Pencarian

Pedang Kilat Membasmi Iblis 4

Pedang Kilat Membasmi Iblis Karya Kho Ping Hoo Bagian 4


puterinya itu selalu dekat dengannya sehingga lambat laun dia akan mampu
membersihkan hati puterinya dan menyadarkannya bahwa cara hidupnya yang lalu
adalah suatu penyelewengan dari pada kebenaran.
122 "Untuk sementara saja aku tinggal di sini, ayah. Aku pulang, pertama kali untuk menengok ayah dan terutama sekali aku ingin mencoba mengisi hidupku dengan
keadaan yang baru. Aku ingin berdekatan lagi dengan istana. Mungkinkah itu, ayah"
Mungkinkah aku dapat berdekatan dengan keluarga kaisar yang baru dan dapatkah
ayah membantuku, seperti dahulu ketika aku masih gadis muda?"
"Aih, mana mungkin itu, anakku" Dahulu, ayahmu ini masih mempunyai kedudukan, apalagi ayahmu ini yang mengajarkan sastra kepada para pangeran dan putri istana.
Sekarang aku tidak mempunyai hubungan apapun dengan istana."
"Ayah tentu mempunyai kenalan pejabat di istana yang dapat membantu kami. Aku dan Ling Ay ingin bekerja di dalam istana Kaisar Siauw Bian Ong."
"Akan tetapi, apa yang dapat kaukerjakan di istana?"
Bi Moli Kwan Hwe Li menertawakan ayahnya. "Ayah, dengan kepandaianku
sekarang, aku dapat menjadi pelatih ilmu silat dari para pengawal wanita, arau
dapat menjadi pengawal permaisuri dan para puteri, sedangkan Ling Ay dapat
menjadi dayang atau pelindung para puteri. Kalau perlu, kami bersedia diuji
kepandaian kami untuk meyakinkan hati kaisar dan keluarganya."
Setelah dibujuk-bujuk, akhirnya kakek Kwan Jin Kun menyanggupi dan karena dia
memang mempunyai banyak kenalan di istana, yaitu para pembesar yang
membutuhkan nasihatnya sebagai seorang sasterawan yang berpengalaman
dengan urusan istana, maka diapun berhasil. Kwan Hwe Li yang biarpun usianya
sudah lima puluh tahun masih nampak cantik itu diterima sebagai pelatih silat dan tugasnya melatih para pengawal istana, sedangkan Ling Ay diterima sebagai
seorang pengawal permaisuri dan para puteri. Guru dan murid ini dengan mudah
lulus dalam ujiaa yang dilakukan komandan pasukan pengawal istana.
*** Biarpun usianya sudah lima puluh sembilan tahun, akan tetapi Tiauw Sun Ong masih
tegap dan tubuhnya kokoh kuat. Andaikata kedua matanya tidak buta, tentu dia
akan mampu melakukan perjalanan cepat sekali. Bekas pangeran ini memiliki
tingkat kepandaian yang tinggi. Akan tetapi, sepandai-pandainya dia, karena kedua matanya tidak mampu melihat, terpaksa dia melakukan perjalanan sambil meraba-raba dengan tongkatnya dan perjalanan seperti ini tentu tidak dapat cepat ...
Belum lama dia berpisah dari muridnya, Kwa Bun Houw yang dia tugaskan untuk
mencari puterinya, Tiauw Hui Hong, dan melihat keadaan kerajaan Chi di Nan-king, baru kurang lebih dua li saja dia melakukan perjalanan, tiba-tiba dari depan datang dua orang wanita yang larinya cepat sekali dan mereka lewat dengan cepat seperti tidak memperdulikan orang buta yang berjalan dengan tongkat meraba-raba jalan
itu. 123 Sebagai seorang ahli silat tingkat tinggi, diam-diam Tiauw Sun Ong terkejut karena dari gerakan lari dua orang itu, dia dapat mengetahui bahwa mereka adalah orang-orang yang memiliki ilmu yang tinggi. Akan tetapi karena mereka hanya berpapasan di jalan, diapun tidak memperdulikan lagi, tidak tahu bahwa dua orang wanita itu tiba-tiba berhenti berlari dan kini berdiri dan memandang kepadanya dari belakang.
Mereka adalah Kwan Im Sianli dan Hui Hong. "Bibi, kenapa berhenti?" tanya Hui Kong.
"Kau lihat dia" Itulah laki-laki yang kumaksudkan."
Hui Hong tertegun, mamandang pria itu dari belakang. Tadi ketika berpapasan, ia tidak memperhatikan dan baru sekarang ia melihat betapa pria itu berjalan
selangkah demi selangkah mempergunakan tongkatnya untuh meraba jalan.
"Seorang buta?"
"Sekarang dia buta, dahulu tidak dan biarpun buta, dia lihai bukan main. Aku akan menyerangnya dan aku tahu bahwa aku bukan tandingannya. Kau bantu aku
membunuh keparat jahanam itu seperti yang telah kaujanjikan dan setelah itu, aku akan membawamu kepada ayahmu. Tempatnya tidak jauh lagi dari sini."
Biarpun masih ragu karena harus mengeroyok seorang laki-laki tua yang buta,
namun karena dijanjikan akan dipertemukan dengan ayahnya, Hui Hong
mengangguk. Akan tetapi ia akan melihat dulu apakah benar-benar Kwan Im Sianli
tidak mampu mengalahkan laki-laki buta itu. Kalau ternyata wanita cantik itu
mampu mengalahkan si buta sendiri, ia tidak akan mau membantunya.
Kwan Im Sianli segera meloncat dan mengejar laki-laki buta sambil mencabut
pedangnya. "Laki-laki yang buta mata dan hatinya, saat ini engkau akan mati di tanganku!" bentak Kwan Im Sianli dan ia segera menyerang dengan pedangnya, menusuk dada pria itu dengan kuat dan cepat.
"Tranggg ... !" Tiauw Sun Ong menggerakkan tongkatnya dan tusukan pedang itu tertangkis. "Kwan Im Sianli ..." Bwe Si Ni, aku mau bicara denganmu!"
"Tidak perlu bicara lagi, mampuslah!?" bentak Kwan Im Sianli dan kini ia menyerang dengan sepenuh tenaga, mengeluarkan jurus-jurus maut. Terpaksa Tiauw Sun Ong
melayaninya, karena dia maklum bahwa wanita bekas kekasihnya ketika masih
menjadi dayang istana ini memiliki ilmu silat yang amat hebat. Dan dia tidak
mungkin hanya menangkis saja karena hal itu amat berbahaya. Menghadapi
seorang lawan sehebat Kwan Im Sianli yang menjadi seorang datuk persilatan harus balas menyerang, kalau tidak, mungkin sekali dia akan roboh dan tewas.
Tongkatnya bergerak cepat dan kini Kwan Im Sianli mulai terdesak. Dia ingin
mengalahkan wanita itu tanpa membunuhnya atau melukai berat, karena kalau dia
melukai berat, hal itu akan membuat ia menjadi semakin sakit hati kepadanya.
124 Maka, Tiauw Sun Ong juga mengerahkan seluruh tenaganya dan terus menghimpit
lawan, sinar tongkatnya bergulung-gulung dan tongkat itu bagaikan seekor naga
yang bermain-main di angkasa, membuat sinar pedang Kwan Im Sianli semakin
menyempit. Melihat betapa wanita cantik itu benar-benar terdesak oleh si buta,
barulah Hui Hong percaya betapa lihainya orang buta itu. Melihat jalannya
pertandingan, ia tahu bahwa kalau dilanjutkan, wanita itu akan kalah. Ia pun
mencabut siang-kiam (sepasang pedang) dari punggungnya dan meloncat, terjun ke
dalam medan perkelahian. Sepasang pedang menyambar-nyambar ganas.
"Trang-tranggg ...!!" Tiauw Sun Ong menangkis sepasang pedang itu dan dia
terkejut sekali karena maklum bahwa yang datang membantu Kwan Im Sianli ini
memiliki ilmu pedang yang ganas dan tenaga yang cukup kuat.
"Kwan Hwe Li, kaukah ini?" seru Tiauw Sun Ong sambil memutar tongkatnya karena kini dua orang wanita itu menyerangnya dengan hebat. Akan tetapi karena tenaga
kedua orang itu disatukan dalam suatu serangan yang berbareng, tangkisannya
membuat dia terpaksa harus meloncat ke belakang.
"Tidak perlu bertanya, bersiaplah untuk mampus!" bentak pula Kwan Im Sianli. Ia memang sudah mengambil keputusan untuk membunuh pria yang pernah
membuatnya tergila-gila ini. Lebih baik bekas pangeran ini mati di tangannya dari pada ia selalu merindukannya tanpa ada harapan sedikitpun. pria yang dicintanya ini tidak mau menjadi teman hidupnya, maka lebih baik melihat dia mati! Kwan Im Sianli memperhebat serangannya dan Hui Hong juga mengerahkan tenaga karena ia
tadi merasakan betapa kuatnya tangkisan tongkat itu yang membuat sepasang
pedangnya terpental.
Maklum bahwa bicara tidak ada gunanya terhadap Kwan Im Sianli yang berhati
keras, terpaksa Tiauw Sun Ong memutar tongkat membela diri. Dia maklum bahwa
orang yang membantu Bwe Si Ni itu bukan Kwan Hwe Li. Pertama karena Kwan Hwe
Li masih mencintanya dan ke dua karena Kwan Hwe Li pasti tidak mau bekerja sama dengan saingannya itu. Dahulupun ketika Bwe Si Ni datang menyerangnya, Kwan
Hwe Li muncul dan bahkan mengusir Bwe Si Ni.
Hui Hong bersungguh-sungguh membantu Kwan Im Sianli Bwe Si Ni sehingga
Thiauw Sun Ong mulai terdesak hebat. Dalam kemarahan dan sakit hatinya, Kwan
Im Sianli sudah melukai Tiauw Sun Ong pada pundak kirinya. Bajunya robek dan
pundak itu berdarah. Maklum bahwa akhirnya dia akan roboh dan tewas di tangan
bekas kekasihnya itu, Thiauw Sun Ong melompat kebelakang, bukan untuk
melarikan diri melainkan mencari kesempatan untuk bicara.
"Bwe Si Ni, engkau boleh mendedam kepadaku dan boleh membunuhku, akan
tetapi sebelum aku mati, aku minta agar engkau tidak mengganggu Hui Hong
anakku. Ia tidak bersalah apa-apa, jangan engkau mengganggunya dan bebaskan
Hui Hong! 125 Kwan Im Sianli terkejut mendengar ucapan itu, maka tanpa menjawab, ia sudah
meloncat ke depan dan memutar pedangnya menyerang dahsyat! Thiauw Sun Ong
menangkis, akan tetapi tangan kiri wanita itu menyambar dan mengenai dadanya.
"Plakk!" Tubuh bekas pangeran itu terjengkang, akan tetapi dia bergulingan menjauh, dikejar oleh Kwan Im Sianli. Ketika wanita ini menggerakkan pedangnya
untuk mengirim tusukan maut, dan Thiauw Sun Ong yang belum bangkit itu
terancam bahaya maut, tiba-tiba nampak sinar pedang berkelebat menangkis dari
samping. "Tranggg ... ! "
"Kwan Im Sianli, kau menipuku! Kau mengajakku membunuh ayahku sendiri!"
bentak Hui Hong dan kini ia menyerang Kwan Im Sianli dengan marah.
Kwam Im Sianli menangkis dan melompat ke belakang, tertawa nyaring.
"Heh-heh-heh, aku memang amat membencinya. Aku ingin anaknya sendiri yang
membunuhnya, hi-hik!"
"Iblis betina jahat!" bentak Hui Hong dan kembali ia menyerang dengan dahsyat, disambut oleh Kwan Im Sianli dan begitu pedang mereka bertemu Hui Hong
terhuyung ke belakang. "Bwe Si Ni, kalau kau mengganggu anakku, demi Tuhan, kubunuh engkau!" Tiauw Sun Ong kini menerjang dengan tongkatnya!" dan karena sekali ini bekas pangeran itu benar-benar marah dan mengerahkan tenaganya,
Kwan Im Sianli terpental ke belakang! Namun, wanita ini sudah nekat dan ia
menyerang lagi sehingga terjadi perkelahian yang seru, Hui Hong tidak tinggal diam.
Bermacam perasaan mengaduk hatinya. Perasaan girang karena ia bertemu
ayahnya, juga rasa haru melihat ayahnya buta, dan bangga karena ternyata ayahnya seorang yang berilmu tinggi. Menghadapi Tiauw Sun Ong sendiri saja, Kwan Im
Sianli sudah repot dan terdesak, apalagi setelah Hui Hong mengeroyoknya.
Kwan Im Sianli sudah mencari kesempatan untuk melarikan diri ketika tiba-tiba
terdengar suara orang tertawa. "Ha-ha-ha-ha, Tiauw Sun Ong si buta tidak
mengenal malu melakukan pengeroyokan! Dan engkau Hui Hong, anak durhaka
yang tidak mengenal budi orang, engkau patut dibunuh. Sejak kecil aku
merawatmu, mendidikmu, dan sekarang engkau melarikan diri tanpa pamit. Hayo
cepat berlutut!"
Akan tetapi sebelum Hui Hong menjawab. Tiauw Sun Ong yang menegur orang itu,
"Ouwyang Sek. engkau manusia busuk. Hui Hong adalah anakku, anak kandung,
engkau tidak berhak atas dirinya!"
"Keparat buta, aku memang mencarimu untuk membalas atas kematian isteriku!
Kwan Im Sianli, mari kita bunuh ayah dan anak keparat ini! Ouwyang Sek menerjang Tauw Sun Ong dengan pedangnya. Nampak pedang berubah menjadi sinar
126 bergulung-gulung. Memang datuk ini, lihai ilmu pedangnya sehingga dia
memperoleh julukan Bu-eng-kiam (Pedang Tanpa Bayangan). Kwan Im Sianli juga
menggerakkan pedangnya menyerang Tiauw Sun Ong sehingga bekas pangeran itu
dikeroyok dua. Sejenak Hui Hong terbelalak dengan muka pucat, Ibunya telah mati!
Tadi Ouwyang Sek mengatakan bahwa dia hendak membunuh, Tiauw Sun Ong
untuk membalas atas kematian isterinya. Mungkin Tiauw Sun Ong yang membunuh
ibunya" "Tahan ... !!" Ia berseru nyaring dan menggunakan sepasang pedangnya untuk
melerai perkelahian itu dengan menerjang ditengah antara mereka.
"Ayah ... " Ia menghadapi Ouwyang Sek dan bertanya, "apa maksudmu dengan
mengatakan kematian ibu?"
Ouwyang Sek memandang kepada Tiauw Sun Ong dengan mata melotot marah, lalu
pedangnya ditudingkan ke arah si buta itu.
"Dia datang dan dia yang menyebabkan ibumu mati!"
Hui Hong memutar tubuh menghadapi Tiauw Sun Ong dan suaranya gemetar ketika
ia bertanya, "Benarkah itu" Engkau ... engkau menyebabkan ibuku mati?"
Biarpun tidak dapat melihat, Tiauw Sun Ong naklum bahwa gadis itu menunjukkan
pertanyaannya kepadanya. Dia menghela napas panjang, "Hui Hong, ibumu
memang tewas, ia membunuh diri setelah bertemu denganku, karena kini ia tidak
lagi perlu menyiksa batin menjadi isteri iblis ini. Dahulu ibumu terpaksa menjadi isterinya karena hendak menyelamatkan engkau."
"Tiauw Sun Ong, jahanam busuk engkau! Apapun alasanmu, engkau akan mampus
di tanganku, dan kalau anak haram darimu ini, anak yang durhaka dan tidak
mengenal budi, hendak membelamu. iapun akan kubunuh!"
Ouwyang Sek menerjang lagi, menyerang Tiauw Sun Ong dengan kemarahan
meluap, dan Kwan Im Sianli juga menggerakkan pedang membantunya
mengeroyok. Terdengar suara Tiauw Sun Ong yang menggeledek setelah dia memutar tongkat
menangkis dan membuat pedang kedua orang datuk itu terpental.
"Dengar, Ouwyang Sek dan Kwan Im Sianli! Kalau kalian mengganggu anakku, demi Tuhan, aku tidak akan pantang membunuh kalian!"
Dua orang datuk itu kembali mengeroyoknya dan biarpun pundak kirinya sudah
terluka, Tiauw Sun Ong mengamuk dan menandingi mereka berdua dengan gigih.
