Pencarian

Dendam Dan Prahara 2

Dendam Dan Prahara Di Bhumi Sriwijaya Karya Yudhi Herwibowo Bagian 2


daun-daunnya yang kecil panjang dan menempel menyirip
pada batang pelepah itu satu per satu. Dipisahkannya setiap
tulang daun yang kecil memanjang itu dari bagian daunnya
hingga akhirnya diperoleh tulang-tulang daun.
Bocah itu diam-diam memperhatikan Biksu Wang dengan
saksama. Dengan langkah ragu didekatinya Biksu Wang. Lalu,
tanpa berucap, ia kembali bertanya dengan tatapannya. Biksu
Wang tersenyum, "Kau lihat saja nanti!" Tak berapa lama, Biksu Wang sudah memperoleh ratusan tulang-tulang daun
kelapa yang kecil memanjang itu. Dikumpulkan dan
dirapikannya batang-batang itu dalam genggamannya dan
diikatnya kuat-kuat dengan semacam akar.
Lalu, segera ia menyerahkan benda tersebut kepada bocah
itu. "Ini bisa membuatmu bekerja lebih cepat," ujar Biksu Wang.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Bocah itu tampak senang.
Biksu Wang menepuk kepala bocah itu, "Nah, sekarang aku harus kembali meneruskan perjalananku
Lalu, ia kembali melanjutkan langkahnya ke arah rumah
yang berada paling ujung. Kemarin ia belum selesai membuat
rumah itu kembali tegak.
"Amithabha (Budha memberkati), Buddha memberkati," ia
menyapa seorang kakek yang tinggal seorang diri di situ.
Namanya Kakek Dwangga Ara.
"Bagaimana istirahat Kakek semalam?" tanyanya berbasa-
basi. Kakek Dwangga Ara tertawa, "Seharusnya aku yang
bertanya begitu. Bukankah biksu orang baru di sini?" ia balik bertanya.
Biksu Wang tertawa, "Kalau bagiku, malam ini sedikit lebih
sulit." Ia menggaruk kepalanya yang tanpa rambut,
"Sepertinya ... terlalu banyak nyamuk
Kakek Dwangga Ara tertawa, "Kau seharusnya mengolesi
badan dengan bunga melati
"Ya, besok tentu akan kuolesi," Biksu Wang tersenyum.
Tiba-tiba ia seperti teringat sesuatu.
"Oya," tanyanya sambil membuang pandangan ke belakang
"Bocah yang membersihkan setapak itu, anak siapa dia?"
"Oh, Muara?" Kakek Dwangga Ara berujar, "la anak kami
semua...."
"Anak kami semua?" kening Biksu Wang berlipat. "Apa
maksudnya?"
Kakek Dwangga Ara tertawa, "Kami menemukannya di
muara itu." Ia menunjuk sebuah muara yang ada di balik
hutan, "Tempat asalnya dulu, tampaknya baru saja terkena
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
luapan banjir. Dan, ia terbawa arus hingga ke sini. Untunglali kami kemudian menyelamatkannya ."."
---ooo0dw0ooo----
Hidup adalah penderitaan....
Entah mengapa, sepertinya Biksu Wang begitu mudah
melukiskan kalimat itu kepada sosok bocah kecil itu. Cerita
singkat Kakek Dwangga Ara sepertinya begitu menyentuh
hatinya, terutama saat dibayangkannya datu terdekat
sepanjang sungai ini berada lebih dari ribuan tombak jauhnya.
Bisa dibayangkannya seberapa lama perjalanan bocah ini
terhanyut hingga kemari" Seperti apa penderitaannya selama
itu" Sungguh, Biksu Wang tak bisa melukiskannya. Akan
tetapi, sejak itu ia lebih kerap memperhatikan sang bocah.
Penduduk memanggilnya Muara dan ia merupakan anak bagi
semua penduduk di sini. Walau tinggal di salah satu rumah
penduduk, secara bergiliran penduduk lainnya akan
memberinya makan. Nanti bila penduduk membutuhkan
bantuan-bantuan ringan, ia adalah orang yang akan dihubungi
pertama kali. Sejak hari itu, setiap pagi Biksu Wang selalu membawakan
makanan bagi Muara. Buah-buahan, singkong bakar, nasi, dan
sayur-sayuran ataupun makanan lainnya. Biasanya sambil
menunggu matahari benar-benar muncul, dan orang-orang
mulai keluar rumah, keduanya akan duduk di bawah pohon
tua itu, tepat di sebuah batang pohon besar yang tergeletak.
Nanti bila matahari semakin meninggi, barulah Biksu Wang
melanjutkan perjalanannya ke rumah-rumah penduduk
lainnya. Namun, sesekali pandangannya akan tetap terarah
pada setapak tempat Muara berada.
"Ia begitu rajin," gumamnya suatu saat.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Tentu saja," balas lelaki separuh baya yang tengah diajaknya bicara. "Ia yang terajin dari semua bocah di sini Biksu Wang tersenyum sambil mengangguk-angguk,
"Mungkin, lain kali aku akan meminta bantuan darinya."
"Ya," ujar lelaki itu, "panggil saja ia, bila butuh sesuatu.
Aku sendiri tak bisa banyak membantumu. Kau tahu, tubuh
tuaku ini ... hahaha ...."Ia tertawa lagi sambil menepuk-nepuk pinggangnya.
---ooo0dw0ooo---
Akan tetapi, suatu hari, belum sampai Biksu Wang
memanggilnya, Muara sudah muncul di depan rumahnya. Ia
datang lewat tengah hari, saat tugasnya membersihkan
setapak desa telah usai. Bila tidak sedang membantu
penduduk lainnya, Muara memang banyak memiliki waktu
luang. Dengan gerakan takut-takut ia memperhatikan barang-
barang yang ada di rumah Biksu Wang.
"Mengapa kau tidak bermain dengan teman-temanmu?"
tanya Biksu Wang seakan sambil lalu.
Muara menggeleng.
"Apa... mereka suka mengejekmu?" Biksu Wang bertanya dengan hati-hati. Sekali ia pernah mendengar beberapa anak-anak dusun ini mengejek Muara yang tengah membersihkan
setapak. Akan tetapi, Muara kembali menggeleng.
"Lalu, mengapa?" Biksu Wang semakin ingin tahu.
Muara terdiam sesaat.
"Bukankah, aku memang tak seharusnya bermain-main?"
akhirnya suaranya yang pelan terdengar. "Semuanya sudah
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
begitu baik kepadaku. Sudah menyelamatkan aku, sudah
memberiku tumpangan, dan sudah memberiku makan setiap
hari. Bukankah sekarang giliranku untuk membalas kebaikan
mereka?" Biksu Wang terdiam. Sungguh, ucapan itu benar-benar tak
disangkanya akan keluar dari mulut bocah yang usianya belum
lebih dari delapan tahun.
"Hao hai z (Anak yang baik (bahasa Cina).... hao hai zi " ia hanya bisa bergumam pelan. "Kau memang... anak yang baik
...." Maka dibiarkannya Muara memperhatikan seluruh isi
rumahnya. Ia begitu tertarik dengan barang-barang untuk
prosesi doanya, terutama dupa yang tengah menyala.
"Baunya aneh," ujarnya.
Biksu Wang tertawa, "Itu yang dinamakan dupa," ujarnya.
"Bila kau kerap kemari, kau akan terbiasa ...."
Dan benar, sejak hari itu, Muara memang kerap
mendatangi rumah Biksu Wang. Biksu Wang akan membiarkan
Muara berada di tempatnya kapan pun dan sampai kapan pun.
Dan, selama di rumah itu, Muara tak akan henti-hentinya
memperhatikan apa pun yang tengah dikerjakan Biksu Wang,
dari hal yang kecil hingga hal yang besar, dari hal yang jelas hingga hal yang tidak jelas maksudnya.
Muara paling senang saat Biksu Wang tengah membuat
masakan dari rebung. Cara Biksu Wang mencacah anakan
bambu muda yang begitu cepat membuat matanya terbelalak
tak percaya. Belum lagi ketika Biksu Wang membuat makanan
yang disebut mi. Dengan gerakan luwes, Biksu Wang akan
memutar-mutar adonan seperti tengah melakukan sebuah
permainan. Hingga tak lama kemudian, adonan yang semula
hanya segumpal itu kemudian menjadi adonan ber-bentuk tali-
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
tali kecil yang panjang. Sungguh, ini membuat Muara begitu
terpana. Akan tetapi, dari semua hal baru ini bagi Muara, yang
paling membuatnya terpana adalah saat melihat Biksu Wang
tengah menulis. Pada saat itu, budaya tulis memang belum
menyebar hingga ke rakyat jelata. Kalaupun ada biasanya
hanya dilakukan di atas daun lontar atau dipahatkan pada
sebuah batu. Sekali waktu Muara akan mencoba mencelupkan ujung bulu
angsa itu ke dalam tinta bak, lalu mencoba mencoret-coret
tulisan di atas daun lontar. Saat itu, walau kertas telah
ditemukan, tetapi karena keterbatasannya, beberapa orang
Cina tetap menggunakan daun lontar sebagai media tulisnya.
"Dengan menulis kau bisa mengungkapkan apa saja," ujar Biksu Wang membiarkan Muara mencorat-coret.
"Aku bisa menggambar dan aku juga bisa ... menulis
namamu," Biksu Wang kemudian mengambil bulu angsa dari
tangan Muara dan mulai menulis di daun lontar itu.
"Mu-a-ra...," ia mengejanya.
"Sebenarnya... namaku bukan itu," tiba-tiba suara Muara terdengar.
Biksu Wang menghentikan gerakan tangannya dan
menoleh. "Namaku ... Tunggasamudra," ujar Muara lagi. "Dulu Kakek yang memberi nama itu kepadaku."
Biksu Wang mengangguk-angguk, "Lalu, mengapa kau tak
mengatakan sejak awal kepada penduduk di sini?"
Muara menggeleng dengan gerakan pelan, "Mereka tak
menanyakannya," ujarnya dengan suara lemah. "Mereka...
langsung memanggilku dengan nama itu."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Biksu Wang mengangguk-angguk, "Lalu sekarang, nama
mana yang kau suka?"
Si bocah tersenyum. "Aku menyukai nama
Tunggasamudra," ujarnya cepat. "Kata Kakek, itu nama seorang pendekar ...."
---ooo0dw0ooo---
Sejak itu Biksu Wang memanggil Muara dengan sebutan
Tungga. Hubungan keduanya menjadi semakin dekat. Sekarang ke
mana pun Biksu Wang pergi, Tunggasamudra akan
mengikutinya. Ia akan memperhatikan setiap ucapan Biksu
Wang. Namun, kadang ucapan Biksu Wang terasa begitu berat
bagi Tunggasamudra hingga ia terpaksa mengulanginya
sekadar untuk bisa mengingatnya. Ini tentu saja membuat
Biksu Wang tertawa, "Kau ini, tak perlu kau sampai
menghafal-kannya. Aku tahu, kau belum cukup dewasa untuk
memahami beberapa perkataanku. Apalagi," Biksu Wang
mendekat, "jangan percaya begitu saja kepadaku. Seperti juga jangan percaya begitu saja pada wahyu ataupun tradisi.
Jangan percaya begitu saja pada desas-desus atau naskah-
naskah suci. Jangan percaya begitu saja pada kabar angin
atau logika belaka. Jangan percaya begitu saja pada
prasangka atau kemampuan seseorang dan jangan menerima
begitu saja karena 'Ia guru kami'ujar Biksu Wang panjang
Lalu lanjutnya, "Tetapi, bila kau sendiri mengetahui bahwa suatu hal adalah baik, tidak tercela, dipuji oleh orang-orang bijak, apabila dipraktikkan dan dijalani membawa
kebahagiaan, maka ikutilah hal itu
Biksu Wang tersenyum, menyentuh kepala Tunggasa-
mudra, "Buddha bahkan menyarankan, Jangan percaya apa
yang Kukatakan kepadamu sampai kamu mengkaji dengan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
kebijaksanaanmu sendiri secara cermat dan teliti apa yang
Kukatakan Tunggasamudra memandang dengan tatapan tak mengerti.
Otaknya mungkin masih terlalu kecil untuk memahami kalimat
itu. Biksu Wang hanya bisa tersenyum sendiri, "Sudahlah, sekarang kau makan saja dulu. Aku menyisakan sayur rebung
untukmu." Tunggasamudra tersenyum senang. Ia menyukai sayur
rebung. Rasanya walau aneh di lidahnya, tetapi makanan itu
belum pernah dirasakan sebelumnya.
Ketika Tunggasamudra makan, Biksu Wang kembali
melanjutkan kegiatannya. Ia harus memindahkan beberapa
kendi sebesar tubuhnya yang penuh air. Dengan baju
biksunya, ia sedikit tampak kerepotan melakukan itu.
Tunggasamudra segera saja menghentikan makannya dan
bergerak membantunya.
"Jangan!" Biksu Wang menahan, "Ini terlalu berat bagimu."
Akan tetapi, Tunggasamudra tak menggubris seruan itu.
Dengan tangan kecilnya ia mengangkat kendi yang jauh lebih
besar dari tubuhnya itu.
Biksu Wang terpana. Tangan kecil itu, walau dengan susah
payah, akhirnya berhasil juga menggeser kendi itu. "Ternyata tenagamu cukup kuat juga," ia menepuk pundak
Tunggasamudra. Saat itulah Biksu Wang baru mengamati lebih teliti tubuh
Tunggasamudra, mulai dari pergelangan tangannya, otot-
ototnya hingga lekukan sendi-sendi di seluruh tubuhnya. Dan, ini langsung saja membuat dirinya terdiam. Ia hafal dengan
bentuk tubuh seperti ini. Ia tidak menyadari bentuk tubuh
seperti ini sebelumnya pada diri Tunggasamudra. Sungguh,
anak ini... mempunyai bentuk tubuh seorang pendekar!
"Biksu melihat apa?" tanya Tunggasamudra heran.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Biksu Wang menggeleng-geleng, "Ah, tidak, tidak.."
"Apa Biksu melihat ini?" Tunggasamudra tiba-tiba
membalikkan tubuhnya dan menunjukkan pundaknya, tempat
sebuah bekas luka berbentuk melingkar sebesar pergelangan
tangan berada. "Kata Kakek," ujar Tunggasamudra lagi, "di sinilah dulu tanganku yang ketiga berada. Bekasnya masih begitu terlihat, bukan?"
Biksu Wang memperhatikan lebih saksama. Kulit
Tunggasamudra yang berwarna sawo matang telah
menyamarkan bekas luka itu dengan baik hingga ia tak
melihatnya selama ini.
Perlahan Biksu Wang mulai menyentuh bekas tangan itu.
"Dulu," ia berucap nyaris tak terdengar, "pastilah sangat menyakitkan
Tunggasamudra tersenyum lebar, memperlihatkan sebuah
gigi atasnya yang ompong, "Rasanya tidak," ujarnya. "Saat itu aku sama sekali tak merasakan apa-apa
---ooo0dw0ooo---
"Kebenaran pertama adalah hidup itu penderitaan.
Kehidupan penuh dengan penderitaan.... Kebenaran kedua
adalah penyebab penderitaan
.... Kebenaran ketiga adalah siapa pun dapat menghentikan
penderitaan .... Dan, kebenaran keempat adalah jalan beruas
delapan Mendekati kaum pagan atau kaum penyembah berhala
adalah tugas berat bagi para biksu Buddha. Walau para da-
punta di Telaga Batu serta dapunta-dapunta di datu-datu
lainnya sudah memeluk Buddha dan juga melakukan
penyebaran ajaran itu, tetapi kadang ada saja orang-orang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
yang merasa terganggu dengan kehadiran ajaran itu.
Terutama bila penyebaran itu dilakukan oleh orang asing!
Maka itulah, suatu saat, ketika tengah memetik manggis-
manggis liar di tepi hutan, Biksu Wang mendapat serangan
dari beberapa orang. Jumlahnya ada empat orang dan
semuanya menutupi wajahnya dengan kain hitam. Di tangan
mereka terlihat parang tajam, sebagai tanda keseriusan


Dendam Dan Prahara Di Bhumi Sriwijaya Karya Yudhi Herwibowo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mereka. Bila Biksu Wang hanyalah biksu biasa, tentu ia akan roboh
dan tewas dalam serangan pertama. Namun, untunglah Biksu
Wang merupakan pewaris aliran Liang Qiang. Walau sudah
beberapa tahun tak lagi menggunakan ilmunya untuk
bertarung, tetapi tetap saja ia merupakan pendekar yang
tangguh. "Siapa kalian?" sambil menghindari serangan pertama, Biksu Wang sempat berteriak.
