Pencarian

Memburu Manusia Harimau 3

Memburu Manusia Harimau Seri Manusia Harimau Karya S B Chandra Bagian 3


Tak kurang dari Kapten Kahar sendiri yang membuat pedupaan.
Orang-orang heran, tetapi ia membuang rasa heran itu dengan berkata, "Jangan heran, saya juga manusia semacam kalian semua.
Dan saya selalu tertarik dengan kekuatan-kekuatan gaib!"
Erwin memulai setelah beberapa saat menenangkan diri dan
mengkhusukkan segenap perhatian. Setelah pikirannya menjadi satu ia membaca mantra seperti yang telah beberapa kali dilakukannya kalau ingin mengetahui sesuatu yang masih gelap.
Pisau yang diletakkan di atas piring ceper mulai bergerak. Ke kiri dan ke kanan. Yang menyaksikan, termasuk Kapten Kahar dan kedua orang yang melemparkan tuduhan berat atas dirinya
menumpahkan seluruh perhatian. Kapten Kahar karena tertarik, Dirham dan Tamsir karena mulai takut. Yang mereka tuduh dan hina itu rupanya seorang dukun yang barangkali termasuk kaliber
lumayan. "Saudaraku Siti Alus," kata Erwin. "Semua manusia yang ada ini percaya, bahwa kau tidak akan mau berdusta. Kau akan menikam siapa saja yang coba menumbangkan kejujuranmu dengan kekuatan hitam yang ada padanya."
Suasana sangat hening, tetapi terasa mencekam. "Siti Alus, tolong jawab pertanyaanku ini. Apakah si pencuri uang dan barang saudagar Tamsir ada di antara kami yang hadir, termasuk diriku"
Kalau ada, berdiri dan menjulanglah pelan-pelan." Suasana tambah tegang dan beberapa wajah memperlihatkan rasa takut. Pucat.
Pisau yang diberi nama Siti Alus itu bergerak, pelan-pelan berdiri sampai lurus di atas piring. Kemudian ia bergerak, naik. Semua mata seperti tidak percaya akan apa yang mereka lihat! la seperti mengatakan, bahwa si pencuri ada di antara mereka yang hadir.
0odwo0 LIMABELAS PISAU itu kian tinggi dari piring sampai sebatas kepala Erwin dan para hadirin yang duduk di sekelilingnya. Kemudian berhenti, tanpa ada penahan dari atas, tanpa penunjang dari bawah.
"Yang mencuri uang dan perhiasan berharga milik Tamsir ada di antara kita. Barangkali saya. Barangkali kepala keamanan yang sangat keras menuduh saya!" kata Erwin dengan suara lantang tetapi tenang.
"Bohong," teriak Dirham.
"Dia tidak menuduh, hanya mengatakan mungkin dia sendiri, mungkin juga Saudara. Mengapa mesti marah!" kata Kapten Kahar.
Kata Erwin melanjutkan," Pisau ini boleh kita minta sekedar menunjukkan pencurinya atau langsung menembus jantungnya!"
Tiba-tiba dua orang muda berpakaian parlente berteriak, "Kami
yang mengambil. Kami mengaku, jangan ditikam!" Semua orang tercengang, kemudian terdengar bisik-bisik. Tamsir dan Dirham malu bukan kepalang.
"Bagaimana Saudara Tamsir dan kepala keamanan?" tanya Kapten Kahar. "Orang miskin tidak mesti dituduh mencuri.
Percayakah kalian pada pengakuan kedua orang ini" Ataukah kalian pikir mereka mustahil mencuri. Di antara semua yang hadir tampaknya merekalah yang paling mampu!"
Dirham dan Tamsir diam. Mereka tidak merasa perlu minta maaf, hanya kepada seorang dukun yang tidak memiliki apa-apa selain sedikit kepintaran.
Dirham malah berkata, "Rupanya dia dukun. Kukira pantaslah kalau Tuan Tamsir memberi sekedar upah!"
Erwin membaca mantra lagi dan pisaunya turun perlahan-lahan sampai rebah kembali di atas piring tanpa memberi suara.
"Berapa upahnya dukun?" tanya Tamsir yang ternyata punya sifat sombong. Dia tidak takut, karena bukankah di sana ada Polisi"
Dukun itu tak kan berani macam-macam. Tetapi dengan amat
mengejutkan orang banyak, tiba-tiba Tamsir terjungkal ke depan, seperti ada yang memukul tengkuknya. Padahal tidak ada orang yang memukul, la duduk kembali dengan perasaan takut dan malu.
Terasa benar olehnya ada yang memukul, sementara semua orang tidak melihat ada pendatang baru.
Untuk menutupi rasa malu Tamsir berkata "Saya agak pening!"
"Saya harus membayar dukun berapa?" tanya Tamsir.
"Kukira seribu rupiah sudah cukup," kata Dirham.
Kini giliran Dirham tersungkur sambil menjerit. "Anda juga pening?" tanya Kapten Kahar. "Tidak, seperti ada setan memukul saya dari belakang. Barangkali setan itu marah mendengar upah seribu. Berilah dua ribu Tuan Tamsir!"
"Manusia sombong," bentak Erwin. Kini dengan suara
menggeledek yang tidak sesuai dengan ukuran tubuhnya. "Aku memang miskin. Hampir tidak pernah memegang uang ribuan.
Tetapi aku beritahu kepadamu, bahwa aku meminta bantuan Siti Alus hanya untuk mengetahui siapa pencuri yang sebenarnya.
Bukan untuk mencari upah. Kau dengar kataku" Aku tidak suka berkelahi, tetapi karena merasa kau sangat menghina diriku, aku tantang kau untuk beradu tenaga. Dengan senjata boleh, dengan tangan kosong pun jadi. Ataukah kau dengan senjata pilihanmu dan aku dengan tangan kosong! Anggaplah sebagai permainan antara andalan Lubuklinggau yang tegap besar, sarat gizi, dengan seorang perantau miskin yang tak pernah makan sempurna. Tadi kau
bernafsu sekali meninjuku. Kalau kena mukaku, pasti akan remuk sampai tak bisa dikenal lagi."
Semua orang memandang Dirham yang berbadan besar dan
kekar. Tetapi di luar dugaan, Datuk bangkit dari tempatnya duduk, melangkah ke Dirham dan menendang mukanya secara ahli,
sehingga petugas keamanan itu terjungkal lagi. Kini ke belakang dengan hidung mengeluarkan darah.
"Bangkitlah!" bentak Datuk. Ketika orang itu hendak bangkit berdiri, satu tendangan keras menerpa dadanya. Kapten Polisi Kahar melompat dan menahan Datuk untuk melerai.
"Maaf Pak Kapten' kata Datuk sopan dalam amarah. "Perbuatan saya ini tidak pantas, apalagi di hadapan Bapak. Tetapi
kesombongan orang ini sejak tadi terlalu menyakitkan hati."
Kata-kata yang mengandung kesadaran itu membuat perwira
yang lapang hati itu dapat mengerti.
"Siapakah saudara, mengapa sampai berjalan kaki sejauh itu?"
tanya Kapten itu ramah. Semua hadirin pasang telinga, ingin tahu kisah ketiga orang yang rupanya bukan petualang biasa.
"Di negeri saya, bagaimanapun miskinnya, saya ini bergelar
"datuk" dan orang yang disegani. Bersama sahabat saya Koto kami bertemu dengan Pak Erwin. Melihat sifat dan kemampuannya kami memutuskan untuk belajar dari dia. Walaupun baru beberapa hari
kenal, tetapi selama itu kami sudah tahu betul siapa dan bagaimana dia sebenarnya. Kami pun sudah mengenal ayah beliau yang
diterangkan beliau tadi!" kata Datuk.
"Tuan Dja Lubuk?" tanya sang Kapten.
"Ya, kami sudah bertemu, pernah seperjalanan, sudah
menyalamnya! Pak Kapten juga sudah?" Kedua orang itu bercerita seperti dua orang sahabat. Kapten Kahar cukup tahu, bagaimana pandangan masyarakat daerah di Minangkabau terhadap Datuk mereka.
"Saya belum pernah bertemu, tetapi ada juga mendengar ceritanya," kata Kapten Kahar. "Ingin saya bertemu dengan orang hebat itu!"
"Lebih dari hebat Pak," kata Datuk. "Tetapi punya hati sehalus sutera. Itulah yang membuat kami sangat heran. Kekerasan, kejujuran dan kelembuta n bergabung di dalam satu diri!"
Orang ramai jadi tidak lagi memikirkan si Tamsir yang kecurian, tetapi seluruh perhatian mereka beralih kepada cerita Datuk tentang Dja Lubuk. Kebetulan tidak ada seorang pun di antara mereka "
selain Kapten Kahar" yang pernah mendengar kisah tentang diri manusia harimau itu.
Sebuah auman lagi. Singkat tetapi keras, la menunjukkan
kehadirannya. "Tuan," teriak Datuk tanpa sengaja. "Tampillah Tuan Guru supaya dilihat oleh orang-orang ini!" Dan Datuk dengan sepenuh hati ingin agar Dja Lubuk memperlihatkan diri supaya mereka tahu, siapakah Erwin dan mereka berdua yang tadi dituduh mencuri, la akan bangga, kalau Dja Lubuk tampil di sana.
Tanpa memberi isyarat, tiba-tiba saja sudah berdiri di tengah lingkaran orang-orang yang masih duduk itu, suatu makhluk yang hanya pernah dilihat oleh Datuk, Koto dan tentunya Erwin yang anak kandungnya. Seluruh tubuhnya harimau. Hanya kepala
merupakan seorang laki-laki tua tetap ganteng dan berwibawa
dengan mata yang tak ter tentang oleh siapa pun: Dja Lubuk!
Semua orang berubah jadi pucat. Beberapa wanita yang juga tamu hotel, menyertai suami atau orang tua gemetar lalu pingsan.
Kapten Kahar Na-sution tidak luput dari terkejut dan seperti sukar percaya akan apa yang dilihatnya. Padahal ia sudah mendengar kisah tentang Dja Lubuk si manusia harimau yang meninggal dan dikuburkan di Mandailing tetapi kadang-kadang bangkit lagi untuk tampil di tempat yang perlu. Sampai-sampai di Pulau Jawa.
"Kau petugas yang baik Kahar. Mengabdilah dengan sebersih hati untuk bangsa dan negara. Jangan lupa kampung halaman. Lihat-lihat juga ke sana bagaimana keadaannya!"
"Terima kasih Ompung Guru," sahut Kahar dengan suara jelas tetapi bergetar, la memang sudah lama tidak pulang ke
kampungnya. Tetapi dia mendengar, bahwa Mandailing masih
sangat ketinggalan. Banyak penduduknya yang miskin dan melarat.
Pada waktu itu juga datang niat di dalam hatinya untuk pulang sebentar ke Mandailing pada kesempatan pertama.
"Bagus," kata Dja Lubuk, "niatmu itu saja pun sudah sangat bagus. Menandakan kau belum lupa pada asalmu!"
Kahar Nasution heran dan kagum. Dja Lubuk benar-benar
keramat, pikirnya.
"Bolehkah saya maju menyalam Ompung Guru?" tanya Kapten Kahar.
Manusia bertubuh harimau atau harimau berkepala manusia itu tertawa lalu berkata. "Kalau kau tidak jijik menjamah tanganku yang berbulu dan berkuku tajam-tajam ini, maka akulah yang mestinya berterima kasih. Mendapat kehormatan disa lam oleh seorang Nasution asal Mandailing yang sudah Kapten Polisi. Kudoakan, pada akhir tahun ini kau sudah akan naik pangkat jadi Mayor, Kahar!
Kapten Kahar bergerak dengan mengingsut ke ah Dja Lubuk.
Sebelum ia sampai, makhluk itu telah berubah menjadi seorang tua biasa. Kepala yang sama dengan tubuh manusia sepenuhnya.
Hampir semua hadirin yang masih mampu menguasai diri
menyebut Allahuakbar karena apa yang mereka saksikan itu hanya bisa terjadi oleh Kebesaran dan Kekuasaan Tuhan yang tidak ada batasnya. Beberapa orang sujud, ketika Kapten Polisi Kahar Nasution menjabat dan menyalam tangan Dja Lubuk.
"Selama kau menjalankan tugas dengan hati bersih, tidak menyalahgunakan wewenangmu, Insya Allah kau akan dilindungi Tuhan." Perwira Polisi itu mundur kembali ke tempat ia duduk tadi.
Setelah Kahar duduk kembali, Dja Lubuk memandang ke
sekelilingnya, meletakkan tangan kanannya di atas kepala Erwin.
Kemudian hilang dari pandangan.
Serentak Dirham dan Tamsir mendatangi Erwin dan kedua
sahabatnya, menyalam mohon maaf. Sebenarnya mereka sangat malu berbuat begitu karena tadinya mereka telah bersikap terlalu kasar dan sombong. Tetapi kehilangan muka bagi mereka masih lebih baik daripada kehilangan nyawa yang bisa saja terjadi kalau Erwin yang punya berbagai ilmu itu hendak membalas dendam.
Pisau yang dapat disuruhnya itu tentu dengan mudah dapat pula diperintah untuk mendatangi mereka di mana saja, lalu menusuk jantung mereka tanpa ada tangan yang menikamnya.
Dirham yang amat ketakutan menawarkan kepada Erwin untuk
menginap dan makan minum apa saja yang dikehendakinya tanpa membayar. Dengan halus ia menolak. Tawaran Kapten Kahar
Nasution untuk menjadi tamunya pun ditolaknya dengan ucapan terima kasih.
Kedua orang yang mencuri barang dan uang
Tamsir dibawa ke Kantor Polisi untuk diproses. Ternyata mereka memang pencuri profesional yang selalu beroperasi di hotel-hotel.
Di kopor mereka terdapat banyak sekali kunci untuk membuka pintu kamar yang jadi sasaran. Juga senjata api. Selain itu cukup pakaian bermutu untuk menampilkan diri sebagai orang-orang baik dan mampu. Mereka jarang menginap di penginapan amat sederhana, seperti yang mereka lakukan sekali ini di Lubukling-gau. Tetapi
mereka sudah tahu, bahwa Tamsir, seorang pedagang kaya yang tidak suka menginap di tempat mewah untuk menghindari biaya besar dan menarik perhatian maling dan penodong.