Sejenak Hui Hong bimbang, akan tetapi entah mengapa, ia merasa kagum dan
percaya kepada orang buta yang ia tahu adalah ayah kandungnya itu, maka tanpa
127 banyak cakap lagi iapun memutar siang kiam di kedua tangannya dan membantu
ayahnya! Kekurangan tingkat kepandaian Hui Hong dibandingkan kedua orang lawannya
ditutup oleh kelebihan tingkat Tiauw Sun Ong yang selalu melindungi dan
membantu puterinya sehingga perkelahian itu terjadi amat serunya. Namun, tanpa
diketahui orang lain karena dia tidak pernah mengendurkan semangatnya dan tidak pernah mengeluarkan keluhan, diam-diam Tiauw Sun Ong merasa khawatir karena
luka di pundaknya mengeluarkan banyak darah dan hal ini akan mempengaruhi
kekuatannya. Oleh karena itu, dia mengeluarkan suara melengking panjang ketika
membentak dan tiba-tiba saja gerakannya amat dahsyat menerjang ke arah
Ouwyang Sek. Datuk ini terkejut, mencoba untuk mengelak, namun tetap saja ujung tongkat Tiauw Sun Ong berhasil menotok dada kanannya dan datuk itupun
terpelanting roboh dan mengerang kesakitan. Dia mencoba untuk bangkit, akan
tetapi terkulai kembali.
Kwan Im Sianli sedang mendesak Hui Hong, akan tetapi sambaran tongkat di tangan Tiauw Sun Ong membuat ia terhuyung ke belakang. Kini, ayah dan anak itu berdiri berdampingan dan menghadap ke arah Kwan Im Sianli yang tentu saja menjadi
terkejut dan jerih melihat betapa kawannya, Ouwyang Sek, sudah menggeletak dan
tidak mampu bangkit berdiri lagi.
"Bwe Si Ni, pergilah dan jangan ganggu aku lagi. Di antara kita sudah tidak ada urusan apa-apalagi. Pergilah!"
Kwan Im Sianli Bwe Si Ni mengerutkan alisnya, matanya yang mulai basah air mata itu memandang penuh kebencian. "Tiauw Sun Ong, engkau boleh menganggap
tidak ada urusan apa-apalagi, akan tetapi dendam ini akan kubawa sampai mati."
Setelah berkata demikian, ia membantu Ouwyang Sek bangun berdiri, lalu
menggandeng dan memapah datuk yang sudah dikenalnya dengan baik itu pergi
dari situ, di kuti pandang mata ayah dan anak itu. Setelah mereka pergi jauh.
barulah Tiauw Sun Ong menghela napas, kemudian dia duduk bersila dan mengatur
pernapasan dan nampak terengah lemah.
"Kau ... terluka ... " Hui Hong berkata lirih, masih belum mantap dan merasa kikuk untuk menyebut ayah. Akan tetapi, tanpa ragu lagi ia menghampiri orang tua buta itu, merobek baju di dadanya dan memeriksa pundak yang terluka. Hanya luka
daging, akan tetapi cukup parah dan mengeluarkan banyak darah. Hui Hong
menekan beberapa bagian di seputar luka untuk menghentikan keluarnya darah,
lalu mengeluarkan obat bubuk dan mengobati luka di pundak ayahnya itu.
Kemudian ia mengeluarkan sehelai kain ikat pinggang dari buntalan pakaian dan
membalut pundak ayahnya. Setelah itu, ia duduk bersila di dekat ayahnya. Semua
itu dilakukannya tanpa sepatah katapun. Bahkan kini, duduk berdua di atas tanah, merekapun tidak mengeluarkan kata-kata.
128 "Hui Hong ... ," akhirnya Tiauw Sun Ong berkata, suaranya gemetar tanda bahwa hatinya terharu. "Engkau ... mau memaafkan aku?"
Hui Hong menatap wajah itu, dan ia merasa terharu. Pantas saja kalau ibunya
mencinta orang ini. Wajahnya masih nampak gagah dan tampan, masih berwibawa
walaupun kedua matanya buta. "Mengapa harus memaafkan?" Ia bertanya heran karena memang tidak mengerti.
"Apakah ibumu, Pouw Cu Lan, tidak pernah menceritakan kepadamu tentang aku, tentang kami berdua?"
Hui Hong menggeleng kepala, akan tetapi ketika ingat bahwa orang yang diajak
bicara itu buta, iapun berkata, "Ibu hanya bercerita kepadaku ketika ayah ... eh, Ouwyang Sek itu hendak membunuhku, bahwa aku bukan anak Ouwyang Sek, dan
ibu hanya mengatakan bahwa ayah kandungku bernama Tiauw Sun Ong. Ibu tidak
tahu di mana ayahku itu, maka ketika Kwan Im Sianli mengajakku untuk
menunjukkan di mana Tiauw Sun Ong, aku ikut dengannya, dengan janji bahwa aku
akan membantunya membunuh laki-laki yang telah menghancurkan hidupnya. Aku
sama sekali tidak tahu bahwa yang hendak dibunuh itu adalah ... Tiauw Sun Ong
yang oleh ibu dikatakan ayah kandungku itu. Apakah engkau ini yang bernama
Tiauw Sun Ong" Apakah engkau ini suami ibuku, dan engkau ini sebenarnya ayah
kandungku?"
Sebetulnya Hui Hong sudah mendengar cerita ibunya mengenai hubungan ibunya
dengan Tiauw Sun Ong, akan tetapi ia ingin mendengar penuturan pria buta ini
untuk meyakinkan hatinya bahwa orang ini benar ayah kandungnya.
"Aku Tiauw Sun Ong. dahulu pangeran kerajaan Liu-sung, dan ibumu Pouw Cu Lan,
selir kakakku yang menjadi kaisar. Kami berdua saling jatuh cinta. Namun,
hubungan antara kami diketahui, dan Kaisar memarahi kami. Aku merasa berdosa
dan malu, maka di depan kakakku, aku membutakan kedua mataku, diampuni dan
aku lolos dari istana, menuntut ilmu. Aku mendengar bahwa ibumu dihukum buang
oleh Kaisar, sama sekali aku tidak tahu bahwa ia ditolong oleh Ouwyang Sek dan
diperisteri. Ia mau menjadi isteri Ouwyang Sek karena ketika itu ia telah
mengandung engkau, Hui Hong. Ia ingin menyelamatkanmu. Ah, betapa aku telah
membuat Cu Lan menderita. Aku berdosa kepadanya, dan ketika aku datang kesana
untuk meminangmu, setelah aku mendengar semua itu dari Bi Moli Kwan Hwe Li,
aku bertemu dengan ibumu dan ia mengatakan bahwa engkau pergi bersama Kwan
Im Sianli untuk mencari aku. Ibumu begitu bertemu dengan aku, merasa malu dan
menyesal, dan ia membunuh diri."
Hening sejenak, dan Tiauw Sun Ong mendengar suara isak tangis anaknya. Dia tidak dapat menahan kesedihan hatinya dan iapun meraba-raba ke arah puterinya dan di
lain saat mereka telah saling rangkul dan bertangisan.
129 "Ayah ... " Hui Hong terisak-isak. Ia merasa bersedih sekali. Ia adalah anak dari hubungan gelap antara pangeran Tiauw Sun Ong dan selir kaisar, dan hubungan itu mengakibatkan ayah kandungnya membutakan mata sendiri, dan kini
mengakibalkan ibunya membunuh diri! "Ayah, kasihan sekali ibu ... " ia meratap.
Tiauw Sun Ong mengelus rambut kepala puterinya. "Sudah takdir demikikian,
anakku. Aku membutakan mata, ibumu membunuh diri, dan semoga Tuhan
mengampuni dosa-dosa kami. Marilah, anakku, kita kembali ke Hoa-san dan kita
bicara di sana." Ayah dan anak itu lalu meninggalkan tempat itu, mendaki Hoa-san.
Hui Hong menuntun ayahnya dan setelah tiba di pondok ayahnya, iapun merawat
luka ayahnya. Ia sudah mendengar semua tentang Kwa Bun Houw dari ayah
kandungnya, dan ketika ayah kandungnya menyatakan bahwa dia setuju
menjodohkan puterinya itu dengan Bun Houw, tentu saja Hui Hong yang mencinta
Bun Houw dengan sepenuh hati menyatakan kesediaannya. Mereka kini hanya
menanti kembalinya Bun Houw di puncak Hoa-san.
*** Bagaimana kereta kuda yang dikendalikan seorang kusir bijaksana dan pandai,
bagaikan tanaman yang digulawentah seorang petani yang bijaksana dan pandai,
sebuah negara akan menjadi aman tenteram dan subur makmur seperti jalannya
kereta dan tumbuhnya tanaman apabila negara itu dipimpin oleh penguasa yang
bijaksana dan pandai pula.
Demikian pula dengan keadaan kerajaan Chi (479-501). Kaisar Siauw Bian Ong
adalah seorang kaisar yang bijaksana dan pandai, dan lebih dari itu pula, dia
mencintai negara dan bangsanya, mementingkan kebutuhan rakyat di atas
kebutuhan pribadi. Dia, sejak kerajaan Chi berdiri dan dia diangkat menjadi kaisar, selalu berusaha untuk memakmurkan kehidupan rakyat jelata, menggalakkan
pembangunan dalam segala bidang, mengulurkan tangan kepada yang miskin dan
papa, menuntun dan membimbing, memberi modal kepada yang miskin, memberi
penyuluhan kepada yang bodoh, bertangan besi dan mendidik kepada yang jahat.
Bagi kaisar ini, yang menjadi kebutuhan mutlak bagi rakyat jelata pada umumnya


Pedang Kilat Membasmi Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

adalah kehidupan yang aman tenteram tanpa gangguan orang jahat, pengayoman
dari alat negara, lapangan pekerjaan yang luas sehingga memudahkan setiap orang mencari nafkah, dan murah serta mudahnya mencukupi kebutuhan sandang pangan
dan papan. Kaisar Siauw Bian Ong berusaha sekuat tenaga untuk memenuhi semua
ini dan dia terkenal sebagai seorang pemimpin negara yang pandai merangkul
orang-orang berilmu untuk diajak bekerja sama, pandai menghargai jasa orang,
akan tetapi juga keras dan adil tak mengenal ampun kepada para koruptor yang
menjegal kebijaksanaannya, menggerogoti harta negara dan rakyat, dan yang suka
memeras dan menindas rakyat menyalahgunakan kekuasaannya.
TIDAK mengherankan kalau dalam waktu empat tahun saja sejak berdirinya,
Kerajaan Chi telah mengubah keadaan kehidupan rakyat menjadi jauh lebih baik
130 dibandingkan dengan keadaannya ketika kerajaan Liu-sung masih berdiri. Rakyat,
seperti juga kanak-kanak memandang orang tua mereka, membutuhkan contoh dari
para pemimpin para pejabat pemerintah. Orang tua yang cerewet, hanya memberi
teguran dan nasihat tanpa memberi contoh, tidak akan ditaati anak-anaknya. Yang dicontoh anak-anak adalah sikap dan perbuatan si orang tua. Demikian pula dengan rakyat yang tentu akan muak kalau hanya dijejali slogan-slogan dan nasihat; akan tetapi melihat betapa para pejabat yang pidato berapi-api memberi nasihat itu
sendiri melanggar semua anjuran yang dipidatokan.
Kaisar Siauw Bian Ong memberi contoh, dengan mengubah cara hidup keluarga
kerajaan Liu-sung yang telah dijatuhkan, dari kehidupan bermewah-mewahan
menjadi kehidupan yang jauh lebih sederhana. Pengeluaran untuk kepentingan
pribadi diperkecil, pajak rakyat diperingan, dan pembangunan dilakukan di segala bidang. Tentu saja rakyat menyambut keadaan yang tumbuh dari peraturan-peraturan baru yang amat menguntungkan ini dengan gembira dan tanpa dibujuk
lagi, dengan sendirinya rakyat mendukung pemerintahan baru yang bijaksana itu.
Dan pemerintahan di negara manapun di dunia ini akan menjadi kokoh kuat apa bila didukung oleh rakyatnya. Rakyat yang mencinta pemerintahnya pasti akan taat dan setia. Namun kecintaan terhadap pemerintah ini bukan datang begitu saja.
Melihat kebijaksanaan kaisar kerajaan Chi, yang mengampuni dan tidak mengejar-
ngejar sisa keluarga kerajaan Liu-sung, bahkan membuka pintu lebar kalau mereka dan para bekas bangsawan Liu-sung mau bekerja membantu kerajaan baru untuk
memakmurkan kehidupan rakyat, dan pandai menghargai orang-orang berilmu,
maka mereka yang memiliki kepandaian merasa tertarik dan banyaklah kaum ahli
yang berbondong-bondong menanggapi undangan Kaisar Siauw Bian Ong untuk
membantu pemerintah.
Perkembangan yang amat baik dari kerataan Chi yang masih muda ini tentu saja
tidak lepas dari pengamatan kerajaan Wei (386-532), yaitu kerajaan di sebelah
utara yang didirikan oleh bangsa Toba atau Tartar yang menguasai wilayah utara
dari lembah Sungai Kuning ke utara. Adapun kerajaan Chi mempunyai wilayah dari
utara Sungai Yang-ce ke selatan. Daerah yang amat luas antara Sungai Yang-ce dan Sungai Kuning, yang luasnya tidak kurang dari tiga ratus kali delapan ratus mil, merupakan daerah tak bertuan, atau daerah yang selalu menjadi perebutan antara
kerajaan Wei di antara dan kerajaan di Selatan, sejak kerajaan Liu-sung sampai
sekarang kerajaan Chi. Daerah tak bertuan ini dengan sendirinya menjadi daerah
penampungan para penjahat dan golongan sesat dunia kang-ouw. Pemerintah
daerah di wilayah ini terdiri dari orang orang kuat dan hukumnya adalah hukum
rimba, siapa kuat dia menang dan berkuasa.
Kerajaan Wei yang waktu itu (sekitar tahun 483) dipimpin oleh Kaisar Thai Wu
sebagai pengganti Kaisar Wei Ta Ong, tentu saja merasa cemas melihat
perkembangan kerajaan baru Chi yang ternyata kelihatan makmur dan didukung
131 rakyat sehingga akan meupakan saingan yang lebih kuat dan berbahaya
dibandingkan kerajaan Liu-sung yang telah jatuh. Maka, Kaisar Thai Wu
mengumpulkan para pembantunya mengadakan rapat dan akhirnya diambil
keputusan untuk mengirim orang-orang pandai untuk melakukan penyelidikan dan
kalau perlu menggagalkan usaha pemerintah kerajaan baru itu dengan
menimbulkan pengacauan atau menyulut api pemberontakan di mana-mana.
Rapat penting itu diadakan oleh Kaisar Thai Wu di dalam ruangan rahasia dalam
istananya. Kaisar Thai Wu sendiri, seorang pria berusia empat puluh lima tahun
yang bertubuh tinggi besar dan berwajah gagah, dengan mata yang lebar tajam dan suaranya yang tegas keras, memimpin rapat itu. Di sebelah kanannya duduk
seorang kakek yang usianyan sekitar enam puluh lima tahun bertubuh tinggi kurus dan mukanya pucat, kelihatan lemah dan loyo, akan tetapi sesungguhnya, dialah
yang merupakan Kok-su (Guru Negara), penasihat dan juga guru dari kaisar sendiri.
Kakek ini disebut Thian-te Seng-jin, seorang tosu (pendeta agama To) yang terkenal sebagai seorang yang sakti, pandai ilmu silat dan ilmu sihir. Selain beberapa orang panglima besar yang hadir, terdapat pula tiga orang yang berpakaian preman.
Mereka adalah murid-murid Thian-te Seng-jin, sehingga mereka itupun menjadi
saudara-saudara seperguruan kaisar sendiri yang telah mendapatkan kepercayaan
penuh membantu kaisar dalam pemerintahannya. Tiga orang tokoh yang demikian
sombongnya sehingga berani menggunakan julukan Bu-tek Sam-kwi (Tiga Setan
Tanpa Tanding)! Orang pertama berjuluk Pek-thian-kwi (Setan Dunia Utara)
bertubuh gendut dan bundar, berusia lima puluh tahun. Yang ke dua berjuluk
Huang-ho-kwi (Setan Sungai Kuning) bertubuh tinggi kurus dan matanya sipit,
adapun orang ke tiga yang wajahnya tampan gagah dan pesolek berjuluk Toat-beng-
kwi (Setan Pencabut Nyawa)!
Mereka sebagai suheng dan su-te dari kaisar, mendapat kepercayaan penuh dan
dalam rapat ini, Kaisar memberi tugas kepada mereka bertiga untuk melawat ke
selatan dan membawa anak buah pilihan mereka untuk mengguncang kerajaan Chi
tanpa melalui perang, melainkan melalui pengrusakan dan pengacauan.
