Pencarian

Pedang Inti Es 2

Pedang Inti Es Peng Pok Han Kong Kiam Karya Okt Bagian 2


Si nona serba putih menggeleng kepala dan menghela napas.
"Pangeran Ngordu," katanya dingin, "jikalau kau tetap tidak
hendak mendengar kata-kataku, jangan nanti kau sesalkan aku,
hendak aku melukai juga kulit mukamu!"
Kata-kata ini ditutup sama bergeraknya seruling, cepat dan
berkilauan, dan menerbitkan suara juga, dan hanya dalam
beberapa jurus, goloknya kawanan pahlawan itu lantas pada
mental terlepas, menyusul mana lima atau enam pahlawan
telah rusak topengnya masing-masing.
05. Pertemuan Yang Menggoncangkan
Lagi sekali si nona mengasi dengar tertawanya yang nyaring
dan panjang menyusul terhentinya gerakan serulingnya. Kali
ini, suara seruling itu hebat kesudahannya. Bagaikan,
gelombang, maka lari serabutanlah semua pahlawan Nepal itu,
lari ke luar kuil, hingga di lain saat, di situ tinggallah si nona
seorang diri. Hoa Seng kagum sekali, hingga ia menepuk-nepuk tangan.
"Seruling kemala terbang suaranya, kawanan iblis hilang sirna!
Siancay, siancay!" ia memuji sebelum ia keluar dari tempatnya
sembunyi. "Terima kasih untuk bantuan tuan," berkata si nona. "Silahkan
tuan keluar untuk kita membuat pertemuan."
Hoa Seng memunculkan diri, ia bahkan menghampirkan si
nona. Maka sekarang, setelah berada dekat satu dengan lain, di
antara sinar pelita dari kuil itu, ia dapat melihat tegas wajah
nona itu. Saking kagum, ia menjadi berdiri tercengang. Nona
itu sangat cantik-manis dan menggiurkan hati.
Si nona sebaliknya sudah lantas mengangkat tangannya,
memberi hormat dengan liamjim, dengan kedua tangannya
dirangkap. "Terima hormatku, tuan," katanya halus.
Hoa Seng sadar, dengan tersipu-sipu ia membalas hormat.
Pertemuan ini, yang secara kebetulan, membuatnya kedua
pihak goncang hatinya. "Kalau si pemuda gugup dan seperti
kacau pikirannya, si pemudi kaget berbareng girang, karena ia
memikir, ,,Benarlah, orang Han tampan sekali...."
Akan tetapi ia dapat mengendalikan diri, ia tidak menjadi
tersengsam seperti si pemuda itu.
"Maaf untuk tak tahu adatku, bolehkah aku mohon tanya she
dan nama nona?" kemudian Hoa Seng berkata. Dengan lekas ia
dapat menguasai dirinya.
Untuk adat-istiadat Tionghoa, segera menanyakan she dan
nama seorang nona adalah perbuatan lancang, maka syukurlah
untuk Hoa Seng, si nona tidak mengambil mumat adat-istiadat
itu, bahkan dia berlaku wajar dan sambil tertawa dia
menjawab: "Kenapa tidak dapat" Aku Hoa Giok."
Kembali Hoa Seng tercengang.
"Itu toh nama Tionghoa?" katanya heran.
Si nona tertawa pula.
"Begitu?" katanya. "Meskipun benar aku belum pernah
mengunjungi Tiongkok tetapi sudah lama aku mengenalnya.
Aku dengar kamu bangsa Han paling menghargakan batu
kumala, bahkan di dalam kitab-kitab kamu, kumala itu
dipandang sebagai pelambang kebersihan dan kesucian, maka
itu, aku sengaja pakai namaku itu." Nama Hoa Giok itu pun
berarti kumala yang murni dan indah.
"Nyata kau mengenal baik bahasa Tionghoa, nona," Hoa Seng
memuji. "Aku belajar bahasa Tionghoa cuma beberapa tahun saja."
berkata si nona, menerangkan, "dari itu aku belum mengerti
banyak. Tuan, apakah shemu yang mulia dan namamu yang
besar?" "Aku Koei Hoa Seng," Hoa Seng perkenalkan diri.
Mendengar nama itu, si nona tertawa pula.
"Aku dengar," katanya "kebiasaan kamu di Tiongkok, nama
saudara, baik saudara laki-laki atau perempuan, suka memakai
sebuah huruf yang sama, benarkah itu?"
"Benar'', itulah kebiasaan kekeluargaan."
"Kau bernama Hoa Seng, aku bernama Hoa Giok, coba kita
berada di Tiongkok, mungkin orang mengatakan kita
bersaudara!"
Lega hatinya Hoa Seng. Ia melihat si nona polos sekali. Karena
ini ia menjadi berani.
"Kau benar, nona." katanya. "Memang demikianlah kebiasaan
kami. Hanya aku, mana aku mempunyai itu keberuntungan
untuk mendapatkan seorang sebagai kau sebagai adikku?"
"Malam ini kau telah membantu banyak padaku," ia berkata.
"Agaknya kau terlebih tua daripada aku, maka baiklah kau
menjadi kakakku!"
Hoa Seng heran, tetapi ia girang bukan main.
"Jangan kau nampik!" berkata pula si nona. "Menurut kalangan
agama Buddha, aturan itu harus sama rata, maka itu juga, anak
laki-laki atau anak perempuan, semua adalah saudara, kakak
dan adik. Bicara tentang kita, bukankah pertemuan kita ini luar
biasa" Kalau kita menjadi kakak dan adik, apakah
halangannya?"
"Kalau begitu, nona, kau jadinya murid Sang Buddha?" Hoa
Seng tanya. "Untuk bangsaku, semenjak dulu hingga sekarang ini, kami
memerintah negara kami menurut aturan agama Buddha,"
menjawab si nona. "Di mana seluruh negara mempercayai
agama Buddha, aku tidak menjadi kecuali."
Mendengar itu, Hoa Seng merasa sedikit kecewa. Ia tahu,
menurut kebiasaan bangsa si nona, memang umum orang dari
berlainan she mengangkat saudara seperti saudara sendiri.
Bagus untuknya, tak usahlah ia ngelamun.
"Engko," berkata si nona kemudian, "adakah kau diutus
pemerintah Boan?"
Tanpa likat-likat, nona itu lantas memanggil engko.
"Bukan," menyahut Hoa Seng cepat. Biar bagaimana, ia
merasakan panggilan itu manis sekali.
"Jikalau begitu, mengapa kau menempuh bahaya?" tanya si
nona. "Mengapa kau lancang masuk ke dalam ini Kota Iblis"
Kenapa kau memusuhkan mereka itu?"
"Akulah orang Tionghoa," menjawab Hoa Seng. "Mereka
memusuhkan Tiongkok, karena itu pasti aku mesti
menyeterukan mereka! Adik, adik kecil, mengapa kau juga
menyeterukan mereka itu?"
"Itulah sebab aku bangsa Nepal!" jawab si nona.
Hoa Seng menjadi heran.
"Bukankah pangeran Ngordu itu putera raja Nepal?" ia tanya.
"Tidak salah!" sahut pula si nona. "Justru karena dia putera
raja, hendak aku mengusirnya dia pulang ke negerinya. Nepal
dan Tiongkok bersahabat rapat, persahabatan itu mendatangkan
kebaikan untuk kedua pihak, tetapi jikalau mereka berperang,
bukan saja Nepal dan Tibet bakal bercelaka, bahkan Nepal
mungkin musnah karenanya. Untuk Tiongkok sendiri, mungkin
kerugiannya tidak terlalu besar."
Keterangan si nona mendatangkan penghargaan dari Koei Hoa
Seng. Teranglah bahwa nona itu cerdas dan pandangannya
jauh. Hanya, mengenai hubungan si nona dengan si putera raja
Nepal, ia heran, hingga ia jadi ragu-ragu. Kenapa putera raja itu
tidak berani membuka topengnya untuk menghadapi si nona"
Dan nona ini, mengapa dia meninggalkan negaranya yang jauh
dan datang seorang diri ke Tibet ini"
Mungkinkah si nona memangnya sudah tahu sepak terjangnya
putera raja itu" Kalau benar, cara bagaimana dia
mengetahuinya" Dan, si nona masih begini muda, dari mana
dia dapatkan ilmu silatnya itu yang demikian mahir"
"Biarlah, perlahan-lahan saja aku mencari tahu," pikirnya
kemudian. Sebagai kenalan baru, tidak mau ia terlalu
mendesak, ia kuatir orang menjadi tidak puas dan tidak senang
karenanya. "Eh, engko, kau pikirkan apa?" tanya si nona, yang mengawasi
pemuda itu. Ia tertawa. Hoa Seng berpikir hingga karenanya ia
berdiam saja. Pemuda itu gugup.
"Aku pikir... aku pikir..." sahutnya terputus-putus.
"Kau merasa aku aneh, bukankah?" si nona tanya, tertawa.
Mukanya Hoa Seng menjadi merah. Si nona telah menerkanya
jitu. "Ya, sedikit ?"." sahutnya perlahan.
"Kalau begitu, sama saja dengan kau," kata si nona kemudian.
"Kau pun datang ke mari seorang diri dan aku merasa heran
sedikit. "Akulah seorang laki-laki," sahut Hoa Seng. "Seorang laki-laki
sudah wajar merantau ke empat penjuru dunia, guna
menambah pengetahuannya."
Nona itu tertawa.
"Ada apakah perbedaannya di antara seorang pria dan seorang
wanita?" tanyanya. "Kalau seorang laki, pantas pesiar, apakah
wanita pun tidak boleh keluar menambah pengetahuannya?"
Ditanya begitu, Hoa Seng bungkam. Ia jadi semakin kagum.
Nona itu mengawasi, lalu ia tertawa, geli tertawanya.
"Kau barusan omong dari hal menambah pengetahuan," ia
berkata pula. "Sekarang ini depan mata kita ada suatu urusan
yang dapat menambah pengetahuan, maka maukah kau
bersama aku pergi untuk membuka mata kita?"
"Ke mana kita pergi?" tanya Hoa Seng. "Suka aku menemani
kau." Nona itu hersenyum.
"Kitab suci ada membilang, pergi itu menuruti jodoh, banyak
kemauan banyak keruwetan," katanya. "Kita bertemu secara
kebetulan, sekeluarnya dari gunung ini, sudah selayaknya kita
berpisahan. Kau tak usah mau tahu banyak tentang urusanku,
aku juga tidak akan menanya apa padamu, Supaya dengan
begitu, setelah berpisah, kita tak usah menambah keruwetan
kita." Hoa Seng berdiam. Kata itu berarti dalam, tapi singkatnya toh
perpisahan. Si nona memandang, terus ia berkata : "Baiklah, sekarang
sudah waktunya kita berangkat!"
"Sebenarnya, urusan apakah itu?" Hoa Seng menanya.
"Akan aku antar kau mencari suatu benda mustika yang
langkah," jawab si nona.
Tiba-tiba hati Hoa Seng bercekat.
"Bukankah itu mustika yang dicari juga Tjhong Leng
Siangjin?" dia tanya.
"Benar. Marilah kita lihat dia mempunyai kepandaian atau
tidak untuk mendapatkan mustika, yang langkah itu dari lubang
es yang dalamnya ribuan tombak ?"."
Hoa Seng heran bukan main. Tapi ia tidak dapat main heran
saja atau terus berdiri menjublak di situ, karena si nona sudah
mulai berlari pergi, maka lekas-lekas ia menyusul. Nona itu
menggunakan kepandaiannya ringan tubuh untuk mendaki
puncak, dari itu ia menyusulnya untuk mengikuti di sebelah
belakang. Ketika mereka telah jalan hingga terang tanah,
mereka sudah dapat melihat sebuah puncak yang penuh dengan
salju. Si nona menoleh, matanya melirik, lalu ia tertawa.
"Engko, apakah kau letih?" ia menanya perlahan.
"Sedikit," menyahut Hoa Seng. Ia merasa mukanya panas dan
hatinya sedikit memukul, napasnya pun rada sukar. Ia tertawa
menyeringai. Si nona, bertindak dengan perlahan.
"Aku pun letih," katanya, tetap perlahan. "Syukur gunung ini
tidak terlalu tinggi. Ketika, aku datang ke mari, aku melintasi
gunung Himalaya. Gunung itu barulah gunung tinggi. Pernah
aku memikir untuk mencoba mendaki terus, akan tetapi tempo
aku baru tiba di kaki puncak yang bersalju dari Cholmo
Lungma, aku tak dapat bernapas lagi, dengan terpaksa aku
turun pula ......"
Koei Hoa, Seng mengawasi nona itu, yang mukanya merah
hingga tampak wajahnya yang boto, ia mau percaya si nona
bukan tengah mengedjek padanya, maka ia berkata: "Kalau
begitu, bolehkah kita beristirahat sebentar?"
"Lebih baik kita jalan terus perlahan-lahan saja," menyahut si
nona. "Sebentar, setelah kesegaran kita pulih, baru kita lari
pula serintasan."
Tatkala itu matahari baru muncul, maka sinarnya kepada es
membuatnya es itu nampak indah. Es itu, bagaikan solokan,
lagi mengalir turun dari atas puncak, warnanya biru dan muda
jernih. Pula bunga salju, yang belum lumer, memberikan
pemandangan yang indah sekali.
"Sungguh indah, sungguh indah!" si nona memuji. "Sayang di
dalam buku syair Tionghoa belum pernah aku membaca syair
yang memuji keindahan sungai es."
Mendengar itu, Hoa Seng kata dalam hatinya : "Penyair di
jaman dulu mungkin belum ada yang pernah pergi ke Tibet,
dari itu, mana ada yang menulis tentang keindahan es dan salju
ini?" Sambil berpikir, ia melirik si nona, maka tergiurlah
hatinya. Di pagi seperti itu, selagi bergembira dan bersenyum,
sungguh luar biasa kecantikannya ini nona kawannya " kawan
yang baru saja dikenal. Ia lantas berpikir dan kemudian
berkata: "Ya, aku juga belum pernah membaca syair yang
melukiskan keindahan es, akan tetapi pernah aku membaca
tulisan mengenai salju yang mungkin ada miripnya. Terus ia
membacakannya :
"Salju musim semi datang memenuhi udara, di tempat di
mana, dia kebentrok dia berubah bagaikan bunga mekar.
Entahlah pohon di dalam rimba, pohon bwee tulen atau
bukan?" Si nona bertepuk tangan.
"Bagus!" serunya. "Kalau itu tulen bunga bwee, dapatkah itu
dibedakannya?"
Ibunya Hoa Seng adalah Mo Wan Lian, seorang wanita
terpelajar untuk Kanglam, karena itu ia mendapat pendidikan
ilmu surat baik sekali dari ibunya, maka juga dapat ia melayani
nona ini bicara tentang sastera, hikayat, syair, musik dan seni
lukis. Makin lama mereka bicara makin asyik, walaupun
mereka baru saja bertemu, mereka sudah seperti sahabat lama.
Bahkan mereka menyesal yang baru sekarang mereka
berkenalan. Mereka berjalan terus hingga terasa hawa mulai hangat. Begitu
lekas mereka menikung di sebuah pengkolan, mata mereka
seperti terbuka lebar, karena di hadapan mereka sekarang
terbentang air telaga yang luas, airnya jernih, dan di sepanjang
tepiannya ada rumput yang hijau. Air itu pun berbayang,
memperlihatkan keindahannya. Di atas air, bagaikan butir-butir


Pedang Inti Es Peng Pok Han Kong Kiam Karya Okt di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mutiara, terlihat ngambangnya potongan-potongan es yang
belum terlumerkan sinarnya matahari.
"Orang Tibet bilang bahwa di atas gunung Nyenchin Dangla
ada sebuah telaga yang diberi nama Tengri Nor atau Telaga
Langit, inilah benar," kata Hoa Seng. "Dan telaga ini, yang
begini besar, ujung pangkalnya seperti menyambung dengan
langit." "Memang pemandangan di sini indah sekali," berkata si nona.
"Karena tempat ini wajar, kita pula mirip sama dewa-dewinya.
Sayang di atas ini tidak ada penghuninya. Rupanya ini mirip
sama syairnya Tao Yuan Ming,
'Membuat gubuk di wilayah manusia tetapi tidak ada suara
berisiknya kuda kereta.'