Bawahan Kapten Kahar Nasution yang turut menyaksikan seluruh kejadian di penginapan merasa hebat karena dapat menceritakan suatu kejadian nyata yang layaknya hanya terdapat di dalam dongeng. Rekan-rekan mereka semula tidak percaya, tetapi karena dipersilakan bertanya sendiri kepada sang Kapten atau orang-orang yang di penginapan, mereka jadi menyesal mengapa tadi tidak dibawa serta.
"Kalian melihat sendiri" Bukan sulap?" tanya beberapa Polisi.
"Pak Kapten bicara dan bersalaman dengannya!"
"Dengan harimau yang berkepala manusia?"
"Ya. Sudah tua, rambut dan misainya putih. Tetapi sangat ganteng dan penuh wibawa. Pandang-"in matanya akan membuat jantung berdebar dan kalau kurang kuat iman, bisa rontok!"
Kapten Kahar Nasution juga rindu kepada kampungnya di
Mandailing yang sampai sekarang masih kurang dijamah kemajuan, kurang pula diingat oleh mereka yang sudah senang dirantau, kalau daerah luar Mandailing harus dikatakan daerah perantauan bagi mereka yang meninggalkan kampung halamannya. Banyak rumah yang dibangun lebih empat puluh tahun yang lalu sudah miring atau bahkan hampir roboh tanpa ada tangan-tangan yang
memperbaikinya karena tiada biaya untuk itu. Di sela-sela kemiskinan yang memilukan itulah terselip kisah dan kejadian yang penuh misteri. Di negeri asalnya itu banyak harimau hidup berdampingan secara damai dengan manusia. Karena meskipun miskin orang-orang asli daerah itu tidak akan menggusur
pemukiman si raja bolang. Namun begitu bukan tak ada manusia peladang atau penyadap karet yang diterkam dan dimakan harimau.
Karena mereka membuat kesalahan yang jadi pantangan si raja rimba atau"kata orang" karena orang malang itu sudah
ditakdirkan untuk jadi korban harimau. Tetapi yang begitu sangat
jarang terjadi. Penulis cerita ini biasa bertemu dengan Ompung Bolang. Saling pandang atau ia memintas tanpa menghiraukan kehadiran makhluk sedaerahnya selama mereka tidak disakiti dan dirugikan. Biasanya, kalau berpapasan dan saling pandang si gagah perkasa lalu menghindar. Anda tentu tak percaya, atau sukar percaya, tetapi begitulah kejadian yang tidak aneh bagi banyak penduduk di sana.
Ketika menghitung dana sisa uang tahulah ketiga sahabat itu bahwa mereka sudah hampir kehabisan sama sekali. Tetapi mereka melangkah juga. Belum beberapa jauh mereka berjalan, ketika tiba-tiba sebuah jip yang datang dari belakang berhenti di depan mereka. Seorang berpakaian seragam Polisi turun. Kapten Kahar Nasution. "Kuminta Saudara Erwin menolongku! Begitu juga Datuk dan Saudara Koto!" kata Kapten Kahar memohon.
0odwo0 ENAMBELAS TENTU saja Erwin merasa aneh dengan pencegatan Kapten
Kahar. Apalagi dia pula yang duluan memberi salam kepada Erwin yang menurut pandangan umum tidak selayaknya mendapat
kehormatan begitu dari seorang perwira yang sudah berpangkat Kapten. Karena Datuk dan Koto juga disebut, maka kedua pendekar ini bertanya-tanya pertolongan apa pulalah yang dapat diharapkan dari mereka. Selama berhadapan, lalu bersahabat dan sejalan dengan Erwin dan Dja Lubuk, mereka menyadari, bahwa mereka berdua masih belum apa-apa. Hanya terbawa nasib mujur, turut jadi orang disegani di negeri "orang".
Erwin hanya memandang sang perwira tanpa tanya. Hanya di
dalam hati ia sempat berpikir, apakah nasib yang serupa selalu datang berulang" Apakah terjadi suatu peristiwa seperti di Medan, ketika ia juga tidak punya uang" Ketika itu ia telah menawarkan diri untuk mencoba melihat pemilik penginapan yang sudah lama
dilanda penyakit tak kun-
ng sembuh, walaupun sudah banyak dokter dan belasan dukun mencoba. Termasuk di antaranya dukun yang disebut-sebut sebagai dukun kawakan. Usaha Erwin ternyata berhasil gemilang dan itu untuk pertama kali ia mengambil agak banyak dari hadiah yang diberikan kepadanya. Guna ongkos di jalan.
"Saya sama sekali tidak ingin menunda kebe-rangkatan kalian, tetapi kalau kalian mau mengundurkannya, mungkin kalian akan menghasilkan banyak kebaikan," kata Kapten Kahar.
"Kebaikan apa," kata Erwin bukan bertanya tetapi lebih cenderung tidak masuk akal. Sebagai biasa, walaupun punya ilmu tinggi, ia selalu merasa tidak punya apa-apa. Di situlah letaknya kelebihan orang yang benar-benar berilmu.
"Agak panjang untuk diceritakan di sini. Tidak menyangkut diriku pribadi."
"Saya tak mengerti, urusan apakah ini" Saya tidak punya banyak simpanan. Kapten. Kemampuanku hanya sekedar yang Kapten
saksikan itulah!" kata Erwin.
"Ini bukan soal pencurian. Soal kemanusiaan. Perasaanku mengatakan, bahwa Saudara Erwin dapat berbuat sesuatu. Dan kalau itu diperkenankan Tuhan saya akan turut bangga, ka.ena kita dari daerah yang sama. Kalau diusut-usut teliti dan mendalam, barangkali kita pun berkeluarga."
Erwin tahu, bahwa Kahar begitu bukan untuk menyenangkannya, la hargai kerendahan hati perwira Polisi itu. Tidak banyak yang begitu.
"Bagaimana Datuk dan Saudara Koto?" tanya l rwin untuk memberi tahu kedua sahabatnya, bahwa mereka bukan hanya
peserta tanpa suara.
Koto memandang Datuk, yang menyatakan bahwa kalau betul
ada yang dapat dilakukan untuk Kapten, apa salahnya menunda keberangkatan beberapa jam. Dan sesuai dengan harapan Erwin, Datuk memang merasa senang dengan pertanyaan Erwin yang
meminta pendapatnya.
Ketiga orang yang tadi berjalan kaki, kini masuk ke dalam jip Kapten Kahar. Tidak bertanya akan ke mana. Cara Erwin ini pun menimbulkan rasa senang kepada Kahar. Erwin tidak ragu-ragu.
Rumah yang disinggahi atau dimasuki tak lain dari rumah Kahar sendiri. Bukan rumah mewah dengan pekarangan besar. Rumah sederhana, tetapi terasa sejuk ketika Erwin dan kedua kawan seperjalanannya masuk.
Yang keluar dari dalam setelah mereka dipersilakan duduk, seorang perempuan berusia sekitar lima puluh dan seorang gadis dua puluhan dengan paras elok. Sebenarnya kedua wanita itu heran siapa pula yang dibawa Kahar dan dipersilakan duduk di ruang tamu yang biasanya hanya dijadikan tempat menerima kawan-kawan sejawat atau pejabat-pejabat. Atau keluarga mereka. Tak biasa mereka melihat tamu-tamu kumuh begitu diterima di ruangan itu.
Erwin, bahkan Datuk dan Koto merasa bahwa kedatangan mereka mengherankan kedua wanita itu. Tetapi sebodo amat, bukan
mereka yang ingin datang dan bukan mereka pula yang merasa punya keperluan!
"Ini Ibu dan ini Dinar, adikku," kata Kahar.
Tak ada yang mengulurkan tangan untuk berkenalan Erwin dan kawan-kawannya khawatir kedua wanita itu menganggap mereka tak tahu diri. Ibu Kahar dan Dinar memang tidak merasa layak memberi salam.
"Ini Saudara Erwin, Mak. Orang Mandailing!" kata Kahar. Tetapi perkataan Mandailing, daerah asal yang sama, tidak menggerakkan perubahan pada Ibu Kahar yang janda dan Dinar yang perawan banyak penggemar.
Melihat suasana kikuk itu Kahar merasa malu kepada Erwin, tetapi ia juga tidak punya cukup keberanian untuk menyuruh Ibu dan adiknya menyalam tamu-tamu, yang disadari oleh Kahar, tidak punya lahiriah yang layak untuk dihormati. Tetapi Kahar meminta Ibu dan adiknya itu duduk, yang tidak dapat ditolak, walaupun tidak
mengerti mengapa pula harus turut duduk. Kalau tidak duduk berarti menyinggung perasaan Kahar. Dan ini mereka tidak mau.
"Ketiga kawan-kawanku ini sebenarnya sudah mau berangkat ke Palembang, tetapi kutahani agar mau menunda," kata Kahar yang justru menimbulkan tanda tanya sanggup bertanya kepada hati Ibunya, apa perlunya ditunda.
"Aku mau minta tolong kepada Saudara Erwin, Mak!" kata Kahar.
Ibunya tidak menanggapi karena tak masuk di akalnya bahwa orang semacam tamu-tamu anaknya bisa memberi pertolongan.
"Barangkali saja Saudara Erwin dapat mengobati Pak Hasbi," kata Kahar pelan. Ini pun menambah keheranan Ibu Kahar. Erwin juga ikut heran. Lagi-lagi pengobatan. Seperti di Palembang. Seperti di Jakarta. Di Medan juga. Di Surabaya dan* Ujungpandang pun pengobatan juga. Mengapa selalu begitu" Apakah perjalanan hidupnya hanya akan terdiri dari kengerian, bilamana tanpa diingini ia berubah jadi harimau" Akan dimasukkan rumah tahanan karena dituduh melakukan kejahatan. Dirinya disiksa yang akan berakibat bermatiannya para penyiksa karena ia atau ayahnya akan
membalas. Bertarung mempertahankan kebenaran atau nyawanya"
Menggali kuburan mayat-mayat yang semasa hidup sangat
menyakitkan hatinya. Digilai wanita-wanita cantik yang tidak berkenan di hatinya, sehingga menyebabkan banyak perawan jadi merana. Dan jatuh hati kepada wanita yang justru tidak
mencintainya. Menyebabkan dia mengelana membawa diri seperti tidak akan ada ujungnya.
Yang bernama Hasbi adalah pensiunan Bupati yang diserang
penyakit gila. Bukan hanya itu. la tak lain dari abang tertua Husni yang melarikan dan memperkosa adik Teuku Samalanga, sahabat baik Erwin yang akhirnya jadi pelarian atas bantuan Erwin karena ia membunuh iparnya. Telah diceritakan bahwa Husni tewas dibunuh harimau piaraan Teuku Samalanga tak jauh dari Muara Bungo.
"Mak," kata Kapten Kahar. "Saudara Erwin telah menolongku menangkap dua penjahat besar. Hanya dengan pisaunya."
"Dibunuhnya penjahat itu?" tanya Ibu Kahar tanpa pikir panjang.
Menurut penilaiannya orang semacam Erwin itu punya kemampuan apalah selain daripada yang kasar-kasar.
"Kalau membunuh, tentu dia tidak di sini. Sudah dalam sel tahanan!" kata Kahar. Ibunya kecewa tetapi selain itu, juga tertarik.
"Pisaunya itu disuruhnya menunjukkan yang mana di antara berpuluh-puluh orang tamu penginapan yang mencuri! Kedua-duanya pencuri itu langsung mengaku, karena takut ditikam pisau yang dapat bekerja sendiri. Tanpa bantuan Saudara I rwin, mungkin kedua bandit itu akan lolos." Kini Ibu Kahar memandang Erwin.
Timbul sedikit*perubahan. Rupanya si miskin ini punya kepandaian ju-ja. ?
"Tapi Pak Hasbi kan tidak kemalingan Har!" kata perempuan yang mulai tertarik itu.
"Memang benar. Tetapi perasaanku mengatakan, bahwa Saudara Erwin akan sanggup mengobatinya, kalau dia mau! Aku yakin, dia punya ilmu pengobatan," kata Kahar lagi sambil menambahkan.
"Betul kan, Saudara Erwin?"
Erwin tidak dapat berbuat lain kecuali menjawab, bahwa ia bukan dukun, tetapi kalau sekedar ba coba dan dipinta oleh keluarga si sakit ia ber edia, karena Kapten Kahar orang yang sangat baik.
Oleh Kapten Kahar diterangkan, bahwa istri Hasbi masih adik sepupu ibunya. Penyakit gilanya itu sudah berjalan sebulan.
Datangnya mendadak. Dari orang yang sehat segar bugar, pada suatu pagi ia tiba-tiba tidak bisa bicara, kemudian setelah tiga hari berdiam diri, tetapi makan melebihi banyaknya makan seekor kerbau, Hasbi mulai mengamuk-imuk, memukuli keluarganya. Juga tamu-tamu yang datang. Pada suatu kali ia mengambil sebilah parang panjang dan mengacung-acungkannya di jalan raya. Orang ramai berlarian. Masih untung tidak ida orang yang sampai jadi korban. Untuk mencegah kejadian yang menyangkut orang lain, ia dikunci di dalam kamar. Tetapi ia merusak segala perkakas yang ada, menendang-nendang pintu dan sekali waktu keluar dari
jendela, la tertawa-tawa dengan suara keras sambil mengatakan, bahwa setan pun tidak akan dapat merintanginya.
Itulah Hasbi yang pernah menjadi kepala pemerintahan sebuah kabupaten.
Di masa jayanya ia banyak tertawa oleh upeti-upeti dari bawahan yang mendapatkannya dengan melakukan berbagai macam
penipuan dan pemerasan terhadap rakyat, termasuk rakyat teramat kecil yang hanya mempunyai lebih sedikit dari sejengkal tanah untuk telapak gubuk atau tempatnya bermandi keringat bersawah ladang sekedar sesuap nasi atau singkong guna bisa bernapas menjelang akhir penderitaan. Karena ia tidak berhasil turut mencicipi buah kemerdekaan yang pernah direbut pertahanannya. Tidak seperti sekelompok kecil orang-orang "pintar" yang dengan segala cara telah memilyarkan diri. Ex Bupati Hasbi merupakan contoh yang teramat gamblang bahwa sesungguhnyalah tiada yang abadi di dunia ini. Mengherankan memang, mengapa kian banyak saja orang yang haus harta dan kemewahan di atas penderitaan orang lain.
