Pencarian

Pedang Kilat Membasmi Iblis 2

Pedang Kilat Membasmi Iblis Karya Kho Ping Hoo Bagian 2


sebenarnya palsu karena di sebelah dalamnya ternyata nafsu yang berpamrih
berkuasa dan segala yang tampaknya besar itu hanya merupakan suatu cara untuk
mendapatkan imbalan yang menyenangkan.
Keinginan si aku untuk enak sendiri inilah yang menimbulkan segala macam konflik.
Kalau sudah terjadi benturan antara si aku dan si-aku yang lain, maka
bermusuhanlah kedua orang itu. Benturan kepentingan, atau lebih tepat lagi
benturan keinginan untuk senang selain mendatangkan pertentangan, kebencian
dan permusuhan. Bahkan cintapun menjadi sarang konflik karena pengaruh nafsu
atau si aku yang ingin menang sendiri.
Perjanjian antara Si Ni dan Hui Hong juga terdorong oleh kepentingan masing
masing. Mereka seolah saling memanfaatkan pihak lain demi keuntungan atau
kesenangan diri sendiri, Si Ni hendak mempertemukan Hui Hong dengan ayahnya
karena di balik itu ia berpamrih agar Hui Hong menolongnya membujuk ayah gadis
itu agar menerimanya, atau kalau ditolak, membantunya mengeroyoknya. Di lain
fihak, Hui Hong mau berjanji karena ia ingin agar Si Ni menolongnya, menemukan
dan mempertemukan ia dengan ayah kandungnya. Betapa dalam kehidupan ini,
kalau kita mau membuka mata melihat kenyataan, kitapun selalu hanya saling
mempergunakan dan saling memanfaatkan orang lain demi keuntungan atau
kesenangan kita! Terhadap keluarga, terhadap teman, masyarakat, negara dan
bangsa. Pernahkah terdapat suatu saat suci di mana kita tidak lagi merenungkan
apa yang dapat mereka lakukan demi keuntungan kita, dan mulai merenungkan apa
yang dapat kita lakukan demi kebaikan mereka" Pernahkah" Demi kebaikan
mereka, sepenuhnya, bukan hanya selubung yang menyembunyikan pamrih kita
yang tersembunyi agar kita disenangkan oleh perbuatan atau hasil perbuatan itu"
*** Hujan turun dengan lebatnya, dan air yang segar sejuk itu disambut dengan penuh
syukur dan terima kasih oleh pohon-pohon dengan daun-daunnya di pegunungan
itu. Tanah yang bercampur batu kapar juga menyambut dengan bahagia. Seluruh
permukaan bumi yang disiram air hujan setelah selama beberapa hari kekeringan,
berpesta pora dengan bahagianya sehingga membubunglah segala hawa kotor ke
angkasa, dan bumi kembali segar dan bersih. Tanah menguap, bau tanah tersebar di mana-mana. Daun-daun menari-nari tertimpa tetesan hujan, nampak berkilauan
hijau segar. 42 Semua mahluk hidup yang berada di permukaan bumi, bahkan berada di bawah
permukaan, menyambut air dengan gembira dan sibuk. Namun, dua orang wanita
itu bergegas memasuki sebuah guha besar untuk berlindung dari siraman air hujan.
Mereka adalah Bi Moli Kwan Hwe Li dan muridnya, Cia Ling Ay. Setelah memasuki
guha, Ling Ay cepat membersihkan tanah guha, membeberkan kain pembungkus
pakaian di lantai dan mempersilakan gurunya duduk. Mereka duduk di atas lantai
guha bertilamkan kain kuning itu.
Bi Moli Kwan Hwe Li duduk bersila dan tiba-tiba ia menutupi mukanya dengan
kedua tangan dan pundaknya bergerak-gerak. Ia menangis! Muridnya, Ling Ay,
memandang saja dengan terbelalak. Selama tiga tahun ia menjadi murid wanita
cantik itu, baru sekali ini ia melihat gurunya bersedih, apalagi menangis, walaupun tidak mengeluarkan suara, Ia tidak menegur atau bertanya. Ling Ay amat
menyayang gurunya, dan selain gurunya telah menyelamatkan ia dari perkosaan
penjahat. Juga gurunya telah mengambilnya sebagai murid, mendidiknya dan ia
merasa berhutang budi kepada wanita itu. Ia menyayang, menghormat dan amat
patuh, walaupun kadang ia harus mengerutkan alisnya kalau gurunya bertindak
keras sekali terhadap orang yang dianggap musuhnya. Sudah sering kali ia melihat gurunya menghukum penjahat, atau menghajar laki-laki iseng yang menggoda
mereka. Gurunya dapat membunuh orang tanpa berkedip. Walaupun wajah
gurunya yang cantik itu selalu tersenyum, namun kalau ia sudah marah, tidak lama kemudian, Kwan Hwe Li menurunkan kedua tangannya, dan jelas nampak betapa
kedua pipinya basah. Ia benar-benar telah menangis tadi!"
Ia menoleh kepada Ling Ay yang kebetulan menatapnya, akan tetapi muridnya itu
cepat-cepat menunduk, seolah tidak tahu bahwa gurunya habis menangis.
Ling Ay, tahukah engkau mengapa aku tadi menangis?"
Ling Ay mengangkat muka, memandang gurunya dan menggeleng kepala.
Gurunya tersenyum, manis sekali. Kadang Ling Ay merasa heran. Ia sendiri juga
seorang wanita cantik, akan tetapi ia masih muda walaupun sudah menjadijJanda
tanpa anak, usianya baru dua puluh empat tahun. Akan tetapi subonya pernah
mengaku bahwa subonya sudah berusia lima puluh tahun. Setengah abad. Akan
tetapi, subonya masih nampak demikian cantiknya seperti seorang gadis berusia
dua puluh lima tahun saja. Mereka seperti enci adik dan tak seorangpun
menyangkal bahwa mereka itu seperti enci adik.
Dari senyum, merekahlah tawa kecil. "Hi-hi-hik, aku menangis karena bahagia. Heh-heh, Tiauw Sun Ong, saat ini engkau pasti merana, berduka, menyesal, bingung dan gelisah. Nah, sekali-sekali engkau perlu merasakan hukumanmu, hi-hik."
"Subo. mengapa subo mentertawakan bekas pangeran yang sudah menderita
karena buta itu. Hati teecu (murid) sudah merasa kasihan sekali melihat dia,
43 seorang pria setengah tua yang buta, hidup terasing seorang diri di pegunungan
sunyi, masih dimusuhi pula oleh Kwan Im Sian li yang ingin membunuhnya. Aih,
subo, kenapa subo. tidak kasihan malah kini mentertawakan dia?"
"Ling Ay engkau sudah mendengar semua ceritaku tentang Pangeran Tiauw Sun
Ong, tentang hubungannya dengan aku, tentang Kwan-im sianli dayang tak tahu
malu itu, dan tentang Pouw Cu Lan selir kaisar yang menyeleweng itu. Akan tetapi, engkau tidak tahu apa yang sebenarnya terkandung dalam hatiku."
"Maaf, subo, teecu dapat menduga apa yang terkandung dalam hati sanubari subo.
Ingatlah, subo, teecu pernah menceritakan tentang riwayat teecu yang tidak jauh bedanya dengan riwayat subo. Teecu juga pernah merasakan bagaimana hancurnya
hati yang menderita karena kasih tak sampai,"
"Hemmm, apakah sampai sekarang engkau juga masih mencinta pemuda yang
bernama ... eh, siapa lagi namanya?"
"Kwa Bun Houw ... teecu tak pernah mencinta pria lain kecuali dia, subo. Teecu pernah mencoba untuk belajar mencinta pria yang dipaksakan menjadi suami teecu, akan tetapi sama sekali tidak pernah berhasil. Hanya Bun Houw seorang yang
pernah teecu cinta, tetap dan akan teecu cinta selamanya."
Senyum di mulut Kwan Hwe Li melebar. "Heh.heh, bagaimana mungkin cinta dapat dipelajari atau dilatih" Cinta adalah suatu keadaan hati. Yang ada hanya engkau mencinta seseorang itu ataukah tidak. Akan tetapi, Ling Ay, setelah engkau
mencinta mati-matian kepada pemuda yang bernama Bun Houw itu, apakah engkau
tidak mempunyai niat untuk mendapatkannya, agar engkau dapat selamanya hidup
di sampingnya?"
"Subo, tidak ada keinginan lain yang lebih besar dalam hati teecu kecuali hidup di sampingnya untuk selamanya. Akan tetapi teecu membatasi diri, subo. Teecu tahu
bahwa teecu tidak pantas untuk menjadi jodohnya. Orang tua teecu pernah
menolaknya dan menyakiti hatinya, teecu sendiri pernah menjadi isteri orang.
Teecu hanya seorang janda yang pemah menyakiti hatinya, dan dia seorang
pendekar yang budiman. Bagaimana mungkin teecu akan dapat berjodoh dengan
dia?" Suara Ling Ay mengandung rintihan batinnya. Ayah ibunya tewas dibunuh penjahat, ia sendiri sudah menjadi janda, dan Bun Houw entah berada di mana.
Tidak ada sedikitpun harapan baginya untuk dapat bertemu dengan Bun Houw,
apalagi hidup bersama reperti yang dikatakan subonya.
Kwan Hwe Li menghela napas panjang. "Engkau benar, Ling Ay. Keadaan kita
memang tidak jauh berbeda. Akupun hanya mencinta seorang pria saja, yaitu
Pangeran Tiauw Sun Ong. Sampai sekarang aku masih mencintanya dan satu-
satunya keinginanku adalah sama dengan yang di nginkan Kwan-im sian-li, yaitu
ingin menghabiskan sisa hidupku di sampingnya. Akan terapi, kita mendengar
sendiri penolakannya terhadap Kwan-im Sian-li. Aku tidak ingin mendengar dia
44 manolak ajakanku, maka akupun tidak menyampaikan maksud hatiku. Andaikata dia
menolak, mungkin akupun seperti Kwan-im Sianli akan mengajaknya mati
bersama!" Ling Ay menggeleng-geleng kepala. "Teecu tidak dapat menyelami perasaan subo dan Kwan Im Sianli. Kenapa harus memaksa seseorang untuk hidup bersama, dan
kalau dia menolak akan diajak mati bersama" Apakah dua orang tidk bisa hidup
dalam keadaan saling terpisah walaupun hati saling mencinta" Teecu bahkan tidak berani mengharapkan orang yang teecu cinta untuk menjadi teman hidup, dan
teecu hanya mendoakan semoga dia mendapatkan seorang jodoh yang baik dan
dapat hidup berbahagia selamanya."
Bi Moli Kwan Hwe Li tertawa geli. "Heh-keh, kalau begitu engkau seorang munafik, Ling Ay!"
"Ehhh" Maaf, subo. Mengapa subo mengatakan teecu munafik?"
"Tentu saja engkau munafik. Dalam hatimu, tadi engkau mengatakan bahwa tidak ada keinginan yang lebih besar dalam hatimu kecuali hidup bersama pria yang kau cinta. Akan tetapi di luarnya engkau mendoakan dia hidup berbahagia dengan
wanita lain. Bukankah itu munafik?"
"Tidak sama sekali, subo. Memang teecu mencintanya dan ingin hidup bersama dengan dia. Akan terapi, kalau dia tidak menghendaki hal itu, teecu tidak akan
memaksanya atau menyalahkannya, apalagi membencinya. Dia berada di samping
teecu ataukah tidak, teecu tetap mencintanya dan ingin melihat dia hidup
berbahagia."
"Hi-hi-hik, aku dapat membayangkan. Engkau ingin melihat dia hidup berbahagia, akan tetapi kalau benar-benar engkau melihat dia hidup berbahagia di samping
wanita lain, engkau akan merasa betapa hatimu perih seperti ditusuk-tusuk, engkau akan menangis sendiri dalam kamarmu menyesali nasib dan penuh iba diri.
Tidakkah begitu" Nah, itu yang kumaksudkan dengan munafik, tidak samanya
perasaan hati dengan perbuatan,"
"Maaf, subo. Teecu rasa tidaklah demikian. Teecu hanyalah seorang manusia biasa yang serba lemah dan tidak teecu sangkal, mungkin kalau teecu melihat doa teecu terkabul dan Bun Houw hidup berbabagia dengan wanita lain. melihat dia
bersanding dengan wanita lain, teecu akan teisiksa dalam hati, akan menangis
penuh iba diri. Akan tetapi hal itu wajar saja. bukan" Di samping itu. teecu akan selalu sadar bahwa tidak selamanya orang harus menurutkan kata hati, tidak
memenuhi keinginan hati. Teecu mempunyai pertimbangan untuk menimbang,
keinginan bagaimana yang boleh dilaksanakan dan keinginan yang bagaimana yang
harus dikekang. Dan keinginan memaksa Bun Houw hidup berdua dengan teecu,
keinginan untuk senang sendiri seperti itu, adalah satu di antara keinginan-
keinginan yang harus teecu kekang."
45 "Huh, itulah mengapa engkau selalu tertimpa kemalangan dalam hidupmu. Engkau terlalu lemah! Engkau terlalu memikirkan orang lain dan lihatlah apa yang selama ini kaualami. Engkau menurut saja dinikahkan dengan pria yang tidak kausukai,
engkau terlalu lemah sehingga tidak berani menentang orang tuamu. Kemudian,
engkau rela saja dipermainkan laki-laki yang tidak kaucinta. Kalau yang pertama kali engkau lebih mementingkan orang tuamu dari pada dirimu sendiri, kemudian
engkau mementingkan pria yang dipaksa menjadi suamimu. Kemudian engkau
bertemu dengan bekas tunanganmu itu, dan engkau tidak meraihnya sehingga dia
lepas lagi. Huh, aku muak mempunyai murid yang begini lemah!"
Melihat gurunya marah, Ling Ay terkejut.
Selama ini, belum pernah gurunya marah kepadanya! Dan ia merasa menyesal
sekali. Ia belum dapat membalas semua budi yang dilimpahkan gurunya itu
kepadanya, dan sekarang ia malah membuat gurunya kecewa dan marah. Ia segera
berlutut di depan gurunya yang duduk bersila di dalam guha itu.
"Maafkan teecu, subo. Akan tetapi, apa yang harus teecu lakukan" Teecu tetap mentaati semua perintah subo."
Bi Moli mengangkat mukanya dan meletakkan tangan kirinya ke atas pundak,
muridnya. Ia menyayang Ling Ay. Selama beberapa tahun ini, Ling Ay bukan saja
menjadi muridnya, akan tetapi juga menjadi sahabat baiknya, menjadi pelayannya
dan bersikap amat baik kepadanya sehingga ia merasa sayang sekali kepada murid
yang juga amat berbakat ini.
"Yang harus kaulakukan, muridku yang baik, adalah seperti aku. Aku gurumu yang harus kautaati, bukan" Nih, kita harus dapat menikmati hidup ini, kita harus
bertindak sesuai dengan perasaan kita. Seperti juga aku yang selalu mengharapkan dapat hidup berdampingan dengan pria yang kucinta, dan menghancurkannya kalau
dia menolak dan menyakiti hatiku, engkaupun harus mencari Bun Houw. Engkau
dahulu pernah menjadi tunangannya, saling mencinta, maka sudah sewajarnya
kalau sekarang engkau menuntut disambungnya kembali ikatan itu dan menjadi
isterinya. Bukankah itu harapan dan idaman hatimu?"
"Akan tetapi, subo. Teecu adalah seorang yang tadinya memutuskan hubungan itu, teecu yang meninggalkannya dan menikah dengan pria lain."
"Itu adalah kehendak orang tuamu, bukan kehendakmu. Dan ketika itu engkau
belum menjadi muridku. Kalau engkau bertemu lagi dengan dia, dia harus
menerimamu kembali dan engkau akan menjadi isterinya, hidup berbahagia, dan
akupun akan ikut gembira melihat engkau bahagia. Kalau dia menolak dan memilih
wanita lain, aku akan membantumu menghancurkannya. Daripada orang yang kita
cinta terjatuh ke tangan wanita lain lebih baik kita binasakan saja!"
46 "Tapi, subo ... " Ling Ay yang bergidik mendengar bahwa ia harus membunuh Bun Houw, mencari akal dan tidak berani membantah lagi atau menolak, "bagaimana teecu akan dapat mencari dan menemukannya. Teecu tidak tahu di mana dia
berada. Dia sebatangkara dan tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap."
"Biar kita cari perlahan-lahan. Sekarang, kita lebih dulu pergi ke kota raja Nan-king.
