Pencarian

Sejengkal Tanah Sepercik Darah 5

Sejengkal Tanah Sepercik Darah Karya Kho Ping Hoo Bagian 5


"Wuuuuuttt........!" Penggada itu menyambar mengeluarkan angin keras saking berat dan cepatnya sambaran itu. Tenaga yang terkandung dalam serangan itu amat kuat, dan memang senjata Ki Kalakatung ini menggiriskan, sekali pukul saja dia mampu menghancurkan batu gunung yang besar. Apa lagi kalau mengenai kepala lawan, sungguh amat mengenaskan, kalau dibayangkan penggada itu memukul kepala, kepala itu pasti akan lumat.
Pragalbo maklum akan kedahsyatan penggada Rujakpolo ini, maka iapun tidak mau mencoba-coba membiarkan kepalanya dihajar, cepat dia mengelak dengan merendahkan tubuhnya dan menggeser kaki ke kiri, menyuruk di bawah sambaran penggada yang lewat di atas kepalanya. Sementara itu, Pragalbopun tidak tinggal diam, sambil mengelak ke kiri, keris di tangannya meluncur dan menghunjam ke arah dada lawan.
"Heh!" Ki Kalakatung meloncat ke belakang dengan cekatan, dan tusukan keris itupun dapat dihindarkan. Di lain detik, penggada galih asem hitam itu sudah menyambar lagi dari kiri ke kanan. Melihat betapa senjata berat itu, setelah tadi menghantam dari kanan ke kiri dengan dahsyatnya, kini dapat membalik cepat. Menunjukkan betapa si botak berpunuk ini memang memiliki tenaga kuda yang kuat.
Namun Pragalbo tidak kalah gesit. Ia dapat mengelak dan membalas dengan serangan kerisnya, secara bertubi. Terjadilah perkelahian yang seru. Akan tetapi Pragalbo yang memegang sebatang keris sebagai senjata, tentu saja dapat bergerak lebih gesit karena senjatanya jauh lebih ringan. Kecepatan inilah yang membuat Ki Kalakatung kewalahan sehingga ia terdesak. Sebetulnya, tingkat kepandaian kedua orang ini seimbang, hanya karena senjata Kalakatung jauh lebih berat, maka gerakannya kalah gesit, kalah cepat walaupun serangan-serangannya dengan penggada itu jauh lebih berbahaya.
Sementara itu, Raden Galinggangjati dengan mudah merobohkan dua orang petani yang terdekat, kemudian melihat betapa kawannya terdesak oleh keris Pragalbo yang menyambar-nyambar ganas, dia lain meloncat ke dalam medan perkelahian itu, menggerakkan senjata di tangannya, yaitu sebatang pedang melengkung yang gagangnya terbuat dari emas. Sinar kehijauan menyambar bergulung-gulung ketika dia menggerakkan pedangnya menyerang Pragalbo. Orang gagah ini terkejut sekali karena sambaran pedang itu amat dahsyat dan berbahaya, selain cepat sekali luncurannya, juga mengeluarkan suara berdengung dan amat kuat.
"Tringgg........!" Kerisnya menangkis dan kedua orang itu merasa betapa tangan mereka yang memegang senjata masing-masmg tergetar hebat, tanda bahwa tenaga mereka seimbang. Akan tetapi pada saat itu, penggada di tangan Ki Kalakatung sudah menyambar lagi dari samping, mengancam kepala Pragalbo. Ketika Pragalbo mengelak dan merendahkan tubuhnya, sebuah tendangan kaki Raden Galinggangjati menyambar ke arah perutnya dari samping. Pragalbo miringkan tubuh untuk mengelak, akan tetapi tetap saja paha kirinya terkena serempetan tumit kaki lawannya itu.
"Dukkk....... !!" Tidak terlalu keras kenanya karena Pragalbo sudah miringkan tubuh, hanya terserempet saja, namun karena tendangan itu mengandung tenaga kuat, tidak urung tubuh. Pragalbo terhuyung juga. Kesempatan ini dipergunakan oleh Raden Galinggangjati yang dapat bergerak lebih cepat dari kawannya, karena senjata pedangnya jauh lebih ringan, untuk mengejar, dan pedangnya terayun ke arah tubuh yang sedang terhuyung itu.
"Cringgg......" Bunga api berpijar ketika pedang itu bertemu dengan sebuah suling hitam yang menangkisnya.
Raden Galinggangjati mengangkat muka memandang. Wajah yang tampan itu menyeringai dan sepasang matanya mengeluarkan sinar berapi.
"Babo babo, kiranya Padasgununglah yang memimpin para petani itu" Engkau pula yang tadi meniup sulingmu" Pantas, para petani tolol itu berani karena ada orang-orang macam kau dan Pragalbo. Mampuslah" Pedangnya menyambar ganas ke arah leher Padasgunung yang cepat menangkis dengan sulingnya lalu membalas. Segera terjadi perkelahian seru antara Raden Galinggangjati dan Padasgunung. Melihat munculnya kakak seperguruannya, besarlah hati Pragalbo dan iapun cepat menerjang Ki Kalakatung dengan kerisnya. Si botak berpunuk ini cepat mengelak dan mengayun penggadanya untuk membaias.
Di sekitar pertempuran mereka, terjadi pula pertempuran antara laskar rakyat petani melawan para pemberontak.
Karena memang tingkat kepandaian Padasgunung dan Pragalbo setingkat dibandingkan dua orang lawannya, maka perkelahian itu bukan main serunya dan sukar diduga siapa diantara mereka yang akan keluar sebagai pemenang. Pedang di tangan Raden Galinggangjati dapat mengimbangi gerakan suling di tangan Padasgunung, sehingga yang nampak diantara mereka hanya dua gulungan sinar hitam dan kehijauan yang saling belit dan saling sambar seperti dua ekor naga bermain di angkasa.
Tidak ada diantara laskar petani dan anggota pasukan pemberontak yang berani mendekati empat orang yang seding berkelahi ini, setelah ada beberapi orang diantara mereka terjungkal dan tidak mampu bangkit kembali ketika mencoba untuk membantu pemimpin-pemimpin mereka. Empat orang ini terlalu kuat bagi anggota pasukan biasa. Karena itu, para anggota laskar petani dan para anggota pemberoutak menjauhkan diri dari mereka dan bertempur kacau balau tanpa komando lagi.
Pada saat empat orang pimpinan kedua pihak itu saling serang dengan serunya, tiba-tiba terdengar bunyi cambuk meledak-ledak di atas kepala Padasgunung dan Pragalbo. Kedua orang gagah ini terkejut bukan main. Mereka sedang saling serang dengan dua orang pimpinan pemberontak, maka tidak sempat menangkis dan hanya meloncat ke belakang, namun ujung cambuk itu sempat menggigit pundak kiri Padasgunung dan merontokkan ujung gumpalan rambut Pragalbo.
Ketika mereka melihat, ternyata yang muncul menyerang mereka itu adalah seorang laki-laki berusia sekitar empat puluh lima tahun. Wajahnya tampan dengan kumis dan jenggot rapi, tampak gagah, sepasang matanya tajam dan liar, pakaiannya menunjukkan bahwa ia seorang yang suka mengolah kebatinan, ahli tapa dan jubahnya jubah pendeta. Tangan kanannya memegang gagang sebatang pecut panjang, pecut sapi yang tadi dilecutkan ke arah kepala Padasgunung dan Pragalbo, sedangkan tangan kirinya memegang sebuah kipas bambu yang bentuknya bundar. Ia tersenyum-senyum mengejek melihat betapa Padasgunung dan Pragalbo tadi terkejut karena serangannya yang hebat.
Akan tetapi sebaliknya, Kalakatung dan Raden Galinggangjati merasa gembira sekali dengan munculnya orang ini. Apalagi melihat betapa lecutan tadi membuat Padasgunung dan Pragalbo terkejut. Mereka segera maju lagi menyerang dan ketika dua orang pemimpin laskar rakyat petani itu menangkis, laki-laki berjubah pendeta itupun menggerakkan cambuknya yang panjang untuk membantu.
Padasgunung dan Pragalbo melawan mati-matian, namun mereka kewalahan dan repot menghadapi desakan tiga orang itu. Terutama sekali si pemegang pecut itu sungguh tangguh sekali, dan memiliki tingkat kepandaian yang masih lebih tinggi dari mereka. Maka, terdesaklah Padasgunung dan Pragalbo, dan mereka hanya mampu melindungi dirinya tanpa mampu membalas serangan tiga orang lawan mereka.
"Hemm, para pemberontak keparat" Tiba-tiba terdengar suara nyaring dan muncullah seorang laki-laki berusia kurang lebih lima puluh lima tahun, tinggi kurus, akan tetapi tulang-tulangnya besar dan kokoh kuat, perutnya gendut. Pakaiannya sederhana serba hitam seperti pakaian petani, bajunya terbuka sehingga nampak dadanya yang berbulu, mukanya brewok, matanya lebar mencorong dan wajahnya membayangkan kekasaran namun juga keramahan dan kegembiraan.
"Heh, keparat Ki Jembros. Jangan mencampuri urusan kami" Laki-laki berpakaiam pendeta tadi berseru ketika melihat munculnya Ki Jembros.
"Ha-ha-ha, kiranya Resi Harimurti yang membantu para pemberontak. Aku membela kerajaan, itu sudah sewajarnya, akan tetapi kalau seorang resi, seorang pendeta dan pertapa macam kau ini membantu pemberontak, sungguh sukar dimengerti." jawab Ki Jembros. Ia mengenal Resi Harimurti itu adalah seorang pertapa atau pendeta yang suka berkelana, namun di samping terkenal karena kesaktiannya, ia juga terkenal sekali karena kelemahannya terhadap wanita cantik, ia seorang pendeta cabul, dan hal ini mudah diketahui dari sinar matanya yang tajam itu.
"Keparat, tak perlu banyak cakap" bentak Ki Kalakatung yang sudah mengangkat galih asemnya dan menimpakannya dengan kuat ke arah kepala Ki Jembros. Melihat ini, Ki Jembros mengangkat lengan kirinya menangkis.
"Dukkk !" Lengan itu menangkis galih asem yang besar dan berat, akan tetapi akibatnya, Ki Kalakatung sendiri yang menyeringai kesakitan dan hampir saja penggada itu terlepas dari tangannya. Raden Gilinggangjati meloncat dengan keris di tangan, menusukkan kerisnya ke arah dada Ki Jembros yang sama sekali tidak menangkis atau mengelak sehingga keris itu tepat menghunjam dadanya.
"Tukk !" Keris itu seperti menusuk baja dan Ki Jembros tertawa bergelak, sementara itu Raden Galinggangjati meloncat mundur dengan muka pucat. Kerisnya tidak mampu melukai dada Ki Jembros. Hal ini tidaklah aneh, karena Ki Jembros telah mengerahkan sebuah diantara ilmunya yang hebat, yaitu aji kesaktian Trenggiling Wesi, suatu aji kekebalan. Tentu saja aji kekebalan ini hanya mampu menahan serangan orang yang lebih rendah ilmunya, yang kekuatannya jauh di bawah tingkat Ki Jembros sendiri. Buktinya, ketika Resi Harimurti menggerakkan pecutnya, menghantam ke arah kepala Ki Jembros, orang kokoh kuat ini tidak berani menerimanya seperti ketika dia diserang oleh keris tadi. Ia miringkan tubuhnya dan ketika pecut itu lewat di pinggir telinganya. Ki Jembros membalikkan tubuhnya dan menghantam dengan tangan terbuka, dengan jari-jari tangan yang menjadi tegang dan keras bagaikan baja, ke arah dada lawannya.
"Plak.........!" Tangan terbuka itu tertangkis oleh seoatang kipas bambu yang terlipat, sebatang kipas yang bukan hanya menangkis, akan tetapi juga dipergunakan ujung gagangnya yang runcing untuk menusuk ke arah urat nadi tangan itu. Resi Harimurti memang seorang tokoh yang terkenal dengan sepasang senjatanya, yaitu sebatang pecut dan sebuh kipas bambu. Ki Jembros cukup mengenal ketangguhan lawan ini, maka ketika tangannya tertangkis, diapun memutar pergelangan lengannya sehingga terbebas dari tusukan ujung gagang kipas lawan. Kaki kirinya mencuat dan menendang ke arah selangkang Resi Harimurti yang juga dapat cepat mengelak dengan loncatan ke belakang.
Terjadilah perkelahian yang amat seru antara kedua orang yang sama-sama memiliki aji kesaktian yang hebat itu. Pecut di tangan kanan Resi Harimurti meledak-ledak sedangkan kipasnya meniupkan angin yang menyambar-nyambar, akan tetapi terjangan Resi Harimurti yang dahsyat itu dapat diimbangi oleh Ki Jembros yang mengerahkan aji kesaktian Hastobairowo yang lebih dahsyat lagi. Dengan aji pukulan Hastobairowo, ditambah aji kekebalan Trenggiling Wesi, maka Resi Harimurti mulai terdesak terus.
Sementara itu, Kalakatung sudah bertanding lagi melawan Pragalbo, sedangkan Raden Galinggangjati melawan Padasgunung. Pertandingan antara mereka ini tidak kalah serunya, akan tetapi seperti juga dengan keadaan Resi Harimurti, dua orang tokoh pembantu Mahesa Rangkah inipun mulai terdesak oleh dua orang satria itu.
Melihat betapa tiga orang pemimpin mereka terdesak, pasukan pemberontak menjadi panik dan kacau. Tadinya, biarpun jumlah mereka hanya setengah jumlah laskar rakyat, namun para pemberontak itu tidak merasa gentar karena mereka adalah orang orang dari dunia sesat yang sudah biasa mempergunakan kekerasan, sudah biasa berkelahi, sebaliknya lawan mereka adalah para petani yang. belum mempunyai pengalaman pertempuran. Akan tetapi, setelah melihat betapa tiga orang pemimpin mereka terdesak, khawatirlah hati mereka dan karenanya, laskar rakyat petani yang lebih banyak jumlahnya dan yang bersemangat besar melihat sepak terjang pimpinan mereka yang gagah perkasa, dapat mendesak para pemberontak dengan pekik semangat menuju kemenangan.
Gentarlah hati Resi Harimurti. Dia adalah seorang yang memiliki kepandaian tinggi akan tetapi juga watak yang licik dan tidak bertanggung jawab. Begitu melihat bahwa keadaan tidak menguntungkan dan kalau dia lanjutkan perkelahian itu, keselamatannya terancam bahaya maut, maka diapun segera memutar-mutar cambuknya dengan cepat sehingga Ki Jembros sendiri terpaksa harus mundur untuk menghindarkan bahaya cambukan. Kesempatan ini dipergunakan oleh Resi Harimurti untuk meloncat jauh ke belakang dan diapun menghilang diantara pasukan pemberontak dan terus melarikan diri meninggalkan medan pertempuran.
Ki Jembros mengejar, namun kehilangan jejak. Dengan hati gemas iapun mengamuk diantara para pemberontak. Sepak terjangnya menggiriskan dan banyak anak buah pemberontak bergelimpangan terkena terjangan kaki tangannya. Ketika melihat betapa Pragalbo dan Padasgunung masih juga belum mampu merobohkan kedua orang lawannya, Ki Jembros lalu terjun ke dalam perkelahian antara mereka. Tendangan kakinya yang dahsyat menyambar ke arah Ki Kalakatung.
