Pencarian

Misteri Kapal Layar Pancawarna 7

Misteri Kapal Layar Pancawarna Karya Gu Long Bagian 7


Biarpun kungfu Kiang Hong sangat tinggi juga sukar terbang ke atas menara manusia yang beberapa tombak tingginya itu, jelas sulit baginya untuk bergebrak dengan Siau Bwe-jiu.
Seketika wajah Kiang Hong merah padam dan tak berdaya, dilihatnya kawan lelaki yang mengangkat sampan tinggi ke atas itu sejauh itu masih tetap berdiri tegak tanpa bergerak, seperti tidak kenal lelah, biarpun mengangkat sampan bertambur itu selama tiga hari tiga malam.
Tiba-tiba dari dalam kabin seorang berseru dengan suara berat, "Ingin merobohkan orang harus panah dulu kudanya ...."
Tergugah ingatan Kiang Hong, katanya dengan girang, "Betul, lekas panah lelaki yang mengangkat sampan!"
"Hm, boleh saja coba," jengek Siau Bwe-jiu. "Di sekeliling sini penuh gelagah, bila kau lepas panah segera kuperintahkan menyalakan api, biar kita terbakar bersama, apa boleh buat!"
"Berani kau nyalakan api"!" bentak Kiang Hong gusar. Meski di mulut ia membentak, namun dalam hati ia tahu lawan pasti bertindak demikian sehingga sia-sia ia bersikap galak.
Siau Bwe-jiu tampak gembira, ia malah duduk bersila di atas tambur dan bernyanyi kecil dengan santainya.
Entah mengapa Po-ji berkesan baik terhadap Kiang Hong, makin dipandang Siau Bwe-jiu makin membuatnya muak, tiba-tiba ia tarik ujung baju Gu Thi-wah dan bertanya, "Apakah adikmu suka turut kepada kehendakmu?"
"O, biasanya dia tidak mau tunduk kepada siapa pun, hanya perintahku saja paling dipatuhinya," tutur Thi-wah dengan tertawa.
"Baik, jika begitu, lekas kau panggil dia kemari," kata Po-ji.
Tanpa pikir Thi-wah lantas berteriak, "Thi-hiong ... Ji-wah ... Toako berada di sini, lekas kemari ... lekas ...."
Mendengar suara itu, satu di antara keempat lelaki kekar yang mengangkat sampan di udara itu semula melengak, ia berpaling dan memandang dua kejap, mendadak ia lepas tangan terus melompat turun dari pundak orang di bawahnya.
Ketika diangkat empat orang, sampan itu memang sangat mantap, tapi begitu salah seorang lepas tangan, seketika sampan itu kehilangan imbangan, lelaki yang berdiri di atas sampan dengan menyangga tambur itu yang lebih dulu tidak sanggup berdiri tegak lagi, kontan ia terjungkal ke bawah.
Baru saja Siau Bwe-jiu membentak marah atas perbuatan Thi-hiong, saudara Thi-wah itu, tahu-tahu lelaki penyanggah telah jatuh ke dalam air. Maka terdengarlah suara gedebur dan blang-blung yang riuh disertai jeritan di sana-sini.
238 Koleksi Kang Zusi
Banyak orang kecebur ke dalam air, ada juga yang jatuh ke haluan kapal dan menjerit kesakitan, paling akhir terdengar suara gemuruh, itulah suara sampan yang terangkat tadi terbanting di atas sampan bagian bawah.
Benturan dua sampan mengakibatkan papan pecah dan kayu berhamburan, barisan sampan itu seketika menjadi kacau.
Di tengah keributan itulah Gu Thi-hiong lantas lari keluar dari barisan sampan, Gu Thi-wah juga melompat turun dari kapal dan memburu ke arah saudaranya, begitu keduanya berhadapan, serentak mereka saling pukul dan saling rangkul dengan erat tanpa menghiraukan teriakan orang lain dan juga tidak peduli air rawa yang kotor itu.
Kiang Hong memandang Po-ji sekejap, sorot matanya yang dingin untuk pertama kalinya menampilkan rasa simpatik.
Hal ini dirasakan oleh Pui Po-ji melebihi beribu kata pujian, selagi ia membalas dengan tersenyum, sekonyong-konyong sesosok bayangan orang menubruk ke arah Thi-wah berdua, keruan Po-ji menjerit kaget.
"Jangan khawatir!" seru Kiang Hong, cepat ia menerjang maju juga.
Bayangan yang menubruk tiba itu bukan lain dari Siau Bwe-jiu adanya. Ia menjadi murka karena urusannya digagalkan oleh kedua bocah gede dan dogol ini, saking gemasnya segera timbul niatnya membunuh, dengan dahsyat ia hantam kepala Thi-wah dan adiknya.
Namun sebelum mencapai sasarannya, dari samping menyambar tiba angin pukulan yang kuat, terpaksa ia harus jaga diri lebih dulu, cepat ia berputar dan kedua tangan pun menghantam ke depan.
Pukulan dua orang beradu dan sama menggeliat, tampaknya mereka pun akan jatuh ke dalam air, siapa tahu tangan kedua orang itu sempat menahan di atas pundak Gu Thi-wah dan segera melayang lagi ke samping.
Cuma dalam keadaan kacau mereka tidak dapat lagi membedakan arah, Kiang Hong melayang ke barisan sampan sana, sedang Siau Bwe-jiu melompat ke atas kapal kotak.
Tanpa terasa Po-ji menyurut mundur dua langkah, tiba-tiba pandangan kabur, keempat lelaki yang duduk tenang di dalam kapal tadi entah sejak kapan telah melompat ke luar.
Keempat orang itu serupa malaikat maut serentak mengepung Siau Bwe-jiu di tengah.
Di sebelah sana Kiang Hong telah memukul terjungkal salah seorang penjaga sampan, menyusul seorang lagi ditamparnya hingga terjungkal ke dalam air.
Dilihatnya sebuah sampan cepat telah meluncur tiba.
Dengan ringan Kiang Hong melompat ke atas sampan, menyusul ia melayang kembali ke atas kapal kotak, gerakannya sungguh cepat dan gayanya indah.
Dalam pada itu kening Siau Bwe-jiu sudah keluar butiran keringat, sebab berulang ia menggunakan beberapa gerakan dan tetap sukar menerobos keluar dari kepungan keempat lelaki tadi. Betapa ia menggunakan gerakan, betapa ia menerjang ke arah mana pun, asal salah seorang itu menahan dengan sebelah 239
Koleksi Kang Zusi
tangan, kontan Siau Bwe-jiu terdesak kembali lagi ke tempat semula.
Melihat gelagatnya, jika keempat orang itu menyerangnya bersama, mustahil jiwa Siau Bwe-jiu takkan melayang. Teringat demikian, mau tak mau Siau Bwe-jiu patah semangat dan tidak berani sok lagi.
"Thi-toako, Song-toako, Li-toako dan Cian-toako, orang she Siau ini sudah kelewat takaran kejahatannya, untuk apa kalian bermurah hati kepadanya?" seru Kiang Hong.
Lelaki berbaju perlente yang sebelah kiri beralis tebal dan berwajah hitam, meski usianya paling muda, namun tampaknya justru paling gagah, agaknya dalam waktu singkat sudah sering mengalami berbagai peristiwa maut sehingga apa yang terjadi sekarang dipandangnya sepele, segera ia mendengus, "Apa susahnya membunuh dia" Cuma, setelah dia terbunuh, anak buahnya tentu akan kalap dan Thian-hong-cui-tong kalian ini bukankah akan rusak keindahannya karena banjir darah."
Siau Bwe-jiu tertawa terkekeh, "Hehe, kalian ternyata tahu urusan, tentu kalian pun tokoh dunia persilatan, entah boleh tidak mengetahui nama kalian?"
"Eh, bukankah kau sedang menunggu bala bantuan, bilamana pembantumu itu sudah datang, tentu kau pun akan tahu nama kami berempat ...."
Belum lanjut uraian orang itu, tiba-tiba dari jauh berkumandang suara tertawa aneh orang, "Anak sayang, kau pun sudah datang" Bagus sekali, biar nenek memberi permen dan manisan padamu!"
Mendengar suara orang, seketika air muka Po-ji berubah hebat, diam-diam ia mundur ke pojok sana, dicomotnya segenggam lumpur dan dipoles di muka sendiri.
Agaknya lelaki tadi juga tidak sanggup menikmati permen atau manisan, sebelum terjadi sesuatu lebih dulu ia sudah menyingkir, maka terlihatlah bayangan berkelebat, seorang nenek ubanan tahu-tahu melayang tiba dari udara, perawakannya pendek buntak, wajahnya tertawa selalu, tangan memegang tongkat yang panjang, siapa lagi dia kalau bukan Ban-lohujin.
Seketika wajah Siau Bwe-jiu mengunjuk rasa girang, air keringat pada kening pun segera kering.
Ban-lohujin melotot sekejap padanya, ucapnya dengan menarik muka, "Hm, percuma kau berkecimpung sekian tahun di dunia Kangouw, sampai asal usul keempat orang ini pun tidak tahu?"
"Mohon petunjuk Popo," kata Siau Bwe-jiu.
Ban-lohujin menghela napas, lebih dulu ia ambil sebiji manisan cermai, sembari makan manisan ia tunjuk salah seorang lelaki itu dan berkata, "Inilah Jit-song-cian Thi Un-hou, itu Kay-pi-jiu Song Kong, yang sana Tah-soat-bu-hin Li Eng-hong dan yang ini Ban-jin-tik Cian Siang-sing .... Ai, tokoh terkemuka dunia persilatan daerah Tionggoan kini hanya tersisa mereka berempat ini saja."
Terperanjat juga Siau Bwe-jiu setelah tahu siapa keempat orang itu, begitu pula Pek-ma-ciangkun Li Beng-sing, diam-diam ia menarik Ciu Hong ke pinggir dan membisikinya, "Meski nama Thian-hong-pang dan Jiu-cui-pang cukup gemilang di wilayah Tiangkang, tapi Kiang Hong dan Siau Bwe-jiu paling-paling cuma jago 240
Koleksi Kang Zusi
Kangouw kelas dua saja, mengapa sekarang ada tokoh kelas terkemuka datang ikut campur urusan mereka" Sungguh sukar dimengerti."
"Kukira hasil usaha yang didapat Kiang Hong tempo hari pasti tidak sedikit, makanya beberapa tokoh terkemuka ini pun perlu datang ke sini," ucap Ciu Hong dengan tersenyum.
Ketika itu terdengar Ban-lohujin sedang berkata pula, "Dalam pertempuran di Lian-hun-ceng banyak tokoh serupa Tay-lik-sin-ciu dan Jit-jiu-tay-seng juga melayang jiwanya, tapi kalian berempat tahan hidup sampai sekarang, sungguh tidak kecil rezeki kalian. Tapi setelah kalian menyaksikan pertempuran dahsyat di lautan itu, seharusnya kalian pulang dan tirakat saja agar kekuatan dunia persilatan Tionggoan tidak sampai habis ludes, mengapa sekarang kalian muncul lagi di sini" Sungguh nenek merasa tidak mengerti."
Rupanya Song Kong berempat sudah gemblengan dan tambah sabar setelah mengalami berbagai pertempuran besar, maka apa yang dikatakan Ban-lohujin sekarang tidak membuat mereka marah.
Dengan tak acuh Thi Un-hou lantas berkata, "Silakan memberi petunjuk!"
Ban-lohujin menggeleng kepala, ucapnya, "Umpama kalian hendak berkelahi denganku kan juga tidak perlu terburu-buru, betapa pun hendaknya bicara dulu menurut aturan ...."
"Silakan bicara!" jengek pula Thi Un-hou.
Keempat orang itu tidak suka putar lidah, tidak mau banyak omong percuma.
Diam-diam Po-ji memuji sikap mereka itu, cara demikianlah sikap seorang jagoan sejati, kalau jelas harus berkelahi, untuk apa banyak cincong.
Namun Ban-lohujin justru masih omong lagi, sembari makan manisan ia berkata,
"Rupanya kalian berempat mengira nenek dapat diganggu dengan begitu saja, dan ingin main kerubut?"
Thi Un-hou angkat kedua tombaknya ke atas, gemerdep cahaya tombak, ucapnya bengis, "Satu lawan satu, silakan!"
"Ai, orang muda, gagah dan kuat, tapi justru mengganggu seorang nenek, tidak tahu malu ...." sembari mengomel, mendadak tongkat Ban-lohujin menonjok ke depan, berbareng ia bergumam pula, "Baiklah kulayanimu, jika kewalahan hendaknya segera kau keluar!"
Nyata ucapannya yang terakhir itu ditujukan kepada "pembantu" yang tidak kelihatan itu. Tapi sesungguhnya siapa pembantunya itu dan berada di mana, ternyata tiada seorang pun tahu.
Dengan sendirinya timbul rasa heran semua orang dan sama ingin tahu sesungguhnya bala bantuan macam apa yang diajak kemari oleh nenek yang terkenal licik dan licin ini.
Dalam pada itu hanya sekejap saja tongkat Ban-lohujin sudah menyerang beberapa kali, namun Thi Un-hou juga cukup tangkas, semuanya dapat ditangkis oleh tombaknya.
Mendadak Ban-lohujin putar balik tongkatnya terus menyapu serupa toya, cepat 241
Koleksi Kang Zusi
Thi Un-hou melompat mundur, tombak berputar, menangkis berbareng balas menusuk.
Tiga jurus serangan Ban-lohujin cukup lihai, namun tiga kali tangkisan Thi Un-hou justru merupakan penangkal serangan nenek itu. Ban-lohujin menjadi murka, seketika berubah lagi jurus serangannya. Akan tetapi apa pun jurus serangannya selalu dipatahkan oleh lawan.
Li Beng-sing menarik Ciu Hong dan berkata padanya, "Tongkat si nenek menduduki nomor lebih tinggi daripada tombak Thi Un-hou menurut daftar senjata dunia persilatan, entah mengapa Ban-lohujin sekarang justru tercecar malah dan hilang sama sekali daya guna tongkatnya itu."
Tiba-tiba Po-ji menimbrung, "Tongkat si nenek tempo hari telah dipatahkan orang, mungkin tongkat baru belum selesai dibuat lagi ...."
Mendadak Siau Bwe-jiu juga berseru, "Sudah lama permainan tongkat Ban-lohujin terkenal sangat ampuh, mengapa sekarang tidak dikeluarkannya agar menambah pengalaman kami."
Baginya tentu lebih baik selekasnya Ban-lohujin menjadi pihak pemenang, sebab itulah ia coba memberi semangat. Tak tersangka dugaan Pui Po-ji ternyata tidak keliru, sebab tongkat yang digunakan Ban-lohujin sekarang tidak lebih cuma sebuah tongkat biasa saja, dengan sendirinya tidak selihai tongkat pusakanya dahulu.
Namun dengan pengalaman luas Ban-lohujin dan Lwekang yang tinggi, dapatlah ia bertahan, seruan Siau Bwe-jiu justru membuatnya mendongkol, sebab dengan begitu lawan lantas mencari jalan lain untuk menyerang lagi.
Benar juga, segera terdengar Thi Un-hou membentak, "Awas senjata!"
Berbareng itu tombak sebelah kanan terus menusuk ke depan, cepat Ban-lohujin menyurut mundur selangkah dan tampaknya tusukan tombak sukar mencapai sasaran.
Tak terduga tombak pandak Thi Un-hou mendadak bisa mulur satu kaki lebih panjang, sasaran yang sukar dicapai tahu-tahu terancam.
