Pencarian

Pedang Bengis Sutra Merah 2

Pedang Bengis Sutra Merah ( Tan Ceng In) Karya See Yan Tjin Djin Bagian 2


mantap, matanya berbinar, tapi dia diam saja, dia menatap Pui Cie dengan penuh
pertanyaan. Pui Cie pelan-pelan mendekat, "Tuan keterlaluan sekali mendesak orang sampai
begini." Muka Ti Kuang Beng berobah gelap terang tidak menentu, akhirnya dengan
tersenyum berkata, "Lauwte dengan Sastrawan Pengecut ini sejalan?"
Pui Cie menjawab dengan asal, "Ya! Kami berteman."
Ti Kuang Beng melihat keduanya sekali lagi berkata, "kalau dia teman lauwte, aku
mohon maaf!" Habis berkata dia menggenggam kedua tangannya sambil
digoyang-goyang.
Pui Cie secara dingin berkata, "Sudahlah!"
Ti Kuang Beng mengangkat alisnya, lalu berkata, "Masalah yang pernah
dibicarakan dengan lauwte apakah sudah dipikirkan?"
Pui Cie dengan gemas berfikir sebentar dan menjawab, "Sudah aku pikirkan,
kapan aku akan diperkenalkan?"
Muka Ti Kuang Beng mendadak berubah menjadi berseri-seri, setelah berfikir
sebentar lalu berkata, "Kalau begitu aku akan segera mengaturnya, selekasnya
Lauwte memberi jawaban, kalau nanti tidak bisa bertemu di pegunungan ini lagi
harap Lauwte menuju ke Cao Yang saja!"
Pui Cie mengangguk, "Ya, begitu pun boleh!"
Sinar gembira terlihat di wajah Ti Kuang Beng, "Aku akan secepat mungkin
memperkenalkan Lauwte kepada rekan yang lain, harap sabar!" Habis berkata,
matanya melirik Sastrawan Pengecut, lalu berkata, "Temanmu juga seorang yang
hebat dan langka, kalau bisa nanti juga hadir, majikanku membutuhkan sekali
orang-orang yang ahli pasti dia sangat senang menerima kalian berdua!"
Sekarang aku ada urusan penting, aku permisi dulu!" dia mengangkat kedua
belah tangan memberi hormat, lalu memutar badannya pergi.
Pui Cie tahu dia cepat-cepat mau pergi berkumpul untuk mengepung Ma Gwe
Kiau, kelihatannya dia tidak tahu perbuatan Yipha Yauci tadi malam.
Sastrawan Pengecut berkata, "Twako, hati-hati terjebak oleh orang yang
bermarga Ti itu, dia orang yang sangat keji!"
Pui Cie menyunggingkan senyuman berkata, "Aku tahu!"
Sastrawan Pengecut berkata, "Barusan dia berkata kau mau diperkenalkan,
memang ada masalah apa?"
Pikiran Pui Cie berputar, "Ini masalah besar tidak boleh bocor, kalau bocor bisa
berbahaya."
Lalu dengan tidak enak dia berkata, "Adik Hu, sebenarnya ini tidak boleh
dirahasiakan padamu, tapi karena ini masalah besar yang berhubungan dengan
urusan pribadiku, aku takut diluar dinding ada kuping mendengar, nanti saja kalau
sudah beres aku akan ceritakan semuanya kepadamu!"
Sastrawan Pengecut berseri-seri, "Tidak apa-apa, aku hanya sambilan saja
bertanya, Eh, Twako bagaimana kau bisa membuka totokan itu?"
Ini juga masalah lain yang sukar dijawab juga, dia agak ragu, akhirnya dengan
asal-asalan dia menjawab, "Kebetulan suhuku pernah memberi aku pelajaran
membuka totokan, tak disangka ternyata sangat manjur."
Sastrawan Pengecut dengan lantang berkata, "Bagus sekali, aku tidak berhasil
bertemu tabib ajaib itu, sepanjang perjalanan terus berfikir harus berbuat
bagaimana, sekarang hatiku sudah plong jadinya."
Pui Cie merasa tidak enak hatinya, orang begitu tulus membantu dia sendiri
membalasnya dengan cara begini, tapi apa boleh buat, keadaaan memaksa dia
harus begitu, sesudah berdiam sejenak dia berkata, "Kakak Hu, aku masih ada
urusan semoga di kemudian hari ada kesempatan kita minum arak sambil
ngobrol, tidak masalah kan?"
Sastrawan Pengecut dengan lapang dada, tidak berfikir panjang lagi menjawab,
"Kalau ada urusan silakan jalan duluan, Siaute juga ada urusan, siapa tahu kita
masih akan bertemu lagi dalam gunung ini, disana nanti kita bisa ngobrol lagi."
Akhirnya mereka berdua berpisah juga.
Pui Cie ingat urusan Phei Cen, sesudah turun gunung dia langsung masuk hutan
belukar, dijalan dia banyak menemukan orang-orang Shin Kiam Pang, tentu saja
dia tidak mau membuat keributan hanya karena persoalan kecil, tidak terasa, dia
sampai ke lembah tempat Bo Yu Sien Ce, anak dan ibu yang sedang bertapa.
Dipandang dari kejauhan banyak orang sedang bergerak, tertarik hati Pui Cie,
dari samping dia memutar mendekat.
Di mulut lembah depan batu besar yang menjulang, ada Yipha Yauci dan biksu
tua Guan Cen Ce, sepertinya ada komandan pasukan pengawal Shin Kiam Pang,
tapi tidak terlihat Shn Kiam Pangcu Phei Cen dan Sastrawan Iblis Ti Kuang Beng.
Sedang apakah mereka" Apakah Phei Cen telah masuk ke dalam lembah" Ti
Kuang Beng dari tadi mengapa belum tiba"
Masih befikir begitu, kelihatan Guan Cen Ce mengangkat tangan memberi aba-
aba, semua yang ada disana menepi masing-masing mencari tempat untuk
bersembunyi, dilihat gelagatnya orang-orang Shin Kiam Pang pasti sedang
membuat suatu gerakan.
0-0-0 Memperlihatkan Kemampuan
Setelah semua orang menyibak kesamping, dengan pelan-pelan Guan Cen Ce
mundur juga. Kebetulan sekali Yipha Yauci mundur, dan tempat dia mundur pas di tempat
persembunyian Pui Cie, begitu dia melihatnya, dia langsung menjerit, karena
kaget mukanya menjadi jelek sekali.
Setelah bertemu dengan musuh yang luar biasa dibencinya, dengan pandangan
penuh dendam Pui Cie menyorot muka Yipha Yauci.
Suara jeritan tadi mengejutkan semua orang, mereka semua segera menuju
ketempatnya Pui Cie.
Guan Cen Ce yang pertama-tama tiba, dia kaget dan memekik, "Si Baju Ungu!"
Yang lain juga ikut mengurung, tapi siapapun juga tidak ada yang kenal dengan
Si Baju Ungu. Pui Cie tidak perduli orang lain, dia melototi Yipha Yauci dan dengan suara seram
dia berkata, "Liu Kouwnio tidak terduga olehmu bukan?"
Yipha Yauci matanya berputar dengan senyum terpaksa berkata, "Si Baju Ungu,
apa kau kebetulan kesini?" Pedas juga perkataannya, juga kelihatan dia
mencurigai Pui Cie, arti katanya mengisyaratkan bahwa Pui Cie muncul disini
bukan disengaja.
Pui Cie berkata dengan suara sangat dingin, "Apakah perlu aku kasih tahu semua
orang bagaimana aku bisa berada disini?"
Muka cantik Yipha Yauci berubah, tiba-tiba seperti orang baru ingat sesuatu dia
berkata, "O., aku mengerti, ayo kita bicara disana!" habis berkata begitu dia
langsung melayang pergi.
Pui Cie terbengong-bengong, akhirnya mengikuti juga.
Diluar hutan setelah tiga puluh meteran terkejarlah Yipha Yauci, Pui Cie dengan
marah sekali berkata, "Aku tidak mati dicelakai olehmu, sekarang giliran dirimu
bertanggung jawab!"
Tangan kanannya sudah memegang pegangan pedang.
Yipha Yauci masih bisa tertawa cekikikan berkata, "Si Baju Ungu, aku kan
terpaksa berbuat begitu."
Dengan mulut tersungging senyuman sinis Pui Cie berkata, "Aku sekarang juga
terpaksa membunuhmu!"
"Si Baju Ungu, kau kan masih hidup. Sudahlah..."
"Sudah" Enak saja kau bicara!"
"Kita bikin satu perjanjian yang jujur, kau pegang rahasia itu, kita., tidak saling
mengancam."
Pui Cie sudah tidak tahan lagi hatinya penuh dengan nafsu membunuh, Pa
Kiamnya segera akan dicabut keluar dari sarungnya, dengan menggigit bibir dia
berkata, "Siapa yang mau berjanji denganmu" Aku hanya mau menbunuh orang!"
Yipha Yauci mundur dua langkah berkata, "Si Baju Ungu, kau belum tentu bisa
membunuhku, andai kau bisa membunuhku kau juga takkan bisa kabur dari sini,
percaya tidak?"
Dengan kecut Pui Cie bilang, "Aku tidak percaya!"
Yipha Yauci gemertakan giginya katanya, "Kalau saja Pui Cie tidak mati, aku ingin
sekali melihat kau mati roboh di bawah pedangnya!"
Perkataan ini menyentuh hati Pui Cie, waktu mendesak dirinya jatuh ke jurang dia
berlagak bodoh, sekarang dia seperti yang teringat selalu hati seorang wanita
seperti jarum dalam lautan, susah diraba.
Yipha Yauci memandang ke mulut lembah berkata, "Mereka sudah bergerak."
Pui Cie mendadak teringat dengan masalahnya, orang dalam lembah Bo Yu Sien
Ce adalah istri almarhum suhunya, dia menbawa Ku Tien Chan, adalah darah
daging suhunya, apakah aku bisa berpangku tangan saja" Sesudah berfikir
sejenak dia cepat-cepat bertanya, "Mau apa mereka?"
Yipha Yauci berkata, "Membuka paksa pintu gerbang lembah dengan dinamit,
kemudian masuk ke dalam menangkap orang."
Pui Cie tidak berkata apa-apa dia segera membalikkan badannya secepat kilat
mengejar kesana.
Guan Cen Ce sesudah menyulut dinamit, orangnya segera meloncat menjauh.
Sebaris asap dengan cepat menjalar ke batu besar di mulut lembah.
Pui Cie melayangkan dirinya tepat di tempat itu.
Guan Cen Ce dengan keras memekik, "Si Baju Ungu, mau apa kau!?" '
Pui Cie pura-pura tidak dengar, dia mendekat kebatu raksasa itu, dengan satu
tangan membabat, batu dan tanahpun berhamburan, sumbu dinamit terputus,
terlambat beberapa detik saja suasana sudah akan menjadi lain.
Dalam suara pekikan, para satria yang tadinya bersembunyi sekarang mencabut
pedang mendekat dan mengurung, Yipha Yauci juga sudah tiba di tempat itu.
Pui Cie berdiri tegak dengan angkuhnya, bila pihak lawan mulai turun tangan, dia
pun akan mulai membunuh.
Semua orang yang ada ditempat tidak mengetahui Si Baju Ungu adalah
Sastrawan Putih Pui Cie, dianggapnya dia adalah ahli pedang biasa saja maka
mereka berlagak angkuh dan galak.
Karena Guan Cen Ce adalah peminpin diantara orang orangnya maka dia yang
memberi perintah, dia mengangkat tangan menghadang semua orang, lalu
memandang Pui Cie dengan keji dengan penuh gejolak berkata, "Hai, Si Baju
Ungu, kenapa kau merusak rencana kami semua?"
Pui Cie balik bertanya, "Kalian kenapa merusak lembah ini?"
Dengan tertawa cekakakan Guan Cen Ce berkata, "Waktu kau menampakkan
diri, aku sudah curiga asal asulmu, sekarang ternyata kau sejalan dengan orang
yang berada di dalam lembah ini. Bagus!"
Pandangannya menggeser pada orang setengah baya berbaju indah dengan
suara tinggi dia berteriak, "Komandan Siau!"
Orang setengah baya berbaju indah itu segera menjawab, "Aku disini!"
"Tangkap dia!" "Menurut perintah!"
Pui Cie sedang berfikir, mengapa mereka bermusuhan dengan Bo Yu Sien Ce"
Apakah juga ada hubungan dengan suhunya"
Komandan bermarga Siau sudah menghunus pedang dan mengancam Pui Cie.
Pui Cie segera mengeluarkan Pa Kiam( Pedang Bengis) sambil berfikir, "Kalau
kejadian sudah begini sebaiknya menbunuh mereka seluruhnya! Masa Phei Cen
tidak mau mengunjukkan dirinya?" Pa Kiamnya dia angkat miring-miring saja.
Suasana di lapangan menjadi tegang, "Yeah!"
Dalam suara yang riuh komandan Siau sudah mulai menyerang duluan.
Pa Kiam yang berkilauan segera disabetkan hebat luar biasa, Pui Cie berfikir
membunuh satu berkurang satu yang melawan, dengan sepenuh tenaga dia
gunakan tenaganya, kekuatannya menakutkan, suara besi beradu memekakkan
telinga dibarengi suara mengaduh, dada sebelah kiri komandan Siau sudah
tertusuk berdarah seperti sekuntum bunga merah.
Komandan Siau sebagai pemimpin pasukan pengawal berseragam indah ini
sebenarnya ilmu silatnya amat tinggi.
Tapi kali ini baru sekali bergebrak sudah terluka, berarti Si Baju Ungu yang tidak
pernah dikenal orang ini ilmunya hebat sekali, yang berada disana semuanya
terkesima. Guan Cen Ce jengkel sampai alisnya berdiri, dia maju sambil membawa pedang
dengan memekik dengan keras, "Si Baju Ungu, akan kubunuh dirimu!
Mampuslah!" pedang dan suaranya berbareng menyerang, kondisinya seperti
naga yang kaget.
Pui Cie teringat akan peristiwa yang paling mengenaskan, ketika dia terjatuh ke
dalam jurang karena dikeroyok oleh tiga pedang bergabung oleh pihak lawan,
nafsu membunuhnya bertambah membara, tangannya segera di gerakan dengan
jurus mematikan menggenpur tempat yang lemah.
Di dalam suara besi beradu yang bertubi-tubi Guan Cen Ce sudah terdesak
mundur jauh, beberapa orang pengawal yang berseragam indah di belakang
mencoba membantu menyerang sambil menjerit.
Pui Cie memutarkan badan sambil mainkan pedang seperti roda bersinar
menggelinding tapi begitu cepat.
Dua orang pengawal terjungkal sambil meraung-raung. Satu orang pedang
panjangnya terlepas. Yang satu lagi tunggang langgang.
Semua orang terpana di tempatnya, tidak ada yang berani berbuat macam-
macam lagi. Yipha Yauci yang berdiri jauh juga tidak berani bertindak, mukanya terasa berat
seperti lempengan besi.
Pui Cie melangkah kearah Guan Cen Ce..
Guan Cen Ce tahu dia tak kuat menahan serangannya, tapi dengan
kedudukannya sekarang mau tidak mau mesti menghadapinya, tak bisa mundur
lagi. Saat ini tiba-tiba terdengar suara, "Berhenti!" sebuah pekikan yang menggelegar
bersuara dan orangnya muncul bersamaan, yang datang ternyata adalah
Sastrawan Iblis Ti Kuang Beng.
Kedua belah pihak menghentikan gerakan untuk menyerang.
Ti Kuang Beng menyapu semua orang yang ada di lapangan dengan mata
memelototi Pui Cie katanya, "Lauwte, kau ternyata berada di pihak yang
berlawanan dengan perkumpulan kami?"
Pui Cie menjawab dengan dingin, "Menjadi berlawanan juga disebabkan oleh
perbuatan perkumpulan kalian."
"Apa artinya?"
"Kenapa mau meledakkan lembah ini?" "Lauwte mau mencegah?"
"Ya!"
Berubahlah air muka Ti Kuang Beng, dengan sadis dia bilang, "Ternyata kau
adalah anak buah Ma Gwe Kiau?"
Pui Cie bingung, tidak terasa dia bertanya, "Apa itu Ma Gwe Kiau?"
Guan Cen Ce melotot, "Sudah tahu masih bertanya, memang ada berapa orang
Chang Hua Ma Gwe Kiau?"
Pui Cie mengerutkan alis bertanya, "Kenapa Ma Gwe Kiau bisa bergabung
dengan orang dalam lembah?"
Guan Cen Ce dengan kecut menjawab, "Disini adalah sarang Ma Gwe Kiau, aku
melihat sendiri dua orang Biauw masuk kedalam lembah, tak mungkin salah."
