Pencarian

Pedang Inti Es 3

Pedang Inti Es Peng Pok Han Kong Kiam Karya Okt Bagian 3


mangkok yang liehay itu. Berbareng dengan itu si pendeta
jubah Hitam membawakan ujung tongkatnya ke dada orang,
untuk menotok. Guna menghindarkan bahaya, Hoa Seng
menggeraki pedangnya, untuk menangkis. Atau mendadak si
lama jubah Merah menyambar ia dengan jubahnya, guna
membungkus pedangnya itu!
Tanpa ampun lagi, karena tidak ada rintangan sama sekali,
ujung tongkat si pendeta jubah hitam mengenai sasarannya,
tepat pada jalan darah tan-tiong-hiat. Serangan telak ini tapinya
tidak menerbitkan suara.
Justeru di dalam saat yang sangat mengancam itu, tiba-tiba
semua orang mendengar suara ting tang dari gelang beradu
diberikuti dengan bau harum semerbak yang seperti memenuhi
kalangan pertempuran itu dan sekitarnya, lalu dua lhama jubah
kuning naik ke lauw-teng sambil berseru: "Lie-hoehoat
menghadap Buddha Hidup!"
Mendengar itu, Dalai Lama sudah lantas menyahuti:
"Persilahkan!"
Hoa Seng girang mendengar suara itu. Di saat itu ia kebetulan
menggunai kepandaiannya yang istimewa untuk melawan
tongkatnya si pendeta jubah hitam itu. Ia membikin dadanya
melesak hingga tak dapat ditotok, meski juga totokan itu tepat
kepada sasarannya. Sembari berbuat begitu, ia menggunai
ketika untuk melirik.
Segera terlihat munculnya seorang wanita muda di tangga
lauwteng, hingga meluaplah kegirangannya. Sebab yang datang
ini bukanlah lain dari sinona dengan pakaian putih yang ia
harapkan, yang ia buat pikiran siang dan malam.
Dengan munculnya si nona serba putih itu, dengan sendirinya
berhentilah pertempuran yang seru itu.
"Kau tidak mau pulang, kau bikin apa di sini?" menegur si
nona seraya menunjuk kepada si pendeta jubah merah, yang ia
awasi dengan tajam.
Air mukanya pendeta itu berubah, lekas-lekas ia menarik
pulang jubahnya, setelah itu ia menoleh kepada Buddha Hidup
untuk merangkap kedua tangannya akan memberikan
hormatnya. "Lie-hoehoat menitahkan kau pulang, tidak dapat aku
membiarkan kau berdiam lebih lama pula di sini," berkata
Dalai Lama. Pendeta itu mengucapkan beberapa kata-kata dalam bahasa
Nepal, habis itu ia memutar tubuhnya untuk terus berlalu dari
istana Potala itu.
Pedangnya Hoa Seng tengah dilibat jubahnya si pendeta jubah
merah itu, dengan jubah orang ditarik pulang, bebaslah pedang
itu, hanya selagi ia menarik pulang, pedang membabat
mangkoknya di pendeta jubah kuning, hingga mangkok itu
menjadi sempoak!
Adalah di ketika itu, si nona pakaian putih berbicara dengan
Dalai Lama, habis mana Buddha Hidup, dengan memberi tanda
dengan kibasan tangannya, berkata kepada kedua pendeta yang
masing-masing berjubah kuning dan jubah hitam itu: "Kiesoe
yang datang dari Tionggoan ini bukan saja bukannya
pembunuh gelap bahkan dia berjasa terhadap agama kita, maka
itu tuan-tuan, aku minta sukalah kamu menghentikan
pertempuran ini."
Kedua pendeta itu mengunjuk roman yang bergelisah.
Sebenarnya, dengan berlalunya si pendeta jubah merah, hati
mereka sudah ciut. Bertiga mereka tidak sanggup merobohkan
Hoa Seng, apapula sekarang mereka tinggal berdua. Mereka
lega mendengar suaranya Buddha Hidup, sedang serangannya
Hoa Seng pun ter?henti sesudah pedangnya menghajar
mangkok istimewa itu. Napas mereka pun sengal-sengal, suatu
tanda mereka sudah letih sekali. Dengan cepat mereka berlutut
kepada Buddha Hidup seraya mengangguk, kemudian mereka
memberi hormat juga kepada si nona sambil mereka menekuk
sebelah kakinya. Dari mulut mereka keluar kata-kata yang
perlahan. Hoa Seng tidak mengerti bahasa mereka itu tetapi dapat ia
menduga bahwa orang tengah memohon maaf. Habis memberi
hormat kepada si nona, mereka itu pun berlalu dari situ dengan
terus turun dari lauwteng.
Sebenarnya Hoa Seng heran bukan main, hingga ia merasakan
bagaikan ia tengah bermimpi. Keanehan ini ada melebihkan
saat ketika untuk pertama kali ia bertemu si nona di Kota Iblis.
Ia tidak menyangka nona itu adalah lie-hoehoat, atau pelindung
bagi agama Buddha, hingga sekalipun Dalai Lama, Buddha
Hidup yang sangat dijunjung, pun menaruh hormat demikian
rupa terhadapnya.
Sampai di situ pemuda ini menghampirkan Dalai Lama, untuk
memberikan hormatnya, setelah mana ia pun mengunjuk
hormat kepada si nona.
Nona itu bersenyum manis.
"Engko," katanya, "mengapa kau berlaku begini sungkan
terhadapku?"
Halus dan merdu terdengarnya suara nona ini.
Dalai Lama tak menghiraukan pembicaraan orang.
"Adakah kau utusan dari raja agama Putih?" ia bertanya.
"Menurut katanya lie-hoehoat, selama di Kota Iblis kau telah
melakukan sesuatu yang menguntungkan Tibet."
"Aku justeru hendak menyampaikan sesuatu kepada Buddha
Hidup," menyahut Hoa Seng.
Belum lagi Dalai Lama berkata pula, untuk menanya tegas, si
nona sudah berkata kepadanya.
"Inilah engko yang aku kenal selama di Tionggoan," demikian
katanya. "Buddha Hidup, harus kau mempercayai
perkataannya. Sudah lama aku datang ke Tibet ini, telah aku
menghadap Buddha Hidup, maka itu sudah selayaknya yang
sekarang aku meminta diri. Jikalau ada jodohnya, biarlah lain
kali aku datang menghadap pula."
Setelah mengucap begitu, si nona menjura, terus ia memutar
tubuh, akan turun dari lauwteng.
Dalai Lama merangkap kedua tangannya, tanda ia mengantar
orang berlalu. Heran Hoa Seng menyaksikan kelakuan si nona. Ia bergirang
berbareng sedih. Baru ia bertemu pula nona itu, atau segera
mereka berpisah lagi. Ia menyesal yang ia tidak dapat
berlompat untuk membetot bajunya nona itu, untuk
menahannya, buat mengajak bicara. Ia dapat menguasai
dirinya. Di situ ada Buddha Hidup dan ia pun tidak dapat
berlaku kurang ajar. Maka itu ia cuma dapat mengawasi nona
itu bertindak pergi, di dalam hatinya ia menyesal dan berduka
sekali. "Kiesoe, silahkan duduk di kamar samedhi." Dalai Lama
mengundang tetamunya. "Di sana silahkan kiesoe memberi
penjelasan kepadaku."
Koei Hoa Seng menerima baik undangan itu, setelah mana ia
memberikan penuturannya dari pengalamannya di Kota Iblis,
bagaimana ia dapat mempergoki gerak-geriknya putera raja
Nepal, sampai ia menerima pesan Maskanan untuk ia
menyampaikan amanat dari raja agama Putih.
Mendengar semua itu, Dalai Lama menghela napas.
"Peribahasa bangsa Tibet mengatakan, 'Musuh yang jujur
memenangkan sahabat, manusia hina penjilat mesti ada
permintaannya,' inilah tepat sekali," katanya. Ia lantas
menghaturkan terima kasih, kemudian ia menitahkan seorang
lhama mengajak tetamunya ini ke kamar tetamu seraya
memesan bahwa tetamunya harus dilayani sebagai tetamu yang
agung. "Apakah kedudukannya lie-hoehoat itu?" tanya Hoa Seng
kepada lhama yang melayani ia. Paling dulu ia menanyakan
halnya si nona baju putih itu.
Lhama itu merangkap kedua tangannya, sikapnya sangat
menghormat. "Siapa yang berjasa besar terhadap agama Buddha, dia barulah
dapat dikurniakan kedudukan sebagai hoehoat, ialah pelindung
agama kami," sahutnya. "Demikian dengan lie-hoehoat tadi."
"Siapakah itu yang mengurniakannya?" Hoa Seng menanya
pula. "Ialah kepala dari kuil Nalanto di India. Untuk India,
kedudukan kepala itu sama dengan kedudukannya Buddha
Hidup, Kuil Nalanto itu mempunyai dua lembar surat jimat
daun peiyeh, katanya di jaman dahulu, tempo Sang Buddha
berceramah di bawah pohon bodhi, dia memetiknya daun itu
dan dihadiahkan kepada muridnya yang bernama Kayap. Di
kuil Nalanto itu, setiap seidaran tahun diadakan rapat besar
agama Buddha, di sana daun suci itu dihadiahkan kepada
orang-orang yang berjasa terhadap agama Buddha, yang pun
dikurniakan menjadi hoehoat atau pelindung agama. Rapat
diadakan setiap enampuluh tahun sekali tetapi dalam
enampuluh tahun itu, belum dapat dipastikan ada orang yang
sangat berjasa yang berhak mendapatkan kurnia itu. Maka itu,
sudah kurnia pelindung itu sukar didapat, lebih sukar lagi
didapatkannya oleh seorang wanita."
Keterangan ini membuatnya Hoa Seng kagum dan girang
sekali lagi heran. Walaupun begitu, tetap ia belum mengetahui
jelas tentang dirinya si nona baju putih itu. Kenapa dia
diangkat menjadi hoehoat" Dan asalnya, siapakah dia"
Pendeta lama itu sebaliknya tidak suka omong banyak tentang
itu nona pakaian putih, yang dia sebutkan hoehoat wanita.
Sampai di lain harinya, Hoa Seng masih belum berhasil
mengetahui hal ikhwal si nona. Ia menjadi masgul, hingga ia
berniat berangkat pergi saja.
Ketika si lhama pelayan diberitahukan niat orang untuk berlalu,
dia berkata: "Menurut pesan Buddha Hidup, jikalau kiesoe
menyukainya, kiesoe disilahkan tinggal lebih lama di istana
ini." Hati Hoa Seng sudah tawar, hendak ia menampik kebaikan
budi tuan rumah itu, atau si lhama pelayannya sudah berkata
pula: "Ketika kemarin ini lie-hoehoat hendak berlalu, dia
meninggalkan pesan, dan Buddha Hidup membilang bahwa
pesan itu harus disampaikan kepada kiesoe."
"Apakah pesan itu?" tanya Hoa Seng. Sejenak itu datanglah
kegembiraannya.
"Lie-hoehoat memesan mengundang kiesoe melakukan
perjalanan ke Nepal," menerangkan si lhama. "Jikalau ada
jodohnya, mungkin kiesoe akan bertemu pula dengannya,
katanya." "Memang aku berniat pergi ke Nepal," berkata Hoa Seng.
"Dalam istana kami ini ada orang yang mengerti bahasa
Nepal," kata pula si lama. "Sebelum kiesoe berangkat ke sana,
apakah kiesoe hendak mempelajari dulu bahasa Nepal itu?"
Hoa Seng setujui usul ini. Memang, karena ia tidak bisa bahasa
itu, lebih baik ia belajar dulu di sini sebab kalau ia pergi dulu
dan baru belajar di sana, itu mestinya sulit.
"Baiklah," jawabnya seraya mengucap terima kasih.
Maka dengan manis budinya Buddha Hidup, ia berdiam terus
di istana Potala itu. Ia belajar rajin setiap hari, siang dan
malam, dari itu selang dua bulan, mengertilah ia sudah bahasa
omongan setiap hari, kasar-kasar bolehlah itu dipakai.
Karenanya, segera datang harinya yang ia tetapkan untuk
keberangkatannya.
Pagi-pagi sekali Hoa Seng minta diajak menghadap Buddha
Hidup, untuk menghaturkan terima kasihnya, guna meminta
diri. Lhama pelayannya itu mengantarkan ia sampai di ruang istana
undak ke-tigabelas. Di sana ada sebuah taman, di dalam taman
itu Dalai Lama tengah berjalan-jalan. Karena taman berada di
tempat tinggi sekali, dari situ dapat orang memandang
panorama seluruh Lhasa, ibukota Tibet. Bahkan dengan
melihat jauh, tertampak pula gunung Himalaya dengan
saljunya yang putih berkilauan.
Di situ Hoa Seng bertemu sama Buddha Hidup kepada siapa ia
mengutarakan niatnya untuk berangkat ke Nepal.
Buddha Hidup sangat ramah tamah, ia memujikan keselamatan
tetamunya ini. Ia pun memesan, sesampainya di Nepal, apabila
Hoa Seng menemui sesuatu kesulitan, dia dianjurkan
menghadap raja Nepal untuk memohon bantuan. Untuk ini
Buddha Hidup membekali sepucuk surat yang mana dapat
diserahkan kepada raja itu setiap waktu datangnya keperluan.
Lebih jauh Buddha Hidup memberitahukannya bahwa ia sudah
mengirim utusan pada hoat-ong agama Putih guna melakukan
pembicaraan, dalam hal mana hoat-ong itu sudah bersedia
mengirim muridnya yang berkedudukan sebagai hoehoat pergi
ke Nepal, guna mengambil pulang tongkat suci. Katanya,
murid itu mungkin Maskanan adanya.
"Apakah kiesoe memikir untuk menantikan Maskanan, untuk
pergi bersama dengan dia?" Buddha Hidup menanya,
mengajukan pikiran.
Hoa Sang berkeinginan keras lekas-lekas menemui si nona baju
putih, ia tidak dapat bersabar lebih lama lagi, dari itu sambil
mengucap terima kasih ia mengatakan hendak berangkat
seorang diri saja.
"Kalau begitu, terserah kepada kiesoe," berkata Dalai Lama.
Lagi sekali Hoa Seng menghaturkan terima kasihnya,
kemudian ia memberi hormat untuk pamitan, terus ia
mengundurkan diri, untuk berangkat.
Satu bulan lamanya Koei Hoa Seng berada di dalam
perjalanan, ia melintasi gurun kuning, ia berjalan di padang
rumput datar, akhirnya tibalah ia di kaki gunung Himalaya di
perbatasan Nepal dan India. Ia menyaksikan puncak yang
tinggi-rendah tak ketentuan, ia mendapatkan puncak yang
bersalju hingga mirip dengan tiang langit saking tingginya.
Kalah Thian San, Koen Loen dan Ngo Bie kalau
dibandingkannya. Tanpa merasa Hoa Seng memuji gunung itu
gunung kenamaan nomor satu di kolong langit ini.
Sebenarnya Hoa Seng dapat jalan mengitari gunung itu, atau
mendadak ia mendapat suatu pikiran luar biasa, ialah walaupun
ia ketahui, tak dapat ia mendaki puncak, ingin ia mencobanya,
untuk melihat puncak itu. Ia bersedia sampai sesampaisampainya,
untuk itu ia bersedia juga menggunai temponya
beberapa hari, asal ia memperoleh kepuasan.
Ketika itu ada di pertengahan musim panas, kalau di Kanglam,
itulah saatnya keindahan bunga delima, tetapi di gunung
Himalaya ini, yang tampak adalah kembang salju putih meletak
yang berterbangan, banyak puncak yang putih melulu,
bagaikan dunia dari kristal.
Empat hari sudah Hoa Seng mendaki, ia baru tiba di tengahtengah.
Di sini hawa udara, makin lama makin dingin,


Pedang Inti Es Peng Pok Han Kong Kiam Karya Okt di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sebaliknya pemandangan yang langka, makin lama makin
banyak, bahkan ada binatang liar yang tidak terdapat di lainlain
tempat. Ada anak-anak beruang, yang berlompatan di atas
salju bagaikan bocah binal, sedang gagak gunung paruh kuning
berterbangan di atas kepala orang sambil mengasi dengar suara
gegaokannya. Sapi yang besar luar biasa pun nampak seperti perahu di atas
es. Sejumlah anak kambing gunung berlari-lari pesat umpama
kata bagaikan angin. Yang aneh semua binatang itu, karena
belum pernah melihat manusia, tidak pada lari menyingkir.