Untung Ban-lohujin sempat berjumpalitan ke belakang dan turun kembali dalam jarak dua meter jauhnya.
"Kena!" bentak Thi Un-hou dengan gusar.
Dari ujung tombak kanan mendadak menyambar keluar beberapa bintik perak langsung mengincar muka, dada dan perut Ban-lohujin, sedang tombak kiri terus menyambar ke depan untuk menyabet kaki nenek itu, serangan atas dan bawah dilakukan secepat kilat.
Sekonyong-konyong sesosok bayangan melayang tiba dan mengadang di depan si nenek. Terdengar suara "crat-cret" beberapa kali, suara paku menancap di kayu, beberapa bintik perak sama hinggap di dada pendatang itu.
Menyusul terdengar suara gemerencing, rantai yang terikat pada tombak juga lantas melilit kedua kaki si pendatang, namun orang ini seperti tidak merasakan sesuatu, masih berdiri tegak.
242 Koleksi Kang Zusi
Semua orang sama terperanjat, meski kejut namun Thi Un-hou tidak gugup, cepat ia menarik tombaknya dengan harapan orang akan terseret roboh.
Siapa tahu pada saat itu juga kembali sesosok bayangan kuning melayang tiba dan tepat jatuh di atas rantai yang tertarik lurus itu. Thi Un-hou merasa tangan kesakitan dan tombak pun terlepas.
Tentu saja Song Kong bertiga sama terperanjat, serentak mereka menubruk maju ke kanan-kiri Thi Un-hou.
Maka terlihatlah pendatang pertama bertubuh tinggi kurus, muka gelap, tujuh bintang perak tadi sama menghias baju dadanya dan tidak dapat menancap masuk.
Sedang pendatang kedua telah duduk bersila di lantai, mukanya bulat, meski tersenyum, namun senyuman yang aneh dan sukar dilukiskan, serupa senyuman patung Buddha di biara, kaku dan lucu.
Segera Po-ji dapat mengenali orang yang pertama tadi adalah Bok-long-kun.
Sungguh tak terduga olehnya bahwa bala bantuan yang didatangkan Ban-lohujin ternyata orang ini.
Maklumlah, masih jelas teringat olehnya Bok-long-kun adalah musuh Ban-lohujin, entah mengapa sekarang mereka telah berkawan malah.
Ia tidak tahu bahwa kawan atau lawan antarorang Kangouw memang sukar dibedakan, hari ini kawan, besok bisa berubah menjadi lawan, ini sudah biasa terjadi dan tidak perlu diherankan. Asalkan menyangkut keuntungan, dari lawan bisa segera berubah menjadi kawan lagi.
Po-ji cukup kenal kemampuan Bok-long-kun, melihat kemunculannya di sini, diam-diam ia merasa khawatir bagi Kiang Hong dan keempat tokoh terkemuka tadi.
Siapa tahu Thi Un-hou berempat sama sekali tidak memikirkan kehadiran Bok-long-kun, yang membuat mereka jeri justru si baju kuning yang duduk bersila diam itu, pandangan mereka berempat tanpa berkedip terpusat kepada orang ini.
Dengan perlahan Song Kong lantas menegur, "Sudah lama kami mendengar nama Kek-thian-boh-toh-kiong, melihat bentuk sahabat ini, jangan-jangan tamu dari Boh-toh-kiong?"
"Hehe, anak baik, tajam juga penglihatanmu," tukas Ban-lohujin dengan terkekeh.
Song Kong tidak menghiraukannya, ia tetap menatap si baju kuning dan berkata pula, "Mengapa sahabat tidak bicara" Apakah karena tidak sudi memberitahukan namamu?"
Pendatang baju kuning itu tetap tersenyum dan tidak bicara, hanya dengan tangan menuding telinga sendiri dan menggeleng kepala.
Baru sekarang Po-ji tahu duduknya perkara, pikirnya, "Ah, kiranya orang ini tuli."
Tiba-tiba terdengar Thi Un-hou berempat bersuara kaget, "Hah, Toh-liong-cu"
...." 243 Koleksi Kang Zusi
Ternyata Li Beng-sing dan Ciu Hong juga tidak kurang takutnya, dengan heran Po-ji coba tanya mereka, "Memangnya siapakah si tuli ini, kenapa ditakuti?"
Ciu Hong menariknya ke samping dan membisikinya, "Toh-liong-cu ini adalah majikan muda Boh-toh-kiong (istana unsur bumi), sejak lahir sudah bisu tuli, namun betapa tinggi ilmu silatnya konon tidak di bawah Kim-ho-ong, Hwe-sin-kun dan lain-lain, malahan wataknya yang keras dan kejam terlebih hebat daripada beberapa iblis tadi. Yang paling celaka adalah kegemarannya pada paras cantik, asalkan melihat perempuan ayu ...."
Bicara sampai di sini mendadak ia berhenti.
Waktu Po-ji memandang ke sana mengikuti pandangan orang, terlihat Toh-liong-cu tidak gubris orang lain lagi melainkan cuma memandang Kiang Hong dengan termangu dan menggapai padanya.
Kiang Hong memang terhitung salah seorang bajak terkemuka di perairan Tiangkang, juga tergolong tokoh perempuan yang cukup menonjol di dunia Kangouw akhir-akhir ini, meski tubuh tampak lemah, namun wataknya keras dan tegas, membunuh orang seperti pekerjaan biasa baginya, biasanya jarang yang meremehkan dia sebagai seorang perempuan lemah, ia sendiri juga tidak mau dipandang sebagai perempuan.
Namun demi melihat sorot mata Toh-liong-cu yang lagi menatapnya itu, tanpa terasa timbul rasa ngeri juga dalam hati Kiang Hong, perlahan ia menyurut mundur, padahal di belakangnya sudah tepi geladak kapal, mundur lagi selangkah tentu akan kecebur ke dalam rawa.
Sekonyong-konyong terlihat bayangan orang berkelebat disertai jeritan kaget, waktu semua orang memandang ke sana, Toh-liong-cu kelihatan masih duduk di lantai, sedangkan entah sejak kapan Kiang Hong sudah berada dalam pelukannya.
Sekujur badan Kiang Hong seakan-akan tak bertenaga lagi dan dirangkul Toh-liong-cu dalam keadaan lemas tak bisa berkutik, malahan terus dicium dan diendus.
Kejut dan gusar pula Po-ji menyaksikan kejadian itu, ia harap Thi Un-hou dan ketiga kawannya akan turun tangan menolong Kiang Hong. Siapa tahu, meski wajah mereka kelihatan gusar, namun mereka tetap berjaga di pintu kabin dan tiada seorang pun berani bertindak.
Keempat lelaki berbaju merah tadi sebenarnya sudah mundur ke samping sana, demi melihat sang Pangcu diganggu orang, serentak mereka membentak terus menerjang maju.
Sama sekali Toh-liong-cu tidak mengangkat kepala, hanya sebelah tangannya terayun ke depan dua kali, terdengarlah suara "blang-blung" dan "plak-plok"
empat kali, keempat lelaki itu telah terpukul hingga mencelat dan jatuh ke dalam rawa.
Menyusul lantas terdengar suara "brett", tahu-tahu baju Kiang Hong telah dirobek Toh-liong-cu sehingga kelihatan dadanya yang putih dan montok.
Keruan Kiang Hong gugup dan malu, saking gusar dan takut ia menjerit dan tidak sadarkan diri.
244 Koleksi Kang Zusi
Song Kong berempat juga tambah prihatin, serentak mereka melolos senjata, namun mereka tetap berjaga di pintu kabin tanpa bergerak, seperti di dalam kapal ada benda mestika yang sangat berharga, asalkan benda dalam kapal dapat dipertahankan dan mereka pun merasa puas, mengenai mati-hidup Kiang Hong seperti bukan soal bagi mereka.
Sungguh gusar Po-ji tak terkatakan, ia pikir percuma orang-orang ini sok anggap dirinya sebagai kesatria gagah, sekarang menyaksikan seorang perempuan dihina begitu saja dan ternyata tiada seorang pun berani bertindak. Meski aku bukan kesatria, betapa pun aku tidak dapat tinggal diam.
Seketika darah panas bergolak dalam rongga dadanya, soal mati-hidup sendiri sama sekali tak terpikir lagi olehnya, segera ia melompat maju sambil membentak, ia memaki sambil menuding Toh-liong-cu, "Huh, kau ini manusia atau binatang" Lepaskan dia!"
Pada hakikatnya Toh-liong-cu memang tidak mendengar, dengan sendirinya ucapan Pui Po-ji tidak digubrisnya.
Sebaliknya demi tampak kemunculan Pui Po-ji, sorot mata Bok-long-kun dan Ban-lohujin sama gemerdep.
Tiba-tiba Ban-lohujin terkekeh, serunya meriah, "Setan cilik, kiranya kau berada di sini. Meski mukamu kau poles lumpur tetap nenek dapat mengenalimu. Eh, mari, anak sayang, makan manisan dulu!"
Bok-long-kun juga lantas mendekati Po-ji dan berteriak parau, "Di mana si setan kepala besar itu" .... Di mana dia" Suruh dia keluar!"
Kedua jarinya terpentang dan siap menerkam, seakan-akan bila Oh Put-jiu berada di situ segera akan dicekiknya hingga mampus. Nyata dendamnya kepada Oh Put-jiu sudah kelewat mendalam dan merasuk tulang.
Dengan tertawa Ban-lohujin berkata pula, "Cui Thian-ki tidak ada di sini, Ci-ih-hou sudah mati, siapa pula yang dapat melindungimu" Anak sayang, lekas kemari dan menjura kepada nenek, biar nenek minta dia jangan membunuhmu."
Tergerak hati Thi Un-hou berempat, baru sekarang teringat oleh mereka bahwa anak ini memang seperti pernah dilihatnya dari kejauhan di kapal layar pancawarna waktu terjadi pertempuran di pantai tempo hari.
Terlihat Po-ji membusungkan dada dan memaki, "Meski kuanggap kalian ini manusia, siapa tahu kalian sebenarnya adalah hewan. Biarpun kau bunuh diriku juga jangan harap akan ...."
Bok-long-kun menyeringai, kesepuluh jarinya serupa cakar burung itu terus mencengkeram kepala Po-ji.
Selagi Thi Un-hou berempat hendak bertindak, tahu-tahu Ciu Hong telah mendahului menarik Po-ji ke belakangnya, ucapnya dengan terkekeh, "Hehe, masakah majikan muda Jing-bok-tong yang terhormat juga sudi menganiaya seorang anak kecil ...."
"Enyah!" bentak Bok-long-kun dengan gusar, sekali ayun tangannya, kontan Ciu Hong terpukul jatuh.
Akan tetapi Thi Un-hou lantas menarik Po-ji ke sana, desisnya, "Lekas masuk ke 245
Koleksi Kang Zusi
kabin kapal, lekas!"
Tanpa menunggu jawaban segera ia dorong Po-ji ke dalam kapal.
Po-ji masih sangsi, siapa tahu pada saat itu juga dari balik tabir di bagian belakang kabin kapal terdengar jeritan tertahan seorang perempuan, "Po-ji ...."
Suara itu rasanya sangat dikenal Po-ji, seketika telinga Po-ji mendengung, darah pun bergolak, cepat ia menerjang ke balik tabir. Belum lagi ia sempat lihat, enam tangan sudah lantas merangkulnya dengan erat, tiga orang pun berseru bersama,
"Po-ji, ken ... kenapa engkau datang kemari"...."
Bau harum menusuk hidung, sambil meronta Po-ji coba mengawasi mereka, kiranya ketiga orang ini adalah gadis jelita yang diusir Kim-ho-ong dari kapal layar pancawarna itu.
Ketiga gadis itu merasa girang dan juga kejut serta heran, air mata bercucuran, entah gembira atau duka. Ketiganya memeluk Po-ji dengan erat, ada yang mencium, ada yang membelai sayang, muka Po-ji pun basah oleh air mata, akhirnya sukar diketahui apakah air mata sendiri atau air mata ketiga gadis itu.
Dalam keadaan demikian, Po-ji merasa segala siksa derita yang dialaminya sudah mendapatkan imbalan yang melegakan.
Tiba-tiba seorang mendengus, "Huh, tidak malu, masa gadis orang dipeluk dan dicium segala?"
Muka Po-ji seketika marah, cepat ia melepaskan diri dari rangkulan mereka.
Maka terlihatlah seorang anak dara bermata besar menongkrong tinggi di atas meja, sikapnya dingin, namun mukanya merah dan sedang menatap Po-ji dengan terbelalak, siapa lagi dia kalau bukan Siaukongcu.
Tergetar hati Po-ji dan melenggong memandangi anak dara itu.
"Hah, Siaukongcu bisa saja, orang dibuat marah begini, kami kan kakaknya, kenapa kalau cuma mencium sayang padanya?" ujar kawanan gadis tadi dengan tertawa.
"Masa tidak menjadi soal saling cium?" kata Siaukongcu.
"Dengan sendirinya tidak menjadi soal ...." kawanan gadis itu menjawab dengan tertawa.
Mendadak Siaukongcu pentang kedua tangan dan melompat turun dari meja, langsung Po-ji dirangkulnya, leher anak muda itu terus digigitnya sekali dengan geregetan sambil mengomel, "Telur busuk kecil, mengapa setiap orang sayang padamu" Selanjutnya hendaknya kau berubah memuakkan sedikit agar tidak setiap orang menciummu."
Berguncang juga perasaan Po-ji, tapi entah manis atau kecut, sungguh ia pun geregetan dan ingin membalas gigit sekali pada muka Siaukongcu.
Tapi belum lagi ia menggigit, tahu-tahu Siaukongcu sudah menggigit dua kali pada mukanya.
Po-ji menjerit kesakitan, sebaliknya Siaukongcu tertawa mengikik, katanya, "Apa 246
Koleksi Kang Zusi
sakit" Biar kau mati kesakitan!"
Mendadak ia genjot perut Po-ji, lalu melompat lagi ke atas meja dan duduk membelakangi anak muda itu tanpa menghiraukannya.
Dengan sebelah tangan meraba muka dan tangan lain memegang perut, Po-ji memandang kawanan gadis dengan menyengir. Kawanan gadis tertawa geli terpingkal-pingkal.
"Toako ...." tiba-tiba seorang memanggil dengan agak takut-takut.
Waktu Po-ji menoleh, dilihatnya Gu Thi-lan berdiri di sana.
Tapi sebelum ia bicara, kembali Siaukongcu melompat turun lagi dan berseru,
"Kau panggil Toako padanya" .... Telur busuk kecil, tak tersangka kau punya istri besar, sekarang punya lagi adik perempuan besar."
Muka Thi-lan tampak merah, muka Po-ji juga merah, katanya kepada Thi-lan,
"Jangan hiraukan dia ... dia orang gila kecil ... aduhh!"
Rupanya lehernya kembali digigit sekali oleh Siaukongcu.
Pada saat itu juga, mendadak berkumandang jeritan ngeri di luar anjungan.
Agaknya pertarungan sengit masih terus berlangsung.
Setelah Thi Un-hou berempat menyelamatkan Po-ji tadi segera mereka mengadang di depan Bok-long-kun. Biarpun Bok-long-kun suka meremehkan orang lain, melihat sikap garang keempat orang itu, mau tak mau tertegun juga dia, tegurnya gusar, "Jadi kalian sengaja hendak ikut campur urusan ini?"
"Ya," jawab Thi Un-hou tegas.