Pui Cie menggelengkan kepala, "Tidak mungkin!"
Ti Kuang Beng merasa aneh bertanya, "Kenapa tidak mungkin?"
Pui Cie tiba-tiba sadar, mereka mau menggeledah dan membunuh Ma Gwe Kiau,
dikiranya dia adalah anak buah Ma Gwe Kiau, tapi Guan Cen Ce melihat sendiri
dua orang Biauw masuk ke dalam lebah, apa mungkin Bo Yu Sien Ce mau
menanggung si permpuan sadis itu" Setelah dipikir dengan suara rendah, "Orang
yang berada di dalam lembah itu adalah seorang Cianpweku, sudah dua puluh
tahunan dia bertapa, tidak mungkin menampung orang luar!"
"Ou.." Ti Kuang Beng aneh, "Siapa Cianpwe mu itu?"
Pui Cie celetuk tanpa pikir lagi, "Maaf, aku tak bisa memberi tahu."
Guan Cen Ce dengan kecut bertanya, "Aku lihat sendiri dua orang Biauw masuk
ke dalam lembah, bagaimana kau menjelaskannya"
Pui Cie langsung nyeletuk, "Aku akan masuk ke lembah memeriksanya."
Sebenarnya dia bilang begitu hatinya masih ragu, batu besar menutup mulut
lembah itu, dia sedikitpun tidak mengerti formasinya. Apakah Bo Yu Sien Ce
mengizinkan dia untuk bertemu" Semua ini merupakan sebuah masalah yang
belum bisa diketahui, tapi dia sendiri punya keinginan masuk, dia mau melihat
kondisi di dalam, sebab kesatu, Ma Gwe Kiau adalah orang yang mau dia bunuh
juga, kedua, dia mau cari tahu penyebab kematian ayah Sastrawan Pengecut.
Bola mata Ti Kuang Beng berputar-putar bilang, "Baik! merepotkan lauwte masuk
ke dalam untuk memeriksa, kami di luar akan menunggu satu jam, kalau dalam
waktu itu kau tidak keluar, kami tetap akan menjalankan rencana semula."
Pui Cie mengerti maksud perkataan mereka, kalau dalam satu jam dirinya tidak
keluar, berarti dirinya sejalan dengan Ma Gwe Kiau.
Sesudah berfikir, dengan enteng dia berkata, "Baik! satu jam sudah cukup."
Guan Cen Ce dengan suara takut berkata, "Mau melepaskan macan kembali
kesarangnya?"
Ti Kuang Beng dengan suara mantap bilang, "Komandan tak usah kuatir, aku
tidak akan melakukan apa-apa yang tidak yakin."
Komandan, ternyata Guan Cen Ce telah diangkat oleh Shin Kiam Pangcu menjadi


Pedang Bengis Sutra Merah ( Tan Ceng In) Karya See Yan Tjin Djin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

komandan gerakannya, Pui Cie memandang sinis padanya.
Ti Kuang beng mengulapkan tangan, "Lauwte, silakan!"
Ingin sekali Pui Cie bertanya keberadaan Phei Cen, tapi setelah dipikir-pikir kalau
terburu-buru malah tidak akan kesampaian maksudnya, maka tidak boleh
tergesa-gesa, barusan Ti Kuang Beng bilang tidak akan melakukan apapun kalau
tidak yakin. Ini patut dipelajari, akhirnya, dia melangkah ke depan sampai di sisi
batu besar tiba-tiba dirinya ingat telah berobah rupa Bo Yu Sien Ce pasti tidak
mengenalinya, kalau sembarangan menerobos pasti akan terjadi salah paham.
Tapi banyak orang di belakangnya menunggunya tak mungkin dia menyatakan
jati diri yang sebenarnya masalahnya yang pelik, setelah berpikir lama lalu dia
mengumpulkan tenaga dalamnya, dengan cara menyampaikan suara jarak jauh
ke dalam lembah yang tidak bisa didengar oleh orang lain, "Wanpwe ada urusan
penting ingin ketemu Sien Ce Cianpwe. dia tidak berani menyebutkan namanya,
takut Ma Gwe Kiau benar ada di dalam, habis bicara, dengan langkah mantap dia
mulai maju. Semula hanya terlihat pohon-pohon pendek dan batu-batu cadas, sesudah maju
beberapa puluh meter, berobahlah pemandangan di depan mata, pohon besar
menutup langit, puncak kecil malang melintang, sulit untuk menentukan arah, dia
kaget bercampur kagum akan formasi yang menakjubkan ini.
Pui Cie berdiri di tempat, tidak mau bergerak, sekali lagi menyampaikan suara
jarak jauhnya, "Mohon bisa bertemu dengan Cianpwe!" '
Tiba-tiba sebuah barang yang lancip menotok nadi kematiannya, Pui cie merasa
seluruh tubuh kesemutan, dia masih bisa bicara dan bilang, "Apakah Cianpwe,
Twako apakah tahu cayhe?"
Kata-katanya ternyata berpengaruh besar, terdengar suara Bo Yu Sien Ce
menghardik, "Siapa kau?"
Dengn gembira Pui Cie bilang, "Wanpwe Pui Cie terpaksa merobah wajah."
Sebuah bayangan bergoyang, Bo Yu Sien Ce sudah di depan mata, tekanan di
punggung Pui Cie mengendur, Ku Tien Chan tangannya yang memegang belati
sudah memutar ke depan.
Pui Cie masing-masing memberi hormat, dengan sopan berkata, "Wanpwe
terpaksa begini merepotkan Cianpwe dan Twako."
Ku Tien Chan berkata dengan tutur kata tidak jelas tapi masih dapat didengar,
dengan suara Kua Kua Kua lalu melihat ke sekujur tubuh Pui Cie menganggukan
kepala, menyatakan dia sudah terasa ini Pui Cie asli bukan tiruan.
Bo Yu Sien Ce pesan pada Ku Tien Chan, "Anak, kau awasi terus mulut lembah!"
Ku Tien Chan pergi menurut perintah.
Bo Yu melangkah dan bilang, "Ikut aku, kita duduk disana untuk berbicara."
0-0-0 Di mulut lembah Shin Kiam Pangcu sudah hadir, dia mengumpulkan Guan Cen
Ce, Ti Kuang Beng, Yipha Yauci, dan komandan pengawal berunding masalah
penting. Ti Kuang Beng berujar dengan suara rendah, "Si Baju Ungu jagoan yang jarang
ada, kalau bisa mendapatkannya perkumpulan kita akan bertambah jaya."
Dengan suara curiga Shin Kiam Pangcu berkata, 'Asal usulnya mencurigakan,
beberapa tahun ini yang menonjol hanya Pui Cie, belum pernah mendengar nama
yang satu ini, siapa orang yang sanggup mengajar orang sehebat begini"..."
Guan Cen Ce menyahut, "Aku rasa kita harus kompromi lebih lanjut tentang
masalah ini, orang yang hebat biasanya angkuh, kalau tidak kebetulan bukannya
mendapatkan keuntungan malah sebaliknya."
Kata Shin Kiam Pangcu, "Betul sekali pendapat pimpinan."
Yipha Yauci dengan halus berkata, "Sekarang jati dirinya belum jelas, akan
berbahaya sekali kalau dia sejalan dengan Ma Gwe Kiau."
Shin Kiam Pangcu dengan mata berbinar berkata, "Kalau tidak bisa tahu asal
usulnya, lebih baik dimusnahkan saja, perkumpulan kita seperti pohon besar
banyak tertimpa angin, musuh juga tidak sedikit, kalau dia tidak bisa
dipergunakan oleh kita, juga jangan sampai dipakai oleh orang lain."
Ti Kuang Beng dengan pelan berkata, "Apa ketua bisa memberi kuasa padaku
untuk mengurusnya?"
Shin Kiam Pangcu terdiam sejenak, lalu mengangguk, "Boleh! Semua kuserahkan
kau yang urus."
Ti Kuang Beng membungkukkan badan menjawab, "Aku menerima perintah."
Shin Kiam Pangcu menoleh, "Penasihat Liu!"
Yipha Yauci membungkuk, "Aku disini!"
Kau bantu Ti pengurus utama khusus masalah si Baju Ungu.
"Ya!"
"Peraturan tidak berubah, kalau tidak dapat digunakan oleh kita, sedapat mungkin
dimusnahkan saja." "Ya!"
Setelah itu mata Shin Kiam Pangcu memandang semua orang yang ada disitu,
dengan suara keras dia berkata, "Rencana semula tidak berubah, gerakan ini
tetap dipimpin oleh Komandan Guan." Habis berpesan begitu seperti terbang
sekejap dia langsung menghilang.
0-0-0 Pui Cie duduk di hutan bebatuan dalam formasi bersama Bo Yu menanti
perkataannya. Bo Yu dengan gemas berkata, "Shin Kiam Pangcu apakah betul Phei Cen?"
"Ya!"
"Bagaimana kau akan menghadapinya?"
"Wanpwe berencana masuk ke perkumpulannya, menanti kesempatan
menangkap hidup-hidup Phei Cen, menghukum berat sesuai dengan peraturan
perguruan."
"Kenapa tidak sekarang pancing dia masuk ke dalam lembah?"
"Dia sangat licik dan banyak curiga, ini... susah memancing dia, Wanpwe sejak
terjatuh ke dalam jurang sampai sekarang belum melihat dia kembali."
Sebenarnya Pui Cie ingin sendirian menyelesaikan perintah perguruan, tidak mau
dibantu oleh siapapun sebab dia adalah penerus ketua perguruan. <
Ku Tien Chan datang kedepan mereka berdua, bicara dengan gaya kaki dan
tangan, mulutnya mengeluarkan suara ,"Wu.. a., i., ya...!" tetapi Pui Cie tidak
paham. Bo Yu Sien Ce berkata, "Katanya ada seorang berbaju indah bertopeng muncul
lalu pergi lagi."
Pui Cie menggigit bibir, "Itulah Phei Cen!"
Bo yu Sien Ce mendadak berdiri, "Aku punya akal bisa menangkap dia."
Ku Tien Cen sudah pergi lagi melihat keadaan di mulut lembah. Sepasang mata
Pui Cie bersinar. Dia berkata, "Cian pwe, punya akal apa untuk menangkap Phei
Cen?" Kata Bo Yu Sien Ce, "Dua orang Biauw mencoba masuk dan telah terkurung
dalam formasi. Tadinya aku mau melepaskannya, kau sebagai utusan katakan
bahwa Ma Gwe Kiau berada didalam lembah ini dan dia mau berunding dengan
Phei Cen mengatasi segala persoalan. Aku nanti buka formasi dan membiar dia
masuk setelah itu kita robah formasinya dan menangkapnya. Bagaimana?"
Pui Cie pikir seksama, lalu dia berkata, "Menurut adatnya, dia tidak akan mudah
mau mengambil resiko. Kalau siasat ini ketahuan olehnya, apa-apa yang telah
aku rencanakan akan jadi sia-sia. Lebih baik lepaskan dua orang Biauw itu dulu
sebagai tangga masuk ke perkumpulan mereka. Baru nanti cari kesempatan
untuk membalas, sepertinya lebih aman."
Bo Yu berpikir lagi sejenak, lalu bilang, "Baiklah! Terserah padamu. Aku sudah
tidak bernafsu terhadap masalah dunia persilatan. Aku hanya ingin menghabiskan
masa tuaku disini. Anak dan ibu bertapa disini. Tidak mau tahu lagi masalah dunia
luar." Bicaranya begitu tapi matanya jadi merah.
Pui Cie sangat terharu. Ini adalah masalah cinta generasi terdahulu. Dia tidak
mau pikir siapa betul siapa salah. Ini akan terlupakan seiring waktu yang berlalu.
Dia berpikir-pikir lalu bilang, "Wanpwe, mau tanya sesuatu." "Masalah apa?"
"Masalah Hu Leng Hun.." "Masalah ini kau jangan ikut campur!" "Aku berhutang
budi pada anaknya, Hu Sing Yi. Dia telah menolongku dari malapetaka. Dan aku
pernah mengiyakan mau mencari tahu masalah ini. Bukan mau ikut campur."
Wajah Bo Yu berubah-ubah. Terakhir dia menghela nafas dan berkata, "Baiklah
aku akan memberitahumu. Tapi kau harus jaga mulutmu tidak boleh bocor
keluar." Pui Cie dengan sendirinya agak tegang. Dia mengangguk dan berkata, "Aku pasti
bisa menjaga mulutku."
Bo Yu dengan berat hati berkata, "Hu Leng Hun adik seperguruanku..."
Pui Cie sangat kaget, diluar dugaannya, matanya sampai membelalak besar.
Boyu meneruskan, "Dia adalah satu-satunya murid pewaris yang diterima oleh
almarhum ayahku. Ah! Ini sudah masalah puluhan tahun yang lalu. Tapi kejadian
masih seperti di depan mata. Waktu itu dia belum dua puluh tahun. Silatnya
sudah memandang tinggi. Umur muda sudah berhasil.
Mengandalkan ilmu silatnya yang tinggi dia jadi sombong. Kelakuannya di dunia
persilatan tidak terkontrol dan memalukan perguruan. Karena dia menyukai
seorang wanita yang jelek tabiatnya. Dia telah mencuri sebuah barang yang
sangat dipusakakan oleh almarhum ayah. Ayah perintah aku untuk mencarinya..."
"Belakangan bagaimana?"
"Setelah bertemu, dia pura-pura menyesal dan mau berubah, dia menangis dan
mengaku salah, aku kira dia sungguh-sungguh..." dalam mata Bo Yu terlihat
kesal, sepertinya sangat dendam.
Dia bercerita lagi, "Sewaktu aku lengah, dia mendadak menyerangku..."
"Ah!"
"Waktu itu aku terluka parah. Hidup dan mati hanya dalam hitungan nafas,
beruntung ditemukan oleh gurumu. Hu Leng Hun merasa takut dan melarikan diri.
aku ditolong dengan susah payah oleh gurumu. Baru bisa mempertahankan
nyawa ini. Untuk menyembuhkan lukaku, kami sering bersentuhan tubuh, maka..."
Pui Cie menjadi mengerti, ternyata kejadian yang sebenarnya dengan gurunya
adalah begitu. Rupanya Bo Yu sedih sekali, lama sekali dia baru bicara, "Aku memaksa gurumu.
Belakangan... belakangan lahirlah Tien Chan. aku tahu suhumu telah
berkeluarga, maka aku meninggalkannya. Aku mohon dalam setahun kami
bertemu sekali. Dua puluh tahun sudah berlalu, dia mendadak tidak datang lagi.
Saya sangat dendam. Tidak disangka dia terkena malapetaka dan cerita
selanjutnya kau sudah tahu semua..."
"Ya!"
"Sampai delapan tahun yang lalu, Hu Leng Hun benar-benar insyaf. Dia tahu
sendiri dosanya tak dapat diampuni. Dia datang kesini minta aku
mengampuninya, dan minta diterima kembali ke perguruan dengan menghukum
diri di depan altar. Tapi aku tidak mengizinkannya. Dia... menunggu disini sampai
mati. Inilah kejadiannya."
"Bagaimana dengan pusaka yang dicuri Hubisa mengembalikan pusaka itu makanya aku tetap tidak mengizinkan dia kembali
ke perguruan."
"Pusaka apakah itu?"
"Sebilah Giok Ju Yi (belati terbuat dari giok)" "Giok Ju Yi?"
"Betul, belati itu terbuat dari batu giok yang berumur ribuan tahun. Luka yang
bagaimanapun beratnya kalau golok itu ditempelkannya dalam waktu sekian lama
dibadan maka luka itupun akan segera sembuh. Itu adalah pusaka yang jarang
ada di dunia persilatan"
Saat itu Pui Cie terharu sekali. Dia teringat masalah 'pedang raja' yang asli dan
palsu. Menurut penuturan Thu Sing Sien yang dia dengarkan, Shin Kiam Pang
telah menyuruh orang mencuri Giok Ju Yi dari keraton, dan menyuruh 'San Yen Pi
Hu Kui' mengawal pulang. Tapi malah dibawa kabur oleh Oey Thao yang juga
terbunuh waktu itu.
Belakangan Shin Kiam Pangcu memakai pedang palsu yang disebut 'Pedang
Raja', untuk memancing pedang asli keluar. Pedang Raja akhirnya telah
didapatkan oleh Tan Yang Ce Ayah ibuku meninggal karena kasus Pedang
Raja'. Kebetulan diriku bisa mendapat rahasia pedang itu, dan berhasil
mendapatkan jurus maut Pa Kiam(pedang bengis).
Sewaktu berfikir begitu, dia langsung berkata, "Belati Giok itu sudah jatuh ke
tangan Phei Cen."
