Pencarian

Pecut Sakti Bajrakirana 12

Pecut Sakti Bajrakirana Karya Kho Ping Hoo Bagian 12


"Sekarsih, bawa dua orang gadis ini ke dalam kamarku. Aku sendiri yang akan
memeriksa dan memberi keputusan terhadap mereka."
Dua orang anak buah itu lalu memegang kedua lengan petani itu dan menyeretnya
keluar. Dua orang gadis itu berseru memanggil ayah mereka sambil menangis, akan
tetapi Sekarsih lalu memegang pergelangan tangan mereka dan menarik mereka masuk
ke dalam ruangan sebelah dalam. Wanita ini tersenyum dan maklum akan apa yang
dikehendaki Priyadi. Ia tidak merasa cemburu karena hubungannya dengan Priyadi
adalah bebas tanpa ikatan apapun. Ia sendiri boleh memilih pria manapun yang
disukainya dan Priyadi juga boleh memilih gadis mana yang dikehendakinya. Dua
perawan dusun itu menangis ketakutan, terutama sekali melihat ayah mereka diseret
keluar dengan kasar oleh dua orang yang menangkap mereka tadi. Mereka tidak tahu
apa yang akan terjadi dengan diri mereka dan ayah mereka. Mereka masih terkejut,
heran dan juga takut melihat sikap pimpinan Jatikusumo dan keadaan di situ yang jauh
berbeda dengan yang mereka bayangkan. Kiranya dalam bayangan mereka Jatikusumo
merupakan tempat orang-orang gagah perkasa dan budiman yang siap setiap saat
menolong mereka Akan tetapi kenyataannya sungguh berbeda dengan apa yang mereka
pernah dengar dan bayangkan.
Seperti tidak pernah terjadi gangguan sesuatu, Priyadi melanjutkan perbincangannya
dengan rekan dan sekutunya. Setelah mereka semua pada umumnya membujuk Priyadi
untuk segera mengungsi ke Wirosobo dan membantu kadipaten itu untuk menyerbu ke
Mataram, akhirnya Priyadi mengambil keputusan.
"Baiklah, Paman Bhagawan Jaladara, aku mau pergi mengungsi ke Wirosobo, akan
tetapi setelah dua pekan lagi Selama dua pekan ini aku hendak menyebar orang-orang
kita untuk mencari tahu di mana adanya Sutejo karena akn masih, belum puas dan
merasa penasaran kalau belum dapat merampas kembali Pecut Sakti Bajrakirana"
"Kalau sudah demikian keputusanmu, kamipun hanya menurut, anakmas. Kami dari
Wirosobo akan menanti di sini sampai dua pekan lagi. Mudah-mudahan dalam waktu itu
engkau sudah akan dapat merampas kembali Pecut Sakti Bajrakirana kata Bhagawan
Jaladara. Mereka lalu bubaran. Pada malam hari itu, sesosok mayat terapung di sungai. Mayat
petani tadi, ayah dari dua orang perawan dusun. Tak lama kemudian, beberapa ekor
buaya berenang mendekati dan binatang-binatang buas itu lalu menyerang dan
merobek-robek daging dan kulit mayat petani itu yang menjadi mangsa mereka.
Di dalam rumah induk perguruan Jatikusumo, di dalam kamar Priyadi, terdengar rintih
tangis dua orang perawan dusun itu. Mereka hanya mampu merintih dan menangis,
tidak berdaya melepaskan diri dari kebuasan Priyadi yang bagaikan telah berubah
menjadi binatang buas karena dikuasai nafsunya. Dua orang perawan itn seperti dua
ekor kelenci yang tidak berdaya dalam cengkeraman seekor harimau buas yang
merobek-robek mereka. Nafsu telah membuat Priyadi menjadi seekor binatang buas
yang haus darah!
******* Fajar menyingsing. Sesekali terdengar ayam jantan berkokok. Pagi itu masih terlalu
gelap. Burung burung masih sepi. Orang-orangpun masih malas meninggalkan tempat
tidur. Lapat-lapat masih terdengar isak tangis perlahan dari dalam kamar Priyadi. Laki-
laki itu masih pulas kelelahan, Akan tetapi dua orang gadis dusun itu tidak berani
melakukan hal yang bukan-bukan. Mereka ketakutan setengah mati Takut dan berduka.
Mereka hanya dapat saling rangkul sambil menangis perlahan. Si adik telah dalam
rangkulan mbakayunya yang mencoba menghibur akan tetapi ia sendiripun mencucurkan
air mata. Tiba tiba terdengar sorak sorai yang mengejutkan semua orang dalam perkampungan
Jatikusumo. Semua orang terbangun dari tidurnya dengan kaget. Terutama sekali para
anak buah yang melakukan penjagaan di gardu penjagaan dekat pintu gerbang
perkampungan, belasan orang anak buah yang pagi hari itu berjaga dengan terkantuk-
kantuk, menjadi kaget setengah mati ketika tiba-tiba terdengar sorak sorai dan
mereka melihat bayangan ratusan orang muncul di kegelapan pagi membawa tombak,
golok atau pedang di tangan! Ratusan orang itu sambil berteriak-teriak membuat
gerakan mengepung sehingga perkampungan Jatikusumo itu telah terkepung rapat!
Dengan panik para penjaga itu lalu memukul kentongan yang tergantung di gardu
penjagaan itu. Seluruh penghuni perkampungan menjadi semakin terkejut ketika
mereka mendengar kentongan dipukul bertalu-talu menyambung sorak-sorai yang
membangunkan mereka dari tidur tadi. Semua anak buah Jatikusumo cepat
mengenakan pakaian dan berlari keluar membawa senjata.
Priyadi juga terbangun dengan kaget. Mendengar kentongan yang dipukul gencar itu,
tahulah dia bahwa ada bahaya mengancam. Teringatlah dia akan ucapan Tumenggung
Janurmendo kemarin tentang kemungkinan penyerangan dan pasukan Mataram. Dia
segera mengenakan pakaian, memandang kepada dua orang gadis kakak beradik yang
masih saling berangkulan di sudut pembaringan. Setelah semua gairah nafsunya
terpuaskan, kini dua orang dara dusun itu tidak tampak begitu menarik lagi! Beginilah
sifatnya nafsu yang selalu berupaya untuk menguasai manusia. Kalau belum terdapat
sesuatu yang diinginkan, maka sesuatu itu tampak indah dan menarik sekali, Akan
tetapi sekali yang diinginkan itu terdapat, maka kebosanan segera menyusul dan nafsu
menginginkan yang lain lagi yang dianggapnya lebih menarik.
Setelah mengenakan pakaian dan menyelipkan keris pusaka Liat Nogo di pinggangnya,
tanpa memperdulikan lagi kepada dua orang gadis dusun itu, Priyadi segera melompat
keluar dari kamarnya.
Di ruangan tengah dia bertemu dengan semua rekannya yang sudah berkumpul di situ.
Mereka semua tampaknya juga sudah siap siaga mambawa senjata masing-masing.
Wajah mereka juga tegang dan ketika melihat Priyadi muncul, Bhagawan Jaladara
segera menyambutnya.
"Apa yang terjadi, paman?" tanya Priyadi.
"Seperti yang kami khawatirkan, anak mas. Pasukan Mataram telah datang menyerbu
kita" jawab Bhagawan Jaladara.
"Kenapa tidak mengerahkan anak buah untuk menyerang mereka?"
"Mereka berjumlah lebih dari dua ratus orang dan mereka belum bergerak menyerang
kita, anak mas. Mereka hanya baru mengepung saja dan agaknya pimpinan pasukan itu
hendak bicara dulu dengan kita."
"Hemm, siapa yang memimpin pasukan itu, Siapa senopatinya?"
"Agaknya yang memimpin di depan sendiri adalah Sang Puteri Wandansari!"
"Hemm, diajeng Wandansari?"
"Benar, anakmas. Dan melibat bahwa pasukan itu tidak dipimpin seorang senopati
Mataram, melainkan oleh sang putri, maka agaknya gerakan mereka itu adalah
merupakan balas dendam sang puteri atas terbasminya perguruan Jatikusumo." kata
Bhagawan Jaladara.
"Hemm, kalau hanya diajeng Wandarsari, jangan khawatir, paman. Aku dapat
menundukkannya dengan mudah!" kata Priyadi dengan sikap tenang dan penuh
kepercayaan kepada diriya sendiri. Bagaimanapun, Wandansari adalah, adik
seperguruannya, murid ke lima, sedangkan dia adalah murid ketiga. Biarpun kabarnya
Wandansari telah mendapatkan pedang Kartika Sakti dan ilmunya, dia sama sekali
tidak merasa gentar. Yang ditakuti hanyalah Sutejo yang kini telah berhasil
mendapatkan dan memiliki Pecut Sakti Bajrakirana.
"Akan tetapi kita harus berhati-hati, anakmas. Siapa tahu ada orang-orang lain yang
membantunya." kata Bhagawan Jaladara.
"Ha-ha-ha, biarpun ada yang membantunya, kita tidak perlu takut, Bhagawan Jaladara.
Kita telah berkumpul di sini menghimpun tenaga. Siapa yang akan mampu mengalahkan
kita semua?" Resi Wisangkolo tertawa dan membesarkan hati rekan-rekannya dengan
ucapan yang sombong itu. "Mari Kita segera keluar dan menghadapi mereka bersama!"
kata Priyadi dan pada saat itu terdengar teriakan lantang yang datangnya dari luar
pintu gerbang perkumpulan Jatikusumo.
"Priyadi Pengkhianat murtad yang jahat! Keluarlah untuk menebus dosa-dosamu!"
Suara itu melengking nyaring dan Priyadi segera mengenal suara itu sebagai suara
Wandansari, adik seperguruannya. Akan tetapi betapa nyaring melengking suara itu,
didorong oleh tenaga sakti yang amat kuat. Diapun dapat menduga bahwa puteri istana
itu telan berhasil menghimpun tenaga sakti amat kuat. Diapun segera melangkah keluar
diikuti rekan-rekannya.