Di hari ke empat itu Hoa Seng jalan seantrero hari, magribnya
ia merasa letih juga, maka ia memikir buat mencari guha untuk
mondok. Ia melintasi sebuah sungai es, diatas es itu terbentang
sinar lajung yang indah yang berwarna tujuh rupa. Ia gembira
sekali hingga ia lupa letihnya. Kemudian ia melihat lagi lain
pemandangan yang sangat mengagumkan.
Di samping sungai es itu ada sumber air, yang airnya mancur,
yang airnya panas, air mana tertiup buyar sang angin. Ditujuh
sinar lajung, pemandangannya jadi indah luar biasa. Di
samping sumber ini, di mana ada tumbuh pepohonan, ada
pohon bunga yang tak ketahuan apa namanya.
Di Tibet, di pelbagai tempat, ada kedapatan sumber-sumber air
panas, sekalipun sumber itu diketemukan di atas gunung yang
bersalju, itu masih tidak aneh, hanya yang membuat Hoa Seng
heran sekali adalah, di antara pepohonan bunga di samping
sumber air itu kedapatan seorang bocah wanita tengah
bermain-main dengan gembira! Maka mau atau tidak, ia
terbengong mengawasinya.
Bocah itu berumur belum lewat lima tahun, mukanya potongan
telor yang merah segar sungguh manis sekali. Dia tengah
memetik bunga, yang dia jadikan semacam buket. Tumplak
perhatian bocah itu kepada bunganya, sampai dia tidak merasa
bagaimana Hoa Seng datang mendekati padanya.
Di puncak bersalju dari Himalaya ada orang berumah tangga
sudah heran, maka itu lebih heran lagi akan mendapatkan
penghuni seorang bocah. Siapa orangtua seorang ini"
Bagaimana dia sanggup melawan hawa dingin di atas gunung"
Semua ini merupakan pertanyaan bagi Hoa Seng. Maka dengan
perlahan ia menghampirkan bocah itu dengan niat mengajak
bicara. Justeru di saat itu, terjadilah hal yang lebih aneh pula.
Di belakang sumber itu ada sebuah es batu yang besar, dari
belakang itu mendadak lompat muncul dua orang yang
romannya aneh, sebab mata mereka celong, hidung mereka,
mancung, jidat mereka lebar rambut mereka kuning, di jidat itu
ada gubatan cita putih yang tebal.
Hoa Seng lantas menduga kepada dua orang Arab. Selama dua
bulan ia berdiam di istana Potala, selagi mempelajari bahasa
Nepal, ia pun melihat kumpulan buku-bukunya Dalai Lama,
yang menyimpan banyak macam kitab, maka ia mendapatkan
gambar dari orang pelbagai bangsa, seperti bangsa Arab dan
Eropah di samping bangsa Nepal. Maka sekarang ia bisa segera
menduga. Tapi yang membuatnya ia kaget, semunculnya itu,
dua orang Arab itu berlompat kepada si bocah wanita untuk
mencekuk dia dengan empat tangan mereka yang besar dan
kasar! Bocah itu kaget hingga dia menjerit-jerit.
"Kenapa kamu mengganggu bocah cilik?" Hoa Seng menegur.
Ia gusar. Ia menggunai bahasa Tibet.
Dua orang itu agaknya tak mengerti perkataannya Hoa Seng,
tetapi yang di tempat demikian mereka menemukan seorang
asing, rupanya itu membuat mereka heran dan kaget, hingga
keheranannya Hoa Seng sendiri.
Nona cilik itu melihat ada orang yang membelai dia, dia hilang
kagetnya. "Kamu berani menggoda aku!" katanya nyaring. "Nanti aku
minta ayah menghajar mampus pada kamu!"
Dan dia bicara dalam bahasa Tionghoa yang lancar!
Dua orang luar biasa itu seperti tidak mengerti perkataan orang,
tapi mereka dapat menduga yang mereka lagi ditegur, maka
yang satu maju terus kepada nona cilik itu, sedang kawannya
menghampirkan Hoa Seng. Dia ini mengasi lihat wajah
menyeringainya, agaknya dia hendak menerjang, seperti
kambratnya hendak mencekuk si nona cilik.
Hoa Seng tahu apa yang ia mesti lakukan. Menolong si bocah
adalah tindakan yang utama. Maka ia menjejak tanah, tentu ia
berlompat, lewat di atas kepala orang yang mau menyerang
kepadanya. Ia sampai tepat selagi tangan orang itu diulur
kepada bocah itu.
Orang itu terperanjat, ia tinggalkan si nona, ia balik tubuhnya,
untuk terus menyerang orang yang ia tidak kenal ini.
Hoa Seng berlompat dengan tipusilat Ngo Kim Ciang-hoat,
suatu tipu dari dalam kitab rahasia "Tat-mo Pit-kip," karena ia
tengah berlompat, lagi berlompat turun cocok sekali ia
mengerahkan tenaganya. Begitulah ketika tangannya bentrok
sama tangan si orang asing, tidak ampun lagi dia ini roboh
jumpalitan! Segera setelah itu, tibalah si orang asing yang ke dua. Hoa
Seng melihat datangnya orang itu. Tanpa bersangsi lagi, ia
memapaki untuk menerjang terlebih dulu. Ia melonjorkan duadua
tangannya, akan menyerang dengan jurus "Siang liong coet
hay" atau "Sepasang naga keluar dari dalam laut." Orang itu
ternyata tangguh, di waktu menangkis, walaupun benar ia tidak
terguling seperti kawannya, ia toh terhujung mundur.
"Aku mau lihat apa kamu masih berani menghina seorang
bocah?" Hoa Seng menegur.
Dua orang itu berdiam. Sekarang mereka sudah menghadapi
Hoa Seng dengan berdiri berendeng. Bahkan berbareng
keempat tangan mereka bergerak, untuk menyerang.
Hoa Seng tidak takuti itu. Bukankah barusan hanya dengan
segebrakan ia dapat menggempur mereka" Maka ia pikir,
walaupun mereka mengepung, paling lama dalam lima jurus ia
akan dapat merobohkan pula mereka itu.
Tapi dugaannya ini meleset. Ketika ia menangkis keempat
tangan itu, ia kena tertolak keras, ia terpelanting, hampir ia
jatuh terguling!
10. Orang Luar Biasa di Kaki Gunung
Hoa Seng menahan tubuhnya dengan memberati diri dengan
kuda-kuda "Jatuh seribu kati." Ia mengeluarkan jari tangannya
dengan jurus "Pembagian im dan yang," menurut ilmu silat
Tiat Cie Sin-kang, atau Jeriji Besi. Ia menggurat tangannya
kedua orang luar biasa itu.
Ilmu silat Tiat Cie Sin-kang ini Hoa Seng memperolehnya dari
Tat-mo Pit Kip, yaitu Kitab rahasia Tat-mo Couwsoe. Itulah
kepandaian menggunai jeriji tangan yang mirip dengan It Cie
Sian-kang dari Boe Tong Pay. Siapa kena tergores, sebagai
diris, otot-otot nadinya tentulah putus.
Dua orang tengah menerjang, Hoa Seng menyambuti. Ia
percaya ia bakal berhasil. Di luar sangkaannya, dua manusia
aneh itu liehay sekali. Begitu melihat orang memperkuat diri,
mereka batal mendekati, sebaliknya mereka pun memasang
kuda-kuda, tangan mereka didorongkan dengan perlahan-lahan.
"Heran," pikir Hoa Seng. "Ilmu apakah ini" Inilah rada sesat"
Baik aku mencoba pula." Maka mendadak ia mengubah
serangannya. Ia menyerang dengan pukulan "Lima paku
membuka gunung," suatu pukulan dari tenaga raksasa Taylek
Kim-kong Ciang-hoat.
Kesudahannya ini membuatnya terkejut. Kedua tangan lawan
itu digeraki ke kiri dan ke kanan, maka bebaslah mereka dari
serangan. Yang membikin Hoa Seng kaget yaitu tubuhnya
sendiri, ia lantas seperti kena ditarik hingga berputar beberapa
putaran. Hoa Seng tidak ketahui dua orang itu ialah murid-muridnya
Timotato, Bapak Daud, jago nomor satu dari Arabia. Timotato
pandai ilmu mengolah tenaga, ia mengerti segala cara untuk
menghadap lawan, untuk melayani dengan cara sebalikannya.
Itulah yang dinamakan tenaga im-yang. Liehaynya Timotato
ialah, seorang diri ia dapat mengerahkan tenaga dua orang,
cuma murid-muridnya ini, mereka mesti berada berdua untuk
dapat menggunai ilmu silat itu.
Setelah mencoba beberapa kali, perlahan-lahan Hoa Seng dapat
membade ilmu silat dua orang aneh ini, maka lantas ia
memikirkan daya untuk menentangnya. Ia menggunai ilmu
pukulan Tay Kek Twie-cioe. Ia mengikuti tenaga menarik itu,
dengan begitu ia dapat memecahkan serangan, kemudian ia
membalas. Untuk mengundurkan lawan, hingga mereka tidak
dapat merapatkan diri, beberapa kali ia menotok jalan darah
mereka itu, sampai mereka tidak berani mendesak.
Demikian mereka jadi berkutat.
Menyaksikan demikian, si bocah wanita lantas berseru:
"Paman, jangan kuatir! Nanti aku panggil ayah untuk
membantumu!"
"Bagus!" menyahut Hoa Seng sambil tertawa. Ia justeru ingin
menemui ayah dan ibunya bocah itu. "Aku bakal tidak sanggup
melayani dua orang jahat ini, lekas kau panggil ayahmu!"
Bocah itu memetik sehelai daun, ia masuki itu ke dalam mulut,
atau di lain saat terdengarlah suara tiupannya. Suara itu
nyaring. Hanya sekira lamanya semakanan teh, di situ lantas
muncul seorang lelaki dengan tubuh jang?kung kurus, yang
berusia lima puluh lebih. Dia datang sambil berlari-lari sambil
dia menegur: "Kamu dua orang busuk, kamu tidak tahu malu,
kamu menghina anak kecil?"
Tapi ketika ia melihat Hoa Seng, dan Hoa Seng pun melihat
dia, keduanya heran.
"Poei Loocianpwee, kau di sana?" mengambil kesempatan Hoa
Seng menanya. "Hai, Hoa Seng Laotee, kenapa kau datang ke mari?" orang tua
itu balik menanya. Ia memanggil si pemuda dengan panggilan
adik. Ia sebenarnya bernama Poei Kin Beng (Poei Keng Beng). Di
jamannya Kaisar Kong Hie, dialah seorang kosen yang
kesohor, gelarannya pun Sin Koen Boe-tek, Kepalan Tak
Lawan. Tempo belasan putera kaisar itu berebut kekuasaan, ia
ditarik oleh Capsie-hongcoe In Tee, putera ke-empatbelas.
Kemudian ia kena diambil oleh Soe-hongcoe In Ceng, putera
raja yang ke empat, yang kemudian menjadi Kaisar Yong
Ceng, sedang In Tee terbinasakan saudaranya itu setelah si
saudara menjadi kaisar. Setelah itu Kim Beng mendengar
nasihatnya Tayhiap Tong Siauw Lan, maka sejak itu ia tidak
membantu lagi pemerintah Boan. Ia mengenal Hoa Seng tempo
Hoa Seng berumur sepuluh tahun lebih, tetapi sekarang
selewatnya beberapa puluh tahun, mereka masih saling
mengenali. Belum lagi ia datang dekat, Poei Kin Beng sudah menyerang
dua lawannya Hoa Seng itu. Mereka itu lantas saja terhuyung,
karena mereka tidak roboh. Mereka lantas mencaci, dalam
bahasanya sendiri. Antaranya terdengar kata-kata "Timotato".
Hoa Seng pernah mendengar dari si nona baju putih tentang
orang liehay, ia ingat itu nama Timotato, maka itu, ia lantas
serukan si orang tua. Katanya: "Poei Loocianpwee, tak usahlah
turun tangan! Lihat nanti aku bereskan mereka!"
Dua orang aneh itu berdiri berendeng, lagi-lagi mereka
menggunai ilmu silatnya yang luar biasa itu, tenaganya im dan
yang, atau positip dan negatip.
Menyaksikan serangan Hu, Hoa Seng berseru keras, ia
menyambut dengan Taylek Kim-kong-cioe, dengan keras juga.
Dua orang itu nampaknya girang. Rupanya inilah sambutan
yang diharap mereka. Maka mereka lantas bergerak, untuk
menyerang pula. Tapi tiba-tiba lenyaplah tenaga melawan dari
Taylek Kim-kong, mereka mendorong tempat kosong, hingga
tubuh mereka terjerunuk ke depan.
Hoa Seng ternyata telah mencelat ke samping, selagi orang
mau jatuh, ia berjingkrak untuk terus menendang dengan kedua
kakinya berbareng kepada kempolan mereka itu, maka tidak
ampun lagi, keduanya roboh terguling. Yang satu lebih liehay
dari kawannya, dengan gerakan "Ikan gabus meletik," dia
berlompat bangun, agaknya mau dia membuat pembalasan.
Hoa Seng menduga aksi orang itu, ia mendahului, dengan
kesebatannya, ia mengulur tangannya, menyambak tulang
piepee di pundak, lalu dia membalingkannya dengan tenaga
Toa-soet Pay-cioe dari Siauw Lim Pay. Maka hebatlah
kesudahannya orang aneh itu. Bukan saja dia telah robek
bajunya, tulang piepeenya pun pecah-hancur, tubuhnya
terpelanting roboh. Dia tak bergerak lagi.
Nyatalah Hoa Seng, setelah mengetahui tenaga besar dan ulet
dari lawan, ia menggunai tipu. Mulanya ia lawan keras dengan
keras, lalu mendadak ia menarik pulang tenaganya itu,
tubuhnya mencelat ke samping, maka di saat orang nyelonong
ke depan, ia mendupak mereka.
Si nona bersorak seraya menepuk tangan.
"Bagus, bagus!" demikian pujiannya. "Mereka dihajar dan
berkaok-kaok!"
Poei Kin Beng pun memuji: "Hebat, Laotee, hajaranmu ini
keras bercampur lunak. Aku dinamakan Sin Koen tetapi aku
harus mengagumi kau. Baiklah aku bilangi kau, aku juga sudah
beberapa kali bertempur sama mereka, mereka tidak pernah
dapat kemenangan, aku pun belum dapat mengalahkan
mereka." Hoa Seng merendahkan diri. "Siapa sebenarnya mereka?" ia
tanya. "Nanti aku menjelaskan," menyahut Kin Beng. "Aku berdiam
menyendiri di sini, dengan tahun ini adalah tahun yang ke
sepuluh. Selama sepuluh tahun itu, belum pernah ada orang
datang ke mari. Kira lima atau enam hari yang lalu, setahu dari
mana datangnya, tiba-tiba muncul dua orang ini. Mereka
datang ke rumahku, mereka minta makan dan minta minum.
Itulah tidak apa. Celakanya, kemudian mereka hendak
mengusir aku pergi, mereka hendak merampas rumahku ini!
Belum pernah aku menemui orang demikian tidak tahu aturan.
Maka itu, sejak itu hampir setiap hari aku bertempur sama
mereka. Anak ini besar nyalinya, sebenarnya aku kurung dia di
rumah, aku larang dia keluar, siapa tahu selagi aku menyiram
bunga di kebunku, dia keluar dengan diam-diam ?"".."
Nona itu menjebi.
"Beberapa hari aku tidak keluar rumah, pikiranku pepat!"
katanya. Nyata dia manja. "Sekalipun banteng aku tidak takuti,
apa pula baru ini dua makhluk aneh!"
Hoa Seng heran.
"Sebetulnya mau apa mereka datang ke mari?" ia menanya.
"Sayang tidak mengerti bahasa mereka, mereka jadi tidak dapat


Pedang Inti Es Peng Pok Han Kong Kiam Karya Okt di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dikompes."
Lantas Hoa Seng menghampirkan musuh yang terbinasa itu,
yang ia robek bajunya, untuk menggeledah padanya. Di situ
ada dua lembar papan persegi tiga, setiap satunya panjang lima
atau enam dim dan dipasangi dua palangan besi sebagai kaki.
Masih ada lagi beberapa helai gambar, gambar dari papanpapan
itu. Hoa Seng dan Kin Beng ti?dak mengerti maksudnya gambar
dan papan itu, mereka terpaksa tidak mencari tahu lebih jauh.