Diceritakan oleh Kapten Kahar bahwa banyak dukun dari
berbagai daerah yang mengobatinya. Beberapa orang di antara mereka malah tewas di hadapan si sakit atau mati sepulangnya dari rumah Hasbi. Dan kematian dukun-dukun itu tidak pula semua mati biasa. Ada yang gantung diri, ada yang mengunci kamar untuk meminum racun serangga. Ada yang tak pandai berenang, tetapi dengan sengaja menceburkan diri ke dalam kali.
"Mengerikan sekali/' kata Erwin menanggapi. Mungkin dukun-dukun yang membayar dengan nyawa karena mengobati Hasbi,
tidak mampu berhadapan dengan orang pandai yang menimbulkan sakit gila atas bekas Bupati.
Mendengar cerita itu Erwin tahu, bahwa yang melakukan
pembalasan melalui ilmu hitam tentu salah seorang korban di masa sang Bupati punya wewenang dan kekuasaan. Dikerjakannya sendiri au dilakukan oleh orang pandai yang diupah. Datuk dan Koto memandang Erwin. Ingin agar dia menolak karena terlalu besar risikonya. Kalau sampai Erwin mati gantung diri atau meminum
racun maka raiblah kesempatan mereka untuk menuntut ilmu
daripadanya. Sekarang pun Erwin bertanya "Bagaimana Datuk dan Saudara Koto. Sudah kita dengar ceritanya dari Kapten Kahar. Masih mau dicoba?" Harapan Ibu Kahar agak membesar, karena rupanya bukan Erwin yang kelihatan konyol itu sendiri yang akan mencoba. Tetapi juga kedua sahabatnya. Melihat pakaian mereka yang serba hitam dan wajah yang sedikit angker, perempuan itu lebih yakin kepada Datuk dan Koto.
Sebelum Erwin menjawab. Kapten Kahar dulu-an berkata "Saya tahu, bahwa apa yang telah terjadi itu sangat mengkhawatirkan.
Saya sengaja men ritakan seluruh kenyataan, supaya Saudara-saudara tahu bahwa risikonya sangat besar. Tetapi kalau berhasil, satu insan akan tertolong, keluarganya akan merasa bahagia.
Termasuk Ibu saya ini, karena istri Pak Hasbi itu saudara misan Ibu saya." Erwin langsung minta dibawa ke tempat orang sakit gila itu.
Tanpa diduga. Ibu Kahar yang semula jijik melihat ketiga tamu anaknya dan sampai detik itu tidak menyuruh keluarkan air dingin sekali pun, berkata, "Nanti dulu. Tak baik kalau tidak minum, walaupun seteguk saja." Kapten Kahar merasa malu dengan sifat ibunya, sementara Erwin dan kedua sahabatnya mengejek di dalam hati. Manusia bisa mendadak berubah, kalau merasa ada harapan.
Yang angkuh sombong bisa jadi ramah manis bagaikan madu Arab yang baru diperas dari sarangnya. Kasihan orang-orang semacam itu, menelanjangi diri untuk kita nilai sambil mencibir.
Meskipun sebenarnya Erwin dan kedua sahabatnya merasa haus, tetapi si manusia harimau menolak dengan bijaksana "Pantang minum kalau hendak melihat orang sakit!" Lebih baik haus daripada merasa kehilangan harga diri oleh secangkir teh yang diletakkan bukan karena keikhlasan. Kapten Kahar semakin malu, karena ia merasa bahwa penolakan Erwin itu tak lain daripada suatu
pembalasan atas ibunya yang semula begitu meremehkannya.
Sama halnya dengan penyambutan di rumah Kahar tadi, orang-orang di rumah Hasbi juga meremehkan Erwin sambil bertanya di
dalam hati, mengapa pula seorang perwira Polisi sampai percaya kepada orang-orang semacam itu yang tentunya mengaku dukun kawakan. Memasuki rumah bekas pejabat yang mewah itu Erwin merasa kepanasan. Yang mengejutkan adalah Koto yang mendadak terhuyung-huyung, lalu jatuh tak berdaya dengan mata terbelalak.
0odwo0 TUJUHBELAS KAPTEN Kahar terkejut dan tiba-tiba datang penyesalan dalam dirinya, mengapa ia menahani maksud keberangkatan Erwin ke Palembang. Tidak cukup sampai di situ, Datuk pula mengatakan pusing. Erwin memintanya agar duduk saja.
"Rumah ini penuh dengan iblis/' bisik Erwin ke telinga Datuk.
"Tetapi tenang-tenanglah. Insya Allah kita tidak akan mati di sini."
Orang-orang di rumah itu jadi panik, walaupun mereka sudah beberapa kali melihat dukun mati terkapar di sana.
Oleh kejatuhan dua sahabatnya, maka Erwin lebih dulu
membantu mereka dengan membaca mantra sambil menyapu muka mereka masing-masing tujuh kali. Ibu Kapten Kahar yang juga telah hadir di sana sini kini menyaksikan sendiri, bahwa Erwin tidak serapuh yang diduganya. Walaupun ia belum yakin, bahwa orang dusun ini akan mampu bertahan.
Dengan tenang sambil menyebut nama Tuan Syekh Ibrahim
Bantani dan Datuk nan Kuniang ia mengikuti Kapten Kahar ke kamar Hasbi yang terbaring meronta-ronta dengan kedua tangan dan kakinya terikat. Bekas Bupati itu terpaksa diperlakukan begitu untuk mencegah jatuhnya korban oleh sifat-sifatnya yang semakin beringas.
Ketika Erwin sudah berdiri setengah meter dari Hasbi, mendadak ia terjungkal karena ada yang menerjang, walaupun tidak kelihatan siapa yang melakukannya. Erwin kaget, tetapi segera bangkit lagi, membuat semua mata yang memandang tidak berkedip dengan hati
sangat takut, karena semua mengetahui, bahwa mungkin dukun ini pun akan mati di sana. Namun begitu mereka juga kagum, bahwa Erwin begitu cepat bangkit kembali. Beberapa dukun terdahulu yang tewas di sana juga terjungkal atau terpental, tetapi tak sempat mampu untuk bangun lagi.
Hasbi berteriak "Mau apa harimau ini datang ke sini. Bosan hidup?"
"Aku datang untuk mati atau mematikan, setan!" hardik Erwin yang di luar dugaan hadirin terdengar seperti guruh dan
menyebabkan rumah itu seakan-akan bergetar.
"Kau akan mati di sini harimau siluman!" kata Hasbi yang menyuarakan kekuatan dukun yang menguasai dirinya.
"Katakanlah apa yang kausuka. Kematian memang tunangan orang hidup. Tidak akan mengherankan kalau aku tewas di sini.
Tetapi aku tahu, bahwa kaulah yang akan binasa sekali ini."
"Berani kau kurang ajar, hah!" bentak Hasbi.
"Jadi kau kira aku takut" Kasihan, kau keliru. Pergilah kalau masih mau hidup. Kembali ke Tuanmu!" suara Erwin tambah menggelegar. Di tengah ketegangan itu tercium bau asap
kemenyan, walaupun tidak ada yang membakar. Diiringi oleh auman harimau. Bagi Erwin suatu tanda bahwa ayah atau ompungnya sudah ada di sana. Dan kalau mereka atau salah seorang datang, tidak diragukan lagi, bahwa lawan yang dihadapi berkaliber berat.
Sekurang-kurangnya mereka berjaga-jaga, kalau-kalau Erwin sendiri tidak mampu menghadapi. Dja Lubuk dan Raja Tigor terlalu sayang kepada anak dan cucu mereka, itulah sebabnya.
Iblis yang duduk di dalam tubuh Hasbi berkata tenang yang dipaksakan. "Untuk apa mempertaruhkan nyawamu bagi hewan yang semasa berkuasanya sangat menyiksa banyak manusia yang tak berani menentang dia dan kawan-kawannya. Biarlah
dirasakannya pembalasan ini. Biar keluarganya tahu bahwa dia ini pernah jadi bajingan yang merusak nasib orang banyak!"
Mendengar ucapan ini keluarga Hasbi tunduk karena merasa malu.
Erwin pun terdiam sejenak. Apa yang dikatakan iblis itu mungkin benar, tetapi perbuatan dukun itu tetap merupakan kejahatan di negara hukum ini. Meskipun banyak orang tidak menghiraukannya.
"Tetapi tetap bukan hakmu untuk menganiaya sesama manusia,"
kata Erwin. Membesarkan hati keluarga Hasbi dan memberi harapan kepada Kapten Kahar.
Hasbi tertawa terbahak-bahak lalu berkata "Bodoh, kau orang baik mau membela kejahatan. Berarti kau berpihak kepada
kejahatan."
Erwin menguatkan hati supaya jangan terpengaruh oleh hasutan iblis yang sebagian berdasar kebenaran itu.
"Aku tidak pernah dan tidak akan pernah berpihak kepada kajahatan. Aku hanya akan coba membebaskan orang ini dari penyakitnya yang tidak wajar. Kalau hukum yang berlaku di negeri ini kelak akan menindak dia, aku akan turut gembira," kata Erwin polos. Orang-orang yang mendengar ucapan Erwin, termasuk
Kapten Kahar kini mengetahui, bahwa orang muda potongan dusun pedalaman itu, tidak setolol yang mereka sangka mengenai
kejadian-kejadian di negara ini.
Terdengar suara hingar-bingar, yang bukan suara manusia tanpa kelihatan apa-apa. Suara iblis dan n dan setan yang dikirim oleh dukun kawakan.
"Siapa namamu orang sangat pandai tetapi juga sangat jahat?"
tanya Erwin. Hasbi menjawab, "Cari sendiri, kalau kau pintar. Aku sudah mengetahui namamu. Si Erwin, anak Dja Lubuk, cucu Raja Tigor. Musuh besarmu Ki Ampuh yang terkutuk menjadi babi. Kau pernah jatuh cinta setengah mati, tetapi tiada berbalas. Kini perempuan itu sudah mati dibunuh suaminya. Adakah penjelasanku yang salah?" Suara itu sangat lantang, satu persatu kata dapat ditangkap. Lalu kata Hasbi yang mewakili iblis kepada hadirin,
"Sudah kalian dengar. Begitulah kisah tentang orang dungu yang mau melawanku ini!"
Erwin malu sekali, la paham bahwa uraian dukun kawakan itu
dimaksudkan untuk meruntuhkan morilnya. Sesaat memang Erwin merasa goyah. Tetapi ia normal kembali setelah ada bisikan di telinganya agar ia meningkatkan perlawanan. Suara itu jelas suara ompungnya.
Erwin berpikir, bahwa salah satu cara untuk melemahkan
lawannya itu, adalah dengan jalan mencekik iblis yang duduk di dalam tubuh Hasbi. Tetapi di bagian mana" Di kaki, di tangan, di kepala ataukah di bagian lain"
"Kau tak tahu di mana aku! Ha haa, si harimau siluman kebingungan!" kata Hasbi. Lagi-lagi mengejek Erwin. Tetapi bukan hanya itu cara memukul musuhnya.
Satu bisikan di telinga Erwin mengatakan, agar ia
mempergunakan limau nipis dengan garam. Yang tidak lazim
dipakai dalam perdukunan. Biasanya orang mempergunakan limau purut dan bunga.
Terdengar lagi bisikan oleh Erwin. la lalu minta ijin kepada pemilik rumah untuk boleh ke dapur mengambil sesuatu. Kapten Kahar segera mengijin-kan tanpa menunggu jawaban istri Hasbi yang dalam keadaan sedih dan panik.
"Harus saya ambil sendiri," kata Erwin. la mendapat dua buah limau nipis, yang kebetulan tersedia dan garam. Ketika ia sudah dekat dengan si sakit terasa ada yang memukul tangannya,
sehingga garam di piring berhamburan. Tentu oleh pesuruh dukun berilmu tinggi itu. Untung limau nipis dimasukkan ke dalam saku.
Terasa juga ada yang meraba sakunya, tetapi kemudian rabaan itu seperti tersentak. Erwin dibantu oleh kakeknya yang tidak memperlihatkan diri. Dialah yang membebaskan Erwin dan
gangguan si iblis. Tetapi karena garam telah tumpah, maka Erwin kembali lagi ke dapur untuk mengambil penggantinya.
Ketika Erwin dan Kapten Kahar masuk ruangan dapur yang luas dan bersih terdengar suara pukul-memukul dan tendang-menendang. Tanpa kelihatan siapa atau apa yang sedang
bertarung. Raja Tigor menghadapi iblis yang hendak menghalangi
Erwin mengambil garam. Kapten Kahar heran, tetapi tidak
mengajukan pertanyaan.
Dengan perlindungan yang tak tampak oleh pandangan mata
kasar itu, garam dan jeruk nipis sampai juga di hadapan Hasbi. la memberontak, berusaha membebaskan diri dari ikatan, sehingga ranjang tempat ia berbaring bergoncang goncang seperti diombang-ambing gempa. Yang hadir semua menjadi lebih takut lagi.
Beberapa wanita yang berkeluarga dekat, keluar menjauhkan diri, khawatir akan segala kemungkinan yang bisa saja terjadi kalau ia sampai sanggup memutuskan tali-tali pengikat dirinya. Orang yang sedang kemasukkan iblis bisa mempunyai tenaga yang tidak
mungkin dipunyai manusia biasa.
"Bangsat kau harimau sial, pergi, pergi! Ini gara-gara si Kahar kambing itu. Siapa minta kau membawa harimau kemari. Ini rumah manusia, rumahku yang kubeli dengan uangku sendiri. Bukan kandang harimau. Bawa dia pergi. Kahar kambing. Dan jangan kauinjak rumahku ini lagi!" Hasbi mengangkat-angkat badannya, membanting ke kiri dan ke kanan.
Ketika Erwin mengeluarkan limau nipis dari kantongnya, Hasbi semakin menggila. Erwin minta diambilkan air putih segelas. Ketika ia memotong jeruk, Hasbi menjerit-jerit, bagaikan dirinya yang diiris.
Erwin memantrai air, lalu menyiramkan isinya ke muka Hasbi, sesudah garam dan jeruk dimasukkan ke dalam. Hasbi melolong panjang, kemudian terdiam lemas, bagaikan orang kehilangan seluruh tenaga.
