masalah yang tak dapat kuatasi. Akan tetapi, aku masih belum puas untuk mengujimu, Ki Sanak. Sebelum kita bicara lebih lanjut, sebelum aku mengeluarkan isi hatiku dan meminta bantuanmu kalau memang kau memiiliki kesaktian itu, aku ingin mencoba lagi. Supaya aku mendapatkan keyakinan"
Pemuda itu kemudian mencabut sebilah keris luk tujuh yang berwarna kelabu. "Harap andika suka mengeluarkan senjata atau pusakamu dan marilah kita melanjutkan adu kesaktian ini agar hatiku puas"
"Kakang Pragalbo, aku menyebutmu kakang, karena andika tentu lebih tua dari padaku. Aku tidak biasa mempergunakan senjata karena aku bukan seorang pembunuh. Kalau kau merasa lebih senang mempergunakan sebuah pusaka, nah, silakan, majulah, aku akan menghadipimu dengan tangan kosong saja"
Pragalbo membelalakkan kedua matanya Dia seorang jagoan pantai selatan yang disegani dan ditakuti, kini dia menanatang pemuda ini dengan kerisnya dan tantangan itu diterima oleh pemuda yang tak terkenal ini dengan melawannya bertangan kosong.
"Adimas Nurseta......" katanya agak lemah karena kini diapun dapat menduga bahwa orang yang tampan dan halus tutur sapanya ini hanya pakaiannya saja seperti petani, mungkin seorang priyayi (bangsawan) yang sedang menyamar sebagai seorang petani dan ternyata memiliki kesaktian yang hebat. "Aku hanya akan menguji, kalau benar andika mampu menandingiku yang berkeris ini dengan tangan kosong, maka aku akan taluk dan kalau andika sudi membantuku seperti yang andika katakan tadi, aku akan lebih bersukur dan berterima kasih lagi"
Nurseta tersenyum. Dia maklum bahwa muka hitam yang namanya Pragalbo ini bukan berniat hendak membunuhnya. Nurseta berkata "Aku selalu siap membantu siapa saja yang berada dalam kebenaran yang tertindas oleh kejahatan, kakang Pragalbo. Kalau kau ingin aku membantumu melakukan kejahatan, jangan harap aku akan membantumu, bahkan andika akan berhadapan denganku"
"Aku bukan penjabat, adimas. Nah, sambutlah seranganku" Kini Pragalbo, tanpa ragu-ragu lagi menerjang dengan kerisnya.
"Wuuuttt "......." Keris menyanbar dan nampak sinar kelabu berkilat kearah dada Nurseta. Namun, dengan gerakan lincah.
Nurseta memiringkan tubuhnya dan tusukan keris itupun mengenai tempat kosong. Namun keris itu membalik dan sudah menyambar dari arah berlawanan, sekali ini menyerang kearah leher degnan dibarengi dengan hantaman tangan kiri pada lambung Nurseta.
Serangan itu cukup hebat, akan tetapi Nurseta yang masih ingin memperpanjang pertandingan itu, sekali menggerakkan kedua tangannya, ia telah berhasil menangkap pergelangan tangan kiri lawan, dan dengan jari telunjuknya Nurseta menyentil pergelangan tangan kanan Pragalbo yang sedang memegang keris.
"Aduhh........" Pragalbo mengeluarkan seruan kaget dan kerisnya terlepas dari pegangan, juga tangan kirinya seperti lumpuh dicengkeram tangan kanan pemuda tampan yang sederhana itu.
Nurseta cepat melepaskan pegangannya, membungkuk dan mengambilkan keris itu dan menyerahkannya kepada Pragalbo sambil tersenyum.
"Sudah puaskah andika main-main, kakang Pragalbo?"
"Aduh adimas Nurseta, sungguh andika membuat aku kebingungan dan kagum. Seorang semuda seperti andika ini telah memiliki kedigdayaan seperti itu, sungguh membuat aku merasa kagum, tunduk dan takluk"
Nurseta menyerahkan keris dan tersenyum. Sudahlah kakang Pragalbo, mari kita duduk dan bicara baik-baik. Kuulangi lagi pertanyaanku yang tadi, mengapa seorang gagah perkasa seperti andika ini bersikap amat aneh, menangis dan marah-marah lalu memukul roboh batang pohon?"
Wajah hitam itu menjadi semakin hitam karena dia merasa malu. Akan tetapi biarpun kulit muka itu hitam, ternyata wajah itu tidak buruk, bahkan gagah dan manis.
Pragalbo menarik napas panjang "Aku harus merasa malu kepadamu, adimas Nurseta. Aku hanya menurutkan kemarahan hati saja, karena memang merasa penasaran sekali terhadap seorang yang tadinya paling dekat dengan aku. Akan tetapi dia mengkhianatiku dan merampas gadis yang membuatku tergila-gila"
Hampir saja Nurseta tertawa mendengar ucapan itu. "Ah, agaknya andika telah memperebutan seorang gadis dengan seorang lain yang tadinya paling dekar dengan andika" Apakah yang telah teriadi" Dan siapakah gerangan orang itu?"
-oo0dw0oo- Jilid 05 - Siluman Betina Dalam Goa
MEREKA berdua duduk di atas rumput, bersila dan dengan muka agak malu-malu Pragalbo lalu bercerita. Dia mempunyai Seorang sahabat baik yang juga menjadi kakak seperguruannya, bernama Padasgunung. Usia mereka sebaya, yaitu hampir duapuluh empat ahun dan Padasgunung yang menjadi kakak seperguruan itu hanya lebih tua beberapa bulan saja darinya. Kedua orang muda ini terkenal sebagai jagoan-jagoan di pantai selatan, bukan jagoan dalam arti yang jahat, melainkan menjadi pendekar-pendekar yang selalu menentang kejahatan dan juga mereka merupakan dua orang pemuda gagah perkasa yang selalu setia terhadap Kerajaan Singosari. namun kepandaian merekapun setingkat, hanya bedanya kalau Pragalbo memiliki sedikit kelebihan dibanding kakak seperguruannya dalam hal ilmu di dalam air karena dia amat suka berenang, maka sebaliknya Padasgunung memiliki kelebihan dibanding adik seperguruannya dalam ilmu pengobatan.
Pada suatu hari, ketika musim hujan turun dengan derasnya, dan seperti biasa air Sungai Campur banjir dan melanda beberapa buah dusun, kebetulan Pragalbo lewat di dusun yang dilanda banjir itu dan diapun berhasil menyelamatkan banyak orang yang kebanjiran. Dengan mengandalkan ilmunya bermain di dalam air, dia dapat menyelamatkan mereka yang terjebak oleh air. Akan tetapi, ketika dia menyelamatkan seorang gadis yang hitam manis dan melihat gadis itu terus menerus pingsan karena kepalanya terpukul batu ketika ia hanyut, Pragalbo menjadi bingung dan panik entah bagaimana, begitu melihat gadis itu, melihat wajahnya yang hitam manis, kulitnya yang hitam mulus, tubuhnya yang semampai dengan lekuk lengkuk yang mulai mekar meranum, dia sudah tergila-gila. Dan setelah bermacam usaha dilakukannya untuk membuat gadis itu siuman tidak berhasil, dia lalu menjadi gelisah dan dia melarikan gadis itu ke pondok kakak seperguruannya, Padasgunung.
"Tolonglah, kakang Padasgunung, tulunglah ia" Dengan tergopoh-gopoh Pragalbo yang memondong tubuh gadis itu menghadap kakak seperguruannya.
Padasgunung adalah seorang pemuda yang pendiam, berkulit kuning dan mukanya bulat telur, di pinggangnya terselip sebatang suling bambu. Sikapnya serius dan dia tersenyum tenang melihat kegugupan adik seperguruannya. "Ceritakanlah dulu di mana kau menjumpai gadis ini, siapa ia dan mengapa ia sampai begini" kata Padasgunung sambil memandang wajah gadis yang seperti tidur nyeyak di depannya itu.