Bu-tek Sam-kwi segera memilih anak buah mereka yang terdiri dari orang-orang
yang tangguh, mengumpulkan seratus orang dan membentuk kesatuan baru yang
mereka namakan Thian-te-kwi pang (Perkumpulan Setan Bumi Langit), nama yang
dipakai untuk menghormati guru mereka, yaitu Thian-te Seng-jin. Bagaikan
segerombolan iblis yang menyeramkan, seratus orang ini bersama tiga orang
pemimpin mereka, melakukan perjalanan, menyusup ke selatan secara berpencar.
Gerakan yang dilakukan kerajaan Wei itu amat dirahasiakan, bahkan penyusupan
itupun dilakukan secara berpencar, maka tak seorang pun di kerajaan Chi
mengetahui atau menduganya. Keadaan di kota raja Nan-king tenang-tenang dan
tenteram saja, tidak ada yang menduga bahwa saat itu, sekawanan manusia iblis
132 menyusup dan membawa tugas yang akan menghancurkan atau setidaknya
mengacaukan ketenangan hidup mereka.
Pagi itu memang udara cerah. Musim semi telah lewat dua bulan dan tumbuh-
tumbuhan sedang segar segarnya, sehingga waktu yang amat indah itu
dipergunakan banyak orang untuk menghibur diri sambil menikmati keindahan
bumi yang dipenuhi tumbuh-tumbuhan yang segar. Di dalam sebuah hutan, di luar
kota raja Nan-king, nampak dua orang wanita sedang berburu binatang dengan
anak panah mereka. Keduanya menunggang kuda yang besar gagah, dan keduanya
nampak cantik sekali. Dari pakaian mereka, dapat diduga bahwa mereka berdua
adalah wanita-wanita bangsawan, akan tetapi bukan puteri-puteri yang lembut dan lemah karena pakaian mereka ringkas, seperti yang biasa dipakai oleh para
pengawal wanita dari istana kaisar. Dan memang sebenarnyalah. Wanita berusia
lima puluhan tahun yang masih cantik manis seperti berusia tiga puluh tahun saja itu adalah Bi Moli Kwan Hwe Li yang kini menjadi guru yang mengajarkan silat
kepada para perwira pasukan kerajaan, sedangkan yang muda, berusia dua puluh
tiga tahun dan cantik manis, adalah Cia Ling Ay, murid Bi Moli, yang kini bekerja di istana sebagai pengawal pribadi permaisuri dan juga mengajarkan silat kepada para puteri istana dan para pengawal wanita.
Hari itu mereka mendapat perkenan dari istana untuk berlibur dan memburu
binatang. Guru dan murid ini, yang telah memperoleh kedudukan lumayan, merasa
gembira bukan main. Bi Moli Kwan Hwe Li telah merobohkan seekor kijang dengan
panahnya, sedangkan muridnya, Cia Ling Ay, telah merobohkan dua ekor kelinci.
Mereka manggantungkan tiga hasil buruan mereka itu di sebatang pohon besar di
tepi hutan, akan mereka ambil nanti kalau mereka sudah selesai berburu.
Akan tetapi, sudah setengah jam mereka menyusup-nyusup ke dalam hutan dengan
kuda mereka, mereka tidak lagi milihat binatang buruan. Ling Ay yang merasa
perutnya lapar karena mereka tadi berangkat pagi sekali dan ia belum makan apa-
apa, teringat akan dua ekor kelinci hasil buruannya dan seekor kijang hasil buruan gurunya.
"Subo, sebaiknya kita sudahi saja perburuan ini. Perut teecu (murid) lapar sekali dan sebaiknya daging kelinci dan kijang itu dipanggang selagi masih segar."
Bi Moli tersenyum. "Aihh, begitu kau bicara tentang panggang daging, perutku mendadak saja bernyanyi dan menagih!" katanya dan kedua orang wanita itu lalu membalikkan kuda mereka keluar dari dalam hutan, menuju ke pohon besar di
mana tadi mereka menyimpan hasil buruan mereka agar tidak dimakan binatang
hutan yang lain.
Ketika mereka tiba di tempat itu, mereka melihat ada tiga orang laki-laki sedang berdiri dan mengangkat muka, memandang ke arah dua ekor kelinci dan seekor
kijang yang tergantung di antara ranting pohon, menuding-nuding dan
133 membicarakannya. Mendengar kaki kuda tiga orang itu memandang dan mereka
terbelalak heran melihat bahwa penunggang dua ekor kuda itu adalah dua orang
wanita cantik. Di lain pihak, Bi Moli dan Ling Ay juga mengamati tiga orang itu dengan pandang mata penuh selidik. Mereka bertiga itu berpakaian ringkas seperti pemburu dan kehadiran mereka di hutan menunjukkan bahwa tentu mereka itu
juga pemburu-pemburu yang hendak memburu binatang. Di punggung merekapun
terdapat gendewa dan anak panah.
Setelah meloncat turun dari atas punggung kuda dan membiarkan kuda mereka
makan rumput, dua orang yarita itu menghampiri tiga orang, dan Bi Moli langsung bertanya. "Sobat-sobat, apa yang kalian tonton?"
Tiga orang itu bersikap sopan dan mereka memberi hormat kepada Bi Moli dan Ling Ay-"Maaf, toanio. Kami adalah tiga orang pemburu yang hendak mencoba
peruntungan berburu di hutan ini. Kami biasanya berburu di sebelah selatan, akan tetapi di daerah selatan sudah terdpat terlalu banyak pemburu sehingga hasil
buruan hutan amatlah kurangnya. Kami ingin mencoba peruntungan di hutan ini
dan kami merasa heran melihat dua ekor kelinci dan seekor kijang di atas itu.
Siapakah yang menyimpan buruan itu di sana," tanya di antara mereka yang
mukanya brewokan, suaranya lantang namun sikapnya tegas dan sopan. Mereka
memandang ke arah gendewa dan anak panah Bi Moli.
"Itu milik kami, hasil buruan kami." kata Bi Moli. "Kami akan mengambilnya sekarang dan akan memanggang dagingnya karena kami sudah merasa lapar sekali.
Ling Ay, ambil ah kelinci dan kijang itu!"
"Baik, subo." kata Ling Ay dan sekali mengenjotkan kakinya, tubuh gadis itu sudah melayang naik ke atas dan hinggap di cabang pohon, lalu mengambil bangkai kijang dan dua ekor kelinci itu, dan meloncat turun dengan gerakan yang ringan dan gesit.
Tiga orang itu saling pandang dan seorang di antara mereka yang mukanya licin
halus seperti wajah perempuan, memuji, "Kepandaian nona sungguh hebat sekali.
Kami kagum dan taluk."
Orang ke tiga, yang pendek gemuk, tersenyum. "Pantas saja ji-wi sepagi ini telah merobohkan tiga ekor binatang buruan yang gemuk dan lezat dagingnya, sedangkan
kami bertiga belum mendapatkan apa-apa sejak pagi, kiranya ji-wi adalah dua orang pemburu yang gagah perkasa dan berilmu tinggi!"
"Baru sekarang kami bertiga bertemu dengan dua orang wanita pemburu yang luar biasa!" kata pula si brewok. Melihat betapa tiga orang itu memuji-muji tiada hentinya, Ling Ay mengerutkan alisnya. Ia tidak senang mendengar rayuan pria, hal yang dianggapnya palsu, maka ia ingin menghentikan rayuan mereka dan berkata
dengan suara yang agak ketus.
134 "Kami bukanlah wanita pemburu! Kami hanya iseng-iseng dan kami tidak ingin berkenalan dengan para pemburu."
Akan tetapi, ucapan yang agak ketus ini tidak membuat mereka mundur, bahkan si
muka halus berseru heran, "Aih, bukan pemburu" Kalau begitu, lebih mengagumkan lagi! Ji-wi tentulah wanita-wanita kang-ouw yang bernama besar dan berilmu
tinggi!" Ling Ay semakin tak senang. Diberi tanda untuk menghentikan percakapan, malah
menjadi-jadi! Untuk membuat mereka jerih dan mundur, ia lalu berkata, "Kami adalah perwira-perwira pengawal istana! Harap kalian tidak mengganggu kami lebih lama lagi, kami sibuk hendak memanggang daging!"
Bi Moli tersenyum saja melihat ulah muridnya yang tidak suka diganggu itu, dan
iapun memilih batu yang bersih lalu duduk di atasnya. Tiga orang pria itu saling pandang, dan nampak mereka terkejut mendengar bahwa mereka berhadapan
dengan dua orang perwira wanita dari pasukan pengawal istana!
Kemudian, si brewok yang usianya sekitar empat puluh tahun dan agaknya menjadi
pimpinan dari tiga orang itu, segera mengangkat kedua tangan ke depan dada,
di kuti dua orang kawannya. "Ah, mohon ji-wi sudi memberi maaf kepada kami yang lancang berani mengganggu ji-wi. Akan tetapi, karena jiwi bukanlah pemburu, tentu kurang pengalaman, dan kurang perlengkapan untuk memanggang daging binatang
buruan. Kami membawa bekal bumbu yang lengkap dan kami sudah terbiasa
membuat daging binatang hutan menjadi hidangan lezat. Kalau ji-wi suka kami akan membantu ji-wi, menguliti hasil buruan itu, memberi bumbu dan memanggang
dagingnya, dan ji-wi tinggal menikmatinya saja."
Bi Moli sekarang memandang kepada si brewok dan bibir yang selalu dihias senyum itu kini melebar, matanya mencorong. "Kalian bertiga adalah pemburu-pemburu yang sama sekali tidak kami kenal. Mengapa kalian bersikap baik dan manis kepada kami?"
Si brewok itu juga tersenyum. "Toanio tentu mencurigai kami dan ingin mengetahui pamrih dari kami" Memang ada pamrihnya. Pertama, kami juga sudah lapar, sejak
malam tadi tidak makan apapun, dan kedua, tidak mungkin ji-wi dapat
menghabiskan semua daging ini, maka selain mengharapkan dapat ikut makan,
kamipun mengharapkan mendapat sisa daging untuk kami jadikan dendeng dan
kami bawa pulang."
Kini Bi Moli dan Ling Ay saling pandang, lalu tertawa. Bagaimanapun juga, menguliti dan memanggang daging di tempat itu tanpa perlengkapan memang bukan
merupakan pekerjaan mudah. Daging itu tidak akan enak kalau hanya dipanggang
dan diberi garam saja, satu-satunya bumbu yang mereka bawa sebagai bekal dari
rumah tadi. 135 "Baiklah, kami memang tidak suka ditolong orang tanpa imbalan. Nah, kalian panggangkan daging-daging itu dan semua sisanya boleh kalian ambil." kata Ling Ay.
Iapun mencari tempat yang bersih untuk duduk, tak jauh dari gurunya. Mereka
hanya duduk dan melihat kesibukan tiga orang itu. Mereka itu menguliti kijang dan dua ekor kelinci, membuang isi perutnya, membuat api, mengeluarkan bumbu yang
lengkap, dan ada yang mencari air dengan panci yang memang sudah mereka bawa
sebagai perlengkapan. Mereka dapat bekerja cepat dan nampak jelas bahwa ke tiga orang itu memang sudah terbiasa menyiapkan makanan dalam hutan.
Sambil memanggang daging yang mengeluarkan aroma sedap karena diberi bumbu
yang lengkap, tiga orang itu tiada hentinya menceritakan keadaan mereka sebagai pemburu-pemburu yang miskin dan tinggal jauh di dusun yang terletak di
pegunungan sebelah barat Nan-king. Mereka juga memuji-muji pemerintahan dari
kerajaan Chi, dan seperti sambil lalu mereka juga menanyakan kedudukan dua
orang wanita itu di dalam istana kaisar. Karena sikap mereka yang biasa ramah dan tidak mencurigakan, Ling Ay menceritakan dengan sejujurnya bahwa baru beberapa
bulan saja gurunya bekerja menjadi pelatih silat di istana, dan ia sendiri menjadi seorang perwira pengawal permaisuri.
Setelah panggang daging itu matang, tiga orang pemburu menghidangkan bagian-
bagian yang paling lunak dan lezat kepada Ling Ay dan gurunya, dan merekapun
mengeluarkan seguci besar anggur yang baunya harum sekali. Tentu saja guru dan
murid itu menjadi gembira, dan mereka tidak menolak ketika disuguhi anggur di
dalam cawan-cawan bersih yang memang sudah dipersiapkan tiga orang pemburu
itu. Bi Moli sendiri tidak menaruh curiga karena tiga orang itu pun minum anggur dari guci yang sama. Kalau anggur itu diberi racun, tentu tiga orang itu akan roboh lebih dahulu karena mereka yang lebih dulu minum.
Tiga orang itu tidak membual. Panggang daging itu sungguh lezat sekali. Lunak dan ada rasa bumbu asing yang aneh, namun yang membuat daging itu sedap. Guru dan
murid itu makan sampai kenyang dan mereka masing-masing menghabiskan tiga
cawan anggur. "Hemm, kalian memang pandai sekali memasak," kata Bi Moli dengan senang dan ia menyusut bibirnya dengan saputangan. "Semua sisa dagingnya boleh kalian ambil, kami tidak memerlukan lagi. Ling Ay, mari kita kembali, matahari sudah naik tinggi."
"Baik, subo," kata Ling Ay sambil bangkit berdiri dan menghampiri dua ekor kuda mereka yang masih makan rumput. Akan tetapi, tiba-tiba pandang matanya
berkunang dan sekelilingnya seperti berputar. Ling Ay mengeluh dan menggunakan
tangan untuk memegang kepalanya, namun ia terhuyung. Ia masih sampat melihat
betapa subonya meloncat berdiri dan gurunya itu membuat gerakan untuk
menyerang tiga orang pemburu tadi, akan tetapi gurunya mengeluh dan terguling
roboh. Ling Ay tak dapat menahan kemarahannya karena ia dapat menduga bahwa
ia dan gurunya telah keracunan.
136 "Kalian ...!" Ia melompat untuk menyerang, namun iapun terguling karena pening dan roboh di dekat gurunya. Ia masih sempat melihat munculnya belasan orang
yang berpakaian serba hitam di tempat itu, lalu semua menjadi gelap dan ia tidak ingat apa-apalagi.
Bi Moli Kwan Hwe Li adalah seorang datuk yang memiliki ilmu kepandaian tinggi
dan pengalaman luas. Kalau tadi ia sampai terkecoh dan minum anggur yang sudah
dicampuri obat bius adalah karena ia menaruh kepercayaan melihat tiga orang
pemburu itu juga minum anggur dari guci yang sama. Tentu saja ia tidak menduga
bahwa tiga orang itu mempersiapkan segalanya, dan sebelum minum anggur, sudah
lebih dahulu minum obat penawar racun atau pembius itu sehingga mereka tidak
terpengaruh. Begitu ia bangkit dan merasa pening, ia pun maklum bahwa ia dan muridnya
keracunan, maka ia hendak menyerang tiga orang itu. Akan tetapi, ia segera
teringat bahwa gerakan yang mengerahkan sin-kang akan membuat racun di dalam
perutnya bekerja lebih cepat, maka iapun sengaja membuat dirinya terpelanting
roboh. Diam-diam ia mengerahkan tenaga sakti dalam perutnya, dan menggunakan
telunjuknya untuk dimasukkan ke dalam mulut, menyentuh kerongkongannya.
Seketika ia muntah-muntah, dan dengan penambahan dorongan tenaga sin-kang,
maka tenaga muntahan itu menjadi senakin kuat dan semua yang berada di dalam
pencernaannya tertuang keluar melalui mulutnya! Juga anggur yang mengandung
obat pembius itu.
Yang tinggal di dalam perutnya hanya sedikit dan yang sedikit itu tidak lagi
mempengaruhi tubuhnya yang sudah terlatih dan kuat.
Ia melihat betapa muncul belasan oraag yang berpakaian hitam-hitam maka iapun
menanti sampai mereka bergerak mendekatinya. Tiba-tiba ia meloncat dan
mengeluarkan suara melengking panjang, membuat belasan orang berpakaian
hitam-hitam dan tiga orang pemburu tadi terkejut setengah mati karena di dalam
lengkingan itu terkandung getaran yang membuat mereka semua tergetar seperti
lumpuh! Agaknya, belasan orang itu bukan orang-orang sembarangan. Terdengar seruan
seorang di antara mereka, "Sumbat telinga dan tangkap ia! Ia menggunakan tenaga sihir!"
Belasan orang itu menggunakan alat kecil penyumbat telinga, agaknya mereka
memang sudah mempersiapkan segala kemungkinan, dan kini mengepung Bi Moli
Kwan Hwe Li dan dari gerakan dan sikap mereka, datuk wanita ini maklum bahwa
mereka bukanlah orang-orang lemah. Melihat ia dikepung belasan orang laki-laki
yang berpakaian serba hitam, Bi Moli Kwan Hwe Li segera menggerakkan
pedangnya. Ia tidak merasa perlu untuk bicara lagi karena mereka semua telah
menyumbat telinga mereka sehingga mereka tidak akan mendengar apa yang ia
137 katakan. Dengan marah ia memutar pedangnya dan para pengepungnya terkejut
sekali melihat gulungan sinar pedang yang menyelimuti tubuh wanita cantik itu.