Jagoan Blitar yang berkepala botak ini sedang repot mengadap Pragalbo, maka ketika Ki Jembros terjun dan mengayun kakinya, ia menjadi gugup. Apa lagi ia melihat betapa Resi Harimurti, orang yang diandalkannya, tadi telah meiarikan diri, tidak kuat melawan Ki Jembros. Dengan gugupnya, dia menggerakkan ruyung yang terbuat dari galih asem hitam dan diberi nama Gada Rujakpolo itu menyambut, dengan maksud menghantam remuk tulang kaki Ki Jembros.
"Brakkkk.......!" Memang ada yang patah, akan tetapi bukan tulang kaki Ki Jembros melainkan ruyung galih asem itu. Dan pada saat itu, Pragalbo sudah menghunjamkan kerisnya. Ki Kalakatung sedang kaget sekali karena selain ruyungnya patah, juga telapak tangannya yang tadi memegang ruyung terasa nyeri seolah-olah kulitnya terbeset. Ia melepaskan ruyungnya dan pada saat itulah, keris di tangan Pragalbo menusuk, dan ia tidak sempat lagi mengelak.
"Ceppp.....", Jagoan berpunuk itu menjerit mendekap dadanya dan tubuhnya terjengkang ketika Pragalbo mencabut kerisnya dan menendang ke arah lututnya.
Melihat ini, Raden Galinggangjati menjadi panik. Seperti juga Ki Kalakatung, tadi ia sudah merasa bingung melihat larinya Resi Harimurti dan kacaunya pasukan pemberontak. Kini, melihat robohnya Ki Kalakatung, tentu saja ia menjadi ketakutan. Iblis Gunung Gajahmungkur ini cepat mendesak Padasgunung dengan pedangnya yang bentuknya melengkung, bergagang emas dan mengeluarkan sinar kehijauan.
Padasgunung cepat meloncat ke belakang sambil memutar suling hitamnya, akan tetapi ia menjadi marah ketika melihat betapa tiba-tiba lawannya memutar tubuh dan menyelinap diantara para anak buah yang sedang bertempur.
"Pengecut, hendak lari ke mana kau?" bentaknya dan iapun meloncat ke depan, cepat sekali dan sulingnya terayun ke arah tengkuk Raden Galinggangjati. Orang ini mendengar bunyi mengaung dan cepat ia menundukkan kepala sambil miringkan tubuh.
"Takkk!" Suling itu luput mengenai kepala bagian belakang, akan tetapi meleset menghantam pundak kanan Iblis Gunung Gajahmungkur itu. Raden Galinggangjati mengeluh, akan tetapi ia segera menghilang diantara banyak orang yang bertempur.
Padasgunung menjadi marah dan kecewa. Ia telah berhasil melukai lawan, akan tetapi hatinya belum puas kalau belum dapat merobohkannya, maka cepat ia mengejar. Namun, tidak mudah mengejar lawan yang meJarikan diri di antara ratusan orang yang sedang bertempur itu. Ia mengamuk dan merobohkan banyak anak buah pemberontak yang menjadi semakin kocar kacir karena pada saat itu, Ki Jembros dan Pragalbo juga sedang menaamuk.
Setelah terjadi pertempuran yang tidak seimbang, akhirnya sebagian dari pasukan pemberontak itu lari cerai berai meninggalkan banyak kawan yang tewas atau terluka berat. Laskar rakyat yang dipimpin oleh Padasgunung dan Pragalbo melakukan pengejaran. Akan tetapi karena sisa pasukan pemberontak itu lari cerai berai ke segaia jurusan, maka sukarlah melakukan pengejaran terarah.
Ketika melakukan pengejaran ini, dibantu pula oleh Ki Jembros, pasukan rakyat ini bertemu dengan pasukan besar yang tadinya membuat Padasgunung dan Pragalbo terkejut. Pasukan itu rapi, jumlahlah tidak kurang dari seribu orang, dipimpin oleh orang-orang gagah berkuda dan nampak pasukan itu kuat bukan main. Akan tetapi ketika melihat umbul-umbul, bendera dan tanda-tanda pasukan lainnya, Ki Jembros tertawa.
"Itu adalah pasukan Singosari!" katanya dan diapun melangkah paling depan menyambut pasukan besar itu.
Pasukan itu dipimpin beberapa orang senopati, dikepalai oleh Senopati Ronggolawe yang muda dan gagah.perkasa. Tadinya para senopati itu terkejut melihat laskar rakyat itu. Mereka mengira bahwa itu adalah pasukan gerombolan pemberontak, maka para senopati telah memberi aba-aba kepada pasukan mereka agar siap siaga, apa lagi melihat betapa laskar itu seperti berlari-lari, dikejar atau mengejar sesuatu. Akan tetapi setelah mereka melihat seorang kakek tinggi besar gagah perkasa dan berpakaian serba hitam melangkah lebar di depan, Senopati Ronggolawe dan para senopati lainnya segera mengenalnya.
"Paman Jembros.......!" Ronggolawe berseru sambil meloncat turun dari atas kudanya dan menghampiri kakek itu.
Ki Jembros tertawa. "Ha-ha-ha, sungguh membesarkan hati melihat para senopati yang gagah perkasa memimpin pasukan Singosari. Tentu andika sekalian sedang menuju ke perbatasan untuk menumpas pemberontak pimpinan Mahesa Rangkah, bukan?"
"Benar sekali dugaan paman, akan tetapi, laskar manakah ini" Dan dari manakah mereka paman?" tanya Senopati Ronggolawe.
Ki Jembros tersenyum lebar dan mengacungkan ibu jari tangan kanannya.
"Ini laskar bebat, anakmas senopati. Laskar rakyat yang dikumpulkan dan dilatih oleh Padasgunung dan Pragalbo yang gagah perkasa, dalam usaha mereka menentang pemberontak dan membantu pemerintah Singosari. Baru saja tadi laskar ini memukul hancur pasukan pemberontak yang dipimpin oleh Resi Harimurti, Ki Kalakatung dan Raden Galinggangjati. Sisanya lari cerai berai dan kami tadi berusaha melakukan pengejaran. Sayang bahwa Resi Harimurti dan Raden Galinggangjati berhasil melarikan diri"
Para senopati memuji dan berkenan menerima Padasgunung dan Pragalbo.
"Kalian adalah satria-satria yang patut dibuat contoh" kata Senopati Ronggolawe. "Sekarang, gabungkanlah sisa laskar rakyat yang gagah perkasa ini, mengikuti pasukan kami dan membantu kami menyerbu ke induk pasukan pemberontak"
"Anakmas Senopati Ronggolawe, apakah kau sudah mengetahui di mana adanya induk pasukan pemberontak Mahesa Rangkah itu?" tanya Ki Jembros.
Senopati Ronggolawe mengangguk. "Paman Jembros, kami sudah mendengar banyak tentang Mahesa Rangkah dari para penyelidik kami. Tentu saja sarang merekalah yang sekarang ini merupakan sarang sementara saja semenjak mereka keluar dari daerah Kediri, karena mereka bermaksud untuk menyeberang dan maju ke arah kota raja Singosari. Pasukan mereka terpencar-pencar, oleh karena itu, kamipun sudah mengirim pasukan yang terpencar untuk menghadang mereka di segala penjuru"
Laskar rakyat itu dengan gembira, di bawah pimpinan Padasgunung dan Pragalbo, kini bergabung dengan pasukan pemerintah Singosari, berbaris dengan gagah dan penuh semangat di belakang pasukan Singosari itu.
Ki Jembros dan kedua orang satria itupun diterima oieh para senopati sebagai rekan mereka dan kepada mereka bertiga diberi tiga ekor kuda yang pilihan. Pasukan itupun melanjutkan perjalanan menuju ke sarang Mahesa Rangkah yang sudah diketahui, yaitu di Bukir Lejar.
Siasat yang diambil oleh para senopati di Singosari memang hebat. Para senopati itu maklum bahwa biarpun pemberontakan Mahesa Rangkah mendapat dukungan moril dara Kediri, namun pihak Kerajaan Kediri ataui Daha itu tidak berani secara langsung membantu. Ini membatasi kekuatan Mahesa Rangkah yang tidak berapa. Oleh karena itu, untuk menghemat tenaga, karena. sebagian dari pasukan dibutuhkan untuk menjaga keselamatan Kota Raja, Senopati Ronggolawe lalu memimpin tiga ribu orang pasukan saja. Yang duaribu orang dipecah-pecah menjadi beberapa kelompok, dipimpin masing-masing seorang senopati dan kelompok pasukan kecil yang hanya terdiri dari seratus sampai duaratus orang ini ditugaskan untuk melakukan penghadangan terhadap pasukan pemberontak yang juga dipecah-pecah menjadi kelompok-kelompok kecil untuk mengacaukan suasana dan menyerang dari dusun-dusun terpencil.
Adapun pasukan induk, yang terdiri dari seribu orang, dipimpin sendiri oleh Ronggolawe, menuju ke sarang pemberontak di Bukit Lejar. Dia tidak tergesa-gesa, bahkan berlambat untuk memberi kesempatan kelompok kesatuan kecil yang disebar itu untuk menghalau gerombolan pemberontak agar mereka berkumpul kembali di Bukit Lejar, barulah pasukan induk Singosari akan menyerbu.
Dengan adanya siasat ini, di mana-mana terjadi pertempuran kecil dari pasukan kedua pihak yang jumlahnya antara seratus sampai dua ratus orang itu.
Keuntungan para senopati yang memimpin pasukan-pasukan kecil itu adalah karena di sepanjang perjalanan, mereka mendapat dukungan rakyat yang rata-rata membenci para pemberontak. Setiap kali terjadi pemberontakan dan perang, tentu rakyat di dusun-dusun yang menjadi korban. Para pemberontak itu biasanya amat ganas dan jahat, bakan hanya merampok penduduk dusun, juga membunuh, memperkosa dan melakukam segala macam perbuatan yang sewenang-wenang. Oleh karena itu, ketika mengetahui bahwa, pemerintah Singosari mengirim pasukan untuk menumpas pemberontak, para penghuni dusun-dusun menjadi gembira dan mereka dengan suka rela membantu apa saja yang dapat mereka lakukan. Bahkan, seperti yang telah diusahakan oleh Padasgunung dan Pragalbo, ketika, para satria yang menentang pemberontak menghimpun para penghuni dusun, banyak pemuda dusun yang dengan suka rela masuk menjadi anggota laskar rakyat sehinsga dengan demikian, kekuatan pihak Kerajaan Singosari semakin besar.
Tidaklah mengherankan kalau pasukan Singosari yang memperoleh dukungan rakyat, di mana-mana selalu memperoleh kemenangan dan kelompok pasukan kecil-kecil para pemberontak itu, dapat dipukul mundur dan mereka itu segera kembali ke Bukit Lejar untuk melapor kepada induk pasukan.
Mahesa Rangkah sendiri, yang merupakan pucuk pimpinan, setelah membagi pasukannya menjadi kelompok-kelompok kecil, segera memimpin sisa pasukannya yang terdiri dari tiga ratus orang tentara pilihan, untuk melakukan penyeberangan ke timur menuju ke kota raja Singosari. Menurut siasat yang telah direncanakannya dan diperintahkan kepada semua pembantunya yang menjadi pimpinan setiap kelompok pasukan kecil, kalau pasukan-pasukan mereka berhasil, mereka harus berkumpul di hutan jati yang berada di sebelah barat kota raja Singosari, di mana mereka akan menyusun kekuatan dan melakukan penyerbuan ke kota raja Singosari. Sebaliknya, andaikata pasukan-pasukan itu menemui kegagalan, maka kalau mereka mundur, mereka semua akan kembali ke Bukit Lejar untuk menyusun kembali kekuatan mereka.
*** Terjadi perubahan besar pada diri Nurseta sejak dia naik ke puncak Gunung Kelud. Ketika ia naik ke puncak itu, ia masih berwajah gembira dan sepasang matanya bersinar-sinar, apa lagi ketika ia memperoleh keterangan bahwa di dekat puncak, ia akan dapat menemukan ayahnya, Ki Baka yang telah bertahun-tahun tidak dijumpainya. Dan ternyata iapun benar-benar telah berhasil bertemu dengan ayahnya itu. Akan tetapi, sungguh di luar dugaanya, bahwa pertemuan itu akan menimbulkan guncangan yang amat bebat pada batinnya. Sungguh, berita yang didengarnya dari Ki Baka, merupakan berita yang mengguncang batin dan membuat ia bingung dan kecewa, juga berduka. Betapapun kuat, batinnya, mendengar bahwa Ki Baka bukanlah ayah kandungnya, kemudian mendengar bahwa ayah kandungnya, seorang pangeran di Kediri yang kini telah meneninggal dunia pula, lalu ditambah lagi dengan keinginan Ki Baka untuk menjodohkan dia dengan Pertiwi, gadis dusun yang baik hati itu, sungguh mengguncang batinnya.
Kini. ketika ia berpisah dengan Ki Baka dan menuruni Gunung Kelud, tubuhnya terasa lemas, semangatnya mengendur, sepasang matanya sayu dan mukanya agak pucat.
Namun, Nurseta bukanlah seorang pemuda yang mudah putus asa. Biarpun dia mengalami himpitan batin yang amat hebat, namun dia dapat menenangkan batinnya dan tanpa mengeluh, ia hanya menyerahkan segala keadaan dirinya kepada Hyang Widhi. Sesungguhnyalah, tidak ada kekuatan di dunia ini yang lebih besar dan berkuasa dari pada kekuatan iman kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Nurseta tidak kehilangan kewaspadaan dan kesadarannya. Sebagai seorang manusia biasa, tentu saja ia terpukul batinnya dan perasaannya nyeri, penuh kecewa dan duka karena menemukan dirinya sendiri sebagai seorang yatim piatu, tiada ayah dan ibu, bahkan tidak dapat mengetahui riwayatnya karena sudah tidak ada lagi orang yang dapat ditanyainya. Pangeran Panji Hardoko yang katanya adalah ayah kandungnya itu, telah meninggal dunia, dan orang yang diserahi dirinya, yaitu Ki Baya, juga telah tiada. Dia adalah seorang yatim piatu yang tidak mengenal riwayat diri sendiri, tidak tahu mengapa ia oleh ayah kandungnya diserahkan kepada Ki Baya, dan siapa pula ibu kandungnya. Bahkan diapun tidak atau belum yakin bahwa yang bernama Pangeran Panji Hardoko itu benar-benar ayah kandungnya. Akan tetapi, dalam. keadaan seperti itu, dia mengembalikan dan menyerahkan kesemuanya kepada Tuhan dan hatinyapun menjadi tenang. Kehendak Hyang Widhipun terjadilah. Dengan pikiran ini,. Nurseta menuruni Gunung Kelud untuk memulai dengan tugasnya, yaitu membantu Kerajaan Singosari untuk menentang pemberontakan yang dipimpin oleh Mahesa Rangkah.
Dia tahu ke mana harus pergi. Ke perbatasan antara Kediri dan Singosari, tentu saja. Bukankah di sana Mahesa Rangkah akan memulai pemberontakannya seperti yang pernah ia dengar" Dan di sepanjang perjalanan menuju ke perbatasan itu, iapun mulai mendengar akan adanya pertempuran-pertempuran kecil yang terjadi antara pasukan pemberontak dan pasukan Kerajaan Singosari. Iapun mempercepat perjalanannya dan hatinya lega mendengar dari para penghuni dusun betapa pasukan-pasukan pemberontak dapat dipukul mundur oleh pasukan Kerajaan Singosari yang didukung oleh para penduduk dusun yang mem-bentuk laskar-laskar rakyat.