Dengan singkat Pragalbo menceritakan bahwa gadis itu seorang di antara para korban banjir Kali Campur. "Melihat pelipis kirinya terluka, tentu ketika ia hanyut dan kepalanya terantuk sesuatu yang keras, kakang. Tolong sembuhkanlah ia, kakang" pinta sang adik seperguruan dengan suara memohon.
Padasgunung memandang wajah adiknya dengan senyum. Adik seperguruannya itu nampak lelah, dan agaknya juga kelaparan. Agaknya ketika menolong orang-orang itu, dia sampai lupa diri untuk makan dan menguras tenaganya.
"Jangan khawatir, kau berisitirahatlah dulu. Di dapur masih ada jagung godok dan air kendi. Makan minumlah dulu dan istirahatlah, serahkan gadis ini kepadaku"
Melihat sikap kakak seperguruannya yang tenang, hatinya menjadi tenang pula dan diapun segera pergi ke dapur, makan dan minum, tak lama kemudian dia sudah merebahkan tubuhnya yang amat lelah itu ke atas pembaringan dan pulaslah pendekar pantai Selatan itu.
Karena gadis itu perlu perawatan sungguh-sungguh, dan karena dia sendiri masih harus menolong orang-orang lain yang kebanjiran, Pragalbo meninggalkan gadis dalam perawatan kakak seperguruannya.
*** "Bayangkan saja, Adimas Nurseta," kata Pragalbo menutup ceritanya kepada Nurseta "Setelah seminggu kemudian aku kembali ke pondok kakak seperguruanku itu, gadis manis itu sudah hampir sembuh, akan tetapi masih lemah dan pikirannya masih belum pulih seluruhnya. Dan ia hanya teringat bahwa namanya adalah Sriyati. Akan tetapi celakanya, Kakang Padasgunung agaknya jatuh cinta kepada Sriyati"
Nurseta tersenyum. "Apa salahnya, Kakang Pragalbo?"
"Apa salahnya" Huh, apa salahnya, Adimas Nurseta?" Pendekar itu mendengus marah. "Sudah aku katakan bahwa begitu menyelamatkan gadis itu, aku telah jatuh cinta, kini, gadis itu direbut oleh Kakang Padasgunung. Terang-terangan Kakang Padasgunung mengatakan kepadaku bahwa dia mencintai Sriyati dan karena dia sudah cukup dewasa, dia hendak mengambil Sriyati menjadi isterinya"
Nurseta tidak berani tersenyum lagi walaupun ada perasaan geli di dalam hatinya. Kakak beradik seperguruan itu agaknya merebutkan cinta seorang gadis yang mereka tolong.
"Lalu bagaimana?"
"Tentu saja aku menyatakan keberatanku kepadanya, dan kunyatakan bahwa akulah yang lebih dahulu menemukan Sriyati, bahwa akulah yang telah menyelamatkannya dan aku yang lebih dahulu jatuh cinta kepadanya. Aku terus terang menyatakan bahwa Kakang Padasgunung tidak berhak memisahkan aku dari wanita pertama dan satu-satunya yang kucinta"
Nurseta mengangguk-angguk. "Setelah itu bagaimana?"
"Kakang Padasgunung ternyata kehilangan kegagahannya, kehilangan keadilannya. Dia bilang bahwa dialah yang menyelamatkan Sriyati, dan dia yang berhak menyunting gadis itu. Bahkan dia marah-marah dan menamparku. Sehingga kami berkelahi, akan tetapi aku terpaksa melarikan diri, bukan karena aku takut, melainkan karena aku merasa tidak enak harus berkelahi melawan kakak seperguruan sendiri. Nah, sekarang, aku ingin agar andika suka menolongku, Adimas Nurseta"
Nurseta memandang tajam penuh selidik. "Maksudmu, aku kau jadikan jago untuk melawan kakak seperguruanmu dan merampas kembali Sriyati dari tangannya untukmu?"
"Ya, adimas"
"Tunjukkanlah kepadaku, kemana arah menuju ke pondoknya"
Pragalbo kemudian memberikan keterangan arah menuju ke pondok Padasgunung, dengan segera Nurseta pergi kesana.
Ketika Padasgunung melihat seorang pemuda mendaki bukit menuju pondoknya diapun menyambutnya dengan sinar mata penuh tanda tanya. Dia merasa heran karena belum pernah melihat pemuda itu, maka begitu Nurseta tiba di depan pondoknya, diapun bangkit berdiri menyambut.
"Kulonuwun" salam Nurseta "Apakah aku berhadapan dengan Kakang Padasgunung?" sambil berkata pandangan Nurseta melirik ke arah gadis hitam manis itu yang duduk dan juga memandang kepadanya. Dengan sinar matanya yang tajam Nurseta dapat mengetahui bahwa gadis itu belum pulih benar pikirannya, terbukti dari pandang matanya yang kosong seperti orang melamun.
"Benar, aku bernama Padasgunung" kata pemuda itu dengan sikap tegas, suaranya lantang dan sikapnya pendiam, tidak ramah. "Siapakah Andika dan apa keperluanmu?"
Pemuda itu tidak seramah Pragalbo, pikirnya. Sikapnya demikian keras dan dingin, akan tetapi Nurseta tetap tersenyum tenang.
"Kakang Padasgunung, aku bernama Nurseta, kedatanganku ini karena aku hanya ingin menolong Kakang Pragalbo, agar aku datang kepadamu dan berbicara dengan bijaksana mengenai diri gadis yang bernama Sriyati. Apakah ini gadis yang bernama Sriyati itu?"
Mendengar namanya disebut, gadis itu juga bangkit berdiri dan memandang kepada Nurseta penuh perhatian. Akan tetapi, Padasgunung sudah menjadi marah mendengar ucapan itu.
"Tak aku sangka Adi Pragalbo kehilangan kejantanannya sehingga urusan pribadi seperti ini, ia mempergunakan seorang perantara. Asal kau tahu, Sriyati ini adalah calon isteriku. Kau tidak mempuuyai urusan dengan dengan hal ini. Sebaiknya kau pergi sebelum aku menjadi marah"
"Justeru karena Kakang Pragalbo tidak menghendaki keributan denganmu, Kakang Padasgunung, maka, ia meminta tolong kepadaku untuk bicara denganmu. Dia hanya menuntut keadilan, karena menurut pendapatnya, dialah yang lebih dahulu bertemu dan menyelamatkan Sriyati dari ancaman maut di Kali Campur, ia hanya membawa Sriyati kepadamu agar kau mengobatinya. Kalau saja tidak ada Kakang Pragalbo, tentu saja gadis itu sudah tewas......"
"Belum tentu!. kalau saja tidak aku tidak mengobatinya, tentu ia mati atau kehilangan ingatannya"
"Akan tetapi, Kakang Pragalbo yang membawanya dan memperkenalkannya kepadamu. Setidaknya Kakang Pragalbo berhak untuk menanyakan kepada gadis itu siapa di antara kalian yang ia pilih"
"Orang muda, jangan kau membuat aku marah. Kau sama sekali tidak ada sangkut paut dengan urusan pribadi kami berdua. Dan kau boleh menyampaikan kepada Pragalbo setelah mendengar sendiri" Padasgunung berhenti sebentar, kemudia ia berkata kepada Sriyati "Sriyati, bukankah kau sudah setuju untuk menjadi isteriku dan selamanya ikut bersamaku?"
Gadis itu memandang bingung kepada Padasgunung, lalu mengangguk lemah dan terdengar suaranya lirih. "Kakangmas Padasgunung aku tidak memiliki siapapun lagi dan kaulah yang telah menyelamatkan diriku. Tersera kepadamu apa yang akan kau perbuat terhadap diriku, kakang. Aku hanya menurut saja......."