Tentu sekali mereka ini tidak ketahui niatnya Timotato.
Sebenarnya Timotato berminat mendaki puncak gunung paling
tinggi di kolong langit ini, lebih dulu dia mengirim dua
muridnya untuk membuat pengukuran. Papan-papan itu ialah
alat-alatnya. Tidak dinyana, dua murid ini bertemu sama Hoa
Seng dan jadi bertempur. Celaka sekali, mereka terlemparkan
ke bawah gunung.
Yang terluka pundaknya itu mati lantas. Yang lainnya luka
bercacad, dia kabur selang sepuluh tahun kemudian dia pulang
ke Eropah, di sepanjang jalan dia mengemis.
Adalah di kemudian hari Timotato akan mencoba mewujudkan
cita-citanya itu.
Sampai di situ, Kin Beng undang Hoa Seng datang ke
rumahnya. Mereka baru bertemu pula, tetapi bertemunya di
gunung Himalaya ini, mereka jadi girang sekali, mereka lantas
saja bergaul dengan erat.
Dari sumber air mancur itu ke rumahnya Kin Beng cuma
beberapa lie, tidak lama sampailah mereka. Itulah rumah
dengan tiga ruang, yang dikurung dengan tembok batu. Rumah
itu jelek tetapi mengambil model rumah-rumah di Kanglam.
Maka itu sejak tiba di Tibet, baru kali ini ia melihat rumah
model Kanglam itu. Ia gembira, sekali. Ia mau percaya, bukan
tanpa banyak tempo dan tenaga yang Kin Beng dapat
membangun rumahnya ini di tanah pegunungan itu.
Kemudian Hoa Seng ingat pertemuannya sama Hoa Giok, si
nona baju putih, di Puncak Bidadari, di mana mereka telah
bergurau, katanya si nona, nanti ia hendak membikin lengkiong,
yaitu istana dingin, di atas Thian Ouw, Tengri Nor, di
puncak salju. Tentu saja, ia menguatirkan itu hanya khayal
belaka. Tapi toh ia membayangi, kalau dapat ia tinggal
bersama nona itu, biar mereka tinggal di rumah seburuk rumah
Kin Beng ini, ia akan puas sekali. Hanya, kapan ia pikirkan,
kapan nanti datangnya itu hari, bulan dan tahun, ia berdiam
?"?" Di samping rumah Kin Beng itu ada sebuah taman kecil, tuan
rumah mengajak tetamunya pergi ke kebun bunga itu di mana
ia mendapatkan banyak macam bunga, justeru bunganya
sedang pada mekar.
"Sayang aku tidak bisa mendapatkan bunga-bunga dari
Tiongkok," kata Kin Beng tertawa. "Karena dekat sama sumber
air panas, hawa di sini rada hangat, tak perduli keletakan
tempat di atas gunung yang hawanya dingin."
"Loocianpwee," tanya Hoa Seng kemudian, "kenapa kau
datang ke mari dan tinggal menyendiri di sini" Sukakah kau
menuturkan sebabnya?"
Poei Kin Beng tertawa.
"Tak lebih tak kurang karena aku jeri," sahutnya terus-terang.
"Dulu hari itu aku membantu Capsie-hongcoe berebutan takhta
kerajaan sama Yong Ceng, selagi aku membenci Yong Ceng,
Yong Ceng pun tentu benci sangat padaku. Yong Ceng ada
punyai banyak sekali pahlawan, begitu juga ia mempunyai
Lian Keng Giauw sebagai panglima perangnya yang sangat
kejam, mana dapat aku menaruh kaki di Tiong-goan" Terpaksa
aku menyingkir ke mari"
"Yong Ceng dan Lian Keng Giauw sudah mati, yang
memerintah sekarang puteranya Yong Ceng," Hoa Seng
memberitahu, "ialah kaisar Kian Liong."
Kin Beng agaknya girang.
"Bagaimana matinya Yong Ceng dan Keng Giauw itu?" ia
menanya. "Lian Keng Giauw telah besar jasanya, Yong Ceng turunkan
pangkatnya delapan belas tingkat dan membuang padanya ke
kota Hangcioe di mana dia ditugaskan menjaga pintu kota,"
menerangkan Hoa Seng. "Dia terhina sangat, sudah begitu
kemudian dia tak terluput daripada kebinasaan. Yong Ceng
sendiri mati terbunuh Lu Soe Nio di dalam keratonnya!"
Kin Beng tertawa melenggak, ia puas sekali, ia berseru
menyatakan kepuasannya itu.
"Musuh-musuhku itu sudah terbinasa," katanya kemudian,
"tapi aku sudah jadi biasa tinggal di sini, aku tidak niat turun
gunung lagi."
Atas sikap tuan rumah ini, Hoa Seng tidak membilang suatu
apa. Masih sekian lama mereka berdiam di taman itu, baru Kin
Beng ajak tetamunya masuk ke dalam.
Kin Beng datang ke Tibet seorang diri, ia menikah sama
seorang nona Tibet. Kebetulan isteri itu pun pernah belajar
ilmu silat kalangan Agama Merah dan tubuhnya kuat. Inilah
untuk pertama kali dia melayani tetamu suaminya, dia girang
sekali, dia melayani dengan telaten. Dia menggorengi daging
harimau dan menyuguhkan juga susu.
Hoa Seng dahar dengan bernapsu, ia menenggak susunya.
Memang selama di Tibet ini, ia seperti kekurangan makan,
sebab selalu menangsal perut dengan rangsum kering.
Malamnya tuan rumah dan tetamu duduk pasang omong. Kin
Beng menanyakan keadaan kaum Rimba Persilatan selama
sepuluh tahun ia menyingkir dari Tiong-goan. Hoa Seng
menuturkan apa yang ia tahu, ia membuatnya tuan rumahnya
gembira sekali.
Kemudian Hoa Seng memberitahukan bahwa di Tibet ini ia
bertemu sama puteranya Lian Keng Giauw, bahwa putera itu
pintar tak kalah dari pada ayahnya.
Kin Beng menghela napas, ia kata: "Mudah-mudahan dia
jangan menelad sifat ayahnya itu....."
"Loocianpwee," tanya Hoa Seng kemudian, "Cholmo Lungma
adalah gunung paling tinggi di kolong langit ini, kau telah
tinggal di sini sepuluh tahun, pernahkah kau mendakinya?"
Tuan rumah tertawa.
"Kalau gunung itu gampang dipanjatnya, cara bagaimana dia
dapat disebut gunung paling tinggi di dalam dunia?" dia
membaliki. "Untuk mendaki dari sini, bukan saja esnya
bersusun tak habisnya, pun sukar sekali orang bernapas, makin
lama makin sesak rasanya. Sekalipun orang yang tenagadalamnya
sempurna, dia tidak kuat bertahan. Kabarnya juga
Leng Bwee Hong dari Thian San Pay, dia gagal, dia turun
kembali dengan sia-sia ?""."
Mendengar itu, Hoa Seng menginsafi sulitnya mendaki puncak
gunung itu. Besoknya, Hoa Seng berniat pamitan, tetapi tuan rumah
menahan, ia diajak mendaki dua puncak es dari mana mereka
bisa memandang jauh ke Cholmo Lungma.
"Ilmu silat juga sama seperti mendaki gunung," pikir Hoa Seng
selagi matanya mengawasi gunung itu, yang puncaknya masuk
ke dalam mega, "naik sebuah puncak, ada lagi puncak lainnya.
Di dalam halnya ilmu silat, siapa dapat mempelajari demikian
liehay hingga dia tak dapat terkalahkan, seumpama tingginya
puncak ini?"
Karena ini, di waktu berjalan pulang, pemuda ini kurang
gembira. Kin Beng seperti dapat membade hatinya tetamunya.
"Laotee, tak usah kau jadi kecil hati," katanya tertawa.
"Mendaki puncak memang sulit, tetapi kau telah berhasil
sampai di sini, seharusnya kau sudah merasa puas."
Hoa Seng tidak memikir demikian, ia ingin mendaki sebuah
puncak, lalu mendakinya lagi yang lain, akan tetapi
memandangi Coe Hong atau Puncak Mutiara itu, ia merasa
dirinya kecil juga. Tanpa banyak bicara, ia ikut Kin Beng
pulang. Baru mereka sampai di air mancur, di sana mereka mendapat
dengar suara suitan daun, mendengar mana, Kin Beng jadi
gusar. "Kurang ajar!" katanya sengit. "Sepuluh tahun sudah aku
tinggal di gunung ini, biasanya aman dan tenteram, maka aku
tidak menyangka, selama beberapa hari ini aku saban-saban
mendapat gangguan dari manusia-manusia kasar!"
Hoa Seng pun heran.
"Baru kemarin kita merobohkan dua orang aneh itu, kenapa
ada datang yang lainnya?" katanya. "Kenapa di kaki Puncak
Mutiara ini ada begini banyak manusia aneh?"
Keduanya lantas lari pulang. Begitu mereka sampai dan
membuka pintu kebun bunga, di sana mereka menampak
seorang muda yang mukanya hitam dan rambut terlepas sedang
berkata-kata seperti ngoceh, tangan dan kakinya pun digeraki
berulang-ulang, dia tertawa-tawa terhadap Nona Poei.
Melihat ayahnya pulang, nona itu mengadu sambil menjerit:
"Ini si hitam-legam mengacau kebun bunga kita, dia main petik
bunganya! Dia juga menghina aku!"
Kin Beng menjadi gusar sekali, dengan satu lompatan, ia
menerajang pemuda hitam itu.
Si pemuda lagi bicara ketika ia merasakan sambaran angin.
Dapat dimengerti jurus Pek-pou Sin Koen, koentauw Seratus
Tindak, dari Kin Beng, liehay sekali. Ia berkelit, tubuhnya dua
kali. Atas itu datanglah serangan yang ke dua. Tentu saja
serangan ini dari dekat dan hebatnya dapat dikira-kirakan.
Menampak itu, Hoa Seng terkejut. Ia pun melihat, walaupun
dia hitam, wajah pemuda itu hitam-manis, agaknya dia tidak
beroman jahat, dia beda daripada si dua manusia kemarinnya.
Dia ini malah rada agung. Ia menduga, pukulan itu akan
membikin tulangnya patah.
Tidak ada tempo untuk si pemuda mencegah, maka telaklah
serangan Kin Beng mengenai pundak anak muda muka hitam
itu. Tapi anehnya, si anak muda tidak roboh, dia tidak menjerit,
hanya tubuhnya itu seperti tertolak, lalu melejit, sedang
tangannya si anak muda berbalik menyambar kepalan
penyerangnya! Hoa Seng terperanjat. Selama di dalam Istana Potala ia pernah
membaca sebuah kitab ilmu silat India, sekarang ia ingat itu
disebabkan gerak-gerik anak muda hitam-manis ini.
"Ah, bukankah ia bersilat dengan ilmu yoga?" pikirnya.
Menurut ilmu yoga itu, tubuh dapat dibikin lemas sesuka kita,
bahkan siapa telah meyakinkan itu sampai di puncak
kemahiran, dia dapat bertahan atas serangan api atau pukulan
martil, dan selama tujuh hari dapat menahan napas dan tidak
mati karenanya. Ilmu itu sama dengan ilmu tenaga dalam
Tionghoa. "Ah, mestinya dia mempunyai kepandaian yang
tidak disebawahanku ?".."
Dua orang itu masih berkutat, mereka berontak dan bertalian.
Lekas juga si anak muda bermandikan keringat, tetapi
cekalannya tidak mau dilepaskan dan Kin Beng tidak dapat
meronta melepaskan diri, ia sukar bertindak. Maka itu,
keduanya saling bertahan.
Mereka sampai tidak berani membuka mulut untuk berbicara.
Juga Kin Beng, tidak lama kemudian, dia mengeluarkan
keringat pada kepalanya.
"Paman, cobalah kau bantu ayah!" kemudian si nona meminta
kepada Hoa Seng.
Hoa Seng pun menginsafi, kedua orang itu sama liehaynya,
kalau mereka diantap berkutat terus, dua-dua bakal terluka di
dalam. Maka ingin ia bertindak.
Dengan lantas pemuda ini mengerahkan tenaganya di
tangannya, lantas ia berlompat maju, dengan satu gerakan
"Kuda liar membuka suri," ia mengajukan kedua tangannya
untuk segera dipentang. Begitu tangannya membentur tangan
dua orang itu, ia merasakan tolakan tenaga yang keras, tetapi ia
sudah bersedia, ia dapat bersiaga. Ia mementang terus
tangannya sambil ia berlompat ke samping, hingga ia
membentur patah sebuah pohon kembang. Di lain pihak, dua
orang yang berkutat itu telah terpisah.
Kin Beng masih gusar, hendak ia menerjang pula, ketika si
anak muda muka hitam itu membuka mulutnya dalam bahasa
Tibet: "Aku tidak bermaksud jahat, harap tuan tidak salah
paham." "Tetapi kau telah merusak pohon bungaku, kau mesti
mengganti!" teriak si nona, yang cuma ingat kembangnya.
Anak muda itu menjura kepada Kin Beng, lalu ia berpaling
kepada nona kecil itu.
"Aku mengganti dengan ini untukmu, nona," katanya. Ia
mengeluarkan dan sakunya sebuah teropong, alat peranti
melihat jauh. "Kau pakailah, lalu kau lihatlah!" Ia lantas
mengajari bagaimana harus mengeker.
Nona kecil itu memasang keker itu, ia melihat ke arah puncak.
Ia melihat jauh dan tegas, bukan seperti hari-hari yang sudahsudah,
bahkan ia menampak sebaris kambing gunung lagi
berlerot. Tanpa merasa ia jadi tertawa, lenyap kedukaannya.
"Terima kasih, paman!" ia mengucap.
Kin Beng tidak suka puterinya menerima hadiah dari seorang
asing, akan tetapi melihat kegirangannya anak itu, ia tidak
mencegah. Sementara itu Hoa Seng telah meluruskan pernapasannya, ia
menghampirkan si anak muda.
"Kau liehay, tuan!" ia memuji sehabis mereka saling memberi
hormat. Anak muda itu mengawasi karena orang ini tidak terluka di
dalam badan. Ia berkata: "Aku pernah mendengar dari seorang
pendeta berilmu di dalam negeriku halnya ilmu silat Tionghoa
asal dari Siauw Lim Pay, bahwa ilmu silat Siauw Lim Pay itu
sebenarnya berasal lebih jauh dari ajaran Bodhidarma dari
negaraku, sekarang aku menyaksikannya, ilmu silat kamu luar
biasa hebat. Ini dia yang dibilang, hijau itu asalnya biru! Aku
percaya sekarang, ilmu silat negaramu telah memenangi ilmu
silat negaraku!"
Sekarang pasti sudah Hoa Seng mengetahui bahwa orang
datang dari India.
"Saudara memuji terlalu tinggi," bilangnya. "Aku mendengar
kabar Liong Yap Taysoe dari negara tuan telah memahamkan
ilmu silat sampai di puncaknya kemahiran, sayang aku belum
pernah bertemu sendiri dengan Taysoe itu, tidak ada jodohku
untuk memberi hormat kepadanya."
"Liong Yap Taysoe itu justerulah guruku," berkata si anak
muda. "Sayang aku bodoh, aku belum dapat mewariskan tiga
bagian saja dari kepandaiannya guruku itu ?"."


Pedang Inti Es Peng Pok Han Kong Kiam Karya Okt di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sembari berkata, anak muda ini mengawasi Hoa Seng tajam. Ia
rupanya heran kenapa orang kenal gurunya.
Sampai di situ, bertiga mereka saling belajar kenal.
Pemuda itu adalah Jatsingh dari Rajaghra, India. Nama kota
Rajaghra itu tak asing bagi Hoa Seng. Karena dalam riwayat
agama Buddha ada disebut nama tempat itu di mana Hsuan
Tshang pernah berkhotbah.
"Untuk apa saudara mendaki Gunung Salju?" Hoa Seng tanya
pemuda itu. Jatsingh menunjuk roman likat.
"Bicara sebenarnya, aku hendak mencari teratai salju,"
sahutnya. "Teratai salju" ialah soat-lian.
"Mencari teratai salju?" tanya Hoa Seng heran.
"Benar. Aku mendengar kabar di gunung es di Tiongkok ada
bunga teratai yang tumbuh di salju, bahwa katanya teratai itu
dapat memunahkan seratus macam racun atau bisa. Entah
benarkah itu atau tidak ?""