Tao Yuan Ming menyebut di 'wilayah manusia,' coba itu
diartikan di atas telaga Tengri Nor ini, di puncak es, inilah
benar tempat dewa."
Hoa Seng tertawa.
"Biar bagaimana, ikhtiar adalah pada manusia," ia bilang.
"Putera raja Nepal dapat membuat kuil dengan menaranya di
Kota Iblis, maka kita pun boleh membangun rumah lauwteng
dan peseban serta panggung di atas puncak es ?""."
"Ah, bagus sekali lamunanmu!" berkata si nona. "Aku sendiri,
setelah tiba di sini, aku seperti kembali pulang ke tempat dewi
dalam impianku ?"." Lantas ia mengeluarkan serulingnya
dan meniup itu.
Hoa Seng mendengari, ia mengenali lagunya Su Tung Po
"Nyanyian air." Ia memandangi si nona, yang tengah
meniupnya dengan asyik. Tak dapat ia menduga, bagaimana
pikirannya si nona waktu itu.
Sehabisnya lagu itu, si nona tertawa.
"Aku hendak mengajak kau pergi mencari mustika nomor satu
di kolong langit," katanya, "siapa tahu aku pun dibikin
kesengsam dengan ini keindahan alam yang nomor satu di
kolong langit ini. Nah, marilah kita berangkat melanjuti
perjalanan kita!"
Hoa Seng mengangguk, ia mengikuti nona itu. Mereka jalan
mengitari telaga itu, jalannya mendaki. Kira-kira satu jam,
mereka naik semakin tinggi, jalanan pun makin sukar. Ketika
mereka mencoba memandang ke bawah, mereka mendapatkan
mega memain di bawahan mereka itu. Hari sebenarnya sudah
tengah hari tetapi hawa dingin terasa semakin hebat.
"Kau dengar!" kata si nona tiba-tiba. "Mereka itu tengah
melakukan menggali! Kita jadi datang pada waktunya yang
tepat!" Karena si nona memandang ke atas, Hoa Seng pun lantas
mengangkat kepalanya. Ia memasang kupingnya. Di atas ada
puncak es, potongannya mirip dengan seorang nona tengah
berdiri diam dengan tubuhnya yang langsing. Ia pun lantas
mendapat dengar suara seperti batu dipahat atau dicongkel,
keluarnya seperti dari dalam "perut" puncak es itu. Ia menjadi
heran. "Sebenarnya mustika itu mustika apa?" ia tanya si nona.
"Kenapa mustika itu disebut sebagai mustika nomor satu di
kolong langit ini?"
"Apakah kau tidak percaya?" si nona balik menanya, tertawa.
"Jikalau itu bukannya mustika nomor satu di kolong langit ini,
mustahil Tjhong Leng Siangjin mau bekerja sekuat tenaganya
untuk mendapatkan itu" Kau tahu, mustika itu berada di lobang
es yang dalamnya seribu tombak dari ini puncak Giok Lie
Hong!" Hoa Seng jadi semakin heran.
"Adik yang baik," katanya, mendesak, "coba kau menjelaskan
terlebih jauh. Sebenarnya, mengapa kau pun ketahui tentang
mustika itu?"
"Mulanya inilah kejadian pada tiga tahun yang lalu," menyahut
si nona, yang suka memberikan keterangannya. "Pada tahun itu
aku beruntung sekali dapat bertemu sama Liong Yap Taysoe
dari India, kebetulan aku lagi belajar ilmu pedang, aku lantas
mohon diberikan pengajaran. Ia memberikan aku beberapa
pelajaran bersamedhi, mengenai ilmu silat pedang, ia kata
itulah bukan kebiasaannya yang istimewa, meski begitu, ia
menghadiahkan aku sejilid kitab dalam bahasa Sangsekerta di
dalam mana antaranya ada termuat sebuah ceritera bagaikan
dongeng." "Apakah itu, adikku?"
"Menurut keterangan," Hoa Giok menyahut, menjelaskan
terlebih jauh, "di puncak Giok Lie Hong dan gunung Nyenchin
Dangla ini ada sebuah lubang atau guha es, di dalam situ ada
inti es yang telah terbenam selama jutaan tahun, inti es yang
tak dapat lumer. Katanya kalau inti es itu dibikinkan menjadi
golok atau pedang, keras dan kuatnya melebihkan baja. Tapi
itulah belum semua. Di puncak Giok Lie Hong ini pun
kedapatan batu kumala, batu kumala itu bercampur menjadi
satu dengan inti es itu dan menjadi keras. Sebuah batu kumala
bercampur inti es itu berada di tengah-tengah, di pusatnya
lubang es itu. Itulah batu es kumala yang harus dicari, untuk
dijadikan pedang istimewa. Hawa dinginnya inti es itu
membuat orang yang berada di dekatnya mesti mundur jauhjauh.
Pedang itu ialah yang dinamakan Pengpok Han-kongkiam,
atau Pedang Inti Es, Kalau kau berhasil mendapatkan itu,
bukankah kau menjadi tidak ada tandingannya di kolong langit
ini?" Hoa Seng tertawa.
"Kalau benar ceritera itu, benarlah itulah pedang mustika
paling aneh di kolong langit ini!" ia berkata. "Cuma, kalau
pedang bukan didapatkan orang bijaksana, aku rasa tidak ada
faedahnya, bahkan sebaliknya pedang itu dapat mencelakai diri
sendiri." Si nona bersenyum.
"Sudahlah, kita jangan omong dulu tentang pedang," ia
berkata. "Mari kita bicara tentang ini guha es. Tidak sembarang
orang dapat turun ke dalam guha semacam ini. Kau tahu,
katanya Tjhong Leng Siangjin mendapat tahu guha ini setelah
ia menjelajah pelbagai gunung di Tibet, dan ia menemukannya
pun secara kebetulan. Untuk dapat masuk ke dalam guha ini, ia
telah membuatnya persiapan, ialah ia telah mengumpul banyak
macam bahan obat, yang ia bikin menjadi semacam pil. Kalau
pil itu dimakan, orang dapat melawan hawa dingin. Ia telah
bersiap selama sepuluh tahun, selama itu ia mencari tahu, ia
menduga-duga keletakannya pusat atau tempat beradanya
kumala inti es itu dan berapa jam saat terlemahnya hawa dingin
di situ. Ia hendak memasuki guha di saat yang hawa dinginnya
paling berkurang. Demikianlah, baru hari ini ia mulai dengan
usahanya itu."
"Kalau begitu pantaslah Tjhong Leng Siangjin " begitu ia
bertemu sama putera raja Nepal " sudah lantas menanyakan
tentang Bapak Daud dan Liong Yap Taysoe, nyatanya dia
hendak mencari pembantu."
Hoa Giok mengangguk.
"Bapak Daud itu meyakinkan ilmu silat tangan kosong Imyang-
ciang," Ia mengasi keterangan, "sedang Liong Yap
Taysoe adalah seorang pendeta suci dari agama Sang Buddha.
Tjhong Leng berpikir jauh sekali. Coba pikir, orang suci
sebagai Liong Yap Taysoe mana sudi membantui dia mencari
pedang itu?"
Hoa Seng tidak membilang suatu apa mengenai pikiran si nona
ini, ia hanya memikir tentang si nona sendiri. Bukankah Hoa
Giok masih sangat muda" Kenapa Liong Yap Taysoe sudi
memberikan kitab rahasia kepadanya" Sebenarnya, siapakah
dia" Si nona pun tidak perhatikan sikap kawannya itu, ia berkata
pula: "Kau telah bertemu sama Tjhong Leng Siangjin. Dia
berbuat atau membilang apa saja?"
"Dia minta delapan pahlawan kepada putera raja Nepal itu,"
sahut Hoa Seng.
Nampaknya si nona terperanjat.
"Kalau begitu, dia hendak menggunakan goloknya pahlawanpahlawan
Nepal itu," ia berkata. "Aku percaya, dia sendiri
dapat melawan hawa dingin tetapi delapan pahlawan itu tidak."
Selagi si nona bicara itu, kuping mereka mendengar suara
kelenengan. "Mari!" Hoa Giok mengajak.
Mereka naik hingga di datar es di atas puncak Giok Lie Hong
itu, dari situ mereka dapat berdiri menghadapi lubang atau
guha es itu. Karena mahirnya ilmu ringan tubuh mereka tidak
terpergok pahlawan-pahlawan yang menjaga di pinggiran
lubang es itu. Keduanya melihat tegas empat pahlawan Nepal yang
membawa golok bengkung mereka, mereka itu tengah
menggerak-geraki tangan dan kaki mereka, dalam cara yang
luar biasa sekali. Hoa Seng heran, tetapi waktu ia menoleh
kepada Hoa Giok, si nona sebaliknya mengasi lihat roman
girang. Segera, tanpa si nona menjelaskan lagi, ia dapat
membade sebab dari tingkah lakunya empat pahlawan Nepal
itu, ialah mereka tengah kedinginan, dan untuk melawan hawa
dingin itu, mereka berolah raga.
Suara kelenengan terdengar terus, makin nyaring. Tiba-tiba
empat pahlawan itu pun mengasi dengar suara aneh, terus
keempatnya lagi ke tepian lubang. Di sini mereka lantas
bekerja. Tidak lama, atau mereka telah mengangkat empat
buah keranjang, di setiap keranjangnya ada seorang pahlawan
Nepal, yang mukanya pucat pias, yang napasnya empas-empis,
semuanya rebah tak berkutik.
Menyusuli keempat pahlawan itu, terlihat Tjhong Leng
Siangjin berlompat naik, ketika ia geraki kedua tangannya, dan
tubuhnya juga, menggibrikkan jubahnya, hancuran es muncrat
berhamburan. Hebat es itu, sekalipun Hoa Seng, yang terpisah beberapa
puluh tombak, merasakan hawa dinginnya.
Tjhong Leng Siangjin pun kedinginan, tandanya ialah mukanya
pucat sekali, akan tetapi meski begitu, ia dapat bertindak
dengan tegar dan sikapnya tenang seperti biasa. Melihat
kekuatannya si orang suci, Hoa Seng kagum. Nyatalah dia jauh
terlebih tangguh dari kedelapan pahlawan Nepal itu.
Tjhong Leng Siangjin mengangkat empat pahlawan itu, untuk
diletaki di luar keranjang, setelah itu, ia menyuruh empat yang
lainnya turun. Mereka ini berdiam saja. Hati mereka jeri sebab
melihat empat kawannya rebah tak berdaya itu.
"Kamu berani membantah titahku?" Tjhong Leng membentak.
"Hm, Eh, kau siapa?"
Pertanyaan ini ditujukan bukan kepada empat pahlawan itu,
hanya kepada seorang lain. Sebab tahu-tahu Hoa Giok, si nona
serba putih, sudah berdiri di depan pendeta ini.
Si nona muncul setelah dia berlompat turun.
Keempat pahlawan Nepal itu kaget, mereka mengawasi si
nona, atau mendadak mereka mengasi dengar seruan tajam
saking kaget dan herannya, tidak ayal lagi mereka menjatuhkan
diri, untuk menekuk lutut ke hadapan si nona seraya mereka
merapatkan tangan mereka sebagai tanda hormat. Mereka pun
mengucap kata-kata pula.
Koei Hoa Seng tidak mengerti kata-katanya keempat pahlawan
Nepal itu, ia cuma bisa melihat benar orang heran dan kaget
tetapi bukan karena ketakutan, hanya disebabkan kegirangan.
Ia mau percaya, mereka itu menghormati si nona kepada siapa
sekalian mereka memohon bantuan ?"..
Tjhong Leng Siangjin mengawasi tajam sesudah tegurannya
itu. Karena si nona lebih memperhatikan keempat pahlawan
Nepal itu, ia jadi gusar. Tapi kali ini ia berseru: "Aku kira kau
siapa, nyatanya kaulah si siluman wanita yang di dalam Kota
Iblis sudah meniup seruling! Kau mempunyai kepandaian apa
maka kau juga berani mengharap mustika di lubang es ini?"
Nona itu mengasi lihat sikap memandang enteng.
"Aku tidak perduli segala mustika!" katanya dingin. "Aku
hanya hendak memerintahkan ini delapan pahlawan pulang ke
negerinya!"
Tjhong Leng tetap bergusar, sesaat kemudian, setelah
mengawasi si nona, ia ubah lagu suaranya.
"Baiklah," demikian katanya. "Kedelapan pahlawan ini
memang tidak bisa berbuat apa-apa, maka kalau kau ingin aku
melepaskan dia, nah, kau turunkanlah mereka! Tapi hendak
aku menjelaskan padamu, kalau kau membantu aku, aku tidak
akan sia-siakan bantuanmu itu. Untukmu, kau boleh ambil es
inti itu, kau boleh bikin itu menjadi peluru, hanya mengenai itu
kumala, jangan kau memikirnya yang bukan-bukan!"
Si nona baju putih tertawa pula, tetap tertawa dingin.
"Adalah mustika itu kepunyaan kau sendiri?" ia menanya.
"Jadi untuk mendapatkan itu, orang perlu mengharap
pembagian dari kamu?"
Sepasang alis gompiok dari Tjhong Leng Siangjin bangun
berdiri. "Aku telah bercapai hati beberapa puluh tahun, kau tahu?"
katanya bengis. "Kau jadinya hendak mendapatkan bagian
enaknya saja" Begitu gampang" Hm! Kau berani
menjebutkannya kau tidak memperdulikan mustika dalam
lubang es ini?"
Lagi-lagi si nona tertawa dingin.
"Karena kau berkata begini macam, dari tak ada minatku jadi
ada niatku!" ia berkata. "Sekarang hendak aku mengambil itu
kumala inti es! Baik, marl kita keluarkan masing-masing
kepandaian kita! Mari kita lihat siapakah yang nanti berhasil
mendapatkan mustika itu!"
Belum berhenti suaranya si nona atau Tjhong Leng Siangjin
sudah berlompat maju dibarengi seruannya yang bengis,
sebelah tangannya menyambar turun.
Atas datangnya serangan, si nona berkelit. Maka celakalah es
yang berada di depan pendeta ini, es itu kena diajar hingga
muncrat, suaranya pun nyaring.
Hoa Seng kaget sekali.
"Hebat tangannya pendeta ini," ia berpikir. "Agaknya
serangannya ini terlebih hebat daripada pukulan Taylek Kimkong-
cioe dari Siauw Lim Pay. Kalau ada ketikanya, hendak
aku mencoba-coba dengannya."
Tjhong Leng Siangjin penasaran karena gagalnya serangannya
yang pertama itu, dalam sengitnya, ia menjerang pula. Ketika
ini pun gagal, ia mengulangi untuk ketiga kalinya. Tapi ini juga
gagal. Setelah berlompat si nona, yang bersikap sabar sekali, berkata
dengan tenang: "Kau tunggu dulu, hendak aku menyadarkan
ini empat orang. Sebenarnya aku akan melayani kau mainmain!"
Tjhong Leng sedang mendongkolnya, ia tidak perdulikan


Pedang Inti Es Peng Pok Han Kong Kiam Karya Okt di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

perkataan orang. Ia maju pula, ia menjerang kembali. Dan ia
menjerang secara bertubi-tubi. Setiap serangan itu juga
mengasi dengar desiran angin, tanda dari kehebatannya.
Diperlakukan secara demikian galak, alisnya si nona
berbangkit. Sekarang ia mengangkat serulingnya, walaupun
dengan ayal-ayalan.
Justeru di saat itu, es di atas mana Koei Hoa Seng menaruh
kaki, telah kena tergempur serangannya Tjhong Leng Siangjin.
Benar serangan itu bukan disengaja tetapi toh si anak muda
terancam bahaya. Tapi ia dapat menyelamatkan dirinya, karena
semenjak tadi ia telah memasang mata. Ketika ini lantas
digunai si anak muda. Sambil berkelit, ia berlompat, bukan
untuk menyingkir, hanya guna sekalian menerjang. Ia lompat
tepat kepada si pendeta, menyerang dengan satu jurus dari ilmu
silat Ngo Kim Ciang-hoat, kedua tangannya bergerak hingga ia
mirip burung rajawali tengah menerkam.