Mereka memperlebar kepungan dan mengeroyok dari sekelilingnya sehingga Bi
Moli terpaksa harus melindungi tubuhnya dari gulungan sinar pedang, tanpa
mendapat banyak kesempatan untuk menyerang. Ternyata bahwa belasan orang itu
rata-rata memiliki ilmu silat yang cukup tangguh.
Ketika seorang di antara mereka memberi isarat dengan mengeluarkan sebuah
benda seperti gulungan kain, yang lain juga segera mengeluarkan benda yang sama.
Tiba-tiba, seorang yang berdiri di belakangnya menggerakkan benda itu ke atas dan benda itu ternyata sehelai jaring hitam yang menyambar dan menubruk ke arah Bi
Moli. Wanita ini cepat mengelak ke samping dan biarpun ia dapat menghindarkan
diri dari terkaman jaring itu, ia disambut sambaran jaring lain. Ia mengelak dan menggerakkan pedang untuk menangkis, akan tetapi akhirnya, sehelai jaring
menerkamnya dari belakang atas. Bi Moli mengerahkan tenaga menggerakkan
pedangnya. Ternyata jaring itu terbuat dari bahan yang kuat dan ulet, yang tidak menjadi putus oleh sabetan pedangnya. Ketika Bi Moli bagaikan seekor ikan
terjaring, menggerakkan tenaga meronta-ronta dan tangan kirinya yang menangkap
jaring itu berhasil merenggut putus beberapa helai tali jaring, jaring kedua sudah menerkam di atas jaring pertama!
Bi Moli terkejut, maklum bahwa kalau banyak jaring menimpanya, ia tidak akan
mampu lolos lagi. Akan tetapi pada saat itu, tiba-tiba terdengar suara mengaung-ngaung dan dua orang pengeroyok terpelanting dan jaring-jaring itu ditarik kembali, hanya tinggal dua helai yang masih menyelimuti dirinya. Akan tetapi karena dua
orang pemegang tali jaring itu diserang oleh seorang pemuda yang memegang
sebatang pedang sehingga mereka terdesak mundur dan dengan mudah Bi Moli lalu
meronta melepaskan diri dari dua helai jaring itu.
Pemuda itu berusia kurang lebih dua puluh delapan tahun, bertubuh tinggi besar
dan gagah. Dari pakaiannya yang ringkas saja dapat diduga bahwa dia seorang
pemuda kang-ouw yang perkasa. Pedang di tangannya diputar membentuk sinar
bergulung-gulung yang mengeluarkan bunyi mengaung-ngaung. Melihat ini, Bi Moli


Pedang Kilat Membasmi Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menjadi gembira dan cepat iapun memutar pedangnya menerjang para
pengeroyok. Agaknya para pengepung maklum bahwa pemuda itu seorang yang lihai. Apalagi
dua orang di antara mereka telah roboh oleh pedang di tangan pemuda itu. Mereka mengangkat dua orang kawan mereka yang terluka. dan melarikan diri menghilang
ke dalam hutan.
Bi Moli tidak mengejar, dan pemuda itupun tidak melakukan pengejaran. Mereka
berdiri saling berhadapan dan berpandangan dengan penuh selidik. Bi Moli
tersenyum, memandang kagum karena pemuda itu memang gagah perkasa dan
tampan. 138 "Aih, kalau aku tidak salah duga, bukankah engkau ini putera atau murid dari Bueng-kiam Ouwyang sek, majikan Lembah Bukit Siluman?"
Pemuda itu memberi hormat. Dia memang benar Ouwyang Toan, putera tunggal
Bu-eng-kim (Pedang Tanpa Bayangan) Ouwyang Sek. Dia meninggalkan Lembah
Bukit Siluman dalam perjalanannya mencari Tiauw Hui Hong, murid atau anak tiri
ayahnya yang pergi meninggalkan lembah untuk mencari ayah kandungnya.
Ouwyang Toan ini jatuh cinta kepada adik seperguruan atau adik tirinya sendiri dan dia bertekad untuk memperisteri Hui Hong. Dalam perjalanannya nenuju ke kota
raja Nan-king dalam usaha mencari Hui Hong, dia melihat betapa Bi Moli dikeroyok oleh belasan orang, maka diapun segera memberi bantuan. Dia tidak mengenal
wanita itu, akan tetapi melihat seorang wanita dikeroyok belasan orang pria dan keadaannya terancam, tentu dia tidak dapat membiarkannya begitu saja. Apalagi
wanita itu demikian cantiknya, dan ada seorang nona cantik lain rebah pingsan di atas rumput.
"Toanio (nyonya) sungguh lihai dan bermata tajam, memang benar dugaan toanio, aku bernama Ouwyang Toan dan ayahku adalah Bu-eng-kiam Ouwyang Sek. Ayahku
pernah bercerita tentang seorang datuk wanita yang lihai dan selalu nampak cantik dan muda, juga ia seorang ahli sihir. Tadi toanio menggunakan kekuatan sihir,
apakah toanio yang bernama Bi Moli Kwan Hwe Li?"
Bi Moli tertawa girang. "Aih, engkau sungguh mengagumkan, tidak mengecewakan menjadi putera Bu-eng-kiam! Engkau gagah perkasa, tampan dan cerdik."
"Bibi Kwan terlalu memuji," kata Ouwyang Toan merendah, kini tanpa ragu lagi menyebut bibi karena ayahnya mengatakan bahwa ayahnya mengenal baik wanita
yang dianggap setingkat dan segolongan dengan ayahnya itu. "Akan tetapi, siapakah nona yang masih tak sadar itu, bibi?"
"Aih, aku sampai lupa! Ia adalah muridku dan tadi kami tertipu oleh tiga orang pemburu yang mencampurkan racun pembius dalam anggur yang mereka
suguhkan." Bi Moli menghampiri muridnya yang masih rebah terlentang dalam
keadaan pingsan, di kuti oleh Ouwyang Toan yang diam-diam memandang kagum
kepada wanita muda yang cantik itu.
"Bibi, aku mempunyai obat penawar segala macam racun. Kalau boleh, biarkan aku yang menyadarkannya," kata Ouwyang Toan. Bi Moli memandang wajah pemuda
itu dan mengangguk sambil tersenyum! Sebagai seorang wanita berpengalaman, ia
tahu bahwa pemuda putera datuk dari Lembah Bukit Siluman ini tertarik kepada
muridnya. Mengapa tidak, pikirnya! Kalau muridnya dapat menjadi mantu Ouwyang
Sek, berarti ia mempunyai sekutu yang amat kuat.
Setelah mendapatkan persetujuan Bi Moli Ouwyang Toan dengan girang lalu
berlutut di dekat tubuh yang terlentang itu. Jantungnya berdebar keras karena
dengan berlutut di dekat tubuh itu, dia dapat melihat dengan jelas bentuk tubuh 139
yang ramping padat itu, wajah yang cantik manis. Dia bukan seorang yang ber
watak mata keranjang, akan tetapi Ling Ay memang memiliki kecantikan yang
mampu menarik hati pria yang pendiam sekalipun!
Ouwyang Toan mengambil dua butir pel merah dari sebuah bungkusan, lalu
menghancurkan dua butir pel itu ke dalam secawan arak. Setelah itu, dia menotok jalan darah di kedua pundak dan tengkuk Ling Ay. Gadis itu belum siuman, akan
tetapi sudah mengeluh dan dapat bergerak tanpa membuka mata karena masih
dipengaruhi racun pembius. Karena ia sudah mampu bergerak, Ouwyang Toan
merangkulnya dengan lengan kiri, membantunya bangkit duduk, lalu memaksanya
minum obat penawar racun dari cawan. Biarpun tidak mudah, namun setelah
Ouwyang Toan meniup ke hidung Ling Ay, wanita ini gelagapan dan terpaksa dapat
menelan semua isi cawan. Ouwyang Toan merebahkannya kembali dan dengan jari-
jari tangan penuh gairah, dia memijit-mijit pundak dan tengkuk Ling Ay, merasa
betapa lembut kulit itu, betapa hangat dan berisi.
Tak lama kemudian, Ling Ay mengeluh dan membuka mata. Begitu melihat ada
seorang laki-laki berlutut di dekatnya dan laki-laki itu meraba-raba dan memijit-mijit tengkuk dan pundaknya, ia mengeluarkan seruan nyaring dan sambil meloncat
berdiri, ia mengirim pukulan ke arah muka laki-laki itu, "Wuuuuttt ... plakkk!"
Ouwyang Toan menangkis tamparan yang amat kuat itu dan diapun melompat
berdiri. Ling Ay sudah siap untuk melanjutkan serangannya, akan tetapi gurunya segera
melangkah maju dan menangkap lengannya.
"Tenanglah, Ling Ay dan jangan salah mengerti. Pemuda ini tidak berniat buruk, bahkan dia yang telah mengobatimu dan menyadarkanmu dari pengaruh racun
pembius." kata Bi Moli kepada muridnya. Mendengar ini, Ling Ay terkejut dan
mundur dua langkah, memandang kepada pemuda itu dan kedua pipinya berubah
kemerahan. "Ahhh ... maafkan aku ... " katanya gagap dan malu telah menyerang orang tanpa bertanya dulu sehingga hampir ia memukul penolongnya!
"Tidak mengapa, nona. "kata Ouwang Toan.
"Ling Ay, dia adalah Ouwyang Toan, putera dari Bu-eng kiam Ouwyang Sek. Kalau dia tidak datang, tentu akupun tadi akan terancam bahaya dari tangan orang-orang berpakaian hitam itu. Ouwyang Toan, kenalkan, muridku ini bernama Cia Ling Ay."
Ling Ay yang menyadari kesalahannya tadi, segera memberi hormat dan berkata
dengan suara lembut dan ramah, "Terima kasih atas bantuan Ouwyang Tai-hiap."
Ouwyang Toan tersenyum. "Ahhh, harap nona jangan menyebutku taihiap
(pendekar besar)!"
140 Bi Moli tertawa. "Engkau sendiri menyebut Ling Ay nona. Ketahuilah, ia bukan nona, melainkan nyonya muda, ia sudah janda tanpa anak ... "
"Subo ... " kata Ling Ay dan mukanya berubah kemerahan. Ia menganggap memalukan untuk memperkenalkan dirinya sebagai seorang janda muda tanpa
anak. "Aihh, Ling Ay. Ouwyang Toan ini adalah putera Bu-eng-kiam Ouwyang Sek yang kuanggap sebagai segolongan dan sahabat sendiri, maka diapun dapat kita anggap
orang serdiri. Engkau tidak perlu sungkan dan sebut saja dia toako, dan engkau
menyebut siauw-moi kepada Ling Ay, Ouwyang Toan."
Kedua orang muda itu kembali saling pandang dan dengan sikap malu-malu karena
mata pemuda itu menjelajahi seluruh tubuhnya, Ling Ay berkata, "Ouwyang toako!"
"Cia-moi, di antara kita memang tidak perlu sungkan seperti apa yang dikatakan bibi Kwan."
"Kulihat Bibi Kwan dan Adik Ling Ay berpakaian seperti perwira kerajaan. Benarkah dugaanku ini?"
"Tidak salah, Ouwyang Toan. Aku bekerja di istana sebagai guru silat yang melatih para perwira dan para puteri, sedangkan Ling Ay bekerja sebagai perwira pasukan pengawal permaisuri."
"Ah, kiranya bibi dan adik telah menjadi orang-orang penting di istana! Sungguh mengagumkan sekali!"
"Tidak perlu memuji, Ouwyang Toan. Kami hanya perwira-perwira kecil. Akan tetapi engkau sendiri, hendak ke manakah dan bagaimana dengan keadaan ayahmu di
Lembah Bukit Siluman?"
"Terima kasih, bibi. Ayah baik-baik saja. Dan aku sendiri sedang mencari ... adikku yang pergi dari rumah."
"Siapakah adikmu itu" Dan, kalau tidak salah, Bu-eng kiam mempunyai seorang anak perempuan. itukah yang kaumaksudkan" Siapalagi namanya, aku sudah lupa."
"Benar, bibi. Namanya Hui Hong ... eh, ada apakah, adik Ling Ay" Kenalkah engkau dengan adikku, atau apakah engkau melihat ia di kota raja !"
Ling Ay menggeleng kepala. "Aku ... rasanya aku pernah melihatnya dan mendengar namanya, yaitu kurang lebih empat tahun yang lalu ... "
"Sebelum engkau menjadi muridku?" tanya gurunya.
Ling Ay sudah dapat menenangkan hatinya. ia ingat bahwa gadis bernama Hui Hong
itu adalah gadis yang membuat hatinya merasa tidak enak dan cemburu karena
141 gadis itu datang bersama Bun Houw dan mereka nampak demikian akrab, ia merasa
tidak perlu bicara tentang itu dan iapun berkata tenang, "Akan tetapi, sejak empat tahun yang lalu, aku tidak pernah lagi melihatnya."
"Mari ikut bersama kami, Ouwyang Toan. Kami akan membantu mencari
keterangan. Kalau memang benar adikmu berada di kota raja, kami tentu akan
dapat menemukannya. Kami harus cepat kembali ke kota raja untuk melaporkan
tentang adanya gerombolan berpakaian hitam yang rata-rata memiliki kepandaian
tinggi itu. Mereka harus cepat dibasmi dan kami akan minta kepada panglima
pasukan keamanan untuk menggerebek mereka di hutan ini."
Ouwyang Toan merasa girang, bukan saja karena akan mendapat bantuan
menemukan Hui Hong, melainkan juga karena dia akan berdekatan dengan Ling Ay
yang cantik manis, dan juga Bi Moli yang biarpun usianya sudah setengah abad,
masih nampak jelita itu. Mereka lalu berangkat ke Nan-king. Bi Moli berboncengan satu kuda dengan muridnya dan kuda yang seekor lagi diberikan kepada Ouwyang
Toan ...!"
Karena yang membawanya Bi Moli dan Ling Ay, tentu saja Ouwyang Toan tidak
dilarang memasuki istana dan dia mendapatkan sebuah kamar dalam sebuah
gedung di samping agak terpisah dari gedung induk, yaitu gedung yeng memang
disediakan bagi para tamu istana. Bi Mo-li sendiri segera menghubungi panglima
pasukan keamanan yang mengirim pasukan untuk menggerebek gerombolan
berpakaian hitam yang tadi mengeroyok Bi Moli. Akan tetapi, pasukan itu tidak
menemukan apa-apa. Pasukan itu tidak menemukan seorang pun anggauta
gerombolan walaupun di tengah hutan didapatkan pondok-pondok darurat dan ada
tanda-tanda bahwa baru saja banyak orang meninggalkan tempat itu.
Memenuhi janjinya, Bi Moli juga menyebar penyelidik untuk mencari seorang gadis bernama Ouwyang Hui Hong, namun sampai beberapa hari lamanya, pencarian
mereka itu tidak berhasil menemukan gadis yang dicari. Sementara itu, Ouwyang
Toan tinggal sebagai tamu terhormat di lingkungan istana, dan walaupun tempat itu dijaga para pengawal dan dia tidak dapat berkeliaran di dalam istana, namun di
sekeliling gedung tamu itu terdapat taman yang luas dan indah sehingga membuat
pemuda ini merasa betah tinggal di situ. Apalagi di waktu malam, seringkili Bi Moli dan Ling Ay datang berkunjung dan hubungan mereka telah akrab.
Karena sikap Ouwyang Toan memang baik terhadap dirinya, dan ia tahu bahwa
pemuda itu seorang yang berkepandaian tinggi, maka ketika gurunya menyindirkan
bahwa pemuda itu akan menjadi jodohnya yang baik, Ling Ay tersipu dan
menundukkan mukanya yang berubah kemerahan.
"Ling Ay, pemuda itu seorang yang baik dan akan sukarlah mencari seorang calon suami yang melebihi dia. Dia lihai, tampan, gagah, putera seorang tokoh besar ... "
142 "Subo! Subo tahu bahwa aku seorang janda, dan aku ... aku hanya mencinta
seorang ... "
"Bodoh! Jangan engkau meniru sikap hidupku yang membuat aku merana sampai
setua ini! Apa artinya mencinta seorang pria mati-matian, padahal pria itu sendiri tidak mencintamu" Engkau akan menderita! Aku sudah bersikap bodoh ketika
muda. Sebetulnya tidak seharusnya aku bersikap seperti itu, mengharapkan seorang pria menjadi jodohku sampai aku harus mengorbankan diri, bersetia sampai
puluhan tahun, pada hal pria itu tidak mau menjadi jodohku! Seharusnya kita
menempuh dua jalan, pertama, kita harus menggunakan segala daya upaya untuk
mendapatkan pria yang kita cinta itu, baik secara halus maupun kasar. Kalau itu gagal, kita mencari pria lain dan melupakan yang pertama! Nah, untuk apa engkau mengharapkan kekasih pertamamu itu. padahal dia tidak mencintamu lagi, bahkan
engkau pernah menikah dengan orang lain" Sekarang ada Ouwyang Toan, dan
kurasa dia tidak kalah dibandingkan dengan pria manapun."