Akan tetapi, jawabannya hanyalah serangan yang makin
beruntun. Biksu Wang menyadari keseriusan ini. Dengan gerakan
kilat, ia sudah berkelit dari serangan-serangan itu. Dengan I
?crtumpu pada sebuah pohon, dilentingkan tubuhnya, sedikit
ke atas, untuk meraih sebatang bambu. Lalu, seakan menjadi
sebilah pedang, ia dengan berani menghalau parang-parang
dari para penyerangnya.
TRAAAK... TRAAAK....
Benturan itu sama sekali tak membuat tongkat bambu
patah. Di setiap benturannya, Biksu Wang dengan keluwesan
gerakannya selalu mengikuti arah serangan parang lawan. Ini
yang membuat bambu itu tak patah. Keadaan ini tentu saja
membuat penyerang-penyerang itu semakin penasaran.
Dengan kekuatan penuh mereka pun semakin ganas.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Biksu Wang hanya melayani dengan sesekali mundur
beberapa langkah. Bukan karena terdesak, tetapi mencoba
mencari celah untuk melumpuhkan penyerangnya. Maka
ketika dirasakan ia menemukannya, dengan satu gerakan
memutar, Biksu Wang sudah mengayunkan tongkat bambunya
ke arah parang salah satu lawannya. Dengan satu gerakan
mengejutkan, disentaknya parang itu hingga terlepas dari
tangan pemiliknya.
Memanfaatkan keterkejutan lawannya, Biksu Wang segera
melanjutkan gerakannya, melakukan serangan dengan
tangannya, memukul dada lelaki itu.
BUUUK! Bunyi itu diikuti dengan terpelantingnya lelaki itu hingga
beberapa tombak. Dari mulutnya yang ditutupi kain hitam,
jelas terlihat darah muncrat mengotorinya.
Biksu Wang langsung membungkuk, "Maafkan aku ....
Maafkan aku"
Melihat ini, ketiga penyerang yang lain seketika tersadar.
Tanpa komando lagi, segera mereka membopong temannya
dan buru-buru melarikan diri.
Biksu Wang sama sekali tak berusaha mengejarnya.
Tunggasamudra yang sejak tadi bersembunyi di semak-semak
segera saja keluar. Tak bisa ditutupinya lagi wajahnya yang
tampak tak percaya.
"Biksu, ternyata kau bisa berkelahi," ujarnya.
Biksu Wang hanya tersenyum, "Hush, kau ini," ujarnya. "Itu tadi bukan berkelahi. Aku hanya membela diri ...."
---ooo0dw0ooo---
Sepulang dari tepi hutan itu, Kakek Dwangga Ara langsung
menghampiri Biksu Wang.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Biksu, tampaknya Sauwa Laja terluka," ujarnya, "Ia sepertinya habis berkelahi
Biksu Wang terdiam. Saat itu dirinya dan Tunggasamudra
baru saja memindahi manggis-manggis yang mereka peroleh
dari keranjang besar ke keranjang-keranjang yang lebih kecil.
Ia pun segera beranjak menghampiri rumah Sauwa La-ja,
yang ada di tengah-tengah rumah-rumah lainnya. Namun, di
depan pintu rumah itu, tiga orang laki-laki berbadan besar
sudah menghadangnya.
"Mau apa kau, Biksu?" tanya seseorang yang berbadan paling besar. Entah mengapa ekspresinya terasa tidak wajar.
Dua orang yang lain bahkan mencoba berkali-kali untuk
berpaling dari tatapan Biksu Wang.
"Aku dengar Sauwa Laja tengah sakit," ujar Biksu Wang,
"Aku, hanya ingin memeriksanya. Mungkin ... aku bisa sedikit membantu
"Tidak perlu," ujar lelaki berbadan besar itu lagi, "Ia hanya jatuh."
Akan tetapi, seusai ucapan itu suara batuk terdengar dari
dalam ruangan. Suara batuk yang amat panjang.
"Bila tak segera diobati," Biksu Wang berucap tegas. "Ia bisa saja terluka dalam ...."
Dan, ucapan itu langsung membuat ketiga orang di
depannya terdiam. Mereka pun tak lagi mencoba menghalangi
langkah Biksu Wang.
Biksu Wang segera saja masuk. "Tungga, bawakan kemari
tas obat itu," ujarnya menyuruh Tunggasamudra yang sedari tadi berdiri agak jauh untuk segera berlari ke dalam rumah.
Awalnya, dari atas dipan kayu itu, lelaki itu tampak
ketakutan melihat kedatangan Biksu Wang. Namun, belum
sempat ia bicara apa-apa, Biksu Wang langsung menarik
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
tangannya dan memeriksa nadinya. Lalu, dengan gerakan
yang pasti, Biksu Wang segera membuka baju lelaki itu.
Di situ samar-samar dilihatnya bekas sebuah telapak
tangan. Namun, Biksu Wang tak bertanya apa-apa. Ia sudah
membalikkan tubuh lelaki itu dan bersila di belakangnya. Lalu, dengan cepat dialirkan energinya melalui telapak tangannya
ke punggung lelaki itu.
Tunggasamudra menatapnya tak mengerti. Ini baru
pertama kali bagi dirinya melihat sebuah proses pengaliran
energi. Matanya tak pernah lepas menatap Biksu Wang.
Bahkan, sebuah buliran keringat yangjatuh di kening Biksu
Wang pun dapat dilihatnya dengan jelas.
Cukup lama semuanya terdiam dalam ruangan ini. Hingga
akhirnya Biksu Wang menarik juga tangannya, seiring tarikan
napas panjangnya. Kemudian, segera diambilnya kotak obat
dari tangan Tunggasamudra. Dari situ, dikeluarkannya
beberapa helai daun.
"Tumbuklah daun ini beberapa helai setiap harinya," ia mengangsurkan kepada Sauwa Laja yang menatapnya dengan
ekspresi yang sulit dilukiskan.
"Lalu, minumlah dengan air setiap pagi," tambahnya.
Kemudian, tanpa berucap kata-kata lagi, Biksu Wang segera
memberesi kotak obatnya. Tunggasamudra membantunya
tanpa banyak bicara.
Lalu, keduanya mulai beranjak pergi. Namun, baru sampai
di ambang pintu, suara Sauwa Laja terdengar, "Biksu," ia tiba-tiba sudah menjatuhkan dirinya, berlutut. Entah mengapa,
tiba-tiba matanya berkaca-kaca. "Tc ... terima kasih...,"
ucapnya tercekat.
Biksu Wang hanya bisa mengangguk pelan. Ia sebenarnya
merasa Sauwa Laja akan kembali mengucapkan sesuatu,
tetapi buru-buru ia membungkukkan tubuhnya, "Sudahlah,
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
jangan berkata-kata lagi." Ia mencoba tersenyum, "Bukankah kau harus banyak beristirahat?"
---ooo0dw0ooo---
Di luar, saat keduanya melangkah menjauh dari kediaman
Sauwa Laja, Tunggasamudra yang sejak tadi terdiam, sibuk
dengan pikirannya, akhirnya bertanya juga, "Apakah .... ia orang yang menyerang Biksu tadi?"
Biksu Wang hanya tertawa, "Kau tak boleh menuduhnya
begitu, Tungga!"
"Akan tetapi ...," Tunggasamudra tampak berpikir.
"Mengapa ia begitu ketakutan melihat Biksu?"
Biksu Wang menggeleng-geleng, "Ketakutan?" Biksu Wang balik bertanya.
"Ya, jelas sekali ia ketakutan! Juga tiga orang temannya yang lain!" ujar Tunggasamudra lagi. "Huh, kalau aku, aku tak
.ikan mau menolongnya," ujarnya lagi dengan wajah
bersungut. Biksu Wang seketika menghentikan langkahnya.
"Dengar," ujarnya, "siapa pun ia, kita harus tetap menolong orang yang membutuhkan pertolongan. Bukankah pernah
kuceritakan kepadamu kisah tentang seorang budak yang
mencapai nirwana" Ia selalu berbuat baik, bahkan berpikir
baik kepada majikannya yang selalu menindasnya?"
Tunggasamudra tetap terdiam. Ia ingat Biksu Wang pernah
menceritakan kisah itu di awal-awal kedatangannya.
"Apalagi menurutku," tambah Biksu Wang, "berbuat I )aik itu merupakan sebuah tindakan beruntun yang memang harus
dilakukan setiap orang ....
'Jadi, bisa kaubayangkan apa yang terjadi bila semua orang
berbuat baik?" Biksu Wang membuang pandangannya ke
depan, ke arah hamparan tanah yang begitu luas, "Bisa
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
kaubayangkan, bukan?" ia menoleh kepada Tunggasamudra.
"Semuanya tentu akan menjadi lebih baik ... dan lebih baik ...
dan lebih baik Tunggasamudra tak berucap apa-apa. Namun, otak
kecilnya saat itu mencoba menghafalkan kata-kata Biksu
Wang dalam hatinya ....
---ooo0dw0ooo---
Sampai beberapa tahun kemudian segala sesuatunya
berjalan seperti apa adanya. Biksu Wang pun terus
menjalankan aksinya. Kini hampir semua rumah yang doyong
itu telah tegak kembali. Pekerjaan ini jadi lebih cepat karena Tunggasamudra dan beberapa penduduk lainnya turut
membantu bersama. Hingga akhirnya tinggal sebuah rumah
lagi yang belum diselesaikan.
Di suatu hari, Biksu Wang mengajak Tunggasamudra
mencari daun-daunan untuk obat di dalam hutan. Sebenarnya
di balik ajakan itu, Biksu Wang juga berencana untuk pamit
meneruskan perjalanannya.
Ia sudah merasa cukup lama tinggal di sini, hampir dua
puluh purnama. Dan, selama ini Tunggasamudra seakan tak
terpisahkan dari dirinya. Ke mana pun ia pergi, bocah ini selalu bersamanya. Bahkan, di sedap waktu senggang, ia akan selalu
mengajari Tunggasamudra beberapa gerakan dasar bela diri.
Dan, Tunggasamudra mendalami itu dengan sungguh-
sungguh. Melakukannya berulang-ulang hingga ia hafal semua
gerakan itu dengan cepat.
Tunggasamudra juga telah mengambil alih hampir semua
kegiatan yang biasanya secara rutin dilakukan Biksu Wang,
terutama saat membuat rebung ataupun mi. Walau usianya
belum lebih dari sepuluh tahun, ia sudah bisa dengan baik
mencacah rebung dengan cepat dan memutar-mutar adonan
menjadi mi. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sungguh melihat semua kedekatan ini, Biksu Wang merasa
harus bicara di waktu yang khusus kepada Tunggasamudra.
Maka inilah saatnya, keduanya berjalan masuk ke hutan
yang ada di seberang sungai. Ini sudah kesekian kalinya
keduanya masuk begitu dalam. Beberapa daun obat yang
dicari terkadang memang hanya ditemukan jauh di dalam
hutan, di tempat yang tak dikenai matahari secara langsung.
Hutan ini mcmanglah hutan yang lebat. Konon di sinilah
kerap terlihat harimau muncul, juga gajah dan binatang buas
lainnya. Tak heran banyak penduduk yang memiliki pantangan
untuk memasuki hutan ini. Pantangan yang bermula dari
ketakutan. Namun, tentu saja itu tidak berlaku bagi Biksu
Wang. Dulu saat pertama kali ia mengajak Tunggasamudra ke
sana, beberapa orang penduduk menentangnya, tetapi yang
lain langsung mengiyakannya dengan semangat.
'Ajak saja ia!" seru Kakek Dwangga Ara kala itu. "Biar ia menjadi lebih berani dibanding anak-anak lainnya. Kalau perlu, suruh ia melawan harimau-harimau pengacau itu! Hahaha...,"
ia tergelak. Maka sejak itulah, Biksu Wang selalu membawa
Tunggasamudra menemaninya. Keduanya akan berjalan pelan
sambil memakai caping dan menenteng kotak obat di
punggung mereka, seperti yang selama ini dilakukan. Biasanya Tunggasamudra akan berjalan beberapa langkah di depan,
dengan mata yang penuh awas bersiaga. Nanti ketika ada
sebuah tanaman yang menarik hatinya, ia yang akan berteriak
pertama kali, "Ada jamuuur!" dengan nada begitu gembira.
Biksu Wang akan segera menelitinya. Kadang ia
mengangguk setuju atau menggeleng. Seperti hari ini, belum
terlalu jauh memasuki hutan saja, Tunggasamudra sudah
berteriak kencang kegirangan. Ia ternyata menemukan
kumpulan jamur besar berwarna kuning cerah.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Akan tetapi, Biksu Wang menggeleng dengan keras. "Kau
tahu," ujarnya, "kalau kau tak teliti, jamur ini bisa membunuhmu____"
Mata Tunggasamudra terbelalak, "Lalu, mengapa Biksu
memakannya?"
Biksu Wang tertawa, "Kau ini, tentu saja aku memilih mana yang bisa dimakan, mana yang tidak. Seperti jamur yang
kautunjuk ini .... Ini jamur beracun. Kau akan sakit perut bila memakannya!"
Tunggasamudra hanya bisa mengangguk-angguk. Mereka
kemudian melanjutkan perjalanan, terus masuk ke dalam
hutan. Makin ke dalam, langkah keduanya makin pelan.
Setapak terasa lebih basah di kaki Tunggasamudra yang tak
memakai apa-apa. Juga di kaki Biksu Wang, walau ia memakai
alas kaki dari jerami.
Sesekali sebuah pekikan binatang, entah binatang apa,
terdengar mengejutkan.
"Apakah ... Biksu tak takut harimau?" tanya
Tunggasamudra pelan, di antara langkah-langkahnya.
Biksu Wang tersenyum, "Siang-siang seperti ini, harimau tentu saja tengah tidur. Namun, kalaupun ada, aku tentu saja tidak takut!"
Tunggasamudra memandang kagum Biksu Wang, "Apa
Biksu akan melawannya seperti saat mengalahkan orang-
orang bertopeng itu?"
"Tentu saja tidak," jawab Biksu Wang cepat. "Tetapi, aku akan langsung mengambil... langkah seribu ...."
Biksu Wang langsung terkekeh. "Dan, nanti," tambahnya,
"kau juga harus mengambil langkah seribu di belakangku!"
Tunggasamudra hanya bisa tersenyum. Selama bersama
Biksu Wang, jarang Biksu Wang bisa bercanda seperti ini.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Biasanya waktunya selalu dipakai untuk berdoa kepada
Buddha atau untuk bermeditasi.
Keduanya tampak sangat menikmati perjalanan ini. Apalagi
daun-daunan yang dicari ternyata bisa ditemukan dengan
mudah, juga jamur-jamur besar yang tampak begitu lezat.
Sampai lama keduanya mengumpulkan itu semua, tanpa
menyadari bila matahari telah berada di ufuk barat.
Saat itu, jauh dari tempat keduanya berada, di tanah
tempat mereka tinggal, hanya scpcrgcscran matahari saja
setelah itu, puluhan orang bertampang kasar dengan pedang
terhunus tiba-tiba menyerbu tanah mereka.
Orang-orang itu membunuh semua penduduk yang ada dan
mengambil semua harta mereka tanpa tersisa!
---ooo0dw0ooo---
7 Laki-laki Yang Selalu Ketakutan
waktu menapak liris
dalam jejaknya yang samar
dan ke arah mana ia akan menuju"
Tanpa terasa, beberapa purnama telah terlewati oleh Agi-
riya di Panggrang Muara Gunung. Setiap purnama, ayahnya,
Dapunta Ih Yatra, akan datang bersama ibunya, dan beberapa
saudaranya, sekadar menjenguknya.
Kedatangan pertama mereka diikuti oleh iring-iringan kuda
yang membawa semua makanan enak kesukaan Agiriya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Namun, Agiriya hanya bisa menolaknya, walau diam-diam


Dendam Dan Prahara Di Bhumi Sriwijaya Karya Yudhi Herwibowo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menelan ludah. 'Ayah, aku bukan anak kecil lagi," ujarnya berusaha tegar.
"Ayah tahu," ayahnya mengangguk. "Tetapi, benarkah kau tak mau memakan daging bakar ini barang sedikit saja" Atau ikan
asap ini" Tukang masak kita khusus memasak-kannya
untukmu...."
Agiriya makin cemberut.
"Sudahlah," ibunya mencoba memeluknya, "Dimakan satu atau dua potong tak mengapa bukan?"