Udara sudah tidak segelap tadi. Sinar matahari mulai menyapu kegelapan dan mengusir
sisa embun pagi yang bermalas-malasan meninggalkan bumi. Setelah tiba di luar pintu
gerbang perkampungan Jatikusumo, Priyadi melihat Puteri Wandansari dengan pakaian
yang ringkas berdiri di depan pasukan yang dipimpinnya. Dara bangsawan itu tampak
demikian gagah perkasa dan jelita. Dulu, ketika masih tinggal di perguruan Jatikusumo,
Priyadi selalu memandang sang puteri itu sebagai seorang adik seperguruan, dengan
perasaan sayang seorang kakak terhadap adiknya. Akan tetapi sekarang, ketika dia
memandang gadis itu, penglihatannya sudah sama sekali berubah. Dia melihat Puteri
Wandansari demikian cantik jelita menggairahkan, seolah baru sekarang dia melihat
kecantikan itu dan hatinya dipenuhi rasa kagum dan berahi. Priyadi sengaja bersikap
tenang dan memandang rendah walaupun dia sudah melihat bahwa sang puteri itu
ditemani oleh banyak orang muda yang gagah, di antaranya dia melihat Sutejo dan
Cangak Awu. "Ah. kiranya diajeng Wandansari yang datang Diajeng, kenapa andika datang dengan
sikap marah dan menantang-nantang" Lebih baik kalau andika menemani aku, hidup
bahagia sebegai teman hidupku selamanya di sini!"
Wajah sang puteri menjadi merah padam dan sepasang matanya yang jeli dan indah itu
mengeluarkan sinar berapi api "Jahanam busuk, tutup mulutmu yang kotor! Entah iblis
mana yang telah memasuki jiwamu sehingga kini engkau berubah menjadi seorang yang
hina dan biadab! Engkau telah membunuh Bapa Guru. Sindusakti, Kakang Maheso Seto.
Mbakayu Rahmini dan banyak murid Jatikusumo! Engkau telah membasmi Jatikusumo,
tempat di mana engkau dibesarkan dan dididik. Engkau bahkan telah bersekutu dan
menjadi antek Kadipaten Wirosobo. Aku datang untuk membasmi persekutuanmu yang
busuk itu!"
"Wandansari!" kata Priyadi dengan suara berwibawa. "Apa yang kau andalkan untuk
mengalahkan aku" Lihat, selain anak buahku cukup banyak dan kuat, aku juga dibantu
oleh banyak orang gagah. Dan apakah engkau berani melawan dan menghadapi aku?"
Sutejo melangkah maju. "Keparat Priyadi! Kalau andika memang jantan dan. berani
bertanding satu lawan satu, akulah lawanmu!"
Melihat Sutejo. Priyadi marah sekali, teringat akan pecut yang telah dicuri oleh
Sumarni dan diberikan kepada pemuda ini "Babo-babo. jahanam Sutejo! Kau kira aku
takut kepadamu" Kebetulan sekali engkau ikut datang karena kalau tidak, akulah yang
akan mencarimu untuk merampas kembali Pecut Bajrakirana yang secara licik telah
engkau curi dariku!"
Sutejo melangkah maju mendekat dan berkata dengan lantang sehingga suaranya
terdengar oleh semua orang. "Priyadi, tidak malukah engkau mengeluarkan kata-kata
seperti itu" Aku adalah pemilik yang sah dari Pecut Sakti Bajrakirana. Mendiang Eyang
Guru Resi Limut Manik telah memberikannya kepadaku: Akan tetapi dengan curang
sekali Bhagawan Jaladara telah merampasnya dari tanganku, kemudian dia memberikan
pecut itu kepadamu untuk menarikmu menjadi antek Wirosobo! Sekarang engkau masih
bermuka tebal untuk mengatakan bahwa aku yang mencuri pecut milikku sendiri ini dari
tanganmu?"
Tiba-tiba terdengar suara tawa lantang dari rombongan Priyadi. Resi Wisangkolo
melangkah maju di samping Priyadi sambil mengamangkan tongkat ularnya yang
berwarna hitam sambil barseru dengan nada mengejek. "Ha-ha-ha-ha! Setelah Sutejo
maju bertanding dengan anakmas Priyadi, lalu siapa lagi yang akan mampu
menandingiku" Hayo, orang-orang Mataram, kalau ada yang berani, boleh maju melawan
aku Resi Wisangkolo!"
Wandansari yang dalam perjalanan tadi sudah berbincang-bincang dengan Sutejo dan
telah mendengar keterangan pemuda itu tentang tingkat kepandaian semua orang yang
membantunya melakukan penyerbuan ke perguruan Jatikusumo, maklum bahwa
diantara para pembantu itu tidak ada yang akan mampu menandinggi kedigdayaan Resi
Wisangkolo. Maka sebelum ada yang menjawab tantangan kakek resi yang sombong itu,
Puteri Wandansari melangkah maju dan suaranya terdengar lantang.
"Resi Wisangkolo, sudah lama aku mendengar akan kesesatanmu! Sebagai seorang resi
engkau telah menyeleweng dari pada kebenaran, mengandalkan kedigdayaan untuk
bertindak sewenang-wenang. Jangan mengira bahwa tidak ada yang akan berani
menandingimu. Akulah lawanmu!"
Semua orang terkejut, Mereka sudah tahu bahwa resi itu memiliki kesaktian yang
hebat. Bagaimana puteri istana yang masih muda ini akan mampu menandinginya" Juga
Cangak Awu merasa khawatir sekali. Akan tetapi Sutejo hanya tersenyum. Dialah yang
cukup maklum bahwa sang puteri yang cantik jelita dan halus itu sebetulnya telah
memiliki kesaktian yang tidak berapa jauh selisihnya dibandingkan dengan dia sendiri.
Sang puteri itu telah menerima gemblengan dari mendiang Resi Limut Manik, bahkan
telah menerima pedang pusaka ampuh Kartika Sakti berikut kitab ilmu pedang itu yang
merupakan ilmu pamungkas dari Resi Limut Manik di samping ilmu Bajrakirana! Karena
itu Sutejo tidak merasa khawatir melihat sang puteri itu maju hendak menandingi Resi
Wisangkolo. Ki Klabangkolo tidak mau kalah. Diapun melangkah maju dan menantang sambil
memandang ke arah rombongan Puteri Wandansari. "Dan siapa di antara kalian yang
berani menandingiku?" teriaknya dengan suara parau. Biarpun dia tidak memegang
senjata apapun karena datuk ini memang tidak pernah mempergunakan senjata, namun
dia tampak menakutkan Tubuhnya tinggi besar dan mukanya yang brewok itu mirip
muka singa. Retno Susilo yang tahu akan kedigdayaan kakek ini hendak maju, akan tetapi ia
didahului, ayah Sutejo. Ki Harjodento yang lebih dulu maju menghadapi Ki Klabangkolo.
"Akulah yang akan menandingimu!" katanya dengan tegas.
"Hua ha ha, manusia lancang dan bosan hidup. Siapa engkau, berani melawan Ki
Klabangkolo baburekso Pegunungan Ijon?" bentak Ki Klabangkolo sambil tertawa
mengejek. "Ki Klabangkolo, perkenalkanlah calon lawanmu ini. Aku bersama Harjodento, ketua
perguruan Nogo Dento dan aku tidak akan mundur selangkahpun untuk melawanmu!"
Diam-diam Ki Klabangkolo terkejut, tentu saja dia pernah mendengar nama besar
ketua Nogo Dento ini.
Bhagawan Jaladara juga maju dan menantang. "Siapa berani melawan aku?"
Terdengar jawabnya nyaring. "Akulah lawanmu, manusia iblis. Aku akan membalaskan
kematian orang-orang tak berdosa yang telah menjadi korban kejahatanmu!"
Yang berseru ini bukan lain adalah Retno Susilo yang telah mencabut pedang pusaka
Nogo Wilis karena kakek itu juga sudah memegang tongkat hitamnya.
Sekarsih yang melangkah maju segera dihadapi oleh Padmosari, isteri Ki Harjodento
yang masih tampak cantik itu. Ibu kandung Sutejo ini adalah seorang wanita yang
memiliki kesaktian yang cukup tinggi, dan suaminya yang cukup mengenal kedigdayaan
isterinya, tidak merasa khawatir ketika Padmosari menyambut tantangan Sekarsih.
Ketika Tumenggung Janurmendo maju, dia segera disambut oleh Cangak Awu yang
dibantu oleh Pusposari yang mendampingi tunangannya itu. Sedangkan Maheso Kroda
sudah dihadapi oleh ayah dan paman Retno Susilo, yaitu Mundingsosro dan
Mundingloyo, dua orang pimpinan perkumpulan Sardulo Cemeng.
Biarpun tidak ada yang memberi komando, kedua pihak sudah mulai bergerak dan saling
terjang sehingga terjadilah pertempuran yang amat seru dan mati-matian.
Seorang perwira pembantu Puteri Wandansari telah memanggil pasukan yang tadinya
mengepung perkampungan itu dan kini mereka berkumpul di depan pintu gerbang. Akan
tetapi perwira itu tidak memberi aba-aba untuk menyerang karena pihak anak buah
lawan juga belum bergerak dan dia masih menanti komando dari Puteri Wandansari
yang telah mulai bertanding dengan lawasnya. Perwira itu bersama pasukannya hanya
menonton dengan, penuh kewaspadaan. Mereka tahu bahwa para pimpinan mereka
sedang bertanding, melawan pimpinan lawan yang tangguh. Mereka hanya
mengharapkan para pimpinan mereka akan keluar sebagai pemenang, karena
kemenangan pimpinan akan memperbesar semangat bertempur mereka untuk
menggempur musuh.
Pertempuran itu sungguh dahsyat. Terutama sekali pertandingan, yang terjadi antara
Sutejo melawan Priyadi. Priyadi memegang kerisnya yang mengeluarkan sinar berkilat,
yaitu keris pusaka liat Nogo yang berhawa panas. Adapun Sutejo yang telah tahu
betapa saktinya orang yang dilawannya, juga sudah melolos Pecut Bajrakirana dan
memegang gagang pecut itu dengan tangan kanannya, siap menghadapi terjangan lawan.