"Subo, dia serdiri belum tentu mau denganku. Aku hanya seorang janda, dan dia putera seorang datuk dan ... "
"Aku yakin dia pasti mau memperisteri dirimu."
"Bagaimana mungkin subo tahu?"
Bi Moli tersenyum. "Aku dapat melihat bahwa dia tertarik padamu, Ling Ay, baik dari pandang matanya dan sikapnya kalau bicara denganmu."
"Aih, subo hanya menduga-duga saja."
Demikianlah, sejak percakapan itu, Ling Ay semakin memperhatikan Ouwyang Toan
bahkan kalau kini berhadapan dengan pemuda itu, ia merasa betapa jantungnya
berdebar tegang dan ia merasa sungkan dan tersipu. Pada suatu sore, beberapa hari setelah Ouwyang Toan tinggal di lingkungan istana sebagai tamu, Ling Ay mencari gurunya. Ketika mendengar dari pelayan gurunya bahwa Bi Moli sejak tadi pergi,
Ling Ay menduga bahwa tentu subonya pergi mengunjungi Ouwyang Toan, seperti
yang dilakukannya setiap hari setiap kali ada kesempatan. Iapun pergi menyusul.
Pada waktu itu, gedung tempat penginapan tamu itu kebetulan kosong dan hanya
ada sedikit saja tamu yang menginap di situ. Kamar Ouwyang Toan berada di bagian belakang dan Ling Ay langsung saja menuju ke kamar pemuda itu. Para penjaga di
depan gedung itu tentu saja mengenal Ling Ay, dan mereka memberi hormat ketika
perwira pengawal wanita itu masuk.
Tentu saja Ling Ay tidak berani mengetuk kamar pemuda itu. Hal itu tidak sopan.
Bahkan belum pernah ia datang berkunjung sendirian saja, selalu bersama subonya.
Kinipun ia bukan bermaksud datang berkunjung, melainkan menyusul dan mencari
subonya. Maka, iapun menghampiri kamar itu dengan langkah ringan dan tidak
menimbulkan suara sedikitpun. Tiba tiba, ketika ia berada di luar jendela, ia
143 menghentikan langkahnya. Ada suara percakapan berbisik-bisik keluar dari jendela itu dan ia mengenal suara subonya! Subonya berada di dalam kamar seorang diri
saja bersama pemuda itu, dan mereka bicara berbisik-bisik, diselingi tawa lirih gurunya, tawa aneh karena terdengar genit! Iapun menahan napas dan
mengerahkan seluruh kekuatan pendengarannya, menangkap percakapan bisik-
bisik itu. "Bibi, kita telah berjanji, kuharap kelak engkau tidak akan melanggar janjimu kepadaku," terdengar suara Ouwyang Toan berbisik.
"Ihh, anak bandel! Kaukira Bi Moli tukang bohong" Akan tetapi kau juga harus selalu ingat. Biarpun Ling Ay telah menjadi milikmu, engkau harus tidak pernah menyia-nyiakan diriku. Kalau kelak engkau melupakan aku, maka aku pasti akan membunuh
engkau dan Ling Ay!"
Tentu saja Ling Ay yang mendengarkan dari luar, seketika menjadi pucat wajahnya dan matanya terbelalak. Ingin ia meloncat dan pergi, akan tetapi kedua kakinya
seperti lumpuh dan ia ingin mendengarkan lagi, ingin tahu apa yang sebenarnya
mereka rencanakan, "Aku melupakanmu" Ah, engkau begini cantik, begini pandai menyenangkan hatiku, sampai matipun aku tidak akan melupakanmu, bibi yang
manis. Akan tetapi kalau engkau melanggar janji, tidak mengusahakan agar ia
menjadi milikku, aku akan meninggalkanmu dan mengadu kepada ayah dan kami
akan memusuhimu."
"Jangan khawatir, laki-laki ganteng. Aku tidak begitu pelit untuk membagi dirimu dengan muridku sendiri."
"Akan tetapi, ia kelihatan begitu pendiam dan angkuh. Rasanya aku tidak akan sanggup untuk berhasil merayu dan memikatnya, bibi. Aku tidak pandai merayu."
"Apa sih sukarnya" Aku dapat mempergunakan kekuatan sihirku untuk
menundukkannya."
"Dan aku mempunyai obat pembius dan racun perangsang untuk membantu kalau-
kalau kekuatan sihirmu kurang berhasil." Lalu terdengar kedua orang itu cekikikan menahan tawa. Ling Ay bergidik. Ingin ia menjerit dan memaki, wajahnya sebentar merah sebentar pucat dan ia lalu memaksa diri untuk berlari meninggalkan tempat itu, menuju ke kamarnya, mengambil pakaian dan sore hari itu juga meninggalkan
istana. Ketika ia berlari, karena ia marah sekali. ia kurang hati-hati dan kakinya menimbulkan suara yang tentu saja mengejutkan dua orang yang, sedang berbuat
mesum di dalam kamar itu.
Ling Ay mendengar suaranya dipanggil, akan tetapi ia tidak perduli dan setelah
berhasil membawa buntalan pakaian, iapun keluar dari dalam istana, terus menuju ke pintu gerbang kota raja untuk melarikan diri. Ia tidak akan sanggup melawan
gurunya dan Ouwyang Toan, dan kalau ia tidak melarikan diri. tentu ia akan menjadi 144
korban niat yang hina dan kotor dari kedua orang itu. Lebih baik ia mati dari pada menyerah kepada mereka!
Setelah keluar dari pintu gerbang bagian barat kota raja, Ling Ay terus melarikan diri secepatnya menuju ke barat, ke arah sungai Yang-ce-kiang karena ia bermaksud
melarikan diri dengan menyewa perahu agar tidak mudah dapat dikejar dan
ditangkap gurunya yang pasti akan melakukan pengejaran.
Matahari telah condong ke barat ketika akhirnya ia tiba di tepi sungai Yang-ce.
Tempat itu sunyi sekali, tidak nampak ada tukang perahu, bahkan tidak ada perahu di sungai yang dekat, semua yang nampak adalah perahu-perahu nelayan yang jauh
dari tepi itu. Akan tetapi tiba-tiba meluncur sebuah perahu yang ditumpangi
seorang laki-laki yang muka dan kepalanya tertutup sebuah caping lebar. Perahu itu berhenti di sebuah belokan yang teduh dan laki-laki itu melempar kailnya.
Pada saat itu terdengar suara gurunya memanggilnya! Gurunya belum nampak,
akan tetapi suaranya sudah sampai di situ, tanda bahwa gurunya berteriak dengan kekuatan khi kang. Wajah Ling Ay menjadi pucat. Kalau sampai ia terlihat gurunya, tidak akan ada harapan lagi!
"Paman tukang perahu ...!" teriaknya ke arah tukang perahu yang bercaping lebar dan sedang memancing ikan itu. "Tolonglah aku, tukang perahu! Tolong
seberangkan aku ke sana ... cepat, tolonglah aku ...!!"
Akan tetapi, tukang perahu yang sedang memancing ikan itu agaknya tidak
mendengarnya, atau memang tidak perduli atau mungkin juga dia bukan tukang
perahu yang suka menyeberangkan orang melainkan seorang yang mempunyai
kesenangan mengail.
"Tukang perahu ...!" Ling Ay berteriak lagi, akan tetapi terlambat. Tukang perahu itu tidak bergerak, dan tiba-tiba nampak bayangan berkelebat dan subonya Bi Moli
Kwan Hwe Li dan Ouwyang Toan telah berdiri di depannya! Pemuda itu tersenyum
mengejek, dan Bi Moli memandang dengan mata mencorong marah.
"Ling Ay, apa yang kaulakukan ini" Engkau minggat, pergi meninggalkan istana tanpa pamit" Apa yang kau kehendaki?" tanya Bi Moli dengan nada suara marah ... .
Ling Ay terkenang apa yang didengarnya dalam kamar tadi, maka ia bergidik. "Subo biarkan aku pergi, aku tidak akan mengganggu kalian, akan tetapi harap kalian juga jangan menggangguku." kata Ling Ay, suaranya gemetar.
"Ling Ay, gilakah engkau" Kenapa engkau hendak meninggalkan aku" Hayo kembali bersamaku!"
"Tidak, subo, aku tidak mau kembali. Harap subo jangan memaksaku untuk menjadi permainan Ouwyang Toan!"
145 "Kau ... ?"
"Subo, aku sudah mendengar semua. Kalian hendak memaksaku, Ouwyang Toan
hendak menggunakan racun pembius dan perangsang, subo sendiri hendak
mempengaruhi aku dengan sihir. Tidak, lebih baik aku mati dari pada menuruti
kemauan kalian yang kotor dan hina!" Kini Ling Ay marah, teringat betapa subonya, orang yang selama ini dihormati dan disayangnya, ternyata telah berubah menjadi iblis betina yang akan menjerumuskan murid sendiri, ia merasa heran mengapa
subonya yang berdarah bangsawan dan biasanya angkuh itu, bahkan yang selama
ini setia mempertahankan cintanya kepada Tiauw Sun Ong, telah berubah seperti
itu! "Ling Ay, engkau berani mengintai dan mendengar percakapan kami" Sungguh
engkau murid durhaka!" bentak Bi Moli, marah sekali karena merasa malu
membayangkan betapa muridnya telah mengetahui semua rahasianya dengan
Ouwyang Toan. Melihat kemarahan Bi Moli, Ouwyanng Toan berkata, "Bibi, kiranya tidak perlu ribut-ribut di sini. Kita tangkap saja dan membawanya kembali ke istana. Biar
kutangkap ia untukmu, bibi." Setelah berkata demikian, Ouwyang Toan sudah
menerjang ke depan, kedua lengannya dikembangkan, bagaikan seekor biruang
yang hendak menangkap kelinci.
Dengan marah Ling Ay mengelak dengan loncatan ke samping dan menggerakkan
kakinya menendang ke arah pusar pemuda itu. Tendangan itu cukup berbahaya,
maka terpaksa Ouwyang Toan menghindarkan diri dari tendangan itu dengan
elakan ke belakang. Bi Moli marah melihat muridnya melawan, maka iapun
menerjang dari samping dan tangannya menyambar. Ling Ay berusaha mengelak,
akan tetapi pundaknya terkena sentuhan jari tangan gurunya dan iapun
terpelanting! Akan tetapi, kiranya gurunya hanya hendak menakut-nakutinya saja
dan tidak melukainya maka iapun bangkit lagi, mukanya pucat saking marahnya.
"Singg ...!!" Ling Ay mencabut pedangnya dan menghadapi kedua orang itu. "Subo, sudah kukatakan bahwa aku lebih baik mati dari pada harus kembali ke sana. Dan
terpaksa aku akan melawan mati-matian mempertahankan kehormatanku!" Ia
mengangkat pedangnya, melintang di depan dada!
"Tahan pedangnya, biar aku merobohkan dan menangkapnya!" kata Bi Moli kepada Ouwyang Toan.
"Bibi, jangan bunuh Ling Ay ... " kata Ouwyang Toan. "Aku terlalu sayang padanya!"
"Aku tidak akan membunuhnya, melukai pun tidak asal engkau dapat menahan
pedangnya dan memberi kesempatan kepadaku untuk merobohkannya."
146 Ouwyang Toan mencabut pedangnya dan, diapun menyerang dengan putaran
pedangnya cepat sekali. Terpaksa Ling Ay menggerakkan pedang pula untuk
membela diri. Ia berusaha untuk lebih banyak mengelak sambil memutar pedang
karena maklum bahwa sedikit saja ada lowongan karena ia harus menghadapi
pedang Ouwyang Toan, maka gurunya akan dengan mudah merobohkannya dengan
totokan. "Trangg ...!" Kembali ia menangkis ketika pedang Ouwyang Toan membacok dari atas, akan tetapi alangkah kagetnya ketika pedangnya melekat pada pedang
pemuda itu, tidak dapat dilepaskan kembali. Tentu saja ia dalam keadaan terbuka dan gurunya tentu akan mudah merobohkannya.
Bi Moli mergeluarkan suara tawa mengejek dan sudah bergerak ke depan, akan
tetapi tiba-tiba nampak bayangan dan sebuah caping menyambar sambil berputar
seperti gasing, menyambar ke arah Bi Moli. Tentu saja iblis betina yang cantik ini terkejut bukan main dan ia sudah mengurungkan totokannya kepada muridnya,
melainkan membalik dan menghantam ke arah caping yang menyambarnya dari
samping itu. "Prakkk !" Caping itu hancur berkeping-keping, akan tetapi Bi Moli merasa betapa tangannya perih, tanda bahwa caping itu dilontarkan dengan tenaga sin-kang yang kuat. Kini di depannya telah berdiri seorang pemuda. Usia pemuda itu sekitar dua puluh lima tahun, tubuhnya sedang saja, wajahnya tampan namun sederhana, tidak
pesolek, bahkan pakaiannya juga bersahaja. Demikian pula sikapnya, nampak ramah namun wajar bahkan agak acuh. Ling Ay terkejut dan juga wajahnya berubah
kemerahan. Kiranya ini adalah tukang perahu yang tidak menanggapi seruannya


Pedang Kilat Membasmi Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tadi, dan setelah tidak bercaping lagi, ia melihat wajah yang amat dikenalnya, wajah yang selama bertahun-tahun ini tidak pernah meninggalkan lubuk hatinya. Kwa Bun Houw!
Memang pemuda itu adalah Kwa Bun Houw, pemuda yatim piatu yang menjadi
murid Tiauw Sun Ong. Pemuda yang berbakat baik ini sudah mewarisi ilmu-ilmu dari Tiauw Sun Ong. akan tetapi kini tingkat ilmu kepandaiannya bahkan melebihi
gurunya karena secara kebetulan dia telah makan Akar Bunga Gurun Pasir, obat
mujijat yang pernah diperebutkan semua tokoh dunia persilatan. Obat mujijat itu yang membuat tubuhnya menjadi kuat sekali. Baru pengaruh daya obat luar biasa
itu saja sudah mendatangkan kemajuan hebat dalam diri Bun Houw, apalagi secara
kebetulan pula dia berhasil mempelajari dan menguasai ilmu langka yang disebut
Im-yang Bu-tek Cin-keng. maka dia memperoleh kemajuan pesat sekali dalam ilmu
silat. Kini Bun Houw sedang dalam perjalanan yang membawa dua macam tugas
yang diberikan gurunya kepadanya. Pertama, dia mencari Tiauw Hui Hong, puteri
gurunya yang tadinya menjadi anak yang diakui sebagai anak sendiri oleh Bu-eng-
kiam Ouwyang Sek. Dia tidak tahu ke mana Hui Hong pergi, maka dapat
dibayangkan betapa sukarnya mencari seorang gadis tanpa diketahui ke mana
147 perginya. Adapun tugas kedua dari gurunya adalah agar dia mengamati dan
meneliti bagaimana perkembangan keadaan setelah kerajaan Lui-sung jatuh dan
kaisarnya diganti kaisar Siauw Bian Ong dari kerajaan Chi.
Dia sedang menuju ke Nan-king dengan perahu dan pada sore hari itu, secara
kebetulan saja dia melihat Ling Ay terancam oleh Bi Moli Kwan Hwe Li dan Ouwyang Toan.
Tentu saja dia segera mengenal Ling Ay ketika wanita itu tadi memanggilnya sebagai tukang perahu. Dia mengenal suara Ling Ay, dan ketika dia mengerling dan
mengintai dari bawah capingnya, dia mengenal benar wajah wanita yang pernah
menjadi kekasih dan tunangannya itu. Akan tetapi dia pura-pura tidak perduli.
Pertama, dia tidak ingin Ling Ay tahu bahwa dialah tukang perahu itu, dan ke dua, dia merasa heran dan ingin melihat apa yang terjadi sehingga Ling Ay berada di tepi sungai itu dengan sikap yang ketakutan. Ketika dia melihat Ouwyang Toan, dia
terkejut, apalagi melihat sikap Ouwyang Toan dan wanita cantik itu terhadap Ling Ay dan mendengar percakapan mereka. Dari percakapan itu dia tahu bahwa wanita
cantik itu guru Ling Ay yang kini mendadak saja menjadi seorang wanita yang
memiliki ilmu kepandaian silat. Bagaimana mungkin seorang guru hendak memaksa
muridnya menjadi permainan Ouwyang Toan seperti dikatakan Ling Ay tadi" Bun
Houw sudah siap siaga, akan tetapi dia masih ingin melihat perkembangannya dan
mempertimbangkan apakah dia perlu melindungi dan membantu Ling Ay.