"Bagus!" tertawa si nona, yang melihat gerakan si anak muda.
Ia dapat tertawa karena ia sudah bebas dari ancaman si pendeta.
"Engko, kau tolonglah mewakilkan aku menyambut dia
beberapa jurus!" Ia lantas berdiri diluar gelanggang.
Tjhong Leng Siangjin melihat datangnya si anak muda, tanpa
menghiraukan si nona, ia menyambut serangan orang. Ia telah
mengerahkan tenaganya di kedua belah tangannya. Maka itu,
hebatlah benterokan tangan mereka, " hebat seperti suara si
pendeta, yang berseru keras.
Sebagai kesudahan, terlihat tubuh Hoa Seng berjumpalitan,
sedang tubuh Tjhong Leng terhuyung mundur beberapa tindak.
Dari sini segera terlihat bahwa kekuatan mereka seimbang.
Hoa Seng jumpalitan lantaran ia tengah menerkam, kedua
kakinya tidak menginjak tanah, sebaliknya si pendeta sambil
memasang kuda-kudanya.
"Dia benar hebat," pikir Hoa Seng. "Kelihatannya dia tak ada
di bawahanku."
Tjhong Leng sendiri kaget tidak terkira. Ia merasakan dirinya
tangguh, ia mau menganggap ialah orang kosen nomor satu
untuk Tibet, siapa tahu, ia telah menghadapi lawan yang
tangguh. Tadinya cuma tiga orang yang ia pandang tinggi,
ialah satu Ie Lan Tjoe, kedua Liong Yap Taysoe, dan ketiga
Bapak Daud. Siapa sangka sekarang, di atas gunung Nyenchin
Dangla ini, sudah bertemu si nona baju putih, juga ini pemuda.
Ia lebih heran akan mendapatkan baik si nona maupun
sipemuda, dua-duanya masih sangat muda, umumya kurang
lebih dua puluh tahun.
Tapi pendeta ini penasaran, maka itu, setelah menetapkan hati,
sambil berseru ia maju pula, untuk menyerang. Ia menggunai
dua, tangannya.
Koei Hoa Seng mencoba keras lawan keras, ia menolak
serangan itu dengan kedua tangannya juga, ia menggunai tipu
silat Siang-twie-Ciang, " Sepasang Tangan Menolak. Maka
itu, kembali mereka mengadu tenaga.
Dalam penasarannya, Tjhong Leng menyerang terus, bagaikan
gelombang saling susul, saling susun, tetapi dilayani si anak
muda, ia tidak berhasil untuk merobohkan lawannya itu, sia-sia
belaka segala percobaannya.
Selagi melayani si pendeta, tiba-tiba Hoa Seng berseru: "Kita
sudah mengadu tangan kosong, sekarang Mari kita mengadu
senjata!" Pendeta dari Tibet itu tertawa lebar.
"Marilah!" ia menyambut tantangan. "Kau hendak menggunai
senjata apa! Aku sendiri tetap dengan kedua lengan kosong!"
Kata-kata ini ditutup sama satu serangan dahsyat.
Hoa Seng berkelit atas serangan itu, berkelit untuk menghunus
senjatanya, sebab selagi menantang, ia sudah mencekal gagang
pedangnya. Karena ini, habis serangan si pendeta, ia membalas
menyerang. Bahkan ia menyerang saling-susul hingga tiga kali.
"Sret!" demikian satu suara nyaring. Sebab tahu-tahu, jubahnya
Tjhong Leng kena ditanya pedangnya si anak muda.
"Lebih baik kau hunus saja senjatamu!" mengejek Hoa Seng. la
pun mendongkol yang si pendeta mencoba mengejek ia tadi.
Baru sekarang Tjhong Leng tahu lawannya itu liehay.
Tjhong Leng Siangjin menjadi malu dan gusar, ia tertawa
dingin. "Bocah tak tahu mampus atau hidup!" katanya sengit, "kau
menghendaki aku mengeluarkan senjata, itu sama saja kau
menginginkan aku mengantar kau pulang ke pintu dari Langit
Barat!" Lalu, mendadak saja, ia mengeluarkan senjatanya, ialah
sepasang cecer yang terbuat dari kuningan, senjata mana lantas
terlihat warnanya yang kuning berkilauan, dan tempo keduanya
diamproki satu dengan lain, terdengarlah suaranya yang
nyaring sekali membuatnya kuping ketulian. Dengan
senjatanya yang istimewa itu. ia segera menyerang Hoa Seng,
pedang siapa hendak ia menjepitnya.
Pemuda she Koei itu meloloskan diri dari jepitan, setelah itu, ia
mencoba menggempur cecer itu. Ketika kedua senjata bentrok,
terdengarlah suara yang nyaring dan berisik. suara seperti suara
emas atau kumala. Ia menjadi heran apabila ia mendapat
kenyataan, pedangnya tidak dapat merusak gegaman lawannya
itu. Nyata cecer itu bukan terbuat dari kuningan belaka hanya
campuran dari emas.
Dengan senjata cecernya itu, Tjhong Leng Siangjin telah
melatih diri lamanya beberapa puluh tahun, maka itu bisalah
dimengerti yang ia dapat menggunainya dengan sempurna,
malah sebagai jurusnya adalah jurus-jurus yang sangat langka
di dalam kalangan persilatan. Begitulah pernah dengan
cecernya itu ia melayani Ie Lan Tjoe, liehiap dari Thian San,
hingga hampir banyaknya seratus jurus. Ia jadi sangat bangga
karenanya. Maka kalau menghadapi lawan yang sama derajat,
tidak mau ia mengeluarkan senjatanya itu. Tapi sekarang ia toh
mengeluarkannya juga terhadap lawan yang muda belia ini,
inilah kejadian yang pertama kali, di luar kebiasaannya.
06. Mustika di Guha Es
Koei Hoa Seng muda akan tetapi ialah akhli waris sejati dari
ilmu silat pedang Tat-mo Kiam-hoat, maka itu terdengarlah, di
antara suara bentrokannya senjata, siulannya yang panjang, lalu
sinar pedangnya naik ke atas menangkis, maka dengan
gampang sekali dapatlah ia menyingkirkan serangannya
Tjhong Leng Siangjin.
Heran pendeta itu, hingga air mukanya pun berubah. Hanya
sejenak, ia perlihatkan roman mengejek yang menyeramkan.
Berbareng dengan itu, ia menggeraki cecer di tangan kirinya.
Hoa Seng hendak menangkis serangan itu, atau mendadak si
pendeta menarik pulang cecer kirinya itu, untuk segera diganti
dengan cecer kanan, tetapi bukannya dia menyerang, hanya dia
adukan kedua cecernya itu. Maka segeralah terdengar suara
berisik, yang menulikan kuping.
Hoa Seng heran hingga ia tercengang.
"Tipu silat apakah ini?" ia menanya dalam hatinya. Tapi tengah
ia berpikir, sekonyong-konyong kedua cecer itu menyambar ke
arahnya. Ia lantas berlompat, dengan pedangnya ia menyontek
ke bawah, guna menangkis.
Kedua cecer itu lewat di bawahan kakinya, lalu berputar,
kembali kepada pemiliknya! Itulah jadinya semacam serangan
membalik seperti boomerang, maka sejenak kemudian, kedua
cecer sudah berada pula di tangannya Tjhong Leng Siangjin.
"Sungguh berbahaya!" seru Hoa Seng dalam hatinya. Karena
ini, ia tidak berani berlaku sembarangan. Ia putar pedangnya,
hingga ia bagaikan mengurung dirinya. Dengan itu ia menjaga
diri dulu, untuk selama itu mencari jalan untuk membalas
menyerang. Mereka bertempur terus. Dengan menggunai pedang, Hoa Seng
lebih unggul sedikit tetapi di dalam tenaga dalam, ia agaknya
kalah. Sampai hampir seratus jurus, keduanya masih sama
tangguhnya. Luar biasa cecer Tjhong Leng Siangjin, kalau diadu sendirinya,
suaranya terus menulikan kuping.
Lagi beberapa jurus, lengkap sudah seratus jurus mereka
bertarung, masih saja mereka sama imbangannya, hanya suara
cecer itu makin lama makin hebat, sebab saban ada ketikanya,
Tjhong Leng mengadu itu, hingga sendirinya, pikiran Hoa
Seng menjadi rada kacau, karena ia terganggu pemusatan
pikirannya itu. Sebenarnya siapa mahir tenaga dalamnya, yaitu
samedhinya, dia sukar terganggu oleh segala godaan. setahu
kenapa, Hoa Seng seperti kuat mempertahankan diri. Mungkin
ini disebabkan ia mendapatkan lawan sangat tangguh.
Tjhong Leng Siangjin liehay sekali, ia seperti melihat
kelemahannya lawan ini, lantas ia mendesak semakin hebat,
maka walaupun ia bersenjatakan pedang, Hoa Seng agak
terdesak, dia cuma dapat membela diri. Agaknya, untuk
menangkis saja, dia sudah kewalahan.
Di dalam saat yang genting itu, yang berbahaya untuk si
pemuda she Koei, sekonyong-konyong Tjhong Leng Siangjin
berseru sendirinya, sebab selagi bertempur, ia mencuri ketika
akan berpaling kepada si nona dan keempat boesoe atau
pahlawan. Hoa Seng pun lekas-lekas melirik. Ia melihat keempat boesoe
itu, yang hampir beku karena kedinginan, sudah dapat
berbangkit berdiri, dan ketika itu, mereka lagi memberi hormat
kepada si nona baju putih. Menggunai ketika lawannya tertarik
perhatiannya kepada lain hal, ia mencoba membalas
menyerang dengan desakannya.
Tjhong Leng repot membela diri. Terang ia hendak
menghampirkan keempat boesoe Nepal itu akan tetapi ia tidak
sanggup. Maka ia melainkan dapat mengawasi saja bagaimana
habis memberi hormat kepada si nona, mereka itu lantas lari
bagaikan terbang turun dari gunung!
Bukan main mendongkolnya Tjhong Leng. Ia murka berbareng
heran sekali. Untuknya, kehilangan delapan boesoe itu tidak
berarti banyak. Ia hanya terkejut yang si nona dengan cara
gampang saja dapat menyembuhkan orang. Terang sudah, nona
ini mempunyai obat melawan hawa dingin. Kekuatirannya
adalah, selagi ia melayani Hoa Seng, si nona nanti pergi ke
dalam guha untuk mengambil apa yang dia namakan mustika
itu. Si nona tidak bertindak lebih jauh sehabisnya dia menolong
kedelapan boesoe Nepal itu " dia tidak masuk ke dalam guha,
dia tidak maju untuk membantui Hoa Seng. Dia hanya
menghampirkan mulut guha, untuk duduk bersila di depan
guha itu, sikapnya tenang-tenang saja. Dengan anteng ia
menyaksikan pertempurannya dua orang itu, yang berlangsung
terus. Tjhong Leng tidak dapat menerka maksud si nona, akan tetapi
karena orang tidak mengambil tindakan lain, hatinya menjadi
tetap, ia terus memusatkan perhatian kepada lawannya saja,
kepada Koei Hoa Seng, sepasang cecernya bergerak-gerak
dengan hebat, kadang-kadang sambil terbang. Ia menyerang
dan membela diri lebih dahsyat dan sempurna daripada semula
tadi. Hoa Seng merasakan sulit melayani pendeta yang tangguh dan
ulet ini, sampai ia merasakan pernapasannya sesak. Suara cecer
berulang-ulang juga mengacaukan pikirannya, hingga ia mesti
menguasai diri untuk dapat melawan terus. Lama-lama ia
merasa bahwa ia tak dapat bertahan terus-terusan secara
demikian. Ketika anak muda ini membayangi datangnya detik-detik yang
membahayakan dirinya, tiba-tiba kupingnya mendapat dengar
suara seruling, dari perlahan menjadi muluk. Perlahan suara
seruling itu tetapi toh dia dapat menembusi suara cecer yang
berisik dan aneh itu, yang hebat pengaruhnya. Suara seruling
itu adalah satu penawar bagi Hoa Seng, seperti di gurun kering
orang bertemu sumber air, atau di panas terik orang meminum
air salju. Dengan datangnya suara seruling, lenyaplah kekacauan pikiran
anak muda ini, karena mana semangatnya pun menjadi
terbangun pula, hingga ia bisa bersilat dengan baik dengan
ilmu silatnya, ilmu silat pedang Tat-mo Kiam-hoat. Dengan
begitu, dalam tempo yang cepat, ia dapat memperbaiki diri,
hingga tak lagi ia terdesak, hingga keduanya menjadi
berimbang pula.
Tidak lama sehabis perubahannya Koei Hoa Seng ini, sebagai
gantinya, Tjhong Leng Siangjin adalah yang nampak
bergelisah, karena mana, cecernya ia mengadunya berulangulang,
dengan keras sekali. Di lain pihak, suara seruling
terdengar nyata semakin halus, dan walaupun suara halusnya
itu, suara cecer tidak dapat menekannya.
Hati Hoa Seng menjadi tenang. Ia merasakan suara seruling
merdu sekali. Dengan pikiran tenang itu, makin merdeka ia
bergerak dengan pedangnya. Hanya sesaat kemudian, ialah
yang terlebih unggul, tidak perduli Tjhong Leng Siangjin
menggunai jurus yang sangat berbahaya, senantiasa ia berhasil
memunahkannya. Ia sekarang justeru membuatnya pendeta itu
mulai terdesak, hingga dia mesti main mundur ?"
Lagi beberapa detik, mendadak suara seruling berubah
nadanya, dari halus menjadi tinggi, menarik tinggi dengan
teratur, perlahan tetapi tentu.
Satu kali Hoa Seng mencelat tinggi, atau ia merasakan, gerakgeriknya
cocok sama irama seruling itu. Dari atas, ketika ia
turun pula, ia menyerang lawannya dengan tipusilat "Hoei
niauw touw lim," yaitu "Burung terbang pulang ke dalam
rimba," lalu pedangnya berkilau bagaikan bintang cemerlang di
langit hitam. Sebagai akibat serangan ini, terdengar suara
nyaring dan jeritan dari kaget dan kesakitan. Sebab cecer
tembaga dari Tjhong Leng kena dirusaki pedang dan robohnya
terluka dengan tujuh lubang.
Tatkala Hoa Seng turun dan menaruh kaki di tanah, ia
menampak Tjhong Leng lari kabur turun gunung cepatnya
bagaikan terbang, hingga ia menjadi sangat kagum untuk
ketangguhan pendeta itu. Bukankah orang habis bertempur
lama dan terluka juga"
Si nona baju putih berhenti dengan lagunya yang menarik hati
itu. Karena ialah yang meniup seruling. Ia berbangkit dengan
perlahan-lahan.
"Sungguh satu ilmu pedang yang bagus!" ia memuji sambil
bersenyum manis.
Mukanya Hoa Seng merah sendirinya.
"Jikalau tidak kau membantui, mungkin aku telah terluka
sepasang cecernya pendeta itu," katanya likat.
"Mana aku membantu kau?" berkata si nona manis. "Itulah
melulu disebabkan kepandaianmu sendiri yang telah ada
dasarnya. Umpama kata pelita atau lilin yang dapat menyala,


Pedang Inti Es Peng Pok Han Kong Kiam Karya Okt di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

atau seruling yang dapat dilagukan, aku melainkan
mendatangkan api yang berkelak-kelik atau meniupnya dengan
napas yang halus. Untuk itu, tidak ada apa-apa yang berharga
yang harus diucapkan."
Hoa Seng menatap untuk kata-kata si nona yang berarti itu,
cuma sejenak, ia lantas sadar. Maka ia merangkapkan kedua
belah tangannya.
"Memang pelita dan lilin dapat dinyalakan dan seruling dapat
dibunyikan," katanya bersyukur. .,Memang iblis dari luar
sebenarnya tak ada, kosong belaka. Nona, aku berterima kasih
kepadamu!"
"Engko," berkata si nona tertawa, "kau telah insaf, kau
memperoleh kemajuan satu tindak pula. Bicara sejujurnya,
bicara dari hal ilmu silat, aku bukanlah tandingan dari Tjhong
Leng Sianjin. Yang benar, engko, adalah ilmu pedangmu yang
liehay sekali. Adakah itu ilmu silat Tionghoa?"