"Sayang, sungguh sayang!" kata Ban-lohujin tiba-tiba. "Kaum kesatria Tionggoan sejak kematian Liu Siong hingga sekarang sudah mati berpuluh orang, Pek Sam-kong pun dalam keadaan setengah mati, sampai tinggal di rumah sendiri pun tidak berani dan menghilang entah ke mana. Orang gagah yang tersisa tinggal kalian berempat saja, tak tersangka hari ini kalian pun mencari mati."
"Betul, kami memang ingin mencari mati, silakan!" jengek Thi Un-hou.
"Eh, anak sayang, mengapa terburu-buru ...." ujar Ban-lohujin dengan gegetun.
Mulut bicara, diam-diam hati merancang apa yang harus diperbuatnya. Meski anak buah Thian-hong-pang tidak perlu dikhawatirkan, namun keempat orang ini memang sulit dibereskan.
Sampai sejauh itu Bok-long-kun juga tidak turun tangan, jelas ia pun memperhitungkan bila melulu mengandalkan tenaga sendiri pasti sulit mengalahkan keempat orang ini, biarpun ditambah Ban-lohujin juga tidak bakalan unggul, terpaksa ia menunggu Toh-liong-cu saja turun tangan sendiri.
Akan tetapi Toh-liong-cu justru tidak ambil pusing, biarpun dunia kiamat pun seperti tidak dihiraukannya, yang dipikir hanya Kiang Hong yang terus dipeluknya.
Bok-long-kun mengentak kaki dengan gemas, ia melompat ke samping si tuli, ditepuk pundaknya dan menuding Thi Un-hou, namun Toh-liong-cu tetap anggap 247
Koleksi Kang Zusi
tidak tahu. Dengan mendongkol Bok-long-kun memaki, "Asalkan mendapatkan orang perempuan, jiwa pun tidak dipikirkan lagi oleh keparat ini."
Ban-lohujin tersenyum, katanya, "Aku ada akal."
Ia tepuk-tepuk pundak Toh-liong-cu, lalu membentang tangan dan membuat garis tubuh berpotongan gitar, kemudian memperlihatkan tiga jari dan mengacungkan jempol serta menuding ke dalam kabin kapal.
Isyarat tangan ini dapat dipahami setiap orang, yaitu maksudnya di dalam kapal ada tiga perempuan cantik nomor satu.
Sekali ini Toh-liong-cu memerhatikan kata isyarat Ban-lohujin itu, mendadak ia berdiri, Kiang Hong dilemparkan begitu saja ke rawa.
Waktu itu Gu Thi-wah dan adiknya masih saling pukul dan saling rangkul di dalam air, Thi-wah berseru, "Hei, Loji, apakah kau sudah punya bini?"
"Kau sudah makan belum hari ini, Lotoa?" Thi-hiong juga bertanya.
"Wah, Loji, kau sudah tumbuh semakin besar!" kata Thi-wah.
Begitulah keduanya bicara dan bertanya sendiri-sendiri, namun bicara dengan gembira, ada-ada saja yang mereka pertanyakan, namun jawaban selalu menyimpang. Sama sekali mereka tidak menghiraukan orang lain yang sedang ribut dan saling membunuh.
Ketika mendadak seorang jatuh di samping Thi-wah barulah mereka berhenti bicara, cepat Thi-wah membangunkan orang itu, ucapnya sambil tertawa lebar,
"Eh, kiranya seorang cewek, aneh, mengapa tidak pakai baju"!"
Dengan sendirinya orang yang dibangunkan itu adalah Kiang Hong, karena kecebur ke dalam air, perlahan ia lantas siuman.
Ketika angin meniup dan merasa tubuhnya silir dingin dengan baju robek dan setengah telanjang, malahan berada dalam pelukan seorang lelaki gede, saking malu dan gemasnya, tanpa peduli siapa orang ini segera ia menjotosnya.
Akan tetapi ia baru siuman, tenaga masih lemah, sebaliknya pembawaan Gu Thi-wah berotot kawat bertulang besi, pukulan Kiang Hong itu seperti menggaruk gatal pada tubuhnya.
Berulang Kiang Hong memukul beberapa kali dan Thi-wah tetap tidak bergerak, bahkan merangkul terlebih erat, katanya dengan tertawa, "Eh, jangan bergerak, nanti jatuh lagi ke dalam air, bisa masuk angin."
Selama hidup Kiang Hong mana pernah mendapat perlakuan demikian, saking gusarnya, dada merasa sesak dan kembali ia jatuh pingsan lagi.
Sambil bertepuk tangan Thi-hiong lantas berseru dengan tertawa, "Haha, cewek cantik jatuh dari langit, kebetulan dijadikan bini Lotoa ...."
Di sebelah sana Siau Bwe-jiu juga sedang berteriak, "Hai, anak dogol, lekas antar dia ke sini tentu kuberi hadiah besar ...."
248 Koleksi Kang Zusi
"Ah, mana boleh jadi, dia punyaku ...." dengan tertawa lebar Thi-wah menjawab.
Mendadak Siau Bwe-jiu melompat ke arahnya, dan Thi-wah terus lari, meski ia tidak mahir Ginkang, namun perawakannya besar dan kakinya panjang, untuk lari di rawa-rawa begitu tentu saja lebih menguntungkan daripada orang biasa.
Sembari berlari dan meloncat, akhirnya Thi-wah menyusup ke tengah semak-semak gelagah. Siau Bwe-jiu tetap tidak dapat menyusulnya, sampai di depan semak gelagah, sia-sia saja Siau Bwe-jiu gelisah dan mendongkol, namun tidak berani sembarangan mengejar masuk ke semak gelagah yang lebat itu.
Jilid 10. Misteri Kapal Layar Pancawarna
Published by Nra on 2006/6/29 (1257 reads)
Dalam pada itu perlahan Toh-liong-cu sedang mendekati Thi Un-hou dan lain-lain, namun orang-orang itu tidak dihiraukan, langsung ia hendak masuk ke anjungan kapal.
Serentak Thi Un-hou dan Li Eng-hong menerjang maju, dua macam senjata, satu keras dan satu lemas, satu panjang dan satu pendek, sekaligus menyerang dari kanan dan kiri.
Mereka berdua memang tidak malu sebagai tokoh terkemuka, dua jalur perak menyambar dan mengadang rapat jalan lalu Toh-liong-cu.
Mendadak Toh-liong-cu menarik diri dan menyurut mundur setombak jauhnya, tampaknya dia akan kecebur ke dalam air, tentu saja Thi Un-hou dan Li Eng-hong sama melengak.
Siapa tahu pada saat itu juga punggung Toh-liong-cu serupa pakai pegas sehingga tubuh melenting balik, berbareng kedua tangan menghantam ke kanan dan ke kiri.
Gerak pergi-datangnya secepat hantu, betapa pun luas pengalaman Thi Un-hou dan lain-lain, sama melongo juga menyaksikan kungfu sehebat ini.
Maka terdengar suara "srak", tahu-tahu ujung tombak berantai Li Eng-hong kena ditangkap Toh-liong-cu, ketika kedua orang sama membetot, tombak berantai itu terentang lurus.
Meski Li Eng-hong terkenal karena Ginkangnya, tenaga tangannya ternyata juga tidak lemah, tombak berantai tidak sampai terampas musuh, siapa tahu mendadak Toh-liong-cu mengayun sebelah kakinya, tombak berantai itu ditendangnya putus.
Waktu itu Li Eng-hong sedang membetot sekuatnya, karena rantai putus, dengan sendirinya ia kehilangan imbangan dan terhuyung ke belakang.
Dalam pada itu tangan Toh-liong-cu yang lain juga lantas memotong pergelangan tangan Thi Un-hou, terpaksa Thi Un-hou tarik kembali tombaknya dan balas menyerang tangan lawan.
Sungguh luar biasa kepandaian Toh-liong-cu, tampaknya dia sudah kepepet, namun dalam posisi yang tidak menguntungkan dia masih mampu menerobos lewat di bawah kerubutan Thi Un-hou berdua dan segera akan menyusup ke dalam kabin. Tiba-tiba entah dari mana datangnya, tahu-tahu Kim-ih-hou Ciu Hong mengadang di depan Toh-liong-cu.
Karena tidak tahu seluk-beluk lawan ini, cepat Toh-liong-cu menyurut mundur.
"Lihat ini ...." kata Ciu Hong dengan tertawa sambil mengangkat kotaknya, sekali tepuk, dari dalam kotak menyembur keluar asap tipis berwarna jambon.
Hanya dalam sekejap saja tadi asap ini dapat merobohkan orang, tapi sekarang meski disembur oleh asap itu, Toh-liong-cu tetap berdiri tegak tanpa merasakan apa-apa.
249 Koleksi Kang Zusi
"Sungguh hebat, coba lagi ...." seru Ciu Hong, kembali ia tepuk kotaknya, mendadak dua bilah pisau kecil menyambar kedua telinga Toh-liong-cu.
Akan tetapi sekali tangan Toh-liong-cu meraih tahu-tahu kedua pisau itu hilang tanpa bekas.
Berubah air muka Ciu Hong. Sikap Toh-liong-cu justru seperti anak kecil yang tertarik oleh permainan sulap, ia memberi tanda agar Ciu Hong main sulap lagi.
Sementara itu Bok-long-kun juga telah menubruk ke arah Song Kong, hanya sekejap saja kedua orang sudah saling gebrak dua-tiga jurus, cepat dan berbahaya, sama sekali berbeda daripada pertarungan Ciu Hong dan Toh-liong-cu yang serupa orang bersenda gurau itu.
"Hei, Bok-long-kun, keluarkan jurus maut, kita harus serbu sendiri ke dalam, jangan andalkan si tuli yang sinting itu," seru Ban-lohujin. Berbareng tongkatnya juga lantas menyerampang Cian Siang-sing.
Bok-long-kun mendengus, "Hm, boleh kau lihat jurus mautku!"
Sekali bergerak, kedua tangan menghantam lurus ke depan dengan dahsyat. Meski ganas serangannya, namun dada sendiri menjadi tidak terjaga juga.
Song Kong berjuluk Kay-pi-jiu, si Tangan Penghancur Pilar, suatu tanda betapa hebat tenaga pukulannya, begitu melihat ada peluang, tentu saja ia sangat girang, sedikit bergeser, mendadak ia menghantam dada lawan.
"Plak", dengan tepat pukulannya mengenai sasarannya. Girang sekali Song Kong, ia yakin majikan Sin-bok-tong yang termasyhur ini sekarang pasti akan binasa di bawah pukulannya.
Siapa tahu, meski terkena pukulan dengan telak, Bok-long-kun serupa tidak merasakan sesuatu, malahan kedua tangannya lantas mengacip, menggunting tangan Song Kong yang menghantam dadanya itu.
Keruan Song Kong terkejut, ingin menghindar pun tidak keburu lagi, maka terdengarlah suara
"krek", tulang lengan patah terkacip ia menjerit dan roboh tak sadarkan diri.
Mendengar jeritan ini, Po-ji dan lain-lain yang berada di dalam kabin sama terkejut dan cepat memburu ke pintu dan coba mengintip keluar.
Terlihat dari kotak yang dibawa Ciu Hong itu mendadak melompat keluar seorang perempuan cantik mini terbuat dari besi dan sedang menari-nari di atas kotak.
Toh-liong-cu berkeplok senang melihat permainan lucu itu, sekonyong-konyong si cantik besi itu berputar, tahu-tahu secomot jarum lembut menyambar ke depan dari tangan boneka besi itu.
Sejak tadi Thi Un-hou dan Li Eng-hong juga sudah menunggu kesempatan, melihat ada peluang, tanpa ayal lagi tombak mereka lantas menyerang punggung dan juga kepala Toh-liong-cu.
Jadi Toh-liong-cu sekaligus diserang dari tiga jurusan, akan tetapi mendadak ia mendak ke bawah, berbareng kaki menyerampang. Thi Un-hou dan Li Eng-hong sempat mengelak, hanya Ciu Hong yang tersapu jatuh dan terguling ke sana dengan tetap merangkul kotaknya, ia terguling sampai ke pojok sana dan tidak sanggup berdiri lagi.
Dengan sendirinya Thi Un-hou dan Li Eng-hong tidak rela membiarkan Toh-liong-cu menyusup ke dalam kabin, serentak mereka menyerang lagi terlebih gencar sehingga seketika Toh-liong-cu sulit melepaskan diri.
250 Koleksi Kang Zusi
Mendadak Bok-long-kun menerjang ke belakang Li Eng-hong, cepat Li Eng-hong menyambutnya dengan putar tombak berantai, tak terduga olehnya tombak berantai yang putus sebagian itu tepat mengenai dada Bok-long-kun. Namun Bok-long-kun hanya tertawa terkekeh saja, kedua tangan yang kurus kering serupa kayu itu tetap menghantam. Terpaksa Li Eng-hong mendoyong ke belakang sambil menyurut mundur. Sungguh sukar dimengerti bahwa dada lawan ternyata kebal senjata, mau tak mau timbul rasa jerinya.
Dilihatnya sembari menyeringai Bok-long-kun sedang mendesak maju, meski memegang tombak berantai, seketika Li Eng-hong tidak berani menyerang lagi.
Selagi bingung, tiba-tiba suara seorang membisikinya, "Jangan takut, dia tidak kebal senjata melainkan karena dia memakai tameng pelindung dada pusaka."
Terbangkit semangat Li Eng-hong, tanpa sempat memikirkan dari mana datangnya suara bisikan itu, serentak ia putar lagi tombaknya dan menyerang beberapa kali.
Di sebelah sana pertarungan Cian Siang-sing dengan Ban-lohujin juga semakin sengit.
Meski kedua ruyung Cian Siang-sing cukup lihai, namun berada di dalam ruang kapal yang sempit, sukar mengeluarkan segenap daya serangnya, ke mana ruyungnya berputar, kalau tidak menghantam dinding kabin tentu membentur tiang kapal. Sebaliknya Ban-lohujin dapat menyelinap kian kemari di bawah sambaran ruyung lawan, tongkatnya selalu mencari peluang untuk melancarkan serangan balasan.
Yang berbahaya adalah sekujur badan nenek itu penuh senjata rahasia, setiap kali tangan bergerak, berbagai senjata rahasia lantas dihamburkan sehingga Cian Siang-sing agak kewalahan.
Dalam pada itu keadaan di tengah semak gelagah sana juga kacau-balau.
Terdengar Siau Bwe-jiu berteriak dan membentak, "Kejar! Jangan sampai lolos anak dungu itu
.... Tapi awas, jangan mencederai orang yang digendongnya itu!"


Misteri Kapal Layar Pancawarna Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Di tengah semak gelagah itu memang tersembunyi anak buahnya, sekarang semuanya lantas ikut mengejar. Namun Gu Thi-wah yang berkaki panjang itu menarik keuntungan besar berlarian di rawa yang berlumpur itu. Baginya satu langkah sama dengan dua-tiga langkah orang biasa, biarpun di antara pengejarnya ada yang menguasai Ginkang, namun berlari di tengah lumpur rawa-rawa itu terasa tidak leluasa juga.
Sambil berlari Gu Thi-wah sempat tertawa dan mengejek, "Ayolah kejar kalau mampu ...."
Tidak kepalang gemas Siau Bwe-jiu, tapi dalam keadaan begitu, ia pun khawatir Kiang Hong akan dicederai sehingga tidak berani memerintahkan anak buahnya menghamburkan senjata rahasia, maklumlah, dia memang menaruh maksud tertentu terhadap Kiang Hong.
Melihat sang pimpinan dibawa lari musuh, anak buah Thian-hong-pang banyak yang ikut terjun ke dalam rawa dan bantu mengejar musuh. Seketika terjadilah pertarungan sengit yang sukar dibedakan kawan atau lawan di tengah rawa.