Pada suatu pagi, tibalah dia di luar sebuah pedusunan, tak jauh dari Bukit Lejar. Dari jauh saja dia sudah mendengar suara sorak sorai dan hiruk pikuk, suara pertempuran". Mendengar ini, Nurseta mempercepat langkahnya, bahkan kini dia berlari menuju ke arah suara itu yang datang dari luar dusun, karena dia dapat menduga bahwa itu tentulah suara pasukan pemberontak yang sedang mengganas, atau sedang bertempur melawan pasukan pemerintah Singosari. Ia harus berhati-hati dan yakin lebih dahulu siapa yang sedang bertempur itu. Maka iapun naik ke sebuah bukit kecil dan dari puncak bukit ini dia melihat ke arah padang rumput di luar dusun. Dari tempat tinggi ini, ia dapat melihat dengaa jelas. Tak salah dugaannya. Terjadi pertempuran yang amat hebat. Debu mengepul dari suara berdentingnya senjata berbaur dengam teriakan-teriakan kemenangan jerit-jerit kesakitan. Dari tempat dia mengintai, Nurseta dapat membedakan dengan mudah antara dui kekuatan yang saling bertempur. Orang-orang yang mengenakan pakaian seragam itu tentulah pasukan Singosari, dan lawan mereka, orang-orang yang pakaiannya campur aduk, yang cara berkelahinya kasar dan ganas, agaknya tentulah para pemberontak, Dari atas, sukair mengenal wajah mereka, akan tetapi dengan perhitungan kasar, Nurseta dapat melihat betapa jumlah kedua pihak sebanding, hanya dari tempat tinggi itu diapun dapat melihat bahwa pihak tentara kerajaan agaknya terdesak hebat. Melihat ini, Nurseta lalu berlari turun dan mempergunakan ilmu berlari cepat menuju ke medan pertempuran.
Setelah dia tiba di sempat itu, makin jelas nampak olehnya betapa pasukan kerajaan memang terdesak hebat. Jumlah mereka memang seimbang, akan tetapi sepak terjang para anggota pemberontak itu memang dahsyat dan ganas sekali. Jelas bahwa para pemberontak ini merupakan pasukan pilihan dan agaknya para perajurit kerajaan kewalaban menghadapi amukan para pemberontak yang ganas itu. Apa lagi karena para pemberontak itu dipimpm oleh seorang yang bertubuh tinggi besar, berkulit hitam dan dadanya yang telanjang memperlihatkan lingkaran otot-otot yang amat kuat. Dengan sepasang mata lebar melotot, orang ini mengamuk dan siapapun yang dekat dengannya pasti roboh oleh tendangan kedua kakinya, tamparan tangan dan bacokan golok besar di kanannya.
Kakek ini sungguh gagah perkasa dan selalu serangannya mengandung tenaga besar sekali. Setiap orang perajurit Kerajaan Singosari yang kena ditendang atau ditampar, terlempar jauh dan terbanting untuk tidak dapat bangun kembali karena tewas seketika.
Dua orang senopati Kerajaan Singosari yang memimpin pasukan itu adalah dua orang senopati yang sudah terkenal, yaitu Senopati Pamandana dan Senopati Banyak Kapuk. Mereka berdua memimpin hampir empat ratus orang karena keduanya yang memimpin masing-masing dua ratus orang itu bertemu di jalan dan mereka lalu bergabung untuk menghadang pasukan yang dipimpin oleh Mahesa Rangkah sendiri yang jumlahnya tiga ratus orang lebih. Dan terjadilah pertempuran yang amat seru itu.
Akan tetapi, dua orang senopati itu sungguh kewalahan menghadapi kehebatan sepak terjang Mahesa Rangkah. Mereka merasa amat sukar mendekati kepala pemberontak yang sakti dan bertenaga besar itu. Golok besar di tangan Mahesa Rangkah itupun berat dan bergerak dengan amat cepatnya, menandakan bahwa raksasa pemberontak itu memang memiliki tenaga gajah. Banyak perajurit berusaha mengeroyok untuk membantu dan menyelamatkan dua orang pimpinan mereka, akan tetapi para perajurit itu bagaikan sekawanan nyamuk menerjang apa lilin saja. Tamparan dan tendangan Mahesa Rangkah membuat mereka berpelantingan, mayat para perajurit sudah berserakan di sekeliling pemimpin pemberontak itu.
"Babo babo, majulah semua, akan kutumpas habis orang-orang Singosari" teriak Mahesa Rangkah yang makin lama semakin buas seperti harimau mencium darah.
"Plak ! Plak" Dua kali tamparan tangan kiri dan kaki kanannya ditangkis orang dan ketika dengan terkejut karena merasa betapa kaki dan tangannya tergetar hebat oleh tangkisan itu. Mahesa mengangkat muka memandang, ia melihat bahwa penangkisnya hanyalah seorang pemuda yang usianya baru dua puluh tahun lebih sedikit, berwajah tampan halus, berpakaian sederhana dan sama sekali tidak berwibawa. Bahkan kumis tipisnya membuat pemuda itu kelihatan sebagai seorang pemuda tanggung yang lemah dan pantasnya dijadikan pemuda penghibur.
"Bojleng-bojleng iblis laknat! Siapakah kau ini" Apakah seorang Senopati Singosari yang baru" Sayang bagusmu, orang muda, jangan kau lanjutkan. Lebih baik kau mengabdi kepadaku, pemuda tampan"
Wajah Nurseta berubah merah. Sialan, pikirnya. Ia dianggap sebagai pemuda yang suka dijadikan kekasih oleh para datuk sesat. Pernah ia mendengar bahwa para datuk sesat banyak yang suka memelihara pemuda-pemuda tampan sebagai gadis-gadis cantik yang mungkin sudah membosankan bagi para datuk itu. Tadi, sebelum ia menerjang maju, ia bertanya kepada seorang perajurit Singosari yang terluka, siapakah pemimpin pasukan pemberontak itu dan siapa pula dua orang Senopati Singosari. Setelah mendapat keterangan, barulah ia menerjang maju dan berhasil menyelamatkan dua orang perajurit dari tamparan dan tendangan Mahesa Rangkah. Mengetahui bahwa raksasa itu bukan lain adalah Mahesa Rangkah sang pemimpin pemberontak, giranglah hati Nurseta. Ia memperoleh kesempatan untuk berbakti kepada Singosari, sesuai yang dipesankan Ki Baka, dan juga gurunya.
"Hemm, Mahesa Rangkah. Sumbarmu seolah-olah kau akan dapat menaklukkan kahyanga. Dengarlah baik-baik. Namaku adalah Nurseta dan biarpun aku bukan seorang senopati maupun perajurit Singosari, akan tetapi aku adalah seorang laki-laki sejati yang semenjak kecil hidup di daerah Singosari, minum air dan makan tumbuh-tumbuhan dari bumi Singosari. Oleh karena itu, mendengar bahwa tanah air Singosari hendak diperkosa seorang pemberontak keji bersama anak buahnya, aku tidak mungkin dapat berpeluk tangan saja" ia berhenti sebentar lalu "Mahesa Rangkah. Sebaiknya kau lekas berlutut dan menyerah, agar dapat kami tawan dan menghadap Sribaginda Raia di Singosari. Dengan demikian, dosamu akan menjadi lebih ringan"
"Babo-babo, keparat!" Mahesa Rangkah membelalakkan kedua matanya yang menjadi bundar sebesar jengkol tua, mukanya yang hitam itu menjadi semakin hitam karena agaknya muka itu dialiri lebih banyak darah dari pada biasanya, mulutnya menyeringai seperti mengeluarkan busa. "Kau ini bocah masih ingusan berani sekali menantang Mahesa Rangkah" Apakah kau bosan hidup?"
Tiba-tiba saja, tanpa peringatan lebih dahulu, Mahesa Rangkah menubruk ke depan, goloknya terayun cepat sekali. Golok itu beratnya paling sedikit ada tiga puluh kati, tebal dan berat dan tajam, akan tetapi dalam tangan Mahesa Rangkah, golok tebal itu seperti sebatang rumput saja ringannya dan gerakannya mengayun golok menyambar leher Nurseta, sungguh mengerikan.
Agaknya bagi penglihatan perajurit-perajurit Singosari yang berada di sekitar lingkaran pertempuran Nurseta, mengira bahwa leher pemuda itu tidak mungkin dapat diselamatkan lagi dan mereka sudah membayangkan dengan hati yang ngeri, betapa kepala pemuda yang tampan itu akan terlempar lepas dari tubuhnya, dan leher itu akan terbabat dan darah akan memancar dari leher Nurseta.
. ''Syuuuuttt.......!" Golok itu terbang lewat di atas kepala Nurseta. Dengan mudah saja tadi Nurseta menekuk kedua lututnya sehingga kepalanya merendah dan golok itu lewat di atas kepala, angin gerakan golok itu memotong gumpalan rambut di kepala Nurseta yang berkibar. Sambil merendahkan diri dengan menekuk kedua lututnya, Nurseta tidak membiarkan kedua tangannya menganggur begitu saja. Dengan jari tangan terbuka, dia menusuk ke arah perut gendut raksasa itu, dan tangan kirinya, juga dengan jari terbuka, mendorong ke atas sehingga telapak tangan bagian bawah yang mencuat itu menendaag ke atas, ke arah dagu lawan.
"Ehhh.....Ohhh......." teriak Mahesa Rangkah dan cepat ia meloncat ke belakang, nyaris dagunya tercium telapak tangan dan ia terkejut sekali. Salahnya sendiri karena tadi ia terlampau memandang rendah pemuda itu. Menurut perhitungannya sekali tabas tentu akan putus lehernya. Untung Mahesa Rangkah memang memiliki tingkat kepandaian tinggi sehingga serangan balasan Nurseta yang demikian cepat dan tak terduga itu masih dapat dielakkannya dengan meloncat surut ke bekakang.
Dengan penasaran kini Mahesa Rangkah menyerang lagi tidak berani main-main, karena maklum bahwa pemuda ini ternyata tidak boleh disamakan dengan dua orang Senopati yang memimpin pasukan Singosari itu. Ia memutar goloknya sehingga lenyaplah bentuk golok itu, berubah menjadi gulungan sinar yang menyilaukan mata. Juga tubuhnya menyelinap ke sana-kemari, kadang-kadang nampak kadang-kadang lenyap dalam gulungan sinar golok. Dari dari dalam gulungan sinar golok ini seringkali mencuat sinar tajam yang meluncur ke arah Nurseta.
Menghadapi serangan yang hebat ini, Nurseta juga bersikap hati-hati sekali. Dia menggerakkan tubuh dengan mantap, mengerahkan Aji Sari Patala dalam tubuhnya dan menghadapi ilmu golok lawan dengan aji kesaktian Bajradenta, sedangkan tangan kirinya mengeluarkan sebatang suling. Benda ini penting baginya dalam menghadapi gulungan sinar golok yang berbahaya itu, karena alat musik tiup ini dapat dia pergunakan untuk menangkis kalau perlu. Dan ternyata dengan Aji Bajradenta, dia tidak hanya dapat menghindarkan serangan lawan, bahkan mampu membalas dengan tak kalah dahsyatnya.
Melihat munculnya seorang pemuda yang mengaku bernama Nurseta dan ternyata amat sakti sehingga mampu menandingi Mahesa Rangkah, dua orang senopati Singosari itu menjadi lega dan girang sekali. Mereka lalu memimpin pasukannya untuk menghadapi pasukan pemberontak yang rata-rata memiliki kepandaian berkelahi yang kuat itu.
Dengan perlawanan dua orang senopati ini, sedangkan Mahesa Rangkah tidak mampu membantu anak buahnya, karena menghadapi Nurseta saja ia sibuk setengah mati. Maka perlahan-lahan pihak pemberontak terdesak mundur dan banyak diantara anak buah mereka yang roboh oleh amukan Senopati Pamandana dan Senopati Banyak Kapuk.
Melihat keadaan anak buahnya, pasukan inti yang diandalkan itu mengalami tekanan dan mendekati kekalahan, Mahesa Rangkah meniadi semakin panik dan dia menjadi nekat. Sambil mengeluarkan pekik menggetarkan, ia menubruk ke depan, goloknya membabat leher Nurseta, tangan kirinya mencengkeram ke arah dada, disusul tendangan kakinya yang mengarah selangkangan. Dihujani serangan berbahaya yang masing-masing merupakan serangan maut itu, Nurseta bersikap tenang sekali. Dia maklum akan kehebatan lawan yang amat berbahaya itu, maka diam-diam dia Ialu mengerahkan Aji Jagad Pralaya, yaitu aji pukuian yang dipelajarinya dari Panembahan Sidik Danasura. Nurseta meloncat ke belakang, cukup jauh dari jangkauan golok lawan, dan pada saat lawan mengejarnya dengan tendangan yang amat kuat, iapun menyambut tendangan kaki kanan itu dengan tangkisan lengan kiri, kemudian, pada saat yang sama, tangan kanannya membuat gerakan mendorong dengan jari tangan terbuka ke arah dada lawan, disertai suara melengking tinggi. Itulah Aji Jagad Pralaya yang ampuhnya tiada kepalang.
"Hyaaattt.......!"
Mahesa Rangkah terkejut ketika tendangannya bertemu dengan lengan yang keras bagaikan sebatang linggis besi, dan ia lebih terkejut lagi menghadapi hantaman tangan kanan pemuda itu yang dibarengi pekik melengking yang mendatangkan angin dahsyat. Terpaksa iapun melepaskan goloknya dan kedua tangannya terbuka, mendorong ke depan untuk menyambut, karena untuk menghindar sudah tiada kesempatan lagi.
"Desss..........!!"
Bagaikan sehelai layang-layang putus talinya, tubuh yang tinggi besar itu terdorong dan terhuyung ke belakang. Untung bagi Mahesa Rangkah, bahwa ia memihki banyak pengawal pribadi yang sejak tadi siap membantunya. Melihat Mahesa Rangkah terhuyung, belasan orang Ialu melindunginya dan raksasa inipun lenyap diantara ratusan orang yang sedang bertempur.
Para perajurit Singosari bersorak gembira melihat Mahesa Rangkah mundur, dan kemenangan Nurseta ini menambah semangat mereka. Juga kedua orang senopati Singosari kagum dan girang bukan main. Mereka berdua menghampiri Nurseta, dan Senopati Pamandana berkata dengan penuh kagum.
"Raden, kau sungguh hebat, mampu mengalahkan Mahesa Rangkah. Terima kasih atas bantuanmu, Raden Nurseta"
Diam-diam Nurseta merasakan sesuatu yang aneh, akan tetapi tidak janggal mendengar dirinya disebut Raden oleh seorang Senopati Kerajaan Singosari. Padahal ia hanyalah seorang pemuda miskin yang besar dalam kehidupan yang sederhana. di dusun-dusun dan pertapaan. Namun kenyataannya, ia adalah seorang putere pangeran, maka sebutan itupun diterimanya sebagai suatu hal yang sudah sewajarnya.