"Nah, kau dengar sendiri. Sekarang pergilah sebelum aku marah dan memaksamu pergi" berkata Padasgunung.
Nurseta mendengar jawaban gadis itu, hatinya tidak merasa puas. Gadis itu seperti terpaksa dan belum sepenuhnya menguasai ingatannya kembali, hanya menyerahkan dirinya yang merasa tidak berdaya. Dengan begini, maka tidaklah adil kalau Padasgunung mempergunakan kelemahan gadis itu untuk memaksanya menjadi isterinya tanpa memperdulikan cinta yang bersemi di dalam hati adik seperguruannya.
"Nanti dulu, Kakang Padasgunung. Kau hanya bertindak sepihak saja, setidaknya kau harus memberi kesempatan kepada Kakang Pragalbo untuk bertanya kepada Sriyati, apakah ia tidak lebih suka menikah dengan Kakang Pragalbo dari pada denganmu" ia berhenti sejenak, lalu "Sriyati, ketahuilah bahwa sebelum kau diobati oleh Kakang Padasgunung, kau terlebih dahulu diselamatkan oleh Kakang Pragalbo ketika kau hanyut oleh air banjir. Dan Kakang Pragalbo jatuh cinta padamu dan ia ingin mengambilmu sebagai calon isterinya dan......"
"Tutup mulutmu, keparatl" bentak Padasgunung marah dan dia sudah menerjang ke depan dan menyerang Nurseta dengan pukulan tangan kanannya yang menampar ke arah dada Nurseta. Dengan mudah Nurseta mengelak, dan ketika Padasgunung mendesaknya dengan dua pukulan beruntun, diapun cepat mengelak, bahkan pukulan ke tiga itu dia tangkis dari samping yang membuat tubuh Padasgunung agak terhuyung.
"Babo-babo, kiranya kau memiliki kepandaian, maka kau berani lancang mulut mewakili Pragalbo menjual lagak di sini!" bentak Padasgunung marah dan juga merasa terkejut ketika mendapat kenyataan betapa pemuda ini selain mampu menghindarkan diri dari tiga kali serangannya, bahkan ketika menangkis membuatnya terhuyung. Diapun sudah mencabut suling bambunya dari ikat pinggang dan kini dengan suling bambu di tangan, dia menghadapi Nurseta.
Melihat betapa lawan ini mempergunakan sebatang suling bambu sebagai senjata, Nurseta tertarik bukan main. Dia sendiri suka meniup suling, bahkan memiliki pula sebatang suling yang dibuatnya dari bambu kuning, dan suling itu selain kadang-kadang dimainkannya, dapat pula dipergunakan sebagai senjata yang ampuh untuk melindungi dirinya.Tentu saja dengan tingkat kepandaiannya yang sudah tinggi, Nurseta jarang mau mempergunakan sulingnya, cukup mempergunakan kaki tangannya saja.
"Anak muda, pergilah sebelum menyesal. Betapapun pandainya kau, kalau aku terlanjur menyerangmu dengan sulingku ini. kau tentu akan celaka, kalau tidak tewas, sedikitnya tentu akan terluka parah dan aku tidak ingin melukai orang, apa lagi membunuhnya"
Biarpun orang ini berhati keras, namun setidaknya dari kata-katanya ini saja sudah dapat dikenal sebagai seorang yang berjiwa ksatria, yang tidah suka bertindak sewenang-wenang membunuh orang tanpa sebab. Ini saja sudah menyenangkan hati Nurseta, dan diapun ingin sekali menguji sampai di mana kehebatan orang yang mempergunakan suling untuk senjata ini.
"Kakang Padasgunung, aku datang hanya untuk mendamaikan, akan tetapi kalau kau hendak mempergunakan kekerasan, silakan"
"Babo-babo, kau bocah sombong, rasakan keampuhan sulingku"
Padasgunung sudah nenerjang ke depan, sulingnya menyambar dan mengeluarkan suara melengking yang nengejutkan Nurseta, karena gerakan suling yang dipergunakan menyerang dapat mengeluarkan suara melengking itu saja sudah menunjukkan bahwa lawannya memang hebat.
Nurseta mempergunakan kelincahan tubuhnya untuk mengelak kesana-sini sambil memperhatikan gerakan jurus serangan lawan. Dia tertarik dan mendapat kenyataan bahwa seperti juga gerakan keris yang dipergunakan Pragalbo tadi, Padasgunung dengan sulingnya ini merupakan seorang pendekar yang cukup kuat. Akan tetapi tentu saja tidak cukup kuat baginya dan dengan amat mudahnya dia dapat menghindarkan setiap serangan sambil kadang-kadang menangkis. Dan setiap kali tertangkis, mulut Padasgunung menyeringai kesakitan.
Tiba-tiba terdengar teriakan Pragalbo ya sudah lari naik ke depan pondok ketika melihat betapa kakak seperguruannya sudah menyerang Nurseta dengan sulingnya.
"Kakang Padasgunung, hentikan seranganmu itu. kakang takkan menang melawan Adimas Nurseta"
Mendengar teriakan itu, Padasgunung menghentikan serangannya, akan tetapi alisnya berkerut dan matanya memandang tajam penuh kemarahan.
"Pragalbo, kau datang membawa jagoan untuk merampas Sriyati dari tanganku. Jangan harap, dan aku tidak takut. kau pengecut" Langsung saja Padasgunung maju menyerang adik seperguruannya dengan marah.
"Eh, kakang!" teriak Pragalbo sambil mengelak cepat. "Aku hanya datang untuk menuntut keadilan darimu, meminta hakku terhadap Sriyati yang aku cintai"
"Ia adalah calon isteriku. Siapapun tidak boleh merampasnya dariku!" bentak Padasgunung yang sudah menyerang kembali.
Kini Pragalbo sudah menjadi marah, apa lagi melihat betapa Sriyati telah sembuh dan kelihatan semaki menarik, semakin manis merak ati! Diapun mencabut kerisnya dan menangkis ketika kakak seperguruannya menyerangnya dengan sulingnya.
"Cring-tranggg.......!"
Mereka sudah saling menyerang dengan sengit, memperebutkan gadis hitam manis yang bernama Sriyati yang kini hanya berdiri dengan bingung. Kedua matanya terbuka lebar dan agaknya ia tidak tahu harus berbuat atau berkata apa.
Melihat betapa kakak beradik seperguruan itu sudah saling serang, Nurseta menarik napas panjang. Diam-diam pemuda yang belum berpengalaman mengenai peristiwa seperti itu, merasa heran sekaii. Bagaimana dua orang kakak beradik seperguruan yang demikian gagah perkasa, kini mendadak saja berubah seperti dua orang pemuda picik dan tolol, saling serang untuk hanya karena seorang gadis. Dia sama sekaii tidak tahu bahwa kekuatan yang terkandung di dalam diri seorang wanita amatlah hebat, dan dapat mempengaruhi seorang pria yang palaing kuat sekalipun. Kerling mata dan senyum bibir seorang wanita memiliki daya kekuatan ang jauh lebih ampuh dari pada keris di tangan laksaan orang musuh.
Cepat Nurseta melompat ke tengah di antara mereka karena dia tidak ingin melihat perkelahian itu menjatuhkan korban di antara kakak beradik seperguruan itu.
Dengan cekatan dia sudah menangkap pergelangan kedua tangan mereka yang memegang senjata dan sekali merenggut, dia sudah merampas keris dan suling itu dari tangan Pragalbo dan Padasgunung.
Pragalbo yang sudah maklum akan kesaktian Nurseta, cepat melompat ke belakang, akan tetapi Padasgunung yang mengira bahwa Nurseta masih hendak membantu Pragalbo, marah sekali, ia menghantam dengan tangan kanannya, dengan jari tangan terbuka ia menghantam dada Nurseta dengan pengerahan tenaga saktinya.