Bo Yu kaget setengah mati, dengan suara gemetar bertanya, "Bagaimana kau
bisa tahu?"
Pui Cie menceritakan kembali persoalan "Pedang Raja' itu. Bo Yu dengan suara
gemetar bilang "Ini., dengan cara apapun Belati Giok itu harus didapatkan
kembali." Bo Yu berfikir cukup lama, lalu dia berkata, "Aku sudah bersumpah tidak akan
terjun lagi ke dunia persilatan. Masalah ini... kau harus membantuku
menyelesaikannya. Kalau sudah mendapatkan belati itu suruh anak Hu Leng Un
yang mengembalikan, selanjutnya akan kumohonkan ampun dari Couwsunya
atas dosa-dosa Hu Leng Hun."
Pui Cie mengangguk-angguk, "Wanpwe pasti akan melaksanakannya."
Sudut mata Bo Yu kelihatan seperti berair dia menghela nafas dan berkata,
"Anak, apakah kau tetap akan menjalankan rencana ini menurut pemikiranmu?"
Sepatah kata 'anak' ini menyentuh sekali hati Pui Cie. Dia merasa hangat hatinya.
Dengan nada pasti dia berkata, "Ya, Phei Cen tidak saja mendapatkan Giok Ju Yi
juga telah membunuh delapan orang anak buah Khang Khang Mui, mencuri
setengah buku rahasia ilmu silat. Urusan ini mereka menuduh aku yang
melakukannya maka Khang Khang Mui mau buat perhitungan denganku. Ini
semua sekalian akan kuurus."
Bo Yu dengan suara 'oh' dia berkata, "Baiklah, kau boleh bawa kedua orang
biauw itu keluar. Kau jalankan saja semua rencanamu itu." Lalu dia membawa Pui
Cie berputar-putar beberapa posisi dan menunjukan, "Orang yang terkurung
didalam barisan."
Dua Orang Biauw yang terperangkap dalam formasi itu sudah tidak berkutik.
Mungkin sudah terlalu lama terkurung tenaganya menjadi habis. Sekarang
mereka berdua bergelimpangan disitu. Melihat Pui Cie dan Bo Yu muncul, dengan
perasaan takut mereka menggeliat mau bangun.
Pui Cie membalikan dirinya dan berlutut pada Bo Yu berkata, "Wanpwe mau
permisi!" setelah berkata begitu dia berdiri dan mencabut Pa Kiamnya menunjuk,
"Jalan!"
Dua orang Biauw itu menjadi pucat pasi. Karena biasanya mereka bersikap
angkuh, tangan masing-masing memegang pisau ..
Pui Cie berkata dengan suara dingin, "Kalau tidak ingin mati, hayilah keluar!"
Salah seorang suku Biauw dengan suara keras bertanya, "Siapa kau?"
"Si Baju Ungu!"
"Kau mau apa?"
"Sesudah keluar lembah kau akan tahu. Ayo jalan!" ujung pedangnya sudah
menempel di tubuh mereka.
Dua orang itu saling berpandangan, mereka mulai melangkah. Di bawah petunjuk
Bo Yu mereka keluar dari barisan ajaib ini. Baru saja menampakan diri di sisi batu
raksasa, ahli-ahli silat dari Shin kiam Pang sudah mengurung dua orang Biauw
tadi. Melihat orang Shin Kiam Pang, mereka berdua takut setengah mati. Meraka
berusaha menjauhkan diri mau...
Jari Pui Cie segera bergerak menotok secepat kilat. Keduanya langsung roboh
ditotoknya. Ti Kuang Beng dan kawan-kawannya semua terkaget-kaget
memandang Pui Cie. Ti Kuang Beng ke depan dan berkata, "Adik, bagaimana
sebenarnya masalahnya?"
Dengan santai Pui Cie menjawab, "Kedua orang ini karena dikejar ketakutan,
sembarangan menerobos masuk ke lembah, dan terperangkap disana, aku
membawa keduanya keluar, setelah mendapat persetujuan Cianpwe yang ada di
dalam. Masalah keberadaan Ma Gwe Kiau kau tanya saja sendiri!"
Ti Kuang beng tertawa terbahak-bahak sambil berkata, "Bagus, sudah kuduga
perkataan dan perbuatan anda sejalan."
Guan Cen Ce memandang Pui Cie dan berkata, "Tadi aku semua curiga Siauhiap
sealiran dengan Ma Gwe Kiau. Maafkan kelancanganku!" sambil
membungkukkan badan sikapnya menjadi berubah sekali.
Pui Cie mngangkat kedua belah tangan, "Tidak apa-apa!" dalam hati dia berkata,
"Kalau saatnya telah tiba kalian satu persatu akan mati di bawah Pa Kiam ku!"
Orang berbaju indah setengah baya mendekat ke depan dua orang Biauw itu,
setelah melihat sebentar, berkata, "Mohon petunjuk Komandan, bagaimana
mengatur mereka."
Guan Cen Ce mengibaskan lengan jubahnya sambil berkata, "Bawalah dulu, nanti
aku yang mengatur!"
Orang baju indah setengah baya itu mengangkat tangannya, segera ada dua
orang pengawal maju membawa kedua orang Biauw itu pergi.
Ti Kuang Beng menunjuk orang baju indah setengah baya pada Pui Cie berkata,
"Inilah Komandan pengawal Xiao Ta Chi. Kalian harus saling berkenalan."
Xiao Ta Chi membalikan badan, belum lama ini dia terluka oleh Pa Kiamnya Pui
Cie. Air mukanya masih ragu-ragu, dengan terpaksa mengangkat kedua belah
tangan memberi hormat.
Pui Cie juga menggenggam kedua belah tangan memberi hormat.
Pui Cie juga mengangkat kedua belah tangannya membalas.
Ti kuang Beng berkata, "Adik, mari kita pindah tempat untuk mengobrol."
Pui Cie sudah menangkap apa maksud yang mau dibicarakan itu, dia


Pedang Bengis Sutra Merah ( Tan Ceng In) Karya See Yan Tjin Djin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengangguk dan berkata, "Baik, silahkan!"
Ti Kuang Beng mengangkat tangan, dan melirik Yipha Yauci dan berkata,
"Penasihat Liu apakah juga mau ikut?"
Yipha Yauci juga mengangguk, dua laki-laki satu perempuan melangkah pergi.
Di sisi lain, Guan Cen Ce bersama para pengawal membawa kedua Biauw sudah
pergi jauh. Pui Cie, Ti Kuang Beng, dan Yipha Yauci bertiga sampai di sebuah bukit kecil.
Mereka mencari tempat untuk duduk.
Ti Kuang Beng tersenyum-senyum baru bicara dengan suara rendah dan pelan,
"Adik, ketua kami sangat puas dengan kepiawaianmu. Mari kita bekerja sama
menjayakan dunia persilatan. Tetapi..."
Pui Cie asal bicara, "Tetapi apa?"
Dengan muka tegas Ti Kuang Beng bicara, "Menurut peraturan dunia persilatan
adik harus menerangkan dulu asal-usulmu."
Pui Cie berpikir-pikir lalu berkata, "Guruku telah meninggal, tidak perlu lagi
disebut-sebut." Ti Kuang Beng terdiam saja.
Yipha Yauci menyambung, "Si Baju Ungu, air ada sumbernya Pohon berakar
tidak bisa asal jadi saja. Hal yang lain jangan dibicarakan dulu, kau nama dan
marga saja belum pernah menyebutkan..."
Setelah berpikir sebentar, Pui Cie berkata, "Aku Ong Giok!" Ong Giok dua huruf,
pecah dua dari huruf Cie.
"Ong Giok!"
"Kau jarang berkelana di dunia persilatan?"
"Baru selesai menuntut ilmu."
"Ooo!"
"Apa artinya o ini" Aku tidak mengerti."
Ti Kuang Beng berdiri dan berkata, "Aku pergi sebentar anda berdua silahkan
ngobrol dulu!" habis bicara sekelebat badannya sudah menghilang.
Yipha Yauci menunggu bayangan Ti kuang Beng menghilang. Dengan dingin
bertanya, "Benarkah namamu Ong Giok?"
Pui Cie menyungging mulut berkata, "Lucu, apa nama dan marga bisa
dipalsukan?"
Yipha Yauci sedikit tersenyum, "Masalahnya bukan aku puas atau tidak. Mesti
dilihat kepuasannya ketua. Kau sudah pastikan dirimu mau bergabung dengan
perkumpulan kami?"
Pui Cie berfikir, pura-pura mundur, tetapi kemudian maju berkata, "Tergantung, itu
harus lihat syarat perkumpulan kalian. Aku sudah biasa hidup tidak dikekang.
Sekarang harus diperintah orang... sepertinya susah juga beradaptasi." Berhenti
sebentar dia mencoba memancing, "Kenapa tidak terlihat ketua
perkumpulanmu?"
Yipha Yauci dengan malas menjawab, "Kalau dia ada keperluan, dia akan datang
menemuimu!"
Bergejolaklah perasaan Pui Cie, jika dia sudah bertemu dengan Phei Cen akan
langsung bertindak atau pelan-pelan tunggu waktu sampai saat paling
menguntungkan" Sekarang orang-orang didalam gunung, semua merupakan
musuh yang tangguh. Kalau mereka bergabung lagi menyerang dirinya akibatnya
sulit dibayangkan.
o-o-o 1 Di tempat yang lain, dua orang Biauw sudah di kat di sebuah pohon. Komandan
pengawal Xiao Ta Chi yang melaksanakan, dan Komandan Guan Cen Ce yang
akan menghakimi.
Dua orang Biauw itu sudah terluka sekujur tubuhnya, bajunya sudah compang
camping, kulitnya terbuka, dagingnya kelihatan, tampaknya seperti menjadi dua
manusia darah, pemandangan yang sangat memilukan. Guan Cen Ce dengan
bengis menggertak, "Hayo katakan, dimana Ma Gwe Kiau bersembunyi?"
Dua orang Biaw itu melotot dengan gemas sambil menggigit bibirnya. Sedikitpun
tak mau mengeluh.
Seorang pengawal membawa ranting-ranting kering ditumpuk dibawah kaki kedua
orang ini. Komandan Xiao Ta Chi dengan satu tangan menjambak rambut satu Biauw.
Ditarik ke belakang. Secara sadis berkata, "Tidak mau bicara" Sekarang pandang
dulu temanmu untuk contoh kau lihat." Lalu ia mengangkat tangan dan memekik,
"Bakar!"
Seorang pengawal mengeluarkan pematik api. Diketikan sambil digerak-gerakan.
Sebentar kemudian keluar asap, api langsung menyala di tumpukan sebelah kiri.
Saat itu tiba-tiba seorang pengawal lari ke depan, melemparkan sebungkus
barang ke dalam api. "Pheng!" dengan suara keras. Asap hitam pun
membumbung. Komandan Xiao Ta Chi memekik, "Apa yang telah kaulakukan?"
Tapi pengawal itu sudah lari lagi memasuki hutan. Guan Cen Ce juga memekik,
"Cepat kejar! Dia mata-mata!"
Hampir bersamaan waktunya, bergulung-gulung asap keluar dengan tiupan angin
yang kencang. Bunga api berterbangan. Asap menjalar kemana-mana. Asapnya
membawa wewangian.
Komandan Xiao Ta Chi sudah mengejar masuk ke hutan.
Guan Cen Ce memekik dengan suara bergetar, "Cepat mundur! Asap beracun!"
Semua terjadi begitu cepat dan begitu mendadak. Beberapa puluh pengawal
yang belum keburu bertindak sudah rubuh.
Guan Cen Ce meloncat sampai 20 meter lebih. Setelah sempoyongan dia
langsung terduduk.
Dari tempat itu, suara jeritan yang mengerikan datang. Komandan Xiao Ta Chi lari
terbirit-birit dari dalam hutan sambil menyeruduk kepada Guan Cen Ce, tapi
sekitar lima meter dia sudah kehabisan tenaga dan terjatuh. Dia masih mencoba
berkata, "Komandan... Mata-matanya ialah..." perkataannya belum habis, nafas
sudah putus. Pengawal yang menaruh racun ke dalam bara api itu muncul lagi dan langsung
memutuskan tali-tali yang mengikat 2 Biauw itu. Kedua tangannya menarik 2
orang itu menyembunyikan diri dalam hutan. Gerak geriknya begitu cepat dan
tangkas. Kemudian muncul satu lagi bayangan orang seperti kilat menyemprot semacam
cairan ke depan Guan Cen Ce.
Guan Cen Ce menjerit-jerit, "Ternyata kau..."
"Phing!" bersamaan dengan itu terdengar jeritan Guan Cen Ce yang kepalanya
pecah, kening robek dan mati seketika.
Bayangan orang itu segera menghilang, suasana tenang kembali. Terlihat mayat-
mayat bergelimpangan
Kira-kira setengah jam kemudian Pui Cie dan Yipha Yauci sampai ditempat itu.
Mata meraka memandang seluruh lokasi. Dia menjerit. Dengan gemetar berkata,
"Perbuatan siapa ini?"
Pui Cie memeriksa beberapa orang pengawal terdekat dengan keras dia berkata,
"Mati keracunan, ini pasti perbuatan Ma Gwe Kiau."
Yipha Yauci memutar badan ke samping memandang Pui Cie dengan gemas, "Si
Baju Ungu, kau harus menjelaskan!"
Pui Cie melotot aneh, "Kita kan datang bersama, apa yang harus dijelaskan?"
0-0-0 BAB 8 Masalah bermunculan
Yipha Yauci melihat sekali lagi mayat-mayat yang bergelimpangan terkena racun
itu. Lalu dengan dingin berkata, "Si Baju ungu, dari sini ke lembah tidak jauh
jaraknya. Kau bilang didalam lembah tidak ada Ma Gwe Kiau, kau tidak mendapat
bukti-bukti yang nyata..."
"Aku telah mengeluarkan 2 orang Biauw itu!"
"Sekarang mana orangnya" Sudah ditolong kembali, apa pertanggungan
njawabmu?"
"Aku tidak perlu memberi penjelasan, kau mau apa?"
"Aku tidak mau apa-apa, nanti akan ada orang yang membuat perhitungan
denganmu!"
"Hah!" f
Sebuah bayangan orang tiba dengan cepatnya. Dia adalah pengurus utama Ti
Kuang Beng. Dengan sangat mendongkol dia berkata," Kelakuan Ma Gwe Kiau
sangat kejam. Sekali gerak telah membunuh beberapa jagoan perkumpulan kita"
Yipha Yauci memandang sambil berkata, "Bapak pengurus, tadi anda kemana?"
"Menemui ketua minta petunjuk mengenai urusan adik Ong yang ingin masuk
perkumpulan."
"Apa kata pangcu?"
"Tidak ketemu. Pangcu telah membawa pengawal pergi mengurus masalah yang
lebih penting."
"Ow! Apakah Bapak pengurus sudah tahu apa yang terjadi disini?"
"Aku mendengar suara teriakan, kemudian mengejar kesini. Selanjutnya pergi
mengejar musuh." "Ada yang tertangkap?" "Lolos semua!" "Siapa?"
"Mengapa Liu penasihat menanyakannya" sudah pasti ini adalah perbuatan Ma
Gwe Kiau." "Kemana arah pihak lawan?" "Kabur ke sebelah Barat."
"Pengurus utama bukankah sudah mempunyai cara yang sempurna untuk
mengatasi Ma Gwe Kiau" Mengapa sampai dia bisa...?"
"Dia membawa empat jagoan yang belum jelas dari mana. Aku..." waktu bicara
mengangkat lengan terlihat bajunya yang robek, lengan atas kena tiga goresan
pedang yang masih bercucuran darah.
Pui Cie tergerak hatinya, rupanya Ma Gwe Kiau bermaksud melawan Phei Cen.
Yipha yauci berpikir-pikir lalu memandang Pui Cie, dia berkata, "Menurutku,
lembah misteri yang diblokir formasi aneh itu yang paling bermasalah."
Ti Kuang Beng menurunkan lengannya. Dengan suara rendah dia berkata, "Aku
yakin urusan ini tidak ada hubungannya dengan orang yang berada didalam
lembah." "Berdasarkan apa bapak pengurus berkata begitu?" "Mata-mata perkumpulan kita
disana sama sekali tidak melihat gerakan apa-apa."
"Susah dikatakan!"
"Kita harus segera menemui pangcu biar dia yang memutuskan." "Yang ini..."
"Sekalian ikut!"
Pui Cie girang sekali. Ma Gwe Kiau sekali bikin keributan 2 orang musuh tangguh
sudah terbasmi. Sekarang agak ringan tekanannya untuk melawan Phei Cen.
