Pencarian

Pedang Bengis Sutra Merah 3

Pedang Bengis Sutra Merah ( Tan Ceng In) Karya See Yan Tjin Djin Bagian 3


termasuk lelaki tampan.
Yipha Yauci dan Ti Kuang Beng bersama-sama mengkerutkan keningnya.
Mata Shin Kiam Pangcu mengeluarkan sinar iblis dan dia berkata, "Aku akan
membunuhmu dengan kedua tanganku!"
Pui Cie dengan geram berkata, " Bunuhlah! Aku adalah generasi ketiga yang
menjadi korban keganasanmu. Arwah couwsu akan mengawasimu!"
Itulah rahasia perguruan. Orang luar luar pasti tidak mengerti. Yipha Yauci dan Ti
Kuang Beng wajahnya terlihat bimbang, bingung oleh perkataan si Baju Ungu.
Shin Kiam Pangcu mulai menggerakkan kaki...
Ilmu silat Pui Cie sudah lenyap, sama sekali tidak bisa mengadakan perlawanan,
hanya bisa pasrah menunggu mati.
Tiba-tiba luar penjara datang suara berkata, "Lapor!"
Shin Kiam Pangcu berhenti berjalan, dipasang lagi penutup mukanya.
Ti Kuang Beng bertanya dengan suara keras, "Siapa
itu?" Suara di depan pintu itu menjawab, "Penguus Utama, perkumpulan kita bagian
luar Lao Cao ada urusan penting mau melapor ke Pangcu!"
Shin Kiam Pangcu dengan suara rendah berkata, "Suruh dia masuk!"
Seorang laki setengah baya masuk dengan langkah besar setelah memberi
hormat lalu berkata, "Salam untuk Pangcu!"
Pui Cie melihat orang setengah baya ini adalah orang yang datang ke losmen
menjemput dirinya kemudian ditengah jalan dijatuhkan dari kudanya itu, tak
disangka dia menjabat sebagai Pengurus Utama juga.
Shin Kiam Pangcu bertanya, "Urusan penting apa?"
Pengurus Utama cabang yang bermarga Lao Cao itu membungkukkan badan
berkata, "Menurut berita dari anak buah, Pui Cie telah muncul di Cao Yang."
Pui Cie terharu hatinya, dia tahu ini pasti perbuatan Bo Ta Su Seng.
Shin kiam Pangcu mengibaskan tangannya berkata, "Ya, sudah tahu pergilah!
Perintahkan awasi dia dengan cermat!"
Pengurus Utama cabang Lao Cao berlalu dengan hormat,"Terima perintah!"
Yipha Yauci matanya bersinar, mukanya berobah tapi orang lain tidak
memperhatikannya. Pui Cie yang duduk bersandar tepat di depannya bisa melihat
semua itu. Shin Kiam Pangcu memandang Ti Kuang Beng, berkata, "Pengurus Utama!"
"Hamba disini!"
"Segera atur! Siapkan operasi malam." "Menurut perintah!"
Sorotan mata Shin Kiam Pangcu yang bengis memandang Pui Cie yang sedang
duduk bersandar di tembok, dengan suara menyeramkan dia berkata, "Pergilah
selangkah lebih dulu dari Pui Cie!" Seraya mengangkat tangannya.
Pui Cie sepasang mata melotot, tidak berkedip dengan amat benci dan dendam
dia memandang musuhnya.
Yipha Yauci matanya berputar, dengan cepat-cepat berkata, "Pangcu! Jangan
bunuh dulu dia sekarang!"
Shin Kiam Pangcu memutar kepalanya berkata, "Kenapa?"
"Aku ada sebuah akal."
"Penasihat Utama ada akal apa?"
"Pangcu silakan kemari! Aku akan katakan!"
Shin Kiam Pangcu menurunkan telapak tangannya. Dia berjalan ke tepi pintu
penjara, Yipha Yauci mendekat dan berbisik di tepi telinganya. Shin Kiam Pangcu
merenung agak lama baru berkata, "Ini terlalu beresiko."
Yipha Yauci ketawa dan berkata, "Aku yakin, ini tidak akan meleset, dijamin!"
Shin Kiam Pangcu terdiam lama, matanya memandang Pui Cie, Lalu dia
menganggukan dan berkata, "Baiklah! Penasihat Utama boleh mencoba, tapi hati-
hati." Yipha Yauci tertawa dan berkata, "Hamba akan hati-hati menjalankan tugas ini."
Shin Kiam Pangcu mata berkedip-kedip dengan suara rendah berkata, "Orang ini
aku serahkan padamu!" habis bicara, dia angkat kaki meninggalkan tempat itu.
Pui Cie bingung sekali. Entah siasat apa yang disusun Yipha Yauci. Karena ilmu
silatnya sudah lenyap, dan dirinya berada dalam tahanan bawah, banyak berpikir
juga percuma. Yipha Yauci menutup rapat-rapat pintu penjara, lalu membalikan badan
mendekati Pui Cie. Dengan suara kecil berkata, "Si Baju Ungu, kelihatannya kau
seperguruan dengan Pui Cie?"
Hati Pui Cie tergugah, dia langsung bilang, "Ya!"
Yipha Yauci matanya berputar, mengerutkan kening mengangguk, lalu berkata,
"Apakah kau tahu, kau mau dihukum mati?"
Pui Cie menggigit bibir berkata, "Apakah artinya mati, aku sudah tidak perduli."
Yipha Yauci alis halusnya terangkat. Berkata dengan suara yang lebih rendah
lagi, "Aku bisa menolongmu, asal kau mau membantu aku menyelesaikan sebuah
urusan." Mencari kesempatan hidup adalah watak setiap manusia. Apalagi bagi seorang
pesilat, mati juga harus pada tempatnya, mendengar perkataan Yipha Yauci
tergerak juga hati Pui Cie. Dia berpikir, barusan dia berbisik-bisik dengan Shin
Kiam Pangcu mungkin mau menjalankan suatu siasat. Dia berkata dengan suara
masam, "Kau mau melakukan permainan apalagi?"
"Perkataan yang benar!"
"Aku bukan anak umur tiga tahun!!"
"Kau sekarang adalah kura-kura dalam guci, takut apa untuk bertaruh nyawa
sekali lagi" Anggap saja berjudi, kau sekarang sudah tidak punya apa-apa lagi
untuk kalah. Bukankah begitu?"
Betul juga, orang sudah pasti harus mati, apalagi yang harus ditakuti" Setelah
dipikir-pikir lalu Pui Cie berkata, "Baiklah, katakan saja apa yang kau inginkan?"
"Bawa aku menemui Pui Cie!"
"Kau mau bertemu dengan Pui Cie?"
"Emm!"
"Kenapa?"
"Sebab... aku..."
"Kau bisa berjasa luar biasa membantu perkumpulan Shin Kiam Pang,
melenyapkan satu musuh kuat."
"Kau salah. Aku., beritahumu sebenarnya, aku belum pernah jatuh cinta pada
seseorang, tapi begitu aku bertemu dengan Pui Cie, aku... tak bisa menahan
perasaanku. Aku suka padanya."
Hati Pui Cie bergetar keras, dinilai dari perbuatannya dan pertama sampai
sekarang, perkataannya bisa dipercaya, niat untuk mencari jalan hidup bertambah
lagi. Dia bukan takut mati, tapi belum boleh mati, sesudah berfikir begitu, dengan
perlahan dia berkata, "Bagaimana caramu menolongku?"
Sepasang mata Yipha Yauci bersinar, dengan sangat girang dia berkata, "Kau
setuju mempertemukan aku dengan Pui Cie?"
Dengan tidak ragu-ragu Pui Cie menjawab, "Bisa!" Tentu bisa sebab yang
di nginkannya adalah dirinya sendiri.
Sepasang mata Yipha Yauci bersinar indah, ditarik-tariknya selendang sutra
merah di pundaknya, dia berkata dengan genit, "Kau juga harus beritahu tentang
masalah perkawinannya..."
Ini seperti duri menusuk tempat sakitnya Pui Cie, dengan menggigit bibir berkata,
"Tidak ada apa-apa yang bisa diberitahu padamu, perkawinnanya hanyalah
sebuah sandiwara yang menyedihkan."
"Sandiwara menyedihkan?"
"Ya!"
"Kalau begitu dia tidak mencintai istrinya?"
"Aku hanya bisa berkata begitu saja."
Yipha Yauci menengadah kepalanya, berpikir dengan serius, dibawah sorotan
lampu, potongan wajahnya sangat memikat, boleh dibilang salah satu perempuan
cantik di dunia persilatan.
Tidak terasa hati Pui Cie ikut melamun, lama sekali Yipha Yauci memandang Pui
Cie dengan tegas berkata, "Disini kita tidak boleh berkata banyak, sekarang aku
pulihkan dulu ilmu silatmu..."
Pui Cie merasa senang sekali., selagi mau bicara Yipha Yauci dengan isyarat
tangannya melarang, secepat kilat dia menjulurkan jarinya, ditotoknya beberapa
kali tubuh Pui Cie.
Segera udara pernafasan yang utama mulai berputar tenaga murninya sudah
pulih, Pui Cie senang luar biasa.
Dengan suara amat kecil, Yipha Yauci berkata, "Ingat, kau tidak boleh
menunjukan bahwa tenaga dalammu sudah pulih, harus berpura-pura seperti
yang masih le,mah, tetapi harus terus waspada, sedikitpun tidak boleh
kecolongan sekali gagal habislah semua. Sekarang kau tunggu sebentar, aku
mau mengatur dulu semua!" habis berkata dia membuka pintu penjara lalu pergi.
Orangnya sudah menghilang, tapi bau wanginya masih
tersisa. Pui Cie merasa semua diluar dugaan, tapi hati juga kusut, Yipha Yauci berbuat
begitu karena cinta. Apakah dirinya bisa menerima cintanya" Apakah akibatnya"
Diri sendiri sudah menikah, meskipun melakukan perkawinan yang menyedihkan.
Tapi nama suami istri tetap ada. Bagaimana menyelesaikannya" Kalau dia
ditolak, harapan hidup di depan mata hilang, harapan almarhum suhu dan janji-
janjinya dengan orang lain semua tak akan terlaksana...
Semua bertentangan, kesusahannya tidak akan dapat dipecahkannya.
Di dunia ini untung dan rugi, baik dan buruk sama seperti satu barang dua muka
menyatu. Susah dinilai juga susah dibuang dan diambil.
Dalam keadaan melamun, sesosok bayangan muncul. Dia ketua Shin Kiam Pang,
Phei Cen. Darah Pui Cie mendadak menjadi bergolak, dia ingin sekali menyergap Tapi
setelah dipikir lagi dengan mengandalkan tangan kosong mana bisa menangkap
musuhnya" Thu Sing Sien masih di tangan musuh, adalagi Pa kiam, papan nama
hitam kecil, buku pusaka, Giok Ju Yi semua, tentu sulit diambil kembali. Ada
pepatah mengatakan, selama gunung masih hijau tidak takut kehabisan kayu
bakar. Urusan kecil tidak bisa disisihkan, pasti akan merusak semua urusan
besar, pesan Yipha Yauci masih mengiang di telinganya. Akhirnya dia bisa
menahan diri dengan terpaksa, pura-pura seperti bodoh.
Shin Kiam Pangcu mendekat, memandang Pui Cie lama sekali. Kemudia Pangcu
mengangguk, dia merasa puas. Balik badan dan pergi.
Pui Cie geram sampai hampir menyemburkan darah, untung semua masih bisa
teratasi. Sejam kemudian Yipha Yauci yang pergi sudah kembali lagi, dia sudah berganti
pakaian. "Aktingmu bagus sekali!" katanya.
Yipha Yauci menyodorkan Pa kiam berkata, "Pasangkan, kita pergi!"
Pui Cie memasang pedangnya di pinggang, tegang, terharu juga ada sedikit
penyesalan sebab dirinya membohongi Pipha Yau Ci.
Pipha Yayci berkata lagi, "Kalau kau keluar harus bunuh satu orang!"
Pui Cie spontan terperanjat berkata dengan suara bergetar ,"Bunuh satu orang?"
"Ya!"
"Siapa?"
"Thu Sing Sien!"
Pui Cie membelalakan mata menyorotkan sinar yang menakutkan. Dengan kesal
berkata ,"Tidak bisa!"
,'Jangan keras-keras! Kau mau merusak rencana" Suruh kau membunuh itu
hanya pura-pura seolah-olah kau masih dalam genggamanku..."
"Bunuh Thu Sing Sien tidak bisa!"
"Dia bukan Thu Sing Sien sebenarnya!"
"Apa" Dia..."
"Dia adalah anak buah yang melanggar aturan didandan seperti Thu Sing Sien,
waktu kau masuk keruang sidang, Pertunjukan itu hanya mau mengujimu saja!"
Satu lagi kejadian yang diluar dugaan, Pui Cie pelan-pelan bertanya, "Benarkah?"
Yipha Yauci berkata lagi, "Ini tidak bohong. Kalau aku membohongimu apakah
Pui Cie akan memaafkanku?"
Pui Cie menghela nafas dalam-dalam dari perbuatan ini, bertambah kelihatan
betapa keji dan kurang ajarnya Phei Cen itu, dia langsung mengangguk, "Ya,
bagaiman kau saja!"
Yipha Yauci berkata, "Ingat, kau hanya boleh mendengar perintahku saja. Aku
bilang apa kau lakukan saja."
Pui Cie mengatupkan gigi, "Aku sudah mengerti!"
Dia membuntuti Yipha Yauci keluar dari penjara bawah tanah, naik ke tangga,
diluar sana ternyata adalah ruang sidang, ternyata Thu Sing Sien gadungan
masih seperti semula terikat, di bangku kayu dijaga oleh dua orang algojo. Karena
sudah tahu keadaan sebenarnya, terlihatlah dia hanya dirias saja. Pui Cie teringat
kejadian tiga hari yang lalu pada saat itu Thu Sing Sien menyebut dirinya Ong
Giok. Ternyata dari Phei Cen sampai bawahannya tidak ada yang tahu jati dirinya.
Waktu itu dia merasa aneh ternyata hanya begitu saja kejadiannya.
Yipha Yauci berkata, "Si Baju Ungu, bunuhlah dia!" tangannya menunjuk Thu
Sing Sien gadungan di atas bangku kayu.
Pui Cie sama sekali tidak ragu lagi dia mencabut Pa Kiam nya. Thu Sing Sien
gadungan tidak berekspresi, mungkin dia telah ditotok.
Pui Cie angkat pedang langsung ditusukkan ke ulu hatinya, tidak ada suara
mengerang. Ketika pedang dicabut, darah menyembur seperti pancuran, pedang
sudah dimasukkan lagi ke dalam sarungnya. Peristiwa ini dari mula sampai akhir
hanya berlangsung dalam sekejap mata saja. Air muka Pui Cie pun tidak berubah
sama sekali karena yang dia bunuh adalah orang Shin Kiam Pang.
Terdengar suara Shin Kiam Pangcu dari balik tirai kain, "Bagus, jalankan rencara
seperti semula!"
Yipha Yauci mengangkat muka, memberi aba-aba supaya Pui Cie mngikutinya.
Diluar sudah disiapkan dua ekor kuda, dengan seorang satu tunggangan,,
mereka secepatnya meninggalkan perkampungan Shin Kiam Pang, sinar bintang
di langit sudah teringgal sedikit sekali, sekarang sudah mendekati waktu subuh.
Sepanjang jalan Pui Cie merasa kesal dan benci campur aduk. Tadinya
permainan catur yang bagus sudah diatur, tak disangka masuk gunung, pusaka
hilang, pulang dengan tangan hampa, dengan kondisi yang begini, selanjutnya
entah bagaimana..
Keluar dari persimpangan sungai sampai di jalan umum, di ufuk timur mulai
memutih, hari mulai terang.
Yipha Yauci berkata, "Mulai sekarang gerak gerik kita diawasi, Pui Cie
sebenarnya ada dimana?"
Sudah dipikir-pikir Pui Cie berkata,"Belum tahu, harus mencari orang yang bisa
menghubunginya."
Yipha Yauci bierkata lagi, "Baiklah! Sekarang kita cepat-cepat menuju ke Utara,
Nanti baru belok ke kiri, kita lihat apa bisa menghindar dari orang-orang yang
membuntuti."
0-0-0 Gurauan menjadi serius
Pui Cie dan Yipha Yauci melarikan diri beberapa puluh li ke Utara, kemudian
mereka berbelok ke Barat, Tengah hari, sampailah di sebuah kota kecil di tepi
sungai Tang. Yipha Yauci kemudian membuat rencana. Dua ekor kudanya di kat
di depan sebuah toko besar dijalan utama, dengan cara diam-diam pergi ke ujung
kota, mereka berdua pergi dengan berjalan kaki.