Baru setelah dia melihat Ling Ay terancam dan nyaris dirobohkan, dia melempar
capingnya untuk menggagalkan serangan Bi Moli dan dia sendiri meloncat ke darat dan kini dia sudah berhadapan dengan Bi Moli.
"Kakak Bun Houw ... !" Ling Ay tak dapat menahan mulutnya menyebut nama bekas tunangannya itu.
"Adik Ling Ay, tenanglah, biar aku menghadapi mereka." kata Bun Houw.
"Kwa Bun Houw, engkau berani mencampuri urusan kami!" bentak Ouwyang Toan marah sekali. Andaikan dia seorang diri harus menghadapi Bun Houw, tentu dia
merasa gentar karena dia tahu bahwa dia tidak akan mampu menandingi pemuda
itu. Akan tetapi di situ terdapat Bi Moli Kwan Hwe Li yang lihai, maka tentu saja dia menjadi berani.
"Hemm, Ouwyang Toan, agaknya di mana-mana engkau hendak menyebar benih
busuk dengan perbuatanmu!" Berkata demikian, Bun Houw melangkah maju dan
otomatis Ling Ay cepat mundur dan berdiri di belakang bekas tunangan itu.
"Bibi, ini adalah Kwa Bun Houw, murid bekas pangeran Tiauw Sun Ong!"
148 "Ahhh ...!" Bi Moli tertegun. Tak disangkanya dia bertemu dengan seorang pemuda yang pernah disebut-sebut muridnya sebagai bekas kekasih dan tunangan
muridnya, juga yang menjadi murid Tiauw Sun Ong, bekas kekasihnya.
"Bibi, dia musuh besarku sejak dahulu, bahkan dia mengajak gurunya untuk
memusuhi ayahku. Bantulah aku untuk membunuhnya, bibi. Baru kita dapat
menangkap Ling Ay." kata pula Ouwyang Toan.
Mendengar bahwa pemuda itu murid bekas kekasihnya, hati Bi Moli merasa kurang
enak. "Orang muda, sebaiknya engkau tidak mencampuri urusan kami. Ini
merupakan urusan, guru dan murid. Ling Ay adalah muridku dan engkau sebagai
orang luar tidak berhak mencampurinya. Ling Ay, hayo engkau ikut enganku!"
"Tidak, subo. Sampai mati aku tidak akan suka ikut subo kembali ke istana!" kata Ling Ay berkeras, "Subo telah bersekongkol dengan Ouwyang Toan untuk
mempermainkan aku. Aku tidak sudi!"
"Locianpwe, saya tidak suka mencampuri urusan pribadi orang lain. Akan tetapi,
sudah menjadi tugas saya untuk mencampuri urusan yang menyangkut kejahatan
yang menindas siapa saja, sudah menjadi tugas saya untuk membela yang benar
dan menentang yang salah. Adik Cia Ling Ay ini sudah jelas menyatakan bahwa ia
tidak mau ikut lo-cianpwe karena hendak dipaksa menjadi permainan Ouwyang
Toan. Kalau lo-cianpwe dan Ouwyang Toan hendak memaksanya, sudah tentu saya
akan membelanya!" kata Bun Houw dengan tegas.
Bi Moli tersenyum mengejek, "Engkau hanya murid Tiauw Sun Ong, berani bersikap
begini kepadaku" Berani engkau menentangku" Menentang aku sama saja dengan
menentang gurumu sendiri!"
"Maaf, lo-cianpwe. Menurut pelajaran yang saya terima dari suhu, yang ditentang bukanlah orangnya, melainkan perbuatannya yang keliru. Bahkan guru sendiri atau orang tua sendiripun kalau melakukan perbuatan yang jahat, pernuatan itu harus
ditentang, pelakunya harus disadarkan dari kesesatannya."
"Bocah sombong! Engkau hendak mengatakan bahwa perbuatanku sesat?" bentak
Bi Moli marah. "Kalau lo-cian-pwe hendak memaksa Ling Ay untuk dipermainkan Ouwyang Toan di luar kehendaknya, sudah jelas perbuatan itu sesat dan harus ditentang."
"Jahanam! Engkau tidak tahu siapa aku! Lihat baik-baik Kwa Bun Houw, aku adalah seorang yang harus kau muliakan dan kau sembah. Berlututlah engkau!" Suaranya terdengar menggetar penuh wibawa dan mata itu mencorong seperti menembus di
dahi Bun Houw antara kedua alisnya.
Seketika Bun Houw merasa tubuhnya menggetar hebat dan ada tenaga yang amat
kuat dalam suara itu yang memaksanya untuk menjatuhkan diri berlutut. Akan
149 tetapi, Bun Houw cepat mengerahkan tenaga sin-kangnya yang kini menjadi amat
kuat setelah dia makan obat Akar Bunga Gurun Pasir, dan mengerahkan tenaga itu
dari pusar ke atas sesuai dengan ilmu Im-yang Bu-tek Cin-keng yang dikuasainya.
Hawa yang hangat menjalar di seluruh tubuhnya sampai ke ubun-ubun dan
dorongan tenaga aneh yang memaksanya untuk berlutut tadi, lenyap bagaikan
kabut ditimpa sinar matahari.
"Maaf kalau saya mengecewakan lo-cian-pwe, saya tidak akan pernah tunduk
terhadap kejahatan. Sebaliknya lo-cianpwe dan Ouwyang Toan segera
meninggalkan adik Ling Ay dan jangan mengganggunya lagi."
Bi Moli Kwan Hwee Li menjadi semakin marah karena merasa penasaran dan malu
bahwa kekuatan sihirnya sama sekali tidak mempengaruhi pemuda iru. Ia
mengeluarkan teriakan melengking dan tubuhnya sudah ke depan dan ia mengirim
pukulan dengan dorongan kedua tangannya ke arah dada Bun Houw. Angin yang
dahsyat menyambar ke arah Bun Houw yang maklum akan datangnya serangan
dahsyat itu maka diapun dengan jurus Im-yang Bu-tek Cin-keng menekuk kedua
lututnya, kedua tangan di rangkap depan dada seperti menyembah, lalu kedua
tangan itu didorongkan ke depan dengan telapak tangan di muka untuk menyambut
serangan lawan.
"Wuunuttt ... dessss ...!" Dua pasang telapak tangan itu belum saling sentuh, akan tetapi di antara mereka seperti ada angin kuat yang saling bertumbukan dan
membuat keduanya terpental kebelakang. Akan tetapi kalau Bun Houw terpental
hanya mundur dua langkah, sebaliknya Bi Moli Kwan Hwe Li terhuyung dan hampir
roboh telentang kalau saja Ouwyang Toan tidak cepat menahannya dari belakang.
Bi Moli merasa terkejut dan malu, membuatnya marah dan ia menepaskan tangan
Ouwyang Toan yang menyangga punggung dan pinggulnya.
"Kwa Bun Houw, kalau aku menandingimu, sama dengan aku menghina gurumu.
Baik akan kulaporkan kelakuanmu yang kurang ajar kepadaku ini kepada Tiauw Sun
Ong!" Setelah berkata demikian, Bi Moli memberi isarat kepada Ouwyang Toan
untuk meninggalkan tempat itu.
Ouwyang Toan tentu saja merasa terkejut dan heran. Dia memang tahu bahwa Bun
Houw amat lihai. Bahkan ayahnya pernah kalah oleh pemuda itu. Akan tetapi tadi di tidak melihat Bi Moli sudah dikalahkan, hanya terhuyung ke belakang, kenapa
wanita sakti yang menjadi datuk persilatan ini nampak jerih untuk melanjutkan
perlawanannya terhadap Kwa Bun Houw" Baru dia tahu setelah mereka tiba diluar
pintu gerbang kota raja dan melihat Bi Moli muntahkan sedikit darah, bahwa datuk itu ternyata telah menderita luka dalam akibat adu tenaga sin-kang jarak jauh tadi!
Tentu saja dia terkejut, akan tetapi tidak berani bertanya-tanya.
Biarpun dalam hati ia marah dan membenci Ling Ay, akan tetapi pada lahirnya Bi
Moli Kwan Hwe Li terpaksa menghadap Permaisuri dan mohon maaf bahwa
150 muridnya Cia Ling Ay pergi meninggalkan istana tanpa pamit karena mendengar
bahwa seorang pamannya meninggal dunia dan pengawal itu malam-malam harus
pergi meninggalkan kota raja dan tidak sempat mohon diri dari Permaisuri. Karena yang mintakan maaf dan melaporkan adalah Bi Moli Kwan Hwe Li, guru silat istana dan juga guru diri Ling Ay, maka Permaisuri menerima permintaan maaf itu dan
tidak terjadi keributan apapun di dalam istana. Bi Moli terpaksa menghadap
permaisuri demi dirinya sendiri karena kalau Kaisar dan keluarganya memarahi Ling Ay, ia sebagai gurunya tentu akan terlibat juga.
Atas permintaan Ouwyang Toan, Bi Moli akhirnya berhasil memperkenalkan
Ouwyang Toan sebagai murid keponakannya dan setelah melalui ujian ilmu silat,
Ouwyang Toan diterima sebagai seorang perwira pengawal pasukan penjaga
keamanan istana. Dengan kedudukan ini. mereka berdua dapat bekerjasama dan
dapat selalu berhubungan, dan Ouwyang Toan mempergunakan kesempatan itu
untuk menyebar anak buahnya untuk mencari Hui Hong!
*** Mereka berdua, Bun Houw dan Ling Ay duduk di perahu kecil yang dibiarkan hanyut
terbawa arus sungai oleh Bun Houw yang menggunakan dayung untuk
mengemudikan perahu yang meluncur perlahan-lahan sambil bercakap-cakap
dengan Ling Ay.
"Houw-ko, kalau tidak ada engkau yang menolong, tentu sekarang aku sudah mati membunuh diri karena tidak mungkin aku mampu menandingi mereka dan aku
tidak sudi dipaksa menjadi isteri Ouwyang Toan." Ling Ay berkata dengan terharu sambil menatap wajah bekas tunangannya.
Bun Houw menghela napas panjang, "Orang yang benar dan baik akan selalu
dilindungi Tuhan, Ay-moi. Betapa cepatnya waktu meluncur lewat. Rasanya baru
kemarin dulu kita saling jumpa dalam peristiwa di Nan-king itu dan sekarang, tahu-tahu engkau telah menjadi seorang ahli silat tangguh, murid Bi Moli!"
"Aih, nasib telah mempermainkan diriku sedemikian rupa, Hou-ko, bahkan sampai
saat ini akupun masih selalu dirundung nasib yang malang."
"Adik Ling Ay, aku sudah mendengarkan malapetaka yang menimpa ayah ibumu.
Ketika aku meninggalkan rumah kalian untuk mencari Hui Hong, aku tidak dapat
menemukan jejaknya dan ketika aku kembali ke Nan-king, aku mendengar betapa
ayah ibumu telah terbunuh oleh utusan pemberontak. Aku mendengar pula bahwa
engkau diculik penjahat yang berjuluk Hek-coa, akan tetapi engkau ditolong oleh Bi Moli, semua keterangan itu kudapatkan dari Souw Ciangkun, panglima di Nan-king
yang kemudian menangkapi para pemberontak."
Ling Ay menghela napas panjang, "Ya, siapa tahu akan nasib kita" Akupun sama sekali tidak pernah menduga bahwa guruku yang selamanya begitu baik kepadaku,
151 menolongku dari penjahat yang menculikku, kernudian melihat aku telah
kehilangan segalanya lalu mengajakku merantau dan mengambil aku sebagai murid,
mengajarku ilmu dengan sungguh-sungguh, mendadak berubah sama sekali setelah
ia bertemu dengah Ouwyang Toan." Ling Ay lalu menceritakan semua
pengalamannya, tentang percakapan antara Bi Moli dan Ouwyang Toan yang
melakukan hubungan gelap dan yang merencanakan untuk memaksanya menjadi
isteri Ouwyang Toan sehingan ia melarikan diri dan dikejar sampai ke tepi-sungai.
"Hemm, akupun heran mengapa Ouwyang Toan ingin memperisterimu setelah dia
menjadi kekasih Bi Moli. Padahal, Ouwyang Toan juga agaknya ingin memaksa Hui
Hong yang tadinya menjadi adik tirinya, juga adik seperguruan, untuk menjadi
isterinya. Mereka memang jahat sekali. Ouwyang Sek, ayahnya, dahulu menolong
ibu Hui Hong dalam perjalanan pembuangan, akan tetapi hanya untuk dipaksa
untuk menjadi isterinya. Untuk menyelamatkan anak dalam kandungannya, wanita
itu terpaksa mau menjadi isteri Ouwyang Sek. Ahh, para datuk itu agaknya terlalu mabok akan kekuatan sendiri sehingga mereka menjadi sewenang-wenang,
mengandalkan kepandaian untuk memaksakan kehendak mereka. Sekarang, setelah
engkau meninggalkan pekerjaanmu di istana, bahkan tidak berani kembali lagi ke
kota raja, lalu engkau akan pergi ke mana, Ay-moi?"
Ditanya demikian, tiba-tiba saja Ling Ay menangis. Ia sendiri merasa heran dengan tangisnya. Sejak ia menjadi murid Bi Moli, ia tidak pernah menangis. Gurunya
menganggap pantang untuk menangis, karena tangis hanya kebiasaan orang-orang
lemah. Akan tetapi kini, di depan Bun Houw, ia merasa lemah sekali, lemah dan
perasa sehingga begitu ditanya ke mana ia akan pergi, ia tidak dapat menahan
dirinya lagi dan tersedu-sedu.
Bun Houw tertegun. Dia sudah mengarahkan perahunya ke seberang. Tidak akan
mudah dikejar dan dicari orang, kalau-kalau Bi Moli mengerahkan pasukan
mengejarnya, ia lalu minggirkan perahunya dan menghentikan perahu itu di pinggir dengan mengikatkan tali perahu ke sebatang pohon. Tempat itu sunyi. Mereka
duduk di dalam perahu dan dia membiarkan Ling Ay menumpahkan semua
perasaan dukanya keluar melalui air matanya.
Setelah melihat wanita itu mereda tangisnya, dengan hati-hati Bun Houw bertanya,
"Ling Ay, kenapa engkau menangis" Apakah engkau tidak ingin kembali ke Nan-ping, ke kampung halamanmu?"
Wanita itu sudah berhenti menangis dan mendengar pertanyaan itu, ia mengangkat
muka dan memandang wajah pemuda itu dengan kedua mata basah. "Houw-ko,
apakah engkau juga akan pulang ke Nan-ping?" dalam ucapannya terkandung
harapan yang memancar pula dari pandang matanya.
152 Bun Houw menggeleng kepala. "Aku masih harus melaksanakan tugas yang
diberikan suhu kepadaku. Akan tetapi kalau engkau ingin pulang ke Nan-ping, biar aku akan mengantarmu sampai ke sana sebelum aku melanjutkan tugasku."
Kini sepasang mata itu seperti bergantung kepada mata Bun Houw, penuh harapan.
"Kalau begitu, biar aku menemanimu melaksanakan tugasmu, Houw-ko. Aku akan membantumu sekuat tenagaku! Ijinkan aku ikut denganmu, Houw-ko!"
Bun Houw tersenyum dan menggeleng kepala. "Maaf, Ay-moi. Tugasku ini
merupakan urusan pribadi, tidak dapat dibantu oleh siapapun. Aku tidak dapat
membawamu bersamaku, adik Ling Ay."
Hening sejenak. Bun Houw sebetulnya merasa iba sekali kepada bekas tunanganya
ini, akan tetapi dia tahu bahwa memang tidak mungkin dia mengajak Ling Ay, maka dia memutar tubuh membelakanginya agar tidak melihat wajah cantik yang nampak
amat berduka itu.
"Bunga itu kekeringan dan hampir layu," terdengar Ling Ay berkata lirih, "ia merindukan datangnya embun yang akan membawa sedikit kesejukan, yang akan
dapat menghidupkannya ... Houw-ko, aku ... aku selalu mengharapkan uluran
tangan dan hatimu, apakah ... apakah engkau tidak kasihan kepadaku dan tidak
teringat akan ... cinta kasih antara kita dahulu ...?" Ia sudah memberanikan diri sekuat hatinya, mengenyahkan semua perasaan rikuh, sungkan dan malu. Ia telah
menjadi seorang wanita yang tidak tahu malu lagi, seperti membujuk agar pemuda
itu mau menerimanya kembali sebagai kekasihnya!