"Bukan," menyahut Hoa Seng sambil menggeleng kepala,
"sebenarnya ini asal dari Barat, yaitu Tat-mo Kiam-hoat, ilmu
pedang Bodhidarma, hanya, setelah melalui tempo seribu tahun
lebih, berkat bantuannya pelbagai akhli silat Tionghoa,
kemajuannya luar biasa, sekarang jadi melebihkan asalnya,
menjadi terlebih sampurna."
Si nona mengangguk.
"Engko benar juga," ujarnya. ,,Memang, di antara Barat dan
Tionggoan, tidak ada perbedaannya, bahkan ilmu silat dari
seluruh dunia, dapat dipersatukan ?"?"
Mendengar pembicaraan si nona, Hoa Seng ingat sesuatu.
"Tadi malam aku melihat kau menggunai seruling menuruti
cara ilmu pedang, melihat itu terbukalah mataku," ia berkata.
"Aku sangat mengagumi kau. Dengan begitu, juga ilmu silat
kita berdua dapat disatu padukan. Mungkin perpaduan itu tak
sampai membuat kita dapat menjagoi di kolong langit ini tetapi
aku percaya, kita bakal bantu memancarkan cahaya gilang
gemilang dalam ilmu pedang!"
"Benarkah itu?" bersenyum si nona, kedua matanya menatap.
Lantas ia membungkam.
Hoa Seng balik menatap, ia pun berdiam.
"Untuk bepergian, untuk berdiam, itulah bergantung sama
jodoh," kata si nona sesaat kemudian. "Kata-katamu ini baiklah
diucapkan lagi nanti apabila di kemudian hari ada jodohnya
?"." Hoa Seng tidak bergembira mendengar kata-kata itu. Ia
mengangkat kepalanya memandang langit. Nyata matahari
sudah berada di atasan kepala mereka. Dan puncak es, di
bawah sinar matahari itu, memperlihatkan pemandangan yang
indah sekali. Dan bayangan sendiri bersama bayangan si nona,
bayangan yang berada di bawah puncak es itu, bagaikan
bersatu padu ?"?"".
Inilah keadaan, atau pemandangan, yang ia mengharapnya tak
nanti lenyap pula, supaya dapat berada dengan kekal adanya,
bagaikan impian indah yang berkesan lama.
Si nona memandang kelilingnya.
"Sekarang sedang tengah hari, hawa dingin saatnya paling
lemah, sudah waktunya kita bekerja," katanya kemudian.
Hoa Seng mengangguk, lalu ia mengikuti si nona bertindak
menuju ke lubang guha es.
Di sana ada sinar terang, ada siuran angin dingin yang halus,
tetapi mengenai tubuh, siuran itu rasanya menusuk-nusuk.
"Liong Yap Taysoe telah memberikan aku kitab bahasa
Sangsekerta," kata si nona, tertawa, "di dalam kitab itu ada
resep obat buat melawan hawa dingin, maka aku telah
membikin tujuh obat itu, yang dinamakan Yang Hoo Wan.
Tapi sekarang baiklah kita mencoba dulu tenaga tubuh kita,
jangan kita mengandali kekuatan obat, dikuatir di belakang hari
kita nanti tidak dapat menggunai Peng-pok Hankong-kiam
serta Peng-pok Sin-tan."
Hoa Seng belum mengerti akan itu kata-kata Peng-pok Hankong-
kiam, yang berarti pedang inti es, dan Peng-pok Sin-tan,
peluru inti es, maka ia tidak membilang suatu apa. Hanya,
berdiri di mulut guha, ia memandang ke arah dalamnya. Ia
melihat hanya segala apa putih, semua mirip dengan halnya
istana dewa di dalam dongeng ?"..
Guha itu seperti tertutup mega kabut.
Pemuda ini menjumput sebutir batu, ia melemparkannya ke
arah guha. Atas itu ia tidak mendengar suara apa juga. Maka
dapatlah diduga dalamnya guha itu.
"Apakah kau jeri?" si nona menanya, mengawasi.
Si pemuda tertawa.
"Aku ada bersama kau, apakah yang aku takut?" katanya. Ia
lantas menghunus pedangnya, pedang Theng-kauw-kiam,
dengan itu ia menusuk kepada tebing es yang berupa sebagai
tembok, lalu ia geraki tubuhnya, untuk turun. Berulang-ulang
ia menggunai pedangnya itu serta tangan kirinya, karena mana
ia dapat turun ke dalam guha yang mirip lubang sumur. Ia
menggunai Pek-houw Yoe-Ciang-kong, atau "Cecak Memain
di Tembok", hanya bukannya memanjat, tetapi meluncur turun.
Sembari turun, Hoa Seng mencoba melihat si nona, yang telah
mengikuti ia turun. Hanya beda daripada ia, si nona cuma
menggunai kedua tangannya yang dipentang, ditempel
bergantian kepada kedua tepi guha itu, yang merupakan es
semua, turunnya lancar, bagaikan tak menggunakan tenaga.
Dengan cepat ia telah dilewati.
"Ah" memikir pemuda ini. Ia yang bangga akan
kepandaiannya, sekarang kalah oleh satu pemudi. Ia lupa
bahwa Nepal adalah negara es dan di sana bocah-bocah sudah
memain di es semenjak usianya tiga tahun, hingga si pemudi
tidaklah menjadi kecuali, melainkan si nona ini menggunai
akal, tanpa sepatu es atau bangkolan tangan.
Di lain saat, nona itu telah tiba lebih dulu di dasar guha. Ketika
ia melihat ke atas, Hoa Seng baru sampai di tengah. Ia
bersenyum. Lantas ia mengeluarkan sehelai tambang, yang
sepuluh tombak, tambang mana ia lemparkan ke atas. Dengan
bantuan tenaga dalamnya, ia dapat membuat tambang itu
lempang kaku. Hoa Seng melihat tambang itu meluncur naik, ia berlompat
menyambar dengan gerakannya "Burung kapinis
berjumpalitan," kemudian dengan ilmu "Dengan sebatang
gelagah menyeberangi sungai," ia meluncur turun.
Si pemuda, dengan kesebatannya, membuatnya tambang itu
semakin pendek, maka lekas sekali si pemuda sudah turun,
berdiri berendeng bersamanya.
Di dalam guha itu, hawa dingin ada luar biasa. Maka Hoa Seng
lantas mengempos semangatnya, napasnya dibikin berjalan
lurus, untuk melawan hawa dingin itu. Bersama si nona,
dengan tindakan perlahan, mereka berjalan. Di dalam guha
luas, tak sempit seperti liangnya tadi. Di sekitarnya terlihat es
yang gilang gemilang bagaikan ratusan atau ribuan buah kaca
rasa, sinarnya pun berbalik, hingga tubuh mereka berbayang
hampir tak dapat dibedakan.
Tidak lama mereka berjalan, sinar terang mulai menjadi lemah,
sebaliknya, hawa dingin bertambah. Mereka melawan, mereka
berjalan terus. Sampai lenyaplah itu cahaya bagaikan kaca rasa
di tembok es itu. Hanya sekarang Hoa Seng merasakan tangan
dan kakinya seperti membeku dan napasnya pun mulai sesak.
"Es di sini telah membeku menjadi batu," berkata si pemudi,
menyelaskan, "bukan seperti es di luar yang ada seperti es
wajar. Di dalam kitab bahasa Sangsekerta itu, es di sini
dinamakan 'es laksaan tahun.' Tentu saja, yang benarnya, bukan
melainkan laksaan tahun saja ?"?"
Hoa Seng menghunus pedangnya dan membacok kepada es itu,
ia mengambil satu potong. Mencil sendirian, potongan es itu
bersemu rada hitam, kuatnya betul seperti batu. Dipegang
dengan tangan, es itu dingin luar biasa, meresap ke dalam
tulang, maka lekas-lekas si pemuda melemparkannya.
Dengan meminjam sinarnya pedang, muda-mudi ini berjalan
terus, sampai mereka melihat sinar terang, sinar yang kehijauhijauan.
"Karang Han-giok-giam berada di depan kita," berkata si nona,
"di sana kita dapat menggali itu kumala han-giok yang usianya
sudah jutaan tahun. Engko, dapatkah kau melawan hawa dingin
di sini?" Sebenarnya Hoa Seng telah kedinginan hingga kedua barisan
giginya atas dan bawah bercakrukan, akan tetapi mendengar
suara si pemudi, yang halus dan merdu, ia bagaikan mendapat
hawa hangat hingga ia dapat melawan hawa dingin itu. Ia
mengangguk. Di depan mereka ada berdiri sebuah atau setumpuk batu karang
yang besar, yang merupakan seperti angin, di kiri dan
kanannya ada tembok es yang hitam.
"Coba engko memapas di situ," berkata sinona seraya
tangannya menunjuk.
Hoa Seng menurut, ia mengajun pedangnya.
Begitu lekas juga di depan mereka terlihat sinar terang
mencorot ke empat penjuru, membikin terang seluruh guha itu.
"Inilah inti es yang semenjak dulu kala tidak pernah lumer," si
nona menerangkan. "Kalau inti es ini dibuatnya menjadi
peluru, dia akan menjadi senjata rahasia yang nomor satu di
kolong langit ini."
Pada batu es itu ada beberapa tanda-tanda bacokan, menunjuk
pada itu, si nona tertawa.
"Golok Nepal tajam tetapi golok itu tidak dapat melawan
pedang mustika," ia berkata pula. "Inilah buktinya kenapa batu
es ini tidak dapat digempur oleh mereka yang mendahului kita
datang ke mari. Tjhong Leng Siangjin tidak menyangka inti es
ini begini keras dan kuat. Syukur dia tidak membawa pedang
mustika. Maka syukurlah engkau, engko, aku dapat mengandal
kepadamu!"
Hoa Seng gembira sekali, lalu ia membacok pula berulangulang,
membuat batu es itu jatuh berkeping-keping, tetapi
kemudian, ia membentur serupa barang yang keras, yang tidak
mempan terbacok. Suara bacokan itu nyaring.
"Coba kasikan pedangmu padaku, engko," berkata si nona.
Hoa Seng mengangsurkan pedangnya.
Dengan pedang mustika itu, si nona mencongkel, menggali
dengan hati-hati. Ia menggali memutar. Sembari bekerja, ia
berdiri berendeng sama Hoa Seng. Ia bekerja bukannya, tanpa
menggunai tenaga, ia malah mengerahkan tenaga Taylek Engjiauw-
kang. "Mari kita bekerja sama!" mengajak si nona kemudian. Terus
ia menjambret inti es yang telah digali seputarnya itu, terus ia
menarik sekuat tenaganya. Hawa dingin luar biasa, tetapi
keduanya bertahan. Satu kali si nona berseru, lantas ia berhasil
mencabuti inti es itu, ialah kumala hijau tiga kaki persegi,
seluruhnya bersinar terang mengkilap.
Bukan main girangnya si nona, wajahnya menjadi ramai.
"Engko, kita berhasil mendapatkan ini kumala es dari laksaan
tahun," katanya, "dan ini kita mengandal kepada pedangmu ini.
Han-giok ini engko boleh ambil, untuk dibuatnya menjadi
sebatang pedang mustika, dengan memakai pedang ini, kau
bakal tanpa lawan lagi!"
Hoa Seng tertawa.
"Tanpa bertemu sama kau, tidak nanti aku ketahui guha es ini,"
ia berkata. "Maka itu, bagaimana aku berani mengambilnya"
Lagi pula pepatah Tionghoa ada menyebutnya, benda itu
enteng, budi itu berat, dari itu, dengan kau hendak memberikan
kumala ini padaku, aku telah menerima budimu, budi yang
terlebih berharga daripada kumalanya sendiri. Aku mengerti
kau, budimu ini tidak nanti aku melupakannya."
Si nona bersenyum,
"Kau bisa sekali bicara, engko!" katanya. "Karma kau
membilang demikian, baiklah aku menghendaki kumala es ini."
Ia mengeluarkan sebuah kantung sulam, kumala es itu
dimasuki ke dalam kantung itu.
"Dari apa dibuatnya kantungmu ini?" Hoa Seng menanya.
"Kenapa kantung bersinar menyilaukan mata, bukan seperti
kantung sulam biasa?"
"Kantung ini terbuat dari sutera dari India Barat," menyahut si
nona. "Air dan api tak dapat membasahkan atau membakar
sutera ini. Kau melihatnya sendiri, kumala ini dapat dimasuki
ke dalamnya tanpa sinarnya nembus keluar."
Hoa Seng kagum hingga ia pegang-pegang kantung itu.
Perkataan si nona benar adanya.
"Karena kau mempunyai kantung wasiat ini," ia berkata,
"baiklah kau ambil sekalian ini potongan-potongan inti es,
supaya kemudian kau dapat membuatnya menjadi peluru es
Peng-pok sintan."
"Benar," si nona menyahuti, lalu ia tertawa. "Hanya saja, selagi
aku mendapatkan barang, kau sendiri pulang dengan tangan
kosong!" Hoa Seng tertawa, lalu ia membacok pula beberapa kali,
mendapatkan beberapa potong sisa kumala es.
"Kumala ini tidak dapat dibikin jadi pedang es tetapi masih
dapat dijadikan barang mainan!" katanya.
"Toako, tahan!" mendadak si nona berkata. Ia bersikap
sungguh-sungguh. "Coba lihat, apakah ini?"
Si nona menunjuk, dan si pemuda mellhatnya.
Di bekas tumpukan karang han-giok itu terlihat lukisan aneh
seperti huruf. Si nona mengawasinya, hingga kemudian ia
berseru: "Inilah huruf-huruf Sangsekerta! Inilah penyelasan
caranya membikin pedang Pengpok Hankong-kiam! Ah, aku
mengerti sekarang. Orang berilmu itu, yang membuat kitab
rahasia bahasa Sangsekerta itu adalah seorang pendeta yang
berilmu tinggi, rupanya dulu dia yang bermula menemui
gunung kumala es ini, tetapi dia tidak mempunyai pedang
mustika, dia tidak berhasil mendapatkannya, tetapi dia liehay
sekali, dia dapat bertahan melawan hawa dingin di sini, maka
dia berhasil juga mengukir huruf-huruf ini, untuk memberi
pelajaran kepada mereka yang akhirnya mendapatkan kumala
es ini." Habis berkata, si nona lantas duduk bersila, tubuhnya tegak,
sembari bersila, ia membaca huruf-huruf itu, sekalian dengan
menuruti pengajaran itu, ia melatih diri melawan hawa dingin
itu. Dengan beraturan ia memainkan pernapasannya.
07. Pencipta Ilmu Pedang Sungai Es
Hoa Seng mengerti tugasnya, maka ia berdiri diam di samping
si nona dengan pedang terhunus di tangan. Dengan begitu ia
hendak melindungi si nona yang tengah berlatih itu. Tugas ini
sangat berat untuknya. Hawa dingin menyerang hebat sekali
kepadanya, sampai ia merasakan hampir tak dapat bertahan
lebih lama pula ?"?"?"
Mereka tidak tahu sudah berapa lama mereka berdiam di dalam


Pedang Inti Es Peng Pok Han Kong Kiam Karya Okt di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

guha itu, sedang sebenarnya ketika itu sudah lewat lohor, lagi
mendekati magrib. Coba latihan tenaga dalam dari Hoa Seng
tidak sempurna, tidak nanti ia dapat bertahan sampai begitu
lama, atau tentulah ia sudah beku.
Tengah Hoa Seng berdiam seraya menyalurkan napasnya, buat
tetap melawan serangan hawa dingin itu, tiba-tiba kupingnya
mendapat dengar satu suara berkelisik, yang datangnya dari
arah luar. Ia terkejut. Ia menduga kepada datangnya seorang
berilmu. Ia heran ada lain orang yang begitu tangguh, yang
dapat memasuki guha itu. Ia berpaling, untuk memasang mata.