Erwin memutuskan semua tali pengikat diri Hasbi. Kemudian meminta air putih segelas lagi, diberi garam dan limau yang sebuah lagi. Air itu di-cipratkannya di seluruh kamar, la keluar dan mencipratkan sisa isinya ke segenap pintu.
Hawa panas yang membuat pengap kamar tempat Hasbi
menderita berangsur hilang, digantikan oleh suasana yang wajar bagi ruangan ber-ase.


Memburu Manusia Harimau Seri Manusia Harimau Karya S B Chandra di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Di luar jangkauan berpikir keluarga Hasbi, bekas Bupati itu kini
terbaring di sana dengan badan lemas, tetapi matanya terbuka memandang ke sekitar, la bertanya "Mengapa kalian di kamarku ini?"
Istrinya bertanya "Sudah agak enak Abang rasa?"
Mata Hasbi menunjukkan keheranan "Apa yang agak enak" Aku tak pernah merasa tidak enak. Kau ngawur Diah," kata Hasbi kepada istrinya yang bernama Sadiah. Semua orang heran
mendengar jawaban Hasbi yang tidak pernah merasa sakit. Rupanya semua yang dilakukannya di luar kesadaran. Oleh sangat kuatnya ilmu dukun yang mengirim sejumlah iblis ke rumah itu.
Kini Erwin jadi pembicaraan berbisik-bisik. Yang paling malu adalah Ibu Kapten Kahar dan adiknya Dinar. Yang paling gembira istri Hasbi dan Kapten Kahar.
Erwin mendapatkan kedua sahabatnya yang sudah turut sadar dan mengingat segala apa yang telah terjadi. Erwin memang bukan main, pikir mereka di dalam hati.
"Kau siapa, anak muda?" tanya Hasbi kepada Erwin yang duduk di kursi menghadapi dia. "Kalau keluarga, baru sekali ini kulihat.
Siapa nama ayahmu. Mengapa kau bawa serta?" Sadiah heran mendengar pertanyaan suaminya. Begitu ramah terhadap orang setengah kumal yang tidak dikenalnya. Tidak biasanya dia begitu.
Erwin tidak menjawab. Tak tahu mau memberi jawaban
bagaimana. Bagi seluruh keluarga Hasbi merupakan suatu kenyataan yang amat ajaib, bagaimana laki-laki itu sampai tidak tahu, bahwa ia telah sebulan sakit gila dan berbuat persis orang gila dalam tingkat yang sudah amat gawat.
Mereka juga tidak habis pikir, bagaimana seorang pemuda
kelihatan kampungan dan tidak punya apa-apa, ternyata mampu mengalahkan kekuatan gaib seorang dukun yang telah
menyebabkan Hasbi jadi gila dan beberapa dukun bunuh diri sebagai akibat dari usaha mereka menyembuhkan si sakit.
Hasbi yang rupanya belum puas karena pertanyaannya belum
dijawab, bertanya lagi "Anak muda, pertanyaanku belum terjawab!"
Melihat bahwa dukun yang amat tinggi ilmu itu dalam hal ini tidak mampu mencari jawaban. Kapten Kahar berkata "Masih saudara saya Oom. Baru beberapa hari ini datang dari kampung!"
"Mmm," gumam Hasbi. Tanpa susah-payah ia duduk dan mengulurkan tangan kepada Erwin. Sekali lagi menimbulkan rasa kagum kepada keluarga Hasbi. Apakah ilmu dan pegangan orang muda ini, sehingga seorang manusia yang tadinya sudah di-anggap tak tertolong lagi dan biasanya punya sifat yang angkuh, bisa mendadak berubah jadi laki-laki ramah dan rendah hati.
"Dia tentu membutuhkan pekerjaan. Kahar. Berilah dia tempat di kepolisian. Kalau aku masih berkuasa akan kutempatkan dia di kantorku!" kata Hasbi.
Kapten Kahar tidak menjawab. Tetapi senano melihat Hasbi
bukan saja bebas dari penyakitnya, melainkan juga dari sifatnya yang buruk. Tidak di ragukan lagi, bahwa Erwin punya kekuatan gaib, yang tidak terpancar pada wajahnya dan lebih-lebih tidak bisa kelihatan dari keadaan lahiriahnya.
"Apa kerjamu sekarang?" tanya Hasbi lagi kepada Erwin. Seperti orang yang menaruh perhatian sangat besar atas nasib orang
"kampungan" itu. "Mengembara saja Tuan," jawab Erwin. "Tuan"
Mengapa kau menyebut aku dengan Tuan" Bukankah kau saudara Kahar dan dengan I begitu juga jadi saudara kami," kata Hasbi yang d' jawab dengan "terima kasih" oleh Erwin.
Kapten Kahar permisi kepada Hasbi untuk mengajak Erwin
dengan kedua sahabatnya istirahat di J ruangan lain. Istri Hasbi ikut, karena ia tahu, bah-wa kini tentu urusan upah atau hadiah untuk Erwin.
"Anak telah berjasa sekali kepada kami sekeluarga. Katakanlah berapa kami harus membayar dan apa yang dapat kami lakukan sebagai tanda terima kasih," kata Nyonya Sadiah. Bagi Erwin, di luar dugaan Kahar dan perempuan itu, lagu sema i am itu adalah lagu
lama yang memuakkan. Pertolongan yang tidak akan berhasil tanpa ijin Tuhan selalu disudahi dengan "upah dan bayaran".
"Janganlah bicara upah. Aku bukan kuli harian," kata Erwin dengan sengaja agak kasar. "Iblis iblis itu pun baru keluar dari rumah ini. Masih menunggu kesempatan untuk kembali!" Erwin berkata benar. Dia tahu, bahwa lawannya itu akan berdaya upaya membunuh Hasbi dan dia. Dan kalau tidak ada jalan damai dia akan memperlihatkan, bahwa manusia harimau akan mempertaruhkan nyawa tunggalnya.
0odwo0 DELAPANBELAS MESKIPUN Kapten Kahar Nasution tidak mengerti mengapa laki-laki yang pasti memerlukan uang itu menolak apa yang
dinamakannya upah, namun ia mohon maaf, kalau istri Hasbi telah menyinggung perasaan Erwin.
"Kapten heran mengapa aku menolak uang. padahal aku amat membutuhkannya. Aku sendiri juga heran. Kapten Kahar," ujar Erwin membuat perwira Polisi itu kian tak habis pikir. Disangkanya manusia semacam Erwin hanya ada di dalam cerita, khayalan pengarang untuk mengasyikkan pembaca. Kiranya benar-benar ada dalam kenyataan. Filsafat hidup apakah yang dianut laki-laki ini"
"Tak adakah sesuatu yang dapat kulakukan untukmu?" tanya Kahar.
"Ada, aku tak tahu apakah Kapten akan berhasil!"
"Katakanlah," sela Nyonya Hasbi. Kami akan melakukannya sampai berhasil."
"Tidak marah?" tanya Erwin.
Perempuan dan perwira Polisi itu menidakkan sambil bertanya di dalam hati apa gerangan yang akan dipinta dukun ini untuk dilakukan.
Maka berceritalah Erwin, bahwa di masa pegang kedudukan
dengan wewenang besar Hasbi telah menimbulkan banyak rasa sakit hati kepada rakyat biasa melalui aparat-aparat bawahannya.
Dengan wewenang yang disalahgunakan itu ia telah sangat
memperkaya diri. Sebagian terbesar kekayaannya tergolong haram, kata Erwin. Bilamana ia sembuh ia harus mengembalikan milik-milik rakyat yang dirampasnya dengan cara yang halus berselimutkan apa yang dinamakan berdasar peraturan. Tetapi ada juga yang dengan cara kasar bertulang punggung kekuasaan dan kekuatan, terhadap mana orang kecil tidak berani membangkang. Meskipun tidak secara terus-terang mengaku-, tetapi Sadiah tahu, bahwa apa yang dikatakan Erwin memang benar. Kalau tidak dengan jalan itu, bagaimana pula mereka bisa menjadi sangat kaya raya, mempunyai puluhan hektar tanah, deposit di beberapa bank. Dari mana datangnya semua itu" Jangankan Bupati Gubernur dan Dirjen atau Menteri pun tak kan bisa mencapai itu kalau benar hanya dari penghasilan halal kedudukannya. Entahlah kalau itu harta warisan.
"Kembalikan itu kepada orang yang menderita karenanya," kata Erwin. "Jikalau tidak begitu, maka setelah sembuh ia akan sakit lagi, karena ada saja orang lain yang akan melakukan pembalasan.
Dengan cara kasar atau halus."
Istri Hasbi dan Kapten Kahar berjanji.
Atas desakan petugas keamanan akhirnya Erwin dan kedua
kawannya menerima tawaran Kahar untuk menginap di rumahnya.
Erwin harus dua tiga hari di Lubuklinggau menantikan selesainya pengobatan atas diri pasiennya.
Pada malam itu juga ibu Kapten Kahar dan adiknya Dinar
memperlihatkan sikap yang amat ramah. Kedua wanita itu turut makan bersama Erwin, Datuk dan Koto. Sikap yang lain sekali daripada ketika mereka baru melihat Erwin. Tak suka, bahkan jijik.
Biasa, lumayan banyak manusia yang begitu.
Kapten Kahar selalu membuang pandang kepada Erwin. Betapa besar kekuatan yang dimiliki oleh manusia ini. Betapa pula rendahnya sifat manusia terpelajar yang punya kedudukan
terhormat untuk membimbing dan menaungi rakyat dengan
kedudukan seperti Hasbi. Jelaslah manusia tidak mudah dinilai secara lahiriah. Tidak perdu I i dia apa atau siapa.
Tidak seperti Koto dan Datuk, si manusia harimau tidak mudah memejamkan mata dan tidur. Dia tidak merasa tenang, walaupun telah dapat mengalahkan dukun jahat yang membuat Hasbi gila. Dia merasakan, bahwa orang yang pasti hebat itu tidak akan berhenti sampai di situ.
Dan apa yang diyakini Erwin itu sesungguhnya terjadi, la merasa hawa di dalam kamar yang luas itu pelan-pelan menjadi panas dan kian panas. Dia juga merasakan ada yang lain di kamar itu. Bukan hanya karena mereka bertiga. Tetapi apa yang lain itu tidak tampak oleh Erwin. Kehadirannya pasti, entah apa.
Tiba-tiba Koto terpekik. Datuk terbangun. Erwin bertanya kepada Koto ada apa, tetapi kawannya itu tidak menjawab, la tidak berkata, tidak mengaduh bahkan bernapas pun tidak. Koto telah tiada. Erwin lantas tahu, bahwa yang mencabut nyawa Koto pastilah "orang" lain yang ada di kamar itu. Datuk ketakutan, sementara Erwin meminta supaya Datuk jangan panik. Jangan sampai menyebabkan Tuan rumah turut terkejut pula.
Karena lampu listrik yang menerangi kamar itu tidak dipadamkan, maka mereka dapat melihat wajah Koto dengan jelas, la yang berkulit cerah seperti sawo matang telah berubah warna menjadi hitam legam seperti arang. Tandanya ia bukan mati secara wajar.
"Ada iblis di kamar ini," kata Erwin. Kalau dia manusia tentu kelihatan. Aku merasakan bahwa dia masih ada." Datuk tambah takut. Dia tidak punya ilmu tinggi terhadap setan dan iblis.
Kekuatannya terletak pada berpencak silat. Sama seperti Koto.
Apakah dia akan menerima gilirannya"
"Kalau kau jantan, perlihatkan dirimu, pengecut," kata Erwin. la sangat penasaran. Iblis ini pasti kiriman dukun yang membuat Hasbi gila. Dia ingin membinasakan Erwin yang telah berani menentang dia. Karena mengetahui, bahwa Erwin bukan manusia yang mudah
dikalahkan dan sama sekali tak kan mau mengalah, maka ia telah meminta bantuan gurunya. Yang hendak dibunuh sebenarnya Erwin, tetapi bentengnya tak tertembus oleh iblis yang dikirim Maribun ke kamar pemuda kampung itu. Dan sudah terbiasa di dalam
menembakkan ilmu gaib, orang yang tidak dimaksud menjadi
korban, karena ilmu atau pesuruh yang ditugaskan tidak mampu membayar sasarannya.
Ketika Erwin dan Datuk menghadapi Koto de ngan perasaan
sangat terpukul, terasa ada hembusan angin. Tak lama kemudian disusul oleh suatu jeritan melengking. Dja Lubuk, ayah Erwin telah berdiri di sana dalam bentuknya sebagai manusia. Orang tua itu bergerak cepat kian kemari, seperti orang gila gayanya, karena lawannya tidak tampak.
"Obati dia," bentak Dja Lubuk. Tetapi dia hanya disambut dengan gelak cemooh oleh lawannya. Kelihatan Dja Lubuk berkeringat dan napasnya turun naik buru-memburu. Nasib baik bagi si manusia harimau, tanpa sengaja terpukul olehnya kelemahan dukun yang tidak kelihatan itu. Dugaan Erwin bahwa yang masuk kamar itu iblis kiriman, mungkin benar. Tapi Dja Lubuk bertarung dengan si dukun sendiri, la atau suruhannya tak mampu melawan pertahanan Erwin, maka Koto yang dibunuh kawannya pun jadilah, pikir Maribun. Erwin pasti akan sangat sedih dan panik. Bagi Maribun lebih mudah mengalahkan orang panik dan gugup da ripada musuh yang dengan tenang mengatur lang kah dan sepak terjangnya.
Tiba-tiba Dja Lubuk berhenti bersilat dengan napas yang
terengah-engah. Selama pertarungan] yang bagaikan tanpa lawan itu ia beberapa kali jatuh berdebap. Tidak diragukan lagi bahwa musuh ini mempunyai kekuatan luar biasa. Rupanya hd ruk-pikuk di kamar Erwin itu terdengar juga oleh Kapten Kahar yang lalu bergegas ke sana. Datuk membuka pintu dan perwira itu segera mengetahui bahwa Koto telah meninggal dunia. Sebabnya b<-
Iiim diketahui secara pasti, tetapi bukan oleh serangan jantung mendadak. Dja Lubuk sudah pergi dengan berpesan kepada
anaknya agar sangat waspada.
"Amang pun kepayahan, sayang. Ini kesempatan besar tetapi juga penuh risiko bagimu menguji diri," pesan Dja Lubuk.