"Yang tumbuh di atas gunung es, bukan selamanya teratai
salju," berkata Hoa Seng. "Menurut apa pang aku ketahui di
gunung Thian San, di puncak yang tinggi di barat daya,
kadang-kadang bisa didapatkan teratai salju itu. Bahwa di
gunung Himalaya ini ada teratai salju itu atau tidak, kita harus
menanyakan kepada Poei Loocianpwee."
"Aku telah tinggal hampir sepuluh tahun di sini, belum pernah
aku melihat teratai salju," berkata Kin Beng.
Pemuda India itu nampaknya putus asa.
Hoa Seng berpikir : "Ia itu menempuh bahaya datang ke mari
mencari teratai salju itu, mestinya itu sangat dibutuhkan."
Maka ia bersenyum dan berkata pada pemuda itu, "Aku justeru
ada mempunyai tiga kuntum dari bunga itu, baiklah aku
memberikan kau satu kuntum." Ia pun lantas mengeluarkan
soat-liannya itu, yang terus saja menyiarkan bau harum.
Jatsingh terperanjat hingga dia berjingkrak.
"Inilah mustika!" serunya.
"Kau hadiahkan ini padaku, mana berani aku menerimanya"
Aku ada membawa barang permata, aku ?""."
Hoa Seng memegat kata-kata orang.
"Kau telah memberikan adik kecil ini teropong, aku
memberikan kau sekuntum soat-lian," katanya tertawa.
"Menurut cara kita orang Tionghoa, itulah yang dibilang
melemparkan buah tho untuk membalas buah lie. Maka
janganlah saudara sungkan."
Hoa Seng mengatakan demikian meski sebenarnya dibanding
sama teropong, soat-lian lebih berharga beribu berlaksa lipat
ganda. Mengetahui orang demikian dermawan, Jatsingh melongoh.
Kin Beng sebaliknya girang sekali, karena berhargalah ia
mendapatkan kekernya orang India itu.
Jatsingh menyambuti soat lian, untuk disimpan dengan berhatihati.
"Aku telah menerima budimu yang besar ini, tidak dapat aku
membalasnya," katanya dengan sangat bersyukur. kalau nanti
saudara mendapat kesempatan mendatangi negaraku, pastilah
aku akan melakukan apa yang aku bisa untuk menyambut kau."
Hoa Seng bersenyum. Ia merasakan orang India ini sangat
tergesa-gesa. Pikirnya, "Dia mengatakan datang ke Himalaya
ini untuk mencari soat-lian, nampaknya dia tidak mendusta."
Kin Beng lalu berkata: "Saudara Koei ini juga hendak turun
gunung, maka itu kenapa kamu berdua tidak mau tinggal lagi
beberapa hari sama kami di sini" Nanti kamu berdua dapat
turun gunung bersama-sama, menjadi ada kawan seperjalanan."
Jatsingh memperlihatkan roman girang,
"Aku menyangka saudara Koei juga tinggal di gunung ini," ia
berkata, "kiranya saudara pun hendak turun gunung. Aku
menumpang bertanya, saudara hendak pergi ke mana?"
"Aku memikir untuk pergi ke Nepal," sahut Hoa Seng terusterang.
Mendengar itu, agaknya Jatsingh heran.
"Apakah saudara Koei hendak pergi ke Nepal untuk turut juga
dalam ujian?" ia bertanya pula tanpa ia menghendakinya.
Sekarang adalah Hoa Seng yang keheranan.
"Ujian apakah itu?" ia tanya. Di dalam hatinya sendiri, ia kata:
"Mungkinkah di Nepal pun ada semacam ujian" Tapi aku ada
seorang asing, apakah aku dapat turut mengambil bagian?"
Jatsingh mengasi lihat roman tidak wajar. Nyata ia telah
keterlepasan omong, ia menyesal.
"Kiranya kau tidak ketahui hal itu, saudara Koei," katanya
kemudian. "Kalau begitu lebih baik kita tidak
membicarakannya."
Hoa Seng menjadi heran sekali. Tetapi ia tertawa.
"Apakah halangannya, untuk menyebutkan itu?" ia kata manis.
Jatsingh bersangsi, tetapi ia lantas mengingat budi orang yang
memberikan ia soat-lian yang demikian berharga sedang
mereka tidak kenal satu pada lain dan baru saja bertemu dan
berkenalan pada detik ini, ia merasa malu hati. Ia pun tidak
dapat mendusta.
"Memang di sana bakal diadakan ujian tetapi di Nepal ujian tak
sama dengan ujian conggoan di Tiongkok," ia berkata,
memberikan keterangannya. "Sebenarnya itulah ujian dari
puteri Nepal yang hendak memilih bakal suaminya."
Hoa Seng ketarik. Bukankah itu suatu kebiasaan aneh"
"Bagaimana caranya pemilihan itu?" ia menanya.
"Aku dengar kabar puteri Nepal itu cantik luar biasa dan pintar
dan gagah sekali," menyahut Jatsingh, "maka itu pemudapemuda
bangsawan bangsa Nepal, semuanya menginginkan
memperolehnya sebagai isteri mereka, akan tetapi sebaliknya,
di mata si puteri, tidak ada seorang juga yang cocok baginya.
Hal itu membuatnya raja Nepal bergelisah, sebab ia tidak dapat
sendirinya memilihkan, ia kuatir pilihan itu ditolak oleh
puterinya. Di akhirnya tuan puteri sendiri yang mengajukan
usul untuk mengadakan pemilihan dengan jalan ujian itu.
Pertama-tama orang akan diuji dalam ilmu surat, habis itu baru
dalam ilmu silat. Aku mendengar kabar juga ada pemudapemuda
lain bangsa yang datang untuk mencoba peruntungan
mereka ?"".."
Hoa Seng tertawa.
"Mari kita bicara dari hal ujian yang pertama itu, ialah ilmu
surat," katanya. "Bagaimana caranya ujian itu" Tidakkah di sini
ada soal bahasa?"
"Tetapi itu ada soal gampang," menyahut Jatsingh. "Puteri
Nepal itu pintar luar biasa, ia bukan melainkan pandai
bahasanya sendiri, ia mengerti juga bahasa asing seperti bahasa
Tionghoa, Sangsekerta dan Arab. Pemuda-pemuda asing itu
pun bukan lain dari pada pemuda-pemuda Tionghoa, India dan
Arab. Maka kalau orang asing yang diuji itu, dia diuji dalam
bahasanya sendiri. Hanya, biar bagaimana juga, sudah
selayaknya saja dia mengerti sedikit-sedikit bahasa Nepal."
"Dan bagaimana caranya menguji ilmu silat?" Hoa Seng
menanya pula. "Untuk ujian ilmu silat, orang harus melewati beberapa 'kota
penting' yang sangat sulit," Jatsingh menerangkan
Lebih jauh. "Sesudah itu, orang mesti dapat menempur dayangdayang
istana. Kalau orang lulus dari semua ujian itu, di
akhirnya dia bakal diuji si puteri sendiri."
"Begitu caranya puteri itu memilih suami, dia benarlah seorang
wanita kesatria!" Hoa Seng memuji.
"Memang!" berkata Jatsingh. "Hanya aku mendengar kabar,
sejak dimulai tahun yang sudah, pemilihan telah sampai
sekarang ini tetapi belum juga ada orang yang tepat yang
terpilih."
Hati Hoa Seng tergerak tiba-tiba. Ia ingat si nona baju putih. Ia
bersenyum. "Ah, tidak nanti itulah dianya," ia berpikir. "Jikalau benar dia,
mana dia dapat keluar seorang diri dari dalam istananya"
Mustahil dia dapat muncul di Kota Iblis itu" Bahkan dia
memperlihatkan diri di Istana Potala" Laginya, dia cuma satu
puteri, kenapa putera raja Nepal demikian takut kepadanya?"
Mengingat ini, Hoa Seng mau memastikan si nona baju putih
bukannya si puteri Nepal, walaupun demikian, ia tetap heran, ia
menjadi menduga-duga. Ia berpikir pula: "Kenapa di Nepal ada
wanita demikian pintar dan gagah" Kalau nanti aku sampai di
negara itu, ingin aku melihat tuan puteri itu, untuk mendapat
kepastian dia dapatkah atau tidak dibanding sama adikku si
Giok ?"".."
Jatsingh sendiri, habis memberi keterangan, dia tertawa.
"Orang dengan kepandaian sebagai kau, saudara Koei,"
katanya, "jikalau kau pergi ke sana dan mencoba turut dalam
ujian itu, mungkin kau mempunyai harapan. Apakah saudara
mempunyai niat itu?"
Hoa Seng tertawa bergelak.
"Aku gemar merantau, aku merdeka sebagai burung hoo
hutan!" katanya. "Jangan kata tidak ada harapan, sekalipun ada,
tidak nanti aku membiarkan diriku masuk sendiri ke dalam
jaring! Bukankah dengan begitu aku bakal jadi mengikat diriku
sendiri" Laginya, aku tidak mengerti bahasa Nepal, mana bisa
aku turut mengambil bagian?"
Hoa Seng mengatakan demikian sedang hatinya terus
memikirkan si nona baju putih, meskipun seorang bidadari
tidak nanti dapat menarik hatinya itu. Hanya, karena si puteri
Nepal ini demikian luar biasa, ia toh ketarik juga oleh keluarbiasaan
itu ?""
Mendengar Hoa Seng tidak berniat turut mengambil bagian
dalam pemilihan calon suami puteri Nepal itu, perlahan-lahan
wajahnya Jatsingh kembali wajar. "Saudara," ia menanya,
"telah dengan susah-payah saudara mendaki gunung ini,
saudara hendak tinggal di sini untuk berapa hari lagi?"
Hoa Seng menatap orang, ia bersenyum. Ia seperti dapat
membade hati pemuda itu.
"Jikalau saudara mempunyai urusan sangat penting, tidak
berani aku menahan kau," katanya. "Karena tujuan kita sama,
mungkin di Nepal nanti kita dapat bertemu pula. Di sini aku
hendak berdiam lagi satu atau dua hari."
"Kalau begitu, ijinkanlah aku berangkat lebih dulu, sekarang
juga," berkata Jatsingh, yang terus berbangkit. Lagi sekali ia
menghaturkan terima kasih pada Hoa Seng, kemudian ia
memberi hormatnya kepada itu anak muda, kepada tuan rumah
dan puterinya juga. Ia turun gunung dengan lekas".
"Orang itu aneh!" berkata Kin Beng. "Ketika tadi ia mendengar
kau mau turun gunung, ia gembira sekali, agaknya ia senang
sekali untuk berjalan sama-sama, akan tetapi sekejap
kemudian, wajahnya berubah, agaknya ia menjadi takut untuk
berjalan sama-sama kau, saudara Koei ?".."
"Dia kuatir aku nanti merampas puterinya!" berkata Hoa Seng
terus-terang. "Sebenarnya mana ada minatku semacam itu?"
Dan ia tertawa lebar.
Kin Beng mengerti, ia pun tertawa.
Kemudian mereka bicara dari lain-lain hal.
Masih dua hari Hoa Seng menumpang sama Kin Beng. Selama
ini ia menggunai temponya juga untuk mendengari kebiasaan
bangsa Nepal dari isterinya Kin Beng. Isteri Kin Beng,
anaknya seorang penggembala Tibet, kebetulan pernah pergi ke
Nepal dan dia mengetahui beberapa adat kebiasaan bangsa
Nepal. Di harian ia mau berangkat, selagi berpisahan, Kin Beng
membekali abon serta bebuahan kering, maka itu ia sangat
berterima kasih, Kin Beng dan isteri dan anaknya pun
mengantari sampai di kaki gunung dimana agaknya mereka
berat sekali untuk berpisahan. Sebab meski belum lama
pergaulan mereka, mereka kedua pihak sangat cocok satu
dengan lain. Hoa Seng mulai perjalanannya dari kaki gunung di utara
memutar ke kaki gunung sebelah selatan, dari situ ia mulai
memasuki wilayah Nepal. Waktu itu sudah pertengahan musim
panas, di mana-mana terdengar ocehan burung-burung dan
terlihat bunga-bunga mekar serta baunya yang harum.
Bagaikan bedanya dua dunia kalau suasana Nepal ini
dibandingkan dengan tanah pegunungan es dan salju.
Nepal pun ada negara pegunungan, dari itu orang menyebutnya
Zwitserland dari Timur, dan maka itu, orang dapat menduga
keindahannya. Di negeri itu terdapat banyak telaga dan
puncak-puncak gunung nampak putih semua. Air solokan
gunung atau air tumpah, semua jatuh ke bawah masuk ke
dalam telaga-telaga itu di mana pun tertampak ikan-ikan kecil.
Di antara pepohonan kedapatanlah bunga-bunganya.
Nepal ada sebuah Negara agama Buddha, bahkan Sang Buddha
sendiri, Shakyamuni, terlahir di taman Lumbini, di bawah
pohon Sala, di Behar, selatan Nepal. Maka itu di sepanjang
jalan terlihat orang-orang yang datang dari pelbagai ternpat
untuk bersujud. Menampak itu, Hoa Seng ingat
pembilangannya si nona baju putih bahwa lain tahun di Nepal
bakal dibikin upacara keagamaan yang besar, bahwa di saat
pembukaan tentulah bakal datang banyak pendeta dari lain-lain
negara. Ada lagi suatu pemandangan yang menarik perhatian Hoa Seng
di negara Nepal ini. Ialah adanya menara suci, di atas menara
itu, di empat penjuru, ada dilukiskan empat pasang mata. Mata
itu, menurut penganut Sang Buddha di Nepal, ialah yang
dinamakan "mata kecerdasan," diumpamakan kecerdasan dan
kemurahan hati Sang Buddha. Tapi pun di dalam Kota Iblis,
Hoa Seng pernah melihat menara semacam itu. Itulah yang
pertama kali ia melihatnya, hingga ia merasa aneh. Sekarang
melihatnya pula di Nepal, dan melihat banyak, ia menjadi
biasa. Melainkan ia mendapat kenyataan, mata itu dilukis
bagus dan hidup sekali, seperti ada tenaga menariknya.
Sepuluh hari Hoa Seng melakukan perjalanan, tibalah ia di
ibukota Nepal, ialah Khatmandu, kota yang duduknya di dalam
lembah gunung, maka dia menjadi seperti dikitarkan gunung,
jadilah dia sebuah kota wajar. Khatmandu diambil dari katakata
"Khat" artinya "kaju" dan "mandu" artinya "biara," dari
itu taklah heran, semasuknya ke dalam kota, Hoa Seng
mendapatkan banyak biara kecil dan besar, yang semua terbuat
dari kayu, sedang di biara-biara besar, panglari dan tiangnya
berukirkan, mirip dengan bangunan dalam istana-istana di
Tiongkok. Maka itu, dengan sendirinya Hoa Seng menjadi
menyukai kota ini.
11. Tabib Sakti Papo
Sesudah melalui beberapa jalan besar, Hoa Seng merasa
perutnya lapar. Lantas ia memasuki sebuah rumah makan di
mana ia memilih meja yang menghadapi jendela. Ia memesan
beberapa rupa barang hidangan berikut arak Nepal. Dari
jendela itu kebetulan ia menghadapi sebuah gunung yang di
waktu matahari turun, memberikan pemandangan yang indah.


Pedang Inti Es Peng Pok Han Kong Kiam Karya Okt di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Itulah gunung di sebelah barat ibukota, di atas gunung ada
sebuah menara tujuh tingkat, yang sebagian, bahagian atasnya
terbuat dari kuningan dengan wuwungannya terlapiskan emas,
maka di sinar matahari lohor itu, cahayanya berkilau-kilau.
Bangsa Nepal ada suatu bangsa yang terkenal ramah tamah
terhadap orang asing, maka itu pelayan yang melayani Hoa
Seng, mengetahui tetamunya datang dari Tiongkok,
perlayanannya luar biasa manis. Ia menanyakan ini dan itu,
umpama masakannya cocok atau tidak dengan lidah tetamunya,
Katanya sembari tertawa, "Ada tetamu yang tidak doyan, tetapi
pun ada yang ketagihan hingga bilangnya dia ingin tinggal
berumah tangga di sini!"
"Mungkin aku pun akan tinggal tetap di sini!" Hoa Seng
bilang. Selagi mereka bicara, ke dalam rumah makan itu ada masuk
seorang tua umur lima puluh tahun lebih, punggungnya ada
menggendol satu kantung kain hijau, pakaiannya sangat
sederhana. Menampak dia, pelayan serta tetamu-tetamu yang
lagi bersantap pada bangun berdiri, untuk memberi hormat.