Suara tadi terdengar pula semakin nyata, lalu di lain detik
terlihat siapa yang menyebabkan itu. Yaitu seorang yang luar
biasa sekali, sebab tubuhnya kurus-kering mirip sebatang
bambu, jidatnya celong, matanya merah seperti api, rambutnya
berdiri riap-riapan. Tegasnya, ia beroman sangat aneh dan
bengis. Lainnya lagi, yang mendatangkan rasa heran, adalah
kedua tangannya. Dengan kedua tangannya itu ia menyerang
kalang-kabutan, kalau tangan itu mengenai es, es itu lantas
gempur lumer seperti terkena sorot matahari. Tidakkah aneh,
inti es yang tidak mempan senjata tetapi runtuh oleh tangannya
manusia aneh itu"
Tengah Hoa Seng tercengang itu, si manusia aneh mengasi
dengar bentakannya: "Hai, kedua bocah, sungguh besar
nyalimu" Cara bagaimana kamu berani lancang memasuki
Puncak Bidadari untuk mengambil mustika?"
Walaupun orang beroman bengis, tetapi Hoa Seng tidak takut.
Ia bahkan tertawa.
"Inilah benda laksaan tahun yang tak ada pemiliknya!" ia
menjawab. "Siapa ada mempunyai kepandaian, dia dapat
mengambilnya" Dapatkah kau menghalang-halangi kami?"
"Hm!" manusia aneh itu mengejek. Lalu dia meneruskan
dengan dingin: "Jadinya kumala han-giok yang sudah laksaan
tahun usianya telah dapat diambil oleh kamu?"
"Benar! Habis kau mau apa?" Hoa Seng menantang.
"Kau keluarkanlah, kau serahkan padaku!" berseru manusia
aneh itu. Hoa Seng tertawa bergelak.
"Di kolong langit ini mana ada urusan demikian gampang?"
katanya. "Benda yang dengan susah-payah aku
mendapatkannya, mana dapat aku memberikannya padamu"
Kau ada mempunyai hak apakah?"
Manusia aneh itu bukannya gusar, bahkan dia tertawa.
"Kamu mempunyai kepandaian memasuki guha ini mengambil
mustika, maka aku pun ada mempunyai kepandaian akan
merampasnya dari tangan kamu! Apakah yang aku andalkan"
Kedua tanganku ini!"
Sembari mengucap demikian, manusia aneh itu bertindak
menghampirkan, ketika ia menghentikan suaranya, mereka
berdua terpisah tinggal sepuluh tombak lebih. Begitu suaranya
berhenti, begitu tubuhnya mencelat, pesat luar biasa, sejenak
saja ia sudah sampai di depan si pemuda, ketika kedua
tangannya diangkat, kedua tangan itu tertampak merah sebagai
darah segar. Koei Hoa Seng telah bersiap sedia, akan tetapi melihat tangan
orang itu, ia kaget juga, tapi karena ia tidak takut, ia lantas
menusuk dengan pedangnya ke arah tangan orang itu. Ia
menggunai jurus "Menunjuk Langit Selatan," pedangnya
mengarah ke telapakan tangan.
Si orang aneh seperti mendapat tahu pedang itu sangat liehay,
dia menarik pulang tangannya yang ditikam itu, dia
membaliknya, maka di lain saat terlihatlah cahaya merah
berkelebat, dan di antara suara angin, tangan itu menyambar ke
muka si anak muda.
Hebat manusia aneh itu, sudah tangannya itu kuat dan sebat
sekali, juga anginnya mendatangkan hawa panas, seperti api
yang menghembus karena dikipasi.
Hoa Seng berkelit, terus ia berkelit berulang-ulang karena ia
segera diserang saling-susul.
"Tahan!" teriaknya kemudian. "Apakah kau Seat San Yauwjin
Cek Sin Coe?"
Tepat dugaannya pemuda ini, manusia aneh itu benar-benar
Soat San Yauwjin Cek Sin Coe atau si Siluman dari Seat San,
Gunung Salju. Dialah orang yang menyebutnya si iblis dari
perbatasan Sinkiang dan Tibet di mana dia biasa malang
malintang, tetapi pada sepuluh tahun yang lalu dia telah dihajar
dikalahkan Boe Keng Yauw, salah satu dari Thian San Cit
Kiam, yang memaksanya berdiam di atas Seat San, Gunung
Salju itu, dan dilarang keluar pula dari gunung itu, tetapi dia
tidak puas, maka itu dia berdiamnya di gunung dengan hatinya
terus panas. Selama belasan tahun itu, dia telah melatih dirinya, ialah dia
melatih kedua tangannya dengan caranya yang luar biasa pula.
Dia telah membuang kulit tangan dan kakinya, dia rendam itu
di racunnya semacam rumput, maka lama-lama tangan dan
kakinya itu menjadi merah sebagai darah, berhawa panas, kalau
mengenai orang, orang dapat binasa. Hebat pula, tenagadalamnya
dapat disalurkan kepada kedua tangannya, membuat
tangannya itu jadi liehay luar biasa juga.
Dengan latihannya ini, Cek Sin Coe hendak menempur pula
Boe Keng Yauw, hanya di luar dugaannya, selagi latihannya
telah berhasil, Boe Keng Yauw dan juga Ie Lan Coe, dua-dua
telah saling-susul meninggalkan dunia yang fana ini.
Tapi karena meninggalnya dua lawan tangguh itu, dia
menganggapnya dia tak ada tandingannya lagi di kolong langit
ini, maka sekarang dia berani turun dari Soat San, akan muncul
pula di Tibet. Yang pertama dia lakukan ialah mencari sahabat
karibnya, yaitu Tjhong Leng Siangjin, guna mendengar
pelbagai keterangan selama tahun-tahun yang belakangan ini.
Sungguh kebetulan, justeru Cek Sin Coe tiba, justeru dia
bertemu sama Tjhong Leng Siangjin, di saat pendeta itu baru
saja dipecundangi Koei Hoa Seng. Pertemuan itu terjadi di kaki
gunung Nyenchin Dangla itu.
Kapan Tjhong Leng mengetahui niat sahabatnya ini, untuk
malang melintang pula, ia kata: "Jangan kau menganggap kau
telah berhasil melatih tangan iblismu, lantas kau menganggap
dirimu tanpa tandingan di dalam dunia ini. Tahukah kau apa
yang tersembunyi di dalam guha es dari Puncak Bidadari" Di
sana ada kumala es yang usianya sudah jutaan tahun, yang
dapat menjadi lawan yang akan mengalahkanmu. Sekarang ini
justeru ada orang yang tengah memasuki guha es itu, buat
mengambil inti es itu buat dibikin menjadi pedang Pengpok
Han-kong-kiam, guna membunuh kau!"
Kata-kata ini membuatnya Cek Sin Coe penasaran, maka tidak
ayal lagi ia mendaki gunung, ia mencari guha es itu dan terus
masuk ke dalamnya. Ia pun hendak mengambil inti es itu. Ia
hanya heran, ia justeru bertemu sama si anak muda dan si
pemudi, bahkan segera ternyata, pemuda itu liehay.
Karena ia berpengalaman, dalam beberapa jurus saja ia
mengenali ilmu silat Hoa Seng ada ilmu silatnya salah satu
Thian San Cit Kiam, ialah dari kaumnya Boe Keng Yauw,
musuh besarnya itu. Ia heran berbareng gusar, maka itu ia
berkelahi dengan lantas menggunai tangan iblisnya itu.
Hebat lawannya Koei Hoa Seng. Ke mana tangannya Cek Sin
Coe menyambar, di situ es lumer tersampok tangannya itu,
maka di antara hawa dingin, ada juga hawa panas yang
menyambar kepadanya.
Coba tenaga-dalamnya tidak sampurna, mungkin ia sudah
roboh karena pusingnya. Toh lama-lama ia merasakan
pernapasannya terintang, tenaganya mulai berkurang, hingga ia
menjadi mirip orang yang lagi terserang penyakit berat. Ketika
ia mencoba melirik si nona, ia mendapatkan nona itu tetap lagi
duduk bersamedhi, dia seperti tidak memusingkan apa yang
terjadi di sekitarnya itu.
Serangan Cek Sin Coe menjadi bertambah-tambah dahsyat,
sambaran anginnya menjadi menderu-deru.
Hoa Seng melawan terus. Ia terpaksa mencoba kelincahannya,
akan senantiasa berkelit diri dari setiap serangan lawan, agar
tidak sampai kena terpukul. Oleh karena ini, ia menjadi kena
terkurung. Hanya celaka untuknya, selagi hawa dingin sedang
hebatnya, hawa panas pun demikian, pernapasannya jadi
semakin tertindih, ia menjadi merasai kepalanya pusing,
matanya mulai berkunang-kunang, ia merasa bagaikan bumi
gempa dan langit ambruk ?""..
Di saat pemuda ini sudah tidak sanggup bertahan lebih lama
lagi, sekonyong-konyong ia mendengar suara yang merdu dari
si pemudi yang menjadi kawannya itu. Kata si nona: "Engko,
kau ke marilah, jangan kau layani si manusia aneh!"
Menyusuli kata-kata si nona, lantas terdengar suara sar-ser tak
hentinya, suara mana disebabkan meluncurnya sebutir demi
sebutir dari peluru-peluru inti es, yang sinarnya berkeredepan,
semua menyambar ke arah Cek Sin Coe. Terkena hawa panas,
peluru itu jatuh hancur, akan tetapi berbareng dengan
hancurnya, keluarlah hawanya yang dingin, hawa dingin yang
terus menentang hawa panas dari Cek Sin Coe itu.
Tak usah berjalan lama atau Cek Sin Coe menggigil sendirinya.
Hawa dingin itu menentang hawa panas, hingga dia merasa
hawa panasnya berubah menjadi hangat.
Koei Hoa Seng tidak mengundurkan diri walaupun si nona
telah memanggilnya, dari bertahan, ia maju menyerang,
melakukan pembalasan. Ia pun telah merdeka dari kurungan
hawa panas. Dengan serangan "Sin Hong tiauw bwee," atau
"Naga sakti menggoyang ekor," ia memaksa Cek Sin Coe
terdesak mundur beberapa tindak. Adalah setelah itu, baru ia
lompat mundur, meninggalkan lawan yang tangguh itu, untuk
berdiri di dampingnya si nona manis.
Cek Sin Coe kaget berbareng murka.
"Kalau begini tidaklah dusta kata-katanya Tjhong Leng
Siang?jin," dia berpikir. "Peluru es saja sudah begini liehay,
bagaimana lagi kalau mereka ini berhasil membuatnya pedang
inti es itu" Mana aku mempunyai tempat lagi akan menancap
kakiku?" Karena berpikir begini, mendadak dia berseru dan maju
berlompat, untuk menerjang si nona.
Di saat orang berlompat hampir sampai di depannya, si nona
mencelat dari tempatnya duduk bersila, kemudian sambil
bersenyum ia berkata: "Kecewa kau hidup sampai kepada
usiamu sekarang ini! Kenapa kau masih tidak tahu mundur atau
maju" Kenapa pikiranmu gelap begini rupa" Kenapa kau
mencari kegetiran?"
Si nona berkata dengan manis tetapi tangannya lantas
melayang, melayangkan tujuh buah peluru esnya.
Cek Sin Coe menjadi kelabakan, bagaikan binatang liar yang
ditombaki si pemburu, hingga ia mesti memperdengarkan
kaokannya yang keras. Kedua matanya menjadi merah saking
murkanya. Walaupun kemurkaannya itu, ia toh terpaksa
mundur. Sebab tiga jalan darahnya kena dihajar peluru es itu,
hawa dingin luar biasa masuk meresap ke dalam tubuhnya,
mengikutinya. Latihan tenaga dalam dari Cek Sin Coe adalah latihan sesat,
meski begitu, tenaga dalam itu dapat dipersatukan dengan
tenaga dalam sejati, maka dengan terserang peluru es itu, ia
dapat mempertahankan diri apabila ia lantas duduk bersila
untuk bersamedhi.
Tapi sekarang, ia tidak diberikan kesempatan untuk
beristirahat, si nona sudah mengulangi timpukannya yang
bertubi-tubi, percuma ia menahan dengan hawa panasnya,
hawa dingin itu tidak mau buyar lenyap. Dengan ia paksakan
mengeluarkan hawa panasnya, ia menjadi mensia-siakan
tenaganya, di lain pihak, si nona menimpuk tak habisnya.
Celakanya untuk Cek Sin Coe, latihannya masih belum
menyampaikan puncak kemahirannya.
Diserang terus-menerus, Cek Sin Coe menjadi seperti orang
kalap, hawa dingin menyerang dia sampai tubuhnya menggigil.
Koei Hoa Seng menyaksikan keadaan orang, ia menjadi heran
sekali. "Sungguh senjata rahasia yang luar biasa aneh!" pikirnya.
,,Lainnya macam senjata rahasia melukai atau meracuni tubuh
tetapi ini membuatnya orang kedinginan!"
Tengah orang kalap dan menggigil itu, si nona tertawa dan
berkata: "Aku berkasihan melihat kelakuanmu ini, aku suka
mengasi ampun padamu. Kau pergilah!"
Meski ia suka memberi ampun, si nona toh mengajun
tangannya, akan menimpuk dengan tiga peluru lainnya.
Cek Sin Coe membuang dirinya hingga ia roboh terguling.
ketika ia bangun berdiri pula, tanpa berpaling lagi, ia lari kabur
sekuat-kuatnya.
Si nona mengawasi tanpa mengejar, ia kata sambil tertawa:
"Tiga peluru barusan mengenai jalan darah leng kie hiat,
karenanya dia tidak dapat lagi melatih diri hingga dia
mendapatkan pula tenaga aslinya. Coba aku menggunai tujuh
peluru, dia mesti segera terbinasa di sini. Dia rupanya tahu
bahaya, maka itu dia lari kabur!"
Hoa seng menghela napas lega.
"Jikalau kau tidak turun tangan di saatnya yang tepat, pasti aku
telah roboh terbinasa di tangannya siluman ini," ia berkata. la
ingat ancaman bahaya barusan, bagaimana hawa panas dan
dingin membuatnya napasnya sesak, sendirinya ia menggigil,
ia seperti kehabisan tenaga, hatinya pun tidak tenang.
Si nona melihat keadaan kawannya ini, ia bersenyum. Ia
merogo sakunya, akan mengasi keluar peles peraknya, dari
mana ia mengambil sebutir pel warna hijau.
"Engko, kau makanlah obat ini," ia berkata seraya
mengangsurkan obat itu. "Kau menempur Cek Sin Coe sampai
lebih dari seratus jurus, syukur tenaga dalammu mahir sekali,
melebihkan aku, dengan begitu kau masih dapat
mempertahankan diri. Sayang hari-hari dari berkumpulnya kita
tidak banyak, kalau tidak, ingin aku memohon pengajaran dari
padamu." Mendengar itu, dingin hatinya Hoa Seng. Si nona menyebut hal
perpisahan ?".. Maka bersendunglah ia perlahan-lahan:
"Di dalam dunia ini sukar mencari dua orang yang cocok satu
dengan lain, mengapakah tuan dengan gampang sekali
menyebut dari hal perpisahan?"
Mendengar itu si nona tertawa.
"Ah, kau telah melupakan apa yang aku bilang perihal pergi
dan berdiam itu ada mengikuti jodoh!" ia berkata. "Di dalam
dunia ini di mana ada pesta yang tidak bubar" Jikalau kau
berkukuh, baiklah aku percepat kepergianku ?" Eh, lekaslah
kau telan obat ini!"
Hoa Seng tidak berani membilang apa-apa lagi, ia menyambut


Pedang Inti Es Peng Pok Han Kong Kiam Karya Okt di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pel itu, terus ia kasi masuk ke dalam mulutnya. Segera ia
merasakan bau yang harum dan hatinya menjadi lega, tubuhnya
yang dingin pun lantas mulai terasa hangat.
"Kau cuma terganggu sedikit tenaga-asalmu," berkata pula si
nona, "tidak demikian dengan Cek Sin Coe, dia bakal roboh
dengan sakit berat. Sekarang kau duduklah beristirahat, untuk
bersamedhi, kalau sebentar hawa dingin sudah berkurang, kita
boleh keluar dari guha es ini."
Hoa Seng mau berduduk bersila tetapi tak dapat ia
menenangkan diri, sikap si nona membuatnya pikirannya
kacau, tapi ia mendengar ketika si nona seperti berbisik di
kupingnya mengatakan dengan perlahan: "Bodhi itu bukannya
pohon, kaca itu bukannya ranggon, pikiran sesat datangnya dari
hati, karena sendirinya terkena debu ?".."