"Adik Ling Ay, engkau masih muda, cantik, pandai, dan bahkan kini memiliki ilmu silat yang tinggi. Engkau memang berhak untuk membentuk rumah tangga kembali,
menemukan seorang suami yang baik, akan tetapi ... bukan aku, Ay-moi. Sebaiknya aku berterus terang kepadamu. Aku telah dijodohkan oleh suhuku dengan puteri
suhu sendiri yaitu adik Tiauw Hui Hong dan kami berdua sudah saling mencinta."
Bun Houw mengeluarkan ucapan lirih itu tanpa memutar tubuhnya, dan ia
mendengar keluhan lirih dari wanita itu.
"Adik Ling Ay, maafkanlah aku, agaknya memang kita tidak berjodoh ... " Akan tetapi dia mendengar gadis itu meloncat pergi. Dia menoleh dan benar saja Ling Ay sudah lari meninggalkannya dengan cepat sekali dan masih tertinggal suara isakan yang dibawa pergi. Dia merasa iba sekali, akan tetapi hanya memandang dan
menahan dirinya agar tidak memanggilnya. Memang beginilah yang terbaik,
pikirnya. Harus dia akui bahwa perasaan kasihnya terhadap Ling Ay tidak pernah
lenyap, akan tetapi tidak mungkin dia menuruti perasaan itu karena dia sudah
terikat lahir batin dengan Hui Hong. Ikatan batin yang timbul karena dia saling mencinta dengan gadis itu, dan ikatan lahirnya adalah karena dia sudah menerima keputusan gurunya agar dia berjodoh dengan gadis itu.
*** 153 Kui-siauw Giam-ong Suma Koan, datuk golongan sesat yang menjadi majikan dari
Bukit Bayangan Setan, dengan girang sekali menerima berita dari puteranya bahwa puteranya kini telah berhasil menghambakan diri kepada bekas kaisar Cang Bu,
bahkan di jodohkan dengan adik perempuan kaisar atau bekas kaisar itu yang kini sedang menyusun kekuatan untuk mendirikan kembali kerajaan Liu-sung yang telah
dijatuhkan oleh kerajaan baru Chi. Dia segera datang berkunjung ke perkampungan di lembah Yang-ce, tak jauh dari kota Kui-cu yang menjadi markas bekas kaisar itu menyusun kekuatan. Suma Koan diterima dengan penuh penghormatan dan mulai
saat itu, Suma Koan dan puteranya, Suma Hok, bukan saja menjadi pembantu-
pembantu utama bekas kaisar itu, melainkan juga menjadi anggauta keluarga,
karena Suma Hok segera menikah dengan Liu Kiok Lan, bekas puteri yang
menganggap dirinya telah diperkosa oleh mendiang Pouw Cin! Tentu saja ia sama
sekali tidak tahu bahwa yang memperkosanya adalah laki-laki yang kini menjadi
suaminya itu. Suma Koan menyarankan kepada bekas kaisar Cang Bu yang kini menggunakan
nama samaran Siauw Tek, agar suka bersekongkol dengan kerajaan Wei di utara
yang sejak lama memusuhi kerajaan di selatan.
"Ah, bagaimana paman Suma Koan mengusulkan hal seperti itu" Sejak puluhan
tahun sejak kerajaan Liu-sung berdiri, kerajaan Wei selalu menjadi musuh utama
kami! Kerajaan Wei yang merupakan musuh besar, musuh bebuyutan sejak dahulu,
bagaimana mungkin kini kita ajak bekerja sama" Ini merupakan suatu
pengkhianatan cita-cita para pendahuluku!" Siauw Tek memrotes. Kalau mendiang Jenderal Pauw Cin masih hidup, tentu panglima tua itupun akan memrotes keras.
Suma Koan tersenyum. Kakek yang kecil kurus ini lalu berkata dengan tenang,
"Harap kongcu pertimbangkan pendapatku ini," Dia menyebut kongcu sesuai dengan kehendak bekas kaisar itu yang sedang menyamar, dan memang sudah
menjadi watak datuk sesat ini untuk tidak memperdulikan segala macam adat
sopan santun maka diapun enak saja bersikap kasar kepada bekas kaisar itu. "Kita haruslah dapat menyesuaikan diri dengan keadaan. Di waktu kita kuat, kita dapat mengandalkan kekuatan kita untuk menundukkan musuh. Akan tetapi kalau
keadaan tidak mengijinkan, kalau kita kalah kuat, kita harus dapat mempergunakan daya lain, kita harus memakai kecerdikan untuk memperoleh kemenangan. Kongcu
hendak melawan sebuah kerajaan yang memiliki balatentara besar dan kuat, kalau
kita menggunakan pasukan, aku khawatir kita akan gagal. Karena itu, kita harus
cerdik dan kalau kita dapat bersekutu dengan kerajaan Wei di utara, besar
kemungkinan usaha kongcu akan berhasil."
Bekas kaisar itu mengerutkan alisnya dan dia dapat melihat kebenaran ucapan itu.
"Akan tetapi, kerajaan Wei selama aku menjadi kaisar, adalah musuhku, bagaima mungkin mereka itu kini mau bersekutu dengan kita?"
154 "Setiap kerajaan akan selalu mendasari gerakan mereka dengan perhitungan rugi untung. Kalau sekarang bersekutu dengan kongcu untuk menentang kerajaan baru
Chi dianggap menguntungkan kerajaan Wei, kenapa mereka tidak akan mau" Kalau
kita bersekutu dengan Wei, maka kedua pihak akan mendapat untung. Kongcu
harus cerdik."
"Hemm ... memang usulmu baik sekali. Akan tetapi, kalau kelak pasukan kerajaan Wei bersama pasukanku berhasil menumbangkan kerajaan Chi, lalu mereka tidak
mau kembali ke utara dan hendak menguasai pula kerajaanku, bagaimana?"
"Harus diadakan dulu perjanjian yang menguntungkan mereka, kongcu. Selama ini, daerah yang luas antara Sungai Huang-ho dan Sungai Yang-ce merupakan daerah
tak bertuan yang selalu menjadi perebutan dan medan pertempuran. Kalau kongcu
menjanjikan bahwa kalau persekutuan ini berhasil menumbangkan kerajaan Chi,
dan kerajaan Liu-sung dapat dibangun kembali, aku akan menyerahkan daerah itu
kepada Wei, tentu mereka akan menerimanya dengan girang sekali."
"Tapi, bagaimana kalau mereka menolak dan mencurigai kita" Bagaimana kita akan dapat mengadakan kontak dengan mereka" Belum apa-apa mereka tentu akan
mencurigai kita."
"Harap kongcu jangan khawatir." kata Si Suling Setan. "Aku mengenal tokoh-tokoh kerajaan Wei dan kalau kongcu memberi surat dengan tanda cap kekuasaan
kongcu, aku yang akan menghubungi mereka."
Bekas kaisar itu girang sekali dan ternyata Suma Koan tidak membual. Setelah
membawa surat bekas kaisar itu, dia segera melakukan perjalanan ke utara,
memasuki daerah tak bertuan yang berbahaya itu.


Pedang Kilat Membasmi Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Di daerah antara Huang-ho dan Yang-ce, dua batang sungai terbesar dan terpanjang di Cina, terdapat kehidupan yang aneh. Daerah tak bertuan ini merupakan daerah
yang selalu menjadi perebutan antara kerajaan utara dan selatan, bahkan menjadi daerah pertempuran dan daerah di mana para mata-mata ke dua pihak, para
penjahat buruan, saling bersaing. Memang terdapat dusun-dusun di daerah ini,
akan tetapi di dusun-dusun inipun berlaku hukum rimba. Tidak ada pejabat
pemerintah manapun yang duduk sebagai pemimpin di dusun-dusun itu. Yang ada
hanyalah para jagoan yang hidup sebagai raja kecil! Karena kekuasaan yang didapat ini merupakan kekuasaan dari kekuatan badan, maka sering kali terjadi perebutan kekuasaan, bentrokan dan perkelahian. Kepala dusun silih berganti, yang kalah
tunduk atau mati, yang menang menjadi pemimpin baru. Namun, karena para
jagoan yang menjadi pemimpin ini juga membutuhkan adanya penduduk, mereka
tidak membunuhi para penduduk dusun. Apa artinya berkuasa di sebuah dusun
yang tidak ada penduduknya" Karena itu, mereka yang berkuasa bahkan melindungi
penduduk agar dia dapat memperoleh dukungan.
155 Dusun Tai-bun adalah sebuah di antara dusun-dusun yang berada di dalam wilayah
tak bertuan itu. Tai-bun berada di sebelah selatan, lebih dekat di perbatasan
wilayah kerajaan Chi, dan dusun ini cukup ramai karena Tai-bun merupakan satu di antara dusun-dusun yang penduduknya suka berkunjung ke wilayah Chi untuk
berdagang. Akan tetapi pada suatu pagi, serombongan orang yang jumlahnya dua
puluh orang lebih memasuki dusun itu. Yang menyolok pada dua puluh orang lebih
ini adalah pakaian mereka yang kesemuanya serba hitam! Dan yang lebih
menggemparkan lagi adalah perbuatan mereka, karena begitu memasuki dusun itu,
mereka segera membunuh siapa saja yang mereka jumpai! Cara mereka membunuh
menunjukkan bahwa mereka terdiri dari orang-orang lihai. Sekali mereka
menggerakkan tangan, tentu seorang penduduk yang bertemu dengan mereka,
roboh dan tewas seketika!
Gegerlah dusun yang penduduknya hanya sekitar dua ratus orang itu. Para jagoan
yang memimpin dusun itu segera mengerahkan tenaga dan puluhan orang lalu
mengeroyok para penyerbu pakaian hitam itu. Akan tetapi, mereka yang melakukan
penyerbuan itu amat lihai dan sebentar saja, orang-orang yang mempertahankan
dusun mereka bergelimpangan, banyak yang tewas, ada yang luka-luka dan tidak
sampai dua jam kemudian, dusun itu telah kosong, ditinggal lari mengungsi mereka yang belum menjadi korban! Dan sejak hari itu, dusun Tai-bun telah dikuasai
kelompok orang yang berpakaian serba hitam dan setelah mereka semua datang,
jumlah mereka ada kurang lebih seratus orang.
Gerombolan berpakaian hitam yang menguasai dusun Tai-bun ini bukan lain adalah
orang-orang Thian-te Kui-pang, perkumpulan baru yang didirikan oleh Bu-tek Sam-
kwi dan yang bertugas menimbulkan kekacauan di kerajaan Chi yang baru. Mereka
membutuhkan perkampungan yang dapat menjadi pusat gerakan mereka ke selatan
dan setelah memilih-milih, dusun Tai-bun mereka rebut untuk di jadikan markas
besar mereka. Dusun ini amat baik untuk di jadikan perkampungan mereka karena
merupakan dusun terdekat dengan daerah musuh yang tidak berada dalam
kekuasaan kerajaan Chi, melainkan wilayah daerah tak bertuan.
Serbuan yang menewaskan hampir seratus orang penduduk Tai-bun, dan
mengalahkan para jagoan yang memimpin di situ, segera tersiar ke seluruh daerah tak bertuan itu dan semua orang tahu bahwa di situ kini berkuasa gerombolan yang menamakan diri mereka perkumpulan Thian-te Kui-pang. Ada beberapa orang
pemimpin gerombolan lain yang mencoba untuk merebut perkampungan itu
namun satu demi satu mereka dikalahkan oleh Thian-te Kui-pang sehingga akhirnya tak seorangpun berani mengganggu gerombolan berpakaian hitam itu.
Beberapa pekan kemudian, pada suatu siang, para anggauta Thian-te Kui-pang yang melakukan penjagaan di pintu gerbang dusun Tai-bun, menghadang dan
menghentikan seorang laki-laki yang hendak memasuki dusun itu. Semenjak dusun
itu dikuasai Thian-te Kui-pang, tak seorangpun bukan anggauta diperbolehkan
156 memasukinya dan siang malam pintu gerbang dusun dijaga ketat. Dusun itu
berubah seperti sebuah benteng saja!
"BERHENTI! Harap melapor dulu siapa engkau dan ada keperluan apa hendak
memasuki dusun kami." kata kepala jaga dan sepuluh orang penjaga sudah
mengepung pemuda itu dengan sikap yang galak.
Pemuda itu berusia sekitar dua puluh lima tahun. tubuhnya sedang dan wajahnya
tampan, sikapnya lembut, pakaiannya indah dan mewah seperti seorang pemuda
hartawan. Dia bersikap tenang dan tersenyum melihat sikap galak sepuluh orang
itu. "Kalian laporkan kepada Bu-tek Sam-kui bahwa Tok-siauw-kwi (Setan Suling
Beracun) Suma Hok mewakili ayahnya, Kui-siauw Giam-ong (Raja Maut Suling Setan) Suma Koan, ingin bertemu dengan mereka bertiga."
Mendengar ucapan pemuda itu, sepuluh orang anggauta Thian-te Kui-pang terkejut
dan sikap mereka segera berubah sama sekali.
"Harap kongcu suka menanti sebentar." kata kepala jaga dan para anak buahnya mempersilakan pemuda itu duduk di dalam gardu penjagaan, sementara menanti
kepala jaga yang berlari masuk untuk membuat laporan.
Tak lama kemudian, muncul ah tiga orang pimpinan Thian-te Kui-pang, yaitu tiga
orang kakak beradik seperguruan yang disebut Bu-tek Sam-kui (Tiga Setan Tanpa
Tanding) dengan sikap ramah. Tiga orang ini adalah Pek-thian-kui yang bertubuh
gendut bulat, Huang-ho-kui yang tinggi kurus, dan Toat-beng-kui yang paling muda, berusia empat puluhan tahun dan wajahnya tampan.
"Kiranya Suma Kongcu yang datang, maafkan karena tidak tahu, kami terlambat menyambut."
Melihat sikap pimpinan mereka, para penjaga itupun berdiri tegak dengan sikap
hormat. Suma Hok tersenyum dan membalas penghormatan mereka.
"Ayahku mewakilkan kepadaku sebagai utusan Kaisar kami untuk membicarakan
urusan kita."
"Silakan, kongcu, mari kita bicara di dalam." Bu-tek Sam-kui mempersilakan pemuda itu memasuki dusun dan mereka segera mengadakan pembicaraan yang serius di
dalam sebuah ruangan tertutup. Sebelum Suma Hok, berkunjung ke dusun yang
menjadi sarang Thian-te Kui-pang, sudah lebih dulu ayahnya, Suma Koan,
menghubungi Bu-tek Sam-kui dan dengan perantaraan Bu-tek Sam-kui, Suma Koan
menyampaikan uluran tangan bekas Kaisar Cang Bu untuk bekerja sama dengan
kerajaan Wei di utara. Kaisar Cang Bu yang sudah terguling tahtanya itu minta
bintuan kerajaan Wei untuk menyerang ke selatan dan merebut kembali tahta
kerajaannya dari Kaiasar Siauw Bian Ong yang mendirikan kerajaan Chi, dengan janji 157
kalau berhasil akan menyerahkan daerah tak bertuan antara Huang-ho dan Yang-ce-
kiang kepada kerajaan Wei. Kaisar Thai Wu dari kerajian Wei menerima baik uluran tangan itu dan akan memberi keputusan setelah itu diperbincangkan dahulu dengan para pembantunya. Dan hari itu, Suma Hok ditugaskan ayahnya untuk mewakilinya
minta berita keputusan Kaisir Thai Wu, sekalian membicarakan rencana kerja
bersama itu. "Paman bertiga tentu sudah maklum apa maksud kunjunganku ini,"
kata Suma Hok setelah menerima hidangan selamat datang dari Bu-tek Sam-kui.
"Atas nama Sribaginda Kasar Cang Bu, ayah mengharapkan keputusan dari kerajaan Wei, dan juga ingin mendengar rencana siasat yang akan kita atur bersama."
"Kami gembira sekali. Suma Kongcu," kata Pek-thian-kui. "Semula, kami membentuk Thian-te Kui-pang untuk melaksanakan tugas mengacau kerajaan baru Chi di
selatan. Ketika kaisar kami menerima surat uluran tangan Kaisar Cang Bu, beliau merasa gembira dan menyatakan setuju. Ini kami membawa surat dari kaisar kami
untuk Kaisar Cang Bu mengenai persetujuan kerja sama itu."
Dengan girang Suma Hok menerima surat itu dan menyimpan di balik jubahnya.
"Terima kasih, paman. Nah, sekarang kita bicarakan tenting usaha kerja sama itu.
Kami telah mempersiapkan sekitar lima ribu orang pasukan yang siap tempur.
Kaisar Cang Bu mengharapkan agar secepatnya kerajaan Wei mengirim pasukan
untuk minta bantuan pasukan kami menggempur Nan-ping."