Betapa banyak anak buah yang dibawa Siau Bwe-jiu tetap sukar melawan anak buah Thian-hong-pang di kandang sendiri. Setelah bertempur sekian lama, keadaan anak buah Thian-hong-pang jelas lebih unggul, di antara sepuluh orang yang menjerit roboh ada tujuh orang anak buah Siau Bwe-jiu.
Dengan wajah masam Siau Bwe-jiu menyaksikan pertarungan seru itu, tiba-tiba ia menyeringai dan berteriak, "Bakar!"
Serentak anak buahnya yang tersebar di sana-sini sama menanggapi, "Bakar ... bakar!"
251 Koleksi Kang Zusi
Hanya dalam sekejap saja api lantas berkobar di tengah semak-semak gelagah.
Dalam pada itu pertarungan sengit di atas kapal sudah mulai jelas pihak mana yang lebih kuat.
Ban-lohujin tahu ketangkasan Cian Siang-sing, ia tidak mau bergebrak keras lawan keras melainkan terus main lari kian kemari, lambat laun tenaga Cian Siang-sing banyak terkuras, pundak pun sempat dilukai lawan.
"Ai, sayang, tampaknya jago dunia persilatan Tionggoan akan berkurang satu orang lagi," ejek Ban-lohujin.
"Kentut busuk!" teriak Cian Siang-sing dengan gusar, kedua ruyungnya menyabat terlebih dahsyat.
Namun Ban-lohujin sempat menyelinap lewat di bawah sambaran ruyung lawan, ucapnya,
"Namamu senantiasa menang (Siang-sing), tapi sekali ini kau pasti akan keok!"
Sekonyong-konyong tongkatnya menangkis ruyung lawan, berbareng dua biji manisan cermai turun menyambar ke depan.
Terdengar Cian Siang-sing berkeluh tertahan, dadanya terluka pula, waktu putar ruyung bagian terluka itu terasa sakit, tampaknya tidak sanggup tahan lama lagi.
Di sebelah lain Thi Un-hou juga sudah mandi darah, hanya semangat tempurnya yang pantang menyerah masih tetap nekat menghadapi Toh-liong-cu.
Di antara mereka hanya Li Eng-hong yang masih menahan Bok-long-kun, meski posisinya juga terdesak, tapi setiap kali bila keluar jurus serangannya yang aneh, dalam keadaan kepepet dapatlah ia mematahkan serangan Bok-long-kun.
Rupanya setiap kali bila ia terancam bahaya, segera bisikan yang misterius itu lantas bergema di tepi telinganya, memberi petunjuk suatu gerakan yang tak terpikir olehnya dan dapatlah serangan Bok-long-kun digagalkan.
Diam-diam Li Eng-hong dapat menduga suara bisikan itu pasti datang dari seorang tokoh kosen yang menyampaikannya dengan ilmu mengirim gelombang suara. Cuma sukar diduganya sesungguhnya siapakah gerangan tokoh yang membantunya itu.
Tiba-tiba terdengar Thi Un-hou menjerit, tahu-tahu lengan kanannya dipatahkan Toh-liong-cu,
"trang", tombak pun jatuh ke lantai.
Sorot mata Toh-liong-cu memancarkan warna mengejek seakan-akan hendak bilang "apa dayamu sekarang?" Tanpa menghiraukan Thi Un-hou lagi segera ia menerjang ke dalam kabin.
Akan tetapi Thi Un-hou lantas meraung keras, dengan nekat ia menubruk maju. Namun Toh-liong-cu seperti bisa memandang ke belakang, tanpa menoleh dapat ia mengelak.
"Bruk", Thi Un-hou jatuh terbanting dan kesakitan, akan tetapi sisa tangan kiri pada saat itu juga berhasil merangkul kaki kanan Toh-liong-cu.
Tentu saja Toh-liong-cu sempoyongan dan hampir jatuh juga. Dengan murka ia menghantam pula, "krek", kembali lengan kiri Thi Un-hou dipukul patah.
Toh-liong-cu menyeringai, sorot matanya pun memantulkan cahaya buas, tampaknya bukan manusia lagi melainkan binatang buas yang kejam, dipandangnya Thi Un-hou yang terkapar di bawah kakinya, ia tidak segera membunuhnya, tapi seperti hendak menyiksanya dan mempermainkannya serupa kucing mempermainkan tikus.
252 Koleksi Kang Zusi
Melihat sikap kejam dan sinar mata Toh-liong-cu yang beringas itu, sampai Ban-lohujin juga merasa ngeri.
Perlahan Toh-liong-cu menjulur tangan dan hendak mencekik Thi Un-hou. Mendadak Un-hou mengerang dan menggigit betis Toh-liong-cu. Keruan Toh-liong-cu kesakitan, ia pun meraung dan berjingkrak-jingkrak, kaki menendang dan mendepak. Namun betapa pun Toh-liong-cu bertindak tetap Thi Un-hou tidak melepaskan gigitannya, betapa tinggi Toh-liong-cu meloncat, tetap ia lengket pada kaki orang.
Dengan nekat Cian Siang-sing menyabat dengan ruyungnya. Pada saat itulah segulung api terlempar tiba dan jatuh di ruang anjungan.
Cian Siang-sing terkejut dan menyurut mundur, mendadak tangan terasa kebetot, rupanya ujung ruyungnya terpegang oleh Toh-liong-cu sehingga terjadi saling tarik. Terasa suatu arus tenaga panas tersalur tiba melalui ujung ruyung, Cian Siang-sing tidak sanggup memegangi lagi ruyungnya.
Setelah merampas ruyung orang, segera Toh-liong-cu menggunakan ruyung itu untuk menghantam kepala Thi Un-hou.
Tampaknya kepala Thi Un-hou pasti akan hancur, tiba-tiba sesosok bayangan kecil menerjang tiba dari samping dan jatuh di atas tubuh Thi Un-hou sambil berteriak dengan suara parau, "Jika ingin membunuh silakan bunuh dulu diriku!"
Siapa lagi dia kalau bukan Pui Po-ji, ia merangkul leher Thi Un-hou dengan erat, wajah penuh air mata.
Tertegun Toh-liong-cu yang memegang ruyung itu, sembari menyeringai, akhirnya ruyung tetap dihantamkan. Namun Po-ji tidak gentar sedikit pun, ia mengertak gigi dan mendelik.
Pada saat itulah terdengar beberapa kali jeritan kaget, beberapa sosok bayangan sama memburu tiba, dua di antaranya lantas menubruk di atas tubuh Pui Po-ji.
Terdengar suara "trang" sekali, tombak Toh-liong-cu tertangkis oleh ruyung Cian Siang-sing, berbareng Li Eng-hong juga mengadu pukulan sekali dengan Toh-liong-cu.
Rupanya kedua orang itu menjadi nekat dan tidak menghiraukan keselamatan sendiri demi melihat Po-ji terancam bahaya. Ban-lohujin dan Bok-long-kun ternyata juga tidak merintangi mereka, kedua iblis yang kejam ini sekarang juga timbul rasa sayang terhadap Po-ji, kalau tidak mana mereka mau membiarkan Li Eng-hong dan Cian Siang-sing bertindak sesukanya.
Kedua orang yang menubruk di atas tubuh Po-ji ternyata dua anak gadis, seorang gadis lain merangkul erat Siaukongcu. Agaknya keempat gadis ini pun tidak menghiraukan keselamatan sendiri demi melihat Po-ji ada kesulitan, serentak mereka memburu keluar dan semuanya berusaha menyelamatkan anak muda itu.
Gadis yang menutupi tubuh Po-ji itu berteriak parau, "Setiap orang di dunia ini boleh kau bunuh, hanya ... hanya anak ini saja kalian tidak boleh mengganggunya."
Dalam pada itu Cian Siang-sing dan Li Eng-hong juga telah melabrak Toh-liong-cu sehingga si tuli tidak sempat melakukan keganasan terhadap Po-ji.
Kaki Toh-liong-cu tidak dapat bergerak karena diganduli Thi Un-hou, namun dia tidak gentar menghadapi kerubutan orang banyak. Sekonyong-konyong ia meloncat ke atas dan melayang jauh ke sana.
Agaknya karena dirangkul oleh Po-ji sehingga gigitan Thi Un-hou menjadi longgar sehingga 253
Koleksi Kang Zusi
memberi kesempatan kepada Toh-liong-cu untuk melepaskan diri.
Bok-long-kun lantas memburu maju dan menjengek, "Hm, kenapa anak ini tidak boleh dibunuh?"
"Apakah kalian tahu nasib dunia persilatan selanjutnya terletak di tangan anak ini?" jawab gadis tadi.
"Hm, biarpun segenap jago dunia persilatan habis ludes juga nasib dunia persilatan tidak tergantung pada anak kecil yang masih ingusan ini," jengek Bok-long-kun pula.
Si gadis tadi berteriak parau, "Meski dia masih kecil sekarang, namun Houya kami telah memberitahukan rahasia satu-satunya orang yang mampu mengatasi pendekar pedang berbaju putih itu kepada anak ini, jika dia mati dan si baju putih datang lagi tujuh tahun kemudian, lalu siapa yang sanggup melawannya?"
Bok-long-kun tertawa dingin, katanya, "Biarpun segenap tokoh dunia persilatan terbunuh habis oleh si baju putih juga tidak ada sangkut paut sedikit pun denganku."
Habis berkata, langsung tangannya yang kurus kering serupa cakar burung terus mencengkeram Po-ji.
"Tahan!" bentak Siaukongcu mendadak. "Kedatangan kalian adalah karena kami berempat, asalkan kau lepaskan dia, kami berempat siap ikut pergi bersamamu."
Si gadis yang merangkul Siaukongcu itu meratap, "Jangan Siaukongcu, jang ... jangan!"
Dengan air mata berlinang Siaukongcu berkata, "Ia pernah menolong kita tanpa menghiraukan nyawa sendiri, mengapa sekarang kita tidak menolong dia dengan jiwa kita ...."
Gadis itu menunduk dan menangis.
Siaukongcu berteriak pula, "Asalkan kami ikut pergi bersamamu, maka segala harta benda di dalam kapal pancawarna itu akan menjadi milik kalian .... Memangnya kalian belum mau melepaskan dia?"
Hendaknya maklum, tentang kapal layar pancawarna terdampar oleh hujan badai belum lagi diketahui orang Kangouw, sebab itulah ketika Ban-lohujin mengetahui Siaukongcu dan beberapa gadis itu jatuh dalam cengkeraman orang Thian-hong-pang, tanpa menghiraukan bagaimana akibatnya ia bermaksud merebut nona cilik itu, tujuannya tentu saja harta benda dan kitab pusaka dalam kapal pancawarna itu. Juga lantaran itulah Bok-long-kun terbujuk oleh Ban-lohujin, kalau tidak, dia memang berniat membinasakan nenek itu, mana mungkin sekarang mereka dapat bersekutu malah"
Sebabnya Siaukongcu merahasiakan tentang musibah yang menimpa kapal layar pancawarna, dengan sendirinya juga hendak menggunakan kapalnya untuk memancing mereka, ia yakin ucapannya pasti akan menarik perhatian orang-orang yang tamak itu.
Setelah ragu sejenak, akhirnya Bok-long-kun urung menyerang. Ban-lohujin lantas berseru,
"Jika kau mau ikut pergi bersama kami harus cepat, kalau terlambat tentu tidak sempat lagi."
Waktu Siaukongcu menoleh, terlihat Cian Siang-sing dan Li Eng-hong masih bertempur sengit dengan Toh-liong-cu, sedang sekeliling rawa sudah berubah menjadi lautan api.
Banyak orang berlarian di tengah rawa sambil menjerit, semuanya berebut cari jalan lolos dari kepungan api, bila tertumbuk jatuh, segera terinjak-injak mati di dasar rawa.
Kiranya semula api hanya berkobar di jurusan timur, barat dan selatan, tapi ketika Siau Bwe-jiu 254
Koleksi Kang Zusi
menerjang keluar bersama anak buahnya melalui jurusan utara, lalu tanpa menghiraukan mati-hidup orang lain mereka pun membakar ladang gelagah di sebelah utara. Dalam keadaan terkepung api, semua orang terpaksa berhenti bertempur memikirkan berusaha mencari selamat.
Terdengar suara ribut di sana-sini, air lumpur rawa pun berubah merah, di bawah cahaya api suasana bertambah seram dan menggetar sukma.
Menghadapi adegan begitu, kaki dan tangan Siaukongcu dingin dan gemetar, mendadak ia menarik Gu Thi-lan dan berkata, "Kau ... kau harus menjaga dia baik-baik."
Thi-lan juga gemetar dan tidak sanggup bicara lagi.
"Tapi ... tapi meski kalian melepaskan dia cara ... cara bagaimana dia dapat lolos dari sini" ...."
teriak Siaukongcu pula.
Belum lanjut ucapannya mendadak ia diangkat oleh Ban-lohujin.
"Lepaskan dia ... lepaskan ...." seru salah seorang gadis.
"Ikut terjang keluar, kalau tidak, biar kumampuskan dulu Po-ji," ancam Ban-lohujin, sembari menggendong Siaukongcu, tangan lain ia seret gadis itu terus menerjang keluar anjungan.
Segera Bok-long-kun menjambak rambut gadis yang bertiarap di atas tubuh Po-ji itu, sekaligus ia angkat kedua gadis itu, ucapnya sambil menyeringai, "Ayo berangkat!"
Sekali tangan berayun, ia lemparkan salah seorang gadis itu ke arah Toh-liong-cu, sembari mengempit gadis satunya lagi segera ia menerjang keluar bersama Ban-lohujin.
Terdengar Siaukongcu menjerit pilu, "Lepaskan aku ... lepaskan .... Jika Po-ji tidak dapat diselamatkan, biar ... biar aku pun mati bersama dia."
Toh-liong-cu sempat mendesak mundur Li Eng-hong, ruyung rampasannya juga ditimpukkan ke arah Cian Siang-sing, lalu ia tangkap gadis yang dilemparkan kepadanya itu terus melayang ke sana, malahan sekaligus ia sambar pula gadis yang diseret Ban-lohujin itu dan dikempit pula.
Terlihat bayangan ketiga orang melompat naik-turun, mereka menggunakan tubuh orang yang bergelimpangan di rawa-rawa itu sebagai batu loncatan terus menerjang keluar lautan api.
Ban-lohujin agak terlambat, mendadak ia disambar lidah api, namun Ban-lohujin sempat meraih seorang lelaki terus dilemparkan ke arah api.
Orang itu menjerit dan jatuh ke tengah hutan api, lidah api tertolak ke bawah dan kesempatan itu digunakan Ban-lohujin untuk melayang ke sana.
Di dalam anjungan mendadak terdengar suara gemuruh, ruyung Cian Siang-sing menyampuk tombak yang dilemparkan Toh-liong-cu tadi, ia terhuyung-huyung dan mendadak roboh terkulai.
Rupanya dia sudah kehabisan tenaga, cuma dia masih terus bertempur mati-matian. Sekarang lawan tangguh telah kabur, semangatnya seketika runtuh dan ambruk.
Li Eng-hong juga kelihatan sempoyongan, ia lihat di antara keempat tokoh Tionggoan yang tersisa saat ini tinggal ia sendiri yang masih dapat berdiri tegak, namun betapa pedih dan duka perasaannya sukar pula diketahui orang lain.
Di antara orang-orang yang berlarian di rawa-rawa itu, meski ada beberapa orang sempat meloloskan diri, namun lebih banyak pula yang roboh. Kini jumlah orang yang berlarian sudah 255
Koleksi Kang Zusi
sedikit, jeritan juga mereda, namun api justru berkobar terlebih hebat.