"Sudahlah, paman. Yang penting sekarang adalah mengejar dan menangkap Mahesa Rangkah sampai dapat, hidup ataupun mati karena ialah pemimpin pemberontakan ini, dan sekali ia dapat tertangkap, maka pemberontakan ini tentu akan berakhir"
Dua orang senopati itu membenarkan dan merekapun kemudian mengamuk, merobohkan setiap orang pemberontak yang melawan, namun mereka tidak berhasil menemukan Mahesa Rangkah. Adapun para anggota pemberontak, ketika melihat bahwa pemimpin mereka kalah, menjadi panik.
Sementara itu, Mahesa Rangkah bersembunyi diantara anak buahnya, diam diam ia mengumpulkan tenaga saktinya untuk memulihkan keadaannya. Ia teiah menderita luka dalam karena guncangan hebat akibat benturan tenaga sakti tadi. Ia muntah darah, akan tetapi berkat ilmunya yang tinggi, nyawanya masih dapat diselamatkan, hanya saja ia merasa bahwa untuk maju lagi melawan pemuda yang bernama Nurseta itu, ia tidak akan mampu menang, bahkan akan membahayakan nyawanya.
Nurseta maklum bahwa Mahesa Rangkah tentu belum pergi dari dalam medan pertempuran, maka iapun menyelinap pergi, Ialu melakukan pencarian secara diam-diam. Dan tak lama kemudian, usahanya berhasil ketika ia melihat bekas lawannya itu. Akan tetapi, kini keadaan Mahesa Rangkah telah pulih kembali. Raksasa ini sedang duduk bersila dan seorang kakek berdiri di belakangnya, menekan beberapa kali ke arah kedua pundak dan tengkuk.
Nurseta mengintai dari jauh dan mendekati perlahan-lahan sambil menyusup diantara orang-orang yang sedang bertempur.
Untuk yang terakhir kalinya, kakek itu menampar ke arah punggung Mahesa Rangkah, lalu berkata "Sembuhlah kau, Mahesa Rangkah. Dan lawanlah lagi musuhmu itu, jangan khawatir, aku akan membantumu dari belakang"
Mahesa Rangkah bangkit dengan wajah gembira, lalu berkata, "Terima kasih, Guru. Setelah. Guru datang, saya yakin dapat mengalahkan pemuda bernama Nurseta itu"
Nurseta mengamati kakek itu. Seorang kakek yang tubuhnya sedang dan biarpun kelihatan usianya sudah tua sekali, mungkin sekitar lebih dari tujuh puluh tahun, namun tubuh itu masih nampak tegak dan sehat. Wajahnya terhias kumis dan jenggot yang kelabu, pakaiannya serba hitam, pakaian petani. Wajah itu penuh semangat, sepasang matanya mencorong seperti mata harimau di dalam gelap, atau mata iblis.
Mendengar Mahesa Rangkah menyebut guru kepada kakek itu. Nurseta maklum, bahwa kakek itu tentu seorang yang memiliki kesaktian tinggi dan akan merupakan lawan yang amat tangguh. Namun, ia tidak merasa gentar. Ia sedang berjuang mempertahankan tanah air dan bangsa, pikirnya. Teringat akan petuah petuah gurunya dan juga bapaknya, Ki Baka. Bagi seorang satria utama, seorang pendekar dan pahlawan pembela nusa bangsa, setiap jengkal tanah akan dipertahankan dengan taruhan sepercik darah. Sejengkal tanah sepercik darah, itulah semboyan seorang laki-laki sejati.
Dan untuk perjuangan ini, tidak dikenal perasaan jerih atau takut, terhadap lawan yang bagaimana tangguh sekalipun. Ingatan ini mengobarkan semangatnya dan Nurseta meloncat keluar menghampiri mereka.
"Mahesa Rangkah, hendak lari ke manakak kau" Sudah aku katakan, menyerahlah saja, karena semua pemberontakanmu yang keji ini akan sia-sia belaka" bentaknva.
Melihat lawannya, Mahesa Rangkah yang telah diobati dan disembuhkan oleh gurunya yang muncul secara tiba-tiba, menjadi marah. Kini besarlah hatinya. Ki Buyut Pranamaya gurunya telah berada di situ dan ia percaya bahwa dengan bantuan gurunya, ia akan mampu mengalahkan pemuda itu. Tidak ada manusia di dunia ini yang akan mampu mengalahkan kesaktian gurunya. Demikian kepercayaan Mahesa Rangkah dan karena ada gurunya ini pula maka ia berani melakukan pemberontakan untuk membalas dendam kepada Singosari atas kematian mendiang ayahnya, Linggapati yang juga pemberontak.
Mahesa Rangkah meloncat ke depan Nurseta sambil tertawa bergelak. "Ha-ha ha-ha bocah ingusan. Aku tadi hanya beristirahat sebentar saja untuk menghapus keringatku. Sekarang kau ingin menyerahkan nyawa. Nah, bersiaplah untuk mampus!" Raksasa itu membentak dan tubuhnya sudah menubruk maju. Kali ini tangan kanannya memegang sebatang keris karena dalam perkelahiannya melawan Nurseta tadi, ia telah kehilangan golok besarnya. Golok besar dan berat saja dapat dimainkan dengan amat cepatnya oleh tangan MahesK Rangkah, apalagi sebatang keris yang ringan.
Keris itu bagaikan terbang saja menghunjam ke arah dada Nurseta. Pemuda ini miringkan tubuhnya, tangan kirinya mengikuti gerakan lengan lawan menolak ke arah siku kanan lawan yang memegang keris, sedangkan tangan kanannya sendiri yang memegang suling, telah bergerak untuk menotok ke arah lambung. Biarpun hanya sebatang suling, namun karena digerakkan oleh tangan pemuda itu yang mengandung tenaga dalam yang tinggi, maka suling itu keras bagaikan baja.
Mahesa Rangkah juga maklum akan hal ini, maka dia meloncat ke belakang sambil mengelebatkan kerisnya menangkis sinar hitam suling yang meluncur ke arah lambungnya, dengan gerakan dari atas ke bawah.
"Cringg........"
Kembali Mahesa Rangkah merasa lengan kanannya kesemutan dan tergetar hebat. Pada saat itu, Nurseta telah mendesak. Tangan kirinya menampar ke arah kepala lawan. Akan tetapi, tiba-tiba saja ada hawa aneh menyambarnya dari samping, dan hawa ini menahan tamparannya.
Nurseta terkejut dan meloncat ke samping, sambil menoleh, ia melihat kakek itu membuat gerakan dengan tangannya dan iapun maklum bahwa kakek itu telah membantu muridnya dengan ilmu yang aneh, mungkin ilmu hitam yang dapat menyerangnya dari jarak jauh. Dugaannya ternyata benar. Sekarang kakek itu kembali membuat gerakan aneh dengan tangannya, tiba-tiba ia melihat kakek itu telah berubah bentuk menjadi seperti seekor ular naga bertanduk satu.
Nurseta tidak pernah mempelajari ilmu hitam atau ilmu sihir, walaupun dia sudah banyak mendengar akan ilmu-ilmu hitam dari gurunya, beruntunglah ia, bahwa gurunya juga mengajarkan cara menghadapi dan menangggulangi kekuasaan ilmu hitam. Maka iapun bersikap tenang saja. Pada detik itu, Mahesa Rangkah sudah menerjang lagi dari arah samping. Kerisnya menusuk ke arah lehernya.
Nurseta mengelak dengan bergulingan, dan dalam kesempatan itu, kedua tangannya menepuk tanah dan menggunakan telapak tangan kiri yang terkena tanah itu untuk mengusap mukanya.
---ooo0dw0ooo--
Jilid 8 Ketika Nurseta meloncat bangun dan memandang ke arah kakek itu, kakek itu kelihatan biasa saja, sama sekali tidak tampak seperti ular naga seperti tadi. Hal ini berarti bahwa kekuasaan ilmu hitam tadi telah dapat ia pecahkan, dan ia tidak lagi terpengaruh ilmu sihir itu.
"Bocah, lihat baik-baik siapa aku" Tiba-tiba terdengar suara kakek itu parau menggetar dan mengandung penuh kekuatan sihir. Namun, kakek itu tidak tahu bahwa Nurseta telah dapat memecahkan kekuasaan ilmu sihirnya, dan pemuda itu tersenyum
"Kau adalah seorang kakek tua yang suka main-main dengan ilmu hitam, dan kau adalah guru Mahesa Rangkah sang pemberontak. Sebagai seorang guru, sepatutnya kau melarang muridmu melakukan hal-hal yang buruk dan sesat"
Sadarlah Ki Buyut Pranamaya bahwa pemuda itu tidak terpengaruh oleh kekuatan sihirnya. Diam-diam ia merasa terkejut dan heran, juga penasaran sekali. Mungkinkah seorang pemuda yang masih hijau begini mampu menolak kekuasaan ilmu hitamnya"
"Mahesa Rangkah, minggirlah. Biar aku yang akan membasmi anak setan ini. Engkau lebih baik memimpin pasukanmu untuk menumpas pasukan Singosari" katanya, nada uaranya tidak tenang atau sabar lagi karena hatinya mulai terasa panas.
Mahesa Rangkah cepat menyingkir karena iapun meiihat betapa anak buahnya mulai kacau. Ketika ia menerjang ke dalam medan pertempuran dan anak buahnya meiihat betapa pemimpin mereka kini menjadi segar bugar dan gagah kembali, mereka bersorak dan dengan penuh semangat mereka kembali melakukan perlawanan sehingga pertempuran berkobar lagi dengan lebih sengit.
Sementara itu, kini Ki Buyut Pranamaya berhadapan langsung dengan Nurseta. Sejenak keduanya saling pandang seperti dua ekor jago aduan dilepas di medan laga. Mereka saling pandang untuk menilai dan menimbang kekuatan lawan. Meiihat betapa sinar mata pemuda itu tajam namun lembut, diam-diam kakek itu terkejut juga. Seorang bocah yang sama sekali tidak boleh dipandang ringan, pikirnya. Menghadapi seorang lawan sakti saja, ia tidak akan merasa gentar. Akan tetapi untuk menghadapi seorang lawan yang sinar matanya begitu lembut, penuh damai dan suci, pertanda bahwa batin lawannya itu masih murni, diam-diam ia merasa khawatir. Pantas tidak dapat dikuasainya dengan sihir, pikirnya.
Seorang yang mempunyai batin bersih seperti pemuda ini, tentu memiliki dasar tenaga sakti yang luar biasa kuatnya.
"Hohhh......." tiba-tiba orang tua itu membentak. Kedua lengannya dibentang lebar. Karena tubuhnya mengenakan jubah lebar di luar pakaian petani yang serba hitam, maka ia tampak seperti seekor burung gagak yang hendak terbang. Tiba-tiba saja, kedua tangannya bergerak dan tangan kirinya sudah mengirim pukulan jarak jauh dengan dorongan ke depan, mengarah dada Nurseta.
"Wuuut........!" Angin pukulan keras sekali menyambar.
Nurseta mengenal pukulan ampuh, maka iapun menggeser kaki ke samping dan membuat gerakan seperti menangkis sambil mengerahkan tenaga saktinya. Dua kekuatan sakti bertemu di udara. Kembali kakek itu terkagum-kagum. Ternyata pemuda itu mampu mengimbangi kekuatan tenaga saktinya dalam pukulan jarak jauh.
Tadi dia hanya menguji saja dan melihat bahwa dengan ilmu sihir dan pukulan mengandalkan tenaga sakti jarak jauh ia tidak akan mampu menundukkan pemuda ini, kakek itu lalu mengeluarkan teriakan nyaring dan kini menyerang dengan gerakan aneh. Serangannya kali ini langsung. Lengan kanannya yang panjang meluncur ke arah kepala Nurseta untuk mencengkeram ke arah ubun-ubun, sedangkan tangan kirinya menyelonong ke bawah untuk mencengkeram ke arah selakangan.
Sungguh merupakan serangan yang keji dan juga amat berbahaya karena kedua tangan itu seperti cakar maut.
Menghadapi serangan ini, Nurseta juga bertindak dengan cepat. Lengan kirinya diangkat untuk menangkis cengkeraman ke arah ubun-ubun itu, sedangkan suling hitam di tangan kanannya meluncur, menyambut tangan kiri lawan yang mencengkeram ke arah bawah pusarnya, dengan tusukan ke arah pergelangan tangan.
Kalau dilanjutkan cengkeraman itu,. sebelum mengenai sasaran, tentu lebih dulu pergelangan tangan itu akan tertusuk suling. Andaikata kakek itu kebal dan tidak dapat terluka sekalipun, tetapi otot itu akan tertusuk keras yang akan membuat tangan itu seketika menjadi lumpuh.
Ki Buyut Pranamaya tidak mau membiarkan pergelangan tangan kirinya tertusuk, maka ia cepat menarik kembali tangannya, dengan mengerahkan tenaga pada lengan kanan yang ditangkis lawan. Ia tidak dapat mencegah lagi, lengan kanan kakek itu bertemu dengan lengan kiri Kurseta yang menangkisnya.
"Dukkk!!" Pertemuan dua tenaga sakti yang kuat melalui lengan itu membuat keduanya tergetar hebat, bahkan Nurseta sampai terpental ke belakang, namun tidak sampai roboh karena ia telah mampu menguasai dirinya.
Sebaliknya, kakek itupun terdorong dan terhuyung Wajahnya menjadi agak kemerahan, tanda bahwa ia merasa terkejut dan penasaran. Ia adalah seorang datuk yang selama ini merasa paling sakti, tak pernah menemui lawan. Tetapi melawan seorang pemuda ingusan saja, ia sampai terhuyung.
Untung bahwa mereka bertanding di antara orang-orang yang sedang bertempur sehingga tidak ada yang menonton dengan penuh perhatian. Kalau sampai pertandingan itu disaksikan banyak orang dan mengetahui ia terhuyung dalam adu tenaga pertama, tentu ia akan merasa malu bukan main. Rasa penasaran mengundang kemarahannya, bagaikan api disiram minyak, berkobarlah kemarahannya dan hal ini dapat dilihat melalui sinar matanya yang seolah-olah berkilat ketika dia memandang Nurseta.
Tanpa mengeluarkan suara, kakek itu sudah menerjang lagi ke depan dan kali ini, ia sama sekali tidak mau coba-coba lagi, dan begitu menyerang, ia sudah mengerahkan semua tenaganya dan serangan itu merupakan pukulan dan cengkeraman yang bertubi-tubi ke arah bagian tubuh paling lemah dari Nurseta. Namun, pemuda ini telah siap siaga. Maklum bahwa ia berhadapan dengan seorang lawan yang amat tangguh, iapun segera mengerahkan tenaga sakti Sari Patala (Inti Bumi) sehingga tubuhnya menjadi kokok kuat dan, kebal. Kedua lengannya berisi penuh Aji Bajradenta. Dengan kecepatan gerakan tubuhnya, ia mengelak dan menangkis, bahkan membalas dengan tamparan-tamparan Bajradenta, dan sekali-kali diseling dengan tendangan.
Terjadilah perkelahian yang amat seru dengan angin yang kuat menyambar-nyambar di sekeliling mereka, membuat debu dan daun kering beterbangan seperti diterjang angin badai.