Melihat ini, Nurseta memasang Aji Wandiro Kingkin, menerima hantaman tangan kanan lawan itu, membiarkan dadanya menjadi sasaran pukulan. Tak dapat dihindarkan lagi, telapak tangan Padasgunung menghantam dada Nursela.
"Dessss........!!" Dan akibatnya, tubuh Padasgunung terpental dan diapun roboh terpelanting dengan tubuh lemas karena tenaga pukulannya tadi telah membalik dan mengenai dirinya sendiri.
Cepat dia bergulingan dan bangkit duduk, bersila untuk menghirup udara segar dan menyalurkan hawa sakti untuk melindungi tubuhnya yang terguncang hebat, karena kalau tidak demikian, dia dapat menderita luki dalam yang parah.
Sementara itu, Pragalbo lalu menghampiri Sriyati yang masih berdiri bingung, lalu berkata dengan suara halus, "Diajeng Sriyati, apakan kau kenal kepadaku" Aku Pragalbo, orang yang telah menyelamatkanmu ketika kau hanyut dalam air bah di dusun itu"
Sriyati memandang pemuda yang gagah perkasa, bermuka persegi dan berkulit hitam itu. "Tentu saja saya tidak lupa kepadamu, Kakangmas Pragalbo, karena kaulah orang pertama yang saya kenal dan sudah diperkenalkan kepadaku ketika aku hidup kembali"
"Nah, karena aku yang telah menyeretmu dari tangan kematian di air sungai banjir, tidakkah sudah sepatutnya kalau aku pula yang lebih dahulu menyatakan cintaku kepadamu dan menuntut agar kau suka menjadi iseriku?"
"Pragalbo, keparat kau! kau hendak merayu calon isterikul" bentak Padasgunung yang sudah bangkit berdiri.
"Tidak, Kakang Padasgunung. Ia adalah calon isteriku yang telah kau rebut dariku"
"Ia calon isteriku"
"Calon isteriku"
Kedua orang itu sudah saling pelotot lagi dan Nurseta cepat melangkah maju menengahi dan mengembalikan keris dan suling kepada pemiliknya masing-masing lalu berkata, "Kalian berdua sungguh seperti anak kecil saling memperebutkan mainan. Kakang Padasgunung dan Kakang Pragalbo, tenanglah dan sadarlah, dengarkan kata-kataku. Ingatlah, apakah kalian menganggap gadis ini sebagai seekor kucing atau anjing saja, ataukah sebagai setangkai bunga mawar, atau sebuah benda indah yang mati sehingga dapat kalian perebutkan demikian saja" Ia adalah seorang manusia yang berjiwa, seorang manusia yang berhak menentukan nasibnya dan pilihan hatinya sendiri"
Dua orang kakak beradik itu terkejut dan keduanya memandang wajah Nurseta dengan bingung.
"Nah, sekarang akan aku tanyakan kepada yang bersangkutan" Nurseta behenti sebentar, lalu katayna kepada Sriyati. "Sriyati, aku datang sebagai penengah dan pendamai di antara dua orang pemuda yang sedang memperebutkan dirimu. Aku bernama Nurseta dan kini aku ingin bertanya kepadamu. Maukah kau menjadi isteri Kakang Padasgunung?"
Sriyati menoleh dan memandang kepada Padasgunung, lalu menunduk dan mengangguk berkata lirih, "Terserah, aku hanya menurut saja, aku berhutang budi dan nyawa kepadanya.
"Hahaha. kau dengar sendiri, Pragalbo. Buka telingamu lebar-lebar, kau mendengar sendiri, bukan". Aku tidak merebutnya darimu" Hahaha" Padasgunung tertawa bergelak sehingga Pragalbo memandang heran. Selamanya belum pernah ia melihat kakaknya tertawa seperti itu, kakaknya adalah seorang yang pendiam, tidak pernah ia tertawa kegirangan seperti itu.
Akan tetapi, Nurseta yang merasa tidak yakin akan sikap Sriyati yang seperti sebuah boneka saja berbicaranya. Kini ia melanjutkan pertanyaannya.
"Sriyati, maukah kau menjadi isteri Kakang Pragalbo ini" Dan iapun sudah penah menolongmu dari maut ketika kau hanyut alam banjir"
Sriyati menoleh dan memandang kepada Prgalbo. kembali ia mengangguk dan menjawab "Terserah, aku hanya menurut saja, akupun berhutang budi dan nyawa kepadanya"


Sejengkal Tanah Sepercik Darah Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Nahhhh! Dengarkah kau, kakang. Ia asih ingatt betapa aku yang telah menyelamatkan nyawanya untuk pertama kalinya!" teriak Pragalbo dengan suara bersorak penuh kemenangan,
Wajah Padasgunung berubah pucat dan dan terbelalak, ia memandang kepada Sriyati, kemudian kepada Nurseta.
Pragalbo juga memandang kepada Narseta, karena ia sendiri menjadi bingung. Sriyati ternyata setuju saja menjadi isteri kakangnya maupun menjadi isterinya.
"Bagaimana baiknya sekarang, Adimas Nurseta?" tanya Pragalbo penuh keraguan.
"Ya, bagaimana baiknya?" bertanya pula Padasgunung yang kini sudah merasa yakin akan kesaktian pemuda ini dan tidak berani main-main lagi.
Nurseta menarik napas panjang. "Sudah aku katakan tadi, ia bukanlah benda mati dan bukan binatang piaraan, melainkan seorang manusia yang berhak menentukan pilihan hatinya sendiri. Secara kebetulan saja kalian berdua telah menemukannya dan menyelamatkannya. Itu bukan berarti bahwa ia lalu menjadi milik kalian. Apakah ketika kalian menolongnya dahulu, kalian memiliki pamrih untuk memperisterikannya" Betapa rendahnya pertolongan itu kalian kalau begitu.
"Tidak, tadinya aku menolongnya seperti aku menolong yang lain, baru kemudian aku jatuh cinta kepadanya." Berkata Pragalbo.
"Akupun akan menolong siapa saja yang berobat kepadaku, akan tetapi aku kemudian aku jatuh hati kepadanya" berkata Padasgunung kemudian.
"Bagus, kalian memang para pemuda ksatria dan pendekar perkasa, akana tetapi, kalian jangan menurutkan hawa nafsu kalian masing-masing, ingatlah akan kepentingan yang lebih tinggi dari itu"
"Akan tetapi, kami tidak memaksa diajeng Sriyati untuk menjadi isteri kami, kau mendengar sendiri, Adimas Nurseta, bahwa gadis itupun suka menjadi isteri seorang di antara kami"
"Benar ucapan adi Pragalbo. Sriyati juga suka kepada kami, bukan berarti kami memaksakan kehendak kami" sambung Padasgunung.
Nurseta tersenyum. "Lihatlah buktinya, kalian sudah tahu, bahwa Sriyati hanya menurut saja apa yang kalian inginkan, karena ia telah kehilangan masa lalunya, dan melihat kalian adalah dewa-dewa penolongnya, dan ia berhutang budi kepada kalian, maka ia menurut saja, apa yang kalian inginkan darinya" ia berhenti sebentar lalu ia berkata kepada Sriyati "Diajeng Sriyati, berterus teranglah dan jangan takut. Siapakah diantara kedua kesatria ini yang kau cinta?"
Sriyati mengangkat muka dan memandang kepada Padasgunung dan Pragalbo yang juga menatap wajahnya dengan penuh harap, kemudian gadis itu menunduk kembali sambil berkata lirih dan takut-takut, "Aku....... aku tidak tahu......"