Sejenak mereka memasang kuda-kuda tanpa bergerak, hanya mata mereka saja saling
tatap dengan tajam, seperti dua ekor ayam jantan hendak berlaga mengukur kekuatan
lawan melalui tatapan mata. Diam-diam Priyadi mengerahkan Aji Penyirepan Begonondo
untuk membuat lawan lemah dan mengantuk agar mudah dia serang dan robohkan.
Sutejo dapat merasakan ini karena tiba-tiba saja sepasang matanya merasa pedas dan
mengantuk. Hampir saja dia menguap, akan tetapi karena menyadari bahwa ini
merupakan pengaruh ilmu lawan, cepat dia mengerahkan tenaga sakti untuk
melawannya. Kesadarannya kembali sepenuhnya dan rasa lelah dan mengantuk itupun
lenyap. BAGIAN 53 Maklum bahwa lawannya tidak mempan diserang dengan Aji Penyirepan Begonondo,
Priyadi menjadi penasaran dan marah. Tiba-tiba dia mengeluarkan pekik dahsyat yang
menggetarkan keadaan sekelilingnya, membuat semua orang terkejut. Terutama sekali
Sutejo yang diserang langsung dengan Aji Jerit Nogo ini merasa seperti ada halilintar
menyambarnya! Akan tetapi pemuda ini segera mengerahkan tenaga sakti untuk
menolak dan diapun tidak terguncang oleh serangan melalui pekik melengking Itu,
Melihat ini. Priyadi lalu menerjang dengan kerisnya. Keris liat Nogo yang berhawa
panas itu menyambar dengan tusukan kilat ke arah dada Sutejo. Serangan itu amat
dahsyatnya dan seandainya mengenai dada Sutejo, kiranya aji kekebalan yang dikuasai
Sutejo tidak akan kuat menahannya. Namun, dengan gerakan yang indah dan cepat
sekali Sutejo telah menghindarkan diri dengan lompatan ke belakang, kemudian dia


Pecut Sakti Bajrakirana Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menggerakkan pergelangan tangan kanannya.
"Tar-tarr......syuuuuuttt......!" Ujung pecut menyambar ke arah kepala Priyadi. Priyadi
juga maklum akan ampuhnya, pecut pusaka yang menjadi benda keramat bagi
Jatikusumo itu, maka dia tidak berani menerimanya dengan mengandalkan aji
kekebalannya. Dia mengelak dengan merendahkan diri lalu menubruk lagi ke depan,
kerisnya menusuk ke arah leher lawan! Sutejo menyambut serangan itu dengan
membalikkan pecutnya sehingga ujung pecut menangkis keris.
"Crinnggg......!" Tampak bunga api berpijar ketika keris bertemu ujung perut dan
keduanya tergetar ke belakang. Mereka lalu saling menyerang dengan dahsyatnya.
Ujung pecut menyambar-nyambar dengan lecutan maut, dibela tusukan-tusukan keris
yang kalau mengenai sasaran tentu akan merenggut nyawa. Bahkan kadang-kadang
tangan kiri mereka melakukan serangan pala dan serangan tangan kiri sebagai selingan
ini tidak kalah hebatnya dari serangan senjata mereka karena Priyadi menggunakan
tangan kirinya untuk memukul dengan Api Pamungkas Margopati sedangkan Sutejo juga
mempergunakan Aji Pamungkas Bromokendali.
Pertandingan antara Wandansari melawan Resi Wisangkolo juga hebat sekali. Ketika
mereka mulai bertanding, Resi Wisangkolo memandang rendah lawannya. Hanya
seorang dara jelita yang masih amat muda! Bagaimana akan mampu menandinginya"
Sang resi yang tidak mudah lagi terpikat wajah cantik, tidak seperti watak Ki
Klabangkolo yang masih mata keranjang, sekali ini terpesona oleh kecantikan Puteri
Wandansari dan timbul niat buruknya untuk mempermainkan dara bangsawan itu. Dia
menggerakkan tongkat ular hitamnya dengan cepat dan kuatnya. Serangan pertama dia
tujukan ke arah dada tang puteri, dengan maksud untuk mencolok dada
mempergunakan tongkatnya secara kurang ajar sekali, sambil terkekeh.
"Singggg.........trangggg ......!" Bunga api berpijar-pijar dan kakek itu terkejut bukan
main karena tangkisan pedang pada tongkatnya itu membuat tongkatnya terpental
keras dan telapak tangannya tergetar hebat! Sungguh bukan tenaga sembarangan yang
mampu menggerakkan pedang sekuat itu! Senyumnya mulai berubah masam, akan tetapi
tetap saja dia masih memandang ringan. Lengan kirinya yang panjang itu terjulur ke
depan, cepat sekali menuju ke pundak Puteri Wandansari untuk menotok jalan darah.
"Haiiiittt.......!" Sang puteri membentak nyaring diikuti gerakan pedangnya yang
mendesing dan dengan amat kaget Resi Wisangkolo terpaksa harus menarik kembali
tangannya kalau tidak ingin pergelangan tangannya terbacok pedang! Bukan main aneh
dan cepatnya gerakan pedang di tangan puteri itu! Kini mulai lenyaplah keheranannya
tadi mengapa seorang puteri muda berani menentangnya. Kiranya puteri dari Sultan
Agung ini memang sakti mandraguna. Teringatlah Resi Wisangkolo akan kesaktian
Sultan Agung, maka diapun tidak berani lagi memandang rendah .
"Bagus! Engkau ingin melihat kesaktian Resi Wisangkolo?" teriaknya dan kini tongkat
ular hitamnya bergerak cepat sekali, berubah menjadi segulungan sinar hitam yang
bergelombang datang menerjang ke arah Puteri Wandansari.
Akan tetapi, puteri itu tidak percuma menjadi puteri Sultan Agung, apa lagi ia telah
menerima gemblengan khusus dari Resi Limut manik. Iapun segera mainkan ilmu pedang
Kartika Sakti dan pedangnya lenyap berubah menjadi segulungan sinar yang
berkeredepan menyilaukau mata. Pedang itu adalah pusaka yang dikeramatkan oleh
perguruan Jatikusumo, sebatang pedang langka yang kabarnya terbuat dari logam yang
berasal dari bintang jatuh. Kuatnya melebihi baja dan ampuh bukan main! Apa lagi
dimainkan dengan ilmu pedang Kartika Sakti yang memang khusus dirangkai untuk
pedang pusaka itu. Kini tubuh sang puteri seperti dilindungi oleh gulungan sinar yang
teramat kuat. Ke arah manapun tongkat ular hitam menyambar, selalu membalik dan
terpental ketika bertemu dengan gulungan sinar itu. Bukan dalam pertahanan saja ilmu
pedang Kartika Sakti itu amat kuat, melainkan juga dalam penyerangan. Sambil
bertahan dengan kokoh kuat, kadang dari gulungan sinar putih berkeredepan itu
mencuat sinar kilat, yaitu ketika pedang itu membuat gerakan membalas dengan
serangan yang amat cepat dan kuat. Dan setiap kali pedang itu menyerang, baik
menusuk ataupun membacok, selalu yang dituju adalah bagian-bagian yang lemah dan
berbahaya dari tubuh lawan!
Beberapa kali Resi Wisangkolo mengeluarkan seruan kaget dan heran. Makin lama malin
lenyaplah sikapnya yang sombong memandang rendah tadi. Kini mulailah dia
mengerahkan semua tenaga dan ilmunya untuk menandingi puteri itu. Bahkan dia
venyelingi serangan tongkatnya dengan pukulan tangan kirinya yang ampuh dengan
pengerahan Aji Guntur Bumi, bahkan juga mengeluarkan Aji Pamungkasnya Guntur
Geni. Namun, aji-aji pukulan yang amat ampuh dan kuat itu tertahan oleh gulungan
sinar putih pedang Kartika Sakti dan hanya dapat membuat sang puteri terpental
mundur dua tiga langkah saja" Biarpun demikian, diam-diam Puteri Wandansari harus
mengakui bahwa lawannya amat tangguh, memiliki kedigdayaan yang luar biasa. Kalau
saja ia tidak menguasai ilmu pedang Kartika Sakti dan tidak memegang pedang pusaka
itu, tentu ia sudah, kalah dan dapat dirobohkan lawan yang sakti mandraguna itu. Akan
tetapi untung baginya, pedangnya amat ampuh dan ilmu pedangnya juga, merupakan
ilmu pedang tingkat tinggi yang dapat membendung serangan lawan sehingga ia masih
mampu bertahan dan bahkan balas menyerang. Biarpun ia lebih banyak bertahan dari
pada menyerang, namun kiranya tidak akan mudah dan akan berlangsung lama sebelum
kakek itu mampu mengalahkannya.
Perkelahian antara Ki Klabangkolo yang ditandingi Ki Harjodento juga berlangsung sero
dan hebat sekali. Ki Klabangkolo yang tidak biasa. mempergunakan senjata itu sekali ini
juga hanya mengandalkan kaki tangannya yang besar dan panjang. Akan tetapi karena
kakek ini memiliki sepasang lengan yang kebal, maka sepasang tangannya, itu sudah
merupakan senjata yang ampuh dan berbahaya sekali. Dengan mempergunakan Aji
Singarodra gerakan dan ulahnya tiada bedanya seperti gerakan seekor singa yang
mengamuk! Serangan-serangan berupa tubrukan dan cakaran kedua tangannya, kadang
diseling tendangan kedua kakinya yang panjang, diperkuat dengan gerengan yang
menggetarkan kalbu. Gerengan itu bukan sembarang teriakan, melainkan Aji Pekik
Singanada yang mempunyai wibawa seperti gerengan seekor singa yang dapat
melumpuhkan lawan.
Akan tetapi yang dilawan Ki Klabangkolo sekarang bukanlah orang sembarangan. Ki
Harjodento adalah seorang pendekar yang sudah banyak makan asam garam dunia
persilatan, sudah banyak pengalamannya bertanding dengan orang-orang yang memiliki
ilmu kepandaian tinggi. Dengan pengalamannya yang banyak dan pengetahuannya yang
luas, Ki Harjodento dapat menahan serangan Pekik Singanada dari lawannya itu.