Setelah mereka berdua jauh meninggalkan kota, masuklah kedalam kota tiga ekor
kuda dengan penumpang satu orang tua dan dua orang anak muda, orang tua itu
memberi isyarat menyuruh dua anak muda itu turun terlebih dahulu. Dia menunjuk
kedua ekor kuda yang di kat di depan sebuah toko, kemudian mengangguk dan
langsung masuk kedalam kedai kopi untuk mengintai, mereka memilih tempat
didepan pintu agar mudah melihat sasarannya.
Setengah jam kemudian orang tua itu memukul meja, dan berkata, "Celaka, kita
telah terkecoh."
Dua anak pemuda itu terkesiap, hampir bersamaan berkata, "Terkecoh?"
Orang tua dengan muka penuh kemarahan berkata, "Di depan penginapan itu
bukan kedai kopi, hanya sebuah toko keperluan sehari-hari tidak mungkin mereka
membeli barang-barang keperluan seperti itu, kita sudah tertipu siasat keong
melepas cangkang! Tentu mereka sudah kabur!"
Salah satu pemuda itu berkata, "Mana mungkin! Itu penasihat..."
Orang tua itu berkata lagi, "Aku semalam dapat kabar kilat dari pusat, bahwa
harus berhati-hati dengan Penasihat Liu, tidak disangka benar-benar terjadi!"
Salah satu pemuda dengan perasaan tegang berkata, "Kepala cabang...
Mungkinkah?"
Orang tua itu melotot, berkata, "Bukan soal mungkin tak mungkin, kenyataan
sudah terjadi di depan mata., dua jam yang lalu mereka tiba-tiba merubah arah
perjalanan tanpa meninggalkan tanda, Sudah tentu mereka ingin lolos dari
pantauan kita..."
Pemuda yang satu lagi berkata, "Ini... apakah Penasihat Liu menyukai si Arang
Hitam itu?"
Orang tua dengan geram berkata, "Kau tahu apa" Si Baju Ungu memang seperti
arang hitam tapi adik seperguruannya Pui Cie tampan luar biasa!"
Si pemuda menjadi kuatir, bertanya, "Sekarang kita harus bagaimana?"
Orang tua itu berfikir sejenak lalu berkata lagi, "Kalian berdua salah seorang


Pedang Bengis Sutra Merah ( Tan Ceng In) Karya See Yan Tjin Djin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menuju ke Utara, satu lagi ke Barat terus mengejar, aku akan mengirim berita
darurat dulu ke pusat, nanti baru menuju ke Selatan, ingat jangan menggoyang
rumput mengagetkan ular, kalau ada titik terang, kirim berita secara rahasia!
Sekarang langsung berangkat."
0-0-0 Pui Cie dan Yipha Yauci setelah menyebrang sungai Tang terus membelok
menuju ke Utara, mereka memilih jalan yang kecil dan sunyi, matahari sudah
turun ke Barat, di depan mata mereka terlihat sebuah kelenteng yang sudah
terlantar. Yipha Yauci menunjuk ke depan dan berkata, "Kita tak perlu lari
membabi buta lagi, istirahatlah dulu di dalam kelenteng."
Pui Cie mau tidak mau mengangguk.
Mereka berdua segera masuk ke dalam kelenteng, terlihat rumput ilalang tumbuh
setinggi orang, semua terlihat sangat terlantar, ruang utamanya penuh dengan
sarang laba-laba, keadaan di dalam juga terlihat sangat parah, tidak ada tempat
untuk berteduh, mereka berdua hanya bisa duduk-duduk saja di tangga.
Yipha Yauci tertawa-tawa dan berkata, "Kelenteng ini kelenteng Budha lapar atau
Dewa Miskin?"
Pui Cie tidak ada selera untuk bercanda, hatinya terasa tertekan, tindakannya kali
ini telah gagal total, ditambah lagi hutang budi kepada Yipha Yauci, yang mau
tidak mau harus diterimanya, dia merasa tidak tahu harus berbuat bagaimana.
Yipha Yauci berkata lagi, "Si Baju Ungu, bagaimana caranya mencari Pui Cie?"
Pui Cie dengan pelan menjawab, "ini... sekarang aku belum bisa memberitahu
nona." Yipha Yauci berujar lagi, "Kalau begitu bukankah aku menjadi bunga dalam kaca
bulan dalam air?"
Pui Cie berkata, "Tidak juga begitu, malah., nona demi diriku telah mengkhianati
Shin Kiam Pang.."
Yipha Yauci dengan kalem berkata, "Bukan demi dirimu, tapi demi diri Pui Cie."
Kata-kata yang blak-blakan ini membuat muka Pui Cie menjadi panas.
Tiba-tiba Yipha Yauci memukul Phipanya dengan keras, "Kita telah bebuat salah!"
Pui Cie terkejut, "Apa yang salah?"
"Kita tidak boleh terlalu cepat menhindari orang yang membuntuti kita!" kata Yipha
Yauci. "Pangcu sebenarnya mau bunuhmu, berhubung pengintai berkata bahwa
di Cao Yang telah menemukan Pui Cie, maka aku memutar otak dan memberi ide
memakai dirimu untuk memancing Pui Cie dan membiarkan dirimu pergi melawan
Pui Cie. Jago-jago di Shin Kiam Pang semua sudah setuju dan akan memberi
bantuan dalam gerakan ini. Waktu kita berangkat pergi semua sebenarnya hanya
sandiwara saja, dan sekarang malah terjadi yang sebenarnya. Begitu kita
meloloskan diri dari penguntip, mereka akan segera menyadari dan akan
memburu kita sekuat tenaga..."
"Aku malah takut pihak musuh tidak muncul!"
"Mata-mata musuh ada di mana-mana, kemana pun kita pergi kita akan tertekan.
Bagaimana bisa mencari Pui Cie?"
"Jangan khawatir!"
Yipha Yauci tiba-tiba berdiri, dengan geram berkata, "Apa kau sedang
membohongiku?"
Pui Cie balik terkejut, "Membohongimu"Apa maksud perkatannmu?"
Yipha Yauci dengan wajah dingin berkata, "Aku5 ingat, sewaktu di penjara bawah
tanah kau menyanggupi membawaku menemui Pui Cie, Pui Cie telah muncul di
Cao Yang, kau juga mengiyakan, sekarang kita malah berjalan kearah yang
berlawanan. Apa maksudmu?"
Pui Cie berdiri perlahan-lahan, dia ingin menjelaskan semuanya tapi kata-katanya
susah diucapkan. Sastrawan Pengecut yang sengaja muncul sebagai Pui Cie
maksudnya tentu untuk membingungkan pandangan dan pendengaran musuh
sehingga dirinya leluasa menjalankan rencana. Rahasia ini mana boleh
diberitahu" Berpikir sejenak dia lalu berkata, "Aku jamin diriku sama sekali tidak
membohongi nona!"
Yipha Yauci sama sekali tidak mau mengerti, "Baiklah! Kita segera balik ke Cao
yang!" "Bukankah kau berkata tidak perduli!"
"Memang, tapi di Cao Yang pun belum1 tentu bisa bertemu dengan Pui Cie.."
"Pui Cie musuh bebuyutan Shin Kiam Pang, Cao Yang markasnya Shin Kiam
Pang, jika Pui Cie muncul disana pasti ada sebabnya, dia tak mungkin berlama-
lama disana..."
"Perkataanmu ini tidak masuk diakal. Dia muncul di Cao Yang pasti ada mauya.
Mana mungkin cepat-cepat pergi lagi, kau jangan asal bicara saja, aku tidak ngerti
apa maksudmu..?"
Pui Cie tidak bisa menjawab memang apa yang dia katakan bukan alasan yang
tepat, hatinya sedang mempertimbangkan apakah harus membuka jati diri yang
sebenarnya" Tapi kalau jati dirinya sudah terbuka, harus bagaimana
menghadapinya" Dia begitu mencintai Pui Cie. Kalau tidak ada hutang budi atas
pertolongannya, tentu dia tidak perduli, tapi...sekarang tidak boleh...
Yipha Yauci mendekati Pui Cie, menengadahkan lehernya dan bertanya, "apakah
kau benar tidak membohongi aku?" nafasnya begitu dekat. Suaranya yang
mendesah begitu membingungkan.
Pui Cie pelan-pelan berkata, " Nona Liu, aku harus berkata apa supaya kau baru
per..." perkataaan belum habis, dia merasa tulang rusuknya kesemutan, "bluk" dia
terjatuh, peristiwa lama terulang lagi, tenaga dalamnya sudah tersumbat lagi, hati
dan perasaan Pui Cie tersentak, dia sama sekali tidak berpikir Yipha Yauci bisa
bertindak begitu tiba-tiba, dengan suara yang bergetar dia berkata, "Nona liu,
kau., kau apa-apaan?"
Yipha Yauci ketawa kecut beberapa kali lalu berkata, "Si Baju Ungu, aku telah
membohongimu. Aku menempuh bahaya, menolongmu dikarenakan mau
bertemu Pui Cie. mati hidupmu tidak ada sangkut pautnya denganku, karena kau
tidak menepati janjimu, lebih baik kau kubawa pulang lagi dan kuserahkan
kepada pihak musuh."
Urusan sudah memdesak, rasanya tidak mungkin lagi tidak membuka rahasia
dirinya, kalau tidak ada bukti yang nyata, biar lidah tergantung bunga terataipun
dia tidak akan percaya. Setelah menghela nafas, Pui Cie terpaksa bertanya,
"Nona Liu, apakah kau pernah memdengar sebuah barang yang namanya pil
pengubah rupa?"
Perkataan dari Si Baju Ungu membuat Yipha Yauci menjadi bingung, sambil
mengurut jidat dia berkata, "aku pernah mendengar, apa maksudnya berkata
begitu?" "Aku sedang menyamar!"
"Ow! Kau... benar sedang menyamar?"
"Aku... adalah Pui Cie!"
Yipha Yauci yang berbadan mungil tergetar hebat, dia mundur beberapa langkah,
dengan suara gemetar dia berkata, "Aku tidak percaya!"
"Betul!"
"Suaramu..."
"Berubah karena obat juga!"
"Yipha Yauci melangkah lagi ke hadapannya, meneliti beberapa kali pada Pui Cie,
dengan terharu dia berkata, "Melihat romannya sih mirip. Tapi... tapi aku tidak
percaya!" "Harus bagaimana baru kau percaya ?"
"Yang muncul di Cao Yang apakah rohmu?"
"Ini... perbuatan temanku, dia sengaja berdandan miripku dan menampakan
dirinya dengan maksud untuk mengelabui identitasku."
"Benarkah begitu?"
"Sedikitpun tidak bohong."
"Buktikan padaku!"
Pui Cie memasukkan tangannya ke dalam kantong baju mencari-cari, syukurlah...
dia masih dilindungi oleh Thian, Pil Putih untuk mengembalikan wajah aslinya
tidak hilang, pil itu tidak ikut disita oleh Phei Chen. Pil itu diambilnya lalu langsung
dimasukkan ke dalam mulutnya.
Yipha Yauci yang berdiri di sisi melihat dengan seksama dengan tertegun.
Bulan sudah mulai mnampakkan dirinya dari balik genting kelenteng, cahayanya
menyinari halaman yang terlantar.
Hanya sebentar saja, Yipha Yauci menjadi girang sekali dan berseru, "Benar
ternyata dirimu!"
Pui Cie manghela nafas, "Cepat buka totokan nadiku!"
Yipha Yauci sepasang mata indahnya bersinar-sinar, diam-diam memandangi
muka Pui Cie yang terlihat sangat tanpam, perasaan dan pandangan matanya
yang bergelora hampir tidak terlampiaskankan, lama sekali. Baru bertanya
dengan suara manja, "Perlahan saja, aku mau bertanya dulu sepatah kata
denganmu!"
Yipha Yauci menggigit bibir bawahnya, dengan suara yang bisa mengundang
orang terpesona dia bertanya, "Kau suka aku tidak?"
Hati Pui Cie melayang, lama tak bisa menjawab, saat itu mendadak muncul satu
suara yang amat dingin berkata, "Nona Liu, kau benar-benar tidak tahu malu!"
Pui Cie dan Yipha Yauci bersamaan tersentak, Yipha Yauci menyentak berkata,
"Siapa itu?"
Pui. Cie segera merasa keadaan menjadi tidak beres, dengan suara mendesak
berkata, "Cepat buka totokanku!"
Yipha Yauci juga segera sadar, dia memutar badannya mengulur tangan... dalam
waktu yang bersamaan segulung angin dari telapak tangan yang amat keras
menerjang, Yipha Yauci terdorong sampai beberapa langkah, Pui Cie ikut
terguling ke bawah tangga.
Sesosok bayangan orang muncul dari dalam ruangan kelenteng yang butut itu,
seorang tua berambut putih yang bermuka sadis, sepasang matanya bersinar
seperti aliran listrik.
Yipha Yauci merasa terkejut dan memekik, "Penasihat
Utama!" Orang tua berambut putih itu tertawa terbahak-bahak dan berkata, "Liu Siang E,
tidak disangka kau adalah perempuan yang begitu murahan! Berani sekali
mengkhianati perkumpulan, kalau aku tidak membawa kau pulang untuk dihukum
sesuai dengan aturan perkumpulan, anggota yang lain tentu tidak akan bisa
menerima!"
Muka Yipha Yauci menjadi amat jelek, badannya yang mungil bergoncang keras,
dia mendekati Pui Cie ingin mencoba membuka totokannya, tapi orang tua
berambut putih itu dengan satu tangan mendorong sambil memekik, "Kembali!"
Terdengar suara angin telapak tangan bercampur suara gemuruh, sangat
menakutkan, Yipha Yauci terhempas dan terguling kembali.
Pui Cie cemas sekali, totokannya tidak bisa terbuka, dia tidak bisa menolong
Yipha Yauci, juga tidak bisa menolong dirinya sendiri.
Dalam suara angin yang menderu beberapa puluh orang seperti kilat telah tiba,
mereka segera berpencar mengepung, Ti Kuang Beng juga berada disana.
Diantara orang yang datang ada juga seorang yang seperti orang terpelajar,
begitu masuk Pui Cie langsung dicengkramnya.
Yipha Yauci sekali lagi mencoba memburu.
"Pang", terdengar suara mengaduh, Yipha Yauci sudah dihempas lagi oleh satu
dorongan tangan orang tua berambut putih.
Dua orang pengawal segera maju, kesebelah kiri dan kanan mengapit Pui Cie di
kedua sisi. Pui Cie cemas dan marah bercampur aduk, hampir dia pingsan.
Yipha Yauci segera memetik phipanya.
Suara phipa segera terdengar memekakkan telinga dan mengalun disekitar
tempat itu. Selain si tua berambut putih, semua muka orang ditempat itu menjadi
pucat, suara phipa begitu cepat dan keras, seperti hujan angin tiba, juga seperti
gelombang air laut yang menggulung.
Orang tua berambut putih itu memekik keras, "Hentikan suara phipa bututmu!"
berbareng itu sepasang tangannya mendorong seperti gelombang ganas
memecah pantai.
Terdengar suara mengaduh suara phipa pun berhenti mendadak, tubuh Yipha
Yauci pun kembali terhempas dilantai.
Orang tua berambut putih itu memekik lagi, "Cepat bawa tawanan yang penting
itu, Pengurus Bu, kau yang bertanggung jawab."
Orang terpelajar yang menangkap Pui Cie, segera maju mengapit Pui Cie keluar
pintu kelenteng.
Hati Pui Cie seperti mau hancur, tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa.
Yipha Yauci segera bangun dan duduk lagi, suara phipa yang memekik dengan
keras berbunyi lagi, suaranya lebih kencang lebih memekakkan seperti mau
memisahkan roh orang dari badannya masing-masing, orang tua berambut putih
itu segera memberi perintah darurat lagi, "Semua cepat-cepat mundur!"
Bersama Ti Kuang Beng semua orang mundur keluar, ada tiga orang pengawal
yang tenaga dalamnya masih kurang, langsung bergelimpangan rubuh di tempat
itu. Orang tua berambut putih itu langsung duduk, mengerahkan tenaga dalam untuk
melawan suara phipa.
Pui Cie dibawa kepala cabang Bu ke dalam hutan kira-kira setengah lie dari
kelenteng rusak itu, didalam hutan itu terikat puluhan ekor kuda tunggangan yang
ditunggangi mereka sewaktu datang ketempat itu, kepala cabang bermarga Bu itu
melemparkan Pui Cie di tanah lalu di kat dengan seutas tali, dengan wajah dingin
berkata, "Pui Cie, sekarang kau harus terima nasib!"