Menyaksikan itu, Hoa Seng dapat menduga-duga kedudukan
orang tua itu. Segera terdengar suaranya pemilik rumah makan itu kepada si
orang tua: "Tuan dokter Papo, hari ini siapakah yang sakit yang
kau hendak menengoknya?"
Orang tua itu tertawa.
"Hari ini aku menghadapi semacam penyakit yang aneh," ia
menyahut, "yang membuatku sulit. Karena penyakit itu tidak
dapat aku sembuhkan, tak enak aku menyebutkannya padamu."
"Kau pandai sekali bergurau, tuan!" berkata banyak orang.
"Bagimu mana ada penyakit yang kau tidak dapat sembuhkan!"
"Kecuali orang itu telah ditakdir rohnya bakal dibetot raksha!"
berkata seorang lain sembari tertawa. "Walaupun demikian,
kau tentunya mempunyai kepandaian akan merampas jiwa
orang dari tangan iblis itu!"
Mendengar kata-kata itu, rupanya tabib ini dipandang seperti
tabib sakti di Tiongkok.
Sementara itu Papo memandang ke arah Hoa Seng, lantas ia
terlihat merasa heran.
Menampak orang mengawasi ia, Hoa Seng berbangkit untuk
memberi hormat.
"Sudah banyak tahun aku belum melihat lagi tetamu dari
Tiongkok," kata tabib itu. "Aku merasa beruntung dengan
pertemuan kita ini!"
"Silahkan tuan minum bersama aku!" Hoa Seng mengundang.
Tabib itu tertawa, ia menerima undangan dengan gembira.
Maka Hoa Seng lantas minta pelayan menambahkan barang
makanan. Tabib itu duduk di sebelah ini kenalan baru.
"Tuan seorang tabib pandai, aku kagum sekali!" kata Hoa Seng
kemudian. "Ah, kau cuma dengar ngaco belo mereka itu!" kata si tabib
merendahkan diri. "Aku cuma mengenal beberapa macam obat.
Bicara tentang ilmu tabib, kau bangsa Tionghoa yang paling
pandai, aku sendiri cuma mengetahui bulu atau kulitnya saja.
Bahkan aku menerima hadiah dari kamu bangsa Tionghoa."
"Apakah tuan pernah datang ke Tiongkok?" tanya Hoa Sang
heran. "Meskipun aku belum pernah pergi ke Tiongkok, aku mengerti
bahasa Tionghoa," menyahut tabib Nepal itu. "Mulanya aku
pelajari ilmu tabib, aku meyakinkannya dari kitab kamu PEN
TSAO KANG MU, itu kitab ilmu obat-obatan karangan Li
Shih Chen di jaman Kaisar Tiat Cong dari Ahala Song.
Sekarang aku masih meyakinkan terlebih jauh bahagian
pemeriksaan nadi. Aku lagi memikir untuk menyalin kitab itu
ke dalam bahasaku. Aku pun telah mendengar kabar tentang
tabibmu di ini jaman yang pandai sekali, namanya Hoe Ceng
Coe. Katanya dia pernah tiba di selatan dan utara gunung Thian
San serta Tibet juga. Menurut katanya seorang yang baru
kembali dari Tibet, kakeknya pernah diobati Tabib Hoe itu
serta dia masih menyimpan surat-obatnya. Mungkin tabib itu
menulis buku tentang kepandaiannya itu, sayang ke negeriku
ini, kitab itu masih belum sampai."
Hoa Seng tidak mengerti ilmu ketabiban, tetapi ia menghargai
tabib Nepal ini, maka ia menyesal tidak dapat berunding dalam
ilmu itu. "Kalau begitu," katanya bersenyum. "meski kedua negeri kita
dipisahkan tanah pegunungan, sebenarnya kita tidak asing satu
dengan lain!"
"Bukan saja tidak asing, aku bilang, malah boleh bersahabat,"
berkata Papo. "Dongeng kami ada banyak yang ada
hubungannya sama dongeng kamu." Ia lantas menunjuk ke
menara di luar itu, ia menambahkan: "Kabarnya ibukota kami
ini pun dibuka oleh pendeta yang berilmu dari Tiongkok
kamu." Hoa Seng jadi sangat ketarik hati.
"Oh, ada cerita demikian rupa?" katanya. Lalu ia menanya:
"Sebenarnya, raja kamu ada mempunyai beberapa puteri?"
"Cuma satu," sahut Papo.
"Kalau begitu putera raja di Kota Iblis itu bukannya putera
mahkota," Hoa Seng kata dalam hatinya.
Papo bersenyum dan berkata: "Mungkin kau telah mendengar
kabar urusan perjodohan dari puteri kami! Kau tampan dan
mengerti ilmu silat, kau boleh mencoba-coba peruntunganmu!"
Hoa Seng heran.
"Ah, mengapa dia ketahui aku mengerti silat?" pikirnya.
Tapi ia berkata: "Hal itu aku tidak berani sekalipun untuk
memikir saja. Ya, apakah banyak orang yang akan mengajukan
lamaran?" "Ujian dimulai semenjak tahun yang lalu, hampir setiap hari
ada orang yang datang mencoba-coba," menyahut tabib itu,
"hanya kemudian, pelamar itu menjadi berkurang, makin lama
jadi makin sedikit. Selama tiga bulan yang belakangan ini
belum pernah terdengar ada seorang juga."
Hoa Seng ingat suatu apa. "Kenapakah itu?" ia menanya.
"Semua pelamar tidak dapat menjatuhkan dayangnya puteri,
tentu sekali mereka tidak dapat melihat puterinya sendiri,"
menyahut Papo, "maka itu belakangan orang pada tahu diri dan
mundur sendirinya."
Hoa Seng tertawa.
"Raja tak dapat menantu, apakah ia tidak jadi bergelisah?"
"Ya, dia sangat bergelisah! Maka juga ?".."
Mendadak tabib ini menghentikan omongannya.
Hoa Seng heran. Ia tadinya hendak menanya pula ketika segera
ia mendapatkan suasana dalam rumah makan itu telah berubah,
kapan ia mengangkat kepalanya, ia melihat munculnya seorang
pahlawan yang membawa golok. Ketika tuan rumah menanya
pahlawan itu, dia lantas menyahuti: "Aku tidak mau minum
arak!" Dia terus bertindak ke mejanya Hoa Seng, untuk
menjura kepada Papo, dengan sangat menghormat ia
mengangsurkan sebuah kotak perak, kemudian tanpa
mengucap sepatah juga, ia mengundurkan diri, berlalu dari
rumah makan itu.
Kembali Hoa Seng merasa heran. Ketika ia mengawasi si tabib,
yang memegang kotak perak itu, ia mendapatkan tangan orang
sedikit bergemetar, seperti juga dia lagi menghadapi ancaman
bahaya. "Ada apa, tuan?" ia lantas menanya. "Adakah kau menghadapi
sesuatu kesukaran?"
"Terima kasih untuk perhatian Siangkong," berkata Papo.
"Sekarang sudah tidak ada urusan apa-apa lagi, hari pun sudah
tidak siang, aku sudah harusnya pulang."
Hoa Seng heran.
"Habis, kapan aku dapat bertemu pula sama Loo-tiang?" ia
tanya. "Umpama kata kita masih berjodoh, lagi tiga hari biarlah aku
menanti di sini untuk menerima pengajaran," katanya si tabib.
Hoa Seng cerdas sekali, kata-kata orang itu membuatnya dapat
menduga sesuatu. Pada ini mesti ada mengancam bahaya.
Hanya, entah apakah itu. Jadi janji tiga hari itu masih sangat
samar. Tapi di situ, di dalam rumah makan, ia tidak dapat
omong banyak dan jelas.
"Kalau begitu," katanya, "baiklah, tiga hari kemudian aku
menanti di sini untuk menjamu Loo-tiang."
Papo lantas berlalu.
Hoa Seng lekas membayar uang minuman, lalu ia bertindak
keluar, terus ia menguntit tabib itu.
Waktu itu api telah dinyalakan.
Hoa Seng menguntit terus. Papo nampaknya tidak ketahui ada
orang menguntit padanya, ia jalan terus dengan tenang,
melewati beberapa jalan besar dan kecil, sampai di sebuah
gang kecil di kota barat. Gang itu sangat kecil dan sunyi. Di
situ ada sebuah rumah berundakan dua. Itulah rumah Papo,
sebab ia terus membuka pintu dan masuk ke dalamnya, lalu
"Brak!", daun ditutup dengan digabruki!
Hoa Seng menantikan sekian lama, ia melihat ke sekitarnya,
setelah mendapat kenyataan di situ tidak ada lain orang, ia
menghampirkan rumah itu, untuk terus berlompat naik ke
atasnya. Dari wuwungan ia pergi ke belakang, lantas ia
memasang kuping.
Segera terdengar nyata elahan napas berulang-ulang dari Papo.
Oleh karena keinginannya untuk mengetahui, Hoa Seng lantas
mengintai. Papo telah membuka kotak yang diberikannya kepadanya oleh
si Boesoe, isinya dia telah angkat dan meletakinya di atas meja.
Itulah mutiara, batu permata dan beberapa potong uang emas.
Menampak itu, Hoa Seng heran bukan main.
"Tak sedikit hadiahnya si boesoe!" pikirnya. "Nah, habis
kenapa dia menarik napas panjang-pendek ...........?"
Papo masih menghela napas, kemudian dari dalam kotak ia
menjumput keluar sehelai surat undangan, ia cekali itu dan
mengawasinya dengan menjublak.
Sampai di situ, Hoa Seng tidak mau menanti terlebih lama
pula. Ia mencari jalan untuk lompat turun dan masuk ke dalam
rumah. "Kau berduka kenapa, Loo-tiang" Bolehkah aku membantu
meringankan kedukaan Loo-tiang?" katanya langsung.
Papo terkejut hingga ia berjingkrak. Ketika ia mengangkat
kepalanya, ia mengenali Hoa Seng.
"Kau baik sekali, Lao-tee, aku bersyukur kepadamu," ia
berkata. "Tentang urusanku ini lebih baik Lao-tee jangan
mencampurinya."
"Loo-tiang, begitu bertemu sama kau, aku merasa kita adalah
sahabat-sahabat kekal," kata Hoa Seng membujuk, "maka itu
kalau loo-tiang mendapat sesuatu kesukaran, tak dapat aku
tidak membantunya."
"Aku tahu kau liehay dalam ilmu silat, lao-tee," berkata si
tabib, mengawasi. "Ah, jagan lao-tee heran! Aku tidak
mengerti ilmu silat tetapi aku mengerti sedikit ilmu ketabiban.
Tadi di rumah makan aku telah melihat sorot matamu, maka itu
sengaja aku membentur lenganmu. Nyata nadimu bersih sekali,
tenaga, dari itu aku dapat membade kau bukanlah sembarang
orang." Hoa Seng kagum sekali.
"Pantas dia sangat tersohor, kiranya, benar dia sangat pandai,"
pikirnya. "Benar lao-tee pandai ilmu silat tetapi urusan ini bukan urusan
yang dapat dibereskan dengan mengandalkan ilmu silat,"
berkata pula Papo. "Pula aku tidak menghendaki lao-tee
seorang lain bangsa nanti jadi bentrok sama pasukan Gie-limkoen
dari negaraku ...."
"Bagaimana eh, loo-tiang?" tanya Hoa Seng, heran. "Loo-tiang
menjadi tabib, pekerjaan loo-tiang ialah menolong orang
banyak yang menderita kesakitan, mengapa kau justeru
mendapat urusan dengan Gie-lim-koen?"
Papo menggeleng kepala.
"Aku sendiri pun tidak mengerti," sahutnya. "Dan sekarang ini,
aku bakal bercelaka atau bakal beruntung, aku pun tidak tahu
pasti ?"."
"Loo-tiang tentu sudi anggap aku sebagai sahabat baikmu,
maka aku minta sukalah loo-tiang memberi penjelasan
padaku," Hoa Seng minta, mendesak.
Papo mengawasi, ia berkata: "Surat undangan yang boesoe tadi
sampaikan kepadaku ialah surat undangan dari pemimpin
kepala dari pasukan Gie-lim-koen. Pemimpin pasukan
pahlawan raja itu menginginkan aku sebentar jam tiga pergi ke
rumah peristirahatannya. Dia melarang aku memberitahukan
hal itu kepada lain orang."
Hoa Sang lantas tertawa.
"Kalau begitu mungkin di sana ada orang yang sakitnya aneh!"
katanya. "Dia tentu mau minta loo-tiang menolong si sakit itu."
"Tidak, tidak bisa jadi!" kata Papo menggeleng-geleng kepala.
"Ah, aku ingat sekarang. Ketika tadi aku keluar dari istana, aku
melihatnya pemimpin Gie-lim-koen itu celingukan memandang
ke luar ?"?".."
"Oh, kalau begitu tadi loo-tiang pergi ke istana memeriksa
orang sakit?" tanyanya.
"Sebenarnya urusan ini tidak dapat aku memberitahukannya
kepada lain orang," berkata Papo, menyahuti, "akan tetapi laotee
ada orang terpelajar dari negara lain, kau pun begini baik
terhadap aku, baiklah, aku omong terus-terang padamu. Apa
yang tadi aku ucapkan di rumah makan bukan kedustaan
belaka, memang benar aku tengah menghadapi serupa penyakit
aneh yang seumur hidupku paling sukar untuk diobatinya.
Orang yang sakit itu ialah sri baginda raja. Turut
pemeriksaanku kepada nadinya, dia seperti terkena semacam
racun, racun yang luar biasa, yang sebelumnya tak pernah aku
mengetahuinya. Penyakit itu membuatnya Sri baginda jadi
lemah, tidak dapat ia menggunai pikirannya, yaitu otaknya.
Jikalau racun itu tidak dapat disingkirkan, sesudah tiga bulan,
dia bisa wafat dengan mendadak, lalu lainnya tabib tidak bakal
mendapat tahu dia sakit apa ?"?""
Mau atau tidak, Hoa Sang terperanjat.
"Siapa begitu berani meracuni raja?" ia tanya.
"Memang!" berkata Papo. "Istana terjaga kuat sekali, orang
luar tidak nanti dapat masuk. Maka kalau dugaanku tidak
keliru, si orang jahat, mesti orang yang berdekatan dengan sri
baginda sendiri."
Hoa Seng berpikir.
"Mungkinkah dia si pemimpin Gie-lim-koen itu?"
"Di waktu aku menerima barang-barang ini, aku pun mulanya


Pedang Inti Es Peng Pok Han Kong Kiam Karya Okt di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mau menduga dia," berkata Papo, "hanya kemudian aku
berpikir, walaupun dia biasa mendampingi Sri baginda,
sebenarnya sulit untuk dia turun tangan."
"Kenapa sulit?" kata Hoa Seng. "Asal ada ketikanya, racun
bisa dimasuki ke dalam teh atau arak! Tidakkah itu
sederhana?"
"Tidak, tidak demikian. Inilah racun yang sifatnya lunak, setiap
dipakai, jumlahnya sedikit, dari itu dipakainya mesti sedikitnya
tujuh kali. Dan si kepala Gie-lim-koen, tanpa firman raja tidak
dapat dia masuk ke dalam keraton. Kecuali kalau dia
berkongkol sama pelayannya sri baginda. Tapi dia meracuni
rajanya, apakah faedahnya untuknya" Takhta toh bakal
diwariskan kepada anak raja."
"Aku menumpang bertanya. apakah rajamu mendapat
dukungan rakjat, apakah dia dicintai dan dijunjung?"
"Sri baginda bijaksana, dia dicintai rakyat, dijunjung."
"Jikalau begitu, soal pasti bukan soal racun belaka. Di
Tiongkok pun pernah terjadi peristiwa raja diracuni. Sembilan
dalam sepuluh, ini mesti soal perebutan kedudukan kaisar."
"Tapi semua rakyat tahu tuan puteri cerdas dan bijaksana,"
berkata Papo, "dia pun puteri tunggal dan sangat disayang,
tidak ada alasannya kenapa dia mesti meracuni ayahnya. Oh!
?"" Matanya tabib ini bercahaya secara tiba-tiba, agaknya dia
kaget. Hoa Seng heran.
"Kenapa?" dia menanya.
"Sudah, kita jangan main terka tak keruan," katanya,
airmukanya berubah pucat. "Sekarang sudah larut malam, aku
mesti lekas pergi memenuhi panggilan kepala Gie-lim-koen
?"." "Dia menjanjikan kau jam tiga, ini aneh," kata Hoa seng.