Sejak terjadinya keributan dan perang saudara yang menjatuhkan kerajaan Liu Sung tiga tahun yang lalu. aku tidak pernah melihat Nan-king. Sekarang, di sana yang berkuasa adalah Kerajaan Chi dan kaisarnya adalah Siauw Bian Ong yang dahulunya adalah Pangeran Siauw Hui Kong. Tiga tahun telah lewat sejak kerajaan baru itu
menguasai daerah selatan Sungai Yang-ce. dan kabarnya sekarang keamanan telah
pulih kembali, tidak ada lagi terjadi pertempuran. Aku ingin berkunjung ke sana, menjenguk kota kelahiranku dan kautahu, muridku, masih banyak keluarga
bangsawan yang menjadi kerabatku."
Ling Ay menurut saja, di dalam hati ia masih bingung oleh perintah gurunya
mengenai sikapnya terhadap Bun Houw tadi. Ia memang mencinta Bun Houw, hal
ini tidak disangkalnya. Ia memang mengharapkan agar dapat hidup menjadi isteri
Bun Houw, hal ini pun harus diakuinya. Akan tetapi andaikata Bun Houw menolak,
bagaimana mungkin ia akan tega untuk membunuhnya" Bun Houw telah berbuat
banyak untuknya. Rasanya ia akan rela mati untuk membela pria yang dikasihinya
itu. Bagaimana mungkin ia akan dapat membunuhnya, walaupun dia akan
menolaknya sekalipun" Akan tetapi ia tidak berani membantah, dan girang
mendengar subonya mengajaknya pergi ke Nan-king. Setidaknya, urusan baru di
Nan-king akan membuat gurunya lupa akan Bun Houw dan diapun akan diam saja.
tidak akan membicarakan lagi tentang bekas kekasih dan tunangannya itu.
*** Guru dan murid itu berhenti di persimpangan jalan. "Suhu," kata Bun Houw,
"biarlah teecu mengantar suhu kembali dulu ke Hwa-san, sebelum teecu mulai mencari adik Tiauw Hui Hong sampai dapat. Teecu berjanji akan mengajak puteri
suhu itu menghadap suhu."
Tiauw Sun Ong tersenyum. Bekas pangeran yang usianya sudah lima puluh sembilan
tahun itu masih nampak tegap dan memang wajahnya tampan dan gagah,
walaupun dia nampak lemah dengan kebutaannya, "Bun Houw, tidak perlu engkau mengantarku. Aku masih kuat untuk mendaki Hwa-san dan sebaiknya kalau engkau
sekarang juga mulai pergi mencari Hui Hong dan kauceritakan semuanya tentang
dirinya, tentang hubungannya dengan aku sebagai ayah kandungnya. Kasihan sekali Hui Hong, ia tidak tahu akan kematian ibu kandungnya yang amat menyedihkan.
Aih, ulah nafsu selalu mendatangkan akibat yang menyedihkan."
Bun Houw yang sudah mengenal baik watak suhunya yang sekali mengambil
keputusan tidak akan mengingkari lagi, tidak membantah dan diapun menghela
47 napas panjang. Dia merasa iba kepada suhunya. Biarpun suhunya tidak
mengeluarkan ucapan yang menunjukkan kesedihannya, namun dia tahu benar
betapa hancur hati gurunya ketika pertemuannya dengan satu-satunya wanita yang
pernah dicintanya, yaitu Pouw Cu Lan, berakibat matinya wanita itu membunuh diri.
Akan tetapi suhunya tidak pernah melihatkan kesedihannya dan diapun kagum
bukan main. Gurunya adalah seorang laki-laki sejati!
"Baiklab, suhu. Kalau suhu menghendaki demikian, teecu akan mentaati keinginan suhu."
"Selain mencari Hui Hong. Juga ada sebuah tugas untukmu. Ketahuilah bahwa kini kerajaan Sung atau Liu Sung telah jatuh dan yang berkuasa adalah kerajaan Chi yang dipimpin oleh Kaisar Siauw Bian Ong. Perubahan ini hanya merupakan perebutan
kekuasaan saja, karena yang memegang pimpinan tetap masih keluarga sendiri.
Bahkan ada baiknya, karena Kaisar Cang Bu yang masih remaja itu tidak pantas
untuk menjadi kaisar dan dia tentu mudah dikuasai para pejabat yang menjilat dan menyelewengkannya. Bagaimanapun juga, kita harus mendukung kerajaan Chi di
Nan-king karena kita di selatan selalu diancam oleh kekuasaan dari utara, yaitu kerajaan Wei yang dipimpin oleh bangsa Toba Tartar. Memang tidak perlu engkau
memegang jabatan, akan tetapi kalau melihat negara diancam bangsat Tartar,
sudah menjadi kewajiban setiap orang warga negara untuk membelanya. Nah,
tugas yang kuberikan padamu adalah pergi ke Nan-king dan melihat suasana di
sana. Kuberi waktu dua tahun kepadamu untuk mencari Hui Hong dan melihat
keadaan pemerintah kerajaan Chi yang baru. Satelah dua tahun, bertemu Hui Hong
atau tidak, engkau harus mencariku di Hwa-san dan memberi laporan tentang
semua hasil usahamu."
"Baik, suhu."
Guru dan murid itu berpisah di persimpangan jalan. Tiauw Sun On melanjutkan
perjalanan dengan langkah tegap menuju ke Hwa-san. Bagaimanapun juga, hatinya
terasa ringan. "Pouw Cu Lan, yang dulunya sudah tidak dia pikirkan lagi, akan tetapi kemudian teringat kembali setelah dia mendengar bahwa wanita yang pernah
menjadi kekasihnya itu telah melahirkan seorang puteri darinya, kini telah
meninggal dunia. Hal itu berarti pula bahwa wanita itu telah terbebas dari
penyiksaan diri berkorban demi puteri mereka. Pouw Cu Lan telah mengambil jalan yang paling tepat. Adapun puterinya, Hui Hong, dalam keadaan selamat dan sehat.
Puterinya! Akan tetapi tiba-tiba dia mengerutkan alisnya. Menurut keterangan
mendiang Pouw Cu Lan sebelum membunuh diri. Hui Hong telah pergi untuk
mencarinya bersama seorang wanita cantik yang mukanya putih halus dan nampak
masih muda. Kwan Im sianli Bwe Si Ni! Siapa lagi kalau bukan bekas dayang itu"
Menurut keterangan Bi Moli Kwan Hwe Li. Kwan Im Sianli tentu bermaksud untuk
membunuh Pouw Cu Lan dan puterinya, puteri mereka. Dan kini. Pouw Cu Lan telah
48 membunuh diri, dan Hui Hong pergi bersama Kwan Im Sianli! Nyawa puterinya
berada dalam bahaya!
Bagaimana mungkin dia dapat kembali ke Hwa-san dan dapat bertapa dengan hati
tenang kalau Hui Hong belum ditemukan" Dan biarpun dia yakin akan kemampuan
muridnya, akan tetapi Bun Houw tidak tahu ke mana harus mencari Hui Hong!
Alangkah baiknya kalau dia sendiripun pergi mencari. Usaha dua orang lentu jauh lebih baik dan mendatangkan lebih banyak harapan dari pada usaha seorang saja.
Maka, tanpa ragu lagi diapun mengubah arah perjalanannya, berlawanan dengan
arah yang dituju Bun Houw. Bun Houw menuju ke timur, ke Nan-king. dan dia
sendiri akan pergi ke utara, ke Lok-yang.
Sementara itu, tanpa mengetahui perubahan arah perjalanan gurunya, Bun Houw
melanjutkan perjalanan dengan cepat. Nan-king masih jauh di timur dan perjalanan melalui daratan amatlah sukarnya, juga amat melelahkan. Oleh karena itu. Bun
Houw menyusuri tepi Sungai Yang-ce untuk menyewa perahu. Dengan perahu
melakukan perjalanan dapat lebih cepat dan tidak begitu meletihkan, karena
perahu akan terbawa arus sehingga tidak banyak membutuhkan tenaga untuk
mendayung, hanya mengemudikannya saja.
Banyak memang dia bertemu pemilik perahu, akan tetapi belum ada yang dapat
menyewakan perahu kepadanya. Tukang perahu tidak mau menyewakan perahu
untuk perjalanan sejauh itu, ke Nan-king yang akan makan waktu berhari-hari.
Untuk membeli sebuah perahu, tentu saja Bun Houw tidak mampu. Emas permata
yang dimilikinya, yang dahulu diterimanya dari gurunya, telah dirampas oleh Suma Koan dan puteranya. Suma Hok. Dan kini dia hanya mempunyai sedikit perak untuk
bekal dalam perjalanan. Juga pemberian gurunya.
Terpaksa Bun Houw membonceng perahu yang kebetulan ke hilir, sampai ke mana
tujuan perahu itu berhenti, lalu disambung lagi dengan perahu lain. Akan tetapi tentu saja perjalanan ini makan waktu lebih lama karena dia harus menunggu setiap kali di suatu tempat pemberhentian untuk mencari perahu yang melakukan
pelayaran ke timur.
Pada suatu pagi, setelah melakukan perjalanan selama belasan hari, perahu yang
ditumpangi Bun Houw berhenti di sebuah kota di tepi sungai yang bernama Kui-cu, sebuah kota yang cukup ramai karena di situ merupakan pusat perdagangan yang


Pedang Kilat Membasmi Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menjadi semacam bandar sungai pula. Banyak pedagang mendirikan toko, rumah
makan dan rumah-rumah penginapan karena banyaknya saudagar dari daerah dan
kota lain yang datang dan bermalam di Kui-cu, untuk memperjualbelikan barang
dagangan mereka.
Ada sebuah perahu besar yang akau melakukan perjalanan ke timur, akan tetapi
pemilik perahu mengatakan bahwa dia harus menunggu muatan selama dua hari
baru dapat berangkat. Karena perahu itu merupakau perahu pertama yang akan
49 berlayar ke timur, terpaksa Bun Houw menunggu dan diapun mencari kamar di
rumah penginapan yang kecil untuk menghemat biaya.
Setelah memperoleh sebuah kamar di rumah penginapan yang berada di ujung kota
Kui-cu karena penginapan lain yang berada di tengah kota sudah penuh dengan
tamu, Bun Houw keluar berjalan-jalan dan melihat-lihat kota Kui-cu. Kota yang sibuk sekali. Datang-banya banyak tamu pedagang yang berjual-beli di kota itu, membuat kota itu menjadi pusat pasar, dan banyak orang memanfaatkan keramaian itu
dengan membuka bermacam tempat hiburan. Para pedagang itu mempunyai
banyak uang, apalagi di tempat itu seringkali para saudagar mendapatkan
keuntungan yang banyak, maka uang berlimpahan dan mereka itu. segera nencari
hiburan untuk merayakan keuntungan yang mereka peroleh. Tempat-tempat
pelesir, rumah-rumah judi dan sebagainya dibuka orang.
Matahari telah naik tinggi dan Bun Houw memasuki sebuah rumah makan, tertarik
oleh bau sedap masakan yang keluar dari dalam rumah makan itu. Belasan orang
sudah berada di situ dan Bun Houw bingung juga memasuki rumah makan yang
tidak terlalu besar itu. Tidak ada meja kosong, akan tetapi di sudut sebelah dalam terdapat sebuah meja di mana hanya duduk seorang laki-laki muda saja yang
menghadapi meja itu. Seorang pelayan menyambut dan menggelengkan kepala.
"Maaf, tidak ada meja kosong, harap sebentar lagi saja kembali kalau sudah ada tamu yang keluar," katanya.
Bun Houw memandang kepada pria yang duduk seorang diri itu, dan pria inipun
memandangnya, lalu pria itu bangkit berdiri dan. berteriak kepada pelayan itu.
"Disini aku hanya duduk sendiri, kalau sobat itu mau, dia boleh, saja duduk makan di sini."
Tentu saja pelayan itu menjadi girang. Jarang ada tamu yang mau membagi
mejanya dengan tamu lain yang tidak dikenalnya. Bun Houw juga girang dan segera memberi hormat-ambil menghampiri meja itu. "Terima kasih atas kebaikanmu,
sobat." katanya.
"Ah, tidak, mengapa. Meja inipun terlalu besar untukku sendiri. Silakan!" kata orang itu dengan ramah. Bun Houw lalu duduk di seberang orang itu, terhalang meja
sehingga mau tidak mau mereka saling pandang.
Pria itu berusia kurang lebih dua puluh dua tahun. Tubuhnya sedang saja, bahkan agak kewanitaan karena tidak nampak otot-otot kekar di tangannya. Tubuhnya itu
lebih condong tubuh wanita yang termasuk besar. Wajahnya tampan dan matanya
cerdik, senyumnya manis. Akan tetapi wajah itu adalah wajah pria, dengan alis yang tebal dan hidung besar. Ada sesuatu dalam sikapnya yang agung dan anggun.
Tentu saja Bun Houw hanya memandang sekalian dan dia menduga bahwa pemuda
ini agaknya seorang pemuda terpelajar, tidak miskin, akan tetapi juga bukan kaya-50
raya. Walaupun pakaiannya cukup baik, akan tetapi dia bukan seorang pesolek dan pakaian itu tidak menyolok. Bahkan pemuda itu duduk dalam rumah makan dengan
menghadap ke sebelah dalam sehingga tidak dilihat wajahnya dari luar, seolah dia hendak menyembunyikan wajahnya agar tidak terlihat banyak orang. Pada hal, dia
tidak melihat sesuatu yeng mencurigakan pada pemuda ini, "Kulihat engkau seperti bukan orang sini, sobat. Benarkah!" pria itu agaknya merasa tidak enak kalau berdiam diri ia saja, maka dia bertanya, suaranya terdengar sambil lalu saja.
"Benar, aku memang baru dalang hari ini, pagi tadi." jawab Bun Houw singkat. Dia tidak ingin berkenalan dengan pemuda itu, dan tidak ingin menceritakan keadaan
dirinya. Hening sejenak dan pesanan makanan pemuda itu datang lebih dahulu karera
memang dia telah memesan sebelum Bun Houw masuk. Dia memesan nasi dengan
dua macam sayur dan daging, juga air teh. Tidak memesan arak. hal ini
mengherankan Bun Houw. Hari itu hawanya cukup dingin sehingga biasanya orang
akan minum arak, walaupun sedikit. Dia sendiri memesan nasi dan semacam sayur
yang di sukainya.
"Silakan engkau makan lebih dulu, sobat," kata Bun Houw melihat betapa pemuda itu. memandangnya tanpa menyentuh masakan di depannya. Pemuda itu
mengangguk, kemudian makan, cara dia makanpun sopan dan dengan hati-hati
menggerakkan sumpitnya, mengunyah makananpun tanpa mengeluarkan suara,
bahkan jarang sampai membuka mulut, sungguh cara makan yang hati-hati dan
perlahan-lahan, sopan sekali. Bun Houw semakin tertarik dan senang. Dia sendiri merasa terganggu kalau melihat orang makan dengan lahap seperti orang
kelaparan, dengan mata melotot memandang ke arah makanannya, kemudian
mengunyah cepat-cepat dengan mulut terbuka dan mengeluarkan bunyi
berkecapan. Apalagi kalau menyeruput kuah dari mangkuk, mengeluarkan bunyi
seperti seekor babi sedang makan.
Pesanan makanan baginya datang. Pemuda di depannya itu tersenyum dan
mengangguk tanpa bersuara, seolah mempersilakan dia untuk makan. Bun Houw
makan pula dan tentu saja dia makan lebih hati-hati dan lebih sopan dari pada
biasanya!"
Tiba-tiba masuk lima orang laki-laki yang bertubuh tinggi besar dan bersikap kasar.
Mula-mula kedatangan mereka tidak menarik perhatian, akan tetapi dua orang di
antara mereka berdiri di depan pintu rumah makan, menghadap ke luar dan seperti penguasa rumah makan, mereka berdua itu menolak masuknya tamu-tamu baru
dengan mengatakan bahwa rumah makan sudah penuh! Adapun tiga orang lainnya,
dengan sikap galak sudah menghampiri pemilik rumah makan dan memaksanya
untuk menyerahkan semua uang hasil penjualannya sejak pagi tadi! Seorang
memaksa pemilik rumah makan, dan dua orang lainnya mulai menggertak para
tamu untuk menyerahkan uang mereka!