Pui Cie tidak peduli dengannya, dia sedang mencari akal untuk menolong dirinya,
pengalaman terakhir yang dia alami adalah dia bisa memakai ilmu istimewa
membuka totokan urat nadi seperti yang tercantum dalam buku pusaka yang tidak
ada taranya, sekarang yang diperlukan hanya waktu saja.
Sebuah bayangan manusia menyelinapi masuk ke hutan itu, segera kepala
cabang Bu menghardik, "Siapa?" "Aku."
"Ow! Pengurus Utama, bagaimana keadaan dalam kelenteng?"
"Penasihat Utama sedang menghadapi si wanita murahan itu."
"Pengurus Utama ada petunjuk apa?"
"Ada perintah rahasia, mendekatlah kemari!"
"Ya!"
Terdengar suara mengaduh keluar, pengurus cabang marga Bu ternyata sudah
jatuh terjungkal.
Pui Cie kaget sekali, kenapa Ti Kuang Beng membunuh orangnya sendiri"
Ti Kuang Beng mendekati Pui Cie, kemudian menggunakan jarinya memutuskan
tali pengikat dirinya dan berkata, "Pui Cie, cepat lari!" Habis berkata begitu dia
langsung pergi.
Pui Cie heran luar biasa, kenapa Ti Kuang Beng membunuh anak buahnya
sendiri dan menolong dirinya" Karena tidak bisa dipecahkan teka-teki ini maka dia
tidak mau banyak memikirkan lagi. Dia harus cepat membuka totokan untuk
menolong dirinya dan Yipha Yauci, dia tidak boleh diam berlama-lama disitu,
kalau ada orang yang datang lagi, bagi dia sama dengan sebuah jalan kematian.
Ilmu silatnya belum pulih tapi tenaga untuk berjalan masih ada. Pui Cie berusaha
berdiri dengan sempoyongan dia meninggalkan tempat ini masuk ke rimbunan
pohon, mencoba membuka totokan.
Didalam kelenteng, orang tua berambut putih itu hampir berhasil mengalahkan
Yipha Yauci, keringat bercucuran seperti hujan, mukanya terlihat pucat.
Muka Yipha Yauci juga terlihat menderita, kedua sisi mulutnya mengalir darah
segar, suara phipa sudah menjadi pelan dan lemas, tenaga dalamnya sudah
terlihat habis.
Kalau dilihat situasi pertarungan, orang tua berambut putih tampaknya
mempunyai tenaga dalam lebih tinggi. Yipha Yauci segera akan mati karena
kehabisan tenaganya. Dia telah mempertaruhkan nyawanya demi Pui Cie, tapi
Pui Cie sejak semula tak pernah menyatakan cinta padanya. Pantaskah dia"
Di luar kelenteng, Ti Kuang Beng dengan puluhan jagoan, merasa suara phipa
sudah hilang kemampuan membunuhnya, mereka beramai-ramai masuk ke
dalam kelenteng, dari jauh-jauh mengurung Yipha Yauci.
Pui Cie telah berhasil membuka totokannya, tenaga dalamnya sudah pulih, tanpa
sadar dia mencopot baju ungunya, langsung terlihatlah baju putihnya, lalu dia
langsung memburu ke dalam kelenteng rusak itu.
Orang tua berambut putih itu bersiul keras, lalu dia berdiri, suara phipa juga sudah
berhenti. Yipha Yauci mennyemburkan darah lagi.
Orang tua berambut putih tenaga dalamnya juga sudah terkuras banyak,
badannya oleng, dengan mengangkat tangan dia berkata, "Bawa pulang
perempuan hina ini ke markas!"
Terdengan suara jawaban, dua orang prajurit dengan langkah besar mendekat ke
tempat robohnya Yipha Yauci.
Tapi tiba-tiba didepan badan Yipha Yauci muncul seseorang yang berbaju putih.
Terdengar seruan kaget muncul disana sini.
"Pui Cie!"
"Pui Cie!"
"Pedang bengisku tidak mengenal ampun!" terdengar suara pekikan, sinar
pedang yang angker memecah angkasa, sesaat kemudian terdengar jeritan yang
memilukan. Satu suara, dua suara... bayangan orang-orang pun berhamburan...
Pui Cie sekali gerak sudah membinasakankan enam orang pengawal, sisanya


Pedang Bengis Sutra Merah ( Tan Ceng In) Karya See Yan Tjin Djin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

segera melarikan diri, Pui Cie membalikkan badannya untuk membereskan orang
tua berambut putih itu, tapi ternyata sudah melarikan diri, dengan geram sampai
mengigit mulut, dia kembali ke sisi Yipha Yauci, begitu melihat, hatinya menjadi
sakit, hampir dia meneteskan air mata.
Orang cantik itu seperti telah menjadi hantu. Yipha Yauci yang terhempas ke
sudut, mulut dan dadanya semua terlihat berwarna merah, bergelimpangan di
lantai, mukanya pucat seperti kertas.
Sekujur tubuh Pui Cie menjadi gemetaran, telinganya berdenging, dengan
gemetar dia memanggil, "Nona Liu, Nona..."
Tidak ada reaksi.
Apakah dia sudah meninggal dunia"
Hanya karena cinta sepihak, bayaran yang dia keluarkan terlalu mahal.
Mata Pui Cie mulai basah, mukanya buram sepasang kakinya menekuk, dia
duduk berlutut dan memanggil dengan suara sedih, "Nona Liu.. kau tidak boleh
mati begitu saja., kau tidak..."
0-0-0 Dapat besar balas kecil
Pui Cie segera mengangkat tangan Yipha Yauci dan memeriksa, terasa nadinya
sangat lemah dan terputus-putus. Apakah bisa hidup masih belum pasti. Karena
lukanya bukan dari luar, tapi karena melawan musuh sampai kehabisan tenaga.
Tangannya begitu halus mulus, empuk seperti tidak bertulang, untuk pertama kali
Pui Cie menyentuh kulitnya. Tapi keadaan itu sedikitpun tidak menimbulkan
pikiran yang bukan-bukan.
Kalau dipikir-pikir terasa aneh sekali, Yipha Yauci pernah melawan dirinya
bersama Phei Cen dan kawan-kawannya, sampai berniat membunuhnya. Tapi
sekarang dia malah bertarung mempertaruhkan nyawanya untuk membela
dirinya. Dulu Pui Cie berniat membunuhnya, tapi sekarang malah berniat
menolongnya. Urusan di kolong langit selalu berubah-ubah dan tidak abadi!
Kalau sampai tidak bisa menolongnya Pui Cie akan menyesal seumur hidup,
sebab dia telah menolong Pui Cie keluar dari cengkeraman Phei Cen sekarang
demi Pui Cie juga dia berada diantara hidup dan mati.
Apa yang harus di perbuat"
Luka semacam ini Pui Cie belum sanggup mengobatinya, kalau bertindak
sembarangan malah akan mempercepat kematiannya, sebab nafasnya sudah
teramat lemah, setiap saat bisa putus. Dan yang pasti Phei Cen segera akan
mengumpulkan lagi jagoan-jagoan dari Shin Kiam Pang. Pui Cie merupakan duri
ditubuhnya, bila tidak bisa membunuhnya hidupnya tidak akan tenang.
Kalau bukan Yipha Yauci terluka parah dan terancam jiwanya, Pui Cie ingin sekali
menunggu mereka kembali. Tapi karena sekarang dia harus menolongnya dia tak
ingin terganggu. Pui Cie bersikap sangat tegas. Pedangnya disimpan. Alat musik
phipa dia pungut dan disandang miring diatas pundak. Lalu dia menggendong
badan Yipha Yauci yang mungil keluar kelenteng menysuri sungai terus pergi.
Bulan begitu indah, tapi hati Pui Cie begitu kelam, dia tidak tahu harus bagaimana
menolong perempuan yang sedang mabuk cinta ini. Badannya yang lemah
berada dalam pelukan. Dia tidak bereaksi apa-apa, seperti sudah mati saja
rasanya. Berlarian kira-kira satu jam Yipha Yauci tetap tidak hidup tidak mati. Sama sekali
tidak ada perubahan.
Kemudian sampailah dia di sebuah cekungan sungai. Air yang mengalir menjadi
satu kubangan besar, disisi cekungan itu ada satu rumah gubuk, dengan tiang-
tiangnya setengah terendam dalam air, kelihatan seperti barak ikan, tubuh Pui Cie
mulai terasa lelah, jika berlari terus juga tidak baik, dengan adanya gubuk ini,
sangat baik untuk tempat istirahat.
Pui Cie menggendong Yipha Yauci mendekat ke dalam gubuk itu, gubuk itu tidak
ada pintu di dalamnya kosong, hanya ada sebuah dipan yang terhampar, rumput
kering yang terhampar diatas dipan itu sudah hancur, tapi kondisinya cukup
memuaskan, segera Pui Cie membaringkan Yipha Yauci di atas dipan itu.
Apa yang harus diperbuat sekarang "Orangnya tidak bisa tidak harus ditolong...
Dalam kerisauan ini membuat keningnya berkeringat, tapi dia tidak bisa berbuat
apa-apa. Dalam keadaan sama sekali tidak berdaya terpaksa dia mencoba-coba
dengan cara yang umum, badan mungil itu dia putarkan kesamping supaya
miring, kemudian dia duduk dipinggir dipan itu, namanya juga dipan hanya ada
sekadar 2 batang kayu sebagai palang diatasnya, tingginya kira-kira setengah
meteran, setelah duduk terasa pas sekali. Pui Cie menjulurkan tangannya
ditempelkan di urat nadi mati hidup, bersiap-siap menyalurkan tenaga dalamnya
supaya Yipha Yauci mendapatkan kembali kesadarannya, kalau dia sudah bisa
siuman, yang lain akan menjadi lebih mudah.
Sewaktu dia mau menyalurkan tenaga dalamnya saat itulah muncul sebuah suara
yang berkata, "Jangan mengusiknya dulu!"
Pui Cie terkejut, segera menarik tangannya dan membalikkan badan, tangannya
juga sudah memegang tangkai pedang.
Seorang sastrawan berbaju biru berdiri di pintu tempat masuk rumah gubuk,
ternyata dia adalah Sastrawan Pengecut.
Pui Cie mendapatkan kebahagiaan dari langit. Tidak tahan berkata, "Adik Hu!
Bagus sekali kau datang!" i
Bo Ta Su Seng lihat ke dalam ruangan, memandang Yipha Yauci dan berkata,
"Siaute mendengar Shin Kiam Pang sedang mengumpulkan jagoan-jagoannya
untuk mengepung twako kemari, semua kejadian itu siaute tahu!"
"Oh!"
"Twako tahukah siapa orang tua berambut putih yang melukai dia?"
"Siapa?"
"Penasihat Utama Shin Kiam Pang namanya Mei Ang San, bergelar Thong Tih
Chiu (Tangan mencapai langit)."
"Dewa Ling Nan ini kungfunya tidak kalah dari almarhum gurumu, paling lebih
rendah sedikit saja." "Darimana dia?"
"Em! Aku nanti akan membikin perhitungan dengannya. Barusan adik Hu
mencegah..." "Ya! Jangan apa-apakan dia!" "Kenapa?"
"Dia melawan Mei Ang San dengan suara phipanya, karena tenaga dalamnya
kalah setingkat, jadi melukai dirinya sendiri, aku mencuri dengar si tua itu berkata,
darahnya sudah mengalir berbalik arah sehingga menggempur jantungnya.
Dewapun tak akan sanggup menolongnya..."
Pui Cie membelalakkan matanya, berkata dengan gemetar, "Kalau begitu kita
harus bagaimana?"
Kata Bo Ta Su Seng, " Keadaan darurat begini mau mencari tabib sakti sangat
susah. Hanya satu cara..."
"Cara apa?"
"Mohon pertolongan suhunya!" "Suhunya?"
"Ya. Yipha Yauci yang tulen." "suhunya tinggal dimana?" "Thi Ceng Tong!"
"berapa jauh jaraknya dari sini?"
"Siang malam tanpa berhenti, dua hari dua malam sampai!"
Pui Cie menarik nafas dalam-dalam, dengan menggeleng-gelengkan kepalanya
berkata, "Dia tak bisa menunggu begitu lama!"
Kata Bo Ta Su Seng, "Tapi tidak ada jalan lain!"
Pui Cie dengan susah berkata, "Kuatkah dia menahan goncangan selama dua
hari dua malam?"
Bo Ta Su Seng mengerutkan alisnya berpikir keras, "Begini saja, aku pergi
menemui suhunya, twako tetap disini menunggu, dalam empat hari aku pasti
kembali. Selain ini tidak ada jalan lain, aku punya beberapa butir pil untuk
menjaga jantung dan nadi supaya jangan melemah. Sehari satu butir, semoga dia
tahan sampai aku kembali."
Dengan gugup Pui Cie berkata, "Apakah suhunya pasti bisa menolongnya?"
Bo Ta Su Seng menjawab, "Sepertinya dia sanggup, aku pernah mendengar
orang tua itu berkata, "Yipha Yauci yang asli adalah kakak seperguruannya Kong
Sun Bo Wei, seorang yang ahli dalam ilmu pengobatan yang mempunyai gelar
Tangan Suci, jadi dia pun pasti paham ilmu pengobatan."
Pui Cie menggigit mulutnya berkat, "Kalau begitu jalankan saja rencana kita!"
Bo Ta Su Seng mengeluarkan empat butir pil kepada Pui Cie, sesudah itu dia
berkata lagi, "Aku bawa phipanya sebagai bukti!"
Pui Cie mengangguk, "Baik, kalau... dia sampai tidak bisa disembuhkan, phipa ini
sama dengan kembali ketangan pemiliknya."
Bo Ta Su Seng mengambil phipa itu dan berangkat.
Pui Cie mengantar Bo Ta Su Seng, setelah itu dia segera balik ke sisi dipan,
memberi satu butir pil ke dalam mulut Yipha Yauci, diusapnya urat nadi leher
supaya pil itu lancar turun ke perut.
Empat hari betul-betul waktu yang cukup lama, apa boleh buat, dia harus
menunggu, yang sangat dikuatirkan adalah apakah dia bisa bertahan selama
empat hari"
Bulan dan bintang mulai menghilang. Langit sudah memutih. Angin yang bertiup
membuat badan terasa dingin. Pui Cie tiba-tiba terpikir masalah makanan selama
empat hari ke depan, dia sama sekali tidak boleh meninggalkan.tempat ini. Dan
gubuk ini bukan tempat yang tidak bertuan, hari sudah terang si pemilik gubuk
pasti datang, rahasia tempat dia bersembunyi apabila sampai diketahui oleh kaki
tangan Shin Kiam Pang akan banyak mendapat kerepotan, disekitar ini adalah
hutan belantara yang belum dibuka, kalau dia berganti tempat terlalu jauh,
Bagaimana bila Bo Ta Su Seng kembali "
Hari sudah terang, Pui Cie mencelupkan sapu tangannya dengan air sungai,
kemudian membersihkan bercak darah di mulut Yipha Yauci agar bersih.
Matahari sudah terbit, dipermukaan sungai tampak seperti sisik emas berkilauan.
Dalam suara riak air sungai terdengar suara mengayuh perahu, dengan perlahan-
lahan mendekat ke gubuk yang ditempati Pui Cie.
Pui Cie menjulurkan kepala memandang kepada sebuah perahu yang sudah
sampai di tiang gubuk tersebut, seorang tua berbaju hitam dengan topi hijau
sedang mengikatkan perahunya. Pikiran Pui Cie secepat kilat berputar,
"Bagaimana mengatur cerita kepada nelayan ini?"
Nelayan tua setelah menambatkan perahunya dia meloncat ke atas tiang,
menutar badan lalu masuk kedalam. Begitu dia melihat apa yang berada didalam
dia memekik, "Siapa kalian...kenapa begini...?"
Pui Cie mau berkata...
Nelayan tua itu memutar kepalanya memandang Pui Cie, mukanya tiba-tiba
berubah, mulut dan jenggotnya terus bergetar.
Pui Cie membungkukan badannya dan memberi hormat, dengan tidak perasaan
tidak enak bertanya, "Apakah gubuk ikan milik bapak?"
Nelayan tua itu mengangguk dan berkata, "Ya, gubuk ini punyalu." Pandangannya
seketika berubah ketika memandang Yipha Yauci yang berada diatas dipan.
Pui Cie dengan malu-malu dan tertawa berkata, "Maaf, aku tadi liwat didaerah sini
karena kemalaman jadi..."