Wajah si tabib tetap tak tenang.
"Lao-tee, kita baru bertemu tetapi kita seperti sahabat kekal,"
katanya, "maka itu dengan kepergianku ini, apabila aku tidak
pulang dalam tempo tiga hari, pasti aku sudah mati. Aku minta
perkaraku ini jangan diumumkan, kau juga jangan cari aku.
Aku sebatang kara, tanpa isteri tanpa anak, kegemaranku cuma
meyakinkan ilmu obat-obatan. Kitab obat-obatanku adalah
yang aku paling sayangi, kalau tiga hari kemudian aku tidak
pulang, kau ambillah kitab itu. " Ah, lebih baik aku
memberikannya sekarang!"
"Tidak!" Hoa Seng memotong. "Nanti aku menemani kau
pergi!" "Eh, mana kau dapat turut serta?" Papo tanya.
"Aku menyamar jadi kacungmu."
Tabib itu bersangsi, ia berdiam hingga sekian lama.
"Ya, baiklah," katanya kemudian. "Aku tidak takut mati, hanya
aku kuatir, sematinya aku, di dalam negara ini tidak lagi ada
tabib yang sanggup mengobati sri baginda raja."
Ia lantas menyuruh Hoa Seng salin pakaian, muka orang
dicompreng sedikit, lain kepalanya dibungkus dengan sabuk,
setelah dia menggendol kantung obat di punggungnya, Hoa
Seng benar-benar mirip kacungnya seorang tabib.
Papo ada mempunyai kereta dan kuda sendiri, yang ia sediakan
untuk ia pergi ke kampung-kampung yang jauh, supaya ia tidak
usah berjalan kaki, sekarang ia pergi dengan menggunai
kendaraannya itu.
Villa dari congkoan, atau kepala, dari Gie-lim-koen, berada di
sebuah gunung, ke sana Papo berangkat dengan dikawani Hoa
Sung. "Tadi kau masuk ke istana, apakah ada yang mengetahui?"
tanya Hoa Seng di tengah jalan.
"Sebenarnya aku dipanggil oleh seorang pengawal pintu
istana," menjawab Papo. "Dialah seorang pendeta. Aku diajak
masuk dari pintu belakang dari taman. Dia memesan aku agar
aku jangan mengasi tahu siapa juga."
"Sebenarnya kenapa kamu demikian takut pada kepala Gielim-
koen itu?"
Tabib itu tertawa menyeringai.
"Sri baginda bijaksana, dia sebaliknya. Dan balai istirahatnya
ini justeru ada tempat ia menyiksa dan mengompes orang,
itulah mirip dengan penjara pribadinya."
Kira setengah jam, sampailah sudah mereka di kaki gunung
yang dituju. Di sana sudah menanti dua orangnya si kepala
Gie-lim-koen. Begitu dia melihat orang tiba, yang satunya
menuding Hoa Seng.
"Ini orang apa?" dia menanya bengis.
"Dia kacungku, yang menjadi juga pembantuku," sahut Papo,
tenang. "Tunggu!" menitah orang itu, seorang boesoe. Dia lantas
menitahkan kawannya untuk minta keputusan dari congkoan.
Kawan itu pergi akan tak lama muncul pula: "Karena orang itu
pembantunya, ajaklah dia masuk bersama."
Kedua boesoe mengajak tabib dan kacungnya mendaki
tanyakan. Sebentar saja mereka sudah sampai di muka balai
istirahat, yang macamnya mirip benteng kuno, temboknya
tersusun dari batu-batu merah dan tebal. Pintunya, yang terbuat
dari besi, dicat merah juga.
Hoa Seng mengikuti masuk dengan mulut bungkam sama
sekali mereka melintasi tujuh unit pintu besi, pintu hek. Setiap
masuk di satu pintu, pintu itu segera ditutup pula. Seram
nampaknya keadaan di situ, malah samar-samar terhendus bau
amis. Setelah itu tibalah mereka di sebuah ruang besar. Di sini
berbaris sejumlah boesoe di kiri dan kanan. Di tengah ruang
diatur sebuah meja bundar, di situ berduduk seorang yang
mukanya berewokan, yang bajunya sulaman. Di belakang dia
berdiri dua boesoe lainnya lagi.
Diam-diam Papo melirik kepada Hoa Seng, maka pemuda ini
lantas ketahui orang itu ialah si congkoan, kepala Gie-limkoen.
Ia berlagak pilon tetapi ia memperhatikan. Di samping,
meja bundar itu ada berduduk seorang lain, seorang pendeta
dengan jubah merah. Papo tidak kenal pendeta itu, siapa telah
Hoa Seng mengenalinya. Dialah pendeta jubah merah dengan
siapa ia pernah bertempur di dalam Kota Iblis. Karena ia
menyamar, si pendeta sebaliknya tidak mengenali ia.
Melihat datangnya si tabib, congkoan itu lantas berbangkit.
"Tabib pandai telah datang!" katanya. "Selamat datang,
selamat datang!" Tapi tak menanti si tabib menyahuti, ia lantas
menanya: "Apakah kacungmu ini ketahui tadi siang kau masuk
ke istana mengobati raja?"
"Dialah satu-satunya pembantuku," sahut si tabib. "Yang lain
orang tidak tahu, dia mengetahuinya."
Wajah si congkoan suram, tapi lantas dia tertawa dan berkata:
"Kalau begitu, suruhlah dia menantikan di bawah tangga itu!"
Seram suara tertawa itu.
12. Misteri Penyakit Raja Nepal
Dua boesoe lantas merintangi, melarang Hoa Seng mengikut si
tabib. Congkoan Gie-lim-koen itu mempersilahkan Papo duduk, lalu
dia menanya dengan suaranya yang sangat dingin: "Tadi aku
menitahkan orangku membawa bingkisan untukmu, kau sudah
terima atau belum?"
"Sudah, congkoan," menyahut Papo. "Hambamu justeru
hendak mohon menanya kenapa hamba dihadiahkan bingkisan
sangat berharga itu" Hamba tidak berjasa, tidak berani hamba
menerima bingkisan. Maka juga itu bingkisan hamba bawa
bersama." Ia lantas mengeluarkan kotaknya itu dan meletakinya di atas
meja. Menampak itu, si kepala Gie-lim-koen memperlihatkan roman
tidak senang. "Apakah kau tidak sudi menerima barang dari aku?" dia
menanya. "Seperti hamba sudah bilang, tanpa jasa hamba tidak berani
menerima hadiah," Papo menjawab.
Matanya congkoan itu melirik tajam, lalu dibuka lebar.
"Asal kau suka turut perkataanku, kau berjasa sangat besar!"
katanya. "Silahkanlah perintahkan," menyahut si tabib.
Congkoan itu menatap dengan tajam.
"Kau tadi masuk ke istana memeriksa penyakitnya raja, kau
tahukah sakit apa itu?" dia menanya, suaranya keren.
"Itu ?".. itu ?"".."
"Semua orang di sini orang-orang kepercayaanku, kau boleh
bicara, tidak ada halangannya!" berkata congkoan.
"Aku ?". aku belum ?".."
"Kau maksudkan kau belum mendapat tahu itu penyakit apa?"
si congkoan tanya sambil tertawa dingin. "Hm! Kalau begitu,
kecewa kau menjadi tabib sakti!"
Papo menjadi tidak senang. Bangsanya telah menamakan dia
tabib sakti karena kepandaiannya yang liehay dalam ilmu
pengobatan, tapi sekarang dia dicela.
"Aku belum dapat memikir obat untuk mengobati penyakit
itu," ia bilang.
"Dengan begitu kau jadi sudah ketahui sebabnya penyakit!"
kata si Congkoan, suaranya tetap keras. "Penyakit apakah itu?"
"Itu bukannj? penyakit ?""."
"Habis bagaimana?" congkoan membentak.
"Nampaknya raja terkena racun."
Sekarang congkoan itu bersenyum.
"Kau suka omong terus terang, itu bagus," katanya. "Nah,
sekarang aku hendak memohon sesuatu dari kau."
"Apakah itu dapat hamba melakukannya?" Papo tanya.
"Sangat sedenhana!" coagkoan itu tertawa, "Besok kau pergi
ke istana, untuk memberikan obat, kau obati raja dengan obat
sakit kepala yang biasa saja. Kalau di istana ada yang minta
kau memberikan obat cuci perut, kau mesti memberi kepastian
bahwa raja dapat sakit kepala bukan sakit lainnya."
Hoa Seng mendapat dengar semua pembicaraan itu, maka
sekarang tahulah ia duduknya perkara. Ia lantas menduga-duga,
"Kalau bukan coangkoan ini sendiri yang meracuni raja,
tentulah konconya. Papo tabib kenamaan satu-satunya di
negara ini, kalau dia memastikan raja mati karena sakit kepala,
pasti tidak ada orang yang berani mencurigai kematian itu."
Papo mengangkat kepalanya, dia memandang si congkoan.
"Paduka," katanya, "tadi paduka mengajari aku untuk omong
dengan jujur, kalau begini, aku jadi bakal mendustai seluruh
negara ?"".."
Congkoan itu melengak.
"Jadi kau tidak suka menurut?" ia menegaskan. "Hm! Kau
pikirlah biar betul! Jikalau kau menerima baik, uang emas dan
perak dan barang permata, kau tinggal minta saja. Jikalau
sebaliknya, hm!"
"Aku lebih suka melindungi namaku sebagai tabib sakti dari
negeri ini," berkata Papo, terang dan tenang. "Nama itu ada
terlebih menang dari pada aku membawa semua harta dan
permata ini ke liang kubur."
Di dalam hatinya, Hoa Seng memuji tinggi tabib ini. Wajah si
congkoan merah padam, agaknya dia hendak memperluap
kemurkaannya, hendak dia melampiaskan itu, tetapi si pendeta
jubah merah keburu mengasi dengar tertawanya yang dingin.
"Sakitnya raja toh kau tidak mampu sembuhkan, apa itu
namanya tabib sakti!" berkata dia, mengejek. "Sekarang kami
hendak menyuruh kau menyebutnya penyakit itu penyakit
kepala biasa, apakah itu dapat merusak nama baikmu?"
Kata-kata itu sangat menyinggung Papo, tetapi belum lagi ia
mengambil sesuatu sikap, sudah terdengar suara tertawa
berkakak dan nyaring dari Koei Hoa Seng.
"Kau kenapa?" menanya dua pahlawan yang menjaganya.
Mereka kaget dan heran.
Hoa Seng tidak menjawab dengan mulutnya, hanya dengan
tangannya. Begitu tangan kirinya melayang, satu pahlawan
roboh terjungkal ke tangga hingga tubuhnya bergulingan.
Pahlawan yang ke dua menghunus goloknya dan membacok ke
kaki. Hoa Seng mengangkat sebelah kakinya hingga ia berdiri
dengan sikap "Kim kee tok lip," atau "Ajam emas berdiri
dengan sebelah kaki." Dengan begitu ia bebas dari bacokan itu.
Ia tidak berhenti sampai di situ, selagi tubuh si penyerang
terjerunuk, ia meneruskan kakinya, menendang lengan orang,
maka goloknya si pahlawan kena dibikin terbang.
Melihat demikian, pahlawan-pahlawan lainnya, yang berdiri di
kedua samping, sudah lantas menghunus senjata mereka.
Hoa Seng tidak menjadi takut, bahkan dia tertawa bergelak.
Dengan lincah luar biasa, tubuhnya mencelat ke atas meja.
"Aku hendak bicara!" katanya nyaring.
Pemimpin pasukan pengiring raja itu, ialah congkoan dari Gielim-
koen, ada seorang kosen di negaranya, kedua tangannya
kuat mengangkat barang berat seribu kati, akan tetapi melihat
gerakannya Hoa Seng, ia terkejut, tapi meski begitu, ia tidak
takut, maka juga ia lantas lompat maju, untuk membekuk.
Kedua tangannya diulur guna mencekal pundaknya si anak
muda she Koei. "Kau duduk!" dia berkata, seraya menekan.
Gerakannya congkoan ini ada dua maksudnya, ialah di satu
pihak untuk merusak tulang pundaknya si anak muda, di lain
pihak guna menakut-nakuti Papo. Hanya ketika kedua
tangannya mengenai pundak, kembali ia menjadi kaget. Ia
bukannya dapat mencekal pundak yang bertulang keras hanya
pundak yang lemas empuk seperti kapuk, dan selagi ia kaget
itu, mendadak ia merasakan tenaga membal yang keras, yang
mengenai tangannya itu, hingga kedua tangannya nyernyaran
dan seperti mati.
Hoa Seng mengangkat kedua pundaknya.
"Paduka yang mulia tidak duduk, hamba yang rendah mana
berani duduk sendiri," ia berkata sambil tertawa.
Si pendeta jubah merah menjadi kaget. Ia masih belum
mengenali anak muda itu. Ia berbangkit tanpa merasa, di dalam
hatinya ia kata: "Heran ini kacung tabib, kenapa dia begini
liehay?" "Kau hendak bicara apa?" membentak si congkoan, yang dari
kaget menjadi gusar sekali.
"Aku memohon paduka yang mulia mengajak aku masuk ke
istana," sahut Hoa Seng sabar.
"Untuk apakah itu?"
Congkoan itu masih gusar tetapi ia heran, maka ia mengajukan
pertanyaannya itu.
Hoa Seng tetap berlaku tenang, hanya sekarang ia tertawa


Pedang Inti Es Peng Pok Han Kong Kiam Karya Okt di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dingin. "Kamu bilang guruku ini tidak sanggup mengobati Sri Baginda
Raja," jawabnya. "Hm! Kamu keliru! Siapakah yang tidak tahu
guruku ini tabib sakti nomor satu di dalam negara ini" Jangan
kata guruku ini, untuk sakitnya Sri Baginda Raja itu, aku
sendiri, mampu aku mengobatinya! Aku berani tanggung Sri
Baginda Raja lantas sembuh!"
"Ah, apakah kau memang sengaja hendak menyaterukan
kami?" menanya si paderi jubah merah. Ia heran dan
mendongkol tetapi ia mencoba menyabarkan diri.
"Bukankah kamu memikir untuk mengobati hingga sembuh
kepada raja?" Hoa Seng membaliki. "Kamu boleh pujikan aku
kepada Sri Baginda, aku tanggung aku akan dapat
menyembuhkannya! Bukankah dengan begitu kamu jadi turut
berjasa?" Pendeta jubah merah itu tertawa.
"Baik, baiklah!" katanya. "Mari aku ajak kau masuk!"
Dengan mendadak, berbareng sama perkataannya itu, tubuh si
pendeta melesat serta tangannya melayang kepada si anak
muda, yang dia hendak hajar hancur lebur batok kepalanya.
Berbareng dengan itu si congkoan juga lompat menyerang
dengan pedang pendeknya, dan ia membokong punggung,
karena dia berada lebih dekat, dia tiba terlebih dulu.
Hoa Seng tabah sekali, dia tidak takut, bahkan dia tertawa
panjang. Dengan sebat tangan kirinya diputar ke belakang,
untuk memapaki, menangkap lengan si congkoan. Tepat
tangkapannya ini, sebab congkoan itu segera merasakan
tubuhnya tidak dapat digeraki lagi. Berbareng dengan itu
tibalah tangan si pendeta merah. Atas itu Hoa Seng
mengangkat tangan kanannya, untuk mengusap mukanya, lalu
sambil mundur sedikit, ia berkata: "Pendeta siluman, apakah
kau masih mengenali aku?" Tangannya itu juga bukan cuma
mengusap muka hanya diteruskan ke tangannya lawan,
menyambuti dengan jeriji "Tiat-piepee cie" atau "Jeriji besi."
Pendeta jubah merah itu kaget sekali. Di lengannya lantas
berpeta tapak lima jari tangan si anak muda, warnanya merah.
Ia pun segera mengenali orang adalah si pemuda Tionghoa
yang di Kota Iblis telah mengalahkan padanya. Ia mundur tiga
tindak. "Kau ?" kau ?" kau!" serunya. "Kau berani datang ke
kota raja kami untuk mengacau?"
Hoa Seng tidak mau mengadu bicara.
"Marilah kita bicara di depan Sri Baginda!" katanya, separuh
menantang. Pendeta itu membuka jubahnya akan tetapi ia bersangsi untuk
turun tangan pula.
Hoa Seng bersikap tenang, ia tertawa.