"Atau jangan-jangan adik Agiriya kini tak lagi suka makanan enak?" sela Katra Wiren, saudaranya. "Ia kini lebih luka makan rumput dan Agiriya langsung menendang kaki Katra Wiren
sambil melotot, "Memangnya aku embek, makan-makan
rumput?" Katra Wiren hanya bisa tersenyum.
Akan tetapi, Agiriya tetap keras pada pendiriannya.
Sebenarnya memang ada peraturan bagi murid Panggrang
Muara Gunung untuk tidak menerima makanan dari pihak di
luar Panggrang Muara Gunung. Namun, mungkin karena
ayahnya adalah datu, penguasa tanah di sini, pengawasan
terhadap keluarganya lebih longgar. Inilah yang membuat
Agiriya tak mau menerimanya. Ia pikir bila semua murid
menjalankan peraturan ini, ia pun akan menjalankannya
dengan baik. Awalnya Dapunta Ih Yatra tak mengetahui peraturan ini,
tetapi akhirnya ia tahu juga. Maka itulah, kini setiap
kedatangannya di hari-hari berikutnya, ia akan membawa
banyak sekali makanan untuk seluruh murid di Panggrang
Muara Gunung, dengan langsung menyerahkannya kepada
Guru Kuya Jadran.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tak heran bila Agiriya kemudian semakin terkenal di
lingkungan Panggrang Muara Gunung. Padahal sebelumnya
saja, para murid Panggrang Muara Gunung sudah selalu
memperhatikan kehadiran dirinya. Kejelitaannya tampaknya
benar-benar membuat Agiriya tak pernah lepas dari perhatian.
Beberapa murid yang lebih tua sudah secara terang-
terangan menunjukkan perasaan kepadanya. Seperti saat latih
tanding beberapa hari berselang. Seorang murid dari tingkat
yang lebih tinggi, Widran Kutra, berujar pelan saat keduanya harus berlatih tanding bersama.
'Aku tak akan tega melukai kulitmu, Adik Agiriya," ujarnya.
Agiriya akan menarik bibirnya sedikit. "Kalau begitu,"
ujarnya dengan suara datar, "Aku yang akan melukai kulitmu, Kakak Widran!"
Dan, Agiriya memang tak akan segan menyerang dengan
segala kemampuannya. Ia memang selalu serius saat berlatih.
Bakatnya yang luar biasa membuatnya paling menonjol di
antara teman-teman setingkatnya, bahkan di tingkat yang
lebih di atasnya sekalipun. Ini membuat dirinya selalu haus
mencari lawan yang lebih tangguh.
Akan tetapi, yang selalu dihadapinya adalah laki-laki yang
sepertinya selalu meremehkan dirinya. Laki-laki yang selalu
tersenyum nakal menatap dirinya. Ia tak akan berucap apa-
apa soal itu. Ia pendam semua kemasygulannya dalam hati.
Dan, hal itu justru membuatnya semakin bersemangat untuk
mengalahkan lawannya!
Seperti sekarang, hanya dengan satu jurus ia membuat
Widran Kutra langsung terpojok. Dengan tubuhnya yang
ringan, Agiriya melenting membuat gerakan menutup gerakan
lawan. Widran Kutra terkejut. Tak menyangka dirinya langsung
diserang dengan serangan yang berbahaya. Ia mencoba
menahan dan melakukan serangan balasan. Namun, Agiriya
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
(engah menukik ke arahnya dengan segenap energinya. Maka
(ak ada pilihan lain, ia pun mencoba menahan serangan itu.
Dan hasilnya, dirinya pun terpental keluar dari arena. Agiriya tersenyum, "Maafkan aku, Kakak Widran, sudah membuat
kulitmu terluka
Widran Kutra hanya berlalu dengan perasaan malu.
Kejadian seperti ini sudah kerap terjadi. Murid-murid di dua alau tiga tingkat yang lebih tinggi di atas Agiriya tampaknya lak cukup kuat mengalahkannya.
Dan, Agiriya memanfaatkan posisinya. Ia tak peduli, apakah
kakak seperguruannya mengalah kepadanya atau tidak. Yang
lebih penting dari itu semua adalah ia bisa mengalahkan lawan tandingnya!
Tanpa ia tahu, Guru Kuya Jadran selalu memperhatikan
dirinya. Hingga suatu saat, ketika keduanya tengah bersama
tanpa murid lainnya, Guru Kuya Jadran berucap dengan suara
yang dalam. "Muridku, Agiriya," ujarnya. "Aku terus memperhatikan dirimu."
Agiriya hanya menundukkan kepalanya. "Bakatmu memang
benar-benar tak perlu kuragukan lagi," ujar Guru Kuyajadran.
"Sungguh, kau... adalah salah satu muridku yang paling
berbakat Guru Kuyajadran menyentuh jenggotnya dengan gerakan
perlahan, "Tetapi," sambungnya, "kau harus tetap bisa mengatur kemarahanmu. Karena kadang, kcmarahanlah yang
bisa mencelakakan kita
---ooo0dw0ooo---
Di dalam biliknya, Agiriya terus memikirkan ucapan Guru
Kuyajadran tadi.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Karena kadang kemarahanlah yang bisa mencelakakan
kita.... Apa ia selalu terlihat marah saat bertarung" Agiriya berpikir sendiri. Selama ini dalam latih tanding ia memang tampak
selalu bernafsu mengalahkan lawan-lawannya dengan cepat.
Apa itu yang membuat Guru Kuyajadran melihatnya sebagai
luapan kemarahan"
Tak ia sangsikan bahwa ia cukup terlecut oleh ucapan
ataupun tingkah laku lawannya yang kadang terasa begitu
meremehkannya. Namun, apakah ia tampak jadi begitu
marah" Bukankah selama ini ia membalas semua ucapan itu
dengan datar, bahkan kadang dengan senyum"
Agiriya masih terus berpikir.
Ia menyadari, sangat menyadari, bahwa selama ini
memang semua murid lelaki di Panggrang Muara Gunung ini
memperhatikannya. Mereka akan selalu tersenyum kepadanya
bila berpapasan dengannya. Mereka akan menanyakan kabar
dirinya hari ini. Mereka juga akan berebutan menolong
dirinya.... Senyum di bibir Agiriya muncul. Namun, tiba-tiba saja
benaknya seperti terusik oleh sesuatu yang membuat
senyumnya hilang!
Ah, tidak, tidak, tanpa sadar Agiriya menggeleng pelan.
Sepertinya tidak semuanya seperti itu. Ada seorang murid
lelaki yang sama sekali tak memperhatikan dirinya, bahkan
menatapnya pun tidak. Pemuda itu seakan sama sekali tak
pernah menggubrisnya.
Sungguh, Agiriya dapat mengingat itu. Walau ia tak terlalu
bisa mengingat wajah murid itu seutuhnya. Namun, yang
pasti, ia mengingat namanya. Dia adalah ... Magra Sekta.
---ooo0dw0ooo---
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dan, melukiskan Magra Sekta adalah melukiskan kebisuan.
Ia seakan diciptakan untuk tidak diperhatikan. Tak ada
yang benar-benar dapat mengingat wajahnya. Ia akan
berjalan di iring-iringan yang seakan tak terjangkau mata.
Rambutnya yang panjang dan selalu tak diikat sepertinya
sengaja dibiarkan terurai untuk menutupi wajahnya. Apalagi
saat ia I larus bercakap-cakap dengan seseorang, ia akan
berkali-kali menundukkan kepalanya.
Satu yang diingat oleh murid-murid lainnya adalah, di saat-
saat tertentu, seperti saat-saat latih tanding, atau saat
beberapa murid bengal mengganggunya, Magra Sekta tiba-
tiba tampak sangat ketakutan. Ia akan menggeretakkan
giginya hingga suaranya terdengar orang-orang di sekitarnya.
Sebenarnya secara fisik ia tak berbeda dengan murid
lainnya. Tubuhnya setinggi murid lainnya. Ototnya pun tampak kekar, walau sebenarnya tenaganya sangat lemah. Maka
itulah, ia kerap dianggap murid terbodoh di perguruan ini.
Ia selalu menjadi bahan olok-olok murid-murid yang lain.
Saat ia berjalan murid-murid lainnya akan melemparinya
dengan daun kering atau ranting-ranting kecil. Bahkan,
beberapa murid yang lebih nakal akan dengan sengaja
menendang pantatnya atau bahkan menyenggol dirinya
hingga membuatnya jatuh.
Akan tetapi, di sisi lain, tak ada yang bisa mengingkari
kecerdasan otaknya. Guru Kuyajadran, berkali-kali memuji
daya ingatnya yang luar biasa. Ialah satu-satunya murid yang bisa menghafalkan semua yang telah diucapkannya. Ia juga
satu-satunya murid yang bisa menghafal semua teori jurus-
jurus sebelum dipraktikkan, hanya dengan sekali saja
mendengar uraiannya.
Kecerdasannya dapat dipahami karena Magra Sekta
merupakan keturunan seorang cendekiawan dari salah satu
datu di tepian timur Telaga Batu. Tak heran bila Guru Kuya
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Jadran kemudian berkali-kali menyarankan kepadanya untuk
tak melanjutkan usahanya menjadi seorang pendekar. Ia jelas
lebih cocok menjadi kaum terpelajar.
---ooo0dw0ooo---
Suatu saat, Agiriya mendapat tugas mencari buah-buahan
di hutan bersama Magra Sekta. Di Panggrang Muara Gunung,
memang ada pembagian tugas untuk seluruh muridnya setiap
beberapa hari sekali. Tugas-tugas itu seperti mengisi bak
mandi, mencari buah-buahan di hutan, menyiapkan makanan,
membersihkan seluruh Panggrang Muara Gunung, dan lain-
lainnya. Maka itulah, sejak matahari belum tampak pun, Agiriya dan
Magra Sekta sudah keluar dari Panggrang Muara Gunung
sambil membawa keranjang besar di punggung mereka.
Beberapa murid yang kebetulan bertugas menyapu halaman
Panggrang Muara Gunung langsung mengejek saat melihat
Agiriya dan Magra Sekta lewat di dekat mereka.
"Kau harus baik-baik menjaganya, Adik Agiriya," ujar salah satu di antaranya.
"Bila tidak, tubuhnya akan lecet," tambah yang lainnya.
Semuanya tertawa. Agiriya tak terlalu menanggapi ejekan ini.
Diliriknya sekilas Magra Sekta yang berjalan beberapa langkah di belakangnya. Ia tak bereaksi selain menunduk dan
meneruskan langkahnya.
Mereka pun terus berjalan dalam kebisuan. Hingga ketika
memasuki hutan pun, tak ada yang mencoba memulai bicara.
Keheningan ini, tentu saja membuat suasana hutan menjadi
lebih menakutkan ....
Agiriya akhirnya mencoba membuka percakapan dengan
berpura-pura batuk terlebih dahulu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Seharusnya kau jangan selalu diam," ujarnya tanpa menoleh. "Dengan selalu diam, orang akan semakin
menghinamu!"
Magra Sekta menoleh sekilas. Ia mungkin tak percaya
Agiriya mengajaknya bicara. Namun, buru-buru ia kembali
menundukkan kepalanya, menekuri setapak.
"Hey!" Agiriya mengingatkannya dengan nada tak sabar.
"Aku mencoba membuat percakapan denganmu!"
Magra Sekta kembali mengangkat kepalanya, "Apa aku
harus melawan mereka?" suaranya terdengar bergetar.
"Bukankah ... yang mereka ucapkan ... benar?"
Agiriya terdiam. Sama sekali tak disangkanya ia akan
menerima jawaban seperti itu.
"Tetapi, tak ada seorang pun yang boleh menghina kita
seperti itu!" ujarnya lagi.
Magra Sekta kembali terdiam. Sebenarnya, ia akan Kembali
menjawab, tetapi matanya tiba-tiba melihat sesuatu. "Awas!"
Magra Sekta berteriak.
Agiriya segera saja menghentikan langkahnya. Di depan
mereka, hanya dua langkah lagi, terlihat ranting-ranting de-
iif,.ui daun-daun layu berjejer di sepetak tanah. Di dahan yang menjulur di atas petak tanah itu terikat sebuah ayam hutan
yang masih hidup. Ini adalah sebuah perangkap harimau.
Pada masa itu, penduduk dari balik celah tebing itu memang
kerap membuat perangkap harimau di sini, biasanya dengan
membuat lubang besar yang berisi- bambu runcing di
dalamnya. Kemudian, lubang itu ditutupi oleh ranting-ranting pohon.
Agiriya menghela napas lega. "Hah, nyaris saja," ujarnya.
"Untung kau melihatnya."
"Aku tak sengaja melihatnya," Magra Sekta mengamati sekelilingnya. "Tetapi, kalau ada perangkap harimau di sini,
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
berarti di sekitar sini... ada harimau juga," tambahnya pelan seakan kepada diri sendiri.
Agiriya terdiam. Tanpa sadar ia menyentuh pedangnya.
Murid-murid Panggrang Muara Gunung memang diharuskan
membawa pedang saat mendapat tugas pergi ke hutan.
"Sebaiknya," Magra Sekta menunjuk ke arah barat, "Kita melalui jalan itu."
Agiriya tak menolak. Keduanya segera berputar ke arah
barat. Walau jalanan tampak lebih berbatu, jalur ini terasa
lebih aman. Tak banyak pohon sehingga pandangan dapat
menjangkau lebih jauh. Namun, saat bebatuan semakin
mendominasi jalanan, Agiriya menghentikan langkahnya. "Apa kita ada di arah yang tepat?" tanyanya. Magra Sekta hanya mengangkat bahu, "Aku hanya menghindari setapak tadi.
Sungguh, tak menyangka jalanan menjadi seperti ini...."
Agiriya membuang pandangan ke sekelilingnya. "Tetapi, tak mungkin kita kembali ke setapak itu bukan?" ujar Magra Sekta mengingatkan.
Agiriya hanya bisa bersungut. Keduanya pun kembali
melanjutkan perjalanan. Untungnya tak lama kemudian,
beberapa pohon buah-buahan mereka temui.
Agiriya tersenyum lebar. Ia segera berlari kecil ke arah itu.
"Lihat," ujarnya sambil berdiri berputar, "Seperti taman buah
Agiriya langsung memetik sebuah mangga yang tampak
telah matang. Dengan sizoar-nya dipotongnya mangga itu.
Siwar adalah senjata kecil sejenis belati.
"Manis," Agiriya tersenyum. Dipotongnya lagi sepotong untuk Magra Sekta. "Makanlah dulu, dari tadi perut kita belum terisi, bukan?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Magra Sekta menerima potongan itu dengan wajah
gembira. Sambil menghabiskan mangga itu, keduanya segera
memetik buah-buahan yang ada di tanah ini. Mangga,
manggis, jambu air, pisang, dan lainnya. Hingga tak berapa
lama, keranjang keduanya telah terisi berbagai macam buah.
"Aku tak menyangka akan semudah ini mendapatkan
semua buah-buahan ini," ujar Agiriya seakan kepada diri sendiri. "Guru pasti akan suka melihatnya."
"Kupikir, mungkin tanaman-tanaman ini gurulah yang
menanamnya," ujar Magra Sekta dengan suara tak yakin.
"Rasanya aneh menemukan pohon-pohon buah berbagai jenis hanya di sebuah tanah lapang
Agiriya mengangguk setuju, "Ya, mungkin saja guru yang
menanamnya," tambahnya.
Tak lama kemudian, keranjang keduanya pun penuh.
Keduanya pun memutuskan untuk beristirahat di bawah
sebuah pohon besar.
"Rasanya akan sangat berat," ujar Agiriya sambil
mengamati keranjang keduanya. "Kupikir kita tak perlu
menambahnya lagi."
Magra Sekta mengangguk tanda setuju. Perjalanan pulang
cukup jauh. Akan sangat berat membawa keranjang berisi
penuh buah. Saat tengah berpikir seperti itulah, keduanya
tiba-tiba mendengar kecipak air tak jauh dari tempat


Dendam Dan Prahara Di Bhumi Sriwijaya Karya Yudhi Herwibowo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

keduanya duduk. Tanpa tahu siapa yang memulai, keduanya
berjalan mendekati asal suara.
Tak lama kemudian mereka berhenti. Dari tempat
keduanya berdiri, kini terlihat sebuah sungai kecil yang
berkelok-kelok di depan mereka. Di situlah ikan-ikan tampak
melompat-lompat dengan riuh.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Mata Agiriya berbinar, "Wah, tampaknya banyak sekali ikan di sana?"
Magra Sekta tak kalah berbinar. Ia sudah melangkah maju
mendekat. "Apa ... kau memakan ikan?" tanya Magra Sekta sejurus kemudian.