Nelayan tua dengan wajah dingin memotong perkataan Pui Cie, "Wanita ini
siapamu?" "Sahabat!"
"Ada apa dengannya?" "Dia... sedang sakit!"
"Sakit"... bukan, di badannya ada noda darah..." "Oh! Ini... dia terluka."
"Baiklah kalian istirahatlah, tidak apa-apa, aku harus pergi memasang jala."
"Terimakasih pak!"
Nelayan tua itu memutar badannya, lalu membuka tali dan pergi.
Pui Cie menghela nafas, lalu memandangi Yipha Yauci terlihat kaki dan
tangannya bergetar berapa kali, mulutnya buka tutup seperti mau berkata-kata.
Pui Cie cepat-cepat mendekat dan memanggil, "Nona Liu, nona liu..."
Yipha Yauci mengeluarkan suara seperti mimpi, "Aku... apakah aku sudah mati?"
suaranya lemah dan kecil seperti suara nyamuk.
Pui Cie terduduk dilantai dan berkata, "Nona Liu, kau belum mati, aku., sudah
menyuruh orang pergi mencari tabib."
Kulit mata Yipha Yauci bergerak-gerak, lalu membuka, sepasang mata yang lesu
berhenti di muka Pui Cie, lama sekali baru mengeluarkan suara, "Kau... kau Pui
Cie?" "Iya!"
"Phi.. phipa..." "Phipa kenapa?" "dalam... ada obat.."
hati pui cie tergetar. Dengan suara cemas berkata, "Didalam phipha ada obat?"
Dengan suara lemah sekali Yipha Yauci berkata, "Ya, ada obat., pil ajaib...
perguruanku... yang membuat."
Tercenganglah Pui Cie, bagaimanapun juga dia tdak berpikir di dalam phipa ada
obat yang tersembunyi, sekarang barangnya sudah dibawa Bo Ta Su Seng
sebagai barang bukti. Orangnya juga sudah berada beberapa puluh mil jauhnya.
Tak mungkin dikejar kembali, bagaimana" Kalau sampai dia tidak tertolong, siapa
yang berdosa"
Yipha Yauci seperti merasakan ada yang kurang beres, dengan susah
berkata,"Phipanya... hilang?"
Pui Cie dengan muka susah berkata.'aku melihat luka nona sangat parah sudah
tidak ada jalan, kebetulan sahabatku datang, maka... aku minta tolong membawa
phipa sebagai bukti untuk mencari gurumu menolongmu. Ini..."
Bibir Yipha Yauci yang pucat terus bergetar, matanya membuka dan menutup
berkata, "Celaka! Guruku... sudah meninggal..."
Seperti petir di siang hari bolong seluruh badan Pui Cie gemetaran, suaranya juga
bergetar, "Gurumu telah meninggal?" "Ya!"
"Ini... bagaimana bagusnya" sahabatku dalam empat hari baru bisa kembali..."
"Empat... hari?"
Ya! Sekarang nona merasa bagaimana?"
"Saya... tak bisa bertahan empat hari. Lukanya terlalu parah, aku., sudahlah, ini
mungkin sudah nasib... aku tidak menyalahkanmu, tempat apa ini?"
"Sebuah gubuk ikan di pinggir sungai Tang."
Sekian lama Yipha Yauci terdiam, dengan tersendat-sendat dia berkata, "Kamu...
mau menemaniku... sampai detik-detik terakhir?"
Pikiran Pui Cie kalut, dia tidak bisa begitu saja membiarkan Yipha Yauci mati, tapi
dia tidak punya cara yang lain untuk menolongnya, setengah berteriak berkata,
"Nona Liu, aku., bagaimana juga ingin kau tetap hidup!" mukanya tampak
berkerut dengan sedih melanjutkan, "Kau bisa, kau pasti bisa tunggu sampai
sahabatku pulang."
Tidak... aku tahu, aku... tidak bisa bertahan satu hari
lagi!" "Aku bisa menolongmu dengan tenaga dalam..." "Tidak mungkin, aku... tidak bisa
menerima tenaga dari luar, jantungku bisa terguncang... bisa putus."
"Begini... nona Liu, aku akan menyesal seumur hidup."
"Jangan menyalahkan diri sendiri, ini... nasib!"
"Kalau bukan demi menolongku, kau takkan menjadi
begini." "Sudah nasib, waktu itu aku... tidak boleh menotok urat nadimu, kejadiannya
terlalu cepat, aku... tidak sempat membuka totokanmu, aku kira kau sudah
terkena musibah. Yang salah... seharusnya aku."
"Nona..."
"Kau... bisakah kau merubah... panggilan padaku!"
Mata Ku Cie memerah, digenggamlah sepasang tangan halus itu, dengan amat
terharu berkata, "Siang E, adik E., aku.."
Dalam mata yang buram muncul secercah cahaya kegembiraan, juga tersungging
senyum kebahagiaan. Di waktu biasa senyum ini sangat menawan, tapi sekarang
terlihat amatlah menyedihkan. Yipha Yauci berusaha bersemangat berkata,
"Kakak Cie, aku., harap... bisa meninggal dalam pelukanmu., aku., tidak
penasaran lagi aku marasa puas. Aku... tidak pernah mencintai orang lain, juga
tidak pernah benar-benar dicintai seseorang. Sebab., aku Yipha Yauci.
Katakanlah bahwa kau juga mencintaiku, agar aku bisa membawa kata-kata ini...
masuk ke liang kubur!"
Pui Cie ingin sekali nangis sekeras-kerasnya.
Tiba-tiba muncul sebuah bayangan mungil di depan
mata. Begitu Pui Cie mengangkat kepalanya, hati Pui Cie terhenyak, yang datang
ternyata adalah istrinya, Hie Ki Hong. Terlihat mukanya serius, sorotan matanya
penuh dengan rasa cemburu.
Kenapa dia bisa datang kemari"
Dengan gereget Hie Ki Hong berkata, "Pui Cie, tidak disangka kau adalah
seorang yang hina dan tidak tahu malu. Kau..."
Pui Cie melepaskan tangan Yipha Yauci, dia berdiri. Pelan-pelan angkat bicara
dengan sangat terpaksa, "Ki Hong, kalau bicara jangan keterlaluan!"
Hie Ki Hong geram sampai geregetan, dengan keras berkata,"Mau bagaimana"
Apa aku harus menyanjungmu" menyebutmu jagoan yang romantis" Sebut
kau..." "Ki Hong..."
"Aku benci dirimu, benci dirimu!" "Teruskan kebenciannya!"
"Aku akan membunuhmu dulu bani perempuan murahan..."
"Ki Hong, kau tidak boleh..."
"Sakit hatimu" Kau tidak rela dia mati?" seraya mengangkat tangan halusnya.
Pui Cie cemas dan marah, dengan memekik keras dia berkata, "kau tidak boleh
mengusiknya!"


Pedang Bengis Sutra Merah ( Tan Ceng In) Karya See Yan Tjin Djin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hie Ki Hong terengah-engah berkata, "Bunuhlah aku dulu kalau mau mencegah!"
Karena terganggu keributan, Yipha Yauci pingsan lagi.
Pui Cie menggigit mulut berkata, "Dia terluka begini berat adalah demi diriku, dia
sudah menolong nyawaku, tentu saja aku harus mengurusnya."
"Memalas budi dengan dirimu?"
"Terserah!"
"Kau mau mengaku aku sebagai istrimu?" "Aku tidak pernah menyangkal!"
"Dimana tanggung jawabmu?"
"Itu adalah urusan belakangan, sekarang aku mau menolong orang dulu."
"Aku mau kau jelaskan dulu!" "Tidak bisa!"
"Baik!" tangan yang halus melayang kepada Yipha Yauci yang tidak sadarkan diri.
Buat Yipha Yauci, sekarang jangankan terkena pukulan tangan, terkena jari
telunjuk saja nyawanya bisa melayang. Tidak sempat untuk berpikir, Pui Cie
menghalangi dengan badan.
"Plak!" tamparan tangan Hie Ki Hong mengenai dada Pui Cie, dia terjungkal
hampir menindih badan Yipha Yauci. Dengan sekuat tenaga Pui Cie menahan
dirinya, tapi mulutnya sudah mengeluarkan darah.
Hie Ki Hong menjerit, "Kau tidak menyayangi nyawamu untuk melindungi
perempuan yang tak tahu malu ini?"
Pui Cie menghapus bercak darah di mulutnya dengan mata terbelalak berkata,
"Jangan terlalu mendesakku!"
"Bagaimana, apa., kau mau membunuhku?"
"Aku tidak mengijinkan kau melukainya."
"Kau mencintai dia begitu dalam?"
"Ini adalah moril, manusia memiliki prikemanusiaan. aku tidak akan membiarkan
dia mati karenaku."
Tiba-tiba muncul tiga bayangan manusia secara berbarengan, yang satu adalah
nelayan tua, yang dua lagi adalah pelayan Hie Ki Hong, hati Pui Cie masih curiga.
Siapakah nelayan tua ini"
Nelayan tua itu berkata, "Majikan muda jangan keliwat emosi. Berkatalah pelan-
pelan." Mata Hie Ki Hong memerah, berkata, "Tetua Han, anda jadi saksi, aku mau orang
yang tidak berbudi ini memberi penjelasan."
Pui Cie terkejut, tidak disangka nelayan tua ini adalah Han Shi Wei. Satu di antara
8 tetua San Chai Mui. Dia pernah mendengar 8 tetua itu tapi belum pernah
melihat orangnya. Ternyata gerakan San Chai Mui cukup rahasia.
Han Shi Wei memandangi Pui Cie dengan sorotan mata yang aneh berkata,
"Tuan, Tuan berbuat begini., apakah pantas?"
Pui Cie mendesah lalu berkata, "Tetua Han, seorang lelaki harus bisa
membedakan budi dan dendam dengan jelas. Jangan terlalu terdesakku."
Hie Ki Hong marah sekali, berkata, "Pui Cie jelaskan padaku, sepatah kata saja
sudah cukup." Terpancing juga rasa marah dihatinya, Pui Cie dengan suara kecut
berkata, "Bagaimana jika kau jelaskan masalah Li Se Kian?"
Hie Ki Hong terhenyak, dengan keras berkata, "Kau masih belum bisa melupakan
masalah Lie Se Kian?"
"Tentu tak bisa dilupakan begitu saja, bukankah aku sudah kawin pula
dengannya."
"Kau..."
"Kamu pulang tanyakan kepada ayahmu, bagaimana meninggalnya ibumu?"
Hie Ki Hong kaget sekali, dia sampai mundur tiga langkah kebelakang, dengan
memekik berkata, "Pui Cie, apa artinya perkataanmu ini?"
Pui Cie dengan wajah dingin berkata, "Tanyakan saja kepada ayahmu, beliau
pasti akan memberimu jawaban yang memuaskan."
Hie Ki Hong merasa marah sampai berobah mukanya. Dia menghentakkan kaki
memutar badannya langsung pergi. Dua pelayannya mengikuti. Nelayan tua yang
bermarga Han tetap diam di tempat, mukanya cemberut. Pui Cie menggeleng
kepala kemudian melihat kepada Yipha Yauci yang tertutup sepasang matanya.
Di sudut matanya mengambang dua butir air mata. Entah masih pingsan entah
sudah siuman. Pui Cie menarik napas panjang, memanggil dengan suara halus,
"Siang E!"
Yipha Yauci pelan-pelan membuka mata, lalu menutup lagi, dengan suara
bergumam berkata, "Aku... rasannya sudah tidak kuat ber...napas... sudah tidak
kuat." Hati Pui Cie merasa sedih dan berkata, "Siang E, kau harus bertahan, kau
jangan.." Dia tidak sanggup meneruskan. Saat ini yang ingin dia pikirkan adalah
hidup matinya Yipha Yauci yang lain tidak perduli.
Han Shi Wei pelan-pelan bertanya, "Tuan anda sudah tidak mau Majikan muda?"
Pui Cie angkat kepala, "Tetua Han, pertanyaanmu harus ditanya oleh tetua
perguruan." Habis bicara pandangannya balik lagi ke Yipha Yauci, hatinya kacau
betul. Han Shi Wei berkata lagi, "Tuan muda, aturan suami istri termasuk ke lima
hukum, harap anda ingat."
Pui Cie bukan tidak tahu, dia bukan orang tidak berbudi, kebahagiaannya dengan
Li Se Kian menjadi hilang karena ketua San Chai Mui telah memakai cara keji
menjodohkan perkawinannya. Kemarahannya belum bisa hilang sampai sekarang
dan tidak bisa dilupakan, dia mengambil sikap begini kalau diurut dari asalnya,
Hie Ki Hong tidak salah, dia juga perempuan yang jadi korban. Dengan sikap
dingin dia berkata, "Tetua tahu asal mula masalah ini?"
Han Shi Wei pelan-pelan berkata, "ini., aku..."
Pui Cie manghembuskan napas dari hidungnya, "Kalau begitu aku tidak usah
bicara lagi."
Tiba-tiba Han Shi Wei menunjuk kekejauhan berkata, "Ada yang datang,
sepertinya orang dunia persilatan!"
Hati Pui Cie kaget, Cepat dia melihat kearah yang di tunjuk, Terlihatlah beberapa
orang sedang menyusur jalan setapak menuju ketempatnya. Ada yang
dipundaknya memikul barang, ada pula yang punggungnya memanggul barang.
Seperti tukang jual beli mau ke pasar, dengan sendirinya Pui Cie bertanya,
"Bagaimana tetua tahu mereka orang persilatan?"
Han Shi Wei dengan tangan mengusap jenggot putihnya, berkata, "Tidak akan
salah, dalam radius lima lie semua orang-orang itu berkumpul, mungkin ada
maksudnya."
Hati Pui Cie mengerti, tetua San Chai Mui, Han Shi Wei disini menyamar sebagai
nelayan, sudah tentu mereka disini mempunyai cabang perkumpulan yang
rahasia. Dia pasti sudah dapat berita dari anak buahnya, melihat penanpilan
orang yang datang, kemungkinan besar mata-mata Shin kiam Pang yang sedang
mencari dirinya dan Yipha Yauci. Dia tidak mau terganggu juga tak mau didekati.
Setelah dia berpikir dan memutuskan, dia memandangi Han Shi Wei bertanya,
"Apakah tetua bisa tolong menjagakan nona ini?" '
Han Shi Wei mengangguk, "Boleh, bagaimana tuan
muda?" Pui Cie berkata, "Kalau pihak lawan datang mencariku pasti banyak jago-jagonya,
aku harus melawannya." Dia membalik wajahnya melihat Yipha Yauci, berkata,
"Siang E, kau istirahatlah. Aku pergi sebentar!"
Menyesal Seumur Hidup
Yipha Yauci hanya berputar bola matanya, tapi tidak berkata apa-apa.
Orang yang datang jaraknya bertambah dekat.
Pui Cie tidak berani lengah, segera pergi dari sisi gubuk menyusuri sungai yang
beralang-alang lebat, berjalan membuat setengah lingkaran, memutar menuju ke
ujung jalan kecil dibagian sana, dengan sengaja memekik dengan keras, "Pa
Kiam ( Pedang Bengis )tidak ada ampun."
Pekikan keras ini bisa terdengar sampai setengah lie jauhnya, rombongan yang
penampilannya seperti pedagang menjadi kalang kabut, beramai-ramai berlari
kembali secara terpencar, selanjutnya tanda api roket yang mengudara, terbukti
mereka betul mata-mata.
Pui Cie matanya memeriksa sekelilingnya, dia menemukan sebuah bukit kecil di
kejauhan yang menyolok sekali. Dia merasa disana jauh dan lebih baik dari gubuk
ikan. Maka tanpa ragu-ragu lagi dia lari menuju bukit itu. Berdiri di ketinggian bukit
dengan baju putih yang disorot sinar matahari, sehingga dari jauhpun bisa terlihat.
Terdengar suara keluar dari balik bukit tempat dimana Pui Cie berdiri, "Pui Cie,
kau masih mau melawan?"
Diam-diam Pui Cie kaget sekali, pelan-pelan dia memutar badannya. Begitu
memandang, hati bergetar keras, di dalam semak-semak pohon dibalik bukit,
berdirilah seorang terpelajar setengah baya, ternyata dia adalah Pengurus Utama
Shin Kaim Pang Kui Si Chai Ti Kuang Beng. Dalam hatinya timbul nafsu
membunuh, tapi berhasil ditekan kembali, terpikir olehnya, tadi malam di dalam
hutan, di luar kelenteng, Ti Kuang Beng telah membunuh seorang kepala cabang,
dan melepas dirinya kabur, teka teki ini masih belum terpecahkan, spontan dia
bertanya, "Pengurus Utama, aku mau bertanya satu masalah.."