"Nah, Kakang Padasgunung dan Kakang Pragalbo, kalian sudah mendengar sendiri perkataan Sriyati. Jelaslah, bahwa gadis ini tidak mempunyai perasaan cinta kepada kalian, melainkan hanya berhutang budi. Kalau kalian hendak memaksanya menjadi isteri kalian hanya untuk membalas budi, bukankah itu berarti bahwa kalian sengaja melepas budi untuk mengharapkan balasannya yaitu hendak memperisterikannya"
Dua orang kakak beradik seperguruan itu kembali tertegun. Mereka memandang Sriyati yang menundukkan wajahnya itu sejenak, kemudian mereka saling pandang dengan muka merah, ucapan Nurseta itu seperti menusuk jantung dan membuat mereka merasa canggung dan malu.
"Dengarlah, kedua kakang yang gagah. Peristiwa ini mirip sekali dengan peristiwa yang aku alami" kemudian Nurseta bercerita tentang Wulansari dan betapa gadis itupun diselamatkan dari dalam air oleh Ki Jembros, kemudian diobati oleh Sang Panembaban Sidik Danasura. Persis seperti apa yang terjadi pada diri Sriyati yang ditolong oleh Pragalbo, kemudian diobati oleh Padasgunung. kemudian gadis itu menjadi murid Panembahan Sidik Danasura, dan setelah lewat lima tahun Ki Jembros datang untuk mengajak pergi gadis itu karena diapun berhak menggembleng gadis itu karena dialah penyelamat gadis dari maut di dalam air, ketika perabunya terbalik. Kemudian muncul Ki Cucut Kalasekti Datuk Blambangan yang membawa lari Larasati, karena menganggap bahwa dia lebih berhak. karena Wulansari itu adalah cucunya yang berasal dari Blambangan.
"Nah, dalam hal ini, Eyang Panembahan Sidik Danasura dan Paman Jembros mengalah. Mereka menganggap bahwa mereka tidak berhak atas diri Wulansari yang dibawa kembali kepada keluarganya, demikian pula dengan diajeng Sriyati. Tidakkah lebih bijaksana kalau mencoba untuk mengembalikannya kepada keluarganya, kemudian tentang perjodohannya serahkan saja kepada pilihannya sendiri atau keluarganya" Kalau ia dan keluarganya memilih seorang di antara kalian, maka yang lain harus berlapang dada"
Cerita Nurseta itu menyadarkan dua orang kakak beradik seperguruan itu dan mereka mengerti akan kesalahan mereka, seperti digerakkan oleh tenaga gaib, lalu mereka saling rangkul.
"Adikku Pragalbo, maafkanlah kakangmu yang sesat ini, Kalau Sriyati memilih kau, aku akan ikut berbahagia"
"Akulah yang mohon maaf kepadamu, kakang. Sepatutnya aku yang mengalah kalau memang Sriyati cinta padamu" kata Pragalbo.
Melihat kejadian ini, Nurseta tersenyum girang, karena ia semakin yakin akan kegagahan kedua orang itu.
"Bagus, aku kagum kepada kalian, Bagaimana kalau sekarang aku ajak diajeng Sriyati mencari keluarganya" Kakang Pragalbo, dari dusun manakah kakang menolongnya?" tanya Nurseta yang sudah mengambil keputusan untuk mengantar gadis itu kembali ke keluarganya
Pragalbo ragu-ragu sejenak, akan tetapi akhirnya ia menjawab juga, "Dari dusun Mentasih, di sebelah barat Karangrejo, di tepi Sungai Campur, hanya menempuh perjalanan satu jam dari sini"
"Ke hilir?"
"Ya, kalau berperahu ke hilir, hanya setengah jam sudah sampai, letaknya berada di sebelah selatan sungai" jawab Pragalbo.
"Kalau begitu, bolehkah kami mempergunakan perahumu itu, kakang Pragalbo?"
"Tentu saja boleh, pakailah Adimas Nurseta"
Nurseta mengangguk sambil tersenyum, kemudian menggandeng tangan Sriyati sambil berkata, "Marilah, diajeng, kita mencari keluargamu di dusun Mentasih"
Gadis itu sejenak memandang kepada Pragalbo dan Padasgunung, seperti ingin minta pendapat mereka, akan tetapi karena kedua orang itu diam saja, iapun menurut saja ketika digandeng oleh Nurseta, jantungnya berdebar penuh ketegangan karena baru sekaranglah ada orang yang hendak mengajaknya mencari keluarganya yang sudah dilupakannya.
Nurseta mengajak gadis itu pergi ke tepi pantai di mana Pragalbo meninggalkan perahunya. Mereka berdua lalu masuk ke dalam perahu dan perahupun hanyut ke hilir, bertambah cepat setelah Nurseta menggunakan dayungnya.
Tak lama kemudian mereka melihat sebuah dusun di sebelah kanan. Sebuah dusun yang masih nampak bekas tanda-tanda habis kebanjiran dan penduduknya nampak sibuk membetulkan rumah rumah mereka yang tadinya ambruk dilanda air bah.
"Ohhhh.......!"
Nurseta menoleh ke arah gadis itu dan melihat betapa gadis itu memandang ke arah dusun itu dengan mata terbelalak bingung dan muka berubah agak pucat.
"Kau mengenal dusun itu, Sriyati?"
"Aku......... aku pernah melihatnya..........ya, ya, pohon-pohon itu........, tidak asing bagiku ....." kata gadis itu dengan suara agak gemetar.
Nurseta merasa girang sekali. "Kalau begitu, mari kita ke sana, mudah-mudahan saja keluargamu berada di sana"
"Keluargaku.........." Aku.......... aku tidak ingat......"gadis itu mengeluh. Akan tetapi Nurseta tidak bicara lagi melainkan mendayung perahu menuju ke dusun itu. Dia tahu bahwa gadis ini kehilangan ingatannya dan dia mengharapkan pertemuan yang tiba-tiba dengan keluarganya akan mendatangkan guncangan yang cukup kuat sehingga akan mampu mengembalikan ingatannya.
Ketika perahu itu tiba menepi, banyak orang memandang ke arah mereka berdua. Nurseta menggandeng tangan Sriyati turun dari atas perahu dan segera terdengar suara banyak orang menyebut nama Sriyati. Mereka datang berlarian ke arah perahu dan diantara banyak suara itu, terdengar teriakan seorang wanita yang menyebut nama Sriyati sambil menangis.
"Sriyati........!"
"Nini Sriyati.......!" Suara seorang laki-laki terdengar pula dan nampak seorang laki-laki dan seorang wanita setengah tua berlari-lari menghampiri Sriyati. Gadis itu terbelalak, mukanya pucat sekali dan akhirnya, setelah kedua orang itu datang agak dekat, iapun menjerit.
"Kanjeng Rama....... Kanjeng ibu........"
Mereka saling tubruk dan saling rangkul, anak dan ibu bapaknya menangis dalam pertemuan yang mengharukan itu. Ayah dan ibunya yang mengira bahwa puterinya telah tewas dalam bencana banjir itu, seolah-olah melihat puteri mereka bangkit dari liang kubur.
"Diajeng Sriyati. Terima kasih kepada para dewa, kau masih hidup diajeng"
Seorang pemuda melangkah maju mendekati mereka yang sedang bertangisan.
Sriyati menengok dari rangkulan ayah dan ibunya dan memandang kepada pemuda itu, mula mula ia agak ragu-ragu sampai ketika ibunya menegurnya.
"Anakku, lupakah kau kepada Parmanto ini?"
"Kakangmasmu Parmanto......." Sriyati berseru girang.
Pemuda bernama Parmanto itu melangkah maju, mereka saling berpegang tangan. Sementara itu, belasan orang laki-laki tua muda, kini maju menghampiri Nurseta dengan pandangan mata mereka yang tidak benahabat.
Seorang di antara mereka yang masih muda berseru "Dia inilah yang menculik Raden Ajeng Sriyati, kita tangkap dia !"
Mendengar ucapan ini, belasan orang itu menyerbu dan menyergap Nurseta yang menjadi terkejut bukan main. Karena orang-orang itu menyerangnya dengan ganas dan dengan teriakan riuh rendah yang menuduh ia penculik, maka dianggapnya akan percuma saja kalau dia membela diri dengan kata-kata. Maka, Nursetapun cepat mengelak sambil melompat ke belakang.