"Tentu saja," Agiriya mengerutkan keningnya. "Mengapa kau bertanya seperti itu?"
Magra Sekta mengangkat bahunya, "Beberapa penganut
Buddha yang taat tak memakan daging," ujarnya. Agiriya
tertawa, "Itu hanya untuk biksu-biksu saja!" Ia lalu segera mendekati sungai itu, "Rasanya, aku ingin menangkap
beberapa ekor ikan."
Sambil berkata begitu, dimasukkannya kakinya ke dalam
sungai. Di bagian tepinya, sungai itu tak terlalu dalam, hanya selutut Agiriya saja.
"Ah, ini benar-benar banyak sekali!" Agiriya berteriak dengan gembira. "Mereka menubruk-nubruk kakiku."
Magra Sekta ikut menceburkan kakinya ke dalam sungai.
Segera saja keduanya mencoba menangkap ikan dengan
tangannya. Namun, sampai beberapa kali mencoba, sama
sekali tak membuahkan hasil.
"Ikan-ikan ini terlalu besar," keluh Magra Sekta. "Sulit untuk menangkapnya!"
Agiriya mengangguk. Di sungai yang ada di dekat
Panggrang Muara Gunung ia bisa menangkap ikan hanya
dengan tangan kosong. Cukup dengan menyentak sungai
dengan tenaga dalamnya, ikan akan melompat keluar. Saat
itulah ia akan menangkapnya dengan gesit. Namun,
tampaknya di sini usaha seperti itu sepertinya tak berhasil.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tanpa banyak bicara, Magra Sekta keluar dari sungai.
Didekatinya keranjang buah mereka. Diambilnya satu
keranjang setelah ia keluarkan buah-buahnya.
"Mau apa kau?" tanya Agiriya dari arah sungai. Magra Sekta tak menjawab. Beberapa saat kemudian, dengan keranjang
yang sudah kosong, Magra Sekta kembali masuk ke sungai.
Ternyata, keranjang itu dijadikannya alat untuk menangkap
ikan. Agiriya hanya bisa menggelengkan kepalanya. "Ada nelayan aneh dengan jaring yang aneh pula," ujarnya.
Magra Sekta hanya tersenyum. Segera difungsikan
keranjang itu seperti halnya jaring kecil. Namun, ternyata itu pun masih membuat keduanya tak segera mendapat ikan.
"Arusnya terlalu kuat," keluh Magra Sekta dengan keranjang hampir terlepas.
Agiriya segera mendekati Magra Sekta sambil menyin-cing
kain yang menutupi pahanya.
"Mau apa kau?" Magra Sekta bertanya tak mengerti. 'Aku akan membantumu," ujar Agiriya. Kini Magra Sekta
memandang Agiriya dengan tak percaya. Gadis itu sudah
mendekat kepadanya sambil memegang sisi keranjang
satunya. 'Ayo!" serunya.
Magra Sekta segera paham. Keduanya lalu segera
memegang keranjang itu bersamaan. Mereka arahkan
keranjang itu ke tempat ikan-ikan terlihat. Dan, hanya
beberapa saat kemudian, beberapa ekor ikan gabus sudah
terperangkap di dalamnya.
Agiriya tertawa senang. Namun, belum selesai tawanya,
tiba-tiba Magra Sekta dengan gerakan yang begitu cepat
menarik tangan Agiriya ke arahnya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Eh," Agiriya tersentak, mau tak mau tubuhnya langsung menempel pada tubuh Magra Sekta. "Mau... apa kau?"
teriaknya kaget.
Akan tetapi, Magra Sekta tak menjawab. Dengan satu
gerakan lanjutan, dilemparkannya tubuh Agiriya ke samping,
bertepatan dengan seekor ular besar yang menyerang ke arah
keduanya. Agiriya terpekik. Matanya melihat ular itu menyerang Magra
Sekta. Entah ia sempat menggigit Magra Sekta atau tidak,
yang pasti kini keduanya tengah bergulingan di dalam sungai.
Agiriya segera berlari ke tepi sungai. Diambilnya pedangnya
yang tergeletak di sana. Lalu, dengan tumpuan sebuah batu,
ia segera melayang ringan ke arah sungai itu lagi sambil
menghunjamkan pedangnya ke arah ular itu.
CREEEPS! Pedang itu menghunjam tepat menembus kepala ular itu.
Sesaat tubuhnya menggelinjang, mengibas tubuh Agiriya dan
Magra Sekta, lalu terhempas menjauh. Tak berapa lama
kemudian, tubuh ular itu pun melemah dan diam tak bergerak.
"Kau tak apa-apa?" tanya Agiriya mendekat.
Magra Sekta mengangguk. "Aku tak apa-apa," ujarnya di sela-sela napasnya yang terengah-engah. "Tadi itu adalah ular raja
Agiriya membantu Magra Sekta bangkit.
"Terima kasih, Agiriya," ujarnya.
Agiriya tersenyum, "Kau ini! Bukankah aku yang
seharusnya berterima kasih kepadamu?"
Keduanya segera beranjak dari tepian sungai itu. Tanpa
sengaja mata keduanya bertemu. Namun, Agiriya buru-buru
berpaling. Baru disadarinya bila bajunya dan baju Magra Sekta basah kuyup.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Ah, tampaknya kita harus membuat api unggun untuk
mengeringkan tubuh kita," ujar Agiriya sambil beranjak
mendekati keranjang mereka. "Dan, untungnya," ia menoleh lagi kepada Magra Sekta, "ikan yang kita dapat tadi, ternyata tidak ikut lepas. Jadi, kita bisa sekalian membakarnya.."
---ooo0dw0ooo---
Magra Sekta menusukkan sebatang ranting pohon pada
mulut ikan itu hingga tembus ke bagian ekor. Panjang ikan itu sepergelangan tangan. Cukup untuk makan berdua.
"Tampaknya enak sekali," Magra Sekta tersenyum sendiri sambil membalik-balik ikan itu.
Agiriya terdiam mengamati. Baru disadarinya bahwa inilah
pertama kalinya ia melihat Magra Sekta tersenyum lebar. Baru kali ini juga ia melihat rambut Magra Sekta tak terurai
menutupi wajahnya hingga sekarang ia bisa melihat garis
wajah Magra Sekta yang sebenarnya dengan begitu jelas.
Sungguh, sangat berbeda dari apa yang dikesankan selama
ini. Garis wajahnya tegas dengan rahang terlihat kukuh.
Kulitnya walau berwarna gelap, tetapi terlihat sangat bersih.
Dan, yang paling mencolok adalah ... kedua matanya.
Sungguh, begitu bening dan tajam____
"Agiriyasuara Magra Sekta memecah lamunannya, "kau tak ingin mencobanya?" Disodorkannya ikan bakar itu kepada
Agiriya. Agiriya cepat menguasai dirinya, "Ini masih sangat panas, tunggulah sesaat!"
Magra Sekta mengangguk. Dibiarkannya ikan itu diam ili
atas ranting yang tak terkena api.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Oya, soal tadi," Agiriya mencoba membuka percakapan,
"mengapa kau bisa tahu ular itu akan menyerang kita?"
Magra Sekta menoleh, "Aku kebetulan melihat kepalanya
ada di permukaan air
Agiriya mengangguk-angguk.
Magra Sekta bangkit dari duduknya, 'Aku akan membenahi
buah-buahan kita dulu," ujarnya sambil meraih keranjangnya.
"Magra," suara Agiriya menahan langkahnya. "Hmmm, kupikir ada baiknya kau mengikat rambutmu ujarnya sambil
tak lepas menatap Magra Sekta.
Dan, ucapan ini menimbulkan kerut di kening Magra Sekta,
"Buat apa?" ia balik bertanya.
"Mungkin saja itu... bisa sedikit banyak membuat anak-
anak lain urung mengganggumu ...."
Kening Magra Sekta semakin berkerut, "Mengapa ... bisa
begitu?" Agiriya mendengus kesal. Ia tadi hanya bermaksud
memberi masukan, tetapi entah mengapa kini ia tiba-tiba
merasa dipojokkan. "Mengapa jadi kau yang banyak tanya"!"
serunya dengan nada galak. "Sudah sana, kau benahi saja buah-buahan kita. Aku akan makan lebih dulu!"
---ooo0dw0ooo---
Akan tetapi, ternyata dugaan Agiriya salah.
Esok paginya di Panggrang Muara Gunung, ia sempat
melihat Magra Sekta telah mengikat rambutnya dengan rapi.
Namun, ini sama sekali tak membuat ia lepas dari gangguan
murid lainnya. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Saat tengah istirahat untuk makan siang, Agiriya
mendengar sorak-sorai di belakang ruangan utama. Segera
saja ia menuju ke ruangan itu.
Di situlah dilihatnya Payan Walu dan beberapa kakak
seperguruan lainnya tengah mengelilingi Magra Sekta. Mereka
tertawa-tawa sambil menarik rambut Magra Sekta yang telah
kembali terlihat acak-acakan.
Agiriya seketika maju ke depan, "Berhenti!" teriaknya, membuat semua mata berpaling ke arahnya.
Akan tetapi, Payan Walu yang tengah menarik rambut
Magra Sekta tetap tak mau melepaskannya.
"Kukatakan sekali lagi, berhenti, Payan!" ia berteriak tanpa memanggil Kakak kepada Payan Walu.
Payan Walu tersenyum kecut. Didorongnya tubuh Magra
Sekta hingga terjatuh.
Payan Walu sendiri merupakan murid tingkat atas di
Panggrang Muara Gunung ini. Semua orang memanggilnya
"Kakak" dan tak pernah ada yang berani membentaknya seperti tadi. Mungkin bila bukan Agiriya yang melakukannya,
sudah ia serang orang itu sejak tadi. Namun, melihat Agiriya yang melakukannya, ia malah mencoba tersenyum,
"Memangnya kau akan melakukan apa hingga menyuruhku
berhenti, Adik Agiriya?" ia berjalan mendekati Agiriya hingga tinggal selangkah lagi.
"Kau ingin mengajakku jalan-jalan?" ujarnya lagi. Agiriya mundur selangkah, "Dengar!" Agiriya mengangkat tangannya,
"Sekali lagi kau mengganggunya, kau .ikan berhadapan
denganku!"
Payan Walu tersenyum sinis meskipun ia tahu kemampuan
Agiriya tak bisa dianggap enteng Pada latih tanding heberapa hari yang lalu, masih jelas dalam ingatannya, Agi-liya
mengalahkan Widran Kutra hanya dengan beberapa ju-i iis.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Namun, di tengah semua pandangan murid-murid lain ke
arahnya, tentu saja Payan Walu tak mau mundur begitu saja.
"Memangnya kau berani apa denganku, Adik Agiriya?" ia mencoba menggertak.
Agiriya membalas senyum sinis itu. "Berani seperti... mi!"
tanpa selang waktu lagi, begitu selesai dengan ucapannya,
Agiriya melancarkan sebuah pukulan.
Gerakannya begitu cepat dan tanpa basa-basi lagi. Ini tentu
saja membuat Payan Walu begitu terkejut. Ia mencoba
menahan pukulan itu. Namun, Agiriya rupanya tak
menghentikan gerakannya sampai di situ. Disusulkannya satu
pukulan lagi yang tampak lebih bertenaga. Kali ini Payan Walu tak lagi bisa mengelak. Pukulan Agiriya sudah mendarat tepat di dadanya!
Payan Walu seketika terjengkang.
"Berhenti!" Guru Kuyajadran tiba-tiba melayang ke arah keduanya. "Apa-apaan kalian ini?" bentaknya hingga gemanya memenuhi semua sudut Panggrang Muara Gunung.
Payan Walu dan Agiriya hanya bisa tercekat. Mata Guru
Kuyajadran telah menatap tajam pada keduanya.
"Kalian benar-benar memalukan!" suaranya terdengar dalam.
Lalu, segera dibawanya kedua muridnya itu ke dalam
ruangannya. 'Aku sudah mengamatimu dari tadi, Payan Walu!" suara
Guru Kuyajadran terdengar menusuk. "Sebagai murid dengan tingkat tertinggi di sini, kau benar-benar tak pantas
mengganggu murid yang lebih lemah!"
Payan Walu menunduk dalam, "Aku ... aku hanya
bercanda, Guru...."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kau tak seharusnya mengganggu seperti itu!" bentak Guru Kuyajadran lagi. "Ingat, ini terakhir kalinya aku mem-peringatimu. Sekali lagi kau mengganggu murid-murid yang
lebih lemah, aku tak segan-segan memulangkanmu!"
Lalu, Guru Kuya Jadran menoleh kepada Agiriya. "Dan, kau Agiriya," suaranya tetap terdengar dingin, "Apa kau sudah melupakan kata-kataku beberapa hari yang lalu?"
Agiriya terdiam. Ia tak menyangka Guru Kuyajadran malah
menanyakan hal itu. Semula ia mengira akan dibentak seperti
Payan Walu tadi. Karenanya, ia jadi tak tahu harus menjawab
apa. "Bila kau terus bersikap seperti ini," suara Guru Kuya Jadran menusuknya, "berarti kau menghancurkan dirimu
sendiri...."
---ooo0dw0ooo---
Saat Agiriya akhirnya keluar dari ruangan Guru Kuyajadran,
Magra Sekta segera berlari mendekatinya.
"Agiriya," ia berucap dengan nada takut-takut, "emm terima kasih sudah membelaku," ia tiba-tiba membungkukkan tubuhnya.
Agiriya menoleh. "Tidak, Magra, aku sama sekali tidak
membelamu!" ujarnya dengan nada datar. "Aku hanya
membalas budi karena kau menyelamatkanku di hutan saat
itu, juga di sungai itu
Magra Sekta terdiam. Sebenarnya ia ingin membantah
ucapan Agiriya, mengatakan kalau ia sama sekali tak
menganggap itu sebagai utang. Namun, tatapan dingin Agiriya
seakan membuat bibirnya kelu.
"Sekarang kita tak lagi saling berutang budi," ujar Agiriya lagi sambil berlalu dari hadapannya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
---ooo0dw0ooo---
8 Kelompok Wangseya
Kelompok Wangseya, nama ini begitu dikenal di Bhumi
Sriwijaya ini. Namun, tak ada yang benar-benar
mengetahuinya. Kelompok Wangseya adalah kelompok rahasia yang
langsung berada di bawah perintah Dapunta Hyang pemimpin
Kerajaan Sriwijaya. Posisi secara struktural berada di atas
Panglima Bhumi dan Panglima Samudra.
Keanggotaan kelompok ini begitu dirahasiakan. Hanya
beberapa pu atau petinggi Kedatuan Sriwijaya yang
mengetahui. Itu pun hanya untuk anggota-anggota utamanya
saja. Orang-orang hanya tahu sosok Wantra Santra sebagai
pemimpin kelompok itu. Sosok berperawakan besar itu, lebih
besar dari ukuran normal, dalam setiap kehadirannya akan
selalu menaburkan suasana kelam dan mengingatkan pada
sajak-sajak kcmatian.
Wantra Santra memang merupakan sosok penuh misteri.
Tak ada yang benar-benar mengenalnya. Sepak terjangnya
sama sekali tak pernah tercium, bahkan oleh orang-orang
kcrajaan sekalipun.
Garis wajahnya pun tak banyak yang mengenalinya. Ia
memang jarang muncul bersama pu lainnya. Dengan jubah
hitam panjang yang dikenakannya, ia tak menonjol di antara
yang lainnya. Apalagi ia bukan orang yang membina
hubungan dengan anggota kerajaan lainnya. Entah karena
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
jabatannya yang menuntut kerahasiaannya atau memang
dirinyalah yang enggan berteman dengan siapa pun selain
kebisuan. Kemampuan ilmu bela dirinya tak lagi bisa diukur. Beberapa
orang tua di Telaga Batu bahkan mengatakan kalau ialah
orang paling digdaya saat ini. Walau tampak selalu tak
membawa senjata, di balik jubahnya ia menyembunyikan
senjatanya yang berupa tiga bola baja. Ketiga bola baja inilah yang selalu diputar-putar tangannya bila ia tengah berpikir
dengan sungguh-sungguh. Konon, dengan tenaga dalam yang
dimilikinya, ia bisa menggerakkan ketiga bola baja itu
melayang di udara dan bergerak sesuai keinginannya.
Akan tetapi, tak banyak yang pernah melihatnya melakukan
itu, seperti juga tak banyak yang pernah tahu bagaimana ia
dilahirkan....

Dendam Dan Prahara Di Bhumi Sriwijaya Karya Yudhi Herwibowo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Wantra Santra lahir di saat tanah mengumbar amarahnya.