51 Melihat betapa di antara para tamu ada yang nampak penasaran dan marah,
seorang diantara mereka yang mukanya hitam membentak. "Hayo serahkan uang
kalian kepada kami. Kalau ada yang membantah, kepalanya akan kubikin seperti
ini!" Tangan kanannya bergerak ke arah ujung sebuah meja.
"Krakkk!" Ujung meja terbuat dari papan tebal itu pecah berentakan. Tentu saja semua orang menjadi ketakutan. Apalagi ketika tiga orang yang beroperasi di dalam itu mencabut golok mereka dan mengamangkan golok, mereka menjadi semakin
ketakutan. SI pemilik rumah makan terpaksa membiarkan semua uang pendapat di
laci mejanya dikuras oleh seorang perampok, sedangkan dua orang lain mulai
menguras isi saku para tamu. Hanya ada seorang tamu yang berusaha untuk
menolak dan tidak mau memberikan semua uangnya. Si muka hitam menamparnya
dan beberapa buah giginya rontok, mulutnya berdarah dan sejak itu, tidak ada lagi tamu yang berani membantah. Ketika si muka hitam menghampiri meja di mana
Bun Houw dan pemuda itu duduk, Bun Houw melihat betapa pemuda itu sedikitpun
tidak nampak khawatir. Bahkan dengan suka rela pemuda itu mengeluarkan semua
uangnya dari dalam saku, yang jumlahnya lima enam kali lebih banyak dari pada
uang bekalnya sendiri. Tentu saja Bun Houw sudah merasa mendongkol sekali
kepada lima orang yang berani melakukan perampokan di siang hari di tempat
umum yang ramai itu. Akan tetapi, kalau dia menghajar mereka di rumah makan,
tentu akan merusak perabot di rumah makan itu dan dia tidak akan mampu
mengganti kerugian. Pula, di situ terdapat banyak tamu. Kalau lima orang itu
mengamuk, dia khawatir ada tamu yang akan terluka atau bahkan tewas. Maka,
dengan tenang diapun mengeluarkan semua uang bekalnya dan meletakkannya di
atas meja. Perampok muka hitam mengambil uangnya dan uang pemuda itu dari
atas meja. memasukkannya ke dalam kantung hitam besar yang sudah dipersiapkan
sebelumnya. Perampokan itu berlangsung cepat sekali dan agaknya lima orang itu memang
sudah ahli dalam pekerjaan ini. Setelah menguras semua uang terdapat di situ,
mereka pergi dan si muka hitam yang menjadi pimpinan meninggalkan ancaman.
"Kalau ada di antara kalian yang berani berteriak setelah kami berada di luar. kami akan masuk lagi dan memenggal lehernya di sini juga!" Goloknya berkelebat dan
sebuah bangku terbelah menjadi dua dengan mudahnya. Semua orang menjadi
pucat dan mereka berlima meninggalkan rumah makan itu dengan cepat. Bun Houw
cepat menghampiri pemilik rumah makan.
"Paman, aku akan mengejar mereka dan mencoba untuk mendapatkan kembali
semua uang yang dirampok!" Diapun keluar dari rumah makan itu dan melakukan
pengejaran. Para perampok itu telah keluar dari pintu gerbang kota Kui-cu sebelah selatan. Dan di luar kota itu, di tempat yang sunyi, mereka bergabung dengan lima belas orang lain yang rata-rata bersikap kasar dan bertubuh kuat. Dan mereka itu menyediakan 52
pula lima ekor kuda untuk lima orang perampok itu. Lima belas orang itu sedang
duduk berkelompok di bawah pohon dan mereka bersorak ketika melihat lima
orang perampok itu datang membawa kantung hitam yang sudah penuh uang!"
"Ha-ha-ha. agaknya Hek-hin (Muka Hitam) berhasil baik!" kata beberapa orang dengan gembira.
Si muka hitam mengangkat kantong hitam itu tinggi-tinggi. "Penuh uang, cukup untuk kita pesta beberapa hari!" serunya dan kembali semua orang bersorak
gembira. Bun Houw sudah sejak tadi mengintai. Setelah merasa yakin bahwa dua puluh orang itu adalah gerombolan perampok atau penjahat, diapun segera melompat keluar
dan menghampiri mereka.
Melihat tiba-tiba muncul seorang pemuda yang berpakaian sederhana, dua puluh
orang itu memandang heran. Lima orang perampok tadi mengenai Bun Houw
sebagai seorang di antara para korban di rumah makan. Si muka hitam sudah
meloncat ke depan dan memandang rendah kepada pemuda yang tingginya hanya
sampai ke lehernya itu. Si muka hitam ini memang memiliki bentuk tubuh yang
tinggi besar. "Mau apa kau" Bukankah engkau seorang dari tamu di rumah makan tadi" Sudah kukatakan, siapapun tidak boleh membuat ribut. Eh, engkau, malah berani
mengejar kami ke sini" Mau apa kau?"
"Tidak mau apa-apa," jawab Bun Houw dengan sikap tenang, "hanya ingin minta kembali semua uang yang kalian rampas di rumah makan tadi. Kalian tidak berhak, semua uang itu harus dikembalikan kepada pemilik masing-masing."
Sejenak hening sekali dan semua penjahat itu memandang kepada Bun Houw
dengan mata terbelalak. Mereka terheran-heran bagaimana mungkin ada seorang
pemuda seperti itu berani bicara demikian kepada mereka! Sungpuh sukar untuk
dipercaya. Akan tetapi kemudian, bagaikan dikomando saja, dua puluh orang itu
tertawa bergelak-gelak, mereka geli dan lucu sampai ada yang perutnya besar
terpaksa memegangi perutnya karena tertawa terpingkal-pingkal membuat
perutnya sakit dan terguncang keras.
"Hei , booh gila!" teriak seorang diantara lima perampok tadi. "Kalau sekarang engkau berlaku begini, kenapa tadi di rumah makan engkau diam saja, malah
menyerahkan pula uangmu tanpa melawan sedikitpun?"
"Aku tidak ingin ribut-ribut di rumah makan, aku sengaja membayangi kalian sampai ke sini, dan di sinilah kita membuat perhitungan."
"Ha-ha-ha-ha!" Si muka hitam tertawa bergelak. "Kalau kami tidak mau
mengembalikan uang itu, habis engkau mau apa?"
53 "Terpaksa aku akan menggunakan kekerasan uutuk merampasnya kembali dari
tangan kalian." kata Bun Houw tenang dan kembali meledak utara tawa dua puluh orang itu.
Memang lucu dan seperti ocehan orang yang tidak waras mendengar pemuda itu
bicara seperti itu. Akan tetapi, biarpun mereka menertawakannya dan pandang
mata mereka mulai marah, tak seorangpun bergerak untuk menyertainya. Agaknya
orang-orang ini taat kepada komando pimpinan dan hanya menanti perintah. Dia
ingin tahu siapa pemimpin mereka semua, karena jelas bahwa si muka hitam itu
pun hanya memimpin regu kecil perampok tadi.
Seorang diantara para perampok tadi yang juga tinggi besar akan tetapi perutnya gendut seperti gentong. memandang kepada si muka hitam dan berkata, "Hek-bin twako (kakak muka hitam), biar kubereskan pemuda nekat ini!"
Sebelum si muka hitam menjawab, terdengar suara yang kecil meninggi seperti
suara perempuan, akan tetapi suara itu keluar dari mulut seorang, yang tinggi kurus dan berkepala botak. "Tunggu! Pemuda ini sudah berani bersikap seperti itu, berarti bahwa dia mempunyai andalan. Kalian berlima majulah bersama menghadapinya!"
Si muka hitam dan empat orang anak buahnya, yang tadi melakukan perampokan,
tersenyum masam. Bagaimanapun juga, mereka merasa agak malu untuk
mengeroyok seorang pemuda biasa reperti itu, apalagi pemuda itu tidak memegang
senjata, kalau saja tongkat butut yang terselip di pinggangnya itu dapat dikatakan senjata! Mereka adalah orang-orang yang perkasa, bagaimana tidak akan malu dan
merasa rendah mengeroyoknya" Akan tetapi agaknya mereka adalah orang-orang
yang mentaati perintah si botak, maka mereka lalu melangkah maju dan
menghadapi Bun Houw. Cara mereka menghadapi Bun Houw. semua di depannya
dan tidak mengepungnya, ini saja sudah membuktikan bahwa mereka memandang
rendah pemuda itu dan merasa malu untuk mengepung dari belakang. Hal ini
diketahui oleh Bun Houw, namun dia tidak perduli, kini dia tahu bahwa pemimpin
gerombolan ini adalah si botak tinggi kurus itu. Dan agaknya kalau lima orang ini hanya mengandalkan kekerasan-kekerasan otot mereka, pemimpin mereka itu juga
mengandalkan otak.
"BOCAH gila, apakah engkau masih hendak meneruskan kehendakmu, merampas
kembali uang itu?" tanya si muka hitam sambil menunjuk kantung uang yang kini dipegang oleh si botak.
"Tentu saja! Serahkan kembali uang itu dan aku tidak akan mengganggu kalian."
kata Bun Houw dengan sikap tenang.
"Hai i tt, mampuslah kau!" bentak seorang di antara lima perampok itu dan diapun sudah menyerang dengan tonjokan yang kuat ke arah muka Bun Houw. Dengan
gaya petinju, agaknya dia ingin memukul roboh Bun Houw dengan sekali tonjok.
54 Dan memang dia bertenaga kuat sehingga orang biasa sekali terkena tonjokan ini
pada dagunya, pasti akan roboh dan pingsan atau setidaknya gegar otak!
Namun, pukulan itu mengenai angin kosong belaka dan sebelum dia sempat
menarik kembali kepalannya, lengan kanan itu tiba-tiba lumpuh disentuh jari
telunjuk kiri Bun Houw dan tahu-tahu tubuhnya terjengkang oleh sebuah tendangan kaki kanan pemuda perkasa itu.
Melihat betapa segebrakan saja penyerang itu terjengkang, barulah empat orang
perampok lain terkejut dan marah. Mereka berempat segera menerjang maju,
bahkan orang yang tadi terkena tendangan, untuk menebus malunya, melupakan
perutnya yang mulas menendang, bangkit lagi dan ikut mengeroyok! Akan tetapi,
semua anggauta gerombolan itu tercengang-cengang ketika belum ada sepuluh
jurus, biarpun nampaknya lima orang perampok itu menghujankan pukulan dan
tendangan, akan tetapi buktinya, lima orang itulah yang terpelanting ke kanan kiri seorang demi seorang. Melihat ini, tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dengan
suara tinggi dan si botak tinggi kurus itu sudah menyerang Bun Houw dan memang
dia memiliki ketangkasan yang lain dibandingkan anak buahnya. Dia memiliki tenaga sinksng sehingga ketika menerjang, selain gerakannya cepat bagaikan seekor
burung menyambar. Juga pukulannya mendatangkan angin pukulan yang cukup
kuat. Namun, bagi Bun Houw, si botak ini bukan apa-apa. Diapun menangkap tangan
yang memukulnya dan sekali dorong, si botak itupun tak mampu menahan lagi dan
terjengkang. Kasihan dia, karena kurus maka pinggulnya tidak berdaging sehingga ketika terbanting, pantat tanpa daging itu menghantam tanah dan rasanya seperti retak-retak tulang belakangnya. Dia meringis dan memberi aba-aba, "Bunuh dia!
Dia! berbahaya bagi kita!"
Anak buahnya, termasuk lima orang perampok tadi, kini mengepung dan
mengeroyok dengan senjata tajam di tangan! Melihat ini, Bun Houw memegang
tongkat bututnya dan sekali tangan kanannya bergerak, nampak sinar berkilat.
Pedang Lui-kong-kiam telah tercabut dari sarung yang berbentuk tongkat butut itu dan begitu pedang itu digerakkan, nampak gulungen sinar berkilauan yang
membuat semua pengetoyok terkejut. Segera disusul suara berkerontangan di
sana-sini. Ke manapun sinar kilat itu menyambar, tentu terdengar suara
berkerontangan dan dalam waktu beberapa menit saja, dua puluh orang itu,
termasuk si botak yang tadi mencabut pedang, menjadi terlongong memandang
tangan kanan mereka yang kini hanya tinggal memegang gagang senjata berikut
sedikit sisa potongan senjaia mereka. Dua puluh batang senjata tajam telah
terbabat buntung semua oleh Pedang Kilat!
Pada saat itu terdengar bentakan nyaring, "Kalian semua mundur !" Dua puluh orang itu terkejut dan nampak gentar, lalu dengan sikap hormat mereka mundur.
Bentakan itu amat berwibawa dan menggeledek, mengejutkan Bun Houw karena
55 pemilik suara seperti itu tentulah seorang yang besar pengaruhnya dan sudah biasa ditaati. Dia cepat menoleh ke kiri dan sinar matanya mengandung keheranan ketika melihat munculnya dua orang. Seorang pria berusia lima puluh lima tahun, tinggi besar gagah sekali yang agaknya pemilik suara tadi, dan seorang membuat Bun
Houw tercengang yaitu pemuda yang tadi ditemuinya di dalam rumah makan.
Pemuda yang duduk semeja dengan dia!
Pemuda itu tersenyum kepadanya, senyum manis yang ramah dan pandang
matanya kagum. "Aih sejak pertama kali sudah kuduga bahwa engkau bukan
seorang pemuda biasa, sobat! Ternyata engkau hebat, pedangmu bergerak seperti
kilat saja! Engkau patut kalau kunamakan Si Pedang Kilat!"
Bun Houw diam-diam kagum dan terkejut. Ini tentu bukan pemuda sembarangan
pula. Dia sudah menyimpan kembali pedangnya, dan dari sinarnya saja pemuda itu
sudah dapat memberi nama yang amat tepat. Memang pedangnya adalah Lui-kong-
kiam (Pedang Kilat)! Akan tetapi Bun Houw mengerutkan alisnya. Pemuda yang
ramah dan tampan ini tentu ada hubungan dengan gerombolan perampok ini!
Tentu tadi hanya berpura-pura saja menyerahkan uangnya di rumah makan.
"Akan tetapi aku merasa heran melihatmu, sobat," kata Bun Houw dengan sinar mata penuh selidik. "Engkau sendiri apa hubunganmu dengan gerombolan
perampok ini" Engkau tadi hanya berpura pura?"
Pemuda itu tersenyum, "Ha, apa bedanya denganmu, sobat" Engkau tadipun
berpura-pura, menyerahkan uangmu kepada mereka. Kiranya engkau membayangi
mereka dan menghajar mereka di sini. Akan tetapi sebelum kita bicara, aku ingin melihat kemampuanmu lebih jauh. Paman Pouw, coba kau tandingi Si Pedang Kilat
ini!" "Baik, kongcu (tuan muda)," kata pria tua gagah perkasa itu dengan sikap yang menghormat sekali. Kemudian, dia melangkah maju berhadapan dengan Bun Houw.
"Orang muda, kita bukan musuh. Kami menghargai orang-orang gagah, dan
mentaati perintah kongcu, aku ingin mengenal ilmu silatmu. Nah, bersiaplah!"
Bun Houw senang dengan sikap yang tegas dan jujur dari orang gagah ini. Diapun
ingin tahu sampai di mana kepandaiannya, dan pemuda aneh yang begitu ditaati
dan disebut tuan muda itu telah mengatakan bahwa nanti saja mereka bicara
setelah mengenal kepandandaiannya. Baik, dia akan memperlihatkan
kepandaiannya. "Silakan, aku sudah siap," katanya. Ketika dia melihat betapa orang gagah itu memasang kuda-kuda dengan gaya aliran Siauw-lim-pai, Bun Houw
semakin penasaran, Bilamana ada murid siauw-lim-pai yang menjadi pimpinan
perampok" Ayah kandungnya sendiri, mendiang Kwa Tin, dikenal sebagai seorang
pendekar Siauw-lim-pai dan dia sendiripun sejak kecil dilatih ayahnya dengan ilmu silat aliran Siauw-lim-pai. Karena penasaran, maka diapun sengaja memasang kuda-kuda Siauw-lim-pai untuk mengimbangi lawan.
56 Melihat pemuda itu memasang kuda-kuda Siauw-lim-pai, orang gagah itu
mengeluarkan suara tertahan dan pandang matanya terbelalak, "Murid Siauw lim pai?" tanyanya heran.
"Murid Siauw-lim-pai aseli karena selalu menentang kejahatan!" kata Bun Houw menyindir.