"Masalah apa?"
"Semalam di dalam hutan, sewaktu aku terikat..." "Jangan menyinggung urusan
itu lagi." "Kenapa?"
"Kau tentu bisa berpikir posisiku."
Perkataan tidak jelas membuat Pui Cie bingung, ketika di pegunungan pinus dia
ikut memukul jatuh Pui Cie ke dalam jurang, tapi tadi malam menolong dirinya
dengan mengkhianati perkumpulannya musuh atau bukan susah dibedakan.
Kenapa" Apakan dia yang diam-diam melemparkan batu ke dalam jurang untuk
menolong dirinya juga"
Ti Kuang Beng berkata lagi, "Jago-jago yang mau mengepungmu segera tiba, kau
sebaiknya bersiap-siap. Aku tak bisa banyak bicara, oya, bagaimana nasib Yipha
Yauci?" Pui Cie spontan menjawab, "Dia masih hidup."
"Dimana orangnya?"
"Maaf, aku tak bisa beritahu."
"Dengar, kalau kau bisa membunuh penasihat utama si Tangan Mencapai Langit'
Mei Ang San, dari badannya kau mendapatkan sebuah pusaka ajaib yang
merupakan hadiah pangcu sebagai imbalan dia membantu pekerjaan
perkumpulan, setelah berkata begitu dia segera menghilang.
Pui Cie terharu sekali, pusaka apa yang berada di badan si tua itu" Tapi dia tidak
bisa berpikir lama, karena dalam waktu sekejap saja telah ada seseorang
mendekat, yang pertama naik ke bukit itu adalah Thong Tih Ciu, si Tangan
Mencapai Langit.
Pui Cie berdiri kokoh seperti gunung, dengan mata melotot melihat pihak
lawannya. "Ha.. Ha.. Ha...! Pui Cie, akhirnya kutemukan juga dirimu!" Thong Tih Ciu ketawa
sinis. Pui Cie dengan sikap dingin berkata, "Orang yang bermarga Mei, kau membantu
orang berbuat kejahatan, apa benar-benar tidak takut hukumannya!"
Seketika pihak lawan yang lain berangsur-angsur tiba, mereka mengurung bukit.
Ti Kuang Beng juga datang kembali.
Pui Cie memandang semua orang yang mengepung, terutama lama sekali
memandangi Ti Kuang beng.
Thong Tih Ciu dengan mata berbinar berkata, "Pui Cie, perempuan hina yang
main phipa itu sudah dikubur?"
Pui Cie tertawa dengan sikap dingin berkata, "Dia baik-baik saja sedang mencari
waktu untuk membalasmu! Sayang dia sudah tak ada kesempatan lagi, sebab Pa
Kiam ku sudah tidak tahan ingin meminum darahmu, tua bangkai"
Thong Tih Ciu dengan murka berkata, "Jangan terlalu sombong! Hari ini aku akan
membawa kepalamu pulang." <
Pui Cie menyungging bibirnya sambil mencibir, "apakah cukup tajam pedangmu?"
Thong Tih Ciu melotot, "Silahkan coba, nanti kau bisa tahu pedangku tajam atau
tidak." "Chiang!" dengan suara keras kedua belah pihak telah mencabut pedang. "Pa
Kiam tidak ada ampun!" itulah kebiasaan Pui Cie memekik.
Kedua belah pihak mengambil posisi, memasang kuda-kuda. Juga mengeluarkan
pedang menunggu kesempatan bagus. Pui Cie berpikir cepat, "Orang Tua ini
menjabat sebagai Penasihat Utama pasti kungfunya hebat sekali, sudah terbukti
sewaktu dia melawan Yipha Yauci di kelenteng. Pertarungan kali ini adalah
melawan jago-jago, jangan berlama-lama lebih cepat lebih baik." Sesudah berpikir
begitu dia memekik. Pa Kiamnya dengan segala kecepatan dan keganasannya
telah disabetkan.
Saat Pui Cie mau mennyabetkan pedang, keadaan di lapangan sudah amat
menegangkan. Dalam suara beradunya besi dengan besi ke dua belah pihak yang sudah
menjauh, mendekat lagi.
Kepandaian pedang Thong Tih Chiu amatlah tinggi, seimbang dengan
kemampuan Pui Cie, sudah tiga jurus belum jelas siapa menang atau kalah, Pui
Cie melakukan pertarungan kilat supaya cepat selesai. Dia memekik lagi
dikeluarkanlah jurus-jurus istimewa Pedang bengisnya. Dalam suara besi beradu
yang begitu kerap, Thong Tih Chiu, sudah mundur tiga langkah besar. Pui Cie
seperti bayangan mendesak terus, sebuah jurus mematikan dilancarkan.
Terdengar suara ,"Sssett!" lengan baju Thong Thih Chiu sudah robek besar darah
pun bercucuran.
Bisa menghadapi dua jurus maut Pedang Bengis tanpa cedera pertanda ilmunya
cukup hebat. Thong Tih Chiu yang menjabat sebagai Penasihat Utama di jurus kelima dia mulai
merasa terdesak, karena merasa malu, dengan memekik kuat, dia menyerang
dengan sebuah jurus aneh yang amat keras. Pui Cie dengan sekuat tenaga
melawan serangannya dengan pukulan, dalam hembusan angin yang menderu
dan kilauan pedang, dua belah pihak terdorong mundur lagi.
Ada dua buah pedang panjang mengunakan kesempatan ketika Pui Cie mundur,
menyerang dari samping.
Pui Cie segera membalikan pedangnya kembali menyapu, terdengar suara
mengaduh. Seorang korban yang membokong roboh. Yang satunya lagi
pedangnya putus menjadi dua. Secepat kilat dia mundur.
Dengan ada bantuan anak buahnya meskipun hanya sekejap saja. Thong Thih
Chiu kembali dapat menyerang secara cepat dari depan.
Dalam suara yang hiruk pikuk jagoan-jagoan yang lain semua terjun kedalam
kancah petarungan dengan mengeroyok. Pui Cie dengan pedangnya
melancarkan kepada Thong Tih Chiu, dia tidak berani lengah sedikitpun.
Badannya berputar mengikuti arah Pa Kiamnya kembali, ada seorang tua tepat
terkena tajamnya pedang, dengan mengeluarkan suara menjerit kepalanya telah
melayang. Thong Tih Chiu menggunakan kesempatan itu menyerang lagi dengan lebih
dahsyat. Pui Cie merobah siasat cara lain, badannya cepat berputar tidak pedulikan Thong
Tih Chiu, dia menyerang orang yang mengeroyok, mengerikan sekali seorang lagi
terjungkal sudah tiga orang pengawal yang mati konyol.
Karena ada perbedaan tenaga dalam yang besar, kerja sama yang tidak teratur.
Yang membantu mengeroyok malah menggangu serangan Thong Tih Chiu.
Pui Cie sengaja mengubah-ubah posisinya. Dia bermaksud menghilangkan dulu
tekanan-tekanan yang membantu menyerangnya, ini adalah siasat yang paling
pintar. Darah mengalir lagi.orang yang mengeroyok menjadi
gentar. Ti Kuang Beng ikut menyerang dari sisi, meskipun ilmunya di bawah Thong Tih
Chiu tapi tidak bisa dipandang remeh. Pui Cie cepat-cepat menggunakan
kesempatan sebelum Thong Tih Chiu tiba, sekuat tenaga dia menyerang Ti
Kuang Beng, Pui Cie sebenarnya tidak bermaksud membunuhnya, tapi tetap
harus menghadapinya.
Dalam suara besi yang beradu keras, Ti Kuang Beng mengaduh, dirinya cepat-
cepat mundur, dada kanannya telah berdarah.
Terlihat serangan pedang Thong Tih Chiu menggulung. Pui Cie menghadapi
dengan sekuat tenaga.
Sekarang yang bantu mengeroyok tersisa tiga orang, tidak ada kesempatan bagi
mereka menyerang karena ilmu mereka yang terbatas.
Siapapun tidak ada yang tahu bahwa Ti Kuang Beng berpura-pura, tapi dia
memang mendapat cedera yang tidak ringan, dia terduduk disitu.
Pa Kiamnya Pui Cie dahsyat sekali, serangannya yang bertubi-tubi membuat
Thong Tih Chiu kalang kabut, maut terus mengintainya. <
Tiba-tiba Thong Thih Chiu mengundurkan diri keluar dari lingkaran pedang.
Pedangnya dimasukkan dalam sarung, sepasang telapak tangan mengibas,
rambutnya putih beterbangan mendadak menghempas, timbul angin yang sangat
keras bergulung-gulung.
Pui Cie segera menghindar kesamping.
Terdengar suara jeritan yang memecahkan keheningan, dua orang pengawal
yang berada di belakang Pui Cie, menjadi korban tergulung angin, terbang
meninggalkan tanah, terhempas belasan meter jauhnya, mengikuti lereng gunung
menggelinding jatuh ke bawah.
Thong Tih Chiu telah salah membunuh orangnya sendiri. Dia menjadi marah
besar.

Pedang Bengis Sutra Merah ( Tan Ceng In) Karya See Yan Tjin Djin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pui Cie setelah menjauh sekarang membawa pedangnya masuk lagi ke
gelangang. Thong Tih Chiu setelah menarik lagi sepasang telapak tangannya,
kembali menyerang diri Pui Cie,ternyata ilmu telapak tangannya lebih hebat dari
permainan pedangnya.
Ini adalah bukan pertarungan silat atau mengadu tenaga, tentu saja Pui Cie tidak
mau melayani keras lawan keras, badan menepi dan menghindar lagi dari
serangan lawan, tapi karena menghindar terus badannya menjadi tidak mantap,
terdorong oleh pukulan yang terus-menerus, sampai kepalanya terasa pusing.
Tenaga telapak tangan Thong Tih Chiu memang dahsyat, tapi tenaga dalam yang
terkuras juga tidak sedikit, dia akhirnya berhenti dengan terengah-engah, waktu
yang sesaat ini bagi orang ahli seperti Pui Cie merupakan kesempatan untuk
menyerang. Pedang berkilau di bawah sorotan matahari seperti satu rambang kilau
mengurung Thong Thih Chiu.
Thong Tih Chiu mencoba melayangkan tangannya, sayang tenaganya belum
sempat keluar dengan sempurna kilauan pedang sudah tiba, satu suara jeritan
terdengar dia sudah terdorong mundur tujuh delapan langkah, baju bagian
dadanya sudah sobek, darahpun bercucuran.
Pui Cie mengayunkan pedang, menyerang lagi...
Thong Tih Chiu meluncurkan badannya cepat-cepat melarikan diri, lari menuruni
bukit. Ti Kuang Beng diam-diam juga sudah kabur.
Pui Cie memekik,"Mau lari kemana?" dia menggerakankan badannya cepat-cepat
mengejar Thong Thih Chiu, hanya dua kali loncatan dia sudah menghadang di
depannya. Pedangnya segera digerakkan lagi. Pui Cie memang punya keinginan
memusnahkan semua tenaga yang membantu Phei Cen.
Untung Thong Tih Chiu tersandung batu sehingga terguling sepuluh meteran
jauhnya, begitu bangun lagi dan dia cepat-cepat melesat kabur.
Tiba-tiba Pui Cie melihat di tanah ada sebuah bungkusan barang, dia teringat Ti
Kuang Beng pernah berkata di badan Thong Thih Chiu ada sebuah pusaka,
cepat-cepat dipungut bungkusan itu, ketika mengangkat kepala lagi, Thong
Tih Chi sudah kabur entah kemana. Dia menghela nafas, begitu barang itu dia
buka, matanya menjadi terbelalak, isinya ternyata adalah sebilah Giok Ju Yi.
Pui Cie terharu sampai bergetar, Giok Ju Yi tidak salah lagi terjatuh dari badan
Thong Tih Chiu. Phei Cen tidak sayang memberikan Giok Ju Yi demi
mendapatkan bantuannya. Ayah Bo Ta Su Seng gara-gara Giok Ju Yi sampai
diusir dari perguruannya, pada akhirnya mati di depan lembah pertapaan Bo Yu
Sien Ce. Dengan hasil yang diluar dugaan ini, telah meringankan banyak pekerjaan, janji
pada Bo Yu Sien Ce sudah terlaksana.
Dimainkannya Giok Ju Yi itu, hatinya riang bukan
main. Di kejauhan asap hitam mengepul, Pui Cie angkat kepalanya melihat, tempat
asap mengepul itu tepat di gubuk tempat Yipha Yauci bersembunyi, dia tersentak,
hatinya berdebar-debar, Giok Ju Yi segera disimpannya dia langsung memburu
ke gubuk itu. Betul saja gubuk ikan itu sudah terbakar. Saat ini sudah memjadi gumpalan api
yang besar, mata Pui Cie berkunang-kunang, dia mempercepat langkah
mendekat. Gubuk itu setengahnya sudah roboh ke dalam air. Api masih menyala, gubuk
terbakar hampir habis sama sekali tidak bisa ditolong, apalagi ini sudah terlambat.
Pui Cie berdiri terpaku dan gemetaran.
Tumpukan kayu sudah terbakar habis, sisa kepulan asap tertiup angin sungai. Pui
Cie seperti bangunan tinggi kehilangan topangan., rohnya terasa melayang-
layang. Siapa yang membuat kebakaran ini" Bagaimana hidup dan matinya Yipha Yauci
dan tetua Han" Tiba-tiba tercium bau tutung daging terbakar, menyengat hidung,
badan Pui Cie menjadi seperti yang kedinginan. Apakah... dia tidak berani
memikir lagi. Memandangi puing-puing yang tersisa ternyata ada dua bangkai tutung manusia,
rambut dan baju tidak tersisa, mukapun sudah tidak bisa dibedakan, entah wanita
entah ^laki-laki.
Saat ini pikiran Pui Cie menjadi kosong, perasaan apapun tidak ada. Langit dan
bumi seperti berputar, badannya menjadi bergoyang-goyang, dia seperti mau
terjungkal. Siapa yang berbuat sekeji ini"
Han Shi Wei adalah tetua San Chai Mui, apakah tidak bisa menjaga satu orang
saja" Yipha Yauci dalam kondisi sekarat tidak bisa berbuat apa-apa. Tapi kenapa
tetua Han kenapa bisa ikut terbakar" Gubuk hanya sebesar begitu, diluar adalah
air sungai, apa tetua Han tidak mampu kabur" Sehingga mereka berdua mati
bertumpuk. Benar-benar tidak habis pikir.
Kecuali bertemu musuh yang tangguh dan terluka atau terbunuh lalu dibakar
pemikiran ini lebih wajar.
Siapa musuh yang begitu hebat" Pui Cie terpikir lagi Phei Cen, selain dia siapa
lagi yang bisa sekeji itu bunuh orang lalu membakar jasadnya. Betul! Phei Cen
tidak muncul di bukit, pasti dia disini membuat pekerjaan yang tidak
berperikemanusiaan. Yipha Yauci telah mengkhinati perkumpulan pasti dia
membencinya sampai masuk ke sumsum.
Dua jasad kering yang bertumpuk bisa saja adalah tetua Han yang tidak mau
mengecewakan dirinya atas titipannya jadi mati terbunuh, kalau begitu dirinya
menanggung dosa yang besar, tambah dipikir teori ini terasa sangat betul.
Perahu yang tadinya di kat di tiang gubuk mungkin tali nya putus terbakar,
perahunya pergi mengikuti arus.
Kesal, merasa bersalah, menyesal, Pui Cie hampir menjadi gila, bayangan mungil
yang memakai selendang merah bergoyang-goyang di depan matanya, semua
yang terjadi hanya dalam waktu setengah jam saja, kejadian yang menyedihkan
ini telah terjadi, dia sudah terbebas sekarang, tidak perlu mencari tabib lagi,
gubuk ikan itu bertutup alang-alang, rangkanya semua dari kayu, setengahnya
terendam air, untuk keperluan menambatan perahu dibuat tiang yang amat kokoh,
begitu terbakar pasti apinya sangat besar, bau hangus tercium sampai jauh. Pui
Cie mengepalan tanganna sambil memekik sekuatnya, "Bunuh! Bunuh! Bunuh!"
BASMI HABIS Memandangi sisa kebakaran dan jasad kering dalam hati Pui Cie ada semacam
keinginan membunuh dan cucuran darah. Yipha Yauci dan Tetua Han berduanya
terpanggang api sama sekali luar dugaan.
Akan munculkah Phei Cen" Dia sedang berpikir, utang darah harus dibayar
dengan darah, darah orang tidak berdosa harus dibayar darah orang jahat,
perguruannya merasa amat sial karena mempunyai seorang pengkhianat seperti
Phei Cen. Ini juga malapetaka bagi dunia persilatan, berdiri di pihak manapun
demi pribadi atau umum Shin Kiam Pang harus dimusnahkan.