Orang-orang yang bertempurpun menjauh, karena baru tersambar angin pukulan saja, mereka ada yang terhuyung dan bahkan terguling
Tidak percuma Nurseta menjadi murid Panembahan Sidik Danasura. Biarpun ilmu silat yang dimainkannya itu dipelajarinya dari Ki Baka, namun oleh gemblengan Panembahan Sidik Danasura, ilmu-ilmu itu menjadi matang dan jauh lebih ampuh dibandingkan dengan permainan Ki Baka sendiri. Semua gerakan pemuda itu berisi tenaga sakti, gerakan-gerakannya mantap dan penuh ketenangan yang timbul dari kepercayaan kepada diri sendiri.
Sebagai seorang ahli silat yang pandai, Ki Buyut Pranamaya tentu saja terkejut bukan main. Pemuda ini bukan saja mampu menghindarkan semua serangannya, bahkan mampu membalas dengan hebat, mampu menandinginya dalam suatu perkelahian yang seimbang. Dan dia mengenal gerakan pukulan pemuda ini.
"Takkk ! Dessss.......I" Kembali keduanya terdorong mundur oleh adu tenaga yang tak dapat dihindarkan lagi. Wajah kakek itu berkeringat dan matanya mencorong. Sedangkan wajah Nurseta masih tenang saja ketika mereka maju lagi dan saling memandang dengan tajam.
"Hemm, gerakan-gerakanmu seperti gerakan Ki Baka" kata kakek itu, "Apamukah Ki Baka itu?"
Nurseta mengerutkan alisnya dan memandang tajam penuh selidik "Ki Baka adalah ayahku, juga guruku"
Jawaban ini membuat kakek itu tertegun dan matanya terbelalak. Hanya murid Ki Baka" Sungguh sukar untuk dapat dipercaya. Ki Baka sendiri sama sekali bukan tandingannya, Akan tetapi mengapa puteranya dan juga muridnya begini saktinya"
Dia menjadi semakin penasaran dan sebagai tanggapan atas keterangan pemuda itu, dia kini menyerang dengan ilmunya yang dahsyat, yaitu ilmu tendangan Bukan tendangan biasa, karena kedua kakinya itu seperti kitiran angin berputar saja layaknya, kanan kiri menendang silih berganti dan susul menyusul, merupakan serangkaian tendangan yang dahsyat dan kuat. Sambil mengirim serangkaian tendangan yang dahsyat itu, mulut kakek iiu mengeiuarkan suara yang amat berwibawa, "Robohlah. Kau tak akan kuat menghadapi ilmu tendanganku Aji Cakrabairawa. Robohlah kau, Nurseta!"
Nurseta merasa betapa ada kekuatan dahsyat dalam suara itu, seolah-olah memaksanya untuk jatuh. Ia terkejut dan cepat mengerahkan tenaga dalamnya karena maklum bahwa ilmu sihir yang terkandung dalam suara itu bahkan lebih berbahaya dari pada tendangan itu sendiri. Ia hanya dapat mengelak ke sana-sini menghadapi tendangan itu, dan sekali-kali menangkis. Akan tetapi, kekuatan kaki memang lebih besar dari pada kekuatan lengan, maka setiap kali menangkis, ia merasa betapa tubuhnya terguncang keras.
Kini Nurseta Terdesak dan ia harus waspadas mengikuti gerakan kaki yang seperti kitaran angin itu. Dan tiba-tiba dia meiihat sesuatu yang membuat jantungnya berdebar keras, dan matanya terbelalak, ketika ia memperhatikan bahwa kedua kaki telanjang itu masing-masing hanya mempunyai empat buah jari, tidak mempunyai ibu jari.
"Bayunirada......!" Nurseta membentak, teringat akan cerita Ki Baka tentang Wiku Bayunirada yang telah merampas Ki Ageng Tejanirmala, juga telah melukai Ki Baka dengan pukulan yang disebut Aji Margaparastra.
Kakek itu terkejut bukan main mendengar disebutnya nama Bayunirada itu, sehingga rangkaian tendangan kakinya menjadi agak kacau. Nurseta memandang penuh perhatian walaupum dia masih terus mengelak dan menghindarkan diri dari tendangan yang tak kunjung henti itu.
"Kau Wiku Bayunirada yang telah merampas Ki Ageng Tejanirmala, dan telah melukai ayahku" kembali Nurseta membentak dan karena kini dia berhadapan dengan orang yang memang dicarinya, ia melanjutkan, "Kakek jahat, kembalikan tombak pusaka itu"
Kakek itu menghentikan tenndangan-tendangannya dan tertawa bergelak. Sehingga Nurseta merasa heran.
Menurut keterangan Ki Baka, Wiku Bayunirada mengenakan pakaian dan ikat kepala serba putih, mukanya pucat keriputan seperti muka mayat dan kalau bicara atau ketawa bibirnya tidak bergerak. Akan tetapi mengapa kakek ini, yang memakai nama Ki Buyut Pranamaya memiliki wajah yang sama sekali berbeda" Akan tetapi, dia menduga bahwa tentu kakek yang sakti dan pandai ilmu sihir ini pandai pula melakukan penyamaran.
"Ha-ha-ha, tombak pusaka itu kini milikku dan tak seorangpun boleh merampasnya dariku, kecuali kalau tubuh ini sudah menjadi mayat" Berkata demikian, kakek itu mengeluarkan sebuah tombak bergagang pendek dari balik jubahnya. Nampak sinar putih seperti perak berkilat dan tentu saja 'Nurseta mengenal tombak pusaka itu. Akan tetapi, kini kakek itu mempergunakan tombak pusaka yang mempunyai kekuatan menolak bala itu, dipergunakan untuk menyerang dengan dahsyatnya.
Tombak pusaka suci yang merupakan pelindung manusia itu kini disalahgunakan, dipergunakan untuk menyerang dan berusaha membunuh manusia.
"Kakek iblis laknat !" Nurseta berseru dan cepat ia melempar tubuhnya ke samping, kemudian dari bawah ia melontarkan pukulan Bajradenta dengan penuh kekuatan.
"Heiiiitt.......!" Kakek itu berteriak sambil mengelak, kemudian dia berseru "Terimalah Aji Margaparastra ini!" dan kakek itupun mengirim pukulan dengan jari tangan terbuka ke arah dada Nurseta.
Hebat bukan main pukulan ini, dan Nurseta membayangkan keadaan Ki Baka yang menjadi manusia cacat dan tidak berdaya selama bertahun-tahun karena pukulan keji ini. Ia menjadi nekat, mengerahkan Aji Jagad Pralaya yang dipelajarinya dari Panembahan Sidik Danasura, dari bawah dia memukul ke atas, menyambut pukulan lawan.
"Dessss...........!!" Dua aji pukulan yang ampuh dan sakti bertemu dan akibatnya, tubuh kakek itu terjengkang. Ternyata aji pukulannya yang amat sakti itu masih kalah terhadap aji Jagad Pralaya. Akan tetapi karena ia memang sakti, apa lagi karena di tangannya terdapat tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala yang memiliki khasiat penolak bala, kakek itu bangkit kembali. dan tidak mengalami luka Bahkan kini ia sudah menerjang lagi. tangan kirinya diisi aji pukulan Margaparastra, sedangkan tangan kanannya mengayun tombak pusaka itu, menyerang Nurseta dengan penuh kemarahan.
Nurseta terpaksa mempergunakan lagi kelincahan tubuhnya untuk mengelak ke sana-sini.
Kalau dibuat ukuran, maka tentu saja kakek itu menang pengalaman, dan juga lebih kaya akan ilmu-ilmu yang aneh dan ampuh sehingga dapat dikatakan bahwa dia masih setingkat lebih tinggi dari pada Nurseta yang masih muda. Akan tetapi, ilmu yang dipelajari oleh Nurseta lebin bersih dan karenanya memiliki dasar lebih kuat. Apa lagi, tubuhnya yang masih murni itu lebih kuat dan memiliki daya tahan lebih besar ketimbang lawan, sehingga biarpun tingkatnya masih kalah, namun Nurseta masih dapat menandingi lawannya dan sampai sebegitu lamany belum juga roboh atau terluka.
Akan tetapi, setelah kini kakek itu mengamuk dengan tombak pusaka Tejanirmala di tangan, diam-diam Nurseta menjadi gentar juga. Hawa dari tombak pusaka itu memang ampuh sekali, terasa dingin menyusup tulang dan seperti hendak memadamkan semua nafsu berkelahinya.
"Wuuuuuttt....... singgg.......!" Ujung tormbak pusaka itu nyaris mengenai pundak Nurseta yang cepat melempar tubuhnya ke belakang dan bergulingan di atas tanah.
Kakek itu tertawa bergelak dan terus mengejar, bertubi-tubi mengirim serangan dengan tusukan tombak pusaka diseling tamparan tangan kiri dengan Aji Margaparastra.
Nurseta bergulingan, mengelak untuk menyelamatkan nyawanya. Ketika dia meiihat kesempatan baik, tiba tiba dia meloncat bangun, menangkis tangan kin kakek itu dan mengelak dari sambaran tombak, lalu kakinya menendang.
"Plakkk!" Tendangannya menyerempet paha Ki Buyut Pranamaya yang pernah mempergunakan nama Wiku Bayunirada itu.
Kakek itu terkejut dan mengeluarkan sumpah serapah saking marahnya. Akan tetapi, tendangan itu membuat tubuhnya terhuyung dan pada saat itu, nampak bayangan hijau berkelebat. Sebuah pukulan kilat mengenai siku kanan kakek itu yang seketika merasa lengan kanannya lumpuh. Sebelum dia sempat mencegahnya, tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala telah berpindah tangan.
"Keparat.......!" Ki Buyut Pranamaya terkejut dan marah sekali, bagaikan seekor singa yang terluka dia membalik ke kanan dan melihat bahwa yang merampas tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala tadi hanyalah seorang gadis berpakaian serba hijau, usianya paling banyak duapuluh tahun, berkulit kuning langsat, wajahnya manis, dengan sepasang mata seperti bintang yang tajam, akan tetapi juga mengandung sinar dingin yang mengerikan, hidungnya kecil mancung, bibirnya merah membasah dan begitu bibir itu bergerak, nampak lesung pipit di pipi kiri, sedangkan pipi kanannya terhias tahi lalat kecil. Seorang gadis telah merampas tombak pusakanya. Hampir tak dapat dipercaya.
"Perempuan iblis, kembalikan tombakku" bentaknya dan tanpa memperdulikan bahwa yang merampas pusaka itu adalah seorang wanita muda, kakek ini langsung saja mengirim pukulan Aji Margaparastra yang amat ampuh itu.
"Wulan, awas......!" Nurseta berseru keras. melihat kakek itu menubruk ke depan dengan pukulan ampuh itu. Nursetapun cepat menyambar dari samping untuk menangkis.
"Desss........!" Biarpun Nurseta sudah berhasil menangkis, tetap saja hawa pukulan itu menyambar ke arah gadis berpakaian serba hijau itu. Namun, gadis itu mengeluarkan suara mendesis seperti ular dan tubuhnya meliuk ke kiri sehingga hawa pukulan ampuh itu luput, Kemudian, sekali berkelebat, gadis itu lenyap di antara orang-orang yang sedang bertempur sambil membawa tombak pusaka yang disembunyikan di balik bajunya dan diselipkan di ikat pinggangnya.
"Perempuan setan, jangan lari. Kembalikan pusakaku" bentak Ki Buyut Pranamaya yang cepat loncat mengejar.
Nurseta hendak mengejar pula, akan tetapi ia teringat akan keadaan pasukan kerajaan. Kalau ia pergi, tentu kedua orang senopati Singosari itu tidak akan mampu menandingi Mahesa Rangkah dan mungkin mereka akan celaka, dan pasukan pemerintah akan kalah. Oleh karena itu, ia teringat akan tugas utamanya lebih dahulu. Tombak pusaka itu telah dirampas oleh gadis berpakaian hijau yang dia yakin adalah Wulansari, yang kini telah menjadi seorang gadis yang demikian sakti sehingga mampu merampas pusaka itu dari tangan seorang kakek iblis seperti Ki Buyut Pranamaya. Yang penting ia harus membantu pasukan pemerintah agar pasukan pemberontak yang dipimpin oleh Mahesa Rangkah dapat dikalahkan.
Benar saja, ketika itu, dua orang senopati Singosari telah payah menghadapi amukan Mahesa Rangkah, Melihat situasi yang demikian ini, gerombolan pemberontak berbesar hati dan merekapun mendesak pasukan Singosari yang kini berbalik semakin mundur.
Nurseta menerjang ke dalam pertempuran, dan dengan pukulan Bajradenta, dia menyerang Mahesa Rangkah. Raksasa ini terkejut bukan main meiihat munculnya pemuda ini. Tadi dia sudah merasa yakin bahwa gurunya tentu akan menewaskan pemuda ini. Akan tetapi mengapa kini pemuda ini tiba-tiba muncul" Apakah gurunya......." Ah, tidak mungkin ! Ia mengelak dengan loncatan ke belakang, sambil menoleh ke arah dimana tadi gurunya bertanding melawan Nurseta. Dan ia tidak meiihat adanya Ki Buyut Pranamaya di sana.
"Guru.........!" Teriaknya dan iapun meloncat, lenyap di antara anak buahnya. Nurseta bersama dua orang senopati Singosari mengejar, namun banyak anggota pemberontak menghadang sehingga mereka bertiga mengamuk dan merobohkan banyak musuh.
Meiihat betapa pemimpin mereka kembali melarikan diri, dan tiga orang jagoan dari pasukan Singosari itu mengamuk, para anak buah pemberontak menjadi jeri. Tanpa adanya pimpinan, apa lagi melihat betapa Mahesa Rangkah dan bahkan Ki Buyut Pranamaya sudah meninggalkan gelanggang, merekapun menjadi panik dan akhirnya mereka juga melarikan diri, dikejar oleh pasukan yang dipimpin oleh Senopati Pamandama dan Senopati Banyak Kapuk, dibantu oleh Nurseta.
Setelah meiihat Mahesa Rangkah dan pasukannya mundur dan melarikan diri, dikejar pasukan Singosari, Nurseta lalu meloncat dan berlari cepat melakukan pengejaran ke arah larinya Wulansari yang dikejar oleh Ki Buyut Pranamaya tadi. Dia mengkhawatirkan gadis itu, juga khawatir kalau-kalau tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala akan terampas lagi oleh kakek sakti itu. Dengan pengerahan ilmunya berlari cepat, tubuh Nurseta berkelebatan seperti terbang saja, menuju ke selatan.
*** Kita telah dibuat penasaran o!eh munculnya gadis berpakaian hijau yang telah tiga kali muncul secara tiba-tiba dan penuh rahasia. Pertama kali ia muncul dalam sungai yaitu ketika Nurseta berperahu dihadang para bajak sungai di Kali Campur. Ia membunuhi para bajak yang telah menggulingkan perahu Nurseta dan yang membunuh petani yang berperahu dengan Nurseta di Kali Campur. Kemudian, gadis berpakaian hijau itu pergi tanpa pamit, tidak memberi kesempatan kepada Nurseta untuk bicara dengannya. Pada hal Nurseta merasa yakin bahwa gadis berpakaian hijau adalah Wulansari.