"Ah, engkau belum mengerti. Mari kita mengadu kepandaian dulu baru nanti
engkau bicara dengan Kongcu." kata orang itu. "Lihat serangan!" dan diapun mulai menyerap dengan ilmu silat Siauw-lim-pai yang amat kuat. Melihat gerakannya,
tahulah Bun Houw bahwa lawannya menggunakan ilmu Lo-han kun (Silat Kakek
Gagah), satu di antara l mu-ilmu Siauw-lim-pai. Diapun pernah mempelajari ilmu ini, maka diapun mempergunakannya untuk melawan. Karena keduanya menggunakan
ilmu yang sama, maka mereka kelihatan seperti dua orang murid Siauw-lim-pai yang sedang melatih Lo-han-kun!
"Akan tetapi, Bun Houw segera menyadari bahwa dalam hal ilmu silat Siauw-lim-
pai, dia masih kalah jauh dibandingkan lawan. Bahkan mungkin ayahnya sendiri
tidak akan mampu menandingi tingkat lawan ini! Kalau dia bertahan dengan jurus-
jurus Lo-han-kun, dia tentu akan kalah, maka diapun mengubah gerakannya dan kini dia memainkan ilmu it-sin-ci (Satu Jari Sakti), ilmu yaitu ilmu silat yang
menggunakan totokan satu jari untuk menyerang, ilmu yang dipelajarinya dari
Tiauw Sun Ong! "Plak-plakkk" Dua kali totokannya ditangkis lawan, akan tetapi karena Bun Houw menggunakan tenaga Im-yang Bu-tek Cin-keng, orang gagah itu tak dapat menahan
dirinya dan terhuyung ke belakang.
"Ahhh, bukankah itu it-sin-ci ...?" Orang itu berseru kaget dan Bun Houw semakin kagum. Lawannya ini benar-benar bermata tajam, dapat mengenal ilmu yang
dipelajarinya dari gurunya. Diapun ingin memperlihatkan kepandaiannya, maklum
bahwa lawan memang lihai sekali sehingga tadi mampu mengimbangi it-sin-ci,
walaupun agak terhuyung.
"Coba lihat yang ini, apakah engkau juga mengenalnya?" Dan kini Bun Houw


Pedang Kilat Membasmi Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memainkan jurus-jurus rahasia dan aneh dari Im-yang Bu-tek Cin-keng. Lawannya
mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaian untuk melawan ilmu aneh itu.
Mereka nampak saling pukul, saling elak dan tangkis, akan tetapi belum sampai
sepuluh jurus, orang tua yang gagah perkasa itu terdorong ke belakang, mencoba
untuk menahan diri, akan tetapi tetap saja dia terpelanting roboh! Dia cepat
meloncat bangun dengan muka merah dan mata terbelalak.
"Bukan main! Ilmu apakah itu tadi" Tenagamu amat dahsyat! Belum pernah selama hidupku melihat tenaga yang sedemikian dahsyatnya! Engkau hebat, orang muda,
aku mengaku kalah."
57 Terdengar tepuk tangan. Pemuda itu yang bertepuk tangan, wajahnya berseri dan
senyumnya cerah, dia nampak girang sekali. "Sobat, engkau memang hebat, jauh di luar persangkaanku semula. Engkau dapat mengalahkan Paman Pouw. Bukan main!
Mari, sobat, mari kita bicara, jangan di sini, tidak leluasa. Mari ikut ke tempat kami."
Bun Houw memang ingin sekali mengetahui siapa pemuda itu dan mengapa
mempunyai anak buah yang melakukan perampokan di rumah makan itu, dan siapa
pula ahli silat Siauw-lim-pai yang tangguh itu. Maka, diapun mengangguk dan tidak menolak ketika seorang anak buah, atas isarat pemuda itu, menuntun tiga ekor
kuda untuk mereka bertiga. Bun Houw segera meloncat ke punggung kuda dan
mengikuti pemuda itu dan orang she Pouw yang baru saja mengadu kepandaian
dengannya. Dua puluh orang anak buah itu ternyata mengikuti mereka.
Setelah memasuki hutan dan mendaki sebuah bukit kecil, akhirnya mereka bertiga
tiba di pekarangan sebuah rumah terpencil. Rumah itu sederhana saja bentuknya,
akan tetapi cukup besar dan pekarangannya juga luas. Nampak beberapa orang laki-laki berpakaian pelayan menyambut tiga orang itu. Mereka memberi hormat
kepada pemuda itu dan menuntun tiga ekor kuda.
"Ini rumah kami. mari silakan masuk, sobat dan kita bicara."
Bun Houw mengikuti pemuda itu dan si tinggi besar she Pouw itu mengikuti di
belakangnya. Mereka memasuki rumah dan setelah masuk, baru Bun Houw
mendapat kenyataan bahwa rumah yang dari luar nampak bercahaya itu, di sebelah
dalamnya penuh dengan perabot yang mewah sekali! Dan begitu memasuki
ruangan depan, nampak lima orang wanita muda yang usianya antara delapan belas
sampai dua puluh tahun, kelimanya cantik jelita dan manis, keluar menyongsong
pemuda itu dengan sikap mereka yang manja namun penuh hormat. Akan tetapi,
kegembiraan mereka itu berubah menjadi sikap yang alim dan pendiam ketika
mereka melihat bahwa pemuda itu datang bersama seorang pemuda lain yang asing
bagi mereka. Pemuda itu tersenyum dan memberi isarat-kepada mereka berlima
untuk masuk ke dalam dan memesan agar dipersiapkan hidangan makan siang
untuk dia dan tamunya. Sambil tersenyum dan memberi hormat ke arah Bun Houw
dengan malu-malu, lima orang itu berlari memasuki rumah bagian dalam, dan
pemuda itu mempersilakan Bun Houw untuk masuk ke dalam ruangan tamu yang
berada di bagian kiri.
Mereka bertiga duduk di ruangan tamu yang luas dan selain kursi-kursinya indah
dan enak diduduki, juga ruangan itu bersih dan dindingnya digantungi tulisan-
tulisan dengan huruf indah dan beberapa buah lukisan alam. Jendela-jendelanya
terbuka ke taman sehingga hawa di dalam ruangan itu sejuk dan nyaman sekali.
"Nah, sekarang kita berkenalan, sobat. Namaku Siauw Tek, dan ini adalah Paman Pouw, pembantuku yang setia, juga pelindungku yang gagah perkasa. Seperti yang
telah dikatakannya tadi, kami suka sekali berkenalan dan bersahabat dengan orang-58
orang gagah di dunia, maka pertemuan kami denganmu merupakan kebahagiaan
besar bagi kami. Siapakah namamu dari mana dan dari aliran mana, juga apa
kedudukanmu?"
"Namaku Kwa Bun Houw, berasal dari Nan-ping. Aku hidup sebatang kara. yatim piatu, tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap, juga bukan dari aliran manapun dan tidak mempunyai kedudukan apapun. "
Pemuda yang bernama Siauw Tek itu kelihaian semakin gembira mendengar
keterangan singkat Bun Houw, terutama sekali karena Bun Houw tidak mempunyai
kedudukan dan tidak terikat aliran apapun. Akan tetapi orang yang nama
lengkapnya Pouw Cin itu, memandang penuh selidik dan bertanya, "Maaf, Kwa-
enghiong (orang gagah Kwa). melihat dasar gerakan silatmu, tidak salah tapi bahwa engkau setidaknya pernah mempelajari ilmu silat Siauw-lim-pai. Bukankah engkau
murid Siauw-lim-pai?"
Bun Houw menggelengkan kepalanya, "Mendiang ayahku adalah murid Siauw-lim-
pai, dan ketika masih kecil aku pernah mempelajari ilmu silat aliran itu dari
mendiang ayahku. Akan tetapi aku bukan murid langsung dari Siauw-li m-pai."
"Kalau boleh aku mengetahui, siapakah nama mendiang ayahmu, murid Siauw-lim-pai yang tinggal di Nan-ping itu?" Pouw Cin mendesak.
"Mendiang ayahku bernama Kwa Tin."
Pouw Cin terbelalak girang. "Ah, kiranya dia! Aku mengenalnya dengan baik, bahkan kami masih terhitung saudara sekeluarga, sealiran. Dia seorang pedagang kita yang berhasil dan gagah perkasa, seorang pendekar sejati. Akan tetapi ... aku tidak tahu bahwa dia sudah meninggal. Kalau tak salah, ... usianya sebaya denganku, belum
tua benar."
"Ayah dan ibu tewas oleh gerombolan penjahat yang menbalas dendam kepada
ayah." kata Bun Houw singkat. "Karena itu. aku selalu menentang para penjahat dan perampok." Setelah berkata demikian, dia menatap wajah Siauw Tek dengan
pandang mata tajam.
"Ha ha, sekali lagi kuyakinkan padamu bahwa kami bukanlah penjahat dan
perampok. Engkau tadi sudah mendengar bahwa Paman Pouw adalah murid Siauw-
lim-pai. saudara seperguruan mendiang ayahmu. Apakah orang seperti dia ini
pantas menjadi perampok, dan apakah aku pantas pula menjadi kepala perampok?"
"Akan tetapi di rumah makan tadi ... "
"Memang kami sengaja. Kwa-toako (kakak Kwa)!" kata Siauw Tek. "Sebaiknya aku menyebutmu toako saja, lebih akrab. Kuulangi, kami memang sengaja membiarkan
anak buah kami melakukan perampokan secara menyolok."
59 "Aneh sekali! Bukan perampok akan tetapi membiarkan anak buah perampok,
Hemm ... Kongcu, harap jangan mempermainkan aku!" kata Bun Houw tak senang, dan mengingat betapa semua orang menyebut pemuda itu kong-cu, diapun ikut-ikutan. Dia masih merasa yakin bahwa pemuda ini bukan orang biasa. "Melakukan perampokan akan tetapi bukan perampok, lalu apa?"
"Kami adalah pejuang!"
"Ehh" Pejuang" Berjuang untuk apa?"
"Untuk mengusir pemberontak dan pengkhianat!" kata pula Siauw Tek sambil
mengepal tinju dan tiba-tiba saja sikapnya penuh semangat, pandang matanya
berapi-api dan mukanya kemerahan.
"Ehh" Aku ... aku sungguh tidak mengerti apa maksudnya semua ini, Kongcu. Lalu apa hubungannya perjuangan dengan perampokan" Siapa pula pemberontak dan
pengkhianat itu?"
Siauw Tek menghela napas panjang. "Sungguh sayang, betapa sedikit para pendekar yang gagah memperdulikan urusan negara! Kwa-toako, kami sengaja menyuruh
anak buah kami melakukan perampokan di kota-kota, di tempat umum, pertama
untuk menarik perhatian para pendekar dan orang gagah agar dapat berhadapan
dengan kami seperti halnya engkau sekarang ini. Dan ke dua perampokan
perampokan itu setidaknya akan menimbulkan kekacauan dan kesan buruk
mengenai keamanan terhadap pemerintah pemberontak."
"Pemerintah pemberontak?"
"Ya, bukankah kerajaan Chi sekarang ini merupakan pemberontak yang telah
mengkhianati dan menggulingkan kerajaan yang sah" Pemerintah yang sah adalah
kerajaan Liu-sung!"
Bun Houw yang tidak pernah memperhatikan urusan kenegaraan, semakin bingung.
"Akan tetapi ... yang pernah kudengar, kerajaan Liu-sung telah jatuh dan sekarang yang menjadi penguasa adalah kerajaan Chi, kalau tidak salah, hal ini telah terjadi beberapa tahun yang lalu ... eh, aku sendiri tidak tahu benar, hanya mendengar-dengar saja karena bertahun-tahun aku sibuk belajar ilmu. Kalau begitu, kalian ini adalah orang-orang yang. anti kerajaan Chi yang baru dan menentangr pemerintah, sengaja menimbulkan kekacauan?"
"Tentu saja! Kami ... "
Akan tetapi tiba-tiba Pouw Cin memotong kata-kata pemuda itu. "Kwa-enghiong,
harap jangan salah paham. Yang jelas, kami bukanlah penjahat, dan untuk memberi penjelasan, nanti setelah makan, aku akan. mengajakmu untuk melihat-lihat
keadaan kami. Kami sedang menyusun pasukan dan mengumpulkan orang-orang
60 gagah pembela kebenaran dan keadilan. Kalau sudah melihat keadaan kami, nanti
engkau tentu akan mengerti."
"Ha-ha, benar sekali ucapan Paman Pouw! Kalau dijelaskan perlahan-lahan dan mengenal keadaan kami, dapat saja engkau menjadi salah paham dan mengira kami
gerombolan penjahat. Nah, sekarang kupersilakan engkau untuk makan siang
bersama kami, toako. Kita sudah saling berkenalan dan bersahabat, harap engkau
tidak merasa sungkan lagi. Paman Pouw, coba kaulihat apakah sudah siap makan
siang di dalam."
Pouw Cin keluar dan dua orang gadis pelayan cantik memasuki ruangan tamu itu,
membawa suguhan anggur dan teh. Dengan sikap gembira Siauw Tek lalu
menyuguhkan anggur kepada Bun Houw dan ketika meminum anggur itu, diam-
diam Bun Houw kagum. Anggur yang lezat bukan main, manis, sedap dan halus
sekali. Tak lama kemudian Pouw Cin masuk dan memberi tahu bahwa makan siang
telah siap. Biarpun merasa sungkan, Bun Houw tidak menolak. Dia merasa semakin tertarik
dan ingin sekali mengenal tuan rumah lebih dekat. Banyak rahasia menyelubungi
tuan rumah dan dia tentu selamanya akan merasa menyesal dan penasaran kalau
tidak dapat mengetahui dengan benar siapa sebenarnya Siauw Tek ini dan apa
maunya. Ruangan makan itu lebih mewah daripada ruangan tamu. Meja yang terukir indah
penuh dengan hidangan yang masih mengepulkan uap yang sedap. Kursi-kursinya
juga berukir dan Siauw Tek duduk di kepala meja. Pouw Cin duduk di sebelah
kanannya, dan Bun Houw dipersilakan duduk di sebelah kirinya. Lima orang wanita muda yang cantik jelita dan yang tadi menyambut kedatangan mereka, juga berada
di situ dengan sikap yang genit dan ramah, penuh senyum manis dan kerling
memikat. Mereka berlima inilah yang melayani Siauw Tek makan minum, dan atas
isarat Siauw Tek dua orang di antara mereka kini melayani Bun Houw, menuangkan
arak, mengambilkan dan menambahkan lauk pada mangkok Bun Houw, Pouw Cin
tidak dilayani mereka, dan hal ini membuat Bun Houw merasa sungkan bukan main!
Hidangan itu sungguh merupakan hidangan mewah yang lezat, yang belum pernah
dimakan oleh Bun Houw, tentu amat mahal harganya. Seperti makanan yang
dihidangkan kepada raja-raja. Tiba-tiba Bun Houw tertegun dan jantungnya
berdebar. Apa hubungan Siauw Tek ini dengan raja" Dengan kaisar " Seorang
pangerankah dia" Ah, sekarang dia dapat menduga. Siauw Tek tentulah seorang
pangeran atau setidaknya seorang bangsawan tinggi dari kerajaan Liu-sung yang
telah jatuh dan dia bercita-cita untuk merampas kembali tahta kerajaan dari
pemerintah atau kerajaan Chi yang baru. Dan Pouw Cin tentu juga seorang yang
setia kepada kerajaan Liu-sung yang telah jatuh.
61 Selagi mereka makan minum, tiba-tiba terdengar suara merdu dan nyaring seorang-
wanita dari luar pintu ruangan itu. "Aihh sedapnya! Ada pesta apa sih" Kenapa koko (kakanda) tidak memberi tahu apa-apa" Kenapa aku ditinggal, tidak diajak ikut
pesta" Tidak lucu, ah!" Dan muncul ah orangnya di ambang pintu.
Bun Houw yang duduknya tepat menghadap pintu itu, memandang dan terpesona.
Gadis itu bukan main! Lima orang wanita yang melayani mereka makan juga cantik
jelita, akan tetapi dibandingkan dengan gadis yang kini berdiri di ambang pintu, sungguh nampak sekali perbedaannya. Kalau lima orang wanita itu hanya cantik dan lembut, namun gadis yang kini berdiri di depan pintu itu masih amat muda, dan
memiliki kesegaran yang tidak dimiliki wanita lain. Begitu segar, bebas dan gagah perkasa! Pakaiannya ringkas, serba hitam, tidak mewah namun serasi dengan
bentuk tubuhnya yang ramping padat. Wajahnya manis sekali, dengan rambut
digelung ke atas, di kat saputangan kuning dan agak awut-awutan. mungkin baru
pulang dari perjalanan sehingga pakaian itu agak berdebu dan rambut itu diusik
angin. Tangan kirinya masih memegang sebatang cambuk kuda dari kulit, dan
sikapnya begitu anggun, begitu gagah berwibawa, bahkan sedikit angkuh. Ia tidak pemalu seperti gadis lain, bahkan pandang matanya langsung menatap wajah Bun
Houw dan pemuda inilah yang akhirnya menundukkan pandang matanya, seolah
silau oleh sinar mata yang mencorong itu, atau setidaknya khawatir kalau disangka tidak tahu susila.