"Bunuh!" dia memekik lagi dengan suara keras.
Dia memikir kembali, Yipha Yauci demi cinta rela mengkhianati perkumpulan
hingga mempersembahkan nyawanya, begitu pendek, begitu tiba-tiba seperti
kembang api yang muncul sesaat saja, termasuk kategori cinta apa ini" Dia tahu
laki-laki itu beristri tapi tetap tidak perduli, dan secara secara sepihak
mencintainya. Imbalan apa yang dia dapatkan"
0-0-0 1 t Cabut kuku putuskan gigi
Berdiri lama tanpa perasaan, Pui Cie akhirnya sadar harus beres-beres, dari
gulungan gelombang air sungai, muncul sebuah perahu mengayun melawan
arus, yang mendayung ternyata adalah Han Shi Wei, tetua San Chai Mui. Pui Cie
girang bukan kepalang, ternyata yang terpanggang api bukan tetua Han, dia
langsung bertanya, "Mana Yipha Yauci?"
Han Shi Wei tidak menjawab malah memanggil dari atas perahu, "Tuan muda,
cepatlah naik perahu!"
Pui Cie segera melompat, tubuhnya enteng seperti kapas, melayang turun di atas
perahu, dia langsung melihat Yipha Yauci sedang terbaring di dalam, hatinya
yang penuh rasa cemas mulai mereda, perahu kecil itu dibawa Han Shi Wei
masuk ke dalam alang-alang. "Tuan muda, dia... sudah sangat kritis!"
Hati Pui Cie menjadi dingin, dia duduk termenung, butir-butir keringat
bermunculan di dahinya.
Dia tidak mati terpanggang, tapi tetap susah mempertahankan hidupnya. Bo Ta
Su Seng dalam dua hari lagi baru kembali, tapi sekarang nyawanya sudah sangat
kritis, bagaimana harus bertindak" Dengan pelan dia mencoba memanggil,
"Siang E!...Siang E!.."
Tidak ada reaksi, ketika dipegang nadinya seperti ada seperti tidak, dia betul-betul
sudah gawat. Han Shi Wei menghela nafas dan berkata, "Api dekat tidak bisa dipadamkan
dengan air jauh, mana bisa tertolong" Kalau Mui Cu ada disini, mungkin bisa
diminta bantuannya.."
Tiba-tiba Pui Cie teringat Giok Ju Yi yang didapat dari Thong Tih Chiu, menurut
cerita Bo Yu Sien Ce, Giok Ju Yi ini dibuat dari giok yang berumur puluhan ribu
tahun, khasiatnya bisa menyembuhkan yang orang yang dalam keadaan kritis.
Apakah betul begitu" Harus dicoba juga, segera dia mengeluarkan Giok Ju Yi, di
tempelkan di dada Yipha Yauci. Han Shi Wei merasa aneh bertanya, "Untuk apa
itu?" Pui Cie menceritakan tentang keajaiban giok itu dan kegunaannya. Han Sih Wei
mengangguk sambil mengusap jenggot berkata, "Mungkin sudah takdir, belum
sampai harus mati, mau bagaimana juga tak akan mati!"
Pui Cie memandang Yipha Yauci lalu bertanya, "Tetua Han, waktu gubuk terbakar
ada dua jasad terpanggang, bagaimana ceritanya?"
Han Shi Wei menghela nafas berkata, "Ada dua orang pengawal Shin Kiam Pang
menemukan nona ini, langsung mau dibawa pergi, aku tak berbuat bisa apa-apa
terpaksa menghajarnya, tak disangka dia bawa petasan yang mau dilempar untuk
minta bantuan tidak tahu bagaimana, malah menyala didalam, berita tidak
terkirim, gubuknya yang terbakar, aku mau tak mau membawanya ke perahu
untuk menghindar sementara."
Pui Cie menghela nafas, "O, begitu, aku kira kalian berdua yang terkena
musibah." Han Si Wei bertanya dengan muka serius, "Tuan muda, apakah kau benar
menyukai wanita yang bermarga Liu ini?"
Pui Cie ketawa kecut, "Tetua, di dunia persilatan budi dan dendam harus jelas
dan harus diutamakan. Ada dendam boleh tidak dibalas tapi kalau ada budi harus
dibalas. Nona Liu telah menolong jiwaku, budi ini harus dibayar!"
Han Shi Wei tak mau mengendur terus bertanya, "Kalau begitu maksud tuan
muda hanya membalas budi saja" Yang lain tidak?"
Pui Cie berkata lagi,"Maksudku memang begitu."
"Kalau dia?"
"Dia punya pandangan sendiri, aku tidak bisa campur tangan."
"Menurut pengamatanku, dia sangat mencintai Tuan
Muda." "Itu., itu urusan dia."
"Kalau begitu tuan muda tidak akan meninggalkan San Mui Cu?"
Terkorek lagi luka hati Pui Cie, dengan sikap dingin berkata, "Sekarang aku tidak
mau membicarakan soal ini!"
Han Shi Wei dengan rasa sayang berkata, "Tuan muda, perkawinan itu amat
sakral, aku harap bisa abadi selamanya."
Sikap Pui Cie hatinya menjadi dingin, berkata, "kalau yang jadi korban adalah
dirimu , apa kau bisa berkata begitu?"
Han Shi Wei mengerutkan dahi, "siapa yang jadi korban?"
Pui Cie berkata, "Mui Cu hatinya tentu mengerti, .kalau sampai terjadi apa-apa
yang salah bukan dipihakku."
Han Shi Wei seperti tahu urusan ini, maka selesai Pui Cie berkata begitu, dia
bungkam terus. Pui Cie dengan penuh perhatian memandangi Yipha Yauci, terlihat mukanya
mulai memerah, nafasnya terdengar mulai teratur, bahan dari langit, pusaka dari
bumi benar-benar barang ajaib, hasil penyembuhan luka oleh giok Ju Yi sudah
terlihat. Tidak disangsikan lagi nyawa Yipha Yauci sudah terselamatkan.
Pui Cie tiba-tiba terpikir, kalau Yipha Yauci betul-betul sembuh, rasa cintanya
tentu tidak berkurang, dia sendiri sudah berkeluarga, bagaimana
menyelesaikannya" Sesudah dipikir berulang-ulang hatinya menjadi tetap, dia
berkata, "Tetua , bolehkah aku menitipkan sesuatu padamu?"
"Masalah apa?"
"Aku masih ada urusan yang harus diselesaikan, tidak bisa berlama-lama disini,
kalau nona Liu sudah sembuh, tolong simpankan Giok Ju Yi nya. Dua hari
kemudian bila ada seorang yang pakai baju biru bernama Bo Ta Su Seng datang,
dia sahabatku, harap giok Ju Yi ini diserahkan kepadanya."
"Boleh, tapi..."
"Tapi apa?"
"Kalau nona Liu bertanya mengenai dirimu, bagaimana aku menjawabnya?"
"Ini... katakan saja aku pergi ada urusan penting, tetua tolong sampaikan ucapan
terima kasihku padanya."
"Baik!"
"Kalau begitu, merepotkan tetua!"
"Tidak apa-apa, sudah selayaknya aku membantu, terakhir maafkan aku berkata
sekali lagi, harap tuan muda mengingat hubungan suami istri, bisa bersatu itu
jodoh dari sana."
Pui Cie mengangguk dengan berat, bersoja dengan kedua belah tangan, lalu
melayang ke darat.tujuannya adalah kota Cau Yang, dia tidak percaya Phei Cen
tidak mau muncul untuk menghadapi dirinya, kali ini Thong Tih Chiu kembali
gagal, pasti dia sakit hati.
Cara dia meninggalkan Yipha Yauci dalam hati Pui Cie merasa penuh penyesalan
tapi sudah tidak ada jalan lain lagi. Sesudah sembuh bagaimana dia" Pui Cie
tidak berani pikir lebih jauh lagi.
Siapa bilang dicintai itu paling bahagia" Pui Cie sekarang sedang pusing karena
dicintai banyak wanita.
Sinar bulan seperti perak, Pui Cie mondar mandir di jalan raya, dia tidak berani
menyatakan dirinya menyayangi Yipha Yauci, tapi Yipha Yauci malah menyukai
orang yang sudah beristri, hal itu sama dengan bikin jaring mengikat diri sendiri,
demi cintanya sampai mempertaruhkan nyawa sebagai imbalan, itu adalah cinta
buta. Pui Cie sebagai orang yang menanggung, merasa dipotong tak mau putus,
diurus malah tambah kusut.
Sebuah bayangan dengan sangat cepat melintas di depan sana, di bawah sinar
bulan seperti seekor burung abu-abu terbang.
Hati Pui Cie tersentak, tapi dia tidak mau mencampuri urusan orang lain, dia tetap
saja berjalan, berjalan tidak begitu jauh dari hutan dipinggir jalan muncul suara
tertawa mengejek, didepan dan dibelakang tak ada orang, tujuannya pasti pada
dirinya, mau tak mau harus dilayani, dia menghentikan langkah dengan sikap
dingin bertanya, "Siapa yang di dalam hutan?"
Suara tertawa mengejek itu muncul lagi.
Pui Cie sudah tidak tahan dia melayang masuk ke dalam hutan, dikejauhan
terlihat sebuah bayangan masuk ke dalam hutan, Pui Cie tambah cepat mengejar,
bayangan itu sebentar tampak sebentar menghilang, selalu tidak jauh jaraknya di
depan karena hutan lebat pohonnya padat, jadi sulit mengejarnya, tidak lama
kemudian dia sudah keluar hutan, di depannya tampak hamparan ladang
terlantar, ditengah ladang ada sebuah rumah tani yang tidak beratap. Dindingnya
sudah compang camping terkena angin dan hujan, ada berdiri seseorang di
lapangan depan dinding, melihat potongan badannya bukan orang yang kejar-
kejar tadi. Jelas sekali ini adalah sebuah jebakan, pasti ada kawanan lainnya bersembunyi,
Pui Cie berdiri di pinggir hutan, sedang menganalisa keadaan bagaimana yang
akan muncul. Bayangan orang tadi berkata, "Pui Cie, aku menunggumu sudah lama." Suaranya
terasa tidak asing, sinar bulan terang sekali, dengan teliti dia mencoba mengenali.
Ternyata dia adalah Penasihat Umum Shin Kiam Pang, Thong Tih Chiu Mei Ang
San, pembuluh darah Pui Cie seperti mau pecah bagaikan air mengalir, awan
melayang dia mengejar sampai beberapa meter lagi, setelah dekat dengan mata
melotot dengan sikap dingin sekali dia berkata, "Kau masih penasaran?"
Dengan geram, Thong Tih Chiu berucap, "Sebelum membunuhmu hatiku belum
puas!" "Sama sama!"
"Apakah barangku dibawa?" '
"Ow, Giok Ju Yi! Maaf, sudah dikembalikan pada pemiliknya."
"Kau., apa" Kembali kepada pemiliknya?"
"Tidak usah aku katakan, pokoknya begitu kenyataannya."
"Kau berani menelan barangku?"
"Ha..ha., ha..! tidak lucu! Itu mana boleh dihitung barang milikmu! Kau jangan
menganggap semua barang yang bisa dirampok bisa menjadi milikmu?"
Thong Tih Chiu mencabut pedangnya, memekik dengan keras, "aku akan


Pedang Bengis Sutra Merah ( Tan Ceng In) Karya See Yan Tjin Djin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membunuhmu!"
Pui Cie dengan tenang mengeluarkan Pa Kiamnya, pikirnya dalam hati, "Kalau
sekarang Phei Cen mengintai didalam kegelapan, nanti dia pasti muncul. Inilah
yang kutunggu.."
Sesudah berpikir begitu, dengan sengaja dia berkata keras-keras, "Pangcu kalian
pintar bersembunyi, seperti kura-kura tidak berani keluar, hanya bisa menjual
nyawa kalian, sungguh memalukan."
Thong Tih Chiu melayangkan pedangnya dengan suara keji berkata, "Pangcu
sedang menunggu kepalamu!"
Pui Cie mengangkat pedangnya berkata, "Ayo, majulah! masih tunggu apa lagi?"
Thong Tih Chiu marah, maju sambil memekik. Pedang panjangnya langsung
menyerang, tenaganya dikeluarkan seluruhnya.
Terjadi pertempuran yang sengit, seru dan menakutkan, Pui Cie tahu banyak
pesilat tangguh mengintai di kegelapan, mereka tidak mau mengulang
mengeroyok, mereka memancingnya kesitu pasti sudah siap sedia, bersikap
lemah pada musuh akan merugikan dirinya sendiri, sesudah tujuh jurus berlalu,
dia mulai mengeluarkan jurus-jurus yang ampuh, Thong Tih Chiu didesak, mundur
dan mundur terus, mundur sampai ke dinding.
Thong Tih Chiu yang merasa terdesak terus menjadi marah sambil memekik dia
berseru, "Berdebah! Matilah!"
Bersamaan pekikannya dia mengeluarkan satu jurus ajaib dengan sekuat tenaga,
gayanya hebat membuat orang merasa ngeri melihat pertarungan yang mengadu
nyawa. Pui Cie terdesak mundur satu langkah, Thong Tih Chiu tidak melanjutkan
serangannya lagi. Tiba-tiba Pui Cie mengempos semua tenaga yang ada
membalasnya, sebuah jurus maut Pa kiam seperti gelombang dahsyat
menggulung dan memecah.
Dalam suara gemuruh terdengar suara mengaduh, Thong Tih Chiu sempoyongan
tiga empat langkah, dadanya sudah bercucuran darah.
Pui Cie membawa pedangnya maju lagi...
Thong Tih Chiu memekik sekuat tenaga, "Kenapa masih belum turun tangan?"
Pui Cie terperanjat, si tua ini menyuruh siapa segera turun tangan" Apa ada
orang mencoba membokong" Pikirannya seperti kilat berputar, dia tak boleh
menunggu lawan menggunakan siasat. Cabut kuku putuskan gigi, ini sebuah
resep mujarab, memusnahkan macan atau serigala, "Yeah!" dengan suara yang
bergetar Pa Kiamnya sudah menyerang lagi dengan jurus yang lebih ganas dan
tak pernah dikeluarkan sebelumnya. Terdengar lagi suara mengaduh, Thong Tih
Chiu segera tersungkur, tapi cepat-cepat berdiri lagi. Bahu dan tangan baju sobek
dagingnya terbelah, darah segera membuat merah setengah badannya, dia lebih
keras lagi memekik, "Kau mau pinjam pisau membunuh orang?"
Hati Pui Cie tergetar lagi, pinjam pisau bunuh orang" Apa maksudnya"
Binatang bisa diadu, apalagi ini seorang pesilat tangguh.
Dalam suara yang memilukan, Thong Tih Chiu menyerang secara bertubi-tubi
sama sekali tidak menyisakan jalan mundur untuk diri sendiri rupanya dia sudah
nekad, terjadi pergumulan yang mematikan.
Manusia mempertaruhkan nyawa, keadaannya sangat menakutkan.
Dengan sendirinya hati Pui Cie juga sedikit ngeri, tapi pedang di tangannya sama
sekali tidak mengendur, setelah memecahkan beberapa jurus, tiba-tiba dia
mengerahkan semua tenaga yang ada, Pa Kiam seperti geledek menyerang.
"Wa..!" terdengar jeritan memecah langit. Thong Tih Chiu sudah terjungkal, tapi
dia mencoba berdiri dengan kondisi bergoyang-goyang, mukanya berubah rupa
seperti hantu yang menyeringai, jubahnya sudah basah semua terkena darah,
digerakkan lagi pedang di tangannya, tapi semua sudah tidak berupa jurus lagi.
Terlihat ini adalah tenaga terakhir yang masih tersisa.
"Trang!" suara terdengar, pedang panjang Thng Tih Chiu sudah terlepas jatuh, dia
mundur terus beberapa langkah akhirnya jatuh tersungkur.
Pui Cie pelan-pelan mendekat. '
Thong Tih Chiu mulutnya sudah berbusa darah. Setengah hati dia menjerit. "Ti
Kuang Beng kau ini... benar-benar., kurang ajar..." badannya berkelojotan, lalu
terdiam selamanya.
Hati Pui Cie bergetar keras, dia bingung lihat keadaan Thong Tih Chiu yang
bekerja sama dengan Ti Kuang Beng membuat siasat mau menghabisi dirinya,
Tapi Ti Kuang Beng ternyata tidak bertindak apa-apa. Kenapa" Pertama, Ti
Kuang Beng tidak segan-segan membunuh teman sendiri agar dirinya selamat. Kedua,
dia diam-diam menunjukkan bahwa di badan Thong Tih Chiu ada Giok Ju Yi.