Kalau ada kesempatan bisa menyingkirkan laki dan perempuan didepan mata ini,
sudah tidak usah kuatir dengan pengawal elit yang tersisa. Hatinya berfikir begitu,
mukanya sedikitpun tidak menunjukan apa-apa.
Yipha Yauci mengerutkan dahi, "Bagaimana membereskan tempat ini?"
Ti Kuang Beng berfikir sejenak, "Nanti suruh yang lain kesini mengurusinya. Kita
lebih penting bertemu pangcu untuk melaporkan kejadian ini semua."
Yipha Yauci menghela nafas berkata, "Kalau begitu mari kita berangkat saja!"
Ketiganya langsung menuju arah jalan keluar pegunungan.
Yipha Yauci berjalan didepan kedua orang itu. Selendang sutra merahnya
melambai-lambai tertiup angin. Gaya jalannya luwes seperti dewi turun dari
khayangan. Sambil memeluk phipha, daya pikatnya sungguh luar biasa, penuh
pesona. Pui Cie tidak ada hati menikmati ini semua. Dia sedang memperhitungkan apa
langkah yang harus ditempuh setelah bertemu Phei Cen.
Saat maghrib ketiganya segera naik ke atas puncak tunggal sewaktu Pui Cie
didesak masuk kedalam jurang itu. Dia mendadak merasa terharu dengan tempat
ini. Dalam hatinya timbul hasrat membunuh untuk membalas sakit hatinya.
Kenapa datang ke tempat ini lagi"
Kenapa tidak terlihat sosok Phei Cen dan para pengikutnya?"
Yipha Yauci pelan-pelan jalan menuju bibir jurang. Diam bengong disana.
Ti Kuang Beng dengan suara keras meledeknya, "Penasihat Liu, aku tahu kau
sedang memikirkan apa."
Yipha Yauci tidak menoleh. Pelan sekali dia menjawab, "Pikirkan apa?"
Ti Kuang Beng berucap, "Kau sedang melamun Pui Cie..."
"Teng" Hati Pui Cie bergetar, dia semula sudah merasa perasaannya. Tapi dia tak
mau menghiraukan. Karena waktu dia jatuh ke dalam jurang justru Yipha Yauci
yang membuat umpannya, sekarang Ti kuang Beng membuka rahasia, dia juga
tak tahu bagaimana perasaan hatinya.
Yipha Yauci menoleh dan berkata, "Pengururs Utama, apa artinya perkataanmu
itu?" Ti Kuang Beng bilang, "Apa yang ada dalam hatimu akan terpancar dari luar. Itu
tak bisa disembunyikan dari pandangan orang lain. Orang selalu tidak merasa
telah membocorkan rahasia isi hatinya, terlebih gadis yang penuh khayalan..."
Yipha Yauci jalan lagi. Mata berbinar dan bilang, "Aneh, kau kenapa punya
pemikiran seperti itu?"
"He.. he.. he..", Ti Kuang Beng tertawa-tawa seenaknya terus berkata, "Sayang
dia sudah mati, kalau dia didalam sana tahu, hatinya juga tentu akan tentram!"
Alis mata Yipha Yauci ternangkat, "Kau cemburu?"
Sikap dan gayanya yang begitu ceriwis, Pui Cie merasa muak.
"Ha., ha., ha..", Ti Kuang Beng tertawa lagi, berkata, "Aku tidak akan cemburu
terhadap orang yang telah mati. Sudahlah Penasihat Liu, jangan sampai
ditertawakan oleh adik ini, Mari kita bicarakan pada persoalan yang serius saja.
Kenapa Pangcu dan orang-orangnya semua belum kelihatan?"
Saat itu juga seorang pengawal elit muncul dari kegelapan, dengan satu kaki
melutut, menggenggam kedua tangannya sambil memberi hormat, "Hamba Peng
Wei, menemui pengurus utama dan penasihat!"
Ti Kuang beng mengangkat tangan, "Kepala bagian Peng. Bangunlah!"
Peng Wei bangun lalu berdiri dengan sikap hormat, "Hamba mendapat perintah
dari Pangcu, bahwa urusan dalam gunung ini harap ditangani oleh pengurus
utama dan komandan, sedangkan Penasihat Liu harap segera pulang ke
markas." Ti Kuang Beng mengerutkan kening, "Mana Pangcu?"
Peng Wei menjawab, "Sudah kembali ke markas."
Pui Cie menjadi lesu, tidak disangka Phei Cen sudah kembali kemarkasnya,
sekarang untuk mencari dia kembali menjadi bertambah sulit, sangat
mengecewakan. Kenapa dia mendadak tidak mau mengejar dan membunuh Ma
Gwe Kiau lagi" Sepertinya dia belum tahu bahwa komandan Guan Cen Ce dan
komandan pengawal elit Xiao Ta Chi sudah terbunuh.
Ti Kuang Beng menghela nafas bertanya, "Apakah Pangcu masih ada pesan
yang lain?"
Peng Wei melirik-lirik Pui Cie, dengan tersendat-sendat dia bilang, "Ada yang
berhubungan..."
"Apa?"
"Silakan, bisakah kita bicara disana." "Hm!"
Ti Kuang Beng dan kepala bagian Peng itu bergeser menjauh, lebih 10 meteran
jauhnya. Setelah berbisik-bisik sebentar kemudian berbalik lagi ke tempat semula.
Ti Kuang Beng tersenyum-senyum pada Pui Cie dan berkata, "Adik, terpaksa
pertemuanmu dengan pangcu harus ditunda. Setelah sepuluh hari kita bertemu
lagi di Cao Yang dan kita berunding lagi disana. Bagaimana?"
Pui Cie jadi curiga dalam hati berpikir. Apakah pihak lawan telah menemukan
sesuatu yang tidak beres" Dengan asal asalan dia menjawab, "Bagaimana nanti
saja!" Ti Kuang Beng memandangi Yipha Yauci dan berkata, "Penasihat Liu, harap
laporkan pada pangcu apa yang telah terjadi sore tadi. Sekarang aku mau cari
orang-orang untuk membereskan ini semua. Kita harus menunggu pangcu
memberi perintah lebih lanjut."
Yipha Yauci mengangguk, "Ya, nanti aku akan minta petunjuk pangcu!"
Ti kaung Beng membalikkan kepalanya, berkata, "kepala bagian Peng!"
"Hamba disini!"
"Dalam gunung masih ada berapa saudara-saudara kita?" "Dua belas orang!"
"Bagus! Cepat kumpulkan semua dan tunggu perintah!" "Ya!"
Kepala bagian bermarga Peng itu kemudian berlalu setelah memberi hormat.
Pikiran Pui Cie terus berputar, "Saat ini adalah kesempatan yang paling baik
untuk membasmi sepasang laki perempuan ini. Tapi... kalau dibunuh sekarang
jalan untuk mendekati Phei Cen menjadi terputus... Ah,' lebih baik sabar dulu!"
Yipha Yauci berjalan dengan langkah gemulai. Kemudian berkata, "Kalau begitu,
aku berangkat dulu!"
Ti Kuang Beng mengangguk sambil berkata, "Silakan penasihat Liu, sepuluh hari
kemudian kita bertemu lagi di pusat perkumpulan!"
Yipha Yauci memandang Pui Cie dan berkata, "Sampai ketemu lagi!" Selendang
sutra merahnya melambai-lambai, dia sudah jalan pergi dikeremangan malam.
Sekarang tinggal Ti Kuang Beng dan Pui Cie berdua di atas bukit tunggal itu.
untuk membunuhnya menjadi sangat mudah.
Ti Kuang Beng seperti bergumam, "Benar-benar tidak terduga!"
Pui Cie dengan tidak mengerti bertanya, "Apa yang tidak terduga?"
Ti Kuang Beng merendahkan suaranya berkata, "Sebenarnya aku tidak boleh
berkata apa-apa tapi sekarang karena tinggal dirimu dan aku, pasti kau tidak bisa
membayangkan, bahwa ternyata Pui Cie tidak mati!"
Hati Pui Cie terguncang keras, sengaja bersuara kaget," apa... Pui Cie tidak
mati?"

Pedang Bengis Sutra Merah ( Tan Ceng In) Karya See Yan Tjin Djin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ya!"
"Bagaimana ceritanya?"
Ti Kuang Beng tercengang, dia seperti tidak sengaja kelepasan bicara mengenai
rahasia ini. Tentu saja mimpipun dia tak akan menyangka siapa orang
didepannya ini. Karena dia sangat percaya diri, sangat cepat berpikir dengan
suara berbisik dia berkata, "Sebenarnya rahasia ini tidak boleh bocor. Tapi aku
percaya padamu, tidak mau membohongimu. Disinilah tempat Pui Cie terdesak
jatuh kejurang..."
Pui Cie mundur satu langkah besar, membelalakan sepasang matanya dan
berkata, "Siapa yang berkemampuan begitu besar, bisa mendesaknya jatuh
kejurang?"
"Pangcu turun tangan sendiri."
"Ow.. kemudian bagaimana dia bisa tahu tidak mati?"
"Satu jam yang lalu, Pangcu menyuruh orang turun ke jurang untuk memeriksa,
dan ternyata tidak menemukan mayatnya!"
"Terjerumus ke dalam jurang tidak mati" Ajaib sekali!" "Benar-benar tidak bisa
dipikirkan dengan akal!" "Kalau begitu., apakah perkumpulanmu dan Pui Cie ada
persoalan?" "Em!"
"Seperti apa persoalannya?"
"Itu persoalan lama, aku orang baru, tidak tahu detail-detailnya. Kabarnya... Dia
banyak membunuh jagoan-jagoan perkumpulan kami, boleh dibilang air dan
arang tidak bisa disatu tempat."
Pui Cie merasa geli, dia memancing dan bertanya lagi, "Boleh tahu siapa nama
pangcu anda?"
Ti Kuang Beng tertawa dan dengan kikuk berkata, "Maaf, ini., lain kali aku kasih
tahu." Berhenti sejenak, lalu memutar pokok pembicaraan.
"Menurut berita, mata-mata kami pernah melihat jejak Pui Cie di luar gunung,
maka pangcu kami cepat-cepat pulang ke markas mencari akal untuk mengatasi
ini semua. 0-0-0 BAB 9 Dari Tamu Menjadi Tuan Rumah
Pui Cie sengaja tertawa terbahak-bahak, dia berkata, "Kalau Pui Cie tidak mati,
berarti keinginanku cepat lambat pasti bisa terlaksana!"
"Kau tetap akan bertarung dengan Pui Cie?"
"Ya!" Mulutnya berkata ya tapi dalam hatinya bergejolak terus, diluar gunung ini
bisa menemukan jejak Pui Cie, siapa yang telah menyamar sebagai dirinya"
Teringat akan anak buah Khang Khang Mui Ying Ce Jen' dan yang lain-lainbya,
lima orang tua tiga anak muda semua yang sudah mati terbunuh, dan
pembunuhnya telah membawa kabur setengah buku pusaka yang tak terhingga
nilainya, apakah semua perbuatan si penyamar" Tadinya dia mencurigai
perbuatan Phei Cen, tapi ternyata perkiraannya ternyata salah.
Ti Kuang beng berkata lagi, "Adik, sepuluh hari kemudian kita bertemu di Cao
Yang!" Pui Cie segera mengangguk, Phei Cen sudah pergi dia tak perlu berlama-lama
lagi di dalam gunung ini, sekarang lebih penting adalah mencari orang yang
menyamar dirinya. Kasus berdarah terbunuhnya Ying Ce Jen' dan anak buahnya,
dia yang harus menanggung akibatnya, siapa tahu si penyamar ini akan
melakukan sesuatu lagi?"
Ti Kuang beng menggenggam kedua tangannya berkata, "Adik jaga diri baik-baik,
aku mau pergi untuk berjaga-jaga."
Pui Cie juga membalas hormat kembali, "Silahkan!"
Ti Kuang Beng sedikit menggerakan tubuhnya, orangnya sudah melayang pergi.
Pui Cie memandangi bayangan punggung Ti Kuang beng yang menghilang,
diam-diam dia berfikir dalam hatinya, "Sebenarnya kepandaian Ti Kuang Beng
tidak lebih unggul dari Guan Cen Ce. Juga dengan komandan pengawal elit Xiao
Ta Chi. Ma Gwe Kiau dan anak buahnya bisa dengan mudah membunuh mereka,
kenapa tidak mampu menghadapi Ti Kuang Beng dan beberapa orang
pengawalnya" Mereka bertahan di gunung ini apa yang diandalkan"..."
Dalam kegelapan malam, Pui Cie bergerak menuju mulut gunung. Setengah jam
kemudian kira-kira sudah menempuh sepuluh lie, tiba-tiba terdengar suara phipa
yang begitu merdu. Hati Pui Cie tersentak dan terpaku di tempat/Dia berfikir,
"Yauci sudah mendapat perintah pulang ke Cao Yang, ke pusat Shin Kiam Pang,
kenapa sekarang di tengah jalan malah memetik phipa" Suara phipa begitu
sendu penuh kedamaian, sepertinya bukan sedang menghadapi musuh."
Sesosok bayangan berselendang merah telah muncul di alam pikirannya, Pui Cie
mencoba tak mau pedulikan, tapi ternyata dia tak bisa mengabaikan perasaan
aneh itu dalam hatinya. Dia mengamati arah datangnya suara phipa sepertinya
datang dari tempat yang tidak begitu jauh, tidak terasa dia berjalan menuju
kesana lagi. Sebuah aliran sungai kecil, turun dari bebatuan di atas lembah, samar-samar bisa
terlihat pantulan sinar dari riak gelombang yang terpancar. Di atas batu sungai,
Yipha Yauci duduk sambil memetik phipa, nada-nada yang merdu keluar dari jari
jemarinya, mengalun di kegelapan malam siapapun yang mendengarnya akan
merasa begitu tenang dan nyaman.
Sebelum sampai dipinggir sungai, dia berhenti dan melamun sejenak, bola mata
berputar, tiba-tiba dia melihat bayangan Yipha Yauci kira-kira sepuluh meteran di
atas batu, dibelakangnya berdiri juga sebuah bayangan menusia yang berbaju
putih bertutup muka, di pinggangnya terselip sebuah pedang panjang mirip sekali
dengan dirinya sendiri, darahnya mendadak mendidih, dalam hatinya menjerit,
"Itulah orang yang menyamar diriku!"
Kebetulan sekali, tak usah bersusah payah lagi mencarinya!"
Rasa ingin membunuh, mengalir kencang bersama dengan aliran darahnya.
Suara phipa tiba-tiba berhenti mendadak, Yipha Yauci seperti merasa ada yang
mengawasinya, pelan-pelan membalikkan badan menghadap orang berbaju
putih, dan berkata dengan suara manja, "Pendekar muda Pui, apakah kau masih
tidak mau memaafkan aku?"
Orang berbaju putih dengan pelan berkata, "Jangan bicara soal maaf, aku orang
yahg sudah berkeluarga, aku tidak bisa memenuhi keinginan nona."
Dia terang-terangan mengaku dirinya sebagai Pui Cie. Suaranya juga mirip, juga
berani berkata bahwa dia sudah berkeluarga. Pui Cie yang sebenarnya menjadi
marah, emosinya tak tertahankan badannya sampai gemetaran, susah
membendung rasa ingin membunuhnya!
Yipha Yauci tertawa renyah lalu berkata, "Aku tak peduli kau sudah beristri atau
belum, aku hanya ingin menjadi sahabatmu."
Orang berbaju putih berkata lagi, "Kita sekarang kan sudah berteman. Di dunia
persilatan kalau bukan musuh pasti teman."
Yipha Yauci sudah tidak merasa malu lagi berkata, "Tidak! Yang aku maksud,
teman yang lebih. Bukan teman yang seperti biasa!"
"Apa maksudmu...?"
"Teman yang bisa berbicara lebih dekat, bisa bicara dari hati ke hati."
"Nona Liu, jangan lupa perkumpulanmu denganku seperti api dan air, tidak bisa
hidup bersama!"
"Aku bisa meninggalkan Shin Kiam Pang!"
"Kenapa harus begitu?"
"Sebab... aku ingin berteman denganmu.."
"Patut atau tidak itu hanya pendapat orang saja. Urusan dtinia ini kadang-kadang
juga susah diberi kepastian!"
Pui Cie sudah tidak tahan, sekali bergerak tubuhnya melayang turun diantara
keduanya. Yipha Yauci segera turun dari atas batu tidak terasa memekik, "Si Baju Ungu!"
Pui Cie memandangi terus si penyamar itu.
Si baju putih tertawa renyah dan berkata, "Sobat, katanya kau mau bertarung
denganku?"
Pui Cie merasa geli juga mendongkol, dia bertanya, "Kau apakah benar Pui Cie?"
Si baju putih tertawa, "Ha., ha., ha., lucu benar, apa artinya semua ini?"