Getaran-getaran yang diakibatkan pekik itu dapat ditahannya dengan pengerahan
tenaga saktinya. Dia mainkan tombaknya dengan gerakan yang mantap dan kuat sekali.
Bukan hanya pertahanannya yang kokoh, melainkan serang baliknya juga amat
berbahaya. Ketua perkumpulan Nogo Dento ini maklum bahwa lawannya memiliki aji
kekebalan yang amat, kuat, maka ujung tombaknya selalu menyerang bagian-bagian
yang lemah seperti mata, tenggorokan, bawah pusar sehingga serangan-serangannya
cukup membuat Ki Klabangkolo kerepotan karena harus melindungi bagian-bagian lemah
yang terancam itu dengan tangkisan tangan atau elakan. Serang menyerang terjadi
antara dua orang jago tua ini dan sukar diramalkan siapa di antara mereka yang akan
keluar sebagai pemenang. Memang cepat sekali pilihan lawan pihak Puteri Wandansari.
Semua ini atas petunjuk Sutejo yang pernah menghadapi semua lawan itu. Sutejo
dapat mempertimbangkan siapa di antara anggauta rombongan Puteri Wandansari yang
akan mampu menandingi anggauta pihak lawan. Karena itulah, ketika tadi pihak lawan
memunculkan jago-jagonya, pihak Puteri Wandansari sudah siap seseorang untuk
menandinginya, seperti telah diatur dan ditentukan sebelumnya.
Mungkin yang paling hebat dan sengit di antara mereka yang bertanding itu adalah
pertandingan antara Bhagawan Jaladara yang melawan Retno Susilo. Mula mula
Bhagawan Jaladara memandang rendah lawannya. Akan tetapi, setelah menerima
gemblengan lagi dari gurunya. Nyi Rukmo Petak atau Ken Lasai, tingkat kepandaian
Retno Susilo telah meningkat dengan hebat Bukan saja ia telah menguasai Aji Gelap
Sewu, pukulan yang amat hebat, dan juga Aji Wiso Sarpo yang mengandung racun ular-
ular berbisa yang amat berbahaya, ia juga mempunyai sebatang pedang pusaka, yaitu
Pedang Nogo Wilis yang mengeluarkan sinar kehijauan. Apa lagi Retno Susilo yang
berwatak keras itu sudah mendengar akan kejahatan-kejahatan yang dilakukan
Bhagawan Jaladara terhadap pria yang dikasihinya hal ini membuat ia merasa benci
sekali dan ia berkelebat dengan ganas bukan main. Pedang Nogo Wilis di tangannya
bergerak amat cepat sehingga tidak tampak bentuknya, berubah menjadi sinar
kehijauan yarg bergulung-gulung.
Bhagawan Jalalara menjadi terkejut bukan main. Setelah dia memainkan tongkat
hitamnya dan ke manapun dia menyerang, selalu tongkat hitamnya terpental ketika
bertemu sinar hijau, mereka tahulah dia bahwa gadis muda yang menjadi lawannya itu
seorang yang memiliki kesaktian. Bahkan setiap kali tongkatnya bertemu dengan
pedang hijau itu dengan keras sekali, dia merasa betapa telapak tangannya menjadi
panas dan tergetar. Hampir dia tidak dapat percaya akan kenyataan ini. Bahwa dia
seorang datuk persilatan yang tangguh, tokoh ke tiga dari perguruan Jatikusumo, kini
tidak mampu mengalahkan seorang gadis muda yang belum tentu ada dua puluh tahun
usianya! Saking penasaran, beberapa kali dia menggunakan tangan kirinya untuk
mengirim pukulan tenaga sakti dalam Aji Gelap Musti. Pukulannya itu hebat sekali,
mendatangkan angin yang dahsyat menyambar ke arah Retno Susilo. Akan tetapi gadis
itu sama sekali tidak merasa gentar, bahkan berani menyambut pukulan itu dengan Aji
Gelap Sewu yang tidak kalah dahsyatnya, setiap kali dua tenaga sakti itu bertemu,
Bhagawan Jaladara terdorong ke belakang sampai tiga langkah! Dengan marah dan
nekat Bhagawan Jaladara lalu mengerahkan seluruh tenaganya, mengeluarkan seluruh
ilmunya untuk menyerang. Retno Susilo menyambut dengan semangat bernyala-nyala
dan merekapun saling serang dengan sengitnya.
Sekarsih yang cantik genit dan juga tangguh itu, sebagai murid tersayang Ki
Klabangkolo, memiliki kepandaian yang tinggi Akan tetapi sekali ini ia bertemu tanding
yang dapat mengimbanginya, yaitu Padmosari, isteri Ki Harjodento. Sebagai isteri
ketua Nogo Dento yang sakti Padmosari juga menguasai aji kanuragan yang tinggi dan
ketika ia memainkan kerisnya, ia bagaikan sekor singa betina yang tangkas dan
berbahaya. Sekarsih menggunakan pedangnya, namun semua serangan pedangnya dapat
dihindarkan oleh Padmosari dengan elakan atau tangkisan kerisnya Dua orang wanita
yang sama cantiknya ini bertanding mati matian, saling serang dan saling desak dalam
keadaan yang seimbang.
Tumenggung Janurmendo mengamuk dengan hebat, menggunakan keris pusakanya yang
disebut Jalu Sarpo. Akan tetapi dia dikeroyok oleh Cangak Awu dan tunangannya,
Pusposari. Cangak Awu adalah murid ke empat dari mendiang Bhagawan Sindusakti
ketua Jatikusumo dan dia seorang pemuda gagah perkasa, tinggi besar yang memiliki
tenaga raksasa sehingga permainan tongkatnya amat menggiriskan. Adapun Pusposari
yang cantik manis adalah anak angkat dan murid dari Ki Harjodento. maka tentu saja
sejak kecil ia sudah digembleng dengan aji kanuragan yang membuat ia kini menjadi
teorang gadis yang tangguh. Biarpun Tumenggung Janurmendo mengamuk dengan keris
pusakanya, dan menyelingi serangan kerisnya dengan pukulan tenaga sakti Aji Wisang
Geni, namun sepasang kekasih itu bekerja sama dengan rapi dari kanan kiri membuat
senopati Wirosobo itu menjadi cukup repot.
Demikian pula dengan Maheso Kroda. Kepala perampok tinggi besar bermata lebar yang
sudah menjadi sekutu Priyadi ini mengamuk dengan senjatanya, sebatang keris yar.g
besar. Namun yang dihadapinya adalah kakak beradik yang menjadi pimpinan
perkumpulan Sardula Cemeng, yaitu Ki Mundingsosro dan Ki Mundingloyo, ayah dan
paman Retno Susilo. Biarpun tingkat kepandaian Maheso Kroda masih lebih tinggi
dibandingkan lawan, akan tetapi karena kakak beradik itu maju bersama dan mereka
berdua dapat bekerja sama dengan baik dan kompak sekali maka Maheso Kroda juga
merasa kuwalahan menghadapi terjangan mereka. Ki Mundingsosro bersenjata golok
sedangkan adiknya, Ki Mundingloyo menggunakan sebatang tombak trisula.
Biarpun yang bertanding itu hanya tujuh pa sang namun pertempuran itu hebat sekali.
Angin pukulan menyambar-nyambar membuat pohon-pohon bergoyang seperti diamuk
angin badai dan debu mengepul tinggi, Suara senjata bertemu berdencingan dan
tampak bunga api berpijar-pijar di sana sini Semua ini diseling pekik-pekik yang
mengandung hawa sakti membuat semua anak buah yang hanya menonton merasa
tergetar dan tegang.
Priyadi kini mulai terdesak hebat oleh Sutejo. Priyadi sudah mengerahkan seluruh
tenega dan mengeluarkan seluruh ilmunya, namun semua ilmunya dapat dipunahkan oleh
kehebatan Pecut Sakti Bajrakirana yang menyambar-nyambar bagaikan seekor burung
garuda Beberapa kali hampir saja kepala Priyadi dapat dipatuk ujung pecut, membuat
dia terkejut dan terhuyung ke belakang. Priyadi juga melihat bahwa kawan-kawannya
juga agaknya kerepotan menghadapi lawan masing-masing. Bahkan Resi Wisangkolo
yang dia andalkan itu belum juga mampu mengalahkan Puteri Wandansari. Mulai patah
semangat Priyadi. Tiba-tiba kembali pecut lawannya menyambar dan meledak di atas
kepalanya. "Tar-tar-tar...... !!" Priyadi menjadi marah sekali. Pecut Bajrakirana itu sungguh
membuat dia kewalahan. Tiga kali dia menggerakkan kecil pusaka Liat Nogo untuk
menangkis, kemudian secepat kilat tangan kirinya menghantam dengan pengerahan Aji
Margopati. Melihat ini, Sutejo cepat menyambut pukulan itu dengan Aji Bromokendali
yang amat dahsyat.
"Blarrrr......!!" Demikian hebatnya pertemuan dua tenaga sakti itu dan akibatnya, tubuh
Priyadi terhuyung dan pada saat itu, Pecut Bajrakirana telah menyambar lagi ke arah
kepalanya, Priyadi cepat mengelak.
"Tarr......!!" Ujung pecut itu luput mengenai kepalanya, akan tetapi masih melecut
punggungnya dan merobek bajunya. Juga kulit punggungnya lecet berdarah Priyadi
terkejut, cepat menjatuhkan tubuhnya ke samping lalu bergulingan menjauh. Ketika dia
melompat bangun, dia berteriak kepada anak buahnya.
"Serbuuu...!!" Teriakan ini amat nyaring dan begitu besar pengaruhnya karena pada
saat itu, seluruh anak buahnya yang terdiri dari dua ratus orang lebih sudah bersorak
dan menyerbu keluar!
Perwira Mataram yang telah mendapat tugas dari Puteri Wandansari untuk memimpin
pasukan, sudah dipesan oleh sang puteri bahwa pasokannya baru boleh bergerak kalau
anak buah Jatikusumo mulai menyerang. Kini melihat anak buah Jatikusumo keluar
sambil berteriak-teriak dan meng acung-acungkan senjata, diapun memberi aba-aba
kepada pasukannya untuk menyambut serbuan itu.