Saat itu, hampir empat puluh tahun yang lalu, datu tempatnya tinggal yang ada di kaki bukit-bukit, secara mengejutkan
bergetar hebat. Tanah itu kemudian retak tak beraturan. Dari beberapa titik retakannya, kemudian tersemburlah api ke atas.
Menebarkan panas yang begitu menyengat dan asap yang
membubung tinggi, juga bau belerang yang menusuk.
Saat itu, semua orang melarikan diri untuk menyelamatkan
nyawa masing-masing. Namun, seorang perempuan yang
ketika itu tengah mengandung, tak lagi bisa berlari. Perutnya telah begitu besar dan air ketubannya pun telah pecah. Ia
hanya bisa berdiam di antara semburan api yang keluar di
antara retakan-retakan itu ....
Dan, di saat seperti itulah bayinya kemudian lahir.
Tangiisannya pecah di antara suara gemuruh bumi. Itu
bertahan lama sampai amarah bumi mereda dan keadaan
kembali tenang. Lalu, orang-orang kembali ke datu itu dengan perasaan yang masih diliputi ketakutan. Seorang perempuan
kemudian ditemukan tergeletak tak bernyawa. Di pelukannya,
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
seorang bayi tampak bergerak-gerak mengisap puting
susunya. Seseorang berpengaruh yang kebetulan memeriksa
keadaan itu kemudian menyuruh anak buahnya mengangkat
bayi itu. Ia kemudian memelihara bayi itu sebagai anak angkatnya
dan menamainya Wantra Santra ....
---ooo0dw0ooo---
Wantra Santra telah menyadari keistimewaannya sejak
lama. Ketika muda ia pernah hampir mati karena petir
menyambarnya. Tidak tepat menyambarnya memang. Namun,
menyambar pohon tempatnya berteduh. Sejak itulah ia
merasakan limpahan energi di seluruh tubuhnya. Ia
merasakan getaran di tangannya yang menimbulkan bunyi
halus. Bahkan, secara mengejutkan ia dapat menggerakkan
barang-barang di dekatnya, tanpa sedikit pun menyentuhnya.
Seorang guru yang khusus didatangkan ayah angkatnya,
kemudian mengajarinya untuk mengolah energi itu. Ditambah
dengan beberapa guru yang mengajari ilmu-ilmu bela diri,
maka hanya beberapa waktu saja, Wantra Santra pun menjadi
pendekar tangguh.
Di usianya yang baru tujuh belas tahun, ia kemudian
bergabung menjadi pengawal seorang dapunta di Teluk Pa-
yar. Suatu saat datu tempatnya mengabdi diserang oleh
puluhan perampok. Perampok-pcrampok ini bukanlah
perampok biasa. Mereka terdiri dari pendekar-pendekar
berilmu tinggi yangjumlahnya mencapai tiga puluh orang
lebih. Pemimpinnya begitu terkenal karena telah
menghancurkan datu-datu kecil yang ada di tepian.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Akan tetapi, saat menyambangi kediaman Dapunta Teluk
Payar itu, dengan ilmu yang dimilikinya, Wantra Santra dapat membunuh semua perampok itu. Ia bahkan dapat memenggal
kepala pemimpin perampok itu.
Kehebatannya ini kemudian terdengar hingga ke Telaga
Batu. Hingga Dapunta Chra Bukadhasa, ayahanda Pu Chra
Dayana yang saat itu memimpin Sriwijaya, kemudian
mengundangnya ke Telaga Batu untuk menjadi salah satu
pengawalnya. Sejak itu kariernya begitu menanjak. Hingga beberapa
tahun kemudian, saat umurnya belum genap dua puluh lima
tahun, Dapunta Chra Bukadhasa menunjuknya menjadi
pemimpin pasukan rahasia Wangseya ....
---ooo0dw0ooo---
Malam ini, saat bulan terbelah di balik rerimbunan pohon,
secara mengejutkan Wantra Santra muncul di Kedatuan
Sriwijaya. Tak ada yang menyangka ia sudah berada di Telaga
Batu. Terakhir yang diketahui para pu, ia tengah menyelidiki beberapa datu di utara.
Kini, diiringi tiga orang berpakaian gelap, yang menu-tup
wajahnya, Wantra Santra melangkah memasuki pelataran
kedatuan. Kedatangannya seketika membuat malam terasa
lebih kelam dan orang-orang di luar kedatuan yang kebetulan
melihat kelebatannya tiba-tiba bergidik, seakan mengingat
lantunan sajak-sajak kematian ....
Angin kemudian seakan menjadi senyap. Beberapa penjaga
yang mengenalinya hanya membungkuk dan terus
membiarkan dirinya berjalan. Khusus untuk Wantra Santra, Sri Maharaja memang akan menemuinya kapan pun. Peraturan ini
sebenarnya berlaku bagi Dapunta sebelumnya. Namun, Sri
Maharaja Balaputradewa tampaknya tak menolak keadaan
seperti ini. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tak lama kemudian, ia sudah berlutut menunggu Sri
Maharaja Balaputradewa muncul. Ia berlutut di undakan
nomor dua, sedang ketiga pengawalnya berada di undakan
keenam. Undakan-undakan yang ada tujuh tingkat ini memang
diperuntukkan bagi semua orang di Bhumi Sriwijaya yang
ingin bertemu dengan pemimpin tertinggi mereka. Ada tujuh
undakan yang terlihat. Undakan tertinggi adalah untuk Sri
Maharaja, penguasa Kerajaan Sriwijaya. Undakan kedua
ditempati oleh pemimpin Kelompok Rahasia Wangseya,
Panglima Bhumi, Panglima Samudra, serta pu tertinggi.
Undakan ketiga dan keempat merupakan undakan bagi para
pu Sriwijaya lainnya, sesuai jabatannya. Undakan kelima untuk para tamu kerajaan dan para pahlawan. Undakan keenam
untuk anggota kerajaan lainnya. Dan, undakan ketujuh
diperuntukkan bagi rakyat jelata biasa. Ini merupakan
undakan yang terbawah.
Semula hanya Pu Chra Dayana, yang dulu menjadi dapunta
di Telaga Batu ini, yang muncul. Baru tak lama kemudian, Sri Maharaja Balaputradewa akhirnya muncul juga.
"Salam sejahtera untuk Sri Maharaja Balaputradewa,"
Wantra Santra membungkuk, diikuti tiga orang pengawal di
belakangnya. "Maafkan hamba datang malam-malam begini," ujarnya dengan suara pelan, tetapi terasa dalam. "Hasil penyelidikan terhadap beberapa datu di utara sudah diselesaikan. Dan,
kesimpulannya tampaknya... akan sangat mengejutkan
Wantra Santra terdiam sesaat. "Tanah Minanga Tam-wa
baru-baru ini melakukan perekrutan pasukan secara besar-
besaran Mata mengantuk Sri Maharaja Balaputradewa seketika
membelalak. Baru dalam beberapa hari saja setelah ia
dinobatkan menjadi Sri Maharaja di Bhumi Sriwijaya ini, berkat
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
bantuan dari Pu Chra Dayana dan pu-pu lainnya, ia sudah
mengetahui masalah-masalah besar yang pernah dan tengah
menimpa tanah ini. Terutama hubungannya dengan Kerajaan
Malaya sejak ratusan tahun yang lalu.
Tanah Minanga Tamwa dulunya merupakan pusat dari
Kerajaan Malaya. Semenjak ditaklukkan Dapunta Hyang
Jayanasa pada 683, tanah yang ada di tepi Batanghari dan
ada di hulu Muara Jambi ini merupakan daerah yang terus
bergolak. Walau sejak itu sudah merupakan bagian dari Bhumi
Sriwijaya, tetapi aroma pemberontakan sepertinya tak pernah
hilang dari tanah itu. Walau Sriwijaya telah menempatkan
orang-orang terbaiknya di sana, bahkan memilih langsung
seorang dapunta untuk memimpinnya, tetap saja muncul
beberapa kali pemberontakan kecil. Sebagian besar
pemberontakan itu dilakukan oleh sisa-sisa pendukung
Kerajaan Malaya yang masih ada, entah dengan tenaga sendiri
atau memakai tenaga pihak lain.
Kejadian paling membekas adalah kejadian sekitar dua
puluh tahun yang lalu, ketika salah satu keturunan penguasa
Kerajaan Malaya secara mengejutkan berhasil merebut
kembali Minanga Tamwa. Namun, Dapunta Abdibawasepa,
penguasa Datu Muara Jambi, kembali berhasil merebutnya
dengan mengobarkan peperangan yang maha dahsyat. Hingga
Panglima Bhumi Tambu Karen, yang ketika itu memimpin dua
laksa pasukan dari Telaga Batu, tak perlu waktu lama untuk
menuntaskan peperangan yang sudah dilakukan pasukan
Dapunta Abdibawasepa.
Orang-orang kemudian mengenalnya sebagai Perang Merah
Karena, saat itu selain darah yang menggenang dari ribuan
nyawa, perang memang terjadi di waktu senja saat langit
memerah dan seakan merasa sedih.
Tarikan napas Wantra Santra kembali
terdengar,"Jumlahnya kali ini sangat luar biasa"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sri Maharaja Balaputradewa membenarkan posisi
duduknya. Ucapan Wantra Santra menyiratkan kepadanya
bahwa perang mungkin saja akan segera terjadi.
Ini membuat Sri Maharaja Balaputradewa terpekur. Baru
sehari lewat ia berbicara panjang lebar dengan Panglima
Bhumi Cangga Tayu tentang kemungkinan penyerangan ke
Bhumijawa. Waktu itu Panglima Bhumi Cangga Tayu hanya
berujar pelan, "Sebaiknya Sri Maharaja memikirkan hal itu lebih dalam"
"Apa kita tak cukup kuat mengalahkan pasukan Rakai
Pikatan?" tanyanya mencoba ingin tahu.
"Hamba tak berani menjawabnya," Panglima Bhumi Cangga Tayu menundukkan kepalanya dalam-dalam. "Namun, dengan
melakukan serangan ke Bhumijawa, itu akan memperlemah
keadaan Telaga Batu," ujarnya lagi. "Hamba takut... bila ada beberapa datu yang kemudian memanfaatkan keadaan ini...."
Waktu itu Sri Maharaja Balaputradewa hanya bisa
mengerutkan kening. Saat itu Panglima Bhumi Cangga Tayu
sama sekali tak menyebutkan datu yang dimaksud. Dan, kini
Wantra Santra yang menyebutkannya!
"Apa mereka akan melakukan serangan kemari?" tanya Sri Maharaja Balaputradewa setelah sejenak berpikir.
Wantra Santra menjawab dengan suara datar, "Itu akan
butuh waktu yang lama. Namun, yang pasti... mereka pasti
akan mulai merebut datu-datu wilayah kita yang ada di utara"
---ooo0dw0ooo---
Di kediaman Wantra Santra, ketiga orang berpakaian hitam
yang sedari tadi menemaninya membuka tutup wajahnya.
Sosok pertama adalah Mu Sangka, lelaki berperawakan
jangkung dengan mata kiri yang terlihat sedikit miring. Ia
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
merupakan seorang ahli ilmu meringankan tubuh. Biasanya
semua tugas Kelompok Wangseya yang berhubungan dengan
pengintaian, ialah yang selalu melakukannya.
Sosok kedua adalah Basa Kante*, lelaki dengan perawakan
sedikit gemuk. Ia mahir memainkan berbagai senjata dan
merupakan orang kepercayaan Wantra Santra yang diserahi
tugas untuk terus berhubungan dengan kedatuan di Telaga
Batu. Dan, sosok yang terakhir adalah Kung Muda, lelaki
berkepala gundul yang selalu tampak tenang. Walau bukan
seorang ahli bela diri, tetapi ialah orang yang ditugasi Wantra Santra untuk melakukan perekrutan pasukan di tanah-tanah
yangjauh dari Telaga Batu.
Ketiganya, bersama Wantra Santra, kini tengah duduk di
dalam sebuah ruangan di dalam kediaman Wantra Santra.
Ruangan itu, entah mengapa, sengaja tidak menyalakan
obornya hingga menjadi tampak temaram saja.
"Tampaknya suasananya semakin panas," Wantra Santra berujar. "Aku yakin, bila Minanga Tamwa membelot, beberapa datu akan memberontak di waktu-waktu dekat ini
"Akan tetapi, apakah mungkin Panglima Tambu Karen
membelot?" tanya Kung Muda. "Rasanya ... ini tak mungkin.
Ia merupakan sosok paling setia bagi Kerajaan Sriwijaya."
Wantra Santra tak langsung menjawab. Ia hanya menarik
napas panjangnya, "Waktu memang kadang mengubah
pendirian seseorang...," ujarnya pelan.
"Lalu, kira-kira datu mana yang akan ikut membelot?" kali ini Mu Sangka yang bertanya.
Wantra Santra menggeleng, "Aku belum bisa menebaknya.
Itu terlalu dini. Apalagi kepastian Minanga Tamwa membelot
pun belum terbukti secara pasti. Namun, yang pasti datu itu
ada di sebelah utara. Pergantian dari Dapunta Chra Dayana
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
kepada Sri Maharaja Balaputradewa, tentunya dinilai
merupakan kesempatan yang baik untuk melepaskan diri
Ketiga anak buahnya tak membantah.
"Akan tetapi, kudengar," Kung Muda sedikit berbisik,
"Keinginan Sri Maharaja Balaputradewa untuk menyerang
bhumijawa juga masih sangat kuat."
Wantra Santra terdiam, "Keinginan itu pastilah ada,"
ujarnya. "Sebuah kekalahan pastilah sangat menyakitkan.
Tak salah bila Sri Maharaja ingin membalasnya. Namun,
kurasa Sri Maharaja tetap akan bisa memilih permasalahan
yang lebih penting
Bersamaan dengan selesainya kalimat itu, empat orang
pengawal Wantra Santra tiba-tiba muncul dari balik ruangan.
Di tangan mereka masing-masing terlihat sebuah kurungan
burung besar, setinggi separuh tubuh mereka, yang berisi
seekor burung elang besar.
Elang-elang ini adalah binatang-binatang peliharaan Wantra
Santra yang digunakannya untuk mengirim informasi kepada
seluruh anak buahnya yang ada di sudut-sudut Bhumi
Sriwijaya. Wantra Santra memang tak menggunakan burung-
burung merpati. Ia menggunakan elang-elang ini karena
kemampuan terbangnya yang jauh lebih cepat. Tak ada yang
tahu bagaimana caranya ia bisa melatih para elang ini hingga dapat membawa pesan.
"Kalian sudah menulis pesannya?" tanyanya kepada
keempat anak buahnya.
Seorang prajurit yang berdiri di depan mengangguk sambil
menyodorkan beberapa lembar daun lontar.
Wantra Santra membacanya sekilas. Lalu, segera
dikeluarkannya satu elang dari kurungan. Sesaat dibiarkannya elang itu mencengkeram tangannya dengan kuat.
Diikatkannya pesan itu pada kaki elang. Setelah selesai,
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
diangkatnya tangannya ke atas, lalu dengan satu sentakan,
elang itu pun segera terbang menembus kepekatan malam.
Sejenak Wantra Santra mengamati gerakan elang itu.
Untuk pekerjaan sesederhana ini saja, ia memang
melakukannya sendiri. Karena walau sederhana, ini
merupakan pekerjaan yang cukup penting.
Lalu, sambil mengeluarkan elang kedua, ia menoleh kepada
ketiga pengawalnya, "Sekarang, malam ini juga," ujarnya,
"Aku ingin kalian pergi ke utara..."
---ooo0dw0ooo---
9 Lelaki Gila dengan Guratan Peta
di punggungnya Dapunta Mawaseya tengah memandang lautan di depannya
ketika penasihatnya, Pu Punja Supa, mendekatinya.
"Dapunta," ujarnya, "Sepertinya pencarian itu sia-sia____"
Dapunta Mawaseya hanya bisa mengangguk pelan. Sejak
kedatangannya ke kediaman Panglima Samudra Jara Sinya
dua purnama yang lalu, mereka sama sekali belum
menemukan tempat persembunyian Bajak Laut Semenanjung
Karang. Walaupun Panglima Samudra Jara Sinya telah


Dendam Dan Prahara Di Bhumi Sriwijaya Karya Yudhi Herwibowo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengerahkan pasukannya secara maksimal, meronda di setiap
titik penting di lautan, tetapi sama sekali tak ada tanda-tanda kehadiran bajak laut itu.