Toat beng-kui, orang termuda dari Bu-tek Sam-kui, tersenyum dan dia yang
menjawab, "Wah, tidak semudah itu, kongcu! Apa artinya pasukan yang hanya lima ribu orang banyaknya" Kalau menyerang kerajaan Chi begitu saja dengan kekuatan
pasukan, maka akan terjadi perang besar yang menimbulkan banyak kerugian di
pihak kerajaan kami karena kami yang menjadi penyerang dari tempat jauh, pada
hal kekuatan antara kedua kerajaan berimbang. Belum tentu kita akan menang."
Suma Hok mengerutkan alisnya. "Hemm, kalau begitu, apa artinya persekutuan ini"
Apa yang direncanakan oleh Kaisar Wei Tay Wu untuk membantu kami?"
"Kongcu, kaisar kami telah menyerahkan kerja sama dengan Kaisar Cang Bu kepada kami. Kami yang akan mengatur semua rencana, dan kami hanya akan
mengacaukan kerajaan baru Chi dari dalam. Kalau perlu, kami dapat membunuh
kaisar dan seluruh keluarganya sehingga tidak ada pangeran yang tertinggal.
Dengan keadaan yang kacau, kerajaan Chi akan menjadi lemah dan mudah diserbu
dan dikalahkan. Selain mencoba membunuh Kaisar Siauw Bian Ong dan keluarga
serta sekutunya, kitapun harus dapat menguasai dunia kang-ouw sehingga kalau
saatnya yang baik tiba, kita dapat mengerahkan tenaga mereka untuk membantu
kita. Bagaimana pendapat Suma Kongcu?"
Suma Hok mengangguk-angguk. Ayahnya sendiri sudah berpendapat bahwa
kekuatan yang dihimpun bekas Kaisar Cang Bu masih terlalu lemah untuk dapat
158 merebut kembali tahta kerajaan, oleh karena itu ayahnya menganjurkan Kaisar
Cang Bu untuk bekerja sama dengan kerajian Wei di utara.
"Rencana itu baik sekali," katanya. "Dan tentang penguasaan dunia kang-ouw di daerah selatan, harap jangan khawatir. Ayahku telah melakukan usaha itu dan
sudah menghubungi banyak tokoh kang-ouw. Bahkan kini Datuk wanita Kwan Im
Sianli telah menjadi sahabat baik ayahku."
"Bagaimana dengan datuk yang menjadi majikan Lembah Bukit Siluman?" tanya Huang-ho-kui, orang ke dua Bu-tek Sam-kui.
Suma Hok mengerutkan alisnya. Dia telah mendengar berita tentang datuk yang
tadinya akan menjadi ayah mertuanya, ketika dia mengharapkan Hui Hong, puteri
angkat datuk itu, menjadi isterinya. Bahkan sampai sekarangpun dia masih
merindukan gadis itu. Akan tetapi, berita yang diterimanya sungguh amat tidak
menyenangkan, yaitu bahwa kini Ouwyang Toan, putera datuk itu, telah menjadi
pengawal anggauta pasukan keamanan di istana Kaisar Siauw Bian Ong, bersama Bi
Moli yang telah menjadi pengawal permaisuri kaisar itu. Dengan sendirinya
Ouwyang Sek tentu akan berpihak kepada puteranya, berarti berpihak kepada
kerajaan Chi yang baru itu.
"Ah, sukar mengharapkan kerja sama dengan dia," katanya. "Puteranya, Ouwyang Toan, kini telah menjadi pengawal kerajaan Chi, bersama Bi Moli Kwan Hwe Li. Dari kedua orang datuk itu, Bi Moli (Iblis Betina Cantik) Kwan Hwe Li dan juga dari Bueng-kiam (Pedang Tanpa Bayangan) Ouwyang Sek kita tidak dapat mengharapkan
kerja sama, bahkan mereka akan menjadi penghalang karena mereka berpihak
kepada Kaisar Siauw Bian Ong."
Bu-tek Sam-kui tertawa dan Suma Hok memandang heran, juga penasaran. "Kenapa paman bertiga malah tertawa?"
"Kenapa kongcu tidak dapat melihat kesempatan yang teramat baik ini" Kita harus dapat memanfaatkan segala macam keadaan demi keuntungan kita! Kami juga
sudah mendengar tentang Bi Moli dan Ouwyang Toan bekerja di istana Kaisar Siauw Bian Ong. Dan itu justeru bagus sekali! Kami mengenal dua orang datuk itu. Bi Moli dan Bu-eng-kiam, mereka bukanlah orang yang suka dianggap pahlawan atau
pendekar. Mereka akan bertindak demi keuntungan, mereka bukan orang bodoh.
Kalau kita menawarkan keuntungan yang lebih besar, kedudukan yang lebih baik,
mustahil mereka akan memilih menjadi pengawal kerajaan Chi saja. Ha-haha ha!"
Pek-thian-kui tertawa bergelak, perutnya yang gendut itu bergerak-gerak seperti hidup.
Kembali Suma Hok mengangguk-angguk setuju. "Baiklah, aku akan melaporkan hasil pertemuan kita ini kepada ayah dan Sribaginda Kaisar Cang Bu. Sebaiknya kita
membagi tugas. Paman bertiga yang menghubungi Paman Ouwyang Sek dan Bi Moli
Kwan Hwe Li, sedangkan kami akan menghubungi Kwan Im Sianli dan tokoh-tokoh
159 lain di daerah barat. Kami akan mengerahkan kepada para tokoh kang-ouw di
daerah kerajaan selatan agar mengadakan pemilihan seorang beng-cu (pemimpin
rakyat) dunia kang-ouw. Kalau beng-cu itu dapat kita kuasai, dan berpihak kepada kita, tentu mudah mengerahkan para tokoh kang-ouw membantu kita kelak."
"Bagus Sekali!" Pek-thian-kui berkata girang, "Selain tugas itu, juga kami akan menyuruh orang-orang kami untuk menundukkan perkumpulan-perkumpulan kang-ouw di wilayah Chi bagian utara ini, sedangkan untuk menguasai begian selatan,
kami serahkan kepadamu, kongcu. Sebaiknya kalau mareka itu semua dapat
dibujuk, kalau ada yang menentang, sebaiknya ditundukkan dengan kekerasan.
Paling lama dalam waktu setengah tahun, kita harus sudah berhasil membasmi
kaisar Siauw Bian Ong sekeluarganya dan termasuk semua sekutunya, lalu
mengepung Nan-king dan membasmi pasukan yang mempertahankan kerajaan
Chi." Setelah berunding matang dan bermalam semalam di dusun Tai-bun, pada
keesokan harinya Suma Hok meninggalkan tempat itu untuk kembali ke daerah Kui-
cu, di lembah sungai di mana bekas kaisar Cang Bu bersama adiknya tinggal.
Sebuah persekutuan telah diatur, persekutuan yang merupakan ancaman bahaya
bagi kerajaan Chi, karena persekutuan itu amat kuat. Di satu pihak bekas kaisar Cang Bu yang dibantu adik iparnya, Suma Hok dan datuk sesat Suma Koan, telah
menghimpun pasukan yang berjumlah lima ribu orang. Di lain pihak ada kerajaan
Wei di utara yang mau bekerja sama dan telah menyerahkan kerja sama itu kepada
Bu-tek Sam-kui yang membentuk pasukan Thian-te Kui-pang yang terdiri diri orang-orang berkepandaian tinggi. Kalau rencana mereka berhasil dan mereka dapat
membujuk Bi Moli dan Ouwyang Toan bekerja sama, maka keselamatan Kaisar
Siauw Bian Ong sekeluarganya memang terancam bahaya maut, karena dua orang
tokoh kang-ouw ini sekarang telih menduduki jabatan pengawal dalam istana! "
Dua orang laki-laki itu bercakap-cakap dalam ruangan rumah ketua Thian-beng-
pang. Tuan rumah, ketua Thian beng-pang bernama Ciu Tek itu berusia kurang lebih lima puluh tahun, bertubuh tinggi besar dan pakaiannya sederhana dan ringkas
seperti pakaian seorang pesilat, Wajahnya terhias brewok yang membuat dia
nampak gagah. Adapun tamunya, seorang pria berusia sebaya dengan tuan rumah,
bertubuh kurus dan pakaiannya penuh tambalan. Akan tetapi dia bukanlah seorang
pengemis tua biasa, karena dia adalah ketua Hek-tung Kai-pang (Perkumpulan
Pengemis Tongkat Hitam) yang terkenal di wilayah Nan-king sebelah selatan sungai Yang-ce. Namanya Kam Cu dan sebutannya adalah Hek-tung Lo-kai (Pengemis Tua
Tongkat Hitam). Kumis dan jenggotnya sudah beruban dan biarpun tubuhnya kurus
dan tubuh itu nampak lemah, namun dari sinar matanya yang mencorong orang
dapat menduga bahwa dia bukanlah orang biasa.
"Menyebalkan sekali mereka itu! Suma Koan dan anaknya memaksa kita untuk
menaluk kepada mereka! Huh, siapa tidak tahu bahwa sejak dahulu Kui-siauw
160 Giam-ong terkenal sebagai seorang datuk sesat" Sekarang, setelah kerajaan Liu-
sung jatuh dan Kaisar Cang melarikan diri, dia berpura-pura muncul sebagai seorang ksatria yang hendak mendukung Kaisar Cang Bu."
"Kami juga menolak mentah-mentah bujukan mereka, bahkan kami juga mereka
ancam. Akan tetapi kami tidak takut," kata ketua Thian-beng-pang. "Kita semua melihat betapa bijaksananya Kaisar Siauw Bian Ong. Bahkan beliau tidak menumpas orang-orang bekas pejabat Liu-sung dan menerima siapa saja yang akan membantu
pemerintah kerajaan Chi untuk menenteramkan dan memakmurkan kehidupan
rakyat. Bagaimana mungkin pemerintahan yang demikian bijaksana hendak kita
tentang" Dan mengembalikan Kaisar Cang Bu yang masih muda dan hanya
mengejar kesenangan itu ke atas tahta" Tidak, kami tidak mau dan sudah pasti
Suma Koan mempunyai rencana busuk bagi keuntungan dirinya sendiri dengan
memperalat bekas kaisar muda itu."
"Inilah akibatnya kalau kaisar Siauw Bian Ong bersikap terlalu baik hati. Di samping segi baiknya mendapat bantuan orang-orang pandai, juga ada segi buruknya, yaitu kelemahan karena kebaikan beliau itu membuka pintu bagi orang-orang sesat untuk ikut menyelinap masuk. Apakah pang-cu tidak mendengar berita bahwa orang-orang yang tadinya terkenal di kang-ouw sebagai golongan sesat. kini ikut pula
bekerja di dalam istana?"
Ciu Tek pang-cu dari Thian-beng-pang terkejut dan memandang kepada pencemis
tua. "Lokai, siapa yang engkau maksudkan?"
"Bi Moli Kwan Hwe Li dan Ouwyang Toan putera Bu-eng-kiam Ouwyang Sek."
"Ahh!" Ciu Tek membelalakkan matanya. "Kalau Bi Moli Kwan Hwe Li, bagaimanapun juga ia dahulu adalah seorang puteri bangsawan, bahkan kini
ayahnya masih tinggal di kota raja. dan adiknya, Kwan Hwe Un menjadi hakim di Bi-ciu, tidak mengherankan kalau ia datang ke kota raja dan bekerja di istana kaisar.
Akan terapi Ouwyang Toan putera Bu-eng-kiam, majikan Lembah Bukit Siluman"
Hemmm, ini berbahaya sekali!"
"Harap pang-cu tenangkan diri. Kurasa biar seorang seperti Bu-eng-kiam sekalipun tidak akan begitu gila untuk membuat kekacauan di istana. Kaisar memiliki banyak pengawal dan jagoan istana yang cukup tangguh. Sekarang, bagaimana kita harus
menghadapi ancaman dari Kui-siauw Giam-ong" Tiga hari lagi dia akan datang untuk minta keputusan kita. Kalau kita menolak, tentu dia akan menyerang."
"Takut apa, Lo-kai" Kalau dia memaksa kita melawan untuk mempertahankan nama dan kehormatan." kata ketua Thian-beng-pang itu.
"Akan tetapi kalau dia menantangmu perkelahian satu lawan satu" Kui-siauw Giam-ong lihai sekali, dan siapa tahu dia juga membawa orang-orang yang lihai. Kabarnya sudah banyak tokoh kang-ouw yang takluk padanya dan mau bekerja sama."
161 "Tidak usah khawatir, kita menjadi satu dan melawan! Sebaiknya pada hari yang ditentukan, engkau dan anak buahmu berkumpul di sini dan kita bersatu padu
menghadapinya, Lo-kai."
"Baik, pangcu. Kita bersatu menghadapi datuk sesat itu!" kata Hek-tung Lo-kai.
Pada hari yang ditentukan, pagi-pagi sekali Hek-tung Lo kai Kam Cu bersama sekitar dua ratus orang anggauta Hek-tung Kai-pang telah berkumpul di rumah
perkumpulan Thian-beng p.In! yang juga sudah mengumpulkan anak buahnya
sebanyak dua ratus orang lebih. Thian beng-pangcu Ciu Tek menyambut sahabatnya
itu dan dia juga sudah siap dengan anak buahnya untuk menghadapi serangan Suma
Koan. Suasana di pusat perkumpulan Thian-ben-;-pang itu nampak hening dan tegang
biarpun di situ berkumpul ratusan orang anak buah kedua perkumpulan. Baik Hek-
tung Lo-kai Kam Cu maupun Thian-beng-pangcu Ciu Tek tidak mau minta bantuan
pasukan keamanan, pemerintah karena urusan ini merupakan urusan
mempertahankan kehormatan sehingga mereka akan merendahkan diri kalau
sampai minta bantuan pasukan pemerintah. Setelah matahari naik tinggi, semua
anak buah kedua perkumpulan telah berbaris di depan pusat perkumpulan Thian-
ber g-pang yang berdiri di tereng sebuah bukit. Dari tereng itu. kini nampak
serombongan orang tidak begitu besar jumlahnya, hanya sekitar tiga puluh orang, berjalan mendaki bukit. Yang berjalan di depan adalah Suma Koan lalu nampak
Suma Hok puteranya, dan seorang yang bertubuh gendut bulat. Yang ke tiga itu
adalah Pak-thian-kui, orang pertama dari Bu-tek Sam-kui yang ikut memperkuat
rombongan Suma Koan karena mereka sudah mendengar bahwa perkumpulan
Thian-beng-pang dan Hek-tung Kai-pang agaknya hendak membangkang terhadap
perintah mereka.
Hek-tung Lo-kai Kam Cu dengan tongkat hitamya di tangan, berdiri di depan anak
buahnya, didampingan Thian-beng-pangcu Ciu Tek yang juga berdiri di depan anak
buahnya, dengan golok besar siap di pinggang.
Suma Koan tersenyum mengejek setelah dia berhadapan dengan kedua orang ketua
itu. "Selamat pagi, Hek-tung Kai-pangcu dan Thian-beng-pangcu. Kami melihat bahwa kalian berdua telah siap menyambut kami. Langsung saja kami ingin
mengetahui jawaban kalian terhadap keinginan kami yang telah kami sampaikan
tiga hari yang lalu."
"Kami tetap menolak kerja sama dengan pihakmu!" kata Tian-beng-pangcu dengan suara tegas.
"Kami juga menolak kerja sama itu. Kami ingin bebas menentukan langkah sendiri!"
kata pula Hek-tung Lo-kai.
162 "Ha-ha-ha, sudah kami sangka demikian. Kam Cu dan Ciu Tek, kalian sudah berani menolak uluran tangan kami untuk menjadi sahabat, berarti kalian menganggap
kami musuh. Kalau begitu, permusuhan ini kita selesaikan secara laki-laki sejati.
Kami menantang kalian untuk bertanding satu lawan satu. Beranikah kalian
menyambut tantangan kami, ataukah kalian begitu pengecut untuk mengerahkan
anak buah kalian melawan kami?"
Terdengar suara bergelak dan Pek-thian-kui yang gendut bulat sudah maju
mendampingi Suma Koan. "Ha-ha-ha, aku sudah mendengar nama besar Hek-tung
Lo-kai dan ingin sekali mengenal tongkat hitamnya!"
Beberapa orang murid Thian-beng-pang dan Hek-tung-kaipang maju untuk
membela ketua mereka, akan tetapi kedua orang ketua itu memberi isyarat agar
mereka mundur. "Musuh datang dan menantang secara laki-laki. Biar dengan taruhan nyawapun, kami adalah laki-laki sejati untuk menyambut tantangan itu dalam pertandingan
Golok Halilintar 10 Istana Kumala Putih Karya O P A Pedang Tanpa Perasaan 3
^