Berkata Erwin kepada Kapten Kahar, "Sebenarnya saya yang dituju, tetapi ia salah ambil. Mestinya kami tidak tidur di sini. Kapten terlalu baik, sekarang jadi merepotkan!"
"Jangan berkata begitu," ujar Kapten Kahar. "Tiada pekerjaan yang terlalu berat bagi seseorang, siapa pun dia, yang telah tiada Erwin. Apa yang kita lakukan adalah perbuatan terakhir yang dapat kita lakukan bagi hamba Allah yang sudah dipanggil Yang
Empunya." Lega sedikit hati Erwin dan Datuk.
"Apakah jenazah kawan kita ini perlu divi-sum?" tanya Kahar.
"Saya rasa tidak," jawab Erwin. "Kita periksa saja badannya, kalau-kalau ada meninggalkan bekas." Bekas itu memang ada.
Bukan berupa tanda berwarna biru atau merah, yang kata setengah orang bekas kecupan setan. Yang tampak pada leher Koto empat bekas gigitan kecil, dua sebaris. Gi-jitan ular. Rupanya ada ular dikirim masuk kamar itu. Diperintahkan menggigit Erwin, tetapi ia tak mampu melaksanakannya. Yang digigit leher Koto. Itulah yang membuat dia menjerit tadi, tetapi sekaligus juga mencabut nyawanya dari tubuh yang tidak berpagar itu.
"Siapakah yang telah begitu kejam melakukan pembunuhan ini.
Bukankah kawan kita ini tidak punya kesalahan kepada si
pembunuh?" kata Kap ten Kahar. Erwin menjawab, bahwa yang ditujui ular suruhan itu bukan Koto, sebagaimana telah dikatakannya juga tadi.
"Tetapi orang ini telah jadi pembunuh. Harus ditangkap," kata Kapten Kahar yang agak emotil karena terjadi di rumahnya dan sebagai hamba hukum merasa berkewajiban menangkapnya.
Tetapi! siapakah orang itu, tak jelas bagi Kahar.
"Berkata Erwin, "Andaikata pun kita ketahui orangnya, hanya andaikata, bagaimanakah menimpakan kesalahan atas dirinya.
Adakah bukti untuk itu?" Kapten Kahar terdiam. Memang tidak ada bukti. Yang membunuh Koto seekor ular. Bagaimana membuktikan
bahwa ular itu punya kaitan apalagi suruhan seseorang"
"Ya, memang berat. Kejahatan, termasuk pembunuhan yang dilakukan melalui ilmu hitam, di antaranya dengan menyuruh piaraan, sangat sukar diJ buktikan untuk dapat dijadikan alasan menangkapi si pelaku," kata Kapten Kahar mengakui. "Terserah Saudara," katanya lagi setelah mengetahui, bahwa Erwin punya kekuatan gaib untuk menghadapi semacam itu.
"Apa ular itu sudah pergi?" tanya Datuk yang kini baru teringat kepada ular yang menewaskan sa habatnya. Bersamaan dengan itu dia jadi takuti kembali. Bukan mustahil ular itu mendadak meng gigit dia pula dan ia menemukan nasib sama dengan Koto. Rupanya Kahar dan Erwin pun baru ingat lagi kepada si pembunuh, setelah Datuk menyebutnya. Erwin lalu mencari-cari dan akhirnya ketemu.
Tempatnya bukan tanggung-tanggung. Di dalam saku kemeja
Erwin yang digantungkan pada sangkutan baju di tembok.Sudah mati.
"Ini dia," kata Erwin mengeluarkan seekor ular kecil dari saku tempatnya menyudahi hidup.
Kapten Kahar dan Datuk memandang, tanpa tanya, tetapi ingin penjelasan. Kata Erwin, ular itu tak berhasil menggigitnya. Untuk itu ia harus mati, hukuman si pemilik atas pesuruhnya yang tidak berhasil melaksanakan tugas.
"Apakah itu ular biasa?" tanya Kapten Kahar. Erwin menerangkan, memang ular biasa yang sangat berbisa. Kalau ia ular siluman, ia sudah tidak ada di sana. Kapten itu lalu bertanya, kalau begitu, bagaimanakah dia masuk. Diterangkan oleh Erwin, bahwa untuk masuk ia dapat bantuan dari yang menyuruh, la sama sekali tidak kelihatan, sehingga tanpa kesulitan apa pun dapat masuk melalui pintu. Tetapi karena tidak dapat melaksanakan tugas, maka untuk pulang ia tidak dibantu lagi. Dan ia tahu, bahwa ia harus mati, sesuai dengan janji antara majikan dan pesuruh, la masuk ke dalam saku Erwin dengan harapan semoga orang itu bisa mati karena terkejut. Sehingga masih dapat memberi bakti terakhir kepada sang
majikan, walaupun ia telah mati. Tetapi harapannya itu pun tidak jadi kenyataan, karena Erwin hanya terkejut sedikit saja.
Cerita Erwin mengenai ular dan majikannya itu membuat Pak Kapten hanya bisa mengangguk-angguk. Segala hukum yang
diketahuinya tidak punya arti apa-apa di dalam kasus ajaib semacam ini.
"Apa yang dapat kita lakukan?" tanya Kahar dalam keadaannya sebagai Tuan rumah. Erwin mengusulkan untuk mengurus jenazah dahulu sampai selesai pemakamannya. Setelah itu nanti baru dipi kirkan.
Koto yang asal Minang telah dikebumikan dengan sempurna,
dihadiri banyak pelayat dan pengantar, karena Kapten Kahar Nasution menerang kan bahwa Koto masih saudaranya.
Datuk yang merasa bertanggung jawab kepada keluarga Koto
karena ia orang yang dituakan di kampung sangat dendam kepada dukun yang mengirim ular itu, tetapi tak dapat berbuat apa-apa, karena tidak mengetahui siapa dan di mana orangnya.
"Aku tahu perasaan Datuk," kata Erwin, "ber-tenang dan berdoalah, akan kita selesaikan sampai tercapai keadilan."
"Beri aku kesempatan untuk membunuhnya," kata Datuk.
"Kita harus mengetahui kekuatannya secara sempurna, kalau kita tidak mau gagal. Salah-salah, kita pun akan dimakannya," kata Erwin.
Ketika mengantar ke pemakaman, Erwin merasa bahwa yang
menyebabkan kematian Koto berada di sekitarnya. Di antara orang yang turut ke pe kuburan. Apa maunya" Erwin membisikkan kepada Datuk dan berpesan supaya dia waspada.
Ketika jenazah akan diturunkan ke bumi, memang terjadi hal yang amat mengejutkan. Menimbulkan rasa takut di antara
sementara hadirin dan menjadi bisik-bisik di antara mereka. Banyak yang memandang ke arah Kapten Kahar. Dari lubang kubur ke luar seekor ular besar sambil mendesis desis.
0odwo0 SEMBILANBELAS DUA orang penyambut jenazah di liang lahat yang paling
terkejut, tetapi ular itu tidak mengganggu. Orang-orang di atas pun tidak ada yang dikejar, la berlalu dari lubang itu dengan tenang, diikuti oleh puluhan pasang mata. Mereka jadi herani lagi, ketika mendadak ular itu hilang begitu saja. Badannya sebesar lingkaran betis orang gemuk, sementara panjangnya diperkirakan tak kurang dari empat meter. Bukan ular sendok. Warnanya hijau dan kuning mengkilap.
Seorang pengantar jenazah berbisik kepada Erwin, "Pertanda apakah itu, dukun kawakan?" Erwin tidak mengenalnya, dan ia bertanya dengan bibirnya mencibir sinis. Anak Dja Lubuk tidak menjawab. Tetapi ia tahu, bahwa orang itu bukan sekedar bertanya.
Melihat Erwin diam saja, rupanya ia tidak puas lalu menambahkan,
"Kalian turun-temurun manusia harimau, hah! Ayahmu si Dja Lubuk itu, hebat juga." Kini tanpa menunggu jawaban ia berlalu. Tidak ada orang memperhatikannya, juga Erwin tidak. Tetapi sesaat kemudian diketahuinya bahwa orang misterius itu sudah tak ada lagi di antara mereka.
Setelah ular menghilang, jenazah Koto diturunkan. Kelihatan sebagian besar dari mereka ingin bergegas, terutama yang berada di liang kubur. Penimbunan pun dipercepat. Yang tak kurang berpikirnya daripada Erwin adalah Kapten Polisi Kahar. Apakah artinya ini semua dan apakah lagi yang bakal terjadi" Kemarin malam ada ular kecil tetapi dengan bisa mematikan masuk kamar lalu membunuh Koto. Kini keluar seekor ular besar dari liang kubur, tetapi tidak mengganggu. Meskipun tak masuk akal sementara orang yang tidak pernah melihat keajaiban semacam itu, tetapi bagi Kapten Kahar sudah semakin jelas bahwa cerita-cerita seperti itu bukan khayalan.
Ketika orang tak dikenal berbisik pada telinga Erwin tadi, hanya
Datuk yang memperhatikan, tetapi kemudian tidak lagi, karena ia turun menurunkan jenazah sahabatnya. Hatinya amat pilu. la berangkat berdua dari kampung, tetapi kelak akan pulang sendiri, kalau ia masih akan kembali ke kampungnya. Kalau ia tidak menemui nasib seperti Koto. Kemungkinan itu besar sekali. Jangan-jangan ular besar dari liang lahat itu nanti yang akan mendatangi dia dan membunuhnya dengan cara lain. Rasa sedih berbaur
dengan rasa takut. Ketika telah selesai pembacaan talkin bagi yang pergi untuk selamanya, mereka semua pulang. Erwin jalan seiring dengan Kapten Kahar, yang dipenuhi berbagai malam pertanyaan, tetapi belum dapat disampaikan kepada Erwin. Datuk tidak pernah jauh dari Erwin, seolah-olah manusia yang sama-sama hamba Allah seperti dirinya sendiri dapat memberinya perlin-dungan terhadap bencana yang tak terlawan oleh manusia biasa bahkan tak dapat ditakuti dengan senjata.
Tenangkanlah hati Datuk' bisik Erwin kepada orang Minang yang telah kehilangan teman akrabnya itu.
"Hatiku sangsi, seperti masih ada saja bahaya mengancam!" kata Datuk.
"Memang begitu, tetapi kalau kita gugup ia semakin mudah menyerang. Dari dalam atau dari luar. Maka pertenanglah diri dan jangan berhenti menyebut nama Allah. Dialah yang melihat semua dan Dia pula yang Maha Pelindung."
"Apa akan kukatakan di kampung nanti?" Datuk malu dan bingung, walaupun belum tentu apakah dia masih dapat
kesempatan menginjakkan kaki di kampungnya.
Tiba di rumah, suatu musibah lain sudah menantikan Kapten Kahar dan kedua tamunya, Erwin dan Datuk. Seorang keluarga yang tidak kuat menahan emosi, menceritakan, bahwa adiknya Dinar Nasution kemasukan setan. Sejak tadi menangis | dan menjerit-jerit.
Ketika itu pula Dinar mengeluarkan jerit melengking yang tidak seperti biasa. Menegakkan bulu roma. Kapten Kahar bergegas ke kamar adiknya untuk melihat pandangan yang sangat mengejutkan dan menakutkan. Dinar telentang ke jang di ranjang, muka pucat
bagaikan mayat. Mulutnya ternganga lebar, mengeluarkan jerit panjang, panjang sekali. Tak mungkin dilakukan oleh manusia tanpa kekuatan iblis yang memasuki dirinya
Erwin baru masuk setelah dipanggil sendiri oleh Kapten Kahar yang kebingungan. Inikah arti ular yang keluar dari liang lahat tadi"
Mengapa harus begini. Apa kesalahannya" Lebih-lebih apa
kesalahan adiknya Dinar" Buatan orang jahil, pasti orang lahil.
Tetapi apa yang dapat dilakukan atas pembuatnya. Dan siapakah yang melakukannya. Bagaimana membuktikannya"
"Hanya kau yang dapat menolong, Erwin," kata Kapten Polisi yang merasa dirinya punya kedudukan tak berdaya.
"Tidak," jawab Erwin. "Saya hanya Ikhtiar, tak lebih daripada itu.
Berhasil atau tidak, sepenuhnya di tangan Tuhan!"
"Tolonglah, adikku hanya dia seorang," pinta Kapten Kahar.
"Kalau bisa dipindahkan, biarlah aku menggantikannya." Dia memang sangat sayang kepada adiknya yang hanya sebiji itu.
Tak masuk akal, tetapi ada selama lima menit Dinar melengking panjang. Ketika ia mengatupkan mulut dan jerit terhenti, maka warna wajahnya berubah warna jadi hitam-legam. Padahal ia biasanya berwarna putih-kuning dan tadi putih-pucat.
Ibu Dinar tidak bisa berbuat apa-apa selain menangis terisak-isak. Hanya itu. Hatinya kecut. Bingung bercampur takut. Baru malam kemarinnya Koto mati digigit ular. Kini anaknya dimasuki iblis atau jin. Pada waktu itu hatinya mengutuk kehadiran Erwin, Koto, dan Datuk di rumah itu. Pada waktu itu dia lupa, bahwa dia juga orangnya yang kemarin dari benci sangat hormat kepada Erwin.
Karena Erwin yang menyembuhkan Hasbi dari kegilaannya.
Perempuan itu memandang Erwin yang sedang menghadapi
anaknya. Erwin juga melempar pandang kepada ibu Dinar, sehingga keduanya bertemu pandang. Buru-buru perempuan itu
menundukkan muka, merasa bahwa Erwin yang pandai itu,
membaca apa yang tersirat di dalam hatinya. Pada waktu itu perempuan setengah baya itu berdiri dan menghambur ke luar
kamar, mengejut-herankan Kapten Kahar dan beberapa keluarga yang ada di sana. Kapten Kahar mengejar dan mengikuti ibunya ke kamar lain, tempat ia menangis tersedu-sedu. Kahar bertanya mengapa ibunya mendadak bersikap begitu aneh.
Jawab ibu Dinar, "Entahlah. Aku berburuk sangka kepada orang-orang yang kau bawa tidur di sini. Sekarang aku merasa bersalah."