Sepasang alis Siauw Tek berkerut ketika dia melihat gadis itu, akan tetapi dia
tersenyum. "Aha, kebetulan engkau pulang, siauw-moi! Pesta ini diadakan secara mendadak, jadi tidak keburu memberitahu engkau yang sejak pagi sudah pergi.
Hayo, ikutlah makan dan kenalkan, tamu kehormatan kita ini adalah seorang
pendekar yang memiliki ilmu silat hebat sekali. Namanya Kwa Bun Houw dan
kujuluki dia Si Pedang Kilat!" Siauw Tek bangkit dan menarik tangan adiknya yang sudah mendekat, lalu memperkenalkannya kepada Bun Houw, "Kwa-toako, ini
adalah adikku yang bengal dan manja, namanya Kiok Lan."
Bun Houw cepat bangkit dan memberi hormat kepada gadis yang lincah itu dengan
mengangkat kedua tangan depan dada. Akan tetapi, gadis itu agaknya tidak perduli akan segala upacara perkenalan itu, lalu bertanya kepada Pouw Cin, "Paman Pouw, benarkah, kepandaiannya hebat" Bagaimana kalau dibanding dengan kepandaian
paman?" Wajah Pouw Cin berubah kemerahan dam hampir saja dia tersedak. Dia minum
araknya, lalu menjawab, "Kepandaian Kwa-enghiong jauh lebih tinggi dari pada ilmu silat saya. Siocia (nona)."
"Aih, kalau begitu hebat! Aku harus belajar silat darimu, Kwa-enghiong!" seru gadis itu dan tanpa banyak ribut lagi iapun mengambil tempat duduk di sebelah Bun
Houw. 62 Pemuda ini merasa seperti ada bunga mawar setaman mendekatinya, membuat
jantungnya berdebar. Padahal, ketika dua orang pelayan cantik tadi melayaninya, demikian dekat bahkan disengaja atau tidak beberapa kali ujung lengan baju
mereka menyentuhnya, dia sama sekali tidak merasa apa-apa, bahkan merasa tidak
enak sekali. Ketika seorang pelayan menghampirinya untuk menuangkan arak, Kiok Lan menolak
halus dan berkata, ditujukan kepada Siauw Tek. "Koko, kurasa Kwa-enghiong dan Paman Pouw tidak perlu dilayani, dapat menuangkan arak dan mengambil lauk
sendiri. Kenapa harus dilayani" Sebaiknya koko tidak menyusahkan kelima enci ini.
Harap enci sekalian kembali saja ke dalam. Bukankah begitu. Kwa-enghiong dan
kau, Paman Pouw?"
Lima orang wanita cantik itu saling pandang dan agak tersipu, akan tetapi Siauw Tek tertawa. "Ha-ha-ha, engkau selalu jujur dan kasar, siauw-moi. Baiklah, kalian mengasolah. Nanti saja kalau sudah selesai perintahkan para pelayan
membersihkan meja."
Lima orang wanita cantik itu lalu berlari kecil meninggalkan ruangan makan itu.
"Nah, begini lebih leluasa, bukan" Kita dapat bicarakan apa saja, tentu saja kalau Kwa-enghiong ini telah menjadi sahabat yang dapat dipercaya."
Tanpa sungkan lagi Kiok Lan mengambil masakan dengan sumpitnya, dan mulai
makan. Sungguh jauh bedanya dalam hal sopan santun antara gadis ini dan
kakaknya. Siauw Tek makan dengan sikap yang amat hati-hati dan selalu menjaga
kesopananya cara makan seorang bangsawan tinggi yang tidak mau tercela
sedikitpun. Sebaliknya, gadis itu makan seperti seorang gadis kang-ouw, makan
dengan enaknya tanpa rikuh. Juga ia menuangkan dan minum arak bagaikan minum
air saja! "Apakah engkau membawa kabar penting siauw-moi" Kalau urusan negara,
sebaiknya dibicarakan nanti saja denganku. Kalau urusan pribadi, boleh saja
dibicarakan sekarang."
"Tidak ada urusan negara. itu kan urusanmu, koko. Dengar baik-baik, bukan hanya engkau yang menemukan Kwa-enghiong ini sebagai seorang pendekar sakti.
Akupun membawa seorang tamu, seorang pendekar sakti yang berilmu tinggi,
koko!" "Ehh" Siapa dia" Bagaimana engkau bertemu dengan dia dan di mana dia
sekarang?" Siauw Tek yang agaknya amat penuh perhatian itu bertanya dan jelaslah bahwa pemuda ini memang ingin sekali berkenalan dengan orang-orang yang
memiliki ilmu kepandaian tinggi.
"Nanti dulu, koko. Biar dia menanti di ruangan tamu. Aku sudah menyuruh pelayan menghidangkan minuman. Pertemuanku dengan dia menegangkan, koko. Aku
63 dihadang orang-orang jembel menjemukan itu. Akan tetapi ilmu silat para
pimpinannya lihai dan aku hampir celaka. Untung tiba-tiba muncul pendekar yang
hebat ini sehingga aku tertolong."
Siauw Tek tertarik sekali. "Siauw-moi. ceritakanlah yang jelas. Apa yang telah terjadi" Jangan sepotong-sepotong membuat kami jadi penasaran sekali." tegur kakaknya.
Gadis itu tertawa, nampaknya puas sekali dapat membuat para pendengarnya
tertarik. Kemudian, tanpa menghentikan makan, sambil makan ia bercerita tentang apa yang baru saja dialaminya pagi hari itu.
Gadis itu memang merupakan adik kandung seayah berlainan ibu dengan Siauw
Tek. Sejak kecil, Kiok Lan memang memiliki watak yang lincah jenaka dan
pemberani, apalagi karena sejak kecil ia suka berlatih silat sehingga kini, dalam usia tujuh belas tahun, ia telah menjadi seorang gadis yang lihai. Banyak sekali gurunya, yaitu para jagoan istana kerajaan Liu-sung yang telah jatuh. Dan, yang terakhir, Pouw Cin yang lihai juga melatihnya sehingga ia menjadi semakin lihai.
Pagi hari itu, ia berpamit kepada kakaknya untuk pergi berburu ke hutan di Bukit Hijau yang dihuni banyak binatang buruan. Siauw Tek yang mengetahui
keberandalan adiknya, tidak dapat melarang, akan tetapi dia percaya penuh akan
kelihaian adiknya sehingga berkeliaran seorang diripun takkan ada yang mampu
mengganggunya. Adiknya itu tidak akan dapat dikalahkan oleh sepuluh orang pria
kasar dan kuat sekalipun!
Dengan bersenjatakan busur kecil dan banyak anak panah, Kiok Lan memasuki
hutan di lereng Bukit Hijau. Akan tetapi di tepi hutan itu, ia bertemu dengan tiga orang pengemis yang menghadang perjalanannya. Mereka memandang kepadanya
dan ketiganya menyodorkan tangan kanan minta sedekah.
"Nona. tolonglah kami orang-orang miskin dan kelaparan!" kata mereka senada.
Kiok Lan berhenti melangkah dan berdiri di depan mereka, memandang penuh
perhatian. Alisnya berkerut dan mulutnya senyum mengejek. Hatinya merasa tak
senang sekali. Tiga orang itu adalah laki-laki bertubuh cukup sehat dan kuat, usia mereka antara tiga puluh-sampai empat puluh tahun. "lhhh, apakah kalian ini tidak malu" Tiga orang laki-laki sehat dan kuat, belum kakek-kakek lagi, menjadi
pengemis yang minta-minta" Orang-orang macam kalian ini hanya membikin malu
bangsa saja dan tidak layak hidup! Pergilah, aku tidak sudi memberi apapun kepada kalian!"
Berubah sikap tiga orang laki-laki itu. Kalau tadi mereka memasang wajah
menyedihkan, dengan suara yang mohon belas kasihan, kini mereka melotot
dengan muka berubah kemerahan. Mereka memandang ke kanan kiri, dan
kesunyian tempat itu agaknya menambah semangat dan keberanian mereka. Yang
64 termuda di antara mereka, matanya sipit hampir terpejam dan hidungnya pesek,
melangkah maju dan tersenyum mengejek.
"Nona manis, kalau engkau tidak mempunyai uang untuk diberikan kepada kami, berikan saja apa yang kaumiliki. Kecantikanmu, heh-heh-heh, cukup untuk kami
bertiga. Bukankah begitu, heh-heh, kawan-kawan?"
"Benar sekali!" kata dua orang kawannya.
Sepasang mata yang indah itu terbelalak, dan muka itu berubah kemerahan.
"Memang kalian tidak patut hidup! Jahanam busuk kalian, anjing kotor!"
"Ha-ha-ha, ia cantik dan galak pula!" kata si mata sipit dan diapun sudah menerjang ke depan untuk meringkus dan memeluk gadis yang dianggapnya amat
menggairahkannya itu.
Kiok Lan menyambutnya dengan sebuah tendangan yang ditujukan ke arah
perutnya. Orang itu mengenal gerakan silat yang dahsyat, dan agaknya si mata sipit juga ahli silat. maka dia cepat menangkis dengan kedua tangannya yang disabetkan ke bawah, tidak jadi merangkul.
"Dukkk!!" dan akibat tangkisan ini, si mata sipit terjengkang dan terbanting sampai tiga meter jauhnya!
Dua orang temannya menjadi terkejut dan marah. Tahulah mereka mengapa gadis
itu berani bersikap kasar dan menghina mereka. Kiranya seorang gadis kang-ouw
yang pandai silat! Mereka segera mencabut tongkat besi yang terselip di pinggang, lalu menyerang, sekali ini bukan untuk berbuat mesum, melainkan untuk melukai
gadis yang dianggap lawan berbahaya itu, Juga yang terjengkang tadi, setelah
mengerang sebentar lalu bangkit, mencabut tongkat besinya dan tiga orang itu kini mengeroyok Kiok Lan! Akan tetapi, segera mereka mendapatkan kenyataan pahit.
Mereka telah bertemu batu keras! Biarpun hanya bersenjatakan busurnya, Kiok Lan mampu menghajar tiga orang itu sampai babak belur dan akhirnya mereka bertiga
lari tunggang-langgang dengan kepala benjol dan luka-luka kecil yang merobek baju dan kulit.
"Huh, belum bertemu binatang buruan, Bertemu tiga orang yang lebih jahat dari pada binatang!" kata Kiok Lan sambil tersenyum mengejek. Karena mereka
merupakan lawan yang lunak saja baginya, Kiok Lan sudah melupakan peristiwa itu dan memasuki hutan. Dalam waktu kurang dari satu jam, ia telah berhasil memanah roboh seekor kijang muda yang gemuk.
"Heh-heh, koko tentu akan senang sekali. Dia paling suka makan daging paha kijang dipanggang!" katanya seorang diri sambil berlari menghampiri kijang yang roboh itu.
65 Akan tetapi, ia tiba di bawah pohon dekat semak belukar itu, ia mengerutkan
alisnya. Kijang itu telah dipanggul seorang yang dikenalnya sebagai si mata sipit tadi, yang tertawa-tawa membawa pergi bangkai kijang itu.
"Hei, berhenti, kau anjing busuk! Kembalikan kijangku!" teriak Kiok Lan dan ia bergerak hendak mengejar. Akan tetapi tiba-tiba ada angin menyambar dari
samping. Suara senjata berdesing membuat ia terkejut dan cepat melompat untuk
mengelak. Kiranya yang menyerangnya adalah seorang laki-laki berusia lima


Pedang Kilat Membasmi Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

puluhan tahun yang memegang sebatang tongkat besi pula. Dan kakek inipun
berpakaian pengemis. Selain dia, di situ masih terdapat empat orang pengemis
setengah tua lain lagi dan mereka semua memandang kepadanya dengan sikap
marah. "Hei ! Kalian ini lima orang pengemis tua, mengapa tiba-tiba saja menyerangku"
Aku hendak mengejar pencuri kijangku itu!" bentak Kiok Lan marah.
"Hemm, engkau seorang gadis yang masih, muda sekali, masih remaja akan tetapi sudah memiliki watak yang keras dan kejam. Engkau telah mengandalkan
kepandaianmu untuk menghina dan memukuli tiga orang murid kami! Kalau engkau
tidak mempunyai apa-apa untuk memberi sedekah kepada mereka sudah saja
jangan beri apa-apa. Kenapa engkau tidak mau memberi malah menghina mereka,
kemudian memukuli mereka?"
Baru sekarang Kiok Lan tahu bahwa ia berhadapan dengan lima orang jembel-
jembel jagoan yang menjadi guru dari para pengemis, kurang ajar tadi dan
timbul ah kemarahannya.
"Aha, kiranya kalian adalah guru-guru para pengemis busuk yang kurang ajar tadi.
Bagus, bagus! Kalau murid-muridnya jahat guru-gurunya tentu lebih jahat lagi!
Kalian telah mengajarkan orang-orang yang masih sehat dan kuat untuk mengemis,
bahkan untuk bersikap kurang ajar. Kalau kalian mengajar orang-orang untuk
mengemis, tentu kalian sendiri juga pengemis-pengemis besar!"
"Hemm, engkau memiliki mata akan tetapi seperti buta. Kami adalah Ngo-liong Sin-kai (Pengemis Sakti Lima Naga), tentu saja pekerjaan kami mengemis. Para murid
kami tadi juga adalah anggauta-anggauta Tiat-tung Kai-pang (Perkumpulan
Pengemis Tongkat Besi). Engkau berani mati hendak menentang Tiat-tung Kai-
pang?" "Orang masih sehat dan kuat mengemis, akhirnya tentu menjadi perampok. Kalau tidak diberi sedekah, tentu akan mengandalkan kekuatannya untuk memaksa.
Kalian ini orang-orang jahat, pergilah sebelum kuhajar seperti tiga orang pengemis busuk tadi!"
"Bocah ingusan sombong! Makan tongkatku!" bentak pengemis setengah tua yang bertubuh kecil kurus itu. Biarpun dia nampak kecil kurus, akan tetapi ketika tongkat 66
besinya menyambar, terdengar angin pukulan dahsyat sehingga Kiok Lan harus
cepat melompat ke belakang untuk menghindarkan diri. Ia tahu bahwa lawannya ini lihai, akan tetapi Kiok Lan adalah seorang gadis yang tak pernah mengenal takut.
Bahkan ia marah sekali dan begitu pukulan tongkat lawan itu luput, iapun langsung membalas dengan serangan pedangnya. Ia telah mencabut pedangnya. Dengan
pedang di tangan kanan dan busur di tangan kiri, gadis itu bukan hanya membalas dengan serangan satu kali, melainkan secara bertubi-tubi dan iapun mendesak
lawan dengan penuh kemarahan. Akan tetapi pada saat itu, empat-arang pengemis
lainnya sudah menerjang dengan tongkat mereka dan ternyata setelah mereka
maju berlima, gerakan tongkat mereka menjadi lain. Mereka bergerak bagaikan
barisan tongkat saling tunjang dan saling melindungi sehingga dikeroyok barisan tongkat ini, Kiok Lan menjadi bingung dan terdesak. Sebetulnya, tingkat kepandaian lima orang itu, kalau maju seorang demi seorang, masih belum mampu menandingi
Kiok Lan. Akan tetapi begitu maju bersama, apalagi mereka memiliki ilmu barisan tongkat yang amat lihai, Kiok Lan menjadi kewalahan dan nyawanya terancam
bahaya maut. Ia kini hanya, mampu memutar pedang dan gendewanya untuk
melindungi diri, namun kalau hal seperti itu dilanjutkan, akhirnya ia tentu akan terpukul roboh.
Pada saat keadaan Kiok Lan amat gawat itu, tiba-tiba terdengar suara suling
melengking yang semakin lama semakin dekat. Dan tiba-tiba saja, terdengar
bentakan setelah suara suling berhenti.
"Lima orang laki-laki mengeroyok seorang, gadis remaja! Sungguh tak tahu malu!"