Pui Cie dengan kecut berkata, "Dalam hatimu kau sudah mengerti itu semua."
"Aku tidak mengerti." Sambil berkata badannya sudah melayang turun dari batu.
Kata Pui Cie, "Buka topengmu! Pui Cie selamanya tidak pernah memakai
topeng." Si Baju Putih secara sadis berkata,"sobat, maksudmu mencariku adalah untuk
bertarung pedang, urusan yang lain tidak perlu dibicarakan. Pertama, sebutkan
dirimu dari mana, dan apa sebabnya mau bertarung pedang denganku?"
Bertarung pedang, itu alasan yang dikarangnya setelah dia berobah rupa, tidak
disangka sekarang benar-benar bertemu dengan orang yang menyamar sebagai
dirinya sendiri, penyamarannya terpaksa sekarang harus dipertahankan dengan
benar-benar. Karena pihak lawan sudah mengaku sebagai Pui Cie, jadi apa boleh
buat biarkan saja kesalahan ini berlangsung terus, yang penting selidiki dulu
kasus berdarah Khang Khang Mui, nanti baru menentukan tindakannya.
Sekarang karena sudah ada orang yang menyamar menggantikannya, semua
malah bisa mengalihkan sasaran Shin Kiam Pang, tidak jelek malah ada baiknya
untuk diri sendiri."
Sambil berfikir begitu dia sengaja dengan suara serak berkata,"Pui Cie, kita main-
main dulu, urusan lain nanti dibicarakankan lagi."
Si Baju Putih berkata, "Aku selalu tidak suka ribut dengan orang lain, apalagi
terhadap masalah yang bukan-bukan, orang pintar tidak mau mencari banyak
masalah!" "Enak kedengarannya, kau tidak berani?"
"Tidak berani" Ha., ha., ha..!"
"Cabutlah pedangmu!"
"Sobat, kau ingin menjadi terkenal atau ada maksud lain?" "Anggaplah ingin
terkenal. Hayo cabut pedangmu!" "Aku sudah bilang, tidak sembarangan
menggunakan pedang."
"Aku menantangmu!"
"Aku tidak mau menerima tawaran yang tidak berguna!"
Pui Cie bermaksud mendesaknya "Chiang!" pedang sudah dicabut, dengan asal-
asalan pedangnya digoyangkan, "Tidak bertarung juga boleh, asal buang
pedangmu dan mengaku kalah. Dari sekarang hapus namamu, aku tidak akan
bikin perhitungan lagi!"
Yipha Yauci dengan sinis berkata, "Si Baju Ungu, aku tidak percaya berapa besar
kemampuanmu" Sombongnya sampai begitu. Sadarlah! Nyawa sangat berharga,
jangan membodohi diri sendiri!"
Pui Cie melihat dia sebentar, bertanya, "Nona Liu, kenapa" Apakah kau merasa
sebal?" "Seperti nya."
"Kalau begitu jangan turut campur!" "Kau berani benar ngomong begitu padaku!"
"Aku sudah baik sekali kepadamu!" "Apa betul?"
"Terus terang, sekarang kau tidak punya kesempatan bermain curang padaku."
"Bagus! Sekarang mari kita bertarung.." dengan berjalan kehadapannya,
phiphanya dipegang terbalik. Gayanya sangat aneh. Lantas dia bilang,"ayo
silahkan menyerang dulu!"
Dalam hati Pui Cie berkata, "Aku tidak membunuhmu karena takut menggangu
urusan yang lebih penting. Kalau tidak kau sudah mati beberapa kali, aku akan
menghancurkan phipa jelekmu, aku mau lihat kau akan seperti Sun Go Kong
kehilangan pentungan emas, apa masih bisa bertingkah" Berfikir begitu, Pa
Kiamnya tiba-tiba tidak terasa sudah diangkat, sorotan mata penuh kejengkelan.
Saat itu juga mendadak datang beberapa bayangan orang.
Pui Cie begitu menengok hatinya terguncang, nafaspun menjadi cepat. Orang-
orang yang mendadak datang ternyata adalah Hie Ki Hong, yang telah resmi
menjadi istrinya. Dia sekarang sudah tidak memakai baju putih, tapi diganti
dengan dandanan kain tenunan keraton, yang datang bersama dengannya
adalah ibu tetua Nenek Iblis Cakar Hantu, Kui Jauw Mo Pho. Dan dua orang
dayang berbaju hijau.
Mereka muncul pada saat ini adalah diluar dugaan Pui Cie. Sudah tentu setelah
dia menyamar dan mengganti penampilan, saat ini dia adalah si Baju Ungu
siapapun tidak akan mengenal dia.
Kedatangan keempat orang ini juga diluar dugaan Yipha Yauci, dengan tidak
terasa dia mengundurkan diri ke pinggir.
Rombongan Hie Ki Hong langsung mendesak ke depan si Baju Putih.
Kui Jauw Mo Pho membuka suara, "Pui Cie untuk menemukan dirimu ternyata
sulit sekali, sekarang ayo pulang bersama kami. Kau tidak boleh begitu saja
pergi!" Si Baju Putih segera dengan kalem berkata, "Aku masih ada urusan penting yang
harus diselesaikan!" Dia masih tetap berpura-pura sebagai Pui Cie.
Hati Pui Cie yang asli terasa mau meledak. Bagaimanapun juga, Hie Ki Hong
istrinya, dia tidak rela kalau istrinya ditipu oleh si penyamar.
Yipha Yauci secara kaku bertanya, "Apa hubungan kalian dengannya?"
Hie Ki Hong membalikan badannya menatap beberapa kali kepada Yipha Yauci
dan dengan dingin bertanya, "Kau siapanya dia?"
Yipha Yauci dengan acuh saja berkata, "Sahabat yang baru kenal. Bagaimana?"
Hie Ki Hong gemas sampai badannya bergetar, balik memelototi si Baju Putih.
Kui Cau Mo Pho mendehem berkata dengan marah, "Hai, perempuan serigala,
tinggalkan dia jauh-jauh. Kalau tidak kau akan menyesal."
Yipha Yauci berkata, "Jangan asal buka suara menyakiti orang, kau nenek-nenek
berdasarkan apa berani memerintahku?"
Kui Jauw Mo Pho menjawab, "Tidak berdasarkan apa-apa, hanya kau tidak boleh
menggaet laki-laki yang sudah beristri!"
"Laki-laki beristri?" '
"Em!"
"Ah! aku sudah mengerti, ternyata..."
Pui Cie sudah tidak tahan lagi, sekali melangkah sudah sampai di depan si Baju
Putih, dengan garang berucap, "Kalau kau masih tidak tahu diri, aku bisa buat
mayatmu langsung terkapar disini."
Si Baju Putih dengan sendirinya mundur dua lankah besar.
Hie Ki Hong dengan marah memandang Pui Cie, menyentak keras, "Siapa kau?"
Sakit betul hati Pui Cie, ini istrinya atau musuhnya" Ayahnya adalah ketua
perkumpulan San Chai Men, Hie Bun-Cun menggunakan siasat telah
menyelenggarakan perkawinan yang tidak wajar, membuat Kim Hong Ni kesal
dan membunuh diri. Secara tidak langsung korban lainnya adalah adik
kandungnya, Lie Se Kian. Karena Li Se Kian terlebih dulu diakui sebagai istrinya
yang resmi, drama keluarga tragis begini entah bagaimana nantinya"
Kui Jauw Mo Pho menyentak bertanya, "Siapa kau?"
Yipha Yauci menjawabkan, "Dia namanya si Baju Ungu. Ahli pedang yang
merasa dirinya paling hebat. Mau bertarung dengan Pui Cie."
Kui Jauw Mo Pho dengan sinis berkata, "Cari mati!"
Pui Cie marah pada si Baju Putih, "Buka tutup mukamu, kalau tidak aku akan
menyerang dirimu!"
Kui Cai Mo Pho menyentak, "Kau benar-benar mau cari mati?"
Keadaan jadi kalut, hanya si Baju Putih yang keadaan sebenarnya jelas bagi Pui
Cie. Hati Pui Cie kusut sekali, kalau dia menyerang si Baju Putih, Kui Jauw Mo
Pho pasti membelanya, akibatnya bisa fatal, yang paling susah yaitu bongkar
rahasia si Baju Putih. Berfikir begitu, dia langsung bicara secara keras, "Apakah
kau sudah yakin dia Pui Cie?"
Kui Cai Mo Pho tercengang bertanya, "Apa artinya?"
Pui Cie berkata, "Kenapa tidak suruh dia membuka penutup mukanya?"
Hie Ki Hong sedikit curiga bertanya, "Apelkah.. Dia.. "
Kui Cai Mo Pho langsung memotong, "Jangan dengarkan dia! aku kenal
suaranya."
Pui Cie mendongkol sampai keubun-ubunnya, pedang di tangannya langsung
diangkat, "Aku lawan dirimu!"
Kui Jauw Mo Pho menghardik, "Berani kau!" sepasang jari tangan seperti kaitan
halilintar langsung mencakar.
Hie Ki Hong memakai pukulan tangan.
Pui Cie tidak berani menggunakan pedang terhadap mereka berdua. Hanya
secepat kilat dia menghindar. Badannya tidak berhenti di udara membuat gerakan
setengah lingkaran. Pedang dalam genggaman cepat sekali menggulung ke si
Baju Putih. Si Baju Putih ternyata gerakannya sangat menakjubkan dengan enteng saja dia
sudah bisa keluar dari lingkaran pedang Pui Cie.
Bersamaan itu, Kui Cai Mo Pho dan Hie Ki Hong memukulkan telapaknya masing-
masing, kerasnya pukulan seperti angin puyuh menggulung, Pui Cie terkena
getarannya sampai terhuyung-huyung. Yipha Yauci yang tepat berada di tempat
mundurnya Pui Cie. Dia mengangkat phipha mencoba menghantam punggung
Pui Cie. "StopPterdengar suara pekikan, segumpal angin keras melanda Yipha Yauci
hingga terdorong mundur tiga langkah. Yang melakukan ternyata adalah si Baju
Putih. Kata si Baju Putih, "Menyerang orang dalam keadaan tidak siap adalah tidak
pantas!" Pui Cie kaget, tidak terpikirkan bahwa si Baju Putih dalam keadaan terdesak
malah membantunya.


Pedang Bengis Sutra Merah ( Tan Ceng In) Karya See Yan Tjin Djin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Yipha Yauci dengan pipi menggembung mengomel, "Orang baik hati
membantumu, malah disebut menggunakan kesempatan orang dalam bahaya.."
Si Baju Putih tiba-tiba dengan suara keras berkata, "Si Baju Ungu, mari aku
terima tantanganmu!"
Pui Cie menarik nafas dalam-dalam, "Bagus!"
"Tapi jangan disini!"
"Pindah tempat?"
"Betul, aku tidak suka ada orang ketiga yang turut campur!"
Perkataan ini cocok dengan keinginan Pui Cie sehingga dia langsung menjawab,
"Baik! dimana?" Kata si Baju Putih, "Ikutlah!"
Kui Jauw Mo Pho memalingkan badannya berkata, "Tidak boleh pergi!"
Si Baju Putih bertanya, "Kenapa?" "Selesaikan dulu semua persoalannya!"
"Persoalan apa?"
"Kau mau bagaimana mengatur dia?" yang dimaksud dia adalah Hie Ki Hong.
"Bagaimana kalau nanti aja!" "Tidak ada nanti! Harus sekarang!"
"Maaf, aku mau menentukan dulu siapa yang lebih jago dengan si Baju Ungu!"
Habis bicara bayangan putih melesat sudah seperti hantu saja menghilang di
kegelapan malam. Cepatnya tidak dapat dibayangkan.
Yang ada di lapangan semua kaget. Pui Cie pun terkagum-kagum.
Hie Ki Hong berkata dengan suara gemetar,"Lau-lau..Kita.. harus bagaimana?"
"Tunggu dia di dalam gunung!" "Kita keluar gunung saja!"
"Kenapa?"
"Dia., tidak mau denganku lagi!"
"Tidak mungkin begitu, kesatu aku tidak mengizinkan!"
Hati Pui Cie tidak menentu rasanya, sesudah dipikir-pikir, lihat saja nanti
belakangan. Begitu melompat langsung dia mengejar, dia tidak mau lawannya
kabur. Kalau tidak dia nanti akan menemui kesulitan dikemudian hari.
Diam-diam Yipha Yauci juga meninggalkan tempat itu.
Sepanjang jalan Pui Cie berlari sekencang-kencangnya. Menyebrang gunung,
membalik bukit dan menyebrang sungai, menerobos hutan. Tapi tidak terlihat
bayangan si Baju Putih, dengan membabi buta mengejar kira-kira tujuh sampai
delapan mil, sesudah cukup lelah dia menghentikan larinya. Timbul perasaan
kesalnya sampai giginya gemertakan.
Gunung berderet-deret, sungai berbaris-baris. Hutan tiada tepi. Si Baju Putih
badannya ringan seperti setan, untuk mencarinya bukan sebuah pekerjan yang
mudah, kalau bukan karena kemunculan Hie Ki Hong urusan ini pasti sudah
selesai. Pui Cie terbengong tidak tahu apa yang harus dilakukan. Di depan mata
bergoyang bayangan Hie Ki Hong yang susah dilupakan. Istrinya seperti orang
asing, perkawinan apakah ini" Ingin melupakan! Tapi apa bisa dilupakan"
Perasaan sedih mencengkram kencang hati Pui Cie. Tiba-tiba si Baju Putih
seperti malaikat muncul di depan mata.
Pui Cie tersentak. Pihak lawan ternyata masih berani menampakan dirinya.
Benar-benar diluar dugaan. Beberapa saat mereka berdiam saling berpandangan,
akhirnya Pui Cie berbicara duluan, "Saat ini hanya ada kau dan aku, terus terang
sajalah siapa sebenarnya dirimu?"
"Kau juga, siapa dirimu sebenarnya?"
"Si Baju Ungu!"
"Ha., ha., ha., kau boleh dipanggil si Baju Ungu tapi kenapa aku tidak boleh
dipanggil Pui Cie?" "Lancang benar mulutmu!" "Kalau begitu, aku harus
bagaimana?" "Cabut pedangmu! Pedang akan memberimu jawaban!" "Aku tidak
mau bertarung denganmu!" "Omong kosong!"
"Si Baju Ungu, kau lupa kalau tidak ada aku, Phiphanya Yauci sudah membekas
di punggungmu?"
"Aku tidak minta dirimu membantu!"
"Ha.. Ha., ha.." Si Baju Putih tertawa, "Aku juga tidak mau memjadi Pui Cie lagi!
Sandiwara ini cukup sampai disini!" sambil bicara dia melepas baju putihnya, dan
membuang pedangnya pula.
Pui Cie membelalakan mata, tidak tahu pihak lawan mau berbuat apa.
Si Baju Putih memegang saputangan penutup muka, tertawa-tawa bilang,
"Bagaimana kalau kau tetap sebagai Pui Cie?"
Pui Cie kaget bukan kepalang sepatah katapun tak bisa diucapkan.Saputangan
lepas ditarik, muncul sebuah muka yang tidak asing.
Yang menyamar sebagai Pui Cie ternyata adalah Bo Ta Su Sheng, Sastrawan
Pengecut Hu Sing Yi, yang sudak kembali ke suara aslinya berkata, "Twako, aku
terpaksa melakukan semua ini!"
Pui Cie dengan suara bergetar bertanya, "Mengapa?"
Sastrawan Pengecut merendahkan suaranya berkata, "Aku melihat sendiri ketua
Shin kiam memakai tali menurunkan pendekar-pendekar kedalam jurang mencari
Twako, kesimpulannya ternyata terbukti Twako tidak mati. Tentu sekarang
mereka semua akan mengerahkan tenaga mencari Twako, aku pikir lebih baik
aku menyamar sebagai Twako, suara maupun rupa. Dua kali menampakkan diri.
Ini sangat membantu bagi jati diri twako sekarang. Mereka tidak akan menyangka
dan mencurigai Twako lagi."
Pui Cie teringat peristiwa berdarah Khang-Khang Mui dengan suara rendah
berkata, "Adik Hu, apakah dulu juga pernah menyamar sebagi diriku?"
Bo Ta Su Seng dengan sungguh-sungguh berkata, "Belum pernah! Ini pertama
kali dan juga akan jadi terakhir kali."
Pui Cie tidak langsung percaya lalu bertanya, "Adik Hu kenapa mau berbuat
begitu?" "Membantumu!"
"Apakah tidak takut bertemu dengan musuhku?"
"Masalah ini aku percaya, aku tak berani bertarung dengan orang lain. Tapi bila
mencari jalan untuk kabur. Ini adalah kepandaianku yang paling istimewa, sampai
sekarang tidak ada orang bisa menangkap aku."