"Sudahlah, Ibu sedang gugup. Mereka orang baik. Seorang kawan mereka sudah jadi korban kejahatan dukun jahil, la marah karena Erwin mengobati Pak Hasbi. Hendak membalas Erwin tetapi tidak termakan olehnya. Lalu dia menyerang kawannya yang malang itu. Tenanglah, mudah-mudahan Erwin dapat menolong kita. Aku, jangan Ibu harapkan dalam hal ini. Aku tidak punya kekuatan apa pun." Atas bujukan Kahar, perempuan itu kembali ke kamar Dinar.
Dia masih dalam keadaan kejang, tetapi mukanya tidak hitam-legam lagi. Ibu dan kakak Dinar merasa agak lega. Perempuan itu semakin menyesal mengapa ia harus mencurigai Erwin.
Mengapa gadis tidak bersalah itu harus dikirimi jin" Kahar tidak lekas mengerti, tetapi Erwin segera dapat memastikan, bahwa pembalasan dilakukan atas diri Kapten Kahar melalui penderitaan adiknya karena dialah yang membawa Erwin ke rumah Hasbi untuk mengobatinya. Kalau tidak karena itu, maka dukun itu tidak punya sebab untuk sakit hati kepada Kapten Kahar.
Dalam hati perwira Polisi itu mengambil keputusan untuk mencari dan membinasakan sang dukun jahil, kalau adiknya sampai mati oleh perbuatannya yang terkutuk itu.
"Bisakah adikku ini ditolong Erwin?" tanya Kapten Kahar.
Erwin menjawab lagi, bahwa ia hanya berikhtiar dan tidak
menentukan apa-apa.
"Tetapi kau bisa tahu siapa yang melakukan, bukan?"
"Kalau sekedar itu, kurasa bisa. Dia tadi bersama kita ke pemakaman. Kapten pun agaknya melihat dia tadi!" Tetapi Kahar tidak bisa ingat yang mana orangnya.
"Bukankah seorang kawan kita sudah tewas, mengapa dia masih mengganggu?" tanya Kapten Kahar. Dijawab oleh Erwin bahwa seorang dukun yang penasaran tidak mudah menghentikan
pembalasannya. Kalau dia tergolong yang sadis, dia akan serang siapa saja yang dianggapnya bersekongkol menentang dia. "Bukan tidak boleh jadi, dia nanti mengarahkan pukulannya terhadap Kapten. Boleh jadi juga terhadap Ibu Kapten. Tetapi kita akan coba membendungnya!"
Dinar kelihatan tenang, tetapi tanpa diduga, mendadak ia
menjerit panjang lagi, lalu membanting-banting badannya.
Kemudian ia tertawa terbahak-bahak. Penyakit yang tadinya diderita Hasbi kini telah berpindah kepada diri Dinar. Tidak cukup sekian, tiba-tiba gadis itu bangkit dengan tampang ganas mata terbelalak lebar, la menuju abangnya yang terpaksa menjauhkan diri karena melihat bahwa adiknya sangat marah kepadanya. Bagi pandangan sang perwira, mata adiknya itu memancarkan api. Kedua tangannya dalam posisi siap untuk mencekik.
"Mengapa kau Dinar!" teriak Ibunya. "Mau membunuh laki-laki ini. Dia yang membawakan lawan untukku. Dia pikir dia cerdik minta bantuan kepada si manusia harimau jahanam itu. Dia keliru.
Mestinya Kahar tidak campur tangan. Dan semua ini tidak akan terjadi. Tetapi kini sudah terlambat. Dia harus dihukum, sebagai tumbal bagi nyawa si manusia harimau yang sangat disayanginya itu." Jelas. Kata-kata Dinar yang mewakili jin yang dikirim oleh dukun Maribun bisa dimengerti oleh siapa pun yang mendengar.
Erwin tahu, bahwa nyawa Kahar terancam. Kalau iblis yang
bersarang di tubuh Dinar sampai mencekik lehernya, maka ia tidak akan tertolong. Satu kota, bahkan satu propinsi akan gempar.
Seorang gadis mencekik mati kakak kandungnya yang Kapten Polisi.
Erwin menghadang Dinar sambil membaca-baca dan meniup
muka gadis kemasukan itu. Tetapi Dinar melawan. Dengan kedua belah tangannya ia mendorong Erwin yang membuatnya pun heran sambil sangat terkejut dan terlempar beberapa meter. Kapten Kahar jadi tambah takut. Kali ini perwira yang tidak pernah gentar
menghadapi penen-tang penentang hukum bagaimanapun
hebatnya, merasa ketakutan, la begitu cinta kepada adiknya ilan kini adik tersayang itu hendak membunuhnya. Rasa sayang itu saja membuat ia tidak mungkin melawan. Lalu, akan menyerah kepada nasib sajakah" Membiarkan diri dibunuh oleh adik kandung yang sedang mewakili dukun yang mengirim iblis ke dalam diri Dinar"
Dan kalau gadis itu sudah sembuh kembali, akan bunuh diri atau hidup menderita sepanjang umur, karena ia telah menewaskan ibang terkasihnya"
Erwin yang jatuh segera bangkit, kini bukan lagi manusia Erwin tetapi telah menjadi harimau berkepala manusia. Semua terjadi begitu cepat. Semua hadirin geger dan menghindar, tetapi sebagian besar di antara mereka mengetahui, bahwa apa yang sedang terjadi adalah suatu keajaiban yang lebih baik tak usah dipertanyakan mengapa bisa terjadi begitu, karena tidak dapat dipecahkan oleh hukum akal semata-mata.
"Jangan kalian takut," kata Erwin yang sudah bertubuh harimau itu. "Aku tidak akan mengusik kalian." Dinar tertawa-tawa besar melihat lawan yang menghadang dirinya.
"Kau tak mampu menyembunyikan rahasiamu lagi, hah!" kata Dinar. "Kasihan. Kau merasa malu, tetapi tidak dapat menutupi aibmu. Sekarang semua orang tahu, bahwa kaulah yang iblis. Bukan aku. Aku ini manusia baik-baik yang berilmu dan menjalankan tugas kemanusiaan. Aku wajib membunuh makhluk yang seperti kau ini.
Manusia bukan, hewan bukan pula." Kata-kata yang dilontarkan Dinar memang menimbulkan rasa malu pada diri Erwin yang masih berpikir wajar sebagai manusia.
"Keluar dan hadapilah aku sebagai jantan," kata Erwin dengan tujuan supaya Dinar terbebas dari jin yang dikirim Maribun.
"Mengapa aku mesti keluar," jawab si jin "nyaman tinggal di dalam diri wanita secantik ini. Bunuhlah aku! Tapi kau tidak berani.
Membunuh aku berarti kau membunuh Dinar yang adik sahabatmu si Kahar jahanam itu."
Apa yang dikatakan jin itu memang benar. Kalau Erwin
membunuhnya, Dinarlah yang akan mati sementara dia akan
menyelinap ke luar tatkala tubuh tempatnya bersarang itu sedang sekarat. Erwin segera paham, bahwa lawannya ini bukan saja sangat tangguh, tetapi juga luar biasa cerdik.
Si manusia harimau kehilangan akal. la haru? mengeluarkan jin itu dari tubuh Dinar. Ini hama Tiap iblis, setan atau jin punya kelemahan yang berbeda satu dengan lainnya. Kalau tepat caranya jin akan dapat dihalau dengan hanya sebutir lada putih. Bisa juga dengan sesiung bawang putih!
Erwin mendengar suatu bisikan di telinganya Itu suara Datuk nan Kuniang yang sudah lama tidak mendatanginya. Datuk yang
dimakamkan di sebuah pekuburan daerah Kebayoran Lama ini
beberapa kali menolong Erwin, karena Dja Lubuk dan Raja Tigor sahabat-sahabatnya yang sangat akrab. Bisikan itu begitu pelan, sehingga Erwin pun tidak segera dapat menangkapnya.
"Aku punya nama, walaupun aku bukan manusia dan bukan hewan seperti katamu. Tetapi kau tl dak punya nama. Karena kau hanya jin atau iblu yang hina," kata Erwin memanasi. Dinar tertawa
"Kau kata aku tidak punya nama" Kau mau tahu" Semua orang kenal. Akulah Maribun, yang tidak terlawan oleh kekuatan apa pun di bumi ini!" Tampang Dinar memperlihatkan kesombongan, membangkitkan kejijikan. Dinar gadis yang sebenarnya mempunyai paras menawan itu.
Bisikan halus itu terdengar lagi ke telinga Erwin. Sekarang ia memasukkan tangan kanannya ke ketiak kiri Dinar, memijitnya sekuat tenaga. Ketika terasa sebuah biji kecil keras, ia menekannya semakin kuat. Dinar menjerit-jerit, meronta-ronta lalu terkulai pingsan. Jin itu telah keluar. Buat sementara Dinar bebas, tetapi Erwin merasakan, bahwa pertarungannya masih jauh daripada selesai.
0odwo0 DUAPULUH MEMANG bagi yang melihat, menjadi lemasnya Dinar merupakan tanda kemenangan Erwin dalam bentuk dirinya yang sangat
mengerikan itu. Tetapi mereka sudah tidak takut, karena ialah menjadi harapan dan pejuang mereka dalam menghalau jin yang bersarang di dalam tubuh gadis itu. Dalam hati Erwin berharap agar ia segera menjadi manusia biasa kembali, karena sesungguhnyalah ia sangat malu dengan keadaannya yang seperti itu. Tetapi harapannya tidak terkabul dan ia tidak dapat semaunya mengubah diri jadi harimau atau jadi manusia kembali.
Erwin memandang sedih ke sekelilingnya seperti mau melihat dan membaca muka dan hati mereka masing-masing. Dia kasihan kepada dirinya sendiri, tetapi ia tidak mengharapkan belas kasihan dari mereka. Bahkan dialah yang kasihan kepada mereka, karena telah membuat mereka terkejut dan semula tentu ketakutan.
Siapalah orangnya yang tidak akan ketakutan melihat seorang manusia mendadak berubah jadi harimau berkepala manusia.
Melihat Erwin memandang, semua yang hadir menundukkan kepala.
Rasa kasihan, rasa hormat dan mungkin juga masih bercampur lagi dengan sedikit rasa takut yang mereka ketahui tidak pada
tempatnya, tetapi tidak dapat dibuang begitu saja dari perasaan.
Mungkin di luar sadar, Erwin berkata, "Aku menyesal, kalau keadaanku ini membuat kalian semua merasa takut. Kalian tahu, aku tidak punya maksud untuk menakuti kalian. Tetapi aku juga tidak mampu melawan nasib yang telah ditentukan bagi diriku!"
Yang mendengarkan semua terharu. Ibu Kahar bergerak maju, memegang dan mencium tangan Erwin dalam bentuk kaki depan harimau.
Kahar membiarkan, agak lega atas sikap Ibunya yang
menunjukkan kekhilafan penilaian terhadap diri Erwin. Si manusia harimau juga terharu.
Dalam keadaan mengharimau itulah Erwin memakai sebagian
dari kemampuannya untuk mengembalikan Dinar kepada gadis
normal. Pelan-pelan ia membuka mata dan beruntung sekali, ia
tidak menjerit atau takut melihat makhluk itu duduk di hadapannya, la memandang lama, kemudian tersenyum. Erwin juga senang
dengan ketenangan Dinar, tetapi kemudian senyum gadis itu membangkitkan suatu rasa takut pada dirinya sendiri, sebagaimana telah beberapa kali dialaminya. Padahal mereka melihat kenyataan bahwa dia hanya pemuda miskin dan beberapa di antara mereka bahkan melihat bahwa dia manusia dengan tubuh harimau, ada waktu melihat Dinar tersenyum, maka Erwin lah yang berdoa, agar jangan sampai terjadi pula lagi alangan beberapa bencana cinta-tak-normal atas dirinya.
Yang sangat menakjubkan, Dinar yang baru ditinggalkan jin, bukan hanya tersenyum ramah, tetapi beberapa saat kemudian malah berkata pelan, namun cukup jelas untuk didengar semua yang ha dir, "Abang Erwin hebat sekali. Bagaimana Abang membuat diri Abang jadi harimau begini" Abang mau mengajarkan ilmunya kepadaku nanti?"
"Istirahatlah. Kau perlu istirahat," kata Erwin' sebagai jawaban.
"Aku akan istirahat, kalau Abang berjanji mengajarkan ilmunya!"
"Baiklah," jawab Erwin untuk menghentikan cerita yang tidak lucu itu.
Tetapi jawaban itu membuat Dinar meneruskan, "Jadi aku nanti juga bisa jadi harimau seperti Abang. Mama dengar itu?" tanya gadis itu kepada Ibunya. Yang ditanya diam. Sedih, mengapa anak nya jadi punya kemauan begitu. Dan mulai pula datang kembali dugaan yang tidak sehat di dalam hatinya. Mestinya Dinar takut, tetapi dia tersenyum. Dia pun ingin pula jadi wanita mengerikan.
Bayang kan, kalau Dinar punya tubuh harimau, menjadi wanita harimau. Apakah Erwin mempunyai dan mempergunakan ilmunya membuat Dinar menyenangi dirinya, walaupun ia jelas-jelas bukan manusia normal"
"Jangan berpikir begitu Nyonya," kata Erwin. Di luar dugaan Ibu Dinar dan tidak dimengerti oleh Kahar yang juga mendengar ucapan Erwin.
Perempuan yang tidak berpikiran stabil itu terkejut dan kini takut melihat Erwin yang mungkin marah dan melakukan pembalasan, la tidak lagi lari seperti pernah dilakukannya tadi, juga tidak minta maaf karena pikiran buruknya dibaca oleh Erwin. Tetapi ia menangis tersedu-sedu, menimbulkan tanda tanya lagi pada keluarganya yang ada di sana. Apakah yang dipikirkannya sehingga manusia harimau itu sampai berkata agar dia jangan berpikir begitu"
"Mengapa Abang berkata begitu kepada Mama?" tanya Dinar.
Erwin tidak menjawab, tetapi meneruskan usahanya dalam
memulihkan jalan pikiran dan keadaan tubuh Dinar.
Erwin kian gelisah, walaupun keadaan Dinar terus membaik
secara perlahan, karena dirinya belum juga kembali jadi manusia.