Terjadilah pertempuran hebat di pagi hari itu. Para anak buah pasukan mendapatkan
lawan masing-masing dan tidak berani mencampuri para pimpinan yang sedang
bertanding. Sutejo kehilangan Priyadi yang menghilang ke dalam perkampungan
Jatikusumo. Dia merasa penasaran dan cepat melakukan pengejaran, menyelinap ke
dalam perkampungan yang sudah ditinggalkan oleh semua anak buah Jatikusumo yang
kini telah bertempur di luar perkampungan. Sutejo memasuki bangunan induk dan
mencari Priyadi. Akan tetapi yang ada hanya dua orang gadis yang tampak ketakutan
dan saling rangkul di ruangan belakang. Tidak tampak seorangpun pelayan, agaknya
mereka semua telah menyembunyikan diri. Ketika melihat Sutejo kedua orang gadis itu
tampak semakin ketakutan.
"Katakan, di mana adanya si jahanam Priyadi?" tanya Sutejo kepada mereka, Ketika
melihat sikap Sutejo yang menyebut jahanam kepada Priyadi, dua orang gadis itu
hilang rasa takutnya, Mereka adalah dua orang gadis dusun yang semalam dipaksa
melayani Priyadi dan mereka amat membenci laki-laki itu.
"Ke sana...... dia lari ke sana......!" Gadis tertua menunjuk ke pintu yang menembus ke
bagian belakang rumah itu. Melihat ini, Sutejo lalu melompat dan melakukan
pengejaran. Ketika Sutejo tiba di luar rumah bagian belakang, dia masih dapat melihat sesosok
bayangan berlari cepat menuju ke kebun belakang, ke arah perbukitan yarg berada di
belakang kebun itu. Dia segera mengerahkan Aji Harina Legawa dan melompat dengan
cepatnya, lalu berlari seperti terbang melakukan pengejaran.
Dia mendaki perbukitan di bagian belakang perkampungan Jatikusumo akan tetapi
kehilangan jejak Priyadi. Melihat sebuah sumur tua, Sutejo menghampiri sumur itu. Dia
berdiri di tepi sumur, yang letaknya agak meninggi, lalu memandang ke sekeliling. Tidak
tampak bayangan Priyadi. Kemudian dia mendapat sebuah pikiran. Jangan-jangan
Priyadi bersembunyi di dalam sumur ini! Lalu dia menjenguk ke dalam sumur. Tidak
tampak sesuatu, hanya hitam gelap. Kalau memang benar Priyadi bersembunyi di dalam
sumur tua itu, berbahaya sekali untuk mengejarnya. Di dalam demikian gelap dan dia
tidak tahu apa yang terdapat di dasar semur. Suara pertempuran masih terdengar dari
situ. Ramai terdengar teriakan-teriakan mereka yang bertempur mati-matian, Dia
teringat akan ayah ibu, Puteri Wandansari, Retno Susilo dan yang lain-lain. Mereka
mungkin membutuhkan bantuannya. Lebih baik dia kembali ke sana.
Tiba-tiba saja, pada saat itu terdengar bentakan nyaring. "Hyaaaaattt!!"
Pukulan itu datangnya dahsyat bukan main, disertai angin pukulan yang amat kuat.
Itulah Aji Margopati yang dipergunakan oleh Priyadi yang memukul dari belakang.
Kiranya tadi dia bersembunyi di balik batu besar di dekat sumur itu dan selagi Sutejo
menjenguk ke dalam sumur dan membelakanginya, dia memukul dengan Aji Margopati
sambil mengerahkan seluruh tenaga saktinya.
Sutejo tidak dapat mengelak sepenuhnya, maka dia dapat memutar tubuh mengangkat
tangan untuk menangkis sambil mengerahan aji kekebalannya.
"Desss.......!!" Karena kedudukannya yang tidak menguntungkan itu, sedang berjongkok
di tepi sumur sambil membalikkan tubah menangkis, pertemuan dua tenaga sakti itu
sedemikian hebatnya membuat tubuh Sutejo terjungkal ke dalam sumur tua itu!
"Ha ha ha-ha, mampus engkau, Sutejo!" Priyadi tertawa-tawa sambil berjongkok dan
menjenguk ke dalam sumur. Akan tetapi alangkah kagetnya hati Priyadi ketika pada
saat itu, tubuh Sutejo melayang naik dari dalam sumur! Kiranya Sutejo ketika
terjungkal tadi, tangannya meraih dan kebetulan sekali tangan kirinya dapat
menangkap sebuah batu besar yang menonjol di dinding sumur. Dia mengerahkan
seluruh tenaga saktinya dan sekali mengenjot tubuhnya bertumpu pada batu itu,
tubuhnya melayang naik ke atas, melewati tubuh Priyadi yang sedang berjongkok.
Setelah tiba di atas. karena tidak ingin didahului lawan yang pasti akan menyerangnya
lagi, Sutejo berjungkir balik seperti seekor burung srikatan dan pergelangan tangan
kanannya bergerak.


Pecut Sakti Bajrakirana Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tar-tarrr......cuiiiittt.....!!" Ujung pecut Bajrakirana menyambar ke arah mata dan
ubun-ubun kepala Priyadi dengan kecepatan kilat Ternyata dalam keadaan melayang
jungkir balik dengan ilmu meringankan tubuh yang sempurna, Sutejo mampu melakukan
serangan yang amat hebat, Priyadi tidak sempat mengelak terhadap sambaran kedua
yang mengarah ubun-ubun kepalanya. Maka dia lalu menggunakan tangan kirinya untuk
menangkap ujung pecut yang menyambar ke arah ubun-ubunnya. Akan tetapi pada saat
itu, secepat kilat Sutejo menyusulkan pukulan Bromokendali dari atas, Hebat bukan
main pukulan jarak jauh ini, mengandung tenaga sakti yang amat kuat. Priyadi masih
berusaha untuk miringkan tubuh, namun pundaknya terdorong keras dan tak dapat
dihindarkan lagi tubuhnya terjengkang masuk ke dalam sumur tua!
Sutejo turun di tepi sumur, berdiri dan siap sedia untuk bertanding lagi kalau Priyadi
dapat keluar dari sumur. Dia mendengar suara gedebukan di bawah sana, lalu
terdengar suara tawa yang membuat bulu tengkuknya meremang karena suara tawa itu
menyeramkan sekali, bukan seperti tawa manusia, melainkan suara iblis yang tertawa!
Kemudian, terdengar jeritan melengking berkali-kali, jeritan mengandung rintihan
kesakitan yang makin lama semakin mengerikan seolah olah peneriaknya itu menderita
kesakitan yang amat hebat.
"Auuurrrggghhh.........ah-ah-auurrhh........!!"
"Hua-ha-ha-ha ha-ha!" Suara tawa iblis itu terdengar menyelingi pekik kesakitan. Pekik
itu makin melemah dan akhirnya terhenti sama sekali. Sunyi di bawah sana. Sutejo
tertegun, masih tegang oleh pekik melengking dan tawa mengerikan tadi. Dia tidak
dapat menduga apa yang telah terjadi di bawah, di dasar sumur itu dan diapun tidak
ingin menuruni sumur dan melihatnya, dapat menduga bahwa di dalam sumur itu
terdapat bahaya yang menakutkan. Ketika dia mendengar teriak-terakan mereka yang
bertempur, Sutejo lalu melompat dan berlari cepat menuruni bukit itu menuju ke
depan perkampungan Jatikusumo yang telah menjadi medan pertempuran.
BAGIAN 54 (TAMAT)
Kalau Sutejo dapat melihat ke dalam sumur, dia akan menyakitkan penglihatan yang
mendirikan bulu roma karena amat menyeramkan. Ternyata ketika Priyadi terjatuh ke
dalam sumur, di dasar sumur telah menanti Resi Ekomolo yang lumpuh kedua kakinya.
Kakek menyeramkan seperti Jerangkong itu tadi mendengar keributan di luar sumur,
maka dia lalu berlompatan ke dasar sumur, mengharapkan akan ada yang mau
menolongnya keluar dari sumur itu. Akan tetapi tiba-tiba ada orang melayang ke dalam
sumur. Sepasang mata kakek itu yang sudah terbiasa di tempat gelap, segera dapat
mengenal Priyadi! Amarah dan dendam yang meluap-luap timbul dalam hatinya ketika
dia melihat Priyadi. Juga dia merasa girang sekali karena mendapat kesempatan untuk
membalas dendam, maka dia mengeluarkan suara tawa seperti iblis, lalu bagaikan
seekor binatang buas dia telah menerkam ke arah tubuh Priyadi yang terjatuh. Priyadi
telah terluka pundaknya oleh pukulan Aji Bromokendali yang amat kuat, maka ketika
terjatuh ke dalam sumur, dia tidak mampu mengatur keseimbangannya dan terbanting
ke atas dasar sumur. Dia masih dalam keadaan nanar dan pundaknya seperti remuk
rasanya ketika Resi Ekomolo menyerangnya. Tentu saja dia tidak dapat menghindar
dan kedua tangan Resi Ekomolo yang jari-jarinya berkuku runcing seperti cakar setan
itu telah mencengkeram lehernya dari kanan kiri dan tubuh kakek lumpuh itu telah
menempel bagaikan seekor lintah di punggung Priyadi!
Cengkeraman yang mencekik leher itu luar biasa kuatnya sampai kuku-kuku sepuluh jari
tangan itu menghunjam dan merobek kulit daging leher. Rasa nyeri yang amat hebat
membuat Priyadi mengeluarkan pekik melengking kesakitan yang terdengar oleh
Sutejo, diseling suara tawa Resi Ekomolo. Darah mengucur dari kanan kiri leher yang
dicengkeram kedua tangan dan melihat darah, Resi Ekomolo yang bagaikan sudah
menjadi gila karena terlalu lama tinggal di sumur neraka itu dan karena marah dan
dendam, lalu menempelkan mulutnya ke leher yang berdarah dan menghisap darah
mengacar keluar dari luka dileher Priyadi! Priyadi merasa tidak mampu membebaskan
diri dari cengkeraman yang mencekik leher itu dan dia merasa betapa rasa nyeri
berdenyut-denyut menyiksa seluruh tubuhnya, terutama di bagian kepalanya. Rasa
nyeri yang membuatnya hampir gila. Juga dia merasa semakin lemah karena terlalu
banyak darah yang mengucur keluar dan terus mengucur karena dihisap oleh kakek gila
itu. Rasa nyeri yang amat sangat dan rasa diri semakin lemah menyadarkan Priyadi bahwa
diri nya terancam maut, nyawanya sudah berada dalam cengkeraman maut. Maka, dia
lalu menjadi nekat. Digenggamnya gagang keris pusaka liat Nogo, kemudian dengan sisa
tenaganya yang masih ada, dia menusukkan keris itu ke belakang punggungnya.