Kemunculannya yang ke dua adalah ketika Nurseta dikeroyok penghuni dusun karena dia mencegah mereka itu membunuh Jumirah, isteri Ki Lembu Petak. Dalam keributan itu, gadis itu muncul dan membunuh Jumirah, kemudian pergi pula tanpa pamit. Dan kemunculannya sekarang ini adalah yang ke tiga, kemunculan yang membuat Nurseta menjadi semakin bingung karena gadis baju hijau yang diyakininya adalah Wulansari itu telah membantunya menghadapi Ki Buyut Pranamaya yang amat sakti, bahkan gadis itu berhasil merampas tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala dan melarikan pusaka itu.
Gadis berpakaian hijau itu memang Wulansari adanya. Kini ia telah menjadi seorang gadis yang berkepandaian tinggi, juga wataknya berubah sama sekali. Dahulu, ketika masih menjadi murid Panembahan Sidik Danasura di teluk Prigi Segoro Wedi, ia merupakan seorang dara remaja berusia limabelas tahun yang manis sederhana, ramah dan lemah lembut tutur sapanya, juga sinar matanya yang jeli itu bersorot lembut.
Akan tetapi, ketika tiga kali Nurseta melihatnya sebagai seorang gadis berpakaian hijau yang penuh rahasia, gadis itu memiliki sinar mata yang aneh, kadang-kadang redup dan ada kalanya mencorong, dan kalau Nurseta merobayangkan betapa gadis itu memiliki ilmu yang aneh, mengeluarkan suara mendesis yang mempunyai daya serang amat kuat, diam-diam dia bergidik. Ada firasat dalam batinnya bahwa gadis itu selama ini telah mempelajari ilmu kesaktian yang tinggi, namun yang termasuk ilmunya orang dari golongan sesat.
Wulansari mempergunakan aji kesaktiannya untuk berlari secepat terbang dan kadang-kadang, tangan kirinya meraba tombak pendek yang terselip dengan amat erat di ikat pinggangnya, tertutup bajunya yang hijau dan lebar. Senyum simpul menghias bibirnya yang merah basah, hatinya senang bukan main. Tak disangkanya bahwa ia berhasil merampas tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala yang diperebutkan orang-orang gagah seluruh negeri. Kakeknya sendiri, yang juga menjadi gurunya yang telah mengajarkan banyak aji kesaktian kepadanya, yaitu Eyang Cucut Kalasekti yang merasa tidak sanggup mencari dan merampas Ki Tejanirmala yang hilang tanpa bekas dari tangan Ki Baka yang dulu menjadi pemilik tombak pusaka itu. Dan sekarang ia, sama sekali tak pernah diduga sebelumnya, telah mampu merampas Ki Tejanirmala secara kebetulan saja.
Sungguh kebetulan saja, karena siapa yang tahu bahwa tombak pusaka yang hilang tanpa meninggaikan jejak itu berada di tangan kakek sakti itu. Kalau saja ia tidak membayangi Nurseta selama ini, sejak pertemuan pertama di Kali Campur, di mana ia diam-diam membantu Nurseta dan membunuhi para bajak sungai, tentu ia tidak akan mengetahui bahwa tombak pusaka itu berada di tangan kakek sakti itu.
Semenjak membantu Nurseta membasmi para bajak. Wulansari tak pernah dapat melupakan pemuda itu, seorang pemuda yang pernah menanam kesan yang menggores kaibunya ketika untuk pertama kali mereka berjumpa di pantai Laut Kidul. Tak pernah ia melupakan pemuda itu walaupun mereka telah jauh berpisah, wa-laupun ia telah mengalami kehidupan yang sama sekali baru. Dan pertemuan di Kali Campur itu membuat ia tidak tega meninggaikan Nurseta dan diam-diam ia terus membayanginya.
Hati-nya panas terbakar cemburu ketika Nurseta berurusan dengan Jumirah, dan mendengar akan jahatnya perempuan cabul itu, iapun turun tangan membunuhnya, menggunakan kesempatan selagi terjadi keributan dan Nurseta dikepung para penehuni dusun.
Ia terus membayangi Nurseta dan dengan heran meiihat betapa pemuda itu membantu pasukan Singosari yang bertempur melawan pasukan pemberontak pimpinan Mahesa Rangkah. Ia tahu akan pemberontakan Mahesa Rangkah terhadap Singosari, akan tetapi ia menganggap hal itu bukan urusannya. Tetapi kenapa kini Nurseta yang bukan senopati bukan perajurit, mencampuri pertempuran itu"
Bagaimunapun juga, dara ini merasa khawatir kalau-kalau Nurseta terancam bahaya maut dalam pertempuran itu, maka iapun memaksa diri memasuki medan pertempuran dan mencari-cari Nurseta.
Ketika dilihatnya Nurseta berhadapan dengan seorang kakek tua renta yang amat sakti, ia terkejut dan mendekati. Ia sempat mendengar akan tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala yang menurut tuduhan Nurseta dirampas oleh kakek itu, kemudian bahkan meiihat betapa kakek itu mempergunakan tombak pusaka itu untuk menyerang Nurseta. Meiihat betapa hebatnya perkelahian mi, untuk sejenak Wulansari tertegun, bengong
dan juga bingung.
Baru sekarang ia melihat bahwa sesungguhnya Nurseta memiliki aji kesaktian yang amat hebat Akan tetapi, kakek itu namipaknya lebih hebat dan lebih unggul, dan Nurseta mulai terdesak dan terancam. Maka, iapun keluar dan menerjang kakek itu ketika mendapat kesempatan, bahkan dengan ajinya mendesip seperti ular, ia berhasil membuat kakek itu terkejut, lengah sehingga tombak pusaka itu dapat dirampasnya dan kini dibawanya lari.
Wulansari kembali tersenyum. Jarang sekali ia tersenyum, karena itu senyumnya ini menunjukkan bahwa hatinya girang bukan main. Ia bukan hanya dapat membantu Nurseta, akan tetapi juga berhasil merampas Tejanirmala! Membayangkan betapa wajah gurunya atau kakeknya akan berkeriput-keriput karena kagum dan heran, Wulansari memperlebar senyumnya. Ia harus cepat pergi, pikirnya. Belum aman kalau belum sampai tempat tinggal kakeknya! Ia tahu betapa saktinya kakek tadi yang ia lupa lagi namanya dan ia merasa yakin bahwa kakek itu tentu tidak akan tinggal diam saja. Tentu akan melakukan pengejaran. Dan siapa tahu Nurseta juga tentu akan melakukan pengejaran.
Agaknya pemuda itu juga bermaksud merampas tombak pusaka dari tangan kakek itu, Berpikir demikian, hatinya terasa bimbang. Kepada siapakah tombak pusaka itu harus diberikan" Kakeknya berulang kali mengatakan betapa kakeknya amat membutuhkan tombak pusaka itu, yang menurut kakeknya akan dapat menjamin kesejahteraan hidup mereka untuk selamanya. Akan tetapi bagaimana kalau Nurseta memintanya" Akan tegakah hatinya untuk menolak"
Sambil terus mempergunakan ilmunya berlari cepat, Wulansari melamun. Mendadak ia terkejut ketika mendengar suara orang, lapat-lapat seperti suara dari jarak jauh, namun jelas terdengar olehnya karena suara itu diteriakkan dengan dorongan tenaga sakti.
"Heiiiii perempuan iblis.......! Berhentilah dan serahkan kembali pusaka itu atau engkau akan mampus.......!"
Celaka, pikir Wulansari, jantungnya berdebar kencang. Kakek iblis itu telah dapat menyusulnya. Cepat ia menengok dan nampak sebuah titik hitam meluncur datang dari jauh. Kakek itu masih jauh sekali namun suaranya sudah dapat ia dengar demikian jelasnya. Ini membukrikan bahwa kakek itu memang sakti mandraguna dan merupakan lawan yang amat tangguh. Kalau sampai ia tersusul, apakah ia akan mampu mempertahankan Tejanirmala, bahkan mungkin lebih dari itu, apakah ia akan mampu mempertahankan nyawanya"
Maka, tanpa banyak cakap lagi Wulansari lalu mengerahkan seluruh tenaganya, lari sekuatnya. Ia maklum bahwa Kali Brantas masih agak jauh dari situ, Kalau saja ia dapat tiba di sungai itu sebelum kakek iblis iiu menyusulnya, ia akan dapat membebaskan diri dari kejaran kakek itu melalui air. Biarpun boleh jadi ia tidak akan mampu menandingi kakek itu di daratan, namun ia merasa yakin bahwa kakek itu, betapapun saktinya, takkan berdaya menghadapinya di dalam air.
Ilmu dalam air ini merupakan andalan dari kakek atau gurunya, juga merupakan andalan darinya sekarang. Berpikir demikian, Wulansari mempercepat larinya sampai napasnya memburu dan ia terengah-engah, dan tanpa disadarinya, kedua tangannya memegang tombak pusaka Tejanirmala, seperti khawatir kalau-kalau berda berharga itu akan terlepas lagi darinya.
Akan tetapi Wulansari tidak tahu bahwa satu di antara ilmu-ilmu kesaktian yang dikuasai oleh Ki Buyut Pranamaya adalah ilmu berlari cepat yang diberi nama Aji Garuda Nglayang. Sebetulnya ini bukan sekedar lari, melainkan lebih banyak mempergunakan lompatan-lompatan jauh. Lompatanya itu jauh dan seperti seekor burung garuda melayang saja, apa lagi kakek itu mengenakan jubah yang lebar sehingga ketika melompat itu, jubahnya berkembang seperti sayap. Dengan lompatan-lompatan jauh ini, dia dapat meluncur cepat seperti seekor kijang melompat-lompat, dan akhirnya dia dapat menyusul gadis itu.
Tepi Kali Brantas yang berbentuk tanggul tinggi itu sudah nampak oleh Wulansari yang sudah berkeringat dan terengah-engah itu.
Akan tetapi, sebelum ia mencapai sungai, tiba-tiba nampak bayangan hitam melayang di atas kepalanya dan tahu-tahu kakek itu sudah meluncur turun di depannya, menghadang sambil mengembangkan kedua lengannya dan jubahnya ikut berkembang, berkibar tertiup angin. Kakek itu menyeringai, mengerikan sekali. Sebagian giginya sudah ompong, dan yang masih tinggal juga berwarna hitam oleh kebiasaan mengunyah sirih dan mengulum tembakau.
"Heh-heh-heh, bocah ayu, jangan harap dapat melarikan diri dari Ki Buyut Pranamaya. Heh-heh, kembalikan tombak pusaka Tejanirmala dan kalau engkau bersikap manis kepadaku, mau melayaniku selama satu bulan, aku akan mengampuni nyawamu. Nah, bukalah bajumu itu dan keluarkan tombak pusakaku, cah ayu, heh-heh!"
Ki Buyut Pranamaya membujuk dengan suara halus karena setelah kini dia berhadapan dengan Wulansari, hilanglah kemarahannya. Bagaimanapun juga pusaka itu sudah pasti dapat dirampasnya kembali, dan gadis itu demikian ayu sehingga tiba-tiba tim-bul rasa sayang dalam hatinya. Kakek ini sama sekali tidak mengira bahwa Wulansari telah digembleng oleh seorang datuk sakti, yaitu Cucut Kalasekti yang bukan hanya ahli dalam ilmu silat tinggi, akan tetapi juga ilmu dalam air dan ilmu sihir. Biarpun hanya sedikit, namun Wulansari pernah mendapat gemblengan ilmu sihir, bahkan sudah diberi kekuatan penolak terhadap kekuatan sihir. Maka, ketika diam-diam dia mengerahkan sihirnya untuk menaklukkan gadis itu dengan sikap manis dan kata-kata halus, diam-diam Wulansari sudah mengetahuinya dan tidak terpengaruh sama sekali oleh kekuatan sihir yang terpancar keluar dari pandang mata dan suara Ki Buyut Pranamaya itu.
Tadi Wulansari sudah mengikat baju luarnya dengan sabuk putih sehingga tombak pusaka yang terselip di pinggangnya itu tertutup baju dan tidak nampak. Ia tahu bahwa tidak akan ada gunanya banyak cakap dengan kakek itu yang pasti akan merampas kembali pusaka itu dengan cara apapun juga. Satu-satunya jalan baginya adalah melawan dan berusaha mencapai sungai agar ia dapat melarikan diri melalui air.
"Apakah kakek mau pusaka" Nah, terimalah ini" Tangan Wulansari bergerak ke balik bajunya dan begitu ia menarik kembali tangannya, nampak sinar kuning emas dari sebatang keris kecil melengkung yang telah dicabutnya dan diarahkan ke arah pertu kakek itu. Dengan tusukan yang cepat.
"Eh...... !" Ki Buyut Pranamaya terkejut juga meiihat sinar emas menyarnbar ke arah perutnya. Hawa panas yang datang bersama keris itu menandakan bahwa benda di tangan gadis itu memang sebuah pusaka yang cukup ampuh dan serangan itu amat berbahaya. Iapun lalu mengelak ke kiri sambil menangkis dengan lengan kanannya, langsung berusaha mencengkeram pergelangan tangan gadis itu untuk merampas keris itu.
Namun, Wulansari bukanlah seorang gadis lemah. Sebelum digembleng oleh Cucut Kalasekti dengan ilmu yang aneh-aneh, ia telah menjadi murid Panembahan Sidik Danasura dan telah menerima gemblengan dasar ilmu pencak silat yang tinggi selama lima tahun. Maka, kini ia telah menjadi seorang gadis remaja yang tinggi ilmunya dan tidak akan mudah dikalahkan. Meiihat betapa kakek itu berusaha mencengkeram pergelangan tangannya, Wulansari memutar pergelangan tangan itu sehingga kini keris yang menjadi sinar emas itu meluncur ke atas, membalik dan menyambut tangan kakek itu dengan tusukan.
"Ahh.......!" Kembali kakek itu berseru kaget dan kagum. Terpaksa iapun menarik kembali tangannya dan meloncat ke belakang, kemudian, sebelum gadis itu sempat menyerang lagi, kakinya sudah mencuat dengan amat cepatnya, menyambar dalam sebuah tendangan kilat ke arah dada Wulansari. Gadis ini menyambut dengan tangan kiri yang menangkis sambil memajukan kaki kanan selangkah diikuti tusukan kerisnya ke arah dada lawan yang sedang menendang.
"Dukkk....... plakkkk" Tendangan itu dapat ditangkis dari samping oleh tangan kiri Wulansari, akan tetapi tusukan keris itupun dapat ditangkis oleh tangan kiri kakek itu yang bergerak cepat. Keduanya melangkah mundur oleh getaran sebagai akibat benturan tenaga mereka,
"Heh-heh, agaknya engkau mempunyai juga sedikit kepandaian, bocah ayu. Baiklah, mari kita main-main sebentar, dan nanti kau harus menyerahkan kembali tombak pusaka bersama dirimu kepadaku, heh-heh!"
Akan tetapi, kakek itu tidak dapat tertawa terus karena tubuh Wulansari sudah berkelebat cepat dan menyerang bertubi-tubi dengan kedua tangannya. Tangan kanan menghunjamkan keris berkali-kali diseling oleh tamparan atau cengkeraman tangan kiri yang tidak kalah ampuhnya, karena tangan kiri itu telah diisi tenaga sakti sehingga setiap jari tangan yang kecil mungil itu seolah-olah kini telah berubah menjadi batang-batang baja yang kuat.
Ki Buyut Pranamaya menangkis atau mengelak sambil membalas pula dan terjadilah perkelahian yang amat seru di antara kedua orang yang tidak seimbang usia dan pengalaman itu.