"Benar... begitukah?" i
"Tiap huruf itu semuanya benar."
Pui Cie tidak bisa berkata apa-apa, kenyataannya tidak percaya pun harus
percaya. Sastrawan pengecut berkata lagi, "Barusan yang memakai baju keraton apakah
istri Twako?"
Dengan nafas tersendat, Pui Cie mengatupkan giginya, "Aku tidak mau
membicarakan soal ini."
Sastrawan Pengecut berkata lagi, "Maaf, Siaute lancang bicara!" Suaranya
mendadak jadi agak sedih, "Twako sudah mencoba mencari tahu bagaimana
meninggalnya almarhum ayahku?"
Pui Cie mendesah, hatinya berfikir, haruskah ceritakan saja sejujurnya" Kalau dia
sudah tahu sebenarnya, bisa terjadi bagaimana" Akankah membalas dendam
pada Bo Yu Sien Cie" Belum habis pikir, Sastrawan Pengecut dengan pelan
berkata, "Ada orang datang, silahkan twako hadapi?" habis berkata itu dia
langsung bergerak menghilang.
Pui Cie mencoba mendengar, ternyata ada suara yang sangat ringan menerobos
ranting menyisikkan daun-daun. Dia sangat memuji ketajaman pendengaran
Sastrawan Pengecut, Dia berfikir lagi, kalau sekarang yang datang adalah istrinya
Hie Ki Hong, harus bagaimana nanti menghadapinya?"
Suara itu bertambah dekat, Pui Cie pikir lebih baik menghindar saja, tapi hatinya
tak mengizinkan, setelah dipikir lagi, dengan terpaksa dihadapinyalah. Dia
sengaja jalan dengan suara keras.
Sesosok bayangan muncul, yang datang ternyata adalah Yipha Yauci, orang ini
tidak jemu-jemunya mengejar.
Pui Cie menghentikan langkah, Yipha Yauci sudah tidak sabar lagi, begitu
bertemu langsung bertanya, "Pui Cie terkejar tidak?"
Pui Cie menjawab dengan asal, "Sudah!" "Mana orangnya?" "Sudah pergi!"
"Kalian sudah bertarung pedang?" "Em!"
"Hasilnya bagaimana?"
"Bertarung sepuluh jurus, tidak ada yang kalah dan menang!"
"Artinya kau sama-sama kuat?" "Ya begitulah!"
Yipha Yauci matanya berbinar, dengan suara keras berkata, "Aku tidak percaya!"
Hati Pui Cie tergerak, "Kau tidak percaya" Kenapa?" Kata Yipha Yauci, "Kau
sama sekali bukan tandingannya."
0-0-0 Menempuh bahaya
Hati Pui Cie tergerak lagi, "Nona, berdasarkan apa kau berkata bahwa aku bukan
lawan Pui Cie?"
Yipha Yauci menyunggingkan bibirnya, "Tidak berdasarkan apa-apa, aku bisa
berpendapat kau bukan lawannya."
Perkataannya memang sangat egois. Tapi hati Pui Cie malah jadi bergolak,
perkataannya menyatakan bahwa dia sudah tidak malu-malu dengan cintanya
kepada Pui Cie. Wanita macam apapun kalau hatinya sudah terpaut cinta selalu
bersikeras tidak bisa dirobah, karena itu dendam Pui Cie terhadap dirinya menjadi
berkurang banyak. Saat itu dia sengaja asal berkata, "Boleh juga, tapi
pertarungan malam ini hanya dibatasi sepuluh jurus saja. Mungkin lain kali...
harus sampai menentukan siapa yang kalah dan menang."
Yipha Yauci menghela nafas, "Kearah mana dia pergi?"
Pui Cie dengan asal-asalan berkata, "Keluar gunung!"
Yipha Yauci bergumam sendiri, "Aku tahu dia mau berbuat apa, aku mau
menyusulnya."
Tiba-tiba ada suara seorang perempuan mencibir, "Perempuan murahan!
berdasarkan apa kau mau pergi mengejarnya?"
Mendengar suara ini Pui Cie sudah tahu siapa yang datang. Dia ingin sekali
menghindar... Tapi Hie Ki Hong telah muncul.
Yipha Yauci berkata, "Oh, ternyata kau...kau memaki siapa?"
Hie Ki Hong berkata, "Memaki dirimu! Karena kau tidak tahu malu!"
Yipha Yauci karena marah malah balik tertawa, "Kau tahu malu, kau kebagian
nomor ke berapa?" "Aku istrinya! Kau mau apa?" "Benarkah" Setahu aku bukan
begitu!" "Apa maksudmu?"
"Kalau kau istrinya, kenapa waktu di gunung fadi dia tidak mau menyapamu?"
Perkataan ini seperti sebilah pisau menusuk hati Hie Ki Hong, betul, kelakuan Pui
Cie tidak seperti suami terhadap istrinya. Kedua belah pihak telah bertemu tapi
seperti orang yang tidak kenal sama sekali.
Pui Cie sendiri merasa merinding, betul-betul tidak tahu harus berbuat
bagaimana. Hie Ki Hong dengan gemas memandang Yipha Yauci dan
berkata, "Masalah kami suami istri tidak ada sangkut pautnya dengan dirimu!"
Yipha Yauci sedikitpun tidak mau mengalah, lalu berkata, "Memang tidak ada
sangkut pautnya denganku, tapi aku merasa lucu saja!"
Hie Ki Hong dengan tajam berkata, "O, lucu" Aku mau sekarang kau menangis
pun tak bisa!"
Sebenarnya Yipha Yauci marah sekali, tapi setelah dipikir-pikir dia menahan diri.
Dengan suara dingin dia berkata, "Sudahlah! Aku tidak mau ribut denganmu,
memboroskan waktu saja!" habis berkata itu dia menggunakan ilmu meringankan
tubuhnya melayang terbang kemudian menghilang.
Hie Ki Hong memandang kemana hilangnya bayangan punggung Yipha Yauci,
sambil menghentakkan kakinya dia terus memutar badan menghadap Pui Cie dan
berkata, "Kau barusan berkata jurus pedangmu dengan Pui Cie hampir sama?"
Pui Cie menggigit mulut, "Ya, memang begitu!" "Apakah dia benar sudah keluar
gunung?" "Em!"
"Dia... kenapa dia menghindariku?" Hie Ki Hong menggumam sendiri.
Hati Pui Cie bergetar, dia sendiri berfikir, kenapa tidak menggunakan kesempatan
ini untuk menyatakan sikapnya" Tapi setelah dipikir lagi, dia merasa kurang tepat
waktunya. Sekarang masih ada tugas berat yang disandangnya. Jati diri tidak
boleh dibuka dulu. Kalau istrinya mau membenci apa boleh buat.
Hie Ki Hong memutar badannya lalu pergi dengan hati sedih.
Tidak terasa Pui Cie menghela nafas sedih, dia sendiri adalah sebagai salah satu
pemeran drama yang menyedihkan ini.
Bo Ta Su Seng muncul lagi, dia tidak menanyakan masalah kedua perempuan
tapi, dia langsung menyeletuk, "Twako, tolong kasih tahu cerita tentang almarhum
ayahku." Pui Cie hatinya belum merasa tenang. Lama sekali baru dia berkata, "Masalah
ini...aku...entah harus bagaimana mengatakannya..."
Sastrawan Pengecut memberi hormat lalu berkata, "Harap Twako jangan
menutup-nutupi lagi. Kalau aku belum jelas dengan cerita yang sebenarnya, aku
siang malam tidak bisa tenang!"
Pui Cie tidak bisa berkata apa-apa lagi, lalu menceritakan kembali semua yang
dia dengar dari Bo Yu Sien Ce tentang ayah Sastrawan Pengecut.
Sesudah mendengar selesai cerita itu, Sastrawan Pengecut menengadahkan
kepala memandang langit malam. Badannya tak henti-hentinya gemetaran.
Manusia, semua ingin punya nama baik. Terutama orang tua. Di hati anak-anak
selalu terlihat luhur, tidak mau ada kejelekan. Tapi kesalahan ayahnya semasa
hidupnya sangat memalukan, memang sepuluh tahun kemudian dia sudah
menyadari kesalahannya tetapi sudah terlambat. Siapa yang harus dia benci"
Ayahnya" Bo Yu Sien Ce" Perguruan ayahnya" Semuanya tidak benar!
Pui Cie bisa mengerti perasaan Sastrawan Pengecut tapi dia tidak punya kata-
kata yang cocok untuk menghiburnya. Yang paling dia kuatirkan, Bo Ta Su Seng
menjadi marah dan malu, lalu bermusuhan dengan Bo Yu Sien Ce, itu akan
bertambah gawat.
Lama sekali Bo Ta Su Seng baru berkata, "Terimakasih Twako telah mau
memberitahuku semua ini!"
Dia tidak menjelaskan isi hatinya, membuat orang menjadi kuatir. Pui Cie pelan-
pelan berkata, "Adik Hu, orang bukan Tuhan. Mana ada yang tidak salah"
Ayahmu terakhir bisa menyesali dan minta diampuni, itu perbuatan orang bijak.
Yang sudah terjadi biarlah berlalu. Adik Hu jangan terlalu risau dan sedih lagi."
Dengan tersendat-sendat Bo Ta Su Seng berkata, "Terima kasih Twako atas
sarannya. Kita yang menjadi anak tidak berhak mengomentari mereka, hanya
Twako tadi mengatakan mengenai Giok Ju Yi, adik akan cari kembali barang itu,
meneruskan cita-cita ayah yang belum kesampaian, menyelesaikan tugas yang
belum tercapai sebagai seorang anak berbakti."
Muka Pui Cie berubah, dia berkata, "Aku sangat mengagumi kebijakan adik,
mengenai masalah Giok Ju Yi, bagaimanapun juga aku akan bantu kakak, guruku
dan ayahmu ada hubungan. Jadi kita berdua tidak termasuk orang luar."
Bo Ta Su Seng mengangguk. Dengan suara yang rendah dia berkata, "Giok Yu Yi
ada di Shin Kiam Pang, aku terikat perintah perguruan. Tidak bisa terus bersama
Twako. Tapi aku bisa membantu secara tidak langsung. Sekarang perkumpulan
itu ada maksud mengacaukan dunia persilatan, Twako, bagaimana rencanamu?"
Dengan lantang Pui Cie berkata, "Aku mau menggunakan kesempatan ini untuk
menyelidikinya."
Bo Ta Su Seng setelah menghirup udara lalu berkata, "mata-mata perkumpulan
itu ada dimana-mana, supaya urusan lancar, kita tidak boleh berhubungan
dengan terang-terangan. Terpaksa secara sembunyi saja. Bagaimana kalau
sekarang kita berpisah?"
Pui Cie mangangguk, "Benar kata-kata adik, silahkan jalan duluanl"
Bo Ta Su Seng memberi hormat dengan kedua belah tangannya, lalu melayang
pergi. Pui Cie juga segera keluar gunung.
0-0-0 Di Cau Yang Pui Cie mencari losmen untuk tinggal sementara. Dia sedang
menunggu kabar dari Ti Kuang Beng, dia bersiap masuk Shin Kiam Pang di
bawah arahan Ti kuang beng, masuk ke perkumpulan itu, untuk mendekati Phei
Chen. Menunggu kesempatan untuk menghukumnya dengan peraturan
perguruan. Di daerah ini semua ada dalam kekuasaan Shin kiam Pang. Begitu
Pui Cie tiba, pasti sudah ada mata-mata yang menyampaikan berita.
Sekali menunggu, sampai tiga hari belum juga ada kabar apa-apa. Ti Kuang Beng
sudah berjanji 10 hari lagi bertemu di Cau Yang. Tiga hari sudah menunggu. Di
dihitung-hitung dengan perjalanan sudah lewat sepuluh hari. Mungkinkah Ti
Kuang Beng belum meninggalkan hutan pinus" Atau apakah terjadi sesuatu"
Mereka berada di gunung untuk membasmi Ma Gwe Kiau, atau malah balik
dibunuh oleh Ma Gwe Kiau..."
Tengah malam, sinar bulan seperti lukisan. Pui Cie berdiri di atas loteng dari
jendela memandangi bulan. Losmen ini adalah bangunan paling ujung, sejauh
mata bisa memandang, kelap-kelip lampu rumah-rumah di bawah sinar rembulan
membuat redup suasana.
Tiba-tiba sesosok bayangan orang melayang seperti asap mendekat ke jendela.
Hati Pui Cie kaget sekali, dia mundur dua langkah, bersiap-siap untuk bertarung.
Orang itu berhenti di bawah jendela. Hanya bergelayutan saja, setelah dipandang
dengan teliti yang datang ternyata adalah Bo Ta Su Seng alias Sastrawan
Pengecut. Pui Cie baru bisa menghela nafas ringan berkata-kata, "Adik Hu,
masuklah!"
"Tidak, disini banyak mata-mata Shin Kiam Pang, siang malam mengawasi gerak-
gerik Twako, aku tidak boleh masuk."
"Ada kabar apa?"
"Aku mendapat kabar, khusus kesini beritahu Twako supaya Twako ada
persiapan."
"Berita apa?"


Pedang Bengis Sutra Merah ( Tan Ceng In) Karya See Yan Tjin Djin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Malam ini Ti Kuang Beng akan datang menemui Twako. membahas masalah
masuk keperkumpulan, tapi mereka masih menyangsikan asal usul Twako.
Kemungkinan akan menyelidikinya lagi, harap Twako bersiap diri menjawabnya."
"O., terimakasih atas kabarnya."
"Aku harus pergi, kalau ada masalah kita baru berhubungan lagi." Kemudian dia
langsung menghilang.
Pui Cie tidak terlalu risau. Dia pikir berani mencoba, tidak masalah asal mereka
tidak tahu dia sudah merobah rupa, entah dengan apa mereka mau menguji"
Ketika sedang melamun, terdengar suara ketukan pintu, lalu pintu didorong.
Masuklah seorang laki-laki tak dikenal, sesudah memberi hormat lalu berkata,
"Aku sudah mendapat perintah dari pengurus utama kesini menjemput anda.
Diluar sudah disiapkan kuda silakan tuan ikut aku berangkat."
Pui Cie tegang sendiri, sekuat tenaga dia menenangkan diri. Lalu berkata, "Harap
bawa jalan!"
Dia mengikuti pesuruh Shin Kiam Pang itu, naik kuda di depan losmen,
meninggalkan kota menuju arah barat. Pui Cie mengingat-ingat jalan yang
menuju kepusat perkumpulan Shin Kiam Pang.
Berjalan kira-kira empat lima mil di bawah sinar bulan, ada seseorang berdiri
menghadang di tengah jalan. Hati Pui Cie bergetar. Sesudah jarak semakin dekat,
jelas kelihatan orang itu berbaju hitam memakai topeng, tangannya memegang
sebilah pedang yang berkilauan di bawah sinar rembulan.
Orang yang membawa jalan itu memecut kudanya berlari kencang, setelah dekat
dengan orang yang bertutup muka. Membentak dengan suara keras, "Siapa
disitu?" Orang bertopeng itu balik bertanya,"Yang datang apakah orang Shin Kiam
Pang?" Pesuruh itu menjawab, "Betul, sahabat dari golongan mana?"
Orang bertopeng itu tidak menjawab. Tangan kanannya diangkat dihantamkan
kepada orang di atas kuda itu. Angin dari pukulan itu menderu mengerikan,
kudanya kaget, meringkik sehingga mengangkat kedua kakinya, orang di atas
kuda terguncang dan terlempar dari pelananya. Jatuh di kejauhan 7 meteran,
sedangkan kudanya sudah berlari pergi sekencang-kencangnya.
Pui Cie segera menarik kudanya, dia turun dari pelana. Melompat ke depan
dengan suara masam, bertanya, "Sahabat, apa maksudmu berbuat demikian?"
Orang bertutup muka dengan suara keji berkata, "Tidak perlu tanya, aku telah
bersumpah mau membunuh habis semua penjahat persilatan, membalas dendam
bagi teman-temanku yang telah mati konyol!" kata-kata belum habis, sinar pedang
sudah berkelebat dan telah di tusukkan.
Pui Cie manghindar, pedangnya juga sudah di tangan, dia berfikir dalam hati,
"Kalau orang ini musuhnya Shin Kiam Pang, aku harus berhati-hati, jangan
sampai melukainya."
Orang yang bertopeng melihat serangan pertama meleset, langsung
menggempur dengan jurus kedua, jurus pedangnya sangat hebat, tentu dia
seorang ahli pedang.