Rupanya hal ini dilihat dari jauh oleh dukun berilmu sangat tinggi Maribun yang mengirim ular dan jin ke rumah Kapten Kahar dan pekuburan tempat tubuh Koto disimpan untuk selamanya. Karena dia bukan hanya hebat dalam ilmu gaib tetapi juga cerdik berpikir, maka ia buru-buru menelepon ke Kantor Polisi bahwa di rumah Kapten Kahar sedang bersembunyi seekor harimau yang lebih ganas dari harimau biasa. Kalau tidak segera dibinasakan, maka ia akan mengambil banyak korban di Lubuk-linggau. Dia juga menceritakan, bahwa harimau yang lain daripada siluman itu tela h melakukan teror di Jakarta, Surabaya, Ujungpandang, Medan, dan Palembang.
Komandan jaga tidak percaya, karena rumah yang disebutkan pelapor adalah tenpat tinggal seorang perwira Polisi. Tanpa ragu-ragu Maribun menjelaskan, bahwa dalam soal ini tidak ada kaitan dengan jabatan Kapten Kahar, tetapi makhluk yang sangat
berbahaya itu sedang bersembunyi di sana. Mungkin juga dilindungi oleh Kapten itu. Polisi sebagai pelindung masyarakat harus mengambil tindakan.
"Kalau tidak percaya, datanglah kemari. Yang melapor ini Maribun! Kalian tidak kenal" Apakah orang semacam aku membuat laporan palsu?" kata Maribun dengan nada mulai marah.
Maribun memang cukup dikenal. Bukan hanya sebagai dukun,
tetapi lebih-lebih lagi sebagai orang dermawan.
Maribun ingin membinasakan musuhnya melalui tangan resmi, pihak yang berwajib memelihara keamanan dan ketertiban.
Pengaduannya agak meragukan, tetapi sekaligus juga menimbulkan rasa takut. Kalaulah benar ada harimau yang melebihi harimau siluman bersembunyi di rumah Kapten Kahar, maka hewan itu harus dibinasakan, sebelum ia mengambil korban di kota itu.
Kapten Kahar terkejut, ketika mendapat laporan dari pemelihara pekarangan bahwa satu regu Polisi telah datang dan komandannya angin bertemu dengan Kapten Kahar.
Siapakah yang telah memberi laporan kepada Polisi, tanya
Kapten Kahar pada diri sendiri tanpa mampu memberi jawaban, la amat marah dan sakit hati. la buru-buru ke pintu pagar pekarangan, mendapat hormat dari seorang Letnan Polisi yang memimpin
pasukan, la tidak berani langsung masuk pekarangan, karena hal ini menyangkut atasannya yang bertempat tinggal di sana.
"Ada apa Let?" tanya Kapten Kahar menahan emosi yang bangkit di dalam dirinya. Sang Letnan yang bernama Jaya menyampaikan laporan yang diterima Polisi dan menyebutkan nama pelapor.
"Itu bohong. Apa maunya orang ini memberi laporan yang tidak benar dan bisa menimbulkan ketegangan. Bangsat betul. Masukkah di akalmu di sini ada harimau" Dari mana datangnya. Gila, orang itu gila dan kalian mau pula percaya kepada provokasi orang gila!" kata Kapten Kahar. Dia marah sekali. Melihat ini si Letnan jadi ragu-ragu.
Mustahil Kapten Kahar berdusta, kalau benar ada harimau yang tentu membahayakan keselamatan mereka sekeluarga.
Sejumlah Polisi telah mengatur posisi masing-masing dalam pengepungan. Hanya menunggu perintah dari komandan
penyerbuan. "Pak Kapten yakin tidak ada bahaya" Tidak ada harimau"
Katanya harimau yang lain lagi dari siluman," lanjut Letnan Jaya.
"Betul-betul gila. Akan kupanggil pelapor edan itu nanti. Aku
cuma tahu harimau di hutan. Tidak percaya siluman segala. Kau percaya?"
"Tidak Pak, cuma dengar dari cerita-cerita."
"Dalam dongeng memang ada. Hanya khayalan penulis," Kapten Kahar tertawa. Walaupun hanya tawa yang dibuat. Si Letnan memberi hormat lagi dan memerintahkan anak buahnya untuk
kembali. Kapten Kahar merasa lega dengan kepergian si Letnan, tetapi juga merasa bersalah karena ia berdusta. Tiada pilihan lain baginya daripada berdusta.
la kembali ke kamar adiknya, tempat Erwin masih saja dalam keadaannya seperti tadi. Meskipun tidak melihat sendiri, ia tahu, apa yang baru saja dihadapi oleh Tuan rumah yang baik hati dan telah jadi korban dukun Maribun. Dia ingat baik-baik nama itu.
Karena Dinar sudah tertidur tenang, Erwin minta diri untuk kembali ke kamarnya bersama Datuk, yang dirasuki berbagai macam perasaan. Untuk kedua kalinya dia melihat manusia jadi harimau. Tempo hari di Panorama Bukittinggi disaksikannya Dja Lubuk yang mengharimau ketika bertempur dengannya. Kini ia menjadi saksi lagi dari kejadian serupa atas diri Erwin. Tetapi rasa takut sudah tidak ada. la tahu bahwa masih banyak petualangan di hadapannya, barangkali juga kemati-annya, tetapi ia bangga telah bersahabat dengan Erwin, walaupun seorang sahabat telah pergi.
Akhirnya kematian seseorang bisa terjadi di mana saja. Kematian Koto meninggalkan kesan menyedihkan, tetapi tidak boleh
disesalkan. Tak ada manusia yang tahu, kapan saatnya janji bersedia kembali kepada Yang Empunya harus dipenuhi. Tiada kekuatan apa pun dapat membatalkan janji itu. Kalau ada seseorang diyakini akan mati, tetapi tidak mati, maka hal itu bisa terjadi karena saat memenuhi janji belum tiba. Tiada lain daripada itu.
Datuk memandangi Erwin. Tiada bertanya. Tetapi Erwin bertanya kepada Datuk apakah ia ingin berpisah saja, karena kalau masih bersama-sama mungkin ia akan turut terlibat dalam peristiwa-


Memburu Manusia Harimau Seri Manusia Harimau Karya S B Chandra di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

peristiwa yang sudah tentu belum habis sampai di situ. Datuk menangis terharu, la tidak mau berpisah. Waktu dia mengatakan ingin tetap bersama itu, Erwin berubah jadi manusia kembali. Dia merasa lega. Untuk kesekian kalinya dia mengalami, bahwa
perubahan atas dirinya tidak selalu terjadi atas keinginan hati dan kebutuhannya. Ketika ia ingin jadi harimau, ia justru selalu tidak bisa berubah dari wujud manusia.
Setelah menanti beberapa saat ia kembali ke kamar Dinar, la dapat merasa ketenangan yang kembali ke diri keluarga Kahar, terutama Kapten itu sendiri.
"Menyesal atas kesulitan yang kutimbulkan. Kapten," kata Erwin.
"Jangan berkata begitu saudaraku Erwin," kata Kahar spontan, la kian melihat suatu kebersihan dan ketulusan pada diri si manusia harimau.
"Aku salah satu dari yang disebut manusia harimau. Ingatlah itu baik-baik. Aku bukan manusia beruntung yang normal seperti kalian."
Hati Kapten Kahar amat tersentuh mendengar ucapan Erwin.
Itulah jerit halus dari seorang anak manusia yang harus menerima nasib menyimpang dari manusia lainnya.
"Sebaiknya kami pergi dari rumah Kapten. Nanti timbul kesulitan baru. Kami senang tinggal di sini, tetapi tidak suka kalau karena kami nanti nama baik Kapten terbawa-bawa. Bahkan bisa rusak dan menimbulkan kecurigaan di antara Korps Kepolisian. Waktu mereka mengepung dan mau menyerbu tadi. Kapten terpaksa berbohong, bukan" Padahal Kapten tidak biasanya suka berdusta."
"Hanya untuk kebaikan. Tidak merugikan siapa pun. Ini semua yang dapat dinamakan takdir. Tidak kita kehendaki apalagi kita atur!
Tetapi kita juga tidak dapat mengelakkannya. Salahkah manusia yang tak mampu mengelakkan takdir, karena memang
sesungguhnya tidak ada satu makhluk pun yang mampu
membebaskan dirinya dari takdir yang sudah ditentukan!"
"Falsafah hidupmu tinggi sekali. Saudara Er win. Di mana kau belajar" Adakah buku pelajaran untuk itu?"
"Aku tidak pernah belajar filsafat, Kapten. Per jalanan hidup yang memberi ajaran kepadaku. Kap ten setuju kan, kami pergi dari rumah Kapten ini. Bukan kami tidak suka di sini. Urusan atau peristi wa ini belum selesai."
"Akan ke mana Saudara Erwin. Adikku pun belum sembuh! Kau tak akan meneruskan pengobatannya?"
"Aku berada di sekitar sini. Tentu saja aku akan coba dengan segala daya yang ada."
"Kedatangan Polisi tadi oleh pengkhianatan seorang pelapor,"
kata Kahar. "Dia berkata yang sebenarnya. Mau menyelamatkan keluarga Kapten."
"Tetapi aku akan bikin perhitungan dengannya. Sudah pasti dia mau merusak!"
"Aku mohon dengan segenap kebersihan hati, jangan! Demi kebaikan banyak pihak. Jangan rusak masa depan Kapten. Aku yakin. Kapten akan jadi seorang besar yang amat penting bagi bangsa dan negara ini. Jangan Kapten!"
Datuk memandang Erwin. Ingin penjelasan mengapa tidak
dibalas. "Ini urusanku, maka akulah yang akan menyelesaikan, Datuk.
Layak begitu, bukan" Ataukal Datuk punya pendapat lain?"
"Tidak, pendapat dan cara Saudara tentu yang terbaik. Tetapi aku tidak rela kalau dia tidak dibalas. Dia terlalu jahat dan sombong!" kata Datuk.
Maribun yang ditanyai Polisi menyatakan penyesalan, karena mereka telah dibohongi Kapten mereka sendiri. Maribun bersumpah bahwa ia tidak mengada-ada.
"Aku memikirkan keselamatan Pak Kahar dan masyarakat kota ini," katanya.
0odwo0 DUAPULUH SATU SESUNGGUHNYA Maribun sangat berharap dan sudah yakin,
bahwa untuk sekali itu ia menyingkirkan lawannya melalui kekuatan yang dipelihara dan dibiayai negara. Dia akan tertawa lebar melihat si harimau mati dikepung lalu binasa ditembak, dengan lebih dulu tentu mematikan beberapa pengepungnya. Maribun juga tahu, bahwa Erwin yang manusia harimau dari warisan, mempunyai ilmu yang sangat tangguh. Sudah dirasakannya bagaimana kekuatan orang muda itu ketika mengobatinya Hasbi. Tetapi peduli apa Maribun akan kematian beberapa anggota masyarakat, siapa pun dia. Yang terang bukan sanak-pihaknya. Dia akan mendapat nama baik pula dari Polisi karena telah melaporkan keadaan yang sangat membahayakan masyarakat kota itu. Maribun juga akan tertawa puas bila Kapten Kahar terbukti menyembunyikan harimau yang jelas-jelas mengancam keamanan. Sekurang-kurangnya
ketenangan, la pasti akan dipecat. Ataukah akan ikut mati dalam membela si manusia harimau yang menjadi harapannya untuk
menyembuhkan adiknya Dinar"
Atas hasutan Maribun juga seorang Mayor Polisi yang kenal baik dengannya pura-pura bertandang ke rumah Kapten Kahar. Seolah-olah mau menjenguk adiknya yang sakit. Begitu nasihat Maribun untuk menutupi maksud yang sebenarnya. Dapat mempercayai
keterangan Maribun yang dilengkapi dengan alasan dan keterangan.
Mayor Polisi Ahmad Buang ingin membuat suatu kejutan bagi masyarakat kota Lubuklinggau. Atas kelihayan Mayor Ahmad Buang, akhirnya terbukti, bahwa memang benar Kapten Kahar melindungi seekor harimau yang ganasnya melebihi harimau lapar dan luka. Uh, kalau tersiar begitu, betapa hebat namanya. Di mana-mana orang akan menyebut Mayor Buang. Barangkali juga orang akan katakan, bahwa ia bukan hanya Perwira Polisi yang cerdik dan berani, tetapi
juga seorang pejabat yang punya ilmu gaib. Kebohongan Kapten Kahar seperti yang dikatakan Maribun tidak akan dapat mengelabui dirinya.
Kapten Kahar mempersilakan tamunya masuk. Kedatangan itu
saja sudah agak aneh, karena tidak biasanya Mayor itu berkunjung ke rumah Kahar. Lebih heran lagi, ketika Ahmad Buang berkata,
'Saya dengar adik Kapten sakit. Tidak diopnamekan saja?"
Dari mana atau siapa pula Ahmad Buang mengetahui tentang
sakitnya adik sang Kapten. Ah, ini semakin macam-macam.
Kahar menerima atasannya di ruang tamu, mengatakan, bahwa memang adiknya sakit, tetapi hanya ringan. Tidak perlu opname.
Bahkan ke dokter pun tidak perlu, katanya. Dengan cara itu sebenarnya ia menyampaikan kejengkelan, karena dia sudah
merasakan, bahwa si Mayor mau menyelidiki, bukan mau tahu tentang penyakit dirinya. Sekali ini, tanpa dipinta Tuan rumah, Erwin yang sedang bersiap dan menunggu langkah baik untuk pergi, datang ke ruang tamu. Dan di luar dugaan Kahar, juga sangat mengejutkan Mayor Ahmad Buang ia bertanya, "Bapak mau menyelidiki kebenaran cerita Maribun, ya?"
Buang berkata, gugup, walaupun hanya seorang Erwin
kampungan yang bertanya, "Apa maksudmu?" la merasa manusia yang seperti itu cukup diper-kamu.
"Bapak mau mencari kepastian apakah di sini ada harimau yang sangat ganas, berterusteranglah Pak. Bukankah Bapak berhadapan dengan seorang yang pangkatnya di bawah Pak Mayor?"
"Siapa kamu?" tanya Buang.
"Pekerjaan saya supir. Bapak perlu supir" Saya sudah lama tidak punya pekerjaan. Saya dengar Bapak senang sekali membantu orang susah," kata Erwin mencerocos. Pak Mayor yang merasa keco-longan rahasia dan diteror dengan pertanyaan-pertanyaan oleh orang yang semula dipandangnya tidak punya arti sama sekali, bangkit dari duduknya dan secara sangat tidak wajar, tanpa pamit meninggalkan rumah, tetapi baru beberapa langkah, Erwin berkata,
bahwa harimau yang dicarinya itu memang ada. Perwira itu merasa dipermainkan tetapi ia berhenti dan menoleh.