"Capppp.....!" Keris itn menembus kulit daging, memasuki rongga dada Resi Ekomolo dan
langsung menusuk jantung!
"Auuuggghhhh.....!!" Resi Ekomolo menjerit, akan tetapi cengkeraman kedua tangan
pada leher Priyadi tidak dapat terlepas lagi karena sepuluh jari tangannya sudah
menancap dalam-dalam ke leher itu Priyadi roboh dan tubuh Resi Ekomolo terbawa
roboh. Kedua orang itu tewas dalam saat yang hampir berbareng, keduanya mati
dengan mata terbelalak! Roh mereka menjadi roh penasaran yang gentayangan dan
menghantui sumur tua di bukit belakang perkampungan Jatikusumo itu!
******* Sutejo berlari cepat, kembali ke medan pertempuran. Setibanya di tempat itu,
pertempuran masih berlangsung dengan seru dan hebatnya. Kini menjadi pertempuran
besar karena semua orang di kedua pihak ikut bertempur. Darah tercecer di mana-
mana. Tubuh-tubuh manusia yang terluka berat atau sudah tidak bernyawa lagi malang
melintang dan tumpang tindih di sekitar tempat itu. Yang pertama-tama diperhatikan
oleh Sutejo adalah Puteri Wandansari dan Retno Susilo. Retno Susilo ternyata mampu
mendesak Bhagawan Jaladara, bukan saja pedangnya yang berubah menjadi gulungan
sinar kehijauan itu mengurung dan mendesak Bhagawan Jaladara, bahkan agaknya
pukulan Wiso Sarpo yang dipergunakan Retno Susilo telah mengejutkan pendeta itu
karena ketika ditangkis, tangan kirinya terasa panas yang menembus ke tulang lengan
sehingga dia dapat menduga bahwa ada bawa beracun yang amat kuat telah memasuki
lengan kirinya. Bhagawan Jaladara mulai menjadi panik, apa lagi ketika dia melihat
betapa rekan-rekannya juga! banyak yang terdesak, bahkan anak buah Jatikusumo
tampaknya tidak kuat melanda penyerbuan pasukan yang dipimpin Puteri Wandansari
itu. Melihat keadaan Retno Susilo sekilas tahulah Bntejo bahwa gadis itu tidak
membutuhkan bantuannya dan perhatiannya dialihkan kepada Puteri Wandansari.
Berbeda dengan keadaan Retno Susilo, sang puteri ini tampaknya mengalami kesukaran
untuk mengalahkan Resi Wisangkolo. Bahkan ia tampak terdesak oleh gerakan kakek
itu yang amat menggiriskan. Tongkat ular hitam itu dapat ditahan oleh ilmu pedang
Kartika Sakti, akan tetapi kakek itu menyelingi gerakan tongkatnya dengan pukulan-
pukulan jarak jauh dengan Aji Guntur Geni. Menghadapi pukulan sakti inilah sang puteri
tampak kewalahan. Hanya karena ilmu pedangnya Kartika Sakti yang ampuh itu saja
yang membuat sang puteri masih mampu bertahan, namun ia mulai terdesak mundur
terus. Melihat ini, Sutejo segera melompat mendekati.
"Wisangkolo, resi sesat! Tibalah saatnya engkau menebus dosa-dosamu!" bentak
Sutejo sambil menggerakkan Pecut Sakti Bajrakirana di tangannya.
"Tar-tar-tarrr....!" Sang Resi terkejut bukan main. Bukan hanya oleh sambaran ujung
pecut yang menyerangnya bagaikan halilintar itu, melainkan juga karena munculnya
Sutejo ini berarti bahwa Priyadi telah dikalahkan oleh pemuda ini. Dugaan ini
membuatnya gentar, apa lagi dia pernah mengadu kesaktian melawan pemuda ini dan
dia telah kalah. Kini melihat cambuk yang meledak-ledak di atas kepalanya itu, dia
menangkis dengan tongkat hitamnya. Bertemunya tongkat hitam dengan ujung pecut
membuat tangannya tergetar hebat dan diapun terhuyung ke belakang. Kesempatan itu
dipergunakan oleh Puteri Wandansari untuk menggerakkan pedang pusaka Kartika
Sakti yang menyambar ke arah leher Resi Wisangkolo dengan dahsyat sekali. Sang resi
terkejut dan cepat mengelak. Ujung pedang bersinar hijau itu luput dari sasaran, tidak
mengenai leher akan tetapi mengenai pundak kanan Resi wisangkolo.
"Singgg......crattt.....!" Baju dan pangkal lengan dekat pundak terobek dan darah
membasahi baju sang resi. Rasa perih dan nyeri pada pundaknya membuatnya menjadi
marah dan nekat. Dia menubruk ke arah Sutejo sambil mengayunkan tongkat ular
hitamnya, menyerang ke arah kepala peiuuda itu. Namun Sutejo telah siap siaga.
Cambuknya meledak dan ujung cambuk membelit tongkat lalu sekali tarik dengan
pengerahan tenaga saktinya, tongkatnya terlepas dari pegangan tangan kanan Resi
Wisangkolo. Kakek ini terkejut dan semakin marah. Tangan kirinya dihantamkan dengan
Aji Guntur Geni. Hawa berapi keluar dari telapak tangan kiri itu menerjang ke arah
Sutejo. "Aji Bromokendali !" Sutejo berseru sambil menyambut pukulan itu dengan pukulannya
yang merupakan aji pamungkas.
"Blarrr.....!" Dua tenaga sakti yang amat kuat saling bertumbukan di udara dan
akibatnya tubuh Resi Wisangkolo terjengkang dan roboh. Sebelum dia dapat bangkit
berdiri, baru merangkak, sinar hijau berkelebat.
"Singgg......ceppp......!" Ujung pedang Kartika Sakti telah masuk menancap di
lambungnya. Resi Wisangkolo yang sedang merangkak hendak bangkit itu roboh lagi
dan tewas dalam genangan darahnya sendiri.
Setelah melihat betapa sang resi yang sakti itu tewas, Sutejo lalu melompat
mendekati Retno Susilo yang sudah mendesak Bhagawan Jaladara.
"Jaladara! Saatnya tiba bagimu untuk menghadap dan mempertanggung-jawabkan
kejahatannnya kepada Eyang Resi Limut Manik!" teriak Sutejo dan Pecut Bajrakirana
meledak-ledak di atas kepala Bhagawan Jaladara, Sang bhagawan ini terkejut sekali.
Melawan Retno Susilo saja dia sudah kewalahan, apa lagi sekarang ditambah Sutejo
yang sudah dia ketahui kesaktiannya. Maka ketika Pecut Sakti Bajrakirana meledak-
ledak di atas kepalanya. Bhagawan Jaladara cepat membuang dirinya ke belakang,
terus bergulingan untuk menjauhkan diri, kemudian dia meloncat dan hendak melarikan
diri di antara banyak orang yang sedang bertempur.
"Jahanam, jangan lari kau!" bentak Retno Susilo dan dara ini menggerakkan tangan
kanan yang memegang gagang pedang Nogo Wilis. Dengan pengerahan tenaganya, ia
melontarkan pedang itu ke depan. Sinar kehijauan meluncur dan menyambar ke arah
tubuh Bhagawan Jaladara yang sudah mulai melarikan diri.
"Singggg.......cappp.......auugghhrrr.........!"
Tubuh Bhagawan Jaladara terjungkal ke depan dan roboh menelungkup, tidak bergerak
lagi karena pedang Nogo Wilis sudah memasuki dadanya menembus jantung.
Dengan sekali lompatan Retno Susilo sudah berada di dekat mayat bhagawan itu dan
mencabut pedangnya, lalu membersihkan pedang yang berlepotan darah itu pada
pakaian sang bhagawan.
Sutejo sudah berdiri di sampingnya dan pemuda ini menghela napas panjang,
memandang kepada tubuh yang menelungkup tak bernyawa lagi itu.
"Hemm. Paman Bhagawan Jaladara, ada jalan yang bersih, mengapa memilih jalan yang
kotor?" "Kakangmas Sutejo, mari kita bantu yang lain-lain! Lihat ayahmu juga belum dapat
merobohkan Ki Klabangkolo!" kata Retno Susilo kepada pemuda yang termenung itu.
Sutejo sadar kembali dan memutar tubuhnya. Benar saja, dia melihat pertempuran
masih berlangsung dengan sengitnya. Dia melihat ayahnya sudah mendesak Klabangkolo
akan tetapi belum dapat merobohkannya, bahkan ada dua orang anak buah Klabangkolo
yang membantu datuk itu mengeroyok Harjodento. Juga ibunya, Padmosari, sudah
mendesak Sekarsih yang dibantu dua orang anak buah, akan tetapi belum dapat
merobobkannya. "Kau bantulah ibuku, diajeng Aku akan membantu ayah!" katanya.
Pada saat itu, Puteri Wandansari sudah tiba di dekat mereka dan puteri itu berkata,
"Biarkan aku yang membantu Paman Harjodento dan Bibi Padmosari, kakangmas
Sutejo." Melihat sang puteri bicara kepada Sutejo, Retno Susilo memandang dengan alis
berkerut. "Saya yang akan membantu mereka! Mereka adalah calon ayah dan ibu mertuaku!" kata
Retno Susilo dengan suara ketus.
"Diajeng Retno!" Sutejo menegur, akan tetapi Retno Susilo sudah lari membawa
pedangnya dan membantu Padmosari sehingga Sekarsih menjadi gentar. Dua orang
pembantunya dalam beberapa gebrakan saja sudah roboh dan tewas oleh pedang
bersinar hijau di tangan Retno Susilo itu.