"Mereka sepertinya telah tahu bila kita begitu
mengincarnya," ujar Pu Punja Supa lagi.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dapunta Mawaseya menghela napasnya. Semua yang
diucapkan penasihatnya itu benar adanya. Sejak pencarian itu, Bajak Laut Semenanjung Karang memang seakan hilang
ditelan bumi. "Namun, setidaknya," ia menoleh kepada Pu Punja Supa,
"pekerjaan kita menjadi lebih ringan. Bukankah dua purnama ini hampir tak pernah terjadi pembajakan di perairan kita?"
Muara Air Gala merupakan tanah yang terbentuk dari salah
satu muara Sungai Musi. Dulunya tempat ini merupakan
daerah rawa yang telah mengering. Beberapa keluarga dari
selatan kemudian mencoba meninggalinya dan bercocok
tanam di situ. Puluhan tahun kemudian keadaan Muara Air
Gala pun perlahan-lahan berubah hingga kini menjadi tanah
yang ramai dan cukup maju.
Satu ciri khas dari Muara Air Gala ini adalah buah-
buahannya yang melimpah. Di pasar yang ada di pusat datu,
banyak pedagang menggelar dagangan buah. Posisinya yang
terlihat dari arah pantai membuat beberapa orang yang
tengah melintas kemudian menyambanginya. Inilah yang
kemudian membuat pasar Muara Air Gala menjadi pasar
teramai di sepanjang Pantai Timur Sriwijaya.
Para pedagang biasanya akan menggunakan semacam kain
yang telah usang sebagai alas dagangan mereka. Walau
kepeng emas dan kepeng perak telah berlaku di sana, tetapi
penjualan dan pembelian dengan cara tukar-menukar barang
masih sangat lazim terjadi.
Maka itulah, baru beberapa purnama lalu, Kedatuan
Sriwijaya di Telaga Batu, kemudian memilihnya sebagai salah
satu daerah perdatuan Sriwijaya.
Setiap hari keramaian yang dimulai jauh sebelum matahari
muncul semakin bertambah dan terus bertambah. Seperti pagi
ini, beberapa pedagang sudah mulai terlihat sibuk
menurunkah barang-barang dagangan mereka di tepi pantai.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Akan tetapi, ada yang berbeda di hari ini. Para pedagang
yang datang paling pagi dikejutkan oleh kemunculan seorang
lelaki tanpa pakaian. Lelaki itu hanya diam duduk di dekat
undak-undakan batu yang menjadi tempat sesembahan para
pagan. Tak ada yang tahu dari mana orang itu muncul. Sehari
sebelumnya belum ada seorang pun penduduk yang
melihatnya. Seiring dengan munculnya sinar matahari, penduduk mulai
bisa mengamati dengan jelas lelaki asing itu. Tampaklah
rambutnya yang panjang dan tampak tak terawat. Tubuhnya
begitu kotor dan sangat kurus hingga tulang-tulang iganya
begitu jelas terlihat. Lelaki itu sama sekali tak mengganggu. Ia hanya duduk diam sambil menutup matanya dalam posisi
bersila. Melihat cara duduknya, orang-orang semula menyangka
lelaki itu sedang melakukan meditasi. Namun, melihat
kctelanjangannya, mereka pun menyimpulkan kalau orang ini
adalah orang gila!
Beberapa orang kemudian berusaha mengusirnya. Namun,
orang gila itu sama sekali tak bergeser sedikit pun. Ia tetap duduk di situ sambil memejamkan mata, tak hirau akan apa
pun. Akhirnya, seseorang berinisiatif memanggil beberapa
prajurit yang ada di perdatuan mereka.
Tak lama kemudian dua orang prajurit dengan tombak di
tangan segera mendekatinya.
"Minggir!" seorang prajurit mendorong lelaki itu dengan kakinya.
Akan tetapi, lelaki gila itu tetap bergeming.
"MINGGIR!" prajurit itu berteriak makin keras, diiringi lendangannya yang penuh tenaga. Kali ini lelaki gila itu
terdorong. Ia jatuh dan matanya pun terbuka.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tiba-tiba dirinya yang semula tenang, mendadak terlihat
begitu ketakutan. Tubuhnya terlihat menggigil. Giginya
bergemeretak sedemikian kerasnya hingga beberapa
penduduk yang ada di situ pun dapat mendengarnya. Perlahan
ia menggeser tubuhnya, mundur menjauhi dua prajurit itu.
Sesaat dua prajurit dan para penduduk di situ hanya bisa
memperhatikannya. Namun, prajurit yang tadi menendangnya
kembali mendekatinya.
"Pergi dari sini!" ujarnya sambil kembali mendorong dengan kakinya.
Orang gila itu kembali terjatuh dengan cukup keras hingga
tubuhnya tengkurap di tanah. Dan, ketika prajurit itu akan
kembali mendorongnya, rekannya yang sejak tadi diam,
menghentikan gerakannya.
Tiba-tiba ia melangkah dan duduk di dekat tubuh lelaki gila
yang telungkup itu. Matanya seakan melihat sesuatu di
punggung lelaki gila itu. Namun, kotoran yang memenuhi
punggung itu mengaburkannya.
"Ada apa?" temannya ikut mendekat dengan tak mengerti.
'Ambilkan air!" prajurit itu malah berteriak.
Seorang penduduk yang berdiri sambil memegang tempat
air dari ruas bambu segera menyodorkannya. Prajurit itu pun
segera mengguyur punggung lelaki gila itu. Lalu, ia segera
menyapunya dengan telapak tangannya ....
"Ini... seperti sebuah peta ...," temannya berucap tak yakin.
Prajurit itu kembali memperhatikan dengan saksama.
Matanya memicing. Sebuah kata kemudian terbaca oleh
matanya: Bajak Laut. Lalu, sebuah kata panjang, sama sekali
tak terbaca. Namun, satu kata terakhir dapat dibacanya
kembali: Karang.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ia menelan ludah, "Bajak Laut... Karang?" ia berpikir mencoba mencari kata yang ada di tengah.
Akan tetapi, detik itu, matanya membulat. Jelas sekali ia
teringat akan sesuatu.
"Bajak Laut... Semenanjung... Karang?" desisnya tak percaya.
---ooo0dw0ooo---
Namanya bukanlah sesuatu yang penting, seperti juga
keberadaannya yang tidaklah penting.
Ketika lelaki gila itu dibawa berkeliling desa, tak ada
seorang pun yang mengenalinya. Ia seakan terlupa bila
pernah dilahirkan di Bhumi ini.
Akan tetapi, andai dirinya yang selalu memandang penuh
ketakutan itu bisa bercerita, ia pastilah akan bercerita tentang ketakutannya akan malam itu. Saat itu, secara mengejutkan
sembilan atau sepuluh buah perahu yang entah datang dari
mana, tiba-tiba telah mengepung sambau tuannya.
Ia bukan prajurit di kapal itu. Seumur hidupnya ia bahkan
tak pernah memegang pedang. Yang dilakukannya hanya
melayani tuannya yang menjadi panglima muda di kapal itu.
Lalu, kegaduhan pun terjadi saat orang-orang di perahu-
perahu kecil itu berusaha naik ke sambau tuannya. Ke-
lakutannya memuncak. Ia mencoba bersembunyi di balik
kotak-kotak kayu milik tuannya. Namun, itu sama sekali tak
menghilangkan ketakutannya. Kegaduhan malah makin lerasa
dekat. Ia bisa merasakan orang-orang dari perahu-perahu itu lelah
berada di kapal tuannya. Ia juga merasakan teriakan-teriakan kematian, juga siut angin dari ayunan puluhan pedang
Sungguh, ia bisa merasakan itu semua.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Akan tetapi, yang membuatnya semakin ketakutan adalah
bau darah yang begitu tajam hingga mengalahkan bau laut
yang sudah begitu diakrabinya hari-hari terakhir ini. Ia pun terkencing-kencing karena ketakutan .... Kapal tuannya tiba-tiba terbakar. Namun, sampai lama u tetap bersembunyi di
situ, tanpa bergerak dan hanya bernapas sependek dan
sehalus mungkin. Ia khawatir bunyi napasnya dapat terdengar
orang-orang di sekelilingnya. Sampai lama seperti itu.
Saat api mulai membesar dan suara-suara kegaduhan mi
lak lagi terdengar, ia pun kemudian menguatkan hatinya untuk keluar dari tempat persembunyiannya.
Ia keluar dengan tangis tanpa henti. Langkahnya begitu
ketakutan. Beberapa kali ia terjatuh, tersandung oleh tubuh-
tubuh yang tergeletak tak bernyawa. Dan, saat tengah
merangkak pelan-pelan itulah, tiba-tiba kakinya dipegang oleh seseorang. Ia berteriak histeris sambil terus meronta-ronta.
Namun, pegangan itu begitu kuat. Ia pun mencoba berbalik,
memandang siapa yang menarik kakinya. Namun, ia tak bisa
melihat siapa itu. Wajah lelaki itu telah tertutup sepenuhnya oleh rambutnya dan juga ... darah.
Tuannyakah itu" Sempat ia berpikir. Atau salah satu anak
buah tuannya" Ia sama sekali tak bisa menjawabnya. Ia tak
lagi punya keberanian untuk terus menatap mata yang ada di
antara uraian rambut itu.
Lalu, dirasakannya tubuhnya yang kecil itu ditarik. Ia sama
sekali tak bisa lagi memberontak. Ia juga tak bisa menahan
ketika tangan kukuh lelaki itu meraih tubuhnya, merobek
bajunya, dan mulai menggores punggungnya dengan siwar di
tangannya. Ia hanya bisa berteriak-teriak histeris. Entah teriakan
ketakutan atau teriakan kesakitan. Namun, suaranya seakan
tertelan oleh bunyi kobaran api yang makin membesar. Ia
sama sekali tak tahu apa yang digoreskan pada punggungnya.
Ia hanya merasakan keperihan yang dalam dan ketakutan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
yang menulang. Ia tak bisa menangis lagi dan tak bisa ter-
kencing lagi. Ia hampir tak merasakan ketika lelaki itu kembali mengangkat tubuhnya ke tepi kapal, lalu menyodorkan
sebatang kayu untuk dipeluknya, sebelum akhirnya
mengangkatnya dan melemparnya ke tengah lautan.
Saat itu, ketakutannya telah mencapai puncaknya! Dan, ia
jatuh di laut sambil memegang papan itu. Segera keperihan
kembali dirasakannya. Begitu perih punggungnya saat air laut membasahinya. Namun, ia tak lagi berteriak. Matanya
mendadak sayu dan seakan tak mampu lagi bergerak. Ia
hanya melihat dengan tatapan kosong kapal di depannya yang
semakin terbakar dan terbakar ....
Lalu ia tak mengingat apa-apa lagi. Mungkin ketakutan
telah merusak seluruh sel di otaknya atau mungkin ketakutan
telah membunuh otaknya. Ia hanya bisa terus bergidik dengan
gigi yang terus bergemeretakan. Bahkan, ketika beberapa
nelayan kemudian berhasil menolongnya, ia tak lagi bisa
mengingat apa-apa ....
Dunia seakan telah terhenti baginya ....
---ooo0dw0ooo---
Laporan tentang ditemukannya peta Bajak Laut
Semenanjung Karang segera sampai kepada Panglima
Samudra Jara Sinya.
Tak berselang lama, Panglima Samudra Jara Sinya segera
memanggil beberapa panglima mudanya. Beberapa yang lain
memang sengaja tak diundang karena tengah berpatroli jauh
dari Telaga Batu. Selain para panglima muda, Panglima
Samudra Jara Sinya juga mengundang dua putranya yang
selama ini selalu menjadi kaki tangannya, Lu-wantrasima dan
Sanggatrasima. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Kini mereka semua duduk di ruangan pertemuan di
kediaman Panglima Samudra Jara Sinya di Telaga Batu.
Mereka duduk membentuk lingkaran dalam posisi yang sama
tinggi. Berbeda dengan pu lainnya, Panglima Samudra Jara
Sinya merupakan sosok yang lebih longgar dalam hal birokrasi kerajaan. Ia membina hubungan yang lebih dekat dengan
semua bawahannya, tanpa terkecuali.
Kini semua yang hadir sudah bisa menduga ke arah mana
pembicaraan ini. Walau bagaimanapun, kematian Panglima
Muda Sru Suja di tangan para Bajak Laut Semenanjung
Karang merupakan pukulan telak bagi Kedatuan Si iwijaya.
Beberapa bahkan menganggap kejadian itu sangat
memalukan dan haruslah segera dibalas!
"Mungkin ini terdengar berlebihan," Panglima Samudra Jara Sinya membuka percakapan. "Sebenarnya, mengurusi bajak
laut bukanlah tugas kita. Namun, atas berbagai pertimbangan, tidak hanya karena kcmatian Sru Suja dan juga permintaan
Dapunta Mawaseya penguasa Muara Manan, aku terpaksa
menangani ini lebih serius."
Panglima Muda Patakanandra menyembah untuk memohon
izin bicara, "Panglima, hamba pikir sebaiknya kita memang lebih serius menghadapi Bajak Laut Semenanjung Karang.
Dengan berhasil mengalahkan Panglima Muda Sru Suja,
hamba pikir mereka bukanlah bajak laut biasa. Bila kita terlalu lama diam, hamba takut, mereka akan semakin besar dan
semakin sulit dikalahkan!"
"Betul, Panglima," Panglima Muda Mandrasiya menyahut.
"Hamba setuju dengan pendapat Panglima Muda
Patakanandra. Kita harus segera menumpasnya. Apalagi kita
telah berhasil mendapatkan peta tempat bajak laut itu berada.
Hamba pikir tak perlu membuang waktu lebih lama lagi untuk
menghancurkan mereka!"
Panglima Samudra Jara Sinya mengangguk-angguk. Hampir
semua panglima mudanya adalah para lelaki muda usia yang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
darah dan jiwanya masih penuh gejolak. Mereka pasti akan
berpendapat seperti itu. Di antara mereka semua, mungkin
hanya Panglima Muda Kra Dawang yang cukup dewasa.
Panglima Samudra Jara Sinya menarik napas panjang.
"Sebenarnya aku mengundang kalian kemari, bukanlah untuk membahas soal itu," ujarnya sambil menyapukan
pandangannya kepada semua yang hadir. "Bukan, bukan, aku hanya ingin melakukan pergeseran tugas____"
Para panglima muda yang hadir saling berpandangan.
'Aku akan pergi beberapa hari ini," ujar Panglima Samudra Jara Sinya lagi. "Dan, kupikir Panglima Kra Dawang akan kutunjuk untuk menggantikanku untuk sementara."
Luwantrasima, putra pertama Panglima Jara Sinya tak bisa
menutupi keingintahuannya. Ia segera menyembah dan
berucap, "Panglima, sebenarnya hendak ke mana?"
Walau Panglima Samudra Jara Sinya merupakan
ayahandanya, bila berada dalam lingkungan kerajaan, ia dan
adiknya memang selalu menggunakan sebutan "panglima"
untuk ayah mereka, seperti yang lainnya.
Panglima Samudra Jara Sinya membuang pandangannya ke
hamparan tanah di luar ruangannya, 'Aku tak yakin kalian
sudah mendengarnya ataupun belum," ujarnya. "Ada banyak kabar di muara besar yang mengatakan bila Bajak Laut
Semenanjung Karang adalah bekas pasukan Dapunta
Abdibawasepa...."
Semuanya saling berpandangan. Sebagian dari mereka
mungkin pernah mendengar cerita itu. Cerita tentang
pengkhianatan Dapunta Abdibawasepa yang dulu merupakan
penguasa Datu Muara Jambi, sang pengobar PerangMerah di
Minanga Tamwa hampir dua puluh lima tahun yang lalu.
Pemberontakannya saat itu memang cukup menghebohkan. I
)an, jatuhnya hukuman mati terhadap seluruh keluarga
bukanlah hukuman yang sering terjadi. Namun, karena sudah
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
terjadi lebih dari lima belas tahun yang lalu, tak banyak yang benar-benar bisa mengingatnya.
"Akan tetapi, bukankah kabar itu belum tentu benar,
Panglima?" dengan suara halus Panglima Kra Dawang men-i nba mengingatkan.
"Ya, mungkin belum tentu benar," jawab Panglima
Samudra Jara Sinya. "Namun, semua tanda seakan menunjuk ke arah itu. Coba kalian pikir, apakah ada bajak laut yang
secara terang-terangan menyerang sambau-sambau kita"
Mencarii masalah dengan kita" Tentu tak ada. Baru Bajak Laut Semenanjung Karang yang melakukannya!"