Akan tetapi, kini lebih banyak lagi orang menyerbu. Agaknya semua penduduk yang baru beberapa hari lamanya mengalami malapetaka banjir itu, masih dalam keadaan duka dan marah, mudah tersinggung. Mendengar bahwa Sriyati, puteri kepala dusun mereka yang merupakan gadis kembang dusun mereka, kini ternyata masih hidup, tidak hanyut oleh banjir seperti yang mereka kira, kini pulang bersama seorang pemuda yang menculiknya. Orang-orang itu marah dan kini ada lebih dari tiga puluh orang ramai-ramai mengepung Nurseta.
Banyak di antara mereka yang membawa senjata linggis, kapak, arit dan alat alat membetulkan rumah. Juga pemuda bernama Parmanto tadi, mendengar teriakan teriakan itu, menjadi marah dan dengan hati penuh cemburu diapun ikut puia menyerbu.
Nurseta maklum bahwa para penduduk dusun yang baru saja dilanda kebanjiran itu masih berada dalam keadaan gelisah dan mudah marah, mereka mengepung dan menyerangya karena salah paham, bukan karenu mereka jahat. Maka diapun tidak ingin melukai mereka.
Ketika melihat dirinya dikepung dan mereka itu datang menyerbu dengan senjata di tangan, diapun mengerahkan kepandaiannya. Tubuhnya meloncat jauh melampaui kepala para pengepungnya dan tahu-tahu tubuhnya telah berada diatas atap rumah yang sedang dibangun kembali itu.
Para pengepung itu tadinya bingung, karena tiba-tiba pemuda yang mereka kepung itu lenyap. Hanya nampak bayangan berkelebat dan pemuda yang tadinya mereka kepung itu tidak nampak lagi.
Tiba-tiba seorang di antara mereka berteriak "Itu dia di sana, di atas atap"
Semua orang menengok dan benar saja, pemuda yang mereka keroyok tadi kini telah berdiri di atas atap yang belum selesai mereki pasang dan pemuda itu nampak tenang sambil tersenyum.
Mereka adalah penduduk dusun yang polos, tidak sadar bahwa mereka berhadapan dengan seorang pemuda yang sakti mandraguna. Mereka tetap saja berlari-larian menghampiri rumah itu dan mengacung-acungkan senjata mereka ke arah Nurseta.
Pada saat itu, Sriyati melepaskan diri dari rangkulan ayah ibunya dan berteriak-teriak. "Jangan bunuh dia. Dia bukan penculik, dia yang mengantar aku pulang"
Mendengar seruan Sriyati itu, semua orang memandang bingung.
Nurseta lalu berkata dengan suara mengandung teguran, "Saudara sekalian, sungguh tidak baik menuruti hati yang keruh penuh kemarahan dan prasangka buruk, Diajeng Sriyati telah ditolong oleh dua orang kesatria dari cengkeraman maut ketika banjir trerjadi dan aku hanyalah sekedar mengantarnya untuk mencari keluarganya di sini. Sekarang ia telah berhasil berkumpul kembali dengan keluarganya, maka tidak perlu lagi aku berlama-lama di tempat ini. Harap lain kali kalian tidak terburu nafsu dan gunakanlah akal sehat dan bersikap tenang"
Setelah berkata demikian, sekali loncat, nampak bayangan berkelebat dan Nurseta lenyap dari atas atap itu.
Tentu saja semua orang terkejut bukan main dan ramailah mereka membicarakan tentang pemuda aneh itu. Mereka menghujani Sriyati dengan pertanyaan dan gadis itupun segera menceritakan semua pengalamannya.
Sementara itu, setelah Nurseta pergi bersama Sriyati, Padasgunung mengerutkan alisnya dan bertanya kepada Pragalbo, "Adi Pragalbo, apakah kau sudah mengenal betul pemuda itu?"
Pragalbo menggeleng kepalanya. "Baru saja aku bertemu dengan dia di tepi sungai, dan ternyata dia memiliki kesaktian yang amat tinggi"
"Hemm, kalau begitu kita telah lengah, Adi Pragalbo. Bagaimana kalau dia pergi membawa Sriyati untuk diambilnya sendiri?"
"Ah, mana mungkin" Dia seorang kesatria yang sakti mandraguna, Kakang Padasgunung"
"Hemm, kau belum mengenal orang macam apa dia itu, hanya yang kau tahu dia seorang pemuda yang sakti mandraguna. Apakah kesaktian itu dapat menjadi menjamin bahwa dia orang yang baik-baik" Banyak di dunia ini orang sakti yang jahat. Kita belum mengenalnya benar dan kita sudah menyerahkan Sriyati untuk dibawanya. Adi Pragalbo, kita telah lengah dan membahayakan diri Sriyati"
"Habis, bagaimana baiknya, kakang?" tanya Pragalbo yang panik juga mendengar kesangsian kakak seperguruannya.
"Tidak ada jalan lain, kita harus cepat menyusulnya ke dusun Mentasih. Kalau benar Sriyati dibawa kembali kepada keluarganya, sukurlah, Dan kita dapat berbicara dengan keluarganya untuk menentukan, siapa di antara kita yang dapat diterima menjadi suaminya. Sedangkan kalau ia dilarikan oleh pemuda bernama Nurseta itu. Kita harus mengejarnya dan merampasnya kembali"
Demikianlah, kakak beradik seperguruan ini lalu melakukan perjalanan cepat, lewat darat. Sepanjang tepi sungai mereka melakukan pengejaran, dan mereka mempergunakan kepandaian mereka untuk berlari cepat. Ketika mereka sudah dekat dengan dusun Mentasih, dari jauh Nurseta melihat mereka. Pemuda ini merasa heran dan cepat menyelinap ke belakang semak belukar untuk mengintai.
Melihat betapa dua orang itu lewat dengan wajah keruh seperti orang marah, diam-diam Nurseta mengikuti mereka secara diam-diam, Ia ingin tahu, apakah yang hendak mereka lakukan.
Setelah tiba di dusun Mentasih, Pragalbo dan Padasgunung melihat kesibukan para penduduk yang sedang membangun kembali dusun yang habis dilanda banjir itu, Pragalbo dan Padasgunung menghentikan larinya, Dan tiba-tiba mereka berhenti melangkah karena melihat dua orang yang sedang duduk di bawah sebatang pohon, seorang pemuda dan seorang gadis, nampaknya mereka sedang bermesraan. Duduk berdekatan dan saling menggenggam tangan masing-masing, saling pandang dengan mesra seperti dua orang yang sedang melepas kerinduan.
Seketika itu juga wajah kedua orang satria muda ini berubah merah, ketika mereka mengenal gadis itu, gadis itu bukan lain adalah Sriyati.
"Keparat!" Padasgunung yang lebih brangasan ketimbang adik seperguruannya tak dapat menahan cemburu dan kemarahannya. Dia langsung saja menerjang ke arah pemuda yang sedang duduk bersanding dengan Sriyati.
Akan tetapi pada saat itu, nampak bayangan berkelebat dan tiba-tiba saja Nurseta telah berdiri di depannya dan menangkis pukulan Padasgunung yang amat keras itu. Tangkisan yang amat kuat, sehingga Padasgunung terhuyung ke belakang.
Melihat dirinya tadi diserang orang, pemuda yang bukan lain adalah Parmanto bangkit berdiri dan memandang dengan heran, sementara itu, Sriyati juga bangkit berdiri dan memandang dengan wajah pucat.
Ketika Padasgunung dan Pragalbo melihat bahwa Nurseta membela pemuda itu, mereka menjadi semakin marah. "Hemm, kiranya kau berada di sini, Nurseta" bentak Pragalbo, kau berjanji hendak membawa Sriyati kepada keluarganya, tidak tahunya kau menjualnya kepada pemuda ini"
Pragalbo maju menyerang Nurseta, disusul pula oleh Padasgunung yang juga menyerang dengan penuh nafsu.