Mayat bergelimpangan di sana-sini, ada pula yang sekarat dan masih meronta-ronta di tengah air lumpur, ada yang jatuh terduduk tak berkutik dan menanti ajal. Song Kong sudah mati, Thi Un-hou dalam keadaan sekarat, Cian Siang-sing roboh tak sadarkan diri, Siaukongcu diculik orang, Thian-hong-pang runtuh habis-habisan ....
Pertempuran ini boleh dikatakan kalah total, kini hanya tersisa Li Eng-hong sendiri yang masih mengenyam rasa kalah yang mengenaskan ini.
Po-ji mengeluh tertahan dan meronta bangun, tadi ia jatuh pingsan karena cemasnya, sekarang keadaan sekitarnya membuatnya ngeri juga.
Api semakin berkobar, suasana sepi, hanya bunyi "pletak-pletok" api yang membakar semak gelagah dan deru angin serupa paduan suara yang membawakan lagu maut.
Mendadak Gu Thi-lan berlari mendekati Li Eng-hong, ia berlutut dan memegang tangan Li Eng-hong yang dingin, ratapnya dengan parau, "Kumohon dengan ... dengan sangat, bawalah dia pergi dari sini, kalau tertunda lagi tentu ... tentu tidak keburu lagi."
Li Eng-hong menunduk dan memandangnya sekejap, katanya, "Dan kau sendiri?"
"Aku ... aku tidak menjadi soal ...." jawab Thi-lan.
"Tidak, dia saja kau bawa pergi, aku tidak menjadi soal," seru Po-ji.
"Kau tidak takut mati?" tanya Li Eng-hong.
"Aku takut mati, juga tidak ingin mati," jawab Po-ji. "Tapi apakah orang lain ingin mati?"
"Orang lain boleh mati, hanya engkau tidak ... tidak boleh mati," ujar Thi-lan.
"Tidak, setiap orang sama-sama sayang nyawa," teriak Po-ji. "Aku tidak boleh mati, kau juga tidak. Cian ... Cian-toasiok juga tidak boleh mati, begitu pula yang lain."
Tersembul senyuman pedih pada ujung mulut Li Eng-hong, ucapnya sekata demi sekata, "Tapi mungkin semua orang akan mati di sini ...."
Belum habis ucapannya, "bruk", ia pun jatuh terkulai.
Pucat wajah Gu Thi-lan, mendadak ia pegang tahu Po-ji, teriaknya parau, "Lekas ... lekas kau pergi ... apa pun juga kau harus berdaya menyelamatkan diri!"
"Tidak, aku tidak mau pergi, tidak boleh kutinggalkan kalian di sini!" jawab Po-ji singkat dan tegas melukiskan tekadnya.
Mendadak Thi-lan berteriak gusar, "Kau tahu, justru karena berusaha menyelamatkan dirimu, maka banyak orang telah berkorban. Kau tahu betapa berat tanggung jawabmu, mana boleh kau mati" Jika mau mati, sungguh sia-sia orang yang berkorban bagimu."
Merah basah mata Po-ji, cepat ia melengos.
Dengan suara berat Li Eng-hong berkata, "Biarpun ia tidak ingin mati, tapi seorang anak kecil seperti dia apakah mampu menerjang keluar?"
Thi-lan melengak, "Dan engkau ...."
"Aku tidak berguna lagi," ujar Li Eng-hong dengan tertawa pedih.
256 Koleksi Kang Zusi
Thi-lan tidak tahan lagi rasa dukanya, ia menangis keras.
Semangat tempur Li Eng-hong sudah runtuh seluruhnya, jiwa kesatrianya pun lenyap oleh kekalahan yang mengenaskan ini, ia duduk lemas di lantai dan menunduk lesu.
Geladak kapal pun sudah terjilat api, tidak lama lagi api akan menjalar ke tubuh mereka, hawa panas dan bau hangus menyesakkan napas. Po-ji dan lain-lain merasa kepanasan, lidah kering dan bibir pecah.
Api berkobar dengan hebat, udara pun merah membara.
Memandangi Thi Un-hou yang kembang kempis itu, Li Eng-hong tersenyum pedih, ucapnya,
"Sejak kita berkecimpung di dunia Kangouw dan mengalami berbagai pertempuran sengit, selama itu kita tidak pernah kalah ... haha, betapa gagah perkasa kita waktu itu, tak tersangka sekarang kita ... kita ternyata harus mati di sini ... haha ... haha ...."
Di tengah gelak tawa keras, air mata pun bercucuran.
Tak terduga, suara bisikan aneh itu segera bergema lagi di tepi telinganya, "Kenapa menangis bila ada orang tua seperti aku yang siap membantumu, masakah kau bisa mati?"
Seketika semangat Li Eng-hong terbangkit, serentak ia mendongak.
Terdengar bisikan itu berkata pula, "Nah, begitulah! Harus tegak leher, membusungkan dada dan berdiri. Pertarungan sengit tadi kan belum mencederaimu, hanya api seperti ini terhitung apa pula" Jika kau mati di tengah kobaran api begini, bukankah akan menjadi buah tertawaan kaum kesatria sejagat"!"
Dengan mengertak gigi Li Eng-hong lantas melompat bangun.
Suara bisikan aneh ini sejak tadi sudah beberapa kali menyelamatkan dia, sekarang malahan mendatangkan semangat mencari hidup baginya, juga membawa kekuatan baru baginya.
Mendadak ia berteriak, "Betul, terjang keluar! Apakah berhasil terjang keluar atau tidak, paling sedikit kan jauh lebih baik daripada mati konyol begitu saja."
Kejut dan girang Thi-lan, serunya dengan suara gemetar, "Bet ... betul, beginilah baru lelaki sejati."
"Kau ikut di belakangku, biarkan Po-ji kugendong, kita ...."
"Tidak!" teriak Po-ji sebelum lanjut ucapan Li Eng-hong.
"Kenapa tidak" Memangnya kau tidak berani" Takut mati?" tanya Eng-hong dengan gusar.
Dengan suara lantang Po-ji menjawab, "Aku tidak takut mati. Tapi bila kita hendak menerjang keluar kita harus membawa serta paman Cian dan paman Thi, sekali-kali tidak boleh kita tinggalkan mereka."
Thi-lan mengentak kaki, ucapnya pedih, "Tapi ... tapi luka mereka sangat parah, biarpun mereka dapat dibawa pergi juga ... juga belum tentu bisa hidup lebih lama lagi."
"Apa pun juga tidak dapat kusaksikan mereka terbakar di sini," ucap Po-ji dengan air mata bercucuran. "Kalau tidak, biarlah aku pun tetap di sini."
Li Eng-hong menghela napas panjang, katanya, "Anak baik, tak tersangka sekecil ini kau sudah berbudi seluhur ini. Cuma ... cuma ...."
257 Koleksi Kang Zusi
"Cuma kita bertiga dapat menerjang keluar atau tidak pun belum dapat diramalkan, apalagi sekarang harus menolong lagi orang lain?" tukas Thi-lan menyesal.
Po-ji berteriak pula, "Tapi mereka telah bertempur mati-matian bagi kita, mengapa kita tidak berkorban bagi mereka. Kalau mau menerjang keluar biarlah kita terjang bersama, kalau mati, biarlah kita mati bersama di sini."
Suaranya matang, maksudnya tegas, tekadnya bulat, sama sekali tidak mirip ucapan seorang anak kecil sebaya dia.
"Bagus!" seru Li Eng-hong dengan tertawa. "Tak tersangka hari ini dapat kulihat seorang anak yang berjiwa kesatria seperti ini, biarpun hari ini kau mati di sini, kisah kepahlawananmu yang mengharukan ini pasti akan tercatat dalam sejarah dan akan menjadi suri teladan kaum kesatria seluruh jagat."
"Jika kita mati semua, siapa pula yang tahu kisah ini?" ujar Thi-lan dengan air mata berlinang.
"Apa pun juga, kita tidak boleh mengecewakan harapan anak ini," teriak Li Eng-hong bengis.
"Nah, boleh kau gendong Cian Siang-sing, aku memanggul Thi Un-hou. Anak baik, ikutlah di belakangku, kita terjang keluar!"
Segera ia angkat Thi Un-hou, lalu membentak, "Terjang!"
Terpaksa Thi-lan mengangkat Cian Siang-sing, sedang Po-ji lantas tertawa dan berkata, "Haha, hari ini baru kutahu arti "mati-hidup bersama" yang luhur ini."
Tiba-tiba dari pojok sana seorang merintih dan berkata, "Masakah kau tega ... tega meninggalkan kakek semacam diriku dan terbakar hidup-hidup di sini?"
Baru sekarang Po-ji melihat Kim-ih-hou Ciu Hong masih menggeletak di pojok sana, saat itu orang tua itu sedang meronta bangun dan berlari keluar dengan setengah merangkak.
"Dia penipu, jangan ...."
Belum lanjut ucapan Thi-lan, cepat Po-ji telah memegang Ciu Hong dan berseru, "Jangan khawatir, akan kupayang dirimu!"
Ia tidak menyadari tenaga sendiri pun terbatas, yang terpikir olehnya hanya ingin membantu orang lain.
Thi-lan merasa gelisah, katanya sambil mengentak kaki, "Ai, cara bagaimana kau mampu ...
mampu memayang orang" Jadinya nanti cuma mengantar kematian belaka."
"Tidak apa-apa," kata Po-ji.
Thi-lan bermaksud bicara lagi, namun tubuh kapal pun sudah terbenam kobaran api dan hampir tidak ada tempat berpijak lagi, terpaksa mereka harus terjun dulu ke rawa.
"Semak gelagah sekeliling sudah terjilat api, cara bagaimana kita dapat lolos?" ujar Ciu Hong sambil menggeleng kepala. "Kukira lebih baik kita tunggu saja di sini."
"Orang menolongmu, masakah kau malah menghambat kehendak orang?" omel Thi-lan dengan gusar.
Namun setelah berpikir, segera Po-ji berseru juga, "Betul, memang lebih baik kita tunggu saja di sini."
258 Koleksi Kang Zusi
"Apa ... apa katamu?" tanya Thi-lan dengan melotot.
"Kecuali menunggu saja di sini, kita harus pula mengatur sampan yang terantai ini agar mengelilingi kita, lalu sampan ini pun kita bakar," kata Po-ji.
Keruan mata Thi-lan terbelalak, lebih lebar, ucapnya gemetar, "Apa kau gila?"
"Anak ini tidak gila," kata Ciu Hong tertawa. "Dia justru jauh lebih bisa berpikir daripada orang lain."
"Selain menipu, kau tahu apa lagi?" damprat Thi-lan dengan gusar.
Sejak tadi Li Eng-hong menatap Ciu Hong, sekarang ia pun berseru, "Jika kakek ini bilang perkataan Po-ji betul, maka bolehlah kita menurut."
Bahwa dia ternyata menghormati pendapat penipu yang terkenal busuk di dunia persilatan ini, hal ini sungguh sangat di luar dugaan orang.
Karena kalah suara, terpaksa Thi-lan tutup mulut.
"Hanya dengan api untuk mengatasi api baru dapat menyelamatkan diri," teriak Po-ji. "Nah, lekas bekerja, tunggu apa lagi?"
Kebakaran di rawa-rawa ini telah mengejutkan penduduk di sekitar sini, namun nelayan yang sudah lama tinggal di sini juga sama tahu tempat ini adalah sarang kawanan bajak Thian-hong-pang, siapa pun tidak berani mencari perkara ke sini. Sampai api sudah hampir padam barulah ada sementara orang berani mengintip suasana di sini.
Sementara itu semak gelagah di rawa-rawa ini sudah berubah menjadi abu. Hanya asap masih mengepul dan membuat napas sesak. Abu beterbangan terbawa angin. Sekonyong-konyong beberapa orang berlari keluar dengan terhuyung-huyung dari balik asap tebal.
Di antara beberapa orang ini ada lelaki dan perempuan, ada tua dan muda, semuanya dekil dan kuyup, siapa pun tidak menyangka dari tengah rawa yang kebakaran itu bisa muncul orang hidup. Keruan kaum nelayan sama kaget dan lari karena menyangka yang muncul itu adalah hantu.
Orang-orang yang muncul itu dengan sendirinya adalah Po-ji dan Li Eng-hong berenam.
Setelah berada di tempat aman, dengan napas masih tersengal-sengal Gu Thi-lan menatap tajam Po-ji dan berkata, "Syukur engkau dapat memikirkan akal ini."
"Menggunakan api untuk merintangi api, dengan sendirinya bagian tengah rawa itu sekali terpisah dari kobaran api, lalu kita membenam diri di lumpur sana, cara ini kan aman dan sederhana," kata Po-ji dengan tertawa.
Thi-lan menarik napas panjang, katanya dengan tersenyum, "Meski sederhana cara ini, namun dalam keadaan panik, siapa yang dapat memikirkannya?"
Li Eng-hong juga mengacungkan jempol dan memuji. "Menghadapi bahaya tidak panik, bertindak menurut gelagat, keberanian ini, ketenangan dan kecerdasan ini sukar dicari kecuali orang yang memang berbakat. Ai, percuma selama berpuluh tahun aku berkecimpung di dunia Kangouw, sungguh aku harus malu dan mengaku kalah terhadap seorang anak kecil."
"Terima kasih atas pujian paman," ujar Po-ji dengan menunduk.
Tiba-tiba Ciu Hong pun berkata, "Keadaan luka Cian-tayhiap dan Thi-tayhiap memerlukan pertolongan secepatnya, hendaknya sekarang kalian berusaha mengobati mereka, kenapa 259
Koleksi Kang Zusi
omong iseng di sini."
"Betul," seru Li Eng-hong dan segera mendahului berlari ke depan.
"Nanti dulu," kata Ciu Hong. "Luka Thi-tayhiap sangat parah, kalau mesti menunggu sampai mendapatkan tabib, mungkin jiwanya sukar tertolong lagi."
Sembari bicara ia lantas mengeluarkan sebuah botol kayu dari kotaknya, katanya pula, "Meski obat luka yang kubawa ini tidak cespleng, sedikitnya jiwa Thi-tayhiap dapat dipertahankan, hendaknya cari air bersih dulu di depan sana, sebagian obat ini baru diminum Thi-tayhiap dan lainnya dibubuhkan bagian luar."
"Terima kasih," kata Li Eng-hong, setelah berhenti sejenak, tiba-tiba berkata pula, "Ada suatu hal yang kurasakan kurang mengerti, bolehkah kumohon petunjuk kepada Ciu-cianpwe?"
Ciu Hong tersenyum, jawabnya, "Asalkan sama-sama tahu, buat apa banyak tanya. Ayo berangkat."
Li Eng-hong memandangnya sekejap, ia tidak tanya lagi, mereka terus berlari ke depan.
Menyaksikan sikap Li Eng-hong sedemikian hormat terhadap tokoh yang dipandang sebagai penipu di dunia persilatan itu serta mendengar tanya-jawab mereka, tentu saja Thi-lan merasa heran namun tidak leluasa baginya untuk bertanya.
Po-ji juga tiada hentinya memandangi Ciu Hong, makin dipandang makin merasakan diri kakek ini memang banyak terdapat hal-hal yang aneh dan misterius.
Jalan pematang berliku-liku, setelah mereka berputar kian kemari beberapa kali, tiba-tiba terlihat seorang lelaki kekar berdiri di depan dengan bertolak pinggang, ketika melihat Pui Po-ji, orang gede ini bersorak gembira dan memburu maju. Siapa lagi dia kalau bukan Gu Thi-wah.