"Maafkan diajeng Retno Susilo........Gusti Puteri......" kata Sutejo kepada sang puteri.
Puteri Wandansari tersenyum sehingga tampak lesung pipit di pipi kirinya dan ketika
bibirnya terbelah, tampak kilatan gigi yang rapi dan putih seperti mutiara.
"Mengapa engkau begini sungkan dan menyebutku gusti puteri, Kakang Sutejo" Jadi,
Retno Susilo itu tunanganmu" Ah, ia sungguh gagah dan cantik, juga amat mencintamu,
kakang. Aku mengucapkan selamat. Nah, bantulah ayahmu, aku akan membantu Kakang
Cangak Awu dan yang lain-lain! Setelah berkata demikian, Puteri Wandansari melompat
dan membantu Cangak Awu dan Pusposari yang belum juga mampu mendesak
Tumenggung Janurmendo yang tangguh. Sutejo juga berlari menghampiri ayannya yang
masin bertanding melawan Klabangkolo yang dibantu dua orang anak buahnya.
Setelah Retno Susilo membantu Padmosari, Sekarsih menjadi panik, karena dua orang
yang membantunya sudah roboh dan kini sinar hijau bergulung-gulung menyerangnya
dari segala penjuru, seolah ia dikurung oleh sinar hijau itu. Ia melawan mati-matian
karena tidak melihat kesempatan untuk melarikan diri. Namun, melawan Padmofari
seorang saja ia tadi sudah kewalahan dan harus dibantu dua orang anak buah, apa lagi
sekarang seorang diri ia harus melawan Padmosari yang dibantu oleh Retno Susilo yang
bahkan lebih tangguh dan ganas dibandingkan isteri ketua Nogo Dento itu! Pedang
bersinar hijau itu menyambar-nyambar dan ketika Sekarsih menangkis dengan
pedangnya, ia terdorong dan terhuyung ke belakang dan hampir seja pedang di
tangannya terlepas! Selagi tubuhnya terhuyung ke belakang, keris di tangan Padmosari
menyambar ke arah perutnya. Sekarsih yang sedang terhuyung tidak dapat mengelak
dan terpaksa menangkis dengan tangan kirinya. Tangan kirinya bertemu ujung keris
dan terluka. Pada saat itu, angin menyambar keras ke arahnya dan tanpa dapat
dihindarkan lagi tangan kiri Retno Susilo telah menghantam dadanya dengan Aji Wiso
Sarpo! "Desss......!!" Tubuh Sekarsih terjengkang dan ia tewas seketika karena pukulan Wiso
Sarpo itu mengandung hawa beracun dari ular-ular yang paling ganas!
Harjodento masih bertanding ramai sekali menghadapi Ki Klabangkolo. Ki Klabangkolo
hanya mengandalkan kaki tangannya dalam bertanding, namun kaki tangannya ini tidak
kalah ampuh dibandingkan senjata tajam. Pukulan kedua tangannya mengandung angin
pukulan yang bergelombang seperti badai! Akan tetapi sekali ini dia berhadapan dengan
Ki Harjodento dan ketua Nogo Dento ini adalab seorang pendekar gagah perkasa yang
sudah berpengalaman dalam bertanding melawan orang-orang tangguh. Apa lagi dalam
pertandingan ini dia mempergunakan senjata tombak panjang sehingga akhirnya Ki
Klabangkolo merasa kewalahan juga.
"Klabangkolo manusia iblis! Bersiaplah engkau untuk menebus dosa-dosamu!" teriak
Sutejo dan dia sudah menerjang dengan senjata pecutnya.
"Tar-tar-tarrr......!" pecut itu meledak-ledak dan menari-nari di atas kepala Ki
Klabangkolo seperti kilat yang menyambar-nyambar. Ki Klabangkolo terkejut bukan
main. Dia melempar tubuh ke kiri dan terus bergulingan di atas tanah. Ketika tombak
di tangan Ki Harjodento meluncur, dia cepat menangkis dengan lengan kanannya sambil
melompat bangun kembali. Akan tetapi pada saat itu ada angin dahsyat menyambar,
membawa gelombang panas sekali.
"Aji Bromokendali!" Sutejo berseru dan melancarkan pukulan ampuh itu. Ki Klabangkolo
terpaksa menyambut pukulan itu dengan kedua tangannya karena tidak sempat
mengelak lagi. "Bllarrr.....!" Tubuh, Ki Klabangkolo terjengkang dan selagi dia terhuyung dengan muka
pucat dan kedua tangan menekan dada karena dia sudah terluka dalam, tiba-tiba
Harjodento menyerang dengan tombaknya. Tombak meluncur bagaikan anak panah
terlepas dari busurnya. Demikian cepatnya tombak itu menyambar sehingga Ki
Klabangkolo yang sudah nanar itu tidak sempat lagi mengelak atau menangkis.
"Blesss.......!" Tombak memasuki dadanya sampai hampir tembus. Ki Harjodento cepat
mencabut kembali tombaknya dan tubuh Ki Klabangkolo roboh terjungkal dan tewas
seketika. Sementara itu. Puteri Wandansari cepat membantu Cangak Awu dan Pusposari yang
telah mendesak Janurmendo. Biarpun dikeroyok dua dan didesak. Janurmendo yang
tangguh itu masih mampu mempertahankan diri.
"Janurmendo engkau telah ikut membunuh Eyang Resi Limut Manik! Rasakan sekarang
pembalasanku!" teriak sang puteri dan ia sudah menyerang dengan pusaka Kartika
Sakti, serangan Puteri Wandansari ini hebat bukan main, dahsyat sekali mengandung
tenaga sakti yang amat kuat dan cepat laksana halilintar. Tumenggung Janurmendo
terkejut dan berusaha menangkis dengan kerisnya Jalu Sarpo.
"Trangg.......!" Keris itu patah ujungnya bertemu dengan pedang pusaka Kartika Sakti
dan pedang itu terus meluncur ke arah leber Janurmendo. Tumenggung yang digdaya
ini masih sempat miringkan tubuhnya sehingga bukan lehernya yang terpenggal,
melainkah ujung pundak yang robek terluka. Dia mengeluh dan terhuyung ke belakang.
Kesempatan ini dipergunakan oleh Cangak Awu untuk menghantamkan tongkatnya yang
berat ke arah tubuh lawan.
"Bukk!!" Lambung Janurmendo terhantam tongkat itu, keras sekali sehingga tubuhnya
terlempar dan diapun roboh terbanting. Pedang Kartika Sari di tangan Puteri
Wandansari bergerak cepat menusuk dada tumenggung itu dan habislah riwayat
Tumenggung Janurmendo yang tewas seketika.
Pada saat itu, Maheso Kroda dikeroyok oleh Ki Mundingsosro dan Ki Mundingloyo, dua
orang pimpinan Sardulo Cemeng, juga telah roboh dan tewas di tangan kakak beradik
ini. Robohnya semua pimpinan persekutuan Jatikusumo dan para tokoh Wirosobo ini
membuat para anak buahnya menjadi gentar. Apa lagi di antara mereka sudah banyak
yang roboh dan tewas. Melihat bahwa mereka tidak mempunyai pimpinan lagi, maka
berserabutanlah sisa mereka melarikan diri. Gerombolan itu dapat dibasmi.
Para orang gagah yang membantu penumpasan gerombolan itu, termasuk Retno Suailo,


Pecut Sakti Bajrakirana Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

merasa kagum sekali melihat betapa Puteri Wandansari memimpin pasukannya
membagi-bagi perintah dengan tegas, seperti seorang senopati yang gagah perkasa dan
berpengalaman. Sang puteri memerintahkan semua anggauta keluarga gerombolan yang
tertinggi di perkampungan Jatikusumo untuk berkumpul. Ia melarang pasukannya
mengganggu para wanita dan kanak-kanak itu, bahkan lalu membagi-bagi harta yang
tertinggal di situ kepada mereka, barulah menyuruh mereka meninggalkan
perkampungan Jatikusumo. Juga ia membebaskan para wanita yang menjadi tawanan di
tempat itu. Diapun memerintahkan pasukannya untuk menguburkan semua mayat dari
korban pertempuran itu, baik mayat para musuh maupun mayat anggauta pasukannya
sendiri, kemudian membersihkan perkampungan itu.
Setelah tempat itu dibersihkan, Sang puteri mengumpulkan semua orang gagah yang
telah membantunya dalam ruangan yang luas di mana, biasanya para murid Jatikusumo
berlatih silat. Setelah mempersilakan semua orang duduk, ia bangkit berdiri dan
berkata dengan suara lantang,
"Saya merasa gembira sekali melihat kenyataan bahwa tidak ada seorangpun di antara
para saudara yang telah membantu kami mengalami cedera atau tewas. Atas nama
Kerajaan Mataram kami mengucapkan terima kasih atas bantuan saudara sekalian
sehingga gerombolan pemberontak yang telah menguasai Jatikusumo dan bersekutu
dengan Wirosobo dapat dibasmi. Kami mengharapkan dengan sungguh-sungguh agar
para saudara yang gagah perkasa suka membantu Mataram jika waktunya tiba untuk
menundukkan para kadipaten yang memberontak terhadap Mataram. Sanggupkah
saudara sekalian membantu kami?"
"Sunggup.......!" Terdengar jawaban dari banyak mulut.
"Atas nama Kanjeng Rama Sultan Agung, kami mengucapkan terima kasih! Dan
sekarang, mengingat bahwa perguruan Jatikusumo adalah perguruan orang-orang
gagah yang telah dicemarkan oleh perbuatan Priyadi yang murtad dan berkhianat,
maka sekarang perlu dibangkitkan kembali. Untuk itu, kami minta agar Kakang Cangak
Awu suka memimpin Jatikusumo dan mengumpulkan kembali para murid lama yang
melarikan diri, mengangkat murid-murid baru yang baik agar Jatikusumo berdiri
sebagai perkumpulan yang gagah. Kami harap Kakang Cangak Awu tidak menolak untuk
melaksanakan tugas yang mulia ini."