"Di sini ada paduka congkoan yang menemani kita!" ia
berkata. "Mari, soehoe, mari kita pergi bersama!"
Sembari berkata begitu, Hoa Seng menarik tangan si pemimpin
pasukan pengiring raja itu, karena cekalannya terus tidak
dilepaskan. Sudah dikatakan, congkoan Gie-lim-koen itu bertenaga sangat
besar dan semua anggota barisannya mengetahuinya dengan
baik akan tetapi sekarang dia dapat dituntun jinak bagaikan
seekor kambing, itulah suatu tanda telah lenyap tenaganya.
Maka kejadian itu membikin semua orang heran.
Hoa Seng bertindak sambil tertawa, atau mendadak dari
sebelah belakangnya terdengar suara menyambarnya senjata
rahasia! Ia terkejut. Itulah bokongan yang ia tidak sangka sama
sekali. Tapi ia tabah, ia memutar tubuhnya sambil menolak si
congkoan gie-lim-koen, dengan sebat ia menangkis dengan
sentilan "Tiat piepee cie." Sebagai kesudahan dari itu, ia
menjadi terlebih kaget lagi. Ia merasai sepuluh jeriji tangannya
sesemutan. "Aku tidak menyangka di ibukota Nepal ini, pada ini malam
pertama, aku menemui lawan yang tangguh "..," pikirnya.
Sementara itu si congkoan Gie-lim-koen roboh sambil
menjerit, sebab kecuali ia kena tertolak keras, juga jalan
darahnya thian-kie-hiat telah ditotok sekalian oleh si anak
muda, guna membikin dia tidak berdaja. Maka itu dia lantas
repot ditolongi oleh anggota-anggota barisannya.
Di antara serdadu pengiringnya itu ada yang memburu kepada
Papo si tabib, rupanya mereka bermaksud menawan tabib itu,
melihat mana Hoa Seng lekas-lekas menyerang dengan Pekkhong-
ciang, pukulan Tangan Kosong, maka beberapa yang
maju di muka lantas roboh terguling, karena mereka merasakan
dorongan yang keras sekali. Menyusuli itu, Hoa Seng pun
menyerang beberapa serdadu lainnya, hingga roboh tujuh atau
delapan orang di antaranya.
Sampai itu waktu, Hoa Seng masih melihat penyerang
gelapnya, ia menghadapi sekalian serdadu Gie-lim-koen itu,
sambil tertawa dingin, ia berkata: "Guruku ini lebih gagah
sepuluh kali dari padaku, kamu hendak menawan ianya, apakah
itu bukan berarti kamu mencari mampusmu sendiri?"
Sengaja anak muda ini mengucap demikian, guna mengangkat
Papo, sebab kawanan serdadu itu tidak tahu bahwa mereka
dirobohkan Hoa Seng. Gertakan ini memberi hasil, lantas tidak
ada serdadu lagi yang berani merangsak kepada Papo.
Selagi suasana tegang demikian, di situ terdengar satu suara
yang keren sekali: "Semua mundur!"
Hoa Seng lantas saja melihat seorang yang rambutnya panjang
terurai ke pundak, hidungnya mancung dan matanya dalam,
tubuhnya pun besar. Dengan mementang mulutnya yang lebar,
orang itu lantas menegur anak muda kita.: "Adakah kau datang
dari Tiongkok" Ilmu silatmu tak ada celaannya!" Ia berkata
sambil tertawa, tangannya lantas diulur, untuk berjabatan.
Koei Hoa Seng mengawasi, ia menyambuti, ketika tangan
mereka berjabat, ia merasakan satu tenaga yang kuat sekali
mendesak padanya. Ia mengerahkan tenaganya untuk melawan.
Habis itu, tiba-tiba saja tenaga lawan lenyap, hingga hampir ia
terhuyung, syukur ia dapat memperkokoh kuda-kudanya,
bahkan ia lantas memindahkan tenaganya ke tangannya, guna
membalas menotok nadi orang.
Walau dia notok, orang itu membawa dirinya seperti tidak ada
terjadi apa-apa, malah dia tertawa lebar, sembari menarik
pulang tangannya, dia berkata: "Benar hebat, ada harganya
untuk kau main-main dengan aku!"
Hoa Seng heran. Ia tidak menyangka orang mengerti ilmu
menutup jalan darah hingga dia tidak dapat kena ditotok.
Teranglah orang ini tidak kalah dengan orang-orang kosen
kelas satu di Tiongkok.
Si pendeta jubah merah nampaknya puas menyaksikan Hoa
Seng keheranan-heranan. Ia lantas menuding anak muda kita
seraya berkata: "He, bocah dari Tiongkok, malam ini telah
datang saat bagimu! Tahukah kau siapa adanya hoat-soe ini"
Dialah Bapak Daud jago nomor satu dari Arabia! Sekarang
baik-baik saja kau mohon pengajaran dari padanya ?"!"
Hoa Seng lantas ingat Bapak Daud ini atau Timotato, jago dari
Arabia. Ia telah mendengarnya dari si nona baju putih. Maka ia
lantas berpikir: "Telah aku mendengarnya negara-negara
Arabia mirip sama Tiongkok ialah suatu wilayah tua dan
berkebudajaan, maka kalau dia ini adalah jagonya, dia tidaklah
mengecewakan. Baik aku berlaku waspada terhadapnya
?"?".."
Timotato sudah lantas menantang, Ia menepuk kedua
tangannya. "Apakah kau ada membawa pedang" Kau keluarkanlah!"
katanya. Pedangnya Hoa Seng ada pedang Theng-kauw-kiam yang
lemas, yang dapat dilibat di pinggangnya sebagai sabuk, maka
heranlah ia yang jago dari Arabia itu dapat melihatnya.
"Tunggu dulu!" ia berkata. "Boleh kita main-main akan tetapi
lebih dulu kita mesti omong biar jelas. Kalau menang
bagaimana, kalah bagaimana?"
"Ah, bocah cilik yang tak tahu tingginya langit dan tebalnya
bumi!" berseru si pendeta jubah Merah dengan mendongkol.
"Apakah kau kira hoat-soe Timotato bakal kena dikalahkan
olehmu" Hm!"
Bapak Daud sebaliknya tertawa.
"Bagus!" serunya. "Kau anak muda, kau benar-benar bernyali
besar! Selama tigapuluh tahun baru kali ini aku mendengar
seorang yang menanya begini kepadaku! Baiklah, kau dengar
biar jelas!"
Segera tangannya jago ini menuding kepada sebatang lilin di
pojok ruang itu.
Gedung dari congkoan Gie-lim-koen ini besar dan indah sekali,
di empat penjurunya ada tiang-tiang beling bundar yang di
dalamnya kosong dan di dalam situ ada dinyalakan masingmasing
sebatang lilin yang besar. Lilin itu berbayang merah
dan bergoyang-goyang, maka sinarnya yang mencar ke luar
beling, luar dari biasanya.
Sambil menunjuk lilin itu, Timotato berkata pula: "Kau sudah
berlaku tidak pantas terhadap paduka pemimpin pasukan
pengiring Sri Baginda Raja, maka aku yang berdiam di sini
selaku tetamunya, tidak dapat aku membiarkannya saja! Akan
tetapi karena kau berani main-main dengan aku, hendak aku
memberikan satu ketika padamu ?".." Ia berhenti sebentar,
lalu ia melanjuti: "Kau lihat lilin itu, itulah batas waktu mainmain
kita. Jikalau sebelum lilin itu padam aku dapat
mengalahkan kau, sudah tidak ada bicara lagi, maka aku mesti
serahkan kau kepada paduka tuan komandan ini, terserah
kepadanya bagaimana dia hendak mengurusmu. Sebaliknya,
apabila lilin telah padam dan aku masih belum dapat
merobohkan kau, nah, urusan di sini aku akan tidak tahu
menahu lagi!"
Lilin itu sudah terbakar habis lebih dari pada separohnya,
nampaknya tak usah lagi setengah jam akan padamlah apinya.
Melihat itu, Hoa Seng mendongkol juga. Ia telah dipandang
hina sekali. "Baiklah!" ia memberikan jawabannya tanpa berpikir pula.
"Baik, begini perjanjian kita! Kau majulah!"
Hoa Seng menyangka Timotato memandang enteng
kepadanya, sangkaannya ini salah. Sebaliknya, jago dari Arabia
itu memandang lawannya tinggi walaupun sikapnya agak
jumawa, tadi ia telah melihatnya kepandaian si anak muda,
yang tak dapat dipandang tidak mata. Ini pun sebabnya ia telah
memberi waktu sebatas puntung lilin itu.
Orang Arabia itu tertawa.
"Baiklah!" katanya. "Aku minta sukalah kau berdiri biar tetap!"
Sembari berkata itu, nampaknya acuh tak acuh, dia maju
sambil meninju.
Hoa Seng sudah mengeluarkan pedangnya akan tetapi ia
sengaja tidak mau menggunakan itu, sembari memasang kudakudanya
dengan tegar, ia menggeraki tangan kirinya untuk
menyambut serangan dengan tenaga dari Taylek Kim-kongcioe.
Karena tidak puas dengan sikap lawan itu, ia pun jadi
memandang rada enteng. Tapi kesudahan dari ini hebat
untuknya, hampir saja di jurus pertama itu ia kena dirobohkan.
Belum lagi anak muda ini mengerahkan benar tenaganya, atau
mendadak ada dorongan yang sangat keras terhadapnya,
dorongan bagaikan "gunung ambruk dan laut terbalik". Ia
terkejut, lantas ia berseru. Ia segera menggunakan sembilan
bagian dari tenaganya untuk membuat perlawanan.
Begitu tenaga mereka bentrok, begitu Hoa Seng menjerit di
dalam hatinya. Ia merasakan dadanya seperti dihajar gembolan,
kuda-kudanya telah tergempur, hampir ia roboh, baiknya ia
sebat menukar siasat, ialah dengan membongkar kuda-kudanya
itu, ia berbalik menggunakan kepandaiannya ringan tubuh,
ialah ia lompat mencelat tinggi dua tombak, sebelah tangannya
menyambar penglari, sedang dengan tangannya, ia menyampok
kebawah. Bapak Daud puas sekali dengan kesudahannya jurus yang
pertama itu hingga ia tertawa terbahak-bahak. Ia bertindak
maju, terus ia melengak, dengan itu ia mengasi lewat
serangannya si anak muda. Habis itu lantas ia yang membalas
menyerang. Kembali kesudahannya serangannya ini hebat sekali, hingga
orang kaget. Penglari yang dipegangi Hoa Seng, telah kena
terhajar hingga patah, hingga serdadu-serdadu Gie-lim-koen
yang berkumpul di situ pada berteriakan.
Hoa Seng tidak menjadi kaget, ia melepaskan cekalannya,
untuk lompat turun. Ia melompat bukan untuk menyingkir,
hanya untuk meneruskan. Ia lompat kepada lawan, yang ia
terus serang dengan pedangnya, secara bertubi-tubi, hingga
Bapak Daud seperti terkurung sinar pedangnya itu.
Baru sekarang Bapak Daud terkejut. Barusan ia terlalu
memandang enteng lawannya. Ia menduga, kalau penglari
patah, lawan itu akan roboh dan kalah, siapa tahu, Hoa Seng
justeru menyerang ia hebat sekali. Sia-sia belaka ia membela,
dirinya, ia lantas kena didesak.
Hoa Seng menyerang terus, akan di akhirnya mengirim babatan
menurut tipu silat "Houw Tek memanah matahari."
Percuma Timotato memperlihatkan kegesitannya, sia-sia
belaka ia berkelit, seutas rambutnya yang terurai itu telah kena
dibabat kutung pedangnya lawan. Hal ini membuatnya gusar
sekali. Ia lantas menyerang, tangan kanan membuka, tangan
kiri meninju. Ketika itu Hoa Seng lagi melanjuti serangannya, yang berantai
tiga kali. Inilah Tatmo Kiam-hoat, ilmu pedang Bodhidarma
yang ia gabung dengan ilmu pedangnya si nona baju putih,
ilmu pedang yang diberi nama Peng-coan Kiam-hoat atau ilmu
pedang "Kali Es." Ilmu silat ini baru saja ia ciptakan. Maka
kagetlah ia ketika mendadak ia merasakan pula dorongan yang
keras sekali, yang membikin tubuhnya terputar seperti juga ia
lagi terbawa pusar air ?"..
Selama di gunung Himalaya, Hoa Seng pernah menempur dua
muridnya Timotato, maka tahulah ia kegagahannya jago dari
Arabia itu, yang hebat ilmu silatnya "Tenaga Im Yang," tenaga
imbangan dari negatip dan positip. Maka itu, ia lantas
menggunai tenaga serupa, untuk mengimbanginya. Ia
mengubahnya itu dari Tatmo Kiam-hoat. Dengan siasat ini, ia
dapat menggunai kekerasan atau kelunakan dengan melihat
selatan. Dengan begini juga ia tidak usah berkuatir walaupun ia
kena diputar ?"".
Serangannya Timotato terus bertambah hebat, sedetik demi
sedetik. Hal ini kemudian membikin Hoa Seng berkuatir juga.
Ia sekarang dapat mengetahui, dalam hal tenaga-dalam,
lawannya ada terlebih mahir dari padanya. Ia tidak takut bahwa
ia bakal kena dirobohkan, akan tetapi ia kuatir, sang tempo


Pedang Inti Es Peng Pok Han Kong Kiam Karya Okt di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

setengah jam nanti keburu habis. Kalau lilin padam, meski ia
belum kalah, ia toh kalah bertaruh. Pula masih ada
kemungkinan yang ia bakal dibikin jadi sangat letih ?"".
Di pihaknya Bapak Daud, dia juga tidak kurang kekuatirannya.
Sang tempo berjalan terus. Bagaimana jikalau ia tidak dapat
merobohkan pemuda yang liehay ini sedang api lilin telah
padam" Maka di samping terus menyerang dengan hebat, ia
memasang mata tajam. Senang hatinya apabila ia menampak
orang mulai letih. Tanpa mensia-siakan tempo lagi, ia
menyerang dengan tenaga yangnya, tenaga yang dahsjat seperti
"gelombang atau badai." Ia pun menggunai dua-dua tangannya
berbareng. Ia mengharap sangat dengan hanya sekali hajar,
lawan yang ulet itu bisa dibikin roboh! " kalau tidak mampus,
sedikitnya terluka ?""..
Hoa Seng pun justeru lagi menggunai siasat. Ia bermata tidak
kurang tajamnya. Ia mendapat lihat musuh menggunai
kekerasan. Inilah apa yang ia harap-harap. Ia mau menggunai
tenaga negatipnya, tenaga im yang lunak. Maka mendadak ia
bersiul panjang, tubuhnya mencelat, akan terus berlari-lari
berputaran, menghindarkan diri dari serangan, sedang sinar
pedangnya berkilauan. Itulah cara lari di delapan penjuru,
menuruti kedudukan patkwa.
Semua orang lainnya, yang menyaksikan pertandingan itu,
menjadi berdiri bengong.
Timotato menyerang hebat, tubuhnya berputaran juga, karena
ia mesti mengikuti gerakannya lawan. Ia mesti menyerang
dengan berbareng membela diri.
Sampai di situ, suasana menjadi berubah. Kalau tadi Hoa Seng
si pihak diserang, maka sekarang ia berbalik menjadi si
penyerang, dan Timotato dengan sendirinya menjadi pihak
yang membela diri. Dengan begitu, dengan sendirinya pula
redalah penyerangan tenaga im-yang dari jago dari Arabia ini.
Ia boleh terlebih mahir tenaga-dalamnya akan tetapi ia kalah
dalam hal keringanan tubuh. Di sebelah itu, Hoa Seng pun
mempunyai pedang yang tajam istimewa, sebab itulah pedang
mustika kumala, pedang Han-giok-kiam.
13. Akhir Pertempuran Naga dan
Harimau Hoa Seng menjadi terlebih unggul karena cara berkelahinya
ini, tetapi ini bukan berarti ia menang. Sebenarnya, ia pun
terancam bahaya. Sebabnya ialah ia telah menggunai tenaga
yang melewati batas. Tanpa berkeras begini, tidak bisa ia
menggunai ilmu ringan tubuhnya itu yang membuatnya
menjadi gesit luar biasa.
Maka menurut kenyataannya, mereka berimbang. Hoa Seng
dapat kehabisan keuletannya, dan Timotato di sembarang saat
dapat tertikam atau tergores pedang, sebagaimana tadi, karena
sedikit alpa, rambutnya telah terpapas ujungnya.