Pui Cie mangangkat pedang menyongsongnya, jurus dari perguruannya segera
dikeluarkan. Orang bertutup muka seperti menghadapi musuh bebuyutan, bergerak dengan
ganas dan dengan jurus mematikan, tiap tusukan mengarah nadi utama, Pui Cie
terpaksa menghadapinya dengan segenap kemampuan, tapi tidak berniat
membunuh pihak lawan.
Pesuruh Shin Kiam Pang yang tadi terjatuh dari kudanya berdiri di kejauhan,
lukanya tidak ringan.
Orang bertopeng itu gerakan pedangnya menakjubkan, karena Pui Cie tidak
berniat melukai lawannya, tiap jurusnya sangat berhati-hati, menjadikan dia
berada di pihak yang terdesak. Di dunia persilatan jarang ada jurus pedang
sehebat ini, dia pasti ini bukan orang sembarangan.
Pui Cie sambil bertarung sambil berkata, "Sahabat, sebutkan namamu!"
Orang bertopeng dengan keras berkata, "Nama! Aku mau kau segera mati!"
serangannya bertambah gencar, seperti angin kencang dibarengin petir.
Pui Cie tak berdaya, sekarang dia tidak segan-segan lagi. Secara berturut-turut
dia melancarkan 3 jurus mematikan, mencari kelemahan lawannya, tapi anehnya
orang bertopeng ini seperti mengenali jurus-jurus pedangnya, menyerang dan
menjaga diri sama sekali tidak kewalahan.
Sekilas tiga puluh jurus sudah lewat. Pui Cie tambah merasa tidak tenang, dia
berniat baik, pihak lawan malah menginginkan nyawanya, kalau begini terus dia
bisa celaka. Hawa pedang bergulung-gulung naik keatas, dalam suara besi beradu yang
memekakkan telinga, orang bertopeng itu terdorong mundur tiga meteran.
Saat itu tiba-tiba seekor kuda tunggangan dengan kencang tiba, kuda belum
sampai, orangnya melayang sudah meninggalkan pelananya terbang menuju ke
tengah lapang. Pesuruh tadi cepat-cepat pergi memegang kudanya. Orang yang tiba-tiba datang
itu ternyata adalah Ti Kuang Beng.
Orang bertutup muka itu seperti tahu keadaan tiak menguntungkan baginya, tidak
berbasa-basi lagi langsung kabur. Ti Kuang Beng dengan marah berkata, "Orang
bertopeng ini sudah membunuh puluhan orang anak buah perkumpulan kita,
cepat atau lambat harus ditangkap."
Pui Cie menyimpan pedang lagi sambil berkata, "Siapakah pihak lawan itu?"
Ti Kuang Beng berkata, "Tidak jelas, sejak kemunculannya sampai sekarang kira-
kira sudah dua bulanan, terus bertentangan dengan perkumpulan kita." Berhenti
sebentar, dia berkata lagi, "Dengan kepandaian adik seharusnya dia sudah
dibunuh, kenapa..."
Pui Cie menjawab dengan asal-asalan, berkata, "Kalau dia tidak kabur, mungkin."
Ti Kuang Beng berkata, "Sudahlah, masih banyak kesempatan lagi nanti. Adik,
Pangcu menyuruh aku menyampaikan selamat datang dan menyinggung
terbunuhnya komandan pengawal Siau Ta Chi di gunung pinus. Sekarang jabatan
itu menjadi kosong, mungkin sementara boleh di si oleh adik, sekarang kita naik
kuda dulu, sesudah sampai di pusat perkumpulan, kita bahas lagi semua.
Pui Cie senang sekali, bisa menjadi komandan pengawal tentu ada kesempatan
mendekati Phei Chen. Ini benar-benar leluhur yang memberi restu, si pengkhianat
sudah mendekati hari akhirnya. Dalam hatinya senang, di muka tidak tampak
perubahan sedikitpun. Dengan suara rendah dia berkata, "Aku mana sanggup
mendapat jabatan seberat itu?"
Ti Kuang Beng tertawa terbaha-bahak. Lalu berkata ,"Adik pasti sanggup, Ayo
naiklah ke kudamu!"
Pesuruh itu segera membawakan kuda, mereka berdua naik kuda lalu pergi
bersama, pesuruh itu berjalan kaki karena kudanya sudah lari karena ketakutan
tadi. Di perjalanan, Pui Cie tegang sekali, sekarang dia mau memasuki sarang macan
lubang buaya, hanya boleh berhasil, tidak boleh gagal, perkembangannya masih
sulit ditebak. Sesudah masuk ke wilayah penting, penjagaan bertambah ketat
sekali. Sampai di pusat perkumpulan, Pui Cie dipersilahkan masuk asrama di samping
ruang eksekusi.
Ti Kuang Beng cukup menghormatinya. Setelah istirahat tidak begitu lama,
disiapkan makanan dan minuman untuk menyambut kedatangannya. Mereka
makan sampai jam tiga subuh, tidak ada mengganggu mereka berdua.
Pui Cie dalam hati merasa geli, dia sebenarnya tamu agung atau musuh
bebuyutan" Keadaan ini benar-benar aneh..
Tiga hari berturut-turut Pui Cie tinggal dan dilayani dengan sangat baik. Pihak
perkumpulan sama sekali tidak lagi mempersoalkan dia masuk perkumpulan dan
menerima jabatan, juga dia tidak dipanggil menemui ketua perkumpulan. Dia
merasa sangat gelisah tapi dia juga tidak enak bertanya.
Malam hari ketiga, rembulan terang seperti siang hari. Pui Cie mengikuti kakinya
berjalan-jalan santai. Keluar dari pintu kecil di belakang sampailah di sebuah
halaman kecil yang rimbun dengan pohon-pohon dan bunga-bunga, di
belakangnya terdapat sebuah rumah mungil. Suasananya begitu nyaman adem.
Ada lampu menyala dari rumah mungil itu. Rumah siapa itu, pasti pangkatnya
tidak rendah. Pui Cie mondar-mandir di jalan kecil penuh bunga, tidak terasa
sampailah di rumah mungil itu. Pintu di rumah mungil itu. setengah terbuka.
Begitu matanya memandang dia terkejut sekali! Mukanya menjadi merah, hatinya
berdebar, cepat-cepat dia membalikan badan dan pergi.
Yipha Yauci ternyata yang berada dalam rumah mungil itu. Malam itu baru selesai
menyelesaikan menghapus bedaknya, rambutnya terurai sebahu, mengenakan
baju seadanya. Selendang tipis seperti sayap capung tidak terkecuali ada di atas
pundaknya. Di bawah sinar lampu, kulitnya putih seperti salju, merah putih saling
berlawanan, menyilaukan mata, membuat hati melayang, sangat menggoda
sekali. Pui Cie baru jalan beberapa langkah, di belakang tiba-tiba terdengar suara Yipha
Yauci berkata, "Siapa itu" Berhenti!"
Pui Cie berhenti, hatinya berdebar-debar, dia menyesal sekali sembarangan
berjalan sampai bisa tiba ke kamar wanita. Bau harum segera menyengat
hidungnya. Pui Cie tahu dia sudah di belakangnya.
Suara yang sangat manja berkata, "Ternyata kau. Mau apa kesini?"
Pui Cie tidak membalikan badan, menjawab dengan tersendat-sendat,"Maaf..
aku... karena terlalu kesal, melihat bulan begitu indah jadi keluar jalan-jalan. Tidak
tahunya ini tempat tinggal kouwnio."
"Kau tidak melihat di pojok pintu itu ada tempelan .Tidak diundang dilarang
masuk'. "O! ini... aku teledor, aku tidak melihatnya.."
"Tidak apa-apa., kebetulan aku mau mencarimu!"
"Ooo!"
"Bagaimana kalau berbicara di dalam saja?"
Pui Cie pelan-pelan membalikkan badan, nafas menjadi agak sesak. Dia tetap
dengan dandanan semula yang begitu menggoda, tidak menambah satu potong
baju luarpun. sangat berani, juga tidak tahu malu, benar-benar sesuai dengan
namanya Yipha Yauci. Pui Cie tidak berani melihat langsung, dengan matanya
lihat ke bawah berkata, "Bicara disini saja!"
Yipha Yauci sedikitpun tidak merasa malu, seperti tidak merasa apa-apa dan
berkata, "Aku ingin bertanya kepadamu satu persoalan, apakah Pui Cie benar-
benar sudah menikah?"
Hati Pui Cie tergerak, dia menjawab, "Ya, dia sudah berkeluarga."
Yipha Yauci sepertinya sangat kecewa, dia menundukkan kepala, berfikir sesaat
lalu dia berkata, "Waktu di dalam gunung aku melihat keadaan mereka sepertinya
tidak harmonis..."
Pui Cie tahu maksudnya, dia menggeleng-gelengkan kepalanya menjawab, "
Masalah ini aku tidak jelas." Yipha Yauci menjawab, "Kau seharusnya tahui"
Gentar hati Pui Cie, dia mengerutkan alisnya berkata, "Kenapa aku harus tahu?"
0-0-0 BAB 11 Menapak enteng menjelang yang dalam
Yipha Yauci mengangkat tangannya meraba rambutnya yang terurai ke belakang.
Genitnya bukan main, "Kau tidak bersedia beritahu aku?"
Pui Cie asal-asalan menjawab, "Aku hanya bisa bertarung pedang, untuk
membuktikan keahlianku, tidak ada pembicaraan, masalah dia berkeluarga hanya
sebatas tahu saja. Soal masalah pribadinya aku sama dengan kouwnio, sama
sekali tidak tahu."
Yipha Yauci mememiringkan kepala berkata, "Betulkah
begitu?" Pui Cie merasa curiga, aneh sekali perkataan Yipha Yauci, Apakah dia telah
menemukan sesuatu yang mencurigakan" Tapi tak mungkin. Dia tidak mencurigai
dirinya sebagai Pui Cie. Hanya dia merasa dirinya ada hubungan dengan Pui Cie.
semua harus dijelaskan, kalau tidak bisa-bisa mengganggu urusan besarnya.
Sesudah berfikir sebentar, dia berpura-pura kaget, berkata, "Aku sama sekali
tidak mengerti maksud kouwnio."
Yipha Yauci dengan sikap dingin berkata, "Menunggu kau mengerti, semua sudah
terlambat."
Perkataan ini lebih sulit dimengerti. Tidak tahu apa maksudnya, sepertinya
mengandung suatu arti yang dalam. Apa maksudnya"
Sekarang dia dalam sarang macan segala tindakannya harus luar biasa hati-hati
dan cermat, tiap langkahnya harus diperhitungkan. Pui Cie langsung pura-pura
bingung berkata, "Aku bertambah tidak mengerti, kouwnio bisakah menerangkan
dengan lebih jelas?"
Saat ini tiba-tiba terdengar suara lonceng.
Yipha Yauci melambaikan tangannya, "Silakan kau pergi! Pangcu ada urusan
mengumpulkan semua anak buahnya!"
Hati Pui Cie mendadak tegang, dia spontan merasakan telah terjadi penting,
masalah seperti apa dia tidak bisa membayangkan, sesudah beri hormat dia
cepat-cepat pergi, ketika sampai kekamarnya, Ti Kuang beng sudah menunggu,
hatinya tambah terguncang, langsung berkata, "Pengurus utama malam-malam
begini datang kesini. Ada urusan apakah?"
Ti Kuang Beng tertawa-tawa, "Selamat dik! Ada kabar gembira!"
Pui Cie tercengang berkata, "Kabar gembira" Kabar gembira apakah?"
Ti Kuang Beng mengangkat alisnya, "Pangcu sudah peintahkan semua anak
buah hadir menyaksikan adik menerima pengangkatan jabatan malam ini,
sebagai komandan pengawal, apa ini bukan suatu kabar gembira?"
Dengan menahan perasaan yang bergejolak Pui Cie berusaha menenangkan diri.
Dengan suara rendah dia berkata,"A...aku merasa kurang mampu menerima
tugas berat ini!"
Ti Kuang Beng berkata, "Adik tak usah sungkan-sungkan, Pangcu sangat
mengerti menggunakan orang sesuai kemampuannya, tidak akan salah. Tapi ada
satu hal yang harus dijelaskan dulu kepada adik..."
Pui Cie diam-diam menggerakan gigi-giginya dan berkata, "Silakan memberi
petunjuk!"
Ti Kuang Beng matanya bersinar berkata, "Menurut aturan perkumpulan kami,
sebelum acara serah terima jabatan dimulai, harus melihat merah dulu."
Hati Pui Cie bergetar, dia lalu berkata, "Melihat merah" Apa itu melihat merah?"
"Melihat darah artinya, menyatakan kesetiaan masuk perkumpulan."
"Ini., bagaimana caranya?"
"Adik harus mengeksekusi seorang narapidana."
Pui Cie dengan suara gemetar berkata, "Aku harus membunuh orang?"
Ti Kuang Beng dengan sikap dingin berkata, "Mengeksekusi orang hukuman tidak
sama dengan membunuh orang, ini disebut menjalankan tugas."
Pui Cie sedapat mungkin menenangkan diri. Lalu dia bertanya, "Orang hukuman,
orang yang macam apa?"
"Musuh yang mencoba menerobos masuk ke perkumpulan kami."
"Oo!"
"Adik rapikan dulu pakaianmu, kita segera ke ruang eksekusi!"
Masuk perkumpulan, menerima jabatan harus membunuh orang dulu, aturan
darimana" kurang ajar, Phei Chen selalu melanggar peraturan alam dan agama.
Orang begini matipun tak perlu dikasihani, untung hari akhirnya sudah dekat,
hanya tidak tahu yang bakal jadi korban ini siapa" Yang berani menyerang
perkumpulan dan bermusuhan dengan Shin Kiam Pang, tentu bukan orang
sembarangan, mungkin orang dari golongan lurus, hati Pui Cie menjadi kusut,
demi mencapai maksudnya membasmi kejahatan, apalah harus mengalirkan dulu
darah orang yang tidak berdosa"
Ti Kuang Beng mendesak, "Adik, hayo cepat sedikit! Tidak enak teman-teman
terlalu lama menunggu!"
Pui Cie segera merapikan baju dan mengencangkan tali pinggang, lalu dia
berkata, "Ayolah!"
Dalam ruangan eksekusi, ada lampu yang sangat terang menyoroti segala
macam alat eksekusi yang masih ada bercak-bercak darah, alat-alat itu terlihat
sangat mengerikan.
Delapan orang pengawal berjajar dikiri kanan, masing-masing berdiri dekat pintu
keluar, membelakangi meja sidang. Di sebuah bangku besar yang spesial, di kat
seseorang membelakangi berbaju compang-camping, tubuhnya penuh bercak-
bercak darah, sekali pandang sudah kelihatan pernah disiksa, kepala orang tua
itu ditutupi sehelai kain merah, seperti seekor kambing yang hendak disembelih,
dua orang algojo yang kekar besar berdiri di dua sisi bangku kayu itu.
Diatas meja sidang ada sebuah baki bercat merah, terdapat sebuah pisau
penebang kayu yang berkilau .
Di kiri kanan ruangan masing-masing berdiri berderetan laki-laki dan perempuan
tua muda. Yipha Yauci juga berdiri dalam barisan sebelah kanan paling depan,
semua hening dan tertib, tidak kalah dengan gaya persidangan pemerintah.
Dibelakang meja sidang ada sebuah bangku yang bersandaran tinggi yang saat
masih kosong, di belakang banyak bangku tertutup tirai kain.
Pui Cie dan Ti Kuang Beng tiba di depan pintu, segera delapan pengawal itu
memberi hormat.
Ti Kuang Beng memiringkan badan ke samping dan berkata,"Silakan masuk
kedalam ruangan!"


Pedang Bengis Sutra Merah ( Tan Ceng In) Karya See Yan Tjin Djin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pui Cie belum pernah menerima kehormatan seperti ini, sedapat mungkin
menenangkan hati, tetapi tetap tak bisa menguasai perasaan yang terus
bergelora, apalagi maksud dia datang adalah untuk membunuh, dia melangkah
masuk, matanya ditujukan dulu ke orang hukuman yang sepertinya dia
mengenalinya, dari cara berpakaiannya, bisa dipastikan dia adalah seorang tua.
Ti Kuang Beng hanya mengantar ke dalam dua langkah, dengan suara halus dan
kecil berbisik, "Silakan menunggu perintah!"
Mata Pui Cie memandang semua orang didalam ruangan itu, sengaja dia
memandangi Yipha Yauci lebih lama, terlihat mukanya dingin tanpa ekspresi,
seperti tertawa tapi tidak tertawa, di bawah selendang merah yang melilit
tubuhnya telah ditambah sebuah baju, rambutnya terurai hanya di kat asal-asalan.
Yipha Yauci setiap saat selalu menebarkan pesona yang menggiurkan setiap laki-
laki yang melihatnya.