Lima orang pengemis itu melihat munculnya seorang pemuda yang berusia dua
puluh lima tahun, bertubuh sedang dan gerak-geriknya halus dengan pakaian
sasterawan yang indah dan mewah, seorang pemuda tampan pesolek yang
memegang sebatang suling yang panjangnya seperti pedang, dan suling itu
berkilauan putih seperti terbuat dari perak.
"Nona, mundurlah, biar aku yang menghajar orang-orang kotor itu!" kata si pemuda.
Kiok Lan yang sudah kewalahan dan napasnya terengah-engah, menggunakan
kesempatan selagi lima orang itu memandang si pemuda, melompat ke belakang
dan iapun berdiri memandang dengan kagum. Sikap pemuda itu yang
mengagumkan hatinya, begitu tenang begitu penuh kepercayaan kepada diri sendiri dan berani memandang rendah lima orang jagoan pengemis yang lihai itu.
"Keparat, jangan mencampuri urusan Tiat-tung Kai-pang!" bentak seorang pengemis, dan empat orang kawannya sudah bergerak mengepung pemuda yang
memegang suling itu. Melihat ini, diam-diam Kiok Lan merasa khawatir. Jangan-
jangan pemuda ini akan menjadi korban, pikirnya, ia merasa tidak enak. Pemuda ini hendak menolongnya, akan tetapi ia meragukan apakah pemuda yang tampan halus
67 ini akan mampu mengalahkan Ngo-liong Sin-kai yang demikian lihai. Akan tetapi,
kalau ia turun tangan membantu, ia merasa tidak enak pula kepada penolongnya,
seolah ia memandang rendah. Biarlah, pikirnya, ia akan melihat perkembangannya
dan kalau penolongnya itu terdesak dan terancam, baru ia akan turun tangan
membantunya. Kini lima orang pengepung itu mulai menggerakkan tongkat besi mereka,
mengeroyok dan menyerang secara bertubi, Pemuda itu masih nampak tenang saja,
dan tiba-tiba nampak gulungan sinar perak berkilauan ketika dia menggerakkan
sulingnya. Lenyaplah tubuh pemuda itu terbungkus gulungan sinar senjatanya dan
terdengar bunyi berdencingan ketika lima batang tongkat besi itu disambar sinar suling, disusul serangan aneh yang membuat lima orang pengeroyok itu berturut-turut terjengkang ke belakang! Kiok Lan sampai terbelalak saking heran dan
kagumnya. Ternyata pemuda itu seorang pendekar sakti yang amat hebat ilmu
kepandaiannya! Ketika lima orang tokoh pengemis itu merangkak bangun, seorang di antara mereka berseru cemas, "Tok-siauw-kwi (Setan Suling Beracun)!"
Pemuda itu tersenyum mengejek, "Untuk membuktikan bahwa dugaan kalian itu
benar, dalam waktu setengah hari, kalian akan mati keracunan."
Lima orang itu terkejut dan memeriksa tubuh masing-masing! Ada yang tadi terkena pukulan suling pada lengannya dan di situ nampak noda menghitam sebesar ibu jari tangan, kalau disentuh nyeri bukan main dan terasa panas di bagian dalamnya.
Demikian pula dengan yang lain. Di bagian yang tadi terpukul ujung suling, terdapat tanda menghitam itu. Keracunan! Tanpa mengenal malu lagi, mereka lalu melempar
tongkat besi dan menjatuhkan diri berlutut, berjajar menghadap pemuda itu.
"Kongcu, kami mohon kongcu sudi mengampuni nyawa kami ... " mereka meratap ketakutan.
Pemuda itu bukan lain adalah Suma Hok yang berjuluk Tok-siauw-kwi. Setelah
menyanggupi syarat yang diajukan Bu-eng-kiam Ouwyang Sek ketika dia dan
ayahnya datang melamar Hui Hong, dia lalu pergi untuk mencari gadis yang
membuatnya tergila-gila itu. Juga dia akan menyelidiki tentang Akar Bunga Gurun Pasir yang menjadi satu di antara syarat yang diajukan Ouwyang Sek. Ketika dia
kebetulan lewat di tempat itu, dia melihat Kiok Lan yang dikeroyok lima orang tokoh kai-pang itu.
Melihat betapa lima orang itu berlutut dan meratap minta ampun, Suma Hok
tersenyum mengejek, "Yang kajian ganggu adalah nona ini, maka kepadanyalah kalian harus mohon ampun." Suma Hok adalah seorang mata keranjang yang selalu haus akan wanita cantik. Begitu melihat Kiok Lan dikeroyok tadi, yang mendorong dia turun tangan menolong dan menentang lima orang pengemis adalah karena dia
melihat betapa cantik manisnya gadis yang dikeroyok itu. Andaikata gadis itu
68 berwajah buruk, belum tentu dia akan suka membantu perkelahian yang tidak ada
sangkut-pautnya dengan dirinya.
Kini lima orang pengemis itu memberi hormat dan berlutut menghadap Kiok Lan.
"Nona, ampunkanlah kami ... ampunkanlah kami ... " mereka meratap.
Kiok Lan adalah seorang gadis yang lincah dan galak, juga keras, akan tetapi dara ini sama sekali tidak memiliki hati yang kejam. Memang lima orang ini bersalah karena membela murid-murid mereka yang kurang ajar terhadap dirinya. Akan tetapi
kesalahan itu tidaklah sedemikian besarnya sehingga mereka perlu dihukum mati!
Maka, iapun berkata kepada Suma Hok.
"Tai-hiap (pendekar besar), ampunilah mereka, tidak perlu dibunuh. Mereka tentu sudah bertaubat dan tidak akan berani sewenang-wenang lagi. Harap kau suka
memberi obat penawarnya."
Suma Hok tersenyum, lalu merogoh saku bajunya, mengambil lima butir pel dari
bungkusan. "Angkat muka kalian dan buka mulut kalian!" katanya kepada lima orang pimpinan pengemis itu.
Lima orang itu mentaati perintah ini dan lima kali Suma Hok menggerakkan tangan dan setiap orang menerima sebutir pel yang meluncur masuk ke dalam mulut.
Mereka menelan pil itu dengan hati merasa lega dan girang sekali. Suma Hok lalu menggerakkan kakinya, menendangi mereka berlima, tepat di tempat yang terluka
sambil berkata, "Sekarang, pergilah kalian!"
Lima orang itu terguling-guling, akan tetapi mereka merasa girang sekali karena tendangan itu agaknya merupakan cara pengobatan pula. Mereka menjura dengan
hormat ke arah Suma Hok, kemudian pergi melarikan diri dari tempat itu, di ringi suara tawa Suma Hok.
Dengan girang dan kagum sekali Kiok Lan kini berhadapan dengan Suma Hok.
Sejenak mereka saling pandang dan saling mengamati, kemudian Kiok Lan bertanya,
"Siapakah engkau yang begini lihai" Benarkah bahwa julukanmu adalah Tok-siauw-kwi?"
Suma Hok mengangguk dan tersenyum, "Saya yang bodoh bernama Suma Hok dan
memang orang di dunia kang-ouw memberi julukan Tok-siauw kwi kepadaku. Kalau
boleh aku mengetahui, siapakah nama nona yang mulia?"
Sikap dan ucapan Suma Hok amat manis dan merendah-Memang pemuda ini
terkenal sebagai seorang pemuda yang pandai merayu dan mengambil hati wanita
cantik, sikapnya lemah lembut.
Kiok Lan terbelalak kagum. "Aihh. kalau begitu, tentu engkau putera dari Kui-siauw Giam-ong Suma Koan, bukan?"
69 Diam-diam Suma Hok heran. Gadis ini mengenal nama besar ayahnya! Kalau begitu
bukan gadis semharangan pula. "Bagaimana engkau dapat menduga sedemikian
tepat, nona" Bolehkah aku mengetahui siapa namamu dan mengapa pula nona
berada di sini dikeroyok lima orang jembel busuk tadi?"
"Namaku Kiok Lan, dan kakakku pernah menerima ayahmu sebagai tamunya!
Pernah kakakku menceritakan hal itu kepadaku dan mengatakan bahwa ayahmu
adalah seorang di antara para datuk persilatan yang amat sakti. Siapa kira, hari ini aku bertemu dengan puteranya. Suma Taihiap, kalau begitu, marilah ikut denganku agar engkau dapat bertemu dengan kakakku. Dia tentu akan senang sekali bertemu
putera Suma lo-cian pwe (orang tua gagah Suma)! Marilah, taihiap!"
"Siapakah kakakmu itu, nona!"
Akan tetapi gadis itu sudah memegang tangannya dan menariknya pergi dari situ.
"Kuberitahu juga engkau tidak akan tahu. Namanya Siauw Tek. Nah, engkau tidak mengenal nama itu, bukan" Marilah. Kakakku adalah seorang yang suka sekali
berkenalan dengan orang pandai, dan dapat menghargainya. Mari kita menghadap
kakakku!" Suma Hok tersenyum dan timbul keinginan tahunya, siapa dan orang macam apa
adanya kakak dari gadis cantik jelita ini. Dia pun lalu mengikuti saja ketika gadis itu mengajaknya keluar dari dalam hutan dan mendaki sebuah bukit yang subur dan
kehijauan. Akhirnya, gadis itu mengajaknya ke sebuah rumah terpencil yang berada di lereng bukit itu. Rumah besar yang sederhana, akan tetapi ketika gadis itu
mengajaknya masuk ke dalam ruangan tamu, dia tercengang keheranan. perabot
ruangan itu seperti peabot ruangan rumah seorang bangsawan tinggi! Kiok lan
menyuruh dia menunggu di situ.
"Aku akan memberitahu kakakku. Akan tetapi mungkin sekarang dia sedang makan siang. Kau tunggulah di sini, taihiap, dan nikmatilah sekedar hidangan yarg, akan dikeluarkan pelayan nanti." Iapun memasuki rumah itu dan Suma Hok menjadi
semakin heran dan ingin tahu sekali. Dia menanti dengan sabar sambil minum
anggur sedap yang disuguhkan seorang pelayan.
Demikianlah. Kiok Lan menceritakan pengalamannya kepada Siauw Tek. Pouw Cin
dan Bun Houw juga ikut mendengarkan kisah yang diceritakan secara menarik sekali oleh gadis yang pandai bicara dan lincah itu. Di dalam hatinya Bun Houw tentu saja kaget bukan main mendengar nama Suma Hok, akan tetapi dia menahan
perasaannya dan tidak memperlihatkan perasaan hatinya pada wajahnya.
"Tok-siauw-kui Suma Hok?" kata Pouw Cin setelah mendengar penuturan Kiok Lan.
Ketika terjadi perebutan Akar Bunga Gurun Pasir dan saya memimpin rombongan
untuk merampasnya, saya melihat pula ayah dan putera Suma itu ikut pula
berlumba untuk mendapatkan mustika itu. Kongcu."
70 Siauw Tek mengangguk-angguk, "Akupun masih ingat kepada datuk besar Suma
Koan dan puteranya itu. Sekarang puteranya telah berada di sini, kalau dia dapat bekerja sama dengan kita, alangkah baiknya, Paman Pouw. Mari kita ke ruangan
tamu menyambutnya, dan sebaiknya engkau ikut pula, Kwa-toako. Ketahuilah
bahwa keluarga Suma merupakan keluarga datuk besar yang lihai sekali ilmunya."
"Koko, kalau Kwa-enghiong ini demikian hebat kepandaiannya dan merupakan ahli
silat yang dapat menandingi Paman Pouw, tentu akan menarik sekali kalau dia
bertemu dengan pendekar Suma Hok!"
Mendengar ini, Bun Houw tersenyum saja dan diapun merasa tegang hatinya
karena tidak dapat membayangkan bagaimana nanti sikap Suma Hok kalau
berhadapan muka dengan dia! Baru beberapa bulan yang lalu dia bertemu dengan
Suma Hok di rumah Bu-eng-kiam Ouwyang Sek. ketika mereka berdua mempunyai
maksud yang sama, yaitu meminang Hui Hong! Dalam pertemuan itu, dia bahkan
sempat bertanding dan mematahkan suling Suma Hok.
Suma Hok yang duduk seorang diri minum arak di ruangan tamu yang indah itu,
segera bangkit berdiri ketika mendengar langkah kaki beberapa orang menuju ke
ruangan itu. Dia tersenyum ketika melihat Kiok Lan menggandeng tangan seorang
laki-laki yang usianya kurang lebih dua puluh tahun, tampan anggun dan
berwibawa. Kemudian dia melihat Pouw Cin dan terkejut karena mengenal laki-laki setengah tua itu sebagai seorang bekas panglima kerajaan Liu-sung yang telah
jatuh, panglima yang terkenal karena dahulu pernah memimpin rombongan utusun
kerajaan Liu-sung untuk ikut berlumba memperebutkan mustika Akar Bunga Gurun
Pasir! Kemudian, wajahnya berobah kemerahan dan matanya terbelalak ketika dia
melihat orang yang muncul paling akhir. Hatinya saja yang berteriak kaget.
"Kwa Bun Houw ...!" akan tetapi mulutnya diam saja dan diapun kembali memandang kepada pemuda yang digandeng Kiok Lan itu.
"Suma-taihiap, inilah kakakku," kata gadis itu.
Andaikata di situ tidak hadir Pouw Cin agaknya Suma Hok tidak akan mengenal
pemuda kakak Kiok Lan itu. Akan tetapi, kehadiran Pouw Cin mengingatkan dia akan sesuatu dan ketika dia memandang wajah pemuda itu penuh perhatian, tiba-tiba
dia teringat dan diapun segera menjatuhkan diri berlutut menghadap pemuda itu.
"Sribaginda, mohon ampun karena hamba tidak tahu bahwa hamba akan
menghadap paduka di sini ... "
Mendengar ucapan ini dan melihat sikap Suma Hok, Bun Houw sendiripun terkejut
bukan main. Dia belum pernah bertemu dengan Kaisar Cang Bu yang nama kecilnya
Liu Tek dari kerajaan Liu-sung yang telah jatuh, maka dia sama sekali tidak
mengenalnya. Tentu saja dia terkejut ketika melihat sikap Suma Hok, dan baru
sekarang dia mengerti akan sikap pemuda yang mengaku bernama Siauw Tek itu.
71 Melihat sikap Suma Hok, wajah pemuda itu berseri akan tetapi hanya sebentar saja.
Dia menghela napas, melangkah maju dan memegang kedua pundak Suma Hok,
menariknya agar bangun berdiri.
"Cukup, Suma-toako, jangan bersikap begitu. Saat ini, aku bukanlah kaisar dan tidak perlu engkau bersikap begitu. Aku adalah seorang pemuda bernama Siauw Tek, dan
engkau boleh menyebutku Kongcu saja. Nah, duduklah, dan engkau juga, Kwa-
toako!" Mereka semua duduk mengelilingi meja besar dan sesaat pandang mata Bun Houw
bertemu dengan pandang mata Suma Hok. Kalau pandang mata Suma Hok nampak
gelisah, Bun Houw bersikap tenang saja. Tentu saja hati Suma Hok merasa gelisah.
Pertama karena dia tahu benar betapa Bun Houw kini telah menjadi seorang yang
amat lihai, bahkan sedemikian lihainya sehingga pemuda itu mampu mengalahkan
Ouwyang Sek, juga mampu menandiugi ayahnya! Dan yang lebih menggelisahkan
adalah bahwa pemuda saingannya itu adalah murid Tiauw Sun Ong, seorang bekas
pangeran yang tentu saja masih ada hubungan keluarga dengan bekas Kaisar Cang
Bu yang kini menjadi pemuda bernama Siauw Tek itu. Tentu saja Suma Hok sama
sekali tidak menduga bahwa saingannya itu bahkan sama sekali belum tahu bahwa
Siauw Tek adalah bekas Kaisar Cang Bu! Dan baru sekarang Bun Houw
mengetahuinya. "Kwa-toako, engkau tidak kelihatan heran mendengar bahwa aku adalah bekas
Kaisar kerajaan Liu-sung. Apakah engkau sudah dapat menduga sebelumnya?"
bekas kaisar itu bertanya kepada Bun Houw.
Bun Houw menggeleng kepala. "Tidak sama sekali, Kongcu. Baru sekarang aku
mengetahui. Baru sekarang aku tahu bahwa Kongcu adalah seorang bekas kaisar,
dan tentu nona ini seorang puteri dan Paman Pouw seorang bekas panglima."