Biarpun lawannya Seorang gadis muda, namun kakek itu harus mengakui bahwa dia tidak boleh main-main dan bahwa perkelahian itu merupakan pertandingan mati-matian karena lengah sedikit saja, dia akan celaka.
Sebaliknya, Wulansari juga maklum bahwa selama meninggaikan perguruan, baru sekali ini ia bertemu lawan yang luar biasa tangguhnya. Kakek ini mungkin setingkat dengan eyangnya atau gurunya, yaitu Cucut Kalasekti, maka menghadapi kakek ini terasa amat berat baginya.
"Syuuuuutt.........!" Sebuah tendangan kilat hampir saja mengenai pinggulnya dan Wulansari terkejut sekali. Apalagi ketika tendangan itu tidak berhenti sampai di situ saja, melainkan dilanjutkan dengan serangkaian tendangan kedua kaki bertubi-tubi dalam ilmu Tendangan Cakrabairawa. Pahanya terserempet pinggir kaki kiri lawan dan iapun terguling, bukan roboh melainkan sengaja menggulingkan diri untuk mengerahkan aji kekebalannya sehingga rasa nyeri di pahanya itu menghilang ketika ia bergulingan. Karena ia bergulingan di atas tanah, maka tentu saja kakek itu tidak dapat mclanjutkan serangannya yang berupa tendangan-tendangan maut dan kesempatan ini dipergunakan oleh Wulansiri untuk meloucat dan melarikan diri dengan cepat.
"Heh heh-heh, mau lari ke mana bocah manis" Lari ke ujung duniapun akan dapat kususul, heh-heh!" Kakek itu semakin tertarik dan semakin suka kepada Wulansari. Seorang gadis yang hebat, pikirnya, bukan saja cantik manis akan tetapi juga memiliki ilmu kepandaian yang cukup hebat sehingga tentu akan menyenangkan sekali kalau menjadi kekasihnya, juga pembantunya. Dan tentu saja, di samping daya tarik ini, ia tetap harus dapat merampas kembali tombak pusaka Ki Tejanirmala dari tangan gadis itu. Maka, iapun cepat melompat dengan langkah-langkah lebar melakukan pengejaran.
Wulansari maklum bahwa kalau sampai ia tersusul sebelum mencapai Kali Brantas, tentu ia akan celaka. Ia tidak akan mungkin dapat mempertahankan tombak pusaka itu, bahkan keselamatannya sendiri akan terancam. Bergidik ia kalau membayangkan apa yang mungkin akan terjadi menimpa dirinya kalau sampai ia terjatuh ke tangan kakek yang mengerikan itu. Ia harus dapat mencapai Kali Brantas karena begitu ia tiba di sungai itu, ia akan selamat, pikirnya.
Akan tetapi, Ki Buyut Pranamaya memang hebat. Ilmu kepandaiannya lebih tinggi dari pada gadis iru, maka sebelum Wulansari dapat mencapai sungai, dia sudah berhasil menyusulnya.
"Heh-heh, perlahan dulu, manis!" Tangannya menjangkau dan hampir dapat menangkap lengan Wulansari, Gadis ini cepat melompat ke samping, membalikkan tubuhnya dan menyerang lagi dengan kerisnya. Namun, sekali ini kakek itu sudah siap. Tadi dia telah mempergunakan ilmu berlari cepat yang disebut Aji Garuda Nglayang.
Setelah dekat, diam-diam dia sudah mempersiapkan ikat kepalanya, kain ikat kepala yang berwarna hitam dan siap di tangan kirinya. Begitu gadis itu membalikkan tubuhnya dan menyerang dengan keris kecil melengkung berwarna kuning emas itu, dia cepat menyambuinya dengan kebutan kain ikat kepala hitam.
"Wuuuttt.......!" Dan Wulanssri terkejut ketika tiba-tiba ada kain hitam menutup kerisnya dan ketika dicobanya menarik kerisnya kembali, keris itu telah terbungkus kain dan tidak dapat ditariknya kembali. Pada saat itu, tangan kanan Ki Buyut Pranamaya telah mencengkeram ke arah kepalanya.
Tiba-tiba Wulansari mengeluarkan suara mendesis seperti ular dan kakek itu terkejut, Suara mendesis ini membuat dadanya terasa seperti tertusuk dan tubuhnya sejenak menjadi kaku. Kesempatan itu dipergunakan oleh Wulansari untuk meloncat jauh ke belakang, lalu lari lagi. Akan tetapi, Ki Buyut Pranamaya
yang sakti mandraguna itu hanya sobentar saja terpengaruh suara mendesis itu. Ia sudah memulihkan. dirinya dan mengejar lagi, dengan lompatan Aji Garuda Nglayang sehingga sebentar saja kembali Wulansari sudah tersusul, babkan kakek itu mendahuluinya dan membalik, menghadang dengan kedua lengan terpentang lebar.
Melihat bahwa ta sudah berada di dekat tepi Kali Brantas akan tetapi kakek itu sudah menghadangnya, Wulansari menjadi marah dan nekat. Ia harus mampu menerobos dan lari ke sungai yang hanya tinggal kurang lebih limapuluh meter di depan, atau ia akan celaka. Kembali ia mengeluarkan suara mendesis hebat dan tubuhnya menubruk ke depan, didahului sinar kuning emas kerisnya, sedangkan tangan kirinya mengeluarkan bau amis ketika ia mendorong sambil mengerahkan tenaga saktinya.
Kini Ki Buyut Pranamaya sudah siap siaga. Dia maklum bahwa gadis ini tidak boleh dipandang ringan dan kalau dia lengah, dapat celaka oleh gadis itu. Maka, dia sudah mengerahkan tenaganya, menyambut serangan gadis itu dengan Aji Margaparastra yang ampuhnya menggiriskan itu.
"Desss.......!" Hawa pukulan Margaparastra menghantam ke depan. Baru terkena hantaman hawa pukulannya saja, tubuh Wulansari sudah terpelanting dan keris kecil di tangannya terlepas, Ia merasa seolah-olah seluruh tenaga di dalam tubuhnya lolos dan iapun tidak mampu bangkit kembali, kepalanya pening, dadanya sesak.
"Ha-ha-ha, akhirnya engkau menyerah juga kepadaku, bocah ayu. Di mana kau sembu-nyikan tombak itu" Ah, tentu di dalam ikat pinggangmu. Ha-ha, biar kulepaskan sama sekali ikat pinggangmu" Berkata demikian, kakek itu menggerakkan tangan kiri ke arah pinggang Wulansari. Dan ikat pinggang itu putus dan bersama terlepasnya kain yang merosot ke bawah, tombak pusaka itupun terjatuh. Wulansari terkejut dan cepat memegang kainnya agar jangan sampai telanjang.
Ki Buyut Pranamaya tertawa bergelak dan mengulur tangan, yang kiri untuk mengambil pusaka Tejanirmala, yang kanan untuk merenggut lepas kain yang membungkus tubuh bawah gadis itu.
Wulansari tidak berdaya lagi, tubuhnya masih lemas dan ia belum mampu bangkit, hanya memandang dengan mata terbelalak ngeri, isak tertahan dan kedua tangan mencengkeram kainnya.
"Heh-heh heh, ke sinilah, manis......"
Pada saat yang amat berbahaya bagi Wulansari, tiba-tiba ada bayangan orang berkelebat dan sebuah tangan menyambar denpan tamparan dahsyat ke arah kepala Ki Buyut Pranamaya.
Kakek ini terkejut sekali karena merasa betapa sambaran hawa pukulan dari tangan yang menampar itu amat kuatnva. Iapun menarik kedua tangan yang tadi hendak merampas tombak pusaka dan kain, lalu memutar tubuh ke kanan sambil mengerakkan lengan kanan menangkis.
"Desss........" Kakek itu semakin kaget karena tangkisan itu membuat tubuhnya terdorong ke belakang dan dia terhuyung. Ketika dia mengangkat muka memandang, dia menjadi marah sekali mengenai bahwa orang yang menyerangnya tadi adalah pemuda yang pernah dilawannya dalam pertempuran. Pemuda yang bernama Nurseta yang telah mengenali penyamarannya, mengenai bahwa dia adalah Wiku Bayunirada.
Hati Ki Buyut Pranamaya atau juga Wiku Bayunirada menjadi kecewa dan marah sekali. Kecewa karena gagal merampas kembali Tejanirmala, pada hal tadi sudah tinggal ambil saja, dan marah karena pemuda bernama Nurseta putera Ki Baka itu sungguh menjadi penghalang besar baginya.
"Keparat, bocah setan, engkau harus mampus di tanganku baru puaslah hatiku" bentaknya dan iapun sudah menyerang dengan dahsyat, mempergunakan tendangannya yang amat berbahaya, yaitu Aji Cakrabairawa. Terdangannya bertubi-tubi, susul menyusul kaki kiri dan kanan seolah-olah takkan pernah berhenti sebelum lawan roboh.
Nurseta sudah mengenai ilmu tendangan yang ampuh ini, maka iapun mengerahkan tenaga dan mengandalkan kecepatan gerakan tubuhnya untuk mengelak, menangkis dan membalas dengan pukulan-pukulan Bajradenta yang cukup ampuh. Tiba-tiba terdengar suara mendesis-desis dan ternyata Wulansari yang tadi sudah nyaris tertawan, kini sudah menerjang lagi, mengeroyok Ki Buyut Pranamaya. Gadis itu tadi cepat membereskan kainnya, merobek tepi kain untuk dijadikan ikat pinggang, menyimpan tombak pusaka Tejanirmala, kemudian memungut kerisnya. Dan dengan penuh kemarahan ia menyerang kakek itu, membantu Nurseta walaupun tubuhnya terasa sakit-sakit akibat tendangan dan pukulan kakek itu.
Menghadapi pengeroyokan pemuda dan gadis itu, Ki Buyut Pranamaya menjadi repot juga. Dia ingin sekali dapat merampas tombak pusaka lalu melarikan diri. Namun, Wulansari yang maklum akan keinginan hati kakek titu, sudah menyembunyikan tombak pusaka dibalik kainnya, terselip diikat pinggang. Kini, gadis itu menyerang dengan nekat sehingga Ki Buyut Pranamaya menjadi repot untuk menyelamatkan diri dari pengeroyokan dua orang muda itu.
Sebetulnya, tingkat kepandaian Ki Buyut Pranamaya masih lebih unggul karena bagaimanapun juga, dibandingkan Nurseta dan Wulansari, tentu saja dia lebih matang dan lebih banyak pengalaman. Namun, ia masih tegang karena rahasianya sebagai Wiku Bayunirada telah diketahui Nurseta dan dia merasa khawatir kalau-kalau masih ada orang sakti lain di belakang kedua orang muda ini.
"Hyaaatt.......!!" Tiba-tiba Nurseta menyerangnya dengan pukulan Aji Jagad Pralaya yang amat dahsyat itu, dibarengi suara mendesis Wulansari yang juga menyerang dengan tangan kiri dan keris di tangan kanannya. Meiihat hebatnya gelombang serangan ini, kakek itu mengeluarkan suara melengking marah dan kecewa, lalu tubuhnya melayang ke samping, bukan hanya untuk mengelak, melainkan juga untuk melarikan diri, menggunakan Aji Garuda Nglayang sehingga sebentar saja tubuhnya lenyap di antara pohon-pohon.
Nurseta hendak mengejar, akan tetapi terdengar gadis itu mengeluh dan terhuyung. Nurseta terkejut, tidak jadi mengejar dan cepat dia meloncat ke dekat gadis itu dan memegang lengannya sehingga Wulansari tidak jadi roboh. Gadis itu pucat sekali dan terkulai lemas, lalu jatuh pingsan dalam rangkulan Nurseta.
Nurseta memondong tubuh Wulansaii, dibawa dekat sungai dan merebahkannya di atus rumput tebal. Ketika dia memeriksa, dia mendapat kenyataan bahwa gadis itu menderita luka membiru pada pundak kiri, juga kain yang agak tersingkap memperlihatkan paha yang menghitam dan agaknya gadis itu menderita guncangan karena hawa pukulan sakti. Nurseta menempelkan telapak tangan kirinya pada pundak dan punggung gadis itu diurutnya dengan tangan kanan sambil mengerahkan hawa sakti untuk mengusir hawa pukulan yang masih mengeram di dalam tubuh Wulansari.
Tak lama kemudian gadis itu mengeluh dan membuka matanya. Ketika ia melihat Nurseta menempelkan telapak tangan di pundak dan punggung, tiba-tiba ia bangkit duduk dan mendorong kedua lengan pemuda itu.
"Wulansari ......." Nurseta memanggil dengan lembut, khawatir kalau-kalau gadis itu akan melarikan diri lagi. Akan tetapi sekali ini, Wulansari masih pening dan lemah, sehingga ia tidak dapat melarikan diri, dan pula, agaknya ia juga tidak ingin pergi meninggaikan pemuda yang telah menyelamatkannya dari ancaman malapetaka di tangan kakek yang sakti mandraguna tadi.
"Wulan ........ apakah kau masih ingat kepadaku?" Nurseta bertanya dengan lembut, khawatir kalau-kalau gadis itu memang benar telah lupa kepadanya.
"Kakang........kakang Nurseta......." Akhirnya gadis itu berbisik, setengah mengeluh dan nampak ia menggigit bibir bawahnya menahan rasa nyeri.
Bukan main girangnya hati Nurseta mendengar gadis itu menyebut namanya, akan tetapi kegirangannya berubah kekhawatiran meiihat gadis itu menahan nyeri.
"Ah, kau terluka, Wulan......"
Wulansari mengangguk. "Aku ......aku terkena pukulannya yang ampuh, dan juga pahaku terkena tendangan ......."
"Biarkan aku membantumu untuk menyembuhkan luka-lukamu, Wulan. Menurut pemeriksaanku tadi, masih ada hawa pukulan beracun yang mengeram di dalam tubuhmu Biarkan aku mengobatimu."
Kini Wulansari tidak menolak ketika pemuda itu duduk bersila di belakangnya dan menempelkan telapak tangan di punggung dan pundaknya. Ada hawa yang hangat keluar dari kedua telapak tangan itu, memasuki tubuhnya dan mendatangkan rasa yang nyaman. Kurang lebih seperempat jam kemudian, lenyaplah rasa nyeri di dada dan pundaknya.
"Sudah cukup, kakang, nyerinya sudah hilang" katanya lembut dan Nurseta lalu menghentikan pengobatannya. Akan tetapi ketika dia mengajak Wulansari bangkit berdiri, gadis itu hampir terguling roboh kalau tidak dipegang lengannya dengan cepat oleh pemuda itu.


Sejengkal Tanah Sepercik Darah Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kenapa, diajeng .......?"
"Paha kananku, nyeri sekali......"
"Biarkan aku memeriksanya........"
"Ihh! Jangan kakang ......." Wulansari yang sudah terduduk kembali itu menarik kakinya dari jangkauan tangan Nurseta.
"Kenapa, Wulan?"
"Aku", aku malu........"