"Kau sedang menunggu orang?" tanya Po-ji dengan kening bekernyit.
Thi-wah tertawa lebar dan mengangguk.
"Tunggu siapa?" tanya Po-ji.
"Dengan sendirinya menunggu engkau, Toako," sahut Thi-wah dengan tertawa.
"Dalam keadaan bahaya kau tinggalkan Toako, sekarang apa yang kau tunggu?" ujar Po-ji.
"Jika Toako sudah mampus terbakar, lantas apa yang akan kau lakukan?"
Thi-wah tertawa, sahutnya, "Dengan kepandaian Toako yang mahatinggi, masakah dapat mati terbakar" Sebab itulah Thi-wah tidak pernah khawatir, lalu kutunggu saja di sini kedatangan Toako."
Jika orang lain yang bicara demikian tentu cuma untuk alasan belaka, tapi apa yang dikatakan Thi-wah memang timbul dari lubuk hatinya, sedikit pun tidak pura-pura.
Po-ji tertawa cerah oleh uraian orang, rasa kurang puasnya tadi segera lenyap sama sekali, katanya dengan tertawa, "Bisa juga kau ...."
Tiba-tiba Thi-lan bertanya, "Di manakah Jiko?"
Thi-wah berkedip-kedip, jawabnya dengan tertawa, "Dia sedang menemani Ensomu."
"Jiso juga ... juga datang kemari?" tanya Thi-lan dengan heran.
260 Koleksi Kang Zusi
"Bukan Jiso, tapi Toaso (kakak ipar pertama, istri kakak)," tutur Thi-wah.
Tentu saja Thi-lan melongo bingung.
Maka Thi-wah menjelaskan dengan tertawa, "Adik dungu, biar kujelaskan padamu bahwa selekasnya Toakomu juga akan punya bini."
Segera ia tarik tangan Thi-lan dan diajak lari ke sana. Arah yang dituju ternyata kapal kotak yang masih berlabuh di situ. Penumpang kapal selain Gu Thi-hiong masih ada lagi satu orang yang masih tidur lelap, ternyata bukan lain daripada pemimpin Thian-hong-pang alias Kiang Hong.
Setelah mengalami pukulan berat tadi, lahir batinnya sungguh sangat sakit sehingga sekarang tidurnya ternyata sangat nyenyak, rambutnya yang hitam pekat terurai, alisnya yang lentik dengan bulu matanya yang panjang menutupi kelopak matanya, tubuhnya meringkuk miring, sifatnya yang gagah perkasa kini telah lenyap terhanyut dalam tidurnya.
Po-ji merasa dalam keadaan demikianlah Kiang Hong benar-benar telah pulih sebagai seorang perempuan tulen.
Kejut dan girang Thi-lan mengenali siapa dia, ucapnya, "Jadi Toako hendak mengambil dia sebagai istri?"
"Betul," kata Thi-wah dengan tertawa dan mengangguk.
"Apa dia sudah setuju?" tanya Thi-lan.
Thi-wah melengak, jawabnya, "Masakah perlu dia setuju segala" Asalkan aku suka kan beres urusannya?"
"Melulu engkau saja yang suka tidak boleh jadi," ujar Thi-lan dengan tersenyum getir, setelah berpikir, lalu ia berkata pula, "Jika kau ingin dia setuju, segala sesuatu harus kau tunduk kepada ucapanku, nanti kalau dia siuman janganlah kau sembarangan bicara, harus kau layani dia dengan baik. Selang beberapa waktu lagi tentu akan kucarikan akal bagimu, harus bersabar, tidak boleh terburu nafsu."
"Baik, baik, kuturut padamu," seru Thi-wah girang.
Sementara itu semua orang sudah naik ke atas kapal kotak, kapal yang tampaknya tidak berharga ini ternyata besar sekali daya gunanya, sembilan orang berjubel di dalam kapal ternyata tidak kelihatan penuh, bahkan tetap dapat meluncur dengan baik.
Dengan tertawa Thi-wah berkata, "Dulu dengan susah payah kubuat kapal kotak ini, tujuanku bila sudah jadi akan kugunakan sebagai kapal penumpang keluarga, siapa tahu hari ini dapat digunakan lebih dulu di sini."
Ia menyengir, lalu bertanya, "Eh, bagaimana Tia (ayah) dan Mak di rumah, apakah baik-baik, sungguh kami sudah kangen."
"Aku pun sudah lama tidak bertemu dengan mereka," jawab Thi-lan dengan menunduk.
Teringat oleh Po-ji, ia coba tanya, "Mengapa kau bisa masuk menjadi anggota Thian-hong-pang" Kenapa pula Jisomu itu mau kawin dengan Jikomu" Sekarang juga kukira dapat kau ceritakan."
Thi-lan jadi teringat pada kebohongan sendiri, muka menjadi merah dan menunduk lebih rendah, ucapnya, "Kabarnya Jiso itu adalah adik perempuan orang she Siau, aku memang sudah curiga, dengan kedudukannya mana dia mau kawin dengan orang miskin seperti keluarga 261
Koleksi Kang Zusi
kami. Kemudian setelah kumasuk Thian-hong-pang barulah kutahu bahwa beberapa rumah gubuk tempat tinggal kami itu tepat berada di muara Tiangkang yang strategis, dari rumah kami dapat melihat setiap kendaraan air yang berlalu-lalang di perairan Tiangkang, juga setiap bagian pelabuhan, bongkar-muat setiap kapal, semuanya terlihat jelas, malahan dari tempat kami juga dapat mengintai setiap gerak-gerik Thian-hong-pang."
"Oo, kiranya begitu," baru sekarang Po-ji tahu duduknya perkara. "Jika mereka mau bertindak kasar dengan menguasai keluarga kalian dari sana, lalu dibuat pos pengintai, namun cara demikian tentu akan menimbulkan perkara dan mungkin juga akan menarik perhatian pihak Thian-hong-pang, tapi dengan cara halus, yaitu pura-pura berbesanan dengan kalian, maka setiap hari mereka dapat mengadakan kontak secara rahasia dengan Jisomu dan segala kejadian di perairan Tiangkang pun diketahui dengan jelas. Tentu tidak ada yang curiga bahwa seorang menantu keluarga nelayan justru adalah mata-mata kawanan bajak .... Dan kalau Jisomu mesti berkorban sedikit kan juga pantas."
Muka Thi-lan tambah merah, dengan malu-malu ia berkata perlahan, "Tapi ... tapi sejak kawin, sampai sekarang pun Jiko selalu tidur di lantai."
"Oo, tidur di lantai, apa betul?" tanya Po-ji.
"Memang betul," tiba-tiba Thi-hiong sendiri dengan tertawa. "Sebelum kawin diam-diam mak memberitahukan padaku bahwa orang lelaki dan orang perempuan kalau tidur bersama, yang lelaki harus di atas dan orang perempuan di bawah. Sebab itulah pada malam pengantin baru aku sendiri tidur di ranjang dan kusuruh dia tidur di lantai. Tak terduga dia marah-marah padaku dan minta tidur di ranjang, karena merasa tidak sanggup melawannya, terpaksa kutidur sendiri di lantai."
Keterangan lucu ini tidak dirasakan sesuatu kejanggalan oleh Pui Po-ji, tapi bagi Li Eng-hong, Ciu Hong dan lain-lain sukar lagi menahan rasa gelinya sehingga mereka tertawa dalam sedihnya. Malahan Thi-wah juga tertawa keras.
"Kau tertawa apa?" tanya Po-ji.
Seketika Thi-wah terbelalak tak bisa menjawab, sampai sekian lama baru berkata, "Aku ... aku pun tidak tahu ...."
Sementara itu fajar sudah tiba, angin pagi meniup sepoi-sepoi, kapal berlayar lalu-lalang, semangat semua orang sama terbangkit.
Teringat kepada pertarungan sengit yang dirasakan seperti habis mimpi buruk saja, pula teringat kepada Siaukongcu yang sekarang berada dalam cengkeraman kaum iblis, tanpa terasa Po-ji menitikkan air mata.
Segala sesuatu di dunia ini sering terjadi dengan sangat kebetulan. Pada waktu bertemu dengan Gu Thi-lan sama sekali tak terpikir olehnya akan terjadi pertemuan kebetulan seperti ini dan mendatangkan macam-macam urusan, selain dirinya berulang menghadapi bahaya, juga mengubah nasib banyak orang.
Terdengar Ciu Hong lagi bergumam, "Orang she Siau itu belum lagi mati, perjalanan ini mungkin berbahaya, jika sekarang ada orang mencegat kita, jelas kita pasti mati semua."
Po-ji melengak. Tiba-tiba dirasakan orang yang dianggap sebagai penipu oleh dunia persilatan ini, meski ucapannya tidak enak didengar, namun setiap perkataannya mengandung arti yang mendalam, dalam keadaan gawat terkadang setiap perkataannya serupa bunyi genta di subuh sunyi yang menggugah perasaan setiap orang.
Ketika di rawa-rawa sana, kalau tidak tergugah oleh ucapan penipu ini tentu mereka menerjang keluar tanpa menghiraukan api yang berkobar, jika demikian jadinya jelas mereka akan 262
Koleksi Kang Zusi
terkubur semua di tengah lautan api.
Terlihat Li Eng-hong lagi termenung, sekonyong-konyong ia mencabut golok yang dibawa Gu Thi-hiong, ia menuju ke buritan dan duduk bersila, pita hiasan tangkai golok dirobeknya untuk menggosok batang golok sehingga mengilat.
Kapal mereka terus laju, kira-kira satu dua jam kemudian, permukaan sungai mulai ciut. Li Eng-hong menoleh dan berkata, "Luka kedua orang ini harus cepat diobati, apakah dapat kita menepi dulu."
"Di depan ada sebuah dermaga," kata Thi-lan, sembari bicara ia terus putar haluan kapal membelok ke tepian.
Melihat Thi-lan bekerja dengan wajah duka, Po-ji tahu orang merasa khawatir bagi keselamatan kedua orang tua di rumah.
Maklumlah, usaha Siau Bwe-jiu yang gagal total itu sebagian besar disebabkan Gu Thi-hiong dan Thi-wah, setelah lolos tentu dia akan membalas dendam dan bukan mustahil dendamnya akan ditimpakan terhadap ayah-ibu Thi-wah.
Teringat hal ini, pikiran Po-ji tambah beban lagi, ia tahu melulu kekuatan beberapa orang ini jelas sukar menggempur mundur Siau Bwe-jiu dan begundalnya. Apalagi Li Eng-hong juga harus berangkat.
Hanya Thi-wah dan Thi-hiong saja sama sekali tidak memikirkan apa pun, dengan tekun mereka bekerja dan membawa kapal ke tepi pantai. Dengan tertawa Thi-wah berkata, "Aha, dermaga ini terletak tidak jauh dari rumah kita, kebetulan kita dapat pulang menjenguk ayah dan ibu, Ayo, Loji, dayung sekuatnya, lekas pulang, entah binimu kabur atau tidak."
"Bininya takkan kabur," gumam Ciu Hong. "Kau pun tidak perlu kerja keras, simpan tenaga sedikit, masih banyak urusan yang memerlukan tenaga kalian."
Tanpa terasa Thi-lan dan Po-ji sama memandangnya sekejap. Mereka tahu, orang tua ini tentu merasakan sesuatu bencana yang akan timbul dan sengaja mengingatkan mereka agar waspada.
Sekonyong-konyong sebuah kapal sungai meluncur tiba mengikuti arus dan langsung menerjang kapal kotak ini. Meski di siang hari bolong namun kapal ini penuh dihias lampu yang menyala terang.
Tidak tampak seorang pun di atas kapal itu, kapal sebesar itu melaju dengan cepat, bilamana diterjang, biarpun kapal kotak ini cukup kukuh juga pasti akan hancur lebur.
Keruan semua orang sama terkejut, Thi-wah dan Thi-hiong langsung berteriak-teriak dan mencaci maki, dengan membawa dayung mereka memburu ke buritan.


Misteri Kapal Layar Pancawarna Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Li Eng-hong yang berada di buritan mendadak melompat ke atas "kapal hantu" itu, sekali ayun golok tali layar kapal itu ditebas putus.
Kontan layar besar jatuh ke bawah sehingga tubuh kapal pun rada miring, kebetulan kapal kotak menyerempet lewat di sebelahnya, benturan tak terhindar, "blang", kapal kotak tergetar oleng dan menerjang ke tepian yang dangkal dan kandas.
Semua orang sama terciprat air sungai, Kiang Hong juga siuman oleh karena guncangan keras itu dan segera melompat bangun, tapi Po-ji lantas bersuara menghiburnya malah.
Terdengar di atas "kapal hantu" itu suara jeritan kaget Li Eng-hong dan Gu Thi-lan, segera Thi-lan pun berteriak, "Hei, lihat, apa ini"!"
263 Koleksi Kang Zusi
Sekuatnya Thi-wah menolak kapal kotak ke sana dan beramai-ramai melompat ke atas "kapal hantu". Tapi apa yang terlihat membuat mereka sama melongo kaget.
Ternyata di anjungan kapal bergelimpangan lebih 20 sosok mayat, ada yang terkapar malang melintang, ada yang jatuh tiarap di atas meja, ada yang setengah badan bergelantungan di jendela ....
Nyata orang-orang ini sama diserang secara mendadak sehingga sama sekali tidak mampu balas menyerang, banyak di antaranya bermaksud lari, namun tidak keburu.
Semua orang sama terkesima, hanya Kiang Hong saja, setelah memandang mayat-mayat ini, mendadak ia berlari maju dan mengangkat sesosok mayat.
"He, mau apa?" seru Po-ji kaget.
Belum lenyap suaranya, terdengar Kiang Hong bergelak tertawa dan berteriak parau, "Haha, kiranya kau ... haha!"
Waktu semua orang mengamati mayat yang dipegang Kiang Hong itu, baru dikenali mereka bahwa orang mati ini ternyata Siau Bwe-jiu adanya. Wajahnya yang kaku masih menampilkan rasa ketakutan sebelum ajalnya.
Entah kaget entah girang, Thi-lan juga berseru, "He, siapa ... siapa yang membunuhnya?"
Li Eng-hong tidak bersuara, ia melangkah maju, sekali golok bekerja, baju dada Siau Bwe-jiu diungkapnya, terlihatlah pada dada orang ada bekas telapak tangan berwarna merah gelap.
Waktu mayat-mayat lain diperiksa, semuanya juga tidak ada bekas darah, jelas mereka terbunuh oleh getaran tenaga pukulan yang dahsyat dan binasa seketika, betapa keji tenaga pukulan ini sungguh sangat mengejutkan.
Semua orang saling pandang, sampai lama barulah Thi-lan berkata, "Jangan-jangan perbuatan
... perbuatan Bok-long-kun dan Toh-liong-cu?"
"Siapa lagi selain mereka?" ujar Ciu Hong.
"Setiap orang Ngo-hing-mo-kiong tidak kenal kasihan, setiap soal yang menyakiti hati mereka pasti akan menuntut balas, tadi Siau Bwe-jiu bermaksud membakar mati Toh-liong-cu dan juga Bok-long-kun, dengan sendirinya dia sukar lolos pembalasan orang Ngo-hing-mo-kiong," tutur Li Eng-hong dengan gegetun. "Melihat gelagatnya, agaknya Siau Bwe-jiu juga menyadari bahaya yang akan mengancamnya, maka malam-malam ia kabur sebisanya, siapa tahu ... siapa tahu tetap tersusul dan terbunuh."
Meski mereka sama bersyukur atas kematian Siau Bwe-jiu, namun setelah mengalami pertarungan sengit dan sekarang menyaksikan korban sebanyak ini, betapa pun mereka sama merasa ngeri dan waswas.