Panglima Samudra Jara Sinya melanjutkan, "Lalu, coba
kirkan, bila mereka hanyalah bajak laut biasa, bisakah mereka mendekati sambau kita dan mengalahkannya begitu saja" Ia


Dendam Dan Prahara Di Bhumi Sriwijaya Karya Yudhi Herwibowo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tahu kelemahan sambau kita. Ia juga tahu bagaimana
menyergap sambau kita. Kupikir hanya orang-orang yang
punya pengalaman tinggi di sini saja yang bisa melakukan itu.
Dan, Dapunta Abdibawascpa, yang pernah menjadi Panglima
Bhumi sekian lama, adalah orang yang paling mungkin
melakukan ini Semuanya terdiam.
Panglima Samudra Jara Sinya menghela napas panjang,
"Aku akan mendatanginya dan mencoba mengajaknya bicara,"
ujarnya. "Kupikir bila kudatangi dengan baik-baik, ia akan menerimaku dengan baik-baik pula."
Tak ada yang membantah.
"Akan tetapi, hamba pikir, ini tetap saja mengandung risiko yang besar, Panglima," ujar Panglima Muda Kra Dawang
setelah beberapa saat terdiam. "Bukankah tetap ada
kemungkinan bila bajak laut itu bukanlah bekas pasukan
Dapunta Abdibawascpa?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Panglima Jara Sinya mengangguk pelan, "Ya, kemungkinan
itu tetap saja ada. Namun, entah mengapa, kali ini aku begitu yakin ... sangat yakin
Ia menyapukan pandangannya kepada semua yang hadir,
"Namun, bila ternyata aku salah, aku sudah siap menerima apa pun risikonya. Dan, kau, Kra Dawang, tahu apa yang
harus kaulakukan, bukan?" Panglima Samudra Jara Sinya
menatap Panglima Muda Kra Dawang yang kemudian hanya
menganggukkan kepalanya dengan perlahan.
Melihat itu, Luwantrasima segera saja membungkuk,
"Panglima, biar hamba ikut bersama denganmu ...."
Akan tetapi, Panglima Samudra Jara Sinya menggeleng,
"Tidak, tidak. Kau dibutuhkan di sini, Luwa! Biar adikmu saja, Sanggatrasima dan Panglima Muda Patakanandra yang
menemaniku ke sana...."
---ooo0dw0ooo---
Panglima Samudra Jara Sinya terpekur di ruangannya yang
temaram. Sengaja ia tak membuka jendelanya, tak
membiarkan sinar matahari masuk ke dalam. Ia tengah
mengelap pedangnya, Pedang Wangga, dengan gerakan
perlahan. Ia memang menikmati saat-saat seperti ini dalam
keremangan. Sejak dulu, ia menyukai pantulan yang ada pada
pedangnya dan kemilau yang mengenai benda-benda di
ruangannya yang temaram ....
Sepertinya sudah begitu lama, dalam had Panglima
Samudra Jara Sinya berujar. Perang terakhir sepertinya sudah berlalu hampir setahun. Dan, selama itu, ia seakan tak pernah menggunakan pedang ini lagi, selain sekadar untuk berlatih.
Pedang yang ukurannya hampir dua kali lipat pedang biasa
ini memanglah pedang yang istimewa. Sudah puluhan tahun
pedang ini menemaninya. Dulu, ia mendapatkannya dari
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
seorang petapa yang tak sengaja ditemuinya di salah satu
perjalanan perangnya. Ia tak tahu siapa petapa itu, ia hanya melihatnya duduk bermeditasi di sebuah batang pohon besar
yang tak henti-hentinya menggugurkan daun-daun. Saat itu ia
dan pasukannya hanya akan melewati petapa itu, tetapi
petapa itu tiba-tiba saja membuka matanya dan beranjak
menuju dirinya sambil menyerahkan pedang itu.
"Ia memilih dirimu," ujarnya dengan suara pelan. Lalu, sebelum dirinya berucap, petapa itu sudah berbalik dan
kembali dalam posisi meditasinya.
Ia pun meneruskan perjalanan sambil tak henti bertanya-
tanya. Sekali ia mencoba menolehkan kepalanya ke belakang,
baru disadarinya bahwa petapa itu tak lagi terlihat di sana
Pohon besar itu pun sudah tak lagi menggugurkan daun-
daunnya .... Sejak itulah ia memakai pedang itu. Dan, sejak itu pula
keberuntungan seakan selalu datang kepadanya. Ia merasa
i.ik pernah lagi kalah sejak memegang pedang ini.
Kini di saat ia tengah mempersiapkan keberangkatannya
esok hari, ia merasa tetap begitu bersemangat. Walau usianya kini tak lagi muda, tetapi semangat itu sepertinya tak juga
hilang dari dirinya.
Sekilas ia teringat kedatangannya kepada Sri Maharaja
Balaputradewa sehari sebelum pertemuannya dengan para
panglima mudanya. Ia datang ketika matahari akan menepi.
Duduk di undakan kedua hingga dapat begitu dekat dengan
Sri Maharaja. Panglima Samudra Jara Sinya masih ingat dulu saat dirinya
masih menjadi panglima muda, ia harus duduk jauh di
undakan keenam. Saat itu untuk melihat wajah Dapunta pun
begitu sulit, bahkan kadang untuk berbicara pun seorang
pengawal kerajaan harus membantunya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Di kedatangannya itu ia mengungkapkan keinginannya
untuk mendatangi Pulau Karang. Ia menceritakan semua kisah
yang berhubungan dengan Bajak Laut Pulau Karang, dari
kabar angin yang mengatakan bahwa bajak laut itu adalah
bekas pasukan Dapunta Abdibawasepa sampai dengan
guratan peta di punggung seorang lelaki gila yang
kemungkinan besar adalah salah satu pelayan Panglima Muda
Sru Suja. Ia juga tak lupa menceritakan tentang pengkhianatan yang
dituduhkan kepada Dapunta Abdibawasepa hampir lima belas
tahun yang lalu. Juga jasa-jasa Dapunta Abdibawasepa selama
ini, terutama saat ia berhasil merebut kembali Minanga
Tamwa untuk Sriwijaya. Semuanya ia ceritakan dengan
terperinci. Sri Maharaja Balaputradewa mendengarkan dengan
saksama sambil sesekali menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Masalah ini tampaknya begitu berat," ujarnya.
Panglima Samudra Jara Sinya hanya bisa mengangguk
dalam, "Namun, hamba pikir kesalahan lima belas tahun yang lalu, apa tidak sebaiknya kita lupakan" Kalau selama ini ia
terus berusaha keras membalas kita, hamba pikir mungkin ...
ia benar-benar tak bersalah ketika itu Sri Maharaja
Balaputradewa terdiam. "Tentu saja itu hanya perkiraan
hamba saja," ujar Panglima Samudra Jara Sinya
menambahkan. Sri Maharaja Balaputradewa mengangguk pelan,
"Perkiraanmu bisa dimengerti," ujarnya.
Panglima Samudra Jara Sinya melanjutkan ucapannya,
"Apalagi saat ini, Dapunta Abdibawasepa pastilah telah begitu tua. Begitu juga bekas pasukannya. Hamba pikir, ia tak lagi
bisa melakukan hal-hal yang berlebihan ...."
"Ya, aku mengerti, aku mengerti...."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Panglima Samudra Jara Sinya kembali berucap, "Maka
itulah, tujuan hamba kemari adalah meminta izin kepada Sri
Maharaja untuk mengajak Bajak Laut Semenanjung Karang
bergabung bersama kita"
Ucapan kali ini tentu saja membuat mata Sri Maharaja
lialaputradewa terbelalak. Namun, sebelum ia berucap, Pang-
lima Samudra Jara Sinya sudah kembali melanjutkan
ucapannya, "Sri Maharaja, bila mereka sudah bisa
mengalahkan salah satu sambau kita, itu artinya mereka
cukup kuat. Bukankah kita tengah membutuhkan banyak
orang seperti iiu untuk armada kita" Untuk menjaga
keamanan daerah utara, juga untuk ... mungkin, menyerang
Bhumijawa?"
Sri Maharaja Balaputradewa terdiam. Ucapan terakhir
Panglima Samudra Jara Sinya begitu menggugahnya, "Namun, bukankah itu sama artinya kita memelihara harimau,
Panglima?"
"Tidak, tidak sampai begitu jauh, Sri Maharaja," Panglima Samudra Jara Sinya berucap cepat. "Kita hanya
menggunakannya sebagai pasukan terdepan kita. Kita tentu
saja t.ik akan memberi jalan bagi mereka ke Telaga Batu.
Hamba I ukir dengan bergabungnya mereka, sedikit banyak
akan urnguntungkan pasukan kita
Akan tetapi, lamunan Panglima Samudra Jara Sinya pada
saat itu terkoyak ketika seseorang masuk ke ruangannya.
"Abah," putra keduanya, Sanggatrasima, mendekat.
"Semua sudah kusiapkan. Besok pagi, sebelum matahari
terbit, kita sudah bisa berangkat."
Panglima Samudra Jara Sinya mengangguk.
"Jangan lupa, siapkan juga pedangmu," ujarnya kemudian.
"Tentu saja, Abah," Sanggatrasima mengangguk.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Setelah itu, ia berbalik meninggalkan ruangan, tetapi
sampai di ambang pintu, ia kembali menoleh.
"Ada apa?" tanya Panglima Samudra Jara Sinya.
"Tidak ada apa-apa, Abah," Sanggatrasima menelan ludah.
"Aku hanya berpikir, apa tindakan Abah tak terlalu ...
berisiko?"
Panglima Samudra Jara Sinya tertawa lepas, "Anakku,"
ujarnya di akhir gelaknya, "Segala sesuatu yang besar, tentu saja selalu memiliki risiko yang besar juga ...."
---ooo0dw0ooo---
10 Tanah yang Ditelan Debu
Kehilangan Pu Mula Suma adalah kehilangan terbesar bagi
Dapunta Cahyadawasuna.
Pu Mula Suma adalah orang terdekat baginya selama ini.
Saat ia mendapati tubuh lelaki tua itu terduduk tanpa napas
dengan senyum yang tersungging, ia menangis. Ini adalah
tangisan pertamanya selama ini. Ia tak menangis saat ayah
ibunya meninggal dulu. Waktu itu, ia masih terlalu kecil untuk memahami sepenuhnya arti kcmatian. Namun, tidak demikian
kali ini, saat sosok ini pergi.
Selama ini, hampir seluruh waktunya telah dihabiskan
bersamanya. Setiap hari, keduanya akan menyusuri setiap
setapak di perdatuannya ini, bahkan hingga pada tanah-tanah
yang belum diinjak sebelumnya. Dan, Pu Mula Suma akan
selalu di sampingnya, menjawab semua pertanyaannya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Maka, sejak kematian itu, Dapunta Cahyadawasuna selalu
berjalan sendiri di setapak itu. Tak ada lagi pertanyaan yang keluar dari mulutnya. Ia hanya diam dan terus melangkah
menekuri jalan yang masih saja hening. Kadang seperti
sebuah kebiasaan, ia akan sesekali menengok ke belakang,
seakan-akan Pu Mula Suma masih ada di belakangnya. Terus
seperti itu hingga akhirnya ia akan tiba di setapak yang selalu sepi. Saat itulah ia baru merasakan kesepian yang ada dalam
hatinya. Dulu, ia sudah berjanji kepada dirinya sendiri akan
membangun datu ini menjadi lebih besar dan tak lagi
diselimuti kesepian. Segala jalan dipikirkannya, mulai dari
meminta bantuan pada kedatuan di Telaga Batu, bahkan
mendatangkan penduduk dari datu-datu lainnya.
Akan tetapi, itu tak mudah. Kesunyian seakan telah begitu
senyap. Orang-orang yang datang, tak ada yang bertahan
lama. Bahkan, beberapa pengawalnya, diam-diam juga telah
meninggalkan tanah ini. Hingga akhirnya ia hanya bertahan
bersama tak lebih dari dua puluh orang pengawalnya yang
paling setia, berikut keluarga mereka.
Dan, nasib tampaknya masih belum berpihak kepada
Dapunta Cahyadawasuna. Sebelum ia menuntaskan
impiannya, tiba-tiba bukit-bukit yang ada di sebelah barat
tanahnya bergetar kuat.
Ini aneh. Sebelumnya tak ada tanda-tanda bahwa bukit-
bukit itu adalah sebuah gunung berapi. Sejak puluhan tahun
yang lalu, tak pernah ada kejadian seperti ini. Namun
sekarang, terjadi getaran yang begitu kuatnya. Seakan hendak terjadi ledakan yang sangat dahsyat.
Penduduk yang tinggal tak seberapa itu segera berlarian ke
segala arah. Teriakan-teriakan mereka menyelingi gemuruh di
kejauhan. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Pu Rapa Sungka', pengganti Pu Mula Suma, segera berlari
mendekati Dapunta Cahyadawasuna, "Dapunta, kita harus
melarikan diri!" serunya.
Dapunta Cahyadawasuna balas berteriak, "Kalian
selamatkan penduduk yang lain dulu!"
Dan, waktu seakan berlari seiring detak jantung mereka
Dapunta Cahyadawasuna segera keluar dari kedatuannya.
Sempat dilemparkannya pandangan ke arah barat. Saat itulah
sebuah bukit yang tertinggi tiba-tiba meledak. Dentumannya
membuat tanah berguncang, seiring asap hitam tebal yang
menyembur ke angkasa. Terus seperti itu tanpa henti.
Semakin lama asap itu semakin tinggi, seakan menyatu
dengan gumpalan awan dan langit. Dan, tak lama berselang,
debu kemudian berjatuhan dari langit, tanpa henti, seakan
menjadi hujan ....
Suasana mendadak gelap. Teriakan-teriakan makin
terdengar melengking. Mata Dapunta Cahyadawasuna tak lagi
bisa melihat dengan jelas apa yang ada di depannya. Debu
seakan tanpa henti menerpa matanya, membuat rasa perih
yang tak berkesudahan.
Saat itu yang diingatnya adalah terus berlari ke arah timur.
Maka itulah, diayunkan langkahnya ke sana. Ia berlari dengan pandangan kabur. Beberapa kali ia terjatuh, tersangkut akar
atau tersandung batu. Namun, ia selalu bisa kembali berdiri
dan melanjutkan langkahnya.
Cukup lama suasana seperti itu. Dan, ketika ia kembali
mencoba menoleh ke belakang, ia hanya melihat kegelapan.
Ya, debu telah memerangkap dirinya!
Baru disadarinya teriakan-teriakan itu tak lagi terdengar. Ia sama sekali tak menyadari bila dirinya adalah orang terakhir yang keluar dari kedatuannya.
Ia hanya kembali melanjutkan langkahnya dengan lebih
berhati-hati. Kali ini ia tak lagi menoleh ke belakang. Ia terus
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
beriari dan berlari. Sampai ketika matanya yang teramat perih, tanpa sengaja melihat sebuah gua besar di depannya.
Sejenak Dapunta Cahyadawasuna tampak ragu masuk ke
dalam atau terus melanjutkan langkahnya" Ia menimbang-
nimbang sesaat. Debu ini tentu tak akan bisa masuk hingga ke bagian dalam, tetapi bila gunungku ternyata benar-benar
meledak, asapnya yang keluar tentu akan membuat dirinya ici
perangkap di dalam gua"
Awalnya Dapunta Cahyadawasuna memutuskan untuk
kembali berlari. Namun, saat itulah tanpa sengaja, matanya
melihat kedua kakinya. Baru disadarinya bahwa kakinya
ternyata terluka parah. Batu-batuan tampaknya telah
menggores kakinya di beberapa bagian. Darah mengucur
tanpa henti. Saat itulah rasa perih baru terasa olehnya. Maka, setelah
melihat ke belakang sekali lagi, Dapunta Cahyadawasuna
akhirnya memutuskan untuk masuk ke dalam gua.
Gua itu cukup besar. Dapunta Cahyadawasuna tak tahu
posisi gua ini berada. Seingat dirinya, ia tak pernah
menjumpai sebuah gua pun di sekitar datunya.
Ia melangkah terus ke dalam. Batu-batu terasa di telapak
kakinya. Sesaat debu masih mengganggu matanya, tetapi
semakin ke dalam, debu semakin menipis dan menipis. Hingga
akhirnya matanya tak lagi terganggu oleh butiran-butiran debu yang menyakitkan. Namun, suasana itu segera saja
tergantikan oleh kegelapan ruangan yang begitu pekat.
Semakin ke dalam, Dapunta Cahyadawasuna semakin tak
bisa melihat apa pun. Seiring dengan itu bau menyengat
kotoran kelelawar langsung menusuk hidungnya.