Berpengaruh kata-kata ini, Hoa Seng lantas mencoba
menguasai dirinya. Nampaknya ia berhasil menenteramkan
hatinya. Berapa lama ia sudah beristirahat, inilah si pemuda tidak tahu
ketika ia mendengar suara si pemudi: "Sekarang bolehlah kita
berangkat pergi!"
Tanpa bersangsi sedikit juga, Hoa Seng mencelat bangun. Dan
segera ia merasakan dirinya segar sekali. Hawa dingin telah
lenyap seanteronya. Maka itu ia lantas menghadapi pemudi di
depannya itu. "Terima kasih untuk petunjukmu," ia mengucap. "Aku tidak
menyangka kau telah menurunkan kepadaku tenaga dalam
yang mahir sekali."
Si nona bersenyum.
"Sebenarnya aku tidak mempunyai kepandaian seperti apa
yang kau sebutkan," ia berkata. "Semua ini aku
menginsyafinya karena bunyinya ajaran kitab Sangsekerta itu,
begitupun ilmu menyerang dengan peluru es itu, aku
dapatkannya dari bunyinya huruf dari karang es Han Giok
Giam tadi. Bicara terus-terang, aku pun seharusnya
menghaturkan terima kasih kepadamu atas bantuanmu
menemani aku masuk ke dalam guha es ini."
Hati Hoa Seng lega juga. Keduanya lantas keluar dari guha es
itu sambil bicara-bicara dengan diseling tertawa mereka. Di
luar mereka mendapatkan matahari merah di atasan kepala
mereka. Tak tahu mereka berapa lama mereka berada di dalam
guha, tahu-tahu itulah sudah tengah-hari dari hari yang kedua.
"Sebenarnya aku ingin sekali berdiam pula di dalam guha es itu
beberapa hari lagi," berkata Hoa Seng sembari tertawa, "Adik
Giok, seberlalunya dari sini, ke mana kau hendak pergi" Di
rumahmu masih ada siapa-siapakah keluargamu" Dan ilmu
silatmu itu, dari manakah kau dapatkannya?"
Si nona tertawa.
"Ah, kembali kau mencari tahu asal-usulku!" katanya. "Jikalau
di belakang hari kita berjodoh untuk bertemu pula, semua ini
kau bakal mengetahuinya tanpa kau menanyakannya! Hari ini
marilah kita pesiar di antara keindahan gunung salju ini, kita
mengicipi pemandangan dari Thian Ouw, jangan sekali kita
bicara dari hal keduniaan ?".."
Hoa Seng dapat menginsafi keadaan mereka, ia menerima
ajakan itu dengan gembira, maka hari itu mereka melewatinya
dengan si nona dengan mendatangi peng-coan atau sungai es
dan telaga Thian Ouw itu, juga pesiar di atas puncak es di
mana mereka meninggalkan tapak kaki mereka. Apa yang
mereka bicarakan adalah tentang ilmu sastra atau kerohanian.
Begitu asjik mereka berada bersama, tanpa merasa mereka
telah melewatinya tiga hari berturut-turut. Demikianlah itu
hari, berdua mereka berada di Puncak Bidadari, memandangi
sungai es yang malang-melintang di atas gunung.
"Apakah yang bagus dari sungai es ini?" menanya si anak
muda. Ia heran mendapatkan kawannya seperti tersengsam.
"Lihatlah sungai es itu bagaikan naga perak menari-nari,"
menjawab si nona. "Kalau kita melihatnya dari dekat, es di
bagian atas beku-keras, hampir tak nampak bergeraknya, tapi
yang benar, es di bagian bawahnya mengalir tak hentinya.
Inilah keindahannya sungai es ini, bergerak dalam diam. Ya,
pedang Pengpok Han-kong-kiam yang bakal aku yakinkan
pasti akan beda sekali dari pedang yang mana saja di dalam
dunia ini, aku akan membangun suatu partai persilatan pedang
dengan ilmu pedangnya yang paling istimewa!"
"Aku pun mempunyai semacam cita-cita!" kata Hoa Seng
dengan gembira. "Maka kita ?".. kita ?"".."
Pemuda ini belum sempat melanjuti kata-katanya itu atau
mendadak si nona berlompat turun dari puncak itu, akan
menghunus serulingnya, akan lantas bersilat di atas es, sebentar
perlahan, sebentar cepat, bagaikan "air mengalir atau mega
melayang-layang," indah dan menarik nampaknya.
Mengawasi si nona, Hoa Seng berkata di dalam hatinya:
"Kalau nanti dia berhasil dengan ilmu pedangnya, mesti itu
luar biasa sekali, mungkin melebihkan ilmu pedangnya Pekhoat
Mo Lie dari Thian San. Sekarang masih kelihatan
beberapa kelemahannya, entahlah di belakang hari ?""."
Tidak lama si nona bersilat, lalu ia menyimpan seruling
kumalanya itu. Ia lantas menghadapi Hoa Seng untuk
berliamjin, memberi hormat dengan merangkap kedua
tangannya, wajahnya tersungging senyuman.
"Aku tidak dapat menyembunyikan apa-apa dari matamu,
engko, maka itu aku mengharap petunjukmu!" katanya.
"Adik kecil kau cerdas luar biasa," berkata Hoa Seng, kagum.
"Bukankah ilmu pedangmu kau ciptakan dari gerak-geriknya
sungai es tadi?"
"Memang, untuk menciptakan suatu partai baru, itu tak
gampang seperti diucapkannya," berkata si nona, dengan
penyahutannya yang menyimpang. "Aku tidak menghendaki
pujianmu untuk mengumpak-umpak aku, aku ingin kau omong
dengan terus-terang. Ada apakah kelemahannya dengan ilmu
silat pedangku ini?"
"Dalam kesebatan, kau telah menyampaikan puncaknya,"
berkata si anak muda, mengutarakan pendapatnya, "cuma
pengaruh tersembunyinya masih belum mencukupi. Kau telah
mendapati gerak-gerik sungai es itu, kau belum mencakup
kebekuannya."
"Kalau begitu," berkata si nona, "sari ilmu pedang Tat-mo
kiam-hoatmu bakal menutup kekuranganku itu ?"."
Mendengar demikian, hati Hoa Seng tergerak.
"Jikalau demikian adanya," katanya, "lebih baik kita berdiam
bersama di Puncak Bidadari ini selama tiga tahun untuk
bersama-sama meyakinkan dan menciptakan satu ilmu pedang
yang luarbiasa istimewa, untuk kemudian menamakannya itu
ilmu silat pedang Peng-coan Kiam-hoat.
Wajah si nona menjadi merah-dadu, ia berdiam. Ia menunduk
mengawasi sungai es. Ia menjumput beberapa potong kepingan
es, ia menghancurkan itu. Ia pun memungut selembar bunga
yang mengambang di atas es itu, ia memecahkannya, ia
melepaskannya hingga hancurannya terbang terbawa angin.
Habis itu ia menghela napas dan berkata perlahan, "Bunga
terbang melayang sendirinya, es mengalir sendirinya pula,
melainkan sinarnya es dan bayangannya es berdua yang
berduka sendirinya ?"?"
Habis mengucap begitu, tubuh si nona mencelat, melompati
sebuah sungai es, akan menaruh kaki di lain tepinya, di mana ia
berdiri diam, matanya memandang ke udara di mana mega
bergumpal, melayang-layang, ketika kemudian ia memandang
ke bawah, tanpa merasa sinar matanya beradu sama sinar mata
Koei Hoa Seng, yang mengawasi padanya.
Anak muda itu lantas saja merasa dirinya terbenam sendirinya,
ia lantas bersenandung.
"Ah," mengatakan si nona.
Hoa Seng berdiam, ia berdiri menjublak, sampai kemudian
jauh di atas gunung sana, ia mendengar suara seruling, halus
tetapi terang. Mendengar itu, si nona tertawa sedih.
"Ah, di sana budak pelayanku memanggil aku pulang,"
katanya. "Hendak aku pergi sekarang!"
Hoa Seng terkejut.
"Kau hendak pergi ke mana?" tanyanya.
"Dari mana aku datang, ke mana aku pergi," sahutnya.
"Mustahil secara begini saja kita berpisahan?" menanya pula si
pemuda. "Habis di belakang hari" "
"Urusan di belakang hari, nanti saja di belakang hari kita
membicarakannya ......" menyahut pula si pemudi. Ia lantas
mengeluarkan tangannya yang putih-halus, ia menggeraki itu
seperti menekan tiga kali, ia membalikinya dengan jerijinya
terbuka, terus ia menunjuk ke arah dadanya di mana ada
tergantung satu kaca rasa dari kumala yang menjadi barang
perhiasannya, terus ia bersenandung dengan suaranya yang
terang nyata: "Jikalau nanti kita bertemu pula janganlah
menanya lagi, masing-masing mengikuti saja jodohnya hingga
di ujung pangkalnya langit!"
Kata-kata ini ditutup sama lompatan tubuhnya, yang terus
berlari-lari keras dengan ilmunya ringan tubuh ?""
08. Masuk Ke Istana Potala
Hoa Seng berdiri menjublak, lama, lama sekali, hingga tahutahu
ia mendapatkan si Puteri Malam mulai muncul di arah
timur, sedang puncak es memperlihatkan sinar berkilau
bagaikan kaca. Ia kehilangan kawan, ia menjadi merasa sangat
sunyi, sunyi sekali. Lalu teringatlah pengalamannya selama
beberapa hari ini. Ia merasa bahwa ia baru saja habis bermimpi.
Sayang sekali, ia telah terlalu lekas mendusin .......
Dengan lenyap kegembiraannya pemuda ini jalan turun
gunung, sembari berjalan ia berpikir. Apakah artinya gerakan
tangan si nona tadi " menekan tiga kali, lalu menunjuk kaca
kumala di dadanya" Apakah artinya senandungnya itu"
Bukankah itu berarti bahwa bakal datang saatnya yang mereka
akan bertemu pula kelak di belakang hari" Di manakah
tempatnya bertemu pula itu" Dan kapankah waktunya itu"
Ia memikir dengan sia-sia, bahkan ia jadi seperti kelelap dalam.
Sungguh sebuah teka-teki yang tidak dapat dipecahkan, sukar
sekali ?"".
Tiba di kaki gunung, Hoa Seng memandang jauh ke Kota Iblis.
Di sana ia melihat stupa putih yang dibangun oleh putera raja
Nepal. Lantas ia ingat akan pesan Maskanan. Maka berpikirlah
ia: "Itu sekalian boesoe Nepal telah diusir si nona baju putih,
tetapi putera raja Nepal itu masih berada dengan cita-citanya
yang besar, cita-cita itu belum dapat ditumpas. Maskanan
meminta aku pergi ke Lhasa untuk menghadap Buddha Hidup,
untuk aku menyampaikan amanat hoat-ong dari agama Putih,
kenapa aku melupakan itu?"
Setelah ingat begitu, pemuda ini lantas membuka tindakannya
ke arah Lhasa. Ketika itu sudah mulai permulaan musim semi,
es dan salju yang menutupi gunung-gunung sudah mulai lumer,
jalanan jauh lebih menyenangkan untuk dilewati, maka itu
berjalan hampir satu bulan, ia telah tiba di ibukota Tibet.
Hari sudah sore ketika Hoa Seng memasuki kota Lhasa. Ia
menampak rumah-rumah yang wuwungannya rata bercampur
baur sama tenda-tenda, pemandangan mana sungguh beda
sama pemandangan di Tionggoan. Di tengah jalan ada banyak
orang yang mundar mandir. Dari setiap tenda ada mengepul
keluar asap dupa, ada sinar lilinnya yang menggenclang,
bahkan di depan sejumlah tenda ada orang-orang Tibet yang
membakar dupa dan menjalankan kehormatan, yang
bersembahyang. "Adakah hari ini hari besar?" ia menanya seorang tua yang di
sampingnya, tangan siapa ia tarik.
"Bukan hari ini, hanya besok," menyahut orang tua itu. Dia
lantas menunjuk pada sang Puteri Malam yang terangbenderang,
dia menanya: "Tuan, kau datang dari mana"
Bukankah kau penganut Sang Buddha yang maha suci"
Mengapa sampaikan hari ulang tahunnya Sang Buddha kau
melupakannya?"
Hoa Seng dongak melihat ke langit, ia mendapatkan rembulan
tengah bundar dan besar. Ia menjadi heran.
"Bukankah ulang tahunnya Sang Buddha pada tanggal delapan
bulan empat?" tanya ia.
Orang tua itu tercengang, lalu ia tertawa.
"Tuan, kau seorang Han, ada yang kau tidak tahu," ia berkata.
"Syukur aku mengerti penanggalan orang Tiong?hoa, jikalau
tidak, aku tentunya heran sekali untuk pertanyaanmu ini. Besok
ialah tanggal delapan bulan empat!"
Hoa Seng memandang pula sang rembulan.
"Rembulan toh sedang bundarnya ?""." katanya.
Orang tua itu tertawa pula.
"Kami menggunai penanggalan Tibet dan kamu orang
Tionghoa menggunai imlek," ia menerangkan. "Untuk kamu
bulan purnama ialah di tanggal limabelas, akan tetapi bagi
kami tidaklah demikian, untuk kami ada kalanya di permulaan
tanggal, ada kalanya juga di akhir bulan. Menurut hitungan
Imlek, hari ini ialah tanggal empat belas bulan tiga dan besok
tanggal limabelas.
Oleh karena tahun ini hari ulang Sang Buddha kebetulan bulan
purnama, ramainya perayaan menjadi luar biasa. Semenjak
kemarin kami sudah mulai mandi bersih dan pantang dan
membakar dupa untuk menghormati Buddha kami."
Hoa Seng ingat suatu apa.
"Bulan tiga tanggal lima.... bulan tiga tanggal limabelas ".."
katanya perlahan.
Mendadak saja ia sadar. Bukankah si nona baju putih menekan
tangannya tiga kali" Bukankah itu berarti tiga kali lima
menjadi limabelas" Bukankah itu berarti tanggal limabelas
bulan tiga" Dan tangannya menunjuk kepada kacanya dari
kumala, bukankah dengan itu diartikan sang rembulan
purnama" "Tuan, kau sungguh beruntung," berkata pula si orang tua,
yang ternyata suka berbicara. "Tahun ini Buddha Hidup Dalai
bakal mengepalai sendiri upacara, besok. Ia akan muncul di
antara kami. Tiga buah pendopo besar di depan Istana Potala
pun besok akan dibuka, untuk mengijinkan semua pria dan
wanita yang sujud, bersujud di undakan tangga pendopo besar
itu. Dalam seumur hidup kami, belum tentu kami dapat
memandang wajahnya Buddha Hidup sekalipun hanya satu
kali, tetapi kau, begitu kau datang, kau menemui saatnya yang
baik. Kalau besok kau berkumpul di antara orang banyak, akan
melihatnya wajah Buddha Hidup kami itu. Itulah sungguh
suatu keberuntungan yang maha besar!"
Hoa Seng girang bukan main, ia lantas menghaturkan terima
kasih kepada orang tua itu, kemudian ia pergi mencari sebuah


Pedang Inti Es Peng Pok Han Kong Kiam Karya Okt di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tenda yang biasa menerima menumpangnya tetamu. Akan
tetapi malam itu ia tidak dapat tidur pulas, hatinya banyak
berpikir. "Kiranya adik Giok menjanjikan aku bertemu besok tengah
malam di Istana Potala ini?" demikian pikirnya.
"Hanya, dengan cara bagaimana ia dapat memasukinya istana"
Mungkinkah di waktu malam pun istana dibuka untuk umum
seperti di siang hari dan orang dibiarkannya pesiar sesukanya?"
Oleh karena ia tidak dapat tidur, Hoa Seng berbangkit untuk
mencari pemilik tenda, guna meminta keterangan, dan ia
memperoleh keterangan sama seperti dituturkan si orang tua
tadi, hanya tuan rumah ini menjelaskan juga, pendopo yang
besok bakal dibuka ialah tiga-tiganya, pembukaan dilakukan di
siang hari, begitu tiba magrib, semua orang harus
meninggalkan pendopo itu.