Kini Suma Hok juga kelihatan heran, juga dia merasa lega. Setidaknya, kini dia
menjadi jelas bahwa tidak terdapat hubungan yang erat antara Bun Houw dan
bekas kaisar itu yang dapat membahayakan dia. Kembali dua orang pemuda yang
bersaingan itu saling pandang tanpa mengeluarkan sepatah katapun.
"Apakah kalian berdua sudah saling mengenai?" tiba-tiba Kiok Lan bertanya dengan suara riang.
Bun Houw mengangguk. "Saya sudah mendapat kehormatan beberapa kali bertemu
dengan saudara Suma Hok," dalam suaranya, tidak terkandung sesuatu.
Suma Hok adalah seorang pemuda yang cerdik. Kalau tadi dia banyak berdiam diri
adalah karena dia khawatir kalau-kalau Bun Houw mempunyai hubungan dekat
dengan tuan rumah. Sekarang, setelah dia mengerti bahwa Bun Houw agaknya juga
hanya seorang tamu baru, bahkan agaknya baru mengenal Kiok Lan sekarang,
72 hatinya merasa lega dan dia cepat dapat membawa diri. Dia bangkit berdiri dan
memberi hormat kepada Bun Houw.
"Ah, sungguh merupakan kejutan yang menggembirakan bahwa di sini aku dapat
bertemu denganmu, saudara Kwa Bun Houw! Saking kagetku, sampai beberapa
lamanya aku kehilangan suara! Memang benar apa yang telah dikatakan saudara
Kwa Bun Houw tadi, kami memang pernah beberapa kali bertemu, akan tetapi kami
mempunyai jalan masing-masing. Eh, hampir aku lupa, Saudara Kwa Bun Houw,
sudah terlalu lama aku menyimpan benda yang pernah kautitipkan kepadaku harap
kau suka menerimanya kembali sekarang!" Dia mengambil sesuatu dari balik
jubahnya dan ketika dia menyerahkan benda itu kepada Bun Houw, diam-diam Bun
Houw tersenyum geli dan juga kagum akan kecerdikan orang ini. Yang dikeluarkan
dan diserahkan kepadanya adalah pundi-pundi uang, bekalnya dalam kantung
pemberian gurunya tempo hari yang pernah dirampas oleh Suma Hok! Ternyata
pundi-pundi itu masih utuh!
Karena diapun tidak ingin melibatkan urusan pribadinya dengan keluarga bekas
kaisar ini, maka diapun menerima pundi-pundi itu dan berkata, "Terima kasih, saudara Suma Hok." dan menyimpan pundi-pundi itu ke balik bajunya.
Biarpun kedua orang pemuda itu bersikap ramah dan saling merendah, namun
sesuatu yang dirasakan tidak wajar tertangkap oleh Kiok Lan yang memang amat
cerdik dan berpemandangan tajam. Ia memandang berganti-ganti kepada dua
orang pemuda itu seperti hendak menembus dan menjenguk isi hati mereka
dengan mulut tersenyum penuh arti sehingga Suma Hok dan Bun Houw yang
bertemu pandang dengannya, terpaksa menundukkan mata. Tiba-tiba gadis itu
berkata dengan suara nyaring, mengejutkan hati kedua orang pemuda itu.
"Koko, bagaimana kalau kedua orang jago kita ini kita adukan" Aku berani bertaruh bahwa jagoku, Suma-taihiap, akan menang melawan jagomu, yaitu Kwa-enghiong
itu." "Ah. jangan bicara yang bukan-bukan, siauw moi!" Siauw Tek berseru, kaget juga dengan gagasan adiknya ini, walaupun hal itu sebenarnya menarik baginya. Akan
tetap, dia tidak, ingin kehilangan kedua orang ini ingin menarik mereka untuk
bekerja dengan dia, memperkuat posisinya. Sebaiknya, bersama Paman Pouw,
engkau mengantarkan dua orang tamu kita untuk melihat-lihat kekuatan kita.
Malam nanti baru aku ingin bicara dan berbincang-bincang dengan mereka."
Bun Houw merasa tidak enak. "Maaf Kongcu. Aku tidak dapat tinggal lebih lama."
"Kwa-twako! Kami mengharap dengan hormat dan sangat agar engkau suka tinggal beberapa hari di sini, setidaknya malam ini engkau bermalam di rumah kami!" kata Siauw Tek dengan suara mengharap.
73 "Aih, kenapa Kwa-enghiong mau tergesa-gesa pergi saja setelah aku pulang"
Apakah engkau tidak suka dengan kehadiranku" Kalai begitu, aku akan menjauhkan
diri darirnu ...
"Ah, sama sekali tidak, nona." Bun Houy cepat-cepat berseru, tidak tahu bahwa dia kena diakali oleh gadis itu yang sengaja mengeluarkan ucapan itu untuk membuat
dia menjadi serba salah dan tidak dapat menolak lagi.
"Kalau begitu, tidak ada halangannya bagimu untuk bermalam di sini, toako." Siauw Tek mendesak pula. "Kami ingin memperlihatkan keadaan kami padamu."


Pedang Kilat Membasmi Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tapi, aku sudah memesan sebuah kamar di penginapan, di sudut kota, pakaianku juga masih kutinggalkan di sana dan ... "
"Ah. jangan khawatir Kwa-enghiong. Kami akan menyuruh orang mengambilnya dan semua akan beres!" kata Pouw Cin. "Marilah, Siocia, kita mengajak kedua orang tamu dan sahabat kita untuk melihat-lihat keadaan dan kedudukan kita."
Terpaksa Bun Houw tak dapat menolak lagi. Bagaimanapun juga. dia memang ingin
mengetahui apa yarg sedang dilakukan oleb bekas kaisar itu, dan apa pula niatnya maka berkeras menahannya. Dan gadis bekas puteri itu demikian cantik dan lincah, mengingatkan dia kepada Hui Hong! Banyak persamaan antara kedua orang radis
itu, keduanya berdarah bangsawan pula dan mengingat bahwa Hui Hong adalah
puteri kandung gurunya, seorang bekas pangeran kerajaan Liu-sung pula, maka
tidak akan mengherankan kalau di antara kedua orang gadis itu masih ada
hubungan darah atau keluarga. Selain itu, keadaan bekas kaisar ini amat menarik dan tentu akan merupakan, berita yang amat penting bagi gurunya.
Mereka berempat menunggang kuda mendaki bukit-bukit di sepanjang Sungai
Yang-ce dan dari puncak bukit, Pouw Cin menunjuk ke arah bangunan seperti
benteng. Ada empat tempat seperti itu dan Pouw Cin menerangkan bahwa di setiap
benteng terdapat pasukan yang tidak kurang dari seribu orang jumlahnya! Pimpinan pasukan terdiri dari orang-orang kang-ouw yang pandai ilmu silat dan ilmu perang.
Kongcu masih terus menarik dan mengumpulkan orang-orang gagah untuk
memperkuat pasukan kami itu." demikian Pouw Cin memberi keterangan. Dua
orang pemuda itu diam-diam terkejut. Tak mereka sangka bahwa bekas kaisar yang
muda itu dapat menyusun kekuatan seperti itu.
"Akan tetapi, untuk apa menyusun pasukan di perbentengan itu?" Bun Houw bertanya, walaupun di dalam hatinya dia dapat menduga bahwa bekas kaisar itu
tentu mengusahakan pemberontakan untuk merampas kembali tahta kerajaan yang
sudah lepas dari tangannya. Dia hendak membangun kembali kerajaan Liu-sung
yang telah jatuh, untuk menundukkan kerajaan baru Chi yang berkuasa.
"Nanti Kongcu akan memberi penjelasan serdiri kepada ji wi (kalian berdua) kalau kita sudah kembali ke sana," Pouw Cin menjawab dengan singkat. Jelas bahwa dia 74
tidak berani dan merasa tidak berwenang untuk bicara tentang cita-cita bekas
kaisar kerajaan Liu-sung itu.
Dalam perjalanan kembali ke tempat tinggal Siauw Tek, Suma Hok telah mengambil
keputusan. Inilah jalan yang amat luas baginya, kesempatan untuk mencapai apa
yang dia inginkan. Kalau dia dapat menjadi pembantu yang dipercaya oleh bekas
kaisar itu, banyak sekali keuntungan yang akan diperolehnya. Sebelum bekas kaisar itu berhasil dengan cita-citanya, dia tentu telah mendapatkan kekuasaan atas
pasukan, kalau dia menjadi pembantu utama. Apalagi kalau sampai bekas kaisar itu berhasil dalam perjuangannya merampas kembali singgasana. Tentu dia akan
menjadi seorang pejabat tinggi, mungkin menteri, atau setidaknya panglima besar.
Dia akan memegang, kekuasaan begitu diterima menjadi pembantu bekas kaisar itu.
Keuntungan ke dua, dia dapat berdekatan dengan Pouw Kiok Lan, gadis bekas
puteri istana yang cantik jelita itu. Kalau dia dapat memperisterinya, berarti dia menjadi adik ipar bekas kaisar, ataukah calon kaisar baru" Puteri ini akan dikawini demi memperoleh pangkat dan kekuasaan, sedangkan cintanya terhadap Hui Hong
tidak akan berubah, bahkan pernikahannya dengan Hui Hong semakin banyak
harapan terlaksana. Dengan adanya pasukan, tentu tidak sukar untuk mendapatkan
Akar Bunga Gurun Pasir, dan dia-pun nanti dapat minta keterangan Pouw Cin di
mana akar itu sekarang. Diapun dapat menyebar anak buah pasukan itu untuk
mencari Hui Hong sampai dapat!
Sungguh berbeda sekali isi hati Suma Hok dengan isi hati Bun Houw. Dia tahu bahwa jatuhnya kerajaan Liu-sung yang kemudian diganti kerajaan Chi merupakan perang
saudara. Kini, bekas kaisar Liu-sung yang kalah itu menyusun kekuatan. Perang
saudara akan berlarut-larut, menimbulkan banyak korban di antara anak buah
pasukan dan rakyat. Dia tidak mau terlibat perang saudara, tidak ingin menjadi satu di antara boneka-boneka yang disuruh saling bunuh demi kepentingan anggauta
keluarga yang saling berebutan kekuasaan itu. Apalagi, gurunya berkata bahwa
penggantian kaisar yang terjadi itu bahkan baik, karena menurut gurunya. Kaisar Cang Bu yang telah jatuh itu bukanlah kaisar yang cakap dan bijaksana, terlalu muda dan mudah terpengaruh oleh menteri-menteri yang palsu dan korup. Juga gurunya
berkata bahwa penggantian kaisar itu bahkan lebih baik. Kalau kini dia melibatkan diri dalam usaha perjuangan atau pemberontakan bekas kaisar itu, berarti dia ikut saling bunuh dengan saudara sebangsa, demi kepentingan kaisar yang udah jatuh
itu. Selain itu, menurut pendapatnya, usaha yang lebih merupakan pembatasan
atau perebutan kekuasaan yang diadakan bekas kaisar ini, tidak akan berhasil. Apa artinya beberapa ribu orang pasukan dibandingkan dengan balatentara kerajaan Chi yang tentu amat besar jumlahnya" Selain itu, perjuangan menentang kekuasaan
yang ada baru akan berhasil kalau dibantu oleh rakyat, dan rakyat baru akan mau membantu kalau kekuasaan itu dirasakan menindas dan jahat bagi rakyat. Tanpa
bantuan rakyat, usaha perjuangan tak mungkin berhasil. Dan Bun Houw tidak
melihat adanya dukungan rakyat jelata terhadap gerakan Siauw Tek ini, bahkan
rakyat tidak mengetahuinya karena gerakan itu dilakukan secara rahasia.
75 Perjalanan meninjau perbentengan itu cukup jauh sehingga ketika mereka kembali
ke rumah besar itu, matahari telah tenggelam ke barat dan cuaca sudah remang-
remang, malam menjelang tiba. Rumah itu telah diterangi banyak lampu, seolah
dalam keadaan pesta menyambut dua orang tamu agung itu. Suma Hok dan Bun
Houw dipersilakan ke kamar masing-masing, dua buah kamar yang terpisah dan Bun
Houw mendapatkan bahwa buntalan pakaian yang tadinya dia tinggalkan di rumah
penginapan itu telah berada di dalam kamar itu. Seorang pelayan pria melayani
keperluan Bun Houw, mempersiapkan air untuk mandi dan setelah mandi dan
berganti pakaian, Bun Houw menerima undangan tuan rumah untuk makan malam
di ruangan makan. Bun Houw memasuki ruangan itu dan ternyata Suma Hok telah
berada di situ. Seperti siang tadi, Pouw Cin menemani mereka yang dijamu oleh
Siauw Tek dan Kiok Lan. Wanita-wanita muda yang cantik kini diperkenankan
melayani mereka makan minum dan suasana makan malam itu cukup gembira.
Apalagi karena Suma Hok sudah kelihatan akrab dengan Siauw Tek dan terutama
sekali dengan Kiok Lan. Pemuda, putera majikan Bukit Bayangan Iblis ini memang
pandai merayu, halus tutur sapanya, dan selain ilmu silat tinggi, juga dia mengenal baik kesusasteraan dan pandai bermain suling dengan lagu-lagu merdu. Maka
dengan mudah dia dapat menarik perhatian kakak beradik bangsawan itu dan
menjadi akrab dengan mereka.
Dengan caranya yang halus dan cerdik, tadi Suma Hok dapat mendahului Bun Houw
menemui Siauw Tek dan Kiok Lan, dan dengan pandai sekali dia memancing mereka
untuk mendengar pendapat mereka tentang aib yang terjadi di istana ketika
Pangeran Tiauw Sun Ong berjina dengan seorang selir kaisar. Dia mengatakan
bahwa dia pernah mendengar peristiwa itu di luaran, dan apakah bekas kaisar itu tahu akan hal itu"
Mendengar ini, kakak beradik itu saling pandang, kemudian Siauw Tek mengerutkan alis dan berseru, "Ahh, jadi peristiwa itu sudah pula tersiar di luar istana" Memang aib yang amat memalukan. Terjadi ketika aku masih kecil, berusia tiga tahun kurang lebih. Aku mendengar peristiwa aib itu dari cerita para orang tua di istana."
"Jadi benarkah peristiwa itu, Kongcu" Tadinya saya kira hanya berita bohong belaka, karena di dunia kang-ouw, Tiauw Sun Ong muncul sebagai seorang tokoh yang lihai.
Akan tetapi dia buta, bagaimana mungkin seorang selir kaisar ... maaf, dapat
tertarik kepada seorang pangeran buta?" Sebetulnya Suma Hok sudah tahu akan persoalannya, akan tetapi dia pura-pura tidak tahu untuk memancing dan melihat
bagaimana sikap bekas kaisar ini terhadap Tiauw Sun Ong.
"Tadinya Paman Pangeran Tiauw Sun Ong tidak buta. Dia seorang pangeran yang tampan dan selir ... eh, selir mendiang ayahku itu tergila-gila kepadanya. Setelah perbuatan mereka ketahuan, Paman Tiauw Sun Ong membutakan mata sendiri dan
meninggalkan istana. Adapun selir ayah itu dihukum buang, Ah, tidak perlu kita
bicara tentang aib yang menjengkelkan itu!"
76 "Akan tetapi, kenapa yang melakukan aib menodai nama yang mulia dari Kaisar, tidak dihukum mati?" Suma Hok memancing.
Siauw Tek mengepal tinju. "Sepatutnya memang dia dihukum mati! Akan tetapi dia adalah adik mendiang ayah, dan dia sudah membutakan kedua matanya, ayah
mengampuninya."
"Ah, mendiang ayah memang terlalu lunak," kata Kiok Lan. "Dosa itu teramat besar, menodai nama dan kehormatan seluruh keluarga. Karena kelemahan ayah, maka
sampai sekarang dia masih hidup dan tentu saja peristiwa itu menjadi dongeng dan diketahui banyak orang. Coba andaikata ketika itu dia dan perempuan itu dihukum mati, mungkin berita itu tidak sampai tersebar."
"Engkau benar, adikku. Memang mendiang ayah terlalu lemah. Bahkan kabarnya, selir yang menyeleweng itupun tidak sampai mati. di dalam perjalanan, para
pengawalnya dibunuh orang dan ia lenyap entah ke mana."
Kini yakinlah Suma Hok bahwa kakak beradik bangsawan ini tidak suka kepada
Tiauw Sun Ong dan hal ini menyenangkan hatinya. Setidaknya dia memiliki senjata ampuh untuk menarik kedua orang ini berpihak kepadanya kalau dia bentrok
dengan Bun Houw. Pada saat itulah, Bun Houw memasuki ruangan makan dan tentu
saja percakapan itu terhenti.