Akan tetapi, ia terus berjalan. Kini langkahnya begitu
perlahan. Satu langkah demi satu langkah. Setelah sekian
jauh, kakinya kemudian merasakan batu-batu yang basah, lalu
sebuah genangan air.


Dendam Dan Prahara Di Bhumi Sriwijaya Karya Yudhi Herwibowo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dapunta Cahyadawasuna tersenyum. Di antara suara-suara
pekikan kelelawar yang terdengar samar, telinganya
mendengar sayup-sayup bunyi air yang mengalir.
Ia melanjutkan langkahnya. Semakin lama ia merasakan
genangan air semakin dalam hingga mencapai mata kakinya.
Namun, beberapa tindak kemudian langkahnya terhenti
karena ia tak lagi dapat menemukan jalan. Gua ini telah
berakhir sampai di sini.
Dapunta Cahyadawasuna mencoba mencari tempat yang
kering untuk beristirahat. Saat itulah, baru dirasakannya
kelelahan yang luar biasa di sekujur tubuhnya.
Lalu, dengan matanya yang sudah mulai beradaptasi
dengan kegelapan, ia mengamati sekelilingnya. Sebuah mata
air yang mengalir pelan, terlihat tak jauh dari tempatnya
duduk. Diam-diam Dapunta Cahyadawasuna bernapas lega.
Setidaknya ia bisa meminum air dari situ.
Akan tetapi, kemudian telinganya menangkap suara-suara
yang tak jelas dari atas kepalanya. Ia segera menengadah.
Dan, baru disadarinya bahwa di atas kepalanya ratusan atau
bahkan ribuan kelelawar bergelantungan.
Dapunta Cahyadawasuna menelan ludahnya. Mata merah
mereka yang seakan beradu pandang dengannya membuat
sensasi kengerian tersendiri. Namun, Dapunta Cahyadawasuna
mencoba tak memedulikan hal itu.
Sedikit ia merasa heran, mengapa kelelawar-kelelawar ini
tak pergi di tengah kondisi alam seperti ini" Apa karena di
dalam gua ini ledakan itu sama sekali tak terasa" Dapunta
Cahyadawasuna tak bisa menjawab itu. Ia kemudian
memutuskan untuk melakukan meditasi. Ia duduk dengan
posisi badan tegak dan mulai memejamkan matanya rapat-
rapat. Setelah itu ia pun berdiam hingga napasnya semakin
lama menjadi stabil.
Setelah itu, ia tak lagi berpikir apa-apa.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
---ooo0dw0ooo---
la tak ingat berapa lama ia melakukan meditasi. Yang ia
ingat, bila tenggorokannya terasa kering ia akan bangun dan
meminum air dari mata air di dekatnya, kemudian segera
kembali melanjutkan meditasinya. Terus seperti itu.
Ia seakan tak mengingat apa-apa lagi. Ia melupakan
kejadian di luar sana. Ia hanya merasa tubuhnya telah begitu lemah dan tak lagi bisa berdiri tegak.
Dan, saat ia memaksakan diri untuk berdiri, ia terjerembap.
Kesadarannya seakan melayang. Ia sama sekali tak menyadari
adanya hiruk-pikuk orang-orang yang mencoba masuk ke gua.
Ia tak menyadari ketika langkah-langkah kaki itu mendekat ke arahnya. Ia juga tak menyadari ketika sosok-sosok itu
menyentuh tubuhnya ....
Sungguh, Dapunta Cahyadawasuna benar-benar tak bisa
merasakan itu semua.
Seperti ia tak merasakan bahwa ini adalah hari ketiga belas
sejak terjadinya ledakan gunung itu ....
---ooo0dw0ooo---
Ketika akhirnya Dapunta Cahyadawasuna membuka
matanya, Pu Rapa Sungka' telah ada di sebelahnya.
"Dapunta?" nada suaranya terdengar lega. "Akhirnya, Dapunta sadar..."
Dapunta Cahyadawasuna mencoba bangkit dan duduk.
Dikumpulkannya segala sesuatu yang terakhir diingatnya.
Ledakan gunung itu hujan debu gua yang begitu dalam bau
menyengat kotoran kelelawar mata air dan dirinya yang
terjerembap ....
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kami menemukan Dapunta di dalam gua," ujar Pu Rapa Sungka' lagi. "Kami sudah mencari Dapunta lebih dari sepuluh hari, sejak hujan debu itu berhenti...."
"Hujan debu...," desis Dapunta Cahyadawasuna. Terbayang kembali di benaknya ledakan itu dengan jelasnya, juga
semburan asap ke angkasa, dan tentu saja, hujan debu yang
seolah tak berkesudahan ....
Dengan gerakan pelan, ia menoleh kepada Pu Rapa
Sungka', "Katakan," ujarnya, "sudah berapa lama aku berada di gua itu?"
"Dapunta ada di gua itu selama tiga belas hari ...'jawab Pu Rapa Sungka' cepat.
Mata Dapunta Cahyadawasuna membulat, "Tiga belas
hari?" suaranya terdengar tak percaya.
"Ya, tiga belas hari," jawab Pu Rapa Sungka' lagi. "Maafkan hamba yang terlambat menemukan Dapunta. Hujan debu
berlangsung hingga sembilan hari tanpa henti, maka itulah
kami.." 'Apa kau bilang?" Dapunta Cahyadawasuna memotong
ucapan Pu Rapa Sungka'. "Hujan itu berlangsung sembilan hari?"
Pu Rapa Sungka' mengangguk pelan.
"Sembilan hari?" Dapunta Cahyadawasuna tertegun. "Lalu apa yang terjadi pada...." ia tak melanjutkan kata-katanya.
Pu Rapa Sungka' sudah membungkuk dalam-dalam,
"Maafkan hamba, Dapunta. Hamba tak bisa..."
Dapunta Cahyadawasuna tak lagi menggubris ucapan Pu
Rapa Sungka'. Ia sudah mencoba bangkit dengan tenaganya
yang masih begitu lemah. Ia berjalan menuju pintu rumah. Pu
Rapa Sungka' dan beberapa pengawal yang ada di situ segera
membimbingnya. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dengan kaki gemetar, Dapunta Cahyadawasuna melangkah
keluar dari rumah itu. Ia sama sekali tak berpikir letak rumah itu berada, tetapi yang pasti, di depannya kini terpampang
sebuah hamparan luas tanah berwarna hitam ....
Mata Dapunta Cahyadawasuna terpaku. Dipandanginya
hamparan itu dengan tatapan tak percaya. Perlahan kakinya
maju selangkah ke depan. Tangan kanannya, dengan gerakan
perlahan, mulai terangkat, seakan ingin menggapai apa yang
terlihat di depannya.
Sungguh, walau hampir tak lagi menyisakan bentuk, ia
dengan pasti masih bisa mengenali hamparan hitam yang ada
di depannya kini. Empat patung besar Buddha yang kini
terlihat bagian kepalanya saja di keempat sudut hamparan
hitam itu telah menyisakan petunjuk baginya____
Matanya berkaca-kaca ....
Pu Rapa Sungka' dan seluruh pengawal yang ada di
belakangnya segera berlutut dan menundukkan kepala dalam-
dalam. Akan tetapi, Dapunta Cahyadawasuna tak lagi
memperhatikan itu semua. Air matanya mendadak telah jatuh.
Dan, ia pun menangis ....
---ooo0dw0ooo---
11 Mimpi-Mimpi Yang Tak Pernah
Hilang Aku mencintainya, Paman ....
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Siapa pun dirinya, aku tetap mencintainya ....
Suara itu seakan terdengar berkali-kali. Mengetuk labirin
telinganya, membuat gema yang semakin lama bukannya
semakin memelan, tetapi semakin mengeras!
Lalu, seiring dengan itu, bayangan wajah seorang gadis
jelita dengan tubuh semampai muncul, menari-nari memenuhi
ruang ingatannya.
Tak bisa dihindarinya lagi itu adalah sosok Pramoda-
wardhani, anak dari kakaknya, Samaratungga. Kini senyumnya
tak lagi menggemaskan seperti saat ia berlari-lari mengelilingi dirinya sambil berteriak-teriak memanggil namanya, tetapi ...
begitu menawan.
Para lelaki akan dengan mudah jatuh cinta kepadanya.
Namun, hanya Jatiningrat yang kemudian berhasil menambat
hatinya .... Aku mencintanya, Paman ....
Siapa pun dirinya, aku tetap mencintainya ....
Dan, saat itulah Sri Maharaja Balaputradewa terbangun dari
tidurnya. -ooo0dw0ooo- Dan, pernahkah kau berpikir tentang kehadiran sebutir
embun di ujung sehelai daun yang hijau"
Dan, pernahkah juga kau berpikir tentang kepergian sebutir
embun di ujung sehelai daun yang hijau"
Mungkin serangga-serangga yang melakukannya untuk
tanah yang menaungi mereka. Setetes demi setetes mereka
mengumpulkannya dalam sebuah bejana berbentuk membran
yang teramat kecil dan sangat halus. Terus tanpa henti
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
mereka bekerja. Hingga setiap bejana yang telah penuh akan
berkilau menggelitik mata kita.
Saat itulah kita akan tergugah, mendapati sebutir embun
ada di ujung-ujung daun itu. Selalu seperti itu. Hingga sampai kini, kita tak pernah benar-benar menikmati embun-embun itu
karena baru beberapa saat tersadar saja, embun itu akan
menggelinding jatuh ke tanah, masuk ke dalam pori-porinya....
Sri Maharaja Balaputradewa diam-diam mengangguk,
menyetujui tulisan yang baru dibacanya itu. Namun, langkah-
langkah halus di belakangnya membuatnya berpaling.
Pu Chra Dayana mendekatinya.
"Mereka akhirnya dapat menemukan Dapunta Cahya-
dawasuna, penguasa Datu Talang Bantas," ujarnya dengan
kepala menunduk.
Sri Maharaja Balaputradewa berpaling. Ia ingat tentang itu.
Beberapa hari yang lalu Pu Chra Dayana telah melaporkan
tentang bencana yang terjadi di salah satu datunya yang ada
di barat sana. Pu Chra Dayana meneruskan, "Walau debu telah menutupi
seluruhnya, bahkan empat patung Buddha yang cukup besar
di empat penjurunya, tetapi tiga belas hari setelah ledakan
gunung yang menaburkan hujan debu itu, Dapunta
Cahyadawasuna bisa ditemukan dengan selamat di salah satu
gua di pinggir datunya
Sri Maharaja Balaputradewa menatap tak percaya, "Tiga
belas hari?" tanyanya seakan bergumam.
Pu Chra Dayana mengangguk.
Pandangan Sri Maharaja Balaputradewa menerawang.
"Bila ia bisa selamat dari kejadian seperti itu," ujarnya, "ia pastilah sangat istimewa
"Tentu saja, Sri Maharaja, tentu saja"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sri Maharaja kembali berpaling, "Dan kini, ia menjadi
dapunta tanpa datu?" tanya Sri Maharaja Balaputradewa
sesaat kemudian.
Pu Chra Dayana mengangguk.
"Kalau begitu, panggillah ia kemari," ujar Sri Maharaja Balaputradewa lagi. "Aku ingin menjadikannya salah satu penasihatku
-ooo0dw0ooo- Tak butuh waktu lama bagi Pu Chra Dayana untuk
mengutus orang memanggil Dapunta Cahyadawasuna ke
Telaga Batu. Hanya beberapa hari berselang, Dapunta
Cahyadawasuna sudah bisa menghadap Sri Maharaja
Balaputradewa di Ke-datuan Telaga Batu.
Dalam pertemuan itu keduanya diliputi dengan kebisuan.
Sri Maharaja Balaputradewa mengamati Dapunta
Cahyadawasuna begitu lekat, mencoba menilai kepribadiannya
dari melihat penampilan luarnya. Sedangkan Dapunta
Cahyadawasuna yang hanya sesekali melirik ke arah Sri
Maharaja Balaputradewa, diam-diam sibuk dengan pikirannya
sendiri. Ini pertama kalinya ia melihat seorang penguasa
Bhumi Sriwijaya, baik penguasa saat ini, yakni Sri Maharaja
Balaputradewa, maupun sebelumnya, Pu Chra Dayana.
"Aku sudah mendengar tentang kisahmu," ujar Sri
Maharaja Balaputradewa memecah kebisuan. "Kalau boleh
kutahu, apa yang bisa membuatmu bertahan seperti itu?"
Dapunta Cahyadawasuna terdiam, mencoba berpikir sesaat.
Namun, sungguh, ia tak bisa menemukan jawaban yang
meyakinkan. Sejak hari itu, ia sendiri sebenarnya terus berpikir bagaimana ia dapat hidup tanpa makanan sedikit pun kala itu, hanya dengan meminum seteguk dua teguk air yang ada di
situ" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Maka, ia pun menjawab dengan ragu pertanyaan itu,
"Hamba sendiri tak tahu secara pasti jawabannya. Namun, mungkin karena ... hamba terus melakukan meditasi."
"Meditasi?" kening Sri Maharaja Balaputradewa berkerut,
"Aku pun memahami meditasi. Meditasi prajna untuk
mengosongkan pikiran ataupun meditasi dhyana untuk
mengisi pikiran. Namun, kurasa tak akan bisa menjadi
sedemikian hebat hasilnya?"
Dapunta Cahyadawasuna menundukkan kepalanya,
"Maafkan hamba, Sri Maharaja. Sebenarnya, hamba sendiri tak pernah begitu tahu bagaimana hasil meditasi bagi hamba.
Namun yang pasti, setiap melakukan meditasi sunyata, hamba
bisa merasa lebih tenang, bahkan ... sangat tenang
"Meditasi sunyata?" Sri Maharaja Balaputradewa tak bisa menyembunyikan ketertarikannya.
"Ya, meditasi sunyata. Itu merupakan meditasi yang
menggabungkan antara meditasi prajna dan dhyana ..."
Raut wajah Sri Maharaja Balaputradewa semakin tampak
tertarik. "Ini sangat menarik," ujarnya kemudian. "Bagaimana kalau kau mengajari aku mendalami meditasi itu?"
-ooo0dw0ooo- 12 Pulau Karang di Semenanjung
Karang Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Hari-hari terakhir ini adalah hari yang menyebalkan bagi
Kara Baday. Mungkin sudah hampir dua purnama ini ayahnya
melarang keras dirinya dan seluruh anak buahnya beraksi di
laut. Walau sedikit mendongkol, Kara Baday bisa memahami itu.
Akhir-akhir ini, sambau-sambau Sriwijaya memang terlihat di
mana-mana. Hampir di setiap titik dalam jarak-jarak tertentu, sambau-sambau itu terus berpatroli. Tampak sekali bahwa
mereka memang benar-benar serius menangkap
kelompoknya. Tak hanya sambau-sambau bertiang layar dua
saja, tetapi sambau-sambau utama yang bertiang layar lima
pun sudah dikerahkan seluruhnya. Jelas sekali terlihat bahwa ke-matian Panglima Muda Sru Suja tampaknya benar-benar
memukul armada Sriwijaya.
Maka untuk mengisi waktu, sesekali dengan satu perahu
layar bertiang satu dan beberapa anak buahnya, Kara Baday
mendatangi salah satu datu di Pantai Timur Sriwijaya.
Biasanya dengan berpura-pura sebagai nelayan, mereka
keluar perlahan-lahan dari Pulau Karang, lalu berlayar dan
merapat ke tepian Pantai Timur ....
Seperti kali ini, setelah perjalanan sehari-scmalam, mereka
merapat juga di sebuah datu di utara muara besar. Bersama
lima orang anak buahnya, Kara Baday segera menuju
keramaian yang ada di tengah datu itu. Turut bersama dirinya adalah Paman Kumbi Jata, salah satu anak buahnya sejak
kepemimpinan ayahnya. Ia merupakan sosok yang paling
matang dan sangat waspada di antara semua anak buah yang
bersamanya. "Kara," ia memanggil Kara Baday yang langsung berjalan meninggalkan perahu. Sejak dulu Dapunta Abdiba-wasepa
memang menyuruh semua anak buahnya untuk memanggil
anaknya langsung dengan namanya saja untuk menutupi jati
diri mereka. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Kara Baday hanya menoleh tanpa menghentikan


Dendam Dan Prahara Di Bhumi Sriwijaya Karya Yudhi Herwibowo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

langkahnya. "Cepatlah, Paman," ujarnya tampak sekali tak sabar.
Paman Kumbi Jata hanya bisa menggelengkan kepalanya
Pendekar Pedang Kail Emas 9 Memanah Burung Rajawali Karya Jin Yong Suling Emas Dan Naga Siluman 26
^