Menghadapi serangan kedua orang yang menyerangnya dengan sungguh-sungguh dan dengan kemarahan, Nurseta hanya mengelak sambil melangkah mundur.
"Tunggu dulu, Kakang Padasgunung dan Kakang Pragalbo"
Akan tetapi kedua orang laki-laki yang sedang marah itu, tidak mau bicara lagi dan bahkan ini mereka mencabut senjata masing-masing. Pragalbo mencabut kerisnya sedangkan Padasgunung mengeluarkan senjatanya yang aneh, yaitu sebatang suling. Dengan bersamaan mereka kakak beradik menyerang kalang kabut.
Nurseta mengerutkan alisnya. Dua orang kakak beradik ini adalah dua orang kesatria yang gagah perkasa, akan tetapi watak mereka keras dan kaku, mudah cemburu dan mudah pula marah. Diapun tidak mau mengalah terus. Melihat berkelebatnya suling dan keris, Nurseta mambalas menerjang ke depan, kedua tangannya bergerak menyambar dengan kecepatan luar. Sesuatu terasa mengetarkan tangan Padasgunung dan Pragalbo, betapa lengan tangan mereka seperti lumpuh, dan senjata mereka kini terlepas dari pegangan.
Sebelum mereka dapat memperbaiki kedudukan mereka, dua kali tendangan kaki Nurseta tepat menyentuh lutut dan kedua kesatria itu, sehingga mereka jatuh terduduk.
"Kakang Padasgunung dan Kakang Pragalbo, simpan dulu kemarahan kalian. Dengarlah baik-baik. Aku telah mengantarkan diajeng Sriyati kepada ayah bundanya dan mengembalikan kembali ingatannya, kalau kakang ingin mengetahui siapakah pemuda itu, tanyalah langsung kepada Diajeng Sriyati"
Sriyati kini berlari menghampiri dua orang itu dan berkata "Kakang Padasgunung dan Kakang Pragalbo, akulah yang bersalah. Ketahuilah, setelah aku berjumpa dengan ayah bundaku, ingatanku kembali. Aku mengingat segalanya kembali. Ini adalah Kakangmas Pramanto. Dia adalah tunanganku, calon suamiku. Harap jangan menuduh yang bukan-bukan, dan kakang Nurseta hanya mengantarkan aku kepada keluargaku"
Padasgunung dan Pragalbo memandang kepada Nurseta, dan berkata "Adimas Nurseta, kami telah bersalah, harap andika bisa memaafkan kami"
"Harap kakang berdua melupakan saja kejadian tadi, yang penting diajeng sudah berkumpul kembali kepada keluarganya dan juga tunangannya dan bahkan ingatannya telah pulih kembali, kalau kita sayang kepada diajeng, biarkanlah ia mendapatkan kebahagiaannya disini"
Ucapan itu bagaikan air dingin yang mengguyur kepala kedua orang gagah itu, dan menyadarkan mereka, betapa piciknya sikap mereka tadi. Mereka memandang kepada Nurseta lalu mengangguk, sinar mata mereka kini berkilat, wajah mereka kembali berseri-seri penuh semangat.
Nurseta merasa gembira sekali, dan iapun menurut saja ketika dua orang itu menggandeng tangannya dan membawanya pergi dari tempat itu, tanpa menoleh satu kalipun kepada Sriyati, seolah-olah kedua orang itu kini sudah melupakan gadis yang pernah dijadikan rebutan itu.
Sebelum Nurseta berpisah dari dua orang kakak beradik itu, mereka sempat bercakap-cakap sebagai seorang sahabat baik. Dari percakapan itulah Nurseta mengetahui bahwa persekutuan pemberontak yang dipimpin oleh Mahesa Rangkah itu, didukung pula oleh kakek sakti Ki Buyut Pranamaya, menurut desas-desus yang mereka dengar, kini mulai bergerak dari timur.
"Beberapa tahun yang lalu, mereka itu bersarang di Bukit Gandamayit, di hutan Cempiring. Akan tetapi ketika para senopati kerajaan melakukan penyelidikan ke tempat itu. Para pemberontak itu telah lenyap, sarang mereka telah ditinggalkan kosong. Mungkin mereka telah mendapatkan sarang baru, dan menurut kabar, mereka memilih tempat yang berada di wilayah Kediri. Kalau pada waktu itu mereka masih berada di Gandamayit, tentu mereka telah diserbu pasukan kerajaan dan sudah dihancurkan" kata Padasgunung.
"Dan sekarang, menurut desas desus, mereka telah keluar dari daerah Kediri dan mulai menduduki beberapa buah dusun di Pegunungan Kidul. Mungkin kerajaan belum mendengarnya, akan tetapi kami yang berada di daerah Selatan, telah mendengar berita itu" berkata pula Pragalbo.
Nurseta mengerutkan alisnya. "Hemm, kalau begitu, negara kita sedang terancam dan sudah menjadi kewajiban kita untuk menentang pemberontakan yang hanya akan mendatangkan perang dan kesengsaraan bagi rakyat jelata"
"Memang sudah seharusnya kita membantu pemerintah untuk menentang para pengacau itu. Akan tetapi, adimas, apa artinya bantuan kami kalau yang memimpin pemberontakan itu didukung oleh seorang kakek sakti seperti Ki Buyut Pranamaya?" kata Padasgunung.
"Siapakah itu?" tanya Nurseta.
"Ah, agaknya Adimas Nurseta baru saja meninggalkan pertapaan sehingga belum banyak mengenal tokoh dari dunia sesat" kata Pragalbo. "Ki Buyut Pranamaya adalah seorang kakek yang memiiiki kesaktian yang amat hebat. Ia sakti mandraguna dan sukar dicari tandingannya. Kami sendiri belum pernah bertemu dengan dia, akan tetapi sudah banyak mendengar tentang nama besar dan kesaktiannya. Terus terang saja, bantuan kami tidak ada artinya.
"Adi Pragalbo benar" kata Padasgunung, "kami tidak akan mampu menandingi mereka, tentu saja kalau Adimas Nurseta sendiri yang maju........."
"Harap kakang berdua tidak beranggapan seperti itu. Di dalam perjuangan menentang kejahatan, kita harus bersatu pada. Seperti halnya sapu lidi, kalau kita maju satu demi satu, memang tidak ada artinya. Akan tetapi, kalau ratusan atau ribuan batang lidi bersatu, maka, mereka akan menjadi sapu yang sanggup membersihkan semua kotoran. Harap kakang berdua mempersiapkan diri saja di daerah Pegunungan Kidul, siapa tahu tenaga kakang berdua kelak dibutuhkan, karena aku yakin bahwa para senopati Singosari dan para pendekar dan kesatria tidak akan tinggal diam saja mendengar gerakan para pemberontak itu.
Setelah puas bercerita, maka merekapun berpisah, setelah berjanji untuk berjumpa kembali di dalam perjuangan menentang para pemberontak.
Nurseta melanjutkan perjalanannya. Ketika ia tiba di dusun Karangreja, di mana Kali Campur memuntahkan airnya ke dalam Sungai Brantas yang menjadi semakin besar, dia lalu mengambil keputusan untuk melanjutkan perjalanan melalui aliran air sungai yang besar itu. Lebih enak dan tidak melelahkan kalau dia dapat melanjutkan perjalanan melalui air sungai ke hilir. Dan lagi, dia sendiri tidak tahu ke mana harus mencari ayahnya.