Kata pula tuan rumah ini: "Buddha Hidup sangat mulia dan
agung, mana dapat sembarang orang memasuki perdalaman
istananya" Bahwa kami telah diperkenankan menghunjuk
hormat di undakan tangga saja sudah suatu keberuntungan
yang bukan main besarnya!"
Di waktu mengucap demikian, tuan rumah itu bersikap sangat
bersujud. Hoa Seng menjadi masgul, pikirannya menjadi bertambah
ruwet. "Apakah aku salah mentafsirkan pertanda si nona baju putih?"
ia menanya dirinya sendiri. "Tapi, kalau bukan demikian
dugaanku, bagaimana mestinya"
Maka ia jadi semakin merasa aneh untuk hal ikhwalnya si nona
baju putih itu.
"Biarlah sang besok lekas datang!" akhirnya ia kata dalam
hatinya. Malam itu ia tak pulas semalam suntuk. Begitu sang fajar di
hari kedua muncul, ia lantas berbangkit untuk menemui tuan
rumah kepada siapa ia minta pinjam seperangkat pakaian orang
Tibet. Ia hendak menyamar supaya di waktu berkumpul sama
banyak orang tidaklah ia menyebabkan tertariknya perhatian
orang banyak itu.
Halnya Dalai Lama membuka Istana Potala untuk umum dan ia
sendiri bakal mengepalai upacara ulang tahun Sang Buddha
telah menggemparkan seluruh Lhasa, bahkan ada penduduk
dari lain tempat yang memerlukan datang berkunjung.
Hoa Seng menganggap ia bangun pagi-pagi sekali, siapa tahu
sekeluarnya ia dari tempatnya mondok, ia melihat jalan-jalan
umum telah penuh dengan orang banyak. Ia menyelip di antara
mereka itu, ia turut mereka menuju ke istana. Perlahan-lahan
jalannya semua orang itu.
Istana Potala dibangun di luar kota Lhasa, di atas gunung
Anggur. Orang Tibet menamakannya gunung itu Potala, maka
nama istana diambil namanya gunung itu. Tingginya istana ada
tigabelas tingkat. Menurut cerita maka raja Tibet yaitu Srontsan
Gampo telah menikah sama Puteri Wen Cheng dari Kaisar
Lie Sie Bin dari ahala Tang (tahun 611) dan puteri inilah yang
meminta dibangunnya istana ?" Setelah perbaikan tahun
ketemu tahun, istana itu menjadi bertambah indah. Batu yang
dipakai membangun itu pun ada potongan-potongan batu
ukuran persegi yang digali dari tengah gunung. Di atas istana
ada tiga buah wuwungan besar dari emas serta delapan stupa
emas dari tubuhnya Buddha Hidup. Buddha Hidup Tibet, ialah
seluruhnya dibungkus dengan lembaran-lembaran daun emas
yang tengahnya ditabur mutiara, yang dilihat dari jauh, nampak
bersinar gemerlapan, indahnya bukan buatan.
Hoa Seng mengikuti terus orang banyak itu. Mendekati tengah
hari, barulah ia tiba di jalanan gunung di bawah Istana Potala.
Ia melihatnya jalanan yang menuju ke pintu istana merupakan
tangga batu yang berliku-liku. Di sebelah depan terdapat dua
baris lhama dengan jubah kuning menjadi penunjuk jalan.
Pintu dari tiga pendopo besar sudah dipentang lebar-lebar,
maka semua pria dan wanita yang bersujud itu mengikuti
kedua barisan lama itu memasuki pintu-pintu besar itu. Ketika
Hoa Seng sampai di tangga batu pendopo, orang telah penuh
padat, hingga umpama kata tidak ada tempat untuk sepotong
jarum, hingga mereka yang datang belakangan harus bersujud
dari luar pintu.
Dengan mementang matanya Hoa Seng memandang kelilingan.
Ia hendak mencari si nona baju putih, nona yang ia panggilnya
adik Giok. Ia merasakan ia seperti mencari sepotong jarum di
dalam lautan besar. Nona itu tak ada bayangannya. Ia
penasaran, ia mendesak maju, untuk ini ia mengerahkan tenaga
dalamnya. Maka setiap orang di dekatnya merasa tubuhnya
tertolak suatu tenaga besar, hingga dengan sendirinya mereka
masing-masing membuka jalan untuk ia maju lebih jauh. Tidak
ada orang yang menaruh curiga, mereka itu menyangka itulah
desakan biasa saja dari mereka, dari orang-orang yang ber?ada
di sebelah belakang ........
Hoa Seng seperti menjelajah semua tangga batu dari ketiga
pendopo besar itu, tangga yang terdiri dari beberapa ribu
undakan, ia telah menggunai tempo satu jam, masih ia tidak
mendapat si nona baju putih. Ketika itu arus orang banyak
menuju ke lorong di luar pendopo, maka ia pun mendesak ke
sana. Ia ketahui, upacara bakal dilakukan di pendopo besar
yang tengah. Segera ia melihat empat patung emas yang
merupakan muka manusia bertubuh burung, yang digantungi
kelenengan yang terukir halus dan indah.
Pemuda ini telah melakukan perjalanan satu bulan lebih, ia
senantiasa berada di tempat belukar, yang berhawa dingin
sekali, sering ia berada di tanah datar dari Tibet itu di mana
dalam beberapa puluh lie tidak ada manusia atau asap, tetapi
sekarang berada di Istana Potala, ia seperti tengah menempati
diri didalam impian yang indah dan manis ?".
Segala apa indah di pendopo, tiang dan penglari dari emas, atau
yang terukir indah atau gambar-gambar. Melihat semua itu,
anak muda ini kagum bukan main.
"Di luar saja sudah begini indah, entah di sebelah dalam,"
pikirnya. Ia tidak tahu, untuk membangun istana itu, berapa
banyak tenaga manusia dan berapa banyak uang sudah
dipergunakan. Di empat penjuru tembok, di luar dan di dalam, ada gambargambar,
yang kebanyakan melukiskan pelbagai lelakon yang
terdapat dalam kitab-kitab Buddha, yang umumnya aneh atau
luar biasa, yang semua nampaknya hidup. Gambar itu adalah
sutera putih ditempel di tembok, lalu sutera itu dilukis dengan
cat minyak, maka gambar semacam itu awet, tahan lama
mengkilapnya. Selama beberapa ratus tahun, entah ada berapa
banyak pelukis yang datang dari Tionggoan, yang datang dari
India, dari Nepal dan juga dari Bhutan, yang membuat
karyanya di tembok itu. Maka itu dapatlah dikatakan pusaka
seni. Selagi Hoa Seng terdesak orang banyak menikmati gambargambar
indah itu, tiba-tiba ia merasakan ada dorongan keras
dari sebelah belakang, lalu ia merasakan pinggangnya
sesemutan, seperti ada orang yang menotok jalan darah joanmoa-
hiat. Ia menjadi kaget sekali. Syukur ia getap, segera ia
mengerahkan tenaga dalamnya, untuk melindungi diri.
Berbareng dengan itu ia membuang tangannya ke belakang,
untuk menangkap tangan yang menotoknya itu. Gerakannya ini
disusul sama jeritan beberapa orang, yang tubuhnya roboh,
ketika ia berpaling, ia mendapat kenyataan yang ia kena cekal
ialah tangannya seorang wanita gemuk, yang matanya melotot
kepadanya seraya terus menanyakan, "He, kau bikin apakah?"
Lekas-lekas Hoa Seng melepaskan pegangannya, karena begitu
mencekal, ia mengetahui nyonya gemuk itu tidak bertenaga.
"Maaf," ia lekas berkata.
"Barusan aku merasa ada orang menolak tubuhku dan merabaraba,
aku menyangka kepada tukang copet, aku tidak sangka
aku kena menangkap tangan kau. Nyonya, harap kau tidak
menjadi gusar."
Di antara orang Tibet, antara pria dan wanita tak ada aturan
kesopanan yang keras dan kukuh seperti di antara orang
Tionghoa, karena orang percaya perkataan pemuda ini, dari
gusar nyonya teromok itu menjadi tertawa. Ia kata, "Di dalam
Istana Potala, di tempat bersemayamnya Buddha Hidup, siapa
berani mencopet" Mungkinkah kau orang Han yang belum
lama di sini?"
Hoa Seng mengangguk.
"Benar," sahutnya, berlaku terus-terang.
Nyonya itu masih hendak berkata-kata pula tatkala dari
pendopo terdengar suara tambur dan genta, diikuti oleh dua
baris lhama jubah kuning jalan mengitari istana sambil
senantiasa menciprati air suci.
Itulah tanda sudah dimulainya upacara besar itu. Maka
sekarang, di luar dan di dalam pendopo, sunyi segala apa,
bahkan semua orang lantas menunduki kepala untuk
menghunjuki hormatnya.
Selagi orang bersujud itu, Hoa Seng berpikir: "Pembokong itu
liehay dan cerdik, aku bergerak cukup sebat tetapi dia dapat
juga meloloskan dirinya. Mereka yang roboh itu tentulah dia
sengaja merobohkannya, supaya dia dapat menyingkir selagi
keadaan kacau, agar aku tak mengetahuinya. Siapakah dia"
Mengapa dia menyerang aku secara gelap itu?"
Percuma anak muda ini menerka-nerka, ia tidak mendapat
jawabannya yang tepat.
Ketika itu suara tambur dan genta sudah berbunyi tiga kali,
lantas dua orang lhama mengangkat kepalanya membaca doa.
Lewat sesaat habis itu, di antara suara genta dan kata-kata
bahasa Sangsekerta, nampak Buddha Hidup muncul dengan
perlahan-lahan antara iringan pengikut-pengikutnya. Semua
hadirin lantas mengasi dengar pujaan, semua bertekuk lutut dan
menjura dalam, tidak ada yang berani mengangkat kepala
untuk melihat orang yang dianggap suci itu.
Tentu sekali Hoa Seng mesti menelad orang banyak itu, hanya
diam-diam saja ia mencoba mencuri lihat wajah Dalai Lama
sang Buddha Hidup itu, yang usianya ditaksir lebih kurang
empat puluh tahun, tubuhnya sedikit gemuk, sikapnya agung,
tetapi pada itu tidak ada lainnya yang luar biasa. Di itu waktu,
yang menarik perhatiannya Hoa Seng bukan si Buddha Hidup
hanya seorang lain ?"?"".
Di belakang Dalai Lama itu ada kedapatan beberapa orang
pendeta yang roman dan dandanannya istimewa, dengan satu
kali melihat saja teranglah sudah mereka ada tetamu-tetamu
beribadat yang datangnya dari lain negara, mungkin dari India,
Nepal, Bhutan dan Sikkim. Di antara mereka ada seorang
pendeta asing, yang jubahnya merah dan gerombongan, ialah si
pendeta asing dengan siapa Hoa Seng pernah bertempur.
"Eh, mengapa dia pun datang ke mari?" anak muda ini
menanya dirinya sendiri. Ia lantas bercuriga dan menduga
mesti pendeta itu muncul dengan minatnya yang luar biasa.
Tempo yang digunai oleh Buddha Hidup untuk memimpin
upacara singkat sekali. Paling dulu ia mencipratkan air suci
kepada, patung Sang Buddha, untuk itu ia, menggunai cabang
yang-lioe. Setelah itu ia mempersembahkan "hada" ialah
saputangan yang terbuat dari sutera. Ini ada persembahan yang
menyatakan dari kesujudan. Paling akhir hormat yang sangat,
tanda dari kesujudan. Paling akhir ialah membakar dupa.
Semua-mua tempo yang dipakai itu ada hanya sepasangan
sebatang hio. Sampai di situ, selesailah upacara yang hikmat
itu. Lalu murid Buddha Hidup yang bertugas maju
mengumumkan kepada semua hadirin yang mereka diharuskan
meninggalkan istana sebelumnya magrib.
Hoa Seng pulang ke pondokannya selagi tuan rumahnya belum
kembali. Ia lantas beristirahat. Setelah ia bersantap sore,
barulah tuan rumah pulang. Dengan gembira sekali tuan rumah
ini membicarakan urusan upacara tadi siang. Dia pun
memujikan keselamatannya Hoa Seng, siapa membalasnya
memujikan juga.
Kemudian tuan rumah ini memberitahukan bahwa sebentar
malam di Istana Potala akan diadakan upacara memasang
lentera untuk menghormati Sang Buddha, maka akan banyak
pria dan wanita yang bersujud yang akan berdiam di bawah
Gunung Anggur untuk menyaksikan keramaian itu, untuk itu
mereka tidak pulang lagi untuk dahar.
"Sayang aku sudah berusia lanjut dan kesehatanku sudah
lemah," kemudian berkata tuan rumah dengan menghela napas,
"kalau tidak, aku pun akan turut menyaksikan buat mana aku
rela kelaparan satu malaman. Tetamuku yang baik, inilah ada
ketikamu yang baik sekali, yang sukar dicarinya, karena itu kau
haruslah tidak melewatkannya!"
"Benar, benar!" berkata Hoa Seng, yang terus saja pamitan dari
tuan rumahnya itu.
Istana Potala di waktu malam benar-benar sangat
mentakjubkan. Wuwungan emas bergilang-gemilang karena
tojohannya sinar gunung salju, cahayanya kekuning-kuningan
dan sangat indah. Di setiap pojok genteng atau pajon ada
digantungi lentera kaca yang terhias. Di sana cahaya rembulan,
sinar salju, sinar lampu, saling tojoh menjadi satu.
Sesungguhnya, pemandangan itu menciptakan sesuatu yang
mengesankan, yang mempengaruhi. Cuma Hoa Seng seorang,
yang pendapatnya lain. Sebab di antara lain, ia memikirkan
hanya si nona baju putih.
Dari bawah gunung, Hoa Seng memandang ke atas, ke istana
yang bertingkat-tingkat itu, yang terpecah warnanya dalam
empat rupa ialah putih, merah, kuning dan merah tua. Dari
tingkat ketujuh hingga ke tingkat dua belas, semua itu adalah
tempat kediaman sekalian lhama.
Setelah memandangi sekian lama, Hoa Seng terbenam dalam
kesangsian. "Istana Potala begini luas," pikirnya, "taruh kata adik Giok
benar ada di dalamnya, cara bagaimana aku mencarinya" Api
pun terang-berderang begini macam, bagaimana aku mesti
mencurinya masuk?"
Maka itu, dengan berkisarnya sang rembulan, makin lama
makin dojong ke barat, Hoa Seng menjadi sibuk sendirinya. Ia
tahu, kalau sang fajar datang, tidak ada ketika lagi untuk
mencari si nona. Maka itu di akhirnya ia mengambil putusan,
mesti ia memasuki juga istana itu.
Selagi orang banyak berkerumun di kaki gunung, Hoa Seng
diam-diam jalan mengitar ke belakang gunung itu. Kalau perlu,
ia jalan merayap. Senantiasa ia menyembunyikan diri di
tedeng-aling pepohonan atau batu karang. Secara begini
perlahan-lahan ia mendekati Istana Potala di bagian belakang.
Ia memang telah membekal seperangkat pakaian lhama, maka


Pedang Inti Es Peng Pok Han Kong Kiam Karya Okt di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu di situ ia lantas menyalin dandanan. Ia menanti lagi sekian
lama sebelum ia bertindak terlebih jauh.
Justeru angin menghembus keras, Hoa Seng menjumput
beberapa biji batu, dengan itu ia menyambit pecah tiga buah
lentera di atas pintu sebelah barat. Kejadian itu membikin kaget
lhama yang menjaga di situ.
"Kenapa angin malam ini hebat sekali?" katanya seorang diri.
Lekas-lekas ia mengambil lampu yang baru, dengan naik di
tangga, ia menukar yang pecah itu.
Ketika inilah yang ditunggu Hoa Seng. Selagi orang bekerja, ia
berlompat dengan ilmunya enteng tubuh, masuk di pintu besar.
Si lhama, yang lagi berada di atas tangga panjang, tidak
melihat orang melesat masuk.
Setibanya di dalam, Hoa Seng bertindak secara wajar. Ia jalan
sambil tunduk, tangannya ditakepi ke depan, diangkat sedikit
tinggi, hingga separuh mukanya kena teraling.