"Kamu juga melihatnya?" tanya Mayor Ahmad Buang.
"Ya, tadi memang lalu dari pekarangan ini. Melompat ke pekarangan orang sebelah. Itu harimau piaraan namanya Pak," kata Erwin berlagak tahu.
"Mengapa kau tahu dia harimau piaraan?" tanya Buang.
"Karena tak kan ada harimau rimba sampai menyasar kemari.
Jadf, kesimpulan saya yang bodoh, harimau piaraan. Mungkin di sekitar sini ada dukun memelihara atau ada orang yang mewarisi harimau!" kata Erwin.
Mayor itu kembali dan bertanya kepada Kapten Kahar apakah dia boleh duduk sebentar lagi.
"Silakan Pak Mayor," kata Kahar.
"Kamu seperti orang banyak tahu, siapa namamu?"
"Bujang," jawab Erwin. Kahar dan Datuk yang sudah ikut serta pula di sana hanya mendengarkan. Walaupun hanya sedikit, tetapi mereka merasa geli juga.
"Namamu hampir sama dengan namaku. Ahmad Buang, Mayor Polisi." la minta "Bujang" meneruskan ceritanya. Maka dijelaskanlah oleh Erwin, bahwa dia berasal dari Kerinci dan di sana masih lumayan banyak harimau jadi-jadian. Ada juga orang yang
memelihara atau mewarisi harimau. Harimau yang dipelihara dapat disuruh oleh pemiliknya, kata Erwin. Dan Mayor itu tidak ragu-ragu, karena cerita begitu sudah biasa juga didengarnya. Lalu dia mengambil kesimpulan, bahwa cerita Maribun memang bukan
omong kosong belaka.
"Apa yang dikatakan Tuan Maribun itu memang benar, Pak Mayor," kata Erwin membuat orang dari Kepolisian itu semakin heran akan kepandaian lelaki kampungan itu, "tetapi harimau itu tidak bersembunyi di sini. Dugaan Pak Mayor bahwa Kapten Kahar
menyembunyikan harimau sangat ganas itu sangat keliru. Tidak masuk akal, bukan. Ataukah Pak Mayor bisa percaya?" tanya Erwin.
"Tentu saja tidak," jawab Mayor Ahmad Buang tanpa banyak pikir lagi. Padahal tadi dia begitu yakin akan cerita Maribun.
"Saya kuatir harimau itu nanti mencari Pak Maribun, kalau ia benar harimau piaraan atau suruhan," kata Erwin lagi. "Sebab harimau yang begitu bisa mengetahui dan membaca pikiran orang!"
"Mengerikan juga," kata Mayor Buang mengikutkan perasaannya, la juga tidak suka pikirannya dibaca oleh harimau, yang bisa melakukan pembalasan.
"Kapten, maaf aku telah mengganggu," kata Mayor Buang. "Aku permisi."
"Tidak ingin melihat adikku yang sakit itu" Bukankah itu maksud kedatangan Pak Mayor kemari?" tanya Kahar. Atasannya yang jadi malu itu merasa serba tak enak. Dia disindir. Tetapi memang pantas ia disindir.
"Kudoakan supaya dia lekas sembuh," kata Buang lalu pergi, la mengutuk Maribun yang telah mempengaruhi dia supaya pergi ke rumah Kahar melakukan penyelidikan dan melihat kenyataan. Ketika ia akan naik Toyoto Hardtop-nya, Erwin datang menghampiri dan bertanya bagaimana tentang pekerjaan supir itu. Pak Mayor tidak mengerti apa sebenarnya yang dimaksud orang mengaku bernama Bujang itu, tetapi ia berkata, bahwa dia akan menyediakan pekerjaan kapan saja pelamar itu mau mulai.
"Terima kasih Pak," kata Erwin, "jangan lagi Bapak mau dikibuli dukun Maribun. Bapak jangan marah, dialah sebenarnya yang sangat jahil."
Erwin mengangkat tangan memberi hormat dan perwira
menengah Polisi itu pergi. Berbagai macam pertanyaan timbul di dalam benaknya. Yang satu dengan lain bertentangan.
Atas mufakat, Kapten Kahar menyetujui Erwin dan Datuk pergi.
Bekal beberapa puluh ribu rupiah diterima Erwin. la memang
membutuhkannya. Dia mengatakan masih akan mengunjungi Hasbi yang sebenarnya masih diancam bahaya karena ia mempunyai
banyak musuh, la juga akan datang pada petang hari itu untuk melihat Dinar.
Apa yang dikhawatirkan Erwin tampaknya bisa terjadi kalau tidak segera dicegah perkembangannya. Sebelum petang hari itu, ia bertanya kepada ibunya kenapa Erwin tidak datang melihatnya, la termenung ketika dikatakan, bahwa Erwin sudah pindah atas permintaannya sendiri. Kahar menerangkan, bahwa Erwin tinggal tak jauh dari sana dan akan datang mengobati Dinar.
"Minta dia tinggal di sini saja Bang," kata Dinar. "Bukankah dia orang baik yang menolong Pak Hasbi. Dia berjanji akan
mengajarkan aku ilmu menjadi harimau. Tentu aku akan jadi hebat sekali ya Bang."
Kebetulan pada waktu itu Erwin tiba dalam keadaannya yang normal. Berpakaian bersih, la minta disediakan segenggam lada putih untuk melanjutkan pengamanan rumah dari gangguan orang jahil mana pun. Ditanamnya di tiap pintu masuk d.ut di keempat sudut rumah. Cara kuno yang masih I pakai banyak dukun sampai sekarang.
Dinar bertanya mengapa Erwin pindah.
"Rumah begini terlalu bagus untukku Nona Dinar. Ayahku berpesan supaya aku selalu hidup dalam kesederhanaan," kata Erwin. Kahar mend-ngarkan dengan rasa haru.
"Aku ingin sepertimu. Bang Erwin. Aku ikut Abang saja, boleh?"
"Tak sesuai untukmu. Hidup Abang hidup petualang. Suatu kesenangan mengembara dari satu ke lain tempat!"
"Aku juga mau bertualang. Mau mengembara Cari pengalaman."
"Ya, semua orang mau cari pengalaman. Tetapi jangan
pengalaman seperti Abang. Nona harus lekat sembuh, mudah-
mudahan satu dua hari lagi. Nanu kita buang semua gangguan itu."
0odwo0 Erwin berniat untuk menyelesaikan urusannya malam itu juga.
Supaya ia bisa meninggalkan Lubuklinggau atau berkubur di buminya, la tahu bahwa Maribun tentu bersiap menantikan
kedatangannya. Dukun itu memandang Erwin hanya menyempitkan dan mengotori daerah yang selama ini dikuasainya.
Sampai menjelang tengah malam Erwin men doa dan membaca
berbagai mantra. Yang begitu di lakukan juga oleh Maribun dengan caranya. Tidak sama dengan Erwin karena ia mempergunakan ilmu hitam yang amat tangguh, mengandalkan berbagai urunan yang terdiri atas jin, setan, iblis, dan ular.
Sampai tengah malam Maribun sia-sia menantikan kedatangan Erwin. la tak dapat lagi melihat apa yang sedang dikerjakan Erwin.
Rupanya lawannya itu mematahkan kemampuannya untuk melihat dan membaca dari jauh.
Maribun merasa dirinya dalam bahaya. Jangan-jangan musuh
sudah berada di pekarangan ataukah sudah di dalam rumah"
Apakah Erwin mempunyai ilmu perabun yang dapat mengalahkan keampuhannya terhadap kekuatan gaib semacam itu" Kegelisahan Maribun meningkat ketika ia mulai merasa kantuk menyerang dirinya. Dia membaca-baca, lalu minta dibuatkan kopi kental. Tentu musuh sedang mengerjai dia dengan sepenuh kemampuan yang ida padanya. Dan dugaan Maribun tidak keliru. Erwin mengerahkan semua kekuatan batinnya untuk menaklukkan lawan, la ingin pembalasan dapat dilakukan tanpa menimbulkan kehebohan atau kegaduhan.
Pukul 01.30 tengah malam Erwin berkata kepada Datuk, bahwa ia akan pergi sebentar, la akan kembali menjelang subuh, katanya.
"Aku ikut," kata Datuk.
"Jangan, biar aku saja yang menyelesaikan."
"Perkenankan sekali ini, Erwin. Aku tak mau membiarkan kau
pergi seorang diri sementara aku tinggal sendirian pula di sini. Aku tak mau lagi berpisah denganmu, kecuali dipisahkan oleh maut."
"Baiklah kalau Datuk tak mau dilarang! Aku mau memohon dulu,"
lalu ia duduk bersila dengan kedua belah tangan di atas kedua lututnya, la memohon restu dan bantuan dari jauh kepada Raja Tigor, Dja Lubuk, Tuan Syekh Ibrahim Bantani, Datuk nan Kuniang dan semua gurunya dalam ilmu pengobatan dan menangkis
serangan dari orang orang jahil. Hanya dari orang jahil, la sendiri tidak akan pernah melakukan kejahatan, hanya melawan kejahatan guna menegakkan pihak yang benar
0odwo0 Permohonan Erwin terkabul, la telah mempunyai tubuh dan
kekuatan harimau. Ditambah lagi dengan ilmu-ilmu gaib di dalam dirinya sebagai manusia. Dengan kekuatan gabungan itu mereka berangkat. Begitu mereka telah mencapai setengah perjalanan turunlah hujan yang amat lebat, tetapi tidak dihiraukan oleh kedua sahabat yang akan melaksanakan missi penuh bahaya. Dan hujan ini menyebabkan tanah jadi becek dan meninggalkan jejak-jejak kaki Erwin yang sudah jadi harimau itu. Disebelahnya kaki Datuk.
"Kita akan meninggalkan jejak," kata Datuk, yang dijawab oleh Erwin, bahwa hal itu seperti di atur agar besok orang tahu, bahwa seorang manusiai perkasa telah berjalan berdampingan di dalam kota dengan harimau piaraannya. "Akan menghebohkan! kota besok Datuk," kata Erwin. Datuk terhibur oleh kelakar itu.
Kedua sahabat itu memasuki pekarangan Maribun dalam curahan hujan yang kian lebat, menidurkan hampir seluruh penduduk kota, termasuk dukun kawakan yang diserang kantuk tak terlawan itu.
"Datuk menunggu di luar. Bersembunyi jugalah. Mana tahu ada patroli lewat," kata Erwin, "Aku akan naik mengambilnya?"
"Dia tentu akan melawan, biarlah aku ikut, walaupun kehadiranku tidak berarti," kata Datuk merendahkan diri. Tetapi Erwin
memberinya alasan-lasan, mengapa harus dia sendiri yang naik.
Erwin heran tetapi juga merasa senang, karena pintu yang harus dibukanya ternyata tidak dikunci. Rupanya disengaja atau terlupa oleh Maribun yang tahu bahwa lawannya itu akan datang. Sesudah di dalam, terasa oleh Erwin kakinya sangat berat untuk melangkah.
Tentu karena telah di "pasang" oleh Maribun. Tetapi ia juga tahu, bahwa dukun kawakan itu telah terbius oleh kekuatan gaibnya.
0odwo0 DUAPULUH DUA TIDAK mampunya ia melangkah untuk mengambil Maribun,
membuat Erwin menyadari, bahwa walaupun Maribun terbius, ia tidak dapat melakukan rencana yang sudah dipikirkan dan diyakini nya akan dapat berjalan dengan lancar. Ataukah penglihatannya dari jauh bahwa dukun besar itu telah terlena, pun suatu kekeliruan oleh tabir gaib yang dipasang oleh lawannya itu" Jika begitu, Maribun tidak berhasil dibiusnya dan besar kemungkinan ia tertawa melihat hambatan yang dihadapi Erwin. Sudah sampai di dalam rumah, tetapi tidak dapat melangkah maju. Barangkali lebih pula dari itu. Akan dapatkah ia melangkah ke luar dari rumah itu, kalau ia gagal membawa Maribun" Jikalau begitu halnya, apakah ia akan tertangkap di sana. Apakah untuk kedua kalinya ia akan dikepung oleh alat-alat bersenjata" Usaha Maribun yang pertama
menghasilkan kedatangan satu pasukan Polisi ke rumah Kapten Kahar untuk mengepung dan menangkap atau membinasakannya, tetapi gagal. Karena ia dilindungi oleh Tuan rumah. Di sini tidak akan ada yang melindunginya. Apakah dalam keadaan manusia biasa, atau lebih-lebih lagi dalam wujudnya yang seperti sekarang, ia tidak punya alasan untuk menolak kesalahan dan maksud jahat yang ditimpakan atas dirinya.
Erwin mengerahkan tenaga dalam dengan mantra pemecah
benteng, tetapi sia-sia. Kakinya tak dapat maju, kemudian diangkat saja pun tak bisa lagi.
Keringat mulai membasahi muka. Apakah Maribun tidak ada di rumah karena mengintai dari pekarangan, kemudian melapor
kepada Polisi setelah ia masuk ke dalam rumah" Kalau itu yang telah dilakukannya, memang ia akan berhasil.
Setelah hampir putus asa, manusia harimau yang sedang
terjebak itu memanggil-manggil Tuan Syekh Ibrahim Bantani. Dan orang berilmu tinggi yang bermakam di dekat Muara Sipongi itu memperlihatkan diri. Walaupun ia sudah mempunyai banyak
pengalaman tetapi dalam situasi seperti ini ia benar-benar sangat takut. Pertama-tama karena malu kalau sampai tertangkap dalam keadaan begitu, kedua ia masih ingin hidup menyelesaikan
beberapa urusan yang belum beres. Termasuk janjinya untuk bertemu dengan Mei Lan.
Tanpa bicara agak sepatah kata pun. Tuan Syekh kembali dan bersamaan dengan itu Erwin dapat mengangkat kaki. Kemudian ia melangkah, udah tiada rintangan. Erwin tahu bahwa terhindarnya tabir gaib yang tak tertembus berbagai mantranya, hanya berkat pertolongan Tuan Syekh Ibrahim Bantani.
Hikmah Pedang Hijau 12 Cinta Bernoda Darah Serial Bu Kek Sian Su 3 Karya Kho Ping Hoo Kisah Pedang Di Sungai Es 7
^