Sebelum tiba di tepi Kali Campur dan bertemu dengan Padasgunung dan Pragalbo, sekali lagi dia lewat ke dusun Kelinting. Namun, ayahnya tidak berada di sana, dan tak seorangpun penduduk dusun itu yang mengetahui ke mana ayahnya pergi. Ayahnya dibawa pergi orang jahat, berikut tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala. Ayahnya selalu menggemblengnya untuk menjadi seorang kesatria pembela tanah air, bahkan gurunya, Panembahan Sidik Danasura, juga memesan padanya agar mempergunakan semua llmu yang dipelajarinya untuk menjadi seorang satria sejati, pembela kebenaran dan keadilan, menentang yang jahat dan membela yang benar dan yang lemah tertindas.
Ia sudah mendengar akan adanya pemberontakan yang didukung oleh para tokoh sesat, berarti bahwa Kerajaan Singosari terancam bahaya. Kiranya jalan terbaik baginya adalah pergi ke kota raja dan melapofkan apa yang telah didengarnya dari kedua orang kakak beradik seperguruan itu tentang pergerakan para pemberontak di perbatasan Kediri sebelah selatan.
Kebetulan ada sebuah perahu yang sederhana yang memuat ubi merah, didayung oleh seorang laki-laki setengah tua menuju ke hilir.
Nurseta meneriakinya dari tepi. "Paman, aku ingin ke hilir, bolehkah aku menumpang perahumu?"
Laki-laki itu memandang Nurseta, ia melihat seorang pemuda tampan yang sikapnya ramah, diapun mendayung perahunya ke tepi.
"Andika tidak membawa barang berharga?" tanyanya sambil menahan perahu dengan dayungnya yang ditekankan pada tanah sambil memandang ke arah buntalan pakaian di punggung Nurseta.
Pemuda itu tersenyum "Aku bukan seorang saudagar, paman, melainkan seorang perantau miskin"
"Kalau begitu naiklah, dan bantu aku mendayung"
Nurseta naik ke atas perahu dan duduk di bagian belakang, ia menerima dayung dari orang tua itu yang duduk di bagian depan untuk mengemudikan perahu. Mulailah Nurseta mendayung, perahu meluncur ke tengah.
"Paman, mengapa paman tadi bertanya apakah aku membawa barang berharga?"
"Di depan sana banyak bajak, kalau mereka melihat orang membawa barang berharga, tentu kita akan diganggu"
Nurseta memandang lima buah keranjang yang penuh ubi merah itu, dan berkata "Akan tetapi kau membawa lima keranjang ubi, bukankah ini cukup berharga?"
"Hanya bajak kelaparan saja yang mau membajak ubi merah. Tak mungkin mereka mau bersusah payah menjualnya lebih dulu," kata orang itu, akan tetapi pandang matanya membayangkan kekhawatiran.
Baru saja dia berkata demikian, tiba-tiba nampak sebuah perahu hitam muncul dari semak-semak di tepi sungai. Kanan kiri sungai yang lebar itu penuh dengan semak belukar dan pohon-pohon besar, dan tidak nampak ada manusia, letaknya juga jauh dari pedusunan, sunyi teekali.
Perahu hitam itu ditumpangi lima orang yang, langsung memotong jalan. pemilik ubi merah itu memandang pucat.
"Dayung terus, cepat!" bisiknya kepada Nurseta.
Nurseta dapat menduga bahwa merka ini tentulah bajak yang dimaksud oleh petani ubi tersebut.
"Hei! Berhenti, apakah kalian ingin mampus?" bentak seorang bajak.
"Berhenti dan serahkan samua barang kalian, juga pakaian yang kalian pakai itu!" teriak bajak lain.
Perahu bajak itu meluncur cepat mendampingi perahu petani itu, dan seorang diantara mereka bangkit berdiri dan mengayunkan dayung yang agak besar ke arah kepala Nurseta. Agaknya, mereka menganggap Nurseta yang masih muda itu lebih berbahaya dari pada si petani, maka perlu dirobohkan dahulu.
Melihat ini, Nurseta juga menggerakkan dayungnya menangkis sambil mengerahkan tenaga dan mendorong.
"Dukkk........ byurrr.......!"
Tak dapat dicegah lagi, orang itu terjengkang dan tercebur ke dalam air. Empat orang bajak lainnya terkejut. Mereka lalu berloncatan terjun ke air. Perahu yang ditumpangi Nurseta dan petani itu terguncang hebat dan miring. Tahulah Nurseta bahwa lima orang bajak itu hendak menggulingkan perahu yang ditumpanginya. Dan dia maklum bahwa kepandaian renangnya yang hanya terbatas, itu takkan dapat melindungi dirinya kalau sampai dia terjatuh ke dalam air. Tentulah ia akan celeka, kalau ia dikeroyok dalam air oleh para bajak yang amat mahir bergerak dalam air.
Akan tetapi, Nurseta tidak dapat mencegah mereka. Para bajak itu menyelam dan berusaha membalikkan perahu dari bawah, sehingga Nurseta tidak dapat menyerang untuk mencegah perahu terguncang, semakin lama, guncangannya semakin hebat dan akhirnya terbalik. Petani itu berteriak dan tercebur ke dalam air, akan tetapi Nurseta sudah meloncat dengan sigapnya ke atas perahu bajak yang ditinggalkan.
Dengan marah Nurseta melihat seorang bajak menusukkan goloknya ke punggung petani itu. Petani itu memekik dan terkulai.
"Keparat busuk!" Nurseta berseru, akan tetapi karena dia tidak berdaya menghadapi mereka yang berada di dalam air, terpaksa dia mendayung perahu bajak itu ke tepi dan meloncat ke darat. Dia mengharapkan lima orang bajak itu akan mendarat pula untuk dihajarnya. Mereka telah membunuh petani ubi yang tidak berdosa itu.
Akan tetapi tiba-tiba dia melihat peristiwa yang membuat dia terbelalak dan terkejut sekali. Entah dari mana datangnya, tiba-tiba saja sudah muncul seorang gadis berpakaian serba hijau dari dalam air diantara para bajak yang juga menjadi terkejut sekali melihat seorang gadis secara tiba-tiba saja muncul dari bawah air.
Akan tetapi, lima orang itu adalah bajak-bajak yang sudah kebal akan rasa takut. maka hanya sebentar saja mereka terkejut, karena segera mereka mendapat kenyataan bahwa gadis itu adalah gadis cantik sekali, kini sikap mereka berubah menjadi liar. Mereka tertawa-tawa dan tangan merekapun berebutan hendak menjangkau tubuh gadis. yang cantik itu.
Akan tetapi, Nurseta melihat betapa kedua tangan gadis itu dengan gerakan cepat sekali telah menampar secara bertubi-tubi lima orang itu. Terdengar suara keras disusul jerit-jerit mengerikan dan lima orang itupun terkulai dengan kepala retak dan mayat merekapun terapung dan hanyut oleh arus air, mengejar mayat petani yang tadi mereka bunuh.
Wajah Nurseta menjadi pucat dan matanya terbelalak, bukan saja melihat betapa gadis itu dengan cara yang amat ganas telah membunuh lima orang bajak demikian mudahnya, melainkan terutama sekali karena dia mengenal wajah gadis berpakaian serba hijau itu.
"Wulansari....!" teriaknya.
Gadis yang hanya tampak kepalanya saja di permukaan air, menoleh kepadanya, memandang dengan sikap dingin tanpa senyum, kemudian menyelam kembali.
Nurseta hanya melihat bayangan hijau meluncur di bawah permukaan air dan lenyap. Ketika dia memandang ke depan, bayangan hijau itu sudah muncul jauh di hilir kemudian berenang ke tepi dan meloncat ke darat dan lenyap di antara semak belukar.
Nurseta masih terpukau, sampai lama dia memandang ke arah lenyapnya bayangan hijau itu, kemudian memandang ke arah enam mayat yang terapung perlahan mengikuti arus sungai. Iapun menarik napas panjang, perasaannya masih terguncang.
Hikmah Pedang Hijau 12 Duri Bunga Ju Karya Gu Long Golok Sakti 3
^