Sekarang ketiga kalinya. Dia membiarkan Thong Tih Chiu terbunuh, sebenarnya
ada maksud apa"
Satu bayangan seperti roh melayang keluar dari balik dinding yang roboh, tidak
salah lagi dialah cendekiawan hantu Ti Kuang Beng, sebagai ketua umum Shin
Kiam Pang, mengapa dia berbuat begini"
Pui Cie tidak kedip-kedip memandangnya.
Ti Kuang Beng sepatah katapun tidak bicara. Dia memutar badan kesamping,
melambaikan tangannya, tampak sebuah barang lonjong model seperti Pui Piau
(senjata lempar seperti mata tombak) dilemparkan ke dinding sebanyak tiga buah
yang dilemparkan belakangan malah sampai duluan 'phiang! Phiang! Phiang!'
terdengar tiga bunyi berturut-turut, batu, tanah dinding berhamburan, munculah
tiga lubang besar di dinding akibat ledakan tadi.
Kecutlah hati Pui Cie, inilah angi yang bisa meledak" Kalau terkena senjata
rahasia ini mengenai tubuh manusia pasti orangnya akan hancur berantakan, Ti
Kuang Beng tertawa dengan suara serem secepat kilat sudah pergi menghilang.
Pui Cie terpana di tempatnya berdiri kalau tadi ketika dirinya sedang bertarung
dengan Thong Tih Chiu, Ti Kuang Beng menggunakan Angi yang sangat
berbahaya ini pasti dirinya sulit untuk lolos. Tapi kenapa dia tidak
menggunakannya"
Teka-teki! Benar-benar teka-teki yang sulit dipecahkan.
Dengan matinya Thong Tih Chiu sama dengan dicabutnya sebuah kuku tajam
Phei Cen. Mengapa Phei Cen tidak menampakan diri" Kalau Phei Cen mengetahui Ti
Kuang Beng sudah memberontak bagaimana dia akan menghadapinya"
Gumpalan awan menutupi terangnya bulan, bumi ini nampak lebih gelap.
Thong Tih Chiu memang membantu orang berbuat jahat, tapi dia juga pesilat
yang tangguh di dunia persilatan. Orang sudah mati jangan lagi di ngat
kejahatannya. Pui Cie dengan aturan persilatan menggali lubang mengubur
mayatnya Thong Tih Chiu supaya tidak dilahap srigala, setelah itu dia
meninggalkan lokasi itu melalui hutan menuju jalan raya.
Sesudah berjalan ke depan terlihatlah ada lampu-lampu yang sedang bersinar,
jumlahnya banyak tapi agak jarang, sepertinya itu adalah sebuah dusun, Pui Cie
berpikir agak lama masuk keperkampungan untuk menginap dan beristirahat."
Di pinggir jalan berhentilah sebuah pedati yang bertutup, kusirnya duduk di depan
sambil hisap pipa rokok yang berkelip kilau.
Ketika Pui Cie melewati pedati itu, si kusir mendadak meloncat ke tanah, dengan
suara mantap berkata, "maukah tuan berhenti sebentar!"
Pui Cie berhenti, dilihatnya si kusir adalah seorang tua yang masih sehat, berbaju
kulit terbalik, kepalanya memakai topi rumput, rumputnya tidak teratur terlihat
agak aneh. Dengan sikap acuh tak acuh Pui Cie berkata, "Anda memanggil aku
ada persoalan apa?"
Orang tua itu ketawa sambil berkata, "Tuan muda, sudah tidak kenal hamba lagi?"
Pui Cie terkejut, dia melihat lagi dengan teliti, ternyata dia pernah ketemu waktu
dia berada di San Chai Mui, dia adalah pengurus umum yang namanya Chin
Chen, dia merasa di luar dugaan dan berkata, "Ooo... ternyata pengurus umum
Chin, senang sekali bisa bertemu!"
Pengurus umum Chin dengan mata berbinar berkata, " Silakan Tuan ke hutan
belakang pedati, Mui Cu ingin bertemu dengan Tuan!"
Pui Cie kaget tidak kepalang, tidak terduga San Chai Men Cu sekarang mau
bertemu dengan dirinya disini. Tentu ini adalah urusan Hie Ki Hong, bagus juga,
dua belah pihak bisa berhadapan membicarakan masalahnya supaya jelas.
Sesudah berpikir sebentar dia berjalan ke belakang pedati. Di bawah bayangan
pohon berdiri ketua San Chai Mui, Hie Bun Cun, sesuai aturan yang harus
dijalankan, Pui Cie maju lagi beberapa langkah, dia bersoja memberi hormat,
dengan sopan berkata, "Mantu memberi hormat pada bapak mertua!"
San Chai Men Cu mengangkat tangan, dengan suara dan sikap yang dingin
berkata, "Pui Cie, apa dimatamu masih ada aku sebagai bapak mertua"
Pui cie merasa sesak dadanya, dengan pelan-pelan dia berkata, "Bapak mertua
silahkan memberi petunjuk?" f
"Apakah kau sudah bersiap-siap mau memceraikan Hie Ki Hong?"
"Tidak."
"Tapi mengapa kau tidak mau meladeni dia." "Ini., sebab aku sedang
membereskan urusan pribadi." "Katanya kau sudah mendapat lagi pacar baru
yang bernama Yipha Yauci, Liu Siang E?"
Pui Cie bernapas dalam-dalam, lalu berkata, 'Nona itu telah menolong jiwaku, jadi
aku harus membalas budinya.'
Dengan sorot mata seperti aliran listrik San Chai Men Cu langsung memandang
muka Pui Cie, kemudian dengan suara rendah bertanya, "Sebatas itukah?"
Pui Cie tidak berpikir lagi langsung menjawab, "Ya!"
San Chai Men Cu mendehem pelan lalu berkata, "Itu sudah melebihi batas-batas
antara laki-laki dan perempuan."
Pui Cie terpikir masalah Kim Hong Ni dan Li Se Kian, sepasang ibu dan putrinya,
kekesalan yang sudah terpendam menjadi timbul lagi, mukanya berubah lalu
berkata, "Bapak mertua apakah tidak lelah jauh-jauh kemari hanya untuk
menegurku?"
0-0-0 BAB 17 Khawatir
San Chai Men Cu berobah mukanya dengan marah sekali berkata, "Kurang ajar!"
Pui Cie juga bersikap dingin dan mengangkat kepala tidak bicara.
San Chai Men Cu dengan suara rendah berkata, "apa aku tidak boleh bertanya?"
"Silahkan."
"Kalau begitu jawablah, bagaimana kau mengatur Ki
Hong?" "Tidak ada yang perlu diatur!"
"Aku hanya punya anak perempuan satu-satunya. Aku mau dia hidup bahagia.
Aku tidak mengizinkan siapapun merusak kebahagiannya."
Pui Cie tertawa dalam hatinya, dengan sikap dingin berkata, "Hm, bapak mertua,
maafkan kalau aku bicara kurang mengenakkan. Kim Hong Ni karena merasa
kesal sampai meninggal. Meninggalkan seorang anak piatu Li Se Kian,
kebahagiaan ibu dan putri ini direnggut oleh siapa?"
Mata San Chai Men Cu membelalak, dia mundur selangkah besar dengan suara
gemetar berkata, "Apa maksudmu berkata begitu?"
Pui Cie dengan sikap dingin berkata, "Bapak mertua tentu mengerti, apa mantu
harus menceritakan kembali?"
See Yan Tjin Djin
145 San Chai Men Cu dengan gentar berkata, "Maksudmu kau mau membatalkan
perkawinan ini?"
Agak sewot Pui Cie berkata, "Aku tidak bilang begitu. Ki Hong dan Se Kian adalah
saudara kandung seibu. Tapi perkawinanku dengan Se Kian terjadi lebih dulu..."
dengan emosinya yang bergelora, dia berkata lagi, "Karena diatur oleh orang,
saudara sedarah menjadi berpencar, mantu mau numpang tanya, bagaimana
mengaturnya?"
San Chai Men Cu mundur lagi matanya bersinar, sepertinya mau bertindak...
Pui cie pura-pura tidak melihat dia berkata lagi, "Bapak mertua apa tidak perduli
terhadap kesengsaraan Se Kian ibu dan putrinya?"
San Chai Men Cu menyentak keras, "Tutup mulutmu!"
Pui Cie malah meneruskan, "Buktinya sudah nyata, aku tidak bisa berdiam begitu
saja." Sa Chai Mui Cu berkata, "kau mau berbuat bagaimana?"
Pui Cie tidak mau mengalah, malah balik bertanya, "Menurut pendapat bapak
mertua harus bagaimana?"
Pandangan San Chai Men Cu tidak garang lagi, seperti ayam jago yang kalah
beradu, tampak lemas.
Pui Cie mencecar terus sedikitpun tak mau mengalah, "Kalau Ki Hong tahu
masalah dirinya, apa yang akan diperbuat" Bapak mertua bagaimana
menjelaskannya?"
San Chai Men Cu menjadi tidak tahan, berkata, "Sudah! Jangan bicara
lagi!"Dengan bermuram durja berkata lagi, "Pui cie, kau sudah tahu semua
kejadiannya?"
Pui Cie berkata, "Sangat jelas!"
San Chai Men Cu bergumam sendiri, "Mimpi selalu harus terjaga, kalau itu
memang sebuah mimpi yang tidak nyata, begitu terjaga harus tidak berbekas.
Bagus juga begitu... sayang, ini bukan mimpi. aku., apa sebenarnya telah
kudapatkan?"
Dia begitu merasa bersalah, terharu atau menyesal. Tidak ada orang yang tahu.
Pui Cie juga tidak tahu. Dia mendadak seperti menjadi tua, pikirannya sudah
tahan menanggung beban lagi, yang dikorbankan sudah menjadi korban, yang
mati sudah terjadi, yang hidup masih harus menanggung segala kesusahan.
Pui Cie tidak mau menyela, bagaimana pun juga lawan bicaranya adalah orang
tua, sakit hatinya memang tidak bisa dihindari. Bagi Hie Ki Hong perkawinannya
tak bisa dibatalkan. Bagi Li Se Kian juga tidak bisa diatur dengan sempurna.
Kalau diurut dirinya juga korban secara tidak langsung.
See Yan Tjin Djin
146 Suasana membisu seperti tak ada napas kehidupan. Saat ini Pengurus umum
Chin yang menyamar sebagai tukang kusir mendekat tergopoh-gopoh berkata,
"Lapor, Mui Cu, San Min Cu telah pergi."
Pui Cie menjadi kaget, tak disangka Hie Ki Hong juga berada disini.
San Chai Men Cu dengan suara gemetar berkata, "Apa" San Min Cu.."
"Ya! Dia baru saja pergi!" "Kapan dia datang?"
"Sudah agak lama, dia tidak mengizinkan hamba melapor."
"Dia... tentu sudah mendengarkan pembicaraan aku dengan Tuan muda?"
"Ya. San Min Cu juga sedih dan menangis." "Begitu., kemana dia bakal pergi?"
"Dia tidak bilang."
Pui Cie baru mengerti. Hie Ki Hong telah datang sendiri, secara kebetulan
mendengar pembicaraan dirinya dengan ayahnya, sepertinya dia sekarang baru
tahu rahasia asal usulnya. Apa yang bakal dia lakukan"
San Chai Men Cu dengan kesal berkata, "Pengurus Chin, seharusnya kau
beritahu kehadiran San Min Cu, sekarang.."
Pengurus umum membungkukan badannya berkata, "Ya, bawahan., ceroboh.
Harap Mui Cu maafkan."
Pui Cie dengan dingin memotong, "Ayah mertua seharusnya sedari dulu
memberitahu dia rahasia ini. Biarpun bersalah, harus menghadapi kenyataan dan
menyelesaikannya. Kertas itu tak bisa membungkus api.."
San Chai Men Cu menghela nafas keras-keras berkata, "tidak usah bicara lagi.
Pengurus Chin, beritakan ke seluruh cabang awasi gerak gerik San Min Cu,
begitu tahu dimana keberadaanya segera lapor!"
Pengurus umum Chin Chen menyahut, "Turut perintah!" segera dia memutar
badannya pergi tergesa-gesa.
San Chai Men Cu sudah kehilangan ketenangan dan kewibawaan biasanya,
kedua alisnya berkerut berkata, "Ki Hong pergi begitu tergesa-gesa, aku takut dia
bertindak yang bukan-bukan! Ai L.dua puluh tahun berlalu hanya sekejap. Waktu
itu... permainan ini sudah berjalan salah. Aku bisa bilang apa?" dengan
menggelengkan kepala, dan membelalakkan biji matanya dia berkata lagi, "Pui
Cie, kalau kau merasa kau adalah suami istri dengan Ki Hong, kau pergilah cari
dia." Pui Cie pelan-pelan berkata, "Ya, memang aku mau memcari dia, tapi.." "Tapi
apa?" "Sesudah menemukannya, terus bagaimana?"
"Kau mau melepaskannya?"
"Tidak!"
"Kalau begitu carilah dia. Lalu katakan... aku menyayanginya selamanya. Tidak
perlu memaafkanku, hanya.. mohon., dia jangan dendam padaku. Aku., merasa
bersalah padanya. Juga bersalah padamu., terutama bersalah pada., ibu
kandungnya." Kata-katanya penuh dengan penyesalan dan menyalahkan dirinya.
Pui Cie menghela napas dalam-dalam, berkata, "Aku tahu kemana mencarinya.
Aku pasti menemukannya."
Kota Siang Yang! Go Li Kio (jembatan lima lie) rumah
Li! Pui Cie tiba di depan pintu, ada sedikit rasa takut. Dia secara bernafsu mengejar
kesini. Sekarang baru merasa ada kesulitan. Hie Ki Hong benar kesini atau tidak
masih dalam dugaan saja. Tapi begitu masuk ke dalam sini dan bertemu dengan
Li Se Kian dia harus berkata apa" Dulu dia mengira Hie Ki Hong adalah Li Se


Pedang Bengis Sutra Merah ( Tan Ceng In) Karya See Yan Tjin Djin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kian, dengan diatur oleh Hie Bun Cun dia akhirnya menikahi Hie Ki Hong. Sampai
Kim Hong Ni memutuskan membunuh diri, semuanya baru menjadi jelas. Hie Ki
Hong dan Li Se Kian adalah kakak beradik kembar. San Chai Men Cu karena
cintanya ditolak oleh kakak sepupunya Kim Hong Ni jadi merasa kesal. Dengan
mengambil kesempatan sewaktu dia melahirkan di perjalanan dan tidak sadarkan
diri, Hie Bun Cun berhasil membawa kabur salah satu bayinya, dan memelihara
dan memberi nama Ki Hong.
semua tragedi ini, orang yang paling besar dosanya adalah San Chai Men Cu.
Mereka berdua adalah saudara sekandung tapi dua-duanya mempunyai
hubungan perkawinan dengan dirinya, harus bagaimana dia menyelesaikan
masalah besar dan pelik ini" Menantu sejelek apa juga harus menemui ayah< ibu
mertua. Setelah memberanikan diri dia maju mengetuk pintu.
Begitu pintu depan dibuka oleh seorang pelayan kecil. Pui Cie pelan-pelan
memanggil, "Ing Chun."
Ing Chun begitu melihat Pui Cie, mukanya menjadi cemberut, dia tidak memberi
salam, seperti melihat orang asing saja.
Pui Cie langsung merasakan suasana yang tidak mendukung. Dia bertanya lagi,
"Ing Chun, apakah nona ada?"
Mata Ing Chun memerah, dengan memonyongkan bibirnya berkata, "Nasib nona
kami kurang beruntung, masih beruntung Tuan muda masih ingat dia, dan masih
mau pulang melihatnya."
Pui Cie berusaha menahan emosinya, berkata, "Sebenarnya keadaan nona
bagaimana?"
"Sedikit lagi akan menyusul ibunya kesana." "Apa" Dia.."
"Bunuh diri tidak berhasil, masih hidup." "Ada yang pernah datang?" "Ada.
Bayangan diri nona."
"Teng!" hati Pui Cie tersentak. Benar-benar Hie Ki Hong pernah kesini, dengan
tergesa-gesa dia bertanya, "Sekarang mereka dimana?"
Ing Chun menggosok-gosok matanya menjawab, "Di Ruang belakang, tetapi..."
Pui Cie sudah berjalan, berhenti lagi, "Tapi apa?"