Di dalam istana itu ada banyak lhama lainnya, mereka tidak
memperhatikan satu sama lain, maka itu Hoa Seng dapat
melalui beberapa pendopo. Selama itu ia kagum sekali. Di
sebelah dalam, semua gambar di tembok melebihkan apa yang
di luar. Lentera, alat-alat dari kumala, kursi meja kuno, meja
abu dan perapian kuno, semua terukir indah.
"Keadaan di istana kaisar pasti tak melebihkan ini," pikirnya,
Maka ia menyesal, ia bukannya lagi pesiar hanya lagi
mempunyai urusan penting.
Ketika terdengar tanda jam tiga, Hoa Seng sudah memasuki
istana tingkat kedua di mana ada kamar tidur Buddha Hidup.
Sebenarnya ia tidak tahu kamar siapa itu. Mendadak dua lhama
terlihat mendatangi. Lekas-lekas ia bersembunyi, di belakang
patung Buddha. "Sampai begini malam Buddha Hidup masih menerima tetamu,
sungguh ia lelah," berkata satu lhama.
"Kau tidak tahu, yang datang hari ini semua orang kenamaan,"
kata yang lain. "Sampaipun lie-hoehoat yang membawa daun
bodhi suci turut datang juga. Aku percaya Buddha Hidup akan
menemui nona itu."
"Memang. Untuk dia, Buddha Hidup telah menyediakan satu
kamar menyendiri dan dua puteri diwajibkan menemani dia.
Katanya semasa Dalai Lhama generasi kedua, Istana Potala ini
pernah menyambut seorang puteri dari India yang pun
mempunyai daun bodhi suci itu, yang diijinkan bermalam di
sini satu malam lamanya. Sudah banyak tahun, belum pernah
ada wanita yang diijinkan masuk ke mari, maka kali ini,
sungguh luar biasa."
Mendengar itu, Hoa Seng berpikir, ia menduga-duga, liehoehoat
siapa itu yang mengunjungi Istana Potala ini, yang
diperlakukan demikian hormat. Untuk mendapat tahu lebih
jauh diam-diam ia menguntit dua lhama itu sampai di tingkat
ke tiga. Ia menanti sampai mereka itu masuk dan keluar lagi,
dengan berhati-hati ia menghampirkan jendela.
Dari situ ia melihat cahaya api terang-terang di dalam kamar di
mana dua bayangan orang berpeta. Ia lantas mengenali, yang
satu ialah Buddha Hidup, yang lain si pendeta Merah dari
Nepal. 09. Pertemuan Dengan Buddha Hidup
Segera terdengar suaranya si pendeta asing jubah Merah: "Sang
Buddha Hidup dengan kepandaiannya yang luar biasa telah
menyebar agamanya, dengan begitu negara-negara tetangga
yang kecil, semua sama mendapat berkahnya. Putera raja kami
sebetulnya hendak menghadap sendiri, sayang karena
banyaknya urusan negara, tidak dapat ia datang ke mari, dari
itu sengaja ia mengutusnya siauwceng untuk menyampaikan
hormatnya sekalian untuk mendengar pengajaran."
Pendeta itu menyebutnya "siauw-ceng," atau pendeta kecil,
untuk merendahkan diri.
Maka berkatalah Dalai Lama: "Negerimu adalah tempat
kelahirannya Sang Buddha, semenjak dulu kala hingga
sekarang ini, negaramu itu tetap menjadi Negara Sang Buddha,
sementara rajanya, turun-temurun, semua memerintah menuruti
ajarannya, maka itu dengan perlindungannya Sang Buddha,
mesti negaramu hidup makmur. Putera rajamu telah
menghadiahkan menara emas, tindakan itu tepat dan mendapat
rasa syukur kami, maka itu tolonglah kau menyampaikan
ucapan terima kasih kami."
"Masih ada sesuatu yang putera raja kami, hendak
menyampaikannya kepada Buddha Hidup," berkata pula sang
pendeta asing jubah Merah itu.
"Silahkan utarakanlah," Buddha Hidup menitah.
"Hal itu ialah begini," menjawab si pendeta asing,
menjelaskan: "Raja agama dari Agama Putih telah mengirim
utusan ke negara kami, dia mengajukan permintaan supaya
negara kami suka membantunya pulang kembali ke Tibet.
Putera raja kami mengetahui baik sekali, bahwa agama yang
sejati adalah Agama Kuning, bahwa dua Dalai Lama dan
Panchen Lama adalah Buddha-Buddha Hidup, dari itu, ia telah
tolak permintaan itu. Putera rajaku membilang, hal itu haruslah
dilaporkan kepada Buddha Hidup."
Mendengar keterangan itu, Koei Hoa Seng mencaci di dalam
hatinya. Terang-terang adalah putera raja Nepal itu yang
mengojok-ojok, menganjurkan raja Agama Putih menyerang ke
Tibet, sekarang dia membilang sebaliknya. Bukankah itu
tindakan menimbulkan yang tidak-tidak" Bukankah itu
perbuatan sengaja belaka supaya di Tibet terbit perang saudara,
agar Nepal bisa menangkap ikan di air keruh, untuk
mendapatkan keuntungan"
Dalam sengitnya, Hoa Seng mau lompat keluar dari tempatnya
sembunyi, guna membeber kepalsuan pihak putera raja Nepal
itu, atau mendadak ia merasakan samberan angin di arah
belakangnya. Tentu saja ia menjadi kaget. Untuk menolong
diri, ia menyerang ke belakang, untuk menangkis.
Segera ia mendengar orang membentak dalam Bahasa Tibet:
"Orang jahat bernyali besar, cara bagaimana kau berani
lancang memasuki istana suci ini?" Dan teguran itu disusul lagi
dengan sambaran angin yang dahsyat, menyerang ke arah
punggung. Hoa Seng segera menoleh. Nyata ia tidak dapat menghalau
penyerang gelap itu, ialah dua pendeta, yang satu mengenakan
jubah hitam, yang lain kuning. Kepala mereka digubat sabuk
putih, hingga roman mereka mirip malaikat Hian Tan Kong.
Teranglah mereka dua pendeta bangsa India, pendeta-pendeta
mengembara. Pendeta yang berada paling dekat padanya, si jubah hitam,
tengah menyerang dengan senjatanya yang berupa tongkat
bambu, sangat sebat serangannya itu, sejenak saja sudah tujuh
jurus, semua serangan mengarah jalan darah. Si jubah kuning
cuma mengawasi saja. Ia mencekal sebuah mangkok tembaga,
mangkok peranti bangsa pendeta meminta amal. Nampaknya
segera bakal turun tangan akan membantui kawannya.
Hati Hoa Seng bercekat juga, Ia heran untuk si pendeta jubah
hitam itu, yang ilmu totoknya liehay tak kalah dengan akhli
silat kelas satu dari Tiongkok. Ia pun heran untuk penyerangan
mereka secara membokong itu. Tapi ia cukup sabar, ia memikir
untuk minta keterangan. Atau ia didului si pendeta jubah
kuning. "Bekuk saja padanya!" demikian pendeta jubah kuning ini
menyerukan kawannya. "Kita jangan membuatnya Buddha
Hidup menjadi kaget!"
Ia berteriak begitu, ia pun lantas bergerak. Senjatanya yang
istimewa itu lantas diputar balik, dipakai menyerang dari atas
ke bawah, hingga mangkok itu mirip gunung Tay San yang
dipakai menungkrap batok kepala!
Karena ia tidak dapat ketika untuk minta keterangan atau
memberi penjelasan, terpaksa Hoa Seng menghunus
pedangnya, pedang Theng-kauw-kiam si "Ular Naga Naik."
Dengan itu ia menangkis serangan dari atas itu.
Suara keras lantas terdengar akibat tusukan pedang pada
mangkok peranti minta amal itu. Atas itu, si pendeta memutar
mangkoknya, maka di lain saat, seperti ada tenaga yang
menarik, pedang itu tak dapat lantas ditarik pulang oleh
pemiliknya. Mau atau tidak, Hoa Seng terperanjat. Itulah aneh. Ia kagum
untuk kepandaiannya si pendeta bangsa India itu.
Dalam saat si anak muda terancam bahaya, pendeta jubah
hitam maju menyerang, tongkat bambunya menotok ke jalan
soan-kie-hiat di dada, lalu itu diulangi ke jalan darah Ciangboen-
hiat di iga, dan kemudian ke hong-hoe-hiat di belakang
kepala. Penyerangan berantai tiga kali itu dilakukan, karena
beruntun Hoa Seng berhasil mengelakkan dirinya.
Koei Hoa Seng adalah turunan Thian San Cit Kiam, jago-jago
pedang dari Thian San Pay, kepandaiannya dalam ilmu silat
pedang Tat-mo Kiam-hoat pun adalah yang asli, maka itu,
walaupun ia didesak hebat, ia tidak menjadi bingung. Di saat
ujung tongkat menyambar ke batok kepalanya, berbareng ia
berseru nyaring sekali, suaranya bagaikan guntur.
Si pendeta jubah hitam kaget, karena mana, arah serangannya
menjadi kacau. Ketika ini diambil Hoa Seng, yang menjambret
ujung tongkat bambu itu, untuk segera dibentak keras, lalu
diteruskan ditolakkan sama hebatnya.
Tanpa ampun lagi, si jubah hitam roboh terjengkang, kedua
kakinya naik ke atas.
Seruannya Hoa Seng ialah seruan yang dinamakan "Deruman
Singa," biasanya kalau orang biasa mendengarnya, jantungnya
bisa tergerak terluka, tetapi dua pendeta ini liehay tenaga
dalamnya, mereka dapat bertahan, si jubah hitam cuma roboh.
Si jubah kuning, yang terlebih liehay lagi, cuma kaget dan
mundur dua tindak.
Hoa Seng berlaku cerdik sekali, menggunai saat yang baik itu,
ia geraki pedangnya yang tadi seperti tertarik mangkoknya si
jubah kuning, bukannya menarik pulang, ia justeru menikam
terus. Maka dengan satu suara keras, mangkok itu kena
ditublas bolong! Sesudah ini barulah ia menariknya pulang.
Si pendeta jubah kuning tercengang bahna heran dan kagetnya.
Kedua pendeta India itu telah bersepakat untuk tidak
menerbitkan suara berisik, guna mencegah Buddha Hidup
menjadi kaget dan terganggu karenanya. Tapi seruan Hoa Seng
justeru sebaliknya.
Dalai Lama mendengar seruan itu, yang membuatnya kaget
dan heran, maka itu ia sudah lantas pergi ke luar.
"Buddha Hidup, sukalah dengar ?"." berkata Hoa Seng, atau
mendadak katanya itu terganggu, sebab si jubah kuning, begitu
lenyap herannya, sudah lantas menyerang, mangkoknya yang
liehay itu, dengan bergemerlap kekuning-kuningan, turun pula
dari atas ke bawah, kembali hendak menungkrap kepala
lawannya. Anginnya pun mendesir keras sekali. Hanya kali ini
serangan bukan dilakukan seperti bermula tadi, hanya dalam
rupa timpukan. Hoa Seng heran bukan main. Tidak ia menyangka, mangkok
itu juga dapat dipakai sebagai senjata rahasia. Terpaksa ia tidak
langsung menangkis, hanya ia menyingkir dengan berkelit,
dengan jurusnya "Naga melingkar menggeser kaki," sambil
berbuat begitu barulah ia menyambut dengan pedangnya.
"Traang!" demikian kedua senjata itu beradu.
Kena terhajar pedang, mangkok itu mental balik.
Justeru itu, tongkatnya si jubah hitam pun tiba.
Si pendeta Merah dari Nepal, yang turut Buddha Hidup keluar,
telah menyaksikan pertempuran itu, ia maju seraya menegur:
"Manusia gila yang bernyali besar, cara bagaimana kau berani
lancang masuk ke istana nabi dan mengotorkan-menghina
Buddha Hidup" Sungguh kau harus mampus berlaksa kali!
Buddha Hidup, silahkan kembali ke dalam, nanti siauwceng
yang mewakilkanmu membikin beres manusia kurang ajar ini!"
Pendeta ini segera maju dengan menggeraki jubahnya, yang
bagaikan segumpal api merah marong, berbareng dengan mana
si pendeta jubah kuning pun sudah mengulangi serangannya
dengan mangkok?nya yang terbang menyambar.
Dengan bersendirian, dengan sebatang pedangnya, Koei Hoa
Seng melayani tiga pendeta yang liehay itu, dengan begitu.
dalam repotnya itu, tidak sempat lagi ia berbicara kepada
Buddha Hidup, guna memberikan keterangannya.
Dalai Lama tidak mengundurkan diri sebagaimana diminta
oleh si lhama jubah merah, ia mengawasi kepada itu anak
muda hingga ia mendapat lihat di leher orang ada tergantung
sebuah patung Buddha dari emas. Itulah tanda mata dari
Maskanan kepada Hoa Seng, dan itulah benda yang Buddha
Hidup ini mengenalinya dengan baik. Patung emas itu ada satu
di antara tujuh rupa barang kepercayaan dari raja agama dari
Lama Putih. Menampak itu, ia menjadi heran, hingga maulah ia menyangka,
Hoa Seng adalah orangnya raja agama Putih untuk melakukan
pembunuhan secara menggelap terhadap dirinya. Hanya
sejenak saja, ia lalu mendapat pikiran lain. Ia mau percaya
tidak nanti raja agama Putih mau berbuat sehina itu,
membunuh ia secara menggelap.
Raja agama Putih tak ada semulia dirinya sendiri, akan tetapi
dia tetap adalah raja agama, dialah satu Buddha Hidup pula.
(Di dalam agama Lama, Dalai adalah paling termulia, Buddha
Hidup yang paling agung). Karena ini ia mau menduga juga
Hoa Seng sebagai utusannya pihak Agama Putih. Oleh karena
kesangsiannya ini, ia tidak mau mengundurkan diri dengan
masuk ke perdalaman, hanya ia berdiri menonton dengan
dilindungi oleh dua lhama sebagai pahlawannya.
Di saat mangkok suci itu menungkrap kepalanya, Hoa Seng
menangkis dengan gerakan dari Taylek Kim-kong-cioe,
berbareng dengan itu pedangnya menyontek jubahnya si
pendeta berjubah merah, kemudian dengan satu puteran tubuh,
satu kelitan, ia menyingkir dari totokan tongkat bambu dari si
jubah hitam. Dalai Lama tidak mengerti ilmu silat akan tetapi ia ketahui
dengan baik, dua pendeta asing itu adalah dua pendeta India
dari kelas satu, sedang si pendeta jubah Merah adalah koksoe
atau guru negara dari negara Nepal, jadi dialah bukan seorang
yang lemah. Maka itu, menyaksikan Hoa Seng demikian kosen,
gerak-geriknya demikian lincah, diam-diam ia memberikan
pujiannya. Sebenarnya Hoa Seng, dalam pertempurannya ini, menampak
kesulitan. Coba mereka bertempur satu lawan satu, tidak ada
seorang musuhnya juga yang dapat menandingi ia, akan tetapi
ia dikerojok bertiga, ia repot juga. Terutama ia mesti berjagajaga
dari itu mangkok yang liehay, yang dapat diterbangkan
sebagai senjata rahasia.


Pedang Inti Es Peng Pok Han Kong Kiam Karya Okt di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ketiga pendeta itu pun berkelahi dengan hebat sekali, agaknya
mereka dapat memernahkan diri, maka itu, dapat mereka
merangsak, hingga makin lama Hoa Seng makin terdesak
walaupun pemuda ini telah mencoba sebisanya akan
mempertahankan diri. Selagi kalangannya menjadi semakin
ciut, ia dengan sendirinya mulai menghadapi ancaman
bencana. Dengan sekonyong-konyong si pendeta jubah kuning
berlompat tinggi, mangkoknya diangkat bersama, untuk terus
dikasih turun dengan kaget. Buat kesekian kalinya, ia
menungkrap pula dengan gerakannya "Gunung Tay San
menindih batok kepala."
Hoa Seng menginsyafi bahaya, ia angkat sebelah tangannya
guna menahan serangan yang berbahaya itu, ia tidak
memperdulikan yang tangannya itu nanti dapat disedot
Pendekar Super Sakti 17 Romantika Sebilah Pedang Karya Gu Long Panji Sakti 1
^