Cangak Awu merasa terharu dan dia mengangguk-angguk. "Saya akan menaati perintah
Gusti Puteri Wandansari!" katanya dengan lantang sehingga terdengar oleh semua
orang. Biarpun Sang puteri adalah adik seperguruannya sendiri, akan tetapi dalam
keadaan seperti itu di mana banyak orang lain hadir, dia lebih suka menganggap sang
puteri sebagai jujungannya dari pada sebagai adik seperguruan. "Karena murid
pertama dan kedua, yaitu Kakang Maheso Seto dan Mbakayu Rahmini telah tewas, dan
murid ketiga si jahanam Priyadi juga sudah tewas menurut keterangan..... saudara
Sutejo, maka saya sebagai murid keempat berkewajiban untuk membangun kembali
perguruan Jatikusumo!" Dia agak canggung untuk menyebut Sutejo. Mau menyebut
adimas, nyatanya dia akan berjodoh dengan Pusposari, adik Sutejo. Kadang menyebut
kakangmas nyatanya dia lebih tua dibandingkan Sutejo. Maka agar aman, dia menyebut
saja saudara! Setelah mengatur kesemuanya sehingga keadaan di Jatikusumo beres, Puteri
Wandansari lalu kembali ke kota raja memimpin pasukan Pasopati yang telah
memperoleh kemenangan itu. Juga para pembantunya telah bubaran meninggalkan
Jatikusumo. Retno Susilo sengaja mengajak Sutejo untuk memisahkan diri dari yang lain ketika
melakukan perjalanan kembali ke perkampungan Nogo Dento. Mereka menunggang kuda
dan dua ekor kuda itu berjalan perlahan lahan meninggalkan perguruan Jatikusumo. Di
sebuah lereng yang teduh, di mana terdapat sebuah hutan cemara yang indah, Retno
Susilo menghentikan kudanya dan turun dari atas kuda, lalu duduk ke atas batu besar.
Sutejo terpaksa turun pula dan duduk di sebelahnya.
"Kakangmas, Puteri Wandansari itu sungguh hebat, ya?"
Sutejo tersenyum dan memandang wajah yang cantik jelita itu dengan sinar mata
mengandung penuh pertanyaan. Dia tahu bahwa tunangannya ini pernah merasa
cemburu kepada sang puteri itu.
"Memang ia seorang puteri yang hebat diajeng."
"Hemm, engkau tentu kagum sekali kepadanya, bukan?" Retno Susilo kini menatap
wajah kekasih hatinya penuh selidik.
Sutejo masih tetap tersenyum, lalu mengangguk. Dia harus jujur dan tidak perlu
berpura-pura. "Memang sesungguhnyalah, aku kagum sekali kepadanya. Siapakah
orangnya yang tidak kagum kepada Sang Puteri Wandansari" Ia seorang dara cantik
jelita, puteri seorang reja besar, sakti mandraguna, bijaksana pula. Semua orang tentu
kagum kepadanya!"
"Akan tetapi........engkau.......engkau tidak cinta padanya, bukan?" Kini pandang mata itu
mengandung kekhawatiran dan keraguan, memandang tajam seakan hendak menembus
jantung dan menjenguk isi bati Sutejo.
Sutejo menundukkan mukanya sejenak, lalu mengangkatnya kembali dan memandang
wajah Retno Susilo sambil tersenyum. "Engkau ini ada-ada saja, diajeng. Aku ini siapa"
Berani jatuh cinta kepada puteri raja! Seperti seekor burung gagak merindukan seekor
burung cendrawasih. Hanya bisa menjadi bahan ejekan dan tertawaan!"
"Ah, jangan merendahkan diri seperti itu, kakangmas. Bagiku, engkau cukup berharga
untuk bersanding dengan seorang dewi kahyangan sekalipun!"
"Hemm, begitukah?"
"Akan tetapi, semua dewi dari kahyangan akan kumusuhi, kahyangan akan kuobrak-
abrik kalau ada dewi yang hendak merebutmu dari hatiku!"
"Wah, cemburu, ya?" Sutejo menggoda. "Tentu saja!" Retno Susilo mendekat dan
mereka berangkulan.
******* Setelah terjadinya peristiwa penghancuran gerombolan di Jatikusumo itu, Sultan
Agung yang mendengar akan semua pelaporan puterinya, lalu mengutus Senopati
Suroantani untuk memimpin pasukan untuk melakukan ekspedisi ke Jawa Timur, untuk
membujuk para Adipati dan Bupati agar mau bersatu dan tunduk kepada Mataram.
Akan tetapi, usaha ini tidak ada hasilnya, bahkan beberapa kali pasukan yang dipimpin
Senopati Suroantani mendapat serangan dari mereka. Akhirnya Senopati Suroantani
membawa pasukannya kembali ke Mataram dan melaporkan kegagalannya.
Dalam tahun 1615, di bawah pimpinan Adipati Surabaya dan dengan Sunan Giri sebagai
juru nasihat, bersatulah para bupati Lasem. Tuban, Japan, Wirosobo, Pasuruan.
Ansbaya (di Madura) dan sumenep menyerang ke Mataram! Akan tetapi penyerangan
besar-besaran ini gagal dan persekutuan ini dikalahkan oleh tentara Sultan Agung. Hal
ini terutama sekali kerena tentara gabungan dari Jawa Timur yang memberontak
kepada Mataram itu tidak memperoleh dukungan rakyat pedesaan sehingga mereka
kekurangan makanan dalam perjalanan. Sejak dahulu tercatat dalam sejarah bahwa
perjuangan hanya dapat berhasil kalau didukung oleh rakyat jelata.
Pada tahun-tahun berikutnya, Sultan Agung mengerahk?nn pasukannya menyerbu ke
Jawa Timur dan berhasil menalukkan Wirosobo, Lasem dan Tuban. Dalam penyerbuan
ini ikut pula para pendekar yang pernah membantu Puteri Wandansari ketika menyerbu
Jatikusumo, termasuk pasangan Sutejo dan Retno Susilo, juga pasangan Cangak Awu
dan Pusposari yang telah melangsungkan pernikahan kembar di perguruan Sardulo
Cemeng. Dalam tahun 1624, pasukan besar Mataram dipimpin oleh Senopati Kyai Sujono Puro
menyerang Madura. Dalam penyerangan ini, Kyai Sujono Puro tewas dalam
pertempuran. Lalu datang bala bantuan dari Mataram yang dipimpin oleh Senopati Kyai
luru Kiting. Pasukan Mataram yang besar Jumlahnya ini menyerbu dan pasukan-pasukan
Madura dikalahkan. Arisbaya, Pamekasin, Sumenep, Sampang dan Balega ditaklukkan.
Dalam kemenangannya ini Sultan Agung melakukan taktik yang amat bijaksana untuk
menghilangkan rasa dendam dari daerah yang ditalukkannya, yaitu dengan jalan
mengangkat Praseno, keponakan dari Bupati Arisbaya, menjadi Adipati yang menguasai
seluruh Pulau Madura dengan gelar Pangeran Cakraningrat. Berkedudukan di Sampang.
Tindakan yang bijaksana ini membuat Pangeran Cakraningrat selalu setia terhadap
Sultan Agung. Sultan Agung melanjutkan usahanya untuk menguasai seluruh jajaran Jawa Timur
dengan maksud mempersatukan seluruh kekuatan untuk menghadapi kompeni Belanda.
Setahun kemudian setelah Madura ditalukkan, dia memimpin pasukan menyerbu
Kadipaten Surabaya. Jatuhlah Kadipaten Surabaya ke tangan Sultan Agung! Akan
tetapi kembali Sultan Agung menunjukkan kebijaksanaannya Pangeran Pekik, Adipati
Surabaya, tidak dihukum, bahkan dikawinkan dengan Puteri Wandansari dan diijinkan
memerintahkan terus di Surabaya! Sungguh merupakan suatu kebijaksanaan yang
membuktikan bahwa Sultan Agung bukan bermaksud menaklukkan semua daerah timur
itu untuk meluaskan kekuasaannya, melainkan untuk mengajak mereka bersatu padu
menentang kompeni Belanda.
Akan tetapi masih ada ganjalan bagi Sultan Agung, yaitu Sunan Giri yang belum juga
mau tunduk. Dia memerintahkan kepada Adipati Surabaya untuk menundukkan Sunan
Giri. Akan tetapi pasukan Surabaya itu dikalahkan oleh pasukan Sunan Giri. Akhirnya,
Ratu Wandansari, yaitu puteri, Sultan Agung yang sudah menjadi isteri Adipati
Surabaya atau Pangeran Pekik, memimpin sendiri pasukan yang istimewa dan kuat. Sang
puteri yang gagah perkasa ini menggunakan pakaian seorang Senopati dan memimpin
serangan yang kedua. Pasukan Sunan Giri dapat dihancurkan dan Sunan Giri ditawan
lalu dibawa ke Mataram. Akan tetapi kembali Sultan Agung memperlihatkan
kebijaksanaannya, Sunan Giri dimaafkan, bahkan diangkat kembali menjadi pemimpin,
hanya saja gelar yang boleh dipakai adalah Panembahan saja.
Kekuasaan Mataram menjadi semakin luas, Bahkan Cirebon dan Priangan mengakui
kekuasaan Sultan Agung di Mataram. Pangeran Sumedang, yaitu Dipati Kusuma Dinata,
diangkat menjadi wakil Sultan Agung di daerah Jawa Barat. Memang maksud Sultan
Agung menundukkan semua daerah itu adalah untuk mencegah agar Kompeni Belanda
tidak bisa mendapatkan kekuasaan memperluas pengaruhnya.
Mulailah Sultan Agung mengalihkan perhatiannya kepada Kompeni Belanda setelah
daerah-daerah itu dapat dipersatukan dan mulailah perjuangannya menentang Kompeni
Belanda yang berpusat di Batavia (Jakarta).
Sampai di sini selesailah sudah Kisah Pecut Sakti Bajrakirana dengan harapan
pengarang semoga ada manfaatnya bagi para pembacanya.
TAMAT Lereng Lawu, medio Maret 1989
Kemelut Di Cakrabuana 5 Sejengkal Tanah Sepercik Darah Karya Kho Ping Hoo Seruling Samber Nyawa 3
^