Ing Chun dengan sikap dingin berkata, "Tuan muda, aku adalah pelayan, orang
bawah, banyak kata-kata yang tidak boleh diucapkan, tapi tidak tahan ingin
dikeluarkan. Nona-nona mungkin tidak mau menemui tuan muda."
Pui Cie dengan mata terbelalak bertanya, "Kenapa bisa
begitu?" Bibir Ing Chun menyungging lagi berkata, "Tuan muda cakep dan ganteng,
tersohor di dunia persilatan, tempat yang disinggahi Tuan muda pasti banyak
wanita cantik yang mendekati. Nona kami dulu pernah berkata, dia tidak sepadan
dengan Tuan."
Pui Cie merasa sesak nafasnya, dia langsung merasa yang dimaksud pastilah
soal Yipha Yauci, Liu Siang E, kabar ini pasti dari Hie Ki Hong. Tapi masalah ini
tidak perlu dibahas dengan Ing Chun, dengan menggigit bibir dia mengangkat
kaki berjalan menuju ke halaman belakang.
Baru masuk pintu pojok, sudah terdengar suara tangisan yang amat sedih dari
ruangan tengah, ciutlah hati Pui Cie, langkahnyapun menjadi perlahan, selangkah
demi selangkah mendekat ke pintu ruangan, tak bisa digambarkan bagaimana
perasaanya. Sampai didepan pintu, keringat didahi sudah bercucuran, entah karena tegang
atau terharu, sejauh mata memandang seluruh tubuhnya seperti tersengat listrik
dan menjadi kesemutan.
Dia merasa tak ada keberanian untuk masuk ke dalam
pintu. Di tengah-tengah ruangan ada meja sembahyangan papan nama almarhum Kim
Hong Ni dikiri kanan terbakar dua lilin putih, mengepul asap dari dupa. Li Se Kian
dan Hie Ki Hong berdua bersama-sama berlutut di depan meja sembahyang dan
menangis tersedu-sedu. Pengurus rumah tangga Tu Toa Nio dipinggir juga
sedang menghapus air matanya. Suasana sangat mencekam dan menyedihkan.
Pui Cie terbengong-bengong berdiri di depan pintu ruangan.
Tu Toa Nio mengangkat kepala melihat Pui Cie, spontan berkata, "Tuan muda
tidak disangka Tuan masih mau pulang!" kata-katanya sedikit menusuk kuping.
Li Se Kian dan Hie Ki Hong sama-sama berdiri, memutar badannya, wajahnya
serupa benar. Matanya berair juga sama, hanya pakaian yang dipakai saja tidak
sama. Li Se Kian terlihat lebih pucat dan lesu, dipandang sepintas sulit bisa
membedakannya. Pui Cie merasa sulit sekali mengangkat kakinya, dengan pelan-pelan dia masuk
ke dalam ruangan, dia tidak tahu harus bagaimana memulai pembicaraan.
Kelihatanya sepasang saudari kembar yang mengalami kemalangan ini sudah
saling memahami.
Li Se Kian bercucuran air mata, pelan-pelan mulai berkata, "Kabarnya kau tergila-
gila pada seorang wanita persilatan yang genit, apa betul?"
Pui Cie menghela nafas dalam-dalam berkata, "Ini adalah salah paham, aku
hanya ingin membalas budi baiknya."
Hie Ki Hong menghapus air mata, meninggikan alis sambil berkata, "Aku melihat
sendiri kau bermesraan dengan perempuan itu dan juga penuh perhatian."
Pui Cie goyang-goyang kepala berkata, "kau mau berkata begitu juga aku tidak
bisa apa-apa, tapi kalau bukan Yipha Yauci yang menolongku, mungkin aku
sudah mati di penjara bawah tanah Shin Kiam Pang, demi aku dia mengkhianati
perkumpulannya. Demi aku dia dikejar-kejar mau dibunuh, apa aku yang
menerima budinya tidak boleh membalas?" 1
Tu Toa Nio dengan sikap dingin menyambungi, "Tuan muda, membalas budi
jangan dicampur aduk dengan masalah cinta laki dan perempuan."
Pui Cie dengan tegas berkata, "Tua nio, aku bisa bawa diri, tidak akan
menyeleweng."
Li Se Kian berkata, "artinya... tidak ada masalah?"
Pui Cie dengan tegas berkata, "Tidak ada!"
Mata Li Se Kian berputar, "Baiklah, aku percaya. Kau pulang tepat pada
waktunya. Sekarang di hadapan papan nama ibu, aku mohon kau untuk menjaga
Ki Hong, ibu semasa hidup sudah berharap kalian rukun selamanya."
Pui Cie membelalakan matanya, lama sekali tidak bisa berkata-kata.
Hie Ki Hong mengigit bibir berkata, "kakak, aku tidak
mau!" Li Se Kian dengan susah berkata, "Ki Hong, kami sudah sepakat. Kau dan dia
sepasang suami istri yang resmi. Nama dan kenyataan sesuai..."
Tidak, aku tidak bisa.."
"Tidak bisa apa?"
"Aku., merasa malu pada ibu yang telah tiada juga merasa utang budi padamu..."
"Aku pernah bilang, aku sudah tidak tertarik pada dunia ini. Aku mau menjadi
murid Budha tua didalam vihara.
"Aku juga!"
"Apa kau mau ibu di alam sana menjadi risau?"
"Pokoknya aku orang yang penuh dosa."
"Aku tidak mengizinkan kau berbuat begitu semua sudah menjadi nasib, kau tidak
bersalah, sandiwara penuh duka ini sudah selesai. Yang sudah mati ya sudah.
San Chai Men Cu memang yang paling bersalah. Tapi dia juga ada jasanya
membesarkanmu..."
Hie Ki Hong menjerit, "Aku benci dia!"
Pui Cie merasa merinding, babak kesedihan yang baru sudah dimulai lagi, sangat
menyedihkan, mengapa manusia harus berbuat sesuatu yang merugikan orang
lain tapi tidak bisa menguntungkan diri sendiri" Ketua San Chai Mui, Hie Bun Cun
sebenarnya bukan orang jahat, juga bukan orang bodoh, kenapa bisa terjebak di
dalam masalah ini"
Li Se Kian memandang Pui Cie bertanya, "Bagaimana pendapatmu?"
Hati Pui Cie bergetar terus bibirnya tidak bisa berkata-kata, dalam hatinya semua
terasa kusut. Tu Toa Nio dengan sedih berkata, "Se Kian, kau masih mempunyai nenek, dia
tidak akan mengijinkan kau bertindak seperti itu" Kau dan Pui Cie atas perintah
ibumu telah bersembahyang menjadi suami istri, ada saksi comblangnya. Kalian
kakak adik sekandung kenapa tidak..."
Li Se Kian angkat tangan melarang Tu Toa Nio berkata terus, dengan suara keras
dia berkata, "Tua Nio, niatku sudah bulat, tidak bisa dirubah lagi, aku sudah
menerima nasib."
Hie Ki Hong menyambung, "Aku juga tidak akan merubah pikiran, aku., bernasib
buruk, juga bukan anak yang berbakti, aku harus menanggung resiko hari ini.
Kakak.." Li Se Kian meneteskan air mata, "kau mau berbuat bagaimana?"
Hie Ki Hong melirik papan nama Kim Hong Ni lalu berkata, "aku ingin selamanya
menemani arwah ibu."
Li Se Kian berkata, "ibu tidak bermaksud begitu."
"Jangan memaksaku!"
"Aku tidak memaksamu!"
"Kalau begitu tak usah bicara apa-apa lagi!"
"Dia bagaimana?" matanya memandang Pui Cie.
"Tadinya dia kan kakak ipar!"
"Kami bukan suami istri betulan..."
"Sekarang juga belum terlambat." Pui Cie sedang gemetar, dia tidak tahu dengan
cara apa mereka mengatur dirinya. Perkawinan ini dari pertama sudah salah,
bibinya Nam Kong Phang Teng tentu menyesal waktu itu membuat keputusan.
Ing Chun diam-diam masuk berdiri di belakang Li Se Kian, mukanya penuh
amarah. Air muka Li Se Kian berubah, tiba-tiba dia membalik badan berlutut sambil
melepaskan ikatan rambutnya. Tangan kirinya memegang rambut sedangkan
tangan kanan mengambil gunting yang sudah disiapkan dalam pelukan.
Hie Ki Hong dan Ing Chun menjerit.
Paras muka Pui Cie berubah. Tu Toa Nio dengan gemetar berkata, "Se Kian, kau
mau berbuat apa?"
Hie Ki Hong menjulurkan tangan mau merebut gunting. Tapi terlambat setengah
langkah. Guntng dengan cepat menotong segenggam rambut yang sudah di
dalam tangan kiri Li Se Kian.
Semua orang menjadi bengong.
Li Se Kian memegang rambutnya yang sudah terputus, lalu bangun dan berdiri,
air matanya mengalir.
Tu Toa Nio dengan suara sedih berkata, "Se Kian, kau., kenapa berbuat begitu?"
f Gunting yang tajam sudah memotong rambut, sudah menyatakan keteguhan
hatinya, kenyataan sudah tak bisa ditarik kembali. Pui Cie terharu, tak disangka
kesudahannya menjadi begini, tragedi perkawinan ini sudah selesai. Apa masih
ada tragedi yang satunya lagi" Dia seperti sebuah perahu diombang ambing
gelombang dahsyat dan ketakutan yang tidak menentu.
Siapa yang berbuat menjadi begini" Siapa penyebabnya" Apakah semua
memang nasib atau perbuatan manusia" Hie Ki Hong dengan sepasang mata
melelehkan air mata, menjerit terharu, "Kau berbuat begitu apakah mau menbuat
aku sengsara seumur hidup. Aku tidak mau menerima budimu.
Li Se Kian saat ini malah dengan tenang menjawab, "aku tidak suruh kau
menerima budi, tapi inilah cara terbaik untuk menyelesaikan masalah.
Ing Chun sambil menghapus air mata dengan marah-marah berkata,"nona, anda
salah. Ibu di dalam sana juga tidak akan merasa tenang."
Li Se Kian menggelengkan kepala berkata, "Ing Chun, kau belum ngerti."
Ing Chun menjawab, "Memang, pelayan tidak mengerti apa-apa."
Li Se Kian mendekat kepada Hie Ki Hong berkata, "Ki Hong, ini adalah rumahmu.
Kau dan.. Pui Cie tinggal ah disini, sambil menjaga dupa ayah dan ibu."
Hie Ki Hong tiba-tiba menjerit, "aku tidak punya rumah, di dunia ini aku juga tidak
punya famili..."
Tu Toa Nio terharu berkata keras-keras, "Tuan muda, kau harus buka suara."
Saat itu juga, seorang tua dengan seluruh badannya yang berlumuran darah
dengan sempoyongan datang ke depan pintu ruangan lalu terjatuh.
Semua yang ada di tempat itu menjadi kaget sampai mukanya pucat. Tu Toa Nio
menjerit lari menghampiri. Pui Cie dan Li Se Kian dan lain-lain memburu ke pintu
masuk. Pesuruh laki perempuan semua datang mendekat.
Tu Toa Nio terduduk, setengah menggendong orang tua yang terluka, mukanya
mengencang. Luka orang itu sangat parah, mulutnya mengeluarkan buih darah.
Nafas terasa sesak.
Li Se Kian dengan suara gemetar berkata, "Ini.. bukankah ini Tu Lau Tie?"
Tu Lau Tie, apakah dia itu suaminya Tu Toa Nio" Pui Cie merasa seperti kenal
dengan nama ini, Dia berpikir terus.
Tu Toa Nio bercucuran air mata dengan keras berkata, "Siapa yang berbuat
sekeji ini?"
Tu Lau Tie meronta sekuat tenaga hanya bisa mengeluarkan tiga hururf, "Kui..
Siu Chai!" kerongkongan mengeluarkan suara berdahak.
Tu Toa Nio memekik dengan suara bergetar, "Kui Siu
Chai?" Pui Cie terperanjat. Kui Siu Chai adalah Pengurus Utama Shin Kiam Pang,
kenapa dia membunuh orang tua ini" Berpikir begitu spontan dia bilang, "Kui Siu
Chai!" Tu It He matanya mendadak melotot, terputus-putus mulut bersuara, "Yang paling
keji., hati., perempuan!" kerongkongan berbunyi, kepalanya menjadi miring ke
sisi. Kemudian meninggal, semua orang yang ada disana hati serasa dipukul
keras-keras. Tu Toa Nio setelah menjerit menjadi terdiam, mukanya berubah rupa, air matanya
bercucuran tapi sudah tidak bersuara, kelihatannya dia keliwat sedih, rupanya
menjadi sangat menakutkan.
Pui Cie mengerutkan dahi sedang berpikir-pikir, "Tu It He sepertinya dilukai oleh
Ti Kuang Beng, dia terakhir berkata, paling keji hati wanita, apa artinya" Apakah
ada kaitannya dengan wanita?"
Tu Toa Nio menggunakan tangannya menutup mata Tu It He. Mulutnya sambil
bergmam, "Pak, kau sekarang sudah meninggal. Aku., tidak tidak marah padamu
lagi. Sebagai suami istri tapi berjalan masing-masing, akhirnya seperti daun jatuh
ke akar juga, kau., tidak mati di sel atau di pinggir jalan, tapi mati di pelukanku,
Pak, ada pepatah berkata, tidak ada jodoh tapi ada jodoh. Sayang., terlalu
singkat., juga terlalu menyedihkan. Kenapa tidak lebih awal menemuiku" Aku.,
tidak sungguh-sungguh membencimu! Hanya., tidak mau mengalah saja.."
Kata-kata yang tulus tapi menyedihkan, dalam pikiran Pui Cie masih terbayang Ti
Kuang Beng, perempuan..
Ing Chun maju ke depan berjongkok di samping Tu Toa Nio, dengan suara sedih
berkata, "Tua Nio, menangislah! menangislah sepuas-puasnya! Tapi Tu Toa Nio
tidak menangis, air matapun tidak mengalir lagi, malah Ing Chun yang menangis
tersedu-sedu. Hidung Pui Cie merasa panas, dengan murung dia berkata, "Tua
Nio, aku pernah bertemu dengan Tua Lau Tie sekali. Waktu itu saya ditolong
orang bertopeng berbaju abu-abu bersamanya ada Ke Co Ing, ditempat Lau Tie
aku dirawat sampai sembuh." <
"Ke Co Ing adalah adik seperguruannya.!"
Pui Cie kaget, tak disangka, Tu Lau Tie dan Ke Co Ing adalah saudara
seperguruan, pantas saja Shin Kiam Pang mengutus orang membunuhnya. Ke
Co Ing mati di jurang gunung pinus, saat ajal menjemput dia mengungkap jati diri
Shin Kiam Pangcu Phei Cen. Ke Co Ing memancing istri Pangcu Ma Gwe Kiaw,
pantas dibunuh sesuai dengan dosanya. Tapi Tu Lau Tie" Apa karena ada
hubungan dengan Ke Co Ing jadi terkena akibat" Sesudah berpikir begitu dengan
terharu dia berkata, "Tua Nio, aku akan membantu Lau Tie membikin perhitungan
terhadap musuhnya!"
Tu Toa Nio mengangkat kepala, dan membelalakan matanya berkata, "Siapa itu
Kui Siu Chai?"
"Pengurus utama Shin Kiam Pang!"
"Shin Kiam Pang.. kenapa membunuh orang?"
"Mungkin karena Ke Co Ing ada perselisihan dengan Shin Kiam Pangcu."
"Utang darah., harus dibayar darah!"
Mendadak Ing Chun terkejut dan menjerit, "Kemana perginya nona?"
Semua orang kaget, Pui Cie baru tahu Li Se Kian sudah tidak berada di tempat,
keadaan begini dia sebagai tuan rumah seharusnya mengurus soal Tu Lau Tie.
Tak mungkin diam-diam meninggalkan tempat.
Ing Chun tergopoh-gopoh lari ke kamar di ruangan belakang, kemudian lari lagi ke
depan, dengan gemetar dia berkata , "Nona sudah pergi."
Semua orang membelalakan mata. Pui Cie mendekat ke sisi Ing Chun bertanya,
"Apakah benar nona sudah meninggalkan rumah?"
Ing Chun mengangkat ke atas tangannya berkata, "Nona meninggalkan pesan,
rumah ini diserahkan pada nona kedua dan Tuan muda."
Pui Cie merasa sekujur tubuhnya kesemutan, tiba-tiba dia merasa bumi dan langit
berputar. Hie Ki Hong sekonyong-konyong menjerit histeris, "Aku tak punya rumah, ini
Bentrok Rimba Persilatan 10 Pendekar Remaja Karya Kho Ping Hoo Kehidupan Para Pendekar 2
^