Mendadak terdengar Gu Thi-hiong membentak dan menerjang ke dalam anjungan, hanya sekejap saja ia sudah lari keluar lagi, ucapnya dengan tertawa kepada orang banyak, "Biniku tidak berada di kapal ini."
Ciu Hong tersenyum, katanya, "Tokoh semacam Siau Bwe-jiu pada waktu lari mencari selamat masakah mau pikirkan orang lain" Sampai-sampai adik perempuan sendiri kan juga ditinggalkan."
Thi-hiong bersorak gembira sambil melonjak-lonjak. Thi-lan juga bergumam, "Dengan demikian dapatlah kita pulang dengan tenteram."
264 Koleksi Kang Zusi
Diam-diam Po-ji juga merasa terharu dan bersyukur bagi Thi-wah bertiga.
Akhirnya Li Eng-hong mendapatkan sebuah kereta, cepat ia mengantar Thi Un-hou dan Cian Siang-sing mencari tabib, dengan berlinang air mata Kiang Hong mengantar keberangkatan mereka. Teringat kepada berbagai perubahan selama sehari, orang pun sama terharu.
Angin mendesir, perlahan Li Eng-hong meraba bahu Po-ji, sampai lama diam saja.
"Paman Li datang dari Tionggoan, apakah engkau mendengar tentang kakek Jing-pek-kiam-khek?" tanya Po-ji.
Berubah juga air muka Li Eng-hong, ia tidak menjawab langsung melainkan berkata,
"Perjuangan seorang kesatria memang banyak pahit getir, masa depanmu sendiri tidak terbatas, hendaknya kau berjaga diri baik-baik."
Po-ji berkedip-kedip dan diam, meski kecil usianya, namun jalan pikirannya sudah cukup dewasa, urusan apa pun dapat disembunyikannya di dalam hati untuk menghindarkan duka sendiri dan susah orang lain.
Tiba-tiba Li Eng-hong membisiki Po-ji, "Ciu-loyacu itu pasti bukan orang biasa, hendaknya jangan sembarangan kau perlakukan dia."
Po-ji mengangguk, Li Eng-hong lantas mencemplak ke atas kereta, katanya sambil memberi salam, "Sampai berjumpa lagi ...."
Kuda dicambuknya dan kereta pun dihalau pergi dengan cepat.
Kiang Hong menangis sedih, Thi-lan mendekatinya dan memegang tangannya. Mendadak Kiang Hong mengusap air mata dan berseru, "Para kawan, aku pun akan berangkat sekarang."
"Pangcu hendak pergi ke mana?" tanya Thi-lan.
"Ke mana" .... Empat penjuru adalah rumah ke mana pun boleh," sahut Kiang Hong dengan tertawa. Meski ia berlagak gagah perkasa seperti dulu, namun sukar menutupi rata pedih dan hampanya perasaan.
Dengan terharu Thi-lan berkata, "Dunia Kangouw penuh bahaya dan kepalsuan, Pangcu sendiri sudah sekian lama berkelana, apakah tidak ingin istirahat dulu untuk sementara?"
Kiang Hong memandangi air sungai termangu-mangu, air mata pun berlinang, dengan parau,
"Betapa ganasnya dunia harus kuterobos juga."
Thi-wah seperti ingat sesuatu dan mau bicara tapi urung karena mata Thi-lan yang mendelik padanya.
Sambil memegangi bahu Kiang Hong, dengan perlahan Thi-lan berkata pula, "Tapi Pangcu ...."
"Apa yang hendak kau katakan lagi?" kata Kiang Hong dengan mengentak kaki. "Memangnya kau tidak tahu bahwa tiada tempat lagi yang dapat kutuju?"
Ia kebaskan tangan Thi-lan, lalu lari ke depan. Namun Thi-lan keburu menariknya sambil berseru, "Pangcu ...."
Karena terseret, Thi-lan jatuh terduduk. Kiang Hong sempat melangkah ke depan dan menoleh lagi. Segera Thi-lan dirangkulnya erat dan keduanya sama menangis.
"Jelek-jelek rumahku masih cukup untuk berteduh," ucap Thi-lan dengan mencucurkan air 265
Koleksi Kang Zusi
mata. "Bilamana Pangcu tidak menolak, marilah singgah dulu di rumahku ...."
"Orang yang sudah kehilangan segalanya sudi kau terima?" tanya Kiang Hong dengan menangis.
Kejut dan girang Thi-lan, serunya, "Jadi Pangcu terima ... terima tawaranku?"
"Pangcu apa" Masa kau masih panggil Pangcu padaku," kata Kiang Hong dengan bengis. "Sekali kau panggil demikian lagi segera aku angkat kaki dari sini."
"Baik, Cici, kehendakmu tentu kuturut saja," sahut Thi-lan dengan tersenyum.
Terharu Po-ji menyaksikan percakapan mereka, sebaliknya Thi-wah tertawa lebar dan mendekat pula, seperti mau bicara, tapi dicegah lagi oleh Thi-lan dengan melotot, bentak si nona, "Ayo, pulang, jalan di depan!"
"Baik, adik sayang, kakak menurut saja," sahut Thi-wah dengan tertawa. Segera ia pegang tangan Po-ji dan berkata pula, "Toako, engkau juga harus ikut pulang untuk berkenalan dengan ayah dan ibuku."
Segera mereka mendahului jalan di depan diikuti Thi-lan yang memayang Kiang Hong. Sedang Ciu Hong menarik Thi-hiong dan berkata padanya, "Jika binimu mendengar kabar kematian kakaknya, tentu dia tak mau tinggal lagi di sini. Tatkala mana bila kau ingin mencari bini lagi tentu sulit."
"Wah, lantas ... lantas bagaimana?" tanya Thi-hiong cemas.
"Kau mau kuberi suatu jalan?" tutur Ciu Hong.
"Tentu saja mau," seru Thi-hiong girang. "Ayolah Loyacu, lekas ... lekas tolong diriku."
"Begini," tutur Ciu Hong lebih lanjut. "Jika dia mau pergi, boleh kau cengkeram dia cara demikian ...."
Ia angkat kedua tangan dan memberi contoh satu gerak serangan, lalu menyambung, "Nah, dengan cara begini tanggung dia akan kau pegang dan sukar terlepas."
Thi-hiong menirukan jurus itu sambil bergumam, "Masa begini gampang dapat memegangnya?"
"Memang gampang," ujar Ciu Hong tertawa. "Setelah dia kau pegang, boleh coba kau lepaskan dia, lalu menggunakan cara ini untuk menangkapnya lagi dan dia tetap akan dapat kau pegang."
"Apa, betul?" Thi-hiong menegas dengan terbelalak.
"Tentu saja betul. Cuma setelah kau tangkap dia lagi hendaknya jangan kau lepaskan pula ...."
Sementara itu mereka sudah mulai menanjaki sebuah jalan pegunungan. Tiba-tiba sesosok bayangan orang berlari datang dari atas secepat terbang, kiranya seorang gadis jelita berbaju hijau.
Cepat Thi-hiong menyongsongnya sambil tertawa lebar, "Aha, biniku sayang, kau datang menyambutku bukan?"
Melihat mereka, air muka si gadis rada berubah, segera ia pun menegur dengan mendelik,
"Kenapa kau pulang sendirian" Di manakah mereka?"
"Mereka sudah kabur semua, kau ditinggal begitu saja," tutur Thi-hiong tertawa.
266 Koleksi Kang Zusi
"Omong kosong, biar kususul ke sana," seru si gadis dengan gusar dan segera hendak melangkah pergi.
"Berhenti!" bentak Thi-hiong mendadak.
Kaget juga gadis itu, belum pernah Thi-hiong berani berlagak segarang ini, jawabnya bengis,
"Kau berani merintangi kebebasanku?"
"Aku kan lakimu, jika aku tidak boleh urus dirimu siapa lagi yang urus?" sahut Thi-hiong tegas.
"Aha, bagus! Tak tersangka sekarang Loji juga punya semangat jantan," seru Thi-wah sambil berkeplok tertawa.
"Hm, kau berani urus diriku, boleh coba bila ingin digampar ...." belum lanjut ucapan si gadis baju hijau, entah cara bagaimana, tahu-tahu kedua tangannya kena dipegang Thi-hiong.
"Hehe, pernah kau lihat jurus ini" ...." tanya Thi-hiong dengan tertawa. "Toako, inilah biniku Siau Soh-jiu, sebelum ini kutakut padanya, selanjutnya dia yang harus takut padaku."
Karena sukar melepaskan diri, dengan muka merah Siau Soh-jiu berteriak, "Huh, main pegang pada waktu orang tidak menduga, terhitung jantan apa?"
"Baik, jika kau tidak takluk, boleh kau coba lagi ...." kata Thi-hiong sambil lepaskan pegangannya.
Baru saja terlepas, kontan Siau Soh-jiu menampar muka Gu Thi-hiong. Siapa tahu hanya sekali bergerak saja tahu-tahu tangan si nona kena ditangkap lagi.
Jelas terlihat oleh Siau Soh-jiu gerak tangan Thi-hiong itu, namun ingin menghindar justru tidak keburu. Keruan ia melongo, muka pun merah padam menahan gemas.
Kiang Hong dan Thi-lan juga keheranan, mereka merasa gerak tangan Thi-hiong itu sungguh sangat indah, arah yang dituju juga sangat ajaib, biarpun mereka yang menghadapi serangan ini juga pasti sukar mengelak.
Terdengar Thi-hiong lagi berteriak dan tertawa, "Aha, biniku sayang, sekarang kau takluk tidak"
Nah, ikut pulang saja bersama lakimu ini."
Sembari bicara segera ia seret Siau Soh-jiu dan diajak menuju ke atas bukit.
Po-ji, Thi-wah, dan Thi-lan sama terkejut dan bergirang, tanpa terasa mereka sama memandang Ciu Hong. Orang tua itu kelihatan tak acuh dan lagi tersenyum sambil mengelus jenggot.
Setiba di rumah gubuk di atas bukit, setelah bertemu kedua orang tua Thi-wah, terjadilah suasana suka-duka, ya menangis ya tertawa, ya sibuk ya ribut, ya makan ya minum ....
Itulah suka-duka kehidupan manusia yang lazim. Malamnya, diam-diam Po-ji menuju ke hutan kecil di belakang rumah, di angkasa cahaya bulan remang-remang dan bintang berkelip, di bawah sana air sungai mengalir jauh ke sana.
Po-ji coba memandang jauh ke hulu dan ke hilir sungai, ditaksir sejauh belasan li sama tercakup di dalam pandangannya, diam-diam ia membatin, "Tempat ini memang sangat strategis, pantas Siau Bwe-jiu berusaha ...."
Belum habis terpikir, tiba-tiba terlihat dua buah perahu terbuka meluncur tiba menentang arus.
Berpuluh orang penumpangnya sama memegang dayung, perahu meluncur sangat cepat.
267 Koleksi Kang Zusi
Di bawah cahaya bulan cukup terlihat jelas ratusan penumpang kedua perahu itu semuanya adalah kaum pengemis yang berambut kusut dan berbaju rombeng.
Dahulu Po-ji pernah melihat tiga orang jago pengemis yang serakah, tapi kemudian digertak lari ketakutan oleh Bok-long-kun. Sejak itu ia sangka orang Kay-pang hanya terdiri dari manusia tamak dan takut mati, namun kemudian ia pun kenal tokoh Kay-pang seperti Ong Poan-hiap yang berbudi luhur, maka baru diketahuinya bahwa dari lapisan mana pun sukar terhindar dari baik dan buruk.
Kini terlihat kawanan pengemis yang menumpang dua perahu itu dan didayung tergesa-gesa begitu, diam-diam ia bergumam sendiri, "Apakah mungkin di dalam Kay-pang juga terjadi sesuatu?"
Mendadak seorang menukas ucapannya, "Betul, dalam Kay-pang tentu terjadi sesuatu urusan, apakah kau ingin melihatnya?"
Suaranya serak tua, waktu Po-ji menoleh, kiranya Ciu Hong adanya.
Po-ji tidak mahir ilmu silat, tapi sejak kecil mata telinga memang sangat tajam, sekarang Ciu Hong tahu-tahu muncul dari belakang di luar tahunya, tentu saja ia terkejut.
Dilihatnya Ciu Hong sedang menengadah sambil tersenyum, lalu berkata pula, "Anggota Kay-pang biasanya berkeliaran di mana-mana, sumber berita mereka sangat cepat dan dapat dipercaya. Barang siapa ingin mencari orang, tanya saja kepada mereka pasti akan berhasil."
Ia seperti bicara sendiri, namun setiap katanya kena di hati Po-ji, diam-diam ia terkesiap, katanya kemudian dengan tertawa, "Loyacu, apakah engkau juga ingin pergi melihatnya?"
"Aku memang biasa berkelana kian kemari, keramaian apa pun ingin kulihat," jawab Ciu Hong.
Tergerak pikiran Po-ji, cepat ia berkata pula, "Baik, kuikut pergi bersamamu."
"Kau tahan siksa derita dalam pengembaraan?" tanya Ciu Hong.
Tanpa ragu Po-ji menjawab, "Tahan!"
"Tidak, tidak tahan ...." sekonyong-konyong suara seorang mendekat, lalu muncul Gu Thi-wah dengan wajah sedih.
"Urusan apa yang membuatmu murung?" tanya Ciu Hong tertawa.
Dengan muka kecut Thi-wah menjawab, "Pandanganku senantiasa tercurahkan kepada nona Kiang, tapi ... tapi dia justru tidak pernah memandang sekejap pun padaku."
"Hah, dalam keadaan telanjang bulat dia pernah kau peluk, dengan sendirinya dia malu terhadapmu," ujar Ciu Hong dengan tertawa. "Maka semakin dia tidak mengacuhkanmu, tandanya dia ada perasaan terhadapmu. Bila dia anggap sepele kejadian itu dan bicara denganmu seperti biasa, tentu kau yang tidak tahan."
Mata Thi-wah terbelalak lebar, serunya, "Masa begitu aneh jalan pikiran orang perempuan?"
"Barang paling aneh di dunia ini bukan lain adalah hati orang perempuan," ujar Ciu Hong.
Thi-wah terdiam sejenak, kemudian berkata pula dengan menyesal, "Tapi tadi waktu tidak ada orang lain pernah kupegang lengan bajunya, namun dia tetap tidak memandang sekejap pun padaku. Ia hanya menengadah dan bergumam sendiri tentang apa yang aku tidak paham, katanya hari masih panjang, kaum lelaki harus punya harga diri, kalau bukan pahlawan, jangan 268
Koleksi Kang Zusi
harapkan si cantik."
Meski kecil, namun Po-ji sudah banyak membaca dan terpelajar, ia tahu maksud syair yang didendangkan Kiang Hong itu, dengan sendirinya anak dogol semacam Gu Thi-wah tidak paham urusan syair yang cukup gamblang maksudnya itu.
Dengan tertawa Ciu Hong sengaja berkata, "Haha, bagus sekali! Tampaknya hati anak perempuan itu memang terpikat olehmu. Apa yang diucapkannya itu justru memberitahukan padamu bahwa hari masih panjang, supaya kau jangan terburu nafsu, asalkan kau dapat berbuat sesuatu yang mengguncangkan dunia ini, akhirnya dia tetap akan menjadi milikmu.
Tapi kalau kau bukan kelas pahlawan, tentu tidak sesuai mendapatkan dia."