Pandangannya kembali ke orang hukuman.
Siapakah dia" Siapa dia...
Pui Cie terus menerus bertanya dalam hati, hatinya berdebar-debar terus, sulit
diatasi. Saat ini masuk seorang tua, bertubuh tinggi, sorotan matanya tajam, dengan
langkah perlahan masuk ke dalam ruangan, menuju langsung ke belakang meja
sidang dan berdiri disana, pelan-pelan dia memandang sekeliling ruangan.
Bertambah hebat berdebarnya jantung Pui Cie. Siapakah orang tua ini" meli hat
potongan tubuhnya tidak mirip dengan Phei Chen...
Tangan orang tua tadi sudah menggenggam sebuah belati kecil.
Laki perempuan yang berbaris di kedua sisinya membungkukkan badan memberi
hormat. Orangtua itu berkata, "Perintah pangcu, supaya pendekar yang baru diangkat
sebagai komandan yang bernama Ong Giok, menurut aturan segera
mengeksekusi terpidana, sebagai sumpah darah kesetiaan, laksanakan segera!"
suaranya tidak besar tapi agak sedikit memekakkan telinga, kelihatan kungfunya
sangat tinggi. Hati pui Cie tambah tenggelam, tidak disangka Phei Chen tidak hadir memimpin
upacara yang sadis ini.
Salah satu dari dua orang algojo itu memberi hormat, lalu kedua tangannya
mengangkat baki pisau di atas meja, dam berjalan ke depan Pui Cie, dengan
hormat berkata,"Silakan terima pisau eksekusi!"
Pui Cie menggigit bibirnya kemudian dia mengambil pisau itu, algojo itu pun
mundur kembali, tangan Pui Cie kembali bergetar, dua tidak boleh jadi pembunuh,
tapi bagaimana harus bertindak"
Oang tua segera memberi perintah dengan suara keras berseru, "Buka topeng
merahnya!"
Salah satu algojo membuka kain merah penutup muka terpidana.
Dua mata terpidana tertutup rapat, kepalanya menunduk ke atas dada.
Tergetar hati Pui Cie seiring dibukanya penutup muka itu, begitu matanya
memandang, membuat darah disekujur tubuhnya berhenti berputar, nafasnya
seakan terhenti, dia hampir mau menjerit sekeras-kerasnya.
Orang yang mau dihukumnya ternyata adalah Thu Sing Sien, bagaimana dia bisa
jatuh ke tangan orang Shin Kiam Pang" Orang tua yang memberi perintah
memekik keras, "Laksanakan hukuman!"
Kedua algojo di pinggir bangku itu mundur 3 langkah. Ti Kuang Beng dengan
suara rendah berbisik pada Pui Cie, "Berdirilah dibelakang bangku, potong
kepalanya." <
Pui Cie tidak bergerak, badannya mengigil, dia seperti sudah mau gila,
bagaimana tidak" Menolong Thu Sing Sien saat ini pasti tidak mungkin, dia
sendiri bisa lolos dari sarang macan ini masih menjadi teka-teki. Lawan.
Perubahan yang drastis mimpipun tidak bisa terbayang, perencanaan yang begitu
rumit semua menjadi sia-sia, seluruh pandangan mata yang hadir tertuju pada diri
Pui Cie. Orang yang beri perintah sekali lagi memekik, "Laksanakan hukuman!"
Ti Kuang Beng membantu berkata, "Ong Giok! Cepat, laksanakan perintah!"
Pui Cie menggertak giginya dengan keras, baru terlontar sebuah kata, "Tidak!"
Satu kata tidak' membuat orang dalam ruangan seluruhnya merubah air muka.
Hati Pui Cie kusut seperti tali jerami, terpikir olehnya setengah jam yang lalu
pertanyaan aneh dari Yipha Yauci. Ternyata dia sudah tahu semua urusan dalam
ini. Apakah Thu Sing Sien sudah disiksa habis-habisan dan sudah mengaku"
Ti Kuang Beng dengan suara seram berkata, "Ong Giok, apa maksudmu" Apa
mau melawan perintah."
Pui Cie mendadak membuat keputusan. Bunuh! Habisi pusat perkumpulan Shin
Kiam, cuci dengan darah!
Thu Sing Sien pelan-pelan mengangkat kepalanya, sepasang mata sangat lesu,
dia memandangi muka Pui Cie, dengan lemas berkata, "Ong Giok, kau mau
membunuhku?"
Pui Cie bibirnya bergetar, tak bisa berkata-kata, orang tua yang memberi perintah
menaruh belati emas dan menggertak, "Ong Giok, kau mau melawan perintah?"
Pui Cie teringat nasihat gurunya semasa hidup, dalam situasi genting harus
bertambah tenang. Setelah berusaha menekan emosi dia berkata lagi, "Aku tidak
berani membunuhnya!"
"Kenapa?"
"Dia adalah sahabatkul" "Sahabat macam apa?"
"Hubungan yang lama, sahabat sehidup semati!"
"Ooo! Kau., tidak berani melakukan?"
"Ya!"
"Kau relakan lepaskan hakmu untuk masuk perkumpulan?"
perkataan ini diutarakan oleh pihak mereka, tentu saja Pui Cie merasa girang,
tidak dipikir lagi dia langsung menjawab, "Ya!"
Orang tua yang memberi perintah dengan suara datar berkata, "Persoalan ini
harus diajukan, biar Pangcu yang ambil keputusan."
Pui Cie sudah membikin perhitungan terburuk, tapi belum sampai waktu untuk
menyerang secara mendadak. Dia mengharap Phei Chen bisa segera muncul.
Dia bersiap-siap setiap saat mencabut pedang.
Thu Sing Sien yang tenaganay sudah berkurang tapi dengan keras berkata, "Ong
Giok, aku orang tua... menerima nasib., kau..."
Saat itu seseorang bertopeng berbaju indah dengan tidak bersuara tiba-tiba telah
berada di belakang Pui Cie. Dia adalah ketua Shin Kiam Pang Phei Chen, karena
Pui Cie dalam keadaan kalut dan tegang, maka dia tidak merasakan ada orang
menghampirinya.
Orang tua pemberi perintah dengan suara rendah berkata, "Baiklah, hamba
segera pergi, mohon petunjuk!"
Mendadak Shin Kiam Pang Cu seperti kilat mengeluarkan jarinya menotok,
jaraknya hanya beberapa senti dari tubuh Pui Cie, umpana Pui Cie seperti dewa
mau menghindar juga sudah tidak mungkin, hanya mengeluarkan sedikit suara
mengaduh dia sudah roboh. Kesal, benci, marah, dan lain-lain perasaan sekejap
saja lewat. Dia sudah tidak sadarkan diri.
Dalam kurungan gelap bawah tanah, tubuh Pui Cie tergeletak di lantai.
Ingatannya sedikit demi sedikit mulai kembali. Pertama-tama yang dia rasakan
ilmu silatnya sudah lenyap. Dendam dan kekesalan bercampur putus asa masuk
kedalam sanubarinya. Dia lebih suka tadi dia dibunuh mereka, dia sekarang
sudah tidak mempunyai jalan lain. Banyak sekali masalah yang harus
diselesaikannya, dia sudah tidak bisa berpikir lagi. Otaknya terasa kosong
melompong . Phei Chen telah membunuh gurunya, meracuni kakak seperguruannya, sekarang
dia bisa menawan satu-satunya musuh yang paling menakutkannya yaitu
keponakan seperguruannya"dia tidak mau banyak berpikir lagi, tapi setelah agak
lama pikiran itu datang kembali semua. Dia tidak mungkin untuk tidak berpikir.
Dia meronta-rinta berusaha duduk, sambil meraba-raba dia berhasil duduk di tepi
tembok, dia sudah beberapa kali menghadapi maut, mengalami ancaman maut
semuanya bisa lolos, tapi dia berpikir kali ini tidak mungkin menemukan keajaiban
lagi. Yang tidak dia mengerti, sekarang dirinya menyamar sebagai si Baju Ungu,
kenapa bisa dicurigai pihak lawan" Anggaplah Thu Sing Sien tertangkap, tapi
kenapa pihak lawan bisa terpikir dan memaksa untuk mencari tahu jati dirinya.
Tiba-tiba terpikir satu permasalahan ketika berada di ruang eksekusi itu. Thu Sing
Sien menyebut dirinya Ong Giok. Nama ini sebenarnya dikarang sendiri sewaktu
dia masih di dalam gunung dan yang tahu hanya Ti Kuang beng saja. Thu Sing
Sien sendiri tidak mungkin tahu, dia juga tidak menyebut nama Pui Cie. Kenapa
dia tidak mau mengaku" Apakah ini hanya kecurigaan pihak lawan saja"
Terpikir olehnya sewaktu kejadian di gunung, dia ditolong orang dari dalam jurang
dengan memakai rotan liar. Siapa yang menolong itu" Teka teki ini akan terkubur
dalam tanah bersama dirinya. Ada lagi urusan Hie Ki Hong dengan dirinya tidak
berkesudahan dan akan selesai dengan sendirinya...
Semua pikiran ini masuk kedalam lamunannya, tiba-tiba terdengar suara langkah
kaki. Karena ilmusilat sudah lenyap pandangan matanya juga berkurang. Hanya
bisa membedakan suara langkah kaki itu lebih dari satu orang.
Saat ini, dia malah jadi tenang, perasaan khawatirpun hilang semua, mendadak
lampu bertambah terang. Dia menjadi susah melihat, dia memejamkan sebentar
lalu membukanya lagi, sekarang pandangan matanya menjadi jelas
Yang datang ternyata adalah Shin Kiam Pangcu, Yipha Yauci dan Ti Kuang Beng.
Melihat Shin Kiam Pangcu, dendamnya bergelora lagi didalam dadanya, hatinya
seperti tercabik-cabik oleh pisau tajam.
Didalam ruangan penjara itu ada satu meja, satu bangku, satu dipan. Shin Kiam
Pangcu segera duduk di bangku, Ti Kuang Beng dan Yipha Yauci berdiri
disampingnya. Tiga manusia dengan enam mata masing-masing memandang Pui
Cie dengan sinar yang berbeda. Shin Kiam Pangcu tetap bertopeng, sorotan
mata yang keluar dari lobang kecil di mukanya tajam seperti pisau.
Gigi Pui Cie gemeretukan, kekesalan dan kemarahan membuat dia menjadi sesak
nafas. Shin Kiam Pangcu membuka mulut, berkata, "Ong Giok, apa hubunganmu
dengan Pui Cie?"
Ini adalah pertanyaan yang diluar dugaan Pui Cie. Ternyata identitas dirinya yang
asli masih belum ketahuan. Sulit dipercaya.
Ti Kuang Beng dengan sinis berkata, "Hayo jawab pertanyaan Pangcu!"
Karena identitas dirinya belum terbongkar, Pui cie memperhitungkan lagi
keadaannya, sesudah berpikir beberapa kali, dan memandang musuhnya.
Dengan suara gemetar dia berkata, "Dari mana datangnya perkataan ini?"
Shin Kiam Pangcu mendehem berkata, "Menyangkal juga tidak ada gunanya, apa
kau juga penerus Ko Liang"
Pertanyaan ini lebih aneh lagi. Pui Cie menghela nafas dan berkata dengan
gemas, "Kenapa kau bisa menghubungkan aku pada orang teragung dari
persilatan?"
"Kau tidak mau bicara?"
"Aku tidak bisa menjawabnya!"
"Apakah kau mau bukti?"
"Bukti?"
"Ya!"
Pui Cie menarik nafas dengan suara gemetar berkata, "Bukti apa?"
Shin Kiam Pangcu pelan-pelan mengangkat tangannya, terlihat kedua tangan
sudah menjepit sepotong papan nama hitam.
Pui Cie mendadak terkejut, papan nama hitam itu adalah bukti *Bu Wei Wen'
siapapun yang memilikinya adalah sama dengan hadirnya sang Couwsu, Tidak
disangka Phei Cen telah menggeledah dirinya. Ini adalah bukti yang jelas, sama
sekali tidak bisa dibantah.
Pui Cie meraba sakunya, ternyata yang hilang bukan hanya papan nama hitam itu
saja, tapi juga setengah buku pusaka yang tiada taranya dan pedangnya,
semuanya sudah disita. Semua sudah jatuh ke tangan Phei Cen, sehingga akan
menambah kejahatannya. Sekarang dia mati juga tidak akan bisa menutup mata.
Phei Cen menyimpan papan nama hitam itu, sambil tertawa sinis berkata, "Tidak
disangka ahli waris Ko Liang tidak hanya seorang, ternyata kau juga penerusnya."
Pui Cie merasa kesal dan marah bercampur aduk. Dengan mengeluarkan suara,
"Wah!" menyemburlah darah dari mulut.
Shin Kiam Pangcu berkata lagi, "Ong Giok, kau berpura-pura mau bertarung
pedang dengan Pui Cie untuk menutupi dirimu yang sebenarnya, kemudian
menyusup masuk ke perkumpulanku, sebenarnya mau apa?"
Pui Cie hampir saja mau menyumpahi Phei Cen. Tapi setelah dipikir lagi
perkataan yang sudah sampai ketenggorokan akhirnya ditelan lagi. Identitas
musuh dia sudah tahu dari Ke Co Ing ketika menjelang ajal. Musuhnya tidak tahu
bahwa rahasianya sudah bocor. Sekarang lebih baik jangan diungkap dulu, siapa
tahu urusan ini ada perubahan lain yang masih bisa diandalkan. Sesudah berpikir
begitu dengan gemas dia berkata, "Hanya mengandalkan sepotong papan nama,
bagaimana bisa memastikan persoalan?"
"Kau menyangkal?"
"Aku kan belum pernah mengakui?"
"Kalau begitu kau dapat darimana barang-barang itu?" "Aku dapat memungutnya,
aku sama sekali tidak tahu dari mana asalnya."
0-0-0 BAB 12 Siasat dilawan siasat
"Ha.. Ha.. Ha., kujelaskan padamu, supaya kau tidak mati penasaran. Sebelum
masuk perkampungan ini, ditengah jalan bukankah ada seseorang berbaju hitam
memakai topeng bertarung denganmu, kau menggunakan jurus pedang apa?"
Gemetarlah seluruh tubuh Pui Cie, udara dingin terasa menguap dari dalam
hatinya. Kelicikan Phei Cen sampai begini dalam, ternyata orang yang bertopeng
itu adalah dirinya. Pantas ilmusilatnya begitu lihay. Dia langsung teringat nasihat
Sastrawan Pengecut yang mengatakan bahwa pihak lawan memcurigai asal
usulnya dan akan akan dicobanya. Dan tidak disangka dicoba dengan cara yang
seperti itu. Dia terlalu ceroboh tidak menyadari ada siasat seperti ini. Sekarang
menyesal pun sudah terlambat.
Shin Kiam Pangcu berkata lagi, "Kau masih mau berkata apalagi?"
Pui Cie berkata dengan suara menggila, "Ada satu patah kata, benci. Aku ingin
membunuhmu dengan tanganku sendiri."
Shin Kiam Pangcu dengan suara bengis berkata, "Nanti kalau kau sudah mati
baru kebencianmu hilang., ha..ha..ha... kalau bukan aku yang teliti semua akan
terkecoh olehmu. Sekarang kau terus terang saja menceritakan semuanya, kalau
tidak mau tubuhmu akan tersiksa!"
Pui Cie menunjuk Shin Kaim Pangcu, "Phei Cen, kau bisa mengelabui mata
telinga orang didunia persilatan tetapi tidak bisa lari dari hukuman alam dan
keadilan. Kau akan memdapat ganjaran!"
Sesudah membuka diri Phei Cen yang sebenarnya, Yipha Yauci dan Ti Kuang
Beng menjadi kaget.
Shin Kiam Pangcu tiba-tiba berdiri, menendang meja dan bangku berteriak
dengan suara keras.
"Kau sudah tahu diriku yang sebenarnya?"
"Memang!"
"Bagaimana bisa tahu?"
"Kau tidak perlu tahu! Perbuatan jahatmu membuat langit menjadi marah dan
orangpun menjadi benci. Hari kematianmu sudah tidak lama lagi."
"Hahaha.." dalam gemuruh suara ketawanya dia melepas selendang penutup
mukanya. Berkata lagi, "Boleh kau lihat wajah asliku, supaya matipun kau akan
puas. Hahaha.."
Pertama kali ini Pui Cie melihat wajah asli si pengkhianat. Kelihatan umurnya
antara empat puluh lima lebih lima puluh kurang. Selain sorotan matanya yang
tajam, ada sedikit kebengisan, panca indera normal, romannya lumayan, bisa
Kemelut Di Majapahit 4 Panji Sakti Karya Khu Lung Pendekar Latah 27
^