Nurseta menahan senyumnya dan berkata dengan sungguh-sungguh. "Wulansari, dalam hal seperti ini, kurasa tidak perlu kita malu-malu lagi. Aku khawatir kalau ada tulang yang patah atau otot yang rusak"
Wulansari mengangguk. Mukanya yang biasanya dingin dan aneh itu kini menjadi kemerahan dan ia lalu menyingkap kainnya perlahan-lahan, memperlihatkan bagian paha yang kehitaman. Tadi, ketika gadis itu pingsan, Nurseta sudah memeriksanya sebentar, akan tetapi dia tidak berani mencoba untuk mengobatinya karena gadis itu masih pingsan, Memeriksa dan menyentuh bagian tubuh yang biasanya tertutup itu selagi pemilik paha itu pingsan, dianggapnya tidak sopan. Kini, meiihat paha tersingkap putih mulus, Nurseta menekan perasaannya dan mengusir bayangan yang mendatangkan rangsangan, lalu memeriksa paha yang terkena tendangan itu.
"Untung kau memiliki kekebalan yang kuat, diajeng. Pahamu hanya memar saja, tidak ada tulang retak atau otot rusak. Maafkan, aku akan mengurutnya sebentar." Nurseta lalu mempergunakan jari-jari tangannya untuk mengurut, sebentar saja, lalu menutupkan kembali kain yang tersingkap. Wulansari merasa girang dan berterima kasih sekali karena pahanya juga kini tidak begitu nyeri lagi.
Mereka duduk di atas rumput tebal, berhadapan dan sejenak mereka hanya saling pandang tanpa kata-kata sampai akhirnya Wulansari menundukkan mukanya yang menjadi merah. Ia merasa serba salah tingkah dan malu, juga Nurseta merasa betapa jantungnya berdebar keras, dan kedua tangannya yang tadi dengan mantap dan tetap mengurut paha, kini malah gemetar. Terasa benar dalam hatinya betapa dia amat mencinta gadis ini.
"Wulansari, bolehkah aku bertanya?" Akhirnya Nurseta berkata lembut setelah menenteramkan jantungnya yang berdebar.
Wulansari mengangkat muka. Dua pasang mata bertemu pandang, bertaut dan akhirnya Wulansari mengangguk dan menundukkan muka. Tak kuat ia bertemu pandang berlama-lama karena sepasang mata pemuda itu demikian tajam dan jelas sekali menyatakan isi hatinya! "Boleh saja, kakangmas" jawabnya lirih.
"Ketika kau muncul membantu aku membasmi bajak sungai, kemudian kau muncul lagi dan menewaskan Jumirah, isteri Lembu Petak itu......."
"Bajak-bajak itu jahat sekali, membunuh petani yang tidak berdosa dan mengancam keselamatanmu. kakangmas, dan peremuan itu tak tahu malu, cabul dan jahat, maka aku terpaksa membunuh mereka semua!" Wulansari memotong, seolah khawatir kalau Nurseta akan menyalahkannya.
"Bukan itu maksudku, Wulan. Akan tetapi, mengapa kau lalu pergi begitu saja dan tidak mau bicara denganku" Aku khawatir sekali......"
"Mengapa khawatir, kakangmas" Apa yang kau khawatirkan?"
"Aku khawatir kalau-kalau kau tidak sudi lagi berkenalan denganku, atau mungkin kau sudah lupa kepadaku, pada hal aku......."
"Padahal bagaimana, kakang?"
"Aku....... aku selama ini....... amat merindukanmu, diajeng. Aku girang bukan main ketika melihat kau muncul, baik yang pertama kali itu atau yang ke dua kali, akan tetapi kau pergi begitu saja........"
Wulansari mengangkat mukanya, memandang. Kini perasaan malu-malu dapat diatasinya dan pandang matanya bahkan penuh dengan selidik, seolah dara ini ingin menjenguk isi hati Nurseta.
"Engkau......... kau amat merindukan aku, kakang" Benarkah itu.......?"
"Tentu saja benar, diajeng. Aku tidak biasa berbobong dan pula, untuk apa aku harus berbohong kepadamu?"
"Tapi...... kenapa kau amat rindu kepadaku, kakangmas" Kita baru satu kali saja bertemu, di padepokan Eyang Panembahan Sidik Danasura, di Teluk Prigi Segoro Wedi......."
Kembali Nurseta merasa betapa jantungnya berdebar. Dia harus berani menyatakan terus terang. Perasaan cintanya terhadap Wulansari itu demikian jelas dan sering membuatnya tidak dapat tidur, sering menggetarkan hatinya, dan terutama sekali terasa ketika ayah angkatnya, Ki Baka, menjodohkannya dengan Pertiwi. Dan kini, Wulansari bertanya kenapa ia selama ini amat rindu kepada gadis itu.
Beberapa kali Nurseta menelan ludah untuk nenenangkan hatinya, dan iapun memegang tangan Wulansari sambil berkata.
"Wulansari, pertemuan pertama itu, biarpun baru satu kali, namun telah meyakinkan hatiku bahwa aku....... aku amat cinta
kepadamu diajeng. Setelah kami berpisah, aku tidak pernah dapat melupakanmu dan aku merasa amat rindu kepadamu. Diajeng Wulansari, aku cinta padamu......."
Tangan yang dipegangnya itu mendadak saja gemetar, akan tetapi Wulansari tidak menarik tangannya yang digenggam, melainkan kini mengangkat mukanya memandang wajah Nurseta. Pemuda inipun memandangnva, dua pasang mata bertemu dan Nurseta melihat betapa dua buah mata yang jeli dan bening seperti bintang itu menjadi basah dan perlahan-lahan, beberapa butir air mata seperti mutiara menitik keluar dari pelupuk mata dan menggelinding di sepanjang pipi yang kemerahan.
"Diajeng........ kau....... kau menangis" Maafkan kalau aku menyinggung perasaan hatimu, diajeng........"
Nurseta hendak melepaskan tangan gadis itu, akan tetapi Wulansari bahkan menggerakkan tangan kirinya dan memegang tangan pemuda itu. Empat tangan mereka menjadi satu, saling genggam.
"Kakangmas........ aku ....... aku menangis karena merasa berbahagia......."
"Diajeng Wulansari.......!"
"Kakangmas Nurseta.......I"
Seperti dsgerakkan oleh sesuatu yang gaib, keduanya saling rangkul dan Nurseta mendekap kepala itu ke dadanya, kuat- kuat seolah-olah ia ingin memasukkan kepala itu ke dalam dadanya agar tidak terpisah darinya lagi. Kemudian ia menunduk, mendekatkan mukanya dan Wulansari, terdorong oleh naluri kewanitaannya, menyambut. Entah siapa yang memulai karena keduanya selamanva belum pernah mengalami hal seperti itu, akan tetapi tahu-tahu keduanya telah saling cium dengan menumpahkan seluruh kemesraan dari dalam dua hati yang saling merindukan.
Kini mereka duduk di atas batu yang panjang, berdampingan, dan lengan kanan Nurseta merangkul pundak Wulansari sedangkan lengan kiri gadis itu melingkar di pinggang Nurseta. Sampai lama keduanya berdiam diri, Wulansari menyandarkan kepalanya di bahu dan dada kekasihnya.
Angin semilir menyambut senja mempermainkan rambut halus Wulansari. Nurseta mengelus rambut di kepala itu. Rambutmu indab sekali, diajeng........"
"Benarkah........?"
Nurseta menunduk dan mencium kepala itu, "Diajeng, setelah kau dibawa pergi oleh kakek itu, yang menurut Eyang Panembahan namanya Cucut Kalasekti, lalu apa yang terjadi denganmu" Siapakah kakek yang sakti mandraguna itu sebenarnya, diajeng" Benarkah kau cucunya" Dan dari siapa pula kau mempelajari ilmu-ilmu yang hebat dan aneh itu?"
Dihujani pertanyaan itu, Wulansari tersenyum, menoleh dan menggunakan telunjuk tangannya menyentuh bibir Nurseta, sikapnya manja dan mesra sekali.
"Wah, banyak benar pertanyaanmu, kakangmas. Eyang Cucut Kalasekti itu memang eyangku, juga guruku. Akan tetapi... ah, kita sekarang harus berpisah, kakangmas. Aku khawatir kalau kakek jahat tadi datang kembali ke sini bersama teman-temannya, kita bisa celaka. Aku harus pergi sekarang"
Gadis itu'tiba-tiba bangkit berdiri. Nurseta memegang tangannya.
"Nanti dulu, diajeng. Kita baru saja bertemu, baru saja hati kita saling bertemu dan masih banyak yang harus kita bicarakan"
"Untuk saat ini, tidak ada lagi yang perlu dibicarakan, kakangmas. Cukuplah kalau aku mengetahui bahwa kau mencintaku, dan ketahuilah bahwa akupun mencintamu, sejak dulu. Mulai saat ini, aku telah menjadi milikmu dan aku bersumpah takkan sudi disentuh pria lain Kalau semua urusanmu telah beres, kuharap kau suka berkunjung ke Blambangan, menjumpai Eyang Kalasekti dan meminangku. Maukah kau, kakangmas" Maukah?"
Dengan sikap manja Wulansari mengguncang-guncang tangan pemuda itu yang dipegangnya.
"Tentu saja aku mau, diajeng, akan tetapi aku belum ingin berpisah darimu. Aku tidak ingin berpisah lagi, diajeng......."
Akan tetapi Wulansari meronta dan melepaskan diri dari rangkulan kekasihnya. "Cukup sudah, kakangmas. Kita masing-masing mengetahui bahwa kita saling mencinta! Aku harus pergi sekarang, sampai jumpa, kakang"
Gadis itupun lari ke sungai dan meloncat dari tebing yang cukup tinggi itu. Tubuhnya meluncur ke bawah ketika Nurseta mengejarnya ke tepi sungai.
"Cuppp......." Tubuh itu bagaikan sebatang anak panah memasuki air tanpa menimbulkan banyak percikan air, dan tak lama kemudian nampak ia tersembul di tengah sungai.
" Wulansari.......!"
Nurseta memanggil dan gadis itu membalikkan badan, lalu melambaikan tangan kepadanya. sambil tersenyum manis sekali.
"Wulansari, apakah kau membawa tombak pusaka Tejanirmala?" Baru sekarang pemuda itu teringat akan tombak pusaka yang tadi dirampas oleh Wulansari dari tangan Ki Buyut Pranamaya atau Wiku Bayunirada.
Gadis itu mengangkat tangan kanannya ke atas dan di tangan itu terdapat tombak pusaka Tejanirmala yang ditanyakan Nurseta.
"Diajeng, tombak itu adalah pusaka milik ayah angkatku, harap kau serahkan kepadaku agar dapat kukembalikan kepada ayah"
Wulansari menggeleng kepalanya. "Kakangma, ketahuilah bahwa satu di antara tugasku adalah mencari dan membawa pusaka ini ke Blambangan. Aku akan membawanya kesana, menyerahkannya kepada eyang. Kelak kalau kau datang meminangku, kau boleh minta kembali dari eyang dan aku akan membantumu, kakang. Nah, selamat tinggal, kakangmas Nurseta. Aku cinta padamu dan akan selalu menantimu ........!"
Sebelum Nurseta sempat membantah atau menjawab, gadis itu sudah lenyap, menyelam ke dalam air. Nurseta berdiri mematung di tepi sungai itu, mengharapkan gadis itu muncul kembali karena dia masih ingin bicara. Akan tetapi, tidak nampak gadis itu muncul sehingga akhirnya, terpaksa dia berlari kembali ke tempat pertempuran membantu pasukan Singosari yang masih bertempur melawan pasukan pemberontak.
Pasukan pemberontak yang dipimpin Mahesa Rangkah ternyata dapat digiring kembali. ke pusat sarang mereka setelah di mana-mana mereka bertemu dengan pasukan Singosari dan dipukul mundur. Akhirnya, semua sisa pasukan pemberontak berkumpul di dalam sarang mereka dan diserbu oleh pasukan besar yang dipimpin sendiri oleh Senopati Ronggolawe yang dibantu oleh beberapa orang senopati lainnya.
Pertempuran menjadi berat sebelah, apa lagi setelah Mahesa Rangkah ditinggalkan Ki Buyut Pranamaya yang amat diandalkan oleh muridnya itu. Setelah gurunya pergi, terpaksa Mahesa Rangkah melawan mati-matian, dibantu. oleh para tokoh sesat dan anak buahnya. Perang mati-matian dilakukan oleh Mahesa Rangkah yang sudah hampir putus asa itu, perlawanan yang sia-sia belaka.
Ternyata kemudian akan kepalsuan para tokoh sesat yang tadinya hendak membantu gerakan pemberontakan. Mahesa Rangkah. Setelah meiihat bahwa Ki Buyut Pranamaya melarikan diri dan melihat betapa pasukan pemberontak kewalahan menghadapi pasukan Singosari, apa lagi setelah mereka sendiri berhadapan dengan para senopati Singosari yang amat tangguh, dibantu pula oleh orang-orang gagah seperti Ki Jembros, Ki Padasgunung dan Ki Pragalbo, apa lagi di sana terdapat Nurseta yang amat sakti, para tokoh sesat itu satu demi satu lalu lenyap melarikan diri selagi masih ada kesempatan.
Memang banyak di antara mereka yang tidak sempat melarikan diri dan tewas di tangan para senopati Singosari, akan tetapi para tokoh sesat yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dapat menyusup di antara pasukan pemberontak dan menghilang Di antara mereka yang berhasil menyelamatkan diri termasuk tiga orang pimpinan Clurit Lemah Abang, yaitu Soradipo, Sorawani, dan Sorakayun, kemudian Ki Sardnlo tokoh Banyuwangi adik seperguruan Ki Baya itu, Gagak Wulung dan Ni Dedeh Sawitri yang berhasil lolos pula.
Setelah dilinggalkan oleh para pembantunya yang diandalkan itu, Mahesa Rangkah yang sudah putus asa ditinggalkan gurunya, kini menjadi semakin lemah dan repot. Namun, ia tidak meninggaikan pasukannya dan mengamuk terus dengan nekat sampai akhirnya tewaslah pemimpin pemberontak ini dalam pengeroyokan para senopati Singosari.
Pasukannyapun dibasmi hancur dan berakhirlah sudah pemberontakan Mahesa Rangkah terhadap Singosari.
Pemberontakan Mahesa Rangkah yang terjadi dalam tahun 1280 itu dapat dihancurkan tanpa banyak kesukaran oleh. Kerajaan Singosari, dan sekali ini, Kerajaan Daha di Kediri terlepas dari kaitan. Untung bahwa para jagoan Kediri sudah mendapat perintah untuk cepat meninggaikan Mahesa Rangkah sehingga Kediri tidak terlibat oleh pemberontakan yang gagal itu.
Karena jasa-jasanya terhadap Singosari dalam penghancuran gerakan pemberontakan Mahesa Rangkah, para orang gagah seperti Ki Jembros, Padasgunung, Pragalbo. dan terutama sekali Nurseta, oleh Senopari Ronggolawe diperkenalkan kepada para senopati Singosari. Dan dalam kesempatan inilah Nurseta berkenalan dengan Raden Wijaya, putera mantu dari Sang Prabu Kertanegara.
Nama pemuda ini mulai dikenal di kalangan para senopati Singosari, bahkan Raden Wijaya sendiri berkenan menghadiahkan sebatang keris kepada Nurseta, keris yang tidak begitu panjang, berbentuk naga, pangkal keris berbentuk kepala
Pedang Golok Yang Menggetarkan 13 Pendekar Pedang Kail Emas Karya Liu Can Yang Pendekar Gelandangan 3
^