Thi-wah bersorak dan melonjak gembira, namun dalam sekejap lantas murung lagi, katanya,
"Tapi, wah, cara bagaimana untuk bisa menjadi seorang pahlawan" Loyacu, dapatkah kau ajarkan padaku?"
"Jika kau ingin belajar menjadi pahlawan, untuk sementara kau harus ikut pergi bersamaku dan Toakomu," kata Ciu Hong dengan tersenyum.
Tiba-tiba terdengar lagi suara orang menghela napas panjang dan berkata, "Ayolah berangkat, lebih baik berangkat saja."
Terlihat Thi-hiong mendekat dengan wajah muram durja.
"He, kau kenapa" Apa yang membuatmu masygul?" tanya Ciu Hong.
"Biniku itu masih mengharuskan aku tidur di lantai," tutur Thi-hiong kesal. "Bila kunaik ke tempat tidur segera didepaknya ke bawah lagi. Ai, jurus tangkapan ajaran Loyacu itu sekarang sudah tidak berguna lagi."
"Baik, akan kuajarkan lagi dua jurus yang berguna padamu," kata Ciu Hong.
Lalu ia ajak Thi-hiong ke samping, dia memberi contoh lagi beberapa gerakan, diajarkan lagi beberapa jurus.
Cepat juga Thi-hiong memahami jurus ajaran Ciu Hong, dengan tertawa orang tua itu berkata,
"Baiklah, sekarang akan kuajarkan pula satu akal, agar binimu tunduk benar-benar padamu."
"Aha, apa benar ada akal sebagus itu" Ayolah lekas Loyacu ajarkan padaku," pinta Thi-hiong dengan girang.
"Tentu saja benar, cuma akal bagus ini tidak boleh didengar orang ketiga, coba dekatkan telingamu ke sini," kata Ciu Hong.
Cepat Thi-hiong menyodorkan telinga ke dekat orang tua itu untuk mendengarkan, sejenak setelah mendengarkan, mendadak mukanya berubah merah, ucapnya dengan tertawa, "Wah, cara ini apakah tidak ... tidak agak ... agak memalukan?"
"Kalian kan suami-istri, kenapa pakai malu segala?" ujar Ciu Hong. "Nah, lekas laksanakan saranku ini."
Thi-hiong bersorak gembira terus berlari pergi.
Po-ji saling pandang dengan Thi-wah, keduanya merasa bingung karena tidak tahu akal baik apa yang dikatakan Ciu Hong itu.
***** 269 Koleksi Kang Zusi
Esok paginya, diam-diam Po-ji dan Thi-wah sama menaruh perhatian terhadap gerak-gerik Gu-jiso alias Siau Soh-jiu atau istri Gu Thi-hiong itu. Terlihat nona itu masak air dan membuat teh dengan tekun, ternyata benar-benar telah tunduk kepada peraturan rumah tangga dan bekerja sebagai seorang nyonya menantu keluarga Gu, hanya di antara mata alisnya kelihatan tanda malu-malu, tingkah lakunya juga agak lemas seperti kurang tidur.
Waktu memerhatikan Gu Thi-hiong, anak muda itu tampak bersitegang dan berseri-seri, malahan sering meraba dagu dan tertawa senang seperti orang sinting.
Tentu saja Thi-wah ingin tahu, ia coba tanya, "Sebenarnya akal apa yang diajarkan Ciu-loyacu kepadamu?"
Siapa tahu Thi-hiong hanya menggeleng-geleng kepala dan menjawab, "Wah, hal ini sama sekali tak boleh kuberi tahukan padamu."
Sambil tertawa ia terus berlari pergi.
Ciu Hong, Po-ji dan Thi-wah lantas mohon diri kepada semua orang, dengan sendirinya terjadi percakapan yang mengharukan, akhirnya mereka bertiga naik ke atas kapal kotak buatan Thi-wah itu dengan perasaan berat.
Setelah jauh meninggalkan pantai, tiba-tiba Thi-wah tertawa sendiri seperti orang linglung.
"He, perasaan orang sama tertekan, apa yang kau tertawakan?" tegur Po-ji.
"Aku gembira, sebab akhirnya dia memandangku sekejap pada waktu kunaik kapal tadi, meski cuma sekejap, namun jauh lebih baik daripada ucapan," tutur Thi-wah.
Meski sederhana penuturannya, namun arti yang terkandung sungguh timbul dari perasaan yang tulus dan murni.
Po-ji berolok-olok, "Wah, perasaan mendalam begini ternyata dapat kau terima juga."
Mendadak Ciu Hong menimbrung, "Kalian mesti ingat, sepanjang jalan ini kalian harus lebih banyak menggunakan mata dan sedikit pakai mulut, kaki dan tangan pun tidak boleh sembarangan bergerak."
"Kita kan bukan orang buta, bila tidak tidur, tentu mata akan digunakan terlebih banyak," ujar Po-ji.
"Sama-sama menggunakan mata untuk memandang, namun cara memandang juga berbeda beda, kalau memandang tanpa melihat, lalu apa bedanya seperti orang buta?" kata Ciu Hong.
Ia berhenti sejenak, lalu bertanya, "Coba umpama air mengalir, apakah pernah kau lihat ...."
"Sudah tentu pernah kulihat," jawab Po-ji tertawa.
"Ya, tentu beratus kali pernah kau lihat air, tapi ingin kutanya padamu, falsafah apa yang terkandung dalam air mengalir itu dan apanya yang menarik, dapatkah kau terangkan?"
"Wah, ini ... ini ...." Po-ji melenggong.
Jilid 11. Misteri Kapal Layar Pancawarna
Published by Nra on 2006/8/8 (1733 reads)
"Makanya, banyak urusan di dunia ini serupa air mengalir saja, meski pernah kau lihat, hanya lihat dan tidak tahu, dengan sendirinya di mana letak keajaibannya tidak kau ketahui," ujar Ciu 270
Koleksi Kang Zusi
Hong dengan tertawa.
"Memang benar ucapan Loyacu," kata Po-ji dengan malu hati.
"Dan sekarang boleh kau pandang arus air selama tiga jam, coba apa yang dapat kau pahami"
Tiga jam kemudian baru akan kutanyaimu lagi."
"Baik," jawab Po-ji, ia coba memandang ke sana, terlihat arus air bergulung tanpa putus dan mengalir lewat di kedua sisi kapal dan menimbulkan buih berwarna putih susu.
Selang tiga jam kemudian, kapal kotak itu sudah laju menyongsong arus sejauh belasan li.
"Nah, sekarang kutanya lagi padamu, di mana letak keajaiban arus air, apakah sudah dapat kau jawab?" tanya Ciu Hong.
Po-ji menghela napas panjang, ucapnya perlahan, "Dahulu kupandang arus air adalah air mengalir, memangnya apa bedanya, tapi sekarang baru kutahu bahwa arus air sungai begini bagi pandangan seorang penyair adalah sumber ilham yang bagus untuk merangkai syair, dan bagi pandangan seniman akan merupakan lagu yang sangat indah."
"Dan dalam pandangan seorang guru besar ilmu silat akan jadilah sejurus ilmu silat yang terus-menerus dan sukar digempur, apakah hal ini tidak pernah terlintas dalam perkiraanmu?" tukas Ciu Hong mendadak.
"Aha, betul," seru Po-ji dengan gembira. "Arus air ini memang meliputi teori ilmu silat yang mahatinggi, coba lihat, setiap gelombang arus air sekilas pandang memang serupa, tapi bila diamati dengan cermat tentu akan ketahuan di antara gelombang dan gelombang sebenarnya tidak sama, banyak ragam dengan macam-macam perubahan yang ruwet serta sukar diselami, hal ini rada ... rada mirip dengan ilmu pedang si baju putih yang misterius itu, setiap jurus ilmu pedangnya kelihatan serupa, tapi mutlak tidak sama ...."
Makin bicara makin bersemangat, kedua mata terbelalak dan bercahaya penuh kecerdasan serupa orang dewasa.
Wajah Ciu Hong pun menampilkan rasa senang dan terhibur, ucapnya sambil mengelus jenggot,
"Betul! Sekarang kutanya lagi padamu, apakah kau dapat memotong arus air dengan sekali tebas?"
"Makin ditebas makin cepat air mengalir, tidak mungkin dapat ditebas putus," jawab Po-ji.
"Ya, jangankan cuma sekali tebas, biarpun beribu kali ditebas juga tidak mungkin putus," tukas Ciu Hong dengan tertawa. "Nah, apakah sekarang kau tahu apa sebabnya dalil ini?"
"Ini ... ini ...." Po-ji melenggong, sinar matanya berkilat-kilat, mendadak ia berteriak girang,
"Aha, kutahu. Ini disebabkan di antara air yang mengalir itu sebenarnya mengandung daya hidup yang tidak terputus-putus dan mutlak tidak dapat dipotong oleh tenaga apa pun. Jika ilmu silat seseorang bisa serupa air mengalir, maka dia pasti tidak ada tandingannya di dunia."
Ciu Hong semakin gembira dan terhibur, namun di mulut ia bicara dengan kereng, "Betul, daya hidup yang tidak terputus-putus, inilah karunia yang diberikan oleh Yang Mahakuasa terhadap manusia, di sinilah letak kekuatan pemberian alam dan ...."
Dengan sendirinya falsafah yang sangat mendalam ini tidak dapat diikuti oleh Gu Thi-wah, ia cuma memandang mereka dengan terkesima, ia lihat Po-ji duduk di haluan dengan tersenyum dan seperti telah memahami sesuatu.
Mendadak terdengar suara nyaring kecapi berkumandang dari hilir sungai sana.
271 Koleksi Kang Zusi
"Coba luncurkan kapal kita ke arah suara musik itu," kata Ciu Hong.
Thi-wah menurut, selagi kapal meluncur, suara kecapi terdengar semakin jelas dan berpadu dengan desir angin sungai hingga terjadilah irama yang menarik.
Selagi Po-ji termenung, tiba-tiba Ciu Hong berkata pula, "Sudah sekian lama kau dengarkan suara kecapi, adalah sesuatu yang kau pahami?"
Po-ji menggeleng dengan bingung.
Lalu Ciu Hong menyambung pula, "Di tengah suara kecapi itu seperti mengandung suara pertempuran, agaknya orang yang memetik kecapi itu akan menghadapi suatu pertarungan sengit, sebab itulah dengan memetik kecapi untuk menenteramkan perasaannya yang bergolak."
Po-ji sangat tertarik, ucapnya dengan gegetun, "Ai, bilamana Loyacu bukan seorang ahli seni suara, mana mungkin engkau dapat menyelami jalan pikiran pemetik kecapi itu?"
Tiba-tiba Ciu Hong berkerut kening, ucapnya pula, "Suara pertempuran yang terkandung dalam suara kecapi itu makin lama makin keras jelas perasaan pemetik kecapi itu sukar ditenteramkan, sebaliknya semakin bergolak, bilamana kecapi terus berbunyi, akhirnya pasti akan putus senar dan hancur kecapinya. Tatkala itu semangatnya juga pasti akan runtuh, dan bila bertempur dia pasti akan kalah."
"Jika begitu, mengapa dia tidak berhenti memetik kecapi?" tanya Po-ji.
"Saat ini perasaannya sedang bergolak laksana kuda lari dan sukar dikekang lagi," ujar Ciu Hong.
"Wah, lantas bagaimana ... bagaimana baiknya?" tanya Po-ji pula.
Ciu Hong termenung sejenak, "Rasanya orang ini seorang terpelajar, boleh juga kita coba membantunya dan mengacau suara kecapinya."
Segera ia berikan sepotong pentungan kepada Po-ji dan berkata pula, "Coba gunakan pentungan ini untuk mengetuk tiang layar, jika dapat kau kacau suara kecapinya, tentu dapatlah dia berhenti memetik kecapi."
Po-ji mengiakan, segera ia ketuk tiang layar dengan pentungan itu dan menimbulkan suara
"trak-trok" yang keras, meski lantang juga suara ketukannya, namun suara kecapi tetap sukar dikacaukan, bahkan akhirnya tanpa terasa suara ketukannya malahan seirama dengan suara kecapi orang.
Kening Ciu Hong bekernyit pula, ucapnya, "Wah, caramu mengetuk itu hanya akan menambah cepat putusnya senar dan hancurnya kecapinya dan bukan lagi membantunya, sebaliknya akan membikin celaka dia."
Po-ji berhenti mengetuk, katanya dengan menyesal, "Kurasakan suara kecapinya itu pun serupa air mengalir yang sukar dipotong, rasanya sukar untuk dikacaukan."
"Meski irama kecapi itu juga berbunyi memanjang, namun di antaranya terdapat peluang yang kosong, karena kau belum dapat menemukan kuncinya sehingga sukar mengacaukan suara kecapinya."
Sementara itu kapal sudah menepi, dipandang dari jauh, terlihatlah seorang berbaju kuning dengan rambut panjang terurai dan bertelanjang kaki sedang menongkrong di atas sepotong batu karang dan asyik memetik kecapi.
272 Koleksi Kang Zusi
"Bukan cuma irama musik saja, segala urusan yang diperbuat manusia juga begitu, sama sekali tidak dapat dibandingkan dengan apa yang lahir secara alamiah," kata Ciu Hong.
"Apakah ilmu pedang juga begitu?" tanya Po-ji.
"Betul, bilamana kau dapat menemukan titik luang permainan pedang lawan maka sekali gempur dapatlah kau patahkan permainannya, dengan begitu segala apa pun dapat dihancurkan, segala sesuatu dapat diatasi, ini serupa sekarang, sekali tempur dapatlah kuputuskan irama kecapi itu."
Habis berkata, ia ambil pentungan dari tangan Po-ji, sekenanya ia ketuk tiang layar dengan pentungan, dan suara yang timbul tepat menyelip pada titik luang waktu perubahan irama kecapi. Karena ketukan yang tepat ini, seketika irama kecapi menjadi kacau. Serentak orang berbaju kuning itu bersuit panjang dan berdiri, lalu memandang ke langit dengan termenung-menung. Apa yang diuraikan Ciu Hong itu terasa meresap benar ke lubuk hati Pui Po-ji, serupa bagian yang gatal dengan tepat dapat digaruknya, rasanya sukar dilukiskan sehingga dia tidak memerhatikan sesungguhnya siapakah si baju kuning.
"Suara ketukan pentungan kasar buruk, suara kecapi indah merdu," tutur Ciu Hong. "Suara ketukan pentungan cuma bunyi sekali, suara kecapi justru berirama panjang, tapi dengan sekali suara kasar dan buruk dapat memotong suara nyaring merdu yang berirama, inilah titik kelemahan irama kecapi yang dapat ditemukan, dan begitulah seterusnya mengenai soal lain, tentu dapat kau selami sendiri ...."
Mendadak Po-ji melompat bangun dengan penuh kegirangan, serunya, "Aha, dipikir sesuai dengan teori ini, meski aku sendiri tidak mahir ilmu silat, tapi asalkan dapat menemukan titik lemah ilmu pedang orang lain, dapat kuketahui kunci perubahan pada iramanya, tentu tidak sulit bagiku untuk mengalahkan dia yang lebih kuat, dapat kugempur hancur permainan pedangnya."
"Ya, begitulah," ucap Ciu Hong dengan tersenyum senang.
Wajah Po-ji berseri-seri, katanya, "Begini bagus teori ini, tapi juga sedemikian sederhana, ahli silat di dunia ini sukar menyelami hal ini" Sungguh keterangan Loyacu yang singkat ini jauh lebih bermanfaat daripada kubelajar berpuluh tahun."
Kisah Pengelana Di Kota Perbatasan 1 Rahasia Mo-kau Kaucu Karya Khu Lung Misteri Bayangan Setan 13
^