Setelah selesai makan minum, sekali ini Siauw Tek mengajak mereka bercakap-
cakap di ruangan dalam, tidak lagi di ruangan tamu. Hal ini saja sudah menunjukkan bahwa dia mulai percaya kepada kedua orang tamunya.
Setelah duduk diruangan dalam yang lebih mewah keadaannya ini, Siauw Tek
bertanya kepada kedua orang tamunya. "Bagaimana, apakah kalian berdua sudah menyaksikan keadaan kami dan apa pendapat kalian?"
Suma Hok cepat menjawab. "Wah, hebat sekali, Kongcu. Pasukan-pasukan dengan empat benteng itu amat kuat, dan kalau mendapat pimpinan seorang ahli, tentu
dapat menjadi kekuatan yang dahsyat!"
Siauw Tek senang dengan pendapat ini dan dia tersenyum bangga, akan tetapi
melihat Bun Houw diam saja, dia bertanya. Bagaimana pendapatmu, Kwa-toako"
Cukup kuatkah pasukan yang sudah kami himpun?"
Bun Houw menjawab dengan tenang, "Saya kira, tergantung dari penggunaannya, Kongcu."
"Apa maksudmu, toako?"
"Seperti sepotong pisau dapur, terlalu besar untuk mencukur jenggot dan terlalu kecil untuk bertempur di medan perang."
77 Siauw Tek mengangguk dan tersenyum. "Jawabanmu memang tepat akan tetapi
terlalu berhati-hati, Kwa-toako. Baiklah, sekarang kalian berdua dengarkan dulu tentang keadaan diriku semenjak kerajaan Liu-sung dikhianati para pemberontak
yang kini membangun kerajaan Chi itu."
Bekas kaisar itu lalu bercerita. Pemberontakan yang dilakukan oleh Siauw Hui Kong dan kawan-kawannya, yaitu juga anggauta keluarga kaisar dari pihak wanita,
menimbulkan perang saudara selama tiga tahun, dimulai dari tahun 476 dan
berakhir tiga tahun kemudian, yaitu pada tahun 479 dengan jatuhnya kerajaan Liusung. Siauw Hui Kong mengangkat diri menjadi Kaisar Siauw Bian Ong kaisar yang
mendirikan dinasti atau kerajaan Chi. Dalam penyerbuan itu, Siauw Hui Kong dan
sekutunya masih memberi kelonggaran kepada keluarga kaisar untuk melarikan diri.
Akan tetapi mereka yang melakukan perlawanan, semua tertumpas dan binasa.
Kaisar Cang Bu sendiri yang ketika itu berusia tujuh belas tahun, melarikan diri dengan dikawal oleh Panglima Pouw Cin. Dalam pelarian ini terbawa pula beberapa orang selir dan juga Kiok Lan yang baru berusia dua belas tahun ikut pula lari
mengungsi bersama kakak tirinya. Kiok Lan dan Kaisar Cang Bu seayah berlainan
ibu, karena Kiok Lan beribu dari seorang selir. Sesungguhnya, kalau pihak lawan, yaitu pihak keluarga Siauw yang memberontak, menghendaki pelarian bekas kaisar
itu tentu akan gagal dan akan mudah saja menangkapnya rombongan pengungsi ini.
Akan tetapi karena memang masih ada hubungan keluarga, agaknya pihak yang
menang memang sengaja bersikap longgar, membiarkan pihak yang kalah untuk
mengungsi. "Demikianlah, ji-wi tahu bahwa setelah, kehilangan mahkota, terpaksa aku
menyamar sebagai orang biasa, menggunakan nama kecilku, yaitu Liu Tek dan
kusingkat menjadi Siauw Tek, agar selain tidak dikenal orang, juga aku sengaja
menggunakan nama keluarga kaisar yang sekarang. Tentu saja, setema lima tahun
ini, sejak keluar dari istana, aku tidak pernah melupakan kekalahan ini. Aku, dibantu oleh Paman Pouw, mulai menghimpun kekuatan karena kami bercita-cita untuk
merampas kembali singgasana dan mendirikan kembali kerajaan Liu-sung yang
telah dikhianati oleh keluarga Siauw yang kini mendirikan dinasti Chi. Kami
mengundang sebanyaknya orang-orang pandai seluruh negeri untuk membantu
kami. Karena itu, setelah bertemu dengan ji-wi, kami juga menawarkan kepada ji-wi agar suka membantu kami. Percayalah, kalau sampai cita-cita kami terlaksana, dan kami dapat mendirikan lagi kerajaan Liu-sung, kalian berdua akan menerima
anugerah kedudukan yang tinggi dalam kerajaan kami. Kami tidak minta jawaban
sekarang. Sebaiknya, ji-wi (kalian) mempertimbangkan permintaan kami itu
semalam ini sambil beristirahat dalam kamar ji-wi masing-masing. Besok pagi kami mengharapkan jawaban dan keputusan yang pasti."
Tadinya Bun Houw ingin menyatakan keputusannya pada malam itu juga, yaitu
menolak tawaran bekas kaisar itu untuk membantu gerakannya hendak
memberontak. Akan tetapi karena Siauw Tek memberi waktu semalam untuk
78 mengambil keputusan, diapun merasa tidak enak kalau menolak seketika tanpa
dipertimbangkan dulu.
Di dalam kamarnya, Bun Houw duduk bersila di atas pembaringan, termenung. Dia
dapat menduga bahwa orang yang berjiwa petualang seperti Suma Hok, yang
hendak mencari keuntungan bagi diri sendiri saja, tentu tertarik oleh penawaran bekas kaisar itu. Apalagi dia melihat sinar mata pemuda pesolek itu ketika
memandang Kiok Lan, ia tidak ragu lagi bahwa Suma Hok pastikan menerima
penawaran itu. Akan tetapi dia tidak akan menerimanya, dia akan menolak dengan
halus. Dia masih mempunyai tugas, yaitu mencari Hui Hong. Dan pengalamannya
dengan bekas kaisar ini sudah merupakan suatu berita yang amat menarik bagi
gurunya, selain itu, diapun akan melaksanakan pesan gurunya menyelidiki keadaan pemerintahan Kerajaan Chi yang baru itu.
Daun pintu terketuk. Bun Houw merasa heran. Malam telah larut, mungkin sudah
hampir tengah malam. Siapa yang mengetuk pintu kamarnya" Ketukan itu lirih dan
pendengarannya yang tajam menangkap gerakan kaki ringan di luar pintu. Seorang
wanita di depan pintu kamarnya! Siapa" Mau apa" Dia memang mengunci daun
pintu dari dalam. Dia berada di bawah satu atap dengan seorang seperti Suma Hok, maka dia harus berhati-hati. Tidak dapat diduga apa yang akan dilakukan oleh
pemuda yang kejam dan licik bagaikan iblis itu.
"Siapa di luar?" Bun Houw bertanya sambil menghampiri pintu.
"Saya, Kwa-kongcu. Harap suka membuka pintu, saya mempunyai kepentingan
untuk dibicarakan denganmu." terdengar suara wanita yang merdu. Bukan suara Kiok Lan, pikir Bun Houw yang menjadi semakin heran. Dia membuka kunci daun
pintu dan masuklah seorang wanita muda yang cantik manis. Begitu ia masuk,
tercium bau yang harum dari pakaiannya. Bun Houw mengenal wanita ini sebagai
seorang di antara lima wanita cantik yang melayani ketika dia dan tuan rumah
makan, lalu muncul Kiok Lan menyuruh lima orang wanita yang disebutnya enci itu agar tidak melayani mereka lagi. Wanita ini usianya tidak akan lebih dari dua puluh tahun, cantik manis dan di balik kerling mata dan senyumnya tersembunyi
kegenitan dan gairah.
"Eh, kenapa nona masuk ke sini" Ada urusan penting apa yang akan dibicarakan?"
tanya Bun Houw, alisnya berkerut karena tidak senang melihat seorang wanita
muda memasuki kamarnya. Kalau kelihatan tuan rumah, tentu akan menyangka
yang bukan-bukan. Akan tetapi, kesopanan melarangnya untuk mengusir begitu
saja. Gadis itu menundukkan mukanya, akan tetapi matanya mengerling ke samping atas,
ke arah wajah Bun Houw dan senyumnya dikulum. Memang gaya ini membuat ia
nampak manis dan menarik sekali, sikap jinak-jinak merpati! "Kwa-kongcu, saya bernama Yo Leng Liwa, biasa disebut Leng Leng, berusia sembilan belas tahun ... "
79 "Ya, ya ... akan tetapi mau apa engkau masuk ke sini" Ada kepentingan apa ... ?"
Bun Houw memotong tak sabar.
Kembali kerling itu menyambar dan senyum itu melebar. Segumpal rambut jatuh
berderai di leher yang panjang dan berkulit putih mulus itu. "Kongcu, malam begini dingin dan sunyi dan kongcu berada seorang diri saja di dalam kamar, saya pikir saya ... saya dapat menemani kongcu, menghibur kongcu dan melakukan apa saja
untuk melayani kongcu." katanya dengan suara setengah berbisik, dan kata-katanya berlagu seperti orang bersenandung.
Wajah Bun Houw berubah kemerahan. Tentu saja dia mengerti apa yang
dimaksudkan wanita ini. Wanita muda cantik genit ini merayunya. Akan tetapi dia menahan kemarahannya dan tidak menghardiknya karena tiba-tiba timbul
kecurigaan dalam hatinya. Dia baru pertama kali bertemu wanita ini, di antara
empat orang rekannya, itupun ketika mereka melayaninya makan. Tidak mungkin
kalau dalam pertemuan singkat itu, wanita ini lalu jatuh hati kepadanya! Dan
kiranya, tidak akan mungkin wanita ini berani begitu merayunya. Bukankah dia
seorang tamu dihormati" Dan gadis ini juga bukan pelayan" Ada pelayan lain dan
agaknya orang itu mempunyai kedudukan yang cukup terhormat di rumah itu.
Bukankah Kiok Lan adik bekas kaisar itu sendiri juga menyebut mereka berlima itu dengan sebutan enci" Dia menduga bahwa gadis ini, seperti empat yang lain
tentulah semacam dayang atau lebih tepat lagi, selir-selir dari bekas kaisar itu. Dan kini, kalau ia berani memasuki kamarnya, menawarkan diri untuk melayani dan
menghiburnya, jelas bahwa hal ini tentu merupakan tugas baginya. Tentu ada yang memerintahnya"
TIBA-TIBA sinar matanya mencorong ketika dia berkata, "Nona, coba angkat
mukamu dan kau pandang aku!!"
Gadis itu mengangkat mukanya yang cantik dan memberanikan diri memandang.
Dua pasang mata bertemu dan gadis itu terkejut melihat mata yang mencorong
penuh kekuatan itu. Ia ingin menundukkan kembali mukanya, akan tetapi tidak
mampu, serasa ada kekuatan dari sepasang mata yang mencorong itu yang
mengikat dan menahan pandang matanya sehingga tak dapat ditundukkan.
"Nona, engkau tentulah seorang selir dari Siauw Kongcu, bekas kaisar itu, bukan?"
tanya Bun Houw.
"Benar, kongcu," jawab Leng Leng dengan lirih dan kini sikap rayuannya lenyap, berubah menjadi khawatir.
"Hemm, kalau engkau sudah menjadi selirnya, kenapa malam-malam begini
berusaha menggodaku" Apakah engkau ini jenis isteri yang tidak setia dan suka
melakukan penyelewengan dengan laki-laki lain?"
80 Wajah yang cantik itu tiba-tiba berubah merah dan mata itu mengeluarkan sinar
merah. "Kwa-kongcu, jangan menuduh sembarangan! Aku adalah seorang isteri
yang setia dan taat kepada suami. Andaikata suamiku menyuruh aku menyerahkan
nyawa sekalipun akan kutaati, apalagi hanya menyerahkan badan. Aku hanya
meliksanakan tugas, mentaati perintah."
Diam-diam Bun Houw merasa iba kepada gadis ini. Tahulah dia bahwa ini
merupakan satu di antara cara dan akal bekas kaisar itu untuk membujuk dan
menarik seseorang menjadi pembantunya. Agaknya bekas kaisar itu tahu bahwa dia
tidak akan tergiur kedudukan atau harta, maka dipergunakanlah seorang di antara selirnya untuk membujuk rayu. Dan dia percaya bahwa tentu banyak pria perkasa
yang jatuh oleh kecantikan selir-selir itu.
"Kalau begitu, kembalilah engkau kepada suamimu dan katakan kepadanya bahwa engkau adalah seorang isteri yang baik dan mencinta suami, bahwa dia tidak
sepatutnya menyuruh engkau membujuk rayu seorang tamu. Katakan bahwa aku
berterima kasih, akan tetapi aku tidak suka menghancurkan martabat dan perasaan hati seorang wanita yang terpaksa demi cinta dan kesetiaannya kepada suami, mau melakukan apa saja yang diperintahkan suami, bahkan menyerahkan diri dan
kehormatannya kepada laki-laki lain. Pergilah, nona."
Selir yang cantik itu menatapnya dengan sepasang matanya yang indah, kemudian
kedua mata yang tadinya bengong memandang heran, perlahan-lahan menjadi
basah air mata.
"Baik. dan maafkan saya, kongcu." katanya dengan suara gemetar mengandung isak, lalu wanita itupun keluar dari kamar dengan langkah-langkah gontai.
Seorang wanita yang memiliki daya tarik kuat sekali pada wajah dan bentuk
tubuhnya, Bun Houw menggumam sambil menutupkan daun pintu dan
menguncinya kembali. Dia duduk bersila kembali ke atas pembaringan dan
tersenyum. Yang jelas, kalau tidak ada dua hal yang menolongnya, yang
mendatangkan kekuatan di batinnya, bukan hal aneh kalau tadi diapun bertekuk
lutut dan terlena dalam pelukan wanita cantik tadi. Dua hal itu pertama-tama
adalah pengalaman gurunya yang pernah berjina dengan seorang selir kakaknya
dan yang kemudian mendatangkan akibat yang amat hebat dan pahit dalam
kehidupan gurunya. Selain itu juga pengalamannya sendiri dengan Cia Ling Ay yang mendatangkan akibat pahit pula. Adapun hal kedua adalah cintanya terhadap Hui
Hong membuat dia tidak ingin dimiliki dan memiliki wanita lain.
*** Perasaan tidak enak dalam hati Bun Houw bahwa dia berada di bawah satu atap
dengan Suma Hok, ternyata bukan perasaan kosong belaka. Dia tidak dapat
menduga apa yang akan dilakukan oleh pemuda licik itu. Di luar tahunya, setelah mereka tadi saling berpisah dari ruangan dalam, Suma Hok juga menerima
81 kunjungan seorang selir bekas kaisar itu yang datang hendak membujuknya. Dan
pemuda yang amat cerdik ini, walaupun melihat selir itu seperti seekor kucing
melihat dendeng yang membuatnya mengilar, namun demi pengejaran yang lebih
tinggi, dia bersikap sopan dan menolak wanita yang disuguhkan kepadanya itu! Dan dia bahkan mengikuti wanita itu kembali ke kamar Siauw Tek kemudian dia
membisikkan hal yang penting bagi bekas kaisar itu.
"Saya menghaturkan terima kasih atas budi kebaikan Kongcu," katanya sambil mengantarkan kembali selir itu. "Akan tetapi harap Kongcu maafkan, saya tidak suka berganti dengan wanita yang bukan milik saya. Selain itu, saya ingin
menyampaikan hal yang saya kira amat penting bagi kongcu, mengenai diri Kwa Bun Houw."
Diam-diam Siauw Tek memuji pemuda ini. Seorang pemuda yang tidak lemah
terhadap godaan wanita. "Suma toako, ada urusan apakah" Apa yang hendak kau sampaikan mengenai diri Kwa-toako?"
"Hendaknya kongcu bersikap waspada karena Kwa Bun Houw itu adalah seorang
yang berbahaya sekali."
"Kaumaksudkan dia lihai" Hal itu kami sudah tahu, toako. Kami sudah menguji kepandaiannya dan dia mampu mengalahkan Paman Pouw dengan mudah."
"Bukan itu saja, Kongcu. Akan tetapi ada satu hal yang Kongcu belum ketahui sehingga tidak melihat bahaya yang mengancam diri kongcu sekarang. Ketahuilah
Kisah Si Pedang Terbang 5 Pendekar Latah Karya Liang Ie Shen Sepasang Pendekar Kembar 1
^