Hoa Seng mengubah siasat guna dapat menang tempo. Itu
bukannya arti sang tempo diperpendek, hanya diperpanjang,
agar api lilin lekas-lekas padam. Tentu saja adalah
pengharapannya juga agar lawan yang tangguh itu bisa dipukul
roboh, sebab inilah pasti menjadi terlebih bagus pula. Tetapi
pengharapan ini adalah pengharapan kecil. Bapak Daud itu
benar-benar satu ahli silat jempolan. Sampai sebegitu jauh, dia
masih dapat mempertahankan dirinya dengan baik sekali.
Lewat lagi sekian waktu, Hoa Seng mulai bernapas sengalsengal,
sedang peluhnya mulai terlihat di jidatnya, mulai
berketes-ketes. Di depan dia sebaliknya, Timotato menyeringai
puas, kedua tangannya mulai mendesak pula.
Segera juga terlihat, keadaan Hoa Seng letih seperti tadi. Ia
seperti sudah maju dan tak dapat mundur. Memang ia merasa
tak dapat bertahan, kupingnya telah berbunyi saja, matanya
mulai berkunang. Masih ia bertahan.
"Inilah bagianmul" berseru Timotato, yang sebelah tangannya
meluncur. Hoa Seng membela dirinya dengan bertindak mundur, tetapi ia
tidak dapat menguasai diri, ia mundur beberapa tindak,
tubuhnya limbung. Timotato sebaliknya marangsak,
serangannya pun menyusul. Hoa Seng menangkis dengan
pedangnya, atas mana, lawan menarik pulang tangannya, masih
ia terdesak, lagi sekali ia mundur, hanya kali ini habislah
tenaganya, kedua kakinya menjadi lemas, dengan tidak dapat
terkendali lagi, tubuhnya terhuyung. Sia-sia ia mencoba
menguati hati. Di saat itu, sambil merangsak terus, Timotato
sudah mengirim serangannya yang ketiga kali. Habis sudah
tenaga Hoa Seng, untuk mengangkat tangan saja ia tidak dapat,
maka itu batok kepalanya terancam tangan yang kuat dari si
jago dari Arabia itu.
Di detik yang menghabiskan itu, sekonyong-konyong Timotato
berseru panjang, serangannya ditarik pulang, sembari berbuat
begitu, ia berkata:
"Benar-benar hebat ilmu silat Tionghoa! Aku percaya, lewat
lagi sepuluh tahun, pastilah aku tidak dapat bertahan! Baiklah,
sang tempo telah habis, aku memberi ketika padamu untuk
berlalu ?""!"
Hoa Seng mendapat tempo untuk bernapas, ia memandang ke
tiang yang ada apinya, di sana ia mendapatkan api lilin telah
padam ?"?"".
"Taysoe, terima kasih untuk pengajaran kau ini!" ia berkata. Ia
memberi hormat sambil tertawa. "Baiklah, di belakang hari
nanti kita bertemu pula ?"..!"
Bapak Daud tidak membilang suatu apa, karena ia sebenarnya
merasa sangat tidak puas. Ia menang berkelahi tetapi kalah
bertaruh. Maka hendak ia lantas mengundurkan diri.
Justeru itu terdengar rintihan si congkoan, sedang si pendeta
jubah merah lantas bertindak maju, ia berjalan dengan perlahan
tetapi terus ia membentak Hoa Seng.
"Eh, binatang, kau menggunai ilmu siluman apa terhadap
paduka pemimpin pasukan pengiring Sri Baginda Raja?" ia
menegur bengis.
Congkoan Gie-lim-koen itu kena ditotok jalan darahnya thiankie-
hiat. Itulah hebat. Itu jalan darahnya pusat, atau otot besar
dari delapanbelas jalan darah di punggung. Sedang ilmu totok
Hoa Seng istimewa. Mulanya totokan itu cuma menyebabkan
orang merasa gatal, akan tetapi dengan berjalannya sang
tempo, rasa gatal lalu ditambah dengan rasa sakit seperti
ditusuk-tusuk jarum. Maka kendati dia bertubuh kuat dan
angkuh, tak tahanlah dia dan dengan terpaksa dia mengasih
dengar rintihannya itu.
Melihat keadaannya congkoan itu, Hoa Seng tertawa
terhadapnya. "Paduka tuan pemimpin yang mulia," katanya, "kau
menganggapnya guruku tidak dapat mengobati racun, tetapi
sebenarnya kami berdua, guru dan murid, di sampingnya bisa
mengasi racun juga pandai memunahkannya. Kau tahu kenapa
kau sekarang begini menderita" Itulah cuma disebabkan sedikit
sekali racun di tubuhmu. Coba aku menggunai racunku dalam
jumlah banyak maka sekarang ini tentulah tubuhmu sudah
mengeluarkan darah. Karena racunku ini sedikit, paduka tuan
yang mulia, kau akan dapat hidup selama tujuh hari."
Congkoan itu kaget bukan main. Ia tidak tahu bahwa ia hanya
lagi digertak. Saking takutnya itu, ia merasakan gatal dan
nyerinya jadi bertambah sendirinya. Tapi dasar berkedudukan
tinggi dan angkuh, ia menjadi murka.
"Kurang ajar!" ia membentak. ,,Kenapa kau berani berbuat
begitu terhadap aku" Baiklah, kau mesti dicingcang!"
Tapi Hoa Seng tidak takut. Ia bahkan tertawa lebar.
"Paduka tuan yang mulia!" katanya pula. "Jikalau benar kau
membunuh aku dengan tubuhku dicingcang maka tak ada
orang yang nanti menyembuhkan keracunanmu ini!"
Sementara itu Timotato, walaupun ialah seorang jagoan, ia
mengawasi congkoan itu dengan mata membelalak. Ia mengerti
yang congkoan itu sebenarnya ditotok Hoa Seng, ia pun
mengerti sedikit tentang ilmu totok Tionghoa, akan tetapi
memandang congkoan itu, sudah menggaruk-garuk
punggungnya secara kalap, sampai bajunya robek rubat-rabit,
sampai punggungnya bengkak. Ia menggaruk, ia merasakan
sakit, kalau ia tidak menggaruk, ia diganggu rasa gatal. Sambil
menahan gatal, ia pun merintih-rintih. Punggung itu telah
menjadi berwarna merah, hingga nampaknya seperti betulbetul
bekas kena racun. Ia menjadi bingung sendirinya. Ia tahu
betul, ia sendiri tidak sanggup membebaskan totokan lawannya
itu. Sebaliknya, tidak dapat ia memohon kepada Hoa Seng,
untuk si congkoan ditolongi. Ia merasa terlalu agung untuk
meminta sesuatu kepada orang yang baru saja ia kalahkan itu.
Maka itu, ia cuma bisa mengawasi, tidak mau ia
memberitahukan si congkoan bahwa dia hanya kurban totokan.
Juga si pendeta jubah merah agaknya gelisah sekali. Ia mau
menolongi, ia tidak mampu. Ia berdiam saja, tidak tega ia
menonton penderitaannya congkoan itu. Maka diakhirnya ia
menoleh kepada Bapak Daud, maksudnya guna memohon
bantuannya ini orang Arab yang liehay.
Timotato dapat menduga maksudnya pendeta itu, ia
mendahulukan menggeleng-geleng kepalanya.
"Aku telah membilangnya, satu ialah satu, dua ialah dua!"
berkata jagoan ini. "Aku sudah bilang, urusan di sini tidak
dapat aku mencampurnya pula, maka itu, tetap aku tidak dapat
mencampur tahu!"
Congkoan itu menjadi ketakutan. Kalau Bapak Daud tidak bisa
membantu padanya, celakalah dia ?""
"Habis kau menghendaki apa dari aku?" akhirnya ia tanya Hoa
Seng. Suaranya perlahan, sikapnya pun menjadi lunak. Ia tidak
bengis lagi seperti tadi ia membentak anak muda itu.
"Seperti aku telah bilang sejak semula," berkata Hoa Seng,
sabar. "Kau ajak aku masuk ke dalam istana, untuk menghadap
Raja, untuk aku mengobati sakitnya. Setelah itu, aku juga akan
mengobatimu."
Pemimpin barisan pengiring raja ini menjadi bingung. Ia sangat
ragu-ragu. Ia pun bercuriga dan takut sekali.
"Kalau dia membeber perbuatanku kepada raja, apakah aku
masih mempunyai jiwaku?" katanya dalam hatinya.
Di saat congkoan ini masih bersangsi itu, tiba-tiba orang
mendengar suara terbukanya pintu besi. Ia menjadi kaget.
"Kurang ajar betul!" ia mencaci di dalam hatinya. "Tanpa
titahku kenapa serdadu penjaga pintu berani membukai pintu?"
Tapi ia tengah disiksa gatal dan rasa nyerinya itu, tenaganya
seperti habis, ia bagaikan tidak mempunyai tenaga lagi untuk
membentak atau mendamprat.
Dengan lantas pintu besi dipentang, maka itu terlihat sinar
matanya semua orang menjurus ke arah pintu besar itu. Ruang
pun menjadi sangat sunyi.
Hoa Seng pun heran, tidak menjadi kecuali, ia juga
memandang ke arah pintu.
Di ambang pintu tertampak dua orang dayang, yang berjalan
dengan tindakan perlahan. Mulai naik di undakan tangga,
keduanya menghentikan tindakannya, lantas yang di sebelah
depan berkata dengan suaranya yang halus tetapi terang.
Katanya: "Di sini ada seorang muda yang datang dari
Tiongkok, yang bernama Koei Hoa Seng, benarkah?"
Hoa Seng heran tidak kepalang. Bukankah ia baru saja tiba di
Katmandu, ibukota Nepal ini" Kenapa sekarang ada orang,
bahkan orang di dalam istana raja, yang ketahui kedatangannya
itu malahan ketahui juga she dan namanya"
Oleh karena tidak ada yang memberikan ia penyahutan, dayang
itu memandang semua orang seraya mengulangi
pertanyaannya. Sampai di situ, Hoa Seng bertindak maju.
"Akulah Koei Hoa Seng yang datang dari Tiongkok itu," ia
menyahut. "Sri Baginda Raja menitahkan mengundang kau segera masuk
ke istana," berkata dayang itu. "Tuan komandan, inilah
firmannya Sri Baginda, kami dititahkan datang kepadamu di
sini untuk meminta orang. Kau telah melihatnya nyata, bukan?"
Dayang ini menyerahkan firmannya itu kepada satu boesoe,
untuk dia menyerahkannya kepada congkoan itu.
"Entahlah, untuk urusan apakah junjunganmu memanggil aku
menghadap?" Hoa Seng tanya.
"Katanya tuan datang dari negara besar Tiongkok, tuan
mengerti ilmu ketabiban, maka itu tuan diundang," menyahut
dayang itu. Hoa Seng heran.
"Mana aku mengerti ilmu ketabiban?" pikirnya. "Aku tadi
cuma menggertak saja kepada kepala pasukan pengiring raja!
Siapa tahu firman ini justeru membuatnya aku bicara dusta
?".. Ah, biarlah, asal pemeriksaannya Papo tepat,
penyakitnya raja benar karena terkena racun yang sifatnya
lunak, yang bekerjanya perlahan, aku percaya Thian San soatlian
bakal dapat menolong kepadanya." Karena ini, ia berkata
kepada dayang itu: "Untuk aku mengobati, tidak sukar, asal
aku diberikan ijin datang bersama dua orang lain."
"Sri Baginda pun telah mengeluarkan perintah, apa yang tuan
menghendaki, semua harus diluluskan," sahut dayang itu.
"Kalau begitu aku hendak mengajak Tabib Papo serta
pemimpin dari pasukan pengiring raja turut bersama masuk ke
istana," Hoa Seng memberitahukan keinginannya.
Mendengar itu, pemimpin pasukan pengiring raja itu menjadi
pucat mukanya. Menampak demikian, si pendeta jubah merah maju seraya
berkata: "Sungguh sukar yang tetamu agung dari negara yang
jauh laksaan lie telah datang ke marl, karena itu sudah
seharusnya paduka tuan pemimpin mengantari dia."
Congkoan Gie-lim-koen itu melihat sinar matanya si pendeta,
ia tidak bersangsi pula.
"Baiklah," katanya.
Sebaliknya, Hoa Seng menjadi curiga. Maka ia pikir, asal ia
dapat berlalu dari situ, ia tidak usah menguatirkan apa-apa lagi.
Congkoan itu lantas berkata: "Aku yang rendah minta tuan
suka memberikan obat yang mujarab, dengan begitu barulah
aku berani menemani." Ia berkata demikian karena di depannya
dayang itu ia tidak berani sebut tentang raja diracuni.
Dayang itu heran mendengar perkataan pemimpin pasukan gielim-
koen itu. "Apakah tuan pemimpin yang tubuhnya begini sehat juga dapat
sakit?" ia menanya. "Kalau itu hanya sakit tidak berat, baiklah
tuan mengundang lain tabib saja, dan besok tuan baru datang
menghadap Baginda."
Hoa Seng bersenyum, ia mengulur tangannya ke pundak
congkoan itu, untuk menotok dengan perlahan di jalan darah
ceng-pek-hiat. Ia berkata: "Lain tabib membutuhkan obat yang


Pedang Inti Es Peng Pok Han Kong Kiam Karya Okt di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mustajab, aku hanya cukup dengan tanganku. Biarlah sesudah
aku menyembuhkan Sri Baginda baru aku mengobati kau
hingga sembuh ke akarnya penyakitmu."
Ditotok begitu rupa, congkoan itu merasakan tubuhnya lega,
cuma masih ada sedikit rasa sakit di dadanya. Karena itu,
dengan terpaksa ia turut Hoa Seng pergi.
Kedua dayang itu heran bukan main, keduanya lantas bicara
berbisik. Hoa Seng telah mahir tenaga-dalamnya, hanya dengan
memasang kuping, ia dapat mendengar suara bisikan itu. Ia
memang bisa mendengar di dalam jarak seratus tindak.
"Pemuda Tionghoa ini benar luar biasa," demikian ia dengar
dayang yang satu.
"Mungkin sekali dia dapat menyembuhkan sakit yang aneh dari
Sri Baginda."
"Seharusnya dialah seorang yang cakap tampan," berkata
dayang yang lain, "maka kenapa dia justeru mirip sama orang
bangsa kita yang kasar, kulit mukanya begitu hitam hingga
dilihatnya menakuti ?"..?"
Hampir Hoa Seng tertawa. Ia mengambil taplak meja yang
putih-bersih, ia pakai itu untuk menyeka mukanya maka
lenyaplah mehongan di mukanya, hingga kulitnya nampak
putih bersih seperti asalnya.
Melihat perubahan kulit muka orang itu, kedua dayang heran
hingga mereka tercengang.
"Mari," kata Hoa Seng tertawa, "mari kita berangkat!" Dan ia
menarik tangannya si congkoan Gie-lim-koen, bertindak turun
di tangga, terus melewati sampai tujuh pintu besi. Selama itu,
tidak ada orang yang merintangi mereka. Di luar menanti
sebuah kereta kuda yang indah, sedang kuda penariknya empat
ekor yang berbulu putih salju dan nampaknya gagah sekali.
Itulah kereta yang dinaiki kedua dayang.
Hoa Seng dan Papo, berikut si congkoan beramai, bergantian
naik atas kereta itu, yang sebentar kemudian ditarik keempat
ekor kuda itu, yang cepat larinya.
Di atas kereta, Hoa Seng berpikir. Ia merasakan bahwa
pengalamannya itu hari dan malam bagaikan impian belaka. Ia
memikirkan tak hentinya: "Kenapa raja ketahui tentang diriku"
Kenapa dia tahu aku bisa mengobati penyakit" Kenapa kedua
dayang tadi membilangnya aku seharusnya mesti menjadi
seorang laki-laki yang cakap tampan" Apakah artinya itu
mesti?" Diam-diam ia melirik kedua dayang itu, justeru mereka pun
lagi mengawasi ia seraya bersenyum secara aneh.
Selagi Hoa Seng berpikir keras itu, tiba-tiba ia mendengar
suara angin berdesir di arah belakangnya. Dengan lekas ia
berpaling, atau ia menjadi terkejut. Tidak ayal lagi, ia
Bentrok Rimba Persilatan 12 Manusia Yang Bisa Menghilang Pendekar 4 Alis Karya Khu Lung Istana Yang Suram 8
^